PERANAN SARWO EDHIE WIBOWO DALAM PENUMPASAN GERAKAN 30 SEPTEMBER 1965 DI JAKARTA DAN JAWA TENGAH SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh: Gandhi Ramadhan 10406241018
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2014
ii
iii
iv
PERSEMBAHAN
Karya ini akan penulis persembahkan kepada: Bapak Sutardana dan Ibu Sumarwati yang senantiasa mendoakan dan memberikan motivasi kepada penulis.
Tak lupa juga penulis bingkiskan karya ini untuk: Pandu Dewanata.
v
MOTTO
Saya adalah pejalan kaki yang lambat tetapi saya tak pernah berjalan mundur (Abraham Lincoln) Sebagian besar kegagalan dalam hidup dialami oleh orang-orang yang tidak menyadari betapa dekatnya mereka dengan kesuksesan saat mereka menyerah (Thomas Edison) Hambatan adalah hal-hal menakutkan yang dapat Anda lihat saat Anda menutup mata untuk melihat tujuan Anda (Henry Ford) Jalan menuju kesuksesan adalah dengan cara menggandakan tingkat kegagaglan Anda. Kegagalan adalah peluang untuk memulai lagi dengan lebih cerdik (Henry Ford)
vi
PERANAN SARWO EDHIE WIBOWO DALAM PENUMPASAN GERAKAN 30 SEPTEMBER 1965 DI JAKARTA DAN JAWA TENGAH Oleh: Gandhi Ramadhan 10406241018
ABSTRAK Skripsi ini bertujuan; (1) mengetahui sosok Sarwo Edhie Wibowo; (2) mengkaji peranan Sarwo Edhie Wibowo dalam penumpasan G30S di Jakarta; (3) memaparkan peranan Sarwo Edhie Wibowo dalam penumpasan G30S di beberapa wilayah di Jawa Tengah; (4) menerangkan kehidupan Sarwo Edhie Wibowo pasca penumpasan G30S. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode sejarah kritis oleh Kuntowijoyo, yaitu: (1) pemilihan topik, langkah awal dalam sebuah penelitian untuk menentukan permasalahan yang akan dikaji; (2) heuristik, kegiatan menghimpun jejak-jejak atau sumber-sumber sejarah; (3) kritik sumber, kegiatan meneliti sumber-sumber sejarah sehingga diperoleh sumber-sumber yang otentik dan terpercaya; (4) interpretasi, merupakan kegiatan analisis yang didapatkan dari sumber yang telah dikumpulkan dan diverifikasi; (5) historiografi, merupakan kegiatan menyampaikan sintesis dari penelitian yang ditulis secara kronologis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Sarwo Edhie Wibowo adalah pemuda keturunan bangsawan pribumi yang lahir di Purworejo. Menempuh pendidikan di HIS, MULO, melanjutkan ke sekolah militer. Lulus dari sekolah militer Angkatan Darat, Sarwo Ehie Wibowo memiliki peranan yang besar mulai dari perlawanan terhadap penjajahan Belanda dan Jepang. Berperan besar dalam bidang militer membuat karir Sarwo Edhie Wibowo semakin meningkat hingga ia diangkat menjadi Kepala Staf RPKAD dan Komandan RPKAD. Jabatan tersebut dibarengi dengan adanya aksi massa PKI yang bernama Gerakan 30 September. Tidak lebih dari satu bulan aksi tersebut berhasil ditumpas oleh pasukan Sarwo Edhie Wibowo. Jawa Tengah yang menjadi basis kekuatan PKI mulai mendapat tekanan setelah Sarwo Edhie Wibowo tiba di Semarang, Kota Surakarta, dan Boyolali. Massa PKI dapat dengan mudah ditangkap karena Sarwo Edhie bekerja sama dengan ABRI dan masyarakat Nasionalis Agama. Sarwo Edhie Wibowo tidak memimpin RPKAD lagi setelah penumpasan G30S dan ia kemudian mengabdikan diri di bidang militer, politik, dan organisasi masyarakat. Hal tersebut bisa dikatakan jauh hubungannya dari peranannya yang berhasil menumpas G30S, hingga ia meninggal dunia pada 10 November 1989. Kata kunci: Sarwo Edhie Wibowo, G30S, 1965.
vii
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum warahmatullahiwabarakatuh Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan karunia, hidayah dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Peranan Sarwo Edhie Wibowo dalam Penumpasan Gerakan 30 September 1965 di Jakarta dan Jawa Tengah” dengan lancar. Penulis sadar bahwa keberhasilan penulis dalam menyusun skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari kelurga, rekan-rekan, dan pihakpihak yang terlibat. Oleh sebab itu penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. Rochmat Wahab, M. Pd., MA selaku rektor Universitas Negeri Yogyakarta. 2. Prof. Dr. Ajat Sudrajat, M. Ag selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta. 3. Bapak Dr. Aman, M. Pd selaku Pembimbing Akademik. 4. Bapak Sardiman AM, M.Pd selaku pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktu dalam membimbing dan memberikan motivasi untuk kelancaran penyusunan skripsi. 5. Bapak M. Nur Rokhman, M. Pd selaku Ketua Jurusan Pendidikan Sejarah dan telah memberikan bimbingan tambahan untuk segera menyelesaikan penyusunan skripsi. 6. Bapak/Ibu dosen yang telah mengajar, membimbing, dan mendidik kami. 7. Kedua orang tua yang senantiasa mendoakan dan memberikan dukungan baik
viii
secara materi maupun moril. 8. Dwi Wahyu Anggorowati yang selalu memberikan semangat dan waktunya untuk membantu mengumpulkan sumber, serta memberikan motivasi dalam penyusunan skripsi. 9. Iskandar dan Dhani Kurniawan yang menjadi teman bimbingan skripsi, memberikan inspirasi dan motivasi untuk segera menyelesaikan penyusunan skripsi. 10. Bakti Syamsudin, Wisnu Happy, Dimas Lucky, Ageng Nur Ma’ruf yang menjadi teman seperjuangan dalam pencarian sumber skripsi. 11. Keluarga besar MSB 2010 R (Mahasiswa Sejarah Bersubsidi 2010 Reguler), Itama, Suryanti, Dhani, Bakti, Titan, Heni, Nurul, Dwi, Esti, Winda, Taat, Leni, Rani, Dimas, Handika, Ivan, Ririn, Ageng, Aris, Rico, Indri, Danu, Wisnu, Iskandar, Nani, Joe, Dila, yang senantiasa dalam kebersamaan saling memberikan dukungan dan semangat. 12. Keluarga Besar Mbah Siswodiharjo dan Mbah Suparjan yang selalu memberikan dukungan dan motivasi untuk selalu memberikan hasil yang membanggakan bagi penulis. 13. Petugas Museum Mandala Bhakti Semarang, ANRI, Perpusnas, Monumen Pers Solo, dan Jogja Library yang telah meluangkan waktunya untuk membantu mencari arsip dan sumber yang dibutuhkan dalam penyusunan skripsi ini. 14. Semua pihak yang secara langsung dan tidak langsung membantu menyelesaikan skripsi ini.
ix
Terima kasih kepada mereka semua dan semoga menjadi amal dan diberikan pahala yang berlipat dari Allah SWT. Semoga karya ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang membacanya. Demi perbaikan selanjutnya, saran, dan kritik yang membangun akan penulis terima dengan senang hati. Akhirnya, hanya kepada Allah SWT penulis serahkan segalanya, mudah-mudahan dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan umumnya bagi kita semua. Wassalamu’alaikum warahmatullahiwabarakatuh
Yogyakarta, 21 Agustus 2014
Penulis
x
DAFTAR ISI
hal HALAMAN JUDUL…………………………………………………………….. i PERSETUJUAN………………………………………………………………… ii PENGESAHAN………………………………………………………………….
iii
PERNYATAAN…………………………………………………………………. iv PERSEMBAHAN……………………………………………………………….. v MOTTO………………………………………………………………………….. vi ABSTRAK……………………………………………………………………….. vii KATA PENGANTAR…………………………………………………………..
viii
DAFTAR ISI…………………………………………………………………….. xi DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………………
xiv
DAFTAR ISTILAH……………………………………………………………..
xv
DAFTAR SINGKATAN………………………………………………………… xvi BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang………………………………………………….. 1 B. Rumusan Masalah………………………..................................... 6 C. Tujuan Penelitian……………………………………………….. 7 D. Manfaat Penulisan……………………….................................... 8 E. Kajian Pustaka…………………………...................................... 9 F. Historiografi yang Relavan……………………………………... 11
xi
G. Metode Penelitian………………………………………………. 13 H. Pendekatan Penelitian
19
I. Sistematika Penelitian…………………………………………... 20 BAB II
SOSOK SARWO EDHIE WIBOWO A. Sarwo Edhie Wibowo Semasa Kecil……...........……………….. 23 B. Pendidikan Sarwo Edhie Wibowo....……………………………. 26 C. Pendidikan Militer Sarwo Edhie Wibowo………………......…... 30
BAB III
PENUMUMPASAN
GERAKAN
30
SEPTEMBER
DI
JAKARTA A. Keadaan Jakarta Sekitar Gerakan 30 September……………….. 50 B. Menduduki Gedung RRI dan Kantor Telekomunikasi…………. 59 C. Mengamankan Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma……..... 66 BAB IV
PENUMPASAN GERAKAN 30 SEPTEMBER DI JAWA TENGAH A. Penumpasan Gerakan 30 September di Semarang……………… 83 1. Sekilas Keadaan Semarang…………………………………. 83 2. Penumpasan Gerakan 30 September di Semarang………….. 86 B. Penumpasan Gerakan 30 September di Kota Surakarta……….... 94 1. Sekilas Keadaan Kota Surakarta……………………....……. 94 2. Penumpasan Gerakan 30 September di Kota Surakarta…….. 96 C. Penumpasan Gerakan 30 September di Boyolali……………….. 101 1. Sekilas Keadaan Boyolali…………………………………... 101 2. Penumpasan Gerakan 30 September di Boyolali…………… 104
xii
BAB V
SARWO
EDHIE
WIBOWO
PASCA
PENUMPASAN
GERAKAN 30 SEPTEMBER A. Karir Perjuangan Militer Mulai Meredup……………..……....... 114 B. Tersingkir dari Kemiliteran………………………...………........ 122 C. Kehidupan Terakhir Sarwo Edhie Wibowo................................... 126 BAB VI
KESIMPULAN……………………………………………………. 130
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………. 134 LAMPIRAN……………………………………………………………………… 138
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
Foto
Sarwo
Edhie
Wibowo,
Mantan
Komandan
RPKAD….............................................................................. Lampiran 2
Kumpulan radiogram laporan dari Komandan RPKAD untuk Pangkostrad …………..……………………………..
Lampiran 3
139
140
Kumpulan radiogram laporan dari Komandan RPKAD untuk Pangkostrad ……………………………………..….. 141
Lampiran 4
Kumpulan radiogram laporan dari Komandan RPKAD untuk Pangkostrad …………………..…………………….. 142
Lampiran 5
Kumpulan radiogram laporan dari Komandan RPKAD untuk Pangkostrad …………………………………………. 143
Lampiran 6
Senjata dan Kendaraan yang digunakan pasukan RPKAD… 144
Lampiran 7
Komando Daerah Inspeksi Kepolisisan 95 Surakarta……… 145
Lampiran 8
Komando Daerah Inspeksi Kepolisisan 95 Surakarta……… 146
Lampiran 9
“Kehidupan di Surakarta Berdjalan Seperti Biasa”, Suara Merdeka (16 oktober 1965)………………………………... 147
Lampiran 10
“Gelombang Massa-Aksi Rakjat Semarang Melanda G30S”, Suara Merdeka (21 Oktober 1965)………………… 148
Lampiran 11
Keputusan No. 1 Tentang Susunan Dewan Revolusi Indonesia…………………………………………………… 149
xiv
DAFTAR ISTILAH
Agitasi
: Hasutan kepada orang banyak (untuk mengadakan huru-hara).
Infiltrasi
: Penyusupan atau campur tangan.
Kabinet
: Badan atau dewan pemerintahan yang terdiri atas para menteri.
Komunisme
: Sebuah ideologi ekonomi politik, paham yang menolak kepemilikan barang pribadi dan beranggapan bahwa semua barang produksi harus menjadi milik bersama.
Kudeta
: Perebutan kekuasaan (pemerintahan) dengan paksa.
Militer
: Tentara, anggota tentara.
Partai
: Perkumpulan (segolongan orang) yang seasas, sehalauan, dan setujuan (terutama di bidang politik).
Propaganda
: Penerangan (paham, pendapat, dsb) yang benar atau salah yang dikembangkan
dengan
tujuan
meyakinkan
orang
agar
menganut suatu aliran, sikap, atau arah tindakan tertentu. Provokasi
: Perbuatan untuk membangkitkan kemarahan, tindakan menghasut, penghasutan, pancingan.
Resimen
: Pasukan tentara yang terdiri atas beberapa battalion yang biasanya dikepalai oleh seorang perwira menengah.
Revolusi
: Perubahan ketatanegaraan (pemerintahan atau keadaan sosial) yang dilakukan dengan kekerasan (seperti perlawanan senjata).
Subversi
: Gerakan dalam usaha menjatuhkan kekuasaan yang sah dengan
xv
menggunakan cara di luar undang-undang.
DAFTAR SINGKATAN
AD
: Angkatan Darat
DKA
: Djawatan Kereta Api
HIS
: Hollandsch Inlandsche School
KNIL
: Koninklijk Nederlands Indisch Leger
Kodam
: Komando Daerah Militer
Kostrad
: Komando Strategi Angkatan Darat
MULO
: Meer Uitgebried Lager Oderwijs
Pangdam
: Panglima Daerah Militer
Pangkostrad
: Panglima Komando Strategi Angkatan Darat
Pepelrada
: Penguasa Pelaksana Dwikora Daerah
PETA
: Pembela Tanah Air
PKI
: Partai Komunis Indonesia
RPKAD
: Resimen Para Komando Angkatan Darat
RRI
: Radio Republik Indonesia
SBKA
: Serikat Buruh Kereta Api
TKR
: Tentara Keamanan Rakyat
SPKAD
: Sekolah Para Komando Angkatan Darat
xvi
PERANAN SARWO EDHIE WIBOWO DALAM PENUMPASAN GERAKAN 30 SEPTEMBER 1965 DI JAKARTA DAN JAWA TENGAH Oleh: Gandhi Ramadhan 10406241018
ABSTRAK Skripsi ini bertujuan; (1) mengetahui sosok Sarwo Edhie Wibowo; (2) mengkaji peranan Sarwo Edhie Wibowo dalam penumpasan G30S di Jakarta; (3) memaparkan peranan Sarwo Edhie Wibowo dalam penumpasan G30S di beberapa wilayah di Jawa Tengah; (4) menerangkan kehidupan Sarwo Edhie Wibowo pasca penumpasan G30S. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode sejarah kritis oleh Kuntowijoyo, yaitu: (1) pemilihan topik, langkah awal dalam sebuah penelitian untuk menentukan permasalahan yang akan dikaji; (2) heuristik, kegiatan menghimpun jejak-jejak atau sumber-sumber sejarah; (3) kritik sumber, kegiatan meneliti sumber-sumber sejarah sehingga diperoleh sumber-sumber yang otentik dan terpercaya; (4) interpretasi, merupakan kegiatan analisis yang didapatkan dari sumber yang telah dikumpulkan dan diverifikasi; (5) historiografi, merupakan kegiatan menyampaikan sintesis dari penelitian yang ditulis secara kronologis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Sarwo Edhie Wibowo adalah pemuda keturunan bangsawan pribumi yang lahir di Purworejo. Menempuh pendidikan di HIS, MULO, melanjutkan ke sekolah militer. Lulus dari sekolah militer Angkatan Darat, Sarwo Ehie Wibowo memiliki peranan yang besar mulai dari perlawanan terhadap penjajahan Belanda dan Jepang. Berperan besar dalam bidang militer membuat karir Sarwo Edhie Wibowo semakin meningkat hingga ia diangkat menjadi Kepala Staf RPKAD dan Komandan RPKAD. Jabatan tersebut dibarengi dengan adanya aksi massa PKI yang bernama Gerakan 30 September. Tidak lebih dari satu bulan aksi tersebut berhasil ditumpas oleh pasukan Sarwo Edhie Wibowo. Jawa Tengah yang menjadi basis kekuatan PKI mulai mendapat tekanan setelah Sarwo Edhie Wibowo tiba di Semarang, Kota Surakarta, dan Boyolali. Massa PKI dapat dengan mudah ditangkap karena Sarwo Edhie bekerja sama dengan ABRI dan masyarakat Nasionalis Agama. Sarwo Edhie Wibowo tidak memimpin RPKAD lagi setelah penumpasan G30S dan ia kemudian mengabdikan diri di bidang militer, politik, dan organisasi masyarakat. Hal tersebut bisa dikatakan jauh hubungannya dari peranannya yang berhasil menumpas G30S, hingga ia meninggal dunia pada 10 November 1989. Kata kunci: Sarwo Edhie Wibowo, G30S, 1965.
vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Bangsa Indonesia pernah mengalami sejarah yang kelam pada tahun 1948 dan 1965. Pada tanggal 18 September 1948 Partai Komunis Indonesia (PKI) melancarkan pemberontakan di Madiun. 1 Sebenarnya pemberontakan ini telah berhasil ditumpas oleh Angkatan Perang Republik Indonesia. Tahun 1965 pemberontakan PKI terulang kembali karena masih banyak tokoh PKI yang selamat dari hukuman pengadilan. Malam 30 September 1965 akan senantiasa kita kenang bersama dalam ingatan bangsa. Pertarungan antar kaum elite dalam perpolitikan telah memanas sejak beberapa tahun sebelum puncak malam itu. Ambisi akan kekuasaan dan keinginan untuk menghabisi lawannya sampai ke akar-akarnya semakin terasa ketika akhir masa kekuasaan Demokrasi Terpimpin. Ketika kesehatan Soekarno dikabarkan semakin memburuk, muncullah situasi genting yang terjadi di negara. 2 Ketegangan terjadi 1
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia VI: Zaman Jepang dan Zaman Republik Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1992, hlm. 241. 2
Soekarno menderita penyakit ginjal kronis dan penyakit-penyakit lain yang menjadi gawat dalam tahun 1965, menyebabkan ia meminta bantuan tim dokter Cina. Tim itulah barangkali yang memberi tahu PKI dan kalangannya mengenai kegawatan kondisi kesehatan Soekarno (lihat Green Marshall dalam Dari Sukarno ke Soeharto: G30S-PKI dari Kacamata Seorang Duta Besar, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1992, hlm. 52.
1
2
antara kaum PKI dan pasukan militer Angkatan Darat untuk berebut pengaruh kekuasaan dalam pemerintahan. PKI merupakan salah satu kekuatan politik yang sangat besar pada waktu itu untuk mengincar puncak kekuasaan. Awal tahun 1965 PKI telah mempersiapkan perebutan kekuasaan politik yang dilaksanakan secara cermat dan akurat.3 Langkah pertama yang dilakukannya adalah dengan pergerakan revolusi yang sangat cepat, sejumlah pimpinan partai diturunkan dan lawan politiknya dibekukan. Komunisme sebagai ideologi politik tidak pernah mati dan tidak pernah surut untuk memperoleh kekuasaan baik dengan cara halus (konstitusional) maupun kasar (pemberontakan bersenjata). 4 Sepanjang tahun 1964 dan selama bulan Januari hingga September tahun 1965 para pemimpin, aktifis, kader, dan juga simpatisan PKI meningkatkan aksi-aksi politik. Dengan menghantam lawan-lawan mereka yang dianggap mengecam, merintangi, dan lebihlebih mencoba menentang mereka. Strategi PKI mencakup bidang-bidang mental psikologis seperti propaganda, agitasi, dan provokasi dari atas podium maupun melalui media massa, infiltrasi dan subversi, serta fisik
3
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, op. cit., hlm. 481. 4
Dinas Sejarah Angkatan Darat, Mewaspadai Pengkhianatan Partai Komunis di Indonesia: Kumpulan Artikel Pemberontakan PKI dan Operasi Penumpasannya, Bandung: Dinas Sejarah Angkatan Darat, 2010, hlm. 3.
3
seperti demonstrasi, penyerbuan maupun bentrokan di kota-kota dan desadesa.5 Ketegangan politik di Indonesia semakin memuncak ketika terjadi suatu peristiwa hilangnya para perwira tinggi Angkatan Darat. Satu Batalyon pasukan Cakrabirawa (kesatuan pengawal Presiden Soekarno) yang dipimpin Kolonel Untung pada tanggal 30 September 1965 di Jakarta menculik dan membunuh enam perwira tertinggi dan seorang perwira pertama. Jenazah para korban ditemukan di sebuah sumur tua di Lubang Buaya, dekat kompleks lapangan udara Halim Perdanakusuma. 6 Dalam operasi ini, para jenderal seperti Yani (Menpangad), Pandjaitan, dan Haryono terbunuh dalam perlawanan terhadap penangkapan, sedangkan Suprapto, Sutoyo, dan Parman diculik dan dibunuh. Sekitar pukul 8 pagi (Radio Republik Indonesia) RRI telah mengumumkan “Gerakan 30 September” yang telah meyelamatkan presiden dari kup CIA yang melibatkan dewan jenderal. 7 Sebuah pengumuman yang dikeluarkan atas nama Letnan Kolonel Untung menyatakan bahwa negara akan diperintah 5
Tribuana Said, D. S. Muljanto, Perlawanan Pers Indonesia (BPS) Terhadap Gerakan PKI, Jakarta: Sinar Harapan, 1983, hlm. 13-14. 6
Pustaloka, Saksi dan Pelaku GESTAPU (Pengakuan Para Saksi dan Pelaku Sejarah Gerakan 30 September), Yogyakarta: Media Presindo, 2006, Hlm. 2. 7
Sebenarnya perebutan kekuasaan dilancarkan dini hari tanggal 1 Oktober, sehingga menimbulkan pertanyaan mengapa pemimpinpemimpinnya sendiri menamakan Gerakan 30 September. Penjelasan mengandung kemungkinan ialah bahwa tanggal 1 Oktober adalah Hari Nasional Cina. Komunis dan PKI tidak ingin kup itu dihubungkan erat dengan Cina, terutama karena orang Cina secara luas tidak populer di Indonesia. Lihat Green Marshall, op. cit., hlm. 50.
4
oleh “Dewan Revolusi Indonesia”, yang keanggotaannya akan diumumkan hari itu juga.8 Hal ini jelas merupakan sebuah rencana kudeta yang akan segera
dilancarkan oleh PKI
mengingat
Dewan Revolusi
yang
mendominasi kabinet dan di dalam Dewan Revolusi tersebut tidak tercantum nama Soekarno.9 Selain itu juga jenderal-jenderal yang diculik merupakan jenderal-jenderal yang setia kepada Soekarno. Angkatan Darat (AD), sebagai pemegang mandat pertahanan negara dan pewaris semangat perjuangan melawan penjajah pastinya tidak merelakan kekuasaan jatuh ke tangan komunis. Langkah pertama Jenderal Soeharto selaku Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (KOPKAMTIB) adalah menumpas satuan-satuan bersenjata G30S/PKI.10 Jalan yang ditempuh adalah dengan cara menggerakkan pasukan Kostrad serta kesatuan-kesatuan yang tidak mendukung Gerakan 30 September seperti Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) dan juga menyadarkan pasukan-pasukan yang telah diperalat oleh PKI. RPKAD yang dipimpin Kolonel Sarwo Edhie Wibowo dipercaya merebut stasiun RRI dan kantor besar telekomunikasi, dan berhasil dengan baik. 11 8
Ibid., hlm. 50-51.
9
Komando Operasi Tertinggi, Tjatatan Kronologis di Sekitar Peristiwa G30S, Jakarta: Seksi Penerangan, 1965. Keputusan No. 1 Tentang Susunan Dewan Revolusi Indonesia, lihat Lampiran 11 hlm. 148. 10 11
Tribuana Said, D. S. Muljanto, op, cit., hlm 105.
Kardiyat Wiharyanto, Sejarah Indonesia: Dari Proklamasi Sampai Pemilu 2009, Yogyakarta: Penerbit Universitas Sanata Dharma, hlm. 141.
5
Beberapa pimpinan PKI seperti D. N. Aidit, Njoto, Letkol Untung, dan Brigjen Supardjo tertangkap, maka dari itu timbul gerakan-gerakan penumpasan PKI di berbagai daerah yang dilakukan oleh masyarakat dan ormas-ormas Islam. Jawa Tengah merupakan pusat kegiatan komunis di Indonesia. 12 Daerah-daerah di Jawa Tengah dengan menggunakan stasiun radio di Semarang, Yogyakarta, dan Surakarta menyiarkan pengumuman Gerakan 30 September. Berita itu tersebar dan di Jawa Timur dan Bali juga terjadi gerakan, yang pada dasarnya kegiatan komunis juga terdapat di daerah Jawa Timur dan Bali. Gerakan yang terjadi di daerah-daerah di Jawa dan Bali mendapat perlawanan dari masyarakat dan ormas-ormas daerah. Banyak para pemuda masyarakat dan organisasi beragama melakukan penumpasan anggota PKI tersebut. Usaha penumpasan yang dilakukan oleh warga didampingi oleh pasukan-pasukan RPKAD. Gerakan PKI yang meletus pada 30 September 1965 waktu itu akhirnya dapat ditumpas oleh pasukan khusus Angkatan Darat, RPKAD, yang dipimpin oleh Sarwo Edhie Wibowo. Hal ini memberikan ketertarikan kepada penulis untuk menyusun judul tentang peranan Sarwo Edhie Wibowo dalam penumpasan Gerakan 30 September 1965 di Jakarta dan Jawa Tengah. Penulis mengkaji daerah penumpasan di Jakarta karena Jakarta dijadikan sebagai pusat Gerakan 30 September. Jakarta menjadi kota pertama yang harus diamankan dari ancaman Gerakan 30 September,
12
Peter Kasenda, Sarwo Edhie Wibowo dan Operasi Militer: Penghancuran Gestapu/dan Pendobrak Orde Lama, Prisma Seri 052 Edisi Khusus 20 Tahun Prisma, 1991, hlm. 164.
6
karena Gedung RRI Pusat dan Kantor Telekomunikasi adalah tujuan utama massa PKI sebagai sarana mempropagandakan tujuannya. Sedangkan, penumpasan di daerah Jawa Tengah penulis hanya mengkaji beberapa daerah yang merupakan basisnya para simpatisan PKI. Serta Sarwo Edhie Wibowo dan pasukan RPKAD yang lebih besar peranannya dan keberadaannya di Semarang, Kota Surakarta, dan Boyolali. Kodam VII/Diponegoro yang markasnya berada di Semarang dan mendapat ancaman yang besar dari pihak lawan, Kota Surakarta dan Boyolali banyak terjadi konflik pemberontakan dan demonstrasi besar-besaran. Penulis juga tertarik dengan topik ini mengingat sedikitnya sumber-sumber literatur yang menceritakan perjalanan hidup Sarwo Edhie Wibowo dan juga tentang peranannya dalam sejarah Indonesia.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian dari latar belakang dan batasan judul diatas, maka dapat ditemukan beberapa rumusan masalah sebagai berikut: 1.
Bagaimana Sosok Sarwo Edhie Wibowo?
2.
Bagaimana peranan Sarwo Edhie Wibowo dalam penumpasan Gerakan 30 September di Jakarta?
3.
Bagaimana peranan Sarwo Edhie Wibowo dalam penumpasan Gerakan 30 September di Jawa Tengah?
4.
Bagaimana kehidupan Sarwo Edhie Wibowo pasca penumpasan Gerakan 30 September?
7
C. Tujuan Penelitian 1.
Tujuan Umum a. Penulisan skripsi merupakan salah satu sarana untuk melatih kemampuan dalam merangkai fakta-fakta sejarah, serta melatih daya pikir kritis, analitis, objektif terhadap suatu peristiwa sejarah. b. Penerapan teori dan metodologi yang telah didapatkan selama perkuliahan yang diwujudkan dalam penulisan skripsi. c. Untuk menambah suatu nilai lebih dalam karya sejarah melalui penulisan skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan di Universitas Negeri Yogyakarta. d. Menambah referensi karya sejarah tentang Gerakan 30 Sepetember di Indonesia pada Jurusan Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta.
2.
Tujuan Khusus a. Menganalisis siapa sosok Sarwo Edhie Wibowo. b. Mengkaji peranan Sarwo Edhie Wibowo dalam penumpasan Gerakan 30 September di Jakarta. c. Mengkaji peranan Sarwo Edhie Wibowo dalam penumpasan Gerakan 30 September di Jawa Tengah. d. Menganalisis kehidupan Sarwo Edhie Wibowo pasca penumpasan Gerakan 30 September.
8
D. Manfaat Penelitian 1.
Bagi Pembaca a. Setelah
membaca
skripsi
ini,
diharapkan
pembaca
dapat
menganalisis bagaimana perjuangan dan kehidupan seorang tokoh sejarah Indonesia, Sarwo Edhie Wibowo. b. Pembaca dapat memahami usaha-usaha yang dilakukan Sarwo Edhie Wibowo dalam penumpasan G30S/PKI. c. Pembaca diharapkan dapat memahami dampak dari peranan Sarwo Edhie Wibowo dalam penumpasan G30S/PKI. 2.
Bagi Penulis a. Sebagai
media untuk melatih kemampuan penulis dalam
menuangkan pemikiran suatu peristiwa sejarah ke dalam suatu karya
sejarah
yang
berupa
skripsi
secara
objektif
dan
komprehensif. b. Untuk mengembangkan wawasan penulis mengenai perjuangan seorang tokoh pahlawan, yang diharapkan bisa merekonstruksi perjuangannya pada masa sekarang. c. Memberikan pengalaman yang berharga dan menarik dalam mengkaji dan merekonstruksi suatu peristiwa sejarah.
E. Kajian Pustaka Penulisan sebuah karya ilmiah skripsi ini memerlukan adanya suatu kajian pustaka untuk memperkuat data-data pustaka atau teori yang
9
menjadi landasan bagi penulis dan sebagai jawaban sementara atas rumusan masalah. Kajian pustaka ini merupakan telaah terhadap pustaka atau literatur yang menjadi landasan pemikiran dalam penelitian. 13 Penulis menggunakan beberapa literatur sebagai bahan kajian pustaka yang membahas tentang peranan Sarwo Edhie Wibowo dalam penumpasan peristiwa Gerakan 30 September 1965. Referensi ini diharapkan dapat digunakan sebagai jawaban sementara dari rumusan permasalahan penelitian yang diajukan. Kajian pustaka yang digunakan penulis dalam penyusunan skripsi ini menggunakan seri buku Tempo: Sarwo Edhie dan Misteri 1965. Buku ini mengisahkan perjalanan hidup dan perjuangan seorang Sarwo Edhie Wibowo. Mulai dari pengangkatan kepemimpinannya di RPKAD hingga peranannya dalam penumpasan G30S. Buku tersebut akan digunakan untuk menjawab rumusan masalah peranan Sarwo Edhie dalam penumpasan Gerakan 30 September di Jakarta dan Jawa Tengah. Buku lain yang digunakan adalah buku karya Bahrudin Supardi yang berjudul “Biografi Sarwo Edhie Wibowo: Kebenaran di Atas Jalan Tuhan”. Buku yang penyusunannya bersumber dari informasi keluarga Sarwo Edhie Wibowo ini menjelaskan tentang bagaimana kehidupan Sarwo Edhie Wibowo semasa waktu kecil, dari pendidikan dasar sampai pendidikan militer. Perjuangan yang telah ia lakukan sebagai pemimpin
13
Jurusan Pendidikan Sejarah, Pedoman Penulisan Tugas Akhir Skripsi, Yogyakarta: Jurusan Pendidikan Sejarah FIS UNY, 2006, hlm. 3.
10
pasukan RPKAD dalam penumpasan gerakan PKI hingga masa-masa di sisa kehidupannya. Buku tersebut digunakan untuk menjawab rumusan masalah sosok Sarwo Edhie Wibowo dari masa kecil hingga meninggal dunia. Selain itu dalam skripsi ini juga menggunakan buku dari John Roosa yang berjudul “Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto”. Dalam buku ini dijelaskan salah satunya mengenai peristiwa serangan Soeharto terhadap G30S/PKI di Jakarta dimana Soeharto yang menjabat Panglima KOSTRAD memimpin pasukannya lewat batalyon-batalyon untuk menguasai Lapangan Merdeka. Setelah Lapangan Merdeka dinyatakan bersih, maka Soeharto memalingkan perhatiannya ke Halim yang diketahui basis G30S/PKI. Pada waktu yang sama, di Halim sedang ada presiden Soekarno yang sedang berunding dengan para pimpinan G30S namun Soeharto tetap melancarkan serangan militernya. Soeharto mulai memberikan perintahperintahnya kepada presiden. 14 Akhirnya Soekarno bersama penasihatpenasihatnya pergi ke Istana Bogor. Terjadi ketegangan antara pasukan RPKAD dan pasukan Batalyon 454 karena pasukan Soeharto berencana menyerang Lapangan Udara Halim. Gencatan senjata segera diadakan agar Batalyon 454 ditarik dari kawasan dan pasukan RPKAD segera memasuki
14
John Roosa, Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto’s Coup d’Etat in Indonesia, a.b. Hersri Setiawan, Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto, Jakarta: Institut Sejarah Sosial Indonesia dan Hasta Mitra, 2008, hlm 82.
11
pangkalan udara. Komandan RPKAD, Kolonel Sarwo Edhie, menemui para perwira senior Angkatan Udara di Markas Besar AURI.
15
Ia
meyakinkan bahwa Soekarno telah pergi dari Halim dan tidak lagi menjadi ancaman bagi Angkatan Darat, dan Angkatan Udara pun tidak melancarkan serangan ke Kostrad. Penulis juga menggunakan buku literatur karya Julius Pour yang berjudul “Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan & Petualang”. Julius Pour berprofesi sebagai jurnalistik sejak tahun 1974 dimana catatancatatannya sebagai seorang jurnalistik disusun menjadi sebuah buku. Dalam buku tersebut juga mengulas mengenai sejarah peristiwa Gerakan 30 September melalui bab “Sarwo Edhi Wibowo: Berapa Jumlah Korban Tewas?”. Dalam bab ini terdapat sebuah kutipan: “Kecuali Jenderal Soeharto, kecuali Jenderal Abdul Haris Nasution, adalah benar, yang pada masa itu menjabat Panglima Kodam-Kodam di Jawa dan secara khusus, tiga serangkai Komandan RPKAD Kolonel Sarwo Edhie Wibowo, Panglima Kostrad Mayor Jenderal Kemal Idris, dan Panglima Siliwangi Mayor Jenderal HR Dharsono, sangatlah menentukan peranannya.”16
F. Historigrafi yang Relevan Historiografi merupakan rekonstruksi rekaman dan peninggalan masa lampau secara kritis dan imajinatif berdasarkan bukti-bukti atau data-
15 16
Ibid., hlm. 83.
Julius Pour, Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan & Petualang, Jakarta: Kompas, 2010, hlm. 233.
12
data yang diperoleh melalui proses itu.17 Sedangkan menurut Gottschalk, historiografi adalah usaha untuk mensintesiskan data-data dan fakta-fakta sejarah menjadi suatu kisah yang jelas dalam bentuk lisan maupun tulisan dalam buku catatan atau artikel maupun perubahan sejarah. 18 Historiografi yang relevan merupakan kajian-kajian historis yang mendahului penelitian dengan tema atau topik yang hampir sama. Hal ini berfungsi sebagai pembeda penelitian, sekaligus sebagai bentuk penunjukkan orisinalitas tiap-tiap peneliti. 19 Penyusunan skripsi Peranan Sarwo Edhie Wibowo dalam Penumpasan Gerakan 30 September 1965 di Jakarta dan Jawa Tengah, terdapat historiografi yang relevan sebagai berikut: Pertama, Dwi Indiastuti W dalam skripsinya yang berjudul “Penumpasan PKI Di Desa Lanjaran kecamatan Musuk Kabupaten Boyolali Tahun 1965-1979” tahun 2010 Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta. Skripsi ini membahas mengenai peranan masyarakat di Desa Lanjaran kecamatan Musuk Kabupaten Boyolali dalam penumpasan PKI tahun 1965-1979. Perbedaan penelitian ini dengan skripsi milik Dwi Indiastuti W adalah pelaku penumpasan. Skripsi milik Dwi Indiastuti W pelaku utama penumpasan dilakukan oleh masyarakat, sedangkan skripsi milik saya pelaku utama penumpasan
17
Helius Sjamsuddin & H. Ismaun, Pengantar Ilmu Sejarah, Jakarta: Jalan Pintu Satu, 1996, hlm. 17. 18
Louis Gottschalk, Understanding History, a.b. Nugroho Notosusanto, Mengerti Sejarah, Jakarta: UI Press, 1982, hlm. 94. 19
Jurusan Pendidikan Sejarah, loc. cit., hlm. 3.
13
Gerakan 30 September dilakukan oleh pasukan Angkatan Darat, Sarwo Edhie Wibowo dan RPKAD. Kedua, Dewi Puji Lestari dalam skripsinya yang berjudul “Peranan Gerakan Pemuda (GP) Ansor dalam Operasi “Pembersihan” PKI di Ceper, Klaten Tahun 1965” tahun 2008 Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta. Dalam skripsi ini membahas Gerakan Pemuda Ansor dalam pembersihan atau penumpasan PKI di Klaten, usahausahanya dalam membantu ABRI, dan menggalang bersama umat beragama. Perbedaan penelitian ini dengan skripsi milik Dewi Puji Lestari adalah pelaku penumpasan dan wilayah terjadinya penumpasan. Selain itu fokus lingkup daerah juga berbeda, serta lingkup waktu yang dikaji. Skripsi milik Dewi Puji Lestari pelaku utama penumpasan Gerakan 30 September dilakukan oleh Gerakan Pemudan Ansor dan lingkup wilayah lebih sempit yaitu di daerah Ceper, Klaten.
G. Metode Penelitian Penelitian sejarah pada dasarnya harus memiliki sistematika metode sejarah. Metode sejarah adalah proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau.20 Proses ini dilakukan secara sistematis dan dibuat dalam bentuk tulisan. Menurut Kuntowijoyo, tahapan-tahapan metode sejarah adalah sebagai berikut:
20
Helius Sjamsuddin dan H. Ismaun, loc. cit.,
14
1.
Pemilihan Topik Langkah pertama dalam melaksanakan penelitian sejarah adalah
pemilihan topik. Pemilihan topik sebaiknya dipilih berdasarkan kedekatan emosional dan kedekatan intelektual. 21 Peneliti memilih judul “Peranan Sarwo Edhie Wibowo dalam Penumpasan Gerakan 30 September 1965 di Jakarta dan Jawa Tengah di Jakarta dan Jawa Tengah” berdasarkan kedekatan intelektual. Sarwo Edhie Wibowo adalah komandan RPKAD yang mampu meredam Gerakan 30 September mulai dari melumpuhkan markas-markas PKI di Jakarta. Penyerangan oleh pasukan Angkatan Darat itu dilakukan karena adanya penyiaran pengumuman mengenai Dewan Jenderal oleh Letkol Untung di Stasiun Radio RRI. 2.
Heuristik Heuristik merupakan kegiatan untuk menghimpun jejak-jejak masa
lampau yang dikenal dengan data sejarah atau sumber sejarah. Penulis dalam menyusun skripsi ini menggunakan sumber primer dan sekunder. Sumber primer memuat bahan-bahan asli (original source), sedangkan sumber sekunder berisi bahan-bahan asli yang telah digarap (derived source).22
21
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta: Bentang, 2005, hlm. 91. 22
Helius Sjamsuddin dan H. Ismaun, loc. cit., hlm. 65.
15
a.
Sumber Primer Sumber
primer
mencakup
catatan pribadi,
dokumen
pemerintah, transkrip pengadilan, tradisi dan sejarah lisan, data arkeologis dan biologis, dan sumber visual seperti lukisan dan foto.23 Dapat diartikan bahwa sumber primer merupakan kesaksian seorang tokoh dengan panca inderanya sendiri dan tokoh tersebut mengalami sendiri peristiwa itu. Sumber primer tidak hanya diperoleh dari saksi hidup saja, namun juga dapat diperoleh dari bukti-bukti atau peninggalan dari peristiwa pada waktu yang sama. Sumber primer yang digunakan penulis adalah: Arsip: Laporan Umum Situasi Bojolali Mendjelang Tanggal 30 September 1965 s/d Tanggal 9 November 1965. Komando Operasi Tertinggi, Tjatatan Kronologis di Sekitar Peristiwa G30S. Resimen Para Komando Angkatan Darat, Sarwo Edhie Wibowo, Formulir – Berita. Komando Daerah Inspeksi Kepolisian 95 Surakarta, Bahan Wawancara. Resimen Para Komando Angkatan Darat, Batalyon 1 Parako, Laporan: Kronologi dari Tanggal 1 November 1965 s/d 9 November 1965. Koran: Mertju Suar, 23 Februari 1968, Brigdjen Sarwo Edhie djadi dipindah: Karena akibat pembekuan PNI? 23
William Kelleher Storey, Writing History: A Guide for Students, a.b. Abdillah Halim, Menulis Sejarah: Panduan untuk Mahasiswa, Yogyakarta: Pustaka Belajar, hlm. 31.
16
Suara Merdeka, 6 Oktober 1965 – 27 Oktober 1965. Narasumber: Murdiyah Hadiyati, 5 Februari 1925, kakak Sarwo Edhie Wibowo/Veteran/Mantan Ketua Gerakan Wanita Marhaens Purworejo. Yulia, 10 Maret 1950, anak Murdiyah Hadiyati. b.
Sumber Sekunder Sedangkan yang dimaksud dengan sumber sekunder adalah
sumber yang diperoleh dari kesaksian siapa pun yang bukan merupakan saksi pada waktu peristiwa itu terjadi. Dapat diartikan seseorang yang tidak hadir pada peristiwa yang diceritakan. Biasanya, karya-karya sekunder adalah buku atau artikel-artikel karya penulis yang menafsirkan peristiwa-peristiwa dan sumbersumber primer yang sedang dipelajari. 24 Penyusunan skripsi ini menggunakan beberapa contoh sumber sekunder, diantaranya adalah: Buku: Alberthiene Endah. (2010). Ani Yudhoyono: Kepak Sayap Putri Prajurit. Jakarta. PT Gramedia. Bahrudin Supardi. (2012). Biografi Sarwo Edhie Wibowo: Kebenaran di Atas Jalan Tuhan. Bandung. PT Remaja Rosdakarya. Julius Pour. (2010). Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan & Petualang. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Redaksi Tempo. Sarwo Edhie Wibowo dan Misteri 1965. Jakarta: PT Gramedia. 24
Ibid., hlm. 31.
17
James Luhulima. (2006). Menyingkap Dua Hari Tergelap di Tahun 1965: Melihat G30S dari Perspektif lain. Jakarta: Kompas. Roosa, John. (2008). Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto’s Coup d’Etat in Indonesia. a.b. Hersri Setiawan. Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto. Jakarta: Institut Sejarah Sosial Indonesia dan Hasta Mitra. Artikel: Peter Kasenda. Sarwo Edhie Wibowo dan Operasi Militer: Penghancuran Gestapu/dan Pendobrak Orde Lama. Prisma Seri 052 Edisi Khusus 20 Tahun Prisma 1971-1991. Halaman 159-176. 3.
Kritik Sumber Kritik Sumber yaitu kegiatan menilai sumber-sumber sejarah secara ekstern dan intern. Kritik ekstern digunakan untuk melihat otentisitas sumber dan kritik intern digunakan untuk menjamin kredibilitas sumber. Menurut Helius Sjamsuddin, kritik ekstern merupakan suatu penelitian terhadap asal-usul sumber, dan untuk mengetahui pada suatu waktu sejak awalnya sumber itu telah diubah oleh orang tertentu atau tidak.
25
Peneliti melakukan pengujian
terhadap otentisitas, deteksi sumber palsu, dan integritas. Sedangkan kritik intern merupakan kebalikan dari kritik ekstern dimana kritik intern sebagaimana yang diartikan dari istilahnya yaitu untuk menekankan aspek “dalam” atau isi dari sumber tersebut. Bilamana sejarawan telah menemukan sebuah sumber kesaksian, maka yang
25
Helius Sjamsuddin, Metodologi Sejarah, Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2007, hlm. 105.
18
harus dilakukan selanjutnya adalah mengadakan evaluasi atau melakukan kritik intern terhadap sumber kesaksian itu. 26 Perlu juga mengetahui kebenaran dan keaslian sumber baik sumber primer, maupun sekunder yang berbentuk dokumen maupun artefak dengan melakukan pengamatan terhadap sumber sejarah, apakah otentik atau tidak, dan melakukan pengecekan data-data yang telah diberikan oleh sumber sejarah. Dengan kritik sumber diharapkan data yang disajikan benar-benar merupakan data sejarah yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan. Kritik Sumber dari buku yang digunakan penulis dalam menyusun penelitian, seperti buku karangan Bahrudin Supardi dengan judul Biografi Sarwo Edhie Wibowo:Kebenaran diatas Jalan Tuhan. Buku tersebut menjelaskan kehidupan Sarwo Edhie Wibowo dari kecil hingga tutup usia. Buku disusun secara mendetail namun dalam bentuk seperti cerita novel. 4.
Interpretasi, yaitu menetapkan makna yang saling berhubungan dari fakta-fakta sejarah yang diperoleh setelah diterapkan kritik intern dan ekstern dari data-data yang berhasil dikumpulkan. Setelah melalui kritik sumber penulis menghubungkan antara satu fakta sejarah dengan fakta yang lain, kemudian permasalahan yang ada dikaji, dianalisis, dan disimpulkan secara objektif.
26
Ibid., hlm. 112.
19
5.
Penyajian, yaitu menyampaikan sintesa dalam bentuk karya sejarah menurut kaidah-kaidah yang telah ditentukan. Dalam hal ini, penulis menuangkan hasil interpretasinya ke dalam karya skripsi yang terdiri dari tiga bagian, yaitu pengantar, pembahasan, dan kesimpulan.
H. Pendekatan Penelitian Skripsi berjudul Peranan Sarwo Edhie Wibowo dalam Penumpasan Gerakan 30 September 1965 di Jakarta dan Jawa Tengah ini disusun dengan menggunakan beberapa pendekatan seperti pendekatan sosial, politik, dan militer. Pendekatan sosial dalam hal ini dapat diartikan sebagai usaha melihat segi-segi sosial peristiwa yang dikaji, seperti golongan sosial masyarakat yang paling berperan, nilai-nilai sosial, hubungan dengan golongan lain, konflik yang berdasarkan kepentingan, ideologi, dan lain sebagainya. 27 Pendekatan sosial dalam skripsi ini digunakan untuk mengetahui bagaimana keadaan sosial yang terjadi dalam kehidupan militer dan Gerakan 30 September. Selain itu juga hubungan antara Sarwo Edhie Wibowo dengan Soeharto, anggota-anggota RPKAD, serta pihakpihak lain yang terkait pada waktu itu. Pendekatan politik menurut Sartono Kartodirdjo merupakan tinjauan yang menyoroti struktur kekuasaan, jenis kepemimpinan, hierarki
27
Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, Jakarta: Gramedia, 1993, hlm. 4.
20
sosial, pertentangan kekuasaan, dan lain sebagainya. 28 Obyek penelitian yang dibahas dalam pendekatan politik ini diantaranya seperti perebutan dan peralihan kekuasaan yang dilakukan oleh penggerak Gerakan 30 September 1965 terhadap kekuasaan yang sah di Indonesia. Pendekatan militer merupakan kebijakan pemerintah dalam mempersiapkan dan melaksanakan perang yang menentukan baik buruknya serta besar kecilnya potensi kekuatan perang suatu negara. Aktifitas militer mengikuti aktifitas suatu negara negara. 29 Pendekatan militer dalam skripsi ini digunakan untuk mengetahui kelompok-kelompok yang terlibat pada peristiwa gerakan PKI, serta untuk mengetahui sejauh mana keikutsertaan dan aktivitas militer dalam penumpasan gerakan PKI. Selain itu juga untuk mengetahui bagaimana perjalanan hidup Sarwo Edhie Wibowo dalam kemiliteran.
I. Sistematika Pembahasan Untuk mendapatkan gambaran yang jelas dan menyeluruh tentang skripsi yang berjudul Peranan Sarwo Edhie Wibowo dalam Penumpasan Gerakan 30 September 1965 di Jakarta dan Jawa Tengah ini, maka penulis menguraikan garis besar isinya sebagai berikut:
28
29
Ibid., hlm. 4.
Sayidiman Suryohadiprojo, Suatu Pengantar dalam Ilmu Perang, Masalah Pertahanan Negara, Jakarta: Intermasa, 1981, hlm. 66.
21
BAB I PENDAHULUAN Bab ini berisi tentang latar belakang masalah, alasan pemilihan judul, batasan masalah, rumusan masalah, kajian pustaka, sistematika pembahasan, serta historiografi yang relevan. Selain itu dalam bab pertama ini juga berisi mengenai sumber penelitian, metode penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan garis besar isi. BAB II SOSOK SARWO EDHIE WIBOWO BAB ini membahas mengenai perjalanan hidup seorang Sarwo Edhie Wibowo mulai dari kecil hingga beranjak dewasa, bagaimana pendidikannya, dan keikutsertaannya dalam kemiliteran hingga menjadi seorang komandan dalam pasukan RPKAD. BAB
III
PENUMPASAN
GERAKAN
30
SEPTEMBER
DI
JAKARTA BAB ini membahas mengenai penumpasan Sarwo Edhie Wibowo terhadap peristiwa Gerakan 30 September 1965 di Jakarta. BAB IV PENUMPASAN GERAKAN 30 SEPTEMBER DI JAWA TENGAH BAB ini membahas mengenai Peranan Sarwo Edhie Wibowo dalam Penumpasan Gerakan 30 September 1965 di Jakarta dan Jawa Tengah. Menjelaskan bagaimana peranannya bersama pasukan RPKAD menumpas Gerakan 30 September di Jawa Tengah. BAB V SARWO EDHIE WIBOWO PASCA PENUMPASAN
22
BAB ini berisi tentang kehidupan sosial dan politik Sarwo Edhie Wibowo setelah penumpasan Gerakan 30 September. BAB VI KESIMPULAN BAB yang terakhir ini berisi kesimpulan yaitu jawaban dari seluruh rumusan masalah yang tuelah dipaparkan pada BAB I.
BAB II SOSOK SARWO EDHIE WIBOWO
A. Sarwo Edhie Wibowo Semasa Kecil Sarwo Edhie Wibowo adalah seorang perwira tinggi militer Angkatan Darat Indonesia. Puncak karir dari perjuangannya ditunjukkan ketika Sarwo Edhie Wibowo sebagai komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) berhasil menumpas gerakan 30 September yang mengancam kekuasaan negara yang sah. Sifat kepahlawanan yang dimiliki Sarwo Edhie Wibowo tersebut diturunkan dari keluarga-keluarga pendahulunya. Ayah Sarwo Edhie Wibowo, Raden Kartowilogo, adalah seorang kepala kantor pajak Purworejo pada masa kolonial Belanda. 1 Raden Kartowilogo mempunyai sikap dan prinsip dalam memenangkan kebutuhan rakyat dari pada tunduk pada Belanda. Sedangkan ibunda Sarwo Edhie Wibowo, Raden Ayu Sutini, adalah keturunan bangsawan yang menjadi laskar Pangeran Diponegoro. 2 juga mewarisi jiwa pejuang dari leluhur-leluhur sebelumnya seperti ayah dan ibunya. Tidak heran jika Sarwo Edhie Wibowo memiliki jiwa pejuang dan kepahlawanan karena sejak kecil ia belajar banyak pengalaman dari ayah dan ibunya.
1
Alberthiene Endah, Ani Yudhoyono: Kepak Sayap Putri Prajurit, Jakarta, Gramedia, 2010, hlm. 32. 2
Bahrudin Supardi, Biografi Sarwo Edhie Wibowo: Kebenaran di Atas Jalan Tuhan, Bandung, Remaja Rosdakarya, 2012, hlm. 7.
23
24
Edhie 3 merupakan anak keenam dari Raden Kartowilogo. Nama Edhie yang diberikan oleh Raden Kartowilogo memiliki arti keindahan. Setelah Edhie beranjak dewasa ia menginginkan namanya digabung menjadi Sarwo Edhie. Penggabungan nama itu tidak terlepas dari ayahnya yang mengizinkan kepada Sarwo Edhie untuk menyatukan namanya. Raden Kartowilogo juga menginginkan jika kelak Sarwo Edhie sudah menikah namanya ditambah Wibowo menjadi Sarwo Edhie Wibowo. Nama Wibowo di belakang nama Sarwo Edhie ditambahkan setelah Sarwo Edhie menjadi dewasa dengan harapan agar kelak ia memiliki kewibawaan.4 Sarwo Edhie pun menuruti keinginan ayahnya dan karena ia mengetahui bahwa arti dari nama-namanya memang bagus. Selain itu Sarwo Edhie juga percaya bahwa keinginan ayahnya akan membawa ia kepada sebuah kebaikan kelak nanti. Sarwo Edhie terlahir dari keluarga yang sederhana dan merupakan putra dari pasangan Raden Kartowilogo dan Raden Ayu Sutini. Edhie lahir di Desa Pangen Juru Tengah, Jawa Tengah. 5 Sarwo Edhie lahir pada 25 Juli 1927, namun tanggal kelahirannya yang tercatat adalah 25 Juli 1925. Sarwo Edhie Wibowo sengaja mengubah tahun kelahirannya ketika 3
Edhie adalah nama Sarwo Edhie Wibowo ketika kecil. Sejak kelahirannya, Edhie sering sakit-sakitan, dan pada akhirnya sesuai dengan adat Jawa nama Edhie pun ditambah dengan Sarwo, yang berarti serba. ibid., hlm. 5. 4
Wawancara, Murdiyah Hadiyati, Kakak perempuan Sarwo Edhie Wibowo/Veteran/Mantan Ketua Gerakan Wanita Marhaens Purworejo, (Purworejo, 28 Mei 2014). 5
Bahrudin Supardi, op. cit., hlm. 5.
25
mendaftar sebagai tentara (Heiho) pada masa pendudukan Jepang.6 Sistem pendaftaran masuk sebagai tentara pada waktu itu memang tidak memperbolehkan pendaftar tentara yang belum mencukupi umur yang telah ditentukan. Jepang menetapkan persyaratan usia untuk bergabung dengan Heiho minimal 17 tahun. 7 Raden Kartowilogo berusaha mencukupi kebutuhan keluarganya dari penghasilan pekerjaannya sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Kehidupan keluarga Raden Kartowilogo yang serba sederhana tidak menyurutkan cita-citanya untuk menjadikan anaknya berguna bagi bangsa dengan cara menyekolahkannya. Sebagian besar masyarakat Indonesia dari golongan atas menyekolahkan anaknya ke sekolah HIS atau sekolahsekolah Eropa.
8
Raden Kartowilogo yang memiliki jabatan sebagai
pegawai sipil dalam pemerintahan Belanda mempunyai hak untuk memasukkan Edhie ke sekolah Belanda. Ayah memasukkan Edhie ke HIS (Hollandsch Inlandsche School), sekolah yang pada umumnya hanya dihuni anak-anak pejabat desa.
9
HIS adalah sekolah dasar dimana
pendidikannya ditempuh selama 7 tahun. Bahasa Belanda digunakan
6 7
ibid., hlm 5. Alberthiene Endah, op. cit., hlm. 34.
8
M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, Jakarta: Serambi, 2008, hlm. 345. 9
Wawancara, Murdiyah Hadiyati, Kakak perempuan Sarwo Edhie Wibowo/Veteran/Mantan Ketua Gerakan Wanita Marhaens Purworejo, (Purworejo, 28 Mei 2014).
26
sebagai bahasa pengantar pada sekolah tersebut. 10 Sarwo Edhie sebelum masuk ke sekolah HIS sering belajar bahasa belanda melalui ayahnya, sehingga ia dapat dengan mudah bisa masuk ke sekolah tersebut. Sekolah Sarwo Edhie tidak jauh dari rumahnya. Biasanya selepas sekolah ia berenang di Sungai Bogowonto yang mengalir tak jauh di belakang rumahnya, atau berlarian di pematang sawah. 11 Sarwo Edhie semasa kecil memang memiliki hobi berenang bersama teman sedesanya. Sarwo Edhie juga sering berlatih bela diri yudo dan jiu jit su. Ia mempelajari kedua ilmu bela diri itu dari buku. 12 Latihan bela diri tersebut dilakukan tanpa didampingi guru, Sarwo Edhie hanya ditemani kakaknya, Sumarini. Sarwo Edhie banyak berlatih bela diri karena ia sering kalah dalam berkelahi dengan anak-anak Belanda.
B. Pendidikan Sarwo Edhie Wibowo Beberapa tahun kemudian setelah menamatkan pendidikannya di HIS, Sarwo Edhie kemudian melanjutkan sekolah di Meer Uitgebried Lager Oderwijs (MULO). MULO merupakan sebuah jenjang pendidikan menengah pertama pada masa kolonial, setingkat dengan sekolah lanjutan pertama. 13 Sekolah yang didirikan pada tahun 1914 ini hanya digunakan 10
Gamal Komandoko, Boedi Oetomo: Awal Bangkitnya Kesadaran Bangsa, Yogyakarta: Niaga Swadaya, 2008, hlm. 36. 11
Alberthiene Endah, loc. cit., hlm. 34.
12
Bahrudin Supardi, op. cit., hlm. 23.
13
Bahrudin Supardi, op. cit., hlm. 20.
27
oleh masyarakat Indonesia dari golongan atas, orang-orang Cina, dan orang-orang Eropa setelah menyelesaikan sekolah dasar mereka masingmasing. Sekolah tersebut terbuka bagi murid-murid yang datang dari sekolah Belanda 2 dan berasal dari HIS. 14 MULO mempunyai aturan bahwa untuk bisa masuk ke sekolah tersebut diwajibkan harus mahir berbahasa Belanda. Bagi calon pendaftar MULO yang belum mahir berbahasa Belanda atau lulusan dari sekolah Ongko Loro harus terlebih dahulu masuk sekolah sambungan selama 5 tahun. Sekolah sambungan tersebut bernama Schakel School. Schakel School adalah sekolah peralihan dari lulusan sekolah rakyat untuk dapat meningkat ke sekolah yang diatasnya. 15 Pendidikan di Schakel School ditempuh selama 5 tahun sehingga lulusannya bisa disamakan dengan lulusan HIS. Sarwo Edhie saat lulus dari HIS sudah mahir berbahasa Belanda sehingga ia bisa langsung diterima di MULO. Masa pendidikan sekolah di MULO adalah selama 3 tahun. Sekolah MULO sama seperti sekolah HIS yang menggunakan bahasa pengantar bahasa belanda. Pemerintah Belanda mengharuskan peserta didiknya mahir berbahasa Belanda. Karena setelah lulus dari sekolah MULO akan segera diberikan pekerjaan di bagian administrasi pemerintah Belanda. 14
Mohammad Hatta, Untuk Negeriku: Sebuah Otobiografi, Jakarta: Kompas, 2011, hlm 48. 15
30.
Nurcholish Majid, Indonesia Kita, Jakarta: Gramedia, 2004, hlm.
28
Tahun 1942 Jepang masuk ke Indonesia dengan berbagai propagandanya untuk menarik simpati dan dukungan dari masyarakat Indonesia. Sekolah-sekolah yang sebelumnya telah berdiri akhirnya ditutup untuk beberapa saat ketika Jepang masuk ke wilayah Purworejo. Hal itu berdampak pada pendidikan yang sedang ditempuh Sarwo Edhie di MULO sempat terhenti. Tidak lama kemudian sekolah-sekolah yang pernah ditutup oleh Jepang tersebut dibuka kembali untuk kegiatan belajar. Terdapat beberapa perubahan di dalam sekolah-sekolah tersebut, diantaranya adalah guru-guru yang mengajar di sekolah MULO. Tak ada seorang guru pun yang berbangsa Belanda.
16
Jepang memberikan
kebebasan kepada masyarakat Indonesia dalam menggunakan bahasa. Dalam hal ini bahasa Indonesia boleh digunakan untuk bahasa pengantar di sekolah. Masa penjajahan Belanda dengan masa penjajahan Jepang memang berbeda dampaknya bagi rakyat Indonesia. Kedatangan Jepang telah membawa banyak perubahan khususnya di bidang sosial. Keadaan perekonomian keluarga Sarwo Edhie pun juga terasa semakin sulit setelah Raden Kartowilogo berhenti bekerja dan menjadi pengangguran. Walaupun dengan keadaan yang semakin sulit, Sarwo Edhie Wibowo tetap bisa bersekolah karena biaya sekolah masih menggunakan uang pensiunan ayahnya.
16
Bahrudin Supardi, op. cit., hlm. 21.
29
Selama menempuh pendidikan di HIS dan MULO, Sarwo Edhie diharapkan keluarganya bisa mengikuti jejak pekerjaan ayahnya sebagai pegawai sipil pada pemerintah Belanda. 17 Pekerjaan seorang pegawai sipil merupakan sebuah gambaran ideal bagi Sarwo Edhie. Keinginan untuk menjadi seorang pegawai sipil dibuktikan oleh Sarwo Edhie dengan kebiasaannya membaca buku-buku. HIS dan MULO memang didirikan oleh pemerintah Belanda. Sekolah-sekolah tersebut didirikan bagi rakyat pribumi yang bertujuan untuk menciptakan pegawai administrasi Belanda yang terdidik dan bernilai murah. Maka dari itu Sarwo Edhie menempuh pendidikannya di sekolah-sekolah tersebut. Berdasarkan ketentuan pemerintah (Stbld. 1914 No. 359) ada empat dasar penilaian yang memungkinkan orang tua mengirimkan anak-anak mereka ke HIS, yaitu keturunan, jabatan, kekayaan, atau pendidikan. 18 Jabatan ayahnya sebagai pegawai sipil pada pemerintahan Belanda memberikan kesempatan kepada Sarwo Edhie untuk bisa mendapatkan hak masuk ke sekolah HIS. Pada akhirnya setelah lulus dari HIS ia bisa langsung melanjutkan masuk ke sekolah MULO. Sarwo Edhie yang awalnya berkeinginan menjadi seorang pegawai sipil seperti ayahnya harus meletakkan buku-bukunya yang sering ia baca. 17
Wawancara, Murdiyah Hadiyati, Kakak perempuan Sarwo Edhie Wibowo/Veteran/Mantan Ketua Gerakan Wanita Marhaens Purworejo, (Purworejo, 28 Mei 2014). 18
Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia V: Zaman Kebangkitan Nasional dan Masa Hindia Belanda, Jakarta: Balai Pustaka, 2008, hlm. 127.
30
Hal itu disebabkan karena Sarwo Edhie mulai tertarik dan terpesona dengan kegagahan tentara-tentara Jepang. Seketika itu cita-cita Sarwo Edhie mulai berubah dan berkeinginan bisa merasakan dirinya menjadi seorang tentara. Sehingga Sarwo Edhie lebih berkeinginan menempuh pendidikannya dalam bidang militer. Keinginan Sarwo Edhie yang semakin mantap mengawali kehidupan barunya melalui karir militer.
C. Pendidikan Militer Sarwo Edhie Wibowo Cerita tentang ketangguhan tentara Jepang sampai ke telinga Sarwo Edhie yang ketika itu telah berumur belasan tahun. Seperti pemuda Indonesia yang lain, Sarwo Edhie sangat terpesona dengan pasukan Jepang yang telah mengambil alih kekuasaan Sekutu di Indonesia dalam waktu yang singkat. Karena kagumnya pada tentara Jepang, Edhie ikut mendaftar menjadi anggota Seinendan (Barisan Pemuda). 19 Seinendan adalah suatu barisan rakyat atau tentara cadangan yang dibentuk oleh pemerintah Jepang di Indonesia. Kepada anggota Seinendan diberikan pelatihanpelatihan untuk mempertahankan diri maupun untuk penyerangan.
20
Biasanya pasukan Seinendan ini dibentuk dengan tujuan jika terjadi perang total yang sangat besar maka pasukan tersebut dapat diharapkan bisa mempertahankan daerah lokal. Hal ini merupakan salah satu tujuan Jepang 19 20
Bahrudin Supardi, op. cit., hlm. 29.
Atoeran-atoeran tentang Seinendan, 2605 (1945), hlm. 36-40 dalam Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia VI: Zaman Jepang dan Zaman Republik Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2008, hlm. 45.
31
agar semangat juang yang dimiliki tentara Jepang bisa tumbuh di kalangan pemuda bangsa Indonesia. Sarwo Edhie tidak sendiri, masih banyak teman-teman sekolahnya yang menjadi anggota Seinendan. Pemuda-pemuda Indonesia banyak yang terdaftar dalam anggota Seinendan ketika sekolah-sekolah ditutup oleh Jepang. Setiap hari Sarwo Edhie dan teman-teman sekolahnya di Desa Pangen Juru Tengah hingga pemuda-pemuda sebayanya yang berasal dari Purworejo dilatih oleh Jepang baris-berbaris. Selain itu Jepang juga memberikan latihan dasar dalam memegang senjata. Senjata yang diberikan oleh Jepang hanya tiruan senjata yang terbuat dari kayu. Kerja keras Sarwo Edhie setiap hari dalam berlatih menjadi tentara cadangan telah menghasilkan sesuatu yang bisa memberikan semangatnya lebih tinggi. Sarwo Edhie diangkat sebagai komandan oleh temantemannya di Purworejo. Sarwo Edhie diberi kekuasaan untuk memimpin pemuda-pemuda sekampungnya yang berjumlah 40 orang.21 Tidak jarang Sarwo Edhie memberikan semangat yang lebih kepada teman-teman anggotanya dalam berlatih. Hampir setiap hari dari sore hingga malam Sarwo Edhie berlatih bersama teman-temannya. Hingga pada suatu saat, dengan pengalaman Sarwo Edhie selama menjadi Komandan Seinendan di kampung Purworejo akhirnya menambah keinginannya untuk menjadi tentara sungguhan.
21
Bahrudin Supardi, op. cit., hlm. 29.
32
Sarwo Edhie tertarik ingin menjadi tentara karena ia pernah melihat seragam dan senjata bayonet milik tentara Jepang. Selain itu juga ketika masih kecil Sarwo Edhie sering mendengar cerita-cerita dari Raden kartowilogo tentang kisah-kisah perjuangan dan kepahlawanan keluargakeluaraganya. Kisah-kisah ini yang mengilhami Sarwo Edhie untuk ikut terjun ke medan juang.22 Tekad dan keinginan untuk menjadi tentara telah ada dalam diri Sarwo Edhie sejak ia lulus dari MULO. Tahun 1942 Sarwo Edhie membaca sebuah iklan di surat kabar bahwa dalam iklan tersebut Jepang telah membuka sebuah pendaftaran tentara. Jepang akan memanggil pemuda-pemuda yang berasal dari Seinendan atau pemuda-pemuda lainnya untuk mengikuti latihan dan dididik menjadi prajurit pembantu tentara Jepang. Prajurit pembantu tentara Jepang tersebut dinamakan Heiho. Menurut orang Jepang anggota Heiho lebih terlatih di dalam bidang militer dari pada tentara Pembela Tanah Air (PETA), karena kedudukannya sebagai prajurit Jepang di medan perang. 23 Selain itu, sebagai Heiho, dalam pertempuran para anggota mendapat perlakuan sama dengan serdadu Jepang. 24 Seketika itu Sarwo Edhie langsung mendaftarkan dirinya untuk menjadi tentara Heiho. Surabaya menjadi tempat dilaksanakannya latihan22
Alberthiene Endah, loc. cit., hlm. 34.
23
Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, op. cit., hlm. 51. 24
Suhario Padmodiwiryo, Hario Kecik: Si Pemburu, Yogyakarta: Lkis Pelangi Aksara, 2008, hlm. 475.
33
latihan tentara Heiho. Sarwo Edhie ikut bersama kakak pertamanya, Murtogo, ke Surabaya. 25 Akhirnya ia berangkat setelah meminta izin kepada Raden Kartowilogo dan Raden Ayu Sutini. Sarwo Edhie berangkat sendiri karena kakaknya sudah lama bekerja di Surabaya. Ketika Sarwo Edhie pergi ke Surabaya untuk dididik menjadi Heiho, selama beberapa hari ibunda tercinta menangis. 26 Sarwo Edhie diterima menjadi tentara Heiho dan menjalani setiap latihan-latihan militer di Surabaya. Latihan militer yang diberikan tidak semudah latihan-latihan ketika ia masih menjadi anggota Seinendan. Sarwo Edhie bersama anggota Heiho lainnya dididik untuk tidak takut mati dalam perang. Pendidikan militer yang sangat keras bergaya Jepang, sikap disiplin selalu ditekankan kepada setiap anggota Heiho. Tetapi tidak hanya latihan saja yang diberikan oleh tentara Jepang. Sarwo Edhie bersama anggota lainnya juga melakukan pekerjaan-pekerjaan harian. Seperti memotong rumput, membersihkan kamar mandi, merapikan tempat tidur tentara Jepang, dan lain sebagainya. Anggota Heiho ditempatkan di sebuah asrama yang besar milik Jepang, mereka bercampur di dalam ruangan tersebut. Ada mantan dari serdadu KNIL dan ada pula yang berasal dari Seinendan.27 Anggota Heiho yang tergabung di dalam asrama 25
Redaksi Tempo, Sarwo Edhie Wibowo dan Misteri 1965, Jakarta: Gramedia, 2012, hlm. 33. 26
Pertiwi No. 62-5 September 1988 dalam Peter Kasenda, Sarwo Edhie Wibowo Perintis Orde baru yang Tersisih, Edisi Khusus 20 tahun Majalah Prisma, Tahun 1991. 27
Bahrudin Supardi, op. cit., hlm. 29.
34
tersebut memiliki latar belakang yang berbeda-beda. Beberapa anggota termasuk Sarwo Edhie merupakan tamatan sekolah menengah, namun ada juga beberapa anggota yang tidak menamatkan sekolah sebelumnya. Pendidikan Heiho berlangsung kurang lebih 5 bulan di Surabaya. Sarwo Edhie dianggap telah menyelesaikan pendidikan Heiho dan segera dipindahkan di Magelang. Sarwo Edhie tidak sendiri, ia bersama anggota Heiho lainnya dipilih sebagai siswa di Renseitai 28 Magelang mengikuti Kapten Kitatami, ajudan Koharabutei (markas militer Jepang). Sarwo Edhie menjadi salah satu orang yang terpilih menjadi siswa di Rensetai Magelang karena didasarkan pada pertimbangan pendidikan menengah yang pernah ia miliki. Sebelum ditempatkan ke Magelang, Sarwo Edhie diberikan izin oleh tentara Jepang di Surabaya untuk pulang ke kampung halamannya di Purworejo. Tahun 1943 Sarwo Edhie telah kembali ke Purworejo. Kedatangan Sarwo Edhie disambut tangis haru oleh keluarganya. Raden Kartowilogo merasa bangga terhadap Sarwo Edhie dengan keberhasilannya telah menyelesaikan pendidikan Heiho. Sarwo Edhie tidak lama di Purworejo, karena ia harus berpamitan pada orang tuanya untuk segera ke Magelang. Setelah berpamitan kepada ayah dan ibu serta saudara-saudaranya, Sarwo
28
Renseitai adalah singkatan dari tempat latihan para perwira yang disebut Jawa boei gyugun kanbu renseitai (korps latihan pemimpin tentara sukarela Peta di Jawa). Renseitai (sekolah militer) tersebut mulai dibuka di Magelang pada Desember 1942. Lihat Dasman Djamaluddin, Jendral TNI Anumerta Basoeki Rachmat dan Supersemar, Jakarta: Grasindo, 2008, hlm. 7.
35
Edhie segera berangkat menuju Magelang. Renseitai Magelang menempati suatu asrama besar, bekas asrama pasukan penangkis serangan udara Belanda di Tuguran.29 Beberapa hari di Renseitai, Sarwo Edhie bersama anggota Renseitai lainnya sudah mendapat latihan militer. Latihan-latihan tersebut diberikan kepada para anggota yang nantinya akan menjadi calon bintara Pembela Tanah Air (PETA). Pendidikan militer di PETA berbeda dengan pendidikan militer di Heiho. Anggota PETA lebih bercorak ke militer sepenuhnya. Hal tersebut bisa dilihat dari jenis seragam dan senjata yang dipakai, selain itu juga tugas tempur yang diberikan. Sedangkan anggota PETA memang bercorak militer seperti Heiho, namun terdapat unsur nasionalisme dan kebangsaan didalamnya. Tentara PETA yang dibentuk oleh Jepang ini akan digunakan sebagai tentara untuk melindungi daerah-daerah lokal jika terjadi serangan. Kehidupan di Renseitai Magelang hampir sama seperti ketika Sarwo Edhie menempuh pendidikan Heiho di Surabaya. Latihan-latihan yang dilakukan pun tidak jauh berbeda, mulai dari latihan berat seperti harus berlari dari asrama di Tuguran sampai ke Lapangan Tidar yang jarak tempuhnya sekitar 2-3 Km. Selain itu juga ada latihan perang dan menembak.
Para
anggota
juga
mendapatkan
kewajiban
untuk
membersihkan kamar mandi, ruang tidur, dan ruang-ruang lainnya di waktu luangnya.
29
Bahrudin Supardi, op. cit., hlm. 38.
36
Sarwo Edhie tidak lama menempuh latihan militer di Magelang, karena ia sudah harus dibawa ke Bogor untuk mengikuti latihan sebagai calon perwira tentara PETA. Dari 450 orang siswa Renseitai Magelang terpilih 125 orang, termasuk Sarwo Edhie dan Ahmad Yani. 30 Ahmad Yani adalah seorang pemuda yang berasal dari Purworejo, sama seperti Sarwo Edhie namun berbeda daerah. Sarwo Edhie berasal dari desa Pangen Juru Tengah, Purworejo, sedangkan Ahmad Yani berasal dari desa Ngrendeng, Gebang, Purworejo.31 Mereka saling kenal sejak mengikuti latihan militer di Renseitai Magelang. Pertemuan mereka kembali berlanjut pada kegiatan sehari-hari di Renseitai Bogor. Karena sering bersama akhirnya terjalin persahabatan diantara mereka setelah beberapa hari tinggal di Renseitai Bogor. Tempat tidur Sarwo Edhie bersebelahan dengan tempat tidur Ahmad Yani. 32 Mereka dikumpulkan menjadi satu kelompok bersama anggota lainnya yang berasal dari keresidenan yang sama. Sarwo Edhie dan Ahmad Yani berasal dari keresidenan Kedu. Selain di Magelang, Renseitai juga terdapat di Bogor setelah dibuka pada Oktober 1943. Renseitai yang terdapat di Bogor menempati sebuah gedung tua bekas zaman Belanda. Gedung tersebut memiliki beberapa kamar yang berukuran besar. Pintu dan jendela berukuran lebar terdapat di berbagai sisi ruangan. Gerbang pintu pos penjagaan Renseitai
30
Ibid., hlm. 46.
31
Redaksi Tempo, loc. cit., hlm. 33.
32
Bahrudin Supardi, op. cit., hlm. 49.
37
juga berukuran besar dan lebar. Memang pada dasarnya bangunan Belanda dibuat dengan ukuran yang cukup besar dan terlihat megah. Sarwo Edhie dan para anggota lainnya adalah angkatan pertama dari tiga angkatan yang dididik di Rensetai Bogor. Latihan militer di Renseitai Bogor tidak jauh berbeda dengan latihan-latihan militer di Renseitai Magelang. Cara Jepang dalam melatih sangat keras. Para anggota Renseitai Bogor lebih mendapatkan gemblengan mental dan penanaman semangat. Latihan-latihan militer yang diberikan Jepang pun juga bermacammacam, seperti latihan fisik, latihan kedisiplinan, dan latihan teori. Para anggota Renseitai Bogor juga diajarkan latihan berenang. Sarwo Edhie yang pada masa kecilnya sudah pandai dalam berenang tidak merasa kesulitan dalam latihan renang yang sangat sulit tantangannya. Segala posisi dalam berenang Sarwo Edhie sudah bisa menguasai dengan mudah. Jepang dalam menanamkan kedisiplinan kepada para anggota salah satunya adalah dengan cara bangun pagi. Kegiatan yang dilakukan setiap hari itu segera dilanjutkan dengan acara apel pagi, olahraga, mandi, makan, dan latihan-latihan. Latar belakang sekolah militer Sarwo Edhie yang bagus membuat ia semakin diakui sebagai anggota yang sangat berbakat. Setelah menjalani berbagai latihan militer di Bogor, ia menjadi salah satu lulusan Shodanco (Letnan Dua) terbaik, karena itu ia memperoleh pedang samurai yang agak
38
berbeda. 33 Shodanco dalam arti bahasa Indonesia adalah semacam pangkat militer komandan peleton. Pangkat militer yang dimiliki ketika Sarwo Edhie lulus tersebut adalah pangkat yang paling bawah. Tentara PETA hanya dikenal tiga pangkat militer. Pangkat tertinggi disebut Daidancho (komandan batalyon),
Chudancho (komandan kompi),
Shodancho
(komandan peleton). Pelantikan segera diselenggarakan setelah sekitar 4 bulan para lulusan tentara PETA berlatih militer di Renseitai Bogor. Upacara pelantikan berlangsung di lapangan Ikada, Jakarta. 34 Pelantikan yang diselenggarakan berlangsung lancar. Penyerahan ijazah yang diberikan oleh Jepang menandai bahwa para lulusan telah resmi menjadi tentara PETA. Selain mendapatkan ijazah, para lulusan juga mendapatkan sebilah pedang samurai. Setelah selesai mengikuti pendidikan di tempat tersebut, anggota tentara PETA ditempatkan di dalam daidan-daidan yang tersebar di seluruh Jawa-Madura. 35 Para tentara PETA diizinkan untuk pulang ke kampung halaman masing-masing setelah ditempatkan di daidan-daidan. Sarwo Edhie pulang kembali ke Purworejo. Setibanya di rumah Sarwo Edhie disambut suka cita oleh kedua orang tuanya. Raden Ayu Sutini begitu merasakan kebanggaan yang sangat mendalam karena bisa melihat anaknya pulang 33
Peter Kasenda, op. cit.,
34
Bahrudin Supardi, op. cit., hlm. 57.
35
Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, op. cit., hlm. 54.
39
kembali ke rumah dengan keadaan gagah, air mata kebanggaan pun tak bisa dibendung dari kedua matanya. Sekali lagi Sarwo Edhie pulang kembali ke Purworejo hanya sebentar karena sebagai tentara PETA sudah harus menghadapi berbagai tugas. Penempatan tentara PETA ke daidan di daerah-daerah sudah ditentukan sejak pelantikan di Renseitai Bogor. Sarwo Edhie sebagai Shodancho mendapatkan tugas di daerah Tuguran, Magelang. Bagi Sarwo Edhie daerah itu bukan suatu tempat yang asing karena ia pernah tinggal di asrama Tuguran selama mengikuti latihan militer di Renseitai Magelang. Tugas pertama yang didapatkan Sarwo Edhie dan teman-temannya adalah melatih para calon tentara PETA. Sarwo Edhie tidak sendiri, ia bersama teman-temannya dengan dipimpin oleh seorang Daidancho. Latihan yang diberikan oleh Sarwo Edhie kepada para calon tentara PETA sama seperti ketika Sarwo Edhie mengikuti latihan di Renseitai. Rakyat pada umumnya atau para pemuda seperti Sarwo Edhie tidak pernah tahu jalannya peperangan di Pasifik. 36 Saat Jepang berkuasa, masyarakat Indonesia hanya diperbolehkan membaca surat kabar dan mendengarkan saluran radio milik Jepang saja. Berita yang dimuat di dalam surat kabar kebanyakan dianggap terlalu membesar-besarkan kemenangan Jepang. Selain itu, walaupun Jepang memang berjasa memberikan
36
pelatihan-pelatihan
militer
Bahrudin Supardi, op. cit., hlm. 45.
terhadap
pemuda-pemuda
40
Indonesia, tetapi Jepang juga mengerahkan rakyat pribumi dari semua umur untuk dijadikan pekerja keras (romusha). Para romusha tersebut digunakan untuk membantu pemerintah militer Jepang dalam melawan Sekutu. Para tenaga kerja yang disebut romusha atau Jepang menyebutnya “Prajurit Pekerja” diperlukan untuk membangun prasarana perang seperti kubu-kubu pertahanan, gudang senjata, jalan raya, dan lapangan udara. 37 Selain itu masih banyak lagi pekerjaan berat yang harus diselesaikan oleh para romusha. Pemerintah Jepang tidak membayar sepeser uang pun kepada para romusha tersebut, dan tidak sedikit pula para romusha yang menjadi korban. Propaganda Jepang ketika datang memasuki wilayah Indonesia memberikan dampak yang luar biasa, dan langkah yang dilakukan tersebut telah membuahkan hasil yang membanggakan bagi pemerintah Jepang. Awalnya rakyat pribumi mau menjadi romusha karena percaya akan propaganda yang diberikan pemerintah Jepang, namun tidak sedikit juga rakyat pribumi yang tidak mengetahui sedikitpun tentang pekerjaan yang akan dikerjakan. Menyadari akan hal itu akhirnya mengubah rasa simpati rakyat pribumi menjadi rasa benci. Keadaan seperti itu menimbulkan para anggota tentara PETA merasa terpukul melihat saudara-saudaranya diperlakukan diluar batas kemampuan. Sarwo Edhie dan teman-temannya tidak mengira bahwa semakin lama pemerintah Jepang memanfaatkan rakyat pribumi secara 37
Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, op. cit., hlm. 61.
41
sewenang-wenang. Perasaan kagum dan kebanggaan terhadap tentara Jepang yang pernah Sarwo Edhie miliki ketika masih sekolah semakin lama semakin menghilang. Perasaan benci terhadap pemerintah Jepang juga dirasakan oleh beberapa tentara PETA yang ditugaskan di daerah lain. Keadaan seperti ini menimbulkan berbagai macam peristiwa pemberontakan, seperti halnya pemberontakan di Blitar. Pemberontakan di Blitar tersebut dipimpin oleh Shodancho Supriyadi. Namun pemberontakan-pemberontakan tersebut mampu dihentikan oleh pemerintah Jepang yang pada akhirnya PETA dibubarkan oleh Jepang. Jepang menghadapi Sekutu dalam perang pasifik. Keadaan itu membuat Jepang mengerahkan lebih banyak tentara. Ketika Jepang tidak bisa menahan berbagai tekanan dari serangan Sekutu, akhirnya Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu. Pada tahun 1945 kota Nagasaki dan Hiroshima di bom. Setelah kabar berita kekalahan Jepang sampai ke Indonesia, pemerintah Indonesia langsung mempersiapkan proklamasi kemerdekaan. Pertahanan PETA di Pantai Selatan, termasuk daerah Karanganyar,
Prembun,
dan Purworejo
dibubarkan.
38
Menjelang
proklamasi kemerdekaan, Sarwo Edhie kembali ke Purworejo dan berkumpul dengan anggota pasukannya. Menjelang kemerdekaan keadaan Indonesia masih belum stabil. Kembalinya Belanda ke Indonesia untuk mengambil alih kekuasaan dari 38
Bahrudin Supardi, op. cit., hlm. 45.
42
Jepang
mendapat
perlawanan dari rakyat
pribumi.
Saat
perang
kemerdekaan, Sarwo Edhie diajak Ahmad Yani, sesama eks anggota PETA, bergabung dalam Batalyon III Badan Keamanan Rakyat.
39
Batalyon III BKR yang dikomandani Ahmad Yani tersebut dibentuk di kota Magelang. Sarwo Edhie mendapat tugas membawa senjata mortir dalam batalyon tersebut. Setelah pemerintah Indonesia meresmikan BKR menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), Sarwo Edhie mendapat pangkat Kapten dalam barisan TKR. Pangkat Kapten ini merupakan pangkat ketentaraan yang paling lama disandang oleh Sarwo Edhie. 40 Ia menjadi seorang Kapten Sarwo Edhie selama kurang lebih sepuluh tahun. Saat Ahmad Yani membentuk batalyon baru, Sarwo Edhie diangkat menjadi Komandan Kompi Batalyon V Brigade IX Divisi Diponegoro. Sarwo Edhie memimpin pasukannya dari Purworejo, Magelang, Ambarawa, hingga Semarang. Sarwo Edhie dan pasukannya bergerak melakukan penyerangan dan mendesak mundur tentara Inggris sampai Magelang. Hingga pada akhirnya tentara Inggris dapat dikepung oleh tentara TKR di Semarang. Sekitar tahun 1945 Sarwo Edhie telah kembali ke asrama Magelang dari tugasnya memimpin kompi dalam perlawanan dengan tentara Sekutu. Sarwo Edhie di asrama Magelang memiliki seorang teman bernama Sudarto. Mereka berbeda batalyon, namun lantaran sering
39
Redaksi Tempo, loc. cit., hlm. 33.
40
Bahrudin Supardi, op. cit., hlm. 71.
43
bertemu akhirnya keduanya bersahabat dan kerap melewatkan waktu bersama-sama di luar tugas. 41 Sudarto yang telah menjadi teman dekat Sarwo Edhie mengenalkan adiknya, Sunarti Sri Hadiyah, kepada Sarwo Edhie. Walaupun Sarwo Edhie memiliki daya pikat penampilan dan kesantunan, Sunarti tidak bisa begitu saja jatuh hati. 42 Sunarti memiliki prinsip, jika sekali sudah menikah maka ia akan menghabiskan hidupnya untuk mengabdi kepadanya sebagai seorang istri. Pasca kemerdekaan Indonesia, pada tahun 1949 Sarwo Edhie dan Sunarti menikah dalam kondisi serba sederhana. 43 Mereka kemudian pindah rumah dari Purworejo ke Magelang menempati rumah orang tua Sunarti hingga memiliki anak pertama yang diberi nama Wijiasih Cahyasasi. Hingga tahun 1960 Sarwo Edhie sudah memiliki lima anak, diantaranya adalah Wijiasih Cahyasasi, Wrahasti Cendrawasih, Kristiani Herrawati, Mastuti Rahayu, Pramono Edhie Wibowo, dan Retno Cahyaningtyas. Sekitar tahun 1958-1959 Sarwo Edhie diangkat menjadi Wakil Komandan Resimen Taruna Akademi Militer Naional (AMN). Resimen Taruna AMN adalah sebuah sekolah militer yang memberikan pelatihan keras kepada para anggotanya. Kedudukan sekolah ini berada di Bogor. Pada 1959, Ahmad Yani merekomendasikan Sarwo menjadi Komandan
41
Alberthiene Endah, op. cit., hlm. 35.
42
Bahrudin Supardi, op. cit., hlm. 117.
43
ibid., hlm. 118.
44
Sekolah Para Komando Angkatan Darat. 44 Hal ini mengharuskan Sarwo Edhie bersama keluarganya pindah tempat tinggal ke daerah Cimahi karena tempat Sekolah Para Komando Angkatan Darat (SPKAD) berada di daerah Batujajar. Sarwo Edhie dan Sunarti sepakat untuk tidak terlalu banyak membawa barang bawaan ke Cimahi, karena akan menempati sebuah losmen sederhana. Sarwo Edhie bersama Sunarti dan kelima anaknya akan menempati losmen tersebut yang tempatnya tidak jauh dari SPKAD. Sarwo
Edhie
pun
dilantik
menggantikan
Kapten
Wijogo
Atmodarminto.45 Sarwo Edhie ditugaskan sebagai komandan di SPKAD. Pendidikan di SPKAD mulai dibuka pada 15 April 1962 oleh Komandan SPKAD, Letnan Kolonel Infanteri Sarwo Edhie.
46
Pada pembukaan
pendidikan SPKAD tersebut terdaftar sekitar 49 anggota yang berasal dari (Resimen Para Komando Angkatan Darat) RPKAD. Tugas utama Sarwo Edhie melatih para anggota yang sudah terdaftar dalam kelompok, dengan dibantu para pelatih lapangan. Diantaranya adalah melatih para anggota prajurit untuk melaksanakan pendidikan terjun payung. RPKAD memiliki pusat pendidikan dengan nama Para Komando di Batujajar, Bandung. Para berarti semua prajurit RPKAD memiliki ketangguhan dalam terjun payung menggunakan parasut. Sedangkan
44 45 46
Redaksi Tempo, loc. cit., hlm. 34. Ibid. Bahrudin Supardi, op. cit., hlm. 142.
45
komando artinya adalah para prajurit RPKAD dilatih untuk bergerak secara berdikari dalam kesatuan yang amat kecil. Hal ini menyebabkan semua prajurit RPKAD memiliki kemampuan bertahan hidup secara baik dalam operasi ketika terlepas dari induk pasukan. Pada tahun 1959 markas RPKAD dipindahkan ke Cijantung, Jakarta, sedangkan SPKAD masih berada di Batujajar. Selama kurang lebih 3 tahun mendapat tugas sebagai komandan di SPKAD, karir Sarwo Edhie semakin meningkat. Keluarga Sarwo Edhie juga telah pindah dari losmen dan menempati sebuah rumah dinas yang telah disediakan pemerintah. Rumah dinas yang bergaya bangunan Belanda tersebut memang diberikan kepada para komandan yang bertugas di SPKAD. Keluarga Sarwo Edhie menempati rumah dinas yang berlokasi di daerah Batujajar. Rumah dinas khusus untuk para komandan tersebut dibangun sangat dekat dengan lapangan tempat berlatih militer SPKAD. Tahun 1962 Sarwo Edhie dan keluarganya pindah ke Cijantung dan mereka menempati perumahan di rumah dinas. Kepindahan tersebut dimaksudkan agar para perwira dalam menjalankan tugas tidak jauh dari markas RPKAD, karena perumahan tersebut terletak satu kompleks dengan markas RPKAD. Fasilitas rumah yang diberikan tidak memiliki ruangan yang luas, karena perumahan tersebut juga ditempati oleh keluarga para prajurit. Karir militer Sarwo Edhie semakin menanjak ketika Ahmad Yani yang pada waktu itu telah menjabat sebagai Menteri Panglima Angkatan
46
Darat mengangkat Sarwo Edhie menjadi Kepala Staf RPKAD. Ahmad Yani memenuhi janjinya dahulu yang pernah menurunkan pangkat Sarwo Edhie ketika perang mempertahankan kemerdekaan pada tahun 1948. Penurunan pangkat tersebut berdampak pada kekecewaan Sarwo Edhie dan keinginannya untuk berhenti menjadi prajurit. Namun pengangkatan Sarwo Edhie sebagai Kepala Staf RPKAD bukan semata-mata hanya janji Ahmad Yani sebagai teman dekat Sarwo Edhie saja. Karir Sarwo Edhie selama masih menjadi komandan di SPKAD menunjukkan pengalaman yang selalu meningkat. Serta keberhasilan pasukan RPKAD dalam berbagai operasi menunjukkan peranan Sarwo Edhie yang sangat besar. Peranan Sarwo Edhie yang besar berlanjut pada pengangkatannya sebagai Kepala Staf RPKAD. Namun tidak semua pihak menyetujui pengangkatan Sarwo Edhie tersebut. Pengangkatan Sarwo Edhie sebagai Kepala Staf ditentang Mayor Infanteri Benny Moerdani, Komandan Batalyon II RPKAD. 47 Dalam hal ini Benny Moerdani lebih memilih Letnan Kolonel Infanteri Widjojo Soejono yang menurut pendapatnya lebih senior dalam Korps Baret Merah dari pada Sarwo Edhie. Sarwo Edhie tetap menjadi Kepala Staf RPKAD walaupun terjadi pertentangan dari luar. Pada awal tahun 1963 Sarwo Edhie menempuh pendidikan staf di sebuah sekolah bernama The Australian Army’s Staf College. Akademi
47
Julius Pour. Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan & Petualang. Jakarta: Kompas, 2010, hlm. 237.
47
militer tersebut memberikan pendidikan bagi perwira yang memiliki kedudukan sebagai kepala staf. Pendidikan yang diberikan adalah mulai dari latihan mengatur kebijakan-kebijakan dalam sebuah angkatan atau kesatuan. Menjalani pendidikan di Staf Akademi Militer kurang lebih selama 18 bulan akhirnya Sarwo Edhie telah kembali ke Indonesia dari Australia. Sarwo Edhie saat itu masih menjabat sebagai Kepala Staf RPKAD ketika tiba kembali di markas RPKAD, Cijantung. Tetapi ia menjadi orang nomor satu di Cijantung karena Komandan RPKAD, Kolonel Moeng Parhadimoeljo sedang mengikuti pendidikan militer lanjutan. 48 Jabatan Sarwo Edhie sebagai kepala staf menjadi kedudukan tinggi dalam membina kekuatan dan kesiapan operasional RPKAD. Sarwo Edhie juga memiliki kewenangan untuk mengatur kebijakan tentang strategi dalam operasi militer RPKAD. Akhir tahun 1964 Sarwo Edhie mendapat sebuah surat di meja kerjanya di markas RPKAD. Surat tersebut berasal dari Mayor Benny Moerdani yang didalamnya berisi tentang ketidakpuasan Mayor Benny Moerdani terhadap kepemimpinan Kolonel Moeng Parhadimoeljo. Ketika itu terjadi perselisihan antara Kolonel Moeng Parhadimoeljo dengan
48
Julius Pour, op. cit., hlm. 236.
48
Mayor Benny Moerdani
49
yang berselisih tentang kebijakan yang
dikeluarkan oleh masing-masing dalam Resimen. Sarwo Edhie yang sepulang dari The Australian Army’s Staf College di Australia setelah mendapatkan surat keluahan dari Mayor Benny Moerdani langsung melakukan tindakan. Ia lalu mengajak Rais, rekan sesama perwira di pelatihan itu, mendatangi Letnan Jenderal Ahmad Yani di kediamannya di Menteng.50 Sampai di kediaman Letnan Jenderal Ahmad Yani, Sarwo Edhie lalu menceritakan mengenai permasalahan yang terjadi antara Mayor Benny Moerdani dengan Kolonel Moeng Parhadimoeljo. Mendengar cerita tersebut, Letnan Jenderal Ahmad Yani langsung menyuruh Sarwo Edhie untuk menyelesaikan permasalahan di resimen tersebut. Waktu itu Letnan Jenderal Ahad Yani bertanya siapa perwira yang cocok menggantikan Kolonel Moeng Parhadimoeljo karena ada dua letnan kolonel di Resimen, yaitu Sarwo Edhie Wibowo dan Widjojo Soejono. 51 Mayor Benny Moerdani memilih Widjojo Soejono karena ia memiliki hubungan yang baik dengannya. Mayor Benny Moerdani lupa bahwa Sarwo Edhie dan Letnan Jenderal Ahmad Yani telah berteman baik sejak berjuang di Jawa Tengah. Mereka juga sama-sama kelahiran Purworejo.
49
Benny Moerdani adalah Komandan Batalyon II RPKAD, ibid.,
hlm. 156. 50
Redaksi Tempo, op. cit., hlm. 31.
51
Ibid., hlm. 32
49
Sehingga Mayor Benny Moerdani dianggap Letnan Jenderal Ahmad Yani telah melakukan sebuah kesalahan karena memilih Widjojo Soejono. Oleh sebab itu maka Mayor
Benny
Moerdani langsung
diperintahkan oleh Letnan Jenderal Ahmad Yani untuk menghadap Mayor Jenderal Soeharto. Paginya ia mengembalikan semua atribut RPKAD yang ada, termasuk Baret Merah.
52
Setelah itu Mayor Benny Moerdani
menghadap Panglima Kostrad Mayor Jenderal Soeharto dan melaporkan diri untuk siap bertugas. Sementara itu, Sarwo Edhie pada bulan Februari 1966 oleh Letnan Jenderal Ahmad Yani resmi ditetapkan menjadi Komandan RPKAD menggantikan Kolonel Moeng Parhadimoeljo. Walaupun belum secara resmi ditetapkan sebagai Komandan RPKAD, menurut Rais Abin dalam buku Tempo yang berjudul Sarwo Edhie dan Misteri 1965, sebetulnya sudah ada gerakan memplot Sarwo sebagai komandan. Dalam hal ini Sarwo Edhie ditetapkan menjadi Komandan RPKAD sebagai pelaksana harian dan pangkatnya dinaikkan menjadi Kolonel. Sarwo Edhie sudah diberi tugas untuk memimpin pasukan RPKAD ketika terjadi peristiwa Gerakan 30 September di Jakarta pada tahun 1965.
52
Julius Pour, op. cit., hlm. 238.
BAB III PENUMPASAN GERAKAN 30 SEPTEMBER DI JAKARTA
A. Keadaan Jakarta Sekitar Gerakan 30 September 1 Oktober 1965 dini hari menjadi sebuah peristiwa berdarah yang telah mengguncang Kota Jakarta. Suasana menjelang fajar memang tampak masih sepi dan hanya segelintir orang yang mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, yaitu para pelaku penculikan dan pembunuhan terhadap beberapa perwira tinggi TNI AD. Dimulai pada pukul 03.00 pagi telah dilakukan penculikan-penculikan terhadap beberapa orang perwira tinggi AD seperti Letjend Ahmad Yani, Brigjend D. I. Pandjaitan, Mayjend Suprapto, Mayjend Harjono M. T., Brigjend Sutojo, Mayjend S. Parman.1 Gerakan rencana kudeta yang menamakan dirinya Gerakan 30 September tersebut juga telah melakukan usaha penculikan terhadap Menko Hankam/Kasab Jenderal A. H. Nasution namun gagal. Kegagalan penculikan tersebut dikarenakan Jenderal A. H. Nasution mendapat bantuan dari ajudannya, Lettu Piere Tendean, yang berhasil melarikan diri dengan cara melompat pagar rumahnya. Menjelang pagi hari terjadi banyak pemblokiran di jalan-jalan yang menuju ke arah Istana Negara. Keadaan Kota Jakarta yang masih belum dapat diketahui sebenarnya apa yang terjadi maka seluruh kesatuan AD segera mengambil tindakan siaga. Seluruh personel tentara dari Kodam 1
Pusat Penerangan Angkatan Darat, Fakta-Fakta Persoalan Sekitar “Gerakan 30 September”, Jakarta: Balai Pustaka, 1965, hlm. 7-8.
50
51
V/Jaya dikerahkan oleh Pangdam V/Jaya untuk berpatroli di dalam kota. Markas Kostrad yang didalamnya telah ada Pangkostrad Mayor Jenderal Soeharto bersama staf-stafnya segera melakukan rapat untuk menganalisa keadaan dan perencanaan tindakan. Sementara itu di Markas RPKAD di Cijantung, Sarwo Edhie mulai mengumpulkan pasukannya karena pukul 05.00 dirumahnya ia telah bertemu dengan Mayor Subardi. Ajudan Ahmad Yani, Mayor Subardi menceritakan kepada Sarwo Edhie bahwa Ahmad Yani telah dijemput secara paksa oleh sejumlah anggota pasukan Cakrabirawa di rumah kediamannya. 2 Mayor Subardi juga menceritakan bahwa di rumah Ahmad Yani ditemukan darah, dapat disimpulkan bahwa Ahmad Yani juga ditembak. Keadaan seperti ini membuat Sarwo Edhie berniat untuk merencanakan sebuah tindakan dan mulai mengumpulkan seluruh pasukan yang tinggal di kompleks RPKAD. Sarwo Edhie juga memerintahkan Komandan Batalyon 1 RPKAD, Mayor Chalimi Imam Santosa3, untuk segera pergi ke Senayan menarik pasukannya yang sedang latihan untuk menyambut HUT ABRI pada 5 Oktober 1965. Semua pasukan harus bisa ditarik dan kembali ke Cijantung.
2
Peter Kasenda, Sarwo Edhie Wibowo dan Operasi Militer: Penghancuran Gestapu/dan Pendobrak Orde Lama, Prisma, 1991, hlm. 161. 3 Mayor Chalimi Imam Santosa adalah perwira yang dalam Perjuangan Kemerdekaan 1945, ikut serta menumpas Pemberontakan PKI Madiun pada tahun 1948. Lihat Hendro Subroto, Sintong Panjaitan: Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando, Jakarta: Kompas, 2009, hlm. 110.
52
Sebuah pengumuman tentang adanya suatu usaha pengambilalihan kekuasaan disiarkan melalui Radio Republik Indonesia (RRI) Jakarta sekitar pukul 07.00. Dekrit keputusan No. 1 tentang pembentukan Dewan Revolusi dan keputusan No. 2 tentang penurunan dan kenaikan pangkat militer menjadi berita yang diumumkan pada waktu itu juga. Pengumuman ini disiarkan lewat RRI oleh bagian penerangan Gerakan 30 September yang dikepalai oleh Letnan Kolonel Untung dari Resimen Cakrabirawa. 4 Letnan Kolonel Untung mengeluarkan dekrit tersebut sebagai Komandan Komando Gerakan 30 September dengan wakil komandan seperti Brigadir Jenderal Supardjo, Kolonel Laut Sunardi, Letnan Kolonel Heru Atmodjo, dan Ajun Komisaris Besar Polisi Anwas. Keseluruhan anggota yang tercantum dalam susunan Dewan Revolusi Keputusan No. 1 berjumlah 45 orang.5 Bagi kalangan militer pengumuman tersebut merupakan berita yang dinilai sangat aneh. Seketika itu kesatuan-kesatuan militer di Jakarta mulai menganalisa keadaan dan mengambil tindakan siaga. Masyarakat pun juga dibuat bertanya-tanya dengan apa yang sedang terjadi. Situasi dan keamanan daerah Ibu Kota Jakarta menjadi tanggung jawab Pangdam V/Jaya. Mayor Jenderal Umar Wirahadikusumah selaku Pepelrada segera memerintahkan untuk menutup jalan-jalan yang menuju
4
Dinas Sejarah TNI-AD, Pemberontakan G30S/PKI dan Penumpasannya, Bandung: Dinas Sejarah TNI-AD, 1982, hlm. 148. 5
Komando Operasi Tertinggi, Tjatatan Kronologis di Sekitar Peristiwa G30S, Jakarta: Seksi Penerangan, 1965. Keputusan No. 1 Tentang Susunan Dewan Revolusi Indonesia, lihat Lampiran 11 hlm. 148.
53
ke luar kota.6 Penutupan jalan-jalan tersebut dilakukan setelah Mayor Jenderal Umar mendapat laporan mengenai penjemputan paksa terhadap para perwira tinggi. Selain itu, Kodam V/Jaya juga menutup untuk sementara waktu sejumlah media cetak di Jakarta, termasuk kantor berita Antara. Media massa yang ditutup untuk sementara, kemudian diizinkan terbit kembali seperti harian Sinar Harapan, Kompas, Merdeka, dan Kantor Berita Antara, sedangkan media massa yang berafiliasi dengan PKI, yaitu Warta Bhakti, Bintang Timur, dan Suluh Indonesia dilarang terbit. 7 Media massa yang berafiliasi dengan PKI ditutup untuk selamanya dan dilarang terbit kembali. Karena jika diizinkan untuk terbit kembali maka dikhawatirkan akan memperkeruh keadaan yang telah terjadi. Mayor Jenderal Umar selanjutnya langsung menuju rumah kediaman Menko Hankam KSAB Jenderal TNI A. H. Nasution untuk mengetahui kabar secara maksimal. Rumah kediaman Jenderal A. H. Nasution yang menjadi salah satu korban usaha penjemputan paksa segera mendapat penjagaan ketat. Tidak lama setelah Pangdam V sampai di tempat kediaman Jenderal A. H. Nasution di Teuku Umar 40, lima buah panser tiba untuk menjaga keamanan. 8 Kemudian setelah itu Mayor Jenderal Umar menuju istana untuk melapor kepada presiden.
6
ibid., hlm. 147.
7
Hendro Subroto, op. cit., hlm. 111-112.
8
ibid., hlm. 149.
54
Bersama-sama dengan Pangdam V/Jaya, Pangkostrad mulai menyusun siasat dan tindakan selanjutnya guna mengatasi krisis yang sedang terjadi. 9 Situasi tegang juga terjadi di Markas Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad). Pada waktu yang hampir bersamaan sekitar puku 07.30. Panglima Komando Strategis Angkatan Darat, Mayor Jenderal Soeharto bersama staf-stafnya sedang berada di Markas Kostrad dan membaca situasi yang sedang terjadi. Sepanjang hari itu banyak perwira yang berkumpul di Kostrad sesudah diketahui bahwa disinilah pusat kekuatan militer yang anti Gerakan 30 September. 10 Mayor Jenderal Soeharto yang memiliki kedudukan tertinggi di dalam markas tersebut menjelaskan kondisi yang sedang terjadi. Sebenarnya Mayor Jenderal Soeharto sudah bisa menyimpulkan bahwa dengan adanya penyiaran pengumuman melalui stasiun RRI tersebut telah terjadi usaha kudeta kekuasaan. Mayor Jenderal Soeharto mulai saat itu memutuskan untuk melawan Letnan Kolonel Untung dan gerakannya yang menamakan Gerakan 30 September. Buku yang berjudul Otobiografi Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya, terbitan PT Citra Lamtoro Gung Persada tahun 1989 menjelaskan bahwa Mayor Jenderal Soeharto berbicara kepada bawahannya mengenai siapa yang bersedia mengikutinya
9
Dinas Sejarah TNI-AD, Komunisme dan Kegiatannya di Indonesia, Bandung: Dinas Sejarah TNI-AD, 1985, hlm 319. 10
John Roosa, Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto’s Coup d’Etat in Indonesia, a.b. Hersri Setiawan, Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto, Jakarta: Institut Sejarah Sosial Indonesia dan Hasta Mitra, 2008, hlm. 80.
55
untuk melawan gerakan tersebut. Semua orang yang ikut berkumpul dalam ruang markas tersebut bersedia mengikuti Mayor Jenderal Soeharto. Usai rapat yang dilakukan di Markas Komando Strategi Angkatan Darat, Mayor Jenderal Soeharto mulai mengambil tindakan. Jalan yang ditempuh adalah dengan cara menggerakkan pasukan Kostrad serta kesatuan-kesatuan yang tidak mendukung Gerakan 30 September seperti RPKAD. Selain itu juga menyadarkan pasukan-pasukan Angkatan Darat maupun dari angkatan lain yang telah diperalat oleh PKI. Markas RPKAD yang berlokasi di Cijantung juga menjadi tempat berkumpul Sarwo Edhie beserta anggota-anggotanya. Pada pukul 07.00, Sarwo Edhie dan sejumlah perwira berkumpul untuk mendengarkan siaran berita RRI
yang mengumumkan pembentukan dewan revolusi. 11
Pengumuman yang disiarkan melalui RRI oleh Letnan Kolonel Untung menyebabkan Sarwo Edhie juga menyimpulkan bahwa sudah terjadi usaha kudeta kekuasaan. Sarwo Edhie juga menduga bahwa sudah terjadi usaha untuk meyingkirkan kedudukan Presiden Soekarno. Hal ini jelas merupakan sebuah rencana kudeta yang akan segera dilancarkan oleh Gerakan 30 September, mengingat dewan revolusi yang mendominasi kabinet dan di dalam dewan revolusi tersebut tidak tercantum nama Presiden Soekarno.
11
Peter Kasenda, op. cit., hlm. 161.
56
Penarikan pasukan-pasukan oleh C. I. Santosa dari Senayan berhasil dilaksanakan. 12 Penarikan personel RPKAD sempat membuat gaduh. 13 Pengawas latihan bingung dan marah ketika melihat para anggota RPKAD mendadak naik kembali ke dalam truk mereka, kemudian meninggalkan
Senayan
dengan
tergesa-gesa.
Pengawas
latihan
menghendaki latihan pasukan RPKAD tetap berjalan lancar mengingat latihan tersebut sangat penting sebagai persiapan mengikuti upacara peringatan HUT ABRI di Senayan. Ketegangan yang sempat terjadi antara pengawas latihan dengan C. I. Santosa tersebut akhirnya bisa selesai dan para pasukan RPKAD bisa ditarik. Pasukan tersebut sebenarnya juga sedang merasa kebingungan. Berangkat pagi dari Cijantung, begitu sampai di Parkir Timur Kompleks Senayan malah langsung diperintah kembali. 14 Pasukan RPKAD yang ditarik dari Senayan kemudian dikumpulkan di Lapangan Merah.15 C. I. Santosa memerintahkan kepada seluruh anggota batalyonnya untuk tidak bergerak sebelum memperoleh intsruksi dari Sarwo Edhie. Apabila perintah tersebut diabaikan maka C. I. Santosa yang akan menembaknya sendiri. Sarwo Edhie datang dan bertemu dengan pasukan-pasukannya di Lapangan Merah. Kedatangan Sarwo Edhie tersebut adalah untuk 12
ibid.
13
Redaksi Tempo, op. cit., hlm. 3.
14
Julius Pour. Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan & Petualang. Jakarta: Kompas, 2010, hlm. 239. 15
Peter Kasenda, loc. cit., hlm 161.
57
memberikan penjelasan kepada pasukan-pasukannya tentang peristiwa penjemputan paksa para perwira tinggi. Selain itu Sarwo Edhie juga memerintahkan untuk siap siaga dalam menghadapi kemungkinan yang akan terjadi. Karena baik kawan maupun lawan belum dapat diketahui secara pasti. Sarwo Edhie di dalam pertemuannya juga memberikan penjelasan tentang pengumuman yang baru saja disiarkan melalui RRI. Suasana tegang di tempat berkumpulnya Sarwo Edhie bersama pasukan-pasukannya teralihkan perhatiannya oleh kedatangan seorang Kapten Herman Sarens Sudiro. Kapten Herman datang menggunakan panser yang berlapis baja dengan membawa sepuncuk surat. Sepucuk surat yang dibawa Kapten Herman tersebut dari Pangkostrad Mayor Jenderal Soeharto. Surat berisi tentang keadaan yang sangat gawat dan pemberitahuan bahwa untuk sementara pimpinan Angkatan Darat diambil alih komando oleh Mayor Jenderal Soeharto. Selain itu surat tersebut juga berisi tentang perintah agar semua pasukan dikondisikan dan segera untuk menemui Mayor Jenderal Soeharto. Surat perintah tersebut dibuat secara resmi oleh Markas Komando Strategi Angkatan Darat dengan Mayor Jenderal Soeharto yang menandatanganinya. Tetapi walaupun surat perintah tersebut memang asli dan dapat dipertanggungjawabkan, Sarwo Edhie tidak bisa langsung mengambil tindakan. Keadaan ibukota yang sedang gawat memaksa Sarwo Edhie berusaha keras untuk lebih berhati-hati. Sarwo Edhie tidak percaya begitu saja dengan surat yang dibawa Kapten Herman. Sarwo
58
Edhie tidak yakin akan keselamatan Mayor Jenderal Soeharto. Sarwo Edhie juga menduga bahwa bisa jadi dalam memberikan surat tersebut Mayor
Jenderal
Soeharto
dalam
keadaan
tertekan.
Selain
itu
ketidakyakinan kepada Kapten Herman Sarens Sudiro dimana ia bukanlah anggota kavaleri yang memiliki hak memakai kendaraan lapis baja. 16 Sarwo Edhie berpikir ingin memastikan keadaan Mayor Jenderal Soeharto di Markas Komando Strategi Angkatan Darat baik-baik saja. Hal tersebut dilakukan Sarwo Edhie mengingat ketidakpercayaannya kepada Kapten Herman sebagai orang yang diperintah untuk menyampaikan surat tersebut. Oleh karena hal tersebut maka Kapten Herman dilucuti senjatanya dan ditahan untuk sementara di markas RPKAD. Sarwo Edhie mulai memerintahkan seorang anggota pasukannya, Kapten Daryono, untuk berangkat ke Markas Komando Strategi Angkatan Darat untuk memastikan keadaan Mayor Jenderal Soeharto. Sekitar satu jam kemudian Kapten Daryono telah kembali ke markas RPKAD, Cijantung. Kapten Daryono memberi tahu kepada Sarwo Edhie bahwa keadaan Mayor Jenderal Soeharto baik-baik saja, dan memang benar bahwa Kapten Herman adalah orang yang diperintah Mayor Jenderal Soeharto. Sarwo Edhie kemudian memerintahkan anggotanya untuk membebaskan dan mengembalikan senjata milik Kapten Herman. Akhirnya sebelum dhuhur, Sarwo Edhie bersama Kapten Herman segera
16
ibid.
59
berangkat menemui Mayor Jenderal Soeharto dengan mengendarai kendaraan lapis baja.17 Sarwo Edhie bersama Kapten Herman sampai di Markas Kostrad sekitar pukul 11.00. Sarwo Edhie langsung menemui Mayor Jenderal Soeharto. Pemanggilan Sarwo Edhie oleh Mayor Jenderal Soeharto ke Markas
Kostrad
tidak
lain
adalah
untuk
keperluan
rencana
pengambilalihan. Pertemuan yang kurang lebih berjalan selama satu jam tersebut diputuskan untuk melakukan perebutan obyek Gedung RRI dan Kantor Telekomunikasi, yang didalamnya telah dikuasai Letnan Kolonel Untung dan pengikut-pengikutnya. Selain itu karena satu-satunya media masssa yang sangat vital untuk mengikuti perkembangan politik pada waktu itu, hanya RRI Pusat.18
B. Menduduki Gedung RRI dan Kantor Telekomunikasi Perencanaan aksi penyerangan ke Gedung RRI dan Kantor Telekomunikasi sudah diputuskan Mayor Jenderal Soeharto dan Sarwo Edhie bersama staf-staf lainnya yang berada di Markas Kostrad. Tetapi Mayor Jenderal Soeharto menunda perebutan kedua obyek vital itu sampai menjelang pukul 19.00, ketika jam malam di Jakarta sudah mulai berlaku.19 Jam malam tersebut diumumkan oleh Pangdam V/Jaya, Mayor 17
Redaksi Tempo, op. cit., hlm. 4.
18
Hendro Subroto, op. cit., hlm. 112.
19
ibid., hlm. 111.
60
Jenderal Umar Wirahadikusuma. 20 Jam malam mulai diberlakukan dalam rangka pengamanan daerah Ibu Kota Jakarta. Pengumuman ini dikecualikan bagi orang-orang yang yang memerlukan dokter atau rumah sakit dengan membawa tanda yang jelas, seperti obor atau lampu. Sarwo Edhie pada siang hari itu yang masih berada di markas RPKAD sudah menyatakan siap bergerak. Akhirnya Sarwo Edhie memutuskan untuk memerintahkan pasukannya untuk datang menuju Markas Kostrad. Kira-kira pukul 13.30, pasukan RPKAD (Kompi Urip, Kayat, Tanjung, Sungkaryo, Muhadi, Sembiring, Edi Sudrajat, dan Ramelan), tanpa perintah dari Mayor Jenderal Soeharto telah tiba di Markas Kostrad.21 Sarwo Edhie memerintahkan pasukannya untuk datang ke Markas Kostrad agar pasukannya tidak terlalu lama menunggu di markas RPKAD di Cijantung. Keputusan Sarwo Edhie untuk memanggil pasukannya adalah untuk menjaga semangat para pasukannya. Pasukan RPKAD telah berkumpul di Markas Kostrad dalam posisi siap siaga. Sore hari sekitar pukul 17.00 Sarwo Edhie mendapatkan perintah dari Mayor Jenderal Soeharto untuk mulai melancarkan gerakan perebutan Gedung RRI dan Kantor Telekomunikasi. Jarak tempuh antara Markas Kostrad ke Gedung RRI dan Kantor Telekomunikasi tidak lebih dari 2 km, sehingga gerakan para pasukan RPKAD bisa berjalan cepat. Sarwo Edhie ketika ditanya Mayor Jenderal Soeharto tentang waktu yang 20
Pusat Penerangan Angkatan Darat, loc. Cit., hlm. 51.
21
Peter Kasenda, loc. cit., hlm. 162.
61
diggunakan untuk menduduki Gedung RRI dan Kantor Telekomunikasi, ia langsung menjawab bahwa telah diperkirakan para pasukannya bisa mengambil alih kedua tempat tersebut hanya dalam 20 menit. Perkiraan Sarwo Edhie tersebut ternyata tidak didasari keyakinannya sebelumnya. Sarwo Edhie baru menyadari setelah menjawab pertanyaan Mayor Jenderal Soeharto bahwa tidak secepat itu pasukannya bisa menduduki Gedung RRI dan Kantor Telekomunikasi. Kepercayaan Sarwo Edhie kepada kekuatan pasukannya memberikan keyakinan padanya bahwa pasukannya mampu menguasai sasaran dengan cepat. Dua kompi pasukan Sarwo Edhie mulai melakukan pergerakan operasi perebutan Gedung RRI dan Kantor Telekomunikasi. Pasukan Sarwo Edhie sebelum berangkat telah dipesan oleh Mayor Jenderal Soeharto bahwa dalam upaya mengambil alih sebisa mungkin menghindari terjadinya pertumpahan darah. Menjelang magrib, kompi Kapten Heru menyerang Kantor Telekomunikasi, sedangkan kompi Kapten Urip menyerbu Gedung RRI.22 Letnan Satu Feisal Tanjung juga memerintahkan anggotanya, Sintong Panjaitan, untuk memimpin anggota peletonnya merebut Gedung RRI. Sarwo Edhie hanya memerintahkan Mayor C. I. Santosa dan anggotanya untuk siaga di Markas Kostrad. Hal ini dilakukan karena Markas Kostrad mempunyai arti strategis yang besar. Mayor Jenderal Soeharto yang memimpin dalam Markas Kostrad tersebut,
22
ibid.
62
walaupun Markas Kostrad bukan merupakan instalasi militer utama di Jakarta. Sejak pagi sampai sore hari di kedua jalan di tempat kedua obyek vital itu berada, dijaga oleh Batalyon 454/Diponegoro dari Jawa Tengah dan Batalyon 530/Raiders dari Jawa Timur yang kedatangannya ke Jakarta untuk mengikuti upacara HUT ke-20 ABRI.23 Batalyon-batalyon tersebut berjaga di pinggir jalan di halaman kedua gedung. 24 Namun menurut laporan intelijen, Batalyon 454/Diponegoro sudah meninggalkan tempat penjagaan ketika pasukan Sarwo Edhie mulai mencapai Gedung RRI. Batalyon tersebut telah meninggalkan Gedung RRI dan menuju ke Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdanakusuma pukul 16.30. Batalyon 530/Brawijaya juga telah meninggalkan Kantor Telekomunikasi dan menuju ke Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdanakusuma. Menjelang
pukul
20.00,
dua
kompi
Batalyon
Infanteri
454/Diponegoro berhasil memisahkan diri, kemudian melapor kepada Kolonel Infanteri Wahono, Asisten-II/Operasi Kostrad.25 Batalyon Infanteri 530/Brawijaya, minus Mayor Bambang Soepeno sebagai komandan batalyon sebelumnya telah melapor ke Kostrad. Kembalinya 23
Hendro Subroto, op. cit., hlm. 110.
24
Kedua batalyon ini digunakan tanpa mengetahui yang pokok untuk apa mereka dikerahkan selain bahwa mereka itu perlu menjaga Istana karena Presiden ada dalam bahaya akan diculik. Lihat Pusat Penerangan Angkatan Darat, op. cit., hlm. 12. 25
James Luhulima, Menyingkap Dua Hari Tergelap di Tahun 1965: Melihat G30S dari Perspektif lain, Jakarta: Kompas, 2006, hlm. 130.
63
dua kompi tersebut ke Kostrad merupakan hasil pendekatan yang dilakukan oleh Kolonel Ali Moertopo dan Brigadir Jenderal Sabirin, mantan Komandan Batalyon 530. Kembalinya dua kompi dari Batalyon 530/Brawijaya untuk mengikuti perintah Kostrad maka pasukan-pasukan tersebut dapat diperintahkan untuk bantuan penyerangan. Akhirnya Gedung RRI dan Kantor Telekomunikasi hanya menyisakan anggota ormas PKI, Pemuda Rakyat, yang jumlahnya tidak lebih dari 10 orang. Proses penguasaan Gedung RRI berjalan tanpa mendapat perlawanan karena anggota Batalyon 454 dan Batalyon 530 telah meninggalkan penjagaan. Peleton 1 yang dipimpin Sintong akhirnya bisa masuk ke dalam Gedung RRI tanpa ada perlawanan dari Pemuda Rakyat. Pemuda Rakyat yang menjaga Gedung RRI tersebut melarikan diri setelah salah satu anggota Peleton 1 melepaskan tembakan. Akhirnya Gedung RRI bisa dikuasai secara sepenuhnya oleh Sintong dan anggotanya. Kemudian Sintong melaporkan lewat radio kepada Lettu Feisal Tanjung yang berada di Markas Kostrad bahwa RRI Pusat sudah diduduki. 26 Sarwo Edhie yang pada waktu itu sedang memantau keadaan dengan mendengarkan siaran radio juga mengetahui kabar dari Sintong, karena ia berada satu ruangan bersama Lettu Feisal Tanjung. Sarwo Edhie marah ketika mendengar berita dari Sintong, ia langsung memerintahkan Sintong untuk memeriksa kembali apakah semua benar-benar sudah diduduki. Sintong yang ketika itu mengetahui bahwa 26
ibid., hlm. 115.
64
ada suara tape recorder yang masih menyala akhirnya berniat menghancurkan pita rekamannya. Sarwo Edhie marah kepada Sintong karena ia mengira di dalam Gedung RRI masih ada aktivitas anggota PKI yang melakukan siaran menggunakan radio. Sintong yang berniat ingin merusak pita rekaman dicegah oleh salah satu pegawai RRI, Brigadir Jenderal Ibnu Subroto, yang kemudian tape recorder tesebut dimatikan secara teknis. Brigadir Jenderal Ibnu Subroto adalah Kepala Pusat Penerangan Angkatan Darat yang berada di Gedung RRI. Perintah untuk menduduki Gedung RRI diturunkan secara berjenjang. Perintah dari Sarwo Edhie kepada C. I. Santosa, kemudian ke Lettu Feisal Tanjung dan akhirnya kepada Sintong. Sarwo Edhie sebelumnya juga memerintahkan untuk mengamankan Brigadir Jenderal Ibnu Subroto jika telah berhasil menduduki sepenuhnya Gedung RRI. Akhirnya Gedung RRI dapat direbut kembali. Setelah dapat direbut, RRI Pusat Studio Jakarta untuk sementara waktu ditempatkan di bawah pengawasan TNI-AD dan SAB. 27 Brigadir Jenderal Ibnu Subroto setelah diamankan, kemudian memanggil petugas Gedung RRI untuk menyiapkan peralatan siaran. Berita yang disiarkan melalui studio Gedung RRI oleh Brigadir Jenderal Ibnu Subroto adalah pidato tertulis Mayor Jenderal Soeharto. Sintong dengan tegas mengatakan bahwa pidato Mayor Jenderal TNI Soeharto yang disiarkan melalui RRI Pusat pada tanggal 1 Oktober petang hari itu 27
Dinas Sejarah TNI-AD, op. cit., hlm. 154.
65
bukan berasal dari pita rekaman, melainkan dibacakan oleh Brigadir Jenderal TNI Ibnu Subroto.28 Sintong berada di sebelah kanan Brigadir Jenderal Ibnu Subroto ketika membacakan pengumuman pidato tertulis Mayor Jenderal Soeharto. Dinyatakan dalam pengumuman tersebut tentang adanya tindakan pengkhianatan oleh apa yang menamakan dirinya “Gerakan
30
September”
Presiden/Pemimpin
Besar
dan
tentang
Revolusi. 29
keselamatan Selanjutanya
diri
PYM
disiarkan
pengumuman mengenai kerja sama secara penuh antara AD, AL, AK untuk menumpas Gerakan 30 September, yang telah menculik para perwira tinggi dan melakukan usaha pengambilalihan kekuasaan negara. Serta pengumuman kepada masyarakat diharapkan agar tetap tenang dan waspada. Pengumuman tentang adanya kerja sama AD RI, AL, AK dibuat siang hari dan diumumkan lewat RRI setelah direbut, pengumuman No. 002/Peng/Pus/65.30 Sekitar pukul 19.20 Gedung RRI berhasil diambil alih oleh Sarwo Edhie dan pasukannya. 31 Kantor Telekomunikasi dalam waktu yang bersamaan juga dapat diambil alih. Kompi Kapten Urip berhasil menguasainya setelah pasukannya berhasil mengalahkan beberapa sukarelawan sipil Gerakan 30 September. Kompi Kapten Urip dapat 28
Hendro Subroto, op. cit., hlm. 116.
29
Dinas Sejarah TNI-AD, loc. cit., hlm. 154.
30
Komando Operasi Tertinggi, op. cit., hlm. 7.
31
Komando Operasi Tertinggi, Tjatatan Kronologis di Sekitar Peristiwa G30S, Jakarta: Seksi Penerangan, 1965, hlm. 7.
66
dengan mudah menguasai Kantor Telekomunikasi karena beberapa sukarelawan
sipil
Gerakan
30
September
kebingunan.
Karena
sukarelawan-sukarelawan itu sangat bingung apa yang harus mereka lakukan, dan juga tidak yakin apakah pasukan itu kawan atau lawan, mereka menunjukkan perlawanan kecil belaka.32 Setelah semua kompi melaporkan ke Markas Kostrad bahwa kedua tempat tersebut berhasil direbut, datanglah beberapa perwira RPKAD ke Gedung RRI. Hingga petang hari anggota Gerakan 30 September sudah tidak ada yang tersisa lagi di dalam kota.
C. Mengamankan Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma Sarwo Edhie sementara itu masih berada di Markas Kostrad bersama Mayor Jenderal Soeharto dan perwira-perwira lainnya. Setelah Gedung RRI dan Kantor Telekomunikasi berhasil dikuasai kembali oleh pasukan Angkatan Darat, Mayor Jenderal Soeharto masih berpikir untuk merencanakan pengalihan penyerangan. Sarwo Edhie yang tiba-tiba datang dan memasuki ruangan Markas Kostrad langsung menanyakan kepastian pelaksanaan menguasai Pangkalan Udara Halim. Mayor Jenderal Soeharto seketika itu langsung memerintahkan Sarwo Edhie dan pasukannya untuk menyiapkan penyerangan ke Pangkalan Udara Halim. Bersamaan dengan itu, Markas Kostrad dipindahkan ke Senayan
32
John Roosa, op. cit., hlm. 81.
67
sehubungan adanya informasi kalau AURI akan melakukan pemboman. 33 Pemindahan Markas Kostrad tersebut dilakukan secara berangsur-angsur pada pukul 23.55.34 Dua kompi yang dipimpin Letnan Kolonel Norman Sasono
dan juga
Batalyon 328
Kujang/Siliwangi
mengamankan
kepindahan Markas Kostrad dan Mayor Jenderal Soeharto ke Senayan. Sehubungan dengan informasi mengenai serangan balasan dari AURI ke Markas Kostrad mengakibatkan Sarwo Edhie dalam menyiapkan pasukannya menjadi sedikit tertunda selama satu jam. Pangkalan Udara Halim menjadi sasaran pasukan RPKAD berikutnya karena diketahui ditempat itu menjadi basis kekuatan Gerakan 30 September. Markas Kostrad juga mengetahui bahwa disana berkumpul para pemimpin PKI, seperti DN Aidit, Sjam Kamaruzaman, Latief, dan Letnan Kolonel Untung. Selain itu juga diperkirakan bahwa Presiden Soekarno juga berada di Pangkalan Udara Halim. Presiden Soekarno dalam pertemuannya disana membujuk kepada pemimpin-pemimpin Gerakan 30 September untuk menghentikan gerakannya agar tidak terjadi korban lebih banyak lagi. Sekitar pukul 20.00 Mayor Jenderal Soeharto melalui kurirnya mulai memberikan perintah-perintah kepada Presiden Soekarno agar segera pergi meninggalkan Pangkalan Udara Halim. Mayor Jenderal Soeharto menyatakan pasukannya akan menyerang pangkalan udara dan 33
Peter Kasenda, loc. cit., hlm. 162.
34
Komando Operasi Tertinggi, op. cit., hlm. 8.
68
membersihkan seluruh kekuatan Gerakan 30 September. 35 Markas Kostrad walaupun telah dipindahkan ke Senanyan tersebut menjadi sasaran pengeboman AURI jika Pangkalan Udara Halim diserang, Mayor Jederal Soeharto tetap memerintahkan Sarwo Edhie bersama pasukannya untuk menguasai Pangkalan Udara Halim. Presiden Soekarno yang lebih memikirkan akan sia-sia untuk tidak menuruti perintah Mayor Jenderal Soeharto akhirnya meninggalkan Pangkalan Udara Halim dengan menggunakan mobil. Keberangkatan Presiden Soekarno diiringi oleh dua mobil pengawal yang berada di depan dan di belakang mobil yang ditumpanginya. Dalam buku yang berjudul Sarwo Edhie Wibowo dan Misteri 1965 dijelaskan bahwa: Mobil pertama membawa Panglima Kepolisian Jenderal Soetjipto Joedodihardjo, di belakangnya menyusul mobil biru bernomor B-3739, dinaiki Presiden Soekarno, Wakil Perdana Menteri Dr. Leimena, dan Kolonel Bambang Widjanarko. Kendaraan paling akhir membawa Komandan Resimen Cakrabirawa, Brigadir Jenderal Mochamad Sabur dan wakilnya, Kolonel Maulwi Saelan. Ia tiba di Istana Bogor sekitar pukul 22.00. 36 Istana Halim merupakan tempat dimana Presiden Soekarno selalu menghabiskan waktu akhir pekannya. Setelah Presiden Soekarno meninggalkan langkah selanjutnya adalah menghadapi pasukan Angkatan Udara, dan juga pasukan dari Batalyon 454/Diponegoro, serta pasukan Cakrabirawa. Sekitar pukul 01.00, Panglima Kostrad Mayor Jenderal Soeharto 35
John Roosa, op. cit., hlm. 82.
36
ibid., hlm. 83.
69
memerintahkan Sarwo Edhie untuk menguasai Pangkalan Udara Halim, dengan
pesan
bahwa
sedapat
mungkin
menghindari
terjadinya
pertumpahan darah dan kerusakan material. 37 Operasi perebutan kekuasaan oleh Sarwo Edhie dan pasukannya hanya untuk anggota Gerakan 30 September. Tetapi jika terdapat kemungkinan mendapat serangan dari pihak Angkatan Udara maka Sarwo Edhie dan pasukannya juga akan melawannya. Serangan akan segera dilancarkan mulai dari strategi yang diusulkan Mayor C. I. Santosa yang pada saat itu masih bersiaga di Markas Kostrad menunggu perintah. Usulan Mayor C. I. Santosa didengarkan oleh Mayor Jenderal Soeharto dan perwira tinggi yang berada di dalam ruang Markas Kostrad, hadir juga disana Jenderal A. H. Nasution. Hendro Subroto dalam bukunya yang berjudul Sintong Panjaitan: Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando menjelaskan bahwa: Mayor C. I. Santosa mengusulkan agar Yonif 328/Para Kujang II yang B/P Garnisun Ibu Kota dan satu kompi tank Batalyon Kavaleri (Yonkav) 8/Tank Bigkav 1/Panser Kostrad, melakukan manuver di jalan Jakarta bypass untuk mengalihkan perhatian pertahanan Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdanakusuma ke arah kota. Mayor C. I. Santosa sebagai komandan Batalyon 1 RPKAD akan memimpin pasukannya memasuki Pangkalan Udara Halim dari arah timur dan utara melewati daerah Klender. Daerah Klender ada jalan sejajar
37
James Luhulima, op. cit., hlm. 129.
70
menuju Halim yang biasanya dipakai latihan militer oleh RPKAD. 38 Akhirnya usulan Mayor C. I. Santosa disetujui oleh Sarwo Edhie yang pada saat itu juga ikut berkumpul dalam ruangan. Sarwo Edhie kemudian memerintahkan Mayor C. I. Santosa untuk memimpin pasukannya menuju ke Pangkalan Udara Halim dahulu. Mayor C. I. Santosa memerintahkan lima kompi yang diangkut menggunakan truk dengan dikawal panser. Kelima kompi tersebut terdiri dari kompi Tanjung, Urip, Heru, Muchadi, dan Kayat. Pukul 01.30 kelima kompi itu berangkat dari Markas Kostrad di Jalan Merdeka Timur menuju Klender lewat depan Stasiun Gambir, Patung Tani, perempatan Pasar Senen, Kramat, dan Jatinegara. 39 Setelah sampai di daerah Klender, pasukan Sarwo Edhie tersebut langsung turun dari truk dan menuju pos masing-masing yang telah ditetapkan sebelumnya. Akhirnya pertempuran antara pasukan RPKAD dan anggota Gerakan 30 September terjadi. Lokasi pertempuran tersebut tidak jauh dari Pangkalan Udara Halim. Sarwo Edhie mengatakan kepada Mayor C. I. Santosa bahwa ia ingin bertemu Presiden Soekarno. Informasi yang diketahui Sarwo Edhie adalah bahwa Presiden Soekarno masih berada di Pangkalan Udara Halim. Keinginan Sarwo Edhie untuk bertemu Presiden Soekarno tersebut membuat Mayor C. I. Santosa memikirkan dua hal yang membuatnya dilema. Situasi Mayor C. I. Santosa yang berada dalam pertempuran harus 38
Peter Kasenda, loc. cit., hlm. 162.
39
Hendro Subroto, op. cit., hlm. 121.
71
memimpin pasukan anggota kompinya, atau harus melindungi keselamatan Sarwo Edhie. Sementara itu Kompi Kayat masih tetap bersiaga di titik penghentian yang telah ditetapkan di peta, daerah Klender. Mayor C. I. Santosa kemudian segera memerintakan Kompi Kayat sebagai Kompi Cadangan untuk melakukan pengawalan terhadap Komandan RPKAD. 40 Ia juga menyarankan Sarwo Edhie dalam perjalanannya menuju Pangkalan Udara Halim agar melalui Klender yang telah dibersihkan dari pasukan lawan. Namun dengan alasan mengejar waktu, Sarwo Edhie melewati Pondok Gede.41 Jalan yang melalui Pondok Gede itu juga langsung mengarah ke Pangkalan Udara Halim melewati pertigaan Hek. Sarwo Edhie berangkat dari Markas Komando RPKAD, Cijantung. Kompi Kayat yang bergerak dari Klender melewati Jakarta by pass langsung menemui Sarwo Edhie setelah sampai di pertigaan Hek. Kolonel Sarwo Edhie masuk pertigaan Hek dengan menumpang APC (Armoured Personnel Carrier) FV 603 Saracen Kompi B Yonkav 1/Panser Kostrad yang berstatus B/P pada RPKAD. 42 Jalan yang akan dilalui Sarwo Edhie dan pasukannya ternyata menjadi tempat berkumpul kompi Batalyon 454/Diponegoro. Batalyon 454 pada sore hari sebelumnya meninggalkan Gedung RRI dan menuju Pangkalan Udara Halim. Tetapi pasukan Batalyon 454 tersebut mendapati 40
ibid., hlm. 126.
41
Redaksi Tempo, op. cit., hlm. 7.
42
Hendro Subroto, loc. cit., hlm. 126.
72
pintu-pintu Pangkalan Udara Halim tertutup. Pasukan PGT yang menjaga pintu masuk pangkalan bertindak tegas melarang masuk siapapun kecuali AURI. Pencegahan yang dilakukan oleh pasukan PGT terhadap pasukan Batalyon 454 ini dikarenakan keadaan sedang bahaya dan AURI tidak ingin Pangkalan Udara Halim terkena serangan dari luar. Dilarang memasuki Halim, mereka melewatkan malam dengan berkeliaran di sepanjang jalan antara pangkalan udara dan Lubang Buaya. 43 Jalur yang akan dilalui Sarwo Edhie belum disterilkan dari musuh. Akhirnya kontak senjata terjadi ketika rombongan Sarwo Edhie melewati jalur tersebut. Sebuah peluru melesat tidak jauh dari Sarwo Edhie. 44 Panser yang membawa pengawal Sarwo Edhie mendapat tembakan basoka. Sarwo Edhie dan pasukannya lalu menyingkir ke Pos Komando di Pondok Gede.45 Semua kendaraan berhenti dan Sarwo Edhie bersama pengawalnya langsung
mengambil posisi tiarap.
Sarwo
Edhie
memerintahkan
pengawalnya melambaikan baret sebagai tanda pengenal untuk agar tidak menembak. Tetapi yang terjadi prajurit tersebut terkena tembakan. Mendengar terjadinya pertempuran, Mayor C. I. Santosa yang sedang berada di utara Pangkalan Udara Halim itu segera meluncur ke arah Jatiwaringin menuju Pondok Gede. 46 Mayor C. I. Santosa
43
John Roosa, op. cit., hlm. 83.
44
ibid.
45
Redaksi Tempo, loc. cit., hlm. 7.
46
James Luhulima, op. cit., hlm. 135.
73
meninggalkan pasukan kompinya yang sedang mendesak lawan untuk memasuki
kompleks
Pangkalan
Udara
Halim.
Usaha
tersebut
dilakukannya karena Mayor C. I. Santosa sebagai Komandan Batalyon 1 RPKAD mendapat tanggung jawab untuk melindungi Sarwo Edhie dalam perjalanannya ke Pangkalan Udara Halim. Suara tembakan terdengar jelas dari hanggar Skatek, tempat dimana Komodor Udara Dewanto dan ajudannya, Kapten Udara Kundimang berada. 47 Perwira tinggi maupun perwira pertama AURI itu adalah mantan penerbang P-51 Mustang Skadron 3/Pemburu.48 Ketika itu hanggar Skatek sudah dikuasai oleh sebagian pasukan RPKAD. Kemudian melalui izin dari seorang sersan mayor RPKAD, Komodor Udara Dewanto mengajak Kapten Udara Kundimang untuk menghentikan pertempuran. Komodor Udara Dewanto dan Kapten Udara Kundimang berangkat dengan menggunakan kendaraan Jip Nissan Patrol. Kedua perwira AURI tersebut akan menemui Wakil Komandan Batalyon 454, Kapten Infanteri Koentjoro. Pembicaraan terjadi setelah mereka bertemu, dan Komodor Udara Dewanto memerintahkan Kapten Infanteri Koentjoro agar anak buahnya menghentikan pertempuran dengan pasukan Sarwo Edhie. Kapten Infanteri Koentjoro memenuhi perintahnya dan langsung menuju anak buahnya, tidak lama kemudian pertempuran mereda.
47
ibid.
48
Hendro Subroto, loc. cit., hlm. 121.
74
Kapten Infanteri Koentjoro segera melapor kembali kepada Komodor Udara Dewanto. Komodor Udara Dewanto ingin menemui Sarwo Edhie, namun ia dicegah oleh Kapten Infanteri Koentjoro agar sebaiknya dikirim kurir terlebih dulu. Kapten Infanteri Koentjoro menawarkan anak buahnya dijadikan kurir untuk mengantar surat Komodor Udara Dewanto, tetapi Komodor Udara Dewanto menjawab biar anggota AURI saja yang menyampaikan surat tersebut.49 Kapten Udara Kundimang sebagai ajudan Komodor Udara Dewanto diperintahkan mengantar surat kepada Sarwo Edhie dengan didampingi salah satu anggota PGT (Pasukan Gerak Tjepat). Kapten Udara Kundimang akhirnya sampai di depan pertahanan pasukan RPKAD dengan bendera putih yang dibawa penawalnya. Bendera putih yang dibawa oleh anggota PGT itu menjadi isyarat yang harus dipatuhi. 50 Adanya bendera putih tersebut maka pasukan RPKAD tidak boleh melepaskan tembakan walaupun Kapten Udara Kundimang dan anggota PGT berasal dari arah kawasan lawan. Setelah sampai di garis pertahanan terdepan pasukan RPKAD, Kapten Udara Kundimang bertemu Mayor Goenawan. Kapten Udara Kundimang segera mengambil surat dari saku bajunya, dan mengemukakan bahwa ia mendapat tugas dari AURI untuk menyampaikan surat kepada Komandan RPKAD, Kolonel Infanteri
49
James Luhulima, op. cit., hlm. 137.
50
ibid., hlm. 138.
75
Sarwo Edhie Wibowo.51 Mayor Goenawan langsung memerintahkan anggotanya untuk menyampaikan surat tersebut kepada Sarwo Edhie yang berada di belakang. Kapten Udara Kundimang dan anggota PGT kemudian berpamitan dan memberi hormat kepada Mayor Goenawan. Tiba kembali di daerah pasukan Batalyon 454 Kapten Udara Kundimang langsung menghadap Komodor Udara Dewanto dan melaporkan informasi. Komodor Udara Dewanto bisa menemui Sarwo Edhie setelah pasukan RPKAD memberikan tanda isyarat. Setelah mendapat tanda isyarat, Komodor Udara Dewanto bersama rombongannya kemudian berangkat menuju ke kawasan pasukan RPKAD dan bertemu dengan Sarwo Edhie. Komodor Udara Dewanto mengungkapkan hasil pembicaraannya dengan Kapten Infanteri Koentjoro, ia juga menginginkan adanya gencatan senjata. Ia juga mengundang Sarwo Edhie untuk berkunjung ke Pangkalan Udara Halim dan memintanya untuk menemui Laksamana Muda Sri Mulyono Herlambang. Akhirnya Sarwo Edhie setuju untuk memenuhi permintaan Komodor Udara Dewanto agar menemui Laksamana Muda Sri Mulyono Herlambang.52 Sarwo Edhie kemudian memerintahkan Mayor Goenawan untuk berangkat terlebih dulu bersama Komodor Udara Dewanto. Sarwo Edhie akan menyusulnya setelah Mayor Goenawan berangkat.
51
ibid., hlm. 138-139.
52
Peter Kasenda, op. cit., hlm. 163.
76
Komodor Udara Dewanto tidak lama kemudian telah sampai kembali ke daerah sektor pasukan Batalyon 454. Kapten Infanteri Koentjoro bertemu Komodor Udara Dewanto dan menyatakan akan menarik mundur pasukannya. Komodor Udara Dewanto, Mayor Infanteri Goenawan, Kapten Udara Kundimang, dan dua anggota PGT lalu memasuki PAU Halim Perdanakusuma.53 Tidak lama kemudian Sarwo Edhie bersama ajudan dan pengawalnya datang ke Pangkalan Udara Halim. Sarwo Edhie didampingi oleh Letnan I Widodo, Sersan I Djoemadi, bintara PHB, serta beberapa pengawal. Laksamana Muda Udara Sri Mulyono Herlambang, Komodor Udara Dewanto, Komodor Udara Susanto, Kolonel Udara Wisnu Djajengminardo, dan Mayor Infantri Goenawan yang berada di Markas Koops keluar menyambut.54 Sarwo Edhie bersama pendamping dan para pengawalnya langsung dipersilakan masuk dan saling berjabat tangan. Tidak ada ketegangan dan tanpa ada masalah dalam pertemuan itu karena memang merupakan pertemuan yang telah direncanakan. Pangkalan Udara Halim sebelum Sarwo Edhie datang dijaga ketat oleh pasukan RPKAD. Hanggar Skadron Tehnik 21 dijaga Kompi Tanjung dan Kompi Urip melakukan pengamanan sampai ujung landasan timur laut dan kearah kebun karet. Kompi Muchadi melakukan penjagaan di sekitar landasan pacu, hanggar Skadron 31/Angkut Berat dan hanggar Skadron 53
James Luhulima, op. cit., hlm. 142.
54
Hendro Subroto, loc. cit., hlm. 121.
77
17/VIP. Sedangkan Kompi Heru menjaga menara pengawas/tower, daerah perkantoran, dan Markas Komando Operasi. Pasukan Sarwo Edhie dibawah pimpinan Mayor C. I. Santosa tersebut telah berhasil menjaga sarana-sarana penting di sekitar halaman Pangkalan Udara Halim. Tanggal 2 Oktober 1965 pukul 06.10 Pangkalan Udara Halim telah berhasil dikuasai oleh RPKAD.55 Sesuai dengan isi perintah, tugas utama RPKAD agar jangan ada satu pun pesawat AURI yang tinggal landas dari pangkalan udara itu.56 Hal ini bertujuan untuk menjaga agar tidak ada usaha seseorang dari Pangkalan Udara Halim untuk melarikan diri. Tetapi walaupun pasukan RPKAD melaksanakan tugas tersebut, jika ada pesawat yang akan tinggal landas harus mendapat izin dulu dari posko RPKAD di Pangkalan Udara Halim. Para pemimpin Gerakan 30 September pada waktu itu juga sudah tidak berada lagi di Pangkalan Udara Halim. Sebagian dari mereka melarikan diri ke selatan di Lubang Buaya. Di sini mereka membahas situasi yang ada dengan para perwira Batalyon 454 dan anggota PKI yang ikut serta dalam Gerakan 30 September. 57 Ketua CC PKI, DN Aidit, dan Menteri Panglima Angkatan Udara RI, Laksamana Madya Omar Dhani telah
meninggalkan
Pangkalan
Udara
Halim
pada
malam
hari
menggunakan pesawat. Sjam Kamaruzaman, Latif, dan Brigadir Jenderal 55
Komando Operasi Tertinggi, op. cit., hlm. 7.
56
Hendro Subroto, loc. cit., hlm. 127.
57
John Roosa, op. cit., hlm. 83.
78
Supardjo melarikan diri ke pusat kota. Sedangkan Letnan Kolonel beserta prajurit-prajurit pengawal istana menuju Jawa Tengah. Pembubaran diri tersebut dikarenakan keadaan ibukota Jakarta tidak dapat dipertahankan dan dimanfaatkan kembali. Pasukan RPKAD setelah berhasil memasuki Pangkalan Udara Halim, Sarwo Edhie langsung melaporkan kepada Mayor Jenderal Soeharto mengenai perkembangan di Pangkalan Udara Halim. Pertemuan antara Sarwo Edhie dengan Laksamana Muda Udara Sri Mulyono Herlambang adalah untuk membahas mengenai keberadaan Presiden Soekarno. Laksamana Muda Udara Sri Mulyono Herlambang menjelaskan kepada Sarwo Edhie bahwa Presiden Soekarno sudah berada di Istana Bogor untuk menjalani rapat. Ia meyakinkan dirinya bahwa Presiden Soekarno benar-benar sudah pergi dan Halim tidak lagi menjadi ancaman bagi Angkatan Darat.58 Laksamana Muda Udara Sri Mulyono Herlambang juga memberi tahu Sarwo Edhie bahwa pada siang hari itu juga ia akan terbang ke Bogor untuk memenuhi panggilan Presiden Soekarno. Sekitar pukul 14.30 keluar sebuah Pengumuman AURI No. 446/Pen/1965 tanggal 2 Oktober 1965 jam 14.00 FC 18 lampiran 1 helai. 59 Pengumuman tersebut
58
Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa AURI akan melakukan serangan udara terhadap Markas Kostrad yang berada di Jalan Merdeka Timur jika Angkatan Darat memang benar-benar akan menyerang Pangkalan Udara Halim. Sehingga Markas Kostrad harus dipindahkan ke Senayan sebelum pemberangkatan pasukan RPKAD dan Sarwo Edhie menuju Pangkalan Udara Halim. 59
Komando Operasi Tertinggi, op, cit., hlm. 13.
79
berisi bahwa AURI tidak tahu-menahu tentang susunan dan tujuan Dewan Revolusi. Selai itu juga berisi tentang himbauan kepada seluruh warga AURI agar tetap waspada dan patuh menunggu perintah dari Presiden Soekarno. Pertemuan di Pangkalan Udara Halim tersebut diakhiri dengan persiapan
keberangkatan
Laksamana
Muda
Udara
Sri
Mulyono
Herlambang dan Komodor Udara Dewanto, serta Kolonel Sarwo Edhie yang didampingi Mayor Goenawan. Penerbangan tersebut menggunakan 1 kendaraan helikopter. Pesawat yang tinggal landas adalah helikopter Kepresidenan Sikorsy S-61V H-110 menuju Istana Bogor.60 Sarwo Edhie menyampaikan laporan kepada Mayor Jenderal Soeharto di Markas Kostrad bahwa ia akan menemui Presiden Soekarno. Sarwo Edhie juga akan memberikan wewenang penuh kepada Mayor C. I. Santosa untuk mengambil segala tindakan yang diperlukan jika sampai pukul 17.00 Sarwo Edhie belum kembali ke Pangkalan Udara Halim. Situasi pertempuran masih terjadi di daerah sekitar Lubang Buaya antara pasukan RPKAD dan pasukan Batalyon 454 yang terdesak mundur. Dalam pertempuran tersebut komandan Batalyon 454 memberikan informasi kepada AURI, bahwa mereka tidak akan melakukan gencatan senjata dan terus melawan pasukan RPKAD jika tidak ada perintah
60
ibid.
80
langsung dari Presiden Soekarno.61 Informasi tersebut diterima oleh Laksamana Muda Udara Sri Mulyono Herlambang dan kemudian disampaikan kepada Sarwo Edhie. Sarwo Edhie selanjutnya akan menyampaikan informasi tersebut kepada Presiden Soekarno ketika ia menemui di Istana Bogor. Siang hari itu juga Sarwo Edhie telah sampai di Istana Bogor. Sarwo Edhie menunggu selama satu jam karena Presiden Soekarno sedang menerima Panglima Divisi Siliwangi, Ibrahim Adjie. 62 Setelah satu jam berselang, Sarwo Edhie dipersilakan masuk ke dalam kantor. Presiden Soekarno langsung menjelaskan kepada Sarwo Edhie bahwa kedudukan tertinggi Panglima Angkatan Bersenjata berada di tangannya. Segala sesuatu yang terjadi dalam ABRI adalah merupakan permasalahan yang tidak perlu dibesar-besarkan. Presiden Soekarno kepada Sarwo Edhie menyatakan bahwa penjemputan secara paksa dan pembunuhan terhadap para perwira tinggi tersebut hanyalah sebagian kecil dari sebuah revolusi yang besar. Pada waktu yang bersamaan Sarwo Edhie menyatakan bahwa Komandan Batalyon 454 mau memerintahkan pasukannya meletakkan senjata apabila Presiden Soekarno mengeluarkan surat perintah resmi. Presiden
Soekarno
memenuhi
pernyataan
61
Sarwo
Edhie
dengan
Percakapan antara mantan Menteri Panglima Angkatan Udara, Laksamana Muda Udara Sri Mulyono Herlambang, dengan Detak Files. Lihat Eros Djarot, dkk, Siapa Sebenarnya Soeharto: Fakta dan Kesaksian Para Pelaku Sejarah G-30-S/PKI, Jakarta: Mediakita, 2006, hlm. 52. 62
Peter Kasenda, loc. cit., hlm. 163.
81
memerintahkan ajudannya, Brigadir Jenderal Sabur, untuk menyiapkan surat yang akan diberikan kepada Brigadir Jenderal Supardjo. Brigadir Supardjo adalah seorang wakil komandan dalam peristiwa Gerakan 30 September. Surat perintah tersebut berisi mengenai perintah berhenti melakukan serangan kepada pasukan Batalyon 454 yang pada dasarnya terlibat dalam Gerakan 30 September. Setelah surat selesai dibuat, Sarwo Edhie mendapatkan surat tembusan. Sedangkan surat yang asli diserahkan kepada Laksamana Muda Udara Sri Mulyono Herlambang untuk kemudian diberikan kepada Brigadir Jenderal Supardjo. Menjelang sore hari pertemuan antara Sarwo Edhie dengan Presiden Soekarno di Istana Bogor selesai. Sarwo Edhie bersama Mayor Goenawan kembali lagi ke Pangkalan Udara Halim. Sebelum pukul 17.00 Sarwo Edhie dan Mayor Goenawan telah tiba di Pangkalan Udara Halim. Sehingga wewenang penuh yang akan diberikan kepada Mayor C. I. Santosa tidak jadi diberikan oleh Sarwo Edhie. Keadaan Pangkalan Udara Halim juga sudah tenang. Sebagian Batalyon 454 menyerahkan diri, dan sisanya lari dari Halim. 63 Lebih tepatnya pertempuran tersebut telah usai setelah sekitar pukul 16.30 Sarwo Edhie datang dari Istana Bogor membawa surat perintah tersebut. Setelah itu segera agar sebagian dari pasukan Batalyon 454 tersebut diperintahkan untuk berkumpul. Sarwo Edhie setelah kembali di Pangkalan Udara Halim mendapat perintah dari Mayor Jenderal Soeharto. Mayor Jenderal Soeharto
63
ibid.
82
memerintahkan Sarwo Edhie untuk menarik pasukan-pasukannya dari Pangkalan Udara Halim dan segera melakukan pencarian para perwira tinggi yang menjadi korban pembunuhan. Seluruh kompi yang ditugaskan untuk berjaga-jaga di Pangkalan Udara Halim mulai ditarik dan mendapat perintah untuk menuju Lubang Buaya. Para pasukan RPKAD mulai meninggalkan Pangkalan Udara Halim sejak pukul 22.00. Lubang Buaya yang digunakan sebagai markas para anggota Gerakan 30 September tersebut berlokasi tidak jauh dari Pangkalan Udara Halim. Sarwo memerintahkan Mayor C. I. Santosa untuk memimpin pasukan RPKAD dalam pencarian dan menemukan jenazah para korban penculikan. Perintah tersebut mulai dilaksanakan pada malam hari itu juga, kemudian dilanjutkan esok harinya pada tanggal 3 Oktober 1965.
BAB IV PENUMPASAN GERAKAN 30 SEPTEMBER DI JAWA TENGAH
A. Penumpasan Gerakan 30 September di Semarang 1.
Sekilas Keadaan Semarang Selagi kekuatan pihak kup ditumpas secara kilat di Jakarta,
pertempuran bersenjata masih terjadi di Jawa Tengah, karena disana terdapat sejumlah daerah dan kota yang masih berada di bawah kekuasaan PKI.1 Pada saat yang bersamaan dengan situasi di Jakarta, terjadi sebuah perlawanan antara militer dengan para pendukung Gerakan 30 September di Semarang. Peristiwa kup tanggal 1 Oktober 1965 di Jakarta, menjalar dengan cepat ke daerah Kodam VII/Diponegoro.2 Brigadir Jenderal Suryo Sumpeno selaku Panglima Kodam VII/Diponegoro berhasil melarikan diri ke Magelang, namun kedudukannya berhasil diambil alih Kolonel Sahirman. Pada pukul 13.00 tanggal 1 Oktober 1965 melalui RRI Semarang, Asisten I Kodam VII/Diponegoro, Kolonel Sahirman,
1
Green Marshall, “Indonesia: Crisis and Transformation 19651968”. a.b. Tim Penerjemah Grafiti, 1992, Dari Sukarno ke Soeharto: G30S-PKI dari Kacamata Seorang Duta Besar, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1990, hlm. 55. 2
Robert Cribb, The Indonesian Killings: Pembantaian PKI di Jawa dan Bali 1965-1966, Yogyakarta: Mata Bangsa, 2000, hlm. 266.
83
84
mengumumkan dukungannya terhadap G30S/PKI Daerah Tingkat I Jawa Tengah.3 Kolonel Sahirman segera menguasai Kodam VII/Diponegoro setelah
mengambil
alih
kedudukan
pimpinan
dalam
Kodam
VII/Diponegoro. Markas Kodam tersebut akan digunakan sebagai pusat gerakannya. Kolonel Sahirman menggunakan pasukan dari Batalyon K yang dipimpin oleh Mayor Kadri dan Batalyon D yang dipimpin oleh Mayor Soepardi. Kedua batalyon yang masing-masing berasal dari Solo dan Salatiga tersebut akan digunakan sebagai pasukan pelindung di daerah sekitar Markas Kodam VII/Diponegoro. Selanjutnya Kolonel Sahirman mengumumkan bahwa Letnan Kolonel Usman Sastrodibroto mengambil alih pimpinan
Kodam VII/Diponegoro.4
Letnan Kolonel Usman
Sastrodibroto adalah Asisten IV mengepalai kelompok fungsional sipil yang yang berada di Markas Kodam VII/Diponegoro. Sehari kemudian sebanyak lima dari tujuh batalyon infanteri yang terdapat di Jawa Tengah ingin bergabung kembali dan menyatakan kesetiaanya kepada Brigadir Jenderal Suryo Sumpeno. Kelima batalyon infanteri tersebut juga menyatakan akan kembali setia kepada Presiden Soekarno. Brigadir Jenderal Suryo Sumpeno tidak langsung meyakini pernyataan tersebut karena situasi dan keadaan di Jakarta, terutama Kota 3
Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia VI: Zaman Jepang dan Zaman Republik Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1992, hlm. 490. 4
ibid., hlm 491.
85
Semarang yang sedang tidak aman. Brigadir Jenderal Suryo Sumpeno meragukan loyalitas mereka sehingga ia bermaksud mengirim pasukanpasukan tersebut ke posisi tempur di Sumatera dalam menghadapi Malaysia. 5 Keadaan seperti ini mengakibatkan kedudukan Brigadir Jenderal Suryo Sumpeno di Kota Semarang menjadi lemah karena Markas Kodam VII/Diponegoro sudah dikuasai anggota gerakan PKI. Selain itu juga brigade-brigade dibawah kekuasaan Kodam VII/Diponegoro sebagian sudah dimanfaatkan oleh anggota PKI. Keberadaan Biro Khusus PKI dinilai sudah mampu melumpuhkan seluruh Komando Resor Militer (Korem) di Jawa Tengah guna menggunakan pasukan maupun kesatuan untuk mendukung kepentingan PKI. Untuk mengatasi kondisi tersebut, pada tanggal 1 Oktober 1965 Pangdam VII/Diponegoro, Mayor Jenderal Suryo Sumpeno mengadakan brifing dengan komandan-komandan setempat di Magelang.6 Tanggal 2 Oktober 1965 Mayor Jenderal Suryo Sumpeno kembali lagi dari Magelang menuju Semarang dengan membawa pasukan dua Peleton Kavaleri Barisan Tentara Rakyat (BTR) dan satu Rai Armada Medan (Armed). 5
Peter Kasenda, Sarwo Edhie Wibowo dan Operasi Militer: Penghancuran Gestapu/dan Pendobrak Orde Lama, Prisma, 1991, hlm. 164. 6
Bahrudin Supardi, Biografi Sarwo Edhie Wibowo: Kebenaran di Atas Jalan Tuhan, Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 2012, hlm. 177.
86
Penguasaan Markas
Kodam VII/Diponegoro oleh Kolonel
Sahirman dan pasukannya berlangsung tidak lama karena Markas Kodam tersebut mendapat kepungan pasukan ABRI yang dipimpin Mayor Jenderal Suryo Sumpeno dari Magelang. Kolonel Sahirman dan sebagian anggota pasukannya berhasil melarikan diri ke luar kota.7 Dua kompi dari Batalyon K yang dipimpin oleh Mayor Kadri juga berasil melarikan diri ke luar kota. Namun Batalyon D dapat dicegah dan berhasil disadarkan oleh ABRI. Akhirnya mulai tanggal 5 Oktober Markas Kodam VII/Diponegoro telah berhasil dikuasai kembali oleh pasukan ABRI. Situasi Kota Semarang yang sudah pulih kembali dibawah komando Kodam VII/Diponegoro tampak tenang-tenang saja. 2.
Penumpasan Gerakan 30 September di Semarang Panglima Kostrad, Mayor Jenderal Soeharto, yang mengetahui
situasi di Semarang langsung memerintahkan RPKAD menuju Jawa Tengah. Pasukan RPKAD dikirim ke Jawa Tengah bertujuan untuk melakukan operasi pemulihan keamanan dan ketertiban dan membersihkan Gerakan 30 September beserta Dewan Revolusi di Jawa Tengah. Sarwo Edhie akan menggerakkan pasukannya dari Jakarta menuju ke Jawa
7
Kolonel Sahirman akhirnya berhasil ditembak mati oleh pasukan RPKAD yang dipimpin Letda Dawud pada pertengahan bulan Desember di sekitar daerah Merapi-Merbabu. Sebelumnya pada tanggal 1 Desember 1965, Sarwo Edhie telah membuat gerakan Operasi Merapi dibawah komandonya dan menunjuk Mayor C. I. Santosa sebagai pimpinan pelaksananya untuk melakukan pengejaran kelompok Kolonel Sahirman yang melarikan diri ke Pengunduran di Merapi-Merbabu. Lihat Bahrudin Supardi, ibid., hlm. 178-181.
87
Tengah usai melaksanakan tugas di Lubang Buaya dalam pencarian dan menemukan para perwira tinggi AD korban penculikan. Pada tanggal 18 Oktober Batalyon 1 RPKAD di bawah pimpinan Mayor C. I. Santosa diberangkatkan ke Jawa Tengah guna membantu Kodam VII/Diponegoro untuk melakukan Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban.8 Kekuatan Batalyon 1 RPKAD tersebut berkekuatan lima kompi, diantaranya adalah Kompi Tanjung, Kompi Oerip, Kompi Ramelan, dan Kompi Kayat. Selain itu Kompi tersebut juga diperkuat dengan Kompi B Yonkav 1/Panser Brikav 1 Kostrad dan satu Peleton Polisi Militer AD (Pomad) Para yang berstatus B/P dan disertai dengan satu unit mobil penerangan.9 Komandan RPKAD Kolonel Sarwo Edhie Wibowo berangkat mendahului Batalyon 1, menggunakan Toyota Kanvas dengan dikawal oleh Peleton 1 dibawah pimpinan Sintong.10 Perjalanan Sarwo Edhie bersama pasukan-pasukannya dari Jakarta menuju Semarang didukung oleh satu kompi peralatan Angkatan Darat. Hal ini dilakukan karena perjalanan yang jauh sehingga kendaraan yang sedikitnya terdiri dari 80 truk yang masih baru harus mendapatkan perawatan. Selain itu sejumlah mobil Toyota Kanvas dan satu kompi
8
Hendro Subroto, Sintong Panjaitan: Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando, Jakarta: Kompas, 2009, hlm. 137. 9
Agar lebih jelasnya, lihat lampiran 5 mengenai Rekapitulasi: Senjata dan Kendaraan Berdasarkan P. 0. NO. 004 TGL. 1015090065. 10
Hendro Subroto, op. cit., hlm. 138.
88
kavaleri panser yang akan menyusul ke Semarang dengan kereta api. 11 Semua kendaraan yang dibawa pasukan RPKAD menuju Jawa Tengah tersebut berstatus B/P. Sarwo Edhie bersama Peleton 1 pimpinan Sintong terlebih dahulu telah sampai di Semarang. Ketika RPKAD tiba di Semarang, gelombang aksi massa revolusioner mengganyang Gerakan 30 September pada hari Rabu pagi sebelum fajar.12 Ribuan rakyat Semarang pada pagi hari telah teratur berkumpul akan berdemonstrasi mendatangi gedung-gedung, kantor-kantor dan sekolah-sekolah yang mereka anggap sebagai sarang antek-antek PKI. Hendro Subroto dalam bukunya yang berjudul Sintong Panjaitan: Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando menjelaskan bahwa menurut Sintong: Golongan Naionalis, agama, dan para pemuda melakukan pembakaran terhadap gedung PKI, Gerwani, Baperki, gedung perkumpulan ChinaKomunis CHTH (Cunghwa Tjunghwi), sekolah-sekolah komunis, dan beberapa pabrik rokok kretek pendukung G30S/PKI. Hari pertama tiba di Semarang setelah melakukan pawai kedatangan, Sarwo Edhie dan pasukannya langsung berkumpul di sekitar markas Kodam VII/Diponegoro yang keadaannya mulai pulih. Semua pasukan RPKAD dikumpulkan dan Sarwo Edhie memperkenalkan kepada Brigadir Jenderal Suryo Sumpeno. Pertemuan tersebut berlangsung tidak
11 12
ibid.
Suara Merdeka, 21 Oktober 1965, Gelombang Massa-Aksi Rakjat Semarang Melanda G30S, hlm. 3.
89
lama karena Sarwo Edhie langsung membicarakan tentang strategi penumpasan. Setelah menerima brifing dari Komandan RPKAD dan Pangdam
VII/Diponegoro,
maka
diaturlah
rencana
gerakan
dan
penempatan pasukan.13 Usaha pencarian dan pengejaran dimulai dari mendatangi rumah-rumah di desa yang diduga menjadi tempat berkumpul pendukung Gerakan 30 September. Dalam gebrakan pertama berhasil ditahan sekitar 1.050 orang yang dicurigai dan berbagai barang bukti disita. 14 Masyarakat yang diduga PKI yang tinggal di desa pada umumnya tidak melawan saat pasukan RPKAD mendatangi rumah-rumah mereka karena kalah dalam persenjataan. Mereka langsung dibawa ke sebuah rumah kosong di sebuah perkebunan untuk ditahan. Semua yang ditahan tersebut selanjutnya disortir siapa saja yang aktivis dan siapa yang hanya anggota pasif dan ikut-ikutan saja. Aktivis PKI pada umumnya langsung dieksekusi mati sedangkan yang anggota PKI yang pasif harus dipenjara tanpa peradilan. Pergerakan pasukan Sarwo Edhie segera menuju Markas Kodam VII/Diponegoro
untuk
operasi
konsolidasi.
Pasukan
RPKAD
membersihkan Corps Diponegoro, terutama Batalyon KLMC yang belum dapat dipercaya dengan mendatangi daerah-daerah dimana batalyon
13
Robert Cribb, The Indonesian Killings: Pembantaian PKI di Jawa dan Bali 1965-1966, Yogyakarta: Mata Bangsa, 2000, hlm. 270. 14
Peter Kasenda, op. cit., hlm. 165.
90
tersebut berada.15 Operasi ini dilakukan bertujuan untuk menyadarkan para pasukan dari batalyon-batalyon Kodam VII/Diponegoro yang telah diperalat pimpinannya untuk mendukung Gerakan 30 September. Sarwo Edhie menceritakan kepada masyarakat anti PKI di Semarang mengenai usahannya dalam memimpin pasukannya merebut Gedung RRI dan Kator Telekomunikasi di Jakarta. 16 Usaha Sarwo Edhie menceritakan peranannya bersama pasukannya di Jakarta bertujuan memberikan ketenangan kepada masyarakat anti PKI agar tidak takut dengan massa PKI di Semarang. Sarwo Edhie menanamkan kesadaran kepada masyarakat betapa bahayanya PKI. Rakyat harus ikut serta dalam usaha penumpasan G30S/PKI yang dilakukan oleh ABRI. 17 Masyarakat anti PKI menjadi lebih tenang dengan kehadiran pasukan RPKAD di Semarang. Tujuan Sarwo Edhie ke Jawa Tengah sendiri sebetulnya bukan untuk mencari kemenangan, tetapi mencoba membangkitkan semangat rakyat untuk melawan Gestapu/PKIdan menunjukkan siapa sebenarnya yang berada di balik peristiwa Gerakan 30 September.18
15
Resimen Para Komando Angkatan Darat, Sarwo Edhie Wibowo, Formulir – Berita yang dikirimkan oleh Kolonel Sarwo Edhie Wibowo kepada Pang Kostrad dan Pang Dam VII/Diponegoro, disalin dari Museum Mandala Bhakti Semarang pada 11 Maret 2014. 16
Suara Merdeka, 23 Oktober 1965, Lemparan Baret Merah RPKAD Lumpuhkan Lawan, hlm 3. 17
Bahrudin Supardi, op. cit., hlm. 187.
18
Peter Kasenda, op. cit., hlm. 166.
91
Menghadapi situasi yang lebih tertekan seperti ini massa komunis tidak tinggal diam. Mereka mencoba membangkitkan sentimen anti-Cina dengan cara membakar toko dan rumah Cina di Pekojan. 19 Usaha tersebut dilakukan untuk membuat suasana menjadi lebih tegang. Mengetahui terdapat kabar tersebut Sarwo Edhie memerintahkan pasukannya untuk melakukan patroli, disamping usahanya melakukan operasi pembersihan. Tanggal 20 Oktober, Pangdam VII/Diponegoro mulai membekukan gerakan-gerakan massa pendukung Gerakan 30 September. Keputusan Brigadir
Jenderal
Suryo
Sumpeno,
selaku
pelaksana
Dwikora,
membekukan PKI dan ormas-ormas dibawahnya menyebabkan pendukung Gerakan 30 September mulai mengadakan pemogokan. 20 Semua aktivitas masyarakat yang berhubungan dengan PKI ditutup dan diberhentikan. Pada 21 Oktober, tiga kompi RPKAD bergerak menuju Magelang, keamanan kota Semarang diserahkan kepada sebagian pasukan yang ditinggalkan.21 Wakil Komandan Batalyon 3 RPKAD, Mayor Subechi, mendapatkan tugas memimpin satu kompi ditinggalkan di Semarang. Sarwo Edhie memerintahkan Mayor Subechi bersama anggotanya yang tinggal di Semarang untuk berjaga-jaga di pos-pos yang telah didirikan ketika pertama kali datang. Mereka dibantu kelompok-kelompok 19
ibid., hlm. 165.
20
ibid.
21
Antonius Sumarwan, Menyeberangi Sungai Air Mata: Kisah Tragis Tapol ’65 dan Upaya Rekonsiliasi, Yogyakarta: Kanisius, 2007, hlm. 337.
92
masyarakat Semarang yang anti PKI. Sebagian besar pasukan RPKAD meninggalkan kota tersebut karena rakyat Semarang dan ABRI telah menemukan kembali semangat revolusi, selain itu screening personil Kodam VII sudah mulai dilaksanakan. 22 Patroli jalan di kota Semarang juga dilakukan pada malam hari untuk mencari sisa-sisa massa PKI yang masih ada. Jam malam mulai diberlakukan di Kota Semarang. Komandan Kodim 0733 Semarang mengumumkan bahwa tanggal 27 Oktober 1965 di daerah hukum Garnizun/Kotamadya Semarang dinyatakan berlaku jam malam. 23 Jam malam tersebut dimulai dari jam 23.00-04.30. Komandan Kodim 0733 menyatakan jam malam karena adanya pertimbangan bahwa Daerah Tingkat 1 Jawa Tengah dan Yogyakarta dalam keadaan perang. Dalam hal ini maksud dari dikeluarkannya jam malam adalah bertujuan untuk mengintensifkan keamanan di Kota Semarang. Berita jam malam tersebut dapat diterima masyarakat luas setelah diumumkan melalui RRI Semarang. Sehingga ketika dinyatakan jam malam, semua masyarakat yang merasa tidak mendukung Gerakan 30 September maupun yang ikut serta dalam penumpasan akan tetap berada di dalam rumah masingmasing. 22
Resimen Para Komando Angkatan Darat, Sarwo Edhie Wibowo, Formulir – Berita yang dikirimkan oleh Kolonel Sarwo Edhie Wibowo kepada Pang Kostrad dan Pang Dam VII/Diponegoro, disalin dari Museum Mandala Bhakti Semarang pada 11 Maret 2014. 23
Suara Merdeka, 27 Oktober 1965, Djam Malam di Semarang Mulai Hari ini, hlm 3.
93
Pasukan RPKAD melatih militer terhadap masyarakat anti PKI agar bisa menghadapi massa PKI. Hal ini dilakukan oleh Sarwo Edhie karena jumlah pasukan RPKAD tidak mampu untuk menjaga setiap daerah-daerah dalam suatu kabupaten. Selain itu polisi-polisi juga tidak mampu mengatasi keadaan di Semarang karena jumlah personil yang tergolong sedikit. Kondisi Markas Kodam VII/Diponegoro masih setengah lumpuh karena banyak anggota-anggotanya yang berpihak ke Gerakan 30 September. Karena batalyon-batalyon Kodam VII/Diponegoro yang masih di Semarang masih belum dipercaya maka Sarwo Edhie terpaksa mengirimkan pasukan untuk menduduki tujuh kabupaten di Jawa Tengah.24 Untuk mencegah korban rakyat umum yang lebih banyak lagi maka dibutuhkan segera tambahan pasukan, sehingga pasukan RPKAD juga dapat lebih leluasa bergerak ke daerah-daerah. Sebelumnya Sarwo Edhie telah meminta agar dikirimkan pasukan dari Jakarta. Namun permintaan tersebut ditolak karena kebanyakan kesatuan tentara masih berada diluar Jawa. 25 Akhirnya Sarwo Edhie hanya menempatkan pasukannya yang terbatas itu dengan menggalang bantuan dari masyarakat golongan Nasionalis Agama.
24
Arsip, Kronologi dari Tanggal 23 Oktober 1965, disalin dari Museum Mandala Bhakti Semarang pada 11 Maret 2014. 25
Peter Kasenda, op. cit., hlm 166.
94
B. Penumpasan Gerakan 30 September di Kota Surakarta 1.
Sekilas Keadaan Kota Surakarta Kehidupan di daerah Kota Surakarta berjalan normal, terutama di
daerah desa. Konflik-konflik di desa tidak pernah terjadi baik sebelum maupun sesudah peristiwa Gerakan 30 September di Jakarta. Hanya saja hingga tanggal 9 Oktober 1965 di daerah kota-kota terjadi kenaikan secara cepat dari harga-harga bahan pangan dan pakaian. Harga beras di daerah Kota Surakarta tercatat Rp 350,00 per liter, dalam waktu sepekan harga telah berubah menjadi Rp 900,00 hingga Rp 1.000,00 per liter. 26 Harga jagung juga mengalami kenaikan dari Rp 175,00 per Kg menjadi Rp 500,00 per Kg. Kenaikan-kenaikan harga kebutuhan hidup tersebut dilakukan oleh kaum spekulan yang menginginkan keuntungan dari keadaan yang tidak stabil mulai satu pekan pada hari itu. Kekuatan pendukung Gerakan 30 September di Kota Surakarta mulai tanggal 3 Oktober pada umumnya bersifat tersembunyi. Mereka menyiapkan kekuatan fisik dan juga senjata, selain itu juga akan merebut tempat-tempat vital untuk dikuasai. Rencana dan persiapan-persiapan tersebut berjalan hingga tanggal 20 Oktober 1965, karena pada tanggal 21 Oktober 1965 rencana dan persiapan-persiapan tersebut dapat diketahui
26
Suara Merdeka, 16 Oktober 1965, Kehidupan di Surakarta Berdjalan Seperti Biasa, hlm. 1.
95
Komando Daerah Inspeksi Kepolisian Surakarta.27 Selain itu pada tanggal 22 Oktober Sarwo Edhie bersama pasukan RPKAD sudah mulai memasuki daerah Kota Surakarta. Kedatangan Sarwo Edhie bersama pasukannya berakibat pada gagalnya hampir semua rencana yang sudah dipersiapkan oleh para pendukung Gerakan 30 September. Rencana dan persiapan tersebut menghasilkan Gedung Stasiun RRI Kota Surakarta yang berhasil dikuasai oleh para pendukung Gerakan 30 September. Seperti halnya peristiwa di Gedung RRI Jakarta, Gedung RRI Kota Surakarta juga menyiarkan berita-berita yang terasa tidak normal bagi masyarakat awam. Walaupun begitu, para anggota PKI dalam menguasai Gedung RRI Kota Surakarta tidak memanfaatkan sepenuhnya. Berita yang disiarkan di Gedung RRI Jakarta tidak di-relay di Gedung RRI Surakarta.28 Selain itu usaha penguasaan Gedung RRI Kota Surakarta oleh para pendukung Gerakan 30 September tersebut hanya berlangsung sebentar karena mengetahui pasukan RPKAD telah tiba di Kota Surakarta. Adanya situasi gawat dan usaha massa komunis untuk menguasai Gedung RRI Kota Surakarta maka Wakil Pepelrada setempat menyatakan akan diadakannya jam malam. Jam malam di Kota Surakarta akan
27
Komando Daerah Inspeksi Kepolisian 95 Surakarta, Bahan Wawancara, disalin dari Museum Mandala Bhakti Semarang pada 11 Maret 2014. 28
Suara Merdeka, 16 Oktober 1965, Kehidupan di Surakarta Berdjalan Seperti Biasa, hlm. 1.
96
dilaksanakan mulai dari jam 18.00 - 05.00 pagi.29 Diadakannya jam malam di Kota Surakarta selain itu karena ulah massa komunis pendukung Gerakan 30 September yang melakukan kekacauan. Meraka juga telah melakukan penculikan-penculikan dan menakut-menakuti masyarakat umumnya. 2.
Penumpasan Gerakan 30 September di Kota Surakarta Rombongan Sarwo Edhie memasuki Surakarta dari Semarang pada
22 Oktober.30 Menurut formulir berita yang dibuat oleh RPKAD atas nama Komandan RPKAD, Kolonel Sarwo Edhie, yang dikirim kepada Pangkostrad dan Pangdam VII/Diponegoro berisi bahwa keadaan daerah Surakarta mulai tanggal 22 Oktober 1965 malam hari gawat.31 Keadaan gawat tersebut dikarenakan terjadi penculikan-penculikan yang dilakukan oleh Pemuda Rakyat terhadap masyarakat golongan Nasionalis Agama. Selain itu juga terdapat beberapa pembunuhan dan pembakaranpembakaran pabrik, perusakan saluran telepon. Beberapa jalan besar di Kota Surakarta
dipasangi rintangan-rintangan.
Sarwo
Edhie dan
pasukannya langsung menuju pos militer daerah yang telah disediakan.
29
Suara Merdeka, 16 Oktober 1965, Kehidupan di Surakarta Berdjalan Seperti Biasa, hlm. 1. 30
Salim Said, Dari Gestapu ke Reformasi: Serangkaian Kesaksian, Bandung: Mizan, 2013. 31
Resimen Para Komando Angkatan Darat, Sarwo Edhie Wibowo, Formulir – Berita yang dikirimkan oleh Kolonel Sarwo Edhie Wibowo kepada Pang Kostrad dan Pang Dam VII/Diponegoro, disalin dari Museum Mandala Bhakti Semarang pada 11 Maret 2014
97
Kedatangan Sarwo Edhie dan pasukan RPKAD disambut senang oleh masyarakat anti PKI. Para warga anti PKI melapor kepada Sarwo Edhie bahwa sebelum RPKAD datang mereka sudah menyusun kekuatan di masing-masing kampungnya untuk melawan pendukung Gerakan 30 September. Disamping itu mereka selalu memberikan informasi-informasi kepada ABRI tentang rencana-rencana dan persiapan-persiapan Gerakan 30 September.
32
Setelah Sarwo Edhie dan pasukan RPKAD datang di
Kota Surakarta, masyarakat golongan Nasionalis dan Agama secara positif memberikan bantuan dengan terbentuknya pertahanan rakyat yang kuat di setiap kampung dan hansip di setiap perusahaan. Pertemuan antara Sarwo Edhie dengan rakyat dilanjutkan pada pelatihan militer kepada warga oleh pasukan RPKAD. Mereka dilatih bela diri agar bisa membantu dalam usaha pembersihan oknum-oknum Gerakan 30 September yang berada dalam instansi-instansi dan lembaga-lembaga pemerintahan/pendidikan. 33 Selain itu juga mereka dapat ditempatkan di kampung masing-masing dengan didampingi beberapa pasukan RPKAD dan ABRI dalam operasi pengejaran dan penangkapan para pendukung Gerakan 30 September. Pelatihan militer tersebut berdampak pada aksi 32
Resimen Para Komando Angkatan Darat, Sarwo Edhie Wibowo, Kumpulan – Radiogram yang dikirimkan oleh Kolonel Sarwo Edhie Wibowo kepada Pang Kostrad dan Pang Dam VII/Diponegoro, disalin dari Museum Mandala Bhakti Semarang pada 11 Maret 2014 33
Resimen Para Komando Angkatan Darat, Sarwo Edhie Wibowo, Kumpulan – Radiogram yang dikirimkan oleh Kolonel Sarwo Edhie Wibowo kepada Pang Kostrad dan Pang Dam VII/Diponegoro, disalin dari Museum Mandala Bhakti Semarang pada 11 Maret 2014
98
masyarakat anti komunis yang dipimpin pemuda GPTP mengambil alih dan mengamankan proyek-proyek dari Gerakan 30 September seperti gedung balai kota. Akibat dari dikuasainya kembali bangunan-bangunan vital yang sebelumnya digunakan massa komunis, maka operasi pengejaran dan penangkapan menjadi lebih cepat. Pasukan RPKAD segera melakukan pembersihan massa komunis yang masih tersebar di Kota Surakarta. Dalam usahanya untuk memulihkan keamanan di Kota Surakarta dan sekitarnya, pasukan RPKAD berhasil menangkap 40 orang pemuda yang bersenjata tajam dan berbagai macam senjata lainnya. 34 Mereka adalah pemuda yang mendukung Gerakan 30 September yang berhasil ditangkap karena melarikan diri dan akan menuju Sragen. Pemogokan pendukung Gerakan 30 September juga terjadi di Kota Surakarta karena keputusan Brigadir Jenderal Suryo Sumpeno dalam membekukan PKI dan ormas-ormas dibawahnya. Dimulai dengan pegawai DKA (SBKA) Balapan Solo yang mengakibatkan KA Jurusan SoloSemarang, Solo-Jakarta, dan Solo-Surabaya tidak ada yang jalan.35 Sarwo Edhie bersama pasukannya langsung menuju Stasiun Balapan Solo. Sarwo Edhie kemudian memerintahkan pasukannya untuk berjaga-jaga di sekitar stasiun. Mengetahui pemogokan yang dilakukan oleh para pegawai
34
Suara Merdeka, 16 Oktober 1965, Kehidupan di Surakarta Berdjalan Seperti Biasa, hlm. 1. 35
Peter Kasenda, loc.cit., hlm. 165.
99
Stasiun Balapan Solo tersebut Sarwo Edhie langsung membubarkan aksi. Setelah para pemogok berhasil dikondisikan, Sarwo Edhie mulai berbicara di depan masyarakat yang berada di sekitar Stasiun. Sarwo Edhie memerintahkan kepada para pemogok untuk siapa yang ingin mogok kerja untuk berjalan disebelah kiri Sarwo Edhie. Semua pegawai yang melakukan pemogokan sebelumnya berlari ke samping kanan dimana Sarwo Edhie berdiri. Setelah itu Sarwo Edhie langsung memerintahkan para pegawai untuk bekerja seperti biasanya lagi. Selanjutnya, Sarwo Edhie mengatakan agar mereka tidak terpengaruh Gerakan 30 September, dan diminta untuk tidak usah ragu-ragu membantu ABRI menghancurkan gerakan tersebut sampai ke antek-anteknya.36 Setelah dapat membuat keadaan di Stasiun Balapan Solo menjadi normal, Sarwo Edhie bersama pasukannya kembali melakukan perjalanan menghadiri upacara pemakaman Brigadir Jenderal Katamso dan Kolonel Sugiyono di Yogyakarta. Pemogokan pegawai-pegawai perkeretaapian Stasiun Balapan ini yang terjadi tanggal 21 Oktober ini dibarengi dengan massa Pemuda Rakyat yang melakukan penghadangan terhadap kendaraan umum di setiap ruas jalan. Situasi di Stasiun Balapan tidak terjadi ketegangan konflik yang besar karena para pegawai hanya melakukan sebuah pemogokan massal dan tidak mengancam masyarakat anti PKI. Berbeda dengan massa pendukung Gerakan 30 September yang melakukan 36
ibid.
100
penutupan jalan dengan ranting-ranting pohon dan juga pemutusan saluran telepon. Ketika Sarwo Edhie akan menghadiri pemakaman Brigadir Jenderal Katamso dan Kolonel Sugiyono, pada 23 Oktober, ia mendapat informasi bahwa massa komunis di sepanjang jalan Yogya-Solo memutus saluran telepon dan menebangi pohon di pinggir jalan.37 Mendengar informasi tersebut, Sarwo Edhie bersama satu kompi pasukannya yang berencana
menghadiri
pemakaman
langsung
memutuskan
untuk
memerintahkan sebagian pasukannya untuk ke tempat kumpulan massa pendukung Gerakan 30 September
tersebut.
Sarwo Edhie
juga
memerintahkan setelah pasukannya tiba di hadapan massa pendukung Gerakan 30 September di jalan Yogya-Solo untuk segera dilancarkan tembakan jika massa mulai nekat. Namun belum sampai mendekat, massa komunis telah membubarkan dan melarikan diri. Usaha-usaha tersebut berhasil digagalkan oleh pasukan RPKAD yang telah melakukan patroli dan pengejaran terhadap para pendukung Gerakan 30 September. Berhubung kegagalan-kegagalan tersebut banyak para pemimpin daerah yang melarikan diri. Wali Kota KDH Kota Praja Kota Surakarta, Utomo Ramelan, telah menyembunyikan diri hingga pada akhirnya tanggal 23 Oktober 1965 menyerahkan diri kepada RPKAD. 38
37
Redaksi Tempo, Sarwo Edhie Wibowo dan Misteri 1965, Jakarta: Gramedia, 2012, hlm. 14. 38
Komando Daerah Inspeksi Kepolisian 95 Surakarta, Bahan Wawancara, disalin dari Museum Mandala Bhakti Semarang pada 11 Maret 2014.
101
Kekuatan PKI di daerah Kota Surakarta menjadi terpecah belah karena para pendukungnya mendapat pengejaran dan penangkapan oleh pasukan RPKAD dan ABRI. Hingga tanggal 24 Oktober 1965 massa komunis menghindari terjadinya perlawanan dengan pasukan RPKAD karena telah banyak anggota-anggotanya yang jatuh korban dan ditangkap. Pengejaran dan penangkapan massa komunis dilanjutkan ke pelosok-pelosok kampung di Kota Surakarta. Operasi pembersihan ini sekaligus mencari senjata-senjata yang digunakan massa komunis dan diketahui telah disembunyikannya. Tanggal 2 November 1965 pukul 22.00 pasukan RPKAD mendapat laporan dari anggota Kodim adanya senjatasenjata yang dikubur di dalam tanah. Adapun senjata-senjata hasil galian yang dapat dilihat adalah 1 Bren dengan 6 laras cadangan, 1 sten, 22 pistol Colt, 5 senjata panjang, 18 magasen bren, 20 granat, dan beberapa peluru.39 Selanjutnya berbagai macam senjata yang berhasil ditemukan tersebut segera diamankan di tempat pos Batalyon 1 RPKAD.
C. Penumpasan Gerakan 30 September di Boyolali 1.
Sekilas Keadaan Boyolali Tanggal 1 Oktober 1965 setelah mendengar siaran radio dari RRI
Pusat yang pada waktu itu telah dikuasai oleh Dewan Revolusi, reaksi dari masyarakat komunis pada umumnya mendapatkan tanggapan yang baik. 39
Resimen Para Komando Angkatan Darat, Batalyon 1 Parako, Laporan: Kronologi dari Tanggal 1 November 1965 s/d 9 November 1965, disalin dari Museum Mandala Bhakti Semarang pada 11 Maret 2014.
102
Hal ini diketahui dengan adanya kegiatan-kegiatan mereka baik di markas CS PKI daerah Boyolali, di kampung-kampung, dan di tempat lain yang mendukung Gerakan 30 September. Sedangkan masyarakat dari golongan Marhaen dan Agama pada umumnya merasa gelisah. Hal ini dapat diketahui dari sering datangnya para tokoh Marhaen dan Agama untuk menghubungi Pos POM Boyolali secara sembunyi-sembunyi yang tidak membenarkan gerakan tersebut.40 Selain itu masyarakat dari golongan Partai Indonesia (Partindo) belum jelas sikapnya, tetapi dapat dilaporkan oleh Pos POM Boyolali bahwa partai ini tampak selalu mendekati PKI karena diketahui anggota-anggota di dalam Partindo terdapat beberapa anggota PKI maupun Barisan Tani Indonesia (BTI). Selama Kota Boyolali masih dalam keadaan masih gawat tersebut, Komandan Pos POM Boyolali mengisyaratkan anggota-anggotanya dan masyarakat anti PKI untuk tetap waspada. Komandan Pos POM Boyolali juga masih menunggu perintah langsung dari pimpinan Polisi Militer di Jawa Tengah. Karena pada saat yang bersamaan, Komandan Satuan Taktis Operasional (Kodim 0724) diduga telah mengalami perpecahan akibat beberapa anggotanya ada yang bersimpati terhadap Gerakan 30 September. Hal ini bertentangan dengan Komandan Kodim, Overste Saebani, yang akhirnya memutuskan untuk tidak mendekati Pos POM Boyolali walaupun sebelumnya ia sering bermarkas di Pos POM Boyolali.
40
Polisi Militer Pos Bojolali, Laporan Situasi Bojolali Mendjelang Tanggal 30 September 1965 s/d Tanggal 9 Nopember 1965, disalin dari Museum Mandala Bhakti Semarang pada 11 Maret 2014.
103
Tanggal 18 Oktober 1965 keadaan Kota Boyolali masih tegang dengan diketahui adanya aktivitas mencurigakan yang berada di sekitar rumah Kelurahan Karanggeneng. Sebuah mobil Jeep telah datang dan berhenti di depan gedung tersebut. Tidak lama kemudian mobil tersebut menurunkan seseorang yang memakai pakaian kecoklat-coklatanan dengan wajah ditutupi menggunakan sapu tangan. Selain itu bagian kepala diatas mata dan kaki kanannya dibalut menggunakan kain. Anggota polisi lalu lintas, Brigadir Polisi Sarimin yang rumahnya di depan rumah kelurahan tersebut melihat seseorang yang turun dari mobil itu langsung masuk ke dalam rumah lurah Karanggeneng, Tjitrosudarmo. 41 Brigadir Polisi Sarimin juga melihat terdapat empat orang yang mengawalnya dan salah satunya menyerahkan tas yang dibawa ke dalam rumah, kemudian keempat pengawal tersebut kembali ke mobil dan meninggalkan rumah kelurahan. Brigadir Polisi Sarimin merasa curiga dan segera melaporkan keadaan tersebut ke atasannya karena meyakini orang yang masuk ke rumah kelurahan tersebut merupakan gembong Gerakan 30 September yang sedang dicari-cari. 42 Setelah dirasa tidak ada kejadian-kejadian lagi di depan rumah kelurahan, Brigadir Polisi Sarimin mengabarkan kepada 41
Polisi Militer Pos Bojolali, Laporan Situasi Bojolali Mendjelang Tanggal 30 September 1965 s/d Tanggal 9 Nopember 1965, disalin dari Museum Mandala Bhakti Semarang pada 11 Maret 2014. 42
Polisi Militer Pos Bojolali, Laporan Situasi Bojolali Mendjelang Tanggal 30 September 1965 s/d Tanggal 9 Nopember 1965, disalin dari Museum Mandala Bhakti Semarang pada 11 Maret 2014.
104
Komandan Polisi Resort Boyolali, Kompol I. R. Sujoto, yang kemudian akan menuju ke Pos POM Boyolali. Kompol I. R. Sujoto dan Pelda Satinum kemudian melaporkan keadaan ke Komandan Distrik Militer 0724 dan segera memerintahkan Pos Pom Boyolali untuk melakukan operasi penangkapan. Setelah mendapatkan perintah dari Komandan Distrik Militer 0724, Pos POM Boyolali mengerahkan 6 anggotanya untuk melakukan
operasi
penangkapan
di
rumah
kelurahan.
Operasi
penangkapan tersebut dibantu 5 anggota RPKAD dan 9 anggota AKRI dengan dipimpin oleh Pelda Satinum. Pelaksanaan operasi penangkapan akan dilakukan sekitar pukul 10.30. 2.
Penumpasan Gerakan 30 September di Boyolali Operasi tersebut berhasil menangkap orang yang dicurigai
gembong Gerakan 30 September di dalam rumah kelurahan, Mayor Infanteri Mulyono.43 Operasi penangkapan dapat diselesaikan secara singkat karena Mayor Infanteri Mulyono sedang dalam keadaan tidur di rumah kelurahan. Pada waktu penangkapan tidak dijumpai lurang Karanggeneng, Tjitrosudarmo, karena diketahui sedang pergi ke Solo. Dalam Penangkapan Mayor Infanteri Mulyono ditemukan barang bukti tas yang berisi pakaian, sepucuk pistol FN. 46 dengan 30 butir peluru, surat-
43
Polisi Militer Pos Bojolali, Laporan Situasi Bojolali Mendjelang Tanggal 30 September 1965 s/d Tanggal 9 Nopember 1965, disalin dari Museum Mandala Bhakti Semarang pada 11 Maret 2014.
105
surat, dan uang Rp 25.000,00.44 Setelah barang-barang tersebut disita, operasi penangkapan di rumah kelurahan dinyatakan selesai. Semua anggota kembali menuju Pos POM Boyolali dengan membawa serta Mayor Infanteri Mulyono untuk ditindak lanjut. Informasi yang diterima Pos POM Boyolali menyebutkan bahwa akan terjadi penyerangan di Boyolali dan daerah Ampel yang berjumlah ribuan anggota massa pendukung Gerakan 30 September. Komandan Distrik Militer segera melapor kepada Pang Dam VII/Diponegoro, Brigadir Jenderal Suryo Sumpeno dan Komandan RPKAD, Kolonel Sarwo Edhie yang berada di Semarang. Sekitar pukul 16.00 dari Kartosuro dan hendak menuju Semarang, Komandan Distrik Militer bertemu Pelda Satimun yang pada waktu itu sedang berada di jalan menuju Semarang. Dalam pertemuan tersebut Pelda Satimun menjelaskan bahwa Pang Dam VII/Diponegoro dan pasukan RPKAD akan menuju Yogyakarta dari Semarang untuk mengikuti upacara pemakaman pada 22 Oktober 1965. Para pendukung Gerakan 30 September melakukan sebuah usaha dengan cara memasang rintangan-rintangan di jalan daerah Ampel dan Teras, selain itu juga pemutusan saluran telepon juga telah dilakukan. 45 Usaha-usaha tersebut dilakukan para pendukung Gerakan 30 September
44
Polisi Militer Pos Bojolali, Laporan Situasi Bojolali Mendjelang Tanggal 30 September 1965 s/d Tanggal 9 Nopember 1965, disalin dari Museum Mandala Bhakti Semarang pada 11 Maret 2014. 45
Suara Merdeka, 26 Oktober 1965, RPKAD dan Pasukan ABRI Lainnja Gagalkan Tiap Usaha Pengatjauan G-30-S, hlm. 3.
106
agar pasukan RPKAD tidak dapat masuk ke wilayah Boyolali memberikan bantuan. Para pendukung Gerakan 30 September juga telah melakukan penculikan terhadap 10 orang dari golongan Nasional dan Agama dimana 6 orang diantaranya telah dibunuh secara kejam. Kedatangan pasukan RPKAD di kota Boyolali karena daerah Ampel Boyolali yang sangat gawat dan menjadi tempat berkumpulnya massa komunis. Pasukan Sarwo Edhie yang diperintahkan tinggal di Boyolali tidak lebih dari satu peleton. Sarwo Edhie memerintahkan pasukannya datang ke Boyolali setelah mendapat kabar situasi dari Pangdam VII/Diponegoro. Telah terjadi penculikan dan pembunuhan yang dilakukan oleh kaum PKI terhadap beberapa pemuda Marhaens. Tanggal 23 Oktober 1965, Sarwo Edhie memerintahkan Kompi Lettu Tanjung untuk menuju Boyolali mengejar para pendukung Gerakan 30 September. Akhirnya malam itu juga Komandan Resort Militer 73, Kolonel Sukardi, telah mengetok kawat ke Asisten I Kodam VII untuk meminta bantuan RPKAD. Malam itu juga mendapat jawaban dari Kolonel Sarwo Edhie bahwa beliau menyanggupi bantuan dan pasukan akan diberangkatkan dari Magelang jam 24.00 dengan melalui Yogyakarta.46 Menghadapi gerakan warga para pendukung komunis non-militer, selain dengan selebaran, Sarwo Edhie banyak berbicara dengan
46
Polisi Militer Pos Bojolali, Laporan Situasi Bojolali Mendjelang Tanggal 30 September 1965 s/d Tanggal 9 Nopember 1965, disalin dari Museum Mandala Bhakti Semarang pada 11 Maret 2014.
107
masyarakat.47 Sarwo Edhie mengadakan rapat umum yang diikuti oleh masyarakat Kota Boyolali. Rapat umum yang diselenggarakan secara terbuka tersebut Sarwo Edhie mengumumkan sebuah pilihan kepada masyarakat. Sarwo Edhie menanyakan siapa yang mau dipotong kepalanya akan dibayar lima ribu. Ketika masyarakat ditanya tidak ada jawaban maka Sarwo Edhie menaikkan bayaran menjadi seratus ribu. Akhirnya setelah beberapa menit tidak ada yang menjawab maka Sarwo Edhie berbicara bahwa PKI harus dilawan jika para masyarakat yang hadir tersebut tidak ada yang mau dipotong kepalanya. Sejak rapat umum itu para pemuda di Boyolali dilatih RPKAD untuk melawan PKI. Pasukan RPKAD mendapatkan bantuan dari masyarakat setempat dalam melakukan operasi penangkapan para pendukung Gerakan 30 September di Boyolali. Operasi penangkapan para pendukung Gerakan 30 September oleh pasukan RPKAD yang dibantu masyarakat dilakukan pada malam hari. Mereka mendatangi kampung-kampung dan menangkapi orang-orang
yang
diduga
komunis.
Akibat-akibat
dari
aktivitas
penumpasan adalah yang melawan banyak yang tewas. 48 Mengenai pemberontakan yang dilakukan oleh sekumpulan orang-orang pendukung Gerakan 30 September, Sarwo Edhie memerintahkan semua pemimpin
47 48
Redaksi Tempo, op. cit., hlm. 15.
Resimen Para Komando Angkatan Darat, Sarwo Edhie Wibowo, Kumpulan – Radiogram yang dikirimkan oleh Kolonel Sarwo Edhie Wibowo kepada Pang Kostrad dan Pang Dam VII/Diponegoro, disalin dari Museum Mandala Bhakti Semarang pada 11 Maret 2014.
108
pasukannya
untuk
menembaki
massa
yang
dianggap
melawan
penumpasan. Tidak segan-segan pasukan RPKAD juga menembak para Gerwani yang terlibat dalam pemberontakan massa tersebut. Diantara yang tewas tertembak banyak juga yang tertangkap atau menyerahkan diri, dan melarikan diri hingga konsentrasi massa pendukung Gerakan 30 September terpecah-pecah. Daerah yang paling genting adalah Boyolali, sekitar Kota Solo, sebagian daerah Klaten, dan daerah Wonogiri. 49 Sarwo Edhie bersama pasukannya mulai berangkat menuju Pos POM Boyolali tempat dimana didirikan markas militer dalam operasi penangkapan massa komunis. Perencanaan dan strategi menghadapi pemberontakan massa komunis diadakan di tempat tersebut. Tanggal 21 Oktober 1965 pukul 17.20 terjadi sebuah perkumpulan yang dilakukan oleh orpol/ormas pendukung Gerakan 30 September di daerah Sambingan dan Musuk, Boyolali. 50 Perkumpulan massa komunis ini dipimpin oleh Bupati Boyolali, Suali Dwijosuharto dengan rencana ingin membebaskan Mayor Infanteri Mulyono yang sebelumnya telah ditangkap RPKAD. Sasaran kelompok massa komunis ini adalah kantor CPM, Kodim, dan Polisi Boyolali. Namun karena di Kota Boyolali masih
49
Arsip, Kronologi dari Tanggal 24 Oktober 1965, disalin dari Museum Mandala Bhakti Semarang pada 11 Maret 2014. 50
Suara Merdeka, 26 Oktober 1965, RPKAD dan Pasukan ABRI Lainnja Gagalkan Tiap Usaha Pengatjauan G-30-S, hlm 3.
109
terdapat beberapa anggota RPKAD dan ABRI maka rencana tersebut dapat digagalkan. Massa komunis membuat dapur umum untuk mencegah bantuan pasukan RPKAD ke Kota Boyolali. Selain itu juga mereka akan melancarkan pemberontakan. Usaha tersebut dilakukan karena rencanarencana dalam pembebasan Mayor Infanteri Mulyono sebelumnya oleh para pendukung Gerakan 30 September dirasa telah gagal. Sekitar 1000 orang dengan senjata arit, golok, tongkat, dan bambu runcing pada tanggal 24 Oktober jam 08.30 dari arah Timur Laut Kota (dari Tlatar, Ngargosari) mereka berusaha menyerang Asrama Pol Sunggingan. 51 Sarwo Edhie memerintahkan pasukannya untuk menghubungi orpol/ormas yang anti Gerakan 30 September, seperti ormas Marhaens dan Islam, Gerakan Pemuda Ansor. Namun sebelum berhasil dihubungi, orpol/ormas tersebut sudah menghubungi RPKAD dulu. Langkah tersebut dilakukan oleh RPKAD karena operasi yang akan dilakukan adalah menghadapi pemberontakan massa. Ormas pendukung Gerakan 30 September juga melakukan sebuah psywar bahwa orpol/ormas anti Gerakan 30 September masih merasa takut dan terancam. Pasukan AKRI telah berkumpul di sekitar lokasi yang akan mendapat serangan dari massa pemberontak. Pasukan RPKAD dan masyarakat Nasional Agama juga telah bergabung dengan pasukan AKRI 51
Polisi Militer Pos Bojolali, Laporan Situasi Bojolali Mendjelang Tanggal 30 September 1965 s/d Tanggal 9 Nopember 1965, disalin dari Museum Mandala Bhakti Semarang pada 11 Maret 2014.
110
yang telah bersiap menghadapi massa pemberontak. Setelah massa pemberontak datang, bentrokan tidak dapat dihindarkan. Bentrokan yang terjadi tidak berlangsung lama karena kebanyakan massa pemberontak melarikan diri dan menyebar ke segala jurusan. Akibat dari bentrokan yang terjadi adalah tewasnya 8 mayat massa pendukung Gerakan 30 September dan sebanyak 65 orang ditahan. 52 Pada umumnya mereka yang berhasil ditahan tersebut hanya anggota yang ikut-ikutan saja dalam mendukung Gerakan 30 September
melakukan demonstrasi dan
pemberontakan keras. Operasi dilanjutkan pada malam hari untuk melakukan pengejaran terhadap massa komunis yang berhasil melarikan diri. Pukul 19.00, Lettu Tanjung bersama pasukannya menuju daerah Banyudono, Boyolali, untuk melakukan patroli, dengan hasil menangkap dua orang pemuda yang dicurigai. 53 Patroli selanjutnya dilakukan di daerah Pengging, yang jaraknya tidak terlalu jauh dari Banyudono. Patroli keamanan masih dilakukan oleh Lettu Tanjung bersama pasukannya di daerah Pengging pada pukul 20.00. Keadaan di dua daerah tersebut tergolong aman, karena para Pemuda Rakyat diduga berkumpul di dekat tepi Sungai Bengawan Solo.
52
Polisi Militer Pos Bojolali, Laporan Situasi Bojolali Mendjelang Tanggal 30 September 1965 s/d Tanggal 9 Nopember 1965, disalin dari Museum Mandala Bhakti Semarang pada 11 Maret 2014. 53
Arsip, Kronologi dari Tanggal 23 Oktober 1965, disalin dari Museum Mandala Bhakti Semarang pada 11 Maret 2014.
111
Pasukan Lettu Tanjung segera mengadakan pengejaran terhadap enam truk yang dicurigai mengangkut Pemuda Rakyat. Sekitar pukul 01.00 pengejaran terhenti setelah truk tersebut berhenti dan menurunkan para Pemuda Rakyat di hadapan pasukan Batalyon K/Diponegoro. Mereka gagal menuju ke tepi Sungai Bengawan Solo dan berhasil ditangkap. Penangkapan tersebut berlangsung tanpa ada perlawanan dari para Pemuda Rakyat. Pukul 02.00 Lettu Tanjung mendapatkan laporan dari rakyat setempat bahwa di tepi Sungai Bengawan Solo terdapat Pemuda Rakyat yang mengadakan pengejaran terhadap rakyat non-PKI.54 Mengetahui kabar bertita tersebut satu rombongan pasukan RPKAD yang sedang berjaga mengadakan pengejaran dan berhasil menangkap tiga orang. Akhirnya di tepi Sungai Bengawan Solo ditemukan 13 mayat pemuda yang diduga dibunuh oleh Pemuda Rakyat. 55 Selanjutnya pengejaran diteruskan dan pasukan RPKAD berhasil menangkap enam orang PKI. Menjelang pagi hari semua tahanan tersebut akan dibawa ke Balai Kota Boyolali untuk diperiksa lebih lanjut. Keadaan Kota Boyolali masih mengalami situasi yang membuat warga merasa takut dan terancam. Mula-mula ada warga yang melapor bahwa ia takut, namun setelah mengikuti latihan kemiliteran akhirnya rasa
54
Arsip, Kronologi dari Tanggal 23 Oktober 1965, disalin dari Museum Mandala Bhakti Semarang pada 11 Maret 2014. 55
Arsip, Kronologi dari Tanggal 23 Oktober 1965, disalin dari Museum Mandala Bhakti Semarang pada 11 Maret 2014.
112
takut hilang dan timbul keberaniannya.56 Sarwo Edhie memerintahkan pasukan RPKAD untuk terus melatih kemiliteran kepada para warga untuk tidak takut melawan massa pendukung Gerakan 30 September. Hal ini dilakukan karena kekuatan militer yang ada di Kota Boyolali tergolong sedikit dan pasukan RPKAD yang dikirim dalam operasi penangkapan massa komunis telah dialihkan kembali ke Solo karena keadaan disana juga mengalami ketegangan. Akibatnya pada tanggal 22 November 1965 suasana malam hari di Kota Boyolali seperti mendapat tekanan agak berat. Sarwo Edhie memerintahkan pasukannya untuk melakukan penangkapan ke beberapa pelosok kampung di Boyolali dengan mendapat bantuan dari angkatan kepolisian daerah dan masyarakat golongan Nasional Agama. Hingga pada akhirnya massa komunis yang berhasil ditahan di Boyolali kurang lebih 700 orang dengan 4 orang diantaranya adalah wanita. Dari hasil penangkapan tersebut kemudian dibebaskan sebanyak 104 orang setelah dilakukan pengecekan ulang.
57
Kebanyakan
dari pembebasan tersebut karena salah tangkap terhadap masyarakat golongan Nasional Agama dan yang benar-benar tidak bersalah. Banyaknya massa komunis yang berhasil ditangkap tersebut hingga
56
Polisi Militer Pos Bojolali, Laporan Situasi Bojolali Mendjelang Tanggal 30 September 1965 s/d Tanggal 9 Nopember 1965, disalin dari Museum Mandala Bhakti Semarang pada 11 Maret 2014. 57
Polisi Militer Pos Bojolali, Laporan Situasi Bojolali Mendjelang Tanggal 30 September 1965 s/d Tanggal 9 Nopember 1965, disalin dari Museum Mandala Bhakti Semarang pada 11 Maret 2014.
113
tanggal 2 November 1965 mengakibatkan ormas PKI menyatakan membubarkan diri.
BAB V SARWO EDHIE WIBOWO PASCA PENUMPASAN GERAKAN 30 SEPTEMBER
A. Karir Perjuangan Militer Mulai Meredup Kepemimpinan
Sarwo
Edhie
dalam
operasi
RPKAD
membersihkan PKI dan memulihkan keamanan daerah di Jawa Tengah akhirnya berlanjut ke Jawa Timur dan berakhir di Bali. Keberhasilan penumpasan tersebut ditandai dengan mulai tidak adanya ancamanancaman yang besar dari massa PKI. Kepopuleran Sarwo Edhie atas keberhasilannya menumpas PKI di Jawa Tengah menyebabkan dia diundang untuk acara rapat umum yang diadakan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) di halaman FKUI pada tanggal 10 Januari 1966.1 Dalam rapat umum tersebut telah berkumpul ribuan mahasiswa dari berbagai fakultas dan ada yang datang dari universitas lain. Mereka diperkenalkan oleh Sarwo Edhie terhadap beberapa staf perwiranya, seperti Mayor C. I. Santosa dan Mayor Gunawan Wibisono. Sarwo Edhie dalam
pidatonya
dihadapan
kumpulan
mahasiswa
menceritakan
peranannya dalam memimpin RPKAD menumpas PKI di Jawa dan Bali. Seluruh mahasiswa yang berkumpul pada hari itu juga langsung menuju gedung Perguruan Tinggi Ilmu Pengetahuan dan Sekretariat Negara. Mereka ingin menyampaikan pernyataan Tritura kepada 1
Peter Kasenda, Sarwo Edhie Wibowo dan Operasi Militer: Penghancuran Gestapu/dan Pendobrak Orde Lama, Prisma, 1991, hlm. 168.
114
115
pemerintah. Tritura tersebut merupakan tuntutan agar dibubarkannya PKI, dikembalikannya ke kabinet Dwikora, dan diturunkannya harga sandang dan pangan. Seluruh mahasiswa yang tergabung dalam KAMI melakukan aksi mogok kuliah selama tritura belum terpenuhi. Ketika berlangsung pelantikan kabinet Dwikora pada tanggal 24 Februari 1966, mahasiswa kembali berdemonstrasi di depan Istana. 2 Aksi-aksi mahasiswa tersebut mendapat kritikan keras dan menimbulkan kemarahan Presiden Soekarno. Sejumlah pasukan Cakrabirawa yang sedang berjaga-jaga di depan Istana melepaskan sebuah tembakan hingga menewaskan salah satu anggota demonstran. Akhirnya dengan meninggalnya salah satu demonstran tersebut menimbulkan mahasiswa semakin gencar menduduki tempattempat vital di Jakarta, seperti Departemen Luar Negeri. Soekarno dalam menghadapi tuntutan mahasiswa tersebut dengan cara meminta seluruh ketua partai menandatangani pernyataan yang mengutuk demonstrasi tersebut. Namun sehari setelah penandatanganan pernyataan tersebut seluruh partai kecuali PNI dan Partindo mencabut kembali dukungannya. Sarwo Edhie dan pasukannya yang pada saat itu selesai dari rapat umum telah kembali ke markas RPKAD, Cijantung. Sarwo Edhie setelah memberikan ceramahnya saat rapat umum pada 10 Januari 1965 diberikan surat yang berisi tentang tritura. Sarwo Edhie menanggapinya dengan sambutan baik niat dari para mahasiswa tersebut. Sarwo Edhie mengatakan jika mahasiswa yakin maka ia menganjurkan
2
ibid.
116
untuk jalan terus karena Tritura merupakan hati nurani rakyat. 3 Hubungan RPKAD dengan mahasiswa semakin bertambah dekat seiring dengan sering terjadinya kericuhan antara mahasiswa dengan massa pendukung Presiden Soekarno. Terjadinya konflik memuncak ketika rapat sidang kabinet Dwikora di depan Istana antara mahasiswa dengan pasukan Cakrabirawa. Keinginan para mahasiswa yang tergabung dalam organisasi KAMI seperti mendapat dukungan dari tentara. Suasana di Jakarta masih tidak menentu dan ketegangan masih terjadi dimana-mana karena pemimpin PKI masih menduduki jabatan di kabinet dan secara resmi. Memang sudah lama TNI AD menghendaki agar Presiden Soekarno melarang secara resmi PKI dan memberhentikan menteri-menterinya yang bergaris kiri, seperti Subandrio. Pada saat yang bersamaan, TNI AD juga menyadari ketidakmungkinannya untuk berhadapan frontal secara langsung dengan Soekarno. 4 Jika TNI AD berhadapan langsung dengan Soekarno maka akan menimbulkan perlawanan yang semakin banyak dari para pendukung Soekarno, seperti TNI AU, AL, kepolisian, pasukan kawal presiden, dan para pendukung Soekarno. Masih ditambah lagi dukungan Soekarno dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Oleh sebab itu, Sarwo Edhie bersama tentara RPKAD berusaha menekan Soekarno dengan cara memanfaatkan para mahasiswa yang tergabung dalam organisasi KAMI. 3
Redaksi Tempo, Sarwo Edhie Wibowo dan Misteri 1965, Jakarta: Gramedia, 2012, hlm. 58. 4
Peter Kasenda, op. cit., hlm. 169.
117
Sarwo Edhie mendapat tugas dari Mayor Jenderal Soeharto untuk menangkap Subandrio yang dianggap pro PKI dan merupakan tangan kanan Soekarno. Sarwo Edhie hanya memerintahkan beberapa pasukan RPKAD untuk mendekat ke Istana mencari Subandrio. Tanggal 11 Maret 1966 pasukan RPKAD dengan dibantu pasukan Kodam Jaya telah berada di sekitar Istana dengan memakai pakaian tanpa identitas. Sarwo Edhie memerintahkan kepada anak buahnya untuk segera menembak Subandrio ketika tidak didekat Soekarno. Ketika Soekarno mengetahui adanya pasukan liar di luar Istana, dengan segera bersama Subandrio dan Chairul Saleh dia meninggalkan sidang kabinet menuju helikopter yang berada di halaman
Istana.
5
Mereka
dikawal
pasukan
Cakrabirawa
dalam
perjalanannya keluar Istana menuju helikopter agar tidak mendapat serangan dari luar. Presiden Soekarno bersama dua wakil perdana menteri, Subandrio dan Chairul Saleh berangkat menuju ke Istana Bogor. Mengetahui hal tersebut, Mayor Jenderal Soeharto memerintahkan Brigadir Jenderal Amir Machmud, Brigadir Jenderal M. Yusuf, dan Brigadir Jenderal Basuki Rachmat untuk menyusul ke Istana Bogor. Mereka diperintahkan membawa surat yang dikenal Surat Perintah Sebelas Maret yang akan diberikan kepada Soekarno untuk ditandatangani. Pada saat itulah Soekarno menandatangani Surat Perintah Sebelas Maret, yang secara de facto menyerahkan kendali pemerintahan kepada Panglima Kostrad Mayor
5
ibid.
118
Jenderal Soeharto.6 Meskipun kekuasaan Soekarno terus menerus ditekan oleh militer AD, Subandrio dan menteri-menteri lainnya yang bergaris kiri masih turun dari jabatan kedudukannya. Keadaan yang masih belum terkendali tersebut mengakibatkan Sarwo Edhie bersama dengan Kemal Idris dan H. R. Dharsono terus menerus
menekan
kekurangpercayaan.
Soekarno Mereka
dengan
menuntut
mengeluarkan agar
Soekarno
pernyataan secepatnya
diturunkan. Akhirnya, bulan maret 1966 diselenggarakan sidang MPRS yang memutuskan mengenai larangan terhadap Soekarno mengambil bagian dalam kegiatan politik sampai pemilihan umum. 7 Diselenggarakan sidang MPRS menandakan kekuasaan Soekarno berakhir dan digantikan oleh Soeharto. Sekitar satu tahun berikutnya setelah diturunkannya Soekarno dari kekuasaan pada bulan Juni 1967 Sarwo Edhie dipindahkan ke Sumatra. Sarwo Edhie diberi kenaikan pangkat dari kolonel menjadi brigadir jenderal. Sarwo Edhie diberi jabatan sebagai Panglima Komando Daerah Militer (Pangkodam) II/Bukit Barisan Sumatra Utara menggantikan Brigadir Jenderal TNI Sobiran. 8 Kepindahan Sarwo Edhie ke Medan disertai istri dan anak-anaknya. Karena keberangkatan Sarwo Edhie sudah sangat mendesak maka diputuskan Sarwo Edhie dan istrinya berangkat 6
Redaksi Tempo, op. cit., hlm. 61.
7
Peter Kasenda, op. cit., hlm. 171.
8
Bahrudin Supardi, Biografi Sarwo Edhie Wibowo: Kebenaran di Atas Jalan Tuhan, Bandung, Remaja Rosdakarya, 2012, hlm. 199.
119
lebih dahulu ke Medan. Sedangkan anak-anaknya akan menyusul kemudian setelah urusan sekolahnya selesai. Kepindahan Sarwo Edhie ke Sumatra bukan karena disebabkan pembekuan terhadap PNI. 9 Pernyataan tersebut telah ditegaskan oleh Panganda Sumatra, Mayor Jenderal Kusno Utomo. Mayor Jenderal Kusno Utomo menjelaskan bahwa pembekuan PNI daerah Sumatra dalam kaitannya melawan para pendukung Orde Lama adalah menjadi tanggung jawab Panganda sendiri. Ia juga menegaskan pemindahan ke Sumatra tersebut bukan berarti mendiskreditkan Sarwo Edhie, tetapi merupakan pembinaan karirnya di masa yang akan datang. Adapun alasan yang yang digunakan Sarwo Edhie dalam membekukan partai adalah karena adanya tuntutan dari berbagai organisasi masa, partai politik, dan kesatuan aksi. 10 Sarwo Edhie akan tetap terus melakukan operasi pembekuan terhadap partai yang selama perjalanannya dekat dengan Soekarno masih berpegang pada ajaran-ajaran marxismemarhaenisme. Adanya pembekuan yang dilakukan pemerintah Orde Baru tersebut menyebabkan PNI memiliki sebuah keinginan baik untuk ikut andil dalam mendukung masa Orde Baru. Pemikiran Sarwo Edhie yang sejalan dengan Mayor Jenderal Kusno Utomo menyebabkan Sarwo Edhie menjadi pusat kebijakan yang diterapkannya dalam operasi pembekuan PNI di Sumatra. Sarwo Edhie mengusulkan bahwa PNI lebih baik 9
Mertju Suar, 23 Februari 1968, Brigdjen Sarwo Edhie djadi dipindah: Karena akibat pembekuan PNI? 10
Peter Kasenda, loc. cit., hlm. 171.
120
meneruskan perjuangannya dalam bidang kekaryaan dan keormasan saja karena sudah tidak memiliki tempat di bidang poitik. Tanggal 21 Desember 1967 Presiden Soeharto mengeluarkan instruksi kepada para penguasa daerah memberikan kesempatan kepada PNI untuk menyesuaikan diri dengan kebijaksanaan yang telah digariskan pusat. Sarwo Edhie sebagai penguasa daerah di Sumatra menerima dan mau
menjalankan
instruksi
tersebut,
namun
ia
menyatakan
ketidaksetujuannya terhadap kebijaksanaan tersebut. Hal tersebut dirasa oleh Sarwo Edhie sangat kontra mengingat PNI yang memiliki ajaranajaran dari marxisme. Sarwo Edhie menjadi penguasa daerah di Sumatra tidak ada 1 tahun karena terus dipindahkan ke Irian barat.11 Pemindahan tersebut akibat dari pelaksanaan Sarwo Edhie yang setengah hati terhadap kebijakan pusat yang diinstruksikan Presiden Soeharto. Sarwo Edhie dipindahkan ke Irian Barat pada awal tahun 1968. Akhir Desember 1967, Kepala Staf Komando Wilayah Sumatera, Brigadir Jenderal J. Mustika mengambil alih kepemimpinan Sarwo Edhie di Medan. 12 Pengambilalihan kepemimpinan dari Sarwo Edhie ini bertujuan untuk lebih menjamin terlaksananya kebijaksanaan pemerintah pusat yang telah diinstruksikan Presiden Soeharto.
11
Wawancara, Yulia, (Purworejo, 28 Mei 2014). 12
keponakan
Redaksi Tempo, op. cit., hlm. 64.
Sarwo
Edhie
Wibowo,
121
Sarwo Edhie dipindahkan ke Irian Barat untuk disertakan peranannya terhadap masalah integrasi Irian Barat ke dalam Negara Kesatuan
Republik
Indonesia.
Keadaan
Irian
Barat
mengalami
ketidakstabilan menjelang diadakannya Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera). Adanya sekelompok gerakan separatis yang dilakukan oleh pasukan
Lodewijk
sudah
dapat
dipastikan
akan
membahayakan
berlangsungnya pelaksanaan Pepera. Untuk meredam gangguan keamanan tersebut, Sarwo Edhie yang saat itu menjabat sebagai Panglima Kodam XVII/Cendrawasih
memutuskan
menggerakkan
pasukannya
menghancurkan basis pasukan Lodewijk Mandatjan.
13
untuk
Menghadapi
gerombolan tersebut, sesuai dengan perintah Sarwo Edhie, pasukan Kodam XVII/Cendrawasih melakukan gerakan ofensif yang dilancarkan terus menerus hingga situasi berubah. 14 Perjuangan Sarwo Edhie dalam memimpin pasukannya menghadapi gerakan Lodewijk akhirnya berakhir pada tahun 1969 setelah Lodewijk Mandatjan dan pengikutnya menerima diadakannya Pepera. Keberhasilan peranan Sarwo Edhie dalam menjaga keamanan dan keberlangsungan pelaksanaan Pepera membuat dirinya mendapat penghargaan dari pemerintah daerah.
13
Peter Kasenda, op. cit., hlm 172.
14
Bahrudin Supardi, op. cit., hlm. 212.
122
B. Tersingkir dari Kemiliteran Sarwo Edhie memiliki keinginan untuk tetap bertahan menjadi seorang militer lapangan, seperti ketika ia memimpin pasukan RPKAD dalam menumpas Gerakan 30 September. Kehidupan Sarwo Edhie mulai menjauhi bidang kemiliteran ketika ia tidak lagi diangkat sebagai komandan dalam medan tempur. Sepulang dari tugasnya di Irian Barat, Sarwo Edhie langsung kembali ke Kompleks Markas RPKAD di Cijantung dan bertemu keluarganya. Sekitar tahun 1970 Sarwo Edhie diangkat menjadi Gubernur AKABRI Umum dan Darat di Magelang. 15 Mendapat tugas menjadi Gubernur AKABRI di Magelang seperti mengenang masa lalu Sarwo Edhie saat masih berlatih militer di Renseitai. Sarwo Edhie memiliki kebijakan untuk menghapuskan perploncoan terhadap semua taruna. Setiap anggota akademi militer yang telah masuk hanya diberikan tes teori dan fisik saja, serta latihan-latihan yang sudah ditetapkan dalam kebijakan yang dikeluarkan Sarwo Edhie. Saat bertugas di Magelang, Sarwo Edhie bersama istrinya, Sunarti, sering pulang kerumahnya di Purworejo walaupun kedua orangtuanya sudah
lama
meninggal.
16
Sarwo
Edhie
sering
bertemu
kakak
perempuannya yang ketika masa kecil sering berlatih bela diri bersama. 15
Wawancara, Yulia, (Purworejo, 28 Mei 2014). 16
keponakan
Sarwo
Edhie
Wibowo,
Ayah Sarwo Edhie, Raden Kartowilogo, meninggal tahun 1960, sedangkan ibunya, Raden Ayu Sutini, meninggal tahun 1947. Wawancara, Murdiyah Hadiyati, Kakak perempuan Sarwo Edhie Wibowo/Veteran/Mantan Ketua Gerakan Wanita Marhaens Purworejo, (Purworejo, 28 Mei 2014).
123
Sejak tanggal 9 Januari 1970 Sarwo Edhie yang sudah dinaikkan pangkatnya menjadi mayor jenderal tersebut mulai bertempat tinggal dirumahnya di Magelang. Selama kurang lebih 4 tahun Sarwo Edhie menjabat
sebagai
Gubernur
AKABRI
telah
mengantarkan
dan
menghasilkan perwira-perwira akademi militer yang membanggakan. Jabatan itu diembannya hingga 7 Januari 1974. 17 Sebelumnya, pada akhir tahun Sarwo Edhie telah mengajukan pengunduran diri dari jabatan sebagai Gubernur AKABRI. 18 Pada tahun 1974 sebuah keputusan dari pemerintah kembali mengharuskan Sarwo Edhie berpindah tugas. 19 Sarwo Edhie diangkat sebagai Inspektur Jenderal Departemen Luar Negeri. Pada tanggal 1 Oktober
1974,
Pemerintah
Korea
memberikan
persetujuan
atas
pengangkatan Letnan Jenderal TNI Sarwo Edhie Wibowo sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia untuk Republik Korea.20 Jabatan Sarwo Edhie sebagai Duta Besar RI untuk Korea Selatan diberikan hingga 1978. Bidang diplomatik merupakan pekerjaan pertama yang dijalankan Sarwo Edhie sepanjang karirnya. Begitu pula Sarwo Edhie merupakan Duta Besar RI yang pertama untuk Korea Selatan setelah sebelumnya hubungan diplomatik Indonesia dengan Korea Selatan baru 17
Bahrudin Supardi, op. cit., hlm. 218.
18
Wawancara, Yulia, (Purworejo, 28 Mei 2014).
keponakan
19
Bahrudin Supardi, op. cit., hlm. 223.
20
ibid., hlm. 229
Sarwo
Edhie
Wibowo,
124
pada tingkat Konsulat Jenderal. Pada tahun 1978 Sarwo Edhie menghadiri peresmian Gedung Kedutaan RI di Korea Selatan. Karir militer Sarwo Edhie setelah diangkat menjadi Duta Besar RI untuk Korea Selatan di Seoul kembali lagi berlanjut dalam bidang sipil. Menjelang akhir tahun pekan di awal Agustus 1978, jabatan Inspektur Jenderal Departemen Luar Negeri diserahterimakan dari Husein Mutahar kepada penggantinya Letnan Jenderal Sarwo Edhie Wibowo. 21 Tugas Sarwo Edhie dalam Departemen Luar Negeri diantaranya adalah penertiban intern. Selain itu juga tugas untuk menangani masalah-masalah yang terjadi di luar negeri yang telah terjalin hubungan diplomatik, terutama wilayah ASEAN. Selama menjabat sebagai Inspektur Jenderal Departemen Luar Negeri di Jakarta, Sarwo Edhie telah berhasil melantik pejabat-pejabat baru untuk bertugas dalam Departemen Luar Negeri. Tugas Sarwo Edhie sebagai Inspektur Jenderal Departemen Luar Negeri berhenti setelah ia dilantik menjadi Kepala Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7).22 Sarwo Edhie dilantik pada 15 Juni 1984 yang menggantikan Hari Soeharto S.H. yang diangkat menjadi jaksa agung. BP7 memiliki tugas yang sangat strategis, melalui pendidikan Pancasila sebagai pedoman hidup, dan lebih menghayati ideologi negara. Setelah tidak menjabat lagi
21 22
Bahrudin Supardi, op. cit., hlm. 237.
Wawancara, Yulia, (Purworejo, 28 Mei 2014).
keponakan
Sarwo
Edhie
Wibowo,
125
sebagai Ketua BP7, Sarwo Edhie menjadi anggota DPR dari FKP (Fraksi Karya Pembangunan/Golkar) untuk periode 1988-1993. 23 Pengangkatan tersebut merupakan panggilan dari Ketua Umum Partai Golkar, Sudharmono atas perintah dari Presiden Soeharto. Sarwo Edhie diangkat menjadi anggota DPR pada tanggal 1 Oktober 1987, namun pada 15 Maret 1988 ia mengajukan surat pengunduran diri dari anggota DPR. Hal yang tidak dapat terungkap adalah kejelasan tentang alasan pengunduran diri Sarwo Edhie dari anggota DPR. Dalam seri Buku Tempo yang berjudul Sarwo Edhie dan Misteri 1965 dijelaskan bahwa: Menurut Ketua Angkatan Muda Pembaruan Indonesia, Organisasi Onderbouw Golkar saat itu, Bambang Wiratmadji Soeharto menjelaskan bahwa Sarwo Edhie mengurungkan untuk menjadi Ketua DPR/MPR karena kehendak Presiden Soeharto yang “digosok” para jenderal yang sudah piawai berpolitik. Bahkan rencana menjegal Sarwo Edhie sudah mulai saat ia akan menjadi Ketua Fraksi Karya Pembangunan. Akhirnya
Setelah
Sarwo
Edhie
mengundurkan
diri
dari
perpolitikan, ia hanya menghabiskan kehidupannya dalam organisasiorganisasi daerah. Meskipun telah mengundurkan diri, bukan berarti ia sepi dari kesibukan. 24 Sejumlah jabatan masih dipegangnya, misalnya Ketua pembinaan Generasi Muda PP LVRI, Pelindung Universitas Proklamasi Yogyakarta, Komisaris Bank Bumi Daya, Pelindung Kyukeinsen Karatedo Indonesia, Pelindung Wanadri, dan lain sebagainya. Jabatan sebagai pelindung dalam Organisasi Pecinta Alam Wanadri
23
Bahrudin Supardi, op. cit., hlm. 245.
24
Peter Kasenda, op. cit., hlm. 172.
126
merupakan kesibukan Sarwo Edhie yang paling banyak dijalani semasa kehidupannya setelah pengunduran diri. 25 C. Kehidupan Terakhir Sarwo Edhie Wibowo Jabatan sebagai Pelindung Pecinta Alam Wanadri mulai disandang Sarwo Edhie sejak ia mengundurkan diri dari anggota DPR. Menjelang akhir tahun 1987, Sarwo Edhie menghadiri Upacara Pelantikan Wanadri di Kawah Upas, Gunung Tangkuban Perahu. 26 Sebagai orang yang diangkat menjadi Bapak Wanadri, Sarwo Edhie harus menghadiri untuk memimpin jalannya upacara pelantikan tersebut. Sarwo Edhie saat itu masih berada di rumahnya di Cijantung dan mulai berangkat menggunakan mobil. Sarwo Edhie berangkat bersama sopirnya dari Jakarta dan ia sendiri yang menyetir mobilnya menuju Lembang, Bandung. 27 Tiba di Lembang, Sarwo Edhie langsung berangkat menuju Kawah Upas. Sarwo Edhie menjadi inspektur dalam pelaksanaan upacara pelantikan yang dimulai pagi hari tersebut dengan diikuti semua anggota Wanadri yang akan dilantik. Upacara pelantikan pada pagi hari itu akhirnya diakhiri dengan jabat tangan seluruh anggota Wanadri dengan Sarwo Edhie. Usai kegiatan upacara pelantikan dan pertemuan dengan anggota Wanadri Sarwo Edhie berangkat pulang kembali ke Jakarta. Sopir Sarwo
25
Wawancara, Yulia, (Purworejo, 28 Mei 2014). 26 27
keponakan
Sarwo
Edhie
Wibowo,
Sarwo
Edhie
Wibowo,
Bahrudin Supardi, op. cit., hlm. 245.
Wawancara, Yulia, (Purworejo, 28 Mei 2014).
keponakan
127
Edhie yang berada satu mobil dalam perjalanan melihat tangan Sarwo Edhie kadang bergerak-gerak seperti gejala stroke. 28 Hal tersebut dapat dihubungkan dengan keadaan kesehatan Sarwo Edhie yang mulai menurun. Kristiani Herrawati yang kini dikenal Ani Yudhoyono, istri Susilo Bambang Yudhoyono, dalam buku biografinya, Kepak Sayap Putri Prajurit, menggambarkan bahwa sejak usia 40 tahun Sarwo Edhie memang sudah menunjukkan gejala kurang sehat dengan gula darahnya. Saat meninggalkan kota Bandung, Sarwo Edhie memberikan kabar kepada istrinya bahwa ia akan langsung menuju ke Bank Bumi Daya. Sarwo Edhie dalam perjalanan merasakan sesuatu yang tidak beres dengan tubuhnya. Sopir Sarwo Edhie langsung membawanya menuju ke RS Metropolitan Micro Center (MMC) Jakarta. Istri dan anak-anak Sarwo Edhie mengetahui kabar tersebut langsung menjenguk ke ruang ICU MMC. Saudara-saudara Sarwo Edhie juga menjenguk setelah dikabari. 29 Beberapa hari kemudian para pejabat tinggi dan sahabat-sahabat Sarwo Edhie memenuhi ruang ICU MMC dimana Sarwo Edhie dirawat. Sarwo Edhie sudah cukup lama di ruang ICU MMC dan dari hari ke hari kondisinya semakin menurun.30 Keadaan kesehatan Sarwo Edhie yang semakin menurun dan terkena stroke mengambil perhatian 28
keponakan
Sarwo
Edhie
Wibowo,
29
keponakan
Sarwo
Edhie
Wibowo,
Wawancara, Yulia, (Purworejo, 28 Mei 2014). Wawancara, Yulia, (Purworejo, 28 Mei 2014). 30
Alberthiene Endah, Ani Yudhoyono: Kepak Sayap Putri Prajurit, Jakarta, Gramedia, 2010, hlm. 312.
128
pemerintah Indonesia. Pertengahan Oktober Sarwo Edhie dibawa ke Washington DC.31 Kondisi kesehatan yang tidak segera membaik akhirnya Sarwo Edhie dipulangkan kembali ke Indonesia dan segera dirawat di RSPAD Gatot Subroto. Selama dirawat sejak dipindahkan ke RSPAD Gatot Subroto pada tanggal 4 Juli 1989, Sarwo Edhie mengalami koma yang cukup lama. Istri dan beberapa anak Sarwo Edhie yang tinggal di Jakarta secara bergantian menunggu Sarwo Edhie yang sedang terbaring. Dini
hari,
tanggal
9
November
1989,
Sarwo
Edhie
menghembuskan nafasnya yang terakhir di RSPAD Gatot Subroto. Rumah di Jalan Flamboyan F/59 Cijantung II, Jakarta Timur, dipenuhi oleh karangan bunga tanda belasungkawa. 32 Mulai pagi hari sudah banyak pelayat yang datang ke rumah Sarwo Edhie. Seluruh anggota RPKAD menyiapkan prosesi pemakaman Sarwo Edhie. Para petinggi TNI AD mulai memimpin prosesi jalannya pemakaman. Panglima TNI, Jenderal Tri Sutrisno, melepas jenazah Sarwo Edhie di Cijantung. Sementara KSAD, Jenderal Edi Sudrajat, bertindak sebagai Inspektur Upacara di Purworejo. Para Petinggi TNI AD yang lain, seperti Jenderal Wismoyo Arismunandar yang menjadi Pangdam Diponegoro saat itu, ikut mengiringi jenazah Sarwo Edhie.33 Para petinggi TNI AD dibawa menuju Purworejo dengan menggunakan pesawat Hercules yang dipinjam dari 31
ibid., hlm. 313.
32
Bahrudin Supardi, op. cit., hlm. 269.
33
Alberthiene Endah, op. cit., hlm. 317.
129
pemerintah. Iring-iringan jenazah oleh keluarga dan kerabat dekat Sarwo Edhie menggunakan mobil yang sangat panjang bergerak dari Jakarta menuju Purworejo. Tiba di Purworejo, iring-iringan mobil jenazah Sarwo Edhie segera menuju pemakaman tempat dimana para leluhur Sarwo Edhie telah dimakamkan. Saat melintasi depan rumah masa kecil Sarwo Edhie, mobil terdepan dalam iring-iringan tersebut berhenti diikuti mobil-mobil dibelakangnya. Jenderal Wismoyo dan beberapa orang turun dari mobil tersebut dan menuju mobil jenazah. Pintu belakang mobil jenazah Sarwo Edhie dibuka beberapa saat dan ditutup kembali sebagai simbol sapaan terakhir kalinya untuk keluarga di rumah masa kecilnya. 34 Tiba di tempat pemakaman, prosesi pemakaman berjalan lancar dan penuh kehormatan. Sarwo Edhie dimakamkan pada tanggal 10 November 1989, tepat bersamaan dengan Hari Pahlawan Nasional.
34
ibid., hlm. 320.
BAB VI KESIMPULAN
Sarwo Edhie Wibowo adalah anak ke-6 dari Raden Kartowilogo dan Raden Ayu Sutini. Sarwo Edhie Wibowo yang lahir pada tanggal 25 Juli 1927 di Desa Pangen Juru Tengah, Purworejo, Jawa Tengah, memiliki nama kecil Edhie. Hidup dari keluarga yang sederhana tidak membatasi keinginan Sarwo Edhie Wibowo untuk menempuh pendidikan sampai ke jenjang yang tinggi. Sarwo Edhie menempuh pendidikan di sekolah HIS selama 7 tahun dan kemudian melanjutkan sekolah MULO selama 3 tahun. Karir kemiliteran Sarwo Edhie dimulai dari keanggotaannya sebagai tentara Heiho di Surabaya. Selama 5 bulan menjadi Heiho di Surabaya, Sarwo Edhie terpilih menjadi salah satu siswa di Renseitai Magelang. Tidak lama di Magelang Sarwo Edhie dipindahkan ke Bogor untuk mengikuti sekolah militer menjadi tentara PETA selama 4 bulan. Perjalanan karir militer Sarwo Edhie semakin meningkat ketika perang kemerdekaan ia diangkat Komandan Kompi Batalyon V Brigade IX Divisi Diponegoro. Tahun 1958-1959 Sarwo Edhie diangkat menjadi Wakil Komandan Resimen Taruna Akademi Militer Naional (AMN) di Bogor. Memiliki teman yang sama-sama dari kampung halaman seperti Ahmad Yani menjadikan karir militer Sarwo Edhie semakin cepat meningkat. Berkat Ahmad Yani, Sarwo Edhie langsung diangkat menjadi Komandan SPKAD. Selama 3 tahun menjadi Komandan SPKAD, Sarwo Edhie diangkat menjadi Kepala Staf RPKAD. Sarwo Edhie kemudian menempuh pendidikan staf di Australia setelah diangkat menjadi Kepala Staf RPKAD hingga pada akhirnya diangkat menjadi
130
131
Komandan RPKAD. Perjalanan militer Sarwo Edhie di RPKAD lancar karena seolah-olah mendapat bantuan Ahmad Yani yang ketika itu menjabat Menpangad. Walaupun begitu Sarwo Edhie Wibowo mempunyai kemampuannya sendiri untuk menjadi seorang pemimpin yang dihormati dan disegani oleh anggotanya. Terlebih ketika ia telah diangkat menjadi Komandan RPKAD. Karir Sarwo Edhie semakin terlihat ketika peranannya dalam memimpin RPKAD mengambil alih markas-markas Gerakan 30 September di Jakarta. Gedung RRI Pusat dan Kantor Telekomunikasi berhasil dikuasai kembali setelah pasukan RPKAD atas perintah Sarwo Edhie membekuk massa pendukung Gerakan 30 September. Sarwo Edhie Wibowo lebih banyak berposisi di markas Kostrad dalam memerintah pasukannya. Pada hari yang sama atas perintah Pangkostrad Mayor Jenderal Soeharto, Sarwo Edhie memimpin pasukan RPKAD bergerak untuk mengamankan Pangkalan Udara Halim yang merupakan tempat berkumpulnya pemimpin-pemimpin Gerakan 30 September. Kurang lebih dalam waktu 24 jam Pangkalan Udara Halim berhasil dikuasai pasukan RPKAD dan berhasil memukul mundur para pemimpin PKI yang kemudian melarikan diri. Menurut surat kabar Jakarta, sebanyak ribuan simpatisan PKI telah berhasil ditangkap dan diproses hukum. Keadaan situasi di Jawa Tengah yang bergolak dengan adannya gerakan massa pendukung G30S di Semarang menjadi misi Sarwo Edhie dan pasukan RPKAD berikutnya setelah berhasil mengamankan kota Jakarta. Berbagai macam strategi menghadapi massa PKI dilakukan di daerah-daerah di Jawa Tengah. Kota Semarang yang menjadi pusat militer Jawa Tengah yang telah dikuasai massa
132
pendukung G30S, Kota Solo dan Boyolali yang menjadi kekuatan PKI paling banyak sebagai pendukung G30S. Sarwo Edhie memerintahkan pasukan RPKAD untuk membantu tentara Batalyon Kodam VII/Diponegoro, polisi daerah, dan masyarakat Nasionalis dan Agama yang anti komunis dalam menghadapi massa komunis. Sarwo Edhie tidak sepenuhnya turut ikut serta ke tempat-tempat persembunyian massa komunis yang tersebar di kota-kota di Jawa Tengah. Sarwo Edhie lebih banyak melakukan perintah-perintah kepada pasukan RPKAD dari markas-markas militer daerah, seperti Markas Kodam VII/Diponegoro, Markas RPKAD di perbatasan Boyolali, dan pos-pos polisi daerah. Serta menempati pospos yang telah dibuat oleh ormas/orpol Nasionalis Agama yang telah bekerja sama dengan ABRI dalam menghadapi massa komunis. Selama kurang lebih 3 bulan, operasi penumpasan massa komunis yang mendukung Gerakan 30 September dapat dilaksanakan dengan baik. Sarwo Edhie bersama pasukan RPKAD pulang ke Jakarta kembali ke Markas RPKAD di Cijantung. Turunnya Soekarno dari jabatan presiden Indonesia pada tahun 1967 tidak lepas dari peranan Sarwo Edhie yang pada waktu itu berhubungan baik dengan para mahasiswa yang melakukan demonstrasi menuntut Tritura. Memasuki masa Orde Baru, Sarwo Edhie masih menjalani karir militer, tetapi bukan lagi sebagai Komandan RPKAD. Sarwo Edhie dipindah ke Medan untuk diangkat menjadi Pangkodam II/Bukit Barisan dalam membantu operasi pembekuan PNI di Sumatra Utara dan kemudian menjadi Pangkodam XVII/Cendrawasih. Sarwo Edhie seolah-olah telah lepas dari lapangan perang militer karena mulai tahun 1970 ia hanya menjabat sebagai pemimpin dalam sebuah instansi-
133
instansi dan organisasi-organisasi. Sarwo Edhie seperti dijauhkan dari pusat kekuasaan dalam pemerintah pada masa Orde Baru. Jabatan yang diberikan Sarwo Edhie pasca penumpasan G30S sangat jauh dari jalan menuju pimpinan seperti Panglima Komando Strategi Angkatan Darat (Pangkostrad), Menteri Panglima Angkatan Darat (Menpangad), Menteri Pertahanan dan Keamanan (Menhankam), dan bahkan presiden. Hal itu telah menjauhkan cita-cita Sarwo Edhie semasa kecil yang berkeinginan senantiasa berada dalam kehidupan militer hingga akhir hidupnya. Keadaan tersebut tidak menghalangi Sarwo Edhie untuk tetap mengabdikan dirinya kepada Republik Indonesia meskipun jabatan yang dipegang Sarwo Edhie telah keluar dari jalur kemiliteran. Pekerjaan sebagai pemimpin dalam instansiinstansi politik dan organisasi kelompok dalam masyarakat tetap dijalani dengan penuh tanggung jawab hingga menjelang Sarwo Edhie jatuh sakit stroke. Kondisi kesehatan Sarwo Edhie yang tidak kunjung membaik dan hingga pada akhirnya menghembuskan nafasnya yang terakhir menandai berakhirnya pengabdian dirinya kepada bangsa Indonesia.
134
DAFTAR PUSTAKA
Alberthiene Endah. (2010). Ani Yudhoyono: Kepak Sayap Putri Prajurit. Jakarta. Gramedia. Angkatan Darat, Dinas Sejarah Militer. (2010). Mewaspadai Pengkhianatan Partai Komunis di Indonesia: Kumpulan Artikel Pemberontakan PKI dan Operasi Penumpasannya. Bandung: Dinas Sejarah Angkatan Darat. Antonius Sumarwan. (2007). Menyeberangi Sungai Air Mata: Kisah Tragis Tapol ’65 dan Upaya Rekonsiliasi. Yogyakarta: Kanisius. Aristides Katoppo. (2000). Menyingkap Kabut Halim 1965. Jakarta: Sinar Harapan. Bahrudin Supardi. (2012). Biografi Sarwo Edhie Wibowo: Kebenaran di Atas Jalan Tuhan. Bandung. Remaja Rosdakarya. Cribb, Robert. (2000). The Indonesian Killings: Pembantaian PKI di Jawa dan Bali 1965-1966. Yogyakarta: Mata Bangsa. Dasman Djamaluddin. (2008). Jendral TNI Anumerta Basoeki Rachmat dan Supersemar. Jakarta: Grasindo. Dinas Sejarah Angkatan Darat. (2010). Mewaspadai Pengkhianatan Partai Komunis di Indonesia: Kumpulan Artikel Pemberontakan PKI dan Operasi Penumpasannya. Bandung: Dinas Sejarah Angkatan Darat. Dinas Sejarah TNI AD. (1982). Pemberontakan G30S/PKI dan Penumpasannya. Bandung: Dinas Sejarah TNI AD. _______. (1985). Komunisme dan Kegiatannya di Indonesia. Bandung: Dinas Sejarah TNI AD. Eros Djarot. (2006). Siapa Sebenarnya Soeharto: Fakta dan Kesaksian Para Pelaku Sejarah G-30-S/PKI. Jakarta: Mediakita. Gamal Komandoko. (2008). Boedi Oetomo: Awal Bangkitnya Kesadaran Bangsa. Yogyakarta: Niaga Swadaya. Gottschalk, Louis. (1982). Understanding History. a.b. Nugroho Notosusanto. Mengerti Sejarah. Jakarta: UI Press. Green, Marshall. (1990). Indonesia: Crisis and Transformation 1965-1968. Washington DC: The Compass Press. a.b. Tim Penerjemah Grafiti. (1992). Dari Sukarno ke Soeharto: G30S-PKI dari Kacamata Seorang Duta Besar. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
135
Helius Sjamsuddin, H. Ismaun. (1996). Pengantar Ilmu Sejarah. Jakarta: Jalan Pintu Satu. _______. (2007). Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Penerbit Ombak. Hendro Subroto. (2009). Sintong Panjaitan: Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando. Jakarta: Kompas. James Luhulima. (2006). Menyingkap Dua Hari Tergelap di Tahun 1965: Melihat G30S dari Perspektif Lain. Jakarta: Kompas. Julius Pour. (2010). Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan & Petualang. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Jurusan Pendidikan Sejarah. (2006). Pedoman Penulisan Tugas Akhir Skripsi. Yogyakarta: Jurusan Pendidikan Sejarah FIS UNY. Komando Operasi Tertinggi. (1965). Tjatatan Kronologis di Sekitar Peristiwa G30S. Jakarta: Seksi Penerangan. Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto. (2008). Sejarah Nasional Indonesia V: Zaman Kebangkitan Nasional dan Masa Hindia Belanda. Jakarta: Balai Pustaka. Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. (2008). Sejarah Nasional Indonesia VI: Zaman Jepang dan Zaman Republik Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Mohammad Hatta, (2011). Untuk Negeriku: Sebuah Otobiografi. Jakarta: Kompas. Mohammad Hatta. (1996). Pengantar ke Jalan Ekonomi Sosiologi. Jakarta: FASCO. Nurcholish Majid. (2004). Indonesia Kita. Jakarta: Gramedia. Peter Kasenda. (1991). Sarwo Edhie Wibowo dan Operasi Militer: Penghancuran Gestapu/dan Pendobrak Orde Lama. ?: Prisma. Pusat Penerangan Angkatan Darat. (1965). Fakta-Fakta Persoalan Sekitar “Gerakan 30 September”. Jakarta: Balai Pustaka. Pustaloka. (2006). Saksi dan Pelaku GESTAPU (Pengakuan Para Saksi dan Pelaku Sejarah Gerakan 30 September). Yogyakarta: Media Presindo. Redaksi Tempo. Sarwo Edhie Wibowo dan Misteri 1965. Jakarta: Gramedia.
136
Ricklefs. M. C. (2008). Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi. Roosa, John. (2008). Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto’s Coup d’Etat in Indonesia. a.b. Hersri Setiawan. Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto. Jakarta: Institut Sejarah Sosial Indonesia dan Hasta Mitra. Sartono Kartodirdjo. (1993). Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Gramedia. Sayidiman Suryohadiprojo. (1981). Suatu Pengantar dalam Ilmu Perang. Masalah Pertahanan Negara. Jakarta: Intermasa. Storey, W. Kelleher. Writing History: A Guide for Students, a.b. Abdillah Halim. Menulis Sejarah: Panduan untuk Mahasiswa. Yogyakarta: Pustaka Belajar. Suhario Padmodiwiryo. (2008). Hario Kecik: Si Pemburu. Yogyakarta: Lkis Pelangi Aksara. Tribuana Said, D. S. Muljanto. (1983). Perlawanan Pers Indonesia (BPS) Terhadap Gerakan PKI. Jakarta: Sinar Harapan.
Arsip: Laporan Umum Situasi Bojolali Mendjelang Tanggal 30 September 1965 s/d Tanggal 9 November 1965. Komando Operasi Tertinggi, Tjatatan Kronologis di Sekitar Peristiwa G30S. Resimen Para Komando Angkatan Darat, Sarwo Edhie Wibowo, Formulir – Berita. Komando Daerah Inspeksi Kepolisian 95 Surakarta, Bahan Wawancara. Resimen Para Komando Angkatan Darat, Batalyon 1 Parako, Laporan: Kronologi dari Tanggal 1 November 1965 s/d 9 November 1965.
Surat Kabar: “Brigdjen Sarwo Edhie djadi dipindah: Karena akibat pembekuan PNI?”, Mertju Suar (23 Februari 1968). “Gelombang Massa-Aksi Rakjat Semarang Melanda G30S”, Suara Merdeka (21 Oktober 1965).
137
“Lemparan Baret Merah RPKAD Lumpuhkan Lawan”, Suara Merdeka (23 Oktober 1965). “Djam Malam di Semarang Mulai Hari ini”, Suara Merdeka (27 Oktober 1965). “Kehidupan di Surakarta Berdjalan Seperti Biasa”, Suara Merdeka (16 Oktober 1965). “RPKAD dan Pasukan ABRI Lainnja Gagalkan Tiap Usaha Pengatjauan G-30-S”, Suara Merdeka (26 Oktober 1965).
Narasumber: Nama Tempat, tanggal lahir Status Pekerjaan Alamat
: Murdiyah Hadiyati : 5 Februari 1925 : Kakak Sarwo Edhie Wibowo : Veteran/Mantan Ketua Gerakan Wanita Marhaens Purworejo : Purworejo
Nama Tempat, tanggal lahir Status Pekerjaan Alamat
: Yulia : 10 Maret 1950 : Anak Murdiyah Hadiyati. :: Purworejo
138
LAMPIRAN
139
LAMPIRAN 1 Foto Sarwo Edhie Wibowo, Mantan Komandan RPKAD.
Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Sarwo_Edhie_Wibowo
Sumber: www.google.com
140
LAMPIRAN 2 Kumpulan radiogram laporan dari Komandan RPKAD untuk Pangkostrad
(Sumber: Museum Mandala Bhakti Semarang, 11 Maret 2014)
141
LAMPIRAN 3 Kumpulan radiogram laporan dari Komandan RPKAD untuk Pangkostrad
(Sumber: Museum Mandala Bhakti Semarang, 11 Maret 2014)
142
LAMPIRAN 4 Kumpulan radiogram laporan dari Komandan RPKAD untuk Pangkostrad
(Sumber: Museum Mandala Bhakti Semarang, 11 Maret 2014)
143
LAMPIRAN 5 Kumpulan radiogram laporan dari Komandan RPKAD untuk Pangkostrad
(Sumber: Museum Mandala Bhakti Semarang, 11 Maret 2014)
144
LAMPIRAN 6 Senjata dan Kendaraan yang digunakan pasukan RPKAD
(Sumber: Museum Mandala Bhakti Semarang, 11 Maret 2014)
145
LAMPIRAN 7 Komando Daerah Inspeksi Kepolisisan 95 Surakarta
(Sumber: Museum Mandala Bhakti Semarang, 11 Maret 2014)
146
LAMPIRAN 8 Komando Daerah Inspeksi Kepolisisan 95 Surakarta
(Sumber: Museum Mandala Bhakti Semarang, 11 Maret 2014)
147
LAMPIRAN 9 Kehidupan di Surakarta Berdjalan Seperti Biasa”, Suara Merdeka (16 Oktober 1965).
(Sumber: Monumen Pers Solo, 15 April 2014)
148
LAMPIRAN 10 “Gelombang Massa-Aksi Rakjat Semarang Melanda G30S”, Suara Merdeka (21 Oktober 1965).
(Sumber: Monumen Pers Solo, 15 April 2014)
149
LAMPIRAN 11 Keputusan No. 1 Tentang Susunan Dewan Revolusi Indonesia
(Sumber: Arsip Nasional Republik Indonesia, 22 April 2014)
150
LAMPIRAN 12 Foto Wawancara bersama Bu Murdiyah Hadiyati dan Bu Yulia.
(Kiri: Bu Yulia, Kanan: Bu Murdiyah Hadiyati) (Sumber: Dokumentasi Pribadi)
151
TRANSKRIP WAWANCARA
Wawancara bersama Bu Murdiyah dan Bu Yulia di rumahnya di Purworejo pada 28 Mei 2014.
Tanya : Nama kecil dan setelah dewasa Sarwo Edhie Wibowo siapa? Jawab : Edhie/Sarwo Edhie, bapak Kartowilogo memberi nama Sarwo Edhie. Karena kata Edhie memberi arti yang baik, sedangkan kata Sarwo berarti serba. Setelah dewasa namanya ditambah menjadi Sarwo Edhie Wibowo. Tanya : Bagaimana pendidikan Sarwo Edhie semasa kecil? Jawab : Ketika masih zaman penjajahan Belanda, Sarwo Edhie dimasukkan ke sekolah Belanda, HIS. Sekolah yang merupakan tempat anak-anak pejabat dan bangsawan. Sekolah dengan pengantar Bahasa Belanda. Tanya : Sekolah di HIS berapa tahun dan setelah lulus, Sarwo Edhie melanjutkan sekolah dimana? Jawab : Menempuh pendidikan di HIS selama 7 tahun. Lulus dari HIS melanjutkan ke MULO. Sarwo Edhie yang diistimewakan oleh keluarga harus bisa masuk ke sekolah elite. Tanya : Setelah lulus MULO melanjutkan dimana? Jawab : Mendaftar militer di Surabaya. Sarwo Edhie ikut kakaknya yang telah bekerja di Surabaya. Tidak lama menempuh pendidikan militer di Surabaya kemudian Sarwo Edhie pulang kembali ke Purworejo. Tidak lama kemudian Ibu Sutini jatuh sakit dan kemudian meninggal. Tanya : Bagaimana sepengetahuan Anda tentang peranan Sarwo Edhie Wibowo sebagai Komandan RPKAD dalam penumpasan PKI di Jawa Tengah? Jawab : Saat itu kami berada di dalam rumah melihat patroli RPKAD di jalan di depan rumah. Seperti halnya di Purworejo, Sarwo Edhie menggerakkan patroli RPKAD ke daerah-daerah di Jawa Tengah. Sarwo Edhie sering datang ke Purworejo untuk melihat keadaan keluarganya. Tanya : Selain itu apakah Sarwo Edhie dalam operasi penumpasan PKI juga ikut melakukan pemantauan ke daerah-daerah?
152
Jawab : Ketika datang ke rumah di Purworejo, Sarwo Edhie pasti mendapat kawalan dari anak buahnya sebanyak 1 truck RPKAD, dan pastinya jika Sarwo Edhie sedang menuju ke daerah-daerah akan selalu dikawal anak buahnya. Setelah sampai di pos-pos militer daerah, Sarwo Edhie dan pasukannya langsung turun dan bergabung dengan polisi dan tokoh-tokoh masyarakat daerah. Jika trucknya berhenti di daerah kampung, Sarwo Edhie dan pasukannya langsung melakukan stelling dan penjagaan. Tanya : Bisa disebutkan siapa saja anggota militer yang tersangkut dalam G30S? Jawab : Menurut informasi dari batalyon-batalyon atau pengumuman pos-pos polisi daerah, dan juga laporan dari masyarakat desa, banyak anggota militer yang tersangkut mulai dari instansi pusat hingga dibawahnya. Banyak juga yang tertangkap ketika mulai diadakannya operasi penumpasan. Tanya : Massa PKI yang telah ditangkap kemudian diproses bagaimana? Jawab : Massa PKI yang telah tertangkap dari pengejaran kemudian dimasukkan ke dalam truk lalu dibawa pergi dan kebanyakan tidak kembali lagi ke tempat asal. Tanya : Setelah penumpasan di daerah-daerah di Jawa Tengah, Sarwo Edhie tinggal dimana? Jawab : Kembali lagi ke Cijantung, Jakarta. Ketika operasi penumpasan dirasa sudah cukup, Sarwo Edhie berpamitan kepada keluarga di rumah Purworejo. Selanjutnya mungkin meneruskan penumpasan ke daerah lain di luar Jawa Tengah. Tanya : Bagaimana Sarwo Edhie setelah penumpasan PKI? Jawab : Sarwo Edhie setelah penumpasan menjadi Pangdam Bukit Barisan di Medan dan setahun kemudian menjadi Pangdam Cendrawasih di Irian Jaya. Setelah itu Sarwo Edhie menjadi Gubernur Akademi Militer di Magelang, ia sering pulang ke rumah Purworejo. Dari Guberbur Akademi Militer Magelang, Sarwo Edhie diangkat menjadi duta besar di Korea Selatan. Kembali ke Indonesia dan menjabat sebagai Ketua BP7 di Jakarta. Setelah itu menjadi Komisaris Bank Bumi Daerah (BBD) hingga meninggal dunia. Tanya : Sarwo Edhie meninggal dunia karena sakit atau bagaimana? Jawab : Sarwo Edhie meninggal dunia karena sakit. Ketika itu Sarwo Edhie menjadi Bapak Wanadri. Sebelumnya saat itu mau mengikuti pelepasan anak-anak Wanadri di Lembang, sopir tidak datang-datang. Lalu Sarwo Edhie nekat menyetir mobil sendiri dari Jakarta menuju Lembang. Jalan yang dilalui Sarwo Edhie ramai. Sarwo Edhie terkena hipertensi. Keluarga melihat di foto-foto saat pelaksanaan
153
upacara pelepasan Wanadri, ketika itu di dalam foto, Sarwo Edhie terlihat memegang tangannya sendiri. Saat mau kembali ke Jakarta, Sarwo Edhie hanya menumpang mobilnya karena sudah ada yang menyetir. Dari Bandung langsung menuju kantor (BBD) tanpa mampir ke rumah di Cijantung. Ketika mau sampai Sarwo Edhie sudah tidak kuat dan merasa sakit, lalu tidak jadi ke kantor dan langsung dibawa ke rumah sakit. Tanya : Sarwo Edhie dirawat dirumah sakit mana dan berapa lama? Jawab : Dirawat di Metropolitan Micro Center (MMC), Jakarta. Terjadi pendarahan di otak dengan skala kecil dan masih bisa ditangani. Saya dulu bersama keluarga di Purworejo menjenguk Sarwo Edhie disana. Banyak prajurit-prajurit yang menjenguknya dari luar kamar, karena di dalam kamar sering penuh dengan pejabat-pejabat yang juga sedang menjenguknya. Tanya : Bagaimana keadaan Sarwo Edhie selanjutnya? Jawab : Beberapa bulan dirawat di MMC, pendarahannya semakin banyak dan Sarwo Edhie mengalami koma. Setelah itu Sarwo Edhie dibawa ke rumah sakit di Amerika. Tidak lama dirawat di Amerika Sarwo Edhie dipulangkan ke Indonesia karena dengan pertimbangan jika terjadi sesuatu akan lebih baik kalau ada di negara sendiri. Setelah sampai di Indonesia, Sarwo Edhie dipindah ke Rumah Sakit Gatot Subroto. Kemudian dicoba dioperasi dan berhasil namun kondisinya semakin menurun. Hingga pada akhirnya Sarwo Edhie meninggal dunia di rumah sakit. Tanya : Bagaimanakah proses pelaksanaan pemakaman Sarwo Edhie? Jawab : Sarwo Edhie akan dimakamkan di kampung halamannya di Purworejo. Setelah keluarga di Purworejo diberi kabar maka segera lah dibuat persiapanpersiapan untuk proses pemakaman Sarwo Edhie. Dari Jakarta, iring-iringan mobil untuk mengantarkan pulang jenazah Sarwo Edhie dilakukan oleh para petinggipetinggi Angkatan Darat. Setelah sampai di Purworejo, keluarga di rumah meminta agar jenazah Sarwo Edhie diistirahatkan dulu dirumahnya. Namun karena prosesi pelaksanaan pemakaman sudah diatur sedemikian rupa oleh TNI AD. Ketika iringiringan mobil melewati jalan di depan rumahnya, pemimpin proses pelaksanaan pemakaman memberikan perintah untuk menghentikan iring-iringan mobil dan memerintahkan membuka pintu belakang mobil yang mengangkut jenazah Sarwo Edhie sebagai wujud sapaan terakhir kepada keluarga-keluarga dirumahnya. Setelah itu iring-iringan mobil kembali berjalan menuju makam. Upacara pemakaman Sarwo Edhie diikuti oleh petinggi-petinggi TNI AD, prajurit-prajurit dari RPKAD/KOPASSUS dan dari Akademi Militer, serta semua keluarga Sarwo Edhie. Sarwo Edhie dimakamkan pada tanggal 10 november 1989.