PERBANDINGAN HASIL TANGKAPAN RAJUNGAN DENGAN MENGGUNAKAN DUA KONSTRUKSI BUBU LIPAT YANG BERBEDA DI KABUPATEN TANGERANG
Oleh: DONNA NP BUTARBUTAR C05400027
PROGRAM STUDI PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul : PERBANDINGAN HASIL TANGKAPAN RAJUNGAN DENGAN MENGGUNAKAN DUA KONSTRUKSI BUBU LIPAT YANG BERBEDA DI KABUPATEN TANGERANG Adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Adapun semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, 17 November 2005
Donna NP Butarbutar C05400027
ABSTRAK Donna NP Butarbutar, C05400027. Perbandingan Hasil Tangkapan Rajungan Dengan Menggunakan Dua Konstruksi Bubu Lipat Yang Berbeda di Kabupaten Tangerang. Di bimbing oleh Mohammad Imron dan Wazir Mawardi. Bubu merupakan alat tangkap yang dalam pengoperasiannya membiarkan tujuan penangkapan masuk tanpa paksaan. Bubu di Kronjo adalah bubu lipat dua pintu, yang banyak dikenal nelayan di Pulau Jawa, digunakan untuk menangkap rajungan menggunakan umpan ikan asin. Di Kalimantan terdapat bubu lipat tiga pintu untuk menangkap kepiting bakau. Bubu lipat tiga pintu berasal dari Korea Selatan dan menggeser kedudukan Pintur/Rakkan yang menangkap biota yang sama. Penelitian ini bertujuan mengetahui jenis dan komposisi hasil tangkapan (HT) serta membandingkan penggunaan bubu lipat dua dan tiga pintu terhadap HT rajungan. Metode penelitian yang digunakan adalah experimental fishing. Data yang diperoleh berupa data primer dan sekunder. Hasil penelitian menunjukkan jenis HT yang diperoleh terdiri dari: rajungan (14%), keong macan (115), keong gondang (75%), dan udang barong (0%). Total HT rajungan bubu dua pintu 53 ekor dan bubu tiga pintu 11 ekor. Berat individu rajungan yang diperoleh bubu dua pintu berkisar antara 20-130 gram (rataan 65,7 gram), kisaran panjang dan lebar karapas individu adalah 3,5-6,5 cm (rataan 4,6 cm) dan 7-12,5 cm (rataan 9,3 cm). Sedangkan berat individu rajungan yang tertangkap oleh bubu tiga pintu berkisar antara 20-60 gram (rataan 45,4 gram), kisaran panjang dan lebar karapas individu yang diperoleh 3-5 cm (rataan 4,3 cm) dan 6,5-10,3 cm (rataan 7,1 cm). Dari analisis uji t student, diperoleh keputusan untuk tolak Ho yang berarti ada pengaruh konstruksi alat tangkap bubu lipat terhadap hasil tangkapan. Hal tersebut disebabkan oleh funnel yang berbentuk bulat dan kendur pada bubu tiga pintu yang menyulitkan HT masuk kedalam bubu. Berbeda dengan funnel pada bubu dua pintu, yang berbentuk horizontal sehingga memudahkan HT untuk masuk.
PERBANDINGAN HASIL TANGKAPAN RAJUNGAN DENGAN MENGGUNAKAN DUA KONSTRUKSI BUBU LIPAT YANG BERBEDA DI KABUPATEN TANGERANG
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor
Oleh: DONNA NP BUTARBUTAR C05400027
PROGRAM STUDI PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005
Judul Skripsi
: Perbandingan Hasil Tangkapan Rajungan dengan Menggunakan Dua Konstruksi Bubu Lipat yang Berbeda di Kabupaten Tangerang
Nama
: Donna NP Butarbutar
NRP
: C05400027
Menyetujui, Pembimbing I
Pembimbing II
Ir. Mohammad Imron, M.Si. NIP. 131 664 400
Ir.Wazir Mawardi, M.Si. NIP. 132 258 291
Mengetahui, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Dr.Ir. Kadarwan Soewardi. NIP. 130 805 031
Tanggal lulus : 17 November 2005
i
KATA PENGANTAR Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Skripsi yang berjudul “Perbandingan Hasil Tangkapan Rajungan dengan Menggunakan Dua Konstruksi Bubu Lipat yang Berbeda di Kabupaten Tangerang” disusun berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada bulan Juli – Agustus 2004 dan bulan Juni 2005 di Kabupaten Tangerang. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada: 1. Ir. Mohammad Imron, M.Si. dan Ir. Wazir Mawardi, M.Si. sebagai Komisi Pembimbing, atas arahan dan bimbingan selama penyusunan skripsi ini; 2. Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Tangerang, Bapak kepala syahbandar PPI Kronjo
beserta keluarga dan Bapak kepala BPP Kronjo atas bantuan dan
kepercayaan yang diberikan kepada penulis. 3. Keluarga penulis serta semua pihak yang telah mendukung penulis dalam menyelesaikan tugas akhir. Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun untuk kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya.
Bogor, Oktober 2005
Penulis
ii
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Palangkaraya pada tanggal 30 Desember 1982 dari pasangan K. Butarbutar dan K. Manurung. Penulis merupakan anak ketiga dari 4 bersaudara. Riwayat pendidikan penulis dimulai dari SD Negeri 9 Palangkaraya tahun 1988 – 1994, kemudian melanjutkan ke SMP Negeri 3 Palangkaraya dari tahun 1994 – 1997 dan menyelesaikan pendidikan menengah pada tahun 2000 dari SMU Negeri 3 Palangkaraya. Pada tahun yang sama, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Selama mengikuti perkuliahan di IPB, penulis aktif di beberapa kegiatan kemahasiswaan, antara lain sebagai anggota Himpunan Mahasiswa Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan (HIMAFARIN) tahun 2000 - 2002, mengikuti seminar-seminar di lingkungan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, anggota komisi Diaspora unit kegiatan Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK) tahun 2001 – 2003 dan menjadi sekretaris komisi Diaspora tahun 2003 – 2004. Dalam menyelesaikan tugas akhir, penulis melakukan penelitian di Kronjo, Kabupaten Tangerang dan menyusun skripsi dengan judul ”Perbandingan Hasil Tangkapan dengan Menggunakan Dua Konstruksi Bubu Lipat yang Berbeda di Kabupaten Tangerang”.
iii
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL....................................................................................................
vi
DAFTAR GAMBAR...............................................................................................
vii
DAFTAR LAMPIRAN ...........................................................................................
viii
1
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ............................................................................................. 1.2 Tujuan Penelitian ......................................................................................... 1.3 Manfaat Penelitian .......................................................................................
2
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Rajungan ......................................................................................
3
2.1.1 Klasifikasi dan Identifikasi ................................................................ 2.1.2 Habitat dan Penyebarannya................................................................ 2.1.3 Tingkah Laku Rajungan .....................................................................
3 5 6
2.2 Alat Tangkap Bubu ......................................................................................
7
2.2.1 Bubu Lipat Dua Pintu......................................................................... 2.2.2 Bubu Lipat Tiga Pintu........................................................................
8 9
Kapal ............................................................................................................ Nelayan ........................................................................................................ Daerah Penangkapan Ikan............................................................................ Ikan Tujuan Penangkapan ............................................................................ Umpan ..........................................................................................................
10 10 11 11 12
2.3 2.4 2.5 2.6 2.7 3
1 2 2
METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat ....................................................................................... 3.2 Alat dan Bahan ............................................................................................. 3.3 Metode Penelitian.........................................................................................
13 13 13
3.3.1 Alat Tangkap Bubu ............................................................................
14
3.3.1.1 Bubu Lipat Dua Pintu........................................................... 3.3.1.2 Bubu Lipat Tiga Pintu..........................................................
15 16
3.3.2 Pengukuran Hasil Tangkapan ............................................................
18
3.4 Metode Analisis Data....................................................................................
18
3.4.1 Hubungan Panjang – Berat................................................................. 3.4.2 Rancangan t student ................................................................................
18 29
iv
4
5
KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Keadaan Geografis dan Topografi Kabupaten Tangerang......................... 4.2 Keadaan Umum Perikanan......................................................................... 4.3 Unit Penangkap Ikan ..................................................................................
21 21 22
4.3.1 Alat Penangkap Ikan ........................................................................ 4.3.2 Kapal Penangkap Ikan......................................................................
22 24
4.4 Produksi Ikan ............................................................................................. 4.5 Musim Penangkapan Ikan .......................................................................... 4.6 Penanganan dan Pemasaran Rajungan .......................................................
25 27 28
HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 5.2 5.3 5.4 5.5 5.6 5.7 5.8
6
Unit Penangkapan Bubu............................................................................. Metode Pengoperasian ............................................................................... Komposisi Hasil Tangkapan Bubu Lipat ................................................... Perbandingan Hasil Tangkapan Rajungan ................................................. Hubungan Panjang-berat ............................................................................ Analisis Uji t – student HT Bubu Lipat .................................................... Penyebaran Sumberdaya Hasil Tangkapan ................................................ Pembahasan................................................................................................
30 31 36 37 45 46 47 48
KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ................................................................................................ 6.2 Saran...........................................................................................................
51 51
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................
52
LAMPIRAN...........................................................................................................
55
v
DAFTAR TABEL Halaman 1. Perkembangan Produksi Ikan Menurut Jenis Usaha di Kabupaten Tangerang Tahun 2002 - 2003 ............................................................................................
22
2. Perkembangan Alat Tangkap di Tangerang Tahun 1999 – 2003......................
23
3. Perkembangan Jumlah Kapal dan Perahu di Tangerang Tahun 1999-2003 .....
24
4. Perkembangan Jumlah Kapal dan Perahu di Kronjo Tahun 2002 – 2004 ........
25
5. Perkembangan Produksi Penangkapan Ikan Laut di Tangerang Tahun 2001 – 2004............................................................................................
26
6. Perkembangan Produksi Penangkapan Ikan Laut di Kronjo Tahun 2003 – 2004............................................................................................
27
7. Jumlah Hasil Tangkapan per Jenis Hasil Tangkap Dari 12 kali Setting ...........
36
8. Rajungan yang Tertangkap Setiap Bubu Dalam 12 Ulangan............................
38
vi
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Rajungan (Portunus Pelagicus) ........................................................................
4
2. Perbedaan Jenis Kelamin Rajungan Betina dan Jantan.....................................
5
3. Konstruksi Bubu Lipat Dua Pintu .....................................................................
15
4. Konstruksi Bubu Lipat Tiga Pintu ....................................................................
17
5. Keadaan Pangkalan Pendaratan Ikan Kronjo ....................................................
25
6. Rantai Pemasaran Rajungan di Tangerang .......................................................
29
7. Dimensi Kapal Penelitian..................................................................................
31
8. Setting Alat Tangkap Bubu Lipat Dua Pintu ....................................................
33
9. Setting Alat Tangkap Bubu Lipat Tiga Pintu ...................................................
33
10. Hauling Alat Tangkap Bubu Lipat Dua Pintu...................................................
35
11. Hauling Alat Tangkap Bubu Lipat Tiga Pintu ..................................................
35
12. Proporsi Hasil Tangkapan Bubu Lipat Dua Pintu.............................................
37
13. Proporsi Hasil Tangkapan Bubu Lipat Tiga Pintu ............................................
37
14. Perbandingan Jumlah Hasil Tangkapan ............................................................
38
15. Kisaran dan Rataan Berat Individu Rajungan Bubu Lipat per Ulangan ...........
39
16. Kisaran dan Rataan Panjang Karapas Individu Rajungan Bubu Lipat per Ulangan ....................................................................................
40
17. Kisaran dan Rataan Lebar Karapas Individu Rajungan Bubu Lipat per Ulangan ....................................................................................
42
18. Perbandingan Jumlah Rajungan Hasil Tangkapan............................................
43
19. Perbandingan Berat Rajungan Hasil Tangkapan...............................................
43
20. Perbandingan Panjang Karapas Rajungan Hasil Tangkapan ............................
44
21. Perbandingan Lebar Karapas Rajungan Hasil Tangkapan................................
44
22. Hubungan Berat dengan Panjang Karapas ........................................................
45
23. Hubungan Berat dengan Lebar Karapas ...........................................................
46
vii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Spesifikasi Alat Tangkap Bubu Lipat Dua Pintu ................................................
55
2. Spesifikasi Alat Tangkap Bubu Lipat Tiga Pintu ...............................................
56
3. Nilai t-tabel A.3...................................................................................................
57
4. Nilai t-hitung Jumlah dan Berat HT Rajungan ...................................................
58
5. Nilai t-hitung Panjang dan Lebar Karapas HT Rajungan ...................................
59
6. Data Hasil Tangkapan Rajungan Bubu Lipat Dua Pintu ....................................
60
7. Data Hasil Tangkapan Rajungan Bubu Lipat Tiga Pintu....................................
63
8. Pengoperasian Alat Tangkap di dalam Perairan .................................................
65
9. Peta Daerah Penelitian ........................................................................................
66
viii
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bubu merupakan salah satu alat tangkap yang dapat dipakai untuk menangkap ikan maupun biota laut lainnya. Dalam pengoperasian alat tangkap bubu, ikan yang menjadi tujuan penangkapan dibiarkan masuk tanpa paksaan. Hal tersebut menyebabkan alat tangkap bubu dapat digunakan dalam jangka waktu yang panjang dan hasil tangkapan yang didapatkan juga dalam keadaan baik, dalam arti kerusakan pada tubuh ikan sangat kecil kemungkinannya. Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) yang berada di Kecamatan Kronjo adalah salah satu pusat kegiatan utama perikanan laut di Kabupaten Tangerang, dengan nilai produksi tertinggi dibandingkan dengan PPI lainnya yaitu 3.261 ton.. Dengan kata lain, PPI Kronjo menyumbang sebesar 19 % produksi perikanan bagi Kabupaten Tangerang (Dinas Perikanan dan Kelautan Tangerang, 2004). Alat tangkap bubu di Kecamatan Kronjo ditujukan untuk menangkap rajungan. Umpan yang digunakan adalah ikan asin. Nelayan di Kecamatan Kronjo yang menggunakan alat tangkap bubu relatif sedikit, berjumlah sekitar 14 unit alat tangkap. Pada umumnya bubu hanya dijadikan sebagai alat tangkap sampingan, dalam menangkap rajungan alat tangkap utama yang digunakan adalah jaring rajungan. Hal ini dikarenakan jaring rajungan mudah dan tidak membutuhkan biaya yang besar dalam pengoperasiannya Dalam satu unit penangkapan ikan, biasanya nelayan Kronjo mengoperasikan bubu lipat sekitar dua ratus buah. Produksi hasil tangkapan bubu lipat dua pintu tidak terlalu banyak, sedangkan sumberdaya ikan di daerah tersebut memiliki potensi yang besar. Hal tersebut diperkuat oleh
data perkembangan produksi penangkapan ikan laut di
Kabupaten Tangerang, dimana total produksi cenderung meningkat. Salah satu hasil tangkapan yang mengalami peningkatan adalah rajungan. Bubu lipat dua pintu banyak dikenal nelayan, terutama nelayan di Pulau Jawa, salah satunya nelayan daerah Cirebon. Selain itu di daerah Kalimantan terdapat bubu yang serupa dengan konstruksi tiga buah pintu, namun digunakan untuk menangkap kepiting
1
bakau. Bubu lipat tiga pintu yang ada di Kalimantan merupakan alat tangkap yang relatif baru, yang berasal dari Korea Selatan. Bubu tersebut dikenalkan dan dicobakan pada tahun 2000, dan telah menggeser kedudukan penggunaan alat tangkap Pintur/Rakkan (stick dipnet) yang menangkap biota yang sama (Catur, 2004). Bubu lipat tiga pintu tersebut, masih belum dikenal oleh nelayan Pulau Jawa. Berdasarkan hal tersebut, penulis melakukan penelitian untuk membandingkan hasil tangkapan antara bubu lipat dua pintu dengan bubu lipat tiga pintu, yang dilakukan di perairan Kronjo, Kabupaten Tangerang. 1.2 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui jenis dan komposisi hasil tangkapan bubu lipat dua dan tiga pintu di Kronjo, Kabupaten Tangerang. 2. Membandingkan penggunaan bubu lipat dua dan tiga pintu terhadap hasil tangkapan rajungan di Kronjo, Kabupaten Tangerang. 1.3 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah untuk mendapatkan hasil yang lebih efisien dari operasi penangkapan bubu dan diharapkan dapat memberikan masukan, khususnya bagi nelayan bubu di Kecamatan Kronjo dan masyarakat sekitar pada umumnya dalam melakukan usaha penangkapan selanjutnya.
2
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Rajungan 2.1.1 Klasifikasi dan Identifikasi Klasifikasi rajungan menurut Stephenson dan Chambel (1959) seperti dikutip oleh Darya (2002) adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Sub Kingdom : Eumetazoa Grade : Bilateria Divisi : Eucelomata Section : Protostomia Filum : Arthropoda Kelas : Crustacea Sub Kelas : Malacostraca Ordo : Decapoda Sub Ordo : Reptantia Seksi : Brachyura Sub Seksi : Branchyrhyncha Famili : Portunidae Sub Famili : Portuninae Genus : Portunus Spesies : Portunus pelagicus Portunus sanguinolentus Charybdis feriatus Podopthalamus vigil Ciri morfologi rajungan adalah mempunyai karapas berbentuk bulat pipih dengan warna yang sangat menarik. Karapas pada umumnya lebih besar kearah lebarnya daripada panjangnya (Gambar 1). Beda sebelah kiri dan kanan karapas tersebut, terdapat duri besar. Duri-duri sisi belakang matanya sebanyak 9, 6, 5 atau 4 dan antara matanya terdapat 4 buah duri besar. Rajungan mempunyai 5 pasang kaki; satu pasang sebagai capit, 3 pasang sebagai kaki jalan, dan satu pasang sebagai kaki renang. Kaki pertama
3
ukurannya cukup besar dan disebut capit yang berfungsi untuk memegang. Capit tersebut kokoh dan berduri. Sepasang kaki terakhir mengalami modifikasi menjadi alat renang yang ujungnya menjadi pipih dan membundar seperti dayung. Oleh sebab itu, rajungan dimasukkan ke dalam golongan kepiting renang (swimming crab).
Panjang karapas
Lebar karapas (Sumber: CIESM dalam Darya, 2002) Gambar 1. Rajungan (Portunus pelagicus) Rajungan jantan mempunyai ukuran karapas yang lebih besar dan capit yang lebih panjang dibandingkan dengan rajungan betina. Warna karapas pada rajungan jantan adalah kebiru-biruan dengan bercak-bercak putih terang, sedangkan yang betina memiliki warna karapas kehijau-hijauan dengan bercak putih suram. Perbedaan warna terlihat pada individu yang agak besar walaupun belum dewasa. Panjang karapas hewan ini bisa mencapai 18 cm (Nontji, 1993 dalam Darya, 2002). Karapas merupakan lapisan keras (exoskleton) yang menutupi organ internal yang terdiri dari kepala, thorax dan insang. Pada bagian bawah karapas terdapat mulut dan
4
abdomen. Insang merupakan struktur lunak yang terdapat didalam karapas. Mata menonjol didepan karapas, membentuk tangkai yang pendek (Museum Victoria, 2000 dalam Darya, 2002). Menurut Thomson (1974), rajungan dapat berjalan sangat baik sepanjang dasar perairan dan daerah intertidal berlumpur yang lembab. Rajungan sedikitnya mempunyai lima pasang kaki yang rata agar mereka dapat melintasi air dengan efisien. Rajungan betina menjadi dewasa pada saat karapasnya mempunyai panjang sekitar 10 cm. Perbedaan jenis kelamin pada kepiting atau rajungan sangat mudah ditentukan. Kepiting atau rajungan betina memiliki abdomen yang lebar, sedangkan rajungan yang jantan abdomennya menyempit (Edward, 1988 dalam Tiku, 2004).
(Sumber : CIESM dalam Darya, 2002) Gambar 2. Perbedaan jenis kelamin rajungan betina dan jantan 2.1.2 Habitat dan Penyebarannya Kepiting atau rajungan mempunyai habitat yang beraneka ragam. Menurut Moosa et al. (1980), rajungan banyak terdapat di daerah pesisir Indonesia sampai dengan daerah pesisir Kepulauan Pasifik. Habitat rajungan bermacam-macam seperti pantai berpasir,
5
pantai pasir berlumpur dan sekitar bakau, namun lebih menyenangi perairan yang mempunyai dasar pasir berlumpur. Menurut Nontji (1993) dalam Darya (2002), rajungan dapat hidup pada berbagai habitat seperti pantai berpasir, pasir berlumpur dan juga laut terbuka. Selanjutnya dikatakan, bahwa dalam keadaan biasa, rajungan diam di dasar perairan sampai kedalaman 65 m, tetapi sesekali dapat juga terlihat berada dekat permukaan. Secara geografis penyebaran rajungan meliputi daerah Atlantik, Lautan Teduh, Laut Merah, Pantai Timur Afrika, Jepang, Indonesia dan Selandia Baru. Rajungan yang hidup di perairan Indonesia dapat ditemukan di perairan Paparan Sunda dan perairan Laut Arafuru dengan memiliki kecenderungan padat sediaan dan potensi yang tinggi, terutama pada daerah sekitar pantai (Martosubroto et al., 1991 dalam Darya, 2002). 2.1.3 Tingkah Laku Rajungan Rajungan sering berenang melewati kapal pada malam hari, sehingga mereka mendapatkan keuntungan untuk ikut bersama. Mereka juga dapat menggali pasir dalam waktu yang singkat atau untuk menghindari musuh-musuh mereka. Seperti binatang laut yang lain, rajungan menemukan daerah estuaria sebagai tempat berkembang biak atau memijah. Kemudian rajungan jarang terlihat membawa telurnya ke daerah estuaria tetapi ke daerah pesisir pantai dekat daerah teluk. Seperti udang-udang lainnya, rajungan juga tumbuh dengan menanggalkan karapasnya secara berkala. Rajungan betina kawin pada saat karapasnya lunak setelah ganti kulit. Beberapa ratus telur ada di bagian bawah tubuh betina, yaitu pada bagian perut sehingga terlindung. Perlindungan yang dilakukan induk betina (maternal care) yaitu dengan cara selalu membersihkan telur yang saling menempel ketika induk betinanya keluar dari pasir. Telur dibentuk lebih dari satu periode yang lamanya lebih dari satu hari sebelum dibuahi. Larva betina sering tertangkap selama musim panas. Dari hasil penelitian yang dilakukan di laboratorium menunjukkan bahwa larva betina menghabiskan waktu sepanjang malam terkubur di dalam pasir. Larva jantan aktif berenang pada malam hari. Pada saat baru menetas, rajungan tidak mirip dengan
6
induknya. Rajungan yang baru menetas mengalami beberapa kali pergantian kulit sedikit demi sedikit setiap waktu hingga rajungan tersebut dapat dikenali. Larva rajungan sama seperti udang, bersifat planktonik atau berenang bebas mengikuti arus (Thomson, 1974). Rajungan jantan mencapai dewasa kelamin pada panjang karapas sekitar 3,7 cm. Dengan demikian ada kesempatan rajungan-rajungan tersebut bereproduksi. Adapun yang mempunyai nilai ekonomis, setelah mempunyai karapas antara 9,5-22,8 cm (Rounsefell, 1975). 2.2 Alat Tangkap Bubu Bubu yaitu alat penangkapan seperti perangkap, yang merupakan jebakan bagi ikan maupun hasil tangkapan lainnya. Alat tangkap bubu dikenal umum dikalangan nelayan, yang dioperasikan secara pasif. Bubu terbuat dari anyaman bambu, anyaman rotan, maupun anyaman kawat dan bahan lainnya, yang memiliki bentuk bervariasai untuk tiap daerah perikanan. Bentuk bubu ada yang seperti jangkar, silinder, segitiga memanjang, bulat setengah lingkaran, dan lain-lain (Subani dan Barus, 1989). Menurut Martasuganda (2003), bentuk bubu yang bervariasi tersebut disesuaikan dengan ikan yang akan dijadikan target penangkapan. Meskipun yang dijadikan target penangkapan sama, terkadang bentuk bubu yang dipakai bisa juga berbeda, tergantung dari pengetahuan ataupun kebiasaan nelayan yang mengoperasikannya. Bubu terdiri dari badan, yang berupa rongga tempat dimana ikan-ikan terkurung, mulut bubu (funnel) yang berbentuk seperti corong tempat ikan dapat dengan mudah masuk tapi sulit untuk keluar, dan pintu bubu yang merupakan tempat pengambilan hasil tangkapan (Subani dan Barus, 1989). Bukaan mulut bubu adalah salah satu faktor yang sangat menentukan dalam keberhasilan
penangkapan
dengan
menggunakan
bubu.
Wibyosatoto
(1994)
menyatakan, bukaan mulut bubu yang berbentuk horizontal lebih baik dibandingkan dengan bukaan mulut bubu yang berbentuk bulat. Hal ini dikarenakan mulut bubu yang berbentuk horizontal akan menyulitkan hasil tangkapan ikan demersal untuk keluar, sedangkan bentuk mulut bubu yang berbentuk bulat, hasil tangkapan masih dapat keluar.
7
Menurut Rounsefell dan Everhart (1962), bubu sangat efektif menangkap organisme yang bergerak lambat di dasar perairan, baik laut maupun danau. Umumnya bubu berukuran relatif kecil dan ringan. Untuk bubu lipat, konstruksi demikian dapat ditumpuk diatas kapal dalam jumlah besar, dapat diangkat dengan cepat atau dipasang (setting) meskipun pada saat cuaca buruk sekalipun. Metode penangkapan udang, kepiting maupun ikan-ikan dasar yang mempergunakan bubu adalah dengan cara merendam alat tangkap tersebut (bubu) yang diberi maupun tidak diberi umpan sebagai pemikat, pada fishing ground, yang telah diperkirakan banyak terdapat ikan tujuan penangkapan tersebut (Daniel dan Martasuganda, 1990). Pemasangan bubu ada yang dipasang satu demi satu (sistem tunggal) dan ada yang dipasang secara beruntai (sistem rawai), dengan waktu pemasangan (setting) dan penangkapan (hauling) dilakukan pada pagi, siang, sore atau sebelum matahari terbenam, tergantung dari nelayan yang mengoperasikan. Waktu perendaman bubu bermacam-macam, ada yang direndam satu hari satu malam, tiga hari tiga malam, bahkan sampai tujuh hari tujuh malam (Martasuganda, 2003). Pengoperasian alat tangkap bubu ada yang ditanam di dasar (ground fish pots) untuk menangkap ikan dasar, ikan karang, udang dan crustacea lainnya; diapungkan (floating fish pots) untuk menangkap ikan pelagis; atau dihanyutkan (drift fish pots) untuk menangkap ikan terbang, yang dipasang baik secara temporer, semi permanen maupun permanen (Subani dan Barus, 1989). 2.2.1 Bubu Lipat Dua Pintu Bubu dua pintu merupakan bubu yang digunakan untuk menangkap kepiting atau rajungan. Rangka bubu untuk bubu dua pintu, keseluruhannya memakai rangka dari besi behel berdiameter 0.8 cm. Badan jaring yang digunakan adalah jaring PE multifilament, dengan mesh size 2.0 inchi. Kantung umpan bubu dua pintu terbuat dari bahan kawat kasa (Martasuganda, 2003). Menurut Martasuganda (2003), metode operasi dimulai dari persiapan semua keperluan, kemudian pemasangan pemberat pada tali utama, penyambungan tali temali dan pemasangan pelampung tanda di kedua ujung tali utama. Setelah itu, kapal menuju
8
kedaerah penangkapan terpilih dan selama dalam perjalanan, dilakukan pengisian umpan kedalam kantung umpan. Penurunan bubu di daerah penangkapan dilakukan satu demi satu. Satu set bubu biasanya terdiri dari 400 – 500 bubu, dengan jarak satu bubu dengan bubu lainnya antara 10 – 15 m. Lama perendaman bubu biasanya antara 3 – 4 hari. Kapal yang bisa dipergunakan adalah kapal motor, sedangkan jumlah nelayan bisa dilakukan oleh 2 - 3 orang. Umpan yang biasa digunakan adalah ikan rucah, yang dimasukkan kedalam kantung umpan yang terbuat dari kawat kasa. Daerah penangkapan bubu, biasanya dilakukan di laut dalam dengan kedalaman mulai dari 200 – 600 m (Martasuganda, 2003). 2.2.2 Bubu Lipat Tiga Pintu Bubu lipat tiga pintu merupakan salah satu alat tangkap yang khusus dirancang untuk menangkap kepiting ataupun rajungan. Bubu lipat tiga pintu merupakan salah satu alat tangkap yang relatif baru di Indonesia. Alat tangkap tersebut berasal dari Korea Selatan dan merupakan hasil hibah dari salah seorang pengusaha Korea Selatan kepada Sekolah Usaha Perikanan Menengah (SPUM), di Pontianak. Hibah tersebut diperoleh melalui Kerjasama Operasi (KSO) antara pengusaha Korea Selatan dengan pihak SUPM dalam pengoperasian Kapal Latih milik SUPM Negeri Pontianak (Tiku, 2004). Dikatakan bubu lipat karena alat tangkap tersebut dapat dilipat (ketika tidak dioperasikan) dan dapat dibuka (saat dioperasikan). Sedangkan disebut tiga pintu, karena memang memiliki 3 (tiga) buah pintu masuk tempat kepiting atau hewan lainnya untuk masuk. Alat tangkap tersebut berbentuk silinder, kerangka bagian atas berbentuk lingkaran dengan diameter 60 cm terbuat dari kerangka besi berdiameter 1 cm. Jarak antara kerangka bagian atas dan bagian bawah 25 cm dan secara keseluruhan dibungkus dengan jaring dari bahan Polyethylene (PE) dengan besar mata jaring 3 cm (Tiku, 2004). Diantara kerangka bagian atas dan kerangka bagian bawah, terdapat 3 buah pintu tempat masuknya rajungan atau hewan air lainnya. Pintu masuk tersebut terdiri dari 2 lembar jaring berukuran panjang 30 cm dan lebar 22 cm dari bahan Polyethylene, dengan besar mata jaring 2 cm. Kedua lembar jaring tersebut dijadikan satu dan bagian ujung antara kedua bagian sisi panjang dihubungkan. Sedangkan kedua bagian sisi
9
lebarnya tidak dihubungkan, karena pada saat dioperasikan merupakan jalan pintu masuk (Tiku, 2004). 2.3 Kapal Nelayan dalam mengoperasikan bubu, ada yang menggunakan kapal dan ada yang tidak menggunakan kapal. Menurut Martasuganda (2003), kapal yang biasa digunakan pada penangkapan dengan bubu adalah kapal motor. Kapal yang digunakan berukuran 30 – 90 GT yang dilengkapi dengan alat bantu (instrument), seperti line hauler, kompas atau GPS dan SSB. Selain kapal motor, nelayan juga menggunakan sampan atau perahu motor tempel, tergantung dari jenis bubu yang digunakan dalam pengoperasian. Panjang dari perahu-perahu yang dipakai bervariasi, dari 25 feet untuk daerah penangkapan di dekat pantai. Untuk daerah penangkapan dilepas pantai digunakan perahu dengan panjang 50 – 100 feet (Sainsbury, 1972). 2.4 Nelayan Untuk berhasilnya operasi penangkapan, nelayan harus memenuhi syarat antara lain terampil dalam mengoperasikan alat, terampil dalam menggunakan kapal dan perlengkapannya dan terampil dalam segala hal yang menunjang kegiatan operasi penangkapan. Nelayan pada perikanan bubu bervariasi, dari 3 – 4 orang atau 5 – 10 orang (Martasuganda, 2003).
2.5 Daerah Penangkapan Ikan Pemasangan bubu dasar biasanya dilakukan di perairan atau diantara karang-karang maupun bebatuan. Untuk memudahkan dalam mengetahui tempat pemasangan bubu, biasanya dilengkapi dengan pelampung tanda (Subani dan Barus, 1989) Penentuan daerah penangkapan dengan bubu berbeda dengan penentuan daerah penangkapan untuk ikan pelagis besar seperti tuna, karena memperhitungkan faktor oseanografi, keberadaan plankton dan faktor lainnya. Penentuan daerah penangkapan bubu tidak terlalu memperhitungkan faktor-faktor tersebut, hal yang terpenting dalam
10
penentuan daerah penangkapan adalah diketahuinya keberadaan ikan dasar, kepiting atau udang sebelum operasi penangkapan dilakukan. Keberadaan ikan yang dijadikan tujuan penangkapan bisa dideteksi dengan fish finder, informasi daerah panangkapan dan data hasil penangkapan sebelumnya (Martasuganda, 2003). 2.6 Ikan Tujuan Penangkapan Metode penangkapan bubu menurut Sainsbury (1972), terutama sekali dapat diterapkan untuk penangkapan udang-udangan (crustacea) seperti lobster, crab (udang barong) dan kepiting, yang pergerakan utamanya adalah dengan kaki di atas dasar perairan. Biota perairan yang umumnya dijadikan target penangkapan bubu adalah ikan dasar seperti udang, kepiting, keong, lindung, belut laut, cumi-cumi atau gurita baik yang hidup diperairan pantai, lepas pantai maupun yang hidup diperairan laut dalam (Martasuganda, 2003). Bubu efektif untuk menangkap ikan-ikan dasar, kepiting maupun udang yang hidup pada kedalaman 100 – 700 meter ataupun lebih, dimana alat tangkap lain tidak biasa dioperasikan (Monintja dan Martasuganda, 1990). Keberhasilan ikan-ikan menemukan perangkap, masuk dan akhirnya tertangkap sangat dipengaruhi oleh adanya interaksi antara tingkah laku hewan tersebut dengan rancangan dari perangkap, seperti: bentuk dan ukuran perangkap, besarnya bilah (celah) kelolosan, ukuran pintu masuk dan perlengkapan lain yang digunakan agar hasil tangkapan tidak lolos (Krouse, 1988 dalam Tiku, 2003).
2.7 Umpan Menurut Monintja dan Martasuganda (1990), alasan udang, kepiting atau ikan–ikan dasar terperangkap pada bubu adalah karena pengaruh beberapa faktor, antara lain: 1. tertarik oleh bau umpan; 2. dipakai untuk berlindung; 3. karena sifat thikmotaksis dari ikan itu sendiri; dan
11
4. dalam perjalanan perpindahan tempat, kemudian menemukan bubu dan alasan lain. Ikan akan menerima berbagai informasi mengenai keberadaan sekelilingnya, melalui beberapa inderanya seperti penglihatan , pendengaran, penciuman, peraba dan linea lateralis (Gunarso, 1985). Bubu yang dipasang bersifat pasif dan diharapkan dapat menarik jenis-jenis ikan yang akan tertangkap dengan mempergunakan umpan-umpan, baik berupa ikan-ikan yang sudah terpotong-potong atau hewan laut lainnya, ataupun dalam bungkusan yang telah dipersiapkan (Sainsbury, 1972). Penempatan umpan didalam bubu pada umumnya diletakkan ditengah-tengah bubu baik dibagian bawah, tengah atau di bagian atas dari bubu dengan cara diikat atau digantung dengan pembungkus umpan ataupun tidak menggunakan pembungkus umpan (Martasuganda, 2003). Menurut King vide Mawardi (2001), umpan pada bubu dan perangkap digunakan untuk menangkap crustacea, seperti kepiting dan udang, juga ikan kakap. Prinsipnya adalah ikan tertarik oleh umpan, lalu masuk kedalam bubu melalui mulut bubu dan sulit untuk meloloskan diri. Bubu yang menggunakan umpan ikan yang dipotong-potong, hasil tangkapannya lebih baik dibandingkan dengan umpan buatan atau pellet.
12
3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Pengumpulan data dilapangan dilaksanakan pada bulan Juli – Agustus 2004 dan bulan Juni 2005, yang bertempat di Kecamatan Kronjo, Kabupaten Tangerang provinsi Banten. Secara geografis, wilayah Kabupaten Tangerang terletak pada posisi 06000’ – 06020’ LS dan 106020’ – 106043’ BT. 3.2 Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1)
Satu unit perahu motor;
2)
Bubu lipat dua pintu sebanyak 10 buah;
3)
Bubu lipat tiga pintu sebanyak 10 buah;
4)
Alat pengukur panjang berupa penggaris, dengan skala terkecil 1mm;
5)
Alat pengukur berat berupa timbangan, dengan skala terkecil 1gram;
6)
Kamera/alat dokumentasi;
7)
Alat penentu posisi (GPS Garmin);
8)
Alat pengukur salinitas (Refraktometer);
9)
Alat pengukur suhu (Termometer);
10) Bahan yang digunakan adalah umpan (ikan kurisi/betet) dan es curah. 3.3 Metode Penelitian Penelitian ini menerapkan experimental fishing, yaitu uji coba penangkapan rajungan dengan menggunakan dua macam bubu yang memiliki konstruksi berbeda, yaitu bubu lipat dua pintu dan tiga pintu. Jumlah ulangan (setting) yang dilakukan selama penelitian adalah 6 kali pada bulan Juli – Agustus 2004 dan 6 kali pada bulan Juni 2005. Data yang dikumpulkan adalah berupa data primer dan data sekunder. Data primer didapatkan dengan melakukan pengamatan langsung dilapangan, yaitu mengikuti trip operasi penangkapan menggunakan alat tangkap bubu, untuk mengetahui cara pengoperasian. Bubu yang digunakan adalah bubu lipat dua pintu dan bubu lipat tiga pintu, yang masing-masing berjumlah 10 buah. Posisi bubu dalam pengoperasian adalah:
13
a) Pelampung tanda pertama yang diikatkan pada tali utama b) 10 buah bubu lipat dua pintu yang diikatkan pada tali cabang dan disambungkan ke tali utama, c) 10 buah bubu lipat tiga pintu yang diikatkan pada tali cabang dan disambungkan ke tali utama, dan d) pelampung tanda terakhir yang diikatkan pada tali utama. Selain dari pengamatan langsung, data primer juga didapatkan dari wawancara beberapa nelayan bubu. Pengambilan data primer sebagai data penunjang antara lain data oseanografi dan biologi perairan, yang berupa kondisi dasar perairan, kedalaman perairan, suhu dan salinitas. Data sekunder yang diperoleh dari instansi dan lembaga terkait, berupa data tentang keadaan umum daerah penelitian dan perikanan tangkap, juga data tentang keadaan umum usaha penangkapan ikan, terutama yang berkaitan dengan perikanan bubu. 3.3.1 Alat Tangkap Bubu Tali utama (main line) pada kedua jenis alat tangkap bubu terbuat dari bahan Polyethylene (PE) multifilament warna hijau dengan diameter 5 mm dan panjang lebih dari 300 m. Tali cabang (branch line) yang digunakan memiliki panjang 20 m, yang terbuat dari bahan Polyethylene (PE) multifilament dengan diameter 3 mm. Jarak antara tali cabang yang satu dengan yang lain adalah 15 m. Pelampung tanda yang dipakai berjumlah dua buah, yang diletakkan diujung tali utama dan diakhir tali utama. dan terbuat dari plastik berwarna putih. Bahan tali yang digunakan pada pelampung tanda sama dengan bahan tali utama. Pemberat yang digunakan dalam penelitian ini adalah rangka besi dari bubu itu sendiri. 3.3.1.1 Bubu Lipat Dua Pintu Badan bubu lipat dua pintu yang digunakan dalam penelitian berbentuk empat persegi panjang, dengan panjang 49 cm, lebar 35 cm dan tinggi 18 cm. Rangka bubu
14
terbuat dari kawat galvanis dengan diameter 3 mm dan badan bubu terbuat dari jaring Polyethylene (PE) multifilament berwarna hijau dengan ukuran mesh size 30 mm.
Keterangan Rangka
: Kawat galvanis diameter 3 mm
Ukuran
: P : L : T = 49 : 35 : 18
Jaring
: Polyethylene (PE) multifilament
Tempat umpan
Engsel
Kerangka besi
Funnel 2 buah Badan bubu Gambar 3. Konstruksi bubu lipat dua pintu
Pada bagian atas bubu, badan bubu dibagi menjadi dua dan pada pertengahan tersebut terdapat engsel yang terbuat dari besi yang dapat menyatukan kedua rangka bagian atas. Engsel tersebut berfungsi sebagai penyangga bubu agar dapat berdiri ketika dioperasikan sekaligus dapat membuat bubu menjadi terlipat ketika tidak dioperasikan.
15
Mulut bubu merupakan faktor penting dalam keberhasilan penangkapan dimana dapat memudahkan hasil tangkapan masuk sekaligus menyulitkan hasil tangkapan tersebut untuk keluar. Mulut bubu yang digunakan pada bubu lipat dua pintu, berbentuk horizontal pada bagian belakang dan depan bubu. Pintu masuk bubu lipat dua pintu memiliki ukuran panjang 18 cm dengan lebar 34 cm. Tempat umpan pada bubu lipat terdapat dibagian tengah bubu, dengan menggunakan kawat yang berbentuk pengait. Dengan adanya pengait tersebut, umpan tetap dalam posisinya dan tidak terbawa arus (Lampiran 1). 3.3.1.2 Bubu Lipat Tiga Pintu Bubu lipat tiga pintu yang digunakan dalam penelitian, berbentuk silinder. Dengan diameter kerangka atas 58 cm, dan kerangka bagian bawah berdiameter 59,5 cm. Jarak antara kerangka atas dan bawah 29 cm, dengan badan bubu terbuat dari jaring dengan bahan Polyethylene (PE) multifilament berwarna hijau dan memiliki mesh size 30 mm. Diantara kerangka bagian atas dan bawah, terdapat 2 penyangga bubu yang terbuat dari besi dan berfungsi untuk menegakkan bubu. Pada penyangga bubu, terdapat pengunci atau engsel yang dapat menghubungkan kedua penyangga tersebut, sehingga bubu dapat dilipat jika tidak dioperasikan atau ditegakkan jika hendak dioperasikan. Tiga pintu masuk yang terdapat pada bubu lipat ini, terdapat diantara kerangka bagian atas dan bawah. Tiga pintu masuk tersebut memiliki panjang 22 cm dan diameter 15 cm, yang terbuat dari bahan Polyethylene multifilament dengan ukuran mesh size 30 mm. Bentuk mulut pada bubu lipat tiga pintu berbeda dengan bentuk mulut pada bubu lipat dua pintu. Pada bubu lipat tiga pintu, mulut bubu (funnel) berbentuk bulat. Tempat umpan pada bubu lipat tiga pintu, terbuat dari kawat besi, dan diletakkan ditengahtengah badan bubu (Lampiran 2).
16
Keterangan Rangka
: Kawat besi diameter 3 mm
Ukuran
: Tinggi 29 cm, diameter atas 58 cm, diameter bawah 59,5 cm
Jaring
: Polyethylene (PE) multifilament
Kerangka besi 2 buah
Engsel
Penyangga 2 buah
Tempat umpan
Funnel 3 buah
Badan bubu
Gambar 4. Konstruksi bubu lipat tiga pintu 3.3.2 Pengukuran Hasil Tangkapan Data pengukuran hasil tangkapan antara lain: ukuran panjang dan lebar, berat dan jumlah hasil tangkapan dari tiap trip operasi penangkapan dan jenis hasil tangkapan.
17
Pengukuran hasil tangkapan untuk panjang dan lebar, menggunakan penggaris dengan skala terkecil 1 mm, sedangkan pengukuran berat, menggunakan timbangan dengan skala terkecil 1 gram.
3.4 Metode Analisis Data 3.4.1 Hubungan panjang – berat Analisa hubungan panjang dan berat total hasil tangkapan menggunakan persamaan sebagai berikut: b
W = aL
Log W = Log a + b Log L
Atau Keterangan: W
= berat rajungan dalam gram
L
= Panjang total rajungan dalam cm
a,b
= konstanta Korelasi parameter dari hubungan panjang dan lebar dapat dilihat dari nilai konstanta
b, sebagai penduga tingkat kedekatan hubungan kedua parameter. Bilamana b sama dengan 3, menunjukkan bahwa pertumbuhan rajungan tidak berubah bentuknya atau pertambahan panjang rajungan seimbang dengan pertambahan beratnya. Pertumbuhan yang demikian disebut dengan pertumbuhan isometrik. Sedangkan apabila b > 3 atau b < 3 dinamakan pertumbuhan alometrik. Bila b < 3 menunjukkan keadaan rajungan yang kurus, dimana pertumbuhan panjangnya lebih cepat dari pertumbuhan berat. Jika b > 3 menunjukkan rajungan yang montok, dimana pertumbuhan berat lebih cepat dari panjang (Effendie, 1997).
3.4.2 Rancangan t – student Metode rancangan t-student digunakan untuk mengetahui pengaruh penggunaan alat tangkap bubu lipat, terhadap hasil tangkapan. Uji t-student yang dilakukan adalah uji t berpasangan, dengan asumsi yang diterapkan selama penelitian adalah:
18
a) Biota tujuan penangkapan (rajungan) menyebar merata atau menyebar normal di perairan; b) Biota tujuan penangkapan (rajungan) mempunyai peluang yang sama untuk tertangkap Pengolahan data dilakukan dengan bantuan program Ms. Office Microsoft excel, dengan rumus t hitung : t hitung =
X1 − X 2 s12 s2 2 + n1 n2
1
2
Keterangan: X1
= Nilai rata-rata hasil tangkapan bubu kotak
X2
= Nilai rata-rata hasiltangkapan bubu bulat
s
= simpangan baku
n
= Ulangan
db
= derajat bebas (n – 1) Nilai t tabel terdapat dalam tabel A.3 (Lampiran 3), dengan melihat nilai db dan nilai
á yang digunakan 0.05/2 atau 0.025 (Steel and Torrie, 1993). Nilai t
hitung
dan t
tabel
kemudian dibandingkan, sehingga menghasilkan suatu keputusan dan kesimpulan yang akan diambil. Keputusan yang diambil dari uji t adalah: 1. Jika t hitung > t á/2, n – 1 maka tolak H0 2. Jika t hitung • t á/2, n – 1 maka terima H0 Hipotesis atau kesimpulan yang akan diambil: H0 = nilai tengah kedua populasi dari hasil tangkapan yang diuji adalah sama, yang berarti tidak ada pengaruh penggunaan alat tangkap bubu lipat terhadap hasil tangkapan. H1 = nilai tengah kedua populasi dari hasil tangkapan yang diuji adalah berbeda, yang berarti ada pengaruh penggunaan alat tangkap bubu lipat terhadap hasil tangkapan.
19
4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Keadaan Geografis dan Topografi Kabupaten Tangerang Secara geografis, Kabupaten Tangerang terletak pada posisi 06000’ – 06020’ LS dan 106021’ – 106043’ BT (Lampiran 9). Luas Kabupaten Tangerang adalah 1.230,3 km 2, yang terbagi dalam 19 kecamatan dan 7 dari kecamatan tersebut merupakan kecamatan pantai dengan luas wilayah perairan laut 380,4 km2. Kabupaten ini memiliki panjang garis pantai 51,4 km . Wilayah Kabupaten Tangerang dibatasi oleh: 1) Sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa; 2) Sebelah timur berbatasan dengan DKI Jakarta; 3) Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Bogor; 4) Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Lebak dan Serang. Kabupaten Tangerang memiliki topografi yang terdiri dari daerah pantai dibagian utara dan daerah dataran tinggi dibagian selatan, dengan ketinggian rata-rata 0–10 m diatas permukaan laut. Sungai yang mengalir di Kabupaten Tangerang, seluruhnya bermuara di Laut Jawa, dengan panjang sungai keseluruhan 314,3 km (Dinas Perikanan dan Kelautan Tangerang, 2004). 4.2 Keadaan Umum Perikanan Jumlah penduduk pada tahun 2003 yang melakukan usaha dibidang perikanan di Kabupaten Tangerang terdiri dari nelayan RTP (rumah tangga perikanan) atau juragan dan nelayan RTBP (rumah tangga buruh perikanan) atau nelayan pandega. Di Kabupaten Tangerang jumlah nelayan RTP sebanyak 6.200 dan nelayan RTBP sebanyak 12.946. Jumlah nelayan RTP di Kronjo pada tahun 2003 yaitu 402 orang dan 1.969 orang untuk RTBP (Dinas Perikanan dan Kelautan Tangerang, 2004). Adapun perkembangan produksi ikan menurut jenis usaha di Kabupaten Tangerang dari tahun 2002 hingga tahun 2003 dapat dilihat dalam Tabel 1.
20
Tabel 1. Perkembangan produksi ikan menurut jenis usaha di Kabupaten Tangerang tahun 2002 - 2003 Jenis usaha Produksi tahun 2002 (kg) Produksi tahun 2003 (kg) I Penangkapan 1. Laut
15.231
15.731
148
142
15.379
15.873
1. Tambak
7.806
7.286
2. Kolam
1.897
1.979
3. Sawah
8
8
4. Japung
198
196
5. Budidaya laut
2.760
2.860
Subtotal
11.949
12.329
Jumlah Total
27.328
28.202
2. Perairan umum Subtotal II Budidaya
Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan Tangerang (2004) PPI yang berada di 7 Kecamatan Kabupaten Tangerang adalah: a) TPI Kronjo di Kecamatan Kronjo, b) TPI Benyawakan di Kecamatan Kemiri, c) TPI Ketapang di Kecamatan Mauk, d) TPI Mauk Barat di Kecamatan Mauk, e) TPI Karang Serang di Kecamatan Sukadiri, f) TPI Citius di Kecamatan Pakuhaji, g) TPI Tanjung Pasir di Kecamatan Teluknaga, h) TPI Dadap di Kecamatan Kosambi. 4.3 Unit Penangkap Ikan 4.3.1 Alat Penangkap Ikan Keragaan alat tangkap ikan di Kabupaten Tangerang yang paling dominan adalah pancing, jaring insang hanyut, dan jaring klitik. Alat tangkap yang mengalami kenaikan
21
secara signifikan dari tahun 1999 hingga 2003 antara lain: Garok kerang, bubu, pancing, jaring klitik. Sedangkan alat tangkap yang mengalami penurunan sangat drastis adalah sero. Alat tangkap terbanyak pada tahun 2003 yaitu jaring insang hanyut, jaring klitik, dan pancing. Bubu rajungan dan purse seine baru ada dan terdaftar pada tahun 2003. Perkembangan alat tangkap ikan yang berada di Kabupaten Tangerang dari tahun 1999 – 2003 dapat dilihat dalam Tabel 2. Tabel 2. Perkembangan alat tangkap di Tangerang tahun 1999 - 2003 No. Jenis Alat Tangkap 1999 2000 2001 2002
2003
1 Payang
56
24
84
83
81
2 Dogol
24
24
230
220
119
239
182
462
492
532
-
-
-
-
2
374
338
500
526
526
6 Jaring lingkar
13
7
2
8
16
7 Bagan tancap
25
39
28
38
38
8 Jaring angkat lainnya
61
57
61
61
61
209
344
399
401
401
10 Sero
36
37
1
2
2
11 Bubu ikan
12
12
12
25
25
12 Garok kerang
42
57
72
192
192
13 Alat tangkap lain
62
62
62
50
50
14 Bubu rajungan
-
-
-
-
14
15 Jaring kolor (Purse seine)
-
-
-
-
1
1153
1183
1913
2098
2060
3 Jaring insang hanyut 4 Jaring insang tetap 5 Jaring klitik
9 Pancing
Jumlah total
Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan Tangerang (2004) Jenis alat tangkap yang terdapat di Kronjo pada tahun 2003 adalah Pancing dengan jumlah 15 unit, Jaring insang 76 unit, jaring kantong 78 unit, dan perangkap 37 unit (Dinas Perikanan dan Kelautan Tangerang, 2004).
22
4.3.2 Kapal Penangkap Ikan Kapal atau perahu yang terdapat di Kabupaten Tangerang terdiri dari tiga jenis, yaitu kapal motor (KM) yang disebut juga inboard engine karena mesin kapal terletak didalam badan kapal, perahu motor tempel (PMT) yang disebut juga outboard engine, dimana mesin dari perahu terletak diluar badan perahu dan perahu tanpa motor (PMT) yang tidak menggunakan mesin, tetapi menggunakan tenaga penggerak lain seperti dayung atau layar. Jumlah unit kapal/perahu yang berada di Kabupaten Tangerang dari tahun 1999 – 2003 dapat dilihat dalam Tabel 3. Tabel 3. Perkembangan jumlah kapal dan perahu di Tangerang tahun 1999 - 2003 Jumlah (unit) Jumlah total Tahun (unit) KM PMT PTM 1999
136
847
12
995
2000
197
623
12
832
2001
291
1716
9
2016
2002
291
1716
9
2016
2003
89
1740
74
1903
Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan Tangerang (2004)
Untuk kapal/perahu yang terdapat di Kronjo, diklasifikasikan kedalam dua jenis, yaitu perahu motor tempel dan kapal motor. Motor tempel yang digunakan nelayan Kronjo adalah >10 PK – 15 PK. Ukuran GT yang digunakan berkisar antara 5 – 20 GT (Tabel 4).
23
Tabel 4. Perkembangan kapal dan perahu di Kronjo tahun 2002 - 2004 No.
Jenis kapal
1
2002
Perahu tanpa motor a. Jukung b. Perahu papan 2 Perahu motor tempel a. < 5 GT b. 5 – 10 GT 200 c. 10 – 20 GT 55 d. 20 – 30 GT 3 Kapal motor a. < 10 GT 50 b. 10 – 20 GT 12 c. 20 – 30 GT d. > 30 GT Jumlah total 317 Sumber: Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Kronjo (2005)
Tahun 2003
2004 -
-
246 66 -
250 70 -
65 15 392
65 15 400
Gambar 5. Keadaan Pangkalan Pendaratan Ikan Kronjo 4.4 Produksi Ikan Nilai produksi terbesar dari 28 jenis ikan yang ada, didominasi oleh jenis ikan kembung, dengan jumlah 1173,9 ton (Tabel 5). Volume produksi perikanan di Kabupaten Tangerang mengalami penurunan pada tahun 2002, tapi mengalami kenaikan kembali pada tahun 2003 – 2004. Jenis ikan terbanyak pada tahun 2004 adalah; ikan teri,
24
tembang, kembung, kerang bulu dan kerang darah. Produksi rajungan di Tangerang pada tahun 2004 sebanyak 481,3 Ton. Rajungan di Tangerang sebelum tahun 2003 ditangkap menggunakan sero dan jaring insang. Tabel 5. Perkembangan produksi penangkapan ikan laut di Tangerang tahun 2001 - 2004 Produksi Tahun (Ton) No. Jenis Ikan 2001 2002 2003 2004 1 Peperek 644.3 513.3 530.1 544.8 2 Manyung 718.3 610.8 630.8 652.4 3 Biji nangka 451.1 406.7 420.0 426.3 4 Bambangan 637.1 559.0 577.3 594.9 5 Kerapu 371.5 350.3 361.8 347.8 6 Kakap 373.5 341.2 352.4 355.2 7 Kurisi 446.3 418.9 432.6 432.5 8 Ekor kuning 431.5 394.5 407.7 414.0 9 Tiga waja 443.5 405.1 418.4 426.2 10 Cucut 320.7 380.8 393.3 304.3 11 Pari 603.9 546.8 564.7 582.8 12 Selar 315.5 327.5 338.2 593.5 13 Kuwe 473.5 441.7 456.2 454.5 14 Tetengkek 439.1 403.6 416.8 444.1 15 Belanak 521.5 501.1 517.5 505.6 16 Teri 978.3 883.8 912.4 953.5 17 Japuh 355.9 581.8 600.8 339.8 18 Tembang 1021.5 924.5 954.9 1000.0 19 Kembung 1202.3 1248.9 1250.4 1173.9 20 Tenggiri 567.1 573.3 530.1 544.8 21 Layur 495.9 563.5 582.0 475.8 22 Ikan lainnya 906.7 822.5 849.5 887.7 23 Rajungan 496.3 455.4 470.4 481.3 24 Udang putih 461.5 428.0 482.0 450.4 25 Udang lainnya 615.9 562.2 580.5 599.5 26 Kerang bulu 1154.5 1055.5 1090.2 1145.0 27 Kerang darah 884.9 80.7 83.0 862.3 28 Cumi-cumi 562.9 510.2 527.0 542.0 Total 16895.0 15291.6 15731.0 16535.4 Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan Tangerang (2005)
25
Produksi perikanan di Kecamatan Kronjo pada tahun 2004 mengalami kenaikan sebesar 48,9 % dari produksi perikanan tahun 2003, dengan jumlah total produksi 628.361 kg menjadi 935.940 kg (Tabel 6).
Tabel 6. Perkembangan produksi ikan laut di Kronjo tahun 2003 – 2004 Produksi Tahun Produksi Tahun 2003 (kg) 2004 (kg) 1 Peperek 141193 233110 2 Samge 74272 87916 3 Teri 15362 20842 4 Kekes/keting 55484 Tdk ada data 5 Rajungan 10616 16800 6 Kurisi 18025 45749 7 Pari 35665 48503 8 Belanak 32469 48102 9 Utik 41034 95846 10 Kembung 8890 9029 11 Rebon 35481 64034 12 Tembang 53287 80364 13 Biji nangka 57942 95993 14 Lajan 5201 7424 15 Bilis 29069 64335 13 Corak 6125 6876 17 Cumi 5263 7853 18 Udang 2983 3164 Total 628361 935940 Sumber: Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Kronjo (2005) No
Jenis Ikan
Perkembangan (%) 65.1 18.4 35.7 58.3 153.8 36.0 48.1 133.6 1.6 80.5 50.8 65.7 42.7 121.3 12.3 49.2 6.1 48.9
Untuk produksi rajungan yang terdapat di Kronjo mengalami perkembangan dengan nilai produksi 10.626 kg pada tahun 2003 menjadi 16.800 kg pada tahun 2004. Persentase perkembangan produksi rajungan tersebut adalah 58,3 %. Rajungan tersebut ditangkap menggunakan bubu, jaring insang dan sero. 4.5 Musim Penangkapan Ikan Musim penangkapan ikan di Kecamatan Kronjo menurut data dari PPI Kronjo terdiri dari 3 musim , yaitu :
26
a) Musim Puncak atau musim Barat, yang berlangsung pada bulan November hingga bulan Maret. Pada musim ini gelombang laut tidak besar dan cuaca mendukung dalam operasi penangkapan. b) Musim Pancaroba atau musim peralihan, pada bulan April, Mei dan Oktober, dan c) Musim Paceklik atau musim Timur, berlangsung pada bulan Juni hingga bulan September. Pada musim ini, cuaca tidak mendukung dalam pengoperasian alat tangkap, dimana angin bertiup kencang dan gelombang laut besar. 4.6 Penanganan dan Pemasaran Rajungan Penanganan yang dilakukan pada hasil tangkapan sangat menentukan mutu dari hasil tangkapan tersebut. Yang dilakukan nelayan untuk menangani hasil tangkapan adalah dengan meletakkan hasil tangkapan tersebut pada sebuah ember yang diisi dengan air laut. Hal tersebut dilakukan agar hasil tangkapan tetap dalam keadaan hidup. Setelah sampai di fishing base, hasil tangkapan tidak langsung dibawa ke TPI (Tempat Pelelangan Ikan), melainkan ketempat perebusan rajungan. Proses penanganan dan pengolahan rajungan selanjutnya diserahkan kepada nelayan juragan bakul. Umumnya rajungan yang telah sampai ketempat perebusan kemudian langsung direbus, selama kurang lebih 20 menit, kemudian dilakukan pemisahan antara rajungan yang memiliki nilai ekonomis dan yang tidak memiliki nilai ekonomis. Rajungan yang telah dipilih memiliki nilai ekonomis biasanya diantar ke perusahaan pengolah, dengan menggunakan keranjang. Hampir semua nelayan juragan yang menangani rajungan, memiliki relasi dengan perusahaan pengolah rajungan. Selanjutnya perusahaan pengolah, mengekspor sebagian rajungan yang telah diolah dan sebagian lagi dikirim ke restoran atau rumah makan yang ada dikota-kota besar seperti Jakarta, Bogor, Tangerang dan Purwakarta. Selain perusahaan pengolah, rajungan yang telah direbus, biasanya dibeli oleh pedagang pengecer yang selanjutnya dibawa ke restoran atau konsumen. Rajungan yang telah direbus akan memiliki nilai jual yang tinggi dibandingkan dengan yang belum direbus. Adapun rantai pemasaran hasil tangkapan rajungan di Kronjo dapat dilihat dalam Gambar 6.
27
Nelayan
Juragan bakul
Perusahaan pengolah
Ekspor
Pedagang pengecer
Konsumen/restoran
Gambar 6. Rantai pemasaran rajungan di Tangerang
28
5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Unit Penangkapan Bubu Alat tangkap yang digunakan dalam penelitian adalah bubu lipat yang memiliki bentuk dan jumlah funnel yang berbeda. Bubu yang digunakan dikhususkan untuk menangkap biota perairan yang berada didasar perairan, dengan hasil tangkapan utama adalah rajungan. Bubu lipat yang digunakan adalah berbentuk kotak dan bulat, yang masing-masing mempunyai jumlah dua dan tiga funnel. Tali temali yang digunakan seluruhnya menggunakan bahan PE multifilament, karena bahan tersebut harganya relatif lebih murah dan kuat untuk menarik alat tangkap dari dalam perairan. Dalam pengoperasian bubu, pemberat yang digunakan adalah besi dari bubu itu sendiri, yang bisa mempercepat tenggelamnya alat tersebut. Kapal yang digunakan saat penelitian adalah kapal yang dipakai untuk mengoperasikan jaring arad. Kapal tersebut terbuat dari kayu dengan ukuran < 5 GT, panjang (L) 7,0 m, lebar (B) 2,8 m dan dalam (D) 1,0 m. Mesin penggerak yang digunakan adalah mesin motor tempel berkekuatan 20 PK (Gambar 7 ). Pada umumnya, kapal yang berukuran < 5 GT yang digunakan nelayan Kronjo dalam pengoperasian adalah minyak tanah. Hal ini dikarenakan harga minyak tanah lebih murah dibandingkan dengan bahan bakar lain, walaupun bahan bakar minyak tanah tersebut lebih cepat membuat mesin rusak. Satu trip pengoperasian bubu berlangsung selama satu hari (one day fishing). Nelayan yang mengoperasikan bubu lipat di Kronjo dalam satu perahu berjumlah 3 - 4 orang. Nelayan tersebut merupakan tenaga kerja penangkapan, yang memiliki tugas dan tanggung jawab masing-masing pada saat mengoperasikan alat tangkap. Nakhoda bertugas sebagai juru mudi dan menentukan lokasi fishing ground. Satu orang anak buah kapal bertugas memasang umpan dan menurunkan bubu, dan yang lain sebagai juru masak serta bertugas mengangkat bubu. Pada saat operasi penangkapan berlangsung, pembagian tugas dapat dilakukan secara bergantian diantara anak buah kapal.
30
Sebagian besar nelayan di Kronjo merupakan nelayan pendatang yang berasal dari daerah Cirebon, dan hanya berpendidikan Sekolah Dasar.
Nelayan yang berasal dari
Cirebon inilah yang mengenalkan alat tangkap bubu lipat dua pintu, kepada nelayan di Kronjo, sekaligus mengoperasikannya di perairan Kronjo. Umumnya, status nelayan di Kronjo adalah nelayan penuh dan nelayan sambilan utama, dengan umur berkisar antara 15 – 50 tahun.
Gambar 7. Dimensi kapal penelitian 5.2 Metode Pengoperasian Penelitian yang dilakukan dalam mengikuti operasi penangkapan dimulai dari pagi hari hingga sore hari. Keberangkatan dari fishing base pada pukul 04.00 WIB dan kembali ke fishing base rata-rata pada pukul 15.00 WIB. Setting dilakukan pada perairan yang bersubstrat lumpur berpasir, sesuai dengan tempat tinggal yang disukai oleh hasil tangkapan. Pada saat penelitian, pengoperasian alat tangkap bubu dilakukan dengan mengikuti nelayan yang mengoperasikan jaring arad. Hal ini disebabkan, nelayan alat tangkap bubu sebagian besar beralih ke alat tangkap lain dan sebagian lagi mengoperasikan alat tangkap bubu ke perairan Sumatera dalam jangka waktu yang relatif lama.
31
Tahapan pengoperasian bubu lipat terdiri dari: 1) Persiapan Tahap persiapan ini dilakukan di fishing base, yaitu menyiapkan perbekalan, pemeriksaan mesin kapal dan kelengkapan alat tangkap. Persiapan perbekalan meliputi segala kebutuhan yang diperlukan selama operasi penangkapan berjalan. Perbekalan yang disiapkan antara lain: umpan, es curah, bahan bakar mesin yang berupa minyak tanah, air tawar dan bahan makanan. Tahap persiapan ini biasanya dilakukan sekitar pukul 04.00 WIB. 2) Pencarian daerah penangkapan ikan Penentuan daerah penangkapan ikan diperoleh dari informasi
nelayan bubu dan
berdasarkan pengalaman nelayan. Daerah yang menjadi fishing ground saat penelitian yaitu sekitar Pulau Laki dan Pulau Tanara, dengan kedalaman 5 – 10 meter. Perairan tersebut merupakan daerah muara sungai yang bersubstrat lumpur berpasir. Perjalanan dari fishing base menuju fishing ground memakan waktu sekitar 1 – 1,5 jam. Selama dalam perjalanan, dua orang anak buah kapal menyiapkan dan memasang umpan kedalam bubu. 3) Penurunan alat tangkap (Setting) Setelah sampai di daerah tujuan, bubu diturunkan yang dimulai dengan melemparkan pelampung tanda dan pemberat. Pada saat setting, mesin tetap dalam keadaan hidup, dan kapal berjalan dengan kecepatan rendah. Dalam satu hari, setting alat dilakukan sebanyak satu kali. Setting yang hanya sekali ini dilakukan agar tidak mengganggu operasi penangkapan jaring arad. Setting berlangsung selama kurang lebih 15 menit dan dilakukan oleh dua orang anak buah kapal. Bubu yang dipasang berjumlah 10 buah bubu lipat dua pintu, dan 10 buah dari bubu lipat tiga pintu. Urutan setting bubu dimulai dengan penurunan pelampung tanda pertama, tali utama, tali cabang dan bubu lipat dua pintu, tali cabang dan bubu lipat tiga pintu, dan diakhiri dengan pelampung tanda kedua (Lampiran 8).
32
Gambar 8 . Setting alat tangkap bubu lipat dua pintu
Gambar 9 . Setting alat tangkap bubu lipat tiga pintu 4) Perendaman alat tangkap (Soaking) Setelah semua bubu diturunkan, maka kapal melanjutkan perjalanannya untuk melakukan operasi penangkapan menggunakan jaring arad. Lamanya perendaman bubu tergantung dari lama atau sebentarnya nelayan melakukan operasi penangkapan
33
menggunakan jaring arad. Selama penelitian, rata – rata waktu perendaman alat tangkap bubu berkisar antara 5 – 6 jam. 5) Pengangkatan alat tangkap (Hauling) Pada tahap hauling, penarikan bubu dimulai dengan mengangkat pelampung tanda, diikuti dengan penarikan tali utama dan tali cabang, kemudian pengangkatan bubu serta melepaskan hasil tangkapan. Pada saat hauling, semua anak buah kapal memiliki tugas masing-masing. Tugas nakhoda atau orang pertama adalah menarik tali utama dan tali cabang. Orang kedua bertugas membantu orang pertama, dan membersihkan bubu dari lumpur dan kotoran lain yang menempel pada bubu. Orang ketiga bertugas mengeluarkan hasil tangkapan, dan membuang umpan yang sudah tidak bisa terpakai lagi, serta menyusun kembali alat tangkap didalam kapal. Lamanya hauling
tergantung dari baik – buruknya cuaca. Jika cuaca baik, arus dan
angin dalam keadaan tenang, maka hauling berlangsung sekitar 30 – 45 menit. Tapi jika cuaca dalam keadaan tidak baik, dalam arti arus dan angin kencang, proses hauling bisa mencapai 1,5 – 2 jam. Saat penelitian berlangsung, proses hauling berjalan selama 1,5 jam. Hal ini dikarenakan susahnya menarik bubu dari perairan, yang memiliki arus dan gelombang yang besar.
34
Gambar 10 . Hauling alat tangkap bubu lipat dua pintu
Gambar 11. Hauling alat tangkap bubu lipat tiga pintu
35
5.3 Komposisi Hasil Tangkapan Bubu Lipat Hasil tangkapan bubu lipat diperoleh sebanyak empat jenis, yaitu rajungan (Portunus sp), keong macan (Babylonia spirata L.), keong gondang (Nassarius sp.) dan udang barong (Panulirus sp). Hasil tangkapan sampingan bubu rajungan yang paling banyak adalah keong gondang, yaitu sebesar 344 ekor. Hasil tangkapan sampingan terbesar kedua adalah keong macan, dengan jumlah 53 ekor. Dan di ikuti dengan udang, yang berjumlah 1 ekor. Secara keseluruhan, dari ke empat jenis hasil tangkapan pada bubu lipat dua pintu lebih banyak jika dibandingkan dengan bubu lipat tiga pintu. Bubu lipat dua pintu memperoleh total hasil tangkapan sebesar 360 ekor, sedangkan bubu lipat tiga pintu sebesar 102 ekor. Untuk lebih jelasnya, komposisi hasil tangkapan dapat dilihat dalam Tabel 7 .
Tabel 7 . Jumlah hasil tangkapan per jenis hasil tangkap dari 12 kali setting Jenis Tangkapan Bubu dua pintu Bubu tiga pintu Total Rajungan (Portunus sp) 53 11 64 Keong macan (Babylonia spirata L.) 40 13 53 Keong gondang (Nassarius sp.) 266 78 344 Udang barong (Panulirus sp) 1 0 1 Total 360 102 462 Proporsi hasil tangkapan terbesar adalah keong gondang (Nassarius sp.), sebesar 74 % untuk bubu lipat dua pintu dan 76 % untuk bubu lipat tiga pintu. Proporsi keseluruhan hasil tangkapan, pada bubu lipat dua pintu (Gambar 12) dan tiga pintu (Gambar 13 ).
36
1; 0%
53; 15%
40; 11% Rajungan Keong macan Keong gondang 266;74%
Udang Barong
Gambar 12 . Proporsi hasil tangkapan bubu lipat dua pintu 0; 0%
11;11% 13;13%
Rajungan Keong macan Keong gondang 78;76%
Udang Barong
Gambar 13. Proporsi hasil tangkapan bubu lipat tiga pintu 5.4 Perbandingan Hasil Tangkapan Rajungan Jumlah hasil tangkapan rajungan pada bubu lipat dua pintu lebih banyak dibandingkan dengan bubu lipat tiga pintu. Dalam 12 kali ulangan, bubu lipat dua pintu selalu mendapat rajungan, sedangkan bubu lipat tiga pintu hanya pada beberapa ulangan (Tabel 8).
37
Jumlah HT
Tabel 8 . Rajungan yang tertangkap setiap bubu dalam 12 ulangan Bubu dua pintu Bubu tiga pintu Ulangan Berat Panjang Lebar Berat Panjang n total total total n total total (gr) (cm) (cm) (gr) (cm) 5 260 23.4 46.5 1 40 4 1 3 145 13.5 25.8 2 100 9.3 2 4 125 15.5 30.5 0 0 0 3 5 190 20.7 41.2 1 50 4.8 4 2 105 9.5 18.8 0 0 0 5 3 145 13.2 25.5 2 105 9.5 6 3 100 12 23.5 0 0 0 7 6 460 31.30 65 2 55 7.2 8 8 760 42.30 81 0 0 0 9 4 360 21 39.8 1 50 4.5 10 6 505 26.80 58.5 2 100 8.8 11 4 330 15.8 37 0 0 0 12 53 3485 245.00 493.40 11 500 48.1 Total Rata-rata 290.42 71.43
9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
Lebar total (cm) 7 17.5 0 10 0 18.8 0 14.8 0 9.2 7.8 0 85.1
2 Pintu 3 Pintu
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Ulangan
Gambar 14. Perbandingan jumlah hasil tangkapan
38
Jumlah rajungan terbanyak yang diperoleh bubu lipat dua pintu adalah 8 ekor pada ulangan ke - 9 dan sedikitnya 2 ekor pada ulangan ke – 5. Sedangkan pada bubu lipat tiga pintu, jumlah hasil tangkapan rajungan terbanyak yaitu 2 ekor dan sedikitnya 1 ekor (Gambar 14). Berat individu rajungan tertinggi, hasil tangkapan bubu lipat dua pintu yaitu 130 gram dan terendah 20 gram yang diperoleh pada ulangan ke – 9 (Gambar 15).
Berat Individu (gr)
Bubu dua pintu
Rataan
130 110 90 70 50 30 10 1
2
3 4
5
6
7
8
9 10 11 12
Ulangan
Berat Individu (gr)
Bubu tiga pintu
Rataan
130 110 90 70 50 30 10 1 2 3 4
5 6 7 8
9 10 11 12
Ulangan
Gambar 15. Kisaran dan rataan berat individu rajungan bubu lipat per ulangan
39
Pada ulangan tersebut, rajungan yang didapat sebanyak 8 ekor dengan berat rata-rata 95 gram. Untuk bubu lipat tiga pintu, berat rajungan tertinggi diperoleh pada ulangan ke - 6 dan ke – 11 yaitu 60 gram sedangkan berat individu terendah adalah 20 gram yang diperoleh pada ulangan ke-8. Rata-rata berat hasil tangkapan rajungan per ulangan pada bubu lipat dua pintu dan tiga pintu dapat dilihat dalam Gambar 15.
Panjang Individu (cm)
Bubu dua pintu
Rataan
8 7 6 5 4 3 2 1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12
Ulangan
Panjang Individu (cm)
Bubu tiga pintu
Rataan
8 7 6 5 4 3 2 1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12
Ulangan
Gambar 16. Kisaran dan rataan panjang karapas individu rajungan bubu lipat per ulangan
40
Karapas terpanjang pada hasil tangkapan rajungan bubu lipat dua pintu yaitu 6,5 cm yang diperoleh pada ulangan ke – 9. Pada ulangan tersebut, rajungan yang didapat sebanyak 8 ekor dengan panjang individu rata-rata 5,2 cm. Untuk bubu lipat tiga pintu, panjang karapas rajungan tertinggi diperoleh pada ulangan ke - 6 yaitu 5 cm. Panjang karapas yang tertangkap berkisar antara 3 cm hingga 6,5 cm. Rata-rata panjang karapas rajungan hasil tangkapan per ulangan pada bubu lipat dua pintu dan tiga pintu dapat dilihat dalam Gambar 16. Lebar karapas rajungan tertinggi pada bubu lipat dua pintu, diperoleh pada ulangan ke-8 yaitu 12,5 cm dengan lebar rataan pada ulangan tersebut 10,8 cm. Sedangkan lebar karapas terendah adalah 7 cm pada ulangan ke – 2,3,4,6,7 dan 9. Untuk bubu lipat tiga pintu, lebar karapas rajungan tertinggi yaitu 10,3 cm yang diperoleh pada ulangan ke-6 dengan lebar rata-rata 9,4 cm dan lebar karapas terendah adalah 6,5 cm pada ulangan ke-8 dengan lebar rata-rata 7,4 cm. Kisaran dan rataan lebar karapas individu rajungan yang tertangkap bubu lipat dua dan tiga pintu terdapat dalam Gambar 17. Perbandingan hasil tangkapan antara bubu lipat dua pintu dengan tiga pintu sangat berbeda jauh. Jumlah rajungan yang didapatkan oleh bubu lipat dua pintu berkisar antara 2 - 8 ekor dengan rata-rata per setting 3 - 4 ekor. Sedangkan jumlah rajungan yang tertangkap pada bubu lipat tiga pintu berkisar antara 1 – 2 ekor dengan jumlah rata-rata 2 ekor per setting (Gambar 18). Untuk berat rajungan, bubu lipat dua pintu menghasilkan nilai yang lebih besar dibandingkan bubu lipat tiga pintu. Berat individu pada bubu lipat dua pintu berkisar antara 20 gram hingga 130 gram sedangkan berat individu rajungan pada bubu lipat tiga pintu berkisar antara 20 gram hingga 60 gram. Berat rata-rata yang tertangkap pada bubu lipat dua pintu adalah 65,7 gram sedangkan pada bubu lipat tiga pintu 45,4 gram (Gambar 19).
41
Lebar Individu (cm)
Bubu dua pintu
Rataan
14 12 10 8 6 4 1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12
Ulangan
Lebar Individu (cm)
Bubu tiga pintu
Rataan
14 12 10 8 6 4 1 2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12
Ulangan
Gambar 17. Kisaran dan rataan lebar karapas individu rajungan bubu lipat per ulangan
42
Jumlah HT
9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
Rataan
2 Pintu
3 Pintu
Gambar 18. Perbandingan jumlah rajungan hasil tangkapan
Berat Individu (gr)
135
Rataan
115 95 75 55 35 15 2 Pintu
3 Pintu
Gambar 19. Perbandingan berat rajungan hasil tangkapan Panjang karapas individu rajungan bubu lipat dua pintu berkisar antara 3,5 hingga 6,5 cm, sedangkan pada bubu lipat tiga pintu berkisar antara 3 – 5 cm. Panjang rata-rata yang diperoleh pada bubu lipat dua pintu adalah 4,6 cm dan pada bubu lipat tiga pintu 4,3 cm (Gambar 20).
43
Panjang Individu (cm)
7
Rataan
6 5 4 3 2 2 Pintu
3 Pintu
Gambar 20. Perbandingan panjang karapas rajungan hasil tangkapan
13
Rataan
Lebar Individu
12 11 10 9 8 7 6 2 Pintu
3 Pintu
Gambar 21. Perbandingan lebar karapas rajungan hasil tangkapan Pada Gambar 21, menunjukkan lebar karapas individu rajungan yang diperoleh bubu lipat dua dan tiga pintu. Kisaran lebar karapas pada bubu lipat dua pintu adalah 7 cm hingga 12,5 cm dengan rata-rata 9,3 cm. Sedangkan lebar karapas rajungan yang diperoleh bubu lipat tiga pintu berkisar antara 6,5 hingga 10,3 cm dengan rata-rata 7,1 cm.
44
Hal yang menyebabkan perbedaan kisaran nilai lebar karapas individu yang tertangkap oleh bubu lipat adalah adanya bentuk pintu masuk (funnel) bubu yang berbeda. Pada bubu lipat tiga pintu, funnel berbentuk bulat dan kendur sehingga menyebabkan rajungan yang memiliki karapas yang lebar akan susah masuk. Hal ini dikarenakan adanya duri pada karapas yang memungkinkan rajungan tersangkut dan akhirnya lepas. Berbeda dengan bubu lipat dua pintu, dimana pintu masuk bubu berbentuk horizontal, yang memudahkan rajungan masuk kedalam badan bubu.
5.5 Hubungan Panjang-Berat Hubungan pertumbuhan panjang dan berat hasil tangkapan dapat dilihat dari pesamaan b
W = aL , dimana korelasi parameter dari hubungan panjang dan lebar dapat dilihat dari nilai konstanta b, sebagai penduga tingkat kedekatan hubungan kedua parameter. Dari hasil perhitungan (Gambar 22), didapatkan nilai b adalah 1,413. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan panjang rajungan tidak seimbang dengan pertumbuhan beratnya atau alometrik negatif, yang berarti pertumbuhan panjang lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan berat.
B e rat (W )
1000
W = 3,7583 L
800
1,413
600
da ta
400
pre diksi
200 0 0
20
40
P anjang (L) Gambar 22. Hubungan berat dengan panjang karapas
45
Demikian juga dengan hubungan pertumbuhan berat dengan lebar hasil tangkapan (Gambar 23), dimana nilai konstanta b yaitu 1,421 yang berarti pertumbuhan yang terjadi pada rajungan yang tertangkap adalah alometrik negatif atau pertumbuhan lebar lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan berat.
B e rat (W )
1000
W = 1,3623 L
1,421
800
da ta
600 400
pre diksi
200 0 0
50
100
L e bar (L ) Gambar 23. Hubungan berat dengan lebar karapas 5.6 Analisis Uji t-student Hasil Tangkapan Bubu Lipat Uji yang dipakai adalah uji t-student atau uji t berpasangan. Dari hasil uji, diperoleh nilai t hitung untuk jumlah hasil tangkapan sebesar 6,61 pada taraf signifikansi (á) sebesar 5 %. Dari tabel distribusi t didapat t0.025, 11 = 2,201. Hal ini menunjukkan bahwa t hitung > t tabel (6,61 > 2,201), yang berarti ada pengaruh perlakuan terhadap jumlah hasil tangkapan (Lampiran 4) Nilai t hitung untuk berat hasil tangkapan yaitu 4,14 pada taraf signifikansi (á) 5 %. Nilai tersebut menunjukkan keputusan yang diambil adalah tolak Ho (t hitung > tá/2, n - 1), yang berarti ada pengaruh perlakuan bubu lipat dua pintu dan tiga pintu terhadap berat hasil tangkapan (Lampiran 4). Nilai t hitung untuk panjang dan lebar karapas berturut-turut adalah 5,63 dan 5,71 (Lampiran 5) pada taraf signifikansi 5 %. Hal tersebut menunjukkan bahwa keputusan yang diambil adalah tolak Ho, dimana nilai (5,63 > 2,201) dan (5,71 > 2,201) dengan
46
kesimpulan bahwa ada pengaruh perlakuan terhadap panjang dan lebar karapas hasil tangkapan. 5.7 Penyebaran Sumberdaya Hasil Tangkapan Pada umumnya, rajungan yang ditangkap nelayan Kronjo, banyak ditemukan didaerah sekitar Pulau Laki dengan posisi 05055’26” – 05058’39” LS dan 106 027’51” – 106032’08” BT dan daerah perairan Tanara dengan posisi 05057’00” – 06000’15” LS dan 106 022’14” 106025’10” BT. Daerah tersebut memiliki kedalaman 5 – 10 meter, dengan substrat lumpur berpasir. Salinitas yang berada didaerah tersebut berkisar antara 30‰ - 33‰, dengan suhu rata-rata 290C. Daerah tersebut merupakan daerah yang subur, karena merupakan muara sungai yang banyak mengandung nutrient yang menjadi sumber makanan bagi biota perairan. Nutrient tersebut berasal dari proses run off yang terjadi pada muara sungai. Musim rajungan di daerah Kronjo terjadi pada bulan November hingga Februari atau pada musim Barat. Pada musim
tersebut, keadaan cuaca sangat mendukung dalam
pengoperasian alat tangkap, dalam arti gelombang laut tidak terlalu besar. Penelitian yang dilakukan tidak tepat saat musim rajungan, sehingga hasil tangkapan yang didapat pun sangat sedikit dan tidak memiliki nilai jual yang tinggi. Pada saat penelitian berlangsung, rajungan banyak terdapat didaerah perairan Lampung, Sumatera Selatan
dan
Kalimantan.
Hal
ini
menyebabkan
hampir semua
nelayan
yang
mengoperasikan jaring rajungan dan alat tangkap bubu beralih ke daerah tersebut. Rajungan yang tertangkap saat penelitian adalah rajungan yang sudah mencapai dewasa kelamin, dengan rata-rata panjang karapas adalah 4 cm. Tetapi rajungan-rajungan tersebut tidak memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Rounsefell (1975), bahwa rajungan mencapai dewasa kelamin pada panjang karapas sekitar 37 mm, dengan demikian ada kesempatan rajungan-rajungan tersebut bereproduksi dan yang mempunyai nilai ekonomis adalah rajungan yang mempunyai panjang karapas antara 95 – 228 mm.
47
5.8 Pembahasan Bubu lipat digunakan untuk menangkap rajungan maupun biota perairan lain. Bubu lipat memiliki kelebihan diantaranya praktis atau dapat dilipat saat tidak dioperasikan, sehingga tidak banyak memerlukan ruang. Selain itu, dalam pengoperasiannya bubu lipat sangat mudah dikerjakan. Dari segi konstruksi, bubu lipat sangat sederhana, dalam arti kerangka yang terbuat dari besi bisa menjadi pemberat. Bahan badan bubu juga hampir semuanya terbuat dari bahan jaring yang sama. Kelebihan lain dari hasil tangkapan bubu yaitu kesegaran mutu, karena hasil tangkapan yang terperangkap didalam bubu masih dalam keadaan hidup Meskipun memiliki banyak kelebihan, hanya sedikit dari nelayan Kronjo yang menggunakan alat tangkap bubu dan menjadikannya sebagai matapencaharian sampingan. Hal tersebut dikarenakan alat tangkap bubu membutuhkan modal yang lebih besar dibandingkan dengan alat tangkap lain. Contohnya antara lain umpan dan harga jaring bubu yang lebih mahal dibandingkan dengan jaring rajungan. Dua jenis bubu lipat yang dioperasikan memperoleh hasil tangkapan berupa rajungan (14%), keong macan (11%), keong gondang (75%) dan udang barong (0%). Hasil tangkapan sampingan terbanyak dari bubu lipat adalah keong gondang dan keong macan. Hal tersebut disebabkan bau umpan yang berupa ikan asin kurisi yang sangat menyengat dan sifat dari keong tersebut yang merupakan karnivor pemakan bangkai. Menurut Monintja dan Martasuganda (1991), salah satu yang menyebabkan hasil tangkapan masuk ke alat tangkap adalah tertarik bau umpan. Umpan ikan asin yang digunakan mengeluarkan bau melalui celah mata jaring dari badan bubu dan terbawa oleh aliran air. Mata jaring pada kedua jenis alat tangkap bubu yang dicobakan adalah sama. Dengan demikian, peluang untuk lolosnya hasil tangkapan pada alat tangkap bubu juga sama. Meskipun keong gondang merupakan hasil tangkapan terbanyak, tapi nilai jual dari keong gondang sangat rendah. Untuk 1 kilo hasil tangkapan diberi harga Rp. 800,00. Selain itu, keong gondang tidak banyak disukai oleh konsumen.
48
Panjang rata-rata rajungan yang didapat bubu lipat dua pintu sebesar 4,6 cm, lebih besar dibandingkan dengan bubu lipat tiga pintu 4,3 cm. Sama halnya dengan lebar rata-rata rajungan. Bubu lipat dua pintu memiliki nilai lebar rata-rata 9,3 cm sedangkan bubu lipat tiga pintu 7,1 cm. Perbedaan dari panjang dan lebar rata-rata yang tidak terlalu besar, pada kedua jenis bubu tersebut, menyimpulkan bahwa rajungan menyebar merata di perairan. Hasil tangkapan yang didapat tidak banyak, karena pada saat operasi penangkapan dilakukan cuaca tidak mendukung. Trip yang dilakukan berjalan pada musim Timur, dimana gelombang dan arus yang ada cukup besar. Pengoperasian dilakukan disekitar perairan Tanara dan Pulau Laki. Meskipun bubu lipat tiga pintu yang berasal dari Kalimantan memiliki pintu yang lebih banyak, tapi hasil tangkapan yang didapat lebih sedikit jika dibandingkan dengan bubu lipat dua pintu dari Tangerang. Hal ini dikarenakan konstruksi pintu masuk bubu lipat tiga pintu yang berbentuk bulat dan kendur, sehingga menyebabkan rajungan dan biota lain susah untuk masuk. Berbeda dengan bubu lipat dua pintu, dimana pintu masuknya berbentuk horizontal yang memudahkan masuknya rajungan dan biota lain tapi menyulitkan untuk keluar. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Wibyosatoto (1994), yang menyimpulkan bahwa bubu lipat dengan bukaan mulut horizontal memiliki hasil tangkapan yang lebih baik jika dibandingkan dengan bukaan mulut yang bulat atau bercorong. Hal lain yang sangat mempengaruhi hasil tangkapan bubu lipat tiga pintu tidak terlalu banyak adalah konstruksi bukaan funnel yang kendur. Ketika bubu berada di dasar perairan, arus dasar yang kuat akan mempengaruhi bukaan funnel tersebut, dalam hal ini funnel tersebut tidak dalam posisi yang efektif untuk memungkinkan hasil tangkapan masuk. Dalam pengoperasiannya pun, bubu lipat tiga pintu lebih susah dan lebih berat dibandingkan bubu lipat dua pintu. Saat hauling, bubu lipat tiga pintu lebih berat. Hal ini karena konstruksi bubu yang berbentuk bulat tidak dapat diangkat secara horizontal melainkan secara vertikal. Dimana jika diangkat secara vertikal, maka bubu tersebut mengalami tahanan hidrodinamik. Berbeda dengan bubu lipat dua pintu, dalam
49
pengoperasiannya bubu dapat diangkat secara horizontal dan tahanan hidrodinamiknya kecil. Kekurangan lain pada bubu lipat tiga pintu adalah dibutuhkannya biaya yang cukup besar untuk badan bubu yang terbuat dari jaring. Dalam hal ini, badan jaring yang dibutuhkan, memakan bahan yang lebih banyak dibandingkan dengan bubu lipat dua pintu. Banyaknya badan jaring pada bubu lipat tiga pintu yang berbentuk bulat, tergantung dari diameter rangka atas dan bawah. Hal tersebut dibuktikan dengan harga bubu lipat tiga pintu yang lebih mahal (Rp. 22.000 untuk satu bubu) dibandingkan bubu lipat dua pintu (Rp. 14.000 untuk satu buah bubu). Jika konstruksi funnel pada bubu lipat tiga pintu dibuat lebih efektif, maka alat tangkap tersebut dapat memuat hasil tangkapan yang lebih banyak, dalam arti ruangan tempat hasil tangkapan lebih luas. Hal yang kurang efektif dari bubu lipat dua pintu adalah penggunaan kerangka besi yang berdiameter < 3 mm. Arus dasar yang kuat dapat menyebabkan bubu tidak dalam posisi yang sempurna. Hal ini memerlukan suatu pemberat yang dapat menahan bubu di dasar perairan. Kerangka besi pada bubu selain sebagai penguat struktur, juga memiliki fungsi sebagai pemberat. Maka dari itu, perlu kerangka besi yang lebih berat ( diameter > 3 mm) untuk menahan bubu dalam posisi yang sempurna. Dari nilai uji yang dilakukan untuk jumlah, bobot, panjang dan lebar untuk hasil tangkapan rajungan, menunjukkan ada pengaruh perlakuan terhadap hasil tangkapan. Hal ini disebabkan karena faktor-faktor yang disebutkan diatas. Berdasarkan kekurangan dan kelebihan dari penelitian bubu lipat dua dan tiga pintu yang telah disebutkan diatas, maka bubu lipat dua pintu lebih efektif dan efisien dalam pengoperasian. Tapi, belum bisa dikatakan bahwa bubu lipat dua pintu lebih bagus dibandingkan tiga pintu. Dalam hal ini perlu menganalisis lebih lengkap tentang aspek sosial dan ekonomi yang belum terukur dalam penelitian ini.
50
6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Hasil tangkapan bubu lipat terdiri dari rajungan (14%), keong macan (11%), keong gondang (75%) dan udang barong (0%). Total hasil tangkapan rajungan untuk bubu lipat dua pintu adalah 53 ekor sedangkan bubu lipat tiga pintu adalah 11 ekor. Keputusan dari uji t yang dilakukan adalah tolak H0, yang berarti ada pengaruh konstruksi alat tangkap bubu lipat terhadap hasil tangkapan. Bubu yang lebih efektif dan efisien dalam pengoperasian selama penelitian adalah bubu lipat dua pintu. 6.2 Saran Perlunya penelitian lanjutan dengan konstruksi funnel pada bubu lipat tiga pintu yang lebih optimal, dan mencobakannya pada musim penangkapan dan ulangan yang lebih banyak, serta ditinjau dari berbagai aspek.
51
DAFTAR PUSTAKA Catur, C.R. 2004. Waktu Perendaman dan Periode Bulan: Pengaruhnya terhadap Kepiting Bakau Hasil Tangkapan Bubu di Muara Sungai Radak, Pontianak. Skripsi (tidak dipublikasaikan). Bogor: Institut Pertanian Bogor, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. CIESM. 2000. Portunidae, Portunus pelagicus. http://www.ciesm.org/atlasportunus pelagicus.html Darya. 2002. Pengaruh Lama Perendaman (Soaking Time) Jaring Kejer Terhadap Hasil Tangkapan Rajungan (Portunus pelagicus) di Perairan Gebang Mekar, Cirebon. Skripsi (tidak dipublikasikan). Bogor: Institut Pertanian Bogor, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Tangerang. 2004. Rakorbang dan rencana Kegiatan Tahun 2005 di Kabupaten Tangerang. Tangerang: Dinas Perikanan dan Kelautan. Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Tangerang. 2005. Laporan Tahunan Kegiatan Pembangunan Perikanan dan Kelautan Tahun 1999 – 2004 di Kabupaten Tangerang. Tangerang: Dinas Perikanan dan Kelautan. Edwards, E. 1988. Crab Fisheries and Their Management in the Britis Isles. Shellfish Association of Great Britain London, England. Marine Invertebrate Fisheries. Effendi, M.I. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara. Yogyakarta. Gunarso, W. 1985. Tingkah Laku Ikan dalam Hubungannya Dengan Alat, Metode dan Taktik Penangkapan. Bogor: Institut Pertanian Bogor, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. King, M.G. 1991. Fisheries in the Economy of the South Pacific. Institut of Pacific Studies, University of the South Pacific, Canada. Krouse, J.S. 1988. Performance and Selectivity of Trap Fisheries for Crustaceans. Departement of Marine Resources West Boothbay Harbor, Maine. Marine Invertebrate Fisheries. Martasuganda, S. 2003. Bubu (Trap). Bogor: Institut Pertanian Bogor, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
52
Martosubroto , P. Naamin dan B.A. Malik. 1991. Potensi dan Penyebaran Sumberdaya Ikan Laut di Perairan Indonesia. Jakarta: Direktorat Jenderal Perikanan, Pusat Penelitian dan Pengembangan, P3O LIPI. Mawardi, M. I. 2001. Pengaruh Penggunaan Jenis Umpan terhadap Hasil Tangkapan Ikan Karang pada Alat Tangkap Bubu di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu. Skripsi (tidak dipublikasikan). Bogor: Institut Pertanian Bogor, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Monintja, DR, Martasuganda S. 1990. Diktat Kuliah Teknologi Pemanfaatan Sumberdaya Hayati Laut II (tidak dipublikasikan). Bogor: Institut Pertanian Bogor, Proyek Peningkatan Perguruan Tinggi Institut Pertanian Bogor. Moosa, M.K., Burhanuddin dan Razak, H. 1980. Beberapa Catatan Mengenai Rajungan dari Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu dalam Sumberdaya Hayati Bahari. Jakarta: Rangkuman Hasil Penelitian Pelita II LON Jakarta. MuseumVictoria.2000. Crab Biology. http://www.mov.vic.gov.au/crust/crabbiol.html. Nontji, A. 1993. Laut Nusantara. Jakarta: Penerbit Djambatan. Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Kronjo. 2005. Laporan Bulanan Kegiatan Perikanan dan Kelautan Tahun 2002-2004 di Kecamatan Kronjo, Kabupaten Tangerang. Tangerang: PPI Kronjo. Rounsefell, G.A.dan Evehart, W.H. 1962. Fishery Science: Its Methods and Aplication. New York: John Wiley and Sons. Rounsefell, G.A. 1975. Ecology, Utilization and Management of Marine Fisheries. Saint Louis: The C.V. Mosby Company. Sainsbury, J.C. 1972. Commercial Fishing Methods, an Introduction to Vessel and Gear. Fishing News. (books). Ltd. London. Steel, R.G.D dan Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika (Suatu Pendekatan Biometrik). Edisi kedua. Alih Bahasa: Bambang Sumantri. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Stephenson, W. dan B. Chambell. 1959. The Australians Portunids (crustacea portunidae). IV. Remaining Genera. Subani, W, HR, Barus. 1989. Alat Penangkap Ikan dan Udang Laut di Indonesia. Jurnal Penelitian Perikanan Laut No. 5 Th. 1988/1989. Edisi khusus . Jakarta: Balai Penelitian Perikanan Laut.
53
Thomson, J. M. 1974. Fish of The Ocean and Shore. London: Collins Sydney. Tiku, M. 2003. Pengaruh Jenis Umpan dan Waktu Pengoperasian Bubu Lipat terhadap Hasil Tangkapan Kepiting Bakau di Kabupaten Pontianak. Tesis (tidak dipublikasikan). Bogor: Institut Pertanian Bogor, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Program Studi Teknologi Kelautan. West Australian Government.1997. Issue Affecting Western Australia’s Inshore Crab Fishery. http://www.gov.au/west fish/comm/broc/mp/mp1008/mp10803 html. Wibyosatoto, B. 1994. Studi Tentang Pengaruh Perbedaan Konstruksi Mulut Bubu (funnel) pada Bubu Lipat terhadap Hasil Tangkapan di Perairan Bengkulu. Bogor: Institut Pertanian Bogor, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan.
54
LAMPIRAN
55
Lampiran 1. Spesifikasi alat tangkap bubu lipat dua pintu No. 1.
2.
3.
4.
5.
Nama bagian Badan bubu a. Material b. Bentuk c. Ukuran d. Warna Mulut bubu a. Material b. Bentuk c. Ukuran d. Warna e. Jumlah Kerangka dan pemberat a. Material b. Bentuk c. Warna Penyangga a. Material b. Bentuk c. Warna d. Jumlah Tempat umpan a. Material b. Jumlah c. Bentuk
Keterangan Jaring PE, mesh size 30 mm Empat persegi panjang p : l : t = 49 : 35 : 18 Hijau Bahan PE, mesh size 30 mm Horizontal p : l = 18 : 34 cm Hijau 2 buah Kawat galvanis Persegi panjang Perak Kawat galvanis Engsel Perak 1 buah Kawat galvanis 1 buah Pengait
56
Lampiran 2. Spesifikasi alat tangkap bubu lipat tiga pintu No. 1.
2.
3.
4.
5.
Nama bagian Badan bubu a. Material b. Bentuk c. Warna Mulut bubu a. Material b. Bentuk c. Ukuran d. Warna e. Jumlah Kerangka dan pemberat a. Material b. Bentuk c. Warna d. Ukuran Penyangga a. Material b. Bentuk c. Warna d. Jumlah Tempat umpan a. Material b. Jumlah c. Bentuk
Keterangan Jaring PE, mesh size 30 mm Empat persegi panjang Hijau Bahan PE, mesh size 30 mm Bulat Panjang 22 cm, Ø 15 cm Hijau 3 buah Kawat besi Lingkaran/bulat Perak Ø atas 58 cm, Ø bawah 59,5 cm Kawat galvanis Kotak, dikaitkan engsel Perak 2 buah Kawat galvanis 1 buah Pengait
57
Lampiran 3. Nilai t tabel A 3. db 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 40 60 12 0 ~ db
0.5 1.000 .816 .765 .741 .727 .718 .711 .706 .703 .700 .697 .695 .694 .692 .691 .690 .689 .688 .688 .687 .686 .686 .685 .685 .684 .684 .684 .683 .683 .683 .681 .679 .677 .674
0.4 1.376 1.061 .978 .941 .920 .906 .896 .889 .883 .879 .876 .873 .870 .868 .866 .865 .863 .862 .861 .860 .859 .858 .858 .857 .856 .856 .855 .855 .854 .854 .851 .848 .845 .842
Peluang nilai mutlak t yang lebih besar 0.3 0.2 0.1 0.05 0.02 1.963 3.078 6.314 12.706 31.821 1.386 1.886 2.920 4.303 6.965 1.250 1.638 2.353 3.182 4.541 1.190 1.533 2.132 2.776 3.747 1.156 1.476 2.015 2.571 3.365 1.134 1.440 1.943 2.447 3.143 1.119 1.415 1.895 2.365 2.998 1.108 1.397 1.860 2.306 2.896 1.100 1.383 1.833 2.262 2.821 1.093 1.372 1.812 2.228 2.764 1.088 1.363 1.796 2.201 2.718 1.083 1.356 1.782 2.179 2.681 1.079 1.350 1.771 2.160 2.650 1.076 1.345 1.761 2.145 2.624 1.074 1.341 1.753 2.131 2.602 1.071 1.337 1.746 2.120 2.583 1.069 1.333 1.740 2.110 2.567 1.067 1.330 1.734 2.101 2.552 1.066 1.328 1.729 2.093 2.539 1.064 1.325 1.725 2.086 2.528 1.063 1.323 1.721 2.080 2.518 1.061 1.321 1.717 2.074 2.508 1.060 1.319 1.714 2.069 2.500 1.059 1.318 1.711 2.064 2.492 1.058 1.316 1.708 2.060 2.485 1.058 1.315 1.706 2.056 2.479 1.057 1.314 1.703 2.052 2.473 1.056 1.313 1.701 2.048 2.467 1.055 1.311 1.699 2.045 2.462 1.055 1.310 1.697 2.042 2.457 1.050 1.303 1.684 2.021 2.423 1.046 1.296 1.671 2.000 2.390 1.041 1.289 1.658 1.980 2.358 1.036 1.282 1.645 1.960 2.326
0.01 63.657 9.925 5.841 4.604 4.032 3.707 3.499 3.355 3.250 3.169 3.106 3.055 3.012 2.977 2.947 2.921 2.898 2.878 2.861 2.845 2.831 2.819 2.807 2.797 2.787 2.779 2.771 2.763 2.756 2.750 2.704 2.660 2.617 2.576
0.001 636.619 31.598 12.941 8.610 6.859 5.959 5.405 5.041 4.781 4.587 4.437 4.318 4.221 4.140 4.073 4.015 3.965 3.922 3.883 3.850 3.819 3.792 3.767 3.745 3.725 3.707 3.690 3.674 3.659 3.646 3.551 3.460 3.373 3.291
0.25
0.2
0.15
0.005
0.0005
0.1 0.05 0.025 0.01 Peluang nilai t positif yang lebih besar
58
Lampiran 4. Nilai t hitung jumlah dan berat HT rajungan t-Test Jumlah HT : Paired Two Sample for Means Mean Variance Observations Pearson Correlation Hypothesized Mean Difference df t Stat P(T<=t) one-tail t Critical one-tail P(T<=t) two-tail t Critical two-tail
Variable 1 4.416667 2.810606 12 0.085324 0 11 6.610802 1.9E-05 1.795884 3.81E-05 2.200986
Variable 2 0.916667 0.810606 12
t-Test Berat HT: Paired Two Sample for Means Variable 1 Variable 2 Mean 290.4167 41.66667 Variance 41183.9 1801.515 Observations 12 12 Pearson Correlation -0.01882 Hypothesized Mean Difference 0 df 11 t Stat 4.140581 P(T<=t) one-tail 0.000821 t Critical one-tail 1.795884 P(T<=t) two-tail 0.001642 t Critical two-tail 2.200986
59
Lampiran 5. Nilai t hitung panjang dan lebar karapas HT rajungan t-Test Panjang Karapas HT: Paired Two Sample for Means Mean Variance Observations Pearson Correlation Hypothesized Mean Difference df t Stat P(T<=t) one-tail t Critical one-tail P(T<=t) two-tail t Critical two-tail
Variable 1 20.41667 89.34697 12 0.042667 0 11 5.632559 7.64E-05 1.795884 0.000153 2.200986
Variable 2 4.008333 15.68265 12
t-Test Lebar Karapas HT : Paired Two Sample for Means Mean Variance Observations Pearson Correlation Hypothesized Mean Difference df t Stat P(T<=t) one-tail t Critical one-tail P(T<=t) two-tail t Critical two-tail
Variable 1 41.11667 354.6579 12 -0.15466 0 11 5.719944 6.71E-05 1.795884 0.000134 2.200986
Variable 2 6.475 45.98386 12
60
Lampiran 6. Data hasil tangkapan rajungan bubu lipat dua pintu Setting ke-
HT
1
Rajungan
2
JUM Rata2 Rajungan
3
JUM Rata2 Rajungan
4
JUM Rata2 Rajungan
5
JUM Rata2 Rajungan
6
JUM Rata2 Rajungan
JUM Rata2
Berat 55 30 70 50 55 260 52 40 60 45 145 48.3333 30 25 25 45 125 31.25 35 35 50 25 45 190 38 60 45 105 52.5 70 35 40 145 48.3333
Bubu lipat dua pintu JUM Panjang 1 4.8 1 4 1 5 1 4.8 1 4.8 5 23.4 4.68 1 4 1 5 1 4.5 3 13.5 4.5 1 4 1 3.5 1 3.5 1 4.5 4 15.5 3.875 1 4.2 1 4 1 4.5 1 3.5 1 4.5 5 20.7 4.14 1 5 1 4.5 2 9.5 4.75 1 5 1 4.2 1 4 3 13.2 4.4
Lebar 9 8 10.5 10 9 46.5 9.3 7 10.3 8.5 25.8 8.6 8 7 7 8.5 30.5 7.625 8.3 8.2 9.2 7 8.5 41.2 8.24 10.3 8.5 18.8 9.4 10.5 8.3 7 25.8 8.6
61
Lampiran 6 (lanjutan) 7
Rajungan
8
JUM Rata2 Rajungan
9
JUM Rata2 Rajungan
10
JUM Rata2 Rajungan
11
JUM Rata2 Rajungan
JUM
30 25 45 100 33.3333 70 90 110 90 50 50 460 76.6667 100 130 120 100 90 110 20 90 760 95 80 120 100 60 360 90 110 90 60 60 90 95 505
1 1 1 3 1 1 1 1 1 1 6 1 1 1 1 1 1 1 1 8 1 1 1 1 4 1 1 1 1 1 1 6
4 3.5 4.5 12 4 5 5.5 6 5.5 4.8 4.5 31.3 5.21667 5.5 6.5 6 5.3 4.5 6 3.5 5 42.3 5.2875 4.5 6 5.5 5 21 5.25 5 4.5 4 4 4.5 4.8 26.8
8 7 8.5 23.5 7.83333 10.5 11.5 12.5 11.5 10 9 65 10.8333 11 11.5 11 10.5 9.5 10.5 7 10 81 10.125 9 10 10.5 10.3 39.8 9.95 11 10 9 8.5 10 10 58.5
62
Lampiran 6 (lanjutan)
12
Rata2 Rajungan
JUM Rata2
84.1667 70 90 80 90 330 82.5
1 1 1 1 4
4.46667 4 4 3.8 4 15.8 3.95
9.75 9.5 9.5 8.5 9.5 37 9.25
63
Lampiran 7. Data hasil tangkapan rajungan bubu lipat tiga pintu Setting ke1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
HT Rajungan JUM Rata2 Rajungan JUM Rata2 Rajungan JUM Rata2 Rajungan JUM Rata2 Rajungan JUM Rata2 Rajungan JUM Rata2 Rajungan JUM Rata2 Rajungan JUM Rata2 Rajungan JUM Rata2 Rajungan JUM Rata2 Rajungan
Berat 40 40 40 45 55 100 50 0 0 0 50 50 50 0 0 0 60 45 105 52.5 0
Bubu lipat tiga pintu JUM Panjang 1 4 1 4 4 1 4.5 1 4.8 2 9.3 4.65 0 0 0 0 0 1 4.8 1 4.8 4.8 0 0 0 0 0 1 5 1 4.5 2 9.5 4.75 0 0
0 0 35 20
0
55 27.5 0
2
0 0 50
0
50 50 60
1
1 1
0
1
1
Lebar 7 7 7 8.5 9 17.5 8.75 0 0 0 10 10 10 0 0 0 10.3 8.5 18.8 9.4 0
0 0 4.2 3 7.2 3.6 0
0 0 8.3 6.5
0 0 4.5 4.5 4.5 4.8
0 0 9.2
7.4 7.4 0
9.2 9.2 8.6
64
Lampiran 7 (lanjutan)
12
JUM Rata2 Rajungan JUM Rata2
40
1
4
7
100 50 0 0 0
2
8.8 4.4 0 0 0
7.8 7.8 0 0 0
0 0
65
Lampiran 8. Pengoperasian alat tangkap di dalam perairan.
∀ 300 m
15 m 20 m
66
Lampiran 9. Peta daerah penelitian
60 LS
106030’ BT
Skala = 1 : 270.000 = Fishing base = Fishing ground
67