PENGKAJIAN HASIL TANGKAPAN MUROAMI DI KEPULAUAN SERIBU
RIBKA PUJI RASPATI
SKRIPSI
DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
30
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul:
PENGKAJIAN HASIL TANGKAPAN MUROAMI DI KEPULAUAN SERIBU adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Juni 2008
Ribka Puji Raspati C54104020
31
ABSTRAK RIBKA PUJI RASPATI. Pengkajian Hasil Tangkapan Muroami di Kepulauan Seribu. Dibimbing oleh EKO SRI WIYONO. Alat tangkap yang umum digunakan di Kepulauan Seribu secara turun temurun untuk menangkap ikan ekor kuning adalah muroami. Namun kajian tentang muroami di Kepulauan Seribu masih jarang dilakukan. Kajian mengenai unit penangkapan muroami sampai saat ini belum ada, sehingga ketersediaan informasi mengenai alat tangkap ini sangat diperlukan dalam penentuan kebijakan yang tepat dalam pengelolaan perikanan muroami di Kepulauan Seribu. Salah satu informasi penting dalam kajian muroami yang belum tergambar dengan baik adalah informasi mengenai hasil tangkapan, baik hasil tangkapan utama maupun sampingan. Metode penelitian yang dilakukan adalah metode deskriptif survei. Pengumpulan data dilakukan dengan cara pengamatan atau observasi langsung di daerah yang menjadi objek penelitian, yaitu perairan Kepulauan Seribu. Data primer diperoleh dengan mengikuti kegiatan operasi penangkapan muroami dan wawancara dengan nelayan muroami. Data primer dalam penelitian ini meliputi posisi daerah penangkapan ikan, proses operasi penangkapan ikan, jumlah hasil tangkapan per spesies, komposisi jenis hasil tangkapan, sebaran distribusi panjang per spesies ikan yang tertangkap, dan sebaran distribusi berat per spesies ikan yang tertangkap. Konstruksi unit penangkapan muroami di Kepulauan Seribu terbagi menjadi tiga bagian penting yaitu kantong, jaring dinding dan alat penggiring atau elot. Alat bantu yang digunakan adalah selang sepanjang 100 meter, mesin kompresor, serok, keranjang plastik serta peralatan penyelaman (sepatu karet, masker, dan regulator atau morfis). Produktivitas muroami dihitung menggunakan pendekatan pada produktivitas hauling. Rata-rata produktivitas hauling muroami adalah 54,75 kg/hauling, yang berarti bahwa setiap kali hauling diperoleh hasil tangkapan rata-rata sebesar 54,75 kg. Rata-rata nilai diversitas Shannon-Wiener H’ hasil tangkapan muroami adalah 0,94, sedangkan indeks dominansi hasil tangkapannya rata-rata 0,57. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat keanekaragaman yang tinggi dan tidak ada spesies yang mendominasi, sehingga selektivitas muroami terhadap target penangkapan adalah rendah. Hasil tangkapan muroami selama penelitian sebanyak 40 spesies yang terdiri dari ikan karang dan non karang. Ikan ekor kuning (Caesio cuning) memiliki komposisi terbesar yaitu sebesar 72,278% dari berat total hasil tangkapan. Distribusi panjang ikan ekor kuning yang tertangkap cenderung berada di bawah selang panjang 21,0-22,9 cm. Ukuran ini merupakan ukuran tidak layak tangkap atau belum mencapai fase dewasa bagi ikan ekor kuning yang memiliki fase dewasa pada ukuran 25-45 cm. Kata kunci : muroami, ikan ekor kuning, hasil tangkapan.
32
PENGKAJIAN HASIL TANGKAPAN MUROAMI DI KEPULAUAN SERIBU
Oleh : RIBKA PUJI RASPATI C54104020
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
33
SKRIPSI Judul
: Pengkajian Hasil Tangkapan Muroami di Kepulauan Seribu
Nama Mahasiswa
: Ribka Puji Raspati
NRP
: C54104020
Program Studi
: Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
Disetujui, Pembimbing,
Dr. Eko Sri Wiyono S.Pi, M.Si NIP. 132158426
Diketahui, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc NIP. 131578799
Tanggal lulus : 30 Juni 2008
34
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis ingin mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada : 1) Dr. Eko Sri Wiyono, S.Pi, M.Si selaku dosen pembimbing atas segala saran, bimbingan, dan doa yang diberikan; 2) Dr. Am.Azbas Taurusman, S.Pi, M.Si dan Ir. Zulkarnain, M.Si selaku dosen penguji tamu serta Dr.Ir.Tri Wiji Nurani, M.Si selaku komisi pendidikan atas segala masukan yang diberikan demi perbaikan skripsi ini; 3) Ir. M. Dahri Iskandar, M.Si atas segala bantuannya; 4) Ibu Ella dan Bapak Husin sekeluarga atas kesediaannya memberikan tempat tinggal selama penelitian dan para nelayan muroami (Pak Syahrullah, Pak Leo, Pak Sabar dan seluruh ABK kapal) atas seluruh bantuannya selama penelitian; 5) Mas Boy, Mas Hendra, dan Mba Romlah atas segala bantuan dan informasinya; 6) Ibu, Bapak dan adik-adikku tersayang atas kesabaran, dukungan, doa dan kasih sayang yang tanpa henti; 7) Tim Ekspedisi Pulau Seribu (Pipit, Rifki, Singgih, Aldi, Regi, Aris, Angga) atas segala bantuannya saat di Pulau Seribu yang tak kan pernah terlupakan dan Natha atas kesabaran dan bantuannya dalam penyusunan skripsi ini; 6) Keluarga Besar PSP 41 (gomeh, ando, limbong, putra, romie, midi, yol, ebod, jeanny, imam, eko gillnet, widi, rulli, papih awan, renna, via, natha, singgih, deden, habas, azer, bertua, komet, sange, dody, rani, regi, neney, ade resa, meler, deboy, ana, aris, jali, rony, eva, fifi, winda, boy, mance, pipit ucil, joko pras, gun, dina, opik, titin, deco, dimas, suji, novi, andi, ahdiar, galih, riki, babeh, deni) atas persahabatan, persaudaraan, perhatian, dukungan, semangat dan kisah terindah yang akan selalu mewarnai hidup di masa mendatang; 7) Riah, Nicken, Wawa, dan member of Gank Lemot & Cup2Gank serta semua sahabat atas dukungan dan persahabatannya selama ini; 8) Semua pihak yang membantu penyusunan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
35
PRAKATA Skripsi yang berjudul ”Pengkajian Hasil Tangkapan Muroami di Kepulauan Seribu” ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana perikanan pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Skripsi disusun berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada bulan Maret 2008 di Kepulauan Seribu. Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran untuk kesempurnaan tulisan ini. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi penulis, pembaca dan pihak yang memerlukannya.
Bogor, Juni 2008
Ribka Puji Raspati
36
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 2 September 1986 di Bogor dari pasangan Y. Sholahuddin Sis dan Umi Kulsum. Penulis merupakan anak pertama dari empat bersaudara. Penulis telah menyelesaikan pendidikan formal di SMU Negeri 4 Bogor dan lulus pada tahun 2004. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) sebagai salah satu mahasiswa pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan (PSP), Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) pada tahun 2004 melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif di organisasi HIMAFARIN (Himpunan Mahasiswa Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan) sebagai anggota Departemen Penelitian, Pengembangan dan Keprofesian periode 2004-2005. Selanjutnya penulis juga menjabat sebagai Bendahara II HIMAFARIN periode 2005-2006 dan menjadi Sekretaris I HIMAFARIN periode 2006-2007. Penulis juga dipercaya untuk menjadi Asisten Luar Biasa pada mata kuliah Statistika Dasar pada tahun 2006. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor
penulis
menyusun skripsi dengan judul “Pengkajian Hasil Tangkapan Muroami di Kepulauan Seribu” yang dibimbing oleh Dr. Eko Sri Wiyono, S.Pi, M.Si.
37
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .........................................................................................
i
DAFTAR GAMBAR .....................................................................................
ii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................
iii
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ....................................................................................
1
1.2 Tujuan Penelitian ................................................................................
2
1.3 Manfaat Penelitian ..............................................................................
3
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Unit Penangkapan Muroami ............................................................... 2.1.1 Alat tangkap muroami ................................................................ 2.1.2 Nelayan ...................................................................................... 2.1.3 Kapal ..........................................................................................
4 4 5 5
2.2 Metode Pengoperasian Muroami ........................................................
6
2.3 Daerah Penangkapan Ikan ...................................................................
7
2.4 Musim Penangkapan dan Hasil Tangkapan ........................................
8
2.5 Ikan Karang.......................................................................................... 2.5.1 Tingkah laku ikan karang ........................................................... 2.5.2 Distribusi ikan karang ................................................................
8 8 9
2.6 Klasifikasi Ikan Ekor Kuning (Caesio cuning)....................................
10
2.7 Klasifikasi Ikan Pisang-pisang (Pterocaesio pisang) .........................
11
2.8 Klasifikasi Ikan Kakaktua (Scarus sp) ................................................
12
2.9 Diversitas Hasil Tangkapan .................................................................
14
2.10 Produktivitas .....................................................................................
15
3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian .............................................................
17
3.2 Alat Penelitian .....................................................................................
17
3.3 Metode Pengumpulan Data ................................................................. 3.3.1 Pengambilan data hasil tangkapan ............................................. 3.3.2 Penentuan posisi kapal ...............................................................
17 18 19
3.4 Analisis Data ........................................................................................ 3.4.1 Analisis unit penangkapan ikan ................................................. 3.4.2 Analisis metode pengoperasian muroami .................................. 3.4.3 Analisis komposisi hasil tangkapan ...........................................
20 20 20 20
38
3.4.4 Analisis diversitas hasil tangkapan ............................................ 3.4.5 Analisis dominansi hasil tangkapan ........................................... 3.4.4 Analisis produktivitas ................................................................
20 21 21
4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Kepulauan Seribu......................................................
23
4.2 Topografi Kepulauan Seribu ................................................................
23
4.3 Geologi Kepulauan Seribu ...................................................................
24
4.4 Iklim .....................................................................................................
25
4.5 Oseanografi ..........................................................................................
26
4.6 Kondisi Perikanan Tangkap ................................................................. 4.6.1 Kapal ........................................................................................... 4.6.2 Alat tangkap ................................................................................ 4.6.3 Nelayan .......................................................................................
26 26 27 28
5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitian .................................................................................... 5.1.1 Unit penangkapan muroami ....................................................... 5.1.1.1 Alat tangkap muroami .................................................... 5.1.1.2 Kapal ............................................................................... 5.1.1.3 Nelayan .......................................................................... 5.1.2 Alat bantu penangkapan ............................................................. 5.1.3 Metode pengoperasian muroami ................................................ 5.1.4 Daerah penangkapan ikan .......................................................... 5.1.5 Komposisi hasil tangkapan ........................................................ 5.1.6 Diversitas hasil tangkapan .......................................................... 5.1.7 Indeks dominansi hasil tangkapan ............................................. 5.1.8 Distribusi ukuran panjang hasil tangkapan muroami.................. 5.1.9 Distribusi ukuran panjang dan berat hasil tangkapan ikan ekor kuning pada setiap daerah penangkapan ikan ............................ 5.1.10 Produktivitas alat tangkap muroami .........................................
29 29 29 37 37 38 39 44 45 47 47 48 49 51
5.2 Pembahasan .........................................................................................
52
6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan .........................................................................................
61
6.2 Saran ....................................................................................................
62
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................
63
LAMPIRAN
39
DAFTAR TABEL Halaman 1 Jumlah kapal perikanan menurut kelompok gross tonage (GT) di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu tahun 2006 ............................
27
2 Jumlah alat tangkap di Kepulauan Seribu tahun 2006 ..............................
28
3 Jumlah nelayan dan produksi berdasarkan alat tangkap tahun 2006 ........
28
4 Spesifikasi muroami di Kepulauan Seribu ................................................
33
5 Komposisi hasil tangkapan muroami selama penelitian (8 trip) ...............
45
40
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Pengoperasian muroami di Kepulauan Karimunjawa ...............................
7
2 Ikan ekor kuning (Caesio cuning) .............................................................
10
3 Ikan pisang-pisang (Pterocaesio pisang) ..................................................
12
4 Ikan kakaktua (Scarus sp) .........................................................................
13
5 Cara pengukuran ikan ...............................................................................
19
6 Konstruksi alat tangkap muroami di Kepulauan Seribu ...........................
30
7 Jaring dinding muroami di Kepulauan Seribu ..........................................
32
8 Alat penggiring (elot) yang direntangkan ................................................
36
9 Proses pengoperasian muroami di Kepulauan Seribu ...............................
40
10 Komposisi hasil tangkapan muroami .........................................................
46
11 Diversitas hasil tangkapan muroami .........................................................
47
12 Dominansi hasil tangkapan muroami ........................................................
48
13 Distribusi ukuran panjang hasil tangkapan muroami.................................
49
14 Distribusi panjang ikan ekor kuning pada fishing ground 1 ......................
50
15 Distribusi panjang ikan ekor kuning pada fishing ground 2 ......................
50
16 Distribusi panjang ikan ekor kuning pada fishing ground 3 ......................
51
17 Produktivitas hauling per trip muroami ....................................................
51
41
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Peta Kepulauan Seribu ..............................................................................
66
2 Peta lokasi penelitian (fishing ground 1, 2, dan 3) di Kepulauan Seribu ..
67
3 Unit penangkapan muroami ......................................................................
68
4 Jenis-jenis ikan tangkapan muroami .........................................................
70
5 Nilai diversitas Shannon-Wiener H’ dan indeks dominansi .....................
73
6 Produktivitas hauling alat tangkap muroami .............................................
74
7 Selang panjang hasil tangkapan muroami (6 jenis hasil tangkapan terbanyak) ..................................................................................................
75
8 Data total hasil tangkapan per hauling ......................................................
77
9 Gambar posisi alat tangkap muroami di atas kapal besar .........................
78
42
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perairan terumbu karang merupakan salah satu ekosistem yang subur yang ditandai dengan tingginya produktivitas dan keanekaragaman sumber hayati. Komunitas ikan karang memiliki keragaman yang tinggi dan didominasi oleh individu yang berukuran kecil (Ditjen Perikanan 1998). Ditjen Perikanan (1998) lebih lanjut mengungkapkan bahwa perairan karang Indonesia memiliki paling sedikit 10 famili utama penyumbang produksi perikanan, yaitu : Caesiodidae, Holocentridae, Serranidae, Siganidae, Scaridae, Lethrinidae, Priacanthidae, Labridae, Lutjanidae, dan Haemulidae. Diantara sepuluh famili tersebut, Caesionidae, seperti ekor kuning dan pisang-pisang, merupakan kelompok ikan karang yang dapat dieksploitasi secara komersil karena membentuk kelompok (school) yang relatif besar. Sebagai daerah kepulauan yang mempunyai keanekaragaman terumbu karang, Kepulauan Seribu mempunyai potensi ikan ekor kuning yang cukup besar. Data Statistik Perikanan Tangkap 2006 Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan DKI Jakarta melaporkan bahwa produksi ikan ekor kuning cenderung meningkat dengan rata-rata 14,66%. Kenaikan tertinggi terjadi pada periode 2005-2006 sebesar 68,15%. Pada sisi yang lain, peningkatan nilai produksi mencapai 62,66% dari tahun 1997 hingga 2006. Hal ini menunjukkan bahwa ikan ekor kuning merupakan salah satu ikan yang benilai ekonomis tinggi. Alat tangkap yang umum digunakan untuk menangkap ikan ekor kuning adalah muroami. Muroami merupakan salah satu alat tangkap yang diintroduksi dan diadaptasi oleh masyarakat dari Jepang pada saat masa penjajahan (Subani dan Barus 1989). Penyebaran alat tangkap muroami di Indonesia cukup luas, terutama pada daerah-daerah yang memiliki kekayaan terumbu karang yang cukup tinggi seperti Kepulauan Seribu dan Kepulauan Karimunjawa. Muroami di Kepulauan Seribu telah digunakan oleh nelayan secara turun temurun, bahkan nelayan muroami di Kepulauan Karimunjawa berasal dari nelayan Kepulauan Seribu. Pada awalnya muroami ditujukan untuk menangkap ikan-ikan karang, namun dalam perkembangannya kini lebih dikhususkan untuk menangkap ikan
43
ekor kuning (Caesio cuning). Meskipun demikian, pada kenyataannya banyak tertangkap pula jenis ikan selain ikan ekor kuning. Jumlah unit penangkapan muroami di Kepulauan Seribu mengalami peningkatan setiap tahunnya. Jumlah unit penangkapan muroami di Kepulauan Seribu mencapai 630 unit pada tahun 2006 (Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan DKI Jakarta 2006). Peningkatan jumlah unit muroami menyebabkan peningkatan produksi ikan ekor kuning. Namun, peningkatan unit penangkapan muroami juga menimbulkan kekhawatiran pihak Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu yang mengatur perlindungan terumbu karang di Kepulauan Seribu. Kajian tentang muroami di Kepulauan Seribu masih jarang dilakukan. Hingga kini belum ada kajian mengenai unit penangkapan muroami di Kepulauan Seribu. Kajian tentang muroami baru dilakukan di Kepulauan Karimunjawa oleh Marnane et al (2004). Ketersediaan informasi mengenai alat tangkap ini masih sangat kurang, sehingga sulit untuk menentukan kebijakan yang tepat dalam pengelolaan perikanan muroami di Kepulauan Seribu. Salah satu informasi penting dalam kajian muroami yang belum tergambar dengan baik adalah informasi mengenai hasil tangkapan. Informasi mengenai hasil tangkapan yang tertangkap oleh muroami masih sangat sedikit, salah satunya adalah informasi mengenai hasil tangkapan muroami di Kepulauan Karimunjawa dari hasil penelitian Marnane et al (2004). Atas dasar itu, maka perlu dilakukan kajian mengenai unit penangkapan muroami dan metode pengoperasiannya serta kajian mengenai hasil tangkapan muroami baik yang menjadi target maupun bukan target penangkapan di Kepulauan Seribu.
1.2 Tujuan penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Mengkaji unit penangkapan muroami dan metode pengoperasiannya di Kepulauan Seribu; 2. Mengidentifikasi hasil tangkapan muroami di Kepulauan Seribu; 3. Menentukan produktivitas alat tangkap muroami dan komposisi hasil tangkapan di Kepulauan Seribu.
44
1.3 Manfaat penelitian Penelitian ini diharapkan akan memberikan informasi mengenai alat tangkap muroami, produktivitas muroami, komposisi dan keanekaragaman hasil tangkapan muroami di Kepulauan Seribu. Informasi ini diharapkan dapat menjadi dasar dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi perikanan tangkap, khususnya penangkapan ikan. Selain itu, informasi ini juga dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi instansi terkait dalam penentuan kebijakan menyangkut perikanan ikan karang, khususnya perikanan muroami di Kepulauan Seribu.
45
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Unit Penangkapan Muroami 2.1.1 Alat tangkap muroami Muroami berasal dari kata “muro” yang artinya sebangsa ikan Carangidae dan “ami” yang berarti alat (Subani dan Barus 1989). Pada awalnya muroami digunakan untuk menangkap ikan karang, namun dalam perkembangannya muroami dikhususkan untuk menangkap ikan ekor kuning. Berdasarkan klasifikasi alat tangkap menurut von Brandt (1984) muroami termasuk dalam drive-in-net, dimana ikan ditangkap dengan cara menggiring ikan ke dalam alat tangkap jenis apa saja. Konstruksi muroami terdiri dari beberapa bagian, yaitu : 1) Bagian jaring, yang terdiri dari kaki panjang, kaki pendek dan kantong (dengan ukuran kantong cukup besar dan dapat memuat 3 ton ikan); 2) Pelampung, terdiri dari pelampung-pelampung kecil yang berada pada ris atas dari kaki, yang merupakan pelampung tetap. Juga terdapat pelampung (kumbul) dari bola gelas dan bambu yang biasanya hanya digunakan pada saat operasi penangkapan. Pelampung tetap juga terdapat pada bagian atas mulut kantong; 3) Pemberat, terdapat pada bagian bawah kaki (ris bawah) dan bagian bawah mulut kantong (bibir bawah) yang terbuat dari batu. Pada waktu jaring digunakan, pada bagian depan kaki masih dilengkapi jangkar; 4) Penggiring, atau alat pengusir (scare line) terbuat dari tali yang panjangnya ±25 m yang pada salah satu ujungnya (ujung atas) diikatkan pelampung bambu, sedangkan ujung lainnya diikatkan gelang-gelang besi atau umumnya disebut “kecrek”. Pada sepanjang tali ini juga dilengkapi dengan daun nyiur atau kain putih. Jumlah alat pengusir disesuaikan dengan jumlah nelayan yang nantinya bertugas sebagai penggiring. Menurut Gunarso (1985) alat penggiring ini termasuk ke dalam acoustik frightening untuk mengejutkan ikan agar lari ke arah jaring ataupun memaksa ikan meninggalkan tempat persembunyiannya.
46
Penelitian Marnane et al (2004) menyebutkan jaring terdiri dari tiga bagian, yaitu dua bagian jaring pelari yang berfungsi sebagai pengarah atau penggiring ikan menuju jaring kantong dan satu bagian jaring kantong yang berfungsi sebagai jaring penampung ikan.
2.1.2 Nelayan Jumlah nelayan yang mengoperasikan muroami antara 20-24 orang. Seorang diantaranya berperan sebagai fishing master yang disebut tonas dan bertugas untuk memimpin jalannya penangkapan dan seorang sebagai penjaga atau pemegang kedua ujung kantong bila nanti jaring telah dipasang. Satu atau dua orang sebagai penjaga kantong bagian belakang. Empat sampai enam orang sebagai tukang penyelam, dan selebihnya adalah sebagai pengusir ikan yang akan ditangkap (Subani dan Barus 1989). Marnane et al (2004) menyebutkan dalam satu armada muroami biasanya terdiri dari 13-18 orang yang dipimpin oleh seorang kepala laut (fishing master). Kepala laut bertanggung jawab atas seluruh operasional penangkapan, mulai dari penentuan lokasi, pemasangan jaring (setting), penggiringan, hauling, proses melepas jaring hingga menentukan lokasi penangkapan berikutnya. Seringkali kepala laut berfungsi ganda sebagai penyelam penggiring. Penyelam kompresor terdiri dari 5 hingga 7 orang, dipimpin oleh seorang kepala tengah yang bertugas memimpin penggiringan di bawah air dan biasanya posisinya berada di tengah. Penyelam muroami harus kuat atau tahan berenang dan menyelam sampai dasar laut dimana penangkapan dilakukan.
2.1.3 Kapal atau perahu Subani dan Barus (1989) menyebutkan untuk operasi penangkapan dengan muroami diperlukan 3-5 buah perahu, dimana sebuah perahu diantaranya berfungsi untuk membawa kantong, dan dua perahu lainnya untuk membawa sayap/kaki jaring masing-masing satu buah. Adapun dua buah perahu lainnya untuk membawa atau mengantar tenaga-tenaga penggiring (penghalau) ikan ke tempat dimana ikan berada.
47
Operasi penangkapan ikan dengan muroami di Kepulauan Karimunjawa berdasarkan penelitian Marnane et al (2004) biasanya menggunakan 3 buah kapal motor. Dua kapal merupakan kapal pembawa jaring, dimana salah satunya menjadi penampung ikan utama yang dilengkapi dengan palka yang sudah diisi es. Kapal ketiga berfungsi sebagai pembawa kompresor yang membawa para penyelam.
2.2 Metode Pengoperasian Muroami Proses pengoperasian muroami dilakukan dengan cara sebagai berikut (Subani dan Barus 1989) : 1) Mengetahui dan dapat memperkirakan adanya kawanan ikan yang dilakukan oleh beberapa nelayan dengan cara menyelam dengan menggunakan kacamata air; 2) Mengetahui keadaan arus air (arah arus), antara lain kemungkinan adanya arus atas dan bawah serta mengenai kekuatan arus. Kekuatan arus skala sedang adalah yang paling baik untuk pemasangan atau penanaman jaring; 3) Pemasangan jaring dilakukan demikian rupa sehingga membentuk huruf V dan letak ujung depan kaki yang pendek harus berada di tempat dangkal dimana karang berada, sedangkan ujung kaki panjang diletakkan di tempat dalam; 4) Penggiringan segera dilakukan setelah pemasangan kantong yaitu dengan mengambil tempat antara 1/4 - 1/3 dari bagian ujung kaki yang belakang. Muroami umumnya dioperasikan dalam satu hari atau one day fishing. Satu unit armada penangkapan muroami rata-rata melakukan 2-3 kali setting dalam satu hari penangkapan (Marnane et al 2004). Marnane et al (2004) lebih lanjut menyatakan bahwa satu unit operasi muroami biasanya berangkat sekitar pukul 6-7 pagi, dan perjalanan ke lokasi sekitar 1 jam. Sekitar pukul 8 pagi seorang kepala laut sudah mulai menyelam untuk mencari lokasi penangkapan dan mengamati ikan yang ada di dalamnya. Jika lokasi yang dilihat tidak memuaskan, pencarian akan diteruskan dengan berpindah ke tempat lain yang biasanya tidak jauh dari lokasi pertama. Proses ini berlangsung terus sampai ditemukan lokasi yang tepat.
48
Setelah mendapatkan lokasi yang tepat, kapal yang memuat jaring dan palkah mulai menempatkan jangkar, kemudian para penyelam memasang jaring pelari dan jaring kantong pada kedalaman sekitar 5 hingga 35 m. Proses ini memakan waktu sekitar 40 menit. Faktor yang cukup berperan dalam operasi muroami adalah arus yang membantu jaring kantong dapat terbuka secara sempurna. Penyelam naik ke kapal yang memuat kompresor hookah setelah pemasangan jaring selesai dan bersiap melakukan penyelaman tahap kedua. Tahapan ini termasuk di dalamnya adalah proses penggiringan. Lama waktu penggiringan sangat bervariasi antara 10-40 menit, pada selang kedalamannya 5-35 m. Interval waktu antara penyelaman cukup pendek, sekitar 10 menit (Gambar 1). Penyelam mengangkat jaring kantong ke permukaan secepat mungkin, setelah ikan digiring ke dalam jaring kantong. Kemudian penyelam kembali masuk ke dalam perairan untuk membongkar jaring pelari. Proses pelepasan jaring pelari ini biasanya memakan waktu sekitar 20 menit (Marnane et al 2004).
Gambar 1 Pengoperasian muroami di Kepulauan Karimunjawa (Marnane et al 2004). 2.3 Daerah Penangkapan Ikan Simbolon (2005) dalam Sondita dan Solihin (2006) menyatakan bahwa daerah penangkapan ikan adalah wilayah perairan tempat berkumpulnya ikan, dimana operasi penangkapan dapat dilakukan dengan alat tangkap tertentu secara
49
produktif dan menguntungkan. Daerah penangkapan ikan bagi alat tangkap muroami adalah di perairan karang pada kedalaman antara 10-25 m atau biasa disebut “karang dalam” yang letak dasar lautnya tidak terlalu miring. Berdasarkan hasil penelitian Marnane et al (2004), jaring muroami dipasang di sekitar terumbu karang dengan kedalaman sekitar 10 hingga 20 m dan penyelam memulai penggiringan pada kisaran kedalaman 5 hingga 35 m. Pengoperasian muroami pada kedalaman tersebut berkaitan dengan habitat ikan ekor kuning yang umumnya tersebar pada kedalaman 0-40 m.
2.4 Musim Penangkapan dan Hasil Tangkapan Musim penangkapan muroami terdapat tiga musim, yaitu musim barat pada bulan Desember-Maret, musim timur pada bulan Juni-September, dan musim peralihan pada bulan April-Mei dan Oktober-November (Anonymous 2000). Musim puncak atau musim banyak ikan pada pengoperasian muroami terjadi pada musim timur (Juni-September). Hasil tangkapan utama dari alat tangkap muroami adalah ikan ekor kuning (Caesio cuning). Selain ekor kuning alat tangkap muroami juga dapat menangkap jenis ikan karang lainnya yang merupakan hasil tangkapan sampingan seperti ikan penjalu (Caesio coerulaureus), pisang-pisang (C.chrysononus), Sunglir (Elagatis bipinnulatus), selar kuning (Caranx leptolepis), dan kuwe macan (Caranx spp.) (Subani dan Barus 1989).
2.5 Ikan Karang 2.5.1 Tingkah laku ikan karang Ikan karang adalah ikan yang hidup di daerah terumbu karang sejak juvenil (anakan) sampai dewasa (Sale 1991). Ikan ini hidup berasosiasi dengan terumbu pada habitat yang disukainya, yaitu daerah yang tersedia banyak makanan dan aman. Ikan karang menggunakan bentuk-bentuk terumbu karang untuk pertahanan diri dari pemangsa (Hutomo 1986 diacu dalam Noegroho 2007). Keragaman spesies ikan karang sangat tinggi. Salah satu penyebab tingginya keragaman spesies tersebut adalah karena variasi habitat yang terdapat di terumbu. Terumbu karang tidak hanya terdiri dari karang saja, tetapi juga daerah berpasir, berbagai
50
teluk dan celah, perairan yang dangkal dan dalam serta zona-zona yang berbeda melintasi karang. Jumlah spesies yang besar dan pembagian habitat ini, menunjukkan bahwa kebanyakan ikan karang, meskipun gerakannya jelas, tetapi ternyata terbatas pada daerah tertentu di terumbu dan sangat terlokalisasi. Ikan karang juga tidak berpindah dan didominasi iakn yang berukuran kecil seperti ikan belosoh, ikan tembakul, dan ikan betok yang terkenal dalam mempertahankan wilayahnya.
2.5.2 Distribusi ikan karang Distribusi harian ikan karang dapat dibagi menjadi tiga kelompok ikan, yaitu ikan diurnal, nokturnal dan crespuscular. Ikan diurnal aktif berinteraksi pada siang hari. Ikan nokturnal kehidupannya aktif pada malam hari. Adapun ikan crespuscular aktif pada waktu diantara waktu siang dan malam. Distribusi ikan karang di ekosistem terumbu karang sebagian besar adalah ikan diurnal. Ikan karang tersebut mencari makan dan tinggal di permukaan karang dan memakan plankton yang lewat diatasnya. Ikan diurnal ini meliputi famili Pomacentridae, Chaetodontidae, Acanthuridae, Labridae, Lutjanidae, Balistidae, Serranidae, Cirrhitidae, Tetraodontidae, Blenniidae, dan Gobiidae (Allen dan Steene 1990 diacu dalam Noegroho 2007). Ikan nokturnal atau ikan yang aktif pada malam hari terdapat dalam jumlah yang kecil. Ikan ini pada siang hari menetap pada gua dan celah-celah karang. Ikan tersebut termasuk ke dalam famili Holocentridae, Apogonidae, Haemulidae, Muraenidae, Scorpaenidae, Serranidae dam Labridae. Sejumlah kecil ikan lainnya yang sering melintasi ekosistem terumbu karang adalah dari famili Scombridae, baracuda (Sphyraenidae), ekor kuning (Caesionidae) dan Hiu (Sprynidae) (Allen dan Steene 1990 diacu dalam Noegroho 2007). Ikan crespuscular atau ikan yang aktif di pergantian siang dan malam terdapat dalam jumlah yang kecil dan kadang aktif juga pada siang hari (diurnal). Beberapa famili yang termasuk dalam kelompok ikan crespuscular antara lain dari famili Sphyraenidae, Serranidae, Carangidae, Scorpaenidae, Synodontidae, Carcharhinidae, Spyrnidae, dan Muraenidae (Allen dan Steene 1990 diacu dalam Noegroho 2007).
51
Nybakken (1992) menyatakan bahwa perbedaan-perbedaan antara ikan diurnal dan nokturnal merupakan salah satu cara yang memungkinkan timbulnya sejumlah besar spesies di terumbu tanpa adanya persaingan langsung. Umumnya ikan yang terlihat pada siang hari tidak ditemui pada malam harinya. Ikan diurnal tersebut berlindung di dalam terumbu dan digantikan oleh sejumlah kecil spesies nokturnal yang tidak terlihat pada siang hari.
2.6 Klasifikasi Ikan Ekor Kuning (Caesio cuning) Ikan ekor kuning merupakan salah satu sumber daya ikan konsumsi di perairan karang dan merupakan target penangkapan muroami. Pengklasifikasian ikan ekor kuning (Caesio cuning) menurut Nelson (2006), adalah sebagai berikut : Kingdom
: Animal
Phylum
: Chordata
Kelas
: Actinopterygii
Ordo
: Perciformes
Famili Genus Spesies
: Caesionidae : Caesio : Caesio cuning
Gambar 2 Ikan ekor kuning (Caesio cuning). Ikan ekor kuning (Gambar 2) memiliki ciri morfologi yaitu badan memanjang, melebar, gepeng, mulut kecil dan serong. Ikan ekor kuning pun memiliki gigi kecil, lancip, tersusun beberapa baris pada rahangnya. Dua gigi taring pada rahang bawah dan yang halus pada langit-langit. Jari-jari keras sirip punggung berjumlah 10 dan jari-jari lemah sirip berjumlah 15. Jari-jari keras pada sirip dubur berjumlah 3 dan jari-jari sirip lemah berjumlah 11. Terdapat 52-58 sisik tipis pada garis rusuknya. Sisik-sisik kasar di bagian atas dan bawah garis
52
rusuk tersusun horisontal, sisik pada kepala mulai dari mata. Ikan ekor kuning memiliki warna ungu-kebiruan pada bagian atas sampai punggung, dan birukeputihan pada bagian belakang punggung, batang ekor, sebagian dari sirip punggung yang berjari-jari lemah, serta kuning pada sirip dubur dan sirip ekor. Pada bagian bawah kepala, badan, sirip perut dan dada berwarna merah jambu dan pinggiran sirip punggung sedikit hitam serta ketiak sirip dada hitam (Direktorat Jenderal Perikanan 1979). Ikan ekor kuning termasuk plankton feeder, yaitu pemakan plankton. Hidup di perairan pantai, karang-karang, perairan karang, dan membentuk gerombolan besar. Panjang tubuhnya dapat mencapai panjang 35 cm, umumnya 25 cm (Kuiter dan Tonozuka 2004). Famili Caesionidae memiliki ciri khas yaitu bergerombol (schooling) dalam ukuran yang besar, berenang dengan cepat (fast-swimming), memakan zooplankton, dan banyak terdapat di kolom perairan sepanjang tepi lereng terumbu karang. Ikan ekor kuning dapat hidup di perairan pada kedalaman 0-40 m (Allen 2000). Ikan ekor kuning tersebar di perairan karang seluruh Indonesia, Teluk Benggala, Teluk Siam, sepanjang pantai Laut Cina Selatan, bagian Selatan Ryukyu, sampai perairan panas Australia (Subani dan Barus 1989).
2.7 Klasifikasi Ikan Pisang-pisang (Caesio pisang) Ikan pisang-pisang (Caesio pisang) merupakan salah satu jenis spesies dari famili Caesionidae. Klasifikasi ikan pisang-pisang (Caesio pisang) menurut Carpenter (1988), adalah sebagai berikut : Kingdom
: Animal
Phylum
: Chordata
Kelas
: Actinopterygii
Ordo
: Perciformes
Famili Genus Spesies
: Caesionidae : Pterocaesio : Pterocaesio pisang
53
Gambar 3 Ikan pisang-pisang (Pterocaesio pisang). Berdasarkan Ditjen Perikanan (1979) ikan pisang-pisang memiliki badan yang memanjang, langsing, dan gepeng serta memiliki sisik-sisik kecil jenis ctenoid. Mulutnya kecil dan dapat disembulkan. Pada sirip punggung terdapat sirip jari-jari keras berjumlah 10 dan jari-jari lemah berjumlah 14-15. Sementara pada sirip dubur memiliki 3 buah sirip jari-jari keras dan 11-12 jari-jari lemah. Sisik pada garis rusuk berjumlah 67-77, sementara sisik di bagian atas dan bawah gurat sisi tersusun horisontal. Pangkal sirip punggung dan dubur hampir setengahnya tertutup sisik. Pada tubuh bagian atas berwarna ungu kebiruan dan pada bagian bawah berwarna ungu keputihan. Terdapat garis panjang warna kuning memanjang badan melalui garis rusuk. Siripnya berwarna ungu kekuningan atau kadang-kadang kemerah-merahan. Ukuran panjang tubuhnya dapat mencapai 20 cm, namun umumnya memiliki ukuran 15 cm. Ikan pisang-pisang hidup bergerombol (school) di daerah pantai dan karang, serta merupakan pemakan plankton. Daerah penyebarannya yaitu di seluruh perairan Indonesia (Ditjen Perikanan 1979).
2.8 Klasifikasi Ikan Kakaktua (Scarus sp) Ikan kakaktua (Scarus sp) memiliki rahang atas dan bawah yang tumbuh seperti paruh burung kakaktua, sehingga lebih dikenal sebagai ikan kakaktua atau parrotfish. Berikut adalah klasifikasi ikan kakaktua (Scarus sp) menurut Nelson (2006) : Kingdom Phylum Kelas Ordo
: Animal : Chordata : Actinopterygii : Perciformes
54
Famili
: Scaridae
Genus Spesies
: Scarus : Scarus sp
Gambar 4 Ikan kakaktua (Scarus sp). Ikan kakaktua menurut Ditjen Perikanan (1979) memiliki badan yang memanjang. Jari-jari keras sirip punggung berjumlah 9 dan jari-jari lemah berjumlah 9-10. Pada sirip dubur memiliki 3 jari-jari keras dan 14 jari-jari lemah. Ikan kakatua memiliki sisik yang besar. Gigi ikan kakaktua berwarna hijau-biru. Pada bagian atas kepala dan bagian depan badan berwarna biru kegelapan atau abu-abu gelap kekuningan. Sementara pada bagian bawah kepala berwarna merah kekuningan. Terdapat garis biru pada dagu dan garis hijau memanjang mulai dari mulut melewati bawah mata sampai perbatasan penutup insang. Sirip punggung berwarna kuning kemerahan dengan pinggiran atas sirip berwarna biru. Diantara jari-jari sirip punggung terdapat titiktitik besar berwarna hijau. Pada sirip dubur berwarna biru keunguan dan warna biru dengan garis merah pada sirip ekor. Sementara pada sirip dada berwarna kekuningan dengan warna merah pada bagian atas (Ditjen Perikanan 1979). Ikan kakaktua biasanya memiliki warna yang berbeda untuk setiap jantan dan betina dalam spesies yang sama. Ikan betina memiliki warna yang lebih gelap sedangkan jantannya memiliki warana yang cerah. Ikan ini bersifat diurnal, tidur di gua-gua yang kecil dan dapat membuat lapisan mukus di sekeliling tubuhnya untuk proteksi diri (Kuiter 1992 diacu dalam Akbar 2008). Ikan kakaktua merupakan omnivora dan akan memakan alga karang, beberapa karang, dan krustasea (http://www.marinedepotlive.com). Ikan kakaktua
55
hidup pada perairan pantai dan karang, serta tersebar di seluruh perairan Indonesia dan indo-pasifik (Ditjen Perikanan 1979).
2.9 Diversitas Hasil Tangkapan Diversitas atau keanekaragaman hayati adalah istilah untuk derajat kanekaragaman sumberdaya alam yang mencakup jumlah dan frekuensi spesies dan genetik yang terdapat dalam wilayah tertentu (McNeely 1992 diacu dalam Harteman 2003). Komponen utama dari kanekaragaman adalah kesamarataan atau equilibilitas dalam pembagian individu yang merata diantara jenis (Odum 1971). Harteman (2003) menyatakan bahwa keanekaragaman hayati tidak merata di seluruh perairan planet bumi ini. Pada umumnya ekosistem perairan tropik Indonesia mempunyai keanekaragaman hayati terbesar, karena letak geografisnya yang berada diantara dua benua Asia dan Australia serta ditemukan banyak relung ekologi di berbagai habitat air tawar, payau dan laut. Krebs (1989) menyatakan pengukuran keanekaragaman diperlukan untuk mengestimasi arti penting suatu spesies dalam komunitas tertentu. Diversitas dapat diukur melalui berbagai cara dengan berbagai kisaran nilai indeks. Namun, seluruh pengukuran yang ada mengindikasikan kekayaan jenis (richness) dan menggambarkan jumlah individu suatu spesies diantara individu semua spesies (Jennings, et al. 2001) Terdapat dua cara pendekatan yang digunakan untuk menganalisis keragaman jenis dalam keadaan yang berlainan, yaitu (Odum 1971): 1) Pembandingan-pembandingan yang didasarkan pada bentuk, pola atau persamaan kurva banyaknya jenis; 2) Pembandingan yang didasarkan pada indeks keanekaragaman, yang merupakan nisbah atau pernyataan matematika lainnya dari hubunganhubungan jenis kepentingan. Wiyono et al (2006) menyatakan bahwa indeks diversitas Shannon H’ telah banyak digunakan untuk menggambarkan dinamika musiman dari tingkat selektifitas suatu alat tangkap terhadap target penangkapan. Nilai indeks diversitas yang tinggi mengindikasikan bahwa alat tangkap tersebut memiliki tingkat selektivitas yang rendah terhadap target penangkapan. Begitu pula sebaliknya,
56
nilai indeks yang rendah mengindikasikan bahwa alat tangkap tersebut memiliki tingkat selektivitas yang tinggi terhadap target penangkapan.
2.10 Produktivitas Produktivitas merupakan konsep universal yang berlaku bagi semua sistem ekonomi dan sistem sosial. Produktivitas menurut Ravianto (1986) adalah perbandingan antara hasil yang dicapai dengan keseluruhan sumberdaya yang dipergunakan. Produksi dan produktivitas merupakan dua pengertian yang berbeda. Peningkatan produksi dicapai,
sedangkan
menunjukkan pertambahan jumlah hasil yang
peningkatan
produktivitas
mengandung
pengertian
pertambahan hasil dan perbaikan cara pencapaian produksi tersebut. Peningkatan produksi tidak selalu disebabkan oleh peningkatan produktivitas karena produksi dapat meningkat walaupun produktivitas tetap atapun menurun Terdapat dua metode pengukuran produktivitas yang berbeda satu dengan lainnya. Pertama adalah mengukur produktivitas secara kuantitatif, seperti ukuran (size), panjang (length), banyaknya unit, berat, waktu, dan banyaknya tenaga kerja, metode ini disebut juga produktivitas fisik. Sementara, metode yang kedua adalah mengukur produktivitas dengan menggunakan nilai uang (value) yang dinyatakan dalam yen, dollar, rupiah, dan seterusnya yang juga disebut produktivitas nilai (Ravianto 1986). Ravianto
(1986)
lebih
lanjut
mengungkapkan
bahwa
peningkatan
produktivitas dapat dilihat dalam tiga bentuk, yaitu : 1) Jumlah produksi meningkat dengan menggunakan sumberdaya yang sama; 2) Jumlah produksi yang sama atau meningkat dicapai dengan menggunakan sumberdaya yang kurang; 3) Jumlah produksi yang jauh lebih besar diperoleh dengan pertambahan sumberdaya yang relatif kecil. Analisis produktivitas dilakukan untuk melihat hubungan faktor-faktor produksi yang meliputi (Sparre dan Venema 1999) : 1) Hasil tangkapan setiap hari, bulan atau tahun (kg); 2) Upaya penangkapan setiap hari, bulan atau tahun (unit).
57
Produktivitas suatu alat tangkap dapat diduga dengan melihat hubungan antara hasil tangkapan (catch) dengan upaya penangkapan (effort) yang disebut CPUE (Gulland 1983). Rumus yang digunakan untuk mengetahui CPUE adalah sebagai berikut (Sparre dan Venema 1999) : CPUE = C E keterangan : CPUE : Hasil tangkapan per upaya penangkapan C : Hasil tangkapan per tahun (kg) E : Upaya penangkapan per tahun (unit) Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No.38 tahun 2003 menyatakan bahwa produktivitas kapal perikanan dapat diketahui dengan dua cara, yaitu : 1) Hasil tangkapan per upaya penangkapan merupakan pembagian antara produksi hasil tangkapan dengan upaya penangkapan yang beroperasi di suatu perairan. Hasil tangkapan yang didapatkan berupa jumlah ikan hasil tangkapan dari salah satu kelompok sumberdaya ikan (pelagis, demersal, dan lain sebagainya) dengan satuan berat (ton atau kg). Sedangkan upaya penangkapan berupa jumlah unit atau trip hari operasi penangkapan; 2) Laju tangkap perikanan menggunakan data series, minimal selama lima tahun. Semakin panjang series waktu yang digunakan semakin tajam prediksi yang diperoleh. Cara perhitungannya yaitu dengan membagi total hasil tangkapan (dalam satuan ton atau kg) dengan total effort standard (trip hari operasi).
58
3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di perairan Kepulauan Seribu pada bulan Maret 2008. Peta daerah penelitian dapat dilihat pada Lampiran 1.
3.2 Alat Penelitian Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah timbangan dengan skala 10 gram, penggaris atau meteran dengan ketelitian 1 mm, data sheet, kamera, alat tulis, dan GPS (global positioning system) merk Garmin.
3.3 Metode Pengumpulan Data Metode penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif survei. Penelitian ini merupakan penyelidikan yang diadakan untuk memperoleh fakta dari gejala yang ada dan mencari keterangan secara faktual, baik tentang institusi sosial, ekonomi, atau politik dari suatu kelompok maupun suatu daerah (Nazir 1988). Pengumpulan data dilakukan dengan cara pengamatan atau observasi langsung di daerah yang menjadi objek penelitian, yaitu perairan Kepulauan Seribu dan wawancara dengan nelayan muroami. Pengumpulan data dilakukan untuk mengambil data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang dikumpulkan secara langsung selama penelitian. Data primer diperoleh dengan mengikuti kegiatan operasi penangkapan muroami dan wawancara dengan nelayan muroami. Data primer dalam penelitian ini meliputi konstruksi muroami serta pengoperasiannya, posisi daerah penangkapan ikan tempat dimana operasi penangkapan ikan dilakukan, jumlah hasil tangkapan per spesies pada setiap posisi penangkapan, komposisi jenis hasil tangkapan, sebaran distribusi panjang per spesies ikan utama yang tertangkap pada setiap posisi penangkapan, dan sebaran distribusi berat per spesies ikan utama yang tertangkap pada setiap posisi penangkapan. Data sekunder adalah data yang didapatkan dari penelusuran pustaka dan dari instansi terkait. Data sekunder dalam penelitian ini meliputi : 1) Keadaan umum daerah dan peta Kepulauan Seribu;
59
2) Geografi dan topografi Kepulauan Seribu; 3) Volume dan jumlah produksi perikanan laut di Kepulauan Seribu; 4) Produksi dan nilai produksi per jenis ikan di Kepulauan Seribu; 5) Jumlah dan jenis unit penangkapan ikan di Kepulauan Seribu. Data sekunder tersebut diperoleh dari Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan DKI Jakarta, Buku Data Statistik Perikanan Tangkap Indonesia Departemen Kelautan dan Perikanan, dan Suku Dinas Perikanan dan Kelautan Kepulauan Seribu. Penentuan
fishing
ground
yang
akan
dibandingkan
ukuran
hasil
tangkapannya dipilih berdasarkan fishing ground yang paling sering didatangi oleh nelayan muroami. Pada saat penelitian dilakukan 8 trip operasi muroami dengan 3-6 kali setting dalam 1 kali tripnya. Dari 8 trip tersebut terdapat kecenderungan mengelompoknya fishing ground yang didatangi dalam suatu wilayah perairan tertentu. Setiap posisi setting muroami dicatat dan diproyeksikan pada peta sehingga dapat diketahui fishing ground mana yang paling banyak dilakukan setting. Setelah diproyeksikan pada peta, dapat diketahui bahwa terdapat tiga daerah penangkapan ikan (fishing ground) yang paling sering didatangi nelayan pada saat penelitian. Tiga daerah penangkapan ikan yang dikaji yaitu pada posisi 5o35’00”-5o36’00” LS – 106o32’30”-106o33’30” BT disebut fishing ground 1 (FG 1) dengan jumlah setting adalah empat kali, pada posisi 05o37’30”-05o36’30” LS – 106o32’30”-106o33’30” BT disebut fishing ground 2 (FG 2) dengan jumlah setting adalah delapan kali dan pada posisi 05o36’00”05o37’00” LS – 106o34’00”-106o35’00” BT disebut fishing ground 3 (FG 3) dengan jumlah setting adalah tujuh kali.
3.3.1 Pengambilan data hasil tangkapan Data hasil tangkapan diperoleh dari hasil pencatatan hasil tangkapan setiap kali hauling pada satu posisi penangkapan ikan pada operasi penangkapan ikan. Data hasil tangkapan meliputi jumlah hasil tangkapan per spesies, komposisi jenis hasil tangkapan, sebaran distribusi panjang per spesies ikan yang tertangkap, dan sebaran distribusi berat per spesies ikan yang tertangkap. Data tersebut dicatat pada setiap posisi operasi penangkapan ikan.
60
Untuk mendapatkan data panjang dan berat hasil tangkapan tiap spesies, ditarik sampel sebanyak satu ember secara acak dari seluruh hasil tangkapan setiap kali hauling. Hasil dari sampling satu ember tersebut digunakan untuk pendugaan distribusi panjang dan berat ikan secara keseluruhan setiap kali hauling. Terdapat dua asumsi yang digunakan dalam pengambilan sampling, yaitu: 1. Volume ember yang dijadikan sampling adalah sama 2. Ukuran ikan yang dijadikan sampling memiliki keberagaman yang sama dengan populasinya. Panjang tubuh ikan yang diukur adalah panjang cagak dan panjang total. Panjang cagak adalah panjang tubuh ikan mulai dari ujung mulut depan hingga pangkal cagak ekor ikan, untuk ikan yang memiliki sirip ekor yang keras (tuna) atau bentuk siripnya khusus (Nemipteridae) (Sparre dan Venema 1999). Panjang total adalah panjang tubuh ikan mulai dari ujung mulut depan hingga ujung ekor ikan, bagi ikan dengan bentuk ekor selain bentuk cagak (Gambar 3). Pc
8
1 9
Gambar 5 Cara pengukuran panjang ikan. Sumber : http://www.o-fish.com/spesies/UkuranIkan.htm
Keterangan : Pt : Panjang Total (1-8) Pc : Panjang Cagak (1-9)
3.3.2 Penentuan posisi kapal Posisi kapal ditentukan dengan menggunakan GPS (Global Positioning System). Posisi yang dicatat adalah posisi setting atau posisi dimana kantong dipasang dan posisi awal penggiringan dilakukan.
61
3.4 Analisis Data 3.4.1 Analisis unit penangkapan ikan Hasil pengumpulan data unit penangkapan muroami dianalisis secara deskriptif. Analisis secara deskriptif yaitu dengan menguraikan konstruksi alat tangkap muroami, kapal yang digunakan dalam pengoperasian muroami, dan jumlah nelayan yang mengoperasikan muroami secara rinci.
3.4.2 Analisis metode pengoperasian muroami Hasil pengamatan terhadap metode pengoperasian muroami yang dilakukan dengan mengikuti operasi muroami selanjutnya dianalisis secara deskriptif. Analisis ini meliputi proses setting, penggiringan ikan, dan hauling.
3.4.3 Analisis komposisi hasil tangkapan Hasil tangkapan setiap hauling diidentifikasi terlebih dahulu dan dikelompokkan berdasarkan spesiesnya, lalu diukur panjang dan beratnya berdasarkan ekor per spesies. Komposisi hasil tangkapan dapat diperoleh dengan cara data diolah menggunakan software Microsoft Excel 2003 untuk melihat perbandingan jumlah dan bobot antar spesies dalam satu kali hauling.
3.4.4 Analisis diversitas hasil tangkapan Keanekaragaman dihitung berdasarkan indeks keanekaragaman untuk menggambarkan komunitas secara matematis dan mempermudah analisis keanekaragaman. Selektivitas alat tangkap terhadap target penangkapan dapat digambarkan dengan menggunakan indeks diversitas Shannon-Wiener H’ (Margurran 1988 diacu dalam Wiyono et al 2003) : n
H ' = −∑ pi ln pi i =1
n ⎛ ni ⎞ ⎛ ni ⎞ H ' = −∑ ⎜ ⎟ ln⎜ ⎟ ⎝N⎠ i =1 ⎝ N ⎠
Keterangan : H’ : indeks diversitas Shannon-Wiener Pi : proporsi spesies ke-i
62
ni : jumlah individu spesies ke-i N : jumlah total individu semua spesies Nilai keanekaragaman (selektivitas alat tangkap) kemudian ditentukan dengan kriteria (Wiyono et al 2003) : H’ > 0,1 : keanekaragaman tinggi, tingkat selektivitas alat tangkap rendah H’ ≈ 0
: keanekaragaman rendah, tingkat selektivitas alat tangkap tinggi
Kisaran nilai indeks diversitas tersebut hanya berlaku pada diversitas hasil tangkapan untuk menentukan tingkat selektivitas alat tangkap.
3.4.5 Analisis dominansi hasil tangkapan
Analisis dominansi didasarkan pada Indeks Simpson dalam Odum (1971), dengan rumus : D = ∑ ( pi ) n
2
i =1
n ⎛ ni ⎞ D = ∑⎜ ⎟ i =1 ⎝ N ⎠
2
Keterangan : D : indeks dominansi Pi : proporsi spesies ke-i ni : jumlah individu pada spesies ke-i N : jumlah individu semua spesies dengan kisaran indeks dominansi adalah : D > 1 : dominansi tinggi, tingkat selektivitas alat tangkap tinggi D ≈ 0 : dominansi rendah, tingkat selektivitas alat tangkap rendah Kisaran nilai indeks dominansi tersebut hanya berlaku pada dominansi hasil tangkapan untuk menentukan tingkat selektivitas alat tangkap.
3.4.6 Analisis produktivitas alat tangkap muroami
Produktivitas muroami dihitung berdasarkan data hasil tangkapan per hauling, sehingga didapatkan produktivitas hauling dengan rumus :
63
P=
keterangan : P : Produktivitas ΣC : jumlah hasil tangkapan (kg) Σh : jumlah hauling (hauling)
∑C ∑h
64
4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Kepulauan Seribu
Kepulauan Seribu terletak di sebelah utara Kota Jakarta yang secara geografis berada pada 5o10’00”-5o59’30” LS dan 106o19’30”-106o44’50” BT. Luas wilayah daratan sekitar 834,65 Ha sedangkan luas perairan laut sekitas 7000 km2. Pulau Paling utara yaitu Pulau Sebira terletak di jarak sekitar 100 mil dari daratan Teluk Jakarta. Wilayah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu secara fisik dibatasi oleh Laut Jawa pada sebelah utara dan timur, Kecamatan Cengkareng, Penjaringan, Pademangan, Tj.Priok, Koja, Cilincing dan Tangerang pada sebelah selatan, dan berbatasan dengan Laut Jawa atau Selat Sunda pada sebelah Barat (Anonymous 2000). Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2001 tentang Pembentukan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu menyatakan Pemerintah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu resmi terbentuk dan efektif melaksanakan tugasnya dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat di Kepulauan Seribu. Kepulauan Seribu memiliki dua kecamatan, yaitu kecamatan Kepulauan Seribu Utara dan kecamatan Kepulauan Seribu Selatan. Jumlah kelurahan pun menjadi 6 buah. Kelurahan tersebut adalah Kelurahan Pulau Kelapa, Kelurahan Pulau Pramuka dan Kelurahan Pulau Panggang yang termasuk ke dalam kecamatan Kepulauan Seribu Utara. Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan meliputi 3 kelurahan yaitu Kelurahan Pulau Tidung, Kelurahan Pulau Pari dan Kelurahan Pulau Untung Jawa. 4.2 Topografi Kepulauan Seribu
Wilayah Kepulauan Seribu terdiri dari gugusan kepulauan yang pada umumnya bertopografi landai (0-5%) dengan ketinggian permukaan daratan berkisar antara 0-2 m di atas permukaan laut. Luas daratan masing-masing pulau tersebut dipengaruhi oleh adanya pasang surut yang mencapai ketinggian 1-1,5 m di atas permukaan laut. Spesifikasi topografi pulau di Kepulauan Seribu merupakan daratan rendah pantai dan perairan yang dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Anonymous 2000) :
65
1) Wilayah Sub Litoral Wilayah ini merupakan bagian pantai dari batas air surut terendah sampai dasar perairan yang umumnya mencapai kedalaman 20-30 m. Pada tempat-tempat tertentu dapat mencapai 75 m seperti perairan Pulau Karang Congkak. Beberapa laguna yang cukup luas dijumpai di sekitar Karang Congkak, Karang Sempit dan Pulau Panggang; 2) Wilayah Litoral Wilayah ini merupakan bagian pantai yang terletak antara batas pasang tertinggi dan surut terendah. Wilayah ini dapat dijumpai beberapa tumbuhan khas pantai seperti bakau, pidada dan api-api; 3) Wilayah Supra Litoral Wialyah ini merupakan bagian pantai yang tidak pernah terndam oleh air laut pada waktu pasang tertinggi. Daerah ini terdiri dari pasir putih dan pecahan karang serta beberapa tempat diantaranya sebagai habitat peneluran penyu sisik. Anonymous (2000) lebih lanjut menyatakan bahwa daratan pulau di wilayah Kepulauan Seribu terdiri dari tanah alluvial yang tidak berbeda dengan tanah pantai kapur yang berasal dari sedimentasi karang. Di samping mempunyai persamaan dalam jenis tanah dan juga vegetasi, beberapa pulau memiliki ciri atau karakteristik khusus, yaitu : 1) Pulau-pulau tersebut mempunyai pantai karang dan pantai pasir putih yang luas serta mempunyai atol meskipun dalam ukuran yang relatif kecil, kecuali di Pulau Pari; 2) Pulau-pulau mempunyai fringing reef sehingga pantai-pantai karangnya melekuk ke bawah membentuk laguna yang indah, diantaranya adalah sekitas gugusan Pulau Pari, Pulau Tikus, dan Pulau Kotok.
4.3 Geologi Kepulauan Seribu
Menurut Anonymous (2000) wilayah Kepulauan Seribu terdiri atas lautan, pulau-pulau, pulau karang, gugusan karang (reef flat dan coral reef), dan gosong. Wilayah ini pada umumnya terdiri dari batu-batuan kapur (karang), pasir, dan sedimen yang berasal dari daratan Pulau Jawa dan dari Laut Jawa. Hal ini disebabkan adanya arus laut yang cukup kuat.
66
Proses pembentukan pulau-pulau di Kepulauan Seribu telah dimulai sejak jutaan tahun yang lalu. Gaya pembentukan tersebut masih berlangsung sampai saat ini. Penelaahan pertumbuhan dan perkembangan terumbu karang yang membangun pulau-pulau tersebut dapat ditinjau dari sudut pandang geologi, geomorfologi, dan biologi (Anonymous 2000). Secara geologi Anonymous (2000) juga menyatakan bahwa keberadaan pulau karang di perairan laut terwujud dari gaya eksogen maupun endogen yang bekerja terhadap bumi. Namun yang terpenting adalah peran serta organisme terumbu karang sebagai komponen dasar pembentukan pulau tersebut. Penyebaran jenis batuan di Kepulauan Seribu menurut kedalaman lautnya adalah sebagai berikut : 1) Batuan kapur (karang) pada kedalaman 0-10 m; 2) Batuan pasir dan karang pada kedalaman 10-20 m; 3) Batuan pasir dan sedimen pada kedalaman > 20 m.
4.4 Iklim
Kondisi iklim di Kepulauan Seribu ini termasuk iklim tropik panas dengan suhu maksimum rata-rata 32,3oC dan suhu minimum rata-rata 21,6oC, dimana suhu rata-ratanya adalah 27oC dengan kelembaban udara sekitar 80%. Musim yang dominan adalah musim barat (musim angin barat disertai hujan lebat) dan musim timur (musim angin timur dan kering) (Anonymous 2000). Musim barat berlangsung dari bulan Desember sampai dengan bulan Maret. Pada musim ini, angin berhembus kencang dan arus kuat bergerak dari barat daya sampai barat laut disertai hujan yang cukup deras. Kecepatan angin mencapai 0,7-20 knot/jam. Akibat arus yang kuat, kejernihan air laut menjadi berkurang. Kecepatan arus dapat mencapai 4-5 knot/jam dengan tinggi gelombang dapat mencapai 2 m (Anonymous 2000). Anonymous (2000) lebih lanjut menyatakan bahwa musim timur berlangsung dari bulan Juni sampai dengan September. Angin bertiup dari arah timur sampai dengan tenggara berkecepatan 0,7-1,5 knot/jam. Musim peralihan terjadi antara bulan April sampai dengan bulan Mei dan dari bulan Oktober
67
sampai dengan bulan November. Keadaan laut pada musim ini berubah-ubah tetapi relatif cukup tenang. Curah hujan bulanan bervariasi sekitar 100-400 mm pada musim barat dan 50-100 mm pada musim timur. Bulan-bulan yang tenang dan cocok untuk aktivitas bahari adalah pada bulan April sampai dengan Agustus (Anonymous 2000).
4.5 Oseanografi
Keadaan laut di wilayah Kepulauan Seribu secara umum mempunyai konfigurasi dasar perairan yang relatif datar dengan sedikit cekungan ke dalam. Kedalaman rata-rata pada rataan terumbu di sekeliling pulau bervariasi antara 1-5 m. Kedalaman laut di luar rataan terumbu bervariasi antara 20-40 m. Dasar perairan yang masih terkena penetrasi cahaya, tertutup oleh terumbu karang yang sedang tumbuh maupun yang telah mati (Anonymous 2000). Puslitbang Oseanologi-LIPI dalam Anonymous (2000) membagi kawasan perairan laut di Kepulauan Seribu menjadi 3 kelompok, yaitu : 1) Kelompok selatan, yaitu perairan laut mulai dari Teluk Jakarta sampai sekitar Pulau Bidadari dan Rambut. Kelompok ini ditandai dengan keruhnya perairan laut serta relatif miskinnya biota yang berasosiasi dengan terumbu karang; 2) Kelompok tengah, yaitu perairan laut sekitar Pulau Pari, Lancang, Semak Daun dan Karang Congkak. Perairan laut kelompok tengah ini relatif lebih jernih dan kehidupan biota laut lebih bervariasi. 3) Kelompok utara, yaitu perairan laut sekitar Pulau Genteng Besar, Kayu Angin Bira, Belanda sampai Penjaliran Barat. Kawasan ini memiliki perairan laut paling jernih dan biota yang berasosiasi dengan terumbu karang lebih bervariasi.
4.6 Kondisi Perikanan Tangkap 4.6.1 Kapal
Kapal perikanan secara keseluruhan di Kepulauan Seribu berjumlah 1069 pada tahun 2006. Data rinci mengenai kapal perikanan di Kepulauan Seribu pada tahun 2006 berdasarkan Suku Dinas Kepulauan Seribu (2006) dapat dilihat pada
68
Tabel 1. Ukuran kapal ikan di Kepulauan Seribu didominasi oleh kapal yang
berukuran dibawah 10 GT. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan perikanan di Kepulauan Seribu masih termasuk dalam skala kecil karena menggunakan kapal dengan ukuran kecil yaitu dibawah 10 GT. Tabel 1 Jumlah kapal perikanan menurut kelompok gross tonage (GT) di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Tahun 2006 Kecamatan Kel./Pulau
KELOMPOK GROSS TONAGE (GT) 1-2
3-4
5-6
7-8
9-10
>10
JML.
JML.
KEL
KEC. 628
Kecamatan Kepulauan Seribu Utara Kel. P. Harapan P. Harapan
77
38
62
1
2
180
P. Sebira
77
38
5
1
2
123
78
91
66
1
236
75
71
49
1
196
P. Kelapa 2
3
20
17
Kel. P. Panggang
134
54
6
16
2
212
P. Panggang
93
37
4
12
1
147
P. Pramuka
41
17
2
4
1
65
Kel. Pulau Kelapa P. Kelapa
40
441
Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan Kel. P. Tidung
83
6
1
3
16
9
118
P. Tidung
57
4
1
2
11
6
81
P. Payung
26
2
1
5
3
37
141
37
17
4
199
P. Pari
68
20
8
2
98
P. Lancang
73
17
9
2
101
74
16
31
3
124
587
242
183
28
Kel. P. Pari
Kel. P. Untung Jawa JUMLAH
20
9
1069
1069
4.6.2 Alat tangkap
Alat tangkap yang digunakan oleh nelayan Kepulauan Seribu diantaranya adalah pancing, payang, muroami, bubu, jaring dan lainnya. Jumlah setiap alat tangkap tersebut secara rinci dapat dilihat pada Tabel 2. Alat tangkap muroami di Kepulauan Seribu hanya terdapat di dua kelurahan yaitu Kelurahan Pulau Harapan dan Kelurahan Pulau Panggang dengan jumlah 30 unit muroami. Alat tangkap yang paling banyak terdapat di Kepulauan Seribu adalah pancing sebanyak 396 unit.
69
Tabel 2 Jumlah alat tangkap di Kepulauan Seribu tahun 2006 Kecamatan KEL/PULAU
KELOMPOK ALAT TANGKAP Pancing
Payang
Muroami
Bubu
Jaring
JML. KEL
JML. KEC
Lainnya
Kecamatan Kepulauan Seribu Utara Kel. P. Harapan Kel P. Kelapa Kel. P. Panggang
628
61
9
96
3
11
180
122
93
0
9
4
8
236
67
16
21
61
28
19
212
Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan
441
Kel. P. Tidung
74
0
0
17
15
12
118
Kel. P. Pari
83
0
0
52
37
27
199
Kel. P. Untung
50
0
0
71
0
3
124
396
170
30
306
87
80
1069
Jawa JUMLAH
1069
4.6.3 Nelayan
Nelayan merupakan mata pencaharian utama masyarakat Kepulauan Serubu. Pada tahun 2006, jumlah nelayan tertinggi adalah nelayan payang sebanyak 1.295 orang, sementara nelayan muroami berjumlah 630 orang (Tabel 3). Jumlah produksi muroami pada tahun 2006 adalah 370.000 kg, sementara jumlah produksi terbesar adalah payang sebesar 1.058.400 kg. Tabel 3 Jumlah nelayan dan produksi berdasarkan alat tangkap tahun 2006 NO.
Alat Tangkap
1.
Pancing
770
915.000
2.
Payang
1.295
1.058.400
3.
Muroami
630
370.000
4.
Bubu
164
287.400
5.
Jaring
361
87.045
6.
Lainnya
236
17.280
3.456
2.735.125
JUMLAH
Jumlah Nelayan
Jumlah Produksi (kg)
70
5 HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Hasil Penelitian 5.1.1 Unit penangkapan muroami 5.1.1.1 Alat tangkap
Muroami di Kepulauan Seribu merupakan muroami dengan skala yang lebih kecil dibanding dengan muroami peninggalan Jepang terdahulu yang saat ini masih terdapat di Kepulauan Karimunjawa. Muroami di Kepulauan Seribu telah mengalami modifikasi. Modifikasi yang dilakukan oleh para nelayan meliputi ukuran jaring yang lebih kecil, konstruksi elot (alat penggiring), maupun dalam jumlah kapal yang digunakan. Secara rinci, konstruksi muroami di Kepulauan Seribu (Tabel 4) adalah sebagai berikut : 1) Kantong (Gambar 6), yang berfungsi sebagai tempat tertangkapnya ikan yang telah digiring masuk. Bahan jaring kantong terdiri dari 2 jenis bahan yaitu bago atau polyethylen (PE) dan nylon. Kantong terdiri dari beberapa bagian, yaitu : a) Poncot, bagian akhir kantong tempat dimana ikan tertangkap. Bahan jaring pada bagian ini adalah PE multifilament dengan mesh size 1 cm. Pada ujung bagian poncot ini diberi pemberat berbentuk silinder yang berfungsi agar posisi kantong tidak berpindah saat dipasang di perairan. b) Ampar, bagian bawah kantong yang bersentuhan langsung dengan dasar perairan. Pada bagian ampar digunakan dua bahan jaring, yaitu PE multifilament pada bagian depan dan nylon pada bagian belakang hingga batas sebelum poncot. Penggunaan nylon pada bagian ampar ini dimaksudkan agar kantong dapat lebih mudah tenggelam di perairan, karena jika seluruh kantong berbahan PE diperlukan pemberat yang lebih banyak, karena bahan PE bersifat mengapung di air. Selain itu, penggunaan nylon juga berfungsi sebagai tempat bermain ikan sebelum masuk ke bagian pocot. Pada kedua ujung sisi ampar terdapat swivel atau kili-kili yang berfungsi agar tali ampar tidak terbelit saat ditarik.
6
7
13
1 5
2
8
10
12 Keterangan : 1. Poncot 2. Sebeng 3. Ampar bahan bago/PE 4. Ampar bahan nylon 5. Bulan-bulan
9
4 3 11
6. Tali Ampar 7. Tali bulan-bulan 8. Pelampung 9. Dinding Laut 10. Dinding darat
11. Pemberat 12. Selvedge (bahan PE) 13. Pelampung Jerigen
Gambar 6 Konstruksi alat tangkap muroami di Kepulauan Seribu.
c) Bulan-bulan, bagian atas dari kantong. Seluruhnya menggunakan bahan PE multifilament, dimana pada bulan-bulan ini dipasang beberapa pelampung pada kedua sisi jaring dan tengahnya. Hal ini bertujuan agar kantong dapat terbuka sempurna pada saat dipasang di perairan. d) Sebeng, bagian jaring pada kedua sisi kantong. Sebeng juga menggunakan bahan PE multifilament dengan mesh size 2 cm. 2) Jaring dinding atau jaring kaki (Gambar 7), berfungsi sebagai pagar pembatas dan pengarah agar ikan masuk ke kantong. Jaring dinding terdapat dua macam, yaitu dinding darat dan dinding laut. Dinding darat adalah jaring dinding yang berbentuk persegi panjang yang dipasang pada dasar perairan dengan kedalaman yang lebih dangkal atau mengarah ke darat. Sementara itu dinding laut adalah jaring dinding yang berbentuk persegi panjang yang dipasang pada dasar perairan dengan kedalaman yang lebih dalam atau mengarah ke tengah laut. Perbedaan kedalaman pemasangan kedua jaring dinding ini membuat tinggi kedua jaring juga berbeda, dimana tinggi jaring dinding darat lebih pendek dibanding dinding laut. Pada jaring dinding terdapat selvedge pada bagian bawah jaring dengan bahan PE multifilament yang berfungsi agar jaring tidak mudah rusak karena terkena karang saat dioperasikan; 3) Tali ampar, adalah tali yang terdapat pada kedua ujung sisi ampar yang berfungsi untuk menarik kantong pada saat hauling. Pada saat setting, tali ampar ini diikatkan pada sampan; 4) Tali bulan-bulan, adalah tali yang terdapat pada bagian tengah bulan-bulan. Fungsinya untuk menarik kantong pada saat hauling dan pada saat setting. Tali bulan-bulan diikatkan pada sampan; 5) Pemberat, terdapat pada jaring dinding maupun kantong yang berfungsi agar jaring dapat tenggelam ke dasar perairan; 6) Pelampung, terdapat pada jaring dinding maupun kantong yang berfungsi agar jaring dapat terentang atau membuka sempurna saat dipasang di perairan;
5
1
2
8
3
7 1. Tali pelampung 2. Tali ris atas 3. Tali ris bawah 4. Tali pemberat 5. Pelampung
6. Pemberat 7. Selvedge 8. Jaring dinding (bahan PA monofilament)
Gambar 7 Jaring dinding muroami.
6
4
7) Elot (Gambar 8), merupakan alat penggiring ikan yang berbentuk tali sepanjang 100 m dimana terdapat 7-8 tali cabang yang pada ujung tali cabang tersebut diikatkan gelang-gelang besi sebagai alat untuk menimbulkan bunyi agar ikan tergiring masuk ke kantong. Elot pada bagian horizontalnya diikatkan pita-pita dari bahan serat plastik yang disebut muncu, berfungsi sebagai penggiring tambahan. Pada elot juga terdapat pelampung berbahan plastik fiber yang dipasang pada tali elot. Tabel 4 Spesifikasi muroami di Kepulauan Seribu URAIAN A. Kantong 1) Lebar bukaan mulut : 2) Tinggi bukaan mulut : 3) Jarak dari bukaan mulut ke ujung poncot: 4) Jarak dari ampar depan (bahan PE) ke ampar belakang (bahan nylon) : 5) Jarak dari ampar belakang (bahan nylon) ke poncot : 6) Panjang pocot : 7) Ampar : - Bahan dan mesh size ampar depan : - Bahan dan mesh size ampar belakang: - Bahan tali ampar : - Panjang tali ampar : - Kili – kili (swivel) 8) Bulan-bulan - Bahan dan mesh size : 9) Poncot : - Bahan dan mesh size : 10) Bahan dan bentuk pelampung : 11) Jumlah pelampung pada kantong : 12) Bahan dan bobot pemberat : 13) Jumlah pemberat pada kantong : B. Dinding darat 1) Bahan, no.benang dan mesh size : 2) Ukuran dinding : 3) Warna : 4) Jumlah piece : 5) Jumlah mata vertikal : 6) Tali ris atas dan bawah : - Bahan dan diameter : - Pilinan : - Panjang :
KETERANGAN 16,5 m atau 11 depa 13,5 m atau 9 depa 36 m atau 24 depa 4.5 m atau 3 depa 22,5 m atau 15 depa 9 m atau 6 depa PE multifilament (bago), # 2 cm,d=1,6 mm Nylon (PA multifilament),#2cm,d=0,83mm Tali tambang, diameter 3 cm. ± 18 depa atau 27 meter Bahan : Timah/ besi PE multifilament (bago), # 2 cm,d=1,6 mm PE multifilement (bago), # 1cm,d =1,4 mm Plastik fiber, silinder 120 buah Timah, 20 kg untuk 30 pemberat 30 buah PA monofilament, no. 2000. # 2 cm 100 m x 200 mata Putih transparan 2 piece ke bawah 2 x 100 mata = 200 mata PE , d = 4 mm Z 100 m
30
Tabel 4 (Lanjutan) 7) Tali pelampung dan tali pemberat : - Bahan dan diameter : - Pilinan : - Panjang : 8) Selvedge : - Bahan : - Mesh size : C. Dinding laut 1) Bahan, no.benang dan mesh size : 2) Ukuran dinding : 3) Warna : 4) Jumlah piece : 5) Jumlah mata vertikal : 6) Tali ris atas dan bawah : - Bahan dan diameter : - Pilinan : - Panjang : 7) Tali pelampung dan tali pemberat : - Bahan dan diameter : - Pilinan : - Panjang : 8) Selvedge : - Bahan : - Mesh size :
PE, d = 4 mm Z 100 m PE (bago) 2 cm
PA monofilament, no.2000, # 2 cm 100 x 300 mata Putih transparan 3 piece kebawah 3 x 100 mata = 300 mata PE, d = 4 mm Z 100 m PE, d = 4 mm Z 100 m PE (bago) 2 cm
D. Pelampung 1) Bahan : Plastik Fiber 2) Bentuk : Silinder 3) Ukuran : (p x diameter) = 5 x 3,5 cm 4) Berat pelampung : 20 gr 5) Pelampung pada kantong : - Jumlah pelampung : 120 buah 6) Pelampung pada dinding darat dan laut: - Jumlah pelampung : 270 buah - Jarak antar pelampung : 24-26 cm E. Pemberat Timah 1) Bahan : Elips 2) Bentuk : (p x diameter) = 5 x 3,18 cm 3) Ukuran : 2 ons/ 200 gr untuk ukuran kecil 4) Berat pemberat : 5 ons/ 500 gr untuk ukuran besar 5) Pemberat pada kantong : 30 buah - Jumlah pemberat : 6) Pemberat pada dinding darat dan laut: 270 buah - Jumlah pemberat : 24-26 cm - Jarak antar pemberat :
31
Tabel 4 (Lanjutan) F. 1) 2) 3) 4) 5) 6)
Elot (alat penggiring) Bahan dan panjang tali : Warna tali : Panjang tali cabang : Jarak antar tali cabang : Bahan dan panjang muncu : Gelang-gelang besi : - Jumlah gelang besi/ tali cabang : - Diameter : -
Berat :
7) Pelampung elot : - Bahan : - Jarak antar pelampung :
Tambang, p = 100 m Coklat muda 30 cm 12,5-14 m Serat plastik, p = 30 cm 3-4 buah cincin dalam 1 rangkai d (gelang besar) = 10 cm d (gelang kecil) = 7 cm gelang besar = 500 gr gelang kecil = 300 gr Plastik fiber 25 cm
Gambar 8 Alat penggiring (elot) yang direntangkan.
5.1.1.2 Kapal
Kapal yang digunakan untuk mengoperasikan muroami ada dua jenis yaitu kapal besar dan kecil. Kapal besar yang berukuran panjang (L) = 10-12 m, lebar (B) = 2,5-3 m, dalam (depth) = 2,5 m digunakan untuk mengangkut nelayan, jaring dinding darat dan dinding laut, kompresor, selang untuk menyelam, dan menyimpan hasil tangkapan yang disimpan di dalam palkah. Adapun kapal kecil (sampan) berukuran panjang (L) = 4-5 m, lebar (B) 1,5-2 m, dalam (depth) = 1.2-1.5 m digunakan untuk membawa jaring kantong. Kapal besar dan kapal kecil tersebut terbuat dari kayu. Kapal besar menggunakan mesin sebagai tenaga penggerak, sementara itu sampan menggunakan dayung. Saat menuju fishing ground sampan diikatkan pada kapal besar dengan menggunakan tali tambang, kemudian ditarik oleh kapal besar. Mesin kapal yang digunakan oleh nelayan Kepulauan Seribu ada dua merk, yaitu Yanmar 22-24 PK dan Dongfeng 26 PK.
5.1.1.3 Nelayan
Jumlah nelayan yang mengoperasikan muroami berkisar antara 15-20 orang, dimana masing-masing nelayan mempunyai tugas yang telah ditentukan. Pembagian tugas nelayan adalah sebagai berikut : 1) Pemilik kapal adalah orang yang memiliki usaha muroami. Pemilik kapal dapat ikut dalam operasi penangkapan, namun ada pula pemilik kapal yang tidak mengikuti operasi penangkapan dan mempercayakannya kepada satu orang yang disebut juragan; 2) Juragan adalah seseorang yang ditunjuk atau dipercayakan oleh pemilik kapal sebagai pemimpin (kapten kapal) untuk mengoperasikan muroami. Juragan bertanggung jawab atas operasi penangkapan ikan dan keselamatan para ABK dari awal pemberangkatan di fishing base sampai ke fishing ground hingga kembali lagi ke fishing base. Juragan juga bertugas mengemudikan kapal selama operasi penangkapan dilakukan dan menentukan perairan mana yang akan dijadikan fishing ground serta bertanggungjawab dalam segala hal yang berkaitan dengan keberhasilan operasi penangkapan ikan;
30
3) Kepala laut adalah seseorang yang bertanggung jawab terhadap operasi penangkapan pada saat kapal telah sampai di fishing ground. Kepala laut bertugas untuk mendeteksi keadaan arus perairan sebelum dilakukan setting, baik arah maupun kekuatan arusnya. Kepala laut menentukan kapan harus memasang jaring (setting) dan kapan waktu yang tepat untuk memulai penggiringan. Hal ini penting dilakukan demi tercapainya keberhasilan operasi penangkapan; 4) Kepala tengah adalah seseorang yang tugasnya memimpin penggiringan dan umumnya posisinya berada pada kedalaman yang paling dalam (ujung luar). Umumnya jabatan kepala tengah dan kepala laut dipegang oleh satu orang yang sama; 5) Penyelam adalah para nelayan yang bertugas untuk menyelam, baik untuk memasang jaring pada saat setting maupun untuk proses penggiringan ikan. Jumlah penyelam ini antara 7-15 orang dalam satu kapal, namun dalam proses setting maupun penggiringan jumlah penyelam hanya berkisar antara 7-8 orang, disesuaikan dengan jumlah selang kompresor yang ada. Jika jumlah penyelam banyak maka nelayan penyelam yang bertugas untuk memasang alat tangkap berbeda dengan nelayan yang bertugas untuk menggiring ikan. Hal ini dilakukan untuk menghemat tenaga para penyelam yang memang sangat dibutuhkan dalam pengoperasian muroami ini; 6) Juru masak adalah seseorang yang bertugas untuk menyiapkan segala kebutuhan minum dan makan para ABK kapal yang lain selama operasi penangkapan berlangsung. Peran juru masak ini sangat penting mengingat para ABK kapal, terutama para penyelam sangat membutuhkan asupan energi yang cukup agar tetap dalam kondisi terbaik. Namun, bila pada saat operasi penangkapan kekurangan tenaga, maka juru masak pun dapat beralih fungsi sebagai penyelam dan penarik kantong pada saat hauling.
5.1.2
Alat bantu penangkapan
Alat bantu penangkapan merupakan alat-alat yang digunakan dalam proses operasi penangkapan yang berfungsi untuk membantu tercapainya keberhasilan operasi
penangkapan.
Alat
bantu
penangkapan
yang
digunakan
pada
31
pengoperasian muroami adalah selang sepanjang 100 meter, mesin kompresor sebagai penyuplai udara melalui selang ke penyelam, serok untuk memindahkan hasil tangkapan dari kantong setelah hauling ke dalam palkah, keranjang plastik untuk menyimpan hasil tangkapan, serta peralatan penyelaman yang dipakai oleh penyelam seperti sepatu karet, masker, dan regulator atau morfis. Mesin kompresor menggunakan merk Dongfeng 23 PK dan mesin penggerak seher atau gearbox merk Dongfeng 10-15 PK.
5.1.3
Metode pengoperasian muroami
Muroami di Kepulauan Seribu dioperasikan pada kedalaman antara 10-20 m pada daerah yang mempunyai dasar perairan karang hingga perairan yang lebih dalam dengan dasar perairan pasir. Muroami juga dioperasikan di tepi lereng terumbu karang, sesuai dengan habitat ikan target penangkapan yaitu ekor kuning yang hidup di tepi lereng terumbu karang. Metode pengoperasian muroami di Kepulauan Seribu terbagi ke dalam empat tahap yaitu pengecekan arus, setting atau pemasangan kantong dan jaring dinding di perairan, penggiringan ikan, hauling atau pengangkatan kantong yang sudah berisi hasil tangkapan sekaligus pelepasan jaring dinding dan penanganan hasil tangkapan diatas kapal (Gambar 9). Secara rinci proses operasi penangkapan muroami adalah sebagai berikut : 1) Pengecekan Arus Juragan selaku kapten kapal menentukan lokasi perairan yang akan dijadikan fishing ground. Setelah menemukan perairan yang diperkirakan akan dijadikan fishing ground, maka satu orang nelayan menyelam menggunakan selang yang disambungkan dengan kompresor untuk mengecek kondisi arus, baik arah maupun kekuatan arusnya. Pengecekan arus ini tidak menggunakan alat khusus, tetapi dengan cara nelayan yang menyelam merasakan dan memperkirakan berdasarkan insting dan pengalaman. Arus yang dicek pada pengoperasian muroami ini adalah arus dalam, yaitu arus pada kedalaman dimana jaring akan dipasang. Jika kemudian diketahui arus tersebut cocok untuk dilakukan operasi penangkapan, maka ABK lain segera bersiap untuk melakukan setting.
Gambar 9 Proses pengoperasian muroami di Kepulauan Seribu.
Arus yang dikatakan cocok untuk operasi penangkapan muroami adalah arus yang satu arah (barat atau timur) dengan kekuatan yang sedang (tidak terlalu kencang maupun lambat), sesuai dengan yang dinyatakan oleh Subani dan Barus (1989); 2) Setting a) Setelah diputuskan akan dilakukan setting, maka nelayan penyelam yang berjumlah 7-8 orang menyelam dengan menggunakan selang yang disambungkan dengan kompresor untuk bernapas di dalam air. Setting diawali dengan penurunan kantong dari atas sampan oleh 2 orang nelayan dan penurunan jaring dinding dari atas kapal besar. Posisi penurunan kantong diawali pada bagian poncot. Sementara itu, penyelam yang telah berada di dalam air membawa kantong dan jaring dinding tersebut ke kedalaman yang telah ditentukan untuk dipasangi kantong dan jaring dinding. Satu orang penyelam bertugas untuk memasang jaring dinding darat dan satu orang memasang jaring dinding laut, sementara sisanya memasang kantong; b) Kantong dan jaring dinding dipasang di dasar perairan dengan cara diikatkan pada batu-batuan karang. Kantong dipasang berlawanan arah arus agar kantong dapat terbuka dengan sempurna. Jika pada dasar perairan tidak ditemukan batuan karang atau dasar perairannya pasir, maka digunakan linggis sepanjang 1 m yang ditancapkan pada dasar perairan untuk diikatkan pada bagian ujung depan kantong; c) Jika arus yang ada di perairan tidak optimal membuka mulut kantong, maka pada bagian bulan-bulan diikatkan plastik ukuran 1-2 kg dengan jumlah yang disesuaikan, berfungsi sebagai pelampung tambahan agar kantong dapat terbuka dengan maksimal; d) Jaring dinding darat yang dipasang pada kedalaman yang dangkal dan jaring dinding laut yang dipasang pada kedalaman yang lebih dalam, disambungkan dengan bagian ujung depan kantong dengan cara mengikatkan kedua jaring tersebut menggunakan tali yang mudah putus. Tali tersebut biasanya terbuat dari serat-serat kayu sehingga selain kuat mengikat (menyambungkan) kantong dengan dinding, juga dapat mudah terlepas pada saat kantong ditarik
30
sebagai penanda dimulainya hauling. Fungsi kedua jaring dinding tersebut adalah sebagai sayap penggiring ikan menuju kantong; e) Tali ampar dan tali bulan-bulan yang terdapat pada kantong, diikatkan pada sampan jika proses setting telah selesai dilakukan. Hal ini dimaksudkan agar dapat mengetahui posisi kantong pada saat proses penggiringan nantinya. Proses setting berlangsung selama 20-30 menit. Setelah setting selesai, para penyelam kembali naik ke atas kapal besar untuk mempersiapkan proses penggiringan; 3) Penggiringan a) Setelah para penyelam kembali ke atas kapal besar, juragan mengemudikan kapal menuju tempat penggriringan. Jarak antara posisi penggiringan dengan posisi kantong dapat mencapai 1 mil, tergantung dari luasnya terumbu karang di perairan tersebut. b) Penyelam yang bertugas untuk menggiring ikan bersiap-siap kembali memasang selang kompresor dan membawa alat penggiring (elot). Setiap penyelam membawa satu cincin penggiring. Jumlah penyelam pada proses penggiringan berjumlah 7-8 orang. c) Penyelam masuk kembali ke dalam air untuk memulai proses penggiringan. Urutan penyelam yang pertama terjun ke dalam air dimulai dari penyelam yang bertugas menggiring di perairan yang dangkal (ke arah darat) diikuti oleh penyelam yang bertugas menggiring ikan di perairan yang lebih dalam, sampai ke penyelam yang mendapat posisi penggiringan di perairan yang paling dalam atau yang disebut kepala tengah. d) Jarak antar penggiring berkisar antara 12-15 m tergantung pada jumlah penggiring. e) Penggiringan ikan dilakukan dengan cara berjalan diatas karang sambil membunyikan alat penggiring (elot) tersebut sekeras mungkin. Bahkan terkadang elot tersebut dibenturkan dengan batuan karang agar suara yang dihasilkan lebih keras dan dapat lebih mengagetkan ikan yang bersembunyi di dalam karang. Proses ini berlangsung terus sampai ikan masuk ke dalam kantong. Agar para penyelam dapat menggiring ikan sampai ke posisi
31
kantong, maka kapal besar yang membawa kompresor pun berjalan perlahan mengikuti arah penggiringan. f) Jika ikan telah memasuki mulut kantong, para nelayan yang berada diatas kapal berenang menuju sampan untuk kemudian melakukan proses hauling atau penarikan jaring kantong. Lamanya proses penggiringan sekitar 10-40 menit, tergantung pada jarak antara posisi awal penggiringan dengan posisi kantong. 4) Hauling a) Hauling diawali dengan menarik tali ampar terlebih dahulu. Hal ini dimaksudkan agar mulut kantong tertutup dan ikan yang telah memasuki kantong memiliki peluang yang kecil untuk keluar dari kantong. b) Selama proses hauling, penyelam yang tadi menggiring ikan kembali membagi tugas, yaitu satu orang melepaskan jaring dinding darat, satu orang melepaskan jaring dinding laut, satu orang membawa elot kembali keatas kapal besar, sisanya ada yang masih menggiring ikan pada mulut kantong dan ada beberapa penyelam yang memeriksa kantong agar tidak tersangkut dengan karang. c) Sementara itu, nelayan yang berada diatas sampan terus menarik tali ampar sampai kemudian ditarik pula tali bulan-bulan hingga ke bagian poncot. Jumlah nelayan yang menarik kantong diatas sampan berjumlah 5-7 orang, namun jika kekurangan tenaga, penarikan jaring pun dilakukan oleh penyelam penggiring yang telah selesai tugasnya di dalam air. Setelah bagian poncot yang berisi hasil tangkapan diangkat keatas sampan, selanjutnya sampan ditarik menggunakan tali ke arah kapal besar untuk menyimpan hasil tangkapan ke dalam palkah. d) Hasil tangkapan dipindahkan kedalam palkah atau box fiber yang telah diisi es balok. Pemindahan hasil tangkapan ini dapat menggunakan serok atau tris (keranjang plastik) sebagai alat bantu. Proses hauling berlangsung selama 5-20 menit. 5) Penanganan hasil tangkapan di atas kapal Hasil tangkapan yang baru saja didapatkan setelah hauling langsung dimasukkan ke dalam palkah tanpa adanya penyortiran terlebih dahulu,
32
kecuali untuk ikan-ikan yang beracun seperti buntal. Penyortiran hasil tangkapan dilakukan pada saat perjalanan menuju fishing base dengan memisahkan hasil tangkapan berdasarkan jenis dan ukurannya. Sementara untuk hasil tangkapan sampingan yang tidak bernilai ekonomis seperti ikan kecil atau ikan hias dibuang kembali ke laut dalam keadaan mati.
5.1.4
Daerah penangkapan ikan
Daerah penangkapan ikan bagi alat tangkap muroami adalah di perairan karang, umumnya di sekitar tepi-tepi karang. Hal ini menyebabkan kantong sering dipasang pada dasar perairan yang tidak sama dimana pada sisi satunya pada dasar perairan yang lebih dangkal dan sisi lainnya pada dasar perairan yang lebih dalam. Muroami di Kepulauan Seribu dioperasikan di perairan sekitar Kepulauan Seribu dan di luar perairan Kepulauan Seribu. Daerah penangkapan ikan di perairan Kepulaaun Seribu terbagi ke dalam 4 wilayah besar yaitu selatan (Pulau Untungjawa, Tidung, Payung, Ayer, dll), utara (Pulau Genteng, Kelapa, Bira, Sebira, dll), barat (Pulau Kotok), timur (Pulau Peniki). Penentuan daerah penangkapan ikan ini tergantung pada musim yang sedang terjadi di Kepulauan Seribu. Musim barat umumnya nelayan muroami beroperasi di wilayah perairan bagian utara, barat dan timur. Hal ini disebabkan perairan bagian selatan memiliki kekeruhan air laut yang sangat tinggi karena musim penghujan di daratan Jakarta. Kekeruhan air yang tinggi akan mempengaruhi keberhasilan operasi penangkapan ikan, karena proses penyelaman pada saat setting maupun penggiringan menjadi tidak efektif dilakukan. Selain perairan Kepulauan Seribu nelayan muroami juga mengoperasikan muorami di luar perairan Kepulauan Seribu. Daerah yang umumnya didatangi oleh nelayan muroami Kepulauan Seribu adalah perairan Sumatera, perairan Laut Jawa bagian tengah (seperti perairan Subang dan Tegal), hingga perairan selatan Jawa seperti Teluk Palabuhanratu. Pengoperasian muroami di luar perairan Kepulauan Seribu dilakukan lebih dari satu hari, umumnya berkisar antara 1-3 minggu yang oleh nelayan Kepulauan Seribu disebut babang.
33
5.1.5
Komposisi hasil tangkapan
Hasil tangkapan yang dihasilkan selama penelitian terdiri atas 40 spesies dengan komposisi yang beragam antar setting (Tabel 5). Pada saat penelitian hasil tangkapan dengan komposisi terbesar adalah ikan ekor kuning (Caesio cuning) sebesar 1569,962 kg atau 72,278 %. Komposisi terkecil adalah cumi sebesar 0,025 kg atau 0,001 %. Hal ini sesuai dengan target utama penangkapan muroami yaitu ikan ekor kuning. Tabel 5 Komposisi hasil tangkapan muroami selama penelitian (8 trip) No.
Hasil tangkapan Nama Lokal Nama Latin
Komposisi Bobot (kg) % 1569,962
72,278
Scarus sp.
86,463
3,981
Pisang-pisang
Pterocaesio pisang
80,608
3,711
4.
Kupas-kupas
Aluterus scriptus
75,505
3,476
5.
Selar
Selaroides leptolepis
51,973
2,393
6.
Bawal Karang
Platax orbicularis
50,660
2,332
7.
Sersan Mayor
Abudefduf sordidus
38,368
1,766
8.
Pasir
Nemipterus peronii
23,875
1,099
9.
Lencam
Lethrinus lencam
17,500
0,806
10.
Pelo
Cirrhilabrus cyanopleura
16,610
0,765
11.
Sulir
Caesio caerulaureus
14,300
0,658
12.
Baracuda
Sphyraena flavicauda
14,245
0,656
13.
Lori
Cheilinus fasciatus
13,315
0,613
14.
Baronang
Siganus canaliculatus
13,300
0,612
15.
Serak
Scolopsis bilineata
11,500
0,529
16.
Jenggot
Parupeneus cyclostomus
10,000
0,460
17.
Betok
Dascyllus trimaculatus
9,455
0,435
18.
Kembung
Rastrelliger sp
8,465
0,390
19.
Butana
Acanthurus triostegus
7,860
0,362
20.
Kakap
Lutjanus sp.
6,800
0,313
21.
Rawit
Neopomacentrus cyanomos
6,110
0,281
22.
Kuwe
Caranx melampygus
6,000
0,276
23.
Terompet
Platybelone platyura
5,430
0,250
24.
Lemuru
Sardinella fimbriata
4,550
0,209
1.
Ekor Kuning
Caesio cuning
2.
Kakaktua
3.
34
Tabel 5 (Lanjutan) 25.
Belodok
Synodus variegatus
4,485
0,206
26.
Kepe-kepe
Chaetodon ostofasciatus
3,435
0,158
27.
Kambingan
Parupeneus barberinus
3,350
0,154
28.
Bunga waru
Monodactylus argentus
3,200
0,147
29.
Selar
3,055
0,141
Gede Alepes mate
(Comok) 30.
Cendro
Tylosurus melanotus
2,800
0,129
31.
Semadar
Siganus virgatus
2,640
0,122
32.
Pelo Lilin
Stethojulis strigiventer
1,210
0,056
33.
Tikusan
Hemigymnus melapterus
1,100
0,051
34.
Kenari
Hemigymnus fasciatus
1,020
0,047
35.
Ragan
Scolopsis ciliata
0,990
0,046
36.
Betok Kuning
Pomacentrus molluccensis
0,610
0,028
37.
Tembang
Sardinella fimbriata
0,570
0,026
38.
Marmut
Chaetodontoplus mesoleucus
0,390
0,018
39.
Layang
Decapterus russeli
0,390
0,018
40.
Cumi
Loligo sp.
0,025
0,001
JUMLAH (Kg)
2172,12
100
Diolah dari data primer (Maret 2008) Selar 51.973 2%
Lain-lain 307.613 14%
Kupas -kupas 75.505 3% Pisangpis ang 80.608 4%
Kakatua 86.463 4%
Ekor Kuning 1569.962 73%
Gambar 10 Komposisi hasil tangkapan muroami.
Komposisi hasil tangkapan muroami menunjukkan bahwa ikan ekor kuning memiliki komposisi terbesar yaitu sebesar 73%, diikuti oleh kakaktua, pisang-
35
pisang, kupas-kupas dan selar (Gambar 10). Ikan-ikan diluar kelima ikan tersebut digabungkan dalam jenis ikan lain-lain karena komposisinya berada dibawah 2%.
5.1.6
Diversitas hasil tangkapan
Diversitas hasil tangkapan dihitung untuk mengetahui selektivitas alat tangkap muroami terhadap hasil tangkapan. Jika diversitas tinggi maka selektivitas muroami rendah, begitupun sebaliknya. Nilai indeks diversitas Shannon-Wiener H’ per trip yang didapatkan pada saat penelitian berkisar antara 0,5-1,4, dengan rata-rata sebesar 0,9 (Gambar 11).
Indeks Keanekaragaman
1.6 1.4
1.4 1.3
1.2 1.0
1.0
0.9
0.9
0.8
0.8
0.7
0.6
0.5
0.4 0.2 0.0 1
2
3
4
5
6
7
8
Trip ke -
Gambar 11 Diversitas hasil tangkapan muroami.
Nilai diversitas tertinggi terjadi pada trip ke-3 sebesar 1,4 dan nilai diversitas terkecil terdapat pada trip ke-7 sebesar 0,5. Rata-rata nilai diversitas sebesar 0,9 berada diatas nilai 0,1 menunjukkan bahwa tingkat keanekaragaman hasil tangkapan tinggi yang berarti selektivitas alat tangkap muroami rendah.
5.1.7
Indeks dominansi hasil tangkapan
Indeks dominansi digunakan untuk menunjukkan ada tidaknya spesies yang mendominasi hasil tangkapan muroami. Indeks dominansi per trip muroami yang didapatkan pada saat penelitian bulan Maret 2008 berkisar antara 0,4-0,8 dengan rata-rata 0,6 (Gambar 12).
36
0.9
Indeks Dominansi
0.8
0.8
0.7
0.7
0.6
0.6
0.6
0.5
0.6
0.5 0.4
0.4 0.4
0.3 0.2 0.1 0.0 1
2
3
4
5
6
7
8
Trip ke -
Gambar 12 Dominansi hasil tangkapan muroami.
Indeks dominansi tertinggi terjadi pada trip ke-7 sebesar 0,8 dan indeks dominansi terendah terdapat pada trip ke-3 sebesar 0,4. Indeks dominansi rata-rata yang bernilai 0,6 dan berada di bawah nilai 1. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada spesies yang mendominasi dan selektivitas alat tangkap muroami rendah.
5.1.8
Distribusi ukuran panjang hasil tangkapan muroami
Penentuan distribusi panjang hasil tangkapan muroami didasarkan pada spesies yang memiliki jumlah individu terbanyak. Pada saat penelitian terdapat 6 spesies ikan yang memiliki jumlah individu terbanyak yaitu ikan ekor kuning, pisang-pisang, selar, pasir, kakaktua, dan sulir. Distribusi panjang ikan ekor kuning yang ditangkap oleh muroami memiliki rata-rata panjang sebesar 14,98 cm, dengan jumlah individu terbanyak terdapat pada selang 15,0-16,9 cm sebanyak 5823 ekor dan jumlah individu paling sedikit terdapat pada selang 5,0-6,9 cm sebanyak 26 ekor (Gambar 13). Ikan kakaktua memiliki rata-rata panjang 18,65 cm, pada selang 15,4-19.5 cm memiliki jumlah individu terbanyak sebesar 151 ekor dan selang 36,4-40,5 cm memiliki jumlah individu paling sedikit sebesar 6 ekor. Rata-rata panjang ikan pasir adalah 14,31 cm dengan jumlah individu terbanyak pada selang 13,7-15,2 cm sebanyak 232 ekor dan selang 21,7-23,2 cm memiliki jumlah individu paling sedikit yaitu 7 ekor. Ikan pisang-pisang memiliki rata-rata panjang 11,91 cm dengan selang 11,0-11,9 cm memiliki jumlah individu terbanyak yaitu 1212 ekor. Ikan selar memiliki rata-rata panjang adalah 11,11 cm dan jumlah individu
37
terbanyak terdapat pada selang 9,2-9,8 cm sebanyak 621 ekor dan selang 14,1-14,7 cm memiliki jumlah individu paling sedikit yaitu 14 ekor. Distribusi panjang ikan sulir memiliki jumlah individu terbanyak pada selang 10,0-11,9 cm sebanyak 198 ekor dan rata-rata panjang ikan sulir adalah 11,62 cm. Distribusi Panjang Ikan Ekor Kuning
42
3524
3259
2749 1020
497
26
5. 0
-3
.4
.2 32
5823
-6 .9
6. 3
0. 5
6
-4
2. 1
934 656
Selang panjang (cm)
22
1212
541
470
6
6
6
1. 9
9. 9
6
-2 .0 22
.0
-2
-1
-1
.0 18
16
29
12
7. 9
5. 9
3. 9
-1
-1
.0 14
.0 12
.0
-1
1. 9
.9
17
3. 9
52
20
58
-9
Frekuensi (ekor)
5. 4
198
10
.1
.4
.8 14
14
13
-1
4. 7 -1
4. 0 -1
3. 3 -1
.7 12
12
.0
-1
2. 6
1. 9
14
-1
1. 2 -1
.3 11
.6 10
9.
9
-1
0. 5
.8 -9 2
9.
-9 5 8.
166
108
250 200 150 100 50 0
8. 0
216
.1
frekuensi (ekor)
541 433
Selang Panjang (cm)
6
Distribusi Panjang Ikan Sulir
621
51
6
Selang panjang (cm)
Distribusi Panjang Ikan Selar
22
333 77
Selang panjang (cm)
700 600 500 400 300 200 100 0
357
30
9. 0
-2 21
20
.7
.1
.5 18
3. 2
1. 6 -2
0. 0
8. 4
-2
-1
6. 8
15
16
.3
.9
-1
5. 2 -1
3. 6
12
13
.1
.7
-1
-1 .5 10
7
1400 1200 1000 800 600 400 200 0
9 . 9. 9 9 -1 11 0 .0 .9 1 2 11 .0 .9 1 3 12 .0 .9 1 4 13 .0 .9 -1 15 4 .0 .9 1 6 15 .0 .9 1 7 16 .0 .9 -1 18 7 .0 .9 1 9 18 .0 .9 -1 9. 9
82
frekuensi (ekor)
157
22
26
Distribusi Panjang Ikan Pisang-pisang
232
2. 0
frekuensi (ekor)
Distribusi Panjang Ikan Pasir 250 200 150 100 50 0
291 199 159
Selang Panjang (cm)
.0
7. 9 .0 28
23
19
12
-3
3. 7
-2
-2 .6
.4 15
.8
5. 3
-1
1.
-1
-1
.2 11
7. 0
9. 5
24
36
73
7000 6000 5000 4000 3000 2000 1000 0
9. 8.9 0 11 10. 9 .0 13 12. 9 .0 15 14. 9 .0 17 16. 9 .0 19 18. 9 .0 21 20. 9 .0 23 22. 9 .0 25 24. 9 .0 27 26. 9 .0 29 28. 9 .0 -3 0. 9
115 85
7. 0
160 140 120 100 80 60 40 20 0
Frekuensi (ekor)
151
1
Frekuensi (ekor)
Distribusi Panjang Ikan Kakaktua
Selang Panjang (cm)
Gambar 13 Distribusi ukuran panjang hasil tangkapan muroami. 5.1.9
Distribusi ukuran panjang dan berat ikan ekor kuning pada setiap daerah penangkapan ikan
Ikan ekor kuning hasil tangkapan utama muroami di Kepulauan Seribu seperti telah diuraikan sebelumnya memiliki distribusi panjang dan berat yang beragam. Setiap daerah penangkapan ikan memungkinkan ukuran panjang dan berat ikan ekor kuning yang tertangkap berbeda-beda. Daerah penangkapan ikan yang dikaji yaitu pada posisi 5o35’00”-5o36’00” LS – 106o32’30”-106o33’30” BT disebut fishing ground 1, pada posisi 05o37’30”-05o36’30” LS – 106o32’30”-
74
106o33’30” BT disebut fishing ground 2 dan pada posisi 05o36’00”- 05o37’00” LS – 106o34’00”-106o35’00” BT disebut fishing ground 3. Pada fishing ground 1 selang panjang dengan individu terbanyak adalah pada selang 13,0-14,9 cm sebanyak 922 ekor (Gambar 14) dan tidak ada yang memiliki selang panjang antara 5,0-6,9 cm. Sementara selang berat dengan jumlah individu terbanyak terdapat pada selang 49,4-93,7 gr sebanyak 1270 ekor dan pada selang 493,4-537,7 gr memiliki jumlah individu paling sedikit yaitu 9 ekor.
844
244
157 0
70
26
35
43
96
87
17
1400 12351270 1200 1000 800 391 600 400 78 200 0
35
17
35
43
35
35
52
9
17
49 - 49 .4 .3 93 - 9 .8 3. 13 - 1 7 8. 38 2 18 - 1 .1 2. 82 6 22 - 2 .5 7. 26 0 27 - 2 .9 1. 71 4 31 - 3 .3 5. 15 8 36 - 3 .7 0. 60 2 40 - 4 .1 4. 04 6 44 - 4 .5 9. 48 0 49 - 4 .9 3. 93 4 53 - 5 .3 7. 37 8 - 5 .7 82 .1
922 713
Frekuensi (ekor)
1000 800 600 400 200 0
Distribusi Berat Ikan Ekor Kuning Fishing Ground 1
5
5. 0 7. 6. 9 0 9. - 8. 0 9 11 - 10 .0 . 9 13 - 12 .0 .9 15 - 14 .0 .9 17 - 16 .0 .9 19 - 18 .0 .9 21 - 20 .0 .9 23 - 22 .0 .9 25 - 24 .0 .9 27 - 26 .0 .9 29 - 28 .0 .9 -3 0. 9
Frekuensi (ekor)
Distribusi panjang ikan ekor kuning Fishing Ground 1
Selang Panjang (cm)
Selang Berat (gram)
Gambar 14 Distribusi panjang dan berat ikan ekor kuning pada fishing ground 1.
Pada fishing ground 2 selang panjang antara 15,0-16,9 cm memiliki jumlah individu terbanyak yaitu 1431 ekor dan tidak ada ikan ekor kuning yang berada pada selang panjang 5,0-6,9 cm dan 29,0-30,9 cm. Selang berat yang memiliki jumlah individu terbanyak adalah 49,4-93,7 gr sebanyak 1917 ekor (Gambar 15).
108 40
7
5. 0
Selang Panjang (cm)
661
486
297 182 88
40
27
7
7
7
49 9 .4 .3 .8 93. 13 - 1 7 8. 38 2 . 18 - 1 1 2. 82 6 . 22 - 2 5 7. 26 0 . 27 - 2 9 1. 71 4 .3 31 5. 315 8 . 36 - 3 7 0. 60 2 . 40 - 4 1 4. 04 6 . 44 - 4 5 9. 48 0 . 49 - 4 9 3. 93 4 . 53 - 5 3 7. 37 8 . -5 7 82 .1
277 223
93
74
1917
-4
405 115 88
2500 2000 1500 1000 500 0
5
952
Frekuensi (ekor)
Distribusi Berat Ikan Ekor Kuning Fishing Ground 2
1431
-6 7. . 9 0 9. - 8. 0 9 11 10 .0 .9 13 12 .0 .9 15 14 .0 .9 17 16 .0 .9 19 - 18 .0 .9 21 20 .0 .9 23 22 .0 .9 -2 25 4 .0 .9 27 - 26 .0 .9 29 28 .0 .9 -3 0. 9
Frekuensi (ekor)
Distribusi panjang ikan ekor kuning Fishing Ground 2 1600 1400 1200 1000 800 600 400 200 0
Selang Berat (gram)
Gambar 15 Distribusi panjang dan berat ikan ekor kuning pada fishing ground 2.
Sementara itu, selang panjang pada fishing ground 3 yang memiliki selang individu terbanyak adalah pada selang 15,0-16,9 cm sebanyak 1716 ekor dan selang berat terbanyak yaitu pada selang 49.4-93,7 gr sebanyak 2213 ekor (Gambar 16).
75
Distribusi Panjang Ikan Ekor Kuning Fishing Ground 3
Distribusi Berat Ikan Ekor Kuning Fishing Ground 3
1716
Frekuensi (ekor)
1500 1002
876
1000 500
203
721 161 126 35
161
14
14
21
7
7
21
0
7
0
7
5. 0
5
-6 7. . 9 0 9. - 8. 9 0 1 1 - 10 .0 .9 1 3 12 .0 .9 1 5 14 .0 .9 1 7 16 .0 .9 1 9 18 .0 .9 2 1 20 .0 .9 2 3 22 .0 .9 2 5 - 24 .0 .9 2 7 26 .0 .9 2 9 28 .0 .9 -3 0. 9
0
2213 2500 2000 1569 1500 890 1000 189 84 42 28 500 0
4 9 - 49 .4 .3 93 - 9 .8 3 13 - 1 .7 8. 38 2 18 - 1 .1 2. 82 6 22 - 2 .5 7. 26 0 27 - 2 .9 1. 71 4 31 - 3 .3 5. 15 8 36 - 3 .7 0. 60 2 40 - 4 .1 4. 04 6 44 - 4 .5 9. 48 0 49 - 4 .9 3. 93 4 53 - 5 .3 7. 37 8 - 5 .7 82 .1
Frekuensi (cm)
2000
Selang Berat (gram)
Selang panjang
Gambar 16 Distribusi panjang dan berat ikan ekor kuning pada fishing ground 3. 5.1.10 Produktivitas alat tangkap muroami
Produktivitas alat tangkap muroami dikaji dengan menentukan hubungan antara hasil tangkapan dengan upaya penangkapan (CPUE). Produktivitas muroami pada penelitian ini dikaji dengan menggunakan data primer hasil tangkapan per hauling. Dengan demikian upaya (effort) yang digunakan adalah jumlah hauling dalam satu kali trip muroami. 80.00
Nilai produktivitas
70.00
70.52
65.59
59.45
62.58
60.00 55.93
50.00
56.18
42.92
40.00 30.00 24.87
20.00 10.00 0.00 1
2
3
4
5
6
7
8
Trip ke -
Gambar 17 Produktivitas hauling per trip muroami.
Nilai produktivitas tertinggi selama penelitian ini diperoleh pada trip ke-5 sebesar 70,52 kg/hauling dan produktivitas terendah pada trip ke-1 sebesar 24,87 kg/hauling. Rata-rata produktivitas hauling muroami adalah 54,75 kg/hauling. Secara
keseluruhan
(Gambar 17).
produktivitas
hauling
muroami
semakin
meningkat
76
5.2 Pembahasan
Konstruksi unit penangkapan muroami di Kepulauan Seribu terbagi menjadi tiga bagian penting yaitu kantong, jaring dinding dan alat pengiring atau elot, serta adanya alat bantu yang menentukan keberhasilan operasi penangkapan muroami seperti kompresor, selang kompresor, dan peralatan menyelam. Konstruksi muroami di Kepulauan Seribu cukup berbeda dengan muroami pada saat peninggalan Jepang terdahulu seperti yang diuraikan pada Subani dan Barus (1989). Perbedaan terlihat pada ukuran alat tangkap secara keseluruhan, dimana muroami di Kepulauan Seribu mempunyai ukuran yang lebih kecil dan terdapat modifikasi di beberapa bagian konstruksi. Ukuran kantong dan jaring dinding tidak sebesar ukuran jaring muroami pada saat peninggalan Jepang. Modifikasi alat tangkap muroami terdapat pada alat penggiring atau elot. Pada awalnya elot berbentuk tali panjang yang dioperasikan secara vertikal ke arah dasar perairan dengan gelang-gelang besi yang dipasang diujungnya, namun nelayan yang menggiring tidak ikut menyelam tetapi hanya berenang di permukaan air dan gelang-gelang besi yang berada di dasar tali dibunyikan dengan cara digerakkan dari atas. Berbeda dengan pengoperasian muroami di Kepulauan Seribu dimana alat penggiring atau elot juga berbentuk tali panjang namun dioperasikan secara horizontal dan penggiringannya dilakukan dengan cara menyelam sampai dasar perairan dengan kedalaman 10-20 meter. Walaupun berbeda bentuk dan cara pengoperasiannya, elot tetap digunakan sebagai alat untuk mengejutkan ikan agar ikan masuk ke dalam kantong. Pengoperasian muroami di Kepulauan Seribu menggunakan 2 buah kapal, yaitu kapal besar sebagai kapal utama untuk mengangkut nelayan, jaring dinding laut dan darat, tabung kompresor dan selangnya, peralatan penyelam dan menyimpan hasil tangkapan, serta kapal kecil atau sampan untuk mengangkut kantong. Kapal yang menggunakan mesin penggerak (inboard) hanya kapal besar, sementara kapal kecil atau sampan digerakkan dengan dayung atau dengan cara ditarik oleh kapal besar. Hal ini berbeda dengan pengoperasian muroami di Karimunjawa yang menggunakan 3 buah kapal motor, dimana ketiganya menggunakan mesin pengerak.
77
Perubahan muroami peninggalan Jepang diduga disebabkan oleh tingkat penggunaan nelayan yang banyak dan biaya operasional yang besar. Atas dasar itulah para nelayan muroami di Kepulauan Seribu memodifikasi muroami agar dapat dioperasikan oleh semua kalangan dengan biaya operasional yang cukup rendah. Daerah penangkapan muraomi pada 8 kali trip penelitian, hanya 1 trip yang pengoperasiannya berada di wilayah selatan Kepulauan Seribu dan 1 trip di sekitar Pulau Pramuka, serta 6 trip di wilayah utara Kepulauan Seribu. Penentuan daerah penangkapan ikan didasarkan pada musim yang sedang terjadi pada bulan Maret (musim barat). Wilayah selatan merupakan wilayah yang paling jarang didatangi oleh para nelayan pada saat musim barat dikarenakan perairan di wilayah selatan memiliki tingkat kekeruhan yang tinggi. Rusli (2006) menyatakan bahwa perairan bagian selatan masih dipengaruhi oleh perairan Teluk Jakarta yang telah mengalami pencemaran dalam kategori pencemaran berat akibat kondisi pemukiman penduduk yang sangat padat, buangan limbah industri, limbah rumah tangga, dan sedimentasi. Saat musim hujan (musim barat) estimasi bahanbahan organik yang masuk ke perairan Teluk Jakarta mengalami peningkatan empat kali lipat dibandingkan pada musim kemarau (musim timur) (Rusli 2006). Selain faktor kekeruhan di perairan bagian selatan, perairan bagian utara Kepulauan Seribu yang memiliki terumbu karang cukup banyak dan luas dibanding pada perairan bagian lainnya dianggap menjadi alasan banyaknya operasi dilakukan di bagian utara Kepulauan Seribu. Hal ini menunjukkan habitat yang luas bagi ikan target penangkapan yaitu ikan karang, sehingga dapat dijadikan sebagai daerah penangkapan ikan yang baik. Hasil tangkapan muroami yang teridentifikasi selama penelitian terdapat 40 spesies yang terdiri dari ikan karang dan non karang. Ikan karang yang tertangkap oleh muroami pada saat penelitian adalah ikan ekor kuning, kakaktua, pisangpisang, kupas-kupas, bawal karang, sersan mayor, pasir, lencam, pelo, sulir, barakuda, lori, serak, jenggot, betok, butana, kakap, rawit, terompet, kepe-kepe, kambingan, bunga waru, semadar, belodok, pelo lilin, tikusan, kenari, ragan, betok kuning, beladu, dan marmut. Ikan non karang antara lain selar, comok (selar gede), cumi, tembang, kembung, lemuru, cendro dan layang.
78
Hasil tangkapan muroami pada saat penelitian memiliki komposisi terbesar pada ikan ekor kuning yaitu sebesar 72,278%. Komposisi ikan ekor kuning yang tertangkap di Kepulauan Seribu sangat berbeda jauh dengan komposisi ikan ekor kuning yang tertangkap di Kepulauan Karimunjawa yang hanya 27,61% dari total hasil tangkapan (Marnane et al 2004). Hal ini diduga karena kondisi terumbu karang di Kepulauan Seribu masih lebih baik dibandingkan dengan kondisi terumbu karang di Kepulauan Karimunjawa. Pengelolaan terumbu karang di kedua wilayah ini sebenarnya telah diatur dengan penetapan suatu kawasan Taman Nasional Laut untuk melindungi kelestarian terumbu karang. Namun, penetapan tersebut di Karimunjawa baru dilakukan dan disosialisasikan pada tahun 2005, sedangkan di Kepulauan Seribu penetapan ini telah berlangsung sejak tahun 1995. Hal ini menyebabkan sampai tahun 2005, nelayan di Kepulauan Karimunjawa melakukan penangkapan ikan secara bebas tanpa adanya pengontrolan apapun, hingga terjadi eksploitasi dan kerusakan secara besar-besaran. Adapun di Kepulauan Seribu penetapan zona pengelolaannya telah dilakukan dan disosialisasikan sejak lama, sehingga adanya pengontrolan operasi penangkapan yang baik. Pada saat wawancara, para nelayan di Kepulauan Seribu sebagian besar telah mengetahui, mengerti dan mematuhi peraturan mengenai zona pengelolaan tersebut. Berbeda dengan nelayan di Karimunjawa yang menurut Mukminin (2006) tingkat kepatuhan nelayan terhadap zonasi tersebut masih tergolong rendah. Ikan karang yang tertangkap oleh muroami banyak yang termasuk jenis ikan hias, seperti sersan mayor, pelo, pelo lilin, kepe-kepe, rawit, dan marmut. Ikan hias ini langsung dibuang kembali ke laut dalam keadaan mati karena tidak dikonsumsi nelayan. Jumlah ikan hias ini cukup banyak, seperti sersan mayor (Abudefduf sordidus) yang memiliki komposisi sebesar 38,368 kg atau 860 ekor. Walaupun hanya sebanyak kurang dari 2% dari komposisi total namun jika ini berlangsung lama diduga akan menimbulkan ketidakseimbangan ekologis pada masa yang akan datang. Nilai diversitas hasil tangkapan muroami yang didapatkan pada saat penelitian berkisar antara 0,5-1,4 dengan rata-rata 0,9. Berdasarkan indeks diversitas Shannon-Wiener (Wiyono et al 2003) menunjukkan bahwa hasil
79
tangkapan muroami di Kepulauan Seribu memiliki tingkat keanekaragaman yang tinggi karena memiliki nilai diatas 0,1 dan menunjukkan bahwa alat tangkap muroami memiliki tingkat selektivitas yang rendah terhadap target penangkapan. Tingkat
keanekaragaman
yang
tinggi
terkait
juga
dengan
tingginya
keanekaragaman hayati di perairan terumbu karang yang merupakan ekosistem yang subur dibandingkan perairan lainnya (Ditjen Perikanan 1998). Indeks dominansi hasil tangkapan pada saat penelitian berada pada kisaran indeks 0,4-0,8 dengan rata-rata 0,6. Indeks dominansi tersebut berada di bawah nilai 1 dimana hal ini menunjukkan bahwa tidak ada spesies yang mendominasi hasil tangkapan muroami. Indeks dominansi hasil tangkapan muroami yang didapatkan berbanding terbalik dengan nilai diversitasnya. Hal ini menunjukkan bahwa alat tangkap muroami memiliki selektivitas yang rendah. Selektivitas alat tangkap muroami yang rendah dikarenakan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah ukuran mata jaring yang sangat kecil sehingga kemungkinan tertangkapnya ikan berukuran kecil dan ikan bukan target penangkapan sangat besar. Hal ini diduga pengoperasian muroami dengan cara menggiring ikan memberikan peluang yang besar pula untuk ikan selain ikan target penangkapan ikut tertangkap, karena banyak jenis ikan yang akan memberikan reaksi terhadap alat pengiring tersebut untuk menjauhinya sampai akhirnya juga ikut masuk ke dalam kantong. Seperti yang diuraikan Gunarso (1985), bahwa pada penangkapan ikan karang seperti ikan ekor kuning (Caesio sp.) di Indonesia menggunakan penggiring (elot) yang terdiri dari gelanggelang besi untuk mengejutkan agar ikan lari ke arah jaring ataupun memaksa mereka meninggalkan tempat-tempat persembunyiannya. Proses penggiringan ikan juga diperkuat karena dilakukan searah dengan arus, dimana banyak jenis ikan yang memilki tingkah laku berenang mengikuti arus untuk mencari makan, seperti ikan pemakan plankton. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya jenis ikan pemakan plankton yang tertangkap dengan muroami seperti ikan ekor kuning, kembung dan layang. Atas dasar ini pula, muroami menjadi alat tangkap yang tidak selektif dilihat dari tingkat keanekaragaman pada hasil tangkapan. Selang panjang ikan ekor kuning di Kepulauan Seribu secara nilai ekonomisnya terbagi menjadi tiga jenis yaitu jenis super, tanggung, dan kecil.
80
Pembagian ukuran ini menyebabkan harga ekonomisnya berbeda-beda. Ikan ekor kuning yang termasuk ke dalam jenis super adalah yang memiliki ukuran di atas selang panjang 21,00-22,9 cm, sementara yang termasuk ke dalam jenis tanggung adalah ikan yang berukuran antara selang 11,00-12,9 cm hingga selang 19,00-20,9 cm. Ikan ekor kuning yang termasuk jenis kecil adalah ikan yang mempunyai selang ukuran di bawah selang 9,0-10,9 cm. Selang panjang ikan ekor kuning yang tertangkap muroami pada saat penelitian dengan jumlah terbanyak adalah pada selang 15,0-16,9 cm sebanyak 5823 ekor dengan rata-rata panjang adalah 14,98 cm. Pada selang 13,0-14,9 cm memiliki jumlah individu terbanyak kedua yaitu sebanyak 3524, dan jumlah individu terbanyak ketiga terdapat pada selang 9,0-10,9 cm sebanyak 3259 ekor. Pada Gambar 13 dapat terlihat panjang ikan ekor kuning yang tertangkap terpusat pada ukuran dibawah 21,0-22,9 cm. Hal ini menunjukkan distribusi panjang ikan ekor kuning yang tertangkap muroami banyak yang termasuk ke dalam jenis tanggung dan kecil. Ikan ekor kuning yang tertangkap muroami di Kepulauan Seribu memiliki distribusi ukuran dengan jumlah individu paling banyak yaitu pada selang panjang kurang dari 21,0-22,9 cm. Menurut Marnane et al (2004) ikan ekor kuning pada umumnya mencapai tahap dewasa pada ukuran 25-45 cm dan pada selang ukuran 33-46 cm atau 2 ekor dalam 1 kg merupakan ukuran tangkap yang optimal, dalam arti memiliki nilai ekonomis dan ekologis yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa ikan ekor kuning yang tertangkap muroami di Kepulauan Seribu memiliki ukuran panjang yang tidak layak tangkap atau belum mencapai fase dewasa. Walaupun komposisi ikan ekor kuning yang tertangkap mencapai 72,278% namun ukuran panjang ikan ekor kuning tersebut sangat mengkhawatirkan dan membuat kelestarian sumberdaya perikanan ini berada dalam ancaman yang serius. Bahkan menurut Marnane et al (2004) data-data hasil penelitian muroami di Kepulauan Karimunjawa menunjukkan muroami sebagai metode penangkapan yang tidak lestari. Hasil penelitian ini mendukung pernyataan Marnane et al (2004) bahwa muroami merupakan alat tangkap yang tidak lestari atau alat tangkap yang tidak berwawasan lingkungan. Terdapat beberapa faktor yang mendukung muroami menjadi alat tangkap yang tidak berwawasan lingkungan, diantaranya pada
81
metode pengoperasian muroami, banyaknya hasil tangkapan yang dibuang kembali ke laut (discard), serta penggunaan kompresor sebagai penyuplai udara saat menyelam. Metode pengoperasian muroami dengan cara menyelam sambil menginjak-injak batu-batu karang dalam proses setting dan penggiringan ikan, secara berkesinambungan akan menyebabkan kerusakan terumbu karang. Selain itu, pemasangan kantong dan jaring dinding di dasar perairan dengan cara mengikatkan jaring pada batu-batu karang juga menjadi salah satu faktor yang dapat merusak karang. Sementara itu, selain hasil tangkapan ikan ekonomis penting, muroami juga menangkap ikan-ikan hias yang tidak dimanfaatkan dan dibuang kembali ke laut dalam keadaan mati. Persentase komposisi ikan-ikan hias tersebut memang kecil, namun frekuensi tertangkapnya ikan-ikan hias oleh muroami yang cukup tinggi diduga akan mengakibatkan kerusakan ekosistem dalam jangka panjang. Pada sisi lain, penggunaan kompresor sebagai penyuplai udara pada saat menyelam sangat membahayakan nelayan muroami yang menggunakannya. Kompresor yang digunakan oleh nelayan muroami adalah kompresor yang digunakan untuk tambal ban, jadi sama sekali bukan untuk penyuplai udara pada saat menyelam seperti seharusnya. Hal ini menunjukkan bahwa pengoperasian muroami selain mengancam lingkungan, khususnya terumbu karang dan ikanikannya,
juga
sangat
membahayakan
keselamatan
nelayan
yang
mengoperasikannya. Penggunaan kompresor ini bahkan telah menyebabkan beberapa nelayan di Kepulauan Seribu menderita kelumpuhan bahkan kematian. Faktor-faktor tersebut di atas sesuai dengan isi dari Code of Conduct for Responsible Fisheries, dimana disebutkan dalam poin 8 tentang aktivitas penangkapan, bahwa alat tangkap yang merusak lingkungan dan menghasilkan hasil tangkapan yang dibuang kembali ke laut (discard) agar dilarang penggunaannya. Selain itu, penangkapan ikan juga harus berorientasi pada keselamatan kehidupan manusia (FAO 1982). Sehingga dapat disimpulkan bahwa muroami memiliki faktor-faktor yang menunjukkan bahwa muroami merupakan alat tangkap yang tidak berwawasan lingkungan. Pada fishing ground 1 yaitu pada posisi 5o35’00”-5o36’00” LS – 106o32’30”-106o33’30” BT, selang panjang dengan jumlah individu terbanyak
82
terdapat pada selang 13,0-14,9 cm. Jika dibagi berdasarkan ukuran ekonomisnya, pada fishing ground 1 ikan ekor kuning jenis tanggung memiliki jumlah paling banyak, dan jumlah terbanyak kedua yaitu terdapat pada jenis kecil, sementara hanya sedikit ikan ekor kuning yang termasuk jenis super. Pada fishing ground 2 yaitu pada posisi 05o37’30”-05o36’30” LS – 106o32’30”-106o33’30” BT, ukuran panjang ikan ekor kuning terbanyak terdapat pada selang 15,0-16,9 cm. Dilihat dari ukuran ekonomisnya, ikan ekor kuning pada fishing ground 2 juga memiliki jumlah terbanyak pada jenis tanggung, namun jumlah terbanyak kedua terdapat pada jenis super diikuti oleh jenis kecil. Walaupun demikian, berdasarkan jumlahnya, ikan ekor kuning jenis super dan kecil tidak memiliki perbedaan yang terlalu jauh. Sementara itu, pada fishing ground 3 yaitu pada posisi 05o36’00”05o37’00” LS – 106o34’00”-106o35’00” BT ukuran panjang ikan dengan jumlah individu terbanyak adalah pada selang 15,0-16,9 cm. Jika dilihat dari pembagian berdasarkan ukuran ekonomisnya, jenis tanggung tetap menjadi jenis ikan ekor kuning dengan jumlah individu terbanyak. Ikan ekor kuning pada jenis super dan kecil memiliki distibusi yang hampir sama. Selang berat ikan ekor kuning pada masing-masing fishing ground samasama memiliki jumlah individu terbanyak pada selang 49,4-93,7 gram. Hal ini terkait dengan distribusi panjang ikan ekor kuning yang telah diuraikan diatas yang didominasi oleh ukuran ikan jenis tanggung. Sehingga distribusi berat ikan ekor kuning terpusat pada selang dibawah 93,8-138,7 gram. Secara keseluruhan tidak ditemukan perbedaan berdasarkan ukuran panjang maupun berat ikan, hal ini diduga terkait oleh letak ketiga fishing ground yang tidak terlalu jauh dan diduga karena ikan ekor kuning memiliki siklus hidup yang sama pada ketiga fishing ground tersebut. Selain itu, Carpenter (1988) menyebutkan bahwa walaupun habitat utama jenis ikan pada famili Caesionidae, termasuk ikan ekor kuning, adalah terumbu karang namun ikan ini sering melakukan migrasi atau pergerakan berpindah dari terumbu karang yang satu ke terumbu karang lainnya. Hal ini juga yang diduga menjadi penyebab tidak adanya perbedaan ukuran panjang dan berat ikan ekor kuning pada ketiga fishing ground. Distribusi panjang pada ikan kakaktua, pasir, pisang-pisang, selar, dan sulir memiliki distribusi yang beragam. Keberagaman ukuran panjang pada ikan-ikan
83
tersebut terlihat pada Gambar 13 yang menunjukkan distribusi ukuran ikan yang menyebar dari ukuran terkecil hingga terbesar. Hal ini disebabkan oleh ukuran mata jaring muroami yang memiliki ukuran antara 1-2 cm dari bagian poncot hingga jaring dinding, sehingga ikan-ikan yang berukuran lebih dari 2 cm memiliki kemungkinan tertangkap yang sangat besar. Maka dapat disimpulkan, alat tangkap muroami memiliki selektivitas yang rendah, jika dilihat dari distribusi ukuran panjang hasil tangkapannya. Produktivitas muroami dihitung berdasarkan data primer yang didapatkan pada saat penelitian, yaitu hasil tangkapan per hauling sehingga didapatkan produktivitas hauling. Produktivitas hauling alat tangkap muroami secara keseluruhan semakin naik setiap tripnya. Rata-rata produktivitas hauling muroami sebesar 54,75 kg/hauling menunjukkan bahwa setiap kali hauling muroami menghasilkan 54,75 kg hasil tangkapan. Produktivitas tertinggi terjadi pada trip ke-5 dengan nilai produktivitas sebesar 70,52 kg/hauling. Trip 5 memiliki nilai produktivitas yang tinggi karena waktu pengoperasian yang cepat atau singkat dengan 5 kali hauling yang dilakukan dari pagi hingga siang hari. Produktivitas hauling yang tinggi diduga terkait dengan tingkah laku makan ikan yang terjadi pada siang hari. Ikan karang, khususnya yang termasuk ke dalam ikan diurnal dan yang merupakan ikan pemakan plankton, aktif mencari makan pada siang hari. Hal ini terkait dengan keberadaan plankton yang berlimpah pada siang hari. Khusus pada zooplankton, migrasi vertikal yang dilakukan zooplankton adalah ke arah kolom hingga dasar perairan pada siang hari dan ke arah permukaan saat menjelang matahari terbenam hingga malam hari (Nybakken 1992; Barnes dan Hughes 1988). Sehingga dapat diduga, kelimpahan zooplankton yang banyak pada siang hari dan terdistribusi pada kolom hingga dasar perairan menyebabkan peningkatan kelimpahan ikan-ikan pemakan plankton pada bagian kolom hingga dasar perairan di siang hari pula. Sehingga hal ini berkorelasi positif dengan pengoperasian muroami yang juga dioperasikan di kolom hingga dasar perairan. Selain faktor tingkah laku makan ikan, arus juga diduga menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan operasi penangkapan muroami yang pada akhirnya menentukan
tinggi
rendahnya
nilai
produktivitas
hauling.
Arus
yang
84
mempengaruhi pengoperasian muroami adalah arus pasang surut atau arus yang terjadi karena pengaruh pasang surut air laut. Di perairan pantai, terutama di teluk atau selat yang sempit, gerakan naik turunnya muka air laut akan menimbulkan terjadinya arus pasang surut (Nontji 1987). Di Kepulauan Seribu, pada siang hari atau pada saat surut, arus yang terjadi di perairan adalah arus barat, sedangkan pada pagi dan sore hari atau pada saat pasang, arus yang terjadi adalah arus timur. Wyrtki (1961) menyatakan bahwa arah dari gerakan arus pasang surut merupakan arah yang bolak-balik dan terjadi secara periodik. Proses peralihan atau pergantian arus dari arus barat ke arus timur atau sebaliknya, terkadang menyebabkan terjadinya dua arus yang berlawanan arah di dalam perairan. Hal ini akan menyulitkan pengoperasian muroami yang sangat bergantung pada arus, karena dengan adanya dua arus yang berlawanan di dalam perairan, ikan menjadi sulit untuk digiring dan mulut kantong tidak dapat membuka dengan sempurna. Jika dibandingkan dengan trip yang juga melakukan hauling sebanyak 5 kali, yaitu pada trip 2, trip 3 dan trip 7 yang memiliki waktu pengoperasian yang lebih lama yaitu hingga sore hari, dimana faktor arus diduga menjadi faktor penentu keberhasilan pengoperasian muroami. Pada sore hari, kemungkinan terjadinya dua arus yang saling berlawanan akibat pasang surut lebih besar, sehingga menyebabkan produktivitas hauling yang lebih rendah. Produktivitas hauling terkecil yaitu pada trip 1 dengan nilai produktivitas sebesar 24,87 kg/hauling. Hal ini dikarenakan daerah penangkapan pada trip 1 berada di perairan bagian selatan, yang kondisinya pada saat penelitian perairan tersebut memiliki kekeruhan yang cukup tinggi sehingga menyulitkan pengoperasian muroami tepatnya proses penggiringan ikan. Proses penggiringan ikan memerlukan kejernihan yang cukup tinggi agar penyelam dapat melihat ikan yang digiring dan melakukan koordinasi yang baik antar penyelam dalam proses penggiringan.
85
6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan
1. Konstruksi unit penangkapan muroami di Kepulauan Seribu terbagi menjadi tiga bagian penting yaitu kantong, jaring dinding dan alat penggiring atau elot. Alat bantu digunakan untuk menentukan keberhasilan operasi penangkapan muroami seperti kompresor, selang kompresor, dan peralatan menyelam. Konstruksi ini berbeda dengan unit penangkapan muroami peninggalan Jepang dahulu. Perbedaannya terlihat pada ukuran alat tangkap secara keseluruhan yang lebih kecil dan alat penggiring (elot) dioperasikan secara horizontal serta penggiringannya dilakukan dengan cara menyelam. 2. Metode pengoperasian muroami terdiri atas beberapa tahap yaitu pengecekan arus, setting (pemasangan kantong dan jaring dinding), penggiringan ikan, hauling (pengangkatan kantong), dan penanganan hasil tangkapan di atas kapal. 3. Hasil tangkapan muroami yang dihasilkan selama penelitian terdiri atas 40 spesies yang terdiri dari ikan dan ikan non karang. Ikan ekor kuning memiliki komposisi terbesar yaitu sebesar 72,278%. Sementara cumi merupakan hasil tangkapan dengan komposisi terkecil yaitu 0,001%. Distribusi panjang ikan ekor kuning secara keseluruhan dengan jumlah terbanyak pada selang 15,0-16,9 cm sebanyak 5823 ekor, dengan kecenderungan ikan ekor kuning yang tertangkap muroami paling banyak berada dibawah ukuran 21,0-22,9 cm. Ukuran ini merupakan ukuran tidak layak tangkap atau belum mencapai fase dewasa bagi ikan ekor kuning yang memiliki fase dewasa pada ukuran 25-45 cm. 4. Nilai diversitas hasil tangkapan muroami berkisar antara 0,5-1,4 dengan ratarata 0,9 dan indeks dominansi hasil tangkapan muroami berkisar antara 0,4-0,8 dengan rata-rata 0,6. 5. Pada tiga fishing ground yang dibandingkan, secara keseluruhan tidak ditemukan perbedaan berdasarkan ukuran panjang maupun berat ikan. 6. Distribusi panjang ikan kakaktua, pasir, pisang-pisang, selar, dan sulir memiliki distribusi yang beragam, sesuai dengan ukuran mata jaring yang
86
digunakan (1-2 cm), maka cenderung memiliki ukuran yang lebih kecil dari ukuran yang layak ditangkap. 7. Produktivitas muroami dihitung berdasarkan data primer hasil tangkapan per hauling, sehingga didapatkan produktivitas hauling. Produktivitas hauling muroami memiliki rata-rata sebesar 54,75 kg/hauling. Produktivitas hauling tertinggi terjadi pada trip 5 sebesar 70,52 kg/hauling. Produktivitas terkecil terjadi pada trip 1 sebesar 24,87 kg/hauling dikarenakan daerah penangkapan ikan yang mengalami kekeruhan sehinga menyulitkan pengoperasian muraomi.
6.2 Saran
1. Perlu penelitian lebih lanjut mengenai alat tangkap muroami serta dampaknya terhadap kelestarian sumberdaya yang ada di dalamnya khususnya ikan dan terumbu karang, karena muroami mempunyai indikasi sebagai alat tangkap yang tidak berwawasan lingkungan. 2. Mengadakan penyuluhan kepada nelayan muroami agar tidak menggunakan mesh size yang terlampau kecil. Hal tersebut untuk meningkatkan selektivitas alat tangkap.
87
DAFTAR PUSTAKA Akbar, Rachmat. 2008. Identifikasi Potensi Ekosistem Ikan Karang untuk Kegiatan Ekowisata Bahari di Pulau Sebesi, Desa Tejang, Kecamatan Rajabasa, Kabupaten Lampung Selatan [Skripsi]. Bogor: Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Anonymous. 2000. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu: Buku I Data dan Analisa. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Propinsi DKI Jakarta dan Lembaga Penelitian Institut Teknologi Bandung. Allen, G. 2000. Marine Fishes of South-East Asia. Periplus Editions (HK) Ltd. Barnes, R. S. K. dan R. N. Hughes. 1988. An Introduction to Marine Ecology, 2nd edition. Oxford: Blackwell Scientific Publications. 351 p. Brandt, A.V. 1984. Fish Catching Methods of The World. London: Fishing News Book Ltd. 418 p. Carpenter, E. 1988. FAO Species Catalogue Vol.8, Fusilier Fishes of The World. An Annotated and Illustrated Catalogue of Caesionid Species Known to Date. Rome: Food Agriculture Organization of The United Nations. 10-11 p. Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan DKI Jakarta. 2006. Data Statistik Perikanan Tangkap 2006. Jakarta. Direktorat Jenderal Perikanan. 1979. Buku Pedoman Pengenalan Sumber Perikanan Laut Bagian I (Jenis-jenis Ikan Ekonomis Penting). Jakarta: Departemen Pertanian. Gunarso, W.1985. Tingkah Laku Ikan dan Hubungannya dengan Metode Alat, Metode dan Taktik Penangkapan. Diktat Mata Kuliah (tidak dipublikasikan). Bogor: Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor. Gulland, E. 1988. Fish Stock Assessment: A Manual of Basic Methods. New York: John Willey & Sons, Chichester New York Brisbane Toronto. Harteman, E. 2003. Ancaman Manusia terhadap Keanekaragaman Hayati dan Upaya Perlindungannya di Indonesia. Makalah Falsafah Sains. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. http://www.rudyet.tripod.com/sem2023/edisonharteman.htm.83k.(30 April 2008)
88
http://www.FAO.Code of Conduct for Responsible Fisheries.mht (8 Juli 2008) http://www.marinedepotlive.com/mdl_landing_fish.html. (10 Juli 2008) http://www.o-fish.com/spesies/UkuranIkan.htm (15 Mei 2008) Jennings, S, M. J. Kaiser, J. D. Reynolds. 2001. Marine Fisheries Ecology. Berlin, Germany: Blackwell Publishing. Kardiman, I. 2000. Atlas DKI Jakarta: Area Perwilayahan Kecamatan. Jakarta: Mascot Media Nusantara. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: 38/MEN/2003 tentang Produktivitas Kapal Penangkap Ikan. www.infohukum.dkp.go.id. (Mei 2008) Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan Laut, LIPI. 1998. Potensi dan Penyebaran Sumberdaya Ikan Laut di Perairan Indonesia. Bogor: Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor. Krebs, C.J. 1989. Ecological Methodology. New York: HarperCollins Publisher. 654 p. Kuiter, H.R dan T. Tonozuka. 2004. Pictorial Guide to: Indonesia Reef Fisheries Part I, II, III. Bali, Indonesia: PT Dive & Dive’s. Marnane, M., R. L. Ardiwijaya, J. T. Wibowo, S. T. Pardede, A. Mukminin, Y. Herdiana. 2004. Studi Kegiatan Perikanan Muro-ami di Kepulauan Karimunjawa, September 2003. Bogor: Wildlife Conservation Society-Marine, Program Indonesia. Mukminin, A., T. Kartawijaya, Y. Herdiana, I. Yulianto. 2006. Laporan Monitoring: Kajian Pola Pemanfaatan Perikanan di Karimunjawa (2003-2005). Bogor: Wildlife Conservation Society-Marine, Program Indonesia. 35 p. Nazir, M. 1988. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia. Nelson, J. S. 2006. Fishes of The World, fourth edition. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc. Noegroho, M. A. 2007. Struktur Komunitas Ikan Karang di Kepulauan Sabang, Nanggroe Aceh Darussalam [Skripsi]. Bogor: Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Nontji, A. 1987. Laut Nusantara. Jakarta: Djambatan.
89
Nybakken, J. W. 1992. Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologis. Jakarta: Gramedia. 455 p. Odum, E. P. 1971. Fundamentals of Ecology, third edition. USA: W. B Sanders Company Philadelphia. 574 p Ravianto. 1986. Orientasi Produktivitas dan Ekonomi Jepang. Jakarta: UI Press. Rusli. 2006. Tipologi Makroalga pada Ekosistem Terumbu Karang di Tiga Pulau Kawasan Kepulauan Seribu, DKI Jakarta [Skripsi]. Bogor: Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Sale, P. F. 1991. The Ecology of Fisher on Coral Reefs. USA: Academic Press. Simbolon, D. F. 2005. Daerah Penangkapan Ikan sebagai Salah Satu Faktor Penentu Keberhasilan Operasi Penangkapan Ikan dalam Sondita, M.F.A. dan Solihin, I., editor. Kumpulan Pemikiran tentang Teknologi Perikanan Tangkap yang Bertanggungjawab. Bogor: Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Sparre, P dan S. C. Venema. 1998. Introduksi Pengkajian Stok Ikan Tropis Buku 1: Manual. J. Widodo, I. G. S. Merta, S. Nurhakim, M. Badrudin. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Subani W dan H. R. Barus. 1989. Alat Penangkapan Ikan dan Udang Laut Indonesia. Nomor 50 tahun 1988/1989 Edisi Khusus. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. Jakarta: Balai Penelitian Perikanan Laut, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Wiyono, E. S., S. Yamada, E. Tanaka, T. Arimoto, dan T. Kitakado. 2006. Dynamics of Fishing Gear Allocation by Fishers in Small-scale Coastal Fisheries of Pelabuhanratu Bay, Indonesia. Fisheries Management and Ecology Journal. Tokyo: Departement of Marine Bioscience, Tokyo University of Marine Science and Technology. Wyrtki, K. 1961. Physical Oceanography of the Southeast Asean Water. Naga Report Vol II. California: The University of California, Scrips Institution of Oceanography, La Jolla. 195 p.
90
LAMPIRAN
91
Lampiran 1 Peta Kepulauan Seribu (Kardiman 2000)
Skala 1 : 285.000
92
Lampiran 2 Peta lokasi penelitian (Fishing Ground 1, 2, dan 3) di Kepulauan Seribu
93
Lampiran 3 Unit penangkapan muroami
Kapal kecil (sampan)
Kapal Besar
Masker dan Morfis
Tabung Kompresor
Gelang-gelang besi
Tali ampar
Bagian dari ampar (nylon dan PE)
Jaring kantong di dalam sampan
94
Lampiran 3 (Lanjutan)
Jaring dinding
Elot (alat penggiring)
Setting (penurunan kantong)
Hauling (Penarikan kantong)
Salah satu proses penggiringan
Penyortiran hasil tangkapan
95
Lampiran 4 Jenis-jenis ikan tangkapan muroami di Kepulauan Seribu
Lori (Cheilinus fasciatus)
Kakaktua (Scarus sp.)
Ekor kuning (Caesio cuning)
Pisang-pisang (Caesio pisang)
Kupas-kupas (Aluterus scriptus)
Selar (Selaroides leptolepis)
Bawal Karang (Platax orbicularis)
Pasir (Nemipterus peronii)
96
Lampiran 4 (Lanjutan)
Sersan Mayor (Abudefduf sordidus)
Lencam (Lethrinus lencam)
Baronang (Siganus canaliculatus)
Betok (Dascyllus trimaculatus)
Betok Kuning (Pomacentrus molluccensis) Terompet (Platybelone platyura)
Kepe-kepe (Chaetodon ostofasciatus)
Marmut (Chaetodontoplus mesoleucus
97
Lampiran 4 (Lanjutan)
Rawit (Noepomacentrus cyanomos)
Belodok (Synodus variegatus)
Pelo (Cirrhilabrus cyanopleura)
Butana (Acanthurus triostegus)
Baracuda (Sphyraena flavicauda)
Sulir (Caesio caerulaureus)
98
Lampiran 5 Nilai diversitas Shannon-Wiener H’ dan indeks dominansi Trip ke1
2
3
4
5
6
7
8
Setting ke1 2 3 4 Rata-rata 1 2 3 4 5 Rata-rata 1 2 3 4 5 Rata-rata 1 2 3 Rata-rata 1 2 3 4 5 Rata-rata 1 2 3 4 5 6 Rata-rata 1 2 3 4 5 Rata-rata 1 2 3 4 5 6 Rata-rata RATA-RATA
Indeks Diversitas 1,0 0,5 0,7 1,5 0,9 1,0 0,9 1,3 0,5 0,4 0,8 0,8 1,2 1,8 1,9 1,2 1,4 1,5 1,4 0,9 1,3 0,4 1,4 0,6 1,1 0,9 0,9 0,7 0,2 1,7 0,5 0,3 0,7 0,7 0,3 0,4 0,4 0,7 0,6 0,5 1,4 1,3 0,5 1,1 1,2 0,8 1,1 0,9
Indeks Dominansi 0,6 0,8 0,6 0,3 0,6 0,5 0,4 0,3 0,8 0,8 0,6 0,5 0,4 0,2 0,2 0,5 0,4 0,4 0,4 0,5 0,4 0,8 0,4 0,7 0,5 0,5 0,6 0,7 0,9 0,2 0,8 0,9 0,7 0,7 0,9 0,8 0,9 0,6 0,7 0,8 0,3 0,5 0,8 0,6 0,5 0,6 0,5 0,6
99
Lampiran 6 Produktivitas hauling alat tangkap muroami
Trip ke -
1 2 3 4 5 6 7 8 Rata-rata
Produktivitas Hauling (kg/hauling) 24.87 42.92 65.59 55.93 70.52 56.18 59.45 62.58 54,75
Contoh perhitungan produktivitas hauling pada trip 1: ∑C P= ∑h Keterangan : P : Produktivitas ΣC : jumlah hasil tangkapan (kg) pada trip-1 adalah 99,45 kg Σh : jumlah hauling (hauling) pada trip ke-1 adalah 4 kali, maka : P=
99,45(kg ) = 24,87 kg / hauling 4(hauling )
100
Lampiran 7 Selang panjang hasil tangkapan muroami (6 jenis hasil tangkapan terbanyak) 1. Ikan ekor kuning (Caesio cuning) Selang bawah 5.0 7.0 9.0 11.0 13.0 15.0 17.0 19.0 21.0 23.0 25.0 27.0 29.0
Selang Atas Batas Bawah 6.9 4.95 8.9 6.95 10.9 8.95 12.9 10.95 14.9 12.95 16.9 14.95 18.9 16.95 20.9 18.95 22.9 20.95 24.9 22.95 26.9 24.95 28.9 26.95 30.9 28.95 JUMLAH
Batas Atas 6.95 8.95 10.95 12.95 14.95 16.95 18.95 20.95 22.95 24.95 26.95 28.95 30.95
Frekuensi 26 497 3259 1020 3524 5823 2749 934 656 291 199 159 26 19164
2. Ikan kakaktua (Scarus sp.) Selang Bawah 7.0 11.2 15.4 19.6 23.8 28.0 32.2 36.4
Selang Atas Batas Bawah 7.0 6.95 11.2 11.15 15.4 15.35 19.6 19.55 23.8 23.75 28.0 27.95 32.2 32.15 36.4 36.35 JUMLAH
Batas Atas 7.05 11.25 15.45 19.65 23.85 28.05 32.25 36.45
Frekuensi 73 85 151 115 24 42 12 6 509
3. Ikan pisang-pisang (Caesio pisang) Selang Bawah 9.0 10.0 11.0 12.0 13.0 14.0 15.0 16.0 17.0 18.0 19.0
Selang Atas
Batas Bawah 9 8.95 10 9.95 11 10.95 12 11.95 13 12.95 14 13.95 15 14.95 16 15.95 17 16.95 18 17.95 19 18.95 JUMLAH
Batas Atas 9.05 10.05 11.05 12.05 13.05 14.05 15.05 16.05 17.05 18.05 19.05
Frekuensi 30 541 1212 470 357 333 77 6 6 6 6 3043
101
Lampiran 7 (Lanjutan) 4. Ikan Pasir (Nemipterus peronii) Selang Bawah 10.5 12.1 13.7 15.3 16.9 18.5 20.1 21.7
Selang Atas Batas Bawah 12.0 10.45 13.6 12.05 15.2 13.65 16.8 15.25 18.4 16.85 20.0 18.45 21.6 20.05 23.2 21.65 JUMLAH
Batas Atas 12.05 13.65 15.25 16.85 18.45 20.05 21.65 23.25
Frekuensi 22 157 232 82 22 0 0 7 523
Batas Atas 9.95 11.95 13.95 15.95 17.95 19.95 21.95 23.95
Frekuensi 58 198 52 17 12 29 6 6 379
Batas Atas 9.15 9.85 10.55 11.25 11.95 12.65 13.35 14.05 14.75 15.45
Frekuensi 22 621 433 51 216 541 108 166 14 0 2172
5. Ikan Sulir (Caesio caerulaurus) Selang Bawah 8.0 10.0 12.0 14.0 16.0 18.0 20.0 22.0
Selang Atas Batas Bawah 9.9 7.95 11.9 9.95 13.9 11.95 15.9 13.95 17.9 15.95 19.9 17.95 21.9 19.95 23.9 21.95 JUMLAH
6. Ikan Selar (Selaroides leptolepis) Selang Bawah 8.5 9.2 9.9 10.6 11.3 12.0 12.7 13.4 14.1 14.8
Selang Atas Batas Bawah 9.1 8.45 9.8 9.15 10.5 9.85 11.2 10.55 11.9 11.25 12.6 11.95 13.3 12.65 14.0 13.35 14.7 14.05 15.4 14.75 JUMLAH
102
Lampiran 8 Data total hasil tangkapan per hauling Trip ke1
2
3
4
5
6
7
8
Hauling ke1 2 3 4 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 6
Total hasil tangkapan (kg) 25,46 13,83 22,85 37,33 31,28 57,84 6,51 32,94 86,04 101,52 67,05 43,20 32,58 83,63 64,94 73,97 28,89 104,33 52,60 107,94 55,23 32,48 52,65 71,19 42,52 65,16 38,79 66,74 41,17 29,94 45,20 94,40 86,52 39,22 54,96 59,34 51,83 97,61 72,51
103
Lampiran 9 Gambar posisi alat tangkap muroami di atas kapal besar
50
30
31
32
33
34
35