PENGGUNAAN API PADA MASYARAKAT ADAT DALAM PEMBUKAAN LAHAN STUDI KASUS DI DESA LAPODI KECAMATAN PASARWAJO KABUPATEN BUTON PROPINSI SULAWESI TENGGARA
GAYATRI JOAN TATRA
DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
2
PENGGUNAAN API PADA MASYARAKAT ADAT DALAM PEMBUKAAN LAHAN STUDI KASUS DI DESA LAPODI KECAMATAN PASARWAJO KABUPATEN BUTON PROPINSI SULAWESI TENGGARA
GAYATRI JOAN TATRA
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
3
Gayatri Joan Tatra. E14204014. Penggunaan Api Pada Masyarakat Adat dalam Pembukaan Lahan Studi Kasus di Desa Lapodi Kecamatan Pasarwajo Kabupaten Buton Propinsi Sulawesi Tenggara. Dibimbing Oleh Dr. Ir. LAILAN SYAUFINA, M. Sc. RINGKASAN Sehubungan dengan api sebagai salah satu alat yang mudah, murah dan efektif dalam pembukaan lahan, yang apabila tidak digunakan secara baik dan benar maka akan menjadi penyebab terjadinya kebakaran hutan, perladangan tradisional dikenal dengan kearifannya terhadap hutan karena peladang menyadari bahwa hutan disekitar ladang mereka memberikan kontribusi yang besar dalam kehidupannya. Peladang memiliki pengetahuan tentang teknik-teknik penggunaan api yang baik, tentunya disesuaikan dengan kondisi alam setempat agar tidak menjalar dan tidak menyebabkan terjadinya kebakaran hutan. Untuk itu perlu adanya upaya untuk mengetahui tentang teknik-teknik penggunaan api yang dipakai peladang. Adapun tujuan penelitian ini adalah Untuk menggali kearifan tradisional masyarakat Desa Lapodi Kecamatan Pasarwajo Kabupaten Buton Propinsi Sulawesi Tenggara dalam penggunaan api untuk pembukaan lahan. Penelitian ini dilakukan di Desa Lapodi Kecamatan Pasarwajo Kabupaten Buton Propinsi Sulawesi Tenggara selama 2 bulan mulai dari bulan April sampai dengan Juni tahun 2008. Bahan dan alat yang digunakan terdiri dari alat tulis, kamera, seperangkat komputer, peta kerja, lembar kerja, dan profil desa. Rangkaian metodologi penelitian terdiri dari beberapa tahap yaitu 1). Survei pendahuluan ke lokasi areal hutan yang telah dan akan dijadikan ladang dengan tujuan memberikan gambaran awal dalam melakukan penelitian, 2). Pengumpulan data dilakukan dengan cara: Studi literatur mengenai materi yang terkait dengan tema penelitian yang dilaksanakan di IPB, 3). Penentuan responden yang terpilih sebanyak 30 orang, 4). Melakukan observasi lapang serta melakukan wawancara dengan para responden, 5). Data lainnya seperti : kondisi umum lokasi penelitian, data kejadian kebakaran untuk periode 5 tahun terakhir. Pengolahan datanya meliputi : 1). Identifikasi karakteristik peladang, 2). Identifikasi sistem perladangan, 3). Identifikasi tahapan pembukaan ladang, 4). Klasifikasi teknik pembakaran yang digunakan dalam penyiapan ladang yang digunakan dalam penyiapan ladang Sebaran umur peladang dimulai pada kisaran umur 20-29 tahun dengan persentase 3,3%. Sebagian besar pekerjaan sampingan responden yang merupakan keahlian mereka
4
adalah tukang batu dan tukang kayu (42,9%). Kegiatan berladang dilakukan hanya pada musim penghujan saja. Sistem perladangan yang dilakukan masyarakat Desa Lapodi merupakan sistem perladangan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari atau kebutuhan primer, peladang hanya mengutamakan tanaman pangan dengan cara yang masih sederhana yang bergantung pada proses alam. Masyarakat Desa Lapodi berladang dilahan milik pribadi dan pengelolaan ladangnya tersebut dilakukan sendiri, status lahan garapan 100% merupakan milik pribadi. Kegiatan perladangan di Desa Lapodi dilakukan secara tradisional yaitu pembukaan lahan untuk keperluan perladangan secara menetap (peladang tetap). Luas ladang yang digarap oleh masyarakat Lapodi berkisar antara 0,5 hektar-2 hektar. Pembukaan ladang di Desa Lapodi saat ini dilakukan pada areal semak belukar (100%). Tahapan pembukaan ladang sebagai berikut : Pinanoi (Survei calon lokasi baru), Pitambori (Perintisan), Pikalio (Penebangan), Pipohai sau (Pengeringan bahan bakar), Hehae (Pembuatan sekat bakar), Sula'a (pembakaran), Pirampuni (pembakaran ulang), Picangko (pengolahan tanah), Cika'a (penanaman). Masyarakat Desa Lapodi melakukan pembakaran sekitar pukul 14.00-15.00. Teknik pembakaran yang digunakan sebagai berikut ). Pembakaran mengikuti arah angin, 2). Pembakaran melingkar, 3). Pembakaran melingkar berlawanan arah angin, 4). Kombinasi pembakaran searah angin dan pembakaran balik, 5). Pola pembakaran tumpukan. Kearifan lokal lainnya masyarakat di Desa Lapodi meliputi beberapa hal antara lain: sebelum pemilihan calon ladang para peladang melaksanakan ritual, sebelum penanaman dilakukan para peladang melakukan ritual khusus yang disebut (pisuka), dalam pembukaan lahan untuk perladangan para peladang hanya menggunakan alat-alat tradisional, peladang selalu bekerja secara bergotong royong (pikahamba) dalam kegiatan perladangan, pada saat panen peladang kembali melakukan ritual yang ditujukan kepada Tuhan Yang Maha Esa, untuk menjaga kelestarian alamnya masyarakat Lapodi mengenal istilah kaombo.
5
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Penggunaan Api Pada Masyarakat Adat Dalam Pembukaan Lahan Studi Kasus di Desa Lapodi Kecamatan Pasarwajo Kabupaten Buton Propinsi Sulawesi Tenggara adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan Dr. Ir. Lailan Syaufina, M. Sc dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan tercantum dalam Daftar Pustaka dibagian akhir skripsi ini.
6
Judul Skripsi : Penggunaan Api Pada Masyarakat Adat Dalam Pembukaan Lahan Studi Kasus di Desa Lapodi Kecamatan Pasarwajo Kabupaten Buton Propinsi Sulawesi Tenggara Nama
: Gayatri Joan Tatra
NRP
: E14204014
Menyetujui: Dosen Pembimbing,
Dr. Ir. Lailan Syaufina, M.Sc NIP.131 849 392
Mengetahui Dekan Fakultas Kehutanan IPB,
Dr. Ir. Hendrayanto, M.Agr NIP.131 578 788
Tanggal lulus:
7
KATA PENGANTAR Bismillahirrahmaanirrahim Assalamu’laikum wa rahmatullahi wa barakatuh Alhamdulillah, segala puji dan syukur hanya untuk Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW berserta para sahabat dan keluarganya serta para pengikutnya. Penulis menulis skripsi berjudul “Penggunaan Api Pada Masyarakat Adat Dalam Pembukaan Lahan Studi Kasus di Desa Lapodi Kecamatan Pasarwajo Kabupaten Buton Propinsi Sulawesi Tenggara” sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kehutanan dibawah bimbingan Dr.Ir. Lailan Syaufina, M. Sc. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk perkembangan Silvikultur di Indonesia. Amiin. Wassalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh
Bogor, Mei 2009
Penulis
8
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Banabungi, Buton pada tanggal 31 Januari 1986 sebagai anak pertama dari empat bersaudara pasangan Wakijo dan Sumiana. Pada tahun 2004/2005 penulis lulus dari SMU Negeri 1 Pasarwajo dan Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2004/2005 lewat jalur USMI di Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan Instititut Pertanian Bogor. Selama masa perkuliahan, penulis pernah mengikuti praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H), dan Pengenalan Hutan pada jalur SanjangKamojang, Jawa Barat dan Pengelolaan Hutan di KPH Purwakarta pada tahun 2007, penulis juga pernah melakukan Praktek Kerja Lapang (PKL) di Dinas Kehutanan Kabupaten Buton Propinsi Sulawesi Tenggara pada tahun 2008, penulis juga aktif dalam kegiatan kemahasiswaan seperti DKM (Dewan Keluarga Musholla) I’baadurraahmaan, dan ikut berperan aktif dalam beberapa kepanitiaan yang ada di Departemen maupun Fakultas. Untuk memperoleh gelar sarjana kehutanan IPB, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul Penggunaan Api Pada Masyarakat Adat Dalam Pembukaan Lahan Studi Kasus di Desa Lapodi Kecamatan Pasarwajo Kabupaten Buton Propinsi Sulawesi Tenggara dibimbing oleh Dr. Ir. Lailan Syaufina, M. Sc.
9
UCAPAN TERIMAKASIH Penelitian dan penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Penulis mengucapkan terimakasih kepada: 1. Allah SWT atas begitu banyak kemudahan, keikhlasan, ketabahan, dan kesabaran yang diberikan. Tuhan Maha Mencintai, dengan pancaran cinta yang selalu abadi. Tuhan Maha Pemurah, yang tidak akan pernah berhenti memberi nikmat kepada semua hamba-Nya dengan begitu adil dan sempurna. Sebaik-baik tempat berlindung, berkeluh kesah, dan memohon pertolongan. 2. Spesial kepersembahkan skripsi ini untuk Bapak, Ibu, adik-adikku (Afi, Tari, Dhony, Aul, Fajar, Bimo), kakak-kakakku (Ani, Niken, Nevi, Agus, Anton), dan ponakanku (Ina, Rifky, Billy) serta keluarga semuanya di Buton, Yogyakarta dan Cirebon (Bude, Pakde, Lekrat, Bulik Ida). Semoga bisa menambah kebahagiaan dan kebanggaan, walaupun belum seberapa dibanding apa yang telah berikan. Mohon do’a agar selalu diberi keistiqomahan, untuk selalu bisa memberikan arti bagi kehidupan seperti yang diharapkan. Terus tumbuh walau di tengah keterbatasan. Semoga dengan karya ini, bisa kupersembahkan surga untuk semuanya. Amin 3. Ibu Dr. Ir. Lailan Syaufina, M.Sc. Terimakasih atas bimbingan, bantuannya sehingga skripsi ini selesai. Semoga Allah SWT mencatatnya sebagai amal jahiriyah yang pahalanya akan terus mengalir. Amin 4. Bapak Dr. Ir. Naresworo Nugroho, MS dan Bapak Dr. Ir. Ervizal A.M Zuhud, MS selaku dosen penguji dari Departemen Hasil Hutan dan Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. 5. Dr. Ir. Hendrayanto, M. Agr selaku Dekan Fakultas Kehutanan IPB. 6. Dr. Ir. Irdika Mansur, M.For.Sc Selaku Kepala Departemen Fakultas Kehutanan IPB. 7. KPAP Silvikultur atas bantuan dan kesabarannya. 8. Mardiyah (Mbak Ajeng, Mbak Nini, Mbak Puji, Ai, Albi, Hajra, Delfy, Afi) dan Mbak Asti terimakasih atas semuanya. Semoga Allah SWT akan
10
mengganti kebaikan yang telah diberikan dengan sesuatu yang lebih baik. Dunia menjadi cerah indah karena teman-teman semuanya. 9. Selvi, Wahyu dan Indah semoga jauhnya jarak dan berlalunya waktu tak akan melunturkan ikatan persahabatan kita 10. Teman-teman sebimbingan Selvi, Bon-bon, Firda, Yoga. Kesabaran adalah suatu nikmat Allah SWT yang terindah jika diiringi dengan keikhlasan. 11. Pegawai Laboratorium Kebakaran Hutan dan Lahan khususnya Bapak Wardana. Terimakasih atas bantuannya selama penelitian. Semoga Allah SWT membalas dengan sesuatu yang lebih baik. Amin 12. Saudara-saudaraku seperjuangan Di DKM I’baadurrahmaan. Terimakasih atas ukhuwah selama ini. Semoga Allah SWT mempertemukan kita di surga Firdaus-Nya. Amin 13. BDH angkatan 41. Terimakasih atas bantuan dan kemudahannya. Semoga dibalas Allah SWT dengan sesuatu yang lebih baik. Amiin Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kebaikan dan kesempunaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan.
Bogor, Mei 2009
Penulis
11
DAFTAR ISI Halaman JUDUL .................................................................................................................... i RINGKASAN ........................................................................................................ ii LEMBAR PERNYATAAN.................................................................................. iii LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................. iv KATA PENGANTAR ........................................................................................... v RIWAYAT HIDUP .............................................................................................. vi UCAPAN TERIMA KASIH................................................................................ vii DAFTAR ISI....................................................................................................... viii DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. x DAFTAR TABEL................................................................................................. xi DAFTAR LAMPIRAN........................................................................................ xii
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ............................................................................................. 1 1.2 Perumusan Masalah ..................................................................................... 2 1.3 Tujuan Penelitian ......................................................................................... 2 1.4 Manfaat Penelitian ....................................................................................... 2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Proses Kebakaran Hutan ............................................................................. 3 2.2 Penyebab dan Dampak Kebakaran Hutan.................................................... 6 2.3 Sistem Perladangan di Indonesia ............................................................... 10 2.4 Pengendalian Kebakaran Hutan................................................................. 11 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.3 Lokasi dan Waktu Penelitian ..................................................................... 15 3.4 Alat dan Bahan .......................................................................................... 15 3.5 Metodologi Penelitian................................................................................ 15 BAB IV KONDISI UMUM................................................................................ 19 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Karakteristik Peladang............................................................................... 24 5.2 Sistem Perladangan ................................................................................... 25
12
5.3 Tahapan Pembukaan Lahan ....................................................................... 29 BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................ 43 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 44 LAMPIRAN......................................................................................................... 46
13
DAFTAR GAMBAR
No
Halaman
1. Teknik pembakaran balik (Back firing) .......................................................... 16 2. Teknik pembakaran melingkar (Ring Fire) ................................................... 17 3. Teknik pembakaran tumpukan (Pile Burning) ............................................... 17 4. Teknik pembakaran pusat (Center Firing)...................................................... 17 5. Teknik pembakaran muka (Head Fire Burning)............................................. 18 6. Komoditas yang ditanam oleh masyarakat Desa Lapodi ............................... 21 7. Pembatas ladang yang terbuat dari batu (tondo) ............................................. 29 8. Pembatas ladang yang terbuat dari batu (tondo)............................................. 29 9. Kondisi ladang setelah pembakaran................................................................ 33 10. Pembakaran mengikuti arah angin di Desa Lapodi ...................................... 35 11. Pembakaran melingkar di Desa Lapodi ........................................................ 36 12. Melingkar berlawanan arah angin di Desa Lapodi ....................................... 37 13. Kombinasi pembakaran searah angin dan pembakaran balik di Desa Lapodi................................................................. 38 14. Pembakaran tumpukan di Desa Lapodi ........................................................ 39 15. Tahapan pembukaan ladang masyarakat Desa Lapodi ................................. 40 16. Rata-rata hari hujan dan rata-rata curah hujan di Desa Lapodi dari tahun 2001 sampai dengan 2006............................................................ 41
14
DAFTAR TABEL No
Halaman
1. Luas kebakaran hutan menurut propinsi tahun 2003 ...................................... 23 2. Sebaran umur peladang di Desa Lapodi ........................................................ 24 3. Mata pencaharian sampingan peladang di Desa Lapodi................................. 25 4. Status lahan garapan peladang di Desa Lapodi............................................... 26 5. Tipe pembukaan ladang di Desa Lapodi......................................................... 27 6. Luas ladang yang digarap di Desa Lapodi ...................................................... 27 7. Jenis lokasi yang dijadikan ladang di Desa Lapodi ........................................ 28 8. Lamanya pengeringan bahan bakar di Desa Lapodi ....................................... 31 9. Jarak waktu antara bakar – tanam di Desa Lapodi.......................................... 33 10. Teknik pembakaran di Desa Lapodi. ............................................................ 34 11. Jadwal kegiatan perladangan di Desa Lapodi ............................................... 41
15
DAFTAR LAMPIRAN No
Halaman
1. Peta Pulau Buton............................................................................................. 47 2. Peta Kecamatan Pasarwajo ............................................................................. 48 3. Struktur adat Desa Lapodi .............................................................................. 49 4. Daftar responden ............................................................................................. 50 5. Kamus istilah .................................................................................................. 51 6. Perhitungan rata-rata hari hujan dan rata-rata curah hujan dari tahun 2001 sampai dengan 2006.............................................................. 52
16
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Api merupakan salah satu alat paling tua yang dikenal manusia. Hingga saat ini api masih merupakan alat utama yang digunakan dalam penyiapan lahan di kebanyakan negara di dunia untuk penanaman tanaman pangan, pembuatan dan pemeliharaan padang rumput dan pembangunan hutan tanaman Chandler et al. (1983). Kegiatan pertanian di Indonesia banyak menggunakan api baik kegiatan perladangan
berpindah
maupun
perladangan
menetap.
Dalam
kegiatan
perladangan ini, api merupakan alat yang efektif dan murah untuk membersihkan lahan, setelah vegetasi sebelumnya ditebas, ditebang dan dijemur. Spencer (1966) diacu dalam Dove (1988) memperkirakan bahwa di Indonesia saja, hampir empat juta keluarga terlibat dalam kegiatan perladangan dengan luas tanah keseluruhan sekitar 85 juta hektar. Pada dasarnya penyebab kebakaran hutan dan lahan di Indonesia hampir 99% karena ulah manusia baik di sengaja maupun tidak di sengaja (unsur kelalaian) yaitu kegiatan konversi lahan menyumbang 34%, perladangan berpindah 25%, pertanian 17%, proyek transmigrasi 8% dan hanya 1% yang disebabkan oleh alam. Faktor lain yang menjadi penyebab semakin hebatnya kebakaran hutan dan lahan adalah iklim yang ekstrim, sumber energi berupa kayu, deposit batubara dan gambut Setijono (2001). Perladangan sebagai salah satu penyebab kebakaran hutan dan lahan dibedakan atas beberapa tipe yaitu 1) perladangan oleh penduduk setempat di hutan konservasi, 2) perladangan oleh penduduk setempat di semak belukar, 3) perladangan oleh penduduk pendatang di hutan produksi primer, 4) perladangan oleh penduduk pendatang di semak belukar, 5) perladangan dikawasan hutan konversi dan lain-lain. Lain tipe perladangannya tentu lain pula pendekatan atau perlakuan yang digunakan. Pendekatan terhadap perladangan/penduduk setempat berbeda dengan pendekatan yang digunakan terhadap penduduk pendatang Sagala (1994).
17
Sehubungan dengan api sebagai salah satu alat yang mudah, murah dan efektif dalam pembukaan lahan, yang apabila tidak digunakan secara baik dan benar maka akan menjadi penyebab terjadinya kebakaran hutan, perladangan tradisional dikenal dengan kearifannya terhadap hutan karena peladang menyadari bahwa hutan disekitar ladang mereka memberikan kontribusi yang besar dalam kehidupannya. Peladang memiliki pengetahuan tentang teknik-teknik penggunaan api yang baik, tentunya disesuaikan dengan kondisi alam setempat agar tidak menjalar dan tidak menyebabkan terjadinya kebakaran hutan. Untuk itu perlu adanya upaya untuk mengetahui tentang
teknik-teknik penggunaan api yang
dipakai peladang. 1.2 Perumusan Masalah 1. Kegiatan pembukaan lahan dengan menggunakan api oleh masyarakat adat menjadi penyebab kebakaran hutan dan lahan 2. Kegiatan pembukaan lahan dengan menggunakan api oleh masyarakat adat bukan penyebab terjadinya kebakaran hutan dan lahan 1.3 Tujuan Penelitian Untuk menggali kearifan tradisional masyarakat Desa Lapodi Kecamatan Pasarwajo Kabupaten Buton Propinsi Sulawesi Tenggara dalam penggunaan api untuk pembukaan lahan. 1.4 Manfaat penelitian Bahaya kebakaran akibat kesalahan pembakaran dapat dikurangi dengan mempelajari dan menganalisis teknik-teknik pembakaran yang digunakan masyarakat dalam pembukaan lahan.
18
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Proses Kebakaran Hutan Pembakaran terjadi melalui dua proses yaitu proses kimia dan fisika. Proses ini berlangsung dengan cepat memisahkan jaringan-jaringan tanaman menjadi unsur kimia, diiringi dengan pelepasan energi panas. Sebagai satu reaksi kimia, proses ini berlawanan dengan proses pembentukan bagian-bagian tanaman melalui proses fotosintesa Suratmo et al. (2003). Secara ringkas kedua proses tersebut dapat dilihat sebagai berikut: Proses fotosintesis: 6CO2 + 5 H2O + energi matahari
(C6 H12 O6)n + O2
Proses Pembakaran: (C6H12O5)n + O2 + energi panas
6CO2 + H2O + panas
Selama proses kebakaran terdapat lima fase pembakaran DeBano et al. (1998) diacu dalam Lianawati (2002): 1. Pra-Penyalaan (Pre-ignition) Proses yang dominan dari fase ini adalah dehidrasi, destilasi, dan pirolisis. Ketika bahan bakar terpanaskan melalui radiasi dan konveksi pada suhu lebih dari 1000C maka uap air dan zat ekstraktif yang volatil akan dilepaskan. Transfer panas kepermukaan bahan bakar untuk membantu pirolosis dilakukan secara konveksi dan radiasi, sedangkan transfer panas kebagian dalam bahan bakar dilakukan secara konduksi. Pada tahap ini reaksi masih bersifat endotermik. 2. Penyalaan (Flaming) Reaksi eksotermik pada fase ini menyebabkan suhu berubah dari 300-5000C hingga mencapai 14000C. Gas-gas yang mudah terbakar dan uap air hasil pirolisis naik keatas permukaan bahan bakar dan bereaksi dengan oksigen (O2) sehingga terjadi nyala. Laju pirolisis semakin dipercepat karena panas yang dihasilkan semakin tinggi sehingga gas-gas yang mudah terbakar meningkat dan api semakin cepat membesar. Produk utama dari fase ini adalah uap air, CO2, SO2, N2, dan NOx. 3. Pembaraan (Smoldering) Terdapat dua zona yang merupakan karakteristik dari fase ini yaitu 1) zona pirolisis dengan berkembangnya hasil-hasil pembakaran dan 2) zona arang yaitu ditandai dengan pelepasan hasil pembakaran yang tidak terlihat. Pada fase ini laju
19
penjalaran api mulai menurun karena bahan bakar tidak mampu mensuplai gasgas yang dapat terbakar dalam konsentrasi yang cukup dan pada laju yang dibutuhkan untuk pembakaran yang dahsyat. Kemudian panas yang dilepaskan menurun dan suhunya juga menurun menyebabkan gas-gas lebih banyak berkondensasi ke dalam asap. 4. Pemijaran (Glowing) Fase ini merupakan fase akhir dari proses smoldering. Bila suatu kebakaran mencapai fase ini, sebagian besar dari gas-gas yang mudah menguap akan hilang dan oksigen mengadakan kontak langsung dengan permukaan bahan bakar yang mengarang. Pirolisis tidak terjadi lagi maka energi yang dihasilkan sudah berkurang sehingga pembakaran tidak berlanjut. Hasil dari fase ini adalah CO, CO2 dan abu sisa pembakaran. 5. Padam (Extinction) Suatu kebakaran akhirnya terhenti bila semua bahan bakar yang tersedia telah dikonsumsi atau ketika panas yang dihasilkan dari oksidasi tidak mampu lagi untuk menguapkan air yang ada dalam bahan bakar. Panas yang diserap oleh bahan bakar, udara sekeliling, atau bahan inorganik akan mempercepat proses kematian api. Macam-macam bahan bakar menurut sebaran vertikal yakni Suratmo et al. (2003): 1) Bahan bakar bawah (Ground fuels) Bahan bakar yang termasuk kategori ini adalah bahan bakar yang terdapat dibawah serasah/permukaan tanah, diantaranya adalah akar pohon, kayu yang membusuk dan gambut. Kadar air bahan bakar umumnya lebih tinggi dari pada kadar air bahan bakar pada bahan bakar permukaan dan atas dan api relatif sukar beraksi hingga kadar air <20%. Namun bila terbakar sangat sulit untuk mencegahnya. 2) Bahan bakar permukaan (Surface fuels) Bahan bakar tipe ini termasuk serasah, jatuhan daun, kulit pohon, cangkang biji, dan cabang-cabang kecil pohon yang tidak membusuk termasuk juga rumputrumputan, semak belukar, anakan pohon, dolok-dolok sisa tebangan, dan tunggak pohon.
20
Daun pohon dan serasah dilantai hutan membentuk satu lapisan bahan bakar dengan tingkat bahaya yang tinggi. Bahan bakar tipe ini adalah yang paling umum dijumpai di hutan. Kemudahannya terbakar bergantung kepada karakteristik fisik bahan bakar, susunan dan kualitasnya, bukan oleh perbedaan komposisi kimia bahan bakarnya. 3) Bahan bakar atas (Aerial fuels) Bahan bakar ini termasuk material yang mudah terbakar yang berada dibawah tajuk pohon (tinggi dari permukaan/lantai hutan adalah 1.2 m) dan tajuk pohon. Bahan bakar utamanya adalah cabang-cabang pohon, daun pohon dan semak, pohon mati yang masih tetap berdiri (snags), epifit, dan tanaman pemanjat. Tiga tipe kebakaran kebakaran hutan adalah menurut Soeratmo et al. (2003) adalah sebagai berikut: 1). Kebakaran bawah (Ground Fire) Tipe kebakaran bawah ini biasanya mengkonsumsi bahan bakar berupa material organik yang terdapat di bawah permukaan tanah/lantai hutan. Yang paling muda dan klasik adalah kebakaran di huan gambut. Kebakaran bawah ini sangat sukar dideteksi dan berjalan lambat sekali karena tidak dipengaruhi oleh kecepatan angin. Tanda bahwa areal tersebut terbakar adalahnya adanya asap putih yang keluar dari bawah permukaan tanah. Kebakaran dengan tipe ini pada kebarakaran tahun 1997/1998 yang lalu terjadi di lahan gambut yang terdapat di Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat dan beberapa daerah lainnya. Karena berada dibawah permukaan tanah, maka banyak pohon mati karena akarnya hangus terbakar. Kebakaran ini biasanya berkombinasi dengan kebakaran permukaan. 2). Kebakaran permukaan (Surface Fire) Kebakaran permukaan mengkonsumsi bahan bakar yang terdapat dilantai hutan, baik berupa serasah, jatuhan ranting, dolok-dolok yang bergelimpang dilantai hutan, tumbuhan bawah dan sebagainya berada dibawah tajuk pohon dan di atas permukaan tanah. Kebakaran tipe ini adalah yang paling sering terjadi di dalam tegak, hutan sekunder dan hutan alam, terkecuali didaerah rawa gambut dimana yang dominan adalah kebakaran bawah. Kebakaran permukaan ini
21
biasanya merupakan langkah awal menuju kebakaran tajuk, dengan cara terbakarnya tanaman pemanjat yang menghubungkan sampai ke tajuk pohon atau akibat api loncat yang mencapai tajuk pohon. 3). Kebakaran tajuk (Crown Fire) Kebakaran tajuk biasanya bergerak dari satu tajuk pohon ke tajuk pohon lainnya dengan cara mengkonsumsi bahan bakar yang terdapat di tajuk pohon tersebut baik berupa daun, cangkang biji, ranting bagian atas pohon, dan sebagainya. Seperti diuraikan diatas, kebakaran tajuk ini biasanya bermula dari adanya api lompat yang berasal dari tajuk tumbuhan bawah/semak yang terbakar, atau karena adanya tumbuhan epifit/liana sepanjang batang pohon yang terbakar, kulit pohon yang berminyak, atau karena pemanasan dari permukaan. Kebakaran ini banyak meminta korban para pemadam karena tertimpa oleh ranting-ranting besar yang hangus terbakar dimakan api ketika melakukan pemadaman, selain itu banyak juga yang terjebak karena terkepung api. Kadangkala bara api yang berasal dari tajuk pohon ini akan jatuh menimpa lantai hutan, sehingga menimbulkan kebakaran permukaan. 2.2 Penyebab dan Dampak Kebakaran Hutan Penyebab kebakaran hutan di Indonesia sebagian besar karena aktivitas manusia dan hanya sebagian kecil yang disebabkan oleh kejadian alam, proses kebakaran alami menurut Soeriatmadja (1997) diacu dalam Prasetyo et al. (2007), bisa terjadi karena sambaran petir, benturan longsoran batu, singkapan batu bara, dan tumpukan serasahan. Menurut Prasetyo et al. (2007) penyebab utama kebakaran hutan adalah faktor manusia yang berawal dari kegiatan atau permasalahan sebagai berikut: 1. Sistem perladangan tradisional dari penduduk setempat yang berpindahpindah. 2. Pembukaan hutan oleh para pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) untuk industri kayu maupun perkebunan kelapa sawit. 3. Penyebab struktural yaitu kombinasi antara kemiskinan, kebijakan pembangunan dan tata pemerintahan, sehingga menimbulkan konflik antar hukum adat dan hukum positif negara.
22
Perladangan berpindah merupakan upaya pertanian tradisional di kawasan hutan dimana pembukaan lahannya selalu dilakukan dengan cara pembakaran karena cepat, murah dan praktis. Namun pembukaan lahan untuk perladangan tersebut umumnya sangat terbatas dan terkendali karena telah mengikuti aturan turun temurun Dove (1988) diacu dalam Prasetyo et al. (2007). Kebakaran liar mungkin terjadi karena kegiatan perladangan hanya sebagai kamuflasa dari penebang liar yang memanfaatkan jalan HPH dan berada di kawasan HPH. Pembukaan hutan oleh pemegang HPH dan perusahaan perkebunan untuk pengembangan tanaman industri dan perkebunan umumnya mencakup areal yang cukup luas. Metoda pembukaan lahan dengan cara tebang habis dan pembakaran merupakan alternatif pembukaan lahan yang paling murah, mudah dan cepat. Namun metoda ini sering berakibat kebakaran tidak hanya terbatas pada areal yang disiapkan untuk pengembangan tanaman industri atau perkebunan, tetapi meluas ke hutan lindung, hutan produksi dan lahan lainnya. Sedangkan penyebab struktural, umumnya berawal dari suatu konflik antara para pemilik modal industri perkayuan maupun pertambangan, dengan penduduk asli yang merasa kepemilikan tradisional (adat) mereka atas lahan, hutan dan tanah dikuasai oleh para investor yang diberi pengesahan melalui hukum positif negara. Akibatnya kekesalan masyarakat dilampiaskan dengan melakukan pembakaran demi mempertahankan lahan yang telah mereka miliki secara turun temurun. Disini kemiskinan dan ketidakadilan menjadi pemicu kebakaran hutan dan masyarakat tidak akan mau berpartisipasi untuk memadamkannya. Menurut Syumanda (2003) beberapa aspek yang terindentifikasi sebagai dampak yang ditimbulkan dari kebakaran hutan tersebut adalah: 1. Dampak terhadap sosial, budaya dan ekonomi a. Hilangnya sejumlah mata pencaharian masyarakat sekitar hutan. Sejumlah masyarakat yang selama ini menggantungkan hidupnya dari hasil hutan tidak mampu melakukan aktivitasnya. Asap yang ditimbulkan dari kebakaran tersebut sedikit banyak mengganggu aktivitasnya
yang
penghasilannya.
secara
Setelah
otomatis kebakaran
juga usaipun
ikut
mempengaruhi
dipastikan
bahwa
23
masyarakat kehilangan sejumlah areal dimana masyarakat biasa mengambil hasil hutan tersebut seperti rotan, karet dan sebagainya. b.
Terganggunya aktivitas sehari-hari. Adanya gangguan asap secara otomatis juga mengganggu aktivitas yang dilakukan manusia seharihari. Misalnya pada pagi hari sebagian orang tidak dapat melaksanakan aktivitasnya karena sulitnya sinar matahari menembus udara yang penuh dengan asap. Demikian pula terhadap banyak aktivitas yang menuntut manusia untuk berada di luar ruangan.
c.
Peningkatan jumlah hama. Sejumlah spesies dikatakan sebagai hama bila keberadaan dan aktivitasnya mengganggu proses produksi manusia. Bila tidak mencampuri urusan produksi manusia maka hama akan tetap menjadi spesies sebagaimana spesies yang lain. Sejumlah spesies yang potensial untuk menjadi hama tersebut selama ini berada di hutan dan melakukan interaksi dengan lingkungannya membentuk
rantai
kehidupan.
Kebakaran
yang
terjadi
justru
memaksanya terlempar dari rantai ekosistem tersebut. Beberapa kasus spesies tersebut masuk dalam komunitas manusia dan berubah fungsi menjadi hama dengan merusak proses produksi manusia. Hama itu sendiri tidak harus berbentuk kecil. Gajah dan beberapa binatang bertubuh besar lainnya harus memporak-porandakan kawasan yang dilaluinya dalam upaya menyelamatkan diri dan dalam upaya menemukan habitat barunya karena habitat lamanya telah musnah terbakar. d.
Terganggunya kesehatan. Peningkatan jumlah asap secara signifikan menjadi penyebab utama munculnya penyakit ISPA atau Infeksi Saluran Pernafasan. Gejalanya bisa ditandai dengan rasa sesak di dada dan mata agak berair.
e.
Produktivitas
menurun.
Munculnya
asap
juga
menghalangi
produktivitas manusia. Walaupun kita bisa keluar dengan menggunakan masker tetapi sinar matahari dipagi hari tidak mampu menembus ketebalan asap yang ada. Secara otomatis waktu kerja seseorangpun berkurang karena harus menunggu sedikit lama agar matahari mampu
24
memberikan sinar terangnya. Ketebalan asap juga memaksa orang menggunakan masker yang sedikit banyak mengganggu aktivitasnya sehari-hari. 2. Dampak terhadap ekologis dan kerusakan lingkungan 1). Hilangnya sejumlah spesies. Kebakaran bukan hanya meluluh lantakkan berjenis-jenis pohon namun juga menghancurkan berbagai jenis habitat
satwa lainnya. Umumnya satwa yang ikut musnah ini akibat
terperangkap oleh asap dan sulitnya jalan keluar karena api telah mengepung dari segala penjuru. 2). Ancaman erosi. Kebakaran yang terjadi di lereng-lereng pegunungan ataupun di dataran tinggi akan memusnahkan sejumlah tanaman yang juga berfungsi menahan laju tanah pada lapisan atas untuk tidak terjadi erosi. Pada saat hujan turun dan ketika run off terjadi, ketiadaan akar tanah akibat terbakar sebagai pengikat akan menyebabkan tanah ikut terbawa oleh hujan ke bawah yang pada akhirnya potensial sekali menimbulkan bukan hanya erosi tetapi juga longsor. 3). Perubahan fungsi pemanfaatan dan peruntukan lahan. Hutan sebelum terbakar
secara
otomatis
memiliki
banyak
fungsi.
Sebagai
catchment area, penyaring karbondioksida maupun sebagai mata rantai dari suatu ekosistem yang lebih besar yang menjaga keseimbangan planet bumi. Ketika hutan tersebut terbakar fungsi catchment area tersebut juga hilang dan karbondioksida tidak lagi disaring namun melayang-layang diudara. Dalam suatu ekosistem besar, panas matahari tidak dapat terserap dengan baik karena hilangnya fungsi serapan dari hutan yang telah terbakar tersebut. Hutan itu sendiri
mengalami
perkebunan
perubahan
peruntukkan
menjadi
lahan-lahan
dan kalaupun tidak maka hutan akan menjadi padang
ilalang yang akan membutuhkan waktu lama untuk kembali pada fungsinya semula. 4). Penurunan kualitas air. Kebakaran hutan
memang tidak secara
signifikan menyebabkan perubahan kualitas air. Kualitas air yang berubah ini lebih diakibatkan faktor erosi yang muncul di bagian hulu.
25
Ketika air hujan tidak lagi memiliki penghalang dalam menahan lajunya maka air hujan tersebut akan membawa seluruh butir tanah yang ada di atasnya untuk masuk kedalam sungai-sungai yang ada. Akibatnya adalah sungai menjadi sedikit keruh. Hal ini akan terus berulang apabila ada hujan di atas gunung ataupun di hulu sungai sana. 5). Terganggunya ekosistem terumbu karang. Terganggunya ekosistem terumbu karang lebih disebabkan faktor asap. Tebalnya asap menyebabkan matahari sulit untuk menembus dalamnya lautan. Pada akhirnya hal ini akan membuat terumbu karang dan beberapa spesies lainnya menjadi sedikit terhalang untuk melakukan fotosintesa. 6). Menurunnya devisa negara. Turunnya produktivitas secara otomatis mempengaruhi perekonomian mikro yang pada akhirnya turut mempengaruhi pendapatan negara. 7). Sedimentasi dialiran sungai. Tebalnya lumpur yang terbawa erosi akan mengalami pengendapan di bagian hilir sungai. Ancaman yang muncul meluapnya sungai bersangkutan akibat erosis yang terus menerus. 3. Dampak terhadap hubungan antar negara Asap yang ditimbulkan dari kebakaran tersebut tidak mengenal batas administratif. Asap tersebut akan terbawa angin ke negara tetangga sehingga sebagian negara tetangga ikut menghirup asap yang ditimbulkan dari kebakaran di negara Indonesia. 4. Dampak terhadap perhubungan dan pariwisata Tebalnya asap juga mengganggu transportasi udara. Sebuah pesawat tidak bisa turun di satu tempat karena tebalnya asap yang melingkungi tempat tersebut. 2.3 Sistem Perladangan di Indonesia Dalam sistem perladangan berpindah kegiatan pembakaran merupakan satusatunya alternatif dan tidak mungkin ditinggalkan, kecuali kebutuhan bahan pangan (beras) masyarakat subsisten tersebut dapat tercukupi. Penggunaan api dalam kegiatan pertanian tradisional atau perladangan berpindah telah dilakukan sejak dahulu kala. Pembakaran kayu dan sisa-sisa biomassa kering pada dasarnya dilakukan secara terkendali dengan tujuan untuk meningkatkan kesuburan tanah atau satu atau dua kali penanaman pada areal yang dibuka Hadisuparto (2003).
26
Perladangan berpindah sama dengan pertanian tebas dan bakar adalah salah satu contoh dari bagaimana kegiatan pertanian dapat dilakukan secara berkesinambungan dan lestari disekitar lingkungan hutan. Teknik ini didefinisikan sebagai teknik pembersihan dan penyiapan sepenggal lahan hutan dengan cara penebangan dan pembakaran lahan yang kemudian menanami lahan ini dengan tanaman pangan selama satu atau dua tahun sebelum meninggalkan memberanya untuk mencari lahan lain yang sudah tersuksesi sekunder. Setelah panen, setiap lahan akan kembali menjadi hutan sekunder dalam beberapa puluh tahun, sebelum kemudian dibersihkan dan dipersiapkan lagi untuk bercocok tanam di rotasi selanjutnya. Dalam teknik ini hanya tenaga manusia yang digunakan untuk memproduksi pangan tanpa adanya pupuk tambahan untuk tanah Darmawan (2008). Pada masyarakat Dayak, untuk mencegah agar api tidak menjalar ke daerah yang tidak diingini, biasanya membuat jarak tertentu dengan menebang pohon antara ladang dan kawasan yang mereka lindung. Ladang inipun biasanya dibuka di dekat sungai sehingga kalau terjadi apa-apa di luar perhitungan mereka akan gampang mengatasinya dengan menggunakan air sungai itu. Jarak ini juga dimaksudkan untuk mencegah serbuan kera atau babi serta bintang-binatang rimba lainnya. Musim berladang ditentukan oleh munculnya bintang tertentu yang disebut patendu (istilah orang Dayak Katingan), bintang yang memberitahukan kepada mereka cuaca yang layak. Tanah yang digunakan untuk berladang pun adalah tanah jenis tertentu yang disebut tanah kereng dan bukan tanah gambut. Perlindungan hutan juga dilakukan melalui rupa-rupa ketentuan Masyarakat Adat (MA) tentang hutan dan isinya, antara lain dengan sistem pamali (pantangan), dan melakukan sistem ladang berpindah yang memungkinkan tanah tetap subur dan hutan bisa tumbuh kembali dan isi hutan tidak terganggu Kusni (2002). 2.4 Pengendalian Kebakaran Hutan Pengendalian kebakaran hutan (forest fire management) adalah semua aktifitas untuk melindungi hutan dari kebakaran liar dan penggunaan api untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam pengelolaan hutan Suratmo et al. (2003).
27
Menurut Wahyono et al. (2003) pengendalian kebakaran ialah setiap usaha yang dilakukan, baik yang bersifat preventif maupun represif guna menekan kerusakan hutan akibat kebakaran. Beberapa cara pendekatan dalam upaya pencegahan dan pemadaman kebakaran hutan yaitu: 1. Pendekatan terhadap masyarakat melalui: penyuluhan dan penerangan; mengendalikan
perladangan
berpindah,
dibina
kerjasama
antara
pemerintah daerah dengan masyarakat dan melibatkan masyarakat dalam kegiatan kehutanan. 2. Pendekatan silvikultur melalui: pembersihan areal penanaman dari sumber bahan bakar; pembuatan teras pada lereng miring; pembuatan kompos dari sumber bahan bakar; pemeliharaan tegakan dengan membuat saluran memanjang tanaman dan memasukan batang, cabang, serasah yang kering dalam saluran dan diberi energi fermentasi EM4 kemudian ditutup kembali dengan tanah di atasnya; pemilihan jenis yang sesuai dengan tempat tumbuh dan melakukan Silvikultur intensif dan penanaman jenis sekat bakar. Berdasarkan hasil penelitian, ada beberapa jenis tanaman yang dapat ditanam sebagai sekat bakar yaitu Acacia auriculiformis, Acacia mangium, Caliandra callothirsus, Gmelina arborea, Leucaena leucocephala, Schima wallichii, dan Vitex pubescens. 3. Penanggulangan secara fisik melalui penghentian menjalarnya api, dapat dengan cara membuat jalur pemadaman api yang letaknya memotong arah datangnya api sambil mencoba terus memadamkan api. 4. Pengawasan dilaksanakan secara periodik untuk mendeteksi bahaya kebakaran secara dini dan mendapatkan informasi secara cepat dan tepat, guna menetapkan kebijakan dan mengatasi kebakaran. Disamping
melakukan
pengendalian
pemerintah
melakukan
penanggulangan melalui berbagai kegiatan antara lain Soemarsono (1997) diacu dalam Prasetyo et al. (2007): (1) Memberdayakan posko-posko kebakaran hutan di semua tingkat, serta melakukan pembinaan mengenai hal-hal yang harus dilakukan selama siaga I dan II.
28
(2) Mobilitas semua sumberdaya (manusia, peralatan & dana) di semua tingkatan, baik dijajaran Departemen Kehutanan maupun instansi lainnya, maupun perusahaan-perusahaan. (3) Meningkatkan koordinasi dengan instansi terkait di tingkat pusat melalui
Pusat
Pengendalian
(PUSDALKARHUTNAS) dan
Kebakaran ditingkat
Hutan
daerah
Nasional
melalui
Pusat
Pengendalian Kebakaran Hutan Daerah (PUSDALKARHUTDA) Tk I dan Satuan pelaksana (SATLAK) kebakaran hutan dan lahan. (4) Meminta bantuan luar negeri untuk memadamkan kebakaran antara lain: pasukan BOMBA dari Malaysia untuk kebakaran di Riau, Jambi, Sumatera Selatan dan Kalimantan Barat; bantuan pesawat AT 130 dari Australia dan Herkulis dari USA untuk kebakaran di Lampung; bantuan masker, obat-obatan dan sebagainya dari negara-negara Asean, Korea Selatan, Cina dan lain-lain. Upaya pencegahan dan penanggulangan yang telah dilakukan selama ini ternyata belum memberikan hasil yang optimal dan kebakaran hutan masih terus terjadi pada setiap musim kemarau. Kondisi ini disebabkan oleh berbagai faktor antara lain: (1) Kemiskinan dan ketidakadilan bagi masyarakat pinggiran atau dalam kawasan hutan. (2) Kesadaran semua lapisan masyarakat terhadap bahaya kebakaran masih rendah. (3) Kemampuan aparatur pemerintah khususnya untuk koordinasi, memberikan penyuluhan untuk kesadaran masyarakat, dan melakukan upaya pemadaman kebakaran semak belukar dan hutan masih rendah. (4) Upaya pendidikan baik formal maupun informal untuk penanggulangan kebakaran hutan belum memadai. Hasil identifikasi dari serentetan kebakaran hutan menunjukkan bahwa penyebab utama kebakaran hutan adalah faktor manusia dan faktor yang memicu meluasnya areal kebakaran adalah kegiatan perladangan, pembukaan HTI dan perkebunan serta konflik hukum adat dengan hukum negara, maka untuk meningkatkan efektivitas dan optimasi kegiatan pencegahan dan penanggulangan
29
kebakaran hutan perlu upaya penyelesaian masalah yang terkait dengan faktorfaktor tersebut. Di sisi lain belum efektifnya penanggulangan kebakaran disebabkan oleh faktor kemiskinan dan ketidakadilan, rendahnya kesadaran masyarakat, terbatasnya kemampuan aparat, dan minimnya fasilitas untuk penanggulangan kebakaran, maka untuk mengoptimalkan upaya pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan di masa depan antara lain: 1. Melakukan
pembinaan
dan
penyuluhan
untuk
meningkatkan
kesejahteraan masyarakat pinggiran atau dalam kawasan hutan, sekaligus berupaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya kebakaran hutan dan semak belukar. 2. Memberikan penghargaan terhadap hukum adat sama seperti hukum negara, atau merevisi hukum negara dengan mengadopsi hukum adat. 3. Peningkatan kemampuan sumberdaya aparat pemerintah melalui pelatihan maupun pendidikan formal. Pembukaan program studi penanggulangan kebakaran hutan merupakan alternatif yang bisa ditawarkan. 4. Melengkapi fasilitas untuk menanggulagi kebakaran hutan, baik perangkat lunak maupun perangkat kerasnya. 5. Penerapan sangsi hukum pada pelaku pelanggaran dibidang lingkungan khususnya yang memicu atau penyebab langsung terjadinya kebakaran.
30
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama 2 bulan yaitu pada bulan April sampai Juni tahun 2008, yang bertempat di desa Lapodi Kecamatan Pasarwajo Kabupaten Buton Propinsi Sulawesi Tenggara. 3.2 Alat dan Bahan 3.2.1
Alat Alat-alat yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah:
1.
Alat tulis
2. Kamera 3. Seperangkat komputer 3.2.2
Bahan Bahan yang dipergunakan adalah: 1.
Peta Kerja
2.
Lembar kerja
3.
Profil Desa
3.3 Metode Penelitian 1. Survei pendahuluan ke lokasi areal hutan yang telah dan akan dijadikan ladang dengan tujuan memberikan gambaran awal dalam melakukan penelitian. 2. Pengumpulan data dilakukan dengan cara: 1.
Studi literatur mengenai materi yang terkait dengan tema penelitian yang dilaksanakan di IPB.
2.
Penentuan responden menurut Gay (1981) mengatakan bahwa untuk penelitian deskriptif, contoh uji minimum adalah 10% dari populasi, sehingga dalam penelitian ini jumlah respodennya yang terpilih sebanyak 30 orang.
3.
Melakukan observasi lapang serta melakukan wawancara dengan para responden. Data-data yang digali dalam wawancara adalah sebagai berikut: 1). Faktor-faktor yang menjadi pertimbangan dalam pemilihan ladang
31
2). Waktu melakukan penebasan dan penebangan 3). Lama pengeringan bahan bakar 4). Waktu melakukan pembakaran 5). Teknik-teknik yang digunakan dalam pembakaran 6). Upaya yang dilakukan agar pembakaran berhasil 7). Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kegagalan dalam pembakaran 8). Jarak waktu antara pembakaran dan penanaman 9). Upaya yang dilakukan untuk mencegah penjalaran api keluar areal ladang saat melakukan pembakaran 10).Teknik penyiapan ladang tanpa menggunakan api 4.
Data lainnya 1. Kondisi umum lokasi penelitian meliputi : letak, luas, jenis tanah, iklim, dan jumlah penduduk. 2. Data kejadian kebakaran untuk periode 5 tahun terakhir meliputi luas areal kebakaran, musim terjadinya kebakaran, lokasi kebakaran.
3. Pengolahan Data a. Identifikasi karakteristik peladang, b. Identifikasi sistem perladangan, c. Identifikasi tahapan pembukaan ladang, d. Klasifikasi teknik pembakaran yang digunakan dalam penyiapan ladang. Sebagai rujukan dikemukakan teknik penggunaan api dalam penyiapan ladang Ikhramsyah (2004) seperti pada gambar berikut:
Sekat bakar
Api
Gambar 1 Teknik pembakaran balik (Back firing).
32
Arah angin
Gambar 2 Teknik pembakaran melingkar (Ring Fire).
Gambar 3 Teknik pembakaran tumpukan (Pile burning).
Bahan bakar
Gambar 4 Teknik pembakaran pusat (Center Firing).
33
Arah Angin
Gambar 5 Teknik pembakaran muka (Head Fire Burning). Keterangan : : Arah gerak pembakar : Arah angin
: Titik api awal : Tumpukan bahan bakar : Ilaran api sebagai garis
34
BAB IV KONDISI UMUM 4.1 Letak dan Luas Wilayah Letak Kecamatan Pasarwajo dilihat dari peta Kabupaten Buton berada disebelah timur daerah Pulau Buton dan bila dilihat dari letak geografis, maka Kecamatan Pasarwajo terletak dibagian selatan garis khatulistiwa. Kecamatan Pasarwajo terletak antaa 122.320 BT-122.400 BT dan antara 5.140 LS-5.300 LS yang berada disebagian kecil daratan Pulau Buton. Batas-batas wilayah Pasarwajo adalah sebagai berikut: 1. Disebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Lasalimu 2. Disebelah selatan berbatasan dengan Laut Flores 3. Disebelah timur berbatasan dengan Kepulauan Wakatobi 4. Di sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Sampolawa Luas wilayah Kecamatan Pasarwajo secara keseluruhan adalah daratan dengan luas sekitar 356.40 km2. Wilayah administratif pemerintahan Kecamatan Pasarwajo terbagi atas 13 desa dan 7 kelurahan serta 55 dusun/lingkungan pada tahun 2006. Dari 7 kelurahan dan 13 desa tersebut Desa Lapodi adalah yang terluas wilayahnya yaitu 136.09 km2 (38.18%), menyusul Desa Warinta dengan luas 124.00 km2 (34.79%), Desa Wakaokili dengan luas 20.64 km2 (5.79%), Desa Banabungi dengan luas 0.52 km2 (0.15%) dan Kelurahan Kambulabulana dengan luas 0.85 km2 (0.24%) sedangkan yang paling kecil adalah Desa Laburunci dengan luas 0.50 km2 (0.14%) 4.2 Keadaan Penduduk Jumlah penduduk Kecamatan Pasarwajo pada tahun 2006 sebanyak 35.103 jiwa.
Data
kependudukan
disamping
dilakukan
melalui
sensus
yang
pelaksanaannya 10 tahun sekali, juga dapat diperoleh melalui sistem registrasi penduduk yang diselenggarakan secara kontinyu menurut desa/kelurahan pada setiap pertengahan tahun dan akhir tahun. Jumlah penduduk hasil registrasi penduduk tahun antara tahun 2004-2006 yang dikumpulkan dari semua desa/kelurahan sekecamatan Pasarwajo berjumlah 35.103 jiwa, dimana jumlah penduduk perempuan sebesar 17.332 jiwa sedangkan laki-laki 17.771 jiwa.
35
Dari jumlah penduduk Kecamatan Pasarwajo yang tercatat sebanyak 35.103 jiwa pada tahun 2006, jumlah terbanyak terdapat di Desa Lapanda dengan 3157 jiwa atau 8.99%, menyusul Kelurahan Pasarwajo sebanyak 3017 jiwa atau 8.59% dan Desa Laburunci sebanyak 2600 jiwa atau 7.41%. Jumlah penduduk terendah terdapat pada Desa Wakaokili sebanyak 702 jiwa atau 2.00%, menyusul Desa Waanguangu sebanyak 816 jiwa atau 2.32 %. Dengan tingkat persebaran penduduk yang tidak merata tersebut mengakibatkan pula tingkat kepadatan penduduk di 13 desa dan 7 kelurahan sangat bervariasi. Kepadatan penduduk tertinggi pada tahun 2006 terdapat pada Desa Laburunci sebesar 5200 jiwa/km2, menyusul Desa Banabungi sebesar 3.931 jiwa/km2 dan Kelurahan Pasarwajo sebesar 3.176 jiwa/km2, Desa Wakaokili sebesar 34 jiwa/km2, serta Waanguangu sebesar 41 jiwa/km2. Sedangkan kepadatan terkecil terdapat pada Desa Warinta sebesar 11 jiwa/km2 menyusul Desa Lapodi sebesar 12 jiwa/km2. 4.3 Kondisi Iklim Menurut pembagian iklim berdasarkan Schmidth dan Ferguson, Kecamatan Pasarwajo termasuk tipe iklim C dan D karena memiliki curah hujan rata-rata 1500 mm/tahun dan jumlah bulan hujan 6 bulan serta temperatur rata-rata antara 23,3 – 30oC. Musim hujan terjadi diantara bulan Desember sampai dengan bulan April. Pada saat tersebut, angin barat bertiup dari Benua Asia serta Lautan Pasifik banyak mengandung uap air. Musim kemarau terjadi antara bulan Juli dan September, pada bulan-bulan tersebut angin timur yang bertiup dari Benua Australia sifatnya kering dan kurang mengandung uap air. Khusus pada bulan April dan Mei di Daerah Kabupaten Buton arah angin tidak menentu, demikian pula dengan curah hujan, sehingga pada bulan-bulan ini dikenal sebagai musim pancaroba. 4.4 Jenis tanah Jenis tanah yang dominan untuk lokasi penelitian yaitu inceptisol dan alfisols, dengan kemiringan tanahnya mencapai 400 dan tinggi tempat dari permukaan laut ± 500 mdpl
36
4.5 Tipologi Desa Penelitian Tipologi desa penelitian merupakan desa sekitar hutan dengan luas desa yang berupa tanah kering atau ladang 175 ha serta luas tanah perkebunan rakyat 264 ha, penggunaan tanah untuk fasilitas umum seperti kas desa seluas 4 ha dan untuk kantor pemerintahan 0.5 ha dan serta luas tanah hutan lindung 28.800 ha Luas tanaman menurut komoditas pada tahun 2006 terbagi menjadi tanaman jagung 155 ha dengan hasil sebesar 24 ton/ha, tanaman kacang panjang 2 ha dengan hasil 0.1 ton/ha, tanaman padi ladang 135 ha dengan hasil 3 ton/ha, tanaman ubi kayu 6 ha dengan hasil 250 ton/ha dan tanaman ubi jalar 4 ha dengan hasil 230 ton/ha serta tanaman tomat dan sawi dengan luas masing-masing 1 ha.
Gambar 6 Komoditas yang ditanam oleh masyarakat Desa Lapodi. Adapun pemilikan lahan pertanaman tanaman pangan dengan rincian sebagai berikut jumlah rumah tangga memiliki tanah pertanian sebanyak 386 RTP; tidak memiliki sebanyak 5 RTP; memiliki kurang 0.5 ha sebanyak 225 RTP memiliki sebanyak 0.5-1 ha; memiliki lebih dari 1.0 ha sebanyak 6 RTP. Luas perkebunan coklat sebesar 3 ha dengan hasil 0.5 kw/ha. Untuk luas kawasan kehutanan menurut kepemilikan adalah sebagai berikut : milik Negara seluas 28.800 ha; hutan milik adat/masyarakat adat seluas 250 ha dan milik perhutani seluas 30 ha dengan total luas kawasan kehutanan sebesar 29.080 ha, dengan kondisi hutan yang dilindungi seluas 28.800 ha. Untuk jenis populasi ternak masyarakat memiliki ternak ayam 100 ekor dan kambing 10 ekor. Dengan sumber air minum berasal dari sumur gali 2 unit yang dimanfaatkan oleh 347 KK (Kepala Keluarga), hidran umum sebanyak 2 unit yang
37
dimanfaatkan oleh 100 KK (Kepala Keluarga) dan pipa sebanyak 2 unit yang dimanfaatkan oleh 347 KK (Kepala Keluarga). Jumlah potensi sumberdaya manusia sebesar 1558 orang dengan rincian sebagai berikut jumlah laki-laki 705 orang, jumlah perempuan 783 orang dengan jumlah kepala keluarga 347 KK (Kepala Keluarga). Dengan tingkat pendidikan sebagai berikut : belum sekolah 356 orang, dan usia 7-45 tahun tidak pernah sekolah 105 orang, sedangkan pernah sekolah SD tetapi tidak tamat 35 orang, tamat SD/sederajat 658 orang, tamat SLTP/sederajat 200 orang, tamat SLTA/sederajat 176 orang dan D-2 sebanyak 5 orang serta S-2 sebanyak 2 orang. Untuk mata pencaharian pokok masyarakat banyak menjadi petani yakni 265 orang, pegawai 32 orang, pengrajin 5 orang serta peternak 24 orang. Tenaga kerja yang tersedia di tempat ini adalah sebagai berikut : penduduk usia 15-60 tahun 730 orang, ibu rumah tangga 347 orang, dan penduduk masih sekolah 508 orang. Lembaga pemerintahan desa terdiri dari kepala desa yang memiliki anggota 7 orang dengan pendidikan kepala desa S1, dan pendidikan sekretaris SMA. Lembaga pendidikan yang tersedia yakni TK I unit, dengan jumlah guru dan murid masing-masing 2 orang dan 50 orang, tingkat SD/sederajat terdapat 2 unit dengan jumlah guru dan murid masing-masing 11 orang dan 69 orang, untuk tingkat SLTP fasilitas yang dimiliki sebanyak 1 unit dengan jumlah guru dan murid masing-masing 10 orang dan 215 orang, sedangkan tingkat pendidikan SLTA terdapat 1 unit dengan jumlah murid dan guru masing-masing 21 orang dan 12 orang. Lembaga adat didesa ini terdapat di 2 dusun yakni dusun Lapodi I dan dusun Lapodi II dengan mayoritas penduduknya beragama Islam.
.
38
Pada Tabel 1 disajikan besarnya luas hutan yang terbakar dapat dilihat pada tabel tersebut kejadian kebakaran untuk daerah Sulawesi Tenggara hanya terjadi pada tahun 1999 dan 2002 dengan luas hutan yang terbakar 162 ha dan 140,95 ha. Tabel ini berfungsi untuk membandingkan tingkat kejadian kebakaran hutan pada daerah Sulawesi Tenggara dengan propinsi-propinsi lainnya di Indonesia Tabel 1 Luas kebakaran hutan menurut propinsi tahun 2003 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
Propinsi N. Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah Yogyakarta Jawa Timur Bali NTT NTB Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Maluku Papua JUMLAH Sumber: Ditjen PHKA
1999 0 145 1142 852 1087,5 0 0 7378,25 0 103,8 5027,46 10 1347,35 195,5 25556,67 0 782,47 0 0 0 300 0 0 162 0 0 79632,45
2000 0 0 439 0 21 0 0 10 0 0 0 0 211,75 46,65 602,8 104 646,8 0 2 0 0 932,5 0 0 0 0 8495,5
2001 0 168 120 422,35 30 7868,92 0 0 0 77,5 0 0 485,45 32,5 196,5 170 1301,28 614,5 8 33 450 2230 121,5 0 0 0 24324,73
2002 0 0 0 2211,85 212 10983,53 0 7137,3 0 301,09 0 300 2089,89 31,2 8265,92 361 423,5 0 0 33,25 600 900 1305,25 140,95 200 0 54695,89
2003 0 0,5 15 7,5 3025 233 0 0 0 26 0 0 161,95 0 43 28 0 0 0 5,5 0 0 0 0 0 0 5786,9
39
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Karakteristik Peladang Tingkat pendidikan masyarakat Desa Lapodi tergolong maju. Hal ini disebabkan masyarakat Desa Lapodi telah menganggap pendidikan sebagai kebutuhan dan merupakan sesuatu yang penting. Sehingga setiap orang tua pada desa tersebut mewajibkan anaknya untuk bersekolah atau menuntut ilmu setinggitingginya. Menurut Depdagri (2003) sarana pendidikan yang tersedia di Desa Lapodi sebagai berikut: TK sebanyak I unit, dengan jumlah guru 2 orang dan murid 50 orang, tingkat SD/sederajat terdapat 2 unit dengan jumlah guru 11 orang dan murid 69 orang, untuk tingkat SLTP fasilitas yang dimiliki sebanyak 1 unit dengan jumlah guru 10 orang dan murid 215 orang, sedangkan tingkat pendidikan SLTA terdapat 1 unit dengan jumlah guru 12 orang dan murid 21 orang Pada Tabel 2 sebaran umur peladang dimulai pada kisaran umur 20-29 tahun dengan persentase 3,3%, hal ini disebabkan pada usia kurang dari 20-29 merupakan usia sekolah. Tabel 2 Sebaran umur peladang di Desa Lapodi No
Umur (Tahun)
Jumlah Peladang (Orang)
Persentase (%)
1
20-29
1
3,3
2
30-39
14
46,7
3
40-49
10
33,3
4
50-59
4
13,3
5
60-69
0
0
6
70-79 Total
1 30
3,3 100
Tingkat umur peladang mempengaruhi tingkat produktivitas dalam kegiatan perladangan. Berdasarkan Tabel 2 sebagian besar peladang berusia antara 30-39 tahun (46%) usia ini yang merupakan usia produktif kerja. Hal ini disebabkan pada umur tersebut peladang masih memiliki kemampuan fisik yang optimal untuk mengelola ladang atau lahannya.
40
Peladang yang berusia 60 tahun ke atas menyerahkan kegiatan pengolahan ladang kepada anak-anaknya (usia diatas 20 tahun), sehingga orang tua hanya mengawasi saja. Tabel 3 Mata pencaharian sampingan peladang di Desa Lapodi No
Jenis Pekerjaan Sampingan
Jumlah Peladang (Orang)
Persentase (%)
1 2 3 4 5 6
Tukang batu dan tukang kayu Berdagang Membuat anyaman Ojek Berternak PNS
6 3 1 1 1 1
42,9 21,4 7,1 7,1 7,1 7,1
7
Penebang pohon
1
7,1
14
100
Total Keterangan : PNS = Pegawai Negeri Sipil
Mata pencaharian utama responden adalah berladang, selain berladang responden melakukan pekerjaan sampingan seperti tukang batu dan tukang kayu, berdagang, membuat anyaman, ojek, berternak, PNS, dan penebang pohon. Dari Tabel 3 dilihat bahwa sebagian besar pekerjaan sampingan responden yang merupakan keahlian mereka adalah tukang batu dan tukang kayu (42,9%). Untuk masyakarat Desa Lapodi tukang batu adalah orang yang membuat pondasi rumah atau biasa disebut pandai pondasi sedangkan tukang kayu merupakan orang yang membuat kerangka atap, kusen, jendela yang biasa disebut pandai pikana kaana, dan biasanya tukang kayu ini dibayar oleh pelanggannya untuk membuat kerangka atap, kusen atau jendela sehingga bahan-bahan yang digunakan berasal dari pelanggan tersebut. Kegiatan berladang dilakukan hanya pada musim penghujan saja, karena sebagian besar kegiatan berladang sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca. 5.2 Sistem perladangan Sistem perladangan yang dilakukan masyarakat Desa Lapodi merupakan sistem perladangan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari atau kebutuhan primer, peladang hanya mengutamakan tanaman pangan dengan cara yang masih sederhana yang bergantung pada proses alam.
41
Peladang umumnya memiliki dua tempat tinggal yaitu tempat tinggal yang tetap dan tempat tinggal sementara. Tempat tinggal sementara ini biasanya berupa gubuk-gubuk kecil yang biasa ditinggali pada waktu tanam saja sampai tiba waktu panen, sedang tempat tinggal tetap biasanya berada di kawasan pemukiman (dusun) dan jarak antara tempat tinggal tetap dengan ladang berkisar antara 2-3 kilometer. Masyarakat Desa Lapodi berladang pada tanah kering yang merupakan warisan turun-temurun. Pada awalnya masyarakat melakukan sistem perladangan berpindah pada kawasan hutan, karena adanya peraturan pemerintah dan peraturan adat untuk tidak berladang di kawasan hutan maka kegiatan perladangan berpindah dihentikan. Adapun peraturan adat yang melarang masyarakatnya untuk membuka hutan sebelum waktu yang telah ditentukan biasanya selama 1-2 tahun oleh ketua adat (parabela) yang biasa disebut kaombo. Apabila ada yang melakukan pelanggaran seperti mengambil hasil hutan sebelum waktunya akan dikenai denda, besarnya tergantung kesepakatan adat. Masyarakat Desa Lapodi berladang dilahan milik pribadi dan pengelolaan ladangnya tersebut dilakukan sendiri, jarang memberikan lahan atau ladangnya dikelola oleh orang lain, status lahan garapan 100% merupakan milik pribadi dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Status lahan garapan peladang di Desa Lapodi No
Status Lahan
Jumlah Peladang (Orang)
Persentase (%)
1
Milik pribadi
30
100
2
Menggarap
0
0
3
Sewa
0
0
30
100
Total
Pembukaan lahan untuk keperluan perladangan yang dilakukan secara berpindah sudah jarang dilakukan, hal ini karena adanya peraturan pemerintah tentang larangan melakukan pembukaan kawasan hutan untuk kegiatan perladangan, hal ini mengacu pada UU no. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.
42
Tabel 5 Tipe pembukaan ladang di Desa Lapodi No
Tipe Pembuka Ladang
Jumlah Peladang (Orang)
Persentase (%)
1
Peladang tetap
30
100
2
Peladang berpindah
0
0
Kegiatan perladangan di Desa Lapodi dilakukan secara tradisional yaitu pembukaan lahan untuk keperluan perladangan secara menetap (peladang tetap) dapat dilihat pada Tabel 5 persentase peladang tetap mencapai 100%. Masyarakat membuka lahan hutan maupun semak belukar guna keperluan perladangan tetap. Biasanya peladang tipe ini menggarap lahan milik mereka sendiri dan dikerjakan bergotong-royong (pikahamba). Luas ladang yang digarap oleh masyarakat Lapodi berkisar antara 0,5 hektar – 2 hektar. Dapat dilihat pada Tabel 6 persentase peladang yang memiliki luas lahan 0,5 ha yang merupakan hasil pembagian adat yang dikuatkan oleh keputusan desa sebesar 96,7 %. Tabel 6 Luas ladang yang digarap di Desa Lapodi No
Luas Lahan (ha)
Jumlah Peladang (Orang)
Persentase(%)
1
0,5
29
96,7
2
0,5 – 1
0
0
3
1 - 2 ha
1
3,3
30
100
Total
Umumnya peladang di Desa Lapodi memiliki 3-4 bidang 1 ladang dibeberapa tempat yang berbeda. Namun biasanya luas ladang yang digarap atau yang dikelola sebesar 0,5 ha. Peladang mengelola ladangnya dengan cara rotasi artinya peladang membagi 2-3 bagian dari total luas ladang kemudian setiap bagain ditanami jenis-jenis yang berbeda dan ada bagian ladang yang dibiarkan/diterlantarkan. Apabila hasil pada bagian-bagian tersebut telah menurun maka akan diganti dengan jenis yang lain atau berpindah pada bagian sengaja ditinggalkan, perpindahan tersebut dilakukan pada lahan milik pribadi.
1
1 bidang : 0,5 ha
43
Luas ladang yang dimiliki tidak terlalu besar yakni 0,5 ha ditanami tanaman untuk kebutuhan sehari-hari, jenis komoditi yang ditanam antara lain: jagung, singkong, ubi jalar dan padi gogo (padi ladang). Sedangkan peladang yang memiliki luas lahan 1-2 ha (3,3%) biasanya ditanami tanaman perkebunan seperti jambu mede. Adapun luasnya lahan garapan tersebut tergantung kepada kemampuan penggarap, jatah dari peraturan setempat dan warisan. Dalam membuka lahan masyarakat Desa Lapodi bekerja sekeluarga dengan rata-rata jumlah anggota keluarga sekitar 2-4 orang. Apabila responden memiliki kemampuan untuk membayar/mengupah maka kegiatan-kegiatan berat seperti menebang pohon akan upahkan pada orang lain namun kegiatan tersebut jarang dilakukan. Tabel 7 Jenis lokasi yang dijadikan ladang di Desa Lapodi No
Jenis lokasi
Jumlah Peladang (Orang)
Persentase(%)
1 2
Hutan lindung Hutan sekunder
0 0
0 0
3
Semak belukar
30
100
30
100
Total
Pembukaan ladang di Desa Lapodi saat ini dilakukan pada areal semak belukar (100%), untuk kegiatan pembukaan ladang baru sudah jarang dilakukan seperti dilihat pada Tabel 7. Hutan lindung yang merupakan kawasan hutan yang memiliki fungsi pokok sebagai sistem penyangga kehidupan sistem tata air, mengendalikan erosi, dan menjaga kesuburan tanah. Pulau Buton masih memiliki hutan alam yang utuh dengan memperhatikan kondisi hutan alam yang relatif masih baik, The Nature Conservancy dalam Sulawesi Ecoregion Conservation Assessment-nya pada Desember 2005 memetakan 80 % kawasan Pulau Buton menjadi kawasan perlindungan bentang lahan (landscape). Birdlife International memasukan Pulau Buton sebagai kawasan perlindungan burung-burung endemik Sulawesi. Conservation International memasukan Pulau Buton sebagai wilayah potensial perlindungan Kawasan Wallacea (Wallacea Hotspot).
44
5.3 Tahapan pembukaan lahan Pembukaan ladang tanpa menggunakan api tidak pernah dilakukan oleh masyarakat Desa Lapodi, disebabkan membuka ladang tanpa api membutuhkan waktu yang lama, biaya yang besar dan kurangnya pengetahuan. Pembukaan lahan baru masyarakat Lapodi dilakukan selama 20-30 hari dan pekerjaan pembukaan lahan ini dilakukan secara bergotong-royong (pikahamba). Pembukaan ladang di Desa Lapodi yakni dengan menggunakan api, peladang melakukan pembukaan areal calon ladang dengan cara membakar untuk membersihkan areal dari sisa-sisa penebangan. Tahapan dalam pembukaan ladang menggunakan api sebagai berikut: 1. Pinanoi (survey calon lokasi baru/ladang). Pinanoi atau survey calon lokasi baru/ladang mempertimbangkan beberapa faktor antara lain lokasi lahan dengan kondisi tanah yang subur, dekat dengan sumber air, atau dekat dengan tepi-tepi sungai, tanah relatif datar. Pemilihan ladang biasanya dilakukan sendiri oleh calon peladang, yang penting tidak memasuki kawasan hutan. Pembukaan lahan untuk dijadikan ladang dilakukan 3-5 tahun sekali yang luasannya berkisar antara 0,5-1 ha. Pada umumnya peladang menggunakan pagar-pagar yang terbuat dari batu-batu (tondo) dengan ketinggian sekitar 1 meter atau menggunakan tanaman hidup/kayu (pagala) sebagai pembatas. Hal ini untuk melindungi lahan dari perusakan hewan liar sekaligus menandakan status kepemilikan lahan.
Gambar 7
Gambar 8
Keterangan : Gambar 7 Pembatas ladang yang terbuat dari batu (tondo); Gambar 8 Pembatas ladang yang terbuat dari kayu (pagala).
45
2. Pitambori (perintisan) Pitambori merupakan usaha untuk membersihkan tumbuhan bawah, semak dan anakan yang masih mampu ditebang menggunakan golok atau parang. Kegiatan merintis bertujuan untuk mematikan tumbuhan baik itu tumbuhan bawah berupa semak, perdu, anakan, pancang, maupun tiang, sehingga memudahkan dalam pengeringan bahan bakar. Kegiatan merintis biasanya peladang
menggunakan
golok
atau
parang
(kacumpo).
Dengan
cara
memotong/menebas semak belukar kurang lebih setinggi mata kaki dari tanah, atau membabat habis semak belukar sehingga rata dengan tanah. Waktu melakukan perintisan perhari untuk 1 orang rata-rata 7 jam, yang bekerja mulai pukul 08.00-12.00 dan dilanjutkan menebas pada pukul 13.0016.00. dengan waktu istrahat kurang lebih 1 jam. Untuk menebas areal seluas 1 ha memakan waktu rata-rata 10 hari, pekerjaan ini dilakukan setiap hari kecuali hari Jumat (libur). 3. Pikalio (penebangan) Setelah melakukan kegiatan perintisan, kegiatan selanjutnya adalah penebangan, tujuan penebangan adalah membersihkan lahan dengan cara mematikan pohon serta memudahkan pembakaran dalam persiapan ladang. Menurut Ikhramsyah (2004) jika pohon yang pertama ditebang maka semak akan tertimpa sehingga dapat menyulitkan peladang dalam melakukan perintisan dan mengakibatkan kesulitan dalam proses pengeringan bahan bakar yang dapat mengganggu pada proses pembakaran sisa-sisa penebangan nantinya Lama kerja yang diperlukan dalam kegiatan penebangan sama dengan lama kerja untuk kegiatan perintisan, untuk luasan 1 ha waktu yang dibutuhkan sekitar 20 hari. Batang atau log sisa-sisa penebangan biasanya ada yang digunakan untuk gubuk sementara/gubuk kerja, sebagai pagar pembatas dan atau dibiarkan begitu saja sampai lapuk. 4. Hehae (pembuatan sekat bakar) Hehae dilakukan sebelum kegiatan pembakaran, dengan cara membersihkan sekeliling ladang dari serasah dan rumput atau semak selebar 1-4 meter. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi perembetan api ke ladang yang bersebelahan dengan ladang yang akan dibakar, peralatan menggunakan golok atau parang.
46
5. Pipohai sau (pengeringan bahan bakar) Bahan bakar hasil perintisan-penebangan di jemur dibawah sinar matahari selama 30-60 hari tergantung besar dan banyaknya bahan bakar serta kondisi cuaca. Bahan bakar biasanya dibiarkan tersebar merata diseluruh areal. Tabel 8 Lamanya pengeringan bahan bakar di Desa Lapodi No
Lamanya Pengeringan (Hari)
Jumlah Peladang (Orang)
Persentase (%)
1
15 – 20
13
43,3
2 3 4
21 – 30 31 – 40 41 - 50
14 0 0
46,7 0 0
5
51 - 60
3
10
30
100
Total
Lamanya pengeringan bahan bakar berbeda-beda untuk setiap peladang, pengeringan bahan bakar paling lama dilakukan selama 60 hari (2 bulan) dan paling banyak peladang (46,7%) melakukan pengeringan bahan bakar selama 2130 hari. 6. Sula’a (pembakaran) Pembakaran merupakan proses setelah perintisan-penebangan yang memiliki beberapa tujuan diantaranya membersihkan lahan dari batang-batang kayu besar, ranting-ranting sisa perintisan sehingga memudahkan dalam penanaman dan abu bekas pembakaran dapat meningkatkan kesuburan tanah sehingga tanaman tumbuh subur. Selain itu pembakaran dapat membasmi hama dan penyakit. Lamanya proses pembakaran antara 1 sampai 2 hari tergantung banyaknya bahan bakar. 7. Pirampuni (pembakaran ulang) Pembakaran ulang dilakukan apabila tidak semua bahan bakar habis terbakar atau terjadi kegagalan dalam pembakaran, pembakaran ulang biasanya dilakukan sehari setelah pembakaran awal. Adapun kegagalan dalam melakukan pembakaran: 1. Bahan bakar masih belum benar-benar kering atau masih mengandung kadar air tinggi sehingga api sukar untuk membakarnya.
47
2. Cuaca buruk, dimana hujan masih turun sehingga proses pengeringan bahan bakar terganggu dan bahan bakar akan sulit terbakar. 8. Picangko (pengolahan tanah) Picangko atau pengelohan tanah dilakukan untuk memudahkan dalam penanaman. Kegiatan yang dilakukan dalam picangko antar lain mencangkul tanah supaya gembur dan memberi ruang tumbuh bagi tanaman. Peralatan yang digunakan adalah cangkul dan lamanya pengolahan tanah untuk areal seluas 1 ha berkisar antara 1-2 hari. 9. Cika’a (penanaman) Penanaman dilakukan setelah areal ladang dibersihkan dari tegakan dan semak belukar. Hal pertama yang dilakukan dalam proses penanaman adalah penugalan (katombusi) dengan menggunakan tugal yang terbuat dari kayu dengan panjang 1.75-2.00 meter yang ujungnya telah diruncing. Proses penugalan biasanya dilakukan sekaligus dengan penanaman pada hari yang sama. Penanaman memakan waktu 1-2 hari tergantung jumlah tenaga kerja untuk luasan 0,5-1 ha. Penanaman akan dilakukan apabila telah tiba musim penghujan atau bintang tertentu sebagai pertanda untuk menanam telah tampak. Penanaman dimulai dari suatu titik (ka’belai) yang telah di tetapkan oleh ketua adat dan biasanya terletak pada sudut-sudut lahan lalu penanaman dimulai dari arah kiri ke kanan atau arah kanan ke kiri, hal ini bermaksud untuk memudahkan melihat areal/bagian mana saja yang telah ditanami. Sebelum atau saat panen biasanya peladang melakukan ritual pikandolea yang berarti pesta panen, kegiatan ini berupa pembacaan doa yang dilengkapi dengan makanan hasil dari ladang, pembacaan doa biasanya dilakukan oleh parabela atau imam yang biasa disebut parika. Pemotongan tanaman sebagai tanda akan panen dilakukan oleh belai. 5.3.1 Waktu melakukan pembakaran Waktu pembakaran calon ladang berbeda antara satu peladang dengan peladang yang lain. Menurut Devung diacu dalam Rohasan (1998), waktu membakar dipilih pada saat hari betul-betul panas dan biasanya pada tengah hari
48
antara pukul 11.30-12.30, sehingga masih ada cukup waktu untuk memadamkan api yang mungkin bisa merembet ke kawasan hutan sekitar. Masyarakat Desa Lapodi melakukan pembakaran sekitar pukul 14.00-15.00 yaitu saat menjelang sore dan angin bertiup tidak terlalu kencang, dengan anggapan bahwa kecepatan angin mulai rendah dan panas matahari tidak terlalu terik sehingga dapat mengurangi terjadinya kemungkinan penjalaran api ke lahan orang lain/lahan sekitarnya. Peladang akan meninggalkan areal pembakaran apabila api dalam areal tesebut telah benar-benar mati atau padam. Pembakaran ulang dilakukan apabila masih banyak bahan bakar, pembakaran ulang dilakukan 1-2 hari setelah pembakaran pertama dilakukan. Pembakaran ulang dilakukan dengan cara mengumpulkan bahan bakar pada satu tumpukan kemudian dibakar. Apabila masih ada sisa bahan bakar maka sisa bahan bakar tersebut biasanya digunakan untuk kayu bakar bagi para pelandang atau dibiarkan begitu saja sampai melapuk.
Gambar 9 Kondisi ladang setelah pembakaran. Tabel 9 Jarak waktu antara bakar – tanam di Desa Lapodi No
Jarak Bakar - Tanam (Hari)
Jumlah Peladang (Orang)
Persentase (%)
1
30
15
50
2
40
0
0
3
50
15
50
Total
30
100
49
Jarak dari pembakaran sampai penanaman paling cepat dilakukan selama 30 hari (sebanyak 50 %) dan paling lama selama 50 hari (sebanyak 50%) atau sampai awal musim penghujan (Tabel 9). 5.3.2 Teknik Pembakaran Setelah proses pengeringan bahan bakar selesai, maka dilakukan pembakaran dengan terlebih dahulu membuat sekat bakar. Arah angin dapat di ketahui dengan mengetahui musim barat atau timur atau dapat pula dengan melihat arah gerak daun-daun pohon yang berada disekitar ladang Untuk mencegah terjadinya penjalaran api keluar areal maka pembakaran biasanya dilakukan secara bersamaan dengan peladang-peladang lain yang menempati areal yang berdekatan serta membuat sekat bakar. Dalam melakukan pembakaran masyarakat Desa Lapodi memiliki beberapa teknik pembakaran yakni dapat dilihat pada Tabel 10, hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan Ikhramsyah (2004) berdasarkan penelitiannya dalam melakukan pembakaran orang Baduy menggunakan teknik tunggal, yaitu pembakaran dengan cara menumpukan bahan bakar pada permukaan tanah yang terdiri dari beberapa tumpukan (pile burning), sedangkan teknik pembakaran tumpukan justru paling sedikit dilakukan para peladang di Desa Lapodi. Tabel 10 Teknik pembakaran di Desa Lapodi No
Teknik Pembakaran
Jumlah Peladang (Orang) 11
Persentase (%) 36,7
1
Pembakaran mengikuti arah angin
2
Pembakaran melingkar
6
20
3
Pembakaran melingkar berlawanan arah angin Kombinasi pembakaran searah angin dan pembakaran balik Pola pembakaran tumpukan
6
20
4
13,3
3
10
30
100
4 5
Total
Teknik pembakaran yang paling banyak dilakukan adalah pembakaran mengikuti arah angin (36,7%), hal ini disebabkan pembakaran dengan teknik ini lebih mudah dilakukan karena setelah pembakaran peladang tinggal mengawasi laju penjalaran apinya, dimana laju penjalaran api mengikuti arah bertiupnya angin.
50
Keterangan : : Orang yang melakukan pembakaran : Arah pembakar/gerak api : Arah angin : Sekat bakar
Gambar 10 Pembakaran mengikuti arah angin di Desa Lapodi. Teknik pembakaran mengikuti arah angin (Gambar 10) dilakukan oleh 2-6 orang pekerja yang biasanya berasal dari keluarga atau peladang lain, pembakaran dilakukan apabila peralatan yang dibutuhkan telah tersedia semuanya seperti obor untuk membakar, selanjutnya ke dua orang tersebut berdiri di tengah-tengah lahan dengan membagi dua lahan sama besarnya kemudian kedua orang tersebut membakar pada tepi lahan tempat arah angin datang, lalu membiarkan api menjalar mengikuti arah angin. Selama pembakaran peladang harus selalu memperhatikan arah angin karena arah angin akan sangat menentukan arah penjalaran api dan keberhasilan pembakaran (Syaufina 2008).
51
Keterangan : : Orang yang melakukan pembakaran : Arah pembakar/gerak api : Arah angin : Sekat bakar
Gambar 11 Pembakaran melingkar di Desa Lapodi. Teknik pembakaran ke-2 yang sering dilakukan adalah pembakaran melingkar dan pembakaran melingkar melawan arah angin (Gambar 11). Pada teknik pembakaran melingkar, pembakaran terdiri dari 4-6 orang yang berdiri di sudut calon ladang. Proses pembakaran dimulai dari sisi atau pinggir lahan yang akan dijadikan calon ladang, pembakaran secara kontinue dan berada dibawah satu komando yang dimulai dari 2 tempat yang berbeda. Setiap pembakar bergerak menuju arah yang sama. Pada teknik pembakaran tersebut, api akan bergerak ke tengah sehingga dapat mengurangi resiko penjalaran api kearah luar ladang (Syaufina 2008).
52
Keterangan : : Orang yang melakukan pembakaran : Arah pembakar/gerak api : Arah angin : Sekat bakar
Gambar 12 Pembakaran melingkar berlawanan arah angin di Desa Lapodi. Teknik pembakaran melingkar berlawanan arah angin (Gambar 12) secara umum proses yang digunakan sama dengan pembakaran melingkar. Hanya dalam pembakaran melingkar berlawanan arah angin, awal pembakaran memperhatikan arah angin sehingga pembakaran dilakukan berlawanan arah angin. Selanjutnya pembakaran dimulai dari sisi atau pinggir lahan yang akan dijadikan calon ladang, pembakaran secara kontinue dan berada dibawah satu komando yang dimulai dari 2 tempat yang berbeda. Setiap pembakar bergerak menuju arah yang sama. Pada teknik pembakaran tersebut, api akan bergerak ke tengah sehingga dapat mengurangi resiko penjalaran api kearah luar ladang (Syaufina 2008).
53
II
I
Keterangan : : Orang yang melakukan pembakaran : Arah pembakar/gerak api : Arah angin : Sekat bakar
Gambar 13 Kombinasi pembakaran searah angin dan pembakaran balik di Desa Lapodi. Teknik pembakaran selanjutnya adalah kombinasi pembakaran searah angin dan pembakaran balik (Gambar 13), teknik ini digunakan oleh 4 dari 30 orang peladang (13.3%). Teknik pembakaran ini diperlukan dua orang petugas pembakaran yang dibagi menjadi 2 regu dimana masing-masing regu terdiri dari satu orang. Satu regu berada disisi ladang tempat datangnya angin (regu 2) dan satu regu lagi disisi yang berlawanan arah angin. Pembakaran dimulai dari sisi yang berlawanan arah angin. Titik-titik pembakaran dibuat dengan jarak sekitar 1 m pada arah yang berlawanan. Apabila setengah dari areal telah terbakar maka orang ke dua mulai membuat titik-titik pembakaran sepanjang tepi ladang juga dengan arah yang berlawanan.
54
Keterangan : : Orang yang melakukan pembakaran : Arah pembakar/gerak api : Arah angin
: Tumpukan bahan bakar
: Sekat bakar
Gambar 14 Pembakaran tumpukan di Desa Lapodi. Teknik pembakaran tumpukan (Gambar 14) digunakan 10% peladang. Sebelum melakukan pembakaran peladang terlebih dahulu membersihkan sekitar ladang yang akan berfungsi sebagai sekat bakar dengan lebar 1-4 meter kemudian bahan bakar yang merupakan hasil pembersihan tadi diarahkan ketengah ladang menjauh dari batas sekat bakar dengan tinggi tumpukan ± 50 cm, banyaknya tumpukan bahan bakar biasanya hanya satu tumpukan saja yang berukuran agak besar, pembakaran dilakukan searah datangnya angin.
55
Tahapan keseluruhan kegiatan pembukaan ladang masyarakat Desa Lapodi dapat digambarkan sebagai berikut (Gambar 15):
Pinanoi
Pitambori
Pikalio
Pipohai sau
Hehae
Sula’a
Pirampuni
Cika’a
Gambar 15 Tahapan pembukaan ladang masyarakat Desa Lapodi.
Sebagian besar kegiatan perladangan di Desa Lapodi sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca maka jadwal kegiatan perladangan dapat dilihat pada Tabel 11.
56
Tabel 11 Jadwal kegiatan perladangan di Desa Lapodi No
Bulan
Kegiatan
1
Pinanoi (Survei calon lokasi baru)*
2
Pitambori (Perintisan)
3
Pikalio (Penebangan)
4
Pipohai sau (Pengeringan bahan bakar)
5
Hehae (Pembuatan sekat bakar)
6
Sula'a (pembakaran)
7
Pirampuni (pembakaran ulang)
8
Picangko (pengolahan tanah)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
9 Cika'a (penanaman) Keterangan : * = Waktunya tidak diketahui
Jadwal kegiatan peladang untuk pengolahan tanahnya biasanya dimulai pada pertengahan tahun sekitar bulan Juli (bulan 7), hal ini dilakukan untuk mengejar musim penhujan dan pengeringan bahan bakar biasanya dilakukan pada bulan September (bulan 9) sampai dengan bulan Oktober (bulan 10) karena pada bulan-bulan ini curah hujan tidak terlampau banyak kalaupun ada hujan
Rataan Curah hujan (mm)
350.0
20.0 18.0 16.0 14.0 12.0
300.0 250.0 200.0
10.0 8.0 6.0 4.0 2.0 0.0
150.0 100.0 50.0 0.0 Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agt
Sep
Okt
Nop
Rataan Hari Hujan (mm)
intensitasnya tidak terlampau besar hal ini dapat dilihat pada Gambar 16.
Des
Bulan Curah hujan
Hari hujan
Gambar 16 Rata-rata curah hujan dan rata-rata hari hujan di Desa Lapodi dari tahun 2001-2006. Musim penghujan terjadi pada bulan Nopember sampai bulan Januari, sehingga pada bulan-bulan tersebut masyarakat Desa Lapodi mulai melakukan penanaman.
57
5.3.3 Nilai-nilai kearifan tradisional lainnya masyarakat Desa Lapodi Kearifan lokal lainnya masyarakat di Desa Lapodi Kecamatan Pasarwajo Kabupaten Buton Propinsi Sulawesi Tenggara meliputi beberapa hal antara lain: 1. Sebelum pemilihan calon ladang para peladang melaksanakan ritual yang ditujukan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan tujuan agar dalam kegiatan pembukaan lahan terhindar dari hambatan. Adapun ritual tersebut berupa pembacaan doa (haroa) yang dilakukan oleh parabela atau imam. 2. Sebelum penanaman dilakukan, para peladang melakukan ritual khusus yang disebut (pisuka). Ritual ini ditujukan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang bertujuan untuk memohon agar tanaman yang akan ditanam dilindungi dari serangan hama dan penyakit. 3. Dalam pembukaan lahan untuk perladangan para peladang hanya menggunakan alat-alat tradisional berupa parang dan kapak sehingga tingkat kerusakan dapat diminimalkan. 4. Peladang selalu bekerja secara bergotong royong (pikahamba) dalam kegiatan perladangan. 5. Pada saat panen peladang kembali melakukan ritual yang ditujukan kepada Tuhan Yang Maha Esa, sebagai ucapan syukur bahwa panen telah berhasil yang biasa disebut pikandolea atau pesta panen. 6. Untuk menjaga kelestarian alamnya masyarakat Desa Lapodi mengenal istilah kaombo. Kaombo merupakan kegiatan melindungi/menjaga hasil alam agar penggunaannya/pemanfaatan dapat dikendalikan, artinya pemungutan hasil alam dilakukan apabila telah cukup umur untuk di panen. Apabila ada yang melanggar kesepakatan ini maka akan diberi hukuman.
58
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Kearifan tradisional dalam pembukaan ladang oleh masyarakat adat Desa Lapodi dapat dilihat dengan penggunaan teknik-teknik pembakaran, yakni teknik pembakaran mengikuti arah angin, pembakaran melingkar, pembakaran melingkar berlawanan arah angin, kombinasi pembakaran searah angin dan pembakaran balik, dan pola pembakaran tumpukan. Penggunaan teknik-teknik pembakaran oleh masyarakat adat di Desa Lapodi tidak menimbulkan kebakaran hutan karena telah menggunakan sekat bakar, perhitungan arah angin dan pembakaran dilakukan pada waktu-waktu tertentu. Untuk menjaga kelestarian alamnya masyarakat Desa Lapodi mengenal istilah kaombo, dan apabila ada masyarakat yang melanggarnya maka akan diberi sanksi atau hukuman. 6.2 Saran Perlu adanya penelitian yang serupa didaerah lain yang memiliki nilainilai kearifan tradisional untuk lebih mengetahui berbagai teknik penyiapan lahan yang ramah lingkungan.
59
DAFTAR PUSTAKA [Anonim]. 2003. VII.1. Kebakaran Hutan Kejadian Kebakaran Hutan Tahun 2003 Menurut Fungsi Hutan www.dephut.go.id /INFORMASI /BUKU2 /Eks_04/Tab_VII_1.pdf [11 februari 2009] [BPS] Badan Pusat Statistik. 2006. Kecamatan Pasarwajo Dalam Angka 2006. Badan Pusat Statistik. Bau-Bau. [Depdagri] Departemen Dalam Negeri. 2003. Daftar Isian Potensi Desa Dan Tingkat perkembangan Desa. Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat Dan Desa. Bau-bau. Dove R.M. 1988. Sistem Perladangan Di Indonesia : Suatu Studi Kasus Dari Kalimantan Barat. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Gay L. R. 1981. Educational Research. A Beel & Howell Company. Ohio Hadisuparto H. 2003. Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia. http://kompas.com/kompas-cetak/0306/29/Fokus/395705.htm [26 Januari 2008] Hendromono N. M, dan Djoko W. 2003. Status IPTEK Yang Mendukung Pembangunan Hutan Tanaman. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Koservasi Alam. Bogor. Ikhramsyah J. 2004. Kearifan Tradisional Dalam Penyiapan Ladang ( Studi Kasus Masyarakat Tradisional Baduy Desa Kenekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Propinsi Banten) [Skripsi]. Bogor. Departemen Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan. IPB. Kusni B. J. 2002. [Nasional-M] Dibalik kebakaran Hutan Kalimantan Tersimpan Satu Seruan. http://www.polarhome.com/pipermail/nasional-m/2002September/000208.html [26 Desember 2007] Lianawati T. 2002. Studi Penggunaan Api Untuk Penyiapan Ladang di Sekitar HPH PT. Diamond Raya Timber Kabupaten Rokan Hilir Propinsi Riau [Skripsi]. Bogor. Departemen Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan. IPB. Nurhayati A, Esi E, Herman, Joko S, Kudrat S. 2007. Kebakaran Hutan Indonesia Dan Upaya Penanggulangannya dishut.jabarprov.go.id /data/arsip /kebakaran%20hutan.doc.[26 Januari 2008] Rohasan. 1998. Studi Penggunaan Api Dalam Penyiapan Ladang di Sekitar HPHTI PT. Musi Hutan Persada Sumatera Selatan. Jurusan Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Tidak dipublikasikan.
60
Sagala P. 1994. Mengelola Lahan Kehutanan Indonesia. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Sahardjo B.H. 2003. Tipe Kebakaran Hutan Dalam: Suratmo F.G, E.A. Husaeni, dan N.S. Jaya (Editor). Pengetahuan Dasar Pengendalian Kebakaran Hutan : Fakultas Kehutanan. IPB. Bogor. Setijono Djoko. 2001. Kebijakan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia : PP. No. 4/2001. Prosiding Seminar Sehari Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Aktivitas Sosial Ekonomi Dalam Kaitannya Dengan Penyebab dan Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan Di Sumatera. Proyek Penelitian Kebakaran Hutan dan Lahan ICRAF dan CIFOR. Bogor. Suratmo F.G, E.A. Husaeni, N.S. Jaya. 2003. Pengetahuan Dasar Pengendalian Kebakaran Hutan. Fakultas Kehutanan. IPB. Bogor. Syaufina L. 2008. Kebakaran Hutan Dan Lahan Di Indonesia Perilaku Api, Penyebab dan Dampak Kebakaran. Bayumedia Publishing. Malang. Syumanda R. 2003. Kebakaran Hutan dan Lahan Riau: Kebijakan dan Dampaknya Bagi Kehidupan Manusia (1) http://www.walhi.or.id/kampanye /bencana/bakarhutan/kebkr_hut_riau_mak_230403/ [26 Januari 2008].
61
Lampiran 1
Gambar 17 Peta Pulau Buton.
62
Lampiran 2
Gambar 18 Peta Kecamatan Pasarwajo.
63
Lampiran 3
Parabela
Moji
Waci
Pandesuka
Gambar 19 Struktur adat Desa Lapodi. Keterangan : Parabela
: Ketua Adat
Moji
: Kasisi Sombali atau tangan kiri imam
Waci
: Kasisi Soana atau Tangan Kiri Parabela
Pandesuka
: pelaksana ritual dan orang yang mengetahui tentang pergantian antara musim barat ke timur dan sebaliknya.
64
Lampiran 4 Tabel 12 Daftar responden No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Nama La Raha Tahir Nurdin La Kayo La Hasani La Cama Barja La Benci La Sanuri La Ajimu Aris La Emu Muhamad Kasdi La Use La Haina Spd La Hiri La Siwua Suhdin La Ireta La Baria La Poni La Sairi La Haruna La Maku La Riudi La Iradi La Jauli Sukardi La Iseda La Ironi
Umur
Jenis kelamin
Pendidikan
34 40 39 37 53 34 27 49 38 37 46 44 40 34 40 41 73 31 51 42 36 41 33 50 33 37 35 32 43 52
Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki
SMA SMP SD SMP SD SMA SMP SD SMA SMA SMA S1 SMA SR SMA SD SMP SD SD SMP SMA SMP SD SD
Jumlah Keluarga 8 10 5 6 8 8 3 12 6 6 5 7 6 4 5 5 6 5 7 3 6 5 7 5 6 9 9 8 8 12
Suku Laporo Laporo Laporo Laporo Laporo Laporo Laporo Cia-cia Cia-cia Laporo Laporo Cia-cia Cia-cia Cia-cia Laporo Cia-cia Laporo Cia-cia Cia-cia Laporo Cia-cia Laporo Cia-cia Cia-cia Cia-cia Cia-cia Cia-cia Cia-cia Cia-cia Cia-cia
65
Lampiran 5 Kamus istilah 1. Pandai pondasi
: tukang batu
2. Pandai pikana kaana : tukang kayu 3. Parabela
: ketua adat
4. Kaombo
: penjaga pohon
5. Pikahamba
: gotong royong
6. Pinanoi
: survey calon ladang
7. Pitambori
: mulai merintis/perintisan
8. Pikalio
: penebangan
9. Hehae
: pembuatan sekat bakar
10. Pipohai sau
: pengeringan bahan bakar
11. Sula’a
: pembakaran
12. Pirampuni
: pembakaran ulang
13. Picangko
: pengolahan tanah
14. Cika’a
: penanaman
15. Kacumpo
: parang
16. Katombusi
: tugal
17. Ka’belai
: titik awal penanaman
18. Pikandolea
: pesta panen
19. Parika
: pembacaan doa yang dilakukan oleh parabola atau imam
20. Belai
: orang yang dituakan
21. Haroa
: kenduri
22. Pisuka
: ritual sebelum penanaman
23. Tondo
: pembatas kebun yang terbuat dari batu
24. Pagala
: pembatas yang terbuat dari kayu.
66
Lampiran 6 Tabel 13 Perhitungan rata-rata hari hujan dan rata-rata curah hujan dari tahun 2001 sampai dengan 2006 Tahun No
Bulan
2001 Hari Curah Hujan Hujan (HH) (mm)
2002 Hari Curah Hujan Hujan (HH) (mm)
Jan 1 19 470 18 Feb 2 9 198 18 Mar 3 16 445 2 Apr 4 13 557 10 Mei 5 11 283 8 Jun 6 17 751 8 Jul 7 6 112 Agt 8 3 Sep 9 4 16 Okt 10 2 Nop 11 10 43 3 Des 12 11 285 10 JUMLAH 118 3160 80 Sumber : BPS Kecamatan Pasarwajo 2006
192 338 60 295 381 115 5 5 60 1451
2003 Hari Curah Hujan Hujan (HH) (mm) 19 14 13 21 12 15 12 10 1 4 19 140
192 229 137 495 456 383 171 116 2 21 309 2511
2004 Hari Curah Hujan Hujan (HH) (mm) 15 19 16 15 8 11 15 4 1 4 13 121
326 269 283 203 94 228 106 3 1 6 70 1589
2005 Hari Curah Hujan Hujan (HH) (mm) 12 20 16 21 20 6 11 8 2 6 8 18 148
56 227 179 238 390 90 201 42 80 60 90 241 1894
2006 Hari Curah Hujan Hujan (HH) (mm) 12 24 16 18 21 16 9 6 3 3 7 135
290 371 206 209 310 223 72 6 5 50 73 1815
Rata-rata Curah Hari Hujan Hujan (mm) (HH) 254.3 272.0 218.3 332.8 319.0 298.3 110.3 28.2 17.3 10.5 35.8 173.0 2070.0
15.8 17.3 13.2 16.3 13.3 12.2 8.8 4.5 2.2 1.7 5.3 13.0 123.7