PERAN KYAI ASY’ARI (KYAI GURU) DALAM BERDAKWAH DI KECAMATAN KALIWUNGU KABUPATEN KENDAL
SKRIPSI Disusun dan Diajukan guna Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana (S.1) Dalam Ilmu Dakwah
JURUSAN KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM (KPI)
Disusun Oleh : SHOLEKHATUL AMALIYAH NIM. 1105070
FAKULTAS DAKWAH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2010
KEMENTERIAN AGAMA RI INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO FAKULTAS DAKWAH SEMARANG Jl. Prof. DR. Hamka (Kampus III) Ngaliyan, Semarang Telp. (024) 7606405
NOTA PEMBIMBING Lamp. : 5 (Lima) Eksemplar Hal
: Persetujuan Naskah Skripsi Kepada Yth. Bapak Ketua Jurusan KPI Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang di Semarang Assalamu alaikum Wr. Wb. Setelah membaca, mengoreksi dan mengadakan perbaikan sebagaimana mestinya, maka kami menyatakan bahwa naskah proposal skripsi saudara: Nama
:
SHOLEKHATUL AMALIYAH
NIM
:
1105070
Konsentrasi
:
Penyiaran / Penerbitan / Khitobah
Judul Skripsi :
“PERAN
KYAI
ASY’ARI
DALAM
BERDAKWAH
DI
(KYAI
GURU)
KECAMATAN
KALIWUNGU KABUPATEN KENDAL” Maka dari itu kami mohon naskah proposal skripsi atas nama mahasiswa tersebut di atas segera disidangkan. Demikian nota ini kami buat atas perhatiannya diucapkan terima kasih. Wassalamu alaikum Wr. Wb. Semarang, 21 Juni 2010 Pembimbing, Bidang Substansi Materi
Bidang Metodologi & Tata Tulis
Ahmad Faqih, S.Ag. M.Si. NIP. 19730308 199703 1 004
Suprihatiningsih, S.Ag. M.SI. NIP. 19760510 200501 2 001
ii
SKRIPSI PERAN KYAI ASY’ARI (KYAI GURU) DALAM BERDAKWAH DI KECAMATAN KALIWUNGU KABUPATEN KENDAL Disusun Oleh: Sholekhatul Amaliyah 1105070 Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Pada tanggal 01 Juli 2010 Dan dinyatakan lulus memenuhi syarat Susunan Dewan Penguji Ketua Sidang
Sekretaris Sidang
DR. Hj. Yuyun Affandi, Lc., M.A. NIP. 19600603 199203 2 002
Suprihatiningsih, S.Ag. M.Si. NIP. 19760510 200501 2 001
Penguji I
Penguji II
DR. Ilyas Supena, M.Ag. NIP. 19720410 200112 1 003
Nur Cahyo, M.Kom. NIP. 19731222 200604 1 001
Pembimbing I
Pembimbing II
Ahmad Faqih, S.Ag. M.Si. NIP. 19730308 199703 1 004
Suprihatiningsih, S.Ag. M.SI. NIP. 19760510 200501 2 001
iii
MOTTO
3 «!$$Î/ tbqãZÏB÷sè?ur Ì•x6ZßJø9$# Ç`tã šcöqyg÷Ys?ur Å$rã•÷èyJø9$$Î/ tbrâ•ßDù's? Ĩ$¨Y=Ï9 ôMy_Ì•÷zé& >p¨Bé& uŽö•yz öNçGZä. ÇÊÊÉÈ tbqà)Å¡»xÿø9$# ãNèdçŽsYò2r&ur šcqãYÏB÷sßJø9$# ãNßg÷ZÏiB 4 Nßg©9 #ZŽö•yz tb%s3s9 É=»tGÅ6ø9$# ã@÷dr& šÆtB#uä öqs9ur Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (QS. Ali Imran: 110)
iv
PERSEMBAHAN
Dalam perjuangan mengarungi samudra Ilahi tanpa batas, dengan keringat dan air mata kupersembahkan karya tulis ini teruntuk orang-orang yang selalu hadir dan berharap keridhaan-Nya. Kupersembahkan bagi mereka yang tetap setia berada di ruang dan waktu dalam kehidupanku khususnya buat : •
Bapakku Faizin dan ibuku Shofiyatul Muniroh yang selalu mendo’akan dengan keikhlasan atas nama kasih sayang, serta tanggung jawab orang tua kepada anak. Semoga Allah SWT meridhainya dan memberi keberkahan atas hidup mereka.
•
Adik-adikku yang tercinta (d’ Lala, d’ Naim, d’Wahab), semoga kalian semua menjadi orang yang sukses fiddini waddunya wal akhiroh.
•
Sahabat spesialku ustadz Mansyur, atas segala motivasinya baik moral maupun material sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
•
Saudara spesialku Mas Rozi yang selalu menyayangi dan memotivasiku dalam menyelesaikan skripsi ini.
v
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri dan di dalamnya tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi di lembaga pendidikan lainnya. Pengetahuan yang diperoleh maupun yang belum atau tidak diterbitkan, sumbernya dijelaskan di dalam tulisan dan daftar pustaka.
Semarang, 21 Juni 2010
Sholekhatul Amaliyah NIM. 1150570
vi
ABSTRAKSI
Penelitian yang penulis teliti dalam skripsi ini: Peran Kyai Asy’ari (Kyai Guru) dalam Berdakwah di Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Kendal, untuk mendiskpsikan tentang Peran Kyai Asy’ari (Kyai Guru) dalam berdakwah di Kecamatan Kaliwungu kabupaten Kendal. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif, dalam penelitiannya penulis menganalisis terhadap data-data yang ada, selanjutnya dideskripsikan dengan kalimat dan disimpulkan beberapa laporan data. Data tersebut berasal dari dokumentasi, wawancara dan observasi, yang selanjutnya data tersebut disesuaikan sesuai bidangnya kemudian dipertemukan dengan teori yang ada dan akhirnya ditarik suatu kesimpulan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sosok Kyai Asy’ari (Kyai Guru) sebagai seorang ulama kharismatik, yang memiliki peran dakwah terhadap kemajuan umat Islam di Kaliwungu Kendal. Hasil penelitian ini adalah 1) Kyai Asy’ari (Kyai Guru) dalam mengenalkan kebudayaan mataram Islam kepada masyarakat Kaliwungu dengan pendekatan asimilasi budaya, memprtemukan kebijakan lokal dengan nilai-nilai Islam dalam ritual-ritual budaya Jawa. Ritual slametan yang berisi doa-doa dan sesajen untuk arwah nenek moyang diganti dengan dzikir dan tahlil yang bersisi doa-doa kepada Allah SWT. Dengan demikian Kyai Asy’ari tanpa mengubah bentuk ritualnya telah mengganti esensinya. 2) Kyai Asy’ari (Kyai Guru) dalam mengajarkan agama islam lebih menekankan ajaran tentang aqidah (tauhid), karena disesuaikan dengan kondisi situasi dan kebutuhan masyarakat Kaliwungu pada saat itu, sehingga dalam menyebarkan agama Islam tidak mengalami pertentangan dari masyarakat lokal justru mendapat dukungan dari masyarakat tersebut. 3) Kyai Asy’ari (Kyai Guru) adalah ulama atau Kyai Pertama yang mengenalkan metode kepesantrenan di wilayah Kaliwungu. Di mana metode tersebut merupakan metode yang paling efektif untuk membentuk generasi yang Islami.
vii
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Sebab atas hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada nabi Muhammad SAW, sebagai utusan Allah. Skripsi yang berjudul : Peran Kyai Asy’ari (Kyai Guru) Dalam Berdakwah Di Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Kendal disusun untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar sarjana dalam ilmu dakwah pada Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang. Penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, baik dalam bentuk ide, kritik, saran maupun dalam berbagai bentuk lainnya. Sehingga penyusunan skripsi ini dapat terealisasikan. Untuk itu penulis menyampaikan terimakasih kepada yang terhormat : 1. Prof.Dr. Abdul Jamil, MA, selaku Rektor IAIN Walisongo 2. Drs. H.M. Zain Yusuf, MM.selaku Dekan Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang. 3. Drs. Ali Murtadho, M.Pd selaku pembantu dekan 1 4. Drs. Fahrur Rozi, M.Ag selaku ketua jurusan KPI 5. Ahmad Faqih S.Ag, M.Ag di tengah kesibukannya sebagai sekretaris jurusan KPI masih memberikan bimbingan secara detail pada aspek materi skripsi ini 6. Suprihatiningsih, S,Ag, M. Ag di tengah kesibukannya sebagai Pengurus divisi kelembagaan laboratorium dakwah masih memberikan bimbingan dan
viii
arahan terhadap metodologi skripsi ini. Serta terimakasih atas segala pelajaran dan ilmu yang telah diajarkan kepada kami. 7. Segenap dosen Fakultas Dakwah yang telah mengasuh dan membantu, baik dalam studi maupun kegiatan di luar kampus. 8. Seluruh staf dan karyawan perpustakaan Institut Agama Islam Negeri Walisongo serta karyawan perpustakaan Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang yang telah memberikan pelayanan kepustakaan kepada penulis selama studi. 9. Sahabat-sahabatku KPI, BPI dan MD khususnya angkatan 2005, Ulfa, Ina, Fazat, Silvi, mb Pink, Amel, Imas, Zum, mas Nur, chamid, mas Boy, Gini, Tian, Dwi, mb Tun, Rohmah, Nurul, Zul, is, lekha, dan semuanya yang telah mengajarkan hidup sederhana dan selalu dekat dengan Tuhan. 10. Sahabat-sahabatku di Kordais, PMII, PPTQ dulu, IPNU-IPPNU, jam’iyyah ASWAD dan TPQ yang telah belajar berorganisasi bersama. Semoga kebaikan dan keikhlasan yang telah diberikan akan mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT. Akhirnya hanya kepada Allah penulis berserah diri, dan semoga apa yang tertulis dalam skripsi ini bisa bermanfaat khususnya bagi penulis sendiri dan para pembaca pada umumnya. Semarang, 21 Juni 2010
Sholekhatul Amaliyah NIM. 1150570
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL............................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING …….... ...................
ii
HALAMAN PENGESAHAN ………………….................................
iii
HALAMAN MOTTO ………………………......................................
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN …………………………….......... ....
v
HALAMAN DEKLARASI ………………………….........................
vi
HALAMAN ABSTRAK ………………………..................................
vii
HALAMAN KATA PENGANTAR…………………..................... ...
viii
DAFTAR ISI ………………………………........................................
x
BAB I
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ..................................................
1
1.2 Rumusan Masalah……………………............................
9
1.3 Tujuan dan Manfaat………………….............................
9
1.3.1. Tujuan penelitian.................................................
9
1.3.2. Manfaat penelitian...............................................
10
1.4 Tinjauan Pustaka………………………………......... .....
10
1.5 Metode Penelitian……………………………. ...............
12
1.5.1 Jenis dan pendekatan penelitian............................
12
1.5.2 Sumber data .........................................................
13
1.5.3 Teknik pengumpulan data ....................................
14
x
1.5.4 Analisis data.........................................................
15
1.6 Sistematika Penulisan Skripsi…………………… ..........
16
BAB II PERAN DAN DAKWAH
BAB III
2.1 Peran……………...........................................................
19
2.1.1 Pengertian peran dan teori peran ...........................
19
2.1.2 Pengertian peranan sosial .....................................
21
2.1.3 Perangkat peran....................................................
23
2.1.4 Perilaku peran ......................................................
23
2.2 Dakwah……………………………................................
30
2.2.1 Pengertian dakwah ...............................................
30
2.2.2 Dasar dan tujuan dakwah......................................
38
2.2.3 Unsur-unsur dakwah ............................................
44
GAMBARAN UMUM KABUPATEN
KECAMATAN KALIWUNGU
KENDAL
DAN
BIOGRAFI
KYAI
ASY’ARI (KYAI GURU) 3.1 Gambaran Umum Kecamatan Kaliwungu.......................
67
3.1.1 Letak Geografis/Demorafi.. ..................................
67
3.1.2 Kondisi sosial masyarakat Kaliwungu ..................
69
3.2 Biografi Kyai Asy’ari (Kyai Guru) .................................
73
xi
BAB IV
ANALISIS PERAN KYAI ASY’ARI (KYAI GURU) DALAM
BERDAKWAH
DI
KECAMATAN
KALIWUNGU KABUPATEN KENDAL 4.1 Peran Kyai Asy’ari (Kyai Guru) dalam berdakwah di Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Kendal ....................
80
4.1.1 Kyai Asy’ari (Kyai Guru) mengenalkan budaya Mataram Islam di Kaliwungu ...............................
82
4.1.2 Kyai Asy’ari (Kyai Guru) mengenalkan ajaran Islam di Kaliwungu .......................................................
96
4.1.3 Kyai Asy’ari (Kyai Guru) mendirikan pondok pesatren salaf APIP (Asrama Pelajar Islam Pesantren) Kaliwungu ...........................................................
99
BAB V : PENUTUP 5.1 Kesimpulan ....................................................................
111
5.2 Saran-saran.....................................................................
112
5.3 Penutup ..........................................................................
112
Daftar Pustaka Lampiran-Lampiran Daftar Riwayat Hidup Penulis
xii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah Setiap muslim memanggul tanggungjawab, tugas dan kewajiban mulia untuk berdakwah atau menjadi pendakwah. Artinya, setiap muslim bertugas dan berkewajiban menjadi pengajak dan penyeru atau pemanggil kepada umat untuk melaksanakan amar-makruf dan nahi-munkar. Mengajak kepada kebaikan dan meninggalkan kenistaan (Ardana,1995:11). Setiap muslim yang akan melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagai pendakwah- pengajak, penyeru dan pemanggil umat, harus senantiasa berpegang kepada segala ketentuan serta keterangan yang ada dalam Al-Qur’an dan Hadist Nabi adalah ajaran-ajaran yang sarat dengan ketentuan dan ajakan untuk meraih kebahagiaan, keseimbangan, kemajuan, keberhasilan serta ketentraman hidup di dunia dan akhirat. Dengan kata lain, Al-Qur’an dan Hadist mengingatkan umat untuk meninggalkan serta menjauhkan diri dari kemungkaran, kenistaan, kebutuhan, kebatilan, kesewenang-wenangan, kebodohan dan keterbelakangan (Ardhana,1995:13). Kebahagiaan, kemajuan dan ketentraman hidup merupakan dambaan setiap insan. Sedangkan musuh utama manusia yang harus dijauhi atau disingkirkan adalah kemungkaran, kenistaan, kebatilan, kebodohan dan keterbelakangan. Musuh utama umat manusia harus ditinggalkan, karena ia menghambat upaya atau keinginan manusia untuk mencapai sasarannya yang
1
gemilang, maka dakwah Islam haruslah diarahkan kepada langkah-langkah untuk
menghancurkan
atau
memusnahkan
kemungkaran,
kenistaan,
kebodohan dan keterbelakangan itu (Ardhana, 1995: 4). Selanjutnya salah satu aktivitas keagamaan yang secara langsung digunakan untuk mensosialisasikan ajaran islam bagi penganutnya dan umat manusia pada umumnya adalah aktivitas dakwah. Aktivitas ini dilakukan baik melalui lisan, tulisan, maupun perbuatan nyata (Munir, 2006: 1) Dakwah harus diarahkan untuk merangsang jiwa dan semangat umat agar senantiasa membangun diri demi meraih keberhasilan, kebahagiaan dan ketentraman hidup, tidak saja di dunia tapi juga di akhirat. Sebab, Islam tidak akan pernah mampu berkembang dengan baik, bila umatnya terbelakang, bodoh dan tidak dapat menempatkan diri di tengah perkembangan dan kemajuan teknologi yang berlangsung. Umat Islam memang harus menjadi umat yang berpikiran maju, pandai, dinamis, kreatif dan peka terhadap segala aspek perkembangan kehidupan yang ada. Dalam pengertian, umat Islam harus mampu memandang dan mengantisipasi perkembangan serta gejolak kehidupan disekitarnya dengan cermat, hati-hati dan mawas diri. Tidak seorang muslim pun yang rela serta menginginkan Islam tertinggal dan terbelakang. Terlebih-lebih di era globalisasi dan kemajuan teknologi yang pesat ini. Oleh karena itu, dakwah demi syiar Islam haruslah senantiasa digalakkan dan dikembangluaskan (Ardhana, 1995: 15) Secara kualitatif dakwah Islam bertujuan untuk mempengaruhi dan mentransformasikan sikap batin dan perilaku warga masyarakat menuju suatu
2
tatanan kesalehan individu dan kesalehan sosial. Dakwah dengan pesan-pesan keagamaan dan pesan-pesan sosialnya juga merupakan ajakan kepada kesadaran untuk senantiasa memiliki komitmen (Istiqomah) di jalan yang lurus. Dakwah adalah ajakan yang dilakukan untuk membebaskan individu dan masyarakat dari pengaruh eksternal nilai-nilai syaithaniah dan kejahiliahan menuju internalisasi nilai-nilai ketuhanan. Disamping itu, dakwah juga bertujuan untuk meningkatkan pemahaman keagamaan dalam berbagai aspek ajarannya agar diaktualisasikan dalam bersikap, berfikir dan bertindak. Dalam konteks inilah relevansi dakwah hadir sebagai solusi bagi persoalanpersoalan yang dihadapi umat, karena didalamnya penuh dengan nasehat, pesan keagamaan dan sosial, serta keteladanan untuk menghindari diri dari hal-hal negatif-destruktif kepada hal-hal positif-konstruktif dalam ridlo Allah SWT. Relevansi ini semakin signifikan apabila dakwah dilakukan secara profesional, sehingga dapat mengakomodasi semua lapisan masyarakat serta menyentuh aspek akal dan rohaniyah. Kemampuan profesional dalam berdakwah semakin dituntut karena persoalan dan problematika masyarakat semakin kompleks dan masyarakat saat ini semakin kritis dalam merespons segala sesuatu. (Munir, 2006: 2) Kecenderungan masyarakat untuk mencari solusi kepada ajaran Islam dalam
menghadapi
problematika
kehidupan
dan
masalah-masalah
kontemporer merupakan tantangan bagi para pelaku dakwah. Dalam konteks ini, maka para pelaku dakwah dituntut untuk menampilkan ajaran Islam secara rasional dengan memberikan interpretasi kritis untuk merespons nilai-nilai
3
yang masuk melalui berbagai saluran informasi dari seluruh penjuru dunia yang pengaruhnya semakin mengglobal. Artinya, dakwah harus dikemas sedemikian rupa untuk mampu mempengaruhi persepsi masyarakat bahwa nilai-nilai ajaran Islam lebih tinggi nilainya daripada nilai-nilai yang lain. Disamping itu, dakwah juga harus menampilkan Islam sebagai ikon rahmat semesta (rahman lil alamin) bukan saja pada aspek pandangan hidup bagi umat Islam, tapi juga untuk umat lainnya sebagai keuniversalannya. Dengan demikian, dakwah berfungsi sebagai sarana pemecahan permasalahan umat manusia, karena dakwah merupakan sarana penyampaian informasi ajaran Islam, didalamnya mengandung dan berfungsi sebagai edukasi, kritik dan kontrol sosial. (Munir, 2006: 4) Apabila kita memperhatikan Al-Qur’an dan As-sunnah maka kita akan mengetahui, sesungguhnya dakwah menduduki tempat dan posisi utama, sentral, strategis dan menentukan. Keindahan dan kesesuaian Islam dengan perkembangan zaman, baik dalam sejarah maupun praktiknya, sangat ditentukan oleh kegiatan dakwah yang dilakukan umatnya. Materi dakwah maupun metodenya yang tidak tepat, sering memberikan gambaran (image) dan persepsi yang keliru tentang Islam. Demikian pula kesalahpahaman tentang makna dakwah, menyebabkan kesalahlangkahan dalam operasi dakwah. Sehingga, dakwah sering tidak membawa perubahan apa-apa, padahal tujuan dakwah adalah untuk mengubah masyarakat sasaran dakwah ke arah kehidupan yang lebih baik dan lebih sejahtera, lahiriah maupun batiniah (Hafidhudin,1998:67).
4
Untuk mewujudkan hal tersebut maka diperlukan para da’i atau kualitas lembaga-lembaga dakwah yang mengorganisir dan mencetak para da’i melainkan harus dilengkapi dengan beberapa syarat atau faktor lain. Diantara faktor yang sangat diperlukan ialah kualitas para da’i dan keikhlasan dalam menyampaikan atau menyiarkan dakwah serta menggunakan metode yang sesuai dengan objek yang didakwahi. Bukan hal yang berlebihan apabila dikatakan bahwa sukses tidaknya suatu dakwah, suatu perbaikan masyarakat banyak tergantung pada pelaksana dakwah atau da’i (Syukir,1983:34). Kyai Asy’ari adalah ulama Mataram yang ditugaskan untuk berdakwah, menyebarkan agama Islam, setelah bermukim di Mekkah untuk mempelajari Agama Islam. Sekitar tahun 1780-an,kyai Asy’ari datang di Kaliwungu. Ia kemudian bermukim di kampung yang saat ini terkenal dengan nama Kampung Pesantren, Desa Krajan Kulon. Di kampung Pesantren itulah kyai Asy’ari merintis mengajarkan Islam dengan kitab kuningnya dengan mendirikan sebuah pondok pesantren Salaf, yang sekarang ini menjadi Pondok APIP (Asrama Pelajar Islam Pesantren). Karena fasilitas belum memadai ia menggunakan musholla sebagai tempat untuk belajar para santri, yang sekarang ini menjadi Musholla Al-Asy’ari tepatnya di kampung Pesantren desa Krajankulon. Kyai Asy’ari merupakan tokoh ulama Kaliwungu yang kharismatik, sehingga banyak orang yang ingin berguru dan menimba ilmu darinya. Ia memiliki santri-santri yang berasal dari beberapa daerah seperti Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur dan daerah lainnya. Karena banyaknya santri
5
sehingga tempat tinggal kyai Asy’ari tidak mampu untuk menampung para santri, maka dibuatlah pondok untuk para santri sebagai tempat tinggalnya. Kemudian bersama para santri dibangunlah Masjid yang pertama di Kaliwungu yang sekarang dikenal dengan Masjid Besar Al-Muttaqin Kaliwungu. Meskipun kyai Asy’ari dikenal sebagai pemimpin pondok pesantren, yang memiliki banyak santri dan ilmunya sangat tinggi, namun dengan kerendahan hatinya ia bersedia mengajarkan ilmu-ilmu agama Islam kepada anak kecil sampai orang yang lanjut usia sekalipun. Dalam berdakwah kyai Asy’ari sangat luar biasa bahkan mau mendatangi tempat tinggal seseorang, dari suatu tempat ke tempat lain. Karena ia tahu kondisi masyarakat pada saat itu sangat memprihatinkan, masih awam dan jauh dari nilai-nilai agama Islam. Kemudian sangat sulit diatur, suka berkelahi, berjudi, mabuk-mabukan, suka memuja dan menyembah benda-benda yang dikeramatkan, arwah para leluhur dan lain sebagainya yang sangat dilarang oleh agama Islam. Dengan kondisi masyarakat seperti itu, kyai Asy’ari sebagai ulama sekaligus kyai, pendiri dan pemimpin pondok pesantren, kemudian mencoba melakukan dakwah di lingkungan tersebut. Karena kondisi masyarakat yang masih awam, kyai Asy’ari mencoba melakukan pendekatan dakwah yang agak berbeda. Masyarakat Kaliwungu pada saat itu mempunyai kebiasaan memuja dan mendewakan benda-benda seperti pusaka dan lain sebagainya, dan arwah para leluhur yang dianggap mempunyai kekuatan dan kesaktian yang dapat memberikan segala sesuatu yang diminta. Untuk mengatasi hal itu, agar
6
mereka segera menghentikan kebiasaan tersebut, kyai Asy’ari bersama santrinya mengadakan pengajian yang berisi dzikir dan tahlil agar masyarakat Kaliwungu lebih mendekatkan diri kepada Allah dan sadar akan kesalahannya. Melalui pengajian itu kyai Asy’ari mengajarkan banyak hal tentang ajaran agama Islam. Salah satunya ajaran ketauhidan, sebagai permulaan bahwa seseorang akan masuk Islam adalah percaya dan yakin bahwa tidak ada Tuhan yang pantas disembah kecuali Allah SWT, yang terkandung dalam kalimah
“Laailahaillallah”,
sesungguhnya
sebaik-baik
dzikir
adalah
“Lailahailallah”. Pada kalimat itu terdapat perkara menafikan yang lain daripada Allah dan mengistinbatkan Allah Ta’ala (Abdullah,1930:44). Disamping kegiatan dzikir, metode ceramah atau pengajian tetap dilakukan di Musholla, Masjid ataupun pondok. Kegiatan dzikir dimaksudkan untuk selalu ingat kepada Allah SWT. Tidak ada tuhan yang wajib di sembah kecuali Allah SWT, tidak ada kekuatan melainkan kekuatan Allah, yang memberikan pertolongan hanya Allah SWT, segala sesuatu hanyalah milik Allah dan akan kembali pada Allah SWT, itulah makna ajaran dzikir Laailahaillalllah yang dimaksud. Perjuangan kyai Asy’ari tidak dapat dicapai dalam waktu singkat, akan tetapi membutuhkan waktu bertahun-tahun lamanya. Berkat ketekunan dan kesabarannya akhirnya kyai Asy’ari bisa mengajak seluruh masyarakat Kaliwungu khususnya dan masyarakat Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Kendal umumnya menjadi seratus persen muslim sejati.
7
Kyai Asy’ari disebut juga kyai guru, karena ulama ini mempunyai banyak santri dan hampir semuanya menjadi ulama besar, antara lain kyai Sholeh Darat Semarang (1820-1903), kyai Bulkin dari Mangkang, kyai Anwarudin dari Bendokerep (Kriyan) Cirebon , kyai Ahmad Rifa’i (17861876) seorang ulama kharismatik tokoh jamaah Rifa’iyah dan kyai Musa dicatat pernah menjalani bai at thariqat syatariyah pada kyai Asy’ari selaku khalifah ahli thariqat syatariyah. Apabila kita telusuri lebih dalam sesungguhnya peran kyai Asy’ari di Kaliwungu sangat besar, berkat beliau Kaliwungu terkenal sebagai “Kota Santri”. Hal ini terbukti dengan banyaknya pondok pesantren dan madrasah secara produktif melahirkan kader-kader santri yang berkualitas, baik santri domestik Kaliwungu Kendal, maupun santri-santri yang datang dari berbagai daerah di tanah air, seperti dari kawasan Jakarta, Cirebon, Tanggerang, Tegal, Pekalongan, Demak, Rembang dan bahkan dari luar Jawa seperti Lampung, Padang, Madura, NTB. Kyai Asy’ari seorang ulama besar yang telah berjasa pada daerah dan Negeri ini. Karena keikhlasan jiwa dan raga nya itulah pada masa hidup dan akhir hayat bahkan setelah meninggal dunia pun ia tetap dihormati (Rokhani,2005:36). Berkat usaha dakwah yang dilakukan kyai Asy’ari pada saat itu, sehingga masyarakat Kaliwungu dan sekitarnya yang masih awam agama, bisa sadar akan keberadaan dirinya. Walaupun sudah berabad lamanya kyai Asy’ari wafat namun kharisma beliau masih terasa, hal itu terbukti dengan
8
selalu ramainya Makam kyai Asy’ari setiap hari dan Malam Jum’at, terlebih pada saat khaulnya digelar setiap tahunnya pada tanggal 8 Syawal. Dari latar belakang masalah tersebut, penulis ingin mengkaji lebih dalam tentang Peran Kyai Asy’ari (Kyai Guru) dalam berdakwah di Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Kendal.
1.2. Rumusan Masalah Bertumpu pada latar belakang masalah tersebut, maka muncul pokok permasalahan yang menjadi fokus kajian dari penulis yaitu bagaimana peran kyai Asy’ari (Kyai Guru) dalam berdakwah di kecamatan Kaliwungu Kabupaten Kendal ?
1.3. Tujuan dan Manfaat a. Tujuan Dalam penelitian ini ada beberapa tujuan yang hendak dicapai yakni: 1) Tujuan Formal Untuk
memenuhi
tugas
dan
melengkapi
syarat
guna
memperoleh gelar sarjana dalam ilmu dakwah. 2) Tujuan Fungsional Untuk mengetahui Peran kyai Asy’ari (Kyai Guru) dalam berdakwah di Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Kendal.
9
b. Manfaat 1. Manfaat secara teoritis hasil penelitian ini akan menambah khazanah keilmuan dakwah. Dan juga sebagai kontribusi terhadap aplikasi dakwah Islamiyah sesuai dengan misi Islam rahmatan lil alamin. 2. Manfaat secara praktis penelitian ini adalah dapat memberikan nilai positif sebagai upaya membantu memecahkan masalah dakwah Islam dimasa sekarang.
1.4. Tinjauan Pustaka Sebagai bahan telaah pustaka pada skripsi ini, penulis mengambil beberapa judul skripsi yang ada relevansinya dengan skripsi yang penulis kaji, diantaranya sebagai berikut: Nilnan Ni’mah (2004) dalam skripsinya “Aktivitas dan Pemikiran Dakwah Kyai bin Hasan Kafrowi , menyatakan bahwa metode tadriji atau step by step, yaitu pemberian materi dakwah dengan cara bertahap dan berkesinambungan sesuai dengan situasi dan kondisi sasaran dakwahnya. Materi diberikan sedikit demi sedikit sehingga sasaran dakwah benar-benar memahami materi ajaran islam dari yang paling dasar. M. Fathur Rofik (2004) dalam skripsinya “Metode Dakwah Dan Perjuangan K.H.A Nasucha dalam berdakwah meliputi ceramah dan pengajian serta dakwah bil hal, angkat senjata”, karena metode ini sangat tepat diterapkan terhadap masyarakat yang sedang dijajah (perang) dan dirusaknya nilai-nilai murni ajaran Islam, selain itu menggunakan metode
10
silaturrahim untuk menetapkan keyakinan dan keimanan masyarakat. Penulis dalam meneliti menggunakan pendekatan historis yang kemudian dianalisis menggunakan metode deskriptif, dan analisis induktif. Lutfi Yarohmi (2003) dalam skripsinya “Aktivitas Dakwah dan Pemikiran Dakwah Drs. K.H. Dzikron Abdullah , menyatakan bahwa dalam mengembangkan dakwah Islam digunakan sarana atau media, seperti lembaga pendidikan, organisasi Islam, peringatan hari besar Islam, melalui media massa dan instalasi pemerintah, dan lain-lain, disampaikan lewat lisan, tulisan, perbuatan dan akhlak materi yang disampaikan bersumber dari Al-qur’an, hadits, kitab kuning yang disesuaikan dengan event, waktu, mad u dan metode yang di pakai. Dzikron Abdullah juga menggunakan metode pengajian yang dilakukan dengan pendekatan tasawuf (ketauhidan dan pembinaan jiwa). Dengan ajaran pokok cinta kepada Allah dan Rosulnya, yang dari situ akan mengarah pada masa kini sebagai salah satu cara untuk mengantisipasi masyarakat dalam kondisi krisis moral, spiritual, dan lain-lain dari segi spiritualnya (jiwa atau batinnya). Dari ketiga kajian tentang metode dan strategi tersebut, terdapat perbedaan dengan penelitian yang tengah penulis lakukan, perbedaannya meliputi tokoh yang penulis kaji maupun letak geografisnya. Pada skripsi ini akan di fokuskan pada pembahasan mengenai peran kyai Asy’ari (Kyai Guru) dalam berdakwah di Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Kendal.
11
1.5. Metode Penelitian Untuk menghasilkan suatu penelitian yang valid, maka harus di lakukan pendekatan ilmiah yang tersusun secara sistematis supaya isinya juga dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Maka dari itu peneliti menggunakan metode antara lain adalah: 1.5.1 Jenis dan Pendekatan Penelitian a. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif karena penelitian ini bermaksud untuk membuat deskripsi mengenai situasi-situasi atau kejadian-kejadian (Suryabrata, 1998: 18). b. Pendekatan Penelitian Pendekatan yang dilakukan peneliti adalah pendekatan psikologis supaya mengetahui tentang prilaku manusia, baik sebagai
mahluk
individu,
mahluk
sosial ataupun mahluk
berketuhanan (Gerungan, 2004: 27). Kajian di dalamnya mengenai faktor dasar dan tingkah laku manusia seperti watak, kemampuan, pendidikan, aktivitas dan lain-lain. Berkaitan dengan peran kyai Asy’ari (kyai Guru) dalam berdakwah di Kecamatan Kaliwuingu Kabupaten Kendal, maka pengetahuan tentang diri pribadi manusia diperlukan, sehingga dengan pendekatan ini diharapkan dapat diketahui peran kyai Asy’ari (kyai Guru) dalam berdakwah di Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Kendal.
12
1.5.2. Sumber Data a. Data Primer Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari subjek penelitian (Arikunto, 1992: 102). Sebagai data primer dalam penelitian ini, maka ada beberapa buku yang menjadi acuan dengan judul skripsi ini antara lain: Ahmad Hamam Rohani (Kyai Guru dari Mataram sampai Kaliwungu), Muhammad Abdullah (Meretas Ziarah dari Kyai Guru sampai Kyai Musyafa
Profil Syawalan
Kaliwungu),
Muhammad
Abdullah
(Menyoal Kota Santri Kaliwungu), Ahmad Hamam Rochani (Babad Tanah Kendal), Drs. Asro’ie Thohir (Al-Muttaqin Potret Kota Santri), H. Ahmad Syaddzirin Amin (Mengenal Ajaran Tarajumah syaikh H.A Rifa i dengan Madzhab Ahlisunnah Wal Jama ah) dan H. Ahmad Syadziri Amin (Gerakan Syaikh Ahmad Rifa i dalam menentang Kolonial Belanda). Selain dari beberapa buku tersebut diatas penulis juga melakukan wawancara dan observasi untuk menguatkan data dalam penelitian ini, wawancara di lakukan dengan beberapa informan antara lain; KH. Muhibbudin (keturunan ke-7 langsung dari kyai Asy’ari), H. Farhan (kampung Pesantren Kaliwungu, trah kyai Asy’ari), KH. Khafidzin Ahmad Dum (pengasuh pondok pesantren Saribaru), KH. Drs. Asro’i Thohir, M.PdI (ketua pengurus yayasan A-Muttaqin Kaliwungu), Prof. Dr. H. Mudjahirin Tohir dan Drs. Muhammad
13
Abdullah, M. Hum (panitia takmir masji al-Muttaqin dan syawalan Kaliwungu), dan KH. Sholahuddin Humaid (kyai atau ulama Kaliwungu, pidato Syawalan di makam kyai Asy’ari).
b. Data Sekunder Data sekunder adalah sumber data yang diperoleh lewat pihak lain, tidak langsung diperoleh dari subjek penelitian (Azwar, 1998:91). Penulis mengambil sumber data sekunder dari hasil penelitian yang terkait dengan judul skripsi ini antara lain: buku, jurnal ilmiah, artikel, majalah, surat kabar, dan artikel dari internet.
1.5.3. Teknik Pengumpulan Data Dalam
Pengumpulan
data-data
yang
diperlukan,
penulis
menggunakan beberapa teknik yaitu: a. Dokumentasi Menurut Sumadi Suryabrata, kualitas data ditentukan oleh kualitas alat pengambil data atau alat pengukurnya (Suryabrata, 1998: 84). Berpijak dari keterangan tersebut, peneliti menggunakan teknik pengumpulan data berupa teknik dokumentasi, dengan cara mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, dokumen, notulen rapat, agenda dan sebagainya (Arikunto, 2002: 231). Teknik ini digunakan untuk
14
memperoleh data mengenai peran kyai Asy’ari (kyai Guru) dalam berdakwah di Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Kendal. b. Wawancara Upaya penghimpunan data yang akurat untuk keperluan melaksanakan proses pemecahan masalah tertentu, yang sesuai dengan data. Data yang diperoleh dengan teknik ini adalah dengan cara tanya jawab secara lisan dan tatap muka langsung antara seorang atau beberapa orang pewawancara dengan seorang atau beberapa orang yang diwawancarai (Bachtiar,1997: 72). Untuk melengkapi data yang diperlukan, penulis mengadakan wawancara langsung dengan beberapa informan tersebut diatas untuk mendapatkan informasi yang dapat mendukung data yang diperoleh melalui dokumentasi. c. Observasi Sebagi metode ilmiah, observasi bisa diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan dengan sistematis atas fenomena-fenomena yang diteliti (Hadi, 2004: 151). Penulis melakukan pengamatan langsung pada peran kyai Asy’ari (kyai Guru) dalam berdakwah di kecamatan Kaliwngu Kabupaten Kendal.
1.5.4. Analisis Data Setelah memperoleh data-data hasil dokumentasi, wawancara dan observasi maka skripsi ini dalam menganalisis data menggunakan uji
15
analisis non statistik. Langkah selanjutnya adalah mengklasifikasikannya sesuai dengan permasalahan yang diteliti, kemudian data-data tersebut disusun dan dianalisis dengan metode analisis data. Metode analisis data adalah jalan yang ditempuh untuk mendapatkan ilmu pengetahuan dengan mengadakan perincian terhadap obyek ilmiah tertentu dengan jalan memilah-milah antara pengertian yang satu dengan yang lain guna memperoleh kejelasan mengenai halnya (Sudarto, 2002: 59). Untuk mendukung hal tersebut, maka penulis dalam menganalisis menggunakan metode Analisis Deskripsi Kualitatif, yaitu melakukan analisis hanya sampai pada taraf deskripsi, yaitu menganalisis dan menyajikan fakta secara sistematik sehingga dapat lebih mudah untuk dipahami dan disimpulkan (Azwar, 2005: 6). Dengan demikian penekanan analisis deskripsi adalah menyajikan data dengan cara menggambarkan senyata mungkin sesuai dengan data yang diperoleh dari hasil penelitian. Karena tujuan analisis data ini adalah menyederhanakan data dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan (Hadari, 1997;18).
1.6. Sistematika Penulisan Bagian awal skripsi ini memuat halaman sampul depan, judul halaman, nota pembimbing, halaman persetujuan atau pengesahan, halaman pernyataan, abstraksi, kata pengantar dan daftar isi.
16
BAB I
PENDAHULUAN Pendahuluan berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metodologi penelitian, (meliputi: jenis penelitian, sumber data, teknik pengumpulan data dan analisis data), dan sistematika penulisan skripsi.
BAB II PERAN DAN DAKWAH Bab ini menguraikan secara umum tentang landasan teori yang berisi gambaran umum tentang pengertian peran, teori peran, peranan sosial, perangkat peran, perilaku peran. Pengertian dakwah, dasar dan tujuan dakwah dan unsur-unsur dakwah. BAB III GAMBARAN
UMUM
KECAMATAN
KALIWUNGU
KABUPATEN KENDAL DAN BIOGRAFI KYAI ASY’ARI (KYAI GURU) Bab ini menguraikan gambaran umum tentang kondisi sosial masyarakat Kaliwungu dan tentang biografi Kyai Asy’ari. BAB IV ANALISIS PERAN KYAI ASY’ARI (KYAI GURU) DALAM BERDAKWAH
DI
KECAMATAN
KALIWUNGU
KABUPATEN KENDAL Bab ini merupakan inti yang akan menganalisis, peran kyai Asy’ari (Kyai Guru) dalam berdakwah di Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Kendal, yang meliputi: Kyai Asy’ari (Kyai Guru) mengenalkan budaya Mataram Islam di Kaliwungu, Kyai Asy’ari
17
(Kyai Guru) mengenalkan ajaran Islam di Kaliwungu dan Kyai Asy’ari (Kyai Guru) mendirikan pondok pesatren salaf APIP (Asrama Pelajar Islam Pesantren) Kaliwungu BAB V PENUTUP Bab ini berisi kesimpulan dari hasil penelitian, saran-saran dan kata penutup
18
BAB II PERAN DAN DAKWAH
2.1. Peran 2.1.1. Pengertian Peran Dan Teori Peran a. Pengertian Peran Peran adalah perilaku yang diharapkan dari seseorang yang mempunyai suatu status (Horton, 1999: 118). Status atau kedudukan didefinisikan sebagai suatu peringkat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok, atau posisi suatu kelompok dalam hubungannya dengan kelompok lainnya. Setiap orang mungkin mempunyai sejumlah status dan diharapkan mengisi peran sesuai dengan status tersebut. Dalam arti tertentu, status dan peran adalah dua aspek dari gejala yang sama. Status adalah seperangkat
hak
dan kewajiban,
sedangkan
peran adalah
pemeranan dari seperangkat kewajiban dan hak-hak tersebut (Horton, 1999: 119). Peranan atau peran (role) merupakan aspek dinamis kedudukan (status). Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya maka dia menjalankan suatu peranan (Soekanto, 2002: 243). Pentingnya peranan adalah karena ia mengatur perilaku seseorang. Peranan menyebabkan seseorang pada batas-batas tertentu dapat meramalkan perbuatanperbuatan orang lain. Peranan diatur oleh norma-norma yang
19
berlaku. Misalnya, norma kesopanan menghendaki agar seorang laki-laki bila berjalan bersama seorang wanita, harus di sebelah kiri (Soekanto, 2002: 243). Peranan yang melekat pada diri seseorang harus dibedakan dengan posisi dalam pergaulan kemasyarakatan. Posisi seseorang dalam masyarakat (yaitu social-position) merupakan unsur statis yang menunjukkan tempat individu pada organisasi masyarakat. Peranan lebih banyak menunjuk pada fungsi, penyesuaian diri dan sebagai suatu proses. Jadi, seseorang menduduki satu posisi dalam masyarakat serta menjalankan suatu peranan. Peranan mungkin mencakup tiga hal, yaitu: a. Peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat. Peranan dalam arti ini merupakan rangkaian peraturan-peraturan
yang
membimbing seseorang dalam kehidupan kemasyarakatan. b. Peranan adalah suatu konsep tentang apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi. c. Peranan juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat (Soekanto, 2002: 244). b. Pengertian teori peran Teori peran (role Theory) adalah teori yang merupakan perpaduan berbagai teori, orientasi maupun disiplin ilmu. Selain
20
dari psikologi, teori peran berawal dari dan masih tetap digunakan dalam sosiologi dan antropologi. Dalam ke tiga bidang ilmu tersebut, istilah “peran” diambil dari dunia teater. Dalam teater, seorang aktor harus bermain sebagai seorang tokoh tertentu dan dalam posisinya sebagai tokoh itu, ia di harapkan untuk berperilaku secara tertentu. Posisi aktor dalam teater (sandiwara) itu kemudian dianalogikan
dengan
posisi
seseorang
dalam
masyarakat.
Sebagaimana halnya dalam teater, yaitu bahwa perilaku yang diharapkan daripadanya tidak berdiri sendiri, melainkan selalu berada dalam kaitan dengan adanya orang-orang lain yang berhubungan dengan orang atau aktor tersebut (Sarwono, 1991: 234) 2.1.2 Pengertian Peranan Sosial Peranan sosial adalah suatu perbuatan seseorang dengan cara tertentu dalam usaha menjalankan hak dan kewajibannya sesuai dengan status yang dimilikinya. Seseorang dapat dikatakan berperan jika ia telah melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan status sosialnya dalam masyarakat. Jika seseorang mempunyai status tertentu dalam kehidupan masyarakat, maka selanjutnya ada kecenderungan akan timbul suatu harapan-harapan baru. Dari harapan-harapan ini seseorang kemudian akan bersikap dan bertindak atau berusaha untuk mencapainya dengan cara dan kemampuan yang dimiliki. Oleh karena itu peranan dapat juga
21
didefinisikan sebagai kumpulan harapan yang terencana. Seseorang yang mempunyai status tertentu dalam masyarakat. Dengan singkat peranan dapat dikatakan sebagai sikap dan tindakan seseorang sesuai dengan statusnya dalam masyarakat. Atas dasar definisi tersebut maka peranan dalam kehidupan masyarakat adalah sebagai aspek dinamis dari status (Syani, 1994: 94) Ciri pokok yang berhubungan dengan istilah peranan sosial adalah terletak pada adanya hubungan-hubungan sosial seseorang dalam masyarakat yang menyangkut dinamika dari cara-cara bertindak dengan berbagai norma yang berlaku dalam masyarakat, sebagaimana pengakuan terhadap status sosialnya. Sedangkan fasilitas utama seseorang yang akan menjalankan peranannya adalah lembaga-lembaga sosial yang ada dalam masyarakat. Biasanya lembaga masyarakat menyediakan peluang untuk pelaksanaan suatu peranan. Menurut Levinson, bahwa peranan itu mencakup tiga hal, yaitu: 1. Peranan meliputi norma-norma yang di hubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat. Peranan dalam arti ini merupakan rangkaian peraturan-peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan kemasyarakatan. 2. Peranan adalah suatu konsep perihal apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi. 3. Peranan juga dapat dikatakan sebagai peri kelakuan individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat (Syani, 1994: 95)
22
2.1.3 Perangkat Peran Istilah perangkat peran (role set) digunakan untuk menunjukkan bahwa satu status tidak hanya mempunyai satu peran tunggal, akan tetapi sejumlah peran yang saling berhubungan dan cocok. Seorang istri, misalnya, adalah juga seorang anak perempuan, seorang anggota keluarga, seorang tetangga, seorang warga negara, seorang partner seks, mungkin seorang ibu, seorang nyonya rumah, seorang tukang masak serta pemelihara rumah dan seorang pekerja dan mungkin juga seorang yang suka pergi ke Majlis Ta’lim, anggota Dharma Wanita, serikat buruh, majikan, atau tokoh politik. Jadi perangkat perannya meliputi suatu konstelasi berbagai peran yang saling berkaitan yang beberapa di antaranya mungkin memerlukan berbagai bentuk penyesuaian yang drastis (Horton, 1999: 120) 2.1.4 Perilaku Peran Bila yang diartikan dengan peran adalah perilaku yang diharapkan dari seseorang dalam suatu status tertentu, maka perilaku peran adalah perilaku yang sesungguhnya dari orang yang melakukan peran tersebut. Perilaku peran mungkin berbeda dari perilaku yang diharapkan karena beberapa alasan. Seseorang mungkin tidak memandang suatu peran dengan cara yang sama sebagaimana orang lain memandangnya, sifat kepribadian seseorang mempengaruhi bagaimana orang itu merasakan peran tersebut, dan tidak semua orang yang mengisi suatu peran merasa sama terikatnya kepada peran tersebut karena hal ini dapat bertentangan
23
dengan peran lainnya. Semua faktor ini terpadu sedemikian rupa sehingga tidak ada dua individu yang memerankan satu peran tertentu dengan cara yang benar-benar sama. Tidak semua prajurit gagah berani, tidak semua kyai baik dan suci, tidak semua profesor berprestasi ilmiah. Cukup banyak perbedaan dalam berperilaku peran yang menimbulkan variasi kehidupan manusia.
Meskipun
demikian,
terdapat
cukup
keseragaman
dan
prediktabilitas dalam perilaku peran untuk melaksanakan kehidupan sosial yang tertib. Pakaian seragam, tanda pangkat, gelar, upacara keagamaan adalah alat bantu dalam perilaku peran. Hal-hal demikian itu menyebabkan orang lain mengharapkan dan merasakan perilaku yang diperlukan peran tersebut dan mendorong si aktor untuk berperan sesuai dengan tuntutan peran. Sebagai contoh, dalam suatu eksperimen seorang instruktur memberikan kuliah kepada dua bagian kelas dengan pakaian opas dalam kelas yang satu dan pakaian biasa pada kelas yang lain. Para mahasiswa merasa bahwa mereka lebih “terikat secara moral” apabila memakai pakaian opas eksperimen lain menunjukkan bahwa orang lebih patuh kepada seseorang penjaga berseragam daripada kepada seseorang yang memakai pakaian usahawan. Baik pasien maupun dokter merasa lebih senang bila dokter melakukan pemeriksaan fisik yang akrab dengan pakaian mantel putih dalam ruangan kerja bebas hama daripada bila ia melakukan pemeriksaan dengan pakaian renang di sisi kolam renang. Pakaian seragam/tanda
24
pangkat, gelar perlengkapan dan lingkungan yang tepat, kesemuanya merupakan alat bantu pelaksanaan peran (Horton, 1999: 122). Menurut Biddle dan Thomas ada lima istilah tentang perilaku dalam kaitannya dengan peran: 1) Expectation (harapan) 2) Norm (norma) 3) Performance (wujud perilaku) 4) Evaluation (penilaian) dan sanction (sanksi) (Sarwono, 1991: 235). 1. Harapan Tentang Peran Harapan tentang peran adalah harapan-harapan orang lain pada umumnya tentang perilaku-perilaku yang pantas, yang seyogyanya ditunjukkan oleh seseorang yang mempunyai peran tertentu. Contoh: masyarakat umum, pasien-pasien dan orang-orang sebagai individu mempunyai harapan tertentu tentang perilaku yang pantas dari seorang dokter. Harapan tentang perilaku dokter ini bisa berlaku umum (misalnya, dokter harus menyembuhkan orang sakit) bisa merupakan harapan dari segolongan orang saja (misalnya golongan yang kurang mampu mengharapkan agar dokter bersikap sosial) dan bisa juga merupakan harapan dari satu orang tertentu (misalnya seorang pasien tertentu mengharapkan dokternya bisa juga memberi nasehat-nasihat tentang persoalan rumah tangganya selain menyembuhkannya dari penyakit.
25
2. Norma Orang sering mengacaukan istilah “harapan” dengan “norma”. Tetapi menurut second dan Backman (1964) “norma” hanya merupakan salah satu bentuk “harapan”. Jenis-jenis harapan menurut second dan backman adalah sebagai berikut: a. Harapan yang bersifat meramalkan (anticipatory): yaitu harapan tentang suatu perilaku yang akan terjadi, misalnya: seorang istri menyatakan: “Aku kenal betul suamiku, kalau kuberitahu bahwa aku telah membeli baju seharga Rp 60.000,- ini, ia tentu akan marah sekali!”. Oleh Mc David dan Harari (1968) harapan jenis ini disebut: Predicter role expectation. b. Harapan normatif (atau menurut Mc David dan Harari: prescribed role expectation) adalah keharusan-keharusan yang menyertai suatu peran. Biddle dan Thomas membagi lagi harapan normatif ini ke dalam 2 jenis. 1) Harapan yang terselubung (covert): harapan-harapan itu tetap ada walaupun tidak diucapkan, misalnya: dokter harus menyembuhkan pasien, guru harus mendidik murid-muridnya. Inilah yang disebut norma (norma). 2) Harapan yang terbuka (overt), yaitu harapan-harapan yang diucapkan, misalnya ayah meminta anaknya agar menjadi orang yang bertanggung jawab dan rajin belajar. Harapan jenis ini dinamai tuntutan peran (role demand). Tuntutan peran
26
melalui proses internalisasi dapat menjadi norma bagi peran yang bersangkutan. 3. Wujud Perilaku dalam Peran Peran diwujudkan dalam perilaku oleh aktor. Berbeda dari norma, wujud perilaku ini adalah nyata, bukan sekedar harapan. Dan berbeda-beda pula dengan norma, perilaku yang nyata ini bervariasi, berbeda-beda dari satu aktor ke aktor yang lain. Misalnya, peran ayah seperti yang diharapkan oleh norma adalah mendisiplinkan anaknya. Tetapi dalam kenyataannya, ayah yang satu bisa memukul untuk mendisiplinkan anaknya, sedangkan ayah yang lain mungkin hanya menasehati. Variabel ini dalam teori peran dipandang normal dan tidak ada batasnya persis sama halnya dengan dalam teater, di mana tidak ada dua aktor yang bisa betul-betul identik dalam membawakan suatu peran tertentu. Bahkan satu aktor bisa berbeda-beda caranya membawakan suatu peran tertentu pada waktu yang berbeda. Oleh karena itu teori peran tidak cenderung mengklasifikasikan istilahistilahnya menurut perilaku-perilaku khusus, melainkan mendasarkan klasifikasinya pada sifat asal dari perilaku dan tujuannya (atau motivasinya). Jadi wujud perilaku peran dapat digolongkan misalnya ke
dalam
jenis-jenis:
olahraga/pendisiplinan
hasil
anak,
ketertiban dan sebagainya.
27
kerja,
pencaharian
hasil
sekolah,
nafkah,
hasil
pemeliharaan
4. Penilaian dan Sanksi Penilaian dan sanksi agak sulit dipisahkan pengertiannya jika dikaitkan dengan peran. Biddle dan Thomas mengatakan bahwa kedua hal tersebut didasarkan pada harapan masyarakat (orang lain) tentang norma. Berdasarkan norma itu orang memberikan kesan positif atau negatif terhadap suatu perilaku. Kesan negatif atau positif inilah yang dinamakan penilaian peran. Di pihak lain, yang dimaksudkan dengan sanksi adalah usaha orang untuk mempertahankan suatu nilai positif atau agar perwujudan peran diubah sedemikian rupa sehingga yang tadinya dinilai negatif bisa menjadi positif. Penilaian maupun sanksi menurut Biddle dan Thomas dapat datang dari orang lain (eksternal) maupun dari dalam diri sendiri (internal). Jika penilaian dan sanksi datang dari luar, berarti bahwa penilaian dan sanksi terhadap peran itu ditentukan oleh perilaku orang lain. Misalnya: seorang pegawai dinilai baik oleh atasannya dan atasan itu memberi sanksi berupa bonus agar pegawai itu mempertahankan prestasinya yang baik tersebut. Atau kalau pegawai itu dinilai tidak baik oleh atasannya, atasannya akan memberi sanksi berupa teguran atau peringatan agar ia lebih baik lagi menjalankan perannya. Jika penilaian dan sanksi datang dari dalam diri sendiri (internal) maka pelaku sendirilah yang memberi nilai dan sanksi berdasarkan pengetahuannya tentang harapan-harapan dan normanorma masyarakat. biasanya penilaian dan sanksi internal terjadi pada
28
peran-peran yang dianggap penting oleh individu yang bersangkutan, sedangkan penilaian dan sanksi eksternal lebih sering berlaku pada peran dan norma yang kurang penting buat individu tersebut. Misalnya seorang pegawai yang menganggap penting peranannya sebagai pegawai, menjatuhkan sanksi pada dirinya sendiri sehingga ia makin rajin bekerja. Di lain pihak, kalau pegawai kurang penting maka ia baru mengubah perilakunya jika ia dikenai sanksi oleh orang lain (eksternal). Selanjutnya, oleh Biddle dan Thomas penilaian sanksi eksternal disebutnya juga sebagai penilaian dan sanksi terbuka (overt), sedangkan yang internal disebutnya tertutup (covert). Mereka menyebutnya demikian karena penilaian dan sanksi didasarkan pada harapan
tentang
norma
yang
timbul dari
orang
lain
yang
dikomunikasikan melalui perilaku yang terka (overt). Tanpa adanya pernyataan melalui perilaku yang terbuka, seseorang tidak dapat memperoleh penilaian dan sanksi atas perilakunya. Contoh: seorang ibu ingin mensosialisasikan anak, maka ibu itu harus mengungkapkan penilaiannya dan sanksinya tentang peran anak dengan bicara atau berbuat sesuatu. Dengan melihat perilaku ibunya, anak jadi tahu mana perbuatannya yang salah dan mana yang benar. Jika kemudian norma sosialisasi ini diserap ke dalam diri anak, maka akan timbullah nilai (values) dalam diri anak. Pada tahap ini tidak diperlukan lagi komunikasi yang terbuka, karena anak sudah tahu sendiri hal-hal apa
29
yang baik dan apa yang tidak baik untuk diajukan kepada ibunya. Kontrol jadinya datang dari dalam diri anak sendiri (Sarwono, 1991: 241).
2.2 Dakwah 2.2.1 Pengertian Dakwah Berdasarkan penelusuran akar kata (etimologis), kata dakwah merupakan bentuk masdar dari kata da a (fi il madly) dan yad u (fiil mudhari ) yang artinya adalah memanggil (to call), mengundang (to invite), mengajak (to summer), menyeru (to propo), mendorong (to urge) dan memohon (to pray) (Supena, 2007: 105). Sedangkan orang yang melakukan seruan atau ajakan tersebut dikenal dengan panggilan da’i (orang yang menyeru). Tetapi mengingat bahwa proses memanggil atau menyeru tersebut juga merupakan suatu proses penyampaian atau (tabligh) atas pesan-pesan tertentu, maka dikenal pula istilah muballigh yaitu orang yang berfungsi sebagai komunikator untuk menyampaikan pesan (message) kepada pihak komunikan (Tasmara,1997:31). Dengan demikian secara etimologis (logat) pengertian dakwah dan tabligh itu merupakan suatu proses penyampaian (tabligh) pesan-pesan tertentu yang berupa ajakan atau seruan dengan tujuan agar orang lain memenuhi ajakan tersebut. Untuk lebih jelasnya, pengertian dakwah (secara terminologi) kami sampaikan beberapa definisi sebagai berikut:
30
1. Muhammad Natsir dalam tulisannya “fungsi dakwah islam dalam rangka perjuangan”, seperti yang dikutip oleh DR. Rosyad Sholeh, bahwa:
dakwah
adalah
usaha-usaha
menyerukan
dan
menyampaikan kepada perorangan manusia dan seluruh ummat konsepsi Islam tentang pandangan dan tujuan hidup manusia didunia ini, yang meliputi amar makruf nahi munkar, dengan berbagai macam media dan cara yang diperbolehkan akhlak dan membimbing pengalamannya dalam perikehidupan perseorangan, perikehidupan
berumah
tangga
(usrah),
perikehidupan
bermasyarakat dan perikehidupan bernegara. 2. Nasarudin Latif dalam bukunnya “Teori dan Praktek Dakwah Islamiyah”, mendefinisikan dakwah adalah usaha aktivitas dengan lisan maupun tulisan yang bersifat menyeru, mengajak, memanggil manusia lainnya untuk beriman dan menaati Allah SWT. Sesuai dengan garis-garis akidah dan syariat serta akhlak Islamiyah. 3. Syekh Ali Mahfud dalam kitabnya “Hidayatul Mursyidin”, memberikan definisi dakwah sebagai berikut:
Dakwah adalah mendorong manusia untuk melakukan kebajikan dan mengikuti petunjuk agama, menyeru mereka kepada kebaikan dan mencegah mereka dari perbuatan munkar agar memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat (Shaleh,1977:18).
31
4. Muhammad khidr Husein mengatakan, bahwa dakwah adalah upaya untuk memotivasi orang agar berbuat baik dan mengikuti jalan petunjuk, dan melakukan amar makruf nahi munkar dengan tujuan mendapatkan kesuksesan dan kebahagiaan di dunia dan di akhirat. 5. Quraisy Shihab mengatakan, bahwa dakwah adalah seruan atau ajakan kepada keinsafan atau usaha mengubah situasi yang tidak baik kepada situasi yang lebih baik dan sempurna baik terhadap pribadi maupun masyarakat (Munir,2006:20). 6. Toha Yahya Oemar mengatakan, dakwah adalah mengajak manusia dengan cara yang bijaksana kepada jalan yang benar sesuai dengan perintah tuhan untuk kemaslahatan dan kebahagiaan mereka dunia dan akhirat (Aziz,2004:4). 7. Ibnu Taimiyah mengartikan dakwah sebagai proses usaha untuk mengajak masyarakat (mad u) untuk beriman kepada Allah dan Rasul-Nya itu. 8. Abdul Munir Mulkhan mengartikan dakwah sebagai usaha mengubah situasi kepada yang lebih baik dan sempurna, baik terhadap individu maupun masyarakat (Supena,2007:105). Berdasarkan pengertian tersebut, maka dakwah secara esensial bukan hanya berarti usaha mengajak mad u untuk beriman dan beribadah kepada Allah, tetapi juga bermakna menyadari manusia terhadap realitas hidup yang harus mereka hadapi dengan berdasarkan petunjuk Allah dan
32
Rasul-Nya. Jadi, dakwah dipahami sebagai seruan, ajakan dan panggilan dalam rangka membangun masyarakat Islam berdasarkan kebenaran ajaran Islam yang hakiki. Pandangan semacam ini juga pernah dikemukakan oleh Amrullah Ahmad. Menurutnya dakwah adalah mengajak manusia supaya masuk ke dalam jalan Allah (sistem dakwah) secara menyeluruh baik dengan lisan dan tulisan maupun dengan perbuatan dalam rangka mewujudkan ajaran Islam menjadi kenyataan dalam kehidupan syahsyiyyah usrah jumaah dan ummali, dalam segala segi kehidupan sehingga terwujud kualitas khairul ummah (Supena, 2007: 106). Dalam masalah dakwah ini Allah berfirman: y7Í´¯»s9'ré&ur 4 Ì•s3YßJø9$# Ç`tã tböqyg÷Ztƒur Å$rã•÷èpRùQ$$Î/ tbrã•ãBù'tƒur ÎŽö•sƒø:$# ’n<Î) tbqããô‰tƒ ×p¨Bé& öNä3YÏiB `ä3tFø9ur ÇÊÉÍÈ šcqßsÎ=øÿßJø9$# ãNèd Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. (QS. Ali Imran:104) (Depaq RI,1997:93) Ayat ini secara jelas menunjukkan wajibnya berdakwah karena ada lam amar (lam yang berarti perintah) dalam kalimat waltakum. Sedangkan kalimat minkum menunjukkan fardhu kifayah. Karena itu seluruh umat Islam diperintah agar dari sebagian mereka melaksanakan kewajiban itu. Ketika ada sekelompok orang melaksanakannya, maka kewajiban itu gugur dari yang lain. Tetapi, jika tidak ada seorang pun yang melaksanakannya, maka mereka semua berdosa (Aziz,2005:32)
33
Manusia merupakan makhluk Allah yang diamanati untuk menjaga kelestarian semua macam kehidupan di bumi ini. Untuk itulah Allah melengkapinya dengan kemampuan berupa akal dan fikiran. Dengan akal dan fikirannya diharapkan manusia dapat mengurusi kehidupan dengan baik’ Dari definisi tersebut, walaupun ada perbedaan perumusan tetapi pada intinya mengandung pengertian dan makna yang sama, bahwa dakwah adalah merupakan aktivitas yang dilakukan secara sadar dan disengaja dengan maksud dan tujuan tertentu yang disampaikan kepada perseorangan atau kelompok orang. Maksud dan tujuan tersebut adalah untuk mengajak, menyeru kepada umat manusia untuk mengikuti jalan Allah SWT, yang berbentuk amar makruf nahi munkar sehingga akan mendapatkan kebahagiaan hidup baik di dunia maupun akhirat. Kalau diperhatikan secara seksama dan mendalam, maka pengertian dari pada dakwah itu tidak lain adalah komunikasi. Hanya saja yang secara khas dibedakan dari bentuk komunikasi yang lainnya, terletak pada cara dan tujuan yang akan dicapai. Tujuan dari komunikasi mengharapkan adanya partisipasi dari komunikan atas idea-idea atau pesan-pesan yang disampaikan oleh pihak komunikator sehingga dengan pesan-pesan yang disampaikan tersebut, terjadilah perubahan sikap dan tingkah laku yang diharapkan. Dalam berdakwah seorang muballigh sebagai komunikator mengharapkan adanya partisipasi dari pihak komunikan dan kemudian
34
berharap agar komunikannya dapat bersikap dan berbuat sesuai dengan isi pesan yang disampaikannya. Ciri khas yang membedakannya adalah terletak pada pendekatannya yang dilakukan secara persuasif, dan juga tujuannya yaitu mengharapkan terjadinya perubahan atau pembentukan sikap dan tingkah laku sesuai dengan ajaran-ajaran agama Islam (Tasmara,1986:39). Hal ini sesuai dengan pendapat pakar komunikasi Carl I Houland, bahwa komunikasi adalah upaya yang sistematis untuk merumuskan secara tegas asas-asas penyampaian informasi serta pembentukan pendapat dan sikap (Effendi,2001:10). Harold D. Laswell mengungkapkan pertanyaan untuk terpenuhinya suatu komunikasi, melalui kata-kata bersayap yaitu: who says what to whom in what Channel with what effect (Effendi,1993:29). Apabila pertanyaan tersebut kita jawab maka dakwah dapat memenuhi kriteria komunikasi tersebut, yaitu: Who
: setiap pribadi muslim
Says What
: pesan-pesan (Risalah) al-qur’an dan sunnah serta penjabaran dari al-qur’an dan sunnah
To Whom
: kepada manusia pada umumnya
In What Channel : memakai media atau saluran dakwah apa saja yang sah secara hukum
35
With What Effect : terjadinya perubahan tingkah laku sikap dan perbuatan sesuai dengan pesan-pesan yang disampaikan oleh komunikator. Dalam proses komunikasi, komunikator merupakan bagian yang sangat berkepentingan mewujudkan tujuannya, yaitu mempengaruhi sikap dan tingkah laku komunikannya. Untuk itu komunikator
harus
mempersiapkan dirinya terhadap situasi yang akan dihadapinya dalam kegiatan atau menyelenggarakan proses komunikasi tersebut. Wilbur Schramm menyatakan bahwa komunikasi akan berhasil apabila pesan yang disampaikan oleh komunikator cocok dengan kerangka acuan (Frame of reference), yakni paduan pengalaman dan pengertian (Collection of experiences and meanings) yang pernah diperoleh komunikan. Bidang pengalaman (Field of experience) merupakan faktor yang penting dalam komunikasi. Jika bidang pengalaman komunikator sama
dengan
bidang
pengalaman
komunikan,
komunikasi
akan
berlangsung dengan lancar. Sebaliknya, bila pengalaman komunikan tidak sama dengan pengalaman komunikator, akan timbul kesukaran untuk mengerti satu sama lain (Effendi,2001:14). Perencanaan komunikasi seringkali kurang disadari oleh pihak komunikator. Bisa jadi disebabkan karena kegiatan komunikasi itu sudah dianggap sebagai sesuatu yang bersifat rutin atau biasa, sehingga terkadang dilakukan secara tidak berencana. Karena komunikator sangat berkepentingan dalam mewujudkan harapannya, maka pengetahuan
36
komunikator atas situasi diri dan situasi komunikannya merupakan salah satu kunci suksesnya proses komunikasi. Dengan demikian komunikator dituntut
untuk
mengetahui
indikasi-indikasi
apakah
yang
dapat
menghambat atau mendorong suksesnya komunikasi tersebut. Apabila komunikator sudah mampu melihat kelebihan serta kekurangan
yang
dimilikinya,
maka
komunikator
akan
segera
menyesuaikan diri dengan cara mengeliminir semaksimal mungkin kekurangannya tersebut,
sebaliknya dia dapat
menonjolkan atau
mengekspose semaksimal mungkin kelebihan yang ada pada dirinya yang akan
membawa
tingkat
kredibilitas
di
hadapan
komunikannya
(Tasmara,1986:15). Dengan demikian jelaslah bahwa seorang komunikator tidak hanya dituntut penguasaan diri, penguasaan materi (pesan) dan pengetahuan rumusan tujuan. Disamping itu juga pengetahuan komunikator terhadap kerangka pedoman serta latar belakang komunikannya. Dengan
terpenuhinya
persyaratan
yang
dibutuhkan
untuk
terjadinya suatu proses komunikasi, maka dapat kita katakan bahwa dakwah itu sendiri adalah proses komunikasi. Tetapi karena ciri-cirinya yang khas yang membedakan dirinya dari segala bentuk komunikasi yang lainnya, pengertian dakwah dalam tinjauan komunikasi disebut dengan istilah komunikasi dakwah. Sehingga dapat diformulasikan pengertian komunikasi dakwah itu sebagai bentuk komunikasi yang khas dimana seseorang
(muballigh=komunikator)
37
menyampaikan
pesan-pesan
(messages) yang bersumber atau sesuai dengan ajaran al-Qur’an dan Sunnah, dengan tujuan agar orang lain (komunikan) dapat berbuat amal shaleh
sesuai
dengan
pesan-pesan
yang
disampaikan
tersebut
(tasmara,1986:49).
2.2.2 Dasar dan Tujuan Dakwah A. Dasar Dakwah Berdakwah dengan segala bentuknya adalah wajib hukumnya bagi setiap muslim. Misalnya amar ma ruf
nahi munkar, berjihad
memberi nasehat dan sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa syariat atau hukum Islam tidak mewajibkan bagi umatnya untuk selalu mendapatkan hasil semaksimalnya, akan tetapi usahanyalah yang diwajibkan semaksimalnya sesuai dengan keahlian dan kemampuannya. Adapun orang yang diajak, ikut ataupun tidak ikut itu urusan Allah sendiri. (Sukir, 1983: 27). Karena pentingnya dakwah itulah, maka dakwah bukanlah pekerjaan yang dipikirkan dan dikerjakan sambil lalu saja melainkan suatu pekerjaan yang telah diwajibkan bagi setiap pengikutnya. Dasar kedua hukum dakwah tersebut telah disebutkan dalam kedua sumber AlQur'an dan hadits. 1. Dasar Kewajiban Dakwah dalam Al-Qur'an Dalam Al-Qur'an terdapat banyak ayat yang secara implisit menunjukkan suatu kewajiban melaksanakan dakwah, antara lain:
38
a. QS. An-Nahl ayat 125 }‘Ïd ÓÉL©9$$Î/ Oßgø9ω»y_ur ( ÏpuZ|¡ptø:$# ÏpsàÏãöqyJø9$#ur ÏpyJõ3Ïtø:$$Î/ y7În/u‘ È@‹Î6y™ 4’n<Î) äí÷Š$# tûïωtGôgßJø9$$Î/ ÞOn=ôãr& uqèdur ( ¾Ï&Î#‹Î6y™ `tã ¨@|Ê `yJÎ/ ÞOn=ôãr& uqèd y7-/u‘ ¨bÎ) 4 ß`|¡ômr& Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. An-Nahl ayat 125) Depag RI, 1997: 421) b. QS. Ali Imran ayat 110 Ç`tã šcöqyg÷Ys?ur Å$rã•÷èyJø9$$Î/ tbrâ•ßDù's? Ĩ$¨Y=Ï9 ôMy_Ì•÷zé& >p¨Bé& uŽö•yz öNçGZä.
4 Nßg©9 #ZŽö•yz tb%s3s9 É=»tGÅ6ø9$# ã@÷dr& šÆtB#uä öqs9ur 3 «!$$Î/ tbqãZÏB÷sè?ur Ì•x6ZßJø9$#
ÇÊÊÉÈ tbqà)Å¡»xÿø9$# ãNèdçŽsYò2r&ur šcqãYÏB÷sßJø9$# ãNßg÷ZÏiB Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (QS. Ali Imran ayat 110) (Depag RI, 1997: 94) Pada Surat an-Nahl ayat 125 di atas, di samping memerintahkan kaum muslimin untuk
berdakwah sekaligus
memberi tuntutan bagaimana cara-cara pelaksanaannya yakni dengan cara yang baik yang sesuai dengan petunjuk agama. Sedangkan dalam surat Ali Imran ayat 110, menjelaskan bahwa umat Islam (Umat Islam adalah umat-umat yang terbaik dibandingkan dengan umat-umat sebelumnya). Dalam ayat tersebut juga ditegaskan bahwa orang-orang yang melaksanakan amar
39
ma ruf nahi munkar akan selalu mendapatkan keridhaan Allah karena telah menyampaikan ajaran Islam kepada manusia dan meluruskan perbuatan yang tidak benar kepada akidah dan akhlak Islamiyah. 2. Dasar Kewajiban Dakwah dalam al-Hadits Di samping ayat-ayat Al-Qur'an, banyak juga hadits Nabi yang mewajibkan umatnya untuk amar ma ruf nahi munkar, antara lain: a. Hadits yang diriwayatkan Imam Muslim
:
:
Abu Said berkata, aku telah mendengar Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa di antara kamu melihat kemungkaran, maka hendaklah dia mencegah dengan tangannya, jika tidak sanggup dengan tangan, maka dengan lidahnya dan jika tidak sanggup dengan lidah maka dengan hatinya dan dengan yang demikian itu adalah selemahlemahnya iman (HR. Muslim) (Muslim 2005: 46). b. Hadits yang diriwayatkan Imam Tirmidzi
:
Dari Khudaifah r.a dari Rasulullah saw bersabda: demi dzat yang menguasai diriku, haruslah kamu mengajak kepada kebaikan dan haruslah kamu mencegah perbuatan yang munkar atau Allah akan menurunkan siksanya kepada kamu, kemudian kamu berdoa kepada-Nya di mana Allah tidak akan mengabulkan permohonanmu (HR. Tirmidzi) (Yahya, 1994: 52).
40
Berdasarkan hadits di atas upaya mengajak kepada kebaikan
dan
mencegah
kemungkaran
tidak
merupakan
kewajiban individu tertentu saja, tetapi merupakan kewajiban bagi setiap muslim laki-laki dan perempuan, alim atau awam sesuai dengan kemampuan dan ilmunya. Dalam berdakwah jangan terpatok pada satu atau dua metode saja, melainkan mengembangkan metode sesuai dengan perkembangan zaman. Sedangkan hadits kedua menjelaskan hanya ada dua alternatif bagi umat Islam. Melaksanakan amar ma ruf nahi munkar atau kalau tidak mereka akan mendapat mala petaka dan siksa dari Allah bahkan Allah tidak menghiraukan doanya karena mereka telah mengabaikan tugas agama yang sangat esensi.
B. Tujuan Dakwah Tujuan merupakan pernyataan bermakna, keinginan yang dijadikan pedoman manajemen puncak organisasi untuk meraih hasil tertentu atas kegiatan yang dilakukan dalam dimensi waktu tertentu. Tujuan (objective) diasumsikan berbeda dengan sasaran (goals). Dalam tujuan memiliki target-target tertentu untuk dicapai dalam jangka waktu tertentu. Sedangkan sasaran adalah pernyataan yang telah ditetapkan oleh manajemen puncak untuk menentukan arah organisasi dalam jangka panjang (Aziz, 2004: 60).
41
Sebenarnya tujuan dakwah itu adalah tujuan diturunkan ajaran Islam bagi umat manusia itu sendiri, yaitu untuk membuat manusia memiliki kualitas akidah, ibadah, serta akhlak yang tinggi. Ditinjau dari aspek berlangsungnya suatu kegiatan dakwah, tujuan dakwah terbagi menjadi dua, yaitu: 1. Tujuan Jangka Pendek Dalam jangka pendek tujuan dakwah adalah untuk memberikan pemahaman tentang Islam kepada masyarakat sasaran dakwah itu. Dengan adanya pemahaman masyarakat akan terhindar dari sikap dan perbuatan yang munkar dan jahat. 2. Tujuan Jangka Panjang Sedangkan tujuan jangka panjang dari adanya dakwah adalah untuk mengadakan perubahan sikap masyarakat. sikap yang dimaksud adalah perilaku yang tidak terpuji bagi masyarakat yang tergolong kepada kemaksiatan yang tentunya membawa kepada kemudharatan
dan
mengganggu
ketenteraman
masyarakat
lingkungannya (Ghazali, 1997: 7). Sedangkan Drs. Masyhur Amin membagi tujuan dakwah menjadi dua bagian, yaitu tujuan dakwah dan segi obyeknya dan tujuan dan segi materinya. (Amin, 1997: 1 5-19)
42
a) Tujuan dakwah dan segi obyeknya (1) Tujuan perorangan yaitu terbentuknya pribadi muslim yang mempunyai iman yang kuat, berperilaku sesuai dengan hukumhukum yang disyariatkan Allah SWT, dan berakhlakul karimah. (2) Tujuan untuk keluarga yaitu terbentuknya keluarga bahagia, penuh ketenteraman dan cinta kasih antar anggota keluarga. (3) Tujuan untuk masyarakat yaitu terbentuknya masyarakat yang sejahtera yang penuh dengan suasana keislaman. Suatu masyarakat di mana anggota-anggota mematuhi peraturanperaturan yang telah disyariatkan oleh Allah SWT, baik yang berkaitan antara hubungan manusia dengan Tuhannya, manusia dengan sesamanya, saling membantu penuh rasa persaudaraan, persamaan dan senasib sepenanggungan. (4) Tujuan untuk manusia seluruh dunia, yaitu terbentuknya masyarakat
dunia
yang
penuh
dengan
kedamaian
dan
ketenangan. Dengan tegaknya keadilan persamaan hak dan kewajiban, tidak adanya diskriminasi dan eksplorasi, saling tolong menolong dan hormat menghormati. b) Tujuan dakwah dan segi materinya (1) Tujuan akidah, yaitu tertahannya suatu akidah yang mantap di setiap hati seseorang, sehingga keyakinan-keyakinan tentang ajaran-ajaran Islam itu tidak dicampuri dengan keragu-raguan. Dalam ha! mi agar orang yang belum beriman menjadi beriman,
43
bagi yang masih ikut-ikutan menjadi lebih beriman karena adanya bukti-bukti baik dalil aqil maupun naqli. (2) Tujuan hukum, yaitu kepatuhan setiap orang kepada hukumhukum yang disyariatkan oleh Allah SWT. Realisasinya ialah orang yang belum melakukan ibadah menjadi orang yang mau melakukan ibadah dengan penuh kesadaran. (3) Tujuan akhlak, yaitu terbentuknya muslim yang berbudi luhur dihiasi dengan sifat-sifat yang terpuji dan bersih dan sifat tercela. Realisasinya dapat dilihat dan hubungannya dengan Tuhannya, hubungan dengan sesama manusia dan hubungan dengan alam sekitarnya dapat berjalan seimbang dan harmonis. Dari tujuan-tujuan di atas, memiliki tujuan akhir yang sama yaitu tindakan atau perubahan sikap, perbuatan, perilaku, yang menunjukkan bahwa khalayak sudah termotivasi oleh seorang da’i. (Abidin, 1993: 51)
2.2.3 Unsur-unsur Dakwah Sebagaimana telah diuraikan bahwa dakwah adalah suatu usaha untuk menyebarkan nilai-nilai ajaran Islam kepada semua lapisan masyarakat dan semua segi kehidupan manusia, sehingga mereka bisa mengerti, memahami dan mengamalkannya, agar selamat di dunia dan akhirat. Hal ini tentunya terdapat unsur-unsur lain yang saling terkait di dalam pelaksanaan kegiatan dakwah, yaitu yang disebut dengan unsur-unsur dakwah.
44
Yang dimaksud dengan unsur-unsur dakwah adalah komponenkomponen yang selalu ada dalam setiap kegiatan dakwah. Unsur-unsur tersebut adalah da’i (pelaku dakwah), mad u (mitra dakwah), maddah (materi dakwah), wasilah (media dakwah), thariqah (metode) dan atsar (efek dakwah). (Aziz, 2005: 75) a. Da’i (pelaku Dakwah) Da’i adalah pelaksanaan dari pada kegiatan dakwah, baik secara perorangan atau individu maupun secara bersama-sama secara tetrorganisasikan. Yang disebut sebagai da’i adalah setiap muslim baik laki-laki maupun perempuan yang baligh dan berakal, baik ulama maupun bukan ulama, karena kewajiban berdakwah adalah kewajiban yang diberikan kepada mereka seluruhnya ( Sanwar,1986:4). Seorang da’i harus mengetahui siapa dirinya, apa tujuan dakwahnya, sifat-sifat apa saja yang harus dimilikinya, siapa sasaran dakwahnya, dan sarana serta metode yang digunakannya. Seorang da’i yang bijak harus mampu menyampaikan Islam, dasar-dasar iman, dan ihsan dengan baik. Ia menjelaskan secara rinci dan gamblang kepada banyak orang segala hal yang disebutkan dalam Al Qur’an dan As Sunnah, seperti aqidah, ibadah dan akhlak. Berdakwah jika dilihat dari kemampuan da’i terdiri atas dua macam pertama, dakwah bersifat individu (Fardhiyyah), yakni seorang muslim melakukan dakwah seorang diri berdasarkan kekuatan,
45
kemampuan
dan
ilmunya.
Kedua,
dakwah
bersifat
kelompok
(jami iyyah) ( Al Qathani, 1994:98). Karena pentingnya pelaksana dakwah, seorang da’i memerlukan bekal dan persiapan yang matang antara lain: 1. Memahami secara mendalam ilmu, makna-makna, serta hukumhukum yang terkandung dalam Al Qur’an dan As Sunnah. Bentuk pemahaman ini dapat dirinci lagi kedalam tiga hal, yakni: a. Pemahaman terhadap aqidah Islam dengan baik dan benar, berpegang teguh pada dalil-dalil Al Qur’an, Sunnah dan ijma’ ulama Ahlus Sunnah Wal Jama ah. b. Pemahaman terhadap tujuan hidup dan posisinya diantara manusia. c. Pemahaman terhadap ketergantungan hidup untuk akhirat dengan tidak meninggalkan urusan dunia. 2. Iman yang dalam melahirkan cinta kepada Allah, takut kepada siksa-Nya. Optimis akan rahmatnya, dan mengikuti segala petunjuk Rasulnya. 3. Selalu berhubungan dengan Allah dalam rangka tawakkal, ataupun meminta pertolongan, juga harus ikhlas dan jujur, baik dalam perkataan dan perbuatan ( Al Qathani, 1994:98-99). Disamping bekal dalam dan persiapan yang matang, seorang da’i juga harus mempunyai kepribadian yang baik. Karena dengan kepribadian yang baik, dia akan menjadi contoh panutan atau tauladan
46
bagi obyek dakwahnya. Kepribadian da’i yang baik tidak hanya meliputi kepribadian rohani, tetapi juga jasmaninya. Syarat-syarat da’i yang ideal diantaranya adalah sebagai berikut: a. Syarat yang bersifat aqidah, para da’i harus yakin bahwa agama Islam dengan segenap ajaran-ajarannya itu adalah benar. b.
Syarat yang bersifat ibadah, yaitu dengan melakukan komunikasi secara terus menerus dengan Allah SWT.
c. Syarat yang bersifat akhlakul karimah, da’i dituntut untuk membersihkan hati dan kotoran yang bersifat amoral, misalnya sifat hasut, takabur, dusta, khianat, bakhil, dan lain-lain, serta mengisi hatinya dengan sifat terpuji, seperti sabar, syukur, jujur dan sebagainya. d. Syarat yang bersifat ilmiah, da’i harus mempunyai kemampuan ilmiah yang luas dan mendalam, terutama yang menyangkut materi dakwah. e. Syarat yang bersifat jasmani, seorang da’i sebaiknya mempunyai kondisi fisik yang baik, kuat dan sehat. f. Syarat yang bersifat kelancaran berbicara, sebagai seorang da’i harus bisa menggunakan kata-kata atau bahasa yang dapat dimengerti dan dipahami sesuai dengan kondisi sosial budaya, ekonomi,
pendidikan
mad unya,
sehingga
misunderstanding atau perbedaan persepsi.
47
tidak
terjadi
g. Syarat yang bersifat mujahadah, da’i hendaknya mempunyai semangat berdedikasi kepada masyarakat dijalan Allah dan berjuang untuk menegakkan kebenaran ( Amin, 1980:85-92). Apabila seorang da’i bisa memenuhi syarat-syarat ideal tersebut di atas, niscaya dakwah yang dilakukan akan lebih baik dan berkembang. Syarat tersebut tidak hanya dalam teorinya saja, tetapi juga prakteknya. Sudah semestinya seorang da’i memiliki akhlak dan juga didukung dengan menguasai ilmu agama. Dalam hal yang sama tersebut, syekh al Islam Ibnu Taimiyah seperti dikutip oleh said bin Ali al Qathani, bahwa ada tiga sifat yang sangat diperlukan seorang da’i. Pertama, berilmu (mengetahui) sebelum memerintah dan melarang, kedua, lembut, dan ketiga adalah sabar. Ketiga sifat tersebut saling melengkapi (Al Qathani, 1994:99).
b. Mad’u (Mitra Dakwah atau Penerima Dakwah) Unsur dakwah yang kedua adalah mad u, yaitu manusia yang menjadi sasaran dakwah atau manusia penerima dakwah, baik sebagai individu maupun sebagai kelompok, baik manusia yang beragam Islam maupun tidak, atau dengan kata lain manusia secara keseluruhan. Sesuai dengan firman Allah QS. Saba’ 28:
Ÿw Ĩ$¨Z9$# uŽsYò2r& £`Å3»s9ur #\•ƒÉ‹tRur #ZŽ•Ï±o0 Ĩ$¨Y=Ïj9 Zp©ù!$Ÿ2 žwÎ) y7»oYù=y™ö‘r& !$tBur šcqßJn=ôètƒ
48
Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui. (QS. Saba’: 28) (Depag RI, 1997: 628)
Kepada manusia yang belum beragama Islam, dakwah bertujuan untuk mengajak mereka mengikuti agama Islam, sedangkan kepada orang-orang
yang
telah
beragama
Islam
dakwah
bertujuan
meningkatkan kualitas iman, Islam, ihsan. Mereka yang menerima dakwah ini lebih tepat disebut mitra dakwah daripada sebutan obyek dakwah, sebab sebutan yang kedua lebih mencerminkan kepasifan penerima dakwah, padahal sebenarnya dakwah adalah suatu tindakan menjadikan orang lain sebagai kawan berfikir tentang keimanan, syari’ah, dan akhlak kemudian untuk diupayakan dihayati dan diamalkan bersama-sama. Al-Qur’an mengenalkan kepada kita beberapa tipe mad u. Secara umum mad u terbagi tiga, yaitu: mukmin, kafir, dan munafik. Dan dari ketiga klasifikasi besar ini mad u masih bisa dibagi lagi dalam berbagai macam pengelompokan. Orang mukmin umpamanya bisa dibagi menjadi tiga, yaitu: dzalim linafsih, muqtashid, dan sabiqun bilkhairot. Kafir bisa dibagi menjadi kafir zimmi dan kafir harbi. Di dalam al-Qur’an selalu digambarkan bahwa, setiap Rasul menyampaikan risalah, kaum yang dihadapinya akan terbagi dua: mendukung dakwah dan menolak dakwah. Cuma kita tidak menemukan metode yang mendetail di dalam al-qur’an bagaimana berinteraksi
49
dengan pendukung dan bagaimana menghadapi penentang. Tetapi isyarat bagaimana corak mad u sudah tergambar cukup signifikan dalam al-Qur’an. Mad u (mitra dakwah) terdiri dari berbagai macam golongan manusia. Oleh karena itu, menggolongkan mad u sama dengan menggolongkan manusia itu sendiri, profesi, ekonomi, dan seterusnya. Penggolongan mad u tersebut antara lain sebagai berikut: 1. Dari segi sosiologis, masyarakat terasing, pedesaan, perkotaan, kota kecil, serta masyarakat di daerah marjinal dari kota besar. 2. Dari struktur kelembagaan, ada golongan priyayi, abangan dan santri, terutama pada masyarakat Jawa. 3. Dari segi tingkatan usia, ada golongan anak-anak, remaja dan golongan orang tua. 4. Dari segi profesi, ada golongan petani, pedagang seniman, buruh, pegawai negeri. 5. Dari segi tingkatan sosial ekonomis, ada golongan kaya, menengah, dan miskin. 6. Dari segi jenis kelamin, ada golongan pria dan wanita. 7. Dari segi khusus ada masyarakat tunasusila, tunawisma, tunakarya, narapidana, dan sebagainya ( Aziz, 2005:91).
50
Mad u bisa juga dilihat dari derajat pemikirannya sebagai berikut: 1. Umat yang berpikir kritis, yaitu orang-orang yang berpendidikan, yang selalu
berpikir
mendalam
sebelum
menerima
sesuatu
yang
dikemukakan padanya. 2. Umat yang mudah dipengaruhi, yaitu masyarakat yang mudah dipengaruhi oleh paham baru (Suggestibel) tanpa menimbangnimbang secara mantap apa yang dikemukakan kepadanya. 3. Umat bertaklid, yaitu golongan yang fanatik, buta berpegang pada tradisi, dan kebiasaan turun-temurun tanpa menyelidiki salah atau benarnya Sedangkan Muhammad Abduh membagi mad u menjadi tiga golongan(hampir sama dengan pembagian di atas), yaitu: 1. Golongan cerdik cendekiawan yang cinta kebenaran, dan dapat berpikir secara kritis, cepat menangkap persoalan. 2. Golongan awam, yaitu kebanyakan orang yang belum dapat berpikir secara kritis dan mendalam, belum dapat menangkap pengertianpengertian yang tinggi. 3. Golongan yang berbeda dengan golongan diatas mereka senang membahas sesuatu tetapi hanya dalam batas tertentu, tidak sanggup mendalam benar. Disamping golongan Mad u diatas, ada lagi penggolongan yang berdasarkan responsif mereka. Berdasarkan responsif mad u terhadap dakwah, mereka dapat digolongkan :
51
1. Golongan simpati aktif, yaitu mad u yang menaruh simpati dan secara aktif memberi dukungan moril dan materiil terhadap kesuksesan dakwah. Mereka juga berusaha mengatasi hal-hal yang dianggapnya merintangi jalannya dakwah dan bahkan mereka bersedia berkorban segalanya untuk kepentingan Allah. 2. Golongan pasif, yaitu mad u yang masa bodoh terhadap dakwah, tidak merintangi dakwah. 3. Golongan antipati, yaitu mad u yang tidak rela atau tidak suka akan terlaksananya dakwah. Mereka berusaha dengan berbagai cara untuk merintangi atau meninggalkan dakwah ( Aziz, 2005: 92).
c. Maddah ( Materi Dakwah) Maddah atau materi dakwah adalah isi pesan atau materi yang disampaikan dai kepada mad u. Dalam hal ini sudah bahwa jelas yang menjadi maddah dakwah adalah ajaran islam itu sendiri. Secara umum materi dakwah dapat diklasifisikan menjadi empat masalah pokok, yaitu; 1. Masalah Akidah ( Keimanan) Masalah pokok yang menjadi materi dakwah adalah akidah Islamiah. Aspek akidah ini yang akan membentuk moral ( akhlaq ) manusia. Oleh karena itu, yang pertama kali dijadikan materi dalam dakwah Islam adalah masalah akidah dan keimanan. Akidah yang
52
menjadi materi utama dakwah ini mempunyai ciri-ciri yang membedakannya dengan kepercayaan agama lain, yaitu: a. Keterbukaan melalui persaksian (syahadat). Dengan demikian, seorang muslim harus selalu jelas identitasnya dan bersedia mengakui identitas keagamaan orang lain. b. Cakrawala pandangan yang luas dengan memperkenalkan bahwa Allah adalah Tuhan seluruh alam, bukan Tuhan kelompok atau bangsa tertentu. Dan soal kemanusiaan juga diperkenalkan kesatuan asal usul manusia. Kejelasan dan kesederhanaan diartikan bahwa seluruh ajaran akidah baik soal ketuhanan, kerasulan, ataupun alam gaib sangat mudah untuk dipahami. c. Ketahanan antara iman dan Islam atau antara iman dan amal perbuatan. Dalam ibadah-ibadah pokok yang merupakan manifestasi
dari
pengembangan
diri
iman
dipadukan
dengan
dan
kepribadian
seseorang
segi-segi dengan
kemaslahatan masyarakat yang menuju pada kesejahteraannya. Karena
akidah
memiliki
ketertiban
dengan
soal-soal
kemasyarakatan (Munir, 2006:25) 2. Masalah syariah Hukum atau syariah sering disebut sebagai cermin peradaban dalam pengertian bahwa ketika ia tumbuh matang dan sempurna, maka peradaban mencerminkan dirinya dalam hukum-hukumnya. Pelaksanaan syariah merupakan sumber yang melahirkan peradaban
53
Islam, yang melestarikan dan melindunginya dalam sejarah. Syariah inilah yang akan selalu menjadi kekuatan peradaban dikalangan kaum muslim. Materi dakwah yang bersifat syariah ini sangat luas dan mengikat seluruh umat Islam. Ia merupakan jantung yang tidak terpisahkan dari kehidupan umat Islam di berbagai penjuru dunia, dan sekaligus merupakan hal yang patut dibanggakan. Kelebihan dari materi syariah Islam antara lain, adalah bahwa ia tidak dimiliki oleh umat-umat yang lain. Syariah ini bersifat universal, yang menjelaskan hak-hak umat muslim dan non muslim. Dengan adanya materi syariah ini, maka tatanan sistem dunia akan teratur dan sempurna. Disamping mengandung dan mencakup kemaslahatan sosial dan moral, maka materi dakwah dalam bidang syariah ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran yang benar yang benar, pandangan yang jernih, dan kejadian secara cermat terhadap hujjah atau dalil-dalil dalam melihat setiap persoalan pembaharuan, sehingga umat tidak terperosok kedalam kejelekan, karena yang diinginkan dalam dakwah adalah kebaikan. Kesalahan dalam meletakkan posisi yang benar dan seimbang di antara beban syariat sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Islam, maka akan menimbulkan suatu yang membahayakan terhadap agama dan kehidupan.
54
Syariah komprehensif
Islam yang
mengembangkan
meliputi
segenap
hukum
bersifat
kehidupan
manusia.
Kelengkapan ini mengalir dari konsepsi Islam tentang kehidupan manusia tentang kehidupan manusia yang diciptakan untuk memenuhi ketentuan yang membentuk kehendak illahi. Materi dakwah yang menyajikan unsur syariat harus dapat menggambarkan atau memberikan informasi yang jelas di bidang hukum dalam bentuk status hukum yang bersifat wajib, mubbah (dibolehkan), dianjurkan (mandub), makruh (dianjurkan supaya tidak dilakukan), dan haram (dilarang). 3. Masalah Mu’amalah Islam
merupakan
agama
yang
menekankan
urusan
muamalah lebih besar porsimya dari pada urusan ibadah. Islam lebih banyak memperhatikan aspek kehidupan sosial daripada aspek kehidupan ritual, Islam adalah agama yang menjadikan seluruh bumi ini masjid, tempat mengabdi kepada Allah. Ibadah dalam mu amalah di sini, diartikan sebagai ibadah yang mencakup hubungan dengan Allah dalam rangka mengabdi kepada Allah SWT. Cakupan aspek mu amalah jauh lebih luas daripada ibadah. Statemaent ini dapat dipahami dengan alasan: a. Dalam Al-Qur’an dan al-Hadits mencakup proporsi terbesar sumber hukum yang berkaitan dengan urusan mu’amalah
55
b. Ibadah yang mengandung segi kemasyarakatan diberi ganjaran lebih besar daripada ibadah yang bersifat perorangan. Jika urusan ibadah dilakukan tidak sempurna atau bakal, karena melanggar
pantangan
tertentu,
maka
kifarat-nya
(tebusanya)adalah melakukan sesuatu yang berhubungan dengan mu’amalah. Sebaliknya, jika orang tidak dapat menutupinya. c. Melakukan
amal
baik
dalam
bidang
kemasyarakatan
mendapatkan ganjaran lebih besar daripada ibadah sunnah (Munir, 2006:28). 4. Masalah Akhlak Secara etimologis, kata akhlaq berasal dari bahasa arab, jamak dari ”khuluqan” yang berarti budi pekerti, perangai, dan tingkah laku atau tabiat. Kalimat-kalimat tersebut memiliki segi-segi persamaan dengan perkataan ”khalqun” yang berarti kejadian, serta erat hubungannya dengan khaliq yang berarti pencipta, dan ”makhluq” yang berarti diciptakan. Sedangkan secara terminologi, pembahasan akhlak berkaitan dengan masalah tabiat
atau kondisi temperatur batin yang
mempengaruhi perilaku manusia. Ilmu akhlak bagi Al-Farabi, tidak lain dari bahasan tentang keutamaan-keutamaan yang dapat menyampaikan manusia kepada tujuan hidupnya yang tinggi, yaitu kebahagiaan, dan tentang berbagai kejahatan atau kekurangan yang dapat merintangi usaha pencapaian tujuan tersebut.
56
Kebahagiaan dapat dicapai melalui upaya terus –menerus dalam mengamalkan perbuatan terpuji berdasarkan kesadaran dan kemauan. Siapa yang mendambakan kebahagiaan , maka ia harus berusaha secara terus menerus menumbuhkan sifat-sifat baik yang terdapat dalam jiwa secara potensial, dan dengan demikian, sifatsifat baik itu akan tumbuh dan berurat berakal secara aktual dalam jiwa. Selanjutnya Al- Farabi berpendapat bahwa latihan adalah unsur yang penting untuk memperoleh akhlak yang terpuji atau tercela, dan dengan latihan terus menerus terwujudlah kebiasaan. Berdasarkan pengertian ini, maka ajaran akhlak dalam islam pada dasarnya meliputi kualitas perbuatan manusia yang merupakan ekspresi dari kondisi kejiwaannya. Akhlak dalam islam bukanlah norma ideal yang tidak dapat diimplementasikan, dan bukan pula sekumpulan etika yang terlepas dari kebaikan norma sejati. Dengan demikian, yang menjadi materi akhlak dalam islam adalah mengenai sifat dan kriteria perbuatan manusia serta berbagai kewajiban yang harus
dipenuhinya.
Karena
mempertanggungjawabkan
semua
manusia
harus
setiap perbuatannya, maka islam
mengajarkan kriteria perbuatan dan kewajiban yang mendatangkan kebahagiaan, bukan siksaan . Bertolak dari prinsip perbuatan manusia ini, maka materi akhlak membahas tentang norma luhur yang harus menjadi jiwa dari perbuatan manusia, serta tentang etika
57
atau tata cara yang harus dipraktekkan dalam perbuatan manusia sesuai dengan jenis sasarannya (Munir, 2006: 30).
d. Wasilah (Media Dakwah) Dalam menyampaikan ajaran-ajaran Islam agar lebih efektif dan efisien, seorang da’i harus menggunakan media yang tepat. Media yang tepat akan sangat menunjang keberhasilan dakwah seorang da’i. Media disini merupakan segala sesuatu yang dapat dijadikan sebagai alat perantara untuk mencapai tujuan tertentu dalam berdakwah. Sedangkan Hamzah Ya’kub menyatakan media dakwah adalah alat obyektif menjadi saluran, yang menghubungkan ide dengan umat, suatu elemen yang vital dan merupakan urat nadi dalam totalitas dakwah, yang dapat digolongkan menjadi lisan, tulisan, audio visual, dan perbuatan atau akhlak (Ya’qub, 1981:47-48). Penyajian media dakwah tersebut adalah sebagai berikut: 1) Media Lisan Yang termasuk dalam bentuk media lisan adalah pidato, khutbah, ceramah, seminar, musyawarah, diskusi, nasehat, pidato, radio,
ramah-tamah dalam
anjangsana,
dan
lain-lain
yang
kesemuanya disampaikan melalui lisan. 2) Media Tulisan Dakwah yang dilakukan melalui media tulisan seperti bukubuku, majalah, surat kabar, pengumuman, dan sebagainya. Akan
58
lebih baik lagi apabila da’i juga menguasai jurnalistik, yaitu ketrampilan dalam mengarang dan menulis. 3) Media Lukisan Yaitu dalam bentuk gambar-gambar hasil seni lukis, foto dan lain-lain. Bisa juga dalam bentuk komik bergambar yang sangat digemari anak-anak. 4) Media Akhlak Yang dimaksud adalah penyampaian secara langsung dalam bentuk perbuatan yang nyata dan konkrit, misalnya menjenguk orang yang sakit, berziarah, silaturrahim, dan sebagainya. 5) Media Audio Visual Dakwah yang dilakukan melalui audio visual adalah menggunakan peralatan yang dapat digunakan untuk menyampaikan pesan dakwah yang dapat dilihat, didengar, ataupun keduanya, seperti televisi, radio, film, dan lain-lain. Senada dengan Hamzah Ya’qub, Masdar Helmi membagi media dakwah menjadi empat yaitu: 1) Media Cetak, seperti surat kabar, majalah, buku, dan lain-lain. 2) Media Visual, misalnya foto, lukisan, pameran dan sebagainya. 3) Media Auditif, seperti radio, tape, dan lain-lain. 4) Media Pertemuan, halal bi al-halal, musyawarah, silaturahmi, dan lain sebagainya (Helmi, 1973:73).
59
Dari kedua pendapat tentang media dakwah tersebut, terlihat bahwa
kedua
media juga
memegang peranan penting dalam
penyampaian dakwah. Tidak hanya secara langsung melalui media cetak atau tulisan, ataupun melalui audio visual, juga secara tidak langsung melalui perbuatan atau akhlak yang bisa dijadikan panutan atau suri tauladan bagi para mad u, seperti yang dilakukan oleh para Nabi Muhammad saw. Sementara Asmuni Syukir menambahkan media dakwah bisa dilakukan antara lain sebagai berikut: 1. Lembaga Pendidikan Formal, yang dimaksudkan adalah lembaga pendidikan yang memiliki sistem kurikulum. Biasanya adalah sekolah atau lembaga akademis yang berada dibawah lingkungan agama, seperti pesantren. 2. Lingkungan Keluarga, karena keluarga merupakan lingkungan sosial terkecil dalam masyarakat dimana penyampaian dakwah harus dilakukan sedini mungkin. 3. Organisasi-organisasi Islam seperti yang berkembang di masyarakat Indonesia. 4. Media Masa, seperti, televisi, radio, surat kabar, majalah, dan lainlain. 5. Peringatan Hari Besar Islam (PHBI), misalnya mengadakan acaraacara keIslaman sat memperingati hari-hari besar Islam, seperti pada saat Idul Adha, Isra’ Mi’raj, dan lain-lain.
60
6. Seni budaya, kesenian, atau kebudayaan memegang peranan dalam penyebaran amar ma’ruf nahi munkar, baik secara langsung maupun tidak langsung, Misalnya acara kasidah, sandiwara dan sebagainya (Syukir,1983:1698-180). Jadi dakwah bisa dilakukan melalui media saja, selama media tersebut tidak mengurangi tujuan dakwah, yaitu amar ma’ruf nahi mungkar. Dengan pemilihan media yang tepat, dakwah yang dilakukan akan lebih efektif dan efisien.
e. Thariqah (Metode Dakwah) Kata metode berasal dari bahasa latin methodus berarti cara. Dalam bahasa Yunani, methodhus berarti cara atau jalan. Sedangkan dalam bahasa Inggris method dijelaskan dengan metode atau cara. Kata metode telah menjadi bahasa Indonesia yang memiliki pengertian ”suatu cara yang bisa ditempuh atau cara yang ditentukan secara jelas untuk mencapai dan menyelesaikan suatu tujuan, rencana sistem, tata pikir manusia . Abdul Qadir Munsyi, mengartikan metode sebagai cara untuk menyampaikan sesuatu. Sedangkan dalam metodologi pengajaran ajaran Islam disebutkan bahwa metode adalah suatu cara yang sistematis dan umum terutama dalam mencari kebenaran ilmiah”. Dalam kaitannya dengan pengajaran agama Islam, maka pembahasan selalu berkaitan
61
dengan hakikat penyampaian materi kepada peserta didik agar dapat diterima dan dicerna dengan baik. Metode adalah cara yang sistematis dan teratur untuk pelaksanaan suatu atau cara kerja. Dakwah adalah cara yang digunakan subyek dakwah untuk menyampaikan materi dakwah atau biasa diartikan dengan metode dakwah adalah cara-cara yang dipergunakan oleh seorang da’i untuk menyampaikan materi dakwah yaitu al- Islam atau serentetan kegiatan untuk mencapai tujuan tertentu. Sementara itu dalam komunikasi metode dakwah ini lebih dikenal sebagai approach, yaitu cara-cara yang dilakukan oleh seorang da’i atau komunikator untuk mencapai suatu tujuan tertentu atas hikmah dan kasih sayang. Dengan kata lain, pendekatan dakwah harus bertumpu pada satu pandangan human oriented menetapkan penghargaan yang mulia pada diri manusia. Hal tersebut didasari Islam sebagai agama salam yang menyebarkan rasa damai menempatkan manusia pada prioritas utama, artinya penghargaan manusia itu tidaklah di bedabedakan menurut ras, suku, dan lain sebagainya. Sebagaimana yang tersirat dalam QS. Al-Isra’ 70, ”Kami telah memuliakan Bani Adam (manusia dan kami bawa mereka itu di daratan dan di lautan. Kami juga memberikan kepada mereka dari segala rezeki yang baik-baik. Mereka juga kami lebihkan kedudukannya dari seluruh makhluk yang lain .
62
Metode dakwah, adalah jalan atau cara yang dipakai oleh juru dakwah untuk menyampaikan ajaran materi dakwah (Islam). Dalam menyampaikan pesan dakwah metode sangat penting peranannya, suatu pesan walaupun baik, tetapi disampaikan lewat metode yang tidak benar, pesan itu bisa saja ditolak oleh si penerima pesan. Dalam ”Ilmu Komunikasi” ada jargon ”the method is message”. Maka dari itu kejelian dan kebijakan juru dakwah dalam memilih dalam memakai metode sangat mempengaruhi kelancaran dan keberhasilan dakwah (Aziz,2005:123). Ketika membahas tentang metode dakwah pada umumnya merujuk pada surat an Nahl (QS.16:125) sebagaimana telah saya tuliskan di halaman 35. Dalam ayat tersebut, metode dakwah ada tiga, yaitu bi alhikmah, mauizatul hasanah, dan mujadalah billati hiya ahsan. Secara garis besar ada tiga pokok metode (thariqah) dakwah yaitu: 1. Bi al Hikmah, yaitu berdakwah dengan situasi dan kondisi sasaran dakwah dengan menitik beratkan pada kemampuan mereka, sehingga di dalam menjalankan ajaran-ajaran Islam selanjutnya, mereka tidak lagi merasa terpaksa atau keberatan. 2. Mauizatul Hasanah, yaitu berdakwah dengan memberikan nasehatnasehat atau menyampaikan ajaran-ajaran Islam dengan rasa kasih sayang, sehingga nasehat dan ajaran Islam yang disampaikan itu dapat menyentuh hati mereka.
63
3. Mujadalah Billati Hiya Ahsan, yaitu berdakwah dengan cara bertukar pikiran dan membantah dengan cara yang sebaik-baiknya dengan tidak memberikan tekanan-tekanan yang memberatkan pada komunitas yang menjadi sasaran dakwah (Munir,2006:34).
f. Atsr (Efek Dakwah) Dalam setiap aktivitas dakwah pasti akan menimbulkan reaksi. Artinya, jika dakwah telah dilakukan oleh seorang da’i dengan materi dakwah, wasilah, dan thariqah tertentu, maka akan timbul respons dan efek (atsr) pada mad u ( penerima dakwah ). Atsar (efek) sering disebut dengan feed back (umpan balik) dari proses dakwah ini sering dilupakan atau tidak banyak menjadi perhatian para da’i. Kebanyakan mereka menganggap bahwa setelah dakwah disampaikan, maka selesailah dakwah. Padahal, atsar sangat besar artinya dalam penentuan langkah-langkah dakwah berikutnya. Tanpa menganalisis atsar dakwah, maka kemungkinan kesalahan strategi yang sangat merugikan pencapaian tujuan dakwah akan terulang kembali. Sebaliknya, dengan menganalisis atsar dakwah secara cermat dan tepat, maka kesalahan strategi dakwah akan segera diketahui untuk diadakan penyempurnaan pada langkah-langkah berikutnya (correction action). Demikian juga strategi dakwah termasuk di dalam penentuan unsurunsur dakwah yang dianggap baik dapat ditingkatkan.
64
Evaluasi dan koreksi tehadap atsar dakwah harus dilaksanakan secara radikal dan komprehensif, artinya tidak secara parsial atau setengah-setengah. Seluruh komponen sistem (unsur-unsur) dakwah harus dievaluasi secara komprehensif. Para da’i harus memiliki jiwa terbuka untuk melakukan pembaharuan
dan perubahan, disamping
bekerja dengan menggunakan ilmu. Jika proses evaluasi ini telah menghasilkan beberapa konklusi dan keputusan, maka segera diikuti dengan tindakan korektif (corrective action). Jika proses ini dapat terlaksan dengan baik, maka twerciptalah suasan mekanisme perjuangan dalam bidang dakwah. Dalam bahasa agam, inilah sesungguhnya yang disebut dengan ikhtiar insani. Jalaluddin Rahmat menyatakan bahwa efek kognitif terjadi bila ada perubahan pada ap yang diketahui, dipahami atau dipersepsi khalayak.
Efek
ini
berkaitan
dengan
transmisi
pengetahuan,
ketrampilan, kepercayaan, atau informasi. Efek afektif timbul bila ada perubahan pada apa yang dirasakan,disenangi atau dibenci khalayak, yang meliput segala yang berhubungan dengan emosi, sikap serta nilai. Sedangkan efek behavioral merujuk pada prilaku nyata yang dapat diamati, yang meliputi pola tindakan, kegiatan, atau kebiasaan berprilaku (Munir,2006:35). Sedangkan dalam buku strategi komunikasi Anwar Arifin memperjelas efek diatas sebagai berikut:
65
Sesungguhnya suatu ide yang menyentuh dan yang merangsang individu dapat diterima atau ditolak dan pada umumnya melalui proses. 1. Proses mengerti (proses kognitif) 2. Proses menyetujui (proses objektif ) 3. Proses pembuatan (proses sencemotorik) Atau dapat dikatakan melalui proses: 1. Terbentuknya suatu pengertian atau pengetahuan (knowledge) 2. Proses atau sikap menyetujui atau tidak menyetujui (attitude) 3. Proses terbentuknya gerak pelaksanaan (prectise). Dengan demikian penelitian atau evaluasi terhadap penerimaan dakwah ditekankan untuk dapat menjawab sejauh mana ketiga aspek perubahan tersebut, yaitu aspek kognitif, aspek afektif, dan aspek behavioral pada penerima dakwah (Aziz,2005:140).
66
BAB III GAMBARAN UMUM KECAMATAN KALIWUNGU KABUPATEN KENDAL DAN BIOGRAFI KYAI ASY’ARI (KYAI GURU)
3.1. Gambaran Umum Kecamatan Kaliwungu Daerah Kecamatan Kaliwungu dibatasi oleh laut Jawa untuk sebelah utaranya. Di sebelah Selatan dibatasi oleh Kecamatan Mijen dan Boja. Sebelah Barat oleh Kecamatan Brangsong dan untuk bagian timur dibatasi oleh kecamatan Tugu (wilayah kota Semarang). Semenjak pemekaran wilayah oleh Pemerintah Kabupaten Kendal, maka semenjak tahun 2006 Kecamatan Kaliwungu dibagi menjadi dua, yakni Kecamatan Kaliwungu dan Kaliwungu Selatan. Kecamatan Kaliwungu meliputi desa-desa daerah datar dan pantai, meliputi 9 desa yakni: Karang Tengah, Kumpulrejo, Sarirejo, Krajankulon, Kutoharjo, Mororejo, Wonorejo, Nolokerto dan Sumberejo. Sedangkan wilayah Kaliwungu Selatan meliputi desa yang berada di daerah datar dan daerah atas / gunung. Desa yang berada di daerah dataran datar yang meliputi: Desa Plantaran dan Sukomulyo, sedangkan desa yang berada di dataran tinggi / pegunungan, meliputi desa: Protomulyo, Magelung, Darupono, Kedungsuren dan Jeruk Giling.
3.1.1 Letak Geografis / Demografi a. Kecamatan Kaliwungu terletak dalam: Wilayah Pembantu Bupati Kaliwungu
67
Kabupaten
Kendal
Propinsi
Jawa Tengah
b. Batas-batas wilayah Sebelah utara
Laut Jawa
Sebelah Selatan
Kecamatan Kaliwungu Selatan
Sebelah Barat
Kecamatan Brangsong
Sebelah timur
Kota Semarang
c. Jarak dari ibukota Kaliwungu ke beberapa kota: Kota Propinsi Jawa Tengah
21 km
Kota Kabupaten Kendal
7 km
Kota Kec. Kaliwungu Selatan
4 km
Kota Kecamatan Singorojo
24 km
Kota Kecamatan Brangsong
2 km
d. Ketinggian Tanah
4,5 meter dpl
e. Suhu Udara Siang hari
32oC
Malam hari
26oC
f. Jenis Tanah Leutosol Secara geografis, Kaliwungu merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Kendal Jawa Tengah yang terletak di sebelah utara Laut Jawa, sebelah selatan Kecamatan Kaliwungu Selatan, sebelah barat Kecamatan Brangsong, sebelah timur Kota Semarang. Kaliwungu menempati letak strategis karena jarak dari ibukota Kaliwungu ke kota kabupaten Kendal agak
68
jauh. Dari jarak ke kota kabupaten Kendal, kurang lebih tujuh kilo meter ke arah utara. Walaupun secara administratif, kaliwungu di bawah satu pemerintahan kabupaten, tetapi masyarakat kaliwungu terbiasa membaginya menjadi dua daerah, kecamatan kaliwngu dan kecamatan kaliwungu selatan. 3.1.2 Kondisi sosial masyarakat Kaliwungu Sebagai bagian dari Kabupaten Kendal, kecamatan kaliwungu mempunyai luas wilayah yang cukup besar dibandingkan kecamatan – kecamatan lainnya. Sebagian besar masih dipenuhi dengan sawah-sawah yang terbentang luas, loh jinawi, yang hampir mengelilingi desa, sebagian kecil peternakan, perkebunan dan perikanan. Pertanian di kecamatan ini sangat baik, terawat dan subur makmur. Hal ini dikarenakan sebagian besar masyarakatnya bemata pencaharian sebagai petani, dari petani penggarap hingga juragan sawah. Meskipun jumlah air yang melimpah tetap saja masih terdapat kendala pada sistem pengairannya. Hal ini tidak menyurutkan langkah para petani untuk terus menggarap sawah. Disamping bertani, berkebun, beternak, dan bertambak sebagian masyarakat juga ada yang berprofesi lainnya, seperti, pegawai negeri, berdagang, wiraswasta, buruh bangunan dan pekerjaan lainnya. Kaliwungu, oleh masyarakat luas, terkenal sebagai ”kota santri”, karena memiliki keunikan dengan upacara traditional swalannya, banyak berdiri pondok pesantren dan madrasah yang berbasis NU khususnya di desa Krajankulon karena desa ini berada di tengah atau pusat kota Kaliwungu.
69
3.1.2.1 Banyaknya dusun / dukuh, rukun warga dan rukun tetangga kecamatan Kaliwungu Tahun 2008 Desa 1 2 3 4 5 6 7 8 9
(1) Kumpulrejo Karang Tengah Sari Rejo Krajan Kulon Kutoharjo Nolokerto Sumberejo Mororejo Wonorejo Jumlah 2008 2007 2006
Dusun / Dukuh (2) 2 2 3 3 7 6 4 3 3 33 3 33
Rukun Tetangga (3) (4) 4 14 3 13 8 35 11 35 9 50 6 28 9 35 8 37 9 26 67 273 67 266 66 263 BPS Kabupaten Kendal
Rukun Warga
(Sumber Data: Statistik Kecamatan Kaliwungu) Dari data tersebut diatas menunjukkan kepadatan penduduk yang tidak merata, banyaknya gedung-gedung yang berdiri dan ramainya sarana perhubungan dan komunikasi tidak mengurangi kebersamaan dan kegotongroyongan masyarakat. Tidak ada kesenjangan sosial yang tajam, orang-orang kaya, tokoh-tokoh masyarakat dan sesepuh desa tetap dihormati. Antara yang kaya dan miskin, laki-laki dan perempuan, anak kecil ataupun dewasa, semuanya bermasyarakat dengan baik. Kondisi politik tidak terlalu bergejolak, organisasi politik yang berkembang adalah Nahdlatul ulama (NU), sebagian masyarakat penganut partai NU.
70
3.1.2.2. Banyaknya Pemeluk Agama Kecamatan Kaliwungu Tahun 2008 Desa Islam Protestan Katolik Budha Hindu Lainnya (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) 1 Kumpulrejo 2.593 0 0 0 0 0 2 Karang Tengah 2.218 2 0 0 0 0 3 Sari Rejo 5.383 10 11 1 0 0 4 Krajan Kulon 9.907 12 36 2 6 0 5 Kutoharjo 10.740 5 21 3 7 0 6 Nolokerto 6.067 14 10 0 3 0 7 Sumberejo 5.867 0 37 22 26 0 8 Mororejo 6.405 4 4 0 0 0 9 Wonorejo 4.207 0 0 0 0 0 Jumlah 2008 53.387 47 119 28 42 0 2007 53.652 46 115 26 40 0 2006 52.255 46 114 27 37 0 ( Sumber Data: Statistik Kecamatan Kaliwungu) Dari data tersebut diatas menunjukkan bahwa agama Islam adalah merupakan agama mayoritas masyarakat Kaliwungu, ajaran Islam yang di bawa oleh para tokoh ulama atau kyai pada zaman dahulu seperti Kyai Asy’ari ternyata membuahkan hasil, hal ini dapat kita lihat, hampir seratus persen masyarakat menganut agama Islam 3.1.2.3 Banyaknya Tempat Ibadah Kecamatan Kaliwungu Tahun 2008 Musholla/ Geraja Kuil/Pura Desa Masjid Langgar (1) (2) (3) (4) (5) 1 Kumpulrejo 2 9 0 0 2 Karang Tengah 1 10 0 0 3 Sari Rejo 2 18 0 0 4 Krajan Kulon 2 43 1 0 5 Kutoharjo 1 32 0 0 6 Nolokerto 6 14 0 0 7 Sumberejo 3 16 0 1 8 Mororejo 5 11 0 0 9 Wonorejo 3 13 0 0 Jumlah 2008 25 166 1 1 2007 25 166 1 1 2006 25 166 1 1 (Sumber Data: Statistik Desa di Kecamatan Kaliwungu)
71
Dari data tersebut diatas menunjukkan bahwa banyaknya masjid dan musholla yang berdiri di Kaliwungu, menunjukkan bahwa masyarakat Kaliwungu sangat tekun dan rajin dalam beribadah, masyarakat dan pemerintah Kaliwungu sangat memperhatikan sarana dan prasarana yang baik untuk ibadah, berkat usaha dakwah dan peran dakwah yang dilakukan oleh kyai Asy’ari dan sejumlah tokoh ulama pada zaman dulu akhirnya masyarakat mempunyai kesadaran yang tinggi di bidang keagamaan.
3.1.2.4. Banyaknya Ulama, Muballigh dan Khotib Kecamatan Kaliwungu Tahun 2008
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Desa Ulama Muballigh Khotib (1) (2) (3) (4) Kumpulrejo 1 1 4 Karang Tengah 1 1 4 Sari Rejo 5 4 9 Krajan Kulon 23 17 15 Kutoharjo 7 5 3 Nolokerto 1 1 10 Sumberejo 1 1 9 Mororejo 5 3 10 Wonorejo 2 1 5 Jumlah 2008 46 34 69 2007 46 34 71 2006 48 37 74 (Sumber Data: KUA Kecamatan Kaliwungu)
Dari data tersebut diatas menunjukkan bahwa Kaliwungu memiliki banyak ulama, muballigh dan khotib yang berkualitas dan disegani oleh masyarakat luas, peran dakwah yang di lakukan kyai Asy’ari dan sejumlah tokoh ulama pada zaman dulu sangat besar sekali khususnya di bidang keagamaan. Banyaknya ulama dan muballigh di Kaliwungu diharapkan
72
dapat
lebih
mengembangkan
dakwah
Islam
kepada
masyakat,
sebagaimana yang dilakukan oleh sejumlah tokoh ulama dan kyai seperti kyai Asy’ari pada zaman dulu.
3.2. Biografi Kyai Asy’ari (Kyai Guru) Kyai Asy’ari merupakan ulama besar yang kharismatik pada dekade tahun 1781-an di daerah Kaliwungu khususnya dan Kendal pada umumnya. Kepopuleran Kyai Asy’ari disebabkan metode dakwah yang unik, menarik dan kontroversial. Kemampuannya mengajak masyarakat yang mulanya primitif dan awam terhadap masalah keagamaan, terutama ajaran Islam, menjadi masyarakat yang agamis dan religius. Kepribadian beliau yang sederhana dan kharismatik sangat disegani oleh masyarakat, sehingga namanya selalu dikenang hingga sekarang. Perjuangan dakwahnya sudah semestinya diteladani, diteruskan dan ditumbuhkembangkan. Dilahirkan di Wanantara Yogyakarta, kira-kira pada tahun 1746 dengan nama yang cukup singkat, yaitu Asy’ari bin Ismail bin H. Abdurrahman bin Ibrahim. Dari garis silsilahnya, menurut salah satu sumber, Kyai Asy’ari masih termasuk keluarga Sayyidina Ali, dan dengan Nabi Muhammad SAW bertemu pada keluarga Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdul Manaf bin Qusay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab (Abdullah, 2004: 60-61). Kyai Asy’ari dibesarkan dan hidup pada masa kerajaan Mataram Islam, semenjak kecil ia mendapatkan didikan yang cukup keras di
73
kedalaman Keraton Ngayogyakarta, dengan harapan kelak nantinya bisa meneruskan perjuangan dakwah Islam seperti yang dilakukan para waliyullah, auliya dan para syuhada . Pada masa itu Kyai Asy’ari belajar membaca dan menulis dari para ulama, kyai dan tokoh agama yang ada di lingkungan kerajaan Mataram Islam. Banyak hal yang ia dapatkan dari hasil belajar yang diperoleh dari para gurunya, terutama masalah keagamaan di antaranya, ilmu Al-Qur'an, ilmu nahwu, ilmu sharaf, ilmu badi , ilmu mantiq, ilmu bayan, ilmu aruld, ilmu hadits, lughatul Arabiyyah dan ilmu agama lainnya. Setelah menginjak dewasa ia melanjutkan menuntut ilmu ke Makkah untuk mempelajari agama Islam, kira-kira selama 10 tahunan. Dengan bekal ilmu agama tersebut diharapkan Kyai Asy’ari akan mampu meneruskan perjuangan para tokoh agama Mataram Islam. Sepulang dari Makkah Kyai Asy’ari ditugaskan oleh susuhunan Mataram untuk berdakwah, menyebarkan ajaran-ajaran agama Islam khususnya di daerah Kaliwungu Kendal. Kyai Asy’ari datang di Kaliwungu pada usia 35 tahun, maka tahun kedatangan Kyai Asy’ari di Kaliwungu kira-kira tahun 1781-an (Rochani, 2005: 64). Setelah kedatangan Kyai Asy’ari di Kaliwungu, ia kemudian bermukim dan menetap di kampung yang saat ini terkenal dengan nama Kampung Pesantren Desa Krajankulon Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Kendal. Di Kampung Pesantren itulah Kyai Asy’ari merintis dan mengajarkan Islam dengan kitab kuningnya dengan mendirikan sebuah pondok pesantren salaf (Abdullah, 2004: 19). Yang sekarang ini menjadi
74
pondok APIP (Asrama Pelajar Islam Pesantren), karena pada waktu itu fasilitas dan sarana untuk belajar belum memadai maka Kyai Asy’ari juga menggunakan musholla sebagai tempat untuk belajar dan menuntut ilmu agama Islam bagi para santri, yang sekarang ini menjadi Musholla AlAsy’ari, tepatnya di Kampung Pesantren Desa Krajankulon kecamatan Kaliwungu. Sejarah nama Musholla Al-Asy’ari berasal dari nama pendirinya yaitu Kyai Asy’ari (Kyai Guru), sehingga dinamakan Musholla Al-Asy’ari. Tindakan Kyai Asy’ari dalam berdakwah, dan mengajarkan ilmuilmu agama Islam melalui pondok pesantren yang didirikannya merupakan langkah yang tepat, karena kondisi masyarakat Kaliwungu pada saat itu awam agama dan jauh dari nilai-nilai agama Islam. Selama ia tinggal dan menetap di pondok pesantren yang didirikannya di Kaliwungu, tidak lama kemudian berdatanganlah santri-santri dari berbagai daerah untuk belajar dan menuntut ilmu. Selama kedatangannya di Kaliwungu Kyai Asy’ari bertemu dan saling kenal dengan KH. Abu Sudjak dan KH. Muhammad Marhum (kakek dan ayah Kyai Ahmad Rifa’i) dan juga saudara-saudara Kyai Ahmad Rifa’i. Tidak lama kemudian menikah dengan Nyai Radjiyah (kakak kandung Kyai Ahmad Rifa’i) pada usia 40 tahun, sedangkan Nyai Radjiyah kira-kira 20 tahun maka pernikahan itu kira-kira berlangsung pada tahun 1786, bersamaan dengan tahun kelahiran Kyai Ahmad Rifa’i. Kalau Kyai Asy’ari menikah dengan Nyai Radjiyah pada usia 40 tahun (mungkin istri Kyai Asy’ari tidak satu orang, dan Nyai Radjiyah mungkin juga bukan istri
75
pertamanya), maka kelahiran Kyai Asy’ari kira-kira pada tahun 1746 (1786 dikurangi 40 tahun = 1746) (Rochani, 2005: 64). KH. Muhammad Marhum, ayah Kyai Ahmad Rifa’i meninggal dunia, ketika Ahmad Rifa’i berusia 6 tahun (1792), dan ketika ditinggal wafat oleh kakeknya, KH. Ahmad Abu Sudjak atau Raden Setjowidjojo (1794), umur Kyai Ahmad Rifa’i baru 8 tahun. Maka untuk mengurangi beban berat Siti Rahinah (ibu Kyai Ahmad Rifa’i) dan demi kelangsungan pendidikan masa depan, setelah memasuki usia tujuh tahun, Ahmad Rifa’i dibawa oleh kakak kandung Nyai Radjiyah ke Kaliwungu dan tinggal di rumahnya (Pondok Pesantren Kyai Asy’ari). Selama di Kaliwungu ia mendapat pendidikan dan pembinaan dari kakak iparnya yaitu Kyai Asy’ari. Kyai Asy’ari dalam mengasuh, mendidik dan membina Ahmad Rifa’i cukup rajin dan teliti, dibandingkan dengan murid-murid yang lain. Berkat ketekunan dan keikhlasan Kyai Asy’ari, Ahmad Rifa’i menjadi murid yang pandai dan cerdas. Dengan modal dasar pemberian Allah Rabbul Alamin, berupa akal cerdas, pikiran luas, dalam waktu relatif singkat Ahmad Rifa’i sudah dapat menguasai beberapa ilmu agama yang Diajarkan oleh Kyai Asy’ari diantaranya, ilmu Al-Qur’an, ilmu nahwu, ilmu sharaf, ilmu Badi’, ilmu mantiq, ilmu bayan, ilmu ‘aruld, ilmu hadits,, ilmu lughatul arabiyah dan ilmu agama lainnya. Seperti tradisi di pesantren, kyai Ahmad Rifa’i sering membantu pekerjaan gurunya, kyai Asy’ari yang sebagai kakak iparnya.
76
Setelah kyai Ahmad Rifa’i mencapai usia delapan tahun, ia sering berkumpul dan tidur bersama para santri di masjid atau mushalla. Bangun pagi dari tidurnya, sholat subuh berjama’ah, berdzikir membaca tahmid dan takbir serta tahlil sudah menjadi kebiasaannya, karena merupakan kebiasaan (tradisi) di pesantren. Kyai Asy’ari adalah seorang ulama yang dalam ilmunya, dalam kesehariannya sangat dekat dan akrab kepada semua kalangan masyarakat, sehingga disegani dan dihormati oleh masyarakat luas, rakyat dan pejabat kolonial Belanda. Dalam aktivitasnya, setiap pagi, siang, sore, malam atau kapan saja waktunya digunakan untuk mendidik dan mengajar serta membina para santrinya. Khusus tengah malam, digunakan untuk munajat kepada Allah ‘Azza Wa jalla, bertaqorrub, mendekatkan diri pada Al- Khaliq, Allah yang maha Esa seperti shalat tahajud, sholat nisfullail dan ibadah lainnya. Acara semacam itu sudah menjadi kebiasaan yang tidak ditinggalkan, di rumah, di masjid, atau dimana saja ia berada. Sehingga pada suatu saat tengah malam, kyai Asy’ari keluar rumah pergi ke masjid untuk melakukan peribadatan dengan sekaligus melihat suasana para santri yang tidur di serambi masjid itu. Sesampainya di dalam masjid, ia terkejut karena melihat sesuatu yang belum pernah dilihatnya, sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya yaitu, melihat cahaya yang terang dari jasad seorang anak asuhan yang tidak dapat diketahui namanya, menyinari ruangan masjid sekelilingnya, walaupun tidak seterang lampu “dlepak” yang biasa di pakai
77
oleh santri pada zamanya. Konon cahaya itu bisa menembus ke atap langit masjid dan tembus ke angkasa. Menurut cerita seorang ahli katanya, apabila dari jasad seorang anak keluar cahaya atau (nur) dan cahaya itu menyinari ke atas dan sekelilingnya, maka tandanya anak tersebut kelak akan menjadi orang besar yang sanggup membina
(menyinari)
kepada
masyarakat
banyak.
Dengan
firasat
kedalamannya yang mendorong kyai Asy’ari ingin mengetahui dari mana sumber cahaya yang disaksikan sendiri itu. Suasana menjadi sunyi sepi dan gelap, tidak ada satu lampu yang menyala, sehingga untuk mengetahui anak yang bercahaya mengalami kesulitan. Maka di sobeklah kain sarung yang di pakai anak tersebut dengan harapan semoga besuk pagi dapat diketahui siapa anak yang bermandikan cahaya itu. Pagi hari pada saat ramainya orang sholat berjamaah dan para santri siap akan pergi mengaji, terdengarlah suara isak tangis yang memilukan dari seorang anak yatim yang bapak kandungnya telah lama meninggal, yaitu kyai Ahmad Rifa’i namanya, menangis karena sobek kain sarungnya. Suara tangisnya makin lama semakin keras, sehingga sempat didengar oleh kyai Asy’ari dirumahnya. Kemudian dipanggilah
Ahmad Rifa’i oleh kakak
iparnya untuk menghadap beliau, setelah itu Ahmad Rifa’i mendapat ganti kain sarung yang sobek dengan yang baru. Betapa gembiranya hati Ahmad Rifa’i, sebagaimana gembiranya kyai Asy’ari setelah mengetahui bahwa anak yang bermandikan cahaya di masjid semalam adalah adik iparnya
78
sendiri, yang insya Allah kelak akan menjadi ulama besar kenamaan (Syadzirin,1989:11). Selama hidupnya kyai Asy’ari lebih banyak menghabiskan waktunya untuk mengabdi dan berjuang untuk menegakkan tali agama Allah SWT (agama Islam) yaitu, dengan mendidik, mengajar dan membina para santri di pondok pesantrennya maupun mengabdi kepada masyarakat Kaliwungu melalui ketrampilan dan ilmu Agama Islam yang ia miliki, karena kondisi masyarakat Kaliwungu pada saat itu masih sangat primitif dan awam terhadap masalah agama dan jauh dari nilai-nilai agama Islam. Menurut sejarah sebelum kyai Asy’ari menikah dengan nyai Radjiyah ia juga mempunyai istri yang berasal dari Aceh yang bernama nyai Guru Manila dan mempunyai enam anak putra dan putri yaitu: ki Ya’kub, Muhammad, Rodhiyah, Afiyah, Ibrahim Umi Aceh dan Umar Umi Aceh. Dengan dukungan para istri, adik iparnya yaitu kyai Ahmad Rifa’i dan anakanaknya, kyai Asy’ari terus mengembangkan dakwahnya hingga akhir hayatnya. Kapan kyai Asy’ari wafat dan pada umur berapa kyai Asy’ari wafat belum ditemukan catatannya, tetapi dapat di perkirakan bahwa setelah kyai Ahmad Rifa’i wafat pada tahun (1876) tidak lama kemudian kyai Asy’ari wafat. Makam kyai Asy’ari atau kyai Guru di Jabal, sebelah selatan desa Protomulyo atau protowetan Kaliwungu, ditempatkan pada sebuah bangunan rumah yang besar dan indah serta dilengkapi dengan air untuk bisa dipergunakan berwudlu. Menandakan bahwa Kyai Asy’ari adalah seorang tokoh ulama yang sangat dihormati.
79
BAB IV ANALISIS PERAN KYAI ASY’ARI (KYAI GURU) DALAM BERDAKWAH DI KECAMATAN KALIWUNGU KABUPATEN KENDAL
4.1 Peran Kyai Asy’ari (Kyai Guru) dalam berdakwah di kecamatan Kaliwungu kabupaten Kendal Peran adalah perilaku yang diharapkan dari seseorang yang mempunyai suatu status (Horton, 1999: 118). Setiap orang mungkin mempunyai sejumlah status dan diharapkan mengisi peran sesuai dengan status tersebut. Pentingnya peranan adalah karena ia mengatur perilaku seseorang. Peranan menyebabkan seseorang pada batas-batas tertentu dapat meramalkan perbuatan-perbuatan orang lain. Peranan diatur oleh normanorma yang berlaku. Misalnya, norma kesopanan menghendaki agar seorang laki-laki bila berjalan bersama seorang wanita, harus di sebelah kiri (Soekanto, 2002: 243). Peranan lebih banyak menunjuk pada fungsi, penyesuaian diri dan sebagai suatu proses. Jadi, seseorang menduduki satu posisi dalam masyarakat serta menjalankan suatu peranan. Peranan mungkin mencakup tiga hal, yaitu: d. Peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat. Peranan dalam arti ini merupakan rangkaian peraturan-peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan kemasyarakatan.
80
e. Peranan adalah suatu konsep tentang apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi. f. Peranan juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat (Soekanto, 2002: 244). Peranan sosial adalah suatu perbuatan seseorang dengan cara tertentu dalam usaha menjalankan hak dan kewajibannya sesuai dengan status yang dimilikinya. Seseorang dapat dikatakan berperan jika ia telah melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan status sosialnya dalam masyarakat. Jika seseorang mempunyai status tertentu dalam kehidupan masyarakat, maka selanjutnya ada kecenderungan akan timbul suatu harapan-harapan baru. Dari harapan-harapan ini seseorang kemudian akan bersikap dan bertindak atau berusaha untuk mencapainya dengan cara dan kemampuan yang dimiliki. Oleh karena itu peranan dapat juga didefinisikan sebagai kumpulan harapan yang terencana. Seseorang yang mempunyai status tertentu dalam masyarakat. Dengan singkat peranan dapat dikatakan sebagai sikap dan tindakan seseorang sesuai dengan statusnya dalam masyarakat. Atas dasar definisi tersebut maka peranan dalam kehidupan masyarakat adalah sebagai aspek dinamis dari status (Syani, 1994: 94) Ciri pokok yang berhubungan dengan istilah peranan sosial adalah terletak pada adanya hubungan-hubungan sosial seseorang dalam masyarakat yang menyangkut dinamika dari cara-cara bertindak dengan
81
berbagai norma yang berlaku dalam masyarakat, sebagaimana pengakuan terhadap status sosialnya. Menurut Levinson, bahwa peranan itu mencakup tiga hal, yaitu: 4. Peranan meliputi norma-norma yang di hubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat. Peranan dalam arti ini merupakan rangkaian peraturan-peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan kemasyarakatan. 5. Peranan adalah suatu konsep perihal apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi. 6. Peranan juga dapat dikatakan sebagai peri kelakuan individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat (Syani, 1994: 95) Berangkat dari teori yang dikemukakan oleh Levinson, maka peranan Kyai Asy’ari (Kyai Guru) dalam berdakwah di Kecamatan Kaliwungu mencakup tiga hal yaitu: 1. Kyai Asy’ari (Kyai Guru) mengenalkan budaya Mataram Islam di Kaliwungu 2. Kyai Asy’ari (Kyai Guru) mengenalkan ajaran Islam di Kaliwungu 3. Kyai Asy’ari (Kyai Guru) mendirikan pondok pesantren di Kaliwungu.
4.1.1 Kyai Asy’ari (Kyai Guru) mengenalkan Budaya Mataram Islam di Kaliwungu Kaliwungu dalam perspektif kebesaran Mataram pada abad XVII, merupakan suatu kota di pesisir utara pulau Jawa, merupakan titik penting dalam peta sejarah Mataram awal abad XVII. Hal ini
82
terbukti dengan adanya pemerintahan kadipaten yang masih nampak bekas gapuranya. Pagelaran kraton atau kabupaten biasanya menghadap ke laut atau membelakangi pegunungan atau gunung. Di daerah jawa bagian selatan, pendapa kabupaten biasanya menghadap ke selatan (laut kidul), dan membelakangi pegunungan Kendeng. Di jawa utara atau pesisir utara, kabupaten menghadap ke utara dan membelakangi gunung, dan ada pula yang menghadap ke selatan membelakangi gunung Muria, atau seperti di Jepara menghadap ke barat (laut) dan membelakangi gunung Muria juga. Pusat pemerintahan terletak didaerah yang disebut Krajan (kerajaan). Disebelah barat disebut Krajankulon, dan disebelah timurnya disebut Krajanwetan. Rumah patih disebut Ronggo, disebut Kranggan, Di sebelah selatan pemerintahan Kadipaten Kaliwungu terbujur perbukitan yang di kenal dengan Bukit Kuntul Melayang, membujur dari desa Protowetan ke selatan sampai Penjor dan berbatasan dengan desa Nolokerto. Bukit tersebut mengesankan bentuk burung kuntul yang sedang melayang. Diatas bukit kuntul melayang inilah beristirahat dengan abadi para leluhur yang pada zamannya menjadi tokoh sejarah dan sampai sekarang masih dimulyakan dan di hormati masyarakat sekitarnya (Surat Kabar, KALIWUNGU-KENDAL, Dalam Perspektif Kebesaran Mataram Islam Abad XVII).
83
Agama Islam yang berkembang di tanah Jawa tidak bisa di lepaskan dari jasa dan usaha para Walisongo. Pengaruh yang di bawa Walisongo dalam mengembangkan Islam di tanah Jawa sangat besar sekali. Masyarakat Jawa yang pada mulanya penganut aliran animisme dan dinamisme berubah menjadi masyarakat mayoritas muslim. Perjuangan yang di lakukan tidak mudah dan tidak singkat. Kepercayaan masyarakat pada aliran animisme dan dinamisme sudah sangat mengakar kuat. Oleh sebab itu diperlukan langkah yang revolutif. Perubahan yang radikal tidak akan menghasilkan simpati masyarakat,
tetapi
hanya
akan
menambah
ketidakpercayaan
masyarakat terhadap ajaran Islam. Penyebaran agama Islam oleh Walisongo bahkan sampai ke pelosok-pelosok desa. Setiap Wali melakukan dakwah dengan cara dan pendekatan yang berbeda-beda sesuai dengan karakteristik masyarakat di daerahnya. Ajaran Islam pun tersebar sampai didaerah Kaliwungu Kendal dan sekitarnya, hanya saja belum dipahami secara baik oleh sebagian besar masyarakat, jadi hanya sebatas tahu dan sepenggal-penggal. Kaliwungu sebagai bagian dari Kendal, Jawa tengah, juga mengalami perubahan kultural dengan datangnya ajaran Islam, seperti telah dipaparkan sebelumnya bahwa masyarakat Kaliwungu adalah masyarakat yang masih awam terhadap ajaran Islam, mereka mengenal Islam hanya sebagai suatu agama. Meskipun mereka
84
mengaku beragama Islam, tetapi tindakan yang dilakukannya jauh dari nilai-nilai ajaran Islam. Masyarakat Kaliwungu pada saat itu mempunyai kebiasaan memuja arwah para leluhur dan mendewakan benda-benda yang dianggap keramat seperti keris atau pusaka, cincin atau jimat, pohon besar, patung atau batu yang semuanya itu di anggap dapat memberikan kekuatan, keselamatan dan dapat memberikan sesuatu yang diminta (Wawancara dengan KH. Muhibbudin, Senin, 08-03-2010). Kebiasaan-kebiasaan seperti itu sudah menjadi budaya yang berkembang dalam masyarakat Kaliwungu. Kondisi yang parah dan terpuruk jauh dari ajaran Islam yang benar, menimbulkan kekhawatiran tersendiri bagi para petinggi pemerintahan kadipaten Kaliwungu, mulai berfikir mencari jalan agar masyarakatnya tidak semakin terlena dan terjerumus ke dalam perbuatan musyrik atau menyekutukan Allah. Untuk mengatasi hal tersebut maka pihak pemerintah kadipaten Kaliwungu mencoba menyadarkan masyarakatnya agar segera menghentikan perbuatan musyrik itu dan lebih mendekatkan diri kepada Allah. Hanya saja, pihak pemerintah sadar dalam hal ini perubahan secara radikal tidak akan menghasilkan sesuatu yang maksimal. Oleh sebab itu, proses penyadaran masyarakat harus dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan.
85
Langkah pertama yang diambil oleh para petinggi pemerintah Kaliwungu adalah mencari seseorang yang memahami dengan benar tentang ajaran Islam dan mengajaknya untuk menyerukan dakwahnya di Kaliwungu, usaha pemerintah kadipaten belum juga membuahkan hasil karena belum juga ditemukan sosok ulama atau kyai yang bersedia mengabdikan dirinya untuk menyerukan dakwah dan memajukan umat Islam di Kaliwungu, akhirnya berita itu di dengar oleh pemerintah kerajaan Mataram Islam, karena pada waktu itu Kota Kaliwungu merupakan titik penting dalam peta sejarah Mataram awal abad ke XVII, untuk mengatasi kondisi yang parah dan terpuruk jauh dari ajaran Islam yang benar, maka Kyai Asy’ari di berikan amanat dan di utus oleh susuhunan Mataram Islam untuk berdakwah, mengajarkan dan menyebarkan ajaran agama Islam di Kaliwungu. Kyai Asy’ari merupakan ulama dan kyai yang memiliki ilmu tinggi, rajin dan tekun juga memiliki keikhlasan yang sangat luar biasa yang siap mengabdikan dirinya untuk menegakkan agama Allah yaitu aga Islam di Kaliwungu nantinya (Wawancara dengan KH. Muhibbudin, Rabu, 10-03-2010). Masa-masa pertama menetap di kampung Pesantren desa Krajankulon Kaliwungu sempat membuat kyai Asy’ari terkejut, lingkungan yang sangat berbeda dengan lingkungan sebelumnya selama ini membuatnya harus beradaptasi terlebih dahulu. Kyai Asy’ari yang sehari-harinya bergelut dengan dunia pesantren, harus
86
belajar memahami ritme kehidupan masyarakat Kaliwungu. Setelah melakukan observasi tentang masyarakat Kaliwungu dengan segala aktivitas dan budayanya, maka kyai Asy’ari menemukan pendekatan yang
paling
efektif
dalam
mengembangkan
dakwahnya
di
Kaliwungu. Pendekatan yang di lakukan adalah dengan mengenalkan dan mengajarkan tentang nilai-nilai ajaran Islam yang ada pada kebudayaan Mataram Islam seperti : wayang kulit, terbangan, atau kentrungan, mauludan, rajaban, bubur suran, rebo pungkasan, nyadran, nyekar, slametan, dzikir atau tahlil kepada masyarakat Kaliwungu
(Surat
Kabar,
KALIWUNGU-KENDAL,
Dalam
Perspektif Kebesaran Mataram Islam Abad XVII). 1. Wayang Kulit Pada zaman Sultan Agung, wayang kulit berbentuk pipih menyerupai bentuk bayangan (gestylered) seperti apa yang kita lihat sekarang. Wayang kulit purwa disempurnakan bentuknya. Cara pembuatannya,
warnanya,
alat
kelir,
deblog,
Blencong
disempurnakan dan disesuaikan dengan zaman baru agar tidak bertentangan dengan agama (dibuat sejak) 1518 = 1440 Jawa (Sirnasuci caturing Dewa) dan menambah jumlah wayang semalam suntuk gamelan slendro (sejak ± 1521) dengan pimpinan yang disebut kyai Dalang. Membuat perampokan dan gunungan (1443 Jawa, geni dadi surining jagad)
87
Di Kaliwungu, pada tahun sekitar 1965, masih ada dalang yang dikenal dengan nama Ki Dalang Riyanto, Ki Dalang Denu Purwocarito, Ki Dalang Akhmat. Bahkan pernah dikenal ada dalang Bocah. Pertunjukan wayang kulit dilaksanakan pada zamannya lurah Sahri (al-marhum) setiap bulan Apit (Legeno) dalam rangka “merti deso”.
Bagi masyarakat juga ada yang melaksanakan
“ruwatan” dengan menyelenggarakan wayang kulit dengan ceritera Murwokolo (Surat Kabar, KALIWUNGU-KENDAL, Dalam Perspektif Kebesaran Mataram Islam Abad XVII). 2. Terbangan, Kentrungan, dikenal sejak zaman Sultan Agung, terbukti dalam surat centini yang menceriterakan pengembaraan She Among Rogo melihat kesenian kentrung yang biasanya diselenggarakan semalam suntuk menceriterakan tokoh-tokoh legendaris nenek moyangnya, maupun kisah para nabi seperti yang termaktub dalam buku Serat Anbia tidak jarang ceritera menak, seperti Umarmaya Umarmadi menjadi kegemaran masyarakat. Sekitar tahun 1950-1960, dikenal kentrung Siman, mengambil nama Pak Siman, Seniman Kentrung tunanetra tapi hafal cerita-cerita Babad. Terbangan sendiri, dilakukan oleh 3, 5, 7, 9 atau 11 orang, dengan alat utama terbang. Syair-syair yang dibacakan disebut Markhahanan mengambil dari kitab Burdah, Nashor, Dziba atau
88
Saraful Anam untuk menghormati kelahiran Nabi Muhammad SAW di bulan Maulud. 3. Mauludan Tradisi mengagungkan Nabi Muhammad SAW adalah bernilai simbolis agar dalam setiap kehidupan muslim mewarisi akhlak yang baik seperti Nabi Muhammad. Oleh sebab itu, pada bulan Maulud (Rabiul Awal), untuk mengenang kelahiran Nabi Muhammad, diselenggarakan pembacaan syair Mauludan di langgar-langgar maupun di rumah penduduk. Bagi anak-anak peristiwa yang paling menyenangkan adalah kegiatan yang menyertai Mauludan, yaitu Ketuwin. Peristiwanya adalah, anakanak keluar rumah membawa makanan di atas piring kecil dari tanah, yang diberi lilin yang memancarkan cahaya. Secara bergantian makanan saling ditukar dengan tetangga. Makna simbolik yang menyertai peristiwa ini adalah: Telah Datang Cahaya (Nur) Muhammad yang memberi petunjuk (penerangan) kepada umat manusia. 4. Rajaban Pada bulan Rajab (Rejeb), tepatnya 27 Rejeb tahun Hijriah. Diselenggarakan perayaan membaca riwayat Mi’raj Nabi Muhammad SAW sejak hati Nabi Muhammad disucikan oleh Malaikat Jibril sampai perjalanan melihat Surga dan Neraka. Serta ditetapkannya shalat lima waktu.
89
5. Bubur Suran Sultan Agung telah mengganti tahun Saka dengan tahun Jawa, di mana 1 Suro adalah merupakan tahun baru. M dirayakan dengan bubur Suro, yang khas, yakni bubur nasi dicampur tahu, tempe dan daging kerbau. Menurut hikayat, konon Nabi Nuh telah selamat sampai ke darat setelah dilanda banjir tepat pada tanggal 1 Syuro. Sebagai rasa syukur kepada Tuhan maka dibuatkan selamatan atau bancaan dengan memasak sisa makanan yang ada. Hasil makanan tersebut menjadi Bubur Suran. 6. Rebo Pungkasan Yaitu hari Rebo terakhir bulan Sapar, menjadi tradisi menjalankan puasa Sunnah dan beribadah. Hal ini dikarenakan setiap tahun hanya ketemu satu hari Rebo Pungkasan bulan Sapar. Arti simboliknya adalah agar manusia diingatkan akan arti pentingnya sang waktu, seperti yang tercantum dalam surat Wal Asri. 7. Nyadran Upacara nyadran, menurut ahli antropolog Koentjaraningrat, adalah diselenggarakan untuk merawat makam para Cikal Bakal (leluhur) atau nenek moyang pendiri komunitas. Pelaksanaannya dengan membawa makanan (nasi) dan ikan ayam (panggang), ke komplek makam leluhur. Diawali dengan pembacaan Tahlil, dan doa bagi yang telah dikubur, dan diakhiri dengan makan bersama. Dengan demikian merupakan alasan untuk mengadakan pesta dan
90
perayaan yang mengintensifkan solidaritas antara para anggota kelompok kerabat. 8. Nyekar Nyekar atau menabur bunga di kuburan para leluhur pada hari raya Idul Fitri, bermakna simbolik, harumkanlah nama leluhur kita, dengan merefleksikan pada diri kita sendiri untuk bertindak dan bercita-cita menjadi manusia utama dalam kehidupan kita. 9. Slametan Adalah bentuk doa yang diekspresikan melalui seni makanan. Makna simbolisnya bahwa adanya tumpeng (nasi yang meruncing ke atas seperti gunung), dan dihiasi dengan lauk-pauk dari ayam, telur, tempe, tahu, sayur-mayur (janganan) melambangkan bahwa makanan sebagai sumber kehidupan berasal dari Yang Esa meliputi semesta. Oleh sebab itu disertai doa oleh modin agar manusia selamat di dalam kehidupan dan disertai dengan kata: Amin!, kabulkanlah permintaan kami. 10. Dzikir atau Tahlil Inti dari agama Islam adalah tauhid. Tuhan Yang Maha Pencipta adalah Esa. Oleh sebab itu di setiap kesempatan, meng-Esakan Tuhan adalah dianjurkan. Dengan berdzikir dan tahlil, manusia diingatkan kepada kalimat: La Ilaha IllAllah. Tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammadur Rasulullah: Muhammad utusan Allah. Oleh sebab itu penyelenggaraan dzikir bisa di rumah, di mesjid, di
91
tempat “Selamatan”, di tempat kematian, di kuburan dan di mana saja yang memungkinkan khusuk untuk berdzikir. Boleh sendirian dan boleh bersama-sama. Kyai Asy’ari yang berasal dari tokoh ulama Mataram Islam, tentunya banyak mewarisi kebudayaan yang ada pada Mataram Islam tersebut. Setelah beberapa saat berjalan, masyarakat semakin banyak yang mengetahui dan memahami yang akhirnya tertarik dengan tradisi atau budaya Mataram Islam tersebut, yang di kenalkan oleh kyai Asy’ari kepada mereka, maka langkah selanjutnya kyai Asy’ari mulai mengadakan tradisi atau budaya Mataram Islam di Kaliwungu yang kemudian diselingi dengan pengajian atau ceramah. Dalam perkembangan sosial masyarakat, aspek kebudayaan tidak akan terlepas dari kehidupan manusia. Tindakan kyai Asy’ari dalam menyebarkan ajaran-ajaran Islam kepada mad u di Kaliwungu dengan cara mengenalkan budaya atau tradisi Mataram Islam adalah langkah yang tepat, karena masyarakat Kaliwungu tidak bisa terlepas dengan kebudayaan. Dengan mengenalkan nilai-nilai ajaran Islam dalam kebudayaan Mataram Islam seperti wayang kulit, terbangan atau kentrungan, mauludan, rajaban, bubur suran, rebo pungkasan, nyadran, nyekar, slametan,dzikir atau tahlil maka dengan sendirinya tradisi atau kebiasaan masyarakat Kaliwungu yang suka memuja para arwah leluhur dan mendewakan benda-benda yang dianggap keramat
92
seperti keris atau pusaka, cincin atau jimat, pohon besar, patung atau batu, yang semuanya itu dianggap dapat memberikan kekuatan, keselamatan, dan sesuatu yang diminta. Kyai Asy’ari berharap dengan dakwahnya masyarakat Kaliwungu sedikit demi sedikit bahkan meninggalkan kebudayaan mereka dengan mengenalkan kebudayaan Mataram Islam tersebut. Karena kebudayaan Mataram Islam lebih mengajarkan kepada nilai-nilai ajaran Islam. Sedangkan kebiasaan masyarakat Kaliwungu sebelum itu lebih menjurus kepada perbuatan musyrik (menyekutukan Allah). Penyajian pesan dakwah yang disampaikan oleh Kyai Asy’ari lewat kebudayaan Mataram Islam tersebut sangat praktis dan mudah untuk dilakukan pada setiap waktu tertentu. Misalnya dapat kita lihat pada tradisi mauludan, yaitu tradisi yang diadakan pada bulan maulud (Rabiul awal), untuk mengenang kelahiran nabi Muhammad SAW, diselenggarakan pembacaan syair mauludan di musholla-musholla maupun di rumah penduduk. Bagi anak-anak peristiwa yang paling menyenangkan adalah kegiatan yang menyertai mauludan, yaitu ketuwen. Peristiwanya adalah anak-anak keluar rumah membawa makanan diatas piring kecil dari tanah, yang di beri lilin yang memancarkan cahaya. Secara bergantian makanan saling di tukar dengan tetangga. Makna simbolik yang menyertai peristiwa ini adalah, telah datang cahaya (nur) Muhammad SAW yang memberi petunjuk atau (penerangan) kepada
93
umat manusia. Tradisi mengagungkan nabi Muhammad SAW adalah bernilai simbolis agar dalam setiap kehidupan muslim mewarisi akhlak yang baik seperti nabi Muhammad SAW. Misalnya lagi tradisi rabo pungkasan, yaitu tradisi yang diadakan pada hari rabo terakhir bulan sapar, menjadi tradisi menjalankan puasa sunnah dan beribadah. Hal ini dikarenakan setiap tahun hanya ketemu satu hari rebo pungkasan bulan sapar. Arti simboliknya adalah agar manusia diingatkan akan arti pentingnya sang waktu, sebagaimana yang tercantum dalam surat alAsr ayat 1-3:
(#qè=ÏJtãur (#qãZtB#uä tûïÏ%©!$# žwÎ) ÇËÈ AŽô£äz ’Å"s9 z`»|¡SM}$# ¨bÎ) ÇÊÈ ŽóÇyèø9$#ur ÇÌÈ ÎŽö9¢Á9$$Î/ (#öq|¹#uqs?ur Èd,ysø9$$Î/ (#öq|¹#uqs?ur ÏM»ysÎ=»¢Á9$# Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran. (QS al-Ashr: 1-3) (Depag RI, 1997, 329)
Ditinjau dari pengertian dakwah yaitu mengubah situasi kepada yang lebih baik dan sempurna, baik terhadap individu maupun masyarakat (Supena, 2007: 105). Kyai Asy’ari telah melakukan perintah tersebut yaitu melalui nilai-nilai ajaran Islam yang ada dalam kebudayaan Mataram Islam tersebut. Ketika masyarakat Kaliwungu banyak yang melakukan perbuatan munkar, maka kyai Asy’ari
94
berusaha mengajak dan menyadarkan atas perbuatan mereka dengan cara yang baik dan bijaksana. Materi dakwah sangat menentukan adanya keberhasilan suatu kegiatan dakwah seorang komunikator atau da’i tanpa adanya materi yang di sampaikan cenderung menjadikan kegiatan dakwah tersebut tidak terarah. Materi dakwah yang baik adalah seiring dan searah dengan kondisi sosial sasaran dakwah. Dari segi komunikasi, aktivitas atau peran dakwah yang dilakukan oleh kyai Asy’ari merupakan salah satu bentuk komunikasi dalam rangka penyiaran ajaran Islam. Kyai Asy’ari menerapkan teori komunikasi yang ada. Sesuai dengan pendapat Carl I Hovland, bahwa komunikasi adalah upaya yang sistematis untuk merumuskan secara tegar asas-asas penyampaian informasi serta pembentukan pendapat dan
sikap (Efendy,
2001:
10).
Maka,
kyai Asy’ari dalam
menyampaikan dakwahnya, beliau berupaya menyampaikan segala bentuk informasi tentang ajaran Islam yang benar, yang diridlhoi oleh Allah SWT. Informasi yang disampaikan dalam bentuk pesan-pesan messages tersebut kemudian disampaikan encode kepada komunikan, dan langsung diterima komunikan decode dan ditafsirkan interpret dan akhirnya akan menghasilkan feed back berupa respons tertentu sebagai efek dari pesan yang di komunikasikan. Dalam proses komunikasi, muballigh atau da’i sebagai komunikator memegang peranan penting dalam pencapaian tujuan
95
dakwah, yaitu mempengaruhi sikap dan tingkah laku komunikanya. Kyai Asy’ari sebagai komunikator berupaya merubah sikap dan tingkah laku masyarakat Kaliwungu dari masyarakat abangan menjadi masyarakat muslim sejati, di mana benar-benar memahami ajaran Islam.
4.1.2 Kyai Asy’ari (Kyai Guru) Mengenalkan Ajaran Islam di Kaliwungu Materi dakwah adalah bahan atau sumber yang dipergunakan serta yang akan disampaikan oleh subyek dakwah (da’i) kepada obyek dakwah (mad u) dalam aktifitas dakwah itu ke arah tercapainya tujuan dakwah. Materi dakwah sebagai pesan dakwah merupakan ajakan, anjuran dan ide gerakan dalam rangka mencapai tujuan dakwah. Hal ini dimaksudkan agar manusia mau menerima dan memahami serta mengikuti ajaran tersebut sehingga ajaran Islam ini benar-benar diketahui, dipahami, dihayati dan selanjutnya diamalkan sebagai pedoman hidup dan kehidupannya. Semua ajaran Islam tertuang di dalam wahyu yang disampaikan kepada Rasulullah yang perwujudannya terkandung dalam al-Qur’an dan sunnah Nabi Saw (alHadits) (Sanwar, 1986: 73) Tugas seorang da’i identik dengan seorang Rasul. Semua Rasul adalah panutan para da’i, terutama Muhammad SAW sebagai Rasul yang paling agung. Dalam berdakwah, tugas umat Islam juga sama dengan Rasul, ayat-ayat yang memerintahkan Nabi agar berdakwah, maksudnya tidak hanya ditujukan kepada Nabi, tetapi juga kepada umat Islam. Oleh karena
96
itu, maka materi yang akan disampaikan dalam kegiatan dakwah adalah semua ajaran yang dibawa oleh Rasul SAW, yang datang dari Allah SWT untuk semua umat manusia. Adapun ajaran Islam sebagai materi dakwah pada pokoknya mengandung tiga prinsip, yaitu : 1) Aqidah (tauhid) yaitu menyangkut system keimanan atau kepercayaan terhadap Allah SWT, hal ini merupakan landasan fundamental dalam keseluruhan aktivitas seorang muslim, baik menyangkut sikap mental ataupun tingkah laku dan sifat-sifat yang dimiliki. 2) Syari’ah (fiqih) yaitu serangkaian ajaran yang menyangkut aktivitas semua muslim di dalam semua aspek kehidupannya. Hal mana yang boleh dilakukan dan tidak boleh, mana yang halal, haram dan sebagainya. 3) Akhlak (tasawuf) yaitu menyangkut tata cara berhubungan, baik secara vertical dengan Allah SWT (hablun min Allah) ataupun secara horizontal dengan sesame manusia (hablun min an-nas), dan seluruh makhluk ciptaan Allah. Semua materi dakwah yang sudah terdapat jelas dalam Al-Qur’n dan As-sunnah tersebut harus dapat dipahami dan di mengerti oleh da’i, sehingga materi yang disampaikan tetap konsisten dan tidak melenceng dari ajaran Islam. Adapun ajaran Islam yang diajarkan oleh Kyai Asy’ari lebih menekankan ajaran tentang aqidah (tauhid), aqidah Islam sebagai sistem kepercayaan yang berpokok pangkal atas kepercayaan dan keyakinan yang
97
sungguh-sungguh akan ke-Esaan Allah Swt adalah merupakan materi terpenting dalam kegiatan dakwah. Aqidah Islam. yang bersifat
tiqad
baitullah ini mencakup masalah-masalah yang erat hubungannya dengan rukun iman. Dengan berlandaskan kepada petunjuk atau isyarat Rasul mengenai faham atau golongan faham yang benar, yaitu Ahlussunah wal jamaah, maka kyai Asy’ari berjuang, berusaha sunni ini demi kejayaan dan kemuliaan agama Islam. Didalami ilmu Ushuluddin atau mengenai dasardasar agama di bahas tentang masalah
tiqad atau kepercayaan yang
berhubungan dengan kenabiyan yang disebut sebagai
tiqad Nubuwiyyat
atau Nubuwwat dan yang berhubungan dengan keghaiban yang dinamai sebagai
tiqad Ghaaibaat dan sebagainya yang menyangkut kepercayaan.
Adapun dasar pokok didalam
tiqad Ahlussunnah wal jamaah terbagi
menjadi enam bagian yang lazim pada kitab-kitab mengenai ilmu Ushuluddin dikatakan sebagai rukun Iman. Adapun pembagian rukun iman ini adalah sebagai berikut : a) Iman kepada Allah b) Iman kepada malaikat-malaikat Allah c) Iman kepada kitab-kitab Allah d) Iman kepada utusan-utusan Allah e) Iman kepada hari qiyamat f) Iman kepada qadar Setelah melakukan observasi tentang masyarakat Kaliwungu dan segala aktivitas dan budayanya, maka kyai Asy’ari menemukan pendekatan
98
yang paling efektif dalam berdakwah di Kaliwungu. Pendekatan yang dilakukan adalah dengan mengadakan pengajian atau ceramah yang berisi dzikir dan tahlil. Melalui pengajian atau ceramah itu kyai Asy’ari mengajarkan banyak hal tentang ajaran agama Islam. Salah satunya ajaran tentang ketauhidan, sebagai permulaan bahwa seseorang akan masuk Islam harus mengucapkan dua kalimat syahadat tauhid dan syahadat, syahadat tauhid dan syahadat Rasul sebagai pernyataan iman dan Islam secara dlahiriyah atau untuk amal ibadah sehari-hari. Karena pada hakekatnya yang dikatakan iman itu membenarkan di dalam hati mengucapkan dengan lisan dan mengerjakan dengan anggota badan, adapun kesaksiannya ialah :
“Aku bersaksi bahwasannya tidak ada Tuhan yang haq disembah selain Allah dan aku bersaksi pula bahwa sesungguhnya nabi Muhammad itu utusan Allah”
Pengajian atau ceramah yang berisi dzikir dan tahlil di maksudkan untuk selalu ingat kepada Allah SWT, karena sesungguhnya sebaik-baik dzikir adalah “Lailahailallah”, pada kalimat itu terdapat perkara menafikan yang lain dari pada Allah dan mengistinbatkan Allah Ta’ala (Abdullah, 1993:44).
4.1.3. Kyai Asy’ari (Kyai Guru) mendirikan pondok pesantren salaf APIP (Asrama Pelajar Islam Pesantren) Kaliwungu Setelah kedatangan Kyai Asy’ari di Kaliwungu kemudian bermukim dan menetap di kampung yang saat ini terkenal dengan nama kampung
99
pesantren, Desa Krajan Kulon Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Kendal. Kemudian untuk lebih mengembangkan dakwahnya, di Kampung pesantren itulah Kyai Asy’ari merintis dan mengajarkan Islam dengan mendirikan sebuah pondok pesantren salaf. Pondok pesantren tersebut saat ini diberi nama pondok APIP (Asrama Pelajar Islam Pesantren). Karena pada waktu itu fasilitas dan sarana untuk belajar belum memadai maka kyai Asy’ari juga menggunakan musholla sebagai tempat untuk belajar dan menuntut ilmu agama Islam bagi para santri, yang sekarang ini menjadi Musholla Al-Asy’ari, tepatnya di Kampung Pesantren desa Krajan Kulon Kecamatan Kaliwungu. Sejarah nama musholla alAsy’ari berasal dari nama pendirinya yaitu Kyai Asy’ari (Kyai Guru), sehingga dinamakan Musholla Al-Asy’ari. Kyai Asy’ari merupakan tokoh ulama Kaliwungu yang kharismatik, sehingga banyak orang yang ingin berguru dan menimba ilmu darinya. Beliau memiliki santri-santri yang berasal dari beberapa daerah seperti Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur dan daerah lainnya. Karena banyaknya santri sehingga tempat tinggal Kyai Asy’ari tidak mampu untuk menampung para santri, maka dibuatlah pondok pesantren untuk para santri sebagai tempat tinggalnya untuk belajar, yang sekarang ini menjadi Pondok pesantren APIP (Asrama Pelajar Islam Pesantren) tepatnya di kampung Santren desa Krajan Kulon Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Kendal (Abdullah, 2004: 59).
100
Sebagai seorang ulama yang kharismatik, sekaligus Kyai, pendiri dan pemimpin pondok pesantren di Kaliwungu Kendal, Kyai Asy’ari dengan segala kerendahan dan keikhlasannya, ingin mengabdikan dirinya untuk berdakwah mengajar ilmu-ilmu agama Islam kepada seluruh umat manusia, melalui pondok yang didirikannya itu, tidak lain di pondok pesantren APIP Kaliwungu. Kyai Asy’ari berharap semoga dengan berdirinya pondok pesantren APIP di Kaliwungu, kemudian lahirlah para ulama besar di seantero tanah Jawa ini, dan kemudian berdiri pondokpondok pesantren di negeri ini. Dengan mengucapkan kalimat thayibah bismillahirrahmanirrahim sebagai langkah awal dalam melakukan suatu pekerjaan yang baik, semoga Allah SWT memberikan rasa kasih sayangnya kepada seluruh umat Islam. Kemudian dengan mengucapkan lafadz “anfau linnas. Semoga Allah memberikan manfaat kepada pondok pesantren APIP ini, bagi seluruh umat manusia (Wawancara dengan KH. Khafidzin Ahmad Dum, Rabu, 07-04-2010). Lewat pondok APIP ini Kyai Asy’ari mempunyai misi yaitu berikhtiar mencetak para santri yang beriman dan bertakwa dengan ilmu dan ketrampilan yang dimiliki. Para santri senantiasa dibekali dengan ilmu agama Islam seperti ilmu Al-Qur'an, ilmu nahwu, ilmu sharaf, ilmu badi’, ilmu mantiq, ilmu bayan, ilmu ‘arudl, ilmu hadits, lughatul arabiyah, selain itu juga ilmu umum seperti ilmu pertanian, ilmu berdagang dan yang berhubungan dengan masalah dunia. Agar kelak berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa yang berakhlakul karimah dan berbudi pekerti
101
luhur (Wawancara dengan KH. Khafidzin Ahmad Dum, Kamis, 08-042010). Kyai As’yari adalah ulama yang dalam ilmunya, sehingga disegani dan dihormati oleh masyarakat luas, rakyat dan pejabat kolonial Belanda. Dalam sejarah Kyai Asy’ari dikenal sebagai seorang kyai pemimpin pondok pesantren dan sekaligus sebagai guru mengaji. Setiap pagi, siang, sore, malam atau kapan saja waktunya digunakan untuk mendidik dan mengajar serta membina para santri. Kyai Asy’ari dalam mengasuh, mendidik dan membina para santri sangat rajin, tekun dan teliti. Berkat ketekunan dan keikhlasannya Kyai Asy’ari mempunyai banyak santri dan hampir semuanya menjadi ulama besar. Diantara santri yang menjadi ulama besar adalah sebagai berikut: -
kyai Ahmad Rifa’i (1786-1876) seorang ulama kharismatik tokoh jamaah Rifa’iyah
-
kyai Musa (Kaliwungu) dicatat pernah menjalani bai at thariqat syatariyah pada kyai Asy’ari selaku khalifah ahli thariqat syatariyah.
-
kyai Sholeh Darat Semarang (1820-1903),
-
kyai Bulkin dari Mangkang
-
kyai Anwarudin dari Bendokerep (Kriyan) Cirebon Kemudian para santri atau ulama tersebut banyak yang mendirikan
pondok pesantren atau madrasah bahkan tempat ibadah di berbagai daerah atau tempat Kyai tersebut berasal dan bertempat tinggal.
102
Peran Kyai Asy’ari dalam berdakwah di Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Kendal sangat besar dan sungguh luar biasa, khususnya di lingkungan pondok pesantren. Hal ini dapat kita buktikan dengan berdirinya pondok pesantren yang pertama kali di Kaliwungu oleh Kyai Asy’ari yaitu yang bernama Pondok Pesantren Salaf APIP dan Musholla Al-Asy’ari tepatnya di Kampung Pesantren desa Krajankulon, sekitar tahun 1781-an. Sejak itulah kemudian sampai sekarang ini berdiri pula banyak pondok pesantren salaf dan madrasah yang berbasis NU di Kaliwungu Kendal, yang didirikan oleh para kyai dan ulama besar yang ada di Kaliwungu. Berikut ini adalah daftar pondok pesantren di Kaliwungu Kabupaten Kendal. No
Nama Pondok
Kampung /
Tahun
Dusun
Berdiri 1781-an
Pendiri / Pengasuh Kyai Asy’ari
1
APIP
Pesantren
2
Bani Umar
Petekan
1905
Kyai Umar
3
APIK
Kauman
1919
Kh. Irfan
4
Miftakhul Falah
Kapulisen
1921
Kyai Badawi
5
Misik
Sarean
1950
Kyai Abu Khaer
6
Aspika
Kembangan
1950
Kyai Fauza’ Irfan
7
Arum
Pandean
1950
Kyai Sulthi Shidiq
8
API
Kranggan
1956
Kyai Ab. Ibrahim
9
Bendokerep
Kauman
1957
Kyai Humaidullah
10
AKIS (Darusalam) Saribaru
1968
Kyai Farikhin
11
APIK
Kapulisen
1968
Kyai Ali Abdullah
12
ARIS
Saribaru
1948
Kyai Kholil
13
ASPIR
Pesantren
1984
Kyai Khudhori
103
14
Nurul Hidayah
Pungkuran
1971
Kyai A. Thohari
15
Al-Fadlu
Jagalan
1982
Kyai Dimyati
16
Mamba’ul Hikmah
Sabetan
1978
Kyai Suyuti
17
APIP
Plantaran
1950
Kyai Achyar
18
API
Wonorejo
1927
Kyai Thohir
19
AKIIN
Sarirejo
1950
Kyai Yasir
(Abdullah, 2004: 13) Banyaknya pondok pesantren yang berdiri di desa Krajan Kulon, sehingga desa ini menjadi pusatnya pembelajaran ilmu agama di Kaliwungu. Istilah Kaliwungu sebagai kota santri mungkin berasal dari desa Krajankulon, karena desa ini berada di tengah / pusat kota Kaliwungu. Jika datang ke desa Krajankulon kita akan melihat para santri hilir mudik, terutama di pagi dan sore hari. Selain santri yang menetap di pondok pesantren, ada juga banyak santri yang nglaju, datang ke pondok atau ke rumah guru ngajinya hanya pada jam mengaji saja, sehari-harinya tetap berada di rumah. Santri nglaju ini biasanya diikuti oleh santri yang bertempat tinggal di Kaliwungu dan sekitarnya. Santri yang mengaji tidak hanya usia aktif belajar saja, tetapi bagi kaum ibu dan bapak juga masih aktif semangat untuk mengaji. Pengajian untuk kalangan ibu dan bapak misalnya yang diadakan oleh KH. Nidhomudin Kampung Kauman. Pengajian diikuti oleh kalangan ibu dan bapak tiap pagi setelah sholat subuh, yang dimulai dengan pembacaan AlQur'an dan dilanjutkan dengan pengajian ceramah. Masyarakat yang mengikuti pengajian ini biasanya hanya mendengarkan saja yang biasa dikenal dengan jiping (ngaji kuping), meskipun ada juga yang menyimak
104
bacaan Al-Qur'an dengan membawa Al-Qur'an sendiri dan kemudian mencatat pelajaran yang penting. Selain pengajaran yang diadakan oleh KH. Nidhomudin, ada juga pengajian setiap hari selasa dan sabtu di Pondok Bani Umar Kampung Patekan. Masyarakat yang mengikuti pengajian tersebut tidak hanya masyarakat lokal saja, yaitu masyarakat Kaliwungu itu sendiri akan tetapi juga dari luar Kaliwungu. Pesantren dilihat dari aspek kesejarahannya, bisa jadi sebagai penelusuran sistem pendidikan pra Islam di negeri ini, yang oleh sementara kalangan diidentifikasikan dengan nama sistem Mandala. Istilah pesantren untuk daerah Kaliwungu saat ini, umumnya diacukan kepada tempat pemukiman atau asrama para santri yang sebagai tempat belajar mengaji dan mengenal hidup yang Islami. Pesantren-pesantren ini memiliki banyak arti dan fungsi, sebagai sumber penting bagi pendidikan humaniora di pedesaan, karena ia sebagai pusat kreativitas masyarakat. Dibanding dengan lembaga pendidikan Islam yang lain, pesantren memiliki kelebihan mental keagamaannya. Salah satu alasan kelebihannya itu adalah cara memandang santri terhadap kehidupan. Kehidupan secara keseluruhan sebagai ibadah. Sedang kekurangannya, bahwa santri kurang dibekali pengetahuan umum, padahal keadaan masyarakat sudah jauh berlainan coraknya seperti masyarakat sekarang ini, sehingga pengetahuan umum hanya dikuasai oleh masyarakat yang berada di luar tembok pesantren.
105
Kritik ini relevan kalau kita kaitkan dengan tujuan pesantren yang antara lain, menciptakan kemungkinan seseorang menjadi kyai atau ulama. Mengapa demikian, karena ulama dewasa ini, perlu memahami dua jenis tantangan yang dihadapi bangsa, yaitu: 1) mengejar ketertinggalan kita terhadap bangsa-bangsa lain yang telah maju, agar kita dapat berinteraksi dengan mereka secara seimbang dan, 2) mempersiapkan diri untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian yang dituntut oleh perubahanperubahan yang akan datang, yang tanda-tandanya sudah terlihat sejak sekarang (Thohir, 1988: 30). Oleh karena itu, jika pesantren masih mau berharap untuk memberikan partisipasinya dalam membentuk manusia yang utuh dalam batas-batas tertentu setidaknya perlu merenungkan apakah belum saatnya untuk memberi bekal ilmu-ilmu umum dan ilmu ketrampilan seperti pertanian, para santri umumnya berlatar belakang petani, di samping ilmuilmu agama yang sudah cukup lama menjadi ciri utamanya. Pandangan ini, saya rasa tak terkecuali untuk pesantren-pesantren Kaliwungu. Adalah sudah sinequanon jika Kaliwungu dikenal sebagai kota santri bermula karena negeri ini dibangun oleh pesantren dengan segala pilar-pilarnya. Ini terbukti dari fakta kesejarahan yang mencatat bahwa pada abad 17 (1780-an) sudah berdiri sebuah pesantren oleh seorang tokoh bernama Kyai Asy’ari, konon dari figur ulama ini pula, Kaliwungu dikenal secara luas sebagai kota santri dan kota yang memiliki keunikan dengan upacara tradisional syawalannya. Pondok APIP yang didirikan oleh Kyai
106
Asyari ini telah mengilhami banyak kyai-kyai pada generasi berikutnya (Thohir, 1988: 31). Tahun 1905 pondok pesantren di kampung Petekan didirikan oleh kyai Umar, kemudian saat ini di beri nama pondok pesantren BANI UMAR oleh kyai Aqin Umar, tahun 1919 H. Abdul Rasyid membangunkan pondok pesantren PONDOK KAUMAN KOMPLEK A untuk KH. Irfan bin Musa, tahun 1921 di Kampung Kapulisen sudah berdiri pondok MIFTAKHUL FALAH yang khususnya mengajarkan hafidzul Qur’an, tahun 1929 kyai Ibadullah Irfan di bantu H. Idris mendirikan madrasah MIFTAKHUL ATHFAL kemudian pada tahun 1950 diganti nama menjadi MIFTAKHUL ULUM, tahun 1950 kyai Fauzan mendirikan pondok pesantren ASPIKA di kampung Kembangan, tahun 1950 KH. Subkhi mendirikan pondok ARUM, tahun 1950 kyai Abu Khair mendirikan pondok pesantren MISK di kampung Sarean, tahun 1956 KH. Ibrahim mendirikan pondok API di kampung Kranggan, tahun 1957 KH. Humaidullah membangun pondok bendokereb, tahun 1961 kyai Farihin mendirikan PONDOK ARIS DARUSSALAM, tahun 1978 kyai Kholil dan putranya Ustadz Khafidzin mendirikan pondok pesantren putri yang diberi nama ARIBATUL ISLAMY (ARIS) di kampung Saribaru, dengan spesialisasi pengajaran ilmu nahwu (linguistik), tahun 1968 ustadz Ali mendirikan pondok hafidzul Quran di kamung Kapulisen, kemudian saat ini diresmikan menjadi pondok JABAL NUR, tahun 1978 ustadz Suyuti Murtadzo mendirikan pondok pesantren MAMBAU’L HIKMAH di kampung Sabetan desa Mororejo dan
107
tahun 1982 kyai Dimyati Rais mendirikan pondok pesantren PONDOK ALFADLU WAL FADZILAH. Namun yang paling menarik di pondok pesantren mana saja di Kaliwungu ini adalah parasantri dipersilahkan untuk mengaji kepada kyai siapa saja yang dimintai, tanpa terlalu dibatasi ruangnya. (Wawancara dengan Drs. Asro’i Thohir, Kamis, 08-04-2010). Peran kyai Asy’ari (kyai Guru) dalam berdakwah di kecamatan Kaliwungu semakin komplit dan berkembang dengan baik ketika ia mendirikan pondok pesantren salaf yang pertama kali di Kaliwungu, yang sekarang ini menjadi pondok APIP (Asrama Pelajar Islam Pesantren) dan Musholla Al-Asy’ari tepatnya di kampung Pesantren Desa Krajankulon. Nama Musholla tersebut diambil dari nama pendirinya yaitu kyai Asy’ari. Dengan mendirikan pondok pesantren di Kaliwungu, kyai Asy’ari dapat mengajarkan dan mengamalkan ilmu yang ia miliki seperti ilmu nahwu, ilmu sharaf, ilmu badi’, ilmu mantiq, ilmu bayan, ilmu aruld, ilmu hadits, lughatul arabiyah selain itu juga ilmu yang berhubungan dengan masalah dunia, kepada para santri dan masyarakat Kaliwungu. Dengan berdirinya pondok pesantren di Kaliwungu oleh kyai Asy’ari maka banyak orang-orang yang ingin berguru dan menimba ilmu darinya, ia memiliki santri-santri yang berasal dari beberapa daerah seperti jawa tengah, jawa timur, jawa barat dan daerah lainnya. Kesuksesan kyai Asy’ari dalam memimpin pondok pesantren di Kaliwungu tidak
108
terbantahkan lagi, ini di buktikan dengan banyaknya para santri yang belajar dan mondok di pesantrennya. Berdasarkan pada kemampuan (potensi) manusia, metode dakwah itu dapat diklasifikasikan sebagai berikut: a. Metode bil qolbi yaitu cara kerja dalam melaksanakan dakwah (amar ma ruf nahi munkar) sesuai dengan potensi aktual hati manusia yang sifatnya meyakini dan menolak dakwah. b. Metode bil lisan yaitu cara kerja yang mengikuti sifat dan prosedur lisan dalam mengutarakan cara-cara, keyakinan, pandangan dan pendapat. c. Metode bil yadd yaitu suatu cara kerja yang mengupayakan terwujudnya ajaran Islam dalam kehidupan pribadi dan sosial dengan cara mengikuti prosedur kerja potensi manusia yang berupa hati, pikran, lisan dan tangan fisik yang tampak dalam keutamaan kegiatan operasional (Azis, 2004: 134). Media
yang
sering
digunakan
oleh
kyai
Asy’ari dalam
mengembangkan dakwahnya di Kaliwungu adalah media lisan, media ini paling mudah dan tidak banyak mengeluarkan biaya. Dapat mengetahui ekspresi mad u secara langsung dan sebagainya. Kyai Asy’ari selalu melakukan ceramah atau pengajian, baik di rumahnya (pesantrenya), di musholla dan di masjid. Dari beberapa peran dakwah yang dilakukan oleh kyai Asy’ari, bisa dilihat kelebihan-kelebihan yang dilakukan kyai Asy’ari dalam melaksanakan peran dakwahnya tersebut, diantaranya sebagai berikut:
109
a. Peran dakwah yang dilakukan oleh kyai Asy’ari Sangat ditunjang oleh kebesaran jiwa serta kepribadian beliau yang kharismatik juga didukung oleh berbagai disiplin ilmu yang dimilikinya dan gaya hidup yang sederhana. b. Kyai Asy’ari bisa memahami metode dakwah yang sesuai dengan kondisi masyarakat yang masih abangan. c. Kyai Asy’ari berakhlak tinggi, selalu bersikap baik seperti ramah tamah, ringan tangan, pemaaf, terbuka dan sebagainya.
110
BAB V PENUTUP
5.1 KESIMPULAN Fokus kajian dari penelitian ini yaitu peran kyai Asy’ari (kyai Guru) dalam berdakwah di kecamatan Kaliwungu Kabupaten Kendal, maka penulis dapat simpulkan sebagai berikut: 1) Kyai Asy’ari (Kyai Guru) dalam mengenalkan kebudayaan mataram Islam kepada masyarakat Kaliwungu dengan pendekatan asimilasi budaya, mempertemukan kebijakan lokal dengan nilai-nilai Islam dalam ritual-ritual budaya Jawa. Ritual slametan yang berisi doa-doa dan sesajen untuk arwah nenek moyang diganti dengan dzikir dan tahlil yang bersisi doa-doa kepada Allah SWT. Dengan demikian Kyai Asy’ari tanpa mengubah bentuk ritualnya telah mengganti esensinya. 2) Kyai Asy’ari (Kyai Guru) dalam mengajarkan agama islam lebih menekankan ajaran tentang aqidah (tauhid), karena disesuaikan dengan kondisi situasi dan kebutuhan masyarakat Kaliwungu pada saat itu, sehingga
dalam
menyebarkan
agama
Islam
tidak
mengalami
pertentangan dari masyarakat lokal justru mendapat dukungan dari masyarakat tersebut. 3) Kyai Asy’ari (Kyai Guru) adalah ulama atau Kyai Pertama yang mengenalkan metode kepesantrenan di wilayah Kaliwungu. Di mana
111 111
metode tersebut merupakan metode yang paling efektif untuk membentuk generasi yang Islami.
5.2. SARAN-SARAN 1. Dalam mengembangkan dakwah, agar lebih diakui dunia luar secara nasional ataupun international, seorang da’i harus lebih menambah wawasan, baik ilmu agama ataupun ilmu umum. 2. Evaluasi sangat penting di lakukan dalam setiap pelaksanaan dakwah, sehingga dakwah yang di lakukan lebih baik dari sebelumnya. 3. Apabila terjadi pro dan kontra dalam menyelesaikan suatu masalah, alangkah lebih baiknya permasalahan tersebut didiskusikan bersama-sama dengan sikap bijak sana.
5.3 PENUTUP Puji syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan petunjuk dan hidayah-Nya, sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan. Penulis menyadari bahwa skripsi ini banyak kekurangannya, untuk itu segala kritikan dan saran senantiasa penulis harapkan dari berbagai pihak demi perbaikan dan penyempurnaan. Akhirnya penulis hanya dapat berharap, semoga skripsi ini mempunyai manfaat baik untuk penulis sendiri pada khususnya dan bagi yang sudi membaca, amin ya robbal ’alamin.
112
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Dzikron, Metodologi Dakwah, Semarang: Fakultas Dakwah IAIN Walisongo. 1987. Abdullah, Muhammad, Menyoal Kota Santri Kaliwungu, Kaliwungu Kendal: Panitia Festival Al-Muttaqin IV, 2001. ___________________, Meretas Ziarah dari Kyai Guru sampai Kyai Musyafa , Profile Syawalan Kaliwungu, Kendal: Panitia Syawalan Kaliwungu Kendal. 2004. Al-Qathani, Said bin Ali, Dakwah Islam Dakwah Bijak, terj. Drs. Masykur Hakim, Madun Ubaidillah, Jakarta: Gema Insani Press, 1994. Anshari, Endang Saefuddin, Kuliah Al-Islam, Bandung: Pustaka. 1978. Ardhana, Sutirman Eka, Jurnalistik Dakwah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995. Arikunto, Suharsimi, Prosedur penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta, 1992. Azis, Moh,. Ali, Ilmu Dakwah, Jakarta: Kencana. 2004. Azwar, Syaifudin, Metodologi Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 1998. Bahtiar, Wardi, Metodologi Penelitian Ilmu Dakwah, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997. Danim, Sudarwan, Menjadi Peneliti Kualitatif, Bandung: Pustaka, 2002. Depag RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, Semarang: CV. Toha Putra, 1989. Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren, Jakarta: LP3ES, 1983. Effendi, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2001. Effendy, Onong Uchyana, Dinamika Komunikasi, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993. Gerungan, WA, Psikologi Sosial, Bandung: Refika Aditama, 2004. Hadari, Nawawi, dan Martini, Instrumen Penelitian Bidang Sosial, cet. III, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1995.
113
Hafidhuddin, Didin, Dakwah Aktual, Jakarta: Gema Insani Press, 1998. Hawash Abdullah, Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-tokoh di Nusantara, Surabaya: Al-Ikhlas, 1930. Horton, Paul B, Chester, Sosiologi, Jakarta: Erlangga, 1999. Moleong, Lexy, Metodologi Penelitian kualitatif, Edisi Revisi, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002. Munir, M., Wahyu Ilaihi, Manajemen Dakwah, Jakarta: Kencana.2006. Rochani, Ahmad Hamam, Kyai Guru dari Mataram sampai Kaliwungu, Semarang: Intermedia Paramadina, 2005. Romli, Asep Samsul, Jurnalistik Dakwah, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2003. S. Darmokusumo Ny. Dra. Muryawati, Surat Kabar Kaliwungu Kendal dalam Perspektif Kebesaran Mataram Islam Abad XVII, Jakarta, 27 Mei 1987. Sanwar, Aminudin, Pengantar Ilmu Dakwah, Semarang: Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang, 1986. Sarwono, Sarlito Wirawan, Teori-teori Psikologi Sosial, Jakarta: CV. Rajawali, 1991. Shaleh, Abd. Rosyad, Manajemen Dakwah Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1977. Shihab, M. Quraish, Membumikan Al-Qur'an, Bandung: Mizan, 1992. Soekanto, Suryono, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002. Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002. Suparta, Munzier, dan Harjani Hefni, Metode Dakwah, Jakarta: Kencana, 2006. Supena, Ilyas, Filsafat Dakwah: Perspektif Filsafat Ilmu Sosial, Semarang: Abshor, 2007. Surakhmad, Winarno, Pengantar Pengertian Ilmiah, Dasar Metode Teknik, Bandung: Tarsito, 1989. Suryabrata, Sumadi, Metodologi Penelitian, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998. Syani, Abdul, Sosiologi Skematika, Teori dan Terapan, Jakarta: Bumi Aksara, 1994.
114
Syatibi, M. Ridha, Metodologi Ilmu Dakwah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008. Syukir, Asmuni, Dasar-dasar Strategi Dakwah Islam, Surabaya: Al-Ikhlas 1983. Thohir, Asroi’ie, Al-Muttaqin Potret Kota Santri, 1988. www.kaliwunguku.com/2009/06/ziarah-makam-6-makam.ulama.kaliwungu.htm.1 Ziemek, Manfred, Pesantren dalam Perubahan Sosial, Jakarta: P3M. 1986.
115
BIODATA PENULIS
Nama
: Sholekhatul Amaliyah
TTL
: Kendal, 1 Juli 1986
Alamat
: Kwayuhan RT 3 RW 2 Nolokerto Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Kendal
Jenjang Pendidikan : 1. Pendidikan Formal Ø MI Nolokerto kaliwungu
Lulus Tahun 1999
Ø SLTP Negeri 1 Brangsong
Lulus Tahun 2002
Ø MAN Kendal
Lulus Tahun 2005
Ø IAIN Walisongo Fakultas Dakwah
Angkatan 2005
Semarang, 21 Juni 2007
Sholekhatul Amaliyah NIM. 1150570
116