Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Energi Nuklir V, 2012 Pusat Pengembangan Energi Nuklir Badan Tenaga Nuklir Nasional
PENINGKATAN KETAHANAN ENERGI NASIONAL MELALUI PENGUATAN IPTEK DAN SDM Agus Nurrohim Pusat Konversi dan Konservasi Energi – BPPT Gd BPPT II Lt 20 Jl. MH. Thamrin 8, Jakarta Telp/Fax: 021-3169784/021-3169765 Email:
[email protected]
ABSTRAK PENINGKATAN KETAHANAN ENERGI NASIONAL MELALUI PENGUATAN IPTEK DAN SDM. Dalam sepuluh tahun terakhir, kebutuhan energi listrik di Indonesia tercatat tumbuh sebesar 6.4% per tahun, dan sepuluh tahun ke depan, rata-rata pertumbuhannya diperkirakan meningkat menjadi 9,2% per tahun. Mengacu pada RUPTL PLN 2010-2019, rencana penambahan kapasitas pembangkit di Indonesia sampai dengan 2019 masih bertumpu pada energi fosil, khususnya batubara yang memberi andil lebih dari 50% penyediaan listrik. Ketahanan energi yang hanya bertumpu pada ketersediaan sumber daya, apalagi hanya bergantung pada satu sumber daya energi sangat rentan terhadap ketahanan energi nasional. Dalam berbagai kajian banyak ditemui bahwa pembahasan mengenai ketahanan energi masih terbatas pada aspek dasar yang merupakan aspek makro, seperti Availability, Affordability, Accessibility, Acceptability, dan Sustainability. Pada kajian ini, selain lima aspek dasar tersebut akan dipelajari aspek mikro, seperti regulasi, ekonomi, IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi), manajemen & sumber daya manusia, sosial-politik, lingkungan, dan keamanan. Hasil kajian menunjukkan bahwa aspek mikro secara nyata lebih berpengaruh terhadap ketahanan energi suatu negera. Dari hasil kajian ini diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu pertimbangan dalam membuat perencanaan energi, khususnya perencanaan energi kelistrikan secara lebih baik. Kata kunci: ketahanan energi, aspek makro, aspek mikro, IPTEK, Manajemem dan SDM
ABSTRACT IMPROVEMENT OF THE NATIONAL ENERGY SECURITY THROUGH STRENGTHENING SCIENCE AND TECHNOLOGY, AND HUMAN RESOURCES. In the past decade, electricity demand in Indonesia has grown by 6.4% per year, and for the next ten years, the average growth is projected to increase to 9.2% per year. Refer to the RUPTL PLN 2010-2019, development plans of power generation in Indonesia up to 2019 still relies on fossil fuels, especially coal which contributes more than 50%. Energy security that depend only on the availability of resources, moreover just rely on one energy resource is very vulnerable to national energy security. In various studies were encountered that the discussion on energy security was still limited to the macro aspects, such as Availability, Affordability, Accessibility, Acceptability, and Sustainability. In addition to the five macro aspects, in this paper will be discussed micro aspects, such as regulation, economics, science and technology, management and human resources, socio-political, environmental, and security. The results of study showed that the micro aspects are noticeably affect the energy security of a country. From the results of this study is expected to be used as one of the considerations in making a better energy planning, particularly for electrical energy planning. Keywords: energy security, macro aspects, micro aspects, science and technology, management and human resources
ISSN 1979-1208
77
Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Energi Nuklir V, 2012 Pusat Pengembangan Energi Nuklir Badan Tenaga Nuklir Nasional
1.
PENDAHULUAN
Di Indonesia, kebutuhan energi listrik meningkat cepat seiring dengan pesatnya pembangunan di bidang industri dan kebutuhan teknologi masyarakat. Dalam sepuluh tahun terakhir, kebutuhan energi listrik di Indonesia tercatat tumbuh sebesar 6.4% per tahun. Namun, angka pertumbuhan tersebut bukanlah angka real yang mencerminkan pertumbuhan kebutuhan energi listrik secara nyata. Tetapi, merupakan pertumbuhan kemampuan penyediaan pasokan tenaga listrik. Hal ini terlihat dari adanya daftar tunggu (sekitar 1,2 juta pelanggan) yang terjadi di seluruh wilayah di Indonesia, yang baru dituntaskan pada Juli 2011. Selanjutnya, dalam kurun waktu 2010-2019, kebutuhan listrik diproyeksikan tumbuh rata-rata 9,3% per tahun, dengan beban puncak tumbuh rata-rata sebesar 9,5% per tahun. Untuk memenuhi kebutuhan listrik tersebut, PLTU batubara akan mendominasi jenis pembangkit yang akan dibangun, yaitu mencapai 32,7 GW atau 58,8%, sementara sisanya dari PLTGU gas (12,6%), panas bumi (10,8%), dan PLTA sebesar 9,5%. Secara umum, biaya pembangkitan listrik batubara yang dilengkapi teknologi pencegah pencemaran (minimal), masih cukup murah. Tetapi, suatu perencanaan yang baik, tidak hanya berdasar pada biaya yang murah saja, tetapi faktor-faktor lain, seperti faktor infrastruktur, lingkungan, dan lain-lain juga harus diperhitungkan. Karena permasalahan tersebut sangat mempengaruhi ketahanan energi nasional. Kondisi ketahanan energi yang rendah tentunya sangat membahayakan bagi pembangunan ekonomi Indonesia di masa mendatang. Apabila hal tersebut tidak diantisipasi secara baik, maka Indonesia akan sangat rentan terjadi krisis energi listrik, yang pada akhirnya mempengaruhi daya saing nasional terhadap perekonomian global. Berbicara masalah ketahanan energi, ada dua terminologi yang harus dipahami, yaitu ketahanan energi yang bersifat jangka pendek dan ketahanan energi yang bersifat jangka panjang. Dalam kedua terminologi tersebut, berbagai aspek perlu diperhatikan sebagai dasar pemikiran dalam mewujudkan ketahanan energi yang kuat. Aspek makro ketahanan energi merupakan aspek yang mengukur 5 (lima) parameter yaitu Availibility, Affordability, Accessability, Acceptability dan Sustainability (4A+S). Jika lima parameter tersebut terpenuhi, maka tidak dapat disangkal pasti ketahanan energi dapat terjamin. Namun jika dilihat pada aspek mikro, maka terpenuhinya 5 parameter tersebut belum menjamin ketahanan energi secara baik, kecuali jika aspek mikronya dikuasai secara baik. Jika tidak, maka yang terjadi adalah ketahanan energi semu. Untuk itu, perhatian pada penguatan aspek mikro menjadi lebih penting guna mencapai ketahanan energi yang nyata. Parameter yang tercakup dalam aspek mikro antara lain: kemampuan ekonomi, penguasaan IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi), penguasaan manajemen & sumber daya manusia, regulasi, kondisi sosial-politik, lingkungan, dan keamanan. Jika parameterparameter ini, khususnya parameter kemampuan ekonomi, penguasaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) dan Sumber Daya Manusia (SDM) masih dikendalikan oleh pihak asing, maka ketahanan energi masih belum bisa dijamin berjalan secara baik. Makalah ini, selain menguraikan aspek makro juga akan membahas peran aspek mikro dalam menciptakan ketahanan energi secara nyata. Diharapkan, makalah ini akan menjadi salah satu acuan yang mampu menyadarkan betapa pentingnya penguasaan aspek mikro ketahanan energi, khususnya penguasaan IPTEK dan Sumber Daya Manusia.
2.
KONDISI KELISTRIKAN NASIONAL
2.1.
Kondisi Kelistrikan Saat Ini Kapasitas terpasang pembangkit tenaga listrik PLN dan Independent Power Producer (IPP) sampai dengan tahun 2009 sebesar 30,32 GW, yang terdiri dari 22,91 GW di sistem Jamali dan 7,41 GW untuk sistem wilayah operasi Indonesia Barat dan Indonesia Timur. Jika
ISSN 1979-1208
78
Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Energi Nuklir V, 2012 Pusat Pengembangan Energi Nuklir Badan Tenaga Nuklir Nasional dilihat lebih detail, dari 22,91 GW kapasitas yang terpasang di Jamali, 38,7% atau 8,87 GW adalah PLTU Batubara, 6,6% PLTU Minyak dan Gas, 29% PLTGU Gas dan Minyak, 11,1% PLTA dan sekitar 15% sisanya adalah PLTG, PLTD dan PLTP. Sementara untuk non-Jamali, 6,80 GW adalah pembangkit milik PLN dan 0,61 GW pembangkit dari IPP, dengan daya mampu pembangkit hanya sekitar 75% dari kapasitas terpasang atau 5,56 GW. Rendahnya daya mampu ini karena sistem pembangkitan masih didominasi oleh PLTD (sekitar 35%), dan sekitar 60% PLTD yang beroperasi telah berusia lebih dari 10 tahun. Untuk produksi, penyedian tenaga listrik tahun 2009 sebesar 156,80 TWh terdiri atas produksi tenaga listrik PLN sebesar 120,63 TWh dan pembelian sebesar 36.17 TWh. Penjualan tenaga listrik PLN tahun 2009 sebesar 134,6 TWh, dengan rincian penjualan untuk sektor industri sebesar 46,2 TWh, sektor rumah tangga sebesar 54,95 TWh, sektor komersial atau usaha sebesar 24,83 TWh dan sektor publik, sosial dan pemerintah sebesar 8,61 TWh. 2.2.
Rencana Kelistrikan Nasional Pada periode 2010-2019 kebutuhan listrik Indonesia diperkirakan akan meningkat dari 147,1 TWh pada tahun 2010 menjadi 327,3 TWh pada tahun 2019 atau meningkat dengan laju pertumbuhan sebesar 9,29% per tahun. Pada periode tersebut, sistem Jawa Bali diperkirakan akan meningkat dari 115,1 TWh menjadi 252,5 TWh, atau tumbuh rata-rata 9,12% per tahun. Untuk Indonesia Timur pada periode yang sama kebutuhan listrik akan meningkat dari 11,3 TWh menjadi 20,1 TWh atau tumbuh rata-rata 10,65% per tahun. Sementara untuk wilayah Indonesia Barat tumbuh dari 21,4 TWh pada tahun 2010 menjadi 54,8 TWh pada tahun 2019 atau tumbuh rata-rata 10,79% per tahun. Detail proyeksi kebutuhan listrik periode 2010–2019 ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1. Proyeksi Kebutuhan Listrik 2010-2019 (TWh) [1] 2010
2011
2013
2015
2017
2019
GR
Indonesia Jawa-Bali
147,1 115,1
160,5 125,2
192,7 149,6
230,8 179,0
275,3 213,0
327,3 252,5
9.29% 9.12%
Indonesia Timur Indonesia Barat
11,3 21,4
12,6 23,3
15,8 28,1
19,1 35,5
23,2 44,5
28,1 53,8
10.65% 10.79%
Berdasarkan RUPTL 2010-2019, rencana penambahan kapasitas pembangkit gabungan seluruh Indonesia selama 10 tahun mendatang (periode 2010 – 2019) untuk seluruh Indonesia adalah 55,5 GW atau pertambahan kapasitas rata-rata mencapai 5,5 GW per tahun. PLTU batubara makin mendominasi jenis pembangkit yang akan dibangun, yaitu mencapai 32,7 GW atau 58,8%, sementara PLTGU gas menempati urutan kedua dengan pangsa 12,6%. Untuk energi terbarukan, panas bumi memberi kontribusi sebesar 10,8% dari kapasitas total, dan PLTA sebesar 9,5%. Detail, proyeksi penambahan pembangkit listrik di Indonesia selama rentang waktu 2010-2019 ditunjukkan seperti pada Tabel 2. Tabel 2. Proyeksi Penambahan Pembangkit Listrik 2010-2019 (MW) [1] Tahun PLTU PLTP PLTGU PLTG PLTD PLTM PLTA Total
2010 3,317 10 484 115 11 39 180 4,156
ISSN 1979-1208
2011 4,981 58 930 10 36 37 195 6,247
2012 3,483 256 423 305 12 97 10 4,586
2013 3,182 1,000 350 50 48 56 300 4,986
2014 4,415 2,653 360 44 14 1,157 8,643
2015 2,270 70 65 42 6 155 2,608
2016 3,750 353 700 235 34 6 413 5,491
2017 2,130 395 1,500 800 16 9 745 5,595
2018 1,417 530 2,250 1,065 33 2 1,311 6,608
2019 3,752 665 1,280 50 818 6,565
Total 32,697 5,990 6,997 3,925 326 266 5,284 55,485
Pangsa 58.93% 10.80% 12.61% 7.07% 0.59% 0.48% 9.52% 100%
79
Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Energi Nuklir V, 2012 Pusat Pengembangan Energi Nuklir Badan Tenaga Nuklir Nasional Untuk Jawa-Bali, tambahan kapasitas pembangkit selama 10 tahun ke depan (periode 2010-2019) adalah 36,2 GW atau pertambahan kapasitas rata-rata mencapai 3,6 GW per tahun. Dari kapasitas tersebut PLN akan membangun sebanyak 23,1 GW atau 64% dari keseluruhan tambahan kapasitas. Sama sebagaimana kondisi nasional, di Jawa-Bali PLTU batubara tetap mendominasi jenis pembangkit yang akan dibangun, yaitu mencapai 21,6 GW atau 59,7%, sementara PLTGU gas menempati urutan kedua dengan pangsa 17,7%. Untuk energi terbarukan, panas bumi memberi kontribusi sebesar 3,3 GW atau 9,0%, dan PLTA sebesar 3,1 GW atau 8,7% dari kapasitas total. Di Indonesia Barat, untuk memenuhi kebutuhan tenaga listrik sampai dengan tahun 2019 diperlukan tambahan kapasitas pembangkit sebesar 12,37 GW. Sementara untuk Indonesia Timur sebesar 6,90 GW (termasuk committed dan ongoing projects). 2.3.
Analisa Rencana Kelistrikan Nasional Sebagaimana dijelaskan sebelumya, bahwa dalam perencanaan kelistrikan yang mengacu pada RUPTL 2010-2019 PLN, PLTU batubara merupakan pembangkit yang akan mendominasi sistem pembangkit di Indonesia (58,8%). Untuk Sistem Jawa-Bali, PLTU Batubara akan menduduki porsi 59,7% (dari Kapasitas yang ada di Jawa-Bali) atau 21,6 GW, atau sebesar 66% dari seluruh kapasitas PLTU Batubara di Indonesia. Pembangunan PLTU batubara dalam jumlah kapasitas besar di Jawa akan memunculkan masalah yang besar baik dalam penyediaan infrastruktur maupun beban lingkungan. Kondisi tersebut seharusnya menjadi pertimbangan dalam menentukan pembangkit listrik berkapasitas besar lainnya seperti pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) ke dalam sistem kelistrikan Jawa Bali. Berdasakan analisis perencanaan energi BPPT, PLTN bisa diperhitungkan secara tekno-ekonomi ke dalam sistem kelistrikan di Jawa Bali jika biaya produksi listriknya bersaing dengan PLTU batubara (tentunya PLTU batubara dengan seluruh infrastruktur dan teknologi pencegah polusinya). Jika kondisi ini dipenuhi maka pada tahun 2020 diperkirakan PLTN dapat masuk ke dalam sistem kelistrikan dengan kapasitas 1 GW dan mencapai 3 GW tahun 2030 atau sebesar 2,1% dari total kapasitas pembangkitan listrik nasional. Meskipun demikian, keberadaan PLTN ini masih perlu dianalisis lebih lanjut dengan mempertimbangkan aspek-aspek lain diluar permasalahan teknis dan ekonomis. Pemanfaatan batubara yang sebagian besar berlokasi di Jawa dipenuhi dari pasokan batubara yang berasal dari Sumatera dan Kalimantan. Dalam rentang waktu sampai dengan 2019, batubara yang ditransportasikan dari Sumatera dan Kalimanatan ke Jawa mencapai 34 juta ton pada tahun 2012 dan akan meningkat dua kali lipat menjadi 70 juta ton pada tahun 2019. Selain beban lingkungan/pencemaran yang akan terjadi akibat pembakaran batubara dalam jumlah besar, besarnya jumlah batubara yang ditransportasikan ke Jawa diperlukan dukungan infrastruktur antara lain berupa penyediaan pelabuhan muat, area penimbunan/penyimpanan, tongkang, kapal penarik tongkang, kapal tunda, pelabuhan bongkar, dan truk atau kereta api pengangkut batubara. Hal ini menjadikan transportasi batubara perlu mendapat perhatian untuk menjaga keandalan pasokan batubara. Mengingat, selain frekwensi mobilitas kapal yang tinggi, gangguan cuaca yang menyebabkan terhambatnya pergerakan kapal yang sering terjadi di wilayah laut Indonesia. Disamping itu aspek keselamatan di dalam penyimpanan batubara dan emisi yang ditimbulkan akibat pemanfaatan batubara juga perlu penanganan khusus. Guna menunjang keandalan dalam pasokan batubara maka konsep DMO harus diterapkan secara konsisten karena gagalnya ketersediaan pasokan batubara berdampak pada kelangkaan pasokan listrik dan terhambatnya aktivitas ekonomi di industri.
ISSN 1979-1208
80
Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Energi Nuklir V, 2012 Pusat Pengembangan Energi Nuklir Badan Tenaga Nuklir Nasional
3.
KETAHANAN ENERGI NASIONAL
Dua terminologi yang harus dipahami terkait dengan ketahanan energi, yaitu ketahanan energi yang bersifat jangka pendek dan ketahanan energi yang bersifat jangka panjang. Ketahanan energi yang sifatnya jangka pendek adalah ketahanan energi yang mengacu pada “secure of supply” terutama pada saat terjadi keadaan darurat, misalnya bencana alam. Jadi, ketahanan energi jangka pendek merupakan kemampuan sistem energi untuk memberikan respon secara cepat atas perubahan/gangguan yang mendadak atas penyediaan energi dan permintaan energi. Sementara ketahanan energi yang bersifat jangka panjang adalah ketahanan energi berkaitan dengan penyediaan dan pemanfaatan energi yang selaras dengan perkembangan ekonomi dan batasan-batasan lingkungan. Pada bagian ini, akan dilakukan analisis secara kwalitatif ketahanan energi guna memperkuat perencanaan energi ke depan. 3.1.
Aspek Makro Ketahanan Energi Upaya menciptakan ketahanan energi membutuhkan dukungan dan keterjaminan terhadap akses ataupun sumber-sumber energi serta proses konversi dan distribusi energi untuk menjamin terciptanya ketahanan energi dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Ketahanan energi atau “energy security” mempunyai pengertian yang beragam sesuai kepentingan suatu negara. Secara umum, pengertian ketahanan energi dipahami sebagai suatu kondisi di mana kebutuhan masyarakat luas akan energi dapat dipenuhi secara berkelanjutan berdasarkan prinsip-prinsip ketersediaan (availability), keterjangkauan (harga) (affordability), kemudahan akses (accessibility), penerimaam/dapat diterima (acceptability), dan keberlanjutan (sustainability). Kelima parameter tersebut merupakan aspek dasar atau aspek makro yang harus terpenuhi guna menjaga ketahanan energi secara baik. Secara garis besar kelima aspek tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: o Aspek availability menunjukkan ketersediaan energi, baik energi fosil, seperti minyak bumi, gas dan batubara, maupun energi baru dan terbarukan, seperti surya, bayu, sampah, mikro-hidro, dan lain-lain. Parameter yang digunakan untuk mengukur tingkat availability antara lain adalah potensi energi baik energi fosil maupun energi baru dan terbarukan, rasio cadangan dan produksi primer energi fosil. o Aspek affordability menunjukkan keterjangkauan (harga) atau kemampuan konsumen untuk membayar harga energi yang diperlukan untuk membangun infrastruktur energi dan pengelolaan energi. Dengan kata lain, kemampuan konsumen membayar energi dengan harga keekonomiannya. Sedangkan dari sisi produsen affordability adalah kelayakan harga untuk mengcover biaya usahanya secara wajar dan menguntungkan. o Aspek accessability menunjukkan kemudahan akses ke sumberdaya energi yang berupa energi final oleh pengguna energi. Hal tersebut berarti energi final yang berasal dari energi primer dan hasil transformasi energi yang dieksplorasi, dieksploitasi harus dapat mencapai lokasi pengguna melalui jalur transmisi/distribusi yang ada. Masalah kemudahan akses di atas seringkali terkait dengan faktor geografis, karena pada wilayah-wilayah yang secara geografis tidak mudah dijangkau dan infrastruktur yang belum baik. o Aspek acceptability menunjukkan penerimaan atau dapat diterimanya energi yang disediakan untuk masyarakat. Aseptabilitas ini terkait dengan kecocokan atau kesesuaian dengan kebiasaan pengguna energi dalam menggunakan energi sehingga bisa diterima oleh masyarakat. Hal ini dipengaruhi antara lain oleh adat istiadat setempat, tingkat pendidikan, teknologi yang digunakan, dan sebagainya. Selain itu juga memperhatikan aspek lingkungan setempat.
ISSN 1979-1208
81
Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Energi Nuklir V, 2012 Pusat Pengembangan Energi Nuklir Badan Tenaga Nuklir Nasional o
Aspek sustainability menunjukkan keberlanjutan ketersediaan energi jangka panjang, yaitu pemenuhan kebutuhan energi saat ini tanpa harus mengorbankan generasi masa depan dalam memenuhi kebutuhannya. Indikator yang digunakan untuk mengukur aspek ini antara lain: pengelolaan energi terkait dengan lingkungan (berwawasan lingkungan), tingkat diversifikasi energi (EBT/Energi Fosil atau pangsa EBT terhadap total suplai), dan konservasi energi. Secara makro, jika lima aspek tersebut terpenuhi, maka dapat dipastikan ketahanan energi akan terjamin. Namun, tingkat keterjaminan yang diberikan bisa jadi bersifat jangka pendek atau bersifat semu. Dikatakan bersifat jangka pendek atau semu karena di dalam lima aspek tersebut harus dilihat sejauh mana kekuatan aspek mikronya. Karena pada aspek mikro inilah yang sebenarnya lebih menentukan tingkat ketahanan energi. Untuk mengetahui sejauh mana aspek mikro memberi kontribusi terhadap kelima aspek makro diatas, maka perlu diajukan pertanyaan “siapa dan bagaimana”. Pertanyaan “siapa” untuk menjawab pertanyaan apakah sumberdaya manusia “lokal” (bukan asing) telah memegang peran utama dalam pengembangan energi yang mencakup lima aspek tersebut diatas. Sementara pertanyaan “bagaimana” untuk menjawab bagaimana pengembangan dan pengelolaan energi yang ada, apakah masih sepenuhnya bergantung pada teknologi luar (impor) atau telah menggunakan teknologi hasil pengembangan dalam negeri. Jika kedua pertanyaan itu dijawab masih tergantung pada sumberdaya manusia, teknologi dan manajemen asing maka disitulah ketahanan energi akan bersifat jangka pendek dan semu. Untuk itu, penguatan tingkat pendidikan sumberdaya manusia dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) merupakan kunci dari terpenuhinya ketahanan energi secara nyata dan bersifat jangka panjang. Selain itu, tidak bisa dilepaskan adalah regulasi dan kebijakan terkait dengan energi dan kemampuan ekonomi. 3.2.
Aspek Mikro Ketahanan Energi Pakar energi dunia, Daniel Yergin, mendefinisikan ketahanan energi berdasarkan kepentingan dua jenis negara, yaitu eksportir dan importir. Bagi Negara eksportir, ketahanan energi berarti bagaimana mengamankan permintaan akan produk energi yang mereka miliki untuk menjamin pemasukan finansial yang diperlukan untuk keberlangsungan negara mereka. Sementara itu, Yergin membagi negara-negara importir menjadi negara maju dan berkembang. Bagi negara-negara importir maju, seperti Amerika Serikat, Uni Eropa dan Jepang, upaya menjamin ketahanan energi dilakukan melalui diversifikasi energi serta perdagangan dan investasi di kawasan penghasil energi dunia. Bagi negara-negara importir berkembang, seperti Indonesia, ketahanan energi dijaga dengan cara mencari solusi yang tepat dalam menyikapi perubahan energi yang akan berdampak pada perekonomian mereka. Negara-negara berkembang sangat berkepentingan dengan gejolak harga energi global karena isu ini sangat mempengaruhi kondisi sosial dan domestik mereka. Aspek Regulasi Di dalam membangun ketahanan energi nasional, aspek regulasi mempunyai peranan yang penting sebagai payung hukum untuk seluruh upaya dan kegiatan yang terkait. Meskipun sampai saat ini Indonesia belum mempunyai perundangan yang secara khusus mengatur mengenai pembangunan ketahanan energi nasional, namun dalam perundangundangan bidang energi yang ada telah mencakup juga hal-hal yang berkaitan dengan ketahanan energi nasional, terutama dalam hal penyediaan, distribusi, harga energi, serta konservasi energi. Perundangan yang ada di bidang energi secara keseluruhan dapat dibagi ke dalam beberapa kelompok besar yaitu: mengenai energi secara umum; pertambangan
ISSN 1979-1208
82
Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Energi Nuklir V, 2012 Pusat Pengembangan Energi Nuklir Badan Tenaga Nuklir Nasional (mineral dan batubara); minyak dan gas bumi; ketenagalistrikan; ketenaganukliran; dan mengenai panas bumi; serta mengenai konservasi energi. Aspek Ekonomi Sebagaimana dijelaskan diatas bahwa dalam upaya menjamin ketahanan energinya, negara-negara maju melakukan investasi di kawasan penghasil energi dunia. Ini berarti, kekuatan ekonomi yang mereka miliki memegang peranan penting dalam mengendalikan penyediaan energi mereka. Sebaliknya, negara penghasil energi dimana negara maju melakukan investasi mempunyai bergaining yang lemah karena tersandera kepentingan ekonomi negara maju. Dari sini dapat dijelaskan bahwa kemampuan ekonomi sangat menentukan ketahanan energi nasional. Sementara keterkaitan antara pertumbuhan ekonomi dengan energi dapat jelaskan bahwa pertumbuhan ekonomi nasional tidak terlepas dari sektor energi yang berperan sebagai penggerak roda perekonomian. Tanpa ketersediaan energi, roda perekonomian akan berhenti; dan sebaliknya pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan menyebabkan peningkatan kebutuhan energi yang tinggi pula. Selain itu, peningkatan kebutuhan akan energi pada akhirnya akan merangsang tumbuhnya industri penyediaan energi, yang merupakan investasi yang memberikan dampak positif terhadap pembangunan ekonomi itu sendiri. Dengan demikian, ketersediaan energi akan sangat terkait dan berpengaruh terhadap tercapainya pertumbuhan ekonomi suatu negara. Aspek Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan faktor yang sangat penting dalam menopang kemajuan perekonomian dan peningkatan kesejahteraan bangsa secara berkelanjutan. Teknologi menjadi faktor yang memberikan kontribusi signifikan dalam peningkatan kualitas hidup suatu bangsa. Implikasi paradigma ini adalah terjadinya proses transisi perekonomian dunia yang semula berbasiskan pada sumber daya (Resource Based Economy/RSE) menjadi perekonomian yang berbasiskan pengetahuan (Knowledge Based Economy/KBE). Pada KBE, kekuatan bangsa diukur dari kemampuan IPTEK sebagai faktor primer ekonomi menggantikan modal, lahan dan energi untuk peningkatan daya saing. Dengan penguasaan IPTEK akan mampu meningkatkan produktivitas perekonomian dan daya saing bangsa. Ukuran yang mencerminkan kemampuan teknologi industri secara umum dapat dilihat dari seberapa besar angka ekspor dan impor dari sektor industri tertentu. Untuk Indonesia, nilai ekspor antara tahun 1996 sampai 2009 didominasi oleh produk-produk yang kandungan teknologinya rendah. Sementara impor Indonesia didominasi oleh produk industri, tambang, dan produk industri makanan dengan kandungan teknologi yang tinggi. Hal tersebut menunjukkan bahwa Indonesia belum dapat memperoleh manfaat nilai tambah yang maksimal melalui pemanfaatan teknologi dalam pengelolaan sumber daya alam. Investasi industri untuk litbang teknologi masih sangat terbatas, sehingga kemampuan industri dalam menghasilkan teknologi masih rendah. Di samping itu, beberapa industri besar dan industri yang merupakan Penanaman Modal Asing (PMA) mempunyai ketergantungan yang besar pada teknologi yang berasal dari industri induknya atau dari negara asing. Akibatnya ketergantungan semakin besar pada negara asing penghasil teknologi dan kurangnya pemanfaatan teknologi hasil litbang dalam negeri. Ketergantungan industri pada teknologi impor antara lain disebabkan oleh kelemahan lembaga litbang nasional dalam menyediakan teknologi yang siap pakai. Hal ini disebabkan oleh rendahnya produktivitas litbang yang disebabkan oleh belum efektifnya kelembagaan, sumber daya, dan jaringan Iptek.
ISSN 1979-1208
83
Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Energi Nuklir V, 2012 Pusat Pengembangan Energi Nuklir Badan Tenaga Nuklir Nasional Ketahanan IPTEK bidang energi Indonesia masih rendah. Penguasaan teknologi eksplorasi dan eksploitasi migas saat ini masih belum memadai agar Indonesia dapat menjadi Negara yang memiliki ketahanan energi tinggi dan berdaulat energi. Fakta yang ada hampir semua kontraktor-kontraktor migas menggunakan teknologi asing. Kandungan lokal untuk industri migas saat ini baru mencapai 30%. Sementara untuk pembangkit listrik batubara berkapasitas produksi 8 Megawatt (MW) ke bawah memiliki kandungan lokal 70% (60,37% untuk TKDN Barang dan 9,63% untuk TKDN Jasa), kemudian kandungan lokal pembangkit 8 MW - 25 MW 50% (42,64% TKDN Barang dan 7,36% TKDN Jasa), pembangkit 25 MW -100 MW baru 45% (38,83% TKDN Barang dan 6,16% TKDN Jasa), dan pembangkit dengan kapasitas diatas 100 MW mempunyai kandungan lokal 40% (35,72% TKDN Barang dan 4,28% TKDN Jasa). Untuk Pembangkit Listrik Tenaga Nuklit (PLTN), tingkat komponen dalam negeri (TKDN) yang bisa dipenuhi dalam pembangunannya yang pertama dapat mencapai 30% sampai dengan 40%. Sementara untuk PLTP, TKDN berkisar antara 28,95% untuk kapasitas diatas 110 MW dan 40.45% untuk kapasitas sampai dengan 10 MW. Aspek Sumber Daya Manusia (SDM) dan Manajemen Secara umum, saat ini Indonesia masih kekurangan sumber daya manusia yang andal dalam bidang pengelolaan energi. Hal itu menyebabkan persoalan energi nasional tak pernah kunjung usai. Melimpahnya cadangan sumber energi tidak serta-merta dapat dinikmati langsung oleh masyarakat, melainkan lebih banyak diatur oleh orang/negara lain. Untuk mengatasi msalah tersebut diperlukaan manajemen SDM yang lebih baik dalam pengelolaan energi ke depan. Pasalnya, pengelolaan energi nasional saat ini lebih banyak diatur oleh bangsa lain. Pemerintah dinilai tidak dapat berbuat banyak untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Ia mencontohkan produksi minyak, batubara, dan gas bumi saat ini lebih banyak diekspor daripada untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan industri dalam negeri. Harus diakui bila SDM yang dimiliki bangsa Indonesia untuk mengembangkan industri manufkatur masih sangat terbatas. Baik dari tingkat yang paling atas hingga pada level pelaksana atau operator. Ini terutama sekali bila dihubungkan dengan tingkat kreatifitas serta produktivitas kerja. Bahkan bila dibanding dengan Thailand atau Vietnam, Indonesia masih kalah. Apalagi dibandingkan dengan negara lain yang lebih maju. Aspek Sosial-Politik Kebijakan energi, khususnya kebijakan harga energi merupakan isu sosial politik yang cukup sensitif, karena bersifat populis dan menyentuh kehidupan masyarakat luas. Lahirnya kebijakan energi sering diwarnai pro dan kontra yang menimbulkan ketegangan antar masyarakat. Permasalahan ini akan menjadi kendala yang berarti dalam membangun ketahanan energi, jika tidak dikelola dengan baik. Hal ini karena kebijakan yang populis biasanya lebih mengedepankan tujuan untuk “menyenangkan dan menenangkan” rakyat, dan dengan hanya sedikit pertimbangan rasionalitas terhadap permasalahannya. Misalnya, pemberian subsidi pada BBM yang ternyata menjadi beban yang cukup besar dalam anggaran negara, dan bisa mempengaruhi perilaku tidak efisien dalam penggunaan BBM. Masalah sosial juga berpotensi timbul karena masalah lokal, khususnya beroperasinya perusahaan tambang di daerah yang kurang berkembang, di mana perusahaan karena kekurangan tenaga terlatih lokal lebih banyak menggunakan tenaga dari luar daerah. Konflik antara penduduk lokal (dan kadang dengan pemerintah daerah) antara lain menimbulkan demonstrasi, pemogokan, blokade, bahkan pada beberapa kasus terjadi pendudukan kegiatan usaha yang mempengaruhi kegiatan produksi. Hal ini tentunya akan sangat mempengaruhi upaya penyediaan energi.
ISSN 1979-1208
84
Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Energi Nuklir V, 2012 Pusat Pengembangan Energi Nuklir Badan Tenaga Nuklir Nasional Aspek Lingkungan Hidup Dalam segala aktivitas, energi menjadi kebutuhan pokok yang tidak bisa ditawartawar lagi. Namun harus diakui bahwa sumber pencemaran, baik lokal, regional maupun global, terbesar bersumber pada eksplorasi, eksploitasi dan pemanfaatan energi. Penyumbang terbesar kerusakan lingkungan hidup secara menyeluruh, adalah polusi yang ditimbulkan oleh pembakaran bahan bakar fosil, seperti batubara, bahan bakar minyak, dan gas alam secara besar-besaran. Dari pembakaran itu berakibat terjadinya emisi rumah kaca sebagai penyebab pemanasan global, hujan asam, dan pencemaran udara lokal. Pembakaran bahan bakar fosil seperti minyak bumi dan batubara secara besar-besaran, dilakukan orang untuk keperluan pembangkit tenaga listrik, industrialisasi, dan transportasi. Khusus untuk bahan bakar pembangkit tenaga listrik, sebenarnya penggunaan bahan bakar fosil sudah bisa ditekan sekecil mungkin, karena ada teknologi modern yang menggunakan bahan bakar lain non fosil atau suber energi baru dan terbarukan yang tidak menimbulkan polusi. Terkait dengan ketahanan energi, aspek lingkungan hidup harus diperhitungkan, khususnya untuk menjaga ketahanan energi jangka panjang. Solusi yang harus dilakukan untuk menjaga lingkungan hidup tetap terjaga adalah peningkatan penggunaan energi baru dan terbarukan, penerapan program konservasi energi, dan pemakaian teknologi bersih lingkungan. Aspek Keamanan Aspek keamanan harus dipertimbangkan dalam upaya membangun ketahanan energi. Setidaknya ada dua hal yang harus diperhitungkan yaitu keamanan dari sisi kebencanaan dan keamanan dari gangguan masyarakat. Keamanan dari sisi kebencanaan yang dimaksud adalah keamanan wilayah terhadap kerawanan terhadap bencana alam (gempa bumi, letusan gunung berapi, serta bencana turunan seperti banjir dan longsor). Pembangunan ketahanan energi di lokasi yang rawan bencana alam harus bisa mengupayakan ketersediaan energi pada saat bencana terjadi dan setelahnya. Perencanaan infrastruktur pendistribusian energi harus mempertimbangkan jenis-jenis risiko bencana yang mungkin terjadi. Selain bencana, ancaman yang mungkin terjadi adalah ancaman fisik seperti sabotase infrastruktur energi. Karena, pembangunan infrastruktur energi di satu sisi memberi manfaat yang besar, tetapi diisi lain sering menjadi sasaran kelompok-kelompok tertentu yang ingin mengganggu kestabilan keamanan Negara. Mengingat infrastruktur energi merupakan salah satu instalasi vital dan strategis negara.
4.
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1.
Kesimpulan Dalam sepuluh tahun mendatang, kebutuhan listrik Indonesia diperkirakan akan meningkat dengan laju pertumbuhan rata-rata sebesar 9,29% per tahun. Peningkatan terbesar terjadi di Wilayah Indonesia Barat dengan laju pertumbuhan rata-rata 10,79% per tahun. Sementara untuk Wilayah Indonesia Timur dan Sistem Jawa-Bali, masing masing akan meningkat denga laju pertumbuhan rata-rata 10,65% per tahun dan 9,12% per tahun. PLTU batubara merupakan jenis pembangkit yang akan mendominasi penyediaan listrik dengan pangsa 58,8% dari kapasitas total terpasang Indonesia, dan untuk sistem Jawa-Bali PLTU Batubara akan memberi andil sebesar 59,7%. Pembangunan PLTU batubara yang terkonsentrasi di Jawa akan diperlukan batubara sampai dengan 70 juta ton per tahun. Untuk itu, pembangunan PLTU ini perlu mempertimbangkan secara seksama masalah penyediaan infrastruktur transportasi, penyimpanan, maupun beban lingkungan yang akan
ISSN 1979-1208
85
Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Energi Nuklir V, 2012 Pusat Pengembangan Energi Nuklir Badan Tenaga Nuklir Nasional terjadi. Selain itu, ketergantungan pada satu jenis sumber daya energi akan menimbulkan permasalahan pada ketahanan energi nasional. Ketahanan energi yang hanya mengacu pada aspek Availability, Affordability, Accessibility, Acceptability, dan Sustainability secara makro tanpa melihat aspek mikronya akan menghasilkan ketahanan energi yang semu dan bersifat jangka pendek. Paling tidak ada tujuh aspek mikro yang harus diperhatikan dalam mengisi aspek makro ketahanan energi, yaitu aspek kemampuan ekonomi, penguasaan IPTEK, kemampuan SDM dan manajemen, aspek regulasi, sosial politik, lingkungan, dan keamanan. Pemenuhan tujuh aspek mikro ini dalam aspek makro akan menghasilkan ketahanan energi jangka panjang secara nyata. Dari tujuh aspek mikro ketahanan energi, penguasaan IPTEK, kemampuan SDM dan ekonomi merupakan aspek mikro utama yang akan menentukan ketahanan energi. 4.2.
Saran Perlu memberi perioritas kepada teknologi energi yang urgen, memperbaiki iklim investasi yang kondusif dan meningkatkan kapabilitas dalam teknologi, infrastruktur, riset, SDM dan pemodalan. Perlu melakukan transfer of knowledge dan transfer of technology serta penguatan SDM dalam bidang Energi dan peningkatan IPTEK yang bertumpu pada ketersediaan SDA.
DAFTAR PUSTAKA [1].
PLN, “Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik PT PLN (Persero) 2010-2019, PT PLN (Persero), Jakarta, 2010 [2]. BPPT, “Outlook Energi Indonesia 2010”, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Jakarta, 2010 [3]. SRIYANA DAN BAMBANG, S. “Studi Partisipasi Industri Nasional dalam Pembangunan PLTN”, Prosiding Seminar Nasional ke-16 Teknologi dan Keselamatan PLTN Serta Fasilitas Nuklir, Hal.326-334, Jakarta, 2010. [4]. Florian, B. “Energy Security as multidimensional concept”, CAP Policy Analysis, No. 1, Research Group on European Affairs, March 2008. [5]. JUMINA DAN KARNA, W. “IPTEK Untuk Penguatan Ketahanan Energi”, PSE UGM, pse.ugm.ac.id, Diakses tanggal 8 Juni 2012. [6]. -------. “Mendesak, Kebutuhan SDM Andal Bidang Energi”, PSLH UGM, pslh.ugm.ac.id, Diakses tanggal 8 Juni 2012.
ISSN 1979-1208
86