PERAN INVESTASI TERHADAP PENGENTASAN KEMISKINAN DI PROVINSI LAMPUNG
DYAH PUSPITA SARI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Peran Investasi terhadap Pengentasan Kemiskinan di Provinsi Lampung adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka pada bagian akhir tesis ini.
Bogor, September 2012
Dyah Puspita Sari H151104404
Halaman ini sengaja dikosongkan
ABSTRACT
DYAH PUSPITA SARI: The Role of Investment towards Poverty Alleviation in Lampung Province. Under supervision of SRI HARTOYO and M. PARULIAN HUTAGAOL. This study aims to examine the role of investment towards poverty alleviation in Lampung province. The role of economic growth towards poverty alleviation has always been an interesting issue in economic development. Lampung has gained high economic growth but in the mean time it suffered from high poverty also. Along with poverty, the quality of the people in Lampung according to Human Development Index (HDI), is the worst in Sumatra. Investment is believed not only as the answer to a higher economic growth, but also to alleviate poverty because it creates the employment. Using panel data in Lampung province, invesment trough private sector investment and government investment are proven to have a significant role increasing economic growth. Trough simultaneous equation the economic growth is proven to increase human quality. On the other hand the same economic growth is not proven reducing unemployment and flattening the income distribution while the unemployment rate is proven affecting poverty. This is the cause of the high poverty rate in Lampung. Therefore, government should promote labor intensive-investment and redistribute income to the poor trough subsidies. Subsidies in the form of soft loan to the poor can redistribute income to the poor and also reduce unemployment in the same time. Keyword: invesment, human development, poverty, panel data, simultan equation, Lampung
Halaman ini sengaja dikosongkan
RINGKASAN DYAH PUSPITA SARI: Peran Investasi terhadap Pengentasan Kemiskinan di Provinsi Lampung. Dibimbing oleh: SRI HARTOYO dan M. PARULIAN HUTAGAOL. Provinsi Lampung memiliki potensi besar dalam perekonomian, terutama pada sektor pertanian. Tahun 2010, produksi ubi kayu Lampung merupakan yang terbesar di Indonesia mencapai 8,6 juta ton. Produksi padi Lampung mencapai 2,8 juta ton yang merupakan produksi terbanyak ke tiga se-Sumatera. Sedangkan produksi Jagung 2,1 juta ton merupakan nilai produksi terbanyak se-Sumatera dan secara nasional berada pada urutan ke tiga setelah Jawa Timur dan Jawa Tengah. Selain tanaman pangan pada subsektor perkebunan, Lampung mampu menghasilkan kopi robusta, lada hitam, dan kelapa terbanyak di Indonesia. Pada subsektor perikanan, Lampung adalah pengekspor utama udang dengan negara tujuan Amerika dan Jepang. Salah satu sektor yang juga menjadi unggulan adalah sektor industri terutama yang berhubungan dengan pertanian. Provinsi Lampung diketahui sebagai salah satu penyedia gula secara nasional. Produksi gula Lampung mampu memasok 35 persen produksi gula nasional. Selain gula, komoditi yang menjadi andalan adalah nanas kaleng dan tepung jagung. Produksi nanas kaleng asal Lampung telah mampu memenuhi 26 persen kebutuhan dunia dengan wilayah tujuan ekspor utama adalah Amerika dan Eropa, sedangkan 60 persen produksi tepung jagung Indonesia berasal dari Lampung. Namun dibalik gemilangnya perekonomian Lampung pada berbagai sektor tersebut, Lampung selalu menjadi salah satu provinsi miskin di Indonesia. Lampung menjadi provinsi termiskin ke sembilan se-Indonesia dan termiskin ke tiga se-Sumatera di tahun 2011. Selain kemiskinan, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Provinsi Lampung adalah yang terendah di Sumatera. Meskipun IPM Lampung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun (tahun 2005 sebesar 68,80 menjadi 71,42 pada tahun 2010), IPM Lampung selalu menjadi yang terendah seSumatera. Bahkan dalam peringkat secara nasional, Provinsi Lampung mengalami penurunan peringkat dari peringkat ke-19 pada tahun 2004 menjadi peringkat ke21 dari 33 provinsi di Indonesia pada tahun 2009. Jika ditinjau berdasarkan kemiskinan dan pembangunan manusia, Provinsi Lampung tertinggal dibandingkan wilayah-wilayah lain di Sumatera. Investasi diperlukan dalam perekonomian untuk mengejar ketertinggalan tersebut. Investasi akan menciptakan lapangan kerja dan diharapkan mengentaskan kemiskinan. Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini memiliki tujuan mengevaluasi peran pertumbuhan ekonomi yang didorong investasi terhadap pengentasan kemiskinan dan bagaimana mengatasi kemiskinan yang tinggi tersebut. Metode analisis yang digunakan untuk mencapai tujuan penelitian terdiri dari analisis deskriptif dan regresi data panel. Analisis deskriptif digunakan untuk mengkaji dinamika pertumbuhan ekonomi, pembangunan manusia dan kemiskinan sedangkan analisis regresi data panel digunakan untuk menganalisis hubungan antara investasi terhadap pertumbuhan ekonomi, dan antara pertumbuhan ekonomi dengan kemiskinan. Analisis regresi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah regresi simultan. Alasan pemilihan metode tersebut mengacu pada tujuan penelitian yang ingin melihat pengaruh investasi terhadap kemiskinan
secara parsial. Investasi tidak berpengaruh secara langsung terhadap kemiskinan tetapi berpengaruh terhadap pertumbuhan dan pertumbuhan tersebut diduga berpengaruh terhadap berbagai faktor yang memengaruhi kemiskinan. Berdasarkan hasil estimasi regresi data panel terlihat bahwa faktor-faktor yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi adalah investasi swasta, infrastruktur jalan, ketersediaan guru pada pendidikan dasar, fasilitas kesehatan, dan banyaknya tenaga kerja tidak terdidik. Jika ditinjau berdasarkan nilai koefisiennya, maka variabel yang paling berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi adalah fasilitas kesehatan. Masyarakat yang sehat, mampu bekerja lebih produktif dan pada akhirnya akan mendorong perekonomian. Pertumbuhan ekonomi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pembangunan manusia namun pelaku ekonomi (pemerintah dan rumah tangga) berpengaruh secara signifikan. Peningkatan pengeluaran pemerintah sebanyak 1 persen akan meningkatkan capaian IPM sebanyak 0,068 poin sedangkan peningkatan jumlah pengelola keuangan rumah tangga yang berpendidikan lebih dari SD sebesar 1 persen, akan meningkatkan capaian IPM 0,066 poin. Pendidikan pengelola keuangan rumah tangga menentukan bagaimana pendapatan rumah tangga dialokasikan. Semakin tinggi pendidikan pengelola keuangan, setiap terjadi peningkatan pendapatan akan semakin banyak yang dialokasikan untuk pendidikan dan kesehatan terutama melalui gizi makanan. Pertumbuhan ekonomi tidak terbukti secara signifikan memiliki pengaruh terhadap pengurangan pengangguran dan pemerataan distribusi pendapatan. Faktor yang signifikan memengaruhi pengangguran adalah alokasi pengeluaran pemerintah bagi pendidikan dan kesehatan. Peningkatan proporsi pengeluaran pemerintah bagi pendidikan dan kesehatan sebesar 1 persen akan mengurangi pengangguran pada tahun berikutnya sebesar 0,11 persen (ceteris paribus). Pada sisi distribusi pendapatan, faktor yang memengaruhinya adalah pertumbuhan output di sektor pertanian. Pembangunan manusia dan tingkat pengangguran terbukti signifikan terhadap pengentasan kemiskinan. Kualitas manusia yang semakin baik akan mengurangi kemiskinan sedangkan semakin tinggi tingkat pengangguran akan memperparah kemiskinan. Hal inilah yang menyebabkan tingginya kemiskinan di Lampung, pertumbuhan ekonomi tidak mampu menyerap tenaga kerja, padahal tenaga kerja yang tidak terserap akan meningkatkan kemiskinan. Setiap peningkatan 1 persen jumlah pengangguran akan meningkatkan kemiskinan 0,582 persen. Kesimpulan yang diperoleh dalam penelitian ini adalah investasi berperan terhadap peningkatan pertumbuhan ekonomi namun pertumbuhan ekonomi tersebut belum dapat mengentaskan kemiskinan. Kemiskinan di Provinsi Lampung disebabkan karena manfaat pertumbuhan ekonomi tidak terdistribusi secara merata dan rendahnya penyerapan tenaga kerja. Saran yang diajukan penulis adalah pemerintah menyusun kebijakan redistribusi pendapatan yang selain mampu mengurangi ketimpangan namun juga meningkatkan pendapatan masyarakat miskin dan membuka lapangan pekerjaan. Redistribusi pendapatan yang dimaksud berupa subsidi dalam bentuk modal usaha bagi masyarakat miskin. Kata kunci: investasi, pembangunan manusia, kemiskinan, data panel, persamaan simultan, Lampung
© Hak Cipta milik IPB, Tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
Halaman ini sengaja dikosongkan
PERAN INVESTASI TERHADAP PENGENTASAN KEMISKINAN DI PROVINSI LAMPUNG
DYAH PUSPITA SARI
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Nunung Nuryartono, M. Si
Judul
: Peran Investasi terhadap Pengentasan Kemiskinan di Provinsi Lampung
Nama
: Dyah Puspita Sari
NRP
: H151104404
Program Studi
: Ilmu Ekonomi
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS. Ketua
Dr. Ir. M. Parulian Hutagaol, MS. Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Nunung Nuryartono, M. Si.
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr.
Tanggal Ujian : 26 September 2012
Tanggal Lulus:
Halaman ini sengaja dikosongkan
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan atas pertolongan-Nya sehingga tesis dengan judul “Peran Investasi terhadap Pengentasan Kemiskinan di Provinsi Lampung” dapat terselesaikan. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS. selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Ir. M. Parulian Hutagaol, MS. selaku Anggota Komisi Pembimbing, yang bersedia meluangkan waktu untuk memberikan arahan dan bimbingan yang sangat bermanfaat bagi penulisan tesis ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Nunung Nuryartono, M. Si. selaku penguji luar komisi yang telah memberikan saran dan kritik yang menyempurnakan hasil penelitian ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Kepala BPS yang telah memberikan kesempatan dan dukungan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan. Terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada semua dosen pengajar serta kepada teman-teman batch 3 kelas BPS yang senantiasa membantu dan mendukung penulis selama mengikuti perkuliahan di kelas Magister Program Studi Ilmu Ekonomi IPB. Secara khusus penulis menyampaikan terima kasih kepada Papa, Mama dan Bapak, Ibu tercinta atas segala dukungan dan doa yang selalu menyertai. Melalui kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada suami terkasih Kris Subagyo dan buah hati Lintang Andrea Charis atas cintanya yang tak bersyarat yang telah mendampingi, menghibur dan memotivasi penulis. Ucapan terima kasih juga penulis haturkan kepada seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan namanya satu per satu, yang telah memberikan dukungan baik moril maupun materiil dari awal perkuliahan hingga penyelesaian tesis ini. Akhirnya, besar harapan penulis agar tesis ini dapat menghasilkan penelitian yang bermanfaat bagi dunia pendidikan dan memberikan kontribusi bagi pembangunan di Provinsi Lampung.
Bogor, September 2012
Dyah Puspita Sari
Halaman ini sengaja dikosongkan
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 16 Oktober 1981, merupakan anak ke dua dari empat bersaudara dari pasangan Ayah Rustam Adji dan Ibu Esti Lumintu. Penulis menikah dengan Kris Subagyo dan dikaruniai seorang putri, Lintang Andrea Charis. Penulis menamatkan pendidikan tingkat atas di SMUN 1 Bekasi pada tahun 1999 kemudian melanjutkan pendidikan dengan menempuh perkuliahan Diploma IV pada Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) Jakarta. Penulis lulus pada tahun 2003 dengan memperoleh gelar Sarjana Sains Terapan. Pada tahun yang sama, penulis bekerja di Badan Pusat Statistik (BPS) dan ditugaskan di wilayah Kabupaten Lampung Tengah hingga saat ini. Pada tahun 2010, penulis memperoleh kesempatan untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi melalui beasiswa BPS dalam program Alih Jenjang pada jurusan Ekonomi dan Studi Pembangunan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Setelah mendapatkan gelar tersebut, penulis melanjutkan pendidikan pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor melalui program beasiswa yang sama.
Halaman ini sengaja dikosongkan
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ................................................................................................ xix DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xxi DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xxiii I.
PENDAHULUAN ............................................................................................1 1.1. Latar Belakang ...........................................................................................1 1.2. Perumusan Masalah ...................................................................................8 1.3. Tujuan Penelitian .....................................................................................10 1.4. Manfaat Penelitian ...................................................................................11 1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ...........................................11
II. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................13 2.1. Tinjauan Konsep ......................................................................................13 2.1.1. Pertumbuhan Ekonomi.................................................................. 13 2.1.2. Investasi ........................................................................................ 18 2.1.3. Kemiskinan ................................................................................... 20 2.1.4. Pembangunan Manusia ................................................................. 22 2.2. Tinjauan Empiris ......................................................................................24 2.2.1. Pertumbuhan Ekonomi dan Investasi............................................ 24 2.2.2. Pertumbuhan Ekonomi dan Pembangunan Manusia .................... 25 2.2.3. Pertumbuhan Ekonomi dan Pengangguran ................................... 27 2.2.4. Pertumbuhan Ekonomi dan Distribusi Pendapatan....................... 28 2.2.5. Pertumbuhan Ekonomi dan Pengentasan Kemiskinan ................. 30 2.3. Kerangka Pemikiran .................................................................................35 2.4. Hipotesis Penelitian .................................................................................36 III. METODE PENELITIAN................................................................................37 3.1. Sumber Data .............................................................................................37 3.2. Metode Analisis .......................................................................................38 3.2.1. Analisis Deskriptif ........................................................................ 38 3.2.2. Analisis Regresi Data Panel .......................................................... 38 3.2.3. Pemilihan Model (Hausman Test) ................................................ 41 3.2.4. Persamaan Simultan ...................................................................... 41 3.2.5. Pengujian Asumsi ......................................................................... 43
xvii
3.3. Spesifikasi Model .................................................................................... 44 3.4. Definisi Operasional ................................................................................ 47 3.5. Simulasi Model........................................................................................ 48 IV. DINAMIKA PEREKONOMIAN LAMPUNG .............................................. 51 4.1. Provinsi Lampung ................................................................................... 51 4.1.1. Gambaran Umum ......................................................................... 51 4.1.2. Penduduk ...................................................................................... 52 4.2. Pertumbuhan Ekonomi ............................................................................ 55 4.3. Pembangunan Manusia............................................................................ 57 4.3.1. Pendidikan .................................................................................... 59 4.3.2. Kesehatan ..................................................................................... 60 4.3.3. Daya Beli ...................................................................................... 62 4.4. Kemiskinan .............................................................................................. 62 V. HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................................... 65 5.1. Hasil Analisis Parsial............................................................................... 65 5.1.1. Pengaruh Investasi terhadap Pertumbuhan Ekonomi .................. 65 5.1.2. Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi terhadap Pembangunan Manusia ...................................................................................... 72 5.1.3. Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi terhadap Pengangguran .......... 74 5.1.4.
Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi terhadap Distribusi Pendapatan .................................................................................. 77
5.1.5. Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi terhadap Pengentasan Kemiskinan ................................................................................. 78 5.2. Simulasi Kebijakan.................................................................................. 82 5.2.1. Validasi Model ............................................................................. 82 5.2.2. Dampak Kenaikan Investasi Swasta............................................ 82 5.2.3. Dampak Kenaikan Pengeluaran Pemerintah bagi Pendidikan dan Kesehatan ............................................................................. 83 5.2.4. Dampak Kenaikan Jumlah Infrastruktur Jalan, Pendidikan Dasar dan Fasilitas Kesehatan .............................................................. 85 5.3. Sintesis Penelitian.................................................................................... 85 VI. KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................................... 89 6.1. Kesimpulan .............................................................................................. 89 6.2. Saran dan Implikasi Kebijakan ................................................................ 90 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 91
xviii
DAFTAR TABEL Halaman 1
Sepuluh provinsi termiskin di Indonesia tahun 2011 ........................................6
2
Indeks Pembangunan Manusia Menurut Provinsi di Sumatera ........................7
3
Pembentukan modal tetap domestik bruto Provinsi Lampung tahun 2007-2011 .........................................................................................................8
4
Komponen Penghitungan Indeks Pembangunan Manusia ..............................23
5
Kerangka identifikasi autokorelasi .................................................................44
6
Ibukota dan luas wilayah kabupaten/kota di Provinsi Lampung ....................52
7
Jumlah dan kepadatan penduduk di Provinsi Lampung tahun 2010 ...............54
8
Persentase penduduk miskin Provinsi Lampung menurut pendidikan yang ditamatkan tahun 2010 ...........................................................................63
9
Hasil estimasi model pertumbuhan pendapatan perkapita ..............................65
10 Proyek penanaman modal yang disetujui pemerintah Provinsi Lampung tahun 2009-2010 .............................................................................................66 11 Tenaga kerja dari proyek PMA dan PMDN yang telah mendapat persetujuan menurut lapangan usaha tahun 2009-2010 ..................................67 12 Angka Partisipasi Sekolah (APS) Provinsi Lampung tahun 2003-2010 (persen) ...........................................................................................................69 13 Jumlah fasilitas kesehatan di Provinsi Lampung menurut jenis fasilitas kesehatan tahun 2006-2010.............................................................................70 14 Penduduk berumur 15 tahun ke atas menurut jenis kegiatan yang terbanyak dilakukan di Provinsi Lampung, tahun 2009-2010 ........................71 15 Persentase penduduk berumur 15 tahun ke atas yang bekerja menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan, 2007-2010 .........................................72 16 Hasil estimasi model pembangunan manusia .................................................73 17 Hasil estimasi model pengangguran ...............................................................75 18 Perkembangan indeks Gini Provinsi Lampung tahun 2005-2010 ..................77 19 Hasil estimasi model distribusi pendapatan ....................................................78 20 Indeks kemiskinan Provinsi Lampung tahun 2002-2010................................79 21 Hasil estimasi model kemiskinan....................................................................79 22 Rata-rata upah nominal dan upah riil buruh tani di Indonesia tahun 2008-2011 .......................................................................................................81 23 Hasil validasi variabel endogen pada model estimasi .....................................82 24 Hasil simulasi peningkatan investasi swasta ...................................................83
25 Hasil simulasi peningkatan proporsi pengeluaran pemerintah bagi pendidikan dan kesehatan sebesar 20 persen.................................................. 83 26 Hasil simulasi peningkatan proporsi pengeluaran pemerintah bagi pendidikan dan kesehatan sebesar 35 persen.................................................. 84 27 Hasil simulasi peningkatan jumlah infrastruktur sebesar 20 persen .............. 85
xx
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Pertumbuhan ekonomi dan tingkat kemiskinan Indonesia tahun 20022011...................................................................................................................2
2
Jumlah penduduk miskin Indonesia menurut di wilayah desa dan kota tahun 2007-2011 ...............................................................................................3
3
Pertumbuhan ekonomi dan persentase penduduk miskin provinsiprovinsi di Sumatera Tahun 2010 .....................................................................5
4
Hubungan antara investasi dan tingkat suku bunga ........................................19
5
Kurva Lorenz ..................................................................................................29
6
Kurva U terbalik Kuznets ...............................................................................30
7
Perubahan kemiskinan karena efek distribusi dan efek pendapatan. ..............33
8
Segitiga kemiskinan, pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan Pendapatan ......................................................................................................34
9
Kerangka pemikiran. .......................................................................................36
10 Peta Provinsi Lampung menurut kabupaten/kota tahun 2012. .......................51 11 Jumlah penduduk Provinsi Lampung tahun 2001-2010 (juta jiwa) ................53 12 Piramida penduduk Provinsi Lampung tahun 2010 ........................................55 13 Pertumbuhan ekonomi dengan migas dan tanpa migas Provinsi Lampung tahun 2001-2011. ............................................................................56 14 Realisasi investasi PMA dan PMDN Provinsi Lampung tahun 20002010.................................................................................................................56 15 IPM Provinsi Lampung Tahun 1996-2010. ....................................................57 16 Perkembangan shortfall IPM Provinsi Lampung tahun 1996-2010. ..............58 17 Indeks Pembangunan Manusia menurut kabupaten/kota di Provinsi Lampung tahun 2008-2010 .............................................................................58 18 Rata-rata lama sekolah menurut kabupaten/kota di Provinsi Lampung tahun 2008-2010. ............................................................................................59 19 Persentase penduduk buta huruf Provinsi Lampung tahun 2003-2010. .........60 20 Angka kematian bayi dan balita di Provinsi Lampung 1971-1999. ................61 21 Perkembangan Angka Harapan Hidup Provinsi Lampung 2002-2010. ..........61 22 Pengeluaran riil penduduk Provinsi Lampung tahun 2002-2010....................62 23 Jumlah penduduk miskin dan persentase penduduk miskin Provinsi Lampung tahun 2000-2010. ............................................................................63 24 Persentase penduduk miskin Provinsi Lampung menurut sektor usaha tahun 2003-2010 .............................................................................................64
xxi
25 Persentase jalan menurut kondisi jalan Provinsi Lampung tahun 2010. ........ 68 26 Tingkat pengangguran terbuka Provinsi Lampung tahun 2004-2007 ............ 74 27 Perbandingan Upah Minimum (UM) terhadap Kebutuhan Hidup Layak (KHL) ............................................................................................................. 76
xxii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Produksi Padi, Ubi kayu dan Jagung Provinsi Lampung Tahun 2010 ...........95
2
Hasil Estimasi Model Pertumbuhan Pendapatan Perkapita dengan Program Eviews 6.0 ........................................................................................96
3
Hasil Uji Hausman Model Pertumbuhan Pendapatan Perkapita .....................97
4
Hasil Uji Estimasi Model Pembangunan Manusia .........................................98
5
Hasil Uji Hausman Model Pembangunan Manusia ........................................99
6
Hasil Estimasi Model Pengangguran ............................................................100
7
Hasil Uji Hausman Model Pengangguran .....................................................101
8
Hasil Estimasi Model Distribusi Pendapatan ................................................102
9
Hasil Uji Hausman Model Distribusi Pendapatan ........................................103
10 Hasil Estimasi Model Kemiskinan................................................................104 11 Hasil Uji Hausman Model Kemiskinan ........................................................105
xxiii
Halaman ini sengaja dikosongkan
I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Idealnya pembangunan ekonomi menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan tersebar merata sehingga meningkatkan kesejahteraan segenap masyarakat. Namun fakta secara global menunjukkan hal yang sangat kontradiktif yaitu pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak serta merta diikuti oleh pemerataan pendapatan dan pengentasan kemiskinan. Collier dan Dollar (2000) menyatakan bahwa 10 persen populasi dunia yang menghasilkan 70 persen barang dan jasa, menerima 70 persen pendapatan dunia dengan rata-rata penghasilan US$ 30.000 per tahun. Di sisi lain separuh dari populasi dunia hidup di bawah garis kemiskinan US$ 2 per hari1. Ketimpangan dalam distribusi pendapatan dan kemiskinan merupakan dua masalah besar di negara berkembang, tidak terkecuali Indonesia. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi diharapkan tidak bertentangan dengan pengurangan kemiskinan dan pemerataan pendapatan. Ketiganya harus dilaksanakan secara simultan, karena pertumbuhan ekonomi yang diimbangi dengan pemerataan pendapatan secara konsisten akan mendorong penurunan angka kemiskinan dalam jangka panjang dan menciptakan peningkatan kesejahteraan yang berkelanjutan (Adam, 2004). Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk mengurangi jumlah penduduk miskin sejak masa pemerintahan Orde Baru. Komitmen pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan dinyatakan dalam berbagai program pada rencana pembangunan jangka panjang maupun menengah. Hasil yang diperoleh hingga tahun 2011 adalah persentase jumlah penduduk miskin secara nasional menurun hingga mencapai 12,49 persen, yang sebelumnya mengalami peningkatan tajam akibat krisis ekonomi hingga mencapai 24,23 persen pada tahun 1998. Pada Gambar 1 dapat dilihat bahwa seiring dengan terjadinya pertumbuhan ekonomi, tingkat kemiskinan mengalami penurunan.
1
Merupakan salah satu garis kemiskinan yang digunakan Bank Dunia, disarankan oleh Ravallion et al. (2008).
1
2
%
20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
2002
2003
2004 2005 2006 2007 Pertumbuhan Ekonomi
2008 2009 2010 Tingkat Kemiskinan
2011
Sumber: BPS, 2012 Gambar 1 Pertumbuhan ekonomi dan tingkat kemiskinan Indonesia tahun 20022011 Berdasarkan data BPS melalui situs resminya, sebagian besar kemiskinan terjadi di wilayah perdesaan. Pada tahun 2011, sebanyak 63,20 persen penduduk miskin di Indonesia tinggal di perdesaan (lihat Gambar 2). Menurut penelitian Warr (2006) terhadap perekonomian negara-negara ASEAN dan salah satunya Indonesia, besarnya jumlah penduduk miskin di perdesaan menyebabkan pengurangan kemiskinan pada wilayah ini menjadi kontributor terbesar dalam pengurangan kemiskinan tingkat nasional. Dao (2009) menyatakan bahwa 75 persen penduduk miskin di negara berkembang, tinggal di perdesaan dan mata pencaharian mereka secara langsung maupun tidak langsung berhubungan dengan pertanian. Dengan sebagian besar masyarakat perdesaan mengandalkan pertanian sebagai mata pencaharian utama, maka pengurangan kemiskinan dapat dilakukan dengan menciptakan pertumbuhan output pada sektor pertanian. Menurut Timmer (2002) mekanisme yang menghubungkan pertumbuhan sektor pertanian terhadap pengentasan kemiskinan dapat dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu: 1. Pertumbuhan pertanian akan meningkatkan secara langsung pertumbuhan ekonomi
secara
keseluruhan.
Pertumbuhan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
ekonomi
diharapkan
3
2. Pertanian menciptakan pertumbuhan ekonomi yang pro poor jika dibandingkan pertumbuhan ekonomi yang diakibatkan sektor lain seperti industri dan jasa. 3. Pertumbuhan sektor pertanian secara langsung mengentaskan kemiskinan. Pertumbuhan sektor pertanian akan menjamin tersedianya bahan makanan yang murah. Harga yang murah akan membuat bahan makanan lebih mudah diakses dan dikonsumsi oleh masyarakat miskin. Masyarakat miskin yang tercukupi gizinya dapat bekerja dan meningkatkan kesejahteraan keluarganya. ribu orang 40.000 35.000 30.000 25.000 20.000 15.000 10.000 5.000 0 2007
2008
2009 Kota
2010
2011
Desa
Sumber: BPS, 2012 Gambar 2 Jumlah penduduk miskin Indonesia menurut di wilayah desa dan kota tahun 2007-2011 Provinsi Lampung merupakan wilayah yang memiliki potensi besar dalam perekonomian terutama pada sektor pertanian. Kontribusi Lampung dalam perekonomian nasional dan internasional sudah terbukti. Untuk sektor pertanian pada sub sektor tanaman pangan, komoditi padi, jagung dan ubi kayu produksi Lampung selalu menjadi unggulan. Berdasarkan Angka Tetap (ATAP)2 produksi padi dan palawija nasional, pada tahun 2010 produksi ubi kayu Lampung merupakan yang terbesar di Indonesia mencapai 8,6 juta ton. Produksi padi Lampung mencapai 2,8 juta ton yang merupakan produksi terbanyak ke tiga seSumatera. Sedangkan produksi jagung sebanyak 2,1 juta ton merupakan nilai 2
Angka Tetap padi dan palawija didasari oleh hasil Survei Pertanian (SP) yang diselenggarakan bersama-sama oleh Dirjen Tanaman Pangan dan Hortikultura dengan BPS (BPS Provinsi Lampung, 2011c, 2011d).
4
produksi terbanyak se-Sumatera dan secara nasional berada pada urutan ke tiga setelah Jawa Timur dan Jawa Tengah (lihat Lampiran 1). Pada subsektor perkebunan, Lampung mampu menghasilkan kopi robusta, lada hitam, dan kelapa terbanyak di Indonesia. Pada subsektor perikanan, Lampung adalah pengekspor utama udang dari Indonesia dengan negara tujuan Amerika dan Jepang3. Salah satu sektor yang juga menjadi unggulan adalah sektor industri terutama yang berhubungan dengan pertanian. Provinsi Lampung diketahui sebagai salah satu penyedia gula secara nasional. Produksi gula Lampung mampu memasok 35 persen produksi gula nasional.4 Selain gula, komoditi yang menjadi andalan adalah nanas kaleng dan tepung jagung. Produksi nanas kaleng asal Lampung telah mampu memenuhi 26 persen kebutuhan dunia dengan wilayah tujuan ekspor utama adalah Amerika dan Eropa5, sedangkan 60 persen produksi tepung jagung Indonesia berasal dari Lampung. Jika memperhitungkan andil per sektor dalam pertumbuhan ekonomi, maka andil sektor pertanian dan industri pengolahan adalah yang paling besar di Provinsi Lampung. Berdasarkan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Provinsi Lampung tahun 2010, andil sektor pertanian sebesar 36,98 persen sedangkan sektor industri 16,00 persen (BPS Provinsi Lampung, 2012a). Nilai sumbangan sektor pertanian terhadap PDRB Lampung sebesar 39.671,28 milyar Rupiah dan sektor industri 17.166,73 milyar Rupiah. Seiring dengan besarnya andil sektor pertanian dalam perekonomian, banyaknya tenaga kerja yang terserap pada sektor pertanian adalah yang terbesar yaitu 56,48 persen6. Dengan jumlah penduduk terbanyak ke dua di pulau Sumatera, PDRB atas dasar harga berlaku Provinsi Lampung pada tahun 2010 sebesar 107.277,26 milyar Rupiah. Jika dibandingkan dengan nilai konstannya, Lampung mengalami pertumbuhan ekonomi sebesar 5,75 persen dari tahun 2009 (BPS Provinsi Lampung, 2012a). Secara rata-rata, pertumbuhan ekonomi Lampung selama tahun 2006-2010 sebesar 5,44 persen berada lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan
3
www.antaranews.com, 8 Juni 2007, “Peluang Investasi di Tengah Kemiskinan Lampung” www.radarLampung.co.id., 2 Februari 2011, “Gula Lampung Tuai Pujian” 5 www.pemprovLampung.go.id. 10 September 2011, “Pembangunan Jangka Panjang”. 6 Hasil pengolahan Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) tahun 2010. 4
5
ekonomi Sumatera yaitu 4,84 persen dan berada pada urutan ke enam dari sepuluh provinsi yang terdapat di pulau Sumatera (Gambar 3). % 25 20,98
20
18,30
18,94
15,47
15 11,31 9,50
10 6,35
5
2,64
8,65
5,93
8,05
8,34 7,31
4,17
5,43
6,02
5,75
6,51 5,85
7,21
0
Pertumbuhan Ekonomi
Persentase Penduduk Miskin
Sumber: BPS Provinsi Lampung, 2011b Gambar 3 Pertumbuhan ekonomi dan persentase penduduk miskin provinsiprovinsi di Sumatera Tahun 2010 Namun di balik gemilangnya prestasi perekonomian Lampung pada berbagai sektor tersebut, Lampung selalu menjadi salah satu provinsi miskin di Indonesia. Lampung menjadi provinsi termiskin ke sembilan se-Indonesia dan termiskin ke tiga se-Sumatera di tahun 2011 (Tabel 1). Peringkat kemiskinan ini telah mengalami penurunan karena pada tahun sebelumnya Lampung berada pada posisi ke delapan se-Indonesia dan pada peringkat ke dua se-Sumatera, satu peringkat di bawah Nangroe Aceh Darussalam. Pertanian yang menjadi andalan utama pendapatan Provinsi Lampung ternyata tidak mampu mengangkat masyarakatnya dari jebakan kemiskinan. Kemiskinan merupakan masalah multidimensional yang menjadi sebab dan akibat bagi berbagai masalah lain. Salah satu sebab sekaligus akibat dari kemiskinan adalah rendahnya kualitas manusia. Dengan kualitas manusia yang rendah, masyarakat miskin tidak dapat berkompetisi untuk memasuki lapangan kerja yang semakin terbatas dan membutuhkan kualifikasi tinggi. Mereka terpaksa menganggur atau bekerja dengan upah yang rendah sehingga pendapatannya tidak dapat mencukupi kebutuhan dasarnya. Pendapatan yang terbatas pada akhirnya
6
akan membawa dampak buruknya kesehatan dan gizi yang kemudian berpengaruh pada rendahnya daya tahan fisik dan daya pikir sehingga dapat mengurangi prakarsa dan insiatif. Masyarakat miskin akan sulit mengubah keadaannya menjadi lebih baik tanpa adanya bantuan dari pihak lain. Tabel 1 Rank 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Sepuluh provinsi termiskin di Indonesia tahun 2011 Propinsi Papua Papua Barat Maluku Nusa Tenggara Timur Nusa Tenggara Barat Nangroe Aceh Darussalam Gorontalo Bengkulu Lampung DI Yogyakarta
Indonesia Sumber: BPS, 2012
Persentase Penduduk Miskin (persen) Kota Desa Kota+Desa 4,60 41,58 31,98 6,05 39,56 31,92 10,24 30,54 23,00 12,50 23,36 21,23 23,67 16,90 19,73 13,69 21,87 19,57 5,37 25,65 18,75 17,74 17,39 17,50 12,27 18,54 16,93 13,16 21,82 16,08 9,23
15,72
12,49
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) merupakan salah satu ukuran agregat yang menggambarkan kesejahteraan tidak hanya dari dimensi pendapatan namun juga non pendapatan (Ferreira dan Ravallion, 2008). Komponen penyusun IPM adalah ukuran-ukuran berbagai kondisi kehidupan penduduk, terutama yang menyangkut kebutuhan dasar. IPM menggambarkan tingkat kesehatan penduduk yang direpresentasikan melalui Angka Harapan Hidup, perkembangan dan kemajuan sosial yang ditunjukkan melalui Angka Melek Huruf dan Rata-rata Lama Sekolah, serta kemampuan ekonomi penduduk yang diukur dengan Pengeluaran Riil per Kapita (BPS Provinsi Lampung, 2010). IPM Provinsi Lampung adalah yang terendah di Sumatera (lihat Tabel 2). IPM Lampung mengalami peningkatan dari tahun 2005 sebesar 68,80 menjadi 71,42 pada tahun 2010. Meskipun menunjukkan adanya peningkatan nilai indeks dari tahun ke tahun, namun IPM Lampung selalu menjadi yang terendah se-Sumatera. Bahkan dalam peringkat secara nasional, mengalami penurunan peringkat dari peringkat ke-19 pada tahun 2004 menjadi peringkat ke-21 dari 33 provinsi di Indonesia pada tahun 2010. Penurunan peringkat bukan berarti pembangunan manusia di
7
Lampung mengalami penurunan, tetapi dapat disebabkan oleh kegiatan pembangunan manusia di provinsi-provinsi lain terjadi dengan tingkat percepatan yang lebih tinggi daripada di Lampung. Lampung tertinggal dari provinsi lain dalam pembangunan manusia. Tabel 2
Indeks Pembangunan Manusia Menurut Provinsi di Sumatera
Provinsi Nangroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Kepulauan Riau Sumber: BPS Provinsi Lampung, 2011b
2007 70,35 72,78 72,23 74,63 71,46 71,40 71,57 69,78 71,62 73,68
2008 70,76 73,29 72,96 75,09 71,99 72,05 72,14 70,30 72,19 74,18
2009 71,31 73,80 73,44 75,60 72,45 72,61 72,55 70,93 72,55 74,54
2010 71,70 74,19 73,78 76,07 72,74 72,95 72,92 71,42 72,86 75,07
Investasi terutama pada modal manusia diperlukan dalam perekonomian Provinsi Lampung untuk mengejar ketertinggalannya dari provinsi-provinsi lain. Investasi akan menambah stok kapital yang pada akhirnya akan meningkatkan produktivitas dan kapasitas produksi. Pemerintah Indonesia melalui Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) menyatakan bahwa Indonesia membutuhkan investasi dengan pertumbuhan 11,5 persen dari tahun 2011 agar dapat mengentaskan kemiskinan dan menciptakan lapangan kerja di tahun 2012.7 Investasi dalam bentuk Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB)8 memiliki pangsa (share) yang cukup besar dalam pertumbuhan ekonomi Lampung. PMTB memiliki pangsa terbesar ke dua setelah konsumsi rumah tangga terhadap total output yaitu sebesar 17,31 persen pada tahun 2010 (Tabel 3).
7
http://finance.detik.com. 3 Januari 2012, “Tekan Kemiskinan dan Pengangguran, RI Kejar Investasi tumbuh 11,5 persen” 8 PMTB merupakan bagian dari investasi fisik secara keseluruhan. PMTB didefinisikan sebagai pengadaan, pembuatan, pembelian barang modal dikurangi dengan penjualan neto barang modal bekas.
8
Selama periode 2007-2011 besaran PMTB mengalami peningkatan dari 5,3 trilliun Rupiah di tahun 2007 menjadi 6,75 trilliun di tahun 2011. Rata-rata laju pertumbuhan PMTB dalam kurun waktu 2007-2011 adalah 6,07 persen per tahun.Pertumbuhan investasi tersebut masih dibawah target nasional yaitu 11,5 persen, namun jika dilihat melalui rasio antara investasi terhadap outputnya (ICOR), nilai ICOR Provinsi Lampung menunjukkan angka yang semakin kecil. Hal tersebut selain menunjukkan bahwa investasi mendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi namun juga menunjukkan bahwa investasi Provinsi Lampung semakin efisien. Provinsi Lampung membutuhkan investasi yang lebih sedikit untuk meningkatkan output. Jika pada tahun 2008 untuk menghasilkan satu satuan output dibutuhkan 3,18 satuan investasi maka di tahun 2011 hanya membutuhkan 2,75 satuan investasi. Tabel 3
Pembentukan modal tetap domestik bruto Provinsi Lampung tahun 2007-2011
Rincian PDRB (Trilliun Rp) a. adh berlaku b. adh konstan Laju pertumbuhan (%) Kontribusi terhadap PDRB (%) ICOR
2007
2008
2009
2010*
2011**
10,13 5,30 5,32 16,62 2,89
13,55 5,55 4,82 18,38 3,18
16,30 5,77 3,82 18,33 3,18
18,76 6,18 7,08 17,31 2,91
22,13 6,75 9,30 17,23 2,75
Keterangan: *) angka sementara, **) angka sangat sementara Sumber: BPS Provinsi Lampung, 2012b 1.2. Perumusan Masalah Arah pembangunan jangka panjang menyatakan bahwa pembangunan ekonomi hingga tahun 2025 diarahkan pada pencapaian beberapa sasaran pokok. Sasaran pokok pertama adalah terbangunnya struktur perekonomian yang kokoh dimana pertanian dan pertambangan menjadi basis aktivitas ekonomi yang menghasilkan produk-produk secara efisien dan modern, industri manufaktur yang berdaya saing global menjadi motor penggerak perekonomian, dan jasa menjadi perekat ketahanan ekonomi. Perekonomian Lampung memiliki keunggulan pada sektor yang menjadi basis dan motor penggerak dalam sasaran pertama pembangunan jangka panjang Indonesia, yaitu pertanian dan industri. Sektor pertanian mampu menjadi penyedia berbagai kebutuhan pangan bagi nasional maupun dunia. Produk pertanian juga
9
menjadi bahan baku bagi berbagai produk industri pengolahan. Hal ini mendorong majunya sektor industri di Lampung, terutama yang berbasis pada pertanian, sehingga berbagai produk industri Lampung mampu bersaing di pasar dunia dalam era globalisasi. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi mengarah pada penciptaan lapangan kerja dan peningkatan upah, sedangkan produksi pertanian yang lebih besar menciptakan harga pangan yang lebih rendah, keduanya menguntungkan bagi masyarakat miskin (Fan dan Hazell, 2001). Pada sisi lain ternyata tingginya kinerja ekonomi yang berdasarkan pada sektor pertanian di Provinsi Lampung, tidak diikuti oleh peningkatan kualitas manusia dan pengurangan kemiskinan yang sepadan. Keterbatasan lahan serta ketidakpastian iklim menyebabkan sektor pertanian terlalu rapuh untuk diandalkan dalam pengentasan kemiskinan dan peningkatan kualitas manusia. Ikawati (2008) menemukan bukti bahwa kemiskinan di Provinsi Lampung terjadi akibat terlalu bergantung pada sektor pertanian. Konversi lahan pertanian dan semakin kecilnya kepemilikan lahan menyebabkan produksi pertanian tidak dapat mensejahterakan petaninya. Ketidakpastian iklim akibat pemanasan global menyebabkan kekeringan dan banjir bandang yang rutin terjadi di Indonesia mengancam produksi pertanian terutama tanaman pangan. Bencana kekeringan dan banjir bandang diduga akan terjadi pada wilayah-wilayah yang hutannya tandus dan salah satunya adalah Provinsi Lampung9. Ikawati (2008) menyatakan bahwa krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 diikuti dengan bencana alam El Nino meruntuhkan kinerja sektor pertanian Lampung. Masyarakat jatuh ke dalam kemiskinan dan jumlahnya terus bertambah hingga tiga tahun setelah krisis ekonomi tahun 1998, baik di kota maupun di desa. Keterbatasan lahan menyebabkan pertanian tidak dapat mensejahterakan masyarakatnya. Peningkatan jumlah petani tidak diimbangi dengan perluasan areal pertanian. Kepemilikan lahan secara nasional menurun dari rata-rata 0,86 ha/Rumah Tangga Petani (RTP) pada tahun 1993 menjadi 0,73 ha/RTP pada tahun 2002 (Abdurachman et al., 2009). Jumlah petani gurem di Indonesia pada 9
www.litbang.deptan.go.id, “Produksi Pertanian dan Ketidakpastian Iklim”, Viktor Siagian, diterbitkan dalam harian Suara Pembaruan 29 Januari 2008.
10
tahun 1993 mencapai 10,8 juta RTP meningkat menjadi 13,7 juta RTP pada tahun 2003. Petani gurem dengan luas lahan kurang dari 0,5 hektar, tidak dapat mengandalkan hasil panen tanaman pangan untuk mencukupi kebutuhan pokok keluarga, apalagi jika lahan yang dimiliki berupa lahan kering. Sebagai contoh dari pertanian padi, pendapatan dari usaha tani padi dinilai cukup layak bagi penghidupan keluarga petani apabila petani memiliki lahan sawah 2 hektar, atau minimal 1 hektar (Sumarno dan Kartasasmita, 2009). Tingginya andil sektor pertanian namun diikuti oleh tingginya tingkat kemiskinan di Provinsi Lampung menyebabkan terjadinya perdebatan mengenai pola relasi antara pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan. Pertanyaan yang kerap kali muncul adalah apakah pertumbuhan ekonomi mampu mengentaskan kemiskinan. Pada sisi lain, investasi merupakan pendorong terciptanya pertumbuhan yang lebih tinggi sekaligus sebagai salah satu alat dalam mengentaskan kemiskinan. Hal ini dikarenakan investasi juga membuka lapangan pekerjaan sehingga pengangguran berkurang, pendapatan rumah tangga bertambah dan kemiskinan dapat dientaskan. Penelitian mengenai peranan investasi terhadap pertumbuhan ekonomi diperlukan untuk mengevaluasi berbagai kebijakan pemerintah yang mendorong atau justru menghambat terjadinya pengentasan kemiskinan. Peranan investasi ini secara tidak langsung dapat menggambarkan bagaimana kemiskinan dapat dikurangi dan kualitas manusia dapat dibangun. Dengan demikian permasalahan yang menjadi dasar dalam penelitian ini adalah mengapa pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh investasi tidak dapat mengentaskan kemiskinan di Provinsi Lampung. Permasalahan berikutnya adalah bagaimana mengatasi tingkat kemiskinan yang tinggi tersebut. 1.3. Tujuan Penelitian Selaras dengan permasalahan yang telah dipaparkan maka penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengevaluasi pengaruh investasi terhadap pertumbuhan ekonomi. 2. Mengevaluasi pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap pembangunan manusia, distribusi pendapatan dan tingkat pengangguran.
11
3. Mengevaluasi pengaruh pembangunan manusia, distribusi pendapatan dan tingkat pengangguran terhadap tingkat kemiskinan. 4. Mengkaji alternatif kebijakan bagi pengentasan kemiskinan. 1.4. Manfaat Penelitian Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah memberikan informasi kepada pembaca mengenai peran investasi dalam mengentaskan kemiskinan melalui channel pertumbuhan ekonomi di Provinsi Lampung. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan pertimbangan bagi pemerintah pusat maupun pemerintah daerah Provinsi Lampung dalam mengambil kebijakan. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi sumber referensi dan informasi bagi penelitian selanjutnya terkait dengan masalah pada penelitian ini. 1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Ruang lingkup penelitian dibatasi pada cakupan wilayah Provinsi Lampung selama periode 2004-2010. Provinsi Lampung terdiri atas 12 kabupaten dan 2 kota, dimana empat kabupaten diantaranya merupakan kabupaten pemekaran yang berdiri setelah tahun 2008. Kabupaten-kabupaten tersebut adalah Pesawaran, Pringsewu, Tulang Bawang Barat dan Mesuji. Untuk menjaga konsistensi data maka berbagai data dari empat kabupaten pemekaran ditampilkan tergabung dengan data kabupaten induknya.
Halaman ini sengaja dikosongkan
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Konsep 2.1.1. Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi menunjukkan pertumbuhan produksi barang dan jasa di suatu wilayah perekonomian dalam selang waktu tertentu. Produksi tersebut diukur dalam nilai tambah (value added) yang diciptakan oleh sektorsektor ekonomi di wilayah yang bersangkutan yang secara total dikenal dengan Produk Domestik Bruto (PDB). Menurut Todaro dan Smith (2006), pertumbuhan ekonomi merupakan suatu peningkatan kapasitas produksi dalam suatu perekonomian secara terus menerus atau berkesinambungan sepanjang waktu sehingga menghasilkan tingkat pendapatan dan output nasional yang semakin lama semakin besar. Pertumbuhan ekonomi menunjukkan sejauh mana aktivitas perekonomian akan menghasilkan tambahan pendapatan masyarakat pada suatu periode tertentu. Aktivitas perekonomian merupakan suatu proses penggunaan faktor-faktor produksi sehingga akan menghasilkan balas jasa terhadap masyarakat sebagai pemilik faktor-faktor produksi yang digunakan. Potensi pertumbuhan suatu negara sangat dipengaruhi oleh kuantitas dan kualitas sumber daya yang dimilikinya baik itu sumber daya fisik, sumber daya manusia maupun sumber daya alam (Todaro dan Smith, 2006). Menurut Jhingan (2008), proses pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh faktor ekonomi dan non ekonomi. Faktor ekonomi terdiri atas faktor-faktor produksi diantaranya adalah: 1. Sumber alam, merupakan faktor utama dalam pertumbuhan ekonomi jika dikelola secara tepat dengan teknologi yang baik. 2. Akumulasi modal, yang berarti menambah persediaan faktor produksi yang reproduktif. 3. Organisasi, berkaitan dengan penggunaan faktor produksi dalam kegiatan ekonomi. Organisasi bersifat melengkapi modal dan buruh sehingga membantu meningkatkan produktivitas buruh sebagai faktor produksi. 4. Kemajuan teknologi. Perubahan teknologi akan meningkatkan produktivitas buruh, modal dan faktor produksi lain. 5. Pembagian kerja dan skala produksi. Spesialisasi dan pembagian kerja akan meningkatkan produktivitas.
13
14
Faktor non ekonomi yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi diantaranya adalah: 1. Faktor sosial dan budaya, perubahan pada pandangan budaya yang merugikan perekonomian dapat dilakukan melalui penyebaran pendidikan dan ilmu pengetahuan. 2. Faktor manusia. Pertumbuhan ekonomi tergantung pada jumlah sumber daya manusia dan terutama pada efisiensi tenaga kerja. Efisiensi dapat diperoleh jika kualitas sumber daya manusia ditingkatkan melalui proses peningkatan ilmu pengetahuan, ketrampilan dan kemampuan. 3. Faktor politik dan administratif. Struktur politik dan administratif dapat menjadi
pendukung atau
justru
penghambat
pertumbuhan
ekonomi.
Administrasi yang kuat, efisien dan tidak korup amat penting bagi pertumbuhan ekonomi. Teori pertumbuhan ekonomi dikembangkan menggunakan model Keynes dan fungsi produksi Cobb-Douglas. Keduanya berusaha menghubungkan antara input dan output yang dihasilkan dalam perekonomian secara agregat. Beberapa teori ekonomi yang digunakan diantaranya: 1. Teori Pertumbuhan Harrod-Domar Harrod dan Domar menggunakan model Keynesian untuk menganalisis pertumbuhan
ekonomi
dalam
perekonomian
tertutup.
Harrod-Domar
memberikan peranan kunci dalam proses pertumbuhan ekonomi pada investasi (Jhingan, 2008). Investasi memiliki dua peranan penting yaitu pertama, investasi menciptakan pendapatan dan kedua ia memperbesar kapasitas produksi perekonomian dengan cara meningkatkan stok kapital. Model pertumbuhan Harrod-Domar didasarkan pada tiga asumsi (Todaro dan Smith, 2006), yaitu: pertama, bahwa perekonomian menyebabkan terjadi peningkatan tabungan (S) dalam proporsi yang konstan (s) terhadap pendapatan nasional (Y). 𝑆 = 𝑠𝑌
(2.1)
Kedua, perekonomian berada pada keseimbangan, dimana investasi yang direncanakan sama dengan tabungan yang direncanakan. 𝐼=𝑆
(2.2)
15
Ketiga, investasi dipengaruhi oleh ekspektasi kenaikan pendapatan nasional (ΔY) dan koefisien teknis tetap v yang dikenal sebagai Incremental Capital Output Ratio (ICOR). 𝐼 = 𝑣∆𝑌
(2.3)
Pertumbuhan ekonomi merupakan perubahan pendapatan tiap satuan pendapatan atau dirumuskan sebagai: 𝑔𝑦 =
∆𝑌 𝑌
(2.4)
dengan mensubstitusikan persamaan maka: 𝑠
𝑔𝑦 = 𝑣
(2.5)
Jika ketiga asumsi dipenuhi maka perekonomian akan tumbuh pada suatu level yang dipengaruhi s dan v. Penerapan model Harrod-Domar bagi negara berkembang sulit untuk dilakukan karena ada asumsi yang tidak dapat dipenuhi yaitu rasio tabungan (s) dan rasio modal output (v) yang tetap. Menurut Jhingan (2008) model Harrod-Domar memiliki beberapa keterbatasan untuk dapat diterapkan di negara berkembang yaitu: a. Perbedaan kondisi antara negara berkembang dengan negara maju, padahal analisis Harrod-Domar berkembang dengan seperangkat kondisi yang terjadi di negara maju. b. Sebagian besar penduduk hidup dalam keadaan perekonomian yang terbatas sehingga sangat sedikit yang menabung. c. Sulit untuk memperkirakan berapakah rasio modal dan output yang optimal karena terhambat adanya kelangkaan dan bottle neck pertumbuhan. d. Laju pertumbuhan investasi Harrod-Domar tidak dapat menyelesaikan masalah pengangguran struktural dan adanya pengangguran terselubung menyebabkan asumsi full employment tidak dapat terpenuhi. e. Model Harrod-Domar mengasumsikan bahwa dalam perekonomian tidak terdapat campur tangan pemerintah sedangkan bagi negara berkembang pemerintah diperlukan turut campur dalam perekonomian. f. Perdagangan luar negeri dan bantuan luar negeri memegang peranan penting dalam pertumbuhan ekonomi negara berkembang. g. Terdapat perubahan harga. h. Perubahan institusional.
16
2. Teori Pertumbuhan Neoklasik Dikemukakan oleh Solow, yang merupakan modifikasi dari model pertumbuhan
Harrod-Domar,
menyatakan
bahwa
secara
kondisional
perekonomian berbagai negara akan bertemu (converge) pada tingkat pendapatan yang sama. Syarat yang harus dipenuhi adalah negara-negara tersebut mempunyai tingkat tabungan, depresiasi, pertumbuhan angkatan kerja dan pertumbuhan produktivitas yang sama. Dalam konteks perekonomian terbuka, konvergensi peningkatan pendapatan akan terjadi bila terdapat hubungan perdagangan, investasi dan sebagainya dengan negara lain atau pihak luar. Berdasarkan teori
neoklasik,
pertumbuhan
ekonomi
tidak hanya
disebabkan oleh penambahan modal (melalui tabungan dan investasi), tetapi juga dipengaruhi oleh kenaikan kuantitas dan kualitas tenaga kerja (melalui pertumbuhan penduduk dan perbaikan pendidikan) dan penyempurnaan teknologi. Asumsi yang digunakan dalam teori neoklasik adalah diminishing return to scale, jika input kapital dan tenaga kerja digunakan secara parsial, namun jika digunakan secara bersama-sama bersifat constant return to scale. Pertumbuhan ekonomi terjadi sebagian besar disebabkan oleh faktor eksogen atau proses yang independen dari kemajuan teknologi. 3. Teori Pertumbuhan Endogen Berbeda dengan neoklasik yang menganggap teknologi sebagai faktor eksogen, teori endogen memasukkan pengaruh teknologi sebagai variabel endogen dan berupaya menjelaskan adanya increasing return to scale. Dalam jangka panjang teknologi memegang peran penting untuk menciptakan pertumbuhan, perubahan eksogen tidak diperlukan lagi untuk menjelaskan pertumbuhan ekonomi. Pola pertumbuhan jangka panjang antar negara berbedabeda, perbedaan tersebut tergantung pada tingkat tabungan nasional dan teknologinya, namun tetap konstan. Tingkat pendapatan per kapita di negara-negara yang miskin modal tidak dapat menyamai tingkat pendapatan di negara yang kaya modal, meskipun tingkat pertumbuhan tabungan dan pertumbuhan penduduknya serupa. Increasing return to scale kemungkinan dapat diciptakan dengan adanya asumsi bahwa cadangan modal dalam keseluruhan perekonomian dan eksternalitas positif dari ilmu
17
pengetahuan sebagai barang publik secara positif memengaruhi output pada tingkat industri. Pertumbuhan
ekonomi
di
Indonesia
diukur
menggunakan
indikator
pertumbuhan PDB/PDRB. Tiga pendekatan dalam penghitungan PDRB, yaitu: 1. Pendekatan produksi, PDRB adalah jumlah nilai tambah atas barang dan jasa yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi di suatu daerah dalam jangka waktu tertentu. Unit-unit produksi tersebut dikelompokkan menjadi 9 lapangan usaha (sektor) yakni; pertanian; pertambangan dan penggalian; industri pengolahan; listrik, gas dan air bersih; bangunan; perdagangan, hotel dan restoran; pengangkutan dan komunikasi; keuangan, persewaan dan jasa perusahaan; dan jasa-jasa. 2. Pendekatan pendapatan, PDRB merupakan jumlah balas jasa yang diterima oleh faktor-faktor produksi yang ikut serta dalam proses produksi di suatu daerah dalam jangka waktu tertentu. Balas jasa yang dimaksud adalah upah dan gaji (balas jasa tenaga kerja), sewa tanah (balas jasa tanah), bunga modal (balas jasa modal) dan keuntungan (balas jasa kewirausahaan). 3. Pendekatan penggunaan/pengeluaran, PDRB merupakan final demand dari produksi barang dan jasa yang dihasilkan berbagai sektor ekonomi. Penggunaan dibedakan untuk konsumsi (rumah tangga, lembaga swasta nirlaba, pemerintah), investasi/pembentukan modal dan ekspor-impor. Pertumbuhan PDRB atau biasa disebut pertumbuhan ekonomi dirumuskan sebagai persentase dari perubahan output, yaitu: ∆𝑦 = ∆𝑃𝐷𝑅𝐵 =
𝑃𝐷𝑅𝐵 𝑡 −𝑃𝐷𝑅𝐵 𝑡−1 𝑃𝐷𝑅𝐵 𝑡−1
(2.6)
∆𝑦 = ∆𝑃𝐷𝑅𝐵 = pertumbuhan ekonomi 𝑃𝐷𝑅𝐵𝑡
= PDRB tahun ke-t
𝑃𝐷𝑅𝐵𝑡−1
= PDRB tahun sebelumnya (t-1)
PDRB per kapita dirumuskan sebagai: 𝑦𝑝𝑒𝑟𝑘𝑎𝑝𝑖𝑡𝑎 =
𝑃𝐷𝑅𝐵 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎 𝑝𝑒𝑛𝑑𝑢𝑑𝑢𝑘
(2.7)
Pertumbuhan PDRB per kapita dirumuskan sebagai: ∆𝑦𝑝𝑒𝑟𝑘𝑎𝑝𝑖𝑡𝑎 =
𝑦 𝑡 −𝑦 𝑡−1 𝑦 𝑡−1
(2.8)
18
2.1.2. Investasi Investasi merupakan salah satu komponen dari pembentukan pendapatan nasional, sehingga pertumbuhan investasi secara langsung akan memengaruhi pertumbuhan ekonomi. Peningkatan investasi akan menggerakkan kegiatankegiatan produksi, meningkatkan output dan pada akhirnya akan meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi. Besarnya persentase pertumbuhan ekonomi yang ditimbulkan menjadi lebih besar akibat pertumbuhan investasi dengan adanya multiplier effect (BKPM, 2004). Investasi adalah arus pengeluaran yang menambah stok modal (Dornbusch, et al., 2008). Menurut Mankiw (2006) investasi menciptakan modal baru. Investasi dibagi menjadi tiga sub kelompok yaitu investasi tetap bisnis, investasi tetap rumah tangga dan investasi persediaan. Investasi tetap bisnis adalah pembelian pabrik dan peralatan baru oleh perusahaan, investasi tetap rumah tangga adalah pembelian rumah baru oleh rumah tangga dan tuan tanah sedangkan investasi persediaan adalah peningkatan persediaan barang perusahaan. Di dalam teori makroekonomi neoklasik dengan model ekonomi kecil terbuka, hubungan antara pendapatan nasional dengan investasi dituliskan sebagai berikut (Mankiw, 2006): 𝑌 = 𝐶 + 𝐼 + 𝐺 + 𝑁𝑋
(2.9)
dimana: Y
= pendapatan nasional
C
= tingkat konsumsi
I
= investasi
G
= pengeluaran pemerintah
NX
= Ekspor bersih (Ekspor-Impor).
Pendapatan nasional berhubungan positif dengan investasi. Semakin tinggi investasi maka semakin tinggi pendapatan dan sebaliknya ketika pendapatan semakin tinggi maka yang dialokasikan bagi investasi akan semakin besar. Keputusan untuk berinvestasi terutama ditentukan oleh tingkat suku bunga riil. Semakin tinggi tingkat suku bunga maka semakin berkurang jumlah investasi. Suku bunga merupakan biaya pinjaman. Suku bunga yang tinggi menyebabkan biaya untuk meminjam uang melalui bank (untuk investasi) akan semakin tinggi,
19
pada sisi lain masyarakat lebih memilih menyimpan uang di bank karena bunga yang tinggi akan memberikan penghasilan tanpa harus menanggung risiko akibat investasi. Sebaliknya, suku bunga yang rendah akan menyebabkan investasi meningkat. Hubungan antara suku bunga riil dan investasi dapat digambarkan sebagai garis dengan slope negatif seperti dapat dilihat pada Gambar 4.
Sumber: Mankiw, 2006 Gambar 4 Hubungan antara investasi dan tingkat suku bunga Berdasarkan asal modal investor, investasi dapat berasal dari dalam negeri maupun luar negeri sedangkan berdasarkan bentuk investasinya, dapat berupa investasi riil dan investasi portofolio. Investasi riil adalah investasi yang secara langsung berkaitan dengan kegiatan produksi. Investasi riil dapat berupa pendirian pabrik baru, pengadaan teknologi baru, perekrutan tenaga kerja baru, pembukaan lahan baru dan sebagainya, yang secara langsung akan menciptakan atau menambah produksi (Basri dan Munandar, 2009). Sedangkan investasi portofolio adalah investasi yang berupa arus modal dalam pasar modal dengan berbagai bentuk surat berharga. Selain pihak swasta, pemerintah juga melakukan pengeluaran investasi. Investasi pemerintah dapat ditanamkan pada pembangunan berbagai barang publik
seperti
infrastruktur.
Infrastruktur
merupakan
instrumen
yang
menggerakkan perekonomian nasional yang menjadi penentu kelancaran dan akselerasi pembangunan nasional. Ketersediaan infrastruktur akan merangsang pembangunan di suatu daerah atau negara. Semakin cepat dan besar pembangunan ekonomi yang hendak digerakkan semakin banyak fasilitas infrastruktur yang harus disediakan pada wilayah tersebut.
20
Menurut Basri dan Munandar (2009), infrastruktur dapat dibagi menjadi tiga jenis, yakni infrastruktur keras fisik, infrastruktur keras non fisik dan infrastruktur lunak. Infrastruktur keras fisik meliputi jalan raya, rel kereta api, bandara, pelabuhan dan sebagainya. Infrastruktur keras non fisik yang berkaitan dengan fungsi utilitas umum seperti ketersediaan air bersih berikut instalasi pengolahan air dan jaringan pipa penyaluran, pasokan listrik, jaringan telekomunikasi dan pasokan energi. Infrastruktur lunak atau kelembagaan meliputi etos kerja, norma serta kualitas pelayanan umum pemerintah. 2.1.3. Kemiskinan Kemiskinan dapat dibedakan menjadi tiga pengertian yaitu kemiskinan absolut, kemiskinan relatif dan kemiskinan kultural (Daryanto dan Hafizrianda, 2010). Seseorang tergolong miskin secara absolut apabila pendapatannya dibawah garis kemiskinan, tidak mampu memenuhi standar kebutuhan hidup minimum. Sedangkan kemiskinan relatif adalah ketika seseorang telah hidup di atas garis kemiskinan, dapat memenuhi kebutuhan hidup dasar, namun masih berada di bawah kemampuan masyarakat sekitarnya. Kemiskinan secara relatif dapat terjadi karena terdapat distribusi pendapatan yang tidak merata atau akibat persepsi masyarakat dan budaya setempat terhadap kemiskinan. Pengertian kemiskinan yang ketiga adalah kemiskinan kultural, suatu keadaan miskin yang berkaitan erat dengan sikap seseorang atau sekelompok masyarakat yang tidak mau berusaha memperbaiki tingkat kehidupannya sekalipun ada usaha dari pihak lain untuk membantunya keluar dari kemiskinan. Tipe kemiskinan menurut Jalan dan Ravallion (1998) dibedakan menjadi dua jenis, yaitu kemiskinan kronis (chronic poverty) dan kemiskinan sementara (transient poverty). Kemiskinan kronis adalah suatu kondisi dimana individu yang tergolong miskin pada suatu waktu, kemiskinannya terus meningkat dan berada pada tingkat kesejahteraan yang rendah dalam jangka panjang. Kemiskinan sementara adalah kondisi dimana kemiskinan yang terjadi pada suatu waktu hanya bersifat sementara dan tidak bersifat permanen. Kondisi ini disebabkan oleh adanya penurunan standar hidup individu dalam jangka pendek. Kebijakan yang berbeda diperlukan dalam menangani kedua tipe kemiskinan. Investasi jangka panjang untuk masyarakat miskin seperti peningkatan modal fisik dan modal
21
manusia merupakan kebijakan yang sesuai untuk menangani kemiskinan kronis, sedangkan asuransi dan skema stabilitas pendapatan yang memproteksi pendapatan rumah tangga dari guncangan ekonomi adalah kebijakan yang diperlukan untuk menangani kemiskinan sementara. Badan Pusat Statistik (BPS) mendefinisikan kemiskinan sebagai ketidakmampuan penduduk dalam memenuhi kebutuhan makanan dan non makanan yang bersifat mendasar. Nilai garis kemiskinan yang digunakan mengacu pada kebutuhan minimum 2.100 kkal per kapita per hari ditambah dengan kebutuhan minimum non makanan yang merupakan kebutuhan dasar seseorang yang meliputi kebutuhan dasar untuk papan, sandang, sekolah, transpotasi, serta kebutuhan rumah tangga dan individu yang mendasar lainnya. Besarnya nilai pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan dasar minimum makanan dan non makanan disebut garis kemiskinan. Indikator kemiskinan yang dihitung oleh BPS selain jumlah dan persentase penduduk miskin, juga digunakan Indeks Kedalaman Kemiskinan (Poverty Gap Index-P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (Distributionally Sensitive Index-P2) yang dirumuskan oleh Foster-Greer-Thorbecke (1984) sebagai berikut: 1
𝑃𝛼 = 𝑛
𝑧−𝑦 𝑖 𝛼 𝑞 𝑖=1 𝑧
(2.10)
Dimana: α
= 0,1,2
z
= garis kemiskinan
yi = rata-rata pengeluaran per kapita sebulan penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan (i= 1,2,3,……,q), yi< q q
= banyaknya penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan
n
= jumlah penduduk
Jika α = 0 maka diperoleh Head Count Index (P0); α = 1 adalah Poverty Gap (P1) dan α = 2 merupakan ukuran Distributionally Sensitive Index (P2). Poverty Gap (P1) merupakan ukuran rata-rata ketimpangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap batas miskin. Semakin tinggi nilai indeks ini semakin besar rata-rata ketimpangan pengeluaran penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Distributionally Sensitive Index (P2) sampai batas tertentu dapat
22
memberikan gambaran mengenai penyebaran pendapatan di antara penduduk miskin, dan dapat juga digunakan untuk mengetahui intensitas kemiskinan. Garis kemiskinan dihitung dengan cara menjumlahkan biaya untuk memperoleh makanan dengan kandungan 2100 kalori per kapita per hari dan biaya untuk memperoleh bahan bukan makanan yang dianggap sebagai kebutuhan dasar seperti pakaian, perumahan, kesehatan, transportasi dan pendidikan. Ukuran kemiskinan lain yang sering digunakan adalah batas garis kemiskinan US$ 1 dan US$ 2 per kapita per hari.
Nilai tukar yang digunakan nilai tukar PPP
(Purchasing Power Parity). Nilai tukar PPP menunjukkan daya beli mata uang di suatu negara, untuk membeli barang dan jasa yang sama di negara lain. Garis kemiskinan nasional dengan menggunakan US$ PPP pada saat ini adalah sekitar US$ 1,25 per kapita per hari. Garis kemiskinan tersebut lebih tinggi dari batas kemiskinan US$ 1 per kapita per hari yang kerap digunakan lembaga-lembaga internasional (Kemeninfo, 2011). 2.1.4. Pembangunan Manusia Menurut Human Development Report (HDR) pembangunan manusia adalah suatu proses untuk memperbanyak pilihan yang dimiliki manusia. Pilihan yang terpenting adalah untuk berumur panjang dan sehat, memiliki ilmu pengetahuan dan akses terhadap sumber daya yang dibutuhkan untuk hidup secara layak. Pembangunan manusia juga mementingkan apa yang bisa dilakukan manusia dengan kemampuan yang dimilikinya seperti untuk bersenang-senang, melakukan kegiatan kreatif dan produktif atau untuk ikut serta dalam berbagai kegiatan budaya, sosial dan politik. Namun jika pilihan-pilihan dasar tidak tersedia, maka akses bagi peluang lainnya akan selalu tertutup. Pengukuran secara statistik dari pembangunan manusia kerap mengalami penyempurnaan karena konsep pembangunan manusia lebih mendalam dan kaya dari ukurannya (Ali, 2006). Saat ini sebagai ukuran kualitas hidup, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) disusun dari tiga dimensi dasar. Dimensi tersebut mencakup umur panjang dan sehat, pengetahuan dan kehidupan yang layak. Ketiga dimensi tersebut memiliki pengertian sangat luas karena terkait banyak faktor. Untuk mengukur dimensi kesehatan digunakan indikator Angka Harapan Hidup. Selanjutnya dimensi pengetahuan diukur dengan indikator angka melek
23
huruf dan Rata-rata Lama bersekolah. Adapun dimensi hidup layak diukur dengan indikator kemampuan daya beli (Purchasing Power Parity). Tabel 4
Komponen Penghitungan Indeks Pembangunan Manusia
Dimensi Indikator
Indeks
Umur Panjang dan Sehat Angka harapan hidup pada saat Lahir Indeks Harapan Hidup
Pengetahuan Angka Melek Huruf (Lit)
Rata-rata Lama Sekolah (MYS)
Indeks Pendidikan
Kehidupan yang Layak Pengeluaran per kapita riil yang disesuaikan (PPP Rupiah) Indeks Pendapatan
Sumber: BPS, 2008 UNDP membagi tingkatan status pembangunan manusia suatu wilayah ke dalam empat golongan yaitu rendah bila IPM kurang dari 50, sedang atau menengah dibedakan menjadi dua yaitu menengah bawah bila 50 ≤ IPM ≤ 66 dan menengah atas bila 66≤ IPM ≤ 80, serta tinggi bila IPM lebih dari 80. Pengukuran tingkat kemajuan pencapaian terhadap sasaran ideal IPM dihitung setiap tahun dalam suatu periode disebut reduksi short fall per tahun. Reduksi short fall dihitung dengan formula: 𝐼𝑃𝑀1 −𝐼𝑃𝑀0 𝐼𝑃𝑀 𝑟𝑒𝑓 −𝐼𝑃𝑀0
1
× 100
𝑡
(2.11)
dimana: IPM0 = IPM tahun dasar IPM1 = IPM tahun terakhir IPMref = IPM acuan atau ideal (100) t
= jumlah tahun dalam periode penghitungan
Terdapat empat tingkatan reduksi short fall yaitu sangat lambat (reduksi short fall< 1,3), lambat (1,3≤ reduksi short fall ≤ 1,5), menengah (1,5 < reduksi short fall ≤ 1,7) dan cepat (reduksi shortfall > 1,7). Semakin besar reduksi short fall per tahun maka semakin besar kemajuan pembangunan manusia yang dicapai wilayah tersebut dalam periode itu.
24
2.2. Tinjauan Empiris 2.2.1. Pertumbuhan Ekonomi dan Investasi Investasi merupakan salah satu komponen pendapatan yang akan menciptakan pertumbuhan ekonomi. Salah satu bentuk investasi yang memiliki dampak multiplier besar adalah infrastruktur. Nuraliyah (2011) meneliti pengaruh infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi di pulau Jawa dan luar pulau Jawa. Hasil yang diperoleh adalah pertumbuhan ekonomi mengurangi kemiskinan di pulau Jawa, namun sebaliknya di luar Jawa pertumbuhan ekonomi justru meningkatkan kemiskinan. Investasi infrastruktur yang memiliki pengaruh positif pada pertumbuhan ekonomi adalah listrik, air bersih dan kesehatan di pulau Jawa dan luar Jawa hanya infrastruktur listrik dan air bersih. Fakta yang di luar dugaan adalah bahwa infrastruktur jalan tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi di Jawa maupun luar Jawa. Sarana pengangkutan dan perhubungan memiliki peranan penting dalam pertumbuhan ekonomi. Perkembangan sarana tersebut menurunkan biaya angkut dan meningkatkan perdagangan, baik di dalam maupun luar negeri (Jhingan, 2008). Fan dan Hazell (2001) menyatakan pentingnya investasi infrastruktur dan pembentukan/akumulasi modal manusia bagi pengentasan kemiskinan. Penelitian dilakukan di negara India dan Cina dengan membandingkan dampak investasi publik pada wilayah yang potensial maupun yang kurang potensial bagi pertanian. Hasil yang diperoleh adalah investasi pada infrastruktur di perdesaan, teknologi pertanian dan modal manusia pada wilayah yang kurang potensial memiliki dampak yang lebih besar pada pengentasan kemiskinan jika dibandingkan pada wilayah yang potensial. Pertumbuhan ekonomi yang diharapkan dapat ditingkatkan tidak hanya melalui sumber sektor produksinya. Selain sumber daya alam, pendidikan dan kesehatan sangat menentukan kemampuan untuk menyerap dan mengelola sumber-sumber pertumbuhan ekonomi (Brata, 2002). Pendidikan pada dasarnya merupakan tabungan yang akan menyebabkan akumulasi modal manusia dan modal manusia adalah input bagi proses produksi. Untuk membangun modal manusia dibutuhkan investasi, terutama pada sektor pendidikan dan kesehatan. Investasi pada pendidikan dan kesehatan akan mendukung pertumbuhan ekonomi.
25
2.2.2. Pertumbuhan Ekonomi dan Pembangunan Manusia Manusia adalah agen aktif bagi semua proses produksi. Namun manusia bukan hanya berfungsi sebagai barang modal yang digunakan untuk memproduksi komoditas. Terlebih dari itu, manusia adalah tujuan akhir dan penerima manfaat dari seluruh proses produksi. Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi merupakan hal yang penting bagi pembangunan manusia. Pembangunan manusia membutuhkan investasi di pendidikan, kesehatan dan nutrisi. Hasilnya adalah masyarakat yang lebih sehat dan terdidik secara ekonomis mampu lebih produktif (UNDP, 1996). Menurut Ramirez et al. (2000) keterkaitan antara pertumbuhan ekonomi dengan pembangunan manusia tidak terjadi secara langsung. Rantai yang menghubungkan antara pertumbuhan ekonomi dan pembangunan manusia terbagi menjadi dua rantai yaitu dari pertumbuhan ekonomi terhadap pembangunan manusia dan sebaliknya dari pembangunan manusia terhadap pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi memengaruhi pembangunan manusia terutama melalui rumah tangga dan pemerintah. Rumah tangga memengaruhi pembangunan manusia melalui aktivitas dan pengeluarannya pada pembangunan manusia sedangkan pemerintah melalui berbagai kebijakan dan pengeluarannya. Pelaku ekonomi lainnya yang dianggap cukup berperan adalah civil society seperti organisasi masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat. Peran rumah tangga dalam pembangunan manusia adalah melalui bagaimana rumah tangga tersebut menggunakan pendapatannya. Pendapatan rumah tangga digunakan untuk membeli makanan, obat-obatan, buku sekolah dan hal lain yang berguna untuk meningkatkan kemampuan. Jika dibandingkan dengan rumah tangga yang memiliki pendapatan lebih tinggi, rumah tangga miskin membelanjakan proporsi pendapatan yang lebih besar untuk komoditas pembangunan manusia. Hal serupa juga terjadi jika perempuan memiliki peran yang lebih besar dalam mengelola keuangan rumah tangga tersebut. Jika pengeluaran dalam rumah tangga dikendalikan perempuan maka pola pengeluaran akan lebih besar dialokasikan pada input yang berhubungan dengan pembangunan manusia seperti makanan dan pendidikan (Ramirez, et al., 2000). Rae (1999) meneliti bahwa pendidikan perempuan berpengaruh kuat terhadap pola konsumsi makanan dalam rumah tangga. Rumah tangga dengan perempuan
26
(spouse) berpendidikan lebih tinggi, mengkonsumsi makanan dengan pola gizi yang lebih seimbang. Sedangkan untuk konsumsi pendidikan, jika pengeluaran dalam rumah tangga dikendalikan oleh perempuan maka tambahan pendapatan yang diperoleh rumah tangga akan dialokasikan untuk pendidikan anak-anak. Penelitian serupa yang meneliti hubungan timbal balik antara kinerja ekonomi dengan pembangunan manusia juga dilakukan oleh Ali (2006). Pembangunan manusia dalam penelitian ini hanya diindikasikan oleh variabel pendidikan. Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan simultan antara pendidikan dengan kinerja ekonomi. Variabel penjelas pada persamaan pembangunan manusia yaitu kinerja perekonomian, belanja sektor pendidikan dan distribusi pendapatan berpengaruh positif terhadap tingkat pendidikan penduduk. Sedangkan pada persamaan kinerja perekonomian, variabel tingkat pendidikan, pengeluaran
pemerintah,
keterbukaan
perekonomian
dan
investasi
fisik
berpengaruh positif terhadap kinerja perekonomian. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kinerja perekonomian berpengaruh secara positif terhadap tingkat pendidikan dan sebaliknya tingkat pendidikan berpengaruh secara positif terhadap kinerja perekonomian. Menurut penelitian Priyanto (2011) pada perekonomian provinsi Banten, faktor-faktor yang memengaruhi pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) adalah pendapatan (PDRB per kapita), pengeluaran pemerintah untuk pendidikan dan kesehatan, pendidikan kepala rumah tangga dan jumlah penduduk yang sakit. Dimana pendidikan kepala rumah tangga merupakan faktor yang paling dominan dalam meningkatkan pembangunan manusia di Banten. Stok modal manusia yang lebih tinggi, ditunjukkan dengan rasio antara modal manusia dan modal fisik, menciptakan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Hal ini dikarenakan modal manusia memungkinkan terjadinya penyerapan teknologi dari negara yang lebih maju. Li dan Liang (2010) meneliti dampak investasi pada pendidikan dan kesehatan terhadap pertumbuhan ekonomi negaranegara di Asia Timur10. Hasil yang diperoleh adalah investasi pada kesehatan memiliki dampak yang lebih besar terhadap pertumbuhan ekonomi jika dibandingkan dengan investasi pada pendidikan. Variabel yang digunakan adalah 10
Cina, Hongkong, Indonesia, Korea, Jepang, Malaysia, Filipina, Singapura, Taiwan dan Thailand.
27
investasi pada pendidikan dasar dengan proksi rasio murid terhadap guru pada pendidikan dasar, stok pendidikan dengan proksi rata-rata lama sekolah, modal kesehatan dengan proksi angka harapan hidup dan tingkat mortalitas dan variabel rasio investasi dengan proksi pangsa investasi terhadap PDB. Pemerintah berkontribusi dalam pertumbuhan ekonomi, selain itu aktivitas pemerintah juga dapat menambah sumber daya bagi pembangunan manusia. Kebijakan-kebijakan pemerintah dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang berpola pada penciptaan lapangan kerja, peningkatan upah riil dan peningkatan permintaan pasar pada modal manusia. Alokasi sumber daya untuk meningkatkan kualitas manusia merupakan fungsi dari pengeluaran pemerintah untuk sektor publik dan bagaimana pengeluaran ini disalurkan. Indikator yang dapat digunakan adalah: rasio pengeluaran sektor publik (proporsi pengeluaran pemerintah terhadap PDRB), rasio alokasi pembangunan manusia (proporsi pengeluaran pemerintah untuk pembangunan manusia terhadap pengeluaran pemerintah) dan rasio prioritas pembangunan manusia (proporsi pengeluaran pemerintah untuk sektor pembangunan manusia yang prioritas terhadap pengeluaran untuk pembangunan manusia). Sektor yang dianggap prioritas bervariasi antar negara tergantung pada tahap pembangunannya. Bagi negara berkembang seperti Indonesia, sektor yang dianggap prioritas adalah pendidikan dasar dan pelayanan kesehatan dasar. 2.2.3. Pertumbuhan Ekonomi dan Pengangguran Pengangguran adalah orang yang tidak bekerja sama sekali, sedang mencari kerja atau seseorang yang sedang berusaha mendapatkan pekerjaan. Pengangguran umumnya terjadi karena jumlah angkatan kerja tidak sebanding dengan jumlah lapangan pekerjaan yang mampu menyerapnya (BPS Provinsi Lampung,
2011e).
Pengangguran
seringkali
menjadi
masalah
dalam
perekonomian karena menyebabkan produktivitas dan pendapatan masyarakat berkurang dan dapat menimbulkan masalah kemiskinan. Penduduk yang menganggur
tidak
memperoleh
pendapatan
sehingga
harus
mengurangi
konsumsinya yang pada akhirnya menurunnya kualitas hidup. Pengangguran adalah masalah makroekonomi yang memengaruhi manusia secara langsung (Mankiw, 2006). Pengangguran yang berkepanjangan secara
28
pribadi akan menimbulkan efek psikologis dan secara nasional jika terlalu tinggi akan berpengaruh terhadap kestabilan politik, keamanan dan sosial. Secara jangka panjang, tingkat pengangguran yang terlalu tinggi pada akhirnya akan mengurangi pertumbuhan ekonomi. Masyarakat secara keseluruhan akan menderita kerugian akibat pengangguran karena output riil di bawah tingkat potensialnya. Secara umum pertumbuhan ekonomi akan melambat seiring dengan meningkatnya tingkat pengangguran. Hubungan negatif antara pertumbuhan ekonomi dengan tingkat pengangguran dikenal dengan nama Hukum Okun berdasarkan nama Artur Okun, ekonom yang pertama kali memperkenalkan relasi ini (Knotek, 2007). Hubungan antara pengangguran dan pertumbuhan ekonomi didasari fakta bahwa dibutuhkan tenaga kerja yang lebih banyak untuk memproduksi barang dan jasa yang lebih banyak dalam perekonomian. Tenaga kerja yang lebih banyak dapat berupa menggunakan tenaga kerja yang lebih banyak atau menambah jam kerja dengan jumlah tenaga kerja yang tersedia. Okun mengasumsikan bahwa tingkat pengangguran dapat menggambarkan berapa banyak tenaga kerja yang terpakai dalam suatu perekonomian. Masalah pengangguran juga menjadi beban pemerintah yang menjamin kesejahteraan rakyatnya berdasarkan UUD 1945. Pemerintah wajib mengatasi pengangguran dengan mengadakan berbagai program untuk menguranginya. Fan dan Hazell (2001) menyatakan bahwa peran pemerintah dapat berupa pemberdayaan masyarakat (di Indonesia dalam bentuk Program Nasional Pemberdayaan
Masyarakat)
yang
dapat
secara
langsung
mengurangi
pengangguran dan secara tidak langsung mengentaskan kemiskinan. 2.2.4. Pertumbuhan Ekonomi dan Distribusi Pendapatan Pada era 1950-1960an pembangunan ekonomi dikuasai oleh konsep trickle down effect. Konsep ini menyatakan bahwa akan terjadi aliran pertumbuhan ekonomi tidak langsung dari kelompok masyarakat kaya ke kelompok masyarakat miskin. Awalnya pertumbuhan ekonomi akan menyentuh kelompok kaya, dan kemudian kelompok miskin akan memperoleh manfaat dari kelompok kaya ketika mereka membelanjakan uangnya. Hal ini berarti masyarakat miskin akan selalu mendapatkan lebih sedikit dari masyarakat kaya. Asumsi yang digunakan dalam
29
konsep ini adalah meskipun masyarakat miskin hanya mendapatkan sedikit manfaat dari pertumbuhan ekonomi namun pengurangan kemiskinan tetap ada. Salah satu ukuran ketimpangan pendapatan adalah indeks gini. Indeks gini memiliki nilai antara nol dan satu. Nilai indeks Gini nol berarti tidak terdapat ketimpangan (pemerataan sempurna) sedangkan nilai satu artinya ketimpangan sempurna. Indeks Gini dapat dihitung dengan kurva Lorenz, sebagai rasio antara luas bidang yang terletak antara kurva Lorenz dan garis diagonal dengan luas separuh segi empat dimana kurva Lorenz berada (lihat Gambar 5). 𝐿𝑢𝑎𝑠 𝐵𝑖𝑑𝑎𝑛𝑔 𝐴
𝐼𝑛𝑑𝑒𝑘𝑠 𝐺𝑖𝑛𝑖 = 𝐿𝑢𝑎𝑠 𝐵𝑖𝑑𝑎𝑛𝑔
𝐵𝐶𝐷
(2.12)
Sumber: Todaro dan Smith, 2006 Gambar 5 Kurva Lorenz Menurut Todaro dan Smith (2006) nilai indeks Gini pada negara-negara dengan ketimpangan yang tinggi berkisar antara 0,5-0,7 sedangkan untuk negara yang distribusinya pendapatannya relatif merata nilainya antara 0,2 hingga 0,35. Interpretasi melalui kurva Lorenz relatif lebih mudah. Jika kurva Lorenz terletak menjauhi garis diagonal berarti ketimpangan besar dan sebaliknya jika mendekati garis diagonal maka distribusi pendapatannya relatif merata (ketimpangan semakin kecil). Todaro dan Smith (2006) menyatakan bahwa distribusi pendapatan yang timpang terutama yang ekstrim akan menyebabkan inefisiensi ekonomi, melemahkan stabilitas sosial dan solidaritas dan umumnya dianggap tidak adil. Kuznets (1955) seperti dikutip dalam Suhartini (2011) meneliti hubungan antara
30
pertumbuhan ekonomi dengan ketimpangan pendapatan. Hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan pendapatan membentuk kurva U terbalik (inverted U curve). Asumsi yang digunakan adalah hanya terdapat dua sektor ekonomi dalam suatu negara, yaitu sektor pertanian tradisional di perdesaan dengan pendapatan per kapita dan ketidakmerataan pendapatan yang rendah, dan sektor moderen (sektor industri dan jasa) di perkotaan dengan pendapatan per kapita dan ketidakmerataan pendapatan yang tinggi. Berdasarkan hipotesis Kuznets ketimpangan pendapatan dalam suatu negara akan meningkat pada tahap awal pertumbuhan ekonominya, kemudian pada tahap menengah cenderung tidak berubah dan akhirnya ketimpangan pendapatan menurun ketika negara tersebut sejahtera. Ketimpangan pendapatan yang besar pada tahap awal pertumbuhan ekonomi disebabkan oleh perubahan dari masyarakat pertanian tradisional menjadi masyarakat industri.
Sumber : Todaro dan Smith (2006) Gambar 6 Kurva U terbalik Kuznets 2.2.5. Pertumbuhan Ekonomi dan Pengentasan Kemiskinan Berdasarkan berbagai studi literatur terdapat berbagai faktor yang berpengaruh terhadap pengentasan kemiskinan. Beberapa yang diteliti dalam studi ini adalah pembangunan manusia, pengangguran, distribusi pendapatan dan tingkat harga. 2.2.5.1. Pembangunan Manusia Manfaat secara ekonomis dari pembangunan manusia adalah menciptakan tenaga kerja, terutama yang miskin, menjadi lebih produktif terutama dengan
31
meningkatkan nutrisi, kesehatan dan pendidikannya. Pendidikan dan kesehatan menentukan kemampuan mengelola sumber-sumber pertumbuhan ekonomi. Tenaga kerja dengan kualitas manusia yang baik akan lebih produktif dan mampu memperoleh pendapatan bagi keluarganya, meningkatkan kesejahteraan dan mengurangi kemiskinan. Lanjouw et al. (2001) meneliti peran pembangunan manusia bagi pengentasan kemiskinan. Pembangunan manusia yang diindikasikan oleh pengeluaran pemerintah bagi pendidikan dan kesehatan memberikan manfaat terbesar bagi penduduk miskin jika dibandingkan dengan manfaatnya bagi penduduk yang tidak miskin. Pengeluaran pemerintah untuk pendidikan dasar dan pelayanan kesehatan dasar bersifat pro poor sementara pengeluaran pemerintah bagi pendidikan tinggi dan rumah sakit (pelayanan kesehatan yang bersifat kuratif) tidak terlalu memberi manfaat bagi penduduk miskin. 2.2.5.2. Pengangguran Pengangguran merupakan hal yang buruk. Buruk bagi yang mengalaminya juga bagi keluarga dan komunitas tempat tinggalnya. Penelitian Saunders (2002) menyatakan bahwa pengangguran dapat ditelaah dalam dua arah, pertama sebagai sebab dari berbagai faktor dan kedua sebagai penyebab dari masalah kesejahteraan lainnya yakni kemiskinan dan ketimpangan pendapatan. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa terdapat bukti yang kuat bahwa pengangguran meningkatkan risiko terjadinya kemiskinan. Selain itu pengangguran juga meningkatkan berbagai efek sosial yang melemahkan pribadi penganggur itu sendiri, keluarganya dan komunitas dimana ia tinggal. 2.2.5.3. Distribusi Pendapatan Distribusi pendapatan merupakan hal yang penting karena menggambarkan bagaimana masyarakat miskin terhubung dengan proses pertumbuhan (Timmer, 2002). Pertumbuhan ekonomi disebut sebagai pro poor jika tingkat kemiskinan berkurang (Kraay, 2006). Berdasarkan definisi ini maka terdapat tiga sumber potensial dari pro poor growth, yaitu: Pertumbuhan rata-rata pendapatan yang tinggi. Tingkat kemiskinan memiliki sensitifitas yang tinggi terhadap rata-rata pendapatan.
32 Terdapatnya pola pengurangan kemiskinan akibat pertumbuhan dalam pendapatan relatif. Perubahan dalam distribusi pendapatan dapat disebabkan oleh efek pertumbuhan (growth
effect) dan efek distribusi
(distributional effect)
(Bourguignon, 2004). Efek pertumbuhan adalah efek dari peningkatan pendapatan secara proposional dengan distribusi relatif pendapatan tidak berubah sedangkan efek distribusi adalah efek dari perubahan dalam distribusi pendapatan relatif. Perubahan distribusi pendapatan akan memiliki pengaruh terhadap jumlah penduduk miskin. Distribusi penduduk digambarkan menurut pendapatannya dalam kurva distribusi pendapatan. Penduduk dengan pendapatan dibawah garis kemiskinan disebut sebagai penduduk miskin, sedangkan yang berada di atas garis kemiskinan disebut penduduk tidak miskin. Jika terjadi peningkatan pendapatan seluruh lapisan masyarakat dengan distribusi tetap maka bentuk kurva akan tetap namun kurva bergeser ke kanan. Jumlah penduduk miskin berkurang dan besarnya penurunan jumlah penduduk miskin ditandai dengan area berwarna hijau. Jika distribusi pendapatan berubah menjadi lebih merata dengan tingkat pendapatan tetap, berarti distribusi pendapatan menjadi menyempit, sehingga penduduk yang termasuk kategori miskin berkurang. Jumlah penduduk miskin yang berkurang seluas area berwarna biru. Jika peningkatan pendapatan dan perbaikan distribusi pendapatan secara bersama-sama terjadi maka akan menggeser kurva distribusi pendapatan ke kanan sekaligus menyempit. Hal ini akan mengurangi kemiskinan sebesar daerah hijau dan biru, sehingga penduduk miskin yang tersisa adalah area yang berwarna merah (lihat Gambar 7)
33
Sumber: Bourguignon (2004) Gambar 7 Perubahan kemiskinan karena efek distribusi dan efek pendapatan. Bourguignon
(2004)
menyatakan
bahwa
perubahan
kemiskinan
merupakan fungsi dari pertumbuhan ekonomi, distribusi pendapatan dan perubahan dalam distribusi pendapatan. Pengentasan kemiskinan dapat dilakukan dengan melakukan perubahan pada distribusi pendapatan atau dapat juga dengan meningkatkan
level
pendapatan
(mendorong
pertumbuhan).
Strategi
pembangunan sepenuhnya ditentukan oleh tingkat pertumbuhan dan perubahan distribusi pendapatan dalam populasi. Dengan melakukan redistribusi pendapatan maka kelompok masyarakat dengan pendapatan yang lebih rendah akan mendapatkan tambahan pendapatan sehingga bisa memenuhi kebutuhan dasarnya dan terbebas dari kemiskinan. Sedangkan dengan meningkatkan tingkat pendapatan, secara rata-rata pendapatan masyarakat naik. Kenaikan pendapatan akan meningkatkan taraf hidup dan mengentaskan kemiskinan. Hubungan diantara pertumbuhan ekonomi, distribusi pendapatan dan pengentasan kemiskinan digambarkan Bourguignon seperti pada Gambar 8.
34
Sumber: Bourguignon (2004) Gambar 8 Segitiga kemiskinan, pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan Pendapatan 2.2.5.4. Tingkat Harga Tingkat harga dan perubahannya memengaruhi tingkat kemiskinan. Tingkat harga yang meningkat akan meningkatkan biaya hidup yang ditanggung masyarakat miskin. Kenaikan harga menjadi guncangan yang dapat menyebabkan masyarakat yang berada disekitar garis kemiskinan jatuh menjadi masyarakat miskin. Easterly dan Fischer (2000) meneliti lebih dari 30 ribu penduduk miskin dari 38 negara menemukan fakta bahwa penduduk miskin mengalami penderitaan lebih dalam akibat kenaikan harga jika dibandingkan dengan penduduk yang tidak miskin. Penduduk miskin yang terdiri atas berbagai dimensi yaitu pekerja kasar dan pekerja yang tidak terdidik merasakan bahwa peningkatan harga akan memperburuk kesejahteraan mereka. Peningkatan harga (inflasi) yang tinggi terbukti secara signifikan menyebabkan peningkatan kemiskinan. Proses kenaikan dalam keseluruhan tingkat harga disebut sebagai inflasi (Mankiw, 2006). Inflasi adalah indikator yang mampu menggambarkan gejolak ekonomi yang terjadi terutama pada tingkat harga. Tingkat harga merupakan ukuran yang didefinisikan oleh berbagai macam indikator. Dalam makroekonomi terdapat dua macam indikator yang menggambarkan tingkat harga yaitu deflator PDB dan indeks harga konsumen. PDB (output) secara nominal dapat mengalami peningkatan akibat peningkatan output rill atau kenaikan harga. Jika output nominal meningkat lebih cepat dari output riil, maka perbedaan yang terjadi berasal dari perubahan (kenaikan) tingkat harga (Blanchard, 2006). Tingkat (indeks) harga tersebut adalah deflator PDB, merupakan rasio antara output nominal dengan output riil pada tahun yang sama.
35
𝐷𝑒𝑓𝑙𝑎𝑡𝑜𝑟 𝑃𝐷𝐵 = 𝑃𝑡 =
𝑃𝐷𝐵 𝑁𝑜𝑚𝑖𝑛𝑎𝑙 𝑡 𝑃𝐷𝐵 𝑅𝑖𝑖𝑙 𝑡
(2.13)
Deflator PDB diinterpretasikan sebagai indeks harga sedangkan tingkat perubahan indeks harga antar waktu digunakan sebagai salah satu pendekatan tingkat inflasi. 𝑖𝑛𝑓𝑙𝑎𝑠𝑖 = 𝜋𝑡 =
𝑃𝑡 −𝑃𝑡−1 𝑃𝑡−1
(2.14)
Penelitian ini menggunakan deflator PDB sebagai pendekatan tingkat harga. Inflasi di Provinsi Lampung hanya dihitung pada satu kota yakni Bandar Lampung. Keterbatasan data tersebut diatasi dengan menggunakan deflator PDB sebagai pendekatan tingkat harga dan perubahannya sebagai pendekatan inflasi. 2.3. Kerangka Pemikiran Produksi barang dan jasa menggunakan input kapital dan tenaga kerja. Kapital dan akumulasi kapital (investasi) berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Investasi (kapital) tersebut diharapkan berperan dalam mengurangi kemiskinan melalui channel pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi dapat mengentaskan kemiskinan secara tidak langsung yaitu melalui pembangunan manusia, pengurangan pengangguran dan pemerataan pendapatan. Pembangunan manusia dapat terjadi jika pelaku ekonomi mengalokasikan pengeluarannya untuk berbagai investasi pembangunan manusia yaitu pendidikan dan kesehatan. Rumah tangga melalui konsumsinya sedangkan pemerintah melalui alokasi anggarannya. Pembangunan manusia tersebut pada akhirnya akan menciptakan tenaga kerja yang lebih produktif dan diharapkan meningkatkan kesejahteraannya dan pada akhirnya mengurangi kemiskinan. Pengangguran menjadi sebab terjadinya kemiskinan. Penganggur tidak memiliki pendapatan sehingga terpaksa mengurangi pengeluaran dan kualitas hidupnya sehingga tercipta kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi diharapkan mengurangi pengangguran, karena pertumbuhan ekonomi yang semakin tinggi membutuhkan lebih banyak tenaga kerja untuk memproduksi barang dan jasa sehingga mengurangi pengangguran. Pengurangan pengangguran diduga dapat mengentaskan kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat bila terdistribusi secara merata. Pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan pertanian diduga akan membuat pendapatan semakin terdistribusi
36
merata sehingga meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pada akhirnya mengentaskan kemiskinan. Berdasarkan tinjauan pustaka tersebut maka kerangka pikir dalam penelitian ini seperti ditampilkan dalam Gambar 9.
Gambar 9 Kerangka pemikiran. Keterangan:
= dianalisis dalam penelitian ini = Tidak dianalisis dalam penelitian ini
2.4. Hipotesis Penelitian Hipotesis yang disusun dalam penelitian ini adalah: 1. Investasi berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi. 2. Pertumbuhan ekonomi berpengaruh positif terhadap pembangunan manusia. 3. Pertumbuhan ekonomi berpengaruh positif terhadap pemerataan distribusi pendapatan. 4. Pertumbuhan
ekonomi
berpengaruh
positif
terhadap
pengurangan
pengangguran. 5. Pembangunan manusia, pemerataan distribusi pendapatan dan pengurangan pengangguran berpengaruh positif terhadap pengentasan kemiskinan
III.
METODE PENELITIAN
3.1. Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang berasal dari berbagai lembaga pemerintah seperti Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dan Kementrian Keuangan Republik Indonesia (Kemenkeu). Data yang digunakan antara lain PDRB Provinsi Lampung, PDRB kabupaten/kota se-Provinsi Lampung, Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) dan data Potensi Desa (PODES). Data APBD didapat dari Kementrian Keuangan Republik Indonesia sedangkan data investasi swasta diperoleh melalui BKPM. Periode yang diteliti mulai tahun 2004 hingga 2010. Data PDRB yang digunakan berdasarkan hasil perhitungan BPS yang diterbitkan dalam berbagai publikasi. Nilai PDRB yang digunakan dalam berbagai perhitungan meliputi PDRB yang memasukkan unsur minyak dan gas bumi (migas) dan tanpa memasukkan unsur migas. PDRB juga ditampilkan dengan membedakan menjadi PDRB atas dasar harga berlaku dan PDRB atas dasar harga konstan tahun 2000. Data konsumsi rumah tangga dikumpulkan oleh BPS setiap tahun melalui SUSENAS Kor dan setiap tiga tahun sekali melalui SUSENAS Modul Konsumsi. Pendapatan rumah tangga dihitung melalui pendekatan pengeluaran, yang dianggap
lebih
mencerminkan
keadaan
sebenarnya.
Dalam
Program
Penanggulangan Kemiskinan Kabinet Indonesia Bersatu II (Kemeninfo, 2011) pemerintah
menyatakan
beberapa
alasan
mengapa
pengeluaran/konsumsi
merupakan indikator yang lebih baik untuk mengukur kemiskinan, yaitu karena: 1. Bagi masyarakat miskin yang tidak memiliki pendapatan tetap, lebih mudah menanyakan jenis barang (termasuk makanan) dan jasa yang telah dikonsumsi atau dibelanjakannya. 2. Lebih mudah mengkonversi jenis makanan yang dikonsumsi menjadi tingkat kalori yang dikonsumsi. Informasi mengenai tingkat kalori yang dikonsumsi menjadi penting karena tingkat kemiskinan dihubungkan dengan seberapa besar kalori yang dikonsumsi. Batas kemiskinan adalah terpenuhinya kebutuhan dasar makanan minimal yaitu 2100 kalori per orang.
37
38
3. Dalam jangka menengah, tingkat pendapatan penduduk miskin akan sama dengan tingkat konsumsinya. Hal ini dikarenakan penduduk miskin tidak mempunyai kelebihan pendapatan yang dapat ditabung. 3.2. Metode Analisis 3.2.1. Analisis Deskriptif Analisis deskriptif merupakan bentuk analisis sederhana yang bertujuan mendeskripsikan melalui berbagai tabel dan grafik. Analisis deskriptif dalam penelitian ini digunakan untuk melihat dinamika pertumbuhan ekonomi, pembangunan manusia dan pengentasan kemiskinan di Provinsi Lampung selama periode penelitian. 3.2.2. Analisis Regresi Data Panel Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data panel pada level kabupaten. Data panel adalah data yang memiliki dimensi ruang (individu) dan waktu (Gujarati, 2004). Dalam data panel, data cross section yang sama diobservasi menurut waktu. Baltagi (2005) mengungkapkan bahwa penggunaan data panel memberikan banyak keuntungan, diantaranya sebagai berikut: 1.
Mampu mengontrol heterogenitas individu. Estimasi yang dilakukan dapat secara eksplisit memasukkan unsur heterogenitas individu.
2.
Dapat memberikan data yang informatif, mengurangi kolinearitas antar peubah, meningkatkan derajat bebas dan lebih efisien.
3.
Lebih baik untuk studi dynamics of adjustment. Karena berkaitan dengan observasi cross section yang berulang, maka data panel lebih baik dalam mempelajari perubahan dinamis.
4.
Lebih baik dalam mengidentifikasi dan mengukur efek yang secara sederhana tidak dapat diatasi dalam data cross section saja atau data time series saja.
Selain manfaat yang diperoleh, metode data panel juga memiliki keterbatasan di antaranya adalah: 1. Masalah dalam desain survei panel, pengumpulan dan manajemen data. Masalah
yang umum
dihadapi diantaranya: cakupan (coverage),
nonresponse, kemampuan daya ingat responden (recall), frekuensi dan waktu wawancara.
39
2. Distorsi kesalahan pengamatan (measurement errors). Measurement errors umumnya terjadi karena respon yang tidak sesuai. 3. Masalah selektivitas (selectivity) yang mencakup hal-hal berikut: a. Self-selectivity: Permasalahan yang muncul karena data-data yang dikumpulkan
untuk
suatu
penelitian
tidak
sepenuhnya
dapat
menangkap fenomena yang ada. b. Nonresponse: Permasalahan yang muncul dalam panel data ketika ada ketidaklengkapan jawaban yang diberikan oleh responden (sampel rumah tangga). c. Attrition: Jumlah responden yang cenderung berkurang pada survei lanjutan yang biasanya terjadi karena responden pindah, meninggal dunia atau biaya menemukan responden yang terlalu tinggi 4. Dimensi waktu (time series) yang pendek. Jenis panel mikro biasanya mencakup data tahunan yang relatif pendek untuk setiap individu. 5. Cross-section dependence: Adanya ketergantungan dalam data cross section dapat memberikan inferensi yang salah. Sebagai contoh, apabila macro panel dengan unit analisis negara atau wilayah dengan deret waktu yang panjang mengabaikan cross-country dependence akan mengakibatkan inferensi yang salah (misleading inference). Terdapat dua pendekatan yang umum diaplikasikan dalam data panel yaitu Fixed Effects Model (FEM) dan Random Effects Model (REM). Keduanya dibedakan berdasarkan pada asumsi ada atau tidaknya korelasi antara komponen error dengan peubah bebas (Firdaus, 2011). a. Fixed Effect Model (FEM) Pada model FEM, terdapat pola yang tidak acak atau korelasi antara efek individu dan peubah penjelas dengan Xit sehingga komponen error dari efek individu dan waktu dapat menjadi bagian dari intersep. Pada pendekatan one way error component, komponen error hanya terdiri dari efek individu sedangkan pada two way error component, selain efek individu juga terdapat efek waktu. Penduga pada FEM dapat dihitung dengan beberapa teknik sebagai berikut: 1.
Pooled Least Square (PLS), pendekatan ini mengggunakan gabungan seluruh data (pooled) atau menggabungkan data cross section dan time series murni.
40
Unit observasi yang terbentuk adalah NxT observasi, dimana N menunjukkan jumlah unit cross section dan T menunjukkan jumlah series yang digunakan. Ketika data digabungkan menjadi pool data, regresi yang dihasilkan cenderung lebih baik dibandingkan regresi yang menggunakan data cross section atau time series murni. Pendekatan ini memiliki kelemahan yaitu dugaan parameter akan bias, karena variasi atau perbedaan antara individu dan waktu tidak dapat terlihat. 2.
Within Group (WG), pendekatan ini digunakan untuk mengatasi masalah bias pada PLS. Teknik yang digunakan adalah dengan menggunakan data deviasi dari rata-rata individu. Kelebihan dari WG adalah dapat menghasilkan parameter yang tidak bias namun
kelemahannya adalah nilai varian
parameter tersebut relatif lebih besar dari parameter PLS sehingga dugaan WG relatif lebih tidak efisien. Kelemahan lainnya adalah FEM dengan pendekatan WG tidak memiliki intersep sehingga tidak mengakomodir karakteristik time-invariant pada FEM. 3.
Least Square Dummy Variable (LSDV), pendekatan ini menggunakan dummy variable untuk dapat merepresentasikan perbedaan intersep. 𝑦𝑖𝑡 = 𝛼𝑖 + 𝑥′𝑖𝑡 𝛽 + 𝑢𝑖𝑡 ; i=1,...., N; t=1,...., T dimana 𝑢𝑖𝑡 = 𝜇𝑖 + 𝑣𝑖𝑡 untuk one way error component dan 𝑢𝑖𝑡 = 𝜇𝑖 + 𝜆𝑡 + 𝑣𝑖𝑡 untuk two way error component dimana 𝜇𝑖 adalah efek individu 𝜆𝑡 adalah efek waktu dan 𝑣𝑖𝑡 adalah error. Kelebihan dari pendekatan LSDV adalah dapat menghasilkan dugaan parameter yang tidak bias dan efisien namun kelemahannya adalah jika jumlah unit observasinya besar maka terlihat cumbersome.
b. Random Effects Model (REM) REM digunakan ketika efek individu dan efek waktu tidak berkorelasi dengan 𝑋𝑖𝑡 . Asumsi ini membuat komponen error dari efek individu dan waktu dimasukkan ke dalam error. Model umum yang digunakan untuk one way error component adalah 𝑦𝑖𝑡 = 𝛼𝑖 + 𝑋𝑖𝑡 𝛽 + 𝑢𝑖𝑡 + 𝜆𝑖 sedangkan untuk two way error component 𝑦𝑖𝑡 = 𝛼𝑖 + 𝑋𝑖𝑡 𝛽 + 𝑢𝑖𝑡 + 𝜆𝑖 + 𝜇𝑡 .
41
3.2.3. Pemilihan Model (Hausman Test) Pemilihan model yang digunakan dalam sebuah penelitian perlu dilakukan berdasarkan pertimbangan statistik. Dalam memilih apakah fixed atau random effects yang lebih baik, dilakukan pengujian terhadap asumsi ada tidaknya korelasi antara regresor dan efek individu. Untuk menguji asumsi ini dapat digunakan uji Hausman. Hipotesis yang diuji adalah sebagai berikut: H0: E(τi | xit) = 0 atau REM adalah model yang tepat H1: E(τi | xit) ≠ 0 atau FEM adalah model yang tepat Nilai statistik uji Hausman dibandingkan dengan nilai statistik Chi square. Stastistik Hausman dirumuskan dengan : 𝐻 = 𝛽𝑅𝐸𝑀 − 𝛽𝐹𝐸𝑀
′
𝑀𝐹𝐸𝑀 − 𝑀𝑅𝐸𝑀
−1
(𝛽𝑅𝐸𝑀 − 𝛽𝐹𝐸𝑀 )~𝜒 2 (𝑘)
dimana M adalah matriks kovarian untuk parameter 𝛽 dan k adalah derajat bebas. Jika nilai H lebih besar dari χ2
tabel, maka cukup bukti untuk melakukan
penolakan terhadap H0 sehingga model yang digunakan adalah model fixed effect, begitu juga sebaliknya. 3.2.4. Persamaan Simultan Model ekonometrika yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah model persamaan simultan. Model persamaan simultan adalah suatu model ekonometrika terdiri dari beberapa persamaan yang perilaku variabel-variabelnya saling berkaitan dan ditentukan secara bersamaan. Alasan pemilihan metode tersebut mengacu pada tujuan penelitian yang ingin melihat pengaruh investasi terhadap kemiskinan. Investasi tidak berpengaruh secara langsung terhadap kemiskinan tetapi berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi tersebut berpengaruh terhadap berbagai faktor yang memengaruhi tingkat kemiskinan. Persamaan simultan adalah suatu himpunan persamaan dimana variabel tak bebas dalam satu atau lebih persamaan merupakan variabel bebas dalam persamaan lainnya. Jika suatu variabel memiliki dua peranan sekaligus maka istilah variabel bebas dan tidak bebas sudah tidak tepat lagi. Dalam persamaan simultan istilah yang digunakan adalah variabel endogen dan variabel predetermined. Variabel endogen adalah variabel yang nilai-nilainya ditentukan dalam model sedangkan variabel predetermined adalah variabel yang nilainya
42
ditentukan terlebih dahulu. Variabel predetermined terdiri atas variabel eksogen, yaitu variabel yang nilainya sepenuhnya ditentukan di luar model persamaan dan variabel lagged endogen yaitu variabel yang nilainya ditentukan di dalam sistem persamaan struktural namun berdasarkan nilai yang telah lalu (Juanda, 2009). Untuk menentukan metode yang akan digunakan dalam pendugaan parameter, suatu sistem persamaan harus diidentifikasi terlebih dahulu. Identifikasi model dilakukan dengan rumusan: 𝐾 − 𝑀 ≥ (𝐺 − 1)
(3.1)
dimana: K
= total peubah dalam model (peubah endogen dan peubah eksogen)
M
= jumlah peubah endogen dan eksogen yang dimasukkan dalam suatu persamaan tertentu dalam model
G
= banyaknya persamaan. Kriteria identifikasi model dapat dinyatakan sebagai berikut:
1. Jika
𝐾 − 𝑀 = (𝐺 − 1), maka persamaan dalam model dinyatakan
teridentifikasi secara tepat. 2. Jika 𝐾 − 𝑀 < (𝐺 − 1), maka persamaan dalam model tidak teridentifikasi. 3. Jika
𝐾 − 𝑀 > (𝐺 − 1), maka persamaan dalam model dinyatakan
teridentifikasi berlebih. 3.2.5. Pengujian Parameter Model 1. Uji F Uji F diperuntukkan melakukan uji hipotesis koefisien (slope) regresi secara bersamaan. Hipotesis pada uji F adalah: H0: β1= β2= β3=….= βk H1: Setidaknya terdapat satu slope yang ≠ 0 (k adalah banyaknya variabel bebas). Jika nilai statistik uji F memiliki probabilitas < taraf nyata, maka H0 ditolak. Hal ini berarti minimal terdapat satu variabel bebas yang berpengaruh nyata terhadap variabel terikat, dan berlaku sebaliknya. 2. Uji-t Setelah melakukan uji koefisien regresi secara keseluruhan, maka langkah selanjutnya adalah menghitung koefisien regresi secara individu dengan menggunakan uji-t. Hipotesis pada uji t adalah:
43 H0: βj = 0 H1: βj ≠ 0 dimana j=1,2,3….k (k adalah banyaknya variabel bebas) Nilai statistik uji t dibandingkan dengan t-tabel. Jika t-hitung > t-tabel maka H0 ditolak yang berarti variabel bebas ke-j secara nyata berpengaruh terhadap variabel terikat. 3. Koefisien Determinasi (R2) Koefisien determinasi (goodnes of fit) merupakan ukuran yang dapat menginformasikan baik atau tidaknya model regresi yang terestimasi karena mampu mengukur seberapa dekatkah garis regresi yang terestimasi dengan data sesungguhnya. Nilai R2 mencerminkan seberapa besar variasi dari peubah terikat Y yang dapat diterangkan oleh variabel bebas X. Determinasi sama dengan nol (R2=0) berarti variasi Y tidak dapat diterangkan oleh X sama sekali dan jika R 2=1 maka variasi Y secara keseluruhan dapat diterangkan oleh X. 3.2.5. Pengujian Asumsi Setelah terpilih model regresi panel terbaik, langkah selanjutnya adalah melakukan uji asumsi. Uji asumsi dilakukan untuk memenuhi persyaratan sebuah model yang akan digunakan. Uji asumsi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah uji heteroskedastisitas dan uji autokorelasi. 1. Uji Heteroskedastisitas Salah satu asumsi yang harus dipenuhi agar dugaan parameter dalam model regresi bersifat BLUE (Best Linear Unbiased Estimated) adalah varian dari semua komponen error (uit) bernilai sama atau konstan. Kondisi demikian disebut sebagai homoskedastis. Sedangkan bila varian tidak konstan atau berubah-ubah disebut dengan heteroskedastis. Heteroskedastisitas menyebabkan uji hipotesis baik uji-t atau uji-F akan memberikan kesimpulan yang tidak akurat. Untuk mendeteksi heteroskedastisitas dapat dilakukan dengan metode generalized least square yaitu dengan membandingkan sum square residual pada weighted statistics dengan sum square residual pada unweighted statistics. Jika sum square residual pada weighted statistics lebih kecil dari sum square residual pada unweighted statistics, maka terjadi heteroskedastisitas.
44
2. Uji Autokorelasi Autokorelasi terjadi jika terdapat korelasi antar observasi dalam satu peubah atau terdapat korelasi antar error masa lalu dengan error masa yang akan datang. Autokorelasi yang kuat dapat menyebabkan variabel yang tidak berhubungan menjadi berhubungan. Bila metode OLS digunakan, maka akan terlihat koefisien signifikansi, atau R2 yang besar. Pengujian ada tidaknya autokorelasi dalam model dapat dilakukan dengan uji Durbin Watson. Statistik Durbin-Watson (DW) didefinisikan sebagai berikut: 𝐷𝑊 =
𝑛 𝑡=2
𝑢 𝑡 −𝑢 𝑡−1
2
𝑛 𝑢2 𝑡=1 𝑡
(3.2)
Nilai statistik DW dibandingkan dengan nilai DW tabel. Adapun kerangka identifikasi autokorelasi terangkum dalam Tabel 5. Tabel 5
Kerangka identifikasi autokorelasi Nilai DW 4-dl < DW < 4 4-du < DW < 4 2 < DW < 4-du du < DW < 2 dl < DW < du 0 < DW < dl
Hasil Terdapat korelasi serial negatif Hasil tidak dapat ditentukan Tidak terdapat korelasi serial Tidak terdapat korelasi serial Hasil tidak dapat ditentukan Terdapat korelasi serial positif
Sumber: Gujarati, 2004 3.3. Spesifikasi Model Terdapat lima persamaan dalam penelitian ini yaitu persamaan yang menghubungkan investasi dengan pertumbuhan ekonomi, persamaan kedua menghubungkan antara pembangunan manusia dengan pertumbuhan ekonomi, persamaan
ketiga
yang menghubungkan pertumbuhan ekonomi
dengan
pengangguran, persamaan keempat yang menghubungkan pertumbuhan ekonomi dengan distribusi pendapatan dan model terakhir yang menghubungkan pembangunan manusia, pengangguran, distribusi pendapatan dengan kemiskinan. Spesifikasi model yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Model Pertumbuhan Pendapatan Perkapita Persamaan pertama merupakan pengembangan dari fungsi produksi CobbDouglas 𝑌 = 𝐴𝐾 𝛼 𝐿1−𝛼 dimana A adalah teknologi, K adalah kapital dan L adalah tenaga kerja. Pertumbuhan pendapatan perkapita merupakan fungsi dari
45
perubahan investasi swasta, perubahan stok kapital/investasi (infrastruktur jalan, dan fasilitas kesehatan), perubahan modal manusia (rasio murid guru pada pendidikan dasar) dan perubahan jumlah tenaga kerja (dibagi menjadi terdidik dan tidak terdidik). 𝑇𝑈𝑀𝐵𝑈𝐻𝐾𝐴𝑃𝑖𝑡 = 𝛼0 + 𝛼1 𝐿𝑁_𝐼𝑁𝑉𝐸𝑆𝑇𝑖𝑡 + 𝛼2 𝐿𝑁_𝐽𝐿𝑁𝑖𝑡 + 𝛼3 𝐿𝑁_𝑆𝐸𝐻𝐴𝑇𝑖𝑡 + 𝛼4 𝐿𝑁_𝐷𝐼𝐾𝑆𝐴𝑅𝑖𝑡 + 𝛼5 𝐿𝑁_𝑇𝐾𝑈𝑁𝑆𝐾𝐼𝐿𝐿𝑖𝑡 + 𝛼6 𝐿𝑁_𝑇𝐾𝑆𝐾𝐼𝐿𝐿𝑖𝑡 (3.3) 2. Model Pembangunan Manusia Persamaan kedua merupakan persamaan yang menghubungkan antara pertumbuhan ekonomi dengan pembangunan manusia, merupakan pengembangan model berdasarkan Ramirez et al. (2000) dan Priyanto (2011) yang menghubungkan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan manusia berdasarkan konsumsi rumah tangga dan pemerintah. Konsumsi rumah tangga ditentukan oleh pengelola keuangan rumah tangga dan bagaimana ia mengelola konsumsi ditentukan oleh tingkat pendidikannya (Rae, 1999). Konsumsi pemerintah yang memengaruhi pembangunan manusia adalah seberapa besar porsi yang digunakan untuk pendidikan dan kesehatan, dalam penelitian ini variabel yang digunakan adalah persentase pengeluaran pemerintah untuk pendidikan dan kesehatan. Sehingga persamaan ketiga adalah sebagai berikut: 𝐼𝑃𝑀𝑖𝑡 = 𝛽0 + 𝛽1 𝑇𝑈𝑀𝐵𝑈𝐻𝐾𝐴𝑃𝑖(𝑡−1) + 𝛽1 𝑃𝐸𝑀𝑖(𝑡−1) + 𝛽2 𝑆𝑃𝑂𝑈𝑆𝐸𝑆𝐿𝑇𝑃𝑖𝑡 (3.4) 3. Model Pengangguran Berdasarkan hukum Okun, pertumbuhan ekonomi akan mengurangi pengangguran. Ketika pertumbuhan ekonomi melambat, maka pengangguran akan meningkat dan sebaliknya ketika pertumbuhan ekonomi meningkat pengangguran akan berkurang. Persamaan ketiga merupakan salah satu bentuk modifikasi hukum Okun yang menghubungkan antara pertumbuhan pendapatan per kapita dengan jumlah pengangguran. Pengembangan dilakukan dengan menambahkan peran pemerintah melalui variabel persentase pengeluaran pemerintah bagi pendidikan dan kesehatan. 𝑃𝐸𝑁𝐺𝐴𝑁𝐺𝐺𝑈𝑅𝐴𝑁𝑖𝑡 = 𝛿0 + 𝛿1 𝑇𝑈𝑀𝐵𝑈𝐻𝐾𝐴𝑃𝑖(𝑡−1) + 𝛿2 𝑃𝐸𝑀𝑖(𝑡−1)
(3.5)
46
4. Model Distribusi Pendapatan Persamaan keempat menghubungkan antara pertumbuhan ekonomi dengan distribusi pendapatan. Persamaan ini merupakan pengembangan persamaan Bouguignon (2004) yang menghubungkan antara pertumbuhan ekonomi dengan ketimpangan pendapatan berdasarkan indeks gini. Modifikasi persamaan dilakukan dengan menambahkan variabel pertumbuhan sektor pertanian (TUMBUHTANI) ke dalam persamaan. 𝐺𝐼𝑁𝐼𝑖𝑡 = 𝛿0 + 𝛿1 𝑇𝑈𝑀𝐵𝑈𝐻𝐾𝐴𝑃𝑖(𝑡−1) + 𝛿2 𝑇𝑈𝑀𝐵𝑈𝐻𝑇𝐴𝑁𝐼𝑖𝑡
(3.6)
5. Model Kemiskinan Pada tahap kedua untuk mencapai tujuan bagaimana peran pertumbuhan ekonomi dalam pengentasan kemiskinan dikembangkan persamaan keempat. Model kemiskinan yang digunakan mengacu pada model yang dikembangkan oleh Waluyo (2012) dengan menambahkan variabel kualitas manusia (IPM). 𝑀𝐼𝑆𝐾𝐼𝑁𝑖𝑡 = 𝛾0 + 𝛾1 𝐼𝑃𝑀𝑖𝑡 + 𝛾2 𝐺𝐼𝑁𝐼𝑖𝑡 + 𝛾3 𝑃𝐸𝑁𝐺𝐴𝑁𝐺𝐺𝑈𝑅𝐴𝑁𝑖𝑡 + 𝛾4 𝐻𝐴𝑅𝐺𝐴𝑖𝑡 (3.7) Keterangan: TUMBUHKAP
= Pertumbuhan PDRB per kapita (persen)
TUMBUHTANI
= Pertumbuhan PDRB sektor pertanian (persen)
INVEST
= Nilai investasi PMA dan PMDN (juta Rupiah)
JLN
= Panjang jalan/luas wilayah kabupaten (Km/Km2)
SEHAT
= jumlah Puskesmas per 100.000 penduduk
DIKSAR
= rasio jumlah murid terhadap guru pada pendidikan dasar
TKUNSKILL
= Jumlah tenaga kerja dengan pendidikan ≤ SLTP (jiwa)
TKSKILL
= Jumlah tenaga kerja dengan pendidikan > SLTP (jiwa)
HARGA
= PDRB deflator
IPM
= Indeks pembangunan manusia
PEM
= proporsi pengeluaran pemerintah untuk kesehatan dan pendidikan terhadap pengeluaran pemerintah (persen)
SPOUSESLTP
= persentase pengelola keuangan rumah tangga dengan pendidikan > SLTP (persen)
PENGANGGURAN = Tingkat pengangguran (persen) MISKIN
= Persentase penduduk miskin/Head Count Index (persen)
47
GINI
= Indeks Gini i
= Kabupaten i
t
= Tahun ke-t
Berdasarkan hasil identifikasi model yang dilakukan, seluruh persamaan struktural dalam penelitian ini menunjukkan kondisi teridentifikasi berlebih. Sistem persamaan yang teridentifikasi berlebih dapat diduga parameternya dengan metode two stage least square (2SLS) atau three stage least square (3SLS). Penelitian ini menggunakan metode 2SLS, pada tahap pertama model pertumbuhan dan investasi diestimasi dengan menggunakan OLS antara variabel endogen dengan variabel eksogen. Pada tahap kedua, hasil estimasi dari persamaan pertama digunakan dalam model pengangguran dan distribusi pendapatan kemudian hasil estimasi tersebut digunakan dalam model kemiskinan bersama dengan variabel harga dan pembangunan manusia. Pemilihan model estimasi dilakukan dengan menggunakan software Eviews 6.0. 3.4. Definisi Operasional Definisi operasional variabel yang digunakan adalah sebagai berikut: 1. Pertumbuhan ekonomi dihitung berdasarkan pertumbuhan PDRB per kapita atas dasar harga konstan (tahun dasar 2000). 2. Investasi swasta adalah seluruh investasi yang dilakukan oleh sektor swasta baik asing (PMA) maupun dalam negeri (PMDN) yang dideflate menggunakan deflator PDRB sebagai pendekatan inflasi dan untuk PMA selain diriilkan dengan inflasi juga dikonversi menjadi satuan mata uang Rupiah berdasarkan rata-rata kurs tengah pada tahun yang sama. 3. Jalan adalah rasio panjang jalan terhadap luas wilayah kabupaten meliputi jalan dalam kewenangan negara, propinsi dan kabupaten. 4. Pendidikan dasar merupakan variabel yang menggambarkan keterjangkauan penduduk usia sekolah terhadap pendidikan pada tingkat dasar, dihitung menggunakan rasio murid guru pada tingkat pendidikan SD dan SLTP sebagai pendekatan pendidikan dasar 9 tahun. 5. Fasilitas kesehatan menggambarkan keterjangkauan masyarakat pada pelayanan kesehatan dasar, yang dihitung berdasarkan banyaknya Puskesmas yang tersedia per 100.000 penduduk.
48
6. Tenaga kerja tidak terdidik adalah banyaknya penduduk usia kerja yang bekerja dengan pendidikan ≤ SLTP. 7. Tenaga kerja terdidik adalah banyaknya penduduk usia kerja yang bekerja dengan pendidikan > SLTP. 8. Pengeluaran pemerintah adalah persentase pengeluaran pemerintah untuk pendidikan dan kesehatan (menggunakan pendekatan fungsi pengeluaran untuk tahun 2007-2010 dan bidang pengeluaran untuk anggaran 2004-2006) terhadap total pengeluaran pemerintah. 9. Pengelola keuangan rumah tangga adalah kepala rumah tangga atau anggota rumah tangga yang dipercayakan untuk mengelola pendapatan, dengan asumsi pendapatan dikelola oleh perempuan/istri maka pengelola keuangan rumah tangga adalah istri atau kepala rumah tangga perempuan atau kepala rumah tangga laki-laki apabila ia tidak memiliki istri. 10. Distribusi pendapatan adalah seberapa merata pendapatan terdistribusi pada masyarakat diindikasikan dengan indeks Gini. 11. Pertumbuhan pertanian dihitung berdasarkan pertumbuhan PDRB sektor pertanian atas dasar harga konstan (tahun dasar 2000) 12. Pengangguran adalah penduduk usia kerja yang tidak bekerja dan mencari pekerjaan. 13. Harga adalah tingkat harga yang dihitung berdasarkan perbandingan output nominal terhadap output riil (deflator PDB). 3.5. Simulasi Model Simulasi adalah suatu pendekatan dengan melakukan perubahan dari satu atau beberapa variabel eksogen untuk mengetahui arah dan besar perubahan satu atau beberapa variabel endogen akibat perubahan tersebut. Simulasi model adalah suatu perubahan yang dilakukan di dalam model tanpa merubah sistem atau dunia nyata. Simulasi memiliki beberapa tujuan yaitu untuk melakukan pengujian dan evaluasi terhadap model (ex-post), mengevaluasi kebijakan pada masa lampau (backasting) atau membuat peramalan pada masa datang (ex-ante). Simulasi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah simulasi historis (expost simulation) untuk mengevaluasi kebijakan yang telah dijalankan. Simulasi pertama bertujuan untuk mengetahui dampak yang terjadi akibat peningkatan
49
investasi swasta bagi pengentasan kemiskinan. Kenaikan nilai investasi yang disimulasikan adalah sebesar 11,5 persen, 20 persen dan 35 persen. Besarnya simulasi 11,5 persen berdasarkan target pertumbuhan investasi yang ditetapkan pemerintah agar dapat mengurangi pengangguran dan mengentaskan kemiskinan sedangkan simulasi 20 persen dan 35 persen merupakan simulasi pembanding. Simulasi yang kedua adalah kenaikan proporsi pengeluaran pemerintah untuk pendidikan dan kesehatan. Besarnya simulasi yaitu proporsi pengeluaran pemerintah bagi pendidikan dan kesehatan lebih besar 20 dan 35 persen dari nilai aktualnya. Besaran kenaikan 20 persen berdasarkan proporsi minimal bagi pendidikan yang ditetapkan pemerintah sedangkan kenaikan 35 persen adalah sebagai pembanding dengan pertimbangan variabel eksogen yang digunakan dalam simulasi bukanlah proporsi pengeluaran pemerintah bagi pendidikan saja namun juga bagi kesehatan. Simulasi yang terakhir adalah meningkatkan sebesar 20 persen jumlah infrastruktur jalan, pendidikan dasar dan fasilitas kesehatan secara bersama-sama. Tahapan yang dilakukan sebelum melakukan simulasi model adalah validasi model. Tujuan validasi adalah untuk mengetahui tingkat representasi model apabila dibandingkan dengan dunia nyata. Validasi dapat dilakukan dengan membandingkan nilai aktual dengan nilai dugaan dari peubah endogen. Uji validasi model yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji U-Theil (Theil’s Inequality Coefficient). Statistik U-Theil dirumuskan sebagai berikut: 𝑈=
1 𝑛 1 𝑛
𝑛 𝑡=1
𝑛 (𝑌 𝑠 −𝑌 𝑎 )2 𝑡=1 𝑡 𝑡
𝑌𝑡𝑠
2
+
1 𝑛
𝑛 𝑡=1
𝑌𝑡𝑎
2
(3.8)
keterangan: 𝑌𝑡𝑠 =
nilai hasil simulasi dasar dari variabel observasi
𝑌𝑡𝑎 =
nilai aktual variabel observasi
n
jumlah periode observasi
=
Nilai U-Theil berkisar antara 0 dan 1, dengan kriteria bahwa semakin kecil nilai U-Theil yang dihasilkan, maka semakin baik model tersebut.
Halaman ini sengaja dikosongkan
IV.
DINAMIKA PEREKONOMIAN LAMPUNG
4.1. Provinsi Lampung 4.1.1. Gambaran Umum Provinsi Lampung meliputi wilayah seluas 35.288,35 kilometer persegi, membentang di ujung selatan pulau Sumatera, termasuk pulau-pulau yang terletak pada ujung tenggara pulau Sumatera hingga selat Sunda. Secara geografis, Provinsi Lampung terletak antara 60 45’ – 30 45’ Lintang Selatan dan antara 1030 40’ – 1050 50’ Bujur Timur. Adapun batas-batas Provinsi Lampung adalah sebagai berikut: Utara
: provinsi Sumatera Selatan dan Bengkulu
Selatan
: selat Sunda
Barat
: samudera Indonesia
Timur
: laut Jawa
Gambar 10 Peta Provinsi Lampung menurut kabupaten/kota tahun 2012. Awalnya Lampung merupakan wilayah karesidenan yang tergabung dengan Provinsi Sumatera Selatan, namun berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 3
51
52
Tahun 1964 pada tanggal 18 Maret 1964 status karesidenan ditingkatkan menjadi provinsi. Secara administratif Provinsi Lampung dibagi dalam 12 kabupaten dan 2 kota dengan luas wilayah masing-masing kabupaten/kota seperti terlihat pada Tabel 6. Kabupaten Tulang Bawang adalah kabupaten dengan wilayah terluas sebesar 7.770,84 kilometer persegi (19,77 persen) sedangkan kabupaten terkecil adalah Kabupaten Pringsewu dengan luas wilayah 625,00 kilometer persegi (1,59 persen). Sedangkan untuk wilayah kota, Kota Bandar Lampung dan Kota Metro hanya meliputi wilayah seluas 192,96 kilometer persegi (0,49 persen) dan 61,79 kilometer persegi (0,16 persen). Tabel 6
Ibukota dan luas wilayah kabupaten/kota di Provinsi Lampung Kabupaten/kota
1. Kabupaten Lampung Barat 2. Kabupaten Tanggamus 3. Kabupaten Lampung Selatan 4. Kabupaten Lampung Timur 5. Kabupaten Lampung Tengah 6. Kabupaten Lampung Utara 7. Kabupaten Way Kanan 8. Kabupaten Tulang Bawang 9. Kabupaten Pesawaran 10. Kabupaten Pringsewu 11. Kabupaten Mesuji 12. Kabupaten Tulang Bawang Barat 13. Kota Bandar Lampung 14. Kota Metro Sumber: BPS Provinsi Lampung, 2011b
Ibukota Liwa Kota Agung Kalianda Sukadana Gunung Sugih Kotabumi Blambangan Umpu Menggala Gedong Tataan Pringsewu Mesuji Panaragan Jaya Tanjung Karang Metro
Luas Wilayah (Km2) 4.950,40 3.356,61 2.007,01 4.337,89 4.789,82 2.725,63 3.921,63 7.770,84 1.173,77 625,00 2.184,00 1.201,00 192,96 61,79
4.1.2. Penduduk Penduduk merupakan modal pembangunan yang berharga. Baik secara jumlah maupun kualitas, penduduk sangat berpotensi memengaruhi pertumbuhan ekonomi. Jika potensi yang dimiliki penduduk dikelola dengan benar akan meningkatkan dan memacu pertumbuhan ekonomi, namun sebaliknya penduduk dapat menjadi penghambat bagi pelaksanaan pembangunan. Jumlah penduduk yang besar dapat menjadi potensi selain sebagai pelaku ekonomi produksi namun dapat juga sebagai pasar jika memiliki daya beli yang sesuai. Potensi ini dapat
53
menjadi penghambat jika jumlah penduduk yang besar berkualitas rendah sehingga berpenghasilan rendah dan pada akhirnya berdaya beli rendah. Jumlah penduduk Lampung hingga tahun 2010 mencapai 7,61 juta jiwa. Terdapat penambahan jumlah penduduk hampir 1 juta jiwa dalam 10 tahun. Jumlah penduduk Lampung 6,77 juta di tahun 2001 bertambah menjadi 7,61 juta di tahun 2010 (Gambar 11). Laju pertumbuhan penduduk Lampung pada periode 2000-2010 setiap tahunnya mencapai 1,24 persen, meningkat dari 1,17 persen pada periode 1990-2000. Pertumbuhan penduduk Lampung tergolong tinggi karena berada di atas target Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2004-2009 yaitu 1,14 persen per tahun. Pemerintah Lampung melalui dinas terkait perlu menekan laju pertumbuhan ini karena pertumbuhan penduduk yang tinggi dapat mengarah pada berbagai masalah sosial ekonomi lain seperti kerawanan pangan, pengangguran dan kemiskinan. Juta Jiwa 7,80 7,60 7,53
7,40 7,20
7,17
7,00
7,44
6,92
6,80 6,60
7,26
7,35
7,61
6,77
6,79
6,85
6,40 6,20 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Sumber: BPS Provinsi Lampung, 2011b Gambar 11 Jumlah penduduk Provinsi Lampung tahun 2001-2010 (juta jiwa) Distribusi penduduk Provinsi Lampung bervariasi menurut kabupaten/kota (lihat Tabel 7). Jumlah penduduk paling sedikit terdapat di Kota Metro 145.471 jiwa (1,91 persen) sedangkan jumlah penduduk paling banyak terdapat di Kabupaten Lampung Tengah 1.170.717 jiwa (15,39 persen). Namun jika dikaji berdasarkan kepadatan penduduknya, Kabupaten Lampung Barat merupakan wilayah yang paling jarang penduduknya yaitu 85 jiwa/ Km2 sedangkan wilayah
54
yang paling padat adalah wilayah ibukota Provinsi Lampung, Kota Bandar Lampung, yaitu 4.597 jiwa/ Km2. Tabel 7
Jumlah dan kepadatan penduduk di Provinsi Lampung tahun 2010 Kabupaten/kota
1. Kabupaten Lampung Barat 2. Kabupaten Tanggamus 3. Kabupaten Lampung Selatan 4. Kabupaten Lampung Timur 5. Kabupaten Lampung Tengah 6. Kabupaten Lampung Utara 7. Kabupaten Way Kanan 8. Kabupaten Tulang Bawang 9. Kabupaten Pesawaran 10. Kabupaten Pringsewu 11. Kabupaten Mesuji 12. Kabupaten Tulang Bawang Barat 13. Kota Bandar Lampung 14. Kota Metro Provinsi Lampung Sumber: BPS Provinsi Lampung, 2011b
Jumlah Penduduk (Jiwa) 419.037 536.613 912.490 951.639 1.170.717 584.277 406.123 397.906 398.848 365.369 187.407 250.707 881.801 145.471 7.608.405
Kepadatan Penduduk (Jiwa/Km2) 84,65 496,45 454,65 219,38 244,42 214,36 103,56 90,73 339,80 584,59 85,81 208,75 4.596,86 2.354,28 215,61
Berdasarkan data Sensus Penduduk 2010, penduduk Lampung terdiri atas 51,48 persen laki-laki dan 48,52 persen perempuan. Jika dilihat dari struktur umur, penduduk Provinsi Lampung tergolong menengah, dengan median umur penduduk 24,64 tahun pada tahun 2010. Ketergantungan penduduk usia tidak produktif (0-14 dan 65+) terhadap penduduk usia produktif (15-64) adalah 52,20. Angka ini menunjukkan bahwa setiap 100 orang usia produktif menanggung beban 52 orang usia tidak produktif. Struktur umur dan jenis kelamin penduduk Provinsi Lampung dapat dilihat pada Gambar 12.
55
90+ 80-84 70-74 60-64 50-54 40-44 30-34 20-24 10-14 0-4 600.000
400.000
200.000 0 Perempuan
200.000 Laki-laki
400.000
600.000
Sumber: BPS, 2012 Gambar 12 Piramida penduduk Provinsi Lampung tahun 2010 4.2. Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Lampung mengalami rata-rata pertumbuhan ekonomi per tahun sebesar 5,30 persen selama periode 2001-2010. Jika memasukkan unsur migas pertumbuhan yang dicapai lebih rendah yakni 5,26 persen per tahun (Gambar 13). Pertambangan dan pengolahan minyak dan gas di Provinsi Lampung hanya ditemukan di Kabupaten Lampung Timur dan sektor ini bukanlah sektor yang memberikan pangsa besar bagi PDRB Lampung. Jika ditinjau berdasarkan pangsa sektor produksi, maka sektor yang memiliki andil terbesar dalam perekonomian Lampung adalah sektor pertanian mencapai rata-rata 42,27 persen. Berdasarkan wilayah kabupaten/kota, pendapatan tertinggi tahun 2010 terdapat di Kota Bandar Lampung sebesar 19.437 milyar Rupiah diikuti oleh Kabupaten Lampung Tengah dengan pendapatan 16.639 milyar Rupiah. Jika ditinjau berdasarkan laju pertumbuhannya maka perekonomian mengalami peningkatan paling pesat di wilayah Bandar Lampung dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 6,33 persen dan Kabupaten Tulang Bawang dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 6,19 persen.
56
%
7,00 6,50 6,00 5,50 5,00 4,50 4,00 3,50 3,00
2001
2002
2003
2004
2005
Pertumbuhan ekonomi dengan Migas
2006
2007
2008
2009
2010
2011
Pertumbuhan ekonomi tanpa Migas
Sumber: BPS Provinsi Lampung, diolah. Gambar 13 Pertumbuhan ekonomi dengan migas dan tanpa migas Provinsi Lampung tahun 2001-2011. Salah satu sumber utama pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan adalah investasi. Nilai realisasi investasi asing Provinsi Lampung terus mengalami peningkatan sejak tahun 2003, namun peningkatan ini berbalik arah menjadi penurunan di tahun 2007. Nilai realisasi investasi asing terus menurun hingga 2010. Jika di tahun 2007 investasi yang terealisasi sebesar 124 juta US$, tahun 2010 hanya seperempatnya 30,71 juta US$. Penurunan investasi tersebut diduga diakibatkan oleh terjadinya krisis ekonomi global, hal ini juga terjadi pada Penanaman Modal Dalam Negeri di Provinsi Lampung (Gambar 14). Selama periode 2000-2010 investasi dalam negeri mengalami puncaknya pada tahun 2005 yaitu senilai lebih dari 1 triliun Rupiah. Namun nilai investasi ini terus menurun hingga hanya mencapai 163 Milyar Rupiah di tahun 2007. PMDN Juta Rp.
PMA ribu US$
1.200.000
140.000 120.000 100.000 80.000 60.000 40.000 20.000 0
1.000.000 800.000 600.000 400.000 200.000 0 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
PMDN
PMA
Sumber: Badan Koordinasi Penanaman Modal Gambar 14 Realisasi investasi PMA dan PMDN Provinsi Lampung tahun 20002010.
57
4.3. Pembangunan Manusia Secara umum pembangunan manusia di Provinsi Lampung mengalami peningkatan selama periode 1996-2010 (Gambar 15). Perkecualian terjadi pada periode 1996-1999 dimana terjadi penurunan capaian pembangunan manusia. Pada periode 1996-1999 penurunan capaian IPM sebagai dampak dari memburuknya kondisi perekonomian Indonesia akibat krisis. Sebelum krisis, pada tahun 1996 IPM Provinsi Lampung mencapai 67,6 namun sejak krisis ekonomi pertengahan tahun 1997, IPM Lampung menurun hingga menjadi 63,0 pada tahun 1999. Setelah krisis ekonomi, capaian IPM Lampung meningkat kembali hingga menjadi 65,8 pada tahun 2002. Walau demikian, peningkatan ini belum dapat menyamai capaian IPM pada saat keadaan sebelum krisis ekonomi. Capaian yang lebih tinggi baru diperoleh di tahun 2004 ketika IPM mencapai 68,4. 72,00 70,00 68,00
68,40
68,85
69,38
69,78
70,30
70,93
71,42
67,60 65,80
66,00 64,00
63,00
62,00 60,00 1996 1999 2002 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Sumber: BPS Provinsi Lampung, 2011a Gambar 15 IPM Provinsi Lampung Tahun 1996-2010. Pola perkembangan IPM selama periode 1996-2010 menunjukkan adanya pengurangan jarak IPM terhadap nilai idealnya (100) yang direpresentasikan dengan ukuran reduksi shortfall (BPS, 2008). Pada Gambar 16 reduksi shortfall pada tahun 1996-1999 bernilai minus 4,7. Hal ini berarti capaian IPM semakin menjauh dari nilai idealnya dan menunjukkan kualitas hidup penduduk pada periode tersebut memburuk. Kemudian pada periode 1999-2002 reduksi shortfall meningkat menjadi 2,52 namun kembali menurun hingga periode 2004-2005. Hal
58
ini menunjukkan bahwa meskipun kualitas hidup manusia semakin baik namun peningkatan kualitasnya melambat. 2,52
3,00
2,53
2,00
1,42
1,70
04-05
05-06
1,31
1,72
2,12
1,69
1,00 0,00 -1,00
96-99
99-02
02-04
06-07
07-08
08-09
09-10
-2,00 -3,00 -4,00 -5,00
-4,73
Sumber: BPS, diolah Gambar 16 Perkembangan shortfall IPM Provinsi Lampung tahun 1996-2010. Secara umum, perkembangan IPM dari tahun ke tahun merupakan indikasi kinerja pembangunan manusia di suatu wilayah. Jika melihat capaian IPM menurut kabupaten/kota, terlihat perbedaan yang signifikan antara wilayah kabupaten dengan kota. Kota Metro merupakan wilayah yang memiliki peringkat IPM tertinggi secara umum. IPM Kota Metro di tahun 2010 mencapai 76,25 dan diikuti oleh Kota Bandar Lampung yaitu 75,70. Sedangkan capaian IPM terendah berada di kabupaten Mesuji yang merupakan kabupaten pecahan dari Kabupaten Tulang Bawang yaitu sebesar 67,49. IPM 78 76 74 72 70 68 66 64
2008
2009
2010
Sumber: BPS Provinsi Lampung, 2011a Gambar 17 Indeks Pembangunan Manusia menurut kabupaten/kota di Provinsi Lampung tahun 2008-2010
59
4.3.1. Pendidikan Keberhasilan pembangunan dalam bidang pendidikan saat ini merupakan indikasi dari keberhasilan perencanaan di masa lalu. Program-program pembangunan bidang pendidikan telah diekspansi dalam berbagai bentuk diantaranya Bantuan Operasional Sekolah (BOS), rehabilitasi gedung-gedung sekolah, penambahan ruang kelas dan unit sekolah baru hingga meningkatkan kesejahteraan para pendidik. Rata-rata lama sekolah merupakan salah satu indikator modal manusia. Semakin lama seseorang bersekolah, semakin tinggi pendidikan yang ditamatkan maka modal yang dimilikinya akan semakin banyak. Rata-rata lama sekolah di daerah Kota Bandar Lampung dan Metro jauh lebih tinggi dibandingkan wilayah kabupaten yaitu masing-masing 9,90 dan 9,81 tahun sedangkan untuk wilayah kabupaten, secara rata-rata delapan kabupaten hanya 7,39 tahun (Gambar 18). Tahun 12 10 8 6 4 2 0
2008
2009
2010
Sumber: BPS Provinsi Lampung, 2011a Gambar 18 Rata-rata lama sekolah menurut kabupaten/kota di Provinsi Lampung tahun 2008-2010. Perkembangan di dunia pendidikan membawa dampak positif terhadap penuntasan buta huruf. Jumlah penduduk yang buta huruf di Provinsi Lampung terus berkurang di tiap kelompok usia (Gambar 19). Secara umum pada penduduk berusia 15 tahun ke atas, persentase penduduk yang buta huruf berkurang dari 8,35 persen di tahun 2003 menjadi 5,36 persen di tahun 2010. Jika mengkaji jumlah penduduk buta huruf berdasarkan kelompok usia, kelompok usia 15-44 tahun persentasenya berkurang dari 2,76 persen di tahun 2003 menjadi 0,63
60
persen di tahun 2010 sedangkan kelompok usia yang paling besar persentase buta hurufnya adalah usia di atas 45 tahun dan mengalami penurunan persentase penduduk yang buta huruf dari 22,95 persen menjadi 15,53 persen. %
25 22,95
20,2
20
19,29
19,64 17,15
18,08 16,13
15,53
15 10
6,92
8,35 5
7,15
7,16
6,87
6,37
5,63
5,36
2,76 1,89
2,12
2,13
2,33
0,68
0,97
0,63
0 2003
2004
2005
2006 15+
2007 15-44
2008
2009
2010
45+
Sumber: BPS, 2012 Gambar 19 Persentase penduduk buta huruf Provinsi Lampung tahun 2003-2010. 4.3.2. Kesehatan Kesehatan merupakan salah satu tujuan yang hendak dicapai dalam membangun kualitas manusia. Manusia yang sehat dapat berperan aktif dalam pembangunan
dengan
segala
potensi
yang
dimilikinya.
Keberhasilan
pembangunan di bidang kesehatan dapat dilihat dari beberapa indikator, seperti angka kematian bayi, angka kematian balita dan angka harapan hidup. Salah satu indikator yang mampu menggambarkan secara keseluruhan keadaan sosial, ekonomi dan lingkungan bertempat tinggal termasuk pemeliharaan kesehatan adalah angka kematian bayi (usia 0-11 bulan) dan balita (12-59 bulan). Bayi dan balita merupakan bagian dari masyarakat yang paling rentan terhadap penyakit, sehingga kelangsungan hidupnya sangat tergantung pada keadaan lingkungan dimana mereka dilahirkan dan bertumbuh. Angka kematian bayi dan balita terus mengalami penurunan di Provinsi Lampung, hingga tahun 1999 angka kematian bayi mencapai 46 per 1000 bayi 60 per 1000 balita (lihat Gambar 20).
dan angka kematian balita mencapai
61
250 218
200 150
143 146
100
96
50
64
57,6
99
59,8
69
48,2
38,1
46
0 1971
1980
1990
Angka Kematian Bayi
1994
1997
1999
Angka Kematian di bawah Usia Lima Tahun
Sumber: BPS, 2012 Gambar 20 Angka kematian bayi dan balita di Provinsi Lampung 1971-1999. Angka harapan hidup adalah rata-rata perkiraan banyak tahun yang ditempuh oleh seseorang selama hidup. Indikator ini digunakan untuk mengevaluasi kinerja pemerintah dalam bidang kesehatan. Gambar 21 memperlihatkan perkembangan angka harapan hidup di Provinsi Lampung selama periode 2002-2010. Pada gambar tersebut dapat terlihat bahwa angka harapan hidup di Lampung mengalami peningkatan. Tahun 2010 harapan hidup mencapai hampir 70 tahun sedangkan di tahun 2002 hanya 66 tahun. 70 69,5
69,5
69
69
68,5
68,5
68
69,25
68,77
68
67,5
67,6
67 66,5 66
66,1
65,5 65 2002
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Sumber: BPS, berbagai tahun. Gambar 21 Perkembangan Angka Harapan Hidup Provinsi Lampung 2002-2010.
62
4.3.3. Daya Beli Kemampuan masyarakat untuk membelanjakan pendapatannya tercermin dalam pengeluaran riilnya. Pengeluaran riil masyarakat Lampung periode 20022010 mengalami peningkatan yang cukup berarti (Gambar 22), namun daya beli ini mengalami perlambatan peningkatan pada periode 2009-2010. Kemampuan daya beli di tahun 2009 mencapai 617,42 ribu Rupiah hanya meningkat 1.210 Rupiah di tahun 2010 menjadi 618,63 ribu Rupiah. ribu Rp. 630 620 610 600
604,8
605,1
607
610,09
615,03
617,42
618,63
590 580
583,3
570 560 2002
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Sumber: BPS Provinsi Lampung, 2011a Gambar 22 Pengeluaran riil penduduk Provinsi Lampung tahun 2002-2010 4.4. Kemiskinan Salah satu tujuan utama pembangunan adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Masyarakat yang lebih sejahtera berarti pembangunan mampu mengentaskan kemiskinan. Pembangunan yang dilaksanakan telah berhasil menurunkan kemiskinan dari 1,78 juta jiwa di tahun 2000 menjadi 1,35 juta jiwa di tahun 2010 (Gambar 23). Secara persentase penurunan yang terjadi cukup drastis, yakni dari 26,6 persen menjadi 17,76 persen. Meskipun secara tren terjadi penurunan namun terdapat fluktuasi pada periode 2005-2006 ketika persentase penduduk miskin meningkat dari 21,42 persen menjadi 22,77 persen. Kemiskinan meningkat akibat kebijakan pengurangan subsidi BBM di tahun 2005 yang menyebabkan daya beli masyarakat menurun dan tidak mampu memenuhi kebutuhan minimumnya.
63
ribu jiwa
%
2015 1776,13 1515
1650,7 1567,9 1567 1572,6 1638 1661,7 1597,8 1496,9
29 1351,7
25
26,6 1015
23
24,06 22,63 22,22
515
21,42
22,77 22,19
21 20,93
19 19,34 17,76
15 2000
27
2002
2003
2004
2005
Jumlah Penduduk Miskin
2006
2007
2008
2009
17 15
2010
Persentase Penduduk Miskin (%)
Sumber: BPS, 2000-2010 Gambar 23 Jumlah penduduk miskin dan persentase penduduk miskin Provinsi Lampung tahun 2000-2010. Pendidikan memiliki keterkaitan dengan tingkat kemiskinan. Berdasarkan tingkat pendidikan yang ditamatkan, sebagian besar penduduk miskin hanya tamat SD dan SLTP. Sebanyak 51,81 persen penduduk yang tergolong miskin berpendidikan antara SD dan SLTP, 39,49 persen tidak tamat SD, dan sisanya 8,7 persen tamat SLTA ke atas. Komposisi ini tidak jauh berbeda di tiap kabupaten/kota, dimana sebagian besar berpendidikan SD dan SLTP (Tabel 8). Tabel 8
Persentase penduduk miskin Provinsi Lampung menurut pendidikan yang ditamatkan tahun 2010 Kabupaten/kota
1. Kabupaten Lampung Barat 2. Kabupaten Tanggamus 3. Kabupaten Lampung Selatan 4. Kabupaten Lampung Timur 5. Kabupaten Lampung Tengah 6. Kabupaten Lampung Utara 7. Kabupaten Way Kanan 8. Kabupaten Tulang Bawang 9. Kabupaten Pesawaran 10. Kabupaten Pringsewu 11. Kabupaten Mesuji 12. Kabupaten Tulang Bawang Barat 13. Kota Bandar Lampung 14. Kota Metro Provinsi Lampung Sumber: BPS, 2011
Tidak pernah sekolah/Tidak Tamat SD 39,17 36,23 36,69 40,46 39,59 40,85 44,59 35,04 45,51 36,45 46,96 45,73 37,71 34,09 39,49
Tamat SD dan SLTP 57,52 57,48 53,70 50,33 50,37 49,99 49,69 59,27 49,35 56,15 50,00 50,45 48,06 48,16 51,81
Tamat SLTA ke atas 3,31 6,29 9,60 9,21 10,03 9,16 5,72 5,70 5,10 7,40 3,04 3,82 14,23 17,74 8,70
64
Rendahnya tingkat pendidikan menyebabkan penduduk miskin memiliki keterbatasan kualitas sumber daya manusia. Modal bagi penduduk miskin untuk mata pencahariannya hanya tenaga sehingga sebagian besar bekerja di sektor informal (Gambar 24). Sektor informal tidak menuntut persyaratan pendidikan ataupun modal tertentu, sesuai dengan keadaan penduduk miskin. Menurut Basri dan Munandar (2009) sektor informal perlu dikembangkan menjadi sektor formal. Beberapa alasannya adalah sebagai berikut: pertama, sektor informal memberikan balas jasa yang sedikit, seringkali dibawah upah minimum. Kedua, bekerja di sektor informal tidak memperoleh jaminan sosial apapun seperti pensiun, asuransi kesehatan maupun asuransi keselamatan kerja. Ketiga, peluang pengembangan usaha/keterampilan sangat terbatas. 100% 90%
12,9
15,83
17,93
18,26
24,42
19,98
19,8
20,44
81,91
72,03
70,41
66,74
73,05
78,53
77,76
76,43
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
Bekerja di Sektor Informal
Bekerja di Sektor Formal
Sumber: BPS, diolah Gambar 24 Persentase penduduk miskin Provinsi Lampung menurut sektor usaha tahun 2003-2010
V.
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Hasil Analisis Parsial 5.1.1. Pengaruh Investasi terhadap Pertumbuhan Ekonomi Investasi dapat dilakukan oleh pihak swasta maupun pemerintah. Pihak swasta dapat melakukan investasi pada berbagai sektor baik primer, sekunder maupun tersier sedangkan investasi pemerintah banyak dilakukan pada barangbarang publik yang menyangkut kepentingan segenap masyarakat. Investasi pemerintah menggunakan pendekatan banyaknya modal pemerintah dalam bentuk infrastruktur jalan, keterjangkauan masyarakat terhadap pendidikan dasar dan fasilitas kesehatan. Pengaruh investasi terhadap pertumbuhan ekonomi dapat dilihat dari koefisien slope investasi swasta dan modal pemerintah yang signifikan dalam model. Berdasarkan hasil estimasi regresi data panel terlihat bahwa faktor-faktor yang memengaruhi pertumbuhan pendapatan per kapita Provinsi Lampung adalah investasi swasta, infrastruktur jalan (pada tingkat kepercayaan 15 persen), ketersediaan guru pada pendidikan dasar, fasilitas kesehatan, dan tenaga kerja tidak terdidik (Tabel 9). Tabel 9
Hasil estimasi model pertumbuhan pendapatan perkapita
Variabel Variabel Bebas: Pertumbuhan Ekonomi (TUMBUHKAP) Const. Investasi Swasta (Log(INVEST)) Jalan (Log(JLN)) Fasilitas Kesehatan (Log(SEHAT)) Pendidikan Dasar (Log(DIKSAR)) Tenaga Kerja a. Terdidik (Log(SKILL)) b. Tidak Terdidik (Log(UNSKILL))
Koefisien
p-value*
-80,2384 0,1865 1,2261 17,4437 5,2194
0,0052 0,0061 0,1121 0,0001 0,0952
0,0486 3,7867
0,4845 0,0400
Sumber: Hasil pengolahan. Keterangan: *) nilai p-value berdasarkan uji statistik-t satu arah. Jika ditinjau dari koefisiennya, maka variabel yang paling berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi adalah fasilitas kesehatan. Masyarakat yang sehat, mampu bekerja lebih produktif dan pada akhirnya akan mendorong perekonomian serta meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Hasil ini selaras dengan hasil penelitian Li dan Liang (2010) yang membandingkan dampak antara investasi
65
66
pada pendidikan dan kesehatan dan menemukan bahwa dampak investasi pada kesehatan lebih besar jika dibandingkan dengan investasi pada pendidikan. 5.1.1.1. Investasi Swasta Investasi swasta di Provinsi Lampung terbuka bagi penanam modal dalam negeri (PMDN) maupun asing (PMA). Investasi merupakan pendorong bagi terciptanya pertumbuhan ekonomi dan dibukanya lapangan kerja. Investasi swasta yang selalu diminati baik oleh PMDN maupun PMA di Lampung adalah sektor pertanian. Selama periode 2009-2010 terdapat 13 proyek investasi yang disetujui pemerintah dimana 8 diantaranya berasal dari luar negeri (Tabel 10). Dari segi nilai investasi, terjadi peningkatan di sektor pertanian PMDN meningkat dari 233 milyar Rupiah menjadi 704 milyar Rupiah sedangkan PMA meningkat dari 23 juta US$ menjadi 112 juta US$. Tabel 10
Proyek penanaman modal yang disetujui pemerintah Provinsi Lampung tahun 2009-2010 2009 Lapangan Usaha
1. Pertanian 2. Pertambangan dan Penggalian 3. Industri Pengolahan 4. Listrik, Gas dan Air Minum 5. Konstruksi 6. Perdagangan, Hotel dan Restoran 7. Pengangkutan dan Telekomunikasi 8. Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 9. Jasa-jasa Jumlah
2010
233.611 24.500 1.654.700 -
PMA (000 US$) 23.033 17.097 472 -
704.554 153.000 -
PMA (000 US$) 112.173 1.250 9.275 16.953 -
-
-
-
-
-
-
-
-
35.545 1.948.356
1.075 40.602
857.554
3.496 143.147
PMDN (Juta Rp.)
PMDN (Juta Rp.)
Sumber: BPS Provinsi Lampung, 2011b Investasi yang ditanamkan di Lampung menyerap tenaga kerja. Sebagian besar tenaga kerja yang terserap adalah pada sektor primer (pertanian dan pertambangan dan penggalian). Jika membandingkan antara nilai investasi dengan jumlah tenaga kerja yang terserap (bandingkan Tabel 10 dengan Tabel 11), sektor primer merupakan sektor yang padat karya sedangkan sektor sekunder dan tersier adalah sektor yang padat modal. Sebagai contoh investasi PMA tahun 2010 pada sektor pertanian dibandingkan dengan sektor industri pengolahan. Investasi
67
pertanian sebesar 112 juta US$ mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 5.508 orang sedangkan investasi pada industri pengolahan sebesar 9,3 juta US$ (8 persen dari investasi pertanian) hanya menyerap tenaga kerja 225 orang (4 persen dari tenaga kerja yang diserap investasi sektor pertanian). Hal yang sama juga terlihat pada PMDN di Provinsi Lampung baik di tahun 2009 maupun 2010. Tabel 11
Tenaga kerja dari proyek PMA dan PMDN yang telah mendapat persetujuan menurut lapangan usaha tahun 2009-2010 2009
2010
Lapangan Usaha PMDN 1. Pertanian a. Tanaman Pangan b. Perkebunan c. Peternakan d. Perikanan e. Kehutanan 2. Pertambangan dan Penggalian 3. Industri Pengolahan 4. Listrik, Gas dan Air Bersih 5. Konstruksi/Bangunan 6. Perdagangan, hotel dan restoran 7. Pengangkutan dan Telekomunikasi 8. Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 9. Jasa-jasa Jumlah
PMA
PMDN
PMA
20 107 129 45 672 -
310 2.650 45 50 696 15 -
412 12 -
5.508 25 225 187 -
20 993
3.766
424
29 5.974
Sumber: BPS Provinsi Lampung, 2011b Variabel investasi swasta signifikan memengaruhi pertumbuhan ekonomi dengan nilai koefisien 0,1865. Peningkatan investasi swasta sebesar 1 persen akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi kabupaten di Lampung sebesar 0,1865 persen (ceteris paribus). Hasil penelitian ini sejalan dengan Suparno (2010) yang menggunakan pendekatan serupa, menyatakan bahwa investasi swasta berperan dalam pertumbuhan ekonomi di Indonesia. 5.1.1.2. Infrastruktur Jalan Infrastruktur
jalan
memiliki
peranan
penting
dalam
mendukung
pembangunan regional. Ketersediaan jalan sangat dibutuhkan sebagai fasilitas mobilisasi penduduk maupun barang dalam berbagai aktivitas ekonomi. Pada umumnya daerah yang memiliki jaringan angkutan darat, akan memiliki pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat dibandingkan daerah lain yang terisolir. Ketersediaan jalan yang efektif memungkinkan penularan pertumbuhan ekonomi
68
ke daerah lainnya. Penularan memiliki arti bahwa prasarana jalan turut berperan dalam merangsang tumbuhnya wilayah-wilayah baru yang akhirnya akan menimbulkan trip generation baru yang akan meningkatkan volume lalu lintas yang terjadi (Nuraliyah, 2011). 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
Baik
Sedang
Rusak
Rusak Berat
Sumber: BPS Provinsi Lampung, 2010 Gambar 25 Persentase jalan menurut kondisi jalan Provinsi Lampung tahun 2010. Berdasarkan kondisi jalan, secara umum sebagian besar (47 persen) jalan di Provinsi Lampung dalam keadaan baik (Gambar 25). Namun jika dilihat per kabupaten, terdapat beberapa wilayah yang memiliki sebagian besar prasarana jalan dalam keadaan rusak dan rusak berat yaitu Kabupaten Lampung Barat (52,63 persen), Lampung Selatan (58,72 persen), Tulang Bawang (61,25 persen) dan Mesuji (73,01 persen). Kabupaten Mesuji merupakan wilayah yang paling buruk infrastruktur jalannya karena lebih dari 50 persen dalam keadaan rusak berat. Prasarana jalan yang buruk ini dapat menghambat perkembangan ekonomi wilayah Mesuji, karena jalan yang buruk akan menghambat aktivitas ekonomi. 5.1.1.3. Infrastruktur Pendidikan Keterjangkauan masyarakat pada pendidikan dasar dalam penelitian ini diukur menggunakan rasio murid terhadap guru pada pendidikan dasar. Rasio murid terhadap guru menunjukkan jumlah murid yang diampu oleh 1 orang guru. Bertambahnya murid yang diampu oleh seorang guru pada pendidikan dasar akan
69
meningkatkan pendapatan per kapita. Setiap terjadi peningkatan 1 persen rasio murid guru akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,22 persen. Secara rata-rata Provinsi Lampung saat ini mengalami kelebihan guru dan penyebaran guru yang tidak merata.11 Rasio murid-guru Provinsi Lampung pada tahun 2010 mencapai 18 murid per guru sedangkan menurut petunjuk teknis lima menteri12 tentang penataan dan pemerataan guru Pegawai Negeri Sipil menyatakan bahwa rasio murid-guru sekolah dasar ideal adalah 20-32 murid. Besaran jumlah murid yang diampu oleh seorang guru ini tidak hanya berkaitan dengan efektivitas namun juga efisiensi pengadaan kegiatan belajar mengajar. Tabel 12
Angka Partisipasi Sekolah (APS) Provinsi Lampung tahun 2003-2010 (persen)
Usia Sekolah 7-12 tahun 13-15 tahun 16-18 tahun 19-24 tahun
2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 96,07 96,69 96,95 97,77 97,90 98,26 98,53 98,71 83,43 84,35 86,27 84,14 84,99 85,10 85,92 86,62 48,31 48,19 51,14 49,47 50,02 50,69 50,44 51,34 8,82 7,65 9,76 7,26 8,71 9,06 8,97 9,82
Sumber: BPS, 2012 Rendahnya rasio murid-guru dapat juga dapat terjadi akibat rendahnya Angka Partisipasi Sekolah (APS). APS adalah angka yang menunjukkan persentase penduduk dalam kelompok usia sekolah tertentu yang masih bersekolah, terhadap jumlah penduduk pada kelompok usia yang sama. APS mengindikasikan seberapa banyak penduduk yang dapat memanfaatkan fasilitas pendidikan yang tersedia. Pada kelompok usia wajib belajar 9 tahun (7-12 tahun dan 13-15 tahun) APS masih berada di bawah 100 persen (Tabel 12), yang berarti bahwa terdapat anak-anak usia pendidikan dasar yang tidak bersekolah. Bahkan terdapat perbedaan APS pada kelompok usia 7-12 tahun dengan kelompok usia 13-15 tahun. Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat anak-anak usia sekolah yang tidak melanjutkan pendidikannya. Biaya peluang (opportunity cost) serta biaya langsung maupun tidak langsung pendidikan menyebabkan orang tua tidak mengirimkan anaknya ke sekolah terutama jika dikaitkan dengan tingkat kemiskinan. Rumah tangga miskin cenderung memilih untuk mengajak anaknya 11
http://www.kesekolah.com/artikel-dan-berita/berita/Lampung-kelebihan-guru.html [28 Agustus 2012] 12 Menteri pendidikan nasional, menteri negara pendayagunaan aparatur negara dan reformasi birokrasi, menteri dalam negeri, menteri keuangan dan menteri agama Nomor: 05/x/pb/2011, spb/03/m.pan-rb/10/2011, 48 tahun 2011, 158/pmk.01/2011, 11 tahun 2011.
70
membantu bekerja daripada bersekolah karena akan menambah penghasilan rumah tangga dan mengurangi beban pengeluaran. 5.1.1.4. Infrastruktur Kesehatan Sarana dan prasarana kesehatan yang memadai akan meningkatkan kualitas sumber daya manusia dalam suatu wilayah. Dalam penelitian ini yang digunakan sebagai pendekatan infrastruktur kesehatan adalah banyaknya puskesmas. Puskesmas selain memberikan layanan kesehatan juga meningkatkan pengetahuan masyarakat dengan berbagai penyuluhan tentang tumbuh kembang keluarga. Jumlah puskesmas terus mengalami peningkatan seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dan pemekaran wilayah (Tabel 13). Wilayahwilayah terpencil berusaha dijangkau melalui pelayanan puskesmas keliling dan posyandu. Seluruh pelayanan kesehatan ini diharapkan akan meningkatkan kesehatan masyarakat. Masyarakat yang sehat, mampu bekerja lebih produktif dan pada akhirnya akan mendorong perekonomian serta meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa peningkatan jumlah puskesmas per 100.000 penduduk sebanyak 1 persen akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 17,44 persen (ceteris paribus). Tabel 13
Jumlah fasilitas kesehatan di Provinsi Lampung menurut jenis fasilitas kesehatan tahun 2006-2010
Jenis fasilitas kesehatan 1. Puskesmas 2. Puskesmas Rawat Inap 3. Puskesmas Pembantu 4. Puskesmas Keliling 5. Posyandu
2006 235 36 729 245 7.348
2007 249 49 785 251 7.578
2008 261 49 820 263 7.578
2009 261 53 768 262 7.626
2010 269 57 779 273 7.655
Sumber: BPS Provinsi Lampung, 2011b 5.1.1.5. Tenaga Kerja Lampung sebagai salah satu daerah tujuan transmigrasi sejak tahun 1905 menyebabkan terbentuknya sumber daya manusia (SDM) dengan karakteristik yang majemuk. Kemajemukan tersebut menjadi modal bagi perekonomian Provinsi Lampung. Kualitas dan produktivitas SDM memiliki korelasi yang erat dengan suksesnya pembangunan dan meningkatnya pertumbuhan ekonomi. Namun dari segi kuantitas, jumlah tenaga kerja dapat menjadi sebuah modal atau sebaliknya justru menjadi beban. Jumlah tenaga kerja yang terlalu banyak akan
71
menurunkan produktivitas karena jumlah tenaga kerja pada titik tertentu menjadi tidak optimal dengan beban kerjanya. Pada tahun 2009 di Provinsi Lampung terdapat 5,35 juta penduduk usia kerja dimana sekitar 67,77 persen merupakan angkatan kerja (bekerja dan pengangguran) sedangkan pada tahun 2010 bertambah menjadi 5,82 juta penduduk usia kerja dan sekitar 67,95 persen diantaranya adalah angkatan kerja. Komposisi dalam angkatan kerja pun mengalami perubahan selama periode 20092010, penduduk usia kerja yang bekerja bertambah 10,33 persen sementara penduduk usia kerja yang menganggur berkurang 8,08 persen. Tabel 14
Penduduk berumur 15 tahun ke atas menurut jenis kegiatan yang terbanyak dilakukan di Provinsi Lampung, tahun 2009-2010
Kegiatan Utama Penduduk Usia 15+
2009 Jumlah Persentase (000 jiwa) (%) 5.351,9 100,0
2010 Jumlah Persentase (000 jiwa) (%) 5.824,4 100,0
Angkatan kerja Bekerja Pengangguran
3.672,2 3.387,2 240,0
67,8 93,4 6,6
3.957,7 3.737,1 220,6
68,0 94,4 5,6
Bukan Angkatan kerja Sekolah Mengurus Rumah Tangga Lainnya
1.721,7 414,1 1.098,1 212,5
32,2 24,0 63,7 12,3
1.866,7 445,3 1.185,2 236,2
32,0 23,9 63,5 12,7
Sumber: BPS Provinsi Lampung, 2011e Berdasarkan tingkat pendidikannya, pada tahun 2010 sebagian besar penduduk yang bekerja tingkat pendidikannya tidak lebih dari Sekolah Dasar (53,48 persen). Hal yang sama terlihat juga pada persentase pekerja selama periode tahun 2007-2009 dimana sebagian besar pekerja tidak lebih dari tamatan SD. Persentase ini semakin berkurang dengan semakin tingginya pendidikan. Pekerja dengan pendidikan SLTP berkisar antara 21,06 persen hingga 22,27 persen, pendidikan SLTA antara 15,42 persen hingga 18,59 persen dan dengan pendidikan Diploma atau Sarjana hanya berkisar antara 4,12 persen hingga 5,66 persen. Komposisi ini mengindikasikan kurangnya kesempatan kerja bagi penduduk yang berpendidikan tinggi karena jenis pekerjaan yang tersedia umumnya hanya membutuhkan tingkat keahlian dan keterampilan yang rendah (BPS Provinsi Lampung, 2011e).
72
Hasil estimasi berdasarkan regresi panel menunjukkan hasil yang serupa bahwa bertambahnya jumlah tenaga kerja secara positif berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Namun jika melihat tingkat pendidikannya, hanya tenaga kerja dengan pendidikan SLTP ke bawah (unskill) yang memiliki pengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi sedangkan tenaga kerja dengan pendidikan minimal SLTA tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Setiap peningkatan jumlah tenaga kerja yang tidak terdidik dalam dunia kerja sebanyak 1 persen akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 3,79 persen (ceteris paribus). Tabel 15
Persentase penduduk berumur 15 tahun ke atas yang bekerja menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan, 2007-2010
Pendidikan yang Ditamatkan Tidak/Belum Pernah Sekolah Tidak/Belum Tamat SD SD SLTP SLTA > SLTA
2007 3,62 17,74 38,04 21,06 15,42 4,12
2008 3,25 16,44 37,17 20,91 17,54 4,68
2009 3,16 24,05 27,42 22,10 18,29 4,97
2010 3,07 20,80 29,61 22,27 18,59 5,66
Sumber: BPS Provinsi Lampung, 2011 5.1.2. Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi terhadap Pembangunan Manusia Pertumbuhan ekonomi sering dikaitkan dengan pembangunan manusia. UNDP menyatakan bahwa pembangunan manusia di Indonesia terutama ditentukan
oleh
pertumbuhan
ekonomi.
Pertumbuhan
ekonomi
akan
meningkatkan kemampuan masyarakat untuk mendapatkan pendidikan dan kesehatan yang lebih baik. Pada penelitian sebelumnya oleh Ramirez et al. (2000) membuktikan terdapat pengaruh yang signifikan dari pertumbuhan ekonomi terhadap pembangunan manusia. Secara umum penelitian ini menunjukkan hasil bahwa pelaku ekonomi rumah tangga dan pemerintah, peran keduanya terbukti berpengaruh
secara
signifikan
terhadap
pembangunan
manusia,
namun
pertumbuhan ekonomi tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap pembangunan manusia (Tabel 16).
73
Tabel 16
Hasil estimasi model pembangunan manusia
Variabel Variabel Bebas: Pembangunan Manusia (IPM) Const. Lag Pertumbuhan Pendapatan Perkapita (TUMBUHKAP(-1)) Pendidikan Pengelola Keuangan Ruta (SPOUSESLTP) Lag Pengeluaran Pemerintah (PEM(-1))
Koefisien
p-value*
65, 2649 0,0077 0,0658 0,0675
0,0000 0,2752 0,0000 0,0000
Sumber: Hasil pengolahan Keterangan: *) nilai p-value berdasarkan uji statistik-t satu arah Terciptanya pertumbuhan ekonomi sangat tergantung pada peran pemerintah
yang
dimanifestasikan
melalui
pengeluarannya.
Pemerintah
diperlukan dalam mendistribusikan kembali pendapatan dan peluang ekonomi kepada masyarakat (Hyman, 2005). Melalui pajak yang dikumpulkan, pemerintah mengalokasikan pendapatan tersebut untuk dibelanjakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pada akhirnya, pemerintah juga mengatur aktivitas produksi dan konsumsi untuk mencapai tujuan meningkatnya kualitas manusia dan menghindari terjadinya monopoli serta melindungi masyarakat terutama masyarakat miskin. Sebagian aktivitas produksi yang dikelola pemerintah adalah pendidikan dan kesehatan. Pendidikan dan kesehatan adalah komponen dasar yang membangun kualitas manusia, jika pemerintah tidak turut campur dalam kegiatan produksinya maka masyarakat miskin tidak akan pernah memiliki akses kepada pendidikan dan pelayanan kesehatan.
Hal ini terbukti melalui penelitian ini
bahwa setiap peningkatan pengeluaran pemerintah untuk pendidikan dan kesehatan akan meningkatkan kualitas manusia (IPM). Peningkatan sebesar 1 persen dalam proporsi alokasi anggaran bagi pendidikan dan kesehatan terhadap total pengeluaran pemerintah akan meningkatkan capaian IPM sebanyak 0,0675 poin di tahun berikutnya (ceteris paribus). Dari sisi pelaku ekonomi rumah tangga, pendidikan pengelola keuangan rumah tangga terbukti berpengaruh terhadap pembangunan manusia. Semakin tinggi pendidikan pengelola keuangan, setiap terjadi peningkatan pendapatan akan semakin banyak yang dialokasikan untuk pendidikan dan kesehatan terutama melalui gizi makanan yang dikonsumsi sehari-hari. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa setiap peningkatan 1 persen jumlah pengelola keuangan
74
rumah tangga berpendidikan lebih dari SD akan meningkatkan capaian IPM 0,0658 poin (ceteris paribus). Hasil penelitian ini sejalan dengan Rae (1999) yang membuktikan terdapatnya kualitas kesehatan yaitu gizi yang lebih baik bagi anakanak, jika pengelolaan keuangan dilakukan oleh perempuan yang memiliki pendidikan lebih tinggi. 5.1.3. Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi terhadap Pengangguran Terbatasnya lapangan kerja yang tersedia menyebabkan sebagian angkatan kerja tidak memperoleh pekerjaan. Penduduk yang belum mendapatkan pekerjaan digolongkan ke dalam penduduk yang sedang mencari kerja atau pengangguran. Secara umum angka pengangguran Provinsi Lampung menunjukkan tren menurun sejak tahun 2007 hingga 2010. Dari 7,6 persen di tahun 2007 menjadi 5,6 persen di tahun 2010. Jika melihat rentang waktu tahun 2004-2006, angka penganggguran Provinsi Lampung menunjukkan tren meningkat. Pengangguran tertinggi terjadi di tahun 2006 yaitu 9,1 persen. Tingginya tingkat pengangguran ini sebagai dampak kebijakan kenaikan harga BBM di tahun 2005 yang berpengaruh pada biaya produksi seluruh sektor usaha dan menyebabkan peningkatan pengangguran. % 9,5 9 8,5 8 7,5 7 6,5 6 5,5 5
9,1 8,5 7,6
7,4
7,2 6,6 5,6
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Sumber: BPS Provinsi Lampung, 2011 Gambar 26 Tingkat pengangguran terbuka Provinsi Lampung tahun 2004-2007 Berdasarkan wilayahnya, pengangguran terbanyak terjadi di daerah perkotaan. Pengangguran tertinggi di Kota Metro 12,46 persen dan di Kota Bandar Lampung 11,92 persen. Bagi negara berkembang pengangguran di perkotaan merupakan hal yang umum terjadi. Negara berkembang yang
75
menggiatkan industrialisasi, daerah perkotaannya menjanjikan tingkat upah yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan daerah perdesaan. Hal ini mendorong terjadinya migrasi dari desa ke kota. Tenaga kerja dari desa yang tidak memenuhi kualifikasi, tidak mendapatkan pekerjaan dan akhirnya menganggur. Tabel 17
Hasil estimasi model pengangguran
Variabel Variabel Bebas: Pengangguran (UNEMPLOY) Const. Lag Pertumbuhan Pendapatan Perkapita (TUMBUHKAP(-1)) Lag Pengeluaran Pemerintah (PEM(-1))
Koefisien
p-value*
14,9263 0,0727 -0,1127
0,0000 0,4712 0,0028
Sumber: Hasil pengolahan Keterangan: *) nilai p-value berdasarkan uji statistik-t satu arah. Berdasarkan estimasi regresi panel, pertumbuhan ekonomi yang terjadi tidak memiliki dampak yang signifikan terhadap pengurangan pengangguran di Provinsi Lampung (Tabel 17). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Knotek (2007) yang menemukan bukti empiris bahwa hubungan negatif antara pengangguran dan pertumbuhan ekonomi (hukum Okun) tidak selalu stabil. Hubungan negatif yang dihipotesiskan dapat berubah-ubah tergantung pada siklus bisnis yang sedang terjadi dan lamanya periode pengamatan. Pemerintah selaku agen ekonomi yang mendistribusikan pendapatan memiliki peran dalam mengurangi pengangguran. Kebijakan fiskal berupa pengeluaran bagi pendidikan dan kesehatan terbukti berpengaruh terhadap pengurangan pengangguran. Peningkatan proporsi pengeluaran pemerintah bagi pendidikan dan kesehatan sebesar 1 persen akan mengurangi pengangguran pada tahun berikutnya sebesar 0,11 persen (ceteris paribus). Pengeluaran pendidikan dan kesehatan ini terutama bagi pelayanan pendidikan dasar dan kesehatan dasar termasuk diantaranya bagi keluarga miskin, sehingga dengan meningkatnya akses bagi pendidikan dan kesehatan maka kualitas tenaga kerja meningkat dan akan memampukannya bekerja lebih produktif. Banyaknya tenaga kerja yang lebih produktif dan terdidik memberikan tantangan bagi pemerintah untuk menyediakan lapangan kerja yang sesuai bagi tenaga kerja dengan pendidikan yang lebih tinggi. Saat ini lebih dari separuh pengangguran terbuka di Indonesia berpendidikan tinggi. Provinsi Lampung hampir mengalami hal serupa dimana 44,82 persen pengangguran terbuka di tahun
76
2010 adalah tamatan SLTA ke atas (21,78 persen tamatan SLTA, 11,08 persen tamatan Diploma dan 11,96 persen tamatan Universitas). Salah satu pendorong terjadinya pengangguran terdidik adalah struktur upah yang bergerak lambat. Pekerja pada sektor primer pada umumnya memiliki sedikit kemampuan untuk menentukan posisi mereka. Pekerja pada sektor primer memiliki tingkat keahlian yang terbatas seperti pekerja kasar (buruh lepas/honorer) dan dibayar dengan upah yang rendah. Pada Gambar 27 terlihat bahwa selama tahun 2001-2011, besarnya upah minimum yang ditetapkan pemerintah masih dibawah kebutuhan hidup layak bagi pekerja dan keluarganya. %
105
102,16
100,09
100 95,38
95 90
100,1
94,92
95,25
92,31
85
89,11
86,65
85,81
85,66
80 75 2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
Sumber: Kementrian Ketenagakerjaan dan Transmigrasi, diolah. Gambar 27 Perbandingan Upah Minimum (UM) terhadap Kebutuhan Hidup Layak (KHL) Upah yang rendah menyebabkan pekerja memiliki keterbatasan. Pekerja kasar bertahan dengan upah rendah dan tidak memiliki peluang untuk memilih karena pendidikannya rendah dan tidak mungkin menganggur karena tidak terdapatnya jaminan sosial baginya jika tidak memiliki pendapatan. Pekerja dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi memiliki lebih banyak kesempatan untuk menentukan posisi mereka karena memiliki keahlian. Umumnya pekerja dengan pendidikan yang lebih tinggi memiliki status ekonomi menengah ke atas, lebih baik dari keadaan ekonomi pekerja kasar. Tenaga kerja dengan keadaan ekonomi menengah ke atas akan memilih untuk menunggu pekerjaan dengan upah yang sesuai dan tidak keberatan untuk menganggur.
77
5.1.4. Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi terhadap Distribusi Pendapatan Pertumbuhan pendapatan yang tinggi belum tentu dinikmati oleh seluruh kelompok
masyarakat.
Pertumbuhan
tersebut
terkendala
oleh
distribusi
pendapatan yang tidak merata. Distribusi pendapatan diindikasikan oleh besaran indeks Gini dimana semakin dekat nilainya dengan 0 (nol) maka semakin merata distribusi pendapatan antar individu suatu wilayah. Tren indeks gini tahun 20052010, secara umum di Provinsi Lampung terjadi penurunan dari sekitar 0,346 menjadi 0,292 (Tabel 18). Penurunan ini menunjukkan terjadinya distribusi pendapatan yang semakin merata antar individu. Penurunan ketimpangan juga terjadi pada berbagai kabupaten/kota di Provinsi Lampung dengan distribusi pendapatan paling merata di tahun 2010 terdapat di Kabupaten Lampung Tengah dan Lampung Timur. Namun jika melihat rentang waktu yang lebih jauh, indeks gini Provinsi Lampung di tahun 2002 sebesar 0,268 jauh lebih rendah dari tahun 2005 dan masih lebih baik jika dibandingkan dengan tahun 2010. Meskipun di tahun 2005-2010 menuju keadaan semakin merata, distribusi pendapatan di tahun 2002 lebih merata jika dibandingkan tahun 2010. Tabel 18
Perkembangan indeks Gini Provinsi Lampung tahun 2005-2010
Kabupaten/Kota 1. Lampung Barat 2. Tanggamus 3. Lampung Selatan 4. Lampung Timur 5. Lampung Tengah 6. Lampung Utara 7. Way kanan 8. Tulang Bawang 9. Bandar Lampung 10. Metro LAMPUNG
2005 0,268 0,267 0,293 0,269 0,333 0,295 0,265 0,309 0,401 0,397 0,346
2006 0,270 0,252 0,300 0,271 0,278 0,248 0,278 0,264 0,303 0,306 0,292
2007 0,208 0,178 0,287 0,193 0,192 0,214 0,226 0,190 0,208 0,214 0,238
2008 0,293 0,260 0,341 0,287 0,321 0,317 0,301 0,284 0,345 0,289 0,332
2009 0,276 0,251 0,272 0,260 0,283 0,275 0,310 0,262 0,319 0,272 0,297
2010 0,258 0,257 0,282 0,242 0,242 0,294 0,267 0,282 0,317 0,314 0,292
Sumber: BPS, diolah Estimasi regresi menunjukkan bahwa tidak terdapat cukup bukti untuk menyatakan pertumbuhan ekonomi berdampak pada semakin meratanya pendapatan (Tabel 19). Namun jika melihat pertumbuhan ekonomi menurut sektor pertanian, pertumbuhan output di sektor pertanian terbukti berpengaruh terhadap semakin meratanya pendapatan. Pertumbuhan output pertanian sebesar 1 persen akan mengurangi indeks Gini sebesar 0,003 poin (ceteris paribus). Berkurangnya
78
indeks Gini (semakin mendekati nol) berarti distribusi pendapatan semakin menuju ke arah yang merata. Hasil ini sejalan dengan penelitian Timmer (2002) bahwa produktivitas pertanian memiliki dampak anti Kuznets, yaitu bahwa pertumbuhan
ekonomi
(yang
didorong
sektor
pertanian)
meningkatkan
pemerataan distribusi pendapatan. Tabel 19
Hasil estimasi model distribusi pendapatan
Variabel Variabel Bebas: Distribusi Pendapatan (GINI) Const. Lag Pertumbuhan Pendapatan Perkapita (TUMBUHKAP(-1)) Pertumbuhan Output Sektor Pertanian (TUMBUHTANI)
Koefisien
p-value*
0,2860 -0,0005 -0,0030
0,0000 0,2935 0,0457
Sumber: Hasil pengolahan Keterangan: *) nilai p-value berdasarkan uji statistik-t satu arah. 5.1.5. Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi terhadap Pengentasan Kemiskinan Kemiskinan di Provinsi Lampung secara umum mengalami penurunan (Tabel 20). Persentase penduduk miskin di tahun 2002 mencapai 24 persen berkurang menjadi 18 persen di tahun 2010. Jika ditinjau dari indeks kedalaman kemiskinan, nilainya juga mengalami penurunan dari 4,18 di tahun 2002 menjadi 2,99 di tahun 2010. Hal ini menunjukkan adanya perbaikan secara rata-rata pada kesenjangan antara standar hidup penduduk miskin di Lampung dengan garis kemiskinan. Pendapatan penduduk miskin semakin mendekati garis kemiskinan yang berarti semakin baik keadaan kesejahteraannya. Indeks keparahan kemiskinan, juga mengalami penurunan dari 1,12 di tahun 2002 menjadi 0,8 di tahun 2010. Nilai indeks keparahan yang menurun bermakna bahwa ketimpangan pengeluaran antar penduduk miskin semakin menyempit. Segala upaya dilakukan untuk mengentaskan kemiskinan terutama dengan meningkatkan pendapatan nasional. Pertumbuhan ekonomi yang terjadi akan meningkatan pendapatan masyarakat dan secara tidak langsung memengaruhi tingkat kemiskinan. Pada uraian sebelumnya variabel pembangunan manusia, pengangguran dan distribusi pendapatan telah diuji hubungannya dengan pertumbuhan ekonomi. Tahap berikutnya adalah menguji peranan variabelvariabel tersebut terhadap pengentasan kemiskinan.
79
Tabel 20 Tahun
Indeks kemiskinan Provinsi Lampung tahun 2002-2010 Head Count Index
Indeks Kedalaman Kemiskinan
2002 24,06 2003 22,63 2004 22,22 2005 21,42 2006 22,77 2007 22,19 2008 20,93 2009 19,34 2010 17,76 Sumber: BPS, 2012
Indeks Keparahan Kemiskinan
4,18 4,26 4,12 4,10 4,62 3,94 4,43 3,45 2,99
1,12 1,17 1,12 1,19 1,3 1,07 1,25 1,12 0,8
Berdasarkan hasil estimasi regresi, variabel yang terbukti secara signifikan terhadap kemiskinan adalah pembangunan manusia, pengangguran dan harga (Tabel 21). Pembangunan manusia berperan dalam pengentasan kemiskinan sedangkan banyaknya pengangguran dan semakin tingginya tingkat harga memperparah kemiskinan. Variabel distribusi pendapatan menunjukkan bahwa semakin timpang pendapatan maka semakin tinggi tingkat kemiskinannya, namun hasil ini tidak terbukti signifikan secara statistik. Tabel 21
Hasil estimasi model kemiskinan
Variabel Variabel Bebas: Kemiskinan (MISKIN) Const. Pembangunan Manusia (IPM) Pengangguran (UNEMPLOY) Distribusi Pendapatan (GINI) Tingkat Harga (HARGA)
Koefisien
p-value*
133,3180 -1,8449 0,5820 16,0610 0,02839
0,0040 0,0056 0,0332 0,2898 0,1070
Sumber: Hasil pengolahan Keterangan: *) nilai p-value berdasarkan uji statistik-t satu arah. Meskipun distribusi pendapatan tidak signifikan secara statistik dalam penelitian ini, namun arah yang ditunjukkan oleh koefisiennya menunjukkan bahwa distribusi pendapatan yang semakin timpang akan meningkatkan kemiskinan. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Bourguinon (2004) bahwa distribusi pendapatan yang semakin merata akan mengurangi tingkat kemiskinan. Tidak signifikannya pertumbuhan ekonomi terhadap distribusi
pendapatan (model
distribusi
pendapatan) memutus
pemerataan distribusi pendapatan terhadap kemiskinan.
pengaruh
80
Dari sisi pembangunan manusia, kemiskinan berarti penyangkalan bagi pilihan dan kehidupan layak (UNDP,1997). Masyarakat miskin memiliki keterbatasan untuk memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan. Jika masyarakat miskin mampu memperbaiki kualitas dirinya dengan pendidikan dan kesehatan maka produktivitas dan pendapatan akan meningkat. Pendapatan yang meningkat berarti dapat hidup secara layak dan memiliki kebebasan untuk memilih. Penelitian ini membuktikan bahwa semakin baik kualitas manusia maka kemiskinan akan semakin berkurang. Setiap peningkatan capaian IPM sebanyak 1 poin akan mengurangi 1,84 persen penduduk miskin. Penelitian Lanjouw et al. (2001) menunjukkan bahwa pembangunan manusia yang diindikasikan oleh besarnya pengeluaran pemerintah bagi pendidikan dan kesehatan terbukti memiliki manfaat bagi masyarakat miskin di Indonesia. Pembangunan manusia meningkatkan kualitas tenaga kerja. Tenaga kerja dengan pendidikan dan kesehatan yang lebih baik memiliki produktivitas yang lebih tinggi. Produktivitas dan kualitas yang lebih baik diharapkan akan mengurangi pengangguran. Pengangguran terbukti memperparah kemiskinan karena
seorang
penganggur
tidak
memiliki
pendapatan
dan
hal
ini
menyebabkannya jauh dari sejahtera. Kesejahteraan yang berkurang dan terbatasnya pilihan menyebabkan pengangguran dapat jatuh miskin. Peningkatan 1 persen jumlah pengangguran akan meningkatkan jumlah penduduk miskin sebesar 0,58 persen (ceteris paribus). Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah (BKPMD) investasi yang bersifat padat karya adalah investasi pada sektor primer, terutama pertanian. Investasi pada sektor tersebut menyerap tenaga kerja paling banyak jika dibandingkan dengan sektor lainnya (lihat kembali Tabel 11). Jika melihat penyerapan tenaga kerja sektor pertanian menurut subsektornya maka selama periode 2009-2010 subsektor perkebunan merupakan subsektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja. Subsektor perkebunan bersifat padat karya dengan karakteristik sebagian besar tenaga kerjanya adalah buruh kasar dengan pendidikan tertinggi adalah SD, sedangkan tenaga kerja dengan pendidikan yang lebih tinggi bekerja sebagai mandor atau staf di perkantoran. Upah buruh perkebunan tidak memiliki batas minimum seperti layaknya dalam sektor industri
81
sehingga buruh tani tidak memiliki kemampuan menawar dan menerima saja upah yang ditetapkan perusahaan perkebunan. Pada sisi lain masyarakat yang memilih menjadi buruh kasar dikarenakan tidak memiliki lahan, tidak memilki ketrampilan dan justru merasa terselamatkan dengan adanya pekerjaan sebagai buruh meskipun upahnya rendah. Tabel 22
Rata-rata upah nominal dan upah riil buruh tani di Indonesia tahun 2008-2011
Upah Harian (Rp) Nominal Riil
2008 28.538 20.887
2009 36.827 30.473
2010 38.041 29.669
2011 39.153 28.872
Sumber: BPS, 2012 Secara umum upah nominal buruh tani per hari di Indonesia mengalami peningkatan dari 28 ribu Rupiah di tahun 2008 menjadi 39 ribu Rupiah di tahun 2011 (Tabel 22). Namun jika dikaji secara riil dengan membandingkannya dengan tingkat inflasi, upah buruh tani mengalami penurunan. Upah riil buruh tani per hari di tahun 2009 mencapai 30 ribu Rupiah namun turun menjadi 28,9 ribu Rupiah di tahun 2011. Penurunan upah riil tersebut menunjukkan bahwa penghasilan buruh tani berkurang dan jika tidak memiliki sumber penghasilan lain maka kesejahteraannya juga berkurang. Menurunnya upah riil diakibatkan terjadinya peningkatan harga yang lebih tinggi dari peningkatan upah nominal. Peningkatan harga menyebabkan beban masyarakat miskin semakin berat. Guncangan harga dapat menyebabkan masyarakat yang berada di sekitar garis kemiskinan dapat jatuh menjadi miskin. Hal ini terlihat ketika terjadi kenaikan harga BBM di tahun 2005 dan 2008. Harga BBM mengalami peningkatan sebanyak dua kali di tahun 2005 yaitu pada tanggal 1 Maret 2005 dari Rp. 1.810/liter menjadi Rp. 2.400/liter dan pada tanggal 1 Oktober dari Rp. 2.400/liter menjadi Rp. 4.500/liter. Peningkatan harga BBM memicu naiknya harga-harga komoditas lainnya sehingga inflasi Bandar Lampung pada bulan Oktober merupakan yang tertinggi di Sumatera mencapai 12,87 persen. Secara keseluruhan pada akhir tahun 2005 Bandar Lampung mengalami peningkatan harga 21,17 persen. Pada tahun 2008 harga BBM meningkat lagi menjadi Rp. 6.000/liter dan inflasi Bandar Lampung kembali melebihi 10 persen yaitu sebesar 14,82 persen. Peningkatan harga ini menyebabkan kemiskinan di Lampung meningkat 1,35 persen di tahun 2006 menjadi 22,77 persen. Hasil yang
82
serupa ditunjukkan dalam penelitian ini dimana peningkatan indeks harga sebesar 1 poin (yang berarti harga lebih mahal 1 persen dari tahun sebelumnya) akan meningkatkan kemiskinan 0,028 persen. Kebijakan stabilitas pendapatan yang memproteksi pendapatan rumah tangga dari guncangan ekonomi adalah kebijakan jangka pendek yang dapat digunakan untuk mengatasi kemiskinan tersebut. 5.2. Simulasi Kebijakan Simulasi merupakan salah satu tahapan permodelan yang dapat digunakan untuk mengkaji arah hubungan dan besarnya pengaruh dari perubahan variabel eksogen tertentu dalam model terhadap seluruh variabel endogen. Simulasi memiliki beberapa tujuan yakni melakukan pengujian dan evaluasi terhadap model (ex-post), mengevaluasi kebijakan pada masa lampau (backasting) dan membuat peramalan pada masa datang (ex-ante). 5.2.1. Validasi Model Sebelum melakukan simulasi, terlebih dahulu dilakukan validasi model untuk mengetahui daya prediksi model. Model dikatakan cukup valid untuk digunakan dalam simulasi kebijakan jika nilai Theil’s Inequality (U-Theil’s) mendekati 0 (nol). Hasil validasi model disajikan dalam Tabel 23 menunjukkan bahwa kelima persamaan memiliki nilai U-Theil’s masih dibawah 0,5 sehingga secara umum dapat dikategorikan mendekati nol. Tabel 23
Hasil validasi variabel endogen pada model estimasi Variabel Endogen
Pertumbuhan Pendapatan Perkapita Pembangunan Manusia Pengangguran Distribusi Pendapatan Kemiskinan
U-Theil’s 0,486 0,004 0,181 0,070 0,065
Sumber: Hasil pengolahan 5.2.2. Dampak Kenaikan Investasi Swasta Analisis dampak kenaikan investasi swasta dilakukan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh investasi melalui instrumen besaran nilai investasi terhadap pertumbuhan pendapatan perkapita, pembangunan manusia, tingkat pengangguran, distribusi pendapatan dan kemiskinan. Simulasi dilakukan dengan skenario meningkatkan investasi swasta di semua kabupaten/kota sebesar 11,5 persen. Skenario ini didasarkan pada target pertumbuhan investasi nasional
83
berdasarkan Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (BAPPENAS). Skenario tersebut kemudian dibandingkan dengan skenario berikutnya yaitu jika kenaikan investasi swasta mencapai 20 persen dan 35 persen. Tabel 24
Hasil simulasi peningkatan investasi swasta Variabel
Pertumbuhan Pendapatan Perkapita Pembangunan Manusia Pengangguran Distribusi Pendapatan Kemiskinan
Nilai Dasar 4,93 68,8 10,5 0,26 20,0
Simulasi Kenaikan Investasi 11,5 % 20 % 35 % 4,95 4,96 4,98 68,80 68,8 68,8 10,5 10,5 10,5 0,26 0,26 0,26 20,0 20,0 20,0
Sumber: Hasil pengolahan Hasil simulasi yang disajikan dalam Tabel 24 menunjukkan bahwa peningkatan nilai investasi hanya memiliki pengaruh pada pertumbuhan pendapatan per kapita. Semakin besar kenaikan investasi swasta maka semakin besar pertumbuhan pendapatan perkapita yang terbentuk. Namun pertumbuhan ekonomi tersebut belum mampu menggerakan perubahan pada kualitas manusia, tingkat pengangguran dan tingkat kemiskinan. 5.2.3. Dampak Kenaikan Pengeluaran Pemerintah bagi Pendidikan dan Kesehatan Analisis mengenai dampak investasi pembangunan manusia oleh pemerintah dilakukan dengan melakukan simulasi meningkatkan proporsi pengeluaran pemerintah bagi pendidikan dan kesehatan. Skenario yang dilakukan adalah meningkatkan proporsi pengeluaran pemerintah bagi pendidikan dan kesehatan sebesar 20 persen dan 35 persen. Hasil simulasi pada Tabel 26 dan Tabel 26 menunjukkan bahwa semakin besar anggaran yang dialokasikan pemerintah bagi pendidikan dan kesehatan secara simultan akan mengurangi kemiskinan lebih banyak. Tabel 25
Hasil simulasi peningkatan proporsi pengeluaran pemerintah bagi pendidikan dan kesehatan sebesar 20 persen Variabel
Pertumbuhan Pendapatan Perkapita Pembangunan Manusia Pengangguran Distribusi Pendapatan Kemiskinan
Sumber: Hasil pengolahan
Nilai Dasar 4,93 68,8 10,5 0,26 20,0
Nilai Simulasi 4,93 69,3 9,7 0,26 18,7
Besar Perubahan 0,00 0,50 -0,8 0,00 -1,3
Persentase Perubahan 0,00 0,73 -7,62 0,00 -6,50
84
Tabel 25 menunjukkan bahwa peningkatan proporsi pengeluaran pemerintah bagi pendidikan dan kesehatan sebesar 20 persen akan berdampak pada pembangunan manusia, yang mengalami peningkatan capaian IPM 0,5 poin lebih tinggi. Semakin baiknya kualitas manusia berarti tersedianya tenaga kerja dengan kualitas dan produktivitas yang lebih baik dan hal ini mempengaruhi besarnya tingkat pengangguran. Hasil simulasi ini menunjukkan bahwa tingkat pengangguran
berkurang
7,62
persen.
Berdasarkan
nilai
dasar
tingkat
pengangguran 10,5 persen dengan simulasi berkurang menjadi 9,7 persen. Berkurangnya pengangguran tersebut akan meningkatkan kesejahteraan dan hal ini dapat terlihat dari berkurangnya tingkat kemiskinan dari 20 persen menjadi 18,7 persen. Tabel 26
Hasil simulasi peningkatan proporsi pengeluaran pemerintah bagi pendidikan dan kesehatan sebesar 35 persen Variabel
Pertumbuhan Pendapatan Perkapita Pembangunan Manusia Pengangguran Distribusi Pendapatan Kemiskinan
Nilai Dasar 4,93 68,8 10,5 0,26 20,0
Nilai Simulasi 4,93 69,6 9,2 0,26 17,7
Besar Perubahan 0,00 0,80 -1,3 0,00 -2,3
Persentase Perubahan 0,00 1,16 -12,38 0,00 -11,5
Sumber: Hasil pengolahan Jika membandingkan hasil simulasi 20 persen dengan simulasi 35 persen dapat terlihat bahwa semakin besar pengeluaran pemerintah bagi pendidikan dan kesehatan maka semakin berkurang kemiskinannya. Hal ini dapat ditelaah dengan membandingkan besarnya perubahan yang dihasilkan dalam simulasi model. Jika proporsi pendidikan dan kesehatan ditingkatkan 35 persen lebih besar maka akan meningkatkan kualitas manusia 0,8 poin capaian IPM. Perubahan ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan simulasi peningkatan proporsi pendidikan dan kesehatan 20 persen. Hal yang sama juga terjadi pada tingkat pengangguran, simulasi 35 persen mengurangi pengangguran dari 10,5 persen menjadi 9,2 persen. Tingkat kemiskinan juga mengalami pengurangan yang lebih banyak dari 20 persen menjadi 17,7 persen.
85
5.2.4. Dampak Kenaikan Jumlah Infrastruktur Jalan, Pendidikan Dasar dan Fasilitas Kesehatan Simulasi ini bertujuan untuk melihat pengaruh peningkatan jumlah infrastruktur dan peningkatan indeks harga terhadap pertumbuhan pendapatan perkapita, pembangunan manusia, tingkat pengangguran, distribusi pendapatan dan tingkat kemiskinan. Kenaikan jumlah infrastruktur dilakukan secara bersamaan yaitu meningkatkan rasio panjang jalan terhadap luas wilayah, rasio murid terhadap guru pada pendidikan dasar dan banyaknya puskesmas tiap 100.000 penduduk masing-masing sebesar 20 persen. Hasil simulasi disajikan dalam Tabel 27 menunjukkan bahwa peningkatan jumlah infrastruktur akan meningkatkan pertumbuhan pendapatan perkapita. Perubahan pertumbuhan ekonomi yang terjadi sangat signifikan yaitu mencapai 88,24 persen. Namun perubahan yang tinggi ini tidak berpengaruh terhadap variabel endogen lainnya. Pembangunan manusia, tingkat pengangguran, distribusi pendapatan dan tingkat kemiskinan tidak terdapat perbedaan antara nilai dasar dan simulasi. Tabel 27
Hasil simulasi peningkatan jumlah infrastruktur sebesar 20 persen Variabel
Pertumbuhan Pendapatan Perkapita Pembangunan Manusia Pengangguran Distribusi Pendapatan Kemiskinan
Nilai Dasar 4,93 68,8 10,5 0,26 20,0
Nilai Simulasi 9,28 68,8 10,5 0,26 20,0
Besar Perubahan 4,35 0,00 0,00 0,00 0,00
Persentase Perubahan 88,24 0,00 0,00 0,00 0,00
Sumber: Hasil pengolahan 5.3. Sintesis Penelitian Dalam proses pembangunan, Provinsi Lampung mengalami permasalahan sosial dan ekonomi antara lain ketertinggalan dari provinsi lain secara regional di Pulau Sumatera maupun secara nasional. Provinsi Lampung merupakan salah satu dari sepuluh provinsi termiskin di Indonesia. Seiring dengan tingginya tingkat kemiskinan, Provinsi Lampung memiliki kualitas manusia terburuk di Pulau Sumatera yang diindikasikan oleh rendahnya capaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Pada sisi lain, pertumbuhan ekonomi Provinsi Lampung selama periode 2004-2010 menunjukkan tren yang positif dan di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi di Sumatera.
86
Salah satu sumber pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan adalah investasi. Investasi selain meningkatkan pertumbuhan ekonomi juga merupakan solusi bagi perluasan kesempatan kerja dan pada akhirnya pengentasan kemiskinan. Investasi di Provinsi Lampung mengalami fluktuasi seiring dengan kondisi perekonomian global dan nasional. Hasil uji regresi pada model pertumbuhan pendapatan perkapita menunjukkan bahwa investasi swasta memiliki pengaruh yang signifikan. Selain investasi swasta, investasi pemerintah dalam bentuk infrastruktur jalan, fasilitas kesehatan dan pendidikan dasar juga memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Selama periode 2009-2010 investasi yang ditanamkan di Provinsi Lampung sebagian besar pada sektor usaha sekunder. Namun sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja adalah sektor primer yaitu sektor pertanian. Kebutuhan tenaga kerja yang tinggi pada sektor ini terutama diperuntukkan bagi tenaga kasar dengan perjanjian kerja yang bersifat informal dan mendapatkan upah rendah. Hasil uji regresi data panel pada model pertumbuhan pendapatan perkapita menunjukkan bahwa tenaga kerja yang tidak terdidik memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Signifikannya peran tenaga kerja tidak terdidik di Provinsi Lampung tidak berarti bahwa pendidikan bukanlah hal yang penting di Lampung, namun sebuah fenomena yang menunjukkan bahwa masyarakat Lampung merasa cukup dengan pendidikan rendah karena tetap dapat memperoleh pekerjaan dan penghasilan. Salah satu indikator yang menunjukkan rendahnya minat terhadap pendidikan adalah Angka Partisipasi Sekolah (APS) dan rasio murid terhadap guru. Angka Partisipasi Sekolah (APS) Provinsi Lampung pada usia 7-12 tahun menunjukkan persentase yang masih di bawah 100 persen dan persentase tersebut semakin berkurang dengan semakin tingginya kelompok usia. Rasio murid terhadap jumlah guru juga menunjukkan bahwa beban murid yang diampu guru juga masih tergolong rendah yaitu 18 murid. Investasi di Lampung menyerap tenaga kerja yang tidak terdidik dan hal ini mendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi. Fakta mengenai rendahnya upah menunjukkan bahwa besarnya pertumbuhan ekonomi tersebut tidak dinikmati oleh masyarakat miskin. Tingkat upah yang rendah menyebabkan pekerja tidak terdidik sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi tidak mampu mengangkat
87
kesejahteraannya tanpa pertolongan pihak lain. Distribusi pendapatan yang tidak merata ini tidak dapat dikurangi ketimpangannya dengan pertumbuhan ekonomi. Hasil uji regresi pada model distribusi pendapatan menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap distribusi pendapatan. Pertumbuhan ekonomi diharapkan dapat mengentaskan kemiskinan. Namun hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi di Provinsi Lampung tidak memiliki pengaruh yang signifikan pada kualitas manusia, distribusi pendapatan dan pengurangan pengangguran. Hal inilah yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi di Provinsi Lampung belum dapat mengentaskan kemiskinan. Hasil simulasi terhadap berbagai determinan pertumbuhan ekonomi menunjukkan bahwa hanya terjadi pertumbuhan ekonomi yang meningkat dan tidak disertai dengan pemeratan pendapatan, peningkatan kualitas manusia, perluasan kesempatan kerja dan pengentasan kemiskinan. Hasil penelitian ini menegaskan pentingnya peran pendidikan dalam pengentasan kemiskinan. Pendidikan dan kesehatan merupakan unsur yang membangun kualitas manusia. Hal ini ditunjukkan dalam persamaan kemiskinan, bahwa semakin baik kualitas manusia suatu wilayah maka tingkat kemiskinan semakin berkurang. Hasil simulasi kebijakan juga menunjukkan bahwa semakin besar proporsi pengeluaran pemerintah yang dialokasikan bagi pendidikan dan kesehatan akan meningkatkan kualitas manusia, mengurangi pengangguran dan mengentaskan kemiskinan.
Halaman ini sengaja dikosongkan
VI.
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan Beberapa kesimpulan yang dapat diambil berdasarkan hasil penelitian ini adalah: 1. Investasi berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi, baik investasi swasta maupun investasi pemerintah berpengaruh secara positif terhadap pertumbuhan ekonomi.
Meskipun
demikian
pertumbuhan
ekonomi
tersebut
tidak
berpengaruh terhadap pengentasan kemiskinan. 2. Pertumbuhan ekonomi tidak dapat mengentaskan kemiskinan karena manfaat pertumbuhan ekonomi tidak terdistribusi secara merata. Investasi yang paling berperan dalam penyerapan tenaga kerja adalah investasi pada sektor primer terutama sektor pertanian. Investasi pada sektor pertanian bersifat padat karya, mampu menyerap tenaga kerja lebih banyak jika dibandingkan dengan sektor lainnya. Namun tenaga kerja yang terserap dan berperan terhadap pertumbuhan ekonomi adalah tenaga kerja yang tidak terdidik. Tenaga kerja yang tidak terdidik bekerja sebagai tenaga kasar dengan upah rendah. Fakta mengenai rendahnya upah buruh terutama buruh tani menunjukkan bahwa besarnya pertumbuhan ekonomi tidak dinikmati oleh masyarakat miskin. Tingkat upah yang rendah menyebabkan pekerja (tidak terdidik) sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi tidak mampu mengangkat kesejahteraannya tanpa pertolongan pihak lain. 3. Pertumbuhan ekonomi tidak dapat mengentaskan kemiskinan karena tidak tersedianya lapangan pekerjaan yang mampu menyerap supply tenaga kerja. 4. Pertumbuhan ekonomi tidak dapat mengentaskan kemiskinan karena upah yang rendah menyebabkan masyarakat miskin tidak dapat meningkatkan kualitas manusianya. Masyarakat miskin dengan upah yang rendah hanya memenuhi kebutuhan hidup subsisten tanpa mengalokasikan pengeluaran bagi peningkatan pendidikan maupun kesehatan.
89
90
6.2. Saran dan Implikasi Kebijakan Berdasarkan kesimpulan yang telah diperoleh, penulis menyarankan: 1. Investasi swasta yang memiliki dampak terhadap penyerapan tenaga kerja adalah investasi pada sektor primer yang bersifat padat karya. Pemerintah perlu mendorong terbentuknya usaha yang bersifat padat karya. Usaha yang padat karya akan mampu menyerap tenaga kerja yang tersedia. 2. Pemerintah perlu melakukan redistribusi pendapatan untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang dirasakan secara merata oleh seluruh masyarakat Lampung. Redistribusi pendapatan dapat berupa subsidi bagi masyarakat miskin dalam bentuk pemberdayaan masyarakat miskin dalam berbagai sektor ekonomi. Salah satu bentuk subsidi yang diharapkan dapat mengentaskan pengangguran sekaligus kemiskinan adalah subsidi pada kredit pinjaman. Masyarakat miskin dapat memiliki modal usaha yang pada akhirnya selain meningkatkan kesejahteraan juga membuka lapangan kerja dan menciptakan kemandirian rumah tangga miskin. 3. Salah satu bentuk redistribusi pendapatan lainnya adalah menciptakan infrastruktur yang terjangkau oleh seluruh masyarakat. a. Infrastruktur jalan akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Banyaknya jalan dalam keadaan rusak dan rusak berat di Provinsi Lampung menuntut perhatian pemerintah untuk memperbanyak dan memperbaiki infrastruktur jalan hingga daerah terpencil. b. Banyaknya guru PNS yang berpusat di sepanjang lintas Sumatra dan daerah perkotaan, menyebabkan rasio murid guru tidak merata. Alokasi guru secara merata diperlukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan dasar. Pemerintah daerah secara tegas perlu mengalokasikan guru hingga menjangkau daerah lain di Provinsi Lampung. 4. Bagi peneliti lain, studi lanjutan dapat dilakukan dengan meneliti peran investasi dengan lebih rinci menurut sektor/subsektor. Hal ini dengan mempertimbangkan daya serap tenaga kerja dan besaran modal yang dibutuhkan berbeda antar sektor usaha. Penelitian diarahkan untuk mengetahui sektor mana sajakah yang paling bermanfaat bagi penyerapan tenaga kerja dan pengentasan kemiskinan.
DAFTAR PUSTAKA Abdurachman A, Mulyani A, Nurida NL. 2009. Kondisi dan antisipasi keterbatasan pertanian di Pulau Jawa. Pengembangan Inovasi Pertanian 2(4):283-285. Adam RH Jr. 2004. Economic growth, inequality and poverty: estimating the growth elasticity of poverty. World Development 32(12):1989-2014. Ali NBV. 2006. Analisis hubungan pembangunan manusia dan kinerja perekonomian di Indonesia: suatu pendekatan simultan pada model data panel propinsi [tesis]. Jakarta: Universitas Indonesia. Baltagi BH. 2005. Econometric Analysis of Panel Data. Ed ke-3. West Sussex: John Wiley and Sons, Ltd. Basri F, Munandar H. 2009. Lanskap Ekonomi Indonesia. Jakarta: Kencana. [BKPM] Badan Koordinasi Penanaman Modal. 2004. Perkembangan Persetujuan dan Ijin Usaha Tetap Penanaman Modal. Jakarta: Biro Perencanaan dan Informasi, BKPM. Blanchard O. 2006. Macroeconomics. New York: Prentice Hall Business Publishing. Bourguignon F. 2004. The Poverty-Growth-Inequality Triangle. Washington: World Bank. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2012. Website BPS, berbagai publikasi. www.bps.go.id. _______. 2008. Indeks Pembangunan Manusia 2006-2007. Jakarta: BPS. _______. 2000-2011. Data dan informasi kemiskinan. Jakarta: BPS. [BPS] Badan Pusat Statistik Provinsi Lampung. 2010. Statistik Daerah Provinsi Lampung 2010. Bandar Lampung: BPS Provinsi Lampung. _______. 2011a. Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Lampung Tahun 2010. Bandar Lampung: BPS Provinsi Lampung. _______. 2011b. Lampung Dalam Angka 2011. Bandar Lampung: BPS Provinsi Lampung. _______. 2011c. Produksi Tanaman Padi Provinsi Lampung Tahun 2006-2011. Bandar Lampung: BPS Provinsi Lampung. _______. 2011d. Produksi Tanaman Palawija Provinsi Lampung Tahun 20062011. Bandar Lampung: BPS Provinsi Lampung. _______. 2011e. Profil Ketenagakerjaan Provinsi Lampung 2010. Bandar Lampung: BPS Provinsi Lampung. _______. 2011f. Statistik Transportasi Provinsi Lampung 2010. Bandar Lampung: BPS Provinsi Lampung.
91
92
_______. 2012a. Produk Domestik Regional Bruto Menurut Lapangan Usaha 2011. Bandar Lampung: BPS Provinsi Lampung. _______. 2012b. Produk Domestik Regional Bruto Menurut Penggunaan 2011. Bandar Lampung: BPS Provinsi Lampung. Brata AG. 2002. Pembangunan manusia dan kinerja ekonomi regional di Indonesia. Jurnal Ekonomi Pembangunan 7(2):113-122. Collier P, Dollar D. 2000. Can the world cut poverty in half? Policy Working Paper No. 2403. Washington: World Bank. Dao QM. 2009. Poverty, income distribution and agriculture in developing countries. Journal of Economic Studies 36(2): 168-183. Daryanto A, Hafizrianda Y. 2010. Model-model Kuantitatif untuk Perencanaan Pembangunan Daerah. Bogor: IPB Press. Dornbusch R, Fischer S, Startz R. 2008. Makroekonomi Ed ke-10. Mirazudin, penerjemah. Jakarta: Media Global Edukasi. Easterly W, Fischer S. 2000. Inflation and the poor. Policy Research Working Paper No. 2335. Washington: World Bank. Fan S, Hazell P. 2001. Returns to public investment in the less-favored areas of India and China. American Agricultural Economics 83(5): 1217-1222. Fereira FH, Ravalion M. 2008. Global poverty and inequality: a review of the evidence. Policy Working Paper No. 4623. Washington: World Bank. Firdaus M. 2011. Aplikasi Ekonometrika untuk Data Panel dan Time Series. Bogor: IPB Press. Foster J, Greer J, Thorbecke E. 1984. A class of decomposable poverty measure. Econometrica 52(3):761-766. Gujarati DN. 2004. Basic econometrics. Ed ke-4. New York: The McGraw-Hill Companies. Hajiji A. 2010. Keterkaitan antara pertumbuhan ekonomi, ketimpangan pendapatan dan pengentasan kemiskinan di provinsi Riau tahun 2002-2008 [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Hyman DN. 2005. Public Finance: A Contemporary Applicationof Theory to Policy. Ohio: South-western. Ikawati D. 2008. The impact of economic growth on poverty reduction in Lampung province Indonesia 1996-2006 [tesis]. Adelaide: Flinders University. Ikhsan, M. 2001. Kemiskinan dan Harga Beras (dalam Suryanda dan Mardianto Bunga Rampai Ekonomi Beras). Jakarta: LPEM-Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jalan J, Ravallion M. 1998. Determinants of transient and chronic poverty: evidence from rural China. World Bank Policy Working Paper No. 1936. Washington: World Bank.
93
Jhingan ML. 2008. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Guritno D, penerjemah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Juanda B. 2009. Ekonometrika: pemodelan dan pendugaan. Bogor: IPB Press. [Kemenkominfo] Kementrian Komunikasi dan Informatika. 2011. Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan Kabinet Indonesia Bersatu II. Jakarta: Kementrian Komunikasi dan Informatika RI. Kraay A. 2006. When is growth pro-poor? evidence from a panel countries. Journal of Economic Development 80:198-227. Knotek, ES II. 2007. How Useful is Okun’s Law? Economic Review-Federal Reserve Bank of Kansas City, Fourth Quarter 2007 92(4):73-103. Li H, Liang H. 2010. Health, education and economic growth in East Asia. Journal of Chinese Economic and Foreign Trade Studies 3(2):110-131. Lanjouw P, Pradhan M, Saadah F, Sayed H, Sparrow R. 2001. Poverty, education and health in Indonesia: who benefits from public spending? World Bank Working Paper No. 2739. Washington: World Bank. Mankiw, N. 2006. Makroekonomi. Ed ke-6. Liza F, Nurmawan I, penerjemah. Jakarta: Gelora Aksara Pratama. Nachrowi DN, Usman H. 2006. Pendekatan populer dan praktis: ekonometrika untuk analisis ekonomi dan keuangan. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Nuraliyah. 2011. Peran pengembangan infrastruktur dalam pengentasan kemiskinan di Indonesia: Jawa dan Luar Jawa [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Priyanto A. 2011. Analisis faktor-faktor yang memengaruhi pembangunan sumber daya manusia di provinsi Banten [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Rae, AN. 1999. Food consumption patterns and nutrition in urban Java households: the discriminatory power of some socioeconomics variables. The Australian Journal of Agriculutral and Resource Economics 43(3):359383. Ramirez A, Ranis G, Stewart F. 2000. Economic growth and human development. World Development 28(2):197-219. Ravallion M, Chen S, Sangraula P. 2008. Dollar a day revisited. Policy Research Working Paper No. 4620. Washington: World Bank. Saunders P. 2002. The direct and indirect effects of unemployment on poverty and inequality. Social Policy Research Centre No. 118. Suhartini, AM. 2011. Pro poor growth tingkat provinsi di Indonesia [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sumarno K, Unang G. 2009. Kemelaratan bagi petani kecil di balik kenaikan produktivitas padi. Sinar Tani Edisi 30 Desember 2009-5 Januari 2010; No. 3335 Tahun XL, hal 18.
94
Suparno. 2010. Desentralisasi fiskal dan pengaruhnya terhadap perekonomian di Indonesia [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Suryahadi A, Hadiwidjaja G, Sumarto S. 2005. Economic growth and poverty reduction in Indonesia before and after the asian financial crisis. Working Paper. Jakarta: SMERU Research Institute. Timmer CP. 2002. Agriculture and Poverty. Indonesian Food Policy Program Working Paper No. 13. Todaro MP, Smith SC. 2006. Pembangunan Ekonomi. Ed ke-9. Munandar H, Puji AL, penerjemah; Barnadi D, Saat S, Hardani W, editor. Jakarta: Erlangga. [UNDP] United Nations of Development Programme. 1996. Human Development Report 1996. New York: Oxford University Press. [UNDP] United Nations of Development Programme. 1997. Human Development Report 1997. New York: Oxford University Press. Waluyo. 2012. Analisis keterkaitan pertumbuhan, pengangguran dan ketimpangan terhadap kemiskinan Provinsi Jawa Tengah 2004-2010 [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Warr P. 2006. Poverty and growth in Southeast Asia. ASEAN Economic Bulletin 23(3): 279-302.
95
Lampiran 1 Produksi Padi, Ubi kayu dan Jagung Provinsi Lampung Tahun 2010 Padi Jagung (ton) (ton) Indonesia 66 469 394 18 327 636 Aceh 1 582 393 167 090 Sumatera Utara 3 582 302 1 377 718 Sumatera barat 2 211 248 354 262 Riau 574 864 41 862 Jambi 628 828 30 691 Sumatera Selatan 3 272 451 125 796 Bengkulu 516 869 74 331 Lampung 2 807 676 2 126 571 Bangka Belitung 22 259 1 055 Kepulauan Riau 1 246 961 DKI Jakarta 11 164 31 Jawa Barat 11 737 070 923 962 Jawa Tengah 10 110 830 3 058 710 DI Yogyakarta 823 887 345 576 Jawa Timur 11 643 773 5 587 318 Banten 2 048 047 28 557 Bali 869 161 66 355 Nusa Tenggara Barat 1 774 499 249 005 Nusa Tenggara Timur 555 493 653 620 Kalimantan Barat 1 343 888 168 273 Kalimantan Tengah 650 416 9 345 Kalimantan Selatan 1 842 089 116 449 Kalimantan Timur 588 879 11 993 Sulawesi Utara 584 030 446 144 Sulawesi Tengah 957 108 162 306 Sulawesi Selatan 4 382 443 1 343 044 Sulawesi Tenggara 454 644 74 840 Gorontalo 253 563 679 167 Sulawesi Barat 362 900 58 020 Maluku 83 109 15 273 Maluku Utara 55 401 20 546 Papua Barat 34 254 1 931 Papua 102 610 6 834 Sumber: BPS Provinsi Lampung, 2011c, 2011d. Provinsi
Ubi kayu (ton) 23 918 118 43 810 905 571 193 188 75 904 39 564 159 929 43 847 8 637 594 21 427 8 397 290 2 014 402 3 876 242 1 114 665 3 667 058 118 979 163 746 70 606 1 032 538 177 807 76 669 76 202 110 061 84 084 74 128 601 437 163 350 6 171 46 368 144 407 109 033 25 113 35 531
96
Lampiran 2 Hasil Estimasi Model Pertumbuhan Pendapatan Perkapita dengan Program Eviews 6.0 Dependent Variable: TUMBUHKAP Method: Panel Two-Stage EGLS (Cross-section random effects) Date: 09/17/12 Time: 11:12 Sample: 2004 2010 Periods included: 7 Cross-sections included: 10 Total panel (balanced) observations: 70 Swamy and Arora estimator of component variances Instrument list: C LOG(INVEST) LOG(JLN) LOG(SEHAT) PEM(-1) SPOUSESLTP TUMBUHTANI TUMBUHKAP(-1) LOG(SKILL) LOG(UNSKILL) LOG(DIKSAR) HARGA Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LOG(INVEST) LOG(JLN) LOG(SEHAT) LOG(DIKSAR) LOG(SKILL) LOG(UNSKILL)
-80.23844 0.186501 1.226073 17.44366 5.219359 0.048553 3.786742
30.37751 0.072281 0.998881 4.563195 3.943097 1.244012 2.128713
-2.641377 2.580238 1.227447 3.822685 1.323670 0.039029 1.778888
0.0052 0.0061 0.1121 0.0001 0.0952 0.4845 0.0400
Effects Specification S.D. Cross-section random Idiosyncratic random
0.000000 5.427365
Rho 0.0000 1.0000
Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic) Instrument rank
0.233623 0.160635 5.451824 3.200833 0.008314 12.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat Second-Stage SSR
2.896298 5.950677 1872.510 2.756362 1872.510
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.233623 1872.510
Mean dependent var Durbin-Watson stat
2.896298 2.756362
97
Lampiran 3 Hasil Uji Hausman Model Pertumbuhan Pendapatan Perkapita Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: EQ10 Test cross-section random effects Test Summary Cross-section random
Chi-Sq. Statistic
Chi-Sq. d.f.
Prob.
7.107943
6
0.3110
Random
Var(Diff.)
Prob.
0.186501 1.226073 17.443660 5.219359 0.048553 3.786742
0.001743 18.466228 33.932023 5.702489 0.674264 18.487010
0.8648 0.0398 0.0163 0.6043 0.1147 0.2664
** WARNING: estimated cross-section random effects variance is zero. Cross-section random effects test comparisons: Variable LOG(INVEST) LOG(JLN) LOG(SEHAT) LOG(DIKSAR) LOG(SKILL) LOG(UNSKILL)
Fixed 0.193609 -7.606356 31.438339 6.456771 -1.246566 -0.991854
Cross-section random effects test equation: Dependent Variable: TUMBUHKAP Method: Panel Two-Stage Least Squares Date: 09/17/12 Time: 13:30 Sample: 2004 2010 Periods included: 7 Cross-sections included: 10 Total panel (balanced) observations: 70 Instrument list: C LOG(INVEST) LOG(JLN) LOG(SEHAT) PEM(-1) SPOUSESLTP TUMBUHTANI TUMBUHKAP(-1) LOG(SKILL) LOG(UNSKILL) LOG(DIKSAR) HARGA Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LOG(INVEST) LOG(JLN) LOG(SEHAT) LOG(DIKSAR) LOG(SKILL) LOG(UNSKILL)
-32.18924 0.193609 -7.606356 31.43834 6.456771 -1.246566 -0.991854
63.08586 0.083470 4.411801 7.399647 4.609827 1.490580 4.797752
-0.510245 2.319523 -1.724093 4.248627 1.400654 -0.836296 -0.206733
0.6120 0.0242 0.0904 0.0001 0.1670 0.4067 0.8370
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic) Instrument rank
0.348987 0.168150 5.427365 1.929841 0.040145 21.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat Second-Stage SSR
2.896298 5.950677 1590.639 2.772345 1590.639
98
Lampiran 4 Hasil Uji Estimasi Model Pembangunan Manusia Dependent Variable: IPM Method: Panel Two-Stage EGLS (Cross-section random effects) Date: 10/18/12 Time: 14:06 Sample: 2004 2010 Periods included: 7 Cross-sections included: 10 Total panel (balanced) observations: 70 Swamy and Arora estimator of component variances Instrument list: C LOG(INVEST) LOG(JLN) LOG(SEHAT) PEM(-1) SPOUSESLTP TUMBUHTANI TUMBUHKAP(-1) LOG(SKILL) LOG(UNSKILL) LOG(DIKSAR) HARGA Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C TUMBUHKAP(-1) SPOUSESLTP PEM(-1)
65.26490 0.007722 0.065788 0.067494
0.422717 0.012865 0.012093 0.008108
154.3937 0.600187 5.440362 8.324189
0.0000 0.2752 0.0000 0.0000
Effects Specification S.D. Cross-section random Idiosyncratic random
0.735606 0.576118
Rho 0.6198 0.3802
Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic) Instrument rank
0.762484 0.751688 0.630062 70.62537 0.000000 12.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat Second-Stage SSR
19.84811 1.264399 26.20054 0.864902 26.20054
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.815167 95.73694
Mean dependent var Durbin-Watson stat
69.92643 0.236700
99
Lampiran 5 Hasil Uji Hausman Model Pembangunan Manusia
Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: EQ11 Test cross-section random effects Test Summary Cross-section random
Chi-Sq. Statistic
Chi-Sq. d.f.
Prob.
15.938107
3
0.0012
Random
Var(Diff.)
Prob.
0.007722 0.065788 0.067494
0.000002 0.000026 0.000000
0.1663 0.0001 0.0757
Cross-section random effects test comparisons: Variable TUMBUHKAP(-1) SPOUSESLTP PEM(-1)
Fixed 0.005767 0.045825 0.066772
Cross-section random effects test equation: Dependent Variable: IPM Method: Panel Two-Stage Least Squares Date: 10/18/12 Time: 13:58 Sample: 2004 2010 Periods included: 7 Cross-sections included: 10 Total panel (balanced) observations: 70 Instrument list: C LOG(INVEST3) LOG(JLN) LOG(SEHAT) PEMT_1 SPOUSESLTP TUMBUHTANI TUMBUHKAP(-1) LOG(SKILL) LOG(UNSKILL) LOG(DIKSAR) HARGA Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C TUMBUHKAP(-1) SPOUSESLTP PEM(-1)
66.01461 0.005767 0.045825 0.066772
0.402649 0.012943 0.013116 0.008118
163.9508 0.445548 3.493702 8.224913
0.0000 0.6576 0.0009 0.0000
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic) Instrument rank
0.963474 0.955785 0.576118 125.2956 0.000000 21.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat Second-Stage SSR
69.92643 2.739843 18.91901 1.008999 18.91901
100
Lampiran 6 Hasil Estimasi Model Pengangguran Dependent Variable: UNEMPLOY Method: Panel Two-Stage EGLS (Cross-section weights) Date: 09/17/12 Time: 12:48 Sample: 2004 2010 Periods included: 7 Cross-sections included: 10 Total panel (balanced) observations: 70 Linear estimation after one-step weighting matrix Instrument list: C LOG(INVEST) LOG(JLN) LOG(SEHAT) PEM(-1) SPOUSESLTP TUMBUHTANI TUMBUHKAP(-1) LOG(SKILL) LOG(UNSKILL) LOG(DIKSAR) HARGA Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C TUMBUHKAP(-1) PEM(-1)
14.92632 0.004288 -0.112682
1.447959 0.058965 0.039283
10.30852 0.072725 -2.868502
0.0000 0.4712 0.0028
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic) Instrument rank
0.393381 0.278332 4.375605 3.419257 0.001059 21.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat Second-Stage SSR
12.65863 5.311557 1110.463 1.829286 1110.463
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.380727 1153.182
Mean dependent var Durbin-Watson stat
11.15344 1.753837
101
Lampiran 7 Hasil Uji Hausman Model Pengangguran Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: EQ12 Test cross-section random effects Test Summary Cross-section random
Chi-Sq. Statistic
Chi-Sq. d.f.
Prob.
17.706651
2
0.0001
Random
Var(Diff.)
Prob.
0.110610 0.067513
0.001406 0.001423
0.0001 0.0001
Cross-section random effects test comparisons: Variable TUMBUHKAP(-1) PEM(-1)
Fixed -0.034318 -0.083484
Cross-section random effects test equation: Dependent Variable: UNEMPLOY Method: Panel Two-Stage Least Squares Date: 09/17/12 Time: 12:50 Sample: 2004 2010 Periods included: 7 Cross-sections included: 10 Total panel (balanced) observations: 70 Instrument list: C LOG(INVEST) LOG(JLN) LOG(SEHAT) PEM(-1) SPOUSESLTP TUMBUHTANI TUMBUHKAP(-1) LOG(SKILL) LOG(UNSKILL) LOG(DIKSAR) HARGA Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C TUMBUHKAP(-1) PEM(-1)
14.05417 -0.034318 -0.083484
1.916953 0.098538 0.051987
7.331513 -0.348268 -1.605860
0.0000 0.7289 0.1137
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic) Instrument rank
0.387480 0.271313 4.434594 3.335528 0.001318 21.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat Second-Stage SSR
11.15344 5.194972 1140.606 1.738599 1140.606
102
Lampiran 8 Hasil Estimasi Model Distribusi Pendapatan Dependent Variable: GINI Method: Panel Two-Stage EGLS (Cross-section random effects) Date: 09/17/12 Time: 12:51 Sample: 2004 2010 Periods included: 7 Cross-sections included: 10 Total panel (balanced) observations: 70 Swamy and Arora estimator of component variances Instrument list: C LOG(INVEST) LOG(JLN) LOG(SEHAT) PEM(-1) SPOUSESLTP TUMBUHTANI TUMBUHKAP(-1) LOG(SKILL) LOG(UNSKILL) LOG(DIKSAR) HARGA Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C TUMBUHKAP(-1) TUMBUHTANI
0.285987 -0.000462 -0.003020
0.010883 0.000847 0.001764
26.27789 -0.545753 -1.712484
0.0000 0.2935 0.0457
Effects Specification S.D. Cross-section random Idiosyncratic random
0.017110 0.040680
Rho 0.1503 0.8497
Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic) Instrument rank
0.046976 0.018528 0.040261 1.651276 0.199514 12.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat Second-Stage SSR
0.181424 0.040639 0.108601 2.372419 0.108601
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.053196 0.124085
Mean dependent var Durbin-Watson stat
0.271429 2.076371
103
Lampiran 9 Hasil Uji Hausman Model Distribusi Pendapatan Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: EQ13 Test cross-section random effects Test Summary Cross-section random
Chi-Sq. Statistic
Chi-Sq. d.f.
Prob.
0.626982
2
0.7309
Random
Var(Diff.)
Prob.
-0.000462 -0.003020
0.000000 0.000001
0.4302 0.5987
Cross-section random effects test comparisons: Variable TUMBUHKAP(-1) TUMBUHTANI
Fixed -0.000620 -0.002630
Cross-section random effects test equation: Dependent Variable: GINI Method: Panel Two-Stage Least Squares Date: 09/17/12 Time: 12:52 Sample: 2004 2010 Periods included: 7 Cross-sections included: 10 Total panel (balanced) observations: 70 Instrument list: C LOG(INVEST) LOG(JLN) LOG(SEHAT) PEM(-1) SPOUSESLTP TUMBUHTANI TUMBUHKAP(-1) LOG(SKILL) LOG(UNSKILL) LOG(DIKSAR) HARGA Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C TUMBUHKAP(-1) TUMBUHTANI
0.284721 -0.000620 -0.002630
0.009893 0.000870 0.001913
28.78102 -0.712909 -1.375106
0.0000 0.4788 0.1744
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic) Instrument rank
0.267649 0.128755 0.040680 1.927003 0.054155 21.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat Second-Stage SSR
0.271429 0.043582 0.095980 2.673238 0.095980
104
Lampiran 10 Hasil Estimasi Model Kemiskinan Dependent Variable: MISKIN Method: Panel Two-Stage EGLS (Cross-section random effects) Date: 09/17/12 Time: 12:53 Sample: 2004 2010 Periods included: 7 Cross-sections included: 10 Total panel (balanced) observations: 70 Swamy and Arora estimator of component variances Instrument list: C LOG(INVEST) LOG(JLN) LOG(SEHAT) PEM(-1) SPOUSESLTP TUMBUHTANI TUMBUHKAP(-1) LOG(SKILL) LOG(UNSKILL) LOG(DIKSAR) HARGA Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C IPM UNEMPLOY GINI HARGA
133.3180 -1.844856 0.581990 16.06109 0.028388
44.64383 0.707674 0.311716 28.84929 0.022620
2.986258 -2.606931 1.867055 0.556724 1.254990
0.0040 0.0056 0.0332 0.2898 0.1070
Effects Specification S.D. Cross-section random Idiosyncratic random
6.347664 2.821390
Rho 0.8350 0.1650
Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic) Instrument rank
0.033994 -0.025452 3.264305 9.002775 0.000008 12.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat Second-Stage SSR
3.357731 3.223539 692.6197 1.428937 461.3806
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.290921 2312.987
Mean dependent var Durbin-Watson stat
20.26700 0.427893
105
Lampiran 11 Hasil Uji Hausman Model Kemiskinan Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: EQ14 Test cross-section random effects Test Summary Cross-section random
Chi-Sq. Statistic
Chi-Sq. d.f.
Prob.
6.706343
4
0.1522
Random
Var(Diff.)
Prob.
-1.844856 0.581990 16.061089 0.028388
1.001765 0.027904 222.585516 0.000391
0.5089 0.3423 0.7491 0.5978
Cross-section random effects test comparisons: Variable IPM UNEMPLOY GINI HARGA
Fixed -2.505913 0.423351 11.290284 0.038820
Cross-section random effects test equation: Dependent Variable: MISKIN Method: Panel Two-Stage Least Squares Date: 09/17/12 Time: 12:53 Sample: 2004 2010 Periods included: 7 Cross-sections included: 10 Total panel (balanced) observations: 70 Instrument list: C LOG(INVEST) LOG(JLN) LOG(SEHAT) PEM(-1) SPOUSESLTP TUMBUHTANI TUMBUHKAP(-1) LOG(SKILL) LOG(UNSKILL) LOG(DIKSAR) HARGA Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C IPM UNEMPLOY GINI HARGA
180.7327 -2.505913 0.423351 11.29028 0.038820
84.49796 1.225792 0.353653 32.47872 0.030046
2.138900 -2.044322 1.197080 0.347621 1.292029
0.0368 0.0456 0.2363 0.7294 0.2017
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic) Instrument rank
0.829246 0.789606 3.153779 29.26847 0.000000 21.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat Second-Stage SSR
20.26700 6.875664 556.9939 1.344228 418.4966