PERENCANAAN KETAHA K ANAN PAN NGAN BE ERKELAN NJUTAN DI KABUPA K ATEN MUA ARA ENIIM PRO OVINSI SU UMATERA A SELAT TAN
ELOK ILUNANW WATI
SE EKOLAH H PASCAS SARJANA A INS STITUT PERTANIA AN BOGO OR BOGOR 2011
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Perencanaan Ketersediaan Pangan Berkelanjutan di Kabupaten Muara Enim Provinsi Sumatera Selatan adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Januari 2011
Elok Ilunanwati NRP I 153084025
ABSTRACT ELOK ILUNANWATI. Planning for Sustainable Food Availability in Muara Enim Distric, South Sumatra Province. Under supervision YAYUK FARIDA BALIWATI and DADANG SUKANDAR. Food security is a mandatory government affairs. It requires some forms of development planning in order to guarantee a sustainable food security. Food and nutrition planning as part of regional development planning is made to improve the quality of human resources and economic development, which is not solely on the planning of food commodities. One of targets to be achieved is the amount of food availability (in the form of daily energy availability of 2.200 kcal/capita) as well as the diverse on the basis of balanced nutrition that is indicated by a desirable dietary pattern or pola pangan harapan (PPH) score of 100. Muara Enim distric does not currently have a reference for the operational targets of food production to meet the ideal food consumption and land area that should be provided to ensure sustainable food supply. Therefore, the main objective of this research is to analyze the carrying capacity of the region to plan a sustainable food supply in Muara Enim regency. This was retrospective study. Research location was in Muara Enim regency in South Sumatra Province, and the study location were selected on purpose (purposive). The experiment was conducted in September through October 2010. The results showed that 1) the potentials for food production were varied and could be developed to meet the food consumption of the population, 2) some adjustments between production targets of satuan kerja perangkat daerah (SKPD) and ideal food consumption needs of the population were required, 3) agricultural land to be preserved for food is 115,043 ha (wetland 36,539 ha and 80,371 ha of dry land, with land man ratio of 1,420 m2/capita), and 4) sharpening is needed in the synchronization between planning documents and development objectives in quantitative determination. Keywords: food availability, region carrying capacity, land man ratio
RINGKASAN ELOK ILUNANWATI. Perencanaan Ketersediaan Pangan Berkelanjutan di Kabupaten Muara Enim Provinsi Sumatera Selatan. Dibimbing oleh YAYUK FARIDA BALIWATI dan DADANG SUKANDAR. Undang-undang No.7/1996 tentang Pangan mengamanatkan bahwa pemerintah bersama masyarakat bertanggung jawab mewujudkan ketahanan pangan. Sejalan dengan hal tersebut maka Undang-undang No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk lebih banyak mengatur dan mengelola pembangunan daerah, termasuk pembangunan ketahanan pangan. Ketahanan pangan menjadi urusan wajib pemerintah daerah (Peraturan Pemerintah No.38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan) yang penyelenggaraannya berpedoman kepada standar pelayanan minimal (SPM). Karena itu dibutuhkan suatu bentuk perencanaan pembangunan dalam rangka menjamin ketahanan pangan wilayah secara berkelanjutan. Untuk dapat merespon demand terhadap aneka ragam pangan yang mengikuti pertumbuhan jumlah penduduk dan keterbatasan lahan pertanian pangan. Kabupaten Muara Enim adalah salah satu kabupaten di Provinsi Sumatera Selatan yang kaya dengan sumberdaya alam terutama hasil tambang dan perkebunan, serta menjadi pendukung program Sumatera Selatan Lumbung Pangan dan Energi Nasional. Namun kondisi ketahanan pangan wilayah ini belum memadai. Dari hasil kajian Badan Ketahanan Pangan Provinsi Sumatera Selatan tahun 2009, kabupaten ini mendapat prioritas penanganan kerawanan pangan karena masih tingginya status gizi buruk pada balita. Ketersediaan pangan penduduk Kabupaten Muara Enim tahun 2004-2008 berfluktuasi antara 1.197-2.513 kkal/kap/hari (ketersediaan yang dianjurkan 2.200 kkal/kap/hari) dengan mutu yang belum memenuhi skor pola pangan harapan (PPH) 100. Konsumsi pangan penduduk belum berimbang karena masih didominasi oleh padi-padian (beras) dengan mutu konsumsi dibawah skor PPH 100. Dari 22 kecamatan yang ada, terdapat 15 kecamatan beresiko rawan pangan dan gizi, terdiri dari 1 kecamatan resiko tinggi dan 14 kecamatan resiko sedang (KKP, 2009). Tujuan penelitian ini adalah 1) menganalisis situasi konsumsi, ketersediaan dan produksi pangan penduduk Kabupaten Muara Enim tahun 2003-2009, 2) menyusun proyeksi konsumsi, ketersediaan dan produksi pangan penduduk Kabupaten Muara Enim tahun 2010-2015, 3) menganalisis kebutuhan daya dukung lahan untuk menjamin produksi pangan yang memenuhi kebutuhan ideal pangan penduduk Kabupaten Muara Enim tahun 2010-2015, 3) menganalisis konsistensi dan keterpaduan kebijakan pembangunan ketahanan pangan di Kabupaten Muara Enim. Desain penelitian ini adalah restrospektif. Data yang digunakan adalah data sekunder yang terdiri dari data kependudukan, data produksi pertanian, luas lahan pertanian, ketersediaan pangan, konsumsi pangan, renstra kabupaten, renstra satuan kerja perangkat daerah (SKPD). Pengolahan data dan analisis dilakukan secara deskriptif dengan menggunakan program komputer Microsoft Excell 2007. Data seri lahan pertanian dianalisis trennya kemudian diproyeksikan dengan model persamaan
linier (metode Least Square) untuk tahun 2010-2015. Data kebutuhan luas lahan pertanian berbasis PPH dihitung dari data proyeksi kebutuhan produksi pangan tahun 2010-2015 dengan memperhitungkan produktivitas tanaman pangan. Land man ratio dihitung dengan membandingkan luas lahan pertanian dengan jumlah penduduk pada tahun tertentu. Kebijakan terkait perencanaan pembangunan ketahanan pangan, dibandingkan dengan kebijakan yang lebih tinggi dan dilakukan analisis konten terhadap konsistensi dan keterpaduan. Hasil penelitian didapatkan bahwa situasi konsumsi dan ketersediaan pangan penduduk masih harus ditingkatkan mutu dan jumlahnya untuk mencapai kondisi ideal pada tahun 2015. Dukungan potensi produksi pangan cukup memadai dan masih dapat dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi pangan ideal penduduk (2.000 kkal/kapita/hari dengan skor PPH 100). Perbandingan target produksi SKPD tahun 2013 dengan sasaran produksi berbasis PPH menunjukkan selisih positif (surplus) untuk komoditas gabah, sawit, kacang panjang, jeruk dan nanas. Sedangkan ubi kayu, daging, ikan, kelapa, kedelai, dan tomat masih dibawah proyeksi berbasis PPH. Daya dukung lahan yang dibutuhkan untuk mencukupi kebutuhan konsumsi pangan ideal penduduk Kabupaten Muara Enim yaitu sebesar 116.910 Ha (lahan sawah 36.539 Ha dan lahan kering 80.371 Ha) dengan land man ratio 1.423 m2/kapita. Diperlukan penajaman dalam sinkronisasi antar dokumen perencanaan dan penetapan sasaran pembangunan secara kuantitatif. Dengan kondisi tersebut maka target penyediaan pangan yang dibutuhkan untuk konsumsi penduduk diharapkan dapat menjadi dasar perencanaan produksi pangan wilayah menuju tercapainya ketahanan pangan dengan memprioritaskan pada usaha kemandirian pangan. Selain itu juga dibutuhkan konsolidasi penetapan program untuk mengelola sumberdaya wilayah (lahan) dan penyesuaian tata guna lahan dalam tata ruang wilayah dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan secara berkelanjutan. Kata kunci : ketersediaan pangan, daya dukung wilayah, land man ratio
©Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2011 Hak cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun apa pun tanpa izin IPB.
PERENCANAAN KETAHANAN PANGAN BERKELANJUTAN DI KABUPATEN MUARA ENIM PROVINSI SUMATERA SELATAN
ELOK ILUNANWATI
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada Program Studi Manajemen Ketahanan Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Ikeu Ekayanti, M.Kes
Judul Tesis : Perencanaan Ketersediaan Pangan Berkelanjutan di Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan Nama : Elok Ilunanwati NIM : I 153084025
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Yayuk Farida Baliwati, M.S Ketua
Prof. Dr. Ir. Dadang Sukandar, M.Sc Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Manajemen Ketahanan Pangan
Dekan Sekolah Pascasarjana
drh. M Rizal M Damanik, M.Rep.Sc, Ph.D Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodipuro, M.S
Tanggal Ujian : 12 Januari 2011
Tanggal Lulus :
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmatNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema penelitian yang dilaksanakan sejak September 2010 adalah perencanaan pangan, dengan judul Perencanaan Ketersediaan Pangan Berkelanjutan di Kabupaten Muara Enim Provinsi Sumatera Selatan. Sebagai bentuk penghargaan, penulis menyampaikan terima kasih sebesarbesarnya kepada : 1. Dr. Ir. Yayuk Farida Baliwati, M.S dan Prof. Dr.Ir. Dadang Sukandar, M.Sc selaku pembimbing, yang telah memberikan bimbingan, dukungan dan kepercayaan pada penulis sehingga penyusunan tulisan ini dapat diselesaikan dengan baik. 2. Dr. Ir. Ikeu Ekayanti, M.S selaku dosen penguji atas kesediaan dan keterlibatan beliau pada ujian sidang penulis. 3. Dr. Ir. Budi Setiawan, M.Sc (Ketua Departemen Gizi Masyarakat FEMA IPB), drh. M Rizal M Damanik, MRepSc, PhD (Ketua Program Studi Manajemen Ketahanan Pangan) dan Yayat Heryatno, SP, MPS (Sekretaris Program Studi Manajemen Ketahanan Pangan). 4. Orangtua tercinta papa Ir.H. M. Nasyiruddin Arsyad dan mama Hj. Hayati, juga kepada mertua tercinta Bapak Mustofa, Bsc dan Ibu Rochilah atas kasih sayang, doa dan dukungan tiada henti. 5. Suami tercinta Akbar Saefudin, SP, M.Sc, M.Si dan putra tersayang Ahmad Aulia Akbar atas ijin, doa, dukungan dan kepercayaan. 6. Saudara-saudara tersayang : Andri Kurnia Gusti dan Nurul Chairunnisyah, Riya Liuhartana dan Dedi Suharyono, Shanti Anggundiani dan Heru Hermawan atas dukungan, bantuan dan semangat. 7. Staf Program Studi Manajemen Ketahanan Pangan ; Reisi, Nurul dan Teh Yati atas bantuan dan perhatian. 8. Teman-teman angkatan 3 Program Studi Manajemen Ketahanan Pangan ; Yoyon Haryanto, Hasrawati dan Ferdinan atas dukungan dan silaturahmi selama ini.
9. Pemerintah Kabupaten Muara Enim yang telah memberikan kesempatan dan bantuan kepada penulis dalam menempuh pendidikan pada Magister Manajemen Ketahanan Pangan, Sekolah Pascasarjana, IPB. 10. Pimpinan dan staf Kantor Ketahanan Pangan Kabupaten Muara Enim. 11. Sahabat-sahabat yang mendukung dan membantu penulis : Bapak Abu Bakar dan keluarga, Bapak Amrullah Jamaluddin, Yuk Wartini, Yuk Fransiska, Yuyun dan Dodi.
Bogor, Januari 2011
Elok Ilunanwati
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 20 April 1973 dari pasangan Ir. H. M. Nasyiruddin Arsyad dan Hj. Hayati.
Penulis merupakan anak sulung dari
empat bersaudara. Tahun 1992 penulis lulus dari SMA Negeri I Lubuk Linggau kemudian diterima pada Program Studi Agribisnis, Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur PMDK dan lulus pada tahun 1998. Pada tahun 2009, penulis diterima sebagai mahasiswa pada Jurusan Magister Manajemen Ketahanan Pangan, Sekolah Pasca Sarjana, IPB. Penulis adalah staf Kantor Ketahanan Pangan Kabupaten Muara Enim sejak tahun 2005.
x
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL .......................................................................................... .
xii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................
xiii
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................
xiv
PENDAHULUAN Latar Belakang ...................................................................................... Perumusan Masalah ............................................................................... Tujuan ... ................................................................................................. Manfaat Penelitian... ...............................................................................
1 4 4 4
TINJAUAN PUSTAKA Ketahanan Pangan ................................................................................... Daya Dukung Pangan Wilayah .............................................................. Kebijakan Ketahanan Pangan ................................................................ Perencanaan Pembangunan Ketahanan Pangan ......................................
5 11 16 24
KERANGKA PEMIKIRAN ............................................................................
28
METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu ..................................................................... Jenis dan Cara Pengumpulan Data ......................................................... Pengolahan dan Analisis Data ................................................................ Keterbatasan dan Asumsi Penelitian ....................................................... Definisi Operasional ...............................................................................
31 31 32 41 41
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Lokasi Penelitian........................................................... Situasi Konsumsi, Ketersediaan dan Produksi Pangan Penduduk Kabupetan Muara Enim......................... ................................................. Proyeksi Kebutuhan Konsumsi, Ketersediaan dan Produksi Pangan Penduduk Kabupaten Muara Enim Tahun 2010-2015 ............................ Daya Dukung Lahan untuk Menjamin Produksi Pangan yang Memenuhi Kebutuhan Ideal Pangan Penduduk Tahun 2013 dan 2015............ ............................................................................................. Konsistensi dan Keterpaduan Kebijakan Pembangunan Ketahanan Pangan di Kabupaten Muara Enim........................................................... SIMPULAN DAN SARAN
43 47 56
65 74
xi
Simpulan.................................................................................................. Saran........................................................................................................
81 78
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................
84
LAMPIRAN .....................................................................................................
90
xii
DAFTAR TABEL
Halaman 1
Perbandingan luas lahan basah dan lahan kering di Kabupaten Muara Enim..........................................................
3
2
Standar Pelayanan Minimal Bidang Ketahanan Pangan........
24
3
Keterkaitan tujuan penelitian dengan data dan sumber data.........................................................................................
32
4
Pengolahan dan analisis data..................................................
33
5
Konsumsi pangan berdasarkan PPH nasional.........................
36
6
Jenis pangan terpilih dalam setiap kelompok pangan berdasarkan hasil survey konsumsi pangan penduduk Kabupaten Muara Enim tahun 2009 ……………………….
37
Luas wilayah, jumlah penduduk dan kepadatan penduduk per kecamatan di Kabupaten Muara Enim tahun 2010 …….
44
Jumlah dan laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Muara Enim tahun 2003-2008 ……………………………………
45
Situasi konsumsi pangan aktual penduduk Kabupaten Muara Enim disbanding konsumsi ideal (kkal/kapita/hari)
48
Perbandingan skor PPH konsumsi aktual penduduk Kabupaten Muara Enim dengan skor PPH konsumsi ideal dan PPH konsumsi nasional ………………………………
49
Perkembangan ketersediaan energi per kapita per hari penduduk Kabupaten Muara Enim tahun 2004-2008 …..
50
Skor dan laju rata-rata ketersediaan kalori Kabupaten Muara Enim tahun 2004-2008 …………………………………….
51
Produksi dan pertumbuhan produksi tanaman perkebunan tahun 2003 dan 2009 di Kabupaten Muara Enim ……….
52
Produksi komoditas kelapa, lada dan aren tahun 2005-2007 di Kabupaten Muara Enim ………………………………..
52
7
8
9
10
11
12
13
14
xiii
15
Produksi dan tren produksi padi dan palawija tahun 2003 dan 2009 di Kabupaten Muara Enim ………………………
16
Produksi dan tren produksi sayuran pada tahun 2003 dan 2009 di Kabupaten Muara Enim ………………………..
54
Produksi dan tren produksi buah-buahan pada tahun 2003 dan 2009 di Kabupaten Muara Enim ………………………
54
18
Produksi dan tren produksi peternakan …………………….
55
19
Produksi dan tren produksi perikanan tahun 2003 dan 2009 di Kabupaten Muara Enim …………………………………
55
20
Susunan PPH Nasional dan jumlah ketersediaan/konsumsi pangan……………………………………………………..
57
21
Proyeksi skor PPH Konsumsi Pangan Penduduk Kabupaten Muara Enim tahun 2010-2015 ……………………………...
58
Perhitungan sasaran berat pangan menurut jenis pangan terpilih (gram/kapita/hari) tahun 2013 dan 2015 …………..
60
Sasaran konsumsi dan ketersediaan pangan penduduk Kabupaten Muara Enim tahun 2013 dan 2015 (ton/tahun) ..
61
24
Target produksi pangan tahun 2013 dan 2015 ……………..
62
25
Perbandingan target produksi SKPD dan berbasis PPH tahun 2013 ………………………………………………
63
Perubahan luas lahan pertanian dan proyeksi luas lahan pertanian di Kabupaten Muara Enim …………………..
65
27
Arahan tata ruang pertanian Kabupaten Muara Enim……..
66
28
Perbandingan luas lahan di Kabupaten Muara Enim ……..
68
29
Perbandingan kebutuhan luas lahan pada skenario I terhadap tren luas lahan pertanian pangan di Kabupaten Muara Enim tahun 2013 dan 2015 ……………………….
69
Perbandingan kebutuhan luas lahan pada skenario II terhadap tren luas lahan pertanian pangan di Kabupaten Muara Enim tahun 2013 dan 2015 ………………………….
70
17
22
23
26
30
31
Perbandingan kebutuhan luas lahan pada skenario III
53
xiv
32
33
34
35
36
terhadap tren luas lahan pertanian pangan di Kabupaten Muara Enim tahun 2013 dan 2015 …………………………
70
Perbandingan land man ratio lahan sawah pada skenario I, II dan III di Kabupaten Muara Enim …………………….
72
Perbandingan land man ratio lahan kering pada skenario I, II dan III di Kabupaten Muara Enim …………………….
73
Analisis konten terhadap konsistensi dan keterpaduan antar dokumen perencanaan pembangunan ketahanan pangan …..
76
Perbandingan pertumbuhan produksi pangan dari SKPD terkait ……………………………………………………..
77
Perbandingan luas lahan pertanian tanaman pangan dalam RTRW Kabupaten Muara Enim dengan kebutuhan berbasis PPH konsumsi pangan tahun 2015 ………………………….
78
xv
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1
Skema kerangka pemikiran Perencanaan Ketersediaan Pangan Berkelanjutan di Kabupaten Muara Enim …….
30
2
Alur pengolahan data ......................................................
34
3
Proyeksi jumlah penduduk Kabupaten Muara Enim tahun 2010-2015 (laju pertumbuhan 1,79 %) ………….
58
Perbandingan luas lahan basah berdasarkan trend, skenario I, III dan III di Kabupaten Muara Enim……….
71
4
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1
Peta Kabupaten Muara Enim ……………………………….
90
2
Proyeksi konsumsi energi penduduk Kabupaten Muara Enim tahun 2011-2015……………………………………….
91
Proyeksi konsumsi pangan penduduk Kabupaten Muara Enim tahun 2011-2015 ……………………………………
92
Proyeksi konsumsi dan ketersediaan pangan penduduk (ton/tahun) …………………………………………………..
93
Proyeksi produksi pangan penduduk Kabupaten Muara Enim tahun 2011-2015 ……………………………………………..
94
Analisis konsistensi dokumen perencanaan pembangunan tahun 2011 ………………………………………………….
95
Analisis Konsistensi dokumen perencanaan Kabupaten Muara Enim Tahun 2008-2013 ……………………………..
96
Analisis konsistensi dokumen perencanaan Kabupaten Muara Enim Tahun 2008-2013 ……………………………...
98
3
4
5
6
7
8
1
PENDAHULUAN Latar belakang Dalam Undang-undang No 7 Tahun 1996 tentang Pangan, dijelaskan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Undang-undang tersebut juga mengamanatkan bahwa pemerintah bersama masyarakat bertanggung jawab mewujudkan ketahanan pangan.
Pemerintah menyelenggarakan pengaturan,
pembinaan, pengendalian, dan pengawasan terhadap ketersediaan pangan yang cukup,
baik jumlah maupun mutunya, aman, bergizi, beragam, merata dan
terjangkau oleh akses masyarakat baik secara ekonomi maupun secara fisik. Masyarakat berperan dalam penyelenggaraan produksi dan penyediaan, perdagangan dan distribusi, serta sebagai konsumen yang berhak memperoleh pangan yang bermutu. Sejalan dengan hal tersebut maka Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk lebih banyak mengatur dan mengelola pembangunan daerah, termasuk pembangunan ketahanan pangan. Ketahanan pangan merupakan urusan wajib pemerintah daerah sesuai dengan pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan yang penyelenggaraannya berpedoman kepada standar pelayanan minimal (SPM).
Ketahanan pangan harus diupayakan secara optimal dan
berkesinambungan sesuai dengan potensi masing-masing wilayah di semua kabupaten/kota. Untuk itu dibutuhkan suatu bentuk perencanaan pembangunan dalam rangka menjamin ketahanan pangan wilayah secara berkelanjutan. Perencanaan pangan dan gizi menjadi bagian dari perencanaan pembangunan wilayah dan berorientasi pada peningkatan kualitas sumberdaya manusia dan pembangunan ekonomi (Todaro dalam Baliwati, 2008 ), sehingga bukan semata-mata perencanaan komoditas pangan. Selanjutnya Baliwati (2008) menyatakan bahwa ciri perencanaan pangan dalam konteks pembangunan wilayah adalah : a) memenuhi kebutuhan gizi rata-rata penduduk untuk mendukung hidup sehat, aktif dan produktif, b) mengikuti kaidah gizi seimbang, c) memperhatikan
2 kemampuan dan kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan, d) sesuai dengan daya beli dan kebiasaan makan masyarakat setempat. Menurut Karsin (2004) upaya pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi penduduk dapat dicapai melalui peningkatan produksi dan ketersediaan pangan, kebijakan harga dan cadangan pangan, industri pangan, pengawasan industri pangan, serta partisipasi masyarakat.
Ketersediaan pangan diarahkan untuk
mencapai kondisi pangan yang mencakup makanan dan minuman yang berasal dari tanaman, ternak, dan ikan serta turunannya bagi penduduk suatu wilayah dalam kurun waktu tertentu, untuk hidup sehat dan produktif. Dengan kata lain, sasaran yang harus dicapai adalah jumlah ketersediaan pangan (dalam bentuk ketersediaan energi sebesar 2200 kkal/kap/hari) serta beranekaragam berdasarkan gizi seimbang yang ditunjukkan oleh skor PPH 100. Provinsi Sumatera Selatan memiliki Program Sumatera Selatan Lumbung Pangan, yang bertujuan untuk menjadi wilayah produsen pangan dan cadangan pangan serta hasil-hasil pertanian lainnya dalam bentuk segar maupun olahan agroindustri, dimana masyarakatnya tidak hanya berkecukupan pangan tetapi juga mempunyai daya beli dan kemudahan untuk mengakses pangan sehingga mempunyai ketahanan pangan yang mantap dan memperoleh tingkat pendapatan yang layak untuk mencukupi kebutuhan hidup lainnya (Perda No. 6 Tahun 2007 tentang Arah Kebijakan Sumatera Selatan Lumbung Pangan 2006-2025). Untuk mewujudkan program tersebut, maka dibutuhkan dukungan dan kerjasama dari seluruh kabupaten/kota di wilayah Provinsi Sumatera Selatan. Salah satu kabupaten yang mendukung ketersediaan pangan Provinsi Sumatera Selatan adalah Kabupaten Muara Enim yang memiliki kekayaan sumberdaya alam terutama perkebunan dan pertambangan. ketahanan pangan wilayah ini sendiri belum memadai.
Namun kondisi
Ketersediaan pangan
penduduk Kabupaten Muara Enim tahun 2004-2008 berfluktuasi antara 1.1972.513 kkal/kap/hari (ketersediaan yang dianjurkan 2.200 kkal/kap/hari) dengan mutu yang belum memenuhi skor PPH ideal.
Konsumsi pangan penduduk
tergolong normal tetapi didominasi oleh padi-padian (beras), sehingga mutu konsumsi belum cukup baik (skor PPH 70,1 dari 100).
Selain itu dari 22
kecamatan yang ada, terdapat 15 kecamatan beresiko rawan pangan dan gizi,
3 terdiri dari 1 kecamatan resiko tinggi dan 14 kecamatan resiko sedang (KKP, 2009).
Menurut laporan riskesdas (riset kesehatan dasar) tahun 2009 dari
Kementrian Kesehatan, peringkat status gizi buruk Kabupaten Muara Enim merupakan yang tertinggi di Sumatera Selatan (13 persen) dan peringkat gizi kurang tertinggi kedua (15,1 persen). Terkait kondisi tersebut, menurut Jelife (1989) status gizi antara lain ditentukan oleh faktor lingkungan (fisik dan bilologis).
Faktor fisik dapat
diartikan sebagai lahan pertanian pangan dan faktor biologis adalah ketersediaan pangan. Oleh karena itu diperlukan suatu perencanaan ketersediaan pangan untuk menjamin kebutuhan pangan penduduk agar dapat hidup sehat, aktif dan produktif.
Dengan memperhatikan daya dukung pangan wilayah maka
ketersediaan aneka ragam pangan dapat terjamin.
Ketersediaan pangan
merupakan prasyarat agar penduduk dapat mengkonsumsi aneka pangan secara cukup dan seimbang. Dalam perencanaan pembangunan ketahanan pangan untuk menjamin ketersediaan pangan berkelanjutan, dibutuhkan data kebutuhan luas lahan pertanian pangan yang dapat memenuhi kebutuhan konsumsi pangan penduduk untuk hidup sehat, aktif dan produktif. Secara faktual, berbagai data luasan lahan di Kabupaten Muara Enim yang dapat digunakan untuk pengembangan produksi aneka ragam pangan menunjukkan angka yang berbeda (Tabel 1).
Hal ini
mengindikasikan perlunya konsolidasi data dan perencanaan pangan secara komprehensif sehingga dapat diketahui ; a) seberapa besar kemampuan produksi pangan Kabupaten Muara Enim, b) luasan lahan yang dibutuhkan agar mampu memproduksi pangan dan gizi sesuai kebutuhan gizi penduduk Tabel 1 Perbandingan luas lahan basah dan lahan kering di Kabupaten Muara Enim No
Jenis Lahan
1 2
Lahan basah/Sawah Lahan kering/Perkebunan Jumlah
Arahan1) (Ha) 21.520 514.741
Aktual2) (Ha) 36.539 336.927
Rencana Tata3) Ruang (Ha) 9.808 416.768
536.261
373.466
426.576
Keterangan : 1) Balitbang Sumberdaya Lahan Pertanian, 2006 2) BPS, 2009 3) RTRW Kabupaten Muara Enim, 2007
4 Perumusan Masalah Berdasarkan berbagai pertimbangan tersebut maka perlu dianalisis : 1. Apakah situasi produksi dan ketersediaan pangan di Kabupaten Muara Enim dapat memenuhi kebutuhan konsumsi pangan ideal penduduk? 2. Bagaimana mengoptimalkan daya dukung pangan (dalam produksi pangan) di Kabupaten Muara Enim sehingga mampu memenuhi kebutuhan konsumsi pangan ideal penduduk secara berkelanjutan?
Tujuan Tujuan Umum Tujuan penelitian ini adalah menganalisis daya dukung wilayah untuk perencanaan ketersediaan pangan secara berkelanjutan di Kabupaten Muara Enim. Tujuan Khusus 1.
Menganalisis situasi konsumsi, ketersediaan dan produksi pangan penduduk Kabupaten Muara Enim tahun 2003-2009.
2.
Menyusun proyeksi kebutuhan konsumsi, ketersediaan dan produksi pangan penduduk Kabupaten Muara Enim tahun 2010-2015.
3.
Menganalisis kebutuhan daya dukung lahan untuk menjamin produksi pangan yang memenuhi kebutuhan ideal pangan penduduk Kabupaten Muara Enim tahun 2010-2015.
4.
Menganalisis
konsistensi
dan
keterpaduan
kebijakan
pembangunan
ketahanan pangan di Kabupaten Muara Enim.
Manfaat Penelitian 1. Memberikan masukan untuk pengembangan ilmu Sumberdaya Pangan (SdP) dan Perencanaan Pangan dan Gizi (PPG). 2. Memberikan alternatif strategi bagi Pemerintah Kabupaten Muara Enim dalam menyusun perencanaan pembangunan pangan dan gizi wilayah untuk memenuhi standar pelayanan minimum (SPM) daya dukung wilayah.
5
TINJAUAN PUSTAKA Ketahanan Pangan Konsep Ketahanan Pangan Declaration of Human Right 1998 menyatakan bahwa pemenuhan kebutuhan pangan merupakan salah satu hak asasi manusia (HAM). Hal ini berarti bahwa negara (pemerintah dan masyarakat) bertanggungjawab memenuhi kebutuhan pangan bagi penduduk yang tidak mampu memenuhi kebutuhan pangannya baik akibat adanya kondisi pangan yang sulit diperoleh penduduk dan rendahnya daya beli masyarakat (baik karena pendapatan rendah atau kebijakan harga-harga pangan). Ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau (Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996). Hal ini berarti bahwa ketahanan pangan mengandung aspek ketersediaan, distribusi dan konsumsi. Tersedianya pangan yang cukup merupakan syarat terpenuhinya kebutuhan pangan dan gizi penduduk yang jumlahnya terus bertambah.
Menurut Rustiadi (2008) untuk
membangun sistem ketahanan
pangan nasional yang lebih baik adalah antara lain upaya untuk tetap mempertahankan stabilitas kesetimbangan antara ketersediaan pangan dengan laju pertumbuhan penduduk, permasalahan degradasi lingkungan dan alih fungsi lahan. Untuk itu pengembangan dan pemantapan ketahanan pangan mempunyai perspektif pembangunan yang mendasar
dan strategis dalam pembangunan
nasional, karena: 1) akses terhadap pangan dengan gizi seimbang bagi penduduk merupakan hak asasi, 2) keberhasilan dalam pengembangan kualitas sumberdaya manusia sangat ditentukan oleh keberhasilan pemenuhan kecukupan dan konsumsi pangan dan gizi, dan 3) ketahanan pangan merupakan basis atau pilar utama dalam mewujudkan ketahanan ekonomi dan ketahanan nasional yang berkelanjutan. Komponen dan Indikator Ketahanan Pangan Menurut Suryana (2002) ketahanan pangan merupakan perwujudan hasil kerja suatu sistem ekonomi pangan yang terdiri dari tiga subsistem yaitu
6 subsistem penyediaan, distribusi dan subsistem konsumsi yang saling berinteraksi secara berkesinambungan. Pembangunan subsistem penyediaan mencakup pengaturan kestabilan dan kesinambungan penyediaan pangan baik yang berasal dari dalam negeri, cadangan, maupun dari luar negeri. Pembangunan subsistem distribusi mencakup pengaturan untuk menjamin aksesibilitas penduduk secara fisik dan ekonomis terhadap pangan antar wilayah dan antar waktu, serta stabilitas harga pangan strategis. Pembangunan subsistem konsumsi mencakup pengelolaan pangan ditingkat daerah maupun rumah tangga untuk menjamin setiap individu memperoleh pangan dalam jumlah, mutu gizi, keamanan, keragaman, dan keterjangkauan sesuai kebutuhan dan pilihannya. Maxwell dan Smith (1992) mengatakan bahwa ketahanan pangan menunjukkan adanya akses setiap individu untuk dapat memenuhi kebutuhan pangan setiap waktu. Hal ini berarti ketahanan pangan memiliki empat dimensi yaitu (a) kecukupan pangan, yang ditunjukkan oleh tingkat kecukupan energi untuk aktif dan hidup sehat; (b) akses pangan, yang berarti adanya kemampuan untuk memproduksi, membeli pangan maupun menerima pemberian pangan; (c) jaminan, yaitu adanya jaminan untuk memperoleh cukup pangan; dan (d) waktu, yaitu adanya jaminan untuk memperoleh cukup pangan secara berkelanjutan. Suryana (2004) mengemukakan bahwa keberhasilan pembangunan ketiga subsistem ketahanan pangan tersebut perlu didukung oleh faktor-faktor input berupa sarana, prasarana dan kelembagaan produksi, distribusi, pemasaran, pengolahan dan sebagainya. Disamping itu perlu juga didukung oleh faktor-faktor penunjang seperti kebijakan, peraturan, pembinaan dan pengawasan pangan. Ketahanan pangan dilaksanakan oleh banyak pelaku seperti produsen, pengolah, pemasar dan konsumen yang dibina oleh berbagai instansi sektoral, sub sektoral serta dipengaruhi interaksi antar wilayah. Output yang diharapkan dari pembangunan ketahanan pangan adalah terpenuhinya hak asasi manusia akan pangan, meningkatnya kualitas sumberdaya manusia, meningkatnya ketahanan ekonomi dan ketahanan nasional. Menurut Soetrisno (1995) dua komponen penting dalam ketahanan pangan adalah ketersediaan dan akses terhadap pangan. Tingkat ketahanan pangan suatu
7 negara/wilayah dapat bersumber dari kemampuan produksi, kemampuan ekonomi untuk menyediakan pangan dan kondisi yang membedakan tingkat kesulitan dan hambatan untuk akses pangan. Selanjutnya Sawit dan Ariani (1997) menyatakan bahwa penentu ketahanan pangan di tingkat rumah tangga adalah akses terhadap pangan, ketersediaan pangan dan risiko yang terkait dengan akses serta ketersediaan pangan tersebut. Ketahanan pangan dihasilkan oleh suatu sistem pangan yang terdiri atas tiga subsistem, yaitu: 1) ketersediaan pangan dalam jumlah dan jenis yang cukup untuk seluruh penduduk, 2) distribusi pangan yang lancar dan merata, dan 3) konsumsi pangan setiap individu yang memenuhi kecukupan gizi dan kaidah kesehatan (DKP, 2006). Ketersediaan pangan dibangun melalui peningkatan kemampuan produksi di dalam negeri, peningkatan pengelolaan cadangan, serta impor untuk mengisi kesenjangan antara produksi dan kebutuhan. Distribusi pangan dilakukan untuk menjamin stabilitas pasokan dan harga pangan antar wilayah dan waktu, yang memungkinkan masyarakat seluruh pelosok dapat mengakses pangan secara fisik dan ekonomi. Konsumsi pangan dibangun dengan meningkatkan kemampuan rumah tangga mengakses pangan yang cukup melalui kegiatan ekonomi produktifnya, baik dari usaha agribisnis pangan atau dari usaha lainnya yang menghasilkan pendapatan untuk membeli pangan, serta peningkatan pengetahuan dan kesadaran dalam mengkonsumsi pangan yang beragam, bergizi dan berimbang. Sebagai salah satu subsistem dari sistem ketahanan pangan maka FAO mengedepankan sistem penyediaan pangan dengan lima karakteristik yang harus dipenuhi, yaitu : (1) kapasitas (capacity) : mampu menghasilkan, mengimpor, dan menyimpan makanan pokok dalam jumlah cukup untuk memenuhi kebutuhan semua penduduk (national food sufficiency), (2) pemerataan (equity) : mampu mendistribusikan makanan pokok sehingga tersedia dalam jangkauan seluruh keluarga, (3) kemandirian (self-relience) : mampu menjamin kecukupsediaan makanan pokok dengan mengandalkan kekuatan sendiri sehingga ancaman fluktuasi pasar dan tekanan politik internasional dapat ditekan seminimum mungkin, (4) kehandalan (reliability) : mampu meredam dampak variasi musiman
8 maupun siklus tahunan sehingga kecukupsediaan pangan dapat dijamin setiap saat, (5) keberlanjutan (sustainability) : mampu menjaga keberlanjutan dan kecukupsediaan pangan dalam jangka panjang dengan tanpa merusak kualitas hidup (Soetrisna, 2005). Selanjutnya menurut Soetrisno (2005), ada dua pilihan untuk mencapai ketahanan pangan pada tingkat nasional atau wilayah, yaitu dengan mencapai swasembada pangan atau mencapai kecukupan pangan.
Swasembada pangan
diartikan sebagai pemenuhan kebutuhan pangan, yang sejauh mungkin berasal dari pasokan domestik dengan meminimalkan ketergantungan pada perdagangan pangan. Kecukupan pangan memasukkan variabel perdagangan internasional atau antar wilayah. Dengan konsep ini dituntut kemampuan untuk menjaga tingkat produksi domestik ditambah kemampuan untuk mengimpor agar dapat memenuhi kebutuhan pangan penduduknya. Ketahanan Pangan dan Pembangunan Berkelanjutan Komisi dunia untuk lingkungan dan pembangunan (World Commission on Environment
and
Development/WCED)
mendefinisikan
pembangunan
berkelanjutan sebagai pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan hak pemenuhan kebutuhan generasi mendatang. Istilah ini banyak dikritik karena dianggap memiliki makna ganda.
Kemudian dalam dokumen
Caring for Earth/Bumi Wahana, pembangunan berkelanjutan diartikan sebagai perbaikan mutu kehidupan manusia dengan tetap berusaha tidak melampaui kemampuan ekosistem yang mendukung kehidupannya (IUCN, UNEP, WWF, 1993). Masyarakat berkelanjutan secara ekologi adalah apabila (1) melestarikan sistem-sistem pendukung kehidupan dan keanekaragaman hayati, (2) menjamin keberlanjutan
penggunaan
sumberdaya
yang
dapat
diperbaharui
dan
meminimumkan penipisan sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui, dan (3) berusaha tidak melampaui daya dukung ekosistem. Agenda 21 merupakan agenda berbagai program aksi pembangunan berkelanjutan yang disepakati oleh para pemimpin dunia di KTT Bumi Rio de Janeiro tahun 1992.
Chapter 14 Agenda 21 berjudul Promoting Sustainable
Agriculture and Rural Development (SARD) merinci berbagai konsep dan program aksi Pertanian Berkelanjutan yang perlu dilaksanakan oleh semua negara
9 Menurut
Agenda
21
konsep
keberlanjutan
merupakan
konsep
yang
multidimensional termasuk didalamnya pencapaian tujuan ekologi, sosial dan ekonomi. Antara tiga dimensi ini terdapat kaitan dan ketergantungan yang sangat erat. Penguatan kelayakan dan kehidupan ekonomi di pedesaan merupakan dasar untuk penyediaan cara-cara untuk mempertahankan fungsi sosial dan lingkungan mereka. Menjaga kualitas lingkungan juga merupakan prasyarat atau prakondisi yang diperlukan bagi pengembangan potensi ekonomi jangka panjang di pedesaan. Integritas ekologi dan nilai lansekap pedesaan dapat merupakan daerah pedesaan sebagai kawasan wisata dan tempat hidup yang tenang dan menyenangkan sehingga dapat menarik investor untuk menanamkan modal. Keberlanjutan
pembangunan
merupakan
keberlanjutan
peningkatan
kualitas dan kesejahteraan hidup masyarakat/penduduk tempat mereka berada dan hidup termasuk dalamnya ketersediaan berbagai jenis pangan yang cukup dan bermutu.
Ketahanan pangan harus dilihat dari konteks peningkatan kualitas
hidup penduduk dan lingkungan hidup di pedesaan.
Pearce et al. (1994)
menyatakan bahwa Pembangunan Berkelanjutan (sustainable development) mempunyai makna dan tujuan yang lebih luas daripada pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan atau sustainable economic growth. Tujuan-tujuan ekonomi, sosial dan ekonomi pada tingkat tertentu dapat bersinergi. Namun pada kondisikondisi tertentu di lapangan, ketiga-tiganya dapat saling bersaing dan kurang saling mendukung. Apabila hal ini terjadi, konsep keberlanjutan mengarah pada diperlukannya keseimbangan yang benar antara tiga dimensi tersebut. Pilihanpilihan kebijakan perlu ditetapkan secara hati-hati dengan mempertimbangkan masing-masing dimensi yang saling berkaitan. Secara konseptual maupun historikal konsep ketahanan pangan merupakan bagian utama konsep pertanian berkelanjutan. Agenda 21 menyatakan bahwa Tujuan utama program Pertanian Berkelanjutan dan Pembangunan Pedesaan (SARD) adalah meningkatkan produksi pangan dengan cara yang berkelanjutan serta memperkuat ketahanan pangan. Dalam pertanian berkelanjutan peningkatan produksi pangan untuk memenuhi kebutuhan penduduk dilaksanakan secara berkelanjutan dengan dampak yang seminimal mungkin bagi lingkungan hidup, kesehatan masyarakat serta kualitas hidup penduduk di pedesaan. Program ini
10 meliputi berbagai kegiatan mulai dari prakarsa pendidikan, pemanfaatan insentif ekonomi, pengembangan teknologi yang tepat guna hingga dapat menjamin persediaan pangan yang cukup dan bergizi, akses kelompok-kelompok rawan terhadap persediaan pangan tersebut, produksi untuk dilempar ke pasar, peningkatan pekerjaan dan penciptaan penghasilan untuk mengentaskan kemiskinan, serta pengelolaan sumberdaya alam dan perlindungan lingkungan. Peningkatan produksi pangan harus dilakukan dengan cara-cara yang berkelanjutan
tidak
mengurangi
dan
merusak
kesuburan
tanah,
tidak
meningkatkan erosi, dan meminimalkan penggunaan dan ketergantungan pada sumberdaya alam yang tidak terbarukan, mendukung kehidupan masyarakat pedesaan yang berkeadilan, meningkatkan kesempatan kerja serta menyediakan kehidupan masyarakat yang layak dan sejahtera, mengurangi kemiskinan dan kekurangan gizi, tidak membahayakan kesehatan masyarakat yang bekerja atau hidup di lahan pertanian, dan juga kesehatan konsumen produk-produk pertanian yang dihasilkan, melestarikan dan meningkatkan kualitas lingkungan hidup di lahan pertanian dan pedesaan serta selalu melestarikan sumberdaya alam dan keanekaragaman hayati, memberdayakan dan memandirikan petani dalam mengambil keputusan pengelolaan lahan dan usaha taninya sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya sendiri, memanfaatkan dan melestarikan sumber daya lokal dan kearifan masyarakat tradisional dalam mengelola sumber daya alam. Lebih lanjut menurut Speth (1993) diacu dalam Absari (2007), konsep dari ketahanan pangan berkelanjutan adalah mengkombinasikan pangan, pertanian dan penduduk menjadi tujuan dasar dari pembangunan. Untuk mencapai ketahanan pangan yang berkelanjutan dibutuhkan lebih dari sekedar meningkatkan produktifitas pertanian dan keuntungan usahatani serta meminimalisasi kerusakan lingkungan.
Konsepnya lebih luas daripada pertanian berkelanjutan, yaitu
menggabungkan tujuan dari ketahanan pangan rumah tangga dan pertanian berkelanjutan. Tidak hanya membahas tentang jumlah ketersediaan pangan tetapi juga mengenai pendapatan dan distribusi lahan, mata pencaharian rumah tangga dan kebutuhan konsumsi pangan, distibusi pangan dan pangan tercecer, status
11 perempuan dan posisi tawar mereka, tingkat kelahiran dan populasi penduduk, perlindungan dan regenerasi sumberdaya vital bagi produksi pangan. Dengan semakin besar dan berkembang jumlah penduduk, diharapkan sektor pertanian (sebagai sumber penghasil dan penyedia utama pangan) dapat memenuhi kebutuhan pangan yang cukup besar dan terus berkembang dalam jumlah, keragaman dan mutunya (Syafa’at dan Simatupang, 2006).
Sehingga
pembangunan pertanian harus diarahkan menjadi pembangunan pertanian berkelanjutan. Menurut Sabiham (2008), agar pertanian dapat berjalan secara berkelanjutan, maka usaha dalam sektor pertanian juga harus memperhatikan daya dukung dan kesesuaian lahan untuk komoditi yang akan diusahakan.
Untuk
menjamin produksi pertanian yang berkelanjutan sebagai komponen ketersediaan pangan maka dibutuhkan ketersedian lahan secara berkelanjutan dalam jumlah dan mutu yang memadai. Ciri utama penggunaan lahan berkelanjutan adalah (Sabiham, 2008) : 1. Penggunaan sumberdaya lahan yang berorientasi jangka panjang, 2. Dapat memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan potensi untuk masa depan, 3. Pendapatan per kapita meningkat, 4. Kualitas dapat dipertahankan, bahkan kalau bisa ditingkatkan, 5. Dapat mempertahankan produktifitas dan kemampuan lahan, 6. Mampu mempertahankan lingkungan dari ancaman degradasi. Daya Dukung Pangan Wilayah (Nutritional Carrying Capacity) Definisi daya dukung dalam perspektif biofisik wilayah adalah jumlah maksimum populasi yang dapat didukung oleh suatu wilayah, sesuai dengan kemampuan teknologi yang ada (Binder dan Lopez 2000 diacu dalam Rustiadi et al. 2006). Menurut Baliwati (2008), daya dukung mempunyai dua komponen yaitu besarnya populasi manusia dan luas sumberdaya lingkungan yang dapat memberikan kesejahteraan pada populasi manusia. Daya dukung (carrying capacity) berkembang seiring dengan bertambahnya tekanan terhadap sumberdaya dan lingkungan yang disebabkan oleh aktivitas manusia (anthropogenik).
12 Nutritional Carrying Capacity dari wilayah adalah jumlah maksimum manusia atau penduduk yang dapat dipenuhi kebutuhan pangannya pada saat tertentu tanpa menyebabkan berkurangnya kemampuan wilayah tersebut untuk mendukung manusia atau penduduk pada masa yang akan datang.
Inovasi
budaya dan teknologi dapat meningkatkan nutritional carrying capacity, namun dalam kurun waktu cukup lama apabila inovasi tersebut menyebabkan kerusakan sumberdaya alam esensial yang tidak tergantikan maka hal tersebut pada akhirnya akan menurunkan nutritional carrying capacity dari wilayah. Meskipun faktor biofisik merupakan faktor pembatas utama dari nutritional carrying capacity, akan tetapi tekanan sosial, politik dan ekonomi adalah faktor yang menentukan sampai dimana nutritional carrying capacity suatu wilayah dapat terwujud (Paul, Anne and Gretchen, 1993). Pendekatan perhitungan daya dukung lingkungan/lahan harus dilakukan dari sisi permintaan (demand) dan sisi penawaran (supply) sumberdaya dan jasa lingkungan. Langkah perhitungan dalam Pedoman Kementerian Negara Lingkungan Hidup (2009) yaitu : daya dukung lahan ditentukan oleh kebutuhan (demand) dan ketersediaan (supply). Kebutuhan lahan ditentukan oleh jumlah penduduk dan tingkat konsumsi tiap penduduk, yang dipengaruhi tingkat produksi dan produktivitas lahan. Daya dukung lahan juga diperoleh dari perbandingan antara ketersediaan lahan dan kebutuhan lahan. Lahan Pertanian Pangan Sumberdaya lahan akan semakin menurun kontribusinya terhadap pangan yang diakibatkan terjadinya tekanan jumlah penduduk yang memperkecil kepemilikan lahan perkapita serta akibat adanya kompetisi penggunaan lahan. Hal ini menurut teori Thomas Malthus (Neo-Malthusian) diacu dalam Baliwati (2008) bahwa penduduk cenderung bertambah menurut deret ukur dan berlipat ganda setiap 30-40 tahun (kecuali jika terjadi kelaparan).
Adanya ketentuan
pertambahan hasil yang semakin berkurang dari faktor produksi lahan yang jumlahnya tetap, maka kebutuhan persediaan pangan yang meningkat menurut deret hitung, membutuhkan daya dukung sumberdaya alam dan lingkungan. Aspek-aspek pengelolaan sumberdaya lahan pertanian pangan menurut Rustiadi (2008) merupakan faktor nyata yang dibutuhkan dalam proses
13 penyediaan pangan. Lahan pertanian pangan, khususnya sawah memiliki karakteristik sumberdaya yang dikategorikan sebagai common pool resources (CPRs) karena memiliki dua kriteria utamanya yaitu unsur subtractability karena ketersediaan lahan yang sesuai untuk pertanian pangan sangat dan semakin terbatas, setiap konversi penggunaan lahan ke penggunaan lahan lainnya akan mengurangi kemampuan dalam penyediaan pangan. Unsur non excludable karena dalam perspektif publik sangatlah sulit mencegah terjadinya alih fungsi lahanlahan pertanian pangan yang subur. Ketersediaan Lahan Pertanian Pangan Lahan sebagai unsur ruang dan modal utama pembangunan merupakan kebutuhan pokok yang menyangkut hajat hidup penduduk dan wahana bagi penyelenggaraan kegiatan sosial. Dengan demikian lahan memiliki peranan strategis bagi pembangunan dan karena itu pula pengelolaannya harus dapat menjamin terselenggaranya pelaksanaan pembangunan yang berwawasan lingkungan secara berkesinambungan. Ruang memiliki keterbatasan serta kesempatan ekonomi yang tidak sama, sehingga memiliki potensi untuk menimbulkan konflik dalam pemanfaatan antar kegiatan sektor pembangunan dan antar jenis pengelolaannya di masyarakat. Menurut Riyadi (2002) salah satu isu penting yang terintegrasi dengan pengembangan kebijakan ketahanan pangan yaitu penataan ruang wilayah terutama melalui proses pembangunan wilayah pertanian yang didasarkan atas competitive forces dengan mengelola hegemonic forces melalui pengembangan kebijakan yang sejalan dengan sistem nilai pengembangan pangan. Kaitannya dengan hal tersebut, maka guna menjamin pengembangan wilayah pertanian dan ketersediaan pangan di suatu daerah diperlukan tata ruang yang jelas peruntukannya. Dalam demografi, ada tiga jenis kepadatan penduduk (man land ratio) yaitu ; kepadatan penduduk kasar (banyaknya penduduk persatuan luas wilayah), kepadatan penduduk fisiologis (jumlah penduduk tiap per satuan luas lahan pertanian), kepadatan penduduk agraris (jumlah penduduk petani per satuan luas lahan pertanian) (www.bps.go.id). Selain itu, ketersediaan lahan per kapita (land man ratio) menjadi kriteria penting tingkat ketahanan pangan nasional. Indonesia
14 memiliki lahan pertanian per kapita terkecil diantara negara-negara agraris dunia. Indonesia hanya memiliki land man ratio 362 m2 per kapita, sedangkan Thailand 1.870 m2 per kapita dan Vietnam 1.300 m2 per kapita (Adriayana, 2008). Dalam kurun waktu 2005-2006 telah terjadi penurunan nilai land man ratio sebesar 8 m2/kapita atau 2,209 persen/tahun (Suryaman, 2006 dalam Tarigan 2008). Sementara rata-rata penguasaan lahan sawah di Indonesia hanya 0,3 hektar/keluarga tani (Suryaman, 2006).
Penelitian di beberapa daerah
menunjukkan bahwa perubahan luas lahan pertanian tersedia akan terus menurun pada tahun-tahun mendatang (Absari 2007, Simanjuntak, 2008). Lahan yang
terbatas dengan
pertumbuhan penduduk
yang tinggi
mengakibatkan sedikitnya lahan yang tersedia bagi setiap orang petani (land man ratio yang rendah).
Harga lahan yang tinggi dan skala usaha yang kecil
mengakibatkan efisiensi usaha tani yang rendah. Pertumbuhan penduduk yang tinggi dan lambatnya pengembangan lapangan kerja di sektor lain, mengakibatkan rendahnya pendapatan di sektor petanian dan timbulnya disquised unemployment) (Simanjuntak, 2004). Penelitian Rasidin (2003) di Kabupaten Tapanuli Tengah menunjukkan bahwa dengan penguasaan lahan sawah yang rata-rata hanya 0,75 hektar per keluarga tani, maka untuk memperoleh pendapatan yang optimal petani harus menanam padi sawah dengan dua kali panen setahun dan menanam kacang dengan satu kali pnen setahun. Kebutuhan Lahan Pertanian Pangan Berdasarkan pengertian ketahanan pangan, maka yang menjadi masalah adalah cara penyediaan pangan untuk mendukung kegiatan-kegiatan terkait proses produksi pangan sektor pertanian, dan kegiatan pendukungnya seperti perluasan areal pertanian, pencegahan alih fungsi lahan dan peningkatan produktivitas lahan serta indeks pertanaman. Sehingga perlu adanya usaha maksimal untuk mencukupi kebutuhan pangan penduduk secara mandiri. Produksi pangan merupakan unsur utama dalam memperkuat ketahanan pangan dan pembangunan pedesaan. Dalam konteks pertanahan upaya peningkatan produksi tersebut dapat ditempuh melalui dua hal, yaitu: jaminan
15 ketersediaan tanah pertanian (land availability) dan peningkatan akses masyarakat petani terhadap tanah pertanian (land accessibility) (Isa, 2006). Untuk dapat menjamin ketersediaan pangan nasional, maka pemerintah telah menargetkan 30 juta hektar lahan abadi untuk pertanian, yang tidak boleh beralih fungsi, namun dapat berubah kepemilikan. Lahan ini terbagi dalam 15 juta hektar merupakan sawah beririgasi dan 15 juta hektar merupakan lahan kering (Syahyuti, 2006). Lahan pertanian memiliki peran dan fungsi yang strategis bagi masyarakat Indonesia yang bercorak agraris. Posisi lahan yang demikian tidak saja memiliki nilai ekonomis, sosial bahkan secara filosofis lahan memiliki nilai religius. Dalam rangka pembangunan pertanian yang berkelanjutan, lahan merupakan sumberdaya pokok dalam usaha pertanian, terutama pada kondisi dimana sebagian besar bidang usaha yang dikembangkan masih tergantung kepada pola pertanian yang bersifat land based agriculture. Lahan merupakan sumberdaya yang unik dimana jumlahnya tidak bertambah, namun kebutuhan terhadap lahan selalu meningkat. Oleh karena itu, perlu adanya pertanian secara berkelanjutan, terutama dalam perannya mewujudkan ketahanan pangan nasional (UU No. 41/2009). Berdasarkan data BPS dalam Dirjen PLA (2006), lahan pertanian dikelompokkan menjadi lahan pekarangan, tegalan/ladang/huma, sawah, perkebunan, tanaman kayu-kayuan, kolam/tambak, padang rumput, dan lahan sementara tidak diusahakan (alang-alang dan semak belukar), dengan total luas 62,7 juta hektar. Ada dua jenis permintaan yang mempengaruhi permintaan lahan, yaitu (1) direct demand (permintaan langsung), dimana lahan berfungsi sebagai barang konsumsi (untuk pemukiman) dan secara langsung memberikan utilitas, dan (2) derived demand (pendorong permintaan). Peningkatan jumlah penduduk akan mendorong peningkatan terhadap permintaan barang dan jasa dalam memenuhi berbagai kebutuhan. Untuk memproduksi barang dan jasa tersebut diperlukan lahan sebagai faktor produksi (Rustiadi et al. 2007). Sistem keterkaitan konversi lahan dengan berbagai komponen sistem ketahanan pangan merupakan sistem dengan keterkaitan yang sangat kompleks. Kebijakan yang terkait dengan pengendalian konversi lahan pada sisi produksi pangan ditentukan oleh luas lahan produksi dan produktivitas lahan, sedangkan
16 luas lahan produksi pertanian ditentukan oleh pengembangan atau pemeliharaan irigasi dan pembukaan, pencetakan lahan baru, yang selanjutnya ditentukan oleh ketersediaan lahan potensial yang belum dikembangkan dan lahan pertanian lahan kering serta kebijakan perencanaan zonasi/tata ruang/sistem keagrariaan (Rustiadi, 2008). Dalam kajian Suhardianto (2007), kebutuhan luas lahan rumah tangga petani penghasil beras organik di Desa Ciburuy Kecamatan Cogombong Kabupaten Bogor untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup minimal dibutuhkan sekitar 1.735 m2 untuk tiap anggota rumah tangga atau 9.492 m2 untuk tiap rumah tangga. Sedangkan untuk dapat memenuhi kecukupan energi maka luas penguasaan lahan tiap anggota rumah tangga adalah sekitar 318 m2 dan tiap rumah tangga sekitar 1.740 m2. Kebijakan Ketahanan Pangan Menurut Dwidjowijoto (2006) kebijakan publik adalah segala sesuatu yang dikerjakan dan yang tidak dikerjakan oleh pemerintah, untuk mengatur kehidupan bersama atau kehidupan publik.
Tugas pemerintah yang tidak
tergantikan sejak dahulu hingga kelak dimasa depan, yaitu (1) membuat kebijakan publik, (2) pada tingkat tertentu melaksanakan kebijakan publik dan (3) pada tingkat tertentu melakukan evaluasi kebijakan publik. Terkait dengan hal diatas, ketahanan pangan merupakan salah satu urusan wajib penyelenggaraan pemerintah (pusat, provinsi,kabupaten/kota). Pengguna manfaat pembangunan ketahanan pangan sangat banyak sehingga ketahanan pangan mempunyai dimensi yang sangat luas. mewujudkan
ketahanan
pangan
penduduk
Dengan demikian, upaya melibatkan
banyak
pelaku
pembangunan, bersifat lintas bidang/sektor pembangunan. Tata kelola pangan didasari oleh kerangka berpikir bahwa pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi setiap rakyat Indonesia dalam mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas untuk melaksanakan pembangunan nasional.
Hal inilah yang mendasari
perumusan kebijakan, program, kegiatan dan anggaran pembangunan ketahanan pangan (Baliwati, 2010).
Bentuk pertama dari kebijakan publik dalam
17 pembangunan ketahanan pangan adalah peraturan yang terkodifikasi secara formal dan legal. Bentuk kebijakan ini digolongkan menjadi : (1) Kebijakan yang bersifat makro atau umum atau mendasar yaitu peraturan perundang-undangan (UUD RI tahun 1945, UU/Peraturan Pemerinta Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan daerah, sesuai dengan UU No 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan). (2) Kebijakan yang bersifat meso atau menengah atau penjelas pelaksanaan yaitu berbentuk Peraturan Menteri, Surat Edaran Menteri, Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati, dan Peraturan Walikota atau Surat Keputusan Bersama (SKB) antar Menteri, Gubernur, Bupati, Walikota. (3) Kebijakan publik yang bersifat mikro adalah kebijakan yang mengatur pelaksanaan dari kebijakan diatasnya.
Bentuknya adalah peraturan yang
dikeluarkan oleh aparat publik di bawah Menteri, Gubernur, Bupati, Walikota. Orientasi atas berbagai bentuk kebijakan pembangunan ketahanan pangan sangat penting sebagai acuan untuk merumuskan perencanaan pembangunan provinsi/kabupaten/kota dalam kerangka sistem perencanaan pembangunan nasional.
Ketahanan pangan bersifat multidimensional yang mencakup lintas
wilayah, bidang, serta sektor, maka diperlukan pemahaman berbagai peraturan perundang-undangan, yang dikelompokkan menjadi tiga aspek yaitu 1) pangan, 2) terkait pangan, dan 3) tata kelola ketahanan pangan (Baliwati, 2010). Dalam rangka melaksanakan dan mencapai sasaran pembangunan ketahanan pangan, pemerintah berperan dalam memfasilitasi penciptaan kondisi yang kondusif bagi masyarakat dan swasta untuk berperan dalam pembangunan ketahanan pangan. Program pemantapan ketahanan pangan perlu dirumuskan dan dimantapkan di daerah dengan lebih mempertimbangkan permasalahan dan kondisi agroekosistem dan sosial budaya pangan lokal daerah. Pelaksanaan pembangunan tahun 2010-2014 diharapkan mengacu pada kebijakan pemerintah seperti yang tercantum pada Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang RPJMN Tahun 2010-2014.
Buku I Lampiran Perpres
tersebut mencantumkan ketahanan pangan sebagai prioritas pembangunan yang kelima.
Peningkatan ketahanan pangan dan lanjutan revitalisasi pertanian
18 dimaksudkan untuk mewujudkan kemandirian pangan, peningkatan daya saing produk pertanian, peningkatan pendapatan petani, serta kelestarian lingkungan dan sumber daya alam. Oleh karena itu, substansi inti program aksi ketahanan pangan adalah ; (1) Lahan, Pengembangan Kawasan dan Tata Ruang Pertanian; (2) Infrastruktur; (3) Penelitian dan Pengembangan; (4) Investasi, Pembiayaan dan Subsidi; (5) Pangan dan Gizi; (6) Adaptasi Perubahan Iklim. Dokumen lain kebijakan pembangunan ketahanan pangan adalah Kebijakan Umum Ketahanan Pangan (KUKP) yang disusun oleh DKP. KUKP diharapkan menjadi panduan bagi pemerintah, swasta dan masyarakat untuk bersama-sama mewujudkan ketahanan pangan tingkat rumah tangga, wilayah dan nasional. Oleh karena itu, idealnya KUKP dirumuskan dalam bentuk Peraturan Presiden.
Di tingkat provinsi/kabupaten/kota dirumuskan Program Aksi
Operasional KUKP dalam bentuk Peraturan Gubernur/Bupati/Walikota. KUKP Tahun 2010-2014 menyebutkan 15 elemen penting pembangunan ketahanan pangan. Elemen tersebut adalah : (1)
Menjamin ketersediaan pangan (8 rencana program) a. Peningkatan produktifitas untuk swasembada komoditas pangan strategis (beras, jagung, kedelai, tebu, daging) b. Pemberian insentif sistem produksi, meliputi subsidi input pertanian (pupuk dan benih) dan permodalan usaha pertanian c. Pemanfaatan sumberdaya lahan, terutama yang lama “tertidur” dan tidak termanfaatkan d. Perluasan areal tanaman pangan, pengamanan UU Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, terutama keluar Jawa e. Pengembangan konservasi dan rehabilitasi lahan melalui pemberian insentif dan sanksi f. Pelestarian sumberdaya air dan pengolahan daerah aliran sungai g. Peningkatan efisiensi penanganan pasca panen h. Perbaikan jaringan irigasi-drainase
(2)
Menata pertanahan dan tata ruang dan wilayah (7 rencana program) a. Pengembangan reforma agraria yang lebih berkeadilan tanpa harus mengganggu kepentingan petani
19 b. Perbaikan admin pertanahan dan sertifikasi lahan yang murah c. Pemberian sanksi yang sangat berat bagi pelaku konservasi lahan subur beririgasi teknis menjadi kegunaan lain diluar pertanian d. Penyusunan tata ruang daerah dan wilayah yang mampu mendukung perwilayahan komoditas unggulan e. Penyusunan tata ruang daerah dan wilayah, sebagai amanat dari Undangundang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang f. Perbaikan Rencana Tata Ruang Daerah dan Wilayah (RTRW) tingkat provinsi secara terkoordinasi antar daerah/wilayah g. Penerapan sistem perpajakan progresif bagi pelaku konservasi lahan pertanian subur melalui penyusunan peraturan dan penerapannya secara tegas
bidang
perpajakan
atas
lahan
atau
usaha
yang
dapat
menghambat/memberatkan konversi lahan pertanian subur (3)
Melakukan antisipasi, adaptasi dan mitigasi perubahan iklim (7 rencana program) a. Penyusunan sistem peringatan dini, mulai dari tingkat teknis pola tanam, langkah hemat air dan pemanenan air setiap ada hujan, sampai pelestraian sumber-sumber air di hulu sungai dan hutan konservasi b. Program penyiapan dan pemberian bantuan darurat bahan pangan dan air minum/air bersih jika kekeringan melanda c. Perbaikan manajemen sistem irigasi, pengelolaan air dan rehabilitasi sumber-sumber air secara berkelanjutan, minimal untuk mengurangi dampak kekeringan yang lebih hebat d. Pengurangan secara sistematis terhadap luas, intensitas, dan durasi musim kemarau karena perubahan iklim, misalnya dengan injeksi air dengan dam parit, sumur resapan dan channel reservoir e. Rehabilitasi dan pembangunan infrastruktur irigasi serta melanjutkan program sejenis yang belum selesai pada periode sebelumnya f. Pencegahan
penurunan
produksi
pangan,
perumusan
skema
perlindungan petani produsen (dan konsumen) secara sistematik g. Penelitian dan pengembangan varietas pangan yang tahan kekeringan dan efisiensi pemakaian air permukaan dan air tanah
20 (4)
Menjamin cadangan pangan pemerintah dan masyarakat (5 rencana program) a. Pengembangan cadangan di setiap lapis pemerintah : daerah dan desa b. Pengembangan lumbung pangan di tingkat masyarakat c. Peningkatan kerjasama antar daerah otonom, terutama aliran pangan pokok dari daerah surplus ke daerah defisit pangan d. Pengelolaan sistem cadangan pangan oleh masyarakat, terutama pada keadaan darurat, masing-masing kelompok masyarakat e. Fasilitas aspek manajemen kelompok dan fasilitas aspek teknis pengeloaan pangan
(5)
Mengembangkan sistem distribusi pangan yang adil dan efisien (5 rencana program) a. Pengembangan (pembangunan dan rehabilitasi) sarana dasar, jalan desa dan jalan usahatani b. Pemberdayaan organisasi petani di tingkat perdesaan c. Pengawasan sistem persaingan pedagang yang tidak sehat d. Pengawasan dan pengembangan standar mutu produk pangan e. Penghapusan retribusi produk pertanian yang masih mentah
(6)
Meningkatkan aksesibilitas rumah tangga terhadap pangan (4 rencana program) a. Penguatan kelembagaan di tingkat desa untuk membantu aksesibilitas masyarakat miskin terhadap pangan strategis b. Pengembangan pangan lokal untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga dan daya beli masyarakat c. Peningkatan efektifitas program beras untuk keluarga miskin (raskin) d. Identifikasi secara dini dan pemantauan berkala gejala kurang pangan dan surplus pangan
(7)
Menjaga stabilitas harga pangan (3 rencana program) a. Pemantauan secara mingguan dan bulanan harga pangan strategis (beras, jagung, gula dan kedelai) b. Pengelolaan pasokan pangan dan cadangan penyangga untuk menjaga stabilitas harga pangan
21 c. Pengembangan sistem pengadaaan pangan pokok yang melibatkan lembaga usaha ekonomi pedesaan. (8)
Mencegah dan menangani keadaan rawan pangan dan gizi (4 rencana program) a. Pengembangan sistem isyarat dini keadaan rawan pangan dan gizi b. Pemantauan secara berkala tentang perkembangan pola pangan rumah tangga, karena gagal panen dan paceklik c. Pemanfaatan lahan pekarangan untuk peningkatan gizi keluarga d. Pemanfaatan cadangan pangan pemerintah di seluruh lapisan untuk dapat menanggulangi keadaan rawan pangan dan gizi
(9)
Melakukan diversifikasi pangan (6 rencana program) a. Pengembangan diversifikasi usaha melalui usaha tani terpadu di bidang pangan, perkebunan, peternakan, perikanan dan sebagainya b. Pelestarian sumberdaya alam dan keanekaragaman hayati di daerah kawasan hutan c. Pengembangan pangan lokal sesuai dengan kekhasan daerah d. Peningkatan diversifikasi konsumsi pangan dan prinsip gizi seimbang e. Pengembangan teknologi pangan untuk meningkatkan nilai tambah dalam rangka diversifikasi pangan f. Perbaikan sistem komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) gizi
(10) Meningkatkan mutu dan keamanan pangan (3 rencana program) a. Pembinaan sistem produksi dan konsumsi pangan masyarakat agar terhindar dari cemaran biologis, kimia, dan fisik yang berbahaya b. Pencegahan dini, penegakan hukum penanggulangan dampak pangan yang tidak aman c. Penetapan standar keamanan dan mutu pangan , kehalalan, perdagangan pangan (11) Memfasilitasi penelitian dan pengembangan (3 rencana program) a. Pemberian fasilitas, kemudahan, dan dukungan politis untuk penelitian dan pengembangan b. Alokasi anggaran negara yang memadai untuk penelitian dan pengembangan
22 c. Peningkatan kerjasama dan kemitraan antara lembaga penelitian, universitas dan sektor swasta dalam pencarian dan pengembangan inovasi penelitian (12) Melaksanakan kerjasama internasional (3 rencana program) a. Penggalangan kerjasama ekonomi baik dalam kerangka bilateral maupaun multilateral b. Peningkatan jumlah atase pertanian dan perdagangan c. Diplomasi ekonomi, politik, sosial dan budaya untuk meningkatkan ketahanan pangan domestik (13) Mengembangkan peran serta masyarakat (3 rencana program) a. Pemberian insentif bagi mereka yang berjasa pada pencegahan dan penanggulangan masalah pangan dan gizi b. Peningkatan motivasi masyarakat dan kapasitas dan kelembagaan yang dapat mendukung proses pencapaian ketahanan pangan c. Pengembangan lembaga dan kebijakan pendukung, seperti lembaga simpan pinjam desa dan usaha kecil menengah (UKM) serta koperasi (14) Mengembangkan sumberdaya manusia pangan-pertanian (4 rencana program) a. Perbaikan program pendidikan, pelatihan dan penyuluhan pangan secara lebih komprehensif b. Penyusunan
dan
sosialisasi
peraturan
penyuluhan,
penataan
kelembagaan penyuluhan pertanian, peningkatan ketenagaan penyuluhan pertanian dan lain-lain c. Pemberian muatan pangan dan gizi pada kurikulum pendidikan di sekolah dasar dan kejuruan d. Peningkatan kerjasama dengan lembaga non-pemerintah (LSM) dan kelompok
masyarakat
lain
yang
peduli
terhadap
peningkatan
sumberdaya manusia (SDM) (15) Melaksanakan kebijakan makro dan perdagangan yang kondusif (3 rencana program).
23 a. Kebijakan fiskal yang memberikan insentif bagi usaha pertanian, misalnya dengan pemberian keringanan pajak bagi para pelaku usaha di bidang pertanian dan pengolahan pangan b. Alokasi anggaran negara dan anggaran daerah yang memadai untuk pembangunan pertanian dan ketahanan pangan, melalui peningkatan kapasitas, kepedulian dan pemberian pemahaman c. Kebijakan proteksi perdagangan, minimal untuk empat komoditas utama dalam special product (SPs), yaitu : beras, jagung, kedelai dan tebu (plus daging) sebagaimana disampaikan secara resmi Indonesia kepada Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Kebijakan proteksi dan promosi ini dapat memberikan dukungan peningkatan daya saing produk strategis nasional. Penelitian ini sangat terkait erat dengan poin pertama tentang menjamin ketersediaan pangan terutama huruf c, d dan e. Karena menyangkut hak dasar warga negara, ketahanan pangan sebagai salah satu urusan wajib harus diselenggarakan oleh pemerintah untuk mencapai Standar Pelayanan Minimal (SPM).
Pelayanan dasar adalah jenis pelayanan
publik yang mendasar dan mutlak untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam kehidupan sosial, ekonomi dan pemerintahan. SPM adalah sebuah kebijakan publik yang mengatur mengenai jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh setiap warga secara minimal. Pencapaian SPM dilaksanakan secara bertahap dan ditetapkan oleh pemerintah sesuai dengan UU No. 32 tahun 2004 mengenai Pemerintahan Daerah. Pasal 11 ayat 4 UU No 32 tahun 2004 menyatakan bahwa “penyelenggaraaan urusan yang bersifat wajib yang berpedoman pada standar pelayanan minimal dilaksanakan secara bertahap dan ditetapkan oleh pemerintah.” Tindak lanjut kebijakan SPM adalah diterbitkannnya PP No 65 tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan Standar Pelayanan Minimal dan PP No 6 tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan dan Penetapan Standar Pelayanan Minimal. Kedua PP ini menjamin hak warga negara untuk memperoleh jenis dan mutu minimal pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah, menjamin hak masyarakat untuk memperoleh informasi tentang rencana pencapaian target tahunan SPM
24 serta realisasinya, dan memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengevaluasi pencapaian pelayanan dasar yang telah diberikan pemerintah daerah. Kebijakan SPM mengikat seluruh penyelenggara negara dan masyarakat, baik secara individual maupun kelompok. Tabel 2. Standar Pelayanan Minimal Bidang Ketahanan Pangan Jenis Pelayanan Dasar Bidang Ketahanan Pangan I. Provinsi
SPM Indikator
A. Ketersediaan dan 1. Penguatan Cadangan Pangan cadangan pangan B. Penanganan 2. Penanganan daerah Kerawanan Pangan rawan pangan II. Kabupaten/Kota A. Ketersediaan dan 1. Ketersediaan energi Cadangan Pangan dan protein per kapita 2. Penguatan cadangan pangan B. Distribusi dan 3. Ketersediaan Akses Pangan informasi pasokan, harga dan akses pangan di daerah 4. Stabilitas harga dan pasokan pangan C. Penganekaragaman 5. Skor Pola Pangan dan Keamanan Harapan (PPH) Pangan 6. Pengawasan dan Pembinaan Keamanan Pangan D. Penanganan 7. Penurunan jumlah Kerawanan Pangan penduduk rawan pangan 8. Penanganan daerah rawan pangan
Nilai (%)
Tahun Keterangan Capaian SKPD
80
2015
BKBD
60
2015
BKBD
100
2012
BKBD
80
2015
BKBD
100
BKBD
90
2015
BKBD
95
2015
BKBD
80
2015
BKBD
75
2015
BKBD
60
2015
BKBD
Sumber : Draft ketiga Keputusan Menteri Pertanian (dalam pembahasan)
Perencanaan Pembangunan Ketahanan Pangan Perencanaan pembangunan suatu wilayah seharusnya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dasar bagi penduduknya berupa sandang, pangan dan tempat tinggal.
Pembangunan dilakukan dengan memperhitungkan alokasi
sumberdaya yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan tersebut. Tingkat kebutuhan
25 gizi bagi konsumsi penduduk dapat digunakan sebagai salah satu standar untuk mengukur kebutuhan dasar penduduk, khususnya dalam hal pangan.
Segala
sumberdaya yang berhubungan dengan produksi dan penyediaan pangan harus dialokasikan sesuai kebutuhan untuk memenuhi kebutuhan minimal tersebut (Nagamine, 1981 dalam Absari 2007). Perencanaan pembangunan merupakan suatu usaha yang sistematis dari berbagai pelaku (aktor), baik pemerintah, swasta maupun kelompok masyarakat lainnya pada tingkatan yang berbeda, melalui: (a) secara terus-menerus menganalisis kondisi dan pelaksanaan pembangunan daerah; (b) merumuskan tujuan-tujuan dan kebijakan-kebijakan pembangunan daerah; (c) menyusun konsep-konsep strategi bagi pemecahan masalah (solusi); (d) melaksanakannya dengan menggunakan sumberdaya yang tersedia sehingga peluang baru untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dapat ditangkap secara berkelanjutan (Nurcholis, 2009). Perencanaan pangan berorientasi pada kebutuhan konsumen, permintaan yang dikaitkan dengan suplai pangan serta keadaan sosial ekonomi penduduk. Perencanaan
adalah
mengefisiensikan
suatu
syarat
pelaksanaan
mutlak
pembangunan,
untuk
mengendalikan
termasuk
dan
dibidang pangan.
Perencanaan pangan merupakan perencanaan multisektoral yang dipengaruhi oleh situasi nasional atau wilayah yang mencakup berbagai bidang seperti kesehatan, pertanian, ekonomi dan lain-lain (Suhardjo, 1989). Perencanaan pembangunan pangan atau disebut sebagai perencanaan ketahanan pangan adalah suatu proses memenuhi kebutuhan pangan penduduk untuk hidup sehat dan produktif dalam rangka mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas, dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia yaitu (a) ekonomi : pertanian, kehutanan, energi dan sumberdaya mineral, kelautan dan perikanan, perdagangan, industri; (b) prasarana/sarana : lingkungan hidup, penataan
ruang,
pertanahan,
infrastruktur
pertanian
dan
pedesaan,
ketransmigrasian, penanaman modal, koperasi dan usaha kecil menengah, pemberdayaan masyarakat dan desa, ketenagakerjaan; (c)
kesra : kesehatan,
kependudukan, keluarga berencana, pendidikan; (d) stabilitas dan keamanan nasional. Terpenuhinya kebutuhan pangan penduduk dapat dicerminkan dari : (1)
26 setiap saat tersedia pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau; (2) setiap saat, setiap rumah tangga mampu mengkonsumsi pangan yang cukup, aman, bergizi sesuai pilihannya untuk menjalani hidup sehat dan produktif (Baliwati, 2010). Pangan adalah bagian vital dalam suatu masyarakat, sehingga perencanaan pangan harus diintegrasikan dalam perencanaan pembangunan wilayah. Untuk mewujudkan hal tersebut hal-hal yang perlu dilakukan adalah (Abel and Thomson, 2006): 1. Mengumpulkan informasi mengenai sistem pangan dalam masyarakat misalnya : produksi, proses, distribusi, konsumsi dan kebijakan-kebijakan yang berhubungan dengan pangan. 2. Menentukan hubungan antara pangan dan fokus perencanaan pembangunan lainnya. 3. Mempertimbangkan pengaruh rencana pembangunan saat ini berlangsung terhadap sistem pangan di masyarakat. 4. Memasukkan ketahanan pangan ke dalam tujuan pembangunan masyarakat. 5. Memberikan pengetahuan dan informasi kepada pembuat kebijakan dan rencana pembangunan mengenai masalah-masalah pangan. Pendekatan yang digunakan untuk perencanaan penyediaan pangan dalam pembangunan pangan ada tiga yaitu : (1) pendekatan kecenderungan/tren konsumsi/permintaan, (2) pendekatan kecenderungan produksi dan (3) pendekatan gizi seimbang dan permintaan (PPH).
Sejak tahun 1988, FAO-RAPA
mencetuskan pendekatan yang diharapkan dapat membantu perencanaan produksi dan konsumsi pangan dengan pendekatan Desirable Dietary Pattern atau Pola Pangan Harapan (PPH) (Hardinsyah, Madanijah dan Baliwati, 2002).
Pola
Pangan Harapan (PPH) atau Desirable Dietary Pattern adalah susunan beragam pangan yang didasarkan pada sumbangan energi dari kelompok pangan utama (baik secara absolut mauapun relatif) dari suatu pola ketersediaan dan atau konsumsi pangan. Dengan pendekatan PPH mutu konsumsi pangan penduduk dapat dilihat dari skor pangan (dietary score) dan dikenal sebagai skor PPH. Semakin tinggi skor PPH, konsumsi pangan semakin beragam dan berimbang.
27 PPH dapat diimplementasikan dalam perencanaan kebutuhan konsumsi dan penyediaan pangan untuk dikonsumsi (BKP Deptan dan GMSK IPB, 2005). Untuk menjadikan PPH sebagai instrumen perencanaan pangan disuatu wilayah diperlukan kesepakatan tentang pola konsumsi pangan dengan mempertimbangkan : 1) pola konsumsi pangan penduduk saat ini, 2) kebutuhan gizi yang dicerminkan oleh pola kebutuhan energi, 3) mutu gizi pangan yang dicerminkan oleh kombinasi makanan yang mengandung pangan nabati dan hewani, 4) permaslahan pangan dan gizi di wilayah tersebut, 5) kecenderungan permintaan pangan, dan 6) kemampuan penyediaan pangan daerah (Suryana, 2001). Pola pikir perencanaan dengan pendekatan PPH merupakan konsep perencanaan pangan untuk memenuhi kebutuhan jangka panjang dan jangka pendek.
Berbagai aspek yang perlu dipertimbangkan dalam pemenuhan
kebutuhan jangka panjang adalah sebagai berikut : 1.
Kondisi atau situasi pangan saat ini. Kondisi saat ini didasarkan pada situasi produksi, penyediaan dan konsumsi pangan saat ini serta pada tren produksi, tren ketersediaan, dan tren konsumsi pangan dan gizi masa lalu.
2. Kondisi yang diharapkan. Perumusan perencanaan pangan tersebut dimaksudkan
untuk
mewujudkan
ketahanan
pangan
dan
menjamin
ketersediaan pangan bagi seluruh penduduk dalam jumlah, mutu gizi dan keragaman konsumsi gizi sesuai dengan angka kecukupan gizi secara berkelanjutan. 3. Kondisi dan potensi sosial ekonomi dan agroekologi juga turut menentukan, yang meliputi pendapatan keluarga, potensi agroekologi untuk produksi pangan, potensi agroindustri pangan dan potensi ekspor serta laju pertumbuhan penduduk. 4. Aspek regulasi dan kebijakan pangan, seperti kebijakan dan regulasi global, nasional maupun lokal (PSKPG dan BBKP-Deptan, 2001). Di Indonesia, PPH telah digunakan sebagai basis perencanaan dan penilaian kecukupan gizi seimbang pada tingkat makro. Skor PPH juga telah dijadikan indikator input dalam kebijakan pembangunan pangan termasuk evaluasi penyediaan pangan dan diversifikasi pangan.
28
KERANGKA PEMIKIRAN Peningkatan jumlah dan komposisi penduduk berimplikasi pada peningkatan jumlah permintaan aktual ketersediaan pangan untuk dikonsumsi. Ketersediaan pangan sendiri dipenuhi melalui produksi, perubahan stok dan perdagangan pangan. Pola konsumsi pangan yang tidak seimbang, memberikan tekanan terhadap sumberdaya wilayah dalam memproduksi komoditi pangan tertentu. Disisi lain dengan semakin dengan meningkatnya populasi penduduk, lahan pertanian per kapita akan semakin berkurang akibat meningkatnya kebutuhan lahan untuk keperluan non pertanian. Untuk memperkuat ketahanan pangan, kapasitas produksi harus ditingkatkan baik melalui perluasan areal tanam maupun peningkatan produktifitas.
Sementara kendala terbesar peningkatan
produksi adalah pertumbuhan luas panen sangat terbatas dan pertumbuhan produktivitas yang sangat lambat (Sumaryanto, 2009). Untuk itu diperlukan demand driven
agar pola konsumsi mengarah
menuju ideal berdasarkan PPH, yang mengakomodir keberagaman konsumsi pangan sehingga akan mengurangi laju kebutuhan ketersediaan beras untuk konsumsi. Sumaryanto (2009) menyatakan bahwa jika konsumsi pangan lebih terdiversifikasi ke jenis-jenis makanan berbahan baku lokal, maka ada dua hal mendasar yang terselesaikan yaitu ; (a) ketergantungan terhadap beras berkurang, (b) luas baku lahan untuk pangan meningkat karena lahan untuk pangan tidak hanya terfokus pada lahan sawah. Masing-masing daerah sesuai dengan otonomi dan kemandirian daerah dalam mengelola wilayahnya masing-masing perlu mengupayakan kemandirian pangan daerah sesuai dengan potensi daerahnya.
Ketersediaan pangan wilayah
sejauh mungkin diupayakan berasal dari produksi sendiri. Oleh karena itu perlu dilakukan suatu perencanaan ketahanan pangan yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduk dan berdasarkan atas sumberdaya lokal yang tersedia secara berkelanjutan. Dalam melaksanakan produksi pangan, baik nabati maupun hewani, khususnya on farm, faktor-faktor yang mempengaruhi adalah luas lahan, jumlah input yang dipergunakan dan modal usaha yang dimiliki.
Selain itu,
29 kebijakan pemerintah dalam sektor pertanian dalam arti luas dan khususnya dalam hal ketahanan pangan akan berdampak pada produksi pangan wilayah (Gambar 1). Berdasarkan hasil proyeksi target produksi pangan untuk memenuhi target kebutuhan konsumsi pangan ideal penduduknya akan dapat diketahui luas lahan yang dibutuhkan dalam usahatani on farm produksi pangan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi pangan penduduk pada tahun tertentu. Besarnya sumberdaya yang dibutuhkan untuk memenuhi target produksi pangan tersebut dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk menyusun kebijakan tentang luasan lahan pertanian pangan abadi. Sebagai upaya memenuhi kebutuhan masa mendatang di bidang pangan dan gizi berbasis sumberdaya lokal.
30
Penduduk
Konsumsi Pangan Ideal Kebijakan Ketahanan Pangan
Modal Teknologi Saprodi Tenaga Kerja
Produksi pangan
Daya Dukung Pangan Wilayah
Ketersediaan pangan
Ekspor, impor, bibit, industry, tercecer, stok
Potensi Ekonomi Lain
Tataguna Lahan Luas Wilayah
Keterangan : = variabel penelitian
= variable yang tidak diteliti
Gambar 1. Skema kerangka pemikiran Perencanaan Ketersediaan Pangan Berkelanjutan di Kabupaten Muara Enim 30
31
METODE
Desain, Tempat dan Waktu Desain penelitian ini adalah restrospektif.
Lokasi penelitian adalah
Kabupaten Muara Enim Provinsi Sumatera Selatan (Lampiran 1).
Pemilihan
lokasi dilakukan secara sengaja dengan pertimbangan bahwa ; a) Kabupaten Muara Enim sebagai wilayah yang mendukung Program Sumatera Selatan Lumbung Pangan, tetapi masih menjadi prioritas penanganan daerah rawan pangan, b) kebutuhan luas lahan untuk produksi pertanian pangan yang perlu dipertahankan untuk menjamin keberlanjutan ketersediaan pangan di Kabupaten Muara Enim belum diketahui. Penelitian dilaksanakan pada bulan September sampai Oktober 2010. Jenis dan Cara Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder menurut waktu meliputi data kependudukan, data produksi, luas lahan pertanian, ketersediaan pangan, konsumsi pangan, rencana strategis (renstra) kabupaten dan renstra SKPD (satuan kerja perangkat daerah). Tabel 3 Keterkaitan tujuan penelitian dengan data dan sumber data Tujuan 1
2
3
Data dan Jenis Data a. Data produksi pangan tahun 2003-2009 (sekunder)
Sumber Data - Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura - Dinas Peternakan dan Perikanan - Dinas Perkebunan
b. Data NBM tahun 2004-2009 (sekunder)
Kantor Ketahanan Pangan
a. Data jumlah dan laju pertumbuhan penduduk (sekunder)
BPS
b. Data konsumsi pangan tahun 2009 (sekunder)
Dinas Kesehatan dan Kantor Ketahanan Pangan
c. Data target produksi pangan SKPD tahun 2008-2013 (sekunder)
‐ Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura ‐ Dinas Peternakan dan Perikanan ‐ Dinas Perkebunan
a. Proyeksi kebutuhan produksi pangan tahun 2010-2015
Hasil pengolahan data Tujuan 2
32
Tabel 3. Keterkaitan tujuan penelitian dengan data dan sumber data (Lanjutan) Tujuan
4
Data dan Jenis Data b. Data arahan tata guna lahan pertanian (sekunder)
Sumber Data Balitbang SDL Pertanian
c. Data aktual luas lahan (sekunder)
BPS
d. Data lahan pertanian tahun 2028 (sekunder)
RTRW Kab. Muara Enim
a. RPJM Nasional, RPJMD Provinsi Sumsel dan RPJMD Kabupaten Muara Enim (sekunder)
Bappeda
b. Renstra Kabupaten Muara Enim, renstra SKPD terkait (sekunder)
‐ Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura ‐ Dinas Peternakan dan Perikanan ‐ Dinas Perkebunan ‐ Kantor Ketahanan Pangan
Pengolahan dan Analisis Data Analisis data dilakukan dengan menggunakan program komputer Microsoft Excell 2007, kemudian dianalisis secara deskriptif. Pengolahan data yang dilakukan tersebut adalah sebagai berikut: Tabel 4. Pengolahan dan Analisis Data Tujuan
Pengolahan Data
1
a. Menghitung rata-rata laju produksi b. Menghitung laju ketersediaan pangan aktual
2
a. Menghitung proyeksi penduduk dengan model pertumbuhan b. Menghitung kebutuhan konsumsi ideal pangan penduduk tahun 2013 dan 2015 c. Menghitung kebutuhan ketersediaan ideal pangan tahun 2013 dan 2015
Analisis Data a. Analisis laju pertumbuhan produksi b. Analisis gap antara kondisi ketersediaan aktual dan kondisi ideal Analisis gap antara proyeksi SKPD dan poduksi berbasis PPH
33
Tabel 4 Pengolahan dan Analisis Data (Lanjutan) Tujuan
Pengolahan Data
Analisis Data
d. Menghitung kebutuhan produksi ideal tahun 2013 dan 2015 e. Membandingkan proyeksi produksi pangan berbasis PPH dan target produksi SKPD terkait 3
a. Menghitung luas kebutuhan lahan berdasarkan kebutuhan produksi pangan ideal b. Menghitung proyeksi luas lahan dari tren perubahan luas lahan pertanian dengan model persamaan linier (metode Least Square) c. Membandingkan luas lahan pertanian pangan (aktual, RTRW, produksi pangan ideal) d. Membuat skenario kebutuhan lahan pertanian pangan e. Menghitung land man ratio
a. Analisis gap antara luas lahan ideal dengan potensi luas lahan b. Analisis gap land man ratio untuk produksi pangan ideal dan aktual
4
a. Membandingkan prioritas pembangunan bidang ketahanan pangan b. Membandingkan visi misi renstra kabupaten dengan visi misi SKPD lingkup pertanian c. Menelusuri dasar penetapan target produksi SKPD d. Menelusuri arahan luas lahan pertanian dalam RTRW
Analisis konten : ‐ Keterpaduan dan konsistensi antar dokumen kebijakan ‐ Keterpaduan dengan kondisi yang diharapkan
Dari Tabel 3 dan 4, disusun langkah-langkah pengolahan dan analisis data pada Gambar 2.
34
Tujuan 1
Tujuan 2
‐ Data konsumsi pangan thn 2007 dan 2009 ‐ Data produksi pangan thn 2003-2009
‐ Data jumlah dan laju pertumbuhan penduduk ‐ Data konsumsi pangan penduduk ‐ Data target produksi pagan SKPD
‐ Menyusun data seri produksi ‐ Menyusun data seri ketersediaan
‐ Menghitung proyeksi penduduk thn 2011-2015 ‐ Menghitung kebutuhan konsumsi , ketersediaan dan produksi pangan thn 2013 dan 2015 menuju ideal
‐ Analisis laju produksi ‐ Analisis gap ketersediaan aktual dan ideal
‐ Situasi produksi pangan ‐ Situasi ketersediaan aktual dan ideal
Analisis gap proyeksi produksi ideal dan target produksi SKPD
Acuan produksi pangan thn 2013 dan 2015
Tujuan 3
Tujuan 4
‐ Proyeksi produksi pangan ideal thn 2013 dan 2015 ‐ Data aktual luas lahan ‐ Data arahan tataguna lahan pertanian ‐ Data tata ruang lahan pertanian
a. Data prioritas pembangunan nasional b. Data prioritas pembangunan Provinsi Sumsel c. Data prioritas pembangunan Kabupaten Muara Enim (RPJMD tahun 2008-2013 d. Data renstra SKPD lingkup pertanian
‐ Menyusun data seri lahan pertanian tahun 2003-2009 dan proyeksi lahan pertanian tahun 2010-2015 ‐ Menghitung kebutuhan luas lahan produksi pangan berbasis PPH tahun 2013 dan 2015 ‐ Membandingkan luas lahan berbasis PPH dengan potensi, terpakai dan yang dicadangkan ‐ Menyusun skenario kebutuhan luas lahan Analisis gap kebutuhan luas lahan pertanian
a. Analisis konten keterpaduan dan konsistensi ‐ Membandingkan prioritas pembangunan bid. ketahanan pangan lintas wilayah ‐ Membandingkan visi misi renstra kabupaten dengan visi misi SKPD lingkup pertanian b. Menelusuri dasar penetapan proyeksi target produksi pangan c. Menelusuri luas lahan pertanian yang dicadangkan dalam RTRW
Land man ratio lahan pertanian ideal
Gambar 2. Alur pengolahan data
35
Secara lebih rinci langkah pengolahan dan analisis data diuraikan sebagai berikut : 1)
Untuk menganalisis situasi konsumsi, ketersediaan dan produksi pangan penduduk Kabupaten Muara Enim tahun 2003-2009, yaitu dengan : -
Membandingkan jumlah dan mutu data konsumsi pangan tahun 2007 dan 2009 dengan konsumsi pangan ideal, kemudian dilakukan analisis gap.
-
Membandingkan jumlah dan mutu data ketersediaan pangan tahun 20032009 dengan ketersediaan ideal, kemudian dilakukan analisis gap.
-
Menghitung pertumbuhan/laju skor PPH ketersediaan energi Laju skor PPH =
(PPHt – PPHt-1) x 100 PPHt-1
Keterangan : PPHt = skor PPH tahun tertentu (2010-2015) = skor PPH tahun sebelumnya PPHt-1 -
Menyusun data seri produksi pangan tahun 2003-2009, lalu dihitung pertumbuhan dan rata-rata pertumbuhan produksi untuk melihat tren perkembangannya, dengan rumus : P.Pr(n)
=
(Pr (n) – Pr (n-1)) Pr (n-1)
x 100%
Keterangan : P.Pr (n) = persentase pertumbuhan produksi tahun ke n Pr (n) = tingkat produksi tahun ke n Pr (n-1) = tingkat produksi tahun sebelumnya (n-1) Rata- rata P.Pr
=
P.Pr1 + P.Pr2 +…+ P.Prn n
Keterangan : P.Pr1 = persentase pertumbuhan produksi tahun ke 1 P.Pr2 = persentase pertumbuhan produksi tahun ke 2 = persentase pertumbuhan produksi tahun ke n P.Prn n = jumlah tahun
36
2)
Untuk menyusun proyeksi kebutuhan konsumsi, ketersediaan dan produksi pangan penduduk Kabupaten Muara Enim tahun 2010-2015 berdasarkan pada data konsumsi pangan actual tahun 2009. Tahapannya adalah sebagai berikut: -
Menghitung proyeksi jumlah penduduk tahun 2011-2015 dengan menggunakan tingkat pertumbuhan penduduk 1,79 persen per tahun (BPS, 2010), dengan rumus : PT= Po(1+r)n Keterangan
-
PT
:
Po r n
: : :
Jumlah penduduk pada tahun ke-n (tahun 2010 sampai dengan tahun 2015) jumlah penduduk pada tahun awal (tahun 2009) tingkat pertumbuhan penduduk per tahun (1,79 persen) banyak perubahan tahun
Menghitung kebutuhan konsumsi pangan ideal penduduk dengan cara : a.
Menghitung proyeksi PPH konsumsi tahun 2010-2015 mengacu pada PPH nasional (Tabel 5) dengan menggunakan data PPH konsumsi tahun 2009 menggunakan metode interpolasi. Tabel 5 Konsumsi Pangan Berdasarkan PPH Nasional No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kelompok Pangan Padi-padian Umbi-umbian Hewani Minyak/lemak Buah/biji berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur dan buah Minuman dan bumbu Total
Konsumsi % (kkal/kap/hari) AKE 1000 50 120 6 240 12 200 10 60 3 100 5 100 5 120 6 60 3 2000 100
Bobot 0,5 0,5 2 0,5 0,5 2 0,5 5
Skor PPH 25 2,5 24 5 1 10 2,5 30 100
Rumus interpolasi PPH : Proyeksi PPHKPt =
PPHKPt0 +
(tn-t0) x PPHKPta-PPHKPt0 tn-t0
37
Keterangan : PPHKPt PPHKPt0 tn t0 PPHta PPHt0 b.
= = = = = =
skor PPH kelompok pangan tertentu (tahun 2010-2015) skor PPH kelompok pangan tertentu tahun 2009 tahun 2010-2015 tahun 2009 skor PPH kelompok pangan tertentu tahun 2015 skor PPH kelompok pangan tertentu tahun 2009
Menghitung proyeksi konsumsi pangan (kkal/kap/hari) setiap kelompok pangan tahun 2010-2015, dengan rumus : Konsumsi kelompok pangan
=
PPHt x konsumsi klp pangan thn 2009 PPH t0
Keterangan : PPHt = skor PPH konsumsi tahun 2010-2015 = skor PPH konsumsi tahun dasar (2009) PPH0 c.
Menentukan jenis pangan dari setiap kelompok pangan berdasarkan data konsumsi pangan penduduk tahun 2009, dengan mengambil proporsi jenis pangan terbesar dari kelompok pangan (Tabel 6). Tabel 6 Jenis pangan terpilih dalam setiap kelompok pangan berdasarkan hasil survey konsumsi pangan penduduk Kabupaten Muara Enim tahun 2009 No
d.
Kelompok Pangan
1 2 3
Padi-padian Umbi-umbian Hewani
4 5 6 7
Minyak/lemak Buah/biji berminyak Kacang-kacangan Sayur dan buah
Jenis Pangan Terpilih Beras Ubi kayu Daging ayam Ikan Minyak sawit Kelapa Kacang kedelai Kacang panjang Tomat Jeruk Nanas
Proporsi (%) 91 90 40 48 100 100 82 41 28 12 19
Menghitung berat setiap jenis pangan (setara) dalam satuan gram berdasarkan data konsumsi tahun 2009, dengan rumus :
38
Berat pangan setara (gr)
=
Konsumsi energi klp pangan x 10.000 KE x BDD
Keterangan : KE = kandungan energi per 100 gram berat pangan BDD = persentase bagian yang dapat dimakan e.
Menghitung kebutuhan konsumsi pangan penduduk tahun 2010-2015 dengan rumus : Kebutuhan konsumsi pangan = Bps x jumlah penduduk x 365 hari penduduk (ton/tahun) 1.000.000 Keterangan : Bps = berat pangan setara dalam satuan gram
f.
Menghitung ketersediaan pangan penduduk tahun 2010-2015 dengan rumus : Ketersediaan pangan = penduduk
g.
Menghitung
proyeksi
110% x kebutuhan konsumsi pangan produksi
pangan
tahun
2010-2015
memperhitungkan kebutuhan untuk bibit, pakan dan tercecer kemudian dikali faktor konversi dari bahan makanan hasil olahan ke hasil asli usahatani on farm, dengan rumus : Produksi pangan = penduduk
(Kp + % bibit + % pakan + % tercecer) x ak
Keterangan : Kp = angka ketersediaan pangan ak = angka konvenrsi jenis pangan ke bentuk panen -
Dilakukan analisis gap antara produksi berbasis proyeksi SKPD (dalam renstra) dan berbasis PPH.
3)
Untuk mengetahui daya dukung wilayah untuk mendukung produksi pangan yang memenuhi kebutuhan ideal pangan penduduk Kabupaten Muara Enim tahun 2010-2015, dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
39
-
Menghitung luas lahan untuk proyeksi produksi pangan berbasis PPH. Asumsi yang digunakan adalah rata-rata produktifitas sama dengan kondisi aktual. Untuk lahan sawah asumsi yang digunakan adalah tidak ada lahan fuso dan indeks pertanaman satu kali setahun (IP 100). Rumus luas lahan untuk padi, tanaman perkebunan dan buah-buahan : Luas lahan =
target produksi ——————— produktivitas
Rumus untuk mencari luas lahan yang dibutuhkan untuk kelompok pangan hewani : Jika pangan acuannya unggas : Target produksi (kg) Standar luas kandang Luas lahan = ——————————— X ——————————— Berat 1 ekor unggas Jumlah unggas dlm kandang
Asumsi berat rata-rata 1 ekor ayam adalah 1,75 kg dan luas kandang standar untuk 1000 ekor ayam adalah 200 m2 (Kepmentan, 2001). Jika pangan acuannya ikan (kolam/tambak): Target
produksi (kg)
Standar luas kolam
Luas lahan = ——————————— X ————————————— Berat rata 1 ekor ikan
Populasi ikan dlm kolam standar
Asumsi berat rata-rata 1 ekor ikan mas adalah 0,25 kg dan luas kolam standar untuk 100 ekor ikan mas adalah 10 m2. -
Menghitung proyeksi luas lahan dari tren perubahan luas lahan pertanian tahun 2003-2009, dengan metode Least Square dengan model persamaan linier. Rumus : YT = β0 + β1T + ε Keterangan YT : besarnya luas lahan pada tahun ke-i (tahun dasar adalah tahun 2003) β0 : nilai tren yang merefleksikan luas lahan sejak tahun 2003
40
‐
β1
:
T ε
: :
nilai slope yang menggambarkan peningkatan/penurunan luas lahan per tahun kode tahun ke-i galat
Menyusun skenario kebutuhan lahan tahun 2013 dan 2015 untuk mencapai kondisi keseimbangan antara ketersediaan (supply) luas lahan pertanian pangan (berbasis trend) dengan kebutuhan (demand) luas lahan pertanian (berbasis kebutuhan konsumsi pangan penduduk) : 1.
Laju pertumbuhan penduduk tetap, pola konsumsi pangan tetap (skenario I)
2.
Laju pertumbuhan penduduk tetap, konsumsi pangan per kapita menuju kondisi ideal (skenario II)
3.
Laju pertumbuhan penduduk turun menuju 1,49 persen selama lima tahun, konsumsi pangan per kapita menuju kondisi ideal (skenario III)
‐
Dari skenario I, II dan III kemudian dihitung land man ratio dengan rumus : Land man ratio =
4)
Luas lahan pertanian Jumlah penduduk
Analisis terhadap kebijakan dilakukan dengan : ‐
Matriks analisis konsistensi dan keterpaduan antar dokumen perencanaan kebijakan di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten
‐
Matriks analisis konsistensi dan keterpaduan antar Renstra Kabupaten Muara Enim dengan Renstra SKPD.
‐
Penelusuran terhadap renstra SKPD untuk mengetahui dasar untuk proyeksi target produksi dan kebutuhan luas lahan pertanian pangan dalam menjamin keberlanjutan produksi pangan.
‐
Penelusuran RTRW Kabupaten Muara Enim untuk mengetahui luas lahan pertanian yang dicadangkan kemudian dibandingkan dengan kebutuhan luas lahan pertanian pangan berbasis PPH.
41
Keterbatasan dan Asumsi dalam Penelitian Keterbatasan Penelitian Keterbatasan dalam penelitian ini adalah : 1. Potensi produksi pangan wilayah hanya dicari melalui analisis tren terhadap data seri produksi pangan selama 8 tahun (2003-2009). 2. Ketersediaan lahan pertanian hanya digunakan untuk memperhitungkan kebutuhan produksi pangan on farm saja. 3. Ketersediaan lahan diproyeksikan dengan model persamaan linear, tanpa mempertimbangkan konversi lahan. Asumsi Penelitian Penelitian ini menggunakan asumsi sebagai berikut : 1. Ketersediaan pangan di Kabupaten Muara Enim diasumsikan dapat dipenuhi melalui swasembada absolut. 2. Dalam memperhitungkan proyeksi kebutuhan lahan pertanian untuk produksi pangan
ideal diasumsikan bahwa tingkat produktifitas masing-masing
komoditas pangan adalah sama dengan produktifitas pada tahun aktual. 3. Pencapaian konsumsi pangan ideal sesuai pola pangan harapan (PPH) yang ditunjukkan dengan skor PPH minimal 95 diasumsikan akan dicapai oleh Kabupaten Muara Enim pada tahun 2015.
Definisi Operasional Ketersediaan pangan berkelanjutan : anekaragam pangan yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan penduduk untuk hidup sehat, aktif dan produktif, yang diukur dari AKE 2.200 kkal/kap/hari dan skor PPH 100. Penduduk : penduduk Kabupaten Muara Enim yang diukur dalam jumlah (jiwa). Konsumsi pangan ideal : adalah jumlah konsumsi pangan yang dibutuhkan penduduk Kabupaten Muara Enim untuk hidup sehat, aktif dan produktif berdasarkan pola pangan harapan (PPH) pada tahun tertentu yang diukur dalam satuan kkal/kapita/hari dan ton/tahun.
42
Produksi pangan : adalah jumlah produksi aneka pangan (berdasarkan kewenangan SKPD teknis) yang dibutuhkan per tahun untuk mencukupi konsumsi pangan penduduk menuju ideal dan penggunaan lain (industri, pakan ternak, bibit, tercecer,) pada tahun tertentu yang diukur dalam satuan ton/tahun. Ketersediaan pangan : adalah jumlah ketersediaan aneka pangan per tahun yang berasal dari produksi, stok dan perdagangan untuk mencukupi konsumsi pangan menuju ideal penduduk Kabupaten Muara Enim pada tahun tertentu yang diukur dalam satuan ton/tahun. Daya dukung pangan wilayah : adalah luas lahan pertanian pangan
yang
dibutuhkan dalam produksi pangan dalam rangka mencukupi konsumsi pangan penduduk menuju ideal dibagi jumlah penduduk, yang diukur dengan land man ratio. Lahan pertanian pangan : adalah luasan lahan yang dibutuhkan untuk budidaya pertanian pangan dalam memproduksi pangan dalam rangka mencukupi konsumsi pangan penduduk menuju ideal, yang diukur dalam satuan hektar (ha). Kebijakan ketahanan pangan : adalah kebijakan pemerintah Kabupaten Muara Enim (RPJMD, renstra SKPD) yang mendukung produksi, ketersediaan dan konsumsi pangan yang berkelanjutan di Kabupaten Muara Enim.
43
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Lokasi Penelitian Wilayah administrasi Kabupaten
Muara
Enim
adalah
salah
satu
dari
empat
belas
kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan, dengan ibu kota Muara Enim. Dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1959 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II dan Kota Praja di Sumatera Selatan (Lembaran Negara Tahun 1959 Nomor 73 Tln Nomor 1821). Secara geografis terletak di tengah-tengah wilayah Sumatera Selatan, yaitu antara 40 sampai 60 Lintang Selatan dan 1040 sampai 1060 Bujur Timur. Secara administratif batas-batas wilayah Kabupaten Muara Enim yaitu: a.
sebelah utara dengan Kabupaten Musi Banyuasin;
b.
sebelah selatan dengan Kabupaten OKU, Ogan Komering Ulu Timur dan Ogan Komering Ulu Selatan;
c.
sebelah timur dengan Kabupaten OKI, Ogan Ilir dan Kota Palembang;
d.
sebelah barat dengan Kabupaten Musi Rawas, Kabupaten Lahat dan Kota Pagar Alam. Luas wilayah Kabupaten Muara Enim adalah 9.140,50 Km2 atau 9,15 %
dari luas Provinsi Sumatera Selatan.
Pada tahun 2006 dibagi menjadi 22
kecamatan, terdiri dari 301 desa definitif/desa persiapan dan 16
Kelurahan.
Kecamatan yang terdapat di Kabupaten Muara Enim yaitu Semende Darat Ulu, Semende Darat Tengah, Semende Darat Laut, Tanjung Agung, Lawang Kidul, Muara Enim, Ujan Mas, Gunung Megang, Rambang, Lubai, Benakat, Rambang Dangku, Talang Ubi, Tanah Abang, Penukal Utara, Gelumbang, Sungai Rotan, Penukal, Abab, Muara Belida dan Kelekar. Kepadatan penduduk Kabupaten Muara Enim pada tahun 2010 belum merata pada setiap kecamatan (Tabel 7). Perbedaan tingkat kepadatan penduduk antar kecamatan cukup tinggi yaitu pada kecamatan terpadat mencapai 304 jiwa per km2 (Kecamatan Muara Enim, ibu kota kabupaten) sedangkan ada kecamatan yang hanya 23 jiwa per km2 (Kecamatan Semende Darat Tengah).
44
Tabel 7 Luas lahan sawah, lahan kering, jumlah penduduk dan kepadatan penduduk per kecamatan di Kabupaten Muara Enim tahun 2008 No
Kecamatan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
Lahan Sawah (Ha) 1.060 1.828 1.219 2.294 0 2.744 65 1.741 1.650 1.717 375 1.045 314 3.061 550 138 1.000 6.124 750 2.054 6.800 10 36.539
Lahan Jumlah Kering* Penduduk (Ha) (Jiwa) 6.420 14.675 11.017 15.805 9.545 9.678 30.755 37.428 32.182 27.402 67.280 52.802 14.069 62.452 8.815 61.888 11.854 23.238 50.360 56.507 16.195 8.764 26.314 50.072 28.270 67.476 8.984 26.988 29.046 27.158 35.005 20.835 33.082 23.020 21.892 53.792 21.707 30.831 3.721 29.874 5.064 7.600 10.340 9.432 481.917 660.906
Kepadatan Penduduk (Jiwa/Km2) 53 34 23 69 52 54 164 304 86 85 30 80 104 172 65 32 59 182 113 86 43 62 72
Semende Darat Laut Semende Darat Ulu Semende Darat Tengah Tanjung Agung Rambang Lubai Lawang Kidul Muara Enim Ujan Mas Gunung Megang Benakat Rambang Dangku Talang Ubi Tanah Abang Penukal Utara Gelumbang Lembak Sungai Rotan Penukal Abab Muara Belida Kelekar Jumlah Sumber : BPS, 2009 Keterangan: *) terdiri dari tegal/huma/ladang, kolam/tebat/empang, sementara tidak diusahakan, perkebuhan
Dari Tabel 7 dapat diketahui bahwa Kecamatan Tanah Abang dan Sungai Rotan terdapat lahan sawah terluas dibanding kecamatan lain sehingga dapat menyumbang ketersediaan beras dengan produksi padi yang cukup signifikan yaitu 5,27 persen dan 9,65 persen pada tahun 2009. Namun disisi lain kedua kecamatan tersebut memiliki jumlah kepadatan penduduk yang tinggi yaitu 172 jiwa/km2 dan 182 jiwa/km2. Hal ini mengindikasikan bahwa resiko konversi lahan pertanian pangan (terutama sawah) di wilayah tersebut juga cukup tinggi. Karena dengan jumlah penduduknya yang besar maka kebutuhan terhadap lahan juga besar sehingga memberi tekanan terhadap lahan pertanian di kecamatan tersebut.
45
Sebaliknya untuk Kecamatan Lubai, Muara Belida dan Gunung Megang, tingkat kepadatan penduduk masih rendah dengan luas lahan sawah cukup besar. Artinya ketiga kecamatan tersebut dapat dijadikan pilihan untuk dikembangkan menjadi wilayah penghasil pangan. Karena persaingan penggunaan lahan untuk keperluan non pertanian (pemukiman, jalan dan lain-lain) masih cukup rendah. Pilihan lain untuk pengembangan wilayah penghasil pangan terdapat didaerah dataran tinggi Kabupaten Muara Enim, yaitu di Kecamatan Semende Darat Laut, Semende Darat Ulu, Semende Darat Tengah dan Tanjung Agung. Di daerah tersebut masih memiliki budaya tunggu tubang dalam masyarakatnya sehingga lahan pertanian pangan lebih memungkinkan untuk tetap dipertahankan. Kepemilikan lahan adalah kepemilikan secara komunal (kekerabatan) dan tidak dapat dengan mudah untuk dialihkan fungsinya atau dialihkan kepemilikannya. Dengan demikian wilayah ini dapat dijadikan cagar lahan pertanian pangan untuk mendukung ketersediaan pangan berkelanjutan di Kabupaten Muara Enim, dalam menjamin kebutuhan pangan penduduk yang meningkat seiring pertumbuhan jumlah penduduk. Menurut hasil sensus penduduk BPS tahun 2010 laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Muara Enim tahun 2000-2010 adalah sebesar 1,79 persen. Angka tersebut lebih tinggi dari rata-rata nasional yang bertahan selama dua dekade (1,49 persen), tetapi lebih rendah rata-rata Provinsi Sumatera Selatan (1,85 persen). Laju pertumbuhan penduduk di Kabupaten Muara Enim pada tahun 2003-2008 berfluktuasi cukup tajam (Tabel 8).
Pada tahun 2004, laju
pertumbuhan penduduk berada pada titik terendah yaitu 0,16% dan meningkat pesat di tahun 2005 dan 2006, kemudian tahun 2007 kembali turun menjadi 0,55. Tabel 8 Jumlah dan laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Muara Enim tahun 2003-2008 Tahun 2003 2004 2005 2006 2007 2008
Jumlah Penduduk (jiwa) 628.634 629.623 638.752 649.731 653.304 660.906
Sumber : BPS, tahun 2003-2009
Laju (%) 0,16 1,45 1,72 0,55 1,16
46
Pertumbuhan penduduk yang tinggi adalah masalah bagi negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Pertumbuhan penduduk Indonesia masih jauh diatas laju pertumbuhan produksi beras (bahan pangan pokok) yang hanya sekitar satu persen per tahun dalam lima tahun terakhir.
Data menunjukkan bahwa
kebutuhan pangan Indonesia terus meningkat. Agar tidak terjadi kelaparan, maka pertumbuhan pangan harus mengalahkan pertumbuhan penduduk. Pilihan yang efektif untuk dilakukan menurut Simatupang (2008) ialah ; a) membuka lahan pertanian baru, b) meningkatkan kualitas lahan melalui pembangunan irigasi dan c) mengurangi laju pertumbuhan penduduk. Untuk mengurangi laju pertumbuhan penduduk, pemerintah melaksanakan program keluarga berencana (KB). Tetapi jika program KB stagnan, penduduk Indonesia bertambah terus hingga mencapai 255,5 juta jiwa pada tahun 2015. Maka kebutuhan pangan juga akan meningkat sebesar 13,5 persen jika dibandingkan dengan kebutuhan 226 juta jiwa pada tahun 2007. Namun jika program KB ditingkatkan, akan menghemat sekitar 8 persen kebutuhan pangan, karena pertambahan penduduk hanya 17 juta jiwa di tahun 2015 (Sugiri, 2009). Dokumen
RPJM
II
Tahun
2011-2014
Pembangunan
Bidang
Kependudukan Tahap II menyatakan bahwa terkendalinya jumlah dan laju pertumbuhan penduduk, ditandai dengan antara lain menurunnya rata-rata laju pertumbuhan penduduk tingkat nasional dari 1,3 persen pada tahun 2009 menjadi 1,1 persen pada tahun 2014. Dalam rencana strategik Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) diterjemahkan menjadi; 1) revitalisasi program KB dan 2) penyerasian kebijakan pengendalian penduduk. Kondisi geografis Iklim. Keadaan iklim ditentukan oleh tinggi rendahnya tempat tersebut terhadap permukaan laut dan jarak dari pantai. Pada tahun 2009, suhu udara rata-rata pada siang hari berkisar antara
230 C - 240 C.
Curah hujan dipengaruhi oleh keadaan iklim, kondisi topografi dan perputaran/pertemuan arus udara. Oleh karena itu, jumlah curah hujan beragam menurut bulan dan lokasi. Pada tahun 2009 rata-rata curah hujan 2.564,02 mm.
47
Tanah. Bagian terbesar, yaitu sekitar 42,23 persen dari luas wilayah Kabupaten Muara Enim adalah berupa padzolik merah–kuning, diikuti
Alluvial sekitar
26,03 persen dari luas wilayah. Tanah Podzolik merah-kuning dan Alluvial terutama tersebar disekitar Kecamatan Tanjung Agung, Muara Enim, Talang Ubi, dan Gelumbang. Jenis Tanah lain yang cukup besar peranannya dalam komposisi/struktur tanah adalah latosol (7,64 persen), Asosiasi Podzolik coklat kekuning-kuningan dan hidromorf kelabu (7,59 persen), Asosiasi gley (6,79 persen), dan Andosol (5,54 persen). Topografi. Kondisi topografi daerah cukup beragam. Daerah dataran tinggi di bagian barat daya, merupakan bagian dari rangkaian pegunungan Bukit Barisan. Daerah ini meliputi Kecamatan Semende Darat Laut, Semende Darat Ulu, Semende Darat Tengah dan Kecamatan Tanjung Agung. Daerah dataran rendah, berada dibagian tengah. Terus ke utara–timur laut, terdapat daerah rawa/lebak yang berhadapan
langsung dengan daerah aliran Sungai Musi. Daerah ini
meliputi Kecamatan Talang Ubi, Penukal Utara, Penukal Abab, Tanah Abang, Lembak, Gelumbang, dan Sungai Rotan. Situasi Konsumsi, Ketersediaan dan Produksi Pangan Penduduk Kabupaten Muara Enim Situasi konsumsi pangan penduduk Berdasarkan hasil survey konsumsi pangan yang dilaksanakan atas kerja sama Kantor Ketahanan Pangan Kabupaten Muara Enim dan Dinas Kesehatan Kabupaten Muara Enim tahun 2007 dan 2009, ditampilkan situasi konsumsi pangan penduduk pada Tabel 9. Dari jumlah total konsumsi pangan, maka tingkat konsumsi pangan penduduk Kabupaten Muara Enim tahun 2007 dan 2009 sudah melebihi angka yang dianjurkan yaitu 2.000 kkal/kap/hari. Jika dihitung dari persentase angka kecukupan energi (% AKE), maka tingkat konsumsi penduduk sudah mencapai 107 persen dan 105 persen dari jumlah ideal. Angka tersebut tergolong normal (TKE 90-119%) menurut klasifikasi tingkat konsumsi energi Departemen Kesehatan tahun 1996 (Hardinsyah, 2002).
48
Tabel 9 Situasi konsumsi pangan aktual penduduk Kabupaten Muara Enim dibandingkan dengan konsumsi ideal (kkal/kapita/hari) No
Kelompok Pangan
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Padi-padian Umbi-umbian Pangan hewani Minyak dan lemak Buah/biji berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur dan buah Minuman dan bumbu Jumlah
Konsumsi (kkal/kap/hari) Ideal Thn 2007 Thn 2009 1.000 120 240 200 60 100 100 120 30 2.000
1.758 13 80 97 79 8 48 57 2.140
Rata-rata Gap
1.560 17 184 103 77 12 55 82 1 2.090
659 -105 -108 -100 18 -90 -48.5 -50.5 -29.5 115
Laju (%) -11 29 130 6 -3 50 14 44 -2
Dari komposisi kelompok pangan pada tabel diatas, konsumsi pangan penduduk masih dibawah angka yang dianjurkan kecuali untuk kelompok padipadian dan buah/biji berminyak. Hal tersebut ditunjukkan oleh gap (selisih konsumsi aktual dan ideal) positif untuk padi-padian dan buah/biji berminyak, serta gap negatif untuk kelompok pangan lainnya. Tetapi terjadi peningkatan konsumsi pada enam kelompok pangan ditunjukkan oleh laju yang positif. Peningkatan konsumsi pangan hewani bahkan mencapai 130 persen. Disisi lain konsumsi padi-padian dan buah/biji berminyak terjadi penurunan (laju negatif). Artinya konsumsi pangan penduduk berubah menuju keseimbangan sesuai pola pangan harapan. Sejalan dengan hal diatas, mutu konsumsi pangan penduduk Kabupaten Muara Enim menunjukkan peningkatan kualitas dengan meningkatnya skor PPH konsumsi sebesar (35 persen) yaitu dari 51 pada tahun 2007 menjadi 70,1 pada tahun 2009 (Tabel 10). Peningkatan skor tersebut terutama disumbangkan oleh kenaikan pesat pada skor PPH pangan hewani (125 persen) serta sayur dan buah (46 persen). Membaiknya konsumsi pangan diperkirakan karena membaiknya harga komoditas perkebunan, yang menjadi sumber pendapatan utama sebagian besar penduduk. Dengan demikian akses ekonomi penduduk terhadap pangan (daya beli) dapat mengimbangai harga jenis pangan hewani serta sayur dan buah yang harganya cenderung lebih mahal dari jenis pangan lainnya.
49
Tabel 10 Perbandingan skor PPH konsumsi aktual penduduk Kabupaten Muara Enim dengan skor PPH konsumsi ideal dan PPH konsumsi nasional
No
Kelompok Pangan
Ideal
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Padi-padian 25 Umbi-umbian 2,5 Pangan hewani 24 Minyak dan lemak 5 Buah/biji berminyak 1 Kacang-kacangan 10 Gula 2,5 Sayur dan buah 30 Minuman dan bumbu 0,0 Jumlah 100 Keterangan : *) Susenas BPS diolah BKP
Skor PPH Konsumsi Nasional* Kab. ME Tahun Tahun Tahun Tahun 2007 2009 2007 2009 25,0 25,0 25,0 25,0 1,6 1,2 0,0 0,4 15,5 14,8 8,0 18,0 5,0 4,9 2,0 2,6 1,0 0,9 1,0 1,0 7,3 5,7 1,0 1,2 2,4 2,2 1,0 1,4 25,1 21,0 14,0 20,5 0,0 0,0 0,0 0,0 82,8 75,7 52,0 70,1
Laju (%) 0 125 30 0 20 40 46 0 35
Jika dibandingkan dengan kondisi rata-rata nasional yang menunjukkan penurunan total skor PPH konsumsi (terutama akibat penurunan konsumsi pangan hewani, sayur dan buah serta kacang-kacangan), maka Kabupaten Muara Enim memiliki
peluang
yang
cukup
baik
untuk
melaksanakan
percepatan
penganekaragaman konsumsi pangan. Pola konsumsi pangan penduduk yang semakin membaik tersebut, harus dapat direspon dengan ketersediaan pangan yang semakin membaik pula untuk mencapai kondisi ideal pada tahun 2015 sesuai SPM bidang ketahanan pangan. Situasi ketersediaan pangan tahun 2004-2008 Ketersediaan pangan bagi penduduk Kabupaten Muara Enim ditunjukkan dengan jumlah ketersediaan energi per kapita per hari (kkal/kapita/hari). Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, kondisi ketersediaan energi berfluktuasi seperti ditunjukkan pada Tabel 11. Total energi ketersediaan pada tahun 2004 dan 2008, masih dibawah standar 2.200 kkal/kap/hari. Tetapi ketersediaan pangan pada tahun 2005-2007 sudah melebihi standar ketersediaan energi yang dianjurkan. Secara umum kelompok padi-padian memberikan kontribusi energi terbesar dari total jumlah energi ideal yang diharapkan (2.200 kkal/kap/hari). Selain itu kontribusi kelompok pangan minuman dan bumbu juga memiliki
50
ketersediaan energi yang cukup besar terhadap total energi.
Kelompok pangan
lainnya masih berada dibawah angka ketersediaan yang dianjurkan. Tabel 11..Perkembangan ketersediaan energi per kapita per hari penduduk Kabupaten Muara Enim tahun 2004-2008 No 1 2 3 4
Padi-padian Umbi-umbian Pangan hewani Minyak dan lemak
5 6 7 8 9
Buah/biji berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur dan buah Minuman dan bumbu
Ketersediaan (kkal/kap/hari)
Kelompok Pangan
Rata-rata
Ideal
2004
2005
2006
2007
2008
Laju(%)
1.100 132 264 220
1.478 101 142 95
1.728 85 180 227
1.314 63 167 117
1.458 80 151 127
1.293 104 141 0
-1,85 3,82 0,83 -0,24
66 110 110 132 66
28 27 63 31 151
20 29 72 27 145
27 21 41 319 161
18 23 46 171 358
8 25 26 111 289
-20,62 -0,49 -15,01 246,77 27,54
Jumlah
2.200
2.116
2.513
2.23
2.432
1.997
‐0,33
% AKE
100
98,16
115,05
101,36
110,55
90,77
-0,88
Sumber : NBM Kabupaten Muara Enim tahun 2005-2009
Angka total ketersediaan energi aktual tahun 2004-2008 dibandingkan dengan angka kecukupan energi untuk dihitung tingkat persentase angka kecukupan energi (%AKE). Tingkat ketersediaan energi mencerminkan besarnya proporsi ketersediaan energi aktual di Kabupaten Muara Enim dengan standar energi ideal yang diharapkan yaitu 2.200 kkal/kap/hari. Pada tahun 2004, angka kecukupan energi (% AKE) ketersediaan dibawah angka yang dianjukan (100 persen) yaitu hanya 96,18 persen. Demikian juga pada tahun 2008, yang angka kecukupan energi (% AKE) ketersediaannya hanya 90,77 persen. Sedangkan untuk tahun 2005, 2006 dan 2007 sudah berada diatas 100 persen. Secara umum tingkat ketersediaan pangan di Kabupaten Muara Enim cenderung menurun. Rata-rata laju ketersediaan kelompok pangan pada menunjukkan bahwa hampir semua kelompok pangan kondisinya negatif kecuali umbi-umbian, pangan hewani, sayur dan buah, minuman dan bumbu. Hal ini harus menjadi perhatian bagi pemerintah Kabupaten Muara Enim dalam mengevaluasi dan menyusun perencanaan pembangunan ketahanan pangan.
Terutama dalam membangun
kemandirian penyediaan pangan berbasis sumberdaya lokal yang dimiliki. Selain tingkat ketersediaan, mutu ketersediaan energi juga diukur untuk mengetahui keberagaman ketersediaan pangan dengan skor PPH ketersediaan.
51
Angka ideal skor PPH ketersediaan adalah 100, ditargetkan akan dicapai pada tahun 2015 secara nasional. Total skor PPH ketersediaan Kabupaten Muara Enim cenderung meningkat kecuali tahun 2008. Padi-padian sudah memenuhi skor PPH ideal, tetapi untuk kleompok pangan lain masih dibawah skor PPH ideal. Dari laju perkembangan skor PPH masing-masing kelompok pangan, secara umum menunjukkan kenaikan mutu ketersediaan pangan terutama untuk sayur dan buah. Mutu ketersediaan pangan yang makin membaik, akan mempengaruhi mutu pola konsumsi pangan penduduk. Diharapkan ketersediaan pangan kedepan semakin membaik dan dapat mengimbangi perkembangan konsumsi pangan penduduk yang semakin membaik pula. Tabel 12 Skor dan rata-rata laju PPH ketersediaan pangan penduduk Kabupaten Muara Enim tahun 2004-2008 No
Kelompok Pangan Ideal
Skor PPH Ketersediaan Thn Thn Thn Thn 2004 2005 2006 2007
Thn 2008
Ratarata Laju(%)
1 2 3 4 5
Padi-padian Umbi-umbian Pangan hewani Minyak dan lemak Buah/biji berminyak
25 2.5 24 5 1
25 2 13 2 1
25 2 16 5 0
25 1 15 3 1
25 2 14 3 0
25 2 13 0 0
0 50 8 85 -
6 7 8 9
Kacang-kacangan Gula Sayur dan buah Minuman dan bumbu
10 2.5 30 0.0
2 1 7 0
3 2 6 0
2 1 30 0
2 1 30 0
2 1 25 0
17 50 382 -
Jumlah
100
53
59
78
77
68
39
Situasi produksi pangan tahun 2003-2008 Wilayah Kabupaten Muara Enim memiliki lahan yang cukup produktif untuk berbagai jenis tanaman. Curah hujan yang memadai dan adanya dua sungai besar yang mengalir di wilayah tersebut (Sungai Enim dan Sungai Lematang), juga mendukung bagi berkembangnya sektor pertanian, terutama sub sektor perkebunan dan tanaman pangan. Sumbangan sektor pertanian terhadap produk domestik bruto (PDRB) regional merupakan yang terbesar kedua setelah sektor pertambangan pada kelompok sektor primer, yaitu sebesar 15,72 persen pada tahun 2008 (BPS, 2009).
52
Komoditas pangan dari sektor perkebunan merupakan hasil pertanian terbesar di Kabupaten Muara Enim yaitu kelapa sawit dan kopi. Kedua jenis komoditas tersebut ditanam hampir diseluruh wilayah. Kelapa sawit diusahakan oleh perkebunan rakyat (24.689 Ha), perkebunan negara (21.615 Ha) dan perusahaan swasta (67.431 Ha). Kopi diusahakan hanya oleh perkebunan rakyat (23.404,5 Ha). Tabel 13 menunjukkan bahwa pertumbuhan komoditas kelapa sawit dan kopi cenderung meningkat selama lima tahun terakhir. Pertumbuhan kelapa sawit bahkan mencapai rata-rata 107,5 persen.
Sedangkan pertumbuhan
kopi rata-rata 13,23 persen. Tabel 13. Produksi dan pertumbuhan produksi tanaman perkebunan tahun 20052009 di Kabupaten Muara Enim No 1 2
Komoditas Kelapa sawit Kopi
Produksi/thn (ton) 2005 2009 213.625 1.079.805 18.244 24.357
Pertumbuhan (%) 107,50 13,23
Keterangan Meningkat Meningkat
Sumber : BPS, 2004-2010
Selain komoditas kelapa sawit dan kopi, terdapat jenis komoditas pangan yang diusahakan di perkebunan rakyat yaitu kelapa, lada dan aren.
Kelapa
termasuk kelompok pangan buah/biji berminyak, lada termasuk kelompok pangan minuman dan bumbu, sedangkan aren masuk dalam kelompok pangan gula. Produksinya masih berfluktuasi sepanjang tahun 2005-2007, karena hanya diusahakan sebagai tanaman sampingan (Tabel 14). Tabel 14. Produksi komoditas kelapa, lada dan aren tahun 2005-2007 di Kabupaten Muara Enim Produksi/tahun (ton) Pertumbuhan 2005 2006 2007 (%) 1 Kelapa 849,9 3.994,9 4.071 0,43 2 Lada 621,1 329,1 144 -8,71 3 Aren 19,2 14,2 14.5 -4,14 Sumber : Renstra Dinas Perkebunan 2008-2013 No
Komoditas
Keterangan Meningkat Menurun Menurun
Tanaman pangan utama yang diusahakan di Kabupaten Muara Enim adalah padi dan palawija (jagung, umbi-umbian dan kacang-kacangan). Laju pertumbuhan
produksi
antara
tahun
2003
hingga
2009
menunjukkan
kecenderungan meningkat kecuali untuk tanaman ubi kayu dan ubi jalar (Tabel 15).
Tanaman pangan jenis umbi-umbian belum menjadi tanaman utama
53
sehingga perkembangan produksinya belum maksimal bahkan menurun. Kondisi tersebut harus mendapat perhatian agar produksi pada tahun mendatang mampu memenuhi permintaan dalam wilayah sendiri. Apalagi umbi-umbian adalah jenis tanaman pangan yang mudah diusahakan di berbagai jenis lahan. Hal ini terkait keseimbangan pola konsumsi pangan yang mengacu pada pola pangan harapan (PPH). Tingkat konsumsi umbi-umbian yang dianjurkan adalah 120 kkal/kapita/hari atau 92 gram/kapita/hari (setara ubi kayu). Sedangkan tingkat konsumsi aktual penduduk Kabupaten Muara Enim baru mencapai 13 kkal/kapita/hari atau 17 gram/kapita/hari (setara ubi kayu). Tabel 15. Produksi dan tren produksi padi dan palawija tahun 2003 dan 2009 di Kabupaten Muara Enim No
Komoditas
1 2 3 4 5 6 7
Padi Jagung Ubi kayu Ubi jalar Kacang tanah Kacang hijau Kedelai
Produksi/thn (ton) Pertumbuhan 2003 2009 (%) 114.525 125.147 1,74 3.145 3.351 19,78 15.211 8.543 -6,.55 3.948 2.546 -4,14 466 418 0,93 673 1.330 15,05 91 449 68,60
Keterangan Meningkat Meningkat Menurun Menurun Meningkat Meningkat Meningkat
Sumber : BPS, 2004-2010
Untuk jenis tanaman hortikultura, laju pertumbuhan produksi cenderung meningkat untuk semua jenis tanaman sayuran utama kecuali kacang panjang (Tabel 16). Sehingga diperlukan upaya dari instansi terkait guna meningkatkan produksi dan produktivitas agar dapat memenuhi ketersediaan untuk kebutuhan konsumsi penduduk Kabupaten Muara Enim. Sayur-sayuran dan buah-buahan memiliki peran penting sebagai sumber vitamin dan mineral dan juga serat bagi tubuh.
Karena konsumsi penduduk
terhadap sayur dan buah cenderung meningkat mendekati jumlah yang dianjurkan (Tabel 9), maka hal tersebut harus dapat diikuti dengan ketersediaan yang memadai pula.
54
Tabel 16 . Produksi dan tren produksi sayuran pada tahun 2003 dan 2009 di Kabupaten Muara Enim No 1 2 3 4 5 6
Komoditas Kacang panjang Tomat Cabai Terung Buncis Bayam
Produksi/thn (ton) 2003 2009 14.935 945 3.225 1.941 6.439 1.591 5.204 2.596 1.426 538 803 355
Pertumbuhan (%) -20,97 128,11 30,02 108,.55 32,08 28,43
Keterangan Menurun Meningkat Meningkat Meningkat Meningkat Meningkat
Sumber : BPS, 2004-2010
Laju pertumbuhan produksi buah-buahan cenderung meningkat untuk semua jenis komoditi utama kecuali nanas (Tabel 17). Jeruk dan nanas komoditas andalan Kabupaten Muara Enim yang dipasok hingga ke provinsi lain, seperti Lampung dan DKI Jakarta.
Diperlukan perhatian pemerintah untuk menjaga
stabilitas produksinya baik dalam kebijakan maupun ketersediaan anggaran. Tabel 17 Produksi dan tren produksi buah-buahan pada tahun 2003 dan 2009 di Kabupaten Muara Enim No 1 2 3 4 5 6
Komoditas Jeruk Nanas Rambutan Pisang Durian Jambu biji
Produksi/thn (ton) 2003 2009 10.349 27.333 53.275 17.576 2.152 2.480 140 14.042 396 2.968 470 1.362
Pertumbuhan (%) 55,01 -14,82 57,68 1095,85 6421,22 645,63
Keterangan Meningkat Menurun Meningkat Meningkat Meningkat Meningkat
Sumber : BPS, 2004-2010
Komoditas peternakan utama yang dikembangkan di Kabupaten Muara Enim adalah daging ayam, daging sapi dan telur (Tabel 18).
Tren produksi
cenderung meningkat kecuali untuk daging ayam buras dan telur ayam. Keseimbangan produksi peternakan harus dapat dijaga dan ditingkatkan agar dapat memenuhi peningkatan konsumsi pangan hewani penduduk menuju tingkat konsumsi yang dianjurkan (Tabel 9).
55
Tabel 18. Produksi dan tren produksi peternakan No
Komoditas
1 2 3 4 5
Daging ayam buras Daging ayam ras Daging sapi Telur ayam Telur itik
Produksi/thn (ton) Pertumbuhan 2003 2009 (%) 1.964 1.347 -5,15 2.224 5.322 22,48 532 969 14,60 4.353 3.840 -1,97 1.152 1.649 7,10
Keterangan Menurun Meningkat Meningkat Menurun Meningkat
Sumber : BPS, 2004-2010
Komoditas
perikanan dihasilkan melalui budidaya (kolam, keramba,
sawah) dan yang ditangkap di perairan umum (sungai, danau, rawa). Jenis yang banyak dibudidayakan adalah ikan mas (Cyprinus carpio), nila (Oreochromis niloticus), patin (Pangasius pangasius) dan gurame (Osphronemus goramy). Sedangkan ikan yang ditangkap dari perairan umum antara lain toman (Channa micropeltes), patin (Pangasius sp), gabus (Channa striatus), baung (Mystus nemurus CV), sepat (Trichogaster pectroralis) dan udang galah (Macrobracium rosenbegii de Man), yang umumnya disukai oleh masyarakat Sumatera Selatan dan harganya cenderung lebih mahal. Tren produksi ikan perairan umum cenderung menurun, karena sangat dipengaruhi oleh kondisi sumberdaya perairan, tetapi permintaan terhadap ikan perairan umum cukup tinggi. Namun hal tersebut diimbangi dengan peningkatan produksi
perikanan
budidaya,
meskipun
angka
pertumbuhan
belum
menyeimbangi penurunan produksi perairan umum (Tabel 19). Tabel 19. Produksi dan tren produksi perikanan tahun 2003 dan 2009 di Kabupaten Muara Enim No 1 2
Komoditas Perikanan budidaya Perikanan umum
Produksi/thn (ton) 2003 2009 2.321 2.612 3.959 3.915
Pertumbuhan (%) 2,00 -0,19
Keterangan Meningkat Menurun
Sumber : BPS, 2004-2010
Sejalan dengan hal tersebut Hamidah (2004) menyatakan bahwa telah terjadi penurunan hasil tangkapan masyarakat di Sungai Enim dalam kurun waktu 1994-2004, yang diduga disebabkan faktor-faktor antara lain; 1) terjadinya pencemaran air oleh kegiatan industri, domestik dan pertambangan, 2) penangkapan ikan secara berlebihan (over fishing),
56
3) terjadinya kerusakan habitat, dan 4) belum adanya upaya pengelolaan dan konservasi sumberdaya perikanan secara terpadu di Sungai Enim. Dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk dan pendapatan maka permintaan terhadap ikan perairan umum semakin meningkat pula.
Menurut
penelitian yang dilakukan Sari, dkk (2009) di Sumatera Selatan bahwa tambahan satu jiwa penduduk akan meningkatkan permintaan sebesar 2,32 kg. Selain itu kenaikan pendapatan per kapita sebesar satu rupiah akan meningkatkan permintaan ikan sebesar 1,73 kg. Peningkatan penangkapan ikan secara terus menerus, akan menyebabkan sumberdaya perikanan umum tidak dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan. Diperlukan kebijakan pengelolaan dengan meningkatkan produksi ikan dari usaha budidaya yang dilakukan dengan tepat, sehingga kebutuhan ikan dapat tetap terpenuhi. Proyeksi Kebutuhan Konsumsi, Ketersediaan dan Produksi Pangan Penduduk Kabupaten Muara Enim Tahun 2010-2015 Proyeksi kebutuhan konsumsi pangan penduduk Kondisi konsumsi pangan penduduk Kabupaten Muara Enim belum memenuhi kaidah gizi seimbang yang ditunjukkan dengan skor PPH dibawah 100. Hal tersebut akan membawa dampak pada kondisi ketahanan pangan, terutama pada aspek konsumsi pangan yang akan membawa dampak terhadap status gizi penduduk. Untuk itu dibutuhkan suatu perencanaan untuk dapat menjamin kondisi konsumsi pangan yang ideal dengan didukung oleh ketersediaan aneka ragam pangan dalam jumlah cukup, seimbang dan terjangkau oleh daya beli penduduk. Perencanaan ketahanan pangan (perencanaan sasaran ketersediaan, produksi dan konsumsi pangan) dimaksudkan untuk mencapai kondisi ideal (SPM) pada tahun 2015 dan disesuaikan dengan kondisi daerah. Pendekatan yang digunakan adalah gizi seimbang atau pola pangan harapan (PPH).
57
Tabel 20 Susunan PPH Nasional dan jumlah ketersediaan/konsumsi pangan No
Kelompok Pangan
1
Padi-padian
2
% AKE*
Bobot
Energi (kkal/kap/hari)
Skor PPH
Konsumsi
Ketersediaan
50
0,5
25,0
1.000
1.100
Umbi-umbian
6
0,5
2,5
120
132
3
Pangan hewani
12
2,0
24,0
240
264
4
Minyak dan lemak
10
0,5
5,0
200
220
5
Buah/biji berminyak
3
0,5
1,0
60
66
6
Kacang-kacangan
5
2,0
10,0
100
110
7
Gula
5
0,5
2,5
100
110
8
Sayur dan buah
6
5,0
30,0
120
132
9
Lainnya
3
0,0
0
30
66
100
2.000
2.200
Jumlah
100
Keterangan : *) Ketersediaan 2.200 kkal/kap/hari, konsumsi 2.000 kkal/kap/hari berdasarkan WNPG (2004)
Kebutuhan pangan dan gizi penduduk Kabupaten Muara Enim diasumsikan hanya dipengaruhi oleh jumlah penduduk (dengan komposisi mendekati nasional) dan dihitung dengan mengacu pada konsumsi dan ketersediaan energi berdasarkan AKE nasional yang akan dicapai pada tahun 2015 yaitu 2.000 kkal/kapita/hari (konsumsi) dan 2.200 kkal/kapita/hari (ketersediaan). Dasar asumsi tersebut adalah penelitian yang dilakukan Absari (2007) dan Sumarlin (2009) yang menunjukkan bahwa hasil perhitungan AKE regional tidak jauh berbeda dengan AKE nasional, jika komposisi penduduk regional sama atau mendekati komposisi penduduk nasional. Laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Muara Enim tahun 2000-2010 sebesar 1,79 persen (BPS, 2010). Dengan laju pertumbuhan tersebut maka dihitung proyeksi penduduk Kabupaten Muara Enim dengan model pertumbuhan (Gambar 3). Jumlah penduduk pada tahun 2013 adalah 756.952 jiwa dan pada tahun 2015 menjadi 784.984 jiwa.
58
800000 780000
Jiwa
760000 740000 720000 700000 680000
2010
2011
2012
2013
2014
2015
Proyeksi Jumlah 717717 730564 743641 756952 770502 784294 Penduduk
Gambar 3. Proyeksi jumlah penduduk Kabupaten Muara Enim tahun 20102015 (laju pertumbuhan 1,79 %) Selanjutnya dengan menggunakan skor PPH konsumsi penduduk Kabupaten Muara Enim tahun 2009, diproyeksikan pencapaian skor PPH per tahun pada tahun 2010-2015 dengan metode interpolasi.
Pada Tabel 21,
kelompok pangan padi-padian dan buah/biji berminyak merupakan kelompok pangan yang perlu diturunkan skor PPH-nya, supaya memenuhi kaidah gizi yang baik. Dalam rentang tahun 2010-2015 skor PPH padi-padian akan diturunkan bertahap sebesar 26,9 dan buah/biji berminyak sebesar 0,9. Tabel 21 Proyeksi skor PPH Konsumsi Pangan Penduduk Kabupaten Muara Enim tahun 2010-2015 No
Kelompok Pangan
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Padi-padian Umbi-umbian Pangan Hewani Minyak dan Lemak Buah/Biji Berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur dan Buah Lain-lain Total Kalori Skor PPH
2009
2010
Tahun 2011 2012
76,9 0,8 9,2 5,1 3,9 0,6 2,7 4,1 0,1 2.200 70,5
72,4 1,7 9,7 5,9 3,7 1,3 3,1 4,4 0,5 2.200 75,4
67,9 2,6 10,1 6,8 3,6 2,1 3,5 4,7 1,0 2.200 80,3
63,4 3,4 10,6 7,6 3,4 2,8 3,9 5,0 1,5 2.200 85,2
2013
2014
2015
59,0 4,3 11,1 8,4 3,3 3,5 4,2 5,4 2,0 2.200 90,2
54,5 5,1 11,5 9,2 3,1 4,3 4,6 5,7 2,5 2.200 95,1
50,0 6,0 12,0 10,0 3,0 5,0 5,0 6,0 3,0 2.200 100
59
Berdasarkan hasil survey konsumsi pangan penduduk Kabupaten Muara Enim tahun 2009, diketahui proporsi jenis pangan pada tiap kelompok pangan untuk menentukan jenis pangan yang akan digunakan dalam menyetarakan berat jenis pangan.
Jenis pangan yang dipilih adalah jenis pangan yang dominan
dikonsumsi dan berpotensi untuk diproduksi di wilayah Kabupaten Muara Enim, sebagai berikut : -
Untuk kelompok pangan padi-padian disetarakan dengan beras
-
Kelompok pangan umbi-umbian disetarakan dengan ubi kayu.
-
Kelompok pangan hewani disetarakan dengan daging ayam (komoditi peternakan) dan ikan (komoditi perikanan). Pemisahan dua jenis komoditi ini karena memiliki karakteristik yang berbeda dan perlu diketahui masingmasing ketersediaannya untuk menghitung kebutuhan lahan kandang dan kolam/keramba.
-
Kelompok pangan minyak dan lemak disetarakan dengan minyak goreng sawit.
-
Kelompok pangan buah/biji berminyak disetarakan dengan kelapa (daging).
-
Kelompok pangan kacang-kacangan disetarakan dengan kacang kedelai.
-
Kelompok pangan sayur dan buah disetarakan dengan kacang panjang dan tomat (sayur), jeruk dan nanas (buah). Jenis sayur kacang panjang yang memiliki potensi produksi cukup besar dipilih untuk mewakili jenis sayur polong-polongan sedangkan tomat mewakili jenis sayur buah. Sedangkan jeruk juga dipilih karena selain potensi produksinya besar juga merupakan jenis komoditi tahunan yang membutuhkan lahan khusus, sementara nanas mewakili jenis komoditi buah yang tersedia sepanjang tahun dan dapat ditanam di kebun atau sebagai tanaman tumpangsari. Jenis pangan yang dipilih tersebut digunakan untuk menghitung sasaran
konsumsi dan ketersediaan pangan penduduk Kabupaten Muara Enim pada tahun 2013 dan 2015. Tahun 2013 adalah ‘tahun antara’ untuk pencapaian ke kondisi ideal pada tahun 2015, sesuai target SPM (standar pelayanan minimal) bidang ketahanan pangan (PP No 65 Tahun 2005 dan PP No 6 Tahun 2007). Berat pangan dalam satuan gram/kapita/hari pada tahun dasar (2009) diperoleh dengan menggunakan komposisi kalori kelompok pangan (satuan
60
kkal/kapita/hari) dikali angka 10.000, dibagi perkalian antara angka BDD (bahan yang dapat dimakan) dan kandungan energi jenis pangan tersebut. Selanjutnya untuk tahun 2013 dan 2015, dihitung dengan perimbangan skor PPH tahun tersebut dengan tahun dasar. Sehingga diperoleh sasaran berat pangan seperti pada Tabel 22. Beras dan kelapa adalah jenis pangan yang jumlah konsumsinya menurun menuju berat ideal pada tahun 2015, sesuai dengan target pencapaian skor PPH. Konsumsi jenis pangan lain masih harus ditingkatkan karena masih dibawah jumlah yang dianjurkan. Langkah selanjutnya dihitung berat pangan dalam satuan ton. Masing-masing jenis pangan (dalam satuan gram/kapita/hari) dikalikan dengan angka proyeksi jumlah penduduk pada tahun sasaran dan 365 hari, dibagi 1.000.000. Tabel 22 Perhitungan sasaran konsumsi pangan menurut jenis pangan terpilih (gram/kapita/hari) tahun 2013 dan 2015 No
Kelompok Pangan
1 2
Padi-padian Umbi-umbian
3
Hewani
4 5 6 7
Minyak/lemak Buah/biji berminyak Kacang-kacangan Sayur dan buah
Jenis Pangan Terpilih Beras Ubi kayu
Berat Pangan (gram/kapita/hari) Thn 2009 Thn 2013 Thn 2015 423 325 275 13 65 92
Daging ayam Ikan Minyak sawit Kelapa Kacang kedelai Kacang panjang Tomat Jeruk Nanas
29 113 11 40 3 122 101 31 73
34 136 19 35 19 159 132 41 96
37 148 22 32 26 178 147 46 108
Untuk mencapai perubahan pola konsumsi pangan penduduk pada tahun 2015, dibutuhkan dukungan kebijakan dan anggaran. Mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumberdaya Lokal (kebijakan tingkat makro) dan Peraturan
Gubernur
Nomor
63
Tahun
2009
tentang
Percepatan
Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber daya Lokal di Sumatera Selatan (kebijakan tingkat meso), maka diperlukan harmonisasi kebijakan di Kabupaten Muara Enim dengan penetapan peraturan bupati tentang Gerakan
61
P2KP (percepatan penganekaragaman konsumsi pangan) berbasis sumberdaya lokal. Pelaksananaan paraturan bupati tersebut dapat dilaksanakan dengan ; -
Dari aspek konsumsi, gerakan tersebut dapat diintegrasikan dalam pendidikan formal dan informal serta dikembangkan melalui kerjasama lintas sektor dan swasta dengan dukungan dana CSR (corporate social responsibility).
-
Dari aspek ketersediaan (produksi), kebutuhan konsumsi pangan penduduk berbasis PPH dijadikan dasar penetapan target produksi pangan pada renstra SKPD terkait langsung.
Proyeksi kebutuhan ketersediaan pangan penduduk Pencapaian ketersediaan pangan pada tahun 2013 dan 2015, dihitung dengan asumsi bahwa laju pertumbuhan penduduk tetap (1,79 persen/tahun), produktivitas masing-masing komoditi tetap, dan kebutuhan lain selain untuk konsumsi dianggap nol (tidak ada). Dengan demikian perhitungan masing-masing jenis pangan dengan menggunakan tahun dasar adalah seperti Tabel 23. Tabel 23 Sasaran konsumsi dan ketersediaan pangan penduduk Kabupaten Muara Enim tahun 2013 dan 2015 (ton/tahun) Tahun 2013 Tahun 2015 Kelompok No Pangan Konsumsi Ketersediaan Konsumsi Ketersediaan 1 Beras 85.085 93.594 72.167 79.384 2 Ubi kayu 17.129 18.842 24.015 26.417 3 Ayam 9.024 9.926 9.785 10.763 4 Ikan 35.733 39.306 38.747 42.621 5 Minyak sawit 4.867 5.354 5.809 6.389 6 Kelapa 9.041 9.945 8.261 9.087 7 Kacang kedelai 4.515 4.967 4.125 4.538 8 Kacang panjang 41.755 45.930 46.698 51.368 9 Tomat 34.519 37.971 38.606 42.466 10 Jeruk 10.797 11.877 12.075 13.283 11 Nanas 25.191 27.710 28.174 30.991 Setelah dihitung kebutuhan konsumsinya, masing-masing jenis pangan selanjutnya dikalikan 110 persen untuk kebutuhan ketersediaan (WNPG, 2004). Pada tabel diatas, beras dan kelapa akan menurun angka ketersediaannya pada tahun 2015 sedangkan komoditi lain meningkat.
Hal ini karena disesuaikan
dengan skor PPH yang harus dicapai. Karena konsumsi pangan masih didominasi
62
oleh (padi-padian (beras) dan buah/biji berminyak (kelapa). Tetapi tidak berarti bahwa, produksinya harus diturunkan karena angka tersebut adalah angka minimal untuk memenuhi konsumsi dan ketersediaan pangan penduduk dalam Kabupaten Muara Enim. Jika produksi melebihi angka tersebut artinya ada peluang bisnis pangan yang dapat dikembangkan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk Kabupaten Muara Enim sehingga dapat meningkatkan akses ekonomi terhadap jenis pangan lain. Apalagi Kabupaten Muara Enim merupakan wilayah pemasok komoditi pangan (antara lain beras, sayur dan buah) bagi daerah lain seperti Kota Palembang, Kota Prabumulih dan Kabupaten Lahat. Proyeksi kebutuhan produksi pangan penduduk Proyeksi
target
produksi
komoditas
pangan
dilakukan
dengan
memperhitungkan faktor konversi dari bahan makanan hasil olahan ke hasil asli usahatani on farm, serta memperhitungkan kebutuhan untuk bibit, pakan dan tercecer dari masing-masing jenis pangan.
Produksi komoditas pangan tahun
2013 dan 2015 ditampilkan pada Tabel 24. Tabel 24 Target produksi pangan tahun 2013 dan 2015 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Kelompok Pangan Gabah kering giling Ubi kayu Karkas ayam Ikan Inti sawit Kelapa Kacang kedelai Kacang panjang Tomat Jeruk Nanas
Tahun 2013 (ton) 156.740 19.253 19.301 40.486 11.639 42.972 5.232 47.386 41.593 12.341 29.151
Tahun 2015 (ton) 132.943 26.993 20.928 43.900 13.890 39.263 4.780 52.997 46.517 13.802 32.603
Jumlah pangan yang ditargetkan untuk diproduksi pada tabel tersebut adalah berdasarkan kebutuhan untuk memenuhi konsumsi penduduk Kabupaten Muara Enim menuju ideal. Disisi lain pengembangan produksi pangan berada di bawah program dan kegiatan SKPD tertentu dalam dokumen kebijakan (renstra).
63
Dengan demikian perlu untuk dikaji target dan dasar penetapan target produksi pangan pada masing-masing SKPD yang berwenang. Perbandingan kebutuhan produksi berbasis PPH dan target SKPD Untuk melihat perbedaan antara sasaran produksi pangan berbasis PPH dan target produksi dari satuan kerja perangkat daerah (SKPD) terkait, ditampilkan data tahun 2013 (Tabel 25).
Jenis atau komoditi pangan yang
jumlahnya sudah melampaui target produksi berbasis PPH adalah padi (GKP), sawit, kacang panjang, jeruk dan nanas. Komoditi tersebut memang menjadi produk pertanian utama di Kabupaten Muara Enim.
Jenis komoditi lain masih
belum mencukupi dan perlu dikembangkan untuk dapat memenuhi kebutuhan konsumsi pangan penduduk menuju ideal.
Namun perlu diperhatikan bahwa
pengembangan produksi pangan tersebut harus diikuti dengan perbaikan pola konsumsi pangan dan juga peningkatan akses pangan rumah tangga. Tabel 25 Perbandingan target produksi SKPD dan berbasis PPH tahun 2013 No
Jenis Pangan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Gabah Kering Giling Ubi kayu Daging Ikan Sawit Kelapa Kedelai Kacang panjang Tomat Jeruk Nanas
Target Produksi SKPD Berbasis PPH (ton) (ton) 226.392 156.740 13.139 19.253 9.355 19.301 6.945 40.486 484.768 11.639 7.657 42.972 198 5.232 58.277 47.386 290 41.593 58.277 12.341 36.511 29.151
Selisih Keterangan (ton) 69.652 Surplus -6.114 Kurang -9.946 Kurang -33.541 Kurang 473.129 Surplus -35.315 Kurang -5.034 Kurang 10.891 Surplus -41.303 Kurang 45.936 Surplus 7.360 Surplus
Dengan konsumsi beras yang menuju ideal pada tahun 2013, maka surplus gabah memiliki potensi perdagangan sebesar 69.652.000 kg x Rp. 3.000,-/kg = 208,956 x109 atau sekitar 19,6 persen lebih tinggi jika dibandingkan dengan tingkat konsumsi aktual beras tahun 2009. Angka surplus minyak sawit sangat besar karena Kabupaten Muara Enim adalah penghasil kelapa sawit ketiga dari sepuluh kabupaten di Provinsi Sumatera Selatan. Jika pola konsumsi penduduk dapat mencapai target skor PPH pada tahun 2013, maka untuk kelapa sawit hanya
64
dibutuhkan produksi sebesar 2,5 persen dari total produksi untuk mencukupi kebutuhan minyak sawit goreng penduduk Kabupaten Muara Enim.
Namun
untuk memenuhi kebutuhan konsumsi minyak goreng sawit penduduk, lebih efisien jika dipasok dari produsen minyak goreng di wilayah lain terkait besarnya investasi untuk mendirikan pabrik minyak goreng. Kecuali jika dikembangkan untuk skala industri. Untuk surplus sayur dan buah selain dapat diperdagangkan dalam bentuk segar, juga dalam bentuk produk olahannya untuk meningkatkan nilai tambah. Jeruk dan nanas perlu dikembangkan menjadi industri olahan berbasis masyarakat, sehingga dapat turut menunjang cadangan pangan, penyediaan lapangan kerja dan kepastian pasar dan harga bagi petani, pada akhirnya juga akan meningkatkan kesejahteraan dan daya saing daerah. Jeruk dapat diolah menjadi berbagai macam produk makanan seperti sari murni (jus), konsentrat, sirup, tepung sari, jam jelli, marmalade, cuka, pektin dan minyak esensial. Nanas juga dapat diolah menjadi sirup, jam dan kripik.
Saat ini terbuka peluang industri
cukup luas dari limbah daun nanas, sebagai penghasil serat untuk bahan baku teksil yang harganya justru lebih mahal dari buah nanas itu sendiri. Pada komoditas yang target produksinya masih dibawah sasaran produksi berbasis kebutuhan konsumsi pangan penduduk, maka perlu dijadikan pertimbangan untuk dilakukan penyesuaian. Jenis pangan yang perlu disesuaikan target produksinya adalah ubi kayu, daging, ikan, kelapa dan kedelai. Tetapi untuk tomat, kekurangan sebesar 41.303 ton (setara 34 kkal/kap/hari) masih dapat disubtitusi dari kacang panjang sebesar 2.592 ton atau hanya 24 persen dari surplusnya. Hal tersebut dimungkinkan, karena tomat dan kacang panjang berada dalam kelompok pangan yang sama yaitu sayur dan buah. Untuk itu di SKPD terkait yang memiliki wewenang pengembangan produksi terhadap masingmasing komoditas, perlu menyusun perencanaan anggaran dan manajemen program/kegiatan yang mendukung peningkatan produksi.
65
Daya dukung lahan untuk menjamin produksi pangan yang memenuhi kebutuhan ideal pangan penduduk tahun 2010-2015 Ketersediaan luas lahan pertanian Lahan yang digunakan untuk produksi tanaman pangan adalah lahan sawah (lebak, tadah hujan, irigasi) dan lahan kering.
Lahan sawah cenderung
menurun (-2,14 persen), terutama karena berkurangnya sawah lebak (rata-rata laju penurunan -3,03 persen), meskipun terdapat peningkatan luas lahan sawah tadah hujan (rata-rata laju peningkatan 0,45 persen), dan luas lahan sawah irigasi tetap. Lahan lebak adalah lahan sawah utama di Kabupaten Muara Enim (66,68 persen), diikuti sawah tadah hujan (16,80 persen) dan sawah irigasi
(16,52 persen).
Disisi lain luas lahan kering cenderung meningkat, terutama dipengaruhi oleh makin meningkatnya luas lahan perkebunan kelapa sawit, kopi dan karet. Pada tabel 26, ditampilkan proyeksi luas lahan sawah dan lahan kering pada tahun 2010-2015 berdasarkan perkembangan luas lahan tahun 2003-2009 di Kabupaten Muara Enim. Luas lahan sawah diperkirakan akan menurun hingga 8,47 persen pada tahun 2015 dibanding kondisi tahun 2009. Sedangkan luas lahan kering akan meningkat 8,87 persen pada tahun 2015 dibanding kondisi tahun 2009. Tabel 26. Perubahan luas lahan pertanian dan proyeksi luas lahan pertanian di Kabupaten Muara Enim Luas Lahan (Ha)* Sawah Kering 2003 38.570 449.389 2004 39.453 444.303 2005 36.453 467.129 2006 36.453 444.303 2007 36.506 481.917 2008 36.539 481.917 2009 36.758 481.462 Keterangan : BPS tahun 2006 dan 2009 Tahun
Tahun 2010 2011 2012 2013 2014 2015
Proyeksi Luas Lahan (Ha) Sawah Kering 35.646 490.949 35.245 497.600 34.845 504.251 34.445 510.902 34.044 517.553 33.644 524.204
Badan Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian (2006) telah menerbitkan arahan tata ruang pertanian Provinsi Sumatera Selatan, yang didalamnya terdapat arahan untuk Kabupaten Muara Enim. Arahan untuk lahan sawah lebak hanya 20.802 hektar sedangkan untuk sawah irigasi dan tadah hujan 718 hektar (Tabel 27). Sementara sawah yang diusahakan saat ini yaitu untuk
66
sawah irigasi seluas 6.035 hektar di 4 kecamatan, sawah tadah hujan seluas 6.139 di 11 kecamatan dan sawah lebak seluas 24.365 hektar di 12 kecamatan (BPS, 2009). Berarti lahan sawah yang diusahakan sudah melebihi arahan tata ruang pertanian sebesar 118% (sawah lebak) dan 939% (sawah irigasi dan tadah hujan). Tabel 27 . Arahan tata ruang pertanian Kabupaten Muara Enim Simbol
Arahan Pengembangan Komoditas
Luas (Ha)
Kawasan Budidaya Pertanian Tanaman Semusim Lahan Basah PS2 Sawah lebak PS3 Sawah irigasi dan tadah hujan Kawasan Budidaya Pertanian Tanaman Tahunan TT2 Tanaman perkebunan dataran rendah iklim basah (kelapa sawit, karet, kopi) TT4 Tanaman perkebunan dataran tinggi iklim basah (kopi dan the)
20.802 718 509.456 5.285 5.285
Kawasan non Budidaya Pertanian H Kawasan hutan
245.461
Total
781.722
Kebutuhan lahan untuk produksi pangan penduduk berbasis PPH Kelangsungan proses produksi pangan dengan pelaku utama petani, memerlukan ketersedian lahan secara berkelanjutan dalam jumlah dan mutu yang memadai.
Lahan pertanian selain sebagai faktor kunci dalam sistem produksi
pangan, juga memiliki sifat yang unik karena fungsinya yang tidak dapat tergantikan oleh faktor lain. Oleh karenanya ketersedian lahan pertanian yang berkelanjutan merupakan hal yang sangat mendasar untuk menciptakan ketahanan pangan yang lestari. Penyediaan lahan pertanian untuk produksi pangan saat ini menghadapi masalah dan tantangan yang cukup berat, akibat peningkatan jumlah penduduk yang sulit dikendalikan. Implikasinya yang pertama, munculnya ancaman alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian akibat semakin ketatnya persaingan penggunaan lahan yang jumlahnya sangat terbatas antara penggunaan untuk pertanian dan non pertanian (pemukiman, industri, jasa, transportasi dan sebagainya). Implikasi yang kedua adalah meningkatnya laju degradasi kualitas
67
lahan pertanian, akibat tekanan manusia kepada sumberdaya lahan yang melebihi daya dukungnya. Dengan
semakin
meningkatnya
pertumbuhan
ketersediaan lahan per kapita menjadi menurun.
penduduk,
maka
Jumlah penduduk yang
meningkat pesat diikuti dengan kebutuhan beras yang juga terus meningkat, berakibat pada peningkatan kebutuhan lahan sawah. Sementara lahan yang sesuai untuk sawah tidak bertambah. Sehingga dengan lahan yang ada, harus dipacu produktivitasnya untuk dapat memenuhi kebutuhan beras.
Menurut Arsyad
(2010), peningkatan produksi pertanian dengan intensifikasi menggunakan teknologi yang terus diperbaharui tidak selalu dapat dengan tepat dan cepat memenuhi kebutuhan kita.
Karena hal tersebut memerlukan tenggang waktu
untuk diadopsi dan memerlukan upaya yang sungguh-sungguh dalam penyediaan sarana produksi yang dilakukan dengan konsisten, serta didukung dengan upaya lain yang memungkinkan petani dengan cepat memanfaatkan teknologi baru. Kepala Pusat Konsumsi dan Keamanan Pangan Badan Ketahanan Pangan Kementrian Pertanian menyatakan bahwa Indonesia akan “kelelahan” kalau harus memacu produksi beras di atas 5 persen per tahun (Kompas, 13 Oktober 2010). Hal ini disebabkan antara lain lambatnya penyediaan teknologi baru yang tepat guna dan lambatnya pemanfaatan teknologi tersebut oleh petani.
Dengan
pemilikan lahan yang sempit (kurang dari 0,5 ha) dan diikuti permodalan yang lemah bagi sebagian besar petani pangan, membuat petani tidak mampu dengan baik memanfaatkan teknologi maju. Tantangan pembangunan ketahanan pangan yang dihadapi saat ini semakin berat.
Pada dimensi ketersediaan tantangannnya adalah mewujudkan
tingkat cadangan pangan yang memenuhi kriteria mantap. Pada dimensi akses penduduk terhadap pangan, tantangannya terkait dengan daya beli penduduk miskin.
Selain itu tantangan lain yang juga penting adalah mengubah pola
konsumsi pangan yang bukan hanya kondusif untuk mewujudkan sistem ketahanan pangan yang stabil tetapi juga lentur (resilient) terhadap guncangan faktor eksternal yang terkait dengan ketersediaan pangan pokok. Konkritnya menurut Sumaryanto (2009) adalah mengurangi ketergantungan yang berlebihan pada komoditas beras melalui diversifikasi pangan berbasis bahan pangan lokal.
68
Selama pangan hanya terfokus pada beras maka kapasitas lahan untuk pangan sangat tergantung pada luas lahan sawah saja. Menurut arahan tata ruang pertanian Provinsi Sumatera Selatan (Balitbang Sumberdaya Lahan Pertanian, 2006), Kabupaten Muara Enim memiliki potensi lahan sawah hanya 21.520 Ha (sawah lebak 20.802 dan sawah irigasi/tadah hujan 718 Ha), lahan kering 514.741 Ha (lahan perkebunan), dan kawasan hutan 245.461 Ha.
Tetapi saat ini luas lahan sawah sudah melebihi potensi tersebut,
sementara lahan kering yang dimanfaatkan masih jauh dibawah potensi yang dimiliki. Jika dibandingkan luas lahan antara potensi, kondisi saat ini dan jumlah yang dicadangkan dalam RTRW Kabupaten Muara Enim tahun 2007 dengan kebutuhan luas lahan berbasis PPH (Tabel 28), maka luas lahan sawah yang dibutuhkan lebih mendekati kondisi eksisting yang ada saat ini (selisih 5,34 hektar). Sedangkan kebutuhan lahan kering sebagai lahan pertanian pangan masih jauh dibawah angka eksisting saat ini. Artinya daya dukung lahan kering untuk produksi pangan di Kabupaten Muara Enim masih sangat memadai. Tabel 28 Perbandingan luas lahan di Kabupaten Muara Enim No 1 2
Jenis Lahan Lahan basah/ Sawah Lahan kering/ Perkebunan
Jumlah Keterangan : 4) 5) 6) 7)
Potensi1 Terpakai2 Dicadangkan3 (Ha) (Ha) (Ha) 21.520 36.539 9.807,9
Berbasis PPH4 (Ha) 31.195
514.741
336.927
416.767,9
78.504
536.261
373.466
426.575,8
109.699
Balitbang Sumberdaya Lahan Pertanian, 2006 BPS, 2009 RTRW Kabupaten Muara Enim, 2007 Kebutuhan lahan untuk konsumsi pangan ideal tahun 2015 (laju pertumbuhan penduduk 1,79 %)
Luas lahan sawah yang ada saat ini, mampu memenuhi kebutuhan konsumsi beras penduduk bahkan dapat mendukung penyediaan beras bagi daerah lain. Sehingga pilihan yang dapat diambil pemerintah Kabupaten Muara Enim adalah 1) mempertahankan produksi beras seperti pada tahun sebelumnya, 2) mencapai sasaran produksi sesuai renstra dengan pengembangan agribisnis.
69
Untuk melihat lebih jauh pengaruh pola konsumsi penduduk terhadap karakter kebutuhan luas lahan pertanian pangan, maka digunakan tiga skenario, dengan asumsi produktivitas tanaman pangan tetap. Variabel yang digunakan adalah laju pertumbuhan penduduk dan pola konsumsi pangan penduduk. Skenario pertama, yaitu jika laju pertumbuhan penduduk tetap dan pola konsumsi pangan penduduk tetap. Skenario kedua, yaitu jika laju penduduk tetap dan pola konsumsi pangan penduduk sudah pada kondisi ideal. Skenario ketiga, yaitu laju pertumbuhan penduduk dapat diturunkan menjadi 1,49 persen (sama dengan ratarata nasional) dan pola konsumsi pangan penduduk pada kondisi ideal. Tabel 29. Perbandingan kebutuhan luas lahan pada skenario I terhadap tren luas lahan pertanian pangan di Kabupaten Muara Enim tahun 2013 dan 2015 Basis Tren potensi LL Konsumsi pangan Selisih
Lahan kering (Ha) 2013 2015 510.902 524.204 60.155 62.328 450.747 461.876
Lahan basah (Ha) 2013 2015 34.445 33.644 46.276 47.947 -11.831 -14.303
Pada Tabel 29, dapat diketahui bahwa dengan skenario I kebutuhan luas lahan basah untuk memenuhi konsumsi beras tidak dapat dipenuhi karena berdasarkan tren lahan basah akan terus menurun, sehingga terdapat selisih negatif yang besar (-11.831 Ha dan -14.303 Ha) atau dengan kata lain permintaan terhadap lahan sawah melebihi potensi ketersediaannya sebesar 36% tahun 2013 dan meningkat 43% tahun 2015. Sementara kebutuhan lahan kering masih cukup luas.
Dengan pola konsumsi beras yang seperti saat ini, untuk pemenuhan
konsumsi penduduk pada tahun 2013-2015 harus didatangkan dari wilayah lain. Perhitungan untuk skenario II, ditampilkan pada Tabel 30 berikut ini. Dengan pola konsumsi yang memenuhi pola pangan harapan (PPH) ideal, kebutuhan luas lahan basah makin mendekati bahkan dibawah luas lahan basah berdasarkan tren yang ditunjukkan oleh selisih yang hanya -1.052 hektar tahun 2013 dan 2.449 hektar tahun 2015 atau dengan kata lain kebutuhan luas lahan mendekati kondisi ketersediaan luas lahan berdasarkan tren luas lahan basah yaitu 3% tahun 2013 dan -7,3% tahun 2015, sehingga kebutuhan beras relatif dapat dipenuhi dari produksi sendiri.
70
Tabel 30. Perbandingan kebutuhan luas lahan pada skenario II terhadap tren luas lahan pertanian pangan di Kabupaten Muara Enim tahun 2013 dan 2015 Basis Tren potensi LL Konsumsi pangan Selisih
Lahan kering (Ha) 2013 2015 510.902 524.204 71.764 80.371 439.138 443.833
Lahan basah (Ha) 2013 2015 34.445 33.644 35.497 31.195 -1.052 2.449
Kemudian dengan skenario III, maka kebutuhan luas lahan basah untuk memenuhi konsumsi beras selisihnya makin mengecil pada tahun 2013 yaitu -920 hektar dan pada tahun 2015 menjadi 2.730 hektar atau dengan kata lain semakin mendekati tren sebesar 2,7% tahun 2015 dan -8,1% tahun 2015 (Tabel 31). Artinya pada tahun 2015 kebutuhan lahan sawah sudah dibawah luas lahan sawah berdasarkan tren dengan selisih cukup besar. Kebutuhan beras dapat dipenuhi dari produksi sendiri dengan lebih mantap karena masih ada kelebihan produksi dari selisih luas lahan yang dapat dikembangkan untuk agribisnis. Tabel 31..Perbandingan kebutuhan luas lahan pada skenario III terhadap tren luas lahan pertanian pangan di Kabupaten Muara Enim tahun 2013 dan 2015 Basis Tren potensi LL Konsumsi pangan Selisih
Lahan kering (Ha) 2013 2015 510.902 524.204 71.488 79.633 439.414 444.571
Lahan basah (Ha) 2013 2015 34.445 33.644 35.365 30.914 -920 2.730
Dari ketiga skenario di atas dapat digambarkan lebih jelas dengan diagram berikut ini (Gambar 4). Hasil perhitungan pada skenario II dan III hanya terdapat perbedaan kecil dan menuju posisi di bawah luas lahan menurut tren pada tahun 2015. Dengan demikian perubahan pola konsumsi pangan menjadi faktor kunci yang mempengaruhi penurunan kebutuhan luas lahan sawah.
71
60000 50000 Luas (Ha)
40000 30000 20000 10000 0
Tren
Skenario I
Skenario II
Skenario III
2013
34445
47947
35497
35365
2015
33644
47947
31195
30914
Gambar 4. Perbandingan luas lahan basah berdasarkan trend, skenario I, III dan III di Kabupaten Muara Enim Daya dukung lahan pertanian pangan Indonesia memiliki lahan pertanian per kapita terkecil diantara negaranegara agraris dunia. Indonesia hanya memiliki land man ratio 362 m2 per kapita, sedangkan Thailand 1.870 m2 per kapita dan Vietnam 1.300 m2 per kapita (Adyana, 2008). Dalam kurun waktu 2005-2006 telah terjadi penurunan nilai land man ratio sebesar 8 m2/kapita atau 2,209 persen/tahun (Suryaman, 2006 dalam Tarigan 2008). Sementara rata-rata penguasaan lahan sawah di Indonesia hanya 0,3 hektar/keluarga tani (Suryaman, 2006).
Penelitian di beberapa daerah
menunjukkan bahwa perubahan luas lahan pertanian tersedia akan terus menurun pada tahun-tahun mendatang (Absari 2007, Tarigan, 2008). Dalam kajian Suhardianto (2007), kebutuhan luas lahan rumah tangga petani penghasil beras organik di Desa Ciburuy Kecamatan Cogombong Kabupaten Bogor untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup minimal dibutuhkan sekitar 1.735 m2 untuk tiap anggota rumah tangga atau 9.492 m2 untuk tiap rumah tangga.
Sedangkan untuk dapat memenuhi kecukupan energi maka luas
penguasaan lahan tiap anggota rumah tangga adalah sekitar 318 m2 dan tiap rumah tangga sekitar 1.740 m2. Jika dihitung kebutuhan lahan sawah per kapita (land man ratio) pada masing-masing skenario, maka antara skenario II dan III juga terlihat tidak
72
berbeda dan makin mendekati kondisi aktual (Tabel 32). Hal ini menunjukkan bahwa dengan perbaikan pola konsumsi pangan, akan mengurangi demand terhadap luas lahan sawah. Dengan demikian demand luas lahan sawah akan lebih kecil dari supply-nya pada tahun 2015. Tabel 32. Perbandingan land man ratio lahan sawah pada skenario I, II dan III di Kabupaten Muara Enim Tahun 2013 2015
Land man ratio sawah (m2/kapita) Skenario I Skenario II Skenario III 611 469 471 611 398 400
Aktual 455 429
Skenario I tidak dianjurkankan karena ; 1) lahan yang sesuai untuk sawah di Kabupaten Muara Enim sangat terbatas, 2) penambahan luas lahan sawah memerlukan waktu lama dan biaya yang mahal karena kebutuhan infrastruktur pendukungnya, 3) pola konsumsi pangan penduduk tidak memenuhi kaidah gizi yang baik. Menurut Asyik (1996) diacu dalam Irawan (2005) diperlukan waktu sekitar 10 tahun agar lahan sawah yang baru dibangun dapat berproduksi secara optimal.
Disamping itu anggaran pemerintah juga semakin berat, padahal
sebagian besar kegiatan pencetakan sawah didukung dengan dana pemerintah. Skenario II lebih memungkinkan karena ; 1) laju pertambahan penduduk masih sangat sulit untuk diturunkan, 2) luas lahan sawah lebih mendekati potensi aktual yang dimiliki wilayah, 3) kualitas pola konsumsi pangan penduduk dapat ditingkatkan. Skenario III adalah skenario yang paling ideal, karena memadukan pengendalian laju pertumbuhan penduduk dan perbaikan pola konsumsi pangan penduduk. Kebutuhan luas lahan sawah dapat lebih ditekan sekaligus luas lahan pertanian pangan dapat bertambah karena tidak hanya mengandalkan sawah sebagai penghasil pangan. Skenario ideal tersebut membutuhkan kondisi ideal pula.
Untuk menurunkan laju pertumbuhan penduduk diperlukan komitmen
politik di daerah yang diwujudkan dengan kesiapan lembaga, sumberdaya manusia dan tersedianya anggaran yang memadai seperti pada masa sebelum otonomi daerah (Syarief, 2009). Pola yang sama juga ditunjukkan pada Tabel 33 untuk lahan kering. Kebutuhan lahan kering akan meningkat pada tahun 2015 dengan skenario II dan III, sebagai respon terhadap perbaikan pola konsumsi penduduk yang lebih
73
berimbang dan tidak lagi didominasi beras. Sejalan dengan kajian Sumaryanto (2009) bahwa jika konsumsi pangan lebih terdiversifikasi ke jenis-jenis makanan berbahan baku pangan lokal seperti jagung, sorghum, umbi-umbian, kacangkacangan, rumput laut dan sebagainya maka ada dua hal mendasar yang terselesaikan. Pertama, ketergantungan terhadap beras berkurang. Kedua, terkait dengan itu maka luas baku lahan untuk pangan meningkat karena lahan untuk pangan tidak hanya terfokus pada lahan sawah (Sumaryanto, 2009). Artinya diversifikasi konsumsi pangan sangat penting, karena dapat menjadi demand driven terhadap penyediaan pangan dan kebutuhan lahan pertanian pangan. Tabel 33. Perbandingan land man ratio lahan kering pada skenario I, II dan III di Kabupaten Muara Enim Tahun 2013 2015
Land man ratio lahan kering (m2/kapita) Skenario I Skenario II Skenario III Aktual 795 948 953 6.749 795 1.025 1.030 6.684
Maka untuk mencapai land man ratio lahan sawah sebesar 398 m2/kapita, luas lahan sawah yang ada saat ini yaitu 36.539 Ha harus dapat dipertahankan dan harus diikuti dengan perbaikan pola konsumsi penduduk. Luas lahan kering yang harus dipertahankan untuk produksi pangan adalah 80.371 Ha untuk mencapai land man ratio lahan kering 1.025 m2/kapita. Dengan demikian luasan jumlah total lahan pertanian pangan yang harus dipertahankan untuk dapat memenuhi kebutuhan konsumsi pangan ideal penduduk Kabupaten Muara Enim yaitu sebesar 116.910 Ha dengan land man ratio 1.423 m2/kapita. Terkait hal di atas, jika dibandingkan dengan data luas lahan kering aktual tahun 2009 (Tabel 7) yang terdiri tegal/huma/ladang 72.059 Ha, sementara tidak diusahakan 71.361 Ha, kolam/tebat/empang 1.570 Ha, perkebunan 336.927 Ha, maka kebutuhan lahan kering untuk produksi pangan sebenarnya dapat memanfaatkan lahan tegal atau lahan yang sementara tidak diusahakan. Artinya kebutuhan lahan kering tesebut dapat dipenuhi dari lahan-lahan yang sudah ada, tanpa harus membuka lahan baru dengan mengkonversi lahan-lahan untuk konservasi.
74
Konsistensi dan Keterpaduan Kebijakan Pembangunan Ketahanan Pangan di Kabupaten Muara Enim Faktor penentu jumlah dan jenis pangan yang tersedia maupun yang dikonsumsi penduduk adalah : kondisi lingkungan dan faktor politik-budaya. Kondisi lingkungan terdiri dari iklim, sumberdaya air, luasan dan kesuburan lahan, sistem budidaya, cara penyimpanan, transportasi dan pemasaran. Sedangkan faktor politik-budaya yaitu tingkat ekonomi, pendidikan, kesehatan, kependudukan, budaya makan dan kebijakan pemerintah untuk menjamin pangan penduduk.
Terkait hal tersebut, menurut Baliwati (2009) salah satu bentuk
kewajiban pokok pemerintah (core obligation) yaitu menerbitkan peraturan; mengelola anggaran dan melakukan tindakan seperti tertulis dalam dokumen perencanaan, serta memastikan
kebutuhan pangan terpenuhi (obligation to
result). Dokumen perencanaan pembangunan ketahanan pangan Dalam rapat persiapan bahan rapat kerja kedua para menteri dan gubernur se- Indonesia tanggal 24 Maret 2010 di Cipanas, pemerintah telah berkomitmen mempertajam sinkronisasi program pembangunan yang dirancang dan dijalankan di tingkat pusat dengan program kerja pemerintah daerah. Sinkronisasi ini dipandang sebagai faktor yang menentukan ketepatan sasaran program pembangunan, karena pemerintah kabupaten/kota dipandang sebagai ujung tombak bagi pelaksanaan program pro-rakyat dan program yang memastikan pencapaian keadilan untuk semua lapisan masyarakat (Kompas, 25 Maret 2010). Ketahanan pangan sebagai urusan wajib karena terkait pelayanan dasar, termasuk bidang pembangunan ekonomi dan menjadi prioritas pembangunan nasional tahun 2010-2014. Terkait dengan hal tersebut maka pemerintah daerah mempunyai kewenangan menyelenggarakan urusan wajib secara luas dan utuh. Luas artinya pemerintah daerah menyelenggarakan semua urusan sesuai dengan potensi yang dimilikinya tanpa campur tangan langsung pemerintah pusat. Utuh artinya mengatur dan mengurus semua urusan yang menjadi kewenangannya meliputi perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.
Perencanaan pembangunan
pangan sendiri merupakan peluang investasi dan penataan ruang dalam menjamin penyediaan lahan pertanian pangan secara berkelanjutan (land based agriculture).
75
Perencanaan
pembangunan
kabupaten/kota
merupakan
keseluruhan
kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan yang tersusun dalam dokumendokumen perencanaan secara sitematis, terpadu, konsisten dan berjenjang menurut jangka waktu tertentu. Perencanaan pembangunan kabupaten/kota disusun dalam kerangka untuk menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan di kabupaten/kota dalam mewujudkan kondisi kabupaten/kota yang diharapkan (visi. Misi dan tujuannya). Dengan pola pikir perencanaan yang sistematis dan berjenjang tersebut, maka muatan/isi dari jenis-jenis perencanaan yang ada harus padu (saling keterkaitan) dan konsisten (saling mendukung dan tidak saling bertentangan). Terpadu atau saling keterkaitan dalam perencanaan pembangunan kabupaten/kota mencakup keterkaitan antar wilayah, antar bidang, dan antar sektor, serta antar program dan kegiatan yang direncanakan dalam suatu jenis perencanaan. Sedangkan
konsistensi
perencanaan
pembangunan
menyangkut
relevansi/kesesuaian muatan/isi antara jenis perencanaan pembangunan yangs satu dengan yang lainnya (isi RKP sesuai dengan RPJM, dan isi RPJM sesuai RPJP). Antar jenis perencanaan juga menggambarkan konsistensi proses pergerakan dari bawah ke atas (bottom up) dan dari atas ke bawah (top down). Oleh karena itu perlu diketahui konsistensi dan keterpaduan antar dokumen perencanaa pembangunan ketahanan pangan Kabupaten Muara Enim dengan Propinsi Sumatera Selatan dan Nasional untuk menjamin terwujudnya tujuan pembangunan ketahanan pangan mulai dari tingkat nasional hingga daerah. Konsisten artinya relevansi/kesesuaian muatan/isi antara jenis perencanaan pembangunan (isi RKP sesuai dengan RPJM, isi RPJM sesuai dengan RPJP). Sedangkan keterpaduan adalah
keterkaitan perencanaan antar wilayah, antar
bidang dan sektor, antar program dan kegiatan yang direncanakan dalam suatu jenis perencanaan. Pada Tabel 34, dapat dilihat bahwa terdapat ketidakterpaduan pada prioritas pembangunan kelima yaitu ketahanan pangan. Pembangunan ketahanan pangan di Kabupaten Muara Enim hanya diterjemahkan menjadi revitalisasi pertanian.
76
Tabel 34 Analisis konten terhadap konsistensi dan keterpaduan antar dokumen perencanaan pembangunan ketahanan pangan Prioritas Pembangunan No
Nasional tahun 2010-2014
Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2011
1
Reformasi birokrasi dan tata kelola pemerintahan yang baik
2
Pendidikan
3
Kesehatan
4
Penanggulangan kemiskinan
Penajaman program penanggulangan kemiskinan
5
Ketahanan pangan
Peningkatan produksi, produktivitas dan nilai tambah pertanian
Pemantapan pengembangan SDM
Kabupaten Muara Enim Tahun 2011 Peningkatan tata kelola pemerintahan yang baik Peningkatan aksesibilitas dan kualitas pendidikan dan kesehatan Penanggulangan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan rakyat Revitalisasi pertanian
Penelusuran pada rencana strategis SKPD, diketahui penetapan target produksi pada masing-masing unit kerja terkait adalah seperti pada Tabel 35. Jenis komoditas pangan ditampilkan sesuai dengan pembahasan pada uraian subbab sebelumnya. Penetapan proyeksi pertumbuhan produksi tahun 2009-2013, didasarkan pada angka pertumbuhan tertentu seperti pada Dinas Peternakan Dan Perikanan. Pada Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura dan Dinas Perkebunan, penetapan target produksi didasarkan pada sejumlah pangan yang harus diproduksi. Namun tidak ditemukan dasar pertimbangan besaran angka tersebut dalam rencana strategis ketiga SKPD tersebut. Jika dikaitkan dengan Tabel 25, untuk mencapai tingkat produksi yang dapat memenuhi konsumsi pangan ideal penduduk Kabupaten Muara Enim tahun 2013, maka diperlukan penyesuaian/percepatan laju produksi untuk ubi kayu, kedelai, daging, ikan, dan kelapa. Dengan angka produksi aktual pada tahun 2009 pada Tabel 15 dan Tabel 18, maka masing-masing komoditas harus ditingkatkan lajunya menjadi ; ubi kayu (125 persen), kedelai (1.065 persen), daging (153 persen), ikan (1.450 persen) dan kelapa (955 persen).
77
Tabel 35 Perbandingan pertumbuhan produksi pangan dari SKPD terkait No
SKPD
Komoditas
1
Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura
2
Dinas Peternakan dan Perikanan
3
Dinas Perkebunan
Padi Ubi kayu Kedelai Kacang panjang Tomat Jeruk Nanas Daging Telur Ikan Kelapa
Pertumbuhan Produksi (%) Th 2006-2008 Th 2009-2013 3,09 2,63 1,53 3,29 4,95 31,25 -40,42 2,16 -66,45 2,56 61,58 1,29 -19,03 2,1 0,8 1,5 3 2 1,15 1 185,97 27,65
Selanjutnya dari hasil analisis konten terhadap konsistensi dan keterpaduan antar dokumen perencanaan pembangunan dan analisis kelembagaan ketahanan pangan di Kabupaten Muara Enim tahun 2010 (Lampiran 4) diperoleh hasil sebagai berikut : a. Diperlukan penajaman dalam sinkronisasi antar dokumen perencanaan (RPJMD Kabupaten Muara Enim, RPJMD Provinsi Sumatera Selatan dan RPJMN serta antara Renstra kabupaten Muara Enim dengan Renstra SKPD). Karena makna ketahanan pangan adalah lebih luas daripada revitalisasi pertanian. b. Diperlukan sinkronisasi penetapan sasaran pembangunan secara kuantitatif. Situasi ketersediaan/konsumsi
pangan aktual dan harapan, seharusnya
menjadi dasar penetapan sasaran produksi pangan bagi SKPD terkait terutama Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura, Dinas Peternakan dan Perikanan, serta Dinas Perkebunan.
Implikasi terhadap tata ruang wilayah Pemerintah
harus
menetapkan
kebijakan
untuk
senantiasa
mempertahankan dan meningkatkan kapasitas produksi pangan agar ketahanan pangan dapat diwujudkan dan dipertahankan, melalui kebijakan operasional yang diarahkan untuk mengendalikan laju alih fungsi lahan pertanian, perluasan areal
78
pertanian serta menjaga dan meningkatkan mutu lahan pertanian guna memperbaiki tingkat produktivitasnya. Terkait pembangunan ketahanan pangan wilayah , khususnya aspek ketersediaan pangan yang bertumpu pada daya dukung wilayah, maka diperlukan suatu acuan pemanfaatan lahan pertanian tanaman pangan yang harus diakomodir dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Muara Enim. Acuan tersebut akan menjadi dasar bagi penetapan lahan pertanian abadi wilayah. Sehingga seharusnya mengacu pada kebutuhan konsumsi pangan penduduk berbasis pola pangan harapan (PPH).
Pada Tabel 36 disajikan perbandingan
kebutuhan luas lahan pertanian pangan berbasis PPH pada tahun 2015 dan arahan dalam RTRW Kabupaten Muara Enim tahun 2007. Tabel 36 Perbandingan luas lahan pertanian tanaman pangan dalam RTRW Kabupaten Muara Enim dengan kebutuhan berbasis PPH konsumsi pangan tahun 2015 Luas lahan (Ha) Berbasis PPH Dalam RTRW Skenario II Skenario III 1 Hutan produksi 208.546,17 2 Perikanan 13.649,12 1.863 1.836 3 Peternakan 1.086,34 134 130 4 Kebun campuran 58.477,96 5 Pertanian lahan basah 9.807,99 31.195 30.738 6 Pertanian lahan kering 28.348,11 57.682 56.836* 7 Perkebunan tanaman tahunan 388.348,81 20.692 20.389** Keterangan : *) meliputi : lahan untuk ubi kayu, sayur dan buah **) meliputi : lahan untuk kelapa dan kelapa sawit No
Jenis
Untuk komoditi perikanan dan peternakan, arahan luas lahan dalam RTRW sudah mengakomodir dengan luas yang memungkinkan pengembangan produksi
pangan
hewani,
pengembangan ternak sapi.
termasuk
luas
padang
pengembalaan
untuk
Tetapi untuk kebutuhan luas lahan sawah,
dibandingkan dengan kebutuhan lahan sawah pada skenario II maupun III, terdapat gap yang sangat besar. Juga apabila dibandingkan dengan arahan tata guna lahan pertanian Kabupaten Muara Enim untuk lahan sawah (21.520 Ha). Hal ini harus menjadi perhatian serius, karena lahan sawah adalah jenis lahan yang spesifik untuk dapat ditanami padi (tergenang air pada awal tanam).
79
Jika luas lahan sawah dalam jumlah yang sesuai dengan kebutuhan tidak diakomodir dalam RTRW dan dilindungi secara hukum, maka akan mendorong konversi lahan yang berdampak negatif terhadap tiga aspek ketahanan pangan. Yaitu aspek kuantitas ketersediaan pangan (beras), aspek stabilitas ketersediaan pangan dan aspek aksesibilitas rumah tangga terhadap bahan pangan. Pada kasus konversi lahan, masalah pangan yang ditimbulkan bersifat permanen. Artinya masalah pangan tersebut tetap akan terasa dalam jangka panjang meskipun konversi lahan sudah tidak terjadi lagi (Irawan, 2005). Sehingga dibutuhkan peraturan yang menetapkan dan melindungi luas lahan pertanian di Kabupaten Muara Enim untuk menjamin ketersediaan pangan berkelanjutan. Luas lahan kering dalam RTRW Kabupaten Muara Enim, berada dibawah jumlah yang dibutuhkan dalam skenario I dan II. Jenis komoditas pangan yang dapat dikembangkan di lahan kering antara lain yaitu umbi-umbian, sayuran, buah-buahan. Meskipun lahan kering yang ada diutamakan untuk pengembangan komoditi perkebunan, masih terbuka peluang untuk dapat diintegrasikan sebagai tanaman tumpang sari pada lahan perkebunan maupun kehutanan. Kawasan hutan memiliki potensi pangan yang sangat besar karena mampu menyediakan berbagai bentuk sumber protein, karbohidrat dan vitamin. Terdapat 77 jenis karbohidrat, 26 jenis kacang-kacangan, 75 jenis minyak dan lemak, 389 jenis biji dan buah-buahan, 228 jenis sayuran, 110 jenis rempah dan bumbu, 40 jenis minuman serta 1.260 jenis tumbuhan obat. Tidak hanya mengandalkan potensi alamiah hutan, beberapa upaya telah dilakukan Kementrian Kehutanan dalam rangka meningkatkan kontribusi sektor kehutanan dalam produksi pangan, meliputi komoditi padi, ubi kayu, jagung, kacang-kacangan dan ternak. Salah satu contoh kegiatan pada areal PT Inhutani V di Sumatera Selatan, telah dihasilkan tanaman padi sawah dan padi gogo di sela tegakan karet dan akasia sebanyak 500 ton (Kementrian Kehutanan, 2009). Angka tersebut setara dengan 1.118.040 kkal/tahun atau 3.063 kkal/hari. Dengan dikembangkannya komoditas pangan pada lahan hutan dan kebun tanpa mengubah fungsi utama lahan tersebut, maka akan 1) meningkatkan ketersediaan pangan, 2) meningkatkan diversifikasi pangan, 3) membuka
80
lapangan kerja, 4) meningkatkan kesejahteraan petani sekitar hutan dan kebun dan 5) meningkatkan aksesibilitas rumah tangga terhadap pangan.
81
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan Berdasarkan hasil penelitian mengenai Perencanaan Ketersediaan Pangan Berkelanjutan di Kabupaten Muara Enim Provinsi Sumatera Selatan dapat diambil simpulan sebagai berikut : 5.
Situasi produksi dan ketersediaan pangan penduduk Kabupaten Muara Enim tahun 2003-2009, rata-rata telah dapat memenuhi total kebutuhan kalori ideal (2.200 kkal/kapita/hari). Namun masih didominasi oleh padi-padian (beras), sedangkan untuk kelompok pangan lain masih belum mencukupi. Mutu ketersediaan pangan belum memenuhi skor PPH ketersediaan yang dianjurkan dan ditargetkan akan dicapai pada 2015 (SPM).
6.
Proyeksi kebutuhan ketersediaan, produksi dan konsumsi pangan penduduk Kabupaten Muara Enim tahun 2010-2015, disusun dengan asumsi hanya dipengaruhi pertumbuhan jumlah penduduk dan mengacu pada pencapaian target skor PPH Konsumsi 100 pada tahun 2015. Dibandingkan dengan target produksi SKPD tahun 2013, terdapat selisih positif (surplus) untuk komoditas gabah, sawit, kacang panjang, jeruk dan nanas. Sedangkan ubi kayu, daging, ikan, kelapa, kedelai, dan tomat masih dibawah proyeksi berbasis PPH.
7.
Untuk mendukung produksi pangan yang memenuhi kebutuhan pangan penduduk Kabupaten Muara Enim menuju kondisi ideal tahun 2015 (2.200 kkal/kap/hari dengan skor PPH 100), dapat digunakan dua skenario dari tiga skenario yang dianalisis. Skenario II, melakukan perbaikan pola konsumsi pangan penduduk menuju PPH 100 pada tahun 2015 dengan laju pertumbuhan penduduk tetap (1,79%/tahun).
Dengan skenario ini
kebutuhan luas lahan sawah dapat diturunkan mendekati ketersediaan lahan sawah yang mengikuti tren menurun, sekaligus luas lahan pertanian pangan dapat bertambah karena tidak harus berupa sawah. Skenario III, melakukan upaya penurunan laju pertumbuhan penduduk 0,3% yang diikuti dengan perbaikan pola konsumsi pangan penduduk menuju PPH 100 pada tahun 2015.
Hasilnya dapat lebih baik dari skenario II, tetapi memerlukan
82
kebijakan kependudukan yang didukung dengan tersedianya kelembagaan yang kuat, sumberdaya manusia terlatih dan anggaran yang memadai. Daya dukung lahan yang dibutuhkan untuk mencukupi kebutuhan konsumsi pangan ideal penduduk Kabupaten Muara Enim yaitu sebesar 116.910 Ha (lahan sawah 36.539 Ha dan lahan kering 80.371 Ha) dengan land man ratio 1.423 m2/kapita. 8.
Hasil analisis konsistensi dan keterpaduan antar dokumen kebijakan pembangunan ketahanan pangan menunjukkan bahwa antar dokumen perencanaan masih kurang konsisten dan terpadu, serta keterpaduan penetapan sasaran produksi pangan.
belum adanya
Untuk itu diperlukan; a)
penajaman dalam sinkronisasi antar dokumen perencanaan (renstra SKPD) dan b) penetapan sasaran pembangunan secara kuantitatif (situasi ketersediaan/konsumsi pangan aktual dan harapan menjadi dasar penetapan sasaran produksi pangan bagi Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura, Dinas Peternakan dan Perikanan, Dinas Perkebunan).
Saran 1.
Meskipun lahan sawah di Kabupaten Muara Enim terbatas, namun potensi lahan pertanian yang tersedia dari lahan kering masih cukup luas, terutama jika lahan kawasan hutan dan kebun dapat dimanfaatkan untuk tanaman pangan dan ternak. Namun harus ada upaya yang konsisten dan meluas untuk melakukan gerakan P2KP agar pola konsumsi pangan penduduk dapat memenuhi kaidah gizi seimbang.
2.
Dengan diketahuinya target penyediaan pangan yang dibutuhkan untuk konsumsi penduduk diharapkan dapat menjadi dasar perencanaan produksi pangan
wilayah
menuju
tercapainya
ketahanan
pangan
dengan
memprioritaskan pada usaha kemandirian pangan. 3.
Untuk mendapatkan hasil yang lebih baik dan lengkap dari kajian mengenai perencanaan produksi pangan sesuai pola pangan harapan (PPH), sebaiknya data yang dipakai lebih lengkap terutama mengenai potensi wilayah serta perencanaan pengembangan wilayah.
Selain itu tingkat keakuratan dan
keaktualan data akan sangat menentukan hasil akhir penelitian ini, sehingga
83
diharapkan berbagai dinas terkait dapat meningkatkan manajemen pengumpulan dan penyajian datanya.
85
DAFTAR PUSTAKA Absari, UD. 2007. Perencanaan Produksi Pangan Berdasarkan Daya Dukung Pangan Wilayah untuk Memenuhi Kebutuhan Konsumsi Pangan Penduduk di Kabupaten Nganjuk, Propinsi Jawa Timur [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Adnyana, MO. 2008. Lintasan dan Marka Jalan menuju Ketahanan Pangan Terlanjutkan dalam Era Perdagangan Bebas. Jurnal Pengembangan Inovasi Pertanian Volume I Nomor 1 Tahun 2008. www. deptan.go.id. Apriyantono A. 2006. Pemerintah jamin harga beras tidak terganggu. www.eramuslim.com. Html. [16 Pebruari 2009]. Ariani M. 2003. Dinamika konsumsi beras rumahtangga dan kaitannya dengan diversifikasi konsumsi pangan. Di dalam: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. Jakarta: Departeman Pertanian. hlm 541 -558. [BKKBN] Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. Kebijakan dan Strategi Program Kependuukan dan KB Nasional Tahun 2011. www.bkkbn.go.id (14 Januari 2011) [BKP] Badan Ketahanan Pangan. Draft KUKP 2010-2014. www. deptan.go.id. (12 September 2010) [BKP Sumsel] Badan Ketahanan Pangan Provinsi Sumatera Selatan. Dewan Ketahanan Pangan dalam Menangani daerah Rawan Pangan. Materi Acara Rapat Koordinasi Dewan Ketahanan Pangan, Musi Banyuasin 19 Juli 2010. Baliwati YF, Roosita K. 2004. Sistem pangan dan gizi. Di dalam: YF Baliwati, A. Khomsan, CW Dwiriani (eds). Pengantar Pangan dan Gizi. Jakarta: Penebar Swadaya. hlm 35 – 44. Baliwati YF, Retnaningsih. 2004. Kebutuhan gizi. Di dalam: YF Baliwati, A. Khomsan, CW Dwiriani (eds). Pengantar Pangan dan Gizi. Jakarta: Penebar Swadaya. hlm 64 – 68. Baliwati, YF. 2008. Perencanaan Pangan. Modul. Bogor: Program Studi Magister Manajemen Ketahanan Pangan. Institut Pertanian Bogor. , dkk. 2010. Kebijakan Strategis untuk Mewujudkan Ketahanan Pangan Wilayah yang Berkelanjutan. Materi Pelatihan. Diperbanyak oleh MWA Tarining and Consulting Lembaga Tata Kelola Ketahanan Pangan. Bogor.
86 [Bappeda] Badan Perencana Pembangunan Daerah, 2007. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Muara Enim Tahun 2007-2028. Pemerintah Kabupaten Muara Enim. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2008. Muara Enim dalam Angka Tahun 2007. [BPS] Badan Pusat Staistik. 2010. Hasil Sensus Penduduk Kabupaten Muara Enim Tahun 2010. www.bps.go.id diakses tanggal 11 November 2010. Dwidjowijoto, RN. 2006. Kebijakan Publik untuk Negara-Negara Berkembang. PT Elex Media Komputindo. Jakarta. Frankenberger TR. 1997. Indicators and Data Colection Methods For assessing Household Food security. Di dalam: Simon Maxwell dan Timothi R. Frankenberger (eds) Household Food Security: Concepts, Indicators, Measurements. New York: Uniceps. hlm 79 – 140. Hafsah J.M, Sudaryanto T. 2003. Sejarah Intensifikasi Padi dan Prospek Pengembangannya. Di dalam: Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. hlm 17 – 30. Hamidah, A. 2004. Keanekaragaman Jenis Ikan di Sungai Enim Kabupaten Muara Enim Provinsi Sumatera Selatan. Jurnal Iktiologi Indonesia Volume 4, Nomor 2, Desember 2004. Hardinsyah. 1996. Makanan untuk Kesehatan. Di dalam: Ali Khomsan dan Ahmad Sulaeman (eds). Gizi dan Kesehatan dalam Pembangunan Pertanian. Bogor: IPB Press. hlm 184 – 196. Hardinsyah, S. Madanijah dan Y.F. Baliwati. 2002. Analisis Neraca Bahan Makanan dan Pola Pangan Harapan untuk Perencanaan Ketersediaan Pangan. PSKPG-IPB dan Pusat Pengembangan Ketersediaan Pangan, Departemen Pertanian RI. Jakarta. Hidayat, A dkk (penyunting). 2006. Arahan Tata Ruang Pertanian Provinsi Sumatera Selatan dan Kepulauan Bangka Belitung. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor. Isa, I. 2006. Kebijakan dan Permasalahan Penyediaan Tanah Mendukung Ketahanan Pangan. http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/ Pros_iwan_06.pdf. html. [5 Januari 2009]. . 2006. Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian. Dalam Prodising Seminar Multifungsi dan Revitalisasi Pertanian. Kerjasama Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian; MAFF (Ministry of Agriculture, Forestry and Fisheries) Japan, ASEAN Secretariat. Jakarta.
87 Irawan, B. 2005. Konversi Lahan Sawah : Potensi Dampak, Pola Pemanfaatannya dan Faktor Determinan. Forum Penelitian Agro Ekonomi. Volume 23, Nomor 1, Juli 2005. IUCN, UNEP, WWF. 1993. Bumi Wahana, Strategi Menuju Kehidupan yang Berkelanjutan. Diterbitkan dengan kerjasama oleh WALHI dan WWF. PT Gramedia Pustaka, Jakarta. Jelliffe and Jelliffe, 1989. Community Nutritional Assessment. Oxford University Press Karsin ES. 2004. Peranan Pangan dan Gizi dalam Pembangunan dalam YF Baliwati, A. Khomsan, CW Dwiriani (eds). Pengantar Pangan dan Gizi. Jakarta: Penebar Swadaya. hlm 4 – 11. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 425/Kpts/OT.210/7/2001 tentang Pedoman Budidaya Ternak Ayam Petelur yang Baik. Manan H. 2006. Kebijakan dan permasalahan penyediaan tanah mendukung Ketahanan Pangan. http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/Pros_hilman_ 06.pdf. html. [5 Januari 2010]. Maxwell S, Smith M. 1992. Household and Food Security : A Conceptual Review. Di dalam: Simon Maxwell dan Timothi R. Frankenberger (eds) Household Food Security : Concepts, Indicators, Measurements. New York: Uniceps. hlm 7 – 78. Nainggolan K. 2006. Program akselerasi pemantapan ketahanan pangan berbasis pedesaan. http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/pros_kaman_06.pdf. html. [17 Pebruari 2008]. Nurcholis, H. 2009. Perencanaan Partisipatif Pemerintah Daerah. Grasindo. Jakarta. [Perda] Peraturan Daerah Sumatera Selatan Nomor 6 tahun 2007 tentang Arah Kebijakan Sumatera Selatan Lumbung Pangan 2006-2025. www.sumsel.prov.go.id (3 Januari 2011) Pierce,D.A., Markandya and E.B. Barbier, 1994. Blueprint for a Green Economy. Earthscan Publ. Ltd. London. [PP] Peraturan Pemerintah. 2002. Peraturan Pemerintah Nomor 68 tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan. Jakarta. [PP] Peraturan Pemerintah. 2008. Peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Jakarta. [PP] Peraturan Pemerintah. 2007. Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan.
88 [PP] Peraturan Pemerintah. 2007. Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2007. [PSKPG IPB & BBKP] Pusat Studi Kebijakan Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor dan Pusat Pengembangan Konsumsi Pangan Bimas Ketahanan Pangan. 2001. Pengembangan Konsumsi Pangan dengan Pendekatan Pola Pangan Harapan. PSKPG & BBKP. Bogor. Riyadi D.M.M. 2002. Permasalahan dan Agenda Pengembangan Ketahanan Pangan. Di dalam: Krisnamurthi, B., A.B.S. Dwi, dan Kriswantriyono (Eds). Prosiding Seminar: Tekanan Penduduk, Degradasi Lingkungan dan Ketahanan Pangan. Jakarta: Kerjasama Pusat Studi Pembangunan Lembaga Penelitian IPB, Proyek Koordinasi Kelembagaan Ketahanan Pangan dan Badan Bimas Ketahanan Pangan Departemen Pertanian. hlm 97 – 105. Rustiadi E, Wafda R. 2007. Masalah Penataan Ruang dan Pertanahan dalam Reforma Agraria di Indonesia. Di dalam: Makalah Dies Natalis Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB: 25 April 2007. __________________. 2008. Urgensi Pengembangan Lahan Pertanian Pangan Abadi dalam Perspektif Ketahanan Pangan. Di dalam: Arsyad, S. Dan Ernan Rustiadi (eds). Penyelamatan Tanah, Air, dan Lingkungan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. hlm 61 -90. Sabiham S. 2008. Manajemen Sumberdaya Lahan dalam Usaha Pertanian Berkelanjutan. Di dalam: Sitanala Arsyad dan Ernan Rustiadi (Eds). Penyelamatan, Tanah, Air dan Lingkungan. Jakarta: Crestpent Press dan Yayasan Obor Indonesia. hlm 9 – 16. Sari, YD dkk. 2009. Kurva Penawaran dan Permintaan Produk Perikanan Tangkap Perairan Umum Daratan di Provinsi Sumatera Selatan. Jurnal Kebijakan dan Riset Kelautan Perikanan Volume 4, Nomor 2, Tahun 2009. Sumaryanto, 2009. Diversifikasi Sebagai Salah Satu Pilar Ketahanan Pangan. Forum Penelitian Agro Ekonomi. Volume 27, Nomor 2, Desember 2009. Syarief, S. 2009. Masalah Kependudukan dan KB : Tantangan dan Peluang. Kuliah Umum Dies Natalis Fakultas Ekologi Manusia IPB tanggal 19 Juni 2009. Sawit, Ariani M. 1997. Konsep dan Kebijakan Ketahanan Pangan. Makalah Pembanding pada pra Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VI. Jakarta: Bulog. [26 – 27 Juni 1997]. Setiawan B. 2004. Ketahanan Pangan. Di dalam: YF Baliwati, A. Khomsan, CW Dwiriani (eds). Pengantar Pangan dan Gizi. Jakarta: Penebar Swadaya. hlm 109 -114. Suhardianto, A., Yayuk Farida Baliwati, Dadang Sukandar. Ketahanan Pangan Rumah Tangga Petani Penghasil Beras Organik. Jurnal Gizi dan Pangan
89 Volume 2 Nomor 3 November 2007. Kerjasama PERGIZI Pangan dengan Departemen Gizi Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia IPB. Sumaryanto. 2009. Diversifikasi sebagai Salah Satu Pilar Ketahanan Pangan. Forum Penelitian Agro Ekonomi. Volume 27 No 2 Desember 2009. Suntoro E. 2004. Pemekaran Wilayah dan Ketahanan Pangan. Di dalam: Suryana A. (penyunting) Kemandirian Pangan Menuju Ketahanan Pangan Berkelanjutan. Jakarta: Kerjasama Badan Bimas dan Ketahanan Pangan Departemen Pertanian dengan Harian Umum Suara Pembaharuan. Lembaga Informasi dan Studi Pembangunan Indonesia (LISPI). Sumarlin. 2009. Analisis Kebutuhan Luas Lahan Pertanian Pangan dalam Pemenuhan Kebutuhan Pangan Penduduk Kabupaten Lampung Barat [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Suryana, A. 2001. Harmonisasi Kebijakan Ketahanan Pangan Nasional dan Daerah dalam Prosiding Dialog dan Lokakarya Kebijakan dan Program Pangan Prakarsa Swasta dan Pemerintah Daerah. P. Hariyadi, B. Krisnamurti, F.G Winarno (eds). Forum Kerja Penganekaragaman Pangan. Jakarta. . 2002. Perspektif dan Upaya Pemantapan Ketahanan Pangan Berkelanjutan. Di dalam: Krisnamurthi, B., A.B.S. Dwi, dan Kriswantriyono (Eds). Prosiding Seminar: Tekanan Penduduk, Degradasi Lingkungan dan Ketahanan Pangan. Jakarta: Kerjasama Pusat Studi Pembangunan Lembaga Penelitian IPB, Proyek Koordinasi Kelembagaan Ketahanan Pangan dan Badan Bimas Ketahanan Pangan Departemen Pertanian. hlm 52 – 75. _________. 2004. Ketahanan Pangan Indonesia. Di dalam: Soekirman, Ananto KS, Ning P, Drajat M., Mewa A, Idrus J, Hardinsyah, Dahrulsyah, Carunia MF. (eds) Prosiding Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) VIII; Jakarta, 17-19 Mei 2004. Jakarta. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. LIPI. Syafruddin. 2006. Strategi Pengelolaan Ketahanan Pangan Berkelanjutan di Kabupaten Halmahera Tengah [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Syahyuti. 2006. Kebijakan Lahan Abadi untuk Pertanian Sulit Diwujudkan. Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 4 No. 2, Juni 2006 : 96-108. Soekartawi. 2008. Mewujudkan kemandirian pangan. http://prof-soekartawi.net/? pilih=publikasi&mod=yes&aksi=lihat&id=1189. Html. [17 Pebruari 2008]. Soetrisna N. 2005. Strategi Pengembangan Ketahanan Pangan. Artikel – Tahun XIV No 44, Januari. Majalah Pangan. Puslitbang Bulog, Jakarta.
90 Soetrisno N. 1995. Ketahanan Pangan Dunia: Konsep, Pengukuran, Faktor Dominan. Majalah Pangan No. 21 Vol. IV. Jakarta: Bulog. Tarigan, HL Atena. 2008. Perkembangan Land Man Ratio di Sumatera Utara [skripsi]. Universitas Sumatera Utara.
United Nations. 1997. Earth Summit Agenda 21. The United Nations Programme of Action from Rio. [UU] Undang-Undang. 1996. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Jakarta. [UU] Undang-Undang. 2007. Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Jakarta. [UU] Undang-Undang. 2009. Undang-undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan. Jakarta.
90
Lampiran 1. Peta Kabupaten Muara Enim
Lampiran 2. Proyeksi konsumsi energi penduduk Kabupaten Muara Enim tahun 2011-2015 No
Kelompok Pangan
1
Padi-padian
2
Konsumsi Energi (kkal/kap/hr) Ideal
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
1.000
1.537
1.448
1.358
1.269
1.179
1.090
1.000
Umbi-umbian
120
17
34
51
68
86
103
120
3
Hewani
240
184
193
203
212
221
231
240
4
Minyak/lemak
200
103
119
135
151
168
184
200
5
Buah/biji berminyak
60
77
74
71
69
66
63
60
6
Kacang-kacangan
100
12
27
41
56
71
85
100
7
Gula
100
55
62
70
77
85
92
100
8
Sayur dan buah
120
82
88
95
101
107
114
120
9
Minuman dan bumbu
60
1
11
21
31
40
50
60
2.000
2.067
2.056
2.045
2.034
2.022
2.011
2000
Total
91
Lampiran 3. Proyeksi konsumsi pangan penduduk Kabupaten Muara Enim tahun 2011-2015 No
Kelompok Pangan
1
Beras
2
Tahun (gram/kapita/hari) 2010
2011
2012
2013
2014
2015
399
374
349
325
300
275
Ubi kayu
26
39
52
65
79
92
3
Ayam
30
32
34
34
36
37
4
Ikan
119
125
136
136
142
148
5
Minyak sawit
13
15
17
19
20
22
6
Kelapa
39
37
36
35
33
32
7
Kacang kedelai
19
19
18
17
16
16
8
Kacang panjang
131
141
141
159
169
178
9
Tomat
108
116
116
132
140
147
10
Jeruk
34
36
36
41
44
46
11
Nanas
79
85
85
96
102
108
92
Lampiran 4. Proyeksi konsumsi dan ketersediaan pangan penduduk (ton/tahun) No
Kelompok Pangan
Tahun 2011
Tahun 2012
Tahun 2013
Kons
Keters
Kons
Keters
Kons
Keters
Tahun 2014 Kons
Keters
Tahun 2015 Kons
Keters
1
Beras
98.003
107.803
91.544
100.698
85.085
93.594
78.626
86.489
72.167
79.384
2
Ubi kayu
10.244
11.268
13.686
15.055
17.129
18.842
20.572
22.630
24.015
26.417
3
Ayam
8.263
9.089
9.024
9.926
9.024
9.926
9.404
10.345
9.785
10.763
4
Ikan
32.719
35.991
35.733
39.306
35.733
39.306
37.240
40.964
38.747
42.621
5
Minyak sawit
3.926
4.319
4.397
4.836
4.867
5.354
5.338
5.872
5.809
6.389
6
Kelapa
9.821
10.803
9.431
10.374
9.041
9.945
8.651
9.516
8.261
9.087
7
Kacang kedelai
4.905
5.395
4.710
5.181
4.515
4.967
4.320
4.752
4.125
4.538
8
Kacang panjang
36.811
40.492
36.811
40.492
41.755
45.930
44.227
48.649
46.698
51.368
9
Tomat
30.432
33.475
30.432
33.475
34.519
37.971
36.562
40.218
38.606
42.466
10
Jeruk
9.519
10.470
9.519
10.470
10.797
11.877
11.436
12.580
12.075
13.283
11
Nanas
22.209
24.429
22.209
24.429
25.191
27.710
26.682
29.351
28.174
30.991
93
Lampiran 5. Proyeksi produksi pangan penduduk Kabupaten Muara Enim tahun 2011-2015 No
Kelompok Pangan
Produksi (ton/tahun) 2011
2012
2013
2014
2015
180.536
168.638
156.740
144.841
132.943
1
Beras
2
Ubi kayu
11.514
15.383
19.253
23.123
26.993
3
Ayam
17.673
19.301
19.301
20.115
20.928
4
Ikan
37.071
40.486
40.486
42.193
43.900
5
Minyak sawit
9.389
10.514
11.639
12.765
13.890
6
Kelapa
46.680
44.826
42.972
41.117
39.263
7
Kacang kedelai
5.683
5.458
5.232
5.006
4.780
8
Kacang panjang
41.776
41.776
47.386
50.191
52.997
9
Tomat
36.668
36.668
41.593
44.055
46.517
10
Jeruk
10.880
10.880
12.341
13.072
13.802
11
Nanas
25.700
25.700
29.151
30.877
32.603
94
Lampiran 6. Analisis konsistensi dokumen perencanaan pembangunan tahun 2011 Prioritas Pembangunan Nasional Tahun 2010-14 (RPJMN Tahun 2010-2014) 1. Reformasi birokrasi dan tata kelola pemerintahan yang baik 2. Pendidikan 3. Kesehatan 4. Penanggulangan kemiskinan 5. Ketahanan pangan 6. Infrastruktur 7. Iklim investasi dan bisnis
8. Energi 9. Lingkungan Hidup dan pengelolaan bencana 10.Daerah tertinggal, terdepan, terluar dan pascakonflik 11.Kebudayaan, kreativitas dan inovasi teknologi
Prioritas pembangunan Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2011
Prioritas pembangunan Kabupaten Muara Enim Tahun 2011 Peingkatan tata kelola pemerintahan yang baik
Pemantapan pengembangan SDM Penajaman program penanggulangan kemiskinan Peningkatan produksi, produktivitas dan nilai tambah pertanian Peningk penyediaan infrastruktur strategis Pengembangan UMKM-K dan peningkatan investasi
Peningkatan aksesibilitas dan kualitas pendidikan & kesehatan Penanggulangan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan rakyat Revitalisasi pertanian Percepatan pembangunan infrastruktur Optimalisasi investasi Pengembangan ekonomi kerakyatan, pemberdayaan UMKMK & kesempatan kerja Pengembangan pariwisata
Pemantapan lumbung energi nasional Optimalisasi pemanfaatan SDA Pelestarian LH
Implementasi ICT
Peningkatan pembangunan SDM, IPTEK dan bidang keagamaan
95
Lampiran 7. Analisis Konsistensi dokumen perencanaan Kabupaten Muara Enim Tahun 2008-2013 Dokumen Perencanaan
Visi
Misi
Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Kabupaten Muara Enim
Terwujudnya masyarakat Kabupaten Muara Enim yang sehat, mandiri, agamis, dan sejahtera di bumi serasan sekundang
1. Mewujudkan kehidupan masyarakat yang berkualitas 2. Melaksanakan tata kelola pemerintahan yang baik 3. Meningkatkan pengembangan ekonomi berbasis sumberdaya lokal
Rencana Strategis (Renstra) Kantor Ketahanan Pangan
Terwujudnya ketahanan pangan berkelanjutan yang bertumpu kepada pemberdayaan masyarakat
1. Mewujudkan koordinasi yang harmonis dengan instansi terkait dalam kegiatan perencanaan implementasi, pemantapan, dan evaluasi kebijakan ketahanan pangan 2. Mendorong dan memfasilitasi pemberdayaan masya-rakat dalam upaya meningkatkan ketahanan pangan 3. Mendorong produktifitas komoditas pangan lokal
Kebersamaan masyarakat pertanian mewujudkan ketahanan pangan yang berwawasan agribisnis dan ramah lingkungan tahun 2013
1. Mengembangkan komoditi pertanian TPH berbasis komoditi unggulan 2. Mengembangkan sarana prasarana pertanian TPH 3. Mengembangkan dan memanfaatkan teknologi spesifikasi lokasi yang ramah lingkungan 4. Meningkatkan kualitas & kuantitas SDM pertanian TPH 5. Meningkatkan pelayanan pembangunan dan hortikultura
Hasil : Konsisten Rencana Strategis (Renstra) Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura
Hasil : Konsisten
96
Lampiran 7. Analisis Konsistensi dokumen perencanaan Kabupaten Muara Enim Tahun 2008-2013 (Lanjutan) Visi
Misi
RPJM Kabupaten Muara Enim
Dokumen Perencanaan
Terwujudnya masyarakat Kabupaten Muara Enim yang sehat, mandiri, agamis, dan sejahtera di bumi serasan sekundang
1. Mewujudkan kehidupan masyarakat yang berkualitas 2. Melaksanakan tata kelola pemerintahan yang baik 3. Meningkatkan pengembangan ekonomi berbasis sumberdaya lokal
Rencana Strategis (Renstra) Dinas Peternakan dan Perikanan
Terwujudnya usaha peternakan dan perikanan yang maju, mandiri, berdaya saing untuk mencukupi pangan hewani asal ternak dan ikan serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Muara Enim tahun 2013
1. Menggerakkan potensi sumberdaya peternakan dan perikanan untuk menghasilkan produk hewani yang ASUH (aman, sehat, utuh dan halal) 2. Meningkatkan profesionalisme dan integritas aparat dalam melaksanakan tugas pelayanan, pembangunan & pemberdayaan masyarakat peternakan dan perikanan 3. Mendorong tumbuh kembangnya usaha peternakan dan perikanan yang mampu memberikan nilai tambah ekonomi bagi masyarakat
Terwujudnya petani pekebun yang disiplin dan mandiri serta mampu mengelola usaha tani secara produktif, berdaya saing tinggi dan berkelanjutan di bumi serasan sekundang
1. Memberdayakan masyarakat mll pembangunan Perkebunan yang dapat memberikan jaminan kehidupan lebih baik 2. Membangun Perkebunan yang ditunjang industri hilir dengan landasan produktivitas, efisiensi, dan berkelanjutan 3. Meningkatkan pelayanan teknis budidaya tanaman kepada petani perkebunan dan pelestarian SDA 4. Mencegah perluasan lahan kritis dan memulihkan kembali fungsi lahan yang sudah terdegradasi di dalam maupun di luar kawasan perkebunan
Hasil : Konsisten Renstra Dinas Perkebunan
Hasil : Belum Konsisten
97
Lampiran 8. Analisis konsistensi dokumen perencanaan Kabupaten Muara Enim Tahun 2008-2013 Isi Dokumen Perencanaan Program pembangunan
Misi kabupaten 1. masyarakat berkualitas 2. ekonomi berbasis SD lokal
Misi SKPD Ketahanan pangan
Hasil : konsisten
RPJM Kabupaten Muara Enim
Jenis Dokumen Perencanaan Renstra Kantor Ketahanan Pangan
1. Meningkatkan IPM a. peningkatan kualitas kesehatan masyarakat b. peningkatan kualitas pendidikan c. peningkatan daya beli masyarakat 2. Meningkatkan kerukunan umat beragama 3. Meningkatkan kinerja pemerintah daerah a. peningkatan kualitas pelayanan publik b. penyempurnaan sistem dan kelembagaan pemerintahan yang baik 4. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi unggulan a. peningkatan produktifitas b. penyediaan dan peningkatan sarana/prasarana pendukung aktifitas ekonomi c. iklim investasi yang kondusif d. keterkaitan antara sektor ekonomi primer, sekunder dan tertier e. optimalisasi pemanfaatan SD lokal f. kerjasama dengan berbagai lembaga g. kesempatan kerja h. pemberdayaan masyarakat i. pengembangan kegiatan ekonomi produktif
1. Program Kegiatan Pokok d. Program Peningkatan Ket Pangan 1) Penanganan Daerah Rawan Pangan 2) Analisis & Penyusunan Pola konsumsi dan Suplai pangan 3) Pemantauan & Analisis Harga Pngn pokok 4) Promosi atas Hasil Olahan Pangan 5) Program Desa Mandiri Pangan 6) Pembangunan Lumbung Pangan 7) Pengembangan Lumbung Pangan Desa 8) Penanganan Mutu & Keamanan Pangan 9) Penyuluhan Sumber Pangan Alternatif 10) Lomba dan Penghargaan Ket Pangan 11) Sosialisasi Menu 3B bagi Masyarakat 12) Pemanfaatan Pekarangan untuk Pengembangan Pangan 13) Pengembangan Cadangan Pangan Daerah 2.
Program dan kegiatan lintas SKPD a. 2) Penyusunan laporan capaian kerja dan ikhtisar realisasi kinerja SKPD
98
Lampiran 8 Analisis konsistensi dokumen perencanaan Kabupaten Muara Enim Tahun 2008-2013 (Lanjutan) Isi Dokumen Perencanaan Program pembangunan
Misi kabupaten 1. masyarakat berkualitas 2. ekonomi berbasis SD lokal
Misi SKPD 1…produk hewani yang ASUH 2.... usaha NAKAN yang bernilai tambah ekonomi
Hasil : konsisten
Jenis Dokumen Perencanaan RPJM Kabupaten Muara Enim 1. Meningkatkan IPM a. peningkatan kualitas kesehatan masyarakat b. peningkatan kualitas pendidikan c. peningkatan daya beli masyarakat 2. Meningkatkan kerukunan umat beragama 3. Meningkatkan kinerja pemerintah daerah a. peningkatan kualitas pelayanan publik b. penyempurnaan sistem dan kelembagaan pemerintahan yang baik 4. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi unggulan j. peningkatan produktifitas k. penyediaan dan peningkatan sarana/prasarana pendukung aktifitas ekonomi l. iklim investasi yang kondusif m. keterkaitan antara sektor ekonomi primer, sekunder dan tertier n. optimalisasi pemanfaatan SD lokal o. kerjasama dengan berbagai lembaga p. kesempatan kerja q. pemberdayaan masyarakat r. pengembangan kegiatan ekonomi produktif
Renstra Dinas Peternakan & Perikanan 1. Program dan Kegiatan Pokok d. Program pencegahan & penanggulangan penyakit ternak 1. Pemeliharaan kesehatan dan pencegahan penyakit menular 2. Pemusnahan ternak yang terjangkit penyakit endemik 3. Pengawasan perdagangan ternak antar daerah e. Program peningkatan produksi hasil peternakan 1. Pengembangan sarana dan prasarana pembibitan ternak 2. Pendistribusian bibit ternak kepada masyarakat 3. Pengembangan agribisnis peternakan 4. Pengelolaan lahan dan air 5. Pengembangan kawasan areal peternakan f. Program peningkatan penerapan teknologi peternakan 1. Pengadaan sarana dan prasarana TTG 2. Pelatihan dan bimbingan TTG g. Program pengembangan budidaya perikanan 1. Pendampingan pada kelompok tani pembudidaya ikan (Gerbang Serasan) 2. Pembinaan dan pengembangan perikanan 3. Pengembangan benih ikan unggul 4. Pengadaaan sarana prasarana pembenihan/pembi-bitan perikanan 5. Penyebaran dan pengembangan benih dan bibit perikanan
99
Lampiran 8 Analisis konsistensi dokumen perencanaan Kabupaten Muara Enim Tahun 2008-2013 (Lanjutan) Isi Dokumen Perencanaan Program pembangunan
Misi kabupaten 1. masyarakat berkualitas 2. ekonomi berbasis SD lokal
Misi SKPD (program dan kegiatan lokalitas kewenangan SKPD?)
Hasil : belum konsisten
Jenis Dokumen Perencanaan RPJM Kabupaten Muara Enim 1. Meningkatkan IPM a. peningkatan kualitas kesehatan masyarakat b. peningkatan kualitas pendidikan c. peningkatan daya beli masyarakat 2. Meningkatkan kerukunan umat beragama 3. Meningkatkan kinerja pemerintah daerah a. peningkatan kualitas pelayanan publik b. penyempurnaan sistem dan kelembagaan pemerintahan yang baik 4. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi unggulan a. peningkatan produktifitas b. penyediaan dan peningkatan sarana/prasarana pendukung aktifitas ekonomi c. iklim investasi yang kondusif d. keterkaitan antara sektor ekonomi primer, sekunder dan tertier e. optimalisasi pemanfaatan SD lokal f. kerjasama dengan berbagai lembaga g. kesempatan kerja h. pemberdayaan masyarakat i. pengembangan kegiatan ekonomi produktif
Renstra Dinas Perkebunan Program dan Kegiatan Lintas SKPD 2. Program Peningkatan Ketahanan Pangan Perkebunan. 1.Pengembangan Perbenihan/ Perbibitan; 3.Monitoring, Evaluasi dan Pelaporan; Program dan Kegiatan Lintas Kewilayahan a.Program Peningkatan Kesejahteraan Petani. 1).Pelatihan Petani dan Pelaku Agribisnis; 2).Peningkatan Kemampuan Lembaga Petani; 3).Peningkatan sistem insentif dan Disinsentif Bagi Petani/ Kelompok Tani; b.Program Peningk Pemasaran Hasil Prod Perkebunan. 1).Promosi Atas Hasil Produksi Perkebunan Unggul Daerah; 2).Penyuluhan Pemasaran Produksi Perkebunan Guna Menghindari Tengkulak dan Sistem Ijon; 3) Pengolahan Informasi Permintaan Pasar atas Hasil Produksi Perkebunan masyarakat; c.Program Peningk Penerapan Teknologi Perkebunan. 1).Penelitian Pengembangan TTG Perkebunan ; 2).Pembuatan Sarana dan Prasarana TTG Perkebunan (Gerbang Serasan/ Revitalisasi Perkebunan); 3).Pemeliharaan Rutin/ Berkala Sarana dan Prasarana TTG Perkebunan (Gerbang Serasan/ Revitalisasi Perkebunan); 4).Pemeliharaan Rutin/ Berkala Sarana dan Prasarana TTG Perkeb (Dana Beku Gerbang Serasan); 5). Pelatihan dan Bimbingan Pengoperasian TTG Perkeb - Pelatihan Penyadapan Bagi Petani Gerbang Serasan; - Pelatihan Petani Kelapa Sawit; - Pelatihan Petani Kopi;
100