PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PENANGKAPAN IKAN DI PERAIRAN TELUK APAR KABUPATEN PASIR KALIMANTAN TIMUR
RUDIANSYAH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
ABSTRACT RUDIANSYAH. 2008. Development of Fishing Technology In Apar Bay, Pasir Regency, Province of East Kalimantan. Under supervision of MULYONO S. BASKORO and WAWAN OKTARIZA. Located in Pasir regency, Apar Bay has fisheries resources which have not fully utilized. The situation gives opportunity to develop fishing with regard to the Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) as suggested by the FAO. Objective of the research are: (1) To analysis status of fish resource utilization in Apar Bay, Pasir Regency, East Kalimantan and (2) analysis fishing technology that is good to be developed in Apar bay Pasir Regency (biology, social, and techco-economic). Primary data collection on biological, social and techno-economic aspects was carried out by interviewing fishermen in the study site. Secondary data on fish abundances were taken from fisheries statistical data, issued by fisherman and maritime resources services of Pasir Regency 1996-2005. This research was focused on fishing gears i.e. purse seine, bottom gill net, drift gill net, trammel net, tidal traps (jermal), drift long line, lift net. Data analysis method of fish resource, market analysis, financial analysis and scoring method. Result of research indicates that exploiting of fish resources pelagis and demersal in Apar Bay over Total Allowable Catches (TAC) 80% from MSY. Bottom gill net, Trammel net and purse seine is fishing gear of main priority of development. Keywords: Apar Bay, Fishing Technology, Development, TAC
RINGKASAN RUDIANSYAH. 2008. Pengembangan Teknologi Penangkapan Ikan di Perairan Teluk Apar Kabupaten Pasir Kalimantan Timur. Dibimbing oleh MULYONO S BASKORO dan WAWAN OKTARIZA. Sebagai salah satu wilayah di Kabupaten Pasir, Teluk Apar mempunyai potensi sumberdaya ikan yang saat ini belum dieksploitasi secara optimal. Kondisi ini memberikan peluang pengembangan usaha perikanan tangkap dengan memperhatikan ketentuan Perilaku Perikanan yang bertanggungjawab (Code of Conduct for Responsible Fisheries). Penelitian dilakukan dengan tujuan (1) Menganalisis status pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk Apar Kabupaten Pasir Kalimantan Timur dan (2) menganalisis teknologi penangkapan ikan yang tepat guna dikembangkan di Teluk Apar Kabupaten Pasir (biologi, sosial, teknik dan ekonomi). Pengumpulan data primer dilakukan melalui wawancara terhadap nelayan untuk menganalisis aspek biologi, sosial, teknik dan ekonomi. Pengumpulan data sekunder dilakukan melalui pencatatan statistik perikanan Kabupaten Pasir tahun 1996 – 2005 untuk menganalisis kelimpahan sumberdaya. Alat tangkap yang diamati adalah pukat cincin (purse seine), jaring insang dasar (bottom gill net), jaring insang hanyut (drift gillnet), jaring tiga lapis (trammel net), jermal (Tidal traps), rawai hanyut (drift long line), bagan tancap (lift net). Metode analisis data yaitu kelimpahan sumberdaya, analisis pasar, analisis finansial dan metode skoring. Hasil penelitian menunjukkan pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis dan demersal di Teluk Apar melebihi jumlah tangkap yang diperbolehkan (total allowable catch) 80% dari MSY. Jaring insang dasar, jaring tiga lapis dan purse seine merupakan unit penangkapan prioritas utama pengembangan. Kata Kunci : Teluk Apar, teknologi penangkapan ikan, pengembangan, JTB
PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PENANGKAPAN IKAN DI PERAIRAN TELUK APAR KABUPATEN PASIR KALIMANTAN TIMUR
RUDIANSYAH
Tesis Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains Pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
HALAMAN PENGESAHAN Judul
: Pengembangan Teknologi Penangkapan Ikan Di Perairan Teluk Apar Kabupaten Pasir Kalimantan Timur.
Nama
: Rudiansyah
NRP
: C 451060121
Program Studi
: Teknologi Kelautan
Disetujui, Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Mulyono S Baskoro, M.Sc Ketua
Ir. Wawan Oktariza, M.Si Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi Teknologi Kelautan
Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc
Tanggal Ujian: 4 Juli 2008
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
Tanggal Lulus :
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Prof. Dr. Ir. Jhon Haluan, M.Sc
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul ” Pengembangan Teknologi Penangkapan Ikan di Teluk Apar Kabupaten Pasir Kalimantan Timur, adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain, telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor,
Juli 2008
Rudiansyah NRP. C 451060121
@ Hak cipta milik IPB, tahun 2008 Hak cipta dilindungi Undang-Undang 1) Dilarang keras mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2) Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
PRAKATA Puji dan syukur penulis haturkan kepada Allah SWT atas segala nikmat yang diberikan sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema penelitian yang penulis lakukan ialah “pengembangan teknologi penangkapan ikan di Teluk Apar Kabupaten Pasir Kalimantan Timur” yang dilaksanakan sejak bulan Juni hingga November 2007. Terimakasih yang tak terhingga kepada ibu, ayah dan ibu mertua tanpa lelah senantiasa memberikan dukungan moril serta seluruh keluarga. Khusus kepada istriku tercinta Dede Eli Amalia, S.Pd atas perhatian, pengertian, pengorbanan dan kesabarannya serta putra-putriku tersayang M. Shofil Fuady, Alwan Nabil Maududy dan Naila Keisha Azkia yang menjadi spirit dan kekuatan bagi ayah untuk segera menyelesaikan studi. Semoga perjuangan ayah menjadi semangatmu di kemudian hari. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Mulyono S Baskoro, M.Sc dan Bapak Ir. Wawan Oktariza, M.Si sebagai komisi pembimbing serta Prof. Dr. Ir. Jhon Haluan, M.Sc yang telah banyak memberikan saran, semoga Allat SWT menjadikannya sebagai amal zariyah. Penghargaan dan terimakasih penulis sampaikan kepada Bapak Bupati Paser H. Ridwan Suidi beserta jajaran Pemerintah Kabupaten Pasir atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk melanjutkan studi di Sekolah Pascasarjana IPB, Rekan-rekan staf Dinas Perikanan Bapak Budy Hartika Eka Putra, S.Pi M.Pi dan Ibu Nina, S.Pi, atas dukungan dan bantuannya dalam memfasilitasi penulis dalam penyelesaian studi dan membantu kelengkapan administrasi kedinasan. Terimakasih pula penulis sampaikan kepada Bapak Khoiron, S.Pd (PPL Ma. Pasir), Bapak Gomed (Ma. Pasir), Bapak Zaini dan Bapak Bahdar (Lori) yang telah membantu memfasilitasi penulis pada saat penelitian di lapangan Keluarga besar mahasiswa Teknologi Kelautan angkatan 2006: Hufiadi, Amirul K. Adnan, M. Tahsim H, Benidiktus Jeujanan, Arif Febrianto, Takril, Mukhlis, Yeyen, Riyanto, Stany R.S, Isnaniah, Dwi Rosalina, Isnaini, Finriani Arifin, Dina Maya Sari dan Ririn Irnawati terimakasih atas kebersamaannya sebagai sahabat sekaligus sebagai saudara, semoga kekompakan yang telah terjalin dan terbina menjadi benang penghubung semangat silaturahim diantara kita. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Juli 2008 Penulis
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kuaro, Kabupaten Paser Provinsi Kalimantan Timur pada tanggal 11 Maret 1971 dari pasangan H. Abd. Latif dan Hj. Hafsah. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Sosial Ekonomi Perikanan, Fakultas Pertanian Universitas Mulawarman, lulus pada tahun 1997. Pada tahun 1997 penulis diterima menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) di lingkungan Pemerintah Daerah Kabupaten Pasir dan ditempatkan pada unit kerja Dinas Perikanan Cabang Dinas Pasir. Tahun 2000-2001 penulis menjadi kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Balai Benih Udang (BBU). Selanjutnya tahun 2002 penulis diangkat sebagai Kepala Seksi (Kasi) Pemanfaatan Lingkungan pada Dinas Perikanan dan Sumberdaya Kelautan Kabupaten Pasir hingga Agustus 2006. Pada tahun yang sama penulis mendapat kesempatan mengikuti program magister pada Program Studi Teknologi Kelautan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor melalui beasiswa tugas belajar dari Pemerintah Daerah Kabupaten Pasir.
i
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ................................................................................................. DAFTAR TABEL ........................................................................................ DAFTAR GAMBAR .................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ 1
2
PENDAHULUAN ................................................................................
1
1.1 1.2 1.3 1.4 1.5
Latar Belakang ............................................................................. Rumusan Masalah ........................................................................ Tujuan Penelitian .......................................................................... Manfaat Penelitian ....................................................................... Kerangka Pemikian ......................................................................
1 3 4 5 5
TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................
7
2.1 2.2 2.3 2.4 2.5 2.6
3
4
i iv vii ix
Pengelolaan Sumberdaya Perikanan ............................................. Kelimpahan Sumberdaya ............................................................. Perikanan Tangkap ........................................................................ Permintaan Pasar .......................................................................... Pengembangan Perikanan Tangkap ............................................. Teknologi Penangkapan Ikan Tepat Guna ................................... 2.6.1 Tepat Guna berdasarkan Aspek Biologi ............................ 2.6.2 Tepat Guna berdasarkan Aspek Teknis ............................. 2.6.3 Tepat Guna berdasarkan Aspek Sosial .............................. 2.6.4 Tepat Guna berdasarkan Aspek Ekonomi .........................
7 8 9 10 11 12 13 13 14 14
METODE PENELITIAN ...................................................................
17
3.1 3.2 3.3 3.4 3.5
Waktu dan Tempat Penenlitian .................................................... Metode Penelitian ......................................................................... Metode Pengumpulan Data .......................................................... Metode Pengambilan Sampel ...................................................... Metode Analisa Data .................................................................... 3.5.1 Standarisasi unit penangkapan ........................................ 3.5.2 Analisis kelimpahan sumberdaya ikan .............................. 3.5.3 Analisis trend .................................................................... 3.5.4 Analisis aspek pasar........................................................... 3.5.5 Analisis usaha .................................................................. 3.5.6 Analisis kriteria investasi .................................................. 3.5.7 Metode skoring ................................................................
17 17 17 18 19 19 20 21 22 23 24 26
DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN .............................................
27
4.1
27 27 28 28
Kondisi Umum Kabupaten Pasir .................................................. 4.1.1 Administrasi wilayah dan letak geografis ........................ 4.1.2 Keadaan topografi ............................................................ 4.1.3 Perikanan tangkap ...........................................................
ii
4.2
5
Kondisi Umum Teluk Apar .......................................................... 4.2.1 Gambaran desa-desa pesisir ............................................. 4.2.2 Karakteristik oseanografi ................................................. 4.2.3 Daerah dan musim penangkapan ..................................... 4.2.4 Unit penangkapan ikan .................................................... 4.2.4.1 Nelayan .............................................................. 4.2.4.2 Perahu/ Kapal ..................................................... 4.2.4.3 Alat tangkap ...................................................... 4.2.5 Sumberdaya ikan ...............................................................
31 31 32 34 35 35 35 36 45
HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................
55
5.1
Hasil Penelitian ............................................................................ 5.1.1 Karakteristik nelayan responden ..................................... 5.1.2 Kelimpahan sumberdaya ikan .......................................... 5.1.2.1 Ikan pelagis ....................................................... 5.1.2.2 Demersal ........................................................... 5.1.3 Produktivitas unit penangkapan ...................................... 5.1.4 Analisis pasar ................................................................... 5.1.4.1 Pola pemasaran ................................................. 5.1.4.2 Permintaan pasar ............................................... 5.1.4.3 Penawaran pasar ................................................ 5.1.4.4 Peramalan permintaan dan penawaran .............. 5.1.5 Analisis finansial ............................................................... 5.1.5.1 Keuntungan usaha .............................................. 5.1.5.2 Imbangan penerimaan dan biaya (R-C Ratio)..... 5.1.5.3 Waktu pengembalian modal (Payback period)... 5.1.5.4 Net Present Value (NPV) .................................... 5.1.5.5 Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) ……………... 5.1.5.6 Internal Rate of Return (IRR) …………………. 5.1.6 Urutan keunggulan unit penangkapan ............................. 5.1.6.1 Aspek biologi .................................................... 5.1.6.2 Aspek teknis ...................................................... 5.1.6.3 Aspek sosial ...................................................... 5.1.6.4 Aspek ekonomi .................................................. 5.1.7 Determinasi keunggulan unit penanagkapan ..................... Pembahasan .................................................................................. 5.2.1 Status produksi ikan di Teluk Apar ................................. 5.2.2 Pola pemasaran .................................................................. 5.2.3 Kelayakan usaha penangkapan ikan .................................. 5.2.4 Kriteria keunggulan unit penangkapan ........................... 5.2.5 Determinasi pengembangan teknologi penangkapan ...... Peluang Pengembangan Perikanan Tangkap di Teluk Apar ......... Kendala Pengembangan Perikanan Tangkap di Teluk Apar .........
55 55 57 57 60 63 73 73 75 78 79 82 83 84 84 84 85 85 86 86 87 89 90 92 94 94 98 100 102 108 110 112
SIMPULAN DAN SARAN ..................................................................
116
6.1 6.2
116 116
5.2
5.3 5.4 6
Simpulan ………............................................................................ Saran ……..……............................................................................
iii
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... LAMPIRAN ..................................................................................................
118 123
iv
DAFTAR TABEL Halaman 1
Produksi Perikanan Tangkap Perairan Laut Tahun 2005 ..…………
1
2
Produktivitas berdasarkan Klasifikasi Jenis Alat Tangkap di Teluk Apar Tahun 2005 …………………………………………………
3
3
Penentuan Jumlah Sampel ................................................................
19
4
Posisi Beberapa Kecamatan di Wilayah Pesisir Kabupaten Pasir .....
27
5
Jumlah Nelayan Perikanan Laut Berdasarkan Kategori Usaha di Kabupaten Pasir Tahun 1996-2005…………………………...……..
29
6
Jumlah Perahu/Kapal Perikanan Laut menurut Jenis/Ukuran Perahu/Kapal Kabupaten Pasir ...........................................................
29
7
Perkembangan Jumlah Alat Tangkap Perikanan Laut (unit) menurut Jenis Alat Tangkap di Kabupaten Pasir…………………………….
30
8
Produksi Perikanan Tangkap menurut Klasifikasi Alat Tangkap di Kabupaten Pasir Tahun 2005 ………………………………………
31
9
Musim Penangkapan Ikan berdasarkan Jenis Alat Tangkap ……….
34
10
Bulan Musim Ikan berdasarkan Jenis Ikan di Perairan Teluk Apar ...
34
11
Perkembangan Jumlah Nelayan di Perairan Teluk Apar Tahun 1996 – 2005 ………………………………………………………..
35
12
Perkembangan Jumlah Perahu/Kapal Penangkap Ikan di Teluk Apar Tahun 1996-2005 ………..………………………………………...
36
13
Perkembangan Jumlah Alat Tangkap yang Dioperasikan di Teluk Apar Periode Tahun 1996-2005 ………...………………………….
37
14
Jumlah Nelayan Responden berdasarkan Umur ……………………
55
15
Jumlah Nelayan Responden berdasarkan Tingkat Pendidikan ……..
56
16
Jumlah Nelayan Responden berdasarkan Pengalaman sebagai Nelayan ………………………………..…………………………...
56
17
Jumlah Nelayan Responden berdasarkan Jenis Alat yang Digunakan dan Kapasitas Kapal ...........................................................................
57
v
18
Produksi, Upaya Penangkapan dan Produktifitas Purse seine …......
63
19
Produksi, Upaya Penangkapan dan Produktifitas Jaring Insang Hanyut ………………………………………………………………
65
20
Produksi, Upaya Penangkapan dan Produktifitas Jaring Insang Dasar ………………………………………………………………..
66
21
Produksi, Upaya Penangkapan dan Produktifitas Jaring Tiga Lapis .
68
22
Produksi, Upaya Penangkapan dan Produktifitas Bagan Tancap …..
69
23
Produksi, Upaya Penangkapan dan Produktifitas Rawai Hanyut ….
71
24
Produksi, Upaya ……………
Jermal
70
25
Jenis Ikan dan Harga Rata-rata Minimal Per Kilogram di Teluk Apar ………………………………………………………………..
75
26
Permintaan Komoditi Ikan Penduduk Balikpapan Tahun 1996-2005
77
27
Pemintaan Potensial Kalimantan Timur Pada Komoditi Ikan Tahun 1996-2005…………….......................................................................
77
28
Jumlah Produksi Ikan Teluk Apar dan Balikpapan Tahun 19962005 ……………................................................................................
78
29
Jumlah Produksi Ikan Teluk Apar dan Kalimantan Timur Tahun 1996-2005 ..........................................................................................
78
30
Proyeksi Permintaan Potensial Ikan di Balikpapan dan Kalimantan Timur Tahun 2006-2010 ....................................................................
79
31
Proyeksi Penawaran Ikan dari Teluk Apar, Balikpapan dan Kalimantan Timur Tahun 2006-2010 ………….….……………….
80
32
Perbandingan Proyeksi Permintaan, Penawaran dan Peluang Pengembangan Produksi Ikan di Balikpapan Tahun 2006-2010 …...
81
33
Perbandingan Proyeksi Permintaan, Penawaran dan Peluang Pengembangan Produksi Ikan Kalimantan Timur tahun 2006-2010 .
81
34
Modal Investasi Usaha Penangkapan Ikan di Teluk Apar ………….
83
35
Analisa Usaha Unit Penangkapan yang Eksisting di Teluk Apar ......
83
36
Nilai Kriteria Investasi Unit Penangkapan Eksisting di Teluk Apar .
85
Penangkapan
dan
Produktifitas
vi
37
Kriteria Penilaian Selektifitas Alat Tangkap berdasarkan Mesh Size Alat Tangkap di Teluk Apar ..............................................................
86
38
Penilaian Aspek Biologi Unit Penangkapan Ikan di Teluk Apar .….
87
39
Standarisasi Aspek Biologi Unit Penangkapan Ikan di Teluk Apar ..
87
40
Penilaian Aspek Tenis Unit Penangkapan Ikan di Teluk Apar .........
88
41
Standarisasi Aspek Tenis Unit Penangkapan Ikan di Teluk Apar .....
88
42
Penilaian Aspek Sosial Unit Penangkapan Ikan di Teluk Apar .........
89
43
Standarisasi Aspek Sosial Unit Penangkapan Ikan di Teluk Apar ....
90
44
Penilaian Aspek Ekonomi berdasarkan Kelayakan Usaha ……….....
90
45
Standarisasi Penilaian dari Aspek Ekonomi berdasarkan Kriteria Usaha ………………………..............................................................
91
46
Penilaian Aspek Ekonomi pada Kriteria Kelayakan Investasi ...........
91
47
Standarisasi Aspek Ekonomi pada Kriteria Kelayakan Investasi .....
92
48
Rangkuman Penilaian Aspek Biologi, Teknik, Sosial dan Ekonomi Unit Penangkapan Ikan .....................................................................
92
49
Standarisasi Penilaian Aspek Biologi, Teknis, Sosial dan Ekonomi Unit Penangkapan Ikan di Teluk Apar ..............................................
93
50
Perbandingan Pemanfaatan dan Pengupayaan pada Kondisi Aktual, Estimasi MSY dan f opt dan CCRF 80% …………………………...
97
vii
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Kerangka Pemikiran Penelitian ............................................................
6
2
Kawasan Cagar Alam Teluk Apar …………………………..………..
31
3
Alat Tangkap Purse Seine ................................ ..................…….........
38
4
Alat Tangkap Jaring Insang Hanyut (drift gill net) ..............…….........
41
5
Alat Tangkap Jaring Insang Dasar (bottom gill net) ..........…….........
42
6
Alat Tangkap Jaring Tiga Lapis (trammel net) ........…………….........
42
7
Alat Tangkap Jermal/ Julu (tidal traps) ................................................
43
8
Alat Tangkap Bagan Tancap (stationary lift net) ……......……...........
44
9
Alat Tangkap Rawai Hanyut ………………………………………….
45
10
Ikan Tongkol (Auxis sp) ……………………………………………...
46
11
Ikan Kakap
(Lates calcarifer) ............................................................
47
12
Ikan Tembang (Sardinella sp) ...............................................................
48
13
Ikan Layang ( Decapterus) ……………………...……………………
50
14
Ikan Kembung (Rastrelliger spp) .........................................................
51
15
Ikan Selar (Selaroides spp) ...................................................................
52
16
Ikan Teri (Stolephorus spp) ...................................................................
54
17
Perkembangan Produksi Ikan Pelagis di Teluk Apar Tahun 1996-2005 .............................................................................................
58
18
Perkembangan Upaya Penangkapan Ikan Pelagis di Teluk Apar Tahun 1996-2005 ..................................................................................
58
19
Hubungan Effort terhadap Produksi dengan Pendekatan Schaefer .....
59
20
Hubungan Effort terhadap CPUE dengan Pendekatan Schaefer .........
59
21
Status Produksi dan Upaya Penangkapan Ikan Pelagis di Teluk Apar
60
viii
22
Perkembangan Produksi Ikan Demersal di Teluk Apar Tahun 1996-2005 ............................................................................................
60
23
Perkembangan Upaya Penangkapan Ikan Demersal di Teluk Apar Tahun 1996-2005 ..................................................................................
61
24
Hubungan Upaya Penangkapan, Produksi Pendekatan Schaefer .........
61
25
Hubungan Upaya dan CPUE dengan Pendekatan Schaefer .................
62
26
Status produksi dan upaya penangkapan ikan demeral di Teluk Apar
62
27
Perkembangan Produksi Purse Seine ....................................................
63
28
Perkembangan Upaya Penangkapan Purse Seine..................................
64
29
Perkembangan Produksi Jaring Insang Hanyut ....................................
65
30
Perkembangn Upaya Penangkapan Jaring Insang Hanyut ....................
66
31
Perkembangan Produksi Jaring Insang Tetap .......................................
67
32
Perkembangan Upaya Penangkapan Jaring Insang Tetap ....................
67
33
Perkembangan Produksi Jaring Tiga Lapis ...........................................
68
34
Perkembangan Upaya Penangkapan Jaring Tiga Lapis .......................
69
35
Perkembangan Produksi Bagan Tancap ................................................
70
36
Perkembangan Upaya Penangkapan Bagan Tancap .............................
70
37
Perkembangan Produksi Rawai Hanyut ................................................
71
38
Perkembangan Upaya Penangkapan Rawai Hanyut .............................
72
39
Perkembangan Produksi Jermal ............................................................
73
40
Perkembangan Upaya Penangkapan Jermal ..........................................
73
41
Alur Pemasaran Komoditi Ikan di Teluk Apar ............................
74
42
Perbandingan permintaan dan penawaran ikan di Balikpapan .............
81
43
Perbandingan permintaan dan penawaran ikan di Kalimantan Timur ..
82
DAFTAR ISTILAH
Alat tangkap ikan
:
Penggabungan seluruh output (x) sarana dan perlengkapan atau benda-benda lainnya yang dipergunakan untuk menangkap ikan.
Analisis Finansial
:
Analisis terhadap kegiatan usaha dengan memperhitungkan biaya dan manfaat dalam suatu usaha dengan menggunakan alat ukur NPV, Net B/C dan IRR
Analisis Usaha
:
Evaluasi keuangan untuk keberhasilan usaha yang dicapai
Benefit Cost Ratio (Net B/C)
:
Perbandingan antara total penerimaan bersih dan total biaya produksi
Berkelanjutan
:
Pemanfaatan sumber daya secara lestari yaitu dimana laju pemanfaatan harus lebih kecil atau sama dengan pemulihan sumber daya tersebut
Biaya Investasi
:
Biaya yang dikeluarkan pada saat usaha belum mendapatkan hasil
Biaya Tetap
:
Biaya yang sifatnya tidak dipengaruhi oleh naik turunnya produksi yang dihasilkan dalam satu tahun, dinyatakan dalam satuan rupiah.
Biaya Total
:
Semua biaya yang menghasilkan produk, satuan rupiah
Biaya Variabel
:
Biaya yang besarnya tergantung dari output yang akan dihasilkan dalam satu tahun yang dinyatakan dalam rupiah.
Biodiversity
:
Keanekaragam hayati yang ada di dalam suatu habitat yang menunjukkan produktivitas suatu perairan.
By catch
:
Hasil tangkapan sampingan; merupakan bagian dari hasil tangkapan yang didapatkan pada saat operasi penangkapan sebagai tambahan dari tujuan utama penangkapan (target spesies).
Catch
:
Hasil tangkapan adalah komponen dari ikan yang bertemu dengan alat penangkap ikan dan tidak dapat melepaskan diridari padanya.
Catch per unit effort (CPUE)
:
Jumlah hasil tangkapan yang diambil per unit alat tangkap.
mengetahui
digunakan dinyatakan
untuk dalam
Code of Conduct for Respon- : sible Fisheries (CCRF)
Perikanan bertanggung jawab adalah konsep yang meliputi penggunaan sumberdaya ikan yang berkelanjutan dalam keseimbangannya dengan lingkungan;
Degradasi
:
Penurunan kualitas maupun kuantitas dari suatu sumberdaya alam yang dapat diperbaharui.
Fishing Power Index (FPI) :
Perbandingan kemampuan tangkap antar alat tangkap selanjutnya dinyatakan dalam bentuk indeks
Gross Tonnage (GT)
:
Ukuran besarnya kapal secara keseluruhan yang merupakan jumlah isi semua ruang-ruang tertutup (volume)
IRR
:
Suatu tingkat discount rate yang menghasilkan net present value=0
Kapal perikanan
:
Kapal, perahu atau alat apung lainnya yang dipergunakan untuk melakukan penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, pengangkutan ikan, pengolahan ikan, pelatihan perikanan dan penelitian atau eksplorasi perikanan.
Keuntungan
:
Selisih antara penerimaan total dengan biaya total selama periode tertentu yang dinyatakan dalam nilai rupiah
Masyarakat nelayan
:
Orang yang memiliki ketergantungan yang cukup tinggi dengan potensi dan kondisi sumber daya ikan.
Maximum Sustainable Yield
:
Suatu upaya yang dapat menghasilkan suatu hasil tangkapan maksimum yang lestari tanpa mempengaruhi produktivitas biomassa secara jangka panjang
Nelayan
:
Orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan atau binatang air lainnya/ tanaman air.
Net B/C
:
Perbandingan antara total nilai sekarang dari manfaat bersih yang bersifat positif dengan nilai sekarang dari manfaat bersih yang negatif
Net Present Value (NPV)
:
Selisih antara nilai sekarang dari penerimaan dengan nilai sekarang dari pengeluaran pada tingkat bunga tertentu.
Nilai Penyusutan
:
Nilai yang dihasilkan dari pengurangan harga pembelian dengan harga terpakai yang dibagi
dengan lamanya pemakaian dalam tahun (umur teknis) Open acces
:
Suatu kondisi dimana siapa saja dapat berpartisipasi dalam melakukan penangkapan ikan tanpa harus memiliki sumberdaya perikanan tersebut
Overfishing
:
Suatu resiko yang dapat ditimbulkan oleh penangkapan yang berlebihan
Payback Period (PP)
:
Suatu periode yang diperlukan untuk menutup kembali pengeluaran investasi dengan menggunakan aliran kas.
Pelabuhan perikanan
:
Suatu tempat yang terdiri dari daratan dan perairan di sekitarnya dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintah dan kegiatan sistem bisnis perikanan yang digunakan sebagai tempat kapal perikanan bersandar, berlabuh dan atau bongkar muat ikan yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan atau pelayaran dan kegiatan penunjang perikanan.
Pembangunan berkelanjutan
:
Pembangunan yang mengintegrasikan masalah ekologi, ekonomi dan sosial yang dapat memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengorbankan generasi yang akan datang untuk dapat memenuhi kebutuhannya.
Penerimaan
:
Hasil perkalian jumlah produksi total dengan harga satuan yang dinyatakan dalam satuan rupiah
Pengelolaan perikanan
:
Semua upaya termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumber daya alam, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumberdaya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati.
Pengeluaran
:
Nilai penggunaan sarana produksi yang diperlukan atau dibebankan pada proses produksi yang dinyatakan dalam satuan rupiah
Pengembangan
:
Usaha perubahan dari suatu nilai yang kurang kepada sesuatu yang lebih baik; proses yang menuju pada suatu kemajuan.
Perikanan
:
Semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan.
Perikanan tangkap
:
Kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apapun termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah dan/atau mengawetkannya.
Produktivitas
:
Suatu alat untuk melihat efisiensi teknik dan suatu proses produksi yang merupakan perbandingan antara hasil yang dicapai dengan keseluruhan input sumberdaya yang dipergunakan
Resources
:
Sumberdaya biologi mencakup sumberdaya genetik, organisme atau berbagai bagiannya, populasi atau setiap komponen biotik dari ekosistem dengan potensi atau penggunaan aktual bagi kemanusiaan.
Sistem
:
Elemen-elemen yang bersifat kompleks dan saling berhubungan, saling bekerja sama membentuk satu kesatuan dalam rangka pencapaian suatu tujuan tertentu.
Sumberdaya ikan
:
Potensi semua jenis ikan
Unit penangkapan ikan
:
Satu kesatuan teknis dalam suatu operasi penangkapan ikan yang terdiri dari kapal perikanan, alat tangkap dan nelayan.
Usaha perikanan tangkap
:
Kegiatan yang bertujuan memperoleh ikan di perairan dalam keadaan tidak dibudidayakan dengan maupun tanpa alat tangkap, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk menampung, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, mengolah dan mengawetkan.
1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Kabupaten Pasir merupakan salah satu dari kabupaten/kota di wilayah
Propinsi Kalimantan Timur yang letaknya paling selatan dari Propinsi Kalimantan Timur atau tepatnya berbatasan dengan Propinsi Kalimantan Selatan.
Luas
wilayah Kabupaten Pasir 11.603,94 km2 atau 4,73 % dari luas Kalimantan Timur dan luas perairan mencapai 752,76 km2. Panjang garis pantai mencapai 202 km yang membentang dari arah utara ke selatan yaitu wilayah Kecamatan Longkali sampai wilayah Kecamatan Tanjung Harapan. Salah satu teluk di wilayah pesisir Kabupaten Pasir yaitu Teluk Apar yang merupakan salah satu wilayah perairan laut yang memiliki sumberdaya perikanan yang cukup potensial. Wilayah perairan Teluk Apar meliputi 2 kecamatan dan terdiri dari 6 desa yaitu Desa Muara Pasir dan Desa Pasir Baru berada di Kecamatan Tanah Grogot dan Desa Lori, Desa Labuangkallo, Desa Selengot dan Desa Tanjung Aru berada di wilayah Kecamatan Tanjung Harapan. Pada tahun 2005 produksi perikanan tangkap perairan Teluk Apar memberikan kontribusi sebesar 58% atau 6.662,5 ton dari total volume produksi perikanan tangkap Kabupaten Pasir sebesar 11.328,9 ton. Produksi tersebut dihasilkan dari rumah tangga perikanan sebanyak 1.504 dengan jumlah nelayan 2.088 orang. Produksi perikanan tangkap perairan laut menurut kecamatan dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Produksi Perikanan Tangkap Perairan Laut Tahun 2005 Produksi RTP Nelayan (ton) (unit) (orang) 1 Batu Engau 85 19 397 2 Tanjung Harapan *) 4.882,7 1.102 1.075 3 Tanah Grogot *) 1.779,8 402 1.013 4 Kuaro 1.681,2 380 904 5 Long Ikis 1.495,4 337 478 6 Long Kali 1.404,8 317 653 Jumlah 11.328,9 2557 4520 Sumber : Dinas Perikanan dan Sumberdaya Kelautan Kabupaten Pasir, 2006 No
Kecamatan
Berbagai program pembangunan perikanan telah dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Pasir melalui Dinas Perikanan dan Sumberdaya Kelautan Kabupaten
2
Pasir dengan tujuan untuk meningkatkan pendapatan dan taraf hidup pembudidaya ikan dan nelayan.
Salah satu program tersebut yaitu pembangunan dan
pengembangan sarana dan prasarana perikanan dan pesisir.
Apresiasi dari
program tersebut berupa kegiatan pengadaan dan pengembangan kapal dan alat tangkap yaitu antara lain : jaring insang (gill net), jaring tiga lapis (trammel net) dan bagan tancap (lift net) yang dibiayai melalui berbagai sumber dana antara lain : APBN, APBD Propinsi maupun APBD Kabupaten. Secara umum alat tangkap yang digunakan oleh masyarakat nelayan di wilayah perairan Teluk Apar menurut jenisnya antara lain : yaitu jaring insang hanyut (drift gill net), jaring insang dasar (bottom gill net), jaring tiga lapis (trammel net), jermal (stow nets), sero (stake traps), bagan tancap (lift net), dan pukat cincin (purse seine). Dari berbagai jenis alat tangkap yang digunakan tersebut baik yang berasal dari bantuan pemerintah maupun alat tangkap yang bersifat turun temurun, hingga saat ini belum pernah dilakukan suatu kajian atau penelitian jenis teknologi alat tangkap yang paling tepat untuk dikembangkan. Pemanfaatan sumberdaya ikan secara optimal dapat dilakukan dengan mengusahakan unit penangkapan ikan yang tepat guna. Penggunaan alat tangkap tersebut tentu harus ditunjang oleh sarana dan prasarana penangkapan serta teknologi alat penangkap ikan yang digunakan.
Berkaitan dengan program
pengembangan perikanan tangkap di Teluk Apar, maka perlu dipilih jenis teknologi penangkapan ikan yang tepat guna agar tujuan program pengembangan yang dilakukan nantinya tepat sesuai dengan yang di harapkan.
Pemilihan
tersebut harus memenuhi kriteria dari beberapa aspek penilaian yaitu aspek biologi, teknis, sosial dan ekonomi.
Dari segi biologi alat tangkap yang di
gunakan tidak merusak sumberdaya ikan, dari segi teknis alat tangkap itu harus efektif dalam penggunannya, dari segi sosial harus dapat diterima oleh nelayan, dan dari segi ekonomi alat tangkap itu harus bersifat menguntungkan (Haluan dan Nurani, 1988). Oleh karena itu untuk mewujudkan hal tersebut serta dalam upaya meningkatkan taraf hidup dan pendapatan nelayan di perairan Teluk Apar diperlukan suatu kajian mendalam terhadap jenis teknologi alat tangkap yang digunakan, agar jenis teknologi penangkapan ikan yang dikembangkan kemudian
3
tepat guna sesuai dengan kondisi sumberdaya hayati laut setempat dan tidak merusak kelestarian sumberdaya perikanan yang ada. 1.2
Rumusan Masalah Sumberdaya perikanan tangkap di perairan Teluk Apar memiliki potensi
yang cukup besar namun pemanfaatannya belum dilakukan secara optimal. Hal ini berkaitan dengan kualitas sumberdaya manusia yang relatif rendah, kemampuan manajerial yang masih lemah, keterbatasan modal sehingga menyebabkan produktivitas nelayan dan produktivitas alat tangkap rendah. Produktivitas alat tangkap tertinggi di Teluk Apar pada tahun 2005 yaitu pukat cincin sebesar 13,6 ton/tahun sedang produktivitas terendah yaitu alat tangkap pancing sebesar 0,4 ton/tahun/nelayan. Produktivitas nelayan pada tahun yang sama sebesar 3,2 ton/tahun dari total produksi sebesar 6.662,1 ton dan jumlah nelayan 2.088 orang. Gambaran produktivitas jenis alat tangkap yang dioperasikan di perairan Teluk Apar secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Produktivitas Berdasarkan Klasifikasi Jenis Alat Tangkap di Teluk Apar Tahun 2005 Produksi Jumlah Produktivitas (ton) (unit) (ton/unit/tahun) 1 Pukat Kantong 227,7 79 2,9 2 Pukat Cincin 764,5 56 13,6 3 Jaring Insang 3.826,3 1.954 1,9 4 Jaring Angkat 390,1 177 2,2 5 Pancing 293,8 633 0,4 6 Perangkap 430.5 206 2,1 7 Pengumpul Kerang 91,0 82 1.1 8 Penangkap Kepiting 455,2 51 8.9 9 Lain-lain 183,0 169 1.1 Jumlah 6.662,1 3.407 Sumber : Dinas Perikanan dan Sumberdaya Kelautan 2006, (Diolah) No
Jenis alat tangkap
Dari tabel 2 terlihat jumlah alat tangkap yang digunakan nelayan di Teluk Apar cukup banyak.
Agar pelaksanaan pengembangan perikanan tangkap di
perairan ini dapat berjalan efektif, efisien dan berkelanjutan, maka perlu dilakukan kajian tentang keadaan stok sumberdaya yang ada diperairan tersebut kemudian pengembangan teknologi penangkapan yang komprehensif. dilakukan agar pemanfaatan dapat dilakukan secara berkelanjutan
Hal ini penting
4
Sumberdaya ikan merupakan sumberdaya yang bersifat open access, dimana setiap orang dapat melakukan usaha penangkapan dan tidak ada batasan besarnya upaya yang dikeluarkan atau sumberdaya ikan yang boleh ditangkap. Meskipun sumberdaya ikan dapat pulih (renewable resources), akan tetapi penangkapan yang terus meningkat tanpa ada batasan akan berdampak terhadap berkurangnya sumberdaya tersebut atau penurunan stok. Bila pola pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk Apar yang ada saat ini terus berjalan seperti demikian maka diduga dalam jangka panjang akan menyebabkan perairan teluk tersebut mengalami over capacity. Berdasarkan fenomena yang ada maka perlu dilakukan upaya pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan yang lebih baik, agar recovery stok sumberdaya dapat terjaga.
Berkaitan dengan program pemerintah dalam
pengembangan perikanan tangkap di perairan Teluk Apar, secara spesifik permasalahan utama yang perlu di analisis dan di jawab adalah : (1) Bagaimana status pemanfaatan sumberdaya ikan di perairan Teluk Apar. (2) Apa teknologi penangkapan yang tepat untuk dikembangkan berdasarkan kriteria penilaian aspek biologi, sosial, teknik dan ekonomi. Pada prinsipnya pengembangan teknologi penangkapan ikan di perairan Teluk Apar di perlukan suatu acuan yang komprehensif dan jelas. Oleh karena itu penulis merasa sangat penting untuk meneliti carrying capacity sumberdaya ikan diperairan tersebut serta jenis teknologi penangkapan ikan yang dapat dikembangkan secara layak dan tepat guna dari berbagai alat tangkap yang digunakan, sehingga sumberdaya perikanan laut tersebut dapat dimanfaatkan secara optimal dan berkelanjutan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan nelayan. 1.3
Tujuan Penelitian Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah :
(1)
Menganalisis status pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk Apar Kabupaten Pasir Kalimantan Timur.
(2)
Menganalisis teknologi penangkapan ikan yang layak dikembangkan di perairan Teluk Apar berdasarkan pada aspek biologi, teknis, sosial dan ekonomi.
5
1.4
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat berupa :
(1)
Informasi dan gambaran pada pengusaha dan masyarakat nelayan untuk pengembangan usaha.
(2)
Bahan
masukan
bagi
Badan
Perencanaan
Pembangunan
Daerah
(BAPPEDA), serta Dinas Perikanan dan Sumberdaya Kelautan Kabupaten Pasir dalam pengambilan keputusan untuk penyusunan perencanaan dan pengembangan kegiatan perikanan tangkap di perairan Teluk Apar. 1.5
Kerangka Pemikiran Teluk Apar merupakan salah satu teluk utama yang menyusun bentangan
geografis wilayah pesisir Kabupaten Pasir.
Perencanaan pengembangan
Kabupaten Pasir dilandasi pendekatan kawasan yaitu : pedalaman, tengah dan pesisir. Kawasan tengah umumnya lebih maju dibandingkan dengan kawasan pedalaman dan pesisir. Kebijakan pembangunan berkelanjutan merupakan keharusan yang mesti di lakukan di wilayah manapun termasuk pembangunan di wilayah pesisir. Dengan diterapkannya kebijakan otonomi daerah dan adanya peluang melakukan desentralisasi pengelolaan sumberdaya, telah memberikan kewenangan bagi pemerintah daerah dan segenap pihak di daerah untuk ikut memanfaatkan dan mengelola kawasan perairan termasuk perairan Teluk Apar yang memiliki luas 46.900 ha. Teluk Apar dengan posisinya yang strategis di daerah pesisir Kabupaten Pasir yang berbatasan langsung dengan akses menuju propinsi lain, yaitu Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan dan perairan Selat Makasar menjadikan perairan Teluk Apar potensial sebagai daerah perdagangan. Melihat posisi ini ada kemungkinan Teluk Apar dapat berperan sebagai pintu gerbang aliran orang, barang dan jasa sehingga menjadi aset strategis bagi Kabupaten Pasir. Berkaitan dengan potensi sumberdaya perikanan serta didukung oleh posisi perairan Teluk Apar yang strategis, usaha perikanan tangkap di perairan laut Teluk Apar masih menghadapi berbagai kendala dan permasalahan, di bidang sarana dan prasarana, SDM, kemampuan modal nelayan serta armada penangkapan ikan.
6
Langkah pemikiran untuk mengembangkan teknologi perikanan tangkap di Teluk Apart, perlu dilakukan penelitian dengan menggunakan beberapa analisis yaitu analisis pasar, biologi, sosial, teknik dan ekonomi. Hasil ini diharapkan dapat memberikan gambaran teknologi penangkapan pilihan yang tepat dan layak dikembangan, sehingga potensi yang ada dapat dimanfaatkan secara optimal. Secara skematis kerangka pemikiran pengembangan teknologi penangkapan ikan di perairan Teluk Apar Kabupaten Pasir Kalimantan Timur dapat dilihat pada Gambar 1. Kondisi Perikanan Tangkap Teluk Apar Permasalahan - Pendidikan - SDM - Manajerial - Produktifitas - Sarana dan Prasarana - Pendapatan
Potensi Perikanan Teluk Apar
Perikanan Tangkap Multi Gear dan Multi Species
Kondisi Nelayan & Alat tangkap
Aspek Biologi
- Model Schaefer - Analisis Trend
Seleksi
Kondisi Sumberdaya Ikan
Aspek Teknis
Aspek Sosial
Aspek Ekonomi
- Kuantitatif - Kualitatif - Standarisasi alat tangkap
- Kualitatif
- Analisis usaha - Analisis kriteria investasi - Analisis pasar
Metode Skoring dengan Fungsi Nilai Teknologi Penangkapan Ikan Tepat Guna Pengembangan Teknologi Penangkapan Ikan Di Teluk Apar Gambar 1 Kerangka Pemikiran Penelitian.
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Visi pembangunan kelautan dan perikanan Indonesia adalah bahwa wilayah pesisir dan laut beserta segenap sumberdaya alam dan jasa lingkungan yang terkandung
didalamnya
merupakan
sumber
penghidupan
dan
sumber
pembangunan yang harus dimanfaatkan secara berkelanjutan, guna meningkatkan kemakmuran rakyat menuju terwujudnya bangsa Indonesia yang sejahtera, maju, dan mandiri.
Salah satu strategi untuk mewujudkan visi tersebut adalah
pemanfaatan sumberdaya dan jasa lingkungan kelautan harus dilakukan secara optimal, efisien dan berkelanjutan. Dengan perkataan lain bahwa tingkat (laju) pembangunan harus disesuaikan dengan daya dukung lingkungan dan secara ekonomis menguntungkan, kemudian dilakukan rehabilitasi dan penataan ruang wilayah pesisir sesuai karakteristik biofisik dan pertimbangan sosial, ekonomi dan budaya (Dahuri, 2000). Pengelolaan sumberdaya perikanan menurut Nikijuluw (2002), adalah pengelolaan terhadap manusia yang memanfaatkan sumberdaya perikanan tersebut. Pengelolaan terhadap manusia adalah pengaturan tingkah laku mereka dalam hal pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya. Pengelolaan sumberdaya perikanan perlu dilakukan karena : (1) Perikanan merupakan sumberdaya hayati yang dapat diperbaharui (renewable), namun dapat mengalami kepunahan; (2) Sumberdaya ikan dikenal sebagai sumberdaya milik bersama yang rawan terhadap overfishing; (3) Pemanfaatan sumberdaya ikan dapat
merupakan
sumberdaya
konflik;
(4)
Usaha
penangkapan
harus
menguntungkan dan mampu memberi kehidupan yang layak bagi para nelayan dan pengusahaannya. (5) Kemampuan modal, teknologi dan akses informasi yang berbeda antar nelayan menimbulkan kesenjangan dan konflik; dan (6) Usaha penangkapan ikan dapat menimbulkan konflik dengan subsektor lainnya, khususnya dalam zona atau tata ruang pesisir dan laut. Pengelolaan perikanan, bila ditinjau dari aspek tingkat efisiensi yang paling tinggi baik tingkat satuan unit alat maupun satuan usaha, maka pengendalian usaha penangkapan merupakan kebijakan yang penting.
Pengendalian ini
didasarkan atas pertimbangan peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat dan
8
kelangkaan sumberdaya. Dalam pengendalian ini pemerintah sangat berkompeten melalui pembatasan izin jumlah alat yang beroperasi (Hartwick dan Olewiller 1986). Sejalan dengan berbagai pendapat di atas maka pengembangan usaha perikanan harus ditinjau dari pendekatan Bio-Technico-Socio-Economic. Oleh karena itu ada 4 aspek yang harus dipenuhi oleh suatu jenis teknologi penangkapan ikan yang dapat dikembangkan, yaitu dari segi biologi tidak merusak atau mengganggu kelestarian sumberdaya; dari segi teknis efektif untuk digunakan; dari segi sosial diterima oleh masyarakat nelayan; dan dari segi ekonomi bersifat menguntungkan (Purbayanto 1991). 2.2
Kelimpahan Sumberdaya Ikan sebagai sumberdaya hayati mempunyai sifat yang dapat dilihat dari
aspek biologi yang menekankan pada jumlah stok atau biomassa ikan yang meliputi berat dan jumlah ikan pada waktu tertentu (Hartwick dan Olewiller 1986). Sementara itu ekosistem lingkungan laut dapat berubah dan berfluktuasi yang dipengaruhi oleh faktor eksternal (perubahan temperatur dan penangkapan) dan faktor internal (predasi, kompetisi dan migrasi) yang dapat menyebabkan berkurangnya rekruitmen (Laevastu and Favorite 1988). Gejala over-eksploitasi dapat ditandai dengan menurunnya hasil tangkapan per satuan upaya, semakin kecil ukuran ikan yang ditangkap dan bergesernya daerah penangkapan ke daerah yang lebih jauh dari pantai (Gulland 1988). Dalam menganalisis sumberdaya ikan, penentuan ukuran stok merupakan langkah penting dalam mempelajari berbagai stok terutama yang telah diusahakan. Hasil analisis akan sangat berguna bagi perencanaan pemanfaatan, pengembangan dan perumusan strategi pengelolaan. Ukuran dari suatu stok ikan dalam perairan dapat dinyatakan dalam jumlah atau berat total individu yang dinyatakan sebagai kelimpahan, sedangkan satuan yang sering digunakan adalah hasil tangkapan per upaya penangkapan (CPUE) dari suatu alat tangkap. Perubahan ukuran stok dapat disebabkan oleh adanya berbagai perubahan lingkungan, proses rekruitmen, pertumbuhan, kegiatan penangkapan, populasi organisme mangsa, pemangsa atau pesaing.
Perubahan ukuran stok
atau
beberapa bagian dari stok dalam waktu tertentu dapat digunakan untuk
9
mengestimasi laju kematian atau kelangsungan hidup dari stok yang bersangkutan (Widodo dkk 1998). Untuk mengestimasi besarnya kelimpahan (biomassa) dan estimasi potensi dari suatu jenis atau kelompok jenis sumberdaya ikan dapat digunakan metode Surplus Produksi.
Metode ini didasarkan pada asumsi
bahwa CPUE (C/f)
merupakan fungsi dari effort (f) baik bersifat linear (model Schaefer) maupun eksponensial (model Fox) (Widodo dkk 1998). Model surplus produksi banyak digunakan dalam pengelolaan perikanan dalam lingkup yang besar karena model ini didasarkan pada data tangkapan dan data upaya penangkapan yang relatif mudah diperoleh. Model surplus produksi berdasarkan pada asumsi bahwa tingkat pertumbuhan netto dari stok berhubungan dengan biomassanya (King 1995). Pada analisis CPUE Maunder (2001) menyatakan bahwa yang terpenting adalah CPUE dari semua tipe alat tangkap yang dioperasikan pada areal yang sama harus dibandingkan terhadap tipe alat tangkap standar. 2.3
Perikanan Tangkap Berdasarkan Undang-Undang (UU) No. 32 Tahun 2004 pasal 10 ayat 2
bahwa kewenangan daerah di wilayah laut, sebagaimana dimaksud pasal 3, meliputi : (1) eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut sebatas wilayah laut tersebut; (2) pengaturan kepentingan administrasi; (3) pengaturan tata ruang; (4) penegakan hukum terhadap peraturan yan dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah; dan (5) bantuan penegakan keamanan dan kedaulatan negara. Pada pasal 10 ayat 3 dijelaskan bahwa kewenangan daerah kabupaten dan daerah kota di wilayah laut, sebagaimana dimaksud pada ayat 2 adalah sejauh sepertiga dari batas laut dari daerah propinsi. Pembangunan perikanan berkaitan erat dengan proses pemanfaatan sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan sumberdaya dana yang tersedia. Berdasarkan sifat sumberdaya alamnya, pengembangan usaha perikanan tangkap sangat tergantung pada ketersediaan sumberdaya perikanan di suatu perairan. Fluktuasi kegiatan usaha perikanan pada akhirnya mempengaruhi nelayan yang beroperasi di sekitar tersebut (Syafrin 1993).
10
2.4
Permintaan Pasar Permintaan (demand) didefinisikan Hanafiah dan Saefudin (1983) sebagai
jumlah suatu barang yang akan dibeli oleh konsumen pada kondisi, waktu dan harga tertentu. Berdasarkan definisi tersebut, permintaan (demand) menunjukkan berapa banyak suatu barang akan dibeli oleh suatu individu atau sejumlah individu pada berbagai tingkat harga. Permintaan terhadap jenis dan jumlah produk perikanan oleh konsumen pada harga tertentu mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Jumlah permintaan akan menunjukkan kenaikan seiring dengan pertambahan jumlah penduduk. Perubahan permintaan ini menyebabkan terjadinya perubahan pada nilai penjualan total dan pendapatan bersih. Oleh karena itu dari perubahanperubahan yang terjadi tersebut diperlukan suatu metode tertentu yang dapat digunakan untuk membandingkan antara permintaan dan penawaran sehingga dapat dijadikan sebagai indikator suatu kelayakan usaha Metode yang dapat digunakan menurut (Umar 2005) adalah metode peramalan (forecasting) yaitu suatu metode untuk mengetahui keadaan sesuatu di masa akan datang. Teknik peramalan dapat menggunakan model klasik deskriptif dan model probabilistik dengan menggunakan teori ekonometrika. Selama kurun waktu 5 tahun terakhir, konsumsi ikan nasional melonjak hingga lebih dari 1,2 juta ton dengan nilai konsumsi ikan nasional mencapai kisaran 26 kg/kapita/tahun (2005) seiring dengan pertumbuhan penduduk Indonesia yang mencapai 1,34% per tahun. Konsumsi ikan tersebut jauh lebih rendah dibandingkan Kamboja yang konsumsi per kapita per tahunnya mencapai 39 kg, Vietnam (38), Laos (30,5) Thailand (28) dan Malaysia 45 kg/kapita/tahun (Anonim, 2007). Meningkatnya konsumsi ikan pada masyarakat berarti meningkatkan permintaan ikan secara nasional. Produk ikan secara nasional pada tahun 2005 baru mencapai 4.970.010 ton, target produksi tahun 2006 mencapai 7,7 juta ton diharapkan tingkat konsumsi ikan per kapita menjadi 28 kg/kapita/tahun (Anonim, 2006).
11
2.5
Pengembangan Perikanan Tangkap Perikanan tangkap sebagai salah satu sub sektor dari usaha perikanan terbagi
dalam 2 aspek satu diantaranya adalah penangkapan di laut, yaitu semua kegiatan penangkapan yang dilakukan di laut dan muara-muara sungai, laguna dan sebagainya yang dipengaruhi pasang surut, semua kegiatan penangkapan yang dilakukan oleh nelayan dari perikanan laut dinyatakan sebagai penangkapan di laut. Penangkapan ikan, menurut Undang-Undang (UU) Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan, yaitu kegiatan yang bertujuan untuk memperoleh ikan di perairan yang dalam keadaan tidak dibudidayakan dengan alat tangkap atau cara apapun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah dan/atau mengawetkannya. Pengembangan jenis teknologi penangkapan ikan di Indonesia perlu diarahkan agar dapat menunjang tujuan-tujuan pembangunan umum perikanan, syarat-syarat yang harus dipenuhi menurut Monintja (2003) yaitu : (1)
menyediakan kesempatan kerja yang banyak ;
(2)
menjamin pendapatan yang memadai bagi para tenaga kerja atau nelayan;
(3)
menjamin jumlah produksi yang tinggi untuk menyediakan protein;
(4)
mendapatkan jenis ikan komoditi ekspor atau jenis ikan yang bisa di ekspor;
(5)
tidak merusak kelestarian sumberdaya ikan. Intensifikasi untuk meningkatkan produksi di bidang perikanan, pada
dasarnya adalah penerapan teknologi modern pada sarana dan teknik-teknik yang di pakai, termasuk alat penangkapan ikan, perahu atau kapal dan alat bantu lainnya yang di sesuaikan dengan kondisi masing-masing tempat. Namun tidak semua modernisasi dapat menghasilkan peningkatan produksi dan peningkatan pendapatan bersih (net income) nelayan. Oleh karena itu introduksi teknik-teknik penangkapan ikan yang baru harus di dahului dengan penelitian dan percobaan yang intensif dengan hasil yang meyakinkan (Wisudo et al 1994). Pembangunan perikanan tidak dapat dipacu terus tanpa melihat batas kemampuan sumberdaya yang ada ataupun daya dukungnya. Pada perikanan yang telah berkembang pesat upaya pengendalian sangat diperlukan sehingga kelestarian sumberdaya dan kegiatan perikanan dapat dijamin keberadaannya.
12
Upaya pengelolaan dan pengembangan perikanan laut di masa mendatang akan terasa lebih berat sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Tetapi dengan pemanfaatan iptek itu pula diharapkan akan mampu mengatasi keterbatasan sumberdaya melalui suatu langkah yang rasional untuk mendapatkan manfaat yang optimal dan berkelanjutan. Langkah pengelolaan dan pengembangan tersebut juga harus mempertimbangkan aspek biologi, teknis, sosial, budaya dan ekonomi (Barus et al 1991). 2.6
Teknologi Penangkapan Ikan Tepat Guna Manusia sebagai pengguna teknologi tentunya membutuhkan satu kriteria
teknologi yang terbaik untuk diterapkan dalam kehidupannya.
Selama ini
manusia terus mencari konsep teknologi yang benar-benar mampu dijadikan pegangan dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, salah satu konsep teknologi yang ditawarkan adalah konsep teknologi tepat guna. Definisi teknologi tepat guna (TTG) berdasarkan Undang-Undang (UU) nomor 5 tahun 1984 tentang perindustrian adalah teknologi yang tepat dan berguna bagi suatu proses untuk menghasilkan nilai tambah.
Hal ini berarti
bahwa teknologi yang diciptakan dapat memenuhi kebutuhan hidup manusia, menjaga kelangsungan serta dapat meningkatkan tarap hidup manusia sebagai pengguna teknologi. Penerapan teknologi tepat guna disuatu wilayah harus benar-benar memperhatikan kondisi lingkungan setempat dan penerapannya disesuaikan dengan keadaan lingkungan dimana teknologi tepat guna tersebut diterapkan. Aspek-aspek yang harus diperhatikan adalah aspek lingkungan yang terkait dengan aspek biologi, aspek teknis, aspek ekonomis dan aspek sosial budaya masyarakat setempat. Seleksi teknologi penangkapan ikan menurut Haluan dan Nurani (1988), dapat dilakukan melalui pengkajian-pengkajian aspek bio-technico-socioeconomic- approach”, yaitu : 1)
Dari segi biologi teknologi penangkapan yang akan dikembangkan tidak merusak atau mengganggu kelestarian sumberdaya.
2)
Secara teknis teknologi yang digunakan efektif
3)
Dari segi sosial dapat diterima masyarakat nelayan dan
13
4)
Secara ekonomi bersifat menguntungkan Pemilihan suatu jenis teknologi penangkapan ikan di suatu wilayah perairan
sangat tergantung pada faktor alam yang merupakan faktor penentu utama yaitu (1) jenis, kelimpahan dan penyebaran sumberdaya ikan, dan (2) luas areal, lokasi dan keadaan fisik lingkungan daerah penangkapan ikan. 2.6.1 Tepat Guna Berdasarkan Aspek Biologi Seleksi teknologi berdasarkan aspek biologi, memberikan penekanan bahwa pengoperasian suatu jenis teknologi penangkapan ikan tidak mengganggu atau merusak kelestarian sumberdaya perikanan. Kelestarian sumberdaya perikanan akan senantiasa terjaga, seandainya penggunaan suatu teknologi penangkapan ikan memperhatikan kondisi biologi dari suatu sumberdaya perikanan. Teknologi penangkapan erat hubungannya dengan berbagai aspek atau faktor-faktor yang bersifat biologi yang berkaitan dengan hasil tangkapan ikan dan peluang pengembangan penangkapan secara keseluruhan (Baskoro, 2006). Pemanfaatan potensi sumberdaya yang berkelanjutan secara seimbang dilakukan melalui usaha konservasi sehingga kelestarian sumberdaya tersebut dapat terjaga.
Sejalan dengan prinsip-prinsip yang termuat dalam Code of
Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) yang menekankan pentingnya konservasi sumberdaya hayati laut (FAO, 1995).
Penekanan yang dilakukan
melalui selektivitas alat tangkap. 2.6.2 Tepat Guna Berdasarkan Aspek Teknis Aspek teknis suatu usaha penangkapan ikan merupakan faktor-faktor yang berhubungan dengan rancang bangun alat tangkap, pelaksanaan operasi penangkapan, kesesuaian alat tangkap dengan daerah penangkapan dan jenis ikan yang menjadi target penangkapan, penggunaan peralatan pendukung dan sebagainya. Indikator dari efisiensi secara teknis adalah jumlah hasil tangkapan per satuan waktu atau tenaga. Pada sisi lain Nurani (1987) mengatakan aspek teknis merupakan aspek yang berhubungan dengan pengoperasian penangkapan ikan meliputi proses produksi,
karakteristik produksi, sistem usaha dan lokasi dari unit produksi.
Penggunaan teknologi penangkapan ikan dari segi teknis harus menggambarkan
14
sebuah teknologi penangkapan ikan yang efektif.
Efektifitas suatu unit
penangkapan ikan dapat dikaitkan dengan tingginya produktifitas dari suatu unit penangkapan ikan. 2.6.3 Tepat Guna Berdasarkan Aspek Sosial Berdasarkan aspek sosial penggunaan suatu jenis teknologi penangkapan ikan harus menimbulkan dampak positif terhadap kehidupan warga setempat. Penggunaan teknologi penangkapan ikan seharusnya tidak menimbulkan konflik sosial dan mampu meningkatkan taraf kesejahteraan baik bagi pengguna teknologi tersebut maupun bagi warga sekitarnya. Analisis aspek sosial perikanan tangkap menurut Nurani (1987) meliputi penyerapan tenaga kerja per unit penangkapan atau jumlah tenaga kerja per unit penangkapan, penerimaan per unit penangkapan atau penerimaan nelayan yang diperoleh dari hasil per unit yaitu hasil bagi antara sistem bagi hasil dengan jumlah nelayan personil penangkapan, dan kemungkinan kepemilikan unit tangkap ikan untuk nelayan yang diperoleh dari penerimaan nelayan per tahun dibagi investasi dari setiap unit penangkapan. Aspek sosial lainnya yang juga penting diperhatikan dan menjadi bahan pertimbangan dalam pemilihan teknologi penangkapan ikan yaitu alat tangkap ikan tersebut diterima oleh masyarakat dan pengoperasiannya tidak menimbulkan friksi sosial atau keresahan terhadap nelayan yang telah ada. Selain itu juga pendidikan, pengalaman serta memberikan pendapatan yang sesuai. 2.6.4 Tepat Guna Berdasarkan Aspek Ekonomi Aspek ekonomi merupakan aspek yang menjadi indikator kesejahteraan nelayan, oleh karenanya seleksi teknologi penangkapan ikan harus memperhatikan aspek ekonomi sebagai bagian dalam kategori teknologi perikanan tangkap tepat guna.
Pertimbangan ekonomis menurut Sainsbury (1996) merupakan faktor
utama dalam pemilihan metode dan alat tangkap ikan.
Suatu metode harus
mampu menangkap dan memberikan jumlah ikan yang cukup bagi pasar untuk memberikan keberlanjutan usaha. Aspek ekonomi yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan teknologi penangkapan ikan adalah besarnya modal investasi; besarnya modal kerja; proyeksi hasil tangkapan/pengembalian modal
15
Dalam analisis ekonomi, secara mikro usaha untuk meningkatkan efisiensi selalu dikaitkan dengan memperkecil atau meminimalkan biaya untuk memperoleh hasil tertentu. Pada tingkat pengoperasian unit penangkapan ikan maka identifikasi biaya diklasifikasikan menurut variabilitas hingga dikenal biaya variabel dan biaya tetap. Dalam hubungan dengan pernyataan tersebut maka biaya tetap meliputi pembayaran pinjaman, penyusutan dan asuransi atau biaya yang dikeluarkan meskipun usaha penangkapan tidak beroperasi.
Sedangkan biaya variabel
berhubungan dengan operasi penangkapan, termasuk upah, biaya perbaikan alat tangkap, bahan bakar, perbekalan, umpan dan es (King 1995). Pendapatan menurut Soekartawi (1995) adalah selisih antara penerimaan dengan semua biaya yang dikeluarkan selama melakukan usahanya.
Untuk
mencapai tingkat pendapatan nelayan yang tinggi dapat dilakukan dengan mengkombinasikan berbagai faktor, akan tetapi pada umumnya kemampuan nelayan sangat terbatas dalam mengkombinasikan berbagai faktor tersebut hal ini disebabkan : (1)
Penguasaan sumberdaya
(2)
Kemudahan untuk mendapatkan tenaga kerja manusia dan tenaga kerja mekanik
(3)
Kemampuan memperoleh modal usaha
(4)
Kemudahan memasarkan hasil produksi dengan harga yang wajar Kriteria yang sering digunakan dalam analisis ekonomi yaitu perbandingan
manfaat dan biaya (benefit – cost ratio), nilai netto sekarang (net present value) dan tingkat pengembalian internal (internal rate of return).
Riyanto (1991)
menyatakan bahwa metode yang paling rasional yaitu metode Net Present Value. Metode ini memperhatikan aliran kas bersih (pendapatan) sesudah payback period tercapai dan memperhitungkan nilai waktu uang yaitu dengan mendiskontokan terlebih dahulu pendapatan atas dasar biaya modal atau tingkat bunga yang diinginkan. Kalkulasinya adalah pengurangan nilai pendapatan sekarang dengan nilai pengeluaran sekarang. Menurut Kadariah dkk (1999), jika NPV ≥ 0 investasi diterima, jika NPV = 0 berarti investasi hanya menghasilkan sebesar investasi yang dikeluarkan, sedangkan bila NPV < 0 investasi ditolak karena merugikan.
16
Net Benefit Cost Ratio dihitung dengan terlebih dahulu mendiskonto benefit setelah dikurangi dengan cost untuk setiap tahun t.
Kemudian diadakan
perbandingan yang pembilangnya present value total dari benefit bersih dalam tahun-tahun dimana benefit bersih bernilai positif, dan penyebutnya present value total dikurangi cost bernilai negatif.
Bila Net B/C ≥ 1 maka suatu usaha bisa
dilanjutkan/dilaksanakan (Kadariah dkk 1999). Pengertian IRR menurut Riyanto (1991) adalah tingkat bunga yang menjadikan nilai sekarang pendapatan sama dengan jumlah nilai sekarang pengeluaran. IRR adalah rate of return yang sebenarnya, nilainya harus dicari dengan coba-coba. Bila nilainya lebih tinggi dari rate of return yang berlaku atau yang diinginkan maka usul investasi diterima. Penentuan umur usaha menurut Kadariah dkk (1999) antara lain diambil dari suatu periode yang kira-kira sama dengan umur ekonomis dari usaha yaitu jumlah tahun selama pemakaian asset dapat meminimumkan biaya tahunan. Sedangkan biaya penyusutan adalah bentuk pengalokasian biaya investasi suatu proyek pada setiap tahun sepanjang umur ekonomis, demi menjamin agar angka biaya yang dimasukkan dalam neraca rugi laba tahunan benar-benar mencerminkan adanya biaya modal tersebut. Penyusutan beserta laba termasuk cash flow atau benefit tahunan bersih dari proyek.
3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama 6 (enam) bulan yaitu mulai dari bulan Juni hingga Nopember 2007. Tempat penelitian dilaksanakan di perairan Teluk Apar Kecamatan Tanah Grogot dan Kecamatan Tanjung Harapan Kabupaten Pasir Propinsi Kalimantan Timur (Lampiran 1). 3.2 Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan yaitu metode survei. Penelitian survei adalah penelitian yang bertujuan untuk mencari keterangan-keterangan secara faktual, baik tentang institusi sosial, ekonomi dari suatu kelompok ataupun suatu daerah. Pada penelitian ini dilakukan evaluasi dan perbandingan dari berbagai aspek terhadap unit-unit penangkapan yang mayoritas digunakan oleh masyarakat di sekitar perairan Teluk Apar sehingga diketahui teknologi penangkapan ikan yang tepat dan layak yang hasilnya digunakan dalam pengambilan keputusan . 3.3 Metode Pengumpulan data Pengumpulan data dilakukan melalui observasi langsung ke lapangan dan wawancara. Data yang dikumpukan meliputi data primer dan sekunder . Data primer diperoleh melalui observasi langsung terhadap unit penangkapan ikan serta wawancara dengan menggunakan kuisioner yang telah disusun sesuai dengan keperluan analisis dan tujuan penelitian Data sekunder berupa data produksi ikan tahunan (time series data), gambaran umum perikanan di Kabupaten Pasir dan data penduduk nelayan yang diperoleh dari Dinas Perikanan dan Sumberdaya Kelautan Kabupaten Pasir, Kantor Statistik Kabupaten Pasir serta instansi lain selain itu juga dari berbagai tulisan melalui penelusuran pustaka (studi pustaka) yang berkaitan dengan obyek penelitian. Data yang dikumpulkan untuk masing-masing aspek kajian (aspek biologi, teknis, sosial dan ekonomi) adalah sebagai berikut :
18
(1) Aspek biologi Beberapa parameter pada aspek biologi yang dikumpulkan dalam penelitian ini mencakup: selektifitas alat tangkap, komposisi jenis hasil tangkapan, tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan yang diperoleh yaitu dengan membandingkan potensi lestari dan produksi lestari, lama waktu musim penangkapan ikan dan lama waktu musim ikan berdasarkan jumlah bulan musim ikan. (2) Aspek teknis Mencakup parameter : ukuran kapal/perahu, ukuran alat tangkap, ukuran mata jaring, kapasitas mesin penggerak, harga dan daya tahan (kapal, mesin dan alat tangkap), kebutuhan BBM/trip, kebutuhan es/trip, produksi/trip, jumlah tenaga kerja/unit penangkapan (3) Aspek sosial Beberapa parameter sosial yang dikumpulkan meliputi : jumlah nelayan yang terserap setiap unit penangkapan ikan, respon penerimaan nelayan terhadap unit penangkapan, kemampuan berinvestasi, kemudahan pengoperasian dan kemudahan pengadaan unit penangkapan. (4) Aspek ekonomi Pada penelitian ini pengukuran parameter ekonomi dilakukan dengan analisis finansial meliputi dua aspek yaitu aspek usaha dan aspek investasi. Secara umum data yang dikumpulkan pada aspek ekonomi antara lain: biaya investasi, biaya operasional, biaya perawatan, penerimaan kotor/trip, penerimaan kotor/tenaga kerja. Selanjutnya penilaian efisiensi usaha dilakukan dengan kelayakan investasi dan kelayakan usaha dari setiap unit penangkapan. 3.4
Metode Pengambilan Sampel Teknik pengambilan sampel dilakukan secara acak berstrata/bertingkat
(Stratified Random Sampling) berdasarkan jenis dan ukuran alat tangkap. Menurut Gay dalam Hasan (2002) ukuran minimum sampel yang dapat diterima berdasarkan pada metode yang digunakan, untuk metode deskriptif minimal 10% populasi.
Selanjutnya Umar (2005) menambahkan bahwa agar pengambilan
sampel sebanding atau berimbang dengan jumlah sub populasinya perlu dicari faktor pembanding yang disebut simple franction (f) dari tiap sub populasi
19
caranya dengan membandingkan jumlah elemen tiap subpopulasi dengan jumlah seluruh elemen populasi digunakan persamaan :
fi
Ni , dan untuk menentukan besarnya subsampel perstrata digunakan N
persamaan : ni = fi.n Terdapat sembilan jenis alat tangkap yang dioperasikan oleh masyarakat nelayan di perairan Teluk Apar, namun pada penelitian ini hanya tujuah jenis alat tangkap yang diteliti. Pemilihan alat tangkap berdasarkan pada pertimbangan : (1) alat tangkap yang dominan, efektif dan efisien (2) aktif digunakan serta (3) memberikan hasil tangkapan yang signifikan. Adapun jenis alat tangkap yang dipilih serta hasil perhitungan untuk mendapatkan sampel dari masing-masing subpopulasi alat tangkap seperti terlihat pada Tabel 4. Tabel 3 Penentuan Jumlah Sampel No 1 2 3 4 5 6 7
Jenis Alat Tangkap Pukat cincin Jaring insang hanyut Jaring insang dasar Jaring tiga lapis Bagan tancap Rawai hanyut Jermal Jumlah
Populasi (Ni) T.Grogot Tj.Harapan 20 36 92 140 84 150 370 647 23 35 75 150 21 39 685 1197
Sample fraction (fi) T.Grogot Tj.Harapan 0,029 0.030 0.134 0.116 0.122 0.125 0.540 0.540 0.033 0.029 0.109 0.125 0.030 0.032
Sampel (n) T.Grogot Tj.Harapan 2 4 9 14 8 15 37 64 2 3 7 15 2 4 67 119
Jumlah Sampel 6 23 23 101 5 22 6 186
Sumber : Dinas Perikanan dan Sumberdaya Kelautan 2005, (Diolah) 3.5
Metode Analisis Data
3.5.1 Standarisasi Unit Penangkapan Unit penangkapan yang dijadikan sebagai standar adalah unit penangkapan yang paling dominan menangkap jenis-jenis ikan tertentu di suatu daerah (mempunyai laju tangkapan rata-rata per CPUE terbesar pada periode waktu tertentu) dan memiliki nilai faktor daya tangkap (fishing power indeks) sama dengan satu. FPI dari masing-masing unit penangkapan lainnya dapat diketahui dengan cara membagi laju tangkapan rata-rata masing-masing unit penangkapan dengan laju tangkapan rata-rata unit penangkapan yang dijadikan standar. Berdasarkan rumus Gulland (1983), proses standarisasi adalah sebagai berikut :
CPUEs =
HTs FEs
FPIs =
CPUEs CPUEs
CPUEi =
HTi FEi
FPIi =
CPUEi CPUEi
20
Upaya standarisasi diperoleh dengan menggunakan persamaan sebagai berikut (Gulland, 1983) yaitu :
SE =FPIixFEi Dimana : CPUEs
:
catch per unit effort atau jumlah hasil tangkapan per satuan upaya unit penangkapan standar pada tahun ke-I;
CPUEi : catch per unit effort atau jumlah hasil tangkapan per satuan upaya jenis penangkapan yang akan di standarisasi HTs
: Jumlah hasil tangkapan (catch) jenis unit penangkapan yang dijadikan standar pada tahun ke-i
HTi
: Jumlah hasil tangkapan (catch) jenis unit penangkapan yang akan distandarisasi pada tahun ke-i
FEs
: Jumlah upaya penangkapan (effort) jenis unit penangkapan ikan yang dijadikan standar pada tahun ke-i
FEi
: Jumlah upaya penangkapan (effort) jenis unit penangkapan yang akan distandarisasi pada tahun ke-i
FPIs
: fishing power indeks atau faktor daya tangkap jenis unit penangkapan standar pada bulan ke-i
FPIi
: fishing power indeks atau faktor daya tangkap jenis unit penangkapan yang akan distandarisasi pada bulan ke-i
SE
: Upaya penangkapan (effort) hasil standarisasi pada tahun ke-i
3.5.2 Analisis Kelimpahan Sumberdaya Ikan Analisis kelimpahan sumberdaya ikan dilakukan dengan pengolahan data hasil tangkapan dan upaya penangkapan
selama 10 tahun terakhir dengan
menggunakan analisis Catch Per Unit Effort (CPUE), yakni untuk mengetahui kelimpahan dan tingkat pemanfaatan yang didasari atas pembagian antara total hasil tangkapan (Cathch) dengan upaya penangkapan (Effort). Menurut Sparre dan Venema, 1992), rumus yang digunakan adalah :
CPUE = Catch Effort Dimana : Catch (C)
= Total hasil tangkapan (kg)
Effort (F)
= Total upaya penangkapan (trip)
21
Nilai CPUE dari total hasil tangkapan (C) dapat digunakan untuk pendugaan stok secara sederhana. Model yang digunakan untuk data yang cenderung linier yaitu model Schaefer. 1) Hubungan antara upaya penangkapan (f) dengan hasil tangkapan per satuan upaya penangkapan (CPUE) = a-bf Dimana : a = Intersep b = Slop c = Hasil Tangkapan f = Upaya penangkapan 2) Hubungan antara upaya penangkapan (f) dengan hasil tangkapan (c)
C = af-bf2 3) Upaya optimum diperoleh dengan cara menyamakan turunan pertama upaya penangkapan dengan nol (C=0), sehingga diperoleh rumus :
Fopt = a 2b 4) Produksi maksimum lestari (MSY) diperoleh dengan mensubstitusi nilai upaya optimum, sehingga diperoleh :
C maks = MSY = a2/4b 3.5.3 Analisis Trend Analisis trend (kecenderungan) terhadap hasil tangkapan perupaya penangkapan (CPUE) dilakukan untuk seleksi data yang akan dilakukan dalam pendugaan parameter biologi “Schaefer”. dalam jangka waktu yang lama. persamaan regresi.
Trend merupakan adanya tertentu
Trend digambarkan dalam garis lurus dari
Menurut Umar (2005) bentuk regresi dapat dilakukan
beberapa cara yaitu yang sederhana dengan cara pemakaian grafik dalam suatu
scatter diagram atau dengan cara matematis. Lebih lanjut Umar (2005) menyatakan metode yang paling umum dan paling terkenal adalah metode kuadrat terkecil (least square). Metode surplus produksi Scaefer digunakan untuk melihat hubungan hasil tangkapan dengan upaya. Hubungan fungsi tersebut menggunakan persamaannya dari Sparre and Venema (1999) yaitu.
Y = βo +β1 Xi + ε
22
Keterangan : Y
= CPUEi
Xi
= kode tahun ke-i
i
= 0.1.2…n
ε
= galat
3.5.4 Analisis Aspek Pasar Kelayakan suatu investasi sangat ditentukan oleh kelayakan aspek pasar. Kelayakan pasar dilakukan dengan membandingkan jumlah permintaan dan penawaran. Investasi dikatakan layak bila jumlah permintaan lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah penawaran.
Metode yang digunakan untuk
membandingkan kedua hal tersebut adalah metode peramalan (forecasting) yang didasarkan pada data berkala pada masa lalu (time series). Tujuan digunakannya metode peramalan (forecasting) ini yaitu untuk mengetahui suatu keadaan masa akan datang, dalam hal ini yaitu besarnya permintaan/ kebutuhan akan ikan di masa akan datang menurut waktu yang ditentukan. Peramalan time series dianalisis dengan menggunakan persamaan matematis, metode yang umum digunakan yaitu metode kuadrat terkecil (Least
Square Method) (Umar 2005). Metode kuadrat terkecil (least square method) pada penelitian ini digunakan untuk menghitung jumlah permintaan dan penawaran, persamaannya adalah : Y = a + bx Keterangan : Y
= data konsumsi dan data produksi
x
= waktu (tahun)
a
= intercep
b
= slope
nilai a dan b dari suatu persamaan garis linier ditentukan dengan humus : a = Y − bX
b=
n∑ X 1Y1 − ∑ X 1 ∑ Yi n∑ X 2 i − (∑ X 1 )
2
Apabila a dan b telah diketahui, maka garis lurus tersebut dapat digunakan untuk meramalkan Y.
23
Perhitung (X) pada persamaan tersebut di atas digunakan sistem kode atau cara koding yaitu data deret waktu. Apabila data deret waktu dalam jumlah ganjil data
waktu
diubah
menjadi
bilangan-bilangan
...,-3,-2,-1,0,1,2,3,...
jika
dijumlahkan tetap bernilai nol, sedang untuk jumlah data deret waktu yang berjumlah genap data waktu diubah menjadi bilangan-bilangan sebagai contoh ..., -5,-3,-1,1,3,5,... jika dijumlahkan juga bernilai nol. Adapun untuk garis trend linier rumusnya menjadi sederhana, karena Σxi = 0 dan X = l/n Σxi = 0. sehingga dengan demikian untuk garis trend yang linier, rumusnya menjadi : a =Y
b=
∑X Y ∑X i
i i 2
Keterangan : Y
= data konsumsi / produksi rata-rata
Xi
= waktu ke-i
Yi
= data konsumsi / produksi ke-i
3.5.5 Analisis Usaha (1)
Analisis Pendapatan Usaha Analisa pendapatan usaha menurut Sugiarto et al (2005) bertujuan untuk
mengetahui komponen-komponen input dan output yang terlibat dalam usaha dan besarnya keuntungan yang diperoleh dari usaha yang dilakukan. matematis dirumuskan sebagai berikut :
π = TR − TC Keterangan : π
= Keuntungan
TR = Total Revenue TC
= Total Cost
Dengan kriteria usaha sebagai berikut : TR > TC usaha menguntungkan TR < TC usaha rugi TR = TC usaha alam keadaan impas
Secara
24
(2)
Analisis Imbangan Penerimaan dan Biaya (Revenue-Cost Ratio) Tujuan dilakukan analisis imbangan penerimaan dan biaya adalah untuk
mengetahui sejauh mana hasil yang diperoleh dari kegiatan usaha selama periode tertentu cukup menguntungkan (Sugiarto et al 2005). Imbangan penerimaan dan biaya secara matematis dirumuskan sebagai berikut : R/C =
Total Re venue(TR ) TotalCost (TC )
Dengan kriteria : R/C > 1 usaha menguntungkan R/C < 1 usaha rugi R/C = 1 usaha dalam keadaan impas
(3)
Analisis Waktu Pengembalian Modal (Payback Period) Payback Period menurut Umar (2001) adalah suatu analisis yang digunakan
untuk mengetahui periode waktu yang diperlukan untuk menutup kembali investasi. Payback Period adalah rasio antara initial cash invesment dengan cash flow dalam satuan waktu. Secara matematis dirumuskan sebagai berikut : PP =
Investasi x1tahun Keuntungan
3.5.6 Analisis Kriteria Investasi Evaluasi kelayakan finansial menurut Kadariah (1999) dapat menggunakan 3 (tiga) kriteria investasi yaitu Net Present Value (NPV), Net Benefit – Cost Ratio dan Internal Rate of Return (IRR).
(1)
Net Present Value (NPV) Kriteria ini digunakan untuk menilai manfaat investasi yang merupakan
jumlah nilai kini dari manfaat bersih dan dinyatakan dalam rupiah.
Rumus
persamaan tersebut menggunakan analisis NPV (Kadariah dkk 1999) yaitu sebagai berikut : NPV =
n
(Bt − Ct )
∑ (1 + i ) t −1
t
25
Keterangan : 1 (1 + i)t
= discount factor
i
= tingkat bunga
bt
= benefit pada tahun ke - t (Rp)
ct
= cost pada tahun ke - t (Rp)
n
= umur ekonomis usaha (tahun)
t
= tahun ke 1, 2, 3, …., n Bila NPV>0 investasi suatu proyek tersebut layak, apabila NPV<0 maka
proyek tersebut tidak layak untuk dilaksanakan. Pada keadaan NPV=0, maka investai pada proyek tersebut hanya mengembalikan manfaat yang posisi sama dengan tingkat social opportunity cost of capital.
(2) Net Benefit-Cost Ratio (Net B/C) Net B/C merupakan perbandingan antara NPV dari total benefit bersih terhadap total biaya bersih. Menurut Kadariah dkk (1999), Net B/C digunakan untuk ukuran efisiensi dalam penggunaan modal. Secara matematis dirumuskan sebagai berikut : n
Net B/C =
(Bt − Ct )
∑ (1 = i ) (Bt − Ct )〉0 (Ct − Bt ) ∑ (1 − i ) (Bt − Ct )〈0 t =0 n t =1
t
t
Dari persamaan tersebut tampak bahwa nilai B/C paling sedikit ada satu nilai Bt-Ct yang bernilai positif. Jika Net B/C memberikan nilai >1 maka keadaan tersebut menunjukkan bahwa NPV > 0. Apabila Net B/C > 1 merupakan tanda layak untuk sutau proyek, sedangkan bila Net B/C < 1 merupakan tanda tidak layak untuk sesuatu proyek.
(3)
Internal Rate of Return (IRR) Internal Rate of Return merupakan tingkat suku bunga yang menunjukkan
jumlah nilai sekarang netto (NPV) sama dengan seluruh ongkos proyek atau NPV sama dengan nol. Nilai IRR yang lebih besar atau sama dengan bunga yang berlaku menunjukkan bahwa usaha layak untuk dilaksanakan (Kadariah dkk; 1999). IRR dapat dirumuskan sebagai berikut :
26
NPV 1 ⎤ ⎡ IRR = i1 + ⎢ ⎥⎦ ( i2-i1) NPV 1 − NPV 2 ⎣ Keterangan:
i1
= tingkat suku bunga yang menghasilkan NPV positif
i2
= tingkat suku bunga yang menghasilkan NPV negatif
NPV1 = NPV pada discount rate i1 NPV2 = NPV pada discount rate i2 Kriteria kelayakan pada metode IRR adalah : IRR > i usaha layak untuk dikembangkan IRR < i maka usaha tidak layak untuk dijalankan 3.5.7 Metode Skoring
Metode skoring digunakan untuk menentukan jenis teknologi penangkapan ikan yang layak. Setelah diperoleh nilai dengan menggunakan metode skoring terhadap semua kriteria (Biologi, Teknik, Sosial dan Ekonomi), maka dilakukan standarisasi nilai dengan metode fungsi nilai (Mangkusubroto dan Trisnadi, 1985) dengan rumus sebagai berikut : Vi (Xi) =
Xi - Xo X1 - Xo
V (A) = ∑ Vi (Xi) Keterangan : i
:
1,2,3,…..,n
Xo
:
nilai terburuk pada kriteria X
X1
:
nilai terbaik pada kriteria X
V(A) :
fungsi nilai dari alternatif A
V(Xi):
fungsi nilai dari alternatif i pada kriteria ke – i
Urutan alat tangkap yang sesuai untuk digunakan ditetapkan dari alternatif yang mempunyai fungsi nilai tertinggi ke alternatif dengan fungsi nilai terendah.
4 DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN
4.1
Kondisi umum Kabupaten Pasir
4.1.1 Administrasi wilayah dan letak geografis Kabupaten Pasir salah satu kabupaten yang ada di wilayah Provinsi Kalimantan Timur yang terletak di bagian paling Selatan.
Secara geografis
Kabupaten Pasir terletak pada posisi antara 00o58’10,54” - 02o24’29,19” Lintang Selatan dan 115º36’14,59” – 166º57’35,03” Bujur Timur. Batas-batas wilayahnya meliputi : (1) Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kota Balikpapan (2) Sebelah Timur berbatasan dengan Selat Makassar (3) Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Kota Baru Provinsi Kalimantan Selatan (4) Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Tabalong Provinsi Kalimantan Selatan. Luas wilayah administrasi Kabupaten Pasir 11.603,94 km2 dengan luas perairan mencapai 752,76 km2. Terdapat 10 kecamatan yaitu Long Kali, Long Ikis, Kuaro, Tanah Grogot, Muara Komam, Batu Sopang, Pasir Belengkong, Batu Engau, Tanjung Harapan dan Muara Samu. 5 kecamatan diantaranya berada diwilayah pesisir yaitu Kuaro, Tanah Grogot, Long Ikis, Long Kali dan Tanjung Harapan.
Posisi koordinat masing-masing kecamatan di wilayah pesisir
Kabupaten Pasir dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Posisi Beberapa Kecamatan di Wilayah Pesisir Kabupaten Pasir Koordinat Geografi Bujur Timur Lintang Utara 1 Long Kali 116o17’48,65” 01o31’40,54” o 2 Long Ikis 116 11’58,38” 01o34’56,76” 3 Kuaro 116o04’56,76” 01o49’09,73” o 4 Tanah Grogot 116 11’53,51” 01o54’45,41” o 5 Tanjung Harapan 116 04’24,32” 02o13’38,92” Sumber : Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Pasir No
Kecamatan
Sebagian besar wilayah pesisir Kabupaten Pasir merupakan kawasan konservasi yaitu Cagar Alam Teluk Adang dan Cagar Alam Teluk Apar. Cagar
28
Alam Teluk Adang dikelilingi oleh empat kecamatan yaitu Long Kali, Long Ikis, Kuaro dan Tanah Grogot.
Cagar Alam Teluk Apar terletak diantara dua
kecamatan yaitu Kecamatan Pasir Belengkong dan Kecamatan Tanjung Harapan. 4.1.2 Keadaan topografi Secara umum Kabupaten Pasir memiliki tiga tipe topografi yaitu dataran rendah, landai dan bergelombang dengan ketinggian berkisar antara 0-1000 meter diatas permukaan laut. Topografi wilayah Kabupaten Pasir terbagi dalam dua bagian yaitu : 1. Bagian Barat, merupakan daerah yang bergelombang, berbukit dan bergunung sampai di perbatasan daerah Propinsi Kalimantan Selatan hingga mencapai ketinggian 1.300 m dari permukan laut. Pada daerah ini terdapat beberapa gunung antara lain : Gunung Serumpaka (1.300 m), Gunung Lumut (1.233 m), Gunung Rambutan dan Gunung Halat. 2. Bagian Timur, merupakan dataran rendah, landai hingga bergelombang. Banyak terdapat rawa dan daerah aliran sungai (DAS) yang dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai jalur transportasi, lahan pertanian dan budidaya perikanan air tawar. Sepanjang pantai dari utara hingga keselatan merupakan hutan mangrove. 4.1.3 Perikanan tangkap Era otonomi daerah secara tidak langsung telah membawa perubahan di sektor perikanan, salah satunya adalah pemekaran wilayah kabupaten. Dampak kongkritnya terhadap perubahan struktur pada sektor perikanan khususnya sub sektor perikanan tangkap. Secara spesifik perubahan pada sub sektor perikanan tangkap yaitu pada unit penangkapan meliputi nelayan, kapal dan alat tangkap. Hal ini karena sebagaian wilayah kecamatan yang masuk dalam kabupaten pemekaran memiliki potensi perikanan laut yang cukup potensial. (1) Nelayan Perkembangan jumlah nelayan di Kabupaten Pasir pada tahun 1996-2005 relatif stabil. Pada perkembangan selanjutnya terjadi penurunan jumlah nelayan yaitu mulai tahun 2001-2005 (Tabel 5).
Perubahan terjadi seiring dengan
pemekaran Kabupaten Pasir menjadi dua, Kabupaten Pasir dan Kabupaten Penajam Paser Utara. Pemekaran juga terjadi pada tingkat kecamatan bahkan
29
sampai ketingkat desa.
Beberapa kecamatan yang memberikan kontribusi
terhadap perikanan tangkap Kabupaten Pasir sebelum terjadinya pemekaran yaitu Kecamatan Babulu, Kecamatan Waru dan Kecamatan Penajam. Tabel 5
Jumlah Nelayan Perikanan Laut berdasarkan Kategori Usaha di Kabupaten Pasir Tahun 1996-2005
Kategori Usaha Penuh Sambilan
Utama Tambahan
Jumlah
1996 3.981 1.196 1.198 6375
1997 4.190 1.305 777 6.272
1998 4.100 1.450 815 6.365
1999 4.095 1.370 909 6.374
Tahun 2000 2001 4.180 2.476 1.390 886 1.000 550 6.570 3.912
2002 3.662 192 89 3.943
2003 3.930 230 106 4.266
2004 4.069 257 127 4.453
2005 4.130 261 129 4.520
Sumber : Dinas Perikanan dan Sumberdaya Kelautan, 2006 (2) Kapal Penangkapan Aktivitas penangkapan ikan di perairan laut Kabupaten Pasir umumnya terfokus pada daerah pantai.
Hal ini terlihat dari jenis/ukuran armada yang
digunakan dominan kapal motor yang berukuran 0 – 5 GT. Ukuran perahu/kapal sangat berpengaruh terhadap jangkauan daerah pengoperasian alat tangkap. Secara lengkap ukuran kapal/perahu yang digunakan masyarakat nelayan di Kabupaten Pasir dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Jumlah Perahu/Kapal Perikanan Perahu/Kapal Kabupaten Pasir. Kategori perahu/kapal Kecil Tidak Bermotor Sedang Tempel Kapal 0–5 GT Motor 5–10 GT Jumlah
1997 170 252 302 2.585 3.309
1998 301 236 428 2.383 3.348
1999 285 233 441 2.389 3.348
2000 289 236 445 2.416 3.386
Laut
menurut
TAHUN 2001 2002 208 179 147 127 202 63 1.542 2.060 74 2.099 2.679
2003 175 125 2.349 24 2.673
Jenis/Ukuran
2004 145 132 2.465 81 2.823
2005 153 137 3.162 86 3.538
Sumber : Dinas Perikanan dan Sumberdaya Kelautan, 2006 Perkembangan jumlah armada terlihat terjadi penurunan pada tahun 2001. Hal ini tidak terlepas dari dampak pemekaran wilayah kabupaten. Akan tetapi pada periode 2001-2005 perkembangan jumlah armada meningkat meskipun masih berada dibawah jumlah armada pada periode tahun 1996-2000. Peningkatan jumlah armada karena adanya dukungan kebijakan Pemerintah Kabupaten Pasir dalam rangka mengembangkan perikanan tangkap pasca pemekaran kabupaten.
Apresiasi kebijakan di sub sektor perikanan tangkap
berupa bantuan armada penangkapan yang bersumber dari dana APBN, APBD I dan APBD II.
30
(3) Alat Tangkap Sebagaimana dikatakan sebelumnya pemekaran wilayah Kabupaten Pasir menyebabkan perubahan di sub sektor perikanan tangkap, terutama pada jumlah unit penangkapan. Hal yang sama juga terjadi pada jumlah alat tangkap yang menurun pada periode tahun 2001.
Namun pada perkembangan selanjutnya
menunjukkan jumlah alat tangkap semakin meningkat, selain karena peningkatan jumlah penduduk (nelayan), juga karena adanya paket bantuan berupa alat tangkap, mesin, kapal dan rumpon yang diluncurkan oleh pemerintah kabupaten, provinsi dan pemerintah pusat Secara lengkap perkembangan alat tangkap di Kabupaten Pasir periode tahun 1996-2005 disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 Perkembangan Jumlah Alat Tangkap Perikanan Laut (unit) Menurut Jenis Alat Tangkap di Kabupaten Pasir Kategori Alat Tangkap Pukat Kantong (Seine net) Pukat Cincin (Purse seine ) Jaring Insang(Gill net) Jaring Angkat (Lift nets) Pancing (Hook and) Perangkap (Traps) Alat pengumpul Lain-lain (Other) Jumlah
1997 219 75 1.825 4.740 470 489 7.818
1998 206 92 1.830 4.468 499 438 7.533
1999 194 105 1.826 4.660 480 460 7.725
2000 193 102 1.824 4.695 484 458 7.756
TAHUN 2001 121 99 1.809 3.307 379 225 5.940
2002 45 41 1.244 2.932 244 414 4.920
2003 68 44 1.300 3.140 260 629 5.441
2004 70 44 3.982 358 1.323 250 275 355 6.657
2005 222 93 4.136 369 1.532 402 288 369 7.411
Sumber : Dinas Perikanan dan Sumberdaya Kelautan Tahun, 2006 (4) Produksi Perikanan Tangkap Data pada Tabel 8 memberikan gambaran kontribusi produksi perikanan laut menurut alat tangkap dan kecamatan di Kabupaten Pasir.
Jaring insang
merupakan alat tangkap yang memberikan kontribusi produksi terbesar yaitu 2.779,0 ton. Produksi tertinggi menurut kecamatan di Kabupaten Pasir yaitu Tanjung Harapan sebesar 4.882,7 ton. Tingginya produksi alat tangkap jaring insang karena memiliki jumlah terbesar.
Tahun 2005 jumlah jaring insang sebanyak 4.136 unit lebih besar
dibanding jumlah alat tangkap lain (Tabel 7). Produktifitas perikanan tangkap Kecamatan Tanjung Harapan tertinggi, hal ini didukung oleh faktor geografis dan faktor demografi. Wilayah administrasi Kecamatan Tanjung Harapan memiliki lima desa, semuanya berada di daerah pesisir, menjadikan sub sektor perikanan tangkap sebagai prime mover bagi masyarakat setempat. Demikian pula dari aspek demografi, seluruh desanya berada di daerah pesisir sehingga pekerjan utama penduduk sebagai nelayan. Berbeda dengan kecamatan lain struktur mata
31
pencaharian penduduknya terdiri dari berbagai bidang pekerjaan. Secara lengkap produktifitas perikanan tangkap menurut kecamatan dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Produksi Perikanan Tangkap Menurut Klasifikasi Alat Tangkap di Kabupaten Pasir Tahun 2005 No
Jenis Alat Tangkap
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Pukat Kantong Pukat cincin Jaring Insang Jaring Angkat Pancing Perangkap Pengumpul Kerang Perangkap kepiting Lain-lain Total
Batu Engau 46,4 11,5 2,7 3,2 8,2 4,8 76,8
Produksi Perikanan Kecamatan (ton) Tj. Harapan Tnh. Grogot Kuaro Long Ikis 206,8 20,9 130,4 56,2 518,5 246,0 236,8 2.779,0 1.047,4 874,7 924,8 315,0 75,4 110,5 151,5 230,5 63,3 50,4 12,0 295,7 134,8 121,6 25,1 65,3 25,7 11,1 34,1 341,1 114,1 112,8 126,6 130,8 52,2 32,9 55,1 4882,7 1779,8 1681,2 1385,4
Long Kali 131,3 831,0 85,6 96,8 14,5 23,8 55,1 46,4 1284,5
Sumber : Dinas Perikanan dan Sumberdaya Kelautan Tahun, 2006 4.2 Kondisi umum Teluk Apar 4.2.1 Gambaran desa-desa pesisir Ciri pokok desa pesisir yaitu sebagian besar penduduknya bermata pencaharian di sektor perikanan, dan desanya berada di tepi pantai (AMN-Kaltim, AMN-Pasir, 2005). Sektor perikanan merupakan prime mover bagi desa pesisir. Desa-desa pesisir di sekitar perairan Teluk Apar antara lain Desa Muara Pasir, Desa Pasir Baru, Desa Lori, Desa Labuangkallo, Desa Selengot dan Desa Tanjung Aru. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.86/Kpts.II/1983 kawasan sekitar Teluk Apar ditetapkan sebagai kawasan cagar alam dengan luas 46.900 hektar.
Lima desa pesisir yang berada di sekitar Teluk Apar yang
termasuk dalam kawasan cagar alam yaitu Desa Pasir Baru, Lori, Selengot, Labuangkallo dan Tanjung Aru (Gambar 2)
Gambar 2 Kawasan cagar alam Teluk Apar
32
Kawasan Teluk Apar terdapat beberapa sungai antara lain Sungai Kandilo, Sungai Seratai, Sungai Apar Besar, Sungai Kerang, Sungai Segendang, dan Sungai Jengeru semuanya bermuara ke Teluk Apar.
Sungai-Sungai tersebut
memegang peranan penting dalam menunjang perekonomian masyarakat desa sekitar Teluk Apar. Selain digunakan sebagai sumber pengairan untuk kegiatan pertanian, budidaya perikanan, sungai juga dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai alur transportasi untuk mengangkut hasil panen dari desa-desa lain. Hal lain yang juga memegang peran penting kaitannya sungai dengan keberadaan perikanan tangkap adanya arus pasang dan surut yang mengalir secara kontinue dari hulu sungai kemuara hingga ke perairan teluk dan demikian pula sebaliknya. Arus merupakan salah satu faktor yang menyebabkan ikan melakukan migrasi.
Selain migrasi untuk mencari makan juga bertujuan untuk melakukan
pemijahan dengan mengikuti arah arus pasang.
Arus tidak hanya membawa
makanan tetapi juga membawa binatang laut itu sendiri. 4.2.2 Karakteristik oseanografi a) Suhu Kisaran suhu diperairan laut antara 27,5oC hingga 29,5oC. Suhu rata-rata bulanan maksimum terjadi pada bulan Mei dan Desember dengan kisaran antara 29,14oC- dan 29,21oC. Suhu rata-rata bulanan yang rendah terjadi pada bulan Pebruari dan Agustus
(AMN-Kaltim, AMN-Pasir, 2005).
Variasi rata-rata
bulanan pertahunnya tidak lebih dari 2oC. Rendahnya suhu permukaan laut pada bulan Februari diperkirakan karena pengaruh musim hujan, adapun pada bulan Agustus diduga karena tingginya penguapan akibat penyinaran matahari dan hembusan angin. Suhu maksimum terjadi pada bulan Mei diperkirakan karena kuatnya penyinaran dan angin yang berhembus lemah. Sedangkan yang terjadi pada bulan Desember diduga karena perbedaan suhu air dan suhu udara yang cukup tinggi sedangkan angin yang berhembus cukup kuat. b) Pasang Surut Tipe pasang surut perairan Kabupaten Pasir secara umum menurut data DISHIDROS-TNI AL (2003), termasuk dalam tipe pasang surut campuran dengan dominasi pasang surut ganda yaitu dua kali pasang dan dua kali surut dalam satu
33
hari. Pasang surut yang terjadi diperairan Teluk Apar sangat dipengaruhi oleh rambatan pasang surut yang berasal dari Laut Sulawesi bagian Utara yang berasal dari Samudera Pasifik. Perubahan tinggi muka laut (pasut) perairan Teluk Apar berkisar antara 140 cm hingga 277 cm. Kisaran pasut yang besar terjadi saat bulan purnama yang dikenal dengan pasang surut purnama, sedangkan kisaran pasang surut yang paling kecil terjadi pada saat bulan sabit yang dikenal dengan pasang surut perbani. c) Arus Pergerakan arus suatu perairan dipengaruhi oleh berbagai faktor angin, pasang surut, perbedaan tekanan, perbedaan suhu, salinitas dan adanya gaya coriolis. Arus yang terjadi di perairan Kabupaten pasir secara umum dipengaruhi oleh adanya angin muson, pasang surut dan perbedaan tekanan yang terjadi antara laut Sulawesi dan Samudera Hindia. Perbedaan yang terjadi menyebabkan arus di Selat Makassar mengalir dari Utara ke Selatan. Arah arus yang mengalir di perairan Kabupaten Pasir pada bulan Maret hingga Desember tidak jelas terlihat, kondisi ini disebabkan karena gerakan arus di Laut Jawa didominasi oleh arus yang mengalir dari Barat dan sebagian massa air memasuki bagian Selatan dari Selat Makassar. Arus pada bulan Mei hingga Juli umumnya mengalir kearah utara, pada bulan Agustus terdapat dua pusaran arus yang berputar yaitu disebelah Utara dan sebelah Selatan. Adapun pada bulan September arus mengalir kearah Selatan dan pada bulan Oktober hingga Desember arus di dekat pantai yang mengalir dari arah Selatan kearah Utara (AMN-Kaltim, AMN-Pasir, 2005). d) Salinitas Perairan Teluk Apar berhubungan langsung dengan Selat Makassar sehingga kisaran salinitasnya cenderung sama, yaitu antara 31,50o/oo - 34,50o/oo. Salinitas tertinggi terjadi pada bulan September yaitu sekitar 34,50o/oo biasanya terjadi setelah berlangsungnya Musim Timur yang bertiup antara bulan Juni hingga Agustus. Salinitas terendah terjadi pada bulan Februari dan Maret disebabkan karena tingginya curah hujan selain itu juga karena limpasan air tawar yang berasal dari daratan yang dibawa melalui sungai-sungai yang bermuara ke Teluk Apar (Bappeda Kabupaten Pasir dan PKSPL IPB, 2003).
34
4.2.3 Daerah dan Musim Penangkapan Daerah penangkapan dari berbagai jenis alat tangkap meliputi seluruh perairan teluk. Nelayan Teluk Apar melakukan operasi penangkapan sepanjang tahun meskipun terdapat musim tertentu yang dikenal dengan musim puncak. Menurut nelayan pada musim puncak hasil tangkapan lebih banyak dibanding pada musim lainnya, sehingga waktu operasi penangkapan per trip lebih pendek. Hasil wawancara dengan nelayan responden diperoleh data dan informasi mengenai musim puncak ikan berdasarkan jenis alat tangkap di Teluk Apar seperti pada Tabel 9. Tabel 9 Musim Penangkapan Ikan berdasarkan Jenis Alat Tangkap Jenis alat tangkap Puncak (Barat) Jan – Jul Purse seine Jaring insang dasar Jan – Apr Jaring insang hanyut Jan – Apr Jaring tiga lapis Jan – Apr Rawai hanyut Jan – Apr Jermal Jan – Apr Bagan tancap Jan – Jul Sumber : Data primer, 2007
Bulan Biasa (Utara) Okt – Des Sep – Des Sep – Des Sep – Des Sep – Des Sep – Des Okt – Des
Paceklik (Selatan) Agt – Sep Mei – Agt Mei – Agt Mei – Agt Mei – Agt Mei – Agt Agt – Sep
Berdasarkan hasil wawancara terhadap nelayan responden dan para punggawa (juragan) diperoleh informasi musim ikan. Rincian waktu musim ikan berdasarkan jenis yang dominan tertangkap di Teluk Apar disajikan pada Tabel 10. Tabel 10 Bulan Musim Ikan berdasarkan Jenis Ikan di Perairan Teluk Apar Jenis Ikan
1
Tongkol Layang Tenggiri Kembung Selar Teri Tembang Kakap Sumbal Bawal Udang Windu Sumber : Data primer, 2007
2
3
4
Musim Ikan (bulan) 5 6 7 8 9
10 11
12
35
4.2.4 Unit Penangkapan ikan Unit penangkapan ikan merupakan satu kesatuan teknis dalam operasi penangkapan ikan, terdiri dari nelayan, perahu/kapal penangkap ikan dan alat penangkap ikan.
Ketiga elemen tersebut sangat penting dalam melakukan
kegiatan operasi penangkapan ikan. 4.2.4.1 Nelayan Nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan usaha penangkapan ikan. Nurani (1987) mendefinisikan nelayan sebagai orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan, dalam hal ini termasuk juru masak dan ahli mesin yang bekerja di atas kapal. Berdasarkan data Dinas Perikanan dan Sumberdaya Kelautan Kabupaten Pasir tahun 2005, nelayan di sekitar perairan Teluk Apar berjumlah 2088 orang. Jumlah nelayan setiap tahun cenderung mengalami peningkatan (Tabel 11). Kondisi
diatas
secara
tidak
langsung
memberikan
gambaran
terhadap
pemanfaatan sumberdaya di perairan Teluk Apar. Semakin bertambah jumlah nelayan tekanan pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk Apar juga akan semakin meningkat. Tabel 11 Perkembangan Jumlah Nelayan di Teluk Apar tahun 1996 – 2005 Sambilan Jumlah Utama Tambahan 1996 1.410 272 247 1929 1997 1.261 382 202 1845 1998 1.160 572 195 1927 1999 1.160 553 215 1928 2000 1.217 556 267 2040 2001 1.293 548 258 2099 2002 1.927 122 52 2101 2003 2.117 149 61 2327 2004 1.862 137 56 2055 2005 1.890 140 58 2088 Sumber : Dinas Perikanan dan Sumberdaya Kelautan Kabupaten Pasir, 2006 Tahun
Penuh
4.2.4.2 Perahu/ kapal Kapal perikanan menurut UU No 31 Tahun 2004 (pasal 1 ayat 9) adalah kapal, perahu atau alat apung lain yang dipergunakan untuk melakukan penangkapan ikan, mendukung operasi penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, pengangkutan
ikan,
pengolahan
ikan,
pelatihan
perikanan,
dan
36
penelitian/eksplorasi perikanan (UU No 31 Tahun 2004). Secara Umum jumlah perahu dan kapal meningkat setiap tahun. Peningkatan secara signifikan pada motor ukuran 0-5 GT. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yaitu peningkatan jumlah nelayan, kultur masyarakat di pesisir pantai kawasan Teluk Apar, kemampuan
modal
dan
daerah
operasi
penangkapan.
Selengkapnya
perkembangan jumlah perahu/kapal di Teluk Apar periode 1996-2005 disajikan pada Tabel 12. Tabel 12 Perkembangan Jumlah Perahu/Kapal Penangkap Ikan di Teluk Apar Tahun 1996-2005 Tidak bermotor Kapal motor Jumlah Kecil Sedang Tempel 0-5 GT 5-15 GT 1996 154 79 75 843 0 1151 1997 55 75 43 1.032 0 1205 1998 140 98 86 832 0 1156 1999 136 97 103 869 0 1205 2000 135 96 105 878 0 1214 2001 120 85 104 925 0 1234 2002 105 75 30 1.065 50 1325 2003 105 75 0 1.250 65 1495 2004 85 76 0 1.300 65 1526 2005 81 73 0 1.886 69 2109 Sumber : Dinas Perikanan dan Sumberdaya Kelautan Kabupaten Pasir, 2006 Tahun
4.2.4.3 Alat tangkap Beragam jenis alat tangkap dioperasikan di perairan Teluk Apar, diantara berbagai alat tangkap tersebut yang dominan digunakan antara lain : purse seine, jaring insang hanyut, jaring insang dasar, jarring insang tiga lapis, bagan tancap, rawai hanyut dan jermal. Produksi perikanana laut Kabupaten Pasir secara umum ditopang oleh dua perairan laut yaitu Teluk Adang dan Teluk Apar. Terdapat perbedaan keragaman alat tangkap yang dioperasikan pada masing-masing perairan teluk. Di perairan Teluk Adang masih ditemukan atau masih beroperasi alat tangkap baby trawl (dogol) dan tidak terdapat alat tangkap purse seine. Sebaliknya di perairan Teluk Apar masyarakat nelayan Desa Tanjung Aru dan Desa Muara Pasir mengoperasikan alat tangkap purse seine dan tidak terdapat trawl. Tidak beroperasinya trawl di Teluk Apar lebih disebabkan oleh adanya kepatuhan terhadap kesepakatan antar nelayan, tokoh masyarakat, aparat desa
37
yang berada di sekitar kawasan Teluk Apar untuk melarang beroperasinya trawl di perairan Teluk Apart, mengingat alat yang dioperasikan sebagian besar merupakan alat tangkap pasif khususnya jaring tiga lapis (penambe), selain itu armada yang digunakan dominan berkapasitas kecil sehingga operasi semua unit penangkapan terfokus pada satu kawasan yang sama. Berdasarkan hal tersebut maka disepakati untuk alat tangkap trawl dilarang dioperasikan di Teluk Apar. Perkembangan jenis alat tangkap pada periode 1996-2005 disajikan pada Tabel 13. Tabel 13 Perkembangan Jumlah Alat Tangkap yang Dioperasikan di Teluk Apar Periode Tahun 1996-2005 Tahun 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Pukat Cincin 9 46 72 73 76 83 35 35 35 56
Jenis Alat Tangkap Jaring insang Bagan Rawai Tancap Hanyut Hanyut Dasar Tiga 240 242 1.028 87 58 204 205 874 78 35 221 224 952 89 39 215 216 921 95 36 216 214 930 90 35 236 233 1.015 115 39 195 197 854 66 96 211 214 928 79 251 249 248 1.080 56 237 232 234 1.017 58 225
Jermal 18 21 21 20 22 22 22 23 23 25
Jumlah 1.682 1.463 1.618 1.576 1.583 1.743 1.465 1.741 1.928 1.847
Sumber : Dinas Perikanan dan Sumberdaya Kelautan, Pasir 2006 Pasca pelarangan pengoperasian trawl telah berdampak terhadap menurunnya jumlah alat tangkap trawl (dogol) di Kabupaten Pasir, kondisi ini secara tidak langsung mempengaruhi jumlah produksi udang. Dampak lain dari pelarangan pengoperasian trawl adalah semakin meningkatnya luasan bukaan hutan mangrove di Kabupaten Pasir untuk usaha budidaya udang. Ditinjau dari aspek pencapaian produksi khususnya udang, hal ini memberikan nilai tambah bagi Kabupaten Pasir karena produksi udang yang sebelumnya dihasilkan melalui penangkapan (trawl) kini tersubstitusi melalui usaha budidaya, dan produksi yang dihasilkan lebih tinggi dibandingkan dari hasil penangkapan. Oleh karena itu kontribusi udang terhadap produksi perikanan di Kabupaten Pasir (Teluk Apar) dominan dihasilkan oleh aktifitas budidaya. Pembukaan lahan tambak secara besar-besaran di Kabupaten Pasir khususnya di Teluk Apar telah menciptakan permasalahan baru. Pada beberapa desa pesisir disekitar kawasan Teluk Apar telah mengalami abrasi sehingga
38
mengakibatkan rusaknya bangunan-bangunan rumah, selain itu juga karena kerasnya terpaan angin laut yang langsung
mengarah kerumah-rumah
diperkampungan nelayan akibat tidak adanya penghalang/ terbukanya hutan mangrove untuk usaha tambak.
Hal ini semakin diperparah oleh minimnya
pengetahuan masyarakat bagaimana usaha budidaya tambak yang berwawasan lingkungan, sehingga dalam melakukan usahanya mereka tidak memperhatikan kaidah-kaidak keseimbangan. Dari aspek usaha penangkapan karakteristik unit penangkapan yang dioperasikan di Teluk Apar antara lain yaitu. a) Pukat Cincin / gae Pukat Cincin menurut Baskoro (2002) adalah jaring yang umumnya berbentuk empat persegi panjang, dilengkapi dengan tali kerut yang dilewatkan melalui cincin yang diikatkan pada bagian bawah jaring (tali ris bawah). Dengan menarik tali kerut pada bagian bawah jaring menguncup dan akan membentuk seperti mangkok. Dikatakan “pukat cincin” karena alat tangkap ini dilengkapi dengan cincin (Gambar 3). Awal diperkenalkannya alat tangkap pukat cincin yaitu pada tahun 1970 di pantai Utara Jawa oleh BPPL. Baru pada tahun 1973/1974 alat tersebut mulai diaplikasikan di daerah Muncar dan hingga sekarang alat tangkap tersebut berkembang pesat (Subani dan Barus 1989). Di beberapa daerah pukat cincin memiliki nama serta konstruksi yang agak berbeda.
Gambar 3 Alat Tangkap Purse seine (Balai Penelitian Perikanan Laut, 2002) Pukat Cincin (purse seine) menurut Von Brant (1984) dibentuk dari dinding jaring yang sangat panjang, biasanya tali ris bawah (leadline) sama atau
39
lebih panjang daripada tali ris atas (floatline).
Float line memuat rangkaian
pelampung (float) yang menjaga posisi jaring agar tetap berada di permukaan air. Leadline adalah tali ris bawah yang merangkai kumpulan pemberat (sinker) yang terbuat dari timah sehingga memungkinkan jaring untuk melebar secara vertikal dengan maksimal.
Mata jaring pada pukat cincin hanya berfungsi untuk
penghadang gerak ikan, bukan penjerat sebagaimana pada gillnet. Metode pengoperasian pukat cincin menurut Baskoro (2002) yaitu dengan cara melingkari gerombolan ikan baik dengan satu kapal maupun dengan menggunakan dua kapal. Setelah gerombolan ikan terkurung, pada bagian bawah jaring kemudian dikerutkan dengan menarik tali kerut yang dipasang sepanjang bagian bawah melalui cincin hingga tertutup. Purse Seine dibedakan dalam empat kelompok besar. Menurut Sadhori (1985) kelompok tersebut adalah : (1) Berdasarkan bentuk jaring utama : persegi panjang atau segi empat, trapesium atau potongan dan lekuk (2) Berdasarkn jumlah kapal yang digunakan pada waktu operasi: tipe satu kapal (one boat system) dan tipe dua kapal (two boat system). (3) Berdasarkan waktu operasi yang dilakukan : purse seine siang dan purse seine malam; (4) Berdasarkan species ikan yang tertangkap : purse seine lemuru, layang, kembung dan cakalang. Pukat cincin (purse seine) di perairan Teluk Apar disebut dengan Gae, dalam istilah lain juga dikenal dengan nama jaring kolor. Disebut demikian menurut Sadhori (1985) karena pada bagian bawah jaring dilengkapi dengan tali kolor yang berguna untuk menyatukan bagian bawah jaring sewaktu dioperasikan, dengan cara menarik tali kolor.
Pengoperasian Gae di perairan Teluk Apar
umumnya dilakukan dengan menggunakan satu buah kapal motor bermesin. Sebelum operasi penangkapan dilakukan terlebih dahulu melihat densitas kelompok ikan yang terdapat di rumpon, bila terlihat jumlah ikan cukup banyak di lakukan penangkapan ikan. Bila jumlah ikan pada rumpon tersebut diperkirakan sedikit maka penangkapan ditunda dan armada berpindah pada rumpon yang lain. Biasanya nelayan melakukan penangkapan ikan pada rumpon secara bergiliran hal
40
ini dimaksudkan agar ikan tetap berada disekitar rumpon sehingga ikan dapat ditangkap secara kontinyu. Jenis ikan yang umum tertangkap oleh alat tangkap purse seine di Teluk Apar terdiri dari Selar (Selaroides spp), Tembang (Clupeoides sp), Kembung (Rastrelliger
spp),
layang
(Decapterus)
dan
tongkol
(Auxis
thazard).
Pengoperasian purse seine umumnya dilakukan one day fishing yaitu sejak pukul 16.00 sampai 06.00. Jumlah setting rata-rata 3-4 kali permalam, waktu antara setting sampai dengan hauling 3-4 jam. b) Jaring Insang (gill net ) Gill Net merupakan jaring yang berbentuk empat persegi panjang dengan ukuran mata jaring yang sama pada seluruh mata jaring, yang dilengkapi dengan pelampung dan pemberat sehingga menyebabkan jaring terbuka dengan sempurna di dalam air. Gill Net diartikan juga sebagai jaring insang karena ikan-ikan yang tertangkap
pada
umumnya
tersangkut
pada
tutup
insangnya.
Prinsip
pengoperasiannya yaitu menghadang gerak gerombolan ikan, diharapkan ikan menabrak jaring dan terjerat disekitar insang baik pada mata jaring maupun terpuntal pada tubuh jaring. Untuk mendukung keberhasilan operasi penangkapan dengan gillnet menurut Sadhori (1984) warna jaring disesuaikan dengan warna perairan tempat gillnet dioperasikan. Gill Net di sekitar Teluk Apar dikenal dengan rengge. Jenis rengge pada umumnya disesuaikan berdasarkan jenis ikan yang menjadi tujuan penangkapan. Berdasarkan klasifikasi alat tangkap, gillnet (rengge) yang umum digunakan di Teluk Apar terdiri dari jaring insang hanyut (drift gill net) dan jaring insang dasar (bottom gill net). (1) Jaring Insang Hanyut (drift gill net) Martasuganda (2002) memberikan definisi jaring insang hanyut sebagai jenis alat penangkap ikan dari bahan jaring yang berbentuk empat persegi panjang dengan ukuran mata jaring utama sama, jumlah mata jaring arah horizontal (mesh lengh) lebih banyak dari jumlah arah vertikal (fesh depth). Pada bagian atas dilengkapi dengan beberapa pelampung (float) dan dibagian bawah dilengkapi dengan beberapa pemberat (sinkers), dengan adanya dua gaya berlawanan menyebabkan jaring insang dapat dioperasikan dalam keadaan tegak (Gambar 4).
41
Gambar 4 Alat Tangkap Jaring Insang Hanyut (drift gill net) (Balai Penelitian Perikanan Laut, 2002) Posisi jaring pada jaring insang hanyut ketika dioperasikan tidak ditentukan oleh adanya jangkar, tetapi bergerak hanyut bebas mengikuti arah gerakan arus. Pada salah satu ujung jaring di letakkan tali dan tali tersebut dihubungkan dengan kapal, gerakan hanyut dari kapal mempengaruhi posisi jaring.
Selain arus,
gelombang dan kekuatan angin juga mempengaruhi keadaan hanyut dari jaring tersebut. Nelayan Teluk Apar umumnya mengoperasikan jaring insang hanyut pada siang hari antara pukul 07.00-17.00 sedang pada malam hari pada pukul 18.00 – 04.00.
Operasi penangkapan dalam sebulan rata-rata sebanyak 15 trip. Setting
rata-rata dilakukan 3-4 kali dengan waktu 2-3 jam per setting. Jenis-jenis ikan yang umum tertangkap terdiri dari Tenggiri (Scomberomus commersoni), Menangin (Eleutheronema tetradactylum ), dan Bawal (Stromateus sp). (2) Jaring Insang Dasar (bottom gill net) Jaring insang dasar di sekitar Teluk Apar disebut dengan rengge dasar hal ini karena jaring tersebut direntangkan dekat dengan dasar laut (Gambar 5). Jenis ikan yang menjadi tujuan penangkapan terdiri dari ikan-ikan demersal. Prinsip pengoperasian sama dengan surface gill net bedanya hanya pada posisi jaring dalam air. Fishing ground alat tangkap ini di daerah muara dan teluk sehingga ikan yang tertangkap dapat berbagai jenis.
42
Gambar 5 Alat Tangkap Jaring Insang Dasar (bottom gill net) (Balai Penelitian Perikanan Laut, 2002) Pengoperasikan alat tangkap rata-rata sebanyak 20 trip perbulan, dan dilakukan antara pukul 07.00 – 16.00. Malam hari dilakukan antara pukul 18.00 05.00. Jenis ikan yang biasa tertangkap antara lain ikan Kakap (Lates calcarifer), Beronang (Siganus sp), Pari (Dasyatis sp), Bawal (Stromateus sp), Trakulu (Caranx sp), dan Sumbal/Kuro (Eleutheronema sp). c) Jaring Tiga Lapis (trammel net) Jaring tiga lapis terdiri dari tiga lapis jaring, lapisan jaring bagian dalam (inner net) ukuran mata jaringnya lebih kecil dibanding dengan kedua lapisan yang di luar (outer net).
Alat ini dioperasikan pada bagian dasar perairan
(Gambar 6). Pada umumnya hasil tangkapan berupa Udang Windu (Penaeus monodon), Udang Putih (Penaeus merguensis), dan Udang Bintik (Metapenaeus sp.). Pengoperasian jaring tiga lapis rata-rata sebanyak 20 trip perbulan. Waktu pengoperasian biasanya mulai pukul 07.00 - 17.00.
Gambar 6 Alat Tangkap Jaring Tiga Lapis (trammel net) (Balai Penelitian Perikanan Laut, 2002
43
d) Jermal/ Togo (tidal traps) Jermal dalam klasifikasi alat tangkap masuk dalam kategori alat tangkap perangkap, yang biasa dikenal dengan jermal (Gambar 7). Prinsip penangkapan ikan dengan alat ini yaitu menghadang arah ruaya ikan pantai dengan memanfaatkan arus pasang surut, sehingga ikan masuk ke bagian jebakan yang dipasang jaring. Untuk mengarahkan ruaya ikan ke arah kamar jebakan nelayan memasang pagar kayu.
Gambar 7 Alat Tangkap Jermal/Julu (tidal traps) (Balai Penelitian Perikanan Laut, 2002) Pengoperasian jermal rata-rata perbulan sebanyak 12 trip dan perhari ratarata dioperasikan antara 5 – 6 jam mengikuti pergerakan arus surut. Walaupun pergantian pasang dan surut terjadi 2 kali setiap hari akan tetapi nelayan mengoperasikan hanya satu kali pada saat air surut. Komoditi ikan yang umum tertangkap terdiri dari Udang Windu (Penaeus monodon), Udang Putih (Penaeus merguensis), Udang Jari (Penaeus indicus longirostris), Udang Belang (Parapenaeopsis sculptisis), Bawal (Stromateus sp), Bulu Ayam (Thryssa setirostris), dan Kakap (Lates calcarifer). e) Bagan Tancap (Stationary lift net) Bagan merupakan alat tangkap yang dioperasikan dengan cara dinaikkan atau ditarik keatas dari posisi horizontal yang ditenggelamkan untuk menangkap ikan yang ada diatasnya dengan menyaring air. Menurut Subani dan Barus (1988) bagan berdasarkan bentuk dan metode pengoperasian terbagi menjadi 3 macam yaitu bagan tancap, rakit dan perahu.
44
Metode penangkapan ikan dengan bagan dengan memanfaatkan naluri ikan, yaitu ketertarikan terhadap cahaya.
Menurut Subani dan Barus (1988)
penangkapan dengan bagan dilakukan pada malam hari, terutama pada saat bulan gelap dengan menggunakan lampu sebagai alat bantu (Gambar 8).
Gambar 8 Alat Tangkap Bagan Tancap(stationary lift net) Pengoperasian bagan tancap rata-rata perbulan sebanyak 16 trip, dioperasikan mulai pukul 19.00 - 05.00.
Hasil tangkapan berupa ikan Teri
(Stolephorus comersonii), Tembang (Sardinella sp), Kembung (Rastrelliger spp ) dan Cumi-cumi (Loligo sp). Komponen material bagan tancap terdiri dari jaring, rumah bagan yang terbuat dari batang kayu nibung, serok dan lampu petromax, pada bagian pelataran terdapat alat penggulung yang digunakan untuk menurunkan dan menaikkan jaring bagan pada saat dioperasikan.
Berdasarkan posisi penempatan bagan
tancap di perairan Teluk Apar, terlihat bahwa jarak antar bagan saling berdekatan. Keadaan ini tentu mempengaruhi kuantitas hasil tangkapan karena distribusi ikan lebih menyebar. g) Rawai Hanyut (lift net) Rawai merupakan alat penangkap ikan yang terdiri atas rangkaian tali temali yang bercabang-cabang dan pada setiap ujung cabangnya diikatkan dengan sebuah pancing dan diberi umpan. Pancing rawai terdiri atas tali utama, tali cabang, bendera, pelampung, pemberat, mata pancing dan umpan. Pancing rawai diklasifikasikan kedalam tiga bagian, yaitu berdasarkan letak pemasangan diperairan, susunan mata pancing pada tali utama, dan jenis
45
ikan yang menjadi tujuan utama penangkapan. Berdasarkan letak pemasangan di perairan, terdiri atas rawai permukaan (surface longline) dan rawai pertengahan (midwater longling). Berdasarkan susunan mata pancing yaitu rawai mendatar (horizontal longline) dan berdasarkan jenis ikan yang menjadi tujuan utama penangkapan yaitu rawai tuna (tuna long line). Rawai yang dominan digunakan di Teluk Apar adalah rawai hanyut (Gambar 9).
Operasi penangkapan per bulan rata-rata sebanyak 14 trip.
Umumnya nelayan mengopertasikan rawai mulai pukul 08.00-14.00. tangkapan yaitu ikan Kakap (Lates calcarifer), Trakulu (Caranx
Hasil
sp), Pari
(Dasyatis sp), dan Menangin (Eleutheronema tetradactylum ).
Gambar 9 Alat Tangkap Rawai Hanyut 4.2.5 Sumberdaya Ikan Sumberdaya ikan yang dihasilkan oleh nelayan diperairan Teluk Apar sangat beragam, baik pada ikan pelagis maupun ikan demersal. Dari berbagai jenis ikan yang dihasilkan, terdapat beberapa jenis ikan yang dominan antara lain : Tongkol, Kakap, Tembang, Layang, Kembung, Selar dan Teri. 1) Tongkol (Auxis sp) Ikan tongkol (Auxis thazard) tergolong ikan efipelagik dan termasuk dalam jenis tuna kecil (Gambar 10). Tongkol tergolong ikan buas dan sebagai predator. Kondisi yang disenangi adalah perairan laut dengan kisaran temperatur antara 1829oC (Saanin, 1984). Menurut Nontji (1993) Ciri-ciri morfologinya yaitu badan memanjang, kaku, bulat seperti cerutu, badan tanpa sisik kecuali pada bagian korselet yang tumbuh sempurna dan mengecil kebagian belakang, warnanya kebiru-biruan serta putih dan perak dibagian perut. Ciri-ciri lain, dibagian perut
46
terdapat ban-ban serong berwarna hitam diatas garis rusuk serta noktah-noktah hitam terdapat diantara sirip dada dan perut. Ukuran panjang ikan rata-rata yang tertangkap berkisar antara 25-40 cm. Terdapat dua sirip di bagian punggung, sirip punggung yang pertama berjari-jari keras 10 sedangkan yang kedua berjari-jari keras 11 dan terdapat 6-9 jari-jari tambahan yang letaknya dibelakang sirip punggung yang kedua. Sirip dubur berjari-jari lemah 44, diikuti jari-jari sirip tambahan. Badannya tampak diselumuti sisik, kecuali pada bagian belakangnya. Ikan ini mempunyai daging yang kenyal dan gurih serta merupakan perikanan ekonomis penting (Kiswantoro dan Sunyoto, 1986).
Gambar 10 Ikan Tongkol (Auxis thazard) (Balai Penelitian Perikanan Laut, 1992) Distribusi tongkol sangat luas meliputi perairan tropis dan sub tropis, termasuk Samudera Pasifik, Samudera Hindia dan Samudera Atlantik. Penyebarannya cenderung membentuk kumpulan multispecies menurut ukurannya (FAO, 1986). Klasifikasi ikan tongkol menurut Saanin (1984) sebagai berikut. Kelas : Pisces Sub kelas : Telestoi Ordo
: Percomorphi
Subordo
: Scombroidae
Famili
: Scombidae
Divisi
: Scombridae
Genus
: Auxis
Species
: Auxis thazard
2) Kakap (Lates calcarifer), Nama kakap diberikan kepada kelompok ikan yang termasuk tiga suku yaitu Lutjanus, Latidae dan Labotidae. Jenis-jenis yang termasuk Lutjanidae biasanya
47
disebut kakap merah. Dua jenis lainnya yaitu Lates calcarifer yang termasuk suku Latidae umumnya disebut kakap putih dan Labotus surinamensis yang termasuk suku Labotidae disebut kakap batu (Djamali, Burhanuddin dan Martosewojo, 1986). Saanin (1984) mengklasifikasikan ikan kakap sebagai berikut. Phylum
: Chordata
Sub Phylum: Vertebrata Kelas
: Pisces
Sub kelas
:Teleostei
Ordo
: Percomorphi
Subordo
: Percoidae
Famili
: Lutjanidae
Genus Species
: Latidae : Lates calcarifer
Kakap yang tertangkap nelayan umumnya berukuran panjang berkisar 30-40 cm. Secara morfologi ikan kakap mempunyai ciri bentuk kepala tirus kedepan, punggung tinggi dan tebal dan banyak berisi daging.
Ujung sirip ekornya
bentuknya bundar (Saanin, 1984). Seluruh badan kepalanya tertututp oleh sisiksisik yang kasar, berwarna perak keabuabuan yang lebih gelap pada pada bagian punggung dan memutih pada bagian perutnya (Gambar 11). Rahang bawah maupun atas bergigi kecil-kecil dan tajam. Ikan ini termasuk ikan yang buas yang memangsa ikan-ikan lain yang lebih kecil. Kakap pada umumnya hidup di perairan sekitar muara sungai.
Gambar 11 Ikan Kakap (Lates calcarifer) (Balai Penelitian Perikanan Laut, 1992)
48
3) Tembang (Sardinella sp) Ikan tembang termasuk kelompok jenis ikan pelagis kecil yang ditangkap dengan berbagai macam alat tangkap seperti: pukat cincin, payang dan jaring insang hanyut. Daerah penyebaran meliputi seluruh perairan pantai Indonesia, ke Utara sampai ke Taiwan, ke Selatan sampai ke ujung Utara Australia dan ke Barat sampai Laut Merah (Direktorat Jenderal Perikanan, 1979 yang diacu Wiyono, 2001). Saanin (1984) memberikan ciri-ciri ikan Tembang sebagai berikut. Bentuk tubuh fusiform, pipih dengan sisik berduri di bagian bawah badan, awal sirip punggung sebelum pertengahan badan, berjari-jari lemah 17-20, dasar sirip dubur pendek dan jauh dibelakang dasar sirip dorsal serta berjari-jari lemah 16 – 19. Lapisan insang halus berjumlah 60-80 pada busur insang pertama bagian bawah. Ikan tembang pemakan plankton dan membentuk gerombolan besar. Panjang berkisar antara 15-25 cm, warna bagian atas kehijauan, dan bagian bawah putih perak, sirip-siripnya pucat kehijauan dan tembus cahaya (Gambar 12).
Gambar 12 Tembang (Sardinella fimbriata)
Gambar 12 Ikan Tembang (Sardinella sp) (Balai Penelitian Perikanan Laut, 1992) Fischer dan Whitehead (1974) mengklasifikasi tembang sebagai berikut. Phylum:
Chordata
Sub Phylum: Kelas:
Vertebrata Pisces
Sub Kelas : Teleostei Ordo
:Malacopterygii
Famili
: Clupeinae
Sub famili
: Clupeinae
Genus Species
: Sardinella : Sardinilla sp.
49
Fischer dan Whitehead (1974) mengemukakan bahwa Sardinilla fimbriatai merupakan ikan permukaan dan hidup perairan pantai serta suka bergerombol pada areal yang luas sehingga sering tertangkap bersama-sama ikan lemuru. Ikan Tembang juga terkonsentrasi pada kedalaman kurang dari 100 meter. Pergerakan vertikal terjadi karena perubahan siang dan malam, pada malam hari ikan tembang cenderung berenang ke permukaan dan berada di permukaan sampai matahari terbit. Waktu malam terang, gerombolan ikan tembang akan berpencar atau tetap berada di bawah permukaan. 4) Layang ( Decapterus) Ikan layang yang umum ditemukan di perairan Indonesia ada 5 jenis yakni Decapterus russelli, Decapterus kurroides, Decapterus lajang, Decapterus macrosoma dan Decapterus maruadsi. Namun dari kelima species ikan layang hanya Decapteus russelli
yang mempunyai daerah penyebaran yang luas di
Indonesia mulai dari Kepulauan Seribu hingga Pulau Bawean dan Pulau Masalembo. Decapterus lajang hidup diperairan yang dangkal seperti dilaut Jawa (termasuk Selat Sunda, Selat Madura dan Selat Bali), Selat Makassar, Ambon dan Ternate. Decapteus macrosoma banyak dijumpai di Selat Bali dan Pelabuhanratu. Decapterus maruadsi termasuk ikan yang berukuran besar, hidup di laut dalam dan tertangkap pada kedalaman 1000 meter atau lebih (Nontji 1993). Ikan ini hidup di perairan yang berjarak 37-56 km dari pantai dengan kadar garam relatif tinggi (32-34o/oo) dan menyenangi perairan jernih serta membentuk gerombolan besar.
Ikan ini termasuk perenang cepat.
Panjang tubuhnya
mencapai panjang 30 cm, bentuk badan agak memanjang dan agak gepeng. Dalam statistik perikanan, kedua jenis ikan layang ini dimasukkan dalam satu kategori (Decapterus spp) (Widodo, 1988). Ikan layang biasanya memijah pada suhu minimum perairan 17oC. Umumnya pemijahan terjadi dua kali pertahun, puncak pemijahan pada bulan Maret/April (musim barat) dan Agustus/September (musim timur). Asikin (1971) mengemukakan bahwa ikan layang muncul kepermukaan karena dipengaruhi oleh ruaya harian dari plankton hewani (zooplankton) yang terdapat disuatu perairan. Secara spesifik, makanan ikan layang terdiri dari cepepoda 39%, crustacea 31% dan organisme lainnya 30%.
50
Klasifikasi ikan layang menurut Saanin (1984) sebagai berikut. Phyllum
: Chordata
Sub phyllum : Vertebrata Class
: Pisces
Sub Clas
: Teleostei
Ordo
: Percomorphi
Sub Ordo
: Percoidea
Divisi
: Perciformes
Sub Ordo Genus Species
: Carangi : Decapterus : Decapterus russelli, (Rupped) Decapterus macrosoma, (Sleeker) Decapterus maruadsi (Tamminck dan Schlgel)
Makanan utama zooplankton, terkadang juga ikan kecil seperti ikan teri (Stolephorus spp) dan japuh (Dussumteria acuta) (Nontji 1993).
Ikan ini
ditangkap dengan menggunakan jaring insang, mini purse seine, dan bagan tancap.
Gambar 13 Ikan Layang ( Decapterus) (Balai Penelitian Perikanan Laut, 1992) 5) Kembung (Rastrelliger spp) Ciri ikan kembung (Rastrelliger spp) secara umum yaitu badan berbentuk cerutu, tubuh dan pipinya ditutupi oleh sisik-sisik kecil, bagian dada agak lebih besar dari bagian lain (Gambar 14). Mata mempunyai kelopak yang berlemak. Gigi yang kecil terletak ditulang rahang. Tulang insang dan banyak sekali terlihat seperti bulu jika mulut terbuka. Mempunyai dua buah sirip punggung (dorsal), sirip punggung pertama terdiri dari jari-jari lemah dan sama dengan sirip dubur (anal) tidak mempunyai jari-jari keras. Lima sampai enam sirip tambahan (finlet) terdapat di belakang sirip dubur (anal) dan sirip punggung (dorsal) kedua.
51
Bentuk sirip ekor (caudal) bercagak dalam. Sirip dada (pectoral) dengan dasar agak melebar dan sirip perut terdiri atas satu jari-jari keras dan jari-jari lemah (Saanin 1984). Klasifikasikan ikan kembung sebagai berikut. Phyllum : Chordata Sub phyllum : Vertebrata Class
: Pisces
Sub Clas : Teleostei Ordo
: Percomorphi
Sub Ordo Famili Genus
: Scombridae : Schombridae : Rastrelligerecapterus
Species : Rastrelliger brachysoma, (Bleeker) Rastrelliger kanakurta, (Cuvier) Decapterus maruadsi (Tamminck dan Schlgel)
Gambar 14 Ikan Kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma) (Balai Penelitian Perikanan Laut, 1992) Ikan kembung lelaki (Rastrelliger kanagurta) memiliki satu noda hitam di belakang sirip dada sedangkan ikan kembung perempuan (Rastrelliger neglectus) tidak ada noda hitam. Perbedaan lain yaitu pada kembung lelaki terdapat 2 baris bulatan hitam di bawah sirip punggung dan garis hitam membujur sepanjang badan sedangkan pada kembung perempuan hanya terdapat baris bulatan-bulatan hitam dan tidak ada garis hitam. Panjang tubuh mencapai 35 cm (Saanin, 1984). Ikan kembung lelaki (Rastrelliger kanagurta) biasanya ditemukan di perairan yang jernih dan agak jauh dari pantai dengan kadar garam lebih dari 32o/oo sedangkan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma) dijumpai didekat perairan pantai dengan kadar garam lebih rendah (Nontji, 1993). Penyebaran utama ikan kembung (Rastrelliger spp) perairan Barat, Timur dan Selatan Kalimantan serta Malaka (Direktorat Jenderal Perikanan, 1997).
52
6) Selar (Selaroides spp) Jenis-jenis ikan selar (Selaroides spp) yang tertangkap di perairan Indonesia dan tercatat di dalam data statistik perikanan Indonesia, yaitu selar bentong (Selar crumenopthalmus) dan selar kuning (Selaroides leptolepsis) (Nontji 1993). Klasifikasi selar menurut Saanin (1984) sebagai berikut. Phyllum : Chordata Sub phyllum : Vertebrata Class
: Pisces
Sub Clas : Teleostei Ordo
: Percomorphi
Famili
: Carangidae
Sub Famili : Caranginae Divisi Genus
: Perciformes : Caranx
Sub Genus : Selar Species : Selar crumenophthlmus Selarouides leptolepsis
Gambar 15 Ikan Selar (Selaroides spp) (Balai Penelitian Perikanan Laut, 1992) Selar kuning (Selaroides leptolepsis) memiliki bentuk badan lonjong, pipih dengan sirip punggung (dorsal) pertama berjari-jari keras delapan buah, sedangkan yang keduanya berjari-jari keras satu buah dengan jari-jari lemah 15 buah (Gambar 15). Sirip duburnya (anal) terdiri atas dua jari-jari lemah. Tapis insang pada busur insang pertama bagian bawah berjumlah 26 buah. Garis rusuk membusur, memiliki 25-34 sisik (scute). Selar bentong (Selar erumenophthalmus) memiliki bentuk yang hampir sama tetapi dapat dibedakan dari matanya yang berukuran lebih besar (Ditjen Perikanan 1997 diacu dalam Wiyono 2001)
53
Perbedaan mendasar lainnya terletak pada jumlah jari-jari pada sirip dubur (anal) dan sirip punggung (dorsal), jumlah tapis insang, jumlah sisik duri. Jarijari keras sirip punggung (dorsal) pertama ada sembilan buah (satu yang terdepan mengarah kebagian muka), sedangkan yang kedua berjari-jari keras satu dan jarijari lemah 24-26 buah. Sirip dubur (anal) terdiri atas dua jari-jari keras yang terpisah dan satu jari-jari keras yang tersambungdengan 21-23 buah jari-jari lemah. Garis rusuk bagian depan sedikit membusur kemudian lurus pada bagian belakangnya dengan sisik dun (scule) berjumlah 32-38 buah. Kedua jenis ikan ini memakan ikan-ikan kecil dan udang kecil. Hidup secara bergerombol disekitar pantai dangkal, sedangkan Selar crumnophthalmus hidup sampai kedalaman 80 meter. Penangkapan ikan selar menggunakan alat tangkap pancing, pukat selar, purse seine, sero, jaring insang dan bagan tancap. 7) Teri (Stelephorus spp) Stelophorus spp termasuk ikan pelagis kecil yang menghuni pesisir. Pada umumnya hidup bergerombol sampai ratusan atau ribuan individu, terutama untuk jenis-jenis ukuran kecil. Sebaliknya yang berukuran besar cenderung untuk hidup soliter, hanya pada bulan-bulan tertentu dapat tertangkap dalam gerombolan kecil sekitar 100-200 ekor. Teri banyak memakan berbagai jenis plankton, meskipun komposisinya tidak selalu sama untuk setiap species (Nontji, 1993). Pada ukuran 40 mm, ikan ini umumnya memanfaatkan fitoplankton dan zooplankton berukuran kecil. Teri yang berukuran lebih dari 40 mm, banyak memanfaatkan zooplankton ukuran besar (Gambar 16) Secara morfologi Teri memiliki ciri-ciri badan memanjang, mulut tumpul, rahang bawah lebih pendek dari rahang atas, antara sirip dada dan sirip perut terdapat scute yang disebut ventral scute, warna punggung agak gelap sedang badan tidak berwarna.
Panjang badan umumnya antara 9-12 cm.
Daerah
penyebaran di perairan dekat pantai, dimana terjadi proses penaikan air (upwelling).
Ikan teri dapat membentuk biomassa yang sangat besar dan
merupakan sumberdaya yang poorly behaved, karena makanan utamanya adalah plankton, sehingga kelimpahan sangat tergantung kepada faktor-faktor lingkungan (Saanin. 1984).
54
Teri (Stolephorus spp) terdapat diseluruh perairan pantai Indonesia dengan nama yang berbeda-beda seperti : teri (Jawa), bilis (Sumatera dan Kalimantan), dan puri (Ambon). Sedikitnya ada sembilan jenis teri (Stolephorus spp) yang terdapat diperairan Indonesia yaitu: Stelephorus heterolobus, Stelephorus devisi, Stelephorus baganensis, Stelephorus dubiousus, Stelephorus indicus, Stelephorus commersonii, Stelephorus insularis dan Stelephorus buccaneezi. Ada pula yang berukuran besar seperti Stolephorus commersonii dan Stolephorus indicus yang dikenal sebagai teri kasar dengan ukuran tubuh dapat mencapai 17,5 cm (Nontji 1993). Klasifikasi teri menurut Saanin (1984) sebagai berikut. Phyllum
: Chordata
Sub phyllum : Vertebrata Class
: Pisces
Sub Clas
: Teleostei
Ordo
: Malacopterygii
Famili Sub Famili Genus Species
: Clupeidae : Engraulinae : Stelophorus : Stelophorus spp
Gambar 16 Ikan Teri (Stolephorus commersonii) (Balai Penelitian Perikanan Laut, 1992)
5
5.1
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
5.1.1 Karakteristik nelayan responden (a)
Umur Berdasarkan struktur umur 96 % nelayan responden dari 186 orang berusia
antara 16 – 55 tahun (Tabel 14). Kelompok usia dominan responden berkisar antara 26 – 35 sebanyak 62 orang.
Hal ini menggambarkan sebagian besar
nelayan di Teluk Apar termasuk dalam kategori usia produktif. Karakteristik SDM perikanan tangkap berdasarkan sebaran umur sekitar 70% berada pada kisaran usian produktif, yaitu 20-30 tahun (Pusdiklat Perikanan DKP, 2005). Pada rentang usia tersebut umumnya seseorang memiliki keterampilan dan ketangguhan fisik dan mental yang baik untuk menjalankan suatu pekerjaan (Effendi dan Noor, 1995). Tabel 14. Jumlah Nelayan Responden berdasarkan Umur. Umur J u m l a h (orang) 16 - 25 31 26 - 35 62 36 - 45 48 46 - 55 35 > 55 10 Jumlah 186 Sumber : Data primer diolah, 2007 (b)
Prosentase (%) 17 33 26 19 05 100
Pendidikan Struktur pendidikan masyarakat nelayan di Teluk Apar umumnya tergolong
rendah.
Sebanyak 60,21% nelayan responden hanya tamat SD, bahkan dari
jumlah total respon terdapat 11 orang yang tidak bersekolah (Tabel 15). Besarnya proporsi level pendidikan rendah nelayan responden menggambarkan bahwa kualitas sumberdaya manusia (nelayan) di lokasi penelitian masih rendah. Hal ini membuat kemampuan menyerap teknologi dan inovasi di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) kelautan serta daya nalar yang dimiliki rendah, ditambah lagi dengan keterbatasan modal usaha sehingga mengakibatkan para nelayan terus terbelit dengan kemiskinan.
56
Kualitas sumberdaya manusia faktor penting yang harus diperhatikan dalam pengelolaan
sumberdaya
perikanan
kaitannya
dengan
perikanan
yang
berkelanjutan (Nikijuluw, 2002). Untuk dapat menghasilkan sumberdaya manusia (SDM) kelautan yang handal dibutuhkan waktu dan kemauan, Oleh karena itu peran serta semua pihak sangat diharapkan terutama dalam bentuk pembinaan, pendidikan dan penyediaan sarana pendidikan bagi masyarakat nelayan harus ditingkatkan. Tabel 15 Jumlah Nelayan Responden berdasarkan Tingkat Pendidikan Tingkat Pendidikan Jumlah (orang) Tidak Sekolah 11 Tamat SD 112 Tamat SMP 41 Tamat SMA 20 Jumlah 186 Sumber : Data primer diolah, 2007 (c)
Prosentase (%) 07 60 22 11 100
Pengalaman Keberhasilan operasi penangkapan dipengaruhi oleh berbagai faktor, satu
diantaranya pengalaman. Sebanyak 72% (133 orang) dari jumlah total nelayan responden berpengalaman lebih dari 10 tahun (Tabel 16) . Pengalaman dengan waktu yang cukup lama tentu menjadikan nelayan semakin terampil dalam melakukan aktivitasnya, akan tetapi hasil penelitian menunjukkan pengalaman yang dimiliki belum memberikan perubahan yang sangat berarti pada usaha penangkapan, khususnya dalam memanfaatkan teknologi baru untuk penangkapan (Putra, 2004). Hal ini terjadi karena berbagai keterbatasan. Faktor potensial sebagai pembatas tersebut yaitu modal dan pendidikan. Tabel 16. Jumlah Nelayan Responden berdasarkan Pengalaman Sebagai Nelayan Pengalaman (th) Jumlah (orang) 01 - 10 53 11 - 20 54 21 - 30 36 31 - 40 31 > 40 12 Jumlah 186 Sumber : Data primer diolah, 2007
Prosentase (%) 28 29 19 17 07 100,00
57
(d)
Kapal Penangkapan Ikan Nelayan di Teluk Apar dalam melakukan operasi penangkapan umumnya
menggunakan kapal motor. Sebesar 97% (180 orang) dari jumlah total responden menggunakan sarana penangkapan kapal motor dengan kapasitas 1 – 1,5 GT (Tabel 17). Tabel 17. No.
Jumlah Nelayan Responden berdasarkan Jenis Alat yang Digunakan dan Kapasitas Kapal Jenis Alat Tangkap
1 2 3 4 5 6 7
Purse seine Jaring Insang Hanyut Jaring Insang Dasar Jaring Tiga Lapis Bagan Tancap Rawai Hanyut Jermal J umlah Sumber : Data primer diolah, 2007
Kapasitas Kapal (GT) 10 - 15 1 - 1,5 1 - 1,5 1 - 1,5 1 - 1,5 1 - 1,5 1 - 1,5
Jumlah Prosentase responden (%) 6 3 23 12 23 12 101 55 5 3 22 12 6 3 186 100
Kelimpahan sumberdaya ikan Analisis kelimpahan sumberdaya ikan di lakukan dengen metode Schaefer pada ikan pelagis dan ikan demersal dengan menggunakan data sekunder selama kurun waktu sepuluh tahun (1996-2005) 5.1.2.1 Ikan pelagis Perkembangan produksi ikan pelagis mulai tahun 1996-1997 terjadi penurunan sebesar 3,7 ton.
Selanjutnya pada periode 1998–2001 produksi
mengalami peningkatan rata-rata sebesar 163,4 ton dari produksi 1567,7 ton2.345,4 ton.
Perkembangan produksi tahun 2001-2005 kembali mengalami
penurunan hingga mencapai 1712,0 ton (Lampiran 4).
Secara umum trend
perkembangan produksi pada tahun 1996-2005 meningkat (Gambar 17) .
58
2500
Produksi (ton)
2250 2000 1750 1500 1250 1000 750 500 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Tahun
Gambar 17 Perkembangan produksi ikan pelagis di Teluk Apar Upaya penangkapan antara tahun 1996-1999 meningkat. Pada tahun 20002005 menurun hingga dibawah jumlah upaya pada tahun 1999 (Lampiran 4). Secara umum upaya penangkapan menurunan (Gambar 18).
Upaya (trip)
12000 10000 8000 6000 4000 2000 0 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Tahun
Gambar 18 Perkembangan upaya penangkapan ikan pelagis di Teluk Apar Pada hasil analisis diperoleh nilai pemanfaatan lestari (MSY) ikan pelagis sebesar 2.039 ton/tahun dan upaya penangkapan optimal (fopt) sebesar 6.584 trip pertahun setara purse seine (Lampiran 5). Dibandingkan produksi hasil tangkapan pada tahun 2005 sebesar 1.712 ton tingkat pemanfaatan baru mencapai 83,96% dari produksi optimal pada kondisi lestari. Jumlah upaya penangkapan pada tahun 2005 mencapai 8.052,78 trip pertahun atau sekitar 122,31% dari upaya penangkapan optimal.
Hal ini menggambarkan upaya yang dilakukan telah
melampaui upaya tangkap optimal. Sedangkan tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis di Teluk Apar belum berlebih secara biologi (overfishing).
59
Hubungan jumlah effort terhadap produksi (Gambar 19) serta hubungan effort terdahap CPUE dengan pendekatan Schaefer (Gambar 20). 2001
2500
1999
2000
2000
1998 2002
CATCH
1996
1500
2003
2004
2005 1997
1000
y = 0.0695x + 1314.8 2
R = 0.3072 500
0 0
2000
4000
6000
8000
10000
12000
EFFORT
Gambar 19 Hubungan effort terhadap produksi dengan pendekatan Schaefer 0.7 0.6
y = -4E-05x + 0.5878 R2 = 0.7284
1996
CPUE
0.5 0.4 2001 2003
0.3
2004
2000
2002 0.2
1997
2005
1999 1998
0.1 0 0
2000
4000
6000
8000
10000
12000
EFORT
Gambar 20 Hubungan effort terhadap CPUE dengan pendekatan Schaefer Secara keseluruhan hubungan antara upaya, produksi, tingkat pemanfaatan, tingkat pengupayaan, MSY dan Fmsy ikan pelagis dapat dilihat pada kurva (Gambar 21). Pada Gambar tersebut terlihat produksi hasil tangkapa ikan pelagis pernah melampaui batas produksi lestari yang terjadi pada tahun 1999 sebesar (2.162 ton) dan tahun 2001 (2.345 ton).
Demikian pula dengan upaya
penangkapan tahun 1997-2001 dan tahun 2005 telah melebihi batas upaya tangkap optimum.
60
2500
2001
1999
MSY = 2.039 PRODUKSI (TON)
2000
2000 2002
1996
1500
1997
2005
1998
2004
2003 1000
fopt = 6.584
500 0 0
2000
Gambar 21
4000
6000 8000 EFFORT
10000
12000
14000
Status produksi dan upaya penangkapan ikan pelagis di Teluk Apar, MSY = 2.039 ton fopt= 6.584 trip
5.1.2.2 Ikan demersal Produksi ikan demersal tahun 1996-1998 terjadi penurunan dari 2.979,1 ton sampai 2.857,4 ton. Produksi meningkat sebesar 363,8 ton pada tahun 1999 menjadi 3.221,2 ton.
Selanjutnya pada periode tahun 2000-2005 produksi
menurun hingga mencapai 2.496,4 ton dibawah produksi pada tahun 1999 sebesar 3.221,2 ton (Lampiran 10). Perkembangan produksi secara umum menunjukkan trend menurun (Gambar 22). 3500 3000
Produksi (ton)
2500 2000 1500 1000 500 0 1996 1997
1998 1999 2000 2001 2002 Tahun
2003 2004 2005
Gambar 22 Perkembangan produksi ikan demersal di Teluk Apar Upaya penangkapan mulai tahun 1996-1999 upaya penangkapan turun dari 88.077,5 trip menjadi 81.172,3 trip.
Tahun 2000-2002 meningkat hingga
mencapai upaya tertinggi sebesar 157.150,6 trip. Kondisi ini tidak bertahan lama karena pada tahun 2003-2005 upaya kembali menurun hingga sebesar 81.885,7
61
(Lampiran 10). Upaya penangkapan secara umum menunjukkan trend terjadi
Upaya (trip)
peningkatan (Gambar 23) 180000 160000 140000 120000 100000 80000 60000 40000 20000 0 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Tahun
Gambar 23 Perkembangan upaya penangkapan ikan demersal di Teluk Apar Berdasarkan hasil analisis dengan model Schaefer diperoleh nilai produksi optimum lestari (CMSY) ikan demersal sebesar 2.677,2 ton dan upaya penangkapan optimum (fMSY) sebesar 101.717 trip (Lampiran 11). Produksi ikan demersal tahun 2005 sebesar 2.496,4 ton dengan upaya penangkapan 88.076,5 trip. Tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan demersal telah mencapai 93,25%, sedangkan upaya penangkapan telah berada pada tingkat 80,50% terhadap upaya optimum (fMSY). Dibandingkan produksi dan upaya tahun 2005 masih lebih rendah, namun kondisinya telah mendekati batas tangkapan lestari.
Hubungan jumlah effort
terhadap produksi (Gambar 24), dan hubungan effort terhadap CPUE dengan pendekatan Schaefer (Gambar 25). GRAFIK HUBUNGAN EFFORT DENGAN HASIL TANGKAPAN 3500
1999 y = -0.0049x + 2976.8 1996 1998 R2 = 0.0942 1997 2005 2001 2002
3000
CATCH
2500 2000
2004
2000
2003
1500 1000 500 0 0
50000
100000
150000
200000
EFFORT
Gambar 24 Hubungan upaya penangkapan, produksi pendekatan (Schaefer)
CPUE
62 0,045 0,04 0,035 0,03 0,025 0,02 0,015 0,01 0,005 0
y = -3E-07x + 0,0526 R2 = 0,6752
0
50000
100000 EFORT
150000
200000
Gambar 25 Hubungan upaya dan CPUE dengan pendekatan Schaefer Adapun hubungan secara keseluruhan antara upaya, produksi, tingkat pemanfaat, tingkat pengupayaan, MSY dan Fmsy ikan demersal dapat dilihat pada kurva (Gambar 26).
Pada Gambar 26 dapat dilihat produksi dan upaya
penangkapan tahun 2005 belum mencapai batas optimum lestari. Namun pada periode tahun sebelumnya yaitu 1996 (2.979,1 ton), 1998 (2.857,4 ton) dan 1999 (3.221,2 ton) produksi hasil tangkapan ikan melebihi tingkat produksi optimum, demikian pula pada upaya penangkapan pada tahun 2002 (157.150,6 trip) dan tahun 2003 (116.817,4 trip).
PRODUKSI (TON)
3500
1999
MSY = 2.677
3000
1996 1998 2005
2500 2004 2000
2001 2003 2000
2002
1500 fopt = 101.717
1000 500 0 0
20000
40000
60000
80000
100000
120000 140000 160000
180000 200000
EFFORT
Gambar 26
Status produksi dan upaya penangkapan ikan demersal di Teluk Apar. MSY = 2.677,2 ton fopt= 101.717 trip
63
5.1.3
Produktivitas unit penangkapan
1) Purse seine (gae) Perkembangan produksi dan upaya alat tangkap purse seine selama periode tahun 1996-2005 dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18 Produksi, Upaya Penangkapan dan Produktivitas Purse Seine Tahun Produksi (ton) Upaya (trip) Produktivitas (ton/trip) 1996 568,6 978 0,5814 1997 682,7 3.070 0,2224 1998 852,9 4.640 0,1838 1999 1.067,2 4.921 0,2169 2000 1.195,3 4.642 0,2575 2001 1.407,8 4.133 0,3406 2002 742,9 2.661 0,2792 2003 524,8 1.123 0,4673 2004 360,7 1.332 0,2707 2005 764,5 3.596 0,2125 Rata-rata 680,2 3109,6 0,3032 Sumber : Diolah dari Dinas Perikanan dan Sumberdaya Kelautan Kabupaten Pasir, 2005. Tahun 1996-2001 produksi hasil tangkapan purse seine (gae) mengalami peningkatan dari 568,6 ton menjadi 1.407,8 ton. Peningkatan hasil tangkapan pada periode tersebut didukung oleh meningkatnya jumlah alat tangkap purse seine (Tabel 13). Perkembangan selanjutnya dari tahun 2002-2005 produksi hasil tangkapan menurun hingga mencapai 1.407,8 ton dan terendah sebesar 360,7 ton pada tahun 2004. Secara umum produksi hasil tangkapan purse seine terjadi penurunan (Gambar 27). 1600 1400
Produksi (ton)
1200 1000 800 600 400 200 0 1996
1997
1998 1999
2000
2001
2002 2003
2004
Tahun
Gambar 27 Perkembangan produksi purse seine
2005
64
Upaya penangkapan pada alat tangkap purse seine secara umum menunjukkan trend perkembangan yang semakin menurun (Gambar 28). Hal ini bisa terjadi karena jumlah alat tangkap purse seine menurun sejak tahun 19992005 (Tabel 13). Selain itu juga karena faktor-faktor pada parameter oseanografi mengalami dinamika setiap saat yang mempengaruhi kondisi perairan secara umum dan daerah penangkapan pada khususnya. Pada Tabel 18 terlihat upaya penangkapan meningkat mulai tahun 19961999 menacapi 4.921 trip.
Tahun berikutnya upaya penangkapan terus
mengalami penurunan hingga tahun 2005 menjadi 3.596 trip. Namun upaya tersebut masih berada diatas rata-rata upaya penangkapan dalam kurun waktu 1996-2005 yaitu sebesar 7.909,6 trip. 5000 4500
Upaya (trip)
4000 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 1996
1997
1998
1999
2000 2001 Tahun
2002
2003
2004
2005
Gambar 28 Perkembangan upaya penangkapan purse seine 2) jaring insang hanyut Produksi hasil tangkapan ikan dari alat tangkap jaring insang hanyut selama periode 1996-2005 mengalami penurunan (Gambar 29).
Produksi
tertinggi diperoleh pada tahun 1999 sebesar 950,1 ton sedang hasil tangkapan paling rendah sebesar 558,1 ton pada tahun 2003.
Menurunnya produksi
berhubungan erat dengan perkembangan jaring insang hanyut. Pada tahun 19962003 jumlah alat tangkap jaring insang hanyut menurun (Tabel 13). Meskipun antara tahun tersebut jumlahnya mengalami fluktuasi namun tidak melebihi jumlah alat tangkap pada tahun 1996 sebanyak 240 unit.
Secara lengkap
pencapaian produksi hasil tangkapan selama tahun 1996-2005 disajikan pada Tabel 19.
65
Tabel 19 Produksi, Upaya Penangkapan dan Produktivitas Jaring Insang Hanyut Tahun Produksi (ton) Upaya (trip) Produktivitas (ton/trip) 1996 906,7 15.255 0,0594 1997 789,8 14.473 0,0546 1998 840,1 13.692 0,0614 1999 950,1 13.580 0,0700 2000 599,1 15.223 0,0394 2001 718,9 16.861 0,0426 2002 684,9 22.545 0,0304 2003 558,1 15.972 0,0036 2004 627,7 10.008 0,0627 2005 727,9 11.786 0,0618 Rata-rata 690,3 14.939,5 0,0486 Sumber : Diolah dari Dinas Perikanan dan Sumberdaya Kelautan Kabupaten Pasir, 2006. 1000 900
Produksi (ton)
800 700 600 500 400 300 200 100 0 1996
1997
1998
1999
2000 2001 Tahun
2002
2003
2004
2005
Gambar 29 Perkembangan produksi jaring insang hanyut Upaya penangkapan jaring insang hanyut tahun 1996-2000 turun dari 15.255 trip menjadi 15.223 trip. Tahun berikutnya meningkat mencapai 22.545 trip pada tahun 2002. Selanjutnya mulai tahun 2003-2005 upaya penangkapan turun hingga 11.786 trip. Upaya tertinggi pada tahun 2002 sebesar 22.545 trip dan paling rendah pada tahun 2004 hanya sebesar 10.008 trip. Trend Upaya penangkapan selama kurun waktu 1996-2005 cenderung turun (Gambar 30).
66
25000
Upaya (trip)
22500 20000 17500 15000 12500 10000 7500 1996
1997
1998
1999
2000 2001 Tahun
2002
2003
2004
2005
Gambar 30 Perkembangan upaya penangkapan jaring insang hanyut 3) jaring insang tetap Perkembangan kinerja produksi jaring insang tetap selama tahun 19962005 menurun (Gambar 31). Produksi tahun 2005 hanya sebesar 575,4 ton berada dibawah rata-rata produksi jaring insang tetap. Produksi tertinggi tahun 1996 sebesar 705,4 ton sedangkan terendah mencapai 464,9 ton pada tahun 2003. Perkembangan produksi dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20 Produksi, Upaya Penangkapan dan Produktivitas Jaring Insang Dasar Tahun Produksi (ton) Upaya (trip) Produktivitas (ton/trip) 1996 705,4 20.855 0,0338 1997 612,4 19.790 0,0309 1998 654,9 18.727 0,0350 1999 737,2 18.577 0,0397 2000 468,6 20.961 0,0224 2001 565,0 23.324 0,0242 2002 539,6 36.217 0,0149 2003 464,9 26.916 0,0173 2004 496,2 15.626 0,0318 2005 575,4 18.874 0,0305 Rata-rata 581,96 19.867 0,0280 Sumber : Diolah dari Dinas Perikanan dan Sumberdaya Kelautan Kabupaten Pasir, 2006
67
2750
Produksi (ton)
2500 2250 2000 1750 1500 1250 1996
1997
1998
1999
2000 2001 Tahun
2002
2003
2004
2005
Gambar 31 Perkembangan produksi jaring insang tetap Adapun perkembangan upaya penangkapan selama sepuluh tahun terakhir sangat fluktuatif, namun cenderung meningkat (Gambar 32). Pada empat tahun pertama sejak 1996-1999 terjadi penurunan upaya dari 20855 trip sampai 18577 trip. Upaya meningkat tahun 2000-2002 hingga mencapai 36217 trip. Periode tahun berikutnya upaya penangkapan turun hingga tahun 2005. Upaya tertinggi dilakukan pada tahun 2002 sebesar 36.217 trip dan paling rendah pada tahun 2004
Upaya (trip)
sebesar 15.626 trip. 37500 35000 32500 30000 27500 25000 22500 20000 17500 15000 12500 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Tahun
Gambar 32 Perkembangan upaya penangkapan jaring insang tetap 4) jaring tiga lapis (rengge gondrong) Alat tangkap jaring tiga lapis pada periode 1996-2005 menghasilkan produksi tertinggi sebesar 2.476,7 ton pada tahun 1999. Produksi terendah pada kurun waktu yang sama terjadi pada tahun 2003 sebesar 1.546,6 ton (Tabel 21). Kinerja produksi jaring tiga lapis secara umum menurun (Gambar 33). Kondisi demikian terjadi salah satunya dipengaruhi oleh perkembangan jumlah alat
68
tangkap yang mengalami penurunan (Tabel 13). Sejak tahun 1996-2003 jaring tiga lapis berjumlah 1.028 unit turun menjadi 928 unit. Peningkatan hanya terjadi pada tahun 2004 akan tetapi kembali turun. Tabel 21 Produksi, upaya penangkapan dan produktivitas jaring tiga lapis Tahun Produksi (ton) Upaya (trip) Produktivitas (ton/trip) 1996 2.265,4 20.855 0,0188 1997 1.959,9 19.790 0,0172 1998 2.196,2 18.727 0,0203 1999 2.476,7 18.577 0,0231 2000 1.566,4 20.961 0,0130 2001 1.883,0 23.324 0,0139 2002 1.797,6 36.217 0,0084 2003 1.546,6 26.916 0,0101 2004 1.652,1 15.626 0,0177 2005 1.915,7 18.874 0,0173 Rata-rata 1.925,96 12.758 0,0160 Sumber : Diolah dari Dinas Perikanan dan Sumberdaya Kelautan Kabupaten Pasir, 2006 800 750
Porduksi (ton)
700 650 600 550 500 450 1996
1997
1998
1999
2000 2001 Tahun
2002
2003
2004
2005
Gambar 33 Perkembangan produksi jaring tiga lapis Hal yang sama juga terjadi pada perkembangan upaya penangkapan. Tahun 1996-1999 upaya menurun dari 20855 trip menjadi 18577 trip. Selanjutnya tahun 2000-2003 terjadi penigkatan dari 20961 trip menjadi 26916 trip.
Pada dua tahun terakhir periode 2004 dan 2005 kembali turun hinnga
mencapai 18874 trip. Fluktuasi upaya penangkapan jaring tiga lapis menunjukkan kecenderungan terjadi peningkatan (Gambar 34). Upaya tertinggi sebesar 36.217 trip yang dilakukan pada tahun 2002, terendah pada tahun 15.626 tahun 2004.
69
210000 190000 Upaya (trip)
170000 150000 130000 110000 90000 70000 50000 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Tahun
Gambar 34 Perkembangan upaya penangkapan jaring tiga lapis 5) bagan tancap Hasil tangkapan bagan tancap selama periode tahun 1996-2005 cenderung meningkat (Gambar 35). Produksi tertinggi dicapai sebesar 888,7 ton pada tahun 2003.
Kinerja terendah pada tahun 1997 dengan kontribusi produksi hanya
sebesar 57,5 ton. Produksi tertinggi dihasilkan dari 79 unit bagan tancap dan produksi terendah pada tahun 1997 merupakan produksi yang dihasilkan dari bagan tancap yang berjumlah 78 unit (Tabel 13). Jumlah bagan tancap yang menghasilkan produksi tertinggi dan terendah terlihat tidak jauh berbeda. Hal ini menunjukkan produksi hasil tangkapan bukan hanya ditentukan oleh satu faktor jumlah unit penangkapan.
Perkembangan
produksi dan upaya penangkapan bagan tancap selama periode tahun 1996-2005 seperti pada Tabel 22. Tabel 22 Produksi, Upaya Penangkapan dan Produktivitas Bagan Tancap Tahun Produksi (ton) Upaya (trip) Produktivitas (ton/trip) 1996 72,3 14.969 0,0048 1997 57,5 12.761 0,0045 1998 65,4 10.555 0,0062 1999 90,4 9.640 0,0094 2000 140,1 11.714 0,0120 2001 161,0 13.653 0,0115 2002 136,0 13.298 0,2083 2003 888,7 13.984 0,2695 2004 535,9 10.119 0,0530 2005 144,4 10.045 0,0144 Rata-rata 229,2 9.773 0,0593 Sumber : Diolah dari Dinas Perikanan dan Sumberdaya Kelautan Kabupaten Pasir, 2006
70
1000 900 800 Produksi (ton)
700 600 500 400 300 200 100 0 1996
1997
1998
1999
2000 2001 Tahun
2002
2003
2004
2005
Gambar 35 Perkembangan produksi bagan tancap Demikian pula halnya dengan upaya penangkapan alat tangkap bagan tancap setiap tahun terjadi penurunan dari 14.969 trip tahun 1996 hingga 9.640 trip tahun 1999. Dua tahun berikutnya yaitu tahun 2000-2001 terjadi kenaikan upaya masing masing sebesar 11.714 trip dan 13.984 trip. Upaya penangkapan selanjutnya turun kembali menjadi 653 trip tahun 2002. Pada dua tahun terakhir yaitu 2004 dan 2005 upaya penangkapan meningkat dan diatas rata-rata upaya alat tangkap bagan tancap. Perkembangan upaya penangkapan bagan tancap secara umum menunjukkan terjadinya penurunan (Gambar 36). 15500
Upaya (trip)
14000 12500 11000 9500 8000 6500 5000 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Tahun
Gambar 36 Perkembangan upaya penangkapan bagan tancap 6) rawai hanyut Perkembangan produksi dan upaya penangkapan rawai hanyut dari tahun 1996-2005 disajikan pada Tabel 23. Secara umum kinerja alat tangkap rawai hanyut dalam pencapaian produksi cenderung meningkat (Gambar 37). Trend peningkatan produksi terjadi tahun 1996-2002 dari 23,8 ton hingga 86,9 ton.
71
Sampai dengan tahun 2005 hasil tangkapan turun hingga mencapai 75,2 ton. Produksi tertinggi rawai hanyut pada tahun 2002 sebesar 86,9 ton terendah sebesar 23,8 ton tahun 1996. Tabel 23 Produksi, Upaya Penangkapan dan Produktivitas Rawai Tahun Produksi (ton) Upaya (trip) Produktivitas (ton/trip) 1996 23,8 2.941 0,0081 1997 37,7 3.303 0,0114 1998 46,0 3.672 0,0125 1999 54,2 3.451 0,0157 2000 50,0 3.497 0,0143 2001 57,7 3.726 0,0155 2002 86,9 6.407 0,0284 2003 24,1 3.059 0,0015 2004 77,7 7.922 0,0098 2005 75,2 10.510 0,0072 Rata-rata 53,3 5.848 0,0124 Sumber : Diolah dari Dinas Perikanan dan Sumberdaya Kelautan Kabupaten Pasir, 2006 95 85
Produksi (ton)
75 65 55 45 35 25 15 1995 1996 1997
1998 1999 2000 2001 2002 Tahun
2003 2004 2005
Gambar 37 Perkembangan produksi rawai Upaya penangkapan secara umum menunjukkan trend meningkat (Gambar 38). Pada tahun 1996-2002 upaya penangkapan rata-rata hanya berkisar 3378 trip, upaya ini jauh berada dibawah rata-rata upaya penangkapan selama kurun waktu 1996-2005.
Trip penangkapan tahun 2005 merupakan upaya penangkapan
tertinggi yaitu sebesar 10.510 trip, dan trip terendah sebanyak 2.941 trip pada tahun 1996.
72
9000 8000 7000 Upaya (trip)
6000 5000 4000 3000 2000 1000 0 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Tahun
Gambar 38 Perkembangan upaya penangkapan rawai 7) jermal (togo) Produksi hasil tangkapan jermal tertinggi dalam kurun waktu 1996-2005 yaitu pada tahun 1996 sebesar 8,3 ton (Tabel
24).
Pada perkembangan
selanjutnya produksi mengalami fluktuasi namun tidak melebihi jumlah produksi tahun 1996. Pada tahun 2002 merupakan produksi paling rendah yang dihasilkan oleh unit penangkapan jermal sebesar 4,2 ton.
Secara umum perkembangan
kinerja unit penangkapan jermal dalam pencapaian produksi menurun (Gambar 39). Tabel 24 Produksi, Upaya Penangkapan dan Produktivitas Jermal Tahun Produksi (ton) Upaya (trip) Produktivitas (ton/trip) 1996 8,3 6.456 0,0013 1997 5,7 5.649 0,0010 1998 6,3 4.843 0,0013 1999 7,3 4.127 0,0018 2000 7,0 4.859 0,0014 2001 7,8 5.530 0,0014 2002 4,2 1.238 0,0034 2003 6,2 1.107 0,0056 2004 5,5 3.384 0,0016 2005 5,3 3.556 0,0015 Rata-rata 6,4 3.976 0,0035 Sumber : Diolah dari Dinas Perikanan dan Sumberdaya Kelautan Kabupaten Pasir, 2006
73
10
Produksi (ton)
9 8 7 6 5 4 3 2 1996 1997
1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Tahun
Gambar 39 Perkembangan produksi jermal Hal yang sama terjadi pula pada upaya penangkapan, secara umum terjadi penurunan (Gambar 40). Walaupun terjadi fluktuasi upaya namun tidak melebihi jumlah upaya penangkapan pada tahun 1996 sebesar 6.546 (Tabel 24). Upaya tertinggi yang dilakukan yaitu pada tahun 1996 sebanyak 6.456 trip. Sedangkan upaya terendah pernah dilakukan dengan hanya sebesar 1.107 trip yaitu pada
Upaya (trip)
tahun 2003. 7000 6500 6000 5500 5000 4500 4000 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 0 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Tahun
Gambar 40 Perkembangan upaya penangkapan jermal 5.1.4
Analisis pasar
5.1.4.1 Pola pemasaran Pemasaran merupakan keseluruhan kegiatan usaha yang ditujukan untuk merencanakan, menentukan harga, mempromosikan dan mendistribusikan barang dan jasa dari perikanan agar dapat memuaskan kebutuhan pembeli yang ada maupun potensial (Swasta, 1981). Dengan demikian pemasaran hasil perikanan dapat dipahami sebagai kegiatan ekonomi yang membawa atau menyampaikan
74
barang dari produsen dalam hal ini nelayan sampai ke konsumen baik industri pengolahan ikan maupun konsumen akhir. Pemasaran hasil perikanan sebagai sub sistem ekonomi perikanan memegang peranan penting dalam pengembangan usaha perikanan dan peningkatan nilai jual produksi perikanan.
Para pihak yang berperan dalam
pemasaran ikan di Teluk Apar yaitu nelayan, pedagang pengumpul, punggawa (juragan) dan perusahaan. Banyaknya para pihak yang terlibat dalam pemasaran menyebabkan pola atau alur pemasaran ikan turut beragam. Keragaman tersebut kemudian memberikan bentuk pola pemasaran khusus (Gambar 41). Nelayan
Pengumpul
Pengecer
*)
Pengecer
Punggawa
Konsumen
Pengecer
Agen
Agen
Pedagang Antar Pulau/Kota
Pedagang Antar Pulau/Kota
Perusahaan
Perusahaan
lokal
regional
ekspor
Gambar 41 Alur pemasan komoditi ikan di Teluk Apar Keterangan: Alur pemasaran (1) Alur pemasaran (2) Alur pemasaran (3) Alur pemasaran (4) Alur pemasaran (1) nelayan yang memasarkan hasil tangkapannya kepada pengecer. Pada alur ini umumnya kuantitas produk yang dipasarkan sedikit dan keuntungan yang di peroleh juga rendah.
Pada alur (2) pihak yang sangat
berperan adalah pedagang pengumpul dan punggawa (juragan).
Komoditi
perikanan yang telah mereka kumpulkan dari para nelayan kemudian dipasarkan di pasar lokal (pengecer). Pola alur (2) jumlah ikan yang dipasarkan biasanya terbatas tetapi mendapatkan keuntungan yang tinggi.
75
Alur pemasaran (3) nelayan menjual langsung hasil tangkapannya baik kepada pedagang pengumpul maupun punggawa.
Pada pola ini nelayan
mendapatkan keuntungan sangat rendah tetapi sebaliknya kuantitas produk yang dipasarkan sangat tinggi. Kondisi yang sangat diharapkan oleh para nelayan namun di rasakan masih sulit dapat terwujud seperti pada alur (4). Pada alur pemasaran (4) jumlah ikan yang dijual banyak dan keuntungan yang diperoleh tinggi. Keadaan tersebut hanya dirasakan oleh para punggawa. Ikan yang terkumpul dipasarkan ke perusahaan, keluar kota/pulau dan para agen yang mewakili perusahaan. Beberapa jenis komoditi ikan yang dihasilkan di Teluk Apar dan harga rata-rata yang berlaku diwilayah studi (Tabel 25). Tabel 25 Jenis Ikan dan Harga Rata-rata Minimal Per Kilogram di Teluk Apar No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Nama Ikan Umum/lokal Tongkol Layang Tenggiri Kembung Selar Teri Tembang Kakap Sumbal Bawal Menangin Trakulu Udang Windu Udang Putih Udang Jari Udang Belang
Latin Auxis sp Decapterus Scomberomus commersoni Rastrelliger spp Selaroides spp Stelephorus spp Sardinella sp Lates calcarifer Eleutheronema sp Stromateus sp Eleutheronema tetradactylum Caranx sp Penaeus monodon Penaeus merguensis Penaeus indicus longirostris Parapenaeopsis sculptisis
Harga (Rp/kg) 8.000,8.000,10.000,7.500,4.000,4.000,6.500,10.000,35.000,20.000,8.000,7.000,70.000,35.000,12.000,20.000,-
Pangsa Pasar L R E * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
Sumber : Data primer diolah, 2007 Keterangan : L=Lokal; R= Regional; dan E= Ekspor 5.1.4.2 Permintaan pasar Ikan merupakan salah satu komoditas unggulan yang memberikan kontribusi yang sangat besar dalam penyediaan protein hewani, oleh karenanya ikan memiliki pangsa pasar yang sangat besar dan luas mulai dari daerah terpencil hingga kota-kota besar. Faktor kemudahan serta harga yang relatif terjangkau menyebabkan ikan menjadi kebutuhan protein hewani favorit setiap keluarga, berbeda dengan sumber protein hewani lainnya seperti ayam dan sapi. Oleh karena itu permintaan ikan terus mengalami peningkatan.
76
Peningkatan permintaan terjadi seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk. Hal ini dapat diketahui dari konsumsi per kapita per tahun terhadap produk perikanan terus meningkat. Oleh karena itu dalam rangka pengembangan teknologi penangkapan perlu sekali dilakukan perhitungan peramalan dan prediksi jumlah permintaan (konsumsi) ikan di suatu daerah. Beberapa asumsi yang digunakan dalam peramalan untuk menghitung permintaan potensial penduduk Balikpapan dan Kalimantan Timur terhadap komoditi ikan dari Teluk Apar sebagai berikut. 1. Perhitungan permintaan potensial komoditi ikan diperoleh dari jumlah penduduk di wilayah tersebut dikalikan dengan konsumsi ikan per kapita per tahun. 2. Data konsumsi ikan per kapita per tahun Kalimantan Timur diperoleh dari Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Kalimantan Timur untuk kurun waktu 2003-2005. Data konsumsi ikan per kapita per tahun Balikpapan diperoleh dari Kantor Perikanan dan Kelautan Balikpapan untuk kurun waktu tahun 2001-2005. 3. Konsumsi ikan per kapita Kalimantan Timur mulai tahun 2003-2005 yaitu 43,90 kg/kapita; 45,94 kg/kapita dan 47,96 kg/kapita. 4. Konsumsi ikan per kapita Balikpapan secara berturut-turut mulai tahun 20012005 yaitu 25,30 kg/kapita; 25,35 kg/kapita; 26,03 kg/kapita; 25,23 kg/kapita dan 26,79 kg/kapita. 5. Faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah permintaan dianggap tetap kecuali konsumsi dan jumlah penduduk. 6. Data konsumsi ikan Kalimantan Timur dari tahun 1996-2002 menggunakan data konsumsi ikan per kapita per tahun dari tahun 2003 7. Data konsumsi ikan Balikpapan dari tahun 1996-2000 menggunakan data konsumsi ikan per kapita per tahun mulai tahun 2001 Balikpapan salah satu alternative kota tujuan pemasaran ikan. Aksesibilitas Balikpapan memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya yang ada di wilayah Kalimantan Timur. Satu diantaranya Balikpapan merupakan pintu gerbang arus perdagangan dan jasa baik melalui jalur laut, udara maupun darat. Baik nasional, regional dan internasional.
77
Pemasaran ikan ke Balikpapan hampir terjadi setiap hari baik yang di bawa langsung oleh para punggawa maupun agen dari Teluk Apar.
Jumlah
penduduk Balikpapan terus meningkat setiap tahun mengakibatkan jumlah konsumsi ikan juga mengalami peningkatan. Tabel 26 menunjukkan permintaan potensial komoditi ikan penduduk Balikpapan tahun 1996-2005. Tabel 26 Pemintaan Komoditi Ikan Penduduk Balikpapan Tahun 1996-2005. Jumlah penduduk Konsumsi (jiwa) (kg/kapita//tahun) 1996 417.834 25,30 1997 433.494 25,30 1998 439.079 25,30 1999 442.060 25,30 2000 410.119 25,30 2001 472.641 25,30 2002 482.573 25,35 2003 486.580 26,03 2004 495.314 25,23 2005 500.406 26,79 Sumber : Diolah dari data sekunder 2006 Tahun
Permintaan Potensial (kg) 10.571.200,2 10.967.398,2 11.108.698,7 11.184.118,0 10.376.010,7 11.957.817,3 12.233.225,6 12.665.677,4 12.496.772,2 13.405.876,7
Kalimantan Timur secara umum juga menjadi tujuan pemasaran komoditi ikan dari Kabupaten Pasir (Teluk Apar). Masyarakat Kalimantan Timur sangat gemar mengkonsumsi ikan. Hal ini tercermin dari peningkatan konsumsi ikan di Kalimantan Timur setiap tahun. Peningkatan permintaan terjadi seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk.
Jumlah permintaan potensial komoditi ikan
masyarakat Kalimantan Timur periode 1996-2005 (Tabel 27). Tabel 27 Pemintaan Potensial Kalimantan Timur Pada Komoditi Ikan Tahun 1996-2005. Jumlah Penduduk Konsumsi (jiwa) (kg/kapita/tahun) 1996 2.340.283 43.90 1997 2.441.017 43.90 1998 2.458.942 43.90 1999 2.525.480 43.90 2000 2.451.895 43.90 2001 2.489.988 43.90 2002 2.558.572 43.90 2003 2.704.851 43.90 2004 2.750.369 45.94 2005 2.848.798 47.96 Sumber : Diolah dari data sekunder 2006 Tahun
Permintaan Potensial (kg) 102.738.423,7 107.160.646,3 107.947.553,8 110.868.572,0 107.638.190,5 109.310.473,2 112.321.310,8 118.742.958,9 126.351.951,9 136.628.352,1
78
5.1.4.3 Penawaran pasar Penawaran ikan diperoleh dari data statistik Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Pasir, Kalimantan Timur dan Kota Balikpapan. Produksi ikan Teluk Apar selain untuk memenuhi kebutuhan lokal Kabupaten Pasir juga untuk memenuhi
permintaan
penduduk
Balikpapan
dan
Kalimantan
Timur.
Perkembangan produksi ikan Teluk Apar dan Balikpapan cenderung meningkat (Tabel 28) demikian pula Kalimantan Timur (Tabel 29). Prosentase kontribusi produksi ikan Teluk Apar terhadap Balikpapan rata-rata sebesar 50,52% (Tabel 28). Adapun rata-rata kontribusi produksi Teluk Apar terhadap Kalimantan Timur sebesar 8,02% (Tabel 29). Tabel 28 Jumlah Produksi Ikan Teluk Apar dan Balikpapan Tahun 1996-2005 Produksi (kg) Kontribusi Teluk Apar Terhadap Balikpapan (%) Teluk Apar Balikpapan 1996 6.464.600 12.688.500 50,95 1997 5.829.200 12.376.000 47,10 1998 6.561.700 12.735.000 51,53 1999 7.582.200 12.599.000 60,18 2000 5.755.100 12.609.000 45,64 2001 6.891.700 12.788.000 53,89 2002 5.669.500 12.752.300 44,46 2003 6.893.600 12.986.000 53,09 2004 7.212.900 15.152.500 47,60 2005 6.662.500 13.118.000 50,79 Sumber : Diolah dari dinas Perikanan dan SDK Pasir dan kantor Perikanan dan Kelautan Balikpapan, 2006 Tahun
Tabel 29 Jumlah Produksi Ikan Teluk Apar dan Kalimantan Timur Tahun 1996-2005 Produksi (kg) Kontribusi Teluk Apar terhadap Kalimantan Timur (%) Teluk Apar Kalimantan Timur 1996 6.464.600 75.469,800 8,57 1997 5.829.200 74.689,500 7,81 1998 6.561.700 72.809,300 9,01 1999 7.582.200 78.933,700 9,61 2000 5.755.100 71.936,900 8,00 2001 6.891.700 82.714,500 8,33 2002 5.669.500 84.088,700 6,74 2003 6.893.600 87.803,800 7,85 2004 7.212.900 94.277,800 7,65 2005 6.662.500 99.691,800 6,68 Sumber : Data Dinas Perikanan dan Sumberdaya Kelautan Kabupaten Pasir 2006 Tahun
79
5.1.4.4 Peramalan permintaan dan penawaran Pasar adalah salah satu aspek yang perlu dipetimbangkan untuk melihat layak tidaknya usaha penangkapan sebelum dilakukan pengembangan usaha. Aspek pasar secara garis besar meliputi dua hal pokok yaitu permintaan dan penawaran.
Perikanan tangkap dinyatakan cukup atau sangat prospektif bila
jumlah permintaan lebih besar dari jumlah penawaran atau dapat pula diartikan dengan jumlah konsumsi ikan lebih besar dari jumlah produksinya. Analisis dilakukan dengan metode peramalan (forecasting) data time series dengan menggunakan teknik trend linier terhadap jumlah permintaan dan penawaran penduduk terhadap komoditi ikan. Hasil perhitungan dengan pola trend linier dengan metode kuadrat terkecil diperoleh persamaan untuk peramalan permintaan potensial penduduk Balikpapan yaitu : Y = 11771484 + 164982 x dengan nilai R2 = 0,8116692
(Lampiran
13).
persamaan peramalan permintaan untuk daerah Kalimantan Timur yaitu: Y = 113970843,3 + 1513200,057 x dan nilai R2 = 0,7770566 (Lampiran 15). Dengan menggunakan persamaan diatas untuk perhitungan proyeksi permintaan ikan di Balikpapan dan Kalimantan Timur diperoleh hasil seperti pada Tabel Tabel 30. Tabel 30 Proyeksi Permintaan Potensial Ikan di Balikpapan dan Kalimantan Timur Tahun 2006-2010 Tahun 2006 2007 2008 2009 2010 Sumber:
Proyeksi Permintaan Potensial (kg) Balikpapan Kalimantan Timur 13.586.282,4 130.616.043,9 13.916.245,8 133.642.444,0 14.246.209,2 136.668.844,2 14.576.172,7 139.695.244,3 14.906.136,1 142.721.644,4 Diolah dari data sekunder 2007
Pada Tabel 30 prediksi permintaan konsumsi ikan di Balikpapan hingga tahun 2010 mencapai 14.906.136,1 kg per tahun. Konsumsi ikan di Kalimantan Timur diproyeksikan pada tahun 2010 mencapai 142.721.644,4 kg per tahun. Selain pada permintaan dilakukan pula peramalan terhadap penawaran. Tahap selanjutnya
dilakukan
perbandingkan
penawaran
dan
permintaan
mengetahui usaha penangkapan tersebut layak untuk dikembangkan.
untuk
80
Hasil perhitungan metode peramalan (forecasting) dengan menggunakan pola trend linier dengan metode kuadrat terkecil diperoleh persamaan untuk penawaran ikan di Teluk Apar yaitu : Y = 6.552.300 + 25.833,3 x ; nilai R2 = 0,0597 (Lampiran 17). Balikpapan diperoleh persamaan yaitu : Y = 1185640 + 154316,18 x ; nilai R2 = 0,654026284 (Lampiran 19) sedangkapan Kalimantan Timur persamaannya penawarannya yaitu : Y = 82241580 + 1382821,81 x ; nilai R2 = 0,7958 (Lampiran 21). dari persamaan diatas diperoleh hasil proyeksi penawaran ikan dari Teluk Apar, Balikpapan dan Kalimantan Timur pada periode 2006-2010 (Tabel 31). Tabel 31 Proyeksi Penawaran Ikan dari Teluk Apar, Balikpapan dan Kalimantan Timur Tahun 2006-2010 Tahun 2006 2007 2008 2009 2010 Sumber:
Proyeksi Penawaran Ikan (kg) Teluk Apar Balikpapan Kalimantan Timur 6.836.466,3 13.554.418,0 97.452.619,9 6.881.132,9 13.863.050,4 100.218.263,5 6.939.799,5 14.171.682,8 102.983.907,2 6.991.466,1 14.480.315,1 105.749.550,8 7.043.132,7 14.788.947,5 108.515.194,4 Diolah dari data sekunder 2007
Hasil analisis menunjukkan tingkat perkembangan penawaran komoditi ikan baik Teluk Apar, Balikpapan maupun Kalimantan Timur pada periode tahun 2006-2010 diproyeksikan mengalami peningkatan. Tahun 2010 penawaran Teluk Apar mencapai 7.043.132,7 kilogram sedang Balikpapan dan Kalimantan Timur masing-masing mencapai 14.788.947,5 kilogram dan 108.515.194,4 kilogram. Sebagaimana disebutkan bahwa kelayakan usaha penangkapan ikan dapat dilihat melalui metode peramalan dengan membandingkan permintaan potensial dan penawaran ikan pada masa akan datang. Hasil proyeksi permintaan potensial dan penawaran ikan di Balikpapan dan Kalimantan Timur periode tahun 20062010 (Tabel 32 dan Tabel 33). Perbandingan proyeksi tingkat permintaan dan penawaran komoditi ikan di Balikpapan dan di Kalimantan Timur seperti terlihat pada Gambar 42 dan Gambar 43.
81
Tabel 32 Perbandingan Proyeksi Permintaan, Penawaran dan Peluang Pengembangan Produksi Ikan di Balikpapan Tahun 2006-2010. Proyeksi (kg) Permintaan Penawaran Peluang Pengembangan 2006 13.586.282,4 13.554.418,0 31.864,4 2007 13.916.245,8 13.863.050,4 53.195,4 2008 14.246.209,2 14.171.682,8 74.526,4 2009 14.576.172,6 14.480.315,1 95.857,5 2010 14.906.136,1 14.788.947,5 117.188,6 Sumber : Diolah dari data sekunder Permintaan dan Penawaran (Kg)
Tahun
15.250.000 15.000.000 14.750.000 14.500.000 14.250.000 14.000.000 13.750.000 13.500.000 13.250.000 13.000.000 2006
2007 Permintaan
2008
2009
2010
Penawaran
Gambar 42 Perbandingan permintaan dan penawaran ikan di Balikpapan Tabel 33 Perbandingan Proyeksi Permintaan, Penawaran dan Peluang Pengembangan Produksi Ikan Kalimantan Timur Tahun 2006-2010. Tahun
Permintaan 2006 130.616.043,9 2007 133.642.444,0 2008 136.668.844,2 2009 139.695.244,3 2010 142.721.644,4 Sumber : Diolah dari data sekunder
Proyeksi (kg) Produksi 97.452.619,9 100.218.263,5 102.983.907,2 105.749.550,8 108.515.194,4
Peluang Pengembangan 46.484.494,5 47.040.594,8 47.596.695,1 48.152.795,4 48.708.895,8
Permintaan dan Penawaran (kg)
82
150.000.000 140.000.000 130.000.000 120.000.000 110.000.000 100.000.000 90.000.000 2006
2007
2008
Permintaan
2009
2010
Penawaran
Gambar 43 Perbandingan permintaan dan penawaran ikan di Kalimantan Timur 5.1.5
Analisis finansial Analisis finansial pada alat tangkap yang dioperasikan di Teluk Apar
dilakukan dengan menggunakan beberapa asumsi.
Tujuannya yaitu untuk
meminimalisir penyimpangan dari berbagai komponen analisis agar benefit dan cost dari usaha penangkapan tersebut pada masa kini dan akan datang tetap relevan dengan waktu sekarang (present time). Beberapa asumsi yang digunakan pada uji kelayakan finansial usaha penangkapan di Teluk Apar antara lain : 1. Harga setiap jenis ikan dan investasi perunit penangkapan merupakan harga rata-rata di lokasi studi. 2. Umur teknis (usaha penangkapan) ditetapkan selama 5-16 tahun berdasarkan umur ekonomis dari komponen utama unit penangkapan. 3. Nilai sisa dari usaha perikanan tangkap nol. 4. Biaya investasi dan penyusutan adalah nilai rata-rata dari beberapa unit penangkapan. 5. Penerimaan kas masing-masing unit penangkapan ikan di peroleh dari penjualan hasil tangkapan pertahun dan nilai penyusutan investasi pertahun. 6. Tingkat diskonto atau Opurtunnity Cost of Capital (OCC) yang digunakan tingkat suku bunga kredit perbankkan di wilayah studi sebesar 17,75% 7. Nilai produksi, investasi dan penerimaan pertahun masing-masing alat tangkap secara lengkap pada Lampiran 24-30. 8. Modal bersumber dari pembiayaan ponggawa (juragan)
83
Berdasarkan asumsi tersebut dilakukan uji kelayakan finansial secara parsial dengan 6 kriteria terhadap masing-masing unit penangkapan ikan yaitu purse seine, jaring insang dasar, jaring insang hanyut, jaring tiga lapis, rawai hanyut, jermal dan bagan tancap. 5.1.5.1 Keuntungan usaha Pengembangan suatu usaha harus mengetahui dana investasi yang diperlukan. Pada studi ini investasi pada unit-unit penangkapan yang dibutuhkan berbeda-beda tergantung jenis perahu, alat tangkap dan mesin. Rincian besarnya modal investasi usaha penangkapan ikan di Teluk Apar disajikan pada Tabel 34. Tabel 34 Modal Investasi Usaha Penangkapan Ikan di Teluk Apar No
Unit alat tangkap
1. 2 3 4 5 6 7
Purse seine Jaring insang hanyut Jaring insang dasar Jaring tiga lapis Rawai hanyut Jermal Bagan tancap
Jenis/Jumlah Investasi (Rp) Perahu Mesin Alat tangkap 45.000.000,100.000.000,70.000.000,2.500.000,3.000.000,1.850.000,4.000.000,2.500.000,22.500.000,2.500.000,3.000.000,1.250.000,2.500.000,3.000.000,3.500.000,2.500.000,3.000.000,3.000.000,2.500.000,3.000.000,6.800.000,-
Jumlah 215.000.000,7.350.000,29.000.000,6.750.000,9.000.000,8.500.000,12.300.000,-
Sumber: Data Primer Diolah (2007) Berdasarkan tabel diatas modal investasi usaha perikanan tangkap berkisar antara Rp. 6.750.000,- hingga Rp. 215.000.000,-. Biaya investasi tertinggi pada unit penangkapan purse seine. Adapun untuk total biaya, penerimaan, keuntungan, R/C Ratio, Payback Period setiap unit penangkapan ikan di Teluk Apar dapat dilihat pada Tabel 35. Tabel 35 Analisa Usaha Unit Penangkapan Yang Eksisting di Teluk Apar No 1. 2 3 4 5 6 7
Unit alat tangkap Purse seine Jaring insang. hanyut Jaring insang dasar Jaring tiga lapis Rawai hanyut Jermal Bagan tancap
Penerimaan (Rp/th) 105.000.000,22.815.000,110.016.000,31.920.000,18.018.000,34.200.000,37.440.000,-
Biaya (Rp/th) 54.060.000,18.045.000,66.886.675,16.652.500,16.333.350,15.290.000,14.992.000,-
Keuntungan (Rp/th) 50.940.000,4.770.000,43.129.325,15.267.500,1.684.650,18.910.000,22.448.000,-
PP 4.22 1.54 0.67 0.44 5.35 0.45 0.55
R/C Ratio 1.94 1.26 1.64 1.91 1.10 2.24 2.50
Sumber : Data Primer Diolah (2007) Keuntungan usaha penangkapan masing-masing unit penangkapan diperoleh dari total penerimaan selama satu tahun dikurangi dengan biaya-biaya (biaya tetap dan biaya variabel) yang dikeluarkan selama satu tahun. Purse seine merupakan unit penangkapan yang memperoleh keuntungan tertinggi yaitu
84
sebesar Rp. 50.940.000,- kemudian jaring insang dasar Rp. 43.129.325,- dan bagan tancap Rp. 22.448.000,-. Keuntungan terkecil dari unit penangkapan rawai hanyut sebesar Rp. 1.684.650,-.
Ditinjau aspek keuntungan semua unit
penangkapan layak dikembangkan. 5.1.5.2 Imbangan penerimaan dan biaya (R-C Ratio) Analisis
imbangan
penerimaan
dan
biaya
dihitung
berdasarkan
perbandingan antara todal penerimaan yang dihasilkan selama 1 tahun dengan total biaya yang dikeluarkan selama 1 tahun. Syarat layaknya usaha penangkapan dari tujuh jenis alat tangkap tersebut apabila nilai R/C > 1. Pada Tabel 34 menunjukkan kisaran nilai R/C yaitu dari 1.10 sampai 2.50 semua unit penangkapan memenuhi kriteria layak. Nilai R/C tertinggi pada unit penangkapan bagan tancap (2.50) dan paling rendah rawai hanyut (1.10). 5.1.5.3 Waktu pengembalian modal (payback period) Analisis dimaksudkan untuk mengetahui periode waktu yang diperlukan untuk menutup investasi. Analisis ini dihitung berdasarkan perbandingan nilai investasi
terhadap
keuntungan.
Kriteria
kelayakan
diambil
dari
masa
pengembalian investasi yang tercepat, asumsinya bahwa modal investasi yang telah dikembalikan dapat dikelola kembali pada usaha penangkapan sehingga dapat meningkatkan nilai keuntungan.
Selain itu modal investasi juga dapat
digunakan untuk kegiatan usaha lain yang dapat memberikan keuntungan lebih. Semakin kecil nilai payback period (semakin pendek), semakin baik usaha tersebut berjalan, karena perputaran modal investasi menambah kinerja usaha. Hasil analisis pada Tabel 34 menunjukkan unit penangkapan jaring tiga lapis memberikan masa pengembalian investasi tercepat 0.44 tahun. Waktu terlama yang dibutuhkan untuk pengembalian investasi pada unit penangkapan rawai hanyut 5.35 tahun.
Namun demikian semua unit penangkapan layak
dikembangkan berdasarkan aspek waktu pengembalian modal. 5.1.5.4 Net Present Value Analisis kelayakan pengembangan usaha penangkapan dari aspek finansial digunakan kriteria investasi yaitu NPV, Net B/C dan IRR. Selengkapnya data
85
kelayakan finansial menurut kriteria investasi per unit penangkapan disajikan pada Tabel 36. Tabel 36 Nilai Kriteria Investasi Unit Penangkapan Eksisting di Teluk Apar Kriteria investasi NPV (Rp) Net B/C 1. 101.192.099 1.47 Purse seine 2 Jaring insang hanyut 13.193.169 2.79 3 Jaring insang dasar 135.022.613 5.66 4 Jaring tiga lapis 56.596.973 9.38 5 Rawai hanyut *) - 403.182 *) 0.96 6 Jermal 58.585.545 7.89 7 Bagan tancap 63.382.363 6.15 Sumber : Data Primer Diolah (2007) *) tidak layak No
Unit penangkapan
IRR (%) 28 84 159 296 *) 16 249 194
Perhitungan nilai NPV menggunakan tingkat suku bunga 17.5%. Berdasarkan data pada Tabel 35 semua unit penangkapan memenuhi syarat kelayakan dengan nilai NPV > 1 kecuali rawai hanyut. Nilai NPV terbesar pada unit penangkapan jaring insang dasar Rp. 135.022.613,-. Kisaran nilai NPV dari semua unit penangkapan antara Rp. - 403.182,- hingga Rp. 135.022.613,-. 5.1.5.5 Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) Net Benefit Cost dhitung dengan cara membandingkan antara total nilai sekarang dari penerimaan bersih yang bersifat positif (Bt–Ct)>0 dengan total nilai sekarang penerimaan bersih yang bersifat negative (Bt–Ct)< 0. Selama usaha penangkapan berlangsung nilai B/C Ratio masing-masing unit penangkapan seperti pada Tabel 35. Hasil analisis Net B/C dari semua unit penangkapan ikan diperoleh kisaran nilai antara 0.96 – 9.38. Di perairan Teluk Apar jaring tiga lapis mempunyai nilai Net B/C tertinggi yaitu sebesar 9.38. Data yang terlihat pada Tabel 35, hasil perhitungan B/C Ratio unit penangkapan rawai hanyut lebih kecil dari 1 (0.96). Berarti pada kriteria ini rawai hanyut tidak layak. 5.1.5.6 Internal Rate of Return (IRR) IRR menunjukkan kemampuan modal untuk memberikan benefit dalam bentuk diskonto dengan kriteria layak jika IRR>OCC (opportunity cost of capital). Perhitungan IRR untuk mengetahui besarnya tingkat suku bunga yang dapat menyebabkan NPV bernilai nol. Hasil perhitungan diperoleh nilai IRR masingmasing unit penangkapan seperti terlihat pada Table 35. Berdasarkan data pada
86
Tabel 35 Jaring tiga lapis merupakan unit penangkapan dengan nilai IRR tertinggi 296%, paling rendah yaitu rawai hanyut hanya sebesar 16%. Pada kriteria IRR nilai yang dihasilkan rawai hanyut lebih kecil dari suku bunga yang berlaku saat itu 17,5% dengan demikian maka rawai hanyut tidak memenuhi syarat kelayakan. 5.1.6
Urutan keunggulan unit penangkapan
5.1.6.1 Aspek biologi Analisa aspek biologi meliputi selektifitas alat tangkap yaitu berdasarkan ukuran mata jaring (mesh size) setiap unit penangkapan ikan, kecuali pada rawai hanyut secara langsung dengan kategori sangat selektif.
Sejalan dengan
pernyataan Monintja (1987) bahwa alat tangkap pancing, rawai, pancing tonda, huhate pancing dasar sangat baik dikembangkan karena memiliki selektifitas tinggi.
Mesh size semua unit penangkapan diperoleh dari hasil wawancara
dengan nelayan responden. Pada purse seine (kantong) 1 cm, jaring insang dasar 4 cm, jaring insang hanyut 4.5 cm, jaring tiga lapis (inner net) 1.5 cm, jermal 1 cm dan bagan tancap 0.50 cm. Penilaian terhadap selektifitas alat tangkap dilakukan dengan cara pemberian skor kepada alat tangkap tersebut berdasarkan ukuran mesh size Nurani (1987) dan
Purbayanto (1991).
Kriteria selektifitas sebagaimana
tercantum dalam Tabel 37. Tabel 37
Kriteria Penilaian Selektifitas Alat Tangkap berdasarkan Mesh Size Alat Tangkap di Teluk Apar.
Mesh size (X) (cm) X ≤ 1.8 cm 1.8 < X ≤ 3.6 cm 3.6 < X ≤ 5.4 cm X > 5.4 cm
Kategori Penilaian Tidak selektif Kurang selektif Cukup selektif Selektif
Skor 1 2 3 4
Analisis biologi lainnnya pada kriteria komposisi hasil tangkapan, lama waktu musim penangkapan, lama waktu musim ikan. Pada kriteria komposisi hasil tangkapan (X2) prioritas pertama pada jaring insang dasar dan jermal. Berdasarkan lama waktu musim penangkapan (X3) semua menjadi prioritas utama kecuali purse seine dan bagan tancap sedang menurut kriteria lama waktu musim ikan (X4) prioritas pertama pada unit penangkapan bagan tancap. selengkapnya pada Tabel 38.
Hasil
87
Tabel 38 Penilaian Aspek Biologi Unit Penangkapan Ikan di Teluk Apar Unit Penangkapan
X1 1 3 3 1 4 1 1
Kriteria Penilaian X2 UP2 X3 UP3 4 2 7 3 3 3 12 1 6 1 12 1 3 3 12 1 4 2 12 1 6 1 12 1 4 2 9 2
UP1 3 2 2 3 1 3 3
Purse seine Jaring insang hanyut Jaring insang dasar Jaring tiga lapis Rawai hanyut Jermal Bagan tancap Keterangan : X1 = Selektifitas alat tangkap X2 = Komposisi hasil tangkapan X3 = Lama waktu musim penangkapan ikan X4 = Lama waktu musim ikan (bulan) UP = Urutan prioritas
X4 7 4 4 4 4 4 9
UP4 2 3 3 3 3 3 1
Hasil analisis penilaian terhadap aspek biologi unit penangkapan ikan setelah distandarisasi dengan menggunakan fungsi nilai, secara keseluruhan dapat dilihat pada Tabel 39 berikut. Tabel 39 Standarisasi Aspek Biologi Unit Penangkapan Ikan di Teluk Apar Unit Penangkapan Purse seine Jaring insang hanyut Jaring insang dasar Jaring tiga lapis Rawai hanyut Jermal Bagan tancap
Kriteria Penilaian V1(X1) 0.000 0.667 0.667 0.000 1.000 0.000 0.000
V2(X2) 0.333 0.000 1.000 0.000 0.333 1.000 0.333
V3(X3) 0.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 0.400
V4(X4) 0.600 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 1.000
V (A) 0.933 1.667 2.667 1.000 2.333 2.000 1.733
UP 7 5 1 6 2 3 4
Penilaian secara keseluruhan jaring insang dasar urutan prioritas pertama dengan nilai sebesar 2.667, kemudian rawai hanyut nilai 2.333 dan jermal urutan prioritas ketiga 2.000. 5.1.6.2 Aspek teknis Analisis unit penangkapan pada aspek teknis berkaitan dengan pengoperasian alat tangkap ikan apakah termasuk efektif atau tidak bila dioperasikan. Beberapa kriteria yang digunakan yaitu produksi pertrip, jumlah bahan bakar minyak (BBM) pertrip, jumlah es batu pertrip, jumlah tenaga kerja perunit penangkapan, kapasitas mesin penggerak dan ukuran kapal (Tabel 40).
88
Tabel 40 Penilaian Aspek Teknis Unit Penangkapan Ikan di Teluk Apar Unit Penangkapan Purse seine Jaring insang hanyut Jaring insang dasar Jaring tiga lapis Rawai hanyut Jermal Bagan tancap
X1 UP1 X2 200.0 1 60 4 19.5 10 3 38.2 40 7 3.8 5 5 16.5 10 6 9.5 3 2 65.0 3
UP2 5 3 4 2 3 1 1
X3 40 5 10 3 5 2 2
Kriteria Penilaian UP3 X4 UP4 8 1 1 1 3 3 2 2 2 1 3 4 1 3 3 1 3 5 2 2 5
X5 120 22 24 24 24 24 24
UP5 1 3 2 2 2 2 2
X6 5 1 3 1 1 1 1
UP6 1 3 2 3 3 3 3
Keterangan : X1 = Produksi rata-rata pertrip (kg) X2 = Jumlah BBM pertrip (liter) X3 = Jumlah es batu pertrip (kg) X4 = Jumlah tenaga kerja perunit penangkapan X5 = Kapasitas mesin penggerak (PK) X6 = Ukuran perahu; <7m=1 (kecil); 7-10m=3 (sedang); >10m=5 (besar) Purse seine merupakan alat tangkap unggulan yang menempati prioritas pertama pada kriteria produksi pertrip (X1), penggunaan es batu pertrip (X3), jumlah tenaga kerja (X4), kapasitas mesin (X5) dan ukuran perahu/kapal (X6). Adapun pada kriteria penggunaan BBM pertrip unit penangkapan jermal dan bagan tancap merupakan unit penangkapan unggulan dengan tingkat efisiensi penggunaan bahan bakar yang paling tinggi. Urutan prioritas masing-masing unit penangkapan berdasarkan beberapa kriteria pada aspek teknis selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 39. Selanjutnya setelah dilakukan standarisasi dari ke lima kategori dengan fungsi nilai diperoleh urutan prioritas (Tabel 41). Unit penangkapan purse seine berada pada urutan pertama dengan nilai 5,000. Selanjutnya secara berurutan diikuti oleh unit penangkapan bagan tancap dengan nilai 1,475 dan jaring insang dasar dengan nilai 1,083. Tabel 41 Standarisasi Aspek Teknis Unit Penangkapan Ikan di Teluk Apar Unit Penangkapan Purse seine Jaring insang hanyut Jaring insang dasar Jaring tiga lapis Rawai hanyut Jermal Bagan tancap
V1(X1) V2(X2) 1.000 0.000 0.080 0.122 0.175 0.035 0.000 0.666 0.065 0.122 0.029 1.000 0.312 1.000
V3(X3)
1.000 0.078 0.210 0.026 0.078 0.000 0.000
Kriteria Penilaian V4(X4) V5(X5) 1.000 1.000 0.000 0.000 0.143 0.020 0.000 0.020 0.000 0.020 0.000 0.020 0.143 0.020
V6(X6) 1.000 0.000 0.500 0.000 0.000 0.000 0.000
V(A) 5.000 0.280 1.083 0.712 0.285 1.049 1.475
UP 1 7 3 5 6 4 2
89
5.1.6.3 Aspek sosial Analisa aspek sosial meliputi kriteria penilaian penyerapan tenaga kerja per unit penangkapan (orang) (X2), respon nelayan terhadap penerimaan alat tangkap (X1), kemampuan investasi untuk pemilikan alat tangkap(X3), kemudaha pengoperasian (X4) dan kemudahan pengadaan alat tangkap (X5). Nilai yang dimasukkan pada tiap kriteria berupa nilai secara kuantitatif dari hasil wawancara dan perhitungan yang dilakukan secara kualitatif berupa nilai dalam standar skala subjektif. Berdasarkan jawaban yang dipilih responden pada saat wawancara diberikan skor nilai 1 – 3 - 5 ( Lampiran 41). Tabel 42 Penilaian Aspek Sosial Unit Penangkapan Ikan di Teluk Apar Unit penangkapan Purse seine Jaring insang hanyut Jaring insang dasar Jaring tiga lapis Rawai hanyut Jermal Bagan tancap
X1 309.7 340.8 346.2 387.1 322.6 307.5 248.4
UP 5 3 2 1 4 6 7
X2 5 1 1 1 1 1 1
UP 1 2 2 2 2 2 2
Kriteria Penilaian X3 UP 131.2 7 312.9 2 163.4 4 329.0 1 300.0 3 160.2 5 144.1 6
X4 7.4 42.6 35.3 238.1 43.0 10.8 8.1
UP 7 3 4 1 2 5 6
X5 5.4 42.6 29.3 235.6 47.2 9.3 6.9
UP 7 3 4 1 2 5 6
Keterangan X1 = Respon penerimaan alat tangkap (diinginkan= 5; diterima= 3; ditolak=1) X2 = Penyerapan tenaga kerja; 1-3=sedikit (1); 4-6=sedang (3); 7-9=banyak (5) X3 = Kemampuan investasi (mampu=5 ; cukup = 3 ; tidak mampu = 1) X4 = Kemudahan pengoperasian (mudah =5 ; sedang = 3; sulit = 1) X5 = Kemudahan pengadaan (mudah = 5 ; sedang = 3 ; sulit = 1) UP = Urutan prioritas Penilaian keunggulan unit penangkapan ikan dari aspek sosial, jaring tiga lapis sebagai urutan prioritas pertama.
Keunggulan alat tangkap tersebut
menempati urutan pertama dari beberapa kriteria yaitu pada respon penerimaan nelayan (X1), kemampuan investasi (X3) kemudahan pengoperasian (X4) dan pada kriteria kemudahan pengadaan (X5). Adapun untuk kriteria jumlah tenaga kerja yang terserap perunit penangkapan (X2) purse seine sebagai alat tangkap prioritas utama (Tabel 42). Setelah dilakukan standarisasi secara keseluruhan, keunggulan unit penangkapan ikan dari aspek sosial adalah alat tangkap jaring tiga lapis dengan nilai 4.000 sebagai prioritas utama. Selanjutnya unit penangkapan jaring insang hanyut dengan nilai 1.899 dan prioritas ke tiga rawai hanyut dengan nilai 1.724 (Tabel 43).
90
Tabel 43 Standarisasi Aspek Sosial Unit Penangkapan Ikan di Teluk Apar Unit Penangkapan Purse seine Jaring insang hanyut Jaring insang dasar Jaring tiga lapis Rawai hanyut Jermal Bagan tancap
V1(X1) 0.442 0.666 0.705 1.000 0.535 0.426 0.000
V2(X2) 1.000 0.000 0.143 0.000 0.000 0.000 0.143
Kriteria Penilaian V3(X3) V4(X4) V5(X5) 0.000 0.000 0.000 0.919 0.153 0.162 0.163 0.121 0.104 1.000 1.000 1.000 0.853 0.154 0.182 0.147 0.015 0.017 0.039 0.003 0.007
V (A) 1.442 1.899 1.236 4.000 1.724 0.605 0.192
UP 4 2 5 1 3 6 7
5.1.6.4 Aspek ekonomi Keunggulan unit penangkapan ikan dari aspek ekonomi menggunakan kriteria penilaian yaitu berdasarkan kriteria usaha dengan beberapa parameter antara lain 1) keuntungan; 2) waktu pengembalian
(Payback period); 3)
Imbangan penerimaan dan biaya (Revenue/Cost Ratio); 4) penerimaan kotor/trip dan 5) penerimaan kotor/tenaga kerja. Adapun pada kriteria kelayakan investasi meliputi parameter 1) NPV; 2) IRR dan 3) B/C Ratio. a) Aspek ekonomi berdasarkan kriteria usaha Keunggulan unit penangkapan ikan di Teluk Apar dari aspek ekonomi kriteria kelayakan usaha penilaiannya dititik beratkan pada kriteria keuntungan, waktu pengembalian (Payback period), imbangan penerimaan dan biaya (Revenue Cost Ratio), Penerimaan kotor pertrip dan penerimaan kotor pertenaga kerja. Penilaian unit penangkapan berdasarkan kriteria-kriteria tersebut, purse seine sebagai unit penangkapan unggulan pertama pada kriteria keuntungan (X1) dan penerimaan kotor pertrip (X4).
Pada kriteria waktu pengembalian (X2)
sebagai prioritas utama unit penangkapan jaring tiga lapis. Adapun bagan tancap prioritas pertama pada kriteria imbangan penerimaan dan biaya (X3), sedangkan keunggulan unit penangkapan ikan berdasarkan kriteria penerimaan kotor pertenaga kerja (X5) prioritas utama pada alat tangkap jermal (Tabel 44). Tabel 44 Penilaian Aspek Ekonomi berdasarkan Kelayakan Usaha Unit Penangkapan Ikan Purse seine Jaring insang hanyut Jaring insang dasar Jaring tiga lapis Rawai hanyut Jermal Bagan tancap
Kriteria Penilaian X1 UP1 50.940.000 1 4.770.000 6 43.129.325 2 15.267.500 5 1.684.650 7 18.910.100 4 22.448.000 3
X2 UP2 4.22 6 1.54 5 0.67 4 0.44 1 5.35 7 0.45 2 0.55 3
X3 UP3 1.94 3 1.26 6 1.64 5 1.91 4 1.10 7 2.24 2 2.50 1
X4 1.500.000 126.750 458.400 95.000 107.250 237.500 260.000
UP4 1 5 2 7 6 4 3
X5 187.500 126.750 229.200 95.000 107.250 237.500 130.000
UP5 3 5 2 7 6 1 4
91
Keterangan X1 = Keuntungan X2 = Waktu pengembalian (Payback period) X3 = Imbangan penerimaan dan biaya (Revenue/Cost Ratio) X4 = Penerimaan kotor/trip (Rp) X5 = Penerimaan kotor/tenaga kerja (Rp) Tabel 45 Standarisasi Penilaian dari Aspek Ekonomi berdasarkan Kriteria Usaha Unit Penangkapan Ikan Purse seine Jaring insang hanyut Jaring insang dasar Jaring tiga lapis Rawai hanyut Jermal Bagan tancap
Kriteria Penilaian V (X1) 1.000 0.062 0.841 0.275 0.000 0.349 0.421
V (X2) 0.231 0.775 0.953 1.000 0.000 0.997 0.977
V (X3) 0.600 0.114 0.385 0.578 0.000 0.814 1.000
V (X4) 1.000 0.014 0.252 0.018 0.000 0.093 0.110
V (X5) 0.616 0.150 0.936 0.198 0.000 1.000 0.175
V (A) 3.447 1.115 3.367 2.069 0.000 3.253 2.683
UP 1 6 2 5 7 3 4
Pada Tabel 45 penilaian terhadap aspek ekonomi pada kriteria usaha secara keseluruhan setelah dilakukan standarisasi unit penangkapan purse seine sebagai prioritas utama dengan skor nilai 3.447. Urutan kedua jaring insang dasar dengan nilai 3.367 dan prioritas ketiga jermal dengan jumlah nilai 3.253. b) Aspek ekonomi berdasarkan kriteria kelayakan investasi Analisis finansial terhadap kelayakan investasi usaha penangkapan ikan di Teluk Apar dilakukan bertujuan untuk mengetahui kelayakan kegiatan penangkapan tersebut secara finance (keuangan), dengan melihat besarnya kontribusi benefit yang diberikan dari usaha penangkapanyang dilakukannya selama umur teknis usaha penangkapan tersebut masih berlangsung. Hasil analisis diperoleh nilai NPV (X1) terbesar 135.192.099 sebagai prioritas utama pada jaring insang dasar. Pada kriteria IRR (X2) dan B/C Ratio (X3) jaring tiga lapis (rengge gondrong) sebagai urutan prioritas utama (Tabel 46). Tabel 46 Penilaian Aspek Ekonomi Pada Kriteria Kelayakan Investasi Unit Penangkapan Ikan Purse seine Jaring insang hanyut Jaring insang dasar Jaring tiga lapis Rawai hanyut Jermal Bagan tancap
Kriteria Penilaian X1
UP1
X2
UP2
X3
UP3
101.192.099 13.193.169 135.022.613 56.596.973 *) - 403.182 58.585.545 63.382.363
2 6 1 5 7 4 3
1.47 2.79 5.66 9.38 *) 0.96 7.89 6.15
6 5 4 1 7 2 3
1.2 2.1 5.3 8.9 0.6 7.0 5.6
6 5 4 1 7 2 3
92
Keterangan : X1 = NPV (Rp) X2 = IRR (%) X3 = B/C Ratio
Setelah dilakukan standarisasi secara menyeluruh dengan tiga kriteria aspek kelayakan finansial, alat tangkap yang menjadi prioritas utama yaitu jaring tiga lapis dengan jumlah nilai 2.417 prioritas kedua jaring insang dasar dengan jumlah nilai 2.124 dan alat tangkap jermal pada prioritas ketiga dengan jumlah nilai 2,026 (Tabel 47). Tabel 47 Standarisasi Aspek Ekonomi Pada Kriteria Kelayakan Investasi Unit Penangkapan Ikan
Kriteria Penilaian V (X2) V (X3) 0.060 0.072 0.217 0.180 0.558 0.566 1.000 1.000 0.000 0.000 0.823 0.771 0.616 0.602
V (X1) 0.748 0.095 1.000 0.417 0.000 0.432 0.467
Purse seine Jaring insang hanyut Jaring insang dasar Jaring tiga lapis Rawai hanyut Jermal Bagan tancap
V(A) 0.880 0.492 2.124 2.417 0.000 2.026 1.685
UP 5 6 2 1 7 3 4
5.1.7 Determinasi keunggulan unit penangkapan ikan Rangkuman keunggulan berdasarkan aspek biologi (X1), teknis (X2), sosial (X3) dan ekonomi (X4) unit penangkapan merupakan cakupan keseluruhan aspek yang menjadi faktor penilaian.
Tujuan determinasi unit penangkapan
adalah untuk mendapatkan jenis alat tangkap ikan yang mempunyai keunggulan secara menyeluruh dari aspek-aspek tersebut sehingga cocok untuk dikembangkan. Hasil analisis skoring dilakukan terhadap 7 unit usaha penangkapan yang dioperasikan di Teluk Apar disajikan pada Tabel 48. Tabel 48 Rangkuman penilaian Aspek Biologi, Teknis, Sosial dan Ekonomi Unit Penangkapan Ikan di Teluk Apar Unit Penangkapan Purse seine Jaring insang hanyut Jaring insang dasar Jaring tiga lapis Rawai hanyut Jermal Bagan tancap
Kriteria Penilaian X1
UP
X2
UP
X3
UP
X4
UP
X5
UP
0.933 1.667 2.667 1.000 2.333 2.000 1.733
7 5 1 6 2 3 4
5.000 0.280 1.083 0.712 0.285 1.049 1.475
1 7 3 5 6 4 2
1.442 1.899 1.236 4.000 1.724 0.605 0.192
4 2 5 1 3 6 7
3.447 1.115 3.367 2.069 0.000 3.253 2.683
1 6 2 5 7 3 4
0.880 0.492 2.124 2.417 0.000 2.026 1.685
5 6 2 1 7 3 4
93
Keterangan : X1 = Aspek biologi X2 = Aspek teknis X3 = Aspek sosial X4 = Aspek ekonomin kriteria usaha X5 = Aspek ekonomi kriteria investasi Hasil standarisasi menunjukkan jaring insang dasar sebagai unit penangkapan prioritas utama dengan jumlah nilai 3,298 prioritas kedua jaring tiga lapis dengan nilai 2.729 dan prioritas pengembangan ketiga alat tangkap purse seine dengan nilai 2,692 selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 49. Tabel 49 Standarisasi Penilaian Aspek Biologi, Teknis, Sosial dan Ekonomi Unit Penangkapan Ikan di Teluk Apar Unit Penangkapan Purse seine Jaring insang hanyut Jaring insang dasar Jaring tiga lapis Rawai hanyut Jermal Bagan tancap
V(X1) 0.000 0.423 1.000 0.038 0.807 0.615 0.461
V(X2) 1.000 0.000 0.170 0.091 0.001 0.162 0.253
Kriteria Penilaian V(X3) V(X4) 0.328 1.000 0.448 0.323 0.274 0.976 1.000 0.600 0.402 0.000 0.108 0.943 0.000 0.778
V(X5) 0.364 0.203 0.878 1.000 0.000 0.838 0.697
V(A) 2.692 1.397 3.298 2.729 1.210 2.666 2.189
UP 3 6 1 2 7 4 5
94
5.2
Pembahasan
5.2.1 Status pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk Apar Penangkapan
ikan
pada
dasarnya
merupakan
aktivitas
eksploitasi
sumberdaya ikan di laut. Pemanfaatan potensi sumberdaya ikan pelagis secara optimal dapat dilakukan tanpa mengganggu kelestarian sumberdaya tersebut dengan meningkatkan efisiensi eksploitasi yaitu pengoperasian alat tangkap yang efektif (teknologi), pengetahuan tentang sumberdaya ikan yang ditangkap (jenis, penyebaran, prakiraan jumlah). Oleh karena itu informasi tentang keberadaan sumberdaya suatu perairan laut sangat penting diketahui.
Pemanfaatan
sumberdaya perlu kehati-hatian agar tidak sampai pada kondisi tangkap lebih. Tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan diketahui dengan terlebih dahulu mengetahui besarnya potensi sumberdaya (stok).
Menurut Azis (1989) dan
Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan (1998), estimasi stok ikan di Indonesia dilakukan dengan 6 metode pendekatan, yaitu sensus/transek, sweept area, akustik, production surplus, tagging dan ekstra/intra-polasi.
Diantara
keenam metode pendekatan tersebut, metode production surplus adalah relatif paling murah, cepat dan sederhana dalam pengerjaannya.
Faktor penentu
keberhasilan penggunaan metode ini terletak pada keakuratan data yang digunakan.
Metode production surplus menggunakan data time series hasil
tangkapan dan upaya penangkapan ikan. Dalam analsis status pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk Apar, digunakan metode production surplus.
Diakui metode tersebut banyak
menggunakan asumsi dalam perhitungannya. Stok sumberdaya ikan diasumsikan sebagai suatu biomasa yang tidak berpedoman pada umur, ukuran panjang ikan dan jumlah biomassa suatu stok tetap meski ada aktivitas usaha perikanan. Penggunaan metode production surplus dengan model Schaefer pada kondisi tertentu dapat digunakan untuk menghitung dan menentukan batas hasil tangkapan yang diperbolehkan yaitu untuk memberikan kelongggaran bagi nelayan dalam memanfaatkan potensi sumberdaya ikan yang ada (Zulkarnain dan Darmawan 1997). Hasil estimasi potensi sumberdaya (MSY) ikan pelagis dengan model production surplus sebesar 2.039 ton dan estimasi upaya optimum 6.584 trip.
95
Dibanding produksi tahun 2005 (1.712 ton), dengan upaya penangkapan sebesar 8.053 trip/tahun hasil estimasi menunjukkan tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis mencapai 83,96% (lampiran 6). Tinjauan dari tingkat pemanfaatan, produksi hasil tangkapan ikan pelagis belum mencapai batas tangkap lebih. Namun pengupayaan yang dilakukan telah melebihi batas optimum. Hubungan produksi yang dicapai dengan pengupayaan yang dilakukan dapat dilihat dengan pendekatan Schaefer (Gambar 19). Berdasarkan perhitungan regresi hubungan antara produksi dan upaya penangkapan membentuk persamaan Y= 314,8 + 0,0695x ; R2=0,3072. Dari persamaan tersebut dapat diartikan bahwa dengan menambahkan satu satuan upaya tangkap akan meningkatkan produksi sebesar 0,0695 ton. Peningkatan produksi yang dihasilkan dari penambahan upaya tidak selalu diikuti oleh peningkatan produktifitas, hal ini dapat dilihat pada gambar 20. Hubungan yang terjadi menunjukkan perkembangan kearah negatif. Berdasarkan perhitungan diperoleh persamaan regresi dari hubungan tersebut yaitu Y = 0,5878-0,0005x; R2=0,7284.
Persamaan diatas dapat diartikan setiap
penambahan satu satuan upaya penangkapan menyebabkan produktifitas unit penangkapan turun sebesar 0,0005 ton. Bila dilakukan perbandingan terhadap dua keadaan diatas sebagai konsekuensi dari upaya tangkap yang berlebih maka penurunan produktifitas unit penangkapan lebih besar dibanding dengan peningkatan hasil tangkapan. Keadaan tersebut dapat dipahami mengingat jumlah nelayan terus meningkat secara tidak langsung akan berdampak terhadap jumlah alat tangkap, sementara operasi penangkapan semua unit alat tangkap terfokus pada satu kawasan teluk. Seperti yang dikatakan Gulland (1983) meningkatnya jumlah kapal maka bagian yang diperoleh dari masing-masing kapal (produktifitas) akan semakin kecil. Produksi ikan demersal tahun 2005 sebesar 2.496 ton atau 93,25% dari nilai estimasi produksi lestari (MSY) 2.677 ton (Lampiran 12). Produksi tersebut dihasilkan pada tingkat pengupayaan sebesar 81.885 trip atau 80,50% dari upaya penangkapan optimum 101.717 trip.
Aktual produksi maupun upaya
penangkapan ikan demersal yang dilakukan belum melebihi batas produksi maksimal lestari dan upaya optimum.
96
Meski demikian jika dicermati baik produksi yang telah dicapai maupun upaya tangkap yang telah dilakukan sudah mendekati batas lestari. Hal ini perlu mendapatkan perhatian yang serius, mengingat trend jumlah penduduk pesisir (nelayan) semakin bertambah demikian pula alat tangkap yang digunakan. Sedangkan semua aktifitas penangkapan terakumulasi pada satu area penangkapan. Jika pada kondisi tersebut aktifitas penangkapan terus dilakukan secara intensif, dampak yang terjadi akan terlihat seperti pada gambar 24. Ilustrasi pada gambar tersebut menggambarkan hasil tangkapan yang terus menurun meskipun dilakukan penambahan upaya penangkapan.
Pemanfaatan
sumberdaya yang dilakukan secara terus menerus tanpa memperhatikan ketersediaan stok akan dapat mengurangi daya dukung sumberdaya itu sendiri. Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Naamin (1984) diacu dalam Suman (2004) yang mengatakan bahwa penambahan jumlah upaya penangkapan pada batas tertentu akan menyebabkan peningkatan produksi, tetapi apabila terus menerus terjadi penambahan upaya, maka pada suatu saat akan terjadi penurunan stok. Secara matematis dampak yang ditimbulkan dapat diprediksikan melalui persamaan regresi dari hubungan effort dan catch yaitu Y = 2976,8-0,0049x; R2= 0,0942. Persamaan diatas mengandung arti setiap penambahan satu satuan upaya penangkapan produksi akan turun sebesar 0,0049 ton. Fenomena yang sama juga terjadi pada tingkat produktifitas yang semakin menurun dengan ditingkatkannya upaya penangkapan.
Hal ini terlihat dari trend garis yang
terbentuk dari hubungan effort dan CPUE (Gambar 25).
Hasil perhitungan
diperoleh persamaan regresi yaitu Y = 0,0526-3E-07x; R2= 0,6752. Persamaan tersebut menggambarkan terjadinya penurunan produktifitas per unit penangkapan sebesar 0,0007 ton/trip setiap dilakukan penambahan upaya penangkapan. Mengacu kepada kondisi faktual tersebut sangat diperlukan kehati-hatian dalam pemanfaatan sumberdaya ikan, mengingat perikanan tangkap di perairan pesisir memiliki tingkat kompleksitas dan kerentanan yang tinggi baik secara ekologi, sosial maupun ekonomi. Meskipun sumberdaya perikanan laut termasuk dalam kriteria sumberdaya yang dapat diperbaharui, akan tetapi pemanfaatannya
97
harus tetap rasional agar kesinambungan produksi dan kelestarian sumberdayanya tetap terjaga. Aktualisasi dari upaya kehati-hatian dalam pemanfaatann sumberdaya ikan di Teluk Apar yaitu dilakukannya tata laksana mengenai sikap dan prilaku dalam praktek yang bertanggung jawab dalam kegiatan perikanan tangkap.
Upaya
kongkritnya dapat dilakukan dengan mengacu kepada prinsip kehati-hatian (precautionary) sebagaimana yang tertuang dalam Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) (FAO, 1995).
Inti dari prinsif tersebut pada
penekanan pemanfaatan sumberdaya yang dibatasi hingga 80% dari MSY. Perhatian terhadap CCRF berimplikasi terhadap kebijakan pengembangan perikanan dimana target produksi ikan pelagis di Teluk Apar menjadi 1.631,2 ton pertahun dengan upaya penangkapan 5.627 trip pertahun.
Sedangkan pada
sasaran sumberdaya ikan demersal menjadi 2.133,8 ton dengan tingkat pengupayaan sebesar 81.373 trip. Walaupun ketentuan yang tercantum dalam CCRF bersifat tidak mengikat, akan tetapi karena Indonesia (Kabupaten Pasir) bagian dari masyarakat dunia seyogyanya tidak mengabaikan prinsip-prinsip yang termuat dalam CCRF. Selain karena memuat prinsip pengelolaan juga mengandung nilai-nilai keberlanjutan, baik sumberdaya ikan maupun usaha penangkapan itu sendiri. Oleh karena itu pada masa akan datang target produksi dan upaya penangkapan dapat ditetapkan tidak melebih dari kondisi tersebut.
Perbandingan tingkat pemanfaatan dan
pengupayaan pada kondisi lestari dan batas pemanfaatan sebagaimana dalam CCRF dapat dilihat pada Tabel 50. Tabel 50 Komoditi Pelagis Demersal
Perbandingan Pemanfaan dan Pengupayaan Pada Kondisi Aktual, Estimasi MSY dan Fopt dan CCRF (80%) Aktual 2005 Catch Effort 1.712 8.053 2.496 81.885
Estimasi MSY Fopt 2.039 6.584 2.677 101.717
CCRF (80%) MSY Fopt 1.631,2 5.627 2.133,8 81.373
Kondisi over fishing over fishing
Dibanding kondisi aktual perikanan tangkap tahun 2005 terhadap batasan pemanfaatan yang tertuang dalam CCRF, baik pada ikan pelagis maupun ikan demersal di Teluk Apar telah mengalami tangkap lebih pada perairan dekat pantai. Besarnya laju pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis dan demersal di Teluk Apar
98
diduga karena tekanan pemanfaatan sumberdaya di perairan tersebut yang dilakukan setiap hari telah melampaui daya dukungnya. Secara garis besar faktor potensial penyebab besarnya tekanan pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk Apar terbagi dua yaitu 1) faktor internal dan 2) faktor eksternal: 1) faktor internal : (a) Teknologi penangkapan dominan sederhana0 (b) Rendahnya produktifitas unit penangkapan (c) Kemampuan modal untuk meningkatkan kapasitas armada (d) Sumberdaya manusia 2) faktor eksternal yaitu : (a) Fishing ground (b) Peningkatan jumlah nelayan (c) Peningkatan jumlah unit penangkapan Bertitik tolak dari kondisi tersebut dimana pemanfaatan potensi sumberdaya ikan pelagis dan demersal telah melampaui batas pemanfaatan dalam prinsif kebijakan pemanfaatan (CCRF) alternatif yang perlu dilakukan adalah : (1) Mengganti unit penangkapan yang tidak produktif dengan alat tangkap produktif. (2) Melakukan rasionalisasi unit penangkapan berdasarkan kapasitas/ daya dukung sumberdaya yang ada di perairan tersebut. (3) Melakukan kontrol terhadap jumlah unit penangkapan. (4) Melakukan ekspansi fishing ground (out shore). 5.2.2 Pola Pemasaran Interaksi pemasaran ikan yang terjadi secara kontinue telah membentuk suatu pola (alur) yang secara umum dikenal dengan pola pemasaran. Berdasarkan hasil penelitian diketahui ada 4 alur pemasaran ikan di Teluk Apar. Masingmasing pola memiliki karakteristik khusus. Kondisi pada alur pemasaran (1) terjadi karena nelayan tidak dapat menetapkan harga yang kompetitif pada ikan yang dijual karena berharap dalam waktu yang cepat ikan terjual habis. Bila tidak mengakibatkan kerugian karena penurunan mutu (busuk). Nelayan tidak berusaha untuk mempertahankan mutu dengan petimbangan akan menambah biaya, yang
99
tidak sesuai dengan banyaknya ikan yang dijual. Oleh sebab itu ikan yang dijual pun dengan harga murah sehingga keuntungan yang diperoleh menjadi sedikit. Pada alur pemasaran (2) umumnya terjadi karena nelayan di Teluk Apar khususnya dan umumnya di Kabupaten Pasir memiliki keterkaitan dengan ponggawa berupa pinjaman modal (alat tangkap, kapal dan mesin) sehingga harga yang berlaku harga yang ditetapkan oleh ponggawa. Berbeda dengan pedagang pengumpul nelayan tidak melakukan pinjaman modal, akan tetapi karena hasil tangkapan dibayar secara tunai sehingga harga pada saat transaksi pun berada dibawah harga yang berlaku secara umum pada saat itu. Pada kondisi demikian dapat dipastikan nelayan tetap menerima keuntungan yang rendah sekalipun kuantitas barang yang ditawarkan banyak. Adapun pada alur pemasaran (3) disebabkan ketergantungan yang tinggi oleh para pedagang pengecer di pasar lokal terhadap supply ikan dari ponggawa dan pedagang pengumpul. Pada kondisi dimana demand lebih tinggi dari pada supply, dapat dipastikan harga yang berlaku pun menjadi tinggi. Secara otomatis akan memberikan keuntungan yang tinggi bagi ponggawa dan pedagang pengumpul. Kondisi ideal dan sangat diharapkan seperti pada pola D dimana kuantitas ikan yang dipasarkan dalam jumlah banyak dan keuntungan yang diperoleh besar. Akan tetapi keadaan demikian hanya terjadi pada pemasaran ikan antara pedagang pengumpul dengan perusahaan dan antar kota atau ponggawa dengan perusahaan dan antar kota.
Seperti halnya alur pemasaran (3), pada alur (4) pemasaran
dilakukan secara langsung tanpa keterlibatan nelayan.
Tingginya keuntungan
yang diperoleh ponggawa dan pedagang pengumpul karena perusahaan memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap sediaan stok ikan dari punggawa dan pedagang pengumpul. Dengan demikian menyebabkan ponggawa dan pedagang pengumpul memiliki bargaining position yang kuat dalam menentukan harga jual komoditi yang ditawarkan. Dari ke-empat pola tersebut dapat dilihat tingginya faktor resistensi yang terjadi pada usaha perikanan pantai (skala kecil) di Teluk Apar, yang sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal. Suatu ironi nelayan yang berada pada garis
100
terdepan dalam usaha perikanan tangkap memiliki posisi tawar (bargaining position) yang sangat lemah. Ditinjau dari aspek ekonomi kelembagaan keterikatan nelayan dengan ponggawa adalah suatu hal yang wajar, karena hubungan tersebut adalah bentuk hubungan yang paling optimal yang selama ini telah berlangsung.
Dimana
diantara ponggawa dan nelayan telah terjadi suatu kesepakatan yang mengatur hak dan kewajiban antara keduanya. Kesepatan tersebut tentunya didasari oleh adanya kepentingan yang berbeda oleh kedua belah pihak. Akan tetapi ponggawa tidak begitu saja memberikan pinjaman (unit penangkapan) tanpa adanya harapan keuntungan yang akan diperoleh. Oleh karena itu dalam kesepatan yang terjadi adalah nelayan yang mendapatkan pinjaman melalui ponggawa harus menjual hasil tangkapannya kepada ponggawa selaku pemberi modal/pinjaman dengan harga yang disepakati. Setelah diperoleh gambaran hasil perhitungan estimasi tentang status pamanfaatan sumberdaya, pola pemasaran komoditi ikan yang dihasilkan, kemudian dilakukan analisis kelayakan usaha penangkapan ikan dari masingmasing unit penangkapan yang dominan dioperasikan di Teluk Apar. 5.2.3 Kelayakan usaha penangkapan ikan 1) Aspek pasar Hal utama dan yang pertama menjadi fokus perhatian dalam rangka pengembangan dalam konteks apapun adalah kelayakan pasar (permintaan dan penawaran). Pada konteks ini pengembangan teknologi penangkapan ikan. Ikan sebagai produk utama yang dihasilkan oleh nelayan memiliki karakteristik khusus yaitu komodoti yang cepat busuk (perisable food). Berdasarkan pada sifat alamiahnya maka salah satu yang perlu dipertimbangkan adalah tingkat permintaan pasar dan tingkat penawaran. Usaha penangkapan dikatakan layak dari aspek pasar jika tingkat permintaan (demand) lebih tinggi dari tingkat penawaran (supply). Hasil perhitungan dengan metode peramalan (forecasting) dari data time series diperoleh persamaan permintaan potensial penduduk Balikpapan yaitu : Y = 11771484 + 164982 x; R2 = 0,811 ini berarti bahwa 81,1% variabel devenden dapat dijelaskan dengan variable indevenden. Artinya terdapat hubungan yang
101
nyata antara time series (xi) dengan jumlah permintaan potensial Balikpapan (yi). Permintaan potensial di Kalimantan Timur dapat dilihat dari persamaan yang dihasilkan yaitu Y = 113970843,3 + 1513200,057 x; R2 = 0,777 artinya 77,7% variable devenden dapat dijelaskan dengan variabel indevenden, atau dapat dikatakan antara time series (xi) dan jumlah permintaan potensial penduduk Kalimantan Timur terdapat hubungan yang nyata. Persamaan untuk produksi ikan di Balikpapan yaitu : Y = 11856940 + 154316x; R2 = 0,654 artinya 65,4% variabel devenden dapat dijelaskan dengan variabel indevenden, berarti terdapat hubungan nyata antara time series (xi) dan data produksi ikan Balikpapan (yi).
Kalimantan Timur
diperoleh persamaan Y = 82241580 + 1382821,81x ; R2 = 0,795 berarti bahwa 79,5% variabel devenden dapat dijelaskan dengan variabel indevenden yang berarti bahwa secara statistik terdapat hubungan yang nyata antara time series (xi) dan data produksi ikan Kalimantan Timur (yi). Setelah dilakukan perbandingan antara permintaan (Balikpapan dan Kalimantan Timur) terhadap penawaran komoditi ikan dari Teluk Apar diperoleh nilai permintaan lebih besar dari penawaran. Hal ini berarti usaha penangkapan ikan di Teluk Apar layak dan berpeluang untuk dipasarkan dan dikembangkan di Balikpapan dan Kalimantan Timar. Hal ini diperkuat oleh pendapat (Subagyo, 2007) yang mengatakan peluang pasar muncul bila terjadi axces demand, yaitu jumlah permintaan lebih besar dibanding jumlah penawaran. Setelah dilakukan analisa kelayakan dari aspek pasar kemudian dilanjutkan dengan tinjauan kelayakan dari asfek finansial. 2) Aspek finansial Enam kriteria yang digunakan dalam penilaian kelayakan dari aspek finansial masing-masing unit penangkapan. Pada beberapa kriteria tertentu semua unit penangkapan memenuhi syarat kelayakan. Pada kriteria keuntungan, R/C Ratio dan PP semua unit penangkapan layak. Besarnya keuntungan dipengaruhi oleh hasil tangkapan dan biaya usaha yang dikeluarkan.
Nilai R/C selain
dipengaruhi oleh jumlah hasil tangkapan, biaya usaha yang dikeluarkan juga harga ikan. Adapun pada waktu pengembalian dipengaruhi oleh faktor penerimaan dan biaya yang diterima dan dikeluarkan selama usaha berlangsung.
102
Nilai pada kriteria NPV yang dihasilkan oleh semua unit penangkapan menunjukkan bahwa semua unit penangkapan tersebut layak dikembangkan kecuali rawai hanyut demikian pula pada kriteria IRR dan net B/C unit penangkapan rawai hanyut masing-masing memperoleh nilai 16% dan 0,96. IRR menggambarkan nilai keuntungan internal dari investasi yang ditanamkan.
Dari nilai IRR yang diperoleh unit penangkapan rawai hanyut
memberikan gambaran bahwa modal investasi yang ditanamkan tidak mampu memberikan keuntungan diskonto sebesar nilai IRR tersebut (lebih kecil dari bunga kredit perbankkan).
Adapun kecilnya nilai net B/C Ratio pada unit
penangkapan rawai hanyut mengindikasikan biaya investasi yang harus dikeluarkan tinggi agar usaha penangkapan dapat berlangsung. Besaran nilai NPV, IRR dan net B/C sangat dipengaruhi oleh hasil tangkapan yang diperoleh dan biaya yang dikeluarkan. Setelah dilakukan analisis kelayakan dari aspek pasar dan finansial berikutnya menentukan jenis teknologi penangkapannya. Pemilihan teknologi penangkapan ikan yang tepat unuk diterapkan dalam rangka pengembangan perikanan tangkap perlu mempertimbangkan (1) teknologi yang ramah lingkungan (2) teknologi yang secara teknis dan ekonomis menguntungkan, Monintja (2003) dan (3) teknologi berkelanjutan (Nurani, 2002). 5.2.4 Kriteria keunggulan unit penangkapan 1) Aspek biologi Keunggulan unit penangkapan dari aspek biologi fokus penilaian pada selektifitas alat tangkap, kriteria komposisi jenis hasil tangkapan, lama musim ikan dan lama musim penangkapan ikan (Tabel 37). Berdasarkan Tabel 38 penilaian aspek biologi unit penangkapan ikan dengan menggunakan fungsi nilai jaring insang dasar sebagai prioritas pertama rawai hanyut posisi kedua dan jermal pada urutan ketiga a. Selektifitas alat tangkap Unit penangkapan pada kriteria selektifitas alat tangkap rawai hanyut sebagai prioritas pertama, jaring insang dasar kedua dan jaring insang hanyut urutan ketiga. Jika di lakukan pengklasifikasian akan terlihat bahwa sebagian besar alat
103
tangkap berkantong seperti purse sene, bagan tancap dan jermal dan yang menyaring hasil tangkapan kurang selektif dibanding alat tangkap lain. b. Komposisi hasil tangkapan Komposisi hasil tangkapan jaring insang dasar dan jermal menjadi prioritas pertama. Hal ini berkaitan dengan kondisi fisik perairan Teluk Apar, sungai-sungai yang mengalir bermuara ke Teluk Apar menjadikan produktifitas perairan menjadi tinggi sehingga menghasilkan produktifitas perikanan juga tinggi. Di tinjau dari sistem rantai makanan di perairan pantai pada lapisanlapisan permukaan, fitoplankton, zooplankton (ukuran kecil hingga besar) kemudian ikan semuanya menghasilkan sisa buangan yang cukup besar yang jatuh ke dasar. Hal ini mendukung bagi komunitas invertebrata yang memakan detritus tersebut, sehingga kemudian menjadikan ikan-ikan komersial menjadi tertarik. Berkaitan
dengan
kondisi
tersebut
serta
dihubungkan
dengan
metode
pengoperasian jaring insang dasar dan jermal terutama di perairan dasar, maka tidak saja ikan-ikan yang hidup didasar tetapi pada ikan-ikan pelagis pun pada saat tertentu terkonsentrasi di dasar karena tertarik oleh sumber makanan yang tersedia cukup besar.
Menurut Pauly dkk (2003) pemanfaatan perikanan
terkonsentrasi pada perairan dangkal dengan kedalaman antara 0-200m. Itulah sebabnya mengapa pada kriteria komposisi jenis hasil tangkapan jaring insang dasar dan jermal menjadi prioritas utama diantara unit penangkapan lainnya. b. Lama Musim Penangkapan Musim penangkapan merupakan kurun waktu tertentu ada dan tidaknya hasil tangkapan pada waktu proses penangkapan.
Musim penangkapan
berhubungan erat dengan aktifitas penangkapan sehingga musim dapat berpengaruh terhadap jumlah tangkapan. Oleh karena itu musim menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat produktifitas unit penangkapan. Unit penangkapan yang menjadi unggulan utama pada kriteria ini adalah jaring insang hanyut, jaring insang dasar, jaring tiga lapis, rawai hanyut dan jermal. Masing-masing unit penangkapan tersebut dioperasikan selama 12 bulan pertahun (Tabel 38). Dilihat dari lama musim penangkapan ikan dengan rata-rata 4 bulan pertahun tentu agak sukar untuk dapat diterima. Tetapi satu hal bahwa kondisi demikian terjadi karena nelayan yang mengoperasikan unit penangkapan
104
tersebut tidak memiliki substitusi usaha. Meskipun dalam perhitungan musim puncak telah berlalu mereka tetap melakukan aktivitas penangkapan walau hasil yang diperoleh berbeda. Faktor utama karena desakan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari serta adanya keterkaitaan pinjaman/ modal dengan ponggawa yang harus dilunasi. c. Lama Musim Ikan Pada unit penangkapan purse seine dan bagan tancap tidak dioperasikan setiap saat. Kedua alat tersebut memiliki karakteristik yang berbeda dengan jenisjenis alat tangkap yang unggul pada kriteria lama musim penangkapan . Purse seine hanya dioperasikan selama 7 bulan pertahun, hal ini dilakukan dengan tujuan agar kepadatan schooling ikan disekitar rumpon tetap stabil. Berbeda dengan bagan tancap yang pengoperasiannya sangat bergantung dengan kondisi bulan. Pada kriteria lama musim ikan bagan tancap menjadi prioritas utama karena lama musim ikan tergantung pada peredaran bulan (terang dan gelap). Berdasarkan hasil standarisasi pada kriteria selektifitas alat tangkap, komposisi jenis hasil tangkapan, lama musim penangkapan dan lama musim ikan, unit penangkapan prioritas utama pada jaring insang dasar. 2) Aspek teknis Aspek teknis merupakan aspek yang berhubungan dengan pengoperasian alat tangkap ikan, apakah alat tersebut efektif atau tidak bila dioperasikan. Purse seine sebagai unit penangkapan yang paling produktif menangkap ikan dan layak untuk dikembangkan. Keunggulan purse seine pada beberapa kriteria yaitu : a) produksi rata-rata pertrip; b) jumlah es batu pertrip; c) kapasitas mesin penggerak dan d) ukuran perahu/kapal.
Haluan dan Nurani (1988) menyatakan unit
penangkapan purse seine adalah unit penangkapan ikan pelagis yang paling produktif.
Lebih lanjut Dahuri (2003) mengatakan salah satu ciri teknologi
penangkapan ikan modern adalah produktivitasnya tinggi. Meskipun pada aspek biologi purse seine sebagai prioritas akhir dan merupakan unit penangkapan yang tergolong tidak selektif, namun dari berbagai data dan informasi belum ditemukan tingkat kerusakan sumberdaya ikan sebagai akibat dari pengoperasian alat tersebut. Di Teluk Apar penangkapan ikan dengan
105
purse seine menggunakan alat bantu berupa rumpon, pada malam hari menggunakan alat bantu lampu (light fishing). Keunggulan lain purse seine adalah kemampuan terhadap daya serap tenaga kerja yang lebih tinggi dibanding alat tangkap lain. Hal ini memberikan kesempatan luas bagi anggota keluarga nelayan yang tidak memiliki pekerjaan. Sejalan dengan pendapat Monintja (2003) bahwa pengembangan suatu alat tangkap dari sisi sosial adalah ketersediaan tenaga kerja. Lebih lanjut Monintja (1994) menambahkan teknologi pukat cincin (purse seine) merupakan alternatif terbaik untuk dikembangkan karena sesuai dengan salah satu kriteria unit penangkapan ikan yang dapat menyerap tenaga kerja yang banyak. Diantara berbagai keunggulan terdapat pula beberapa kelemahan unit penangkapan purse terutama jika ditinjau dari kriteria respon nelayan baik kemampuan investasi, kemudahan pengoperasian dan kemudahan pengadaan. Berdasarkan perhitungan dengan fungsi nilai pada kriteria tersebut purse seine berada pada urutan akhir. Rendahnya tingkat responsibilitas nelayan terhadap purse seine disebabkan karena alat tangkap tersebut membutuhkan biaya investasi yang sangat mahal diantara jenis alat tangkap yang dioperasikan di Teluk Apar. Investasi yang demikian tinggi berdampak terhadap tingkat kemampuan dan jumlah pemilikan alat tangkap dimana hanya nelayan dan punggawa tertentu. Oleh karena itu tanpa adanya dukungan pemerintah dirasakan sangat sulit bagi masyarakat nelayan skala kecil dapat berinvestasi pada usaha penangkapan dengan purse seine 3) Aspek sosial Secara umum pada aspek sosial jaring tiga lapis (trammel net) sebagai prioritas unggulan pertama pada fokus kriteria respon penerimaan nelayan, kemampuan investasi, kemudahan pengoperasian dan kemudahan pengadaan unit penangkapan. Hasil jajak pendapat dengan responden dengan 3 pilihan jawaban yang diberi skor 1 – 3 – 5 (Lampiran 31), menunjukkan jaring tiga lapis unggul pada kriteria-kriteria tersebut.
Indikator untuk mengetahui sejauh mana
penerimaan suatu unit penangkapan pada satu kawasan perairan (Teluk Apar) adalah proporsi jumlah unit penangkapan yang ada.
106
Tahun 2005 jumlah unit penangkapan di Teluk Apar sebanyak 2.307 unit, 44% diantaranya (1017) unit adalah jaring tiga lapis. Hal ini berarti bahwa nelayan sangat responsif terhadap unit penangkapan tersebut karena alat yang dimiliki dan digunakan dominan jaring tiga lapis. Tingginya angka kepemilikan jaring tiga lapis di banding alat tangkap lain karena faktor modal investasi yang paling terjangkau dan memiliki peluang yang besar untuk dimiliki oleh nelayan dibanding alat tangkap lain. Keberadaan alat tangkap yang didominasi oleh salah satu jenis diantara berbagai alat tangkap yang dioperasikan pada suatu perairan, terutama perairan pantai menggambarkan alat tangkap tersebut mendapat respon yang positif sekaligus sebagai refleksi terhadap kemampuan nelayan untuk berinvestasi pada alat tangkap tersebut. Selain itu juga karena secara teknis mudah dioperasikan. Dengan harga yang relatif murah tentu demand unit penangkapan tersebut juga tinggi.
Tingginya permintaan unit penangkapan akan direspon pasar dengan
supply yang sesuai dengan tinggkat kebutuhan, sehingga nelayan memperoleh kemudahan untuk mendapatkannya. Hal terpenting yang menjadi daya tarik nelayan terhadap kepemilikan alat tangkap jaring tiga lapis selain hal-hal tersebut diatas yaitu jenis target hasil tangkapan.
Udang merupakan komoditi ekspor sehingga memiliki harga jual
tertinggi dibanding komoditi lain.
Nelayan berprinsif bahwa meskipun hasil
tangkap yang diperoleh dalam jumlah sedikit akan tetapi hasil penjulan yang diterima lebih tinggi dan biaya operasional yang dikeluarkan pada saat melakukan operasi penangkapan masih terjangkau.
Hasil standarisasi fungsi nilai pada
kriteria aspek sosial jaring tiga lapis sebagai prioritas utama selanjutnya jaring insang hanyut prioritas kedua dan prioritas ketiga pada unit penangkapan rawai hanyut selengkapnya pada Tabel 43. 4) Aspek ekonomi a) Kelayakan usaha Tinjauan aspek ekonomi pada kelayakan usaha khususnya pada kriteria keuntungan, purse seine sebagai prioritas pertama. Keuntungan yang diperoleh sangat dipengaruhi oleh jumlah hasil tangkapan yang kemudian menentukan besarnya penerimaan pertahun perunit penangkapan dan total biaya yang
107
dikeluarkan pertahun (Lampiran 32). Pada kriteria waktu pengembalian (PP) jaring tiga lapis sebagai prioritas pertama, hal ini disebabkan biaya investasi unit penangkapan jaring tiga lapis lebih kecil dibanding unit penangkapan lainnya. Selain itu hasil tangkapannya adalah komoditi ekspor dengan harga rata-rata perkilogram cukup tinggi.
Dari hasil yang diperoleh memberi peluang bagi
nelayan untuk mengembalikan biaya inestasi dalam waktu yang relatif cepat. Secara umum kriteria R/C Ratio pada semua unit penangkapan menunjukkan kategori layak.
Pada Tabel 45 nilai R/C Ratio semua unit
penangkapan lebih besar dari 1, yang membedakan adalah besaran R/C Ratio masing-masing unit penangkapan. Pada kriteria tersebut unit penangkapan bagan tancap sebagai prioritas utama dengan nilai R/C Ratio terbesar diantara unit penangkapan lain. Pada kriteria penerimaan kotor pertrip purse seine sebagai unit unggulan utama. Keunggulan purse seine pada kriteria ini disebabkan karena produksi hasil tangkapan pertrip lebih tinggi diatas produksi alat tangkap lainnya. Adapun pada kriteria penerimaan pertenaga kerja jermal sebagai alat tangkap unggulan. Beberapa faktor pendukung keunggulan jermal pada kriteria ini adalah jenis komoditi yang tertangkap memiliki harga rata-rata pperkilogram yang relatif lebih tinggi, karena sebagian species yang tertangkap merupakan komoditi ekspor. Selain itu pada pengoperasian jermal umumnya cukup hanya dilakukan oleh satu orang tenaga kerja, sehingga tidak ada bagi hasil dengan tenaga lainnya kecuali dengan punggawa (juragan) selaku pemilik modal. Secara keseluruhan unit penangkapan yang paling unggul dari aspek ekonomi ditinjau dari kriteria kelayakan usaha adalah purse seine. Hal ini dapat dipahami karena purse seine merupakan unit penangkapan yang paling produktif. b) Kelayakan finansial Kelayakan finansial pada kriteria NPV, jaring insang dasar sebagai prioritas utama. Hal ini dapat dilihat dari akumulasi keuntungan yang diperoleh lebih besar dari unit penangkapan lain. Pada kriteria ini semua unit penangkapan layak.
Berdasarkan kriteria IRR unit penangkapan jaring tiga lapis menjadi
prioritas utama, karena keuntungan yang diperoleh lebih tinggi dari bunga kredit yang telah diasumsikan. Meskipun alat tangkap lain juga memperoleh nilai IRR
108
lebih besar dari bunga kredit, tetapi prosentase nilai IRR jaring tiga lapis lebih besar dibanding unit penangkapan lain. Pada kategori ini rawai hanyut tidak layak, karena keuntungan yang diperoleh lebih kecil dari bunga kredit perbankkan. Kelayakan finansial pada kriteria B/C Ratio semua unit penangkapan layak kecuali rawai hanyut. Dari ketujuh unit penangkapan, jaring tiga lapis menduduki posisi unggulan pertama. Hal ini disebabkan rasio keuntungan yang diperoleh selama aktifitas usaha tersebut berlangsung paling besar (signifikan) terhadap investasi yang dikeluarkan pada usaha tersebut. Selanjutnya berdasarkan hasil standarisasi secara menyeluruh pada kriteria kelayakan finansial, jaring tiga lapis sebagai unit penangkapan prioritas utama 5.2.5
Determinasi pengembangan teknologi penangkapan Hasil standarisasi unit penangkapan unggulan terpilih jaring insang dasar,
jaring tiga lapis dan purse seine. Masing-masing sebagai prioritas pertama, kedua dan ketiga sebagai alternatif pengembangan unit penangkapan ikan di Teluk Apar (Tabel 49). Keunggulan unit penangkapan tersebut secara umum adalah: pertama target species jaring insang dasar adalah ikan-ikan demersal. Jenis ikan dominan yang tertangkap merupakan komoditi yang bernilai ekonomis penting. Pada jaring tiga lapis species target adalah udang sehingga meskipun hasil tangkapan yang diperoleh lebih rendah namun hasil penerimaan lebih tinggi karena harga perkilogram lebih tinggi. Kedua : investas unit penangkapan khususnya jaring insang dasar dan jaring tiga lapis relatif lebih rendah dibandingkan dengan purse seine, sehingga kemampuan berinvestasi dan peluang kepemilikan unit penangkapan tersebut lebih besar dibanding dengan unit penangkapan purse seine meskipun tingkat produktifitas purse seine lebih tinggi. Ketiga : hal mendasar yang menjadi acuan dalam upaya pengembangan suatu alat tangkap di sutau daerah adalah respon masyarakat setempat terhadap alat tangkap yang akan dikembangkan. Penerimaan masyarakat pada suatu alat tangkap menjadi sangat penting dan menjadi faktor penentu meskipun pada aspek tertentu alat tersebut tidak diunggulkan. Berbagai kasus terjadi di berbagai daerah pesisir, adanya insentif yang diberikan oleh pemerintah dengan nilai investasi yang cukup besar baik berupa kapal maupun alat tangkap, akan tetapi tidak
109
dimanfaatkan oleh masyarakat nelayan setempat hingga unit penangkapan tersebut rusak. Oleh karena itu respon masyarakat terhadap sutau alat tangkap menjadi pertimbangan penting. Hal ini sesuai dengan pendapat Monintja (1986) aspek terpenting yang perlu diperhatian dalam pengembangan suatu alat tangkap adalah penerimaan oleh nelayan dan dalam pengoperasiannya tidak menimbulkan friksi atau keresahan nelayan yang telah ada. Oleh karena itu dalam rangka orientasi pengembangan teknologi penangkapan ikan tepat guna ditinjau dari aspek biologi, teknis, sosial dan ekonomi di Teluk Apar ketiga alat tangkap tersebut paling tepat untuk menjadi pilihan pengembangan dan untuk menggantikan unit penangkapan lainnya. Ditinjau berdasarkan urutan prioritas masing-masing aspek dan kriteria, keunggulan unit penangkapan sangat beragam dan tidak didominasi hanya satu jenis alat tangkap. Hal ini mengindikasikan bahwa masing-masing alat tangkap memiliki kelebihan dan kekurangan. Unit penangkapan unggulan tidak dapat dilihat secara parsial. Akan tetapi keunggulan dari semua aspek dan kriteria. Hasil tersebut dapat dilihat dari hasil standarisasi secara keseluruhan terhadap semua aspek yang menjadi indikator penilaian.
Adapun unit penangkapan
unggulan yang dapat dikembangkan adalah unit penangkapan yang menjadi prioritas pertama, kedua dan ketiga. Berdasarkan hasil standarisasi seluruh aspek jaring insang dasar, jaring tiga lapis dan purse seine masing-masing sebagai alternatif prioritas pengembangan. Pengembangan alat tangkap baik jaring insang dasar maupun jaring tiga lapis seharusnya disertai pula dengan peningkatan kapasitas armada penangkapan sehingga operasi penangkapan dapat dilakukan dengan radius yang cukup jauh dan tidak terfokus diperairan pantai. Untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas pengoperasian alat tangkap perlu ditunjang dengan mekanisasi alat berupa net hauler yang bertujuan untuk meringankan, memudahkan juga untuk mempercepat kerja nelayan pada saat setting dan hauling.
Selain itu untuk
meningkatkan produktifitas hasil tangkapan juga unit penangkapan tersebut perlu dilengkapi dengan alat deteksi ikan (fish finder)
110
5.3
Peluang pengembangan perikanan tangkap di Teluk Apar Peningkatan
jumlah
penduduk
berdampak
terhadap
meningkatnya
kebutuhan protein hewani, salah satunya yang bersumber dari ikan. Hasil analisis terhadap permintaan dan penawaran komoditi ikan yang dilakukan di Balikpapan dan juga Kalimantan Timur menunjukkan bahwa pemasaran hasil tangkapan nelayan berpeluang dikembangkan ke daerah tersebut.
Hal ini secara tidak
langsung sebagai isyarat bagi peluang pengembangan perikanan tangkap di Teluk Apar. Meskipun pada hasil analisis menunjukkan bahwa hasil tangkapan aktual tahun 2005 telah melebihi jumlah tangkapan yang diperbolehkan yaitu 80% dari MSY. Kondisi tersebut terbatas dalam kawasan perairan Teluk Apar, karena aktifitas penangkapan semua unit penangkapan dilakukan diperairan tersebut. Oleh karena itu usaha perikanan tangkap masih berpeluang dikembangkan. Teluk Apar merupakan bagian kecil dari perairan laut Kabupaten Pasir.
Mengacu
kepada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2005 tentang Otonomi Daerah dimana batas kewenangan pengelolaan Kabupaten sejauh 4 mil laut. Bertolak dari batas kewenangan tersebut masyarakat nelayan masih memungkinkan untuk melakukan ekspansi penangkapan tidak hanya terbatas pada daerah pantai disekitar Teluk Apar yang hanya berjarak 2 mil. Ikan merupakan sumberdaya yang memiliki keunikan serta karakteristik khusus dibanding sumberdaya lainnya yaitu sebagai sumberdaya milik bersama (commen property) dan dapat dimanfaatkan oleh siapa saja (open acces). Oleh karena itu pemanfaan sumberdaya ikan yang dilakukan oleh nelayan tidak hanya terbatas disekitar perairan Teluk Apar akan tetapi dapat dilakukan diluar perairan laut kabupaten Pasir sebagaimana yang telah dilakukan oleh nelayan-nelayan andon dari berbagai daerah yang telah melakukan usaha penangkapan ikan di perairan kabupaten Pasir. Peningkatan produksi perikanan tangkap Teluk Apar tidak dilakukan dengan menambah unit-unit penangkapan akan tetapi yang paling tepat yaitu mengganti unit-unit penangkapan yang kurang/tidak produktif dengan unit penangkapan yang lebih produktif. Hal ini mengingat upaya yang dilakukan telah melebihi upaya optimum. Bila kondisi demikian terjadi menurut Dahuri (2003) adalah
111
dengan mengendalikan intensitas dan teknis penangkapan sesuai dengan potensi lestarinya agar keseimbangan stok ikan dan tingkat pemanfaatan terjaga. Jaring insang dasar merupakan unit penangkapan unggulan yang tepat dikembangkan. Kebijakan penambahan jaring insang dasar untuk menggantikan unit penangkapan lain yang kurang produktif perlu dilakukan secara hati-hati. Hal ini seperti yang dikatakan Wisudo et al (2003) bahwa untuk meningkatkan produksi dibidang perikanan adalah dengan penerapan teknologi modern pada sarana dan teknis yang digunakan, dalam hal ini termasuk unit penangkapan. Peningkatan produksi tidak selalu akan memberikan hasil atau pendapatan yang tinggi akan tetapi perlu dibutuhkan pula strategi dalam pemasaran produk yang dihasilkan. Keberhasilan perikanan tangkap tidak hanya dilihat dari aspek produksi, akan tetapi bagaimana produk yang dihasilkan tersebut dapat dipasarkan dengan baik serta dengan harga yang layak. Untuk sampai pada tujuan tersebut sangat ditentukan oleh ketersediaan infrastruktur, diantaranya jalan. Diantara enam desa yang ada disekitar Teluk Apar baru satu desa yang memiliki aksesibilitas jalan yang cukup memadai yaitu Desa Lori. Keberadaan jalan sangat menentukan perkembangan roda perekonomian di suatu wilayah termasuk desa-desa disekitar Teluk Apar. Sebagai ilustrasi sebelum terbukanya akses jalan menuju kawasan Teluk, nelayan yang akan pergi ke ibukota kabupaten hanya menggunakan kapal dengan waktu tempuh rata-rata 10 jam. Namun setelah terbangunnya inprastruktur jalan waktu yang dibutuhkan ± 2-3 jam. Faktor pendukung lain dalam rangka pengembangan perikanan tangkap adanya pabrik es. Es merupakan salah satu faktor produksi yang penting bagi usaha penangkapan ikan. Ikan memiliki sifat karakteristik khusus yaitu cepat busuk (perisable food).
Oleh karena itu keberadaan es sangat menentukan
kualitas komoditi ikan yang dipasarkan. Kualitas ini pula selanjutnya menentukan besar kecilnya tingkat harga yang ditawarkan dan penerimaan dari hasil penjualan. Pada Tahun 2006 Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Kalimantan Timur bekerjasama dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Pasir melalui Dinas Perikanan dan Sumberdaya Kelautan Kabupaten Pasir dalam pembangunan 1 unit pabrik es
112
di kawasan Teluk Apar yaitu di Desa Lori. Pembangunan pabrik es tersebut dengan tujuan untuk memenuhi permintaan es yang cukup tinggi yang selama ini masih dipenuhi dari ibukota kabupaten. 5.4
Kendala pengembangan perikanan tangkap di Teluk Apar Pengembangan perikanan tangkap dalam rangka pemberdayaan masyarakat
nelayan di Teluk Apar menghadapi beberapa kendala antara lain. (1) Pendidikan Eksisitensi sumberdaya manusia (SDM) dalam pengelolaan perikanan tidak dapat diabaikan. SDM memiliki multiflyer effect yang besar terhadap berbagai bidang dalam praktek kehidupan manusia berupa sikap, mental, manajerial dan keterampilan, sehingga kualitas SDM sangat menentukan dan memiliki peran yang sangat penting dalam mendukung keberhasilan pembangunan perikanan. Peran pendidikan sangat penting artinya bagi stimulasi daya nalay para nelayan, karena aktifitas penangkapan ikan di laut tidak hanya menuntut kemauan dan ketahanan fisik akan tetapi juga kemampuan dalam penggunaan teknologi peralatan yang canggih bagi setiap kapal perikanan. Pada tahun 2005 nelayan di sekitar Teluk Apar berjumlah 2088 orang dengan struktur pendidikan yang beragam, yang paling dominan hanya tamatan SD bahkan banyak pula nelayan yang tidak pernah mengenyam pendidikan formal. Dampak dari struktur pendidikan yang demikian yaitu pada tingkat kemampuan peneriman nelayan terhadap teknologi baru, apalagi pada tingkat teknologi yang maju selain itu juga mempengaruhi kemampuan dalam mengatur pendapatan sehingga nelayan terus terbelenggu dalam kemiskinan secara permanen khususnya kemiskinan struktural. Konsekuensi lain rendahnya tingkat pendidikan yaitu menyebabkan rendahnya pengetahuan nelayan tentang pelestarian lingkungan pesisir dan laut, sehingga berperilaku negatif dan tidak bertanggung jawab.
Hal demikian
kemudian menyebabkan kerusakan terus meningkat. Pendidikan pada hakekatnya merupakan human invesment dan social capital bagi kepentingan pembangunan di daerah. Oleh karena itu pengembangan SDM perikanan sudah seharusnya dijadikan sebagai program utama pembangunan didaerah.
Sebagaimana yang diamanatkan
113
dalam CCRF tentang pentingnya peningkatan SDM bahwa setiap negara harus mengakui dan menyadari bahwa nelayan dan pembudidya patut mendapatkan pemahaman yang benar tentang konservasi dan pengelolaan sumberdaya perikanan (Nikijuluw, 2002). Peningkatan kualitas SDM nelayan dapat dilakukan melalui tiga hal utama yaitu 1) peningkatan kualitas sumberdaya anak buah kapal (ABK); 2) pemberian pelatihan teknologi dan pengelolaan usaha perikanan skala kecil dan menengah; 3) pemberian insentif modal usaha bagi kegiatan perikanan rakyat yang prospeknya baik (Dahuri, 2001). (2) Teknologi penangkapan Pemanfaatn sumberdaya ikan pada tingkat optimum dibutuhkan dukungan teknologi penangkapan yang sudah modern. Akan tetapi teknologi penangkapan yang digunakan di Teluk Apar masih bersifat turun temurun dan dalam operasi penangkapan lebih dominan menggunakan insting, sehingga produktifitas hasil tangkapan sangat terbatas. Operasi armada penangkapan terjauh dilakukan pada jarak 3 mil ke arah laut itupun hanya dilakukan oleh unit penangkapan purse seine dengan jumlah yang masih sangat terbatas. Peningkatan hasil tangkapan dilakukan dengan perbaikan teknologi sehingga mampu menjangkau daerah penangkapan yang lebih jauh.
Untuk mencapai
daerah penangkapan tersebut dibutuhkan unit penangkapan modern. Sebagaimana yang dikatakan Monintja (1994) bahwa ciri teknologi unit penangkapan modern adalah jangkauan daerah penangkapan lebih jauh dan produktivitas tinggi. (3) Pelabuhan Perikanan Fasilitas perikanan pada prinsipnya berperan sebagai fasilitas penunjang untuk meningkatkan produksi perikanan.
Pendukung kegiatan operasi
penangkapan ikan keberadaannya sangat penting dalam mendukung usaha perikanan tangkap. Fungsi dari pelabuhan perikanan ataupun pangkalan pandaratan ikan (PPI) diantaranya sebagai tempat mendaratkan hasil tangkapan serta tempat berlabuhnya armada penangkapan ikan. Ditinjau faktor geografis keberadaan PPI di Teluk Apar akan memiliki arti yang strategis karena berada di zona pemukiman masyarakat pantai serta aktifitas perdagangan yang merupakan bagian dari perkembangan desa. Berbeda dengan PPI yang telah ada di beberapa daerah yang banyak mengalami berbagai kendala
114
karena armada penangkapan dan PPI tidak berada dalam lokasi yang sama sebab faktor geografis dan demografi. (4) Solar Package Dealer Nelayan (SPDN) Bahan Bakar Minyak (BBM) merupakan input produksi yang sangat vital bagi nelayan baik skala kecil maupun skala industri. Ketergantungan nelayan terhadap ketersediaan BBM sangat tinggi hal ini dapat dipahami oleh adanya kenyataan bahwa biaya operasiaonal melaut terbebani oleh kebutuhan BBM. Kebutuhan BBM di Teluk Apar selama ini dipasok dari SPBU di ibukota kabupaten. Jarak tempuh angkutan BBM sampai ke desa sekitar Teluk Apar mengakibatkan harga jual jauh melebihi harga eceran resmi pemerintah. Kebanyakan nelayan tidak memiliki uang tunai untuk membeli BBM langsung di SPBU, sehingga mereka membeli dan pinjam (utang) melalui para punggawa dengan harga Rp. 4.500 – Rp. 5.000/liter. Harga yang sudah berlaku demikian makin diperparah dengan kenaikan harga BBM. Upaya mengatasi hal tersebut telah dilakukan Dinas Perikanan dan Sumberdaya Kelautan dengan alokasi dana yang diberikan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan melalui Pemerintah Kabupaten Pasir untuk pembangunan SPDN di Teluk Apar. Akan tetapi dalam proses selanjutnya belum ada rekomendasi dari pihak Pertamina menyangkut pembangunan SPDN tersebut.
Belum terealisasinya pembangunan SPDN di
Kabupaten Pasir khususnya di Teluk Apar sebagai salah satu gambaran kurangnya perhatian dan keberpihakan Pertamina terhadap aspirasi masyarakat perikanan. (5) Pelayanan Jaringan Listrik Keterbatasan jangkauan pelayanan listrik hingga kini masih dirasakan oleh masyarakat nelayan di Teluk Apar. Kebutuhan penerangan didesa dan di rumahrumah, penduduk menggunakan genset yang hanya difungsikan pada malam hari, itupun tidak semua warga dapat menikmati fasilitas listrik tersebut karena kemampuan kapasitas mesin.
Hal ini mengakibatkan usaha-usaha ekonomi
produktif di daerah pesisir sukar dilakukan.
Selain itu keterbatasan jangkauan
listrik juga berdampak terhadap aksesibilitas informasi dan pengetahuan yang ditayangkan melalui audio visual.
115
(6) Abrasi dan Sedimentasi Berbagai sungai yang bermuara ke Teluk Apar telah mengalami pendangkalan di sisi lain pada garis pantai desa-desa di Teluk Apar juga mengalami abrasi yang cukup parah seperti yang terjadi di Desa Pasir Baru dan Labuangkallo. Dampak dari abrasi dan sedimentasi di Teluk Apar yaitu terjadinya kerusakan rumahrumah penduduk akibat terpaan ombak. Hal ini memaksa para nelayan pindah dan mendirikan rumah ke arah daratan, Akan tetapi upaya tersebut bukan jaminan untuk keamanan karena pada garis pantai terus terjadi pengikisan. Adapun sedimentasi di Teluk Apar yang cukup memprihatinkan terjadi di Desa Pasir Baru, Labuangkallo dan Lori. Dampak pada upaya pengembangan perikanan tangkap adalah waktu operasi penangkapan sangat terbatas karena sangat dipengaruhi oleh waktu air laut pasang dan surut. Sungai sebagai salah satu alur transportasi nelayan menuju kelaut telah mengalami pendangkalan. Ketika terjadi air surut kapal-kapal nelayan tidak dapat merapat dan masuk mendekati dermaga di desa karena lumpur tebal (kandas) di muara sungai. Agar dapat berlabuh harus menunggu beberapa waktu hingga air laut pasang sehingga dapat dilalui oleh kapal-kapal nelayan. Berbagai aktivitas pembangunan yang dilakukan di wilayah pesisir dewasa ini telah memberikan beragam dampak negarif yang cukup nyata terhadap keberadaan dan kualitas lingkungan sumberdaya ikan. Kerusakan lingkungan disekitar Teluk Apar bukan hanya diakibatkan oleh peningkatan jumlah penduduk, akan tetapi juga dari kenyataan bahwa pengeksploitasian sumberdaya alam yang ketersediaannya semakin terbatas, dilakukan oleh sebagian besar penduduk yang tidak memiliki alternatif sumber pendapatan lain, serta oleh aktifitas pembukaan lahan tambak yang terus menerus terjadi.
6 KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelittian dapat disimpulkan sebagai berikut , yaitu : 1) Pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis dan demersal berdasarkan prinsifprinsif pemanfaatan dalam Code of Conduct for Responsibility Fisheries (CCRF) telah mengalami tangkap lebih secara biologi (biologycal overfishing) 2) Jaring insang dasar, jaring tiga lapis dan purse seine merupakan unit penangkapan prioritas utama yang tepat dikembangkan berdasarkan tinjauan aspek biologi, sosial, teknis dan ekonomi. 3) Usaha perikanan tangkap di Teluk Apar berdasarkan aspek pasar layak dikembangkan karena tingkat permintaan (demand) di Kalimantan Timur dan Balikpapan lebih tinggi dari penawaran (supply) ikan di Teluk Apar. Adapun berdasarkan aspek kelayakan finansial semua unit penangkapan layak dikembangkan kecuali rawai hanyut. 6.2 Saran 1) Perlu
dilakukan
penelitian
lanjutan
untuk
mengetahui
jumlah
unit
penangkapan yang optimal dalam rangka rasionalisasi unit penangkapan di perairan Teluk Apar. 2) Alat tangkap ikan dominan di Teluk Apar adalah alat tangkap sederhana dan bersifat turun temurun yang di operasikan oleh armada penangkapan berukuran 1-1,5 GT. Oleh karena itu dalam konteks pengembangan, perlu dukungan peningkatan kapasitas armada penangkapan sehingga zona penangkapan (fishing ground) lebih jauh sekaligus mengurangi tekanan pemanfaatan sumberdaya pesisir, dalam rangka keberlanjutan dan recovery sumberdaya ikan di kawasan perairan Teluk Apar. 3) Dalam rangka pengembangan dari ketiga unit penangkapan alternatif di Teluk Apar, perlu diperhatikan kemampuan daya dukung (carrying capacity) kelimpahan sumberdaya, serta perlu adanya regulasi untuk mengatur jenis usaha perikanan lainnya yang beroperasi di Teluk Apar. 4) Jika alternatif pengembangan dilakukan pada unit penangkapan purse seine, hal ini berarti terjadi transformasi teknologi, dengan demikian diperlukan
117
suatu
persiapan
yaitu
peningkatan
kapasitas
nelayan
untuk
mengoperasikan purse seineserta melengkapi dengan fasilitas pendukung.
siap
DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2006. Ikan Menyehatkan dan Mencerdaskan. http//www.indonesia.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id= 284588.itemid=696. (18 September 2007). Anonim, 2007. Konsumsi Ikan Indonesia Masih Rendah. Info. Iptek-Lingkungan. http//www.sinarharapan.co.id/berita/0603/20/ipt04/html. (19 September 2007). Aliansi Masyarakat Nelayan (AMN) Kalimantan Timur dan Kabupaten Pasir, 2005. Profil Desa-Desa Pesisir di Sekitar Kawasan Cagar Alam Teluk Adang dan Teluk Apar. Mitra Pesisir, Kabupaten Pasir. Kalimantan Timur. 156 hlm. Asikin, D. 1971. Sinopsis Biologi Ikan Layang (Decapterus spp). LPPL Jakarta. Jakarta 3-27 hlm. Azis, KA. 1989. Pendugaan Stok Populasi Ikan Tropis. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 251 hal Balai Penelitian Perikanan laut. 1992. Ikan-Ikan Laut Eonomis Penting Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian Republik Indonesia, Jakarta. 170 hlm Barus H. Badrudin dan N. Naamin. 1991. Potensi Sumberdaya Perikanan Laut dan Strategi Pemanfaatannya Bagi Pengembangan Perikanan yang Berkelanjutan. Prosiding Forum II Perikanan, Sukabumi, 18-21 Juni 1991. Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian Republik Indonesia, Jakarta. 165-180 hlm Baskoro, M. S. 2002. Metode Penangkapan Ikan. Diktat Pengajaran Kuliah Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan . Institut Pertanian Bogor.107 hlm Dahuri, R. 2000. Perencanaan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Indonesia. Prosiding Konperensi Nasional II Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Indonesia, Makassar, 15-17 Mei 2000. Kerjasama Dep. Eksplorasi Laut dan Perikanan, Pemda Sulsel, Unhas. Makassar. 38-59 hlm _________. 2003. Paradigma Baru Pembangunan Indonesia Berbasis Kelautan. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Bidang Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor. 233 hlm Dinas Perikanan dan Sumberdaya Kelautan Kabupaten Pasir. Tahunan Statistik Perikanan. Pasir. 96 hlm
2005.
Buku
Direktur Jenderal Perikanan. 1997. Buku Pedoman Pengenalan Sumberdaya Perikanan Laut Bagian I. Jenis-Jenis Ikan Ekonomis Penting. Departemen Pertanian. Jakarta. 64 hlm
119
Djamali, A. M. H. Burhanuddin dan S. Martosewojo, 1986. Sumberdaya Ikan Kakap (Lates calcarifer) dan Bambangan (Lutjanus spp) di Indonesia. Proyek studi Sumberdaya Alam Indonesia. Studi Potensi Sumberdaya Hayati Ikan. Lembaga Oceanologi Nasional. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta FAO,
1986. Distribution and Important Biology Fishery of Coastal Fish Regional South East Asia. FAO Fish Technical Paper. FAO. Vol 2. Rome. 42 p
FAO, 1995. Code of Conduct For Responsible Fisheries. Rome. 41 p Fischer, W. And P. J. P Whitehead. 1974. Eastem Ocean (Fishing Area 57) and Western Central Pacific (Fishing Area 71). FAO, Species Identification Sheets for Fishery Purpose. Vol 1-4. FAO, United Nation Gulland, J. A. 1983. Fish Stock Assestment: A Manual of Basic Methods. Wiley & Sons. Rome. 223 p Gulland, J. A. 1988. Fish Population Dynamics : The Implementation for Management. Second edition. A. Willey Interscience Publication, London. 422 p Haluan, J. Dan T.W. Nurani. 1988. Penerapan Metode Skoring dalam Pemilihan Teknologi Penangkapan Ikan yang Sesuai untuk Dikembangkan di Suatu Wilayah Perairan. Bulletin Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Vol. II, No. 1. Fakultas Perikanan. IPB. Bogor: Hal 3-16 Hanafiah, A.M. dan Saefudin A.M. 1983. Tata Niaga Hasil Perikanan. UI-Press. Jakarta. 206 hlm. Hartwick, J. M. and Olewiller, N.D. 1986. The Economic of Natural Resources Use. Harper and Row Publisher, New York. 530 p Hasan, M.I. 2002. Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian dab Aplikasinya. Ghalia Indonesia, Jakarta. 260 hlm Kadariah, L. Karlina, dan Grey, C. 1999. Pengantar Evaluasi Proyek. Edisi Revisi. Lembaga Penerbit FE-UI, Jakarta. 181 hlm King, M. 1995. Fisheries Biology, Assesment and Management. Fishing News Book, Farnham. Surrey. England. 342 p. Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumberdaya ikan, 1997. Potensi Sumberdaya Ikan dan Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan (JTB) di Perairan Indonesia Tahun 1997. Jakarta: Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan. 33 hlm Kriswantoro, M. Dan Sunyoto. 1986. Mengenal Ikan Laut. Tirta Raga Karya. Bani. Jakarta. 99 hlm. Laevastu, T., and Favorite, F. 1988. Fishing and Stock Fluctuation. Fishing News Books Ltd., Farnham. 239 p Lipsey, R.G., Paul N. Courant, D. Purvis, dan P.O. Steiner. 1995. Pengantar Ekonomi Mikro. Penterjemah Wasana J A dan Kibrandoko. Jakarta: Binarupa Aksara. Terjemahan dari Economics 10 thh ed.
120
Mangkusubroto, K. dan Trisnadi C.L. 1985. Analisis Keputusan Pendekatan Sistem dan Manajemen Usaha dan Proyek. Ganesa Exacta. Bandung. 271 hlm Martasuganda, S. 2002. Jaring Insang (Gillnet). Serial Teknologi Penangkapan Ikan Berwawasan Lingkungan. Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. 68 hlm Maunder, M.N. 2001. A General Framework for Integrating the Standardization of Catch Per Unit Effort Into Stock Assessment Models. Canadian Journal of Fisheries and Aquatic Sciences. Vol. 58 Monintja D.R. 2003. Strategi Pengembangan Sumberdaya Perikanan Tangkap Berbasis Ekonomi Kerakyatan. Seminar Nasional Strategi Pengembangan Sumber Daya Perikanan dan Kelautan Berbasis Kerakyatan. Riau. 12 hlm Naamin N. 1984. Dinamika Populasi Udang Jerbung (Penaeus merguensis de Man) di Perairan Arafuru dan Alternatif Pengelolaannya. Disertasi (Tidak dipublikasikan) Bogor. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 281 hlm Nikijuluw, V.P.H. 2002. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. P3R. Jakarta. 254 hlm Nontji, A. 1993. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta. 367 hlm Nurani, T.W. 1987. Seleksi Teknologi Penangkapan Ikan Yang Dapat Dikembangkan di Cilacap, Jawa Tengah. Skripsi (Tidak Dipublikasikan) Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Institut Pertanian Bogor 101 hlm. Nurani, T.W. 2002. Aspek Teknis dan Ekonomi Pemanfaatan Lobster di Pangandaran Jawa Barat. Bulletin PSP, Vol.XI No.2. Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hal:29-46 Pauly D. 1983. Some Simple Methods for Assesment of Tropical Fish Stock. FAO Fish. Tech. Pap. Rome. 134 p. Pauly, D. and V. Christensen, 2003. Ecosystem Model. In: Handbook of Fish Biology and Fisheries Volume II: Fisheries, Hart, P.J.B. and J.D. Reynold (Eds). Blackwell Publishing. United Kingdom. P:210-277 Purbayanto. 1991. Jenis Teknologi Penangkapan Ikan yang Sesuai untuk Dikembangkan di Pantai Timur Kabupaten Donggala Sulteng. Bulletin Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, 3 (1) Bogor. Fakultas Perikanan IPB. 15 hlm Putra, B.H.E, 2004. Evaluasi tTerhadap Kegiatan Penangkapan Ikan dan Kemungkinan Pengembangannya di Perairan Teluk Adang Kabupaten Pasir Kalimantan Timur. Tesis (Tidak dipublikasikan) Program Pascasarjana Universitas Hasanudin. Makassar 85 hlm Riyanto, B. 1991. Dasar-Dasar Pembelanjaan Perusahaan. Edisi 3. Cetakan keempat Belas. Yayasan Badan Penerbit Gajah Mada, Yogyakarta. 317 hlm
121
Saanin, H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan Jilid I dan II. Penerbit Bina Cipta. Bandung. 245 hlm Sadhori, N. 1985. Teknis Penangkapan Ikan. Penerbit Angkasa. Bandung. 182 hlm Sainsbury, J. C. 1996. Commercial Fishing Methods an Introduction to Vessel and Gear. Third Edition. Cambridge: Marston Book Service Ltd. 359 p. Soekarwati. 1995. Pembangunan Pertanian. Raja Grafindo, Jakarta. 174 hlm Sparre, P. dan Venema, S.C. 1992. Introduktion to Tropical Fish Stock Assesment. Part I, Manual. FAO Fisheries Technical Paper No. 306, Rev. 1. FAO. Roma. 435 p. _______________________. 1999. Introduksi Pengkajian Stok Ikan Tropis (terjemahan) FAO-Puslitbangkan-Balitbangkan. Jakarta. Swasta, B. 1981. Asas-Asas marketing. Edisi II. Liberty, Yogyakarta. 328 hlm Subagyo, A. 2007. Studi Kelayakan Teori dan Aplikasi. Komputindo, Jakarta. 258 hlm
Elex Media
Subani, W. Dan Barus, H.R. 1989. Alat Penangkap Ikan dan Udang Di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Badan penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jurnal Edisi Khusus Nomor.50 tahun 198/1989. Departemen Pertanian. Jakarta. 248 hlm Sudirman dan Mallawa, A. 2000. Teknik Penangkapan Ikan. Rineka Cipta, Jakarta. 168 hlm Sugiarto at al. 2005. Ekonomi Mikro. Cetakan ke-3. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 514 hlm Suman A. 2004. Pola Pemanfaatan Sumberdaya udang dogol D.R. 2003. Strategi Pengembangan Sumberdaya Perikanan Tangkap Berbasis Ekonomi Kerakyatan. Seminar Nasional Strategi Pengembangan Sumber Daya Perikanan dan Kelautan Berbasis Kerakyatan. Riau. 12 hlm Syafrin, N. 1993. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pendapatan Usaha Penangkapan Ikan. (Tidak Dipublikasikan). Program Pascasarjana IPB. Bogor. 79 hlm. Umar H. 2001. Studi Kelayakan Bisnis. Ed ke-2. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 301 hlm Umar H. 2005. Riset Pemasaran dan Perilaku Konsumen. Ed ke-4. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 510 hlm Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004. Tentang Perikanan. Von Brandt A. 1984. Fish Catching Methods of The World. England : Fishing News Books. 418 hlm Widodo, J. 1998. Dynamics Pool Analysys of The Ikan Layang (Decapterus spp) Fishery in The Java Sea. Jurnal Penelitian Perikanan Laut No. 47. Jakarta. Balai Penelitian Perikanan Laut. Hlm 39-58
122
Widodo, J., K. Azis., B.E. Priyono., Tampubolon., N. Naamin. Dan A. Djamal. 1998. Potensi dan Penyebaran Sumberdaya Ikan Laut di Perairan Indonesia. Kerjasama Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan Laut-LIPI dengan Ditjen Perikanan, Puslitbang Oceanologi – LIPI, Puslitbang Perikanan, BPPL Puslitbang Perikanan, Lembaga Antariksa Nasional, BPPT dan Fakultas Perikanan IPB. 251 hlm. Wisudo, S.H., T.W Nurani, Zulkarnain. 1994. Teknologi Penangkapan ikan yang layak Dikembangkan di Labuan, Jawa Barat. (Tidak Dipublikasikan). Fakultas Perikanan. IPB. 136 hal. Wiyono, E.S. 2001. Optimasi Manajemen Perikanan Skala Kecil di Teluk Pelabuhan Ratu. Tesis Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. 102 hlm Zulkarnain dan Darmawan. 1997. Penggunaan Model Scaefer dan Model Fox untuk Pendugaan Potensi dan Tingkat Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Layang (Decapterus sp) di Perairan Eretan Wetan, Indramayu. Bulletin PSP, Vol. VI No. 3. Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Hal: 31-40