PERAKITAN KLON BAWANG MERAH HASIL TINGGI DAN TAHAN PENYAKIT BERCAK UNGU
NOOR FARID
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
SURAT PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Perakitan Klon Bawang Merah Hasil Tinggi dan Tahan Penyakit Bercak Ungu adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada pergurunan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulisan lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Juni 2012
Noor Farid A263070051
ABSTRACT NOOR FARID, Improvement on Shallot Genotype for High Yielding and Purple Blotch Disease Resistance. Supervised by SURJONO H SUTJAHJO, AGUS PURWITO, and CATUR HERISON.
The problems of increasing shallot production include the use of low yielding, as well as pest and disease susceptible varieties. Purple blotch disease is one of shallot diseases that may cause up to 100% yield loss. Breeding of shallot has been hindered by narrow genetic variation among parental genotypes. Therefore, it is inevitable to explore novel sources of genetic variation that can be used to develop high yielding and purple blotch disease resistant shallot varieties. Effort to increase genetic variability can be done through crossing and mutation. The objectives of this study were: (1) to obtain shallot genotypes that high yielding and resistant to purple blotch disease, (2) to know the morphological and physiological characteristics of high yielding shallot for selection, (3) to determine general combining ability (GCA), specific combining ability (SCA) and heterosis of some shallot genotypes, (4) to study the genetic variability of the genotypes resulted from the crossing, (5) to evaluate the resistance of the genotypes to purple blotch disease, as well as their anthocyanin contents. The result showed that: (1) three mutants (G2-06-1, G3-06-2, and G2-01-2) were observed to be high yielding and resistant to purple blotch disease, (2) high yielding shallot genotypes had a rapid growth, moderate bulb and bulblets number, greater leaf diameter, and greater bulb productivity per hill, (3) high yielding genotypes were characterized by greater root growth was observed and for the upper biomass was observed compared to the low yielding genotypes, (4) shallot genotypes that have a high GCA are: Tiron and Timor, (5) shallot genotypes from crosses of SCA and heterosis effect are high between the Kuning/Tiron, Timor/Bima Juna, Tiron/Timor and Kuning/Sibolangit, (6) that based on RAPD marker, the mutants could be grouped into three class, and (7) anthocyanin content of purple blotch resistance mutant was higher than the susceptible one. Key words: shallot, combining ability, purple blotch.
RINGKASAN NOOR FARID, Perakitan Klon Bawang Merah Hasil Tinggi dan Tahan Penyakit Bercak Ungu. Dibimbing oleh SURJONO H SUTJAHJO, AGUS PURWITO, dan CATUR HERISON. Kendala peningkatan produksi bawang merah adalah belum tersedianya varietas bawang merah yang berdaya hasil tinggi, dan rentan terhadap hama dan penyakit. Salah satu penyakit penting adalah penyakit bercak ungu yang dapat menurunkan hasil sampai 100 %. Kegiatan pemuliaan bawang merah selama ini terkendala oleh sempitnya keragaman genetik sumber tetua yang tahan terhadap penyakit bercak ungu. Perakitan bawang merah hasil tinggi dan tahan penyakit bercak ungu diperlukan untuk peningkatan produktivitas. Peningkatan keragaman dapat dilakukan dengan cara persilangan dan mutasi. Tujuan utama penelitian ini adalah untuk menghasilkan genotipe bawang merah hasil tinggi dan tahan penyakit bercak ungu. Untuk mencapai tujuan utama tersebut dilakukan serangkaian percobaan dengan sub tujuan : (1) mendiskripsikan sifat morfologi dan fisiologi tanaman bawang merah hasil tinggi, (2) menduga nilai daya gabung umum, daya gabung khusus dan heterosis sejumlah genotipe bawang merah, (3) mengetahui keragaman bawang merah dari hasil mutasi, (4) menguji daya tahan bawang merah terhadap penyakit bercak ungu dan (5) mendapatkan hubungan antara kandungan antosianin dengan tingkat ketahanan mutan bawang merah terhadap penyakit bercak ungu. Penelitian ini dilaksanakan selama 3 tahun mulai tahun 2009 sampai dengan 2011, yang terdiri atas 4 tahapan percobaan. Percobaan 1. Identifikasi morfologi dan fisiologi bawang merah. Percobaan dengan dua perlakuan yaitu varietas dan kesuburan tanah. Varietas bawang merah yang digunakan sebanyak enam varietas, yaitu: Bima, Bima Juna, Bima Tarno, Kuning, S Philip dan Tiron. Tingkat kesuburan yang dicoba terdiri atas 2 taraf, yaitu: tanpa pemupukan dan dengan pemupukan (200 kg/ha NPK dan 5 ton/ha pupuk kandang). Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok (RAK) dengan 3 kali ulangan. Karakter yang diamati adalah: tinggi tanaman, bobot bagian atas tanaman, bobot bagian bawah tanaman, panjang akar, jumlah anakan, diameter daun, jumlah daun, bobot umbi per rumpun, diameter umbi, jumlah umbi, dan hasil. Adapun karakter fisiologi yang diamati adalah: ANR (aktivitas nitrat reduktase), laju akumulasi bahan kering, kandungan hara N, P, K dalam jaringan, dan kandungan klorofil. Uji F digunakan untuk analisis data, dan dilanjutkan dengan UJGD (uji jarak ganda Duncan) taraf 5 % serta korelasi antar sifat. Percobaan 2. Analisis daya gabung, heterosis, dan heritabilitas sifat yang berkaitan dengan hasil pada bawang merah. Percobaan dilakukan dengan persilangan setengah diallel pada 7 varietas bawang merah (Kuning, Bima, Tiron, Timor, Sibolangit, Maja, dan Bima Juna). Rancangan yang digunakan adalah RAK dengan 3 ulangan. Karakter yang diamati yaitu: tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah anakan, bobot umbi per rumpun. Analisis data menggunakan metoda Griffing II dengan tetua heterosigot. Percobaan 3. Uji daya hasil dan ketahanan terhadap penyakit bercak ungu hasil pada 300 mutan. Faktor yang dicoba adalah genotipe bawang merah yang terdiri atas 300 mutan (mutasi 10 krad sinar gamma pada
benih dari hasil persilangan setengah dialel). Semua genotipe bawang merah yang diuji diberi perlakuan inokulasi konidia dari fungi Altenaria porri 3x106 konidia/ml. Karakter yang diamati adalah tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah anakan, bobot umbi/rumpun, bobot umbi per plot dan intensitas serangan penyakit bercak ungu. Selain itu, daun dari mutan tahan, agak tahan, dan rentan dianalisis kandungan antosianin. Selanjutnya mutan tersebut diuji jarak genetiknya dengan penanda RAPD. Percobaan 4. Uji daya hasil lanjut dan ketahanan terhadap penyakit bercak ungu pada mutan bawang merah. Genotipe bawang merah yang dicoba adalah 86 mutan bawang merah dan 5 varietas kontrol (Bima, Katumi, Kuning, Sumenep dan Tiron). Semua genotipe bawang merah diberi perlakuan inokulasi konidia seperti percobaan 3. Rancangan yang digunakan adalah RAK dengan 6 kali ulangan. Karakter yang diamati : tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah anakan, jumlah umbi, bobot umbi, ketahanan terhadap penyakit bercak ungu. Data dianalisis dengan metode augmented dilanjutkan dengan uji LSI (least significant increase) taraf 5 % untuk perbandingan antara mutan dengan 5 varietas kontrol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa : (1) diperoleh 3 mutan bawang merah hasil tinggi dan tahan terhadap penyakit bercak ungu, yaitu: G2-06-1, G3-06-2, dan G2-01-2, (2) didapatkan 8 mutan bawang merah hasil tinggi tetapi ketahanan terhadap penyakit bercak ungu tergolong agak rentan sampai dengan agak tahan, adalah: G2-03-1, G1-02-2, G2-03-2, G1-03-1, G3-02-2, G3-12-2, G1-14-1, dan G1-12-1, (3) terdapat korelasi genotipik dan fenotipik antara hasil dengan karakter yang diamati kecuali jumlah anakan, (4) genotipe bawang merah yang mempunyai DGU tinggi adalah : Tiron dan Timor, (5) genotipe bawang merah yang DGK, dan heterosis tinggi ialah persilangan antara Kuning/Tiron, Timor/Bima Juna, Tiron/Timor dan Kuning/Sibolangit sehingga dapat dipilih untuk perakitan bawang merah hasil tinggi, (6) kandungan antosianin lebih tinggi pada genotipe bawang merah tahan terhadap bercak ungu dari pada rentan, dan (7) hasil penandaan dengan RAPD pada mutan bawang merah terdapat 3 kelompok. Kata kunci: bawang merah, daya gabung, bercak ungu, genotipe
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012 Hak cipta dilindungi 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tujuan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan wajar IPB 2.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
PERAKITAN KLON BAWANG MERAH HASIL TINGGI DAN TAHAN PENYAKIT BERCAK UNGU
NOOR FARID
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Doktor pada Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Dr.Ir. Syarifah Iis Aisyah, MSc. 2. Dr. Desta Wirnas, SP., MSi.
Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Dr. Ir. Abdul Muin Adnan, MS 2. Prof. Ir. Totok Agung DH., MP., PhD.
Judul
: Perakitan Klon Bawang Merah Hasil Tinggi dan Tahan Penyakit Bercak Ungu
Nama Mahasiswa
: Noor Farid
Nomor Pokok
: A263070051
Menyetujui: Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. H. Surjono H. Sutjahjo, MS. Ketua
Dr. Ir. Agus Purwito, M.Sc.Agr. Anggota I
Dr. Ir.Catur Herison, M.Sc. Anggota II
Mengetahui Ketua Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, M.Sc.
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
Tanggal ujian:
Tanggal lulus :
PRAKATA
Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT, berkat rahmat dan hidayah-Nya sehingga disertasi ini dapat diselesaikan.
Penelitian yang
berjudul Perakitan Klon Bawang
Merah Hasil Tinggi dan Tahan Penyakit Bercak Ungu telah diselesaikan di bawah bimbingan dan dukungan komisi pembimbing yaitu Prof. Dr. Ir. H. Surjono H. Sutjahjo, MS., Dr. Ir. Agus Purwito, MSc.Agr dan Dr. Ir. Catur Herison, MSc.
Penelitian dan penulisan disertasi ini dapat diselesaikan berkat bantuan dari Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional melalui beasiswa BPPS tahun 2007-2010 dan Program Penelitian Hibah Bersaing Dikti Kemendiknas tahun 2009-2010. Bantuan dan dukungan dari berbagai pihak berupa material maupun non material merupakan karunia Allah SWT kepada Penulis, untuk itu penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang tak terhingga kepada: 1. Prof. Dr. Ir. H. Surjono H. Sutjahjo MS sebagai Ketua Komisi Pembimbing serta Dr. Ir. Agus Purwito, MSc.Agr dan Dr. Ir.Catur Herison, MSc, sebagai Anggota Komisi Pembimbing yang telah membimbing penulisan dengan tekun dan sabar 2. Rektor Universitas Jenderal Soedirman dan Dekan Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, yang telah memberikan ijin penulis untuk mengikuti program doktor di Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor. 3. Rektor IPB dan Dekan Sekolah Pascasarjana yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan doktor di IPB 4. Tim BPPS, Dirjen Pendidikan Tinggi yang telah memberikan beasiswa kepada penulis untuk mengikuti program doktor di IPB 5. Program Penelitian Hibah Bersaing Dikti Kemendiknas RI tahun 2009-2011 atas bantuan dana penelitian 6. Ketua LPPM Unsoed dan staf yang telah memberikan informasi dan menfasilitasi untuk mendapatkan dana penelitian 7. Kepala dan staf Kebun Percobaan Balai Penelitian Tanaman Hortikultura dan Sayuran Lembang, yang telah memberikan batuan dalam persilangan genotipe bawang merah.
8. Kepala dan Staf Lab. Bioteknologi Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, Malang yang telah banyak membantu dalam penelitian. 9. Kepala dan staf Lab. RGCI, Dept. Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian IPB yang telah membantu dalam penelitian. 10. Ketua dan Staf Pengajar Dept. Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian IPB atas segala dukungan yang diberikan 11. Kepala dan Staf Bagian Genetika dan Pemuliaan Tanaman Dept. Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian IPB atas dukungan yang diberikan dalam penelitian ini. 12. Ketua Program Studi Pemulian dan Bioteknologi Tanaman SPS IPB yang telah memberikan motifasi dan dorongan dalam studi ini 13. Dr. Ir. Anas Dinurrohman Susila dan Dr. Desta Wirnas, SP. M.Si. yang telah berkenan menguji dan meluangkan waktu pada ujian kualifikasi. 14. Dr.Ir. Syarifah Iis Aisyah, M.Sc., Dr. Desta Wirnas, SP. M.Si, yang telah berkenan menguji dan memberikan masukan pada ujian tertutup. 15. Dr.Ir. Abdul Muin Adnan, MS. dan Prof. Ir. H. Totok Agung DH., MP., PhD., yang telah bersedia menguji dalam ujian terbuka dan memberi masukan untuk perbaikan disertasi. 16. Ir. Arifin Noor Sugiharto, M.Sc., PhD. yang telah memberikan informasi genotipe bawang merah dan masukan untuk penelitian ini serta penyusunan disertasi. 17. Prof. Dr. Ir. Suwarto, MS. dan Ir. Suprayogi, M.Sc. serta teman-teman satu Lab. Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman Fakultas Pertanian Unsoed yang telah memberikan masukan, diskusi dan bantuan dalam penelitian serta penulisan disertasi 18. Orang tua dan kerabat penulis yang selalu memberikan motivasi dan do’a selama penulis mengikuti dan menyelesaikan program doktor di IPB 19. Istri tercinta Eni Sumarni, STP., MSi. dan anak-anak (Adilla Luthfia, Addina Syafrida dan Aufanoor Iftinaanda) yang telah memberikan cinta, pengertian do’a serta dukungan selama menyelesaikan pendidikan.
20. Teman-teman di SPs Program Mayor Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman atas dukungan, kerjasama
selama pelaksaan penelitian dan penyusunan
disertasi. 21. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian, dan penulisan disertasi. Akhir kata semoga Allah SWT berkenan membalas budi baik Bapak dan Ibu serta teman-teman semua.
Mudah-mudahan karya ilmiah ini dapat
memperkaya keilmuan dan bermanfaat bagi pembaca.
Bogor, Mei 2012
Penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Surabaya, pada tanggal 17 Mei 1965 sebagai anak ketiga dari pasangan H. Mas’an Rosyid (Alm) dan Hj. Nafsyiah (Alm). Penulis telah menikah dengan Eni Sumarni, STP., M.Si. dan telah dikaruniai tiga orang putri yaitu Adilla Luthfia, Addina Syafrida dan Aufanoor Iftinaanda. Pendidikan sarjana pertanian di bidang Agronomi ditempuh di Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas selesai tahun 1988.
Pertanian, Universitas Jenderal Soedirman dan
Pada tahun 1994 penulis melanjutkan program master di
bidang Pemuliaan Tanaman, Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor dan lulus tahun 1997. Kesempatan untuk melanjutkan pendidikan doktor di Program Mayor Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman penulis peroleh tahun 2007 atas beasiswa dari BPPS Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Nasional RI. Penulis bekerja sebagai staf pengajar pada laboratorium Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman, Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Jenderal Soedirman sejak 1990 sampai sekarang.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ...........................................................................
xxiii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................
xxv
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................
xxvii
PENDAHULUAN………………………………….......………... Latar Belakang…………………………………........……………. Tujuan Penelitian .……………………………………………….. Ruang Lingkup Penelitian ..............................................................
1 1 2 3
II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................ Ciri Tanaman Bawang Merah, Daerah Tumbuh dan Daya Hasil Varietas …………………………………………………………... Daya Gabung Umum dan Khusus serta Pendugaannya …………. Keuntungan Persilangan Dialel ………………………………….. Identifikasi Kekerabatan Dan Keragaman dengan RAPD (Random amplified polymorphic DNA) .………………………… Gejala Penyakit Bercak Ungu pada Bawang Merah ...................... Pemuliaan dengan Mutasi ............................................................. Hasil Penelitian yang Telah Dicapai ……………………………..
7
10 12 13 14
III. PENAMPILAN KARAKTER MORFOLOGI DAN FISIOLOGI BAWANG MERAH....................................................................... Abstract .......................................................................................... Abstrak ........................................................................................... Pendahuluan ................................................................................... Bahan dan Metode.......................................................................... Hasil dan Pembahasan..................................................................... Kesimpulan dan Saran ....................................................................
17 17 17 18 18 24 37
I.
IV.
ANALISIS DAYA GABUNG, HETEROSIS, DAN HERITABILITAS SIFAT YANG BERKAITAN DENGAN HASIL PADA BAWANG MERAH…………………………….. Abstract .......................................................................................... Abstrak ........................................................................................... Pendahuluan ................................................................................... Bahan dan Metode.......................................................................... Hasil dan Pembahasan..................................................................... Kesimpulan dan Saran ....................................................................
7 8 9
41 41 41 42 43 47 51
Halaman
V. UJI DAYA HASIL MUTAN BAWANG MERAH DAN KETAHANANNYA TERHADAP PENYAKIT BERCAK UNGU ………………………………………………………….... Abstract .......................................................................................... Abstrak ........................................................................................... Pendahuluan ................................................................................... Bahan dan Metode.......................................................................... Hasil dan Pembahasan..................................................................... Kesimpulan dan Saran ....................................................................
53 53 53 54 55 61 66
VI. UJI DAYA HASIL LANJUT DAN KETAHANAN TERHADAP PENYAKIT BERCAK UNGU PADA MUTAN BAWANG MERAH (M 1 V 2 ) …......................................................................... Abstract .......................................................................................... Abstrak ........................................................................................... Pendahuluan ................................................................................... Bahan dan Metode.......................................................................... Hasil dan Pembahasan..................................................................... Kesimpulan dan Saran ....................................................................
69 69 69 69 71 74 79
VII. PEMBAHASAN UMUM .………………….…………………….
81
VIII. KESIMPULAN DAN SARAN ..………………………..……….
87
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………….…..
89
LAMPIRAN ………………………….…………………………………
103
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1. Interaksi pada karakter jumlah anakan per rumpun dari enam genotipe bawang merah pada dua kesuburan tanah ..…………..
25
2. Interaksi pada karakter jumlah umbi per rumpun dari enam genotipe bawang merah pada dua kesuburan tanah ..…………..
26
3. Interaksi pada karakter diameter umbi (mm) dari enam genotipe bawang merah pada dua kesuburan tanah ……………………..
27
4. Interaksi pada karakter bobot umbi per rumpun (g) dari enam genotipe bawang merah pada dua kesuburan tanah ………..….
28
5. Interaksi pada karakter akumulasi hara K jaringan (%) dari enam genotipe bawang merah pada dua kesuburan tanah …..……....
28
6. Interaksi pada karakter ANR (µg/g/jam) dari enam genotipe bawang merah pada dua kesuburan tanah …………………….
29
7. Penampilan tinggi tanaman (cm), jumlah daun, diameter daun (mm) dan bobot umbi (kg/m2) dari enam genotipe bawang merah serta perbedaan pada dua kesuburan tanah …………………..
31
8. Penampilan akumulasi hara N jaringan (%), akumulasi hara P jaringan (%), kandungan klorofil a dan b (mg/g) dari enam genotipe bawang merah serta perbedaan pada dua kesuburan tanah………………………………………………………….
33
9. Korelasi fenotipik dan genotipik antar sifat bawang merah yang diamati ……………………………………………………..….
38
10. Persilangan setengah dialel antara 7 genotipe bawang merah ...
43
11. Analisis sidik ragam daya gabung umum dan khusus …….…..
44
12.
13.
Hasil uji daya gabung umum (DGU), daya gabung khusus (DGK), varian aditif dan varian dominan pada karakter tinggi tanaman, jumlah anakan, jumlah umbi, diameter umbi, bobot umbi basah serta bobot kering umbi per rumpun …………….
47
Hasil analisis daya gabung umum pada karakter agronomik bawang merah yang diamati dari tujuh tetua yang digunakan..
48
Nomor 14.
Halaman
Hasil analisis daya gabung khusus pada karakter yang diamati dari genotipe hasil persilangan antara tujuh tetua bawang merah yang digunakan …………………………………………….....
49
Nilai heterosis pada karakter yang diamati dari genotipe hasil persilangan antara tujuh tetua (%) …………………………....
50
Nilai heritabilitas arti luas dan arti sempit dari karakter bawang merah yang diamati .…………………………………………..
51
17.
Mutan bawang merah generasi M 1 V 1 yang digunakan .........
56
18.
Kriteria ketahanan terhadap penyakit bercak ungu sebagai berikut …………………….………………………..…………
57
Genotipe bawang merah generasi M 1 V 2 dan varietas kontrol yang digunakan ........................……………………………....
72
Kriteria ketahanan terhadap penyakit bercak ungu sebagai berikut ……………..…………………………………………
73
Hasil pengujian LSI pada 85 mutan bawang merah dibandingkan 5 varietas kontrol pada karakter tinggi tanaman (cm), jumlah daun, jumlah anakan dan jumlah umbi ……….
75
Hasil pengujian LSI pada 85 mutan bawang merah dibandingkan 5 varietas kontrol pada karakter diameter umbi (mm), bobot brangkasan/rumpun dan bobot umbi/rumpun …
76
15.
16.
19.
20.
21.
22.
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1. Bagan alir kegiatan penelitian perakitan bawang merah hasil tinggi dan tahan penyakit bercak ungu …………..…………….
5
2. Penampilan di lahan pada kondisi sub optimal dari varietas Bima dibandingkan varietas Kuning (optimal) (a) dan hasil panen tiap varietas yang dicoba pada dua kondisi kesuburan (b) …………
31
3. Pemanjangan akar (mm/tan/hr) dari 6 genotipe bawang merah pada dua periode tumbuh dan kondisi dipupuk maupun tidak dipupuk ..……………………………………………………....
34
4. Akumulasi bahan kering tajuk (g/tan/hr) dari 6 genotipe bawang merah pada dua periode tumbuh dan kondisi dipupuk maupun tidak dipupuk ..……………………………………………..….
35
5. Akumulasi bahan kering akar (g/tan/hr) dari 6 genotipe bawang merah pada dua periode tumbuh dan kondisi dipupuk maupun tidak dipupuk .……………………………………….………..
36
6. Penampilan tinggi tanaman (cm) dari 300 mutan bawang merah hasil mutasi ……………………………….…..……….
61
7. Penampilan jumlah daun dari 300 mutan bawang merah hasil mutasi ……………..………………….………….…..……….
62
8. Penampilan jumlah anakan per rumpun dari 300 mutan bawang merah hasil mutasi …………………………..……….
63
9. Penampilan bobot umbi/rumpun dari 300 mutan bawang merah hasil mutasi …..………………………..………………
63
10. Penampilan Intensitas serangan penyakit bercak ungu pada 300 mutan bawang merah hasil mutasi ..……..………………...
64
11. Kandungan antosianin daun dari 10 mutan bawang merah yang tahan (T), agak tahaan (AT), agak rentan (AR) dan rentan (R)..
65
12. Hasil penanda RAPD dengan primer OPA-08 (a), OPA-20 (b) dan phi-080 (c) pada 10 mutan bawang merah hasil mutasi..
65
13. Dendogram 10 mutan bawang merah berdasarkan penanda RAPD …………………………………………………………
66
Nomor
Halaman
14. Penggolongan tingkat ketahanan 85 mutan bawang merah terhadap penyakit bercak ungu ………………………………...
77
15. Penampilan mutan bawang merah yang rentan dan sangat rentan terhadap penyakit bercak ungu. (a) Mutan G 2-08-2 yang tergolong sangat rentan dan mati saat tanaman berumur 35 hst. (b) Mutan G 3-14-1 yang tergolong rentan dan (c) G 2-15-1 yang tergolong sangat rentan terhadap penyakit bercak ungu ………
78
16. Penampilan mutan bawang merah hasil tinggi (G3022, G2031, G3062), varietas Tiron, G3042 dan G2151 yang sangat rentan (SR) terhadap penyakit bercak ungu …………………………..
78
17. Penampilan bawang merah berumbi warna putih (Unsoed 01) hasil mutasi pada persilangan Kuning/Tiron dengan sinar gamma 10 krad (a) umbi bawang merah Kuning dibanding Unsoed 01 yang berwarna putih dan (b) irisan melintang umbi bawang merah Kuning dan Unsoed 01 …………………………………
85
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1. Pengujian LSI dari 85 mutan bawang merah terhadap 5 varietas kontrol ………………………………………………………...
105
2. Tanda daftar varietas Unsoed 01 dari Pusat Perlindungan Varietas Tanaman dan Perizinan Pertanian ………………….
107
1
I. PENDAHULUAN
Latar Belakang Bawang merah merupakan salah satu tanaman sayuran yang penting, karena kandungan gizi, dan permintaan pasar yang tinggi. Selain itu, bawang merah menjadi tanaman unggulan nasional komoditas hortikultura dan prioritas utama pada sejumlah propinsi di Indonesia (Dirjen Hortikultura 2008). Produktivitas bawang merah Indonesia masih relatif rendah yaitu 9,2 ton/ha (BPS 2008) dibanding dengan negara Asia dan dunia yang sudah mencapai 13-15 ton/ha (Pathak, 1997). Salah satu kendala dalam peningkatan produktivitas bawang merah adalah adanya penyakit bercak ungu yang dapat menurunkan hasil 57 sampai 100 %. Penyakit ini juga menyerang umbi sehingga menurunkan kualitas hasil (Semangun 1994; Surjaningsih 1994; Suhardi et al., 1994). Pengendalian penyakit bercak ungu dapat dilakukan dengan varietas tahan, fungisida dan pergiliran tanaman (Duriat et al., 1999). Pestisida sering digunakan petani untuk pengendalian hama dan penyakit tanaman bawang merah. Kurangnya pengetahuan tentang pestisida menyebabkan penggunaan pestisida berlebihan. Akibatnya muncul masalah pencemaran pangan dan lingkungan serta resistensi hama/penyakit. Dampak yang sangat merugikan lainnya adalah matinya parasit dan predator yang berguna. Dalam jangka panjang kondisi
tersebut
berakibat
meningkatkan
pencemaran
dan
mengganggu
keseimbangan lingkungan, sehingga menghambat terwujudnya sistem pertanian berkelanjutan. menunjukkan
Hasil studi residu pestisida pada umbi bawang merah adanya
kandungan
pestisida
golongan
organoklorin
dan
organofosfat bawang merah dari Jawa Barat (Cianjur) maupun Jawa Tengah (Brebes) (Miskiyah & Munarso 2009). Penggunaan varietas tahan hama dan penyakit adalah salah satu teknik pengurangan penggunaan pestisida sehingga produk tanaman tidak tercemar pestisida serta ramah lingkungan. Varietas atau klon bawang merah yang ada saat ini mempunyai daya hasil antara 7 sampai 24 ton/ha dengan umur sekitar 60 sampai 70 hst (hari setelah
2 tanam).
Beberapa varietas/klon bawang merah yang sudah banyak ditanam
adalah Bima, Kuning, Kuning Tablet, Tiron, Sumenep, Engkel, Bangkok, Ampenan, Maja Cipanas, Timor dan Super Philip.
Setiap varietas tersebut
mempunyai keunggulan tersendiri (Sunarto et al., 2004; Diperta 2005). Hasil studi genetik menunjukkan bahwa persilangan antar genotipe bawang merah yang dekat hubungan kekerabatannya kurang dapat meningkatkan hasil (Farid et al., 2007). Hasil indentifikasi kekerabatan 153 genotipe bawang merah menunjukkan ada keragaman genetik yang jauh antar genotipe (Arifin & Okubo, 1996). Berdasarkan dengan uji RAPD dari 129 genotipe bawang merah diperoleh sejumlah genotipe yang jauh jarak genetiknya (Arifin et al., 2000). Perakitan bawang merah membutuhkan informasi genetik untuk penentuan strategi pemuliaaannya.
Salah satunya dengan studi daya gabung, sehingga
diketahui kemampuan suatu tetua untuk menggabungkan sifatnya kepada tetua yang lain dan memberikan penampilan terbaik pada keturunannya. Selain itu, dapat diketahui nilai heterosisnya untuk penentuan genotipe bawang merah yang akan dirakit. Adanya keterbatasan plasma nutfah bawang merah yang tahan terhadap penyakit bercak ungu, maka dilakukan mutasi dengan sinar gamma untuk diperoleh genotipe tahan. Pemuliaan tanaman membiak vegetatif dapat dilakukan dengan mutasi (Medina et al., 2005). Telah banyak kegiatan mutasi dengan sinar gamma untuk meningkatkan ketahanan terhadap hama dan penyakit tanaman (Pophaly et al., 2006; Gulsen et al., 2007). Dari hal tersebut maka perakitan bawang merah hasil tinggi dilakukan dengan persilangan setengah dialel pada tujuh genotipe bawang merah yang jauh jarak genetiknya. Perbaikan sifat ketahanan terhadap penyakit bercak ungu pada bawang merah dilakukan dengan mutasi sinar gamma.
Tujuan Penelitian Tujuan utama penelitian ini untuk : mendapatkan genotipe bawang merah hasil tinggi dan tahan penyakit bercak ungu.
3 Tujuan khusus penelitian ini adalah : 1. Mendapatkan karakter seleksi pada sifat morfologi dan fisiologi tanaman bawang merah hasil tinggi 2. Menduga nilai daya gabung umum, daya gabung khusus, dan heterosis sejumlah genotipe bawang merah 3. Mengetahui keragaman dan kekerabatan dari hasil persilangan bawang merah 4. Menguji ketahanan genotipe bawang merah terhadap penyakit bercak ungu 5. Mendapatkan hubungan antara kandungan antosianin dengan tingkat ketahanan genotipe bawang merah terhadap penyakit bercak ungu.
Ruang Lingkup Penelitian Produktivitas bawang merah Indonesia yang masih rendah dibanding dengan negara lain. Adanya penyakit bercak ungu yang berakibat menurunkan hasil, maka perlu dirakit bawang merah hasil tinggi dan tahan penyakit bercak ungu. Plasma nutfah bawang merah yang ada mempunyai keragaman hasil yang luas dari daya hasil antara 8 sampai 24 ton/ha, tetapi keragaman ketahanan terhadap bercak ungu sempit, yaitu hanya sampai agak tahan. Perlunya informasi sifat genetik bawang merah untuk perakitan bawang merah hasil tinggi, maka dilakukan studi daya gabung karakter yang berkaitan dengan hasil.
Kegiatan seleksi dibutuhkan informasi genetik dari sifat yang
diseleksi. Karakter seleksi bawang merah hasil tinggi diperoleh dari identifikasi sifat agronomik dan fisiologis bawang merah hasil tinggi. Sifat ketahanan bawang merah terhadap penyakit bercak ungu dapat diperbaiki dengan mutasi.
Dari sejumlah kegiatan mutasi ternyata dapat
meningkatkan keragaman untuk karakter ketahanan terhadap hama dan penyakit serta cekaman lingkungan. Dosis sinar gamma yang digunakan dalam mutasi untuk mendapatkan sifat ketahanan terhadap hama dan penyakit berkisar antara 3 sampai 30 krad. Dosis LD 50 sinar gamma pada tanaman bawang merah 23 krad dan dosis peningkatan ketahanan terhadap penyakit bercak ungu antara 3 sampai 15 krad.
4 Adapun tahapan untuk mencapai tujuan utama penelitian ini, sebagai berikut : 1.
Studi penampilan karakter morfologi dan fisiologi bawang merah hasil tinggi, untuk mendapatkan suatu karakter yang dapat menjadi pedoman dalam kegiatan seleksi bawang merah hasil tinggi.
2. Studi daya gabung, yang dilakukan dengan persilangan setengah dialel pada 7 tetua bawang merah. 3. Mutasi biji-biji bawang merah hasil persilangan setengah dialel untuk meningkatkan ketahanan terhadap penyakit bercak ungu. Selain itu, dilakukan identifikasi genotipe bawang merah tahan penyakit bercak ungu dengan uji RAPD dan kandungan antosianin pada genotipe bawang merah tahan dan rentan terhadap penyakit bercak ungu. 4. Pengujian genotipe bawang merah terhadap ketahanan penyakit bercak ungu dan daya hasilnya dibandingkan 5 varietas kontrol. Secara skematis kegiatan penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.
1
Identifikasi 129 genotipe bawang merah dengan RAPD
Studi genetik bawang merah
Studi mutasi pada bawang merah : LD50 γ : 23 krad Ketahanan : dosis γ 3-15 krad
Penelitian yang telah dilakukan
1.Identifikasi Morfologi dan Fisiologi Bawang Merah Hasil Tinggi Plasma Nutfah Bawang merah Terpilih
Identifikasi 153 genotipe bawang merah dengan RFLP dan AFLP
3. Uji Daya Hasil dan Ketahanan thd Peny Bercak Ungu, Penanda RAPD pada Mutan dan Uji Kandungan Antosianin Mutan
Biji dimutasi γ 10 Krad
Mutan Hasil Tinggi dan Tahan Penyakit bercak ungu
Karakter Seleksi Hasil Tinggi Genotipe Hasil Tinggi
2. Persilangan Setengah Dialel 7 Genotipe Bawang Merah
4. Uji Daya Hasil Lanjut & Ketahanan thd Penyakit Bercak ungu pada M1V2
Perakitan bawang merah hasil tinggi dan tahan terhadap penyakit bercak ungu
5
Gambar 1. Bagan alir kegiatan penelitian perakitan bawang merah hasil tinggi dan tahan terhadap penyakit bercak ungu
2
7
II. TINJAUAN PUSTAKA
Ciri Tanaman Bawang Merah, Daerah Tumbuh dan Daya Hasil Varietas Bawang merah merupakan kerabat dekat bawang bombay. Biasanya bawang merah dibiak secara vegetatif dengan umbi, umbinya mengandung beberapa tunas lateral dan setelah umbi ditanam tumbuh beberapa tunas yang tetap melekat pada bagian dasarnya sehingga berbentuk suatu rumpun. Varietas/klon bawang merah berbeda-beda morfologinya. Posisi pertumbuhan daun bervariasi dari tegak, miring maupun agak terkulai dengan warna antara hijau muda, hijau tua dan hijau gelap. Bentuk umbi juga bervariasi antara lonjong, agak bulat sampai bulat serta gepeng dengan warna umbi antara merah pucat, merah, merah tua keunguan. Kemampuan berbunganya juga bervariasi dari yang mudah, agak sulit sampai sulit berbunga secara alami. Variasi lain terdapat dalam hal ketahanan terhadap penyakit dari yang rentan sampai agak tahan. Semua variasi yang ada menunjukkan adanya keragaman genetik (Permadi & Aliudin 1991; Suhardi et al., 1994; Sudirdja 2001). Tanaman bawang merah dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik di dataran rendah sampai dataran tinggi (+ 1100 meter di atas permukaan laut) Produksi terbaik dihasilkan didataran rendah yang didukung kondisi iklim : suhu udara antara 25 – 320C dan kering; tempat terbuka dan mendapat sinar matahari lebih 70% (bawang merah termasuk tanaman yang memerlukan sinar matahari cukup panjang (long day plant). merah.
Tiupan angin sedang sesuai untuk bawang
Tanah yang baik untuk pertanaman bawang merah adalah yang
berstruktur gembur, subur, memiliki drainase dan aerasi yang baik serta pH tanah antara 5.5 – 6.5 (Sutarya & Grubben 1995; Sunarjo & Soedomo 2001). Varietas adalah kelompok tanaman dalam satu jenis (species) dengan sifat berbeda, seragam dan stabil atau biasa disebut juga kultivar. Adapun klon adalah kelompok tanaman dalam satu jenis (species) yang diperbanyak secara vegetatif dengan sifat berbeda, seragam dan stabil (Crowder 1986). Jadi pada bawang merah yang perbanyakannya dengan vegetatif/umbi, untuk varietas disebut klon.
8 Bawang merah yang telah banyak dicoba adalah Bima Brebes, Medan, Keling, Maja Cipanas, Sumenep dan Tiron. Adapun setiap klon atau varietas tersebut mempunyai keunggulan masing-masing. Dilihat daya hasilnya klon Bima Brebes mempunyai daya hasil 9.9 t/ha, Medan 7.4 t/ha, Keling 7.9 t/ha, Maja Cipanas 10.9 t/ha. Sifat lainnya dari klon tersebut adalah agak tahan terhadap busuk umbi. Klon bawang merah yang mempunyai daya hasil tinggi adalah klon 86 dengan daya hasil mencapai 24 t/ha, Katumi (24 t/ha) (Duriat et al., 1999; Hindrawati 2008). Klon bawang merah Tiron mempunyai daya hasil antara 12-16 t/ha, tahan terhadap busuk ujung daun dan agak tahan terhadap busuk umbi (Erlin & Yudono 2003; Dipertahut 2005). Klon/varietas Kuning tergolong rentan terhadap penyakit bercak ungu dan antraknose, serta klon/varietas Super Philip tergolong kurang tahan terhadap penyakit bercak ungu (Putrasamedja & Suwandi 1996).
Daya Gabung Umum dan Khusus serta Pendugaannya Perbaikan sifat-sifat yang mempunyai nilai ekonomi tinggi sering dihadapkan kepada masalah dalam memilih tetua-tetua yang mempunyai daya gabung tinggi. Penilaian suatu genotipe untuk digunakan sebagai tetua dalam program pemuliaan, didasarkan atas penampilan keturunan yang dihasilkan dari persilangan dari sejumlah galur murni. Analisis daya gabung yang dibuat Griffing dapat digunakan untuk sejumlah tetua tanpa memperhitungkan tingkat heterositas dan poliploid (Janick 1992).
Uji keturunan tersebut dikaitkan dengan daya
gabung (daya gabung umum dan daya gabung khusus) yang diperlukan dalam identifikasi kombinasi tetua yang akan berproduksi tinggi (Chahal & Gosal 2006). Faktor utama yang menentukan keunggulan hibrida adalah daya gabung galur murni. Daya gabung merupakan konsep umum untuk mengklasifikasikan galur murni secara relatif menurut penampilan hibridanya (Hallauer & Miranda 1988). Menurut Poehlman (1983) tidak semua kombinasi galur murni menghasilkan hibrida yang superior. Oleh karena itu, galur-galur murni perlu diuji daya gabungnya guna menentukan kombinasi yang terbaik untuk produksi benih hibrida.
9 Daya gabung dapat diartikan sebagai kemampuan genotipe tanaman untuk memindahkan suatu sifat yang kepada keturunannya (Poespodarsono 1988). Salah satunya adalah daya gabung galur murni yang dapat menentukan keunggulan hibridanya. Menurut (Poehlman 1983) daya gabung umum merupakan penampilan rata-rata galur murni dalam berbagai kombinasi hibrida, sedangkan daya gabung khusus adalah penampilan galur murni dalam suatu kombinasi hibrida dibandingkan dengan kombinasi lainnya. Pendugaan daya gabung dapat dilakukan dengan metode persilangan diallel. Pendugaan DGU dan DGK dapat dilakukan dengan empat pendekatan (Griffing 1956). Empat metode tersebut adalah: metode I (full diallel) yaitu persilangan yang terdiri dari (Parents + F 1 ’s + resiprocals), dengan analisis parents (n), F 1 ’s dan resiprocals masing-masing [n(n-1)/2]. Metode II yaitu persilangan yang terdiri dari (Parents dan satu set F 1 ’s), dengan total analisis data [n(n+1)]/2. Metode III yaitu persilangan yang tediri dari (satu set F 1 ’s dan resiprocals), dengan total analisis data n(n-1). Metode IV yaitu persilangan yang terdiri hanya satu set F 1 saja, dengan total analisis data n(n-1)/2 (Singh & Chaudhary 1979). Heritabilitas adalah total keragaman populasi yang merupakan hasil kombinasi pengaruh genetik dan lingkungan (Welsh 1981).
Heritabilitas
merupakan perbandingan antara ragam genetik terhadap ragam total (Allard 1960; Simmonds 1984).
Heritabilitas disimbolkan dengan H atau h2.
Heritabilitas
terbagi menjadi heritabilitas arti luas dan heritabilitas arti sempit. Heritabilitas arti luas merupakan perbandingan antara ragam genetik total dengan ragam total (ragam fenotipe). Heritabilitas arti sempit merupakan perbandingan antara ragam aditif dengan ragam total (ragam fenotipe).
Keuntungan Persilangan Dialel Suatu persilangan dialel adalah seluruh kombinasi persilangan yang mungkin di antara sekelompok genotipe atau tetua, termasuk tetua itu sendiri lengkap dengan F 1 keturunannya. Genotipe-genotipe tersebut bisa berupa individu, klon atau galur homozigot. Pada jumlah genotipe yang besar (populasi
10 dasar berasal dari banyak tetua) maka jumlah persilangan yang mungkin dilakukan sangat besar sehingga membutuhkan ruang, biaya dan tenaga yang besar. Persilangan tersebut dapat disederhanakan dengan maksud meniru populasi kawin acak (Griffing 1956). Penggunaan teknik analisis silang dialel memiliki beberapa keuntungan dibandingkan dengan metode analisis lainnya. Di antara keuntungan tersebut, yaitu: (1) secara eksperimental merupakan pendekatan yang sistemik, (2) secara analitik
merupakan
evaluasi
genetik
menyeluruh
yang berguna
dalam
mengidentifikasi persilangan bagi potensi seleksi yang terbaik pada awal generasi (Fehr 1987). Persilangan dialel merupakan suatu pendekatan untuk
evaluasi
dan
seleksi dari kombinasi bentuk genetik tetuanya (Greenleaf 1986). Ada beberapa macam diallel yang mungkin untuk dianalisis dan jumlah kombinasinya tergantung dari macam persilangan tetuanya (Poespodarsono 1988). Identifikasi kekerabatan dan keragaman dengan RAPD (Random amplified polymorphic DNA) Identifikasi suatu genotipe bawang merah dapat digunakan dengan karakter morfologi, biokimia dan molekuler. Karakter morfologi dapat dengan langsung dan mudah diamati pada tanaman seperti bentuk biji, daun, umbi, bunga, ketahanan biotik dan abiotik (Horobin, 1986; Kofoet et al., 1990; Engle & Gabelman 1966; Zhang et al., 2005). Karakter biokimia yang telah digunakan sebagai identifikasi tanaman bawang seperti isozym, alkohol dehedogenase, malat dehedrogenase, peroksidase, superoksid dismutase (Arifin & Okubo 1996). Identifikasi dengan isozym ini membedakan genotipe tanaman dengan enzim yang diproduksi oleh gen. Jadi identifikasi dengan karakter morfologi dan biokimia mempunyai keterbatasan, yaitu dipengaruhi oleh lingkungan, dan fase pertumbuhan tanaman (Havey et al., 1996; Cramer & Havey, 1999; Ipek et al., 2003). Identifikasi yang tidak dipengaruhi oleh lingkungan dan fase pertumbuhan tanaman adalah dengan molekular. Metoda ini dapat diklasifikasikan menjadi dua
11 golongan, ialah : metoda identifikasi tidak berdasarkan pada polymerase chain reaction (PCR) (berdasarkan hibridisasi molekular) dan berdasarkan PCR. Metoda identifikasi tanaman yang tidak berdasarkan PCR seperti RFLPs (Restriction Fragment Length Polymerase) dan berdasarkan PCR antara lain RAPD, Restriction fragment length polymorphism (RFLP), Single sequence repeat (SSR), Amplified fragment length polymorphism (AFLP), dan Inter Simple Squence Repeat (ISSR) (Cramer & Havey 1999; Williams et al., 1990; Yan et al., 2005; Agarwal et al., 2008). RAPD merupakan identifikasi molekular hasil suatu polimerase PCR dari satu primer acak pada DNA genom. Polimorfisme dihasilkan dari penyusunan kembali pada sisi pengikatan oligonukleotida primer dari genom dengan penggunaan sekuen oligonukleotida acak pendek.
Kelebihan RAPD ini lebih
cepat dan mudah mendeteksi dibanding RFLP (Botstein et al., 1980), SSR (Tautz & Renz 1984), dan AFLP (Vos et al., 1995). Kelemahan RAPD adalah kurang reproduksibel dalam proses annealing (Demeke et al., 1997; Karp et al., 1997; Neale & Harry 1994). Kelebihan lain dari RAPD ialah: kebutuhan DNA sedikit, lebih hemat, mudah digunakan, karena dapat digunakan primer universal. kekurangan dari metoda RAPD, yaitu:
Beberapa
tidak dapat membedakan genotipe
homosigote dan heterosigote, adanya perubahan kecil berpengaruh pada jumlah dan intensitas amplifikasi, dan terdapat keragaman hasil antar laboratorium (William et al., 1990; Halleden et al., 1996). Penggunaan RAPD pada identifikasi genotipe bawang telah banyak digunakan (Havey et al., 1996; Ebrahimi et al., 2009). Penggunaan RAPD juga telah banyak digunakan pada tanaman lain seperti jeruk, kapas, kelapa, jambu dan pisang (Baig et al., 2009; Upadhyay et al., 2004; Thimmappaiah et al., 2009; Sugawara et al., 2002; Suangsuttapha et al., 2007; Chaudhary et al., 2010). Penanda RAPD telah dikembangkan pada masing-masing kromosome bawang merah (Shigyo et al., 1997). Telah diidentifikasi tiga primer pendeteksian dengan RAPD yang linkage dengan ketahanan penyakit embun jelaga (de Vries et al., 1992), dan satu penanda SCAR yang berasal dari pemetaan RAPD pada
12 kromosome 3 (van Heusden et al., 2000). Berdasarkan pelompokan RAPD pada taraf kesamaan 60 persen diperoleh 8 kelompok bawang dari 12 genotipe yang diidentifikasi (Ebrahimi et al., 2009), tetapi 10 genotipe bawang Banglades, hanya diperoleh 2 kelompok pada taraf yang sama (Maniruzzaman et al., 2010). Gejala Penyakit Bercak Ungu pada Bawang Merah Ketahanan tanaman terhadap penyakit didefinisikan sebagai suatu karakter tanaman yang memiliki daya tahan atau daya tumbuh dari adanya serangan patogen pada kondisi yang menyebabkan kerusakan lebih besar pada tanaman lain oleh agen penyebab yang sama.
Ada dua macam sistem respon ketahanan
tanaman terhadap agen penyebab penyakit (Agrios 1997) yaitu : 1. Ketahanan vertikal atau spesifik Ketahanan tanaman terhadap patogen dikendalikan oleh gen tungal (monogenik) atau beberapa gen (oligogenik). Ketahanan semacam ini biasanya hanya efektif terhadap pada satu atau beberapa ras/strain patogen saja tetapi tidak untuk ras/strain lainnya.
Adapun tingkat ketahanannya adalah sangat tahan sampai
tahan. 2. Ketahanan horisontal atau non spesifik Ketahanan ini diwariskan secara poligenik sehingga sukar diwariskan. Ketahanan ini efektif terhadap banyak ras/strain patogen sehingga sulit dipatahkan. Tingkat ketahanannya terhadap ras/strain patogen tergolong sedang. Salah satu penyakit yang sering dijumpai pada pertanaman bawang merah adalah penyakit bercak ungu/trotol. Penyebabnya adalah fungi Alternaria porri yang bentuk konidia berbentuk gada terbalik, berwarna pucat sampai cokelat muda, berukuran panjang 120 µm, tebal 5-10 µm (Semangun 1994; Rotem 1998; Schwartz 2004).
Konidia disebarkan berdasarkan bantuan angin, kemudian
berkembangbiak dengan cepat pada suhu 100 – 320 C (Black et al., 1985). Penyakit ini menyerang tanaman bawang merah pada fase pertumbuhan vegetatif yaitu umur 11-35 hari setelah tanam. Faktor lingkungan yang dominan mempengaruhi penyakit bercak ungu adalah kelembaban dan suhu. Kelembaban
13 optimumnya adalah 77 – 85 % dan suhu optimum 25-27 0C (Rotem 1998; Schwartz 2004). Epidemi penyakit ini ditentukan oleh faktor-faktor utama yaitu : (1) ketahanan tanaman bawang merah, (2) virulensi fungi, (3) daya reproduksi dan (4) faktor lingkungan yang mendukung (Zadoks & Schein 1979; Semangun 2006). Gejala serangan pada awalnya nampak bercak kecil, melekuk, berwarna putih sampai kelabu pada daun. Gejala lebih lanjut, bercak membesar dan bercincincincin, warnanya keunguan dengan tepi daun berwarna kuning disertai mengeringnya ujung-ujung daun. Infeksi pada umbi selepas panen menyebabkan pembusukan umbi berwarna kuning sampai merah kecoklatan dan berair. Varietas bawang merah yang telah dikenal tahan terhadap penyakit bercak ungu adalah Tiron (Duriat et al., 1999). Pemuliaan dengan Mutasi Mutasi merupakan suatu pendekatan untuk meningkatkan keragaman genetik. Hal ini karena rekayasa genetik membutuhkan investasi yang mahal dan teknik yang spesifik untk setiap kasus perbaikan suatu karakter maupun tanaman (Schum 1999). Mutasi dapat digunakan untuk perbaikan tanaman seperti warna bunga, karakter daun, reaksi fotoperiod, umur berbunga, umur panen, hasil, ketahanan terhadap hama/penyakit dan ketoleranan terhadap lingkungan rawan (Schum 1999; Borojevic 1990; Donini et al., 1984). Telah banyak varietas yang dikembangkan hasil dari mutasi.
Pada
tanaman serealia mencapai 163, kacang-kacangan 40 dan tanaman membiak vegetatif mencapai 264 (Borojevic 1990). Tahun 2000 telah dihasilkan 2252 variaetas tanaman hasil mutasi, dan terbanyak dihasilkan oleh negara Cina, diikuti India, Rusia, Belanda, Amerika Serikat, dan Jepang (Maluszynski et al., 2000). Di Indonesia juga telah banyak varietas yang dikembangkan dari hasil mutasi. Hasil mutasi tanaman pangan yang telah dikenal di Indonesia adalah Seratus Malam, Atomita, Cilosari, Meraoke, Woyla, Khayan, Winongo, Diah Suci, Yuwono, Mayang, Mira-1, Situgintung (padi), dan Muria, Tengger, Meratus,
14 Rajabasa (kedelai) serta Camar (kacang hijau) hasil pemuliaan dari Batan (Parmanto & Effendi 2007). Upaya memperpendek 10 hari lebih awal umur tanaman padi telah diperoleh dengan mutasi sebanyak 4 varietas yang terbentuk dan 2 varietas hasil mutan yang daya hasilnya meningkat lebih 10 persen (Donini et al., 1984). Mutasi dengan sinar gamma pada beberapa varietas kedelai dapat meningkatkan hasil sampai 26 persen dan toleran terhadap lingkungan rawan abiotik termasuk salin (Sunarto 2001; Farid & Suwarto 2001). Mutasi dengan radiasi sinar gamma telah dicoba dosis dari 3 sampai 15 krad dan diperoleh mutan yang tahan bercak ungu. Berdasarkan data dosis sinar gamma dan persentase tanaman bawang merah tumbuh diperoleh LD (Lethal Dose) 50 : 23 krad
(Sunarto et al., 2005). Pada tanaman kedelai mutasi dari 15
sampai 200 krad dengan sinar gamma telah dicoba. Pada dosis lebih dari 30 krad banyak biji yang tidak tumbuh (Sunarto 2001; Farid & Suwarto 2001). Hasil pengujian terakhir pada musim hujan telah diperoleh 1 genotipe bawang merah K yang tahan dibandingkan Bima, Bima Juna, Tiron dan Kuning Tablet (Sunarto et al., 2005). Dosis sinar gamma yang digunakan untuk mutasi padi antara 10-30 krad (Pophaly et al., 2006; Zhu et al., 2006), 20-100 krad pada kedelai, 10 krad pada kacang hijau (Parmanto & Effendi 2007).
Dosis yang digunakan untuk
peningkatan ketahanan terhadap wereng coklat adalah 15 – 30 krad (Pophaly et al., 2006). Pada tanaman tomat, dosis radiasi yang digunakan untuk peningkatan toleransi terhadap kekeringan adalah 30 dan 50 krad (Gonzalez et al., 2008). Dosis radiasi untuk meningkatkan ketahanan terhadap layu daun pada tanaman jeruk adalah 3-9 krad (Gulsen et al., 2007). Hasil Penelitian yang Telah Dicapai Umbi yang digunakan penanaman adalah bibit bawang merah berukuran 3-5 g dan telah patah dormansi. Penggunaan bibit bawang merah yang baik dan efisien adalah 2 g.
Umumnya bibit dari umbi lebih rentan terhadap infeksi
penyakit (Virindita 2005).
15 Ada korelasi antara kandungan antosianin dan flavonol umbi bawang merah dengan ketahanan terhadap penyakit dan daya simpan umbi sehingga dapat digunakan untuk pemilihan genotipe tahan penyakit (Hurst et al., 1985). Selain itu, ada variasi kandungan antosianin dan flavonol umbi bawang merah (Arifin et al., 1999). Hasil studi genetik menujukkan bahwa gejala heterosis nampak pada persilangan yang mempunyai keragaman besar atau kekerabatannya jauh (Falconer, 1985).
Hasil studi genetik bawang merah dan cabai merah pada
keragaman sempit diperoleh peningkatan karakter hasil yang rendah (Farid et al., 2007; Farid & Darini 2007).
17
III. PENAMPILAN KARAKTER MORFOLOGI DAN FISIOLOGI BAWANG MERAH PERFORMANCES OF MORPHOLOGICAL AND PHYSIOLOGICAL CHARACTERS OF SHALLOT Abstract Shallot productivity in Indonesia is still low due to the use of low yielding and disease susceptible varieties. Development of high yielding variety is needed to increase shallot production. The success of selection in shallot breeding program is determined by the availability of information on morphological and physiological characteristics. This research was aimed at obtaining information on the morphological and physiological characteristics of high yielding shallot varieties. The present study indicated that: (1) high yielding shallot genotypes is characterized by taller habitus, faster growth, greater leaf diameter, medium tiller number and bulb size, greater yield per hill as well as per meter-2, (2) high yielding genotypes are also characterized by lower root growth rate, dry weight accumulation rate of upper biomass and roots, (3) N, P, K, NRA and chlorophyll content could be used to differentiate high yielding from low yielding genotypes, (4) the greatest root growth rate was found during 35 to 42 days after seeding (das), and for upper biomass was found during 42 to 49 das, (5) there was correlation between yield and the observed characters, except on tiller numbers. Keywords: morphology, physiology, shallot, correlation. Abstrak Produktivitas bawang merah Indonesia masih rendah karena penggunaan varietas berdaya hasil rendah, dan rentan terhadap hama serta penyakit. Perakitan varietas berdaya hasil tinggi perlu dilakukan. Keberhasilan seleksi ditentukan oleh informasi dari sifat morfologi dan fisiologi bawang merah. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan sifat morfologi dan fisiologi tanaman bawang merah hasil tinggi unutk memudahkan seleksi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa : (1) Genotipe bawang merah hasil tinggi bercirikan tanamannya tinggi, pertumbuhan cepat, diameter daun besar, jumlah anakan dan umbi sedang, hasil umbi per rumpun serta per m2 tinggi. (2) Genotipe yang hasil tinggi ditandai dengan laju perpanjangan akar, laju akumulasi bahan kering tajuk maupun akar yang tinggi dibanding yang produksi rendah. (3) Akumulasi N, P, K, ANR dan kandungan klorofil belum dapat digunakan membedakan genotipe bawang merah hasil tinggi dan rendah. (4) Laju pertumbuhan terbesar pada akar saat periode umur antara 35 sampai 42 hst, dan tajuk saat umur 42-49 hst, (5) Ada korelasi genotipik dan fenotipik antara hasil bawang merah dengan karakter yang diamati kecuali jumlah anakan. Kata Kunci : morfologi, fisiologi, bawang merah, korelasi
18 Pendahuluan Produktivitas bawang merah Indonesia masih rendah maka diperlukan upaya untuk peningkatannya. Upaya tersebut dapat berupa perbaikan budidaya yang sesuai, dengan penggunaan varietas yang berdaya hasil tinggi. Perakitan varietas bawang merah berdaya hasil tinggi dibutuhkan koleksi plasma nutfah, persilangan, dan seleksi. Seleksi akan tepat bila tersedia informasi genetik dan sifat morfologi dan fisiologi bawang merah. Beberapa varietas bawang merah yang sudah banyak ditanam adalah Bima, Kuning, Kuning Tablet, Tiron, Sumenep, Engkel, Bangkok, Ampenan, Maja, Timor dan S Philip. Setiap varietas tersebut mempunyai keunggulan tersendiri. Varietas bawang merah yang ada mempunyai daya hasil antara 7 sampai 24 t/ha dengan umur sekitar 60 sampai 70 hst (Sunarto et al., 2004; Diperta 2005). Jumlah anakan banyak dimiliki oleh varietas bawang merah Tiron, dan ukuran umbi besar ada pada varietas Maja (Soedomo 2006). Ada hubungan yang positif antara hasil dengan tinggi tanaman, diameter daun (Awale et al., 2011). Variasi yang besar pada bobot umbi dan jumlah daun tanaman bawang sehingga dapat dilakukan seleksi pada karakter ini dengan mudah. Ada korelasi antara hasil tanaman bawang dengan panjang daun, dan ukuran umbi (Mohanty 2001). Tujuan penelitian ini untuk mendapatkan sifat morfologi dan fisiologi tanaman bawang merah hasil tinggi guna memudahkan seleksi. Bahan dan Metode Waktu dan tempat Penelitian ini dilaksanakan di lahan bekas sawah desa Kutasari Kecamatan Baturaden, Kabupaten Banyumas.
Ketinggian tempat penelitian 125 m dpl,
dengan jenis tanah inceptisol. Laboratorium yang digunakan adalah Pemuliaan Tanaman, Ilmu Tanah Fakultas Pertanian, dan Kimia Mipa Unsoed. Waktu pelasanaan penelitian mulai bulan Juni sampai September 2009.
19 Materi dan metode penelitian Bawang merah yang dicoba berasal dari produksi benih bawang merah kabupaten Brebes dan Bantul. Bibit bawang merah varietas Bima, Bima Curut, Bima Tarno, Kuning, dan S Philip berasal dari kabupaten Brebes, adapun Tiron berasal dari kabupaten Bantul.
Ada perbedaan varietas bawang merah yang
digunakan antara percobaan ini dengan percobaan setengah dialel, karena adanya keterbatasan benih yang tersedia. Faktor percobaan yang dicoba pada penelitian ini ada dua, yaitu varietas bawang merah dan kesuburan tanah. Faktor tersebut : 1.
Faktor pertaman : varietas bawang merah (Bima, Bima Curut, Bima Tarno, Kuning, S Philip, dan Tiron).
2.
Faktor kedua : Kesuburan tanah (tidak dipupuk dan dipupuk (200 kg/ha NPK dan 5 ton/ha pupuk kandang)).
Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok (RAK) dengan tiga kali ulangan. Setiap ulangan terdiri-dari 12 petak dan tiap petak berukuran 1 m x 4 m dengan jarak tanam yang digunakan adalah 20 cm x 15 cm. Setiap lubang tanam ditanam satu umbi bibit. Penanaman bibit umbi dengan cara dipotong 1/3 bagian umbi bagian atas. Pada perlakuan dipupuk, pupuk kandang diberikan saat 1 minggu sebelum tanam dan pupuk NPK diberikan sehari setelah tanam. Pupuk diberikan dengan cara ditugal di samping lubang tanam. Karakter tanaman bawang merah yang diamati adalah tinggi tanaman, panjang akar, jumlah anakan, diameter daun, jumlah daun, bobot umbi per rumpun, diameter umbi, jumlah umbi, dan umur panen. Adapun karakter fisiologi yang diamati: ANR (aktivitas nitrat reduktase), laju akumulasi bahan kering akar dan tajuk, kandungan N, P, K jaringan, dan kandungan klorofil a serta b. Pemeliharaan tanaman dilakukan berupa penyiraman, penyiangan dan pengendalian hama serta penyakit.
Penyiraman dilakukan setelah tanam dan
dilanjutkan dengan 2 kali sehari sampai umur 50 hst. Penyiangan dilakukan sebanyak 3 kali, yaitu pada saat umur tanaman 17 hst, 30 hst dan 40 hst. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan dengan cara pemberian furadan 3 G saat tanam. Selanjutnya dikendalikan secara periodik dengan pestisida Dithane M
20 45, Curacron 50 EC, dan Score 250 EC yang diseprotkan pada pertanaman setelah tanaman mulai berumur 20 hst. Penyemprotan dilakukan bergantian antara ketiga pestisida tersebut dengan rentang waktu 7 hari. Adapun dosis yang digunakan adalah 2 cc/l. Panen dilakukan pada saat tanaman bawang merah daun-daunnya menguning, leher batang tampak lemas, sebagian besar umbi telah muncul ke permukaan tanah. Selain itu lapisan umbi berisi penuh dengan warna mengkilap. Selanjutnya umbi dibersihkan dari tanah yang menempel dan ditimbang untuk diperoleh data bobot umbi basah. Bobot umbi kering diperoleh dengan jalan umbi dijemur sampai daun kering. Analisi N, P dan K jaringan Analisis jaringan dilakukan di laboratorium MIPA Unsoed dengan prosedur analisis N, P dan K sesuai yang telah dipakai (Wilde et al., 1979; Sudarmadji et al., 1981). Analisis kandungan N daun Sampel daun diambil dari tiap varietas dan dari perlakuan tidak dipupuk dan dipupuk. Selanjutnya sampel daun tersebut dilakukan analisis hara N dengan metode Kjeldahl, adapun prosedur yang digunakan sebagai berikut: 1.
Sampel daun bawang merah dioven pada suhu 60o C selama 48 jam kemudian diblender
2.
Daun tersebut ditimbang sebanyak 1 g dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer 50 ml kemudian ditambahkan 5 ml larutan H 2 SO 4
pekat dan dibiarkan
semalam (24 jam) 3.
Selanjutnya dimasukkan ke dalam ruang asap dan dipanaskan pada suhu rendah selama 30 menit, setiap 10 menit ditambahkan 5 tetes H 2 O 2 sampai larutan menjadi jernih
4.
Apabila larutan sudah jernih maka larutan diambil dan disaring ke dalam labu ukur 50 ml untuk diperoleh filtrat. Filtrat yang diperoleh diencerkan dengan akuades sampai volume akhir jadi 50 ml.
21 5.
Filtrat diambil sebanyak 540 ml untuk dimasukkan ke dalam tabung destilasi kemudian ditambah 50 ml NaOH 50 %, 2 sampai 3 tetes phenolptaelin, 6 tetes parafin dan 500 ml akuades serta ditambahkan 10 ml H 2 SO 4 0.1N.
6.
Larutan tersebut kemudian dititrasi dengan NaOH 0.1N sampai larutan menjadi jernih.
7.
Setelah itu dilakukan penetapan blanko.
Analisis kandungan P daun Sampel daun disiapkan dari tiap varietas dan dari perlakuan tidak dipupuk serta dipupuk. Selanjutnya sampel daun tersebut dilakukan analisis hara P dengan prosedur yaitu: 1.
Daun ditimbang 0.250 g daun bawang merah, dimasukkan ke dalam tabung digestion. Selanjutnya ditambah 2.5 H 2 SO 4, didiamkan semalam supaya larutan tercampur.
2.
Larutan dipanaskan dalam blok disguestion selama 1 jam pada suhu 100o C kemudian diangakat dan dibiarkan dingin.
3.
Ditambah 2 ml H 2 O 2 kemudian dipanaskan kembali pada suhu 200o C selama 1 jam selanjutnay diangkat dibiarkan sampai agak dingin. Tahap berikutnya ditambah kembali H 2 O 2 sebanyak 2 ml kemudian dipanaskan kembali hingga suhu 350o C. Selanjutnya kegiatan ini diulang lagi sampai keluar uap putih dan didapat 1 ml ekstrak jernih.
4.
Tabung diangkat, dinginkan kemudian ekstrak diencerkan dengan aquades hingga 50 ml. Dikocok sampai homogen dengan pengocok tabung dan dibiarkan semalam sampai timbul endapan.
5.
Larutan tesebut diambil dengan cara dipipet masing-masing sebanyak 1 ml ekstrak sampel dan deret standar PO 4 ke dalam tabung kimia, ditambah 9 ml air bebas ion dan dikocok, serta dilakukan pengenceran 10 x.
6.
Ekstrak tersebut diambil dengan pipet masing-masing 2 ml ekstrak encer dan deret standar ke dalam tabung reaksi, ditambah 10 ml pereaksi warna P. Selanjutnya dikocok dengan pengocok tabung sampai homogen, dan dibiarkan selama 30 menit.
22 7.
Diukur kadar P dalam larutan dengan alat spektrofotometer pada panjang gelombang 693 nm.
Analisis kandungan K daun Seperti prosedur pengambilan sampel pada hara N dan P, yaitu sampel daun disiapkan dari tanaman bawang merah tiap varietas yang dicoba dan perlakuan tidak dipupuk serta dipupuk. Secara rinci prosedur analisis jaringan K daun bawang merah sebagai berikut: 1.
Ditimbang 0.250 g daun bawang merah, kemudian dimasukkan ke dalam tabung digestion. Ditambah 2.5 H 2 SO 4 diamkan semalam supaya larutan tercampur.
2.
Dipanaskan dalam blok disguestion selama 1 jam pada suhu 100o C kemudian diangakat dan dibiarkan dingin.
3.
Ditambah 2 ml H 2 O 2 kemudian dipanaskan kembali pada suhu 200o C selama 1 jam kemudian diangkat dan dibiarkan sampai agak dingin serta ditambah kembali H 2 O 2 sebanyak 2 ml. Selanjutnya dipanaskan kembali hingga suhu 350o C. Kegiatan ini diulang lagi sampai keluar uap putih dan didapat 1 ml ekstrak jernih.
4.
Tabung diangkat, dinginkan kemudian ekstrak diencerkan dengan aquades hingga 50 ml. Dikocok sampai homogen dengan pengocok tabung dan dibiarkan semalam sampai timbul endapan.
5.
Residu yang diperoleh dilarutkan dengan 70 ml aquades (dalam hal ini larutan tersebut tak boleh mengandung K lebih dari 0.5 g ; dan apabila ternyata jumlah K lebih besar dari jumlah tersebut maka larutan tersebut dapat diencerkan sampai volume tertentu, kemudian ambil sebanyak 70 ml untuk ditentukan kadar K yang terkandung).
6.
Ke dalam 70 ml larutan tersebut ditambahkan 5 ml larutan asam perkhlorat (HC10 4 ) 20 % (jenis : 1.12), diuapkan diatas penangas air secara perlahanlahan.
7.
Tahap selanjutnya ditambah 10 ml aquades panas dan 5 ml HC1O 4 20 %, diuapkan di atas penangas air. Kegiatan ini diulangi sampai apabila diuapakan akan timbul uap/kabut asam tersebut pekat.
23 8.
Disaring dengan krus Gooch yang telah diketahui bobotnya.
9.
Dicuci dengan 3 x 10 ml larutan alkohol pencuci, selanjutnya dikeringkan dalam oven suhu 300 C selam 1 jam, dan akhirnya ditimbang.
10. Residu yang ditimbang adalah KC1O 4 (g).
Analisis ANR daun Sampel daun untuk dianalisis ANR disiapkan dari 6 varietas bawang merah yang dicoba dan perlakuan tidak dipupuk serta dipupuk. Selanjutnya sampel daun dianalisis dengan prosedur: 1.
Sampel daun bawang merah diambil pada saat umur tanaman 40 hst.
2.
Daun dibersihkan dengan aquades kemudian dikeringkan di atas tissue setelah itu ditimbang seberat 1 g.
3.
Helaian daun diiris tipis-tipis dengan ukuran tebalnya + 1 mm.
4.
Irisan daun tersebut kemudian dimasukkan ke dalam tabung yang berisi 5 ml larutan buffer fosfat 1.2 M pH 7 dan diinkubasi selama 12 jam.
5.
Setelah diinkubasi cairan dalam tabung dibuang dan diganti dengan 5 ml larutan buffer baru yang ditambah 0.1 ml larutan NaNO 3 5 ml dan dicatat waktunya sebagai awal inkubasi. Lama waktu inkubasi adalah dua jam.
6.
Sementara diinkubasi, disiapkan reagen pewarna yang terdiri dari 0.2 ml larutan 3 % 1 N Sulfanilamid dan 0.2 ml larutan 0.02 % 1 N Naptilendiamin dan dimasukkan dalam tabung reaksi.
7.
Setelah tercapai waktu inkubasi dua jam larutan dalam tabung diambil dengan pipet ukur sebanyak 0.1 ml dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang telah diberi reagen pewarna. Setelah itu ditunggu kurang lebih sepuluh menit atau sampai terbentuk warna merah sebagai tanda telah terjadi reaksi ion nitrit oleh enzim nitrat reduktase
8.
Larutan tersebut dimasukkan dalam kuvet dan diukur absorbsinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 540 nm.
9.
Perhitungan aktivitas nitrat reduktase (ANR) dengan rumus sebagai berikut:
ANR =
Asampel 1000 1 1 x50 x x x Astndr BB WI 1000
24 Keterangan : A sampel A stndr BB WI
= Absorban = Diukur dari larutan campuran reagen pewarna dengan akuades = Bobot basah sampel (g) = Waktu inkubasi (jam)
Analisis kandungan klorofil (Wintermans & Mots, 1965) 1.
Sampel daun diambil pada saat tanaman telah berumur 40 hst.
2.
Daun dibersihkan dengan akuades kemudian dikeringkan di atas tissue setelah itu dipotong-potong lalu ditimbang sebanyak 1 g.
3.
Daun yang telah ditimbang ditambah aseton 1 ml kemudian ditumbuk sampai halus dengan mortar.
4.
Hasil tumbukan ditambah aseton sebanyak 10 ml dan disaring selanjutnya dimasukan ke dalam tabung reaksi lalu disentrifuges.
5.
Cairan hasil sentrifuges dimasukkan ke dalam kuvet dan diukur absorbsinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 663 nm dan 645 nm.
6.
Perhitungan kandungan klorofil dengan rumus sebagai berikut: Kandungan klorofil a (mg per g) =
Keterangan : A sampel A stndr BB WI
Asampel 1000 1 1 x50 x x x Astndr BB WI 1000
= Absorban = Diukur dari larutan campuran reagen pewarna dengan akuades = Bobot basah sampel (g) = Waktu inkubasi (jam)
Hasil analisis tanah tempat percobaan mempunyai sifat yaitu pH tanah 6.33 (agak masam), kandungan N tersedia 188.9 ppm (sedang), kandungan P tersedia 8.2 ppm (rendah), dan kandungan K tersedia 0.7 me% (sedang). Analisis data dengan uji F dan dilanjutkan uji jarak ganda Duncan taraf (UJGD) 5 %. Pengujian korelasi fenotipik dan genotipik dilakukan pada karakter yang diamati. Metode analisis korelasi menurut rumus dari Singh & Chaudhary (1979). Hasil dan Pembahasan Salah satu komponen produksi tanaman bawang merah adalah jumlah anakan per rumpun. Ternyata jumlah anakan meningkat dengan meningkatnya kesuburan tanah. Pada dua kondisi kesuburan tiap genotipe bawang merah
25 mempunyai tanggap yang berbeda pada karakter jumlah anakan. Jumlah anakan pada genotipe Bima Tarno, Bima Curut dan Tiron tidak tanggap terhadap peningkatan kesuburan, tetapi genotipe Bima, Kuning dan S Philip meningkatnya kesuburan, meningkatkan jumlah anakan. Jumlah anakan terbanyak pada kondisi tidak dipupuk adalah Tiron, sedangkan yang paling sedikit Bima Curut. Jumlah anakan pada genotipe bawang merah hasil tinggi lebih sedikit dibandingkan genotipe hasil rendah, sehingga jumlah anakan yang banyak berakibat kecilnya ukuran umbi dan berkurangnya hasil. Jadi pemilihan genotipe bawang merah hasil tinggi tidak perlu anakan yang banyak.
Jumlah anakan pada bawang merah
berpengaruh negatif terhadap hasil dan diameter umbi (Putrasamedja 2006). Tabel 1. Interaksi pada karakter jumlah anakan per rumpun dari enam genotipe bawang merah pada dua kesuburan tanah Kesuburan Genotipe Tidak dipupuk Dipupuk Bima 8.84 b y 9.83 b x Bima Tarno 8.55 b x 8.67 c x Bima Curut 8.50 b x 8.89 c x Kuning 9.17 b y 10.56 b x Tiron 10.39 a x 10.61 b x S Philip 10.22 a y 11.67 a x Angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf (a, b, c) yang sama tidak berbeda pada UJGD taraf 5 % Angka pada baris yang sama diikuti oleh huruf (x, y) yang sama tidak berbeda pada UJGD taraf 5 %
Dilihat jumlah umbi per rumpun, tampak genotipe bawang merah Bima, Kuning, dan S Philip terjadi peningkatan jumlah anakan dengan peningkatan kondisi kesuburan tanah. Pada kondisi tidak dipupuk genotipe bawang merah S Philip, Tiron dan Kuning lebih banyak jumlah umbinya dibandingkan Bima Tarno, Bima dan Bima Curut.
Jumlah umbi pada kondisi dipupuk S Phlilip
terbanyak, sama dengan Tiron dan Kuning, sedangkan yang paling sedikit adalah Bima Tarno (Tabel 2). Hal ini menunjukkan tanggap genotipe bawang merah berbeda, pada kelompok S Philip, Tiron, dan Kuning terjadi peningkatan jumlah umbi per rumpun yang paling banyak diikuti Bima, selanjutnya Bima Tarno serta terkecil Bima Curut.
Jadi genotipe bawang merah hasil tinggi (Bima, Bima
Tarno, Bima Curut) mempunyai jumlah umbi yang lebih sedikit dibandingkan
26 genotipe hasil rendah (Kuning, Tiron, S Philip). Pemilihan genotipe bawang merah hasil tinggi mempertimbangkan jumlah umbi dan ukuran umbi, karena umbi banyak berakibat ukuran umbi kecil sehingga daya hasilnya rendah. Jumlah umbi sedikit adalah salah satu ciri dari bawang merah hasil tinggi (Putrasamedja & Soedomo 2007). Terdapat korelasi negatif antara hasil dengan jumlah anakan (Awale et al., 2011). Korelasi negatif antara jumlah umbi dengan ukuran umbi sehingga perlu dipertimbangkan dalam seleksi (Mohanty 2001). Tabel 2. Interaksi pada karakter jumlah umbi per rumpun dari enam genotipe bawang merah pada dua kesuburan tanah Kesuburan Genotipe Tidak dipupuk Dipupuk Bima 7.22 b y 12.78 b x Bima Tarno 6.89 b y 11.56 c x Bima Curut 7.22 b y 11.78 c x Kuning 8.11 a y 14.55 a x Tiron 8.33 a y 14.77 a x S Philip 8.56 a y 15.00 a x Angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf (a, b, c) yang sama tidak berbeda pada UJGD taraf 5 % Angka pada baris yang sama diikuti oleh huruf (x, y) yang sama tidak berbeda pada UJGD taraf 5 %
Semua genotipe bawang merah yang dicoba meningkat diameter umbinya dengan meningkat kondisi kesuburan tanah. Pada kondisi tidak dipupuk genotipe bawang merah Bima dan Bima Tarno terbesar umbinya dan terkecil adalah S Philip yang sama dengan Tiron maupun Kuning. Pada kondisi dipupuk genotipe Bima Curut mempunyai ukuran diameter umbi terbesar, berbeda dengan Bima dan Bima Tarno, sedangkan terkecil adalah Tiron (Tabel 3). Hal ini tampak bahwa ukuran umbi dipengaruhi oleh tingkat kesuburan dan ada perbedaan tanggap genotipe bawang merah. Umbi yang besar dan jumlah yang banyak akan memberikan hasil yang tinggi (Limbongan & Monden 1999).
27 Tabel 3. Interaksi pada karakter diameter umbi (mm) dari enam genotipe bawang merah pada dua kesuburan tanah Genotipe Bima Bima Tarno Bima Curut Kuning Tiron S Philip
Kesuburan Tidak dipupuk 26.17 a y 23.37 b y 26.13 a y 22.23 c y 22.20 c y 21.90 c y
Dipupuk 31.70 b x 31.57 b x 33.03 a x 27.17 d x 28.40 c x 27.63 d x
Angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf (a, b, c) yang sama tidak berbeda pada UJGD taraf 5 %. Angka pada baris yang sama diikuti oleh huruf (x, y) yang sama tidak berbeda pada UJGD taraf 5 %
Dari Tabel 4 tampak bahwa bobot umbi dari genotipe bawang merah meningkat bobot umbinya dengan meningkatnya kesuburan tanah.
Pada kondisi tidak
dipupuk, genotipe Bima Curut terberat hasil bobot umbinya, dan yang terrendah produksi bobot umbinya adalah Kuning. Berbeda dengan pada kondisi dipupuk, kelompok Bima Tarno, Bima Curut dan Bima terbesar produksinya, ini berbeda dengan S Phlip, Tiron dan Kuning yang hasilnya lebih rendah. Hal ini terlihat bahwa pada kondisi dipupuk dan tidak dipupuk genotipe bawang merah hasil tinggi lebih besar produksi bobot umbinya dibanding dengan genotipe hasil rendah. Genotipe hasil tinggi menghasilkan bobot umbi yang tinggi dari pada genotipe rendah hasil rendah. Karakter yang mendukung genotipe bawang merah hasil tinggi terlihat adanya tanaman yang tinggi, diameter daun besar, ukuran dan umbi yang besar. Jadi komponen pertumbuhan dan komponen hasil yang tinggi akan menghasilkan bobot umbi yang besar. Percobaan komponen hasil bawang menunjukkan bahwa karakter yang mendukung bawang hasil tinggi adalah tinggi tanaman, panjang daun, diameter daun, jumlah umbi, ukuran umbi, dan bobot umbi (Melke & Ravishanker 2006).
28
Tabel 4. Interaksi pada karakter bobot umbi per rumpun (g) dari enam genotipe bawang merah pada dua kesuburan tanah Genotipe
Kesuburan
Tidak dipupuk Dipupuk Bima 74.06 ab y 120.21 a x Bima Tarno 70.97 b y 121.35 a x Bima Curut 77.01 a y 121.13 a x Kuning 59.24 d y 93.66 b x Tiron 64.02 c y 94.73 b x S Philip 63.47 c y 96.85 b x Angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf (a, b, c) yang sama tidak berbeda pada UJGD taraf 5 % Angka pada baris yang sama diikuti oleh huruf (x, y) yang sama tidak berbeda pada UJGD taraf 5 % Semua genotipe bawang merah meningkat kandungan unsur hara K dengan meningkatnya keseburan, kecuali genotipe bawang merah Bima. Akumulasi hara K jaringan genotipe bawang merah Bima tertinggi pada kondisi tidak dipupuk, diikuti Bima Tarno, S Philip, Bima Curut, dan terakhir Tiron. Sebaliknya pada kondisi dipupuk, semua genotipe bawang merah akumulasi kandungan K-nya sama (Tabel 5). Akumulasi hara K jaringan belum dapat membedakan genotipe bawang merah hasil tinggi dengan hasil rendah. Mengingat pemupukan tidak berpengaruh terhadap komponen pertumbuhan dan hasil (Satsijati & Pudji 1995; Gunadi 2009). Tabel 5.
Interaksi pada karakter akumulasi hara K jaringan (%) dari enam genotipe bawang merah pada dua kesuburan tanah Kesuburan Genotipe Tidak dipupuk Dipupuk Bima 0.81 a x 0.85 a x Bima Tarno 0.75 ab y 0.87 a x Bima Curut 0.70 ab y 0.88 a x Kuning 0.72 ab y 0.85 a x Tiron 0.67 b y 0.81 a x S Philip 0.72 ab y 0.84 a x Angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf (a, b, c) yang sama tidak berbeda pada UJGD taraf 5 %. Angka pada baris yang sama diikuti oleh huruf (x, y) yang sama tidak berbeda pada UJGD taraf 5 %
29 Aktivitas nitrat reduktase (ANR) meningkat dengan meningkatnya kondisi kesuburan (Tabel 6). Pada kondisi tidak dipupuk, ANR terbesar dicapai genotipe Kuning yang sama dengan Bima Curut, diikuti Bima, S Philip, Bima Tarno dan Tiron. Kondisi dipupuk, yang tertinggi ANR-nya adalah Bima Curut, diikuti Kuning, Bima, Phlipin, Bima Tarno, Bima, dan Tiron. Tampaknya genotipe bawang merah yang hasil tinggi terjadi peningkatan ANR yang lebih besar dibandingkan genotipe hasilnya rendah dengan meningkatnya kesuburan, kecuali genotipe Bima Tarno (Tabel 6). Tampaknya ANR belum mampu membedakan genotipe hasil tinggi dan rendah. Mengingat kondisi tanah tergolong masih cukup untuk tanaman bawang merah, sehingga aktifitas metabolisma N antar genotipe sama. Tabel 6.
Interaksi pada karakter ANR (µg/g/jam) dari enam genotipe bawang merah pada dua kesuburan tanah Kesuburan Genotipe Tidak dipupuk Dipupuk Bima 37.97 b y 39.65 c x Bima Tarno 36.02 c x 37.29 d x Bima Curut 40.16 a y 43.95 a x Kuning 40.67 a x 41.31 b x Tiron 35.43 c x 36.81 d x S Philip 36.79 bc x 37.88 d x Angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf (a, b, c) yang sama tidak berbeda pada UJGD taraf 5 % Angka pada baris yang sama diikuti oleh huruf (x, y) yang sama tidak berbeda pada UJGD taraf 5 %.
Dari genotipe bawang merah tersebut menunjukkan bahwa tinggi tanaman pada genotipe hasil tinggi (Bima, Bima Tarno, Bima Curut) lebih tinggi dari pada genotipe hasil rendah (Kuning, Tiron, S Philip) (Tabel 7). Tampak bahwa pada genotipe bawang merah hasil tinggi pertumbuhannya lebih cepat dari hasil pengamatan di lapang. Genotipe bawang merah daya hasil tinggi mempunyai tinggi tanaman yang lebih tinggi dari pada genotipe hasil rendah. Ada hubungan yang positif antara tinggi tanaman dengan hasil umbi (Awale et al., 2011). Hal ini membantu kegiatan seleksi untuk mendapatkan bawang merah hasil tinggi dengan pemilihan
tanaman
yang
tinggi.
Tampaknya
peningkatan
kesuburan
30 meningkatkan tinggi tanaman bawang merah (Tabel 7).
Hasil tinggi pada
tanaman bawang merah dibutuhkan perbaikan kesuburan. Karakter jumlah daun pada kondisi dipupuk memberikan jumlah daun yang lebih banyak dari pada tidak dipupuk (Tabel 7). Hal ini terdapat indikasi bahwa semakin subur tanaman bawang merah semakin baik pertumbuhannya. Genotipe bawang merah hasil rendah mempunyai jumlah daun lebih banyak (Kuning, Tiron, S Philip) dari pada hasil tinggi kecuali Bima yang sama dengan genotipe hasil rendah. Jumlah daun yang banyak akan meningkatkan kompetisi cahaya sehingga menurunkan aktifitas fotosintesis dan akhirnya menurunkan hasil bawang merah. Hal ini dapat digunakan karakter seleksi bahwa jumlah daun yang banyak pada tanaman bawang merah mempunyai daya hasil rendah. Selain itu, diameter dan panjang daun menentukan hasil bawang merah. Korelasi positif antara diameter dan panjang daun dengan hasil sehingga dapat dijadikan karakter seleksi untuk bawang hasil tinggi (Kalloo et al., 1982). Dilihat karakter diameter daun bawang merah menunjukkan bahwa kondisi dipupuk dapat meningkatkan diameter daun (Tabel 7). Genotipe bawang merah hasil tinggi (Bima, Bima Tarno, Bima Curut) secara umum lebih besar diameter daunnya dibandingkan hasil rendah (Kuning, Tiron, dan S Philip). Semakin besar diameter daun akan meningkatkan luas daun sehingga fotosintesisnya akan lebih besar dan dapat meningkatkan hasil. Jadi genotipe bawang merah hasil tinggi ditandai dengan diameter daun yang besar.
Ada korelasi positif antara hasil
bawang merah dengan diameter daun, dan panjang daun (Awale et al., 2011). Dari tabel 7 tampak bahwa pada kondisi tidak dipupuk hasil umbi bawang merah per m2 lebih rendah dibanding dengan kondisi dipupuk. Hal ini tampak bahwa peningkatan kesuburan pada bawang merah terjadi peningkatan hasil. Genotipe hasil tinggi memberikan hasil lebih tinggi dibandingkan genotipe hasil rendah. Ini menandakan bahwa pada genotipe produksi tinggi mempunyai sifat hasil tinggi dan sebaliknya genotipe bawang merah hasil rendah. Kemampuan genotipe bawang hasil tinggi adalah salah satu sifat genetik yang dimiliki bawang merah dan dapat diturunkan. Pada varietas bawang merah yang akan dilepas, penampilan daya hasil lebih tinggi di banyak lingkungan harus dimiliki varietas
31 bawang merah tersebut dibandingkan varietas kontrol (Putrasamedja, 2007; Soedomo, 2006; Mahantesh et al., 2007). Tabel 7. Penampilan tinggi tanaman (cm), jumlah daun, diameter daun (mm) dan bobot umbi (kg/m2) dari enam genotipe bawang merah serta perbedaan pada dua kesuburan tanah Genotipe Bima Bima Tarno Bima Curut Kuning Tiron S Philip Kesuburan Tidak dipupuk Dipupuk
Tinggi tanaman (cm) 46.15 a 44.52 a 47.92 a 36.86 b 37.64 b 35.79 b
Jumlah daun 45.04 ab 41.70 b 39.36 b 51.97 a 50.58 a 51.28 a
37.33 b 45.62 a
Diameter daun (mm) 60.50 a 60.30 a 60.20 a 49.80 b 49.70 b 51.00 b
40.50 b 52.81 a
44.20 b 66.30 a
Bobot umbi (kg/m2) 1.89 a 1.90 a 1.93 a 1.59 b 1.58 b 1.57 b 1.32 b 2.16 a
Angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf (a, b, c) yang sama tidak berbeda pada UJGD taraf 5 %
Gambar 2a tampak bahwa pada kondisi tidak dipupuk genotipe bawang merah Bima berpenampilan lebih baik dari pada varietas Kuning pada kondisi dipupuk. Secara umum, hasil panen tampak kondisi dipupuk lebih baik dari pada tidak dipupuk dan varietas hasil tinggi (Bima, Bima Tarno dan Bima Curut) lebih baik dari varietas hasil rendah (Kuning, Tiron dan S Philip) (Gambar 2b). Hal ini menunjukkan bahwa genotipe bawang merah hasil tinggi pertumbuhan dan hasilnya lebih baik dari pada genotipe hasil rendah.
a
Tidak dipupuk
Dipupuk
Bima
Kuning
Gambar 2.
Tidak dipupuk
b
Dipupuk
Penampilan di lahan pada kondisi tidak dipupuk dari varietas Bima dibandingkan varietas Kuning (dipupuk) (a) dan hasil panen tiap varietas yang dicoba pada dua kondisi kesuburan (b)
32
Akumulasi hara N jaringan bawang merah meningkat dengan pemberian pemupukan. Akumulasi kandungan hara N dari tiap genotipe bawang merah, menunjukkan sama antara genotipe, kecuali Bima Curut dan sama dengan Bima (Tabel 8). Akumulasi N yang relatif sama antar genotipe hasil tinggi dengan rendah, karena hasil analisis kandungan N tanah percobaan masih tergolong sedang (188,916 ppm), sehingga antar genotipe tidak berbeda akumulasi N jaringannya. Kondisi N tanah yang demikian tergolong cukup untuk tanaman bawang merah (Hardjowigeno 1995). Pemupukan N belum dapat meningkatkan secara nyata kandungan N jaringan tanaman bawang merah (Ashandi et al., 2005). Pemberian N belum mampu meningkatkan komponen pertumbuhan dan hasil (Sumarni & Rosliani 2010). Kandungan N jaringan belum dapat membedakan antara genotipe hasil yang tinggi dan rendah. Akumulasi hara P jaringan bawang merah meningkat dengan meningkatnya kondisi kesuburan tanah. Akumulasi hara P terkecil adalah genotipe bawang merah Bima Curut, dan berbeda dengan Bima, Bima Tarno, Kuning, Tiron, serta S Philip (Tabel 8). Belum diperoleh perbedaan antara genotipe bawang merah hasil tinggi dengan hasil rendah pada akumulasi hara P. Penelitian yang telah dilakukan ternyata peningkatan hara P belum mampu meningkatkan secara nyata kandungan hara P jaringan bawang merah (Ashandi et al., 2005). Sama dengan tanaman tomat, peningkatan kesuburan dengan pemupukan P tidak meningkatkan kandungan P jaringan umur 45 hst (Subhan et al., 2009). Kandungan klorofil a meningkat dengan meningkatnya kesuburan tanah. Kandungan klorofil a tidak berbeda antara genotipe bawang merah yang dicoba kecuali genotipe Tiron yang terrendah (Tabel 8). Tampaknya tidak ada perbedaan dari genotipe bawang merah hasil tinggi dengan rendah pada kandungan klorofil a nya. Diduga kondisi tanah tidak dipupuk kurang tercekam N, ditunjukkan dengan hasil analisis kandungan N (188,9 ppm) yang masih dalam kondisi sedang. Hal ini tergolong cukup untuk tanaman bawang merah (Hardjowigeno 1995). Percobaan penambahan N terhadap jumlah klorofil ternyata, pada kondisi N rendah kandungan klorofil lebih rendah dari pada kondisi N cukup (Peng et al., 1996).
33 Pemupukan meningkatkan jumlah klorofil b tanaman bawang merah. Kandungan klorofil b tertinggi adalah genotipe bawang merah Bima Curut, diikuti S Philip, Tiron, Bima Tarno, Bima, dan terakhir Kuning (Tabel 8). Ternyata kandungan klorofil b belum dapat membedakan genotipe bawang merah hasil tinggi dengan rendah. Mengingat kondisi tidak dipupuk kandungan N tanah masih cukup untuk bawang merah, maka belum dapat dilihat perbedaan kandungan klorofil b dari genotipe bawang merah yang diuji. Kondisi kesuburan berpengaruh terhadap jumlah klorofil, kekurangan N dapat menurunkan jumlah klorofil. Kandungan N daun berhubungan positif dengan jumlah klorofil, kandungan N yang tinggi meningkatkan jumlah klorofil (Peng et al., 1995; Balasubramanian et al., 2000). Tabel 8. Penampilan akumulasi hara N jaringan (%), akumulasi hara P jaringan (%), kandungan klorofil a dan b (mg/g) dari enam genotipe bawang merah serta perbedaan pada dua kesuburan tanah Genotipe Bima Bima Tarno Bima Curut Kuning Tiron S Philip Kesuburan Tidak dipupuk Dipupuk
Akumulasi hara N jaringan (%) 1.03 ab 1.03 ab 0.96 b 1.06 a 1.04 a 1.04 a 0.82 b 1.24 a
Akumulasi hara P jaringan (%) 0.22 a 0.21 a 0.18 b 0.21 a 0.21 a 0.21 a 0.17 b 0.25 a
Kandungan klorofil a (mg/g) 50.27 a 51.19 a 51.13 a 51.22 a 46.24 b 52.59 a
Kandungan klorofil b (mg/g) 99.29 d 102.35 c 109.48 a 99.47 d 103.63 c 106.50 b
43.20 b 57.68 a
89.65 b 117.25 a
Angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf (a, b, c) yang sama tidak berbeda pada UJGD taraf 5 %
Tampak pada Gambar 3 menunjukkan bahwa laju pemanjangan akar yang cepat pada pertumbuhan periode 35 sampai 42 hst dan mulai menurun pada periode 42 sampai 49 hst, kecuali genotipe Bima dan Bima Tarno dalam kondisi tidak dipupuk. Laju terbesar pemanjangan akar dipeoleh genotipe Bima Curut dan terendah Bima Tarno. Ada perbedaan laju pemanjangan akar antara kondisi dipupuk dengan tidak dipupuk terutama pada periode 35-42 hst. Pada periode 4249 hst kondisi dipupuk, laju perpanjangan akar yang cepat adalah Bima Curut dan
34 yang sama adalah Tiron. Laju perpanjangan akar periode 35 sampai 42 hst lebih cepat dari pada periode 42 sampai 49 hst. Genotipe bawang merah hasil tinggi secara umum lebih cepat dibanding dengan genotipe daya hasil rendah.
Perpanjangan akar (mm/tan/hr)
10
35-42 hst tdk dipupuk
9
35-42 hst dipupuk
8
42-49 hst tdk dipupuk 42-49 hst dipupuk
7 6 5 4 3 2 1 0 Bima
Gambar 3.
Bima Tarno
Bima Kuning Tiron Philipin S Philip Curut Genotip bawang merah Pemanjangan akar (mm/tan/hr) dari 6 genotipe bawang merah pada dua periode tumbuh dan kondisi dipupuk maupun tidak dipupuk
Berbeda dengan pemanjangan akar, akumulasi bahan kering tajuk terbesar pada periode 42-49 hst (Gambar 4). Ini terlihat bahwa pertumbuhan mulai dari akar selanjutnya ke arah tajuk.
Jadi periode 35 sampai 42 hst adalah laju
pertumbuhan akar yang cepat diikuti laju pertumbuhan tajuk pada periode 42 sampai 49 hst.
Akibatnya periode ini merupakan periode kritis untuk
pertumbuhan. Pada bawang ada korelasi antara hasil dengan bahan kering, indek panen dan diameter umbi, sehingga dapat dijadikan karakter seleksi (Cheema et al., 2003; Sendek et al., 2009). Akumulasi bahan kering tajuk pada kondisi dipupuk lebih besar dibandingkan tidak dipupuk dan laju terbesar pada periode 42 sampai 49 hst, kecuali genotipe Bima Curut.
Pada umumnya laju akumulasi tajuk genotipe
bawang merah hasil tinggi lebih cepat dari pada yang hasil rendah (Gambar 4). Menurut Raihani et al., (1996), pada tanaman kedelai semakin tinggi laju akumulasi bahan kering akan memberikan hasil yang tinggi. Hasil tanaman padi
35 diindentifikasi dengan indek panen dan akumulasi bahan kering (Yang et al., 2002). Akumulasi bahan kerig tajuk (g/tan/hr)
0,70
35-42 hst tdk dipupuk 35-42 hst dipupuk
0,60
42-49 hst tdk dipupuk 42-49 hst dipupuk
0,50
0,40
0,30
0,20
0,10
0,00 Bima
Bima Tarno Bima Curut
Kuning
Tiron
S Philip Philipin
Genotip bawang merah Gambar 4.
Akumulasi bahan kering tajuk (g/tan/hr) dari 6 genotipe bawang merah pada dua periode tumbuh dan kondisi dipupuk maupun tidak dipupuk
Gambar 5 menunjukkan bahwa laju akumulasi bahan kering akar pada kondisi dipupuk lebih besar dari pada tidak dipupuk. Laju akumulasi bahan kering akar pada perode 35 sampai 42 hst lebih besar dari pada 42 sampai 49 hst. Hal ini sejalan dengan perpanjangan akar (Gambar 3). Pada genotipe bawang merah hasil tinggi mempunyai laju akumulasi bahan kering akar yang lebih besar dari pada hasil rendah. Pada tanaman padi ada hubungan bahwa semakin tinggi laju akumulasi bahan kering maka semakin tinggi hasil tanaman tersebut (Suprayogi & Ismangil 2004). Peningkatan akumulasi bahan kering tanaman padi yang tinggi pada fase pertumbuhan akan meningkatkan hasil (Zhang et al., 2010). Ini menunjukkan bahwa pertumbuhan akar yang besar meningkatkan penyerapan
36 hara dan air lebih besar sehingga menunjang pertumbuhan tajuk yang besar untuk melakukan fotosintensis yang besar sehingga dapat memberikan hasil yang besar.
Akumulasi bahan kering akar (g/tan/hr)
1,40
42-49 hst tdk dipupuk 42-49 hst dipupuk
35-42 hst tdk dipupuk 35-42 hst dipupuk
1,20 1,00 0,80 0,60 0,40 0,20 0,00 Bima
Bima Tarno
Bima Curut
Kuning
Tiron
SPhilipin Philip
Genotip bawang merah Gambar 5.
Akumulasi bahan kering akar (g/tan/hr) dari 6 genotipe bawang merah pada dua periode tumbuh dan kondisi dipupuk maupun tidak dipupuk
Hasil analisis korelasi menunjukkan terdapat korelasi genotipik dan fenotipik bobot umbi per rumpun berkorelasi positif dengan semua karakter yang diamati kecuali jumlah anakan (Tabel 9).
Adapun karakter hasil berkorelasi
fenotipik positif dengan diameter umbi, akumulasi bahan kering akar, tinggi tanaman, akumulasi bahan kering tajuk, diameter daun, akumulasi N jaringan, akumulasi P jaringan, kandungan klorofil a, akumulasi K jaringan, kandungan klorofil b, jumlah umbi/rumpun, jumlah daun, dan ANR. Korelasi genotipik hasil dengan akumulasi bahan kering tajuk, diameter daun, akumulasi P jaringan, kandungan klorofil a, akumulasi N jaringan, akumulasi bahan kering akar,
37 kandungan klorofil b, akumulasi K jaringan, tinggi tanaman, jumlah umbi/rumpun, diameter umbi, dan jumlah daun. Dari hal ini maka seleksi bawang merah hasil tinggi dapat dipilih yang mudah diamati dan praktis digunakan seperti tinggi tanaman, jumlah daun, diameter daun, jumlah umbi, dan diameter umbi. Penelitian korelasi yang telah dilakukan ternyata ada korelasi positif hasil umbi bawang dengan bobot umbi, diameter umbi, bobot daun, panjang daun, bahan kering (Kohli & Prabal 2000; Cheema et al., 2003; Sendek et al., 2009; Jamila et al., 2009). Pada tanaman terong dan timun ada korelasi positif genotipik dan fenotipik antara hasil dengan jumlah biji, bobot buah dan diameter buah (Danquah & Ofori 2012; Cramer & Wehner 2000).
Kesimpulan dan Saran Dari hasil dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa : 1.
Genotipe bawang merah hasil tinggi bercirikan tanamannya tinggi, pertumbuhan yang cepat, diameter daun besar, jumlah anakan dan umbi sedang, diameter umbi besar, hasil umbi per rumpun dan per m2 tinggi.
2.
Genotipe yang hasil tinggi ditandai dengan laju perpanjangan akar, laju akumulasi bahan kering tajuk maupun akar yang tinggi dibandingkan yang produksi rendah. Akumulasi N, P, K, ANR dan kandungan klorofil tidak dapat digunakan pembeda genotipe bawang merah hasil tinggi dan rendah.
3.
Laju pertumbuhan terbesar pada akar saat periode umur antara 35 sampai 42 hst, dan tajuk saat umur 42-49 hst.
4.
Terdapat korelasi antara hasil dengan semua karakter yang diamati kecuali jumlah anakan, sehingga karakter yang berkorelasi dengan hasil dapat digunakan sebagai karakter seleksi.
38
Tabel 9. Korelasi fenotipik dan genotipik antar sifat bawang merah yang diamati Karakter
a
a
b
c
d
e
f
g
h
i
j
k
l
m
n
o
0.86*
0.53*
0.85*
-0.00tn
0.67*
0.88*
0.85*
0.82*
0.80*
0.40*
0.82*
0.79*
0.86*
0.87*
0.35*
0.83*
-0.29tn
0.34*
0.89*
0.57*
0.51*
0.67*
0.45*
0.55*
0.54*
0.81*
0.87*
0.32tn
0.17tn
0.64*
0.45*
0.67*
0.69*
0.46*
0.20tn
0.62*
0.55*
0.42*
0.51*
-0.31tn
0.32tn 0.62*
0.84* -0.07tn 0.60*
0.58* 0.35* 0.93*
0.57* 0.39* 0.87*
0.61* 0.12tn 0.66*
0.44* -0.20tn 0.21tn
0.56* 0.36* 0.86*
0.50* 0.33tn 0.86*
0.80* -0.24tn 0.44
0.85* 0.03tn 0.64*
0.80*
0.74*
0.80*
0.49*
0.77*
0.76*
0.88*
0.95*
0.92*
0.78*
0.35*
0.92*
0.92*
0.68*
0.82*
0.74*
0.19tn
0.86*
0.74*
0.58*
0.78*
0.37*
0.80*
0.73*
0.64*
0.78*
0.37*
0.33*
0.52*
0.51*
0.91*
0.68*
0.80*
0.67*
0.74*
b
0.79*
c
0.52*
0.33tn
d e f
0.86* 0.31tn 0.69*
0.84* -0.26tn 0.32tn
0.35* 0.22tn 0.60*
-0.28tn 0.30tn
0.60*
g
0.67*
0.69*
0.33tn
0.73*
-0.26tn
-0.43*
h
0.81*
0.53*
0.62*
0.58*
0.37*
0.93*
0.80*
i
0.83*
0.50*
0.63*
0.57*
0.37*
0.87*
0.74*
0.91*
j
0.79*
0.69*
0.49*
0.62*
0.11tn
0.68*
0.79*
0.77*
0.73*
k
0.38*
0.47*
0.18tn
0.42*
-0.19tn
0.19tn
0.48*
0.34*
0.18tn
0.35*
l
0.83*
0.56*
0.65*
0.55*
0.33tn
0.82*
0.78*
0.89*
0.85*
0.80*
0.34*
m
0.80*
0.55*
0.57*
0.49*
0.32tn
0.86*
0.75*
0.90*
0.72*
0.72*
0.30tn
0.88*
n
0.88*
0.82*
0.82*
0.81*
-0.25tn
0.44*
0.88*
0.67*
0.53*
0.64*
0.53*
0.66*
0.62*
o
0.81*
0.85*
0.85*
0.88*
0.15tn
0.65*
0.91*
0.79*
0.71*
0.75*
0.51*
0.78*
0.72*
0.87* 0.84*
38
a = Bobot umbi/rumpun b=Tinggi tanaman c=Jumlah daun d = Diameter daun e = Jumlah anakan f = Jumlah umbi/rumpun g=Diameter umbi h=Akumulasi N jaringan i = Akumulasi P jaringan j = Akumulasi K jaringan k=ANR l=klorofil a m=klorofil b n = akumulasi bahan kering tajuk o = akumulasi bahan kering akar * = nyata taraf 5 % tn=tidak nyata taraf 5 % = Angka yang berada dalam kolom dan baris diagonal bagian atas korelasi fenotipik = Angka yang berada dalam kolom dan baris diagonal bagian bawah korelasi genotipik
39 Saran yang dapat diberikan adalah karakter seleksi yang dapat digunakan untuk pemilihan genotipe bawang merah hasil tinggi adalah tinggi tanaman, diameter daun, diameter umbi, jumlah umbi/rumpun, laju panjang akar (35-42 hst), laju akumulasi bahan keriang tajuk (42-49 hst) dan akar (35-42 hst), serta hasil yang tinggi.
41
IV. ANALISIS DAYA GABUNG, HETEROSIS, DAN HERITABILITAS SIFAT YANG BERKAITAN DENGAN HASIL PADA BAWANG MERAH ANALYSIS OF COMBINING ABILITY, HETEROSIS EFFECT AND HERITABILITY ESTIMATE OF YIELD-RELATED CHARACTERS IN SHALLOT Abstract Productivity of shallot in Indonesia is still low. Therefore need to increase the productivity of shallot varieties with high yield. Assembly of high yield varieties needed genetic information, so that breeding activities will effective. Such information includes combining ability, heterosis, and heritability. This study aims to: 1) general combining ability (GCA) and specific combining ability (SCA) of improve to high yield of red shallot, 2) obtain the value of heterosis and heritability from crossing half dialel on shallot. The results showed that: 1) shallot genotypes that have a high GCA are: Tiron and Timor, 2). shallot genotypes from crosses of SCA and heterosis effect are high between the Kuning/Tiron, Timor/Bima Juna, Tiron/Timor and Kuning/Sibolangit, 3) Heterosis in the observed character of this cross varied: low to high (-76 to 111%), and 4) broad sense heritability estimate values for the observed character is high but the narrow sense heritability is low, except for plant height that were moderate. Keywords: combining ability, heterosis, heritability, shallot Abstrak Perakitan bawang merah hasil tinggi perludilakukan untuk peningkatan produktivitas bawang merah Indonesia. Informasi genetik dari plasma nutfah sebagai perakitan varietas baru sangat dibutuhkan. Daya gabung dan heterosis informasi genetik yang dibutuhkan untuk efektivitas dan efisiensi perakitan bawang merah hasil tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk menduga nilai daya gabung dan heterosis karaketer-karakter yang berhubungan dengan sifat hasil bawang merah untuk perakitan bawang merah hasil tinggi. Hasil penelitian : (1) genotipe bawang merah yang mempunyai DGU tinggi adalah : Tiron dan Timor, (2) genotipe bawang merah hasil persilangan yang DGK tinggi, heterosis dan hasil tinggi ialah antara Kuning/Tiron, Timor/Bima Juna, Tiron/Timor dan Kuning/Sibolangit sehingga dapat dipilih untuk perakitan bawang merah hasil tinggi, (3) heterosis pada karakter yang diamati dari persilangan ini bervariasi, ada yang mempunyai nilai dari rendah (76) sampai tinggi (111 %), dan (4) nilai pendugaan heritabilitas arti luas untuk karakter yang diamati tergolong tinggi tetapi heritabilitas arti sempit rendah, kecuali tinggi tanaman yang termasuk sedang. Kata kunci: daya gabung, heterosis, heritabilitas, bawang merah
42 Pendahuluan Produktivitas bawang merah di Asia dan dunia antara 13 sampai 15 t/ha (Pathak 1997). Oleh karena itu perlu adanya peningkatan produktivitas bawang merah. Hal ini dapat dicapai dengan penggunaan varietas yang berdaya hasil tinggi (Duriat et al. 1999). Hasil persilangan beberapa varietas bawang merah dari Brebes hanya mampu meningkatkan 9 persen (Farid et al., 2007). Dari hal tersebut perlu dilakukan persilangan antara genotipe bawang merah yang jauh kekerabatannya untuk diperoleh genotipe daya hasil tinggi. Kegiatan persilangan dibutuhkan identifikasi tetua yang digunakan untuk efektifitas perakitan genotipe bawang merah hasil tinggi. Potensi genetik karakter tetua untuk diwariskan pada keturunannya dapat diketahui dengan sejumlah besar persilangan. Persilangan dialel bertujuan untuk pendugaan nilai daya gabung, aksigen, heterosis dan heritabilitas pada karakter-karakter yang diwariskan. Studi daya gabung dan heterosis dengan setengah dialel telah banyak dilakukan pada tanaman padi, apricot, dan jagung.
Adapun tetua yang digunakan bervariasi
antara 5 sampai 7 (Couranjou 1995; Verma & Srivasta 2004; Sudha et al., 2004). Hasil studi genetik menunjukkan bahwa persilangan antar genotipe bawang merah yang dekat hubungan kekerabatannya kurang dapat meningkatkan hasil (Farid et al., 2007). Hasil mutasi sinar gamma hanya meningkatkan ketahanan penyakit bercak ungu, tetapi tidak meningkatkan hasil (Sunarto et al., 2005). Hasil indentifikasi kekerabatan 153 genotipe bawang merah menunjukkan ada keragaman genetik yang jauh antar genotipe (Arifin et al., 1996). Berdasarkan RAPD dari 129 genotipe bawang diperoleh sejumlah genotipe yang jauh kekerabatan antar genotipenya (Arifin et al., 2000). Dari kajian tersebut di atas dipilih 7 genotipe bawang merah untuk dijadikan tetua dalam riset ini yang keragamannya besar. Ketujuh genotipe bawang merah tersebut yaitu Kuning, Bima, Tiron, Timor, Sibolangit, Maja, dan Bima Juna. Tujuan penelitian ini adalah : menduga nilai daya gabung dan heterosis karakter-karakter yang berhubungan dengan hasil bawang merah untuk perakitan bawang merah hasil tinggi.
43
Bahan dan Metode Waktu dan tempat Penelitian
dilakukan
di
Kebun
Percobaan
Fakultas
Pertanian,
Laboratorium Pemuliaan Tanaman Unsoed Purwokerto dan Kebun Percobaan Balitsa Lembang. Persilangan antara tetua bawang merah dilakukan di Kebun Percobaan Balitsa Lembang mulai dari bulan Mei sampai Agustus 2009, dan pengujian daya hasil dilakukan di rumah kawat Kebun Percobaan Fakultas Pertanian Unsoed Purwokerto mulai Desember 2009 sampai April 2010. Materi dan metode penelitian Materi untuk persilangan setengah dialel adalah 7 genotipe bawang merah yaitu Kuning, Bima, Tiron, Timor, Sibolangit, Maja, dan Bima Juna. Persilangan setengah dialel antara 7 genotipe bawang merah untuk mendapatkan daya gabung, heterosis dan heritabilitas terhadap sifat hasil. Persilangan tersebut tergambar seperti pada Tabel 10. Jadi jumlah persilangan yang dibuat adalah [n(n1)/2]=[7(7-1)/2]=21 F 1. Tabel 10. Persilangan setengah dialel antara 7 genotipe bawang merah Persilangan Kuning Kuning √ Bima Tiron Timor Sibolangit Maja Bima Juna
Bima √ √
Tiron √ √ √
Timor √ √ √ √
Sibolangit √ √ √ √ √
Maja Bima Juna √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
√ : generasi F 1 hasil persilangan antara genotipe pada kolom dan baris yang bersangkutan
Rancangan yang digunakan adalah RAK dengan tiga ulangan. Perlakuan percobaan sebanyak 28 (21 F 1 dan 7 tetua) genotipe bawang merah berupa tetua, dan F 1 . Karakter yang diamati : tinggi tanaman (cm), jumlah anakan, jumlah umbi, diameter umbi (cm), bobot umbi basah (g) dan bobot umbi kering (g). Analisis daya gabung dilakukan menggunakan pendekatan Griffing metode II
44 model I (tanpa galur murni) (Singh & Chaudary, 1979). Secara rinci dapat dilihat pada tahapan berikut ini (Tabel 11). Tabel 11. Analisis sidik ragam daya gabung umum dan khusus SK
Db
JK
KT
E(KT)
DGU
n–1
JK DGU
KT DGU
σ2 g + σ2 DGK + (n+2) σ2 DGU
DGK
n(n – 1)/2
JK DGK
KT DGK
σ2 g + σ2 DGK
KTg
σ2 g
Galat
(r-1)[(n-1)+(n(n-1)/2] JKg
Dari hal tersebut, dilanjutkan perhitungan pendugaan daya gabung. Rumus yang digunakan sebagai berikut. 1
Pendugaan daya gabung umum (DGU) 1 (Yi. − Yii ) − 12 Y. gi = ∑ 2n n dimana: g i = daya gabung umum galur ke-i n = jumlah galur Y i. = jumlah rataan nilai galur ke-i Y ii = nilai selfing galur ke-i Y .. = total keseluruhan nilai galur
2. Pendugaan daya gabung khusus (DGK) 1 1 sij = 1 / 2Yij − (Yi. + Yii + Y. j + Y jj ) + Y 2 .. 2n 2n dimana: s ij = daya gabung khusus dari persilangan antara galur ke-i dan ke-j Y ij = nilai rataan dari persilangan antara galur ke-i dan ke-j n = jumlah galur Y i. = jumlah rataan nilai galur ke-i Y ii = nilai selfing galur ke-i Y .j = jumlah rataan nilai galur ke-j Y jj = nilai selfing galur ke-j Y .. = total keseluruhan nilai galur
45 3. Pendugaan efek heterosis menggunakan pendekatan Fehr (1987). Tipe heterosis yang diduga adalah high parent heterosis yaitu sebagai berikut: [ F1 − HP] x100% HP dimana : F1 = performa F1 h=
HP = performa tetua terbaik
4. Pendugaan heritabiltas dilakukan menggunakan rumus sebagai berikut (Allard, 1960): a. heritabilitas arti luas σA + σD H bs = _________ σA + σD+ σE H bs = heritabilitas arti luas σ A = ragam aditif σ D = ragam dominan σ E = ragam eror b. heritabilitas arti sempit σA H ns = __________ σA + σD+ σE H ns = heritabilitas arti sempit σ A = ragam aditif σ D = ragam dominan σ E = ragam eror σ A = 2σ2 g σ D = √σ2 s Persilangan setengah dialel Persilangan setengah dialel pada 7 genotipe bawang merah dilakukan di rumah plastik Kebun Percobaan Balitsa Lembang.
Rumah plastik tersebut
beratapkan plastik UV dengan dinding kasa. Dinding kasa untuk menghindari serangga polinator masuk ke dalam rumah plastik. Adapun kegiatan persilangan dilakukan sebagai berikut:
46 1. Kastrasi dilakukan pada bunga yang sudah mekar dengan cara dipotong benang sarinya dengan gunting. 2. Waktu kastrasi dilakukan untuk pencegahan penyerbukan sendiri dan dilakukan pada waktu hari pertama bunga mekar. Selain itu, setelah kastrasi bunga bungkus dengan kertas minyak untuk pencegahan penyerbukan oleh bunga lain yang tidak dikehendaki. 3. Kegiatan kastrasi dan persilangan dilakukan setiap hari sampai semua bunga telah mekar habis. 4. Persilangan dilakukan pada hari ketiga setelah bunga sudah dikastrasi, karena putiknya siap dibuahi pada hari ketiga setelah bunga mekar. 5. Setelah hari ketiga saat kepala putik siap dibuahi maka disilangkan dengan tepung sari dari tetua jantan yang sesuai dengan set persilangan seperti Tabel 10. 6. Cara persilangan dengan disiapkan kepala sari yang telah siap dari tanaman tetua jantan yang dikehendaki kemudian ditempelkan pada kepala putik dari betina sesuai tujuannya. 7. Waktu persilangan pada waktu suhu panas, dilakukan sekitar pukul 09.00– 14.00 WIB. 8. Setelah persilangan dilakukan, bunga diberi label asal tetua betina dan jantan, serta tanggal persilangan. 9. Biji hasil persilangan dipanen setelah 2 bulan dari waktu persilangan. Pengujian F 1 hasil persilangan setengah dialel Pengujian generasi F 1 hasil persilangan setengah dialel dengan 7 tetua bawang merah dilaksanakan di rumah plastik kebun percobaan Fakultas Pertanian Unsoed. Biji-biji dari tiap F 1 ditamam sebanyak 100 biji untuk disemai selama 40 hari dan selanjutnya ditanam sesuai dengan set percobaan. Penanaman dilakukan di polibag dengan tanah seberat 10 kg kering angin dan diberi pupuk kandang 20 g/polibag. Setiap polibag ditanam sebanyak satu bibit dan setelah tanam dipupuk NPK sebanyak 80 mg/polibag.
Pemeliharaan
dilakukan dengan penyiraman, penyiangan dengan manual/dicabut, dan
47 pengendalian hama serta penyakit. Selama penelitian tidak terjadi serangan hama ataupun penyakit sehingga tidak dilakukan penyemprotan pestisida. Hasil dan pembahasan Hasil uji daya gabung ternyata ada perbedaan tetua bawang merah yang digunakan pada daya gabung umum (DGU) dan daya gabung khusus (DGK) untuk semua karakter. Hal ini menunjukkan genotipe bawang merah tersebut berbeda kemampuan daya gabungnya (Tabel 12). Dari tabel tersebut terlihat bahwa varian aditif ternyata nilainya lebih kecil dari varian dominan, ini berarti yang berperan pada karakter yang diamati adalah gen-gen dominan.
Hal ini
sejalan dengan penelitian yang telah berjalan pada sejumlah daya gabung beberapa tanaman diperoleh varian aditif lebih kecil dari varian dominan dan digunakan untuk perakitan varietas hasil tinggi (Wang et al, 1999; Zeinanloo et al, 2009; Khan et al, 2009). Tabel 12. Hasil uji daya gabung umum (DGU), daya gabung khusus (DGK), varian aditif dan varian dominan pada karakter tinggi tanaman, jumlah anakan, jumlah umbi, diameter umbi, bobot umbi basah serta bobot kering umbi per rumpun Kuadrat Tengah Sumber Bobot umbi Bobot umbi Tinggi Jumlah Jumlah Diameter Ragam basah/ kering/ tanaman anakan umbi umbi rumpun rumpun DGU 172.71** 8.71** 8.71** 0.18** 178.98** 172.88** DGK 53.64** 3.42** 3.42** 0.44** 367.37** 277.28** Galat 6.11 0.08 0.08 0.04 5.71 2.34 Var. additive 31.55 1.55 1.55 0.01 15.79 19.37 Var. dominan 48.53 3.49 3.49 0.40 362.87 274.94 **: sangat nyata Pengujian daya gabung umum dari tetua bawang merah yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 13.
Secara umum tetua bawang merah DGU-nya
tertinggi adalah Tiron, kecuali pada karekter tinggi tanaman dan diameter umbi. Urutan kedua DGU yang tinggi adalah Timor. Jadi tetua bawang merah Tiron dan Timor secara umum memberikan keturunan yang hasil tinggi bila disilangkan dengan tetua lain.
48
Tabel 13.
Hasil analisis daya gabung umum pada karakter agronomik bawang merah yang diamati dari tujuh tetua yang digunakan Karakter yanng diamati Tinggi Jumlah Jumlah Diameter Bobot basah Bobot kering Tetua tanaman anakan umbi umbi umbi/rumpun umbi/rumpun Kuning -6.34 1.27 1.27 -0.06 -2.80 -1.75 Bima -4.19 -1.78 -1.78 0.17 -4.73 -5.91 Tiron 3.76 2.01 2.01 0.20 10.61 8.83 Timor 2.24 0.17 0.17 -0.25 6.62 6.91 Sibolangit -7.98 -0.62 -0.62 -0.17 -6.17 -5.21 Maja 4.78 -1.42 -1.42 0.23 -2.69 -5.24 Bima Juna 7.73 0.37 0.37 -0.14 -0.82 2.38 Genotipe bawang merah yang mempunyai DGK yang tertinggi untuk tinggi tanaman adalah Kuning/Sibolangit, selanjutnya Tiron/Timor, dan Kuning/Bima Juna. Dilihat jumlah anakan dan jumlah umbi, genotipe bawang merah yang ber-DGK tertinggi adalah Kuning/Sibolangit, diikuti Tiron/Maja, dan Tiron/Timor. Ini berarti kombinasi persilangan antara genotipe bawang merah tersebut sesuai untuk perakitan genotipe yang banyak anakan dan jumlah umbinya.
Karakter diameter umbi yang mempunyai DGK tertinggi yaitu
Kuning/Timor, selanjutnya Bima/Maja, dan Kuning/Bima.
Genotipe bawang
merah ini sesuai untuk perakitan genotipe dengan ukuran umbi yang besar. Karakter hasil yang penting adalah bobot umbi, bobot basah umbi yang terbesar adalah Kuning/Sibolangit, diikuti Kuning/Tiron dan Timor/Bima Juna (Tabel 14). Jadi genotipe bawang merah yang sesuai untuk perakitan hasil tinggi perlu dilihat tingkat heterosis maupun daya hasilnya. Dari kreteria ini dapat dipilih genotipe bawang
merah
Kuning/Sibolangit.
Kuning/Tiron,
Timor/Bima
Juna,
Tiron/Timor
dan
Pemilihan persilangan untuk pembentukan genotipe baru
hasil tinggi didasarkan pada nilai DGU, DGK dan heterosisnya (Khan et al., 2009; Lawali & Shehu 2008).
49 Tabel 14. Hasil analisis daya gabung khusus pada karakter yang diamati dari genotipe hasil persilangan antara tujuh tetua bawang merah yang digunakan Karakter Genotipe
Tinggi tanaman
Jumlah anakan
Jumlah umbi
Diameter umbi
Kuning/Bima Kuning/Tiron Kuning/Timor Kuning/Sibolangit Kuning/Maja Kuning/Bima Juna Bima/Tiron Bima/Timor Bima/Sibolangit Bima/Maja Bima/Bima Juna Tiron/Timor Tiron/Sibolangit Tiron/Maja Tiron/Bima Juna Timor/Sibolangit Timor/Maja Timor/Bima Juna Sibolangit/Maja Sibolangit/Bima Juna Maja/Bima Juna
-5.48 0.80 -4.57 11.82 1.87 7.30 -2.58 -0.55 3.79 -5.45 -0.45 8.63 1.51 -1.70 1.44 -1.71 5.22 6.83 -10.86 -2.77 -10.62
-1.16 -0.59 -0.33 3.32 -1.38 -2.47 -2.18 -1.07 0.57 0.47 -0.33 2.39 -1.73 2.49 2.27 -0.90 -1.30 -0.66 0.64 -0.45 -0.85
-1.16 -0.59 -0.33 3.32 -1.38 -2.47 -2.18 -1.07 0.57 0.47 -0.33 2.39 -1.73 2.49 2.27 -0.90 -1.30 -0.66 0.64 -0.45 -0.85
0.59 0.24 0.81 -0.19 0.16 -0.07 -0.28 0.10 -0.80 -0.74 0.73 0.14 0.16 0.47 -0.19 0.05 -0.52 0.10 -0.95 -0.43 -0.03
Bobot basah umbi/ rumpun -12.99 28.82 -3.15 32.77 -11.75 -23.39 -6.56 -3.22 -11.11 9.71 3.32 12.94 -29.81 14.71 9.71 0.74 -5.64 16.37 -7.47 -8.34 -24.51
Bobot kering umbi/ rumpun -10.26 26.76 -1.56 23.55 -9.77 -21.85 -7.06 -6.37 -7.37 2.35 3.77 13.37 -24.34 13.75 4.67 -0.50 -6.40 18.65 -4.12 -7.68 -20.21
Nilai duga heterosis pada karakter yang diamati bervariasi antara -76 sampai 111 %.
Persilangan antara Kuning/Tiron berpotensi dipilih sebagai
kombinasi persilangan untuk pembentukkan genotipe bawang merah hasil tinggi, karena nilai heterosis hasil umbi per rumpun tertinggi (Tabel 15). Kombinasi persilangan yang potensial digunakan untuk pembentukan genotipe bawang baru hasil tinggi didasarkan nilai heterosis (Aghorra & Pathak 1991; Netrapal 1999; Shashikanthevoor et al., 2007).
50 Tabel 15.
Nilai heterosis pada karakter yang diamati dari genotipe hasil persilangan antara tujuh tetua (%) Karakter
Genotipe
Kuning/Bima Kuning/Tiron Kuning/Timor Kuning/Sibolangit Kuning/Maja Kuning/Bima Juna Bima/Tiron Bima/Timor Bima/Sibolangit Bima/Maja Bima/Bima Juna Tiron/Timor Tiron/Sibolangit Tiron/Maja Tiron/Bima Juna Timor/Sibolangit Timor/Maja Timor/Bima Juna Sibolangit/Maja Sibolangit/Bima Juna Maja/Bima Juna
Tinggi tanaman
Jumlah anakan
-17,87 -15,99 4,65 5,36 -14,42 -8,92 -4,33 -2,56 -5,01 -23,07 -7,98 15,10 -2,07 -13,93 -0,13 -1,42 -7,55 5,07 -31,33 -13,38 -20,83
0,00 -65,22 -21,74 -34,78 13,04 -65,22 -64,71 -64,71 -16,67 -33,33 -52,63 52,94 -41,18 35,29 36,84 -47,06 -64,71 -36,84 37,50 -42,11 -57,89
Jumlah umbi 0,00 -65,22 -21,74 -34,78 13,04 -65,22 -64,71 -64,71 -16,67 -33,33 -52,63 52,94 -41,18 35,29 36,84 -47,06 -64,71 -36,84 37,50 -42,11 -57,89
Diameter umbi -25,07 15,11 25,74 -5,00 -25,09 11,16 -9,15 18,53 -31,06 -28,32 22,46 2,49 -12,93 -6,31 1,47 -20,27 -29,09 2,01 -35,81 -27,93 -19,14
Bobot basah umbi/ rumpun -50,38 94,57 0,29 53,35 -49,92 -73,27 -17,24 -15,18 -50,77 -8,27 -24,08 63,25 -71,53 21,25 6,31 -6,95 -25,52 14,42 -45,34 -48,23 -75,29
Bobot kering umbi/ rumpun -52,30 111,01 5,30 61,99 -50,66 -75,02 -27,27 -28,50 -50,28 -26,20 -26,52 69,72 -69,87 25,98 -5,70 -8,99 -28,56 21,25 -41,60 -49,69 -76,05
Nilai heritabilitas adalah seberapa besar suatu sifat diturunkan pada keturunannya dari tetuanya.
Selain itu, berarti seberapa besar pengaruh
lingkungan pada penampilan suatu karakter (Allard 1960). Semua karakter yang diamati berheritabilitas arti luasnya tergolong tinggi dan heritabilitas arti sempit rendah, kecuali karakter tinggi tanaman heritabilitas arti sempitnya termasuk sedang (Tabel 16). Hal yang sama diperoleh penelitian sebelumnya bahwa nilai heritabilitas arti luas karakter bawang merah yang diamati adalah tinggi (Sari 2007) kecuali bobot umbi yang sedang, tetapi heritabilitas arti sempitnya rendah sampai tinggi (Farid et al., 2007). Hal ini diduga karena tetua yang digunakan berbeda. Nilai heritabilitas kurang dari 0.25 dinyatakan rendah, nilainya antara 0.25 sampai 0.50 tergolong sedang dan lebih dari 0.50 termasuk tinggi (Stansfield 1983).
51 Tabel 16. Nilai heritabilitas arti luas dan arti sempit dari karakter bawang merah yang diamati Karakter Tinggi tanaman (cm) Jumlah anakan Jumlah umbi Diameter umbi Bobot basah umbi/rumpun (g) Bobot kering umbi per rumpun (g)
Heritabilitas arti luas 0.71 0.93 0.93 0.73 0.95 0.97
Heritabilitas arti sempit 0.29 0.20 0.20 0.12 0.11 0.09
Kesimpulan dan Saran Dari hasil dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa : 1. Genotipe bawang merah yang mempunyai DGU tinggi adalah Tiron dan Timor 2. Genotipe bawang merah hasil persilangan yang mempunyai nilai DGK dan heterosis tinggi ialah Kuning/Tiron, Timor/Bima Juna, Tiron/Timor dan Kuning/Sibolangit 3. Heterosis pada karakter yang diamati dari persilangan ini bervariasi, ada yang mempunyai nilai dari rendah (-76) sampai tinggi (111 %). 4. Nilai pendugaan heritabilitas arti luas untuk karakter yang diamati tergolong tinggi tetapi heritabilitas arti sempit rendah, kecuali tinggi tanaman yang termasuk sedang. Saran yang dapat diberikan adalah pembentukan genotipe bawang merah hasil tinggi digunakan kombinasi persilangan bawang merah antara Kuning/Tiron, Timor/Bima Juna, Tiron/Timor dan Kuning/Sibolangit.
53
V. UJI DAYA HASIL MUTAN BAWANG MERAH DAN KETAHANANNYA TERHADAP PENYAKIT BERCAK UNGU YIELD TRIAL OF SHALLOTS MUTANTS AND THEIR RESISTANCES TO PURPLE BLOTCH DISEASE Abstract One of the problems in shallot production is purple blotch disease as it can significantly reduce the yield and its quality. Control of this disease is varied from the use resistant varieties, fungicide, as well as crop rotation. Breeding for purple disease resistance have been carried out through crossing and mutation. The present research is aimed at obtaining of yield potential of shallot mutants derived from crossing and mutation, as well as their resistance to purple blotch disease. The result has observed (1) 13 shallot mutants which are resistance to purple blotch disease (2) there thirty shallot mutants which had greater yield potential (above 45 g/hill) compared to another mutants, (3) anthocyanin content was greater in resistance mutants compared to susceptible mutants, (4) that based on RAPD marker, the mutants could be grouped into three class. Keywords: shallot, purple blotch disease.
Abstrak Salah satu kendala produksi tanaman bawang merah adalah penyakit bercak ungu yang dapat menurunkan hasil dan kualitas. Pengendalian penyakit ini dapat berupa varietas tahan, penggunaan fungisida, dan pergiliran tanaman. Persilangan antara bawang merah dan mutasi telah dilakukan untuk perakitan varietas tahan penyakit bercak ungu. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan daya hasil mutan bawang merah hasil dan ketahanannya terhadap penyakit bercak ungu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) diperoleh 13 mutan bawang merah tahan terhadap penyakit bercak ungu (2) diperoleh 30 mutan bawang merah yang mempunyai daya hasil lebih tinggi (lebih 45 g/rumpun) dari mutan bawang merah yang diuji (3) kandungan antosianin lebih tinggi pada mutan bawang merah tahan terhadap bercak ungu dari pada mutan rentan, dan (5) hasil penandaan RAPD ada 3 kelompok mutan bawang merah yang dicoba. Kata Kunci: mutan, bercak ungu, hasil, bawang merah
54 Pendahuluan Bawang merah salah satu komoditas sayuran yang penting mengingat tiap hari dibutuhkan. Rendahnya hasil bawang merah disebabkan antara lain: oleh varietas yang berdaya hasil rendah, adanya hama dan penyakit.
Salah satu
penyakit penting adalah bercak ungu yang dapat menurunkan hasil sampai 35-100 %. Penyakit ini juga menyerang umbi sehingga menurunkan kualitas (Semangun 1989; Surjaningsih 1994; Suhardi et al., 1994).
Pengendalian yang dapat
dilakukan adalah dengan varietas tahan, penggunaan fungisida dan pergiliran tanaman. Pengendalian dengan pestisida dapat berakibat pencemaran lingkungan dan pangan.
Studi residu pestisida pada umbi bawang merah menunjukkan
adanya kandungan pestisida golongan organoklorin dan organofosfat bawang merah dari Jawa Barat (Cianjur) maupun Jawa Tengah (Brebes) (Miskiyah & Munarso 2009). Penyakit bercak ungu disebabkan oleh fungi Altenaria porri (Ell) Cif., gejala serangan awal adalah nampak bercak kecil, melekuk, berwarna putih sampai kelabu pada daun. Gejala lebih lanjut, bercak membesar dan bercincincincin, warnanya keunguan dengan tepi daun berwarna kuning disertai mengeringnya ujung-ujung daun. Infeksi pada umbi selepas panen menyebabkan pembusukan umbi berwarna kuning sampai merah kecoklatan dan berair (Aveling et al., 1994; Schwartz 2004). Penggunaan varietas tahan terhadap penyakit bercak ungu merupakan salah satu alternatif yang mudah dan murah.
Varitas bawang merah tahan
terhadap penyakit bercak ungu masih belum banyak dijumpai. Sumber genetik ketahanan terhadap penyakit bercak ungu terbatas sehingga perlu adanya peningkatan keragaman dengan mutasi. Hal ini karena sejumlah genotipe bawang merah dari hasil perilangan belum diperoleh keturunan yang tahan terhadap penyakit bercak ungu. Koleksi plasma nutfah bawang merah belum ada yang tahan terhadap penyakit bercak ungu (Putrasamedja 2000; 2010; Soedomo 2006; Putrasamedja & Soedomo 2007).
Mutasi dapat digunakan untuk perbaikan
tanaman seperti warna bunga, karakter daun, umur berbunga, umur panen, hasil, ketahanan terhadap hama/penyakit dan ketoleranan terhadap lingkungan rawan
55 (Schum 1999; Borojevic 1990; Donini et. al., 1984). Mutasi dengan radiasi sinar gamma dapat diperoleh mutan bawang merah yang tahan bercak ungu dan dosis radiasi sinar gamma yang digunakan antara 3 sampai 15 Krad (Sunarto et al., 2005).
Pada tanaman kedelai mutasi dari 15 sampai 200 krad dengan sinar
gamma telah dicoba. Dosis lebih dari 30 krad banyak biji yang tidak tumbuh (Sunarto 2001; Farid & Suwarto 2001). Penelitian ini bertujuan untuk (1) mendapatkan daya hasil mutan bawang merah (mutasi 1 vegetatif 1/M 1 V 1 ) dan ketahanannya terhadap penyakit bercak ungu, (2) melihat derajat kesamaan dengan penanda RAPD pada mutan bawang merah, (3) mendapatkan hubungan antara kandungan antosianin dengan tingkat ketahanan terhadap penyakit bercak ungu pada mutan bawang merah. Bahan dan Metode Waktu dan tempat Percobaan dilakukan di lahan bekas sawah pada musim hujan yaitu September sampai Desember 2010. Percobaan dilaksanakan di desa Prompong Kecamatan Baturaden Banyumas, Jawa Tengah. Ketinggian tempat adalah 125 m dpl, dengan curah hujan antara 430-430 mm/bln. Materi dan metode penelitian Percobaan menggunakan mutan dari mutasi 10 krad sinar gamma pada biji F 1 dari persilangan setengah dialel (M 1 V 1 ). Dari persilangan setengah dialel dipilih 20 F 1 yang digunakan dalam percobaan ini (Tabel 17). Hasil mutasi ditanam dan diberi perlakuan inokulasi dengan konidia dari fungi Altenaria porri sebanyak 3x106 . konidia/ml. Pola penanaman yang digunakan adalah rancangan acak kelompok (RAK) dengan 3 kali ulangan. Tiap ulangan/blok terdiri dari 20 petak, dengan ukuran 1 m x 1 m dan jarak tanam yang digunakan adalah 20 cm x 20 cm. Tiap petak ditanam sebanyak 25 tanaman dan tiap lubang tanam ditanam satu bibit yang berasal dari satu biji yang telah diradiasi dengan 10 Krad sinar gamma. Biji disemai selama 40 hari, selanjutnya ditanam pada petakan sesuai perlakuan. Dari tiap petak diamati sebanyak 5 tanaman. Karakter yang diamati : tinggi tanaman,
56 jumlah daun, jumlah umbi, bobot umbi, hasil dan ketahanan terhadap bercak ungu. Tabel 17. Mutan bawang merah generasi M 1 V 1 yang digunakan Jumlah biji yang No mutan Nama Persilangan diiradiasi 1 Tiron/Bima Juna 121 2 Timor/Bima Juna 123 3 Kuning/Tiron 121 4 Tiron/Sibolangit 122 5 Timor/Sibolangit 125 6 Tiron/Timor 123 7 Bima/Tiron 125 8 Bima/Timor 112 9 Bima/Sibolangit 119 10 Bima/Bima Juna 125 11 Kuning/Bima Juna 125 12 Kuning/Sibolangit 111 13 Kuning/Bima 121 14 Timor/Maja 102 15 Kuning/Timor 125 16 Tiron/Bima Juna 122 17 Kuning/Maja 115 18 Tiron/Maja 108 19 Sibolangit/Bima Juna 125 20 Sibolangit/Maja 108 Jumlah 2378 Pemupukan diberikan sebanyak 500 g pupuk kandang/petak yang diberikan 1 minggu sebelum tanam dan 20 g NPK/petak yang diberikan 1 hari setelah tanam.
Pupuk kandang diberikan campur pada tanah kering angin yang
digunakan, sedangkan pupuk NPK diberikan dengan cara dibenamkan di sebelah lubang tanam. Evaluasi ketahanan terhadap penyakit bercak ungu sesuai Prihatiningsih (1990) dan Heruprayitno (1989) yang dimodifikasi. Inokulasi dilakukan setelah tanaman berdaun 5 helai, dengan cara larutan yang berisi konidia disemprotkan pada daunnya. Peningkatan kelembaban disekitar tanaman dengan cara digenangi pada saluran antar bedengan dan penyiraman. Pengamatan intensitas serangan penyakit bercak ungu dilakukan mulai 6-18 hari setelah inokulasi. Persentase rumpun tanaman yang terserang dihitung berdasarkan rumus :
57 a P = ---------- X 100% a+ b Keterangan : P : persentase rumpun tanaman serangan a : Jumlah daun yang terserang b : Jumlah daun yang sehat
Intensitas serangan dihitung berdasar rumus : Σ (n x v) I = ___________ x 100 % ZxN Keterangan : I : Intensitas serangan n : Jumlah daun dari tiap kategori serangan v : Nilai skor tiap kategori serangan N : Jumlah daun sampel yang diamati Z : Nilai skor serangan tertinggi
Kategori serangan tiap daun tanaman (x) berdasarkan skor sebagai berikut : 0
= x = tidak ada gejala serangan
1
=
2
= 20 < x < 40 % bagian daun yang terserang
3
= 40 < x < 60 % bagian daun yang terserang
4
= 60 < x < 80 % bagian daun yang terserang
5
= 80 < x < 100 % bagian daun yang terserang
0 < x < 20 % bagian daun yang terserang
Tabel 18. Kriteria ketahanan terhadap penyakit bercak ungu sebagai berikut No. Kriteria Intensitas Serangan (%) 1. Imun (I) 0 2.
Tahan (T)
0 <x<5
3.
Agak Tahan (AT)
5 < x < 10
4.
Agak Rentan (AR)
10 < x < 25
5.
Rentan (R)
25 < x < 50
6.
Sangat Rentan (SR)
Sumber : Said (1976) yang dimodifikasi
50 < x
58 Dari 10 mutan bawang merah (1, 2, 4, 5, 6, 8, 12, 13, 18, dan 19) yang tergolong tahan, agak tahan, agak rentan dan rentan terhadap bercak ungu dianalisis kandungan antosianin (Arifin et al., 1999). Selain itu, diindentifikasi RAPD dengan primer acak sebanyak 20 primer, selanjutnya dipilih primer OPA08
(GTGACGTAGG),
OPA-20
(GTTGCGATCC)
dan
phi-080
(CACCCGATGC) pada mutan tersebut. Isolasi DNA dilakukan seperti prosedur Sanghai-Maroot et al. (1984) yaitu penggerusan jaringan sampel dengan nitrogen cair pada mortal dan pestel, ekstraksi khloroform-isoamil-alkohol, presipitasi DNA dengan ethanol, suspensi pelet DNA dalam buffer TE 1X. Pengukuran kualitas DNA dengan membagi hasil pengukuran pada panjang gelombang 260 nm dan hasil pengukuran panjang gelombang 280 nm. Isolasi DNA total tanaman Daun sampel (60 mg) dihancurkan sampai berupa tepung dengan mortal dan pestel dalam nitrogen cair. Tepung daun tersebut dimasukkan ke dalam tabung plastik 15 ml dan ditambahkan 5 ml larutan buffer lysis dicampur hingga homogen selanjutnya diinkubasi selama 1 jam pada suhu 65°C. Setelah didinginkan pada suhu ruang, dilakukan ekstraksi chloroform-isoamil alkohol dengan cara menambahkan 8 ml larutan chloroform-isoamil alkohol ke dalam tabung, dicampur secara perlahan hingga homogen dan disentrifugasi pada kecepatan 4000 rpm selama 15 menit. Larutan supernatan dipindahkan ke dalam tabung plastik 15 ul baru. DNA pada larutan supernatan dipresipitasikan dengan cara menambahkan 0.1 X volume sodium asetat dan 2 X volume ethanol absolut dingin dihomogenkan dan diinkubasi pada -20°C selama 2 jam. DNA dikumpulkan dengan sentrifugasi pada kecepatan 4000 rpm pada suhu 4°C selama 10 menit. Pelet DNA yang dihasilkan dicuci lagi dengan ethanol 70% dingin. Selanjutnya DNA diresuspensikan dalam 500µl H 2 O/ akuades steril. RNase ditambahkan pada suspensi DNA dengan konsentrasi 10-100 µg/ml untuk menghilangkan RNA. Kembali dilakukan ekstraksi chloroform-isoamil alkohol untuk menghilangkan sisa RNAse. Kemudian DNA dipresipitasikan lagi dengan sodium asetat dan ethanol absolut
59 dan dikumpulkan dengan sentrifugasi dengan kecepatan 4000 rpm pada suhu 4°C. Pelet DNA disuspensikan dalam 250 µl H 2 O (akuades steril). Selanjutnya konsentrasi DNA diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 260 nm dan kualitas DNA dengan membagi hasil pembacaan spektrofotometer pada panjang gelombang 260 nm dengan pada panjang gelombang 280 nm. Analisis Kuantitas dan Kualitas DNA Kuantitas dan kemurnian DNA dari masing-masing hasil ekstraksi ditentukan dengan menggunakan spektrofotometer dengan membaca absorban pada panjang gelombang 260 nm dan 280 nm.
Pembacaan A 260 =1 berarti
konsentrasi DNA yang didapat sebesar 50 µg/ml. Konsentrasi DNA yang didapat dihitung dengan rumus sebagai berikut: DNA (µg/ml) = A 260 x faktor pengenceran x 5 Kemurnian DNA ditetapkan berdasarkan nilai rasio A 260 /A 280
Batas
kemurnian yang biasa dipakai dalam analisis molekular mempunyai rasio A 260 /A 280 sekitar 1.8-2.0 (Sambrook et al., 1989).
Kualitas DNA diuji
berdasarkan kemampuannya untuk dipotong menggunakan enzim restriksi EcoRI. Pemotongan DNA menggunakan 20 µl volume reaksi yang terdiri dari: 1µl enzim restriksi EcoRI (Promega); 2µl bufer H; 0.2µl BSA dan 5µg DNA dan diinkubasi pada suhu 37°C selama 4 jam. Reaksi dihentikan dengan penambahan 1µl EDTA 0.5M, kemudian ditambah 4µl loading buffer. DNA yang telah dipotong dan yang tidak dipotong dengan ensim restriksi dielektroforesis dengan elektroforesis gel agarose (0.8 b/v) menggunakan bufer TAE, voltase konstan sebesar 60 volt selama 2 jam. DNA yang telah dielektroforesis direndam dalam larutan etidium bromida (0.5 mg/l) selama 20 menit,
dibilas
dengan
aquades
secukupnya,
divisualisasi
di
atas
UV
transiluminator, dan dipotret dengan menggunakan kamera digital. Dari tahapan ini diharapkan akan didapat preparasi DNA yang berukuran besar (high molecular weight DNA), tidak terdegradasi selama proses ekstraksi dan pemurnian (tidak smear pada hasil elektroforesisnya), dan dapat dipotong dengan baik oleh enzim restriksi
yang
digunakan
(Hind
III,
hasil
DNA
smear
pada
hasil
60 elektroforesisnya). DNA yang didapat digunakan sebagai templat untuk tahapan percobaan selanjutnya. Amplifikasi DNA total tanaman dilakukan melalui mesin PCR dengan menggunakan 20 jenis primer acak. Primer yang digunakan hanyalah primer yang dapat mengamplifikasi DNA total hasil isolasi. Selanjutnya dilakukan optimasi terhadap campuran reaksi dan program amplifikasi PCR untuk diperoleh hasil yang dipastikan konsisten dan dapat diulangi.
Adapun campuran reaksi dan
program amplifikasi yang digunakan sebagai berikut. Campuran reaksi PCR yang dibuat untuk setiap penggandaan DNA sampel yaitu terdiri atas 1 X buffer reaksi (50 mM KCl, 10 mM tris-HCl pH 8, dan 0.01% triton X-100, 100µM dNTP, 3mM MgCl 2 , 0.4 µM primer, 0.75 unit DNA taq polimerase dan 30ng DNA genom. Volume total reaksi adalah 25µl. Amplifikasi DNA berlangsung selama 40 siklus dengan program PCR tahap I (pre-PCR) 94°C 4 menit; tahap II 94°C selama 1 menit; tahap III 50°C selama 1 menit; tahap IV 72°C selama 1,30 menit dan tahap V 72°C selama 5 menit. Sesudah didapatkan primer yang dimaksud dilanjutkan dengan amplifikasi DNA genom dengan ke 3 jenis primer dari OPA-08 (GTGACGTAGG), OPA-20 (GTTGCGATCC),
dan
phi080
(CACCCGATGC).
DNA
hasil
penggandaan/amplifikasi setelah ditambah dengan 5 µl bromofenol blue dielektroforesis pada gel agarose 1 persen dengan tegangan 110 volt selama 2 jam. Pita DNA hasil amplifikasi selanjutnya diamati pada UV transluminator dan dilanjutkan dengan pemotretan kamera digital. Analisis keragaman genetik dengan cara diamati seluruh pola pita DNA yang diamplifikasi oleh setiap primer.
Hasil amplifikasi PCR diinterpretasi
berdasarkan ada tidaknya pita yang dihasilkan. Bila terdapat pita diberi nilai ‘1’ dan bila tidak ada pita diberi nilai ‘0’. Berdasarkan ada tidaknya pita yang dihasilkan tersebut disusun matrik data biner yang kemudian dihitung jarak genetika antar masing-masing mutan dengan koefisien jarak Jaccard.
Model
pengelompokan dari mutan yang diamati dibentuk pohon pilogenik/dendrogram dengan analisis Sequential agglomerative, hierarchial and nested (SHAN) clustering, metode UPGMA (unweighted pair-group method arithmetic).
61 Penghitungan jarak genetik dan analisis pengelompokan di atas dilakukan dengan program komputer Numerical Taxonomy System (NTSYS-pc). Hasil dan Pembahasan Pengamatan tinggi tanaman dari mutan bawang merah yang dicoba berkisar antara 15 sampai 60 cm dan rataannya 43 cm. Tinggi tanaman mutan bawang merah antara 35.1 sampai 55 cm termasuk terbanyak yaitu 270 mutan (Gambar 6). Mutan bawang merah tertinggi didapat dari mutasi hasil persilangan antara Tiron/Timor dan terendah adalah hasil mutasi persilangan Tiron/Sibolangit. Tinggi tanaman ini lebih tinggi dari pada tanaman bawang merah yang dicoba pada musim kemarau dengan rataan 37 cm (Putrasamedja 2010), tetapi lebih rendah dibanding dengan tanaman bawang merah musim hujan (76 cm) (Soedomo
Jumlah mutan
2006).
Gambar 6.
Penampilan tinggi tanaman (cm) dari 300 mutan bawang merah hasil mutasi
Jumlah daun pertanaman dari mutan bawang merah yang dicoba antara 3 sampai 7 buah, dengan rataan 5 buah (Gambar 7). Jumlah daun yang paling banyak umumnya dihasilkan dari hasil mutasi persilangan antara Sibolangit/Bima Juna dan yang paling sedikit umumnya dihasilkan dari mutasi hasil persilangan
62 Timor/Bima Juna. Berdasarkan klasifikasi bawang (Upov 2008) ternyata jumlah
Jumlah mutan
daun mutan-mutan bawang yang dicoba termasuk sedikit sampai banyak.
Gambar 7. Penampilan jumlah daun dari 300 mutan bawang merah hasil mutasi Jumlah anakan per rumpun dari mutan bawang merah yang dicoba antara 1 sampai 4 buah, dengan rataan 3 buah. Jumlah mutan bawang merah yang mempunyai anakan 3 sampai 4 sebanyak 170 mutan dan antara 1 sampai 2 sebanyak 130 mutan (Gambar 8).
Umumnya jumlah anakan yang banyak
dihasilkan dari mutasi hasil persilangan antara Bima/Tiron. Sedikitnya jumlah anakan ini diduga karena tanaman berasal dari biji. Percobaan bawang merah dari biji diperoleh anakan yang sedikit, sehingga perlu ditanam jarak tanam yang lebih sempit (Sumarni et al., 2005). Jumlah anakan serupa (1 sampai 4 anakan) telah diperoleh pada percobaan bawang merah dilakukan pada musim hujan (Putrasamedja 1995). Hasil umbi per rumpun dari 300 mutan bawang merah yang dicoba berada antara 15 sampai 51 g/rumpun, dengan rataannya 35 g/rumpun.
Jumlah mutan
bawang merah yang terbanyak (102 mutan) bobot umbinya antara 35 sampai 45 g/rumpun (Gambar 9).
Hasil umbi per rumpun terberat, yaitu lebih dari 45
g/rumpun sebanyak 30 mutan. Mutan bawang merah ini dapat dilanjutkan untuk pengujian selanjutnya.
Jumlah mutan
63
Jumlah mutan
Gambar 8. Penampilan jumlah anakan per rumpun dari 300 mutan bawang merah hasil mutasi
Gambar 9. Penampilan bobot umbi/rumpun dari 300 mutan bawang merah hasil mutasi Dilihat ketahanan terhadap penyakit bercang ungu dari mutan bawang merah yang dicoba tergolong antara tahan sampai rentan (Gambar 10). Mutan bawang merah yang tergolong rentan sebanyak 7 mutan dan yang tergolong tahan sebanyak 13 mutan, yang tergolong agak tahan serta agak rentan berturut-turut adalah 171 dan 109 mutan. Dilihat tetua dari kombinasi persilangan tergolong rentan sampai agak tahan. Varietas Maja dan Kuning tergolong rentan terhadap
64 penyakit bercak ungu dan varietas Timor serta Bima tergolong agak tahan terhadap penyakit bercak ungu (Soedomo 2006). Dari hal tersebut diduga terjadi mutasi balik pada gen ketahanan terhadap penyakit bercak ungu. Hasil studi genetik menunjukkan bahwa ketahanan terhadap penyakit bercak ungu dikendalikan oleh gen resesif (Ekanayake & Ewart 1997). Sebanyak 13 mutan bawang merah yang tahan terhadap penyakit bercak ungu dapat dilanjutkan untuk
Jumlah mutan
pengujian ketahanan.
Gambar 10.
Penampilan Intensitas serangan penyakit bercak ungu pada 300 mutan bawang merah hasil mutasi
Ada hubungan antara kandungan antosianin dengan tingkat ketahanan terhadap penyakit bercak ungu. Mutan bawang merah rentan terhadap penyakit bercak ungu ternyata kandungan antosianin lebih rendah dibanding mutan yang tahan (Gambar 11). Ada variasi kandungan antosianin pada bawang merah dan antosianin yang tinggi ternyata meningkatkan ketahanan terhadap penyakit (Hurst et al., 1985; Arifin et al., 1999).
Hal ini karena akumulasi antosianin adalah
respon tanaman terhadap cekaman abitik dan biotik (Brosche & Strid 2003).
65
T
T
T
AT
AT AT
AT AT
AR R
18
2
5
1
6
13
12
4
8
19
Nomor mutan
Gambar 11. Kandungan antosianin daun dari 10 mutan bawang merah yang tahan (T), agak tahan (AT) dan rentan (R) Hasil elektroforesis pada penanda RAPD tampak terdapat variasi pola pita. Primer OPA-08 dan phi-080 dapat membedakan antara 10 mutan bawang merah dari pada primer OPA-20 (Gambar 12). Hal ini menunjukkan bahwa primer OPA-08 dan phi-080 dapat digunakan untuk pembeda mutan bawang merah pada penanda RAPD. Gambar 11 ini selanjutnya dianalisis genetik dengan interpretasi dari pola pita yang dihasilkan dari tiap primer.
Hasil interpretasi kemudian
dianalisis dengan jarak Jaccard dan pengelompokan dengan NTSYS.
a
b
Gambar 12. Hasil penanda RAPD dengan primer OPA-08 (a), OPA-20 (b) dan phi-080 (c) pada 10 mutan bawang merah hasil mutasi
c
66 Berdasarkan primer yang digunakan dalam pengelompokan berdasarkan RAPD pada tingkat kemiripan 75 persen, diperoleh 3 kelompok mutan bawang merah yang dicoba. Adapun kelompok kesatu ada 6 mutan bawang merah (5, 19, 3, 15, 12 dan 4), kelompok kedua terdapat 2 mutan (10 dan 4) dan kelompok ketiga terdapat 2 mutan (16 dan 17) (Gambar 13). Berdasasarkan pola pita RAPD dapat mendeteksi kesamaan maupun perbedaan antar mutan bawang merah yang diuji.
Terdapat mutan bawang merah yang mempunyai nilai kesamaan 100
(mutan 5 dengan 19; mutan 12 dengan 14), ini menunjukkan kurang beragam dan tidak untuk bahan persilangan. Mutan bawang yang baik untuk persilangan yang keragamannya tinggi.
Kesamaan antara mutan tersebut, karena salah satu
tetuanya sama (Tiron untuk mutan 5 dan 19). Selain itu, diduga karena ada urutan DNA yang sama sehingga hasil RAPD sama. Diperoleh pola RAPD yang sama dengan nilai kesamaan 100 pada pamelo dan jarak pagar (Agisimanto & Supriyanto 2007; Surahman et al., 2009). Identifikasi dengan RAPD juga dilakukan pada bawang persia (Ebrahimi et al., 2009), dan pisang (Sukartini 2008). 18 2 8 5 1 19 6 13 12 17
Gambar 13. Dendogram 10 mutan bawang merah berdasarkan penanda RAPD Simpulan dan Saran Dari hasil dan pembahasan dapat ditarik simpulan : 1. Diperoleh mutan bawang merah yang tahan terhadap penyakit bercak ungu sebanyak 13 mutan.
67 2. Diperoleh mutan bawang merah yang mempunyai daya hasil lebih dari 45 g/rumpun sebanyak 30 mutan. 4. Kandungan antosianin lebih tinggi pada mutan bawang merah yang tahan terhadap penyakit bercak ungu dari pada mutan rentan. 5. Hasil penanda RAPD terdapat 3 kelompok mutan bawang merah yang dicoba. Dari hal tersebut perlu dilakukan uji lebih lanjut pada mutan bawang merah yang tahan terhadap penyakit bercak ungu dan daya hasil lebih tinggi.
69
VI. UJI DAYA HASIL LANJUT DAN KETAHANAN TERHADAP PENYAKIT BERCAK UNGU PADA MUTAN BAWANG MERAH ADVANCE YIELD TRIAL AND EVALUATION OF PURPLE BLOTCH DISEASE RESISTANCE IN SHALLOT MUTANTS
Abstract Purple blotch disease is one of important diseases in shallot that can significantly reduce shallot growth and yield. Control of this disease may be done through agronomic practises and the use of resistance varieties. The objectives of this research were: (1) to evaluate resistance to purple blotch disease of shallot mutants during M 1 V 2 , (2) to obtain high yielding shallot varieties, as compared to 5 control varieties. The present study has obtained eleven shallot mutants which had greater yield potential compared to control variety (G 2,03,1 ;G 2,06,1 ; G 1,02,2 ; G 2,03,2, G 1,03,1 ; G 3,02,2 ; G 3,06,2 ; G 2,01,2 ; G 3,12,2 ; G 1,14,1 and G 1,12,1 ). There three shallot mutants which are resistance to purple blotch disease (G 2,06,1 ; G 2,03,2 ; G 3,06,2 ), two susceptible mutants (G 1,15,1 ; G 3,14,1 ) and one very susceptible mutant (G 2,15,1 ) Keywords: genotype, purple blotch disease, yield potential, Abstak Salah satu penyakit utama pada tanaman bawang merah adalah bercak ungu. Penyakit ini dapat menurunkan pertumbuhan dan hasil tanaman bawang merah. Penanggulangan dapat dengan pola bercocok tanam dan varietas tahan. Penelitian ini bertujuan untuk: 1. menguji ketahanan terhadap penyakit bercak ungu pada mutan bawang merah pada generasi mutasi 1 vegetatif 2 (M 1 V 2 ) dan 2. mendapatkan daya hasil mutan bawang merah dibandingkan 5 varietas kontrol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa diperoleh 11 mutan bawang merah yang hasil umbinya lebih tinggi dari 5 varietas kontrol (G 2-03-1 , G 2-06-1 , G 1-02-2 , G 2-03-2 , G 1-03-1 , G 3-02-2 , G 3-06-2 , G 2-01-2 , G 3-12-2 , G 1-14-1 dan G 1-12-1 ). Dari 11 mutan tersebut terdapat 3 mutan tahan bercak ungu (G 2-06-1 , G 3-06-2 , dan G 2-01-2 ). Kata kunci : mutan, bercak ungu, daya hasil, M 1 V 2
Pendahuluan Penyakit bercak ungu pada tanaman bawang merah yang disebabkan oleh fungi Alternaria porri (Ell.) Cif. dapat menurunkan hasil. Penyakit bercak ungu dapat menurunkan kandungan karbohidrat, protein, lemak, dan hara tanaman, sehingga menurunkan hasil (Shehu & Aliero 2010). Kerugian yang ditimbulkan
70 oleh penyakit ini berkisar antara 30 sampai 100 persen (Surjaningsih 1994; Suhardi et al., 1999; Schwartz 2004). Proses infeksi dari fungi A. porri diawali konidia jatuh pada permukaan daun, kemudian berkecambah dan masuk pada tanaman melalui luka, dinding sel dan stomata. Kegiatan selanjutnya tumbuh dan berkembang untuk timbulnya gejala penyakit (Theresa et al., 1994).
Lingkungan yang mendukung
perkembangan penyakit bercak ungu adalah kelembaban yang tinggi (77-85 %) dan suhu hangat (25-270C). Pola bercocok tanam, dan penggunaan varietas akan berpengaruh pada terjadinya penyakit bercak ungu (Arboleya et al., 2003; Allen 2005). Varietas bawang merah seperti Kuning, Bima, Maja, Timor, Tiron, dan S Philip berdasarkan pengujian ketahanan terhadap penyakit bercak ungu termasuk agak tahan sampai agak rentan (Suhardi et al., 1994; Soedomo 2006; Putrasamedja & Soedomo 2007). Hal ini perlunya dirakit bawang merah yang tahan terhadap penyakit bercak ungu. Mutasi adalah salah satu metoda untuk meningkatkan keragaman, frekuensi laju mutasi pada malai sebesar 4.3 sampai 8.4 persen dan pada biji antara 4.3 sampai 7.1 persen (Yamaguchi et al., 2006). Mutasi dengan sinar gamma dapat meningkatkan ketahanan terhadap penyakit hawar, blas, dan mosaik serta hama wereng pada tanaman padi (Agrawal et al., 2005; Syed et al., 2005; Mohamad et al., 2005; Khin 2006; Balooch et al., 2006), mosaik pada kacang hijau (Pandiyan et al.,, 2008), karat daun pada kacang tanah (Badigannavar et al., 2005). Selain itu, mutasi dapat meningkatkan hasil dan kualitas serta toleransi terhadap lingkungan (salin, kekeringan, genangan) (Cheema 2006; Gonzalez et al., 2008; Yamaguchi et al., 2005; Mathusamy et al., 2005; Ananda 2005; Jia et al., 2006). Dosis yang gunakan untuk mutasi dengan sinar gamma bervariasi antara 1 sampai 70 krad. Pada peningkatan ketahanan terhadap hama dan penyakit antara 10 sampai 20 krad (Mohamad et al., 2006; Khin et al., 2006; Agrawal et al., 2005; Luzi et al., 2008). Saat ini telah dilakukan mutasi pada biji-biji hasil persilangan setengah dialel dari 7 varietas bawang merah untuk mendapatkan hasil tinggi. Mutasi dilakukan dengan dosis 10 krad dan telah sampai pada generasi vegetatif 2.
71 Penampilan mutan bawang merah pada generasi vegetatif 1, diperoleh 3 mutan yang daya hasil lebih tinggi dari mutan lain. Hal ini perlu dilakukan pengujian pada generasi vegetatif 2 untuk ketahanan terhadap penyakit bercak ungu dan daya hasilnya dibandingkan dengan varietas Bima, Katumi, Tiron, Kuning dan Sumenep. Tujuan penelitian ini untuk: 1. menguji ketahanan terhadap penyakit bercak ungu pada mutan bawang merah pada generasi mutasi 1 vegetatif 2 dan 2. mendapatkan daya hasil mutan bawang merah dibandingkan 5 varietas kontrol.
Bahan dan Metode Waktu dan tempat Percobaan dilakukan di rumah plastik kebun percobaan Fakultas Pertanian Unsoed desa Karangwangkal Purwokerto. Waktu percobaan dilaksanakan dari bulan Juli sampai September 2011. Materi dan metode penelitian Percobaan menggunakan umbi dari hasil mutasi biji dengan dosis 10 krad sinar gamma (mutasi 1 vegetatif 2). Genotipe bawang merah yang digunakan sebanyak 86 mutan dan 5 varietas sebagai kontrol (Bima, Katumi, Kuning, Sumenep dan Tiron) (Tabel 19). Bawang merah yang ditanam diinokulasi dengan konidia dari fungi A. porri sebanyak 3x106 . konidia/ml. Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok (RAK) dengan 6 kali ulangan. Penanaman dilakukan di rumah plastik Fakultas Pertanian Unsoed. Penanaman dilakukan pada polibag dengan bobot tanah sebesar 10 kg kering angin.
Karakter yang diamati meliputi: tinggi tanaman, jumlah daun,
jumlah umbi, bobot umbi, bobot brangkasan, bobot umbi per rumpun dan ketahanan terhadap bercak ungu. Penanaman dilakukan di polibag dengan tanah seberat 10 kg kering angin dan diberi pupuk kandang 20 g/polibag. Setiap polibag ditanam sebanyak satu bibit dan setelah tanam dipupuk NPK sebanyak 80 mg/polibag. dilakukan dengan penyiraman, dan penyiangan.
Pemeliharaan
72 Analisis data yang digunakan adalah augmented dilanjutkan dengan LSI taraf 5 %, untuk perbandingan mutan bawang merah dengan 5 varietas kontrol. Evaluasi ketahanan terhadap penyakit bercak ungu sesuai Prihatiningsih (1990) dan Heruprayitno (1989) yang dimodifikasi. Inokulasi dengan 3x106 konidia/ml hasil biakan fungi A. porri dilakukan pada waktu tanaman sudah mempunyai 5 daun. Tabel 19. Genotipe bawang merah generasi M 1 V 2 dan varietas kontrol yang digunakan No Pesilangan/Varietas Jumlah/kode 1 Tiron/Bima Juna 6 mutan: G a-01-b 2 Timor/Bima Juna 6 mutan: G a-02-b 3 Kuning/Tiron 6 mutan: G a-03-b 4 Tiron/Sibolangit 6 mutan: G a-04-b 5 Timor/Sibolangit 6 mutan: G a-05-b 6 Tiron/Timor 6 mutan: G a-06-b 7 Bima/Tiron 6 mutan: G a-07-b 8 Bima/Timor 6 mutan: G a-08-b 9 Bima/Sibolangit 6 mutan: G a-09-b 10 Bima/Bima Juna 6 mutan: G a-10-b 11 Kuning/Bima Juna 6 mutan: G a-11-b 12 Kuning/Sibolangit 6 mutan: G a-12-b 13 Kuning/Bima 6 mutan: G a-13-b 14 Timor/Maja 6 mutan: G a-14-b 15 Kuning/Timor 3 mutan: G a-15-b 16 Bima 17 Katumi 18 Kuning 19 Sumenep 20 Tiron a: 1,2,3 b:1,2,3
Inokulasi dilakukan dengan cara disemprotkan pada daun tanaman. Pengamatan intensitas serangan penyakit bercak ungu dilakukan mulai 6-18 hari setelah inokulasi. Persentase rumpun yang terserang dihitung berdasarkan rumus : a P = ---------- X 100% a+ b Keterangan : P : Persentase rumpun tanaman terserangan a : Jumlah daun yang terserang
73 b : Jumlah daun yang sehat Intensitas serangan dihitung berdasar rumus : Σ (n x v) I = ___________ x 100 % ZxN Keterangan : I : Intensitas serangan n : Jumlah daun dari tiap kategori serangan v : Nilai skor tiap kategori serangan N : Jumlah daun sampel yang diamati Z : Nilai skor serangan tertinggi Kategori serangan tiap daun tanaman (x) berdasarkan skor sebagai berikut : 0
= x = tidak ada gejala serangan
1
=
2
= 20 < x < 40 % bagian daun yang terserang
3
= 40 < x < 60 % bagian daun yang terserang
4
= 60 < x < 80 % bagian daun yang terserang
5
= 80 < x < 100 % bagian daun yang terserang
0 < x < 20 % bagian daun yang terserang
Tabel 20. Kriteria ketahanan terhadap penyakit bercak ungu sebagai berikut No. Kriteria Intensitas Serangan (%) 1.
Imun (I)
2.
Tahan (T)
0 <x<5
3.
Agak Tahan (AT)
5 < x < 10
4.
Agak Rentan (AR)
10 < x < 25
5.
Rentan (R)
25 < x < 50
6.
Sangat Rentan (SR)
Sumber : Said (1976) yang dimodifikasi
0
50 < x
74 Hasil dan Pembahasan Pengujian 86 mutan bawang merah yang dibandingkan 5 varietas kontrol ini dilakukan di rumah plastik yang diinokulasi A. porri sebagai kondisi adanya penyakit bercak ungu. Usaha peningkatkan kelembaban dengan pembasahan karung goni di sekitar polybag. Dari 86 mutan bawang merah ada 1 mutan mati (G 2-08-2 ), yang tampaknya sangat rentan terhadap penyakit bercak ungu. Faktor lingkungan yang mendukung perkembangan biakan fungi A. porri adalah suhu dan kelembababan, sehingga meningkatkan virulensi fungi dan perkembangbiakannya (Rotem 1998; Schwartz 2004). Data pengujian lengkap ada di Lampiran 1, dari data tersebut dapat disajikan pada Tabel 21 dan 22. Tinggi tanaman pada mutan bawang merah yang dicoba terdapat 84 mutan bawang merah yang tergolong tidak lebih tinggi dengan 5 varietas kontrol, dan hanya 1 mutan yang lebih tinggi dari 5 varietas kontrol (Tabel 21). Hal ini diduga tinggi tanaman tetua bawang merah berasal antara 33 sampai 44 cm, sehingga mutan tersebut secara umum sama dengan 5 varietas kontrolnya. Hasil yang diperoleh dalam seleksi tanaman induk bawang merah adalah sekitar 25 sampai 44 cm (Soedomo 2006). Mutasi pada tanaman padi diperoleh keragaman tinggi tanaman dan peningkatan hasil (Mohamad et al., 2006). Penampilan jumlah daun mutan bawang merah ternyata tidak diperoleh mutan yang lebih banyak jumlah daunnya dibanding dengan 5 varietas kontrol (Tabel 21). Jumlah daun dan luas daun yang besar akan meningkatkan fotosintesi, sehingga dapat meningkatkan hasil. Ada perbedaan kecepatan tumbuh dan jumlah daun (Soedomo 2006).
Ditambahkan bahwa diameter dan panjang daun
berkorelasi positif dengan hasil (Mothanty 2001). Jumlah anakan dari mutan bawang merah tidak diperoleh mutan yang lebih banyak jumlah anakannya dibandingkan 5 varietas kontrol (Tabel 21). Mutan bawang merah yang jumlah anakan banyak tidak selalu diikuti hasil umbi yang tinggi, karena ukuran umbi juga penentu hasil umbi (Soedomo 2006). Karakter jumlah umbi dari 85 mutan bawang merah yang dicoba dibanding dengan 5 varietas pembanding dapat dilihat pada Tabel 21. Ternyata
75 tidak diperoleh mutan bawang merah yang jumlah umbinya lebih banyak dari pada 5 varietas kontrol. Jumlah umbi merupakan salah satu faktor menentukan hasil umbi bawang merah. Selain itu, ukuran umbi adalah penentu hasil umbi bawang merah (Kusuma et al., 2009). Tabel 21. Hasil pengujian LSI pada 85 mutan bawang merah dibandingkan 5 varietas kontrol pada karakter tinggi tanaman (cm), jumlah daun, jumlah anakan dan jumlah umbi No 1 2
Pengujian LSI
Jumlah mutan bawang merah pada karakter Tinggi tanaman Jumlah daun Jumlah anakan Jumlah umbi
Tidak lebih besar dari 5 varietas kontrol Lebih besar dari 5 varietas kontrol
84
85
85
85
1
0
0
0
Berdasarkan diameter umbi bawang merah ternyata diperoleh sebanyak 52 mutan bawang merah yang lebih besar umbinya dibandingkan 5 varietas kontrol dan 33 mutan bawang merah yang tidak lebih besar dari 5 varietas kontrol (Tabel 22). Selain itu, ternyata umbi dari mutan bawang merah yang diameter umbinya besar berstruktur keras dan padat sehingga umbinya lebih berat. Hal ini akan memberikan hasil umbi bawang merah yang tinggi pada umbi yang ukuran besar. Ukuran umbi dan kandungan bahan kering umbi berkorelasi positif dengan hasil (Mahantesh et al., 2007). Bobot brangkasan bawang merah dari mutan yang dicoba dapat dilihat pada Tabel 22.
Ternyata ada 5 mutan bawang merah yang lebih berat
dibandingkan 5 varietas bawang merah kontrol. Sebanyak 80 mutan tidak lebih berat dari pada 5 varietas kontrol pada karakter bobot brangkasan. Ada korelasi antara bobot bangkasan dengan hasil, sehingga mutan bawang merah yang lebih berat brangkasannya dapat menghasilkan bobot umbi yang lebih tinggi dibanding varietas kontrol. Terdapat korelasi positif antar hasil dengan bobot kering tajuk bawang, panjang daun, dan ukuran umbi (Awale et al., 2011). Jumlah mutan bawang merah yang mempunyai bobot umbi/rumpun lebih berat dari 5 varietas kontrol diperoleh sebanyak 11 mutan. Hal ini berpotensi dilanjutkan dalam pengujian selanjutnya, untuk menjadi mutan hasil tinggi.
76 Terdapat 74 mutan bawang merah yang bobot umbinya tidak lebih berat dari pada 5 varietas kontrol (Tabel 22). Kombinasi persilangan dari 11 mutan bawang merah tersebut berdasarkan hasil pengujian LSI pada Lampiran 1 adalah G 2-03-1, G 2-03-2, G 3-02-1, G 2-06-1, G 3-06-2, G 1-02-2 , G 3-02-2 , G 2-01-2 , G 3-12-2, G 1-14-1 dan G 1-12-1 . Mutan bawang merah tersebut adalah hasil kombinasi persilangan dari studi daya gabung sebelumnya yang mempunyai daya gabung khusus tinggi dan heterosis tinggi.
Pemilihan untuk perakitan genotipe bawang hasil tinggi dipilih yang
mempunyai daya gabung khusus dan heterosis yang tinggi (Maluf et al., 1990). Tabel 22. Hasil pengujian LSI pada 85 mutan bawang merah dibandingkan 5 varietas kontrol pada karakter diameter umbi (mm), bobot brangkasan/rumpun dan bobot umbi/rumpun Jumlah mutan bawang merah pada karakter No Pengujian LSI Bobot Diameter umbi Bobot umbi/rumpun brangkasan/rumpun Tidak lebih besar 1 dari 5 varietas 33 80 74 kontrol Lebih besar dari 5 2 52 5 11 varietas kontrol Dilihat ketahanan terhadap penyakit bercak ungu dari 85 mutan tersebut tergolong sangat rentan sampai tahan, tidak diperoleh mutan yang imun. Adapun 3 mutan bawang merah yang tahan terhadap bercak ungu adalah G 2-06-1 ; G 3-06-2 dan G 2-01-2 . Ternyata 3 mutan bawang merah tersebut termasuk 11 mutan yang tergolong hasil tinggi dan lebih tinggi hasilnya dari 5 varietas kontrol. Jadi ada 8 mutan lainnya yang hasil tinggi, tetapi ketahanannya terhadap penyakit bercak ungu tergolong agak rentan sampai dengan agak tahan, yaitu G 2-03-1 , G 1-02-2 , G 2-032,
G 1-03-1 , G 3-02-2 , G 3-12-2 , G 1-14-1 , dan G 1-12-1 (Gambar 14 & Lampiran 1) . Dari 85 mutan yang termasuk rentan ada 2 yaitu G 1-15-1 ; G 3-14-1 dan 1
mutan yang sangat rentan G 3-15-1 (Gambar 14 & Lampiran 1). Diduga terjadi mutasi balik dari dominan ke resesif, karena dari varietas yang tergolong agak tahan terhadap penyakit bercak ungu menjadi tahan. Mengingat sifat ketahanan terhadap penyakit bercang ungu dikendalikan oleh gen resesif (Ekanayake & Ewart 1997).
Percobaan mutasi dengan dosis 10 krad dapat meningkatkan
77 ketahanan kacang hijau terhadap penyakit virus (Pandiyan et al., 2008), ketahanan terhadap penyakit hawar, hasil dan mengihilangkan sifat fotoperiodisitas sensitif pada tanaman padi (Tran et al., 2006; Agrawal et al., 2005), meningkatkan hasil dan jumlah bunga kapas (Muthusamy et al., 2005).
Jumlah genotip
50
43 36
40 30 20 10
3
2
1
Rentan
Sangat rentan
0 Tahan
Agak tahan
Agak rentan
Ketahanan thd penyakit bercak ungu
Gambar 14.
Penggolongan tingkat ketahanan 85 mutan bawang merah terhadap penyakit bercak ungu
Penampilan mutan bawang merah yang tergolong rentan sampai sangat rentan terhadap penyakit bercak ungu (Gambar 15). Mutan yang tergolong sangat rentan adalah G 2-08-2 dan G 2-15-1, terlihat bahwa penampilan tanaman merana karena adanya penyakit bercak ungu dan bahkan G 2-08-2 telah mati saat tanaman berumur 35 hst (Gambar 15 a dan c). Penampilan G 2-15-1 cocok sebagai tanaman kontrol, karena tergolong sangat rentan terhadap penyakit bercak ungu. Gambar 15 b menunjukkan adanya gejala penyakit bercak ungu pada daun berupa bercak yang berwarna kelabu.
78 G2-08-2 Sangat Rentan dan mati umur 41 hst
a Gambar 15.
Mutan G2-15-1 yang sangat rentan bercak ungu
Gejala bercak ungu pada daun G3-14-1
b
c
Penampilan mutan bawang merah yang rentan dan sangat rentan terhadap penyakit bercak ungu. (a) Mutan G 2-08-2 yang tergolong sangat rentan dan mati saat tanaman berumur 35 hst. (b) Mutan G 3-14-1 yang tergolong rentan dan (c) G 2-15-1 yang tergolong sangat rentan terhadap penyakit bercak ungu.
Penampilan mutan bawang merah tahan dan hasil tinggi (G 3-06-2 ) dibandingkan 5 varietas kontrol (termasuk Tiron) terlihat lebih baik dari mutan bawang yang lain. Mutan bawang merah sangat rentan terhadap penyakit bercak ungu (G 2-15-1 ) ternyata pertumbuhannya yang kurang baik dibandingkan yang lain (Gambar 16).
G3022 AT
G2031 AT
T: tahan
G3042 AT
AT: agak tahan
G3062
Tiron
G2151
T
AT
SR
SR: sangat rentan
Gambar 16. Penampilan mutan bawang merah hasil tinggi (G 3-02-2 , G 2-03-1 , G 3-062 ), varietas Tiron, G 3-04-2 dan G 2-15-1 yang sangat rentan (SR) terhadap penyakit bercak ungu
79 Kesimpulan dan Saran Dari hasil dan pembahasan dapat ditarik kesimpulan : 1. Diperoleh 3 mutan bawang merah hasil tinggi dan tahan terhadap penyakit bercak ungu (G 2-06-1 , G 3-06-2 , dan G 2-01-2 ). 2. Didapatkan 8 mutan bawang merah hasil tinggi tetapi ketahanan terhadap penyakit bercak ungu tergolong agak rentan sampai agak tahan, yaitu G 2-03-1 , G 1-02-2 , G 2-03-2 , G 1-03-1 , G 3-02-2 , G 3-12-2 , G 1-14-1 , dan G 1-12-1. 3. Terjadi mutasi balik pada gen ketahanan terhadap penyakit bercak ungu yaitu dari dominan (rentan) ke resesif (tahan). Saran yang dapat disampaikan adalah 3 mutan yang hasil tinggi dan tahan penyakit bercak ungu ( G2-06-1 ,
G3-06-2 ,
dan
G2-01-2 )
pembentukan varietas bawang merah baru.
dilanjutkan pada pengujian untuk
81
VII. PEMBAHASAN UMUM
Jarak genetik yang jauh dari tetua dibutuhkan untuk perakitan bawang merah hasil tinggi.
Kendala perakitan bawang merah adalah sempitnya
keragaman sehingga menjadi penghambat kemajuan pemuliaannya. Perluasan keragaman genetik dapat dilakukan dengan persilangan dan mutasi. Varietas bawang merah yang ditanam di sentra produksi seperti Brebes adalah Bima, Kuning, S Philip, dan Timor. Varietas ini disukai oleh petani karena hasil dan kualitasnya (Sunarto et al., 2004). Perakitan bawang merah hasil tinggi perlu adanya persilangan yang diikuti oleh seleksi.
Seleksi yang tepat akan
mendukung perakitan bawang merah hasil tinggi. Ketepatan seleksi dibutuhkan informasi genetik, karakter agronomik dan fisiologi tanaman bawang merah hasil tinggi. Karakter bawang merah hasil tinggi ditandai dengan tanaman yang tinggi, diameter daun yang besar, ukuran umbi yang besar, dan hasil yang tinggi. Berdasarkan korelasi genotipik bahwa hasil bawang merah berkorelasi positif dengan bobot kering tajuk, diameter daun, akumulasi hara P jaringan, kandungan klorofil a, akumulasi hara N jaringan, akumulasi bahan kering akar, kandungan klorofil b, jumlah umbi/rumpun, jumlah daun, dan ANR. Karakter yang mudah dan cepat diamati untuk kegiatan seleksi sangat dibutuhkan. Mengingat hal ini, berdasarkan korelasi antara hasil dengan karakter yang diamati, maka karakter diameter daun, tinggi tanaman, jumlah umbi, diameter umbi dan jumlah daun dapat digunakan sebagai karakter seleksi. Penelitian yang sudah dilakukan pada pemilihan tetua untuk bawang merah dipilih tanaman yang tinggi, jumlah daun sedang, ukuran umbi besar dan hasil tinggi (Soedomo 2006; Kusuma et al., 2009). Tanaman bawang merah yang tinggi dengan diameter daun yang besar dan panjang menghasilkan bobot brangkasan yang berat sehingga hasil umbi juga tinggi. Mengingat ada hubungan antara bobot brangkasan dengan hasil tanaman bawang merah. Selain itu, genotipe bawang merah hasil tinggi mempunyai laju pemanjangan akar yang lebih cepat dan akumulasi bahan kering akar yang tinggi dari pada yang genotipe bawang merah hasil rendah. Hal-hal ini merupakan ciri-
82 ciri tanaman bawang merah hasil tinggi. Percobaan korelasi bawang hasil tinggi ternyata hasil berkorelasi positif dengan bobot umbi, diameter umbi, bobot daun, panjang daun, diameter daun dan bahan kering (Sendek et al.,2009; Cheema et al., 2003). Pada tanaman padi hasil tinggi ditandai dengan akumulasi bahan kering akar dan tajuk yang tinggi (Zang et al, 2010). Karakter akumulasi hara N, P, dan K pada genotipe bawang merah hasil tinggi dan rendah belum dapat dibedakan, karena tidak jelas polanya antara genotipe bawang merah hasil tinggi dengan hasil rendah.
Hal ini karakter
akumulasi hara N, P dan K belum dapat digunakan dalam kegiatan seleksi bawang merah hasil tinggi. Karakter ANR dan jumlah klorofil juga belum diperoleh pola tertentu antara genotipe bawang merah hasil tinggi dengan hasil rendah, sehingga tidak dapat digunakan sebagai karekter seleksi bawang merah hasil tinggi. Jadi kegiatan seleksi untuk bawang merah hasil tinggi dapat digunakan karakter yang mudah diamati ialah tinggi tanaman, diameter umbi, jumlah daun dan bobot umbi per rumpun (Tabel 9). Karakter tersebut telah digunakan dalam seleksi bawang merah untuk perbaikan hasil (Putrasamedja & Soedomo 2007). Pemilihan metode pemuliaan sangat ditentukan oleh genetika karakter sifat yang akan diperbaiki. Pengetahuan genetika karakter suatu sifat dapat diketahui dengan studi genetik.
Mengingat bawang merah tergolong tanaman yang
mempunyai sifat kawin silang, maka salah satu metode untuk mempelajari karakter yang berkaitan dengan hasil adalah metode persilangan dialel. Dari identifikasi plasma nutfah bawang merah dipilih tujuh genotipe bawang merah yaitu Kuning, Bima, Tiron, Timor, Sibolangi, Maja, dan Bima Juna. Pemilihan ini didasarkan atas adanya variasi hasil, warna umbi, jumlah anakan, ukuran umbi, jarak genetik dan kemampuan berbunga (Soedomo 2006; Sunarto et al., 2005; Arifin et al., 2000). Hasil studi genetik menunjukkan bahwa genotipe Tiron dan Timor mempunyai DGU yang tinggi sehingga genotipe ini mempunyai kemampuan baik menurunkan sifatnya kepada keturunannya bila disilangkan dengan genotipe bawang merah yang lain. Nilai duga daya gabung khusus dan heterosis yang tinggi diperoleh dari hasil persilangan Kuning/Tiron, Timor/Bima Juna,
83 Tiron/Timor dan Kuning/Sibolangit. Hasil persilangan ini tampaknya mempunyai potensi untuk perbaikan hasil pada tanaman bawang merah. Perbaikan karakter hasil bawang dipilih pada hasil persilangan yang heterosis dan daya gabung khusus tinggi (Maluf et al., 1990; Mallikarjun 2006).
Perbaikan hasil dan
ketahanan terhadap penyakit bercak ungu pada bawang Bombay dipilih yang daya gabung khusus dan heterosis tinggi pada komponen hasil, tetapi heterosis yang tinggi serta negatif pada karakter ketahanan terhadap penyakit bercak ungu (Abubakar & Shehu 2008), embun jelaga pada jagung (Sudha et al., 2004). Perbaikan hasil pada tanaman kapas, sorgum dan tebu dipilih hasil persilangan yang daya gabung khusus dan heterosisnya tinggi (Khan et al., 2009; Zhang et al., 2000; Kenga et al., 2004).
Nilai duga daya gabung umum lebih rendah
dibandingkan daya gabung khususnya, ini menunjukkan peran gen non aditif lebih besar. Genotipe hasil tinggi dibentuk dari hasil persilangan yang nilai heterosisnya tinggi untuk karakter hasil.
Pada perakitan tanaman hasil tinggi dibentuk dari
yang nilai duga heterosisnya tinggi (Sarker et al., 2002; Topal et al., 2004). Perlu upaya untuk perakitan genotipe bawang merah tahan terhadap penyakit bercak ungu. Mengingat koleksi plasma nutfah bawang merah tahan terhadap penyakit bercak ungu hanya tergolong agak tahan. Kegitan mutasi dapat diperoleh sifat ketahanan terhadap hama dan penyakit pada sejumlah tanaman, seperti pada tanaman padi, kacang tanah, dan kacang hijau (Tran et al., 2006; Jia et al., 2006; Badigannavar et al., 2005; Pandiyan et al., 2008). Dosis perlakuan mutasi dengan sinar gamma yang digunakan bervariasi antara 10 sampai 20 Krad. Mutasi dengan sinar gamma pada bawang merah untuk mendapatkan ketahanan penyakit bercak ungu antara 3 sampai 15 Krad (Sunarto et al., 2005). Dari hal ini perlu dilakukan mutasi pada hasil persilangan yang telah dilakukan untuk diperoleh sifat tahan penyakit bercak ungu. Hasil pengujian pada generasi M 1 V 1 diperoleh mutan tahan terhadap penyakit bercak ungu dari hasil persilangan Tiron/Timor, Tiron/Bima Juna dan Bima/Kuning. Hal ini terjadi mutasi dari tidak tahan terhadap penyakit bercak ungu menjadi tahan. Diduga terjadi mutasi balik pada gen ketahanan, dari gen dominan yang rentan terhadap penyakit bercak ungu menjadi resesif dan tahan
84 penyakit bercak ungu. Sifat tahan terhadap penyakit bercak ungu dikendalikan gen resesif (Ekanayake & Ewart 1997). Hal yang sama terjadi pada warna umbi yang berasal dari warna merah menjadi berwarna putih (Gambar 17). Warna umbi tersebut berasal dari hasil persilangan varietas bawang merah Kuning/Tiron, yang keduanya berumbi warna merah. Hasil mutasi dengan sinar gamma dosis 10 krad pada genotipe hasil persilangan tersebut diperoleh mutan berumbi putih. Ini diduga karena adanya mutasi dari resesif (i) ke dominan (I) pada gen penghambat pembentukan warna umbi. Kondisi homosigot resesif (ii) maka tidak terjadi penghambatan warna umbi, tetapi kondisi homosigot dominan (II) terjadi penghambatan pembentukan warana sehingga warna umbi menjadi putih. Gen I bersifat parsial dominan yang berarti pada kondisi heterosigot (Ii) masih mampu membentuk warna.
Hasil
persilangan genotipe iiCCRR x IICCRR (umbi merah x umbi putih) menghasilkan semua berwarna (Ii). Jadi mutasi pada gen penghambat pembentukan warna dapat mempengaruhi warna umbi bawang (Clarke et al., 1944; Cardoso et al., 1995). Berdasarkan laju mutasi, kejadian ini tergolong mutasi maju yaitu dari resesif menjadi dominan (Crowder 1986). Mutan umbi warna putih tersebut telah didaftarkan pada PVTPP (Pusat Perlindungan Varietas Tanaman dan Perizinan Pertanian) Kementrian Pertanian dan memperoleh sertifikat dengan nomor 83/PHPT/2011 tanggal 13 September 2011 (Lampiran 2). Adapun nama varietas bawang merah berumbi warna putih adalah Unsoed 01. Keistemewaan dari bawang merah Unsoed 01 ini adalah warna umbi putih dan dapat digunakan sebagai kontrol rentan terhadap penyakit bercak ungu. Berdasarkan kandungan antosianin pada mutan bawang merah tahan terhadap bercak ungu lebih banyak dibandingkan mutan yang rentan. Hal ini terdapat perbedaan kandungan bahan kiama dalam pertahanan tanaman terhadap serangan penyakit bercak ungu. Ini diduga karena sintesis antosianin melibatkan senyawa-senyawa pertahanan dan penghambatan pertumbuhan fungi. Antosianin penyusunnya antara lain cyanidin, glukosida, peonidin (Fossen et al., 2003). Bahan ini adalah senyawa pertahanan terhadap organism pengganggu seperti
85 fungi.
Akumulasi antosianin adalah salah satu tanggap tanaman terhadap
cekaman abitik dan biotik (Brosche & Strid 2003).
a
b
Gambar 17. Penampilan bawang merah berumbi warna putih (Unsoed 01) hasil mutasi pada persilangan Kuning/Tiron dengan sinar gamma 10 krad (a) umbi bawang merah Kuning dibanding Unsoed 01 yang berwarna putih dan (b) irisan melintang umbi bawang merah Kuning dan Unsoed 01 Pengujian lebih lanjut terhadap hasil dan ketahanan terhadap penyakit bercak ungu pada generasi M 1 V 2 , diperoleh 11 mutan bawang merah yang daya hasil umbi lebih tinggi dibandingkan 5 varietas kontrol (Bima, Katumi, Kuning, Sumenep, dan Tiron). Di antara 11 mutan tersebut ada 3 mutan yang tahan terhadap penyakit bercak ungu.
Sebelas mutan hasil tinggi dan lebih tinggi dari
5 varietas kontrol adalah G 2-03-1 ; G 2-03-2 ; G 3-02-1 ; G 2-06-1 ; G 3-06-2 ; G 1-02-2 ;G 3-02-2 , G 2-01-2 , G 3-12-2 ; G 1-14-1 dan G 1-12-1 . Tiga mutan bawang merah hasil tinggi dan tahan penyakit bercak ungu yaitu G 2-06-1 ; G 3-06-2 dan G 2-01-2. Dari penelitian ini dapat dilanjutkan uji adaptabilitas dan stabilitas hasil untuk pembentukan klon bawang merah baru yang hasil tinggi dan tahan penyakit bercak ungu.
85
VIII. KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Dari hasil dan pembahasan dapat diambil kesimpulan bahwa: 1.
Diperoleh 3 mutan bawang merah hasil tinggi dan tahan terhadap penyakit bercak ungu, yaitu G 2-06-1 ; G 3-06-2 dan G 2-01-2 .
2.
Didapatkan 8 mutan bawang merah hasil tinggi, tetapi ketahanan terhadap penyakit bercak ungu agak rentan sampai dengan agak tahan, yaitu G 2-03-1 , G 1-02-2 , G 2-03-2 , G 1-03-1 , G 3-02-2 , G 3-12-2 , G 1-12-1 , G 1-14-1 dan G 1-12-1 .
3.
Karakter yang dapat digunakan untuk seleksi bawang merah hasil tinggi adalah diameter daun, tinggi tanaman, jumlah umbi, diameter umbi, dan jumlah daun.
4.
Genotipe bawang merah yang mempunyai DGU tinggi adalah : Tiron dan Timor
5.
Genotipe bawang merah hasil persilangan yang DGK, dan heterositas tinggi ialah
antara
Kuning/Tiron,
Timor/Bima
Juna,
Tiron/Timor
dan
Kuning/Sibolangit sehingga dapat dipilih untuk perakitan bawang merah hasil tinggi 6.
Berdasarkan penanda RAPD, mutan bawang merah yang dicoba terdapat 3 kelompok mutan.
7.
Kandungan antosianin pada mutan bawang merah tahan terhadap penyakit bercak ungu lebih tinggi dari pada yang rentan.
Saran Saran yang dapat diberikan adalah perlu pengujian adaptabilitas dan stabilitas hasil pada 3 mutan bawang merah yang tahan terhadap penyakit bercak ungu dan hasil tinggi untuk menjadi klon bawang merah baru.
89
DAFTAR PUSTAKA
Abubakar L, Shehu GA. 2008. Heterosis of purple blotch (Alternaria porri (Ellis) Cif.) resistance, yield and earliness in tropical onions (Allium cepa L.). Euphytica. 164 (1): 63-74. Agarwal M, Shrivastava N, Padh H. 2008. Advances in molecular marker techniques and their applications in plant sciences. Plant Cell Rep. 27: 617-631. Aghorra TS, Pathak CS. 1991. Heterosis and combining ability in line x tester cross of onions. Veg. Sci. 18: 53-58. Agisimanto D, Supriyanto A. 2007. Keragaman genetik pamelo Indonesia berdasarkan Primer Random Amplified Polymorphic DNA. J. Hort. 17 (1): 1-7. Agrawal PK, Sidu GS, Gosal SS. 2005. Indian rice (Oryza sativa L.) cultivars using gamma irradiation and ethyl methane sulfonate. Mut Breeding Newsletter and Rev 1: 17-18. Agrios GN. 1997. Plant Pathology Fourth Edition. Academic Press. London. 635 p. Agustina M. 2004. Daya gabung dan pewarisan karakter agronomi padi gogo (Oryza sativa L.) pada tanah podsolik merah kuning [tesis]. Bogor. Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Allard RW. 1960. Principles of Plant Breeding. John Wiley & Sons. Inc. New York and London. 485 p. Allen J. 2005. Purple blocth of onions. Canda Ministry of Agriculture, Food and Rural Affairs, Ontario. http://www.omafra.gov.on.ca./nglish/crops/hort/ news/hortmatt/2005. [17 Maret 2007]. Ananda KCR. 2005. Stable dwarf mutants of a high quality tall rice variety white Ponni. Mut Breeding Newsletter and Rev 1: 15-16. Arboleya J, Zandstra B, Rocha AA, Wedders I, Hammerschmidt R. 2003. Induced disease resistance and raised beds reduce purple blotch disease of onion. Hort.Sci. 38(5): 763.
90 Arifin NS, Miyajima I, Okubo H. 1999. Variation of pigments in the bulbs of shallot (Allium cepa var. ascalonicum) and allium x wakegi. J. Fac. Agr., Kyushu Univ. 43:303-308. Arifin NS, Okubo H. 1996. Geographical distribution of allozyme pattern in shallot (Allium cepa var. ascalonicum) and wakegi onion (A. wakegi Araki). Euphytica 91: 305-311. Arifin NS, Ozaki Y, Okubo H. 2000. Genetic diversity in Indonesian shallot (Allium cepa var. ascalonicum) and allium x wakegi revealed by RAPD markers and origin of A. x wakegi identified by RFLP analyses of amplified chloroplast genes. Euphytica 111: 23-31. Ashandi A, Nurtika A, Sumarni N. 2005. Optimasi pupuk dalam usahatani LEISA bawang merah dataran rendah. J.Hort. 15 (3): 199-207. Aveling T, Aveling S, Snyman HG, Rijkenberg FHJ. 1994. Morphology of infection of onion leaves by Alternaria porri. Can. J. Bot.72: 1164–1170. Awale D, Sentayehu A, Getachew T. 2011. Genetic variability and association of bulb yield and related traits in shallot (Allium cepa var. aggregatum DON.) in Ethiopia. Int.J.Agric.Res. 6(7): 517-536. Badigannavar AM, Kale DM, Mondal S, Murty GSS. 2005. Trombay groundnut recombinants resistant to foliar diseases. Mu Breeding Newsletter and Rev 1: 11-12. Baig MNR, Grewal S, Dhillon S. 2009. Molecular characterization and genetic diversity analysis of citrus cultivars by RAPD markers. Turk. J. For Agric. 33: 375-384. Balasubramanian V, Morales AC, Cruz RT, Thiyagarajan TM, Nagarajan R, Babu M, Abdulrachman S, Hail LH. 2000. Adaptation of the chlorophyll mater (SPAD) technology for real-time N management in rice. Int Rice Res Inst 5: 25-26. Balooch AW, Soomro AM, Naqvi MH, Bughio HR, Bughio MS. 2006. Sustainable enhancement of rice (Oryza sativa L.) production through the use of mutation breeding. Plant Mut Rep 1(1): 36-42. Black R, Jonglaekha N, Bruin G, Sukasem S, Burana SV. 1985. Purple blocht disease of garlic. Development on disease in Chiangmai-Lamphun valley, Northern Thailand, consideration in relation to fungicide use and other farming practices. Trop Pest Manag 31 (1) : 47–54. Borjovic S. 1990. Principles and Methods of Plant Breeding. Elsevier. Tokyo.
91 Botstein D, White RL, Skolnick M, Davis RW. 1980. Construction of a genetic linkage map in man using restriction fragment length polymorphisms. Am. J. Hum. Genet. 32: 314–331. BPS. 2008. Statistik Indonesia. Badan Statistik Indonesia, Jakarta. Brosche M, Strid A. 2003. Molecular events following perception of ultraviolet–B radiation by plants. Physiol. Plant. 117: 1–10. Cardosa AII, Della VPT, Faria LP. 1995. Inheritance of bilb color in onion (Allium cepa) resistant to Colletrotichum gloeosporioides. Sci Agric Piracicaba 52 (2): 384-386. Chahal GS, Gosal SS. 2006. Principles and Procedures of Plant Breeding Biotechnological and Conventional Approaches. 3rd Ed. Alpha Sci. Harrow, UK. 604 p. Chaudhary L, Sindhu A, Kumar M, Kumar R, Saini M. 2010. Estimation of genetic divergence among some cotton varieties by RAPD analysis. J. of Plant Breeding and Crop Sci. 2(3): 39-43. Cheema KL, Saeed A, Habib M. 2003. Unidirectional and alternate pathway influences of some economic traits in onion (Allium cepa). Int. J. of Agric. & Biol. 4: 487–489. Cheema AA. 2006. Mutation breeding for rice improvement in Pakistan: achievements and impact. Plant Mut Rep 1(1): 36-39. Clarke AE, Jones HA, Little TM. 1944. Inheritance of bulb color in the onion. Genetics 29: 569-575. Coranjou J. 1995. Genetic of 11 quantitative characters in apricot. Sci Hort 61: 61-75. Cramer CH, Wehner TC. 2000. Path analysis of the correlation between fruit number and plant traits of cucumber populations. Hort Sci 35(4):708–711. Cramer CS, Havey MJ. 1999. Morphological, biological and molecular in onion. Hort Sci 34 (4): 589-593. Crowder LV. 1986. Genetika Tumbuhan. Kusdiarti L, penerjemah;. Soetarso editor. Gadjah Mada University Press. Yogjakarta. 499 p. Terjemahan dari: Plant Genetics. Danquah JA, Ofori K. 2012. Variation and correlation among agronomic traits in 10 accesssions of garden egg plant (Solanum gilo Raddi) in Ghana. Int J Sci Nat 3(2): 373-379.
92
de Vries J, Jongerius R, Sandbrink H, Lindhout P. 1992. RAPD markers assist in resistance breeding. Prophyta 2: 50–51. Demeke T, Sasikumar B, Hucl P, Chibbar RN. 1997. Random amplified polymorphic DNA (RAPD) in cereal improvement. Maydica 42: 133–142. Dipertahut. 2003. Pembenihan Bawang Merah (Allium ascalonicum. L) Varietas Tiron Bantul (on line). http.// Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bantul.com. [5 Juni 2012] Diperta. 2005. Pembakuan Standard Mutu Produk Beberapa Segmen Pasar di Propinsi Nusa Tenggara Barat. Dinas Pertanian Propinsi Nusa Tenggara Barat Dirjen Hortikultura. 2008. Pengembangan Komoditas Hortikultura pada Tahun 2008. Direktorat Jenderal Hortikultura, Jakarta. Donini B, Kawai T, Mickie A. 1984. Spectrum of Mutant Characters Utilised in Developing Improved Cultivars. p : 7 - 31. In : Selection in Mutation Breeding. Proc. of Consultants Meeting. FAO IAEA, Vienna. June 21 25. 1982. IAEA. Vienna. Duriat AS, Permadi AH, Djuariah D, Purwati E, Sehat S, Sumpena U, Kusdriyani Y, Suwandi, Karjadi AK, Sumarni N, Gunadi N, Hilman Y, Sumiati E, Rosliani R, Setiawati W, Prabaningrum L, Moekasan TK, Gunaeni N, Udiarto BK, Hartuti N, Histifariani D. 1999. Teknologi Unggulan Balitsa, Sebuah Penawaran bagi Agribisnis Sayuran. Balitsa, Lembang. Ebrahimi R, Zamani Z, Kashi A. 2009. Genetic diversity evaluation of wild Persian shallot (Allium hirtifolium Boiss.) using morphological and RAPD markers. Sci Hort 119: 345–351. Ekanayake N, Ewart LC. 1997. Inheritance of resistance to Altenaria porri (Ellis) Cife in cultivated onion (Allium cepa L.). Allium Improv. Nswl. 7: 20-22. Engle RJ, Gabelman WH. 1966. Inheritance and mechanism for resistance to ozone demage in onion, Allium cepa L. J. Amer Soc Hort Sci 89: 423-430. Erlin A, Yudono P. 2003. Keragaan stabilitas hasil bawang merah. Ilmu Pert Vol. 10 (2) : 1-10. Falconer DS. 1985. Introduction to quantitative genetics. 2nd. Longman, London and New York. 340 p.
93 Farid N, Suwarto. 2001. Studi karakter kedelai mutan M 3 pada Aluminium tinggi. Laporan Penelitian. Fakultas Pertanian Unsoed, Purwokerto. Farid N, Siti NK, Agus S. 2007. Studi genetik ketahanan terhadap penyakit bercak ungu dan perakitan bawang merah tahan penyakit bercak ungu yang hasil tinggi. Laporan Riset Grand TPSDP Bacth III Unsoed. Fakultas Pertanian Unsoed. Farid N, Darini SU. 2007. Studi genetik dan ketahanan terhadap penyakit virus tanaman cabai merah untuk perakitan varietas yang tahan virus serta hasil tinggi. Laporan Riset Grand TPSDP Bacth III Unsoed. Fakultas Pertanian Unsoed. Fehr WR. 1987. Principle of Cultivar Development. Theory and Technique. Vol I. Mac Millan Pub Co New York. 536 p Fossen T, Slimestad R, Andersen QM. 2003. Anthocyanins with 4’glucosidation from red onion, Allium cepa. Phytochemestry. 64: 13671374. Gonzalez MC, Mukandama JK, Ali MM, Trujilo D, Ferradaz I, Fuentes JL, Altane S, Fernandez A, Peteira B. 2008. Selection and characterization of tomato mutans tolerant to low water supplay. Plant Mut Rep 2 (1): 27-32. Greenleaf WH. 1986. Pepper breeding. In: M. J. Basset (ed.). Breeding Vegetables Crops. AVI Publishing Company. Westport, Connecticut. p. 67-127. Griffing B. 1956. Concept of general and specific combining ability in relation to diallel crossing system. Aust. J. Biol. Sci. (9): 463–493. Gulsen O, Uzun A, Pala H, Canihos E, Kafa G. 2007. Development of seedless and Mal Secco tolerant mutant lemons through budwood irradiation. Sci Hort 112: 184–190. Gunadi N. 2009. Kalim sulfat dan kalium klorida sebagai sumber pupuk kalium pada bawang merah. J Hort 19 (2) : 174-185. Hallauer AR, Miranda JB. 1988. Quntitave Genetics in Maize Breeding. Second edition. Iowa State University Press. Ioawa. 468p. Halleden C, Hansen M, Nilson NO, Hjerdin A, Sall T. 1996. Competition as a source of error in RAPD analysis. Theor Appl Genet 93: 1185-1192. Hardjowigeno S. 1995. Ilmu Tanah. Akademika Pressindo. Jakarta. Havey MJ, King JJ, Braden JM, Bark OH. 1996. Molecular markers and mapping in bulb onion, a forgotten monocot. Hort Sci 31:1116-1118.
94
Heruprayitno. 1989. Hama dan Penyakit Bawang di Kabupaten Bantul, Upaya Pengendalian dan Permasalahannya. Lokakarya Pengembangan Budidaya Bawang Putih Daerah Tingkat II Bantul. Daerah Istimewa Yogyakarta 7 – 8 Maret 1989 di Unwama, Yogjakarta. Hindrawati. 2008. Berita Resmi PVT Pendaftaran Varietas Hasil Pemuliaan. Perlindungan Varietas Tanaman, Jakarta. Horobin JF. 1986. Inheritance of a dwarf seed stalk character in onion. Am Apll Biol 108: 189-194. Hurst WC, Shewfelt RI, Schuler GA. 1985. Shelf life and quality changes in summer storage of onion (Allium cepa). J Food Sci 50: 761-772. Ipek M, Ipek A, Simon PW. 2003. Comparison of AFLPs, RAPD markers and isozymes for diversity assesment of garlic and detection of putative duplicates in germplasm collections. J Am Soc Hort Sci 128: 246-252. Jamila Z, Arbi G, Mohamed N. 2009. Morpho-phenological characterization of Allium roseum L. (Alliaceae) from different bioclimatic zones in Tunisia. African J of Agric Res 4 (10): 1004-1014. Janick J. 1992. The Diallel Cross: Design, Analysis, and Use for Plant Breeding. Eds. Dudley JW, Halluer AR, Ryder EJ. In. Plant breeding reviews. John Wiley & Sons. New York. Vol 9. P: 9-36. Jia Y, Xie J, Rutger JN. 2006. Development and characterization of katy deletion mutant populations for functional genomics of host-parasite interactions and rice improvement. Plant Mut Rep 1(1): 43-47. Kalloo JC, Pandey SC, Lal S, Pandita ML. 1982. Correlation and path analysis studies in onion (Allium cepa L.). Harayana J Hort Sci 11: 87-97. Karp A, Edwards KJ, Bruford M, Funk S, Vosman B, Morgante M, Seberg O, Kremer A, Boursot P, Arctander P, Tautz D, Hewitt GM. 1997. Molecular technologies for biodiversity evaluation: opportunities and challenges. Nat. Biotechnol. 15: 625–628. Kenga R, Alabi SO, Gupta SC. 2004. Combining ability studies in tropical sorghum (Sorghum bicolor (L.) Moench). Field Crop Res. 88: 251-260. Khan NU, Hassan G, Khumbar MB, Marwat KB, Khan MA, Parveen A, Aiman U, Saeed M. 2009. Combining ability analysis to identyfy siutable parents for heterosis in seed cotton yield, its components and lint % in upland cotton. Industrial Crops and Prod 29 : 108-115.
95 Khin TN. 2006. Rice mutation breeding for varietal improvement in Myanmar. Plant Mut Rep 1(1): 34-36. Kofoet A, Kik C, Wietsma WA, De Vries NA. 1990. Inheritance of resistance to downy mildew (Peronospora destractor (Berk.) Casp) from Allium roylei Stearn in backcross Allium cepa L.x(A. royleixA.cepa) Plant Breeding 105: 144-149. Kohli U, Prabal K. 2000. Variability and correlation studies on some important traits in garlic (Allium sativum L.) clones. Harayana J of Hort Sci 29 (3): 209-211. Kusuma R, Basuki S, Kurniawan H. 2009. Uji adaptasi lima varietas bawang merah asal dataran tinggi dan medium pada ekosistem dataran rendah Brebes. J Hort 19(3): 281-286. Lawali A, Shehu GA. 2008. Heterosis of purple blocth (Alternaria porri (Ellis) Cif.) resistance, yield and earliness in tropical unions (Allium cepa L.). Euphytica 164 (1): 63-74. Limbongan J, Anthon M. 1999. Pengaruh penggunaan pupuk organik dan anorganik terhadap pertumbuhan dan produksi bawang merah kultivar Palu. J Hort 9(3): 212-219. Luzi KA, Shao-Mwalyego F, Zakayo JA, Mkuya M. 2008. Mwangaza – a new early maturing, RYMV resistant rice mutant released in the united republic of Tanzania. Plant Mut Rep 2 (1): 11-16. Mahantesh B, Harshavardhan H, Tippesha D, Sajjan MRP, Janardhan G. 2007. Correlation studies in onion genotypes in Kharif season under irrigated and rainfed situations. Asian J Hort 2: 71-74. Mallikarjun N. 2006. Heterosis and combining ability studies in onion (Allium cepa L.). [thesis]. Dept. of Horticulture. University of Agriculture Science. India. Maluf WR, Corte RD, Braghini MT. 1990. Genetic variation for combining ability in the short-day onion cultivar Pira-ouro in topcrosses with Baia Petrolini. Rev Brasil Genet 13(4): 803-814. Maluszynski M, Nichterlein K, Zaten KV, Ahloowwalia BS. 2000. Officially released mutant varieties the FAO/IAEA database. Mut Breeding 12: 184. . Maniruzzaman M, Haque E, Haque MM, Sayem MA, Al-Amin M. 2010. Molecular characterization of onion (Allium cepa) using RAPD markers. Bangladesh J Agril Res 35(2): 313-322.
96
Medina III FIS, Etsuo A, Shigemitsu T. 2005. Mutation Breeding Manual. Forum for Nuclear Cooperation in Asia (FNCA). Tokyo. 177p. Melke A, Ravishhanker H. 2006. Variability and association among bulb yield and yield-related traits in onion (Allium cepa L.). Trop Agric 88: 112-119. Miskiyah S, Munarso J. 2009. Kontaminasi residu pestisida pada cabai merah, selada dan bawang merah (Studi kasus di Bandungan dan Brebes Jawa Tengah serta Cianjur Jawa Barat). J Hort 19 (1): 101-111. Mohamad O, Mohd N, Alias BI, Azlan S, Abdul R, Abdullah MZ, Othman O, Hadzim K, Saad A, Habibuddin H, Golam F. 2006. Development of improved rice varieties through the use of induced mutations in Malaysia. Plant Mut Rep 1(1): 27-34. Mohanty BK. 2001. Genetic variability, inter-relationship and path analysis in onion. J Trop Agric 39: 17-20. Muthusamy A, Vasanth K, Jayabalan N. 2005. Induced high yielding mutants in cotton (Gossypium hirsuthum L.). Mut Breeding Newsletter and Rev 1: 58. Neale DB, Harry DE. 1994. Genetic mapping in forest trees: RFLPs, RAPDs and beyond. Ag Biotech News Inform 6: 107–114. Netrapal NS. 1999. Heterosis for yield and storage parameters in onion (Allium cepa L.). Indian J Agric Sci 69 : 826-829 Pandiyan M, Ramamoorthi N, Ganesh SK, Jebaraj S, Pagarajan P, Balasubramanian P. 2008. Broadening the genetic base and introgression of MYMV resistance and yield improvement through unexplored genes from wild relatives in mungbean. Plant Mut Rep 2( 1): 32-38. Parmanto E, Effendi M. 2007. Varietas Tanaman Hasil Pemuliaan dari Batan. Batan Jakarta. Pathak CS. 1997. Allium crop situation in Asia. Acta Hort (ISHS) 433: 53-74. Peng S, Garcia FV, Laza RC, Sanico AL, Visperas RM, Cassman KG. 1996. Increased of a chlorophyll meter on high-yielding irrigated rice. Field Crops Res 47: 243-252. Peng S, Laza RC, Garcia FC, Cassman KG. 1995. Chlorophyll mater estimates leaf area-based N concentration of rice. Commun Soil Sci Plant Anal 26: 927-935.
97 Permadi AH, Aliudin. 1991. Pemuliaan Bawang (Allium sp). Dalam : A. Kasno, M. Dahlan, dan Hasnam, M. (eds). Prosiding Simposium Pemuliaan Tanaman I, 27 – 28 Agustus 1990. Peripi. Malang. Poehlman JM. 1983. Breeding Field Crops. 2nd edition. The AVI Publishing Company, Inc. Westport. 486p. Poepodarsono S. 1988. Dasar-dasar Ilmu Pemuliaan Tanaman. Pusat Antar Universitas, IPB. Bogor. Pophaly DJ, Gupta AK, Jambhulkar SJ, Awasthi S.K. 2006. Genetic improvement of brown-planthopper (Nilaparvata lugens) resistance through radiatin technique in rice. Plant Mut Rep 1 (1): 16-18. Prihatiningsih N. 1990. Epidemi penyakit trotol pada tanaman bawang [tesis]. Fakultas Pasca Sarjana, UGM. Jogjakarta. Putrasamedja S. 1995. Pengaruh berbagai macam pembelahan bawang merah di bawah naungan atap plastik terhadap produksi. Bul Penel Hort 17 (3): 96101. Putrasamedja S, Suwandi. 1996. Varietas Bawang Merah di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura. Bandung. Putrasamedja S, Soedomo RP. 2007. Evaluasi bawang merah yang akan dilepas. J Pemb Pedesaan 7(3): 133-146 Putrasamedja S. 2006. Adaptasi beberapa klon harapan bawang merah di SalitriJawa Tengah. J Pen dan Info 10 (1): 78-80. Putrasamedja S. 2010. Adaptasi klon-klon bawang merah (Allium ascollonicum L.) di Pabedilan Losari – Cirebon. Agritech 2 : 81–88. Putrasamedja S. 2000. Tanggap beberapa kultivar bawang merah terhadap vernalisasi untuk dataran medium. J Hort 10(3): 177. Raihani W, Baihaki A, Setimihardja R, Suryatmana G. 1996. Pewarisan laju akumulasi bahan kering biji kedelai. Zuriat 7 (2): 57-63. Rotem J. 1998. The Genus Alternaria: Biology, Epidemiology, and Pathogenecity. APS Press. St Paul. Minnesota. Said A. 1976. Penentuan Scoring Intensitas Serangan Penyakit pada Tanaman Hortikultura. Lembaga Penelitian Hortikultura, Jakarta. Sanghai-Maroof MA, Soliman KM, Jorgensen RA, Allard RW. 1984. Ribosomal DNA Spacer-Length Polymorphisms In Barley: Mendelian Inheritance,
98 Chromosomal Location And Population Dynamic. Proc. Natl. Acad. Sci. 36:186-192. Sari RDK. 2007. Karakterisasi delapan genotipe bawang merah di Brebes. [skripsi]. Fakultas Pertanian. IPB, Bogor. Sarker U, Biswas PS, Prasad B, Khaleque Mian MA. 2002. Heterosis and genetic analysis in rice hybrid. Pak J Biol Sci 5 (1): 1-5. Satsijati, Pudji S. 1995. Analisis fisik dan ekonomi pemupukan bawang merah di lahan pasang surut. J Hort 5 (3): 20-33. Schum A. 1999. Mutation induction in ornamental plants. Makalah Ekspose Hasil Penelitian Bioteknoligi Pertanian 31 Agustus - 1 September 1999. Balitbang Pertanian. Jakarta. Schwarzt HF. 2004. Bortrytis, downy mildew and purple blotch of onion. Online. hppt://www.ext.colostate.Edu/pubs/crops/02940.htm. [6 Mei 2010]. Semangun H. 1994. Penyakit-Penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Semangun H. 2006. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. University Press. Yogyakarta.
Gajah Mada
Sendek F, Tefera H, Tsadik KW. 2009. Correlation and path analysis in shallot (Allium cepa var. ascalonicum Baker.) genotypes. EAJS 3 (1): 55-60 Shasshikanthevoor R, Veeregowda E, Krisnamonohar G. 2007. Heterosis for yield components and quality traits in onion (Allium cepa L.). Karnata J Agric Sci 20: 813-815. Shehu K, Aliero AA. 2010. Effect of purple blotch infection on the proximate and mineral contents of onion. Int J of Pharma Sci & Res 1(2): 131-133. Shigyo M, Miyazaki T, Isshiki S, Tashiro Y. 1997. Assignment of randomly amplified polymorphic DNA markers to all chromosomes of shallot (Allium cepa L. aggregatum group). Genes Genet Syst 72: 249–252. Simmond NW. 1984. Principles of Crop Improvement. Longman Inc. New York. 408 p. Singh RK, Chaudhary RD. 1979. Biometrical Methods in Quantitative Genetic Analysis. Kalyani Publishers. New Delhi. 302p.
99 Soedomo RP. 2006. Seleksi induk tanaman bawang merah. J Hort 16(4): 269282. Stansfield WD. 1983. Theory and Problem of Genetics. Second Edition. Mc Graw Hill, Inc. 372. Suangsuttapha S, Eimert K, Scroder MB. 2007. Molecular phylogeny of banana cultivar from Thailand based on HAT-RAPD marker. Genet Resoure Crop Evol 54: 1565-1572. Subhan, Nurtika N, Gunadi N. 2009. Respon tanaman tomat terhadap penggunaan pupuk majemuk NPK 15-15-15 pada tanah latosol pada musim kemarau. J Hort 19(1): 40-48. Sudarmadji S, Haryono B, Suhardi. 1981. Prosedur Analisa Makanan dan Pertanian. Liberty. Yogyakarta.
untuk Bahan
Sudha KN, Prasanna BM, Rathore RS, Setty TAS. 2004. Genetic analysis of resistance to shorghum downy mildew and Rajasthan downy mildew in maize (Zea mays L.). Field Crop Res 89: 379-387. Sudirdja. 2001. Bawang Merah. hppt://www.lablink.or.id/Agro/BawangMrh /Sejarah.html. [2 Pebruari 2007]. Sugawara K, Wakizuka T, Oowada O, Moriguchi T, Omura M. 2002. Histogenic identification by RAPD analysis of leaves and fruit of newly synthesized chimeric Citrus. J Am Soc Hort Sci 127: 104-107. Suhardi E, Suryaningsih, Permadi A. 1994. Uji resistensi varietas dan klon bawang merah (Alium cepa var. ascolonicum L.) terhadap penyakit penting di dataran rendah. Bul Penel Hort 26 (4) : 108-117. Sukartini. 2008. Analisis jarak genetik dan kekerabatan aksesi-aksesi pisang berdasakan primer amplified polymorphic DNA. J Hort 18 (3): 261-266. Sumarni N, Sumiati E, Suwandi. 2005. Pengaruh kerapatan tanaman dan aplikasi zat pengatur tumbuh terhadap produksi umbi bibit bawang merah asal biji kultivar Bima. J Hort 15(3): 208-214. Sumarni N, Rosliani R. 2010. Pengaruh naungan plastik transparan, kerapatan tanaman, dan dosis N terhadap produksi umbi bibit asal biji bawang merah. J Hort 20(1): 52-59. Sunarjo H, Soedomo P. 2001. Budidaya Bawang Merah (Allium escalonicum L.) Sinar Baru Algesindo. Bandung.
100 Sunarto, Totok ADH, Lukas S, Suwarto, Farid N, 2004. Peningkatan mutu bibit bawang merah (Allium cepa L.) Brebes tahap I. Laporan Penelitian, Kerjasama Bappeda Brebes-LP Unsoed. Purwokerto. Sunarto, Totok ADH, Lukas S, Suwarto, Farid N, 2005. Peningkatan mutu bibit bawang merah (Allium cepa L.) Brebes tahap II. Laporan Penelitian, Kerjasama Bappeda Brebes-LP Unsoed. Purwokerto. Sunarto. 2001. Mutasi varietas kedelai untuk mendapatkan toleran Salin. Laporan Penelitian. Fakultas Pertanian, Unsoed. Purwokerto. Suprayogi, Ismangil M. 2004. Laju akumulasi bahan kering, kemampuan serapan N, P, dan Na beberapa varietas padi pada cekaman garam, perlakuan nitrogen dan pospor. Laporan Penelitian. Fakultas Pertanian Unsoed. Purwokerto. Surahman M, Edi S, Fifin NN. 2009. Karakteristik dan analisis gerombol plasma nutfah jarak pagar Indonesia dan beberapa negara lain menggunakan marka morfologi dan molekuler. J Agron Indonesia 37 (3): 256-264. Surjaningsih E. 1994. Pengendalian penyakit otomatis (Colletotrichum gloeosporioides) dan bercak ungu (Altenaria porri) pada bawang merah (Allium cepa L.). Bul Penel Hort 16 (3):112-120. Sutarya R, Grubben G. 1995. Bercocok Tanam Sayuran Dataran Rendah. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Syed AS, Iftikhar A, Rahmkan K, Mumtaz A. 2005. ‘Nifa-mustard canola’ – first mutant variety of oilseed mustard (Brasica juncea Coss & Czern.) in Pakistan. Mutation Breeding Newsletter and Reviews 1: 22-23. Tautz D, Renz M. 1984. Simple sequences are ubiquitous repetitive components of eukaryotic genomes. Nucleic Acids Res 12: 4127–4138. Theresa A, Aveling S, Snyman HG, Rijkenberg FHJ. 1994. Morphology of infection of onion leaves by Alternaria porri. Can J of Bot 72(8): 11641170. Thimmappaiah W, Santhosh G, Shobha G, Melwyn GS. 2009. Assessment of genetic diversity in cashew germplasm using RAPD and ISSR markers. Sci Hort 120:411–417. Topal A, Aydin C, Akgun N, Babaoglu M. 2004. Diallel cross analysis in durum wheat (Triticum durum Desf.) identification of best parents for same karnel physical features. Field Crops Res 87: 1-12.
101 Tran DQ, Dao TTB, Nguyen HD, Lam QD, Bui HT, Nguyen VB, Nguyen VX, Le VN, Do HA, Phan P. 2006. Rice mutation breeding in institute of agricultural genetics, Vietnam. Plant Mut Rep 1(1): 43-47. Upadhyay A, Jayadev K, Manimekalai R, Parthasarathy VA. 2004. Genetic relationship and diversity in Indian coconut accessions based on RAPD markers. Sci Hort 99: 353–362. Upov. 2008. International Union for the Protection of New Varieties of Plants. Upov. Genewa. 26 p. van Heusden AW, van Ooijen JW, Vrielink-van GR, Verbeek WHJ, Wietsma WA, Kik C. 2000. A genetic map of an interspecific cross in Allium based on amplified fragment length polymorphism (AFLP) markers. Theor Appl Genet 100: 118–126 Verma OP, Srivasta HK. 2004. Genetic component and ability analyses in relation to heterosis for yield and associated trait using three diverse ecosystems. Field Crops Res 88: 91-102. Virindita S. 2005. Pengujian ukuran umbi terhadap pertumbuhan dan hasil beberapa varietas bawang merah. [skripsi]. Fakultas Pertanian. Unsoed. Purwokerto. Vos P, Hogers R, Bleeker M, Reijans M, Van de Lee T, Hornes M, Frijters A, Pot J, Peleman J, Kuiper M, Zabeau M. 1995. AFLP: a new technique for DNA fingerprinting. Nucleic Acids Res 23: 4407–4414. Wang G, Kang MS, Moreno O. 1999. Genetic analysis of grain-filling rate and duration in maize rice-growing. Field Crops Res 61 : 211-222. Welsh JR. 1981. Fundamental of Plant Genetics and Breeding. John Wiley & Sons Inc. Canada. 290p. Wilde SA, Corey RB, Lyer JG, Voigt GK. 1979. Soil and Plant Analysis for Tree Culture. 1st Edition. Oxford & IBH Pub1 Co. New Delhi.. Williams JGK, Kubelik AR, Livak KJ, Rafalski JA, Tingey SV. 1990. DNA polymorphisms amplified by arbitrary primers are useful as genetic markers. Nucleic Acids Res 18: 6531–6535. Wintermans JGFM, Mots AD. 1965. Spectrophotometric Characteristics of Chlorophylls a and b and Their Pheophytins in Ethanol. Biochim Biophys Acta 109: 448-453.
102 Yamaguchi H, Igarashi I, Sato T. 2005. “Sakata-Mezuru” –a new lodgingresistant glutinous rice mutant cultivar. Mut Breeding Newsletter and Rev 1: 19-20. Yamaguchi H, Morishita T, Degi1 K, Tanaka A, Shikazono N, Hase Y. 2006. Effect of carbon-ion beams irradiation on mutation induction in rice. Plant Mut Rep 1(1): 25-27. Yan Z, Denneboom C, Hattendorf A, Dolstra O, Debener T, Stam P, Vissel PB. 2005. Construction of an integrated map of rose with AFLP, SSR, PK, RGA, RFLP, SCAR and morphological markers. Theor Appl Genet 110: 766–777. Yang J, Peng S, Zhang Z, Wang Z, Visperas RM, Zhu Q. 2002. Grain yield and dry maters yields and partioning of assimilates in Japonica indica hybrid rice. Crop Sci 42: 766-722. Zadoks JC, Schein RD. 1979. Epiodemiology and Plant Disease Management. Oxford University Press. Zeinanloo A, Shehshavari A, Mohaimmadi A, Naghavi MR. 2009. Variance component and heridity of Some fruit characters in olive (Olea europaea L.). Sci Hort 123 : 68-72. Zhang M, Chan R, Luo J, Lu J, Xu J. 2000. Analysis for inheritance and combining ability of photochemical activities measured by chlorophyll fluorescence in segregating generation of sugarcane. Field Crops Res 65: 31-39. Zhang H, Tan G L, Xue Y G, Liu LJ, Yang JC. 2010. Change in grain yield and morfological and physiological characteristic during 60 year evolutioan of Japonica rice cultivars in Jiangsu. Acta Agron Sinica 36 (1): 133-140. Zhang H, Jiang Y, He A, Ma M. 2005. Cadmium accumulation and oxidative burst in garlic (Allium sativum). J Plant of Physiol 162: 977-984. Zhu XD, Chen HQ, Shan JX. 2006. Nuclear techniques for rice improvement and mutant induction in China National Rice Research Institute. Plant Mut Rep 1(1): 7-10.
103
LAMPIRAN
105 Lampiran 1. Pengujian LSI dari 86 mutan bawang merah terhadap 5 varietas kontrol No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80
Mutan G1011 G1021 G1031 G1041 G1051 G1061 G1071 G1081 G1091 G1101 G1111 G1121 G1131 G1141 G1151 G1012 G1022 G1032 G1042 G1052 G1062 G1072 G1082 G1092 G1102 G1112 G1122 G1132 G2011 G2021 G2031 G2041 G2051 G2061 G2071 G2081 G2091 G2101 G2111 G2121 G2131 G2141 G2151 G2012 G2022 G2032 G2042 G2052 G2062 G2072 G2082 G2092 G2102 G2112 G2122 G2132 G2142 G3011 G3021 G3031 G3041 G3051 G3061 G3071 G3081 G3091 G3101 G3111 G3121 G3131 G3141 G3151 G3012 G3022 G3032 G3042 G3052 G3062 G3072 G3082
B_U 39.30 25.20 87.60 38.50 67.00 69.50 12.40 42.60 61.80 48.30 56.80 72.00 46.30 74.40 28.10 45.30 91.50 32.80 47.10 54.80 68.80 8.30 52.50 60.50 38.30 71.40 24.30 55.40 25.50 59.50 103.40 28.30 49.40 93.10 49.60 32.20 68.40 37.00 46.90 55.00 17.70 39.00 36.50 83.20 35.20 88.60 47.40 45.80 35.80 54.00 0.00 54.50 50.00 53.40 43.20 18.40 23.80 54.50 58.40 32.80 13.80 28.70 44.60 33.70 35.90 58.30 29.10 27.80 65.40 44.00 29.00 9.80 40.80 83.60 23.90 63.10 50.70 83.40 54.30 28.90
LSI
TKtBKnS KnS BKnS
S
TKtBKnS TKtBKnS
TKtBKnS
BKnS
S KtBKnS
S TKtBKnS
TKtBKnS
BKnS
TKtBKnS TKtBKnS
Mati
KnS
TKtBKnS S TKtBKnS
D_U 3.60 2.10 2.30 2.38 2.31 2.74 2.80 3.00 2.60 2.50 2.70 2.10 3.30 2.60 3.80 3.10 2.76 2.07 1.90 2.11 2.51 2.20 3.35 2.80 2.20 3.01 2.25 3.10 2.25 1.94 3.02 2.40 2.20 3.02 2.70 3.15 2.60 2.18 2.80 2.10 1.70 2.50 4.60 2.30 2.50 2.20 3.16 1.74 2.60 3.25 0.00 2.50 2.07 2.90 2.40 1.90 2.30 2.10 2.45 2.07 1.52 2.20 2.36 2.80 2.18 2.30 2.64 2.60 2.30 2.90 2.70 3.10 3.40 3.04 3.20 1.67 2.24 2.90 2.60 3.00
LSI KtBTKnS S BTKnS KtBTKnS BTKnS KtBTKnS KtBTKnS KtBTKnS KtBTKnS KtBTKnS KtBTKnS S KtBTKnS KtBTKnS KtBTKnS KtBTKnS KtBTKnS S S KtBTKnS S KtBTKnS KtBTKnS S KtBTKnS KnS KtBTKnS KnS S KtBTKnS KtBTKnS S KtBTKnS KtBTKnS KtBTKnS KtBTKnS S KtBTKnS S KtBTKnS KtBTKnS BTKnS KtBTKnS S KtBTKnS KtBTKnS KtBTKnS Mati KtBTKnS S KtBTKnS KtBTKnS BTKnS S KtBTKnS S S KtBTKnS KtBTKnS S BTKnS KtBTKnS KtBTKnS BTKnS KtBTKnS KtBTKnS KtBTKnS KtBTKnS KtBTKnS KtBTKnS S KtBTKnS KtBTKnS KtBTKnS
J_U 4 4 4 5 6 5 5 3 5 9 7 5 6 7 1 6 9 5 8 5 6 1 4 3 8 6 2 5 4 12 9 4 6 8 5 4 8 5 4 6 4 6 1 8 3 7 3 12 4 4 0 4 5 4 5 3 4 6 6 5 4 5 5 6 5 5 3 2 11 5 3 1 5 5 2 5 5 6 4 3
LSI
Mati
J_A 4 2 5 4 6 5 5 5 3 2 7 4 3 8 1 4 7 5 6 4 6 1 2 4 3 6 6 3 2 14 9 5 5 9 5 5 7 4 4 5 4 7 1 7 3 7 3 9 3 3 0 4 3 2 7 4 4 5 4 5 7 5 6 4 11 4 2 2 3 5 3 1 3 6 5 5 5 6 3 3
LSI
TKn
Mati
J_D 16.50 10.00 22.30 24.60 21.80 17.20 5.80 21.70 19.50 18.50 33.40 17.70 17.70 30.10 7.40 18.90 27.30 24.30 23.60 26.00 21.70 28.70 16.10 18.10 24.10 36.00 21.00 19.00 14.90 22.10 19.80 21.50 19.70 32.60 24.20 21.60 29.90 21.20 20.80 22.50 20.80 32.00 6.10 22.30 17.00 30.50 18.60 35.00 16.00 17.10 17.00 20.00 17.60 16.40 29.00 22.80 23.10 28.40 25.70 24.30 27.50 26.10 28.30 17.90 19.80 26.70 16.20 14.40 28.00 29.10 14.50 5.80 22.00 25.30 23.40 24.10 22.80 16.90 11.50 19.20
LSI
SKn
TSKn
Kn
Kn
Kn TSKn
Mati
T_T 29.76 40.08 37.74 23.06 30.26 26.96 38.84 42.09 44.28 36.39 39.72 41.09 39.69 40.16 32.68 31.77 34.43 40.51 36.16 31.88 37.60 35.64 48.59 39.18 37.66 41.92 38.83 41.01 36.68 37.72 37.99 34.42 40.94 39.26 30.23 33.17 38.04 32.73 39.86 39.59 26.06 37.59 35.48 37.84 35.13 37.17 39.09 36.41 34.11 28.41 34.46 38.27 32.01 35.04 35.77 34.98 40.96 37.87 29.26 40.51 31.11 39.68 29.40 38.58 32.71 38.74 38.78 26.58 33.26 41.09 30.34 33.77 38.38 39.62 33.19 36.01 35.50 37.60 39.89 34.61
LSI
SBKt KnSBKt
BKt
TKnSBKt
BKt BKt
BKt
Mati
BKt
BKt
B_B 54.50 25.20 34.60 64.60 30.10 33.90 66.00 93.10 28.40 70.40 42.60 40.80 54.60 56.90 12.10 79.40 73.30 37.20 57.60 75.90 24.70 40.00 100.50 95.30 49.20 64.70 65.70 49.80 36.80 31.50 73.60 60.40 55.90 75.30 53.10 85.40 34.40 39.00 38.70 37.50 58.80 95.40 45.60 73.60 59.00 79.30 62.10 63.10 41.30 37.90 0.00 39.50 112.50 25.20 63.70 32.70 21.50 60.40 68.30 37.20 57.10 66.40 66.80 40.60 41.30 68.30 40.60 37.20 76.60 60.40 44.30 11.90 51.20 73.60 31.70 67.80 44.20 79.90 65.70 76.60
LSI
BKnTKtS
TKtS S
S
BKnTKtS BKnTKtS
S
S TKtS
BKnTKtS S KtS
I_P 16.79 7.32 11.31 10.02 9.83 13.39 15.58 11.87 11.26 9.00 11.98 14.01 9.00 11.78 42.98 18.90 5.50 14.78 10.34 9.08 11.11 14.81 12.44 13.02 7.25 10.90 13.12 8.78 12.15 12.68 13.32 11.76 9.80 4.56 13.39 5.11 10.47 13.55 14.94 10.93 8.23 10.82 51.91 4.10 11.43 8.25 5.89 8.37 7.60 12.48
Mati BKnTKtS
S
S
KtS S
9.80 5.11 6.10 8.30 7.83 5.33 10.75 9.80 12.48 5.50 5.23 12.27 7.92 12.48 7.54 7.50 8.73 10.14 7.84 30.13 12.11 5.50 12.48 7.05 9.21 11.51 4.10 12.02 14.74
106 No
Mutan
B_U
81 82 83 84 85 86
G3092 G3102 G3112 G3122 G3132 G3142
42.20 31.10 53.20 75.30 56.80 51.80
LSI
TKtBKnS
D_U
LSI
J_U
2.60 2.70 2.50 2.10 2.76 2.35
KtBTKnS KtBTKnS KtBTKnS S KtBTKnS KtBTKnS
5 5 8 5 3 7
Varietas Varietas+LSI
LSI
J_A
LSI
4 8 6 7 3 6
J_D
LSI
22.60 25.60 26.30 20.90 25.10 21.10
T_T
LSI
38.29 38.29 29.99 38.86 35.63 26.81
B_B
LSI
55.40 65.70 60.40 85.40 62.10 61.70
TKtS
I_P
9.21 15.78 13.41 5.55 9.21 6.25
Nilai rataan dari karakter yang diamati B_U
D_U
J_U
J_A
J_D
T_T
B_B
I_P
Bima
43.47
1.78
11.83
10.50
27.85
32.24
56.20
11.987
Katumi
46.61
1.84
20.50
11.83
26.68
32.14
44.53
16.217
Kuning
39.65
1.77
14.00
7.67
20.60
35.59
54.60
16.592
Sumenep
34.46
1.45
11.33
9.83
23.55
33.43
38.73
11.719
Tiron
47.75
1.78
13.83
8.50
24.88
36.80
44.80
12.289
LSI
24.09
0.48
9.58
5.004
9.5389
8.6086
34.06
Bima+LSI
67.56
2.26
21.4
15.5
37.389
40.852
90.26
Katumi+LSI
70.70
2.31
30.1
16.84
36.222
40.751
78.6
Kuning+LSI
63.75
2.25
23.6
12.67
30.139
44.203
88.66
Sumenep+LSI
58.55
1.93
20.9
14.84
33.089
42.04
72.8
Tiron+LSI
71.84
2.26
23.4
13.5
34.422
78.86
TKtBKnS
KtBTKnS
KtKnTBS
KtBSTKn
BKtTSKn
45.407 TKnSBKt
Kode
BKnTKtS
Keterangan : B_U: Bobot umbi D_U: Diameter umbi J_U: Jumlah Umbi J_A:Jumlah anakan J_D:Jumlah daun T_T: Tinggi Tanaman B_B: Bobot Brangkasan I_P:Intensitas Penyakit LSI: Leas Significant Increase T: Tiron Kt:Katumi B: Bima K: Kuning S:Sumenep
107 Lampiran 2.
Tanda daftar varietas Unsoed 01 dari Pusat Perlindungan Varietas Tanaman dan Perizinan Pertanian