MANAJEMEN PENANGKAPAN IKAN PELAGIS DI PERAIRAN TELUK APAR KABUPATEN PASER PROVINSI KALIMANTAN TIMUR
MUHAMMAD SYAHRIR R
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Manajemen Penangkapan Ikan Pelagis di Perairan Teluk Apar Kabupaten Paser Provinsi Kalimantan Timur adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Maret 2011
Muhammad Syahrir R NRP. C461070021/TPT
ABSTRACT
MUHAMMAD SYAHRIR R. Fishing Management of Pelagic Fish in Apar Bay of Paser Regency East Kalimantan Province. Supervised by MULYONO S. BASKORO, DARMAWAN, ERNANI LUBIS and EKO SRI WIYONO. The objectives of this research were to 1) determine the fishing season pattern; 2) determine the technique-economic characteristic of fishing gear; 3) determine both the effort level and the optimum utilization of fishery enterprises; and 4) measure the fishing capacity in Apar Bay. The results showed fishing season pattern of pelagic fish in Apar Bay for a) fishing season of short-bodied mackerel, b) fishing season of scad mackerel and yellow striped trevally, c) fishing season of anchovies, d) fishing season of frim gescale sardine, spotted spanish mackerel and frigate mackerel. Pelagic fish production in Apar Bay obtained from eleven of fishing gear which on average showed that purse seine was most productive (at average of 465,033 tonnes per year). In terms of feasibility showed that boat lift net has the greatest benefit (Rp 54,116,000.00 per year). In terms of quantity showed that the most number of fishing gear was drift gill net (at average of 295 fishing gears). Based on CPUE trends showed that scad mackerel and anchovies were the greatest values (at average of 5,513 tonnes per year and at average of 3,507 tonnes per year). The utilization level of frigate tuna and spotted spanish mackerel (at average of 90.33% and 90.67%) higher than other pelagic fish. Eventhough the utilization level of anchovies (45.67%) was the smallest of utilization level. The effort level of frigate tuna (at average of 96.67%) higher than other pelagic fish. Based on analysis of optimization using linear programming (LP) toward objective function and constraint that have been determined previously, obtained optimum values for each type of fishing gears that recommended in 2009 were drift gill net, encircling gill net, set gill net, stationery lift net and guiding barrier, respectively for 261, 392, 916, 88, and 476 units and the results of optimum fishing was 204,786 tonnes per year. The capacity of purse seine and stationery lift net per quarterly were not optimum due to over capacity. Repairing the fishing units capacity that have not been optimum could be done by reducing the input variables (VIU) such as ABK (crew), BBM (oil fuel), and HOP (fishing effort) for purse seine and VIU BBM, HOP and ABT (fishing auxiliaries) for stationery lift net. Priority fishing management of pelagic fish in Apar Bay in relation to pelagic fish resource was respectively for scad mackerel, anchovies, frim gescale sardine, yellow striped trevally, short-bodied mackerel, spotted spanish mackerel, and skipjack. Priority fishing management of pelagic fish in Apar Bay in relation to pelagic fish resource was respectively for scad mackerel, anchovies, frim gescale sardine, yellow striped trevally, shortbodied mackerel, spotted spanish mackerel, and frigate mackerel. Whereas in relation to fishing gear of pelagic fish was respectively for purse seine, boat lift net, drift gill net, stationery lift net, encircling gill net, guiding barrier, set long line, set gill net, other pole, drift long line other and troll line. Keywords: fishing season, effort, utilization level, fishing capacity, pelagic fish, Apar Bay.
ABSTRAK
Belum optimalnya alat penangkapan ikan khususnya di perairan pesisir pantai adalah masalah yang kompleks dan penting untuk segera dicarikan pemecahannya. Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan diketahui bahwa banyaknya alat tangkap (baik dalam jenis maupun jumlah) yang terkonsentrasi di pantai, diyakini telah mendorong tingginya tekanan penangkapan dan kompetisi antar nelayan. Disisi lainnya, nasib nelayan sebagai pelaku utama dalam perikanan, belum juga terentaskan. Bertambahnya nelayan yang tidak terkontrol di wilayah perairan Teluk Apar ditengarai telah melampaui batas maksimum, sehingga keberadaannya perlu dievaluasi lebih lanjut. Tujuan dari penelitian ini adalah menentukan pola musim penangkapan ikan, menentukan karakteristik teknik-ekonomi alat penangkapan, menentukan tingkat upaya dan pemanfaatan optimum usaha perikanan, serta mengukur kapasitas penangkapan ikan di perairan Teluk Apar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola musim penangkapan ikan pelagis di perairan Teluk Apar, yaitu: a) musim penangkapan ikan kembung, b) musim penangkapan ikan layang dan selar, c) musim penangkapan ikan teri, d) musim penangkapan ikan tembang, tenggiri dan tongkol. Produksi ikan pelagis di Teluk Apar diperoleh dari sebelas alat tangkap, yang secara rata-rata alat tangkap purse seine yang paling produktif (rata-rata sebesar 465,033 ton/tahun). Dari segi kelayakan usaha, bagan perahu memiliki keuntungan yang paling besar (Rp 259.116.000/tahun). Dari segi jumlah, jaring insang hanyut yang paling banyak jumlahnya (rata-rata sebanyak 295 alat tangkap). Berdasarkan tren CPUE, maka ikan layang dan teri yang nilainya paling besar (rata-rata sebesar 5,513 ton/tahun dan 5,212 ton/tahun). Tingkat pemanfaatan ikan tongkol, tenggiri, dan layang (rata-rata sebesar 92,83%, 90,67%, dan 86,67%) lebih tinggi dibanding dengan jenis ikan pelagis lainnya. Sedangkan ikan teri (9,67%) paling kecil tingkat pemanfaatannya. Tingkat upaya yang telah melewati 100% yaitu penangkapan ikan kembung, selar, tembang, dan tongkol (107,33%, 122,33%, 129,17%, dan 121,13%). Berdasarkan hasil analisis optimasi dengan Linear Programming (LP) terhadap fungsi tujuan dan pembatas yang telah ditentukan sebelumnya, diperoleh nilai optimal untuk masing-masing jenis alat tangkap yang direkomendasikan pada tahun 2009 yaitu: jaring insang hanyut, jaring insang lingkar, jaring insang tetap, bagan tancap, dan sero berturut-turut sebesar 298, 810, 209, 128, dan 146 unit, hasil tangkapan optimal yang dihasilkan adalah sebesar 202.624 ton per tahun. Kapasitas unit penangkapan purse seine dan bagan tancap per kuartal tidak optimal karena telah terjadi kapasitas berlebih. Perbaikan kapasitas unit penangkapan yang tidak optimal dapat dilakukan dengan mengurangi input variabel (VIU) ABK, BBM, dan HOP pada purse seine, sedangkan VIU BBM, HOP, dan ABT pada bagan tancap. Prioritas manajemen penangkapan ikan pelagis di Perairan Teluk Apar sehubungan dengan sumber daya ikan pelagis berturut-turut sebagai berikut: ikan layang, teri, tembang, selar, kembung, tenggiri, dan tongkol. Sedangkan sehubungan dengan alat penangkapan ikan pelagis dengan prioritas berturut-turut sebagai berikut: purse seine, bagan perahu, jaring insang hanyut, bagan tancap, jaring insang lingkar, sero, rawai tetap, jaring insang tetap, pancing lainnya, rawai hanyut, dan pancing tonda. Kata kunci: musim penangkapan ikan, tingkat upaya dan pemanfaatan, kapasitas penangkapan, optimasi, ikan pelagis, dan Teluk Apar.
RINGKASAN
MUHAMMAD SYAHRIR R. Manajemen Penangkapan Ikan Pelagis di Perairan Teluk Apar Kabupaten Paser Provinsi Kalimantan Timur. Dibimbing oleh MULYONO S. BASKORO, DARMAWAN, ERNANI LUBIS, and EKO SRI WIYONO. Tujuan dari penelitian ini adalah menentukan pola musim penangkapan ikan, menentukan karakteristik teknik-ekonomi alat penangkapan, menentukan tingkat upaya dan pemanfaatan optimum usaha perikanan, serta mengukur kapasitas penangkapan ikan di perairan Teluk Apar. Penelitian ini dilaksanakan selama 6 bulan yaitu April hingga September 2009 di perairan Teluk Apar Kabupaten Paser Provinsi Kalimantan Timur sebagai fishing ground. Data dari penelitian ini terdiri atas data produksi ikan berupa data yang digunakan untuk menduga pola musim penangkapan ikan. Data lainnya yang dikumpulkan untuk menentukan pola musim penangkapan ikan adalah data primer dari hasil wawancara dengan nelayan serta data oseanografi dan lingkungan. Data produksi ikan di Teluk Apar diperoleh dari Kantor Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Paser. Data ini berupa jumlah hasil tangkapan dan jumlah armada penangkapan yang melakukan operasi penangkapan ikan di Teluk Apar Kabupaten Paser periode tahun 2003-2008. Data bio-ekonomi penangkapan ikan berupa data harga ikan, penerimaan total, biaya penangkapan ikan per satuan upaya, total biaya penangkapan ikan per satuan upaya, hasil tangkapan, upaya penangkapan. Data yang dibutuhkan untuk menganalisis kapasitas unit penangkapan ikan pelagis adalah data panel kapal setiap jenis alat tangkap, berupa input dan output produksi penangkapan ikan. Penentuan pola musim penangkapan dilakukan dengan menggunakan teknik analisis deret waktu (time series) terhadap hasil tangkapan per satuan upaya penangkapan kuartalan ikan pelagis selama enam tahun terakhir (20032008). Penentuannya menggunakan metode rata-rata bergerak (moving average) sebagaimana diutarakan oleh Wiyono (2000). Penilaian terhadap karakteristik teknik-ekonomi alat penangkapan ikan dilakukan dengan menganalisis keragaan alat penangkapan ikan, standardisasi alat tangkap, dan pendugaan parameter bioekonomi. Penilaian terhadap tingkat upaya dan pemanfaatan optimum unit penangkapan ikan dilakukan dengan menganalisis produktivitas alat tangkap, standardisasi alat tangkap, fungsi produksi, dan optimasi. Analisis kapasitas unit penangkapan ikan pelagis di Teluk Apar menggunakan metode Data Envelopment Analysis (DEA) output oriented (Farë et al. 1989, 1994; Kirkley and Squires 1999). Pengukuran kapasitas penangkapan ikan diukur berdasarkan efisiensi teknis (TE) yaitu perubahan maksimum output yang memungkinkan dengan tanpa perubahan pada faktor tetap (fixed factor) produksi. Model DEA ini memungkinkan analisis efisiensi bagi aktivitas ekonomi yang bersifat variable return to scale (VRS). Oleh karena itu, model DEA ini tepat diaplikasikan pada aktivitas produksi perikanan yang bersifat decreasing return to scale (Fauzi dan Anna 2005). Kapasitas penangkapan suatu alat tangkap dapat dianalisis dengan menggunakan DEA output. Penelitian ini menyimpulkan beberapa hal yaitu: (1) pola musim penangkapan ikan pelagis di perairan Teluk Apar, yaitu: a) musim penangkapan ikan kembung terjadi pada bulan April hingga Juni, b) musim penangkapan ikan
layang dan selar terjadi pada bulan Januari hingga Maret, c) musim penangkapan ikan teri terjadi pada bulan Oktober hingga Maret, d) musim penangkapan ikan tembang, tenggiri, dan tongkol pada bulan Oktober hingga Desember, (2) produksi ikan pelagis di Teluk Apar diperoleh dari sebelas alat tangkap, yang secara rata-rata purse seine yang paling produktif. Dari segi kelayakan usaha, bagan perahu memiliki keuntungan yang paling besar. Dari segi jumlah, jaring insang hanyut yang paling banyak jumlahnya. Berdasarkan tren CPUE, maka ikan layang yang nilainya paling besar, (3) tingkat pemanfaatan ikan tongkol dan tenggiri lebih tinggi dibandingkan dengan jenis ikan pelagis lainnya. Sedangkan ikan teri paling kecil tingkat pemanfaatannya. Rata-rata tingkat upaya belum ada yang melewati 100%, namun paling tertinggi adalah pengupayaan ikan tongkol, (4) kapasitas unit penangkapan purse seine dan bagan tancap per kuartal tidak optimal karena telah terjadi kapasitas berlebih. Perbaikan kapasitas unit penangkapan yang tidak optimal dapat dilakukan dengan mengurangi input variabel (VIU) ABK, BBM, dan HOP pada purse seine, sedangkan VIU BBM, HOP, dan ABT pada bagan tancap. Manajemen penangkapan ikan pelagis di Teluk Apar dikaji berdasarkan pendekatan musim penangkapan ikan, karakteristik teknik-ekonomi alat penangkapan, tingkat upaya dan pemanfaatan optimum usaha perikanan, serta analisis kapasitas unit penangkapan ikan. Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan metode multi-criteria analysis, maka Prioritas manajemen penangkapan ikan pelagis di Perairan Teluk Apar sehubungan dengan sumberdaya ikan pelagis berturut-turut sebagai berikut: ikan tongkol, tenggiri, layang, teri, selar, dan tembang. Sedangkan sehubungan dengan alat penangkapan ikan pelagis dengan prioritas berturut-turut sebagai berikut: purse seine, jaring insang hanyut, bagan tancap, jaring insang lingkar, jaring insang tetap, bagan perahu, sero, rawai hanyut, pancing tonda, pancing lainnya, dan rawai hanyut. Manajemen penangkapan ikan pelagis ke depan mengalokasikan jumlah hasil tangkapan dan upaya penangkapan tertinggi pada kuartal IV (bulan Oktober-Desember). Kata kunci: musim penangkapan ikan, , tingkat upaya dan tingkat pemanfaatan, kapasitas penangkapan, ikan pelagis, Teluk Apar.
© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya: a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah. b. Ppengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
MANAJEMEN PENANGKAPAN IKAN PELAGIS DI PERAIRAN TELUK APAR KABUPATEN PASER PROVINSI KALIMANTAN TIMUR
MUHAMMAD SYAHRIR R
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Teknologi Perikanan Tangkap
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Penguji Luar Komisi Pembimbing:
Penguji Luar Komisi Ujian Tertutup: 1. Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc. 2. Dr. Ir. Mohammad Imron, M.Si.
Penguji Luar Komisi Ujian Terbuka: 1. Prof (Riset). Dr. Ali Suman 2. Dr. Ir. Sugeng Hari Wisudo, M.Si.
LEMBAR PENGESAHAN
Judul
: Manajemen Penangkapan Ikan Pelagis di Perairan Teluk Apar Kabupaten Paser Provinsi Kalimantan Timur
Nama
: Muhammad Syahrir R
NIM
: C461070021
Program Studi : Teknologi Perikanan Tangkap
Disetujui, Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc Ketua
Dr. Ir. Darmawan, MAMA Anggota
Dr. Ir. Ernani Lubis, DEA Anggota
Dr. Eko Sri Wiyono, S.Pi, M.Si Anggota
Mengetahui,
Ketua Program Studi Teknologi Perikanan Tangkap
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. H. Ari Purbayanto, M.Sc
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Ujian: 21 Februari 2011
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan ridha-Nya sehingga disertasi dengan judul Manajemen Penangkapan Ikan Pelagis di Perairan Teluk Apar Kabupaten Paser Provinsi Kalimantan Timur berhasil diselesaikan. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc., Dr. Ir. Darmawan, MAMA., Dr. Ir. Ernani Lubis, DEA, dan Dr. Eko Sri Wiyono, S.Pi, M.Si selaku ketua dan anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan arahan, bimbingan, dan saran selama ini. Penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Rudiansyah, S.Pi, M.Si selaku staf Dinas Kelautan, Perikanan, dan Peternakan Kabupaten Paser yang telah membantu selama pengumpulan data. Terima kasih kepada pemerintah Provinsi Kalimantan Timur yang telah membiayai penelitian penulis. Terima kasih kepada semua orang yang telah membantu saya selama menempuh pendidikan program doktor di IPB. Terima kasih juga disampaikan kepada kedua orang tua saya, mertua, istri dan anak-anakku atas segala do’a, kasih sayang, dan kesabarannya. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.
Bogor, Maret 2011
Muhammad Syahrir R
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Desa Majannang Kecamatan Tinggimoncong Kabupaten Gowa Provinsi Sulawesi Selatan, pada tanggal 15 Mei 1973, dari Ayah Ramang Rama dan Ibu Marwiah Manja. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Penulis menikah dengan Nur Saidah, ST dan dikaruniai dua orang putri yakni Puan Jelita Aisyah dan Kania Asa Fathinah serta satu orang putra yakni Muhammad Maulana Indraguna. Penulis memulai pendidikan formal pada Sekolah Dasar (SD) Inpres Saluttowa Desa Parigi Kecamatan Tinggimoncong pada tahun 1980. Penulis kemudian melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri Malino Kecamatan Tinggimoncong, lulus tahun 1989. Pada tahun yang sama melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 3 Ujung Pandang. Penulis melanjutkan pendidikan tinggi pada Fakultas Peternakan, Jurusan Perikanan, Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Universitas Hasanuddin, lulus tahun 1997. Pada tahun 1998 melanjutkan pendidikan S2 pada Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin Program Studi Pengelolaan Lingkungan Hidup Konsentrasi Manajemen Lingkungan, lulus tahun 2000. Pada tahun 2007 penulis melanjutkan pendidikan S3 di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada Program Studi Teknologi Perikanan Tangkap dengan sumber pendanaan dari BPPS Dikti. Penulis mulai bekerja pada tahun 2001 sebagai calon pegawai negeri sipil pada Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Univeritas Mulawarman, Kota Samarinda Provinsi Kalimantan Timur.
Bogor, Maret 2011
Muhammad Syahrir R
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ...........................................................................................
xiii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................
xvi
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................
xx
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ..................................................................................... 1.2 Perumusan Masalah ............................................................................. 1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................ 1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................... 1.5 Kerangka Pemikiran ............................................................................
1 4 5 6 6
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sumberdaya Ikan ................................................................................. 2.1.1 Ikan tongkol .............................................................................. 2.1.2 Ikan tembang ............................................................................. 2.1.3 Ikan layang ................................................................................ 2.1.4 Ikan kembung ............................................................................ 2.1.5 Ikan teri ..................................................................................... 2.1.6. Ikan tenggiri .............................................................................. 2.1.7 Ikan selar ................................................................................... 2.2 Alat Tangkap ....................................................................................... 2.2.1 Pukat cincin (purse seine) ......................................................... 2.2.2 Jaring insang (gillnet) ............................................................... 2.2.3 Bagan tancap (stationary lift net) .............................................. 2.2.4 Rawai hanyut (long line) ........................................................... 2.2.5 Pancing tonda (troll line) .......................................................... 2.2.6 Sero (guilding barrier) .............................................................. 2.3 Pengaruh Parameter Fisik Lingkungan terhadap Ikan ......................... 2.3.1 Arus permukaan ........................................................................ 2.3.2 Suhu .......................................................................................... 2.4 Sistem dan Pemodelan dalam Perikanan ............................................. 2.5 Pembakuan Upaya Penangkapan Ikan ................................................. 2.5.1 Upaya relatif .............................................................................. 2.5.2 Daya tangkap relatif .................................................................. 2.6 Model Produksi Perikanan .................................................................. 2.7 Model Bioekonomi .............................................................................. 2.8 Teknik Optimasi .................................................................................. 2.9 Linear Programming ........................................................................... 2.10 Kapasitas Penangkapan ..................................................................... 2.11 Multi-Criteria Analysis (MCA) .........................................................
9 11 12 13 15 16 17 18 19 19 19 21 21 22 22 23 23 25 26 27 27 28 28 30 30 31 32 36
3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ...............................................................
38
3.2 Metode Pengambilan Data .................................................................. 3.2.1 Data oseanografi dan lingkungan .............................................. 3.2.2 Data produksi ikan .................................................................... 3.2.3 Data bio-ekonomi penangkapan ikan ........................................ 3.2.4 Data input dan output kapasitas penangkapan ikan .................. 3.2.5 Data manajemen penangkapan ikan .......................................... 3.3 Analisis Data ....................................................................................... 3.3.1 Penentuan pola musim penangkapan ikan ................................ 3.3.2 Karakteristik teknik-ekonomi alat penangkapan ikan ............... 3.3.3 Tingkat upaya dan pemanfaatan optimum usaha penangkapan ikan ..................................................................... 3.3.4 Analisis kapasitas penangkapan ................................................ 3.3.5 Manajemen penangkapan ikan .................................................. 4 DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN 4.1 Kondisi Umum Kabupaten Paser ........................................................ 4.1.1 Administrasi wilayah dan letak geografis ................................. 4.1.2 Keadaan topografi ..................................................................... 4.1.3 Perikanan tangkap ..................................................................... 4.2 Kondisi Umum Teluk Apar ................................................................. 4.2.1 Gambaran desa-desa pesisir ...................................................... 4.2.2 Unit penangkapan ikan .............................................................. 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pola Musim Penangkapan Ikan Pelagis di Perairan Teluk Apar ......... 5.2 Karakteristik Teknik-Ekonomi Alat Penangkapan Ikan Pelagis di Perairan Teluk Apar ........................................................................ 5.2.1 Keragaan alat penangkapan ikan ............................................... 5.2.2 Standarisasi alat tangkap ........................................................... 5.2.3 Bio-ekonomi alat penangkapan ikan ......................................... 5.3 Tingkat Upaya dan Pemanfaatan Optimum Usaha Perikanan Pelagis di Perairan Teluk Apar ........................................................................ 5.3.1 Keragaan sumberdaya ikan ....................................................... 5.3.2 Tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis ........................ 5.3.3 Optimasi manajemen usaha penangkapan ikan ........................ 5.4 Analisis Kapasitas Unit Penangkapan Ikan Pelagis di Perairan Teluk Apar ........................................................................................... 5.4.1 Kapasitas penangkapan armada purse seine ............................. 5.4.2 Kapasitas penangkapan bagan tancap ....................................... 5.4.3 Output potensial maksimum ..................................................... 5.5 Manajemen Penangkapan Ikan Pelagis di Perairan Teluk Apar ......... 5.5.1 Pengaturan upaya penangkapan ................................................ 5.5.2 Pengaturan hasil tangkapan ....................................................... 5.5.3 Pengaturan input-input upaya penangkapan .............................
38 38 39 39 39 40 40 41 42 44 47 50
52 52 53 53 58 58 59
64 72 72 81 89 97 97 102 107 116 116 124 131 135 141 143 145
6 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ................................................................................................. 147 Saran ........................................................................................................... 148 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xii
DAFTAR TABEL
Halaman 1
Perkembangan jumlah perahu/kapal penangkap ikan di Kabupaten Paser tahun 2003-2008 .......................................................
54
Jumlah unit penangkapan menurut jenis alat tangkap dan kecamatan tahun 2008 ........................................................................
56
Produksi perikanan tangkap menurut klasifikasi alat tangkap di Kabupaten Paser tahun 2008 .................................................................
57
Perkembangan jumlah perahu/kapal penangkap ikan di Teluk Apar tahun 2003-2008 ................................................................
60
Perkembangan jumlah alat tangkap di Teluk Apar tahun 2003-2008 .......................................................................................
61
Perbandingan musim ikan pelagis antara versi nelayan dengan nilai IMP di Teluk Apar ...............................................................
70
Perkembangan jumlah armada penangkapan ikan (unit) yang menangkap ikan pelagis dominan di Teluk Apar tahun 2003-2008 .......................................................................................
72
Nilai fishing power index dari alat tangkap yang menghasilkan ikan kembung ............................................................................................
82
Nilai upaya penangkapan standar dari alat tangkap yang menghasilkan ikan kembung .....................................................................
82
10 Nilai fishing power index dan upaya standar dari alat tangkap yang menghasilkan ikan layang ..............................................................
83
11 Nilai fishing power index dari alat tangkap yang menghasilkan ikan selar ...................................................................................................
84
12 Nilai upaya penangkapan standar dari alat tangkap yang menghasilkan ikan selar ............................................................................
84
13 Nilai fishing power index dari alat tangkap yang menghasilkan ikan tembang .............................................................................................
85
14 Nilai upaya penangkapan standar dari alat tangkap yang menghasilkan ikan tembang ......................................................................
85
15 Nilai fishing power index dari alat tangkap yang menghasilkan ikan tenggiri ..............................................................................................
86
2
3
4
5
6
7
8
9
16 Nilai upaya penangkapan standar dari alat tangkap yang menghasilkan ikan tenggiri .......................................................................
86
17 Nilai fishing power index dari alat tangkap yang menghasilkan ikan teri .....................................................................................................
87
18 Nilai upaya penangkapan standar dari alat tangkap yang menghasilkan ikan teri ..............................................................................
87
19 Nilai fishing power index dari alat tangkap yang menghasilkan ikan tongkol ..............................................................................................
88
20 Nilai upaya penangkapan standar dari alat tangkap yang menghasilkan ikan tongkol .......................................................................
88
21 Hasil tangkapan total (catch), upaya penangkapan total (effort) dan hasil tangkapan per unit upaya penangkapan (CPUE) kembung di Teluk Apar tahun 2003-2008 ................................................
97
22 Hasil tangkapan total (catch), upaya penangkapan total (effort) dan hasil tangkapan per unit upaya penangkapan (CPUE) layang di Teluk Apar tahun 2003-2008 ....................................................
98
23 Hasil tangkapan total (catch), upaya penangkapan total (effort) dan hasil tangkapan per unit upaya penangkapan (CPUE) selar di Teluk Apar tahun 2003-2008 .......................................................
99
24 Hasil tangkapan total (catch), upaya penangkapan total (effort) dan hasil tangkapan per unit upaya penangkapan (CPUE) tembang di Teluk Apar tahun 2003-2008 ................................................. 100 25 Hasil tangkapan total (catch), upaya penangkapan total (effort) dan hasil tangkapan per unit upaya penangkapan (CPUE) tenggiri di Teluk Apar tahun 2003-2008 ................................................... 100 26 Hasil tangkapan total (catch), upaya penangkapan total (effort) dan hasil tangkapan per unit upaya penangkapan (CPUE) teri di Teluk Apar tahun 2003-2008 .......................................................... 101 27 Hasil tangkapan total (catch), upaya penangkapan total (effort) dan hasil tangkapan per unit upaya penangkapan (CPUE) tongkol di Teluk Apar tahun 2003-2008 ................................................... 102 28 Simulasi optimasi manajemen sumber daya ikan pelagis di Teluk Apar ............................................................................................ 111 29 Perbandingan kapasitas berlebih, tingkat penggunaan input dan potensi perbaikan purse seine untuk single-output ........................... 119 30 Perbandingan kapasitas berlebih, tingkat penggunaan input dan potensi perbaikan purse seine untuk multi-output ............................. 123 xiv
31 Perbandingan kapasitas berlebih, tingkat penggunaan input dan potensi perbaikan bagan tancap untuk single-output ......................... 127 32 Perbandingan kapasitas berlebih, tingkat penggunaan input dan potensi perbaikan bagan tancap untuk multi-output ........................... 130 33 Perbedaan antara output potensial maksimum dengan Tingkat output optimal yang diinginkan .................................................. 131 34 Standarisasi sumber daya ikan pelagis ...................................................... 142 35 Standarisasi alat penangkapan ikan pelagis .............................................. 142 36 Alokasi upaya penangkapan ikan pelagis per kuartal berdasarkan indeks musim penangkapan ikan di Teluk Apar ....................................... 143 37 Alokasi hasil tangkapan ikan pelagis per kuartal berdasarkan indeks musim penangkapan ikan di Teluk Apar ....................................... 144 38 Alokasi hasil tangkapan ikan pelagis rata-rata per bulan berdasarkan indeks musim penangkapan ikan di Teluk Apar ....................................... 144 39 Pengurangan VIU pada alat tangkap purse seine untuk pendekatan single-output dan multi-output .............................................. 145 40 Pengurangan VIU pada alat tangkap bagan tancap untuk pendekatan single-output dan multi-output .............................................. 146
xv
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1
Kerangka pemikiran manajemen penangkapan ikan pelagis di perairan Teluk Apar Kabupaten Paser Provinsi Kalimantan Timur .....
8
2
Ikan tongkol (Auxis thazard) (Balai Penelitian Perikanan Laut 1992) .....
12
3
Ikan tembang (Sardinella sp) (Balai Penelitian Perikanan Laut 1992) ....
13
4
Ikan layang (Decapterus spp) (Balai Penelitian Perikanan Laut 1992) ....
14
5
Ikan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma) (Balai Penelitian Perikanan Laut 1992) ....................................................
16
6
Efisiensi teknis dan alokatif (Coelli et al. 1998) .......................................
34
7
Peta lokasi penelitian ................................................................................
38
8
Diagram alir kerangka analisis penelitian .................................................
40
9
Jumlah nelayan berdasarkan kategori usaha di Kabupaten Paser tahun 2003-2008 .......................................................................................
54
10 Perkembangan jumlah kapal motor penangkap ikan di Kabupaten Paser tahun 2003-2008 .......................................................
55
11 Prosentase jumlah unit penangkapan menurut jenis alat tangkap Teluk Apar (Kecamatan Tanjung Harapan dan Tanah Grogot) tahun 2008 .................................................................................................
56
12 Prosentase jumlah produksi menurut jenis alat tangkap Teluk Apar (Kecamatan Tanjung Harapan dan Tanah Grogot) tahun 2008 .................................................................................................
57
13 Kawasan cagar alam Teluk Apar ..............................................................
58
14 Perkembangan jumlah nelayan di Teluk Apar tahun 2003-2008 ..............
59
15 Perkembangan jumlah kapal motor penangkap ikan di Teluk Apar tahun 2003-2008 ................................................................
60
16 Perkembangan jumlah alat tangkap purse seine, jaring insang, dan bagan di Teluk Apar tahun 2003-2008 ..............................................
62
17 Perkembangan jumlah alat tangkap sero, rawai, dan pancing di Teluk Apar tahun 2003-2008 ...............................................................
62
18 Indeks musim penangkapan ikan kembung di Teluk Apar .......................
64
19 Indeks musim penangkapan ikan layang dan selar di Teluk Apar ............
64
20 Indeks musim penangkapan ikan teri di Teluk Apar ................................
65
21 Indeks musim penangkapan ikan tembang, tenggiri, dan tongkol di Teluk Apar ........................................................................
65
22 Perkembangan produksi purse seine (ton) di Teluk Apar tahun 2003-2008 .......................................................................................
73
23 Perkembangan produksi jaring insang hanyut (ton) di Teluk Apar tahun 2003-2008 .......................................................................................
74
24 Perkembangan produksi jaring insang lingkar (ton) di Teluk Apar tahun 2003-2008 .......................................................................................
75
25 Perkembangan produksi jaring insang tetap (ton) di Teluk Apar tahun 2003-2008 .......................................................................................
76
26 Perkembangan produksi bagan perahu (ton) di Teluk Apar tahun 2003-2008 .......................................................................................
77
27 Perkembangan produksi bagan tancap (ton) di Teluk Apar tahun 2003-2008 .......................................................................................
78
28 Perkembangan produksi sero (ton) di Teluk Apar tahun 2003-2008 .......................................................................................
78
29 Perkembangan produksi rawai hanyut (ton) di Teluk Apar tahun 2003-2008 .......................................................................................
79
30 Perkembangan produksi rawai tetap (ton) di Teluk Apar tahun 2003-2008 .......................................................................................
80
31 Perkembangan produksi pancing tonda (ton) di Teluk Apar tahun 2003-2008 ..............................................................................
80
32 Perkembangan produksi pancing lainnya (ton) di Teluk Apar tahun 2003-2008 ..............................................................................
81
33 Tingkat pemanfaatan dan tingkat upaya penangkapan ikan kembung berdasarkan model Equilibrium Schaefer di Teluk Apar tahun 2003-2008 ................................................................ 103 34 Tingkat pemanfaatan dan tingkat upaya penangkapan ikan layang berdasarkan model Equilibrium Schaefer di Teluk Apar tahun 2003-2008 ................................................................ 103 35 Tingkat pemanfaatan dan tingkat upaya penangkapan ikan selar berdasarkan model Equilibrium Schaefer di Teluk Apar tahun 2003-2008 ................................................................ 104 xvii
36 Tingkat pemanfaatan dan tingkat upaya penangkapan ikan tembang berdasarkan model Equilibrium Schaefer di Teluk Apar tahun 2003-2008 ................................................................ 105 37 Tingkat pemanfaatan dan tingkat upaya penangkapan ikan tenggiri berdasarkan model Equilibrium Schaefer di Teluk Apar tahun 2003-2008 ................................................................ 105 38 Tingkat pemanfaatan dan tingkat upaya penangkapan ikan teri berdasarkan model Equilibrium Schaefer di Teluk Apar tahun 2003-2008 ................................................................ 106 39 Tingkat pemanfaatan dan tingkat upaya penangkapan ikan tongkol berdasarkan model Equilibrium Schaefer di Teluk Apar tahun 2003-2008 ................................................................ 107 40 Sebaran rata-rata total nilai kapasitas penangkapan (CU) kapal purse seine dengan pendekatan single-output ................................. 116 41 Sebaran rata-rata nilai kapasitas penangkapan (CU) purse seine menurut kuartal dengan pendekatan single-output ................ 117 42 Sebaran rata-rata nilai kapasitas penangkapan (CU) kapal purse seine menurut kuartal dengan pendekatan single-output ............................................................................................. 118 43 Sebaran nilai VIU kapal purse seine menurut kuartal dengan pendekatan single-output .............................................................. 118 44 Proyeksi perbaikan masing-masing input kapal purse seine dengan pendekatan single-output .............................................................. 120 45 Sebaran rata-rata total nilai kapasitas penangkapan (CU) kapal purse seine dengan pendekatan multi-output .................................. 120 46 Sebaran rata-rata nilai kapasitas penangkapan (CU) purse seine menurut kuartal dengan pendekatan multi-output .................. 121 47 Sebaran rata-rata nilai kapasitas penangkapan (CU) kapal purse seine menurut kuartal dengan pendekatan multi-output ........ 121 48 Sebaran nilai VIU kapal purse seine menurut kuartal dengan pendekatan multi-output ............................................................... 122 49 Proyeksi perbaikan masing-masing input kapal purse seine dengan pendekatan multi-output ............................................................... 123 50 Sebaran rata-rata total nilai kapasitas penangkapan (CU) unit penangkapan bagan tancap dengan pendekatan single-output .......... 124
xviii
51 Sebaran rata-rata nilai kapasitas penangkapan (CU) bagan tancap menurut kuartal dengan pendekatan single-output ............. 125 52 Sebaran rata-rata nilai kapasitas penangkapan (CU) unit penangkapan bagan tancap menurut kuartal dengan pendekatan single-output .............................................................. 126 53 Sebaran nilai VIU unit penangkapan bagan tancap menurut kuartal dengan pendekatan single-output ................................... 126 54 Proyeksi perbaikan masing-masing input bagan tancap dengan pendekatan single-output .............................................................. 127 55 Sebaran rata-rata total nilai kapasitas penangkapan (CU) unit penangkapan bagan tancap dengan pendekatan multi-output ............ 128 56 Sebaran rata-rata nilai kapasitas penangkapan (CU) bagan tancap menurut kuartal dengan pendekatan multi-output ............... 128 57 Sebaran rata-rata nilai kapasitas penangkapan (CU) unit penangkapan bagan tancap menurut kuartal dengan pendekatan multi-output ............................................................... 129 58 Sebaran nilai VIU unit penangkapan bagan tancap menurut kuartal dengan pendekatan multi-output ..................................... 129 59 Proyeksi perbaikan masing-masing input bagan tancap dengan pendekatan multi-output .............................................................. 131
xix
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1
Perhitungan indeks musim penangkapan (IMP) ikan kembung ............... 152
2
Perhitungan indeks musim penangkapan (IMP) ikan layang ................... 154
3
Perhitungan indeks musim penangkapan (IMP) ikan selar ....................... 156
4
Perhitungan indeks musim penangkapan (IMP) ikan tembang ................ 158
5
Perhitungan indeks musim penangkapan (IMP) ikan tenggiri .................. 160
6
Perhitungan indeks musim penangkapan (IMP) ikan teri ......................... 162
7
Perhitungan indeks musim penangkapan (IMP) ikan tongkol .................. 164
8
Rekapitulasi hasil perhitungan indeks musim penangkapan ikan pelagis di Teluk Apar ........................................................................ 165
9
Produksi (ton) ikan pelagis dominan (multi-species) per alat tangkap (multi-gear) di Teluk Apar periode tahun 2003-2008 .......... 166
10 Jumlah Effort (unit) ikan pelagis dominan (multi-species) sebelum distandarisasi per alat tangkap (multi-gear) di Teluk Apar periode tahun 2003-2008 ................................................... 167 11 Perhitungan fishing power index (FPI) dan upaya penangkapan standard (Et) ikan kembung di Teluk Apar ............................................... 168 12 Perhitungan fishing power index (FPI) dan upaya penangkapan standard (Et) ikan layang di Teluk Apar ................................................... 169 13 Perhitungan fishing power index (FPI) dan upaya penangkapan standard (Et) ikan selar di Teluk Apar ...................................................... 170 14 Perhitungan fishing power index (FPI) dan upaya penangkapan standard (Et) ikan tembang di Teluk Apar ................................................ 171 15 Perhitungan fishing power index (FPI) dan upaya penangkapan standard (Et) ikan tenggiri di Teluk Apar ................................................. 172 16 Perhitungan fishing power index (FPI) dan upaya penangkapan standard (Et) ikan teri di Teluk Apar.......................................................... 174 17 Perhitungan fishing power index (FPI) dan upaya penangkapan standard (Et) ikan tongkol di Teluk Apar .................................................. 175
18 Perhitungan Fishing power index berdasarkan CPUE rata-rata dari alat tangkap yang menghasilkan ikan kembung di Teluk Apar periode tahun 2003-2008 ........................... 177 19 Perhitungan Fishing power index berdasarkan CPUE rata-rata dari alat tangkap yang menghasilkan ikan layang di Teluk Apar periode tahun 2003-2008 ............................... 170 20 Perhitungan Fishing power index berdasarkan CPUE rata-rata dari alat tangkap yang menghasilkan ikan selar di Teluk Apar periode tahun 2003-2008 ................................... 177 21 Perhitungan Fishing power index berdasarkan CPUE rata-rata dari alat tangkap yang menghasilkan ikan tembang di Teluk Apar periode tahun 2003-2008 ............................ 178 22. Perhitungan Fishing power index berdasarkan CPUE rata-rata dari alat tangkap yang menghasilkan ikan teri di Teluk Apar periode tahun 2003-2008 ..................................... 178 23 Perhitungan Fishing power index berdasarkan CPUE rata-rata dari alat tangkap yang menghasilkan ikan tenggiri di Teluk Apar periode tahun 2003-2008 .............................. 179 24. Perhitungan Fishing power index berdasarkan CPUE rata-rata dari alat tangkap yang menghasilkan ikan tongkol di Teluk Apar periode tahun 2003-2008 .............................. 179 25 Perhitungan keuntungan usaha perikanan purse seine di Teluk Apar ............................................................................................ 180 26 Perhitungan keuntungan usaha perikanan jaring insang hanyut di Teluk Apar ............................................................................................ 181 27 Perhitungan keuntungan usaha perikanan jaring insang tetap di Teluk Apar ............................................................................................ 182 28 Perhitungan keuntungan usaha perikanan jaring insang lingkar di Teluk Apar ............................................................................................ 183 29 Perhitungan keuntungan usaha perikanan bagan perahu di Teluk Apar ............................................................................................ 184 30 Perhitungan keuntungan usaha perikanan bagan tancap di Teluk Apar ............................................................................................ 185 31 Perhitungan keuntungan usaha perikanan rawai hanyut di Teluk Apar ............................................................................................ 186 32 Perhitungan keuntungan usaha perikanan rawai tetap di Teluk Apar ............................................................................................ 187 xxi
33 Perhitungan keuntungan usaha perikanan pancing tonda di Teluk Apar ............................................................................................ 188 34 Perhitungan keuntungan usaha perikanan pancing lainnya di Teluk Apar ............................................................................................ 189 35 Perhitungan model Equilibrium Schaefer ikan kembung ......................... 190 36 Perhitungan model Equilibrium Schaefer ikan layang ............................. 191 37 Perhitungan model Equilibrium Schaefer ikan selar ................................. 192 38 Perhitungan model Equilibrium Schaefer ikan tembang .......................... 193 39 Perhitungan model Equilibrium Schaefer ikan tenggiri ............................ 194 40 Perhitungan model Equilibrium Schaefer ikan teri ................................... 195 41 Perhitungan model Equilibrium Schaefer ikan tongkol ............................ 196 42 Output dan input kapal purse seine pada kuartal pertama ........................ 197 43 Output dan input kapal purse seine pada kuartal kedua ............................ 198 44 Output dan input kapal purse seine pada kuartal ketiga ........................... 199 45 Output dan input kapal purse seine pada kuartal keempat ........................ 200 46 Nilai efisiensi kapasitas penangkapan, target output, target input dan VIU kapal purse seine pada kuartal pertama untuk single-output ..................................................................... 201 47 Nilai efisiensi kapasitas penangkapan, target output, target input dan VIU kapal purse seine pada kuartal kedua untuk single-output ......................................................................... 202 48 Nilai efisiensi kapasitas penangkapan, target output, target input dan VIU kapal purse seine pada kuartal ketiga untuk single-output ......................................................................... 203 49 Nilai efisiensi kapasitas penangkapan, target output, target input dan VIU kapal purse seine pada kuartal keempat untuk single-output ..................................................................... 204 50 Nilai efisiensi kapasitas penangkapan, target output, target input dan VIU kapal purse seine pada kuartal pertama untuk multi-output ....................................................................... 205 51 Nilai efisiensi kapasitas penangkapan, target output, target input dan VIU kapal purse seine pada kuartal kedua untuk multi-output .......................................................................... 206 xxii
52 Nilai efisiensi kapasitas penangkapan, target output, target input dan VIU kapal purse seine pada kuartal ketiga untuk multi-output .......................................................................... 207 53 Nilai efisiensi kapasitas penangkapan, target output, target input dan VIU kapal purse seine pada kuartal keempat untuk multi-output ...................................................................... 208 54 Output dan input bagan tancap pada kuartal pertama ............................... 209 55 Output dan input bagan tancap pada kuartal kedua .................................. 210 56 Output dan input bagan tancap pada kuartal ketiga .................................. 211 57 Output dan input bagan tancap pada kuartal keempat ............................. 212 58 Nilai efisiensi kapasitas penangkapan, target output, target input dan VIU bagan tancap pada kuartal pertama untuk single-output ................................................................................... 213 59 Nilai efisiensi kapasitas penangkapan, target output, target input dan VIU bagan tancap pada kuartal kedua untuk single-output ................................................................................... 214 60 Nilai efisiensi kapasitas penangkapan, target output, target input dan VIU bagan tancap pada kuartal ketiga untuk single-output ................................................................................... 215 61 Nilai efisiensi kapasitas penangkapan, target output, target input dan VIU bagan tancap pada kuartal keempat untuk single-output ................................................................................... 216 62 Nilai efisiensi kapasitas penangkapan, target output, target input dan VIU bagan tancap pada kuartal pertama untuk multi-output ..................................................................................... 217 63 Nilai efisiensi kapasitas penangkapan, target output, target input dan VIU bagan tancap pada kuartal kedua untuk multi-output ..................................................................................... 218 64 Nilai efisiensi kapasitas penangkapan, target output, target input dan VIU bagan tancap pada kuartal ketiga untuk multi-output ..................................................................................... 219 65 Nilai efisiensi kapasitas penangkapan, target output, target input dan VIU bagan tancap pada kuartal keempat untuk multi-output ..................................................................................... 220
xxiii
DAFTAR ISTILAH
ABK: anak buah kapal, orang yang bekerja di atas kapal. ABT: alat bantu penangkapan, alat tambahan yang dipergunakan untuk mendukung kegiatan operasi penangkapan ikan. BBM: bahan bakar minyak, bahan bakar yang dipergunakan untuk menggerakkan suatu mesin. Biomassa: jumlah berat tiap individu ikan dalam suatu stok ikan. CMSY : hasil tangkapan berdasarkan fMSY. Common property: sumberdaya milik bersama. Community property right: sumberdaya milik komunitas (masyarakat). CPUE: catch per unit effort, jumlah atau berat hasil tangkapan per upaya penangkapan, digunakan sebagai indeks kelimpahan relatif. CRS:
constant return to scale, setiap penambahan satu unit input akan menghasilkan penambahan sebesar satu unit output.
CU: capacity utilization, kapasitas pemanfaatan. DEA: data envelopment analysis, model matematika non-parametrik dengan teknik linear programming dengan orientasi pada input dan output yang digunakan untuk mengukur kapasitas penangkapan ikan secara keragaan relatif. DMU: decision making units, unit pengambilan keputusan dalam pendekatan data envelopment analysis. Efisien: prinsip dasar teori ekonomi yaitu bagaimana menghasilkan tingkat keluaran (output) tertentu dengan menggunakan masukan (input) seminimal mungkin, atau sebaliknya bagaimana menghasilkan tingkat output semaksimal mungkin dengan menggunakan sejumlah input tertentu. Efisiensi teknis: mengukur pencapaian output maksimal dengan menggunakan sejumlah input tertentu. FAO: food and agriculture organization. FPI: fishing power index, indeks yang menggambarkan tingkatan kemampuan tangkap berdasarkan produktivitas suatu armada terhadap armada yang lain.
Fixed input: inputan tetap, merupakan input yang tetap pada operasi penangkapan ikan. fMSY : upaya penangkapan berdasarkan CMSY. GT: gross tonnage, kemampuan atau daya muat dari suatu kapal. Hasil tangkapan (catch): komponen ikan yang ditangkap dengan alat penangkapan ikan. HOP: hari operasi penangkapan, lamanya waktu operasi penangkapan di laut (upaya) dalam menangkap ikan target. HP: horse power, kekuatan mesin kapal. Ikan: segala jenis organisme yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya berada di dalam lingkungan perairan. Ikan pelagis: ikan yang di kolom perairan dengan mobilitas tinggi. IMP: indeks musim penangkapan ikan, nilai indeks dari perhitungan metode ratarata bergerak (moving average) yang menunjukkan pola musim penangkapan ikan. Jika nilai IMP-nya di atas 100 dapat dikatakan sedang terjadi musim penangkapan ikan. Jika nilai IMP-nya di bawah 100 dikatakan sedang terjadi musim paceklik ikan. Input orientation model: model DEA yang berorientasi pada inputan. ITQ: individual transferable quota, kuota hasil tangkapan yang diperbolehkan diambil oleh seseorang atau komunitas. Kapal penangkapan ikan: kapal, perahu, atau alat apung lain yang dipergunakan untuk melakukan penangkapan ikan, mendukung operasi penangkapan ikan, pengangkutan ikan, menyimpan, dan mendinginkan ikan. Kapasitas: jumlah keluaran (output) yang dapat dihasilkan oleh suatu sistem produksi dalam jangka waktu tertentu. Kapasitas penangkapan ikan: jumlah maksimum ikan yang dapat ditangkap oleh sebuah kapal pada suatu periode tertentu (musim atau tahunan) pada tingkat biomassa dan struktur populasi, serta pada teknologi tertentu. Kapasitas berlebih: situasi dimana berlebihnya kapasitas input perikanan (kapal penangkapan) yang digunakan untuk menghasilkan output perikanan (hasil tangkapan ikan) pada level tertentu. Linear programming: metode optimasi untuk menemukan nilai optimum dari fungsi tujuan linier pada kondisi pembatatasan-pembatasan (constraints) tertentu.
xxv
Management of fishing capacity: kapasitas penangkapan.
manajemen penangkapan ikan berdasarkan
MCA: multi-criteia analysis, analisis yang menggunakan banyak kriteria dari suatu data yang berasal dari perhitungan aktual. Monogear: alat penangkapan tunggal. Monospecies: spesies tunggal. MSY: maximum sustainable yield, jumlah suatu hasil tangkapan maksimum yang dapat dipanen dari suatu stok tanpa mempengaruhi hasil tangkapan pada tahun-tahun berikutnya. Multigear: jumlah alat tangkap lebih dari satu. Multispecies: spesies ikan lebih dari satu. Purse seine (pukat cincin): alat penangkapan ikan yang umumnya untuk menangkap ikan pelagis, pengoperasiannya dilakukan dengan cara melingkari gerombolan ikan sehingga geraknya terhadang dan ikan berada dalam lingkaran tersebut. Nelayan: orang yang secara keseluruhan atau sebagian dari hidupnya tergantung dari kegiatan menangkap ikan. Objective function: fungsi tujuan. Open access fishery: pemanfaatan sumberdaya perikanan secara terbuka oleh siapa saja, kapan saja, dan dimana saja, sehingga menimbulkan persaingan antra nelayan, persaingan teknologi dan modal. Over capacity: proses persaingan pemanfaatan sumberdaya perikanan dalam perairan open access yang telah melampaui suatu titik profit total maksimum dari usaha penangkapan ikan. Over exploitation: eksplotasi yang berlebih pada suatu sumberdaya. Output orientation model: model DEA yang berorientasi pada output. Overfishing: kondisi dimana jumlah ikan yang ditangkap melebihi jumlah ikan yang dibutuhkan untuk mempertahankan stok ikan; jumlah upaya penangkapan ikan telah melebihi upaya maksimum lestari. Manajemen perikanan: proses terintegrasi mulai dari pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pengambilan keputusan, alokasi sumberdaya dan implementasi, dalam rangka menjamin kelangsungan produktivitas sumberdaya ikan serta pencapaian tujuan manajemen.
xxvi
Perikanan berkelanjutan: manajemen sumberdaya perikanan dan lingkungannya untuk memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. Stakeholder: suatu grup atau individu yang mempunyai kepentingan dalam suatu sumberdaya dan pemanfaatannya. Stationary lift net: bagan tancap. Stochastic frontier: pendekatan ekonometrika yang mengakomodir konstribusi faktor eksternal kedalam random statistical noise, digunakan untuk mengestimasi frontier ataupun efisiensi produksi. Stok ikan: jumlah biomassa ikan yang dapat ditangkap pada suatu kawasan perairan tertentu dalam periode yang ditentukan supaya kelestarian dipertahankan. Sumberdaya ikan (fish resources): potensi semua jenis ikan. TAC: total allowable catch, maksimum hasil tangkapan yang diperbolehkan dari suatu perikanan sesuai dengan rencana manajemen. TC: total cost, merupakan penjumlahan biaya variabel dan biaya tetap. TE: technical eficiency, efisiensi teknis. TECU: technical efficiency capacity utilization output oriented, efisiensi teknis kapasitas penangkapan. TR: total revenue, merupakan penerimaan total sebagai hasil perkalian produksi dan harga. Variable input: inputan tidak tetap, merupakan input yang bisa berubah pada operasi penangkapan ikan. VRS:
variable return to scale, penambahan satu unit input mengakibatkan peningkatan atau penurunan output.
Upaya penangkapan (fishing effort): usaha yang dilakukan nelayan dalam rangka menangkap ikan di laut. VIU: variable input utilization, tingkat penggunaan input variabel (tidak tetap).
xxvii
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Sumberdaya perikanan laut termasuk dalam kategori dapat pulih. Namun kemampuan alam untuk memperbaharui bersifat terbatas dan pada kenyataannya sampai saat ini sangat sedikit fakta yang mampu menunjukkan pernyataan tersebut (Wiyono 2005). Jika manusia mengeksploitasi sumberdaya melebihi batas kemampuannya untuk melakukan pemulihan, sumberdaya akan mengalami penurunan, terkuras, dan bahkan menyebabkan kepunahan.
Sekali terjadi
sumberdaya sudah menipis, maka stok ikan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk pulih kembali. Walaupun telah dilakukan penghentian penangkapan. Penangkapan berlebih atau overfishing sudah menjadi kenyataan pada berbagai perikanan tangkap dunia. Organisasi pangan dan pertanian dunia (FAO 2009) memperkirakan 52% dari stok perikanan laut dunia telah tereksploitasi penuh. Salah satu penyebab mengapa sebagian besar perikanan dunia overfishing adalah penerapan model-model manajemen perikanan hanya berbasis pada parameter biologi yang sebagian besar dikembangkan untuk spesies tunggal pada perikanan industri di negara-negara Uni-Eropa, tidak cocok diterapkan pada perikanan daerah tropis yang notabene berskala kecil dan bersifat multigearmultispecies. Padahal, negara-negara di Asia yang merupakan negara berkembang termasuk Indonesia, dimana perikanannya didominasi oleh perikanan skala kecil, menyumbang hampir 58% produksi perikanan dunia. Perbedaan skala, sistem penangkapan, dan ekosistem perairan, menyebabkan model-model berbasis biologi tidak mampu untuk menerangkan kompleksitas perikanan daerah tropis. Selama masih didasarkan pada model-model berbasis biologi yang memahami perikanan secara linear, dapat diduga, spesies tunggal dan kesetimbangan sistem, manajemen perikanan tidak akan berhasil. Oleh sebab itu sangat berbahaya jika manajemen perikanan khususnya perikanan skala kecil di daerah tropis masih didasarkan pada model-model berbasis biologi ini. Upaya perbaikan terhadap kondisi sumberdaya ikan bukannya tidak dilakukan. FAO dan beberapa negara telah mencoba untuk mengembangkan dan menerapkan beberapa metoda kebijakan manajemen sumberdaya ikan yang didasarkan pada kajian
2
aspek biologi, seperti penerapan TAC (total allowable catch), ITQ (individual transferable quota), MSY (maximum sustainable yield), dan sebagainya. Namun, upaya tersebut rupanya belum membuahkan hasil yang optimum.
Kerusakan
sumberdaya ikan masih saja terus berlangsung tanpa dapat dikendalikan. Sampai saat ini pengkajian mengenai manajemen sumberdaya ikan yang mengaitkan faktor lain seperti biologi, lingkungan perairan dan sosial ekonomi, serta kapasitas penangkapan dalam satu kajian masih jarang dilakukan. Padahal faktor-faktor ini baik secara langsung maupun tidak langsung akan sangat berpengaruh nyata terhadap armada penangkapan ikan yang akhirnya akan berpengaruh terhadap sediaan sumberdaya ikan itu sendiri. Lebih rinci Fletcher, et al. (1988) menjelaskan bahwa sistem perikanan mempunyai interaksi yang sangat kompleks antara stok dan faktor-faktor lainnya seperti ABK dan modal yang digunakan untuk menangkap ikan. Lebih lanjut dikatakan bahwa interaksi yang terjadi tersebut secara dinamis akan menyebabkan adanya perubahan secara dinamis baik pada stok sumberdaya ikan itu sendiri maupun upaya penangkapannya. Optimalisasi pemanfaatan sumberdaya yang tepat dalam merangkum semua kepentingan tersebut perlu dilakukan untuk kepentingan manajemen sumberdaya yang menyeluruh. Holling (1978) mengemukakan bahwa analisis optimalisasi manajemen sistem perikanan dinamik yang paling tepat adalah yang meliputi pemrograman dan dinamik kontrol yang optimal. Tetapi karena sistem di daerah tropis sangat kompleks, maka teknik ini sangat sulit dilaksanakan (Hilbron 1979). Arnason (1990) mengusulkan teknik simulasi untuk studi sistem perikanan yang kompleks. Walaupun tidak memberikan hasil secara teori yang optimal, model simulasi dapat digunakan untuk mengetahui pengaruh kebijakan perikanan terhadap sistem perikanan.
Teknik optimasi yang digunakan untuk alokasi
sumberdaya yang terbatas terhadap banyak tujuan adalah linear programming (Subagyo 2007). Disamping itu, penelitian-penelitian pengkajian stok terdahulu biasanya hanya menekankan pada prinsip perhitungan stok tunggal (monospecies) dengan menggunakan alat tangkap tunggal (monogear), dimana pemanfaatan sumberdaya ikan biasanya diasumsikan dimanfaatkan oleh satu alat tangkap. Padahal dalam kenyataannya di daerah tropis satu alat tangkap dapat menangkap lebih dari satu jenis ikan dan sebaliknya satu jenis ikan dapat dimanfaatkan oleh lebih dari satu
3
alat tangkap. Oleh sebab itu untuk kepentingan manajemen sumberdaya yang menyeluruh, maka perlu dicarikan alternatif model manajemen pemanfaatan sumberdaya di daerah tropis secara tepat. Berdasarkan pada kenyataan tersebut, maka FAO pada tahun 1998 mencoba mencari terobosan baru guna mengatasi permasalahan yang ada. Sumber utama dari semua kerusakan perikanan di beberapa negara adalah sulitnya mengontrol input (armada penangkapan) bagi perikanan, sehingga manajemen perikanan kemudian didekati dengan pengaturan kapasitas penangkapan dari alat tangkap itu sendiri atau dalam istilah FAO adalah management of fishing capacity. Sebagai acuan bersama, fishing capacity kemudian diartikan sebagai kemampuan input perikanan (unit kapal) yang digunakan dalam memproduksi output (hasil tangkapan), yang diukur dengan unit penangkapan atau produksi alat tangkap. Ringkasnya, fishing capacity adalah kemampuan unit kapal perikanan (dengan segala aspeknya) untuk menangkap ikan. Tentu saja kemampuan ini akan bergantung pada volume stok sumberdaya ikan yang ditangkap (baik musiman maupun tahunan) dan kemampuan alat tangkap ikan itu sendiri. Berdasarkan pengertian tersebut, overcapacity kemudian diterjemahkan sebagai situasi dimana berlebihnya kapasitas input perikanan (armada penangkapan ikan) yang digunakan untuk menghasilkan output perikanan (hasil tangkapan ikan) pada jumlah tertentu. Overcapacity yang berlangsung terus-menerus pada akhirnya akan menyebabkan overfishing, yaitu kondisi dimana output perikanan (hasil tangkapan ikan) melebihi batas maksimumnya (Wiyono 2005). Sejak mekanisasi, modernisasi dan penggunaan inputan dari pabrik menggantikan alat dan bahan tradisional, perikanan skala kecil menunjukkan tren peningkatan kapasitas armada penangkapan dalam jumlah dari tahun ke tahun. Seperti negara berkembang lainnya, peningkatan kapasitas armada penangkapan ikan skala kecil di perairan Indonesia menimbulkan persoalan yang berkaitan dengan overcapacity dan pengurangan kelebihan jumlah upaya penangkapan (Berkes et al. 2001). Kabupaten Paser merupakan salah satu kabupaten yang ada di wilayah Provinsi Kalimantan Timur yang terletak paling selatan. Secara geografis Kabupaten Paser terletak pada posisi antara 00 0 58’ 10,54’’ - 020 24’ 29,19’’ Lintang Selatan dan 1150 36’ 14,59’’ - 1160 57’ 35,03’’ Bujur Timur. Luas wilayah administrasi Kabupaten Paser 11.603,94 km 2 dengan luas perairan 752,76 km2.
4
Produksi perikanan laut Kabupaten Paser secara umum ditopang oleh perairan laut Teluk Apar. Daerah penangkapan dari berbagai jenis alat tangkap meliputi seluruh perairan teluk. Nelayan Teluk Apar melakukan operasi penangkapan sepanjang tahun meskipun terdapat musim tertentu yang dikenal dengan musim puncak. Menurut nelayan pada musim puncak waktu operasi penangkapan per trip lebih pendek karena hasil tangkapan lebih banyak dibanding pada musim lainnya. Sementara perkembangan alat tangkap di Teluk Apar Kecamatan Tanjung Harapan terus mengalami peningkatan tanpa memperhatikan keberadaan stok sumberdaya ikan. Spesies ikan pelagis yang tertangkap di perairan Teluk Apar adalah tongkol, tembang, layang, dan kembung, selar, teri, dan tenggiri. Penelitian sebelumnya di Teluk Apar dilakukan oleh Rudiansyah (2008) tentang Pengembangan Teknologi Penangkapan Ikan di Perairan Teluk Apar Kabupaten Pasir Kalimantan Timur, dimana hasil tangkapan ikan pelagis dan demersal yang didaratkan, dihasilkan dari tujuh jenis alat tangkap, yaitu: pukat cincin, jaring insang dasar, jaring insang hanyut, jaring tiga lapis, bagan tancap, rawai hanyut, dan jermal.
1.2 Perumusan Masalah Trend hasil tangkapan di beberapa daerah untuk beberapa tahun terakhir bervariasi dari yang meningkat, rata atau flat, dan yang menurun. Pada daerahdaerah dimana trend rata atau menurun, hasil tangkapan per nelayan cenderung menurun, demikian halnya dengan ukuran ikannya. Hal ini merupakan akibat sistem manajemen yang masih mengacu pada open access (akses terbuka) dimana pengendalian penangkapan diabaikan. Hal tersebut di atas menyebabkan mudahnya terjadi penangkapan berlebih (overfishing). Belum optimalnya alat penangkapan ikan khususnya di perairan pesisir pantai adalah masalah yang kompleks dan penting untuk segera dicarikan pemecahannya. Pemanfaatan sumberdaya ikan yang belum terkendali di beberapa wilayah perairan telah menyebabkan degradasi yang sangat tajam akan stok sumberdaya ikan dan ekologi perairan. Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan diketahui bahwa banyaknya alat tangkap (baik dalam jenis maupun jumlah) yang terkonsentrasi di pantai, diyakini telah mendorong tingginya tekanan penangkapan dan kompetisi antar nelayan. Disisi lainnya, nasib nelayan sebagai pelaku utama
5
dalam perikanan, belum juga terentaskan. Bertambahnya nelayan yang tidak terkontrol di wilayah perairan Teluk Apar ditengarai telah melampaui batas maksimum, sehingga keberadaannya perlu dievaluasi lebih lanjut. Aktivitas penangkapan ikan di perairan laut Kabupaten Paser selama ini terfokus pada daerah pantai. Hal ini terlihat dari jenis atau ukuran armada yang digunakan dominan kapal motor yang berukuran 0-5 GT. Ukuran perahu atau kapal sangat berpengaruh terhadap jangkauan daerah pengoperasian alat tangkap. Tingginya tekanan terhadap sumberdaya ikan pelagis di perairan pesisir terlihat dari hasil penelitian Rudiansyah (2008) yang menyatakan bahwa produksi ikan pelagis tahun 1996-1997 menurun sebesar 3,7 ton. Selanjutnya pada periode 1998-2001 produksi mengalami peningkatan sebesar 777.9 ton. Produksi tahun 2001-2005 kembali menurun hingga 1.712,0 ton. Berdasarkan hal tersebut diatas, maka diperlukan adanya kebijakan dalam manajamen penangkapan ikan yang mempertimbangkan aspek-aspek biologi, lingkungan perairan, dan sosial ekonomi, serta kapasitas penangkapan. Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka permasalahan yang hendak dikaji dalam manajamen penangkapan ikan di perairan Teluk Apar Kabupaten Paser, yaitu: 1) Bagaimana karakteristik pola musim penangkapan ikan pelagis dominan di periaran Teluk Apar? 2) Bagaimana karakteristik teknik-ekonomi alat penangkapan ikan pelagis di perairan Teluk Apar? 3) Bagaimana tingkat upaya dan pemanfaatan optimum usaha penangkapan ikan pelagis di perairan Teluk Apar? 4) Bagaimana tingkat kapasitas penangkapan ikan pelagis di perairan Teluk Apar? 5) Bagaimana manajemen penangkapan ikan pelagis di perairan Teluk Apar?
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1) Menentukan pola musim penangkapan ikan, 2) Menentukan karakteristik teknik-ekonomi alat penangkapan ikan di perairan Teluk Apar,
6
3) Menentukan tingkat upaya dan pemanfaatan optimum usaha perikanan tangkap di perairan Teluk Apar, 4) Mengukur kapasitas penangkapan ikan di perairan Teluk Apar, 5) Menentukan prioritas manajemen penangkapan ikan di perairan Teluk Apar. 1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai alternatif pemikiran dalam manajemen perikanan yang multigear-multispecies, yang didominasi oleh perikanan skala kecil.
1.5 Kerangka Pemikiran Kegiatan penangkapan ikan pelagis di Teluk Apar berdasarkan data Dinas Perikanan dan Sumberdaya Kelautan Kabupaten Pasir (2005) diacu dalam Rudiansyah (2008) didominasi oleh alat tangkap pukat cincin, jaring insang, bagan tancap, dan rawai hanyut. Dalam rangka peningkatan produksi, maka daya dukung dan kemampuan armada menjadi hal yang sangat berpengaruh. Pengetahuan tentang hal ini sangat diperlukan dalam upaya manajemen pemanfaatan agar supaya dapat memberikan hasil yang optimal, sehingga dapat meningkatan pendapatan nelayan. Pengkajian optimalisasi manajemen perikanan perlu dilakukan untuk mendapatkan alternatif kebijakan yang tepat. Optimalisasi yang dimaksud adalah menjadikan manajemen sumberdaya optimal berdasarkan faktor biologi, teknik, dan ekonomi. Pada kondisi perikanan bebas kompetitif tanpa terkendali, kapasitas upaya penangkapan akan cenderung terus meningkat. Secara umum peningkatan upaya penangkapan akan memberikan dampak pada peningkatan produksi hasil tangkapan. Akan tetapi jika peningkatan upaya tersebut tidak dikelola dengan baik, maka akan merusak kelangsungan sumberdaya perikanan. Agar kapasitas upaya penangkapan tersebut tidak melebihi kapasitas maksimum, tanpa mengabaikan tujuan peningkatan produksi dan keuntungan yang optimum dengan tetap memperhatikan kelestarian sumberdaya ikan, diperlukan suatu manajemen berupa penetapan pemanfaatan kapasitas upaya penangkapan. Sejauh ini, manajemen
kapasitas
upaya
penangkapan
berikut
pengukurannya
guna
7
menentukan tingkat efisiensi teknis dan pemanfaatan kapasitas belum banyak dilakukan di Indonesia. Penelitian untuk menghitung kapasitas penangkapan dengan menggunakan model data envelopment analysis (DEA) telah dilakukan oleh beberapa peneliti, diantaranya: 1) Tingley et al. (2002) menggunakan model DEA untuk menganalisis kapasitas penangkapan multi-purpose dan multi-gear di English Chanel. 2) Kirkley et al. (2003) menggunakan model DEA output oriented untuk menganalisis kapasitas perikanan pukat cincin di perairan Semenanjung Malaysia. 3) Fauzi dan Anna (2005) menggunakan model DEA single-output oriented untuk menganalisis kapasitas perikanan skala kecil di pesisir DKI Jakarta. 4) Sularso (2005) menggunakan model DEA single-output oriented untuk menganalisis alternatif manajemen perikanan udang di Laut Arafura. 5) Wiyono dan Wahyu (2006) menggunakan model DEA single-output oriented untuk menganalisis kapasitas perikanan skala kecil pantai dengan studi kasus unit perikanan pancing ulur di perairan Pelabuhanratu. 6) Desniarti (2007) menggunakan model DEA single-output oriented untuk menganalisis kapasitas perikanan pelagis di pesisir Provinsi Sumatera Barat. 7) Olii (2007) menggunakan model single-input oriented dan single-output oriented untuk menganalisis kapasitas perikanan tangkap dalam rangka manajemen armada penangkapan di Provinsi Gorontalo. 8) Efendi (2007) dan Hufiadi (2008) menggunakan model DEA input oriented untuk menganalisis kapasitas perikanan pukat cincin di perairan Laut Jawa. Perbedaan kedua penelitian ini yaitu pada penelitian Efendi hanya menggunakan pendekatan single-output sedangkan Hufiadi menggunakan single-output dan multi-output. 9) Luasunaung (2008) menggunakan model single-input oriented dan singleoutput oriented untuk menganalisis stok dan fishing capacity perikanan demersal di Kepulauan Togean Sulawesi Tengah. Penentuan kapasitas penangkapan ikan pelagis di perairan Teluk Apar akan dilakukan dengan mengukur efisiensi teknis dan pemanfaatan kapasitas alat tangkap. Efisiensi penangkapan ikan dan pemanfaatan kapasitas dari alat tangkap di perairan Teluk Apar dianalisis berdasarkan kuartal penangkapan dengan
8
menggunakan metode data envelopment analysis (DEA). Analisis kapasitas penangkapan ikan yang dilakukan dapat menjadi acuan dalam manajemen usaha penangkapan ikan, sehingga sumberdaya perikanan akan tetap lestari dan nelayan dapat meningkatkan pendapatannya dari sumberdaya yang dimanfaatkan. Masalah: Aktivitas penangkapan ikan di perairan Teluk Apar selama ini terfokus di sekitar daerah pantai
Implikasi:
Hasil tangkapan per nelayan cenderung menurun
Belum optimalnya alat penangkapan ikan
Pemanfaatan sumberdaya ikan yang belum terkendali
Analisis: Pemanfaatan sumberdaya ikan secara optimum
Pola musim penangkapan
Karakteristik teknikekonomi alat penangkapan ikan
Tingkat upaya dan pemanfaatan optimum unit penangkapan ikan
Analisis kapasitas penangkapan ikan
Output: Manajemen penangkapan ikan pelagis di Teluk Apar Gambar 1 Kerangka pemikiran manajemen penangkapan ikan pelagis di perairan Teluk Apar Kabupaten Paser Provinsi Kalimantan Timur.
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Sumberdaya Ikan dan Ikan Pelagis Ikan adalah salah satu bentuk sumberdaya alam yang bersifat renewable
atau mempunyai sifat dapat pulih.
Disamping sifat dapat diperbaharui,
sumberdaya ikan pada umumnya dianggap open access dan common property yang artinya pemanfaatan bersifat terbuka oleh siapa saja dan kepemilikannya bersifat umum (Widodo dan Nurhakim 2002).
Sifat sumberdaya seperti ini
menimbulkan beberapa konsekuensi, antara lain: (1)
Tanpa adanya manajemen akan menimbulkan gejala eksploitasi berlebihan (over exploitation), investasi berlebihan (over investment), dan tenaga kerja berlebihan (over employment).
(2)
Perlu adanya hak kepemilikan (property rights), misalnya oleh negara (state property rights), oleh masyarakat (community property rights) atau swasta/perorangan (private proverty rights). Sifat-sifat sumberdaya seperti di atas menjadikan sumberdaya ikan bersifat
unik, dan setiap orang akan merasa mempunyai hak untuk memanfaatkan sumberdaya tersebut dalam batas-batas kewenangan hukum suatu negara. Dengan demikian, kondisi ini memungkinkan bagi setiap orang atau perusahaan dapat dengan bebas masuk dan mengambil manfaatnya. Selanjutnya, dengan adanya orang atau perusahaan yang berdesakan karena mereka bebas masuk, maka akan tejadi interaksi yang tidak menguntungkan dan secara kuantitatif berupa biaya tambahan yang harus diderita oleh masing-masing orang atau perusahaan, sebagai akibat keadaan berdesakan tersebut. Secara prinsip sumberdaya milik bersama yang dicirikan dengan pengambilan secara bebas maupun akibat-akibat lain yang ditimbulkan seperti biaya eksternalitas (tidak ekonomis) dan lain sebagainya, akan menimbulkan kecenderungan manajemen secara deplesi (Suparmoko 1997). Disisi lain, terdapat tiga sifat khusus yang dimiliki oleh sumberdaya yang bersifat milik bersama (Nikijuluw 2002). Ketiga sifat khusus tersebut adalah: (1)
Ekskludabilitas Sifat ini berkaitan dengan upaya pengendalian dan pengawasan terhadap akses ke sumberdaya bagi stakeholder tertentu. Upaya pengendalian dan pengawasan ini menjadi sulit dan sangat mahal oleh karena sifat fisik
10
sumberdaya ikan yang dapat bergerak, disamping lautan yang cukup luas. Dalam kaitan ini, orang akan dengan mudah memasuki area perairan untuk memanfaatkan sumberdaya ikan yang ada didalamnya, sementara disisi lain otoritas manajemen sangat sulit untuk mengetahui serta memaksa mereka untuk keluar. (2)
Substraktabilitas Substraktabilitas adalah suatu situasi dimana seseorang mampu dan dapat menarik sebagian atau seluruh manfaat dan keuntungan yang dimiliki oleh orang lain. Dalam kaitan ini, meskipun para pengguna sumberdaya melakukan kerjasama dalam manajemen, akan tetapi kegiatan seseorang didalam memanfaatkan sumberdaya yang tersedia akan selalu berpengaruh secara negatif pada kemampuan orang lain didalam pemanfaatan sumberdaya yang sama. Dengan demikian, sifat ini pada dasarnya akan menimbulkan persaingan yang dapat mengarah pada munculnya konflik antara rasionalitas individu dan kolektif.
(3)
Indivisibilitas Sifat ini pada hakekatnya menunjukkan fakta bahwa sumberdaya milik bersama adalah sangat sulit untuk dibagi atau dipisahkan, walaupun secara administratif pembagian maupun pemisahan ini dapat dilakukan oleh otoritas menajemen. Nybakken (1989) menyatakan bahwa ikan pelagis merupakan organisme
yang mempunyai kemampuan untuk bergerak, sehingga tidak tergantung pada arus laut atau gerakan air yang disebabkan oleh angin. Ikan pelagis merupakan ikan yang hidup pada lapisan permukaan perairan sampai tengah. Pada daerahdaerah dimana terjadi proses kenaikan massa air (upwelling), sumberdaya ini dapat membentuk biomassa yang sangat besar. Ikan pelagis umumnya hidup secara bergerombol baik dengan kelompoknya maupun jenis ikan lainnya namun terdapat kecenderungan ikan pelagis bergerombol berdasarkan kelompok ukurannya. Berdasarkan
ukurannya,
Balai
Penelitian
Perikanan
Laut (1992)
mengelompokkan ikan pelagis menjadi dua kelompok, yaitu: (1) Pelagis besar Mempunyai ukuran 100-250 cm (ukuran dewasa), umumnya ikan pelagis besar adalah ikan peruaya dan perenang cepat. Contoh dari kelompok ini
11
antara lain ikan tuna (Thunnus spp), cakalang (Katsuwonus pelamis), tenggiri (Scomberomorus spp), dan tongkol (Euthynnus spp). (2) Pelagis kecil Mempunyai ukuran 5-50 cm (ukuran dewasa), didominasi oleh enam kelompok besar yaitu: kembung (Rastrelliger spp), layang (Decapterus spp), selar (selarroides spp), tembang dan lemuru (Sardinella spp), serta teri (Stolephorus spp). Sumberdaya ikan yang didaratkan di Teluk Apar sangat beragam, baik ikan demersal maupun ikan pelagis dari berbagai ukuran. Namun dari sekian banyak ikan yang didaratkan tersebut ada tujuh jenis ikan utama yang dihasilkan dari perikanan skala kecil di Teluk Apar, yaitu ikan tongkol, tembang, layang, kembung, teri, tenggiri, dan selar. Ketujuh jenis ikan ini adalah jenis ikan pelagis.
2.1.1
Ikan tongkol Ikan tongkol (Auxis thazard) tergolong ikan epipelagik dan termasuk
dalam jenis tuna kecil (Gambar 2). Tongkol tergolong ikan buas dan sebagai predator. Kondisi yang disenangi adalah perairan laut dengan kisaran temperatur antara 18-290C (Saanin 1984). Menurut Nontji (1993) ciri-ciri morfologinya yaitu badan memanjang, kaku, bulat seperti cerutu, badan tanpa sisik kecuali pada bagian korselet yang tumbuh sempurna dan mengecil ke bagian belakang, warnanya kebiru-biruan serta putih dan perak di bagian perut. Ciri-ciri lain, di bagian perut terdapat ban-ban serong berwarna hitam di atas garis rusuk serta noktah-noktah hitam terdapat diantara sirip dada dan perut. Ukuran panjang ikan rata-rata yang tertangkap berkisar antara 25-40 cm. Terdapat dua sirip di bagian punggung, sirip punggung yang pertama berjari-jari keras 10 sedangkan yang kedua berjari-jari keras 11 dan terdapat 6-9 jari-jari tambahan yang letaknya di belakang sirip punggung yang kedua. Sirip dubur berjari-jari lemah 44, diikuti sirip-sirip tambahan.
Badannya tampak
diselimuti sisik, kecuali pada belakangnya. Ikan ini mempunyai daging yang kenyal dan gurih serta merupakan perikanan ekonomis penting (Kriswantoro dan Sunyoto 1986). Distribusi tongkol sangat luas meliputi perairan tropis dan sub tropis, termasuk Samudera Pasifik, Samudera Hindia, dan Samudera Atlantik.
12
Penyebarannya cenderung membentuk kumpulan multispecies menurut ukurannya (FAO 1986).
Gambar 2 Ikan tongkol (Auxis thazard) (Balai Penelitian Perikanan Laut 1992) Klasifikasi ikan menurut Saanin (1984) sebagai berikut: Kelas : Pisces Sub kelas : Telestoi Ordo
: Percomorphi
Sub ordo : Scombroidae Famili
: Scombidae
Divisi
: Scombridae
Genus
: Auxis
Spesies
2.1.2
: Auxis thazard
Ikan tembang Ikan tembang (Sardinella spp) termasuk kelompok ikan pelagis kecil yang
ditangkap dengan berbagai macam alat tangkap seperti: pukat cincin, payang, dan jaring insang hanyut. Daerah penyebarannya meliputi seluruh perairan pantai Indonesia, ke utara sampai ke Taiwan, ke selatan sampai ke ujung utara Australia dan ke barat sampai Laut Merah (Balai Penelitian Perikanan Laut 1992). Saanin (1984) memberikan ciri-ciri ikan tembang sebagai berikut. Bentuk tubuh fusiform, pipih dengan sisik berduri di bagian bawah badan, awal sirip punggung sebelum pertengahan badan, berjari-jari lemah 17-20, dasar sirip dubur pendek dan jauh di belakang dasar sirip dorsal serta berjari-jari lemah 16-19. Lapisan insang halus berjumlah 60-80 pada busur insang pertama bagian bawah. Ikan tembang pemakan plankton dan membentuk gerombolan besar. Panjang berkisar antara 12-25 cm, warna bagian atas kehijauan, dan bagian bawah putih perak, sirip-siripnya pucat kehijauan dan tembus cahaya (Gambar 3).
13
Fischer dan Whitehead (1974) mengemukakan bahwa Sardinella fimbriata merupakan ikan permukaan dan hidup pada perairan pantai serta suka bergerombol pada areal yang luas sehingga sering tertangkap bersama-sama ikan lemuru. Ikan tembang juga terkonsentrasi pada kedalaman kurang dari 100 m. Pergerakan vertikal terjadi karena perubahan siang dan malam, pada malam hari ikan tembang cenderung berenang ke permukaan dan berada di permukaan sampai matahari terbit. Waktu malam terang, gerombolan ikan tembang akan berpencar atau tetap berada di bawah permukaan. Fischer dan Whitehead (1974) mengklasifikasi ikan tembang sebagai berikut: Phylum
: Chordata
Sub phylum : Vertebrata Kelas
: Pisces
Sub kelas
: Teleostei
Ordo
: Malacopterygii
Famili
: Clupeidae
Sub famili : Clupeinae Genus Spesies
: Sardinella : Sardinella sp.
Gambar 3 Ikan tembang (Sardinella sp) (Balai Penelitian Perikanan Laut 1992)
2.1.3
Ikan layang Ikan layang yang umum ditemukan di perairan Indonesia ada 5 jenis yakni
Decapterus russeli, Decapterus kurroides, Decapterus lajang, Decapterus macrosoma, dan Decapterus maruadsi. Namun dari kelima spesies ikan layang hanya Decapterus russeli yang mempunyai daerah penyebaran luas di Indonesia, mulai dari Kepulauan Seribu hingga Pulau Bawean dan Pulau Masalembo, Decapterus lajang hidup di perairan yang dangkal seperti di Laut Jawa (termasuk Selat Sunda, Selat Madura, dan Selat Bali), Selat Makassar, Ambon, dan Ternate.
14
Decapterus macrosoma banyak dijumpai di Selat Bali dan Pelabuhanratu. Decapterus maruadsi termasuk ikan yang berukuran besar, hidup di laut dalam dan tertangkap pada kedalaman 100 m atau lebih (Nontji 1993). Ikan ini hidup di perairan yang berjarak 37-56 km dari pantai dengan kadar garam relatif tinggi (32-340/00) dan menyenangi perairan jernih serta membentuk gerombolan besar.
Ikan ini termasuk perenang cepat.
Panjang
tubuhnya mencapai 30 cm, bentuk badan agak memanjang dan agak gepeng. Dalam statistik perikanan, kedua jenis ikan layang ini dimasukkan dalam satu kategori (Decapterus spp) (Widodo 1988).
Gambar 4 Ikan layang (Decapterus spp) (Balai Penelitian Perikanan Laut 1992)
Klasifikasi ikan layang menurut Saanin (1984) sebagai berikut: Phylum
: Chordata
Sub phylum : Vertebrata Kelas
: Pisces
Sub kelas Ordo
: Teleostei : Percomorphi
Sub ordo Divisi
: Percoidae : Perciformes
Sub divisi : Carangi Genus
: Decapterus
Spesies
: Decapterus russeli, (Rupped) D. macrosoma, (Bleeker) D. lajang, (Bleeker) D. kurroides, (Bleeker) D. maruadsi , (Temminck dan Schlegel)
15
Ikan layang biasanya memijah pada suhu minimum perairan 170C. Umumnya pemijahan terjadi dua kali setahun, puncak pemijahan pada bulan Maret atau April (musim barat) dan bulan Agustus atau September (musim timur). Asikin (1971) mengemukakan bahwa ikan layang muncul ke permukaan karena dipengaruhi oleh ruaya harian dari plankton hewani (zooplankton) yang terdapat di suatu perairan. Secara spesifik, makanan ikan layang terdiri dari copepoda 39%, cructacea 31%, dan organisme lainnya 30%. Makanan utama zooplankton, terkadang juga ikan kecil seperti teri (Stolephorus spp) dan japuh (Dussunteria acuta) (Nontji 1993).
Ikan ini
ditangkap dengan menggunakan jaring insang, mini purse seine, dan bagan tancap.
2.1.4
Ikan kembung Ciri ikan kembung (Rastrelliger spp) secara umum yaitu badan berbentuk
cerutu, tubuh dan pipinya ditutupi oleh sisik-sisik kecil, bagian dada agak lebih besar dari bagian lain (Gambar 5). Mata mempunyai kelopak yang berlemak. Gigi yang kecil terletak di tulang rahang.
Tulang insang dan banyak sekali
terlihat seperti bulu jika mulut terbuka. Mempunyai dua buah sirip punggung (dorsal), sirip punggung pertama terdiri dari jari-jari lemah dan sama dengan sirip dubur (anal) tidak mempunyai jari-jari keras. 5-6 sirip tambahan (finlet) terdapat di belakang sirip dubur (anal) dan sirip punggung (dorsal) kedua. Bentuk sirip ekor (caudal) bercagak dalam. Sirip dada (pectoral) dengan dasar agak melebar dan sirip perut terdiri atas satu jari-jari keras dan jari-jari lemah (Saanin 1984). Ikan kembung lelaki (Rastrelliger kanagurta) memiliki satu noda hitam di belakang sirip dada sedangkan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma) tidak ada noda hitam. Perbedaan lain yaitu pada kembung lelaki terdapat 2 baris bulatan hitam di bawah sirip punggung dan garis hitam membujur sepanjang badan sedangkan pada kembung perempuan terdapat baris bulatan-bulatan hitam dan tidak ada garis hitam. Panjang tubuh mencapai 35 cm (Saanin 1984). Ikan kembung lelaki biasanya ditemukan di perairan yang jernih dan agak jauh dari pantai dengan kadar garam lebih dari 320/ 00 sedangkan kembung perempuan dijumpai di dekat perairan pantai dengan kadar garam lebih rendah (Nontji 1993). Penyebaran utama ikan kembung di perairan barat, timur, dan selatan Kalimantan serta Selat Malaka (Balai Penelitian Perikanan Laut 1992).
16
Gambar 5 Ikan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma) (Balai Penelitian Perikanan Laut 1992) Klasifikasi ikan kembung menurut Saanin (1984) sebagai berikut: Phylum
: Chordata
Sub phylum : Vertebrata Kelas
: Pisces
Sub kelas Ordo
: Teleostei : Percomorphi
Sub ordo
: Scombroidae
Famili
: Scombridae
Genus Spesies
: Rastrelliger : Rastrelliger kanagurta, (Cuvier) Rastrelliger brachysoma, (Bleeker) Rastrelliger faughni, (Matsui)
2.1.5
Ikan teri Ikan teri dikenal juga sebagai anchovy, umumnya berukuran kecil antara
6-9 cm, tetapi ada juga yang berukuran besar misalnya Stolephorus commersonnii dan Stolephorus indicus yang panjangnya dapat mencapai 17,5 cm. Ikan ini umumnya menghuni perairan dekat pantai dan estuaria, hidup bergerombol (Hutomo et al. 1987). Ikan teri mempunyai tanda-tanda khusus yaitu umumnya tidak berwarna atau agak kemerah-merahan, bagian samping tubuhnya terdapat garis putih keperakan seperti selempang yang memanjang dari kepala sampai ekor, bentuk tubuh bulat memanjang (fusiform) dan termampat samping (compressed) dengan sisik-sisik berukuran kecil dan tipis serta mudah lepas. Tulang atas rahang memanjang mencapai celah insang. Sirip dorsal umumnya tanpa duri pradorsal, sebagian atau seluruhnya terletak di belakang anus pendek dengan jari-jari lemah sekitar 16-23 buah. Sirip caudal bercagak dan tidak bergabung dengan sirip anal,
17
duri abdominal hanya terdapat antara sirip pektoral dan ventral berjumlah tidak lebih dari tujuh buah (Hutomo et al. 1987). Laevastu dan Hayes (1981) mengemukakan bahwa ikan teri selama siang hari membentuk gerombolan di dasar perairan dan bermigrasi menuju permukaan pada malam hari dimana tebalnya gerombolan ini adalah 6-15 m. Kedalaman renang dari gerombolan teri bervariasi selama siang hari dan bermigrasi ke daerah yang dangkal (permukaan) pada waktu pagi dan sore hari. Hal ini berkaitan erat dengan cahaya, ikan teri menyukai intensitas cahaya tertentu dan kedalaman dari intensitas bervariasi sesuai dengan waktu. Klasifikasi ikan teri menurut Saanin (1984) sebagai berikut: Phylum
: Chordata
Sub phylum : Vertebrata Kelas
: Pisces
Sub kelas
: Teleostei
Ordo
: Malacopterygii
Famili
: Clopeidae
Sub famili
: Engraulidae
Genus Spesies
: Stolephorus : Stolephorus commersonnii Stolephorus tri
2.1.6
Ikan tenggiri Menurut Martosubroto et al. (1991) ikan tenggiri merupakan jenis ikan
yang tergolong ekonomis penting dan menjadi salah satu ikan yang digemari di dunia.
Penyebaran spesies ini mencakup seluruh wilayah Pasifik Barat dari
Afrika Utara dan Laut Merah sampai ke perairan Indonesia, Australia, dan Fiji ke utara sampai ke perairan China dan Jepang. Potensi dan penyebaran ikan tenggiri di Indonesia hampir di seluruh wilayah perairan Sumatera, Jawa dan Nusa Tenggara, Kalimantan dan Sulawesi, Maluku dan Irian Jaya. Saanin (1984) menyatakan bahwa ciri-ciri morfologi ikan tenggiri yaitu: bentuk badan memanjang, gepeng, memiliki gigi-gigi pada rahang lancip, kuat dan gepeng. Sirip punggung pertama berjari-jari keras 15-17 dan yang kedua berjari-jari lemah 16, diikuti 9 jari-jari sirip tambahan. Sirip dubur berjari-jari lemah 18-20 dan diikuti 9 jari-jari sirip tambahan. Garis rusuk hampir lurus
18
sampai di bawah sirip punggung kedua, kemudian berkelok-kelok sampai dengan batang ekor. Ikan tenggiri termasuk ikan buas, karnivora, dan predator. Klasifikasi ikan tenggiri menurut Saanin (1984) sebagai berikut: Phylum
: Chordata
Sub phylum : Vertebrata Kelas
: Pisces
Sub kelas
: Teleostei
Ordo
: Percomorphi
Sub ordo
: Scombridea
Famili
: Scombridae
Genus
: Scomberomorus
Spesies
: Scomberomorus guttatus Scomberomorus lineolatus
2.1.7
Ikan selar Ciri khusus ikan selar antara lain: memiliki bentuk tubuh compressed,
ukuran panjang tubuh maksimal 30 cm, tetapi ikan selar yang umumnya tertangkap memiliki panjang tubuh 20 cm. Kebanyakan habitatnya di perairan pantai hingga kedalaman 80 m. Secara morrfologi dilihat dari bagian atas tubuhnya berwarna hijau kebiru-biruan sedangkan bagian bawahnya berwarna putih perak terlihat adannya garis kuning keemasan yang membujur mulai dari mata sampai ke sirip ekor dan terdapat totol berwarna gelap pada penutup insangnya (Saanin 1984). Klasifikasi ikan selar menurut Saanin (1984) sebagai berikut: Phylum
: Chordata
Sub phylum : Vertebrata Kelas
: Pisces
Sub kelas Ordo
: Teleostei : Malacopterygii
Sub ordo
: Scombridea
Famili
: Carangidae
Genus Spesies
: Selar : Selar crumenophthalmus Selaroides leptolepis
19
2.2
Alat Tangkap
2.2.1
Pukat cincin (purse seine) Pukat cincin menurut Baskoro (2002) adalah jaring yang umumnya
berbentuk persegi panjang, dilengkapi dengan tali kerut yang dilewatkan melalui cincin yang diikatkan pada bagian bawah jaring (tali ris bawah). Dengan menarik tali kerut pada bagian bawah jaring menguncup dan akan membentuk seperti mangkok. Dikatakan “pukat cincin” karena alat tangkap ini dilengkapi dengan cincin. Pada umumnya purse seine terdiri dari kantong (bag, bunt), badan jaring, tepi jaring, pelampung (float, corck), tali pelampung (corck line, float line), sayap (wing), pemberat (singker, lead), tali penarik (purse line), tali cincin (purse ring) dan silvege. Fungsi mata jaring (mesh size) dan jaring yaitu sebagai dinding penghadang dan bukan sebagai penjerat ikan, sehingga perlu ditentukan besarnya ukuran mata jaring (mesh size) dan ukuran benang jaring (twine) yang sesuai untuk setiap ikan yang menjadi tujuan penangkapannya (Ayodhyoa 1981). Alat tangkap purse seine
digolongkan sebagai jaring lingkar dalam
(surrounding net), karena dalam pengoperasiannya jaring akan membentuk pagar yang mengelilingi kawanan ikan yang akan ditangkap.
Alat tangkap yang
melingkari kawanan ikan ini, pengoperasiannya akan dipengaruhi oleh kemampuan (skill) nelayan dalam mencari kawanan ikan, tingkah laku spesies ikan yang dituju dan sifat-sifat teknologi alat tangkap. Sifat teknologi tadi berupa faktor ukuran kapal, tenaga mesin, bahan bakar minyak, panjang jaring, lamanya operasi dan tenaga kerja, memegang peranan penting sehingga perlu diperhitungkan kombinasinya dari beberapa parameter agar dapat diperoleh suatu indeks daya tangkap yang sesuai (von Brandt 1984).
2.2.2
Jaring insang (gillnet) Gillnet secara harfiah berarti jaring insang. Alat penangkapan ini disebut
jaring insang karena ikan yang tertangkap oleh gillnet umumnya tersangkut pada tutup insangnya (Sadhori 1984). Ayodhyoa (1981) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan gillnet adalah jaring yang berbentuk empat persegi panjang, mempunyai ukuran mata jaring yang sama pada seluruh mata jaring. Agar ikan lebih mudah terjerat pada mata jaring ataupun terbelit pada badan jaring, maka pada pembuatan jaring perlu diperhatikan hal-hal antara lain kekakuan dari
20
benang, ketegangan dari rentangan tubuh jaring, shortening, tinggi jaring, mesh size, besar ikan, dan warna jaring. Sainsbury (1971) mendefinisikan gillnet sebagai dinding jaring yang lebar ditempatkan di atas laut untuk menangkap spesies demersal, atau di semua tempat mulai dari kolom air (mid-water) sampai ke permukaan (surface) untuk menangkap ikan pelagis. Menurut Gunarso (1985) gillnet merupakan dinding jaring dengan bahan jaring yang lembut dan mempunyai daya visibilitas yang rendah. Ikan akan terjerat pada mata jaring dalam usaha mereka dalam melewati jaring tersebut. Von Brandt (1984) dalam klasifikasi alat tangkap menyatakan bahwa alat tangkap yang tergolong kedalam gillnet dibedakan menjadi dua kelas, yaitu gillnet dan tangle gillnet. Gillnet adalah jaring dinding tunggal dengan bukaan mata jaring sebagai ukuran ikan yang diinginkan dapat terjerat (gilled). Ikan dapat terjerat dengan sendirinya karena ikan mendekati gillnet, tetapi ikan dapat juga digiring ke dalam gillnet. Gillnet digunakan satu-satu atau dalam rangkaian besar. Secara umum gillnet dibedakan menjadi empat yaitu: (1)
Set gillnet, yaitu gillnet yang dijangkar pada dasar perairan atau kadangkadang terapung.
(2)
Drift gillnet, yaitu gillnet yang dibiarkan hanyut dengan atau tanpa kapal.
(3)
Dragged gillnet.
(4)
Encircling gillnet, yaitu gillnet yang dipasang melingkar. Jika ditinjau berdasarkan cara pemasangannya gillnet dapat dibedakan
menjadi: (1)
Drift gillnet (pengoperasiannya dibiarkan hanyut mengikuti arus dan gelombang).
(2)
Stake gillnet (dipasang memakai tongkat-tongkat kayu di perairan dangkal).
(3)
Diver gillnet (dibiarkan hanyut di atas dasar perairan, umumnya digunakan untuk menangkap ikan salmon).
(4)
Sink gillnet (dipasang menetap dengan jangkar)
(5)
Circle gillnet (dioperasikan dengan melingkari gerombolan ikan) Secara umum cara pemasangan gillnet adalah dipasang melintang terhadap
arah arus dengan tujuan menghadang arah ikan dan diharapkan ikan-ikan tersebut menabrak jaring serta terjerat di sekitar insang pada mata jaring atau terpuntal
21
pada tubuh jaring. Oleh karena itu warna jaring sebaiknya disesuaikan dengan warna perairan tempat gillnet dioperasikan (Sadhori 1984).
2.2.3
Bagan tancap (stationary lift net) Bagan merupakan alat tangkap yang dioperasikan dengan cara dinaikkan
atau ditarik ke atas dari posisi horizontal yang ditenggelamkan untuk menangkap ikan yang ada di atasnya dengan menyaring air. Menurut Subani dan Barus (1988) bagan berdasarkan bentuk dan metode pengoperasiannya terbagi menjadi tiga macam yaitu bagan tancap, rakit, dan perahu. Selanjutnya dikatakan bahwa metode penangkapan ikan dengan bagan yaitu dengan memanfaatkan naluri ikan, yaitu ketertarikan terhadap cahaya. Penangkapan dengan bagan dilakukan pada malam hari, terutama pada saat bulan gelap dengan menggunakan lampu sebagai alat bantu. Komponen material bagan tancap terdiri dari jaring, rumah bagan yang terbuat dari batang kayu nibung, serok, dan lampu petromaks.
Pada bagian
pelataran terdapat alat penggulung yang digunakan untuk menurunkan dan menaikkan jaring bagan pada saat dioperasikan.
2.2.4
Rawai hanyut (long line) Rawai merupakan alat penangkap ikan yang terdiri atas rangkaian tali-
temali yang bercabang-cabang dan pada setiap ujung cabangnya diikatkan dengan sebuah pancing dan diberi umpan. Pancing rawai terdiri atas tali utama, tali cabang, bendera, pelampung, pemberat, mata pancing, dan umpan. Pancing rawai diklasifikasikan ke dalam tiga bagian, yaitu berdasarkan letak pemasangan di perairan, susunan mata pancing pada tali utama, dan jenis ikan yang menjadi tujuan utama penangkapan. Berdasarkan letak pemasangan di perairan, terdiri atas rawai permukaan (surface long line) dan rawai pertengahan (midwater long line). Berdasarkan susunan mata pancing yaitu rawai mendatar (horizontal long line) dan berdasarkan jenis ikan yang menjadi tujuan utama penangkapan yaitu rawai tuna (tuna long line). Von Brandt (1984) menyatakan bahwa efektifitas alat tangkap rawai bukan hanya dipengaruhi oleh faktor desain dari mata pancing, tipe, ukuran, dan bentuk umpan saja, tapi juga dipengaruhi oleh bahan, panjang, dan jarak antara tali cabang. Bahan monofilamen untuk tali utama dan tali cabang sangat baik
22
digunakan karena visibilitynya lebih rendah dan bisa diikatkan pada swivel sehingga mengurangi kemungkinan terbelit.
2.2.5
Pancing tonda (troll line) Jenis-jenis teknik penangkapan ikan yang menggunakan pancing biasa
disebut dengan line fishing. Umumnya pada mata pancingnya dipasang umpan, baik umpan asli maupun umpan buatan yang berfungsi untuk menarik perhatian ikan. Umpan asli dapat berupa ikan udang, atau organisme lainnya yang hidup atau mati, sedang umpan buatan dapat terbuat dari kayu, plastik dan sebagainya yang menyerupai ikan atau udang (Sudirman dan Mallawa 2004). Pancing tonda adalah alat alat penangkap ikan yang terdiri dari seutas tali panjang, mata pancing, dan umpan. Pancing ditarik di belakang perahu motor atau kapal yang sedang bergerak maju.
Umpan yang dipakai adalah umpan
buatan (Ayodhyoa 1981). Secara umum pancing tonda atau trolling berarti menarik satu atau beberapa tali pancing dengan memakai umpan buatan biasanya diletakkan di belakang kapal yang bergerak. Umpan atau pemikat dirancang dengan warna yang terang atau menyerupai ikan sehingga menarik ikan pemangsa untuk menyambarnya (Von Brandt 1984). Pancing tonda dioperasikan pada siang hari. Pengoperasian pancing tonda dilakukan dengan cara ditarik di belakang perahu atau kapal yang bergerak maju secara horizontal menelusuri lapisan permukaan air hingga kedalaman tertentu di wilayah perairan dimana menjumpai kawanan ikan (tongkol dan cakalang) atau di depan gerombolan ikan sasaran dengan kecepatan kapal antara 2-6 knot (Farid et al 1989 diacu dalam Sudirman dan Mallawa 2004).
2.2.6
Sero (guilding barrier) Sero adalah alat penangkapan ikan yang dipasang secara tetap di dalam
air, yang biasanya terdiri dari susunan pagar-pagar yang akan menuntun ikan menuju perangkap. Alat ini biasanya terbuat dari kayu, waring, atau bambu. Terdiri dari bagian-bagian, yaitu: (a) penaju (leading net) yang berfungsi untuk menghadang ikan dalam renang ruayanya khususnya ikan-ikan yang beruaya pada saat pasang naik, (b) daerah bunuhan yang biasanya terletak pada bagian yang lebih dalam, dengan demikian pemasangan alat ini hanya bisa dilakukan pada daerah-daerah landai yang sedikit miring. Nelayan banyak memasangnya pada
23
daerah pantai. Operasi penangkapannya sederhana karena setelah alat ini dipasang di perairan diharapkan ikan-ikan yang melewati penaju dari alat tangkap ini akan masuk ke daerah bunuhan.
Pada saat air surut pengambilan ikan di daerah
bunuhan segera dilakukan (Sudirman dan Mallawa 2004).
2.3
Pengaruh Parameter Fisik Lingkungan Terhadap Ikan Untuk mengkaji pengaruh faktor lingkungan terhadap sumberdaya laut,
beberapa pengetahuan dasar mengenai apa dan bagaimana lingkungan mempengaruhi dan menentukan sebaran dan kelimpahan sumberdaya kelautan yang harus dimiliki. Studi terdahulu mengenai korelasi antara parameter tunggal lingkungan (misalnya suhu) dan parameter biologi (misalnya tangkapan spesies ikan tertentu telah banyak diterapkan. Bagaimanapun, korelasi tersebut tidak menerangkan mekanisme interaksi dan biasanya tak mampu untuk membuktikan bahwa perubahan iklim telah menjadi sebab dalam perubahan di dalam dinamika sumberdaya ikan. Dinamika sumberdaya ikan mempunyai banyak proses yang tergantung musim seperti migrasi pemijahan, pembesaran, migrasi dari perairan dalam ke perairan dangkal dan hatching of larvae.
Tidak mudah untuk memisahkan
tingkah laku musiman dan tingkah laku yang terbangkitkan dan atau termodifikasi oleh perubahan lingkungan. Kajian korelasi yang banyak dilakukan dalam oseanografi perikanan adalah hubungan yang mungkin antara suhu permukaan di suatu stasiun pantai dan pendaratan ikan sepanjang pantai. Hampir semua peneliti biologi perikanan mengasumsikan bahwa iklim fisik menjadi penting untuk ekologi lautan. Beberapa faktor lingkungan, misalnya arus permukaan, suhu, salinitas, kandungan oksigen yang mempengaruhi sebaran dan kelimpahan ikan.
2.3.1
Arus permukaan Salah satu pengaruh utama dari angin permukaan dan anomalinya terhadap
laut adalah pembentukan arus permukaan. Komponen dorongan angin (winddriven) atas arus permukaan mendominasi dalam hampir semua wilayah terkecuali di wilayah arus density-driven yang permanen, yang juga termodifikasi oleh angin, dan arus pasang surut di wilayah pesisir.
24
Arus permukaan mempengaruhi adveksi dari aneka jenis air, yang dapat merubah karakteristik lingkungan dalam lokasi tertentu. Jenis air permukaan kadang dicirikan oleh suhu dan salinitas. Kedua parameter tersebut merupakan ciri non konservatif di permukaan dan bisa berubah terhadap perubahan lokal. Warna air dan terutama kandungan plankton juga ditemukan sebagai petunjuk jenis massa air permukaan dan mungkin dapat berguna dari sudut pandang ekosistem. Laevastu dan Hayes (1981) menyatakan bahwa adveksi massa air laut oleh arus merupakan faktor yang penting yang menyebabkan perpindahan lokal dalam lingkungan laut.
Ikan diduga merespon secara langsung terhadap perubahan
lingkungan tersebut dengan mengikuti arus dan juga melakukan orientasi pribadi terhadap arus. Selanjutnya dikatakan bahwa: (1)
Arus membawa telur-telur ikan pelagis dan anak-anak ikan dari area spawning ke area nursery dan dari area nursery ke area feeding.
(2)
Arus juga digunakan sebagai orientasi dan mempengaruhi rute migrasi ikanikan dewasa.
(3)
Migrasi diurnal dapat juga dipengaruhi oleh arus.
(4)
Arus khususnya di perbatasan dapat mempengaruhi distribusi ikan dewasa baik secara langsung maupun tidak langsung.
(5)
Arus akan mempengaruhi kondisi alami lingkungan perairan dan secara tidak langsung menentukan kelimpahan ikan-ikan tertentu dan merupakan pembatas distribusi ikan. Arus dapat mempengaruhi migrasi ikan oleh angkutan pasif juvenil mulai
dari daerah pembesaran sampai daerah persalinan, dan mungkin berperan sebagai suatu pengkajian migrasi arus-balik dari ikan dewasa mulai dari daerah pembesaran sampai daerah spawning. Anomali arus permukaan
dapat
mempengaruhi baik sebaran larva dan juvenil juga migrasi spawning dari ikan dewasa. Sebaran stok ikan utama biasanya mengikuti sistem arus tertentu. Anomali arus permukaan mempengaruhi letak daerah front suhu permukaan.
Daerah front tersebut diketahui mempengaruhi penyebaran ikan,
yang kadang diasumsikan berkaitan dengan suhu tetapi juga berhubungan dengan arus dan atau jenis air. Keterkaitan antara ikan pelagis seperti tuna dengan wilayah transisi arus digambarkan oleh Laevastu dan Hayes (1981) bilamana wilayah transisi Pasifik
25
Timur berbeda, maka tuna albakor bermigrasi sepanjang suatu koridor dan terkonsentrasi, terkadang tetap dalam zone transisi untuk beberapa waktu. Bilamana batas tersebut menjadi terdifusi, migrasi menjadi menyebar ke wilayah yang lebih luas, dan albacor beergerak secara cepat ke arah pantai barat Amerika Serikat.
Alasan untuk tingkah laku tuna ini adalah, menurut peneliti, suhu
kesukaan, agregasi makanan, dan gradien bahan.
2.3.2
Suhu Suhu permukaan laut merupakan salah satu dari parameter lingkungan
yang secara rutin diamati dan selanjutnya berbagai analisis, satu sampai tiga dimensi, tersedia, termasuk perhitungan anomali.
Banyak perubahan dalam
ekosistem ikan laut berkorelasi dengan perubahan suhu, terutama tanpa penentuan sebab dan efek yang mungkin. Perubahan suhu permukaan laut (spl) disebabkan baik oleh adveksi, yang mendominasi perairan laut lepas, atau oleh pertukaran lokal (heat exchange and mixing) yang mendominasi perairan pada pantai dan laut semi tertutup. Suhu permukaan dapat menunjukkan perubahan musim. Anomalinya biasa lebih kecil dari 3 0C. Perhatian khusus biasanya diberikan terhadap efek anomali dari waktu perubahan musim, gradien suhu terhadap efek anomali dari waktu perubahan musiman, gradien suhu terhadap kedalaman, dan kisaran suhu dalam wilayah penyebaran stok tertentu. Anomali suhu dan salinitas alami di laut terbuka dapat ditunjukkan dengan rekaman jangka panjang yang tersedia pada sedikit lokasi kapal cuaca di lautan.
Anomali tersebut termasuk perubahan jangka pendek
(bulanan) juga trend jangka panjang. Suhu merupakan parameter lingkungan yang paling mudah dan sering diobservasi. Ikan dapat merasakan perubahan suhu meskipun lebih kecil dari 0,10C. Setiap ikan mempunyai rentang karakteristik aklimatisasi (optimum) suhu dan mempunyai batas toleransi suhu yang dapat berubah secara musiman pada stok tertentu serta secara tajam berbeda antara stok yang satu dengan yang lainnya dalam spesies yang sama. Sullivan (1954) diacu dalam Laevastu dan Hayes (1981) merangkum pengaruh suhu terhadap ikan sebagai berikut: (1)
Sebagai modifier proses metabolik (misalnya mempengaruhi kebutuhan makanan, laju uptake, dan pertumbuhan).
(2)
Sebagai modifier dari aktivitas badan (misalnya laju renang), dan
26
(3)
Sebagai stimulus saraf. Bagaimana ikan bereaksi terhadap anomali suhu mungkin menjadi
masalah kompleks.
Dapat diasumsikan bahwa hampir semua spesies ikan
terhadap anomali lingkungan muncul pada skala waktu sinoptik dan bulanan. Jangka yang lebih panjang, musiman, dan tahunan, reaksi harus mencakup beberapa proses integrasi, seperti perubahan wilayah pencarian melalui migrasi dan atau beberapa pengaruh terhadap laju pertumbuhan, maturasi, dan terhadap rekruitmen.
2.4
Sistem dan Pemodelan dalam Perikanan Manetch dan Park (1974) mendefenisikan sistem sebagai satu set elemen
atau komponen yang saling berkaitan satu dengan lainnya dan terorganisir untuk menghasilkan satu tujuan.
Tiga syarat agar pendekatan sistem dapat bekerja
dengan baik adalah (1) tujuan sistem ditentukan dengan pasti, (2) proses pengambilan keputusan dalam sistem yang nyata harus dapat dipusatkan, dan (3) memungkinkan perencanaan jabgka panjang. Untuk melakukan penelitian sistem, Deent dan Blackie (1979) menyatakan bahwa penelitian sistem akan menyangkut dua hal, yaitu (1) analisis komponen dan hubungannya serta (2) proses sintesa yang mungkin membentuk sistem baru atau mengefisienkan sistem aslinya. Hal yang penting dalam mempelajari sistem adalah menentukan batas sistem agar dapat membantu mengerti fungsi sistem tersebut. Pendekatan sistem menurut Eriyanto (1983) akan memberikan metode yang logis untuk penanganan masalah, disamping itu juga merupakan alat yang memungkinkan untuk mengidentifikasikan, menganalisis, mensimulasi serta mendesain sistem secara keseluruhan. Seijo et al. (1998) menyatakan bahwa sistem perikanan disusun atas tiga subsistem yang saling berinteraksi, yaitu: (1) subsistem sumberdaya, (2) pengguna sumberdaya, dan (3) manajemen sumberdaya. Subsistem sumberdaya meliputi: (1) aspek daur hidup spesies, seperti biologi reproduksi dan rekruitmen, dinamika pertumbuhan, dan mortalitas; (2) faktor lingkungan yang menyebabkan kelimpahan dan distribusi spatio-temporal; dan (3) faktor ekologi. Subsistem pengguna sumberdaya, meliputi keseluruhan parameter yang digunakan dalam fungsi eksplisit upaya penangkapan ikan seperti tipe kapal yang digunakan untuk menangkap suatu spesies atau populasi. Selain faktor-faktor tersebut, faktor lain
27
yang masuk dalam subsistem ini adalah kurva selektivitas alat atas spesies, ukuran atau umur dan tipe kapal, serta harga spesies. Sedangkan subsistem manajemen sumberdaya yang ditujukan untuk mencapai tujuan atau sasaran yang diusulkan dalam manajamen sumberdaya, adalah suatu kebutuhan pendekatan yang mungkin dipertimbangkan untuk intervensi pemerintah, berupa seleksi kriteria untuk strategi manajemen.
2.5
Pembakuan Upaya Penangkapan Ikan Upaya penangkapan ikan dalam kajian-kajian stok sumberdaya ikan sering
diasumsikan mempunyai hubungan yang proporsional dengan mortalitas penangkapan ikan. Namun demikian asumsi ini tidak selamanya tepat benar, sehingga kita harus memilih dengan benar upaya penangkapan yang benar-benar berhubungan langsung dengan mortalitas penangkapan. Suatu alat tangkap (baik jenis maupun ukuran) yang dipilih adalah yang mempunyai hubungan linear dengan laju tangkapan (Sparre dan Venema 1999). Pengukuran upaya penangkapan ikan di daerah tropis lebih rumit dibandingkan di daerah temperate. Banyaknya jenis dan ukuran tangkap yang mengusahakan suatu jenis ikan (multigear) menyebabkan pembakuan suatu alat tangkap lebih rumit dan kompleks (Sparre dan Venema 1999).
2.5.1
Upaya relatif Perhitungan upaya relatif, didasarkan pada nilai hasil tangkapan per upaya
penangkapan (CPUE = hasil tangkapan per upaya) suatu alat tangkap. Nilai ini akan digunakan sebagai pembanding antar alat tangkap. Agar beberapa unit alat tangkap yang berbeda saling bersesuaian, maka setiap unit harus dikonversikan kedalam CPUE yang selanjutnya dikonversikan kedalam CPUE relatif, dengan rumus:
CPUEi ( y) Ri( y ) .......................................................... (2-1) CPUEi ( y 1 , y 2 ) dimana: y2 1 CPUEi ( j ) ................................. (2-2) y 2 y1 jy1
CPUEi( y1, y 2)
bila periode waktu selama tahun y1, y1+1,....., y2 dipertimbangkan.
28
Metode ini sudah digunakan oleh The North Sea Round Fish Woring Group dari ICES (ICES 1980, diacu dalam Sparre dan Venema 1999). Metode ini tidak memerlukan perbandingan langsung dari jenis-jenis kapal yang berbeda.
2.5.2
Daya tangkap relatif Metode yang lebih langsung untuk standarisasi upaya adalah yang
diusulkan oleh Robson (1966) diacu dalam Gulland (1991). Metode ini bekerja berdasarkan konsep daya tangkap relatif. Bila kapal melakukan penangkapan terhadap sumberdaya yang sama dan dalam kondisi yang sama, maka daya tangkap relatif kapal A relatif terhadap kapal B adalah: CPUE dari kapal B P A( B ) .................................................. (2-3) CPUE dari kapal A dimana kapal A sering disebut kapal standard. Sehingga apabila jumlah kapal A (NA) dan jumlah kapal B (NB), maka upaya penangkapan secara keseluruhan adalah: F total 1,0 NA PA( B) NB ................................................... (2-4)
2.6
Model Produksi Perikanan Fungsi produksi perikanan menggambarkan hubungan antara hasil
tangkapan (output) dengan sejumlah faktor produksi (input). Fungsi produksi tersebut menurut Anderson (1986) diacu dalam Purwanto (1993) tergantung kepada kemampuan perkembangbiakan stok ikan. Seekor ikan akan mampu berkembang hingga suatu tingkat berat maksimumnya dengan laju pertumbuhan tergantung pada ukuran kelimpahan stok ikan (x). Bila x lebih kecil dari ukuran kelimpahan stok maksimum yang sesuai dengan daya dukung alam (K), maka stok ikan akan cenderung meningkat hingga mencapai K. Pada x yang rendah, angka pertumbuhan stok meningkat dengan meningkatnya x. Pertumbuhan maksimum terjadi pada x tertentu, setelah itu angka pertumbuhan menurun dengan semakin meningkatnya x hingga dicapai K (Pitcher dan Hart 1982 diacu dalam Purwanto 1993). Laju pertumbuhan stok populasi (dx/dt) yang tidak dieksploitasi, menurut Graham (1935) diacu dalam Seijo et al. (1998) digambarkan dalam persamaan logistik (Verhulst 1938) sebagai berikut:
29
dx x F ( x) rx 1 ........................................................... (2-5) dt K
dimana r adalah laju pertumbuhan intrinsik Apabila terhadap stok sumberdaya tersebut dilaksanakan penangkapan, maka besarnya hasil tangkapan Y akan tergantung pada ukuran kelimpahan stok (x), tingkat upaya penangkapan (f) dan koefisien penangkapan (q).
Schaefer
(1954) diacu dalam Seijo et al. (1998) menggambarkan hubungan tersebut dalam persamaan: Y gfx .................................................................................... (2-6)
Perubahan stok ikan per waktu setelah dilakukan penangkapan, dengan demikian adalah selisih antara laju pertumbuhan stok dikurangi dengan hasil tangkapan. Gulland (1991) menggambarkan persamaan tersebut sebagai: dx x rx 1 Y ................................................................ (2-7) dt K
Ketika populasi dalam keadaan kesetimbangan, dimana dx/dt = 0, maka kehilangan stok karena kematian alami dan penangkapan ikan diimbangi oleh kenaikan populasi karena pertumbuhan individu dan rekruitmen. Hasil tangkapan dalam kesetimbangan kemudian dapat didefenisikan sebagai: x Y rx 1 ........................................................................ (2-8) K
atau Y x 1 .............................................................................. (2-9) rx K
Dengan memasukkan persamaan 2-6 kedalam persamaan 2-9, maka: qfx x 1 .......................................................................... (2-10) rx K
Sehingga stok sumberdaya dalam kesetimbangan x sebagai fungsi dari upaya penangkapan didefenisikan sebagai: qf x 1 K ...................................................................... (2-11) r
Persamaan tersebut menggambarkan hubungan antara x dan f adalah linear, yaitu dengan meningkatnya f menyebabkan turunnya stok sumberdaya ikan x. Apabila persamaan 2-6 dan 2-11 digabungkan, maka akan diperoleh persamaan model fungsi produksi perikanan:
30
qf Y qKf 1 .................................................................. (2-12) r
2.7
Model Bioekonomi Model bioekonomi penangkapan ikan biasanya didasarkan pada model
biologi Schaefer (1954, 1957) dan model ekonomi dari Gordon (1954). Clark (1985) kemudian menyebut persamaan tersebut sebagai model Gordon-Schaefer. Menurut Gordon (1954) asumsi dasar yang digunakan dalam model ini adalah permintaan ikan hasil tangkapan dan penawaran upaya penangkapan adalah elastis sempurna. Harga ikan (p) dan biaya marginal upaya penangkapan masing-masing mencerminkan manfaat marginal dari ikan hasil tangkapan bagi masyarakat dan biaya sosial marginal upaya penangkapan. Berdasarkan asumsi tersebut, total penerimaan dari usaha penangkapan (TR) digambarkan dengan persamaan: TR pY ............................................................................... (2-13)
Sedangkan total biaya penangkapan (TC) digambarkan dengan persamaan: TC cf ................................................................................. (2-14)
Penerimaan bersih (keuntungan) dari usaha penangkapan ikan (π) adalah:
TR TC pY cf ........................................................ (2-15)
2.8
Teknik Optimasi Optimisasi adalah suatu kata kerja yang berarti menghitung atau mencari
titik optimum. Kata benda optimisasi merupakan peristiwa atau kejadian proses optimisasi. Jadi teori optimisasi mencakup studi kuantitatif tentang titik optimum dan cara-cara untuk mencarinya Gasperz (1996). Lebih lanjut dikatakan bahwa optimisasi adalah suatu proses pencarian hal terbaik. Proses ini dalam analisis sistem diterapkan terhadap alternatif yang menghasilkan keadaan terbaik. Kadarsan (1984) menyatakan bahwa untuk mendapatkan hasil yang memuaskan, suatu usaha perikanan laut harus memiliki faktor produksi yang cukup dan kombinasi yang tepat.
Keterbatasan sumberdaya menyebabkan
diperlukannya pengaturan atau alokasi sumberdaya agar dapat mencapai keseluruhan atau sebagian tujuan yang diinginkan. Teknik optimisasi sering digunakan dalam mengatasi masalah keterbatasan sumberdaya tersebut. Persoalan optimisasi dapat berbentuk maksimasi atau minimasi. Pada umumnya orang mengharapkan kebaikan sebanyak-banyaknya atau maksimum dan
31
keburukan sedikit mungkin atau minimum. Keadaan seperti inilah yang disebut optimum. Dalam proses optimisasi, terlebih dahulu harus dilakukan pemilihan ukuran kuantitatif dan efektifitas suatu persoalan. Oleh karena itu pengetahuan mengenai sistem yang berlaku menyangkut aspek fisik maupun ekonomi merupakan suatu keharusan. Steel dan Torrie (1981) menyatakan bahwa dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan, fenomena yang ada di alam ini dapat dijelaskan dengan model. Model tersebut harus mewakili dan mencakup unsur-unsur utama dari fenomena supaya kesimpulan dapat diambil tidak dari pengamatan langsung terhadap keadaan yang sebenarnya.
2.9
Linear Programming Linear programming merupakan suatu model umum yang dapat digunakan
dalam pemecahan masalah pengalokasian sumber-sumber yang terbatas secara optimal (Subagyo 2007). Pada dasarnya persoalan optimasi adalah persoalan untuk membuat nilai suatu fungsi beberapa variabel menjadi maksiumum atau minimum dengan memperhatikan pembatasan-pembatasan yang ada. Biasanya pembatasan-pembatasan tersebut meliputi tenaga kerja, uang, material yang merupakan input serta waktu dan ruang. Programming pada dasarnya berkenaan dengan penentuan alokasi yang optimal daripada sumber-sumber yang langka untuk memenuhi suatu tujuan. Persoalan linear programming adalah suatu persoalan untuk besarnya masingmasing nilai variabel sedemikian rupa sehingga nilai fungsi tujuan (objective function) yang linear menjadi optimum (maksimum atau minimum) dengan memperlihatkan batasan-batasan yang ada (Supranto 1988). Pemrograman linier (PL) adalah metode optimasi untuk menentukan nilai optimum dari fungsi tujuan linier pada kondisi pembatasan-pembatasan (constraints) tertentu.
Pembatasan-pembatasan tersebut biasanya keterbatasan
yang berkaitan dengan sumberdaya seperti: bahan mentah, uang, waktu, tenaga kerja, dan lain-lain (Ruminta 2008).
Persoalan Pemrograman linier dapat
ditemukan pada berbagai bidang dan dapat digunakan untuk membantu membuat keputusan untuk memilih suatu alternatif yang tepat dan pemecahan yang paling baik (the best solution)
32
2.10 Kapasitas Penangkapan Efisiensi
teknis
mengukur
pencapaian
output
maksimal
dengan
menggunakan sejumlah input tertentu, sementara efisiensi alokatif lebih membahas penggunaan input dalam proporsi yang optimal pada tingkat harga tertentu. Farrel (1957) memfokuskan konsepnya pada technical efficiency (TE) dengan alasan kemudahan di dalam menjelaskan konsep stochastic frontier. Untuk menghitung besarnya efisiensi harus diketahui fungsi produksi pada tingkat efisiensi penuh atau penggunaan input optimum. Secara teori, terdapat dua cara untuk mengestimasi efisiensi produksi pada kondisi optimal, yaitu data envelopment analysis (DEA) dan stochastic frontier (Coelli et al. 1998). DEA merupakan teknik nonparametrik untuk menentukan sebuah solusi optimal dengan kendala tertentu (Charnes et al. 1994) diacu dalam (Walden dan Kirkley 2000), yang dapat digunakan untuk mengukur kapasitas dan pemanfaatan kapasitas (Fare et al. 1994 diacu dalam Vestergaard et al. 2002). Dalam kajiankajian ekonomi yang lain, pendekatan DEA banyak digunakan untuk mengukur tingkat efisiensi produksi.
Model DEA dikembangkan berdasarkan konsep
pengukuran efisiensi yang dilakukan Farrel (1957), selanjutnya metode pengukurannya dibedakan atas pengukuran berorientasi input (input orientation model) dan orientasi output (output orientation model). Model pengukuran DEA berorientasi input dengan asumsi constant return to scale (CRS) atau kegaiatan yang return to scale-nya tetap. Model tersebut kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Charnes et al. (1994) diacu dalam Walden dan Kirkley (2000), dikenal dengan model BBC dalam bentuk model variable return to scale (VRS). Diasumsikan bahwa terdapat K input dan M output pada tiap-tiap N firm (perusahaan) atau DMU.
Dari sebanyak i DMU masing-masing mempunyai
vektor xi dan yi, sehingga terbentuk K x N input matrik X dan M x N output matrik Y yang mempresentasikan data seluruh N DMU.
Tujuan DEA adalah
membangun model non-parametrik sehingga data observasi terletak pada fungsi produksi frontier atau di bawahnya. Pada dasarnya, asumsi CRS mendefinisikan efisiensi yang tidak sematamata diukur dari rasio output dan input, tetapi juga memasukkan faktor pembobotan dari setiap output dan input yang digunakan. ditujukan isokuan pada pertimbangan antar input.
Pada CRS juga
Tiap-tiap DMU kemudian
dilakukan pengukuran rasio terhadap semua output atas semua input. Seperti
33
u' yi dimana u adalah bentuk vektor M x 1 dari output yang dibobot dan v v' x i merupakan vektor K x 1 dari input yang dibobot. Analisis dengan pemograman matematik digunakan untuk mengetahui pembobotan optimal sebagai berikut:
u ' y i Max u,v v ' x i
'
u yj
st
'
v xj
1, j 1,2,....., N
u,v ≥0 ……………..…….…………………………………. (2-16) Salah satu kendala persamaan (9) tersebut adalah ketika hasil perhitungan diperoleh nilai tak terhingga (infinite).
Fungsi kendala persamaan (10) dapat
diubah menjadi v’x i = 1 untuk menghindari masalah tersebut, sehingga menjadi: Max st
μ ,v
(μ’yi )
v ’xi = 1 u’yj – v ’x j ≤0, j = 1,2,…..,N u, v = 0 ..…………………………………………………… (2-17)
Notasi u dan v paa persamaan di atas kemudian ditransformasi menjadi μdan v. Dengan menggunakan linear programming, Coelli menderivasi persamaan tersebut kedalam bentuk persamaan DEA sebagai berikut: Min st
θ ,λθ ,
-yi + Y λ≥0 θxi + X λ≥0 λ≥0 ..………………….…………………………………… (2-18)
Dimana θ adalah skala dan λadalah vektor N x 1.
Bentuk envelopment
memerlukan lebih sedikit kendala dari bentuk multiplier (K + M < N + 1). Parameter θmenunjukkan nilai efisiensi teknis (TE) relatif terhadap kapasitas output atau menggambarkan skor efisiensi DMU ke-i, dengan nilai θ≥1.
.
Ilustrasi dari pendekatan ini dapat dilihat pada Gambar 6. Farrel (1957), mengilustrasikan gagasannya dengan menggunakan contoh sederhana. Dengan asumsi keadaan usaha bersifat constant return to scale (dalam keadaan demikian berarti penambahan input
akan secara proporsional
menyebabkan terjadinya penambahan output yang diperoleh), perusahaan menggunakan dua input (x1 dan x2) untuk memproduksi sebuah output (y). Pada
34
kondisi pengukuran berorientasi input, isokuan yang digambarkan oleh kurva SS’ menunjukkan kondisi efisien (fully efficient). X2/Y S P• A
Q • R •
Q’ •
S’
A’ 0
X1/Y
Gambar 6 Efisiensi teknis dan alokatif (Coelli et al. 1998) Jika perusahaan menggunakan input sejumlah P untuk memproduksi satu unit output, maka nilai efisiensi teknis dicerminkan oleh jarak QP. Pada ruas garis QP jumlah input yang digunakan dapat dikurangi tanpa harus mengurangi jumlah output yang dihasilkan. Kondisi demikian dinotasikan dalam bentuk
QP OP
yang mempresentasikan persentase jumlah input yang dapat dikurangi untuk mencapai kondisi efisien secara teknis. Nilai efisiensi teknis bisa diformulasikan sebagai: OQ PQ TE 1 .……………………………………….. (2-19) OP OP
Besarnya nilai TE berkisar antara 0 dan 1 menunjukkan derajat efisiensi teknis yang dapat dicapai. Gambar 5 tersebut juga memperlihatkan efisiensi alokatif yaitu rasio harga input yang ditunjukkan oleh kurva biaya AA’ yang secara matematis diformulakan dalam bentuk: OR AE ………………………………………..………... (2-20) OQ Ruas garis RQ menunjukkan biaya produksi yang dapat dikurangi agar tercapai kondisi efisien secara alokatif dan teknis pada titik Q’, sedangkan titik Q dipandang efisien secara teknis tetapi pada titik tersebut tidak efisien secara alokatif. Berdasarkan penelitian Villasante dan Sumaila (2010) tentang Perkiraan Efek Efisiensi Teknologi pada Armada Penangkapan Ikan di Eropa, yaitu dengan
35
membandingkan penurunan aktual dalam kapasitas penangkapan Uni Eropa (UE) dan efek efisiensi teknis, analisis pertama yang dilakukan secara komprehensif sejak berlakunya Common Fisheries Policy (CFP).
Hasil yang diperoleh
menunjukkan bahwa kapasitas penangkapan pada 13 armada kapal di EU telah mengalami penurunan sebesar 44% hanya di tiga tahun (1991, 2004, dan 2006) selama periode tahun 1987-2006.
Hasil ini menunjukkan bahwa efisiensi
teknologi selalu berkembang lebih cepat daripada penurunan aktual dalam kapasitas penangkapan ikan. Selain itu pengurangan tonase dari 13 armada yang lebih dari 4% pertahun juga hanya pada tahun 1991 (5,2%), 2004 (6,6%), dan 2006 (6,5%). Hasil ini menunjukkan tingkat inefisiensi yang tinggi pada CFP dalam hal mengurangi kelebihan kapasitas penangkapan. Berdasarkan hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa masalah kelebihan kapasitas adalah masalah utama yang harus ditangani oleh CFP dimasa yang akan datang. Berdasarkan penelitian Huang dan Chuang (2010) tentang Manajemen Kapasitas Perikanan di Taiwan: Pengalaman dan Prospeknya, bahwa Taiwan telah mengembangkan perikanan sejak tahun 1950-an dan menjadi salah satu negara besar dalam perikanan laut lepas. Sekarang ini dihadapkan pada kelebihan kapasitas dan kritik yang kuat terkait kapasitas dari organisasi-organisasi regional. Taiwan tidak hanya membuat banyak peraturan untuk membatasi kapasitas penangkapan, tetapi juga menghabiskan sekitar US$ 350 juta pada tahun 19912008 dalam mengurangi kapasitas sebesar 30% pada kapal rawai skala besar dan 18% dari kapal nelayan pesisir.
Studi ini memberikan gagasan bahwa
penggunaan anggaran efektif dan komunikasi yang baik dengan nelayan, dan masalah penilaian stok akan menjadi isu kunci dalam membangun manajemen kapasitas perikanan yang sukses. Berdasarkan penelitian Madau et al. (2009) tentang Kapasitas dan Efisiensi Ekonomi pada Perikanan Skala Kecil: Bukti dari Laut Mediterania, bahwa untuk merancang sebuah rencana manajemen kapasitas yang efektif pada perikanan skala kecil kita, maka harus memahami apa yang sedang diukur dan menentukan kapasitasnya.
Penelitian ini bertujuan untuk memperkirakan
kapasitas penangkapan, efisiensi teknis, skala efisiensi dan pemanfaatan kapasitas dalam perikanan skala kecil khususnya di Mediterania yaitu di Italia barat laut. Pendekatan nonparametrik menggunakan model analisis DEA diterapkan untuk
36
sampel trawl untuk memperkirakan kemampuan secara ekonomi, dan langkahlangkah terkait yang diambil. Berdasarkan penelitian Salayo et al. (2008) tentang Manajemen Excess Capacity pada Perikanan Skala Kecil: Persfektif Stakeholder Tiga Negara di Asia Tenggara, bahwa manajemen kapasitas perikanan darat dan perikanan laut adalah salah satu perhatian kebijakan utama di sebagian besar negara di Asia Tenggara. Kelebihan
kapasitas
menyebabkan
serangkaian
dampak
negatif,
seperti
penggunaan sumberdaya, konflik, overfishing, degradasi lingkungan dan kerugian ekonomi dan ancaman keamanan. Manajemen yang efektif dari excess capacity di Asia Tenggara diperlukan untuk menjamin keberlanjutan jangka panjang perikanan di wilayah ini. Opsi manajemen, antara lain: (1) armada, alat tangkap, dan metode, (2) spesifik lokasi, (3) karakteristik spesies dan stok, (4) ketersediaan data, (5) kondisi terkini kehidupan nelayan, (6) sistem pemerintahan, penegakan hukum, (7) dan politik. Selain itu, perbaikan yang signifikan untuk prospek perikanan kedepan memerlukan suatu perubahan besar dalam prioritas sosial, dengan konsekuensi perubahan dalam kebijakan dan pemerintahan.
2.11 Multi-Criteria Analysis (MCA) Department for Communities and Local Government: London (2009) menjelaskan
bahwa
semua
pendekatan
multi-criteria
analysis
(MCA)
diperuntukkan untuk membuat suatu pilihan dan konstribusi terhadap kriteria yang berbeda dan semuanya memerlukan penilaian. MCA berbeda dengan costbenefit analysis (BCA) dalam hal cara menggabungkan data. MCA secara formal menyediakan sistem pembobotan relatif terhadap kriteria yang berbeda. Peran utama dari teknik MCA adalah untuk mengatasi kesulitan dari para pengambil keputusan dalam menangani sejumlah informasi yang kompleks secara konsisten. MCA dapat digunakan untuk mengidentifikasi satu pilihan yang paling baik, membuat peringkat dari pilihan, membuat daftar pendek dari sejumlah pilihan terbatas untuk penilaian secara rinci, atau hanya membedakan kemungkinan pilihan diterima atau tidak. Ada beberapa alasan kuat yang dapat dilihat mengapa MCA terus berkembang dan banyak digunakan sampai sekarang, yaitu: (1) banyak jenis keputusan berdasarkan dengan keadaan dan waktu, (2) waktu yang tersedia untuk analisis mungkin berbeda, (3) jumlah dan sifat data yang tersedia untuk
37
mendukung analisis dapat bervariasi, dan (4) keterampilan analitis dari mereka yang membuat keputusan dapat bervariasi. Beberapa kriteria penggunaan teknik MCA sebagai berikut: (1)
konsistensi dan logis, (2) transparan, (3) mudah
digunakan, (4) data harus konsistensi dengan keperluan, (5) kondisional dan realistis, dan (6) mudah diperoleh dan dievaluasi. MCA menetapkan preferensi diantara pilihan dengan mengacu pada tujuan yang ada, yang dibuat oleh pengambil keputusan untuk mengidentifikasi dan membuat kriteria terukur serta menilai sejauh mana tujuan telah dicapai. Secara sederhana, proses identifikasi tujuan dan kriteria itu sendiri dapat memberikan informasi yang memadai bagi para pengambil keputusan. MCA menawarkan sejumlah cara untuk menggabungkan data dengan kriteria individu untuk memberikan pilihan indikator kinerja secara keseluruhan. Salah satu keterbatasan MCA adalah tidak dapat menunjukkan peningkatan kesejahteraan, tidak seperti CBA yang mengsyaratkan manfaat harus lebih besar daripada biaya. European Commission (2009) menjelaskan bahwa deskripsi MCA muncul pada tahun 1960 sebagai alat pengambil keputusan. Hal ini digunakan untuk membuat penilaian komparatif atau alternatif heterogen. MCA dapat digunakan untuk menghitung beberapa kriteria secara bersamaan dalam situasi yang kompleks. Metode ini dirancang untuk membantu para pengambil keputusan untuk mengintegrasikan pilihan yang berbeda, yang mencerminkan pendapat dari pelaku yang bersangkutan. Partisipasi pengambil keputusan dalam proses ini adalah bagian penting dari pendekatan ini. Hasil biasanya diarahkan untuk memberikan nasihat operasional atau rekomendasi untuk kegiatan masa depan. Evaluasi multikriteria dilakukan dengan tujuan untuk menghasilkan sintesis tunggal pada akhir evaluasi, atau sebaliknya dengan maksud untuk menghasilkan kesimpulan yang disesuaikan dengan preferensi dan prioritas yang berbeda. Pada kasus program sosio-ekonomi Uni Eropa, berbagai tingkat kemitraan (Eropa, nasional dan regional) dapat terpengaruh. Masing-masing tingkat adalah sah dalam menentukan prioritas sendiri dan untuk mengekspresikan preferensi sendiri antara kriteria. Analisis multikriteria mirip dengan teknik yang digunakan dalam bidang pengembangan organisasi atau sistem manajemen informasi. Hal ini juga terlihat seperti analisis profitabilitas.
3 METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini telah dilaksanakan selama 6 bulan yaitu April hingga September 2009 di perairan Teluk Apar Kabupaten Paser Provinsi Kalimantan Timur sebagai fishing ground. 1 1 6 °0 0'
1 16 °1 5 '
1 1 6°3 0 '
11 6 °4 5 '
11 1
1°3 0'
114
117
1 20
3
3
0
0
-3
-3
1 °3 0 '
Telu k A dang 1 °4 5 ' 11 1
Se la tM ak as s
ar
1°4 5'
$ T S #
2°0 0'
V &
20 2 °0 0 '
³ # 2 °1 5 '
1 16 °1 5 '
1 1 6°3 0 '
0
11 6 °4 5 '
1 20
2 0 Km
L e g en d a
% U T $
Teluk Ap ar
2°1 5'
117
N
a Y% #
1 1 6 °0 0'
114
# S V & ³ # a % Y #
L o k asi p e ne l itia n De s a M u ar a P a si r De s a P as ir B a ru De s a L o ri De s a L a b ua n gk a ll o De s a Ta n ju n g A ru De s a S el e ng o t
Gambar 7 Peta lokasi penelitian
3.2 Metode Pengambilan Data 3.2.1 Data oseanografi dan lingkungan Data yang digunakan untuk menduga pola musim penangkapan ikan dalam penelitian adalah dengan mempertimbangkan data oseanografi dan meteorologi. Data-data mengenai suhu, salinitas, dan beberapa parameter oseanografi lainnya diperoleh dari data citra satelit yang diperoleh dari penelitian Rudiansyah (2008). Data meteorologi seperti kecepatan angin dan curah hujan serta hari hujan diperoleh dari Kantor Dinas Meteorologi Kota Balikpapan Provinsi Kalimantan Timur. Data lainnya yang dikumpulkan untuk menentukan musim penangkapan ikan adalah data primer dari hasil wawancara dengan nelayan. Nelayan diminta untuk menjelaskan dimana biasa melakukan penangkapan ikan berdasarkan
39
bulan/musim dengan menggunakan pendekatan wawancara langsung dengan alat bantu peta laut. Populasi yang diteliti adalah nelayan pemilik unit penangkapan pukat cincin, jaring insang hanyut, jaring insang lingkar, jaring insang tetap, bagan tancap, bagan tancap, sero, rawai hanyut, rawai tetap, pancing tonda, dan pancing lainnya.
Responden nelayan ditentukan secara acak berstrata dari populasi
tersebut untuk masing-masing jenis alat tangkap, dengan jumlah responden sebanyak 20% dari jumlah pemilik tiap alat tangkap per lokasi penelitian.
3.2.2 Data produksi ikan Data produksi ikan di Teluk Apar diperoleh dari Kantor Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Paser. Data ini berupa jumlah hasil tangkapan dan jumlah armada penangkapan yang melakukan operasi penangkapan ikan di Teluk Apar Kabupaten Paser periode tahun 2003-2008.
3.2.3 Data bio-ekonomi penangkapan ikan Data yang diperlukan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data sekunder yang dikumpulkan adalah total produksi perikanan tangkap yang didaratkan dari Teluk Apar dan jumlah armada penangkapan yang telah dibukukan dalam buku Statistik Perikanan. Data primer yang dikumpulkan adalah data mengenai aspek ekonomi (harga ikan, penerimaan total, biaya penangkapan ikan per satuan upaya, total biaya penangkapan ikan per satuan upaya, hasil tangkapan, upaya penangkapan) usaha perikanan di Teluk Apar. Metode pengambilan sampel responden dilakukan secara acak berstrata.
3.2.4 Data input dan output kapasitas penangkapan ikan Data yang dibutuhkan untuk menganalisis kapasitas unit penangkapan ikan pelagis adalah data panel kapal setiap jenis alat tangkap, berupa input dan output produksi penangkapan ikan. Data input produksi untuk purse seine terdiri dari input tetap (fixed input) meliputi gross tonnage (GT), ukuran panjang dan lebar kapal (m), kekuatan mesin (HP) dan input tidak tetap (variable input) meliputi jumlah ABK (orang), konsumsi BBM (rupiah), dan upaya penangkapan (HOP), Data output produksi terdiri atas single-output (data total produksi ikan) dan multi-output (data jenis ikan pelagis dominan).
40
Data input produksi untuk bagan tancap terdiri dari input tetap (fixed input) meliputi ukuran panjang, lebar, dan tinggi bangunan bagan tancap (m), sedangkan input tidak tetap (variable input) meliputi jumlah ABK (orang), konsumsi BBM (rupiah), upaya penangkapan (HOP), dan alat bantu penangkapan (unit). Data output produksi terdiri atas single-output (data total produksi ikan) dan multi-output (data jenis ikan pelagis dominan). Data panel kapal per alat tangkap purse seine dan ukuran bagan tancap serta data penunjang lainnya seperti laporan tahunan statistik perikanan dan teks kebijakan manajemen perikanan diperoleh dari studi literatur terhadap bahanbahan pustaka dan literatur instansi terkait.
3.2.5 Data manajemen penangkapan ikan Data yang digunakan dalam menganalisis manajemen penangkapan ikan, adalah data yang telah dianalisis pada bagian penentuan pola musim penangkapan ikan, karakteristik teknik-ekonomi alat penangkapan ikan, tingkat upaya dan pemanfaatan optimum penangkapan ikan, serta kapasitas penangkapan.
3.3 Analisis Data Kerangka analisis pada penelitian manajemen penangkapan ikan pelagis di Teluk Apar, dapat dilihat pada Gambar berikut: Sumberdaya ikan pelagis Data produksi ikan
Moving average
Data oseanografi dan lingkungan
Penentuan pola musim
- Keragaan alat penangkapan ikan - Standarisasi alat tangkap - Pendugaan parameter bio-ekonomi
Karakteristik teknikekonomi alat penangkapan ikan
Data bio-ekonomi penangkapan ikan
-
Produktivitas alat tangkap Standarisasi alat tangkap Fungsi produksi Optimasi
Tingkat upaya dan pemanfaatan optimum unit penangkapan ikan
Data input dan output kapasitas penangkapan
Data envelopment analysis (DEA)
Kapasitas penangkapan ikan
Kriteria penilaian sumberdaya dan alat tangkap ikan pelagis
Multi-criteria analysis (MCA)
Manajemen penangkapan ikan pelagis
41
Gambar 8 Diagram alir kerangka analisis penelitian 3.3.1 Penentuan pola musim penangkapan ikan Informasi
mengenai
pola
musim
penangkapan
digunakan
untuk
menentukan waktu operasi penangkapan ikan agar memperkecil resiko kerugian. Perhitungan pola musim penangkapan digunakan data hasil tangkapan per upaya penangkapan atau catch per unit effort (CPUE) setiap bulan. Data CPUE yang diperoleh dari lapangan memiliki peluang yang tidak sama besar dengan distribusi normal, maka digunakan metode rata-rata bergerak sehingga diperoleh data yang mendekati ideal. Pola musim penangkapan ditentukan dengan menggunakan teknik analisis deret waktu (time series) terhadap hasil tangkapan per satuan upaya penangkapan kuartalan ikan pelagis selama enam tahun terakhir (2003-2008). Penentuannya menggunakan metode rata-rata bergerak (moving average), sebagaimana diutarakan oleh Wiyono (2001) sebagai berikut: (1)
Menyusun data deret waktu CPUE kuartal pertama tahun 2003 hingga kuartal keempat tahun 2008, yaitu: Yi = CPUEi i
= 1, 2, 3,....., n
Yi = CPUE ke-i (2)
Menyusun rata-rata bergerak CPUE 4 kuartalan (RG) 1 i1 RG i Yi 4 ii 2
i (3)
= 3, 4,....., n-1
Menyusun rata-rata bergerak CPUE terpusat (RGP) 1 i 1 RGPi RGi 2 i 1
i (4)
= 3, 4,....., n-1
Menghitung rasio rata-rata untuk tiap kuartal (Rb) Y Rbi i RGPi
i (5)
= kuartal I, II, III, IV
Menyusun nilai rata-rata dalam satu matrik berukuran j x i yang disusun untuk setiap kuartal dimulai Kuartal III-I, kemudian menghitung rata-rata atau variasi musim dan selanjutnya menghitung indeks musim penangkapan.
42
(i)
Rasio rata-rata untuk kuartal ke-i (RRB)
1 n RRBi Rbij n j 1 j = 1,2,3,......,n (ii)
Jumlah rasio rata-rata kuartalan (JRRB) 4
JRRB RRBi i1
i = I, II, III, IV (iii) Indeks Musim Penangkapan Total indeks musim selama setahun untuk bulanan adalah 1200 atau rata-rata sama dengan 100 (Gaspersz 1996), sehingga total indeks musim untuk kuartalan sebesar 400. Jumlah rasio rata-rata kuartalan (JRRB) tidak selalu sama dengan 400, maka nilai rasio rata-rata kuartalan harus dikoreksi dengan suatu faktor koreksi (FK): 400 FK JRRB
Selanjutnya indeks musim penangkapan (IMP) dihitung dengan persamaan: IMP i = RRBi x FK .......................................................................... (3-1) i = I, II, III, IV
3.3.2
Karakteristik teknik-ekonomi alat penangkapan ikan Analisis karakteristik teknik-ekonomi alat penangkapan ikan berupa
analisis keragaan teknik alat penangkapan ikan, standarisasi alat tangkap dan analisis bio-ekonomi alat penangkapan ikan.
1) Analisis keragaan penangkapan ikan Analisis keragaan meliputi perkembangan armada dan alat penangkapan ikan. Analisis dilakukan dengan melihat perkembangannya dari tahun 2003-2008. Produksi ikan ditinjau dari alat yang menangkap ikan pelagis, berupa komposisi dari hasil tangkapan dominan.
2) Standarisasi alat tangkap
43
Menurut Gulland (1991) bahwa jika di suatu perairan terdapat berbagai jenis alat tangkap maka salah satu alat tangkap dapat dipakai sebagai alat tangkap standar, sedangkan alat tangkap yang lainnya dapat distandarisasikan terhadap alat tangkap tersebut. Standarisasi terhadap alat tangkap lain bertujuan untuk menyeragamkan satuan-satuan upaya yang berbeda, sehingga dapat dianggap upaya penangkapan yang sama dengan alat tangkap standar. Alat tangkap yang ditetapkan sebagai alat tangkap standar dipilih dari alat tangkap yang mempunyai produktivitas yang paling tinggi dengan asumsi setiap jenis alat tangkap yang distandarisasi tidak mengalami perubahan baik dari segi ukuran maupun teknologinya selama periode pengamatan, alat tangkap tersebut diberi nilai fishing power index (FPI) = 1. Perhitunga FPI (Spare dan Venema 1999), dengan rumus sebagai berikut: Ci CPUEi ; fi
Cs CPUEs ; fs
CPUEi FPIi CPUEs
......................................................................(3-2)
CPUEs FPIs CPUEs
......................................................................(3-2)
Sandard Effort i Fpi x f i
................................................... (3-4)
Sandard Effort s Fp s x f s ................................................... (3-5) Keterangan : Cs = fs = Ci = fi = fi = CPUEs = CPUEi FPI s FPI i
Hasil tangkapan per tahun alat tangkap standar (ton) Upaya penangkapan per tahun alat tangkap standar (unit) Hasil tangkapan per tahun alat tangkap lain (ton) Upaya penangkapan per tahun alat tangkap lain (unit) Upaya penangkapan per tahun alat tangkap lain (unit) hasil tangkapan per upaya penangkapan tahunan alat tangkap standar (ton/unit) = hasil tangkapan per upaya penangkapan tahunan alat tangkap lain (ton/unit) = Faktor daya tangkap jenis alat tangkap standar = Faktor daya tangkap jenis alat tangkap lain
3) Pendugaan parameter model bio-ekonomi Model bio-ekonomi penangkapan diduga berdasarkan pada model biologi Schaefer (1954, 1957) dan model ekonomi Gordon (1954). Clark (1985) kemudian menyebut persamaan tersebut sebagai model Gordon-Schaefer.
44
Bila harga-harga ikan dari survei adalah (p) dan fungsi produksi ikan yang diperoleh dari perhitungan adalah Y(t) maka total penerimaan dari usaha penangkapan (TR) diduga dengan persamaan: TR pY ................................................................................. (3-6)
Sedangkan total biaya penangkapan (TC) diduga dengan persamaan: TC cf ................................................................................... (3-7)
dimana c adalah total pengeluaran (cost) rata-rata unit penangkapan ikan dan f adalah jumlah upaya penangkapan standar yang dioperasikan untuk menangkap sumberdaya ikan.
Sehingga penerimaan bersih (keuntungan) dari usaha
penangkapan (π) adalah:
TR TC pY cf ........................................................... (3-8)
3.3.3
Tingkat upaya dan pemanfaatan optimum usaha penangkapan ikan Analisis tingkat upaya dan pemanfaatan optimum usaha penangkapan ikan
berupa analisis produktivitas alat tangkap, standarisasi alat tangkap, analisis fungsi produksi, dan analisis optimasi.
1) Analisis produktivitas alat tangkap Perhitungan hasil tangkapan per unit upaya penangkapan (CPUE) bertujuan untuk mengetahui laju tangkapan upaya penangkapan yang didasarkan pada pembagian total hasil tangkapan (catch) dengan upaya penangkapan (effort). Formula yang digunakan untuk mengetahui nilai CPUE adalah sebagai berikut (Gulland 1983). Ci CPUEi ........................................................................... (3-9) fi Keterangan : Ci = hasil tangkapan ke-i (ton) fi = upaya penangkapan ke-i (unit) CPUEi = hasil tangkapan per unit upaya penangkapan ke-i (ton/unit)
Jumlah armada penangkapan dijadikan sebagai upaya penangkapan dengan asumsi bahwa jumlah trip dari masing-masing alat tangkap adalah sama dalam setahun.
2) Standarisasi alat tangkap
45
Analisis standarisasi ini sama dengan yang dilakukan pada bagian karakteristik teknik-ekonomi alat penangkapan ikan.
3) Analisis fungsi produksi Model yang digunakan untuk menghitung fungsi produksi ikan di Teluk Apar adalah model equilibrium Schaefer: q 2K Y qKf f r
2
............................................................... (3-10)
Karena nilai q, K, dan r adalah merupakan suatu konstanta yang nilainya bisa diketahui, maka fungsi tersebut di atas dapat disederhanakan menjadi: Y af bf
2
a jika f ................................................. (3-11) b
atau Y 0
a jika f b
........................................................... (3-12)
Nilai maksimum dari persamaan tersebut akan dicapai pada saat upaya: f msy 0,5
a ......................................................................... (3-13) b
dan hasil tangkapan maksimumnya pada tingkat f msy: Cmsy 0,25
a2 .................................................................... (3-14) b
Untuk mempemudah perhitungan dalam memperoleh nilai konstanta a dan b, persamaan 3-5 diubah menjadi persamaan yang berbentuk linear dengan jalan membagi masing-masing ruas dengan f, sehingga: Y = a bf f
a jika f ≤ ................................................... (3-15) b
Y/f adalah hasil tangkapan per upaya penangkapan. Y adalah hasil tangkapan ikan (kg), yaitu keseluruhan hasil tangkapan suatu jenis ikan, sedangkan f adalah upaya penangkapan ikan standar, yaitu keseluruhan jumlah upaya penangkapan yang digunakan untuk menangkap suatu jenis ikan tertentu. Jumlah trip penangkapan dari suatu armada penangkapan ikan biasanya merefleksikan upaya penangkapan yang dimaksud. Namun dalam pengkajian ini tidak digunakan data trip operasi penangkapan karena ketiadaan data lapangan.
Data yang digunakan untuk
46
mewakili upaya penangkapan didekati dengan jumlah armada penangkapan ikan. Data ini memang mengandung kelemahan, karena tidak bisa menggambarkan upaya penangkapan yang sesungguhnya, karena berapa banyak setiap kapal melakukan operasi penangkapan tidak diketahui. Tingkat pemanfaatan setiap jenis ikan pelagis dominan dihitung dengan cara memprosentasekan jumlah hasil tangkapan tertentu terhadap nilai MSY. Formula dari tingkat pemanfaatan adalah: Ci Tpi x100% MSY
............................................................. (3-16)
Keterangan : Tpi = tingkat pemanfaatan pada tahun ke-i (%) Ci = hasil tangkapan ke-i (ton) MSY = nilai potensi maksimum lestari ke-i (ton/unit)
4) Analisis optimisasi Karena model regresi yang akan digunakan dalam penelitian ini bersifat linear dan dengan kondisi batasan (kendala) yang tidak boleh dilampaui, maka model optimisasi yang dipilih adalah model optimisasi berkendala.
Dalam
penelitian ini metode optimisasi yang dipergunakan adalah optimisasi dengan memanfaatkan teknik linear programming. Z CjXj ............................................................................... (3-17)
Terhadap fungsi kendala: a11 x1 a12 x 2 ... a1 n x n b1 a21 x1 a22 x2 ... a2 n xn b2 . . .
am11x1 am2x 2 ... amn xn bm Keterangan: Z = fungsi tujuan (total deviasi) Xj = parameter fungsi tujuan ke-j Cj = kapasitas kendala ke-1 aij = parameter fungsi kendala ke-i, variabel keputusan ke-j i = 1,2,3,.....,m j = 1,2,3,.....,n ej = galat
Optimisasi manajemen usaha penangkapan ikan yang dilakukan di Teluk Apar ini dimaksudkan untuk mencari nilai optimum masing-masing alat tangkap yang dioperasikan di perairan Teluk Apar sehingga mendapatkan nilai keuntungan
47
yang maksimum. Model pendekatan yang digunakan adalah aplikasi linear programming. Elemen-elemen yang digunakan dalam model ini terdiri atas: 1) fungsi tujuan, yaitu nilai keuntungan maksimum dari usaha penangkapan ikan, 2) fungsi pembatas, yaitu nilai hasil tangkapan maksimum lestari (Cmsy) dan upaya penangkapan maksimum lestari (f msy), dan 3) koefisien-input-output, yaitu nilai hasil tangkapan tiap jenis alat tangkap, nilai hasil tangkapan per unit upaya (CPUE) per alat tangkap dan indeks daya tangkap (FPI) per alat tangkap.
3.3.4 Analisis kapasitas penangkapan Analisis kapasitas unit penangkapan ikan pelagis di Teluk Apar menggunakan metode Data Envelopment analysis (DEA) output oriented (Farë et al. 1989, 1994; Kirkley and Squires 1999). Pengukuran kapasitas penangkapan ikan diukur berdasarkan efisiensi teknis (TE) yaitu perubahan maksimum output yang memungkinkan dengan tanpa perubahan pada faktor tetap (fixed factor) produksi.
Model DEA ini memungkinkan analisis efisiensi bagi aktivitas
ekonomi yang bersifat variable return to scale (VRS). Oleh karena itu, model DEA ini tepat diaplikasikan pada aktivitas produksi perikanan yang bersifat decresing return to scale (Fauzi dan Anna 2005). Kapasitas penangkapan suatu alat tangkap dapat dianalisis dengan menggunakan DEA output. Pengukuran kapasitas unit penangkapan ikan dilakukan dengan cara membandingkan efisiensi teknis antara kapal atau alat tangkap pada setiap unit alat tangkap. Adapun decision making unit (DMU) untuk alat tangkap purse seine adalah kapal dengan mempertimbangkan faktor input dan output produksi penangkapan. Input produksi yang digunakan terdiri dari input tetap dan input variabel. Input tetap meliputi panjang dan lebar kapal (m), daya muat kapal (GT) dan kekuatan mesin (HP), sedangkan input variabel meliputi jumlah ABK (orang), konsumsi BBM (rupiah), dan upaya penangkapan (HOP). Faktor output terdiri dari single-output dan multi-output (ikan dominan yang tertangkap oleh setiap jenis alat tangkap. Adapun decision making unit (DMU) untuk alat tangkap bagan tancap adalah bangunan bagan tancap dengan, nput tetap meliputi ukuran panjang, lebar, dan tinggi bangunan bagan tancap (m), sedangkan input variabel meliputi jumlah ABK (orang), konsumsi BBM (rupiah), upaya penangkapan (HOP), dan alat bantu
48
penangkapan (unit). Sedangkan faktor output terdiri dari single-output dan multioutput (ikan dominan yang tertangkap oleh setiap jenis alat tangkap. DEA adalah suatu pendekatan analisis program matematika dengan menggunakan pemograman linier untuk mengestimasi efisiensi teknis kapasitas penangkapan (TECU). Menurut Farë et al (1989, 1994), langkah-langkah analisis DEA adalah sebagai berikut: 1) Menentukan vektor output sebagai u dan vektor input sebagai x. 2) Melakukan pengamatan terhadap j (usaha perikanan pelagis atau DMU), jumlah m ouputs dan n inputs. 3) Membagi inputan menjadi fixed input (xf) dan variable input (xv). 4) Menghitung efisiensi teknis kapasitas penangkapan orientasi output dengan program linier sebagai berikut: TE Max,z ,2
............................................................. (3-18)
Subject to J
θ 1u jm z ju jm
m 1,2,..., M ......................... (3-19)
j 1
J
z j1
j
x jn x jn ,
n x f ..................................... (3-20)
j
x jn λjn x jn ,
n x v ..................................... (3-21)
J
z j1
z j 0 ,
j 1,2,..., J
......................... (3-22)
λjn 0 ,
n 1,2,...N
......................... (3-23)
Keterangan: TE = efisiensi teknis θ1 = nilai efisiensi teknis berorientasi output atau proporsi output dapat ditingkatkan pada tingkat kapasitas penuh (θ1 ≥1) Zj = intensitas penggunaan variabel untuk pengamatan ke-j λjn = tingkat penggunaan variabel input (variable input utilization, VIU) DMU J pada input variabel n
5) Menghitung efisiensi teknis kapasitas penangkapan (TECU) orientasi output dengan persamaan berikut: u 1 TECU * θ1 u θ1
..……………………………………... (3-24)
Keterangan: TECU = technical efficiency capacity utilization output oriented, didefinisikan dengan menggandakan θ* dengan produksi sesuangguhnya. Kapasitas pemanfaatan (CU), berdasarkan pada output pengamatan.
49
Metode perhitungan ini masih mengandung bias, karena pembilang dalam perhitungan CU, output pengamatan, tidak dihasilkan pada tingkat efisiensi teknis. Model di atas masih dengan asumsi constant returns to scale (CRS). Suatu pengukuran
efisiensi
teknis
output
mungkin
dapat
dihasilkan
dengan
menyelesaikan problem dimana kedua input (baik variable maupun fixed) dibatasi oleh kondisi sekarang dengan menggunakan asumsi variable return to scale (VRS). J
z j 1
j
1
......................................................................... (3-25)
Tipe DEA output oriented dengan menggunakan asumsi variable return to scale diformulasikan sebagai berikut: TE Max, z,2
............................................................. (3-26)
Subject to J
θ 2u jm z j u jm Sm
m 1,2,..., M ......................... (3-27)
j 1
J
z x j 1
j
J
z
jn
n x f ..................................... (3-28)
S n x jn ,
j
x jn λjn x jn ,
j
1
n x v ..................................... (3-29)
j1 J
z
......................................................................... (3-30)
j 1
z j 0 ,
j 1,2,..., J
......................... (3-31)
S m 0 ,
m 1,2,...N
......................... (3-32)
S n 0 ,
n 1,2,...N
......................... (3-33)
Efisiensi teknis kemudian diukur sebagai: 1 TE * θ 1
............……………………………………..... (3-34)
Kapasitas penangkapan dalam kondisi efisiensi teknis yang tak bias kemudian dihitung sebagai berikut:
* * CU 2* 2* 2 1
..…………..………………………..... (3-35)
6) Menghitung variable input utilization (VIU):
50
input variable optimum (target) VIU input variable actual (observasi)
......................... (3-36)
Keterangan: VIU < 1 = terjadi kapasitas berlebih input penangkapan, sehingga diperlukan pengurangan input VIU > 1 = terjadi kekurangan input penangkapan, sehingga diperlukan penambahan input VIU = 1 = tingkat kapasitas optimal (efisien)
7) Menghitung kapasitas potensial maksimum Kapasitas potensial maksimum dihitung berdasarkan output aktual dikali dengan 1/CU dari masing-masing alat tangkap terhadap semua jenis ikan pelagis yang ditangkap. Hasil perkalian tersebut merupakan kapasitas potensial maksimum, yang kemudian dibandingkan dengan prosentase MSY dari masingmasing jenis ikan pelagis hasil tangkapan alat tangkap tertentu.
3.3.5 Manajemen penangkapan ikan Analisis manajemen penangkapan ikan pelagis di perairan Teluk Apar dilakukan dengan menentukan tingkat keunggulan alat tangkap dan alternatif sumberdaya yang ada. Analisis dilakukan dengan menggunakan metode multicriteria analysis (MCA). Kriteria yang digunakan untuk menilai keunggulan alat tangkap adalah: produksi ikan, jumlah jenis ikan, keuntungan usaha, optimasi hasil tangkapan kondisi tahun lalu (tahun 2007), optimasi kondisi sekarang (tahun 2008), optimasi kondisi tahun yang akan datang (tahun 2009), jumlah alat tangkap, dan CU single-output, dan CU multi-output. Sedangkan kriteria untuk alternatif sumberdaya ikan adalah: lama musim penangkapan ikan, tren CPUE, hasil tangkapan periode tahun 2003-2008, upaya sebelum distandarisasi, upaya standar, tingkat pemanfaatan, tingkat upaya, C msy, dan fmsy, dan jumlah alat tangkap. Standarisasi untuk masing-masing variabel dalam indikator yang dianalisis tersebut dengan menggunakan formula yang dikemukakan oleh Briguglio, 1995 sebagai berikut: X ij MinX j SV ij MaxX j MinX j
............................................... (3-37)
0<SVij <1 Keterangan: j = indikator i = alat tangkap, sumberdaya ikan
51
FNij
= nilai standarisasi indikator ke-j untuk alat tangkap-i, atau sumberdaya ikan-i = nilai indikator ke-j untuk alat tangkap-i, sumberdaya ikan-i = nilai minimal dari kriteria ke-j = nilai maksimal dari kriteria ke-j
Xij MinXj MaxXj
Berdasarkan indikator yang diukur maka dibuat indeks komposit. Setiap variabel didalam masing-masing indikator diasumsikan memiliki bobot sama (w=1) sehingga nilai akhir untuk setiap indikator adalah: m
SV
NK i
y 1
m
yi
........................................................... (3-38)
Keterangan: NKi = nilai komposit untuk indikator i SVyi = nilai standarisasi variabel ke-y dalam domain ke-i m = jumlah variabel dalam domain ke-i
4 DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN
4.1 Kondisi Umum Kabupaten Paser 4.1.1 Administrasi wilayah dan letak geografis Kabupaten Paser salah satu kabupaten yang ada di wilayah Provinsi Kalimantan Timur yang terletak di bagian paling Selatan. Luas wilayah Kabupaten Pasir 11.603,94 km2 atau 4,73 % dari luas Kalimantan Timur dan luas perairan mencapai 752,76 km 2. Panjang garis pantai mencapai 202 km yang membentang dari arah utara ke selatan yaitu wilayah Kecamatan Longkali sampai wilayah Kecamatan Tanjung Harapan. Secara
geografis
Kabupaten
Paser
terletak
pada
posisi
antara
00o58’10,54”-02 o24’29,19” LS dan 115º36’14,59”-166º57’35,03” BT.
Batas-
batas wilayahnya meliputi : (1) Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kota Balikpapan (2) Sebelah Timur berbatasan dengan Selat Makassar (3) Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Kota Baru Provinsi Kalimantan Selatan (4) Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Tabalong Provinsi Kalimantan Selatan. Luas wilayah perairan mencapai 752,76 km2. Terdapat 10 kecamatan yaitu Long Kali, Long Ikis, Kuaro, Tanah Grogot, Muara Komam, Batu Sopang, Pasir Belengkong, Batu Engau, Tanjung Harapan, dan Muara Samu. 6 kecamatan diantaranya berada di wilayah pesisir yaitu Kuaro, Tanah Grogot, Long Ikis, Long Kali, Pasir Belengkong dan Tanjung Harapan. Wilayah perairan Teluk Apar meliputi 2 kecamatan dan terdiri dari 6 desa yaitu Desa Muara Pasir dan Desa Pasir Baru berada di Kecamatan Tanah Grogot dan Desa Lori, Desa Labuangkallo, Desa Selengot, dan Desa Tanjung Aru berada di wilayah Kecamatan Tanjung Harapan. Sebagian besar wilayah pesisir Kabupaten Paser merupakan kawasan konservasi yaitu Cagar Alam Teluk Adang dan Cagar Alam Teluk Apar. Cagar Alam Teluk Adang dikelilingi oleh 4 kecamatan yaitu Long Kali, Long Ikis,
53
Kuaro dan Tanah Grogot. Cagar Alam Teluk Apar terletak diantara dua kecamatan yaitu Kecamatan Pasir Belengkong dan Kecamatan Tanjung Harapan.
4.1.2 Keadaan topografi Secara umum Kabupaten Paser memiliki 3 tipe topografi yaitu dataran rendah, landai dan bergelombang dengan ketinggian berkisar antara 0-1.000 meter di atas permukaan laut. Topografi wilayah Kabupaten Paser terbagi dalam dua bagian yaitu : 1. Bagian Barat, merupakan daerah yang bergelombang, berbukit dan bergunung sampai di perbatasan daerah Provinsi Kalimantan Selatan hingga mencapai ketinggian 1.300 m dari permukan laut. Pada daerah ini terdapat beberapa gunung antara lain : Gunung Serumpaka (1.300 m), Gunung Lumut (1.233 m), Gunung Rambutan dan Gunung Halat. 2. Bagian Timur, merupakan dataran rendah, landai hingga bergelombang. Banyak terdapat rawa dan daerah aliran sungai (DAS) yang dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai jalur transportasi, lahan pertanian dan budidaya perikanan air tawar. Sepanjang pantai dari utara hingga keselatan merupakan hutan mangrove.
4.1.3 Perikanan tangkap Era otonomi daerah secara tidak langsung telah membawa perubahan di sektor perikanan, salah satunya adalah pemekaran wilayah kabupaten. Dampak kongkritnya terhadap perubahan struktur pada sektor perikanan khususnya sub sektor perikanan tangkap. Secara spesifik perubahan pada sub sektor perikanan tangkap yaitu pada unit penangkapan meliputi nelayan, kapal dan alat tangkap. Hal ini karena sebagian wilayah kecamatan yang masuk dalam kabupaten pemekaran memiliki potensi perikanan laut yang cukup potensial.
1) Nelayan Perkembangan jumlah nelayan di Kabupaten Paser pada tahun 2003-2008 relatif stabil (Gambar 9), pada tahun-tahun tersebut periode dimana telah terjadi pemekaran wilayah kabupaten. Perubahan jumlah nelayan terjadi seiring dengan pemekaran Kabupaten Paser menjadi dua, Kabupaten Paser dan Kabupaten Penajam Paser Utara. Pemekaran juga terjadi pada tingkat kecamatan bahkan
54
sampai ketingkat desa. Beberapa kecamatan yang memberikan kontribusi terhadap perikanan tangkap Kabupaten Paser sebelum terjadinya pemekaran yaitu Kecamatan Babulu, Kecamatan Waru, dan Kecamatan Penajam.
Jumlah n elayan (org)
6,000 5,000 4,000 3,000 2,000 1,000 0 2003
2004
2005
2006
2007
2008
Tahun penuh
utama
tambahan
jumlah
Gambar 9 Jumlah nelayan berdasarkan kategori usaha di Kabupaten Paser tahun 2003-2008 2) Kapal penangkapan Aktivitas penangkapan ikan di perairan laut Kabupaten Paser umumnya terfokus pada daerah pantai.
Hal ini terlihat dari jenis/ukuran armada yang
digunakan dominan kapal motor yang berukuran 0–5 GT (Gambar 10). Ukuran perahu/kapal sangat berpengaruh terhadap jangkauan daerah pengoperasian alat tangkap.
Secara lengkap ukuran perahu/kapal yang digunakan masyarakat
nelayan di Kabupaten Paser dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Perkembangan jumlah perahu/kapal penangkap ikan di Kabupaten Paser tahun 2003-2008 Tahun 2003 2004 2005 2006 2007 2008
Kategori perahu/kapal Tidak bermotor Kapal motor Kecil Sedang Tempel 0-5 GT 175 125 2.349 145 132 2.465 153 137 3.162 149 119 2.616 144 190 2.648 251 275 3.373
Sumber : Data Statistik DKPP Kabupaten Paser (2004-2009)
5-10 GT 24 81 86 89 30 29
Jumlah (unit) 2.673 2.823 3.538 2.973 3.012 3.928
Jumlah kapal (unit)
55
4000 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 0 2003
2004
2005
2006
2007
5-10 GT
jumlah
2008
Tahun tempel
0-5 GT
Gambar 10 Perkembangan jumlah kapal motor penangkap ikan di Kabupaten Paser tahun 2003-2008 Perkembangan jumlah armada pada tahun 2003-2008 terlihat fluktuatif, dimana pada tahun 2008 jumlah armada paling banyak dibanding dengan tahuntahun sebelumnya. Peningkatan jumlah armada karena adanya dukungan kebijakan Pemerintah Kabupaten Paser dalam rangka mengembangkan perikanan tangkap pasca pemekaran kabupaten. Apresiasi kebijakan di sub sektor perikanan tangkap berupa bantuan armada penangkapan yang bersumber dari dana APBN, APBD I dan APBD II.
3) Alat tangkap Sebagaimana dikatakan sebelumnya pemekaran wilayah Kabupaten Paser menyebabkan perubahan di sub sektor perikanan tangkap, terutama pada jumlah unit penangkapan.
Namun perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa
jumlah alat tangkap semakin meningkat, selain karena peningkatan jumlah penduduk (nelayan), juga karena adanya paket bantuan berupa alat tangkap, mesin, kapal dan rumpon yang diluncurkan oleh pemerintah kabupaten, provinsi dan pemerintah pusat. Secara lengkap jumlah alat tangkap di Kabupaten Paser tahun 2008 disajikan pada Tabel 2 dan Teluk Apar (Gambar 11).
56
Tabel 2 Jumlah unit penangkapan menurut jenis alat tangkap dan kecamatan tahun 2008 No
Produksi perikanan kecamatan (ton)
Jenis alat tangkap
Batu Engau
Tanjung Harapan
Tanah Grogot
Kuaro
Pukat cincin 453.2 7.3 Jaring insang hanyut 105.7 380 7.1 3 Jaring insang lingkar 341.7 240.1 4 Jaring insang tetap 84.8 318.6 5 Bagan perahu 6 Bagan Tancap 199.7 7 Rawai hanyut 32.9 22.4 3.2 8 Rawai tetap 42.4 108.7 3 9 Sero 2.8 10 Pancing tonda 5.5 11 Pancing lain 30.2 48 2.3 Jumlah 296 1881 263 Sumber : Data Statistik DKPP Kabupaten Paser, 2009
300.7
-
-
-
761.2
217
388
177.7
264.8
1540.9
-
-
-
-
581.8
165.4 561.4
279 -
193.2 -
178.5 -
1219.5 561.4
102.2 25.8 59 1 3.8 26 1462.6
107.9 91.1 105.4 2.4 4.6 55.1 1033.9
94.5 25.8 1.2 492.4
35.6 93.6 2.5 2.7 53.2 630.9
504.3 236.8 412.1 9.9 16.6 215.3 6059.8
Jumlah alat tangkap (%)
1 2
Long Ikis
Jml
Pasir Belengkong
Long Kali
100% 80% 60% 40% 20% 0% Pukat cincin
Jaring insang hanyut
Jaring insang lingkar
Jaring insang tetap
Bagan perahu
Bagan Tancap
Rawai hanyut
Rawai tetap
Sero
Jenis alat tangkap Kec. Tanjung Harapan
Kec. Tanah Grogot
Gambar 11 Prosentase jumlah unit penangkapan menurut jenis alat tangkap Teluk Apar (Kecamatan Tanjung Harapan dan Tanah Grogot) tahun 2008 4) Produksi perikanan tangkap Data pada Tabel 3 memberikan gambaran kontribusi produksi perikanan laut menurut alat tangkap dan kecamatan di Kabupaten Paser. Jaring insang merupakan alat tangkap ikan pelagis yang memberikan kontribusi produksi terbesar yaitu 1.540,9 ton. Produksi tertinggi menurut kecamatan di Kabupaten Paser yaitu Tanjung Harapan sebesar 1.881 ton. Tingginya produksi alat tangkap jaring insang karena memiliki jumlah terbesar. Tahun 2008 jumlah jaring insang sebanyak 1.502 unit lebih besar dibanding jumlah alat tangkap lain (Tabel 2). Produktivitas perikanan tangkap Kecamatan Tanjung Harapan tertinggi, hal ini didukung oleh faktor geografis dan
57
faktor demografi. Wilayah administrasi Kecamatan Tanjung Harapan memiliki lima desa, semuanya berada di daerah pesisir, menjadikan sub sektor perikanan tangkap sebagai prime mover bagi masyarakat setempat. Demikian pula dari aspek demografi, seluruh desanya berada di daerah pesisir sehingga pekerjaan utama penduduk sebagai nelayan. Berbeda dengan kecamatan lain struktur mata pencaharian penduduknya terdiri dari berbagai bidang pekerjaan. Secara lengkap produktivitas perikanan tangkap menurut kecamatan dapat dilihat pada Tabel 3 dan Teluk Apar (Gambar 12). Tabel 3
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Produksi perikanan tangkap menurut Kabupaten Paser tahun 2008
Jenis alat tangkap Pukat cincin Jaring insang hanyut Jaring insang lingkar Jaring insang tetap Bagan perahu Bagan tancap Rawai hanyut Rawai tetap Sero Pancing tonda Pancing lain Jumlah
klasifikasi alat tangkap di
Produksi perikanan kecamatan (ton) Batu Engau
Tanjung Harapan
Pasir Belengkong
-
453.2
7.3
300.7
-
-
-
105.7
380
7.1
217
388
177.7
264.8
-
341.7
240.1
-
-
-
-
84.8 32.9 42.4 30.2 296
318.6 199.7 22.4 108.7 2.8 5.5 48 1881
3.2 3 2.3 263
165.4 561.4 102.2 25.8 59 1 3.8 26 1462.6
279 107.9 91.1 105.4 2.4 4.6 55.1 1033.9
193.2 94.5 25.8 1.2 492.4
178.5 35.6 93.6 2.5 2.7 53.2 630.9
-
Tanah Grogot
Long Ikis
Kuaro
Long Kali
Jmh hsl tangkapan (% )
Sumber : Data Statistik DKPP Kabupaten Paser tahun, 2009
100% 80% 60% 40% 20% 0% Pukat cincin
Jaring insang hanyut
Jaring insang lingkar
Jaring insang tetap
Bagan perahu
Bagan Tancap
Rawai hanyut
Rawai tetap
Sero
Pancing Pancing tonda lain
Jenis alat tangkap Kec. Tanjung Harapan
Kec. Tanah Grogot
Gambar 12 Prosentase jumlah produksi menurut jenis alat tangkap Teluk Apar (Kecamatan Tanjung Harapan dan Tanah Grogot) tahun 2008
58
4.2 Kondisi Umum Teluk Apar 4.2.1 Gambaran desa-desa pesisir Ciri pokok desa pesisir yaitu sebagian besar penduduknya bermata pencaharian di sektor perikanan, dan desanya berada di tepi pantai (AMN-Kaltim, AMN-Paser, 2005). Sektor perikanan merupakan prime mover bagi desa pesisir. Desa-desa pesisir di sekitar perairan Teluk Apar antara lain Desa Muara Pasir, Desa Pasir Baru, Desa Lori, Desa Labuangkallo, Desa Selengot dan Desa Tanjung Aru. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.86/Kpts.II/1983 kawasan sekitar Teluk Apar ditetapkan sebagai kawasan cagar alam dengan luas 46.900 hektar.
Lima desa pesisir yang berada di sekitar Teluk Apar yang
termasuk dalam kawasan cagar alam yaitu Desa Paser Baru, Lori, Selengot, Labuangkallo dan Tanjung Aru (Gambar 13).
Gambar 13 Kawasan cagar alam Teluk Apar Kawasan Teluk Apar terdapat beberapa sungai antara lain Sungai Kandilo, Sungai Seratai, Sungai Apar Besar, Sungai Kerang, Sungai Segendang, dan Sungai Jengeru semuanya bermuara ke Teluk Apar.
Sungai-Sungai tersebut
memegang peranan penting dalam menunjang perekonomian masyarakat desa sekitar Teluk Apar. Selain digunakan sebagai sumber pengairan untuk kegiatan pertanian, budidaya perikanan, sungai juga dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai alur transportasi untuk mengangkut hasil panen dari desa-desa lain. Hal lain yang juga memegang peran penting kaitannya sungai dengan keberadaan perikanan tangkap adanya arus pasang dan surut yang mengalir secara kontinyu dari hulu sungai ke muara hingga ke perairan teluk dan demikian pula sebaliknya.
Arus merupakan salah satu faktor yang menyebabkan ikan
melakukan migrasi. Selain migrasi untuk mencari makan juga bertujuan untuk
59
melakukan pemijahan dengan mengikuti arah arus pasang. Arus tidak hanya membawa makanan tetapi juga membawa binatang laut itu sendiri.
4.2.2 Unit penangkapan ikan Unit penangkapan ikan merupakan satu kesatuan teknis dalam operasi penangkapan ikan, terdiri dari nelayan, perahu/kapal penangkap ikan dan alat penangkap ikan.
Ketiga elemen tersebut sangat penting dalam melakukan
kegiatan operasi penangkapan ikan.
1) Nelayan Nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan usaha penangkapan ikan. Nelayan sebagai orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan, dalam hal ini termasuk juru masak dan ahli mesin yang bekerja di atas kapal. Berdasarkan data Dinas Perikanan dan Sumberdaya Kelautan Kabupaten Paser tahun 2008, nelayan di sekitar perairan Teluk Apar berjumlah 1.890 orang. Jumlah nelayan setiap tahun cenderung mengalami peningkatan (Gambar 14). Kondisi di atas secara tidak langsung memberikan gambaran terhadap pemanfaatan sumberdaya di perairan Teluk Apar. Semakin bertambah jumlah nelayan tekanan pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk Apar juga akan semakin meningkat.
Jumlah nelayan (o rg)
3,000 2,500 2,000 1,500 1,000 500 0 2003
2004
2005
2006
2007
2008
Tahun penuh
utama
tambahan
jumlah
Gambar 14 Perkembangan jumlah nelayan di Teluk Apar tahun 2003-2008
60
2) Kapal Kapal perikanan menurut UU No 31 Tahun 2004 (pasal 1 ayat 9) adalah kapal, perahu atau alat apung lain yang dipergunakan untuk melakukan penangkapan ikan, mendukung operasi penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, pengangkutan ikan, pengolahan ikan, pelatihan perikanan, dan penelitian/ eksplorasi perikanan (UU No 31 Tahun 2004). Secara Umum jumlah perahu dan kapal meningkat setiap tahun. Peningkatan secara signifikan pada motor ukuran 0-5 GT. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yaitu peningkatan jumlah nelayan, kultur masyarakat di pesisir pantai kawasan Teluk Apar, kemampuan modal dan daerah operasi penangkapan. Selengkapnya perkembangan jumlah perahu/kapal di Teluk Apar periode 2003-2008 disajikan pada Tabel 4 dan Gambar 15. Tabel 4 Perkembangan jumlah perahu/kapal penangkap ikan di Teluk Apar tahun 2003-2008 Tidak bermotor Kecil Sedang 105 75 85 76 81 73 78 62 67 98 132 163
Tahun 2003 2004 2005 2006 2007 2008
Tempel 0 0 0 0 0 0
Kapal motor 0-5 GT 1.250 1.300 1.886 1.375 1.395 1.558
Jumlah 5-15 GT 65 65 69 47 17 29
1.495 1.526 2.109 1.562 1.577 1.882
Sumber : Data statistik DKPP Kabupaten Paser (2004-2009)
Jumlah kap al (u nit)
2500 2000 1500 1000 500 0 2003
2004
2005
2006
2007
5-10 GT
jumlah
2008
Tahun tempel
0-5 GT
Gambar 15 Perkembangan jumlah kapal motor penangkap ikan di Teluk Apar tahun 2003-2008
61
3) Alat tangkap Beragam jenis alat tangkap dioperasikan di perairan Teluk Apar, diantara berbagai alat tangkap tersebut yang dominan digunakan untuk menangkap ikan pelagis antara lain : pukat cincin, jaring insang hanyut, jaring insang lingkar, jaring insang tetap, bagan perahu, bagan tancap, rawai tetap, rawai hanyut, pancing tonda, dan pancing lainnya. Produksi perikanana laut Kabupaten Paser secara umum ditopang oleh dua perairan laut yaitu Teluk Adang dan Teluk Apar. Terdapat perbedaan keragaman alat tangkap yang dioperasikan pada masing-masing perairan teluk. Di perairan Teluk Adang masih ditemukan atau masih beroperasi alat tangkap baby trawl (dogol) dan tidak terdapat alat tangkap purse seine. Sebaliknya di perairan Teluk Apar masyarakat nelayan Desa Tanjung Aru dan Desa Muara Paser mengoperasikan alat tangkap purse seine dan tidak terdapat trawl. Trawl tidak beroperasi di Teluk Apar, hal ini disebabkan oleh adanya kepatuhan terhadap kesepakatan antar nelayan, tokoh masyarakat, aparat desa yang berada di sekitar kawasan Teluk Apar untuk melarang beroperasinya trawl di perairan Teluk Apar, mengingat alat yang dioperasikan sebagian besar merupakan alat tangkap pasif khususnya jaring tiga lapis (penambe), selain itu armada yang digunakan dominan berkapasitas kecil sehingga operasi semua unit penangkapan terfokus pada satu kawasan yang sama. Berdasarkan hal tersebut maka disepakati untuk alat tangkap trawl dilarang dioperasikan di Teluk Apar. Perkembangan jenis alat tangkap pada periode 2003-2008 (Tabel 5, Gambar 16 dan 17). Tabel 5 Perkembangan jumlah alat tangkap di Teluk Apar tahun 2003-2008 Jumlah alat tangkap Teluk Apar (unit) Jaring insang pukat cincin hanyut lingkar tetap 2003 35 211 259 214 2004 35 249 313 248 2005 56 232 287 234 2006 82 262 255 218 2007 41 324 305 237 2008 29 490 198 243 rawai pancing Tahun sero hanyut tetap tonda 2003 66 251 48 241 2004 66 237 45 230 2005 72 225 44 214 2006 70 242 88 194 2007 44 193 79 228 2008 54 193 79 182 Sumber : Data statistik DKPP Kabupaten Paser (2004-2009) Tahun
bagan perahu 80 58 26 0 1 1 lainnya 170 163 150 127 119 121
tancap 79 56 58 18 18 18 jumlah 1.720 1.766 1.670 1.626 1.633 1.662
62
Jml alat tangkap (unit)
2500 2000 1500 1000 500 0 2003
2004
2005
2006
2007
2008
Tahun purse seine
jaring insang
bagan
Gambar 16 Perkembangan jumlah alat tangkap purse seine, jaring insang, dan bagan di Teluk Apar tahun 2003-2008
Jml alat tangkap (unit)
2500 2000 1500 1000 500 0 2003
2004
2005
2006
2007
2008
Tahun sero
rawai
pancing
Gambar 17 Perkembangan jumlah alat tangkap sero, rawai, dan pancing di Teluk Apar tahun 2003-2008 Pasca pelarangan pengoperasian
trawl telah berdampak terhadap
menurunnya jumlah alat tangkap trawl (dogol) di Kabupaten Paser, kondisi ini secara tidak langsung mempengaruhi jumlah produksi udang. Dampak lain dari pelarangan pengoperasian trawl adalah semakin meningkatnya luasan bukaan hutan mangrove di Kabupaten Paser untuk usaha budidaya udang. Ditinjau dari aspek pencapaian produksi khususnya udang, hal ini memberikan nilai tambah bagi Kabupaten Paser karena produksi udang yang sebelumnya dihasilkan melalui penangkapan (trawl) kini tersubstitusi melalui usaha budidaya, dan produksi yang dihasilkan lebih tinggi dibandingkan dari hasil penangkapan. Oleh karena itu
63
kontribusi udang terhadap produksi perikanan di Kabupaten Paser (Teluk Apar) dominan dihasilkan oleh aktivitas budidaya. Pembukaan lahan tambak secara besar-besaran di Kabupaten Paser khususnya di Teluk Apar telah menciptakan permasalahan baru. Pada beberapa desa pesisir disekitar kawasan Teluk Apar telah mengalami abrasi sehingga mengakibatkan rusaknya bangunan-bangunan rumah, selain itu juga karena kerasnya terpaan
angin laut
yang langsung mengarah kerumah-rumah
diperkampungan nelayan akibat tidak adanya penghalang/terbukanya hutan mangrove untuk usaha tambak. Hal ini semakin diperparah oleh minimnya pengetahuan masyarakat bagaimana usaha budidaya tambak yang berwawasan lingkungan, sehingga dalam melakukan usahanya mereka tidak memperhatikan kaidah-kaidah keseimbangan.
5 HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Pola Musim Penangkapan Ikan Pelagis di Perairan Teluk Apar Nilai indeks musim penangkapan ikan dapat digunakan dalam penentuan waktu yang tepat dalam melakukan operasi penangkapan ikan. Adapun kriteria yang dipakai dalam penentuan musim penangkapan ikan adalah jika nilai IMP sama dengan atau lebih dari 100% dikatakan sebagai musim penangkapan, sedangkan bukan musim penangkapan apabila nilai IMP kurang dari 100%. Adapun hasil analisis indeks musim penangkapan ikan beberapa jenis ikan pelagis dominan di perairan Teluk Apar dapat dilihat pada Lampiran 1-8, dengan pola sebagai berikut: 115 110
IMP (% )
105 100 95 90 85 I
II
III
IV
Kuartal Kembung
Keterangan :
Kuartal I = bulan Januari-Maret Kuartal III = bulan Juli-September
Kuartal II = bulan April-Juni Kuartal IV = bulan Oktober-Desember
IMP (%)
Gambar 18 Indeks musim penangkapan ikan kembung di Teluk Apar 115 110 105 100 95 90 85 80 I
II
III
IV
Kuartal Layang
Selar
Gambar 19 Indeks musim penangkapan ikan layang dan selar di Teluk Apar
65
110
IMP (%)
105 100 95 90 85 I
II
III
IV
Kuartal Teri
Gambar 20 Indeks musim penangkapan ikan teri di Teluk Apar
125 120 115 IMP (%)
110 105 100 95 90 85 80 I
II
III
IV
Kuartal Tembang
Tenggiri
Tongkol
Gambar 21 Indeks musim penangkapan ikan tembang, tenggiri dan tongkol di Teluk Apar 1) Kembung Musim penangkapan ikan yang didasarkan pada nilai indeks musim penangkapan menunjukkan bahwa musim penangkapan ikan kembung terjadi pada kuartal II (sekitar bulan April hingga Juni). Hal ini dapat dilihat dari nilai IMP ikan kembung diatas 100%, yaitu sebesar 111%. Indeks musim penangkapan ikan kembung terendah pada kuartal I (sekitar bulan Januari hingga Maret) dan IV (sekitar bulan Oktober hingga Desember) yaitu masing-masing sebesar 96%. Indeks musim penangkapan ikan kembung di kuartal III (sekitar bulan Juli hingga September) nilainya juga masih dibawah 100%.
66
2) Layang Musim penangkapan ikan yang didasarkan pada nilai indeks musim penangkapan menunjukkan bahwa musim penangkapan ikan layang terjadi pada kuartal I (sekitar bulan Januari hingga Maret). Hal ini dapat dilihat dari nilai IMP ikan layang diatas 100%, yaitu sebesar 111%. Indeks musim penangkapan ikan layang terendah pada kuartal III (sekitar bulan Juli hingga September) yaitu sebesar 95%. Indeks musim penangkapan ikan layang di kuartal II (sekitar bulan April hingga Juni) dan kuartal IV (sekitar bulan Oktober hingga Desember) nilainya juga masih dibawah 100%.
3) Selar Musim penangkapan ikan yang didasarkan pada nilai indeks musim penangkapan menunjukkan bahwa musim penangkapan ikan selar sama dengan ikan layang yaitu terjadi pada kuartal I (sekitar bulan Januari hingga Maret). Hal ini dapat dilihat dari nilai IMP ikan selar diatas 100%, yaitu sebesar 112%. Indeks musim penangkapan ikan selar terendah pada kuartal III (sekitar bulan Juli hingga September) dan IV (sekitar bulan Oktober hingga Desember) yaitu masing-masing sebesar 95%. Indeks musim penangkapan ikan selar di kuartal II (sekitar bulan April hingga Juni) nilainya juga masih dibawah 100%.
4) Tembang Musim penangkapan ikan yang didasarkan pada nilai indeks musim penangkapan menunjukkan bahwa musim penangkapan ikan tembang terjadi pada kuartal IV (sekitar bulan Oktober hingga Desember). Hal ini dapat dilihat dari nilai IMP ikan tembang diatas 100%, yaitu sebesar 110%. Indeks musim penangkapan ikan tembang terendah pada kuartal II (sekitar bulan April hingga Juni) yaitu sebesar 96%. Indeks musim penangkapan ikan tembang di kuartal I (sekitar bulan Januari hingga Maret) dan III (sekitar bulan Juli hingga September) nilainya juga masih dibawah 100%.
5) Tenggiri Musim penangkapan ikan yang didasarkan pada nilai indeks musim penangkapan menunjukkan bahwa musim penangkapan ikan tenggiri terjadi pada kuartal IV (sekitar bulan Oktober hingga Desember). Hal ini dapat dilihat dari
67
nilai IMP ikan tenggiri diatas 100%, yaitu sebesar 119%. Indeks musim penangkapan dari ikan tenggiri terendah pada kuartal I (sekitar bulan Januari hingga Maret) yaitu sebesar 90%. Indeks musim penangkapan ikan tenggiri di kuartal II (sekitar bulan April hingga Juni) dan kuartal III (sekitar bulan Juli hingga September) nilainya juga masih dibawah 100%.
6) Teri Musim penangkapan ikan yang didasarkan pada nilai indeks musim penangkapan menunjukkan bahwa musim penangkapan ikan teri terjadi pada kuartal I (sekitar bulan Januari hingga Maret) dan IV (sekitar bulan Oktober hingga Desember). Hal ini dapat dilihat dari nilai IMP ikan teri diatas 100%, masing-masing sebesar 105% dan 103%. Indeks musim penangkapan ikan teri terendah pada kuartal III (sekitar bulan Juli hingga September) yaitu sebesar 93%. Indeks musim penangkapan ikan teri di kuartal II (sekitar bulan April hingga Juni) nilainya juga masih dibawah 100%.
7) Tongkol Musim penangkapan ikan yang didasarkan pada nilai indeks musim penangkapan menunjukkan bahwa musim penangkapan ikan tongkol terjadi pada kuartal IV (sekitar bulan Oktober hingga Desember). Hal ini dapat dilihat dari nilai IMP ikan tongkol diatas 100%, yaitu sebesar 120%. Indeks musim penangkapan ikan tongkol terendah pada kuartal I yaitu sebesar 89%. Indeks musim penangkapan ikan tongkol di kuartal II (sekitar bulan April hingga Juni) dan kuartal III (sekitar bulan Juli hingga September) nilainya juga masih dibawah 100%. Berdasarkan nilai indeks musim penangkapan, ada empat pola musim penangkapan ikan pelagis di perairan Teluk Apar Kabupaten Paser, yaitu: 1) musim penangkapan ikan kembung (Gambar 18), terjadi pada bulan April hingga Juni (akhir musim peralihan barat-timur hingga pertengahan musim timur), 2) musim penangkapan ikan layang dan selar (Gambar 19), terjadi pada bulan Januari hingga Maret (pertengahan musim barat hingga awal musim peralihan barat-timur), 3) musim penangkapan ikan teri (Gambar 20) terjadi pada bulan Oktober hingga Maret (akhir musim peraliahan timur-barat hingga awal musim peralihan barat-timur), 4) musim penangkapan ikan tembang, tenggiri, dan
68
tongkol (Gambar 21) pada bulan Oktober hingga Desember (akhir musim peralihan timur barat hingga pertengahan musim barat). Pada pola musim penangkapan pertama, dimulainya musim penangkapan ikan ditandai dengan semakin berkurangnya hasil tangkapan ikan layang, selar, dan teri pada akhir bulan Maret, kemudian ikan kembung mulai tertangkap pada awal bulan April hingga Juni. Waktu penangkapan ikan kembung hanya berlangsung sekitar tiga bulan, namun pada bulan-bulan tersebut ikan kembung cukup melimpah. Secara umum ikan kembung paling banyak ditangkap dengan purse seine. Kalau mengacu pada pola angin musim (monsoon) maka musim ikan kembung terjadi pada akhir musim peralihan I (pancaroba barat-timur) hingga pertengahan musim timur. Nelayan Teluk Apar menyebut musim timur dengan istilah musim selatan, hal ini dikarenakan letak Teluk Apar berada pada posisi lintang tepatnya berhadapan dengan Selat Makassar bagian barat. Pola musim penangkapan kedua, musim penangkapan ikan layang dan selar sebenarnya mengikuti pola penangkapan ikan pelagis kecil lainnya (teri). Musim ikan teri dimulai sejak bulan Oktober hingga Maret. Namun musim ikan layang dan selar baru mulai pada bulan Januari, dan juga berakhir pada bulan Maret. Nilai IMPnya yang cenderung menurun saat memasuki akhir musim perlihan I (pancaroba barat-timur). Hal ini memperlihatkan bahwa ikan layang dan selar mempunyai puncak penangkapan yang relatif singkat. Musim penangkapan ikan layang dan selar terjadi pada kuartal I (sekitar bulan Januari hingga Maret) dengan nilai IMP masing-masing sebesar 111% dan 112%. Pada bulan-bulan tersebut dapat dikatakan bahwa ikan layang dan selar cukup melimpah. Ikan layang dan selar merupakan target tangkapan utama pada waktu musim barat, dan biasanya musim ikan di Teluk Apar disebut dengan musim ikan layang dan selar. Nelayan pada musim barat biasanya melakukan operasi penangkapan ikan layang dan selar di waktu malam hari, pada saat angin teduh. Karena pergerakan angin musim barat cukup kencang di waktu pagi hari hingga sore hari. Pola musim penangkapan ketiga, musim penangkapan ikan teri. Terjadi pada bulan Oktober hingga Maret yaitu akhir musim peralihan II (pancaroba timur-barat) hingga awal musim peralihan I (pancaroba barat-timur). Munculnya ikan teri hampir bersamaan dengan musim ikan tembang, tenggiri, dan tongkol. Namun musim puncak penangkapan ikan tenggiri dan tongkol lebih singkat. Ikan
69
teri tersebut merupakan ikan yang makanan utamanya plankton sehingga kelimpahannya tergantung pada faktor-faktor lingkungan perairan (Merta et al. 1998, diacu dalam Desniarti 2007). Diduga pada bulan Januari dengan berakhirnya musim hujan, kondisi oseanografi perairan cocok untuk pertumbuhan produktivitas plankton. Kondisi ini mengundang datangnya ikan pelagis terutama pelagis kecil. Pola musim penangkapan keempat, musim penangkapan ikan tembang, tenggiri, dan tongkol pada bulan Oktober hingga Desember. Pada bulan-bulan tersebut angin musim merupakan akhir musim peralihan II (pancaroba timurbarat) hingga pertengahan musim barat. tenggiri,
Munculnya musim ikan tembang,
dan tongkol ditandai dengan
munculnya ikan teri. Hal ini
memperlihatkan adanya mekanisme rantai makanan pada daerah tersebut, bergerombolnya ikan pelagis kecil mengundang datangnya ikan palagis besar yang makanan utamanya ikan-ikan kecil. Selain itu, karakteristik tingkah laku ikan pelagis besar sebagai perenang cepat memiliki keterkaitan kuat terhadap arus. Pada musim timur (Mei-Agustus) ikan pelagis bermigrasi dari Laut Jawa ke arah utara menuju Natuna dan Laut Cina Selatan (Djamali 1971, diacu dalam Almuas 2005). Berdasarkan pada pengalaman nelayan bahwa kalau musim barat jadi, maka ikan demersal yang melimpah. Sebaliknya kalau musim barat tidak jadi, maka ikan pelagis yang melimpah. Membandingkan musim penangkapan ikan pelagis menurut nilai IMP dengan pola angin musim, maka ikan pelagis ternyata banyak tertangkap pada pertengahan musim barat sampai dengan musim peralihan I (pancaroba barat-timur). Melihat hal tersebut diatas dapat dikatakan bahwa dinamika pergerakan pola angin musim selama periode tahun 2003 hingga 2008 kebanyakan musim baratnya berjalan dengan baik. Berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan, maka didapatkan informasi bahwa baru sekitar dua tahun terakhir pola angin musim berjalan sebagaimana biasanya. Anomali pernah terjadi sekitar 5 tahun lalu, hal tersebut tidak lepas dari pengaruh perubahan iklim dunia secara global. Berdasarkan hasil wawancara terhadap nelayan responden dan para punggawa (juragan) diperoleh informasi musim ikan. Rincian waktu musim ikan pelagis dominan yang tertangkap di Teluk Apar versi nelayan dibandingkan dengan perhitungan nilai IMP sebagai berikut:
70
Tabel 6 Perbandingan musim ikan pelagis antara versi nelayan dengan nilai IMP di Teluk Apar Versi Nelayan IMP Nelayan IMP Nelayan IMP Nelayan IMP Nelayan IMP Nelayan IMP Nelayan IMP
Jenis Ikan
1
2
3
4
Musim ikan (bulan) 5 6 7 8
9
10
11
12
Kembung Layang Selar Tembang Tenggiri Teri Tongkol
Sumber : Data primer dan data diolah dari data statistik DKPP Kabupaten Paser (2009)
Berdasarkan Tabel 6 diatas, terlihat bahwa tidak terlihat adanya perbedaan yang signifikan musim ikan versi nelayan dengan IMP. Hasil analisis IMP menunjukkan dinamika musim puncak ikan pelagis besar (tenggiri dan tongkol), biasa mengawali datangnya musim ikan pelagis kecil. Setelah puncak musim ikan pelagis kecil berakhir, muncul lagi ikan pelagis besar. Hasil penelitian Balai Riset Perikanan Laut, Pusat Riset Perikanan Tangkap, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan tahun 2004 mengenai musim penangkapan ikan pelagis kecil di wilayah manajemen perikanan Laut Jawa. Bahwa berdasarkan zona penangkapan, konsentrasi layang pada bulan September hingga Februari berada di bagian timur Laut Jawa dan Selat Makassar. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian terhadap ikan layang di Teluk Apar yang berada pada zona Selat Makassar, dengan nilai IMP ikan layang sebesar 111% pada kuartal I (sekitar bulan Januari hingga Maret). Artinya konsentrasi ikan layang pada bulan-bulan tersebut merupakan musim puncaknya. Hasil penelitian Wiyono (2001) menyatakan bahwa musim penangkapan ikan tembang di Teluk Pelabuhanratu terjadi sekitar bulan Mei sampai Oktober. Ikan layur pada bulan Agustus sampai Oktober, ikan tongkol pada bulan Juni sampai Oktober, dan ikan pepetek pada bulan Juli hingga November. Musim penangkapan ikan yang ditunjukkan oleh besarnya nilai indek musim penangkapan (IMP), menunjukkan bahwa IMP diatas 100% beberapa jenis ikan
71
terjadi di musim peralihan I sampai dengan musim timur. Pada musim barat nilai indeknya secara umum dibawah angka 100%. Hasil penelitian Taeran (2007) menyatakan bahwa musim penangkapan enam jenis ikan ekonomis penting di Provinsi Maluku Utara hampir tersebar disetiap bulan sepanjang tahun. Musim penangkapan ikan cakalang pada bulan Maret, April, Juli, Agustus, dan September. Musim penangkapan tuna pada bulan Januari, Maret, September, dan Oktober. Musim penangkapan tongkol pada bulan Februari, Juni, September, Oktober, dan November. Musim penangkapan layang pada bulan Mei, Juni, Juli, November, dan Desember. Musim penangkapan ikan kembung pada bulan Januari-Maret, Mei, dan Agustus-Oktober. Musim Penangkapan julung-julung pada bulan Februari, Maret, Mei, dan Desember. Hidayat (2009) menyatakan bahwa musim penangkapan ikan pelagis di perairan Kabupaten Bangka terjadi pada peralihan I hingga peralihan II dan puncaknya pada musim timur, sedangkan musim paceklik terjadi pada musim barat. Perubahan musim penangkapan ikan tersebut telah mempengaruhi daerah penangkapan ikan pelagis secara temporal dan spasial.
Faktor utama yang
mempengaruhi musim dan daerah penangkapan ikan yaitu angin muson barat dan timur, oseanografi perairan, produktivitas primer perairan, dan behavior ikan pelagis. Adnan (2008) menyatakan bahwa pada musim barat hasil tangkapan tinggi dengan suhu permukaan laut (SPL) relatif rendah di perairan Kalimantan Timur, dimana terjadi peningkatan jumlah hasil tangkapan ikan layang. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian terhadap ikan layang di Teluk Apar, dengan nilai IMP ikan layang sebesar 111% pada kuartal I (sekitar bulan Januari hingga Maret) berarti puncak ikan layang ini terjadi pada musim barat. Selanjutnya dikatakan bahwa pada musim barat dimana klorofil-a meningkat, terjadi peningkatan hasil tangkapan. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian terhadap ikan layang, selar, teri, tembang, tenggiri dan tongkol yang paling banyak ditangkap pada musim barat. Secara umum SPL dan klorofil-a berpengaruh terhadap setiap spesies ikan.
72
5.2 Karakteristik Teknik-Ekonomi Alat Penangkapan Ikan Pelagis Di Perairan Teluk Apar Alat tangkap di Perairan Teluk Apar yang menangkap ikan pelagis dominan terdiri atas sebelas jenis alat tangkap, yaitu: purse seine, jaring insang hanyut, jaring insang lingkar, jaring insang tetap, bagan perahu, bagan tancap, sero, rawai hanyut, rawai tetap, pancing tonda, dan pancing lainnya. Namun alat tangkap yang sampai saat ini cukup berkembang dengan baik untuk target spesies berupa ikan pelagis adalah purse seine dan bagan tancap.
5.2.1 Keragaan penangkapan ikan Perkembangan jumlah armada yang mengusahakan ikan pelagis di Teluk Apar dapat dilihat pada Tabel 7, sedangkan produksi (ton) dan jumlah effort (unit) untuk setiap jenis ikan pelagis dominan dapat dilihat pada Lampiran 9-10. Tabel 7 Perkembangan jumlah armada penangkapan ikan (unit) yang menangkap ikan pelagis dominan di Teluk Apar tahun 2003-2008 No.
Jenis alat tangkap
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Purse seine Jaring insang hanyut Jaring insang lingkar Jaring insang tetap Bagan perahu Bagan tancap Sero Rawai hanyut Rawai tetap Pancing tonda Pancing lainnya
2003 35 211 259 214 80 79 66 251 48 241 170
Jumlah armada penangkapan ikan (unit) Tahun 2004 2005 2006 2007 35 56 82 41 249 232 262 324 313 287 255 305 248 234 218 237 58 26 0 1 56 58 18 18 66 72 70 44 237 225 242 193 45 44 88 79 230 214 194 228 163 150 127 119
2008 29 490 198 243 1 18 54 193 79 182 121
Sumber: Diolah dari data statistik DKPP Kabupaten Paser (2009)
Jenis alat tangkap gillnet (jaring insang) merupakan alat tangkap yang paling banyak beroperasi di sekitar Perairan Teluk Apar pada periode tahun 20032008, dari hasil perhitungan terlihat bahwa prosentase jaring insang hanyut sebesar 18%, jaring insang lingkar sebesar 17%, dan jaring insang tetap 14%. Jenis alat tangkap yang paling sedikit jumlahnya adalah bagan perahu sebesar 2%. Alat tangkap purse seine jumlah sebesar 3%.
73
1) Purse seine Komposisi hasil tangkapan purse seine terhadap ikan pelagis dapat dilihat pada Gambar 22. Hasil tangkapan purse seine berturut-turut dari yang paling banyak adalah: layang (47%), kembung (22%), selar (14%), tembang (13%), dan tongkol (4%). Total hasil tangkapan tertinggi purse seine terhadap keempat jenis ikan pelagis (multi-species) pada periode tahun 2003-2008 terjadi pada tahun 2004 (516,3 ton), sedangkan total tangkapan terendah pada tahun 2005 (421,9 ton). 300
Produksi (ton)
250 200 150 100 50 0 2003
2004
2005
2006
2007
2008
Tahun kembung
layang
selar
tembang
tongkol
Gambar 22 Perkembangan produksi purse seine (ton) di Teluk Apar tahun 20032008 Hasil tangkapan kembung mengalami puncak tangkapan pada tahun 2004 (124,5 ton), selanjutnya mengalami penurunan hingga mencapai nilai terendah pada tahun 2008 (94 ton). Hasil tangkapan layang mengalami puncak tangkapan pada tahun 2003 (246,6 ton), selanjutnya mengalami penurunan dengan nilai terendah pada tahun 2005 (181,9 ton). Hasil tangkapan selar mengalami fluktuasi dengan puncak tangkapan pada tahun 2006 (70,5 ton), sedangkan nilai terendah pada tahun 2005 (55 ton). Hasil tangkapan tembang mengalami fluktuasi dengan puncak tangkapan pada tahun 2006 (74,6 ton), sedangkan nilai terendah pada tahun 2005 (51,4 ton). Hasil tangkapan tongkol mengalami fluktuasi dengan puncak tangkapan pada tahun 2005 (23,6 ton), sedangkan nilai terendah pada tahun 2006 (16,8 ton).
74
2) Jaring insang hanyut Komposisi hasil tangkapan jaring insang hanyut terhadap ikan pelagis dapat dilihat pada Gambar 23. Hasil tangkapan jaring insang hanyut terhadap ikan pelagis berturut-turut dari paling banyak adalah: tongkol (54%), tenggiri (34%), selar (6%), dan kembung (6%). Total hasil tangkapan tertinggi jaring insang hanyut terhadap keempat jenis ikan pelagis (multi-species) pada periode tahun 2003-2008 terjadi pada tahun 2003 (375 ton), sedangkan total tangkapan terendah pada tahun 2008 (307,1 ton).
250
Produksi (ton)
200 150 100 50 0 2003
2004
2005
2006
2007
2008
Tahun kembung
selar
tenggiri
tongkol
Gambar 23 Perkembangan produksi jaring insang hanyut (ton) di Teluk Apar tahun 2003-2008 Hasil tangkapan kembung mengalami puncak tangkapan pada tahun 2004 (21,2 ton), selanjutnya mengalami penurunan hingga mencapai nilai terendah pada tahun 2008 (16,5 ton). Hasil tangkapan selar mengalami fluktuasi dengan puncak tangkapan pada tahun 2006 (28,7 ton), sedangkan nilai terendah pada tahun 2005 (16,8 ton). Hasil tangkapan tenggiri mengalami puncak tangkapan pada tahun 2003 (130,3 ton), selanjutnya mengalami penurunan hingga mencapai nilai terendah pada tahun 2006 (108,3 ton). Hasil tangkapan tongkol mengalami fluktuasi dengan puncak tangkapan pada tahun 2005 (218,4 ton), sedangkan nilai terendah pada tahun 2006 (155,4 ton).
3) Jaring insang lingkar Komposisi hasil tangkapan jaring insang hanyut terhadap ikan pelagis dapat dilihat pada Gambar 24. Hasil tangkapan jaring insang lingkar terhadap
75
ikan pelagis berturut-turut dari paling banyak adalah: kembung (64%), tongkol (28%), dan tenggiri (8%). Total hasil tangkapan tertinggi jaring insang lingkar terhadap ketiga jenis ikan pelagis (multi-species) dalam periode tahun 2003-2008 terjadi pada tahun 2004 (102,1 ton), sedangkan total tangkapan terendah pada tahun 2008 (79,5 ton).
P roduksi (ton)
80 70 60 50 40 30 20 10 0 2003
2004
2005
2006
2007
2008
Tahun kembung
tenggiri
tongkol
Gambar 24 Perkembangan produksi jaring insang lingkar (ton) di Teluk Apar tahun 2003-2008 Hasil tangkapan kembung mengalami puncak tangkapan pada tahun 2004 (68,1 ton), selanjutnya mengalami penurunan hingga mencapai nilai terendah pada tahun 2008 (51 ton). Hasil tangkapan tenggiri mengalami puncak tangkapan pada tahun 2003-2004 (masing-masing 8 ton), selanjutnya mengalami penurunan hingga mencapai nilai terendah pada tahun 2006 (6,7 ton).
Hasil tangkapan
tongkol mengalami fluktuasi dengan puncak tangkapan pada tahun 2005 (29,5 ton), sedangkan nilai terendah pada tahun 2006 (21 ton).
4) Jaring insang tetap Komposisi hasil tangkapan jaring insang tetap terhadap ikan pelagis berturut-turut dari paling banyak adalah: tenggiri (82%) dan tongkol (18%). Total hasil tangkapan tertinggi jaring insang tetap terhadap kedua jenis ikan pelagis (multi-species) dalam periode tahun 2003-2008 terjadi pada tahun 2003 (46.5 ton), sedangkan total tangkapan terendah pada tahun 2006 (37,9 ton) (Gambar 25).
P roduksi (ton)
76
45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 2003
2004
2005
2006
2007
2008
Tahun tenggiri
tongkol
Gambar 25 Perkembangan produksi jaring insang tetap (ton) di Teluk Apar tahun 2003-2008 Komposisi hasil tangkapan jaring insang tetap terhadap ikan pelagis berturut-turut dari paling banyak adalah: tenggiri (82%) dan tongkol (18%). Total hasil tangkapan tertinggi jaring insang tetap terhadap kedua jenis ikan pelagis (multi-species) dalam periode tahun 2003-2008 terjadi pada tahun 2003 (46.5 ton), sedangkan total tangkapan terendah pada tahun 2006 (37,9 ton) (Gambar 25). Hasil tangkapan tenggiri mengalami puncak tangkapan pada tahun 2003 (38,1 ton), selanjutnya mengalami penurunan hingga mencapai nilai terendah pada tahun 2006 (31,6 ton). Hasil tangkapan tongkol mengalami fluktuasi dengan puncak tangkapan pada tahun 2005 (8,9 ton), sedangkan nilai terendah pada tahun 2006 (6,3 ton).
5) Bagan perahu Komposisi hasil tangkapan bagan perahu terhadap ikan pelagis berturutturut dari paling banyak adalah: teri (50%), tembang (23%) dan selar (15%), dan kembung (12%). Total hasil tangkapan tertinggi bagan perahu terhadap keempat jenis ikan pelagis (multi-species) dalam periode tahun 2003-2008 terjadi pada tahun 2004 (181,6 ton), sedangkan total tangkapan terendah pada tahun 2008 (6,4 ton) (Gambar 26).
77
120
Produksi (ton)
100 80 60 40 20 0 2003
2004
2005
2006
2007
2008
Tahun kembung
selar
tembang
teri
Gambar 26 Perkembangan produksi bagan perahu (ton) di Teluk Apar tahun 2003-2008 Hasil tangkapan kembung mengalami puncak tangkapan pada tahun 2004 (21,1 ton), selanjutnya mengalami penurunan hingga mencapai nilai terendah pada tahun 2008 (1,6 ton). Hasil tangkapan selar mengalami fluktuasi dengan puncak tangkapan pada tahun 2004 (26,7 ton), sedangkan nilai terendah pada tahun 2008 (2,6 ton). Hasil tangkapan tembang mengalami puncak tangkapan pada tahun 2003 (42,6 ton), selanjutnya mengalami penurunan hingga mencapai nilai terendah pada tahun 2008 (1,3 ton).
Hasil tangkapan teri mengalami
fluktuasi dengan puncak tangkapan pada tahun 2004 (96,7 ton), sedangkan nilai terendah pada tahun 2008 (0,9 ton). Pada tahun 2006 tidak ada bagan perahu yang beroperasi di Teluk Apar, tahun berikutnya (2007 dan 2008) terdapat masing-masing satu unit alat tangkap. Sehingga produksi bagan perahu pada tahun 2007 dan 2008 jelas terlihat sangat menurun drastis dibandingkan dengan tahun 2003-2005.
6) Bagan tancap Komposisi hasil tangkapan bagan tancap terhadap ikan pelagis berturutturut dari paling banyak adalah: teri (63%), tembang (20%) dan selar (17%). Total hasil tangkapan tertinggi bagan tancap terhadap ketiga jenis ikan pelagis (multi-species) dalam periode tahun 2003-2008 terjadi pada tahun 2006 (233,7 ton), sedangkan total tangkapan terendah pada tahun 2005 (99,6 ton) (Gambar 27).
Produksi (ton)
78
180 160 140 120 100 80 60 40 20 0 2003
2004
2005
2006
2007
2008
Tahun kembung
Gambar 27
selar
tembang
Perkembangan produksi bagan tancap (ton) di Teluk Apar tahun 2003-2008
Hasil tangkapan selar mengalami fluktuasi dengan puncak tangkapan pada tahun 2006 (31,4 ton), sedangkan nilai terendah pada tahun 2005 (19,1 ton). Hasil tangkapan tembang mengalami fluktuasi dengan puncak tangkapan pada tahun 2006 (40,7 ton), sedangkan nilai terendah pada tahun 2005 (22,8 ton). Hasil tangkapan teri mengalami fluktuasi dengan puncak tangkapan pada tahun 2006 (161,6 ton), sedangkan nilai terendah pada tahun 2005 (57,7 ton).
7) Sero Sero merupakan alat tangkap pasif yang salah satu hasil tangkapannya adalah jenis ikan pelagis dominan yaitu: tembang. 25
Produksi (ton)
20 15 10 5 0 2003
2004
2005
2006
2007
2008
Tahun tembang
Gambar 28 Perkembangan produksi sero (ton) di Teluk Apar tahun 2003-2008
79
8) Rawai hanyut Komposisi hasil tangkapan rawai hanyut terhadap ikan pelagis berturutturut dari paling banyak adalah: tenggiri (51%) dan tongkol (49%). Total hasil tangkapan tertinggi rawai hanyut terhadap kedua jenis ikan pelagis (multi-species) dalam periode tahun 2003-2008 terjadi pada tahun 2003 (11,8 ton), sedangkan total tangkapan terendah pada tahun 2006 (9,5 ton) (Gambar 29). 7
Produksi (ton)
6 5 4 3 2 1 0 2003
2004
2005
2006
2007
2008
Tahun tenggiri
Gambar 29
tongkol
Perkembangan produksi rawai hanyut (ton) di Teluk Apar tahun 2003-2008
Hasil tangkapan tenggiri mengalami puncak tangkapan pada tahun 20032004 (masing-masing 6 ton), selanjutnya mengalami penurunan hingga mencapai nilai terendah pada tahun 2006 (5 ton). Hasil tangkapan tongkol mengalami fluktuasi dengan puncak tangkapan pada tahun 2005 (6 ton), sedangkan nilai terendah pada tahun 2006 dan 2008 (4,5 ton).
9) Rawai tetap Rawai tetap merupakan alat tangkap termasuk dalam kategori pancing. yang salah satu hasil tangkapannya adalah jenis ikan pelagis dominan yaitu: tenggiri.
80
12
Produksi (ton)
10 8 6 4 2 0 2003
2004
2005
2006
2007
2008
Tahun tenggiri
Gambar 30 Perkembangan produksi rawai tetap (ton) di Teluk Apar tahun 20032008 10) Pancing tonda Komposisi hasil tangkapan pancing tonda terhadap ikan pelagis berturutturut dari paling banyak adalah: tongkol (57%) dan tenggiri (43%). Total hasil tangkapan tertinggi pancing tonda terhadap kedua jenis ikan pelagis (multispecies) dalam periode tahun 2003-2008 terjadi pada tahun 2003 (9,5 ton), sedangkan total tangkapan terendah pada tahun 2006 (7,3 ton) (Gambar 31). Hasil tangkapan tenggiri mengalami puncak tangkapan pada tahun 2003 (4,1 ton), selanjutnya mengalami penurunan hingga mencapai nilai terendah pada tahun 2006 (3,3 ton).
Hasil tangkapan tongkol mengalami fluktuasi dengan
puncak tangkapan pada tahun 2005 (5,8 ton), sedangkan nilai terendah pada tahun 2006 dan 2008 (4 ton). 7
Produksi (ton)
6 5 4 3 2 1 0 2003
2004
2005
2006
2007
2008
Tahun tenggiri
tongkol
Gambar 31 Perkembangan produksi pancing tonda (ton) di Teluk Apar tahun 2003-2008
81
11) Pancing lainnya Komposisi hasil tangkapan pancing lainnya terhadap ikan pelagis berturutturut dari paling banyak adalah: tenggiri (59%) dan tongkol (41%). Total hasil tangkapan tertinggi pancing lainnya terhadap kedua jenis ikan pelagis (multispecies) dalam periode tahun 2003-2008 terjadi pada tahun 2003 (6,8 ton),
Produksi (ton)
sedangkan total tangkapan terendah pada tahun 2006 (5,3 ton) (Gambar 32). 4.5 4 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0 2003
2004
2005
2006
2007
2008
Tahun tenggiri
tongkol
Gambar 32 Perkembangan produksi pancing lainnya (ton) di Teluk Apar tahun 2003-2008 Hasil tangkapan tenggiri mengalami puncak tangkapan pada tahun 2003 (4 ton), selanjutnya mengalami penurunan hingga mencapai nilai terendah pada tahun 2005-2006 (masing-masing 3,3 ton). Hasil tangkapan tongkol mengalami fluktuasi dengan puncak tangkapan pada tahun 2005 (3 ton), sedangkan nilai terendah pada tahun 2006 (2 ton).
5.2.2 Standarisasi alat tangkap Standarisasi alat tangkap dilakukan karena ikan-ikan pelagis (kembung, layang, selar, tembang, tenggiri, teri, dan tongkol) yang tertangkap di Perairan Teluk Apar menggunakan unit penangkapan yang berbeda-beda (multi-gear) yaitu: purse seine, jaring insang hanyut, jaring insang lingkar, jaring insang tetap, bagan perahu, bagan tancap, sero, rawai hanyut, rawai tetap, pancing tonda, dan pancing lainnya. Kemampuan menangkap dari setiap alat tangkap jelas berbedabeda. Standarisasi alat tangkap ini dapat dijadikan sebagai alat ukur terhadap tingkat kemampuan pemanfaatan suatu alat tangkap dan juga sebagai salah satu indikator terhadap pemanfaatan sumberdaya ikan secara maksimal yang
82
diharapkan tidak menganggu potensi lestari sumberdaya ikan yang ada (Gulland 1969). Hasil perhitungan FPI dari setiap jenis ikan pelagis pada Lampiran 11-24.
1) Kembung Alat tangkap purse seine, gillnet (jaring insang hanyut, jaring insang lingkar), dan bagan perahu merupakan alat tangkap yang digunakan nelayan di Perairan Teluk Apar untuk memperoleh hasil tangkapan ikan kembung. Mengingat setiap jenis alat tangkap memiliki kemampuan yang berbeda maka total upaya penangkapan yang dikerahkan oleh berbagai jenis unit penangkapan ikan kembung merupakan hasil penjumlahan dari upaya penangkapan masingmasing jenis alat tangkap yang sudah distandarisasi dengan cara memasukkan nilai fishing power index (FPI). Tabel 8 Nilai fishing power index dari alat tangkap yang menghasilkan ikan kembung Tahun 2003 2004 2005 2006 2007 2008
Purse seine 1 1 1 1 1 1
FPI Jaring insang hanyut Jaring insang lingkar 0 ,028 0,074 0 ,024 0,061 0 ,041 0,107 0 ,067 0,184 0 ,022 0,074 0 ,010 0,079
Bagan perahu 0,074 0,102 0,366 0 0,698 0,494
Sumber: Diolah dari data statistik DKPP Kabupaten Paser (2009)
Nilai CPUE rata-rata yang tertinggi dari tahun 2003-2008, adalah alat tangkap purse seine. Maka dengan demikian alat tangkap purse seine terpilih sebagai alat tangkap standar dengan nilai FPI sama dengan satu. Tabel 9 Nilai upaya penangkapan standar dari alat tangkap yang menghasilkan ikan kembung Tahun 2003 2004 2005 2006 2007 2008
Purse seine 35 35 56 82 41 29
Upaya penangkapan standar (unit) Jaring insang hanyut Jaring insang lingkar 6 19 6 19 10 31 17 47 7 22 5 15
Bagan perahu 6 6 9 0 1 1
Sumber: Diolah dari data statistik DKPP Kabupaten Paser (2009)
Upaya penangkapan purse seine tertinggi pada tahun 2006 sebesar 82 unit alat tangkap standar, terendah pada tahun 2003-2004 masing-masing sebesar 35
83
unit alat tangkap standar. Upaya penangkapan jaring insang hanyut tertinggi pada tahun 2006 sebesar 17 unit alat tangkap standar, terendah pada tahun 2008 yaitu sebesar 5 unit alat tangkap standar. Upaya penangkapan jaring insang lingkar tertinggi pada tahun 2006 sebesar 47 unit alat tangkap standar, terendah pada tahun 2008 sebesar 15 unit alat tangkap standar. Upaya penangkapan bagan perahu tertinggi pada tahun 2005 sebesar 9 unit alat tangkap standar, terendah pada tahun 2007-2008 masing-masing sebesar 1 unit alat tangkap standar.
2) Layang Ikan layang adalah salah satu jenis ikan pelagis yang hanya tertangkap oleh satu jenis alat tangkap yaitu: purse seine, sehingga alat tangkap tersebut menjadi alat tangkap standar dengan FPI sama dengan satu, maka upaya penangkapan standar sama dengan jumlah alat tangkap itu sendiri di setiap tahunnya. Tabel 10 Nilai fishing power index dan upaya standar dari alat tangkap yang menghasilkan ikan layang Tahun 2003 2004 2005 2006 2007 2008
FPI 1 1 1 1 1 1
Upaya penangkapan standar (unit) Purse seine 35 35 56 82 41 29
Sumber: Diolah dari data statistik DKPP Kabupaten Paser (2009)
Nilai Upaya penangkapan purse seine tertinggi pada tahun 2006 sebesar 82 unit alat tangkap standar, terendah pada tahun 2008 sebesar 29 unit alat tangkap standar.
3) Selar Alat tangkap purse seine, gillnet (jaring insang hanyut), bagan perahu, dan bagan tancap merupakan alat tangkap yang digunakan nelayan di Perairan Teluk Apar yang memperoleh hasil tangkapan ikan selar. Nilai CPUE rata-rata yang tertinggi dari tahun 2003-2008, adalah alat tangkap purse seine. Maka dengan demikian alat tangkap purse seine terpilih sebagai alat tangkap standar dengan nilai FPI sama dengan satu.
84
Tabel 11 Nilai fishing power index dari alat tangkap yang menghasilkan ikan selar Tahun 2003 2004 2005 2006 2007 2008
Purse seine 1 1 1 1 1 1
FPI Jaring insang hanyut 0,051 0,043 0,074 0,127 0,039 0,018
Bagan perahu 0,170 0,234 0,834 0 1,586 1,141
Bagan tancap 0,154 0,217 0,335 2,029 0,790 0,561
Sumber: Diolah dari data statistik DKPP Kabupaten Paser (2009)
Tabel 12 Nilai upaya penangkapan standar dari alat tangkap yang menghasilkan ikan selar Tahun 2003 2004 2005 2006 2007 2008
Purse seine 35 35 56 82 41 29
Upaya penangkapan standar (unit) Jaring insang hanyut Bagan perahu 11 14 11 14 17 22 33 0 13 2 9 1
Bagan tancap 12 12 19 37 14 10
Sumber: Diolah dari data statistik DKPP Kabupaten Paser (2009)
Upaya penangkapan purse seine tertinggi pada tahun 2006 sebesar 82 unit alat tangkap standar, terendah pada tahun 2008 sebesar 29 unit alat tangkap standar. Upaya penangkapan jaring insang hanyut tertinggi pada tahun 2006 yaitu sebesar 33 unit alat tangkap standar, terendah pada tahun 2008 yaitu sebesar 9 unit alat tangkap standar. Upaya penangkapan bagan perahu tertinggi pada tahun 2005 sebesar 22 unit alat tangkap standar, terendah pada tahun 2008 yaitu sebesar 1 unit alat tangkap standar. Pada tahun 2006 tidak ada alat tangkap bagan perahu yang melakukan penangkapan ikan. Upaya penangkapan bagan tancap tertinggi pada tahun 2006 sebesar 37 unit alat tangkap standar, terendah pada tahun 2008 sebesar 10 unit alat tangkap standar.
4) Tembang Alat tangkap purse seine, bagan perahu, bagan tancap, dan sero merupakan alat tangkap yang digunakan nelayan di Perairan Teluk Apar yang memperoleh hasil tangkapan ikan tembang. Nilai CPUE rata-rata yang tertinggi dari tahun 2003-2008, adalah alat tangkap purse seine. Maka dengan demikian alat tangkap purse seine terpilih sebagai alat tangkap standar dengan nilai FPI sama dengan satu.
85
Tabel 13 Nilai fishing power index dari alat tangkap yang menghasilkan ikan tembang Tahun 2003 2004 2005 2006 2007 2008
Purse seine 1 1 1 1 1 1
FPI Bagan perahu 0,291 0,402 1,433 0 0,916 0,656
Bagan tancap 0,197 0,279 0,428 2,485 1,014 0, 715
Sero 0,059 0,059 0,086 0,319 0,104 0,060
Sumber: Diolah dari data statistik DKPP Kabupaten Paser (2009)
Tabel 14 Nilai upaya penangkapan standar dari alat tangkap yang menghasilkan ikan tembang Tahun 2003 2004 2005 2006 2007 2008
Purse seine 35 35 39 75 15 15
Upaya penangkapan standar (unit) Bagan perahu Bagan tancap 23 16 23 16 37 25 0 45 1 18 1 13
Sero 4 4 6 22 5 3
Sumber: Diolah dari data statistik DKPP Kabupaten Paser (2009)
Upaya penangkapan purse seine tertinggi pada tahun 2006 sebesar 75 unit alat tangkap standar, terendah pada tahun 2007-2008 masing-masing sebesar 15 unit alat tangkap standar. Upaya penangkapan bagan perahu tertinggi pada tahun 2005 sebesar 37 unit alat tangkap standar, terendah pada tahun 2007-2008 masing-masing sebesar 1 unit alat tangkap standar. Upaya penangkapan bagan tancap tertinggi pada tahun 2006 sebesar 45 unit alat tangkap standar, terendah pada tahun 2008 yaitu sebesar 13 unit alat tangkap standar. Upaya penangkapan sero tertinggi pada tahun 2006 yaitu sebesar 22 unit alat tangkap standar, terendah pada tahun 2008 yaitu sebesar 3 unit alat tangkap standar.
5) Tenggiri Alat tangkap gillnet (jaring insang hanyut, jaring insang lingkar, dan jaring insang tetap), rawai hanyut, rawai tetap, pancing tonda, serta pancing lainnya merupakan alat tangkap yang digunakan nelayan di Perairan Teluk Apar yang memperoleh hasil tangkapan ikan tenggiri. Nilai CPUE rata-rata yang tertinggi dari tahun 2003-2008, adalah alat tangkap jaring insang hanyut. Maka dengan demikian alat tangkap jaring insang hanyut terpilih sebagai alat tangkap standar dengan nilai FPI sama dengan satu.
86
Tabel 15 Nilai fishing power index dari alat tangkap yang menghasilkan ikan tenggiri FPI Tahun 2003 2004 2005 2006 2007 2008
Jaring insang hanyut 1 1 1 1 1 1
Jaring insang lingkar 0,050 0,049 0,050 0,064 0,066 0,153
Jaring insang tetap 0,288 0,294 0,290 0,351 0,400 0,588
Rawai hanyut
Rawai tetap
Pancing tonda
Pancing lainnya
0,039 0,049 0,048 0,050 0,078 0,118
0,337 0,426 0,407 0,228 0,317 0,479
0,027 0,034 0,033 0,041 0,044 0,083
0,038 0,044 0,046 0,063 0,082 0,125
Sumber: Diolah dari data statistik DKPP Kabupaten Paser (2009)
Tabel 16 Nilai upaya penangkapan standar dari alat tangkap yang menghasilkan ikan tenggiri
Tahun 2003 2004 2005 2006 2007 2008
Jaring insang hanyut 211 249 232 262 324 490
Jaring insang lingkar 13 15 14 16 20 30
Upaya penangkapan standar (unit) Jaring Rawai Rawai insang hanyut tetap tetap 62 10 16 73 12 19 68 11 18 77 12 20 95 15 25 143 23 38
Pancing tonda
Pancing lainnya
7 8 7 8 10 15
6 7 7 8 10 15
Sumber: Diolah dari data statistik DKPP Kabupaten Paser (2009)
Upaya penangkapan jaring insang hanyut tertinggi pada tahun 2008 sebesar 490 unit alat tangkap standar, terendah pada tahun 2008 sebesar 211 unit alat tangkap standar. Upaya penangkapan jaring insang lingkar tertinggi pada tahun 2008 sebesar 30 unit alat tangkap standar, terendah pada tahun 2003 sebesar 13 unit alat tangkap standar. Upaya penangkapan jaring insang tetap tertinggi pada tahun 2008 sebesar 143 unit alat tangkap standar, terendah pada tahun 2003 sebesar 62 unit alat tangkap standar. Upaya penangkapan rawai hanyut tertinggi pada tahun 2008 sebesar 23 unit alat tangkap standar, terendah pada tahun 2003 sebesar 10 unit alat tangkap standar. Upaya penangkapan rawai tetap tertinggi pada tahun 2008 sebesar 38 unit alat tangkap standar, terendah pada tahun 2003 sebesar 16 unit alat tangkap standar. Upaya penangkapan pancing tonda tertinggi pada tahun 2008 sebesar 15 unit alat tangkap standar, terendah pada tahun 2003 dan 2005 masing-masing sebesar 7 unit alat tangkap standar. Upaya penangkapan pancing lainnya tertinggi pada tahun 2008 sebesar 15 unit alat tangkap standar, terendah pada tahun 2003 sebesar 6 unit alat tangkap standar.
87
6) Teri Alat tangkap bagan perahu dan bagan tancap merupakan alat tangkap yang digunakan nelayan di Teluk Apar yang memperoleh hasil tangkapan ikan teri. Tabel 17 Nilai fishing power index dari alat tangkap yang menghasilkan ikan teri Tahun 2003 2004 2005 2006 2007 2008
FPI Bagan perahu 1 ,206 1 ,179 2,726 0 0,221 0,217
Bagan tancap 1 1 1 1 1 1
Sumber: Diolah dari data statistik DKPP Kabupaten Paser (2009)
Nilai CPUE rata-rata yang tertinggi dari tahun 2003-2008, adalah alat tangkap bagan tancap. Maka dengan demikian alat tangkap bagan tancap terpilih sebagai alat tangkap standar dengan nilai FPI sama dengan satu. Tabel 18 Nilai upaya penangkapan standar dari alat tangkap yang menghasilkan ikan teri Tahun 2003 2004 2005 2006 2007 2008
Upaya penangkapan standar (unit) Bagan perahu Bagan tancap 97 79 68 56 71 58 0 18 0 18 0 18
Sumber: Diolah dari data statistik DKPP Kabupaten Paser (2009)
Upaya penangkapan bagan perahu tertinggi pada tahun 2003 sebesar 97 unit alat tangkap standar, terendah pada tahun 2005 sebesar 71 unit alat tangkap standar. Upaya penangkapan bagan tancap tertinggi pada tahun 2003 sebesar 79 unit alat tangkap standar, terendah pada tahun 2006-2008 masing-masing sebesar 18 unit alat tangkap standar.
7) Tongkol Alat tangkap purse seine, gillnet (jaring insang hanyut, jaring insang lingkar, dan jaring insang tetap), rawai hanyut, pancing tonda, serta pancing lainnya merupakan alat tangkap yang digunakan nelayan di Perairan Teluk Apar yang memperoleh hasil tangkapan ikan tongkol.
88
Tabel 19 Nilai fishing power index dari alat tangkap yang menghasilkan ikan tongkol
Tahun
Purse seine
2003 2004 2005 2006 2007 2008
0,651 0,769 0,448 0,345 0,854 1,822
Jaring insang hanyut 1 1 1 1 1 1
Jaring insang lingkar 0,110 0,107 0,109 0,139 0,143 0,335
FPI Jaring insang tetap 0,040 0,041 0,040 0,049 0,056 0,082
Rawai hanyut
Pancing tonda
Pancing lainnya
0,024 0,029 0,028 0,031 0,045 0,071
0,023 0,028 0,029 0,035 0,038 0,069
0,017 0,021 0,021 0,026 0,037 0,055
Sumber: Diolah dari data statistik DKPP Kabupaten Paser (2009)
Nilai CPUE rata-rata yang tertinggi dari tahun 2003-2008, adalah alat tangkap jaring insang hanyut. Maka dengan demikian alat tangkap jaring insang hanyut terpilih sebagai alat tangkap standar dengan nilai FPI sama dengan satu. Tabel 20 Nilai upaya penangkapan standar dari alat tangkap yang menghasilkan ikan tongkol
Tahun
Purse seine
2003 2004 2005 2006 2007 2008
23 27 25 28 35 53
Jaring insang hanyut 211 249 232 262 324 490
Upaya penangkapan standar (unit) Jaring Jaring Rawai insang insang hanyut lingkar tetap 28 9 6 34 10 7 31 10 6 35 11 8 44 13 9 66 20 14
Pancing tonda
Pancing lainnya
5 6 6 7 9 13
3 3 3 3 4 7
Sumber: Diolah dari data statistik DKPP Kabupaten Paser (2009)
Upaya penangkapan purse seine tertinggi pada tahun 2008 sebesar 53 unit alat tangkap standar, terendah pada tahun 2003 sebesar 23 unit alat tangkap standar. Upaya penangkapan jaring insang hanyut tertinggi pada tahun 2008 sebesar 490 unit alat tangkap standar, terendah pada tahun 2008 sebesar 211 unit alat tangkap standar. Upaya penangkapan jaring insang lingkar tertinggi pada tahun 2008 sebesar 66 unit alat tangkap standar, terendah pada tahun 2003 sebesar 28 unit alat tangkap standar. Upaya penangkapan jaring insang tetap tertinggi pada tahun 2008 sebesar 20 unit alat tangkap standar, terendah pada tahun 2003 sebesar 9 unit alat tangkap standar. Upaya penangkapan rawai hanyut tertinggi pada tahun 2008 sebesar 14 unit alat tangkap standar, terendah pada tahun 2003 dan 2005 masing-masing sebesar 6 unit alat tangkap standar. Upaya penangkapan pancing tonda tertinggi pada tahun 2008 sebesar 13 unit alat tangkap standar, terendah pada tahun 2003
89
yaitu sebesar 5 unit alat tangkap standar. Upaya penangkapan pancing lainnya tertinggi pada tahun 2008 sebesar 7 unit alat tangkap standar.
5.2.3 Bio-ekonomi alat penangkapan ikan Bio-ekonomi alat penangkapan ikan berupa perhitungan keuntungan usaha dari setiap alat tangkap ikan pelagis, dapat dilihat pada Lampiran 25-34.
1) Purse seine Jenis armada penangkapan ikan yang digunakan untuk mengoperasikan alat tangkap purse seine di Teluk Apar adalah perahu motor, yaitu perahu kayu berukuran panjang berkisar antara 12-15 m dengan tenaga penggerak berupa mesin berkekuatan 100-120 PK. Nelayan yang terlibat dalam pengoperasian alat berkisar antara 5-7 orang. Lama operasi penangkapan ikan dalam satu trip adalah sehari (one day fishing). Jumlah operasi penangkapan dalam sebulan rata-rata 14 trip. Pendapatan kotor purse seine selama setahun kurang lebih sebesar Rp 137.000.000,00. Biaya-biaya tetap dan tidak tetap yang dikeluarkan kurang lebih sebesar Rp 85.424.000,00.
Maka keuntungan bersih yang diperoleh nelayan
pemilik purse seine dalam setahun adalah kurang lebih sebesar Rp 51.576.000,00.
2) Jaring insang hanyut Kapal yang digunakan untuk mengoperasikan alat tangkap jaring insang hanyut di Teluk Apar mempunyai ukuran panjang berkisar antara 6-12 m dengan tenaga penggerak berupa mesin berkekuatan 20-24 PK. Nelayan yang terlibat dalam pengoperasian jaring insang hanyut berkisar antara 2-3 orang. Lama operasi penangkapan ikan dalam satu trip adalah sehari (one day fishing). Jumlah operasi penangkapan dalam sebulan rata-rata 14 trip. Pendapatan kotor jaring insang hanyut selama setahun kurang lebih sebesar Rp 50.000.000,00. Biaya-biaya tetap dan tidak tetap yang dikeluarkan kurang lebih sebesar Rp 30.010.000,00. Maka keuntungan bersih yang diperoleh nelayan pemilik jaring insang hanyut dalam setahun adalah kurang lebih sebesar Rp 19.990.000,00.
90
3) Jaring insang lingkar Kapal yang digunakan untuk mengoperasikan alat tangkap jaring insang hanyut di Teluk Apar mempunyai ukuran panjang berkisar antara 6-12 m dengan tenaga penggerak berupa mesin berkekuatan 20-24 PK. Nelayan yang terlibat dalam pengoperasian jaring insang lingkar berkisar antara 2-3 orang. Lama operasi penangkapan ikan dalam satu trip adalah sehari (one day fishing). Jumlah operasi penangkapan dalam sebulan rata-rata 14 trip. Pendapatan kotor jaring insang lingkar selama setahun kurang lebih sebesar Rp 45.000.000,00. Biaya-biaya tetap dan tidak tetap yang dikeluarkan kurang lebih sebesar Rp 28.736.000,00. Maka keuntungan bersih yang diperoleh nelayan pemilik jaring insang lingkar dalam setahun adalah kurang lebih sebesar Rp 16.264.000,00.
4) Jaring insang tetap Kapal yang digunakan untuk mengoperasikan alat tangkap jaring insang hanyut di Teluk Apar mempunyai ukuran panjang berkisar antara 6-12 m dengan tenaga penggerak berupa mesin berkekuatan 20-24 PK. Nelayan yang terlibat dalam pengoperasian jaring insang tetap berkisar antara 2-3 orang. Lama operasi penangkapan ikan dalam satu trip adalah sehari (one day fishing). Jumlah operasi penangkapan dalam sebulan rata-rata 14 trip. Pendapatan kotor jaring insang tetap selama setahun kurang lebih sebesar Rp 40.000.000,00. Biaya-biaya tetap dan tidak tetap yang dikeluarkan kurang lebih sebesar Rp 28.236.000,00.
Maka keuntungan bersih yang
diperoleh
nelayan pemilik jaring insang tetap dalam setahun adalah kurang lebih sebesar Rp 11.764.000,00.
5) Bagan perahu Nelayan yang terlibat dalam pengoperasian alat berkisar antara 4-5 orang. Lama operasi penangkapan ikan dalam satu trip adalah sehari (one day fishing). Jumlah operasi penangkapan dalam sebulan rata-rata 14 trip. Pendapatan kotor bagan perahu selama setahun kurang lebih sebesar Rp 125.000.000,00. Biaya-biaya tetap dan tidak tetap yang dikeluarkan kurang lebih sebesar Rp 70.884.000,00.
Maka keuntungan bersih yang diperoleh nelayan
91
pemilik bagan perahu dalam setahun adalah kurang lebih sebesar Rp 54.116.000,00. 6) Bagan tancap Nelayan yang terlibat dalam pengoperasian alat berkisar antara 3-4 orang. Lama operasi penangkapan ikan dalam satu trip adalah sehari (one day fishing). Jumlah operasi penangkapan dalam sebulan rata-rata 14 trip. Pendapatan kotor bagan tancap selama setahun kurang lebih sebesar Rp 59.000.000,00. Biaya-biaya tetap dan tidak tetap kurang yang dikeluarkan lebih sebesar Rp 35.420.000,00.
Maka keuntungan bersih yang diperoleh nelayan
pemilik bagan tancap dalam setahun adalah kurang lebih sebesar Rp 23.580.000,00.
7) Rawai hanyut Nelayan yang terlibat dalam pengoperasian alat berkisar antara 3-4 orang. Lama operasi penangkapan ikan dalam satu trip adalah sehari (one day fishing). Jumlah operasi penangkapan dalam sebulan rata-rata 14 trip. Pendapatan kotor rawai hanyut selama setahun kurang lebih sebesar Rp 57.000.000,00. Biaya-biaya tetap dan tidak tetap yang dikeluarkan kurang lebih sebesar Rp 42.972.000,00. Maka keuntungan bersih yang diperoleh nelayan pemilik rawai hanyut dalam setahun adalah kurang lebih sebesar Rp 14.028.000,00.
8) Rawai tetap Nelayan yang terlibat dalam pengoperasian alat berkisar antara 3-4 orang. Lama operasi penangkapan ikan dalam satu trip adalah sehari (one day fishing). Jumlah operasi penangkapan dalam sebulan rata-rata 14 trip. Pendapatan kotor rawai tetap selama setahun kurang lebih sebesar Rp 45.000.000,00. Biaya-biaya tetap dan tidak tetap yang dikeluarkan kurang lebih sebesar Rp 34.582.000,00.
Maka keuntungan bersih yang diperoleh nelayan
pemilik rawai tetap dalam setahun adalah kurang lebih sebesar Rp 10.418.000,00.
92
9) Pancing tonda Nelayan yang terlibat dalam pengoperasian alat berkisar antara 3-4 orang. Lama operasi penangkapan ikan dalam satu trip adalah sehari (one day fishing). Jumlah operasi penangkapan dalam sebulan rata-rata 14 trip. Pendapatan kotor pancing tonda selama setahun kurang lebih sebesar Rp 45.000.000,00. Biaya-biaya tetap dan tidak tetap yang dikeluarkan kurang lebih sebesar Rp 32.780.000,00.
Maka keuntungan bersih yang diperoleh nelayan
pemilik pancing tonda dalam setahun adalah
kurang lebih sebesar Rp
12.220.000,00.
10) Pancing lainnya Nelayan yang terlibat dalam pengoperasian alat berkisar antara 3-4 orang. Lama operasi penangkapan ikan dalam satu trip adalah sehari (one day fishing). Jumlah operasi penangkapan dalam sebulan rata-rata 14 trip. Pendapatan kotor pancing lainnya selama setahun kurang lebih sebesar Rp 32.000.000,00. Biaya-biaya tetap dan tidak tetap yang dikeluarkan kurang lebih sebesar Rp 27.912.000,00.
Maka keuntungan bersih yang diperoleh nelayan
pemilik pancing dalam setahun adalah kurang lebih sebesar Rp 4.088.000,00. Upaya penangkapan purse seine tertinggi pada tahun 2006 sebesar 82 unit alat tangkap, terendah pada tahun 2008 sebesar 29 unit alat tangkap. Upaya penangkapan jaring insang hanyut tertinggi pada tahun 2008 sebesar 490 unit alat tangkap, terendah pada tahun 2003 sebesar 211 unit alat tangkap. Upaya penangkapan jaring insang lingkar tertinggi pada tahun 2004 sebesar 313 unit alat tangkap, terendah pada tahun 2006 sebesar 255 unit alat tangkap. Upaya penangkapan jaring insang tetap tertinggi pada tahun 2003 sebesar 248 unit alat tangkap, terendah pada tahun 2003 sebesar 214 unit alat tangkap. Upaya penangkapan bagan perahu tertinggi pada tahun 2003 sebesar 80 unit alat tangkap, terendah pada tahun 2007 dan 2008 masing-masing sebesar 1 unit alat tangkap. Upaya penangkapan bagan tancap tertinggi pada tahun 2003 sebesar 78 unit alat tangkap, terendah pada tahun 2006, 2007, dan 2008 masing-masing sebesar 18 unit alat tangkap. Upaya penangkapan sero tertinggi pada tahun 2005 sebesar 72 unit alat tangkap, terendah pada tahun 2007 sebesar 44 unit alat tangkap.
93
Upaya penangkapan rawai hanyut tertinggi pada tahun 2003 sebesar 251 unit alat tangkap, terendah pada tahun 2007 dan 2008 masing-masing sebesar 193 unit alat tangkap. Upaya penangkapan pancing tonda tertinggi pada tahun 2003 sebesar 241 unit alat tangkap, terendah pada tahun 2008 sebesar 182 unit alat tangkap standar. Upaya penangkapan pancing lainnya tertinggi pada tahun 2004 sebesar 163 unit alat tangkap, terendah pada tahun 2007 sebesar 119 unit alat tangkap. Berdasarkan hasil standarisasi alat tangkap yang mengusahakan ikan kembung, terlihat bahwa alat tangkap yang mendominasi trend nilai CPUE selama periode tahun 2003-2008 adalah purse seine. Hal ini memperlihatkan bahwa alat tangkap tersebut memberikanan tingkat eksploitasi yang paling tinggi terhadap kembung pada tahun-tahun tersebut. Hal ini dapat dilihat dari nilai rata rata CPUEnya yang lebih tinggi dari alat tangkap jaring insang hanyut, jaring insang lingkar, dan bagan perahu. Upaya penangkapan standar tertinggi yang mengusahakan ikan kembung diperoleh pada tahun 2006, yaitu sebesar 146 unit. Berdasarkan hasil standarisasi alat tangkap yang mengusahakan ikan layang, terlihat bahwa alat tangkap yang mendominasi trend nilai CPUE selama periode tahun 2003-2008 adalah purse seine. Hal ini memperlihatkan bahwa alat tangkap tersebut selain memberikanan tingkat eksploitasi yang tinggi terhadap layang pada tahun-tahun tersebut, alat tangkap tersebut juga merupakan satusatunya alat tangkap yang menangkap ikan layang . Upaya penangkapan standar tertinggi yang mengusahakan ikan layang diperoleh pada tahun 2006, yaitu sebesar 82 unit. Berdasarkan hasil standarisasi alat tangkap yang mengusahakan ikan selar, terlihat bahwa alat tangkap yang mendominasi trend nilai CPUE selama periode tahun 2003-2008 adalah purse seine. Hal ini memperlihatkan bahwa alat tangkap tersebut memberikanan tingkat eksploitasi yang paling tinggi terhadap selar pada tahun-tahun tersebut. Hal ini dapat dilihat dari nilai rata rata CPUEnya yang lebih tinggi dari alat tangkap jaring insang hanyut, bagan perahu, dan bagan tancap. Upaya penangkapan standar tertinggi yang mengusahakan ikan selar diperoleh pada tahun 2006, yaitu sebesar 151 unit. Berdasarkan hasil standarisasi alat tangkap yang mengusahakan ikan tembang, terlihat bahwa alat tangkap yang mendominasi trend nilai CPUE selama periode tahun 2003-2008 adalah purse seine. Hal ini memperlihatkan bahwa alat
94
tangkap tersebut memberikanan tingkat eksploitasi yang paling tinggi terhadap tembang pada tahun-tahun tersebut.
Hal ini dapat dilihat dari nilai rata rata
CPUEnya yang lebih tinggi dari alat tangkap bagan perahu, bagan tancap, dan sero. Upaya penangkapan standar tertinggi yang mengusahakan ikan tembang diperoleh pada tahun 2006, yaitu sebesar 149 unit. Berdasarkan hasil standarisasi alat tangkap yang mengusahakan ikan tenggiri, terlihat bahwa alat tangkap yang mendominasi trend nilai CPUE selama periode tahun 2003-2008 adalah jaring insang hanyut. Hal ini memperlihatkan bahwa alat tangkap tersebut memberikanan tingkat eksploitasi yang paling tinggi terhadap tenggiri pada tahun-tahun tersebut. Hal ini dapat dilihat dari nilai rata rata CPUEnya yang lebih tinggi dari alat tangkap jaring insang lingkar, jaring insang tetap, rawai hanyut, rawai tetap, pancing tonda, dan pancing lainnya. Upaya penangkapan standar tertinggi yang mengusahakan ikan tenggiri diperoleh pada tahun 2008, yaitu sebesar 754 unit. Berdasarkan hasil standarisasi alat tangkap yang mengusahakan ikan teri, terlihat bahwa alat tangkap yang mendominasi trend nilai CPUE selama periode tahun 2003-2008 adalah bagan tancap.
Hal ini memperlihatkan bahwa alat
tangkap tersebut memberikanan tingkat eksploitasi yang paling tinggi terhadap teri pada tahun-tahun tersebut. Hal ini dapat dilihat dari nilai rata rata CPUEnya yang lebih tinggi dari alat tangkap bagan perahu. Upaya penangkapan standar tertinggi yang mengusahakan ikan teri diperoleh pada tahun 2003, yaitu sebesar 176 unit. Berdasarkan hasil standarisasi alat tangkap yang mengusahakan ikan tongkol, terlihat bahwa alat tangkap yang mendominasi trend nilai CPUE selama periode tahun 2003-2008 adalah jaring insang hanyut. Hal ini memperlihatkan bahwa alat tangkap tersebut memberikanan tingkat eksploitasi yang paling tinggi terhadap tongkol pada tahun-tahun tersebut. Hal ini dapat dilihat dari nilai rata rata CPUEnya yang lebih tinggi dari alat tangkap purse seine, jaring insang lingkar, jaring insang tetap, rawai hanyut, pancing tonda, dan pancing lainnya. Upaya penangkapan standar tertinggi yang mengusahakan ikan tongkol diperoleh pada tahun 2008, yaitu sebesar 662 unit. Hasil tangkapan utama alat tangkap purse seine adalah ikan layang, selanjutnya kembung, selar, dan tembang dengan nilai prosentase masing-masing lebih dari 10%. Sedangkan ikan tongkol prosentasenya kurang dari 4% sehingga
95
digolongkan sebagai hasil tangkapan sampingan. Nilai keuntungan per tahun dari satu unit usaha perikanan purse seine di Teluk Apar sebesar Rp 51.576.000,00. Hasil tangkapan utama alat tangkap jaring insang hanyut adalah ikan tongkol dan tenggiri dengan nilai prosentase masing-masing sebesar 54% dan 34%. Sedangkan ikan selar dan kembung prosentasenya kurang dari 7% sehingga digolongkan sebagai hasil tangkapan sampingan. Nilai keuntungan per tahun dari satu unit usaha perikanan jaring insang hanyut di Teluk Apar sebesar Rp 19.990.000,00. Hasil tangkapan utama alat tangkap jaring insang lingkar adalah ikan kembung dan tongkol dengan nilai prosentase masing-masing sebesar 64% dan 28%. Sedangkan ikan tenggiri prosentasenya sama dengan 8% sehingga digolongkan sebagai hasil tangkapan sampingan. Nilai keuntungan per tahun dari satu unit usaha perikanan jaring insang lingkar di Teluk Apar sebesar Rp 16.264.000,00. Hasil tangkapan utama alat tangkap jaring insang tetap adalah ikan tenggiri dan tongkol dengan nilai prosentase masing-masing sebesar 82% dan 18%. Nilai keuntungan per tahun dari satu unit usaha perikanan jaring insang tetap di Teluk Apar sebesar Rp 11.764.000,00. Hasil tangkapan utama alat tangkap bagan perahu adalah ikan teri, selanjutnya tembang, selar, dan kembung dengan nilai prosentase masing-masing lebih dari 10%. Nilai keuntungan per tahun dari satu unit usaha perikanan bagan perahu di Teluk Apar sebesar Rp 54.116.000,00. Hasil tangkapan utama alat tangkap bagan tancap adalah ikan teri, selanjutnya tembang dan selar dengan nilai prosentase masing-masing lebih dari 10%. Nilai keuntungan per tahun dari satu unit usaha perikanan bagan tancap di Teluk Apar sebesar Rp 23.580.000,00. Hasil penelitian Rudiansyah (2008) menyatakan bahwa keuntungan bagan tancap di Teluk Apar pada tahun 2007 sebesar Rp 22.448.000,00. Berarti ada kenaikan keuntungan sebesar Rp 1.132.000,00 di tahun 2008. Hasil tangkapan utama alat tangkap rawai hanyut adalah ikan tenggiri dan tongkol dengan nilai prosentase masing-masing sebesar 51% dan 49%. Nilai keuntungan per tahun dari satu unit usaha perikanan rawai hanyut di Teluk Apar sebesar Rp 14.028.000,00. Hasil tangkapan utama alat tangkap rawai tetap adalah ikan tenggiri. Nilai keuntungan per tahun dari satu unit usaha perikanan rawai tetap di Teluk Apar sebesar Rp 10.7418.000,00.
96
Hasil tangkapan utama alat tangkap pancing tonda adalah ikan tongkol dan tongkol dengan nilai prosentase masing-masing sebesar 57% dan 43%. Nilai keuntungan per tahun dari satu unit usaha perikanan pancing tonda di Teluk Apar sebesar Rp 12.220.000,00. Hasil tangkapan utama alat tangkap pancing lainnya adalah ikan tenggiri dan tongkol dengan nilai prosentase masing-masing sebesar 59% dan 41%. Nilai keuntungan per tahun dari satu unit usaha perikanan pancing lainnya di Teluk Apar sebesar Rp 4.088.000,00. Alat tangkap sero dengan hasil tangkapan ikan tembang memiliki keuntungan per tahun sebesar Rp 750.000,00. Berdasarkan parameter finansial dari segi nilai investasi kesebelas alat tangkap yang mengusahakan ikan pelagis, terlihat bahwa alat tangkap yang memiliki investasi tertinggi adalah bagan perahu sebesar Rp 150.000.000,00, selanjutnya alat tangkap purse seine sebasar Rp 90.000.000,00. Sedangkan nilai investasi terkecil adalah alat tangkap pancing sebesar Rp 10.200.000,00. Namun tidak demikan dengan biaya operasional yang dibutuhkan untuk penangkapan. Biaya operasional alat tangkap purse seine paling tinggi, yaitu sebesar Rp 85.424.000, selanjutnya alat tangkap bagan perahu sebesar Rp 70.884.000,00. Pendapatan tertinggi dari hasil penjualan ikan, kembali alat tangkap purse seine menjadi alat tangkap yang paling besar penerimaannya yaitu sebesar Rp 137.000.000,00 per tahun. Selanjutnya alat tangkap bagan perahu sebesar Rp 125.000.000,00 per tahun. Pancing menjadi alat tangkap yang paling kecil pendapatannya dari segi penerimaan hasil tangkapan yaitu sebesar Rp 32.000.000,00 per tahun. Sementara untuk keuntungan bersih, alat tangkap bagan perahu tetap menjadi alat tangkap yang paling besar pendapatannya yaitu sebesar Rp 54.116.000,00 per tahun kemudian alat tangkap purse seine sebesar Rp 51.576.000,00.
Berdasarkan
hasil
penelitian
Rudiansyah
(2008)
bahwa
keuntungan usaha unit penangkapan purse seine pada tahun 2007 sebesar Rp 50.940.000,00. Nilai ini jelas memperlihatkan adanya peningkatan keuntungan di tahun 2008 sebesar Rp 636.000,00. Pancing memiliki keuntungan bersih sebesar Rp 4.088.000,00 per tahun.
97
5.3 Tingkat Upaya dan Pemanfaatan Optimum Usaha Perikanan Pelagis di Perairan Teluk Apar Analisis yang dilakukan terhadap tingkat upaya dan pemanfaatan optimum usaha perikanan pelagis di perairan Teluk Apar berupa keragaan sumberdaya ikan, tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan, dan optimasi manajemen usaha penangkapan ikan.
5.3.1 Keragaan sumberdaya ikan pelagis Keragaan sumberdaya ikan pelagis berupa perhitungan produktivitas dari setiap alat tangkapnya dan fungsi produksinya dapat dilihat pada Lampiran 35-41.
1) Kembung Berdasarkan data statistik Dinas Kelautan, Perikanan dan Peternakan Kabupaten Paser, selama periode tahun 2003-2008 produksi ikan kembung di Teluk Apar yang didaratkan secara umum menunjukkan adanya fluktuasi. Produksi tertinggi ikan kembung terjadi pada tahun 2004 yaitu sebesar 234,9 ton. Produksi kembung setelah tahun 2004 terus mengalami penurunan dan mencapai titik terendah pada tahun 2008 sebesar 163,1 ton (Tabel 21). Tabel 21 Hasil tangkapan total (catch), upaya penangkapan total (effort) dan hasil tangkapan per unit upaya penangkapan (CPUE) kembung di Teluk Apar tahun 2003-2008 Tahun 2003 2004 2005 2006 2007 2008
catch (ton) 197,9 234,9 207,6 174,8 171,1 163,1
effort (unit) 585 655 601 599 671 718
CPUE 0,338 0,359 0,345 0,292 0,258 0,227
Sumber: Diolah dari data statistik DKPP Kabupaten Paser (2009)
Nilai hasil tangkapan per unit upaya penangkapan (CPUE) ikan kembung cenderung menurun dari tahun ke tahun. Pada tahun 2004 diperoleh nilai CPUE tertinggi sebesar 0,359 ton/unit. Selanjutnya terjadi penurunan nilai CPUE pada tahun 2005 hingga diperoleh nilai terendah CPUE pada tahun 2008 yaitu sebesar 0,227 ton/unit (Tabel 21). Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan model Equilibrium Schaefer terhadap data yang ada, diperoleh hasil tangkapan maksimum lestari (Cmsy) ikan kembung di Teluk Apar sebesar 220 ton/tahun.
Jumlah upaya
98
penangkapan maksimum lestari (Emsy ) yang disarankan untuk memanfaatkan potensi lestari tersebut adalah sebesar 98 unit alat tangkap standar per tahun.
2) Layang Berdasarkan data statistik Dinas Kelautan, Perikanan dan Peternakan Kabupaten Paser, selama periode tahun 2003-2008 produksi ikan layang di Teluk Apar yang didaratkan secara umum menunjukkan adanya fluktuasi. Produksi tertinggi terjadi pada tahun 2003 yaitu sebesar 246,6 ton. Produksi layang setelah tahun 2003 terus mengalami penurunan dan mencapai titik terendah pada tahun 2005 sebesar 181,9 ton (Tabel 22). Tabel 22 Hasil tangkapan total (catch), upaya penangkapan total (effort) dan hasil tangkapan per unit upaya penangkapan (CPUE) layang di Teluk Apar tahun 2003-2008 Tahun 2003 2004 2005 2006 2007 2008
catch (ton) 246,6 246,5 181,9 213,3 231,8 217,1
effort (unit) 35 35 56 82 41 29
CPUE 7,046 7,043 3,248 2,601 5,654 7,486
Sumber: Diolah dari data statistik DKPP Kabupaten Paser (2009)
Nilai hasil tangkapan per unit upaya penangkapan (CPUE) ikan layang terlihat fluktuatif. Nilai CPUE sejak tahun 2005 cenderung menurun dan nilai terendah terjadi pada tahun 2006 yaitu sebesar 2,601 ton/unit , namun setelah itu meningkat lagi sampai didapatkan nilai tertinggi pada tahun 2008 sebesar 7,486 ton/unit (Tabel 22). Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan model Equilibrium Schaefer terhadap data yang ada, diperoleh hasil tangkapan maksimum lestari (Cmsy) ikan layang di Teluk Apar sebesar 257 ton/tahun.
Jumlah upaya
penangkapan maksimum lestari (Emsy ) yang disarankan untuk memanfaatkan potensi lestari tersebut adalah sebesar 51 unit alat tangkap standar per tahun.
3) Selar Berdasarkan data statistik Kabupaten Paser, selama periode tahun 20032008 produksi ikan selar di Teluk Apar yang didaratkan secara umum menunjukkan adanya fluktuasi. Produksi tertinggi terjadi pada tahun 2007 yaitu
99
sebesar 142,5 ton.
Produksi selar mencapai titik terendah pada tahun 2008
sebesar 111,9 ton (Tabel 23). Tabel 23 Hasil tangkapan total (catch), upaya penangkapan total (effort) dan hasil tangkapan per unit upaya penangkapan (CPUE) selar di Teluk Apar tahun 2003-2008 Tahun 2003 2004 2005 2006 2007 2008
catch (ton) 135,8 140,4 112,2 130,6 118,1 111,9
effort (unit) 405 398 372 362 384 538
CPUE 0,335 0,353 0,302 0,361 0,307 0,208
Sumber: Diolah dari data statistik DKPP Kabupaten Paser (2009)
Nilai hasil tangkapan per unit upaya penangkapan (CPUE) ikan selar terlihat flutuatif dari tahun ke tahun. Nilai CPUE tertinggi terjadi pada tahun 2006 yaitu sebesar 0,361 ton/unit, sedangkan nilai terendah pada tahun 2008 sebesar 0,208 ton/unit (Tabel 23). Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan model Equilibrium Schaefer terhadap data yang ada, diperoleh hasil tangkapan maksimum lestari (Cmsy) ikan selar di Teluk Apar sebesar 144 ton/tahun. Jumlah upaya penangkapan maksimum lestari (Emsy ) yang disarankan untuk memanfaatkan potensi lestari tersebut adalah sebesar 100 unit alat tangkap standar per tahun.
4) Tembang Berdasarkan data statistik Dinas Kelautan, Perikanan dan Peternakan Kabupaten Paser, selama periode tahun 2003-2008 produksi ikan tembang di Teluk Apar yang didaratkan secara umum menunjukkan adanya penurunan. Produksi tertinggi terjadi pada tahun 2003 yaitu sebesar 142,1 ton. Produksi tembang setelah tahun 2003 terus mengalami penurunan dan mencapai titik terendah pada tahun 2008 sebesar 90,7 ton (Tabel 24). Nilai hasil tangkapan per unit upaya penangkapan (CPUE) ikan tembang cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Nilai CPUE terendah terjadi pada tahun 2005 yaitu sebesar 0,538 ton/unit, namun setelah itu meningkat terus sampai didapatkan nilai tertinggi pada tahun 2007 sebesar 0,952 ton/unit (Tabel 24).
100
Tabel 24 Hasil tangkapan total (catch), upaya penangkapan total (effort) dan hasil tangkapan per unit upaya penangkapan (CPUE) tembang di Teluk Apar tahun 2003-2008 Tahun 2003 2004 2005 2006 2007 2008
catch (ton) 142,1 123,8 114,1 135,6 99,0 90,7
effort (unit) 260 215 212 170 104 102
CPUE 0,546 0,576 0,538 0,798 0,952 0,889
Sumber: Diolah dari data statistik DKPP Kabupaten Paser (2009)
Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan model Equilibrium Schaefer terhadap data yang ada, diperoleh hasil tangkapan maksimum lestari (Cmsy) ikan tembang di Teluk Apar sebesar 137 ton/tahun.
Jumlah upaya
penangkapan maksimum lestari (Emsy ) yang disarankan untuk memanfaatkan potensi lestari tersebut adalah sebesar 113 unit alat tangkap standar per tahun.
5) Tenggiri Berdasarkan data statistik Dinas Kelautan, Perikanan dan Peternakan Kabupaten Paser, selama periode tahun 2003-2008 produksi ikan tenggiri di Teluk Apar yang didaratkan secara umum menunjukkan adanya penurunan. Produksi tertinggi terjadi pada tahun 2003 yaitu sebesar 200,5 ton.
Produksi tenggiri
setelah tahun 2003 terus mengalami penurunan dan mencapai titik terendah pada tahun 2006 sebesar 166,5 ton (Tabel 25). Tabel 25 Hasil tangkapan total (catch), upaya penangkapan total (effort) dan hasil tangkapan per unit upaya penangkapan (CPUE) tenggiri di Teluk Apar tahun 2003-2008 Tahun 2003 2004 2005 2006 2007 2008
catch (ton) 200,5 197,7 169,3 166,5 179,4 169,3
effort (unit) 1394 1485 1386 1386 1485 1506
CPUE 0,144 0,133 0,122 0,120 0,121 0,112
Sumber: Diolah dari data statistik DKPP Kabupaten Paser (2009)
Nilai hasil tangkapan per unit upaya penangkapan (CPUE) ikan tenggiri cenderung mengalami penurunan dari tahun ke tahun.
Nilai CPUE tertinggi
diperoleh pada tahun 2003 yaitu sebesar 0,144 ton/unit dan nilai terendah terjadi pada tahun 2008 yaitu sebesar 0,112 ton/tahun (Tabel 25).
101
Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan model Equilibrium Schaefer terhadap data yang ada, diperoleh hasil tangkapan maksimum lestari (Cmsy) ikan tenggiri di Teluk Apar sebesar 199 ton/tahun.
Jumlah upaya
penangkapan maksimum lestari (Emsy ) yang disarankan untuk memanfaatkan potensi lestari tersebut adalah sebesar 504 unit alat tangkap standar per tahun.
6) Teri Berdasarkan data statistik Dinas Kelautan, Perikanan dan Peternakan Kabupaten Paser, selama periode tahun 2003-2008 produksi ikan teri di Teluk Apar yang didaratkan secara umum menunjukkan adanya fluktuasi. Produksi tertinggi terjadi pada tahun 2004 yaitu sebesar 175,9 ton. Produksi teri mencapai titik terendah pada tahun 2008 sebesar 75,5 ton (Tabel 26). Nilai hasil tangkapan per unit upaya penangkapan (CPUE) ikan teri cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Nilai CPUE terendah pada tahun 2003 sebesar 0,965 ton/unit, kemudian terus meningkat sampai didapatkan nilai tertinggi pada tahun 2006 sebesar 8,978 ton/unit (Tabel 26). Tabel 26 Hasil tangkapan total (catch), upaya penangkapan total (effort) dan hasil tangkapan per unit upaya penangkapan (CPUE) teri di Teluk Apar tahun 2003-2008 Tahun 2003 2004 2005 2006 2007 2008
catch (ton) 153,5 175,9 128,2 161,6 82,5 75,5
effort (unit) 159 114 84 18 19 19
CPUE 0,965 1,543 1,526 8,978 4,342 3,974
Sumber: Diolah dari data statistik DKPP Kabupaten Paser (2009)
Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan model Equilibrium Schaefer terhadap data yang ada, diperoleh hasil tangkapan maksimum lestari (Cmsy) ikan teri di Teluk Apar sebesar 284 ton/tahun. Jumlah upaya penangkapan maksimum lestari (Emsy ) yang disarankan untuk memanfaatkan potensi lestari tersebut adalah sebesar 88 unit alat tangkap standar per tahun.
7) Tongkol Berdasarkan data statistik Dinas Kelautan, Perikanan dan Peternakan Kabupaten Paser, selama periode tahun 2003-2008 produksi ikan tongkol di Teluk Apar yang didaratkan secara umum menunjukkan adanya fluktuasi. Produksi
102
tertinggi terjadi pada tahun 2005 yaitu sebesar 295,2 ton. Produksi tongkol mencapai titik terendah pada tahun 2006 sebesar 210 ton (Tabel 27). Tabel 27 Hasil tangkapan total (catch), upaya penangkapan total (effort) dan hasil tangkapan per unit upaya penangkapan (CPUE) tongkol di Teluk Apar tahun 2003-2008 Tahun 2003 2004 2005 2006 2007 2008
catch (ton) 279,1 260,1 295,2 210,0 231,2 216,7
effort (unit) 1381 1475 1398 1380 1447 1456
CPUE 0,202 0,176 0,211 0,152 0,160 0,149
Sumber: Diolah dari data statistik DPPK Kabupaten Paser (2009)
Nilai hasil tangkapan per unit upaya penangkapan (CPUE) ikan tongkol terlihat cenderung mengalami fluktuasi. Nilai CPUE tertinggi diperoleh pada tahun 2005 yaitu sebesar 0,211 ton/unit namun setelah itu terus menurun dan nilai terendah terjadi pada tahun 2008 yaitu sebesar 0,149 ton/tahun (Tabel 27). Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan model Equilibrium Schaefer terhadap data yang ada, diperoleh hasil tangkapan maksimum lestari (Cmsy) ikan tongkol di Teluk Apar sebesar 275 ton/tahun.
Jumlah upaya
penangkapan maksimum lestari (Emsy ) yang disarankan untuk memanfaatkan potensi lestari tersebut adalah sebesar 412 unit alat tangkap standar per tahun.
5.3.2 Tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis Analisis pendugaan potensi tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis dominan ini merupakan suatu data olahan yang berasal dari produksi yang didaratkan dan data upaya yang ada di Teluk Apar selama periode tahun 20032008.
1) Kembung Tingkat pemanfaatan ikan kembung di Teluk Apar terlihat fluktuatif dengan kisaran 74-107%, nilai rata-ratanya sebesar 87,17%.
Tingkat upaya
tangkap juga cenderung fluktuatif dengan kisaran 51-150%, nilai rata-ratanya sebesar 86,50%. Secara teoritis nilai rata-rata tingkat pemanfaatan dan tingkat upaya tangkap masih dibawah 100% (Gambar 33).
103
150
160 140
Prosen tase
100
109
107
120
94
90
79 68
80
79 73
68
74 51
60 40 20 0 2003
2004
2005
2006
2007
2008
T ahun tingkat pemanfaatan
tingkat upaya
Gambar 33 Tingkat pemanfaatan dan tingkat upaya penangkapan ikan kembung berdasarkan model Equilibrium Schaefer di Teluk Apar tahun 20032008 2) Layang Tingkat pemanfaatan ikan layang di Teluk Apar terlihat fluktuatif dengan kisaran 71-96%, nilai rata-ratanya sebesar 86,67%. Tingkat upaya tangkap yang jua cenderung fluktuatif dari tahun ke tahun dengan kisaran 57-162%, nilai rataratanya sebesar 91,50%. Secara teoritis nilai rata-rata tingkat pemanfaatan dan tingkat upaya tangkap masih dibawah 100% (Gambar 34). 180
162
160
Pro sen tase
140 120 100 80
111 96
96
90
83 69
69
71
81
84 57
60 40 20 0 2003
2004
2005
2006
2007
2008
T ahun tingkat pemanfaatan
tingkat upaya
Gambar 34 Tingkat pemanfaatan dan tingkat upaya penangkapan ikan layang berdasarkan model Equilibrium Schaefer di Teluk Apar tahun 20032008
104
3) Selar Tingkat pemanfaatan ikan dan pengupayaan ikan selar di Teluk Apar dapat dilihat pada Gambar 35. 152
160 140 114
Prosentase
120 100 80
97
94 72
91 71
82
78
69
78 49
60 40 20 0 2003
2004
2005
2006
2007
2008
T ahun tingkat pemanfaatan
Gambar 35
tingkat upaya
Tingkat pemanfaatan dan tingkat upaya penangkapan ikan selar berdasarkan model Equilibrium Schaefer di Teluk Apar tahun 2003-2008
Tingkat pemanfaatan ikan selar di Teluk Apar terlihat fluktuatif dengan kisaran 78-97%, nilai rata-ratanya sebesar 86,67%. Tingkat upaya tangkap juga cenderung fluktuatif dari tahun ke tahun dengan kisaran 49-152%, nilai rataratanya sebesar 87,83%. Secara teoritis nilai rata-rata tingkat pemanfaatan dan tingkat upaya tangkap masih dibawah 100%.
4) Tembang Tingkat pemanfaatan ikan tembang di Teluk Apar terlihat fluktuatif dengan kisaran 67-104%, nilai rata-ratanya sebesar 86,17%.
Tingkat upaya
tangkap juga cenderung fluktuatif dari tahun ke tahun dengan kisaran 41-133%, nilai rata-ratanya sebesar 80%. Secara teoritis nilai rata-rata tingkat pemanfaatan dan tingkat upaya tangkap masih dibawah 100% (Gambar 36).
105
133
140 120
110
104
Prose ntase
99
91
100 69
80
84 72
69
67 58
60
41
40 20 0 2003
2004
2005
2006
2007
2008
T ahun tingkat pemanfaatan
tingkat upaya
Gambar 36 Tingkat pemanfaatan dan tingkat upaya penangkapan ikan tembang berdasarkan model Equilibrium Schaefer di Teluk Apar tahun 20032008 5) Tenggiri Tingkat pemanfaatan ikan tenggiri di Teluk Apar terlihat cenderung menurun dengan kisaran 84-101%, nilai rata-ratanya sebesar 90,67%. Tingkat upaya tangkap juga cenderung meningkat dari tahun ke tahun dengan kisaran 65150%, nilai rata-ratanya sebesar 90,17%. Secara teoritis nilai rata-rata tersebut masih dibawah 100% (Gambar 37). 150
160 140
Pr osentase
120
101
99
100 80
76 65
85
84 80
71
90
99 85
60 40 20 0 2003
2004
2005
2006
2007
2008
T ahun tingkat pemanfaatan
tingkat upaya
Gambar 37 Tingkat pemanfaatan dan tingkat upaya penangkapan ikan tenggiri berdasarkan model Equilibrium Schaefer di Teluk Apar tahun 20032008
106
6) Teri Tingkat pemanfaatan ikan teri di Teluk Apar terlihat fluktuatif dari tahun ke tahun dengan kisaran 27-62%, nilai rata-ratanya sebesar 45,67%. Tingkat upaya tangkap juga cenderung menurun dengan kisaran 20-200%, nilai rataratanya sebesar 91,17%. Secara teoritis nilai rata-rata tingkat pemanfaatan dan tingkat upaya tangkap masih dibawah 100% (Gambar 38). 250 200
Prosentase
200 146
141
150 100 54
62
57
45
50
20
29 20
27 20
2006
2007
2008
0 2003
2004
2005 T ahun
tingkat pemanfaatan
Gambar 38
tingkat upaya
Tingkat pemanfaatan dan tingkat upaya penangkapan ikan teri berdasarkan model Equilibrium Schaefer di Teluk Apar tahun 2003-2008
7) Tongkol Tingkat pemanfaatan ikan tongkol di Teluk Apar terlihat fluktuatif dengan kisaran 76-107%, nilai rata-ratanya sebesar 90,33%. Tingkat upaya tangkap juga cenderung meningkat dari tahun ke tahun dengan kisaran 69-161%, nilai rataratanya sebesar 96,67%. Secara teoritis semua nilai-nilai tersebut masih dibawah 100% (Gambar 39).
107
180
161
160
Prosentase
140 120
107
101
82
76
2004
2005
69
80
106
95
100
76
86
84
79
60 40 20 0 2003
2006
2007
2008
T ahun tingkat pemanfaatan
tingkat upaya
Gambar 39 Tingkat pemanfaatan dan tingkat upaya penangkapan ikan tongkol berdasarkan model Equilibrium Schaefer di Teluk Apar tahun 20032008 5.3.3 Optimasi manajemen usaha penangkapan ikan Berdasarkan data-data yang diperoleh di lapangan, fungsi-fungsi yang digunakan dalam pengkajian ini adalah: 1) Fungsi tujuan Fungsi tujuan yaitu memaksimumkan hasil tangkapan : C =
482,6PS + 326,1IH + 84,9IL + 41,1IT + 6,8BP + 133,6BT + 7SR + 10RH + 9RT + 8,2PT + 5,8PL (kondisi tahun lalu, tahun 2007)
C =
452PS + 307,1IH + 79,5IL + 38,6IT + 6,4BP + 123,1BT + 6,4SR + 9,6RH + 8,5RT + 7,5PT + 5,6PL (kondisi sekarang, tahun 2008)
C =
475,03PS + 341,45IH + 89,98IL + 41,77IT + 85,01BP + 139,75BT + 8,78SR + 10,57RH + 9,03RT + 8,45PT + 6,02PL (kondisi tahun yang akan datang, tahun 2009)
dimana : C = hasil tangkapan yang akan dimaksimumkan PS = jumlah armada purse seine IH = jumlah armada jaring insang hanyut IT = jumlah armada jaring insang tetap IL = jumlah armada jaring insang lingkar BP = jumlah armada bagan perahu BT = jumlah armada bagan tancap SR = jumlah sero RH = jumlah armada rawai hanyut RT = jumlah armada rawai tetap PT = jumlah armada pancing tonda, dan RT = jumlah armada pancing lainnya
108
2) Fungsi pembatas Fungsi pembatas yaitu nilai-nilai yang tidak boleh dilampaui karena kalau dialampaui akan merusak kelestarian sumberdaya a) Hasil tangkapan lestari (Cmsy ) Tahun 2007 1) Kembung = 2,43PS + 0,05IH + 0,18IL + 1,7BP ≤220 2) Layang
= 5,65PS ≤257
3) Selar
= 1,70PS + 0,07IH + 2,7BP + 1,34BT ≤144
4) Tembang
= 1,53PS + 1,4BP + 1,55BT + 0,16SR ≤137
5) Tenggiri
= 0,36IH + 0,02IL + 0,14IT + 0,03RH + 0,11RT + 0,02PT + 0,03PL ≤199
6) Teri
= 1BP + 4,53BT ≤284
7) Tongkol
= 0,45PS + 0,53IH + 0,08IL + 0,03IT + 0,02RH + 0,02PT + 0,02PL ≤275
Tahun 2008 1) Kembung = 3,24PS + 0,03IH + 0,26IL + 1,6BP ≤220 2) Layang
= 7,49PS ≤257
3) Selar
= 2,28PS + 0,04IH + 2,6BP + 1,28BT ≤144
4) Tembang
= 1,98PS + 1.3BP + 1,42BT + 0,12SR ≤137
5) Tenggiri
= 0,22IH + 0,03IL + 0,13IT + 0,03RH + 0,11RT + 0,02PT + 0,03PL ≤199
6) Teri
= 0,9BP + 4,14BT ≤284
7) Tongkol
= 0,60PS + 0,33IH + 0,11IL + 0,03IT + 0,02RH + 0,02PT + 0,02PL ≤275
Tahun 2009 1)
Kembung = 2,57PS + 0,07IH + 0,22IL + 0,77BP ≤220
2)
Layang
= 5,51PS ≤257
3)
Selar
= 1,61PS + 0,08IH + 1,15BP + 0,90BT ≤144
4)
Tembang = 1,46PS + 0,87BP + 1,07BT + 0,09SR ≤137
5)
Tenggiri
= 0,43IH + 0,03IL + 0,15IT + 0,02RH + 0,16RT + 0,02PT + 0,03PL ≤199
6)
Teri
= 1,22BP + 2,16BT ≤284
7)
Tongkol
= 0,48PS + 0,69IH + 0,09IL + 0,03IT + 0,02RH + 0,02PT + 0,02PL ≤275
109
b) Upaya penangkapan lestari (E msy ) Tahun 2007 1) Kembung = 1PS + 0,02IH + 0,07IL + 0,70BP ≤98 2) Layang
= 1PS ≤51
3) Selar
= 1PS + 0,04IH + 1,59BP + 0,79BT ≤100
4) Tembang
= 1PS + 0,92BP + 1,01BT + 0,10SR ≤113
5) Tenggiri
= 1IH + 0,06IL + 0,40IT + 0,08RH + 0,32RT + 0,04PT + 0,08PL ≤504
6) Teri
= 0,22BP + 1BT ≤88
7) Tongkol
= 0,85PS + IH + 0,14IL + 0,05IT + 0,04RH + 0,04PT + 0,04PL ≤412
Tahun 2008 1) Kembung = 1PS + 0,01IH + 0,08IL + 0,49BP ≤98 2) Layang
= 1PS ≤51
3) Selar
= 1PS + 0,02IH + 1,14BP + 0,56BT ≤100
4) Tembang
= 1PS + 0,66BP +0,72BT + 0,06SR ≤113
5) Tenggiri
= 1IH + 0,15IL + 0,59IT + 0,12RH + 0,48RT + 0,08PT + 0,12PL ≤504
6) Teri
= 0,22BP + 1BT ≤88
7) Tongkol
= 1,82PS + 1IH + 0,34IL + 0,08IT + 0,07RH + 0,07PT + 0,06PL ≤412
Tahun 2009 1) Kembung = 1PS + 0,03IH + 0,09IL + 0,30BP ≤98 2) Layang
= 1PS ≤51
3) Selar
= 1PS + 0,05IH + 0,71BP + 0,56BT ≤100
4) Tembang
= 1PS + 0,59BP + 0,73BT + 0,06SR ≤113
5) Tenggiri
= 1IH + 0,06IL + 0,34IT + 0,062RH + 0,36RT + 0,04PT + 0,06PL ≤504
6) Teri
= 0,57BP + 1BT ≤88
7) Tongkol
= 0,70PS + 1IH + 0,14IL + 0,05IT + 0,03RH + 0,03PT + 0,03PL ≤412
110
3) Output Berdasarkan hasil analisis optimasi dengan Linear Programming (LP) terhadap fungsi tujuan dan pembatas yang telah ditentukan sebelumnya, diperoleh nilai optimal untuk masing-masing jenis alat tangkap yang direkomendasikan pada tahun 2007, yaitu: jaring insang hanyut, jaring insang lingkar, jaring insang tetap, bagan tancap, dan sero berturut-turut sebesar 223, 1.160, 528, 62 dan 249 unit, dengan hasil tangkapan optimal yang dihasilkan adalah sebesar 203.099 ton per tahun. Tahun 2008, yaitu: jaring insang hanyut, jaring insang tetap, bagan tancap, dan sero berturut-turut sebesar 397, 180, 68, dan 339 unit. Hasil tangkapan optimal yang dihasilkan adalah sebesar 139.612 ton per tahun. Tahun 2009, yaitu: jaring insang hanyut, jaring insang lingkar, jaring insang tetap, bagan tancap, dan sero berturut-turut sebesar 261, 392, 916, 88, dan 476 unit. Hasil tangkapan optimal yang dihasilkan adalah sebesar 204.785 ton per tahun. Pada tahun 2007 jumlah optimal jaring insang hanyut lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah aktual. Jumlah alat tangkap jaring insang lingkar, jaring insang tetap, bagan tancap, dan sero lebih banyak dibandingkan dengan jumlah aktual. Alat tangkap yang tidak disarankan pada tahun 2007 adalah purse seine, bagan perahu, rawai hanyut, rawai tetap, pancing tonda, dan pancing lain. Pada tahun 2008 jumlah optimal jaring insang hanyut dan jaring insang tetap lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah aktual.
Jumlah alat tangkap
tangkap bagan tancap dan sero lebih banyak dibandingkan dengan jumlah aktual. Pada tahun 2009 jumlah optimal alat tangkap yang diperoleh diharapkan sebagai dasar untuk proyeksi jumlah alat tangkap yang akan dioperasikan di tahun-tahun yang akan datang.
4) Simulasi Berdasarkan hasil simulasi terhadap hasil tangkapan terlihat bahwa hanya ikan teri pada tahun 2007 dan 2008 yang belum melewati hasil tangkapan maksimum lestari (Cmsy). Hal ini mengindikasikan bahwa jumlah effort yang ada di Teluk Apar tidak seimbang dengan kondisi sumberdaya yang ada.
Effort
standar tahun 2009 akan dijadikan sebagai dasar untuk menentukan seberapa banyak jumlah alat yang menjadi prioritas. Effort standar layang telah melewati effort MSY, sementara effort untuk ikan yang lain semuanya masih dibawah effort MSY.
111 Tabel 28 Simulasi optimasi manajemen sumberdaya ikan pelagis di Teluk Apar No.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Jenis alat tangkap
Kondisi tahun lalu (tahun 2007)
Jumlah optimal tahun lalu
Purse seine 41 0 Jaring insang hanyut 324 223 Jaring insang lingkar 305 1160 Jaring insang tetap 237 528 Bagan perahu 1 0 Bagan tancap 18 62 Sero 44 249 Rawai hanyut 193 0 Rawai tetap 79 0 Pancing tonda 228 0 Pancing 119 0 Effort standar 1 Kembung 71 2 Layang 41 3 Selar 69 4 Tembang 65 5 Tenggiri 498 * 6 Teri 18 7 Tongkol 438 * Catch total 3.104,168 1 Kembung 437,477* 2 Layang 584,603* 3 Selar 266,683* 4 Tembang 203,311* 5 Tenggiri 588,871 * 6 Teri 127,904 7 Tongkol 895,319* Keterangan: * berarti telah melewati batas maksimum lestari (catch atau effortnya)
Kondisi sekarang (tahun 2008)
29 490 198 243 1 18 54 193 79 182 121
Jumlah optimal sekarang
0 397 0 180 0 68 330 0 0 0 0
Jumlah optimal tahun yang akan datang (2009) 0 261 392 916 0 88 476 0 0 0 0 Effort MSY
50 29 49 46 754 * 18 662 * 3.733,782 283,771* 378,651* 175,337* 134,453* 1.040,385* 127,904 1.593,282*
84 91* 88 90 389 81 398 4.941,251 542,863* 1.753,174* 364,082* 305,782* 425,546* 762,025* 787,780*
98 51 100 113 504 88 412 Catch MSY 220 257 144 137 199 284 275
112
Manajemen keragaan sumberdaya ikan pelagis dominan di Teluk Apar dilakukan dengan pendekatan trend nilai CPUE untuk menilai tingkat eksploitasi dari sisi perkembangan jumlah hasil tangkapan dan jumlah upaya tangkap dari tahun 2003 hingga tahun 2008 berdasarkan eksplorasi data empiris. Sedangkan penilaian dari segi fungsi produksi didekati secara simultan dengan analisis model Equilibrium Schaefer. Berdasarkan tren nilai CPUE dari ikan kembung pada periode tahun 20032008 terlihat bahwa nilai CPUE terendah terjadi pada tahun 2008.
Padahal
memiliki effort yang paling besar, hal ini terjadi karena berkurangnya jumlah catch yang signifikan. Terlihat dengan jelas jumlah catch kembung pada tahun tersebut menurun dibandingkan dengan tahun 2007. Kondisi tren CPUE ini jelas memperlihatkan bahwa penambahan dan pengurangan jumlah effort tidak menjamin linearitas terhadap catch. Nilai upaya penangkapan maksimum lestari (Emsy ) dengan lebih jelas memperlihatkan bahwa semua jumlah effort total setiap tahunnya telah melewati batas maksimum lestari. Namun sebaliknya jumlah catch hanya pada tahun 2004 yang melewati hasil tangkapan maksimum lestari (C msy). Berdasarkan analisis model Equilibrium Schaefer, maka ikan kembung masih bisa ditingkatkan pemanfaatannya dari sisi catch. Berdasarkan tren nilai CPUE dari ikan layang terlihat adanya peningkatan dalam 3 tahun terakhir (tahun 2006-2008). Peningkatan ini lebih diakibatkan oleh berkurangnya jumlah effort, bukan karena peningkatan jumlah catch. Jumlah catch ikan layang pada tahun 2006 lebih rendah dibanding dengan tahun 2008, walaupun tahun 2006 mempunyai jumlah effort yang lebih tinggi. Jumlah Effort ikan layang pada tahun 2006 juga telah melewati nilai upaya penangkapan maksimum lestari (E msy). Namun tetap saja menghasilkan jumlah catch lebih rendah dibanding tahun 2007 dan 2008 yang mempunyai jumlah effort yang lebih rendah dari nilai upaya penangkapan maksimum lestari. Sementara untuk jumlah catch pada 3 tahun terakhir (tahun 2006-2008) semuanya masih dibawah nilai hasil tangkapan maksimum lestari. Berdasarkan analisis model Equilibrium Schaefer, maka ikan layang masih bisa ditingkatkan pemanfaatannya. Berdasarkan tren nilai CPUE dari ikan selar, terlihat bahwa nilai CPUE tertinggi diperoleh pada tahun 2004. Hal ini disebabkan oleh peningkatan jumlah catch secara signifikan pula pada tahun tersebut. Pada tahun 2008 memiliki nilai
113
CPUE terendah, hal ini diakibatkan oleh berkuragnya catch walaupun telah dilakukan penambahan effort yang jauh lebih besar daripada tahun sebelumnya. Melihat nilai upaya penangkapan maksimum lestari (Emsy ) dari selar jelas terlihat bahwa semua nilai effort selar telah melewati batas nilai maksimum lestari.
Namun sebaliknya dari sisi catch, belum ada yang melewati hasil
tangkapan maksimum lestari (Cmsy). Berdasarkan analisis model Equilibrium Schaefer, maka ikan selar masih bisa ditingkatkan pemanfaatannya. Berdasarkan tren nilai CPUE dari ikan tembang, terlihat bahwa nilai CPUE tertinggi diperoleh pada tahun 2007. Hal ini disebabkan oleh berkurangnya effort secara signifikan pula pada tahun tersebut dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun 2005 memiliki nilai CPUE terendah, hal ini diakibatkan oleh karena jumlah catch pada tahun tersebut nilainya paling rendah. Melihat tahun sebelumnya (tahun 2004), dengan jumlah effort yang hanya beda tiga diperoleh nilai CPUE yang lebih tinggi. Jumlah effort ikan tembang pada tahun 2003-2006 telah melewati nilai upaya penangkapan maksimum lestari (Emsy ), sedangkan 2007 dan 2008 masih lebih kecil. Jumlah catch pada tahun 2003 dan dan 2007 telah melewati hasil tangkapan maksimum lestari (Cmsy). Berdasarkan dengan analisis model Equilibrium
Schaefer,
maka
ikan
kembung
masih
bisa
ditingkatkan
pemanfaatannya. Tren nilai CPUE dari ikan tenggiri terlihat mengalami penurunan sejak tahun 2003. Hal ini diakibatkan oleh penambahan jumlah effort dari tahun ke tahun terus meningkat yang tidak diikuti dengan jumlah catch. Jumlah effort selama periode tahun 2003-2008 belum ada yang melewati batas upaya penangkapan maksimum lestari (E msy).
Namun dari sisi catch terlihat bahwa
hanya pada tahun yang telah melewati nilai hasil tangkapan maksimum lestari. Melihat kondisi tersebut diatas maka pemanfaatan keberlanjutan ikan tenggiri perlu dilakukan pengurangan jumlah effort pada tahun-tahun berikutnya sesuai batas maksimum lestari. Tren nilai CPUE dari ikan teri terlihat mengalami peningkatan yang sangat signifikan sejak tahun 2006. Hal ini disebabkan oleh jumlah catch yang relatif stabil walaupun telah terjadi pengurangan jumlah effort yang sangat signifikan pula. Jumlah effort yang telah melewati nilai upaya penangkapan maksimum lestari (E msy) yaitu pada tahun 2003 hingga 2005. Jumlah catch secara keseluruhan
114
masih jauh dibawah hasil tangkapan maksimum lestari (Cmsy). Berdasarkan analisis model Equilibrium Schaefer, maka ikan selar masih bisa ditingkatkan pemanfaatannya. Tren nilai CPUE dari ikan tongkol berbeda dengan ke-6 jenis ikan pelagis lainnya, trend nilai CPUE tongkol lebih fluktiatif. Ikan tongkol menjadi satusatunya jenis ikan pelagis yang tingkat eksploitasinya paling besar.
Hal ini
terlihat dari jumlah effort mulai dari tahun 2003 hingga 2008 kesemuanya telah melewati batas upaya penangkapan maksimum lestari (E msy). Namun demikian dilihat dari jumlah catch, hanya pada tahun 2003 dan 2005 yang telah melewati batas hasil tangkapan maksimum lestari (C msy).
Walaupun pada tiga tahun
terakhir jumlah catch masih dibawah maksimum lestari, akan tetapi kalau manajemen didasarkan pada prinsip total allowable catch (TAC) yaitu pemanfaatan hanya diperbolehkan maksimal 80% dari nilai MSY, maka jelas ini pemanfaatannya sudah tidak bijaksana. Tingkat pemanfaatan rata-rata ikan kembung di Teluk Apar periode tahun 2003-2008 sebesar 87,17% dan tingkat upaya tangkap rata-rata sebesar 86,50%. Hal ini terlihat dengan tingginya tingkat pemanfaataan pada tahun 2004, serta tingkat upaya tangkap mengalami peningkatan yang cukup besar terutama pada tahun 2005-2006. Kondisi diatas memungkinan masih adanya ruang penambahan tingkat pemanfaatan sebesar 12,83% dengan syarat perlu perngurangan tingkat upaya tangkap sebesar 13,5%. Tingkat pemanfaatan dan upaya tangkap secara rata-rata memang belum mencapai tingkat jenuh (diatas 100%), akan tetapi tingkat pemanfaatan pada tahun 2004 telaah mencapai 107%, terlihat pula bahwa nilai tingkat upaya tangkap pada tahun 2005-2006 sebesar 109% dan 150%, namum secara rata-rata masih memungkinkan adanya ruang penambahan tingkat pemanfaatan dan upaya tangkap. Tingkat pemanfaatan rata-rata ikan layang sebesar 86,67% dan tingkat upaya tangkap rata-rata sebesar 91,50%. Hal ini mengindikasikan tingkat pemanfaatan dan tingkat upaya tangkap mendekati tingkat jenuh. Idealnya perlu pengurangan sampai pada tingkat dibawah 80% kalau mengacu pada kaidah TAC 80% dari MSY. Tingkat pemanfaatan rata-rata ikan selar periode tahun 2003-2008 sebesar 86,67% sementara tingkat upaya tangkap rata-rata sebesar 87,83%. Nilai tingkat pemanfaatan rata-rata ikan selar sama dengan ikan layang, namun dari segi tingkat
115
upaya tangkap, ikan selar sedikit dibawah nilai tingkat upaya tangkap ikan layang. Kondisi diatas memungkinan masih adanya ruang penambahan tingkat pemanfaatan sebesar 13,33% dengan syarat perlu perngurangan tingkat upaya tangkap sebesar 12,17%. Tingkat pemanfaatan dan tingkat upaya ikan tembang tidak terlalu berbeda dibanding dengan ikan kembung, layang, dan selar. Tingkat pemanfaatan rata-rata ikan tembang sebesar 86,17% dan tingkat upaya tangkap rata-rata sebesar 80%. Kondisi diatas memungkinan masih adanya ruang penambahan tingkat pemanfaatan sebesar 13,83% dengan syarat perlu perngurangan tingkat upaya tangkap sebesar 20%. Tingkat pemanfaatan rata-rata ikan tenggiri periode tahun 2003-2008 sebesar 90,67% sementara tingkat upaya tangkap rata-rata sebesar 90,17%, jelas terlihat tingkat pemanfaatan dan tingkat upaya tangkap sudah hampir mencapai titik jenuh. Oleh karena itu perlu pembatasan jumlah input (effort). Tingkat upaya tangkap dalam periode tahun 2003-2008 terus mengalami peningkatan. Hal ini mengindikasikan tingginya tekanan terhadap jenis ikan pelagis ini. Ikan teri mempunyai tingkat pemanfatan yang trendnya berbeda dengan ikan kembung, layang, selar, dn tembang. Tingkat pemanfaatan rata-rata ikan teri periode tahun 2003-2008 sebesar 45,67%, sementara tingkat upaya tangkap ratarata sebesar 91,17%. Terlihat bahwa nilai pemanfaatan masih rendah, akan tetapi tingkat upaya tangkap sudah hampir mencapai 100%. Tingkat upaya tangkap secara rata-rata memang tinggi, akan tetapi tingkat upaya sejak tahun 2003 terus mengalami penurunan yang siginifikan terutama pada tiga tahun terakhir (20072008) nilai tingkat upaya tangkap masih sangat rendah dengan nilai masingmasing sebesar 20%, hal ini memungkinkan terdapatnya ruang penambahan tingkat upaya tangkap. Sama halnya dengan ikan tenggiri, pada ikan tongkol juga terlihat adanya indikasi tekanan eksploitasi yang cukup besar. Hal ini dapat dilihat dari tingkat pemanfaatan rata-rata ikan tongkol periode tahun 2003-2008 sebesar 90,33% dan tingkat upaya tangkap rata-rata sebesar 96,67%, jelas terlihat bahwa tingkat pemanfaatan dan tingkat upaya sudah hampir mencapai titik jenuh. Maka langkah bijaksana yang harus dilakukan adalah melakukan pengurangan tingkat pemanfaatan dan tingkat upaya sampai pada tingkat dibawah 80%.
116
5.4 Analisis Kapasitas Unit Penangkapan Ikan Pelagis Di Perairan Teluk Apar Analisis kapasitas unit penangkapan pada purse seine dan bagan tancap dilakukan dengan dua pendekatan yaitu single-output dan multi-output. Purse seine mewakili alat tangkap aktif sedangkan bagan tancap mewakili alat tangkap pasif. Hasil perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 42-65. 5.4.1 Kapasitas penangkapan armada purse seine Tingkat kapasitas penangkapan armada purse seine pada kuartal I sampai dengan IV dihitung berdasarkan dua pendekatan output yaitu single-output dan multi-output. Pendekatan single output adalah analisis kapasitas penangkapan berdasarkan total hasil tangkapan purse seine, sedangkan multi-output adalah analisis kapasitas penangkapan berdasarkan lima jenis ikan pelagis dominan hasil tangkapan purse seine yaitu kembung, layang, selar, tembang, dan tongkol. 1) Kapasitas penangkapan purse seine dengan single-output Berdasarkan hasil analisis DEA single-output armada purse seine, terlihat bahwa kisaran nilai kapasitas penangkapan (CU) antara 0,700-1,000 (Gambar 40). Sebanyak 6 kapal dari 29 kapal sampel memiliki tingkat kapasitas penangkapan optimal dengan nilai CU sebesar 1, sedangkan 23 kapal lainnya belum optimal, terdiri dari 15 kapal pada kisaran nilai CU antara 0,900-0,999, 5 kapal pada kisaran nilai CU antara 0,800-0,899, dan 3 kapal pada kisaran nilai CU antara 0,700-0,799. 15
16
Jumlah kapal (unit)
14 12 10 8 6 6 4
5 3
2 0 0.700-0.799
0.800-0.899
0.900-0.999
Efisien
Rata-rata total nilai CU
Gambar 40 Sebaran rata-rata total nilai kapasitas penangkapan (CU) kapal purse seine dengan pendekatan single-output
117
Berdasarkan hasil analisis DEA juga diperoleh hasil pengukuran kapasitas penangkapan menurut kuartal, yaitu kuartal I (bulan Januari hingga Maret), kuartal II (bulan April hingga Juni), kuartal III (bulan Juli hingga September), dan kuartal IV (bulan Oktober hingga Desember) seperti terlihat pada Gambar 41. Hasil analisis menunjukkan bahwa tingkat kapasitas pemanfaatan purse seine tertinggi terjadi pada kuartal IV dengan nilai rata-rata CU sebesar 0,946, dimana rata-rata input optimal (target) yang digunakan adalah sekitar 94,6% dari rata-rata aktual (observasi) selama kapal beroperasi. Selanjutnya kuartal II (0,936), kuartal III (0,926), dan I (0,925). 0.950
0.946
Rata-rata nilai CU
0.945 0.940
0.936
0.935 0.930
0.926
0.925
0.925 0.920 0.915 0.910 Kuartal I
Kuartal II
Kuartal III
Kuartal IV
Kuartal penangkapan
Gambar 41
Sebaran rata-rata nilai kapasitas penangkapan (CU) purse seine menurut kuartal dengan pendekatan single-output
Sebaran tingkat kapasitas penangkapan kapal purse seine menurut kuartal penangkapan dengan pendekatan single-output, dapat dilihat pada Gambar 42. Pada kuartal I, II, III, dan IV, kapasitas penangkapan yang telah optimal (CU=1) masing-masing sebanyak 6 kapal, dan 23 kapal lainnya di tiap kuartal belum optimal (CU<1).
Jumlah kapal (unit)
118
20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
18 15 13
6
13
6
4
6 4
6
4
6
6
4
4 1
Kuartal I
Kuartal II
Kuartal III
Kuartal IV
Kuartal penangkapan CU : 0.700-0.799
CU : 0.800-0.899
CU : 0.900-0.999
CU : Efisien
Gambar 42 Sebaran nilai kapasitas penangkapan (CU) kapal purse seine menurut kuartal dengan pendekatan single-output Tingkat penggunaan input variabel (VIU) kapal purse seine dengan perhitungan single-output dapat dilihat pada Gambar 43 dan Tabel 29. Tingkat VIU mulai dari kuartal I hingga IV menunjukkan bahwa seluruh rata-rata nilai VIU ABK, BBM, dan HOP masih dibawah 1, artinya belum optimal. 1.005 Rata-rata nilai VIU
1 0.995 0.99 0.985 0.98 0.975 Kuartal I
Kuartal II
Kuartal III
Kuartal IV
Kuartal penangkapan ABK
Gambar 43
BBM
HOP
Sebaran nilai VIU kapal purse seine menurut kuartal dengan pendekatan single-output
Secara detail kapasitas berlebih dari input kapal purse seine, diperoleh dengan cara mengurangkan nilai optimum (target) dengan nilai observasi (aktual), tersaji pada Tabel 29. Terlihat bahwa untuk nilai kapasitas berlebih paling tinggi pada setiap kuartal maupun total adalah variable input bahan bakar munyak (BBM), sedangkan terendah pada kuartal I hingga III dan secara total adalah
119
variable input anak buah kapal (ABK). Terendah pada kuartal IV adalah fixed input lebar kapal (L). Analisis DEA dapat juga digunakan untuk menghitung perbaikan angka efisiensi yaitu dengan mengurangi input atau menambah output (Kirkley dan Squires 1999). Proyeksi perbaikan masing-masing input kapal purse seine dengan pendekatan single-output dapat dilihat pada Gambar 44. Adapun potensi perbaikan efisiensi secara total dengan mengurangi fixed input yang terdiri dari panjang kapal (P) sebesar 8,34%, lebar kapal (L) sebesar 10,96%, daya muat kapal (GT) sebesar 14,82%, dan kekuatan mesin (HP) sebesar 14,60%. Mengurangi
VIU anak buah kapal (ABK) sebesar 9,06%, VIU bahan bakar
minyak (BBM) sebesar 24,12%, dan VIU hari operasi penangkapan (HOP) sebesar 18,09%. Tabel 29 Perbandingan kapasitas berlebih, tingkat penggunaan input dan potensi perbaikan purse seine untuk single-output No. 1.
2
3.
Uraian Kapasitas berlebih a. Panjang kapal (P) b. Lebar kapal (L) c. Daya muat kapal (GT) d. Kekuatan mesin (HP) e. Anak buah kapal (ABK) f. Bahan bakar minyak (BBM) g. Hari operasi penangkapan (HOP) Tingkat VIU a. Anak buah kapal (ABK) b. Bahan bakar minyak (BBM) c. Hari operasi penangkapan (HOP) Potensi perbaikan a. Panjang kapal (P) b. Lebar kapal (L) c. Daya muat kapal (GT) d. Kekuatan mesin (HP) e. Anak buah kapal (ABK) f. Bahan bakar minyak (BBM) g. Hari operasi penangkapan (HOP)
Satuan
Total
I
Kuartal II
III
IV
Rata-rata (%) Rata-rata (%)
-0,353 -0,418
-0,265 -0,418
-0,442 -0,418
-0,265 -0,418
-0,442 -0,418
Rata-rata (%)
-0,606
-0,504
-0,708
-0,504
-0,708
Rata-rata (%)
-0,747
-0,690
-1,149
0
-1,149
Rata-rata (%)
-0,575
0
-1,149
0
-1,149
Rata-rata (%)
-1,061
-0,707
-1,415
-0,707
-1,415
Rata-rata (%)
-0,796
-0,531
-1,061
-0,531
-1,061
Rata-rata
0,994
1,000
0,989
1,000
0,989
Rata-rata
0,989
0,993
0,986
0,993
0,986
Rata-rata
0,992
0,995
0,989
0,995
0,989
Rata-rata (%) Rata-rata (%)
-8,341 -10,960
-8,508 -13,420
-6,964 -6,591
-10,928 -17,237
-6,964 -6,591
Rata-rata (%)
-14,820
-16,184
-11,156
-20,787
-11,156
Rata-rata (%)
-14,598
-22,143
-18,125
0
-18,125
Rata-rata (%)
-9,063
0
-18,125
0
-18,125
Rata-rata (%)
-24,124
-22,711
-22,308
-29,170
-22,308
Rata-rata (%)
-18,093
-17,033
-16,731
-21,878
-16,731
120
8.34%
18.09%
10.96%
14.82% 24.12%
9.06%
P
L
GT
Mesin
14.60%
ABK
BBM
HOP
Gambar 44 Komposisi proyeksi perbaikan masing-masing input kapal purse seine dengan pendekatan single-output 2) Kapasitas penangkapan purse seine dengan multi-output Berdasarkan hasil analisis DEA multi-output armada purse seine, terlihat bahwa kisaran nilai kapasitas penangkapan (CU) antara 0,700-1,000 (Gambar 45). Sebanyak 15 kapal dari 29 kapal sampel memiliki tingkat kapasitas penangkapan optimal dengan nilai CU sebesar 1, sedangkan 14 kapal lainnya belum optimal, terdiri dari 8 kapal pada kisaran nilai CU antara 0,900-0,999, 3 kapal pada kisaran nilai CU antara 0,800-0,899, dan 4 kapal pada kisaran nilai CU antara 0,7000,799. 15
16
Jumlah kapal (unit)
14 12 10
8
8 6
4 3
4 2 0 0.600-0.799
0.800-0.899
0.900-0.999
Efisien
Rata-rata total nilai CU
Gambar 45 Sebaran rata-rata total nilai kapasitas penangkapan (CU) kapal purse seine dengan pendekatan multi-output Berdasarkan hasil analisis DEA juga diperoleh hasil pengukuran kapasitas penangkapan menurut kuartal, yaitu kuartal I (bulan Januari hingga Maret), kuartal II (bulan April hingga Juni), kuartal III (bulan Juli hingga September), dan
121
kuartal IV (bulan Oktober hingga Desember) seperti terlihat pada Gambar 46. Hasil analisis menunjukkan bahwa tingkat kapasitas pemanfaatan purse seine tertinggi terjadi pada kuartal II dengan nilai rata-rata CU sebesar 0,946, dimana rata-rata input optimal (target) yang digunakan adalah sekitar 94,6% dari rata-rata aktual (observasi) selama kapal beroperasi. Selanjutnya kuartal IV (0,943), kuartal I (0,942), dan kuartal III (0,939). 0.948 0.946
Rata-rata nilai CU
0.946 0.944
0.943 0.942
0.942 0.94
0.939
0.938 0.936 0.934 Kuartal I
Kuartal II
Kuartal III
Kuartal IV
Kuartal penangkapan
Gambar 46
Sebaran rata-rata nilai kapasitas penangkapan (CU) purse seine menurut kuartal dengan pendekatan multi-output
Sebaran tingkat kapasitas penangkapan kapal purse seine menurut kuartal penangkapan dengan pendekatan multi-output, dapat dilihat pada Gambar 47. Pada kuartal I hingga IV, kapasitas penangkapan yang telah optimal (CU=1) sebanyak 15 kapal, dan 14 kapal lainnya optimal (CU<1). 15
16
15
15
15
Jumlah kapal (unit)
14 12 10 6 4 2
8
7
8 4
8
7 5
3
3
3
2
3
3
0 Kuartal I
Kuartal II
Kuartal III
Kuartal IV
Kuartal penangkapan CU : 0.600-0.799
CU : 0.800-0.899
CU : 0.900-0.999
CU : Efisien
Gambar 47 Sebaran nilai kapasitas penangkapan (CU) kapal purse seine menurut kuartal dengan pendekatan multi-output
122
Tingkat penggunaan input variabel (VIU) kapal purse seine dengan perhitungan single-output dapat dilihat pada Gambar 48 dan Tabel 30. Tingkat VIU ABK tertinggi pada kuartal II dengan nilai 0,994, terendah pada kuartal I dengan nilai 0,990. Tingkat VIU BBM tertinggi juga pada kuartal II dengan nilai 0,996, terendah pada kuartal I dan IV dengan nilai masing-masing 0,994. Tingkat VIU HOP tertinggi juga pada kuartal II dengan nilai 0,997, terendah pada kuartal I dengan nilai 0,995. 0.998 Rata-rata nilai VIU
0.996
0.997
0.996
0.995
0.996
0.994 0.992 0.990 0.988 0.986 Kuartal I
Kuartal II
Kuartal III
Kuartal IV
Kuartal penangkapan ABK
Gambar 48
BBM
HOP
Sebaran nilai VIU kapal purse seine menurut kuartal dengan pendekatan multi-output
Secara detail kapasitas berlebih dari input kapal purse seine, diperoleh dengan cara mengurangkan nilai optimum (target) dengan nilai observasi (aktual), tersaji pada Tabel 30. Terlihat bahwa untuk nilai kapasitas berlebih paling tinggi pada setiap kuartal maupun total adalah variable input anak buah kapal (ABK), sedangkan terendah secara total adalah fixed input panjang kapal (P). Secara per kuartal terendah pada kuartal I, dan III adalah fixed input panjang kapal (P), sedangkan pada kuartal II dan IV adalah variable input hari operasi penangkapan (HOP). Proyeksi perbaikan masing-masing input kapal purse seine dengan pendekatan multi-output dapat dilihat pada Gambar 49. Adapun potensi perbaikan efisiensi secara total dengan mengurangi fixed input yang terdiri dari panjang kapal (P) sebesar 8,12%, daya muat kapal (GT) sebesar 9,35%, dan kekuatan mesin (HP) sebesar 26,04%. Mengurangi VIU anak buah kapal (ABK) sebesar 26,67%, VIU bahan bakar minyak (BBM) sebesar 17,03%, dan VIU hari operasi penangkapan (HOP) sebesar 12,78%.
123
Tabel 30 Perbandingan kapasitas berlebih, tingkat penggunaan input dan potensi perbaikan purse seine untuk multi-output No. 1.
2
3.
Uraian
Satuan
Kapasitas berlebih a. Panjang kapal (P) b. Daya muat kapal (GT) c. Kekuatan mesin (HP) d. Anak buah kapal (ABK) e. Bahan bakar minyak (BBM) f. Hari operasi penangkapan (HOP) Tingkat VIU a. Anak buah kapal (ABK) b. Bahan bakar minyak (BBM) c. Hari operasi penangkapan (HOP) Potensi perbaikan a. Panjang kapal (P) b. Daya muat kapal (GT) c. Kekuatan mesin (HP) d. Anak buah kapal (ABK) e. Bahan bakar minyak (BBM) f. Hari operasi penangkapan (HOP)
Total
Kuartal II
I
III
IV
Rata-rata (%)
-0,404
-0,353
-0,453
-0,309
-0,500
Rata-rata (%)
-0,465
-0,407
-0,521
-0,356
-0,576
Rata-rata (%)
-1,390
-0,965
-1,758
-0,790
-2,049
Rata-rata (%)
-1,420
-0,992
-1,790
-0,820
-2,077
Rata-rata (%)
-0,903
-0,637
-1,133
-0,534
-1,307
Rata-rata (%)
-0,677
-0,478
-0,850
-0,401
-0,980
Rata-rata
0,991
0,990
0,994
0,992
0,991
Rata-rata
0,994
0,994
0,996
0,995
0,994
Rata-rata
0,996
0,995
0,997
0,996
0,996
Rata-rata (%)
-8,124
-9,220
-6,960
-9,635
-6,683
Rata-rata (%)
-9,354
-10,616
-8,011
-11,095
-7,692
Rata-rata (%)
-26,040
-25,170
-27,022
-24,613
-27,354
Rata-rata (%)
-26,671
-25,885
-27,518
-25,548
-27,733
Rata-rata (%)
-17,032
-16,629
-17,421
-16,629
-17,448
Rata-rata (%)
-12,780
-12,480
-13,069
-12,480
-13,089
12.78%
8.12% 9.35%
17.03%
26.04%
26.67%
P
GT
Mesin
ABK
BBM
HOP
Gambar 49 Komposisi proyeksi perbaikan masing-masing input kapal purse seine dengan pendekatan multi-output
124
5.4.2 Kapasitas penangkapan bagan tancap Tingkat kapasitas penangkapan alat tangkap bagan tancap pada kuartal I sampai dengan IV dihitung berdasarkan dua pendekatan output yaitu single-output dan multi-output. Pendekatan single output adalah analisis kapasitas penangkapan berdasarkan total hasil tangkapan bagan tancap, sedangkan multi-output adalah analisis kapasitas penangkapan berdasarkan tiga jenis ikan pelagis dominan hasil tangkapan bagan tancap yaitu selar, tembang, dan teri.
1) Kapasitas penangkapan bagan tancap dengan single-output Berdasarkan hasil analisis DEA single-output alat tangkap bagan tancap, terlihat bahwa kisaran nilai kapasitas penangkapan (CU) antara 0,900-1,000 (Gambar 50). Sebanyak 4 bagan tancap dari 18 bagan tancap sampel memiliki tingkat kapasitas penangkapan optimal dengan nilai CU sebesar 1, sedangkan 14 kapal lainnya tidak optimal, kisaran nilai CU antara 0,900-0,999. 16
14
Jumlah bagan (unit)
14 12 10 8 6
4
4 2 0 0.900-0.999
Efisien Rata-rata total nilai CU
Gambar 50
Sebaran rata-rata total nilai kapasitas penangkapan (CU) unit penangkapan bagan tancap dengan pendekatan single-output
Berdasarkan hasil analisis DEA juga diperoleh hasil pengukuran kapasitas penangkapan menurut kuartal, yaitu kuartal I (bulan Januari hingga Maret), kuartal II (bulan April hingga Juni), kuartal III (bulan Juli hingga September), dan kuartal IV (bulan Oktober hingga Desember) seperti terlihat pada Gambar 51. Hasil analisis menunjukkan bahwa tingkat kapasitas pemanfaatan bagan tancap tertinggi terjadi pada kuartal IV dengan nilai rata-rata CU sebesar 0,994, dimana rata-rata input optimal (target) yang digunakan adalah sekitar 99,4% dari rata-rata
125
aktual (observasi) selama kapal beroperasi. Selanjutnya kuartal I hingga III dengan nilai rata-rata CU masing-masing sebesar 0,993. 0.995
0.994
0.994 Rata-rata nilai CU
0.994 0.994 0.994 0.994
0.993
0.993
0.993
Kuartal I
Kuartal II
Kuartal III
0.993 0.993 0.993 0.993 Kuartal IV
Kuartal penangkapan
Gambar 51 Sebaran rata-rata nilai kapasitas penangkapan (CU) bagan tancap menurut kuartal dengan pendekatan single-output Sebaran tingkat kapasitas penangkapan alat tangkap bagan tancap menurut kuartal penangkapan dengan pendekatan single-output, dapat dilihat pada Gambar 52. Pada kuartal I hingga IV, kapasitas penangkapan yang telah optimal (CU=1) masing-masing sebanyak 4 kapal, dan 14 kapal lainnya di tiap kuartal tidak optimal (CU<1). 16
14
14
14
14
Jumlah bagan (unit)
14 12 10 8 6
4
4
4
4
4 2 0 Kuartal I
Kuartal II
Kuartal III
Kuartal IV
Kuartal penangkapan CU : 0.900-0.999
CU : Efisien
Gambar 52 Sebaran nilai kapasitas penangkapan (CU) unit penangkapan bagan tancap menurut kuartal dengan pendekatan single-output Tingkat penggunaan input variabel (VIU) alat tangkap bagan tancap dengan perhitungan single-output dapat dilihat pada Gambar 53 dan Tabel 31. Tingkat VIU mulai dari kuartal I hingga III menunjukkan bahwa hanya rata-rata
126
nilai VIU ABK yang telah mencapai angka 1 atau tingkat kapasitas optimal (efisien). Sedangkan rata-rata nilai VIU BBM, HOP, dan ABT masih dibawah 1, artinya belum optimal. 1.02 Rata-rata nilai VIU
1 0.98 0.96 0.94 0.92 0.9 0.88 Kuartal I
Kuartal II
Kuartal III
Kuartal IV
Kuartal penangkapan ABK
BBM
HOP
ABT
Gambar 53 Sebaran nilai VIU unit penangkapan bagan tancap menurut kuartal dengan pendekatan single-output Secara detail kapasitas berlebih dari input bagan tancap, diperoleh dengan cara mengurangkan nilai optimum (target) dengan nilai observasi (aktual), tersaji pada Tabel 31. Terlihat bahwa untuk nilai kapasitas berlebih paling tinggi pada setiap kuartal maupun total adalah variable input bahan bakar minyak (BBM), sedangkan terendah setiap kuartal maupun secara total adalah variable input hari operasi penangkapan (HOP). Proyeksi perbaikan masing-masing input bagan tancap dengan pendekatan single-output dapat dilihat pada Gambar 54. Adapun potensi perbaikan efisiensi secara total dengan mengurangi VIU bahan bakar minyak (BBM) sebesar 47,37%, VIU hari operasi penangkapan (HOP) sebesar 15,79%, dan VIU alat bantu penangkapan (ABT) sebesar 36,84%.
127
Tabel 31 Perbandingan kapasitas berlebih, tingkat penggunaan input dan potensi perbaikan bagan tancap untuk single-output No . 1.
2
3.
Uraian
Satuan
Kapasitas berlebih a. Bahan bakar minyak (BBM) b. Hari operasi penangkapan (HOP) c. Alat bantu penangkapan (ABT)
Rata-rata (%) Rata-rata (%) Rata-rata (%)
Tingkat VIU a. Anak buah kapal (ABK) b. Bahan bakar minyak (BBM) c. Hari operasi penangkapan (HOP) d. Alat bantu penangkapan (ABT) Potensi perbaikan a. Bahan bakar minyak (BBM) b. Hari operasi penangkapan (HOP) c. Alat bantu penangkapan (ABT)
Total
Kuartal II
I
III
IV
-128,571
-128,571
-128,571
-128,571
-128,571
-42,857
-42,857
-42,857
-42,857
-42,857
-100,000
-100,000
-100,000
-100,000
-100,000
Rata-rata
1,000
1,000
1,000
1,000
1,000
Rata-rata
0,929
0,929
0,929
0,929
0,929
Rata-rata
0,976
0,976
0,976
0,976
0,976
Rata-rata
0,944
0,944
0,944
0,944
0,944
-47,368
-47,368
-47,368
-47,368
-47,368
-15,790
-15,790
-15,790
-15,790
-15,790
-36,842
-36,842
-36,842
-36,842
-36,842
Rata-rata (%) Rata-rata (%) Rata-rata (%)
36.84% 47.37%
15.79%
BBM
HOP
ABT
Gambar 54 Komposisi proyeksi perbaikan masing-masing input bagan tancap dengan pendekatan single-output 2) Kapasitas penangkapan bagan tancap dengan multi-output Berdasarkan hasil analisis DEA multi-output alat tangkap bagan tancap, terlihat bahwa kisaran nilai kapasitas penangkapan (CU) antara 0,900-1,000 (Gambar 55). Sebanyak 14 bagan tancap dari 18 bagan tancap sampel memiliki
128
tingkat kapasitas penangkapan optimal dengan nilai CU sebesar 1, sedangkan 4 kapal lainnya tidak optimal, kisaran nilai CU antara 0,900-0,999. 16
14
Jumlah bagan (unit)
14 12 10 8 6
4
4 2 0 0.900-0.999
Efisien Rata-rata total CU
Gambar 55
Sebaran rata-rata total nilai kapasitas penangkapan (CU) unit penangkapan bagan tancap dengan pendekatan multi-output
Berdasarkan hasil analisis DEA juga diperoleh hasil pengukuran kapasitas penangkapan menurut kuartal, yaitu kuartal I (bulan Januari hingga Maret), kuartal II (bulan April hingga Juni), kuartal III (bulan Juli hingga September), dan kuartal IV (bulan Oktober hingga Desember) seperti terlihat pada Gambar 56. Hasil analisis menunjukkan bahwa tingkat kapasitas pemanfaatan bagan tancap tertinggi terjadi pada kuartal IV dengan nilai rata-rata CU sebesar 0,993, dimana rata-rata input optimal (target) yang digunakan adalah sekitar 99,3% dari rata-rata aktual (observasi) selama kapal beroperasi. Selanjutnya kuartal I hingga III dengan nilai rata-rata CU masing-masing sebesar 0,992. 0.993 0.993 Rata-rata nilai CU
0.993 0.993 0.992
0.992
0.992 0.992
0.992
0.992 0.992 0.992 Kuartal I
Kuartal II
Kuartal III
Kuartal IV
Kuartal penangkapan
Gambar 56 Sebaran rata-rata nilai kapasitas penangkapan (CU) bagan tancap menurut kuartal dengan pendekatan multi-output
129
Sebaran tingkat kapasitas penangkapan alat tangkap bagan tancap menurut kuartal penangkapan dengan pendekatan multi-output, dapat dilihat pada Gambar 57. Pada kuartal I hingga IV, kapasitas penangkapan yang telah optimal (CU=1) masing-masing sebanyak 14 kapal, dan 4 kapal lainnya di tiap kuartal tidak optimal (CU<1). 16
14
14
14
Jumlah bagan (unit)
14 12 10 8 6
4
4
4
Kuartal I
Kuartal II
Kuartal III
4 2 0 Kuartal penangkapan 0.900-0.999 4
Efisien 14
Gambar 57 Sebaran nilai kapasitas penangkapan (CU) unit penangkapan bagan tancap menurut kuartal dengan pendekatan multi-output Tingkat penggunaan input variabel (VIU) alat tangkap bagan tancap dengan perhitungan multi-output dapat dilihat pada Gambar 58 dan Tabel 32. Tingkat VIU mulai dari kuartal I hingga III menunjukkan bahwa hanya rata-rata nilai VIU yang telah mencapai angka 1 atau tingkat kapasitas optimal (efisien). Sedangkan rata-rata nilai VIU BBM, HOP, dan ABT masih dibawah 1, artinya belum optimal.
Rata-rata nilai VIU
1.01 1 0.99 0.98 0.97 0.96 0.95 0.94 0.93 Kuartal I
Kuartal II
Kuartal III
Kuartal IV
Kuartal penangkapan ABK
BBM
HOP
ABT
Gambar 58 Sebaran nilai VIU unit penangkapan bagan tancap menurut kuartal dengan pendekatan multi-output
130
Secara detail kapasitas berlebih dari input bagan tancap, diperoleh dengan cara mengurangkan nilai optimum (target) dengan nilai observasi (aktual), tersaji pada Tabel 32. Terlihat bahwa untuk nilai kapasitas berlebih paling tinggi pada setiap kuartal maupun total adalah variable input bahan bakar minyak (BBM), sedangkan terendah setiap kuartal maupun secara total adalah fixed input panjang bagan (P) dan lebar bagan (L). Tabel 32 Perbandingan kapasitas berlebih, tingkat penggunaan input dan potensi perbaikan bagan tancap untuk multi-output No. 1.
2
3.
Uraian Kapasitas berlebih a. Panjang bagan (P) b. Lebar bagan (L) c. Tinggi bagan (T) d. Bahan bakar minyak (BBM) e. Hari operasi penangkapan (HOP) f. Alat bantu penangkapan (ABT) Tingkat VIU a. Anak buah kapal (ABK) b. Bahan bakar minyak (BBM) c. Hari operasi penangkapan (HOP) d. Alat bantu penangkapan (ABT) Potensi perbaikan a. Panjang bagan (P) b. Lebar bagan (L) c. Tinggi bagan (T) d. Bahan bakar minyak (BBM) e. Hari operasi penangkapan (HOP) f. Alat bantu penangkapan (ABT)
Satuan
Total
Kuartal II
I
III
IV
Rata-rata (%) Rata-rata (%) Rata-rata (%)
-5,000 -5,000 -21,765
-5,000 -5,000 -21,765
-5,000 -5,000 -21,765
-5,000 -5,000 -21,765
-5,000 -5,000 -21,765
Rata-rata (%)
-72,813
-73,236
-72,884
-72,767
-72,367
Rata-rata (%)
-24,271
-24,412
-24,295
-24,255
-24 ,21
Rata-rata (%)
-56,635
-56,967
-56,683
-56,600
-56,283
Rata-rata
1,000
1,000
1,000
1,000
1,000
Rata-rata
0,959
0,959
0,959
0,960
0,960
Rata-rata
0,986
0,986
0,986
0,986
0,987
Rata-rata
0,968
0,968
0,968
0,968
0,969
Rata-rata (%) Rata-rata (%) Rata-rata (%)
-2,696 -2,696 -1,734
-2,683 -2,683 -11,678
-2,694 -2,694 -11,725
-2,697 -2,697 -11,740
-2,709 -2,709 -11,794
Rata-rata (%)
-39,256
-39,294
-39,264
-39,251
-39,216
Rata-rata (%)
-13,085
-13,098
-13,088
-13,083
-13,071
Rata-rata (%)
-30,533
-30,565
-30,536
-30,531
-30,500
Proyeksi perbaikan masing-masing input bagan tancap dengan pendekatan multi-output dapat dilihat pada Gambar 59. Adapun potensi perbaikan efisiensi secara total dengan mengurangi fixed input yang terdiri dari panjang bagan (P) dan lebar bagan (L) masing-masing sebesar 2,70%, tinggi bagan (T) sebesar 11,73%. Mengurangi VIU bahan bakar minyak (BBM) sebesar 39,26%, VIU hari operasi penangkapan (HOP) sebesar 13,0%, dan penangkapan (ABT) sebesar 30,53%,
VIU alat bantu
131
2.70% 2.70% 11.73% 30.53%
39.26%
13.08%
P
L
T
BBM
HOP
ABT
Gambar 59 Komposisi proyeksi perbaikan masing-masing input bagan tancap dengan pendekatan multi-output 5.4.3 Output potensial maksimum Berdasarkan
analisis
DEA terhadap
kapasitas
perikanan dengan
perhitungan multi-output, maka diperoleh output potensial maksimum setiap jenis ikan hasil tangkapan dari armada purse seine dan unit penangkapan bagan tancap. Hasil perhitungan dapat dilihat pada Tabel 33. Tabel 33 Perbedaan antara output potensial maksimum dengan tingkat output optimal yang diinginkan Jenis alat tangkap 1. Purse seine
2. Bagan tancap
Jenis ikan
Output potensial
TAC
Keterangan
1. Kembung 2. Layang 3. Selar 4. Tembang 5. Tongkol Jumlah
99,798 250,203 71,953 61,960 19,633 503,547
96,800 205,000 61,056 56,576 17,600
overcapacity overcapacity overcapacity overcapacity overcapacity
1. Selar 2. Tembang 3. Teri Jumlah
23,616 25,738 75,436 124,790
21,888 26,112 152,229
overcapacity undercapacity undercapacity
Berdasarkan pendekatan dengan perhitungan secara multi-output pada armada purse seine total produksi atau output potensial dari masing-masing jenis ikan telah melewati batas TAC. Kondisi diatas jelas memperlihatkan kondisi perikanan telah overcapacity. Bagan tancap dengan hasil tangkapan selar juga telah melewati batas TAC. Hasil tangkapan bagan perahu untuk ikan tembang dan teri masih undercapacity.
132
Berdasarkan hasil perhitungan kapasitas penangkapan armada purse seine di Teluk Apar, menunjukkan bahwa nilai kapasitas penangkapan (CU) pada pendekatan multi-output lebih baik dibandingkan dengan nilai CU pada pendekatan single-output baik secara total maupun per kuartal. Nilai total ratarata CU multi-output sebesar 0,943 dan CU single-output sebesar 0,933. Pengukuran CU dan TE dengan multi-output lebih akurat dibandingkan dengan pengukuran single-output (Tingley et al. 2002). Berdasarkan
hasil
analisis
DEA
single-output
dan
multi-output
menunjukkan nilai kapasitas pemanfaatan kapal purse seine baik secara total maupun per kuartal belum optimal (dengan nilai CU<1). Hal ini diduga karena penggunaan output yang belum maksimal pada pendekatan single-output dan penggunaan input secara berlebih pada pendekatan multi-output. Agar menjadi optimal diperlukan perbaikan dengan cara menambah output pada pendekatan single-output dan mengurangi penggunaan input variabel (VIU) seperti ABK, BBM, dan HOP pada pendekatan multi-output. Khusus untuk pendekatan multioutput pengurangan tingkat VIU dengan asumsi input tetap (panjang kapal, lebar kapal, daya muat kapal, dan kekauatan mesin) diabaikan karena input tersebut sangat kompleks untuk diterapkan. Upaya perbaikan agar tingkat kapasitas pemanfaatan menjadi optimal dapat dilakukan dengan penambahan pada output atau pengurangan pada input (Kirkley and Squaire, 1999). Tingkat VIU kapal purse seine dapat diukur berdasarkan rasio dari penggunaan input optimal (target) dengan input aktual (observasi). Input optimal merupakan input yang digunakan pada kondisi efisiensi teknis penuh (kapasitas optimal). Jika rasio VIU kurang dari satu maka telah terjadi surplus penggunaan input variabel sehingga perlu mengurangi penggunaan input tersebut (Farë et al. 1994). Tingkat VIU kapal purse seine yang beroperasi di perairan Teluk Apar menunjukkan nilai dibawah 1 atau tingkat kapasitas belum optimal secara ratarata untuk pendekatan single-output, namun VIU ABK pada kuartal I dan III telah menunjukkan tingkat kapasitas optimal (efisien). Secara total proyeksi perbaikan pada pendekatan multi-output dengan mengurangi VIU anak buah kapal (ABK) sebesar 9,06%, VIU bahan bakar minyak (BBM) sebesar 24,12%, dan VIU hari operasi penangkapan (HOP) sebesar 18,09%. Namun untuk pendekatan multi-output menunjukkan nilai masing kurang dari satu baik secara total maupun per kuartal. Hal ini mengindikasikan diduga
133
perikanan purse seine di Teluk Apar telah mengalamai kapasitas berlebih. Oleh karena itu perlu perbaikan VIU agar usaha penangkapan menjadi optimal. Secara total proyeksi perbaikan pada pendekatan multi-output dengan mengurangi VIU anak buah kapal (ABK) sebesar 26,67%, VIU bahan bakar minyak (BBM) sebesar 17,03%, dan VIU hari operasi penangkapan (HOP) sebesar 12,78%. Berdasarkan hasil perhitungan kapasitas penangkapan bagan tancap di Teluk Apar, menunjukkan bahwa nilai kapasitas penangkapan (CU) pada pendekatan single-output lebih baik dibandingkan dengan nilai CU pada pendekatan multi-output baik secara total maupun per kuartal. Nilai total rata-rata CU single-output sebesar 0.994 dan CU multi-output sebesar 0.992. Berdasarkan
hasil
analisis
DEA
single-output
dan
multi-output
menunjukkan nilai kapasitas pemanfaatan kapal bagan tancap baik secara total maupun per kuartal tidak optimal (dengan nilai CU<1). Hal ini diduga karena penggunaan output yang belum maksimal pada pendekatan single-output dan penggunaan input secara berlebih pada pendekatan multi-output. Agar menjadi optimal diperlukan perbaikan dengan cara menambah output pada pendekatan single-output dan mengurangi penggunaan fixed input seperti panjang (P), lebar (L), dan tinggi (D) bagan tancap pada pendekatan multi-output. Upaya perbaikan agar tingkat kapasitas pemanfaatan menjadi optimal dapat dilakukan dengan penambahan pada output atau pengurangan pada input (Kirkley and Squaire, 1999). Tingkat VIU bagan tancap dapat diukur berdasarkan rasio dari penggunaan input optimal (target) dengan input aktual (observasi). Input optimal merupakan input yang digunakan pada kondisi efisiensi teknis penuh (kapasitas optimal). Jika rasio VIU kurang dari satu maka telah terjadi surplus penggunaan input variabel sehingga perlu mengurangi penggunaan input tersebut (Farë et al. 1994).
Tingkat VIU ABK bagan tancap yang ada di perairan Teluk Apar
menunjukkan nilai 1 atau tingkat kapasitas optimal (efisien) baik secara total maupun per kuartal untuk pendekatan single dan multi-output. Namun untuk Tingkat VIU BBM, HOP, dan alat bantu penangkapan (ABT) menunjukkan nilai dibawah 1 atau tingkat kapasitas belum optimal baik secara total maupun per kuartal untuk pendekatan single dan multi-output.
Hal ini mengindikasikan
diduga perikanan bagan tancap di Teluk Apar telah mengalamai kapasitas berlebih.
134
Secara total proyeksi perbaikan pada pendekatan single-output dengan mengurangi VIU bahan bakar minyak (BBM) sebesar 47,37%, VIU hari operasi penangkapan (HOP) sebesar 15,79%, dan VIU alat bantu penangkapan (ABT) sebesar 36,84%. Secara total proyeksi perbaikan pada pendekatan multi-output dengan mengurangi VIU bahan bakar minyak (BBM) sebesar 39,26%, VIU hari operasi penangkapan (HOP) sebesar 13,08%, dan VIU alat bantu penangkapan (ABT) sebesar 30,53%. Hasil penelitian Sularso (2005) mengenai alternatif manajemen perikanan udang di Laut Arafura, menyatakan bahwa DEA dapat pula digunakan untuk menghitung perbaikan angka efisiensi, secara prinsip adalah dengan mengurangi input atau menambah output (Cooper et al. 2004), baik secara total maupun individu kapal.
DEA menghasilkan suatu resume potensi perbaikan angka
efisiensi secara total maupun tiap kapal dalam bentuk besaran prosentase pengurangan input atau penambahan output tiap variabel. Efisiensi kapal pukat udang di Laut Arafura secara umum bisa ditingkatkan dengan cara mengurangi effort (hari trip) sebesar 11,17%, pengurangan GT sebesar 15,45%, penurunan umur pemakaian sebesar 17,74%, penurunan biaya sebesar 16,34%. Hasil penelitian Desniarti (2007) mengenai analisis kapasitas perikanan pelagis di perairan pesisir Provinsi Sumatera utara, menyatakan bahwa potensi perbaikan efisiensi terhadap 13 kapal pukat cincin yaitu: dengan penambahan produksi ikan pelagis besar sebesar 13,60%, pengurangan GT sebesar 13,46%, pengurangan panjang kapal sebesar 14,27%, pengurangan PK sebesar 22,20%, pengurangan trip sebesar 24,77%, dan pengurangan ABK sebesar 11,70%. Potensi perbaikan efisiensi terhadap 96 kapal bagan yaitu: dengan pengurangan GT sebesar 21,29%, pengurangan panjang kapal sebesar 19,92%, pengurangan PK sebesar 20,15%, pengurangan trip sebesar 20,05%, dan pengurangan ABK sebesar 18,59%. Hasil penelitian Olii (2007) mengenai analisis kapasitas perikanan tangkap dalam rangka manajemen armada penangkapan di Provinsi Gorontalo, menyatakan bahwa dalam rangka peningkatkan efisiensi terhadap 20 kapal pukat cincin di perairan utara Gorontalo dapat dilakukan dengan mengurangi ukuran GT kapal sebesar 16,39%, mengurangi lama penangkapan sebesar 47,96%, pengurangan jumlah trip per bulan sebesar 18,16%, dan mengurangi biaya operasional sebesar 17,50%.
Peningkatkan efisiensi terhadap 11 kapal pukat
135
cincin di perairan selatan Gorontalo dapat dilakukan dengan mengurangi ukuran GT kapal sebesar 27,97%, mengurangi lama penangkapan sebesar 29,49%, pengurangan jumlah trip per bulan sebesar 26,87%, dan mengurangi biaya operasional sebesar 15,67%.
5.5 Manajemen Penangkapan Ikan Pelagis di Perairan Teluk Apar Manajemen penangkapan ikan pelagis di Teluk Apar dikaji berdasarkan pendekatan musim penangkapan ikan,
karakteristik teknik-ekonomi
alat
penangkapan ikan, tingkat upaya dan pemanfaatan optimum usaha perikanan, serta analisis kapasitas unit penangkapan ikan. Selanjutnya secara detail nilainilai dari hasil analisis pada masing-masing bagian dinilai berdasarkan pendekatan multi-criteria analysis (MCA). Pendekatan MCA dirangkum dalam dua pendekatan alternatif, yaitu dari segi sumberdaya ikan dan alat tangkap (Tabel 34 dan Tabel 35). Penelitian manajemen penangkapan ikan pelagis di Teluk sebelumnya telah dilakukan oleh Wiyono (2001) yaitu Optimasi Manajemen Perikanan Skala Kecil di Teluk Pelabuhanratu, Jawa Barat. Pada penelitian ini mengkaji manajemen penangkapan ikan berdasarkan pendekatan tingkat upaya dan pemanfaatan optimum, daerah alat penangkapan ikan menurut tempat, musim penangkapan ikan menurut waktu (bulan), dan karakteristik teknik-ekonomi alat penangkapan ikan.
Pada penelitian manajemen penangkapan ikan pelagis di
Teluk Apar ini tidak menganalisis daerah penangkapan, namun memasukkan fishing capacity atau ada pendekatan berbeda terhadap penelitian sebelumnya. Penilaian dilakukan terhadap tujuh sumberdaya ikan pelagis (kembung, layang, selar, tembang, tenggiri, teri, dan tongkol), berdasarkan kriteria: lama musim penangkapan, tren CPUE, rata-rata hasil tangkapan periode tahun 20032008, upaya penangkapan sebelum distandarisasi, upaya penangkapan setelah distandarisasi,
tingkat
pemanfaatan
terhadap
hasil
tangkapan,
tingkat
pengupayaan terhadap effort penangkapan, hasil tangkapan berdasarkan MSY, upaya penangkapan berdasarkan MSY, dan jumlah jenis alat tangkap yang menangkap pada masing-masing jenis ikan. Penilaian dilakukan terhadap alat penangkapan ikan pelagis (purse seine, jaring insang hanyut, jaring insang tetap, jaring insang lingkar, bagan perahu, bagan tancap, sero, rawai hanyut, rawai tetap, pancing tonda, dan pancing),
136
berdasarkan kriteria: rata-rata jumlah produksi, jumlah jenis ikan yang ditangkap, keuntungan usaha, optimasi hasil tangkapan tahun lalu (tahun 2007), optimasi hasil tangkapan kondisi sekarang (tahun 2008), optimasi hasil tangkapan tahun yang akan datang (2009), rata-rata jumlah alat tangkap, dan CU single-output, dan CU multi-output. Berdasakan hasil analisis pada pendekatan sumberdaya ikan, maka diperoleh nilai komposit berturut-turut mulai dari yang tertinggi adalah: ikan tongkol, ikan tenggiri, ikan layang, ikan teri, ikan selar, dan ikan tembang. Hasil ini memperlihatkan bahwa dalam rangka manajemen penangkapan ikan pelagis di Teluk Apar diharapkan mengacu pada alternatif-alternatif tersebut untuk keberlanjutan sumberdaya. Berdasarkan hasil analisis moving average diperoleh nilai IMP ikan teri yang diatas 100% sebanyak dua kuartal, atau lama musim puncak penangkapan sama dengan enam bulan. Ikan teri menjadi satu-satunya ikan yang memiliki lama puncak penangkapan paling lama, ikan pelagis yang lain hanya selama tiga bulan. Ikan teri paling banyak diperoleh dari hasil tangkapan bagan tancap. Hal ini disebabkan rata-rata jumlah effort bagan tancap selama periode tahun 20032008 lebih besar daripada bagan perahu. Nilai rata-rata tren CPUE selama periode tahun 2003-2008 diperoleh dari perbandingan hasil tangkapan aktual dengan jumlah effort aktual. Ikan layang merupakan jenis ikan pelagis yang memiliki nilai rata-rata tren CPUE paling tinggi. Hal ini diakibatkan oleh karena ikan layang hanya ditangkap dengan satu jenis alat tangkap, yaitu purse seine, sehingga jumlah effort cenderung lebih kecil dibanding dengan jenis ikan pelagis lainnya, yang ditangkap lebih dari satu alat tangkap. Ikan tenggiri memiliki nilai rata-rata tren CPUE yang paling kecil. Hal ini diakibatkan oleh banyaknya alat tangkap yang mengusahakan ikan tersebut. Nilai rata-rata hasil tangkapan secara aktual selama periode tahun 20032008, yang paling tinggi adalah ikan tongkol. Walaupun ikan tersebut ditangkap oleh tujuh jenis alat tangkap sama dengan ikan tenggiri, namun total hasil tangkapan pertahunnya lebih besar. Ikan yang mempunyai nilai rata-rata hasil tangkapan paling rendah adalah tembang. Nilai rata-rata upaya penangkapan aktual atau sebelum distandarisasi yang tertinggi selama periode tahun 2003-2008 adalah upaya penangkapan ikan tenggiri. Dibandingkan dengan ikan tongkol yang sama-sama ditangkap dengan
137
tujuh jenis alat tangkap namun dari segi jumlah unit, ikan tongkol sedikit lebih banyak. Hal ini mengindikasikan tingginya tekanan terhadap jenis tongkol. Nilai rata-rata upaya penangkapan aktual paling rendah adalah ikan layang. Selama periode tahun 2003-2008 diperoleh nilai rata-rata upaya penangkapan standar tertinggi untuk pengupayaan ikan tongkol. Demikian halnya jika diabandingkan dengan nilai upaya penangkapan ikan tongkol berdasarkan MSY, nilai rata-rata tersebut masih lebih kecil.
Alat tangkap yang menjadi
standar untuk ikan tongkol ini adalah jaring insang hanyut, yang memang memiliki jumlah effort lebih banyak dibanding dengan enam alat tangkap lainnya. Ikan yang memperoleh nilai rata-rata upaya penangkapan standar terendah adalah ikan teri. Tingkat pemanfaatan terhadap ikan pelagis pada periode tahun 2003-2008 diperoleh nilai prosentase rata-rata tertinggi pada ikan tenggiri. Hal tersebut dipengaruhi oleh upaya tangkap aktual (sebelum distandarisasi) yang memang nilainya secara rata-rata paling besar untuk ikan tenggiri. Tingkat pemanfaatan ikan tenggiri secara rata-rata masih dibawah 100%. Ikan teri memiliki tingkat pemanfaatan paling rendah. Tingkat pengupayaan terhadap ikan pelagis pada periode tahun 2003-2008 diperoleh nilai prosentase rata-rata tertinggi pada ikan tongkol.
Hal tersebut sejalan dengan paling tingginya nilai rata-rata hasil
tangkapan dan upaya standar.
Namun demikian nilai rata-rata tingkat upaya
hampir mencapai 100%. Ikan tembang memiliki tingkat upaya tangkap paling rendah. Ikan teri memiliki nilai Cmsy yang paling besar yaitu 284 ton per tahun. Pemanfaatannya diharapkan maksimal sampai pada tingkat 80%. Maka dengan demikian keberlanjutan dari sisi biologi sumberdaya dapat dipertahankan. Sementara ikan tembang memiliki nilai C msy yang paling kecil yaitu 137 ton per tahun. Ikan tenggiri memiliki nilai fmsy yang paling besar yaitu 504 unit per tahun. Pengupayaan ikan tenggiri diharapkan tidak lebih dari nilai tersebut dalam setahun. Maka dengan demikian keberlanjutan sumberdaya dapat selalu dipertahankan. Sementara ikan layang memiliki nilai fmsy yang paling kecil yaitu 51 unit per tahun. Berdasakan hasil analisis pada pendekatan alat tangkap, maka diperoleh nilai komposit berturut-turut mulai dari yang tertinggi adalah: purse seine, jaring insang hanyut, bagan tancap, jaring insang lingkar, jaring insang tetap, bagan
138
perahu, sero, rawai hanyut, pancing tonda, pancing lain, dan rawai hanyut. Hasil ini memperlihatkan bahwa dalam rangka manajemen penangkapan ikan pelagis di Teluk Apar diharapkan pengembangan alat tangkap mengacu pada prioritasprioritas tersebut untuk keberlanjutan sumberdaya. Purse seine adalah alat tangkap ikan pelagis di Teluk Apar yang memiliki produksi ikan rata-rata paling tinggi dibanding dengan alat tangkap lain. Nilai rata-rata produksinya sebesar 475,033 ton per tahun. Hal ini diakibatkan oleh karena alat tangkap purse seine sangat efektif untuk menangkap ikan-ikan pelagis yang memang sifatnya bergerombol. Jumlah jenis ikan yang tertangkap dengan purse seine juga paling banyak yaitu sebanyak lima jenis ikan pelagis, yaitu: ikan kembung, layang, selar, tembang, dan tongkol. Ikan layang merupakan jenis ikan yang paling banyak diperoleh dibanding dengan empat jenis lainnya. Produksi purse seine terbanyak diperoleh pada tahun 2004. Keuntungan usaha alat tangkap bagan perahu paling besar dibandingkan dengan sepuluh alat tangkap lain yang juga menangkap ikan pelagis. Walaupun dari segi jumlah jenis ikan yang tertangkap dan produksi ikan rata-rata dari purse seine lebih besar, namun dari segi total biaya yang dikeluarkan untuk operasi penangkapan pada bagan perahu lebih kecil. Biaya-biaya tidak tetap yang berupa kebutuhan solar, minyak tanah, oli, es, konsumsi melaut, serta upah ABK pada alat tangkap purse seine jauh lebih besar daripada bagan perahu. Seperti telah dijelaskan pada pembahasan di sub bab 5.2 bahwa keuntungan bersih untuk alat tangkap bagan perahu adalah yang paling besar pendapatannya yaitu sebesar Rp 54.116.000 per tahun kemudian alat tangkap purse seine sebesar Rp 51.576.000. Berdasarkan hasil penelitian Rudiansyah (2008) bahwa keuntungan usaha unit penangkapan purse seine pada tahun 2007 sebesar Rp 50.940.000. Nilai ini jelas memperlihatkan adanya peningkatan keuntungan di tahun 2008 sebesar Rp 636.000. Berdasarkan analisis linear programming terhadap fungsi tujuan untuk memaksimalkan hasil tangkapan. Diperoleh hasil optimasi hasil tangkapan tahun 2007, diperoleh nilai tertinggi untuk alat tangkap jaring insang lingkar. Selanjutnya berturut-turut alat tangkap jaring insang tetap, sero, jaring insang hanyut, dan bagan tancap. Hasil optimasi hasil tangkapan tahun 2008, diperoleh nilai tertinggi untuk alat tangkap jaring insang hanyut. Selanjutnya berturut-turut alat tangkap bagan tancap, jaring insang tetap, dan bagan tancap. Hasil optimasi
139
hasil tangkapan tahun 2009, diperoleh nilai tertinggi untuk alat tangkap jaring insang tetap. Selanjutnya berturut-turut alat tangkap sero, jaring insang lingkar, jaring insang hanyut, dan bagan tancap. Jumlah optimal jaring insang hanyut pada tahun 2007 sebesar 223 unit, tahun 2008 meningkat menjadi 397 unit namun pada tahun 2009 kembali turun menjadi sebesar 261 unit. Jumlah optimal jaring insang tetap pada tahun 2007 sebesar 528 unit, tahun 2008 menurun menjadi 180 unit namun tahun 2009 meningkat secara drastis menjadi 916 unit. Jumlah optimal bagan tancap terus mengalami peningkatan mulai dari 62 unit tahun 2007, 68 unit tahun 2008, dan 88 unit pada tahun 2009. Jumlah optimal sero juga mengalami peningkatan sama seperti dengan bagan tancap, yaitu mulai dari 249 unit pada tahun 2007, 330 unit pada tahun 2008, dan 476 unit pada tahun 2009. Jumlah alat tangkap aktual secara rata-rata pada periode tahun 2003-2008, diperoleh nilai tertinggi pada alat tangkap jaring insang hanyut. Terendah jumlahnya adalah bagan perahu. Hal ini jelas memperlihatkan gambaran perkembangan alat tangkap dari tahun ke tahun, dimana alat tangkap yang paling dominan dipergunakan nelayan Teluk Apar adalah jaring insang hanyut. Berdasarkan hasil perhitungan dengan metode DEA output oriented dengan perhitungan single-output dan multi-output, diperoleh nilai CU pada pendekatan single-output untuk alat tangkap purse seine dan bagan tancap, masing-masing sebesar 0,933 dan 0,994. Nilai CU pada pendekatan multi-output untuk alat tangkap purse seine dan bagan tancap, masing-masing sebesar 0,934 dan 0,992. Semua nilai CU masih dibawah satu, artinya unit alat tangkap purse seine dan bagan tancap belum ada yang optimal. Selanjutnya Agar kapasitas menjadi optimal diperlukan perbaikan dengan cara mengurangi penggunaan input variabel (VIU) seperti upaya HOP, BBM, dan ABK dengan asumsi input tetap seperti ukuran kapal, panjang kapal, lebar kapal, dan ukuran mesin diabaikan karena input tersebut sangat kompleks untuk diterapkan. Upaya perbaikan tingkat kapasitas pemanfaatan agar menjadi optimal dapat dilakukan dengan penambahan pada output atau pengurangan pada input (Kirkley dan Squire, 1999). Berdasarkan hasil penelitian jelas terlihat bahwa semua nilai CU masih dibawah satu, artinya unit alat tangkap purse seine dan bagan tancap belum ada yang optimal, demikian halnya dengan beberapa penelitian sebelumnya, semuanya memperlihatkan hasil yang belum optimal. CU dapat diartikan sebagai
140
rasio antara output aktual (observed output) dengan output sesuai kapasitas (capacity output) atau CU=Ya/Yc (Kirkley et al. diacu dalam Fauzi 2010) jadi jika rasio tersebut lebih lecil satu (CU<1) menunjukkan terjadinya excess capacity, rasio kebalikannya yakni 1/CU atau CU1=Yc/Ya menunjukkan jumlah output yang dapat dihasilkan, jika rasio tersebut lebih besar satu (CU>1) artinya potensi output lebih besar dari produksi aktual sehingga perlu pengurangan kapasitas. Beberapa hasil penelitian tersebut diantaranya: Kirkley et al (2003), menggunakan model DEA output oriented untuk menganalisis kapasitas perikanan pukat cincin di perairan Semenanjung Malaysia. Hasil analisisnya menunjukkan bahwa telah terjadi kapasitas berlebih sebesar 249.194 pounds dan direkomendasikan sebanyak sepuluh kapal tidak efisien sehingga perlu ditarik dari perikanan tersebut. Fauzi dan Anna (2005), menggunakan model DEA singleoutput oriented untuk menganalisis kapasitas perikanan skala kecil di pesisir DKI Jakarta. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa telah terjadi kapasitas berlebih pada perikanan bubu, muroami, dan pancing, sehingga diperlukan intervensi pengurangan input untuk alat tersebut. Sularso (2005), menggunakan model DEA single-output oriented untuk menganalisis alternatif manajemen perikanan udang di Laut Arafura. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa perikanan pukat udang di Arafura saat itu telah mengalami overfishing, sehingga direkomendasikan alternatif manajemen berupa penutupan musim penangkapan, pengurangan jumlah kapal dan pengaturan kuota. Wiyono dan Wahyu (2006), menggunakan model DEA single-output oriented untuk menganalisis kapasitas perikanan skala kecil pantai dengan studi kasus unit perikanan pancing ulur di perairan Pelabuhanratu. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kapasitas penangkapan pancing ulur tidak optimal dan telah terjadi kapasitas berlebih. Desniarti (2007), menggunakan model DEA single-output oriented untuk menganalisis kapasitas perikanan pelagis di pesisir Provinsi Sumatera Barat. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa secara rata-rata selama tahun pengamatan (1984-2004) kondisi perikanan tangkap di pesisir Sumatera Barat sudah mengarah kepada kelebihan tangkap (overcapacity).
Berdasarkan hasil analisis efisiensi, baik efisiensi input dan
output, maupun efisiensi moneter, diketahui alat tangkap yang paling efisien adalah pukat cincin diikuti pancing tonda, payang, dan terakhir yang paling tidak efisien alat tangkap bagan.
Olii (2007), menggunakan model single-input
oriented dan single-output oriented untuk menganalisis kapasitas perikanan
141
tangkap dalam rangka manajemen armada penangkapan di Provinsi Gorontalo. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa Secara umum kegiatan perikanan tangkap di Gorontalo telah mengalami gejala overfishing.
Tingkat efisiensi
perikanan tangkap selama dua puluh tahun berfluktuasi, adanya fenomena kapasitas berlebih baik antar waktu maupun antara alat tangkap.
Adanya
beberapa alat tangkap yang tidak efisien karena tingginya jumlah input yang digunakan dalam hal ini jumlah effort dikhawatirkan dapat memberikan tekanan yang besar terhadap sumberdaya ikan.
Efendi (2007) dan Hufiadi (2008),
menggunakan model DEA input oriented untuk menganalisis kapasitas perikanan pukat cincin di perairan Laut Jawa. Hasil penelitian keduanya menunjukkan kondisi perikanan pukat cincin di Laut Jawa telah mengalami kapasitas berlebih atau overfishing. Perbedaan kedua penelitian ini yaitu pada penelitian Efendi hanya menggunakan pendekatan single-output sedangkan Hufiadi menggunakan single-output dan multi-output. Luasunaung (2008), menggunakan model singleinput oriented dan single-output oriented untuk menganalisis stok dan fishing capacity perikanan demersal di Kepulauan Togean Sulawesi Tengah. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa fishing capacity perikanan demersal di Kepulauan Togean selama kurun waktu delapan tahun terakhir menunjukkan tingkat yang tidak efisien kecuali pada tahun 1999.
Ketidakefisienan fishing
capacity dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti lama penangkapan, jumlah trip operasi, penggunaan BBM, panjang jaring, volume bubu, dan jumlah mata pancing. Berdasarkan hasil analisis pada bagian pola musim penangkapan ikan, karakteristik teknik-ekonomi alat penangkapan ikan, tingkat upaya dan pemanfaatan optimum, serta analisis kapasitas unit penangkapan ikan, maka strategi manajemen penangkapan ikan mendapatkan prioritas pengembangan berdasarkan sumberdaya dan alat tangkap, yang dapat diterapkan di Teluk Apar adalah sebagai berikut:
5.5.1 Pengaturan upaya penangkapan Pengaturan upaya penangkapan berupa alokasi upaya penangkapan ditetapkan per kuartal berdasarkan tingkat indeks musim penangkapan ikan. Nilai-nilai tersebut bukan merupakan suatu rata-rata tahunan, namun berdasarkan tinggi rendahnya nilai IMP dari setiap kuartal.
142 Tabel 34 Standarisasi sumberdaya ikan pelagis No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Kriteria
Satuan
Lama musim penangkapan ikan Tren CPUE Hasil tangkapan tahun 2003-2008 Upaya sebelum standarisasi Upaya standar Tingkat pemanfaatan Tingkat upaya C msy f msy Jumlah alat tangkap Nilai komposit Peringkat (Prioritas)
Kembung
bulan ton/unit ton unit unit % % ton unit unit
Layang
0 0,033 0,564 0,425 0,012 0,922 0,390 0,565 0,104 0,500 3,514 5
0 1 0,803 0 0,033 0,911 0,690 0,816 0 0 4,253 3
Nilai standarisasi sumberdaya ikan Selar Tembang Tenggiri 0 0 0 0,035 0,110 0 0,056 0 0,480 0,261 0,094 1 0,023 0,030 0,970 0,911 0,900 1 0,470 0 0,610 0,048 0 0,422 0,108 0,137 1 0,500 0,500 1 2,411 1,770 6,481 6 7 2
Teri
Tongkol
1 0,637 0,091 0,016 0 0 0,670 1 0,082 0,167 3,662 4
0 0,009 1 0,988 1 0,993 1 0,939 0,797 1 7,725 1
Tabel 35 Standarisasi alat penangkapan ikan pelagis No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Kriteria Produksi ikan Jumlah jenis ikan Keuntungan usaha Optimasi tahun lalu Optimasi kondisi sekarang Optimasi tahun tahun yad Jumlah alat tangkap CU single-output CU multi-output Nilai komposit Peringkat (Prioritas)
Satuan ton jenis Rp unit unit unit unit -
PS 1 1 0.952 0 0 0 0,070 0,939 0,951 4.912 1
JIH 0,715 0,750 0.361 0,192 1 0,285 1 0 0 4.303 2
JIL 0,179 0,500 0.291 1 0 0,428 0,908 0 0 3.303 4
Nilai JIT 0,076 0,250 0.2061 0,455 0,453 1 0,767 0 0 3.208 5
standarisasi alat penangkapan ikan BP BT S 0,290 0.285 0,006 0,750 0.5 0 1 0.428 0 0 0.054 0,215 0 0.171 0,831 0 0.096 0,520 0 0.051 0,129 0 1 0 0 1 0 2.040 3.584 1.700 6 3 7
RH 0,010 0,250 0.249 0 0 0 0,734 0 0 1.242 8
RT 0 ,006 0 0.181 0 0 0 0 ,136 0 0 0.323 11
PT 0,005 0,250 0.215 0 0 0 0,701 0 0 1.171 9
PL 0 0,250 0.063 0 0 0 0,427 0 0 0.740 10
143
Pengaturan upaya penangkapan ikan pelagis di Teluk Apar diperoleh dengan mengalikan nilai IMP dengan upaya penangkapan maksimum lestari (E msy) dari setiap jenis ikan. Berdasarkan hasil analisis diperoleh jumlah alokasi upaya penangkapan ikan pelagis untuk setiap kuartal (Tabel 36). Tabel 36 Alokasi upaya penangkapan ikan pelagis per kuartal berdasarkan indeks musim penangkapan ikan di Teluk Apar Kuartal
Alokasi upaya penangkapan (unit)
Jumlah
Kembung
Layang
Selar
Tembang
Tenggiri
Teri
Tongkol
I
23
14
28
27
113
23
92
320
II
27
12
24
27
117
22
96
325
III
23
12
24
27
123
20
101
330
IV
23
12
24
31
150
23
124
387
Ikan kembung mempunyai alokasi upaya penangkapan terbesar pada kuartal II (bulan April-Juni) sebesar 27 unit. Ikan layang mempunyai alokasi upaya penangkapan terbesar pada kuartal I (bulan Januari-Maret) sebesar 14 unit. Ikan selar mempunyai alokasi upaya penangkapan terbesar pada kuartal I (bulan Januari-Maret) sebesar 28 unit. Ikan tembang mempunyai alokasi upaya penangkapan terbesar pada kuartal IV (bulan Oktober-Desember) sebesar 31 unit. Ikan tenggiri mempunyai alokasi upaya penangkapan terbesar pada kuartal IV (bulan Oktober-Desember) sebesar 150 unit. Ikan teri mempunyai alokasi upaya penangkapan terbesar pada kuartal IV (bulan Oktober-Desember) dan kuartal I (bulan Januari-Maret) masingmasing sebesar 23 unit. Ikan tongkol mempunyai alokasi upaya penangkapan terbesar pada kuartal IV (bulan Oktober-Desember) sebesar 124 unit. Kuartal IV (bulan Oktober-Desember) memiliki total alokasi penangkapan terbesar, yaitu 387 unit, karena memiliki nilai IMP di atas 100% untuk 4 jenis ikan yaitu tembang (110%), tenggiri (119%), teri (103%), dan tongkol (120%). Hasil penelitian Wiyono (2001) tentang optimasi manajemen usaha penangkapan ikan di Teluk Pelabuhanratu hanya mengalokasikan upaya penangkapan berdasarkan jumlah alat tangkap secara optimal. Penelitian ini disamping mengalokasikan jumlah alat tangkap secara optimal juga dilakukan alokasi jumlah alat tangkap per kuartal.
144
5.5.2 Alokasi hasil tangkapan Pengaturan hasil tangkapan ikan pelagis di Teluk Apar diperoleh dengan mengalikan nilai IMP dengan hasil tangkapan maksimum lestari (Cmsy) dari setiap jenis ikan. Berdasarkan hasil analisis diperoleh jumlah alokasi hasil tangkapan ikan pelagis untuk setiap kuartal (Tabel 37) dan rata-rata per bulan dari setiap kuartal (Tabel 38). Tabel 37 Alokasi hasil tangkapan ikan pelagis per kuartal berdasarkan indeks musim penangkapan ikan di Teluk Apar Kuartal
Alokasi hasil tangkapan (ton)
Jumlah
Kembung
Layang
Selar
Tembang
Tenggiri
Teri
Tongkol
I
52,800
71,317
40,320
33,222
44,775
74,550
61,187
378,172
II
61,050
62,965
35,280
32,880
46,267
70,290
63,937
372,670
III
53,350
61,037
34,200
33,222
48,755
66,030
67,375
363,970
IV
52,800
61,680
34,200
37,675
59,202
73,130
82,500
401,187
Tabel 38 Alokasi hasil tangkapan ikan pelagis rata-rata per bulan berdasarkan indeks musim penangkapan ikan di Teluk Apar Bulan
Alokasi hasil tangkapan rata-rata per bulan (ton)
Jumlah
Kembung
Layang
Selar
Tembang
Tenggiri
Teri
Tongkol
1-3
17,600
23,772
13,440
11,074
14,925
24,850
20,396
126,057
4-6
20,350
20,988
11,760
10,960
15,422
23,430
21,312
124,223
7-9
17,783
20,346
11,400
11,074
16,252
22,010
22,458
121,323
10-12
17,600
20,560
11,400
12,558
19,734
24,377
27,500
133,729
Jumlah alokasi hasil tangkapan perkuartal bervariasi berdasarkan tinggi rendahnya nilai IMP. Ikan kembung mempunyai alokasi hasil tangkapan terbesar pada kuartal II (bulan April-Juni) sebesar 61,050 ton dengan rata-rata perbulan sebesar 20,350 ton. Ikan layang mempunyai alokasi hasil tangkapan terbesar pada kuartal I (bulan Januari-Maret) sebesar 71,317 ton dengan rata-rata perbulan sebesar 23,772 ton. Ikan selar mempunyai alokasi hasil tangkapan terbesar pada kuartal I (bulan Januari-Maret) sebesar 40,320 ton dengan rata-rata perbulan sebesar 13,440 ton. Ikan tembang mempunyai alokasi hasil tangkapan terbesar pada kuartal IV (bulan Oktober-Desember) sebesar 37,675 ton dengan rata-rata perbulan sebesar 12,558 ton.
Ikan tenggiri mempunyai alokasi hasil tangkapan terbesar pada
kuartal IV (bulan Oktober-Desember) sebesar 59,202 ton dengan rata-rata perbulan sebesar 19,734 ton.
Ikan teri mempunyai alokasi hasil tangkapan
145
terbesar pada kuartal I (bulan Januari-Maret) sebesar 74,550 ton dengan rata-rata perbulan sebesar 24,850 ton. Ikan tongkol mempunyai alokasi hasil tangkapan terbesar pada kuartal IV (bulan Oktober-Desember) sebesar 82,500 ton dengan rata-rata perbulan sebesar 27,500 ton. Kuartal IV (bulan Oktober-Desember) memiliki total alokasi hasil tangkapan terbesar, yaitu 401,187 ton dengan rata-rata perbulan sebesar 133,729 ton.
5.5.3 Pengaturan input-input upaya penangkapan Manajamen penangkapan ikan pelagis ke depan di Teluk Apar sehubungan dengan kapasitas penangkapan adalah pengaturan input-input upaya penangkapan atau melaui pengurangan input-input yang berlebih. Agar kapasitas penangkapan menjadi optimal diperlukan perbaikan dengan cara mengurangi penggunaan input variabel (VIU) ABK, BBM, dan HOP pada alat tangkap purse seine, sedangkan VIU BBM, HOP, dan ABT pada bagan tancap. Input tetap diabaikan karena input tersebut sangat kompleks untuk diterapkan. Adapun pengurangan VIU dapat dilihat pada Tabel 39 dan 40. Tabel 39 Pengurangan VIU pada alat tangkap purse seine untuk pendekatan single-output dan multi-output No.
Pengurangan VIU
1. Pendekatan single-output a. Anak buah kapal (ABK) b. Bahan bakar minyak (BBM) c. Hari operasi penangkapan (HOP) 2. Pendekatan multi-output a. Anak buah kapal (ABK) b. Bahan bakar minyak (BBM) c. Hari operasi penangkapan (HOP)
Satuan
Total
Rata-rata (%)
9,063
0
Rata-rata (%)
24,124
Rata-rata (%)
I
Kuartal II
III
IV
18,125
0
18,125
22,711
22,308
29,170
22,308
18,093
17,033
16,731
21,878
16,731
Rata-rata (%)
26,671
25,885
27,518
25,548
27,733
Rata-rata (%)
17,032
16,629
17,421
16,629
17,448
Rata-rata (%)
12,780
12,480
13,069
12,480
13,089
Berdasarkan pendekatan single-output, maka pengaturan berbagai input pada upaya alat tangkap purse seine yakni berupa pengurangan VIU dengan prosentase terbesar pada BBM baik per kuartal maupun secara total. Berdasarkan pendekatan multi-output, maka pengaturan input upaya pada alat tangkap purse seine yaitu berupa pengurangan VIU dengan prosentase terbesar pada ABK baik per kuartal maupun secara total.
146
Tabel 40 Pengurangan VIU pada alat tangkap bagan tancap untuk pendekatan single-output dan multi-output No.
Pengurangan VIU
1. Pendekatan single-output a. Bahan bakar minyak (BBM) b. Hari operasi penangkapan (HOP) c. Alat bantu penangkapan (ABT) 1. Pendekatan multi-output a. Bahan bakar minyak (BBM) b. Hari operasi penangkapan (HOP) c. Alat bantu penangkapan (ABT)
Satuan
Total
I
Kuartal II
III
IV
Rata-rata (%)
47,368
47,368
47,368
47,368
47,368
Rata-rata (%)
15,790
15,790
15,790
15,790
15,790
Rata-rata (%)
36,842
36,842
36,842
36,842
36,842
Rata-rata (%)
39,256
39,294
39,264
39,251
39,216
Rata-rata (%)
13,085
13,098
13,088
13,083
13,071
Rata-rata (%)
30,533
30,565
30,536
30,531
30,500
Pendekatan single-output dan multi-output dilakukan untuk pengaturan input upaya pada alat tangkap bagan tancap yaitu pengurangan VIU dengan prosentase terbesar pada BBM baik per kuartal maupun secara total.
Hasil
penelitian Hidayat (2009) menyebutkan bahwa dalam rangka potensi perbaikan kapasitas berlebih pada unit penangkapan mini purse seine di Perairan Kabupaten Bangka perlu pengurangan VIU HOP, BBM, dan ABK, dimana VIU ABK memerlukan pengurangan dengan prosentase terbesar. Indikasi adanya kapasitas berlebih pada pemanfaatan beberapa spesies ikan pelagis di perairan Teluk Apar, mengharuskan Pemerintah Daerah dalam hal ini Dinas Perikanan Kabupaten Paser untuk menjadikan kapasitas penangkapan sebagai acuan dasar dalam penyusunan kebijakan manajemen perikanan ikan pelagis berkelanjutan.
6 KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan Berdasarkan analisis dan pembahasan yang telah dilakukan, maka kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini sebagai berikut: 1) Pola musim penangkapan ikan pelagis di perairan Teluk Apar, yaitu: a) musim penangkapan ikan kembung terjadi pada bulan April hingga Juni, b) musim penangkapan ikan layang dan selar terjadi pada bulan Januari hingga Maret, c) musim penangkapan ikan teri terjadi pada bulan Oktober hingga Maret, d) musim penangkapan ikan tembang, tenggiri, dan tongkol pada bulan Oktober hingga Desember . 2) Produksi ikan pelagis di Teluk Apar diperoleh dari sebelas alat tangkap, yang secara rata-rata purse seine yang paling produktif. Segi kelayakan usaha, bagan perahu memiliki keuntungan yang paling besar. Segi jumlah, jaring insang hanyut yang paling banyak jumlahnya. Berdasarkan tren CPUE, maka ikan layang yang nilainya paling besar. 3) Tingkat pemanfaatan ikan tongkol dan tenggiri lebih tinggi dibanding dengan jenis ikan pelagis lainnya.
Ikan teri paling kecil tingkat pemanfaatannya.
Rata-rata tingkat upaya belum ada yang melewati 100%, namun paling tertinggi adalah pengupayaan ikan tongkol. 4) Kapasitas unit penangkapan purse seine dan bagan tancap per kuartal belum optimal karena telah terjadi kapasitas berlebih.
Perbaikan kapasitas unit
penangkapan yang tidak optimal dapat dilakukan dengan mengurangi input variabel (VIU) ABK, BBM, dan HOP pada purse seine, sedangkan VIU BBM, HOP, dan ABT pada bagan tancap. 5) Prioritas manajemen penangkapan ikan pelagis di Perairan Teluk Apar sehubungan dengan sumberdaya ikan pelagis dilakukan secara berturut-turut terhadap ikan tongkol, tenggiri, layang, teri, selar, dan tembang. Alat penangkapan ikan pelagis yang diprioritaskan secara berturut-turut adalah: purse seine, jaring insang hanyut, bagan tancap, jaring insang lingkar, jaring insang tetap, bagan perahu, sero, rawai hanyut, pancing tonda, pancing lainnya, dan rawai hanyut. Manajemen penangkapan ikan pelagis ke depan
146
mengalokasikan jumlah hasil tangkapan dan upaya penangkapan tertinggi pada kuartal IV (bulan Oktober-Desember). 6.2 Saran Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan penelitian, maka saran-saran dari penelitian ini sebagai berikut: 1) Penelitian fishing capacity perlu dilakukan secara menyeluruh terhadap alat tangkap ikan pelagis yang belum dicakup pada penelitian ini (jaring insang hanyut, jaring insang tetap, jaring insang lingkar, bagan perahu, rawai tetap, rawai hanyut, pancing tonda, dan pancing lainnya) di Teluk Apar akan sangat membantu dalam menentukan perbandingan antara usaha penangkapan dengan kondisi stok yang ada. Penelitian lanjut tentang fishing capacity sebaiknya mempertimbangkan aspek kajian selektivitas dari alat tangkap. 2) Adanya indikasi kapasitas berlebih pemanfaatan ikan pelagis di Teluk Apar, menghendaki
adanya
manajemen
penangkapan
sebagai
acuan
yang
dalam
berdasarkan
penyusunan
pada
kebijakan
kapasitas tentang
penangkapan ikan. 3) Manajemen penangkapan ikan ke depan disamping memperhatikan prioritas pengembangan berdasarkan sumberdaya dan alat tangkap, juga melakukan penangkapan berdasarkan alokasi hasil tangkapan dan upaya penangkapan.
DAFTAR PUSTAKA
Adnan. 2008. Variabilitas Hasil Tangkapan Ikan Hubungannya dengan Sebaran Klorofil-a dan Suhu Permukaan Laut Data Inderaja di Perairan Kalimantan Timur [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 88 hlm. Almuas. 2005. Analisis Karakteristik Parameter Oseanografi untuk Penentuan Daerah Penangkapan Potensial Ikan Pelagis di Perairan Laut Cina Selatan pada Musim Timur [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 98 hlm. Arnason R. 1990. Dynamic Multispecies, Multifleet Fisheries Optimization Model of the Icelandic Demersal Fisheries. A Paper Presented at the NATO Advance Study Institute Operation Research and Management in Fishing, Povoa de Varzim, Portugal, March 25-April 7. Asikin D. 1971. Sinopsis Biologi Ikan Layang (Decapterus spp). Jakarta: LPPL. hlm 3-27. Ayodhyoa AU. 1981. Metode Penangkapan Ikan. Bogor: Yayasan Dewi Sri. 91 hlm. Balai Penelitian Perikanan Laut. 1992. Ikan-Ikan Laut Ekonomis Penting Indonesia. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian Republik Indonesia. Jakarta. 170 hlm. Balai Riset Perikanan Laut, Pusat Risert Perikanan Tangkap, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan. 2004. Musim Penangkapan Ikan di Indonesia. Jakarta. 116 hlm Berkes F, Mahon R, Mc Conney P, Pollnac R, Pomery T. 2001. Managing Small-Scale Fisheries: Alternative Directions and Methods. Ottawa, Canada: International Development Research Centre. 308p. Brandt A Von. 1984. Fish Catching Methods of The World. England: Fishing News Book. 418p. Briguglio. 1995. Small Island States and Their Economics Vulnerabilities. World Development, 23 p 1615-1632 Coelli T, Prasada RDS, Battese GE. 1988. An Introduction to Efficiency and Productive Analysis. Norwell MA: Kluwer Academic Publisher. Charnes AW, Cooper WL, Seiford L. 1994. Data Envelopment Analysis, Theory, Methodology and Applications. Norwell, MA: Kluwer Academic Publisher.
150
Clark CW. 1985. Bioeconomic Modelling of Fisheries Management. ChichesterNew York-Brisbane-Toronto-Singapore: John Wiley and Sons. Deent JD, Blackie MJ. 1979. System Simulation in Agriculture. Applied Service Publishers Ltd. Department for Communities and Local Government. Analysis: a Manual. London. 165p.
2009.
London:
Multi-Criteria
Desniarti. 2007. Analisis Kapasitas Perikanan Pelagis di Perairan Pesisir Provinsi Sumatera Barat [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 181 hlm. [DKPP Paser] Kementrian Perikanan dan Kelautan Kabupaten Paser. 2004. Laporan Stastistik Perikanan Tangkap tahun 2003. Tanah Grogot. 98 hlm. [DKPP Paser] Kementrian Perikanan dan Kelautan Kabupaten Paser. 2005. Laporan Stastistik Perikanan Tangkap tahun 2004. Tanah Grogot. 98 hlm. [DKPP Paser] Kementrian Perikanan dan Kelautan Kabupaten Paser. 2006. Laporan Stastistik Perikanan Tangkap tahun 2005. Tanah Grogot. 98 hlm. [DKPP Paser] Kementrian Perikanan dan Kelautan Kabupaten Paser. 2007. Laporan Stastistik Perikanan Tangkap tahun 2006. Tanah Grogot. 98 hlm. [DKPP Paser] Kementrian Perikanan dan Kelautan Kabupaten Paser. 2008. Laporan Stastistik Perikanan Tangkap tahun 2007. Tanah Grogot. 98 hlm. [DKPP Paser] Kementrian Perikanan dan Kelautan Kabupaten Paser. 2009. Laporan Stastistik Perikanan Tangkap tahun 2008. Tanah Grogot. 98 hlm. Efendi DS. 2007. Analisis Kapasitas Berlebih Perikanan Pukat Cincin Pekalongan dalam Rangka Kerangka Kebijakan Perikanan Tangkap di Laut Jawa dan Sekitarnya [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 181 hlm. Eriyatno. 1984. Introduksi Ilmu Sistem dan Aplikasinya pada Industri Pertanian. Bogor: Laboratorium Teknik Industri Fakultas Pertanian IPB. European Commission. 2009. Evaluation Socio Economic Development, Book 2: Methods and Techniques Multi-Criteria Analysis. http://ec.europa.eu/regional_policy/sources/docgener/evaluation/evalsed/ sourcebooks/method_techniques/evaluating_alternatives/multi_criteria/ index_en.htm. Farë R, Grosskopf S, Kokkelenberg EC. 1989. Measuring Plant Capacity, Utilization and Technical Change: A Nonparametric Approach. International Economic Review 30:655-666.
151
Farë R, Grosskopf S, Lovel CAK. 1994. Production Frontiers. United Kingdom: Cambridge University Press. 296p. Farrel MJ. 1957. The Measurement of Productive Efficiency. J.R. Stat. Soc. Ser: A 120 (3). p 253-290. Fauzi A. Ekonomi Perikanan (Teori, Kebijakan, dan Pengelolaan). Jakarta: PT. Gramedia. 224 hlm.
2010.
Fauzi A, Anna S. 2005. Pemodelan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan. Jakarta: PT. Gramedia. 343 hlm. Fishcer W, Whitehead PJP. 1974. Eastern Indian Ocean (Fishing Area 57) and Western Central Pasific (Fishing Area 71). FAO Species Identification Sheets for Fishery Purposes Vol: I-IV. Fletcher JJ, Howitt RE, Johnston WE. 1988. Management of Multipurpose Heterogenous Fishing Fleets Under Uncertainly. Marine Resource Economics 4 (4): 249-70. FAO. 1986. Distribution and Important Biological Features of the Coastal Fish Resources in South Asia. Rome: FAO Fisheries Technical Paper, FAO UN Vol 2 p 1-42. FAO. 2009. The State of the world fisheries and aquaculture 2005. Rome: FAO, 150 pp. Gazperz JP. 1996. Analisis Sistem Terapan Berdasarkan Pendekatan Teknik Industri. Bandung: Tarsito. 670 hlm. Gordon HS. 1954. The Ekonomi Theory of a Common Property Resource: The Fishery. Jurnal of Polytical Economy 61: 124-142. Gulland JA. 1991. Fish Stock Assessment (A Manual of Basic Methods). Chichester-New York-Brisbane-Toronto-Singapore: John Wiley and Sons. 223 p. Hilbron R. 1979. Comparison of Fisheries Control Systems that Utilize Catch and Effort. Journal of Fisheries Research Board of Canada 36: 77-89. Hidayat AS. 2009. Analisis Kapasitas Unit Penangkapan Ikan Skala Kecil (Kasus Perikanan Pelagis di Kabupaten Bangka) [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 147 hlm. Huang HW, Chuang CT. 2010. Fishing Capacity Management in Taiwan: Experiences and Prospects. Marine Policy 34: 70–76. Hufiadi. 2008. Pengukuran Efisiensi Teknis Perikanan Purse Seine di Pekalongan [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 116 hlm.
152
Hutomo M, Burhanuddin, Martosewejo S. 1987. Sumberdaya Ikan Teri di Indonesia. Jakarta: Seri Sumberdaya Alam. 107 hlm. Holling CS. 1978. Adaptive Environmental Assesment and Management. New York: John Wiley and Sons. Kadarsan HW. 1984. Keuangan dan Pembiayaan Perusahaan Pertanian dalam Hubungannya dengan Ilmu Ekonomi dan Keuangan. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Kirkley JE, Squires DE. 1999. Measuring Capacity and Capacity Utilization in Fisheries. Di Dalam Greboval D, Editor. Managing Fishing Capacity. Rome: FAO Fisheries Technical Paper 386:75-2000. Kirkley JE, Squires DE, Alam MF, Ishak HO. 2003. Excess Capacity and Asymetric Information in Development Country Fisheries: The Malaysian Purse Seine Fisheries. American Agricultural Association 85:3. Laevastu T, Hayes ML. 1981. Fisheries Oceanography and Ecology. London: Fishing News (Books) Ltd. 238p. Luasunaung A. 2008. Analisis Stok dan Fishing Capacity Demersal di Kepulauan Togean, Sulawesi Tengah [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 181 hlm. Madau FA, Idda L, Pulina P. 2009. Capacity and Economic Efficiency in SmallScale Fisheries: Evidence from the Mediterranean Sea. Marine Policy 33: 860–867. Manetch, Park. 1974. System Analysis and Simulation with Application to Economic and Social Systems Science. Michigan: Michigan State University. Martosubroto P, Naamin N, Malik BBA. 1991. Potensi dan Penyebaran Sumberdaya Ikan Laut di Perairan Indonesia. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi-LIPI. Nikijuluw VPH. 2002. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Jakarta: Kerjasama P3R dan Pustaka Cidesindo. 254 hlm. Nontji A. 1993. Laut Nusantara. Jakarta: Djambatan 368 hlm. Nybakken JW. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Jakarta: PT. Gramedia. 459 hlm. Olii AH. 2007. Analisis Kapasitas Perikanan Tangkap dalam Rangka Pengelolaan Armada Penangkapan di Provinsi Gorontalo [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 217 hlm.
153
Pascoe S, Kirkley JE, Greboval D, Paul CJM 2004. Measuring and Assessing Capacity in Fisheries (2. Issues and Methods). Rome: FAO Fisheries Technical Paper 433/2. Purwanto. 1993. Bioekonomi Penangkapan Ikan: Model Dinamik. Majalah Oseana Volume XIV No:3. hlm 93-100. Rudiansyah. 2008. Pengembangan Teknologi Penangkapan Ikan di Perairan Teluk Apar Kabupaten Pasir Kalimantan Timur [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 163 hlm. Ruminta. 2008. Matriks Persamaan Linier dan Pemrograman Linier. Bandung: Penerbit Rakayasa Sains. 448 hlm. Saanin H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan Vol I dan II. Bandung: Binacipta. 520 hlm. Sainsbury JC. 1971. Commercial Fishing Methods and Introduction to Veseel and Gear. England: Fishing News (Books) Ltd. 207p. Salayo N et al. 2008. Managing Excess Ccapacity in Small-Sscale Fisheries: Perspectives from Stakeholders in Three Southeast Asian Countries. Marine Policy 32: 692–700. Seijo JC, Defeo, Salas S. 1998. Fisheries Economics: Theory, Modelling and Management. Rome: FAO. 108p. Sparre P, Venema SC. 1999. Introduksi Pengkajian Stok Ikan Tropis, Terjemahan. Buku I: Manual. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 438 hlm. Steel RGD, Torrie JH. 1981. Principles and Procedures of Statistics. Tokyo: Mc Grow Hill Koqakusha Ltd. Subagyo A. 2007. Studi Kelayakan Teori dan Aplikasi. Jakarta: Elex Media Komputindo. 258 hlm. Sudirman, Mallawa A. 2004. Teknik Penangkapan Ikan. Jakarta: Rineka Cipta. 168 hlm. Sularso A. 2005. Alternatif Pengelolaan Perikanan Udang di Laut Arafura [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 130 hlm. Supranto J. 1988. Riset Operasi untuk Pengambilan Keputusan. Jakarta: UI Press. Suparmoko M. 1997. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan: Suatu Pendekatan Teoritis Edisi II. Yogyakarta: BPFE.
154
Taeran I. 2007. Tingkat Pemanfaatan dan Pola Musim Penangkapan Beberapa Jenis Ikan Pelagis Ekonomis Penting di Provinsi Maluku Utara [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 126 hlm. Tingkey D, Pascoe S, Mardle S. 2002. Estimating Capacity Utilization in MultiPurpose Multi-Metier Fisheries. Elsevier Fisheries Research 63: 121-134. Vestergaard N, Squires DE, Kirkley JE. 2002. Measuring Capacity and Capacity Utilization in Fisheries: The Case of The Danish Gillnet Fleet. Institute of Environmental an Business Economics, University of Southern Denmark, Niels Bohrs Vej (9-10): p356-368. Villasante S, Sumaila UR. 2010. Estimating the Effects of Technological Efficiency on the European Ffishing Fleet. Marine Policy 34: 720–722. Walden JB, Kirkley JE. 2000. Measuring Technical Efficiency and Capacity in Fisheries by Data Envelopment Analysis Using the General Algebraic Modeling System (GAMS): A Workbook. NOAA Technical Memorandum NMFS-NE-160. Virginia, Northeast Region. Northeast Fisheries Science Center. Woods Hole, Massachusetts. p1-15. Ward JM, Kirkley JE, Metzner R, Pascoe S. 2004. Measuring and Assessing Capacity in Fisheries (1. Basic Consepts and Management Options). Rome: FAO Fisheries Technical Paper 433/1. Widodo J. 1998. Dynamics Pool Analysys of The Ikan Layang (Decapterus spp) Fishery in The Java Sea. Jakarta: Jurnal Penelitian Perikanan Laut Balai Penelitian Perikanan Laut No: 47. hlm 39-58. Widodo J, Nurhakim S. 2002. Konsep Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Disampaikan dalam Training of Trainers on Fisheries Resource Management. Jakarta, Hotel Golden Clarion. 28 Oktober-2 Nopember 2002. 18 hlm. Wiyono ES. 2001. Optimasi Manajemen Perikanan Skala Kecil di Teluk Pelabuhanratu [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 102 hlm. Wiyono ES. 2005. Perspektif Baru dalam Pengelolaan Sumberdaya Ikan. Edisi Vol.3/XVII/Maret 2005-Nasional. (http:\\io.ppi-jepang.org.article.php). Wiyono ES, Wahju RI. 2006. Penghitungan Kapasitas Penangkapan (Fishing Capacity) pada Perikanan Skala Kecil Pantai: Suatu Penelitian Pendahuluan. Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap, Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. hlm 381-389.