1
PENGEMBANGAN PERTANIAN ORGANIK DI KELOMPOK TANI MADYA, DESA KEBONAGUNG, KABUPATEN BANTUL, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
FIRDA EMIRIA UTAMI
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
2
3
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengembangan Pertanian Organik di Kelompok Tani Madya Desa Kebonagung, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2013
Firda Emiria Utami NIM I34090110
4
ABSTRAK FIRDA EMIRIA UTAMI. Pengembangan Pertanian Organik di Kelompok Tani Madya Desa Kebonagung, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Dibimbing oleh HERU PURWANDARI. Pertanian organik merupakan kegiatan pertanian yang mengupayakan penggunaan asupan luar yang minimal dan menghindari penggunaan pestisida dan pupuk sintetik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa petani organik dan petani konvensional memiliki respon yang tinggi pada pertanian organik. Namun, karakteristik petani organik tidak berhubungan dengan respon petani pada pertanian organik. Sedangkan pada petani konvensional, pendidikan formal dan keberanian mengambil resiko berhubungan dengan respon petani pada pertanian organik. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara respon petani pada pertanian organik dengan pendapatan petani. Meskipun demikian, dapat diprediksikan adanya peluang pada petani konvensional untuk menerapkan pertanian organik. Kata kunci: pertanian organik, respon, pendapatan, petani konvensional
ABSTRACT FIRDA EMIRIA UTAMI. The Development of Organic Farming in Tani Madya Groups of Kebonagung Village, District Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Supervised by HERU PURWANDARI. Organic farming is agricultural activities that seek the use of outside intake and avoid the use of pesticides and synthetic fertilizer. The results showed that the organic farmers and conventional farmers have the high responses of organic farming. However, the characteristics of organic farmer have no relation with farmer’s respons of organic farming. Then, in conventional farmers, formal education and the courage to take the risks have relation with farmer’s respons of organic farming. This research also showed there are no relation between farmer’s respons of organic farming with farmer’s income. Nevertheless, can be predicted that there are chances of the conventional farmers to adopt the organic farming. Key words: organic farming, respons, income, conventional farmer
5
PENGEMBANGAN PERTANIAN ORGANIK DI KELOMPOK TANI MADYA DESA KEBONAGUNG, KABUPATEN BANTUL, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
FIRDA EMIRIA UTAMI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
6
Judul Skripsi
Nama NlM
Pengembangan Pertanian Organik di Kelompok Tani Madya Desa Kebonagung, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta Firda Emiria Utami 134090110
Disetujui oleh
Heru Purwandari, SP, M.Si
Pembimbing
Di~etahui
oleh
;
r. . Soeryo Adiwibowo, MS Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
l1 9 JUL 2 13
7
Judul Skripsi
Nama NIM
: Pengembangan Pertanian Organik di Kelompok Tani Madya Desa Kebonagung, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta : Firda Emiria Utami : I34090110
Disetujui oleh
Heru Purwandari, SP, M.Si Pembimbing
Diketahui oleh
Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
8
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengembangan Pertanian Organik di Kelompok Tani Madya Desa Kebonagung, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta”. Penulisan skripsi ini ditujukan untuk memenuhi syarat memperoleh gelar sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Heru Purwandari, SP, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu dan pikiran dalam memberikan masukan dan bimbingan hingga skripsi ini dapat terselesaikan. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang mendalam kepada masyarakat Desa Kebonagung, khususnya para responden yaitu petani Kelompok Tani Madya dan aparat desa yang telah membantu terlaksananya penelitian ini. Penulis juga turut mengucapkan terima kasih kepada dosen beserta staf KPM atas ilmu yang telah diberikan. Penulis juga menyampaikan rasa hormat dan terima kasih kepada ayahanda Soepatmo Boedhi, ibunda Dian Herlina, serta kedua adik tersayang Irfan Dwirizky dan Naufal Hanif Fadhillah yang selalu memberikan semangat, motivasi, doa, dan dukungan kepada penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman satu bimbingan skripsi, Yanitha Rahmasari dan Alfiana Rachmawati. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh temanteman KPM 46, khususnya Dini Dwiyanti, Adia Yuniarti, Rina Khaerunnisa, Nina Lucellia, Bunga Hadian, Novia Fridayanti, Anissa Mustabsiratul, Gressayana, M. Septiadi, dan Rafi Nugraha yang telah memberikan banyak masukan dan motivasi dalam penulisan skripsi ini. Selain itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada sahabat penulis Desy Kusuma atas bantuannya selama ini. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya.
Bogor, Agustus 2013 Firda Emiria Utami
9
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian PENDEKATAN TEORITIS Tinjauan Pustaka Pertanian Berkelanjutan Konsep Pertanian Organik Prinsip-Prinsip Pertanian Organik Peluang Pertanian Organik Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerapan Pertanian Organik Konsep Respons Kerangka Pemikiran Hipotesis Penelitian Definisi Operasional METODE PENELITIAN Pendekatan Penelitian Lokasi dan Waktu Penelitian Penentuan Responden dan Informan Penelitian Teknik Pengolahan dan Analisis Data Keterbatasan Studi GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Profil Desa Kebonagung Pemerintahan dan Kependudukan Desa Kebonagung Infrastruktur Desa Kondisi Ekonomi dan Pertanian Kondisi Sosial Budaya Profil Kelompok Tani Madya Kegiatan Budidaya Padi Organik di Kelompok Tani Madya Gambaran Umum Responden Tingkat Pendidikan Formal Tingkat Pengalaman Bertani Tingkat Keberanian Mengambil Resiko Tingkat Jejaring Tingkat Kepemilikan Alat Produksi HUBUNGAN ANTARA KARAKTERISTIK PETANI DENGAN RESPON PETANI PADA PERTANIAN ORGANIK Respon Petani Pada Pertanian Organik Hubungan Karakteristik Petani dengan Respon Petani Pada Pertanian Organik Hubungan Tingkat Pendidikan Formal dengan Respon Petani Pada
xi xii xii 1 1 3 3 4 5 5 5 6 7 9 9 10 11 12 12 15 15 15 15 16 17 19 19 19 20 22 21 21 23 25 25 26 26 27 28 31 31 33 33
10
Pertanian Organik Hubungan Tingkat Pengalaman Bertani dengan Respon Petani Pada Pertanian Organik Hubungan Tingkat Keberanian Mengambil Resiko dengan Respon Petani Pada Pertanian Organik Hubungan Tingkat Jejaring Petani dengan Respon Petani Pada Pertanian Organik Hubungan Kepemilikan Alat Produksi dengan Respon Petani Pada Pertanian Organik PENGEMBANGAN PERTANIAN ORGANIK DI KELOMPOK TANI MADYA Analisis Tingkat Pendapatan dan Akses Pasar Tingkat Pendapatan Akses Pasar Peluang Penerapan Pertanian Organik Pada Petani Konvensional SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
34 36 37 39 41 41 41 43 45 49 49 49 51 53 60
1
DAFTAR TABEL 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
8. 9. 10. 11.
12.
13.
14.
15. 16. 17.
18.
19. 20.
Jumlah populasi dan responden penelitian Jumlah dan persentase responden menurut tingkat pendidikan formal, kelompok tani Madya, 2013 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat pengalaman bertani, kelompok tani Madya, 2013 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat keberanian mengambil resiko, kelompok tani Madya, 2013 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat jejaring, kelompok tani Madya, 2013 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat kepemilikan alat produksi, kelompok tani Madya, 2013 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat pemahaman dan penerapan petani pada pertanian organik, kelompok tani Madya, 2013 Jumlah dan persentase responden menurut respon petani pada pertanian organik, kelompok tani Madya, 2013 Jumlah dan persentase respon petani pada pertanian organik menurut pendidikan formal, responden petani organik, 2013 Jumlah dan persentase respon petani pada pertanian organik menurut pendidikan formal, responden petani konvensional, 2013 Jumlah dan persentase respon petani pada pertanian organik menurut tingkat pengalaman bertani, responden petani organik, 2013 Jumlah dan persentase respon petani pada pertanian organik menurut tingkat pengalaman bertani, responden petani konvensional, 2013 Jumlah dan persentase respon petani pada pertanian organik menurut tingkat keberanian mengambil resiko, responden petani organik, 2013 Jumlah dan persentase respon petani pada pertanian organik menurut tingkat keberanian mengambil resiko, responden petani konvensional, 2013 Jumlah dan persentase respon petani pada pertanian organik menurut tingkat jejaring, responden petani organik, 2013 Jumlah dan persentase respon petani pada pertanian organik menurut jejaring petani, responden petani konvensional, 2013 Jumlah dan persentase respon petani pada pertanian organik menurut kepemilikan alat produksi, responden petani organik, 2013 Jumlah dan persentase respon petani pada pertanian organik menurut kepemilikan alat produksi, responden petani konvensional, 2013 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat pendapatan, kelompok tani Madya, 2013 Daftar harga jual hasil pertanian organik dan konvensional di
16 25 26 27 28 29 31
32 33 34 34
35
36
36
38 38 39
40
41 42
2
21. 22. 23.
kelompok tani Madya, Tahun 2013 Jumlah dan persentase pendapatan menurut respon petani pada pertanian organik, responden petani organik, 2013 Jumlah dan persentase pendapatan menurut respon petani pada pertanian organik, responden petani konvensional, 2013 Jumlah dan persentase responden berdasarkan akses pasar, kelompok tani Madya, 2013
42 43 44
DAFTAR GAMBAR 1.
Kerangka pemikiran
12
DAFTAR LAMPIRAN 1. 2. 3. 4. 5.
Jadwal Pelaksanaan Penelitian Tahun 2013 Peta Lokasi Penelitian (Desa Kebonagung) Sketsa Lahan Pertanian Organik dan Pertanian Konvensional Kerangka Sampling Penelitian Sertifikat Organik Kelompok Tani Madya
53 54 55 56 58
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang identik dengan pertanian. Potensi di bidang pertanian yang dimiliki Indonesia dapat dikembangkan dan dapat menjadi salah satu bidang yang sangat penting perannya dalam meningkatkan pendapatan nasional. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS)1, pada Bulan Februari 2013 dapat diketahui bahwa sebesar 39 959 073 penduduk Indonesia mengandalkan sektor pertanian sebagai lapangan pekerjaan utama. Angka tersebut mengalami kenaikan sebesar 2.77% dari perhitungan sebelumnya pada Bulan Agustus 2012. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa bidang pertanian memiliki daya tarik tersendiri untuk dijadikan lapangan pekerjaan utama, salah satunya yaitu bidang pertanian merupakan sumber makanan utama masyarakat. Selama ini, sebagian besar pertanian yang dikembangkan di Indonesia adalah pertanian modern. Pertanian modern dicirikan dengan sistem usahatani yang menggunakan bahan-bahan kimia yang berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan. Sutanto (2002) menyatakan bahwa paket teknologi pertanian modern yang dimaksud adalah penggunaan varietas unggul berproduksi tinggi, pestisida kimia, pupuk kimia/sintesis, dan menggunakan mesin-mesin pertanian untuk mengolah tanah dan memanen hasil. Pertanian modern itu sendiri merupakan salah satu wujud dari revolusi hijau yang mulai diterapkan di Indonesia pada tahun enam puluhan. Pada awalnya revolusi hijau berhasil mengatasi kerawanan pangan sehingga Indonesia berhasil mencukupi sendiri kebutuhan pangannya yang sebelumnya Indonesia adalah negara pengimpor beras (Sutanto 2002). Wolf (1986) dalam Sutanto (2002) juga menyatakan bahwa kenaikan produksi pangan dunia sejalan dengan penggunaan pupuk kimia. Namun, seiring dengan berjalannya waktu banyak pakar lingkungan menyadari bahwa penggunaan bahan kimia tersebut dapat menimbulkan dampak negatif berupa penurunan produktivitas tanah akibat penggunaan pupuk kimia serta rusaknya keseimbangan ekosistem akibat penggunaan pestisida. Keadaan tersebut akhirnya mendorong individu dan kelompok organisasi menyuarakan gerakan untuk mempraktikkan usahatani alami yang ramah lingkungan dengan berbagai istilah seperti “organic” atau “alternatif” dan selanjutnya berkembang menjadi pertanian organik seperti saat ini. Prospek ekonomis dari pertanian ini pun cukup baik teriring dengan berubahnya pola konsumsi manusia dimana manusia lebih memilih makanan yang sehat meskipun harganya mahal (Soetrisno 1999). Pada prinsipnya, pertanian organik sejalan dengan pengembangan pertanian dengan masukan teknologi rendah (low-input technology) dan upaya menuju pembangunan pertanian berkelanjutan. Pertanian organik berkembang secara cepat terutama di negara-negara Eropa, Amerika, dan Asia Timur (Jepang, Korea, dan Taiwan). Di Asia, terutama di daratan China, pertanian organik dilaksanakan sebelum pupuk kimia diperkenalkan secara meluas pada tahun 1960 (Sutanto 1
Badan Pusat Statistik. 2013. Penduduk 15 Tahun Ke Atas yanrja menurut Lapangan Pekerjaan Utama 2004 - 2012. http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=1&tabel=1&daftar=1&id_subyek=06¬ab=2 [7 Maret 2013]
2
2002). Indonesia merupakan negara ketiga di Asia dalam pengembangan pertanian organik setelah China dan India (Winarno dalam Siahaan 2009). Berdasarkan data Statistik Pertanian Organik Indonesia (SPOI) yang diterbitkan oleh Aliansi Organis Indonesia (AOI), sampai tahun 2011 tercatat bahwa luas area pertanian Indonesia tahun 2011 adalah 225 062.65 ha dengan status 90 135.5 ha merupakan area tersertifikasi pertanian organik, 3.8 area dalam proses sertifikasi pertanian organik dan 134 917.66 ha merupakan area tanpa sertifikasi organik (Ariesusanty et al. 2012). Sangat disayangkan, jika dibandingkan tahun lalu, luas lahan ini mengalami penurunan sebesar 5.77%, terutama karena menurunnya luas area pertanian organik tersertifikasi. Berkurangnya luas area pertanian organik menunjukkan bahwa jumlah petani dan luas lahan organik di Indonesia masih rendah. Hal ini didukung oleh data hasil survey lapangan penulis pada bulan Januari hingga Maret 2013 yang menunjukkan bahwa jumlah petani organik di Kabupaten Bogor masih sangat sedikit dibandingkan petani konvensional. Padahal menurut Saragih2 (2008), sejak tahun 2000, pemerintah sudah mulai mengembangkan pertanian organik di 20 kabupaten, antara lain Bogor, Sukabumi, Cianjur, Sragen, Yogyakarta, Malang dan Cimande, serta Bengkulu. Keadaan ini menunjukkan kondisi yang bertolak belakang dengan tingginya permintaan konsumen atas pertanian organik. Menurut Sutanto (2002) istilah sistem pertanian organik menghimpun seluruh imajinasi petani dan konsumen yang secara serius dan bertanggung jawab menghindarkan bahan kimia dan pupuk yang bersifat meracuni lingkungan dengan tujuan untuk memperoleh kondisi lingkungan yang sehat. Selain itu, IFOAM 3 menyampaikan bahwa pertanian organik ini sangat tepat untuk diterapkan karena sangat aman bagi kesehatan serta teknologi pertanian yang ramah lingkungan. Dengan demikian, pertanian organik secara tidak langsung telah menjadi gaya hidup masyarakat yang selalu ingin mengkonsumsi produk-produk yang sehat dan bebas dari bahan kimia. Kelompok Tani Madya, Desa Kebonagung, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta adalah satu-satunya kelompok tani di desa tersebut yang telah menerapkan pertanian organik System Rice Intensification (SRI) pada tahun 2008. Kelompok tani ini melaksanakan usaha produksi pangan organik sesuai SNI 6729-2010-Organic Food & Production System dan CAC/GL 32/1999 Codex Alimentarius Commision Guidelines for the production, processing, labelling and marketing of organically produced foods. Penerapan pertanian organik yang telah sejak lama dilaksanakan tersebut, diduga memberikan pengaruh ekonomi petani, khususnya pada pendapatan petani. Hal ini didukung oleh pernyataan Sutanto (2002) bahwa jika ditinjau dari segi ekonomi, pertanian organik seharusnya dapat memberikan keuntungan yang diperoleh dari hasil produksi. Sugarda et al. (2008) juga turut berpendapat bahwa pada kasus pangan, pengertian ramah lingkungan tidak hanya sekedar aman (bersih, sehat, bergizi, bermutu, dan berwawasan lingkungan) tetapi juga memberikan jaminan kesejahteraan bagi petani dan ketersediaan pangan secara berkelanjutan. Meskipun demikian, merujuk kembali pada hasil survey lapangan penulis yang menunjukkan jumlah petani dan luas lahan organik masih rendah, penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam 2
Berdasarkan komunikasi pribadi Riza VT dengan Mahfudi pada tanggal 29 November 2004 International Federation for Organic Agriculture Movement
3
3
pengembangan pertanian organik dan menganalisis sejauh mana pertanian organik berpotensi dikembangkan oleh petani konvensional.
Perumusan Masalah Pertanian organik merupakan salah satu alternatif pertanian yang dapat memberikan hal positif sehingga patut untuk dikembangkan. Petani menjadi pihak utama yang memegang peranan penting dalam menerima atau menolak sistem pertanian tersebut. Pengambilan keputusan petani untuk menerapkan pertanian organik ini dipengaruhi oleh karakteristik petani itu sendiri. Melalui proses adaptasi, pertanian organik secara perlahan mulai digeluti dan mendapat respon yang cukup baik dari para petani. Oleh karena itu, menarik untuk dikaji lebih dalam bagaimana hubungan antara karakteristik petani dengan respon petani pada pertanian organik? Sejauh ini, pertanian organik nyatanya memiliki permintaan yang semakin meningkat dari konsumen yang mulai sadar akan pentingnya mengkonsumsi hasil pertanian yang sehat. Sutanto (2002) berpendapat bahwa dengan semakin banyaknya konsumen hijau yang menguasai pasar produk pertanian organik, baik di tingkat internasional maupun nasional, serta dengan semakin berkembangnya gerakan zero emisions, maka pertanian organik memperoleh momentum penting dan dukungan besar dari pasar global yang mendambakan produk-produk pertanian akrab lingkungan. Selain itu, harga jual hasil pertanian organik tersebut digolongkan lebih mahal jika dibandingkan dengan hasil pertanian non organik. Oleh karena itu, akan dibahas selanjutnya mengenai bagaimana perbedaan kondisi ekonomi petani organik dan petani konvensional yang dipengaruhi oleh respon petani pada pertanian organik? Dalam kenyataannya, jumlah petani organik masih sangat sedikit jika dibandingkan jumlah petani non organik. Meskipun demikian, petani organik masih konsisten dalam mengembangkan sistem pertanian yang sehat dan ramah lingkungan. Oleh karena itu, penulis ingin mengkaji lebih dalam sejauh mana peluang petani konvensional dalam menerapkan pertanian organik.
Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian dirumuskan sebagai berikut: 1. Menganalisis hubungan karakteristik petani dengan respon petani pada pertanian organik. 2. Menganalisis sejauhmana respon petani pada pertanian organik dapat mempengaruhi pendapatan petani. 3. Menganalisis sejauhmana peluang petani konvesional menerapkan pertanian organik.
4
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi berbagai kalangan, diantaranya: 1. Peneliti dan civitas akademika, penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan pengetahuan mengenai respon petani pada pertanian organik dan pengaruhnya bagi pendapatan petani. 2. Masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran terutama masyarakat sekitar kawasan pertanian untuk mengetahui respon petani pada pertanian organik dan pengaruhya bagi kondisi ekonomi petani. 3. Pemerintah dan swasta, penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan dalam membuat kebijakan dan pemberdayaan petani mengenai pertanian organik.
5
PENDEKATAN TEORITIS Tinjauan Pustaka Pertanian Berkelanjutan Pendekatan penghidupan berkelanjutan adalah cara berpikir dan bekerja untuk pembangunan yang berkembang secara evolusi dengan tujuan mengefektifkan segala usaha-usaha mengakhiri kemiskinan dan ketidakadilan (Saragih 2008). Pendekatan penghidupan berkelanjutan tersebut didukung oleh seperangkat prinsip yang menggambarkan pengorganisasian, pemahaman, dan bekerja menangani masalah kemuskinan dan ketidakadilan yang disesuaikan terhadap prioritas dan situasi lokal. Menurut Perman et al. dalam Jaya (2004) memberikan beberapa alternatif pengertian dari konsep berkelanjutan, yaitu (1) suatu kondisi dikatakan berkelanjutan sustainable) jika utilitas yang diperoleh masyarakat tidak berkurang sepanjang waktu dan konsumsi tidak menurun sepanjang waktu (non-declining consumption), (2) keberlanjutan adalah kondisi dimana sumber daya alam dikelola sedemikian rupa untuk memelihara kesempatan produksi dimasa mendatang, (3) keberlanjutan adalah kondisi dimana sumber daya alam (natural capital stock) tidak berkurang sepanjang waktu (nondeclining), (4) keberlanjutan adalah kondisi dimana sumber daya alam dikelola untuk mempertahankan produksi jasa sumber daya alam, dan (5) keberlanjutan adalah adanya kondisi keseimbangan dan daya tahan (resilience) ekosistem terpenuhi. Pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) adalah sistem pertanian yang harus dibangun dengan fondasi sumberdaya yang dapat diperbaharui yang berasal dari lingkungan usaha tani dan sekitarnya (Francis dan King dalam Salikin 2003). Menurut Reijntjes et all. (1999), pertanian dapat dikatakan pertanian berkelanjutan jika mencakup hal-hal sebagai berikut, yaitu mantap secara ekologis, berlanjut secara ekonomis, adil, manusiawi, dan luwes. Menurut Atmojo dalam Widiarta (2010), sistem pertanian berkelanjutan harus dievaluasi berdasarkan pertimbangan beberapa kriteria, yaitu aman menurut wawasan lingkungan, menguntungkan secara ekonomi, adil menurut pertimbangan sosial, manusiawi terhadap semua bentuk kehidupan, dan mudah diadaptasi (luwes). Eicher dalam Indriana (2010) mendefinisikan tiga alternatif pendekatan konseptual mengenai definisi keberlanjutan pertanian yakni: 1. Keberlanjutan pertanian terkait dengan istilah teknik dan ekonomis, dengan melihat kapasitas untuk menyediakan permintaan yang semakin beragam dan meningkat terhadap komoditi tertentu. 2. Keberlanjutan pertanian sebagai pertanyaan ekologis merujuk pada suatu sistem pertanian dimana mengurangi polusi dan faktor-faktor yang merusak keseimbangan ekologi dari sistem yang tidak berkelanjutan. 3. Keberlanjutan pertanian di bawah istilah pertanian alternatif, menempatkan keberlanjutan tersebut pada titik berat yang paling utama terkait dengan keberlanjutan tidak hanya sebagai sumber daya fisik tapi sejumlah set nilainilai komunitas. Berdasarkan Widiarta (2010) pertanian berkelanjutan bisa diwujudkan melalui berbagai sistem usaha tani, termasuk pertanian organik
6
yang menekankan daur ulang hara secara alami, sehingga penggunaan input luar menjadi rendah. Indonesia telah lama menerapkan prinsip ekologis dari pengembangan pertanian berkelanjutan, salah satunya yaitu pertanian organik. Pertanian organik merupakan salah satu bukti adanya gerakan-gerakan pengembangan pertanian yang ramah lingkungan. Menurut Harwood dalam Susanto (2002), ada tiga kesepakatan yang harus dilaksanakan dalam pembangunan pertanian berkelanjutan, ialah (i) produksi pertanian harus ditingkatkan tetapi efisien dalam pemanfaatan sumber daya, (ii) proses biologi harus dikontrol oleh sistem pertanian itu sendiri (bukan tergantung pada masukan yang berasal dari luar pertanian), dan (iii) daur hara dalam sistem pertanian harus lebih ditingkatkan dan bersifat lebih tertutup. Menurut beberapa pendapat para ilmuan, pertanian organik harus dapat berkelanjutan secara ekonomi. Keberlanjutan ekonomi adalah pembangunan yang mampu mengendalikan barang dan jasa secara kontinu untuk memelihara keberlanjutan pemerintahan dan menghindari terjadinya keseimbangan sektoral yang dapat merusak produksi pertanian dan industri (Haris dalam Jaya 2004). Menurut Jaya (2004), keberlanjutan ekonomi dari perspektif pembangunan memiliki dua hal utama yang antara keduanya mempunyai keterkaitan yang erat dengan tujuan aspek keberlanjutan lainnya. Menurut Ho dan Ching dalam Widiarta (2010), pertanian organik menjamin keberlanjutan ekonomi yang terlihat dari: 1. Produksi yang lebih efisien dan menguntungkan dihasilkan dari pertanian organik melalui peningkatan produktivitas, biaya rendah namun keuntungan tinggi. 2. Pertanian organik dapat meningkatkan ketahanan pangan dan keuntungan bagi masyarakat lokal selain baik juga untuk kesehatan. Penerapan pertanian organik dapat memberikan sejumlah keuntungan di bidang ekonomi berupa semakin meningkatnya pendapatan petani, terciptanya lapangan kerja baru di pedesaan, serta meningkatnya daya saing dan nilai tambah produk agribisnis secara berkelanjutan. Pernyataan tersebut didukung oleh pernyataan Sutanto (2002) yang menyatakan bahwa dari segi ekonom, pertanian organik akan lebih menghemat devisa negara untuk mengimpor pupuk, bahan kimia pertanian, serta memberi banyak kesempatan lapangan kerja dan meningkatan pendapatan petani. Konsep Pertanian Organik Istilah pertanian organik dalam bahasa Indonesia merupakan terjemahan langsung dari istilah organic agriculture dan organic farming yang ditemui dalam literatur-literatur berbahasa Inggris (Saragih 2008). Istilah pertanian organik menyebabkan petani dan konsumen untuk menghindarkan bahan kimia dan pupuk yang meracuni lingkungan dengan tujuan untuk memperoleh kondisi lingkungan yang sehat. Mereka juga berusaha untuk menghasilkan produksi tanaman yang berkelanjutan dengan cara memperbaiki kesuburan tanah menggunakan sumber daya alami seperti mendaur-ulang limbah pertanian (Sutanto 2002). Pertanian organik adalah salah satu sistem pertanian yang ramah lingkungan. Pertanian organik merupakan pertanian yang berwawasan lingkungan karena dalam pengolahannya menggunakan bahan organik yang akan menunjang dan menjaga
7
kesuburan tanah, serta mengembalikan kerusakan tanah akibat pertanian anorganik. Menurut Codex4 dalam Saragih (2008) pertanian organik adalah kegiatan pertanian yang mengupayakan penggunaan asupan luar yang minimal dan menghindari penggunaan pestisida dan pupuk sintetik. Pertanian organik merupakan pertanian yang berwawasan lingkungan karena dalam pengolahannya menggunakan bahan organik yang akan menunjang dan menjaga kesuburan tanah, serta mengembalikan kerusakan tanah akibat pertanian anorganik. Menurut IFOAM dalam Susilo (2005), tujuan yang hendak dicapai dengan penggunaan sistem pertanian organik adalah sebagai berikut: (1) menghasilkan bahan pangan dengan kualitas nutrisi tinggi serta dalam jumlah cukup, (2) melaksanakan interaksi efektif dengan sistem dan daur alamiah yang mendukung semua kehidupan yang ada, (3) mendorong dan meningkatkan daur ulang dalam sistem usaha tani dengan mengaktifkan kehidupan jasad renik, flora dan fauna, tanah, tanaman, serta hewan, (4) memelihara serta meningkatkan kesuburan tanah secara berkelanjutan, (5) menggunakan sebanyak mungkin sumber-sumber terbarui yang berasal dari sistem usaha tani itu sendiri, (6) memanfaatkan bahanbahan yang mudah didaur ulang baik di dalam maupun di luar usaha tani, (7) menciptakan keadaan yang memungkinkan ternak hidup sesuai dengan perilakunya yang hakiki, (8) membatasi terjadinya semua bentuk pencemaran lingkungan yang mungkin dihasilkan oleh kegiatan pertanian, (9) mempertahankan keanekaragaman hayati termasuk pelaksanaan habitat tanaman dan hewan, (10) memberikan jaminan yang semakin baik bagi para produsen pertanian (terutama petani) dengan kehidupan yang lebih sesuai dengan hak asasi manusia untuk memenuhi kebutuhan dasar serta memperoleh penghasilan dan kepuasan kerja, termasuk lingkungan kerja yang aman dan sehat. Menurut Saragih (2008), di Indonesia, yang disebut dengan produk pertanian organik ditetapkan dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) Pertanian Organik yang disahkan oleh Badan Standarisasi Nasional melalui BSN SNI 01-6729-2002 yang bersumber pada kesepakatan antarnegara yang tertuang dalam Codex Alimentariu Guidelines for the Production, Processing, Labelling, and Marketing of Organically Produced Foods. Prinsip-Prinsip Pertanian Organik Pertanian organik mengasilkan produk pertanian yang menerapkan prinsipprinsip ekologi terbebas dari pemakaian bahan-bahan kimia berbahaya mulai dari pembenihan, penanaman, perawatan, panen, dan pasca panen. Menurut International Federation of Organic Agriculture Movements (IFOAM), pertanian organik memiliki empat prinsip yang disusun untuk mengilhami tindakan dalam mewujudkan visi pertanian organik menjadi nyata. Prinsip-prinsip tersebut, yaitu: 1. Prinsip kesehatan Pertanian organik harus melestarikan dan meningkatkan kesehatan tanah, tanaman, manusia hewan, dan planet sebagai satu dan tak terpisahkan. Prinsip ini menunjukkan bahwa kesehatan tiap individu dan komunitas tak dapat dipisahkan dari kesehatan ekosistem - tanah yang sehat akan menghasilkan tanaman sehat yang mendukung kesehatan hewan dan manusia. Peran 4
Codex Alimentarius Guidelines adalah guideline yang dibuat oleh dua badan di bawah Perserikatan Bangsa Bangsa yaitu WHO (World Health Organization) dan FAO (Food and Agriculture Organization).
8
2.
3.
4.
pertanian organik baik dalam produksi, pengolahan, distribusi, atau konsumsi, adalah untuk mempertahankan dan meningkatkan kesehatan ekosistem dan organisme, dari yang terkecil dalam tanah untuk manusia. Dengan demikian, maka pertanian organik harus bebas dari pupuk, pestisida, obat-obatan dan zat-zat lain yang dapat berbahaya bagi kesehatan. Prinsip ekologi Pertanian organik harus didasarkan pada sistem dan siklus kehidupan ekologi, bekerja sama dengan kondisi tersebut, dan berusaha membantu kondisi tersebut berkelanjutan. Pertanian organik, peternakan, dan sistem panen harus berdasarkan pada siklus dan keseimbangan ekologi di alam. Pengelolaan pertanian organik harus diadaptasikan pada keadaan lokal, ekologi, budaya, dan skala. Input harus dikurangi dengan daur ulang, dan pengelolaan material serta energi yang efisien sebagai upaya memelihara dan meningkatkan kualitas lingkungan dan melestarikan sumber daya alam. Pertanian organik harus mencapai keseimbangan ekologis, baik dalam bentuk sistem pertanian, pembentukan habitat, serta pemeliharaan keragaman genetik. Prinsip keadilan Pertanian organik harus mampu membangun hubungan yang menjamin keadilan pada lingkungan dan kesempatan hidup bersama. Keadilan ditandai dengan adanya kesetaraan, saling menghargai, keadilan, dan kesediaan untuk hidup bersama, baik sesama manusia dan dan hubungan manusia tersebut dengan makhluk hidup lain. Prinsip ini menekankan bahwa mereka yang terlibat dalam pertanian organik harus membangun hubungan antar manusia dengan saling menjamin adanya keadilan pada semua tingkatan dan semua pihak, termasuk petani, pekerja, pengolah, pedagang, distributor, serta konsumen. Pertanian organik harus melibatkan semua orang dengan kualitas hidup yang lebih baik dan berkontribusi pada ketahanan pangan dan mengurangi kemiskinan. Sumber daya alam dan lingkungan yang digunakan untuk produksi dan konsumsi harus dikelola secara sosialis dan ekologis adil dan dipastikan untuk generasi berikutnya. Keadilan memerlukan sistem produksi, distribusi dan perdagangan yang terbuka, adil serta dapat memperhitungkan biaya lingkungan dan biaya sosial. Prinsip perawatan Pertanian organik harus dikelola secara hati-hati dan bertanggung jawab untuk melindungi kesehatan dan kesejahteraan generasi sekarang dan mendatang serta lingkungan hidup. Dalam pertanian organik, ilmu dibutuhkan untuk menjamin kesehatan,keamanan, dan keberlangsungan ekologi. Pertanian organik harus mampu mencegah terjadinya resiko yang signifikan dengan mengadopsi teknologi tepat guna dan menolak yang tak terduga, seperti rekayasa genetika. Pengambilan keputusan harus mencerminkan nilai-nilai dan kebutuhan dari semua aspek yang mungkin dapat terkena dampaknya, melalui proses yang transparan dan partisipatif.
9
Peluang Pertanian Organik Menurut Sutanto (2002) ada tiga peluang pertanian organik yang dapat diterapkan dengan memperhatikan kondisi lokasi yang spesifik, yakni sebagai berikut: a. Pertanian organik murni – Penggunaan pupuk organik, pupuk hayati dan pestisida hayati (biopesticide) ditingkatkan dan menghindarkan pupuk kimia dan pestisida/bahan kimia pertanian. b. Sistem usaha tani “revolusi hijau terpadu – Masukan teknologi tinggi dimasukkan ke dalam pengelolaan gizi/nutrisi tanaman terpadu (PNT) dan pengendalian hama terpadu (PHT). Pupuk hayati diterapkan untuk memasok kebutuhan hara nitrogen sampai aras tertentu. c. Sistem usaha tani terpadu – Masukan teknologi rendah dengan sistem pertanian organik dan sumber daya lokal didaur-ulang secara efektif. Hal ini dapat dipadukan dengan komponen lain yang berkembang spesifik lokasi, termasuk: kolam ikan, peternakan ayam, sapi, babi, limbah jamur merang, dll. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerapan Pertanian Organik Pada saat ini, pandangan pengembangan pertanian organik sebagai salah satu teknologi alternatif untuk menanggulangi persoalan lingkungan sangat diperlukan. Di negara yang sudah maju dan sangat memerhatikan masalah lingkungan, adanya residu kimia dalam bahan pangan yang berasal dari pupuk kimia dan pestisida sintetik mendapatkan perhatian yang serius, sedang situasi di Indonesia sangat berbeda sama sekali (Sutanto 2002). Menurut Salikin (2003), terdapat beberapa indikator pertanian berkelanjutan untuk ekosistem dataran rendah (low land) pada level usaha tani, diantaranya yaitu indikator biofisik dan indikator sosial ekonomi. Indikator biofisik terdiri dari kualitas tanah, keanekaragaman (spesies/varietas), dan penggunaan input eksternal dan internal. Sedangkan indikator sosial ekonomi terdiri dari diversifikasi sumber pendapatan, sistem panen, praktek manajemen, status kepemilikan/penguasaan lahan, ketahanan pangan, nilai-nilai dan praktik tradisional, indikator sosial (pendidikan, kesehatan, tempat tinggal, dan fasilitas-fasilitas), keanggotaan dalam organisasi, dan dukungan pelayanan. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, didapatkan beberapa faktor yang berhubungan dengan penerapan pertanian organik. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Susati et al. (2008) yang dilakukan terhadap petani responden di Desa Sukorejo Kecamatan Sambirejo Kabupaten Sragen diketahui bahwa terdapat hubungan antara faktor-faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan petani dengan pengambilan keputusan petani dalam penerapan pertanian padi organik. Dari penelitian tersebut didapatkan hasil adanya hubungan signifikan antara keputusan petani dengan pendidikan petani, lingkungan sosial, dan lingkungan ekonomi. Selain itu, hasil penelitian Putri (2011) dijelaskan bahwa terdapat hubungan antara luas lahan yang dikelola petani, tingkat keberanian mengambil resiko, tingkat keterbukaan/keinovatifan, keterdedahan terhadap sumber informasi, dan kekosmopolitan terhadap persepsinya tentang karakteristik inovasi pertanian padi organik. Selain itu, hasil penelitian Rukka et al. (2006) didapatkan bahwa faktor internal pada petani dapat berpengaruh pada respon petani terhadap penggunaan pupuk organik pada padi sawah. Faktor internal tersebut berupa motivasi petani, pengalaman berusahatani, dan luas lahan garapan.
10
Berdasarkan penelitian Widiarta (2011) keberlanjutan praktik pertanian organik di kalangan petani masih rendah. Meskipun demikian, hasil penelitiannya menunjukkan bahwa petani yang berpendidikan lebih tinggi dibandingkan petani lainnya, cenderung lebih mudah mengadopsi suatu inovasi seperi praktik pertanian organik. Begitu juga dengan kepemilikan lahan dan kepemilikan hewan ternak. Petani yang memiliki lahan dan hewan ternak sendiri dapat mempengaruhi tingkat adopsi petani terhadap pertanian organik. Padahal, pada hasil penelitian Suwantoro (2008) disebutkan bahwa pertanian organik memerlukan partisipasi penuh dari seluruh pihak. Hasil penelitian lain yang didapatkan oleh Widiarta (2011) yaitu masih banyak petani yang belum mengadopsi praktik pertanian organik. Beberapa alasan yang menyebabkan masih sedikitnya petani yang menerapkan pertanian organik adalah sebagai berikut: 1. Pola pikir petani yang masih pragmatis dan menganggap praktik pertanian organik lebih sulit daripada praktik pertanian konvensional, 2. Rendahnya kesadaran petani terhadap kelestarian lingkungan, 3. Petani tidak puas jika hanya menggunakan pupuk organik karena warna hijau daun tanaman padi kurang terlihat, 4. Praktik pertanian organik tidak menjamin bebas hama, 5. Penggunaan pupuk organik lebih sulit daripada pupuk kimia sintetik, 6. Sebagian petani tidak memiliki pasokan pupuk kandang, banyak petani di Desa Ketapang yang berstatus sebagai buruh tani sehingga mereka harus mengejar target hasil panen dari petani pemilik lahan, 7. Sumber air irigasi yang bersih jauh dari lahan pertanian, 8. Hasil panen pertanian organik jumlahnya lebih sedikit dan kurang memuaskan pada masa awal bertani organik. Sutanto (2002) juga turut menyatakan bahwa sampai saat ini masih berkembang pemahaman yang keliru tentang pertanian organik, yaitu: 1) biaya mahal, 2) memerlukan banyak tenaga kerja, 3) kembali pada sistem pertanian tradisional, 4) produksi rendah. Selain itu, untuk menerapkan pertanian organik juga terdapat beberapa kendala, yaitu: a) ketersediaan bahan organik terbatas dan takarannya harus banyak, b) transportasi mahal karena bahan bersifat ruah, c) menghadapi persaingan dengan kepentingan lain dalam memperoleh sisa pertanaman dan limbah organik, d) tidak adanya bonus harga produk pertanian organik. Konsep Respons Menurut Scheerer dalam Sarwono (2003), respons (balas) adalah proses pengorganisasian rangsang. Rangsang proksimal diorganisasikan sedemikian rupa sehingga terjadi representasi fenomenal dari rangsang proksimal itu. Proses inilah yang disebut respons. Menurut Hunt (1962) dalam Sarwono (2003), orang dewasa mempunyai sejumlah besar unit untuk memproses informasi. Unit-unit ini dibuat khusus untuk menangani representasi fenomenal dari keadaan di luar yang ada dalam diri seorang individu (internal environment). Lingkungan internal ini dapat digunakan untuk memperkirakan peristiwa-peristiwa yang terjadi di luar. Proses yang berlangsung secara rutin inilah yang dinamakan respons.
11
Wilis dalam Sarwono (2003) mengemukakan 4 modus dari respon sosial, yaitu: 1. Konformitas: perilaku konformitas yang murni adalah usaha terus-menerus dari individu untuk selalu selaras dengan norma-norma yang diharapkan oleh kelompok. Kalau persepsi individu tentang norma-norma kelompok (standar sosial) berubah, maka ia akan mengubah pula tingkah lakunya. 2. Ketidaktergantungan (independence): perilaku tidak tergantung murni adalah perilaku yang memberi nilai nol pada norma yang berlaku. Ini bukannya berarti bahwa individu sama sekali mengabaikan norma-norma, individu tetap tahu bahwa ada norma-norma (standar sosial), tetapi ia tidak membiarkan responsnya dipengaruhi oleh standar sosial tersebut. 3. Anti konformitas (anticonformity): perilaku anti konformitas murni adalah perilaku yang merupakan respons (balasan, tanggapan) terhadap norma tersebut, akan tetapi yang arahnya justru berlawanan dengan norma. Dengan perkataan lain, seorang anti konformis justru memilih perilaku-perilaku yang menurut standar sosial dinilai “tidak benar”. 4. Variabilitas (variability): variabilitas yang murni adalah perilaku yang berubah-ubah tidak membantu dan tidak berkaitan dengan norma-norma yang diprersepsikan individu. Jadinya, gerak di sini tidak ditentukan oleh standar sosial dan standar sosial tidak diberi nilai apapun oleh individu. Orang yang respons sosialnya tergolong variabilitas murni dapat disebut juga self anticonformity (tidak konform terhadap diri sendiri), karena perilakunya sama sekali tidak sesuai dengan perilaku awalnya sendiri. Kerangka Pemikiran Adanya revolusi hijau terutama bentuknya dalam menerapkan pertanian konvensional mendorong petani untuk menerapkan pertanian yang menggunakan bahan-bahan kimia, seperti pupuk kimia dan pestisida kimia. Penggunaan bahan kimia tersebut dinilai oleh para ilmuan akan membawa dampak buruk bagi lingkungan maupun kesehatan manusia. Hal ini kemudian mengawali pergerakan pertanian organik yang dilakukan oleh sekelompok individu yang peduli akan keadaan lingkungan. Pertanian organik dinilai dapat menjadi alternatif pertanian ramah lingkungan yang tidak menggunakan bahan-bahan kimia. Pertanian organik adalah kegiatan pertanian yang mengupayakan penggunaan asupan luar yang minimal dan menghindari penggunaan pestisida dan pupuk sintetik. Pertanian organik diidentifikasikan akan menimbulkan respon berupa tingkat pemahaman, dan penerapan yang dipengaruhi oleh karakteristik petani. Dalam hal ini, respon yang tinggi seiring dengan semakin tingginya minat masyarakat untuk mengkonsumsi makanan yang bebas dari bahan berbahaya. Tingginya respon tersebut dapat berpengaruh pada kondisi ekonomi, yaitu pada tingkat pendapatan. Dari perbedaan respon yang diberikan oleh setiap petani maka dapat dilihat adanya kontradiksi masih sedikitnya petani yang menerapkan pertanian organik. Secara sederhana, kerangka pemikiran dapat digambarkan sebagai berikut.
12
Karakteristik Petani 1. Tingkat pendidikan formal 2. Tingkat pengalaman bertani 3. Tingkat keberanian mengambil resiko 4. Tingkat jejaring yang dimiliki petani 5. Tingkat kepemilikan alat produksi
Respon petani pada pertanian organik 1. Tingkat pemahaman 2. Tingkat penerapan
Kondisi Ekonomi 1. Tingkat Pendapatan 2. Akses Pasar
Keterangan: : berhubungan Gambar 1 Kerangka pemikiran
Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah dibuat, maka hipotesis dari penelitian ini adalah (1) Diduga terdapat hubungan antara karakteristik petani (tingkat pendidikan formal, tingkat pengalaman bertani, tingkat keberanian mengambil resiko, tingkat jejaring yang dimiliki petani, dan tingkat kepemilikan alat produksi) dengan tingkat respon petani pada pertanian organik. (2) Diduga terdapat hubungan antara respon petani pada pertanian organik dengan tingkat pendapatan. Definisi Operasional (1) Tingkat pendidikan formal adalah jenjang terakhir sekolah formal yang pernah diikuti oleh responden. Pengukuran ini dilakukan dengan menggunakan skala ordinal dan dikategorikan menjadi: a. Rendah (skor 1) : tidak lulus SD sampai dengan lulus SD/sederajat b. Tinggi (skor 2) : lulus SMP/sederajat sampai dengan lulus SMA/sederajat (2) Tingkat pengalaman bertani adalah lamanya responden dalam melakukan usahatani. Pengukuran dikategorikan menjadi: a. Rendah (skor 1) : tingkat pengalaman < 36 tahun b. Tinggi (skor 2) : tingkat pengalaman ≥ 36 tahun
13
(3) Tingkat keberanian mengambil resiko adalah keberanian petani dalam mengambil keputusan meskipun meskipun memiliki resiko dalam proses produksi pertanian organik. Indikator yang digunakan untuk mengukur tingkat keberanian mengambil resiko ini, yaitu: a. Resiko gagal panen yaitu petani tetap bertani organik meskipun hasil panen pada awal penerapan pertanian turun drastis/gagal panen. b. Resiko penyesuaian terhadap hal baru yaitu petani tetap bertani organik meskipun memiliki cara yang sangat berbeda dengan sistem pertanian yang telah sejak dahulu Bapak/Ibu terapkan. c. Resiko penggunaan waktu yaitu petani tetap bertani organik meskipun menggunakan pupuk kompos yang dibuat sendiri. d. Resiko kesehatan yaitu petani mau membuat pupuk kompos menggunakan kotoran hewan yang memiliki bau menyengat. Pengukuran variabel ini meliputi jawaban “ya” (2) dan “tidak” (1) dan dikategorikan menjadi: 1. Rendah (skor 1) : akumulasi nilai 4-6 2. Tinggi (skor 2) : akumulasi nilai 7-10 (4) Tingkat jejaring yang dimiliki petani adalah interaksi petani dengan petani lain maupun dengan penyuluh pertanian. Indikator yang digunakan untuk mengukur tingkat jejaring, yaitu: a. Rekan sesama petani satu kelompok tani b. Rekan sesama petani beda desa c. Penyuluh pertanian tingkat kecamatan/kabupaten di dalam wilayah Yogyakarta d. Penyuluh pertanian tingkat kecamatan/kabupaten di luar wilayah Yogyakarta. Petani boleh memilih lebih dari 1 berdasarkan jejaring yang dimiliki. Selanjutnya akan dikategorikan menjadi: 1. Rendah (skor 1) : akumulasi nilai 1-2 2. Tinggi (skor 2) : akumulasi nilai 3-4 (5) Tingkat kepemilikan alat produksi adalah jenis alat produksi yang dimiliki oleh petani yang dilihat dari indikator kepemilikan sawah dan hewan ternak. Petani boleh memilih lebih dari 1 jika memang memilikinya. Selanjutnya apabila petani hanya memilih 1, maka akan diberikan skor 1 dan apabila petani memilih kedua-duanya, maka akan diberikan skor 2. (6) Tingkat respon petani pada pertanian organik adalah perubahan tingkah laku sebagai akibat dari adanya pertanian organik. Tingkat respon petani dilihat dari dua indikator, yaitu tingkat pemahaman dan tingkat penerapan. Tingkat respon petani pada pertanian organik diberikan 14 pernyataan yang meliputi 6 pernyataan terkait tingkat pemahaman dan 8 pernyataan terkait tingkat penerapan. Tingkat respon petani akan dikategorikan menjadi: i. Rendah (skor 1) : jika total nilai 14-20 ii. Tinggi (skor 2) : jika total nilai 21-28
14
Adapun sub variabel dari tingkat respon petani adalah a. Tingkat pemahaman adalah seberapa besar petani memahami pertanian organik yang dengan memberikan 6 pernyataan terkait tingkat pemahaman. Pengukuran variabel ini meliputi jawaban “ya” (2) dan “tidak” (1). Pengukuran ini dilakukan menggunakan skala ordinal dan dikategorikan menjadi: 1. Rendah (skor 1) : jika total nilai 6-8 2. Tinggi (skor 2) : jika total nilai 9-12 b. Tingkat penerapan adalah seberapa besar petani menerapkan pertanian organik sebagai sistem pertaniannya dengan memberikan 8 pernyataan terkait tingkat penerapan. Pengukuran variabel ini meliputi jawaban “ya” (2) dan “tidak” (1). Pengukuran ini dilakukan menggunakan skala ordinal dan dikategorikan menjadi: 1. Rendah (skor 1) : jika total nilai 8-11 2. Tinggi (skor 2) : jika total nilai 12-16 (7) Tingkat pendapatan adalah ukuran taraf hidup yang dilihat dari jumlah penghasilan petani dari mata pencahariannya sebagai petani yang dilihat dari penghasilan hasil panen terakhir dikurangi dengan biaya-biaya produksi. Tingkat pendapatan dikategorikan menjadi dua kategori berdasarkan sebaran data sesuai data lapang. Pengukuran ini dikategorikan menjadi: a. Rendah (skor 1) : pendapatan < Rp2 714 617 b. Tinggi (skor 2) : pendapatan ≥ Rp2 714 617 (8) Akses pasar yaitu potensi atau peluang petani dalam memasarkan atau menjual produk pertaniannya kepada konsumen melalui berbagai macam saluran distribusi berdasarkan permintaan konsumen. Akses pasar diukur dari tempat menjual hasil produksi saat ini dan potensi menjual hasil panen di tempat lain. Adapun indikator yang digunakan yaitu: i. Terdapat tempat langganan menjual hasil panen. ii. Ada potensi menjual hasil panen di tempat lain. Pengukuran indikator ini meliputi jawaban “ya” (2) dan “tidak” (1) dan dikategorikan menjadi 1. Rendah (skor 1) : jika total nilai 2 2. Tinggi (skor 2) : jika total nilai 3-4
15
METODE PENELITIAN Pendekatan Penelitian Pendekatan kuantitatif yang didukung oleh data kualitatif. Hal ini dilakukan sebagai upaya memperkaya data dan lebih memahami fenomena sosial yang diteliti dengan menambahkan informasi kualitatif pada data kuantitatif. Pendekatan kuantitatif yang digunakan adalah penelitian eksperimental, yaitu dengan melakukan uji hipotesa untuk mengetahui hubungan sebab akibat variabel penelitian. Penelitian eksperimental ini dilakukan dengan menggunakan kuesioner dan mewawancarai sampel penelitian dari populasi yang didalamnya terdapat dua kelompok berbeda (kelompok pembanding). Pendekatan kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode studi kasus yang bersifat deskriptif untuk sejauh mana berimbasnya pertanian organik pada petani konvensional. Data kualitatif diperoleh melalui wawancara mendalam dan pengamatan langsung di lokasi penelitian untuk menggali informasi lebih dalam dari pihak informan. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di kelompok tani Madya, Desa Kebonagung, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta pada Bulan April-Mei 2013. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan yaitu kelompok tani Madya merupakan pelaku usaha penerap jaminan mutu tanaman pangan yang bergerak pada budidaya tanaman padi yang menghasilkan beras organik. Informasi ini didapatkan dari Profil Penerima Penghargaan Ketahanan Pangan Bidang Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Tahun 2010 yang dibuat oleh Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Kementerian Pertanian Republik Indonesia. Penerapan pertanian organik sudah berlangsung sejak tahun 2008 dan telah bersertifikat oleh lembaga sertifikasi Persada. Penyusunan proposal dilakukan pada bulan Februari April 2013. Pengumpulan data primer dan data sekunder dilakukan pada bulan April - Mei 2013. Kegiatan penelitian meliputi penyusunan proposal penelitian, kolokium, revisi proposal, pengumpulan data, pengolahan data dan analisis data, penulisan draft skripsi, sidang skripsi, dan perbaikan skripsi. Jadwal Pelaksanaan Penelitian dapat dilihat pada Lampiran 1.
Penentuan Responden dan Informan Penelitian Unit analisis penelitian ini adalah individu. Terdapat dua subyek dalam penelitian ini, yaitu responden dan informan. Responden penelitian ini adalah petani organik yang telah melaksanakan praktik pertanian organik dengan budidaya padi sawah dan petani konvensional sebagai responden kontrol yang tergabung dalam kelompok tani yang sama dengan petani organik. Jumlah populasi petani di Kelompok Tani Madya (populasi sampling) sebanyak 119 orang. Populasi sampling tersebut terdiri dari dua sub populasi (strata), yaitu 46 orang petani organik dan 73 orang petani konvensional (Lampiran 4). Penelitian
16
ini menggunakan metode eksperimental yang membutuhkan sampel dari populasi yaitu dua kelompok responden penelitian yang terdiri dari kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Responden diambil secara acak distratifikasi (stratified random sampling) karena populasi tidak homogen yaitu terdiri dari dua sub populasi petani organik dan petani konvensional. Responden dari masing-masing sub populasi tersebut selanjutnya dipilih secara acak melalui teknik acak sederhana (simple random sampling) menggunakan bantuan program Microsoft Excel 2010. Rincian mengenai jumlah populasi dan sampel penelitian dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Jumlah Populasi dan Responden Penelitian Kelompok Tani Madya* Populasi Total* Responden (orang) Petani Organik 46 30 Petani Konvensional 73 30 Total 119 60 * Sumber: Data Kelompok Tani Madya Sebanyak 30 orang petani organik dan 30 orang petani konvensional dijadikan sampel responden dengan asumsi responden tersebut dapat menghasilkan gambaran yang dapat dipercaya dari seluruh populasi yang diteliti, dapat menentukan presisi dari hasil penelitian dengan menentukan penyimpangan baku (standar) yang diperoleh, sederhana dan mudah dilaksanakan, serta dapat memberikan keterangan sebanyak mungkin dengan biaya serendah-rendahnya (Teken dalam Singarimbun dan Effendi 1989). Pemilihan informan dilakukan secara purposive dengan teknik bola salju (snowball technique). Teknik bola salju adalah penentuan informan dari satu informan ke informan lainnya yang dilakukan pada saat penelitian dilaksanakan hingga dicapai jumlah informan yang dianggap dapat merepresentasikan berbagai informasi yang dibutuhkan. Informan dalam penelitian ini adalah orang yang memahami maupun telah turut serta dalam pengembangan pertanian organik di Desa Kebonagung, khususnya kelompok tani Madya. Dengan menggunakan teknik bola salju, maka didapatkan 3 tokoh yang memahami pertanian organik yaitu Ngj, Sdy, Mrg. Informan ini diperlukan sebagai pemberi informasi atau data tambahan terkait dengan penelitian yang tidak dapat diperoleh melalui kuesioner.
Teknik Pengolahan dan Analisis Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer berupa data kuantitatif dan kualitatif yang diperoleh dari hasil wawancara melalui kuesioner yang ditujukan kepada responden serta melalui wawancara mendalam terhadap informan. Data sekunder sebagai data pendukung diperoleh melalui studi literatur, informasi dari internet, dokumen yang berhubungan dengan pertanian organik, data potensi desa, serta berbagai dokumen dan pustaka lainnya yang dapat menunjang penelitian. Data kuantitatif yang diperoleh dari kuesioner diolah dengan menggunakan bantuan perangkat lunak Microsoft Excel 2010. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan teknik tabel frekuensi dan tabulasi silang. Analisa tabulasi
17
silang atau teknik elaborasi adalah metode analisa yang paling sederhana tetapi memiliki daya menerangkan cukup kuat untuk menjelaskan hubungan antarvariabel (Singarimbun dan Effendi 1989). Selain analisis data kuantitatif, dilakukan pula analisis data secara kualitatif sebagai pendukung hasil penelitian dengan mengutip hasil wawancara mendalam dengan responden atau informan dan disampaikan secara deskriptif guna mempertajam hasil penelitian. Hasil analisis data kuantitatif dan kualitatif kemudian disinergikan sehingga dapat saling melengkapi kebutuhan penelitian. Penyimpulan hasil penelitian dilakukan dengan mengambil hasil analisis antar variabel yang konsisten.
Keterbatasan Studi Hal yang patut dikritisi dalam penelitian ini yaitu pada bagian metode penelitian. Pada awalnya peneliti ingin melihat sejauhmana perbedaan petani organik dan petani konvensional. Kesalahan terletak pada penentuan responden. Seharusnya penulis tidak terpaku pada teori Singarimbun dan Effendi (1989) yang menyatakan bahwa dalam menentukan besarnya sampel dalam suatu penelitian harus mempertimbangkan derajat keseragaman (degree of homogenity) dari populasi. Pada dasarnya peneliti ingin melihat perbedaan penerapan yang dilakukan oleh petani organik dan petani konvensional pada pertanian organik. Peneliti merasa bahwa menganalisis dalam satu kelompok saja sudah cukup. Namun ternyata karena adanya keseragaman dalam kelompok tersebut, salah satunya yaitu jejaring petani dalam memperoleh informasi mengenai pertanian organik maka berdampak pada pemahaman petani yang sama-sama tinggi namun penerapannya berbeda. Seharusnya peneliti mengambil responden yang berbeda desa atau yang jejaring yang dimiliki dalam memperoleh informasi mengenai pertanian organik beragam. Keseragaman data yang diperoleh tersebut diduga karena keterbatasan bahasa yang dimiliki penulis. Penulis hanya menggunakan Bahasa Indonesia selama proses penelitian ini berlangsung. Padahal petani di kelompok tani Madya tersebut mayoritas adalah petani yang sehari-harinya menggunakan Bahasa Jawa. Selain itu, kesalahan lain diduga karena kurang tepatnya waktu yang digunakan penulis dalam melakukan wawancara pada responden.
18
19
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Bab ini memaparkan tentang gambaran umum lokasi penelitian yang terbagi kedalam beberapa sub bab. Sub bab pertama merupakan profil desa Kebonagung yang terbagi menjadi beberapa sub-sub bab yang memaparkan tentang kondisi geografis dan keadaan sosial ekonomi desa. Sub bab kedua berupa profil kelompok tani Madya, dan sub bab ketiga berupa karakteristik responden penelitian yang terdiri dari tingkat pendidikan formal, lamanya bertani, tingkat keberanian mengambil resiko, tingkat jejaring, dan kepemilikan alat produksi.
Profil Desa Kebonagung Pemerintah dan Kependudukan Desa Kebonagung Desa Kebonagung merupakan salah satu dari 8 (delapan) desa yang terdapat di Kecamatan Imogiri Kabupaten Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta dengan luas wilayah 183,1105 Ha. Desa Kebonagung memiliki lima dukuh (Dukuh Jayan, Dukuh Kalangan, Dukuh Kanten, Dukuh Mandingan, dan Dukuh Tlogo) dan 23 rukun tetangga. Desa Kebonagung berada di dataran rendah pada ketinggian 100 meter di atas permukaan laut (dpl). Letak Desa Kebonagung yang berada pada dataran rendah membuat suhu harian di desa ini antara 23ºC sampai dengan 26ºC. Batas-batas wilayah Desa Kebonagung adalah sebagai berikut: Sebelah utara berbatasan dengan Desa Karangtalun 1. 2. Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Sriharjo 3. Sebelah barat berbatasan dengan Desa Canden 4. Sebelah timur berbatasan dengan Desa Karang Tengah Berdasarkan data profil desa 2011, jumlah penduduk Desa Kebonagung adalah 3 456 orang dan jumlah kepala keluarga yang tercatat sebanyak 1 364 kepala keluarga. Status kewarganegaraan seluruh penduduk Desa Kebonagung adalah Warga Negara Indonesia (WNI) dengan rincian berdasakan jenis kelamin yaitu 1 710 orang laki-laki dan 1 746 orang perempuan. Mayoritas penduduk Kebonagung merupakan penduduk asli Suku Jawa. Dari data profil Desa Kebonagung 2011 juga didapatkan informasi sumber penghasilan utama sebagian besar penduduk adalah pertanian dengan komoditas utama berupa padi. Jumlah keluarga pertanian di Desa Kebonagung sebanyak 300 keluarga dan terdapat keluarga yang anggota keluarganya menjadi buruh tani sebanyak 174 keluarga. Kepadatan penduduk di desa ini mencapai 1 920 jiwa/km2. Mata pencaharian masyarakat di Desa Kebonagung cukup beragam, namun sebagian besar penduduk bermatapencaharian sebagai petani dan buruh tani. Selain sektor pertanian, masyarakat Desa Kebonagung juga bekerja di bidang wiraswasta yang meliputi usaha warung, di bidang jasa, dan pertukangan. Hanya sedikit penduduk yang bekerja sebagai PNS seperti menjadi pemerintah desa dan guru.
20
Infrastruktur Desa Desa Kebonagung memiliki prasarana umum yang disediakan untuk mempermudah kehidupan sehari-hari penduduknya. Desa Kebonagung terdapat balai desa balai pertemuan, dan gardu jaga. Sarana pemerintahan desa terdiri dari balai desa, jalan desa, balai pertemuan, serta gardu jaga. Desa Kebonagung pada saat ini telah memiliki gedung pendidikan, yaitu gedung taman kanak-kanak (TK), gedung sekolah dasar (SD), gedung sekolah menengah pertama (SMP), serta pondok pesantren. Keadaan jalan di Desa Kebonagung sudah cukup baik dengan kondisi wilayah yang datar serta jalan yang sudah beraspal ataupun bersemen. Akses transportasi menuju desa ini juga sangat mudah karena dapat dilalui oleh bus, truk, kendaraan beroda empat, maupun kendaraan beroda dua. Namun, fasilitas kendaraan umum menuju Desa Kebonagung masih sangat terbatas jumlahnya dan hanya beroperasi pada jam-jam tertentu. Sehingga mayoritas penduduknya menggunakan ojek atau kendaraan pribadi, baik roda dua maupun roda empat. Penerangan di desa ini juga masih kurang baik. Pada malam hari, di desa terasa begitu gelap karena penerangan jalan yang ada hanya berasal dari lampu-lampu rumah warga, dan merupakan listrik nonpemerintah. Jarak dari Desa Kebonagung ke ibukota Kecamatan Imogiri sejauh 2 km dengan lama jarak tempuh dengan kendaraan bermotor adalah 5 menit. Jarak dari Desa Kebonagung ke ibukota kabupaten/kota adalah 8 km dengan lama jarak tempuh menggunakan kendaran bermotor adalah 15 menit. Sedangkan jarak dari Desa Kebonagung ke ibukota Provinsi DI Yogyakarta adalah 17 km dengan lama jarak tempuh menggunakan kendaraan bermotor adalah 40 menit. Sebagian besar luas wilayah desa digunakan untuk area persawahan, baik sawah bersertifikat organik maupun yang belum bersertifikat organik. Selain itu, tanah di Desa Kebonagung dimanfaatkan untuk pemukiman, fasilitas umum, lapangan olahraga, dan kuburan. Desa Kebonagung juga terdapat kandang ternak desa, yaitu lahan yang sengaja dimanfaatkan oleh penduduk setempat untuk dijadikan kandang hewan ternak mereka. Semua penduduk yang memiliki hewan ternak berupa sapi, kerbau, maupun kambing harus ”mengandangkan” hewan mereka di kandang tersebut. Langkah tersebut dilakukan sebagai upaya untuk menjaga kebersihan lingkungan. Secara topografi, wilayah Desa Kebonagung membujur dari arah utara ke selatan dengan kondisi kemiringan lahan merupakan lahan landai (kurang dari 15 derajat) sehingga cocok untuk kegiatan bercocok tanam. Di sebelah timur desa terdapat jalan provinsi yang berupa jalur wisata menuju Pantai Parangtritis dan Pantai Renehan Gunungkidul. Sedangkan di sebelah barat Desa Kebonagung kondisi wilayahnya datar dan dilalui Sungai Opak. Di barat desa tersebut juga terdapat Bendungan Tegal yang berfungsi untuk mengairi lahan pertanian dan sebagai objek wisata. Kondisi Ekonomi dan Pertanian Mata pencaharian masyarakat di Desa Kebonagung cukup beragam, yaitu sebagai petani maupun di sektor lainnya yang meliputi usaha warung, bekerja di bidang jasa, dan pertukangan, baik di dalam desa maupun di luar desa. Namun, sebagian besar penduduk bermatapencaharian sebagai petani sehingga setiap kepala keluarga memiliki lahan untuk diolah, baik lahan tersebut merupakan milik
21
pribadi, bagi hasil, sewa, maupun tanah milik pemerintah desa. Bagi yang tidak memiliki lahan dan tidak memiliki keahlian lain, biasanya mereka menjadi buruh tani di lahan-lahan milik tetangganya. Petani di Desa Kebonagung terdiri dari 712 orang. Sebanyak 46 orang petani di desa tersebut merupakan petani organik dan sisanya merupakan petani konvensional. Di desa Kebonagung terdapat 5 (lima) kelompok tani yaitu kelompok tani Sasona Catur, kelompok tani Karya, kelompok tani Nguyobogo, kelompok tani Madya, dan kelompok tani Pantiwicoro. Kelompok tani tersebut dibuat atas kesadaran para petani sendiri, dan ketua kelompok tani dipilih secara musyawarah. Menurut penuturan Mrg (45 tahun), secara umum hampir seluruh petani di desa ini telah mendapatkan informasi mengenai Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) dan pertanian organik, namun masih sedikit petani yang mencoba untuk menerapkan dan memiliki lahan bersertifikat organik. Siklus tanam di Desa Kebonagung cukup beragam, tergantung kebijakan yang dibuat oleh masing-masing kelompok. Mayoritas petani di Desa Kebonagung merupakan petani gurem sehingga hasil dari pertanian mereka hanya cukup untuk konsumsi pribadi. Tetapi terdapat pula beberapa petani yang menjual hasil panen mereka, baik kepada penggilingan gabah yang berada di jalan utama desa maupun kepada penangkar benih. Kondisi Sosial Budaya Sejak tahun 2006, Desa Kebonagung telah ditetapkan menjadi desa wisata pendidikan pertanian berdasarkan SK Bupati Bantul No 359 Tahun 2006 tentang Kepengurusan POKDARWIS Desa Kebonagung Kecamatan Imogiri Kabupaten Bantul. Desa ini juga terdapat Museum Tani Jawa Indonesia yang didirikan dengan tujuan agar generasi muda dapat mewarisi budaya bertani dan dapat menghargai perjuangan petani, mengingat semakin rendahnya minat para pemudapemudi Indonesia dalam melestarikan pertanian seiring dengan perkembangan teknologi (Anonim 2011). Selain itu, di Desa Kebonagung juga terdapat rumah adat Jawa yaitu rumah Joglo dan Limasan.
Profil Kelompok Tani Madya Kelompok tani Madya merupakan salah satu organisasi petani yang terdapat di Desa Kebonagung. Kelompok ini bergerak di bidang budidaya tanaman padi dan telah diresmikan oleh Kepala Desa Kebonagung pada 6 Agustus 1981. Ketua kelompok tani Madya pertama adalah seorang kepala dukuh yang bernama Pramogo Suharjo dengan jumlah anggota awal sebanyak 63 orang. Saat ini, kelompok tani Madya diketuai Ngatidjo yang dipilih berdasarkan hasil musyawarah dan kelompok tani ini memiliki anggota sebanyak 119 dengan komposisi 46 orang petani organik dan 73 orang petani konvensional. Kelompok tani Madya telah mendapatkan beberapa prestasi dalam bidang pertanian, yaitu penghargaan dari Direktorat Jenderal Pengelolaan dan Pemasaran Hasil Pertanian sebagai pemenang penghargaan ketahanan pangan bidang pengolahan dan pemasaran hasil pertanian dan juga penghargaan ketahanan pangan dari Menteri Pertanian RI atas prestasi dalam mendorong dan mewujudkan pemantapan ketahanan pangan melalui padi organik (Anonim 2011).
22
Sejak tahun 2006, kelompok tani Madya memang sudah menetapkan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT). PTT adalah suatu pendekatan dalam budidaya padi yang menekankan pada pengelolaan, tanama, lahan, air, dan organisme pengganggu tanaman (OPT) secara terpadu. Pengelolaan yang diterapkan tersebut mempertimbangkan hubungan sinergis dan komplementer antar komponen. Selain PTT, kelompok tani Madya juga bergerak di bidang budidaya tanaman padi organik. Dalam melaksanakan usaha produksi beras, kelompok ini mengacu pada SNI 19-9001-2001 Sistem Manajemen Mutu Persyaratan tahun 2001, Badan Standarisasi Nasional (BSN) serta Keputusan Menteri Pertanian Nomor 170/Pelaku Usaha/OT.210/3/2007 tentang Pelaksanaan Standarisasi Nasional dibidang pertanian, Standar Nasional Indonesia (SNI) 016729-2002 untuk Sistem Pangan Organik. Kelompok tani Madya telah sejak tahun 2008 mencoba untuk menerapkan pertanian organik. Kelompok tersebut juga telah mendapatkan sertifikat sebanyak dua kali yaitu pada tahun 2010 dan 2013 sebagai penghargaan yang diberikan oleh Lembaga Sertifikasi Persada. Pada tahun 2010, kelompok tani Madya mendapatkan sertifikat organik dengan No. Register 001-2501-10 karena telah melaksanakan sistem manajemen organik sesuai dengan SNI 01-6792-2002 untuk budidaya tanaman padi. Sertifikat tersebut berlaku dalam waktu tiga tahun dari tanggal 24 Januari 2010 sampai dengan tanggal 24 Januari 2013. Selanjutnya pada tahun 2013, kelompok tani Madya kembali mendapatkan sertifikat organik denga No. 012/P/1012/2012 dari Lembaga Sertifikasi Pangan Organik LSPO-007-IDN dan Lembaga Sertifikasi Persada. Sertifikat kedua diberikan kepada kelompok tani Madya karena telah menerapkan sistem produksi pangan organik sesuai SNI 6729-2010-Organic Food & Production System dan CAC/GL 32/1999 Codex Alimentarius Commission Guidelines for the production, processing, labelling and marketing of organically produced foods. Ruang lingkup sertifikasi adalah padi organik dengan luas lahan 5.7 hektar. Selain penghargaan berbentuk sertifikat yang telah diberikan oleh pemerintah, kelompok tani Madya juga telah mendapatkan beberapa bantuan dari pemerintah Kabupaten Bantul berupa rumah kompos sebagai tempat pembuatan kompos, biogas, traktor, dan kompos. Dalam melakukan kegiatan usahanya, kelompok tani Madya menetapkan visi bahwa kelompok ini dapat mewujudkan petani yang mampu dan bijaksana dalam mengelola usaha pertanian yang lebih adil dan sejahtera. Para pengurus kelompok tani Madya telah berkomitmen bahwa seluruh kebijakan yang ada akan mengarah pada visi tersebut. Perusahan ini juga memiliki tiga misi, yaitu memberdayaan sumberdaya petani dalam menumbuhkan usahatani yang lebih produktif demi meningkatkan pendapatan, mendorong petani untuk maju dalam dunia usahatani demi meningkatkan ekonomi keluarga, mendorong petani untuk lebih percaya diri dalam bermitra dengan kelompok tani lain dan instansi lain seperti lembaga pemerintah maupun swasta. Kelompok tani Madya saat ini memiliki beberapa usaha dan kegiatan yang modalnya berasal dari simpanan pokok dan simpanan wajib anggota, simpanan sukarela yang sewaktu-waktu dapat ditarik, serta bantuan dari lembaga lain atau pemerintah berupa kredit lunak, dana bergulir, maupun dana hibah. Adapun usaha dan kegiatan yang dijalankan oleh kelompok tani Madya adalah sebagai berikut:
23
1.
2.
3.
4.
Usahatani padi sawah. Salah satu kegiatan pokok kelompok tani Madya adalah menghasilkan produk beras, baik organik maupun non organik. Produk beras tersebut dibudidayakan dengan tiga penerapan, yaitu System Rice Intensification, Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT), dan secara organik. Kelompok ini pun telah mendapatkan Penghargaan Ketahanan Pangan Bidang Pengolahan Dan Pemasaran Hasil Pertanian tahun 2010 oleh Kementerian Pertanian Republik Indonesia. Usaha ternak Para petani anggota kelompok tani Madya juga mengusahakan ternak kerbau, sapi, dan kambing. Hewan ternak tersebut dikumpulkan menjadi satu di “kandang ternak” yang telah disediakan oleh Dinas Pertanian Kabupaten Bantul. Masing-masing kapling kandang ternak tersebut akan diberikan biaya sewa sebesar Rp30 000 per tahun dan uang tersebut akan dimasukkan ke dalam kas kelompok. Pembuatan kompos Sebagian besar petani kelompok tani Madya menggunakan pupuk kompos yang dibuat sendiri. Kotoran ternak didapatkan dari kandang ternak tersebut. Pembuatan pupuk kompos mendapatkan arahan dari Dinas Pertanian Kabupaten Bantul. Usaha lain Selain usaha-usaha di atas, kelompok tani Madya juga melaksanakan usaha lain diantaranya budidaya tanaman holtikultura dan sayur mayur seperti kacang panjang, pengelolaan hasil panen yang dijual kepada penggiling beras maupun penangkar bibit padi, serta simpan pinjam yang baru saja dirintis.
Kegiatan Budidaya Padi Organik di Kelompok Tani Madya Kelompok tani Madya terdiri dari petani organik dan petani konvensional. Pada dasarnya, keduanya sama-sama memiliki proses penanaman padi yang tidak jauh berbeda. Pemberian sertifikat organiklah yang menjadi salah satu alasan petani secara konsisten mau menerapkan menerapkan pertanian organik. Standar budidaya secara organik yang ditentukan oleh kelompok adalah menanam padi lokal mentik wangi atau mentik susu dengan tidak lagi menggunakan pupuk dan pestisida kimia sintetis. Musim tanam petani di kelompok tani Madya pun diseragamkan baik yang organik maupun konvensional. Biasanya, dalam waktu 2 tahun, petani melakukan 5 kali panen. Berikut merupakan uraian penerapan budidaya padi di kelompok tani Madya. 1. Pengolahan Tanah Lahan pertanian organik yang seluas 5.7 ha telah dikonversi dari tanah yang sebelumnya terdapat bahan kimia sintetik menjadi tanah yang bebas dari unsur-unsur kimia yang berbahaya selama lebih dari 5 tahun. Langkah pengolahan tanah yang dilakukan oleh petani organik pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan oleh petani konvensional dan yang telah mereka lakukan sebelumnya. Pengolahan tanah pertanian organik dapat dilakukan seperti metode konvensional. Perbedaannya berada pada pemberian pupuk kompos sebanyak 5-10 ton/ha dan dilakukan pembajakan dengan menggunakan traktor maupun kerbau. Selanjutnya, tanah diratakan dan didiamkan kurang lebih selama 1-2 hari untuk dilakukan penanaman.
24
2.
3.
4.
5.
Kesuburan tanah sangat bergantung pada pemberian pupuk organik. Mayoritas petani organik menggunakan pupuk kompos yang dibeli maupun pupuk kandang. Namun, mereka tidak menggunakan kotoran ayam karena memiliki kandungan kimia yang sangat tinggi. Petani organik telah merasakan adanya perbedaan kesuburan tanah yang semakin meningkat setelah mereka beralih ke pertanian organik. Pemilihan Benih/Persemaian Benih yang digunakan oleh petani organik dan petani konvensional adalah mentik wangi dan mentik susu. Benih yang digunakan ini menghasilkan padi aromatik. Namun, masih ada petani konvensional yang menggunakan benih IR 64. Benih yang digunakan oleh petani dibudidayakan secara alami dengan tidak menggunakan obat pengatur tumbuh. Banyak benih yang digunakan adalah 2.5-3 kg per 1000 meter persegi atau sesuai dengan kebutuhan. Banyak benih disesuaikan dengan kondisi luas lahan dan jumlah benih padi yang tersedia. Benih yang digunakan oleh petani sesuai yang dianjurkan oleh kelompok, yaitu 12-14 hari setelah semai. Penanaman Petani di kelompok tani Madya menggunakan sistem tanam pindah. Artinya setelah benih dicabut harus segera di tanam kembali di lahan pertanian masing-masing. Hari penanaman ini biasanya ditentukan secara musyawarah dengan melakukan kumpul kelompok. Benih ditanam saat berusia 12-14 hari setelah semai dan ditanam setiap lubang 1-2 batang. Setiap petani memiliki hak masing-masung untuk mengatur jarak tanam. Namun, kelompok menghimbau petani untuk menerapkan sistem tanam jajar legowo (tajarwo) 2:1 karena dianggap paling bagus. Sistem tajarwo ini diterapkan oleh seluruh petani organik dan hanya beberapa saja petani konvensional yang menerapkan sistem ini. Sistem tajarwo ini sangat dianjurkan oleh kelompok karena dapat membantu meningkatkan hasil panen. Namun, selain penanaman secara tajarwo dan konvensional terdapat pula petani yang menerapkan tabilah. Pengendalian Hama dan Penyakit Tanaman Sejauh ini kelompok tani Madya belum pernah mengalami masalah hama atau penyakit tanaman yang sangat parah. Biasanya, lahan hanya terganggu oleh belalang. Penanganan hama yang dilakukan oleh petani organik berbeda dengan yang dilakukan oleh petani konvensional. Petani konvensional masih menggunakan pestisida kimia sintetik untuk mengatasi hama. Petani organik menghindari praktik pengendalian hama yang dapat merusak lingkungan. Pengendalian hama dan penyakit tanaman yang dilakukan dengan menggunakan pestisida nabati apabila diperlukan. Namun, secara umum petani di kelompok tani Madya menerapakan pengendalian hama terpadu. Pemupukan Pemupukan yang dilakukan oleh petani organik berbeda dengan petani konvensional. Petani organik sudah mampu melepaskan diri dari ketergantungan pada penggunaan pupuk kimia sintetik. Petani organik pada umumnya menggunakan pupuk kandang, pupuk hijau, kompos, dan pupuk cair organik. Selain menggunakan pupuk kandang maupun kompos yang diproses sendiri, petani organik juga menggunakan pupuk Petroganik.
25
6.
Sedangkan, petani konvensional masih menggunakan pupuk kimia sintetik berupa NPK, tetapi ada juga petani yang menggunakan kompos. Panen Hasil panen petani masih merupakan gabah kering maupun gabah basah. Petani kelompok tani Madya menjual hasil panen kepada penggilingan dan ada pula beberapa dari petani konvensional yang menjual hasil panen kepada penangkar benih. Tidak semua petani langsung menjual hasil panen. Hasil panen yang didapat oleh hampir sebagian besar petani langsung di bawa pulang ke rumah. Petani akan menjual sesuai dengan keadaan apakah gabah tersebut perlu untuk di jual atau cukup untuk dikonsumsi pribadi.
Gambaran Umum Responden Responden pada penelitian ini berjumlah 60 orang dengan proporsi 30 orang petani organik dan 30 orang petani konvensional. Sub-sub bab berikut ini akan menunjukkan jumlah dan persentase responden penelitian menurut tingkat pendidikan formal, tingkat pengalaman bertani, tingkat keberanian mengambil resiko, tingkat jejaring, dan tingkat kepemilikan alat produksi yang dimiliki petani. Tingkat Pendidikan Formal Tingkat pendidikan dibedakan menjadi dua kategori, yaitu rendah (tidak tamat SD sampai dengan tamat SD/sederajat) dan tinggi (tamat SMP/sederajat sampai dengan tamat SMA/sederajat). Tabel 2 di bawah ini menyajikan jumlah dan persentase responden menurut tingkat pendidikan formal. Tabel 2 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat pendidikan, kelompok tani Madya, 2013 Petani Organik Petani Konvensional Tingkat Pendidikan Formal Jumlah Persentase (%) Jumlah Persentase (%) Rendah 17 56.67 14 46.67 Tinggi 13 43.33 16 53.33 Total 30 100 30 100 Berdasarkan Tabel 2 dapat dilihat bahwa mayoritas responden petani organik berada pada kategori rendah (56.67%) sedangkan responden petani konvensional mayoritas berada pada kategori tinggi (53.33%). Sebagian besar petani mengaku bahwa mereka hanya sekolah hingga tamat SD dan sangat sedikit yang meneruskannya ke jenjang yang lebih tinggi. Hal tersebut karena keterbatasan dana sehingga banyak petani yang memilih untuk tidak bersekolah lagi dan meneruskan pekerjaan orang tuanya sebagai petani. Padahal, dengan tingkat pendidikan yang tinggi, diharapkan dapat menciptakan cara-cara baru dalam perkembangan pertanian yang ramah lingkungan.
26
Tingkat Pengalaman Bertani Tingkat pengalaman bertani diamati dari lamanya petani mulai bercocok tanam di sawah. Berdasarkan hasil pengamatan kepada 60 responden didapatkan bahwa tingkat pengalaman bertani tersingkat adalah 7 tahun dan terlama 55 tahun, dengan pengalaman bertani rata-rata sebesar 36 tahun. Selanjutnya tingkat pengalaman bertani dibagi menjadi dua kategori, yaitu rendah (< 36 tahun) dan tinggi (≥36 tahun). Tabel 3 menyajikan jumlah dan persentase responden menurut tingkat pengalaman bertani. Tabel 3 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat pengalaman bertani, kelompok tani Madya, 2013 Petani Organik Petani Konvensional Tingkat Pengalaman Jumlah Persentase Jumlah Persentase Bertani (%) (%) Rendah 15 50 14 46.67 Tinggi 15 50 16 53.33 Total 30 100 30 100 Tabel 3 menunjukkan bahwa tingkat pengalaman bertani responden mayoritas berada pada kategori tinggi dengan persentase responden petani organik sebesar 50% dan persentase responden petani konvensional sebesar 53.33%. Hal ini menunjukkan bahwa mayoritas anggota kelompok tani Madya memiliki tingkat pengalaman bertani yang tergolong tinggi, yaitu lebih dari 36 tahun. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan kepada responden, banyak responden yang mengaku sudah bertani sejak kecil dengan cara membantu kedua orang tua. Namun, terdapat pula responden yang mulai bertani kurang dari sepuluh tahun yang lalu karena kebutuhan. Tingkat Keberanian Mengambil Resiko Menurut Putri (2011), kepribadian dilihat dari karakter yang menggambarkan diri individu, salah satunya yaitu mau mengambil resiko. Dalam penelitian ini, keberanian mengambil resiko sengaja dipilih untuk mengetahui seberapa jauh petani mau menerapkan pertanian yang sekiranya berisiko. Responden diberikan empat pertanyaan terkait keberanian mengambil resiko. Tingkat keberanian mengambil resiko kemudian diukur dengan memberikan skor terhadap jawaban responden dan menghitung jumlah skor tersebut. Skor yang diperoleh dibagi ke dalam dua kategori, yaitu rendah dan tinggi. Tingkat keberanian mengambil resiko responden dapat dilihat pada Tabel 4.
27
Tabel 4 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat keberanian mengambil resiko, kelompok tani Madya, 2013 Petani Organik Petani Konvensional Tingkat Keberanian Jumlah Persentase Jumlah Persentase Mengambil Resiko (%) (%) Rendah 0 0 19 63.33 Tinggi 30 100 11 36.67 Total 30 100 30 100 Tabel 4 menunjukkan adanya perbedaan tingkat keberanian mengambil resiko pada petani organik dan petani konvensional. Pada petani organik terlihat bahwa tingkat keberanian mengambil resiko berada pada kategori tinggi (100%), sedangkan tingkat keberanian mengambil resiko pada petani konvensional berada pada kategori rendah (63.33%). Pada responden petani organik, resiko berkurangnya hasil panen karena gagal panen pada awal penerapan pertanian organik dianggap hal yang wajar sebagai bentuk penyesuaian tanah terhadap penggunaan pupuk organik. “... Iya turun. 2 sampai 3 kali panen baru normal lagi. Soalnya kan tanah biasanya dikasih pupuk kimia terus, jadinya seperti nyesuain dulu gitu...” (Tgr, 52 tahun) Berbeda halnya dengan petani konvensional, karena mereka masih takut untuk lepas dari bahan kimia sintetik sehingga meskipun sudah ada beberapa petani konvensional yang menggunakan pupuk organik, mereka tetap menyeimbangkannya dengan penggunaan pupuk kimia. Meskipun demikian, baik responden petani organik maupun petani konvensional hanya sedikit yang berani untuk menggunakan pupuk kompos yang dibuat sendiri. Terdapat beberapa diantara mereka yang sudah berorganik memilih untuk menggunakan pupuk Petroganik atau POMI dan petani konvensional menggunakan pupuk Ponska daripada harus mengolah kompos dari kotoran hewan. “... Nggak, Mbak, tenaganya kalo bikin sendiri nggak ada. Paling untuk pupuk saya beli saja atau kan ada hijau-hijauan itu pakai aja langsung...” (Sgy, 55 tahun). Tingkat Jejaring Berdasarkan definisi operasional, tingkat jejaring adalah interaksi petani dengan petani lain maupun dengan penyuluh pertanian untuk mendapatkan informasi mengenai pertanian organik. Responden diberikan empat pertanyaan terkait jejaring yang dimiliki petani. Tingkat jejaring kemudian diukur dengan memberikan skor terhadap jawaban responden dan menghitung jumlah skor tersebut. Skor yang diperoleh dibagi ke dalam dua kategori yaitu rendah dan tinggi. Tingkat jejaring dapat dilihat pada Tabel 5.
28
Tabel 5 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat jejaring, kelompok tani Madya, 2013 Petani Organik Petani Konvensional Tingkat Jejaring Jumlah Persentase (%) Jumlah Persentase (%) Rendah 30 100 30 100 Tinggi 0 0 0 0 Total 30 100 30 100 Berdasarkan Tabel 5 dapat diketahui bahwa baik petani organik maupun petani konvensional tingkat jejaring berada pada kategori rendah. Rendahnya tingkat jejaring yang dimiliki disebabkan oleh responden petani organik dan konvensional mendapatkan informasi mengenai pertanian organik hanya dari rekan satu kelompok tani dan penyuluh pertanian tingkat Kabupaten Bantul. Pada Kelompok Tani Madya setiap petani telah menjalin hubungan yang cukup baik sehingga dapat terjalin proses pertukaran ilmu dan pengetahuan mengenai pertanian organik. Penyuluhan yang dilakukan oleh Dinas Kabupaten Bantul dan Yogyakarta ternyata memiliki peranan yang besar dalam memberikan informasi. Sehingga meskipun tidak ada petani yang mendapatkan informasi dari sesama petani berbeda desa maupun dari penyuluh di luar Yogyakarta, informasi yang didapat dari dalam kelompok itu pun dianggap sudah cukup, bahkan telah membuat lahan pertanian di Desa Kebonagung ada yang bersertifikat organik. Selain dari jejaring yang telah terbentuk sesama anggota Kelompok Tani Madya, informasi pertanian organik juga didapatkan petani dari berbagai media massa, baik cetak maupun elektronik. “... Kalo penyuluhan cuma dari dinas aja, Mbak. Dinas Kabupaten atau dari Yogya aja. Tapi ya kalo saya baca-baca dari media. Sinar Tani itu, yaa saya baca-baca buat tambah informasi...” (Ngj, 62 tahun) Tingkat Kepemilikan Alat Produksi Tingkat kepemilikan alat produksi diamati dari kepemilikan lahan pertanian dan hewan ternak. Kedua indikator tersebut sengaja dipilih karena kepemilikan lahan pertanian diduga menjadi salah satu alasan responden mau menjadi petani, sedangkan hewan ternak diduga dapat mempermudah petani untuk memanfaatkannya dalam membajak tanah maupun memanfaatkan kotoran hewan untuk dijadikan pupuk (kompos). Tingkat kepemilikan alat produksi dibagi menjadi dua kategori, yaitu rendah (responden hanya memiliki hewan ternak atau lahan pertanian saja) dan tinggi (responden memiliki hewan ternak dan lahan pertanian.
29
Tabel 6 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat kepemilikan alat produksi, Kelompok Tani Madya, 2013 Petani Organik Petani Konvensional Tingkat Kepemilikan Jumlah Persentase Jumlah Persentase Alat Produksi (%) (%) Rendah 25 83.33 21 70 Tinggi 5 16.67 9 30 Total 30 100 30 100 Berdasarkan Tabel 6 dapat diketahui bahwa petani organik dan petani konvensional tingkat kepemilikan alat produksi berada pada kategori rendah. Hal itu karena hanya sedikit petani yang memiliki kedua alat produksi seperti lahan pertanian dan hewan ternak. Mayoritas petani di Kelompok Tani Madya hanya memiliki lahan pertanian saja. Hal tersebut sudah dianggap cukup karena pupuk dapat diperoleh dengan mudah, yaitu petani dapat membeli langsung dari kios alat pertanian, menggunakan bekas tanaman, atau meminta kotoran ternak milik rekanan. Selain itu, hewan ternak juga sudah jarang sekali digunakan untuk membajak. Petani dapat membajak tanah menggunakan traktor milik kelompok. “... Saya bertani sudah dari dulu, Mbak, dari SD. Ya sekedar bantu orang tua di sawah itu sudah bertani toh. Tanah yang saya miliki ini juga tanah warisan, ya jadi sekarang tinggal terusin aja” (Mrg, 45 tahun). Responden lainnya juga mengatakan: “... Pupuk ya disamping pupuk kotoran sapi, ya pupuk cair, namanya pomi. Itu banyak yang pakai. Saya sendiri pakai, pakai pomi...” (Sdy, 54 tahun) “... Bajaknya ya pake traktor. Itu sudah langganan. Kalo dulu ya bajaknya pake kerbau, tapi sekarang yang punya sudah tidak banyak...” (Srw, 61 tahun). Dengan demikian, meskipun petani tidak memiliki hewan ternak, hal tersebut tidak menjadi penghalang bagi petani untuk tetap bertani karena masih bisa mengusahakan untuk membeli pupuk.
30
31
HUBUNGAN ANTARA KARAKTERISTIK PETANI DENGAN RESPON PETANI PADA PERTANIAN ORGANIK Respon Petani pada Pertanian Organik Respon petani adalah perubahan tingkah laku yang terjadi pada petani sebagai akibat adanya pertanian organik. Dalam penelitian ini, respon petani dilihat melalui dua indikator yaitu tingkat pemahaman dan tingkat penerapan pertanian organik. Responden diberikan 14 pernyataan terkait respon, yaitu 6 pernyataan terkait tingkat pemahaman dan 8 pernyataan terkait tingkat penerapan. Respon kemudian diukur dengan memberikan skor terhadap jawaban responden dan menghitung jumlah skor tersebut. Skor yang diperoleh dibagi ke dalam duaa kategori yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Tingkat pemahaman dan penerapan responden pada pertanian organik dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat pengetahuan dan penerapan petani pada pertanian organik, kelompok tani Madya, 2013 Petani Organik Petani Konvensional Kategori Jumlah Persentase Jumlah Persentase (%) (%) Tingkat Pemahaman Rendah 0 0 7 23.33 Tinggi 30 100 23 76.67 Total 30 100 30 100 Tingkat Penerapan Rendah 0 0 25 83.33 Tinggi 30 100 5 16.67 Total 30 100 30 100 Berdasarkan Tabel 7, dapat diketahui adanya perbedaan penerapan pada petani organik dan petani konvensional. Responden pada penelitian ini merupakan petani yang berada pada satu kelompok. Namun, meskipun tingkat pemahaman petani tinggi, tingkat penerapan pada petani konvensional masih rendah. Hal ini karena pada dasarnya kelompok tani Madya adalah kelompok yang menerapkan sistem usaha tani terpadu atau yang lebih di kenal dengan petani kelompok Madya dengan pengelolaan tanaman terpadu (PTT). Menurut Sutanto (2002) sistem usaha tani terpadu merupakan salah satu peluang pertanian organik yang dapat diterapkan dengan memperhatikan kondisi lokasi yang spesifik. Sistem usaha tani terpadu ini menggunakan masukan teknologi yang rendah dengan sistem pertanian organik dan sumberdaya lokal didaur ulang secara efektif. Hal ini sesuai dengan keadaan di lapangan yang menunjukkan bahwa pada petani konvensional sebagian besar dari mereka menggunakan pupuk organik dan pupuk kimia. Menurut penuturan Mrg (45 tahun), petani konvensional juga tidak selalu menggunakan pestisida kimia sintetik. Pestisida kimia sintetik tersebut digunakan sesuai kebutuhan saja, yaitu apabila hama di sawah sudah melebihi ambang batas. Namun karena petani konvensional masih menggunakan pupuk maupun pestisida kimia, hal tersebutlah
32
yang menyebabkan tingkat penerapan pada pertanian organik rendah. Karena seharusnya pertanian organik murni itu menggunakan pupuk organik, pupuk hayati, dan pestisida hayati dan menghindarkan penggunaan pupuk kimia dan pestisida/bahan kimia pertanian (Sutanto 2002). Fakta lain yang diperoleh di lapangan adalah sistem pengairan irigasi pada kelompok tani Madya masih tercampur antara lahan organik maupun lahan konvensional. Kelompok tani Madya menggunakan perairan yang berasal dari Sungai Opak (Bendungan Canden Kiri). Sehingga pada lahan organik pun masih terdapat campuran bahan kimia yang berasal dari air tersebut. Tabel 8 Jumlah dan persentase responden menurut respon petani pada pertanian organik, kelompok tani Madya, 2013 Petani Organik Petani Konvensional Respon Petani Pada Jumlah Persentase Jumlah Persentase Pertanian Organik (%) (%) Rendah 0 0 14 46.67 Tinggi 30 100 16 53.33 Total 30 100 30 100 Tabel 8 menunjukkan bahwa kedua responden penelitian memiliki tingkat respon yang tinggi. Tingginya respon tersebut disebabkan oleh tingginya tingkat pemahaman penerapan petani pada pertanian organik (lihat Tabel 7). Sedangkan pada petani konvensional, tingginya respon petani pada pertanian organik disebabkan oleh tingginya tingkat pemahaman. Mrg (45 tahun) juga menyatakan bahwa petani kelompok Madya sangat responsif pada pertanian organik. seluruh petani telah mencoba menggunakan pupuk organik meskipun tidak secara berkelanjutan. Informasi yang diperoleh pun cukup seragam sehingga pemahaman pada pertanian organik seragam pula. Menurut penuturan Ngj (62 tahun), pemerintah Kabupaten Bantul pernah melakukan penyuluhan mengenai pertanian organik dan hampir seluruh petani di Desa Kebonagung, terutama Kelompok Tani Madya menghadirinya. Dari penyuluhan itulah informasi mengenai pertanian organik di dapatkan dan satu persatu petani mencoba untuk mempraktikkannya. Pertanian organik di Kelompok Tani Madya sudah sejak tahun 2008 diperkenalkan oleh Dinas Pertanian Kabupaten Bantul. Penyuluhan tersebut diikuti oleh hampir seluruh anggota petani sehingga pengetahuan yang dimiliki hampir seragam. Namun tidak semua petani hadir dalam penyuluhan tersebut karena terdapat beberapa petani yang berhalangan hadir. Namun ketidakhadiran petani dalam penyuluhan itu juga tidak menutup kemungkinan bagi petani untuk mengetahui informasi lebih tentang pertanian organik karena petani yang tidak hadir dapat bertanya kepada petani yang hadir pada saat penyuluhan diselenggarakan. Selain dari dinas, kelompok khususnya ketua kelompok Madya juga melakukan sosialisasi mengenai pertanian organik baik dalam pertemuan kelompok maupun dengan obrolan ringan yang dilakukan di sawah. Selain tingkat pemahaman, tingkat penerapan pertanian organik pada petani organik juga memiliki peran sehingga menghasilkan respon yang tinggi. Petani sejak tahun 2008 sudah ada yang coba menerapkan pertanian organik dan berhasil mendapatkan sertifikasi lahan pertanian budidaya organik pada tahun 2010. Lahan pertanian Kelompok Tani Madya saat ini yang telah bersertifikat seluas 5.7
33
hektar. Sertifikat tersebut secara tidak langsung turut mengontrol petani untuk tidak menggunakan bahan-bahan kimia sintetik. Tidak hanya petani organik, petani konvensional pun ternyata juga telah ada yang mulai mencoba untuk menghindari penggunaan pupuk kimia maupun pestisida sintetik. “... Ya kalo saya sudah mengurangi penggunaan kimia. Pupuk pake aja itu dari kotoran sapi, atau hijau-hijauan saya langsung taro di sawah. Kalo tanam sekarang, saya pake pupuk Petroganik...” (Mrg, 45 tahun).
Hubungan Karakteristik Petani dengan Respon Petani pada Pertanian Organik Sub bab ini menjelaskan hubungan antara karakteristik petani dengan respon petani pada pertanian organik. Karakteristik petani yang dihubungkan dengan respon petani antara lain tingkat pendidikan formal, tingkat pengalaman bertani, tingkat keberanian mengambil resiko, kekuatan jejaring, dan tingkat kepemilikan alat produksi. Hubungan Tingkat Pendidikan Formal dengan Respon Petani pada Pertanian Organik Variabel tingkat pendidikan formal dihubungkan dengan respon petani pada pertanian organik bertujuan untuk melihat apakah tingkat pendidikan formal dapat berpengaruh terhadap respon petani pada pertanian organik. Hubungan ini dianalisis dengan menggunakan metode tabulasi silang. Tabel 9 Jumlah dan persentase respon petani pada pertanian organik menurut pendidikan formal, responden petani organik, 2013 Respon Petani Pada Pendidikan Formal Jumlah Pertanian Organik Rendah Tinggi f % f % f % Rendah 0 0 0 0 0 0 Tinggi 17 100 13 100 30 100 Jumlah 17 100 13 100 30 100 Berdasarkan perhitungan tabulasi silang pada Tabel 9, dapat diketahui bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat pendidikan formal dengan respon petani pada pertanian organik. Petani yang memiliki pendidikan rendah ternyata memiliki respon yang tinggi pada pertanian organik. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan formal yang rendah pun tidak menjadi penghalang bagi petani untuk memahami informasi dan menerapkan pertanian organik. Karena informasi mengenai pertanian organik tidak didapat dari pendidikan formal, melainkan dari kegiatan informal yaitu penyuluhan pertanian dan informasi dari petani lain.
34
Tabel 10 Jumlah dan persentase respon petani pada pertanian organik menurut pendidikan formal, responden petani konvensional, 2013 Respon Petani Pada Pendidikan Formal Jumlah Pertanian Organik Rendah Tinggi f % f % f % Rendah 8 57.14 6 37.50 14 46.67 Tinggi 6 42.86 10 62.50 16 53.33 Jumlah 14 100 16 100 30 100 Berdasarkan perhitungan tabulasi silang pada Tabel 10, dapat diketahui bahwa terdapat hubungan antara tingkat pendidikan formal dengan respon petani pada pertanian organik. Petani yang memiliki pendidikan rendah memiliki respon yang rendah pula pada pertanian organik. Sebaliknya, responden yang berpendidikan formal tinggi, ternyata juga memiliki respon yang tinggi pada pertanian organik. Berdasarkan Tabel 9 dan Tabel 10, dapat dianalisa bahwa pendidikan formal sesungguhnya memiliki peranan bagi petani. Semakin tinggi pendidikan petani, maka seharusnya semakin tinggi pula respon petani pada pertanian organik. Namun, pada seluruh responden terlihat adanya kebebasan dalam memahami dan menerapkan pertanian organik sehingga dapat menghasilkan respon yang tinggi. Artinya, petani yang memiliki pendidikan rendah juga bebas untuk memahami informasi yang dapat memberikan penghidupan lebih baik. Karena ilmu dan pengetahuan tidak selalu berasal dari pendidikan formal, tetapi juga didapat dari pendidikan non formal maupun dari hasil pengalaman selama hidup. Selain itu, diduga adanya motivasi yang mendorong petani untuk menerapkan pertanian organik. Hubungan Tingkat Pengalaman Bertani dengan Respon Petani pada Pertanian Organik Variabel tingkat pengalaman bertani dihubungkan dengan respon petani pada pertanian organik bertujuan untuk melihat apakah tingkat pengalaman bertani dapat berpengaruh terhadap respon petani pada pertanian organik. Hubungan ini dianalisis dengan menggunakan metode tabulasi silang. Tabel 11 Jumlah dan persentase respon petani pada pertanian organik menurut tingkat pengalaman bertani, responden petani organik, 2013 Respon Petani Pada Pengalaman Bertani Jumlah Pertanian Organik Rendah Tinggi f % f % f % Rendah 0 0 0 0 15 50 Tinggi 15 100 15 100 15 50 Jumlah 15 100 15 100 30 100 Berdasarkan perhitungan tabulasi silang pada Tabel 11, dapat diketahui bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat pengalaman bertani dengan respon petani pada pertanian organik. Hasil wawancara yang dilakukan kepada responden didapatkan bahwa dahulu sebelum datangnya informasi mengenai pertanian
35
organik, banyak petani yang menggunakan pupuk dan pestisida kimia sintetik. Namun, semenjak pertanian organik sudah datang ke petani tersebut, sistem bertani yang menggunakan kimia sudah dihilangkan. “... Kemarin sih ngga ada hama, Mbak. Selama organik hamanya gak terlalu bermasalah. Kecuali dulu misal ada ulat banyak ya harus disemprot, dulu juga ada serangan wereng...” (Wrn, 66 tahun). Tabel 12 Jumlah dan persentase respon petani pada pertanian organik menurut tingkat pengalaman bertani, responden petani konvensional, 2013 Respon Petani Pada Pengalaman Bertani Jumlah Pertanian Organik Rendah Tinggi f % f % f % Rendah 6 42.86 8 50 14 46.67 Tinggi 8 57.14 8 50 16 53.33 Jumlah 14 100 16 100 30 100 Berdasarkan perhitungan tabulasi silang pada Tabel 12, dapat diketahui bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat pengalaman bertani dengan respon petani pada pertanian organik. Pada Tabel 12 dapat dilihat bahwa petani yang pengalaman bertaninya rendah ternyata juga memiliki respon yang tinggi pada pertanian organik. Hal ini terjadi karena petani yang pengalaman bertaninya rendah diduga lebih tertarik untuk menggali informasi lebih dalam dan memahaminya terlebih dahulu mengenai pertanian organik sebelum menerapkannya (tingginya tingkat pemahaman dapat dilihat pada Tabel 7). Berdasarkan Tabel 11 dan Tabel 12 dapat dianalisa bahwa petani yang memiliki tingkat pengalaman bertaninya tinggi cenderung memiliki respon yang tinggi pada pertanian organik. Fakta di lapangan yang ditemukan oleh peneliti adalah mayoritas anggota Kelompok Tani Madya adalah generasi tua. Artinya yaitu sebagian besar petani sudah berumur 40 tahun ke atas dan banyak dari petani yang mengaku sudah bertani sejak kecil untuk membantu keluarga, sehingga memungkinkan jika pengalaman mereka tinggi. Tingginya pengalaman diduga dapat menyebabkan petani telah memahami dengan pasti kondisi pertaniannya. Dengan demikian, respon yang tinggi pada pertanian organik merupakan bentuk dari petani yang mencoba untuk memperbaiki sistem bertaninya. Meskipun demikian, masih terdapat petani yang pengalaman bertaninya rendah namun respon yang diberikan tinggi. Hal itu terjadi karena ada petani yang baru mulai bertani beberapa tahun yang lalu tetapi sudah memiliki respon yang tinggi sebagai akibat dari pemahaman dan penerapannya pada pertanian organik itu tinggi. Tingginya respon tersebut di dapatkan dari kepercayaannya untuk belajar lebih mengenai pertanian pada kelompok. “... Saya memulai bertani itu baru. Semenjak bapak ngga ada saya yang menggantikan. Saya ikuti kelompok. Katanya ada pertanian organik ya saya belajar dari kelompok...” (Sgy, 55 tahun)
36
Hubungan Tingkat Keberanian Mengambil Resiko dengan Respon Petani pada Pertanian Organik Variabel tingkat keberanian mengambil resiko dihubungkan dengan respon petani pada pertanian organik bertujuan untuk melihat apakah tingkat keberanian mengambil resiko dapat berpengaruh terhadap respon petani pada pertanian organik. Hubungan ini dianalisis dengan menggunakan metode tabulasi silang. Tabel 13 Jumlah dan persentase respon petani pada pertanian organik menurut tingkat keberanian mengambil resiko, responden petani organik, 2013 Respon Petani Pada Keberanian Mengambil Resiko Jumlah Pertanian Organik Rendah Tinggi f % f % f % Rendah 0 0 0 0 0 0 Tinggi 0 0 30 100 30 100 Jumlah 0 0 30 100 30 100 Berdasarkan perhitungan tabulasi silang pada Tabel 13, dapat diketahui bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat keberanian mengambil resikodengan respon petani pada pertanian organik. Meskipun demikian fakta di lapangan menunjukkan bahwa tingkat keberanian mengambil resiko yang tinggi itulah yang menyebabkan respon petani pada pertanian organik tinggi. Petani organik tetap mau menerapkan sistem pertanian organik yang bebas dari penggunaan bahan kimia sintetik walaupun pada awal penerapannya hasil panen mengalami pengurangan sebagai bentuk adaptasi tanah terhadap perlakuan yang diberikan. Penerapan organik yang harus mengubah kebiasaan petani dalam menggunakan pupuk dan pestisida kimia sintetik juga ternyata tidak menjadi kendala dan tidak menimbulkan resiko. Justru pertanian organik mempermudah petani dalam mendapatkan pupuk. Pupuk organik tersebut tidak hanya berupa pupuk kompos dari hewan ternak atau pupuk Petroganik. Tetapi petani justru lebih mudah menggunakan daun yang sudah gugur atau mati untuk dijadikan pupuk dengan meletakkannya pada lahan pertanian. Tabel 14 Jumlah dan persentase respon petani pada pertanian organik menurut tingkat keberanian mengambil resiko, responden petani konvensional, 2013 Respon Petani Pada Keberanian Mengambil Resiko Jumlah Pertanian Organik Rendah Tinggi f % f % f % Rendah 10 52.63 4 36.36 14 46.67 Tinggi 9 47.37 7 63.64 16 53.33 Jumlah 19 100 11 100 30 100 Berdasarkan perhitungan tabulasi silang pada Tabel 14, dapat diketahui bahwa terdapat hubungan antara tingkat keberanian mengambil resiko dengan respon petani pada pertanian organik. Petani yang keberanian mengambil resikonya rendah cenderung memiliki respon yang rendah pula pada pertanian organik.
37
Berdasarkan Tabel 13 dan Tabel 14 dapat dianalisa bahwa seharusnya semakin tinggi tingkat keberanian mengambil resiko maka semakin tinggi pula respon petani pada pertanian organik. Pada petani organik tidak terdapat hubungan karena tidak terdapat satu pun petani yang memiliki tingkat keberanian resiko dan respon pada pertanian organik yang rendah. Mereka semua memiliki keberanian resiko dan respon pada pertanian organik yang tinggi. Hal ini dapat menjadi salah satu alasan bahwa sampai penelitian ini dilaksanakan lahan pertanian kelompok Tani Madya ada yang telah mendapatkan sertifikat dari Dinas Pertanian Bantul. petani organik termasuk dalam petani yang memiliki keberanian mengambil resiko tinggi. Meskipun pada awal diterapkan pertanian organik pada lahan mereka hasil panen sedikit menurun hal tersebut tidak menjadi alasan petani untuk tidak berorganik. “... Saya ngga mengalami gagal panen, Mbak. Kan ada kelompok. Kelompok yang kasih informasi gimana menerapkan organik ini...” (Wrn, 66 tahun). Meskipun demikian, masih terdapat petani organik yang keberanian mengambil resiko rendah. Hal tersebut karena mereka belum siap untuk membuat pupuk organik sendiri. Saat ini dapat dengan mudah memperoleh pupuk organik, baik dalam bentuk padat maupun cair. “... Saya ngga punya sapi, mau buat waktunya juga ngga ada. Paling pake Pomi aja itu atau Petroganik. Lebih mudah didapatkan itu daripada pupuknya harus buat sendiri...” (Wkj, 45 tahun). Sedangkan, pada petani konvensional dari tabel tabulasi silang dapat dilihat bahwa semakin rendah keberanian mengambil resiko, maka semakin rendah pula respon petani pada pertanian organik. Hal ini terbukti dari hanya sedikit petani yang mau menggunakan pupuk organik, apalagi membuat pupuk kandang sendiri karena terbentur oleh masalah waktu. “... Saya buat pupuk sendiri ndak, Mbak. Waktunya ngga ada, saya juga menggarap sawah milik orang lain juga...” (Srw, 61 tahun) Hubungan Tingkat Jejaring dengan Respon Petani pada Pertanian Organik Variabel tingkat jejaring dihubungkan dengan respon petani pada pertanian organik bertujuan untuk melihat apakah tingkat jejaring dapat berpengaruh terhadap respon petani pada pertanian organik. Hubungan ini dianalisis dengan menggunakan metode tabulasi silang.
38
Tabel 15 Jumlah dan persentase respon petani pada pertanian organik menurut tingkat jejaring, responden petani organik, 2013 Respon Petani Pada Jejaring Petani Jumlah Pertanian Organik Rendah Tinggi f % F % F % Rendah 0 0 0 0 0 0 Tinggi 30 100 0 0 30 100 Jumlah 30 100 0 0 30 100 Berdasarkan perhitungan tabulasi silang pada Tabel 15, dapat diketahui bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat jejaring dengan respon petani pada pertanian organik. Hal ini disebabkan jejaring yang dibentuk oleh petani organik hanya sampai penyuluh pertanian dalam lingkup Yogyakarta. Selain berinteraksi dengan petani satu kelompok, informasi pertanian organik jugadidapatkan dari penyuluhan tingkat Kabupaten Bantul. Tidak ada petani yang mendapatkan informasi dari desa lain. Rasa kepercayaan yang tinggi kepada keberadaan kelompok lah yang menyebabkan pertanian organik masih terlaksana hingga saat ini. Tabel 16 Jumlah dan persentase respon petani pada pertanian organik menurut jejaring petani, responden petani konvensional, 2013 Respon Petani Pada Jejaring Petani Jumlah Pertanian Organik Rendah Tinggi f % f % F % Rendah 14 46.67 0 0 14 46.67 Tinggi 16 53.33 0 0 16 53.33 Jumlah 30 100 0 0 30 100 Berdasarkan perhitungan tabulasi silang pada Tabel 16, dapat diketahui bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat jejaring dengan respon petani pada pertanian organik. Petani yang tingkat jejaringnya rendah cenderung memiliki respon yang tinggi pada pertanian organik. Sama halnya dengan petani organik, mayoritas petani konvensional hanya memiliki jejaring petani sesama kelompok dan dari penyuluhan tingkat kabupaten untuk mendapatkan informasi mengenai pertanian organik. Dengan demikian, berdasarkan Tabel 15 dan Tabel 16 dapat dianalisa bahwa tingkat jejaring tidak memiliki hubungan nyata dengan respon petani pada pertanian organik. Hal tersebut disebabkan oleh penyuluh yang memberikan penyuluhan mengenai pertanian organik pada kelompok tersebut hanya berasal dari wilayah Yogyakarta, baik tingkat kabupaten maupun provinsi. Sampai saat ini belum ada penyuluh yang berasal dari luar Yogyakarta datang untuk memberikan penyuluhan informasi mengenai pertanian organik. Meskipun penyuluh hanya berasal dari Yogyakarta, namun respon yang diberikan oleh petani hampir seluruhnya merupakan respon positif. Artinya, mereka mau memahami dan menerapkan pertanian organik. Selain dari penyuluh, informasi mengenai pertanian organik juga didapatkan dari rekan sesama petani Kelompok Madya. Kelompok secara rutin mengadakan
39
pertemuan untuk menentukan masa tanam dan panen yang secara otomatis juga ikut berperan memberikan informasi tambahan mengenai pertanian organik. Tidak hanya sampai disitu. Terdapat juga petani yang mendapatkan informasi tambahan mengenai pertanian organik dari media massa, sehingga pengetahuan mereka semakin meningkat yang pada akhirnya akan membuat mereka untuk mencoba menerapkan pertanian organik. Hasil penelitian ini didukung oleh Reijntjes et all (1999) yang menyatakan terdapat suatu studi di India yang dilakukan oleh Flader dan Slade pada tahun 1985, dan didapatkan hasil bahwa 47% petani memilih teman sesama petani sebagai sumber informasi utama sementara 19% yang memilih petugas penyuluh lapangan, 16% kontak tani, dam 10% siaran radio pertanian. Dengan demikian, jejaring sesama petani dan penyuluh pertanian dinilai memegang peranan penting dalam menyebarkan informasi pertanian. Hubungan Tingkat Kepemilikan Alat Produksi dengan Respon Petani pada Pertanian Organik Variabel tingkat kepemilikan alat produksi dihubungkan dengan respon petani pada pertanian organik bertujuan untuk melihat apakah tingkat kepemilikan alat produksi dapat berpengaruh terhadap respon petani pada pertanian organik. Hubungan ini dianalisis dengan menggunakan metode tabulasi silang. Tabel 17 Jumlah dan persentase respon petani pada pertanian organik menurut kepemilikan alat produksi, responden petani organik, 2013 Respon Petani Pada Kepemilikan Alat Produksi Jumlah Pertanian Organik Rendah Tinggi f % f % f % Rendah 0 0 0 0 0 0 Tinggi 25 100 5 100 30 100 Jumlah 25 100 5 100 30 100 Berdasarkan perhitungan tabulasi silang pada Tabel 17, dapat diketahui bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat kepemilikan alat produksi dengan respon petani pada pertanian organik. Data di lapangan menunjukkan bahwa memang mayoritas petani telah memiliki lahan pertanian sendiri meskipun tidak terlalu luas, namun hanya sedikit petani yang memiliki hewan ternak. Lahan pertanian yang berstatus milik sendiri itu lah yang menyebabkan petani cenderung memiliki respon yang tinggi pada pertanian organik. mereka dapat secara bebas untuk menerapkan pertanian organik demi menghasilkan produk pertanian yang sehat dan demi kelestarian lingkungan.
40
Tabel 18 Jumlah dan persentase respon petani pada pertanian organik menurut kepemilikan alat produksi, responden petani konvensional, 2013 Respon Petani Pada Kepemilikan Alat Produksi Jumlah Pertanian Organik Rendah Tinggi f % f % f % Rendah 10 47.62 4 44.44 14 46.67 Tinggi 11 52.38 5 55.56 16 53.33 Jumlah 21 100 9 100 30 100 Berdasarkan perhitungan tabulasi silang pada Tabel 18, dapat diketahui bahwa tidak terdapat hubungan antara kepemilikan alat produksi dengan respon petani pada pertanian organik. Petani yang kepemilikan alat produksinya rendah cenderung memiliki respon pada pertanian organik yang tinggi. Sama halnya dengan petani organik. Status kepemilikan lahan tersebut yang menyebabkan petani memiliki kebebasan untuk menentukan apakah perlu mengubah lahan pertaniannya menjadi lahan organik atau sudah cukup menjadi petani konvensional. Pada Tabel 17 dan Tabel 18 dapat dianalisa bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat kepemilikan alat produksi dengan respon petani pada pertanian organik. Tingginya kepemilikan alat produksi tidak selalu dapat mendorong petani untuk memiliki respon yang tinggi pada pertanian organik. fakta di lapangan menunjukkan berupa hewan ternak di petani konvensional belum tentu digunakan sebagai penunjang dalam menerapkan pertanian. Terdapat beberapa responden petani konvensional yang mengaku hewan ternak yang dimiliki merupakan warisan dan tidak semuanya memanfaatkan kotorannya untuk dijadikan pupuk (kompos). Terdapat pula petani yang justru memberikan hasil kotoran tersebut untuk dijadikan kompos oleh petani lain. “... Saya memang punya sapi, tapi kotorannya tidak dijadikan kompos tuh Mbak. Kalo ada petani yang minta ya saya kasih aja...” (Srw, 61 tahun)
41
PENGEMBANGAN PERTANIAN ORGANIK DI KELOMPOK TANI MADYA Analisis Tingkat Pendapatan dan Akses Pasar Tingkat Pendapatan Tingkat pendapatan responden diukur berdasarkan pendapatan responden pada hasil panen terakhir yang didapat dari hasil bertani. Perhitungan pendapatan merupakan pendapatan bersih yang dihitung dengan cara penerimaan hasil panen dikurangi dengan biaya-biaya produksi yang diukur dengan rupiah. Berdasarkan hasil pengamatan terhadap 60 responden didapatkan bahwa pendapatan terkecil petani adalah sebesar Rp645 000 dan terbesar Rp8 215 000 yang kedua-duanya berasal dari petani organik, dengan penghasilan rata-rata sebesar Rp2 714 617 dan rata-rata hasil panen 769.28 kg. Selanjutnya tingkat pendapatan dibagi menjadi dua kategori yaitu rendah (< Rp2 714 617) dan tinggi (≥ Rp2 714 617). Jumlah responden berdasakan tingkat pendapatan dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat pendapatan, kelompok tani Madya, 2013 Petani Organik Petani Konvensional Tingkat Pendapatan Jumlah Persentase (%) Jumlah Persentase (%) Rendah 11 36.7 22 73.33 Tinggi 19 63.3 8 26.67 Total 30 100 30 100 Tabel 19 menunjukkan bahwa pendapatan responden sangat menyebar. Pada responden petani organik dapat dilihat bahwa sebagian besar berada pada kategori tinggi, sedangkan pada petani konvensional sebagian besar berada pada kategori rendah. Meskipun demikian, pendapatan yang diperoleh petani dari usaha pertanian tersebut tidak memberikan penghasilan secara langsung dalam bentuk uang. Artinya yaitu hasil panen yang didapatkan hanya digunakan untuk konsumsi sendiri. Petani akan menjual hasil panennya apabila hasil panen sedang meningkat atau saat petani sedang membutuhkan uang barulah mereka akan menjual hasil panen tersebut. Hal tersebut didukung oleh pernyataan Mrg (45 tahun) sebagai berikut. “Rata-rata kalo petani secara umum hasilnya di bawa pulang sendiri. Dijemur sendiri. Nanti apabila ada kebutuhan umpamanya beli pupuk ya dijual ke penggiling.” Berdasarkan hasil perhitungan Tabel 19, diketahui bahwa rata-rata pendapatan bersih petani organik lebih tinggi dibandingkan dengan pendapatan petani konvensional. Pendapatan petani organik rata-rata Rp2 984 367 dengan hasil panen rata-rata yaitu 935.9 kg. Sedangkan pendapatan petani konvensional rata-rata yaitu Rp2 444 867 dengan hasil panen rata-rata 602.67 kg. Tinggi/rendahnya pendapatan petani tidak hanya bergantung pada jumlah panen, tetapi juga pada harga yang diberikan pasar. Perbandingan harga jual antara produk pertanian organik dan konvensional dapat dilihat pada Tabel 20.
42
Tabel 20
Daftar harga jual hasil pertanian organik dan konvensional di Kelompok Tani Madya, Tahun 2013 Harga Jual/kg (Rp) Organik Konvensional Hasil Panen Jual Ke Penggilingan Jual Ke Jual Ke yang Dijual Penggilingan Penangkar Benih Gabah Basah 3 600 – 3 800 3 200 – 3 400 3 900
Pada Tabel 20, secara jelas dapat diketahui bahwa harga jual hasil pertanian organik lebih tinggi daripada hasil pertanian konvensional. Namun, penjualan hasil pertanian organik hanya terpusat pada penggilingan saja, sedangkan pada petani konvensional gabah yang dihasilkan selain dijual ke penggilingan, terdapat pula petani yang menjual hasil panennya kepada penangkar benih meskipun hanya sedikit dari responden penelitian yang menjual hasil panennya kepada penangkar benih tersebut. Dengan demikian, penulis memiliki asumsi lain bahwa pendapatan petani, baik petani organik maupun petani konvensional dapat meningkat jika petani mampu menjual hasil panen dalam bentuk beras karena harga jual dalam bentuk beras pastinya lebih tinggi dari harga jual dalam bentuk gabah. Selain itu, penulis menduga bahwa pendapatan petani dipengaruhi oleh respon petani tersebut pada pertanian organik. oleh karena itu, penulis mencoba untuk menganalisis hubungan antara respon petani pada pertanian organik dengan tingkat pendapatan. Hubungan ini dianalisis dengan menggunakan metode tabulasi silang. Hasil hubungan ditunjukkan pada Tabel 21 berikut. Tabel 21 Jumlah dan persentase pendapatan menurut respon petani pada pertanian organik, responden petani organik, 2013 Respon Petani pada Pertanian Organik Pendapatan Jumlah Rendah Tinggi f % f % f % Rendah 0 0 11 36.67 11 36.67 Tinggi 0 0 19 63.33 19 63.33 Jumlah 0 0 30 100 30 100 Berdasarkan perhitungan tabulasi silang pada Tabel 21, dapat diketahui bahwa tidak terdapat hubungan antara respon petani pada pertanian organik dengan tingkat pendapatan. Selain itu, pada tabel dapat diketahui bahwa petani yang memiliki respon yang tinggi pada pertanian organik juga memiliki tingkat pendapatan yang tinggi. Hal ini diduga semakin dalam pemahaman petani pada pertanian organik maka petani tersebut akan menerapkan pertanian yang benarbenar murni organik. Dengan demikian, maka hasil pertanian pun menjadi lebih bagus dibandingkan hasil pertanian konvensional sehingga memiliki harga jual yang lebih tinggi pula sehingga pendapatan petani pun dapat meningkat.
43
Tabel 22 Jumlah dan persentase tingkat pendapatan menurut respon petani pada pertanian organik, responden petani konvensional, 2013 Respon Petani pada Pertanian Organik Pendapatan Jumlah Rendah Tinggi f % f % f % Rendah 11 78.57 11 68.75 22 73.33 Tinggi 3 21.43 5 31.25 8 26.67 Jumlah 14 100 16 100 30 100 Berdasarkan perhitungan tabulasi silang pada Tabel 22, dapat diketahui bahwa tidak terdapat hubungan antara respon petani pada pertanian organik dengan tingkat pendapatan. Selain itu, pada tabel dapat dilihat bahwa petani yang memiliki respon yang rendah maupun respon yang tinggi pada pertanian organik ternyata memiliki tingkat pendapatan yang rendah pula. Hal itu karena lahan mereka belum bersertifikat organik sehingga hasil pertanian masih digolongkan sebagai hasil pertanian konvensional. Di Desa Kebonagung, harga jual hasil pertanian konvensional masih tergolong rendah (Tabel 20). Hasil produk konvensional dinilai berbeda dengan hasil produk organik, hal tersebut menyebabkan harga jual hasil produk konvensional rendah. Pada Tabel 21 dan Tabel 22 dapat dianalisa bahwa ternyata respon petani pada pertanian organik tidak berhubungan dengan tingkat pendapatan. Namun pada kenyataannya, pendapatan petani organik lebih tinggi dibandingkan dengan petani konvensional. Hal ini disebabkan tingginya harga jual hasil pertanian organik, sehingga secara tidak langsung dapat diketahui bahwa keputusan petani untuk bertani organik atau tidak dapat mempengaruhi pendapatannya. Pada Tabel 19 dan Tabel 21 dapat dilihat juga bahwa masih ada petani organik yang memiliki pendapatan rendah karena lahan yang dimilikinya tidak terlalu luassehingga hanya mampu menghasilkan hasil panen yang sedikit pula. Meskipun demikian, petani organik yang memiliki pendapatan rendah tidak menyebabkan ia berhenti untuk terus menjadi petani organik. Hal ini disebabkan oleh penerapan pertanian organik yang dilakukan atas kesadaran pribadi petani masing-masing. Petani merasa bahwa penggunaan bahan kimia pada tanah telah menghancurkan kesuburan tanah. Oleh karena itu petani mencoba untuk menerapkan sistem pertanian organik yang ramah lingkungan. Beberapa petani juga merasa bahwa hasil pertanian organik itu sangat memuaskan, baik dari segi kesehatan maupun harga jual. Namun, hasil pertanian organik memang jarang yang dijual karena hasilnya hanya habis untuk konsumsi keluarga. Sehingga pendapatan yang didapatkan bukan dalam bentuk uang melainkan dalam bentuk hasil panen. Akses Pasar Menurut Widiarta (2011), akses pasar adalah kemampuan atau peluang petani dalam memasarkan atau menjual produk pertaniannya kepada konsumen melalui berbagai macam saluran distribusi berdasarkan permintaan konsumen. Pada penelitian ini, digunakan dua indikator untuk mengetahui akses pasar yaitu tempat langganan menjual hasil panen dan peluang menjual hasil panen ke tempat lain. Kondisi perbandingan akses pasar antara petani organik dan petani konvensional dapat dilihat pada Tabel 19.
44
Tabel 23 Jumlah dan persentase responden berdasarkan akses pasar, Kelompok Tani Madya, 2013 Petani Organik Petani Konvensional Akses Pasar Jumlah Persentase (%) Jumlah Persentase (%) Rendah 0 0 0 0 Tinggi 30 100 30 100 Total 30 100 30 100 Tabel di atas menunjukkan bahwa akses pasar petani berada pada kategori tinggi. Petani telah memiliki tempat langganan untuk menjual hasil panen dan juga telah mengetahui adanya peluang untuk menjual ke tempat lain. Berdasarkan hasil wawancara kepada responden, diketahui bahwa setiap petani telah memiliki tempat langganan untuk menjual hasil panen. Menurut penuturan semua responden, tempat langganan untuk menjual hasil panen adalah pada tengkulak (tempat penggilingan beras) yang terdapat di jalan luar wilayah desa, baik untuk hasil panen organik maupun konvensional. Petani organik mengaku bahwa hasil panen juga bisa secara bebas dijual kepada konsumen. Untuk harga jual, biasanya sebelum panen dilakukan kumpul kelompok untuk menentukan harga jual yang sesuai dengan kondisi pasar sebagai gambaran apakah harga beli yang ditawarkan oleh penggiling beras sudah sesuai dengan harga pasar. Sangat disayangkan saluran distribusi lain seperti koperasi, grosir beras organik maupun secara bermitra belum dapat dijangkau oleh petani. Hal itu karena Kelompok Tani Madya belum memiliki alat penggilingan gabah sehingga jika ingin menjual dalam jumlah besar harus menggilingnya ke tempat penggilingan gabah. Padahal sebagian besar petani telah mengetahui bahwa jika dengan bermitra akan mempermudah petani dalam menjual hasil panen. Fakta mengenai peluang menjual hasil panen ke tempat lain diperkuat oleh pernyataan salah satu informan penelitian sebagai berikut: “... Sekarang kita sudah punya sertifikat padi organik. rencananya kelompok akan bermitra dengan pihak lain. kelompok akan punya penggilingan sendiri. Hasil panen dipisahkan dengan pertanian konvensional. Udah bisa jual bukan gabah lagi nanti jadinya.” (Ngj, 62 tahun)
Jadi Nanti akan beras
Petani organik dan konvensional telah mengetahui bahwa harga beras organik di pasar sangatlah tinggi. Namun, permintaan yang tinggi tersebut belum sejalan dengan kesiapan kelompok untuk memenuhi permintaan yang ada. Oleh karena itu, kelompok akan mengusahakan semaksimal mungkin untuk mengembangkan jejaring pemasaran hasil pertanian organik. Keunggulan Pertanian Organik Pada dasarnya petani organik di kelompok tani Madya telah merasakan manfaat setelah mengubah pertanian mereka menjadi pertanian organik. Seluruh petani organik yang menjadi responden penelitian ini mengaku bahwa hasil beras dari pertanian organik lebih enak daripada pertanian konvensional dan memiliki harga jual yang lebih tinggi. Petani dapat menggunakan beras hasil pertaniannya
45
sendiri untuk makan, berbeda dengan petani konvensional yang perlu membeli beras untuk kebutuhan makan sehari-hari. Sehingga petani dapat meminimalkan pengeluaran rumah tangga untuk membeli beras karena dapat mengkonsumsi beras hasil pertanian sendiri dan dapat menggunakannya untuk keperluan lainnya. Pertanian organik juga menggunakan input eksternal yang rendah dengan mengoptimalkan penggunaan asupan alami yang ada di sekitar melalui proses daur ulang bahan-bahan alami. Petani dapat menghemat penggunaan benih dan memanfaatkan sisa tanaman dengan mendaur ulang daun-daun telah mati. Selain itu petani juga dapat memanfaatkan kotoran ternak sehingga lingkungan sekitar tidak mengalami kesulitan untuk membuang kotoran ternak tersebut. Praktik pertanian organik terbukti menguntungkan secara ekonomi, khususnya pada tingkat pendapatan. Responden yang merupakan petani organik memiliki tingkat pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan responden petani konvensional. Selain itu, pertanian organik berupaya untuk menciptakan pasar yang berpihak kepada petani organik tersebut. Selain harga jual gabah yang lebih tinggi daripada gabah hasil pertanian konvensional, petani juga memiliki kesempatan untuk ikut menentukan harga jual atas produk yang telah mereka hasilkan. Permintaan yang tinggi pada pertanian organik juga memberikan nilai lebih bahwa petani organik dapat dengan bebas menjual hasil panennya dengan tidak selalu menjual pada penggilingan padi saja. Peluang Penerapan Pertanian Organik Pada Petani Konvensional Sutanto (2002) mendefinisikan bahwa pertanian organik bertujuan untuk mengelola pertanian dan ekosistem sekaligus bersama-sama. Petani harus mampu mengelola pertaniannya dengan menggunakan segala sumber daya yang berasal dari lingkungan tinggalnya. Hal tersebut perlu diterapkan untuk meminimalkan ketergantungan petani pada pupuk dan pestisida kimia yang sebelumnya telah mereka gunakan. Penerapan pertanian organik hanya akan berhasil baik di wilayah atau tempat yang secara alami cukup bahan organik dan ketersediaan pupuk kimia terbatas atau bahkan tidak ada sama sekali (Susanto 2002). Berdasarkan hasil penggalian informasi di lapangan, ternyata ditemui banyak permasalahan yang menjadi penghalang sulitnya pertanian organik berkembang dengan cepat. Tingginya respon petani organik pada pertanian organik ternyata tidak memberikan pengaruh yang besar pada petani konvensional. Hal tersebut dilihat tidak banyak petani konvensional yang berani menerapkan pertanian organik secara berkelanjutan walaupun sebagian besar diantara mereka telah banyak yang memahaminya. Pada Tabel 7 telah dilihatkan bahwa pemahaman pada petani konvensional yang tinggi, yaitu sebesar 76.67% diduga memungkinkan petani konvensional untuk beralih menjadi petani organik. Hal tersebut didukung pula dengan sebesar 16.67% petani konvensional yang sistem pertaniannya sudah mengarah ke pertanian organik. Sehingga dengan pemahaman yang tinggi, seharusnya petani petani lebih menyadari sisi positif dari pertanian organik. Namun, pertanian organik yang merupakan salah satu bentuk dari pertanian berkelanjutan memiliki kendala dalam menerapkannya, salah satunya yaitu kendala sumber daya manusia yang rata-rata tingkat pendidikan petani relatif rendah, kondisi kesehatan petani kurang baik, produktivitas kerja
46
masih rendah, dan kurangnya motivasi untuk maju (Kusharto dan Gunardja dalam Salikin 2003). Berdasarkan wawancara mendalam yang dilakukan kepada informan, didapatkan informasi bahwa petani konvensional masih takut untuk benar-benar menerapkan pertanian organik yang bebas dari penggunaan pestisida atau pupuk kimia sintetik walaupun pada dasarnya mereka telah memahami pertanian organik. “Petani konvensional itu ya istilahnya masih takut nerapin karena syarat-syarat organik itu banyak sekali toh. Kalo di kelompok ini ya semua petani ini diajak kumpul sosialisasi organik.” (Sdy, 54 tahun) Informan Mrg (45 tahun) menambahkan pula bahwa pada dasarnya petani itu membutuhkan segala sesuatu untuk usahataninya yang cepat. Sehingga petani lebih suka dan terbiasa untuk membeli daripada memanfaatkan lingkungan sekitar. “Petani kan butuh yang cepat, jadi mau tidak mau ya lebih baik beli. Soalnya kan kalo proses buat obat yang alami itu kan minimalnya butuh waktu satu minggu dan lebih lama lebih bagus.” (Mrg, 45 tahun) Tingginya tingkat pendidikan (53.33%) pada petani konvensional seharusnya dapat menjadi pendorong petani untuk menerapkan pertanian organik. Karena semakin tingginya pendidikan seharusnya petani lebih memahami bahwa lingkungan ini perlu dijaga kelestariannya, salah satunya dengan menerapkan pertanian yang ramah lingkungan yaitu pertanian organik. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Widiarta (2011) yang menyatakan bahwa petani yang berpendidikan lebih tinggi dibandingkan petani lainnya cenderung lebih mudah mengadopsi suatu inovasi seperti pertanian organik. Namun, dalam penelitian ini juga terlihat bahwa petani organik sebagian besar (56.67%) merupakan petani yang berpendidikan rendah. Oleh karena itu, agar pertanian organik dapat berlangsung dan diterapkan oleh petani di Indonesia, diperlukan peran pemerintah untuk lebih memerhatikan tingkat pendidikan petani. Selain itu diharapkan bahwa pemerintah juga mampu memberikan pendidikan informal kepada petani dengan cara sosialisasi dan penyuluhan yang secara intensif dilakukan agar petani lebih sadar akan manfaat dari pertanian organik. Selain tingkat pendidikan formal, seharusnya dengan tingginya tingkat pengalaman bertani petani konvensional (53.33%), petani dapat belajar dan menyadari bahwa tanah yang telah diberi bahan-bahan kimia sintetik secara bertahun-tahun nantinya akan mengalami kerusakan. Oleh sebab itu, sebaiknya petani konvensional perlu beralih untuk membebaskan lahannya dari bahan-bahan kimia berbahaya tersebut. Namun sangat disayangkan, ternyata untuk mengajak petani konvensional menjadi petani organik masih sulit dilaksanakan. Hasil penggalian informasi yang dilakukan didapatkan bahwa masih sulit untuk mengubah perilaku petani yang sudah terbiasa menggunakan pupuk dan pestisida kimia yang dapat secara instan didapatkan.
47
Mrg (45 tahun) merupakan petani konvensional yang saat ini telah mencoba untuk melepaskan diri dari ketergantungan kepada pupuk dan pestisida kimia. Mrg (45 tahun) dapat digolongkan sebagai petani semi konvensional karena telah berupaya untuk secara konsisten menggunakan pupuk organik, baik yang berasal dari tanaman atau kotoran ternak. Namun, Mrg terkadang masih menggunakan pestisida kimia karena lahannya masih berada pada lahan konvensional. Di lahan konvensional tersebut, hama tanaman dapat digolongkan lebih banyak dibandingkan dengan lahan pertanian organik. “Pupuknya saya bikin sendiri, cuma kotorannya beli. Kalo saya pada dasarnya menggunakan barang yang ada. Kalo sudah merasa cukup ya itu aja. Saya ya daun-daun yang jatoh itu saya ambili, saya langsung taro ke sawah. Baru beberapa hari sudah langsung mulai menghijau.” (Mrg 45 tahun) Selain itu, didapatkan pula informasi lain bahwa petani tidak puas dengan hasil panen yang sedikit pada saat pertama kali menerapkan pertanian organik. Srw (61 tahun) merupakan salah satu dari beberapa petani yang telah mengalami masalah tersebut. Srw (61 tahun) hanya mampu menerapkan pertanian yang bebas dari pupuk kimia selama 1 kali panen. Hal tersebut karena Srw (61 tahun) merasa bahwa penerapan pertanian organik itu sulit. Padahal Srw (61 tahun) telah merasakan manfaat dari penerapan pertanian yang bebas bahan kimia sintetik yaitu beras yang bagus dan nasi yang pulen dan tidak cepat basi. Di sisi lain Srw (61 tahun) juga berpendapat bahwa hasil pertanian jika tidak diimbangi dengan pupuk kimia, hasil panen yang diterima lebih sedikit. Hal itulah yang menyebabkan saat ini Srw (61 tahun) belum bisa melepaskan diri dari ketergantungan pada pupuk kimia sintetik. Ketergantungan ini yang menyebabkan adanya pandangan bahwa usaha pertanian tidak bisa terlepas dari penggunaan pupuk kimia. Fakta ini sesuai dengan hasil penelitian Widiarta (2011) yang menyampaikan bahwa hasil panen pertanian organik jumlahnya lebih sedikit dan kurang memuaskan pada masa awal bertani organik sehingga masih sedikit petani yang menerapkan pertanian organik. Padahal dari literatur yang telah peneliti baca, rendahnya hasil panen pada awal penerapan pertanian organik merupakan hal yang wajar karena pada saat itu merupakan masa peralihan tanah yang setelah tiga hingga lima tahun dilalui justru akan naik dan memuaskan. Selain kekecewaan petani pada hasil pertanian organik pada awal penerapan berkurang, ternyata petani juga belum bisa mengubah kebiasaan mereka yang sudah sejak dulu terbiasa menggunakan pupuk atau pestisida kimia sintetik. Pertanian organik ini memang dapat memberikan beberapa manfaat, khususnya dari segi ekonomi. Peluang harga jual pertanian yang tinggi di pasar seharusnya dapat menjadi daya tarik bagi petani untuk beralih menjadi petani organik. Namun, fakta di lapangan yang terjadi menunjukkan keadaan yang sebaliknya. Banyak yang belum beralih menjadi petani organik murni karena keuntungan ekonomi yang dirasakan belum signifikan. Meskipun harga jual hasil panen organik lebih tinggi daripada hasil panen konvensional, hal tersebut belum dapat menjadi alasan kuat petani konvensional beralih menjadi petani organik. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa responden petani konvensional di Kelompok Tani Madya belum dapat membebaskan diri dari ketergantungan
48
pupuk dan pestisida kimia sintetik. Selain itu, sistem pertanian konvensional maupun semi konvensional yang telah diterapkannya saat ini sudah memberikan kepuasan kerja tersendiri, baik dari segi penjualan maupun proses pertanian yang berlangsung. Sehingga mereka tidak perlu mengubah sistem bertani mereka menjadi petani organik murni karena penerapan sistem pertanian mereka saat ini sudah cukup. Meskipun demikian, pertanian organik memiliki peluang yang cukup besar untuk diterapkan secara berkelanjutan oleh Kelompok Tani Madya. Hal ini karena setiap anggota memiliki kekerabatan yang dekat dan kepercayaan yang tinggi dengan ketua kelompok dan anggota kelompok lainnya. Sehingga hal ini diduga dapat menjadi nilai positif bahwa pertanian organik dapat dikembangkan melalui pertemuan dan sosialisasi yang intensif dari kelompok selain penyuluhan yang dilakukan oleh pemerintah.
49
SIMPULAN DAN SARAN Bab ini menyajikan kesimpulan dari hasil penelitian mengenai hubungan antara karakteristik petani dengan respon petani pada pertanian organik serta dampak yang ditimbulkan dari pertanian organik. Kesimpulan yang dibuat merupakan jawaban dari permasalahan dan tujuan yang diangkat pada bagian awal penulisan skripsi ini. Pada bab ini juga disertai pula saran untuk berbagai pihak mengenai perkembangan pertanian organik dan dampaknya.
Simpulan Pada Kelompok Tani Madya pengembangan pertanian organik diasumsikan akan terus berkembang. Hal tersebut didukung dengan sudah tingginya pemahaman mereka mengenai pertanian organik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1. Tidak terdapat hubungan antara karakteristik petani organik dengan respon petani pada pertanian organik dan terdapat hubungan antara pendidikan formal dan keberanian mengambil resiko petani konvensional dengan respon petani pada pertanian organik. Adanya beberapa ketidakberhubungan antara karakteristik petani dengan respon petani pada pertanian tersebut karena individu dengan berbagai karakteristik dapat memiliki respon yang rendah atau tinggi pada pertanian organik. Hal tersebut juga menunjukkan adanya kebebasan bagi siapapun untuk memahami dan menerapkan pertanian organik. Selain itu, adanya motivasi lain dari setiap petani yang menyebabkan beragamnya respon petani pada pertanian organik. 2. Tidak terdapat hubungan antara respon petani pada pertanian organik dengan pendapatan petani. Hal ini terjadi bahwa karena tinggi rendahnya pendapatan petani tergantung pada nilai jual hasil pertanian yang dihasilkan. 3. Adanya peluang pada petani konvensional untuk menerapkan pertanian organik. Hal ini didukung oleh fakta yang menunjukkan bahwa terdapat petani yang memiliki pendidikan formal dan pengalaman bertani yang tinggi sehingga dapat diprediksikan mereka mau mengubah perilakunya untuk menghindari diri dari penggunaan pupuk dan pestisida kimia sintetik. Selain itu, petani konvensional juga telah memiliki pemahaman yang tinggi sehingga dengan pemahaman yang tinggi seharusnya petani lebih menyadi manfaat dari pertanian organik.
Saran Saran yang diberikan berdasarkan hasil penelitian ini adalah pemerintah diharapkan lebih memerhatikan pertanian yang dapat berkelanjutan. Hal ini karena mengingat bahwa penerapan pertanian organik sangatlah sulit karena harus benar-benar bebas dari bahan kimia, termasuk kandungan kimia yang terdapat pada air irigasi. Pemerintah diharapkan dapat menerapkan kebijakan yang sesuai dengan kondisi sebenarnya karena masih banyak petani konvensional yang belum beralih menjadi petani organik murni. Selain itu, ini diharapkan ada pihak
50
akademisi yang meneliti lebih lanjut untuk memperbaiki berbagai kelemahan dalam penelitian ini. Hasil riset memperlihatkan bahwa meskipun petani organik dan petani konvensional berada pada satu kelompok, tetapi tidak semua petani mengadopsi pertanian organik. Dengan demikian, penulis mengharapkan adanya penelitian lebih lanjut terkait dengan hal apa yang menyebabkan petani konvensional belum mampu menerapkan pertanian organik murni karena pada penelitian ini hanya dijabarkan berdasarkan data kualitatif.
51
DAFTAR PUSTAKA [Anonim]. 2011. Profil Desa Kebonagung. Yogyakarta [ID]: Puswira Yogyakarta. http://www.scribd.com/doc/53492359/Profil-Desa-Kebonagung [11 Maret 2013] [Anonim]. 2010. Profil Penerima penghargaan ketahanan pangan bidang pengolahan dan pemasaran hasil pertaniantahun 2010. http://agribisnis.deptan.go.id/download/layanan_informasi/sekretariat/profi l_penerima_penghargaan_ketahanan_pangan_bidang_pphp_2010.pdf [17 Maret 2013] Ariesusanty R, Nuryati S, dan Wangsa R. 2012. Statistik pertanian organik Indonesia - 2011. Bogor [ID]: Aliansi Organis Indonesia Badan Pusat Statistik. 2011. Potensi Desa 2011. Yogyakarta. Badan Pusat Statistik. 2012. Penduduk 15 tahun ke atas yang bekerja menurut lapangan pekerjaan utama 2004 2012. http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=1&tabel=1&daftar=1&id_sub yek=06¬ab=2 [22 Juli 2013] Indriana H. 2010. Kelembagaan berkelanjutan dalam pertanian organik. [tesis]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. Jaya A. 2004. Konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development). [tugas individu semester ganjil 2004 pengantar falsafah sains program s3 IPB]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor Putri NI. 2011. Penerapan teknologi pertanian padi organik di Kampung Ciburuy, Desa Ciburuy, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor. [skripsi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor Reijntjes C, Haverkort B, Bayer AW. 1999. Pertanian masa depan: pengantar untuk pertanian berkelanjutan dengan input luar rendah. Yogyakarta [ID]: Kanisius Rukka, Buhaerah, Sunaryo. 2006. Hubungan karakteristik petani dengan respon petani terhadap penggunaan pupuk organik pada padi sawah (Oriza sativa L.). [jurnal]. [internet]. [diunduh pada 10 Maret 2013]. www.stppgowa.ac.id/datadownloadcenterpap/data-jurnal-agrisistem-stppgowa/4.%20hubungan%20karakteristik%20petani%20dengan%20respon %20petani%20terhadap%20penggunaan%20pupuk%20organik%20pada% 20padi%20sawah%20(Oriza%20sativa%20L.).pdf Salikin KA. 2003. Sistem pertanian berkelanjutan. Yogyakarta [ID]: Kanisius Saragih SE. 2008. Pertanian organik solusi hidup harmoni dan berkelanjutan. Depok [ID]: Penebar Swadaya Sarwono SW. 2003. Teori-Teori Psikologi Sosial. Jakarta [ID]: Raja Grafindo Persada. Siahaan L. 2009. Strategi pengembangan padi organik Kelompok Tani Sisandi, Desa Baruara, Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara. [skripsi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. Singarimbun, M. Efendi S, editor. 1989. Metode penelitian survei. Jakarta: LP3ES Soetrisno L. 2002. Paradigma baru pembangunan pertanian sebuah tinjauan sosiologis. Yogyakarta [ID]: Kanisius
52
Sugarda TJ, Charina A, Setiagustina L, dan Setiawan I. 2008. Kajian pengembangan usahatani padi organik SRI (System Of Rice Intensification) berwawasan agribisnis dalam mendukung program ketahanan pangan secara berkelanjutan. [jurnal]. [Internet]. [diunduh 22 November 2012]. Dapat diunduh dari: http://journals.unpad.ac.id/agrikultura/article/viewFile/625/671 Susanti LW, Sugihardjo, Suwarto. 2008. Faktor-Faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan petani dalam penerapan pertanian padi organik di Desa Sukorejo Kecamatan Sambirejo Kabupaten Sragen. [jurnal]. [internet]. [diunduh 1 April 2013]. Dapat diunduh dari http://fp.uns.ac.id/jurnal/download.php?file=Agritex-4.pdf Susilo A. 2005. Pertanian dalam globalisasi. Y. Wartaya Winagun, penyunting. Membangun karakter petani organik sukses dalam era globalisasi. Yogyakarta [ID]: Kanisius Sutanto R. 2002. Pertanian organik menuju pertanian alternatif dan berkelanjutan. Yogyakarta [ID]: Kanisius Suwantoro AA. 2008. Analisis pengembangan pertanian organik di Kabupaten Magelang (studi kasus di Kecamatan Sawangan). [tesis]. [Internet]. [diunduh 22 November 2012]. http://eprints.undip.ac.id/16429/1/Andreas_Avelinus_Suwantoro.pdf Widiarta A. 2011. Analisis berlanjutan praktik pertanian organik di di kalangan petani. [skripsi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor
53
LAMPIRAN Lampiran 1 Jadwal Pelaksanaan Penelitian No
Kegiatan
1
Penyusunan proposal Kolokium
2 3 4 5
6 7 8 9 10
Revisi proposal Pengumpulan data Pengolahan dan Analisis data Penulisan skripsi Konsultasi skripsi Uji petik Sidang skripsi Perbaikan skripsi
Feb Maret April Mei Juni Juli Agt 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3
54
Lampiran 2 Peta Lokasi Penelitian (Desa Kebonagung)
Lokasi Penelitian
55
Lampiran 3 Sketsa Lahan Pertanian Organik dan Pertanian Konvensional
56
Lampiran 4 Kerangka Sampling Penelitian Daftar Responden Petani Organik No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
Nama PRA CPW SMT SGR TGM ANS SMN WKO RBG SGG SGY WGM MWY NGD KSM MDS SBN WRN SDY SJH JWB UNW WKJ
Keterangan: Dipilih sebagai responden
No 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46
Nama MTR NGI NGJ TKS WNT SRB MUJ BGM SWJ PRJ YWN SDH MRH SBR TGD WDY PNJ ARS JMR SGN SND NGY BSR
57
Daftar Responden Petani Konvensional No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37
Nama JMY MRG PNA BDI SHR TRS SYN SWD DWY SWB MIP BSK IMR PON SAS WIY SUG HRJ AHM TND JOW SUR PJO SUA WAK KAM SMH WAN SKR WIR PRL SRJ SKR MNT SLM JOD PNO
Keterangan: Dipilih sebagai responden
No 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73
Nama MAR MDI MRW ATM MRO MRT PAI SDL PUR WRT SAR WAD SRW PHS PNM GMN DRM ADW SPY RSW SUM NJM NGM AMY MUH SRI GYN SUB PAR SYN SDN BSI WDS TRU TJS SUN
58
Lampiran 5 Sertifikat Organik Kelompok Tani Madya
Sertifikat Organik 24 Januari 2010 – 24 Januari 2013
59
Sertifikat Organik 10 Desember 2012 – 9 Desember 2015
60
RIWAYAT HIDUP Firda Emiria Utami dilahirkan di Jakarta pada tanggal 13 Februari 1991. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara yang terlahir dari pasangan Soepatmo B. Soetrisno dan Dian Herlina Iriawati. Penulis memulai pendidikannya di Taman Kanak-Kanak Budi Asih pada tahun 1996-1997, kemudian melanjutkan di Sekolah Dasar Negeri Menteng Atas 19 Jakarta pada tahun 1997-2003, Sekolah Menengah Pertama Negeri 3 Jakarta pada tahun 2003-2006, Sekolah Menengah Atas Negeri 26 Jakarta pada tahun 2006-2009. Pada tahun 2009, penulis melanjutkan studinya di Institut Pertanian Bogor melalui Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) di Fakultas Ekologi Manusia, Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (SKPM). Selama di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif mengikuti berbagai kegiatan kepanitiaan dalam beberapa event diantaranya INVESTMENT 2010, 4th E’SPENT (Ecology Sport and Art Event) pada tahun 2011, IAC (IPB Art Contest) pada tahun 2011, Masa Perkenalan Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada tahun 2011, INDEX (Indonesian Ecology Expo) pada tahun 2011, Job Fair IPB 2011, 5th E’SPENT (Ecology Sport and Art Even) pada tahun 2012, IGLM (IPB Green Living Movement) pada tahun 2012, serta INDEX (Indonesian Ecology Expo) pada tahun 2012. Penulis juga pernah mengikuti kegiatan di luar IPB, diantaranya Peserta Indonesian Youth Camp yang diselenggarakan oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga pada tahun 2011 dan Peserta Transmania Broadcasting Camp yang diselenggarakan oleh Trans TV pada tahun 2012.