1
PERBANDINGAN SENSITIVITAS ANTARA LINEZOLID DAN VANCOMYCIN TERHADAP Staphylococcus aureus SKRIPSI
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010
2
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Staphylococcus aureus adalah bakteri gram positif bagian dari flora normal manusia yang dapat ditemukan hampir di seluruh tubuh (Grundmann et al., 2002). Staphylococcus aureus sebenarnya merupakan flora normal yang terdapat pada kulit dan dalam hidung pada 20-30% manusia sehat (Modric, 2008). Namun, bakteri ini bisa berubah menjadi patogen utama yang berbahaya pada manusia karena mampu menginfeksi hampir di semua jaringan dan sistem organ (Noviana, 2004; Wickner dan Schekman, 2005). Staphylococcus aureus mampu menyebabkan beragam penyakit yang mempunyai rentang gejala mulai dari infeksi pada luka yang terlokalisir, sampai dengan infeksi sistemik yang mengancam jiwa (Madjid dan Handojo, 1999). Staphylococcus aureus juga merupakan salah satu bakteri penyebab infeksi nosokomial yang dapat menyebabkan angka kesakitan dan kematian paling banyak (Isbandrio, 1999). Masalah ini mulai menjadi perhatian sejak terjadi pandemi tahun 1940-1950 hingga pada tahun 1990-1996 menyebabkan infeksi nasokomial sebesar 34% (Weinstein, 1998). Antibiotika golongan β-laktam merupakan antimikroba pilihan untuk mengendalikan infeksi oleh Staphylococcus aureus. Namun dewasa ini, kasus resistensi Staphylococcus aureus terhadap obat golongan β-laktam ini makin meningkat. Banyak isolat Staphylococcus aureus yang ditemukan mengalami
3
resistensi terhadap obat golongan tersebut, yang biasa disebut MethicillinResistant Staphylococcus aureus, MRSA (Prakash, 2007). Resistensi terjadi akibat adanya perubahan sifat pada protein pengikat β-laktam di membran selnya (Jawetz et al., 2002. Isbandrio (1999) menyebutkan bahwa hampir 30% Staphylococcus aureus yang diisolasi dari infeksi nasokomial merupakan strain MRSA. Vancomycin adalah obat golongan glikopeptida. Vancomycin merupakan obat pilihan kedua jika penderita alergi atau terjadi resistensi terhadap antibiotika golongan β-laktam (Setiabudy, 2005). Vancomycin juga menjadi obat standard yang efektif digunakan untuk mengendalikan MRSA (Isbandrio, 1999; Heggers et al., 2002). Namun, vancomycin mempunyai beberapa kelemahan, antara lain : 1) Penggunaan vancomycin dalam waktu yang lama mempunyai berbagai efek samping yang berat, antara lain : kerusakan organ vestibuler dan organ cochlear, hilangnya pendengaran, tinnitus, kerusakan nefron pada ginjal (Miralles et al., 1990). 2) Rendahnya penetrasi vancomycin ke paru-paru pada penderita pneumonia yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus (Chan, 2008). 3) Penggunaan vancomycin secara terus menerus, telah memicu timbulnya Vancomycin Intermediate S. aureus (VISA). Kelemahan-kelemahan ini memacu kalangan medis mencari antibiotik alternatif lainnya guna memperkaya ragam pilihan antibiotik untuk pencegahan terjadinya resistensi. Linezolid merupakan salah satu dari Oxazoladinone, suatu kelas antibiotik sintetis baru. Pada penelitian sebelumnya, telah dibuktikan bahwa
4
linezolid mempunyai aktivitas anti MSSA (Methicillin Susceptible S. aureus) dan MRSA secara In vitro (Heggers et al., 2002; Shorr et al., 2005). Linezolid mempunyai beberapa keunggulan di bandingkan vancomycin. Keunggulan linezolid di antaranya tergambar pada kemampuannya mencapai jaringan pada level yang bagus untuk melawan infeksi, baik pada pemberian sistemik maupun peroral (Heggers et al., 2002). Linezolid diyakini dapat menjadi alternatif
pengobatan
bakterimia
selain
vancomycin.
Linezolid
juga
mempunyai efek samping yang relatif lebih aman (Shorr et al., 2005). Berdasarkan uraian di atas, penulis mencoba melakukan penelitian untuk membandingkan sensitivitas antara linezolid dan vancomycin terhadap Staphylococcus aureus secara In vitro. Hal ini penting untuk memberi dasar yang lebih obyektif bagi pemilihan antibiotik sebagai alternatif pengobatan infeksi Staphylococcus aureus secara rasional berdasarkan besarnya kemanfaatan dan kerugian. Sehingga akan bermanfaat untuk menurunkan angka morbiditas dan mortalitas pada pasien akibat infeksi Staphylococcus aureus. Pada akhirnya akan meningkatan efisiensi dalam hal ekonomi dan waktu penyembuhan.
B. Rumusan Masalah ”Apakah ada perbedaan sensitivitas yang bermakna antara Linezolid dan Vancomycin terhadap bakteri Staphylococcus aureus isolat RSUD dr. Moewardi Surakarta secara In vitro”
5
C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbandingan sensitivitas antara linezolid dan vancomycin terhadap bakteri Staphylococcus aureus isolat RSUD dr. Moewardi Surakarta secara In vitro.
D. Manfaat Penelitian 1. Teoritis Sebagai bahan pertimbangan untuk penelitian tentang infeksi Staphylococcus aureus di RSUD dr. Moewardi Surakarta selanjutnya. 2. Aplikatif Menjadi bahan pertimbangan penggunaan antibiotik alternatif untuk pengobatan infeksi Staphylococcus aureus yang terjadi di RSUD dr. Moewardi Surakarta
6
BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka 1. Staphylococcus aureus a. Klasifikasi Domain
: Bacteria
Kingdom : Eubacteria Filum
: Firmicutes
Kelas
: Cocci
Orde
: Bacillales
Famili
: Staphyloccaceae
Genus
: Staphyloccus
Kelas
: Staphylococcus aureus (Wikipedia, 2009).
b. Morfologi Staphylococcus aureus merupakan kuman komensal manusia, dapat hidup pada manusia sehat tanpa menimbulkan infeksi (American College of Physician, 2006). Kuman ini dapat ditemukan pada kulit dan membran mukosa. Membran mukosa nasofaring anterior adalah tempat utama kolonisasi kuman. Tempat kolonisasi lain adalah vagina, kulit yang mengalami lesi, dan perineum (Parsonnet, 2005). Staphylococcus aureus adalah sel sferis gram-positif, biasanya tersusun dalam kelompok seperti anggur yang tidak teratur
7
(Brooks et al., 2007). Staphylococcus aureus bersifat fakultatif anaerobik, dalam mikroskop elektron tampak sebagai koloni yang besar, bulat, dan berwarna kuning keemasan (Wikipedia, 2009), pigmen kuning keemasan ini merupakan perlindungan terhadap efek antibiotik dan sinar matahari (Tortora et al., 1995). Koloni Staphylococcus aureus mempunyai diameter 0,5 sampai 1,5 µm (Parsonnet, 2005). Pada pembiakan dengan piring agar darah, sering tampak adanya zona hemolisis (Wikipedia, 2009). Spesies ini dapat dibedakan dengan spesies Staphylococcus lain dengan tes koagulase. Staphylococcus aureus menghasilkan koagulase, protein mirip enzim mengandung oksalat atau sitrat yang dapat menggumpalkan plasma.
Staphylococcus aureus bersifat
koagulase positif, sedangkan spesies lain bersifat koagulase negatif (Wikipedia, 2009). Spesies ini memfermentasikan manitol, yang membedakannya dengan S. epidermidis (Warsa, 1993). Staphylococcus aureus juga bersifat katalase positif, yang mengubah hidrogen peroksida menjadi air dan oksigen. Sifat ini membedakannya dengan Enterococcus dan Streptococcus (Wikipedia, 2009). c. Biakan Staphylococcus mudah berkembang pada sebagian besar medium bakteriologik dalam lingkungan aerobik atau mikroaerofilik. Organisme ini paling cepat berkembang pada suhu 37°C tetapi suhu
8
terbaik untuk mengahasilkan pigmen adalah suhu ruangan, 20-25°C, (Brooks et al., 2007). d. Sifat Pertumbuhan Staphylococcus memproduksi katalase, yang membedakannya dengan Streptococcus. Staphylococcus memfermentasikan banyak karbohidrat secara lambat, menghasilkan asam laktat tapi tidak menghasilkan gas. Staphylococcus relatif resisten terhadap pengeringan, panas dan NaCl 9% tetapi mudah dihambat bahan kimia tertentu seperti heksaklorofen 3% (Brooks et al., 2007). e. Habitat Staphylococcus aureus merupakan flora normal yang terdapat pada kulit dan dalam hidung pada 20-30% manusia sehat (Modric, 2008). Staphylococcus aureus juga terdapat di dalam traktus genitourinarius dan di trakus gastrointestinalis (Migula, 2008). Kuman ini dapat menjadi penyebab infeksi baik pada manusia maupun hewan (Dellit, 2007). f. Temuan Klinis Infeksi oleh jenis kuman ini yang terutama menimbulkan penyakit pada manusia. Setiap jaringan atau alat tubuh dapat diinfeksi olehnya dan menimbulkan penyakit dengan tanda-tanda yang khas, yaitu : peradangan, nekrosis, dan pembentukan abses (Warsa, 1993). Staphylococcus
aureus
menyebabkan
penyakit
dengan
cara
9
memproduksi toksin dan berkembang biak di dalam jaringan serta menyebabkan peradangan (Jawetz et al., 2002). Toksin dan enzim yang dihasilkan oleh Staphylococcus aureus antara lain : 1. Enterotoksin Enterotoksin
menyebabkan
gejala
seperti
keracunan
makanan yaitu muntah yang prominen dan diare yang tidak berdarah. Toksin ini bekerja sebgai superantigen dengan traktus digestivus
yang
menstimulasi
pengeluaran
sebagian
besar
interleukin-1 (IL-1) dan interleukin-2 (IL-2) dari makrofagdan sel T helper secara berangsur-angsur. Enterotoksin bersifat tahan terhadap panas dan biasanya tidak inaktif dengan perebusan. Enterotoksin juga tahan terhadap asam lambung dan enzim lain di lambung dan jejunum. Terdapat 6 tipe immunologi dari enterotoksin, yaitu A-F. 2. Toksin Sindrom Syok Toksin Toksin sindrom syok toksin menyebabkan syok toksik, khususnya pada wanita menstruasi dan individu dengan infeksi luka. Toksin ini diproduksi secara lokal oleh
Staphylococcus
aureus di vagina, hidung, dan daerah infeksi. Toksin ini dapat masuk ke dalam aliran darah sehingga menyebabkan bakteimia. Toksin ini bekerja sebagai superantigen dan menyebabkan syok toksik dengan menstimulasi pengeluaran sebagian besar interleukin1 (IL-1), interleukin-2 (IL-2), dan tumor necrosis factor (TNF).
10
3. Ekfoliasin Ekfoliasin menyebabkan sindrom luka bakar pada anakanak. Toksin ini bersifat epidermolitik dan bekerja sebagai protease yang merusak desmoglein pada desmosom yang menyebabkan pemisahan epidermis dari lapisan sel granuler (Jawetz dan Levinson, 2003). Manifestasi
klinis
yang
disebabkan
oleh
peradangan
Staphylococcus aureus antara lain : a. Infeksi kulit, seperti: impetigo, furunkel, karbunkel, paronychia, selulitis, folikulitis, dll. b. Septikemia dapat berasal dari berbagai lokasi lesi, khususnya infeksi luka atau hasil dari penyalahgunaan narkoba. c. Endokarditis. d. Osteomyelitis dan arthritis. e. Pneumonia. f. Abses Manifestasi yang disebabkan oleh toksin : a. Toxic shock syndrome, ditandai adanya demam hipotensi, rash, dll. b. Scalded Skin Syndrome c. Keracunan makanan (Jawetz et al., 2002). Staphylococcus aureus menunjukkan berbagai resistensi terhadap antiseptik dan desinfektan. Kuman ini juga menunjukkan resistensi terhadap berbagai antibiotik (Tortora et al., 1995).
11
2. Resistensi Resistensi sel mikroba adalah suatu sifat tidak terganggunya kehidupan sel mikroba oleh anti mikroba, sifat ini merupakan suatu mekanisme alamiah untuk bertahan hidup (Setiabudy, 2005). Resistensi dapat terjadi karena adanya kekeliruan dalam pemilihan jenis antibiotika, waktu dan lama pemberian. Resistensi dapat pula terjadi akibat penggunaan antibiotika secara irasional, yang meliputi: a. Pemakaian antibiotika pada kondisi-kondisi yang sebenarnya tidak memerlukan terapi antibiotika, misalnya pada infeksi viral saluran pernafasan atas, diare akut nonspesifik, antibiotika profilaksi pada tindakan-tindakan bedah yang bersih (aseptik). b.
Pemakaian satu jenis antibiotika tanpa memandang jenis infeksi dan kuman penyebabnya. Di puskesmas antibiotika tetrasiklin diberikan pada kurang lebih 70% kasus dengan berbagai macam diagnosis (2).
c.
Pemakaian antibiotika dengan dosis yang tidak mencukupi misalnya pemberian selama 3 hari, tanpa melihat efek terapi yang terjadi.
d.
Pemberian antibiotika secara berlebihan pada kasus-kasus infeksi nonbakterial ringan dengan alasan untuk mencegah komplikasi karena kondisi malnutrisi.
e.
Pemakaian antibiotika kombinasi tanpa dasar dan tujuan yang jelas. (Santoso, 1990)
12
Adapun mekanisme yang menyebabkan mikroorganisme bersifat resisten terhadap obat antibiotik antara lain : a.
Bakteri memproduksi enzim yang menghancurkan obat aktif. Contoh: Staphylococcus yang resisten terhadap penicillin G menghasilkan βlaktamase yang menghancurkan obat. β-laktamase lain dihasilkan oleh bakteri gram negatif. Bakteri gram negatif resisten terhadap amioglikosida.
b.
Mikroorganisme mengubah permeabilitasnya terhadap obat. Contoh: tetrasiklin menumpuk pada bakteri yang rentan tetapi tidak pada bakteri yang resisten. Resistensi terhadap polimiksin juga dikaitkan dengan perubahan permeabilitas terhadap obat. Streptococcus juga mempunyai sawar permeabilitas alami terhadap aminoglikosida.
c.
Mikroorganisme menyebabkan perubahan struktural untuk obat. Contoh: organism resisten eritromisin mempunyai reseptor yang berubah pada subunit 50S ribosom, disebabkan oleh metilasi RNA 23S
ribosom.
Resistensi
terhadap
beberapa
penicillin
dan
cephalosporin mungkin diakibatkan oleh hilangnya PBP. d.
Mikroorganisme menyebabkan perubahan jalur metabolik yang melintasi reaksi yang dihambat oleh obat. Contoh: beberapa bakteri yang resisten terhadap sulfonamid tidak memerlukan PABA ekstraseluler tetapi, seperti sel mamalia, dapat menggunakan asam olat yang telah terbentuk sebelumnya.
13
e.
Mikroorganisme menyebabkan perubahan enzim yang masih dapat melakukan fungsi metaboliknya tetapi kurang dipengaruhi oleh obat. Contoh : pada bakteri yang resisten primetoprim, asam dihidrofolat reduktase dihambat kurang efisien daripada yang bakteri yang rentan trimetroprim (Brooks et al., 2007).
3. Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) adalah Staphylococcus aureus yang mengalami resistensi terhadap antibiotik golongan ß-lactamase termasuk di dalamnya : penicillin, methicillin, oxacillipenicillinn, nafcillin, dan cephalosporin (Dellit et al., 2007). Hal ini terjadi akibat adanya perubahan sifat pada protein pengikat penicillin di membran selnya (Jawetz et al., 2002). Perubahan yang terjadi pada penicillin binding protein, PBP2a atau PBP2, menyebabkan rendahnya afinitas Staphylococcus aureus terhadap hampir semua antibiotik blaktam. Protein PBP2a, yang terletak pada permukaan membran sel, merupakan faktor yang penting untuk biogenesis dinding sel yang dimediasi hubungan silang dari peptidoglikan. PBP2a dikode oleh mecA gen, yang berlokasi pada elemen genetik yang bergerak yang dikenal dengan Staphylococcal cassette chromosome mec element (SSCmec) (Chambers, 1997; Ito et al., 2004).
14
4. Antibiotika Antibiotika adalah obat pembasmi mikroba, khususnya mikroba yang merugikan manusia (Setiabudy, 2005). Antibiotik memiliki cara kerja sebagai bakterisidal, membunuh bakteri secara langsung, dan bakteriostatik,
menghambat
pertumbuhan
bakteri
tetapi
tidak
membunuhnya, (Jawetz et al., 2002). Antibiotik ialah senyawa kimia khas yang dihasilkan atau diturunkan oleh organisme hidup, termasuk struktur analognya yang dibuat secara sintetik dan dalam kadar rendah mampu menghambat proses penting dalam kehidupan satu spesies atau lebih mikroorganisme (Siswandono, 1995). Obat yang digunakan untuk membasmi mikroba penyebab infeksi pada manusia harus memiliki sifat toksisitas selektif setinggi mungkin. Artinya obat tersebut haruslah bersifat sangat toksik untuk mikroba, tetapi relatif tidak toksik untuk hospes (Setiabudy, 2005). Obat antimokroba yang ideal memperlihatkan toksisitas yang selektif. Dalam banyak hal toksisitas selektif bersifat relatif daripada absolut, berarti bahwa suatu obat dapat merusak parasit dalam konsentrasi yang dapat ditoleransi oleh inang (Katzung, 2004). Berdasarkan mekanisme kerjanya, antibiotik dibagi dalam lima kelompok : a. Mengganggu metabolisme sel mikroba. b. Menghambat sintesis dinding sel mikroba. c. Mengganggu permeabilitas membran dinding sel mikroba.
15
d. Menghambat sintesis protein sel mikroba. e. Menghambat sintesis atau merusak asam nukleat sel mikroba (Setiabudy, 2005). Pemberian antibiotika untuk mengatasi penyakit infeksi harus didasari informasi terkini tentang pola kuman dan kepekaannya terhadap berbagai antibiotika. Dibutuhkan pengobatan antibiotika yang tepat untuk mempercepat masa penyembuhan dan mencegah keadaan yang fatal. Adapun prinsip-prinsip pemilihan dan pemakaian antibiotika yang tepat meliputi langkah-langkah berikut: a. Penegakan diagnosis infeksi. Hal ini bisa dikerjakan secara klinis ataupun pemeriksaan-pemeriksaan tambahan lain yang diperlukan. b. Kemungkinan kuman penyebabnya, dipertimbangkan dengan perkiraan ilmiah berdasarkan pengalaman setempat yang layak dipercaya atau epidemiologi setempat atau dari informasi-informasi ilmiah lain. c. Apakah antibiotika benar-benar diperlukan. Sebagian infeksi mungkin tidak memerlukan terapi antibiotika misalnya infeksi virus saluran pernafasan atas, keracunan makanan karena kontaminasi kuman-kuman enterik. Jika tidak perlu antibiotika, terapi alternatif apa yang dapat diberikan. d.
Jika diperlukan antibiotika, pemilihan antibiotika yang sesuai berdasarkan : 1)
spektrum antikuman,
2)
pola sensitifitas,
16
3)
sifat farmakokinetika,
4)
ada tidaknya kontra indikasi pada pasien,
5)
ada tidaknya interaksi yang merugikan,
6)
bukti akan adanya manfaat klinik dari masing-masing antibiotika untuk infeksi yang bersangkutan berdasarkan informasi ilmiah yang layak dipercaya.
e. Penentuan dosis, cara pemberian, lama pemberian berdasarkan sifatsifat kinetika masing-masing antibiotika dan fungsi fisiologis sistem tubuh (misalnya fungsi ginjal, fungsi hepar dan lain-lain). f. Evaluasi efek obat. Apakah obat bermanfaat, kapan dinilai, kapan harus diganti atau dihentikan? Adakah efek samping yang terjadi? (Santoso, 1990) Uji aktivitas antimikroba secara umum dikelompokkan menjadi dua, yaitu : metode difusi dan metode dilusi. a. Metode difusi Cakram kertas sarin, cawan yang berliang renik, atau silinder tidak beralas, yang mengandung obat dalam jumlah tertentu ditempatkan pada pembenihan padat yang telah ditanami dengan biakan tebal organism yang diperiksa. Setelah pengeraman, garis tengah daerah hambatan jernih yang mengelilingi obat dianggap sebagai ukuran kekuatan hambatan obat terhadap organism yang diperiksa. Metode cawan piringan kertas merupakan teknik yang paling umum dipakai
17
untuk menetapkan kerentanan mikroorganisme terhadap zat kemoterapeutik (levinson, 2006). b. Metode dilusi Sejumlah
obat
antimikroba
tertentu
dicampurkan
pada
pembenihan bakteri yang cair atau padat. Kemudian pembenihan tersebut ditanami dengan bakteri yang diperiksa dan dieram. Titer obat ialah jumlah antimikroba yang dibutuhkan untuk menghambat pertumbuhan
atau
mematikan
bakteri
yang
diperiksa.
Teknik
pengenceran tabung menetapkan jumlah terkecil zat kemoterapeutik yang dibutuhkan untuk menghambat organisme invitro. Jumlah tersebut sebagai konsentrasi hambatan minimum atau Minimal Inhibitory Consentrations (MICs) (levinson, 2006). Di antara banyak faktor yang mempengaruhi aktivitas invitro, yang berikut harus diperhatikan secara nyata mempengaruhi hasil-hasil tersebut, yaitu : (1) pH lingkungan, (2) komponen-komponen pembenihan, (3) stabilisasi obat, (4) besarnya inokulum, (5) masa pengeraman, (6) aktivitas metabolik organisme (Brooks et al., 2007).
5. Vancomycin Vancomycin merupakan glikoprotein kecil (Mol Wt ~ 1,450) turunan dari tricyclic glycosylated nonribosomal peptide yang dihasilkan dari
fermentasi
Actinobacteria
spesies
Amycolatopsis
orientalis
(Wikipedia, 2010; Anaizi, 2002). Vancomycin aktif terhadap sebagian
18
besar kuman gram positif termasuk spesies Streptococci, Corynebacteria, Clostridia, Listeria, dan Bacillus (Anaizi, 2002). Vancomycin membunuh
bakteri dengan cara menghambat
sintesis dinding sel bakteri (Anaizi, 2002). Penghambatan sintesis dinding sel bakteri ini dilakukan melalui proses inhibisi penggabungan subunit Nacetylmuramic acid (NAM) dengan N-acetylglucosamine (NAG) dalam pembentukan matrik peptidoglycan. Peptidoglycan ini adalah komponen utama pembentuk struktur dinding sel bakteri gram positif (Wikipedia, 2010). Hal ini juga mengakibatkan kerusakan membran sel bakteri dan mengganggu sintesis RNA bakteri (Anaizi, 2002). Indikasi utama Vancomycin ialah septikemia dan endokarditis yang disebabkan oleh Staphylococcus, Streptococcus, atau Enterococcus bila pasien alergi terhadap penicillin atau cephalosporin. Vancomycin merupakan obat terpilih untuk infeksi oleh kuman MRSA dan colitis oleh Clostridium difficille akibat penggunaan antibiotik (Setiabudy, 2005). Obat ini sangat toksik sehingga hanya digunakan bila pasien alergi terhadap obat lain yang lebih aman. Ketulian permanen dan uremia yang fatal dapat terjadi pada pemberian dosis besar, terapi yang lama, atau bila diberikan pada pasien payah ginjal. Tromboflebitis dan nyeri lokal yang hebat dapat terjadi pada pemberian IV yang lama (Setiabudy, 2005). Efek samping lain yang mungkin terjadi antara lain : shock anafilaksis, toksis
epidermal
nekrolisis,
eritema
multiforme,
trombositopeni,
neutropenia, leucopenia, tinnitus, pening. Vancomycin juga dapat
19
menstimulasi pembentukan platelet-reactive antibodies pada tubuh pasien, sehingga terjadi trombositopenia, petechie, hemorrhage, ecchymoses, dan wet purpura (Wikipedia, 2010).
6. Linezolid Linezolid adalah antimikroba dari golongan Oxazoladinone, suatu kelas antibiotik sintetis jenis baru. Agen ini aktif terhadap bakteri gram positif, antara lain : Staphylococcus, Streptococcus, Enterococcus, Coccus anaerob gram positif, serta bakteri gram negatif seperti Corynebacteria dan Listeria monocytogenes (Jawetz et al., 2002). Linezolid dapat juga digunakan untuk mengobati infeksi yang disebabkan oleh bakteri gram positif yang resisten terhadap beberapa jenis antimikroba yang lain, seperti : Vancomycin-Resistant Enterococci (VRE), Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) dan Staphylococcus epidermidis, serta Penicillin-Resistant Pneumococci (PRE), (Wikipedia, 2010; Jawetz et al., 2002). Kemampuan ini menjadikan linezolid sebagai obat harapan terakhir untuk membasmi bakteri yang resisten (Wikipedia, 2010). Linezolid
bersifat
bakteriostatik
untuk
Enterococci
dan
Staphylococci. Sedangkan untuk Pneumococci linezolid bersifat bakterisid (Jawetz et al., 2002; Katzung, 2004). Linezolid bekerja dengan cara menghambat sintesis protein melalui sebuah mekanisme yang unik (Sader, 2001). Linezolid menghambat formasi kompleks ribosom yang mengawali sintesis protein. Situs pengikatnya yang unik, yang terdapat pada RNA
20
ribosom 23S pada subunit 50S (Katzung, 2004). Linezolid diperkirakan tidak akan menimbulkan resistensi silang dengan agen antibiotik yang sudah tersedia (Sader, 2001). Linezolid mempunyai bioavailabilitas oral yang tinggi dan waktu paruh sekitar 4-6 jam (Katzung, 2004). Indikasi utama linezolid adalah untuk infeksi pada kulit, jaringan lunak, dan pneumonia. Pada penggunaan untuk masa yang singkat, linezolid termasuk obat yang relatif aman. Antimikroba ini dapat digunakan untuk pasien di segala usia dan untuk pasien dengan gangguan fungsi hati dan ginjal. Efek samping pada penggunaan dalam masa yang singkat relatif ringan, di antaranya : sakit kepala, diare, dan mual-mual. Pada penggunaan jangka panjang (lebih dari dua minggu), linezolid dapat menyebabkan supresi sumsum tulang belakang, trombositoenia, neuropati saraf perifer, kerusakan nervus opticus, dan asidosis laktat (Wikipedia, 2010).
7. Kultur in vitro Kata “In vitro” berasal dari bahasa Latin, yang berarti "di dalam kaca". In vitro adalah istilah yang dipakai dalam ilmu biologi untuk menyebutkan kultur suatu sel, jaringan, atau bagian organ tertentu di dalam laboratorium. Istilah ini dipakai karena kebanyakan kultur artifisial ini dilakukan di dalam alat-alat laboratorium yang terbuat dari kaca, seperti cawan petri, labu Erlenmeyer, tabung kultur, botol, dan sebagainya (Wikipedia, 2010).
21
B. Kerangka Pemikiran Staphylococcus aureus
Terapi antimikroba golongan β-laktamase yang irasional dan tidak proporsional dalam jangka waktu yang panjang
Infeksi Staphylococcus aureus
Perubahan sifat-sifat protein Staphylococcus aureus terutama pada PBP, PBP2a, atau PBP2
Alternatif antibiotik yang lebih sensitif dari berbagai golongan antibiotik selain β-laktam
Vancomycin Penurunan afinitas pengikatan semua antibiotik jenis β-laktam oleh dinding sel Staphylococcus aureus
Linezolid
Perbandingan sensitivitas antimikroba terhadap Staphylococcus aureus
Resistensi Staphylococcus aureus terhadap antimikroba golongan β-laktamase meningkat
1. Timbulnya pandemi superbug 2. Penyakit sulit disembuhkan, sehingga menambah penderitaan pasien 3. Terjadi infeksi nosokomial 4. Masa pengobatan dan perawatan semakin lama 5. Biaya pengobatan dan perawatan meningkat 6. kematian
Keterangan garis : 1. Menyebabkan 2. Menghambat
Bahan pertimbangan pemilihan antimikroba selain β-laktamase untuk Staphylococcus aureus dengan memperhatikan keuntungan dan kerugian
Pemilihan antimikroba yang optimal
1. Mengurangi terjadinya resistensi Staphylococcus aureus terhadap antimikroba 2. Biaya pengobatan menurun 3. Mencegah pandemi superbug 4. Penyakit cepat disembuhkan 5. Harapan hidup dapat ditingkatkan
22
C. Hipotesis Ada perbedaan sensitivitas yang bermakna antara linezolid dan vancomycin terhadap bakteri Staphylococcus aureus secara In vitro
23
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian Jenis penelitan ini bersifat eksperimental laboratorium dengan metode post test only.
B. Lokasi dan Waktu Penelitian 1. Laboratorium Mikrobiologi RSUD dr. Moewardi Surakarta · Identifikasi Staphylococcus aureus Berdasarkan sampel yang diambil dari RSUD dr. Moewardi Surakarta pada bulan Oktober 2009 sampai dengan Januari 2010. 2. Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran UNS · Uji sensitivitas Staphylococcus aureus terhadap antibiotik Linezolid 30µg, Vancomycin 30µg dan cefoxitin 30µg. Berdasarkan sampel yang diambil dari RSUD dr. Moewardi Surakarta pada bulan Oktober 2009 sampai dengan Januari 2010.
C. Subjek Penelitian Subjek penelitian ini adalah bakteri Staphylococcus aureus isolat lokal dari Laboratorium Mikrobiologi RSUD dr. Moewardi Surakarta.
24
D. Teknik Sampling Sampel yang digunakan berasal dari isolat kuman yang diambil dari bulan Oktober 2009 sampai dengan Januari 2010 dengan cara insidental sampling. Sampel berupa isolat kuman Staphylococcus aureus yang diambil dari sputum, pus, urine, sekret telinga, sekret hidung, dan darah pasien rawat inap RSUD dr. Moewardi Surakarta. Sampel yang diambil sebanyak 30 buah (Rule of Thumb).
E. Identifikasi Variabel Penelitian 1. Variabel Bebas
: antibiotika linezolid dan vancomycin
2. Variabel Terikat: sensitivitas antibiotik yang ditunjukkan oleh besarnya diameter zona hambatan cakram antibiotik. 3. Variabel luar a. Terkendali
: : farmakologis obat
b. Tak terkendali: lingkungan, pola kuman, frekuensi dan jenis antibiotika lain yang sudah diberikan pada pasien. F. Definisi Operasional Variabel 1. Jenis antibiotik yang akan dibandingkan sensitivitasnya adalah vancomycin 30 µg dan linezolid 30 µg. 2. Jenis antibiotika pembanding yang digunakan adalah cefoxitin 30 µg. Cefoxitin digunakan untuk mengidentifikasi adanya bakteri Staphylococcus aureus yang resisten terhadap antibiotik golongan β-laktam.
25
3. Staphylococcus
aureus
yang
digunakan
sebagai
sampel
adalah
Staphylococcus aureus yang didapat dari RSUD dr. Moewardi Surakarta, yang diambil dari sputum, pus, urine, sekret telinga, sekret hidung, dan darah pasien rawat inap RSUD dr. Moewardi Surakarta. Sampel diidentifikasi dengan metode biokimia dan koloni (Media MSA, Uji katalase, Uji koagulase).
G. Alat dan Bahan Penelitian 1. Alat Penelitian a. Piring petri sedang (diameter 10cm) b. Tabung perbenihan c. Mikroskop binokuler d. Object glass e. Deck glass f. Inkubator g. Oshe kolong h. Kapas lidi steril i. Gelas ukur j. Tabung Erlenmeyer k. Power supply (Consort) l. Glass plate m. Autoclave (Ogawa Saiki) n. Penangas air (Haake)
26
o. Lemari pendingin p. Freezer q. Sarung tangan (glove) r. Masker s. Jas laboratorium 2. Bahan Penelitian a.
Kultur dan identifikasi Staphylococcus aureus 1) Media nutrien agar cair 2) Media agar darah plate 3) Media Vogel Johnson plate 4) Media MSA (Manitol Salt Agar) 5) Larutan NaCl 0,9% dan H2O2 3% (Uji Katalase) 6) Larutan NaCl 0,9% dan larutan plasma sitrat (Uji Koagulase) 7) Media nutrien agar miring
b. Uji sensitivitas antibiotik 1) Linezolid 30 µg 2) Vancomycin 30 µg 3) Cefoxitin 30 mg
27
H. Desain Penelitian
Staphylococcus aureus pada sputum pus, urine, sekret telinga, sekret hidung, dan darah pasien
Isolasi dengan nutrient cair Identifikasi dengan metode biokimia dan koloni (Media MSA, Uji katalase, Uji koagulase)
Positif
Suburkan dengan media nutrien cair
Uji sensitivitas antibiotik (linezolid 30µg, vancomycin 30µg, dan cefoxitin 30µg)
Ukur diameter zona hambatan antibiotik yang terjadi
28
I. Cara Kerja 1. Kultur dan identifikasi Staphylococcus aureus a. Ambil koloni kuman dari pasien yang mendapat terapi antibiotik, dengan menggunakan kapas swab kedalam media nutrien agar cair, inkubasi 37oC. b. Pindahkan pada media agar darah plate, amati koloni yang terbentuk. c. Pindahkan koloni Staphylococcus aureus; dengan oshe ke media MSA, bila media berubah warna menjadi merah, lanjutkan dengan uji katalase dan uji koagulase. d. Uji katalase 1) Pijarkan oshe pada lampu spiritus, biarkan agak dingin, ambil 2-3 oshe larutan NaCl 0,9%, letakkan pada kaca objek. 2) Pijarkan oshe pada lampu spiritus, biarkan agak dingin, ambil 2-3 oshe koloni Staphylococcus aureus, campurkan pada larutan NaCl tadi. 3) Teteskan larutan H2O2 3% 1-2 tetes pada campuran kuman dan larutan NaCl. 4) Amati hasilnya. e. Uji koagulase 1)
Pijarkan oshe pada lampu spiritus, biarkan agak dingin, ambil 2-3 oshe larutan NaCl 0,9%, letakkan pada kaca objek.
2)
Pijarkan oshe pada lampu spiritus, biarkan agak dingin, ambil 2-3 oshe koloni Staphylococcus aureus, campurkan pada larutan
29
NaCl tadi. 3)
Teteskan larutan plasma sitrat 1 oshe, campur dengan emulsi NaCl dan kuman pada kaca objek.
4) f.
Amati hasilnya. Pindahkan koloni kuman yang telah diidentifikasi Staphylococcus
aureus ke media nutrien agar miring untuk ditumbuhkan. 2. Uji sensitivitas vancomycin 30µg, linezolid 30µg, dan cefoxitin 30µg a. Pijarkan oshe pada lampu spiritus, biarkan agak dingin, ambil 2-3 oshe koloni Staphylococcus aureus. b. Pindahkan ke Media Mueller Hinton Agar yang sudah ditambah dengan larutan NaCl 0,9%. c. Cakram vancomycin 30µg, linezolid 30µg, dan cefoxitin 30µg diletakkan dengan jarak terpencar pada media tersebut. d. Setelah itu inkubasi pada suhu 37oC selama 24 sampai 48 jam. e. Hasil dilihat, diukur diameter zona hambatan yang terjadi. f. Besarnya diameter zona hambatan masing-masing antibiotik dikelompokkan ke dalam kategori sensitif, intermediet, dan resisten berdasarkan tabel berikut.
30
J. Teknik Analisis Data Statistik yang digunakan adalah statistik nonparametrik dengan analisis multivariat. Analisis multivariat yang digunakan ialah uji wilcoxon. Data terbagi dalam dua kelompok, dengan masing-masing kelompok terdiri dari tiga kategori. Data menggunakan skala variabel kategorik yang berpasangan.
31
BAB IV HASIL PENELITIAN
A. Data Hasil Penelitian Sampel Staphylococcus aureus dalam penelitian ini berjumlah tiga puluh isolat kuman yang diambil dari sputum, pus, urine, sekret telinga, sekret hidung, dan darah pasien rawat inap di RSUD dr. Moewardi Surakarta. Sampel diambil pada bulan Oktober 2009 sampai dengan Januari 2010. Proses idenifikasi sampel dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi RSUD dr. Moewardi Surakarta, kemudian diuji sensitivitasnya terhadap linezolid 30 µg, cefoxitin 30 µg, dan vancomycin 30 µg di Laboratorium Mikrobiologi FK UNS. Berikut ini data responden yang menjadi sampel penelitian ini.
Tabel 1. Sebaran Responden Menurut Umur Pasien Umur (tahun) 0-19 20-39 40-59 > 60
Frekuensi (orang) 6 9 11 4
Persentase (%) 20 30 37 13
Sumber : Data Primer, 2010
Menurut data umur di responden berdasarkan tabel 1, didapatkan sebaran umur responden 20 % berumur 0-19 tahun, 30 % berumur 20-39 tahun, 37 % berumur 40-59 tahun, dan > 60 tahun sebanyak 13 %.
32
Tabel 2. Sebaran Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Jenis Kelamin Pria Wanita
Frekuensi (orang) 11 19
Persentase (%) 37 63
Sumber : Data Primer, 2010 Berdasarkan data tabel 2, persentase responden wanita lebih banyak daripada jumlah responden pria yaitu 63 % sedangkan responden pria hanya 37 %.
Tabel 3. Sebaran Responden Berdasarkan Asal Sampel yang Digunakan Asal Sampel Sputum Pus Urine Sekret Hidung Sekret Telinga Darah
Jumlah (sampel) 2 17 2 2 3 4
Persentase (%) 7 56 7 7 10 13
Sumber : Data Primer, 2010 Pada tabel 3 yang menunjukkan sebaran responden berdasarkan asal sampel, didapatkan jenis spesimen terbanyak yang diambil adalah pus sebanyak 56 %. Kemudian darah sebanyak 13 %, sekret telinga sebanyak 10 %, sekret hidung 7 %, urine 7 %, dan sputum sebanyak 7 %. Hasil pengukuran diameter zona hambatan menunjukkan besaran diameter yang berbeda di antara ketiga antibiotik yang digunakan. Masingmasing antibiotik mempunyai spesifikasi yang berbeda dalam pengelompokkan derajat sensitivitasnya. Nilai derajat sensitivitas masing-masing antibiotik dan besarnya diameter zona hambatan masing-masing antibiotik pada tiap
33
sampel, tersaji pada lampiran 2 dan lampiran 3. Adapun rangkuman klasifikasi sampel yang resisten, intermediet, maupun sensitif terhadap linezolid, vancomycin, dan cefoxitin disajikan dalam tabel berikut.
Tabel 4. Sampel Berdasarkan Kriteria Klasifikasi Diameter Zona Hambatan Tiap-Tiap Antibiotik Antibiotik Linezolid Vancomycin Cefoxitin
Resisten 0 3 4
Jumlah sampel Intermediet 0 10 0
Total
Sensitif 30 17 26
30 30 30
B. Analisis Data Data hasil penelitian berupa diameter zona hambatan yang terkelompokkan dalam kategori sensitif, resisten, dan intermediet, dianalisis dengan Uji Wilcoxon. Pengujian dilakukan menggunakan program SPSS for Windows Release 16. Hasil analisis selengkapnya dapat dilihat pada lampiran. Adapun rangkuman uji statistik tersebut, tersaji dalam tabel berikut.
Tabel 5. Hasil Analisis Uji Wilcoxon antar Kelompok α=0.05
Pvalue
linezolid dengan cefoxitin
0.046
S
vancomycin dengan cefoxitin
0.215
NS
linezolid dengan vancomycin
0.001
S
Kelompok yang Dibandingkan
Sumber : Data Primer, 2010 Keterangan : S = Signifikan NS = Nonsignifikan
34
Ulasan singkat tabel 5. 1. Kelompok linezolid dengan cefoxitin Ada perbedaan yang signifikan antara kelompok linezolid dengan cefoxitin dengan p < 0.05. Artinya kelompok ini secara statistik menunjukkan perbedaan yang bermakna. 2. Kelompok vancomycin dengan cefoxitin Tidak ada perbedaan yang signifikan antara kelompok vancomycin dengan cefoxitin dengan p > 0.05. Artinya kelompok ini secara statistik tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna. 3. Kelompok linezolid dengan vancomycin Ada perbedaan yang signifikan antara kelompok linezolid dengan vancomycin dengan p < 0.05. Artinya kelompok ini secara statistik menunjukkan perbedaan yang bermakna.
35
BAB V PEMBAHASAN
Penelitian ini menggunakan kuman Staphylococcus aureus sebagai sampel perlakuan. Sampel diidentifikasi sebagai Staphylococcus aureus melalui tiga tahap uji biokimia, yaitu : uji MSA (Manitol Salt Agar), uji koagulase, dan uji katalase (National Committee for Clinical Laboratory Standards, 2004). Pada pengujian dengan MSA, jika media MSA tersebut berubah warna dari merah menjadi kuning maka dilanjutkan dengan uji koagulase dan uji katalase. Jika pada uji koagulase terdapat gumpalan pada kaca objek dalam waktu 5 detik dan uji katalse terdapat gelembung gas kurang dari 20 detik, berarti uji koagulase dan uji katalase positif. Hal ini berarti sampel teridentifikasi sebagai Staphylococcus aureus. Kemudian sampel digunakan untuk menguji besarnya daya antibakteri linezolid, vancomycin, dan cefoxitin. Berdasarkan tingkat kepekaannya terhadap kuman, suatu
antibiotik
dikelompokkan menjadi tiga kategori, mulai dari yang paling peka yaitu : sensitif, intermediet, dan resisten. Pembagian kategori ini merujuk pada diameter zona hambatan pertumbuhan biakan kuman oleh suatu antibiotik. Tiap kategori mempunyai rentang nilai besar diameter zona hambatan yang berbeda untuk tiap antibiotik. Adapun rentang nilai besar diameter zona hambat pada masing-masing kategori pada antibiotik cefoxitin, vancomycin, dan linezolid dapat dilihat pada lampiran.
36
Cefoxitin merupakan antibiotik golongan cephalosporin generasi kedua. Cefoxitin termasuk dalam klasifikasi antibiotik penghasil β-laktam. Dalam penelitian ini, cefoxitin digunakan sebagai pembanding terhadap kedua antibiotik yang diuji, linezolid dan vancomycin. Selain itu, cefoxitin juga digunakan untuk mengidentifikasi adanya kuman MRSA. Kuman Staphylococcus aureus dinyatakan sebagai MRSA jika terbukti resisten terhadap cefoxitin (Yasliani S. et al., 2009). Menurut tabel Minimal Inhibitation Consentrations (MICs), cefoxitin 30 µg dinyatakan sensitif bila diameter zona hambatan ≥ 18 mm, intermediet jika zona hambatnya antara 15-17 mm, dan resisten jika ≤ 14 mm (Clincal and Laboratory Standard Institute, 2006). Hasil percobaan menunjukkan ada 4 sampel yang dikategorikan resisten terhadap cefoxitin. Sedangkan sebanyak 26 sampel dinyatakan sensitif. Vancomycin dipilih karena saat ini vancomycin menjadi obat pilihan kedua setelah β-laktam. Selain itu vancomycin juga telah dibuktikan keefektifannya dalam menghambat pertumbuhan bakteri methicillin-resistant Staphylococcus aureus. Menurut tabel Minimal Inhibitation Consentrations (MICs), vancomycin 30 µg dinyatakan sensitif bila diameter zona hambatan ≥ 14 mm, intermediet jika zona hambatnya antara 15-16 mm, dan resisten ≥ 17 mm (Clincal and Laboratory Standard Institute, 2006). Data yang tersaji dalam tabel 4 menunjukkan adanya 3 sampel yang dinyatakan resisten terhadap vancomycin 30 µg, 10 sampel intermediet, dan 17 sampel dinyatakan sensitif. Linezolid merupakan antibiotik baru yang digolongkan dalam kelompok Oxazoladinone. Linezolid ditemukan pada era tahun 1990an dan baru mulai
37
dipasarkan sejak tahun 2000 (Gemmell, 2001). Sebagai obat baru, linezolid masih memerlukan pengujian lebih lanjut terhadap tingkat keefektiannya dalam menghambat pertumbuhan mikroba. Linezolid dikabarkan aktif menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus. Trial-trial klinis dengan linezolid di seluruh dunia telah melaporkan aktivitas terhadap infeksi Staphylococcus aureus (Yasliani et al., 2009). Penelitian ini menggunakan cakram linezolid 30 µg. Menurut tabel Minimal Inhibitation Consentrations (MICs), linezolid 30 µg dinyatakan sensitif bila diameter zona hambatan ≥ 20 mm, intermediet jika zona hambatnya antara 21-22 mm, dan resisten ≥ 23 mm (Clincal and Laboratory Standard Institute, 2006). Data yang tersaji pada tabel 4 menunjukkan bahwa semua sampel yang berjumlah 30 buah dinyatakan sensitif terhadap antibiotik tersebut. Data yang diperoleh pada penelitian ini merupakan data yang berpasangan. Ciri-ciri yang paling sering ditemui pada kasus yang berpasangan adalah satu individu (objek penelitian) dikenai 2 buah perlakuan yang berbeda. Walaupun menggunakan individu yang sama, peneliti tetap memperoleh 2 macam data sampel, yaitu data dari perlakuan pertama dan data dari perlakuan kedua. Dalam penelitian ini, dari satu kuman Staphylococcus aureus didapati tiga data. Yaitu data diameter zona hambat oleh linezolid 30 µg, vancomycin 30 µg, dan cefoxitin 30 µg. Data yang didapat berskala kategorik. Ciri-cirinya adalah data terbagi dalam kategori yang tidak sederajat atau bertingkat. Dalam penelitian ini data digolongkan menjadi tiga kategori, yaitu : sensitif, intermediet, dan resisten.
38
Sehingga data berupa data berpasangan dengan skala kategorik. Untuk menguji keabsahan hipotesis, digunakan uji hipotesis nonparametrik berpasangan dua kelompok dengan tiga kategorik. Terdapat 2 uji hipotesis yang paling valid untuk kasus ini, yaitu uji Wilcoxon dan uji Marginal Homogeneity (Dahlan, 2008). Dengan tingkat validitas yang sama, penulis memilih uji Wilcoxon (α=0.05) untuk membuktikan kebenaran hipotesis penelitian ini. Data dalam tabel 4 menunjukkan bahwa linezolid, vancomycin, dan cefoxitin mempunyai besar sensitivitas yang berbeda. Adapun besarnya kemakaan perbedaan tersebut telah diuji dengan uji Wilcoxon dan tersaji dalam tabel 5. Uji Wilcoxon dilakukan dalam tiga tahap. Tahap yang pertama dengan membandingkan signifikansi perbedaan sensitivitas antara linezolid dengan cefoxitin. Pengujian ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah ada perbedaan derajat sensitivitas yang signifikan antara linezolid dengan cefoxitin. Data menunjukkan, bahwa terdapat perbedaan derajat sensitivitas antara kedua antibiotik tersebut. Sampel yang sensitif terhadap linezolid lebih banyak daripada cefoxitin. 100% sampel (30 buah) dinyatakan masih sensitif terhadap linezolid. Sedangkan untuk linezolid, 86.67% sampel (26 buah) dinyatakan sensitif sedangkan 13.33% sampel (4 buah) dinyatakan resisten. Nilai kemaknaan pada uji Wilcoxon antara linezolid dengan cefoxitin mununjukkan nilai p sebesar 0.046. Hal ini berarti bahwa nilai p < 0.05. Sehingga dapat dinyatakan bahwa sensitivitas linezolid terhadap Staphylococcus aureus, berbeda secara signifikan dibandingkan dengan cefoxitin. Sampel lebih banyak yang sensitif terhadap linezolid daripada cefoxitin.
39
Tahap yang kedua menganalisis perbedaan derajat sensitivitas antara vancomycin dengan cefoxitin. Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui perbandingan sensitivitas antara vancomycin dan cefoxitin secara statistik. Dalam tabel 4 ditemukan perbedaan jumlah sampel yang sensitif terhadap vancomycin dan cefoxitin. Nilai signifikansi perbedaan tersebut disajikan dalam tabel 5, yaitu sebesar 0.215. Hal ini menunjukkan bahwa nilai p > 0.05 sehingga secara statistik dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan sensitivitas yang signifikan antara vancomycin dengan cefoxitin. Dengan kata lain, sensitivitas vancomycin terhadap Staphylococcus aureus sama banyak dengan cefoxitin. Uji Wilcoxon tahap terakhir dilakukan pembandingan derajat sensitivitas linezolid dengan vancomycin. Pengujian ini dilakukan untuk membuktikan kebenaran hipotesis yang ditulis pada bab II. Data pada tabel 4 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan jumlah sampel yang sensitif terhadap linezolid 30 µg dan vancomycin 30 µg. 100% sampel sebanyak 30 buah dinyatakan sensitiv terhadap linezolid 30 µg. Sedangkan untuk vancomycin 30 µg, 10% sampel (3 buah) dinyatakan resisten, 33.33% sampel (10 buah) dinyatakan intermediet, dan 56.67% sampel (17 buah) dinyatakan sensitif. Nilai kemaknaan perbedaan tersebut disajikan dalam tabel 5, menunjukkan nilai p sebesar 0.001. Sehingga nilai p < 0.05. Hal ini menunjukkan bahwa secara statistik terdapat perbedaan sensitivitas yang bermakna antara linezolid dan vancomycin. Dengan kata lain, hipotesis diterima dan dapat dibuktikan kebenarannya secara statistik. Pada penelitian ini dijumpai empat buah sampel yang diidentifikasi sebagai MRSA. Yaitu sampel dengan kode 165P (berasal dari pus), 269D (berasal
40
dari darah), 264D (berasal dari darah), dan 267ST (berasal dari sekret telinga). Pada tabel dalam lampiran 3 didapati bahwa keempat sampel tersebut resisten terhadap antibiotik cefoxitin. Namun, tiga di antaranya masih sensitif terhadap linezolid dan vancomycin. Sedangkan 1 sampel (165P) dinyatakan resisten terhadap cefoxitin 30 µg dan vancomycin 30 µg, tetapi masih sensitif terhadap linezolid 30 µg. Sehingga muncul dugaan bahwa linezolid mempunyai sensitivitas yang lebih besar terhadap MRSA dibandingkan dengan vancomycin, obat standard untuk MRSA. Akan tetapi, dikarenakan jumlah sampel yang belum mencukupi, dugaan tersebut belum dapat dibuktikan kebenarannya secara statistik.
41
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan Dari hasil penelitian tentang perbandingan sensitivitas antara linezolid dan vancomycin terhadap bakteri Staphylococcus aureus secara In vitro, maka dapat diambil simpulan bahwa : 1. Linezolid, vancomycin, dan cefoxitin mempunyai daya antibakteri yang dibuktikan dengan adanya zona hambatan pada biakan Staphylococcus aureus pada media Mueller Hinton Agar. 2. Banyaknya sampel yang sensitif terhadap antibiotik yang diuji berbedabeda. Urutan antibiotik dari jumlah sampel terbanyak yang sensitif pada uji sensitivitas ini adalah linezolid 30 µg, cefoxitin 30 µg, dan vancomycin 30 µg. 3. Terdapat perbedaan sensitivitas yang signifikan antara linezolid dengan cefoxitin. 4. Terdapat perbedaan sensitivitas yang tidak signifikan antara vancomycin dengan cefoxitin. 5. Terdapat perbedaan sensitivitas yang signifikan antara linezolid dan vancomycin. Hipotesis penelitian yaitu terdapat perbedaan sensitivitas yang bermakna antara linezolid dan vancomycin terhadap bakteri Staphylococcus aureus secara In vitro terbukti.
42
B. Saran Setelah dilakukan penelitian tentang perbandingan sensitivitas antara linezolid dan vancomycin terhadap bakteri Staphylococcus aureus secara In vitro, maka penulis menganjurkan : 1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang perbandingan efektivitas terapi antara linezolid dan vancomycin secara in vivo. 2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang daya antibakteri linezolid terhadap MRSA.
43
DAFTAR PUSTAKA
Anaizi, Nasr. 2002. Vancomycin. University of Rochester Medical Center. 2: 1-4. American College of Physician. 2006. Changing pattern of Community-Acquired Skin and Soft Tissue Infection with Antibiotic-Resistant Staphylococcus aureus. http://www.annals.org/cgi/content/full/144/5/1 (11 Maret 2009). Brooks, Geo F. et al. 2007. Mikrobiologi Kedokteran Jawetz, Melnik, & Adelberg. Jakarta: EGC. Chambers H.F. 1997. Methicillin resistance in staphylococci: molecular and biochemical basis and clinical implications. Clin. Microbiol. Rev. 10:791– 781. Chan, Wai Ming. 2008. Any Better Guns For Nosocomial MRSA Pneumonia. The Hong Kong Medical Diary. 13(12) : 20-21. Clinical and Laboratory Standard Institute. 2006. Performance Standards for Antimicrobial susceptibility Testing, Sixteenth Informational Supplement. CLSI. 26 (3) : 44-51 Dahlan, M. Sopiyudin. 2008. Statistik Untuk Kedokteran Dan Kesehatan. Jakarta : Salemba Medika. Hal : 141-154 Dellit, Timothy H. et al. 2007. Guidelines for Evaluation & Management of Community-Associated Methicillinresistant Staphylococcus Aureus Skin and Soft Tissue Infections in Outpatient Settings. http://www.publichealthgrandrounds.unc.edu/antimicrob_resist (9 Februari 2009) Gemmel, Curtis G. et al. 2001. Susceptibility of a variety of clinical isolates to linezolid: a European inter-country comparison. Journal of Antimicrobial Chemotherapy 48 : 47-52 Guniswarna, S. G., Rianto S., Frans D. S., Purwantyastuti, Nafrialdi., 1995. Farmakologi dan Terapi. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. Hal: 572-3
44
Grundmann H., Tami A., Hori S., Halwani M., dan Slack R. 2002. Nottingham Staphylococcus aureus population study: prevalence of MRSA among elderly people in the community. BMJ 324: 1366–1365. Harnita dan Radji. 2010. Analisis Hayati http://books.google.co.id/books?id=ac3xoxKVzWIC&pg=PA4&lpg=PA4 &dq=%22zona+hambatan+antibiotik%22&source=bl&ots=Vh4lrtaOvO& sig=KPH_aLvRiN9wZPmerLfhqa3fuS0&hl=id&ei=NjDqS57bCsurAfp2qSZCg&sa=X&oi=book_result&ct=result&resnum=10&ved=0CEA C6AEwCQ#v=onepage&q&f=false. (5 April 2010). Hawley, R., 2003. Microbiology dan Penyakit Infeksi. Jakarta: Hipokrates Heggers, John P. et al. 2002. Is Linezolid an Alternative to Vancomycin in the Treatment of Burns?. University of Texas Medical Branch, Galveston. 06(43) : 1-8. Isbandrio,
Bambang.
1999.
Methicillin-Resistant
Staphylococcus
Aureus
(MRSA): Tantangan bagi Rumah Sakit. Media Medika Indonesiana. 34 : 105-110. Ito T., Ma X. X., Takeuchi F., Okuma K., Yuzawa H., dan Hiramatsu K. 2004. Novel type V staphylococcal cassette chromosome mec driven by a novel cassette chromosome recombinase, ccrC. Antimicrob. Agents Chemother. 48: 2637–2651. Jawetz, Ernest dan W. Levinson. 2002. Medical Microbiology & Immunology. Singapore : Mc Graw Hill. Katzung, Bertram G. 2004. Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta: Salemba Medika. P : 53. Levinson, W. 2006. Review of Medical Microbiology and Immunology. Department of Microbiology and Immunology. University of California San Fransisco. Mc-Graw Hill companies Inc, United States. Majid, Abdul. 2005. Efek Antibakteri Ekstrak Andrographis paniculata Ness dalam serum Rattus norvegicus terhadap Staphylococcus aureus dan MRSA in vitro. Universitas Airlangga. Surabaya. Majid A. dan N. D. Handojo. 1999. Clonidine per Oral sebagai Premedikasi Alternatif untuk Menurunkan Tekanan Intrakulerr pada Ekstraksi Katarak.
45
http://www.mediamedika.net/archives/121 (12 Mei 2010). Migula, Castellani dan Chalmers. 2008. Staphylococcus aureus. http://www.wikipedia.com (15 April 2009) Miralles, R. et al. 1990. Pain-Another Adverse Reaction To Vancomycin. Chest. 97 : 1504a-1504. Modric, Jan. 2008. Lab Test for Staph, Staph Culture, Staph Infections, Staphylococcus aureus, Virulence Factors of S. aureus. http://www.healthhipe.com (5 mei 2009). National Committee for Clinical Laboratory Standards. 2004. Cefoxitin Resistance for the Detection of MRSA Performance Standard for Antimicrobial
Susceptibility
Testing
Fourteenth
Informational
Supplement. NCCLS: M100-S14 Noviana, Hera. 2004. Monitoring Resistensi Methicillin-Resistant S. Aureus (MRSA) Terhadap Golongan Quinolople Di Rumah Sakit Atma Jaya, Jakarta. Majalah Kedokteran Atma Jaya. 3(2) : 113. Parsonnet, W. A., Deresiewicz, R. L. 2005. Staphylococcal infection. In : Braunwald, Fauci, Kasper, Hauser, Longo, Jameson. 2005. Harrison’s Principle of Internal Medicine vol 1. Mc Graw Hill. USA. Prakash, M., K. Rajasekar dan N. Karmegam. 2007. Prevalence of Methicillin Resistant Staphylococcus aureus in Clinical Samples Collected from Kanchipuram Town, Tamil Nadu, South India. INSInet Publication. 3(12) : 1705-1709. Potoski, Brian A. et al. 2002. Clinical Failures of Linezolid and Implications for the Clinical Microbiology Laboratory. Ohio State University Medical Center. 8(12) : 1519-1520. Sader, Helio S. 2001. Antimicrobial Activity of Linezolid Against Gram-Positive Cocci Isolated in Brazil. The Brazilian Journal of Infectious Diseases. 5(4) : 171-176. Santoso, Budiono. 1990. Peta Klasifikasi Antibiotika dan Prinsip Pemilihan dan Pemakaiannya Dalam Klinik. Yogyakarta : Lab. Farmakologi Klinik FKUGM. Pp : 1-20.
46
Setiabudy. 2005. Antimikroba Lain. Dalam : Sulistia Gan Gunawan (eds). Farmakologi Dan Terapi. Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI. Jakarta : Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI. Pp : 728-729. Shorr, Andrew F. et al. 2005. Linezolid versus vancomycin for Staphylococcus aureus bacteraemia : pooled analysis of randomized studies. Journal of Antimicrobial Chemotherapy. 56 : 923–929. Strohl, W. A., et al., 2001. Lippincott’s Illustrated review:Microbiology. Lippincott’s Willians & Wilkins. Philadelphia. P: 138 Tortora G.J., Funke B.R., dan Case C.L. 1995. Microbiology an Introduction 5th Edition. California: The Benjamin/Cummings Publishing Company, Inc. Warsa, Usman Khatib. 1993. Kokus Positif Gram. Dalam : Bagian Mikrobiologi FKUI. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta : Binarupa Aksara. Pp : 103-110. Wickner W. dan Schekman R. 2005. Protein translocation across biological membranes. Science 310: 1456–1452. Weinstein A. R. 1998. Nosocomial Infection Update. http:cdc.thegenes.gov/ncomial/vol4no3/weinstein.htm.(24 Januari 2009). Widman, F. K. 1993. Tinjauan Klinis Atas Hasil Pemerriksaan Laboratorium (Clinical Interpretation Of Laboratory Test). Jakarta: EGC Wikipedia. 2009. Staphylococcus aureus http://en.wikipedia.org/wiki/ Staphylococcus_aureus. (11 Februari 2009). Wikipedia. 2010. Vancomycin http://en.wikipedia.org/wiki/ Vancomycin. (10 April 2010). Wikipedia. 2010. Linezolid http://en.wikipedia.org/wiki/ Linezolid. (11 April 2010). Yasliani, S. et al. 2009. Linezolid vancomycin resistant Enterococcus isolated from clinical samples in Tehran hospitals. Indian Journal of Medicine sciences. 63 : 297-302