PENGUJIAN BEBERAPA KLON BAWANG MERAH DATARAN TINGGI (CLONES TESTING OF SOME HIGHLANDS SHALLOTS) Oleh: Sartono Putrasamedja Balai Penelitian Tanaman Sayuran Jl. Tangkuban Perahu No. 517 Lembang – Bandung Telp. (022) 2786245, Fax. (022) 2786416 (Diterima: 6 April 2010, disetujui: 30 Oktober 2010) ABSTRACT The research aimed at gaining the clones adapting and giving high yield. The material tested consisted of nine clones and three varieties, i.e., clone 12, 15, 16, 17, 18, 23, 24, 26, and 27, and Betok, Bauji and Bima Brebes. Randomized block design was used and repeated three times. The research was conducted at Balitsa experimental research orchards with altitude of 1250 m above sea level on Andosol soil types and pH 5.1 to 6.2. The result showed that clone 24 had a good vegetative growth and different clones showed the different adaptation power to the society in Lembang. It was showed by clone 18 having higher dry weight per hectare (6.25 ton) supported by higher dry weight per cluster (26.939 g) and per plot (1.209 kg) and able to form an average of 8 sprout. Key words: clone, cruciferous, shallot
PENDAHULUAN Bawang merah (Allium ascallonicum L.) di daerah tropika paling ideal ditanam pada ketinggian 4-300 meter di atas permukaan laut. Pada ketinggian ini, selain produksi yang dicapai dapat optimum juga umurnya relatif lebih genjah. Bawang merah tidak mengenal jenis tanah, asalkan tidak berbatu. Namun, pada waktu tertentu, yaitu bulan DesemberMaret, umumnya lahan bawang diganti dengan tanaman padi, sehingga produksi bawang pada bulan tersebut berkurang. Apabila dipaksakan bertanam bawang pada bulan tersebut, maka hasilnya kurang memuaskan karena terlalu banyak air. Oleh karenanya, untuk mengganti lokasi bawang merah di dataran rendah, perlu dicoba ditanam pada dataran tinggi sebagai salah satu pilihan, meskipun tidak semua jenis bawang merah dapat membentuk umbi apabila ditanam di dataran tinggi. Pada musim hujan, lahan dataran tinggi yang miring sangat baik
untuk pertanaman bawang merah karena selain drainase juga sirkulasinya baik. Pada umumnya, jenis bawang merah hasil silangan antara bawang merah dan bawang Bombay mempunyai tingkat adaptasi pertumbuhan luas. Tanaman ini dapat tumbuh dan berkembang pada berbagai daerah baik dataran rendah maupun tinggi. Klon ini banyak dihasilkan di Balai Penelitian Tanaman Sayuran Lembang sejak tahun 1987 sampai sekarang. Dari hasil penelitian bawang merah Balai Penelitian Tanaman Sayuran (Balitsa) Lembang, produksi bawang merah sudah mencapai 18 ton/ha (Putrasamedja dan Permadi, 2000). Pada bulan Januari sampai Maret terjadi kekurangan bibit bawang merah akibat berkurangnya lahan bawang yang dipakai untuk pertanaman padi, sehingga selain harga bawang menjadi mahal juga terjadi kekurangan benih yang berdampak meningkatnya impor dari luar negeri. Keberhasilan penanaman
Pengujian Beberapa Klon Bawang Merah ... (S. Putrasamedja)
87
bawang merah pada dataran tinggi merupakan pemecahan dalam mengatasi kekurangan bibit maupun konsumsi bawang merah. Apabila hal ini dibiarkan terus, maka bawang asli Indonesia akan tersisih dan berakhir dengan kepunahan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat adaptasi berbagai klon, yang nantinya akan diteruskan terhadap produksinya. METODE PENELITIAN Penelitian dilaksanakan di kebun percobaan Balitsa Lembang pada ketinggian 1250 m dpl dengan jenis tanah Andosol pada pH 5,6–6,2, dan dilaksakan pada bulan Januari s/d Maret 2008. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok dengan perlakuan sembilan klon bawang merah, yaitu klon 12, 15, 16, 17, 18, 23, 24, 26, dan 27 serta Betok, Bauji, dan Bima Brebes sebagai pembanding, setiap perlakuan diulang tiga kali. Pada masing-masing petak perlakuan terdiri atas 200 umbi, ditanam dengan jarak tanam 15 × 20 cm, jarak antarulangan 1 m, dan jarak antarpetak 0,5 m. Pupuk organik yang digunakan berupa kompos kotoran kuda halus sehingga mudah ditaburkan, dengan dosis 10 ton/Ha, yang diberikan satu minggu sebelum tanam. Pupuk buatan berupa NPK (15:15:15) dengan dosis 1 ton/Ha diberikan dua kali, masing-masing ½ dosis pada tiga hari sebelum tanam dan ½ dosis lagi pada saat tanaman berumur tiga minggu setelah tanam, sesuai dengan hasil penelitian (Sumiaty, 1995). Parameter yang diamati terdiri atas jumlah anakan, berat umbi basah per plot, berat umbi kering per rumpun, tinggi umbi, dan diameter umbi. Pemeliharaan tanaman meliputi penyiangan, pengairan, dan perlindungan hama penyakit, yang menggunakan fungisida dan
insektisida berupa Decis dan Dithane M45, diberikan masing-masing 0,1-0,2 dengan interval penyemprotan empat hari satu kali atau disesuaikan dengan keadaan di lapangan. Pengamatan yang dilakukan terhadap pertumbuhan tanaman, yaitu tinggi tanaman, jumlah anakan, dan jumlah daun saat tanaman berumur 35 hari setelah tanam (hst), sedangkan pengamatan terhadap produksi basah dilakukan pada saat panen dengan menimbang hasil panen dan produksi kering (ton/Ha) serta susut bobot diamati dengan menimbang produksi setelah kering terhindar. Tanaman contoh masing-masing diambil 5% dari populasi pada setiap petak percobaan secara acak. Panen dilakukan pada saat tanaman sudah rebah 80% (batang daun sudah lembek kalau dipijit) dan sudah mulai mengering (Soedomo, 1992). Hidayat dan Rosliani (1996) mengatakan bahwa tanaman bawang merah di dataran rendah pada umumnya dipanen umur 55 hari setelah tanam, tergantung jenis kultivar yang ditanaminya. HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan Tanaman Pada umumnya, pertumbuhan tanaman pada masing-masing pertanaman dari mulai tanam sampai dipanen cukup baik, keadaan ini didukung oleh kesuburan tanah yang cukup subur. Selain itu, juga ditambah dengan pemberian pupuk organik maupun anorganik yang cukup, sehingga pertumbuhan bawang merah dapat optimum (Limbongan dan Maskar, 2003). Pemberian pupuk tidak saja yang cukup, tetapi harus berimbang serta waktu yang tepat (Sumarni dan Rosliani, 2006). Hal ini dapat dilihat dari banyaknya jumlah anakan, jumlah daun, maupun tinggi tanaman, sedangkan jumlah anakan yang dimiliki masing-masing klon berbeda (Sartono dan
Jurnal Pembangunan Pedesaan Volume 10 Nomor 2, Desember 2010, hal. 86-92
88
Maskar, 2005). Pada umumnya, klon yang sudah stabil, apabila ditanam tingkat pertumbuhannya akan lebih stabil lagi. Hal ini dapat dilihat dari kemampuan daya adaptasinya (Ambarwati dan Yudono, 2003; Putrasamedja et al., 2006). Tinggi Tanaman Hasil pengamatan tinggi tanaman pada umur 45 hari setelah tanam menunjukkan bahwa tinggi tanaman kultivar Betok sebagai kontrol (47,013) berbeda nyata dengan klon 17, 26, dan Bima Brebes, tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan lainnya (Tabel 1). Perbedaan ini disebabkan oleh masing-masing sifat klon yang berasal dari warisan induk masing-masing. Selain itu, ditambah dengan adaptasi lingkungan akan menghasilkan fenotip yang berbeda (Suryadi dan Permadi, 1998; Putrasamedja dan Permadi, 2000). Hasil pengamatan secara visual masingmasing klon menunjukkan keragaman pertumbuhan vegetatif yang optimum dan baik pada umur 45 hst. Semua klon bawang merah yang ditanam rerata tumbuh optimum, yang diduga karena tingkat kesuburan tanah yang dicoba selain subur juga adanya kesesuaian masingmasing klon. Menurut Suryadi dan Permadi (1998), untuk mendapatkan hasil optimum pada suatu tempat atau lokasi dengan ketinggian yang berbeda, maka perlu ditanam kultivar yang berbeda. Pengamatan tinggi tanaman diukur dari permukaan tanah sampai pada ujung daun paling panjang, yang sesuai hasil penelitian Soedomo (1992), bahwa pengukuran tinggi tanaman dimulai dari permukaan tanah sampai ujung daun tertinggi pada satu rumpun tanaman. Selain itu, juga tinggi tanaman dapat dipengaruhi oleh pemberian awal pestisida (Suhardi, 1998), karena pada pemberian pestisida yang terlambat akan memengaruhi
timbulnya penyakit bercak ungu, sehingga pertumbuhan tanaman tidak normal. Jumlah Anakan Pengamatan jumlah anakan dilakukan pada saat tanaman berumur 45 hst. Klon 27 mampu membentuk anakan paling banyak, yaitu rerata 12,60 anakan, yang sangat berbeda dengan klon 12, 15, dan 16 serta kontrol Bauji dan Bima Brebes (Tabel 1). Terjadinya perbedaan variasi antara klon satu dengan klon lainnya menunjukkan bahwa sifat masingmasing induknya yang diwariskan pada generasi berikutnya sangat kuat. Berdasarkan pendapat Suherman dan Basuki (1990), produktivitas dan sifat jumlah anakan serta diameter umbi umumnya bervariasi dan sangat tergantung pada lingkungan tempat bawang merah tersebut ditanam, baik pada dataran rendah, medium maupun dataran tinggi. Perbedaan jumlah anakan antara tanaman satu dengan lainnya karena adanya interaksi antara sifat genetika dan lingkungan, yang sesuai dengan pendapat Yamaguci (1983), bahwa keragaman terjadi karena adanya faktor keturunan, yang sejalan dengan hasil penelitian sebelumnya. Dari hasil pengamatan keseluruhan, klon berbeda jauh dengan masing-masing induknya. Jumlah Daun Pengamatan pada waktu tanaman berumur 45 hst menunjukkan bahwa angka rerata antara perlakuan yang satu dengan lainnya sangat bervariasi dan menunjukkan bahwa klon 16 mampu menghasilkan daun paling banyak (53,20 helai) dibandingkan klon lain. Terjadinya perbedaan ini merupakan hal normal dari induk masing-masing yang disilangkan dan diturunkan pada generasi berikutnya. Klon 12 mempunyai jumlah daun paling sedikit, yaitu 30,60 helai. Keadaan ini memang tidak lepas dari sifat asal tetua yang
Pengujian Beberapa Klon Bawang Merah ... (S. Putrasamedja)
89
diturunkan pada generasi berikutnya (Putrasamedja et al., 2006). Persilangan dengan kerabat jauh harus dilakukan untuk memperbaiki produksi bawang merah yang berkualitas baik, agar diperoleh hasil lebih baik dari kedua belah induknya. Bobot Basah per Plot Angka rerata dari masing-masing perlakuan menunjukkan bahwa produksi tertinggi dimiliki klon 15 dengan produksi 2,971 kg yang sangat berbeda dengan klon 12, 16, 17, dan 26, serta kultivar kontrol Bauji dan Bima Brebes (Tabel 1). Terjadinya perbedaan antarklon ini membuktikan bahwa kultivar bawang di Indonesia masih dapat diperbaiki dengan memindahkan sifat yang baik melalui persilangan (Putrasamedja dan Permadi, 2000). Panen umbi dilakukan pada tanaman berumur 55 hst. Bobot Kering per Plot Pengamatan bobot kering dilakukan setelah tanaman mengalami kering terhindar, yaitu satu minggu setelah panen dan ditimbang
sesudah stabil. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa klon 16 menampilkan produksi paling rendah, yaitu 0,685 kg per plot dan berbeda nyata dengan perlakuan lain (Tabel 2). Apabila dilihat dari masing-masing klon, masih terjadi produksi yang beragam, namun keragaman ini masih normal dan masih di atas produksi kontrol. Selain itu, ketinggian tempat pertanaman ikut menentukan, semakin rendah tempat penanaman semakin baik tingkat produksinya (Suryaningsih dan Asandhi, 1992). Pada adaptasi tanaman, selain faktor luar juga faktor dalam, yaitu gen, yang akan menentukan pembentukan daun maupun pembesaran umbi (Sumiati et al., 2001). Berat Kering per Rumpun Klon 18 merupakan klon terbaik dengan bobot 26,93 g dan terdapat perbedaan dengan kontrol Bauji dan Bima Brebes dan klon 16, 17, dan 26 (Tabel 2). Terjadinya perbedaan antarrumpun menunjukkan sifat masing-masing klon yang diturunkan dari tetua yang masing-masing berbeda, tergantung dari
Tabel 1. Tinggi tanaman, jumlah anakan, jumlah daun, dan bobot basah per plot beberapa klon bawang merah
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Bobot Basah per plot 1,77 c 2,97 a 1,28 c 1,82 bc 2,61 ab 2,07 a-c 2,24 a-c 1,84 bc 2,10 a-c 2,48 ab 1,90 bc
Klon Tinggi Tanaman Jumlah Daun Jumlah Anakan 12 45,81 ab 30,60 c 6,47 e 15 43,51 a-d 35,93 a-c 7,47 c-e 16 43,80 a-d 53,20 a 6,80 de 17 39,58 d 42,07 a-c 11,80 ab 18 44,01 a-d 38,23 a-c 8,67 b-e 23 44,79 a-c 39,60 a-c 10,00 a-c 24 44,35 a-c 40,33 a-c 9,87 a-d 26 40,44 cd 36,80 a-c 9,40 b-e 27 43,26 a-d 47,33 ab 12,60 a Betok 47,01 a 50,27 a 11,07 ab Bauji 44,22 a-c 43,00 a-c 9,33 b-e Bima 12 Brebes 42,03 b-d 41,53 a-c 9,00 b-e 1,84 bc CV. 5,43 18,64 17,60 16.59 Keterangan: Angka rerata yang diikuti huruf sama pada satu kolom tidak berbeda nyata menurut uji HSD 5%.
Jurnal Pembangunan Pedesaan Volume 10 Nomor 2, Desember 2010, hal. 86-92
90
kemampuannya. Apabila sifat dominannya semakin kuat, semakin nampak sifat yang diwariskan. Terjadinya berat kering disebabkan adanya tingkat kestabilan adaptasi lingkungan sehingga nampak sifat asli masingmasing klon untuk mencapai produksi optimum. Susut Bobot Pengamatan susut bobot diambil dari angka timbangan basah dikurangi timbangan kering terhindar (angka rerata dalam bentuk persen). Setelah dihitung secara statistika menunjukkan bahwa antara perlakuan satu dengan perlakuan lainnya tidak ada perbedaan (Tabel 2). Tidak adanya perbedaan antara klon satu dengan klon lainnya diduga dipengaruhi oleh ketinggian tempat tanaman itu ditanam. Semakin rendah tanaman bawang ditanam, semakin optimum produksinya, sebab susut bobotnya semakin relatif kecil. Penanaman bawang merah di atas 800 m dari permukaan air laut, menghasilkan susut bobot kering terhindar rerata sampai 50%; sedangkan pada penananaman di dataran rendah di bawah 100
m, susut bobot kering terhindar rerata kurang dari 30%. Namun demikian susut bobot tidak lepas dari cara penanganan pascapanen (Dian dan Darkam, 1998). Berat Kering per Hektar Analisis statistika menunjukkan bahwa klon 18 dan 24, dengan produksi masingmasing 6,52 dan 6,32 ton/Ha, mampu berproduksi di atas klon lainnya maupun kontrol tetapi tidak ada perbedaan nyata (Tabel 2). Tidak adanya perbedaan nyata antara perlakuan satu dengan perlakuan lain disebabkan adanya kemampuan dalam pembentukan umbi yang tidak optimum. Produksi masih lebih rendah dari produksi nasional (BPS, 2003), yaitu rerata 7,6 ton/Ha. Rendahnya produksi tersebut disebabkan produksi dipengaruhi oleh lingkungan yang kurang menguntungkan, adanya curah hujan siang dan malam, serta intensitas sinar matahari yang tidak optimum, sehingga umbi terbentuk sangat kecil, yaitu sekitar 2-3 g per umbi. Di dalam hal perbedaan bobot kering pada masing-masing klon dipengaruhi oleh faktor genetika (Sartono
Tabel 2. berat kering per plot, berat kering per rumpun, berat kering per/Ha, susut bobot beberapa klon bawang merah Berat Kering Berat Kering / Berat Kering / Klon /plot rumpun Ha Susut Bobot 12 0,931 a-c 21,87 a-c 5,02 ab 54,58 a 15 0,949 a-c 19,13 bc 5,39 a51,81 a 16 0,685 c 21,27 a-c 3,69 b 47,52 a 17 0,991 ab 19,33 bc 5,34 ab 45,22 a 18 1,209 ab 26,93 a-c 6,52 a 53,34 a 23 1,098 ab 22,47 a-c 4,85 ab 46,38 a 24 1,172 ab 24,33 a-c 6,32 a 47,49 a 26 0,892 bc 20,20 bc 4,81 ab 51,82 a 27 1,006 ab 21,40 a-c 5,16 ab 51,52 a Betok 1,104 ab 21,07 a-c 6,21 a 52,61 a Bauji 0,970 a-c 17,11 c 4,81 ab 48,23 a Bima Brebes 0,996 ab 17,47 c 4,81 ab 46,05 a CV. 15,58 15,81 20,59 10,338 Keterangan: Angka rerata yang diikuti huruf sama pada satu kolom tidak berbeda nyata menurut uji HSD 5%. No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Pengujian Beberapa Klon Bawang Merah ... (S. Putrasamedja)
91
Putrasamedja, Suryadi dan Maskar, 2005). Besar kecilnya bobot kering dari masingmasing asal umbi akan menentukan kemampuan produksi dari masing-masing klon yang dicoba (Sumarni dan Soetiarso, 1998). Selain itu, juga faktor ketinggian tempat akan berpengaruh terhadap produksi pada masing-masing klon. Oleh karenanya, untuk mendapatkan daya adaptasinya, masih perlu diadakan pengujian lebih lanjut. KESIMPULAN Perbedaan klon menunjukkan perbedaan daya adaptasi terhadap lingkungan di dataran tinggi Lembang, yang dapat dilihat dari hasil yang diperoleh. Klon 18 menghasilkan bobot kering per ha tertinggi (96,52 ton). Lebih tingginya bobot kering per ha didukung oleh bobot kering per rumpun (26,93 g) dan per plot yang lebih tinggi (1,209 kg). DAFTAR PUSTAKA
Sulawesi Tengah. Jurnal Litbang Pert. 22(3):103–108. Putrasamedja, S. dan A.H. Permadi. 2000. “Usulan Pelepasan Klon 86, Klon 88, dan Kuning Berdaya Hasil Tinggi pada Bawang Merah untuk Dataran Rendah dan Dataran Medium.” Disampaikan kepada Komisi Pelepasan Varietas Pusat Penelitian, Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Hortikutura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Putrasamedja, S., J. Pinilih, dan S. Basuki, 2006. “Usulan Pelepasan Bawang Merah Klon No. 9, No. 8 dan No. 4 Berdaya Hasil Tinggi untuk Dataran Rendah.” Makalah Pelepasan Varietas Unggul Bawang Merah, Balai Penelitian Tanaman Sayuran Lembang – Bandung. Putrasamedja, S., Suryadi dan Maskar. 2005. Evaluasi Pertumbuhan dan Daya Hasil Enam Klon Bawang Merah di Dataran Rendah Donggala. Jurnal Pembangunan Pedesaan 4(3):157–163.
Ambarwati, E. dan P. Yudono. 2003. Keragaan Stabilitas Hasil Bawang Merah. Bul. Pert. 10(2):1–10.
Soedomo, P.R. 1992. Uji Adaptasi dan Daya Hasil Kultivar Bawang Merah (Allium ascalonicum L.) di Daerah Pasar Minggu. Bull. Penel. Hort. XXIII(4):128–135.
Biro Pusat Statistik (BPS). 2003. Usaha Tani Produksi dan Konsumsi Pertanian Bab 2. Departemen Pertanian, Jakarta. Hal. 88 – 90.
Suhardi, 1998. Pengaruh Pemberian Awal Fungisida terhadap Intensitas Penyakit pada Beberapa Varietas Bawang Merah. J. Hort. 8(1):10–21.
Dian dan M. Darkam. 1998. Pengaruh Cara Pelayuan, Pengeringan, dan Pemangkusan terhadap Mutu Bawang Merah. J. Hort. 8(1):1036-1047.
Suherman S. dan R.S. Basuki. 1990. Strategi Pengembangan Luas Areal Usahatani Bawang Merah di Jawa Barat. Bul. Penel. Hort. 18 edisi khusus (1):11–18.
Hidayat dan Rosliani. 1996. Pengaruh Pemupukan Sistem Petani dan Sistem Berimbang terhadap Intensitas Serangan Penyakit Cendawan pada Bawang Merah Kultivar Sumenep. Bul. Penel. Hort. 5:539-543.
Sumarni, N. dan T.A. Soetiarso. 1998. Pengaruh dan Ukuran Umbi Bibit terhadap Pertumbuhan, Produksi dan Biaya Produksi Biji Bawang Merah. J. Hort. 8(2):10–15.
Limbongan, J. dan Maskar. 2003. Potensi Pengembangan dan Ketersediaan Teknologi Bawang Merah Palu di
Sumarni, N. dan Rosliani. 2006. Kebutuhan Pupuk N.P.K Optimum pada Bawang Bombay di Dataran Tinggi. J. Hort. 16(1):1–4.
Jurnal Pembangunan Pedesaan Volume 10 Nomor 2, Desember 2010, hal. 86-92
92
Sumiaty, E. 1995. Hasil dan Kualitas Umbi Bawang Merah Kultivar Bima Brebes yang Menerima 2 Pengatur Tumbuh Pix 50 As di Brebes. J. Hort 5(4):9–5. Sumiati, E., A. Hidayat, dan N. Nurtika. 2001. Pengaruh Kerapatan Tanaman terhadap Hasil dan Kualitas Bawang Bombay Introduksi di Dataran Tinggi Lembang. J. Hort. 11(2):94–99. Suryadi dan A.H. Permadi. 1998. Evaluasi Pertumbuhan dan Daya Hasil Delapan Kultivar Kubis Bunga di Dataran
Medium. J. Hort. 8(2):1068–1071. Suryaningsih, E. dan A. A. Asandhi. 1992. Pengaruh Pemupukan Sistem Petani dan Sistem Berimbang terhadap Intensitas Serangan Penyakit Cendawan pada Bawang Merah Varietas Bima. Bul. Penel. Hort. 24(2):19–26. Yamaguchi. M. 1983. World Vegetables Crops. Department of Vegetable, Effert University of California, Berkkeley. 219 pp.
Pengujian Beberapa Klon Bawang Merah ... (S. Putrasamedja)