Trisha Adelia
Perempuan Penyapu Kenangan
Perempuan Penyapu Kenangan Oleh: Trisha Adelia Copyright © 2015 by Trisha Adelia
Penerbit Teardrops of Poem Website: Greenadele.blogspot.com Email:
[email protected]
Desain Sampul: Anita Ilma Navia
Diterbitkan melalui: www.nulisbuku.com
“I smile to the sky when I’m recalling you”
DAFTAR ISI
Lastri Masih Diam |7-19| Tanyakan |20| Dante |22-53| Dukamu Menular Luka |54| Pemakaman Imaji |55-57| Kau Telah Menjadi Puisiku |58-59| Perempuan Penyapu Kenangan |60-70| Samudera Pikiran |71-72| Tanyaku Pada Malam |73-78| Yin dan Yang |79-81| Rubah Bertopeng Emas |82-84| Sumbu yang Tak Pernah Padam |85-88| Harmoni Rahasia, Rindu, dan Kenangan |89-91| Ada Hal |92-95| Pada Akhirnya … |96-100| Antara Kematian, Luka, dan Kekuatan |101-106| Hijau dan Putih |107-110| Untuk Saat Ini |111-112| Renata Tak Pernah Menjadi Aisyah |113-129| Kabar Duka |130-133| Gerhana Hati |134-136| Balada Kacang Goreng |137-139| Tentang Penulis |140-141|
Ucapan Terimakasih
Segala puji syukur kepada Allah Tabaraka Wata’ala yang telah menganugerahkan saya kesempatan untuk dapat berbagi kisah melalui buku perdana saya ini. Sang Maha Cahaya dari se-gala cahaya yang selalu bermurah hati memberi-kan saya petunjuk dalam menapaki dunia-Nya yang fana ini. Serta Sang kekasih hati, Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wasallam yang selalu menjadi panutan saya, meski masih sedikit sekali sunah beliau yang saya amalkan. Terimakasih yang sebesarnya untuk Ibu, kemudi-an Ibu, kemudian Ibu lagi yang telah mencurahkan kasih sayang dan perhatiannya, serta kesabaran-nya menghadapi saya yang pelupa dan teledor dalam melakukan tugas-tugas rumah tangga. Tak lupa, pada Bapak yang selalu percaya bahwa potensi dan bakat itu ada pada diri saya, yang juga mengajarkan saya tentang makna kehidupan dengan cara yang berbeda. Terimakasih untuk Bapak Sulaiman, guru Bahasa Indonesia semasa saya SMP yang telah mengajar-kan saya untuk bersenang-senang bersama sastra. Sungguh, tanpa beliau, saya tidak akan pernah menemukan gairah terbesar dalam hidup saya: Menulis. Terimakasih untuk sahabat-sahabat saya, khusus-nya kelompok halaqah Akhwat Humairah, Kost Sister, serta orang-orang yang dipilihkan Allah untuk silih berganti masuk ke dalam hidup saya, kemudian memberikan saya inspirasi untuk menulis. Tak bisa saya sebutkan satu persatu, tapi semoga doa saya dapat memeluk kalian semua yang telah memberi arti dalam hidup saya. Kepada pembaca blog saya yang budiman, terima-kasih sudah memberi motivasi kepada saya untuk terus menulis. Sungguh, apalah arti seorang penulis tanpa seorang pembaca yang terus mengingatkan, “Mana karya selanjutnya?” Buku ini adalah helai-helai daun kenangan yang berserakan semasa saya SMPSMA, dan saya rapi-kan ke dalam seikat buku ini. Tidak semua karya dalam buku
ini adalah murni pengalaman saya, ada yang terinspirasi dari kehidupan orang lain, kemudian saya ramu dengan kisah lainnya menja-di padu. Selamat membaca! Gunung Madu, Lampung Tengah, 2015.
Lastri Masih Diam
Sudah kubeli seikat mawar merah. Sudah kupakai setelanku yang paling necis, dan sudah kusemprotkan parfum Gucci yang kini harumnya telah semerbak di tubuhku. Rambutku yang sudah mulai beruban ini juga sudah kutata rapi dengan gel rambut. Sisir sedikit pakai jari, arahkan ke be-lakang, lalu tarik ujung poni pakai tiga jari ke arah depan. Poni Superman! Kupatut-patut lagi diriku di depan cermin ini, apik sekali. Aku pun berdecak sendiri melihat pria netjes di depan cermin ini. Usai bersolek layaknya lelaki gagah yang hendak mengencani wanita untuk pertamakali-nya, dengan senyum sumringah yang melekat di bibirku, aku menuju ke tempat wanita yang hendak aku kencani malam minggu ini. Ah, kalau teringat wajah wanita itu, rasanya aku mengalami kemerosotan pola pikir dan jutaan molekul kebahagiaan beredar dan menari-nari di sekujur tubuhku. Wajahnya lonjong putih seperti bulir padi. Sepasang matanya bening dan teduh mampu buatku terlena. Bibirnya secerah buah persik masak, sanggup buatku gemetaran menahan diri untuk tidak mengecupnya. Rambutnya terawat menjutai lurus, hitam mendebarkan. Kalau kuhirup dan kusesapi aromanya, bisa menyumbat kepalaku berminggu-minggu. Wanita istimewa itu bernama Lastri, cinta matiku.
Malam ini kutuju lagi rumah wanita itu untuk kesekian kalinya dengan sepeda kumbang tuaku. Entah sudah kali keberapa aku mengajaknya untuk menemuiku, tetapi ia hanya diam tak mengacuhkanku. Tapi aku tak peduli. Malam ini akan kucoba lagi. Kukayuh sepeda kumbang ini dengan semangat empat lima. Walau sudah paruh baya begini, dulu aku adalah seorang penambang timah yang perkasa. Pernah dengan sepeda kumbang ini kugonceng Lastri dengan riang. Iya, Lastri pernah dekat denganku… dulu. Sampai akirnya ia memutuskan untuk menjauhiku dan diam seribu aksara. “Hoy, Rendra! Mau ke mana lagi kau malam ini?” Seketika suara Hadi, teman sebayaku menghen-tikan kayuhanku saat aku melintasi rumahnya. “Aku mau ke rumah Lastri, mantan pacarku” jawabku singkat. “Ren, kamu ini benar-benar sudah gila, ya?” Sepasang alis Hadi bertaut dan ia menggeleng pelan, menatapku dengan tatapan seolah aku sedang berusaha menjernihkan sungai Ciliwung. “Sudah berapa ratus kali kau hampiri wanita itu, tapi tetap ia tak menjawabmu, ‘kan? Sudah berapa juta puisi yang kau bacakan untuknya, berapa bunga dan makanan favoritnya telah kau beri padanya, tapi ia membiarkan semuanya melapuk, ‘kan?” Aku hanya diam. “Semua yang kau beri takkan pernah sampai padanya, Ren. Kau kecupi terus tempat tinggalnya, tapi kecupanmu tak pernah sampai di wajahnya, ‘kan? Sadarlah, Ren! Kau ini sudah tua. Lastri hanya wanita yang bersemayam di memorimu. Sudahilah pemburuan hati Lastri untuk sampai di dekapmu lagi, Ren” Hadi menatapku dengan iba. Iba? Untuk apa ia iba padaku? Aku mengepalkan tanganku keras-keras, bukan untuk meninjunya, tetapi kupegang erat kemudi sepedahku, dan kukayuh lagi sepedah itu. Hadi terkejut
melihat aku yang dengan entengnya tetap melaju tanpa sedikitpun menghiraukan wejangan ngawurnya—ya, bagiku sih ngawur. Ia sedikit berlari mengejarku, meneriakiku, mencoba menghentikanku. Tapi aku tak peduli. Aku tak berhenti. Meski apa yang kuberi pada Lastri selalu berakhir melapuk di halaman rumahnya. Tapi cintaku padanya takkan pernah melapuk. Tidak akan. Rumahnya masih dua kilometer lagi. Tapi jauhnya rumah Lastri tidak pernah kurasa. Tanjakkan jalan yang hampir vertikal ini kuterjang dengan beringas. Meski badan ini sudah terasa letih, segera kutepis perasaan itu. kutuntun sepeda kumbangku lebih cepat lagi agar sampai ke ujung akhir dari tanjakkan jalan ini. Kali ini derasnya hujan telah menambah sukarnya tanjakkan ini. Aku terperosok jatuh karena saking licinnya jalan beraspal yang dibasahi hujan. Aku kembali berada di titik nol awal tanjakan jalan. Dengan lututku yang berdarah-darah kuterjang lagi tanjakkan itu. Semua kulakukan demi Lastri. Aku takkan menyerah! Tanjakkan ini bukan penghalangku untuk sampai ke rumah Lastri.