DEIKSIS - JURNAL PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
PERBANDINGAN STRUKTUR NOVEL SANG PEMIMPI DENGAN ADAPTASINYA DALAM BENTUK FILM
Diki Mutaqin Jurdiksatrasia Unswagati Cirebon Abstrak Artikel ini membahas perbandingan struktur novel Sang Pemimpi karya Andrea Hirata dan adaptasinya dalam bentuk film dengan menggunakan pendekatan struktural. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan persamaan dan perbedaan struktur novel Sang Pemimpi karya Andrea Hirata dengan film Sang Pemimpi karya Riri Riza. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif yang dilakukan dengan cara mengumpulkan, menyusun, memeriksa, mengklasifikasikan, menganalisis, serta menginterpretasikan data. Setelah melakukan pengkajian terhadap novel dan film Sang Pemimpi, penulis menyimpulkan terdapat persamaan dan perbedaan dari segi struktur. Selain itu, struktur dalam novel dan film Sang Pemimpi memiliki hubungan antarunsur yang terjalin dengan begitu padu dan saling menguatkan satu sama lain. Hubungan antara alur, tokoh dan penokohan, latar, sudut pandang, dan gaya yang begitu padu memudahkan penulis dalam menyimpulkan tema dan amanat yang terdapat di dalam novel dan film. Kata kunci: novel dan Film Sang Pemimpi, pendekatan struktural, adaptasi karya sastra A. PENDAHULUAN Pengalihan sebuah karya sastra ke bentuk atau media lain telah lama dilakukan. Transformasi karya sastra yang paling banyak dikenal adalah perubahan bentuk sebuah puisi menjadi sebuah lagu (musikalisasi puisi). Tentu bukan hal yang asing jika disinggung puisi-puisi Taufik Ismail yang dilagukan oleh Bimbo atau novel Hilman yaitu Lupus yang diangkat ke layar perak. Pengalihan atau perubahan bentuk karya seni tersebut adalah hal yang biasa. Dalam hal ini, adaptasi atau perubahan bentuk (media) karya sastra menjadi sebuah film menurut Eneste (1991: 11) disebut ekranisasi. Ekranisasi adalah pelayarputihan atau pengangkatan sebuah novel ke dalam film (ecran dalam bahasa Perancis berarti layar). Karya sastra mengajak pembaca berimajinasi secara bebas mengikuti cerita.
Pembaca bebas memiliki imajinasi tentang gambaran tokoh, latar, dan suasana dalam cerita. Di samping itu, dalam sebuah karya sastra tidak jarang pengarang berhasil memancing rasa penasaran pembaca dengan permainan kata-katanya. Inilah sebabnya kata-kata merupakan hal yang sangat penting dalam sebuah karya sastra. Seorang pengarang membangun cerita dengan menggunakan kata-kata. Berbeda dengan karya sastra, film berbicara menggunakan gambar. Penulis skenario, menurut Pudovkin (Eneste, 1991: 16), bergulat dengan plastic material. Penulis skenario harus cermat memilih materi yang bisa membawa gambaran yang tepat bagi filmnya. Pemilihan materi sebuah rumah mewah dengan isi perabotan yang juga mewah kiranya telah cukup memberi gambaran kepada penonton bahwa tokoh yang digambarkan adalah
15
DEIKSIS - JURNAL PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
seorang yang kaya. Penentuan lokasi shooting di perkotaan cukup memberi gambaran mengenai latar cerita. Inilah yang disebut plastic material. Satu perbedaan yang mendasar pada proses pembuatannya, karya sastra adalah sebuah karya individu. Pengarang bergulat dengan dirinya sendiri untuk menghasilkan sebuah karya sastra. Kecermatannya menyusun kata-kata pada akhirnya bisa membawa pembaca pada alam imajinasi. Namun, film adalah sebuah bentuk karya seni yang melibatkan beberapa orang dari bidang (seni) yang berbeda. Ekranisasi menimbulkan beberapa perubahan pada sebuah karya sastra. Sebuah novel yang mungkin selesai dibaca dalam beberapa hari bisa dinikmati dalam waktu yang relatif lebih singkat (durasi rata-rata film 90 menit). Hal ini tentu menyebabkan adanya beberapa pengurangan atau penghilangan beberapa bagian dari karya aslinya. Di samping itu, sutradara juga bisa memberi interpretasi sendiri terhadap skenario sehingga terjadilah resepsi atas resepsi. Seorang pembaca yang aktif akan melahirkan sebuah karya baru sebagai wujud apresiasi terhadap sebuah karya. Perubahan yang muncul merupakan wujud dari apa yang disebut Jauss sebagai horizon harapan pembaca. Kegiatan memfilmkan novel di Indonesia sebenarnya telah dimulai sejak awal tahun 1990-an. Beberapa judul novel Indonesia telah diangkat ke layar lebar. Selain itu ada pula yang diangkat ke layar kaca dalam bentuk sinetron. Sederet judul seperti Rara Mendut, Salah Asuhan, Atheis, Ronggeng Dukuh Paruk, dan Si Doel Anak Betawi adalah beberapa judul yang telah diadaptasi ke dalam bentuk film. Perkembangan adaptasi sebuah novel menjadi film kian melejit dan mendapat tanggapan serta antusias masyarakat yang cukup banyak. Hal ini dapat terlihat dari era pemfilman Ada Apa dengan Cinta
(AADC) oleh Hanung Bramantyo. Booming ini tentu saja dipengaruhi oleh berbagai faktor. Sukses ini kemudian dilanjutkan dengan pemfilman dwilogi Ketika Cinta Bertasbih dan Laskar Pelangi. Salah satu kajian yang dapat digunakan untuk menganalisis perbandingan karya sastra yaitu kajian struktural. Sebuah karya sastra, fiksi atau puisi, menurut kaum Strukturalisme adalah sebuah totalitas yang dibangun secara koherensif oleh berbagai unsur pembangunnya. Di satu pihak, struktur karya sastra dapat diartikan sebagai susunan, penegasan, dan gambaran semua bahan dan bagian yang menjadi komponennya yang secara bersama membentuk kebulatan yang indah (Abrams, 1981: 68). Di pihak yang lain, unsur (intrinsik) yang bersifat timbal balik, saling menentukan, saling mempengaruhi, yang secara bersama membentuk satu kesatuan yang utuh. Analisis perbandingan struktur karya sastra, dalam hal ini novel dan film, dapat dilakukan dengan mengidentifikasi, mengkaji, dan mendeskripsikan fungsi serta hubungan antarunsur intrinsik yang bersangkutan. Mula-mula sebuah karya diidentifikasi dan dideskripsikan, misalnya, bagaimana keadaan peristiwa-peristiwa, plot, tokoh dan penokohan, latar, sudut pandang, dan lain-lain. Setelah dijelaskan fungsi masing-masing unsur dalam menunjang makna keseluruhan, hal selanjutnya yang dilakukan adalah menunjukkan bagaimana hubungan antarunsur itu sehingga secara bersama membentuk sebuah totalitas kemaknaan yang padu. Misalnya, bagaimana hubungan antara peristiwa yang satu dengan yang lain, kaitannya dengan pemplotan yang tak selalu kronologis, kaitannya dengan tokoh dan penokohan, dengan latar, dan sebagainya. Salah satu karya yang layak mendapat apresiasi adalah novel mega best
16
DEIKSIS - JURNAL PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
seller karya Andrea Hirata berjudul Sang Pemimpi yang diangkat ke layar lebar oleh sutradara muda Riri Riza dengan produser Mira Lesmana. Novel Sang Pemimpi merupakan kelanjutan dari Laskar Pelangi dan bagian kedua dari tetralogi Andrea Hirata. Novel bagian ketiga dan keempat berjudul Edensor dan Maryamah Karpov juga telah beredar di masyarakat. Selain mendapatkan respons yang cukup baik di masyarakat, film Sang Pemimpi yang merupakan hasil adaptasi dari bentuk novelnya, berhasil merebut juara ke-3 Audience Awards pada Udine Far East Film Festival yang berlangsung di Italia, tanggal 23 April-1 Mei 2010 dan mendapatkan penghargaan dalam Festival Film Cinema Asia 2010 yang digelar di Belanda. Selain itu, film Sang Pemimpi merupakan film Indonesia pertama yang menjadi pembuka dalam Jakarta International Film Festival (JiFFest) 2009 pada 4 Desember 2009. Penelitian dilakukan sebagai bentuk reaksi penulis terhadap situasi dan kondisi yang terjadi di masyarakat saat ini. Mereka cenderung lebih dulu mengenal versi film dibandingkan novel dengan judul sama yang sudah diterbitkan sebelumnya. Melalui penelitian ini, penulis berusaha untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat agar mereka bisa menilai dan membandingkan sendiri persamaan dan perbedaan antara novel dan film. Selain itu, penulis berusaha menggiring dan membiasakan mereka membaca karya sastra, sebelum karya sastra tersebut diadaptasi menjadi sebuah film atau karya seni yang lain. Berdasarkan fakta mengenai novel dan film Sang Pemimpi, penulis membuat rumusan masalah yaitu (1) Bagaimanakah persamaan dan perbedaan struktur novel dan film Sang Pemimpi? dan (2) Bagaimanakah hubungan antarunsur yang terdapat di dalam novel dan film Sang
Pemimpi. Tujuan dari penelitian ini yaitu membandingkan persamaan dan perbedaan struktur novel Sang Pemimpi dengan adaptasinya dalam bentuk film. Selain itu, penelitian ini dimaksudkan untuk menjelaskan hubungan antarunsur yang terdapat di dalam novel dan film Sang Pemimpi. B. METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode penelitian deskriptif kualitatif. Metode ini digunakan agar masalah yang terjadi dapat dipecahkan dengan melihat gambaran suatu keadaan seobjektif mungkin tanpa bermaksud menjawab sebuah hipotesis. Sesuai dengan metode deskriptif, penelitian ini dilakukan dengan cara mengumpulkan, menyusun, memeriksa, mengklasifikasikan, menganalisis, serta menginterpretasikan data. Aspek-aspek yang akan dianalisis dalam penelitian ini yaitu persamaan dan perbedaan struktur novel dan film Sang Pemimpi serta hubungan antarunsur yang terdapat di dalam novel dan film Sang Pemimpi. Sesuai metode penelitian, teknik penelitian yang digunakan penulis adalah telaah pustaka. Telaah pustaka atau studi pustaka, digunakan untuk mencari sejumlah teori yang relevan untuk dijadikan sebagai acuan dalam mengapresiasi karya sastra khususnya novel. Sumber data yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah novel Sang Pemimpi karya Andrea Hirata yang diterbitkan oleh Bentang cetakan ke-26 (edisi revisi) dan film Sang Pemimpi yang disutradarai oleh Riri Riza dengan produser Mira Lesmana yang diproduksi oleh Miles Films dan Mizan tahun 2009.
17
DEIKSIS - JURNAL PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
C. PEMBAHASAN 1. Perbandingan Struktur Novel dan Film Sang Pemimpi 1.1 Alur Urutan Satuan Isi Cerita Novel Sang Pemimpi No. Jenis Sekuen Nomor Sekuen Novel 1. Kilas Balik 5, 15, 16, 17, 22, 23, 24, 27, 33, 44, 74, 75, 79, 88, 92, 96, 100, 116, 141, 166, 175, 186 2. Sorot Balik 6, 13, 14, 18, 19, 20, 21, 25, 26, 28, 29, 38, 45, 60, 86 3. Prospektif 41, 52, 53, 64, 69, 137, 142, 171, 172
No. Jenis Sekuen 1. Kilas Balik
2.
Sorot Balik
3.
Prospektif
Urutan Satuan Isi Cerita Film Sang Pemimpi Nomor Sekuen Novel 1, 11, 12, 13, 17, 18, 20, 22, 24, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 40, 41, 42, 45, 49, 51, 53, 56, 57, 58, 59, 62, 64, 65, 66, 67, 72 5, 9, 10, 14, 15, 16, 19, 23, 25, 32, 39, 43, 44, 46, 47, 50, 52, 54, 55, 60, 63, 68 48
Dari tabel di atas, penulis menyimpulkan bahwa pengaluran yang terdapat di dalam novel dan film Sang Pemimpi termasuk ke dalam alur maju-mundur atau flashback. Hal ini dapat dibuktikan dari banyaknya alur sorot balik dan alur kilas balik yang begitu mendominasi pengaluran dalam novel dan film. Walaupun pengaluran novel dan film begitu rumit dan kompleks, tetapi pembaca dapat dengan mudah memahami dan menangkap jalan ceritanya. Pada tabel di atas terdapat perbedaan jumlah yang mencolok pada alur kilas balik dan sorot balik yang terdapat pada novel dan film. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan pada awal cerita antara novel dan film. Pada novel, cerita dimulai pada saat Ikal bersama sahabatnya masih mengecap bangku No. 1.
2.
Jumlah 22 15 9
Jumlah 38
22 1
sekolah yaitu SMA sedangkan pada film Ikal diceritakan sudah lulus sebagai sarjana. Dikarenakan keduanya memakai jenis alur maju-mundur dan isi cerita mengenai pengalaman hidup tokoh di masa lampau maka jumlah alur kilas balik dan sorot balik pada film menjadi lebih banyak. Jumlah total sekuen dalam novel yaitu 188 sedangkan jumlah total sekuen dalam film yaitu 77. Perbedaan jumlah sekuen antara novel dan film diakibatkan adanya beberapa peristiwa di dalam novel yang tidak ditampilkan di dalam film. Selain itu, terdapat pula beberapa perbedaan peristiwa antara novel dan film yang dialami oleh para tokohnya. Berikut ini merupakan beberapa perbedaan peristiwa di dalam novel dan film Sang Pemimpi.
Perbedaan Peristiwa dalam Novel dan Film Sang Pemimpi Peristiwa dalam Novel Peristiwa dalam Film Ikal dan ayah menjemput Arai di Ikal dan ayah menjemput Arai di rumahnya rumahnya dengan menumpang truk dengan menggunakan perahu. (sekuen 10) kopra. (sekuen 13) Pada saat membeli bahan-bahan kue Pada saat membeli bahan-bahan kue untuk untuk diberikan kepada Mak Cik diberikan kepada Mak Cik Maryamah, Ikal Maryamah, Ikal dan Arai berlari dan Arai memakai sepeda menuju Toko A menuju Toko A Siong. (sekuen 19.a) Siong. (sekuen 16)
18
DEIKSIS - JURNAL PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Ikal mengenalkan Bang Zaitun kepada Arai pada saat dirinya ingin membantu memikat hati Zakiah Nurmala. (sekuen 99) Jimbron diberitahu oleh Ikal bahwa Capo akan memelihara kuda. (sekuen 87) Cinta Arai mendapat respons negatif dari Zakiah Nurmala. (sekuen 139) Arai menyanyikan lagu yang berjudul When I Fall in Love saat merayu Zakiah Nurmala. (sekuen 139.a) Ikal membawa kuda putih yang bernama Pangeran Mustika Raja Brana ke kamar kontrakkan untuk diperlihatkan kepada Jimbron. (sekuen 127.a) Ikal berhasil menjadi sarjana setelah berkuliah di Universitas Indonesia sedangkan Arai berkuliah di Kalimantan. (sekuen 170, 180) Ikal mengetahui sendiri informasi beasiswa S-2 di Eropa setelah dia membaca sebuah pengumuman (sekuen 177) Ikal dan Arai mengetahui secara langsung perihal kelulusan mereka menerima beasiswa S-2 di Sorbonne, Paris. (sekuen 188.d dan e)
Dari hasil kajian mengenai alur dapat disimpulkan bahwa pengaluran pada novel lebih jelas dan mendetail dibandingkan dengan film. Hal ini bisa dibuktikan dari lebih banyaknya jumlah sekuen yang terdapat dalam novel. Peristiwa dalam novel diceritakan oleh pengarang dengan begitu jelas termasuk bagaimana susana hati dari para tokoh saat mengalami peristiwa tersebut. Dalam film, banyak sekali peristiwa penting dalam novel yang hanya ditampilkan secara sekilas dalam bentuk kilas balik sehingga faktor emosi dari para tokohnya menjadi kurang tergali.
Arai mengajak Ikal dan Jimbron menemui Bang Zaitun untuk berkonsultasi tentang cara untuk memikat hati Zakiah Nurmala. (sekuen 39) Jimbron mengetahui dari orang-orang yang berada di warung bahwa Capo akan memelihara kuda. (sekuen 45) Cinta Arai mendapat respons positif dari Zakiah Nurmala. (sekuen 61) Arai menyanyikan lagu Melayu yang berjudul Fatwa Pujangga saat merayu Zakiah Nurmala. (sekuen 61.b) Ikal membawa kuda coklat yang bernama Pangeran Mustika Raja Brana ke kamar kontrakkan untuk diperlihatkan kepada Jimbron. (sekuen 60) Ikal dan Arai berhasil menjadi sarjana setelah mereka bersama-sama berkuliah di Universitas Indonesia. (sekuen 66) Ikal diberitahu oleh Arai mengenai informasi beasiswa S-2 di Eropa. (sekuen 68.c) Ibu membacakan surat kepada ayah bahwa Ikal dan Arai mendapatkan beasiswa S-2 di Sorbonne, Paris. (sekuen 76)
1.2 Latar Latar tempat antara novel dan film Sang Pemimpi tidak berbeda jauh. Cerita pada novel dan film sebagian besar terjadi di Belitong. Kejadian atau peristiwa yang mengambil latar tempat di Belitong yaitu Pelabuhan Magai, SMA Negeri Manggar, Pasar Pagi, rumah orang tua Ikal, Toko A Siong, pabrik cincau, balai desa, bioskop, kamar kontrakan, WC sekolah, Jembatan Linggang, rumah Bang Zaitun, pekarangan rumah Nurmala, Dermaga Olivir, Kapal Bintang Laut Selatan. Selain Belitong, latar tempat lain yang digunakan adalah Tanjung Priok, Terminal Bus Bogor,
19
DEIKSIS - JURNAL PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
kamar kontrakan di Bogor, kios fotokopi, kantor pos, kereta api, dan sebuah gedung di Jakarta. Potret kehidupan Pulau Belitong yang kaya akan sumber daya alam yaitu timah berbanding terbalik dengan kesejahteraan dan tingkat pendidikan dari penduduknya. Sungguh ironis, pulau yang termasuk kaya ini hanya memiliki sebuah sekolah yang layak dan tidak semua murid bisa mengaksesnya. Potret kemiskinan dari penduduk Belitong dihadirkan lewat tokoh Ikal, Arai, dan Jimbron. Mereka harus rela bekerja keras menjadi kuli ngambat untuk membiayai sekolah dan membantu keuangan keluarga yang kembang kempis karena hanya bekerja sebagai kuli sekop di PN Timah. Lewat tokoh Ayah dapat diketahui nasib penduduk Belitong yang tidak bisa menikmati kekayaan alamnya sendiri dan harus rela bumi mereka dieksploitasi tanpa henti. Walau telah bekerja selama 30 tahun lebih, Ayah tetaplah menjadi seorang kuli yang masa depannya tidak jelas. Nasib Ayah pun menjadi tragis di saat dia harus di PHK akibat PN Timah runtuh karena harga timah di pasar dunia merosot tajam. Kehidupan penduduk di sekitar dermaga digambarkan dengan cukup baik oleh penulis maupun sutradara. Selain timah, penduduk Belitong menyandarkan kehidupan pada hasil laut. Menjadi kuli ngambat (pemikul ikan) merupakan salah satu pilihan untuk menyambung hidup seperti yang dilakukan oleh tokoh Ikal, Arai, dan Jimbron. Mereka harus memikul ikan dari kapal menuju tempat pelelangan ikan. Aktivitas ini dilakukan mulai pukul dua hingga lima pagi di saat hasil tangkapan ikan sampai di dermaga. Sebagai hiburan utama, para penduduk di sekitar dermaga memilih untuk menonton film Indonesia di bioskop. Kondisi geografis dari Pulau Belitong yang masih lengang karena banyak sekali sabana dimanfaatkan oleh Capo untuk mendirikan peternakan kuda di
saat PN Timah kolaps. Banyaknya orang yang tersambar petir seperti yang terdapat pada novel menandakan betapa lapangnya tanah di Belitong dan betapa banyaknya kandungan logam (timah) di sana. Walaupun kaya akan sumber daya alam, Belitong adalah sebuah pulau yang sangat tertinggal dalam hal transportasi. Hal ini terlihat dari betapa jauhnya jarak yang harus ditempuh Ayah dengan menggunakan sepeda untuk mengambil raport Ikal dan Arai. Ketertinggalan masyarakat Belitong dalam hal informasi dan pembangunan diwakili oleh kepolosan tokoh Ikal dan Arai saat terkejut melihat kapal-kapal besar yang terdapat di Tanjung Priok. Selain itu, mereka pun terkagumkagum oleh sebuah toko yang dipenuhi lampu. Hal ini merupakan sesuatu yang baru dan tidak pernah mereka temukan di Belitong. Perbedaan budaya antara Belitong dan Jakarta membuat keduanya terkejut sebelum akhirnya tersadar bahwa mereka telah terdampar di Bogor. Mimpi-mimpi mereka dimulai saat mengontrak sebuah kamar di belakang IPB tepatnya di Babakan Fakultas. Bermodal ijazah SMA, mereka berdua bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Etos kerja keras yang sudah tertanam sejak di Belitong membuat mereka bisa bertahan dan mewujudkan impian untuk kuliah di Prancis. Latar waktu yang digunakan oleh pengarang dalam novel maupun sutradara dalam film tidak ada perbedaan. Petunjuk waktu yang digunakan yaitu pagi, siang, sore, dan malam. Latar waktu pagi dan siang hari mendominasi isi dari cerita. Hal ini dikarenakan aktivitas yang menyangkut tokoh utama yaitu Ikal serta dua sahabatnya yang bernama Arai dan Jimbron memang berlangsung di pagi atau siang hari seperti bermain, bersekolah dan bekerja sebagai kuli ngambat. Latar waktu malam hari hanya beberapa kali muncul misalnya di saat Ikal, Arai, dan Jimbron
20
DEIKSIS - JURNAL PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
menonton film di bioskop serta saat mereka pergi ke rumah Nurmala untuk menyanyikan sebuah lagu. Melalui latar waktu yang dihadirkan pengarang dalam cerita kita menjadi tahu kehidupan masyarakat Belitong, khususnya mengenai aktivitas penduduk di sekitar dermaga. Bagi sebagian besar orang, kehidupan mereka dimulai pada saat subuh atau dini hari seperti yang dialami oleh tokoh Ikal, Arai, dan Jimbron. Mereka harus bekerja sejak dini hari sebagai kuli ngambat dikarenakan hasil tangkapan ikan memang datang saat malam atau dini hari. Waktu hiburan bagi
penduduk di sekitar dermaga terjadi pada saat malam hari dengan menonton film di bioskop. Berdasarkan kajian terhadap latar tempat dan latar waktu, latar sosial yang terdapat di dalam novel dan film Sang Pemimpi yaitu latar sosial yang mencerminkan kehidupan masyarakat di Pulau Belitong. Hal ini tergambar dari cara berpikir dan bersikap para tokoh-tokohnya yang merefleksikan kebisaaan hidup, adat istiadat, tradisi, pandangan hidup, dan keyakinan masyarakat Belitong.
1.3 Tokoh Berdasarkan analisis tokoh-tokoh, berikut ini disajikan tabel tokoh dalam film dan novel Sang Pemimpi. Tokoh dalam Novel dan Film Sang Pemimpi No. Tokoh dan Penokohan Novel Sang No Tokoh dan Penokohan Pemimpi Pemimpi 1.
Tokoh Utama: Ikal
1.
Tokoh Utama: Ikal
2.
Tokoh Pendukung Penting: a. Arai b. Jimbron c. Ayah d. Ibu e. Pak Mustar f. Pak Julian Ichsan Balia g. Bang Zaitun h. Laksmi i. Zakiah Nurmala
2.
Tokoh Pendukung Penting: a. Arai b. Jimbron c. Ayah d. Ibu e. Pak Mustar f. Pak Julian Ichsan Balia g. Bang Zaitun h. Laksmi i. Zakiah Nurmala j. Bang Rokib
3.
Tokoh Pendukung Kurang Penting: a. Ny. Lam Nyet Pho atau Capo b. Mak Cik Maryamah c. Nurmi d. Ny. Deborah Wong e. Tagem f. A Pui g. Taikong Hamim h. A Kiun i. Pak Cik Basman j. Minar l. Tukang jagung m. Mualim Kapal
3.
Film
Sang
Tokoh Pendukung Kurang Penting: a. Ny. Lam Nyet Pho atau Capo b. Mak Cik Maryamah c. Nurmi d. Ny. Deborah Wong e. Taikong Hamim
21
DEIKSIS - JURNAL PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
Berdasarkan perbandingan tokoh dalam film dan novel, tokoh Ikal paling sering muncul kehadirannya dan dijadikan sebagai penutur di dalam novel maupun film. Dengan demikian, tokoh Ikal bisa dikatakan sebagai tokoh utama. Tokoh lainnya seperti Arai dan Jimbron dikelompokkan ke dalam tokoh pendukung yang cukup penting karena kemunculannya sebagai subjek peristiwa tidak sebanyak Ikal. Tokoh pendukung lain yang kedudukannya cukup penting dalam novel maupun film adalah ayah, ibu, Pak Mustar, Pak Julian Ichsan Balia, Bang Zaitun, Laksmi, Zakiah Nurmala, dan Bang Rokib. Selain tokoh-tokoh di atas, terdapat pula tokoh pendukung yang kurang penting karena kehadirannya tidak terlalu berpengaruh terhadap isi maupun jalan cerita. Tokoh-tokoh tersebut adalah Ny. Lam Nyet Pho atau Capo, Mak Cik Maryamah, Nurmi, Ny. Deborah Wong, Tagem, A Pui, Taikong Hamim, A Kiun, Pak Cik Basman, Minar, Tukang jagung, Mualim Kapal. Berdasarkan tabel tersebut penulis menyimpulkan bahwa tokoh di dalam novel lebih lengkap dibandingkan dengan film Sang Pemimpi. Hal ini dikarenakan terdapat beberapa peristiwa dalam novel yang tidak muncul pada versi filmnya, seperti yang telah penulis bahas di bagian pengaluran. Selain itu, penokohan beberapa tokoh pada novel dan film Sang Pemimpi terdapat perbedaan. Hal yang paling mencolok adalah penokohan pada tokoh Arai. Di dalam novel, tokoh Arai kedudukannya begitu penting dan berpengaruh terhadap Ikal dan Jimbron. Namun, hal ini tidak terlihat dalam versi filmnya. Di dalam film, tokoh Arai kurang berpengaruh terhadap tokoh lain dan beberapa penokohannya dihadirkan secara selintas atau melalui narator saja.
1.4 Sudut Pandang Berdasarkan analisis alur, latar, tokoh beserta penokohannya, dalam novel dan film Sang Pemimpi, pencerita menggunakan sudut pandang campuran antara sudut pandang persona pertama yaitu “aku” dan persona ketiga yaitu “dia”. Sudut pandang persona pertama yang digunakan dalam novel dan film Sang Pemimpi yaitu “aku” sebagai pelaku atau tokoh utama. Dalam sudut pandang teknik ini, si “aku” mengisahkan berbagai peristiwa dan tingkah laku yang dialaminya, baik yang bersifat batiniah (dalam diri sendiri) maupun bersifat fisik (hubungannya dengan sesuatu yang di luar dirinya). Dalam sudut pandang “aku”, narator hanya bersifat mahatahu bagi diri sendiri. Ia hanya berkedudukan sebagai pengamat saja terhadap tokoh-tokoh “dia” yang bukan dirinya. Tokoh yang berperan menjadi “aku” dalam cerita ini adalah Ikal. Sudut pandang persona ketiga yang digunakan dalam novel dan film Sang Pemimpi yaitu “dia” yang serba mahatahu. Kedudukan pencerita atau narator adalah seseorang yang berada di luar cerita yang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama, atau kata gantinya; ia, dia, mereka. Dalam literatur bahasa Inggris, sudut pandang persona ketiga mahatahu dikenal dengan istilah-istilah the omniscient point of view, third-person omniscient, the omniscient narrator, atau author omniscient. Tokoh yang berperan sebagai “dia” yang mahatahu dalam cerita ini adalah Ikal. 1.5 Gaya Pada novel Sang Pemimpi, pengarang menggunakan kata-kata atau istilah asing dalam bahasa Inggris yang berhubungan dengan disiplin ilmu tertentu seperti perfilman. Kata-kata tersebut di antaranya adalah slide, shooting, casting, action, dan cut. Selain kata-kata atau istilah asing, terdapat pula kata-kata yang jarang digunakan dalam percakapan sehari-
22
DEIKSIS - JURNAL PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
hari. Penggunaan kata-kata yang jarang ini membuat pembaca lebih aktif untuk mencari artinya dalam kamus. Dampaknya,
pengetahuan pembaca terhadap suatu hal menjadi bertambah sehingga dapat memperkaya wawasan.
Berikut ini merupakan tabel dari kata-kata yang jarang digunakan dalam percakapan sehari-hari yang muncul dalam novel beserta artinya. Kata dan Arti Kata pada Novel Sang Pemimpi No. Kata Arti Kata 1. Jermal Alat untuk menangkap ikan di tepi laut berupa pagar dari pancang, diberi pintu seperti bubu dan di belakangnya dipasang jaring besar yang dapat diangkat-angkat. 2. Langkong Calon pegawai rendahan di PN Timah. 3. Ngambat Berasal dari kata menghambat yaitu menunggu perahu nelayan yang tambat. 4. Peregasan Peti papan besar untuk menyimpan padi. 5. Semburat Memancarkan cahaya atau bersinar. 6. Simpai Keramat Julukan orang Melayu untuk orang terakhir yang tersisa dari suatu klan. 7. Wasrai Instalasi pencucian timah. Dalam novel Sang Pemimpi, pengarang menyisipkan beberapa majas terutama personifikasi dan hiperbola dalam susunan kalimat yang dirangkainya. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk memberikan efek tertentu terhadap pembaca sehingga bahasa dalam novel tidak menjadi monoton karena kurangnya variasi dari segi estetika. Selain itu, pengarang mencoba untuk menyisipkan beberapa informasi penting berupa fakta yang terjadi dalam dunia realitas. Informasi ini adalah pekikan kata-kata yang memberikan inspirasi yang diucapkan oleh tokoh-tokoh berpengaruh di dunia. Berikut ini merupakan beberapa contoh majas personifikasi dan hiperbola serta pekikan kata-kata inspiratif yang digunakan pengarang dalam novel Sang Pemimpi. Sungai itu pun patuh. Riak-riak kecilnya membisakan cahaya seumpama jutaan bola-bola kaca yang dituangkan dari langit. (Hirata: 61)
Klakson sepeda motor dan kliningan sepeda sahut-menyahut dengan jerit mesin-mesin parut dan ketukan palu para tukang sol sepatu. (Hirata: 9) Setiap tarikan menyayat-nyayat (Hirata: 13)
napas perih rusukku.
Namun, aku tak tahan di kandang mendidih berbau amis itu. (Hirata: 10) “I shall return! Jendral Douglas Mac-Arthur, pahlawan Perang Dunia Kedua!” (Hirata: 64) “Tak semua yang dapat dihitung, diperhitungkan, dan tak semua yang diperhitungkan, dapat dihitung! Albert Einstein, fisikawan nomor wahid!” (Hirata: 64) Bahasa pada film Sang Pemimpi relatif lebih sederhana dibandingkan dengan novelnya. Tidak semua kata-kata
23
DEIKSIS - JURNAL PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
atau ungkapan dalam novel terdapat dalam film karena sebagian besar sudah terwakili oleh visualisasi yang menjadi kelebihan dalam film. Berkenaan dengan analisis struktur naratif film, Riri Riza memakai pendekatan konvensional. Di tengahtengah film, alur cerita lebih emosional dan menghadirkan struktur naratif yang lebih tertata dan kronologis. Dialog-dialog yang membangun naratif film pun tak lepas dari unsur akting yang dilakukan oleh para tokohnya. Di sini gaya menemukan irisan serta korelasi dengan naratif. Dialog-dialog yang diambil dari film-film lain dan filmfilm dia sebelumnya terkadang berisi halhal tidak penting dan juga berisi guyonan. Pada intinya, film Sang Pemimpi tersebut mencoba untuk menggambarkan kehidupan seseorang yang miskin di tengah-tengah budaya tradisonal di suatu tempat dan waktu yang sama. 1.6 Tema Tema dari novel dan film Sang Pemimpi adalah persahabatan tiga orang remaja dalam menggapai impian atau citacita. Adalah seorang guru bernama Balia yang menjadi sumber inspirasi bagi Ikal, Arai, dan Jimbron. Kelas Balia membawa mereka pada keajaiban ilmu pengetahuan dan luasnya kehidupan, tempat yang memberi mereka nafas untuk keluar dari tekanan hidup. Balia membarakan semangat mereka untuk menjelajahi Eropa dan bagian dunia lain untuk mengarungi kehidupan. Namun, pada saat yang sama, mereka harus menghadapi sikap keras Pak Mustar, sang kepala sekolah. Kontras dengan sikap Balia, Pak Mustar adalah seorang guru yang tegas dan suka menghukum siswa. Problematika yang mereka hadapi tak hanya soal sekolah dan bertahan hidup, tapi juga masalah cinta. Cinta Arai pada Zakiah Nurmala menggiringnya menjadi seorang penyanyi dadakan dengan berguru pada Bang Zaitun, seorang pemusik Melayu keliling. Jimbron jatuh hati pada Laksmi, gadis pemurung pekerja pabrik
cincau yang tak pernah tersenyum sejak orang tuanya meninggal. Cinta Ikal hanya sebatas imajinasi karena dirinya lebih tertarik pada gambar wanita molek dari sebuah reklame film Indonesia di bioskop. Kebimbangan Ikal akan hidup dan masa depan membuatnya patah arang dan berusaha menghapus impiannya bersekolah ke Eropa bersama Arai. Ikal yang dulu seolah memiliki semangat menggebu-gebu, menjadi Ikal yang tenggelam dalam keputusasaan dan menyisakan kekecewaan yang dalam bagi sang ayah yang sangat membanggakan dirinya sejak kecil. Rasa bersalah terhadap sang ayah membuat Ikal bangkit dan para pemimpi pun kembali berlari bersama. Satu persatu simpul-simpul kesulitan hidup untuk mencapai mimpi mereka buka. Cita-cita, harapan, dan cinta. Berbekal tambahan uang dari tabungan Jimbron, Ikal dan Arai melanjutkan hidup untuk merajut mimpi di Jakarta. Namun, setelah gelar sarjana diraih, Arai menghilang. Walaupun menghilang, lewat hubungan batin yang sangat kuat, Ikal yakin bahwa Arai masih hidup dan suatu saat nanti akan datang memberikan kejutan untuknya. Prasangka ini akhirnya benar. Tanpa diduga mereka bertemu lagi di suatu tempat di Jakarta pada saat mengikuti tes beasiswa S-2 ke Eropa. Ternyata selama ini Arai merantau ke Kalimantan karena tidak mau membebani hidup Ikal. Mereka pun larut dalam kebahagiaan. Tuhan memang selalu berpihak kepada orang yang sabar dan mau bekerja keras. Pengorbanan Ikal dan Arai semenjak kecil diganjar Tuhan dengan kenikmatan yang tiada tara. Cita-cita mereka untuk berkuliah di Sorbonne, Prancis, bukanlah sebuah mimpi lagi. Mimpi “Sang Pemimpi” pun akhirnya menjadi nyata. Tema atau pokok persoalan antara novel dan film Sang Pemimpi keduanya memiliki persamaan. Sutradara, dalam hal ini Riri Riza rupanya ingin
24
DEIKSIS - JURNAL PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
mempertahankan inti persoalan dari novel Sang Pemimpi. Persahabatan antara tiga orang remaja yang bernama Ikal, Arai, dan Jimbron, cinta seorang remaja terhadap lawan jenis, perjuangan dalam menggapai cita-cita, rasa cinta dan hormat terhadap orang tua, dan bersabar dalam menghadapi cobaan merupakan beberapa tema pada novel yang dihadirkan kembali oleh sang sutradara dalam film Sang Pemimpi. 1.7 Amanat Novel dan film Sang Pemimpi merupakan representasi dari perjuangan hidup tiga orang remaja dalam mencapai impian atau cita-citanya. Sebagai remaja Melayu yang miskin, mereka berjuang mengarungi gelombang kehidupan dengan hanya bermodal mimpi dan harapan. Isi cerita berkisah tentang kehidupan remaja yaitu Ikal, Arai, dan sahabatnya yang ”keracunan kuda” yaitu Jimbron. Motivasi dari Pak Balia yang membakar semangat mereka untuk menggapai mimpi. Mimpi itu adalah pergi menuntut ilmu di altar pengetahuan Sorbonne, Paris, Prancis. Jangan pernah mendahului nasib! Itulah kalimat sakti yang membuat mereka berani bermimpi untuk melaksanakannya. Kalau melihat realitasnya, jangankan ke Paris, untuk menamatkan sekolah saja, mereka harus bekerja keras membanting tulang agar beban orang tua tidak berat. Mereka bangun pagi-pagi untuk menjadi kuli panggul sebelum berangkat sekolah. Sepulangnya, kerja apa saja dilakoni di warung-warung kopi, misalnya mencuci piring. Masa muda, masa yang berapi-api! Sebagai remaja tanggung, mereka pun tergoda untuk melakukan perbuatan yang dilarang oleh Pak Mustar, yaitu menonton film dewasa di bioskop. Setelah bergulat dengan batinnya masing-masing, mengklaim bahwa mereka telah cukup umur, niat itu pun dilaksanakan. Imbasnya adalah hukuman berat dari Pak Mustar yang membuat mental ketiga tokoh tersebut menjadi jatuh. Hal ini dapat
menyadarkan pembaca untuk selalu mematuhi nasihat orang tua. Cinta seorang remaja diangkat melalui tokoh Arai dan Jimbron yang berjuang untuk memikat hati perempuan yang bernama Zakiah Nurmala dan Laksmi. Berbagai cara romantis mereka lakukan mulai dengan memberi bunga, surat, berpantun, bahkan menjadi seorang penyayi dadakan. Bagi mereka, cinta adalah sesuatu yang harus diperjuangkan walaupun hasilnya tidak selalu manis. Berbeda dengan dua sahabatnya, bukti kecintaan Ikal kepada ayahnya dia tunjukkan dengan kembali bangkit dari keterpurukan. Setelah merasa mengecewakan ayah karena prestasi sekolahnya menurun, Ikal mencoba untuk mengejar ketertinggalan dalam pelajaran dan mendudukan kembali ayahnya di kursi garda terdepan. Akhirnya, usaha yang dia lakukan tidak sia-sia. Dia dapat lulus dari SMA dengan nilai yang membanggakan. Tidak mudah putus asa dan selalu menghadapi masalah dengan tegar itulah ciri khas dari tokoh Arai. Walapun dia sebatang kara karena kedua orang tuanya meninggal, Arai tetap bersemangat menjalani kehidupan sehari-hari. Mimpinya selalu menyala dan menjadi sumber inspirasi bagi Ikal dan Jimbron. Ide-ide kreatif dan mengejutkan senantiasa membuat orang lain terpana. Pengorbanannya tanpa pamrih pada saat merelakan seluruh tabungannya demi membantu Mak Cik Maryamah serta pada saat dia bekerja hingga larut malam agar sahabatnya Jimbron bisa mengendarai kuda adalah perbuatan yang patut untuk dicontoh. Pengorbanan orang tua yang tidak terhingga kepada anaknya dihadirkan tokoh ayah. Ayah merupakan sosok yang bijak, selalu mencintai anaknya walaupun dirinya dikecewakan. Dia rela bersepeda sejauh 60 kilometer, mengenakan baju terbaik hanya untuk mengambil rapor anak kesayangannya. Ikal bagi ayah selalu
25
DEIKSIS - JURNAL PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
menjadi harapannya dan yakin bahwa suatu saat nanti anaknya tersebut akan menjadi orang sukses. Pak Balia adalah sosok guru yang sederhana, kreatif, dan inspiratif bagi siswanya. Cara beliau mengajar dan memberikan motivasi kepada siswa patut untuk dicontoh. Kecintaan beliau terhadap istri dan anaknya merupakan modal baginya untuk menjalani kehidupan seharihari. Ketegasan dalam menjalankan disiplin dan kepatuhan terhadap peraturan dicontohkan oleh Pak Mustar. Beliau memandang bahwa hidup ini tidaklah mudah dan perlu kedisiplinan serta keseriusan dalam menjalaninya. Walaupun terkenal garang, ternyata Pak Mustar merupakan sosok yang bijak dan mencintai murid-muridnya. Secara umum, setelah membaca novel ini penulis seakan-akan diajak untuk merenungkan kembali arti dari perjuangan menjalani hidup. Tidak mudah menyerah, tegar dalam menjalani hidup dalam keterbatasan, membantu tanpa pamrih, hormat terhadap orang tua, saling menyayangi terhadap sesama, disiplin dan patuh terhadap peraturan, merupakan pesan positif yang ingin disampaikan oleh pengarang maupun sutradara dalam novel dan film Sang Pemimpi. Berdasarkan hasil analisis, penulis menyimpulkan bahwa amanat antara novel dan film Sang Pemimpi memiliki persamaan. Hal ini dikarenakan tema dari novel dan film Sang Pemimpi keduanya membahas pokok permasalahan yang sama. Jangan pernah mendahului nasib, selalu patuh terhadap nasihat orang tua, dan jangan mudah berputus asa, merupakan beberapa amanat yang ingin disampaikan oleh pengarang maupun sutradara dari novel dan film Sang Pemimpi.
2. Hubungan Antarunsur dalam Novel dan Film Sang Pemimpi Sebagian besar latar tempat yang digunakan dalam novel dan film Sang Pemimpi adalah Pulau Belitong. Pada latar waktu, sebagian besar didominasi oleh penunjuk waktu seperti pagi, siang, sore, dan malam untuk menunjukkan aktivitas yang dilakukan oleh para tokohnya. Dari latar ini dapat disimpulkan bahwa pengarang maupun sutradara menggunakan keadaan geografis Pulau Belitong sebagai landas tumpu bagi kehidupan yang dialami oleh para tokohnya. Kedudukan latar diperkuat oleh karakter para tokohnya yang mencerminkan sifat dan ciri khas dari orang-orang Melayu yang hidup di Pulau Belitong. Melalui tokoh dan penokohan, penulis dapat mengetahui bagaimana kebisaaan orang Melayu dalam bergaul dengan sesamanya, sifat orang Melayu, kebudayaan mereka yang begitu unik, kehidupan keberagamaan mereka, serta kepatuhan mereka dalam menjaga tradisi para leluhurnya. Salah satu hal yang unik dari novel dan film Sang Pemimpi yaitu mengenai pengaluran yang begitu didominasi oleh alur sorot balik dan alur kilas balik. Peranan pengaluran sangat sentral dalam novel dan film ini. Melalui pengaluran, penulis dapat mengetahui peristiwa yang dialami oleh para tokoh, sekaligus mengetahui karakter atau penokohan dan latar yang digunakan oleh pengarang dalam novel. Berdasarkan analisis alur, latar, tokoh beserta penokohannya, dalam novel dan film Sang Pemimpi, pencerita menggunakan sudut pandang campuran antara sudut pandang persona pertama yaitu “aku” dan persona ketiga yaitu “dia”. Penggunaan dua sudut pandang dalam sebuah novel atau film Sang Pemimpi terjadi karena pengarang ingin memberikan cerita lebih banyak kepada pembaca. Dengan demikian, pembaca
26
DEIKSIS - JURNAL PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
memperoleh cerita secara detil baik dari tokoh “aku” maupun “dia”. Hal ini juga berarti pembaca menjadi lebih tahu tentang berbagai persoalan hubungan tokoh-tokoh tersebut daripada tokoh-tokoh itu sendiri. Gaya yang dipergunakan oleh pengarang dalam novel ini sudah cukup baik. Pengarang menggunakan bahasa yang mudah dimengerti untuk pembacanya dengan menyisipkan kata-kata atau istilah asing serta informasi untuk menambah wawasan. Untuk menambah efek keindahan pada bahasa, pengarang menggunakan majas, khususnya majas personifikasi dan hiperbola. Berdasarkan pembahasan mengenai struktur novel dan film, penulis dapat dengan mudah untuk menarik suatu kesimpulan mengenai tema dan amanat yang terkandung di dalam novel dan film Sang Pemimpi. Amanat tidak terlepas dari tema yang diusung dalam novel dan film tersebut. Di dalam amanat, terdapat pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada kita sebagai pembaca maupun penyimak film. Berdasarkan uraian di atas, penulis dapat mengetahui bagaimana hubungan antarunsur yang terdapat di dalam novel dan film Sang Pemimpi. Hubungan antarunsur dalam novel dan film terjalin secara harmonis, saling mengisi, serta saling menguatkan satu sama lainnya. Tentu saja hal ini memudahkan pembaca dan penyimak film dalam memahami isi cerita secara utuh sebagai sebuah karya yang “nyaman” untuk dinikmati. D. PENUTUP Karya sastra termasuk novel, memiliki sebuah struktur yang kompleks. Oleh karena itu, untuk dapat memahaminya, karya sastra tersebut perlu didekati secara analitis. Dalam proses analisis, karya sastra diuraikan atas unsurunsur pembentuknya untuk kemudian dicari pemahaman hubungan antarunsur yang membentuk karya sastra tersebut.
Dengan demikian karya sastra sebagai sebuah karya yang kompleks akan mampu dipahami secara utuh oleh para pembaca. Salah satu kajian yang dapat digunakan untuk membedah karya sastra yaitu kajian struktural. Kajian struktural karya sastra yaitu kajian yang digunakan untuk mengetahui unsur-unsur intrinsik sebuah karya sastra dan menunjukkan keterkaitan hubungan antarunsur tersebut terjadi. Selain itu, pendekatan struktural sangat efektif untuk membandingkan persamaan serta perbedaan unsur intrinsik yang terdapat di dalam novel dan film Sang Pemimpi. Melalui pendekatan struktural kita dapat mengetahui bahwa struktur yang terdapat dalam novel dan film Sang Pemimpi memiliki beberapa persamaan dan perbedaan. Secara umum, unsur intrinsik novel Sang Pemimpi lebih lengkap dan detail dibandingkan dengan versi filmnya. Struktur novel maupun film Sang Pemimpi memiliki hubungan antarunsur yang terjalin begitu padu dan saling menguatkan satu sama lain. Hal ini dapat memudahkan masyarakat untuk memahami isi atau jalan cerita dari kedua karya tersebut. Selain itu, melalui novel dan film Sang Pemimpi, masyarakat menjadi lebih akrab dengan kebudayaan Melayu di Pulau Belitong. Semakin maraknya novel yang diadaptasi ke dalam bentuk film dewasa ini harus bisa disikapi dan dimanfaatkan secara baik. Adaptasi novel menjadi film hendaknya menyadarkan kita sebagai masyarakat bahwa di antara keduanya terdapat perbedaan yang mencolok. Ibarat sebuah pohon yang memiliki satu akar yang sama, daun-daun yang tumbuh di atasnya tidak akan pernah identik sama. Kedua karya tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing yang layak untuk diapresiasi oleh masyarakat pembaca dan penonton di Indonesia.
27
DEIKSIS - JURNAL PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
PUSTAKA RUJUKAN Aminuddin. 1995. Pengantar Apresiasi Sastra. Bandung: Sinar Baru. Eneste, Pamusuk. 1991. Novel dan Film. Flores: Nusa Indah. Esten, Mursal. 1978. Kesusastraan (Pengantar. Teori, dan Sejarah). Bandung: Angkasa. Fokkema, D.W. 1998. Teori Sastra Abad Dua Puluh. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Gianetti, Louis. 2002. Understanding Movies. New Jersey: Prentice Hall. Jauss, Hans Robert. 1982. Toward an Aesthetic of Reception. Minneapolis: University of Minnesota Press. Luxemburg, Jan Van. 1989. Tentang Sastra. Jakarta: Intermasa. Luxemburg, Jan Van. 1992. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: PT. Gramedia. Pratista, Himawan. 2008. Memahami Film. Yogyakarta: Homerian Pustaka. Sudjiman, Panuti. 1984. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya. Sumarjo, Jakob. 1979. Masyarakat dan Sastra Indonesia. Yogyakarta: Nur Cahya. Sumarjo, Jakob. 1984. Memahami Kesusatraan. Bandung: Alumni. Suwondo, Tito. 2003. Studi Sastra Beberapa Alternatif. Yogyakarta: PT. Hanindita Graha Widia. Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra (Pengantar Teori Sastra). Jakarta: Pustaka Jaya. Teeuw, A. 1980. Tergantung pada Kata. Jakarta: Pustaka Jaya. Wellek, Rene dan Austin Warren. 1990. Teori Kesusastraan (terj. M. Budianta). Jakarta: Gramedia.
28