1
AMBANG KENDALI HAMA Spodoptera exigua (LEPIDOPTERA : NOCTUIDAE) PADA BAWANG MERAH DI DATARAN TINGGI Rudi Hartono, Novri Nelly, Reflinaldon Abstrak Populasi hama menentukan tingkat kerusakan, produksi dan kehilangan hasil. Berapa populasi hama yang berpotensi menyebabkan kerugian secara ekonomi perlu diketahui. Telah dilakukan penelitian untuk mempelajari tingkat kerusakan, produksi dan kehilangan hasil. Tujuan akhirnya adalah untuk menentukan nilai ambang kendali hama Spodoptera exigua. Penelitian dilaksanakan di lapangan dan di rumah kawat. Intensitas serangan dan produksi diamati pada petak yang disemprot insektisida dan tanpa insektisida. Percobaan Faktorial Rancangan Acak Lengkap (RAL) dilaksanakan di rumah kawat. Infestasi sebanyak 2, 3, dan 4 larva instar 3 dilakukan saat tanaman berumur 15, 36, dan 56 hst. Hasil penelitian menunjukan bahwa tingkat kerusakan dan produksi di lapangan berbeda tidak nyata. Jumlah larva yang diinfestasikan pada waktu yang berbeda memberikan pengaruh kehilangan hasil yang berbeda. Nilai ambang kendali hama berdasarkan nilai aras luka ekonomi adalah 0,41 (15 hst) dan 0,81 (36 hst) larva instar 3 per rumpun. KATA KUNCI : Ambang kendali, Spodoptera exigua, bawang merah, dataran tinggi Economic Treshold of Pest Spodoptera exigua (Lepidoptera:Noctuidae) at highland shallot. Pest populations to determine the extent of damage, production and yield loss. What is the population of pests that could potentially cause economic losses to note. Studies have been conducted to know the extent of damage, production and yield loss. The ultimate goal is to determine the threshold value of pest control Spodoptera exigua. Research carried out in the field and at home wire. The intensity of the attacks and the production was observed in plots sprayed with insecticide and without insecticides. Completely Randomized Design (CRD) factorial experimental carried out in house wire. Infestation by 2, 3, and 4 larval instars 3 done when the plant was 15, 36, and 56 dap. The results showed that the level of damage and production in different fields is not real. The number of larvae at different investation influence of different yield loss. Pest control threshold value based on the injury economic level value was 0.41 (15 dap) and 0.81 (36 dap) third instar larvae per clump. KEY WORDS : Economic treshold, Spodoptera exigua, shallot, highland
2
PENDAHULUAN Petani memahami keberadaan hama S. exigua di pertanaman sebagai faktor penentu kegagalan usahatani. Tindakan pencegahan terhadap serangan ini dilakukan dengan penyemprotan berjadwal. Teknologi pengendalian hama seperti ini membutuhkan biaya cukup tinggi dan berdampak negatif terhadap kondisi lingkungan. Petani sudah menyadari dengan penyemprotan yang intensif pun keberadaan hama ini masih selalu ada dilapangan. Populasi hama menjadi berkurang dibanding tanpa penyemprotan. Analisa usahatani yang bersumber dari data wawancara dengan petani, sebesar 17,78% dari biaya produksi merupakan input yang diperuntukan untuk pembelian pestisida. Harga bawang merah di daerah Alahan Panjang dan sekitarnya berkisar antara Rp. 1.500-12.000/kg. Untuk kualitas terbaik dengan bentuk umbi yang besar harga jualnya antara Rp. 5.000 – 12.000/kg, sedangkan umbi bawang yang kecil berdiameter kurang dari 2,5 cm harganya berkisar antara Rp. 1.500-4.000/kg. Aspek sosial masyarakat tentang program penyemprotan berjadwal sudah menjadi kebiasaan yang beregenerasi. Kebiasaan didasarkan pada pengalaman para petani sebelumnya. Intensitas penyemprotan semakin meningkat pada saat cuaca berkabut yang dapat menyebabkan penyakit busuk daun. Pada musim penghujan, penyemprotan meningkat frekuensinya dua kali lipat dibanding musim kemarau. Nilai ambang kendali hama ini sebelumnya sudah diteliti oleh Moekasan (1994) dan Setiawati (1994). Moekasan menetapkannya berdasarkan tingkat kerusakan (intensitas) pada tingkat umur yang berbeda. Setiawati menetapkannya berdasarkan tingkat kehilangan hasil akibat investasi larva di rumah kaca. Keduanya melakukan penelitian pada komoditas yang berbeda dan di dataran rendah. Nilai ambang kendali bersifat spesifik lokasi dan spesifik komoditas. Penelitian serupa masih diperlukan dengan komoditas dan tempat yang berbeda. Ambang kendali hama S. exigua di dataran tinggi Alahan Panjang belum pernah dilaporkan sebelumnya. Perkembangan hama di dataran rendah berbeda dengan di dataran tinggi akibat pengaruh suhu yang berbeda. Akibat perkembangan hama yang berbeda, tingkat kerusakan pada tanaman juga akan berbeda. Tingkat kerusakan yang berbeda akan menyebabkan kehilangan hasil yang berbeda. Tingkat kehilangan hasil yang berbeda menyebabkan nilai ambang kendalinya juga berbeda. Oleh karenanya telah dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mempelajari tingkat kerusakan, produksi dan tingkat kehilangan hasil, serta menetapkan nilai ambang kendali hama S. exigua pada bawang merah varietas Medan di dataran tinggi. BAHAN DAN METODA Tempat dan Waktu Kegiatan penelitian telah dilaksanakan di Alahan Panjang dan di Rumah Kawat serta di Laboratorium Hama Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Andalas pada Bulan Oktober 2011 s.d Januari 2012. Metode Penelitian Penelitian dilaksanakan dengan metode percobaan lapangan dan di rumah kawat. Percobaan lapangan untuk mengetahui tingkat kerusakan dan pengaruhnya
3
terhadap produksi. Produksi diamati pada petak yang disemprot insektisida dan tanpa disemprot insektisida. Percobaan di rumah kawat untuk mengetahui nilai kehilangan hasil yang disebabkan oleh individu larva. 1. Percobaan lapangan [1]. Penyiapan lahan Lahan petani satu hamparan berukuran 300 m2 digunakan untuk eksperimen. 150 m2 lahan merupakan petak perlakuan disemprot insektisida dan 150 m2 sisanya tidak disemprot insektisida. Antara petak perlakuan dibatasi plastik hitam setinggi 75 cm. Gulma yang tumbuh di lubang tanam mulsa plastik hitam perak dibersihkan, kemudian lahan siap ditanami. [2]. Penanaman dan pemeliharaan Umbi bawang merah hasil panen sebelumnya dijadikan bibit setelah disimpan selama 1 bulan. Bibit ditanamkan 1 buah per lubang hingga permukaannya tertutup tanah. Penyiangan pertama dilakukan saat tanaman akan dipupuk. Pupuk kandang kotoran ayam diberikan 1 minggu setelah tanam. Pupuk anorganik seperti Ponska, Komplek Z, Masitam dan Boron diberikan saat tanaman berumur 16 hst. Penyemprotan dilakukan seminggu 2 kali menggunakan insektisida Profenofos yang dicampur fungisida Klorotanil Metalaxil. Penyemprotan dimulai umur 10 hari dan diakhiri pada umur 60 hari. [3]. Pengamatan – Tingkat Kerusakan Plot sampel permanen 1x1m diambil secara diagonal. Pada masing-masing petak terdapat 5 plot. Setiap plot terdiri dari 25 rumpun tanaman. Pengamatan dilakukan selama 5 kali yakni pada umur 15, 30, 45, 60, dan 65 hari setelah tanam. Pada setiap plot jumlah daun terserang dan jumlah rumpun terserang diamati. Skala serangan daun ditentukan berdasarkan jumlah bagian daun yang terserang. Indikator dan kriteria skala serangan sebagai berikut. Tabel 3. Indikator dan Kriteria Skala Serangan Hama S. exigua Indikator Serangan Kriteria Intensitas (bagian daun bergejala) 0 0% 1 <25% Rendah 2 >25-50% Sedang 3 >50-75% Tinggi 4 >75% Sangat Tinggi Sumber: Heryanto, dkk (2006) dimodifikasi Skala
Intensitas serangan dihitung menggunakan rumus Rivai ∑( ) (2006), yaitu = 100%, dimana ; I = Intensitas serangan; n = Jumlah serangan pada setiap kategori serangan; v = Harga numerik kategori serangan; Z = Harga numerik kategori serangan tertinggi; dan N = Jumlah tanaman yang diamati;
4
2.
– Produksi Rumpun pada plot saat panen masing-masing dimasukan pada amplop kertas dan diberi label. Sampel rumpun dipisahkan antara perlakuan dengan disemprot insektisida dan tanpa insektisida. Bobot basah dan bobot kering ditimbang menggunakan timbangan analitik. Bobot kering ditimbang setelah mengalami penyimpanan selama 15 hari pada suhu kamar. Percobaan di Rumah Kawat [1]. Rancangan Percobaan Percobaan faktorial mengkombinasikan jumlah larva dan umur tanaman saat investasi disusun secara acak lengkap. Terdapat 9 kombinasi perlakuan dan ditambah kontrol dengan ulangan sebanyak 3 kali. Jumlah larva instar 3 yang diinfestasikan per rumupun terdiri dari 2, 3, dan 4 larva. Umur tanaman saat infestasi didasarkan pada fase pertumbuhan yakni 15 hst (pertumbuhan vegetatif), 36 hst (pembentukan umbi), dan 56 hst (pematangan umbi). [2]. Penyiapan alat dan bahan Alat yang disiapkan meliputi: 1) alat budidaya (sekop/cangkul, ember); 2) alat sungkup tanaman (plastik, kain kasa, kayu); 3) alat investasi ulat (pinset/kuas); dan 4) alat pengamatan (ball point, log book). Bahan yang digunakan adalah bibit bawang merah, bibit bawang daun, polifag, tanah pupuk kandang dan larva S. exigua instar 3. [3]. Penanaman dan Pemeliharaan Media tanam berupa tanah dan pupuk kandang diisikan kedalam polibag ukuran volume 2 kg sebanyak 30 polibag. Bibit bawang merah varietas Medan ditanamkan ditengah-tengah polibag hingga permukaan benih tertutup tanah. Penyiraman dilakukan ketika tidak hujan setelah 2-3 hari. Penyiangan dan pemupukan dilakukan pada umur 21 hari setelah tanam. Dosis dan jenis pupuk disesuaikan dengan petani dilapangan. Pupuk Ponska 150 gr, Komplek Z 150 gr, Masitam 100 gr dan Boron 150 gr diberikan dengan cara dibenamkan di sekeliling tanaman. Setelah tanaman berumur 65 hst tanaman dipanen. [4]. Penyiapan Serangga Uji Sebanyak 4-5 kelompok telur yang dikumpulkan dari lapangan dipelihara dilaboratorium. Kelompok telur disimpan pada kotak plastik pemeliharaan. Setelah menetas diberi pakan daun bawang setiap hari. Setelah menjadi instar 3 (5-6 hari setelah menetas) serangga uji siap untuk diinvestasikan. [5]. Perlakuan Infestasi Investasi larva pada tanaman menggunakan pinset/koas 1 cm yang telah dibasahi pada rumpun tanaman. Tanaman yang telah diinvestasi larva diberi sungkup plastik agar larva tidak berpindah selama percobaan berlangsung hingga panen. Hingga umur 1 minggu setelah investasi tanaman tidak disiram untuk mengurangi resiko kematian larva yang diinfestasikan. Pada saat infestasi pertama semua tanaman sampel diberi sungkup. [6]. Pengamatan
5
– Intensitas serangan Intensitas serangan diamati mulai satu minggu setelah perlakuan dan diulang seminggu sekali. Intensitas serangan dihitung menggunakan rumus Heryanto, dkk 2006 dan Rivai 2006 (Tabel 3). Pengamatan dilakukan hingga tanaman dipanen. – Produksi dan nilai kehilangan hasil Rumpun tanaman ditimbang bobotnya pada saat panen dan berat keringnya setelah disimpan 15 hari. Nilai kehilangan hasil dihitung dengan rumus berat kontrol dikurangi berat perlakuan, dibagi dengan berat kontrol dan dikalikan seratus persen. Analisis Data Produksi lapangan antara dua perlakuan dianalisis uji t. Hubungan intensitas serangan dan produksi pada dua perlakuan dianalisis uji korelasi. Perbedaan perlakuan kombinasi jumlah larva dengan umur tanaman dalam menyebabkan kehilangan hasil dianalisis sidik ragam LSD. Untuk melihat nilai kehilangan hasil per larva dianalisis uji regresi linear. Nilai ambang kendali ditentukan berdasarkan pada ketentuan yakni 75% dari nilai aras luka ekonomi (Untung, 2006). HASIL PENELITIAN Tingkat Kerusakan Tanaman Tanaman bawang merah pada perlakuan dengan insektisida sudah mulai terserang larva sejak berumur 15 hst. Rata-rata prosentase tanaman dan jumlah daun terserang 0,09% dan 0,69%. Berbeda denga perlakuan tanpa insektisida yang mulai teserang pada pengamatan 30 hst dengan rata-rata prosentase tanaman dan jumlah daun terserang mencapai 98,68% dan 23,52%. Di umur 30 hst ini perlakuan dengan insektisida presentasi jumlah daun terserang lebih rendah hanya mencapai 3,54%. Intensitas serangan menunjukan pola yang sama dengan prosentase tanaman terserang dan prosentase jumlah daun terserang. Pada perlakuan dengan insektisida intensitas serangan terus meningkat setiap periode pengamatan. Penurunan jumlah daun terserang di umur 45 hst pada perlakuan tanpa insektisida menyebabkan intensitas serangan menurun. Intensitas serangan dengan infestasi 4 larva di umur 15 hst rata-rata mencapai 86,11% pada umur 1 minggu setelah infestasi (msi). Selanjutnya tanaman mati pada pengamatan umur 2 msi. Infestasi pada 36 dan 56 hst masingmasing mencapai 12,71% dan 45,19%. Pada umur 1 msi larva masih lengkap sesuai perlakuan pada rumpun tanaman. Dua minggu setelah infestasi larva tidak ditemukan lagi di rumpun tanaman. Pada tanaman yang terserang ringan, intensitas serangan menjadi nol di 2 msi. Diduga hama sudah mencapai fase pupa dan tanaman telah membentuk daun baru. Pertumbuhan jumlah daun di lapangan lebih tinggi dibanding di rumah kawat. Pada saat infestasi di rumah kawat jumlah daun umur 15, 36, dan 56 hst masing-masing rata-ratanya hanya mencapai 13,33, 27,67, dan 23,33 helai. Hubungan intensitas serangan yang terjadi di lapangan dengan produksi pada perlakuan dengan insektisida dan tanpa insektisida tidak signifikan (p=0,70 dan 0,37). Nilai koefisien korelasinya menunjukkan nilai negatif (r= -0,23 dan -0,51). Intensitas serangan di rumah kawat hubungannya dengan produksi
6
tertinggi ditunjukan pada umur tanaman saat investasi 36 hst (r=-0.88 p=0.00). Pada investasi umur 15 hst tingkat hubungan antara intensitas serangan dengan produksi tergolong sedang (r=-0,72 p=0,02). Pada umur 56 hst hubungannya tergolong rendah (r=-0,57 p=0,11). Produksi dan Kehilangan Hasil Jumlah umbi rata-rata pada perlakuan dengan disemprot insektisida dan tanpa insektisida masing-masing 9,15 dan 9,42 buah. Jumlah umbi lebih banyak pada perlakuan tanpa insektisida diduga sebagai bentuk kompensasi peningkatan jumlah daun. Produksi basah per meter persegi pada perlakuan dengan insektisida dan tanpa insektisida rata-rata 1,56 kg dan 1,73 kg. Tingginya intensitas serangan di umur 30 hst dikompensasi oleh tanaman dengan meningkatkan pertumbuhan daun. Pertumbuhan daun yang tinggi diduga menyebabkan jumlah umbi yang lebih tinggi sehingga produksi lebih tinggi. Nilai penyusutan berat basah setelah dikeringkan lebih tinggi pada perlakuan tanpa insektisida 32,37%, sementara pada perlakuan dengan insektisida sebesar 26,11%. Jumlah larva yang diinvestasikan pada umur tanaman yang berbeda berpengaruh berbeda juga terhadap kehilangan hasil. Kehilangan hasil akibat infestasi larva berkisar rata-rata antara 21,93% hingga 100%. Setelah data dianalisis menggunakan uji LSD All-Pairwise Comparisons menunjukkan bahwa terdapat dua kelompok pengaruh jumlah larva (A dan B) dan tiga kelompok pengaruh umur tanaman (a, b, c). Untuk melihat jumlah unit kehilangan hasil setiap satu larva dianalisis regresi pada setiap umur tanaman. Dari tiga umur tanaman yang dianalisis regresi linear, unit kehilangan hasil di umur 15 dan 36 hst tergolong sangat signifikan dan cukup signifikan (R2=0,99 dan 0,50). Umur tanaman 56 hst tergolong kurang signifikan dengan nilai R2 0,02 sehingga diabaikan. Diperoleh persamaan regresi masing-masing umur tanaman 15 dan 36 hst yakni Y=-16,73x+51,13 dan Y=-8,13x + 51,72 (Y=kehilangan hasil, x=populasi larva). Dari persamaan regresi ini dapat dinyatakan unit kehilangan hasil per individu larva pada umur 15 dan 36 hst adalah 16,73 dan 8,13 gram per rumpun. Ambang kendali hama Dalam satu musim tanam, jumlah biaya pengendalian yang dikeluarkan petani untuk 300 m2 sebesar Rp. 404.000,- (Lampiran 5). Harga jual bawang setelah melalui proses pengeringan 15 hari mencapai Rp. 6.000. Nilai kehilangan hasil untuk 300 m2 adalah 16,73 gram x7500 rumpun = 125,63 kg (15 hst) dan 8,13 gram x7500 rumpun= 60,98 kg (36 hst). Nilai ambang pendapatan sebesar 67,33 kg, diperoleh dari perbandingan biaya pengendalian dan harga jual (404.000 ÷ 6.000). Berdasar pada nilai ambang pendapatan dan nilai kehilangan hasil maka nilai ALE pada umur 15 hst adalah 67,33÷125,63=0,54 larva per rumpun. Pada umur 36 hst diperoleh nilai ALE 67,33÷60,98= 1,10 larva per rumpun. Ambang kendali hama dapat ditentukan berdasarkan nilai ALE. Untuk pendugaan konservatif terhadap pengaruh dinamika populasi hama ditetapkan ambang kendali ¾ atau 75% dari nilai ALE, sehingga diperoleh nilai ambang kendali 0,41 (15 hst) dan 0,83 (36 hst).
7
PEMBAHASAN Petak perlakuan dengan insektisida terletak berdampingan dengan petak bawang merah umur 55 hst pada saat penanaman. Hal ini diduga sebagai penyebab petak ini cepat terserang larva diumur 15 hst. Imago yang muncul dari petak tersebut langsung meletakan telur di awal-awal pertumbuhan pada petak dengan insektisida sehingga pada umur 15 hst sudah ditemukan instar 1-3 yang menyerang. Jumlah telur yang melimpah pada umur 15 hst menyebabkan jumlah tanaman terserang pada perlakuan tanpa insektisida di umur 30 hst meningkat tajam. Penurunan intensitas serangan di umur 45 hst pada perlakuan ini terjadi karena proses perkembangan jumlah daun yang meningkat rata-rata mencapai 5,49 daun per rumpun. Tingkat kerusakan pada perlakuan dengan insektisida dan tanpa insektisida di lapangan berkorelasi tidak signifikan (p=0,70 dan 0,38). Hasil analisis regresi pengaruh tingkat kerusakan yang terjadi terhadap produksi tidak signifikan. Nilai pengurangan hasil dari setiap prosen kenaikan tingkat kerusakan sangat rendah. Pada perlakuan dengan insektisida sebesar 0,35 gram per rumpun setiap 1% kerusakan (Y=63,59-0,35x). Pada perlakuan tanpa insektisida sebesar 2,01 gram per rumpun setiap 1% kerusakan (Y= 84,23 -2,01x). Hal ini menunjukkan bahwa tanaman sudah mampu mentolerir tingkat kerusakan yang terjadi di lapangan. Seperti pendapat Mattson (1980) cit Reflinaldon (1997) bahwa akibat jaringan hilang karena rusak oleh serangan hama, tanaman dapat meningkatkan pertumbuhan jaringan baru yang sangat cepat karena kandungan protein yang tersedia pada tanaman sangat tinggi. Pada penelitian ini terbukti bahwa jumlah daun pada perlakuan dengan insektisida dan tanpa insektisida mengalami peningkatan. Populasi larva yang tergolong rendah hingga umur 45 hst (maksimal 1,13 dan 1,70 per rumpun) dan didominasi oleh larva instar 1-3 (85,95 dan 81,84%) hanya menyebabkan kerusakan <15%. Tingkat kerusakan yang rendah hingga umur 45 hst ini tidak berpengaruh signifikan terhadap produksi karena jumlah daun yang terbentuk sudah maksimal dan umbi pun sudah memasuki tahap pembesaran saja. Pada umur ini sebagian kecil tanaman sudah mengeluarkan bunga. Meskipun pertumbuhan daun terhenti pada umur ini (Kato 1963b cit Reflinaldon 1997) jumlah daun yang mencapai rata-rata 32,42 menyebabkan tingkat kerusakan yang terjadi tidak begitu berdampak. Kondisi daun yang sudah mulai menua sementara larva masih didominasi oleh instar 1-3 menyebabkan kerusakan yang terjadi rendah. Kato (1963a) cit Reflinaldon (1997) juga menyatakan bahwa kerusakan daun akan berdampak signifikan terhadap pembentukan umbi ketika kerusakan terjadi pada fase awal pembentukan umbi. Oleh karenanya kerusakan yang rendah pada umur 45 hst tidak begitu berdampak pada pembesaran umbi dan produksi. Berbeda dengan perlakuan di rumah kawat, tingkat kerusakan berpengaruh signifikan terhadap produksi yang dihasilkan. Larva yang diinfestasikan pada umur 15 hst menyebabkan kerusakan yang terjadi pun sangat tinggi. Hal ini karena perkembangan daun yang belum maksimal, sementara larva yang diinvestasikan merupakan larva instar 3. Tingkat kerusakan yang tinggi berpengaruh signifikan terhadap penurunan hasil yang tinggi pula. Investasi larva pada umur 36 tingkat kerusakan relatif rendah. Selain karena daun yang sudah berkembang optimal, kerusakan juga dapat dikompensasi dengan pertumbuhan
8
daun baru. Pada investasi umur 56 hst kerusakan yang terjadi sangat rendah. Hal ini dikarenakan perkembangan daun sudah maksimal sehingga daun tanaman tidak habis semua. Kondisi fenologi tanaman ketika diinfestasikan larva berpengaruh terhadap kompensasi yang mampu diberikan kepada kerusakan yang disebabkan oleh hama. Hal ini seperti terjadi pada hasil penelitian Reflinaldon (1997) dan Pasaru (1997). Kepadatan telur yang berbeda ketika diinfestasikan pada umur tanaman yang berbeda menunjukkan tingkat kerusakan yang lebih tinggi pada umur tanaman muda. Hasil analisis uji t, perbedaan produksi dua perlakuan tidak nyata baik bobot basah (P=0,19) maupun bobot kering (0,95). Tingkat kerusakan yang lebih tinggi karena hama yang lebih melimpah pada perlakuan tanpa insektisida tidak berpengaruh signifikan terhadap produksi. Hal ini diduga karena intensitas serangan hingga umur 45 hst di dua perlakuan masih tergolong rendah. Intensitas masing-masing hanya mencapai 2,76 dan 7,47%. Intensitas mencapai 100% pada umur 60 dan 65 hst terjadi karena penyemprotan dihentikan sebelum pengamatan diumur 60 hst. Insektisida yang diberikan tidak mampu menghilangkan hama dipertanaman. Akibatnya kerusakan pada tanaman masih terjadi, dan pada akhir pengamatan tingkat kerusakan sama-sama mencapai 100%. Tingkat kerusakan yang berbeda tidak nyata menyebabkan produksi yang dihasilkan juga berbeda tidak nyata. Laporan BPTP Sumbar (2009), potensi produksi komoditas ini adalah 12,08 ton/hektar. Produksi petak yang disemprot insektisida dan tanpa insektisida setelah dikonversikan masing-masing 11,63 dan 11,66 ton/hektar. Kehilangan hasil pada dua perlakuan ini masing-masing hanya 0,45 dan 0,42 ton/hektar. Semua tanaman yang diinfestasikan larva produksinya lebih rendah dibanding kontrol. Peningkatan jumlah larva yang diinfestasikan menyebabkan peningkatan jumlah kehilangan hasil yang terjadi. Signifikasi tertinggi pada umur tanaman 15 hst dikarenakan kondisi tanaman masih kecil, sehingga semakin banyak larva yang diinvestasikan jumlah daun yang habis semakin tinggi dan akhirnya tanaman mati. Pada umur 36 dan 56 hst, jumlah daun sudah berkembang lebih banyak (rata-rata 27,67 dan 23,33) sehingga peningkatan jumlah larva yang diinfestasikan pengaruhnya terhadap kehilangan hasil tidak begitu signifikan. Sesuai pendapat untung (2006), kepekaan tanaman terhadap luka akan berbeda pada setiap fase pertumbuhan tanaman sehingga akan memberikan tingkat kerusakan yang berbeda. Perhitungan ambang kendali yang dicontohkan Untung (2006), didasarkan pada nilai ambang pendapatan. Dua faktor yang sangat berpengaruh adalah harga jual dan biaya pengendalian. Efektifitas pengendalian diasumsikan 100% sehingga dengan biaya yang digunakan populasi hama dapat dihilangkan dilapangan. Persamaan regresi digunakan sebagai dasar menetapkan jumlah tingkat kehilangan hasil per individu larva. Beberapa kasus yang dicontohkan Untung (2006) menggunakan regresi linear. Umur 56 hst memiliki nilai R2 dan P yang rendah. Jika mengacu pada hasil regresi linear 56 hst 1 larva hanya mampu menyebabkan kehilangan hasil sebesar 0,54 gram per rumpun. Dari data ini diperoleh nilai ambang kendali yang cukup tinggi yakni 12,47. Nilai ambang ekonomi yang tinggi pada umur 56 hst ini diduga sebagai akibat pertumbuhan tanaman baik umbi maupun daun yang sudah maksimal. Selain daun tidak habis selama stadium larva dari instar 3-6, perkembangan umbi yang sudah maksimal tidak terpengaruhi bobotnya.
9
Hasil analisis regresi linear antara jumlah larva dengan prosentase intensitas serangan di rumah kawat adalah Y=54,51-36,77x [15 hst], Y=10,685,73x [36 hst]. Moekasan (1994), menetapkan ambang kendali pada umur 1-2 minggu 10% kerusakan, umur 3-4 minggu 5%, umur 5-6 minggu 2,5-5% dan umur 7 minggu 10%. Dari nilai intensitas serangan di rumah kawat (Tabel 4) maka ambang kendali dapat ditetapkan yakni 5%÷36,77= 0,13 larva (15 hst/ 3-4 mg) dan 5%÷5,73= 0,17 larva (36 hst/ 5-6 mg). Kegiatan penelitian Rosmahani (2003) yang melakukan tindakan pengendalian hama ini dengan menetapkan ambang kendali 3-5% kerusakan di awal pertumbuhan maka nilai ambang kendali yang diperoleh dari hasil penelitian ini adalah 5%÷36,77= 0,13 larva (15 hst). Setiawati (1994) yang menetapkan nilai ambang kendali berdasarkan kehilangan hasil sebesar 32%. Dari nilai persamaan regresi kehilangan hasil yang diperoleh maka dapat ditetapkan nilai ambang kendali yakni 32%÷16,73=1,91 larva (15 hst), 32%÷8,13= 3,94 larva (36 hst) Perbedaan patokan dasar perhitungan ambang kendali merupakan ciri khas ambang kendali yang bersifat spesifik lokasi dan komoditas. Perbedaan jenis bibit dan kondisi agroekosistem menyebabkan nilai ambang kendali akan berbeda. Jenis bibit mempengaruhi toleransi tanaman terhadap tingkat kerusakan. Hasil penelitian Reflinaldon (1997), melaporkan bahwa varietas filipina lebih toleran terhadap hama ini karena memiliki jumlah daun yang lebih banyak dibandingkan varietas timor. Toleransi ditunjukan dengan intensitas serangan yang lebih rendah pada kepadatan investasi telur yang sama. Pada varietas filipina ini, penurunan produksi terlihat pada kepadatan kelompok telur 7 kelompok telur/30 rumpun. Pada varietas bima hasil penelitian Pasaru (1997) tingkat kehilangan hasil sudah terjadi sejak investasi 1 kelompok telur per 16 rumpun dan menyebabkan kehilangan hasil sebesar 18,51%. Hasil penelitian Baswarsiati, dkk (1997) juga menunjukkan bahwa dari beberapa varietas bawang merah varietas sumenep menunjukkan tingkat ketahanan yang lebih tinggi terhadap S. exigua. Keragaman agroekosistem menyababkan perbedaan waktu yang diperlukan oleh hama menimbulkan besarnya tingkat kerusakan pada tanaman. pada suhu yang tinggi perkembangan hama akan cepat dan aktifitas makan pun meningkat. Hal ini menyebabkan waktu menyebabkan tingkat kerusakan yang tinggi cukup pendek. 4.2.
Kesimpulan Tingkat kerusakan pada petak yang disemprot insektisida dan tanpa insektisida berbeda tidak nyata. Perbedaan yang tidak nyata ini menyebabkan produksi antara dua perlakuan berbeda tidak nyata. Perbedaan investasi larva pada umur yang berbeda menyebabkan tingkat kehilangan hasil yang berbeda. Satu larva yang diinvestasikan pada umur 15 hst mampu menyebabkan kehilangan hasil yang lebih tinggi 16,73 gram/rumpun. Semakin tua umur tanaman, tingkat kehilangan hasil akibat investasi larva semakin rendah. Ambang kendali hama S. exigua pada bawang merah varietas medan yang dibudidayakan di dataran tinggi adalah 0,41 (15 hst), dan 0,83 (36 hst) larva instar 3 per rumpun.
10
DAFTAR PUSTAKA
Baswarsiati, Rosmahani, L., Korlina, E., Kusumainderawati. E.P., Rachmawati, D., Sa’adah, S.Z. 1994. Adaptasi Beberapa Varietas Bawang Merah di Luar Musim. [Prosiding Seminar hasil penelitian dan pengkajian Komoditas Unggulan]. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Karangploso p.210-255 BPTP Sumbar. 2009. Adaptasi Varietas Bawang Merah Di Lahan Sawah Dataran Rendah. [http://sumbar.litbang.deptan.go.id/ind/index.php/component/ content/article/1-info-teknologi/204-pengujian-adaptasi-varietas-bawangmerah-di-dataran-rendah-sumatera-barat] [diakses tanggal 12 Mei 2010] Heryanto, H. M. Sarjan, dan Irwan Muthahanas. 2006. Pemanfaatan Insektisida Nabati untuk Mengendalikan Hama Tanaman Tomat yang Dibudidayakan Secara Organik. Jurnal Universitas Mataram 130-137 Moekasan T.K 1994. Pengujian Ambang Pengendalian Spodoptera exigua berdasarkan umur tanaman dan intensitas kerusakan tanaman bawang merah di dataran rendah. [Prosiding Seminar Hasil penelitian Pendukung Pengendalian Hama Terpadu Lembang 27-28 Januari 1994]. Balithort Lembang p.153-168. Pasaru, F. 1997. Perkembangan Populasi Spodoptera exigua Hubner (Lepidoptera:Noctuidae) dan Hubungannya dengan Kerusakan Daun dan Kehilangan Hasil Pada Tanaman Bawang Merah (Allium ascalonicum Linn) di Lembah Palu. [Tesis]. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Rauf A. 1999. Dinamika Populasi Hama Spodoptera exigua (Hubner) (Lepidoptera:Noctudae) pada Pertanaman Bawang Merah di Dataran Rendah. Buletin Hama dan Penyakit Tumbuhan. IPB Bogor 11 (2):39-47 Reflinaldon. 1997. Pengaruh Infestasi Spodoptera exigua Hubner (Lepidoptera : Noctuidae) Terhadap Kehilangan Hasil Pada Tanaman Bawang Merah Varietas Timor dan Filipina. [Tesis]. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Rivai, F. 2006. Kehilangan Hasil Akibat Penyakit Tanaman. Andalas Universiti Press. 281 hal Rosmahani, L. [2003]. Penerapan Pengendalian Hama Terpadu pada Bawang Merah Tanam Diluar Musim. Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian ISSN 1410-8976 2003 v. 6 p. 121-132 Setiawati, W. 1994. Kerusakan dan Kehilangan Hasil Bawang Merah Akibat Serangan Ulat Perusak Daun (Spodoptera exigua Hubn). [Prosiding seminar Ilmiah Nasional Komoditas Sayuran Lembang 24 Oktober 1995]. Balitsa p.418-425. Untung, K. 2006. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu (Edisi Kedua). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
11
Tabel 1. Rata-rata intensitas serangan umur 1 msi dan jumlah daun saat infestasi dengan jumlah larva dan umur tanaman yang berbeda Jumlah larva 2 3 4
Intensitas Serangan (%) 36 hst 1,26 5,52 12,71
15 hst 12,57 68,73 86,11
56 hst 7,06 14,46 45,19
Tabel 2. Jumlah umbi, bobot hasil panen dan bobot kering bawang merah (gram) pada perlakuan dengan insektisida dan tanpa insektisida Dengan Insektisida Jumlah Umbi Berat Umbi
Plot Sampel 1 2 3 4 5 Rerata
8,60 10,08 10,56 8,80 7,72 9,15
Tanpa Insektisida Jumlah Umbi Berat Umbi
1179,49 1104,88 1177,01 1160,83 1191,50 1162,74
9,56 9,80 9,72 8,08 9,92 9,42
1160,71 961,26 1310,86 1157,09 1238,73 1165,73
Tabel 3. Tingkat kehilangan (%) hasil berdasarkan jumlah larva yang diinvestasikan pada umur yang berbeda Jumlah larva
Umur Tanaman 15 36 56 2 43,92Aab 36,20Aa 22,70Aa 3 80,30Abc 21,93Bb 27,56Ba 4 100,00Ac 30,86Bab 34,01Bab Angka yang diikuti oleh huruf besar yang sama pada baris yang sama dan huruf kecil yang sama pada kolom yang sama berbeda tidak nyata hasil uji LSD pada taraf nyata 5% 120
[a]
80
80
%
100
%
[b]
120
100 60
60
40
40
20
20 0
0 0
15
30 45 Umur Tanaman (hst)
% Tanaman Terserang
Gambar 1.
60
% Intensitas Serangan
0
15
30
45
60
Umur Tanaman (hst) % Tanaman Terserang
% Intensitas Serangan
Perkembangan kerusakan tanaman (prosentase tanaman dan intensitas serangan). Perlakuan dengan insektisida [a] dan tanpa insektisida [b]
12
40
[a]
jumlah daun (helai)
35
40
33,42 28,52
30
[b]
35 23,84
25
27,67
30
23,33
25 16,25
20
20
15
15
10
10
5
5
0
13,33
0 0
10
20
30
40
50
60
0
10
20
30
40
50
60
Umur Tanaman (hst)
Gambar 2.
Pertumbuhan jumlah daun (helai) tanaman sampel. Di lapangan [a] dan di rumah kawat [b]
13
ARTIKEL AMBANG KENDALI HAMA Spodoptera exigua (LEPIDOPTERA : NOCTUIDAE] PADA BAWANG MERAH DI DATARAN TINGGI
OLEH RUDI HARTONO BP. 1021205002
PROGRAM STUDI HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN PASCASARJANA UNIVERSITAS ANDALAS 2012