PENGKAJIAN USAHA TERNAK SAPI MELALUI PERBAIKAN MANAJEMEN PEMELIHARAAN DI KABUPATEN TTU Amirudin Pohan dan Sophia Ratnawati Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) NTT ABSTRAK Suatu pengkajian Perbaikan produktifitas sapi serta penyediaan sapi bibit dan bakalan menunjang agribisnis sapi potong di Pulau Timor dan Sumba telah dilakukan pada tahun 2005. Lokasi pengkajian dilaksanakan di Desa Usapinonot Kec, Insana Kab. TTU. Tujuan dari pada pengkajian adalah meningkatkan produktivitas ternak sapi Bali melalui perbaikan pakan dan manajemen perkawinan untuk mendapatkan ternak bibit dan bakalan yang berkualitas. Materi pengkajian terdiri dari 96 sapi Bali induk, 1 ekor pejantan sebagai pemacek dan 35 ekor anak sapi yg lahir pada kurun waktu tahun 2005 dan 22 ekor sapi jantan hasil kandang komunal untuk usaha penggemukan. Introduksi teknologi meliputi kandang kolektif dan kandang pemacek, pejantan yang selalu siap sebagai pemacek, flushing pada induk bunting dan periode menyusui , pemisahan anak dari induk berumur 3-5 bulan dan pemberian silase pada jantan penggemukkan. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa : a). Perkembangan jumlah anak yang lahir antara tahun 2004 dengan tahun 2005 sebesar 28,5 %. b). Jumlah anak sapi yang terseleksi untuk sapi bibit betina sebesar 21 ekor dan bibit pejantan sebanyak 2 ekor sedangkan jumlah anak sapi bakalan sebayak 20 ekor , c). Terjadi penurunan angka mortalitas anak sebesar 5,8 %, dan d).Pertambahan bobot badan harian ternak tertinggi diperoleh pada perlakuan silase + bioplus (0,57 kg/ekor/hari) diikuti oleh perlakuan bioplus (0,46 kg/ekor/hari), silase (0,38 kg/ekor/hari) dan terendah pada kontril (0,15 kg/ekor/hari). Kata Kunci : Usaha ternak, manajemen pemeliharaan, produktivitas
PENDAHULUAN Latar Belakang. Walaupun pemeliharaan ternak sapi di daerah NTT baru mulai dikenal pada awal abad ke 20, ternyata usaha peternakan ini mempunyai prospek yang cukup menggembirakan. Sampai tahun 1980-an populasi sapi berkembang dengan cepat, data terakhir menyatakan populasi ternak sapi Bali di NTT berjumlah lebih dari 700.000 ekor (Anonim., 1998) sehingga NTT telah menjadi pemasok penting sapi potong dan bibit bagi daerah lainnya di Indonesia. Namun dalam sensus ternak tahun 2000, ternyata populasi sapi Bali di NTT hanya sekitar 500.000 ekor dan 50.000 ekor sapi Ongole di Pulau Sumba. Dari jumlah tersebut, 85 % sapi Bali tersebar di Pulau Timor dan Pulau Sumba (Anonim.,1990; Bamualim, 1991). Setiap tahun sebanyak 60.000-80.000 ekor sapi Bali yang terjual ke luar NTT dan menyumbang sekitar 12 % dari pendapatan daerah. Penjualan ternak sapi potong memberikan sumbangan penting bagi pendapatan dan sebagai penyangga perekonomian rakyat di pedesaan. Pada umumnya, sistem pemeliharaan ternak sapi mengandalkan sumber pakan ternak dari rumput alam di lahan penggembalaan dengan biaya produksi yang relatif murah dan penggunaan tenaga yang minim. Produktivitas ternak sapi dengan sistem ini, berfluktuasi mengikuti musim (Wirdahayati, 1994). Pada musim hujan produksi hijauan melimpah, ternak mengalami peningkatan bobot badan. Sebaliknya di musim kemarau, produksi dan kualitas hijauan menurun dengan tajam, sehingga terjadi kehilangan bobot badan dimana penurunannya dapat mencapai 20-25 % dari berat badannya pada musim hujan (Bamualim, 1994 ). Oleh karena itu pertumbuhan ternak di lahan NTT mengikuti pola seperti mata gergaji (saw tooth pattern).
Petani juga mengusahakan penggemukan sapi jantan untuk diantar-pulaukan sebagai ternak potong. Sistem penggemukan dilakukan dengan pengandangan ternak atau diikat pindah di bawah pohon (Bamualim et al., 1996; Bustami et al., 1997) dengan memberikan hijauan lamtoro sebagai pakan dasar. Lamanya pemeliharaan biasanya berlangsung sampai 1-2 tahun sebelum dijual. Masalah Pengembangan Peternakan di NTT Tingkat Produktivitas ternak sapi yang dipelihara secara ekstensif relatif rendah dan berfluktuasi mengikuti musim. Selama musim hujan kualitas pakan meningkat dan sebaliknya pada musim kemarau, kandungan protein dan mineral pada rumput terjadi penurunan dan Serat Kasar (SK) meningkat. Akibat fenomena ini maka terjadi penurunan bobot badan ternak yang sangat ekstrim hingga mencapai 20 % dari bobot optimal pada musim hujan. Kecenderungan penurunan standar berat badan yang diantar-pulaukan juga dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain : (i). Petani cenderung menjual ternak jantan yang mempunyai pertumbuhan tinggi, sehingga terjadi kelangkaan ternak jantan bermutu sebagai pemacek. (ii). Semakin berkurangnya populasi ternak betina produktif yang mampunyai Calving interval (CI) satu tahun, (iii). Ketersediaan pakan yang terbatas pada musim kemarau, akibatnya ferlilitas menurun, dan (iv). Pola kelahiran anak yang cenderung terkonsentrasi pada musim kemarau (bulan April – Oktober dengan puncaknya di bulan Juli). Upaya Pemecahan Masalah Perbaikan usaha peternakan diarahkan kepada dua aspek yaitu : (i) menghasilkan ternak yang bermutu / unggul, dan (ii) dapat memenuhi kebutuhan pasar secara berkelanjutan. Aspek pertama akan terwujud melalui seleksi jantan dan induk serta ketersediaan pakan yang kontinyu sepanjang tahun. Aspek kedua akan terwujud apabila dapat menghasilkan ternak bakalan yang bermutu untuk digemukkan serta ternak bibit yang mempunyai fertilitas tinggi. Dasar Pertimbangan. Tingkat Produktivitas ternak sapi yang dipelihara secara ekstensif relatif rendah dan berfluktuasi mengikuti musim. Selama musim hujan kualitas pakan meningkat dan sebaliknya pada musim kemarau, kandungan protein dan mineral pada rumput terjadi penurunan dan Serat Kasar (SK) meningkat. Akibat fenomena ini maka terjadi penurunan bobot badan ternak yang sangat ekstrim hingga mencapai 20 % dari bobot optimal pada musim hujan. Kecenderungan penurunan standar berat badan yang diantar-pulaukan juga dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain : (i). Petani cenderung menjual ternak jantan yang mempunyai pertumbuhan tinggi, sehingga terjadi kelangkaan ternak jantan bermutu sebagai pemacek. (ii). Semakin berkurangnya populasi ternak betina produktif yang mampunyai CI satu tahun, (iii). Ketersediaan pakan yang terbatas pada musim kemarau, akibatnya ferlilitas menurun, dan (iv). Pola kelahiran anak yang cenderung terkonsentrasi pada musim kemarau (bulan April – Oktober dengan puncaknya di bulan Juli) Perbaikan usaha peternakan diarahkan kepada dua aspek yaitu : (i) menghasilkan ternak yang bermutu/unggul, dan (ii) dapat memenuhi kebutuhan pasar secara berkelanjutan. Aspek pertama akan terwujud melalui seleksi jantan dan induk serta ketersediaan pakan yang kontinyu sepanjang tahun. Aspek kedua akan terwujud apabila dapat menghasilkan ternak bakalan yang bermutu untuk digemukkan serta ternak bibit yang mempunyai fertilitas tinggi. Tujuan kegiatan ini antara lain menyediakan sapi bibit dan sapi bakalan melalui perbaikan produktivitas dan memperkecil angka kematian anak sapi melalui perbaikan manajemen pemeliharaan
METODOLOGI PENGKAJIAN Kerangka pemikiran.
Terdapat beberapa faktor yang sangat berperan terhadap menurunnya performans sapi Bali NTT. Adapun faktor-faktor itu antara lain : 1). Inbreeding yang disebabkan oleh terjadi perkawinan antar kerabat dekat dalam satu rumpun pemilikan, 2) Seleksi negatif yang terjadi secara tak disadarai, dimana ternak-ternak yang berkualitas baik menjadi prioritas untuk diperdagangkan keluar pulau , 3) Tingkat pemotongan induk bunting produktif yang cukup tinggi (diatas 70 %) terjadi tempat-tempat Rumah Potong Hewan (RPH), 4). Masih rendahnya aplikasi penerapan teknologi pengawetan pakan seperti Hay dan silase oleh patani sehingga permasalahan pakan masih merupakan persoalan krusial yang dihadapi petani setiap tahun, 5) Tingginya angka kematian induk dan anak akibat waktu kelahiran yang kurang tepat, dimana sebagian besar proses kelahiran sapi Bali terjadi pada musim kemarau. Penanganan Pola kelahiran sapi pada musim kemarau harus mendapat prioritas dalam hal perbaikan kondisi induk periode laktasi dengan pengaturan keseimbangan pakan yang tepat. Selain itu perlu dilakukan penyapihan dini dan seleksi pada anak sapi agar mempercepat siklus aktivitas reproduksi dari sapi induk. Lokasi dan waktu Kegiatan ini dilaksanankan pada desa Usapi nonot sejak tahun 2003 sampai dengan 2005 Pengkajian dipetani dilakukan di desa Usapinonot , Kecamatan Insana, Kabupaten Timor Tengah Utara melibatkan anggota kelompok tani dengan jumlah ternak lebih kurang 60 ekor sapi betina produktif. Teknologi yang akan diadopsikan pada petani meliputi : 1. Pemeliharaan dalam kandang kelompok 2. Pemisahan anak umur 3 bulan 3. Pengenalan cara pembuatan silase 4. Flushing pada induk dan anak umur postpartum 0 sampai 3 bulan. 5. Introduksi pejantan unggul sapi Bali sebagai pemacek.
USAHA TERNAK SAPI MELALUI PERMBAIKAN MANAJEMEN PEMELIHARAAN DI KAB TTU PERMASALAHAN 1). Calving Interval Panjang (diatas 12 bulan) 2). Mortalitas anak dibawah umur 3 bulan tinggi ( 30 %), 3). Ketersediaan pejantan di padang penggembalaan tidak seimbang dengan betinaproduktif ( 1 : 20 ekor) 4). Semakin sulit ditemukan ternak bakalan dan bibit yang mempunyai performans baik 5). Periode Penggemukan di atas 1,5 tahun
KONSEP PEMECAHAN MASALAH
Seleksi induk dan pejantan
Perberdayaan kelompok tani
Ketersediaan pakan pada musim kemarau
PENDEKATAN
Penerapan kandang Kelompok Pemisahan anak umur 3 bulan Introduksi pejantan unggul Pembuatan silase LUARAN Pemeliharaan secara berkelompok Produktivitas Induk dan anak sapi yang optimum Prosentase Kebuntingan setiap tahun diatas 75 % Ternak sapi bakalan dan bibit Gambar 1. Alur pikir pemecahan masalah peternakan. Parameter yang di ukur : 1. Bobot lahir anak 2. Bobot umur 3 bulan 3. Bobot umur 6 bulan 4. Bobot umur 1 tahun 5. Pbbh induk dan anak serta jantan penggemukan (gr/ek/hr) 6. Angka kematian ternak Analisis Statistik : Data parameter teknis yang terkumpul dikelompokkan berdasarkan status ternak, kemudian dilakukan tabulasi dan analisis diskriptif. Untuk membandingkan antara kegiatan yang dilakukan oleh petani kooperator dengan non kooperator dilakukan uji T (T-student). HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan populasi anak sapi pada kandang komunal kelompok tani Nekmese.
Gambar 1. Alur Pengkajian Manajemen Perkawinan Induk.
Hasil yang telah dicapai pada tahun sebelumnya yaitu pada tahun 2004, menunjukkan bahwa jumlah anak jantan yang lahir pada kandang komunal sebanyak 35 ekor yang terdiri dari anak sapi jantan sebanyak 20 ekor dan anak sapi betina sebanyak 15 ekor. Sedangkan pada tahun 2005 jumlah anak sapi yang lahir sebanyak 49 ekor dengan rincian masing-masing anak jantan dan betina adalah 22 ekor dan 27 ekor. Data selengkapnya dapat disajikan pada Tabel 1 berikut ini Tabel 1. Perkembangan populasi anak sapi pada kandang komunal Kelompok tani Nekmesa Tahun 2004 dan Tahun 2005 Tahun 2004 2005 Jumlah
Anak Jantan 20 22 42
Anak Betina 15 27 42
Jumlah 35 49 84
. Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa terjadi kenaikan jumlah kelahiran anak pada kelompok ternak yang diberikan perlakuan perbaikan manajemen pemeliharaan yaitu sebanyak 14 ekor atau sebesar 28 %. Kenaikan ini diduga disebabkan karena andanya perlakuan pemisahan anak secara dini sehingga dapat mempercepat aktivitas ovarium dan meningkatkan kesuburan ternakn induk. Hasil analisis statistik menunjukkan adanya perbedaan yang sangat nyata (P< 0,01) antara jumlah anak nyang lahir pada periode Tahun 2004 dengan anak yang lahir pada periode Tahun 2005. Jumlah ternak bibit hasil seleksi dan sapi bakalan pada kandang komunal Kel.Tani Nekmese. Dari hasil seleksi berdasarkan Pertambahan Bobot Badan Harian (Pbbh) serta pengukuran ukuran linear tubuh yang mencakup Tinggi Pundak, Panjang Badan,dan Lingkar dada, maka jumlah anak sapi yang berhasil diseleksi dan ditetapkan sebagai sapi bibit pada Tahun 2004 sebanyak 2 ekor untuk calon pejantan dari 20 ekor yang lahir dan 10 ekor untuk calon betina dari 15 ekor anak yang lahir, sedangkan sebagai sapi bakalan sebayak 18 ekor. Untuk Tahun 2005 jumlah anak jantan yang berhasil terseleksi sebagai calon pejantan sebanyak 2 ekor dari 22 ekor anak sapin yang lahir, dan jumlah anak betina yang berhasil diseleksi sebagai calon betina induk yaitu sebanyak 21 ekor dari 27 ekor anak yang lahir, sedangkan jumlah yang digunakan sebagai sapi bakalan sebanyak 20 ekor seperti yang disajikan pada Tabel 2 berikut ini. Tabel 2. Jumlah ternak yang lahir, yang terseleksi sebagai bibit dan bakalan pada Tahun 2004 dan Tahun 2005 di kandang komunal Kelompok Tani Nekmese. Tahu 2004 2005 Jumla h
Anak Jantan Bibit % 2 2 4
10 9,1 9,5
Bakalan
%
18 20 38
90 90,9 90,5
Anak Betina Bibit % 10 21 31
66,7 77,8 73,8
Jumlah Bukan Bibit 5 6 11
% 33,3 22,2 28,3
35 49 84
Dari Tabel 2 diatas dapat dilihat bahwa, rata-rata kelahiran anak dari Tahun 2004 dan Tahun 2005 untuk anak jantan sebanyak 42 ekor (50 %) dan anak betina 42 ekor (50 %). Hal ini menggambarkan bahwa peluang akan terjadinya kelahiran kelamin jantan dan betina adalah seimbang yaitu 50 % dan 50 %. Jumlah anak jantan yang lahir sejak Tahun 2004 dan Tahun 2005 sebanyak 42 ekor, sedangkan yang memenuhi persyaratan sebagai calon pejantan adalah sebesar 4 ekor (9,5 %) dan yang memenuhi persyaratan sebagai bakalan sebenyak 38 ekor (90,5 %). Sedangkan jumlah anak
betina yang lahir sejak Tahun 2004 dan Tahun 2005 sebanyak 42 ekor, dan yang memenuhi persyaratan sebagai calon bibit induk adalah sebanyak 31 ekor (73,8 %) dan yang tidak memenuhi persyaratan sebenyak 11ekor (28,3 %). Hal ini menunjukan bahwa ternak sapi Bali yang berada di Pulau Timor telah terjadi penurunan mutu oleh sebab itu upaya untuk meningkatkan serta mengembalikan mutu genetiknya harus terus diupayakan melalui perbaikan sistem pemeliharaan. Angka kematian anak (mortalitas) pada kandang komunal Kelompok Tani Nekmese Pada Tahun 2004 dan Tahun 2005. Berdasarkan hasil pencatatan tanggal lahir anak serta pencatatan terhadap tingkat kematian anak sejak Tahun 2004 sampai dengan Tahun 2005, maka jumlah anak sapi yang mati akibat penyakit serta kekurangan pakan akibat kelahiran pada musim kemarau yaitu sebesar 13 ekor (13,4 %) dari 97 ekor seperti yang disajikan pada Tabel 3 berikut ini. Tabel 3. Rata-rata angka kematian anak pada kandang komunal Kelompok Tani Nekmese tahun 2004 dan Tahun 2005. Tahun 2004 2005 Jumlah
Jumlah Kelahiran (ekor) 42 55 97
Jumlah Yang mati (ekor) 7 6 13
% kematian 16,7 10,9 13,4
Dari tabel diatas, terlihat bahwa secara keseluruhan sejak Tahun 2004 dan Tahun 2005 prosentase mortalitas anak masih tinggi yaitu 13,4 %, namun jika dilihat pertahunnya ada kecenderungan menurun yaitu dari 16,7 % menjadi 10,9 % atau turun sebesar 5,8 %. Adanya penurunan angka kematian anak sapi ini disebabkan karena terjadi perubahan pola kelahiran akibat dari perlakuan pengaturan perkawinan pada tahun sebelumnya. Secara alamiah ternak sapi Bali yang ada di Pulau mempunyai pola kelahiran yang terkonsentrasi pada bulan Juli sampai dengan Oktober setiap tahunnya. Pada kondisi bulan-bulan tersebut jumlah ketersediaan pakan di padang penggembalaan sangat terbatas sehingga jumlah konsumsi pakan oleh induk mengalami kekurangan akibatnya produksi air susu berkurang. Oleh sebab itu upaya untuk mengatur pola kelahiran anak agar terjadi kelahiran antara bulan Maret sampai dengan Juni yang telah dilakukan pada Tahun 2004 memberi dampak yang positif terhadap angka kematian anak yang lahir pada Tahun 2005. Tampilan Produktivitas Anak Sapi Bali. Dari hasil penimbangan terhadapat berat badan anak sapi yang lahir bulan Mei 2004 dan Desember 2005 yang dilakukan masing-masing selama 6 kali penimbangan dapat dilihat pada grafik 1.
Berat Badan (kg)
Grafik.1. Perubahan Bobot Badan Nak sapi Bali pada musim hujan dan kemarau 70.0 60.0
Lahir Desember
50.0
Lahir Mei
40.0 30.0 20.0 10.0 0.0 1
2
3
4
5
6
Waktu Penimbangan
Gambar 2. Perubahan bobot badan anak sapi bali pada musim hujan dan musim kemarau Pada grafik tersebut terlihat bahwa pertambahan bobot badan harian (pbbh) dari anak sapi yang lahir pada bulan Desember lebih baik jika dibandingkan dengan anak sapi yang lahir pada bulan Mei. Namun jika dibandingkan berat lahirnya maka kelahiran pada bulan Mei lebih berat dari pada kelahiran pada bulan Desember. Rata-rata berat lahir pada kelahiran bulan Mei sebesar 12 kg, sedangkan kelahiran pada bulan Desember mempunyai rataan berat lahir sebesar 10 kg. Adanya perbedaan berat lahir ini, kemungkinan disebabkan pengaruh nutrisi untuk pertumbuhan foetus dimana pada trimester III yaitu antara umur kebuntingan 6 sampai 9 bulan merupakan fase pertumbuhan yang cepat menjelang kelahiran. Pada anak sapi dengan kelahiran bulan Mei, maka Trimester terakhir terjadi antara bulan Maret sampai dengan Mei. Pada masa tersebut tersedia pakan yang cukup banyak pada padang penggembalaan. Sebaliknya kelahiran yang terjadi pada bulan Desember mempunyai berat lahir yang lebih rendah disebabkan karena trimester III terjadi pada periode antara bulan Oktober sampai dengan Desember dimana pada kurun waktu tersebut terjadi kekurangan pakan sehingga pertumbuhan foetus mengalami gangguan. Pada grafik 1 juga dapat terlihat bahwa pbbh anak sapi pada bulan Mei mempunyai rataan pertumbuhan yang lebih rendah jika dibandingkan dengan yang lahir pada bulan Desember yaitu masing-masing sebesar 187 grm/ekor/hari dan 332 grm/ekor/hari. Adanya perbedaan ini disebabkan pengaruh pakan induk terhadap produksi air susu dimana pada pada periode menyusui antara Mei sampai September rata produksi air susu sapi Bali sebanyak 1,5 litter sedangkan produksi susu pada periode menyusui antara bulan Desember sampai dengan Mei lebih banyak yaitu 3,5 litter per ekor per hari. Hasil ini hampir sama dengan hasil penelitian sebelumnya bahwa rata-rata produksi air susu induk sapi Bali dengan sistem pemeliharaan semi intensif sebesar 3 liiter per ekor per hari (Pohan A,dkk 1997). Pertambahan bobot badan induk Produktivitas Induk sapi Bali Menyusui Dari hasil penimbangan terhadapat berat badan induk sapi yang sedang menyusui umur 0 sampai 5 bulan menyusui dapat dilihat pada grafik 2. Pada grafik tersebut terlihat bahwa pertambahan bobot badan harian (pbbh) dari induk sapi yang menyusui mulai bulan MeiSeptember mengalami penurunan sedangkan periode menyusui antara bulan Desember sampai April terlihat mengalami kenaikan. Hasil analisa statistik menunjukan adanya perbedaan yang sangat nyata (p< 0.01) dimana rata-rata penurunan pbbh dari induk periode menyusui Mei sampai dengan September sebesar –316,6 gram/ekor/hari sedangkan rata-rata pbbh induk periode menyusui Desember sampai April sebesar 375 gr/ek/hr. Penurunan pbbh terbesar terjadi sejak periode menyusui memasuki bulan Agustus sampai September yaitu sebesar 633 gr/ek/hr dimana mulai mamusuki puncak musim kemarau. Sedangkan pbbh pada induk periode menyusui Desember sampai April mempunyai pbbh yang tertinggi yaitu antara bulan Februari sampai Maret yaitu sebesar 567 gr/ek/hr dimana terjadi puncak ketersediaan pakan.
Berat Bdan (kg)
Ra ta a n P e rta m ba ha n Bobot Ba da n Ha ria n (pbbh) Induk Sa pi Ba li P a da Musim Ke m a ra u da n Huja n
300 250 200 150 100 kemarau ( Mei-Nop)
50
hujan (Des-April)
0 1
2
3
4
5
Waktu penimbangan
Gambar 3. Rataan pertambahan bobot badan harian induk sapi bali pada musim hujan dan musim kemarau Produktivitas induk sapi Bali Periode Bunting Monitoring produktivitas ternak induk yang bunting dilakukan pada Trimester terakhir yaitu pada umur kebuntingan 6 sampai 9 bulan. Dasar pertimbangan dari pengamatan pada periode ini yaitu pada trimester ini pertumbuhan foetus sangat cepat. Selain alas an tersebut diatas apabila dilakukan pemgamatan selama 9 bulan sesuai dengan umur kebuntingan maka hanya dapat dimonitor kebutingan pada periode musim kemarau saja sedangkan peride musim hujan hanya dapat dimonitor selama 3 bulan saja. Hasil penimbangan tersebut dapat kita lihat pada grafik 3 berikut ini. Pada garfik 3 terlihat bahwa pbbh induk bunting pada periode musim hujan mempunyai pbbh yang lebih besar dari pada periode kebuntingan pada musim kemarau. Hasil analisis statistik menunjukan adanya perbedaan yang sangat nyata (P<0.01) antara kedua musim. Pbbh yang sangat signifikan pada periode yang sama terjadi pada umur kebintingan trimester I dengan trimerster II dan III. Adanya perbedaan ini kemungkinan disebabkan oleh pengaruh hormonal.
Berat b adan (kg )
Rataan Pe r tam b ahan b ob o t b adan h ar ian ind uk s api p e r iod e b un tin g p ada m u s im hu jan dan k e m ar au 250 200 150 100 kemarau
50
hujan 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
Pe nim b ang an k e
Gambar 4. Rataan pertambahan bobot badan harian induk sapi bali periode bunting pada musim hujan dan musim kemarau Produktivitas induk sapi tidak bunting Dari hasil penimbangan terhadap perubahan berat badan induk yang tidak bunting pada dua periode musim yang berbeda disajikan pada grafik 4 dibawah ini. Pada garafik diatas terlihat bahwa hasil analisis statistik terhadap hasil penimbanmgan yang dilakukan pada musim hujan dan kemarau terjadi perbedaan yang sangat nyata (p<0.01) dimana rataan pbbh pada induk yang tidak bunting untuk musim hujan dan kemarau masing-masing sebesar 458 gr/ek/hr dan – 75 gr/ ek/hr.
Pada pbbh periode musim hujan mempunyai angka yang tertinggi antara bulan Maret sampai April dimana pada bulan tersaebut terjadi over produksi hijauan makanan ternak yang ada pada padang penggembalaan. Akibatnya pertumbuhan ternak optimum terjadi pada periode tersebut. Sedangkan pada periode kemarau pbbh paling rendah terjadi antara bulan Oktober sampai Nopember dimana pada periode ini terjadi defisiensi pakan oleh sebab itu pertumbuhan ternak berada pada titik yang yang kritis. Pemanfaatan Silase Sebagai Pakan Ternak Sapi Penggemukan Di Musim Kemarau Silase yang dibuat, diberikan pada ternak sapi penggemukan sebagai suplemen sebanyak 5 kg/ekor/hari, terutama didalam mengatasi kekurangan pakan saat musim kemarau. Hasil kajian disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Rata-Rata Pertambahan Bobot Badan dan Konsumsi Pakan Lokal Ternak Sapi Potong di Kecamatan Insana, Kabupaten TTU Keragaan Perlakuan Kontrol Silase Bioplus Silase+Bioplus Bobot Badan 170,8 ± 31,6 Awal (Kg) Bobot Badan 175,4 ± 26,4 Akhir (Kg) Pertambahan 4,58 Bobot Badan/PBB (Kg) Pertambahan Bobot Badan 0,15 Harian/PBBH (Kg) Konsumsi Pakan Lokal (Kg/ekor/Hari) Sumber: Ratnawaty et al, 2005
169,3 ± 38,6
179,6 ± 44,4
161,9 ± 36,4
180,6 ± 35,9
187,7 ± 40,9
179 ±35,4
11,3
8,17
17,1
0,38
0,46
0,57
16,15 ± 2,38
15,31 ± 2,88
15,34 ± 2,88
Pada Tabel 2 terlihat bahwa pertambahan bobot badan (PBB) sapi yang mendapat perlakuan bioplus + silase memberikan PBB yang lebih tinggi sebesar 0,57 kg/ekor/hari, kemudian diikuti oleh ternak yang mendapat perlakuan bioplus sebesar 0,46; perlakuan silase sebesar 0,38 dan 0,15 kg/ekor/hari untuk perlakuan kontrol. Winugroho (1998) menyatakan bahwa bioplus merupakan isi rumen terpilih yang mengandung mikroba yang mempunyai kemampuan tinggi untuk mencerna serat dalam pakan, biplus yang diberikan kepada ternak akan bersinergi dengan mikroba rumen yang ada sehingga kemampuan mikroba untuk mencerna pakan akan meningkat dengan signifikan. Selanjutnya dikatakan bahwa respon bioplus yang diberikan ke ternak dapat memberikan kenaikan bobot hidup harian 0,2-0,4 kg diatas kontrol, adanya perubahan dalam pola makan yang semakin rakus, penampakan kulit yang licin serta hasil feses yang tidak berbau. Pemberian bioplus pada ternak akan memberikan respon yang berbeda karena tergantung pada perbedaan komposisi mikroflora dari ternak yang digunakan, umur dan tipe ternak, jaminan kualitas, cara atau tipe pengolahan, aturan pemakaian dan metoda produksi (Fuller, 1992). Hasil pengkajian Marawali et al, 2004 diperoleh pertambahan bobot badan ternak sapi yang mendapat pakan lokal dan probiotik (bioplus) lebih tinggi dibandingkan dengan ternak yang mendapatkan pakan lokal dan probiotik starbio yaitu masing-masing sebesar 0,52 dan 0,47 kg/ekor/hari, sedangkan kontrol sebesar 0,25 kg/ekor/hari. KESIMPULAN
Dari hasil pengkajian selama tahun 2004 dan Taun 2005 dapat disimpulkan beberapa point sebagai beikut : 1. Prosentase capaian dari rencana tingkat capaian untuk indikator hasil (out put) ternak bibit sebesar 84 % atau 21 ekor dari 25 ekor yang ditargetkan. Belum tercapainya target ini disebabkan masih tingginya angka kematian anak akibat kelahiran yang terjadi pada kisaran bulan Juli sampai dengan Oktober yaitu pada saat musim kemarau. Demikian juga dengan target untuk menghasilkan ternak bakalan hanya sebesar 80 % yaitu 20 ekor dari 25 ekor yang ditargetkan. 2. Meskipun angka mortalitas anak masih diatas 10 % namun terjadi penurunan jika dibandingkan dari tahun sebelumnya yaitu dari 16.7 % menjadi 10,9 %. 3. Jumlah ternak betina yang terseleksi untuk digunakan sebagai calon induk mempunyai prosentase yang lebih besar jika dibandingkan dengan jumlah ternak jantan yang akan digunkan sebagai calon pejantan yaitu masing-masing sebesar 9,5 % dan 73,8 %. Hal ini memberikan gambaran bahwa jumlah pejantan yang tersedia dipadang penggembalaan telah mengalami penurunan jumlah populasinya. 4. Produktivitas induk maupun anak yang beranak pada kisaran bulan Maret sampai dengan Juni lebih jika dibandingkan dengan yang beranak pada Juli sampai dengan Oktober. 5. Pertambahan bobot badan harian sapi Bali yang mengkonsumsi pakan lokal ditambah bioplus + silase sebesar 0,57 kg/ekor/hari dengan RC rasio 2,1 dan MBCR 6,4; pakan lokal ditambah bioplus sebesar 0,46 kg/ekor/hari, RC rasio 1,9 dan MBCR 4,2 dan pakan lokal ditambah silase sebesar 0,38 kg/ekor/hari, RC rasio 1,8 dan MBCR 2,8 lebih tinggi dibanding dengan pola petani (kontrol) sebesar 0,15 kg/ekor/hari dengan RC rasio 1,4. DAFTAR PUSTAKA Anonymous. (1998). Laporan Tahunan Dinas Peternakan Propinsi Nusa Tenggara Timur. Anonymous. (1999). Laporan Tahunan Dinas Peternakan Propinsi Nusa Tenggara Timur. Widadahayati R.B, A. pohan, A. Bamualim. (1994). Pengkajian Sistem Usaha Pertanian Berbasis Sapi Potong di Nusa Tenggara Timur. Laporan Tahunan Proyek NTAADP Tahun 1994. Bamualim A. ,(1994). Interaksi Peternakan dalam Sistem Pertanian di Pulau Timor. Prosiding Seminar Komunikasi dan Aplikasi Hasil Penelitian Peternakan Lahan Kering. Kupang 17 – 18 Nopember 1994.