Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi VI Program Studi MMT-ITS, Surabaya 4 Agustus 2007
PENINGKATAN KAPASITAS PRODUKSI PADA PABRIK PAKAN TERNAK DENGAN MENGGUNAKAN PRINSIP SYNCHRONOUS MANUFACTURING Budi Christianto, Witantyo Program Studi Magister Manajemen Teknologi ITS Jl. Cokroaminoto 12A Surabaya
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas produksi pakan ternak pada PT. Japfa Comfeed Indonesia, Tbk dari yang semula berkisar rata-rata 6000 ton/bulan menjadi sekitar 9000 ton/bulan. Metode yang digunakan adalah penerapan prinsip synchoronous manufacturing dimana keseimbangan aliran dalam sistem produksi menjadi tujuan utama. Penelitian dimulai dengan analisis proses produksi, pengamatan waktu proses tiap sektor produksi, serta perhitungan kapasitas pada tiap sektor tersebut. Selanjutnya dilakukan analisa untuk mencari bottleneck, mengembangkan kapasitas pada bagian tersebut, dan menghitung kembali kapasitas baru yang diperoleh. Hal ini dilakukan beberapa kali untuk mendapatkan kemungkinan pengembangan baru hingga mencapai target kapasitas yang diinginkan. Dari pengembangan ini telah didapatkan peningkatan kapasitas produksi dari sekitar 6000 ton/bulan menjadi 8000 ton/bulan. Hasil ini masih lebih rendah dari target 9000 ton/bulan karena konsentrasi perbaikan terbesar hanya pada proses mixer. Untuk dapat mencapai target 9000 ton/bulan maka disarankan untuk mencari bottleneck baru pada kapasitas 8000 ton/bulan dan mengembangkan kapasitas dari unit tersebut. Kata kunci : industri pakan ternak, synchronous manufacturing, peningkatan kapasitas produksi
PENDAHULUAN Mengetahui bahwa daging ayam merupakan salah satu sumber bahan makanan yang paling banyak dipilih, PT. Japfa Comfeed Indonesia terus berupaya untuk dapat memenuhi permintaan pasar, meningkatkan pangsa pasar dan menambah jumlah produksi pakan ternak. Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan cara ekspansi membuka cabang baru di berbagai tempat yang dekat dengan sumber bahan baku ataupun dengan konsumen. Salah satu cabang yang baru diresmikan adalah di daerah Sulawesi Selatan, tepatnya di Makassar. Sebagai cabang yang baru, PT. Japfa Comfeed Indonesia, Tbk – Unit Makassar diharapkan mampu memenuhi kebutuhan pakan ternak di daerah bagian timur Indonesia pada umumnya dan Sulawesi pada khususnya. Tujuan dari penelitian ini adalah melakukan analisa pada lintasan produksi yang sedang berjalan secara terperinci dan menemukan faktor-faktor penghambat dalam peningkatan kapasitas produksi. Setelah diketahui penyebabnya, maka dapat dilakukan perubahan pada sektor produksi tersebut sehingga didapatkan kapasitas produksi yang mendekati target 9.000 ton/bulan. Melalui penelitian ini diharapkan PT. JCI-Makassar dapat memenuhi tuntutan pasar sehingga pasokan pakan ternak dari unit lain dapat dikurangi. Penelitian ini juga
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi VI Program Studi MMT-ITS, Surabaya 4 Agustus 2007
diharapkan dapat memberikan referensi dan data yang diperlukan oleh manajemen perusahaan untuk meningkatkan kapasitas produksinya. SYNCHRONOUS MANUFACTURING Synchronous Manufacturing pertama kali diperkenalkan oleh Dr. Eli Goldratt berdasarkan pada pendapatnya tentang Theory of Constraint dan mengajarkan tentang continuous improvement (pengembangan yang terus menerus), dimana diharapkan untuk dapat: 1. Mengenali sistem serta kelemahan atau faktor penghambat yang terdapat di dalamnya. 2. Mempelajari lebih dalam tentang kelemahan tersebut dan membuat semua kemungkinan untuk pemecahan masalah beserta dengan pengaruhnya terhadap keseluruhan sistem 3. Menerapkan model pemecahan yang terbaik ke dalam sistem, dan melakukan kembali pengamatan untuk mengetahui pengaruh yang dibawa oleh perubahan yang telah dilakukan 4. Memeriksa kembali sistem untuk mengetahui adanya kemungkinan perbaikan, baik di bagian yang sama atau di bagian yang lain. Synchronous Manufacturing selalu mengacu pada keseimbangan lintasan dari keseluruhan sistem proses produksi yang dilakukan untuk mencapai tujuan dari perusahaan, bukan hanya menitikberatkan pada salah satu faktor produksi, seperti efisiensi salah satu mesin atau tenaga kerja. Bottleneck atau leher botol, sesuai dengan namanya, merupakan suatu kondisi yang menyebabkan aliran proses menuju output menjadi berkurang atau terhambat sehingga tidak dapat memenuhi permintaan atau target. Jika ada salah satu proses dari sistem mengalami hambatan atau lebih lambat dari yang lainnya, maka proses ini yang kemudian menjadi faktor penentu laju produksi. Ada 2 cara yang dapat digunakan untuk menentukan suatu keadaan bottleneck, yaitu: 1. Melakukan perhitungan untuk mengetahui kapasitas terpasang dari sistem (resource) tersebut. Hal ini didapatkan dengan cara melihat beban yang ditempatkan pada sektor tersebut dengan menggunakan produksi yang sudah dijadwalkan. Dengan melakukan perhitungan ini, kita menggunakan asumsi bahwa data sudah akurat, meskipun hal ini tidak sepenuhnya diperlukan. Contoh: apabila diketahui kapasitas yang diperlukan adalah 2800 sedangkan kapasitas yang tersedia adalah 2400, maka diperoleh persentase beban adalah 125%, atau apabila kapasitas yang diperlukan adalah 2000 dan kapasitas yang tersedia adalah 2400, maka didapatkan persentase beban adalah 83%. Apabila nilai persentase tersebut adalah diatas 100%, maka bagian tersebut merupakan penghambat dalam sistem. 2. Melalui pengetahuan, pengalaman serta interpretasi baik pribadi maupun dengan pihak-pihak yang berhubungan langsung dengan sistem produksi. Nilai yang didapatkan merupakan nilai aktual dari mesin yang sedang berjalan pada saat ini. Kondisi bottleneck dapat diatasi dengan: 1. Mengurangi waktu kerja untuk setiap satuan waktu mesin, yaitu dengan menggunakan peralatan yang lebih baik, pengembangan tenaga kerja, menambah besarnya satuan batch, mengurangi waktu setup, dan lain lain. Saat melakukan penambahan besar batch, satu hal yang perlu diingat adalah bahwa hal ini
ISBN : 978-979-99735-3-5 A-37-2
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi VI Program Studi MMT-ITS, Surabaya 4 Agustus 2007
memungkinkan terjadinya bottleneck di bagian lain, yang mungkin saja sebelumnya bukan merupakan suatu bottleneck. 2. Menambahkan satu stasiun kerja lagi yang dinamakan sebagai buffer yang berfungsi untuk menampung sementara hasil produksi selama stasiun berikutnya sedang dalam proses. PROSES PRODUKSI Secara umum, proses produksi pakan ternak terdiri dari 4 bagian pokok, yaitu: intake, dosing dan mixing, pelleting, dan bagging, seperti yang terlihat pada Gambar 1 di bawah ini. Gambar 1 Alur Utama Proses Produksi Pakan Ternak
Bahan Baku
Intake
Dosing & Mixing
Pelleting
Bagging
Bahan Jadi
Intake yaitu aktivitas untuk memasukkan bahan baku untuk produksi ke dalam bin dosing. Pemilihan bin yang dituju dilakukan dengan membuka sebuah slide yang ada di conveyor dan dengan mengarahkan valve box ke bin yang ditentukan. Jumlah dari bin bahan baku yang ada adalah 16 buah bin. Dosing yaitu proses penimbangan bahan baku secara otomatis sesuai dengan formula/resep yang ada, dan kemudian dikirim ke proses selanjutnya. Mixing, yaitu proses pencampuran bahan baku yang telah ditimbang dan dihaluskan dengan bahan-bahan pendukung lainnya, seperti vitamin/additive dan minyak. Proses ini bertujuan agar didapatkan komposisi yang homogen pada produk jadi. Pelleting yaitu proses mengubah tepung yang sudah dicampur menjadi bentuk pellet. Material akan menuju ke sektor ini bila diinginkan produk pellet, maka setelah proses mixing, dilanjutkan dengan proses pelleting, dan kemudian dikirim ke bin produk jadi. Untuk produk crumble/hancuran, setelah dilakukan pelleting, maka produk tersebut didinginkan dan kemudian dipotong/dihancurkan dengan memakai mesin crumble. Bagging yaitu menimbang produk jadi dan menempatkannya pada karung plastik dengan satuan 50kg untuk kemudian ditempatkan ke dalam gudang bahan jadi menunggu untuk dijual.
ISBN : 978-979-99735-3-5 A-37-3
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi VI Program Studi MMT-ITS, Surabaya 4 Agustus 2007
Gambar 2 Proses Produksi di PT. JCI-Makassar Bin 1 Bin 2
DW1
From Pregrinding Hopper Below Weigher
Manual HI 1 Main Intake
Buffer Bin
A
DW2 Bin 19 Bin 20
Bin 51 Bin 52 Bin 53 Bin 54
A
Charge Bin Mixer
Hopper BelowM ixer
B C
Bin 71 Bagging Off #1 Gudang Pakan Jadi
Bin 74 Bin 75
Manual HI 2
Bagging Off #2 Bin 78
B
Pelletmill #1
Cooler & Crumbler #1
Sieveter #1
C
Pelletmill #2
Cooler & Crumbler #2
Sieveter #2
Dari Gambar 2 di atas, dapat dilihat secara lebih jelas aliran proses produksi, dimulai dari penyimpanan material pada bin dosing sampai dengan pengepakan. Proses pencampuran terdiri dari proses penimbangan dan dilanjutkan proses pengadukan. Proses pada bagian ini masih dibagi lagi menjadi beberapa sektor dengan tujuan untuk memisahkan proses antar batch. Bagian-bagian tersebut adalah: 1. Sektor penimbangan: pada sektor ini terdapat 2 buah timbangan dengan besar kapasitas yang berbeda. Disini dilakukan penimbangan beberapa jenis bahan baku sesuai dengan formula yang ada. 2. Sektor transport hopper bawah timbangan: pada sektor ini material dari kedua buah timbangan digabung dan menunggu untuk dibawa menuju ke sektor berikutnya. 3. Sektor buffer bin 1: seperti dengan namanya, sektor ini merupakan tempat penampungan sementara apabila proses penghalusan, yang merupakan proses selanjutnya belum selesai mengerjakan 1 batch. 4. Sektor pengadukan: 1 batch material yang berbentuk tepung kemudian diaduk sampai merata pada sektor ini. Disini juga dilakukan pencampuran antara material yang berbentuk tepung dengan material yang berbentuk cair dengan cara disemprotkan ke dalam mixer sambil diaduk. 5. Sektor transportasi bawah mixer: sektor ini hanya sebagai perantara menuju bin produk jadi, dan akan sangat berguna apabila bin yang akan dituju ternyata sudah penuh, karena material dapat menunggu sementara di sini. ISBN : 978-979-99735-3-5 A-37-4
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi VI Program Studi MMT-ITS, Surabaya 4 Agustus 2007
Selanjutnya untuk proses pelleting, PT JCI Makassar mempunyai 2 buah jalur pelleting yang masing-masing terdiri dari: Bin press: 1 buah bin ini digunakan untuk menampung material tepung yang akan diproses menjadi bentuk pellet Mesin press: material harus melalui mesin ini agar didapatkan hasil berbentuk pellet. Mesin ini sendiri mempunyai beberapa komponen pokok, yaitu feeder, conditioner, dan pressing. Cooler (pendingin): setelah keluar dari mesin press, suhu dari produk adalah berkisar antara 70-80 0C, pada bagian ini dilakukan pendinginan suhu hingga menjadi berkisar antara 35-40 0C, baru kemudian produk itu dibawa menuju bin pengepakan. Mesin crumble (penghancur): material akan melewati mesin ini apabila produk jadi yang diinginkan berbentuk serpihan/butiran. Apabila diinginkan tetap berbentuk pellet, maka bagian ini mempunyai fasilitas untuk bypass. Sistem transport (chain conveyor dan elevator): transportasi material setelah melalui proses penghancuran dilakukan dengan menggunakan chain conveyor dan elevator. Sieveter (pemilah): untuk membedakan ukuran partikel dari pellet atau crumble, dimana hanya partikel yang memenuhi syarat saja yang akan lolos menuju bin pengepakan. Pemilahan dilakukan dengan menggoyangkan mesin yang telah dipasang screen/jaring dengan ukuran tertentu di dalamnya. Proses pengepakan dilakukan dengan menggunakan karung plastik yang diletakkan dibawah timbangan oleh seorang pekerja, kemudian dijahit dan terakhir disusun pada pallet untuk dibawa ke gudang penyimpanan. Setelah dilakukan pengamatan dan perhitungan, maka didapatkan hasil seperti terlihat pada Tabel 1 dibawah ini: Tabel 1 Perbandingan Persentase Antara Kapasitas Aktual Dengan Target Kapasitas 9000 Ton/Bulan untuk Produksi 3 Jenis Pakan Berbeda Kapasitas Aktual
Persentase Beban
(ton/bulan)
(%)
Proses Crumble Dosing Formula 8116,60 Transportasi 11666,12 Mixer 6541,51 Transportasi 12814,88 Press System 8109,61 Crumbling 8332,25 Pengepakan 10414,53 Sumber: Perhitungan Data
Pellet
Tepung
Crumble
Pellet
Tepung
8055,02 11358,07 6399,71 12673,61 8264,35 --10891,94
9626,49 11524,39 6378,12 12814,88 ----8383,06
110,88 77,15 137,58 70,23 110,98 108,01 86,42
111,73 79,24 140,63 71,01 108,90 --82,63
93,49 78,10 141,11 70,23 ----107,36
ISBN : 978-979-99735-3-5 A-37-5
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi VI Program Studi MMT-ITS, Surabaya 4 Agustus 2007
UPAYA PENINGKATAN KAPASITAS Dari hasil perhitungan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa yang menjadi hambatan saat sekarang ini adalah pada proses mixing. Ada beberapa pilihan yang dapat digunakan untuk mengatasi hal ini, diantaranya adalah: 1. Meningkatkan batch size. Hal ini berarti dalam 1 kali proses pada tiap sektor akan didapatkan output produksi yang lebih banyak. 2. Mengurangi waktu penyemprotan, hal ini dimungkinkan dengan jalan mengurangi panjang pipa transportasi dan/atau menambah kekuatan motor. 3. Mengurangi waktu untuk mixing. Waktu ini ditetapkan berdasarkan syarat homogenitas yang didapatkan dengan menggunakan acuan CV < 8%, sehingga kita dapat mengurangi waktu mixing dengan persyaratan CV harus tetap terpenuhi. Pertama kali dipilih untuk melaksanakan pilihan nomor 1, yaitu meningkatkan batch size. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan untuk melakukan hal ini, yaitu pada kapasitas proses penimbangan dan daya tampung (volume) dari tiap-tiap hopper yang dilalui. Hal yang harus diperhatikan untuk proses penimbangan bila dilakukan penambahan batch size, yaitu: 1. Kapasitas loadcell. Tiap loadcell mempunyai nilai maksimum yang tertentu untuk melakukan penimbangan. Pada JCI Makassar nilai maksimum penimbangan yang dapat dilakukan adalah 2250 kg. 2. Volume hopper timbangan. Volume hopper timbangan harus mencukupi untuk dapat menampung seluruh material yang tertimbang. Hal yang harus diperhatikan untuk proses mixing bila dilakukan penambahan batch size, yaitu: 1. Volume hopper atas mixer. Volume dari hopper ini harus mencukupi untuk menampung 1 batch material. 2. Volume mixer. Pada sektor ini terdapat peraturan bahwa volume maksimum material yang dapat masuk ke dalam mixer adalah tidak boleh melebihi dari 80% dari total volume mixer tersebut, atau dengan kata lain mixer masih mempunyai cukup ruang kosong untuk mengaduk material yang berada di dalamnya. Setelah ditinjau, volume dari mixer yang dipakai sekarang ini masih memungkinkan untuk dipakai untuk batch size 2000 kg. 3. Volume hopper bawah mixer. Volume dari hopper ini harus mencukupi untuk menampung 1 batch material. Setelah semua hal diatas terpenuhi, maka proses penambahan batch size dapat dilakukan, yaitu yang semula 1500 kg menjadi 2000 kg. Kemudian dilakukan studi perbandingan terhadap semua proses dari awal penimbangan sampai dengan pengepakan dan didapatkan beberapa perubahan, yaitu: 1. Kapasitas dari mixer (Tabel 2) meningkat dengan perincian: a. Untuk Pellet 6121,5 ton/bulan menjadi 7415,1 ton/bulan b. Untuk Crumble 6250,86 ton/bulan menjadi 7447,44 ton/bulan c. Untuk Tepung 6098,4 ton/bulan menjadi 7147,14 ton/bulan 2. Kapasitas penimbangan juga meningkat. Meskipun tidak sebanyak yang terjadi pada proses mixing. Penambahan pada proses dosing ini terjadi karena dalam 1 kali penimbangan bahan baku, ditimbang jumlah yang lebih banyak.
ISBN : 978-979-99735-3-5 A-37-6
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi VI Program Studi MMT-ITS, Surabaya 4 Agustus 2007 Tabel 2 Perbandingan Persentase Antara Kapasitas Aktual Dengan Target Kapasitas 9000 Ton/Bulan untuk Produksi 3 Jenis Pakan Berbeda Setelah Dilakukan Penambahan Batch Size Kapasitas Proses
Persentase Beban
(ton/bulan) Crumble
Dosing Formula 9181,59 Transportasi 15031,86 Mixer 7754,21 Transportasi 14258,65 Press System 8109,61 Crumbling 8332,25 Pengepakan 10414,53 Sumber: Perhitungan Data
(%)
Pellet
Tepung
Crumble
Pellet
Tepung
7737,25 13764,79 7792,72 14175,40 8264,35 --10891,94
9702,77 15164,11 7472,87 14739,45 ----8383,06
98,02 59,87 116,07 63,12 110,98 108,01 86,42
116,32 65,38 115,49 63,49 108,90 --82,63
92,76 59,35 120,44 61,06 ----107,36
Seperti yang telah diuraikan pada analisa hasil setelah dilakukan perbaikan tahap pertama, upaya berikutnya untuk meningkatkan total kapasitas produksi masih konsentrasi ke sektor mixer. Untuk itu diperlukan pengenalan yang lebih mendalam terhadap aktifitas-aktifitas yang terdapat pada proses mixing, yaitu: 1. Filling (pengisian): yaitu proses menurunkan bahan dari hopper atas mixer menuju ke dalam mixer, ditandai dengan adanya signal dari sensor low level yang memastikan bahwa material pada hopper atas mixer telah turun semua. 2. Dry Mixing: proses pengadukan saat semua material yang berbentuk tepung masih dalam kondisi kering, dilakukan selama 30 detik dan sudah menjadi ketentuan baku dari departemen terkait. 3. Wet Mixing: merupakan proses memasukkan material cair ke dalam mixer dengan cara disemprotkan agar dapat lebih cepat merata. Proses semprot akan selesai jika material dalam tangki cairan sudah habis dengan ditandai oleh sensor low level dan diberikan delay secukupnya untuk memastikan bahwa material benar-benar sudah habis. 4. Net Mixing: adalah waktu pengadukan setelah semua material selesai dicampukan ke dalam mixer. Juga mempunyai standard waktu yang baku yaitu 150 detik. 5. Dumping: proses turunnya material dari mixer ke hopper bawah mixer, ditandai dengan menggunakan delay selama waktu tertentu, disini adalah 13 detik. Hal-hal yang dilakukan untuk mengurangi waktu penyemprotan adalah sebagai berikut: 1. Menambah daya motor, sehingga tekanan dalam pipa semakin besar dan laju cairan semakin cepat. 2. Mengurangi jarak transportasi antara tangki dengan mixer. 3. Mengganti nozzle. Dipilih nozzle dengan outlet lebih besar, sehingga dengan tekanan yang lebih besar, maka jumlah cairan yang keluar menuju mixer lebih banyak. Setelah dilakukan percobaan dan perhitungan, maka didapatkan hasil yang baru yaitu seperti pada Tabel 3 di bawah ini.
ISBN : 978-979-99735-3-5 A-37-7
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi VI Program Studi MMT-ITS, Surabaya 4 Agustus 2007 Tabel 3 Perbandingan Persentase Antara Kapasitas Aktual Dengan Target Kapasitas 9000 Ton/Bulan untuk Produksi 3 Jenis Pakan Berbeda Setelah Dilakukan Perbaikan Tahap Kedua Kapasitas Proses
Persentase Beban
(ton/bulan) Crumble
Dosing Formula 9181,59 Transportasi 15031,86 Mixer 8096,58 Transportasi 14258,65 Press System 8109,61 Crumbling 8332,25 Pengepakan 10414,53 Sumber: Perhitungan Data
(%)
Pellet
Tepung
Crumble
Pellet
Tepung
7737,25 13764,79 8094,22 14175,40 8264,35 --10891,94
9702,77 15164,11 8128,83 14739,45 ----8383,06
98,02 59,87 111,16 63,12 110,98 108,01 86,42
105,83 65,38 111,19 63,49 108,90 --82,63
92,76 59,35 110,72 60,93 ----107,36
KESIMPULAN Dengan berkonsentrasi pada bagian mixer ini sudah didapatkan peningkatan kapasitas yang cukup banyak, yaitu: Peningkatan 23,7% untuk crumble yaitu dari total output yang semula 6541,51 ton/bulan menjadi 8096,58 ton/bulan. Peningkatan 26,5% untuk pellet yaitu dari total output yang semula 6399,71 ton/bulan menjadi 8094,22 ton/bulan. Peningkatan 23,2% untuk tepung yaitu dari total output yang semula 6378,12 ton/bulan menjadi 8128,83 ton/bulan. DAFTAR PUSTAKA Chase, R.B, Aquilano, N.J, dan Jacobs, F.R, (2001), Operation Management For Competitive Advantage, 9th edition, McGraw-Hill / Irwin. McEllhiney, Robert R., (1993), Feed Manufacturing Technology IV, 4th edition, American Feed Industry Association.
ISBN : 978-979-99735-3-5 A-37-8
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi VI Program Studi MMT-ITS, Surabaya 4 Agustus 2007
ISBN : 978-979-99735-3-5 A-37-9
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi VI Program Studi MMT-ITS, Surabaya 4 Agustus 2007
ISBN : 978-979-99735-3-5 A-37-10