PENGEMBANGAN MODEL KEBIJAKAN KAWASAN AGROPOLITAN BERBASIS AGRIBISNIS PETERNAKAN YANG BERKELANJUTAN DI KABUPATEN JAYAPURA
HERMANUS BUDIARTO RUMAJOMI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Saya yang tertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa disertasi yang berjudul: Pengembangan Model Kebijakan Kawasan Agropolitan Berbasis Agribisnis Peternakan yang Berkelanjutan di Kabupaten Jayapura adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.
Bogor, September 2011
Hermanus Budiarto Rumajomi P062054744
ABSTRACT
HERMANUS BUDIARTO RUMAJOMI. Development of Agropolitan Policy Model Based on Regional Sustainable Agribusiness Livestock in Jayapura Regency. Under Supervision of SURJONO H. SUTJAHJO, MULADNO, and CATUR HERISON. Agropolitan estate development in the Regency of Jayapura is less sustainable. Of the five dimensions are analyzed to determine the status of sustainability of regional development, there are two dimensions that are categorized as showed quite sustainable (score 50-75), namely the economic dimension with a value of 53.2 index; and social dimensions (67.0). While the dimensions are less sustainable (score <50) is the dimension of ecology with an index value of 48.5; dimensions of technology (40.5), and institutional dimensions (49.3). The dimensions of ecological, technological, and institutional become the most important thing to consider in the development activities agropolitan Jayapura region because it has a sustainability index score <50. There are five key factors to consider in order to meet the future needs of stakeholders in the development of region-based agropolitan beef cattle in Jayapura District, namely: the improvement of maintenance systems, facilities and infrastructure development of agribusiness, the construction of artificial insemination post, the availability of financial institution that provides easy-interest loans lower for beef cattle raising business capital and the support of local government policy in the form of changes in budget revenues and expenditures livestock sub-sector. The design of development policies formulated by taking into account the area agropolitan key factors that have been generated from the preceding analysis. It also include the results of regional development policy review agropolitan. The formulation of this policy is carried out through FGDs with stakeholders and experts. The formulation of regional development policy design agropolitan are: (1) Improving the quality of human resources, especially farmers and ranchers farm actors through training and education, (2) Development and maintenance of infrastructure and facilities for the region to support the development of the region, (3) Increasing the number of beef cattle traded with agricultural commodities that can improve the welfare of the community, (4) Developing and strengthening partnerships in support of farming beef cattle agribusiness development activities, (5) Improvement of investment climate and increased government investment and entrepreneurs, and (6) Development of cultivation technology and the improvement of agriculture and animal husbandry agricultural business management. Regional development policy alternatives agropolitan continuing the priorities are: improving and strengthening partnerships in support of agribusiness farm commodities of superior livestock. To realize the policy is agreed upon policy implementation strategy are: to develop quality human resources in the region in strengthening the partnership agropolitan, implement construction and maintenance of facilities and infrastructure to support increased business and investment partnerships, developing economies in the region mengintensitaskan agropolitan with beef cattle population and productivity agriculture that can support business partnerships in accelerating economic growth and implement policies to improve the system of business partnerships and rental growth in the financial sector as a source of capital that can contribute to the welfare of the community by conducting inter-regional cooperation in promoting the growth of industrial sector in the region through efforts to increase the power industrial competitiveness by developing a network pattern of industrial clusters as its foundation. Key words: priority commodities, the behavior of farmers, cattle agribusiness, agropolitan, sustainable, development, policy.
RINGKASAN HERMANUS BUDIARTO RUMAJOMI. Pengembangan Model Kebijakan Kawasan Agropolitan Berbasis Agribisnis Peternakan yang Berkelanjutan di Kabupaten Jayapura. Dibimbing oleh SURJONO H. SUTJAHJO, MULADNO, dan CATUR HERISON. Pendekatan pembangunan di perdesaan harus dilakukan tidak hanya pada kegiatan fisik, namun yang lebih penting sebagai entry point-nya adalah kegiatan ekonomi berdasarkan pada potensi unggulan di masing-masing wilayah. Terkait dengan pendekatan ini maka melalui konsep pembangunan kawasan agropolitan menjadi relevan untuk dilaksanakan di daerah perdesaan. Pengembangan kawasan agropolitan ini diharapkan dapat berfungsi sebagai pusat pertumbuhan ekonomi yang mendorong pertumbuhan pembangunan perdesaan dan desa-desa hinterland atau wilayah sekitarnya melalui pengembangan ekonomi yang tidak terbatas sebagai pusat pelayanan sektor pertanian, tetapi juga pembangunan sektor secara luas seperti usaha pertanian (on farm dan off farm), industri kecil, pariwisata, jasa pelayanan, dan pelayanan lainnya. Sektor agribisnis merupakan sektor usaha yang memanfaatkan sumberdaya manusia dan sumberdaya alam yang memberikan sumbangan sangat besar bagi pembangunan Indonesia. Sumbangan sektor agribisnis terutama terlihat pada masa krisis, masih sanggup memberikan devisa negara dengan meningkatnya nilai ekspor komoditas agribisnis. Dalam rangka pemberdayaan ekonomi rakyat dan pelaksanaan otonomi daerah, Kabupaten Jayapura juga mempunyai peluang untuk mengembangkan agropolitan yang berbasis agribisnis peternakan dikarenakan sumberdaya peternakan, merupakan salah satu sumberdaya alam yang dapat diperbaharui (renewable) dan berpotensi untuk dikembangkan guna meningkatkan dinamika ekonomi daerah. Dalam rangka mendapatkan manfaat yang optimal, pengembangan sistem budidaya peternakan perlu memenuhi kriteria pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang mempersekutukan antara kepentingan ekonomi dan kelestarian lingkungan. Penerapan konsep pembangunan berkelanjutan dalam pengembangan sistem agribisnis peternakan diharapkan dapat meningkatkan pendapatan peternak, memberikan kontribusi terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD), menyerap tenaga kerja, memeratakan pendapatan, mengaplikasikan teknologi untuk meningkatkan produktifitas, patuh hukum dan berfungsinya kelembagaan peternakan. Dalam upaya mewujudkan hal tersebut maka penelitian mengenai pengembangan model kebijakan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan berkelanjutan di Kabupaten Jayapura perlu dilakukan. Penelitian bertujuan untuk (1) menentukan komoditas unggulan; (2) mengetahui perilaku dan karakteristik peternak; (3) menilai keberlanjutan sistem melalui penyusunan indeks dan status (kategori) keberlanjutan; (4) menganalisis faktor kunci yang menentukan keberlanjutan; dan (5) merumuskan kebijakan pengembangan agribisnis peternakan kawasan agropolitan yang berkelanjutan di Kabupaten Jayapura. Penelitian dilakukan dengan lima tahapan penelitian yaitu menentukan komoditas unggulan peternakan, menganalisa perilaku dan karakteristik peternak, analisis keberlanjutan dan faktor pengungkit pengembangan agribisnis peternakan di kawasan agropolitan, analisis faktor-faktor kunci pengembangan
agribisnis peternakan, dan perumusan kebijakan dan strategi implementasi pengembangan agribisnis peternakan kawasan agropolitan di Kabupaten Jayapura secara partisipatif. Terdapat lima metode analisis yang digunakan dalam analisis data pada penelitian ini yaitu metode perbandingan eksponensial untuk menentukan komoditas unggulan peternakan, proportional cluster random sampling dipergunakan untuk analisis perilaku dan karakteristik peternak, analisis multi dimensional scaling untuk menentukan keberlanjutan pengembangan kawasan dan faktor pengungkit, analisis prospektif untuk menentukan faktor-faktor kunci pengembangan kawasan transmigrasi di lahan kering, dan analytical hierarchy process untuk menentukan prioritas kebijakan pengembangan kawasan agropolitan. Focus group discussion dilakukan untuk merumuskan strategi implementasi kebijakan prioritas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: komoditas unggulan peternakan adalah sapi potong dengan tujuan utama dalam memelihara ternak sapi adalah untuk menambah tingkat pendapatan keluarga, pendapatan yang diperoleh dapat digunakan sebagai tabungan bagi kebutuhan keluarga peternak. Sistem pemeliharaan ternak sapi di Kabupaten Jayapura umumnya adalah pastural sistem dengan tipe manajemen ekstensif adalah sebesar 76,36 persen (tidak memiliki kandang) dan sistem intensif, semi intensif sebesar 23,64 persen(memiliki kandang). Sumber bibit, 47,27 persen berasal dari bantuan pemerintan maupun pihak swasta, 28,18% dengan pembelian dan 24,55% merupakan warisan dari keluarga. Tipologi usaha dapat berdasarkan pendapatan peternak adalah sebesar 28,3 persen sehingga hanya merupakan usaha sambilan. Keberlanjutan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan sapi potong di Kabupaten Jayapura dianalisis dengan model MDS. Nilai indeks keberlanjutan yang diperoleh berdasarkan penilaian terhadap semua atribut yang tercakup dalam lima dimensi (ekologi, ekonomi, sosial, teknologi, dan kelembagaan). Berdasarkan hasil diskusi dengan stakeholders dan pakar disepakati 61 atribut yang tersebar dalam lima dimensi pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan sapi potong. Pembangunan kawasan agropolitan di Kabupaten Jayapura belum berkelanjutan. Lima dimensi yang dianalisis pada penelitian ini untuk menentukan status keberlanjutan pembangunan kawasan, terdapat dua dimensi yang tergolong cukup berkelanjutan (skor 50 – 75) yakni dimensi ekonomi dengan nilai indeks 53.2; dan dimensi sosial (67,0). Dimensi yang tergolong kurang berkelanjutan (skor < 50) adalah dimensi ekologi dengan nilai indeks 48,5; dimensi teknologi (40,5), dan dimensi kelembagaan (49,3). Dimensi ekologi, teknologi, dan kelembagaan menjadi hal yang paling penting untuk diperhatikan dalam kegiatan pembangunan kawasan agropolitan Jayapura karena memiliki skor indeks keberlanjutan < 50. Hal ini menunjukkan bahwa faktor-faktor ekologi, teknologi, dan kelembagaan belum diperhatikan dalam proses pembangunan yang dilakukan selama ini. Dengan demikian, di masa mendatang ketiga dimensi ini perlu mendapat perhatian. Dimensi ekonomi dan sosial tergolong belum berkelanjutan (nilai indeks 50 – 75). Diperoleh 19 faktor pengungkit pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis sapi potong secara berkelanjutan di Jayapura. Dalam proses pembangunan, semua faktor ini harus diperhatikan agar tercapai efisiensi dan efektivitas pembangunan. Secara operasional, faktor ini memiliki keterkaitan dalam bentuk pengaruh dan ketergantungan antar faktor. Namun demikian, dalam proses implementasinya diperlukan pemilihan faktor yang paling berpengaruh dan memiliki keterkaitan dengan faktor lainnya yang paling tinggi
sehingga dengan memanfaatkan sumberdaya yang terbatas dapat dicapai tujuan pembangunan yang diinginkan. Faktor-faktor kunci tersebut digunakan sebagai basis dalam perumusan kebijakan dan strategi implementasi pengembangan komoditi unggulan peternakan yakni sapi potong. Penentuan faktor kunci dilakukan dengan melibatkan semua stakeholder yang terkait dengan pembangunan kawasan agropolitan Jayapura dan pakar. Hasil analisis prospektif diperoleh tiga faktor kunci keberhasilan pembangunan kawasan transmigrasi lahan kering di Kaliorang yaitu: luas lahan yang ditanami, ketersediaan mitra usaha, dan kondisi jalan. Terdapat lima faktor kunci yang perlu diperhatikan guna memenuhi kebutuhan stakeholder di masa mendatang dalam pengembangan kawasan agropolitan berbasis sapi potong di Kabupaten Jayapura yaitu perbaikan sistem pemeliharaan, pengembangan sarana dan prasarana agribisnis, pembangunan pos inseminasi buatan, ketersediaan lembaga keuangan yang memberikan kemudahan pinjaman dengan bunga rendah untuk modal usaha beternak sapi potong dan adanya dukungan dari kebijakan pemerintah daerah berupa perubahan anggaran pendapatan dan belanja daerah sub sektor peternakan. Rancangan kebijakan pembangunan kawasan agropolitan dirumuskan dengan memperhatikan faktor-faktor kunci yang telah dihasilkan dari analisis sebelumnya. Selain itu juga memasukkan hasil tinjauan kebijakan pembangunan kawasan agropolitan. Perumusan kebijakan ini dilakukan melalui FGD dengan stakeholder dan pakar. Rumusan rancangan kebijakan pembangunan kawasan agropolitan adalah: (1) Peningkatan kualitas sumberdaya manusia khususnya petani peternak dan pelaku usahatani melalui pelatihan dan pendidikan; (2) Pembangunan dan pemeliharaan prasarana dan sarana kawasan guna menunjang pengembangan kawasan; (3) Peningkatan jumlah sapi potong yang diusahakan dengan komoditi pertanian yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat; (4) Pengembangan dan penguatan kemitraan usahatani dalam mendukung kegiatan pengembangan agribisnis sapi potong; (5) Perbaikan iklim investasi dan peningkatan investasi pemerintah dan pengusaha; dan (6) Pengembangan teknologi budidaya pertanian dan peternakan dan perbaikan manajemen usaha tani. Alternatif kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berkelanjutan yang menjadi prioritas, yaitu peningkatan dan penguatan kemitraan usahatani dalam mendukung kegiatan agribisnis komoditi peternakan unggulan. Dalam rangka mewujudkan kebijakan tersebut disepakati strategi implementasi kebijakan yaitu mengembangkan kualitas sumberdaya manusia di kawasan agropolitan dalam penguatan kemitraan usaha, melaksanakan pembangunan dan pemeliharaan sarana dan prasarana untuk mendukung peningkatan kemitraan usaha dan investasi. Alternatif lainnya adalah mengembangkan ekonomi dengan mengintensitaskan populasi ternak sapi potong dan produktifitas pertanian yang mendukung kemitraan usaha dalam percepatan pertumbuhan ekonomi dan melaksanakan kebijakan sistem kemitraan usaha dalam meningkatkan pertumbuhan sektor keuangan dan persewaan sebagai sumber modal yang memberikan kontribusi terhadap kesejahteraan masyarakat dengan melakukan kerjasama antar wilayah dalam mendorong pertumbuhan sektor industri di wilayah sekitarnya melalui upaya meningkatkan daya saing industri.
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2011 Hak cipta dilindungi 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
PENGEMBANGAN MODEL KEBIJAKAN KAWASAN AGROPOLITAN BERBASIS AGRIBISNIS PETERNAKAN YANG BERKELANJUTAN DI KABUPATEN JAYAPURA
Oleh:
HERMANUS BUDIARTO RUMAJOMI P062054744
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
Ujian Tertutup Dilaksanakan pada : 9 Juli 2011 Penguji Luar Komisi : (1) Dr. Ir. Widiatmaka, DAA (2) Prof. Dr. Ir. Toto Toharmat, M.Sc Ujian Terbuka Dilaksanakan pada : 27 September 2011 Penguji Luar Komisi : (1) Dr. Ir. Asnath Maria Fuah (2) Dr. Ir. Suyitman, M.P.
Judul Disertasi : Pengembangan Model Kebijakan Kawasan Agropolitan Berbasis Agribisnis Peternakan yang Berkelanjutan di Kabupaten Jayapura Nama
: Hermanus Budiarto Rumajomi
NIM
: P062054744
Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Disetujui, Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS Ketua
Prof. Dr. Ir. Muladno, MSA Anggota
Ketua Program Studi PSL
Dr. Ir. Catur Herison, MSc Anggota
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.S.
Dr Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr
Tanggal ujian: 27 September 2011
Tanggal lulus:
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan YME karena atas semua berkat dan kasih-Nya yang telah diberikan, maka penulisan disertasi ini dapat terselesaikan dengan baik. Disertasi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS sebagai ketua komisi pembimbing; Prof. Dr. Ir. Muladno, MSA dan Dr. Ir. Catur Herison, MSc masing-masing sebagai anggota komisi pembimbing, yang telah berkenan membimbing, memberikan masukan kepada penulis
serta
memberikan dorongan moril mulai dari perencanaan, pelaksanaan penelitian hingga selesainya disertasi ini. Terimakasih juga disampaikan kepada Gubernur Provinsi Papua Bapak Barnabas Suebu, SH dan Sekretaris Daerah Provinsi Papua, Bapak drh. Constant Karma serta Kepala Dinas Perkebunan dan Peternakan Provinsi Papua, Bapak Ir. Melkianus Monim, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan program doktoral di Institut Pertanian Bogor. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada Kepala Dinas Peternakan Kabupaten Jayapura beserta staf, dan Universitas Negeri Papua
yang telah
membantu pelaksanaan penelitian. Kepada Ibu Dr. Ir. Etty Riany, Bapak Dr. Albert Napitupulu, MSi dan teman-teman PS-PSL angkatan VI yang telah banyak memberikan semangat dan juga membantu pada pelaksanaan penelitian dan penulisan disertasi penulis juga menghaturkan terimakasih. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada petani peternak para stakeholder serta instansi terkait yang telah memberikan berbagai keterangan (data primer) pada saat FGD dan pada saat diwawancara serta telah memberikan berbagai data sekunder yang diperlukan pada penelitian ini juga dihaturkan terimakasih. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayahanda, ibunda, isteri tercinta dan anakanakku tersayang Maura Adgina Jasmine dan Almanda Blessilia Hadasa, Bapak Hengki Bonsapia serta seluruh keluarga yang terkasih; Kak Endang dan adikadikku, Ningsih, Yayuk, Richard dan Vita, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Tidak ada gading yang tidak retak, untuk itu kritik dan saran yang sifatnya membangun, sangat diharapkan. Semoga disertasi ini bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya. Bogor, September 2011
Hermanus Budiarto Rumajomi
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kota Senja Kaimana, Kabupaten Fakfak, Provinsi Papua Barat
pada tanggal 9 Januari 1973 sebagai anak kedua dari enam
bersaudara, dari pasangan Bapak Samuel Rumajomi dan Ibu Muryati. Jenjang pendidikan yang dilalui penulis adalah pada tahun 1984 menamatkan sekolah dasar pada SD Fatima di Fakfak, menamatkan sekolah menengah pertama di SMP Negeri I Fakfak pada tahun 1987, dan menamatkan sekolah menengah atas di SMA Negeri I Fakfak pada tahun 1990. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan di Universitas Cenderawasih, Fakultas Pertanian Program Studi Peternakan. Pada tahun 1996 penulis bekerja pada PT. Freeport Indonesia di TimikaTembagapura dan pada tahun 1997 penulis diterima sebagai CPNS di Pemerintah Provinsi Papua dan ditempatkan pada Dinas Peternakan Provinsi Papua pada Sub Dinas Program. Pada tahun 2002, penulis diberikan kesempatan oleh Pemerintah Daerah Provinsi Papua untuk melanjutkan pendidikan di Program Pasca Sarjana (S-2) Magister Manajemen Agribisnis, Institut Pertanian Bogor (MMA-IPB) dengan konsentrasi di bidang strategi manajemen. Penulis bergabung dengan Angkatan Reguler XXV. Pada Tahun 2003 penulis menyelesaikan program pasca sarjana (S-2) di Institut Pertanian Bogor (MMA-IPB). Pada tahun 2006, penulis mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan program doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Karya ilmiah terbaru ditulis akan diterbitkan (in press) pada jurnal ilmiah (Jurnal Rekayasa Lingkungan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) terakreditasi) dengan judul Pengembangan Model Kebijakan Kawasan Agropolitan Berbasis Agribisnis Peternakan yang Berkelanjutan di Kabupaten Jayapura.
Bogor, September 2011
Hermanus Budiarto Rumajomi
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ............................................................................................ iv DAFTAR GAMBAR........................................................................................ v DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... vi I.
PENDAHULUAN .................................................................................. 1.1 Latar Belakang .............................................................................. 1.2 Kerangka Pemikiran ....................................................................... 1.3 Rumusan Masalah .......................................................................... 1.4 Tujuan Penelitian ........................................................................... 1.5 Manfaat Penelitian ......................................................................... 1.6 Kebaruan (Novelty) .........................................................................
1 1 5 8 13 13 14
II.
TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 2.1 Pembangunan Berkelanjutan ....................................................... 2.1.1. Konsep dan Definisi ............................................................ 2.1.2. Prinsip-prinsip Pembangunan Berkelanjutan ...................... 2.1.3. Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan ............................. 2.2 Pengembangan Wilayah .............................................................. 2.3 Agropolitan .................................................................................. 2.3.1. Pengertian .......................................................................... 2.3.2. Batasan Kawasan Agropolitan............................................ 2.4 Pembangunan Agribisnis yang Berkelanjutan Berdasarkan Sumberdaya Lokal ....................................................................... 2.5 Agribisnis Sapi Potong ................................................................ 2.5.1. Subsistem Agribisnis Hulu .................................................. 2.5.2. Subsistem Agribisnis Budidaya .......................................... 2.5.3. Subsistem Agribisnis Hilir ................................................... 2.5.4. Subsistem Agribisnis Lembaga Penunjang ........................ 2.6 Pembangunan Peternakan di Era Otonomi Daerah .................... 2.6.1. Pembangunan Peternakan Sapi Potong ............................. 2.6.2. Kendala dan Peluang Pengembangan Sapi Potong ........... 2.6.3. Strategi Pengembangan Sapi Potong ................................. 2.7 Penggunaan Model ...................................................................... 2.8 Analisis Kebijakan ........................................................................ 2.9 Hasil Penelitian Terdahulu ............................................................
15 15 15 17 19 21 25 28 28
METODOLOGI PENELITIAN ............................................................... 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ......................................................... 3.2 Metode Penelitian ........................................................................... 3.3 Metode Pengumpulan Data ........................................................... 3.3.1. Jenis dan Sumber Data ........................................................ 3.3.2. Teknik Penentuan Responden dan Pengambilan Contoh .... 3.4 Metode Analisis Data ..................................................................... 3.4.1. Metode Perbandingan Eksponensial (MPE) ......................... 3.4.2. Analisis Perilaku dan Karakteristik Peternak ........................ 3.4.3. Analisis Keberlanjutan .......................................................... 3.4.4. Analisis Prospektif ................................................................ 3.4.5. Analytical Hierarchy Process ................................................
56 56 56 57 57 58 59 59 61 61 66 68
III.
31 33 35 36 36 39 40 41 45 46 49 50 53
IV.
PROFIL KAWASAN PENELITIAN ...................................................... 4.1 Letak Kawasan dan Aksesibilitas ................................................... 4.2 Keadaaan Biofisik dan Lingkungan ................................................ 4.2.1. Klimatologi ............................................................................ 4.2.2. Fisiografi ............................................................................... 4.2.3. Geomorfologi ........................................................................ 4.2.4. Klasifikasi Tanah................................................................... 4.2.5. Kesuburan Tanah ................................................................. 4.2.6. Hidrologi................................................................................ 4.2.7. Penutupan Lahan ................................................................. 4.2.8. Sebaran Luas Lahan Menurut Fungsinya ............................. 4.3 Keadaaan Penduduk ...................................................................... 4.3.1. Kepadatan Penduduk ........................................................... 4.3.2. Ratio Seks ............................................................................ 4.3.3. Ketergantungan Penduduk ................................................... 4.3.4. Keluarga Penduduk .............................................................. 4.3.5. Mata Pencaharian Penduduk ............................................... 4.4 Keadaaan Ekonomi ........................................................................ 4.4.1. Pendapatan Rumah Tangga................................................. 4.4.2. Jenis Tanaman ..................................................................... 4.4.3. Pemasaran ........................................................................... 4.5 Keadaaan Sosial Budaya ............................................................... 4.5.1. Struktur Sosial ...................................................................... 4.5.2. Interaksi Sosial ..................................................................... 4.5.3. Pola Kepemimpinan.............................................................. 4.5.4. Pola Penguasaan dan Pengusahaan Tanah ........................ 4.6 Sarana dan Prasarana Sosial Ekonomi dan Budaya ..................... 4.6.1. Prasarana dan Sarana Umum/Infrastruktur .......................... 1. Transportasi ..................................................................... 2. Pos dan Telekomunikasi.................................................. 3. Listrik ............................................................................... 4. Air Bersih ......................................................................... 4.6.2. Prasarana dan Sarana Kesejahteraan Sosial ....................... 1. Kesehatan........................................................................ 2. Pendidikan ....................................................................... 3. Prasarana dan Sarana Ibadah ......................................... 4.6.3. Prasarana dan Sarana Ekonomi ........................................... 1. Pasar ............................................................................... 2. Koperasi Unit Desa dan Kios Sarana Produksi ...............
V.
HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................ 118 5.1. Penentuan Komoditas Unggulan Peternakan (MPE) .................... 5.2. Analisa Potensi Pengembangan Ternak Sapi Potong dan Karakteristik Peternak di Kabupaten Jayapura .............................. 5.2.1. Tujuan pemeliharaan .......................................................... 5.2.2. Sistem pemeliharaan ternak ............................................... 5.2.3. Kompetensi teknis berdasarkan sistem pemeliharaan secara intensif dan semi intensif ........................................ 5.2.4. Kompetensi Teknis Berdasarkan Sistem Pemeliharaan Secara Ekstensif ................................................................. 5.2.5. Sumber air ..........................................................................
70 70 72 72 73 75 76 80 82 87 91 95 95 95 96 97 98 98 99 100 101 103 103 105 107 108 110 110 110 111 112 113 113 113 114 114 115 115 115
118 123 123 124 125 127 130
5.2.6. Perkandangan .................................................................... 5.2.7. Pakan Ternak Sapi Potong ................................................. 5.2.8. Pengelolaan Reproduksi..................................................... 5.2.9. Penyakit dan Penanganannya ............................................ 5.2.10. Sistem Tata Niaga .............................................................. 5.2.11. Aspek Ekonomi ................................................................... 5.2.12. Tipologi Usaha .................................................................... 5.2.13. Aspek Sumberdaya Alam Kondisi Agroklimat .................... 5.2.14. Infrastruktur ......................................................................... 5.2.15. Kelembagaan...................................................................... 5.2.16. Karakteristik Peternak Sapi Potong .................................... 5.2.17. Penggunaan Teknologi oleh Sampel ..................................
133 135 138 139 140 143 143 144 145 145 147 149
5.3. Status Keberlanjutan Pengembangan Kawasan agropolitan Berbasis Agribisnis Sapi Potong di Kabupaten Jayapura .............. 5.3.1. Status Keberlanjutan Dimensi Ekologi.................................. 5.3.2. Status Keberlanjutan Dimensi Ekonomi ............................... 5.3.3. Status Keberlanjutan Dimensi Sosial Budaya ...................... 5.3.4. Status Keberlanjutan Dimensi Teknologi .............................. 5.3.5. Status Keberlanjutan Dimensi Kelembagaan .......................
151 154 159 163 169 173
5.4. Faktor Kunci Keberlanjutan Pengelolaan Kawasan Berbasis Agribisnis Sapi Potong ................................................................... 5.5. Kebutuhan Stakeholder Dalam Pengembangan Kawasan Agropolitan ..................................................................................... 5.6. Rancangan Kebijakan Pengembangan Kawasan Agropolitan Berbasis Agribisnis Sapi Potong .................................................... 5.7. Analytical Hierarchy Process .......................................................... 5.8. Strategi Implementasi Kebijakan Pengembangan Kawasan Agropolitan Berbasis Agribisnis Sapi Potong ................................. 5.9. Arahan Kebijakan Pengembangan Kawasan Agropolitan Yang berkelanjutan di Kabupaten Jayapura .................................. 5.9.1. Kriteria Kawasan ............................................................................ 5.9.2. Kelestarian Lingkungan Hidup ....................................................... 5.9.3. Pengembangan Kawasan Agropolitan Grime-Sekori ..................... 5.9.4. Strategi Pengembangan Kawasan ................................................. 5.9.5 Program Pengembangan ............................................................... VI.
180 182 186 187 193 206 208 213 214 216 219
KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 240
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 244 LAMPIRAN ................................................................................................... 254
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28
Halaman Batas kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah dalam pengelolaan sumberdaya peternakan ................................................... 42 Jenis dan sumber data yang diperlukan dalam penelitian ..................... 58 Perincian jumlah responden penelitian ................................................. 59 Matriks nilai untuk setiap kriteria alternatif keputusan (NK) .................. 61 Dimensi ekologi keberlanjutan pengembangan agribisnis sapi potong . 63 Dimensi teknologi keberlanjutan pengembangan agribisnis sapi potong .................................................................................................... 64 Dimensi ekonomi keberlanjutan pengembangan agribisnis sapi potong ................................................................................................... 64 Dimensi sosial keberlanjutan pengembangan agribisnis sapi potong ... 65 Dimensi kelembagaan keberlanjutan pengembangan agribisnis sapi potong ................................................................................................... 65 Matriks pengaruh langsung antar faktor dalam sistem pengembangan agropolitan berbasis peternakan sapi potong ............ 67 Skala perbandingan berpasangan ........................................................ 69 Jumlah kelurahan dan kampung serta luas keempat distrik kawasan pengembangan agropolitan Kabupaten Jayapura ................................ 70 Jarak tempuh antar ibukota distrik dalam kawasan pengembangan agropolitan dan dengan ibukota kabupaten (km) .................................. 70 Sebaran luas lahan menurut fisiografi lahan setiap distrik dalam kawasan agropolitan ............................................................................. 73 Sebaran luas Sub DAS dalam kawasan agropolitan ............................ 86 Debit air sungai-sungai besar di dalam kawasan pengembangan agropolitan ............................................................................................ 87 Sebaran luas lahan menurut tipe penutupan lahan tiap distrik dalam kawasan agropolitan ............................................................................. 90 Sebaran luas lahan menurut fungsi hutan di setiap distrik dalam kawasan agropolitan ............................................................................. 93 Kepadatan penduduk kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura tahun 2003 ............................................................................................ 95 Sebaran jumlah penduduk kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura berdasarkan jenis kelamin tahun 2003 ................................................. 96 Sebaran jumlah penduduk berdasarkan golongan umur di kawasan agropolitan tahun 2003 ......................................................................... 96 Hasil analisis keluarga penduduk kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura tahun 2003 ............................................................................ 97 Sebaran penduduk kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura tahun 2003 menurut mata pencaharian .......................................................... 98 Pendapatan kotor rumah tangga di wilayah penelitian berdasarkan macam jenis tanaman yang diusahakan ............................................... 99 Sebaran prasarana dan sarana telekomunikasi di kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura .......................................................... 112 Keadaan prasarana dan sarana listrik di kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura ............................................................................. 112 Sebaran jumlah Puskesmas dan Puskesmas Pembantu di kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura .......................................................... 113 Sebaran jumlah prasarana dan sarana pendidikan di kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura .......................................................... 114
29 30 31
32
33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48. 49. 50. 51.
Sebaran jumlah prasarana dan sarana ibadah berdasarkan distrik di kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura .......................................... Sebaran jumlah pasar di kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura tahun 2003 ............................................................................................ Hasil perhitungan penentuan komoditas unggulan agribisnis peternakan Kabupaten Jayapura dengan Metode Perbandingan Eksponensial (MPE).............................................................................. Nilai rata-rata 7 (tujuh) responden perhitungan bobot kriteria agribisnis komoditas unggulan peternakan Kabupaten Jayapura ......... Kompetensi teknis berdasarkan sistem pemeliharaan .......................... Pemilikan dan kondisi kandang peternak sapi potong per distrik di Kabupaten Jayapura ............................................................................. Reproduksi ternak sapi potong per distrik di Kabupaten Jayapura ....... Jenis penyakit dan cara pengobatan pada berbagai jenis ternak di Kabupaten Jayapura ............................................................................. Distribusi karakteristik per distrik di Kabupaten Jayapura ..................... Populasi ternak sapi pada lokasi penelitian di Kabupaten Jayapura ... Penggunaan teknologi oleh sampel dalam pengembangan ternak sapi di Kabupaten Jayapura.................................................................. Hasil analisis Rap-BANGSAPO untuk nilai stress dan koefisien determinasi (r2) ...................................................................................... Hasil analisis Monte Carlo untuk nilai indeks keberlanjutan dengan Analisis Rap-BANGSAPO ..................................................................... Laju pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Jayapura menurut lapangan usaha tahun 2001 – 2005 ..................... Distribusi PDRB Di Kabupaten Jayapura Tahun 2001 – 2005 (%) ....... Tingkat pendidikan formal peternak pada 4 distrik di Kabupaten Jayapura ............................................................................................... Tingkat pendidikan non formal peternak pada 4 Distrik di Kabupaten Jayapura ............................................................................................... Faktor pengungkit setiap dimensi pengembangan kawasan berbasis ternak sapi potong................................................................................. Kebutuhan stakeholder pengembangan kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura ............................................................................. Jenis Prasarana Dan Sarana Pendukung yang Dibutuhkan pada Setiap Struktur dan Hirarki Kawasan Agropolitan Jayapura ................. Program Jangka Pendek (3 tahun) pengembangan sarana/prasarana Di Kawasan Agropolitan Grime Sekori .................................................. Program Jangka Menengah (5 tahun) Pengembangan Sarana/ prasarana Dikawasan Agropolitan Grime-Sekori .................................. Program jangka panjang (10 tahun) pengembangan sarana/prasarana di Kawasan Agropolitan Grime-Sekori .....................
115 115
118 120 125 134 139 140 148 149 150 153 149 161 161 166 167 180 183 233 236 237 238
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35
Halaman Kerangka pemikiran model pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan sapi potong ...................................... 7 Perumusan masalah model pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan sapi potong ...................................... 12 Segitiga konsep pembangunan berkelanjutan.................................... 20 Lingkup pembangunan agribisnis sapi potong ................................... 35 Pola umum saluran tataniaga tenak dan daging .............................. 37 Pohon industri sapi potong ................................................................. 38 Peta administrasi lokasi penelitian...................................................... 56 Proses aplikasi MDS........................................................................... 62 Tingkat pengaruh dan ketergantungan antar faktor dalam sistem ..... 67 Letak pusat kegiatan kawasan agropolitan......................................... 71 Suhu udara maksimum mutlak tahun 2004 – 2006 (dalam oC) Stasiun Klimatologi Genyem............................................................... 72 Suhu udara minimum mutlak tahun 2004 – 2006 (dalam oC) Stasiun Klimatologi Genyem............................................................................ 72 Peta fisiografi lahan kawasan agropolitan. ......................................... 74 Peta tipologi tanah kawasan agropolitan. ........................................... 79 Peta tanah hijau mendalam kawasan agropolitan. ............................. 83 Curah hujan (mm) tahun 2004 – 2006 Stasiun Klimatologi Genyem.. 84 Data hari hujan tahun 2004 – 2006 Stasiun Klimatologi Genyem ...... 84 Curah Hujan (mm) Tahun 2004 – 2006 Stasiun Meteorologi Klas III Sentani ............................................................................................... 85 Data hari hujan (mm) Tahun 2004 – 2006 Stasiun Meteorologi Klas III Sentani ........................................................................................... 85 Peta batas Sub DAS kawasan agropolitan ......................................... 88 Peta liputan lahan kawasan agropolitan ............................................. 92 Peta tata guna lahan kawasan agropolitan......................................... 92 Tata niaga pemasaran produk usahatani penduduk di wilayah penelitian ............................................................................................ 102 Sebaran jumlah KUD dan Kios SAPROTAN berdasarkan distrik di kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura tahun 2003 ..................... 116 Peta sarana dan prasarana kawasan agropolitan .............................. 117 Sistem pemeliharaan ternak sapi potong di Kabupaten Jayapura ..... 124 Sumber air peternak di Kabupaten Jayapura .................................... 131 Saluran Pemasaran Ternak Sapi di Kabupaten Jayapura.................. 141 Status keberlanjutan pengembangan kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura berbasis agribisnis peternakan sapi potong ..... 146 Atribut ekologi yang menjadi faktor pengungkit keberlanjutan pengembangan ternak ....................................................................... 150 Data curah hujan dan hari hujan Tahun 2006 .................................... 151 Atribut ekonomi yang menjadi faktor pengungkit keberlanjutan pengembangan ternak ........................................................................ 156 Rata-rata tingkat pendidikan formal peternak pada 4 distrik di Kabupaten Jayapura........................................................................... 159 Rata-rata tingkat pendidikan non formal peternak pada 4 distrik di Kabupaten Jayapura........................................................................... 160 Atribut sosial budaya yang menjadi faktor pengungkit keberlanjutan pengembangan ternak ........................................................................ 161
36 37 38 39 40 41
Atribut teknologi yang menjadi faktor pengungkit keberlanjutan pengelolaan ternak ............................................................................. Atribut kelembagaan yang menjadi faktor pengungkit keberlanjutan pengelolaan ternak ............................................................................. Pemetaan faktor pengungkit pengembangan agribisnis sapi potong . Hasil analisis prospektif faktor kunci pembangunan kawasan agropolitan berdasarkan kebutuhan stakeholder .............................. Bobot faktor-faktor pada setiap level penentuan kebijakan ................ Bobot masing-masing alternatif kebijakan pengembangan kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura ........................................................
162 166 173 176 178 180
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Beberapa dekade yang lalu paradigma pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah lebih menitikberatkan pada pembangunan fisik tanpa diikuti pembangunan ekonomi sosial dan lingkungannya yang dilakukan secara terpadu. Hal ini menimbulkan masalah di dalam pengelolaannya, karena masyarakat belum punya kemampuan untuk mengelola agar investasi yang telah dilaksanakan dapat lestari/berfungsi. Investasi dalam skala besar/masif yang dilaksanakan di daerah perkotaan, diharapkan dapat memberikan efek penetesan ke wilayah sekitarnya namun tidak terjadi secara serta merta. Berdasarkan pada paradigma tersebut di atas, maka pembangunan perdesaan juga harus diperhatikan. Pendekatan pembangunan di perdesaan harus dilakukan tidak hanya pada kegiatan fisik, namun yang lebih penting sebagai entry point-nya adalah kegiatan ekonomi berdasarkan pada potensi unggulan di masing-masing wilayah. Terkait dengan pendekatan ini maka melalui konsep pembangunan kawasan agropolitan menjadi relevan untuk dilaksanakan di daerah perdesaan. Pengembangan
kawasan
agropolitan,
pada
dasarnya
memiliki
keunggulan-keunggulan yaitu (1) mendorong ke arah terjadinya desentralisasi pembangunan maupun kewenangan, (2) menanggulangi hubungan saling memperlemah antara perdesaan dengan perkotaan, dan (3) menekankan kepada pengembangan ekonomi yang berbasis sumberdaya lokal dan diusahakan dengan melibatkan sebesar mungkin masyarakat perdesaan itu sendiri (Rustiadi et al., 2006).
Pengembangan kawasan agropolitan ini
diharapkan dapat berfungsi sebagai pusat pertumbuhan ekonomi yang mendorong pertumbuhan pembangunan perdesaan dan desa-desa hinterland atau wilayah sekitarnya melalui pengembangan ekonomi yang tidak terbatas sebagai pusat pelayanan sektor pertanian, tetapi juga pembangunan sektor secara luas seperti usaha pertanian (on farm dan off farm), industri kecil, pariwisata, jasa pelayanan, dan pelayanan lainnya. Pengembangan agropolitan, seperti resdistribusi tanah, prasarana dan sarana pada dasarnya memberikan pelayanan perkotaan di kawasan perdesaan, sehingga masyarakat petani tidak perlu pergi ke kota untuk mendapatkan pelayanan yang berkaitan dengan produksi, pemasaran, sosial budaya dan
2
kehidupan setiap hari (Syahrani, 2001). Prasarana dan sarana fisik sebagai modal sosial masyarakat yang memiliki keterkaitan kuat dengan kesejahteraan masyarakat
(Dardak,
2004).
agropolitan
memungkinkan
Pembangunan penciptaan
infrastruktur
lapangan
pada
pekerjaan,
kawasan kompetisi
pemanfaatan lahan yang dapat ditanami untuk kepentingan non pertanian dapat dikurangi dan pendapatan masyarakat perdesaan dapat ditingkatkan melalui kegiatan agribisnis atau agroindustri (Dardak dan Elestianto, 2005). Sektor
agribisnis
merupakan
sektor
usaha
yang
memanfaatkan
sumberdaya manusia dan sumberdaya alam yang memberikan sumbangan sangat besar bagi pembangunan Indonesia.
Sumbangan sektor agribisnis
terutama terlihat pada masa krisis, masih sanggup memberikan devisa negara dengan meningkatnya nilai ekspor komoditas agribisnis. Menurut Gumbira-Said dan Intan (2001) sektor agribisnis sangat potensial dikembangkan untuk orientasi ekspor dan pembangunan agribisnis dapat memberdayakan potensi ekonomi rakyat dan potensi ekonomi daerah. Pemberdayaan ekonomi rakyat tidak cukup dilaksanakan hanya dengan membagi dana kepada masyarakat, tanpa kejelasan pemanfaatannya, namun peningkatan ekonomi rakyat dapat dilakukan dengan memanfaatkan sumberdaya yang ada untuk kesejahteraan masyarakat itu sendiri. Menurut Saragih (1998) kegiatan sektor agribisnis merupakan sektor ekonomi terbesar dalam perekonomian Indonesia, yang dapat menyerap 70 % angkatan kerja nasional serta melibatkan koperasi.
90 % usaha kecil menengah dan
Sektor agribisnis dapat menghidupi atau menyokong hampir 80 %
penduduk Indonesia yang berjumlah sekitar 210 juta jiwa. Dalam rangka pemberdayaan ekonomi rakyat dan pelaksanaan otonomi daerah, Kabupaten Jayapura juga mempunyai peluang untuk mengembangkan agropolitan yang berbasis agribisnis peternakan.
Hal ini didukung oleh misi
Kabupaten Jayapura dalam meningkatkan pembangunan, antara lain (1) pemberdayaan masyarakat dan seluruh kekuatan ekonomi daerah terutama usaha kecil menengah dan koperasi, (2) mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan yang bertumpu pada mekanisme pasar yang berkeadilan dan berbasis sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang produktif, mandiri, maju, berdaya saing, berwawasan lingkungan dan berkelanjutan. Sumberdaya peternakan, merupakan salah satu sumberdaya alam yang dapat diperbaharui (renewable) dan berpotensi untuk dikembangkan guna meningkatkan dinamika ekonomi daerah. Menurut Saragih (2000) hal ini
3
didasarkan atas beberapa pertimbangan, yaitu pertama, kegiatan peternakan, khususnya
subsistem
budidaya,
relatif
bersifat
tidak
tergantung
pada
ketersediaan lahan dan tidak menuntut kualitas tenaga kerja yang tinggi. Kedua, kegiatan budidaya peternakan memiliki kelenturan bisnis dan teknologi yang luas dan luwes. Ketiga, produk ternak sapi merupakan produk yang memiliki nilai elastisitas permintaan terhadap perubahan pendapatan yang tinggi. Keempat, sifat produk peternakan yang memiliki nilai elastisitas permintaan terhadap perubahan pendapatan yang tinggi dan kegiatan peternakan yang dilihat sebagai suatu
sistem
agribisnis,
akan
mampu
menciptakan
kesempatan
kerja,
kesempatan berusaha dan peningkatan pendapatan. mulai pada agribisnis hulu, budidaya, agribisnis hilir dan kegiatan jasa terkait seperti transportasi, perbankan dan lain-lain. Dalam pengembangan peternakan terdapat beberapa aspek sarana dan prasarana yang penting diperhatikan selain aspek karakteristik komoditas dan pemasaran, yaitu aspek teknis produksi, suhu dan lokasi lingkungan. Aspek teknis produksi dan suhu lingkungan yang sesuai sangat menentukan mutu hasil budidaya peternakan. Aspek teknis produksi meliputi keadaan perkandangan baik fungsi, model kandang, bahan dan konstruksi, ukuran dan letak bangunan kandang (Santosa, 2000). Peralatan dan bangunan penunjang merupakan peralatan yang dibutuhkan dalam aspek teknis produksi. Peralatan penunjang tersebut yaitu tempat pakan dan minum dan peralatan kebersihan (Sugeng, 2002). Bangunan penunjang dalam aspek teknis antara lain gudang untuk penyimpan pakan dan peralatan, tempat pemotongan hewan, bak dan saluran limbah serta handling yard yaitu fasilitas yang diperlukan untuk menangani berbagai fungsi, seperti penimbangan, pemeriksaan dan pengobatan ternak, pemuatan atau pembongkaran ternak dari atau ke kendaraan. Menurut Dirjen Bina Produksi Peternakan (2002) sarana dan prasarana pendukung pengembangan kawasan peternakan adalah 1) sarana produksi, yaitu adanya industri bibit/bakalan ternak, industri obat dan vaksin, 2) untuk pengamanan budidaya antara lain tersedianya pos keswan dan pos inseminasi buatan (IB), 3) untuk pengamanan pasca panen dan pengolahan hasil diperlukan adanya rumah potong hewan, industri pengolah daging dan produk ternak lainnya, 4) untuk pemasaran adalah adanya holding ground, pasar hewan, sarana transportasi, 5) untuk pengembangan usaha, terdapatnya kelembagaan keuangan (permodalan), penyuluh, koperasi, lembaga peneliti dan kelembagaan
4
pasar dan 6) untuk prasarana pendukung lainnya, yaitu tersedianya jalan. listrik dan air. Masalah sumber pembelian dan kualitas bakalan (bibit) sangat penting diketahui dalam usaha pembibitan sapi maupun penggemukan. Pemilihan semen beku
bakalan
merupakan
aspek
penting
dalam
pembibitan
maupun
penggemukan sapi (Sarwono dan Arianto, 2002), begitu juga dengan ketersediaan jenis pakan yang berkualitas dan pakan tambahan atau konsentrat, disesuaikan penggunaannya dalam usaha peternakan sapi potong (Hadi dan Ilham, 2002). Dalam rangka mendapatkan manfaat yang optimal, pengembangan sistem
budidaya
berkelanjutan
peternakan
(sustainable
perlu
memenuhi
development)
yang
kriteria
pembangunan
mempersekutukan
antara
kepentingan ekonomi dan kelestarian lingkungan (Saragih dan Sipayung 2000). Fauzi (2002) mengemukakan bahwa dalam pengelolaan sumberdaya alam adalah bagaimana (how best) mengelola sumberdaya alam tersebut di dalam suatu wilayah untuk dapat menghasilkan manfaat sebesar-besarnya bagi manusia dan tidak mengorbankan kelestarian sumberdaya alam. Menurut Budiharsono (2001) ada enam aspek pembangunan wilayah terpadu yang harus diperhatikan yaitu aspek biofisik, ekonomi wilayah, sosial budaya dan politik, kelembagaan, lokasi, dan lingkungan. Dahuri et a/. (1996) mengemukakan bahwa
kriteria-kriteria
pembangunan
berkelanjutan
secara
umum
dapat
dikelompokkan ke dalam empat dimensi yaitu ekologi, sosial-ekonomi, sosialpolitik, serta hukum dan kelembagaan. Selanjutnya Kay dan Alder (1999) serta OECD (1993) juga menyebutkan beberapa kriteria yang dapat menjadi acuan pembangunan berkelanjutan, yang pada prinsipnya juga menyangkut dimensi ekologi, ekonomi, sosial-budaya, serta hukum dan kelembagaan. Pendapat-pendapat yang dikemukakan di atas dapat menjadi acuan dalam pengembangan agribisnis peternakan dalam kawasan agropolitan di Kabupaten Jayapura, dengan melakukan penilaian dan pengkajian sumberdaya peternakan sehingga dapat menentukan pembenahan dan strategi dalam pemanfaatan sumberdaya peternakan
di Kabupaten Jayapura. Penerapan
konsep pembangunan berkelanjutan dalam pengembangan sistem agribisnis peternakan diharapkan dapat meningkatkan pendapatan peternak, memberikan kontribusi terhadap pendapatan asli daerah (PAD), menyerap tenaga kerja, memeratakan pendapatan, mengaplikasikan teknologi untuk meningkatkan produktifitas, patuh hukum dan berfungsinya kelembagaan peternakan. Dalam
5
upaya mewujudkan hal tersebut maka penelitian mengenai pengembangan model
kebijakan
kawasan
agropolitan
berbasis
agribisnis
peternakan
berkelanjutan di Kabupaten Jayapura perlu dilakukan.
1.2.
Kerangka Pemikiran Pembangunan
nasional
mengamanatkan
bahwa
pendayagunaan
sumberdaya alam sebagai pokok-pokok kemakmuran rakyat dilakukan secara terencana, kemampuan
rasional,
optimal,
bertanggung
daya
dukungnya
dengan
jawab,
dan
mengutamakan
sesuai
dengan
sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat serta memperhatikan fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup bagi pembangunan yang berkelanjutan. Konsep pembangunan tersebut di atas yang telah dijalankan selama ini, ternyata masih belum mampu meningkatkan kesejahteraan petani dan kawasan perdesaan, bahkan cenderung menyebabkan kesenjangan antar wilayah perkotaan (urban) dan wilayah perdesaan (rural). Daerah perkotaan selama ini telah diarahkan sebagai pusat industri dan perdagaangan, disamping sebagai pusat pemerintahan. Hal ini dapat dilihat dari pesatnya pembangunan sarana dan prasarana perdagangan, perkantoran, dan industri. Di daerah perdesaan diarahkan sebagai pusat produksi pertanian (Pranoto, 2005). Program pembangunan untuk daerah perdesaan
selama
ini
ditekankan
pada
peningkatan
produksi
pertanian/peternakan/perkebunan, seringkali kurang memperhatikan aspek kelestarian lingkungan.
Hal ini
juga dapat dilihat dari penerapan konsep
intensifikasi untuk peningkatan produksi oleh petani, seperti pengolahan tanah, pemupukan, dan pengendalian hama dan penyakit di daerah-daerah kawasan sentra produksi. Pengelolaan tanah yang dilakukan di lokasi penelitian pada umumnya kurang memperhatikan konsep konservasi tanah dan air, seperti penanaman intensif tanaman monokultur yang dilakukan terus-menerus sepanjang tahun, atau pengusahaan tanaman semusim pada areal dengan kelerengan curam, sehingga dapat menyebabkan degradasi lahan. Kebergantungan petani pada pupuk anorganik akibat penggunaan varietas responsif pemupukan dan kebiasaan pemberian pupuk secara tidak berimbang pada dosis tinggi, menyebabkan kerusakan sifat fisik dan kimia tanah. Pengendalian hama dan penyakit dengan mengandalkan penggunaan pestisida, yang pada umumnya melebihi anjuran, menyebabkan musnahnya musuh alami dan timbulnya ras-ras
6
hama dan penyakit resisten. Program-program pembangunan tersebut pada akhirnya mengakibatkan peningkatan produksi, maupun ekonomi yang tercapai tidak dapat berkelanjutan karena malah menimbulkan degradasi lingkungan secara fisik, kimia, dan biologis. Menyadari pemerintah
terjadinya
telah
ketidakseimbangan
menyelenggarakan
berbagai
pembangunan, program
maka
pengembangan
wilayah/kawasan yang dikhususkan bagi wilayah/kawasan yang selama ini kurang mendapat perhatian diantaranya melalui pembentukkan
kawasan pusat
pertumbuhan (KPP), kawasan pengembangan ekonomi terpadu (KAPET), kawasan sentra produksi (KSP), dan kawasan industri masyarakat perkebunan (KIMBUN),
dimana
semua
program
ini
diharapkan
dapat
mengurangi
kesenjangan dan disparitas antar wilayah. Oleh karena itu strategi pembangunan yang telah dijalankan perlu dipikirkan kembali. Menurut Tong Wu (2002), pemikiran kembali strategi pembangunan dapat mencakup: (1) redistribusi dengan pertumbuhan, (2) substitusi eksport, dan (3) penciptaan lapangan kerja dan pembangunan perdesaan. Untuk mencegah proses degradasi lingkungan sebagai dampak negatif proses pembangunan, harus diterapkan konsep pembangunan perdesaan berkelanjutan. Model pengembangan agropolitan, merupakan alternatif yang dapat digunakan dalam pembangunan perdesaan yang berkelanjutan. Agropolitan adalah konsep pembangunan perdesaan yang mengintegrasikan pemberdayaan masyarakat dan pengembangan wilayah secara simultan. Pemberdayaan masyarakat merupakan konsep pembangunan yang mengutamakan partisipasi (participation) dan kemitraan (partnership) yang mengarah pada pembangunan dari dan untuk rakyat. Agropolitan didasari oleh konsep pengembangan wilayah dengan penekanan
pada
pembangunan
infrastruktur,
kelembagaan,
dan
permodalan/investasi. Langkah-langkah yang dltempuh dalam pengembangan agropolitan meliputi peningkatan agribisnis komoditas unggulan, pembangunan agroindustri, dan konservasi sumber daya alam dan lingkungan. Sasarannya adalah infrastruktur pendukung produksi pertanian, pengolahan hasil dan pemasaran, serta permukiman terbangun secara memadai dan setara infrastruktur kota; penguatan kelembagaan perdesaan dapat terjadi; kelestarian lingkungan terjaga; perekonomian
perdesaan
tumbuh
pertanian/peternakan meningkat.
berkembang;
dan
produktivitas
7
Apabila hal tersebut dapat dicapai, maka akan terbentuk kota di daerah perdesaan dengan sarana dan prasarana permukiman setara kota dengan kegiatan pertanian/peternakan sebagai kekuatan penggerak perekonomian perdesaan.
Multiplier effect selanjutnya adalah terbukanya lapangan pekerjaan
sehingga dapat mengurangi pengurasan sumberdaya alam dan urbanisasi dari desa ke kota, disparitas perkembangan kota dan desa dapat ditekan, dan pembangunan dapat dirasakan lebih adil dan merata. Secara garis besar, kerangka pemikiran tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.
Pembangunan Nasional Rencana Strategis Provinsi, Kota/Kabupaten (Otonomi Daerah)
Politik
Sosial-Budaya
Ekonomi
KAPE
KSP
Kebijakan Pembangunan Nasional
Gambar 1.
Perdesaan (Rural)
AGROPOLITA
KIMBUN
Pengembangan Wilayah
Pemberdayaan Masyarakat
(Infrastruktur, Kelembagaan & Modal/Investasi)
(Partisipasi & Kemitraan)
Konservasi
Produksi Pertanian
Keamanan
Disparitas pembangunan - backwash effect - Urban bias
Perkotaan (Urban)
KPP
Hukum
Infrastruktur
Kebijakan Pembangunan Daerah
Agroindustri
Kelembagaan dan Kemitraan
Agribisnis Peternakan
Kelestarian Lingkungan
Pembangunan Desa Berkelanjutan
Ekonomi Perdesaan
Pembangunan Pertanian
Kerangka pemikiran pengembangan model kebijakan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan
8
1.3.
Rumusan Masalah Diberlakukannya
Undang-undang
No.
32
Tahun
2004
tentang
Pemerintahan Daerah yang merupakan revisi Undang-undang No. 22 Tahun 1999, maka pemerintah daerah mempunyai kewenangan yang lebih luas dalam menentukan
kebijakan
dan
program
pembangunan
yang
terbaik
bagi
peningkatan kesejahteraan masyarakat dan kemajuan daerah masing-masing. Latar belakang demografi, geografis, ketersediaan infrastruktur dan budaya yang tidak sama, serta kapasitas sumber daya yang berbeda, memiliki konsekuensi adanya keberagaman kinerja daerah dalam pelaksanaan dan pencapaian tujuan pembangunan. Perbedaan kinerja selanjutnya akan menyebabkan ketimpangan pembangunan antar wilayah, meningkatnya tuntutan daerah, dan kemungkinan disintegrasi bangsa. Ketimpangan pembangunan antar wilayah dapat dilihat dari perbedaan tingkat kesejahteraan dan perkembangan ekonomi antar wilayah. Data BPS tahun 2004 menunjukkan bahwa angka kemiskinan di DKI Jakarta hanya sekitar 3,18 persen, sedangkan di Papua sekitar 38,69 persen. Ketimpangan pelayanan sosial dasar yang tersedia, seperti pendidikan, kesehatan dan air bersih juga terjadi antar wilayah, penduduk di Jakarta rata-rata bersekolah selama 9,7 tahun, sedangkan penduduk di NTB rata-rata hanya bersekolah selama 5,8 tahun. Hanya ± 30 persen penduduk Jakarta yang tidak mempunyai akses terhadap air bersih, tetapi di Kalimantan Barat lebih dari 70 persen penduduk tidak mempunyai akses terhadap air bersih. Data BPS tahun 2004 mengenai penguasaan PDRB (pendapatan domestik regional bruto) seluruh provinsi dan lajur pertumbuhan PDRB antar provinsi menunjukkan bahwa provinsi di Jawa dan Bali menguasai ± 61,0 persen dari seluruh PDRB, sedangkan provinsi di Sumatra menguasai ± 22,2 persen, provinsi di Kalimantan menguasai 9,3 persen, Sulawesi menguasai 4,2 persen. PDRB di provinsi di Nusa Tenggara, Maluku dan Papua hanya 3,3 persen. Selain itu, laju pertumbuhan PDRB provinsi di Jawa dan Bali pada tahun 2004 sebesar 10,71 persen, provinsi di Sumatra sebesar 7,78 persen, provinsi di Kalimantan 5,72 persen, provinsi di Sulawesi sebesar 11,22 persen, dan provinsi di Nusa Tenggara, Maluku dan Papua sebesar 4,34 persen. Kecenderungan persebaran penguasaan PDRB dan laju pertumbuhan yang tidak sama akan menyebabkan semakin timpangnya pembangunan antar wilayah.
9
Kabupaten Jayapura merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Papua yang berbatasan langsung dengan Negara Papua New Guinea (PNG). Melihat posisi Kabupaten Jayapura yang berbatasan langsung dengan negara tetangga, memiliki potensi yang cukup besar sebagai pusat pertumbuhan ekonomi di daerah tersebut, di mana selain sangat potensial untuk pembangunan di sektor pertanian (subsektor peternakan). Namun seiring dengan perkembangan pembangunan, kenyataan menunjukkan telah terjadi ketimpangan pertumbuhan ekonomi di daerah ini yang disebabkan oleh disparitas pembangunan antara wilayah perkotaan dengan perdesaan. Selama ini tercipta kesan kuat disparitas pembangunan antara wilayah perkotaan dan perdesaan diikuti oleh aktifitas ekonomi dan daya dukung sumberdaya yang berbeda pula. Wilayah perkotaan dicirikan
oleh
aktifitas
ekonomi
dominan
berupa
industri
pengolahan,
perdagangan dan jasa yang kuat, sumberdaya manusia berkualitas, serta tingkat pelayanan infrastruktur yang cukup dan lengkap. Sebaliknya wilayah perdesaan didominasi oleh kegiatan sektor ekonomi pertanian dalam arti luas, kualitas sumberdaya manusia rendah, kemiskinan dan infrastruktur yang terbatas. Ketimpangan
pembangunan
antar
wilayah
juga
ditandai
dengan
rendahnya aksesibilitas pelayanan sarana dan prasarana ekonomi dan sosial terutama masyarakat di perdesaan, wilayah terpencil, perbatasan serta wilayah tertinggal. Ketimpangan antara kawasan perkotaan dan perdesaan ditunjukkan oleh
rendahnya
tingkat
kesejahteraan
masyarakat
desa,
tertinggalnya
pembangunan kawasan perdesaan dibanding dengan perkotaan, dan tingginya ketergantungan kawasan perdesaan terhadap kawasan perkotaan. Hal ini disebabkan oleh minimnya akses pada permodalan, lapangan kerja, informasi, teknologi pendukung, dan pemasaran hasil-hasil produksi di perdesaan. Kegagalan pembangunan di wilayah perdesaan selain mengakibatkan terjadinya backwash effect, juga mengakibatkan penguasaan terhadap pasar, kapital dan kesejahteraan yang lebih banyak dimiliki oleh masyarakat perkotaan. Akibatnya kondisi masyarakat perdesaan semakin terpuruk dalam kemiskinan dan kebodohan. Keadaan ini juga dinyatakan Yudhoyono (2004) bahwa pembangunan yang telah berkembang selama ini melahirkan kemiskinan dan pengangguran struktural di pertanian dan perdesaan. Berdasarkan ketimpangan-ketimpangan pertumbuhan ekonomi tersebut di atas serta dengan mengacu pada kerangka pemikiran, maka salah satu pendekatan pengembangan kawasan perdesaan untuk mewujudkan kemandirian
10
pembangunan perdesaan yang didasarkan atas potensi wilayah. Khusus di Kabupaten Jayapura dapat dilakukan dengan mengembangkan kawasan agropolitan yang merupakan konsep pengembangan atau pembangunan perdesaan (rural development) dengan mengkaitkan atau menghubungkan perdesaan dengan pembangunan wilayah perkotaan (urban development) pada tingkat lokal. Program pengembangan kawasan agropolitan bukan merupakan konsep baru, tetapi merupakan pengembangan dan optimalisasi dari program-program pembangunan sebelumnya. Pengembangan kawasan agropolitan merupakan pengembangan kawasan agribisnis yang terintegrasi dengan pembangunan wilayah. Pengembangan kawasan agropolitan adalah gerakan masyarakat karena
masyarakat
memegang
peranan
utama
dalam
setiap
kegiatan
pembangunan kawasan yang diperkuat melalui pengelolaan kelembagaan dan kemitraan dengan pihak yang terkait. Selain itu, peran pemerintah terutama pemerintah daerah sangat menentukan keberhasilan dalam pengembangan kawasan agropolitan yang berfungsi sebagai fasilitator, dinamisator, dan motivator. Dalam rangka pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan,
Kabupaten
Jayapura
memiliki
sejumlah
permasalahan-
permasalahan baik yang terkait dengan kelengkapan sarana dan prasarana baik sarana dan prasarana umum maupun sarana dan prasarana pendukung agribisnis. Selain itu masalah lain yang dihadapi adalah kualitas sumberdaya manusia perdesaan, bentuk kelembagaan yang ada, serta dukungan modal dalam rangka pengembangan kawasan. Namun demikian, belum pernah dilakukan pengkajian secara mendalam sehingga perlu dilakukan pengkajian mengenai pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan berkelanjutan
dengan
menggunakan
berbagai
macam
metode
secara
komprehensif yang nantinya akan diperoleh hasil penelitian secara detail dan mendalam. Dalam pengkajian tersebut, permasalahan-permasalahan yang perlu dipecahkan adalah : 1) Apa yang menjadi komoditas unggulan peternakan di Kabupaten Jayapura? 2) Bagaimana perilaku dan karakteristik peternak yang ada di Kabupaten Jayapura untuk menunjang pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan?
11
3) Bagaimana keberlanjutan potensi wilayah yang dimiliki Kabupaten Jayapura yang dapat mendukung pengembangan agropolitan berbasis agribisnis peternakan? 4) Apa saja faktor-faktor strategis masa depan yang berperan penting dalam pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan? 5) Apa saja faktor kunci yang menentukan keberlanjutan pengembangan
agribisnis peternakan di kawasan agropolitan yang berkelanjutan di Kabupaten Jayapura. 6) Bagaimana pengembangan model kebijakan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan di Kabupaten Jayapura serta bagaimana rumusan kebijakan dan skenario strategi pengembangannya ?
12
UU No.32 Tahun 2004 Pemerintahan Daerah (Otonomi Daerah)
Pembangunan Perkotaan (urban development) Industri Perdagangan Jasa SDM berkualitas Infrastuktur memadai
Pembangunan Perdesaan (rural development) Pertanian Kemiskinan SDM rendah Infrastuktur terbatas Wilayah terpencil
• Backwash effect • Urbanisasi
Rural-Urban Gap Pembangunan Kawasan Agropolitan Agribisnis Peternakan
Ekologi
Ekonomi
Teknologi
Faktor-faktor strategis pengembangan
Kelembagaan
Prospektif pengembangan
Rekomendasi Kebijakan dan Strategi Pengembangan Kawasan Agropolitan Berbasis Agribisnis Peternakan Sapi Potong Gambar 2.
Sosial
MDS
Skenario dan kebijakan pengembangan
Pengembangan Model Kebijakan Kawasan Agropolitan Berbasis Agribisnis Peternakan yang Berkelanjutan
Perumusan masalah pengembangan model kebijakan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan sapi potong
13
1.4.
Tujuan Penelitian
1. Menentukan komoditas unggulan peternakan di Kabupaten Jayapura. 2. Mengetahui perilaku dan karakteristik peternak kawasan agropolitan di Kabupaten Jayapura, untuk menunjang pengembangan agropolitan berbasis agribisnis peternakan.
3. Menilai keberlanjutan sistem melalui penyusunan indeks dan status (kategori) keberlanjutan model pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribsnis peternakan.
4. Mengidentifikasi faktor-faktor strategis masa depan yang berperan penting dalam pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan.
5. Menganalisis
faktor
kunci
yang
menentukan
keberlanjutan
pengembangan agribisnis peternakan di kawasan agropolitan yang berkelanjutan di Kabupaten Jayapura.
6. Merumuskan kebijakan pengembangan agribisnis peternakan kawasan agropolitan yang berkelanjutan di Kabupaten Jayapura. 1.5.
Manfaat Penelitian Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran
yang bermanfaat untuk : 1. Ilmu pengetahuan dalam rangka pengembangan dan aplikasi cara berpikir sistem (system thinking)
dan metodologi yang dapat digunakan untuk
penyelesaian
permasalahan
berbagai
melalui
pendekatan
sistem
dalam menerapkan konsep pembangunan berkelanjutan. 2. Pengusaha/investor
agar
dapat
memahami
strategi
dan
prospek
pengembangan usaha peternakan unggulan di Kabupaten Jayapura. 3. Pemerintah daerah khususnya Dinas Peternakan, sebagai pedoman untuk menyusun perencanaan pembangunan bidang peternakan di Kabupaten Jayapura.
14
1.6.
Kebaruan (Novelty) Novelty (kebaruan) dalam penelitian ini terdiri dari dua hal yaitu: (1)
kebaruan dari segi metode merupakan perpaduan secara komperhensif dan partisipatif dari beberapa metode analisis untuk menyusun pengembangan model kebijakan
kawasan
agropolitan
berbasis
agribisnis
peternakan
yang
berkelanjutan di Kabupaten Jayapura, dan (2) kebaruan dari segi hasil penelitian adalah mengembangkan pembangunan pertanian yang berbasis peternakan yang berkelanjutan dilihat dari segi ekologi, ekonomi, sosial budaya, teknologi, dan kelembagaan dan mengetahui faktor-faktor masa depan yang berpengaruh, serta tersusunnya skenario strategi untuk pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan unggulan di Kabupaten Jayapura.
15
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Pembangunan Berkelanjutan
2.1.1. Konsep dan Definisi Dalam proses pembangunan yang dilakukan pemerintah pada kurun waktu tahun 1970-an sampai dengan pertengahan tahun 1990-an masih dititikberatkan pada pembangunan ekonomi tanpa mempertimbangkan aspekaspek lainnya. Hal ini mengakibatkan adanya ketimpangan pembangunan antara di wilayah perkotaan dan perdesaan. Pembangunan berkelanjutan menerapkan konsep keadilan antar generasi yang diadopsi oleh seluruh masyarakat di dunia walaupun dengan fokus dan penafsiran yang berbeda-beda. Pembangunan berkelanjutan adalah suatu proses pembangunan dengan ekploitasi sumberdaya, arahan investasi, dan perubahan kelembagaan yang seluruhnya dibuat konsisten dengan kebutuhan saat ini dan juga kebutuhan yang akan datang (Khanna et al. 1999). Menurut Leach dan Scooness (1997), masyarakat dilihat sebagai unit yang tepat dan peduli serta mampu secara kolektif dalam menghadapi lingkungan. Menurut Robin et al. (1997), pembangunan berkelanjutan harus berdasarkan pada solusi tingkat lokal yang diperoleh dari inisiatif masyarakat. Pembangunan berkelanjutan adalah kerangka berpikir yang telah menjadi wacana secara internasional. Kerangka berpikir ini pada tahun 1992 dalam Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio de Janeiro disepakati oleh semua Negara di dunia termasuk Indonesia untuk dlgunakan sebagai panduan. Program Aksi Dunia hasil konferensi tersebut di kenal sebagai Agenda 21. Dalam agenda tersebut Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup dan UNDP (2000) menyatakan bahwa kerangka berpikir pembangunan berkelanjutan pada intinya adalah pembangunan untuk memenuhi kebutuhan masa sekarang tanpa haras menghalangi pemenuhan kebutuhan generasi masa datang. Melalui kerangka berpikir pembangunan berkelanjutan, maka setiap negara, wilayah dan daerah dapat mengembangkannya sendiri, baik cara maupun prioritas permasalahannya yang akan diatasi dan potensi yang akan dikembangkan. Bond et al. (2001) menyatakan
bahwa
berkelanjutan
(sustainability)
didefinisikan
sebagai
pembangunan dari kesepakatan multidimensional untuk mencapai kualitas hidup yang lebih baik untuk semua orang. Pembangunan ekonomi, sosial dan proteksi lingkungan adalah saling memperkuat dalam pembangunan berkelanjutan.
16
Bosshard (2000) mengemukakan pendekatan secara komprehensif menuju pembangunan berkelanjutan harus mempertimbangkan lima prinsip kriteria yaitu: (1) abiotik lingkungan, (2) biotik lingkungan, (3) nilai-nilai budaya, (4) sosiologi dan (5) ekonomi. Dalam hubungannya untuk memproteksi lingkungan, maka konsekuensi intervensi manusia dalam pemanfaatan dan manipulasi sumber daya lingkungan harus diantisipasi. Jika hal ini tidak dilakukan maka dapat mengakibatkan degradasi lingkungan yang akan merongrong pembangunan ekonomi (Greenland, 1992). Selanjutnya, sebagai konsep pembangunan yang berkelanjutan dan lingkungan yang baik, maka harus dapat memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengurangi tuntutan generasi mendatang dalam mencukupi kebutuhannya sendiri (Meyer dan Harger, 1996). Menurut Marten (2001), pembangunan berkelanjutan dapat didefinisikan sebagai pemenuhan kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan kecukupan kebutuhan generasi mendatang. Pembangunan berkelanjutan tidak berarti berlanjutnya pertumbuhan ekonomi, karena tidak mungkin ekonomi tumbuh jika ia tergantung pada keterbatasan kapasitas sumber daya alam yang ada. Beberapa sumber daya alam seperti deposit mineral termasuk non-renewable dan sumber daya alam seperti makanan, dan air adalah renewable. World
Commision
on
Environment
and
Development
(1987)
mengemukakan bahwa pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Dalam naskah tersebut terkandung dua gagasan penting yaitu : -
Gagasan kebutuhan, khususnya kebutuhan esensial kaum miskin sedunia yang harus diprioritaskan.
-
Gagasan keterbatasan yang bersumber pada kondisi teknologi dan organisasi sosial terhadap kemampuan lingkungan.
Kebutuhan masa mendatang menurut Greenland dan Szabolcs (1994), adalah bahwa dunia masa mendatang bergantung pada cara keterkaitan antara pertumbuhan
penduduk,
pengelolaan
sumberdaya
energi
dan
proteksi
lingkungan secara harmonis. Definisi lain juga dikemukakan oleh Hanley (2001), bahwa pembangunan berkelanjutan menjadi bagian penting sebagai suatu pendekatan nasional dan internasional untuk mengintegrasikan ekonomi, lingkungan sosial dan etika sehingga kualitas kehidupan yang baik bagi generasi sekarang dan generasi
17
mendatang dapat dipenuhi. Pemahaman lain terhadap konsep berkelanjutan dikemukakan
oleh
Roderic
dan
Meppem
(1997),
bahwa
berkelanjutan
memerlukan pengelolaan tentang (1) skala keberlanjutan ekonomi terhadap dukungan sistem ekologi, (2) pembagian distribusi sumberdaya dan kesempatan antara generasi sekarang dan yang akan datang secara berimbang/adil, dan (3) efisiensi dalam pengalokasian sumberdaya. Dalam kajian ini Djojohadikusumo (1994) mengemukakan bahwa penafsiran tentang pembangunan berkelanjutan yang diartikan sebagai daya upaya untuk memenuhi kebutuhan generasi kini tanpa mengorbankan kebutuhan generasi-generasi mendatang. Dengan kata lain, proses pembangunan harus bisa berlangsung secara terus-menerus dan sambung-menyambung. Berdasarkan definisi-definisi tersebut diatas, secara umum dapat diartikan bahwa pembangunan berkelanjutan suatu pendekatan pembangunan yang tidak bertentangan antara tujuan dan sasaran dalam kebijakan pembangunan ekonomi dan kebijakan dalam pengelolaan lingkungan hidup untuk memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan kebutuhan generasi mendatang. 2.1.2. Prinsip - Prinsip Pembangunan Berkelanjutan Berdasarkan publikasi Our Common Future, banyak upaya telah dilakukan untuk mengembangkan pedoman dan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Pertimbangannya adalah bahwa tanpa pedoman atau prinsip, tidak mungkin ditentukan apakah suatu kebijakan atau kegiatan dapat dikatakan berkelanjutan, atau apakah suatu prakarsa konsisten dengan pembangunan berkelanjutan. Mitchell (1997) menyatakan bahwa prinsip keberlanjutan antara lain: 1) Prinsip lingkungan/ekologi, yaitu melindungi sistem penunjang kehidupan, memelihara integritas ekosistem, dan mengembangkan dan menerapkan strategi preventif dan adoptif untuk menanggapi ancaman perubahan lingkungan global. 2) Prinsip sosial politik, yaitu mempertahankan skala fisik dari kegiatan manusia dibawah daya dukung atmosfer, mengenali biaya lingkungan dari kegiatan manusia, dan menyakinkan adanya kesamaan sosio, politik dan ekonomi dalam transisi menuju masyarakat yang berkelanjutan. Menurut Plessis (1999), pada awalnya pembangunan berkelanjutan hanya diarahkan untuk mengatasi konflik antara proteksi lingkungan dan sumberdaya alam untuk menjawab kebutuhan pembangunan yang berkembang.
18
Selanjutnya disadari bahwa pembangunan berkelanjutan tidak mungkin tercapai tanpa mempertimbangkan perubahan ekonomi dan sosial seperti pengurangan tingkat kemiskinan dan keseimbangan sosial. Pembangunan berkelanjutan juga harus memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan pemenuhi kebutuhan generasi mendatang. Hal ini perlu dijaga keseimbangannya terhadap tiga persyaratan prinsip yaitu: (1) kebutuhan masyarakat (the social objective), (2) effisiensi dalam mengelola keterbatasan sumber daya alam (the economic objective) dan, (3) perlu mengurangi beban ekosistem untuk melestarikan lingkungan (the environmental objective) (Chemical Industry dan Chemistry, 2005). Pembangunan
mempengaruhi
dan
dipengaruhi
oleh
lingkungan
hidup. Interaksi antara pembangunan dan lingkungan hidup membentuk sistem ekologi. Dalam hubungan ini Soemarwoto (2001) mengemukakan bahwa faktor lingkungan diperlukan untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan. Faktor lingkungan tersebut meliputi: pertama, terpeliharanya proses ekologi yang esensial, kedua, tersedianya sumber daya yang cukup, dan ketiga, lingkungan sosial-budaya dan ekonomi yang sesuai. Sitorus pembangunan
(2004)
mengemukakan
berkelanjutan
perlu
pokok-pokok
menjadi
pikirannya
pertimbangan
bahwa
karena
ada
keterbatasan planet bumi dalam empat asumsi dasar yaitu: 1) terbatasnya
cadangan
sumber-sumber yang tidak
dapat
diperbaharui
(non-renewable resources), 2) terbatasnya kemampuan lingkungan untuk dapat menyerap polusi 3) terbatasnya lahan yang dapat ditanami 4) terbatasnya
produksi
per satuan luas
lahan,
atau
batasan
fisik
terhadap pertumbuhan penduduk dan kapital. Sitorus (2004) selanjutnya menyatakan bahwa ciri-ciri pembangunan yang tidak berkelanjutan antara lain adalah: 1) Prakarsa biasanya dimulai dari pusat 2) Proses penyusunan program bersifat statis dan didominasi oleh pendapat pakar dan teknokrat 3) Mekanisme kelembagaan bersifat top-down
19
2.1.3. Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan Dalam hal pengelolaan sumberdaya alam, telah disepakati secara global mengenai bagaimana seharusnya sumberdaya alam dikelola agar berkelanjutan sebagai dasar bagi peningkatan kesejahteraan manusia dan kegiatan ekonomi. Kesepakatan
ini
jelas
bahwa
pengelolaan
sumberdaya
alam
harus
mempertimbangkan ketiga aspek sekaligus yakni ekonomi, ekologi, dan sosial. Sejalan dengan hal ini, upaya mengubah pola konsumsi dan produksi yang tidak berkelanjutan menjadi hal utama untuk mendukung upaya perlindungan daya dukung ekosistem dan fungsi lingkungan sebagai prasyarat peningkatan kesejahteraan masyarakat generasi sekarang dan yang akan datang. Konsep pembangunan yang mengintegrasikan masalah ekologi, ekonomi, dan sosial yang disebut dengan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) telah disepakati secara global sejak diselenggarakannya united nation conference on the human environment di Stockholm tahun 1972. Pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan generasi yang akan datang untuk dapat memenuhi kebutuhannya (WCED, 1987). Komisi Burtland menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan bukanlah suatu kondisi yang kaku mengenai keselarasan, tetapi lebih merupakan suatu proses perubahan yang mana eksploitasi sumberdaya, arah investasi, orientasi perkembangan teknologi, dan perubahan institusi dibuat konsisten dengan masa depan seperti halnya kebutuhan saat ini. Dalam rangka mengoperasionalkan paradigma pembangunan berkelanjutan, World Bank telah menjabarkan konsep pembangunan berkelanjutan dalam bentuk kerangka segitiga pembangunan berkelanjutan (sustainable development triangle) seperti pada Gambar 3. Menurut kerangka tersebut, suatu kegiatan pembangunan (termasuk pengelolaan
sumberdaya
alam
dan
berbagai
dimensinya)
dinyatakan
berkelanjutan jika kegiatan tersebut secara ekonomi, ekologi, dan sosial bersifat berkelanjutan (Serageldin, 1996). Berkelanjutan secara ekonomi berarti bahwa suatu kegiatan pembangunan harus dapat membuahkan pertumbuhan ekonomi, pemeliharaan kapital, dan penggunaan sumberdaya serta investasi secara efisien. Berkelanjutan secara ekologi mengandung arti bahwa kegiatan tersebut harus dapat mempertahankan integritas ekosistem, memelihara daya dukung
20
lingkungan, dan konservasi sumberdaya alam termasuk keanekaragaman hayati. Berkelanjutan secara sosial mensyaratkan bahwa suatu kegiatan pembangunan hendaknya dapat menciptakan pemerataan hasil-hasil pembangunan, mobilitas sosial, kohesi sosial, partisipasi masyarakat, pemberdayaan masyarakat, identitas sosial, dan pengembangan kelembagaan.
Gambar 3. Segitiga konsep pembangunan berkelanjutan Dalam kaitan dengan kebijakan pemerintah, agar segenap tujuan pembangunan berkelanjutan ini dapat tercapai, maka dalam konteks hubungan antara tujuan sosial dan ekonomi diperlukan kebijakan ekonomi yang meliputi intervensi pemerintah secara terarah, pemerataan pendapatan, penciptaan kesempatan kerja, dan pemberian subsidi bagi kegiatan pembangunan yang memerlukannya. Pada konteks hubungan antara tujuan sosial dan ekologi, strategi yang perlu ditempuh adalah partisipasi masyarakat dan swasta serta konsultasi. Implementasi konsep pembangunan berkelanjutan telah diterapkan pada banyak negara dan oleh berbagai lembaga dengan mengembangkan indikator keberlanjutan antara lain Center for international Forestry Research (CIFOR) mengembangkan
sistem
pembangunan
kehutanan
berkelanjutan
dengan
mengintegrasikan aspek ekologi, ekonomi, sosial, dan kelembagaan. Charles (2001) mengembangkan sistem pembangunan perikanan berkelanjutan dengan
21
memadukan keberlanjutan ekologi, keberlanjutan ekonomi, keberlanjutan sosial, dan keberlanjutan kelembagan. FAO mengembangkan indikator keberlanjutan untuk pembangunan wilayah berdasarkan aspek ekologi, ekonomi, sosial, kelembagaan, teknologi, dan pertahanan keamanan. Secara
operasional,
pembangunan
berkelanjutan
sinergi
dengan
pengelolaan lingkungan. Pengelolaan lingkungan didefinisikan sebagai upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan,
pemanfaatan,
pengembangan,
pemeliharaan,
pemulihan,
pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup (UU 23/1997). Definisi ini menegaskan bahwa pengertian pengelolaan lingkungan mempunyai cakupan yang luas, karena tidak saja meliputi upaya-upaya pelestarian lingkungan melainkan juga mencegah proses terjadinya degradasi lingkungan, khususnya melalui proses penataan lingkungan. Upaya-upaya pengelolaan lingkungan di Indonesia harus dilakukan tidak saja bersifat kuratif, melainkan juga bersifat preventif. Di masa depan, upayaupaya yang lebih bersifat preventif harus lebih diprioritaskan, dan hal ini menuntut dikembangkannya berbagai opsi pengelolaan lingkungan, baik melalui opsi
ekonomi
maupun
melalui
proses-proses
peraturan
dan
penataan
penggunaan lahan (Setiawan, 2003). 2.2.
Pengembangan Wilayah Pendekatan yang diterapkan dalam pengembangan wilayah di Indonesia
sangat beragam karena dipengaruhi oleh perkembangan teori dan model pengembangan wilayah serta tatanan sosial-ekonomi, sistem pemerintahan dan administrasi pembangunan. Pendekatan yang mengutamakan pertumbuhan tanpa memberikan perhatian pada pemerataan menyebabkan dampak negatif terhadap lingkungan, bahkan menghambat pertumbuhan itu sendiri (Akil, 2003). Dalam kontek ini mulai dirasakan perlunya pendekatan yang meninjau kota-desa kawasan produksi serta prasarana pendukungnya sebagai satu kesatuan wilayah. Dalam hubungan ini, kegiatan ekonomi kota dan desa (sub urban) adalah saling tergantung (interdependent) dalam kontek perubahan penduduk jangka panjang dan tenaga kerja (Voith, 1998). Pengembangan wilayah dengan memperhatikan
potensi
pertumbuhan
akan
membantu
meningkatkan
pertumbuhan ekonomi berkelanjutan melalui penyebaran penduduk lebih rasional, meningkatkan kesempatan kerja dan produktivitas (Mercado, 2002).
22
Kasikoen (2005) menyatakan bahwa ada keterkaitan pembangunan perkotaan dan perdesaan dimana keterkaitan ini diekspresikan dalam bentuk fisik, sosial, ekonomi, politik dan idiologi yang sekaligus untuk mengatasi adanya ketidakseimbangan pembangunan di perkotaan dan perdesaan. Kesenjangan pelaksanaan program pembangunan di dalam mencapai tujuannya, bukanlah semata-mata kegagalan dalam penyelenggaraannya namun lebih kepada kebijakan yang diterapkan. Pada beberapa dekade yang lalu, cara pandang pembangunan lebih berorientasi pada laju pertumbuhan ekonomi dengan basis peningkatan investasi dan teknologi yang menimbulkan krisis yang sampai saat ini masih dirasakan. Penekanan pembangunan yang hanya pada pertumbuhan ekonomi yang menimbulkan masalah disampaikan juga oleh Djajadiningrat (1997). Titik berat pembangunan semata-mata pada pertumbuhan ekonomi dapat menyebabkan kerusakan lingkungan alam yang tidak dapat diperbaiki. Lingkungan alam juga merupakan unsur penting dari pertumbuhan ekonomi, dan apabila lingkungan alam turun melebihi daya dukungnya, maka ekonomi akan kehilangan daya untuk tumbuh. Menurut Shukla (2000), melalui perencanaan wilayah (regional planning) dapat mencapai kedua-duanya yaitu pembangunan dan keberlanjutan, jawaban ini dapat diuraikan sebagai berikut; -
Perencanaan wilayah akan membantu pemanfaatan sumberdaya lokal yang ada, sumber daya fisik serta teknologi
-
Perencanaan wilayah akan membantu pembuatan perencanaan dimana akan mengisi kebutuhan lokal
-
Perencanaan
wilayah
membantu
mengurangi
pembangunan
yang
kurang berimbang antar dan dalam wilayah. Kini telah banyak disadari bahwa pengalaman membangun selama ini telah menimbulkan
dampak/masalah
yang
semakin
besar
dan
komplek
sehingga cenderung menimbulkan kesenjangan antara wilayah perkotaan dan perdesaan. Sejalan dengan pernyataan di atas, Erwidodo (1999) menyatakan bahwa kesenjangan pertumbuhan antara wilayah perkotaan dan perdesaan telah memunculkan permasalahan kompleks antara lain meningkatnya arus migrasi penduduk desa ke kota, meningkatnya kemiskinan masyarakat dan "pengurasan" sumber daya alam. Ada beberapa hal yang menjadi penyebab terjadinya "pengurasan" tersebut. Pertama, terbukanya akses ke daerah perdesaan seringkali mendorong kaum elit kota, pejabat pemerintah pusat, dan perusahaan-perusahaan besar
23
untuk mengeksploitasi sumberdaya yang terdapat di desa. Masyarakat desa sendiri tidak berdaya karena secara politik dan ekonomi para pelaku eksploitasi sumberdaya tersebut memiliki posisi tawar yang jauh lebih kuat. Kedua, kawasan perdesaan sendiri umumnya dihuni oleh masyarakat yang kualitas SDM-nya kurang berkembang. Kondisi ini mengakibatkan ide-ide dan pemikiran modern dari kaum elit kota sulit untuk didesiminasikan. Oleh karena itu sebagian besar aktivitas pada akhirnya lebih bersifat enclave dengan mendatangkan banyak SDM dari luar yang dianggap lebih mempunyai keterampilan dan kemampuan. Menurut Basri (1999), bahwa rendahnya tingkat sosial ekonomi masyarakat perdesaan dipengaruhi oleh: 1) Kondisi sosial ekonomi rumah tangga masyarakat yang mempengaruhi kapasitas individu, keluarga, dan kelompok masyarakat dalam melakukan interaksi sosial dan proses produksi; 2) Struktur kegiatan ekonomi sektoral yang menjadi dasar lapangan usaha dan pendapatan rumah tangga atau masyarakat; 3) Potensi daya dukung regional (geographical setting) seperti kondisi geografis, sumberdaya alam serta infrastruktur yang mempengaruhi pola kegiatan produksi dan distribusi; 4) Kelembagaan sosial ekonomi masyarakat yang mendukung interaksi sosial dan jaringan kerja produksi dan pemasaran pada skala lokal, regional dan global. Berdasarkan
pernyataan
tersebut
pembangunan wilayah perdesaan adalah terhadap
masyarakat
perdesaan
maka
kebijakan
masalah yang
utama
kurang
dalam berpihak
dan rendahnya kemampuan sumber daya
manusia dalam mengelola sumber-sumber daya alam guna pembangunan masyarakat perdesaan. Miyoshi (1997) mengemukakan pendapat Friedman dan Douglas, bahwa strategi pembangunan perdesaan yang cocok adalah supaya memperhatikan hal-hal sebagai berikut yaitu: (1) sektor pertanian harus dipandang sebagai leading sektor; (2) kesenjangan pendapatan dan kondisi kehidupan antara kota dan desa harus dikurangi; (3) small scale production untuk pemasaran lokal harus dilindungi melawan kompetisi dari pengusaha besar. Pembangunan rural small
enterprise
sangat
penting
untuk
mengembangkan
pusat-pusat
pertumbuhan atau kota kecil yang berperan sebagai pusat pemasaran desa-desa di sekitarnya.
24
Akibat dari kegagalan pembangunan yang disebabkan oleh terjadinya urban bias di atas, pembangunan di wilayah perdesaan mengalami kekurangan investasi modal, dampaknya telah menimbulkan kehilangan kesempatan kerja bagi masyarakat perdesaan. Dalam kondisi seperti ini posisi tawar masyarakat perdesaan
menjadi
semakin
lemah
sehingga
pengambilan
keputusan
pembangunan menjadi tersentralisasi di kota-kota tanpa menghiraukan kondisi perdesaan.
Pembangunan
di
perdesaan
semakin
terpuruk
sedangkan
pertumbuhan ekonomi kota-kota relatif semakin besar yang diikuti dengan eksploitasi sumberdaya di wilayah perdesaan. Keadaan ini mendorong terjadinya kerusakan-kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang pada gilirannya berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat luas, baik di wilayah perdesaan maupun di kawasan perkotaan sendiri. Kondisi di atas terjadi antara lain karena investasi-investasi di wilayah perdesaan baik secara fisik (material capital: man-made and natural), sumberdaya manusia (human capital) dan sumberdaya sosial (social capital) dan kebijaksanaan pengembangan teknologi tidak diiakukan secara tepat dan memadai, bahkan di masa yang lalu terkesan banyak diabaikan. Makin meluasnya masalah-masalah sejenis di sebagian besar negaranegara berkembang, mengakibatkan para pakar pembangunan mulai berpikir untuk mencari solusi bagi pembangunan daerah perdesaan. Pembangunan yang berimbang secara: spasial menjadi penting karena dalam skala makro hal ini menjadi prasyarat bagi tumbuhnya perekonomian nasional yang lebih efisien, berkeadilan dan berkelanjutan. Berkenaan dengan hal tersebut, Rustiadi (2003), mengatakan bahwa pengembangan wilayah harus mengandung prinsip-prinsip: (1) mengedepankan peran serta masyarakat dan memprioritaskan untuk menjawab kebutuhan masyarakat. Pemerintah lebih berperan sebagai fasilitator pembangunan dari pada sebagai pelaksana. (2) Menekankan aspek proses dibandingkan pendekatan-pendekatan yang menghasilkan produk-produk perencanaan berupa master plan dan sejenisnya. Berdasarkan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007, tentang Penataan Ruang, bahwa proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian ruang yang merupakan suatu sistem yang terkait satu sama lainnya. Rencana Tata Ruang sebagai acuan dalam pembangunan daerah pada era otonomi ini perlu dilaksanakan dengan pendekatan pengembangan wilayah
25
bukan lagi pendekatan sektor sebagaimana dilakukan pada masa lalu. Menurut Hull (1998), perencanaan tata ruang merupakan suatu mekanisme integratif untuk mengkoordinasikan berbagai strategis pembangunan. Pendekatan pengembangan wilayah harus dilakukan dengan penetapan struktur ruang dan pola pemanfaatan ruang yang disusun berdasarkan karakteristik, potensi, kebutuhan daerah, kepentingan stakeholders, daya dukung daerah serta mempertimbangkan perkembangan dinamika pasar dan dampak arus
globalisasi.
Menurut
Rondinelli
(1985),
ada
tiga
konsep
dalam
pengembangan wilayah yaitu: (1) kutub-kutub pertumbuhan (growth pole); (2) integrasi fungsi (functional integration), dan (3) pendekatan pendesentralisasian wilayah (decentralized territorial approaches). Selanjutnya Chen dan Salih (1978), mengemukakan bahwa mengadopsi pendekatan kutub-kutub pertumbuhan (growth pole approach) oleh negaranegara ketiga merefleksikan dua bentuk pemikiran yang bijaksana yaitu: pertama, industrialisasi dengan teknologi modern dapat didesentralisasikan manfaatkannya pada daerah perdesaan, kedua, keterpaduan pada tingkat nasional melalui strategi kutub-kutub pertumbuhan dapat memecahkan masalah pembangunan regional. Pendekatan pembangunan agropolitan merupakan bagian dari pada pengembangan wilayah skala kawasan merupakan senergitas pembangunan antara kota-desa (urban rural development). Dalam rangka mewujudkan kemandirian pembangunan perdesaan yang didasarkan pada potensi wilayah desa itu sendiri dan keterkaitan dengan perekonomian kota harus bisa diminimalkan, maka pendekatan agropolitan dapat menjadi salah satu pendekatan pembangunan perdesaan. Agropolitan yang dilakukan di wilayah penelitian merupakan aktivitas pembangunan yang terkonsentrasi di wilayah perdesaan dengan jumlah penduduk antara 50.000 sampai 150.000 orang, sehingga kegiatan ini menjadi relevan dengan wilayah perdesaan
karena
pada
umumnya
sektor
pertanian
dan
pengelolaan
sumberdaya alam memang merupakan mata pencaharian utama dari sebagian besar masyarakat perdesaan, Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (1996). 2.3.
Agropolitan Pendekatan pembangunan perdesaan ditujukan untuk mewujudkan
kemandirian pembangunan perdesaan yang didasarkan pada potensi wilayah itu sendiri, dimana ketergantungan dengan perekonomian kota harus bisa
26
diminimalkan. Agropolitan menjadi relevan dengan wilayah perdesaan karena pada umumnya sektor pertanian dan pengelolaan sumber daya alam memang merupakan mata pencaharian utama sebagian besar masyarakat perdesaan. Konsep pengembangan agropolitan muncul dari permasalahan adanya ketimpangan pembangunan wilayah antara kota sebagai pusat kegiatan dan pertumbuhan ekonomi dengan wilayah perdesaan sebagai pusat kegiatan pertanian. Proses interaksi ke dua wilayah selama ini secara fungsional ada dalam posisi saling memperlemah. Wilayah perdesaan dengan kegiatan utama sektor primer, khususnya pertanian, mengalami produktivitas yang selalu menurun dan tertinggal, di sisi lain wilayah perkotaan sebagai tujuan pasar dan pusat
pertumbuhan
menerima
beban
berlebih
sehingga
memunculkan
ketidaknyamanan akibat permasalahan-permasalahan sosial (konflik, kriminal, dan penyakit) dan lingkungan (pencemaran dan buruknya sanitasi lingkungan permukiman). Hubungan yang saling memperlemah ini secara agregat akan berdampak kepada penurunan produktivitas wilayah secara keseluruhan. Berkembangnya kota sebagai pusat-pusat pertumbuhan ternyata tidak memberikan efek penetesan ke bawah (trickle down effect), tetapi justru menimbulkan efek pengurasan sumberdaya dari wilayah perdesaan di sekitarnya (backwash effect). Urban bias terjadi akibat kecenderungan pembangunan yang mendahulukan pertumbuhan ekonomi melalui kutub-kutub pertumbuhan (growth poles) yang semula meramalkan bakal terjadinya penetesan (tricle down effect) dari kutub-pusat pertumbuhan ke wilayah hinterland-nya, ternyata net-effect-nya malah menimbulkan pengurasan besar (masive backwash effect). Oleh karenanya dapat dikatakan bahwa dalam bidang ekonomi telah terjadi transfer neto sumberdaya dari wilayah pedesaan ke kawasan perkotaan secara besarbesaran. Dalam konteks wiiayah yang lebih luas, maka disparitas wilayah bisa pula diiihat dari ketimpangan wilayah dalam satu wilayah kabupaten, provinsi, regional, bahkan nasional. Ketimpangan wilayah dalam satu wilayah administratif akan mendorong terjadinya pemekaran wilayah administratif. Hal ini telah dan sedang terjadi proses pemekaran wilayah adminstratif dengan munculnya kabupaten-kabupaten baru dan provinsi-provinsi baru. Secara nasional, sempat muncul ancaman disintegrasi akibat ketimpangan pembangunan wilayah. Percepatan pembangunan Kawasan Timur Indonesia (KTI) adalah salah satu
27
jawaban
pemerintah
untuk
mengatasi
kesenjangan
yang
mencolok
pembangunan nasional dibanding Kawasan Barat Indonesia (KBI). Dari berbagai alternatif model pembangunan, konsep agropolitan dipandang
sebagai
konsep
yang
menjanjikan
teratasinya
permasalah
ketidakseimbangan perdesaan-perkotaan selama ini. Secara singkat, agropolitan adalah : 1. Suatu
model
pembangunan
yang
mengandalkan
desentralisasi,
mengandaikan pembangunan infrastruktur setara kota di wiiayah pedesaan, sehingga mendorong terbentuknya kota-kota di wilayah perdesaan. Dari berbagai alternatif model pembangunan, pendekatan agropolitan dipandang sebagai konsep yang dapat mengatasi permasalahan ketidakseimbangan perdesaan - perkotaan selama ini. Kawasan agropolitan tidak ditentukan oleh batasan administratif pemerintahan (desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten) tetapi lebih ditentukan dengan memperhatikan economic of scale dan economic of scope. 2. Bisa menanggulangi dampak negatif pembangunan seperti yang selama ini terjadi yaitu migrasi desa-kota (urbanisasi) yang tak terkendali, polusi, kemacetan lalu lintas, pengkumuhan kota, kehancuran masif sumberdaya alam, pemiskinan desa dll. 3. Menekankan transformasi desa-desa dengan memperkenalkan unsur-unsur urbanisme ke dalam lingkungan pedesaan yang spesifik. 4. Mendorong peningkatan produktivitas perdesaan secara ekonomi, sosial, dan kelembagaan dengan memperhatikan kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan. Pendekatan agropolitan bisa mendorong penduduk perdesaan tetap tinggal di pedesaan melalui investasi di wilayah perdesaan. Melalui agropolitan diharapkan dapat tercapai tujuan akhir pembangunan yaitu tercipta daerah yang mandiri dan otonom, dan karenanya dapat mengurangi kekuasaan korporasi transnasional atas wilayah lokal. Kepentingan lokal seperti ini akan dapat menjadi pengontrol kekuasaan pusat ataupun korporasi yang bersifat subordinatif. Pengembangan agropolitan diperlukan untuk lebih mengembangkan potensi perdesaan sehingga lebih mandiri, hal tersebut ditujukan untuk:
Mereduksi pengurasan kekayaan desa (sentra produksi) ke kota besar.
28
Menghidupkan ekonomi perdesaan/kerakyatan dengan memberdayakan potensi perdesaan/kerakyatan sehingga rnengurangi ketergantungan kepada kota besar.
Mengurangi kemacetan/aglomerasi baik pasar modal, industri, transportasi dll. ) kota-kota besar yang merusak lingkungan
Agropolis dikembangkan sebagai kekuatan yang mampu mendorong, menghela dan melayani daerah-daerah pertumbuhan
Mengembangkan sistem dan usaha agribisnis dalam suatu kawasan terpiiih dalam rangka pemerataan pembangunan dan hasilnya.
2.3.1. Pengertian Agropolitan terdiri dari kata "agro" yang berarti pertanian dan "politan (polis)" yang berarti kota. Sehingga agropolitan dapat diartikan sebagai kota pertanian atau kota di daerah lahan pertanian atau pertanian di daerah kota (Departemen Pertanian, 2002). Hasan (2003) mengemukakan bahwa kegiatan kota tani berbasis budidaya pertanian, konservasi sumberdaya alam dan pengembangan potensi daerah dengan bingkai pembangunan berwawasan lingkungan, yang merupakan suatu upaya untuk menghindari kesalahan pembangunan masa lalu. Menurut Saefulhakim (2004), "agro" bermakna "tanah yang dikelola" atau "budidaya tanaman", yang kemudian digunakan untuk menunjuk berbagai aktivitas berbasis pertanian. "Metropolis" bermakna " a central point or principal" Agro - metropolis bermakna lokasi pusat pelayanan sistem kawasan sentrasentra aktivitas ekonomi berbasis pertanian. Kawasan agropolitan adalah kawasan terpilih dari kawasan agribisnis atau sentra produksi pertanian terpilih yang pada kawasan tersebut, terdapat kota pertanian (agropolis) yang merupakan pusat pelayanan (Badan Pengembangan SDM Pertanian, 2003). 2.3.2. Batas Kawasan Agropolitan Pendekatan
pembangunan
perdesaan
melalui
konsep
agropolitan
dikembangkan oleh Friedman dan Douglass (1975). Keduanya bahkan menekankan
pentingnya
pendekatan
agropolitan
dalam
pengembangan
perdesaan di kawasan Asia dan Afrika. Pendekatan agropolitan menggambarkan bahwa pembangunan perdesaan (rural development) secara beriringan dapat dilakukan dengan pembangunan wilayah perkotaan (urban development) pada tingkat lokal. Dalam konteks pengembangan agropolitan terdapat tiga issue
29
utama yang perlu mendapat perhatian, yaitu: (1) akses terhadap lahan pertanian dan penyediaan pengairan, (2) desentralisasi politik dan wewenang administratif dari tingkat pusat dan tingkat lokal, dan (3) perubahan paradigma atau kebijakan pembangunan nasional untuk lebih mendukung diversifikasi produk pertanian. Melihat kota - desa sebagai fungsi - fungsi politik dan administrasi, pendekatan pengembangan agropolitan di banyak negara lebih cocok dilakukan pada skala kabupaten (Douglass, 1998). Menurut
Friedman
dan
Douglass
(1975),
tujuan
pembangunan
agropolitan adalah menciptakan "cities in the field" dengan memasukkan beberapa unsur penting dari gaya hidup kota ke dalam daerah perdesaan yang berpenduduk padat dan mempunyai ukuran tertentu. Agropolitan district merupakan satuan yang tepat untuk membuat suatu kebijakan pembangunan ruang,
melalui
desentralisasi
perencanaan
dan
pengambilan
keputusan
(decentralized). Agropolitan districts dapat dikembangkan pada perdesaan dengan kepadatan penduduk tinggi atau peri-urban untuk meningkatkan standar hidup, meningkatkan kesempatan tenaga kerja, dan mengurangi tingkat migrasi ke kota (Friedman, 1996). Implikasi hal tersebut menyebabkan kota-desa berperan sebagai site utama untuk fungsi politik dan administrasi, transformasi wewenang dari pusat ke daerah (desentralisasi) dan demokratisasi. Sebagai bagian dari perubahan politik, hal tersebut akan berdampak terhadap perencanaan pembangunan perdesaan mengenai bagaimana upaya-upaya melaksanakan pembangunan kapasitas lokal (local capacity building) dan partisipasi masyarakat dalam suatu program yang menumbuhkan manfaat mutual bagi masyarakat perdesaan dan perkotaan. Selanjutnya
Mercado
(2002)
mengemukakan
bahwa
gambaran
agropolitan adalah pertama, skala geografinya relatif kecil. Kedua, proses perencanaan dan pengambilan keputusan berdasarkan partisipasi dan aksi koperatif pada tingkat lokal. Ketiga, diversifikasi tenaga lokal termasuk pertanian dan kegiatan non pertanian. Keempat, pemanfaatan teknologi dan sumberdaya setempat. Kelima, berfungsi sebagai urban-rural industrial. Dengan luasan skala kabupaten akan memungkinkan hal-hal sebagai berikut: (1) akses lebih mudah bagi masyarakat untuk menjangkau kota, (2) cukup luas untuk meningkatkan dan mengembangkan wilayah pertumbuhan ekonomi
(scope
of
economic
growth)
dan
cukup
luas
dalam
upaya
30
pengembangan diversifikasi produk dalam rangka mengatasi keterbatasan pemanfaatan desa sebagai unit ekonomi, dan (3) pengetahuan lokal (local knowledge) akan mudah dimanfaatkan dalam proses perencanaan jika proses itu dekat dengan rumah tangga dan produsen perdesaan. Pendekatan pembangunan perdesaan tersebut ditangani oleh berbagai stakeholders secara terpadu sesuai tanggung jawab bidang masing-masing. Menurut Misra (1980), pendekatan pembangunan harus dilakukan secara komprehensif dan terpadu untuk meningkatkan produktivitas, meningkatkan kualitas hidup penduduk perdesaan dan meningkatkan pembangunan bertumpu pada
masyarakat.
Pendekatan
pembangunan
tersebut
disarankan
agar
dilaksanakan melalui enam elemen dasar yaitu: (1) pembangunan pertanian dengan padat karya (labour intensive), (2) menciptakan lapangan kerja, (3) membangun industri kecil/industri rumah tangga pada wilayah pertanian, (4) gotong-royong masyarakat setempat dan partisipasi dalam membuat keputusan, (5) mengembangkan hirarki pembangunan kota untuk mendukung pembangunan perdesaan, dan (6) kelembagaan yang tepat untuk koordinasi multisektor. Menurut terjadinya
Rustiadi
(2004)
pengembangan
agropolitan
memerlukan
re-organisasi pembangunan ekonomi wilayah perdesaan. Hal ini
dapat dilakukan melalui strategi peningkatan kesempatan kerja dan peningkatan pendapatan. Strategi tersebut memerlukan beberapa dukungan kebijakan agar mampu meningkatkan kinerja ekonomi perdesaan, seperti antara lain redistribusi asset, terutama yang menyangkut lahan dan kapital. Di Indonesia, pembangunan agropolitan yang sifatnya masih rintisan telah dilaksanakan dalam lima tahun terakhir ini. Program ini merupakan kerjasama antara Depertemen Departemen
Pertanian
dengan
Departemen
Kimpraswil.
Pertanian bertanggung jawab terhadap penyiapan lokasi garapan
dan penyuluhan sedangkan Departemen Kimpraswil sesuai dengan core bisnisnya membangun prasarana dan sarana yang diperlukan untuk mendukung keberhasilan program agropolitan. Dalam pelaksanaannya belum didukung adanya kebijakan secara nasional melainkan hanya berupa Pedoman Umum Pengembangan
Kawasan
Agropolitan
dan
Pedoman
Program
Rintisan
Pengembangan Kawasan Agropolitan, yang dikeluarkan oleh Departemen Pertanian. Dalam pelaksanaanya, belum semua stakeholders yang diharapkan ikut bersama-sama secara terpadu menangani program agropolitan ini. Saat ini baru
31
beberapa instansi saja yang secara aktif menangani program ini. Adalah tidak mungkin kalau untuk keberhasilan program ini hanya bertumpu pada peran pemerintah, tetapi juga diperlukan keterlibatan masyarakat, swasta, dan pemerintah secara bersama-sama dan bermitra untuk menyepakati programprogram
yang
dibutuhkan
untuk
dilaksanakan
secara
terencana
dan
berkesinambungan. 2.4.
Pembangunan
Agribisnis
yang
Berkelanjutan
Berbasis
Sumberdaya Lokal Pembangunan agribisnis di Indonesia dapat dikatakan merupakan sektor yang paling mampu bertahan dan mampu menikmati keuntungan yang berlipat ganda apabila nilai tukar rupiah terhadap dolar menurun. Kondisi ini terjadi karena pengembangan kegiatan agribisnis relatif kurang mengandalkan bahan baku
yang
berasal
dari
komponen
impor,
artinya
kegiatan
agribisnis
menggunakan sebanyak mungkin komponen input yang dapat dihasilkan di dalam negeri. Pada sisi lain, output kegiatan agribisnis sebagian besar adalah jenis barang-barang yang merupakan kebutuhan mendasar bagi kelanjutan kehidupan
manusia
yang berupa kebutuhan pangan, sandang, papan,
kosmetika, kesehatan, dan sebagainya. Perbandingan rendahnya harga beli input dan tingginya nilai jual output kegiatan agribisnis menyebabkan keuntungan ideal yang dapat diperoleh oleh para pengusaha agribisnis di Indonesia. Akan tetapi apabila kita mengkaji lebih jauh pengelolaan usaha-usaha agribisnis yang terjadi selama ini di Indonesia, umumnya kurang memperhatikan manfaat yang dapat diperoleh dalam jangka panjang. Orientasi usaha agribisnis yang dilakukan oleh banyak pengusaha di Indonesia selama ini, baik petani kecil yang mengelola usaha skala kecil atau pengusaha besar yang mengelola lahan pertanian pada skala yang amat luas, cenderung kurang memperhatikan pola pengusahaan kegiatan agribisnis yang berkelanjutan. Kegiatan agribisnis memang berbasiskan pada sumber daya yang renewable (dapat diperbaharui), tetapi lahan usaha (tanah, hutan, air) sebagai sarana produksi yang mendasar untuk mengembangkan kegiatan agribisnis juga mempunyai daya dukung yang juga terbatas jika tidak diperhatikan usaha-usaha pengelolaannya agar tetap lestari. Keberhasilan agribisnis tidak hanya diindikasikan oleh kontinuitas dan peningkatan produksi agribisnis, tetapi juga bagaimana agar agribisnis tersebut dapat memberikan manfaat yang merata bagi
32
semua pelaku dalam sistem agribisnis secara kontinyu dan menjaga kelestarian lingkungan. Ada dua kelemahan mendasar dalam pengembangan usaha di sektor pertanian Indonesia selama ini. Pertama, adalah keuntungan hanya dinikmati oleh sekelompok pengusaha yang memiliki modal besar dan aksesibilitas terhadap berbagai sumber daya pokok maupun pendukung usaha (perbankan, pasar, informasi harga dan teknologi); dan kedua, terjadinya eksploitasi besarbesaran
terhadap
sumber
daya
sehingga
menyebabkan
terjadinya
ketidakseimbangan lingkungan. Dalam perencanaan kebijakan pembangunan perekonomian Indonesia, khususnya dalam pengembangan agribisnis, maka penting diperhatikan strategi kegiatan yang berusaha semaksimal mungkin untuk mengoptimalkan potensi sumber daya lokal yang ada (sumber daya alam dan sumber daya sosialbudaya) dan memperhatikan kelestarian lingkungan. Dalam kegiatan pengelolaan usaha pertanian yang dilakukan oleh para petani pada zaman dahulu, banyak kepercayaan atau strategi memanfaatkan sumber daya alam yang sangat memperhatikan terjaganya kelestarian lingkungan. Contoh untuk hal tersebut adalah menggunakan pupuk tanaman yang berasal dari sisa tanaman atau kotoran hewan, menghindari melakukan eksploitasi sumber daya alam di wilayah pegunungan, upaya memberantas hama dan penyakit tanaman tanpa menggunakan
zat-zat
kimia
tetapi
dengan
menggunakan
cara-cara
pemberantasan secara alami, dan banyak lagi cara-cara lainnya yang seringkali dipandang kurang rasional oleh pengikut teori modernisasi. Optimalisasi pemanfaatan sumber daya lokal bagi pengembangan agribisnis di Indonesia merupakan strategi terbaik dalam mendukung pertumbuhan perekonomian masyarakat secara adil dan berkelanjutan. Kekayaan alam Indonesia cukup besar untuk dapat mendukung keberlangsungan hidup seluruh rakyat Indonesia, tetapi kuncinya adalah bagaimana mengelola semua itu secara benar, agar manfaatnya tidak hanya dinikmati oleh sekelompok orang dalam jangka pendek. Pengembangan agribisnis merupakan suatu strategi pembangunan pertanian di Indonesia yang berusaha meningkatkan nilai tambah dan daya saing komoditas pertanian Indonesia di pasaran domestik dan internasional. Namun penting diperhatikan berbagai upaya yang dapat mencegah eksploitasi yang berlebihan
terhadap
sumber
daya
alam
Indonesia
dan
mengabaikan
33
pengembangan usaha yang selaras dengan lingkungan alam serta lingkungan sosial. Berbagai
kasus
pengembangan
agribisnis
beberapa
komoditas
kehutanan dan perkebunan yang telah banyak dilakukan selama ini umumnya berorientasi pada peningkatan produksi dan produktivitas komoditas yang dihasilkan dalam jangka pendek, sehingga kurang memperhatikan daya dukung sumber daya alam, manusia dan kelembagaan lokal yang ada di wilayah pengembangan usaha tersebut. Oleh karena itu tidak mengherankan jika cukup banyak kegiatan agribisnis yang tidak berumur panjang, melakukan eksploitasi sumber daya yang berlebihan atau menimbulkan konflik dengan masyarakat di sekitar lokasi (Tampubolon, 2002). 2.5.
Agribisnis Sapi Potong Istilah agribisnis pertama kali muncul tahun 1950-an sebagai istilah yang
digunakan
terhadap
gugus
industri
(cluster
industry)
yang
melakukan
pendayagunaan sumberdaya hayati (Pambudy et al. 2001). Berdasarkan pendekatan etimologis, pengertian agribisnis adalah usaha dagang yang berbasis pada semua kegiatan yang memanfaatkan tanah atau lahan sebagai basis budidaya (agri berarti tanah atau lahan dan bisnis berarti usaha dagang). Dengan demikian, agribisnis sapi potong berarti pemanfaatan tanah atau lahan sebagai usaha perdagangan sapi potong. Namun, pengertian agribisnis saat ini tIdak hanya terbatas pada pengertian berdasarkan etiomologis, akan tetapi telah meluas seiring dengan tuntutan aspirasi dan tantangan global dikaitkan dengan semangat modernisasi dan aktualisasi kehidupan di berbagai bidang. Menurut Djajalogawa dan Pambudy (2003), agribisnis sapi potong diartikan sebagai "suatu kegiatan bidang usaha sapi potong yang menangani seluruh aspek siklus produksi secara seimbang dalam suatu paket kebijakan yang utuh melalui pengelolaan pengadaan, penyediaan dan penyaluran sarana praduksi, kegiatan budidaya, pengelolaan pemasaran dengan melibatkan semua stakeholders (pemangku kepentingan) dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan yang seimbang dan proporsional bagi kedua belah pihak (petanipeternak, perusahaan swasta dan pemerintah)". Sistem agribisnis sapi potong merupakan kegiatan yang mengintegrasikan pembangunan sektor pertanian secara simultan (dalam arti luas) dengan pembangunan industri dan jasa terkait dalam suatu kluster industri (industrial cluster) sapi potong yang mencakup
34
empat subsistem. Keempat subsistem tersebut menurut Saragih (2000) adalah sebagai berikut: 1) Subsistem agribisnis hulu (upstream off-farm agribusiness), yaitu kegiatan ekonomi (praduksi dan perdagangan) yang menghasilkan sapronak seperti bibit sapi potong, pakan ternak, industri obat-obatan, dan inseminasi buatan; 2) Subsistem agribisnis budidaya sapi potong (on-farm agribusiness) yaitu, kegiatan ekonomi yang selama ini kita sebut sebagai usaha ternak sapi potong; 3) Subsistem agribisnis hilir (downstream off-farm agribusiness), yaitu kegiatan ekonomi yang mengolah dan memperdagangkan hasil usaha ternak. Ke dalam
subsistem
ini
termasuk
industri
pemotongan
ternak,
industri
pengalengan dan pengolahan daging, dan industri pengolahan kulit; 4) Subsistem jasa penunjang (supporting institution), yaitu kegiatan yang menyediakan jasa bagi agribisnis sapi potong seperti perbankan, asuransi, koperasi,
trasportasi,
penyuluhan,
poskeswan,
kebijakan
pemerintah,
lembaga pendidikan dan penelitian. Menurut Irawan dan Pranadji (2002), agribisnis merupakan sistem terpadu yang meliputi empat bagian (subsistem) yaitu:1) Subsistem pengadaan dan distribusi sarana/prasarana produksi yang akan dipergunakan sebagai input produksi pada subsistem budidaya, 2). Subsistem produksi atau usaha tani, yang akan menghasilkan produk pertanian primer, misalnya daging, beras, dan jagung dan lain-lain, 3). Subsistem pengolahan hasil dan pemasaran, dan 4). Subsistem pelayanan pendukung, berupa fasilitas jalan, kredit, kebijakan pemerintah, dan lain-lain. Dengan demikian dapat diartikan secara substansial pengertian sistem agribisnis dari kedua teori tersebut tidak ada perbedaan. Sebagai suatu sistem, keempat subsistem agribisnis sapi potong beserta usaha-usaha di dalamnya berkembang secara simultan dan harmonis, sebagaimana disajikan pada Gambar 4.
35
Subsistem Agribisnis Hulu
Subsistem Agribisnis Budidaya
Subsistem Agribisnis Hilir
Sistem produksi dan distribusi sarana dan alat-alat peternakan : Bibit/Induk/Semen Pakan/Konsentrat Obat Hewan Lahan Kandang Tenaga Kerja
Sistem kegiatan produksi peternakan primer, penanganan dan pemasaran produk-produk primer : Pengolahan lahan Antisipasi iklim/cuaca Pencegahan penyakit Pemberantasan penyakit Pembelian Sapronak Kegiatan produksi
Sistem pengumpulan produk primer peternakan, pengolahan produk, distribusi dan pemasaran produk olahan (segar, beku, kaleng dan sebagainya) sampai ke konsumen akhir
Subsistem Lembaga Penunjang Penyedian sarana usaha (agrisupport) dan pengaturan iklim usaha (agriclimate) Prasarana (jalan, pasar, kelompok peternak, koperasi, lembaga keuangan, dan lain-lain) Sarana (transportasi, informasi, kredit, peralatan, dan lain-lain) Kebijakan (RUTR, Makro, Mikro, dan lain-lain) Penyuluhan
Gambar 4. Lingkup pembangunan agribisnis sapi potong 2.5.1. Subsistem agribisnis hulu Subsistem agribisnis hulu (upstream off-farm agribusiness) dari sistem agribisnis sapi potong mencakup kegiatan ekonomi (produksi dan perdagangan) yang menghasilkan sarana produksi peternakan, seperti bibit, pakan ternak, industri obat-obatan, dan lain-lain. Kegiatan pada subsistem ini memiliki peranan penting dalam pengembangan sistem agribisnis terutama bibit. Skala usaha atau jumlah pemilikan induk sapi untuk pembibitan umumnya kecil, berkisar antara 1 3 ekor per petani. Kecilnya usaha ini karena merupakan usaha rumah tangga, dengan modal, tenaga kerja, dan manajemen seluruhnya atau sebagian besar berasal dari keluarga petani yang serba terbatas. Karena kecilnya pemilikan ternak, usaha pembibitan umumnya hanya sebagai usaha sampingan. Ada dua macam teknik reproduksi ternak yang sudah dikembangkan di Indonesia untuk menghasilkan bibit, yaitu inseminasi buatan (IB) dan kawin alam. Di antara kedua teknik reproduksi tersebut, IB semakin popular di kalangan masyarakat petani ternak. Hal ini disebabkan oleh tingginya permintaan akan ternak terutama ternak besar. Menurut Hadi dan llham (2002), ada beberapa permasalahan dalam. industri pembibitan ternak di Indonesia, antara lain; 1). Angka pelayanan kawin per kebuntingan (service per conception - S/C) masih cukup tinggi, mencapai 2.6, 2). Masih terbatasnya fasilitas pelayanan IB yang
36
tersedia baik ketersediaan semen beku, tenaga inseminator dan masalah transportasi, 3). Jarak beranak (calving interval) masih terlalu panjang, dan 4). Tingginya tingkat kematian (mortality rate) pedet pra sapih, bahkan ada yang mencapai 50%. Rendahnya produktivitas ternak dalam hal pembibitan seperti ini menyebabkan kebutuhan ternak yang bermutu belum dapat terpenuhi. Hal ini sekaligus mencerminkan masih lemahnya program perbaikan mutu genetik, yang mengharuskan kita tetap mengimpor ternak dalam jumlah yang cukup besar. Pakan ternak dapat disediakan dalam bentuk hijauan dan konsentrat. Satu hal yang terpenting adalah pakan tersebut dapat memenuhi kebutuhan protein, karbohidrat, lemak vitamin, dan mineral. Hijauan untuk pakan ternak dapat berasal dari rumput alam atau limbah pertanian dan perkebunan. Berbagai hasil penelitian merekomendasikan jerami dan dedak (bekatul) serta limbah perkebunan kelapa sawit (pelepah, daun, tandan kosong, serat perasan, dan bungkil) merupakan sumber pakan yang cukup baik untuk ternak sapi potong (Sarwono dan Arianto, 2002) dan (Dwiyanto et al. 2003). Teknologi pengolahan pakan menjadi aspek penting untuk keberlangsungan usaha agribisnis sapi potong. Ketergantungan pakan hijauan yang bersumber dari rumput alam akan menghadapi kendala pada saat musim kering. 2.5.2. Subsistem agribisnis budidaya Pada subsistem agribisnis budidaya (on-farm agribusiness), menurut Prasetyo (1994) ada dua kegiatan utama, yaitu kegiatan pengembangbiakan (reproduksi) dan penggemukan. Kegiatan budidaya ternak untuk tujuan penggemukan sudah banyak dilakukan, baik dalam skala usaha kecil (petani) maupun dalam bentuk perusahaan besar. Faktor yang penting untuk diperhatikan dalam usaha budidaya peternakan adalah manajemen pemberian pakan. Pemberian pakan pada ternak peliharaan dibedakan menjadi dua golongan yaitu pakan perawatan, untuk mempertahankan hidup dan kesehatan dan pakan produksi untuk pertumbuhan dan pertambahan berat badan. 2.5.3. Subsistem Agribisnis Hilir Subsistem agribisnis hilir (downstream off-farm agribusiness) dari sistem agribisnis
peternakan
adalah
kegiatan
ekonomi
yang
mengolah
dan
memperdagangkan hasil usaha ternak. Ke dalam subsistem ini termasuk industri
37
pemotongan ternak, industri pengalengan dan pengolahan daging, industri pengolahan kulit dan lain-lain. Pengembangan teknologi proses dan produk pada subsistem hilir diarahkan untuk peningkatan efisiensi, pengembangan diversifikasi teknologi prosesing untuk menghasilkan diversifikasi produk, meminimumkan waste dan pollutan, dan pengembangan teknologi produk. Sapi potong menghasilkan produk utama yaitu daging dan jeroan. Produk samping yaitu kulit, tulang, tanduk, darah, lemak, lidah, dan otak serta limbah yakni isi rumen dan kotoran. Hampir semua bagian sapi potong dapat dijadikan sebagai produk bermanfaat yang bisa dimakan dan tidak bias dimakan, seperti disajikan dalam pohon industri pada Gambar 6. Menurut llham et al. (2002), keragaan saluran tataniaga ternak dan daging sapi menunjukkan bahwa sebagian besar konsumen akhir adalah konsumen daging segar. Pola umum saluran tataniaga daging dapat dilihat pada Gambar 5. Konsumen membeli daging dengan harga eceran jika membeli dari pengecer, atau harga produsen jika membeli dari pejagal/distributor. Kelompok konsumen daging segar terdiri dari; konsumen rumah tangga, rumah makan/restoran, hotel, tukang baso, dan lain-lain.
Peternak
Pedagang
Penjagal/Pemotong
Pengecer
Konsumen
Gambar 5. Pola umum saluran tataniaga ternak dan daging
Gambar 6. Pohon industri sapi potong (judoamidjojo, 1980; Palupi, 1986; Purnomo, 1997; WWW.ristek.go.id, 200; Dewan Iptek dan Industri Sumbar, 2001; Astawan, 2004; Uska, 2004; Wahyono dan Marzuki, 2004; Murtidjo, 2005; www.Halalguide.info [09-01-2009]
38
39
2.5.4. Subsistem agribisnis lembaga penunjang Subsistem
agribisnis
lembaga
penunjang
(supporting
institution)
merupakan subsistem yang sangat berperan terhadap ketiga subsistem agribisnis
lainnya.
Subsistem
ini
akan
memberikan
dukungan
secara
kelembagaan dalam pengembangan sistem agribisnis secara keseluruhan. Ada beberapa lembaga yang berperan di dalam sub sistem lembaga penunjang untuk pengembangan sistem agribisnis berbasis lingkungan seperti perbankan, asuransi, koperasi, transportasi, penyuluhan, poskeswan, kebijakan pemerintah, lembaga pendidikan dan penelitian, dan lain-lain. Pelayanan kesehatan hewan perlu mendapat perhatian dalam upaya pengembangan sistem agribisnis peternakan karena hal tersebut berkaitan dengan tingkat produktivitas ternak. Kesehatan ternak menjadi faktor penentu tingkat produktifitas ternak, karena kondisi kesehatan ternak terkait dengan pertambahan berat badan dan waktu yang diperlukan untuk mencapai usia dewasa kelamin. Ternak yang tidak sehat akan terganggu pertumbuhannya sehingga produktifitasnya menjadi rendah. Aplikasi teknologi kesehatan hewan berupa pelayanan kesehatan hewan seperti pencegahan dan pemberantasan penyakit
menular,
pemberian
vitamin/probiotik,
pemberian
obat
cacing,
pemeriksaan kesehatan reproduksi dan lain sebagainya memerlukan pos kesehatan hewan (poskeswan) yang difasilitasi oleh pemerintah dan didukung oleh tenaga teknis di bidang kesehatan hewan (Dokter Hewan dan paramedis kesehatan hewan). Koperasi merupakan salah satu lembaga yang juga perlu mendapat perhatian dalam upaya pengembangan sistem agribisnis peternakan, mengingat petani ternak sebagai pelaku mayoritas dan utama dalam sistem ini memiliki kemampuan yang lemah dalam hal permodalan, akses informasi, dan aplikasi teknologi (Yusdja et al. 2002). Koperasi dapat menjadi media bagi petani ternak untuk secara bersama-sama membangun usahanya secara terintegrasi dari subsistem hulu sampai subsistem hilir, agar petani ternak dapat memperoleh nilai tambah yang lebih baik. Saat ini, koperasi yang bergerak di kalangan peternak sapi potong memang belum berkembang sebaik koperasi yang bergerak di kalangan peternak sapi perah, misalnya Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI). Khusus aspek permodalan, pihak perbankan masih menganggap bahwa usaha kegiatan agribisnis sapi potong sebagai usaha yang belum mendapatkan
40
prioritas untuk mendapatkan bantuan kredit usaha. Hal ini dikarenakan, pihak perbankan masih menganggap bahwa agribisnis sapi potong beresiko tinggi (high risk) dan rendah dalam hal pendapatan (low return) (Karim 2002). Namun menurut Thohari (2003) ada beberapa sumber pembiayaan yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung pengembangan agribisnis sapi potong antara lain adalah: kredit taskin, modal ventura, pemanfaatan laba BUMN, pegadaian, kredit BNI, kredit komersial perbankan (kupedes dari BRI, swamitra dari Bukopin, kredit usaha kecil dari: BNI, Bank Danamon, Bll, Bank Mandiri, kredit BCA, kredit pengusaha kecil dan mikro (KPKM) dari Bank Niaga, kredit modal kerja dari Bank Agro Niaga), dan pemanfaatan lembaga keuangan mikro (LKM) di pedesaan. Dalam rangka pengembangan sistem agribisnis maka prasarana jalan merupakan faktor yang menentukan tingkat aksesibilitas dalam suatu kawasan. Aksesibilitas kawasan akan mempengaruhi kinerja sosial dan ekonomi masyarakat. Di sisi lain, tingginya sumbangan terhadap perekonomian wilayah dari suatu daerah akan mendorong pemerintah untuk membangun infrastruktur jalan menuju kawasan agribisnis. Prasarana jalan merupakan prasarana vital untuk mengembangkan perekonomian
di wilayah.
Terbangunnya jalan
kabupaten (antar kecamatan) dan antar desa akan memudahkan pengangkutan hasil pertanian dan peternakan berupa barang produksi dan konsumsi. Prasarana jalan merupakan kebutuhan prioritas dalam pengembangan agribisnis di wilayah perdesaan. 2.6.
Pembangunan Peternakan Di Era Otonomi Daerah Program pembangunan peternakan sebagai bagian dari program
pembangunan sektor pertanian mengarah langsung kepada pemberdayaan petani ternak, koperasi, dan swasta. Mekanisme pelaksanaannya dilakukan melalui pelimpahan wewenang (dekosentrasi) dan penyerahan wewenang (desentralisasi) kepada daerah kabupaten/kota sebagai pencerminan dari kebijakan otonomi daerah yang luas, nyata, dan bertanggung jawab. Undangundang No 32 Tahun 2004, Undang-undang No. 25 Tahun 1999 serta PP No. 25 Tahun 2000, merupakan landasan yuridis formal dalam penataan peran dan tanggung jawab pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota dalam pembangunan peternakan. Berdasarkan UU No. 32 tahun 2004 dan 25 Tahun 1999 kemudian dituangkan ke dalam PP No. 25 Tahun 2000 dijelaskan batas kewenangan
41
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam pengelolaan sumberdaya bidang peternakan. Menurut Dirjen Bina Produksi Peternakan (2002) secara rinci pemetaan kewenangan di bidang peternakan berdasarkan tugas dan fungsi pengembangan peternakan dapat dilihat pada Tabel 1. Berdasarkan peta kewenangan sesuai dengan pelaksanaan otonomi daerah, maka penyebaran dan pengembangan ternak menjadi kewenangan pemerintah daerah. Oleh karena itu maka penyebaran ternak gaduhan yang bersumber dari dana APBN yang semula merupakan aset pemerintah pusat, dengan telah diberlakukannya PP No. 25 Tahun 2000, secara otomatis aset tersebut menjadi milik pemerintah daerah. Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 417 Tahun 2001 tentang pedoman umum penyebaran dan pengembangan ternak pemerintah telah didasarkan pada semangat otonomi daerah yang tercermin dari tujuan program tersebut,
yaitu
untuk
membentuk
kawasan
peternakan,
menciptakan
keseimbangan pembangunan antar wilayah, optimalisasi sumberdaya alam untuk meningkatkan pendapatan peternak, dan meningkatkan populasi dalam rangka pemberdayaan masyarakat peternak.
2.6.1. Pembangunan Peternakan Sapi Potong. Peranan sub-sektor peternakan pada perekonomian Indonesia menurut Bachtiar (1991) dipengaruhi oleh indikator yang digunakan. Suatu wilayah mempunyai potensi pengembangan komoditi pertanian (peternakan) pada kawasan strategis dan sentra produksi antara lain karena adanya sejumlah populasi ternak yang dikaitkan dengan kepadatan ternak, luas area untuk pengembangan ternak, sarana dan prasarana pendukung, tingkat produktivitas atau efisiensi usaha dan adanya peluang pasar. Penentuan wilayah potensi kurang tepat bila dikaitkan dengan batas administrasi, seperti penetapan potensi wilayah peternakan didasarkan pada prinsip tata ruang daerah. Populasi ternak dijadikan indikator untuk melihat pengaruh jumlah populasi ternak terhadap variabel-variabel jumlah penduduk, produk domestik regional bruto (PDRB) per kapita, luas padang rumput, luas tegalan/ladang dan luas sawah dari berbagai data populasi ternak di seluruh Indonesia.
42
Tabel 1.
Batas kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah dalam pengelolaan sumberdaya peternakan.
Tingkat Pusat Penetapan
kebijakan tata ruang peternakan & Pembinaan pengembangan kelembagaan peternakan model Perumusan pengembangan kelembagaan ekonomi peternakan seperti koperasi, kelembagaan pemasaran dan pengembangan usaha. Analisis dan pelayanan informasi pasar
Tingkat Provinsi
Tingkat Kabupaten/Kota
Promosi ekspor komoditas ternak unggulan daerah. Analisis dan pelayanan informasi peluang investasi. Analisis pola pengembangan usaha peternakan di kawasan agroekologi. Penetapan tata ruang untuk peternakan di wilayah provinsi. Pemantauan dan pengawasan penerapan standar-standar teknis eksplorasi, eksploitasi, konservasi, rehabilitasi dan pengelolaan sumberdaya alam hayati serta tata ruang untuk peternakan di wilayah provinsi.
Identifikasi potensi, pemetaan tata ruang dan pemanfaatan lahan untuk penyebaran dan pengembangan peternakan. Bimbingan dan pengawasan penyebaran & pengembangan serta redistribusi ternak. Bimbingan dan pengawasan ternak oleh swasta. Penyebaran & pengembangan serta redistribusi ternak pemerintah. Pelaksanaan promosi komoditas peternakan. Pembinaan dan pengembangan kemitraan petani ternak dan pengusaha. Bimbingan kelembagaan usaha peternakan, manajemen usaha, analisis usaha, dan pemasaran hasil peternakan. Bimbingan eskplorasi, eksploitasi, konservasi, rehabilitasi, dan pengelolaan sumberdaya alam hayati peternakan. Bimbingan teknis pengembangan lahan, konservasi tanah dan air dan rehabilitasi lahan kritis di kawasan peternakan.
Sumber : Dirjen Bina Produksi Peternakan, 2002
Populasi ternak sapi ternyata hanya dipengaruhi oleh variabel luas sawah dan erat perkembangannya dengan usaha tani padi sawah. Penduduk dan PDRB mempunyai hubungan kuat hanya terhadap jumlah ternak dan usaha ternak yang bersifat tradisional. Jumlah dan usaha ternak tidak akan berkembang tanpa penduduk walaupun areal tersedia. Dalam hal ini Bachtiar (1991) menyatakan sebagai berikut.
43
1. Semakin tinggi tingkat pendapatan per kapita, maka semakin kecil jumlah ternak. Hal ini menunjukan bahwa usaha peternakan hanya berkembang di wilayah yang relatif miskin, padahal tambahan pendapatan dari sektor lain belum terbuka.
2. Kebijaksanaan pemerintah untuk mendorong kegiatan investasi swasta sangat diperlukan terutama kebijakan deregulasi untuk menekan biaya produksi/harga input dan penyediaan informasi potensi suatu daerah perlu dikembangkan untuk menarik investor di bidang peternakan. 3. Usaha peternakan rakyat di wilayah yang relatif belum berkembang perekonomiannya berpotensi besar ditingkatkan teknologinya, sehingga dapat memberikan sumber pendapatan yang lebih menarik. Semakin tinggi pendapatan per kapita di suatu wilayah, semakin berkurang populasi ternaknya, jumlah penduduk dan areal sawah akan menentukan konsentrasi ternak yang dikembangkan dengan memanfaatkan areal padang rumput dan membentuk usaha peternakan yang berskala besar dan intensif. Perkembangan peternakan dapat dilihat dari tingkat pertumbuhan atau kemandirian kelompok ternak di suatu kawasan pengembangan. Kondisi kawasan
peternakan
ditentukan
oleh
tingkat
pertumbuhan
berdasarkan
perkembangan agroekosistem. Dirjen Bina Produksi Peternakan (2002) membagi tingkat kawasan pertumbuhan/kemandirian kelompok ternak, yaitu kawasan baru, kawasan binaan, dan kawasan mandiri.
1. Kawasan baru. Merupakan daerah atau wilayah kosong ternak atau jarang ternak yang memiliki potensi untuk pengembangan peternakan. Peternak telah memiliki usaha tani lain di samping peternakan. Kelompok belum terbentuk atau sudah ada akan tetapi belum memiliki kelembagaan yang kuat (kelompok pemula). Tersedia lahan untuk bahan pakan ternak, limbah pertanian yang dapat digunakan sebagai salah satu sumber bahan makanan ternak dan peran pemerintah pada pelayanan, pengaturan dan pengawasan. 2. Kawasan Binaan. Merupakan perkembangan lebih lanjut dari kawasan baru setelah memenuhi berbagai persyaratan yang ditentukan untuk kawasan binaan. Wilayah telah berkembang sesuai dengan pengembangan dan peningkatan kemampuan kelompok dari kelompok pemula menjadi kelompok madya dan masing-masing kelompok telah memiliki populasi minimal dengan skala usaha yang ekonomis. Telah dirintis adanya kerjasama antar kelompok
44
dalam bentuk usaha bersama agribisnis (KUBA). Telah dirintis pendirian unitunit pelayanan, unit-unit pengembangan sarana dan unit pemasaran. Peran pemerintah sama seperti pada kawasan baru, namun peran pelayanan mulai sudah berkurang.
3. Kawasan Mandiri. Merupakan lanjutan dari perkembangan kawasan binaan yang telah lebih maju dan berkembang dalam suatu wilayah yang lebih luas. Terdapat
kelompok
petani
yang
meningkat
kemampuannya
menjadi
kelompok lanjut dan telah bekerjasama antara beberapa kelompok dalam wadah
KUBA
(kelompok
usaha
bersama
agribisnis),
dan
dapat
dikembangkan beberapa KUBA dan saling bekerja sama. Terdapat populasi minimal dengan skala usaha yang ekonomis per kepala keluarga, per kelompok, per KUBA dan perkembangan populasi minimal untuk satu kawasan. Terdapat unit-unit pelayanan, unit-unit pengembangan sarana produksi dan unit pemasaran yang efisien, sehingga ada kemandirian petani peternak, kelompok KUBA dan kawasan. Pada kawasan mandiri peran pemerintah hanya dalam pengaturan dan pengawasan. Berdasarkan standar kawasan agribisnis peternakan (Tim Fapet IPB, 2002) pengembangan peternakan pada suatu kawasan harus menghasilkan produk yang berkualitas. Kualitas tersebut antara lain dapat dilihat dari kualitas daging sapi yang ditentukan oleh jumlah kandungan lemaknya, bobot total daging dan lemak sapi ditentukan oleh bobot karkasnya, menurut Priyanto et al. (1997) bobot karkas segar merupakan indikator yang akurat dalam memprediksi bobot total daging yang dihasilkan. Peningkatan kualitas hasil sapi potong juga dipengaruhi oleh pakan yang diberikan selama proses pemeliharaan atau budidaya ternak sapi. Sapi potong yang diberikan pakan yang sesuai, mempunyai kandungan lemak lebih rendah serta serat-serat yang sangat lembut dibanding jenis ternak besar lainnya dan disukai konsumen. Priyanto et al. (1999) menyatakan bahwa daging sapi lebih disukai karena kelembutan, mempunyai sedikit kandungan lemak dan sejumlah kandungan air daging. Penggemukkan sapi menggunakan pakan tambahan Boosdext menurut Sarwono dan Arianto (2001) dapat efektif meningkatkan pertambahan bobot sapi dalam waktu dua sampai tiga bulan dan serat-serat daging sapi yang dihasilkan sangat lembut, sedangkan menggunakan Starbio dan Bioplus membutuhkan waktu lebih lama, yaitu enam sampai delapan bulan pemeliharaan. Penggunaan
45
teknologi Boosdext menghasilkan daging yang berkualitas dengan kandungan lemak yang rendah, yaitu sebesar 1,68 persen (Uje, 1999; Hadi, 2000; Hadi dan Sediono, 2000). Pemberian pakan tambahan seperti Starbio, Bioplus dan Bossdext digunakan untuk mengatur keseimbangan mikroorganisme di dalam rumen (alat pencernaan). Menurut Priyanto et al. (1999) nilai jual produk daging sapi di pasaran bervariasi sesuai dengan segmentasi pasar dan tingkat kualitasnya. Daging sapi mempunyai nilai ekonomi (mutu maupun harga) lebih tinggi dibandingkan dengan hasil temak besar/kecil lainnya (Sugeng, 2001). 2.6.2. Kendala dan Peluang Pengembangan Sapi Potong Perkembangan sapi potong di suatu wilayah, secara umum harus memperhatikan tiga faktor, yaitu pertimbangan teknis, sosial dan ekonomis. Pertimbangan teknis mengarah pada kesesuaian pada sistem produksi yang berkesinambungan,
ditunjang
oleh
kemampuan
manusia,
dan
kondisi
agroekologis. Pertimbangan sosial mempunyai arti bahwa eksistensi ternak di suatu daerah dapat diterima oleh sistem sosial masyarakat dalam arti tidak menimbulkan konflik sosial. Sedangkan pertimbangan ekonomis mengandung arti bahwa ternak yang dipelihara harus menghasilkan nilai tambah bagi perekonomian daerah serta bagi pemeliharanya sendiri (Santosa, 2001). Selanjutnya dikatakan bahwa disamping ketiga faktor tersebut terdapat faktor lain yang mempengaruhi perkembangan peternakan secara eksternal diantaranya infrastruktur, keterpaduan dan koordinasi lintas sektoral, perkembangan penduduk serta kebijakan pengembangan wilayah atau kebijakan pusat dan daerah. Pengembangan sistem budidaya sapi potong melalui pola-pola integrasi, pada
dasarnya
mengikuti
prinsip-prinsip
ekosistem
alami
dengan
cara
memanfaatkan sumberdaya lokal yang tersedia dan ramah lingkungan (environmental friendly) sehingga tercipta suatu keseimbangan yang dinamis dan meningkatkan produktivitas. Karena yang menjadi ciri ekosistem alami adalah adanya keanekaragaman, adanya ketergantungan dan keterkaitan, adanya keseimbangan yang dinamis, adanya harmonisasi dan stabilisasi, serta adanya manfaat dan produktivitas (Sutjahjo 2004) Menurut
Atmadilaga
(1975),
hambatan-hambatan
dalam
usaha
meningkatkan produksi ternak pada umumnya disebabkan oleh masalah yang kompleks dan bersifat biologis, ekologis, serta sosioekonomis. Hal ini akan
46
berpengaruh terhadap produktivitas secara kuantitatif terutama ternak yang bersifat tradisional. Dalam pembangunan peternakan nasional, peternakan rakyat ternyata masih memegang peranan sebagai aset terbesar, tetapi sampai saat ini tipologinya masih bersifat sambilan (tradisional) yang dibatasi oleh skala usaha kecil, teknologi sederhana, dan produknya berkualitas rendah (Soehadji, 1995). Hal tersebut diperkuat oleh Sudrajat (2000) yang menyatakan bahwa beberapa kendala yang dijumpai dalam pengembangan sapi potong adalah : (1) Penyempitan lahan pangonan, (2) kualitas sumberdaya manusia rendah, (3) produktivitas ternak rendah, (4) akses ke pemodal sulit. (5) koordinasi lintas sektoral belum kondusif, dan (5) penggunaan teknologi masih rendah. Sebagai suatu sistem, pengembangan peternakan pada saat ini masih menghadapi berbagai kendala. Menurut Santosa (2001) secara nasional kita dihadapkan kepada persoalan-persoalan sebagai berikut.
Harga obat hewan yang semakin tinggi.
Kesulitan untuk memperoleh bibit.
Kesulitan untuk akses ke sumber modal.
Rendahnya nilai tambah yang diperoleh peternak.
Rendahnya angka kelahiran dan masih tingginya angka kematian ternak.
Masih tingginya angka pemotong ternak betina produktif.
Manajemen pakan yang kurang baik.
Masih rendahnya tingkat keberhasilan teknologi IB.
Belum ada upaya pemanfaatan limbah pertanian sebagai sumber pakan dan kotoran ternak sebagai pupuk organik secara intensif. Adapun faktor-faktor yang menjadi pendorong bagi pengembangan sapi
potong di Indonesia adalah : (I) permintaan pasar terhadap daging sapi semakin meningkat, (2) Ketersediaan tenaga kerja cukup besar, (3) Kebijakan pemerintah mendukung, (4) Hijauan dari sisa pertanian tersedia sepanjang tahun, (5) Usaha peternakan
sapi
lokal
tidak
terpengaruh
krisis.
Kendala
dan
peluang
pengembangan peternakan pada suatu wilayah dapat digunakan sebagai acuan dalam menentukan strategi pengembangan sapi potong di wilayah tersebut.
2.6.3. Strategi Pengembangan Sapi Potong Sejak dikeluarkannya UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, maka semua kegiatan pembangunan yang menggunakan, memanfaatkan, dan
47
mengelola sumberdaya alam yang berada di darat, laut dan udara harus menyesuaikan dengan rencana penataan ruang sebagai suatu strategi nasional dalam
memanfaatkan,
menggunakan
kekayaan
sumberdaya
alam
dan
mendorong pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat secara nasional dan berkelanjutan. Pengembangan sapi potong merupakan upaya untuk meningkatkan produksi ternak secara kuantitas maupun kualitas, meningkatkan kecernaan bahan pakan, membangun sistem agribisnis peternakan, mengembangkan penggunaan sumberdaya tersedia, dan lebih jauh dapat meningkatkan nilai tambah bagi peternak sebagai pengelola usaha peternakan tersebut. Gurnadi (1998) menganjurkan bahwa dalam pengembangan ternak di suatu daerah, maka perlu diukur potensi sumberdaya yang tersedia.
Sumberdaya tersebut
mencakup ketersediaan lahan dan pakan, tenaga kerja, dan potensi ternak yang akan dikembangkan. Potensi tersebut ditentukan oleh tersedianya tanah pertanian, kesuburan tanah, iklim, topografi, ketersediaan air, dan pola pertanian yang ada. Usaha untuk mencapai tujuan pengembangan ternak tersebut dapat dilakukan dengan tiga pendekatan, yaitu (1) pendekatan teknis dengan meningkatkan kelahiran, menurunkan kematian, mengontrol pemotongan ternak, dan perbaikan genetik ternak, (2) pendekatan terpadu yang menerapkan teknologi produksi, manajemen ekonomi, pertimbangan sosial budaya, serta pembentukkan kelompok peternak yang bekerja sama dengan instansi-instansi terkait, (3) Pendekatan agribisnis dengan tujuan mempercepat pengembangan peternakan melalui integrasi dari keempat aspek yaitu input produksi (lahan, pakan, plasma nutfah, dan sumberdaya manusia), proses produksi. pengolahan hasil, dan pemasaran. Sistem produksi ternak merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pertanian secara umum. Menurut Preston dan Leng (1987) tujuan dasar yang harus diperhatikan dalam pengembangan sapi potong dengan sistem usaha tani lain adalah: 1. Untuk
mengoptimalkan
produktivitas
pertanian
dan
peternakan
dengan menggunakan input yang tersedia 2. Untuk
memadukan
antara
beberapa
jenis
tanaman,
ternak,
limbah
peternakan dan pertanian sehingga semua bagian saling memanfaatkan. Pemeliharaan ternak merupakan salah satu komponen dalam usaha tani dan ternak ini akan terintegrasi dengan komoditi lain yang diusahakan oleh
48
petani. Menurut Sabrani et al. (1981) problema yang dihadapi dalam pengembangan ternak sistem tradisional adalah ketepatan pengalokasian sumberdaya. Selanjumya dijelaskan bahwa bila usaha ternak skala kecil yang berorientasi pada usaha keluarga maka program pengembangan ternak tersebut didasarkan pada sistem pertanian secara terpadu. Sistem pertanian terpadu (integrated farming system) adalah suatu usaha dalam bidang pertanian dimana terjadi keterkaitan input-output antar komoditas pertanian, keterkaitan antar kegiatan produksi dengan pra produksi dan pasca produksi, serta antara kegiatan pertanian dengan kegiatan manufaktur dan jasa (Rusono, 1999). Selanjutnya dijelaskan bahwa keterpaduan merupakan hal penting maka suatu sistem pertanian terpadu membutuhkan dan mensyaratkan sumberdaya manusia yang berkualitas serta mampu dalam menata aliran inputoutput sedemikian rupa sehingga kombinasi input-output yang dihasilkan adalah kombinasi optimum yang menghasilkan manfaat yang besar bagi petani. Tanaman pangan atau hortikultura tidak hanya menghasilkan pangan sebagai produk utama, tetapi menghasilkan produk sampingan atau limbah ikutan misalnya jerami padi, ampas tahu, limbah tanaman kacang tanah dan sebagainya. Dengan cara sederhana limbah tersebut dapat diubah menjadi pangan yang bermutu (daging) melalui sapi potong, sehingga biaya pakan produksi ternak dapat ditekan. Disamping menghasilkan produk utama berupa daging, sapi potong menghasilkan kotoran (feses) yang diolah dengan cara sederhana dapat menjadi komoditas ekonomis atau digunakan sebagai pupuk sehingga dapat menopang kegiatan produksi tanaman pangan dan secara langsung mengurangi biaya pengadaan pupuk, dan pada akhirnya keterpaduan tersebut dapat meningkatkan tambahan pendapatan petani peternak (Suharto, 1999).
Beberapa manfaat integrasi ternak pada usaha pertanian yaitu : 1. Meningkatkan pemberdayaan sumberdaya lokal (domestic based resources) 2. Optimalisasi hasil usaha 3. Penciptaan produk-produk baru hasil diversifikasi usaha 4. Penciptaan kemandirian petani sehingga tidak tergantung pinjaman luar 5. Meningkatkan pendapatan petani peternak 6. Menciptakan lapangan kerja yang menyerap banyak tenaga kerja pedesaan
49
Pengembangan sistem usaha tani terpadu merupakan salah satu pendekatan
dalam
memanfaatkan
keragaman
sumberdaya
alam.
Bila
dikembangkan dengan tepat maka sistem usaha tani terpadu dapat menjadi pilar pembangunan pertanian modern dan berkelanjutan. Supaya sistem usaha tani terpadu dapat berkembang, maka aspek-aspek yang perlu diperhatikan adalah (1) sifat usaha tani, (2) sumberdaya manusia, (3) skala usaha, (4) sarana dan pra sarana, (5) kemitraan dan hubungan antar subsistem agribisnis, (6) orientasi usaha, dan (7) kelestarian sumberdaya dan lingkungan (Rusono, 1999). 2.7.
Penggunaan Model Menurut Manetsch and Park (1997) model adalah suatu penggambaran
abstrak dari sistem dunia nyata (riil), yang akan bertindak seperti dunia nyata untuk aspek-aspek tertentu. Model yang baik akan memberikan gambaran perilaku dunia nyata sesuai dengan permasalahan dan akan meminimalkan perilaku yang tidak signifikan dari sistem yang dimodelkan. Model dan manipulasinya melalui proses simulasi adalah alat yang sangat bermanfaat dalam sistem analisis. Model dapat digunakan sebagai representasi sebuah sistem yang sedang dikerjakan atau menganalisis sistem yang sudah dilakukan. Dengan menggunakan model dapat dihasilkan desain atau keputusan operasional dalam waktu yang singkat dan biaya yang murah (Blanchord
dan
Fabrycky,
1981).
Menurut
Kholil
(2005),
untuk
dapat
menyelesaikan permasalahan dengan pendekatan kesisteman, harus diawali dengan berpikir sistemik (system thinking), sibernetik (goal oriented), holistik dan efektif. Dari terminologi penelitian operasional, secara umum model didefinisikan sebagai suatu perwakilan atau abstraksi dari sebuah objek atau situasi aktual. Model memperlihatkan hubungan-hubungan langsung maupun tidak langsung serta kaitan timbal balik dalam istilah sebab akibat, oleh karena itu suatu model adalah suatu abstraksi dari realitas, maka pada wujudnya kurang komplek dari pada realitas itu sendiri (Eriyatno, 2003). Menurut Muhammadi et al. (2001) model adalah suatu bentuk yang dibuat untuk menirukan suatu gejala atau proses. Model dapat dikelompokkan menjadi model kuantitatif, kualitatif dan model ikonik. Model kualitatif adalah model yang berbentuk gambar, diagram atau matrik. Model ikonik adalah model yang mempunyai bentuk fisik sama dengan barang yang ditirukan.
50
Menurut Meadows (1982) model adalah usaha memahami beberapa segi dari dunia kita yang sangat beraneka ragam sifatnya, dengan cara memilih sekian banyak pengamatan dan pengalaman masa lalu untuk memecahkan masalah yang sedang dihadapi. Sedangkan menurut Hall dan John (1977), model adalah penggambaran atau lukisan tentang sebagian dari kenyataan. Model harus dicek dengan kondisi sebenarnya (dunia nyata) untuk meyakinkan bahwa penggambaran dari dunia nyata dalam pemodelan akurat atau tidak. Selanjutnya Ruth dan Hannon (1997) mengemukakan bahwa model adalah pusat pemahamannya terhadap dunia karena model dapat mempresentasikan dan manipulasi fenomena nyata. Dengan membangun model dapat memahami pengaruh
positif
terhadap
keputusan
alternatif
dalam
kinerja
ekonomi,
pengelolaan sumber daya alam dan kualitas lingkungan. Model merupakan suatu alat yang penting untuk menciptakan pengetahuan baru. Dari berbagai pendapat tersebut diatas, maka model secara umum dapat didefinisikan sebagai suatu bentuk peniruan dan penyederhanaan dari suatu gejala, proses atau benda dalam skala yang lebih kecil skalanya. 2.8.
Analisis Kebijakan Partowidagdo (1999) menyatakan bahwa analisis kebijakan adalah ilmu
yang menghasilkan informasi yang relevan dengan kebijakan publik. Produk analisis kebijakan adalah nasehat. Kebijakan yang diambil akan mempunyai biaya dan manfaat tertentu. Kebijakan tersebut dapat relatif menguntungkan suatu kelompok dan relatif merugikan kelompok lain. Selanjutnya menurut Vining dan Weimer (1998) analisis kebijakan adalah nasehat yang berorientasi pada klien yang relevan dengan kebijakan publik dan disampaikan dengan nilai-nilai sosial, tapi kenyataannya tidak semua nasehat adalah analisis kebijakan, jadi untuk menentukan nasehat tersebut, perlu lebih spesifik dan terkait dengan kebijakan publik.
Analisis kebijakan pada dasarnya mencakup
tiga hal utama, yaitu
bagaimana merumuskan kebijakan, implementasi kebijakan dan evaluasi kebijakan (Dwijowijoto,
2003). Setiap
kebijakan dirumuskan untuk tujuan
tertentu yaitu mengatur sistem yang sedang berjalan untuk mencapai tujuan (visi dan misi) bersama yang telah disepakati. Dengan demikian, analisis kebijakan adalah tindakan yang diperlukan untuk dibuatnya sebuah
kebijakan, baik
51
kebijakan yang baru sama sekali atau kebijakan yang baru sebagai konsekuensi dari kebijakan yang ada. Analisis kebijakan merupakan suatu keharusan bagi perumus kebijakan, namun tidak terlalu ditekankan pada implementasi kebijakan dan lingkungan kebijakan. Pada implementasi kebijakan dan lingkungan biasanya dilakukan evaluasi. Namun demikian, evaluasi kebijakan merupakan bagian dari analisis kebijakan yang lebih berkenaan dengan prosedur dan manfaat dari kebijakan. Meski analisa kebijakan lebih fokus kepada perumusan, pada prinsipnya setiap analisis kebijakan pasti mencakup evaluasi kebijakan karena analisis kebijakan menjangkau sejak awal proses kebijakan, yaitu menemukan isu kebijakan, menganalisa faktor pendukung kebijakan, implementasinya, peluang evaluasi, dan kondisi lingkungan kebijakan. Analisis kebijakan pada dasarnya adalah menemukan langkah strategis untuk mempengaruhi sistem. Ada dua pilihan skenario yang dapat dilakukan untuk mempengaruhi kinerja sistem yaitu: (1) kebijakan fungsional, skenario dengan tindakan yang mempengaruhi fungsi dari unsur sistem tanpa merubah sistem; dan (2) kebijakan struktural,
skenario dengan tindakan yang akan
menghasilkan sistem yang berbeda (Aminullah, 2004). Tujuan dari analisis kebijakan adalah menganalisis dan mencari alternatif kebijakan yang dapat dipakai sebagai dasar pengambilan keputusan bagi penentu kebijakan. Analisis kebijakan adalah ilmu yang menghasilkan informasi yang relevan dengan kebijakan publik. Produk analisis kebijakan adalah nasehat sehingga seorang analis kebijakan hanyalah penasehat kebijakan bukan penentu kebijakan. Oleh karena itu seorang analis kebijakan memerlukan hal-hal sebagai berikut. 1. Harus
tahu
bagaimana
mengumpulkan,
mengorganisasi
dan
mengkomunikasikan informasi dalam situasi dimana terdapat keterbatasan waktu dan akses. 2. Membutuhkan perspektif (pandangan) untuk melihat masalah-masalah sosial yang dihadapi dalam konteksnya. 3. Membutuhkan kemampuan teknik agar dapat memprediksi kebijakan yang diperlukan di masa yang akan datang dan mengevaluasi alternatif kebijakan dengan lebih baik.
52
4. Harus mengerti institusi dan implementasi dari masalah yang diamati untuk dapat meramalkan akibat dari kebijakan yang dipilih, sehingga dapat menyusun fakta dan argumentasi secara lebih efektif. 5. Harus mempunyai etika (moral). Muhammadi et al. (2001) menyatakan bahwa analisis kebijakan adalah pekerjaan intelektual memilah dan mengelompokkan upaya atau untuk memperoleh
pengetahuan
tentang
cara-cara
yang
strategis
dalam
mempengaruhi sistem mencapai tujuan yang diinginkan. Dalam sistem dinamis untuk menyederhanakan sistem dalam analisis kebijakan digunakan simulasi model. Ada dua tahap simulasi model untuk analisis kebijakan yaitu: (1) pengembangan kebijakan alternatif, yaitu suatu proses berpikir kreatif untuk menciptakan ide-ide baru tentang tindakan yang diperlukan dalam rangka mempengaruhi sistem untuk mencapai tujuan, baik dengan cara merubah model maupun tanpa merubah model; dan (2) analisis kebijakan alternatif, suatu upaya untuk menentukan alternatif kebijakan yang terbaik dengan mempertimbangkan perubahan sistem serta perubahan lingkungan ke depan. Analisis kebijakan diambil dari berbagai macam disiplin dan profesi yang tujuannya bersifat deskriptif, evaluatif dan preskriptif. Sebagai disiplin ilmu terapan, analisis kebijakan meminjam tidak hanya ilmu sosial dan perilaku tetapi juga administrasi publik, hukum, etika dan berbagai macam cabang analisis sistem dan matematika terapan. Analisis kebijakan dapat diharapkan untuk menghasilkan informasi dan argumen-argumen yang masuk akal mengenai tiga macam pertanyaan: (1) nilai yang pencapaiannya merupakan tolok ukur utama untuk melihat apakah masalah telah teratasi, (2) fakta yang keberadaannya dapat membatasi atau meningkatkan pencapaian nilai-nilai, dan (3) tindakan yang penerapannya dapat menghasilkan pencapaian nilai-nilai. Analisis kebijakan pada dasarnya adalah suatu upaya untuk mengetahui apa yang sesungguhnya dilakukan pemerintah, mengapa mereka melakukan hal tersebut dan apa yang menyebabkan mereka melakukannya dengan cara yang berbeda-beda. Analisis kebijakan merupakan suatu proses pencarian kebenaran yang bermuara pada penggambaran dan penjelasan mengenai sebab-sebab dan akibat dari tindakan pemerintah. Ada tiga jenis analisis kebijakan, yaitu: (1) analisis prospektif, (2) analisis retrospektif, dan (3) analisis terintegrasi (Dunn, 1994). Analisis prospektif merupakan analisis kebijakan yang terkait dengan produksi dan transformasi
53
informasi sebelum tindakan kebijakan dilakukan. Analisis retrospektif, sebaliknya berkaitan dengan produksi dan transformasi informal setelah tindakan kebijakan dilakukan. Sedangkan analisis terintegrasi adalah analisis kebijakan yang secara utuh mengkaji seluruh daur kebijakan dengan menggabungkan analisis prospektif dan retrospektif.
2.9.
Hasil Penelitian Terdahulu Ada beberapa hasil penelitian dan tulisan ilmiah yang membahas tentang
kegiatan budidaya sapi potong khususnya di Indonesia dan pendekatan pembangunan berkelanjutan sebagai metode untuk melakukan studi terhadap suatu sumberdaya alam secara keberlanjutan. Kusumawati (1999) dalam penelitiannya tentang pengaruh nilai tukar rupiah/USD terhadap usaha penggemukan dan perdagangan sapi potong di Indonesia menyimpulkan bahwa usaha penggemukan dan perdagangan sapi potong di Indonesia dengan cara impor bibit/bakalan tidak layak untuk dikembangkan jika kondisi nilai tukar rupiah/USD tidak stabil. Peneliti menyarankan kepada pemerintah untuk membuat kebijakan percepatan pengembangan bibit/bakalan bermutu dengan menggunakan
teknologi
inseminasi
buatan
dan
transfer
embrio
untuk
mengurangi ketergantungan kepada bibit/bakalan impor. Himawan,
(2001)
dalam
penelitiannya
yang
berjudul
strategi
pengembangan ternak sapi berorientasi agribisnis dalam rangka meningkatkan ketahanan pangan di Provinsi Riau, dengan menggunakan metode analisis lingkungan eksternal dan internal berdasarkan konsep manajemen strategi, menyimpulkan bahwa untuk pengembangan budidaya ternak sapi di Propinsi Riau harus dilakukan dengan pendekatan kawasan dengan sistem integrasi. Susilo (2003), melakukan studi di Kepulauan Seribu dengan judul Keberlanjutan Pembangunan Pulau-pulau Kecil: Studi Kasus Kelurahan Pulau Panggang
dan
menggunakan
Pulau
Pari,
pendekatan
Kepulauan konsep
Seribu,
pembangunan
DKI
Jakarta.
Dengan
berkelanjutan,
yang
bersangkutan menyusun nilai indeks keberlanjutan pengelolaan sumberdaya di wilayah studi. Berdasarkan hasii analisis dengan metode MDS disimpulkan bahwa pengelolaan sumberdaya di Pulau Panggang dan Pulau Pari termasuk ke dalam kategori "cukup" berkelanjutan. Mersyah (2005) dalam penelitiannya yang berjudul desain sistem budidaya sapi potong berkelanjutan untuk mendukung pelaksanaan otonomi
54
daerah di Kabupaten Bengkulu Selatan dengan menyusun nilai indeks keberlanjutan menggunakan MDS disimpulkan bahwa budidaya sapi potong di Kabupaten Bengkulu Selatan kurang berkelanjutan. Untuk itu pengembangan sistem budidaya sapi potong berkelanjutan dapat dilakukan dengan strategi moderat-optimistik.
55
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian berada dalam wilayah Propinsi Papua di Kabupaten Jayapura, yaitu Distrik Nimboran, Nimbokrang, Kemtuk dan Kemtuk Gresi, secara astronomis berada pada posisi 02o 27 – 02o 46 Lintang Selatan (LS) dan 139o 58’ – 140o 31’ Bujur Timur (BT). Batas-batas wilayah penelitian tersebut secara administrasi pemerintahan sebagai berikut : Disebelah utara berbatasan dengan Distrik Demta dan Sentani Barat. Disebelah timur berbatasan dengan Distrik Skamto dan Sentani Barat. Disebelah selatan berbatasan dengan Distrik Unurum Guay, serta Disebelah barat berbatasan dengan Distrik Unurum Guay dan Bonggo. Penentuan lokasi penelitian tersebur dengan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut : 1. Letak geografis dan kesinergian program pembangunan yang telah dicanangkan oleh pemerintah daerah setempat. 2. Aksesibilitas kawasan telah dihubungkan oleh jalan arteri yang menghubungkan antar kecamatan. 3. Potensi lahan yang memungkinkan untuk pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan. Penelitian dilaksanakan mulai bulan September 2009 sampai bulan Agustus 2010, terhitung sejak penyusunan proposal sampai pengesahan Disertasi.
3.2. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode deskriptif melalui studi kasus dengan menggunakan pendekatan sistem. Pendekatan sistem digunakan untuk merumuskan kebijakan dan skenario strategi pengembangan agropolitan berbasis agribisnis peternakan sapi potong berkelanjutan di Kabupaten Jayapura yang bersifat multi dimensi, melibatkan berbagai stakeholders, dan lintas sektor. Penelitian dimulai dengan melakukan analisis komoditas unggulan peternakan dan perilaku peternak. Hasil analisis ini menjadi salah satu sumber untuk memberikan penilaian (skor) setiap atribut pada masing-masing dimensi dalam rangka menilai keberlanjutan sistem pada saat ini (existing condition). Atribut-atribut yang sensitif mempengaruhi nilai indeks keberlanjutan sistem yang dikaji
56
57 selanjutnya dijadikan sebagai faktor-faktor penting dalam sistem dan dianalisis tingkat pengaruh dan ketergantungan antar faktor tersebut. Pada tahap berikutnya dilakukan analisis kebutuhan (need analysis) dari semua pihak yang berkepentingan terhadap sistem, sehingga diperoleh faktor-faktor penting, yang selanjutnya juga dilakukan analisis tingkat pengaruh dan ketergantungan antar faktor tersebut. Faktor-faktor penting dari kedua hasil analisis (existing condition dan need analysis) dikombinasikan untuk mendapatkan hasil yang lebih mencerminkan faktor-faktor yang berpengaruh pada sistem yang dikaji. Faktor-faktor penting hasil kombinasi dari kedua sumber tersebut kembali dilakukan analisis tingkat pengaruh dan kepentingannya, yang selanjutnya dijadikan sebagai variabel untuk membangun model pengembangan sistem. Analisis prospektif digunakan untuk mendapatkan faktor penting yakni kemungkinan keadaannya (state) di masa depan dan dirumuskan berbagai skenario strategi masa depan dalam pengembangan sistem yang dikaji. Pada tahap akhir, dapat dirumuskan kebijakan dan strategi pengembangan agropolitan berbasis agribisnis peternakan sapi potong secara berkelanjutan di Kabupaten Jayapura dengan menggunakan analisis hierarki proses (AHP)
3.3.
Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data primer dilakukan dengan cara diskusi, wawancara,
pengisian kuesioner, dan pengamatan langsung terhadap kegiatan pengembangan agribisnis peternakan sapi potong di lokasi penelitian untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Data sekunder diperoleh dengan cara mencari dari berbagai sumber seperti hasil penelitian terdahulu, hasil studi pustaka, dan laporan serta dokumen dari berbagai instansi yang berhubungan dengan bidang penelitian.
3.3.1. Jenis Dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian adalah data primer dan sekunder, yang bersumber dari responden dan semua stake holders dalam bidang budidaya sapi potong. Pada Tabel 2, disajikan secara rinci jenis dan sumber data yang diperlukan dalam penelitian.
58 Tabel 2. Jenis dan sumber data yang diperlukan dalam penelitian. Jenis Data I.
Data Primer 1. Sosial-Ekonomi 2. Kebutuhan sistem. 3. Tujuan sistem 4. Identifikasi faktor-faktor strategis sistem. 5. Tingkat kepentingan faktor-faktor strategis terhadap sistem. 6. Perumusan skenario sistem. 7. Penentuan prioritas
Sumber Data Responden (peternak) Responden (expert/pakar) Responden (expert/pakar) Responden (expert/pakar) Responden (expert/pakar) Responden (expert/pakar) Responden (expert/pakar)
II. Data Sekunder 1. Populasi Ternak 2. Tingkat kamatian dan kelahiran. 3. Jumlah pemotongan. 4. Jumlah ternak keluar daerah. 5. Tingkat keberhasilan IB. 6. Jenis penyakit hewan 7. Tingkat konsumsi daging masyarakat 8. Pendapatan Asli Daerah (PAD) 9. Populasi penduduk, dan sosial-ekonomi 10. Pola penggunaan lahan 11. Jumlah angkatan pencari kerja 12. Kebutuhan pakan per ekor sapi potong. 13. Jumlah feses per ekor sapi potong 14. Rasio pupuk organik dari feses
Dinas Peternakan Kabupaten Jayapura dan Dirjen Bina Produksi Peternakan Deptan, Jakarta Diperindag Jayapura Dispenda Jayapura BPS Jayapura BPN Jayapura Dinas Tenaga Kerja Jayapura Hasil Penelitian/studi literatur
3.3.2. Teknik Penentuan Responden dan Pengambilan Contoh Pemilihan responden disesuaikan dengan kondisi lingkungan dan jumlah responden yang akan diambil yaitu responden yang dianggap dapat mewakili dan memahami permasalahan yang diteliti. Penentuan responden dilakukan dengan menggunakan metode expert survey yang dibagi atas dua cara : 1. Responden dari stakeholder selain pakar di lokasi penelitian dilakukan dengan menggunakan metode stratified random sampling secara proporsional (Walpole, 1995) dengan rumus sebagai berikut : ni =
Ni
n
N Keterangan : ni N Ni n
= jumlah responden strata ke-i = jumlah populasi (kepala keluarga petani) = jumlah populasi strata ke-i = ukuran responden secara keseluruhan
2. Responden dari kalangan pakar dipilih secara sengaja (purposive sampling) Beberapa pertimbangan dalam menentukan pakar yang akan dijadikan responden,
59 menggunakan
kriteria
yaitu
mempunyai
pengalaman,
reputasi,
dan
kedudukan/jabatan sesuai dengan bidang yang dikaji, serta memiliki kredibilitas yang tinggi, bersedia, dan atau berada pada lokasi yang dikaji. Pakar yang akan menjadi alternatif pilihan untuk dijadikan responden sebanyak 16 orang yang mewakili semua stakeholders seperti kelompok tani, pengusaha sapi potong, Kepala Poskeswan, Kepala Dinas Peternakan Kabupaten Jayapura, Kepala Dinas Perkebunan dan Peternakan Provinsi Papua, Ketua Bapeda, Perguruan Tinggi (Fakultas Pertanian UNIPA), Direktur Pengembangan Peternakan Dirjen Bina Produksi Peternakan, sehingga pakar yang terpilih diharapkan dapat mewakili setiap unsur birokrasi,
akademisi
(pergururan
tinggi),
pelaku
usaha,
peternak,
dan
asosiasi/organisasi yang peduli dengan peternakan sapi potong di Jayapura. Perincian jumlah responden penelitian disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Perincian jumlah responden penelitian. No. I.
II.
Responden
Teknik Pengambilan Contoh
Unit Contoh Daerah Wilayah 1. Kecamatan 2. Desa Unit Contoh Responden A. Pakar (expert) 1. Ketua Kelompok Tani 2. Pengusaha sapi potong 3. Kepala Pos Keswan 4. Kepala Dinas peternakan 5. Ketua BP3D Kab. Jayapura 6. Dosen Peternakan UNIPA 7. Dirjen Bina Produksi Peternakan, Departemen Pertanian B. Peternak Peternak (analisis sosial-ekonomi)
Purposive Purposive
4 kecamatan 12 desa
Purposive Purposive Purposive Purposive Purposive Purposive Purposive
10 orang 1 orang 1 orang 1 orang 1 orang 1 orang 1 orang
Proportional Cluster Random Sampling
110 0rang
Jumlah 3.4.
Jumlah Contoh
126 orang
Metode Analisis Data Metode analisis data dilakukan dengan tahapan sebagai berikut :
3.4.1. Metode Perbandingan Eksponensial (MPE) Tahapan yang dilakukan dalam melaksanakan pengambilan keputusan dengan menggunakan MPE adalah sebagai berikut.
a.
Menentukan alternatif keputusan. Dari komoditas peternakan yang ada di Kabupaten Jayapura, berdasarkan wawancara dengan peternak/kelompok peternak dan pendapat dari responden berdasarkan
pengisian
kuesioner,
maka
didapatkan
komoditas
alternatif
60 peternakan untuk penentuan komoditas unggulan. Penetapan kualitas alternatif ini sesuai dengan jenis ternak yang banyak di pelihara di Kabupaten Jayapura. Komoditas alternatif yang ditetapkan adalah sapi potong, babi, kambing, ayam ras pedaging, ayam ras petelur, ayam buras (bukan ras) dan itik. b.
Menyusun kriteria keputusan yang akan diambil. Penentuan kriteria dalam pemilihan komoditas unggulan ini ditentukan melalui kajian pustaka dan faktor-faktor yang mempengaruhi dalam pengembangan serta kebiasaan yang lazim dalam usaha pengembangan komoditas alternatif oleh masyarakat/peternak serta pendapat dari responden. Kriteria yang digunakan adalah potensi pasar, sumberdaya peternak, kondisi sosial budaya, jumlah atau populasi ternak, ketersediaan modal, sarana dan prasarana transportasi pendukung, ketersediaan sarana produksi, keterampilan peternak, produksi dan produktifitas, teknologi, penggunaan teknologi, kebijaksanaan pemerintah dan ketersediaan lahan.
c.
Menentukan derajat kepentingan relatif setiap kriteria keputusan. Batasan angka penilaian adalah sebagai berikut : nilai 4 jika kriteria tersebut sangat berpengaruh, nilai 3 jika kriteria berpengaruh cukup besar, nilai 2 jika kriteria kurang berpengaruh dan nilai 1 jika kriteria tidak berpengaruh terhadap komoditas alternatif.
d.
Menentukan derajat kepentingan relatif setiap pilihan keputusan (bobot). Penentuan bobot kriteria dilakukan berdasarkan Paired Comparison Criteria yaitu dengan memberikan panilaian atau pembobotan angka pada masing-masing kriteria. Penilaian angka pembobotan adalah sebagai berikut : nilai 2 jika kriteria horizontal lebih penting dari kriteria vertikal, nilai 1 jika kriteria horizontal sama penting dengan kriteria vertikal dan nilai 0 jika kriteria horizontal kurang penting dari kriteria vertikal.
e.
Melakukan perhitungan nilai dari setiap alternatif keputusan.
f.
Memberi peringkat nilai dari setiap alternatif keputusan.
Pembobotan dari setiap penilaian dilakukan dengan menggunakan matrik seperti terlihat pada Tabel 4.
61 Tabel 4. Matriks nilai untuk setiap kriteria alternatif keputusan (NK) Kriteria Alternatif Keputusan
Kriteria 1
Kriteria 2
Kriteria N
Alternatif keputusan I
Nkn
Nk12
Nk1n
Bobot 2
Bobot n
Nilai
Rangking
Alternatif keputusan II
Alternatif keputusan m
Nkm1
Bobot
Bobot 1
i =1 n
Nilai m = ∑ (Nkm1)
bobot i
Keterangan : k
N m1
= Nilai kriteria ke n untuk alternative keputusan ke m
Bobot i
= Bobot untuk kriteria ke I
m
= Pilihan Keputusan ke-m
n
= Kriteria ke-n
3.4.2. Analisis Perilaku Peternak dan Karakteristik Peternak Analisis perilaku peternak bertujuan untuk mengetahui karakteristik personal (umur, tingkat pendidikan, lama beternak, sumber modal, tingkat penghasilan, etnis; penduduk lokal dan transmigran) dan perilaku berusaha peternak sapi potong yang mendapatkan bantuan pemerintah (proyek SADP, Banpres, IDT, Dinas Koperasi, Sosial dan Transimigrasi) dan petani ternak yang tidak mendapatkan bantuan pemerintah. Disamping itu juga untuk mengetahui perilaku peternak berdasarkan skala usaha. 3.4.3. Analisis Keberlanjutan Keberlanjutan
pengembangan
kawasan
agropolitan
berbasis
agribisnis
peternakan sapi potong akan dianalisis melalui pendekatan multidimensional scaling (MDS) dengan analisis Rapfish. MDS adalah teknik analisis yang digunakan untuk mengetahui keberlanjutan pembangunan wilayah secara multidisipliner. Dimensi dalam MDS menyangkut berbagai aspek. Setiap dimensi memiliki atribut atau indikator yang terkait dengan keberlanjutan pembangunan kawasan. Berdasarkan indikator tersebut dilakukan analisis status masing-masing dimensi pengelolaan lingkungan apakah mendukung atau tidak terhadap keberlanjutan
62 sumberdaya dalam suatu wilayah tertentu untuk jenis kegiatan yang spesifik. Dasar dari penentuan status ini menjadi barometer dalam penentuan kebijakan yang harus dilakukan guna terjaminnya keberlanjutan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan sapi potong. Penggunaan teknik MDS mempunyai berbagai keunggulan diantaranya adalah sederhana, mudah dinilai, cepat serta biaya yang diperlukan relatif murah (Pitcher 1999). Selain itu, teknik ini dapat menjelaskan hubungan dari berbagai aspek keberlanjutan, dan juga mendefenisikan pembangunan kawasan yang fleksibel. Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan menggunakan software pendukung MDS. Dalam penelitian ini analisis MDS dilakukan dengan menggunakan software pendukung MDS yang dimodifikasi dari software Rapfish (rapid assesment techniques for fisheries) yang dikembangkan oleh Fisheries Center University of British Columbia, Kanada. Dalam analisis MDS setiap data yang diperoleh diberi skor yang menunjukkan status sumberdaya tersebut. Ordinasi MDS dibentuk oleh aspek ekologi, ekonomi, sosial, kelembagaan, dan teknologi. Hasil statusnya menggambarkan keberlanjutan di setiap aspek yang disajikan dalam skala 0 sampai 100%. Manfaat dari teknik MDS ini adalah
dapat
menggabungkan
berbagai
aspek
untuk
dievaluasi
komponen
keberlanjutannya dan dampaknya terhadap kegiatan pengelolaan lingkungan. Prosedur MDS ditampilkan pada Gambar 8. Terdapat lima dimensi yang digunakan dalam menilai pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan sapi potong sebagai indikator keberlanjutan. Setiap dimensi tersebut dilengkapi dengan atribut yang digunakan untuk menilai kondisi di masa lalu dan saat ini. Atribut yang tersebar dalam lima dimensi kondisi disajikan pada Tabel ,5, 6, 7, 8 dan 9.
Gambar 8. Proses aplikasi MDS
63 Penentuan skor setiap atribut dilakukan dengan berbagai teknik yaitu: untuk atribut yang datanya tersedia dalam bentuk numerik, maka menggunakan data dokumentasi. Atribut yang datanya berupa persepsi atau pandangan maka dilakukan wawancara terhadap responden yang mengetahui dengan tepat kondisi atribut tersebut. Output dari hasil analisis ini adalah berupa status keberlanjutan pengembangan agropolitan berbasis peternakan sapi potong untuk ke-lima dimensi dalam bentuk skor dengan skala 0 – 100. Kategori keberlanjutan adalah: skor < 50 berarti tidak berkelanjutan; skor (50 – 75) berarti belum berkelanjutan; dan skor >75 berarti berkelanjutan. Kategori ini sesuai dengan standar Mersyah (2005), CSD (2001), dan Kavanagh (2001). Hasil lain yang diperoleh adalah penentuan faktor pengungkit (leverage factors) untuk pengelolaan kawasan yang merupakan faktor-faktor strategis yang harus diperhatikan dalam pengembangan agropolitan berbasis peternakan sapi potong di masa mendatang. Kegunaan faktor pengungkit adalah untuk mengetahui faktor sensitif atau intervensi yang dapat dilakukan dengan cara mencari faktor sensitif untuk pengelolaan lingkungan yang lebih baik. Tabel 5. Dimensi ekologi keberlanjutan pengembangan agribisnis sapi potong No
Atribut dimensi ekologi
1
Pemanfaatan limbah peternakan untuk pupuk organik
2
Pemanfaatan limbah pertanian untuk pakan ternak
3
Sistem pemeliharaan
4
Lahan (tingkat kesuburan tanah)
5
Tingkat pemanfaatan lahan
6
Daya dukung pakan ternak
7
Jenis pakan ternak
8
Ketersediaan RPH dan IPAL RPH
9.
Pemotongan ternak betina produktif
10
Kebersihan kandang
11
Kuantitas limbah peternakan
12
Kejadian kekeringan
13
Kejadian banjir
14
Agroklimat
15
Jarak lokasi dengan pemukiman
16
Rencana Tata Ruang Wilayah
17
Kondisi prasarana jalan usahatani
64
Tabel 6. Dimensi teknologi keberlanjutan pengembangan agribisnis sapi potong No
Atribut dimensi teknologi
1
Teknologi pengolahan hasil produk peternakan
2
Teknologi pakan
3
Teknologi pengolahan limbah peternakan
4
Ketersediaan tempat pelayanan kesehatan hewan (poskeswan)
5
Ketersediaan tempat pelayanan inseminasi buatan (IB)
6
Penggunaan vitamin dan probiotik untuk pertumbuhan ternak
7
Ketersediaan teknologi informasi dan transportasi
8.
Ketersediaan sarana dan prasarana agribisnis
9.
Standar mutu produk peternakan
Tabel 7. Dimensi ekonomi keberlanjutan pengembangan agribisnis sapi potong No
Atribut dimensi ekonomi
1
Pendapatan dari usaha non tani
2
Trend harga ternak dan hasil ternak
3
Kontribusi terhadap PDRB dan PAD
4
Kontribusi terhadap total pendapatan keluarga
5
Besarnya pasar
6
Rata-rata penghasilan peternak antar skala usaha
7
Rata-rata pendapatan peternak terhadap UMR
8
Transfer keuntungan
9
Kelayakan finansial
10
Ketersediaan industri pakan ternak
11
Ketersediaan agroindustri peternakan
12
Perubahan nilai APBD subsektor peternakan
13
Keuntungan (profit) dalam usaha agribisnis peternakan
65 Tabel 8. Dimensi sosial keberlanjutan pengembangan agribisnis sapi potong No
Atribut Dimensi sosial
1
Peran masyarakat dalam usaha agribisnis sapi potong
2
Jumlah rumah tangga peternak
3
Pertumbuhan rumah tangga peternak
4
Rasio tenaga kerja
5
Tingkat pendidikan rata-rata masyarakat peternak
6
Curahan waktu kerja dalam usaha peternakan
7
Frekuensi konflik
8
Partisipasi keluarga dalam usaha
9
Frekuensi penyuluhan dan pelatihan
10
Pengetahuan terhadap lingkungan
11
Pertumbuhan penduduk
12
Kesehatan masyarakat peternak
13
Alternatif usaha selain peternakan
Tabel 9. Dimensi kelembagaan keberlanjutan pengembangan agribisnis sapi potong No
Atribut dimensi kelembagaan
1
Kemitraan kelompok tani
2
Kemitraan dengan pemerintah
3
Kemitraan dengan lembaga adat
4
Koperasi peternakan
5
Ketersediaan lembaga penyuluhan pertanian
6
Sinkronisasi kebijakan pemerintah pusat dan daerah
7
Partisipasi pengusaha dalam usaha peternakan
8
Kerjasama antar negara dalam pengembangan peternakan
9
Ketersediaan lembaga keuangan (bank/kredit)
Evaluasi pengaruh galat (error) acak pada proses pendugaan nilai ordinasi pengembangan agropolitan berbasis peternakan sapi potong dilakukan dengan menggunakan analisis "Monte Carlo". Menurut Kanvanagh (2001) dan Fauzi dan Anna (2002) analisis "Monte Carlo" juga berguna untuk mempelajari hal-hal berikut ini. 1. Pengaruh kesalahan pembuatan skor atribut yang disebabkan oleh pemahaman kondisi lokasi penelitian yang belum sempurna atau kesalahan pemanaman terhadap atribut atau cara pembuatan skor atribut; 2. Pengaruh variasi pemberian skor akibat perbedaan opini atau penilaian oleh peneliti yang berbeda;
66 3. Stabilitas proses analisis MDS yang berulang-ulang (iterasi); 4. Kesalahan pemasukan data atau adanya data yang hilang (missing data); 3.4.4. Analisis Prospektif Analisis prospektif merupakan suatu upaya untuk mengeksplorasi kemungkinan di masa yang akan datang. Hasil analisis ini akan mendapatkan informasi mengenai faktor kunci dan tujuan strategis apa saja yang berperan dalam pengembangan sistem budidaya sapi potong berkelanjutan di Kabupaten Jayapura sesuai dengan kebutuhan dari para pelaku (stakeholders) yang terlibat dalam sistem ini. Faktor kunci tersebut akan digunakan untuk mendeskripsikan evolusi kemungkinan masa depan bagi pengembangan agropolitan berbasis peternakan sapi potong berkelanjutan. Penentuan faktor kunci dan tujuan strategis tersebut sangat penting, dan sepenuhnya merupakan pendapat dari pihak yang berkompeten sebagai pelaku dan ahli mengenai agribisnis sapi potong. Pendapat tersebut diperoleh melalui bantuan kuesioner dan wawancara langsung di wilayah studi. Bourgeois dan Yesus (2004) menjelaskan tahapan analisis prospektif yaitu: (1) Mengidentifikasi faktor kunci penentu untuk masa depan dari sistem yang di kaji. Pada tahap ini dilakukan identifikasi semua faktor penting dengan menggunakan kriteria faktor variabel, menganalisis pengaruh dan kebergantungan seluruh faktor dengan melihat pengaruh timbal balik dengan menggunakan matriks dan menggambarkan pengaruh dan kebergantungan dari masing-masing faktor ke dalam empat kuadran utama; (2) Menentukan tujuan strategis dan kepentingan pelaku utama; dan (3) Mendefinisikan dan mendeskripsikan evolusi kemungkinan masa depan. Pada tahap ini dilakukan identifikasi bagaimana elemen kunci dapat berubah dengan menentukan keadaan (state) pada setiap faktor, memeriksa perubahan mana yang dapat terjadi bersamaan, dan menggambarkan skenario dengan memasangkan perubahan yang akan terjadi dengan cara mendiskusikan skenario dan implikasinya terhadap sistem. Penentuan faktor kunci keberlanjutan pengembangan agropolitan berbasis agribisnis peternakan sapi potong dilakukan dengan analisis prospektif. Pada tahap ini dilakukan seluruh faktor penting dengan menggunakan kriteria faktor pengungkit berdasarkan hasil analisis MDS.
Data yang digunakan dalam analisis prospektif
adalah pendapat pakar dan stakeholder yang terlibat dalam pengembangan agropolitan berbasis agribisnis peternakan sapi potong. Pengumpulan data dilakukan dengan kuesioner, wawancara serta melalui diskusi. Pengaruh langsung antar faktor dalam sistem, pada tahap pertama dapat dilihat dengan menggunakan matriks pada Tabel 10.
67 Tabel 10. Matriks pengaruh langsung antar faktor dalam sistem pengembangan agropolitan berbasis peternakan sapi potong Dari Terhadap
A
B
C
D
E
F
G
H
I
A B C D E F G H I
Sumber: Godet et al. (1999). Keterangan: A - I = Faktor penting dalam sistem Analisis prospektif dilaksanakan dengan metode kuesioner dan FGD melalui tahapan: menjelaskan tujuan studi, identifikasi faktor-faktor, dan analisis pengaruh dan ketergantungan antar faktor. Analisis pengaruh dan ketergantungan seluruh faktor melihat pengaruh timbal balik dengan menggunakan matriks dan menggambarkan pengaruh dan ketergantungan dari masing-masing faktor pada empat kuadran utama. Tingkat pengaruh dan ketergantungan antar faktor di dalam sistem disajikan pada
Pengaruh
Gambar 9.
Kuadran I Faktor penentu INPUT
Kuadran II Faktor penghubung STAKES
Kuadran IV Faktor bebas UNUSED
Kuadran III Faktor terikat OUTPUT
Ketergantungan
Gambar 9. Tingkat pengaruh dan ketergantungan antar faktor dalam sistem
Pengaruh langsung antar faktor dalam sistem yang dilakukan pada tahap pertama analisis prospektif menggunakan matriks. Pengaruh dan ketergantungan dari masing-masing faktor diisi dengan teknik sebagai berikut: 1. Apakah faktor tidak mempunyai pengaruh terhadap faktor lain? Jika jawabannya ya, maka diberi skor 0. 2. Jika jawabannya tidak, maka dilanjutkan ke pertanyaan berikut: Apakah pengaruhnya sangat kuat? Jika jawabannya ya diberi skor 3.
68 3. Jika jawabannya tidak, maka dilanjutkan dengan pertanyaan apakah pengaruhnya kecil? jika jawabannya ya diberi skor 1, jika jawabannya tidak, diberi skor 2. Hasil analisis tersebut selanjutnya dikonfirmasi kepada semua stakeholder terkait. Hal ini dilakukan guna memperkuat hasil analisis. Selain itu, hasil kajian ini diharapkan dapat diimplementasikan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Jayapura sehingga hasil analisis ini dilakukan secara partisipatif.
3.4.5. Analytical Hierarchy Process Penentuan kebijakan pengembangan agropolitan berbasis peternakan sapi potong dilakukan dengan analisis multikriteria secara partisipatif. Alat analisis yang digunakan adalah AHP.
Penggunaan AHP dimaksudkan untuk penelusuran
permasalahan secara bertahap dan membantu pengambilan keputusan dalam memilih strategi terbaik dengan cara: (1) mengamati secara sistematis dan meneliti ulang tujuan dan alternatif kebijakan atau cara bertindak untuk mencapai tujuan, dalam hal ini kebijakan yang baik; (2) membandingkan secara kuantitatif dari segi manfaat dan resiko dari tiap alternatif; (3) memilih alternatif terbaik untuk diimplementasikan; dan (4) membuat skenario kebijakan pengelolaan lingkungan kawasan, dengan cara menentukan prioritas kebijakan. Penetapan prioritas kebijakan dalam AHP dilakukan dengan menangkap secara rasional persepsi masyarakat, kemudian mengkonversi faktor-faktor yang tidak terukur (intangible) ke dalam aturan yang biasa, sehingga dapat dibandingkan. Tahap terpenting dari AHP adalah penilaian perbandingan berpasangan, yang pada dasarnya merupakan perbandingan tingkat kepentingan antar komponen dalam suatu tingkat hirarki (Saaty, 1993). Dalam melakukan perhitungan matriks, akan sangat rumit sehingga diperlukan paket komputer
khusus mengenai AHP.
Pengolahan data berbasis komputer
menggunakan perangkat lunak expert choice 2000. Expert choice merupakan perangkat lunak sistem pendukung keputusan yang didasarkan atas metodologi pengambilan keputusan yakni AHP.
Langkah-langkah dalam analisis data dengan
AHP adalah: 1. Mendefinisikan masalah dan menentukan solusi masalah 2. Membuat struktur hirarki yang diawali dengan fokus, dilanjutkan dengan tujuan, kriteria dan alternatif kebijakan pada tingkatan level paling bawah. 3. Membuat matriks perbandingan berpasangan yang menggambarkan pengaruh relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap masing-masing tujuan yang setingkat diatasnya, perbandingan berdasarkan judgement dari stakeholder dengan menilai tingkat kepentingan satu elemen dibandingkan dengan elemen lainnya. Dalam
69 rangka mengkuantifikasi data kualitatif pada materi wawancara digunakan nilai skala komparasi 1 – 9 berdasarkan skala Saaty seperti pada Tabel 11. Tabel 11. Skala perbandingan berpasangan Skala
Definisi
1
Kedua elemen sama pentingnya (equally importance) terhadap tujuan
3
Elemen yang satu sedikit lebih penting dari pada elemen lainnya (moderately importance)
5
Elemen satu lebih penting dari pada elemen lainnya (strongly importance)
7
Satu elemen jelas lebih mutlak penting dari pada elemen lainnya (very strongly importance)
9
Satu elemen mutlak penting dari pada elemen lainnya (extremely importance)
2, 4, 6 dan 8
Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan yang berdekatan (intermediate value)
Kebalikan
Jika untuk aktivitas i mendapat satu angka jika dibandingkan dengan aktivitas j, maka j mempunyai nilai kebalikannya dibanding dengan i
Sumber: Saaty (1993) 4. Melakukan perbandingan berpasangan. Kegiatan ini dilakukan oleh stakeholder yang berkompeten berdasarkan hasil identifikasi stakeholder. 5. Menguji konsistensinya. Indeks konsistensi menyatakan penyimpangan konsistensi dan menyatakan ukuran tentang konsisten tidaknya suatu penilaian perbandingan berpasangan.
Nilai
pengukuran
konsistensi
diperlukan
untuk
mengetahui
konsistensi jawaban dari responden karena akan berpengaruh terhadap keabsahan hasil. Pembahasan strategi implementasi kebijakan dilalukan dengan melibatkan pakar dan stakeholder dalam bentuk FGD. FGD dilakukan untuk menemukan alternatif penyelesaian secara partisipatif.
Diskusi difokuskan pada pertanyaan-pertanyaan
spesifik untuk memperoleh pemahaman yang mendalam dari sudut pandang dan pengalaman peserta, persepsi, pengetahuan, dan sikap tentang pengelolaan lingkungan kawasan. Wakil stakeholder ditentukan secara sengaja (purposive sampling).
Dasar
pertimbangan dalam menentukan atau memilih pakar untuk dijadikan responden adalah: (1) mempunyai pengalaman yang memadai sesuai dengan bidangnya, (2) mempunyai reputasi, jabatan dan telah menunjukkan kredibilitas sebagai stakeholder yang konsisten atau pakar pada bidang yang diteliti, dan (3) kesediaan untuk menjadi responden.
70
IV. PROFIL KAWASAN PENELITIAN 4.1. Letak Kawasan dan Aksesibilitas Kawasan pengembangan agropolitan mencakup 4 kelurahan dan 53 kampung. Sebaran jumlah kelurahan dan kampung serta luasannya disajikan pada Tabel 12. Tabel 12.
No 1 2 3 4
Jumlah kelurahan dan kampung serta luas keempat distrik kawasan pengembangan agropolitan Kabupaten Jayapura. Distrik
Nimboran Nimbokrang Kemtuk Kemtuk Gresi Jumlah
Jumlah Kelurahan 1 1 1 1 4
Jumlah Kampung
Luas (Ha)
20 9 10 14 53
24.647 15.057 20.175 25.179 85.058
Kawasan pengembangan ini memiliki aksesibillitas yang cukup tinggi karena dapat dijangkau dengan sarana transportasi baik dari ibukota kabupaten (Sentani) maupun ibukota provinsi (Jayapura). Jarak tempuh dari ibukota kabupaten pada berbagai jalur transportasi alternatif disajikan pada Tabel 13. Waktu tempuh dari ibu kota kabupaten (Sentani) ke ibu kota distrik terjauh (Nimbokrang ) lebih kurang
1,5 jam pada kecepatan normal.
Jarak tempuh dari
ibukota provinsi (Jayapura) ke ibukota kabupaten adalah 45 km, sehingga waktu tempuh dari ibukota provinsi ke ibukota distrik terjauh sekitar 2,5 jam pada kecepatan normal pada jalur transportasi tengah. Tabel 13.
Jarak tempuh antar ibukota distrik dalam kawasan pengembangan agropolitan dan dengan ibukota kabupaten (km) Sabron Sawoy Dari/Ke Sentani Genyem Nimbokrang Samon (Kemtuk (Distrik/Kab) (Kabupaten) (Nimboran) (Nimbokrang) (Kemtuk) Gresi) Sentani 31,7 55,7 55,2 60,6 (Kabupaten) Sabron 31,7 26,3 25,8 26,2 (Kemtuk) Genyem 55,7 26,3 12,4 10,8 (Nimboran) Sawoy 55,2 25,8 12,4 20,6 (Kemtuk Gresi) Nimbokrang 60,6 26,2 10,8 20,6 (Nimbokrang)
71
72 4.2.
Keadaaan Biofisik dan Lingkungan.
4.2.1. Klimatologi Letak geografis Jayapura yang berada di daerah katulistiwa menyebabkan daerah ini beriklim tropis. Perletakan Jayapura di antara Benua Asia dan Australia menyebabkan iklimnya dipengaruhi oleh angin muson tenggara yang bertiup secara bergantian 6 bulan sekali. Berdasarkan data tahun 2006 yang bersumber dari Badan Meteorologi dan Geofisika Balai Besar Meteorologi dan Geofisika Wilayah V tahun 2007, suhu udara minimum dari stasiun Klimatologi Genyem adalah 20oC dan maksimum 35oC. keterangan lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 11 dan 12.
Gambar 11.
Suhu udara maksimum mutlak tahun 2004 – 2006 (dalam oC) Stasiun Klimatologi Genyem.
Gambar 12.
Suhu udara minimum mutlak tahun 2004 – 2006 (dalam oC) Stasiun Klimatologi Genyem.
73 4.2.2. Fisiografi Data pada Tabel 13 menunjukkan bahwa topografi pada keempat distrik tersebut bervariasi dari datar hingga berbukit, tanpa bergunung yang mempunyai kemiringan ≥ 26%.
Daerah datar (57,21%) pada umumnya terdapat di distrik Nimboran, distrik
Nimbokrang didominir oleh daerah berbukit (55, 47%) dan datar (41,62%), distrik Kemtuk oleh daerah berbukit (50,66%), sedangkan didaerah Kemtuk Gresi didominir oleh
daerah
bergelombang
(66,12%)
dan
berombak
(33,22%).
Berdasarkan
persentasenya terhadap luas total keempat distrik, maka topografi datar lebih banyak terdapat di daerah Distrik Nimboran, daerah berombak dan bergelombang di Distrik Kemtuk Gresi dan daerah berbukit di Distrik Kemtuk. Sebaran fisiografi lahan dalam kawasan pengembangan agropolitan menurut distrik disajikan Tabel 14 dan Gambar 13. Tabel 14. No
1
2
3
4
Sebaran luas lahan menurut fisiografi lahan setiap distrik dalam kawasan agropolitan Distrik Topografi Kemiringan Luas % % (%) (Ha) terhadap terhadap sub-total total Nimboran Datar 0– 2 14.003 57,21 16,46 Berombak 3– 8 4.057 16,57 4,77 Bergelombang 9 – 15 5.500 22,47 6,47 Berbukit 16 – 25 918 3,75 1,08 Bergunung > 26 Sub Total 24.478 100 28,78 Nimbokrang Datar 0– 2 6.267 41,62 7,37 Berombak 3–8 438 2,91 0,51 Bergelombang 9 – 15 Berbukit 16 – 25 8.352 55,47 9,82 Bergunung > 26 Sub Total 15.057 100 17,70 Kemtuk Datar 0– 2 Berombak 3- 8 5.186 25,71 6,09 Bergelombang 9 – 15 4.768 23,63 5,61 Berbukit 16 – 25 10.221 50,66 12,02 Bergunung > 26 Sub Total 20.175 100 23,72 Kemtuk Gresi Datar 0– 2 Berombak 3–8 8.420 33,22 9,90 Bergelombang 9 – 15 16.759 66,12 19,70 Berbukit 16 – 25 169 0,66 0,20 Bergunung > 26 Sub. Total 25.348 100 29,80 Total 85.058 100
74
75
4.2.3. Geomorfologi Daerah Agropolitan Kabupaten Jayapura, yakni distrik Nimboran, Nimbokrang, Kemtuk dan Kemtuk Gresi berada terdiri atas 2 dataran, yaitu “Dataran Grime” dan “Dataran Sekori”.
Kedua dataran ini menyatu sebagai suatu dataran luas yang
membujur ke arah Barat Daya Danau Sentani. Dataran ini memanjang dari timur ke arah barat dengan lebar bentangan yang hampir sama.
Di ujung sebelah barat,
dataran ini membentuk daerah rawa hingga ke arah pantai. Wentholt (1939) membagi Dataran Grime ke dalam 6 teras utama.
Teras
pertama dimulai dari dataran terendah dan termuda. Daerah teras ini melandai ke arah barat laut dan kemudian ke arah utara. Luas teras pertama diperkirakan 19.800 ha. Di sebelah tenggara teras terendah ini berakhir dan berlanjut dengan teras ke-2 yang berada kurang lebih 10 m lebih tinggi. Luas teras ke-2 ini diperkirakan sekitar 3.400 ha. Juga di sini bentanglahannya tampak seluruhnya datar.
Teras ke-3 dan ke-4
menempati sisa dataran di sebelah barat Kampung Janim Besar. Luas teras ke-3 dan ke-4 masing-masing 1.000 ha dan 4.700 ha. Teras-teras ini berumur tua dan berada lebih tinggi serta tampak datar. Kedua teras ini melandai ke arah utara hingga ke arah barat laut. Berbatasan dengan teras ke-4, di sebelah timur Sungai Grime terletak teras ke-5. Teras ke-5 ini mencakup dari arah timur hingga arah garis utara-selatan melalui Kampung Sabron Baru. Luas teras ini sekitar 2.000 ha, melandai ke aras utara, dan bergelombang lemah.
Teras ke-6, merupakan daerah tertinggi dan tertua yang
mengakhiri teras ke-4 dan ke-5 di sebelah selatan. Luas teras ini sekitar 1.900 ha. Di batas utara dari teras ke-5, terdapat Dataran Sekori yang besar dengan luasan sekitar 2.000 ha. Di dataran Sekoli ini juga terbentuk teras, namun tidak jelas perkembangannya. Menurut Schroo (1963), Dataran Grime dan Dataran Sekori merupakan lembah sedimentasi peninggalan zaman tersier yang terisi atas sedimen laut (marin) dan kemudian oleh bahan fluviatil.
Wentholt (1939), menyatakan bahwa dataran ini
terbentuk pada zaman kwarter.
Lebih lanjut Schroo (1961), menyatakan bahwa
adanya ketinggian (elevasi) yang berselang-seling di seluruh daerah tersebut menyebabkan sungai-sungai memotong sedimen ini. Selama periode ini dataran banjir terbentuk pada berbagai tingkat dan sisa-sisanya masih ditemukan sekarang dalam bentuk teras-teras yang luas sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Zwierzichi (1921) dalam Schroo (1963), menunjukkan bahwa tanah di Dataran Grime dan Dataran Sekoli berasal dari hancuran batuan fluviatil sedimen kwarterner, terumbu koral terangkat pleistosin, dan sedimen marin neogen.
Menurut Wentholt
(1939), seluruh lahan yang berada di sebelah barat Yanim Besar (Braso) dibentuk oleh
76 Sungai Grime dan cabang-cabang sungainya, kecuali daerah yang paling barat oleh Sungai Sarmoai.
Kedua sungai tersebut membawa bahan-bahan yang sama.
Sumbangan cabang-cabang sungai yang berasal dari pinggiran pegunungan utara relatif kecil, namun setempat-setempat saja. Lahan yang berada di sebelah timur Yanim Besar seluruhnya terbentuk dari material yang berasal dari pinggiran utara daerah pegunungan selatan. Pembentukan dataran sekori tidak berhubungan dengan pembentukan Dataran Grime, karena keduanya terletak pada sub DAS yang berbeda. 4.2.4. Klasifikasi Tanah Jenis tanah di Wilayah Agropolitan Kabupaten Jayapura didasarkan atas deskripsi dan klasifikasi yang dilakukan oleh Wentholt (1939). Tanah diklasifikasikan berdasarkan
tiga ciri pembeda utama, yaitu tekstur, warna dan kedalaman tanah.
Berdasarkan ketiga ciri tanah tersebut, diperoleh sepuluh satuan peta tanah (SPT) dengan rincian sebagai berikut. SPT 1: Tanah lempung berliat, kelabu hingga kelabu coklat, dalam SPT 2: Tanah lempung berdebu, kelabu hingga kelabu coklat, dalam SPT 3: Tanah , lempung berliat, coklat kelabu hingga kelabu coklat, dalam SPT 4: Tanah lempung, kelabu coklat hingga kelabu kuning, dalam SPT 5: Tanah lempung berdebu hingga debu berlempung, kuning kecoklatan, dalam SPT 6: Tanah, lempung, kelabu, dalam SPT 7: Tanah lempung berdebu hingga lempung berpasir, kelabu kuning, dalam SPT 8: Tanah lateritik berlempung, coklat kekuningan hingga coklat kemerahan, agak dalam SPT 9: Tanah mergel berlempung, hitam kelabu, agak dalam SPT 10: Tanah liat berlempung hingga berliat, coklat kemerahan tua, dalam Apabila ciri kesepuluh jenis tanah ini dipadankan dengan klasifikasi USDA Soil Taxonomy, maka SPT 1-7 termasuk order inceptisol, sedangkan SPT 8-10 setara dengan order alfisol. Schroo (1961) mengkaji kembali nilai tekstur tanah yang dilaporkan Wentholt (1939) dengan menggunakan data dari Razoux Schultz (1958).
Ia mendapatkan
bahwa kelas tekstur yang dilaporkan Wentholt (1939) lebih ringan daripada Razoux Schultz (1958). Menurutnya tanah SPT 4, 5 dan 6 berturut-turut bertekstur liat berdebu,
77 lempung liat berdebu dan liat berdebu. Hasil penelitian tim peneliti di lapangan juga mendukung hal ini. Sebaran kesepuluh jenis tanah tersebut tercantum pada Peta 5.3. Jenis tanah pada SPT 1 dan SPT 2 menduduki teras pertama terendah, tanah SPT 3 pada teras kedua, tanah SPT 4 pada teras ketiga, tanah SPT 5 pada teras keempat, tanah SPT 6 pada teras kelima, dan tanah SPT 8 pada teras keenam.
Tanah SPT 9 dijumpai
setempat-setempat di tepi selatan dari teras ketiga hingga teras kelima dan pada teras keenam, serta berada pula pada daerah tinggi di tepi selatan dari Dataran Sekori. Jenis tanah pada SPT 1 sampai dengan SPT 4 pada umumnya memiliki kemiripan dalam sifat fisiknya. Dalam keadaan basah struktur tanahnya jelek, volume pori tanah kecil dan kemampuan kapileritasnya besar. Selain itu, tanah pada SPT 1 dan 2 hampir tidak dapat dirembesi air, sedangkan jenis tanah lainnya (SPT 3 dan 4) agak lebih baik, yaitu mempunyai daya perembesan air agak rendah. Sebagai akibatnya, kemampuan menahan udara pada jenis-jenis tanah ini tergolong rendah.
Melalui upaya
pengeringan jenis-jenis tanah ini dapat diperbaiki sifat fisiknya, yaitu struktur tanah, volume pori dan kemampuan kapileritas meningkat menjadi “sedang”. Walaupun sifat fisik tanah SPT 1 sampai dengan SPT 4 tidak menguntungkan, namun sifat kimia tanahnya tergolong cukup baik. Kadar unsur hara fosfor (P), kalium (K), dan magnesium (Mg) tergolong sedang hingga tinggi, sedangkan kadar kalsium (Ca) pada umumnya tinggi. Khususnya tanah pada SPT 5 yang dijumpai di sepanjang sungai-sungai sebagai ”punggung aliran”, mempunyai sifat fisik dan kimia yang tergolong baik. Jenis tanah ini lebih kering dan kandungan unsur hara P, K, Ca dan Mg tergolong cukup, sehingga sesuai untuk tujuan pertanian, khususnya tanaman kakao. Tanah dari SPT 6 dan 7 yang berada di sebelah timur Kampung Yanim Besar (Braso) memiliki sifat fisik yang lebih menguntungkan. Struktur tanahnya baik, volume tanah dan kemampuan kapileritasnya juga dinilai cukup. Selain itu, lapisan tanah bawahnya mempunyai sifat perembesan yang baik sehingga menyebabkan kapasitas menahan air dan udara memadai. Selain sifat fisiknya yang baik, sifat kimianya juga tergolong baik, yakni kandungan unsur hara P, K, Ca dan Mg relatif cukup. Tanah SPT 8 dan 9 mempunyai sifat fisik dan kimia yang tidak menguntungkan. Pada umumnya dangkal hingga agak dalam, serta mengandung banyak kerikil dan batu. Tanahnya telah mengalami pencucian hebat sehingga miskin akan unsur hara, terutama K dan P. Tanah SPT 8 dan SPT 9 masih dapat digunakan untuk tujuan pertanian apabila diberikan masukan perbaikan, seperti pemupukan. Selain itu,
78 penanaman disarankan hanya dilakukan pada daerah-daerah yang kemiringan lahannya <15% atau pada daerah-daerah bergelombang/berbukit dengan menerapkan prinsip konservasi tanah yang ketat atau pencegahan terhadap erosi. disarankan
penggunaannya
untuk
ladang
Tanah SPT 10
penggembalaan
dengan
masukan.perbaikan. Tanah SPT 10 mempunyai sifat fisik yang agak baik, yakni lebih kering, dan tergolong dalam. Namun, sifat kimianya tidak menguntungkan. Tanah ini dapat dimanfaatkan untuk usaha pertanian setelah sifat kimianya diperbaiki. Penelitian kemudian yang dilakukan Razoux Schultz (1958), menyimpulkan bahwa tanah SPT 6 sesuai bagi tanaman kakao berbasis perkebunan besar. Tanah SPT 5 dapat digunakan untuk tujuan perkebunan kakao jika drainase permukaan dan drainase dalam diperbaiki. Sebaliknya tanah SPT 8 yang mempunyai sifat fisik yang jelek tergolong tidak sesuai untuk perkebunan besar, namun dapat digunakan untuk perkebunan rakyat. Penelitian yang dilakukan Wentholt (1939) dan Razoux Schultz (1958) sebagaimana diuraikan di atas, sedangkan penelitian Schroo (1963) menyimpulkan bahwa di sebelah selatan Dataran Sekori pada daerah yang tinggi dan di zone transisi ke arah barat Dataran Grime dijumpai jenis tanah dominan yang disebut “Seri tanah Sekori, kelabu sangat tua, liat berdebu, dalam”. Jenis tanah dengan luasan 3.500 ha ini mempunyai tingkat kesuburan tanah cukup baik serta drainase permukaan yang baik pula, dianggap sesuai untuk tujuan pertanian. Selain tanah di Dataran Sekori, juga di Dataran Grime dijumpai 2 seri tanah yang dibedakan secara mendalam menurut deskripsi dan cirinya, yaitu tanah SPT 5 yang terletak di daerah yang agak tinggi (punggung aliran) dan SPT 6 yang letaknya di bagian terendah dari dataran tersebut. Tanahnya subur, namun pada lapisan atas bereaksi agak alkalin. Tanah lapisan bawahnya mengandung kapur bebas.dan sangat kahat akan unsur kalium (K). Tanah ini tidak sesuai untuk penggunaan saat sekarang (present use), namun dianggap sangat menjanjikan jika drainasenya diperbaiki dan dilindungi terhadap aliran air permukaan yang berasal dari perbukitan di sekitarnya.
79
80 4.2.5. Kesuburan Tanah Pembahasan kesuburan tanah didasarkan pada laporan pemetaan dan kesuburan tanah yang dilakukan oleh Wentholt (1939), Schroo (1961) dan Schroo (1963). Laporan tersebut memperlihatkan bahwa hampir semua SPT memiliki sifat kimia yang relatif sama kecuali SPT 8, SPT 9 dan SPT 10. Sebaliknya, terdapat perbedaan yang menyolok pada sifat fisika tanah terutama keadaan drainase permukaan dan drainase internal yang jelek serta kadar liat yang tinggi dan adanya lapisan liat yang kompak di dalam penampang tanah. Drainase permukaannya jelek karena peresapan atau perembesan air kedalam tanah berlangsung lambat. Drainase internal dikatakan jelek karena air tanahnya dangkal sehingga tanahnya basah dan jenuh air. Keadaan ini berbeda dengan daerah-daerah yang letaknya lebih tinggi atau daerah-daerah lereng dan bergelombang.Tekstur tanah dan beberapa sifat kimia tanah penting, yaitu reaksi tanah, kadar kation-kation tersedia, kadar fosfat dan kalium tersedia, kadar fosfat dan kalium total, serta kandungan karbon organik tanah adalah sebagai berikut : Tekstur Tanah Pada umumnya tanah bertekstur berat, yaitu berkisar dari lempung liat berdebu hingga liat berdebu. Kadar liat yang tinggi dapat menyebabkan akar tanaman sulit berkembang. Selain itu, berdampak pula terhadap rendahnya kapasitas infiltrasi (perembesan) tanah sehingga menyebabkan penggenangan air di permukaan tanah terutama di musim penghujanan. Hal ini sudah barang tentu akan mengganggu pertumbuhan tanaman. Untuk tujuan penanaman kakao, maka drainase permukaan maupun drainase internal sangat perlu diperhatikan, jika ingin memperoleh pertumbuhan dan produksi kakao yang baik. Dalam rangka menanggulangi drainase yang jelek, perlu dibuatkan selokan-selokan
drainase berukuran kecil hingga sedang serta cukup dalam agar
kelebihan air dapat dikeluarkan, sehingga tanahnya selalu dalam keadaan kering (lembab) dan tidak jenuh air. Selain itu, agar pertumbuhan akar tanaman kakao tidak terhalang oleh lapisan liat yang kompak, maka perlu digali lubang tanaman yang cukup besar dan dalam. Reaksi Tanah Pada umumnya tanah bereaksi alkali hingga sangat alkali dengan kisaran pH rata-rata 7,0 – 7,8. Semakin dalam tanahnya semakin tinggi reaksi tanah, bahkan tidak jarang mencapai pH=8,0 atau lebih. Tingginya pH tanah ini disebabkan karena
81 tingginya kadar kalsium tanah (kapur) yang terbawa bersama bahan endapan sungai yang berasal dari pegunungan dan perbukitan kapur di sekitarnya.
Reaksi Tanah
demikian menyebabkan sebagian besar unsur-unsur hara makro (N, P, K) dan mikro (Fe, Zn, Mn, B, Cu) berada dalam keadaan tidak tersedia bagi tanaman.
Apabila
reaksi tanah mencapai pH=8,0 atau lebih akan menyebabkan tanaman sulit menyerap fosfat dan unsur-unsur mikro. Pada saat penelitian dijumpai pertanaman kacang tanah milik masyarakat di kampung Pobaim yang menunjukkan gejala kekuningan pada daun-daun muda. Gejala kekuningan ini diduga kuat karena kahat akan beberapa unsur mikro. Gejala klorosis ini diistilahkan sebagai “klorosis terimbaskan kapur” (lime induced-chlorosis), suatu gejala kekahatan hara yang biasanya muncul di tanah-tanah berkapur. Kation-Kation Tersedia Kation tersedia yang diukur adalah kalsium (Ca), magnesium (Mg) dan kalium (K). Kadar Ca dan Mg tersedia pada umumnya sedang hingga sangat tinggi. Hal ini mengisyaratkan bahwa kebutuhan tanaman akan Ca dan Mg cukup memadai sehingga tidak perlu diberi pupuk dengan kedua unsur tersebut. Pada kadar Ca yang sangat tinggi seperti dijumpai di beberapa tempat justru mengganggu pertumbuhan tanaman. Sebaliknya K tersedia tergolong rendah hingga sangat rendah sehingga pemupukan K sangat diperlukan agar mendapatkan produksi tanaman yang baik. Dalam hal tanaman tahunan seperti kakao, maka pemupukan kalium setidaknya dilakukan setiap tahun. Hasil analisis mineral tanah juga mencerminkan rendahnya kadar K tanah. Mineral tanah penyumbang kalium dari jenis kalium-veldspat yang telah hancur menunjukkan status kalium tanah yang jelek. Fosfor Tanah Kadar fosfat tersedia tergolong agak tinggi hingga sangat tinggi. Hampir semua contoh tanah menunjukkan adanya mineral primer apatit penyumbang fosfat yang tergolong sporadis (<1%) hingga beberapa persen saja. Pengalaman-pengalaman sebelumnya membuktikan bahwa walaupun jumlahnya sangat sedikit atau sporadis (<1%), nilai fosfat tersedia biasanya tinggi. Dengan demikian unsur hara fosfor dianggap cukup bagi kebutuhan tanaman, sehingga pemupukan P tidak diperlukan selama beberapa waktu tanam. Fosfat dan Kalium Total Kadar fosfat dan kalium total mencerminkan cadangan hara tersebut dalam tanah. Pada umumnya kadar fosfat total berkisar dari sedang hingga tinggi sehingga
82 tidak mengkhawatirkan. Tampaknya kandungan fosfat total dan fosfat tersedia berkorelasi positif sehingga memperkuat dugaan bahwa kadar fosfat cukup bagi kebutuhan tanaman. Kadar kalium total berkisar dari agak rendah hingga sedang. Ini berarti bahwa cadangan kalium tanah tidak memadai bagi suatu usaha pertanian, sehingga diperlukan pemupukan untuk mempertahankan kadar kalium tanah. Bahan Organik Tanah Kadar karbon (C) organik tanah mencerminkan kadar bahan organik tanah. Bahan organik sangat penting karena berpengaruh terhadap perbaikan sifat fisika dan kimia tanah. Bahan organik membantu granulasi dan penstabilan agregat tanah sehingga memperbaiki retensi air tanah, meningkatkan laju infiltrasi dan kapasitas memegang air. Selain itu, bahan organik meningkatkan kapasitas tukar kation (KTK), yang berarti pula meningkatkan kemampuan menjerap kation unsur hara makro dan mikro sebagai sumber hara. Tidak kalah pentingnnya adalah dengan adanya bahan organik akan sangat berdaya terhadap biologi tanah.
Pada umumnya kadar C organik tanah tergolong rendah.
Hal ini
mengisyaratkan bahwa peningkatan dan perlindungan bahan organik tanah sangat penting dilakukan.
Penanggulangan
kekurangan bahan organik dapat dilakukan
dengan pemberian pupuk kandang, kompos, dan menanam penutup tanah (seperti Pueraria javanica atau Calopogonium mucunoides) terutama pada pertanaman kakao. 4.2.6. Hidrologi Sumber air di wilayah Kabupaten Jayapura dapat dijumpai dengan adanya sungai, danau, air, hujan, dan mata air. a.
Sungai Wilayah penelitian dilalui oleh sungai dan anak sungai yang bermuara ke Danau Sentani dan Samudra Pasifik. Sungai-sungai yang berpengaruh dominan terhadap pasokan air Danau Sentani adalah sungai-sungai yang berhulu di Pegunungan Cycloop di utara danau, yaitu Sungai Haway, Hobai, Younolo, Klandeli, dan Dofroko. Di bagian barat adalah Sungai Dombule dan Boroway, dibagian selatan adalah Sungai Tenak Sawe dan Ayape sedangkan sungai yang langsung bermuara ke Samudra Pasifik ialah Sungai Sapari, Susupne, Amu, dan Doreri. Sungai-sungai tersebut merupakan salah satu sumber kehidupan serta sebagai sarana perhubungan, mata pencaharian masyarakat, potensi pariwisata, dan potensi energi listrik.
83
84 b.
Danau Danau terbesar di Papua adalah Danau Sentani yang berada di distrik Sentani, Sentani Timur, Waibu, dan Ebungfauw Kabupaten Jayapura. Outflow Danau Sentani melalui Sungai Jaifuri yang berada disebelah selatan danau, aliran bawah tanah, serta melalui rekahan-rekahan batu kapur yang banyak terdapat di sebelah timur Danau Sentani menuju Sungai Tami yang selanjutnya bermuara ke Teluk Seko di Lautan Pasifik. Air danau juga dimanfaatkan sebagai sumber air bersih oleh masyarakat yang bermukim di tepi danau.
c.
Air Hujan Kondisi iklim di Jayapura tergolong dalam iklim basah dengan curah hujan yang cukup tinggi. Jumlah curah hujan dari Stasiun Klimatologi Genyem adalah 2880mm/thn, dengan jumlah hari hujan dalam tahun 2006 adalah 219 hari. Curah hujan tertinggi terjadi pada Bulan Februari, untuk lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 16 dan Gambar 17.
Gambar 16. Curah hujan (mm) tahun 2004 – 2006 Stasiun Klimatologi Genyem
Gambar 17. Data hari hujan tahun 2004 – 2006 Stasiun Klimatologi Genyem
85 Jumlah curah hujan di Kabupaten Jayapura menurut Stasiun Meteorologi Klas III Sentani adalah 2426 mm/tahun, dengan jumlah hari hujan 191 hari, seperti terlihat pada Gambar 17. dan 18. Wilayah Ibukota Kabupaten Jayapura yang mengandalkan air hujan sebagai sumber air bersih adalah Distrik Kemtuk (Kampung Sama, Mamei, Nambon, Mamda, Mamdayawan, dan Kwansu).
Gambar 18. Curah hujan (mm) tahun 2004 – 2006 Stasiun Meteorologi Klas III Sentani
Gambar 19. Data hari hujan tahun 2004 – 2006 Stasiun Meteorologi Klas III Sentani d.
Mata Air Mata air banyak dijumpai di sepanjang lereng perbukitan yang umumnya keluar dari akar-akar pohon. Mata air juga digunakan sebagai sumber air minum bagi masyarakat Kabupaten Jayapura, yaitu Desa Maribu, Dosay, Kampung Harapan, Kamp Wolker, Tablanusu, dan Yongsu. Berdasarkan peta Daerah Aliran Sungai (DAS) yang kemudian dikonversi dalam
bentuk Tabel 14 daerah Agropolitan terdiri atas 3 (tiga) buah Daerah Aliran Sungai (DAS), yaitu: Sub DAS Grime, Sermo dan Sentani. DAS Grime terdapat pada keempat distrik tersebut dengan total luas 58.917 ha (69,27% dan merupakan DAS terluas di
86 daerah tersebut, diikuti Sub DAS Sentani dengan luas 14.733 ha (17,32%) yang terdapat hanya di distrik Kemtuk, sedangkan sub DAS terkecil adalah Sub DAS Sermo dengan luas 11.408 ha (13,41%) yang
menyebar pada distrik-distrik Nimboran,
Nimbokrang dan Kemtuk Gresi. Berdasarkan data Dinas Kehutanan (2002), luas sub DAS Grime secara keseluruhan mencapai 132.205 ha, Sub-DAS Sermo 200.633 ha dan sub DAS Sentani 110.529 ha. Bila dibandingkan antara luas masing-masing sub DAS tersebut pada kawasan agropolitan dengan luas keseluruhan masing-masing Sub DAS, maka persentasenya pada kawasan agropolitan untuk Sub DAS Grime 44,56%, Sub DAS Sermoai 5,69% dan Sub DAS Sentani 13,33%. Adanya persentase seperti itu, maka pembukaan hutan yang berkaitan dengan Sub DAS Grime di kawasan agropolitan akan sangat mempengaruhi sistem hidrologi DAS Grime.
Sungai-sungai utama
tersebut pada umumnya membentuk tepi sungai yang terjal dan dalam. Keadaan penutupan tanah pada pinggiran sungai pada umumnya baik dengan jenis tumbuh-tumbuhannya seperti rumput-rumputan seperti alang-alang
(Imperata
cylindrica), Solanum torvum, Cyperus rotundus, Andropogon aciculatus, Desmodium gangeticum. Paspalum conjugatum, Sida acuta, Cyperus kyllinga, Themeda arguens, jenis-jenis semak seperti Morinda citrifolia, Piper aduncum, Piper sp, Ficus grandis, jenis pohon hutan lainnya seperti, Pterocarpus indicus, Schyzostachyum brachycladum dan sagu (Metroxylon sagu). Sungai Grime berada di sebelah barat Danau Sentani mengalir ke arah barat dan bermuara di Teluk Walkenaer (Laut Pasifik). Percabangan sungai dari Sungai Grime ini mengalir dari arah selatan dan berhulu di daerah Pegunungan Nimboran. Tabel 15. Sebaran luas Sub DAS dalam kawasan agropolitan No. 1.
Distrik Nimbokrang
Sub DAS
2.
Nimboran
Grime Sermo
3.
Kemtuk
Sentani Grime
4.
Kemtuk Gresi
Grime Sermo
Grime Sermo Sub Total
Sub Total
Sub Total
Sub Total Total
Luas (ha) 15 028 29 15 057 13 801 10 677 24 478 5 442 14 733 20 175 24.646 702 25 348 85.058
87 Tabel 16. Debit air sungai-sungai besar di dalam kawasan pengembangan agropolitan No. Distrik Nama Sungai Debit (m3/dt) 1 Nimbokrang Aso 1,32 2. Nimboran Nembu 3,83 3. Nimboran Swab 1,22 4. Nimboran Kedun 2,80 5. Nimboran Obu 2,10 6. Nimboran Grime 387,70 Sumber : Fakulatas Kehutanan Universitas Negeri Manokwari Di samping badan air alami tersebut, di dalam kawasan agropolitan telah dibangun saluran irigasi sebanyak dua buah. Saluran Iriagasi pertama berlokasi di Nimbokrang memanfaatkan sumber air Sungai Aso. Saluran irigasi ini sudah tidak berfungsi lagi. Saluran Irigasi kedua berlokasi di Distrik Nimboran, dengan sumber air Sungai Nembu Saluran ini melintasi tiga sungai, yaitu Sungai Swab, Sungai Kedun dan Sungai Oku. Talang saluran primer yang melintasi Sungai Kedun dan Oku sudah tidak berfungsi. Debit air pada saluran primer sebesar 5,14 m3/detik yang mengairi sawah masyarakat pada pemukiman lokal, sedangkan saluran primer yang menuju ke sawah masyarakat transmigran sudah tidak berfungsi lagi. 4.2.7. Penutupan Lahan Berdasarkan tipe penutupan lahan sesuai Gambar Peta 24. dan Tabel 16 lahan di kawasan agropolitan terdiri dari 10 (sepuluh) tipe penutupan yang meliputi hutan dataran tinggi, hutan dataran rendah, hutan rawa, hutan rawa sekunder, hutan tidak produkstif, tanah terbuka, pertanian lahan kering dan semak, pertanian lahan kering, transmigrasi dan badan air. Semua tipe penutupan terdapat di distrik Nimboran dan Nimbokrang, kecuali tanah terbuka tidak dijumpai di Distrik Nimbokrang.
Tipe-tipe
penutupan yang tidak terdapat di distrik Kemtuk, tidak dijumpai pula di Kemtuk Gresi, kecuali hutan rawa yang hanya terdapat di Kemtuk. Hutan dataran tinggi mencapai luas terbesar di Distrik Nimbokrang, Kemtuk dan Kemtuk Gresi dibandingkan dengan tipe penutupan lain di distrik masing-masing. Namun demikian, bila dibandingkan dengan luas total keempat distrik tersebut, maka luasan terbesar terdapat di Distrik Kemtuk Gresi (14,69%), diikuti Distrik Kemtuk (14,57%), Nimbokrang (8,96%) dan luasan terkecil di Distrik Nimboran (1,83%). Hutan dataran tinggi umumnya merupakan hutan primer, sehingga sangat baik dipertahankan sebagai areal hutan tetap mengingat keberadaannya pada daerah berbukit di kawasan agropolitan. Oleh karena itu maka fungsi hidrologis dapat dipertahankan. Jenis-jenis pohon hutan yang tumbuh di daerah ini yaitu: Endospermum mollucanum, Campnospermae brevipetiolata, Pterocarpus indicus, Nauclea orientalis, Artocarpus communis, Pometia pinnata, Metroxylon sagu dan lain-lain.
88
89 Hutan dataran rendah dengan luas tertinggi terdapat di Distrik Nimboran, baik untuk distrik tersebut ( 41,08%) maupun bila luasan tersebut dibandingkan dengan luas total keempat distrik (11,82%). Hutan ini merupakan hutan primer yang pada umumnya terdapat pada daerah datar hingga berombak sehingga kemungkinan untuk dikonversi akan sangat besar. Keberadaan hutan tersebut sangat mudah dijangkau, sehingga memungkinkan ekstraksi hasil hutan terutama kayu dari hutan tersebut. Peluang yang sama dapat terjadi pula di distrik-distrik lain. Hal ini ditunjang pula oleh aksesibiltas yang tinggi oleh keadaan jalan yang baik, terutama di Distrik Nimboran, Nimbokrang dan Kemtuk Gresi. Hutan dataran rendah di kawasan agropolitan ditumbuhi oleh jenis-jenis Intsia palembanica, Pometia coriaceae, Ficus benyamina, Pimeliodendron amboinicum, Homonoia javensis, Artocarpus elastica, Artocarpus communis, Polyalthia glauca, Alstonia scholaris, Palaquium amboinensis Celtis latifolia, Dracontomelum edule, Horsfieldia sylvestris, Callophyllum sp, Buchanania macrophylla dan lain-lain. Hutan rawa di kawasan agropolitan hanya terdapat di Distrik Nimboran (16,61% dari luas distrik), Nimbokrang ( 2,85% dari luas distrik) dan Distrik Kemtuk (0,01% dari luas distrik). Dibandingkan dengan luas total keempat distrik, maka luasan terbesar terdapat di Nimboran (4,84%).
Tipe vegetasi yang dijumpai merupakan vegetasi
hutan rawa dengan jenis-jenisnya adalah Pandanus sp, Derris elliptica, Amomum sp, Scindapsus
sp,
Nauclea
orientalis,
Macaranga
aleuritoidus,
Endospermum
mollucanum, Elaeocarpus sphaerensis Sesuai dengan keadaan fisiografi, maka hutan rawa sekunder hanya terdapat di Distrik Nimboran (1,21% dari luas distrik) dan Nimbokrang (2,11% dari luas distrik). Bila dibandingkan dengan luas total keempat distrik, maka luas terbesar terdapat di Distrik Nimbokrang (0,37%). Jenis-jenis yang dijumpai di daerah ini adalah Canarium sp, Elaeocarpus sphaerensis, Celtis latifolia, Cerbera floribunda,
Buchanania
macrophylla, Pometia sp, Syzygium sp dan lain-lain. Keberadaan tipe penutupan ini di kedua distrik tersebut sangat mendukung program agropolitan melalui penanaman komoditas yang sesuai dengan keadaan genangan. Pada penutupan lahan tanah terbuka, didominasi oleh padang rumput diselingi kelompok semak dan pohon. Di daerah punggung bukit dijumpai Cyperus rotundus, Themeda arguens, Imperata cylindrica, Paspalum conjugatum, Crotalaria sp. Pada daerah lereng selain jenis-jenis yang disebutkan di atas, dijumpai pula Colopogonium mucunoides, Cassia tora, Starchytarpheta jamaicensis, Widelia Montana, Hyptis capitata, Andropogon aciculatus, Desmodium gangeticum dan lain-lain.
Jenis-jenis
perdu yang dijumpai adalah Piper aduncum, Psidium guajava, Premna corymbosa,
90 Tabel 17.
Sebaran luas lahan menurut tipe penutupan lahan tiap distrik dalam kawasan agropolitan Luas Sub Luas Total No Distrik Tata Guna Hutan Luas (Ha) Total (%) (%) 1 Nimboran Hutan Dataran Tinggi 1.559 6,37 1,83 Hutan Dataran Rendah 10.055 41,08 11,82 Hutan Rawa 4.114 16,81 4,84 Hutan Rawa Sekunder 295 1,21 0,35 Hutan Tidak Produktif 2.138 8,73 2,51 Tanah Terbuka 50 0,20 0,06 Pertanian Lahan Kering + 5.314 21,71 6,25 semak Pertanian Lahan Kering 126 0,51 0,15 Transmigrasi 820 3,35 0,96 Badan air 7 0,03 0,01 Sub Total 24.478 100 28,78 2 Nimbokrang Hutan Dataran Tinggi 7.622 50,62 8,96 Hutan Dataran Rendah 3.045 20,22 3,58 Hutan Rawa 429 2,85 0,50 Hutan Rawa Sekuner 317 2,11 0,37 Lahan Tidak Produktif 363 2,41 0,43 Tanah Terbuka ‐ ‐ ‐ Pertanian Lahan Kering + 582 3,87 0,68 Semak Pertanian Lahan Kering 885 5,88 1,04 Tansmigrasi 1.775 11,79 2,09 Badan air 39 0,26 0,04 Sub Total 15.057 100 17,70 3 Kemtuk Hutan Dataran Tinggi 12.394 61,43 14,57 Hutan Dataran Rendah 1.655 8,20 1,95 Hutan Rawa 3 0,01 0,003 Hutan Rawa Sekunder ‐ ‐ ‐ Lahan keringTidak Produktif 1.812 8,98 2,13 Tanah Terbuka 1.944 9,64 2,29 Pertanian Lahan Kering + 2.317 11,48 2,72 Semak Transmigrasi 12 0,06 0,014 Badan Air ‐ 0 Sub Total 20.175 100 23,72 4 Kemtuk Gresi Hutan dataran tinggi 12.496 49,30 14,69 Hutan Dataran Rendah 8.385 33,08 9,86 Hutan Rawa ‐ ‐ ‐ Hutan Rawa Sekunder ‐ ‐ ‐ Lahan Kering Tidak Produktif 216 0,85 0,25 Tanah Terbuka 177 0,70 0,21 Pertanian Lahan Kritis + 3.534 13,94 4,15 Semak Transmigrasi 202 0,80 0,24 Badan Air ‐ ‐ ‐ Sub Total 25.348 100 29,80
91 Alphitonia celtidifolia dan lain-lain.
Jenis-jenis rumput yang terdapat disini bisa
digunakan sebagai bahan pakan ternak, sedangkan perdu merupakan tempat berteduh untuk sapi yang dipelihara. Memperhatikan kondisi tempat tersebut, tipe penutupan ini dapat ditingkatkan kondisinya menjadi tempat penggembalaan ternak yang ideal. Pada tipe penutupan pertanian lahan kering dan semak dijumpai semak, padang alangalang, kelapa, pisang, sagu dan palawija, sedangkan pada tipe penutupan pertanian lahan kering dijumpai hutan sekunder dan areal perladangan. 4.2.8. Sebaran Luas Lahan Menurut Fungsinya Berdasarkan fungsi hutan, maka hutan dapat dikelompokkan menjadi hutan lindung (HL), hutan produksi (tetap) (HP), hutan produksi terbatas (HPT), Hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) dan Areal peruntukan lain (APL).
Sesuai
penyebaran hutan yang terlihat pada Gambar Peta 25 dan Tabel 17, keberadaan dari hutan dengan fungsinya-pun terdapat di kawasan agropolitan. Hutan Lindung terdapat di setiap distrik, terluas di Distrik Nimboran sebanyak 48,68% dari luas Distrik Nimboran, dan terkecil di Distrik Kemtuk Gresi (0,71% dari luas distrik). Keberadaan hutan lindung disetiap distrik mempunyai fungsi sebagai pengatur tata air dan pencegahan erosi. Kecil ataupun besarnya hutan lindung di setiap distrik mempunyai peranan yang sangat besar terhadap perlindungan/konservasi tanah di daerah tersebut.
Luasan dan keberadaan lahan yang telah ditetapkan hendaknya perlu
dipertahankan, terutama dalam mendukung sistem tata air dan konservasi tanah di kawasan agropolitan. Pemanfaatan
hutan
untuk
kegiatan
agropolitan
hanya
dimungkinkan
menggunakan Hutan Konversi ataupun areal penggunaan lain. Di Distrik Nimboran, mengingat luas hutan lindung yang cukup besar, luasan yang ada dari hutan konversi dapat digunakan sebagai kawasan budidaya agropolitan, kecuali selebar 10 m kiri kanan sungai kecil dan 20 m kiri kanan sungai besar ataupun sumber air lainnya perlu dipertahankan keberadaan hutan. Distrik Nimbokrang, hutan lindungnya sangat kecil (30,43%), sementara hutan konversinya sangat besar (67,86%), maka pembukaan hutan konversi sebagai kawasan
budidaya
Agropolitan,
hanya
dibatasi
pada
kondisi
datar
dengan
memperhatikan keutuhan hutan 10 m – 20 m di kiri kanan sungai ataupun sumber air lainnya. Hutan APL sesuai fungsinya dapat digunakan untuk kegiatan agropolitan. Daerah
Kemtuk,
yang
topografinya
didominasi
oleh
areal
berombak,
bergelombang, dan berbukit tanpa daerah datar, sedangkan hutan lindungnya hanya 24,75% dari luas distrik, maka disarankan pembukaan hutan konversi untuk keperluan
92
93 agropolitan
terbatas
pada
daerah
dengan
kelerengan
di
bawah
8%
serta
memperhatikan 10 – 20 m di kiri dan kanan sungai ataupun sumber air. Distrik Kemtuk Gresi dengan topografi pada umumnya bergelombang dan hutan lindung hanya 0,71%, maka hutan yang boleh dibuka hanya hutan konversi dengan kelerengan di bawah 8% dan APL dengan tetap mempertahankan keberadaan hutan 10 m – 20 m dikiri kanan sungai maupun sumber air lainnya. Secara umum, bahwa konversi hutan yang dilakukan secara bertahap sehingga gangguan terhadap lingkungan dapat dikurangi seminimal mungkin. Tabel 18.
No 1
2
3
4
Sebaran luas lahan menurut fungsi hutan di setiap distrik dalam kawasan agropolitan Persenta Persentase tase terhadap Distrik Tata Guna Hutan Luas (Ha) terhadap total sub total Nimboran Hutan Lindung (HL) 11 917 48,68 14, 01 Hutan Produksi (HP) 0 0 0 Hutan Produksi 0 0 0 Terbatas (HPT) Hutan Konversi (HK) 5 570 22,76 6,55 Areal Peruntukan Lain 6 991 28,56 8,21 (APL) Sub Total 24 478 28,78 Nimbokrang Hutan Lindung (HL) 4 583 30,43 5,39 Hutan Produksi (HP) 0 0 0 Hutan Produksi 0 0 0 Terbatas (HPT) Hutan Konversi (HK) 10 218 67,86 12,01 Areal Peruntukan Lain 256 1,70 0,30 (APL) Sub Total 15 057 17,70 Kemtuk Hutan Lindung (HL) 4 994 24,75 5,87 Hutan Produksi (HP) 0 0 0 Hutan Produksi 5 448 27,00 6,40 Terbatas (HPT) Hutan Konversi (HK) 7 730 38,31 9,09 2 003 9,93 2,35 Areal Peruntukan Lain (APL) Sub Total 20 175 23,72 Kemtuk Gresi Hutan Lindung (HL) 181 0,71 0,21 Hutan Produksi (HP) Hutan Produksi Terbatas (HPT) Hutan Konversi (HK) Areal Peruntukan Lain (APL) Sub Total Total
Jumlah
0 15 335
0 60,49
0 18,03
5 333 4 499
21,04 17,74
6,27 5,29
25 348 85.058
29,80 100
94
95 4.3.
Keadaan Penduduk
4.3.1. Kepadatan Penduduk Jumlah penduduk kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura yang meliputi Distrik Nimboran, Nimbokrang, Kemtuk, dan Distrik Nimbokrang sebanyak 20.384 jiwa atau 5.142 keluarga. Luas seluruh kawasan agropolitan berdasarkan profil kawasan agropolitan yang dilaporkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Jayapura tahun 2002 seluas 1.503,64 km2 atau 150.364 ha. Masing-masing, Distrik Nimboran 778,48 km2, Nimbokrang 242,16 km2. Kemtuk 194,70 km2, dan Distrik Kemtuk Gresi 288,30 km2. Akan tetapi berdasarkan hasil perhitungan tim peneliti pengembangan kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura selama melakukan penelitian lapangan, luas kawasan agropolitan ini ternyata lebih kecil yakni 850,58 km2 atau 85.058 ha. Masing-masing adalah sebagai berikut, Distrik Nimboran 246,47 km2 atau 24.647 ha, Distrik Nimbokrang 150,57 km2 atau 15.057 ha, Distrik Kemtuk 201,75 km2 atau 20.175 ha, dan Distrik Kemtuk Gresi 251,79 km2 atau 25.179 ha. Selengkapnya hasil analisis kepadatan penduduk kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura disajikan seperti pada Tabel 19. Tabel 19.
Kepadatan penduduk kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura tahun 2003
No.
Distrik
Jumlah Penduduk (KK)
(Jiwa)
Luas
Kepadatan Penduduk
(Km2)
(Jiwa/Km2)
(KK/Km2)
1.
Nimboran
1.536
6.965
246, 47
28,259
6,232
2.
Nimbokrang
1.549
5.365
150, 57
35,631
10,287
3.
Kemtuk
755
3.423
201, 75
16,966
3,742
4.
Kemtuk Gresi
902
4.631
251, 79
18,392
3,582
4.742
20.384
850, 58
23, 965
4,30
Kawasan Agro
Sumber : BPS Kabupaten Jayapura, 2003
Tingkat kepadatan penduduk kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura tergolong rendah yakni rata-rata 23,965 jiwa/km2 atau rata-rata 4,30 KK/km2. Secara terpisah berdasarkan distrik, kepadatan penduduk tertinggi terdapat di Distrik Nimbokrang, dan terendah terdapat di Distrik Kemtuk. 4.3.2. Ratio Seks Ratio seks penduduk kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura diperhitungkan sebesar 1,08.
Artinya pada setiap populasi wanita sebesar 1.000 jiwa senantiasa
bersama-sama 1.080 jiwa laki-laki. Suatu ratio seks yang tidak terlalu timpang ditinjau dari aspek kegiatan sosial-budaya, tetapi cukup penting ditinjau dari aspek proses regenerasi penduduk.
Ratio seks ini ternyata lebih rendah di Distrik Nimboran dan
96 Distrik Kemtuk, tetapi menjadi tertinggi di Distrik Nimbokrang. Di Distrik Nimboran dan Distrik Kemtuk terlihat bahwa pada seiap populasi wanita sebesar 1.000 jiwa senantiasa bersama-sama kaum laki-laki sebanyak 1.050 jiwa.
Namun di Distrik
Nimbokrang pada setiap populasi waita sebesar 1.000 jiwa senantiasa bersama-sama kaum lelaki sebanyak 1.110 jiwa. Suatu ratio yang penting ditinjau dari aspek kegiatan sosial-ekonomi, dan menjadi sumber dampak bagi bagian kecil populasi kaum laki-laki mendapatkan isteri di luar kawasan agropolitan, dan dalam jangka panjang dapat memperbesar ragam etnis di kawasan agropolitan ini. Sebaran jumlah penduduk kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura berdasarkan jenis kelamin per distrik di kawasan agropolitan disajikan pada Tabel 20. Tabel 20.
Sebaran jumlah penduduk kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura berdasarkan jenis kelamin tahun 2003 Jumlah Laki-Laki
No 1. 2. 3. 4.
Distrik Nimboran Nimbokrang Kemtuk Kemtuk Gresi Jumlah
(Jiwa)
(%)
3.571 2.829 1.754 2.429 10.583
51 53 51 54 52
Jumlah Perempuan (Jiwa) 3.394 2.536 1.669 2.202 9.801
(%) 49 47 49 46 48
Total Jumlah (Jiwa) 6.965 5.364 3.443 4.531 20.384
Ratio Seks 1,05 1.11 1,05 1,10 1,08
Sumber : BPS Kabupaten Jayapura, 2003
4.3.3. Ketergantungan Penduduk Tingkat ketergantungan penduduk kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura sebesar 0,73. Artinya setiap 100 orang penduduk berusia produktif menanggung 73 orang penduduk yang tidak produktif untuk melakukan kegiatan yang memerlukan tenaga fisik. Tingkat ketergantungan yang baik, yakni setiap penduduk berusia produktif menanggung sebanyak-banyaknya 1 orang penduduk yang tidak produktif. Selanjutnya sebaran jumlah penduduk berdasarkan golongan umur produktif dan golongan umur tidak produktif disajikan pada Tabel 21. Tabel 21.
No. 1. 2. 3. 4.
Sebaran jumlah penduduk berdasarkan golongan umur di kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura tahun 2003.
Distrik Nimbokrang Kemtuk Gresi Nimboran Kemtuk Jumlah
Jumlah Penduduk Berdasarkan Golongan Umur (Tahun) <15 15-55 >55 2.076 3.031 257 1.707 2.612 212 2.389 4.216 360 1.480 1.871 92 7.652 11.730 921
Sumber : BPS Kabupaten Jayapura, 2003
Ketergantungan Penduduk 0,77 0,73 0,65 0,84 0,73
97 Secara
terpisah
berdasarkan
distrik
ternyata
Distrik
Kemtuk
memiliki
ketergantungan tertinggi, dan Distrik Nimboran memiliki tingkat ketergantungan terendah.
Walaupun penduduk Distrik Kemtuk memiliki tingkat ketergantungan
tertinggi, tetapi masih tergolong baik yakni setiap penduduk berusia produktif menanggung penduduk tidak produktif yang sangat terbatas yakni sebanyakbanyaknya 1 jiwa.
Rendahnya tingkat ketergantungan penduduk diidentifikasi
disebabkan oleh 2 faktor utama.
Pertama, terbatasnya jumlah penduduk yang
mencapai usia lanjut yakni baru mencapai 4,52 persen dari total jumlah penduduk kawasan agropolitan. Kedua, jumlah penduduk golongan usia kurang dari 15 tahun juga belum menjadi bagian populasi terbesar sebagaimana layaknya sebuah piramida tegak. 4.3.4. Keluarga Penduduk Aspek utama yang dianalisis dalam faktor keluarga penduduk kawasan agropolitan
Kabupaten
Jayapura
adalah
besar
keluarga
dan
tenaga
kerja.
Selengkapnya hasil analisis keluarga penduduk kawasan agropolitan ini disajikan pada Tabel 22. Ukuran keluarga penduduk kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura, ratarata 4,30 jiwa/keluarga.
Secara terpisah berdasarkan distrik, ukuran keluarga
penduduk terbesar terdapat di Distrik Kemtuk Gresi yakni rata-rata 5,13 jiwa/keluarga, dan terendah di Distrik Nimbokrang yakni rata-rata 3, 46 jiwa/keluarga. Tabel 22. Hasil analisis keluarga penduduk kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura tahun 2003.
No.
1. 2. 3. 4.
Distrik
Nimboran Nimbokrang Kemtuk Kemtuk Gresi Kawasan Agro.
Jiwa 6.965 5.365 3.423 4.631 20.384
Jumlah Penduduk Tenaga Kerja Keluarga Produktif (KK) (Jiwa) 4.116 1.536 3.031 1.459 1.871 755 2.612 902 11.730 4.742
Keluarga Penduduk Tenaga Ukuran/ Kerja Besar Produktif (Jiwa/Kel.) (Jiwa/Kel.) 4,53 2,68 3,46 2,08 4,53 2,48 5,13 2,89 4,30 2,47
Jumlah tenaga kerja produktif di kawasan agropolitan ini rata-rata 2,47 tenaga kerja/keluarga. Secara terpisah berdasarkan distrik, ternyata keluarga yang memiliki jumlah tenaga kerja produktif terbanyak terdapat di Distrik Kemtuk Gresi, dan tersedikit terdapat di Distrik Nimbokrang.
98 4.3.5. Mata Pencaharian Penduduk Mata pencaharian penduduk kawasan agropolitan dibedakan menjadi 5 kelompok besar yakni bertani, berdagang, pegawai negeri sipil (PNS) dan tentara nasional Indonesia (TNI) serta pensiunan, jasa, dan wirausaha.
Kelompok mata
pencaharian bertani mencakup pertanian dalam arti luas yakni pertanian tanaman pangan dan hortikultura, perkebunan, peternakan, perikanan, dan kehutanan. Selengkapnya hasil analisis sebarang penduduk berdasarkan kelompok mata pencaharian disajikan pada Tabel 23, yang memberi gambaran bahwa hampir seluruh penduduk kawasan agopolitan Kabupaten Jayapura bermatapencaharian sebagai petani.
Sebagian kecil dari populasi penduduk lainnya bekerja pada sektor
perdagangan dan jasa serta wirausaha. Tabel 23.
No.
Sebaran Penduduk Kawasan Agropolitan Kabupaten Jayapura Tahun 2003 Menurut Mata Pencaharian
Mata
Distrik
Distrik
Distrik
Distrik
Kawasan
Pencaharian
Nimbokrang
Kemtuk Gresi
Nimboran
Kemtuk
Agropolitan
(KK) 1.
Petani Luas
2.
Pedagang
3.
PNS, TNI, POLRI,
(%)
(KK)
(%)
(KK)
(%)
(KK)
(%)
(KK)
(%)
1 277
82,46
744
82,48
1 235
80,40
638
84,50
3 894
82,12
49
3,15
6
0,67
86
5,60
24
3,18
165
3,50
180
11,62
123
13,74
192
12,50
65
8,61
560
11,81
Pensiunan 4.
Jasa
19
1,21
12
1,33
11
0,72
12
1,59
54
1,13
5.
Wirausaha
24
1,56
17
1,88
12
0,78
16
2,12
69
1,44
1 549
100
902
100
1 536
100
755
100
4 742
100
Jumlah
4.4.
Keadaan Ekonomi Penduduk wilayah studi secara ekstensif mengusahakan banyak jenis tanaman
dan ternak sapi. Rata-rata setiap kepala keluarga di wilayah studi mengusahakan tujuh jenis tanaman yang berbeda dengan kisaran terendah empat jenis tanaman dan kisaran tertinggi sembilan jenis tanaman.
Perbedaan jumlah jenis tanaman yang
diusahakan oleh setiap kepala keluarga di wilayah studi disebabkan oleh perbedaan pengetahuan dan ketrampilan bercocoktanam serta perbedaan etnis penduduk yang berdomisili di masing-masing distrik. Distrik Nimboran dan Distrik Nimbokrang selain didiami oleh penduduk asli Papua juga berdiam penduduk asal luar Papua yang didominasi oleh etnis jawa menyusul kemudian Etnis Sulawesi.
99 4.4.1. Pendapatan Rumah Tangga Rumah tangga di wilayah studi dapat digolongkan menjadi dua kelompok besar berdasarkan sumber utama pendapatan, yakni (1) rumah tangga penduduk asal Papua dan (2) rumah tangga penduduk asal luar Papua.
Rumah tangga asal Papua
menganggap kakao dan sapi sebagai sumber utama penghasil cash bagi keluarga, di samping ubi-ubian, sagu, kelapa, pisang, sayuran, kacang tanah dan jagung. Khusus untuk Distrik Kemtuk dan Kemtuk Gresi, selain kakao dan sapi, hasil hutan berupa kayu olahan merupakan salah satu sumber penghasil cash terpenting. Rumah tangga asal luar Papua menganggap padi dan ternak sapi merupakan komoditas terpenting penunjang keberlanjutan keluarga, selain palawija, usaha dagang seperti kios dan jajanan dan usaha industri rumah tangga seperti industri gula merah dari kelapa, industri tahu dan industri tempe. Perbedaan orientasi ekonomi ini lebih didorong oleh perbedaan kemampuan memanfaatkan peluang usaha dan menciptakan kerja serta motivasi dan kerja keras. Pendapatan kotor rumah tangga asal luar Papua lebih besar dibandingkan rumah tangga asal Papua. Hal ini dapat dimengerti mengingat walaupun jumlah jenis tanaman yang diusahakan rumah tangga Papua memiliki kombinasi lebih banyak dibandingkan rumah tangga asal luar Papua, (rata-rata rumah tangga Papua mengusahakan tujuh jenis tanaman dengan kisaran minimum empat jenis tanaman dan maksimum sembilan jenis tanaman sedangkan rumah tangga asal luar Papua mengusahakan tiga jenis tanaman) jenis komoditi yang diusahakan rumah tangga asal luar Papua umumnya memiliki nilai pasar yang jauh lebih tinggi dibanding komoditi yang diusahakan rumah tangga Papua. Selain faktor harga, produksi per satuan lahan rumah tangga asal luar Papua juga lebih tinggi dibandingkan dengan produktivitas lahan rumah tangga asal Papua. Tabel 24.
No. A. B.
Pendapatan kotor rumah tangga di wilayah studi berdasarkan macam jenis tanaman yang diusahakan Jumlah Jenis Tanaman
Rumah Tangga Asal Luar Papua 3 Jenis Tanaman Rumah Tangga Asal Papua 4 Jenis Tanaman 5 Jenis Tanaman 6 Jenis Tanaman 7 Jenis Tanaman 8 Jenis Tanaman 9 Jenis Tanaman
Pendapatan Kotor Minimum
Maksimum
14,427,000.--
12,840,000.--
25,350,000
1,020,000.-3,466,250.-3,596,666.-3,661,730.-3,820,333.-8,535,000.--
952,500.-2,952,500.-1,077,000.-1,427,000.-1,333,000.-8,535,000.--
1,020,000 3,980,000 9,946,500 7,147,500 8,150,000 9,028,000
Rata-Rata
100 Beberapa faktor penyebab rendahnya produktivitas lahan rumah tangga asal Papua dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Rumah tangga asal Papua tampaknya belum memperhatikan produktivitas usahataninya. Hal ini nampak dari beragamnya jenis tanaman yang diusahakan, tanpa masukan input dan sedikit sekali dilakukan tindakan agronomis. Keamanan pangan merupakan hal yang mencolok dari tipe pengusahaan rumah tangga asal Papua.
a. Letak kebun yang terpencar sebagai akibat pola pemilikan lahan mengikuti clan mengakibatkan pengelolaan kebun menjadi sangat sulit. Penggunaan tenaga kerja menjadi tidak efektif dan biaya pengelolaan kebun menjadi sangat tinggi.
b. Masih minimnya pengetahuan rumah tangga asal Papua mengenai teknik bercocok tanam yang benar.
Hal ini dapat dipahami mengingat umumnya
rumah tangga asal Papua belum menerapkan sistem pertanian menetap. Faktor lain yang mempengaruhi minimnya pengetahuan bercocoktanam adalah petugas penyuluh lapang belum berperan secara aktif. Kehadiran PPL belum mampu memberikan masukan yang berarti bagi petani karena minimnya kontak di lapangan. Selain kurang aktifnya PPL, peluang yang ada di wilayah studi untuk meningkatkan produktivitas lahan belum dimanfaatkan oleh sebagian besar rumah tangga asal Papua sebagai contoh misalnya pemanfaatan kotoran sapi sebagai pupuk. 4.4.2. Jenis Tanaman Hasil penelitian di lapang menunjukan bahwa rumah tangga asal luar Papua umumnya mengusahakan tanaman padi, palawija dan tanaman buah-buahan. Padi sebagai makanan pokok merupakan komoditas yang bernilai pasar tinggi dan sangat diminati oleh penduduk asal luar Papua.
Namun, pada saat penelitian lapang
berlangsung keberlanjutan pengusahaan padi di wilayah studi terutama Distrik Nimboran dan Distrik Nimbokrang menjadi isu utama. Pengusahaan padi di wilayah studi sebenarnya sudah memanfaatkan irigasi yang tersedia. Namun, pemblokiran dan pengalihan aliran air oleh clan pemilik tanah ulayat di wilayah studi mengakibatkan keresahan dan keenganan rumah tangga asal luar Papua untuk mengusahakan padi. Rumah tangga asal Papua umumnya memilih tanaman kakao sebagai komoditas unggulan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang tidak dapat diproduksikan sendiri seperti minyak goreng, minyak tanah, garam, vetsin dan beras. Selain kakao, tanaman sagu juga diusahakan oleh rumah tangga asal Papua. Walaupun jumlah tanaman sagu yang diusahakan setempat-setempat dan dalam jumlah yang tidak luas, sagu sebagai makanan pokok memiliki nilai tersendiri bagi
101 rumah tangga asal Papua.
Sagu merupakan sumber cadangan makanan yang
memberikan rasa aman bagi penduduk lokal untuk jangka panjang. merupakan warisan orangtua kepada generasi berikutnya.
Sagu juga
Hal ini menandaskan
bahwa keberadaan tanaman sagu di wilayah studi tidak dapat digantikan dengan tanaman lain. Tanaman lain yang juga diusahakan penduduk adalah ubi-ubian. Beberapa jenis ubi-ubian yang diusahakan rumah tangga asal Papua adalah keladi, bete, ubi dan singkong.
Umumnya ubi-ubian diusahakan untuk keperluan konsumsi keluarga.
Namun jika diperlukan maka ubi-ubian dapat pula dijual untuk mendapatkan cash. Sayuran yang umumnya diusahakan penduduk lokal adalah kangkung, gedi, bayam dan sayur lilin. Kangkung yang diusahakan adalah kangkung cabut. Kangkung ini umumnya diusahakan untuk dipasarkan.
Gedi dan sayur lilin merupakan sayuran
pelengkap hidangan dari sagu oleh karenanya pengusahaan sayuran-sayuran ini umumnya untuk kepentingan konsumsi keluarga. Jenis tanaman lain yang diusahakan rumah tangga asal Papua adalah pisang.
Pisang merupakan tanaman unggulan
penghasil cash setelah tanaman kakao dan sagu.
Jenis pisang yang umumnya
diusahakan penduduk adalah pisang barangan yang telah memiliki pasar tersendiri. Selain monokultur, penduduk lokal umumnya menggunakan tanaman pisang sebagai tanaman naungan kakao. 4.4.3. Pemasaran Pemasaran produk hasil usatani penduduk di wilayah studi umumnya dilakukan secara individu. Pengelompokan dilakukan hanya untuk mengatasi biaya transportasi. Umumnya sebanyak 5 – 6 orang penduduk berkelompok menggunakan satu kendaraan ke pasar kabupaten. Terdapat 4 mata rantai tata niaga produk usahatani penduduk di wilayah studi.
Secara rinci mata rantai tata niaga produk usahatani
penduduk wilayah studi digambarkan sebagai berikut: Penduduk wilayah studi umumnya telah memanfaatkan fasilitas pasar yang ada di pusat-pusat kota Kabupaten Jayapura.
Ketersediaan sarana dan prasarana
transportasi yang memadai telah memungkinkan sebagian besar penduduk wilayah studi dapat menjual secara langsung hasil usahataninya ke konsumen akhir di Pasar Hamadi, Pasar Sentani, Pasar Abepura, dan Pasar Genyem. Namun demikian untuk beberapa daerah di wilayah studi terutama daerah yang terletak di antara GenyemKemtuk Gresi dan Jayapura seperti Kampung Mamda, Kampung Bonggrang, Kampung Meikari, dan Kampung Sabron Samon kelangkaan sarana transportasi mengakibatkan hasil kebun penduduk tidak dapat mencapai pasar dalam waktu yang tepat.
102
Petani
Konsumen Akhir
Petani
Pedagang Pengumpul Tingkat Kabupaten
Konsumen Akhir
Petani
Pedagang Pengumpul Tingkat Kampung
Penampung Kabupaten
Pedagang Pengumpul Tingkat Kabupaten
Pedagang Pengumpul Tingkat Kampung
Petani
Gambar 23.
Penampung Kabupaten
Tata niaga pemasaran produk usahatani penduduk di wilayah penelitian
Umumnya angkutan pedesaan telah penuh dengan muatan pada terminal awal. Hal ini mengakibatkan penduduk di antara terminal awal (Genyem-Kemtuk Gresi) dan Jayapura tidak dapat menggunakan angkutan pedesaan pada waktu yang diinginkan. Kenyataan
ini
mengakibatkan
perdagangannya dengan baik.
penduduk
tidak
dapat
melakukan
aktivitas
Waktu untuk berdagang menjadi sangat sempit
sehingga barang dagangan umumnya dijual secara borongan dengan nilai yang rendah jika tidak dilakukan maka dagangan akan menjadi rusak dan tak bernilai. Permasalahan lain yang dihadapi penduduk di wilayah studi adalah jarak ke pasar kabupaten yang jauh.
Penduduk umumnya menjual hasil usahanya ke pasar
kabupaten secara individu dan mengingat jarak yang jauh maka umumnya penduduk wilayah studi yang akan berjualan ke pasar kabupaten sudah mulai melakukan perjalanan dari wilayah studi ke pasar kabupaten (Pasar Hamadi, Pasar Sentani dan Pasar Abepura) pada jam satu atau dua subuh. Dengan demikian mereka akan punya cukup waktu untuk berjualan yaitu mulai dari jam 5 pagi hingga 5 sore. Kenyataan ini mengakibatkan beberapa permasalahan, yaitu (1) perhatian orangtua terutama ibu terhadap anak menjadi berkurang karena harus melakukan aktivitas dagang di pasar kabupaten seharian penuh, (2)
barang dagangan dari wilayah studi umumnya
seragam sehingga harga jual dapat ditekan oleh pedagang pengumpul tingkat kabupaten, dan (3) umumnya barang dagangan dilelang menjelang sore hari. Hal ini kurang menguntungkan penduduk wilayah studi yang berjualan ke pasar kabupaten karena tidak dapat memperoleh hasil yang maksimal.
103 Permasalahan lain yang dihadapi oleh penduduk wilayah studi terutama dari Distrik Kemtuk adalah tidak lancarnya transportasi karena terputusnya jembatanjembatan di Wilayah Kemtuk. Pada saat penelitian lapang berlangsung terdapat dua jembatan yang menghubungkan Kampung Sabron Samon dan Sabeyab terputus. Demikian pula jembatan yang menghubungkan Kampung Sawoi dan Kampung Sabeyab, juga jembatan yang menghubungkan Puai dan Distrik Kemtuk.
Hal ini
mengakibatkan penduduk wilayah studi yang hendak berjualan harus mengeluarkan biaya transportasi ekstra untuk mengangkut barang dagangan ke titik yang dapat dijangkau oleh transportasi umum. Khusus untuk komoditi pisang dan biji kakao, penduduk telah memanfaatkan jasa pedagang pengumpul tingkat desa.
Jasa pedagang pengumpul tingkat desa
untuk komoditas pisang belum banyak menarik perhatian penduduk di wilayah studi mengingat harga beli pedagang pengumpul yang rendah. Penduduk wilayah studi baru tertarik untuk menjual pisang muda ke pedagang pengumpul tingkat desa. Pisang yang sudah masak umumnya dijual langsung oleh petani ke konsumen akhir. Lain halnya dengan komoditas kakao, sebagian besar penduduk wilayah studi menjual hasilnya ke pedagang pengumpul tingkat desa dalam bentuk biji basah dengan harga Rp 2.000 per kg. Di wilayah studi baru terdapat dua orang pedagang pengumpul tingkat desa yang menjual biji kakao kering langsung ke pengumpul biji kakao kering di kabupaten dengan harga Rp 15.000 per kg.
Pedagang pengumpul tingkat desa
lainnya menjual biji kakao kering ke pedagang pengumpul tingkat kabupaten yang langsung membeli di wilayah studi dengan harga bervariasi dari Rp 7.000 sampai Rp 8.000 per kg. Masih sedikitnya pedagang pengumpul tingkat desa yang menjual biji kakao kering ke pengumpul kabupaten umumnya karena terbatasnya modal yang dimiliki.
4.5.
Keadaan Sosial Budaya
4.5.1. Struktur sosial Masyarakat yang berdomisili di wilayah penelitian berasal dari satu rumpun besar Masyarakat Mamberamo Tami (Mamta) yang terdiri dari 4 (empat) rumpun kelompok masyarakat yaitu (1) Rumpun Baiwase, (2) Rumpun Banibaiwase, (3) Rumpun Irapbaiwase, dan (4) Rumpun Bayuwase. Rumpun-rumpun masyarakat ini tersebar dalam suatu wilayah yang pada masa pemerintahan Belanda dikenal sebagai wilayah under Afdeling Nimboran. Wilayah ini tersebar pada wilayah Kecamatan Unurumguay, Kecamatan Kaureh, Kecamatan Demta, Kecamatan Nimboran/Kemtuk, dan Kecamatan Sentani Barat.
Salah satu kelompok masyarakat yang mendiami
104 wilayah Under Afdeling Nimboran adalah masyarakat Nimboran/Kemtuk Gresi yang biasanya dikenal sebagai orang Genyem yang berdiam di 4 (empat) distrik wilayah penelitian. Masyarakat Nimboran/Kemtuk Gresi terdiri dari beberapa kelompok marga/fam yang terikat dalam satu hubungan kekerabatan, dimana setiap marga/fam merupakan kumpulan keluarga-keluarga dengan penamaan marga/fam yang sama. Marga/fam itu di wilayah penelitian seperti marga/fam Tegai, Tarko, maupun Demongkrang. Kedudukan marga/fam di dalam sistem masyarakat adalah sederajat dimana aksesibilitas setiap kelompok marga/fam dalam belbagai proses pembangunan memiliki peluang yang sama. Struktur sosial masyarakat Nimboran/Kemtuk Gresi bersifat terbuka, artinya bahwa kedudukan marga/fam adalah sederajat tanpa membedakan tinggi rendahnya kelompok tertentu. Disamping itu sistem perkawinan bersifat perkawinan campuran yaitu perkawinan dapat terjadi antar anggota-anggota dari satu marga/fam dengan marga lainnya. Adanya struktur sosial terbuka dan sistem perkawinan campur yang dianut menciptakan terbentuknya marga/fam-marga/fam yang cukup banyak tersebar di wilayah penelitian. Satu kelompok marga/fam biasanya akan mencari suatu wilayah tertentu untuk dihuni secara bersama-sama dimana marga/fam yang pertama kali datang di wilayah tersebut dianggap sebagai kelompok masyarakat asli dan dikukuhkan sebagai pemilik lahan/tanah yang syah, dan kepemilikan lahan yang dikuasai didasarkan atas kepemilikan komunal masing-masing keluarga dari marga/fam tersebut. Pengaturan pengelolaan dan pembagian tanah setiap keluarga akan dilakukan dengan membagi luasan lahan milik keluarga secara merata kepada semua anggota keluarga laki-laki baik yang belum menikah maupun sudah menikah. Dengan demikian setiap anak lakilaki akan memiliki bagian hak atas tanah masing-masing. Kepemilikan lahan/tanah adat menjadi hak milik laki-laki sedangkan perempuan tidak memiliki hak tersebut, namun hanya sebatas hak pakai. Adapun alasan hak pakai untuk perempuan dikarenakan apabila perempuan menikah maka ia akan meninggalkan marga/famnya dan akan mengikuti marga/fam laki-laki, demikian pula anak-anak hasil perkawinan akan mengikuti garis keturunan laki-laki (patrilinial). Dengan demikian untuk menjaga agar luasan lahan yang dimiliki suatu marga/fam tidak dialihkan kepada orang lain (diluar marga/fam) maka hak perempuan hanya sebatas hak pakai. Hak pakai perempuan atas tanah dapat berubah menjadi hak milik apabila semua keturunan dari suatu marga/fam berjenis kelamin perempuan dan apabila perempuan tersebut telah menikah dengan laki-laki marga/fam lain, maka anak
105 cucu hasil perkawinan tersebut yang berjenis kelamin laki-laki dapat memiliki hak milik atas tanah yang berada di keluarga perempuan (pihak istri). Adanya
perkembangan
pembangunan
di
mana
banyak
memerlukan
penggunaan-penggunaan lahan maka pengalihan hak tanah dapat diwujudkan dalam 2 (dua) bentuk, yaitu pengalihan tanah dengan cara membeli atau menganti rugi kepada pemilik lahan, dan cara kontrak lahan dalam kurun waktu tertentu. Pengalihan hak lahan dalam bentuk pembelihan tanah biasanya diperuntukkan untuk pemanfaatan lahan untuk kepentingan umum (masyarakat) seperti pembangunan-pembangunan sarana prasarana antara lain gereja, dan jalan raya.
Pengalihan hak lahan untuk
kepentingan suatu kelompok atau individu lebih banyak bersifat kontrakan tanah dalam suatu kurun waktu tertentu dan akan dikembalikan kepada pemiliknya setelah dikontrak. Pengalihan lahan dengan cara membeli pada saat ini banyak mendatangkan masalah dengan adanya pemalangan tanah pada areal sarana prasarana umum. Adanya pemalangan ini dikarenakan belum tuntasnya
ganti rugi tanah-tanah adat
kepada pemilik-pemilik yang sah, dimana kepemilikan tanah adat ini biasanya tidak disertai dengan sertifikat tanah yang sah yang dapat menunjukkan kepemilikan tanah tersebut.
Tidak adanya sertifikat tanah ini, menimbulkan permasalahan dalam
menetapkan siapa yang berhak atas tanah-tanah yang telah dibangun sarana prasarana umum tersebut, sehingga beberapa anggota masyarakat secara individual mengaku mengklaim kepemilikan tanah tersebut. 4.5.2.
Interaksi Sosial Interaksi sosial merupakan hubungan kontak antara individu dengan individu
lainnya maupun individu dengan suatu kelompok. Masyarakat di wilayah penelitian melakukan interaksi sosial dengan sasaran di dalam sistem masyarakat, dan dengan sasaran di luar sistem masyarakat tersebut. Wujud interaksi sosial yang nampak di wilayah penelitian dapat dikelompokkan dalam tiga bidang interaksi sosial. Pertama, interaksi budaya, menyangkut persoalan mas kawin. Kedua, interaksi sosial, menyangkut kegiatan gotong royong dalam pembukaan dan pemanenan hasil. Ketiga, interaksi ekonomi, menyangkut kegiatan transaksi antara petani dengan para pedagang. Interaksi budaya yang terjadi dinampakkan dengan adanya kerjasama antara keluarga-keluarga dalam satu marga/fam untuk menanggung bersama besar dan jumlah mas kawin yang ditetapkan keluarga pihak perempuan kepada keluarga pihak laki-laki. Di dalam pertemuan tersebut, keluarga-keluarga yang tergabung dalam satu marga/fam dan anak laki-lakinya akan menikah bersama-sama akan mendiskusikan
106 tentang pembagian tanggungan untuk anggota-anggota keluarga pihak laki-laki yang dapat membantu meringankan tanggungan mas kawin yang akan dibayarkan pihak laki-laki kepada perempuaan. Kondisi ini memperlihatkan adanya pembagian tanggungan antar anggota-anggota dalam keluarga pihak laki-laki maka terlihat kesatuan hubungan kekerabatan dalam suatu marga/fam. Interaksi sosial diwujudkan dalam kegiatan gotong royong pembukaan lahan dan pemanenan hasil. Masyarakat di wilayah penelitian biasanya melakukan kegiatan usahatani pada kawasan lahan yang cukup luas yaitu berkisar antara 0,25 ha – 2 ha, di satu sisi ketersediaan tenaga kerja relatif kecil yaitu 2 (dua) orang dan di sisi lain luasan lahan yang cukup luas.
Adanya luasan lahan yang cukup luas dan
ketersediaan tenaga kerja yang kecil mengakibatkan pencurahan kerja pada tahapan pembukaan lahan dan pemanenan hasil mengalami masalah tenaga kerja. Melalui kegiatan gotong royong bersama-sama dengan anggota-anggota dalam suatu marga/fam ataupun tetangga maka kesulitan tenaga kerja dapat terpecahkan. Pembayar atau penggantian biaya yang dikeluarkan untuk tenaga-tenaga kerja ini diberikan dalam bentuk makan bersama yang disediakan oleh pemilik lahan tersebut. Kegiatan gotong royong ataupun interaksi sosial juga terjadi apabila anggotaanggota masyarakat sepakat untuk bergabung dalam suatu kelompok tani, dimana interaksi sosial nampak terjadi pada saat pembukaan dan pemanenan hasil. Kegiatan gotong royong ini biasanya melibatkan tenaga kerja yang berkisar antara 20 – 40 orang untuk melakukan pembukaan lahan dan selanjutnya lahan akan dipetakpetakkan untuk masing-masing anggota untuk pengelolaannya hingga tahap pemanenan. Pada tahap pemanenan ini, juga nampak adanya kegiatan gotong royong untuk saling membantu meringankan beban kerja. Interaksi ekonomi diwujudkan dalam bentuk transaksi dagang antara petani dengan pedagang lokal maupun pedagang non lokal. Transaksi dagang ini banyak ditemui pada cabang usahatani kakao dimana petani menjual biji kakao basah dengan harga 2.500 – 3.000/kg kepada pedagang lokal, dan selanjutnya pedagang lokal akan menjual kembali dalam bentuk kering dengan kisaran harga Rp 7.500 – 8.000,Adanya transaksi dagang yang demikian menggambarkan suatu hubungan kerjasama antara keduanya. Disamping itu menunjukkan adanya suatu hubungan usaha yang saling menguntungkan.
Selain interaksi ekonomi dalam usaha kakao, interaksi
ekonomi yang cukup tinggi adalah interaksi antara petani dengan para pengojek yang beroperasi di wilayah penelitian. Adapun kegiatan pengojek biasanya dimanfaatkan petani untuk mengunjungi saudara, ke pasar, ke kantor-kantor pemerintahan desa.
107 4.5.3. Pola Kepemimpinan Di dalam suatu masyarakat dibutuhkan adanya seorang pemimpin yang dapat mengatur dan mengelola anggota-anggota masyarakatnya. Masyarakat di wilayah penelitian mengenal beberapa pola kepemimpinan yaitu (1) kepemimpinan in formal yaitu adat, (2) kepemimpinan formal yaitu pemerintahan, dan (3) kepemimpinan kombinasi antara in formal dan formal. Secara adat istiadat, masyarakat di wilayah penelitian memiliki pemimpinpemimpin adat yang mengatur dan mengurus masyarakat. Pemimpim tersebut terbagi atas (1) Iram/Dequina dengan fungsi sebagai melindungi lapisan masyarakat, (2) Trang dengan fungsi sebagai menjaga dan membagi hak ulayat kepada anggota masyarakat, (3) Tegai dengan fungsi sebagai panglima perang atau keamanan, (4) Strom dengan fungsi sebagai pengatur kegiatan gotong royong atau kerja bakti kampung, dan (5) Bemey dengan fungsi sebagai bendaharawan masyarakat. Adanya pembagian kepemimpinan atas lima status dan peran ini tidak menunjukkan bahwa status dan peran yang satu lebih tinggi dari status dan peran lainnya. Peran kelima pemimpin tersebut untuk dapat mengatur dan mengorganisir kegiatan-kegiatan dalam masyarakat.
Walaupun demikian, peran Iram/Dequina
merupakan status yang penting yaitu melindungi seluruh lapisan masyarakat, disamping juga melindungi sumber daya alam. Sebutan Iram/Dequina pada kelompokkelompok masyarakat lainnya dikenal sebagai Ondoafi. Dalam perkembangan pembangunan dan hingga saat ini status dan peran kelima pemimpin adat ini semakin luntur dalam hal fungsi dan tugasnya. Keadaan ini dikarenakan adanya modernisasi kelembagaan ataupun akibat akulturasi budaya dengan kelompok masyarakat lainnya di luar sistem masyarakat Nimboran/kemtuk Gresi. Pada kondisi sekarang, hanyalah peran dan fungsi Iram/Dequina yang masih berfungsi namun hanya sekedar pengakuan status sebagai pemimpin dalam suatu kelompok masyarakat. Pengambilan keputusan dalam pembangunan masyarakat lebih banyak dipegang oleh aparat-aparat desa sebagai pemimpin pemerintahan. Khusus untuk masalah-masalah yang menyangkut adat seperti tanah biasanya keterlibatan Iram/Dequina masih dibutuhkan dimana bersama-sama dengan kepala kampung dalam mengambil keputusan. Pola kepemimpinan formal melibatkan pemimpin-pemimpin pemerintahan antara lain kepala kampung, ketua RT dan ketua RW. Kampung beserta aparat inilah yang mengatur kegiatan-kegiatan administrasi, maupun pembangunan di kampung, seperti pengaturan kelompok tani, pengaturan administrasi desa dan pembenahan keamanan.
Pemimpin-pemimpin formal lebih banyak berperan dibandingkan
pemimpin in formal.
108 Pola kepemimpinan yang ketiga merupakan gabungan antara pola formal dan in formal yang dikenal sebagai Dewan Adat. Dewan Adat di wilayah penelitian terbagi dalam dua kelompok yaitu Dewan Adat untuk masyarakat Nimboran/Nimbokrang dan Dewan adat untuk masyarakat Kemtuk/Kemtuk Gresi. Fungsi dewan adat sebagai lembaga adat yang menampung
semua aspirasi-aspirasi Iram/dequina yang
membawahi aspirasi kelompok-kelompok kecil masyarakatnya dalam kegiatan pembangunan. Artinya bahwa fungsi dan tugas dewan adat lebih ditekankan kepada hubungan antara permasalahan-permasalahan adat dan permasalahan pemerintahan. Salah satu permasalahan yang ditangani dewan adat menyangkut pemalangan tanahtanah adat yang menjadi lokasi fasilitas-fasilitas pemerintahan maupun sarana prasarana umum. Contohnya irigasi, demikian pula dengan permasalahan politik menyangkut dukungan masyarakat adat terhadap kepemimpinan formal seseorang. 4.5.4. Pola Penguasaan dan Pengusahaan Tanah Di dalam hukum negara dikenal adanya pengertian tanah negara, tanah hak milik, dan tanah ulayat. Tanah negara adalah tanah yang pengaturan sepenuhnya dikuasai negara. Tanah milik adalah tanah yang secara hukum negara menjadi milik pribadi seseorang. Tanah ulayat adalah tanah yang kepemilikannya diatur menurut ketentuan adat setempat. Sistem kepemilikan tanah di Papua selain mengikuti peraturan pemerintah juga mengikuti Hukum Adat. Menurut Hukum Adat, tanah dan isinya dikuasai, dimiliki, dan diatur oleh adat setempat.
Kawasan agropolitan “Grime-Sekori” merupakan hak
ulayat dari rumpun besar Masyarakat Mamberamo Tami (Mamta). Oleh karena itu untuk penggunaan tanah di kawasan diatur oleh “ondoafi” dan atau kelompok masyarakat yang lebih kecil yaitu klan. Lahan usaha pada masyarakat asli Papua adalah bersifat individu. Namun sebelum beralih menjadi milik individu, status tanah yang dimiliki oleh petani asli Papua merupakan milik komunal artinya dikuasai oleh marga/fam. Selanjutnya tanah-tanah tersebut akan diwariskan kepada setiap anak laki-laki dari setiap marga/fam , sehingga status tanah menjadi milik individu.
Tanah-tanah yang dimiliki oleh setiap kepala
keluarga, akan diwariskan lagi kepada anak laki-laki mereka dan selanjutnya tanah tersebut akan berubah status menjadi milik anak mereka, begitu seterusnya hingga sekarang. Masyarakat di wilayah penelitian mengusahakan usahatani dalam sebidang lahan yang berkisar antara 2 – 5 hektar.
Kepemilikan tanah atas lahan yang
diusahakan merupakan kepemilikan yang bersifat individu, yakni setiap orang dari anggota keluarga memiliki sebidang tanah yang akan diusahakan.
109 Berdasarkan adat istiadat, hak atas tanah yang akan diusahakan untuk berbagai kegiatan usahatani bersifat komunal. Artinya bahwa sebidang tanah dikuasai oleh kelompok marga/fam masing-masing yang bermukim dalam suatu wilayah. Selanjutnya dari kepemilikan komunal tersebut akan diwariskan/diturunkan
kepada
seluruh anggota keluarga yang berjenis kelamin laki-laki sebagai hak milik secara individu.
Dengan demikian sistem kepemilikan tanah di wilayah penelitian adalah
bersifat individu. Setiap laki-laki secara adat diwajibkan untuk mengusahakan lahan miliknya untuk dapat menghasilkan makanan yang diperuntukkan bagi keluarganya. Laki-laki dipandang sebagai generasi penerus keluarga yang dapat mempertahankan atau meneruskan marga/fam. Oleh karenanya hak milik tanah menjadi hak laki-laki sebagai penerus marga/fam yang mana tanah akan diusahakan akan menjadi hak milik secara turun temurun dari generasi ke generasi berikutnya dari suatu garis keturunan laki-laki tersebut.
Sedangkan perempuan dipandang sebagai istri yang bertugas untuk
melayani suami, oleh karenanya hak milik tanah tidak diberikan kepada perempuan tetapi perempuan hanya diberi hak pakai dan hak mendapatkan manfaat atas hasilhasil yang di dapatkan dari pengusahaan tanah. Hal ini berhubungan dengan sistem perkawinan yang dianut dimana apabila seorang perempuan menikah maka ia akan mengikuti suaminya (patrilokal) dan keturunan yang diperoleh merupakan garis keturunan marga/fam suaminya (patrilinial). Pengalihan hak milik atas tanah pada masa dahulu telah terjadi, seperti diindikasikan oleh adanya beberapa luasan tanah yang dibeli oleh pendatang seperti suku-suku Sulawesi, untuk bangunan-bangunan rumah. Pada masa kini pengalihan hak milik tanah berupa kegiatan pembelian tanah sangat jarang dilakukan. Keadaan ini diduga karena luasan tanah yang dimiliki setiap individu semakin menurun sesuai adanya pertambahan jumlah jiwa di dalam setiap keluarga yang berhak menerima hak milik atas tanah. Disamping itu adanya pengalihan hak milik tanah untuk pembangunan sarana prasarana umum. Dilain sisi diduga pula, bahwa masyarakat telah memahami bahwa wilayah tempat tingganya sebagai suatu wilayah strategis untuk pembangunan sehingga tanah sebagai wilayah permukiman dan areal usahataninya akan memberikan kemudahan berusaha di kemudian hari. Pengalihan hak milik atas tanah untuk berbagai kegiatan pembangunan dilaksanakan melalui tiga bentuk yaitu (1) pengalihan hak milik tanah khusus untuk pembangunan-pembangunan
sarana prasarana umum, (2) pengalihan hak pakai
sementara sebagai hak kontrak, dan (3) pengalihan hak pakai kontrak.
tanpa adanya hak
110 Pengalihan hak milik tanah dari pemilik kepada orang lain (pemerintah) dalam suatu transaksi jual beli dapat dilakukan selama tanah yang akan dijual diperuntukkan untuk gedung sekolah, gereja, jalan raya, gedung-gedung pemerintahan. Pada kondisi ini harus dilakukan transaksi jual beli antara pemilik tanah dengan pihak pembeli (pemerintah) sesuai dengan luasan tanah. Berdasarkan penelitian diperoleh informasi bahwa senantiasa terjadi pemalangan tanah pada tanah-tanah lokasi sarana prasarana umum seperti kantor-kantor pemerintahan maupun saluran irigasi. Hal ini dikarenakan pemilik tanah tidak memiliki surat tanda sertifikat yang jelas tentang kepemilikan tanah, sehingga banyak ditemui adanya pengakuan dari beberapa orang yang mengkukuhkan dirinya sebagai pemilik tanah. Pengalihan hak pakai atas tanah dalam bentuk kontrak maupun tidak kontrak dapat terjadi dimana pengontrak tanah hanya menggunakan tanah dalam kurun waktu tertentu dan selanjutnya tanah akan diserahkan kembali kepada pemiliknya. Pengontrakkan tanah biasanya dilakukan oleh kelompok-kelompok usaha yang ingin berusaha di wilayah penelitian. Namun berdasarkan hasil wawancara tipe pengalihan tanah seperti ini sangat sedikit. 4.6.
Sarana dan Prasarana Sosial Ekonomi dan Budaya Sarana dan prasarana dibedakan menjadi sarana dan prasarana umum atau
infrastruktur, sarana dan prasarana kesejahteraan sosial, sarana dan prasarana ekonomi. 4.6.1. Sarana dan Prasarana Umum/Infrastruktur 1. Transportasi Transportasi darat merupakan satu-satunya sarana transportasi yang dapat menghubungkan kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura dengan Sentani sebagai Ibu Kota Kabupaten Jayapura maupun Kotamadya Jayapura.
Sentani merupakan
lokasi pelabuhan udara yang menghubungkan Kabupaten Jayapura dengan dunia luar, disamping sebagai Ibu Kota Kabupaten Jayapura. Kotamadya Jayapura merupakan lokasi pelabuhan laut yang selama ini berfungsi sebagai
pelabuhan ekspor-impor
berbagai output dan input pembangunan Kotamadya dan Kabupaten Jayapura. Prasarana dan sarana transportasi darat yakni jalan dan jembatan di Wilayah Distrik Nimboran dan Nimbokrang serta Distrik Kemtuk dan Distrik Kemtuk Gresi yang telah ditetapkan sebagai kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura telah dibangun secara bertahap sejak pertengahan abad 20 hingga sekarang. Pembangunan jalan dan jembatan selama periode tersebut telah menempatkan kampung-kampung di kawasan agropolitan menjadi lintasan jaringan jalan darat. Panjang jalan poros yang
111 menghubungkan pusat Kota Sentani dengan pusat-pusat kota distrik di kawasan agropolitan berbeda-beda. Masing-masing dengan Distrik Kemtuk 31,7 km, dengan Distrik Kemtuk Gresi 55,2 km, dengan Distrik Nimboran 55,7 km dan dengan Distrik Kemtuk Gresi 60,6 km. Konstruksi bangunan jalan poros ini adalah batu dan pasir berlapis aspal di permukaannya. Kondisi jalan ini sekarang, sebagian berada dalam keadaan baik yakni mulai dari Sentani melintasi Distrik Kemtuk hingga sebagian dari Kemtuk Gresi, dan sebagian kecil dari jalan yang melintasi Distrik Nimbokrang. Sebagian lainnya berada dalam kondisi yang rusak, mulai dari rusak ringan sampai dengan setempat-setempat rusak berat. Bagian jalan yang berada dalam kondisi baik terletak pada bagian tanah kering dengan drainase baik di Distrik Kemtuk dan Kemtuk Gresi serta Distrik Nimbokrang.
Sebaliknya, bagian jaringan jalan yang berada dalam kondisi rusak
terletak pada bagian tanah basah dengan drainase buruk di Distrik Nimboran dan sebagian dari Distrik Nimbokrang. Jalan lain yakni jalan lorong yang menghubungkan jalan poros dengan pusatpusat pemukiman kampung.
Konstruksi jalan ini sebagian besar adalah jalan
pengerasan yang menggunakan batu kerikil dan pasir. Bagian kecil dari jaringan jalan ini masih merupakan tanah yang diberi batas dan dilengkapi parit drainase. Sekarang ini telah dirintis pula 2 bagian jalan poros alternatif ke luar kawasan agropolitan. Alternatif pertama, dari kawasan padang alang-alang “Bonggrang” memasuki Kota Sentani melalui Doyo Lama. Alternatif kedua, masih dalam tahap tanpa pengerasan dari Pusat Kota Distrik Kemtuk memasuki Kotamadya Jayapura melalui Kampung Puai dan Yoka. Konstruksi kedua bagian jalan poros alternatif masih berupa jalan tanah yang dilengkapi parit drainase secukupnya.
Bagian jalan poros alternatif pertama pada
umumnya terletak di atas tanah kering dengan drainase yang baik. Sebaliknya bagian jalan poros alternatif kedua umumnya terletak di atas tanah basah disamping melintasi lembah-lembah kecil dan sungai-sungai kecil yang memerlukan jembatan.
2. Pos dan Telekomunikasi Di kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura telah terdapat Kantor Pos dan Giro di Genyem, Distrik Nimboran. Statusnya adalah sebagai Kantor Pos dan Giro Pembantu Kantor Cabang Kabupaten Jayapura. Kantor Pos dan Giro ini merupakan sarana vital yang melayani arus pengiriman dan penerimaan surat dan paket. Prasarana dan sarana telekomunikasi juga telah terdapat di kawasan agropolitan yakni Kantor Daerah Telekomunikasi Cabang Nimboran di Genyem. Selengkapnya sebaran prasana dan sarana telekomunikasi di kawasan agropolitan disajikan pada Tabel 25.
112 Tabel 25.
No. 1. 2. 3. 4.
Sebaran prasarana dan sarana telekomunikasi di kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura. Jumlah Stasiun Jumlah Sambungan Jumlah Wartel/ Distrik Pemancar TVRI Telepon Telepon Satelit (Unit) (Unit) (Unit) Nimboran 1 25 2 Nimbokrang 9 2 Kemtuk Kemtuk Gresi 3 1 Jumlah 1 37 5
Sumber : BPS Kabupaten Jayapura
Prasarana dan sarana telekomunikasi yang ada sekarang telah memberi harapan keterbukaan kawasan agropolitas dengan dunia luar. Namun prasarana dan sarana telekomunikasi yang telah ada masih tergolong langka dan belum merata antar kampung. Sambungan telepon otomat, jumlahnya terbatas yakni 37 unit dan masih terkonsentrasi di Distrik Nimboran dan Nimbokrang saja. Wartel juga masih terbatas jumlahnya dan bahkan belum terdapat di Distrik Kemtuk.
3. Listrik Sumber listrik untuk melayani kebutuhan masyarakat umum di kawasan agropolitan diperoleh dari tenaga diesel milik Perusahaan Listrik Negara (PLN) di Genyem Distrik Nimboran.
Konsumen produksi listrik ini tersebar di kawasan
agropolitan yang mencakup Distrik Nimboran, Distrik Nimbokrang, Distrik Kemtuk, dan Distrik Kemtuk Gresi.
Selengkapnya prasarana dan sarana listrik di kawasan
agropolitan disajikan pada Tabel 26. Panjang jaringan ini telah mengalami peningkatan sebesar 40, 20 persen dibandingkan panjang jaringan pada tahun 2000. Tabel 26.
No. 1.
2.
3. 4.
Keadaan prasarana dan sarana listrik di kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura. Uraian
Banyaknya KVA 1.1. Langganan 1.2. Terpasang Produksi Listrik (KWH) 2.1. Dibangkitkan 2.2. Terjual Jumlah Gardu Panjang Jaringan (Km) 4.1. Tegangan menengah 4.2. Tegangan rendah
Jumlah Satuan 1 529 1 180 870 2 983 258 1 244 210 21 34,21 20,23
113 4. Air Bersih Air bersih untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga penduduk kawasan agropolitan pada umumnya diperoleh dari sumur. Hal ini dimungkinkan kondisi tanah dan iklim yang memungkinkan pembuatan sumur air bersih dengan debit yang memadai sepanjang tahun. Selain itu ada pula penduduk yang memperoleh air bersih dengan cara memanfaatkan air sumber (mata air). Rumahtangga penduduk yang memanfaatkan air sumber ini terbatas pada beberapa kampung yang berhasil diidentifikasi selama studi lapangan yakni Kampung Merem di Distrik Kemtuk Gresi, Kampung Sermai Atas di Distrik Nimboran, dan Kampung Berap di Distrik Nimbokrang. Ketiga kampung ini terletak pada bagian kawasan agropolitan yang letaknya lebih tinggi di atas permukaan air laut dibandingkan kampung-kampung lainnya. Kondisi fisik air sumber tampak jernih, dan debitnya cukup besar serta cenderung stabil sepanjang tahun berdasarkan pengalaman penduduk setempat. Hal itu terbukti dari pemanfaatan air sumber ini untuk budidaya ikan kolam disamping sebagai sumber air barsih bagi penduduk setempat. 4.6.2. Prasarana dan Sarana Kesejahteraan Sosial 1. Kesehatan Prasarana dan sarana kesehatan yang telah terdapat di kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura adalah Puskesmas dan Puskesmas Pembantu. Sebarannya berdasarkan distrik disajikan pada Tabel 27. Tabel 27.
Sebaran jumlah Puskesmas dan Puskesmas Pembantu di kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura.
No.
Distrik
1. 2. 3. 4.
Jumlah PUSKESMAS (Unit)
Jumlah PUSKESMAS PEMBANTU (Unit)
Jumlah (Unit)
1 1 1 1 4
6 3 1 4 14
7 4 2 5 18
Nimboran Nimbokrang Kemtuk Kemtuk Gresi Jumlah
Di lihat dari lokasi bangunan, ternyata prasarana dan sarana kesehatan ini tidak tersebar merata pada setiap distrik.
Pemusatan prasarana dan sarana
di Distrik
Nimboran dan Distrik Kemtuk Gresi tampaknya berkaitan erat dengan statusnya sebagai distrik induk pemekaran.
Berdasarkan statusnya sebagai distrik induk
pemekaran, kedua distrik ini telah menjadi target lokasi pembangunan fisik selama
114 periode sebelumnya dengan fokus lokasi di pusat kota distrik dan kampung-kampung yang terdekat dengan pusat kota distrik. Artinya pembangunan prasarana dan sarana kesehatan di kampung-kampung yang letaknya jauh dari pusat distrik cenderung terabaikan selama periode sebelumnya.
Kampung-kampung ini yang sekarang
dihimpun membentuk distrik tersendiri sebagai distrik hasil pemekaran dengan prasarana dan sarana kesehatan yang langka.
2. Pendidikan Pendidikan formal yang telah diselenggarakan di kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura telah mencakup semua jenjang pendidikan, kecuali jenjang pendidikan tinggi. Jumlah Sekolah Dasar yang tertinggi merupakan salah satu ujud upaya nyata pemerintah untuk memperkecil populasi penduduk usia sekolah dasar yang buta huruf.
Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) juga cukup banyak,
konsisten dengan program pemerintah dibidang pendidikan formal yakni program pendidikan dasar 9 tahun yang diperkenalkan sejak awal Pelita VI. Selengkapnya sebaran jumlah prasarana dan sarana pendidikan berdasarkan jenjang pendidikan di kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura disajikan pada Tabel 28. Tabel 28. No.
Sebaran jumlah prasarana dan sarana pendidikan di kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura. Jumlah Prasarana/Sarana Pendidikan Distrik TK SD SLTP SMU SMK
1.
Nimboran
1
10
4
1
-
2.
Nimbokrang
1
9
1
1
1
3.
Kemtuk
1
5
1
-
-
4.
Kemtuk Gresi
1
7
1
-
-
Jumlah
4
31
7
2
1
3. Prasarana dan Sarana Ibadah Prasarana dan sarana ibadah yang diamati difokuskan pada bangunan gedunggedung tempat ibadah menurut agama dan kepercayaan penduduk setempat. Prasarana dan sarana ibadah tersebar sesuai agama yang dianut penduduk pada setiap distrik.
Data ini juga memberi gambaran tentang heterogenitas penduduk
ditinjau dari aspek agama di kawasan agropolitan. Selengkapnya sebaran jumlah prasarana dan sarana ibadah di kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura disajikan pada Tabel 29.
115 Tabel 29. Sebaran jumlah prasarana dan sarana ibadah berdasarkan distrik di kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura. No.
Distrik
Gereja (Unit)
Mesjid
Musollah
Pura/Wihara
(Unit)
(Unit)
Protestan
Katolik
(Unit)
1.
Nimboran
2
3
20
-
1
2.
Nimbokrang
3
17
18
3
-
3.
Kemtuk
-
-
16
-
-
4.
Kemtuk Gresi
6
5
17
-
-
Jumlah
11
25
71
3
1
4.6.3. Sarana dan Prasarana Ekonomi 1. Pasar Setiap distrik di kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura telah memiliki bangunan gedung pasar.
Fungsi pasar ini sebagaimana layaknya adalah sebagai
prasarana fisik yang memungkinkan bertemunya produsen langsung dengan konsumen akhir produksi pertanian, atau bertemunya produsen dengan konsumen akhir melalui pedagang perantara. Pemanfaatan pasar di kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura ternyata masih belum intensif sebagaimana yang diharapkan. Walaupun demikian jika dibandingkan antar distrik ternyata pemanfaatan pasar di Distrik Nimboran yang dikenal dengan nama Pasar Genyem lebih intensif dibandingkan tiga distrik lainnya. Sebaran jumlah pasar di kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura disajikan pada Tabel 30. Tabel 30.
Sebaran jumlah pasar di kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura tahun 2003.
No.
Distrik
Jumlah (Unit)
1.
Nimboran
2
2.
Nimbokrang
1
3.
Kemtuk
1
4.
Kemtuk Gresi
1
J u m l a h
5
2. Koperasi Unit Desa dan Kios Sarana Produksi KUD di kawasan agropolitan sebelumnya telah tumbuh dan berkembang di kalangan warga tani tanaman pangan terutama padi dan palawija. Fungsi utama KUD sebagaimana umumnya adalah sebagai sarana bagi warga tani utuk mendapatkan kredit usahatani (KUT), pemasok SAPROTAN ke kampung, penampung hasil produksi
116 pertanian, dan pemasok 9 bahan pokok kebutuhan rumahtangga petani setempat. Aktivitas KUD menjalankan fungsinya sekarang tampak lesu, dan bahkan terdapat KUD yang dilaporkan oleh anggotanya telah mengalami kemacetan.
Faktor yang
menjadi penyebab macetnya KUD ini sebenarnya belum diketahui secara pasti, tetapi menurut pengurus KUD yang berhasil ditemui adalah karena telah terhentinya KUT yang disalurkan oleh pemerintah, dan rendahnya partisipasi anggota. Kios SAPROTAN seperti halnya KUD telah terdapat di setiap distrik, walaupun jumlahnya masih terbatas. Namun ditinjau dari aktivitasnya sebagai salah satu unit usaha ekonomi, tampak lebih intensif dibandingkan KUD. Artinya, kios SAPROTAN menunjukkan kecenderungan lebih maju pada saat sekarang. Sebaran jumlah koperasi unit desa (KUD) dan kios sarana produksi pertanian (SAPROTAN) berdasarkan distrik di kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura disajikan pada Gambar 24.
Gambar 24.
Sebaran jumlah KUD dan kios SAPROTAN berdasarkan distrik di kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura tahun 2003.
117
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
Sektor pertanian yang terdiri dari sub sektor tanaman pangan, sub sektor hortikultura, perkebunan, sub sektor peternakan dan perikanan merupakan sektor yang dominan dibandingkan dengan sektor lain, dan mampu menjadi penyangga dalam meningkatkan struktur perekonomian di Kabupaten Jayapura, sehingga
perannya
sangat
penting
untuk
dapat
meningkatkan
tingkat
kesejahteraan masyarakat. Peran sektor pertanian ini harus mampu menunjang PAD, terjadinya penyerapan tenaga kerja dan dapat memacu pertumbuhan ekonomi masyarakat melalui komoditas lokal yang ada, dan diharapkan dapat berdampak pada supply dan atau demand dengan tujuan dapat meningkatkan kesejahteraan keluarga petani-peternak dan nelayan. Namun tampaknya tidak semudah yang kita lihat sesuai dengan kondisi lapangan, tetapi harus ada pola perubahan paradigma pembangunan pada berbagai tataran. Salah satu contohnya bahwa keberhasilan ketahanan pangan nasional dapat dicapai tidak melalui pendekatan terpusat secara nasional melalui Departemen Pertanian semata, tetapi perlu diubah pola pikir bahwa ketahanan pangan tercapai jika dilakukan di tingkat keluarga, komunitas, dan daerah-daerah. Wilayah studi terdiri atas empat distrik, yaitu Distrik Kemtuk Gresi, Kemtuk, Nimbokrang, dan Nimboran. Setiap distrik mempunyai potensi untuk pengembangan beberapa komoditas peternakan, sehingga dapat menjadi basis bagi pengembangan komoditas peternakan tersebut. Untuk mengetahui komoditas peternakan unggulan apa yang tepat diusahakan dan dikembangkan di Kabupaten stakeholder
Jayapura
dan
pakar
dilakukan dengan
analisa
berdasarkan
menggunakan
Metode
pada pendapat Perbandingan
Eksponensial (MPE).
5.1. Penentuan Komoditas Unggulan Peternakan di Kabupaten Jayapura Dari hasil perhitungan MPE diketahui komoditas unggulan agribisnis peternakan Kabupaten Jayapura yang menjadi peringkat pertama adalah sapi potong dengan
skor nilai 11,36; kedua ternak babi dengan skor nilai 11,24;
ketiga ternak ayam buras dengan skor nilai 11,20; ayam ras pedaging dengan skor nilai 11,17; kelima ayam ras petelur dengan skor nilai 11,13 dan keenam adalah kambing dan itik yang memiliki skor nilai sama yaitu 11,10. Peringkat di
118 atas menunjukkan komoditas unggulan yang mempunyai prospek terbesar untuk dikembangkan dan potensial menghasilkan pendapatan bagi masyarakat peternak di Kabupaten Jayapura. Tabel 31.
Hasil perhitungan
penentuan
komoditas
unggulan
agribisnis
peternakan Kabupaten Jayapura dengan metode perbandingan eksponensial (MPE). Nilai Kriteria Faktor-Faktor Strategis
Skor dan
Komoditi a
b
c
d
e
f
g
h
i
j
Peringkat
4
3
3
4
3
4
3
3
4
4
11,36
I
3
3
3
3
3
4
3
3
3
4
11,24
II
3
3
3
3
2
3
3
2
3
3
11,10
VI
(4)
3
3
3
3
3
4
3
3
3
3
11,20
III
(5)
3
3
3
3
3
4
3
2
3
3
11,17
IV
3
3
3
3
2
4
3
2
3
3
11,13
V
3
3
3
3
2
3
3
2
3
3
11,10
VI
0.12
0.09
0.10
0.11
0.09
0.09
0.10
0.08
0.12
0.11
(1) (2) (3)
(6) (7) Bobot Kriteria
Keterangan : (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
= Sapi potong = Babi = Kambing = Ayam Buras = Ayam Ras Pedaging = Ayam Ras Petelur = Itik
Pemeliharaan ternak sapi sebagai ternak dengan peringkat tertinggi merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam sistem usaha tani. Selama ini, ternak sapi merupakan sumber pendapatan bagi petani sekaligus sebagai tabungan yang dapat digunakan jika diperlukan.
Dalam rangka mewujudkan
swasembada daging di Kabupaten Jayapura, usaha peternakan sapi potong lebih dominan dilakukan dan mendapat perhatian khusus dari pemerintah daerah.
119 Komoditas kedua adalah ternak babi. Ternak babi merupakan salah satu ternak yang menguntungkan dikarenakan (1) induk babi melahirkan anak yang banyak, yakni berkisar antara 7 – 14 ekor pada setiap kelahiran, (2) pertumbuhannya sangat cepat, (3) merupakan ternak yang paling efisien dalam pengolahan makanan menjadi daging. Pemeliharaan ternak babi sudah merupakan tradisi masyarakat papua pada umumnya dengan cara pemeliharaan yang masih tradisional dan menggunakan babi lokal. Untuk mendapatkan bibit yang unggul (babi ras) masih sulit karena harus didatangkan dari luar daerah seperti dari daerah Batam dan Manado. Komoditas unggulan ketiga adalah ternak ayarn buras. Usaha ayam buras yang dilakukan masih bersifat sambilan untuk menambah penghasilan keluarga.
Hal ini dikarenakan sulitnya mendapatkan bibit ayam buras dalam
jumlah yang besar dan pemeliharaan yang masih dilakukan secara ekstensif. Meskipun demikian ternak ayam buras tetap mempunyai peluang yang besar untuk diusahakan mengingat permintaan pasar yang tinggi karena sebagian masyarakat menganggap daging dan telur ayam buras lebih enak. Di samping itu Pemeliharaan ayam buras tidak membutuhkan manajemen dan keterampilan khusus serta modal yang besar. Komoditas keempat adalah ayam ras pedaging. Pemeliharaan ayam ras pedaging di Kabupaten Jayapura dimaksudkan untuk dapat memenuhi kebutuhan konsumsi daging asal ternak. Hal ini disebabkan karena pemeliharaan ayam ras pedaging relatif singkat dan juga dapat dilakukan dengan populasi yang kecil serta perputaran modal lebih cepat. Komoditas kelima adalah ternak ayam ras petelur. Pemeliharaan ayam ras petelur lebih membutuhkan manajemen dan ketrampilan khusus. Disamping itu, pemeliharaan ayam petelur membutuhkan modal yang lebih besar dan waktu yang lebih lama untuk mendapatkan hasil. Meskipun masih kurang populer, ayam ras petelur mempunyai peluang yang besar untuk diusahakan mengingat tingginya permintaan pasar. Komoditas keenam adalah ternak kambing dan itik karena kedua komoditi ini mendapat
skor nilai yang sama. Ada beberapa alasan yang membuat
kambing dan itik masih sedikit dibudidayakan, yaitu sulitnya mendapatkan bibit unggul dan ditinjau dari segi pemasaran daging ternak itik belum banyak disukai oleh konsumen, di lain pihak musiman.
ternak kambing pemasaran masih bersifat
120 Kriteria faktor-faktor yang berpengaruh dan bobot penilaian dalam pengembangan peternakan Berdasarkan hasil kajian pustaka dalam pengembangan komoditas agribisnis peternakan serta pendapat dari responden, teridentifikasi 10 kriteria faktor-faktor strategis yang berpengaruh. Kriteria tersebut yaitu : (a) potensi pasar, (b) SDM peternak, (c) kondisi sosial budaya, (d) jumlah/populasi ternak, (e) ketersediaan modal, (f) sarana dan prasarana transportasi pendukung, (g) ketersediaan
sarana
produksi,
(h)
penggunaan
teknologi,
(i)
kebijakan
pemerintah, (j) ketersediaan lahan. Untuk mengetahui tingkat kepentingan kriteria faktor-faktor strategis yang berpengaruh tersebut, dilakukan pembobotan dengan menggunakan metode paired comparison. Hasilnya dapat dilihat pada Tabel 32. Tabel 32.
Nilai rata-rata tujuh responden perhitungan bobot kriteria agribisnis komoditas unggulan peternakan Kabupaten Jayapura.
Kriteria A B C D E F G H I J Jumlah
R1
Bobot kriteria 7 (tujuh) responden R2 R3 R4 R5 R6
R7
Jumlah
Bobot kriteria akhir
0,111
0,100
0,144
0,089
0,122
0,133
0,133
0,832
0,119
0,078
0,022
0,133
0,100
0,144
0,067
0,078
0,622
0,089
0,111
0,089
0,089
0,122
0,089
0,100
0,089
0,689
0,098
0,167
0,056
0,133
0,089
0,111
0,111
0,100
0,767
0,110
0,100
0,111
0,033
0,089
0,056
0,111
0,111
0,611
0,087
0,100
0,011
0,133
0,078
0,133
0,089
0,056
0,600
0,086
0,056
0,167
0,089
0,078
0,089
0,111
0,100
0,690
0,099
0,044
0,167
0,056
0,144
0,056
0,033
0,078
0,578
0,083
0,189
0,122
0,078
0,111
0,078
0,111
0,156
0,845
0,121
0,044
0,156
0,111
0,100
0,122
0,133
0,100
0,766
0,109
1,000
1,000
1,000
1,000
1,000
1,000
1,000
7,000
1,00
121 Keterangan : a. b. c. d. e. f. g. h. i. j.
= Potensi Pasar = SDM Peternak = Kondisi Sosial Budaya = Jumlah/Populasi Ternak = Ketersediaan Modal = Sarana dan Prasarana Transportasi Pendukung = Ketersediaan Sarana Produksi = Penggunaan Teknologi = Kebijakan Pemerintah = Ketersediaan Lahan
Dari Tabel 32 diketahui bahwa dari 10 kriteria faktor-faktor strategis, terdapat faktor-faktor strategis yang sangat berpengaruh dalam pengembangan peternakan di Kabupaten Jayapura yaitu kebijakan pemerintah, potensi pasar, jumlah/populasi ternak, ketersediaan lahan dan ketersediaan sarana produksi. Kebijakan pemerintah adalah faktor yang paling penting dengan nilai bobot 0,121. Pengembangan Agribisnis komoditas unggulan peternakan membutuhkan kebijakan khusus pemerintah, karena hampir semua faktor dalam sistem pengembangan usaha mikro hanya dapat berfungsi dengan baik apabila pemerintah (pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, Pemerintah Provinsi Papua, dan pemerintah pusat) memainkan peran yang selayaknya. Oleh karena itu penting bagi Pemerintah Kabupaten Jayapura untuk melakukan studi yang mendalam untuk menetapkan arah, tujuan, strategi dari kebijakan pengembangan usaha mikro di Kabupaten Jayapura. Kebijakan itu harus tercermin dalam anggaran yang memadai dan dilaksanakan oleh mereka yang berintegritas tinggi, profesional, dan memahami dengan baik kebutuhan pasar serta perilaku sosial-ekonomi para pelaku ekonomi mikro dalam berproduksi. Sebagai bagian dari kebijakan tersebut, pemerintah perlu melakukan intervensi-intervensi tertentu. Intervensi diartikan sebagai suatu tindakan terprogram dan terukur yang dilaksanakan secara sengaja oleh pemerintah kabupaten atas dasar studi yang mendalam untuk mempercepat keterlibatan dan kemandirian para pelaku usaha peternakan dalam kegiatan ekonomi sehingga manfaat-manfaat ekonomi dan sosial akan mereka peroleh secara lebih cepat dan berkesinambungan. Intervensi pemerintah banyak ragamnya, misalnya berbentuk pembangunan infrastruktur, penyediaan pinjaman modal dengan bunga rendah, pembuatan peraturan yang melindungi dan memberdayakan pelaku usaha mikro, penyediaan tenaga pendamping penyuluh atau fasilitator, pemberian
subsidi
angkutan,
penyediaan
sarana
produksi
yang
diluar
122 kemampuan pelaku usaha agribisnis peternakan untuk mengusahakan sendiri (misalnya bibit), penyediaan pasar dan informasi pasar, dan sebagainya. Walaupun intervensi mendesak utuk dilakukan di Kabupaten Jayapura, ada satu prinsip penting yang harus dipegang erat oleh pemerintah kabupaten yaitu; intervensi tidak boleh menciptakan ketergantungan rakyat/pelaku usaha secara tidak sehat terhadap bantuan pemerintah. Penerapan prinsip kemandirian seperti ini jelas tidak mudah, karena ada kecenderungan pada kelompokkelompok masyarakat tertentu bahwa pemerintah berkewajiban untuk memenuhi berbagai kebutuhan masyarakat, walaupun masyarakat sebenarnya bisa melakukannya sendiri. Intervensi-intervensi yang dilakukan oleh pemerintah adalah perbaikan yang memberdayakan dan bukan perbaikan yang mematikan kreativitas, daya saing, dan kemandirian masyarakat. Faktor strategis kedua yang mempengaruhi pengembangan komoditas peternakan di Kabupayen Jayapura adalah potensi pasar dengan nilai bobot 0,119. Kriteria diatas berlaku untuk semua komoditas alternatif. Hal ini menunjukkan bahwa dengan adanya pasar sebagai wadah transaksi antara penjual dan pembeli akan menjamin tersalurnya hasil produksi peternakan dengan harga jual yang layak, sehingga peternak akan termotivasi untuk lebih giat mengelola usaha ternaknya. Faktor strategis ketiga yang mempengaruhi pengembangan komoditas peternakan di Kabupaten Jayapura adalah jumlah/ populasi ternak dengan nilai bobot 0,110. Untuk mewujudkan swasembada daging di Kabupaten Jayapura maka populasi ternak harus mendapat perhatian yang utama juga. Dalam pengembangan peternakan jumlah ternak yang dipelihara sangat menentukan keuntungan yang dapat diterima peternak. Jika pemeliharaan di bawah kapasitas ekonomis maka belum dapat memberikan tambahan penghasilan peternak secara nyata. Kriteria
keempat
yang
menentukan
komoditas
unggulan
adalah
ketersediaan lahan dengan nilai bobot 0,109. Dalam pengembangan ternak di suatu daerah, perlu diukur potensi sumberdaya yang tersedia. Sumberdaya tersebut salah satunya adalah ketersedian lahan. Daya dukung lahan terhadap ternak merupakan kemampuan
lahan untuk menampung sejumlah populasi
ternak secara optimal, yang sifatnya sangat spesifik antar agroekosistem. Potensi lahan juga untuk menghasilkan pakan terutama berupa hijauan yang
123 dapat mencukupi bagi kebutuhan sejumlah populasi ternak baik dalam bentuk segar maupun kering tanpa melalui pengolahan dan tambahan khusus.
5.2. Analisa Potensi Pengembangan Ternak Sapi Potong dan Karakteristik Peternak di Kabupaten Jayapura Analisa potensi pengembangan ternak sapi potong dan karakteristik peternak di Kabupaten Jayapura dilihat dari beberapa aspek, yakni: (1) tujuan pemeliharaan, (2) sistem pemeliharaan, (3) pengelolaan reproduksi, (4) penyakit dan penanganannya, (5) pertumbuhan alami (natural increase), (6) sistem tataniaga, (7) aspek ekonomi, (8) aspek sumberdaya alam, dan (9) infrastruktur dan kelembagaan, berbagai aspek ini sangat menentukan untuk pengembangan suatu usaha peternakan, sebagaimana diungkapkan oleh Hardjosubroto dan Astuti (1994) bahwa ada tujuh pedoman usaha (sapta usaha peternakan) yang harus dilakukan oleh peternak untuk memperoleh hasil yang baik yakni; (I) pemilihan bibit yang baik, (2) pencegahan dan pemberantasan penyakit, (3) penggunaan kandang yang memenuhi syarat, (4) pemberian pakan tambahan, (5) pengelolaan reproduksi, (6) penanganan pasca panen dan pemasaran, dan (7) manajemen usaha yang baik. 5.2.1. Tujuan pemeliharaan ternak Tujuan utama peternak di Kabupaten Jayapura dalam memelihara ternak adalah untuk menambah tingkat pendapatan keluarga, pendapatan yang diperoleh dapat digunakan sebagai tabungan bagi kebutuhan keluarga peternak. Tabungan ini kemudian dimanfaatkan guna memenuhi kebutuhan keluarga yang mendesak, berupa; kebutuhan pendidikan anak, kebutuhan membangun rumah, dan kebutuhan anggota keluarga yang menikah. Menurut Tawaf dkk, (1994), pada umumnya pemeliharaan ternak di Indonesia adalah sebagai usaha sambilan dan tabungan, yakni pada saat petani-peternak membutuhkan uang kontan, ternak yang dimilikinya dapat dijual. Hasil penelitian Tim Peneliti Program Studi Peternakan FAPERTA Uncen tahun 2003 menunjukkan bahwa tujuan utama pemeliharaan ternak sebesar 81,09 persen adalah sebagai tabungan dan pendapatan, dan sebagai sampingan adalah 18,91 persen.
124 5.2.2. Sistem pemeliharaan ternak Sistem pemeliharaan ternak sapi di Kabupaten Jayapura umumnya adalah pastural sistem dengan tipe manajemen ekstensif adalah sebesar 76,36 persen dan sistem intensif, semi intensif sebesar 23,64 persen (Gambar 25 ).
Sem i Intensif & Intensif, 23.64
Ekstensif, 76.36
Ekstensif Semi Intensif & Intensif
Gambar 25.
Sistem pemeliharaan ternak sapi potong di Kabupaten
Jayapura Sistem pemiliharaan yang dilakukan peternak menggambarkan pola pengelolaan usaha peternakan sapi potong yang cukup bervarpiasi dengan sistem ekstensif, intensif dan semi intensif. Hal ini turut mempengaruhi dalam pengembangan usaha yang dikelola peternak, karena peternak dengan sistem pemeliharaan ekstensif masih tergantung pada kondisi dan potensi sumberdaya alam sehingga dapat berdampak pada produksi dan mutu ternak. Sistem pemeliharaan secara ekstensif (76,36%), yakni ternak sapi digembalakan sepanjang hari (pagi sampai sore hari) pada padang penggembalaan alam, baik pada Iahan milik sendiri maupun pada lahan-lahan umum. Teknik yang dilakukan dalam sistem pemeliharaan ini adalah menggunakan pola ikat secara berpindahpindah, dan dilepaskan. Sapi dilepaskan sejak pagi sampai sore hari. Pada waktu sore hari sapi dimasukkan ke hutan atau lahan perkebunan untuk beristirahat di alam terbuka, hal ini mempersulit dalam pengontrolan, sehingga ternak mudah terserang penyakit, dan berbagai hal negatif lainnya bisa terjadi. Peternak yang memiliki kandang hanya sebagian kecil, yakni (23,64%) dengan manajemen pemeliharaan secara intesif dan atau semi intensif. Secara intensif, ternak sapi berada di dalam kandang sepanjang hari. pemberian makan berupa hijauan (rumput dan leguminosa) dan konsentrat diberikan oleh peternak.
125 Secara semi intensif ternak digembalakan atau dilepaskan pada pagi sampai siang hari di padang penggembalaan atau padang rumput maupun di lahan perkebunan untuk merumput, kemudian pada sore hari dimasukkan ke kadang Pada saat ternak digembalakan, semua proses makan berlangsung di padang penggembalaan dan dikontrol oleh peternak. 5.2.3. Kompetensi teknis berdasarkan sistem pemeliharaan secara intensif dan semi intensif Kompetensi teknis berdasarkan sistem pemeliharaan intensif, semi intensif dan ekstensif meliputi: (1) teknis pemberian pakan dan minum, (2) efisiensi waktu kerja dan tenaga kerja (3) perawatan ternak, (4) penanganan kesehatan ternak, (5) pengontrolan dan pengawasan ternak, (5) kemudahan dalam proses pemasaran, (6) proses penampungan kotoran ternak dan penggunaannya sebagai pupuk, (8) ancaman dari gangguan luar/keamanan ternak. Kompetensi teknis yang dijelaskan di bawah ini hanya terkait dengan sistem pemeliharaan, yakni berdasarkan sistem pemeliharaan intensif, semi intensif dan sistem ekstensif bagi peternak yang menggunakan dan tidak menggunakan kandang dalam sistem pengelolaan ternaknya. Untuk mengetahui lebih jelas sistem pemeliharaan dalam kaitannya dengan kompetensi teknis, maka rinciannya disajikan pada Tabel 33. Tabel 33. Kompetensi Teknis Berdasarkan Sistem Pemeliharaan Faktor-Faktor Sistem Pemeliharaan
Kompetensi Berdasarkan Sistem Pemeliharaan Intensif dan Semi Ekstensif Intensif Skor Kategori Skor Kategori
Teknis pemberian pakan dan minum Perawatan ternak Penanganan kesehatan ternak Pengontrolan dan Pengawasan ternak Efisiensi waktu kerja dan tenaga kerja Kemudahan dalam proses pemasaran Proses penampungan kotoran (pupuk) Ancaman dari gangguan luar (keamanan ternak)
4,8 4 3,2 4 4,8 4,2 4,8 3,8
Tinggi Tinggi Sedang Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi
4,6 1,8 2 1,8 3 3,4 2 2,4
Tinggi Rendah Rendah Rendah Sedang Rendah Rendah Rendah
Rata-rata
4,2
Tinggi
2,6
Sedang
Keterangan : 1-2,33 = Rendah, 2,34 – 3,67 = Sedang, > 3,67 = Tinggi
Kompetensi teknis dengan komponen teknis pemberian pakan dan minum memperlihatkan nilai rataan skor 4,8 dengan kategori tinggi, hal ini mengindikasikan bahwa peternak mampu mengatur waktu dengan baik dalam
126 proses pemberian makan bagi ternak. Secara intensif ternak diberikan makan berupa hijauan dua kali sehari, yakni pada pagi dan sore hari. Sistem pemeliharaan secara semi intensif pemberian makan di dalam kandang dilakukan satu kali sehari, yakni pada waktu sore hari, sedangkan pada waktu pagi hari ternak digembalakan untuk merumput dan digiring oleh peternak, sesudah itu dimasukkan ke kandang. Umumnya air minum disediakan oleh peternak sepanjang waktu. Pakan yang diberikan bagi ternak sapi berupa hijauan makanan ternak (HMT) terdiri dari rumput, leguminosa dan makanan penguat (konsentrat). Jenis rumput dan leguminosa yang diberikan bagi ternak disesuaikan ketersediaan rumput dan leguminosa yang tumbuh di wilayah tersebut. Umumnya peternak memberikan makanan penguat atau konsentrat hanya 1 -2 kali seminggu, konsentrat yang diberikan terdiri dari dedak, bungkil kelapa, ampas tahu ditambah dengan garam secukupnya dan pemberian jamu. Jenis rumput unggulan (rumput gajah) ditanam oleh peternak sekitar perkandangan maupun pada
lereng/pinggiran
lahan
perkebunan
hortikultura
karena
peternak
mengetahui rumput tersebut lebih berkualitas dari jenis rumput lainnya. Perawatan ternak diperoleh nilai rataan skor 4 berada pada kategori tinggi, hal ini mengindikasikan bahwa perawatan ternak baik. Perawatan ternak seperti memandikan ternak dilakukan setelah ternak selesai makan yakni pada waktu pagi hari. Penanganan kesehatan memperoleh nilai rataan skor 3,2 berada pada kategori sedang, hal ini mengindikasikan bahwa penanganan kesehatan ternak cukup. Namun, penanganan kesehatan berupa vaksinansi, pengobatan semuanya dilakukan di dalam kandang, hal ini menunjukkan bahwa ternak yang sakit secara mudah dapat ditangani oleh peternak. Pengontrolan dan pengawasan ternak mendapatkan nilai rataan skor 4 dengan kategori tinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa pengontrolan dan pengawasan ternak dapat dilakukan dengan baik oleh peternak. Pengontrolan dan pengwasan ini sangat memudahkan peternak, sebab seluruh aktifitas dikendalikan oleh peternak. Peternak dengan mudah dapat mengetahui ternak yang sakit, sehingga mempermudah dalam melakukan pengendalian kesehatan ternak. Efisiensi waktu kerja dan tenaga kerja diperoleh nilai rataan skor 4,8 berada pada kategori tinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa peternak sangat efisien dalam penghematan waktu bagi tenaga kerja. Rata-rata curahan waktu
127 kerja kurang lebih 6 jam sehari yang dihabiskan oleh peternak dalam mengelola ternaknya, sehingga peternak dapat mengatur waktu untuk mengelola usaha lainnya. Intensitas kerjanya lebih diarahkan untuk pengambilan hijauan, pemberian makan dan minum, perawatan, pembersihan kandang, pengontrolan ternak, dan penampungan kotoran ternak sebagai pupuk. Hal ini terlihat bahwa intensitas
kerjanya
lebih
tinggi
dan
membutuhkan
keterampilan
dalam
pengelolaan, namun peternak mampu untuk memanfaatkan waktu seefisien dalam mengelola ternaknya. Kemudahan dalam proses pemasaran mendapatkan nilai rataan skor 4,6 berada pada kategori tinggi, hal, ini mengindikasikan bahwa proses kemudahan untuk pemasaran produski lebih mudah, bila ternak berada di kandang. Pedagang yang datang ke lokasi peternak dengan mudah, cepat dapat melakukan negosiasi. Ternak dapat dijangkau secara cepat dan tidak sulit untuk diangkut ke pasar. Proses penampungan kotoran dan penggunaarmya sebagai pupuk dan dengan nilai rataan skor 4,8 berada pada kategori tinggi. Kotoran ternak yang digunakan sebagai pupuk ditampung pada bak penampung kotoran dan mudah dijangkau serta digunakan ataupun dijual. Acaman dari gangguan luar/keamanan ternak dengan nilai rataan skor 3,8 berada pada kategori tinggi. Sesuai dengan fungsi kandang untuk melindungi ternak dari terik matahari, angin, hujan, terhindar dari gangguan luarf mempermudah dalam proses pengelolaan, maka dengan sistem intensif dan semi intensif lebih menjamin terhindarnya ternak terhadap ancaman dari gangguan luar serta keamanan ternak. Penggunaan kandang sangat bermanfaat dalam melakukan pengontrolan dan pengendalian penyakit, pencegahan ternak yang kesehatannya terganggu lebih mudah dilakukan oleh peternak.
5.2.4.
Kompetensi teknis berdasarkan sistem pemeliharaan secara
ekstensif Dari seluruh komponen pada sistem ekstensif berada pada kategori rendah, kecuali kompetensi teknis pemberian pakan dan minum berada pada kategori tinggi, efesiensi waktu kerja dan tenaga kerja tergolong sedang, dan kemudahan dalarn proses pemasaran tergolong sedang (masing-masing dengan skor 4,6, 3 dan 3,4). Teknis pemberian pakan dan minum memperoleh nilai rataan skor 4,6 tergolong kategori tinggi. Teknis pemberian pakan dan minum bagi ternak membutuhkan waktu sangat panjang dari pagi sampai sore hari,
128 teknis yang dilakukan dalam sistem pemeliharaan ekstensif dibagi dalam dua pola, yakni: (1)
Pola ikat secara berpindah-pindah tempat
(2) Pola lepas Pola pertama, teknisnya adalah ternak diigiring oleh peternak ke lahan perkebunan yang terdapat potensi hijauan makanan ternak (HMT) atau pada padang penggembalaan kemudian ternak diikat untuk merumput, selang 1-2 jam ternak dipindahkan merumput pada areal lain, namun masih tetap pada lokasi padang penggembalaan yang sama. Kegiatan ini dilakukan secara rotasi untuk melihat areal mana yang banyak tumbuh hijauan, ada kalanya ternak diikat dari pagi sampai siang hari, kemudian dipindahkan lagi sampai sore hari. Teknis seperti ini cukup membutuhkan waktu yang lama, artinya peternak harus menunggu berjam-jam untuk memindahkan ternak agar dapat merumput pada areal yang kaya potensi rumput atau leguminosa. Kemudian untuk minum biasanya peternak menggiring ternaknya ke sungai atau pada sumber-sumber air yang berdekatan dengan lokasi penggembalaan. Setelah sore hari ternak digembalakan untuk beristirahat di hutan atau di biarkan saja beristirahat pada malam hari di lokasi pekarangan rumah. Curahan waktu kerja yang dibutuhkan oleh peternak kurang lebih 8 jam, namun waktu luang cukup besar dan terbuang begitu saja karena mencurahkan perhatian sepenuhnya bagi ternak dengan teknis seperti ini, sehingga kurang efisien.
Peternak
harus
menunggu
selama
berjam-jam
hanya
untuk
memindahkan ternak sambil mengontrolnya pada saat ternak merumput. Tetapi ada pula peternak yang hanya mengikat ternaknya secara berpindah-pindah 1-2 kali dan antara selang waktu ikat dapat digunakan untuk mengelola usaha lain, misalnya; mengelola kebun atau mengerjakan kegiatan usaha lainnya. Dengan cara seperti ini peternak tidak dapat mengontrol ternaknya pada waktu makan, karena konsentrasi kerjanya terbagi-bagi untuk mengerjakan beberapa pekerjaan sekaligus dalam sehari. Pola kedua ini ada terbagi dalam dua mekanisme, yakni: (1) ternak digembalakan oleh peternak, dan (2) ternak dilepas begitu saja untuk merumput sendiri. Mekanisme pertama, teknisnya adalah ternak digembalakan oleh peternak untuk merumput sambil diawasi oleh peternak. Mekanisme ini cukup membutuhkan waktu kerja lama dan peternak hanya berkonsentrasi untuk penggembalaan saja, seiring dengan waktu ternak beristirahat merumput pada
129 siang hari peternak juga beristirahat, kemudian dilanjutkan sampai sore hari. Mekanisme kedua, setelah ternak digembalakan pada lahan perkebunan atau areal padang rumput, kemudian ternak dilepaskan sendiri untuk merumput selama seharian, yakni dari pagi sampai sore hari tanpa kontrol atau pengawasan dari peternak. Pada pola pertama dan kedua pemberian makanan penguat atau konsentrat jarang diberikan bagi ternak sapi, bahkan tidak diberikan. Peternak hanya mengandalkan hijauan makanan ternak (HMT) berupa rumput dan leguminosa dalam pemberian makan. Efisiensi waktu kerja dan tenaga kerja memperlihatkan nilai rataan skor 3 berada pada kategori sedang. Waktu pemberian makan dengan pola ikat secara berpindah-pindah membutuhkan curahan waktu kerja yang lama, yakni berkisar antara 7-8 jam dan cukup menyita waktu kerja, karena peternak harus memindahkan ternak ke beberapa areal padang penggembalaan, misalnya pada lahan perkebunan kelapa, lapangan rumput umum atau dipinggir jalan. Selang waktu yang dibutuhkan kurang lebih 1-2 jam untuk memindahkan ternak sapi. Sedangkan pola lepas peternak membiarkan ternaknya merumput sendiri seharian di lokasi padang rumput, pada waktu sore hari ternak dimasukan ke hutan untuk istirahat. Dengan pola ini, kurang membutuhkan waktu kerja dan tenaga kerja sedikit, namun ternak tidak dikontrol oleh peternak dan bisa saja terjadi hal-hal yang negatif, misalnya ternak dapat merusak kebun orang. Perawatan ternak memperlihatkan nilai rataan skor 1,8 berada pada kategori rendah. Hal ini mengindikasikan bahwa perawatan bagi ternak kurang memadai, karena ternak dibiarkan pada padang penggembalaan seharian. Kemudian pada waktu sore hari ternak sudah berada di hutan untuk beristirahat pada malam hari. Penanganan kesehatan ternak memperlihatkan nilai rataan skor 2 berada pada kategori rendah. Ini berarti penanganan kesehatan ternak kurang dilakukan oleh peternak, bila terdapat ternak yang sakit barulah dilakukan pengobatan sedangkan kegiatan vaksinasi jarang dilakukan oleh peternak, pengontrolan terhadap ternak yang sakit tidak dilakukan. Pengontrolan dan pengawasan ternak memperlihatkan nilai rataan skor 1,8 berada pada kategori rendah. Hal ini menunjukkan bahwa pengontrolan dan pengawasan ternak kurang dilakukan oleh peternak, Hal ini sangat berakibat buruk bagi pengembangan usaha, kurangnya pengontrolan dan pengawasan memudahkan terjadi hal-hal yang negatif. Perlunya pengontrolan bagi ternak yang sakit, sehingga pengendalian atau pencegahan penyakit mudah dilakukan.
130 Karena lemahnya pengontrolan dapat menimbulkan beberapa hal, yakni: (I) sering ternak memakan dan merusak tanaman perkebunan milik orang lain, (2) kualitas hijauan (rumput) rendah, dan (3) mudah terserang penyakit. Kemudahan dalam proses pemasaran memperlihatkan nilai rataan skor 3,4 berada pada kategori sedang. Bila ternak akan dipasarkan prosesnya agak sulit karena ternaknya berada pada lokasi atau padang penggembalaan yang jauh dari jalan umum, sehingga pedagang yang datang harus ke lokasi dan cukup menyita waktu dengan jarak tempuh yang jauh, angkutan sulit untuk menembus lokasi penggembalaan, membutuhkan beberapa kali negosiasi karena ternaknya harus dibawa ke rumah peternak baru dilakukan proses negosiasi. Proses penampungan kotoran ternak dan penggunaannya sebagai pupuk memperlihatkan nilai rataan skor 2 berada pada kategori rendah. Artinya lokasi penggembalan cukup luas dan ternak berpindah-pindah lokasi, sehingga mempersulit dalam pengumpulan kotoran ternak sebagai pupuk, peternak juga tidak membuat bak penampungan kotoran. Menurut peternak bahwa hanya sewaktu-waktu
bila
diperlukan
sebagai
pupuk
bagi
tanaman
barulah
dikumpulkan. Acaman dari gangguan luar/keamanan ternak dengan nilai rataan skor 2,4 berada pada kategori rendah. Dengan tidak menggunakan kandang, maka ternak dengan mudah mengalami ancaman dari gangguan luar serta keamanan ternak kurang terjamin. Peluang untuk terjadinya hal-hal yang negatif sangat besar karena perawatan ternak rendah, pengontrolan dan pengawasan ternak rendah, penanganan kesehatan rendah. Kandang bagi ternak sapi merupakan sarana yang diperlukan. Kandang berfungsi tidak hanya sekedar sebagai tempat berteduh atau berlindung dari hujan dan panas, melainkan bagi ternak sapi sebagai tempat istirahat yang nyaman. 5.2.5. Sumber air Kebutuhan air bagi ternak sapi potong adalah suatu kebutuhan utama yang sangat penting diperhatikan oleh peternak sapi potong. Berdasarkan pengamatan sumber-sumber air yang dapat digunakan atau difungsikan sebagai kebutuhan ternak sapi potong, yakni air sungai, air sumur, dan air hujan. Kebutuhan air bagi ternak sapi potong diperoleh dari sumber-sumber air seperti air sumur (57,23%), air hujan (28,56%), dan air sungai (14,21%). Kebutuhan air
131 yang sering disediakan oleh peternak dengan jalan menggiring ternak pada sumber-sumber air terdekat dapat dilihat pada Gambar 26.
Air Sungai, 14.21
Air Hujan, 28.56
Air Sum ur, 57.23
Air Sumur Air Hujan Air Sungai
Sumber Air Peternak
Gambar 26. Sumber air peternak di Kabupaten Jayapura Di samping air bagi kebutuhan ternak sapi, peternak juga kadang-kadang memberikan makanan tambanan berupa kulit pisang, kulit singkong selain hijauan makanan ternak (HMT) termasuk limbah pertanian seperti: limbah jagung, kacang tanah, kacang kedelai dan umbi-umbian. Konsentrat yang kadang-kadang diberikan bagi ternak sapi berupa: dedak, bungkil serta ampas tahu. Beberapa Desa tertentu seperti Desa Nimbokrang dan Desa Kemtuk kadangkala ada terjadi sedikit kesulitan dalam perolehan pakan (hijauan) bagi sapi pada saat musim hujan kerena padang penggembalaan tergenang air hujan; disamping itu, sudah terjadi pergeseran lahan untuk tanaman perkebunan dan pembangunan fisik. Kalau di Desa Kemtuk kesulitan dalam penggembalaan saat musim penghujan karena kebanyakan padang penggembalaan tergenang air hujan. Namun hal ini sangat mudah diatasi karena peternak dapat mengambil hijauan pada daerah pinggiran jalan, pada sela-sela lahan atau pada tepi-tepi lahan, disamping itu dapat diambil hijauan makanan ternak (HMT) pada Desa tetangga. Sistem pemeliharaan ekstensif pada sapi menyebabkan peternak sulit melakukan pengontrolan terhadap ternak terutama dalam hal perkawinan dan pengontrolan penyakit. Dari hasil survai Tim Peneliti Jurusan Peternakan FAPERTA Uncen (2005) menunjukkan bahwa adanya ternak sapi yang sakit
132 tanpa ada usaha pengobatan oleh peternak. Di samping itu dampak negatif lain dari sistem ini adalah sering kali ternak sapi merusak kebun petani yang lain, sehingga ada anggapan sebagian masyarakat bahwa ternak sapi di beberapa desa pada Kabupaten Jayapura dianggap sebagai hama. Menurut Santoso (2007), sistem pemeliharaan secara ekstensif perlu dipertimbangkan dari beberapa segi, yakni: (1) penggunaannya berdasarkan daya tampung, dan (2) tata laksana padang penggembalaan. Bila dibandingkan dengan sistem pemeliharaan ekstensif yang dilakukan peternak di Kabupaten Jayapura, maka unsur-unsur ini belum dilakukan sepenuhnya. Dari segi ketersediaan padang penggembalaan dapat dipenuhi karena ketersediaan sumber pakan hijauan yang melimpah, tetapi tata laksana padang
penggembalaan
belum
dipahami
oleh
peternak,
sehingga
pelaksanaannya sederhana. Namun terlihat bahwa peternak juga menggunakan lahan peggembalaan secara bergantian maupun dilakukan berpindah-pindah. Artinya peternak melakukan rotasi dalam proses penggembalan di padang rumput, sedangkan pembagian tingkatan tidak dibedakan oleh peternak ke dalam beberapa cara, misalnya; padang rumput permanen, padang rumput jangka pendek, padang rumput rotasi jangka panjang, dan padang rumput sementara. Untuk padang rumput rotasi jangka panjang, perlu dilakukan beberapa hal, yakni: (1) lahan perlu penggarapan dan pengolahan kembali pada waktuwaktu tertentu, (2) lahan perlu diisi dengan tanaman dalam satu atau dua tahun saja. Kemudian dilakukan kembali sebagai padang penggembalaan, hal ini belum dilakukan peternak. Seperti yang dikemukakan oleh Santoso (2007) bahwa tata laksana padang penggembalaan dibagi menjadi dua variabel, yakni: (1) tata laksana padang rumput atau hijauan, dan (2) tata laksana penggembalaan ternak. Beberapa alasan yang dikemukakan peternak sesuai hasil wawancara maupun pengamatan langsung di lapangan bahwa ada beberapa faktor penyebab, sehingga peternak menggunakan sistem pemeliharaan ekstensif berada pada persentase terbesar dibandingkan dengan sistem pemeliharaan secara intensif dan semi intensif adalah: (1) Peternak sebagian besar tidak memiliki kandang (2) Ketersediaan hijauan makanan ternak (HMT) melimpah (3) Sudah merupakan kebiasan
133 (4) Dianggap lebih mudah (5) Pengetahuan terhadap sistem pemeliharaan masih terbatas Solusi yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut: (1)
Dinas
Pertanian
dan
Dinas
Peternakan
seharusnya
memperketat
persyaratan apabila ada bantuan bibit ternak untuk peternak atau kelompok peternak yang akan menerima bantuan harus terlebih dulu menyiapkan kandang karena dengan memiliki kandang besar manfaat yang diperoleh dalam pengembangan usahanya. (2)
Penyuluh perlu berperan aktif untuk memberikan penyuluhan tentang manfaat kandang melalui sistem pemeliharaan secara intensif dan semi intensif maupun sistem ekstensif.
(3)
Untuk
meningkatkan
kompetensi
teknis peternak
melalui
sistem
pemeliharaan yang baik, maka peran penyuluh sebagai mediator dan motivator perlu digalakan demi meningkatkan pengetahuan dan wawasan peternak, perlu proses pembelajaran bagi peternak. (4)
Dalam proses pembelajaran perlu penyesuaian materi dan motode yang berhubungan dengan sistem pemeliharaan secara intensif, semi intensif dan ekstensif. Dari berbagai uraian di atas terlihat bahwa sistem pemeliharaan secara
intensif dan semi intensif sangat menguntungkan dari segi teknis, berdasarkan Tabel 35 memperlihatkan bahwa tingkat kompetensi teknis peternak melalui sistem pemeliharaan intensif dan semi intensif lebih tinggi dibandingkan sistem pemeliharaan secara ekstensif. 5.2.6. Perkandangan Kandang merupakan tempat untuk melindungi ternak sapi dari berbagai gangguan yang dapat merugikan, seperti gangguan cuaca, sebagai tempat beristirahat dengan nyaman, aman dari pencurian, tempat pengumpulan kotoran, memudahkan pengawasan terhadap ternaknya (Tabel 34). Menurut Santoso (2007), kandang diperlukan untuk melindungi ternak sapi dari keadaan lingkungan yang merugikan sehingga dengan adanya kandang ternak sapi memperoleh kenyamanan. Alasan yang sama dikemukakan oleh peternak yang memiliki kandang, bahwa dengan adanya kandang, mempermudah dalam proses pengawasan dan pemeliharaan ternak sapi, terutama pemberian makan dan minum, serta
134 pengawasan terhadap kesehatan ternak, memudahkan dalam perkawinan, ternak tidak mudah berkeliaran dan dapat terhindar dari pencurian, tidak memasuki lahan milik orang lain sehingga dapat merusak tanaman perkebunan, pengumpulan kotorannya dapat dilakukan dengan mudah, serta memudahkan dalam proses penjualan. Alasan di atas diperkuat dengan pendapat Abidin dan Soeprapto (2006) yang menyatakan bahwa kandang memiliki banyak fungsi, yakni: (1) melindungi ternak sapi dari gangguan cuaca, (2) tempat beristirahat dengan nyaman, (3) tempat pengumpulan kotoran, (4) melindungi sapi dari ganguan luar, dan (5) memudahkan pelaksanaan pemeliharaan , terutama pemberian makan, minum dan pengawasan kesehatan. Tabel 34.
Pemilikan dan Kondisi Kandang (1) Pemilikan Kandangan Tidak memiliki Memiliki Total (2) Kondisi Kandang Permanen Semi Permanen Tidak Permanen Total
Pemilikan dan kondisi Kandang Peternak Sapi Potong per Distrik di Kabupaten Jayapura Kemtuk Gresi (n=25) %
Kemtuk
Nimboran
Nimbokrang
Total
(n=30)
%
(n=30)
%
(n=25)
%
(n=110)
%
17 8 25
68 32 100
26 4 30
86,7 13,3 100
25 5 30
83,33 16,67 100
16 9 25
64 36 100
84 26 110
76,36 23,64 100
(n=8) 1 2 5 8
% 12,5 25 62,5 100
(n=4) 1 1 2 4
% 25 25 50 100
(n=5) 1 1 3 5
% 20 20 60 100
(n=9) 1 1 7 9
% 11,11 11,11 77,78 100
(n=26) 4 5 17 26
% 15,39 19,23 65,38 100
Peternak di Distrik Kemtuk Gresi yang tidak memiliki kandang sebesar 68% dan yang memiliki kandang dalam proses pengelolaan usaha ternak sapi potong adalah sebesar 32%, berikutnya peternak di Distrik Kemtuk yang tidak memiliki kandang sebesar 86,7% dan yang memiliki kandang dalam proses pengelolaan usaha ternak sapi potong adalah sebesar13,3%, peternak di Distrik Nimboran yang tidak memiliki kandang sebesar 83,33% dan yang memiliki kandang dalam proses pengelolaan usaha ternak sapi potong adalah sebesar16,67%,dan sebesar 64% di Distrik Nimbokrang peternak yang tidak menggunakan kandang dalam proses pengelolaan usahanya dan sebesar 36% yang memiliki kandang dalam proses pengelolaan usaha ternak sapi potongnya. Dilihat dam kondisi bangunan kandang yang ada dibagi menjadi tipe permanen, semi permanen dan tidak permanen. Tipe permanen atapnya dari
135 seng, lantainya semen, tipe semi permanen atap rumbia dan lantai semen, sedangkan tidak permanen atap rumbia dan lantainya tanah. Untuk Distrik Kemtuk Gresi sebesar 12,5% adalah tipe permanen, sebesar 25% tipe semi permanen, dan tidak permanen sebesar 62,5%. Distrik Kemtuk sebesar 25% tipe permanen, sebesar 25% persen tipe semi permanen, dan sebesar 50% tidak peremanen, Distrik Nimboran sebesar 20 persen tipe permanen, sebesar 20 persen tipe semi permanen, dan sebesar 60 persen tidak permanen, sedangkan untuk Distrik Nimbokrang, yang permanen dan semi permanen masing-masing sebesar 11,11% dan yang tidak permanen adalah 77,78%. Berdasarkan Tabel 34 dapat diprediksikan bahwa minat peternak untuk menggunakan kandang dalam proses pengelolaan usahanya walaupun rendah, tetapi sudah tercipta upaya dari dalam diri peternak betapa pentingnya dan bermanfaatnya kandang untuk mengelola ternaknya. Bila hal ini terus dikembangkan, ternak sapi tidak mudah mengalami gangguan atau ancaman dari luar yang dapat merugikan peternak. 5.2.7. Pakan ternak sapi potong Makanan ternak sapi potong dari sudut nutrisi merupakan salah satu unsur yang sangat penting untuk menunjang kesehatan, pertumbuhan dan reproduksi ternak. Makanan sangat esensial bagi ternak sapi. Makanan yang baik menjadikan ternak sanggup menjalankan fungsi proses dalam tubuh secara normal. Dalam batas normal, makanan bagi ternak sapi potong berguna untuk menjaga keseimbangan jaringan tubuh dan membuat energi sehingga mampu melakukan peran dalam proses metabolisme. Pemberian makanan secara ekonomis dan teknis memenuhi persyaratan dapat digunakan sebagai kebutuhan hidup pokok, kebutuhan untuk pertumbuhan dan kebutuhan untuk reproduksi. Sumber pakan ternak sapi potong yakni: (1) hijauan makanan ternak (HMT) berupa rumput dan leguminosa, (2) pakan penguat atau konsentrat, dan (3) limbah pertanian. Jenis hijauan Jenis hijauan yang dapat diberikan bagi ternak sapi potong dalam bentuk hijauan segar, hijauan kering (hay), hijauan olahan atau hasil fermentasi yang disebut silase. Jenis-jenis hijauan makanan ternak dapat berupa rumput dan leguminose yang terdapat di areal padang penggembalaan dan di sekitar areal padang penggembalaan biasanya dikonsumsi oleh ternak sapi potong. Di
136 Kabupaten Jayapura hijauan makanan ternak tersebar pada berbagai areal, yakni areal padang penggembalaan, lahan perkebunan dan
lahan tanaman
pertanian pangan di pinggiran jalan sepanjang jalan umum. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan diperoleh jenis hijauan yang ada di Kabupaten Jayapura terdiri dari jenis rumput antara lain rumput lapangan (Natural grass), rumput nizi (Brachiaria ruziziensis), rumput gajah (Pennisetum purpureum), rumput teki (Killinga monochepala), rumput setaria (Setaria ancepts), rumput pangola (Digitaria decumbens), rumput pahit (Ceseonopus compressus), rumput merayap atau sukest glinting (Cynodon dactylon), putri malu (Mimosa pudica), rumput buffel (Cenchrus ciliaris), rumput beranda (Ccynodon dectylori), rumput sudan (Sudan grass), rumput beludru (Brachiaria holotricha), rumput rhodes (Chris gayana), alang-alang (Imperata cylindrica), rumput
kuda
(nama
(Calopogonium
lokal),
siratro
mucunoides),
(Macroptiliun
centro
atropurpeum),
(Centrosema
calopo
pubencens),
lamtoro/petai cina (Leucaena glauca), daun gamal (Gliricidia maculate). Rumput gajah (Pennisetum purpureum) telah ditanam sebagai
bibit
hijauan makanan ternak oleh pemerintah (Dinas Peternakan Kabupaten Jayapura) dan pihak swasta, yakni di Distrik Kemtuk dan Distrik Nimbokrang telah ditanam pada areal khusus sebagai bibit hijauan makanan ternak yang cukup berkualitas
kandungan
nilai
gizinya.
Bahkan
rumput
gajah
(Pennisetum purpureum) juga ditemui hampir di sepanjang jalan umum/utama (tumbuh secara liar) memasuki Distri Kemtuk dan Nimbokrang.
Sedangkan
tanaman gamal sudah dijadikan sebagai tanaman pagar atau pelindung yang dapat dikonsumsikan oleh ternak sapi. Jenis tanaman ini ditanam hampir sepanjang jalan pada desa-desa di Distrik Kemtuk, Distrik Kemtuk Gresi, Distrik Kemtuk dan Distrik Nimbokrang. Di Kabupaten Jayapura, hijauan makanan ternak bagi ternak sapi potong diperoleh atau diberikan oleh peternak dengan cara menggembalakan ternaknya di areal perkebunan kelapa, perkebunan kelapa sawit, padang rumput dan di pinggir-pinggir jalan. Bagi peternak yang memiliki kandang, hijauan makanan ternak dipotong atau diambil pada areal padang rumput atau di lahan perkebunan maupun di pinggir jalan kemudian di gunakan kendaraan roda dua (sepeda dan sepeda motor) dan mobil khusus untuk membawa hijauan makanan ternak.
137 Berdasarkan pengamatan di lapangan, hijauan yang paling banyak dikonsumsi ternak adalah rumput-rumput yang tumbuh di areal padang rumput dan areal pohon kelapa dan kelapa sawit. Hal ini disebabkan hijauan-hijauan tersebut memiliki palatabilitas yang tinggi dan ketersediaannya tersedia sepanjang waktu. Hal ini sesuai dengan pendapat Reksohadiprodjo, (1985) bahwa vegetasi rumput dan pepohonan tidak hanya dilihat sebagai sumber makanan ternak saja tetapi juga bermanfaat sebagai tanaman penutup tanah yang dapat mencegah terjadinya erosi tanah agar unsur-unsur hara yang ada dipermukaan tanah tidak terkikis. Makanan penguat atau konsentrat Jenis makanan penguat atau konsentrat yang diberikan bagi ternak sapi terdiri dari dedak padi, bungkil kelapa, ampas tahu, sebagian besar peternak yang menggunakan kandang sering memberikan pakan penguat atau konsentral bagi ternaknya. Limbah pertanian Salah satu produk sampingan dari tanaman perkebunan dan tanaman pertanian adalah limbah pertanian yang dapat dimanfaatkan bagi ternak sapi sebagai salah satu alternatif bahan makanan ternak pada musim panas yang berkepanjangan atau musim paceklik. Limbah pertanian juga dapat dikombinasi secara bersamaan dengan hijauan makanan ternak. Beberapa jenis jerami yang biasa diberikan untuk makanan ternak sapi antara lain adalah jerami padi (Oriza saliva L), jagung (Zea mays), kacang tanah (Arachis hipogeae), kacang kedelai (Glycincn max) dan ketela pohon (Manihot uillisima). Potensi limbah pertanian tanaman pangan di Kabupaten Jayapura tersedia dengan melimpah saat musim panen. Misalnya potensi limbah di Distrik Nimbokrang dan Distrik Nimboran dengan hasil limbah produk jerami padi sebesar 1. 342 ton/tahun, limbah ketela rambat 62,73 ton/tahun, jerami jagung 51,8 ton/tahun dan ketela pohon 332,15 ton/tahun dan jerami kacang tanah 52,6 ton/tahun, jerami kacang kedelai 8,74 ton/tahun. Limbah ini merupakan potensi yang dimiliki petani peternak di Kabupaten Jayapura untuk dapat dimanfaatkan sebagai bahan makanan ternak selingan ataupun tambahan. Kenyataannya limbah-limbah pertanian yang dihasilkan jarang bahkan hampir tidak diberikan untuk ternak peliharaannya, karena ketersediaan rumput di areal padang rumput,
138 seperti rumput lapangan, rumput yang tumbuh secara alami di pinggir-pinggir jalan dan lahan-lahan kosong masih memenuhi kebutuhan makan ternak sapi.
5.2.8. Pengelolaan reproduksi Pengelolaan reproduksi dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa hal yang meliputi; sumber bibit, sistem perkawinan, sumber pejantan dan rasio kelahiran. Sumber bibit yang berkualitas dapat meningkatkan keturunan ternak berikutnya, sumber bibit yang diperoleh dengan cara membeli oleh peternak secara ekonomis harus menjadi pertimbangan peternak agar dapat memilih bibitbibit berkualitas dari keturunan tetua yang unggul atau baik, sehingga menguntungkan peternak di waktu mendatang. Sebelum membeli bibit ternak peternak harus rnemiliki kemampuan dan pengetahuan tentang syarat-syarat bibit yang baik, artinya peternak perlu melakukan seleksi awal saat membeli bibit. Sumber bibit yang diperoleh peternak dilakukan dengan jalan membeli, warisan atau berupa bantuan. Sistem perkawinan umumnya berlangsung secara alami, pejantan yang hendak digunakan sebagai bibit haruslah pejantan unggul atau baik, sehingga keturunan yang diperoleh baik. Kalau pejantan yang digunakan untuk bibit sudah menghasilkan lebih dari empat keturunan perlu menjadi pertimbangan, karena berpengaruh pada generasi berikutnya. Teknis terhadap sistem perkawinan perlu dikuasai oleh peternak. Biasanya pejantan yang digunakan bersumber dari milik peternak, milik tetangga atau milik kelompok, bila pejantan sudah tidak lagi memenuhi syarat untuk digunakan sebagai bibit, maka perlu upaya dalam perolehan pejantan yang unggul. Namun perlu menjadi pertimbangan bahwa penjantan yang digunakan sebagai bibit adalah pejantan yang sudah diseleksi. Rincian sumber bibit, sistem perkawinan, sumber pejantan dan rasio kelahiran disajikanpadaTabel 35.
139 Tabel 35. Reproduksi Ternak Sapi Potong per Distrik di Kabupaten Jayapura Uraian
1. Sumber Bibit a. Beli b. Bantuan c. Warisan 2. Sistem Perkawian a. Alami b. IB 3. Sumber Pejantan a. Milik Sendiri b. Tetangga c. Kelompok 4. Rasio kelahiran a. Jantan b. Betina
Kemtuk Gresi (n=25) %
Kemtuk
Nimboran
Nimbokrang
Total
(n=30)
%
(n=30)
%
(n=25)
%
(n=110)
%
6 14 5
24 56 20
13 8 9
43,33 26,67 30
4 19 7
13,33 63,34 23,33
8 11 6
32 44 24
31 52 27
28,18 47,27 24,55
22 3
88 12
26 4
86,67 13,33
23 7
76,67 23,33
18 7
72 28
89 21
80,91 19,09
19
76
24
80
18
60
20
80
81
73,64
4 2
16 8
3 3
10 19
6 6
20 20
3 2
12 8
16 13
14,54 11,82
12 13
48 52
13 17
43,33 56,67
12 18
40 60
11 14
44 56
48 62
43,64 56,36
Sumber bibit dari ke empat (4) distrik yang terbesar adalah berasal dari bantuan pemerintan maupun pihak swasta yaitu sebesar 47,27%, 28,18% perolehan bibit dengan cara melakukan pembelian dan 24,55% merupakan warisan dari keluarga. Sistem perkawinan yang dlgunakan pada keempat Distrik 80,91% berlangsung secara alami dan 19,09% melalui Inseminasi Buatan. Sistem perkawinan ini dilakukan dengan sumber pejantan milik sendiri proporsi terbesar adalah Distrik Kemtuk dan Nimbokrang (80%), berikutnya Distrik Kemtuk Gresi (76%), Distrik Nimboran (60%). Rasio kelahiran pada seluruh Distrik persentase terbesar adalah betina, 56,36% dan jantan sebesar 43,64%.
5.2.9. Penyakit dan penanganannya Pengontrolan, pencegahan dan penanganan penyakit adalah merupakan salah satu kunci keberhasilan dari usaha peternakan sehingga kesehatan ternak yang
dipelihara
tetap
terjaga.
Pencegahan
dan
penanganan
penyakit
memerlukan pertimbangan dari berbagai aspek seperti jenis penyakitnya ringan, menular atau tidak menular maupun dari aspek ekonomisnya. Berbagai jenis penyakit yang sering dijumpai oleh peternak, penangannya melalui pengobatan secara tradisional oleh peternak di samping ditangani oleh penyuluh pertanian lapangan (PPL) atau petugas kesehatan hewan. Beberapa
140 jenis penyakit yang biasanya menyerang ternak sapi merupakan penyakit yang ringan dan tidak menular, sehingga pengobatannya dapat diatasi dengan menggunakan cara tradisional maupun cara modern. Berikut ini adalah rincian jenis penyakit dan proses pengobatannya secara tradisional dan modern, disajikan padaTabel 36. Tabel 36. Jenis Penyakit dan Cara Pengobatan Pada Berbagai Jenis Ternak di Kabupaten Jayapura Jenis Penyakit Pengobatan (Ciri-ciri) Tradisional Modern Caplak, Kutuk, Kudis, Mandi pakai detergen, Gusanex Scabies disemprot dengan racun serangga, di gosok dengan oli. Cacingan, Radang usus Daun jambu muda dan Teramicyn, Sulfastrol, air pinang obat cacing, suntik. Lumpuh, rematik Tidak diobati, digosok Disuntik minyak tanah atau bensin Kurap Dioles dengan oli, bensin, tembakau dan serbuk baterai. Perut kembung Dilari-larikan Antibiotika Feses bercampur darah Antibiotika Luka Dioles dengan oli, bensin Antibiotika atau campuran bensin dengan tembakau
5.2.10. Sistem tataniaga Sistem tataniaga sangat penting dalam proses pemasaran hasil produksi, beberapa faktor penting dalam mendukung sistem tataniaga adalah saluran pemasaran, transportasi, informasi pasar dan fungsi-fungsi tataniaga yang efisien Salah satu fungsi yang harus diperlukan dalam sistem tataniaga, yakni pengangkutan (Mosher, 1966). Peternak yang memiliki keterbatasan dalam mengakses informasi pasar akan memberikan peluang bagi pedagang untuk mempermainkan harga ternak. Cara negosiasi yang dilakukan pedagang secara spekulasi berdasarkan pertimbangan; biaya transportasi berupa biaya sewa mobil, biaya tenaga buruh dan biaya retribusi. Gambaran tentang saluran pemasaran di Kabupaten Jayapura disajikan pada Gambar 27.
141
Pengecer
Peternak
Peternak, Pejagal atau Pemotong
Pedagang Konsumen Pengumpul Gambar 27. Saluran Pemasaran Ternak Sapi di Kabupaten Jayapura Pada Gambar 41, memperlihatkan bahwa saluran pemasaran ternak sapi potong yang berlangsung di Kabupaten Jayapura terbagi atas empat saluran, yakni: (1)
Saluran Pemasaran I: peternak menjual ternaknya kepada pedagang pengumpul dan atau pengecer selanjutnya ke pejagal atau pemotong kemudian ke konsumen.
(2)
Saluran Pemasaran II: peternak menjual ternaknya kepada pedagang, kemudian dari pedagang kepada pejagal atau pemotong,
pejagal atau
pemotong kepada pengecer, pengecer kepada konsumen. (3)
Saluran Pemasaran III: peternak menjual ternaknya kepada pengecer, kemudian dari pengecer langsung kepada konsumen tanpa melaui pejagal atau pemotong.
(4)
Saluran Pemasaran !V: peternak menjual ternaknya langsung ke konsumen dalam bentuk ternak hidup. Umumnya proses pemasaran berlangsung pada saluran pemasaran I dan
II, di mana pedagang atau pengecer yang membeli ternak adalah mereka yang berasal dari Kota Jayapura. Alasannya karena peternak menghindari terhadap biaya pemasaran (biaya tunai) yang cukup tinggi, misalnya: (1) biaya transportasi, (2) biaya retribusi, (3) rentang kendali yang panjang (pedagang harus ke lokasi peternak dengan menempuh perjalanan jauh), dan (4) pedagang langsung mendatangi peternak di lokasi peternak, sehingga pedagang membeli ternak dengan harga rendah, mengakibatkan pendapatan peternak rendah. Ternak yang dijual kepada pedagang dalam jumlah yang kecil, sehingga posisi
142 tawarpun rendah. Di sini tergambar bahwa posisi pedagang sebagai price maker dan posisi peternak hanya sebagai price taker, artinya posisi peternak dalam proses negosiasi harga menjadi lemah. Saluran Pemasaran II, peternak langsung menjual ternaknya di Kabupaten Jayapura, hal ini dilakukan oleh para peternak yang berada pada wilayah penelitian, karena tingkat aksesbilitas lebih tinggi, jarak tempuh lebih pendek, sehingga biaya transportasi lebih rendah di bandingkan harus menjual ternak sapi potongnya ke Kotamadya Jayapura. Saluran pemasaran III, peternak menjual ternaknya lewat pengecer berlangsung di Kabupaten Jayapura, beberapa perbedaan yang mengakibatkan saluran pemasaran III lebih rendah dibandingkan saluran pemasaran I dan II, adalah: 1) Demand atau permintaan rendah. 2) Fasilitas penunjang seperti Rumah Pemotongan Hewan (RPH) belum dimiliki secara permanen. 3) Pasar ternak belum memadai. 4) Jumlah pengecer sedikit. Berdasarkan uraian tersebut, beberapa solusi yang dapat ditawarkan, adalah sebagai berikut: (1). Perlu adanya azas keadilan di antara pelaku pasar (lembaga pasar), hal ini dapat dilakukan dengan cara: a. Peternak harus mengetahui informasi pasar b. Mendekatkan pasar ke peternak, sehingga lebih efisien dengan jalan meningkatkan demand atau permintaan, hal ini dapat dilakukan dengan cara:
Peningkatan sektor-sektor informal.
Peningkatan daya beli masyarakat.
Adanya variasi pola konsumsi masyarakat, misalnya; kebiasan mengkonsumsi ikan lebih tinggi secara bervariasi dapat disesuaikan dengan mengkonsumsi daging yang tinggi nilai gizi protein hewaninya.
(2) Peningkatan kelembagaan peternak. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan penguatan terhadap para peternak dalam melakukan proses pemasaran hasil produksinya. Lembaga peternak ini dapat berfungsi untuk mencari dan menginformasikan harga pasar bagi para peternak, menetapkan titik
143 pemasaran sebagai sentral pemasokan hasil produksi, mengkoordinir proses pemasaran hasil produksi, dan sebagai aliansi, maksudnya bahwa melalui aliansi ini dapat meningkatkan posisi tawar dari peternak, misalnya; peternak menentukan harga standar berdasarkan umur, jenis kelamin dan bobot badan, sehingga pedagang tidak dengan mudah memainkan harga. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu upaya pemerintah dalam mengambil kebijakan,
yakni:
(I)
menyiapkan
fasilitas
berupa
pasar
hewan
untuk
mempermudah penyaluran hasil produksi peternak, (2) adanya transportasi (angkutan darat) khusus disiapkan pemerintah dengan biaya transportasi yang dapat dijangkau oleh peternak, (3) penetapan standar harga ternak, dan (4) peningkatan peran kelembagaan peternak. 5.2.11. Aspek ekonomi Pendapatan peternak secara umum dalam setahun rata-rata berkisar antara Rp 6.500.000,- per tahun atau sebesar Rp 541.666,66 per bulan, hal ini disebabkan pemasaran hasil produksi sangatlah bervariasi jumlahnya, artinya jumlah ternak sapi yang dipasarkan oleh setiap peternak sangat berbeda-beda. Penerimaan peternak berasal dan nilai ternak dan nilai penjualan produksi dalam satu tahun. Nilai ternak didapat dari nilai ternak saat ini dikurangi dengan nilai ternak awal usaha (bibit). Besarnya penerimaan juga mengikuti nilai ternak yang dikonsumi selama satu tahun. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa rata-rata penerimaan sebesar Rp. 6.979.350.29. Penerimaan terbesar diperoleh dari nilai ternak. Perhitungan pendapatan berdasarkan selisih antara gross farm income (pendapatan kotor) dengan farm expense (biaya). Rata-rata pendapatan per desa sampel sebesar Rp. 6.549.348.86 per tahun atau Rp 545.779.07 per bulan. Pendapatan terbesar diperoleh dari peternakan sapi dengan rata-rata penjualan sapi anak 1,29 ekor. dara 0,43 ekor dan dewasa 4 ekor per tahun dengan rata-rata harga penjualan sapi jantan dewasa Rp. 8.609.242.43 per ekor, sapi betina dewasa dengan ratarata harga penjualan Rp. 6.085.714.29 per ekor. 5.2.12. Tipologi usaha Saragih
(2003),
mengatakan
bahwa
tipologi
usaha
dari
bidang
peternakan rakyat ke industri peternakan dibagi menjadi empat tipe usaha, yakni: (a) Usaha sambilan (pendapatan kurang dari 30 %) (b) Cabang usaha (pendapatan berkisar 30 - 70 %)
144 (c) Usaha pokok (pendapatan berkisar 70 - 100 %) (d) Industri peternakan (pendapatan 100 % dari usaha peternakan) Pendapat
ini sama dengan Rahardi dan Hartono (2003) yang
mengatakan bahwa usaha peternakan dapat dikelola secara sambilan. Artinya, bagi masyarakat yang memiliki pekerjaan lain, tujuan usaha adalah membantu pendapatan rumah tangga. Tingkat pendapatan yang dapat diperoleh dari usaha ternak sambilan ini di bawah 30 persen dari total pendapatan. Usaha peternakan dapat dijadikan sebagai salah satu cabang usaha lain. Tujuan usaha ternak sebagai cabang usaha tidak hanya sekedar membantu pendapatan, tetapi sudah berperan sebagai salah satu sumber pendapatan. Tingkat pendapatan yang bisa diperoleh dari usaha ternak sebagai cabang usaha sekitar 30-70 persen. Usaha ternak yang dijadikan sebagai usaha pokok, usaha ternak ini sudah menjadi sumber pendapatan, Tingkat Pendapatan yang bisa diperoleh dari usaha ternak sebagai usaha pokok berkisar antara 70-100 persen, sedangkan untuk industri peternakan pendapatan yang diperoleh 100 persen. Tipologi usaha dapat digolongkan berdasarkan pendapatan peternak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kontribusi usaha peternakan terhadap pendapatan petani-peternak di Kabupaten Jayapura adalah sebesar 28,3 persen. Dengan demikian dapat diindikasikan bahwa tipologi usaha peternakan di Kabupaten Jayapura saat ini merupakan usaha sambilan. 5.2.13. Aspek sumberdaya alam kondisi agroklimat Salah satu faktor yang sangat mempengaruhi performans ternak adalah faktor lingkungan dimana ternak itu diusahakan. Faktor lingkungan terdiri dari lingkungan fisik seperti: temperatur, kelembaban, curah hujan dan topografi (ketinggian
tempat),
lingkungan
biotik
seperti
tanaman,
hewan
dan
mikroorganisme serta lingkungan kimiawi (Sihombing dkk., 2000). Kabupaten Jayapura merupakan bagian dari zone tropis lembab. Umumnya iklim cenderung panas, basah (lembab) dengan curah hujan bervariasi antara tempat yang satu dengan tempat yang lainnya. Curah hujan di Kabupaten Jayapura pada umumnya antara 2.000-3.000 Mm/Tahun. Kondisi klimat tersebut sangat mendukung peningkatan produktivitas ternak sapi, karena sesuai dengan zona kenyamanannya. Sapi Bali yang terdapat di Kabupaten Jayapura mempunyai daya adaptasi yang baik terhadap lingkungan panas maupun cukup toleran terhadap pengaruh lingkungan yang dingin, sehingga temperatur lingkungan tersebut tidak menjadi kendala untuk pengembangannya.
145 Abidin dan Soeprato (2006) mengemukakan bahwa kondisi agroklimat dan kondisi lingkungan yang ideal sangat dibutuhkan oleh ternak sapi dalam memacu pertumbuhan dan perkembangannya berdasarkan potensi genetis. Sekaligus penentuan lokasi dapat terpenuhi melalui beberapa syarat tertentu, seperti; suhu lingkungan, arah angin, curah hujan, arah sinar matahari, kelembaban, topografi, disamping aspek lainnya. Unsur-unsur iklim seperti; temperatur, curah hujan, intensitas penyinaran dan lamanya siang hari sangat berpengaruh terhadap ketersediaan dan kualitas pakan hijauan (Reksohadiprodjo, 1985). Hasil penelitian menunjukkan bahwa hijauan pakan banyak mengandung air pada saat curah hujan dan kelembaban udara tinggi dapat mempengaruhi bahan kering pakan secara keseluruhan. 5.2.14. Infrastruktur Pengembangan peternakan di suatu wilayah perlu didukung oleh infrastruktur, seperti pos kesehatan hewan (Poskeswan), pasar ternak, rumah pemotongan hewan (RPH) dan sarana transportasi guna menunjang sistem tataniaga. Poskeswan yang semula ada di Kabupaten Jayapura sudah kurang berfungsi, disebabkan oleh terbatas tenaga medis dan peralatan. rumah pemotongan hewan (RPH) belum dimiliki pemotongan ternak sapi dilakukan di RPH Yoka Kotamadya Jayapura Sarana transportasi berupa jalan utama kendaraan telah ada, namun membutuhkan biaya tinggi pada desa-desa terpencil yang jauh dari pusat Kota Kabupaten/Distrik, sarana transportasi darat masih bayak yang rusak, sehingga hasil-hasil produksi yang dipasarkan menjadi rendah harga jualnya, maupun membutuhkan biaya pemasaran tinggi. Daryanto 2007, mengungkapkan bahwa infrastruktur di suatu wilayah termasuk wilayah pedesaan bila tidak memadai, maka akan berpengaruh terhadap kelancaran arus distribusi input dan ouput, sehingga sangatlah wajar kalau dijumpai harga jual komoditas yang murah bagi peternak karena belum berkembangnya infrastruktur. 5.2.15. Kelembagaan Peran kelembagaan dalam menunjang usaha peternakan di Kabupaten Jayapura belum berlangsung dengan baik. Kelembagaan dimaksud adalah semua pemangku kepentingan (stakeholder) yang mempunyai tanggung jawab terhadap perkembangan usaha peternakan, yakni pemerintah (dinas terkait),
146 perguruan tinggi dan lembaga penelitian, LSM, lembaga keuangan dan peternak yang bersangkutan. Dinas Pertanian dan Peternakan sebagai instansi teknik belum berfungsi secara maksimal dalam hal penyuluhan, pengadaan infratruktur dan sapronak, serta pelayanan kesehatan ternak. Kurangnya tenaga penyuluh peternakan dan belum profesional menjadi kendala tersendiri dalam proses pendampingan bagi peternak. Keterbatasan dalam mengambil insiatif dalam pembentukan kelompok-kelompok ternak mandiri secara permanen. Terbatasnya lembaga ekonomi penunjang seperti koperasi di tingkat distrik dan desa, bahkan pada umumnya di desa koperasi belum tersedia. Di sisi lain, akses terhadap fasilitas perkreditan dari bank ataupun lembaga keuangan lainya belum dimanfaatkan oleh peternak dalam memajukan usahanya. Pengembangan peternakan pada masa yang akan datang di Kabupaten Jayapura sangat diharapkan adanya kerjasama dari pihak seperti pemerintah (dinas, bank), perguruan tinggi maupun swasta (investor, LSM). Pendapat yang dikemukakan oleh Daryanto (2007), indikator penting dalam revitalisasi pembangunan peternakan rakyat harus terkait erat dengan kebijakan pembangunan pedesaan, aspek kelembagaan begitu sangat penting, misalnya lembaga keuangan yang harus menjadi salah satu syarat. Lembaga penelitian, merupakan salah satu indikator penting dalam keberhasilan pembangunan peternakan dan pedesaan, ini berarti hasil-hasil penelitian harus diaplikasikan di lapang. Sehingga, penyuluh peternakan harus mampu memainkan perannya dalam mengawal hasil-hasil penelitian agar dapat diterapkannya, guna menjawab berbagai kebutuhan peternak. North (Daryanto, 2007),
mengemukakan
bahwa
kelembagaan
yang
dimaksudkan
adalah
seperangkat aturan formal (hukum, sistem politik, organisasi, pasar, dan lain-lain) serta informal (norma, tradisi, sistem nilai) yang mengatur hubungan antara individu dan kelompok masyarakat. Seluruh elemen terkait ini menjadi penting untuk dapat diolah seefektif dan seefisien mungkin dalam mengembangkan pembangunan peternakan secara menyeluruh. Gambaran di atas memberikan isyarat lebih lanjut dalam melihat
kelembagaan
sebagai
prasyarat
penting
dalam
pembangunan
peternakan di Kabupaten Jayapura. Para pemangku kepentingan (stakeholder) harus lebih memainkan perannya khusus dalam pengembangan usaha peternakan.
147 5.2.16. Karakteristik peternak sapi potong Karakteristik peternak sapi potong yang diamati dalam penelitian ini adalah tanggungan keluarga dalam satu keluarga dan pengalaman peternak dalam mengusahakan ternak sapi potong. Tanggungan keluarga terdiri dari seluruh anggota keluarga yang ada dalam satu rumah tangga dan menjadi tanggung jawab dari keluarga tersebut, baik dari aspek sandang, pangan dan papan termasuk pula seluruh pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Jumlah anggota keluarga yang besar turut mempengaruhi tanggungan keluarga, sehingga ada kemungkinan berdampak pada tingkat kesejahteraan keluarga, jumlah anggota keluarga yang besar dapat pula difungsikan sebagai tenaga kerja keluarga dalam pengelolaan asaha ternak sapi potong. Tenaga kerja yang ada adalah tenaga kerja yang berasal dari anggota keluarga, oleh karena itu penting hal itu diketahui agar dapat diprediksi dalam menunjang pengelolaan usaha ternak sapi potong yang dikembangkan oleh setiap keluarga peternak sapi potong. Pengalaman usaha beternak sapi potong menjadi salah satu ukuran untuk adanya tambahan pengetahuan dan keterampilan dari peternak, seseorang peternak baru memulai akan usahanya pasti akan berbeda proses pengelolaannya
dengan
seseorang
yang
sudah
berpengalaman
dalam
pengelolaan usaha ternak sapi potong. Sehingga semakin lama seseorang melakukan usahanya, maka semakin bertambah pengalaman yang diikuti dengan bertambah pula pengetahuan dan keterampilan bagi dirinya. Tanggungan keluarga seluruh Distrik tidak memperlihatkan persentase yang bervariasi. Tanggungan keluarga dari sampel dengan proporsi terbesar berada pada kisaran 4-6 orang pada Distrik Kemtuk Gresi sebesar 56 persen, berikutnya Distrik Nimboran sebesar 53,33 persen, Distrik Kemtuk sebesar 46,67 persen,
dan Distrik Nimbokrang sebesar 32 persen, ini berarti tingkat
pengeluaran dari satu keluarga perlu untuk diatur sedemikian rupa sehingga kebutuhan keluarga dapat terpenuhi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari termasuk di dalamnya pendidikan dan kesehatan. Itu bukan berarti tanggungan keluarga dengan kisaran 1-3 orang dalam satu keluarga sudah memenuhi kebutuhan sehari-hari, tapi ini perlu menjadi perhatian dari seluruh anggota keluarga untuk secara bersama-sama berupaya keras dalam memenuhi kebutuhan keluarganya.
148 Tabel 37. Distribusi karakteristik per distrik di Kabupaten Jayapura Karakteristik
1.Tanggungan Keluarga (orang)
1–3 4–6 7 – 10 Total 2.Umur
Distrik Kemtuk Gresi Jumlah
Distrik Kemtuk
Distrik Nimboran
Distrik Nimbokrang
Jumlah
Jumlah
Jumlah
Total
n=25
%
n=30
%
n=30
%
n=25
%
n=110
9 14 2 25
36 56 8 100
15 14 1 30
50 46,67 3,33 100
16 11 3 30
36,67 53,33 10 100
8 17 25
68 32 100
48 56 6 110
43,64 50,91 5,45 100
9 12 4 25
36 48 16 100
12 14 4 30
40 46,67 13,33 100
10 15 5 30
33,33 50 16,67 100
12 10 3 25
48 40 12 100
43 51 16 110
39,10 46,36 14,54 100
%
(Tahun)
20 – 35 36 – 55 56 – 70 Total
Jumlah anggota keluarga yang besar dalam satu keluarga akan turut mempengaruhi tanggungan keluarga atau biaya hidupnya akan tinggi. Bila dalam satu keluarga ada sejumlah anggota keluarga yang dapat difungsikan sebagai tenaga kerja untuk mengelola usaha peternakan sapi potong akan lebih memudahkan dalam menghemat biaya pengeluaran tenaga kerja, sesuai dengan data yang diperoleh dari Dinas Pertanian dan Peternakan bahwa umumnya tenaga kerja dalam mengelola usaha ternak sapi potong di Kabupaten Jayapura berasal dari dalam keluarga itu sendiri. Umur peternak dengan proposisi terbesar berada pada kisaran umur 3655 tahun, Distrik Nimboran menempati persentase terbesar, yakni sebesar 50 persen, berikutnya Distrik Kemtuk Gresi dan Distrik Kemtuk (48% dan 46,67%) dan Distrik Nimbokrang sebesar 40 persen, berikutnya umur 20-35 tahun Distrik Nimbokrang menempati persentase terbesar, yakni sebesar 48 persen, berikutnya Distrik Kemtuk dan Distrik Kemtuk Gresi (40% dan 36%), dan yang terendah adalah Distrik Nimboran sebesar 33,33 persen. Umur sampel 56-70 tahun di Distrik Nimboran dan Distrik Kemtuk Gresi besar persentasenya 16,67 dan 16 persen, Distrik Kemtuk dan Distrik Nimbokrang sebesar 13,33 dan 12 persen. Melihat kisaran umur sampel pada seluruh Distrik menunjukkan bahwa kisaran umur tersebut masih produktif dalam pengelolaan usaha peternakan sapi potong. Usia yang masih produktif ini dapat menggambarkan sebagai suatu potensi yang handal untuk diberdayakan dalam pengelolaan sapi potong.
149 Populasi ternak sapi Populasi ternak sapi potong yang ada di Kabupaten Jayapura berdasarkan data Dinas Peternakan Kabupaten Jayapura tahun 2010 sebanyak 4.183 ekor. Populasi ternak sapi potong ini perlu dikembangkan melalui proses pemberdayaan peternak, guna menunjang produksi ternak. Peluang seperti itu penting untuk proses pembinaan yang intensif bagi peternak melalui pendidikan non formal agar lebih membuka wawasan berpikir dan menambah pengetahuan serta meningkatkan keterampilan peternak. Jumlah populasi ternak sapi di lokasi penelitian berdasarkan jenis kelamin, lebih banyak ternak sapi betina daripada ternak sapi Jantan, artinya sangat memberikan peluang untuk proses perkembangan produksi di masa yang akan datang. Tabel 38. Populasi ternak sapi pada lokasi penelitian di Kabupaten Jayapura
Jenis Kelamin Jantan Betina Total
Tahun 2008 Ekor % 249 12,25 1783 87,75 2032 100,00
Populasi Ternak Sapi Tahun 2009 Tahun 2010 Ekor % Ekor % 278 11,90 291 11,34 2058 89,10 2276 88,66 2336 100,00 2567 100,00
Dari Tabel 38 terlihat bahwa jumlah ternak sapi potong setiap tahun cukup berkembang, di mana terjadi kenaikan di tahun 2009 sebesar 13,01 persen, sedangkan tahun 2010 terjadi kenaikan populasi ternak sapi potong sebesar 9 persen. Hal tersebut menunjukkan bahwa di Kabupaten Jayapura populasi ternak sapi potong dapat digolongkan cukup berkembang namun ada kecenderungan
terjadi
penurunan
persentase
populasi,
dan
ini
sangat
berdampak pada peningkatan produksi di masa yang akan datang. 5.2.17. Penggunaan teknologi oleh sampel Salah satu faktor yang turut menunjang pengembangan dan peningkatan usaha peternakan sapi potong adalah penggunaan teknologi bahkan dapat menjadi salah satu syarat pokok dalam pengembangan usaha, yang bertujuan untuk peningkatan produksi usaha. Penggunaan teknologi ini dapat berupa cara untuk memperoleh bibit unggul, sistem penggemukan, pengedalian dan penanganan penyakit, penggunaan alat-alat dalam sistem pemeliharaan, pemberian pakan dan pengelolaan ternak sapi potong, bahkan dapat berupa
150 pemanfaatan berbagai hasil ikutan ternak yang diolah dengan menggunakan teknologi, misalnya kulit dan kotoran ternak sapi potong; kulit dapat diolah sebagai bahan aneka industri dan kotoran dapat digunakan sebagai pupuk bagi tanaman pertanian serta pembuatan biogas dan sebagainya. Menurut Mosher (1966) bahwa dalam penggunaan teknologi haruslah memberikan harapan bagi peternak untuk terciptanya peningkatan produksi usahanya, sehingga perlu untuk diketahui sumber-sumber teknologi baru untuk pengembangan dan peningkatan usaha peternakan sapi potong. Pengertian baru dapat diartikan baru bagi peternak tertentu, Metode atau cara dan bahan yang mungkin telah umum dikenal atau belurn dikenal sama sekali di kalangan peternak, mungkin saja metode atau bahan baru itu hanya modifikasi dari yang telah ada atau penemuan yang benar-benar baru. Semua peternak pasti akan mempunyai cara atau teknik kerja yang berbeda pada masing-masing daerah tergantung kondisi setempat. Sebagai gambaran bahwa sejauhmana penggunaan dan penerapan teknologi pada empat Distrik, yakni Distrik Kemtuk, Distrik Kemtuk, Distrik Kemtuk Gresi dan Distrik Nimbokrang Kabupaten Jayapura dapat dilihat pada Tabel 39. Tabel 39. Penggunaan Teknologi oleh Sampel dalam Pengembangan Ternak Sapi di Kabupaten Jayapura. Penggunaa n Teknologi Menggunaka n Teknologi Tidak Menggunaka n Teknologi
Total
Distrik Kemtuk Nimboran
Kemtuk Gresi n=2 % 5 6 24
n=3 0 8
19
76
22
25
10 0
30
%
Total
n=3 0 9
30
73,3 3
21
70
14
56
76
69,0 9
100
30
10 0
25
100
110
100
26,6 7
%
Nimbokran g n=2 % 5 11 44
n=11 0 34
% 30,9 1
Pada Tabel 39 memperlihatkan bahwa peternak yang menggunakan teknologi dalam pengembangan ternak sapi potong dan menempati proporsi terbesar berada di Distrik Nimbokrang dengan persentasi sebesar 44 persen, berikut Distrik Nimboran sebesar 30 persen,
Distrik Kemtuk sebesar 26,67
persen dan Distrik Kemtuk Gresi sebesar 24 persen. Ini menunjukkan bahwa
151 tingkat penggunaan teknologi oleh peternak sapi potong pada tiap Distrik di Kabupaten Jayapura rendah, dan mengindikasikan bahwa peternak dalam mengelola usahanya sebagian besar masih bersifat tradisional. Teknologi yang diterapkan oleh beberapa peternak, seperti di Distrik Nimbokrang adalah melakukan kawin suntik antara sapi sumental dan sapi bali. Penggunaan teknologi Inseminasi Buatan (IB) pernah dilakukan bersama antara peternak dengan petugas peternakan, namun pelaksanaannya sudah tidak lagi dilakukan sekarang, hal ini disebabkan keterbatasan fasilitas, peralatan dan keterbatasan tenaga teknis. Tidak ada fasilitas penunjang seperti laboratorim kesehatan hewan merupakan salab satu penyebab utama, terbatasnya peralatan yang digunakan dalam proses pelaksanaan IB, dan masih terbatasnya tenaga teknis. Pelaksanaan pengebirian atau kastrasi juga dilakukan oleh peternak, tujuannya adalah agar daging yang dihasilkan ternak jantan berkualitas baik, ternak menjadi tenang dan jinak sehingga mudah ditangani, dan diharapkan pertumbuhannya lebih cepat. Perlakuan biasanya dilakukan oleh peternak dan didampingi petugas. Di Distrik Nimbokrang dan Kemtuk beberapa peternak yang menggunakan kandang, disiapkan juga kandang jepit, yakni alat bantu untuk memudahkan proses perkawinan. Pembuatan silase juga dilakukan oleh peternak, namun perlakuannya sederhana termasuk penggunaan peralatan dan bahan pembuat silase. 5.3. Status Keberlanjutan Pengembangan Kawasan agropolitan Berbasis Agribisnis Peternakan di Kabupaten Jayapura Penilaian
keberlanjutan
pengembangan
kawasan
agropolitan
di
Kabupaten Jayapura dilakukan dengan menggunakan metode multi dimensional scaling (MDS). Metode ini disebut Rapid Apprasial Pengembangan Agropolitan Berbasis Sapi Potong di Kabupaten Jayapura (Rap-BANGSAPO) yang merupakan modifikasi dari Rapfish yang selama ini digunakan untuk menilai status keberlanjutan perikanan tangkap. Hasil analisis keberlanjutan dinyatakan dalam Indeks Keberlanjutan (ikb-BANGSAPO), dimana indeks keberlanjutan ini mencerminkan
status
keberlanjutan
pada
wilayah
yang
sedang
diteliti
berdasarkan kondisi eksisting. Nilai indeks keberlanjutan pada setiap dimensi keberlanjutan, ditentukan dengan cara memberikan nilai skoring setiap atribut pada masing-masing dimensi, yang merupakan hasil dari pendapat pakar. Nilai
152 skoring indeks keberlanjutan pada setiap dimensi berkisar antara 0 – 100 % dengan kriteria tidak berkelanjutan (buruk) jika nilai indeks terletak antara 0 – 24,99 %, kurang berkelanjutan jika nilai indeks terletak antara 25 – 49,99 %, cukup berkelanjutan jika nilai indeks terletak antara 50 – 74,99 % dan berkelanjutan (baik) jika nilai indeks terletak antara 75 – 100 %. Pada penelitian pengembangan kawasan agropolitas berbasis sapi potong di Kabupaten Jayapura dilakukan analisis lima dimensi keberlanjutan, yaitu dimensi ekologi, ekonomi, sosial dan budaya, infrastruktur dan teknologi, dan kelembagaan. Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan RapBANGSAPO diperoleh nilai indeks keberlanjutan untuk dimensi ekologi sebesar 48,5 % dengan status kurang berkelanjutan, dimensi ekonomi sebesar 53,2 % dengan status cukup berkelanjutan, dimensi infrastruktur dan teknologi sebesar 40,5 % dengan status kurang berkelanjutan, dimensi kelembagaan sebesar 49,3 % dengan status kurang berkelanjutan, dan dimensi sosial sebesar 67 % dengan status cukup berkelanjutan. Dimensi
yang
memiliki
indeks
keberlanjutan
tergolong
kurang
berkelanjutan adalah dimensi ekologi, teknologi, dan kelembagaan karena memiliki skor indeks keberlanjutan (< 50). Hal ini menunjukkan bahwa faktorfaktor dari ketiga dimensi tersebut belum mendapat perhatian yang optimal dalam kegiatan pengembangan ternak selama ini. Dengan demikian, di masa mendatang dimensi ini perlu mendapat perhatian. Dimensi ekonomi, dan sosial dan budaya tergolong cukup berkelanjutan.
Ekologi 100.0
80.0
60.0
48.5
Ekonomi
40.0
53.2
Sosial
20.0
67.0
40.5
Teknologi
49.3
Kelembagaan
153 Gambar 28.
Status keberlanjutan pengembangan kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura berbasis agribisnis peternakan sapi potong
Parameter statistik digunakan untuk menentukan kelayakan terhadap hasil kajian yang dilakukan di Kabupaten Jayapura adalah nilai stress dan koefisien determinasi (r2). Kedua parameter ini untuk setiap dimensi berfungsi untuk menentukan perlu tidaknya penambahan atribut, sehingga dapat mencerminkan dimensi yang dikaji mendekati kondisi sebenarnya. Nilai stress dan r2 hasil MDS tertera pada Tabel 40. Tabel 40. Hasil analisis Rap-BANGSAPO untuk nilai stress dan koefisien determinasi (r2). Nilai Statistik
Ekologi
Ekonomi
Sosial
Teknologi
Kelembagaan
Stress
0.12
0.13
0.15
0.13
0.13
r2
0.95
0.94
0.93
0.95
0.95
2
3
3
2
2
Jumlah iterasi
Berdasarkan Tabel 40 setiap dimensi memiliki nilai stress yang lebih kecil dari 0,25. Nilai stress pada analisis dengan metode MDS sudah cukup memadai jika diperoleh nilai kurang dari 25% (Kavanagh, 2001). Semakin kecil nilai stress yang diperoleh berarti semakin baik kualitas hasil analisis yang dilakukan. Nilai koefisien determinasi (r2) semakin baik jika nilainya semakin besar (mendekati 1). Kedua parameter menunjukkan bahwa seluruh atribut yang digunakan pada analisis keberlanjutan di Kabupaten Jayapura sudah cukup baik dalam menerangkan kelima dimensi status keberlanjutan yang dianalisis. Pengujian tingkat kepercayaan nilai indeks masing-masing dimensi digunakan analisis Monte Carlo. Analisis Monte Carlo sangat membantu dalam analisis keberlanjutan kegiatan, untuk melihat pengaruh kesalahan pembuatan skor pada setiap atribut, yang disebabkan oleh kesalahan prosedur atau pemahaman terhadap atribut, variasi pemberian skor karena perbedaan opini atau penilaian oleh stakedholder yang berbeda, stabilitas proses analisis MDS, kesalahan memasukan data, dan nilai stress yang terlalu tinggi. Hasil analisis Monte Carlo yang dilakukan dengan beberapa kali pengulangan ternyata mengandung kesalahan yang tidak banyak mengubah nilai indeks masing-masing dimensi. Berdasarkan Tabel 41, dapat dilihat bahwa nilai status indeks keberlanjutan Kabupaten Jayapura pada selang kepercayaan 95%
154 memberikan hasil yang tidak banyak mengalami perbedaan dengan
hasil
analisis MDS. Perbedaan hasil analisis yang relatif kecil menunjukkan bahwa analisis menggunakan metode MDS untuk menentukan keberlanjutan wilayah di Kabupaten Jayapura yang dikaji memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi. Tabel 41. Hasil Analisis Monte Carlo untuk nilai indeks keberlanjutan dengan Analisis Rap-BANGSAPO Status Indeks
Hasil MDS
Hasil Monte Carlo
Perbedaan
Dimensi Ekologi
48,5
48,7
0,2
Dimensi Ekonomi
53,2
53,8
0,6
67
65,6
1,4
Dimensi Teknologi
40,5
41,2
0,7
Dimensi Kelembagaan
49,3
48,5
0,8
Dimensi Sosial
Kecilnya perbedaan nilai indeks keberlanjutan antara hasil analisis metode MDS dengan analisis Monte Carlo mengindikasikan hal-hal sebagai berikut: 1) kesalahan dalam pembuatan skor setiap atribut relatif kecil; 2) variasi pemberian skor akibat perbedaan opini relatif kecil; 3) proses analisis yang dilakukan secara berulang-ulang stabil; 4) kesalahan pemasukan data dan data yang hilang dapat dihindari. 5.3.1. Status Keberlanjutan Dimensi Ekologi Pembangunan dimensi ekologi di Kabupaten Jayapura perlu dilakukan dengan memperhatikan atribut yang menjadi faktor pengungkit guna efisiensi dan efektivitas pengembangan ternak pada kawasan. Terdapat 17 (tujuh belas) atribut yang menentukan keberlanjutan ekologi di Kabupaten Jayapura terdiri atas (1) Pemanfaatan limbah peternakan untuk pupuk, (2) Pemanfaatan limbah pertanian untuk pakan ternak,
(3) Sistem pemeliharaan ternak, (4) Lahan
(tingkat kesuburan tanah), (5) Tingkat pemanfaatan lahan, (6) Daya dukung pakan ternak, (7) Jenis pakan ternak, (8) ketersediaan rumah potong hewan (RPH) dan IPAL RPH, (9) pemotongan betina produktif, (10) kebersihan kandang, (11) kuantitas limbah peternakan, (12) kejadian kekeringan, (13) kejadian banjir, (14) agroklimat, (15) jarak lokasi usaha dengan pemukiman, (16) rencana tata ruang wilayah(RTRW), (17) kondisi prasarana jalan usaha tani.
155 Berdasarkan nilai RMS (root mean square) dengan nilai di atas nilai tengah (> 2,0), ada 4 (empat) atribut ekologi yang merupakan faktor pengungkit adalah : Sistem pemeliharaan ternak. Sistem pemeliharaan ternak sapi yang dilakukan oleh peternak sapi di Kabupaten Jayapura umumnya adalah pastural sistem dengan tipe manajemen ekstensif adalah sebesar 73,16 persen, semi intensif sebesar 22,69 persen dan intensif sebesar 4,15 persen. Sistem pemiliharaan yang dilakukan peternak menggambarkan pola pengelolaan usaha peternakan sapi potong yang cukup bervariasi, hal ini turut mempengaruhi dalam pengembangan usaha yang dikolola peternak, karena peternak dengan sistem pemeliharaan .ekstensif masih tergantung pada kondisi dan potensi sumberdaya alam sehingga dapat berdampak pada produksi dan mutu ternak. Peternak yang memiliki kandang hanya sebagian kecil, yakni (26,84%) dengan manajemen pemeliharaan secara intesif dan atau semi intensif. Secara intensif, ternak sapi berada di dalam kandang sepanjang hari. pemberian makan berupa hijauan (rumput dan leguminosa) dan konsentrat diberikan oleh peternak. Secara semi intensif ternak digembalakan atau dilepaskan pada pagi sampai siang hari di padang penggembalaan atau padang rumput maupun di lahan perkebunan untuk merumput, kemudian pada sore hari dimasukkan ke kadang. Pada saat ternak digembalakan, semua proses makan berlangsung di padang penggembalaan dan dikontrol oleh peternak. Sistem pemeliharaan secara ekstensif sebesar 73,16%, ternak sapi digembalakan sepanjang hari (pagi sampai sore hari) pada padang penggembalaan alam, baik pada Iahan milik sendiri maupun pada lahanlahan umum. Teknik yang dilakukan dalam sistem pemeliharaan ini adalah menggunakan pola ikat secara berpindah-pindah, dan dilepaskan. Sapi dilepaskan sejak pagi sampai sore hari. Pada waktu sore hari sapi dimasukkan ke hutan atau lahan perkebunan untuk beristirahat di alam terbuka, hal ini mengakibatkan rendahnya produktivitas ternak, dapat mengganggu tanaman pertanian dan perkebunan, kotoran ternak tidak dapat diolah menjadi pupuk organik, ternak mudah terserang penyakit, mempersulit dalam pengontrolan dan dapat menyebabkan terjadinya konflik dalam masyarakat. Tingkat pemanfaatan lahan. Tingkat pemanfaatan lahan oleh peternak belum dimanfaatkan secara optimal untuk pengembangan ternak sapi dan juga pengelolaan terhadap lahan belum dilakukan secara maksimal, artinya masih terdapat lahan yang terlantar
156 begitu saja atau belum dikelola oleh peternak, misalnya; lahan yang masih kosong tersebut perlu ditanamai dengan jenis tanaman leguminosa untuk menjamin tingkat kesuburan tanah dan menjaga terjadinya erosi sehingga unsur hara tetap dapat dipertahankan, sekaligus dapat dimanfaatkan sebagai makanan ternak, kemudian diselingi dengan jenis rumput unggul atau rumput yang berkualitas sebagai pakan ternak. Rata-rata lahan kosong (belum digarap) yang dimiliki peternak adalah sebesar 0,8 ha. Lahan seluas ini harusnya dapat dilihat sebagai peluang berusaha, peternak perlu untuk mengelolanya, misalnya untuk membangun kandang, gudang penyimpanan makanan ternak, bak penampung kotoran ternak sebagai pupuk dan dimanfaatkan untuk penanaman hijauan makanan ternak (HMT). Bila hal ini dilakukan, maka keberlangsungan pengembangan ternak semakin berkembang dan keberlanjutan ekologinya akan tetap terus terpelihara.
Gambar 29. Atribut ekologi yang menjadi faktor pengungkit keberlanjutan pengembangan ternak.
157 Ketersediaan rumah potong hewan (RPH) dan IPAL RPH. Berdasarkan SK Meteri Pertanian nomer 555/Kpts/TN.240/9/1986 seperti yang dikemukakan dalam Manual Kesmavet (1993). Rumah Pemotongan Hewan merupakan unit/sarana pelayanan masyarakat dalam penyediaan daging sehat mempunyai fungsi sebagai: (1) tempat dilaksanakannya pemotongan hewan secara benar, (2) tempat dilaksanakannya pemeriksaan hewan sebelum dipotong (antemortem) dan pemeriksaan daging (post mortem) untuk mencegah penularan penyakit hewan ke manusia, (3)
tempat untuk mendeteksi dan
memonitor penyakit hewan yang ditemukan pada pemeriksaan ante mortem dan post mortem guna pencegahan dan pemberantasan penyakit hewan menular di daerah asal hewan, dan (4) melaksanakan seleksi dan pengendalian pemotongan hewan besar betina bertanduk yang masih produktif, namun pada kenyataannya di Kabupaten Jayapura masih terjadi pemotongan ternak di luar RPH dan terjadi pemotongan betina produktif sehingga daging yang dikonsumsi oleh masyarakat tidak terjamin mutu dan kesehatannya serta menurunkan populasi ternak betina. Sejak mulai di operasikannya RPH, masih banyak ditemukan para pemilik / pemotong hewan yang melakukan kegiatannya secara tersebar di luar lokasi RPH yang telah disediakan oleh pemerintah dan membuang limbah hasil kegiatan (darah, air bekas cucian dan kotoran lainnya) ke badan air terdekat (kali atau danau)
tanpa terlebih dahulu dilakukan
pengolahan sebagaimana mestinya. Sehingga lingkungan di sekitar lokasi pemotongan liar rentan terhadap pengaruh buruk yang dapat ditimbulkan dengan adanya limbah tersebut. Agroklimat. Agroklimat merupakan faktor lingkungan yang sangat mempengaruhi performans ternak dimana ternak itu diusahakan. Faktor lingkungan terdiri dari lingkungan fisik seperti: temperatur, kelembaban, curah hujan dan topografi (ketinggian
tempat),
lingkungan
biotik
seperii:
tanaman,
hewan
dan
mikroorganisme serta lingkungan kimiawi (Sihombing dkk., 2000). Kabupaten Jayapura merupakan bagian dari zone tropis lembab. Umumnya iklim cenderung panas, basah (lembab) dengan curah hujan bervariasi antara tempat yang satu dengan tempat yang lainnya. Curah hujan di Kabupaten Jayapura pada umumnya antara 2.000-3.000 Mm/Tahun. Gambar 31 berikut ini menunjukkan rata-rata curah hujan dan hari hujan di Tahun 2006 yang diperoleh dari Stasiun
158 Sentani, Genyem dan Kaureh yang bersumber dari Laporan BPTPH Provinsi Papua tahun 2006
Gambar 30. Data curah hujan dan hari hujan tahun 2006 Dari Gambar 30 di atas terlihat ada 8 bulan basah (di atas 100 Mm) dan 4 bulan lembab (60-100 mm) dan tidak ada satupun bulan kering. Dengan demikian menurut Morh iklim tersebut dikategorikan iklim sangat basah (type A), sebab semua bulan basah rata-rata di atas 60 mm dengan total 1.874 mm selama Tahun 2006. Kondisi klimat tersebut sangat mendukung peningkatan produktivitas ternak sapi, karena sesuai dengan zona kenyamanannya. Sapi Bali yang terdapat di Kabupaten Jayapura mempunyai daya adaptasi yang baik terhadap
lingkungan
panas
maupun
cukup
toleran
terhadap
pengaruh
lingkungan yang dingin, sehingga temperatur lingkungan tersebut tidak menjadi kendala untuk pengembangannya. Soeprato dan Abidir, (2006) mengemukakan bahwa kondisi agroklimat dan kondisi lingkungan yang ideal sangat dibutuhkan oleh
ternak
sapi
dalam
memacu
pertumbuhan
dan
perkembangannya
berdasarkan potensi genetis. Sekaligus penentuan lokasi dapat terpenuhi melalui beberapa syarat tertentu, seperti; suhu lingkungan, arah angin, curah hujan, arah sinar matahari, kelembaban, topografi, disamping aspek lainnya. Unsur-unsur iklim seperti; temperatur, curah hujan, intensitas penyinaran dan lamanya siang hari sangat berpengaruh terhadap ketersediaan dan kualitas pakan hijauan (Reksohadiprodjo, 1985). Hasil penelitian menunjukkan bahwa hijauan pakan banyak mengandung air pada saat curah hujan dan kelembaban udara tinggi dapat mempengaruhi bahan kering pakan secara keseluruhan.
159 5.3.2. Status Keberlanjutan Dimensi Ekonomi Dimensi ekonomi memiliki indeks keberlanjutan yang tergolong cukup berkelanjutan karena masih lebih kecil dari nilai 75,0. Dengan demikian pembangunan dimensi ekonomi di Kabupaten Jayapura dalam pengembangan sapi potong harus dilakukan dengan memperhatikan atribut yang merupakan faktor pengungkit guna efisiensi dan efektivitas kegiatan usaha. Atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat keberlajutan dimensi ekonomi terdiri dari tiga belas atribut, yaitu (1) trend harga ternak dan hasil ternak, (2) kontribusi terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD), (3) pendapatan dari usaha non tani
(4)
konstribusi terhadap total pendapatan keluarga, (5) rata-rata penghasilan peternak antar skala usaha, (6) rata-rata pendapatan peternak terhadap Upah Minimum Regional (UMR), (7) transfer keuntungan, (8) besarnya pangsa pasar, (9) kelayakan finansial, (10) keuntungan/profit, (11) ketersediaan industri pakan ternak, (12) ketersediaan agroindustri peternakan, (13) Dukungan anggaran APBD subsektor peternakan. Berdasarkan nilai RMS (> 2), lima diantaranya merupakan faktor pengungkit. Adapun atribut ekonomi yang merupakan faktor pengungkit adalah :
Konstribusi terhadap total pendapatan keluarga. Konstribusi terhadap total pendapatan keluarga dari usaha ternak relatif masih rendah, sehingga perlu adanya dorongan untuk lebih mengembangkan usaha ternaknya agar dapat menjadi salah satu cabang usaha tani dan bukan merupakan usaha sambilan. Pendapat ini sama dengan Rahardi dan Hartono (2003) yang mengatakan bahwa usaha peternakan dapat dikelola secara sambilan. Artinya, bagi masyarakat yang memiliki pekerjaan lain, tujuan usaha adalah membantu pendapatan rumah tangga. Tingkat pendapatan yang dapat diperoleh dari usaha ternak sambilan ini di bawah 30 persen dari total pendapatan. Usaha peternakan dapat dijadikan sebagai salah satu cabang usaha lain. Tujuan usaha ternak sebagai cabang usaha tidak hanya sekedar membantu pendapatan, tetapi sudah berperan sebagai salah satu sumber pendapatan. Tingkat pendapatan yang bisa diperoleh dari usaha ternak sebagai cabang usaha sekitar 30-70 persen. Usaha ternak yang dijadikan sebagai usaha pokok, usaha ternak ini sudah menjadi sumber pendapatan, Tingkat Pendapatan yang bisa diperoleh dari usaha ternak sebagai usaha pokok berkisar antara 70-
160 100 persen, sedangkan untuk industri peternakan pendapatan yang diperoleh 100 persen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kontribusi usaha peternakan terhadap pendapatan petani-peternak di Kabupaten Jayapura adalah sebesar 28,3 persen. Dengan demikian dapat diindikasikan bahwa tipe usaha peternakan di Kabupaten Jayapura saat ini merupakan usaha sambilan, sehingga salah satu upaya yang harus dilakukan adalah dengan meningkatkan skala usaha dimana dapat memberikan efisiensi secara ekonomis dan mampu memberikan pendapatan yang lebih besar bagi keluarga. Besarnya pangsa pasar. Sejalan dengan pertambahan penduduk dan pendapatan yang terus meningkat, kebutuhan terhadap protein hewani juga akan meningkat, namun permintaan daging sapi terus meningkat tidak diimbangi dengan peningkatan kemampuan lokal daerah sehingga banyak pengusaha yang mendatangkan daging sapi dari luar papua. Konsumsi daging masyarakat Kabupaten Jayapura per kapita per tahun menunjukan peningkatan, jika pada tahun 2006 sebesar 1.982,12 ton maka pada tahun 2007 menjadi 2.501,88 ton (BPS Prov. Papua, 2006). Hal ini memberikan
indikasi bahwa permintaan
terhadap produk
peternakan berupa daging semakin meningkat sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk dan pendapatan masyarakat Kabupaten Jayapura. Kontribusi terhadap PDRB dan PAD. Laju pertumbuhan ekonomi dan distribusi PDRB Kabupaten Jayapura per sektor dari sisi lapangan usaha (sektoral) tahun 2005 bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya, menunjukkan perkembangan yang menggembirakan, yaitu kenaikan pertumbuhan ekonomi pada sektor pertambangan dan penggalian, sektor industri pengolahan, dan sektor jasa-jasa. Sebaliknya sektor pertanian, sektor listrik dan air bersih, sektor bangunan, sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor pengangkutan dan komunikasi serta sektor keuangan, persewaan dan jasa perbankan mengalami perlambatan. Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Jayapura berkisar antara 6,5 – 7,8% per tahun dengan pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2005 sebesar 7,84% dan terendah pada tahun 2002 sebesar 6,51%. Berdasarkan distribusinya, sektor pertanian Kabupaten Jayapura memberikan kontribusi terbesar terhadap PDRB, yaitu antara 39,90% - 45% dari keseluruhan kontributor perekonomian. Angka ini disusul sektor pengangkutan dan komunikasi dalam urutan kedua sebesar 10,21% - 14,14%, sektor jasa
161 diurutan ketiga sebesar 13% - 14%, dan urutan keempat adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 10% - 12%. Tabel 42.
Laju Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Jayapura Menurut Lapangan Usaha Tahun 2001 – 2005
No
SEKTOR
2001
2002
2003
2004
2005
1.
Pertanian
14,22
7,86
3,66
2,79
3,36
2.
Pertambangan & Penggalian
4
7,67
7,89
9,21
10,86
3.
Industri Pengolahan
2,07
1,01
0,80
4,04
4,64
4.
Listrik dan Air Bersih
3,13
3,60
6,07
8,95
9,21
5.
Bangunan
5,27
6,20
6,52
10,11
13,67
6.
Perdagangan, Hotel & Restoran
6,24
2,85
15,33
14,37
10,99
7.
Pengangkutan dan Komunikasi
7,76
6,08
18,12
22,21
19,62
8.
Keuangan, Persewaan & Jasa Perusahaan
50,29
6,45
4,03
10,84
4,66
Jasa-Jasa
8,63
10,02
8,15
6,91
7,37
9.
Sumber : BPS Kabupaten Jayapura Tahun 2006
Pemerintah daerah Kabupaten Jayapura telah membuat programprogram pengembangan peternakan. Namun dalam pelaksanaannya belum memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kesejahteraan ekonomi petani peternak sapi potong. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh karena belum dikajinya seluruh potensi daerah untuk membuat program atau kebijakan. Selain itu dalam pengalokasian anggaran untuk suatu program, pemerintah daerah cenderung memperhitungkan seberapa besar kemampuan program tersebut menghasilkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), tanpa melihat pengaruh terhadap perkembangan kesejahteraan masyarakat, sehingga dari tahun ke tahun anggaran untuk pengembangan peternakan yang disediakan oleh pemerintah daerah masih sangat jauh dari harapan. Tabel 43. Distribusi PDRB Di Kabupaten Jayapura Tahun 2001 – 2005 (%) No SEKTOR 2001 2002 2003 2004
2005
1.
Pertanian
44.40
44,97
41,63
41,63
39,90
2.
Pertambangan & Penggalian
2.00
2,03
2,04
2,07
2,13
3.
Industri Pengolahan
11,45
10,86
10,24
9,90
9,60
4.
Listrik dan Air Bersih
0,27
0,27
0,26
0,27
0,27
162
5.
Bangunan
6,35
6,33
6,31
6,45
6,80
6.
Perdagangan, Hotel & Restoran
10,43
10,07
10,87
11,55
11,88
7.
Pengangkutan dan Komunikasi
10,21
10,17
11,24
12,75
14,14
8.
Keuangan, Persewaan & Jasa Perusahaan Jasa-Jasa
1,78 13.10
1,78 13,53
1,73 13,69
1,78 13,60
1,73 13,54
9.
Perubahan APBD subsektor peternakan. Perencanaan pembangunan peternakan masih memerlukan pembenahan pada tingkat fleksibilitas maupun responsibilitas terhadap lingkungan strategis, baik secara internal maupun eksternal. Hal ini harus dipahami oleh aparat perencana, agar produk perencanaan dapat okomodatif terhadap kebutuhan daerah dan aspirasi masyarakat. Untuk mewujudkan perencanaan dimaksud, dalam implementasinya diperlukan pendanaan, sumberdaya manusia dan sarana/peralatan yang memadai, serta diperlukan perangkat sistem yang efektif untuk pengendalian dan penilaian kinerja. Peran anggaran pemerintah sebenarnya hanya sebagai stimulus investasi. Disamping itu, anggaran yang dialokasikan untuk pembangunan peternakan di daerah juga merupakan instrumen
pengendalian,
memberikan
informasi
rinci
atas
pelaksanaan
operasional program maupun kegiatan. Namun demikian, bukti-bukti empiris menunjukkan bahwa peran subsektor peternakan terhadap ekonomi nasional maupun daerah sangat penting, tetapi bila ditelaah lebih lanjut ternyata para pelaku usaha peternakan tidak dapat menikmati pertumbuhan ekonomi secara proporsional sesuai kontribusinya. Dalam
rangka
pembangunan
ekonomi
wilayah,
peran
subsektor
peternakan memilki kaitan kuat di hulu maupun hilir. Namun demikian, peran strategis tersebut belum banyak difahami dan belum mampu mendorong partisipasi masyarakat dan swasta, serta dihadapkan pada berbagai kendala. Untuk itu, tidak hanya pendekatan teknis seperti yang telah diterapkan selama ini, tetapi juga pendekatan sosial budaya yang mampu merangsang perubahan sikap dan pola kerja, melalui pemilihan kegiatan yang benar-benar dapat memicu pembangunan peternakan. Permasalahan yang sangat klasik adalah kebutuhan anggaran selalu meningkat sejalan dengan pemenuhan target pencapaian populasi dan produksi nasional maupun daerah tidak diikuti oleh naiknya anggaran yang diperlukan. Dengan demikian, untuk masa yang datang
163 diperlukan koordinasi dalam implementasi pembangunan peternakan baik di pusat maupun di daerah sehingga anggaran pemerintah yang terbatas dapat dimanfaatkan secara tepat sasaran untuk menggerakan partisipasi masyarakat dan swasta. Secara visual disajikan pada Gambar 31.
Leverage of Attributes
Perubahan nilai APBD subsektor peternakan
0.26
Ketersediaan agroindustri peternakan
0.20 0.19
Keuntungan (profit) Ketersediaan industri pakan ternak
0.11 0.14
Kelayakan finansial
0.28
Attribute
Besarnya pasar
0.14
Transfer keuntungan Rata-rata pendapatan peternak terhadap UMR
0.18
Rata-rata penghasilan peternak antar skala usaha
0.17
Konstribusi terhadap total pendapatan keluarga
0.34
Kontribusi terhadap PDRB dan PAD
0.27 0.19
Pendapatan dari usaha non tani Trend harga ternak dan hasil ternak
0.14 0
0.05
0.1
0.15
0.2
0.25
0.3
0.35
0.4
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
Gambar 31.
Atribut ekonomi yang menjadi faktor pengungkit keberlanjutan pengembangan ternak
5.3.3. Status Keberlanjutan Dimensi Sosial Budaya Dimensi sosial budaya memiliki indeks keberlanjutan yang tergolong cukup berkelanjutan karena masih lebih kecil dari nilai 75,0. Dengan demikian pembangunan
dimensi
sosial
budaya
di
Kabupaten
Jayapura
dalam
pengembangan sapi potong harus dilakukan dengan memperhatikan atribut yang merupakan faktor pengungkit guna efisiensi dan efektivitas kegiatan usaha.
164 Atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat keberlajutan dimensi ekonomi terdiri dari tiga belas atribut, yaitu (1) pertumbuhan rumah tangga peternak, (2) peran masyarakat dalam usaha agribisnis peternakan, (3) jumlah rumah tangga peternak, (4) tingkat pendidikan rata-rata masyarakat peternak, (5) frekuensi konflik, (6) partisipasi keluarga dalam usaha peternakan, (7) frekuensi penyuluhan dan pelatihan, (8) Curahan waktu kerja untuk usaha peternakan, (9) pengetahuan terhadap lingkungan, (10) pertumbuhan penduduk, (11) kesehatan masyarakat peternak, (12) alternatif usaha selain peternakan, (13) rasio tenaga kerja. Berdasarkan nilai RMS (> 1,5), empat diantaranya merupakan faktor pengungkit. Adapun atribut sosial budaya yang merupakan faktor pengungkit adalah: Peran masyarakat dalam usaha agribisnis peternakan. Elemen terpenting dalam mengimplementasikan pembangunan agribisnis peternakan adalah elemen dari peran masyarakat petani peternak yang menempati posisi sangat strategis yaitu berperan sebagai pelaku utama dan subyek pembangunan (prime mover to development) serta berperan aktif dalam seluruh aspek kegiatan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi termasuk
kesempatan
untuk
menikmati
hasil
pembangunan
agribisnis
peternakan. Berdasarkan pengamatan di lokasi penelitian menunjukkan bahwa selama ini peran masyarakat dalam usaha agribisnis peternakan relatif masih rendah sehingga perlu ditingkatkan agar pertumbuhan dan perkembangan agribisnis peternakan di daerah ini lebih maju lagi. Rendahnya peran masyarakat dalam usaha agribisnis peternakan mengakibatkan ketersediaan produk agribisnis peternakan jumlahnya sangat sedikit pula. Frekuensi penyuluhan dan pelatihan. Kegiatan penyuluhan dan pelatihan yang dilakukan oleh instansi teknis bidang peternakan akan memberikan pengaruh kepada perubahan perilaku peternak agar mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan, dan sumberdaya lainnya, sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan, dan kesejahteraannya, serta meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup. Untuk memberdayakan petani peternak (farmer development) peran penyuluhan memiliki posisi yang sangat strategis. Pemberdayaan peternak dapat berarti meningkatkan kemampuan atau kemandirian
peternak
dengan
menciptakan
suasana
atau
iklim
yang
165 memungkinkan peternak untuk dapat berkembang. Disamping itu peningkatan kemampuan peternak dalam membangun kelembagaan peternak (kelompok tani) dan melakukan perlindungan melalui keberpihakan kepada yang lemah dengan mencegah persaingan yang tidak seimbang, menciptakan kemitraan yang saling menguntungkan dan melakukan hubungan atau kerjasama dengan menjalin kemitraan usaha dengan lembaga-lembaga terkait serta sebagai media dalam proses transfer atau adopsi teknologi peternakan. Tingkat pendidikan rata-rata masyarakat peternak. Tingkat pendidikan rata-rata masyarakat peternak di lokasi penelitian secara formal adalah sekolah dasar (SD) sedangkan pendidikan secara non formal (kursus atau pelatihan) masih banyak yang tidak pernah mengikuti kursus atau pelatihan. Pendidikan formal diukur berdasarkan tingkatan atau jenjang formal dan merupakan
standar nasional
pada tingkatan pendidikan di
Indonesia secara formal. Pendidikan non formal diukur berdasarkan frekuensi dalam mengikuti kursus dan atau pelatihan yang berhubungan dengan usahanya dalam kurun waktu satu tahun terakhir, terhitung setahun sampai dengan penelitian ini berlangsung. Pendidikan formal merupakan jenjang pendidikan yang pernah dilalui oleh peternak secara formal, proporsi terbesar tingkat pendidikan formal pada seluruh Distrik adalah tingkalan SD. Proporsi terbesar pendidikan tingkat SD berada pada Distrik Kemtuk Gresi sebesar 56,67 persen berikutnya Distrik Kemtuk sebesar 48 persen, Distrik Nimboran sebesar 46,67 persen dan Distrik Nimbokrang sebesara 44 persen. Proporsi berikutnya adalah tingkatan SMP dengan persentase pada masing-masing yaitu Distrik Kemtuk Gresi sebesar 36,67 persen, Distrik Nimboran sebesar 33,33 persen, Distrik Kemtuk sebesar 32 persen dan Distrik Nimbokrang sebesar 28 persen. Untuk tingkatan SMA, terdapat 3 distrik yang memiliki persentase 16 persen yaitu Distrik Nimboran, Nimbokrang dan Kemtuk sedangkan Distrik Kemtuk gresi hanya 6,66 persen yang mengecap tingkat pendidikan SMA. Akumulasi dari angka atau persentase di atas mengindikasikan bahwa tingkat pengetahuan peternak tergolong rendah, sehingga peternak perlu untuk meningkatkan
pengetahuannya
melalui
pendidikan
non
formal
yang
berhubungan dengan usaha yang dilakukannya, agar dapat memberikan informasi baru dan menambah pengetahuan serta wawasan peternak guna dapat mengembangkan usaha peternakan sapi potong dengan lebih baik.
166 Tabel 44. Tingkat Pendidikan Formal Peternak pada 4 Distrik di Kabupaten Jayapura Pendidikan Formal
Distrik Nimbokrang
Distrik
Distrik
Distrik
Total
Nimboran
Kemtuk Gresi
Kemtuk
n=25
%
n=30
%
n=30
%
n=25
%
n=110
%
SD
11
44
14
46,67
17
56,67
12
48
54
49,09
SMP
7
28
10
33,33
11
36,67
8
32
36
32,73
SMA
4
16
5
16,67
2
6,66
4
16
15
13,64
Diploma
2
8
1
3,33
0
0
1
4
4
3,64
Sarjana
1
4
0
0
0
0
0
0
1
0,9
Total
25
100
30
100
30
100
25
100
110
100
Rata-Rata Tingkat Pendidikan Peternak
SMA, 13.64
Diplom a, 3.64
Sarjana, 0.9
SD SMP SMA Diploma Sarjana SD, 49.09
SMP, 32.73
Gambar 32.
Rata-rata tingkat pendidikan formal peternak pada 4 distrik di Kabupaten Jayapura
Pendidikan pelatihan/kursus,
non terlihat
formal
peternak
diukur
bahwa peternak yang tidak
dengan pernah
frekuensi mengikuti
pelatihan/kursus menempati proporsi terbesar, masing-masing; Distrik Kemtuk Gresi 76,67 persen, Distrik Kemtuk sebesar 70 persen, Distrik Nimboran sebesar 48 persen dan Distrik Nimbokrang sebesar 40 persen. Namun sebagian peternak mengikuti pelatihan/kursus dengan frekuensi pelatihan/kursus sebanyak 1-3 kali, masing-masing; Distrik Nimboran sebesar 28 persen, Distrik Nimbokrang sebesar 24 persen, Distrik Kemtuk Gresi 20 persen dan Distrik Kemtuk 16,67 persen. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan non formal yang pernah diikuti oleh peternak sapi potong
di Kabupaten Jayapura dikategorikan rendah.
167 Peternak yang mengikuti pelatihan/kursus sebanyak 4-6 kali, masing-masing; Distrik Nimbokrang sebesar 24 persen, Distrik Nimboran sebesar 26 persen, Distrik Kemtuk 10 persen dan Distrik Kemtuk Gresi 3,33 persen. Peternak yang mengikuti pelatihan/kursus lebih dari 6 kali, hanya terdapat pada Distrik Nimbikrang, Nimboran dan Kemtuk masing-masing; 12%, 8 % dan 3,33%. Akumulasi dari angka dan persentase di atas sangat memprihatinkan dalam dunia usaha atau bisnis bila tidak ditopang dengan pendidikan non formal yang secukupnya. Dari data yang ada peternak yang pernah mengikuti kursus atau pelatihan sebesar 40 persen dan peternak yang tidak mengikutinya di Kabupaten Jayapura sebesar 60 persen. Pendidikan non formal yang diikuti peternak dilakukan oleh berbagai instansi terkait, yakni Dinas Pertanian dan Peternakan Kabuputen Jayapura, Dinas Sosial Kabupaten Jayapura dan Dinas Koperasi, dan lain-lain. Selain itu ada peternak yang mengikuti pelatihan dan atau kursus di Kota Jayapura, penyelenggaraannya adalah Dinas Pertanian, Perkebunan dan Peternakan Provinsi Papua, Dinas Koperasi Provinsi Papua dan Lembaga Swadaya Masyarakat. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 45. Tabel 45. Tingkat Pendidikan Non Formal Peternak pada 4 Distrik di Kabupaten Jayapura
Pendidikan Non
Distrik Nimboran
Distrik Kemtuk
Distrik Kemtuk Gresi
Total
Distrik Nimbokrang
Formal
n=110
%
Tidak pernah mengikuti
12 = 48%
21= 70%
23= 76,67%
10 = 40%
66
60
Pernah mengikuti 1 ‐3 kali
7 = 28%
5 = 16,67%
6 = 20%
6 = 24%
24
21,82
Pernah mengikuti 4 ‐6 kali
4 = 16%
3 = 10 %
1 = 3,33%
6 = 24%
14
12,73
Pernah mengikuti > 6 kali
2 = 8%
1 = 3,33%
0
3 = 12%
6
5,45
Total
25 = 100%
30 = 100%
30 = 100%
25 = 100%
110
100
168
Tingkat Pendidikan Non Formal Peternak Jayapura
12.73
5.45 Tidak Pernah Kursus Kursua 1 - 3 Kali Kursua 4 - 6 Kali
21.82
60
> 6 Kali
Gambar 33. Rata-rata Tingkat Pendidikan Non Formal Peternak pada 4 Distrik di Kabupaten Jayapura
Pertumbuhan rumah tangga peternak (RTP). Pertumbuhan RTP yang tinggi akan memberikan kontribusis yang tinggi pula dalam hala penyerapan tenaga kerja. Selama ini RTP di Kabupaten Jayapura relatif masih rendah namun secara nasional terjadi peningkatan. Menurut hasil Sensus Pertanian (BPS, 2004a), terjadi peningkatan RTP dari 4,50 juta pada tahun 1983 menjadi 5,62 juta pada tahun 1993 dan menjadi 5,63 juta pada tahun 2003. peningkatan sebesar 1,1 juta RTP selama 10 tahun pertama menunjukkan bahwa subsektor peternakan memiliki peranan yang signifikan dan cenderung meningkat dalam menciptakan lapangan kerja dan sebagai pendapatan keluarga, namum peningkatan tersebut makin menurun pada sepuluh tahun kedua karena memang ada beberapa provinsi yang mengalami penurunan RTP seperti Provinsi Papua. Keadaan ini supaya dirubah dan diperbaiki di masa yang akan datang supaya dapat ditingkatkan dalam upaya pengembangan agribisnis peternakan. Berdasarkan jumlah RTP masing-masing komoditas, Sensus Pertanian 1993 menunjukkan bahwa usaha sapi potong melibatkan paling banyak RTP yaitu 2,95 juta. Kemudian diikuti RTP babi 0,60 juta, RTP ayam buras 0,48 juta dan RTP kambing 0,39 juta. Sensus Pertanian 2003 hanya tiga jenis ternak yang didata. Dari 5,63 juta ternak, RTP sapi potong 2,57 juta (42,5%), kambing 0,60 juta (10,6%), ayam buras 0,85 juta (15,1%), dan ternak lainnya 1,61 juta (28,6%) (BPS, 2005a). Indikator ini menunjukkan pentingnya peran usaha peternakan sapi untuk menciptakan pemerataan
169 kesempatan kerja dan pendapatan. Secara visual atribut sosial budaya yang menjadi faktor pengungkit dapat di lihat pada Gambar 34. Leverage of Attributes
Rasio tenaga kerja
0.832
Alternatif usaha selain peternakan
1.134
Kesehatan masyarakat peternak
0.901
Pertumbuhan penduduk
1.208
Attribute
Pengetahuan terhadap lingkungan
1.385
partisipasi keluarga dalam usaha
1.202
Frekuensi penyuluhan dan pelatihan
1.857
Curahan waktu kerja dalam usaha peternakan
1.649
Frekuensi konflik
1.369
Tingkat pendidikan rata-rata masyarakat peternak
1.713
Jumlah rumah tangga peternak
0.818
Peran masyarakat dalam usaha agribisnis peternakan
2.165
Pertumbuhan rumah tangga peternak
1.623 0
0.5
1
1.5
2
2.5
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
Gambar 34. Atribut sosial budaya yang menjadi faktor pengungkit keberlanjutan pengembangan ternak. 5.3.4. Status Keberlanjutan Dimensi Teknologi Dimensi teknologi memiliki indeks keberlanjutan yang tergolong kurang berkelanjutan
karena
masih
lebih
kecil
dari
50,0.
Dengan
demikian
pembangunan dimensi teknologi untuk pengembangan ternak sapi potong di Kabupaten jayapura perlu dilakukan dengan memperhatikan atribut yang merupakan
faktor
pembangunan.
pengungkit
Terdapat
guna
sembilan
efisiensi atribut
dan
teknologi
efektivitas yang
kegiatan
menentukan
keberlanjutan program yaitu; (1) standar mutu produk peternakan, (2) ketersediaan sarana dan prasarana agribisnis, (3) ketersediaan teknologi informasi dan transportasi, (4) ketersediaan tempat pelayanan Inseminasi Buatan (IB), (5) teknologi pakan, (6) ketersediaan tempat atau pos pelayanan kesehatan hewan, (7) teknologi pengolahan limbah peternakan, (8) teknologi pengolahan hasil produk peternakan, (9) penggunaan vitamin dan probiotik untuk pertumbuhan
ternak.
Tiga
diantaranya
merupakan
faktor
pengungkit
berdasarkan nilai RMS (> 2,0). Atribut teknologi yang merupakan faktor pengungkit adalah (1) ketersediaan tempat pelayanan inseminasi buatan (IB), (2)
170 ketersediaan tempat pelayanan kesehatan hewan dan (3) ketersediaan sarana dan prasarana agribisnis. Secara visual disajikan pada Gambar 35. Leverage of Attributes
0.47
Standar mutu produk peternakan
2.40
Ketersedian sarana dan prasarana agribisni
Ketersedian teknologi inf ormasi dan transportasi
1.71
Attribute
Penggunaan vitamin dan probiotik untuk pertumbuhan ternak
1.77 2.69
Ketersediaan tempat pelayanan IB
1.80
Teknologi pakan
1.71
Teknologi pengolahan limbah peternakan
2.56
Ketersediaan tempat pelayanan kesehatan hew an
0.77
Teknologi pengolahan hasil produk peternakan
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
Gambar 35. Atribut teknologi yang menjadi faktor pengungkit keberlanjutan pengelolaan ternak Ketersediaan tempat pelayanan inseminasi buatan (IB) Secara nasional populasi dan produktivitas ternak potong dan ternak perah selama beberapa tahun terakhir menunjukkan kecenderungan menurun. Tingkat pertumbuhan sapi potong selam 3 (tiga) tahun terakhir hanya mencapai 1,08% per tahun. Sementara dilain pihak, dengan pertumbuhan penduduk yang meningkat rata-rata 1,5% per tahun dan pertumbuhan ekonomi meningkat dari 1,5% sampai 5,0% pada tahun 2005, maka diperkirakan permintaan terhadap daging sapi akan terus meningkat. Bila tidak dilakukan upaya untuk meningkatkan populasi dan produksi, maka ternak potong lokal akan terkuras karena tingginya angka pemotongan, sehingga harus dilakukan impor sapi sebesar rata-rata 300 ribu ekor/tahun, dimana tahun 2009 dapat mencapai 500 ribu ekor (Dirjenak, 2010). Pelaksanaan Inseminasi Buatan (IB) merupakan salah satu upaya penerapan teknologi tepat guna yang merupakan pilihan utama untuk
171 peningkatan populasi dan mutu genetik ternak. Melalui kegiatan IB, penyebaran bibit unggul ternak sapi dapat dilakukan dengan murah, mudah dan cepat, serta diharapkan dapat meningkatkan pendapatan para peternak. Pelaksanaan IB di Kabupaten Jayapura telah dilaksanakan dari tahun 1990 namun sampai sekarang belum menunjukkan keberhasilan yang baik hal ini terlihat dari besarnya Service per Conception (S/C) rata-rata yang diperoleh baru mencapai 3,4 dan dan Conception Rate (CR) 40% (Dinas Peternakan Provinsi Papua, 2010). Hal ini jauh dari target keberhasilan
untuk wilayah tahapan swadaya
untuk S/C < 2 dan CR 80% (Dirjenak, 2010). Pelaksanaan IB di Kabupaten Jayapura selama ini masih bergantung straw dari Dinas Perkebunan dan Peternakan Provinsi Papua, dan hanya ada 2 (dua) unit pos IB itupun dengan memanfaatkan rumah petugas yang ada di distrik. Ketersediaan tempat pelayanan kesehatan hewan Pemberlakuan Undang-Undang No. 22 tahun 1999 dan Undang-Undang No. 25 tahun 1999, disertai dengan penyerahan aset dan pegawai pusat kepada pemerintah daerah. Salah satu aset pemerintah pusat yang diserahkan tanggung jawabnya ke pemerintah daerah adalah Pos Kesehatan Hewan (Poskeswan). Dengan pelaksanaan otonomi, subsidi yang diberikan pemerintah pusat kepada Poskeswan dihapuskan, sedangkan Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Jayapura hanya memiliki Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebesar Rp. 3.788.978.208 Tahun Anggaran 2003 dan pada Tahun Anggaran 2002 mendapat Dana Alokasi Umum (DAU) sebesar Rp. 344.854.260.445, sementara untuk belanja rutin pegawai memerlukan dana sebesar Rp. 340.986.894.951. Dengan kondisi keuangan Pemda Kabupaten Jayapura yang demikian, mengakibatkan Pemda
menghadapi
kendala
untuk
memberikan
subsidi
berupa
dana
operasional, obat-obatan dan bahan kimia yang dibutuhkan oleh Poskeswan. Seperti yang kita ketahui, sektor penanganan penyakit membutuhkan perhatian yang serius, karena tidak hanya menyangkut masalah ternaknya saja tetapi juga manusianya, Beberapa penyakit hewan dapat menular ke manusia. Penyakit hewan yang menular ke manusia bersifat zoonosis, penyakit tersebut diantaranya : A1, Anthrax, Brucellosis dan Tuberculosis. Pencegahan penyakit tersebut dapat dilakukan dengan vaksinasi, pemberian penyuluhan tentang tanda-tanda
klinis
penyakit
tersebut,
sistem
pelaporannya
penanganan
sementara hewan sakit dan perilaku hidup bersih dan sehat serta biosecurity untuk mencegah penyebaran dan penularan lebih luas. Kesadaran masyarakat
172 dan
pihak-pihak
terkait
sangat
diperlukan
dalam
penanganan
dan
pemberantasan penyakit hewan penanganan yang cepat dan tepat dapat membantu mengurangi resiko dan kerugian akibat penyakit hewan. Pemberian pengetahuan melalui penyuluhan sangat diperlukan secara terus menerus dan berkelanjutan agar dapat memberikan pemahaman yang mendalam tentang kondisi ternak dan kebutuhan masing-masing petani peternak dalam upaya peningkatan derajat kesehatan hewan. Pos Kesehatan Hewan (Poskeswan) sebagai unit terdepan yang langsung berhubungan dengan masyarakat petani peternak melaksanakan fungsi pelayanan kesehatan hewan dan penyuluhan, memiliki peran strategis terhadap upaya peningkatan populasi dan produktivitas ternak. Dari berbagai pengalaman selama ini menunjukkan bahwa pelaksanaan pelayanan yang dilakukan oleh Poskeswan hasilnya kurang optimal karena keterbatasan sarana prasarana, personil serta wilayah kerja yang cukup luas Ketersediaan sarana dan prasarana agribisnis Menurut Ernalia et al, (2004), dan Deptan (2004a), suatu wilayah dapat menjadi suatu kawasan agropolitan bila pengembangan kawasan tersebut tidak saja menyangkut kegiatan budidaya pertanian (on farm) tetapi juga kegiatan off farm-nya, yaitu mulai pengadaan sarana dan prasarana pertanian (seperti benih/bibit, pupuk, obat-obatan, alat dan mesin pertanian), kegiatan pengolahan hasil pertanian sampai dengan kegiatan pemasaran hasil pertanian (seperti bakulan, warung, jual beli hasil pertanian, pasar lelang, terminal/sub terminal agribisnis, dll) dan juga kegiatan penunjangnya (seperti pasar hasil, agrowisata). Memiliki berbagai sarana dan prasarana agribisnis yang memadai untuk mendukung pengembangan sistem dan usaha agribisnis yaitu : 1) pasar, baik pasar untuk hasil-hasil pertanian, pasar sarana pertanian, alat dan mesin pertanian, maupun pasar jasa pelayanan termasuk pasar lelang, gudang tempat penyimpanan dan prosessing hasil pertanian sebelum dipasarkan, 2) Lembaga Keuangan (perbankan dan non perbankan) sebagai sumber modal untuk kegiatan agribisnis, 3) memiliki kelembagaan petani (kelompok, koperasi, asosiasi) yang harus berfungsi pula sebagai Sentra Pembelajaran dan Pengembangan Agribisnis (SPPA), 4) Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) yang berfungsi sebagai Klinik Konsultasi Agribisnis (KKA) yakni sebagai sumber informasi
agribisnis,
tempat
percontohan
usaha
agribisnis,
dan
pusat
pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan usaha agriibisnis yang lebih efisien dan menguntungkan. Dalam pengembangan kawasan ogropolitan ini BPP
173 perlu diarahkan menjaadi Balai Penyuluhan Pembangunan Terpadu dimana BPP ini merupakan basis penyuluhan bagi para penyuluh dan petugas yang terkait dengan pembangunan kawasan agropolitan dan penyuluh swakarsa seperti kontrakan/petani maju, tokoh, masyarakat, dll, 5) percobaan/pengkajian teknologi agribisnis, untuk mengembangkan teknologi tepat guna yang cocok untuk daerah kawasan agropolitan, 6) jaringan jalan yang memadai dan aksessibilitas dengan daerah lainnya serta sarana irigasi, yang kesemuanya untuk mendukung usaha pertanian (agribisnis) yang lebih efisien. Memilki sarana dan prasarana umum yang memadai, seperti transportasi, jaringan listrik, telekomunikasi, air bersih, dan lain-lain. Memiliki sarana dan prasarana kesejahteraan social/masyarakat yang memadai seperti kesehatan, pendidikan, kesenian, rekreasi, perpustakaan, swalayan
dan
lain-lain.
Kelestarian
lingkungan
hidup
baik
kelestarian
sumberdaya alam, kelestarian sosial budaya maupun keharmonisan hubungan kota terjamin. Berdasarkan pengamatan di lapangan, sarana dan prasarana agribisnis ini masih jauh dari harapan atau dengan kata lain kurang memadai. Untuk itu, di masa yang akan datang perlu ada perhatian yang serius bagi semua stakeholder
sehingga
pengembangan
pertanian
dan
peternakan
dapat
meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat petani ternak di pedesaan. 5.3.5. Status Keberlanjutan Dimensi Kelembagaan Dimensi kelembagaan memiliki indeks keberlanjutan yang tergolong kurang berkelanjutan karena < 50. Dengan demikian pembangunan dimensi kelembagaan untuk pengembangan peternakan di Kabupaten Jayapura perlu memperhatikan atribut yang merupakan faktor pengungkit yang bertujuan untuk mencapai tingkat efisiensi dan efektivitas kegiatan kelembagaan baik dari pemerintah maupun dari masyarakat petani ternak. Terdapat sembilan atribut kelembagaan yang menentukan keberlanjutan yaitu: (1) ketersediaan Badan Penyuluh Pertanian (BPP), (2) ketersediaan lembaga keuangan (bank/kredit), (3) kerjasama antar negara dalam pengembangan peternakan, (4) koperasi peternak, (5) kemitraan dengan lembaga adat, (6) sinkronisasi kebijakan pusat dan daerah, (7) partisipasi pengusaha (swasta) dalam usaha peternakan, (8) kemitraan dengan pemerintah, (9) kemitraan dengan kelompok tani.
Empat
diantaranya merupakan faktor pengungkit berdasarkan nilai RMS (> 1,5). Atribut kelembagaan yang merupakan faktor pengungkit adalah (1) ketersediaan
174 lembaga keuangan (bank/kredit), (2) sinkronisasi kebijakan pusat dan daerah, (3) ketersediaan Badan Penyuluh Pertanian (BPP), (4) kemitraan dengan lembaga adat. Secara visual disajikan pada Gambar 36.
Gambar 36.
Atribut kelembagaan yang menjadi keberlanjutan pengembangan ternak
faktor
pengungkit
Ketersediaan lembaga keuangan (bank/kredit) Sampai saat ini banyak kalangan menilai bahwa sektor pertanian memiliki banyak permasalahan, namun disisi lain, sektor pertanian sebagaimana diketahui memiliki peran yang sangat penting dalam perekonomian Indonesia diantaranya sebagai penghasil devisa, sektor yang terbesar menyerap tenaga kerja (sekitar 73% dari angkatan kerja nasional) dan menampung 90% usaha kecil menengah. Sektor pertanian merupakan salah satu dari care business di Kabupaten Jayapura dan merupakan salah satu pilar penyokong pertumbuhan
175 perekonomian daerah. Selain itu, terbukti sektor ini masih dapat bertahan dimasa krisis, dan mampu memberikan kontribusi yang cukup besar bagi ketahanan pangan dan kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Jayapura. Berlakunya Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan keuangan pemerintah pusat dan provinsi dan kabupaten/ kota menimbulkan
perubahan
yang
kewenangan
pemerintahan
fundamental
termasuk
dalam
dalam
keseluruhan
proses
pelayanan
sistem yang
berhubungan dengan penanaman modal. Disamping itu, persaingan dalam menarik investasi di dalam negeri cenderung meningkat semakin tajam pada berbagai sektor terutama sektor Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan Penanaman Modal Asing (PMA), sektor pertanian terutama pada pertanian rakyat ternyata sulit sekali ditemukan investor menanamkan modalnya pada sektor ini sehingga sangat sulit menempatkan pertanian sebagai sektor ekonomi yang dapat berdiri sendiri, dimana berdasarkan cakupan pelaku maupun keterkaitan antar kelembagaan akan berkaitan dengan kebijakan moneter, infrastruktur,
pengembangan
sumber
daya
manusia
serta
kebijakan
perdagangan dalam negeri maupun luar negeri. Secara umum kelembagaan keuangan menjalankan fungsi pembiayaan di Indonesia meliputi Bank Usaha Milik Negara (BUMN), bank swasta nasional, bank asing, Bank Pembangunan Daerah (BPD), Bank Perkreditan Rakyat (BPR), dan lembaga keuangan non bank. Namun, banyaknya lembaga keuangan tersebut yang serius dan konsisten dalam pembiayaan sektor pertanian masih sangat terbatas. Sinkronisasi kebijakan pusat dan daerah Agenda pembangunan daerah Kabupaten Jayapura merupakan satu kesatuan dalam mendukung agenda pembangunan nasional dan provinsi. Sinergitas dan konsistensi kebijakan pembangunan menjadi hal yang mendasar untuk dapat dilaksanakan dalam setiap tahapan proses kebijakan pembangunan di daerah. Keterpaduan dan sinkronisasi perencanaan dan penganggaran pembangunan tahun 2011 antara Pemerintah Kabupaten Jayapura dengan Pemerintah Propinsi Papua dan Pemerintah Pusat nampak dari isu strategis dan masalah mendesak dan prioritas program dan kegiatan yang menunjang guna mengatasi hal dimaksud. Keterpaduan dan sinkronisasi dilakukan melalui upaya penyamaan presepsi terhadap tantangan, prioritas dan langkah kebijakan pembangunan sehingga secara simultan tercapai tujuan pembangunan nasional
176 sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Keterpaduan dan Sinkronisasi kebijakan program kegiatan terutama yang terkait dengan penurunan angka kemiskinan (pro poor) ; penurunan tingkat pengangguran (pro job) dan peningkatan pertumbuhan ekonomi (pro growth) dengan tetap memperhatikan kebijakan Millenium Development Goals (MDGs) dan keadilan untuk semua (justice for all) merupakan tantangan yang membutuhkan penyatuan persepsi dalam penyusunan program kegiatan. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 37 Tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan APBD Tahun Anggaran 2011 mengisyaratkan adanya tantangan utama pembangunan yang harus dihadapi dan diatasi pada tahun 2011, yaitu : (a)
Penciptaan
pertumbuhan
ekonomi
yang
berkualitas
yang
mampu
menciptakan pekerjaan dan mengurangi kemiskinan; (b) Pembangunan tata kelola yang baik untuk dapat meningkatkan efektivitas dan efesiensi pengeluaran pemerintah; (c) Peningkatan sinergi antara pemerintah dan pemerintah daerah. Berdasarkan atas realisasi pembangunan 2009 dan perkiraan capaian tahun 2010 serta tantangan yang dihadapi pada tahun 2011 maka terdapat 11 (sebelas) prioritas kebijakan pembangunan nasional tahun 2011 dan (tiga) prioritas lainnya. Adapun 11 prioritas dimaksud adalah: (1) Pemantapan reformasi birokrasi dan tata kelola pemerintahan; (2)Peningkatan akses dan kualitas
pendidikan;
(4)Penanggulangan
(3)
Perbaikan
Kemiskinan;
(5)
akses
dan
Peningkatan
mutu
Kesehatan;
Ketahanan
Pangan;
(6)Peningkatan kualitas dan kuantitas infrastruktur; (7) Perbaikan iklim investasi dan iklim usaha; (8) Peningkatan sumber daya energi; (9) Peningkatan kualitas lingkungan hidup dan pengelolaan bencana; (10) Penanganan daerah tertinggal, terdepan, terluar dan pasca – konflik; (11) Pengembangan kebudayaan, kreativitas dan inovasi teknologi. Sedangkan 3 prioritas lainnya adalah 1). Bidang Politik hukum dan keamanan ; 2). Bidang Perekonomian ; dan 3) Bidang Kesejahteraan Rakyat. Ketersediaan badan penyuluh pertanian (BPP) Sektor pertanian di masa mendatang diharapkan masih memegang peran strategis
sebagai
penghela
pembangunan
ekonomi
nasional,
karena
kontribusinya yang nyata bagi 230 juta penduduk Indonesia, penyedia bahan baku industri, peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB), penghasil devisa
177 negara melalui ekspor, penyedia lapangan pekerjaan, dan peningkatan pendapatan masyarakat. Untuk meningkatkan peran sektor pertanian sebagai penghela pembangunan nasional, Kementerian Pertanian pada periode 2010 2014 telah menetapkan visi pembanguan pertanian, yaitu “Terwujudnya pertanian industrial unggul berkelanjutan yang berbasis sumberdaya lokal untuk meningkatkan kemandirian pangan, nilai tambah, daya saing, ekspor, dan kesejahteraan petani”. Target utama penetapan visi pembangunan tersebut adalah untuk mewujudkan empat sukses pembangunan pertanian, yaitu: 1) pencapaian swasembada dan swasembada berkelanjutan, 2) peningkatan diversifikasi pangan, 3) peningkatan nilai tambah, daya saing dan ekspor, dan 4) peningkatan kesejahteraan petani. Dalam rangka mewujudkan empat sukses pembanguan pertanian tersebut, diperlukan sumber daya manusia pertanian yang profesional, kreatif, inovatif, dan berwawasan global. Untuk itu, penyuluhan pertanian, pelatihan pertanian, pendidikan pertanian, serta standarisasi dan sertifikasi SDM pertanian perlu terus dikembangkan dan dimantapkan untuk menyiapkan aparatur yang kompeten, visioner, serta memahami peran dan fungsinya dalam pembangunan pertanian. Di samping itu, kegiatan penyuluhan pertanian, pelatihan pertanian, pendidikan pertanian, serta standarisasi dan sertifikasi SDM pertanian juga ditujukan untuk: 1) memperkuat kelembagaan petani, 2) memberdayakan usaha petani, dan 3) mewujudkan pelaku utama pembangunan pertanian yang mandiri, berjiwa wirausaha, berdaya saing, dan berwawasan global. Hal ini dimaksudkan agar pelaku utama pembangunan pertanian mampu bersaing, baik di pasar regional maupun di pasar global. Kemitraan dengan lembaga adat Sebagai kelanjutan dari perjalanan reformasi ditanah air telah melahirkan tuntutan masyarakat adat dalam rangka memperoleh hak-haknya untuk memiliki suatu sistem sosial tersendiri. Pada periode sebelumnya hak-hak masyarakat adat telah dirampas oleh rezim Orde Baru. Salah satu akibatnya adalah lahirnya proses marginalisasi di segala bidang. Marginalisasi yang dilakukan Negara terhadap masyarakat adat antara lain: (1) dengan lahirnya UU no. 5 tahun 1979 tentang pemerintahan desa, maka masyarakat adat tidak lagi memiliki suatu pemerintahan lokal yang otonom yang menjalankan fungsinya sesuai dengan kepentingan politik dan ekspresi sosial kulturalnya. Pemerintahan desa yang diamanatkan dalam UU No. 5 tahun 1979 menggantikan pemerintahan adat seperti nagari, pasirahan, ketemukungan, dan berfungsi sebagai kepanjangan
178 tangan dari pemerintahan di tingkat pusat, propinsi dan kabupaten. (2) lembaga adat yang melayani kepentingan komunitasnya kemudian dikebiri dengan dijadikan sebagai bagian dari organisasi state corporatisme. Oleh karenanya di tingkat propinsi, kabupaten sampai kecamatan di luar Jawa muncul apa yang disebut Lembaga Masyarakat Adat, suatu organisasi buatan pemerintah yang visi, misi, dan struktur organisasinya tidak selaras dengan konsepsi lembaga adat asli, kalaupun lembaga adat asli masih dibiarkan hidup tetapi fungsinya dibatasi pada hal-hal yang tidak mengurangi hegemoni negara atas masyarakat asli misalnya mempertahankan berlakunya hukum adat secara terbatas karena masyarakat masih mempertahankannya, (4) masyarakat adat menjadi semakin terasing dengan dunia politik di lingkungannya dan tidak mempunyai suatu kepemimpinan lokal yang sejalan dengan worldviewnya. Akibatnya, masyarakat adat menjadi tidak mempunyai bargaining power dalam menghadapi kekuatan dari luar baik yang merepresentasikan negara maupun pasar. Masyarakat adat menjadi terpuruk ekonominya dan semakin ketinggalan terhadap arus kemajuan jaman yang dibawakan oleh rezim Orde. Perjuangan masyarakat adat untuk mengembangkan eksistensinya selalu menghadapi hambatan dan ancaman serta tantangan ke depan yang tidak mudah diatasi. Salah satu hambatan adalah melemahnya modal sosial (social capital) kepempinan dan kebersamaan yang mereka miliki untuk mewujudkan suatu kekuatan bersama dalam mengembangkan komunitasnya, dan rendahnya kemampuan untuk mengelola organisasi adat. Disisi lain mereka dituntut untuk mampu berhadapan dengan berbagai stakeholder seperti lembaga legislatif, eksekutif, press, dan sektor swasta yang mempunyai kepentingan berlainan dan dapat menghambat proses revitalisasi masyarakat adat ke depan. Tidak ketinggalan masyarakat adat pun ke depan dituntut untuk mempunyai kepedulian dengan agenda nasional dan global terhadap semangat demokrasi, HAM dan pluralisme dan keselarasan antara gerakan lokalisme dengan globalisme. Perjuangan yang berat dari masyarakat adat untuk mengembangkan eksistensinya tidak mungkin dibiarkan berjalan sendiri tanpa kepedulian dari berbagai elemen masyarakat sipil lainnya . Beberapa agenda penting yang bisa jadi acuan antara lain: (1) menguatkan kapasitas lembaga-lembaga adat sehingga bisa dikelola secara mandiri dan berkelanjutan, (2) Pelembagaan demokrasi masyarakat adat dengan kepemimpinan yang demokratis, dan bisa diterima oleh komunitas dan masyarakat, (3) membangun akses organisasi dan
179 masyarakat adat untuk menggunakan hak ulayat, sumberdaya ekonomi lokal dan kerjasama dengan pemerintah. Mengawal proses perubahan sosial pada organisasi masyarakat adat maupun pada diri kelompok dengan bekerja sama dengan stakeholder masyarakat adat itu sendiri. Beberapa strategi yang bisa ditempuh antar lain: Pengembangan wacana, pendekatan ini diperlukan untuk menghasilkan suatu kesadaran kritis mengenai pentingnya pemberdayaan masyarakat adat dari berbagai perspektif. Pengembangan Partisipasi, dengan melibatkan masyarakat adat secara langsung dalam proses untuk memperoleh hak-haknya. Pengembangan jaringan kerja, untuk membangun semangat visi gerakan bersama. dan kerja sama masyarakat adat. Proses pemberdayaan masyarakat adat, akan menyisakan berbagai tantangan yang multidimensional. Peran kebijakan pemerintah tentulah diperlukan untuk mempercepat komunitas ini lebih mandiri dan siap menyongsong perubahan sosial yang semakin memperkuat
modal
sosial
memperbaiki
kehidupan
pengurangan
kemiskinan,
karena
konsep
mayoritas pelestarian
pembangunan
manusia,
melalui
lingkungan
adalah
untuk
program-program
hidup,
pembangunan
kesehatan dan pembangunan masyarakat berbasis komunitas. Dengan demikian hanya rakyat sendiri yang dapat menentukan apa sebenarnya yang mereka anggap sebagai perbaikan dalam kualitas hidup mereka. Jadi, partisipasi Lembaga Masyarakat Adat sebagai wadah pemusyawaran dan Partisipasi Masyarakat Adat asli orang Papua dalam pembangunan di Kabupaten Jayapura adalah sesuatu hal yang perlu dan penting, bukan hal yang mengada-ngada dan dibuat-buat. Berdasarkan hasil analisis MDS dan pembahasannya, diperoleh 19 faktor pengungkit kegiatan pengembangan kawasan berbasis ternak sapi potong di Kabupaten Jayapura secara berkelanjutan. Sembilan belas faktor tersebut tertera pada Tabel 46. Dalam proses pengelolaan lingkungan, semua faktor ini harus diperhatikan agar tercapai efisiensi dan efektivitas kegiatan usaha agribisnis peternakan. Secara operasional, faktor-faktor ini memiliki keterkaitan dalam bentuk pengaruh dan ketergantungan antar faktor. Hal ini perlu diperhatikan dalam pelaksanaan kegiatan pengembangan kawasan berbasis ternak sapi potong secara berkelanjutan. Namun demikian, dalam proses implementasinya diperlukan pemilihan faktor yang paling berpengaruh dan memiliki keterkaitan dengan faktor lainnya yang paling tinggi sehingga kegiatan usaha agribisnis
180 peternakan dapat tercapai sesuai dengan visi dan misi yang telah ditetapkan oleh Dinas Peternakan Kabupaten Jayapura. Tabel 46. Faktor pengungkit setiap dimensi pengembangan kawasan berbasis ternak sapi potong Dimensi
Faktor pengungkit
Ekologi
1.
Ekonomi
Sosial Budaya
Sistem pemeliharaan
2.
Tingkat pemanfaatan lahan
3.
Ketersediaan Rumah Potong Hewan (RPH) dan IPAL RPH
4.
Agroklimat
5. 6.
Kontribususi terhadap total pendapatan keluarga Besarnya pasar
7.
Kontribusi terhadap PDRB dan PAD
8.
Perubahan nilai APBD subsektor peternakan
9.
Peran masyarakat dalam usaha agribisnis peternakan
10. Frekuensi penyuluhan dan pelatihan 11. Tingkat pendidikan rata-rata masyarakat peternak 12. Pertumbuhan Rumah Tangga Peternak (RTP) Teknologi
13. Ketersediaan tempat pelayanan IB 14. Ketersediaan tempat pelayanan kesehatan hewan 15. Ketersediaan sarana dan prasarana agribisnis
Kelembagaan
16. Ketersediaan Lembaga Keuangan (bank/kredit) 17. Sinkronisasi kebijakan pusat dan daerah 18. Ketersediaan Badan Penyuluh Pertanian (BPP) 19. Kemitraan dengan Lembaga Adat
Faktor-faktor kunci tersebut digunakan sebagai basis dalam perumusan kebijakan dan strategi implementasi pengelolaan kawasan berbasis agribisnis sapi potong Kabupaten Jayapura secara berkelanjutan. Penentuan faktor kunci dilakukan dengan melibatkan semua stakeholder yang terkait. Hal ini dilakukan agar faktor yang terpilih sesuai dengan kondisi kawasan. 5.4. Faktor Kunci Keberlanjutan Pengelolaan Kawasan Berbasis Agribisnis Sapi Potong Faktor kunci merupakan faktor-faktor yang memiliki tingkat pengaruh lebih tinggi daripada tingkat ketergantungannya terhadap faktor lain sehingga
181 faktor tersebut menjadi penentu dalam kebijakan pengelolaan lingkungan. Faktor penghubung merupakan faktor-faktor yang memiliki tingkat pengaruh hampir sama dengan tingkat ketergantungan terhadap faktor lain. Faktor Terikat merupakan faktor yang memiliki tingkat pengaruh lebih rendah daripada tingkat ketergantungan terhadap faktor lainnya. Faktor bebas merupakan faktor-faktor yang memiliki tingkat pengaruh hampir sama rendahnya dengan tingkat ketergantungan terhadap faktor lainnya. Penentuan faktor kunci dilakukan dengan melibatkan semua stakeholder yang terkait dengan kegiatan pengembangan agribisnis peternakan sapi potong di Kabupaten Jayapura. Untuk mengetahui faktor kunci yang paling berpengaruh dalam pengembangan agribisnis yang berkelanjutan, maka dilakukan analisis yang efektif dan relevansinya tinggi. Artinya bahwa faktor kunci yang dihasilkan sesuai dengan yang dibutuhkan dan relevan untuk diterapkan. Analisis yang digunakan adalah analisis prospektif yang dilakukan secara partisipatif.
Berdasarkan hasil analisis prospektif diperoleh empat faktor kunci keberhasilan pengembangan agribisnis sapi potong di Kabupaten Jayapura yang mempunyai pengaruh tinggi terhadap kinerja sistem dan ketergantungan antara faktor rendah yaitu: (1) sistem pemeliharaan, (2) sarana dan prasarana agribisnis, (3) pos pelayanan Inseminsi Buatan (IB), (4) tersedianya lembaga keuangan (bank/kredit) serta satu faktor yang mempunyai pengaruh tinggi terhadap kinerja sistem dan ketergantungan antar faktor tinggi pula yaitu perubahan nilai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) . Hasil analisis prospektif disajikan pada Gambar 37.
182
Gambar 37. Pemetaan faktor pengungkit pengembangan agribisnis sapi potong 5.5. Kebutuhan stakeholder dalam pengembangan kawasan agropolitan Stakeholder pembangunan kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura adalah individu, kelompok masyarakat dan lembaga pemerintah yang memiliki minat dan wewenang untuk berperan dalam kegiatan pembangunan Kabupaten Jayapura. Identifikasi stakeholder dilakukan berdasarkan peran dan fungsi terhadap kawasan Kabupaten Jayapura. Pendekatan ini lebih menguntungkan stakeholder yang lemah secara politik, tetapi memainkan peran dan fungsi penting terhadap kawasan Kabupaten Jayapura. Stakeholder tersusun atas kelompok pemerintah (pusat dan daerah), masyarakat, pihak swasta, dan lembaga sosial masyarakat. Para stakeholder ini memiliki minat yang berbedabeda dan berbagai masalah dan hambatan dalam menjalankan perannya. Pembangunan kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura di masa mendatang perlu memperhatikan kebutuhan stakeholder. Hal ini berkaitan
183 dengan rencana kegiatan pembangunan yang harus dilakukan dan hal-hal penting yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan pembangunan tersebut. Hasil identifikasi kebutuhan stakeholder disajikan pada Tabel 47. Pemerintah, masyarakat, dan pengusaha merupakan stakeholder yang penting dalam pembangunan kawasan Kabupaten Jayapura. Pemerintah dengan peran otoritas pembangunan wilayah, dan pengusaha dan masyarakat dengan peran peningkatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Dalam konteks perencanaan partisipatif pemerintah pengusaha dapat menjadi pionir yang mampu untuk mengajak dan merangkul stakeholder lainnya dalam berpartisipasi secara aktif, terintegrasi serta dengan visi yang sama dalam merencanakan pengembangan ternak sapi potong untuk kepentingan bersama. Dengan demikian kelestarian kawasan Kabupaten Jayapura dan keberlanjutan manfaat yang dapat diberikan kepada seluruh stakeholder terutama masyarakat lokal dapat terlaksana dengan baik dalam konteks keadilan dan pemerataan. Tabel
47.
Kebutuhan stakeholder Kabupaten Jayapura
Kategori
Stakeholder
Masyarakat
Peternak
Petani Pedagang Tokoh masyarakat
pengembangan
kawasan
agropolitan
Kebutuhan 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Peningkatan pendapatan masyarakat Tersedianya bibit dengan harga yang terjangkau Pembinaan manajemen dan sistem pemeliharaan Pelayanan IB dan keswan yang optimal Sumber permodalan usahatani ternak Tersedianya sarana dan prasarana yang dapat meningkatkan produksi, pengolahan hasil dan pemasaran hasil tani ternak 7. Tersedianya sarana dan prasarana yang dapat mempermudah perolahan saprodi dengan harga terjangkau 8. Terjalinnya kemitraan antara pemerintah, swasta, tokoh adat dan agama dengan masyarakat/ petani‐ peternak 9. Penyediaan lapangan pekerjaan 10. Peningkatan produksi pertanian dan peternakan 11. Pemanfaatan sarana produksi yang ramah lingkungan 12. Lingkungan yang bersih, sehat dan indah
184 Kategori Swasta
Stakeholder Pedagang sektor informal Investor Lembaga keuangan mikro Perbankan
Peneliti dan LSM
Peneliti LSM lokal
DPRD
DPRD Kab. Jayapura DPRD Provinsi Papua
Pemerintah
Departemen Pertanian
BP3D Papua Disbunak Papua Distan Papua Dinas PU Papua Bappeda Kab. Jayapura Disnak Kab. Jayapura Dinas PU Kab. Jayapura Distan Kab. Jayapura
Kebutuhan 13. Terciptanya persaingan usaha yang sehat dan transparan di semua bidang 14. Terbangunnya sarana dan prasarana yang dapat menunjang pengembangan agribisnis dan kawasan agropolitan 15. Tenaga kerja terampil 16. Keberlanjutan usaha 17. Sarana dan prasarana kawasan yang memadai 18. Regulasi yang jelas tentang kemitraan dan investasi 19. Kemudahan dalam memperolah modal usaha 20. Ketersediaan lahan usahatani yang produktif 21. Margin keuntungan yang tinggi 22. Berkembangnya inovasi‐inovasi baru dalam mendorong terwujudnya kawasan agropolitan berkelanjutan 23. Terwujudnya kontrol sosial 24. Tersedianya teknologi sesuai kebutuhan 25. Penguatan kelembagaan 26. Konservasi sumberdaya lahan 27. Peningkatan kualitas sumberdaya manusia 28. Tidak terjadi konflik sosial di masyarakat 29. Adanya regulasi yang dapat mendorong iklim usaha 30. Adanya alokasi dana APBD kabupaten dan provinsi yang dapat meyentuh langsung kehidupan masyarakat di wilayah pedesaan 31. Tersedianya pelayanan infrastruktur yang dapat menunjang kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat 32. Pengembangan ekonomi kawasan 33. Penyerapan tenaga kerja 34. Peningkatan pendapatan asli daerah 35. Pemanfaatan lahan secara optimal dan berkelanjutan 36. Harmonisasi masyarakat dalam kegiatan usahatani ternak 37. Peningkatan minat investasi 38. Sarana dan prasarana pelayanan IB dan keswan 39. Jumlah SDM yang cukup dan kompetensinya sesuai dengan kebutuhan 40. peningkatan populasi sapi potong 41. menurunnya angka sakit dan kematian ternak 42. Peningkatan perekonomian masyarakat
Disbun Kab. Jayapura
Sumber: Hasil survei lapangan (2008)
Selanjutnya faktor-faktor yang menjadi kebutuhan stakeholder tersebut dianalisis guna menentukan faktor kunci dalam pembangunan kawasan agropolitan. Penentuan faktor kunci dari kebutuhan stakeholder ini dilakukan
185 dengan analisis prospektif melibatkan stakeholder dan pakar. Hasil analisis prospektif disajikan pada Gambar 38. Berdasarkan hasil analisis tersebut diperoleh empat faktor kunci yang perlu diperhatikan guna memenuhi kebutuhan stakeholder di masa mendatang dalam pembangunan kawasan agropolitan berbasis agribisnis sapi potong yaitu: pengembangan dan penerapan teknologi budidaya pertanian dan peternakan yang sesuai dengan kondisi lahan, pengembangan komoditi pertanian dan peternakan unggulan yang dapat menjamin kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan pendapatan daerah dan kelestarian lingkungan, peningkatan iklim investasi melalui perbaikan regulasi dan kelembagaan, dan peningkatan kualitas sumberdaya manusia melalui pendidikan dan pelatihan. Hal ini sesuai dengan pendapat Mastur (2002) bahwa strategi yang dipilih dalam pemanfaatan lahan kering marjinal yang ideal, haruslah mempertimbangkan sumberdaya lokal terutama kondisi sosial, budaya dan ekonomi petani, ketersediaan teknologi, ketersediaan dana, serta akses dan peluang pasar.
Gambaran Tingkat Kepentingan Faktor-Faktor yang Berpengaruh pada Sistem yang Dikaji
2.00 1.80
Pemanfaatan lahan
Pengembangan ekonomi Peningkatan kualitas SDM
1.60
Peningkatan pendapatan asli daerah
Pengaruh
1.40 1.20
Tersedianya teknologi Peningkatan minat investasi
Sarana dan prasarana kawasan
1.00 Konservasi lahan
Penyerapan tenaga kerja Keberlanjutan usaha
0.80 Harmonisasi usahatani
0.60
Regulasi kemitraan dan investasi
Peningkatan pendapatan masyarakat
Tenaga kerja terampil Penggunaan saprodi
0.40
Sumber permodalan
0.20 -
#REF!
-
0.20
0.40
0.60
0.80
1.00
1.20
1.40
1.60
1.80
2.00
Ketergantungan
Gambar 38.
Hasil analisis prospektif faktor kunci pembangunan kawasan agropolitan berdasarkan kebutuhan stakeholder
186 Faktor-faktor tersebut merupakan masukan dalam perumusan kebijakan pembangunan kawasan agropolitan berbasis agribisnis sapi potong secara berkelanjutan. Dengan demikian, kebijakan pembangunan kawasan peternakan telah dapat mencerminkan aspirasi stakeholder dan kondisi masa depan yang diinginkan. 5.6. Rancangan Kebijakan Pengembangan Kawasan Agropolitan Berbasis Agribisnis Sapi Potong Berdasarkan hasil analisis sebelumnya, diperoleh berbagai faktor kunci yang menentukan keberhasilan pembangunan kawasan agropolitan berbasis agribisnis sapi potong guna menuju pembangunan berkelanjutan yang mempertimbangkan aspek ekologi, ekonomi, dan sosial. Hasil ini juga telah mempertimbangkan
kondisi
eksisting
wilayah
dan
arahan
kebijakan
pembangunan secara umum. Rancangan kebijakan pembangunan kawasan agropolitan berbasis agribisnis sapi potong dirumuskan dengan memperhatikan faktor-faktor kunci yang telah dihasilkan dari analisis sebelumnya. Menurut Godet et al. (1999), salah satu tujuan melakukan analisis prospektif adalah untuk menterjemahkan strategi ke dalam perencanaan, tujuan umum dan strategi yang muncul dari analisis prospektif yang berguna untuk menentukan prioritas dalam proses perencanaan. Perumusan kebijakan ini dilakukan melalui FGD dengan stakeholder dan pakar. Rumusan rancangan kebijakan pembangunan kawasan agropolitan berbasis agribisnis sapi potong adalah sebagai berikut: 1. Peningkatan kualitas sumberdaya manusia khususnya petani peternak dan pelaku usahatani melalui pelatihan dan pendidikan 2. Pembangunan dan pemeliharaan prasarana dan sarana kawasan guna menunjang pengembangan kawasan 3. Peningkatan jumlah sapi potong yang diusahakan dengan komoditi pertanian yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat 4. Pengembangan dan penguatan kemitraan usahatani dalam mendukung kegiatan pengembangan agribisnis sapi potong 5. Perbaikan iklim investasi dan peningkatan investasi pemerintah dan pengusaha 6. Pengembangan teknologi budidaya pertanian dan peternakan dan perbaikan manajemen usaha tani.
187
5.7. Analytical Hierarchy Process (AHP) Dalam memilih kebijakan yang penting untuk dilaksanakan dan yang lebih aspiratif dari enam alternatif kebijakan yang telah dirumuskan sebelumnya digunakan Model AHP. Kriteria yang digunakan dalam model AHP untuk penentuan kebijakan pembangunan kawasan agropolitan berbasis agribisnis sapi potong adalah kriteria manajemen pelaksanaan pembangunan, khususnya terkait: aktor pelaksana dalam pembangunan wilayah, dimensi pembangunan berkelanjutan,
dan
kriteria
pelaksanaan
untuk
masing-masing
prinsip
pembangunan untuk menentukan prioritas kebijakan pembangunan Kabupaten Jayapura. Hirarki AHP disusun dengan lima level yang memperlihatkan tahapan proses penetapan prioritas. Kriteria yang digunakan untuk pencapaian dimensi merupakan gabungan hasil analisis faktor pengungkit keberlanjutan pembangunan dan analisis kebutuhan stakeholder yang dikelompokkan ke dalam enam dimensi sesuai dengan dimensi pengembangan kawasan agropolitan yang telah dianalisis. Pengisian kuesioner matriks perbandingan berpasangan disampaikan kepada stakeholder yang prominent di provinsi Papua 3 orang, Kabupaten Jayapura 5 orang, Distrik Kemtuk Gresi, Kemtuk, Nimboran dan Nimbokrang masing-masing 2 orang, dan 2 orang dari Universitas Negeri Papua (UNIPA) Manokwari.
Keinginan
dan
preferensi
stakeholder
merupakan
aspirasi
pemerintah, swasta, lembaga swadaya masyarakat, dan pakar terhadap kebijakan yang diinginkannya terkait dengan pembangunan kawasan, baik untuk kepentingan saat ini maupun di masa yang akan datang. Penentuan prioritas kebijakan dilakukan dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan agar diperoleh hasil yang partisipatif dan akomodatif sehingga kebijakan yang dihasilkan dapat dilaksanakan dan didukung oleh semua stakeholder. Analisis dilakukan pada setiap level dari hirarki penentuan kebijakan dalam pemanfaatan ruang wilayah Provinsi Papua. Bobot dan prioritas yang dianalisis adalah hasil kombinasi gabungan dari pendapat dan penilaian seluruh stakeholder pada setiap matriks perbandingan berpasangan. Hasil analisis disajikan pada Gambar 39.
188
Gambar 39. Bobot faktor-faktor pada setiap level penentuan kebijakan Pada level 2 (aktor) diperoleh hasil analisis yaitu pemerintah dan pemerintah daerah (bobot 0,412) merupakan aktor yang paling berperan dalam penentuan kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis sapi potong. Hal ini menujukkan bahwa aspirasi pemerintah daerah menjadi fokus perhatian dalam penentuan kebijakan pembangunan. Pemerintah daerah dan pusat dalam hal ini memegang otoritas dalam perencanaan dan pembangunan wilayah serta berperan menjamin kelestarian pemanfaatan sumberdaya untuk kesejahteraan masyarakat. Aktor yang menjadi prioritas kedua adalah penguasaha dan investor (bobot 0,236) sedangkan aktor petani peternak serta masyarakat dan LSM merupakan prioritas ketiga dan keempat. Pada tahap implementasi, ketiga aktor ini perlu dilibatkan dalam proses pembangunan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi. Hal ini karena di lokasi pengembangan kawasan agropolitan, pengusaha, petani peternak serta masyarakat memegang peranan yang paling dominan. Pada level 3, tujuan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis sapi potong yang menjadi prioritas utama adalah: pertumbuhan ekonomi (0,314), pengembangan dan penerapan teknologi (0,235), kelestarian ekosistem dan fungsinya (0,226),
penguatan kelembagaan (0,0147) dan
kesejahteraan sosial (0,078). Hal ini merupakan indikator bahwa pada umumnya
189 stakeholder mementingkan aspek pertumbuhan ekonomi, pengembangan dan penerapan teknologi dan kelestarian ekosistem dan fungsinya sebagai dimensi penting dalam pengembangan kawasan agropolitas berbasis agribisnis sapi potong. Prioritas ini menujukkan keinginan stakeholder dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan pada kawasan sentra produksi peternakan. Pada level empat, kriteria dari setiap tujuan pembangunan, diperoleh hasil bahwa untuk mencapai pertumbuhan ekonomi, aspek yang harus diprioritaskan adalah usaha ternak sapi potong memberikan manfaat yang besar bagi pendapatan keluarga peternak yang berdampak langsung terhadap kesejahteraan masyarakat. Tujuan teknologi yang menjadi prioritas adalah teknologi Inseminasi Buatan, sarana prasarana agribisnia dan terknologi kesehatan hewan. Tujuan ekologi yang menjadi prioritas adalah sistem pemeliharaan dan luasan lahan yang dimanfaatkan untuk komoditi pertanian dan peternakan. Tujuan kelembagaan yang menjadi prioritas adalah tersedianya lembaga keuangan mikro untuk modal usaha dan terjadinya sinkronisasi kebijakan antara pemerintah pusat dan daerah. Tujuan sosial yang menjadi prioritas adalah terlaksananya penyuluhan dan pelatihan bagi petani peternak yang berkesinambungan. Kesemuanya faktor ini menjadi salah satu bahan pertimbangan dalam penyusunan strategi implementasi arahan kebijakan terpilih. Selanjutnya berdasarkan judgement semua stakeholder dan pakar pada setiap level diperoleh bobot dan prioritas alternatif kebijakan pembangunan kawasan pengembangan agropolitan berbasis agribisnis sapi potong. Hasil analisis disajikan pada Gambar 40.
Gambar 40.
Bobot masing-masing alternatif kebijakan kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura
pengembangan
190 Nilai indeks konsistensi adalah 0,05 (overall inconsistency), yang berarti nilai pembobotan perbandingan berpasangan pada setiap matriks adalah konsisten. Hal ini juga berarti masing-masing responden telah memberikan jawaban yang konsisten. Hasil AHP tersebut menunjukkan bahwa kebijakan pengembangan dan penguatan kemitraan usahatani dalam pengembangan komoditi unggulan peternakan merupakan alternatif kebijakan yang memiliki bobot tertinggi (0,267) dan menjadi prioritas utama dalam pembangunan kawasan Kabupaten Jayapura. Pertimbangan utama stakeholder memprioritaskan kebijakan ini, diharapkan terjalin kerjasama yang baik antara pemerintah, pengusaha atau investor dan masyarakat adat yang mempunyai tanah ulayat. Hal ini dipandang penting dikarenakan dewasa ini tanah menjadi isu yang sangat aktual di Kabupaten Jayapura karena dapat memberikan dampak langsung atau tidak langsung dari proses pembangunan yang menggunakan tanah seperti halnya pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan atau juga pengembangan kawasan lainnya dan perkembangan jumlah penduduk yang semakin meningkat tidak disertai dengan peningkatan jumlah luas tanah. Isu ini akan menjadi lebih hebat lagi ketika tanah sebagai barang publik berubah menjadi barang privat yang dikuasai oleh sekelompok kecil individu dengan menggeser sejumlah besar kelompok individu lainnya yang tak mendapat kesempatan untuk tinggal dan menetap untuk mengelolah tanah. Jumlah penduduk jika dibandingkan dengan luas tanah dalam wilayah Kabupaten Jayapura ini masih sangat cukup untuk menampung pertambahan penduduk beberapa tahun yang akan datang, tetapi penguasaan sebagaian besar tanah yang luas masih pada komunitas masyarakat asli. Penguasaan tanah ini mulai beralih kepada swasta besar terutama untuk penguasaan hutan yang akan digantikan dengan tanaman perkebunan, daerah industri dan lain-lain usaha swasta yang memperkecil luas tanah sebagai barang publik dan ada sebagian kecil dari tanah yang dikuasi swasta digunakan untuk kepentingan umum kepentingan publik seperti pembangunan perumahan tempat tinggal, gedung sekolah, taman hiburan dan perkebunan rakyat. Barang-barang ini digunakan oleh setiap individu atau kelompok yang membutuhkannya dengan memberikan kontribusi pembayaran sebagai harga atas pelayanan publik yang diberikan oleh swasta dan ada bagian perhitungan presentase yang diberikan
191 kepada pemerintah sebagai bagian dari retribusi dan pajak menurut ketentuan yang dibuat dan diberlakukan oleh pemerintah. Kepadatan penduduk di dalam wilayah kota distrik-distrik terkemuka (Sentani, Nimboran, Depapre, dan Demta), menonjolkan konflik kepentingan antara penguasaan tanah sebagai barang publik dan sebagai barang privat. Tanah-tanah yang seharusnya merupakan barang publik yang dikuasai secara nyata oleh pemerintah ternyata dijual oleh anggota komunitas masyarakat setempat kepada individu yang berdiam di pusat-pusat kota distrik. Konsekuensi dari pengalihan hak penguasaan itu adalah tanah publik di pusat kota distrik telah disekat-sekat menjadi tanah privat dan setiap petugas pemerintah yang baru masuk untuk bertugas di distrik harus menyewa tempat tinggal yang dibangun oleh usaha privat (Ayamiseba dan Giay, 2010). Kabupaten Jayapura walaupun memiliki wilayah yang cukup luas namun cakupan wilayah ini tidak dikuasai secara langsung oleh pemerintah. Pemerintah hanya mengatur ketertiban peruntukkannya mewakili negara atau daerah. Tanah-tanah dikuasai oleh ”komunitas masyarakat adat” yang menggunakannya dengan pengaturan secara tradisi. Penggunaan tanah oleh pemerintah, swasta, dan kelompok atau perorangan dari luar komunitas masyarakat adat dilakukan dengan pengalihan hak-hak tertentu secara adat dan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku di dalam wilayah Negara Republik Indonesia atau pada lingkup daerah Kabupaten Jayapura di Provinsi Papua. Sebagai akibat dari berbagai kegiatan pembangunan yang difasilitasi oleh pemerintah (termasuk pemerintah Kabupaten Jayapura) sejak tahun 1969, maka sebagian bangunan infrastruktur yang kelihatan secara fisik (jalan , jembatan, gedung-gedung dan sejumlah instalasi) telah didirikan di atas tanah-tanah yang dibebaskan dari pengusaan kelompok masyarakat asli dan dikuasai oleh pemerintah, ada pula yang tidak dibebaskan hak penguasaannya, masih dikuasai komunitas setempat. Setiap tahun pemerintah mengeluarkan biaya untuk meningkatkan kapasitas dan jumlah fasilitas publik di atas tanah-tanah yang dikuasai komunitas masyarakat adat dan tanah-tanah yang dibebaskan penguasaannya dari komunitas ini.
Beberapa kasus pertanahan yang semakin marak terjadi, seperti pemalangan bandar udara, beberapa kantor pemerintah, pelabuhan laut, pusat perbelanjaan, areal HPH, lokasi pemukiman transmigrasi dan sebagainya yang terjadi di Kabupaten Jayapura sejak dicanangkannya reformasi hingga saat ini
192 merupakan suatu koreksi terhadap kinerja pemerintah. Memperhatikan kondisi dan situasi yang akan datang dalam pelaksanaan pembangunan yang akan berdampak secara langsung terhadap tanah-tanah hak ulayat, maka perlu ada pengaturan secara ketat tentang keberadaan hak ulayat tersebut dalam suatu mekanisme peraturan perundang-undangan pada tingkat lebih bawah yaitu berupa
peraturan
daerah.
Jika
dilihat
dari
rentang
waktu
perjalanan
pemberlakuan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1970 di Irian Jaya/Papua atas proses pengadaan tanah dan Keputusan Menteri Negara Agraria No. 5 Tahun 1999 menyebutkan bahwa daerah adalah daerah otonomi yang berwenang melaksanakan urusan pertanahan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah; pasal 2 ayat (1) menyebutkan bahwa pelaksanaan hak ulayat sepanjang kenyataannya masih ada dilakukan olek masyarakat hukum adat yang bersangkutan menurut ketentuan hukum adat setempat; pasal 5 ayat (1) menyebutkan bahwa penelitian dan penentuan masih adanya hak ulayat sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan mengikutsertakan para pakar hukum adat, masyarakat hukum adat yang ada di daerah yang bersangkutan, lembaga swadaya masyarakat dan instansi yang mengelola sumberdaya alam, maka pemerintah masih mempunyai pengaruh yang sangat kuat terhadap akses-akses tanah sebagai pusat kekuasaan perlu melibatkan masyarakat adat dalam setiap proses pembangunan apabila hal itu menyangkut tanah-tanah hak ulayat terutama
dalam
hal
penyusunan
rencana
tata
ruang
wilayah
dan
mengikutsertakan masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya alam yang ada. Berdasarkan
hal
tersebut
di
atas,
dalam
rangka
melaksanakan
pengembangan kawasan agropolitan yang berbasis agribisnis peternakan kiranya hal ini dapat diatur sesuai dengan kewenangan yang ada, sehingga dapat
memberikan
suatu
kepastian
hukum
bagi
perlindungan
hak-hak
masyarakat atas tanah ulayat dan adanya jaminan berusaha yang aman dari pemerintah bagi pengusaha atau investor yang berminat menanamkan modalnya di bidang agribisnis peternakan sapi potong terutama untuk tempat berusaha. Dengan terpelihara dan terjaminnya hak-hak individu maupun kelompok dalam masyarakat, maka apa yang menjadi esensi dari tujuan hukum sebagai suatu keseimbangan akan hak dan kewajiban tersebut dapat terpenuhi, yaitu keadilan sehingga
realisasi dari kebijakan pengembangan dan penguatan kemitraan
usahatani dalam pengembangan komoditi unggulan peternakan ini akan
193 mendorong percepatan pembangunan kawasan serta dapat menjadi faktor pendorong pelaksanaan lima alternatif kebijakan lain. Prioritas kebijakan kedua adalah perbaikan peningkatan kualitas sumberdaya manusia khususnya petani dan pelaku usahatani melalui pelatihan dan pendidikan (bobot 0,224). Kebijakan kemitraan usaha dan peningkatan kualitas sumberdaya manusia ini diharapkan diimplementasikan secara terpadu untuk mendukung keberlanjutan dan percepatan pengembangan kawasan agropolitan di Kabupaten Jayapura. Peningkatan kualitas sumberdaya manusia dan kemitraan usahatani dapat dicapai dengan dukungan sarana dan prasarana yang sesuai kebutuhan kawasan yang mendukung kegiatan agribisnis dan agroindustri peternakan. Prioritas peternakan
kebijakan
ketiga
adalah
penerapan
teknologi
budidaya
yang dapat meningkatkan populasi ternak sapi potong seperti
teknologi inseminasi buatan (0,150). Prioritas kebijakan keempat pembangunan dan pemeliharaan sarana dan prasarana kawasan guna menunjang ketersediaan sarana produksi pertanian dan pemasaran hasil pertanian (bobot 0,138). Prioritas kebijakan kelima adalah peningkatan jumlah populasi ternak sapi yang diusahakan (bobot 0,115). Kebijakan ini pada dasarnya mendukung implementasi
kebijakan
kemitraan
usahatani.
Prioritas
keenam
adalah
peningkatan invstasi baik dari pemerintah, swasata maupun masyarakat peternak (bobot 0,106). Kebijakan ini diharapkan dapat dilaksanakan sesuai dengan kondisi wilayah untuk mendukung pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan. Hasil analisis AHP tersebut telah disepakati oleh semua stakeholder dan menjadi masukan dalam penyusunan kebijakan pembangunan kawasan agropolitan berbasis agribisnis sapi potong di Kabupaten Jayapura. Pada FGD disepakati bahwa hasil tersebut sesuai dengan keinginan semua stakeholder. Dengan demikian, implementasi kebijakan ini diharapkan dapat terlaksana dengan baik. 5.8.
Strategi Implementasi Kebijakan Pengembangan Agropolitan Berbasis Agribisnis Sapi Potong
Kawasan
Strategi implementasi kebijakan dibahas melalui focus group discussion (FGD) yang melibatkan stakeholder terkait. Pada FGD ini dibahas mengenai faktor yang perlu diperhatikan (peluang dan tantangan) serta langkah strategis
194 yang dilakukan untuk keberhasilan pengembangan komoditi unggulan di Kabupaten Jayapura. Strategi implementasi kebijakan pengembangan kawasan tetap memperhatikan faktor-faktor pengungkit yang mendukung percepatan pencapaian sasaran kebijakan tersebut, kondisi dan potensi kawasan, faktor peluang dan kendala pelaksanan pembangunan kawasan. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 44 Tahun 1997 tentang Kemitraan, secara prinsip kemitraan usaha tetap diarahkan dapat berlangsung atas dasar norma-norma ekonomi yang berlaku dalam keterkaitan usaha yang saling memerlukan, saling memperkuat, dan saling menguntungkan. Kemudian di tindaklanjuti melalui SK Mentan No. 94-/Kpts/OT.210/10/1997 tentang Pedoman Kemitraan Usaha Pertanian, dikatakan bahwa tujuan kemitraan usaha pertanian antara lain untuk meningkatkan pendapatan, kesinambungan usaha, meningkatkan kualitas sumberdaya petani mitra, peningkatan skala usaha serta dalam rangka menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan usaha kelompok mitra yang mandiri. Terdapat empat faktor pertimbangan dalam pengembangan kemitraan usaha di kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura yakni landasan hukum kemitraan, kapasitas sumberdaya manusia khususnya petani dan pengusaha, sistem kemitraan usahatani, dan komoditi peternakan yang menjadi objek kemitraan usaha. Landasan pengembangan kemitraan di bidang pertanian dalam Undang-Undang No.12 tahun 1992 tentang kemitraan badan usaha telah ditetapkan: badan usaha diarahkan untuk kerjasama secara terpadu dengan masyarakat petani dalam melalukan usaha budidaya sapi potong, pemerintah dapat menugaskan badan usaha untuk pengembangan kerjasama dengan petani. Mitra usaha bagi petani di Kabupaten Jayapura saat ini masih sebatas pemerintah. Sebagian besar petani masih berusaha sendiri atau bermitra dengan pemerintah, belum dengan pengusaha. Karakteristik perekonomian kecamatan Kabupaten Jayapura berbasis pada kegiatan pertanian. Hal ini terlihat dari hampir 90% keluarga di setiap desa berusaha di bidang pertanian terutama tanaman pangan, perkebunan, peternakan dan perikanan. Hasil survai lapangan menunjukkan bahwa pola perekonomian masyarakat Kabupaten Jayapura baru beralih dari subsisten ke komersial. Kendala utama dalam
pengembangan perekonomian di wilayah ini
adalah tingkat pendidikan yang rendah dan pengetahuan tentang teknologi
195 budidaya masih belum maju. Selain itu kendala kapasitas sumberdaya manusia yang relatif terbatas untuk pengembangan komoditi peternakan dan juga terbatasnya modal usaha serta sarana prasana agribisnis yang kurang memadai. Langkah-langkah strategis yang perlu dilakukan untuk mewujudkan kebijakan pengembangan dan penguatan kemitraan usahatani dalam mendukung kegiatan agribisnis komoditi peternakan unggulan adalah: 1. Mengembangkan kualitas sumberdaya manusia di kawasan agropolitan dalam penguatan kemitraan usaha. Sebagian besar usaha peternakan tumbuh secara tradisional dan merupakan usaha keluarga yang turun temurun. Keterbatasan kualitas SDM usaha peternakan baik dari segi pendidikan formal maupun pengetahuan dan keterampilannya sangat berpengaruh terhadap manajemen pengelolaan usahanya, sehingga usaha tersebut sulit untuk berkembang dengan optimal. Disamping itu dengan keterbatasan kualitas SDM-nya, usaha tersebut relatif sulit untuk mengadopsi perkembangan teknologi baru untuk meningkatkan daya saing produk yang dihasilkannya disebabkan karena masih lemahnya jaringan usaha dan kemampuan penetrasi pasar. Usaha kecil yang pada umumnya merupakan unit usaha keluarga, mempunyai jaringan usaha yang sangat terbatas dan kemampuan penetrasi pasar yang rendah, ditambah lagi produk yang dihasilkan jumlahnya sangat terbatas dan mempunyai kualitas yang kurang kompetitif. Berbeda dengan usaha besar yang telah mempunyai jaringan yang sudah solid serta didukung dengan teknologi yang dapat menjangkau internasional dan promosi
yang
baik.
Disamping
itu
mentalitas dari masyarakat yang bergerak dalam agribisnis peternakan masih rendah. Semangat yang dimaksud disini, antara lain kesediaan terus berinovasi, ulet tanpa menyerah, mau berkorban serta semangat ingin mengambil risiko. Suasana pedesaan yang menjadi latar belakang dari usaha peternakan seringkali memiliki andil juga dalam membentuk kinerja. Sebagai contoh, ritme kerja peternak di daerah berjalan dengan santai dan kurang aktif sehingga seringkali menjadi penyebab hilangnya kesempatankesempatan yang ada. Berdasarkan hal tersebut, maka kualitas sumberdaya manusia di kawasan Kabupaten Jayapura perlu diperhatikan. Ketersediaan sumberdaya manusia ini baik secara kualitas maupun secara kuantitas sangat
196 mempengaruhi keberhasilan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis sapi potong. Pengembangan kualitas pelaku usaha sapi potong di masa mendatang dilakukan dengan menempuh strategi dan pendekatan sistem rekruitmen terpadu terutama calon penerima ternak gaduhan. Tujuannya yaitu untuk mendorong perubahan secara bertahap kapasitas peternak melalui pertukaran pengetahuan antara peternak yang sudah lama memelihara sapi potong dengan peternak baru. Mekanisme ini akan mendorong peternak secara terus menerus meningkatkan keterampilan usaha sapi potong di kawasan agropolitan, berusaha menemukan inovasiinovasi baru dalam aspek manajemen, teknologi, kemampuan mengakses modal, yang pada akhirnya menjadikan peternak yang dapat melaksanakan kegiatan usaha ternaknya pada kawasan agropolitan secara profesional dan berdaya saing. Pelaku usahatani perlu pengetahuan yang baik tentang manajemen usaha ternak, sehingga kegiatan yang dilakukan dapat berkelanjutan.
Dengan
demikian
diperlukan
pelatihan
budidaya
dan
manajemen usaha ternak untuk komoditi peternakan unggulan. Pada prosesnya perlu menyediakan tenaga pendamping untuk penerapan teknologi dan manajemen usaha ternaknya. Pelaksanaan otonomi daerah, sebagaimana diatur Undang-undang No. 32 Tahun 2004 yang merupakan revisi dalam Undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, menghadapi berbagai tantangan bagi Pemerintah Kota/Kabupaten. Tantangan tersebut antara lain adalah bagaimana daerah dapat mengelola sumber daya manusia, sebagai salah satu sumber kekuatan keberhasilan otonomi daerah. Karena, kualitas sumber daya manusia yang tinggi memiliki pengaruh yang sangat signifikan terhadap keberhasilan pembangunan daerah maupun nasional. Melihat pentingnya peranan sumber daya manusia tersebut, menurut Tjiptoherijanto (1996), ada tiga hal yang perlu diperhatikan, yaitu: (1) kondisi dan kemampuan penduduk, yang di satu sisi sebagai pelaku atau sumber daya bagi faktor produksi, di sisi lain sebagai sasaran atau konsumen bagi produk yang dihasilkan; (2) melihat besarnya jumlah penduduk Indonesia, sangat diharapkan penduduk menjadi potensi kekuatan ekonomi yang besar pula; (3) peluang usaha yang sangat luas muncul karena perdagangan bebas serta makin terbukanya perdagangan antarnegara. Upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia tersebut, antara lain dilakukan melalui pemberdayaan masyarakat
197 daerah yang diharapkan mampu menjadi pemrakarsa dan pemain bagi penciptaan produksi yang bermutu dan andal. Dalam pemberdayaan masyarakat daerah, selain dilakukan reorientasi peran pemerintah pusat, juga secara sistematis dan konsisten melakukan penyadaran terhadap masyarakat daerah melalui isu-isu lokal yang sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan mereka. Upaya yang dilakukan lebih bersifat
partisipatoris
sehingga
mampu
menumbuhkan
kemampuan
masyarakat lokal. Strategi lain adalah melakukan tekanan secara politik terhadap institusi-institusi lokal seperti eksekutif, legislatif, dan yudikatif khususnya yang menyangkut fungsional kinerja mereka. Tekanan ini dimaksudkan untuk mendorong perbaikan-perbaikan pada kinerja institusiinstitusi formal tersebut agar mampu merespons, merencanakan serta melaksanakan aspirasi-aspirasi yang berkembang di kalangan masyarakat. Elemen
terpenting
di
dalam
mengimplementasikan
pembangunan
masyarakat pertanian adalah elemen pemberdayaan sumber daya manusia petani yang menempati posisi sangat strategis yaitu berperan sebagai pelaku utama dan subyek pembangunan (prime mover to development). Dalam rangka pemberdayaan petani (farmer development), kunci pertama dan utama adalah ‘percaya kepada petani.’ Dengan demikian peran petani dalam pembangunan masyarakat adalah krusial dalam pengertian sebagai penentu keberhasilan pembangunan yang sangat berperan aktif dalam seluruh aspek kegiatannya. Mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi termasuk kesempatan untuk menikmati hasil pembangunan pertanian. Pembangunan pertanian yang berdimensi masyarakat harus dirancang sedemikian rupa sehingga dapat berakhir di petani dan berawal dari petani. Oleh karena itu komponen pemberdayaan petani menjadi sangat mutlak, yaitu sebagai upaya strategis dan sistematis yang pada hakekatnya merupakan pendidikan nonformal bagi pembangunan perilaku petani dan keluarganya termasuk kelembagaannya. Hal ini dimaksudkan agar mereka dapat memahami dan memiliki kemampuan dan kesempatan dalam mengelola usaha tani maupun usaha ternak (pertanian sebagai usaha dan industri) dan mampu berswadaya sehingga dapat memberikan keuntungan yang memuaskan hidupnya.
198 Peran penyuluh pertanian dalam pembangunan masyarakat pertanian sangatlah diperlukan. Dalam arti bahwa peran penyuluh pertanian tersebut bersifat ‘back to basic’, yaitu penyuluh pertanian yang mempunyai peran sebagai konsultan pemandu, fasilitator dan mediator bagi petani. Dalam perspektif jangka panjang para penyuluh pertanian tidak lagi merupakan aparatur pemerintah, akan tetapi menjadi milik petani dan lembaganya. Untuk itu maka secara gradual dibutuhkan pengembangan peran dan posisi penyuluh pertanian yang antara lain mencakup: penyedia jasa pendidikan (konsultan) termasuk di dalamnya konsultan agribisnis, mediator pedesaan, pemberdaya dan pembela petani, petugas profesional dan mempunyai keahlian spesifik. Jika selama ini peran petani terlalu diabaikan dalam pembangunan daerah di Kabupaten Jayapura, maka mulai saat ini dan pada masa yang akan datang, peran pertanian dalam pembangunan daerah akan semakin terfokus pada: (1) sebagai pemacu pertumbuhan ekonomi daerah, termasuk sebagai sumber penerimaan PAD; (2) sebagai penyedia pangan dan papan; (3) sebagai penyedia bahan baku industri; (4) sebagai penciptaan kesempatan dan perluasan lapangan kerja; (5) sebagai pemicu pemerataan pembangunan daerah, dan (6) sebagai faktor pendukung stabilitas daerah. Peran pertanian yang unik tersebut memerlukan pendekatan khusus dalam merumuskan kebijakannya. Untuk mengoptimalkan peran tersebut diperlukan transformasi pembangunan pertanian ke arah agribisnis dan agroindustri, sehingga sektor pertanian dapat menjadi sektor unggulan (leading sector) dalam pembangunan ekonomi daerah di Kabupaten Jayapura. Herawati
dan
Junanto
(2003),
mengatakan
bahwa
dalam
melaksanakan pembangunan pertanian sering dijumpai keterbatasan sumber daya yang dimiliki khususnya sumber daya manusia, sehingga diperlukan skala prioritas dalam pengembangan agroindustri. Pada tahap awal agroindustri yang dikembangkan adalah agroindustri unggulan dengan kriteria sebagai berikut: (1) nilai dan peluang ekspor atau nilai substitusi impor tinggi; (2) daya saing dan nilai tambah produk tinggi serta dapat ditingkatkan melalui pemanfaatan teknologi; (3) memiliki keunggulan komparatif yang dapat dikembangkan melalui pemanfaatan, pengembangan, serta penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.
199 Untuk
dapat
menciptakan
petani
yang
mampu
melaksanakan
agroindustri unggulan tersebut maka kelembagaan yang ada di tingkat petani perlu dibenahi. Reformasi kelembagaan pertanian untuk mewujudkan sistem pertanian dengan agribisnis dan agroindustri yang berdaya saing tinggi memerlukan organisasi lembaga pertanian yang mampu mengemban visi dan misi pembangunan pertanian, mampu mengantisipasi tantangan pembangunan pertanian, mampu memanfaatkan peluang dan secara konsisten mampu mendinamisasikan seluruh pelaku pertanian dalam melaksanakan strategi dan kebijakan pembangunan pertanian, serta mampu menjadi dinamisator dan katalisator bagi masyarakat dalam pembangunan pertanian. Berdasarkan hal tersebut, kelembagaan masyarakat pertanian disusun dalam unit-unit yang secara struktural dapat melakukan hal-hal sebagai berikut: (1) pengembangan dan pembinaan sarana produksi pertanian (pengairan, peralatan dan mesin pertanian, pupuk, dan lain sebagainya); (2) pengembangan dan pembinaan dalam mengembangkan budidaya pertanian yang berwawasan agribisnis; (3) pengembangan dan pembinaan dalam pengolahan
hasil
pengembangan
pertanian
dan
yang
pembinaan
berwawasan dalam
agroindustri;
mengembangkan
(4)
sistem
perdagangan pertanian yang berwawasan nasional dan internasional; (5) pengembangan dan pembinaan untuk meningkatkan kualitas SDM dan iptek; dan (6) pengembangan dan pembinaan dalam meningkatkan kesejahteraan pelaku pertanian dan peran pertanian dalam ekonomi daerah dan nasional. 2. Pembangunan dan pemeliharaan sarana dan prasarana mendukung peningkatan kemitraan usaha dan investasi
untuk
Kurangnya informasi yang berhubungan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, menyebabkan sarana dan prasarana yang dimiliki peternak juga tidak cepat berkembang dan kurang mendukung kemajuan usahanya sebagaimana yang diharapkan. Selain itu, tak jarang pelaku agribisnis peternakan kesulitan dalam memperoleh tempat untuk menjalankan usahanya yang disebabkan karena mahalnya harga sewa atau tempat yang ada kurang strategis. Salah satu faktor yang dapat mendorong minat
pengusaha
untuk
mengembangkan
usahanya
adalah
jaminan
keberlanjutan dan kelancaran usaha. Untuk itu diperlukan investasi pemerintah untuk menjadi stimulus bagi pengusaha untuk berinvestasi di
200 Kabupaten Jayapura dan melakukan kemitraan dengan petani. Investasi pemerintah yang paling penting adalah pembangunan sarana dan prasarana terutama fasilitas jalan darat dalam rangka memperkuat aksesibilitas masyarakat melalui upaya peningkatan status seluruh ruas jalan kabupaten menjadi jalan propinsi dan seluruh ruas jalan desa menjadi jalan kabupaten, memantapkan/menyempurnakan jalan-jalan poros desa yang menjadi sentrasentra transportasi antar desa – distrik - kabupaten dan provinsi, mendorong/mengembangkan partisipasi masyarakat perdesaan dalam hal membantu memelihara/merawat jalan-jalan yang sudah ada dan mengatasi setiap permasalahan yang berkait dengan aktivitas transportasi di desa masing-masing,
sesuai
kemampuan
sumberdaya
yang
dimiliki,
dan
memantapkan dan menyempurnakan rencana tata ruang di bidang transportasi dengan berbagai implikasinya, karena
upaya yang dapat
dilakukan untuk mewujudkan strategi peningkatan investasi pemerintah dalam menunjang kemitraan usahatani antara masyarakat dan pengusaha adalah: mengembangkan sistem keterkaitan antara sarana dan prasarana kawasan yang menunjang pertumbuhan ekonomi dan pergerakan sosial masyarakat. Sistem keterkaitan sarana dan prasarana kawasan yang paling menunjang pengembangan kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura adalah jaringan transportasi. Moda transportasi yang dikembangkan sebaiknya yang terjangkau oleh masyarakat dalam menunjang aktivitas ekonomi dan sosial masyarakat disesuaikan dengan kondisi jalan yang ada dan pertimbangan rencana pembangunan jalan serta daya beli mayarakat kawasan Kabupaten Jayapura. Kondisi kawasan agropolitan yang relatif jauh dari pusat kegiatan wilayah Kabupaten Jayapura, sehingga dalam melaksanakan pembangunan jalan perlu diprioritaskan pada jalan yang merupakan penghubung aktivitas usahatani masyarakat. Terdapat dua jenis jalan yang memiliki strategis dalam pengembangan kawasan Kabupaten Jayapura yakni jalan poros penghubung kawasan agropolitan dengan kawasan pusat pertumbuhan ekonomi lainnya dan jalan penghubung antar desa yang memiliki komoditi unggulan. Pembangunan
jalan
yang
menjadi
prioritas
dilakukan
melalui
kerjasama pemerintah daerah dan pengusaha. Hal ini sebagai insentif pemerintah daerah dan pengusaha terhadap pengembangan kawasan. Pemeliharaan jalan diharapkan partisipasi semua stakeholder terkait.
201 Investasi lainnya berupa pembangunan sarana dan prasarana kawasan, dukungan penyiapan teknologi, peningkatan kualitas sumberdaya manusia, dan apsek hukum berkaitan dengan kepemilikan lahan. 3. Kebijakan pengembangan sapi potong yang berintegrasi dengan tanaman pertanian untuk mendukung kemitraan usaha. Kebijakan ini diharapkan merupakan solusi jangka panjang untuk dikembangkan di kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura, dengan kunci menemukan pakan ternak dari beragam limbah pertanian dan sumberdaya tanaman tahunan, tentunya bukan untuk mengganti pakan konvensional, melainkan untuk memperkuat ketahanan pangan dalam ekosistem lahan dikarenakan dengan kebijakan ini dapat mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya lokal seperti pemanfaatan limbah pertanian sebagai pakan ternak dan kotoran ternak sapi dapat diproses menjadi pupuk organik yang sangat bermanfaat untuk memperbaiki unsur hara yang dibutuhkan tanaman sehingga tidak ada limbah yang terbuang (Zero waste). Ada tiga komponen teknologi utama dalam kebijakan ini yakni (a). Teknologi budidaya tenak. (b). teknologi budidaya pertanian. (c). dan teknologi pengolahan limbah pertanian dan kompos. Agar ketiga komponen tersebut dapat diintegrasikan secara sinergis, maka pengembangan kebijakan ini dilakukan dengan pendekatan kelembagaan. Pendekatan kelembagaan dalam pemgembangan sapi potong yang berintegrasi dengan tanaman
pertanian
adalah
kerjasama
kelompok
peternak
dimana
kepemilikan lahan pertanian dan ternak secara individu tetap ada, seperti pengumpulan limbah pertanian, pengadaan sarana produksi dan pemasaran hasil. Dalam sistem kegiatan ini petani yang ingin memproduksi kompos mendapat kredit dalam jumlah yang memadai dengan proses yang mudah dalam waktu relatif singkat. Sedangkan yang dihasilkan seperti pedet atau sapi bakalan adalah bonus yang dapat diperoleh setiap tahunnya. Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah upaya meningkatkan keterampilan sumberdaya manusia, agar mereka mampu menangani usahanya secara profesional. Pembinaan juga sangat diperlukan terhadap kelembagaan keuangan setempat agar mampu mandiri. Contohnya pembentukan kelompok usaha agribisnis terpadu (KUAT).
202 Dalam hal pengadaan dan pemasaran hasil dapat dilakukan kerjasama dengan swasta. Didalam kerjasama ini akan terlihat hubungan secara vertikal yang memberdayakan kelompok ternak secara optimal yang tujuannya adalah dalam satu kelompok akan mendapatkan nilai tambah yang lebih besar. Sehingga pada era perdagangan bebas ini, sistem produksi pertanian khususnya peternakan harus senantiasa dikelola dengan beroientasi pada permintaan pasar. Sistem pemasaran yang perlu diperbaikai untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi kawasan seperti:
Penguatan pasar dalam daerah yang diikuti dengan tingkat proteksi yang memadai;
Pengembangan infrastruktur pemasaran (sarana dan kelembagaan pasar);
Pengembangan sistem informasi pemasaran;
Pengembangan pasar keluar daerah serta penguatan negosiasi dan lobby di forum regional.
Pemerintah Daerah Kabupaten Jayapura harus melakukan pembinaan dan koordinasi dengan pengusaha pedagang pengumpul, pedagang besar dalam mempertahankan tingkat harga yang layak agar petani dan peternak tetap tertarik melakukan usahanya di bidang pertanian dan peternakan.
Pemerintah Daerah Kabupaten Jayapura harus melakukan inisiasi dalam promosi dan kerja sama dengan pengusaha diluar daerah. Dengan demikian untuk menghasilkan produk ternak sapi potong
yang kompetitif, ketersediaan pakan dan keberadaan lokasi usaha sangat menentukan. Manfaat yang dapat diambil dari kebijakan ini adalah (1) berputarnya pergerakan modal dari daerah perkotaan ke pedesaan, antara lain berupa bantuan kredit bank, kerjasama kemitraan dan investasi lain. Keadaan ini mendorong terbukanya kesempatan kerja dan pemerataan pendapatan, (2) pemanfaatan limbah pertanian dan agroindustri yang lebih bermanfaat (3) dengan berkembangnya usaha penggemukan sapi dapat mengurangi
biaya-biaya
yang
dikeluarkan
selama
transportasi,
(4)
terkumpulnya kotoran ternak yang diolah menjadi kompos dan terciptanya perbaikan lingkungan berupa penghijauan serta penyuburan kualitas tanah pertanian
dipedasaan,
(5)
daerah
pedesaan
merupakan
basis
pengembangan ternak sapi potong. Ada tiga prinsip yang harus dipenuhi
203 salah satunya adalah mengurangi ketergantungan impor daging dari luar derah. Dimana yang selama ini ketergantungan akan daging impor dan sapi bakalan yang cenderung meningkat dapat dikurangi secara bertahap. 4. Kebijakan sistem kemitraan usaha dalam meningkatkan pertumbuhan sektor keuangan sebagai sumber modal usaha peternakan. Kemampuan sumber-sumber di dalam negeri saat ini sangat terbatas baik dari segi penyediaan dana, penguasaan teknologi maupun kemampuan memasuki pasar global. Demikian pula tentang tersedianya prasarana dan sarana untuk menunjang perkembangan investasi khususnya di Kawasan Timur Indonesia (KTI). Dalam perekonomian global, kegiatan ekonomi tidak lagi mengenal batas negara, sehingga negara yang paling siap dalam memberikan pelayanan maupun jaminan keamanan untuk tempat investasi tentu menjadi pilihan utama bagi para investor untuk menanamkan modalnya. Dalam rangka meningkatkan daya saing, pemerintah pusat maupun daerah berupaya memperbaiki iklim investasi di Kabupaten Jayapura agar lebih kondusif bagi masuknya investor. Beberapa kondisi yang diinginkan oleh investor antara lain : (a) perlakuan yang sama dalam hukum; (b) konsistensi dalam pelaksanaan peraturan; (c) adanya jaminan berinvestasi dan berusaha; (d) kebijaksanaan yang transparan; dan (e) kemudahan dan kesederhanaan prosedur perizinan. Potensi pengembangan peternakan memiliki prospek yang cerah, karena Papua khususnya Kabupaten Jayapura memiliki sumberdaya yang cukup besar. Dalam upaya pengembangannya pemerintah senantiasa berusaha mengkaitkan dengan segala usaha kecil dan menengah melalui program kemitraan dengan berbagai pola yang dapat memberikan dampak yang cukup besar terhadap peningkatan pendapatan dan mutu hasil pertanian rakyat. Mengingat sumber pembiayaan pemerintah yang semakin terbatas, maka untuk menggerakkan usaha di sektor peternakan diperlukan kebijakan pengembangan peternakan yang mendorong tumbuhnya peluang investasi dalam usaha agribisnis peternakan dan mendorong terciptanya peluang pasar/promosi potensi agribisnis peternakan. Peluang investor di subsektor peternakan masih terbuka lebar bagi para investor baik dari hulu, budidaya maupun industri hilir. Salah satu peluang investasi subsektor peternakan
204 adalah peluang investasi untuk pengembangan sapi potong di Papua (Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternak). Dengan daya dukung potensi wilayah yang cocok untuk pengembangan sapi potong, potensi sumberdaya yang cukup, ketersediaan pakan ternak dan transportasi yang cukup memadai. Pada umumnya pemeliharaan peternakan sapi potong di Papua khususnya Kabupaten Jayapura,
masih bersifat tradisional dan para
peternak masih kekurangan modal usaha. Pengembangan ternak sapi potong disamping untuk kebutuhan lokal, juga untuk mengantisipasi permintaan
daging
dari
perusahaan
pertambangan
untuk
konsumsi
karyawanya seperti PT. Freeport di Kabupaten Mimika dan negara tetangga (PNG) yang pada saat ini belum terpenuhi. Apabila dilihat dari potensi dan daya dukung tersebut di atas, maka peternakan sapi potong cukup menjanjikan, oleh karena itu masih terbuka bagi para investor baik dari dalam negeri maupun luar negeri untuk menanamkan modalnya. Ketersediaan modal dalam pembiayaan usaha peternakan memiliki peran sangat penting. Adanya sumber pembiayaan yang mudah diakses peternak/pengusaha dan memiliki persyaratan ringan akan mampu menggerakkan berbagai usaha di subsektor peternakan. Melihat kondisi tersebut maka untuk mendukung pembangunan subsektor peternakan diperlukan dukungan pembiayaan bagi para pelaku agribisnis, baik skim kredit perbankan maupun non perbankan yang perlu dioptimalkan untuk mendukung usaha peternakan. Dengan kondisi seperti ini maka strategi
permodalan untuk peternak yang dapat
diterapkan di Kabupaten Jayapura adalah (1) Strategi bantuan permodalan (kredit) dengan sistem agunan, (2) Strategi bantuan permodalan (kredit) dengan selektif, (3) Strategi bantuan permodalan dengan cuma-cuma, dan (4) Strategi bantuan permodalan (kredit) dengan pola kemitraan. Strategi
pengembangan
bantuan
dengan
pola
kemitraan
dikembangkan dalam upaya mengatasi permasalahan yang dimiliki peternak seperti; masih kurangnya sumber daya manusia dinas, masih rendahnya pendapatan masyarakat tani ternak, penguasaan teknologi yang masih rendah, kurangnya informasi pasar, masih rendanya pembinaan, terbatasnya sarana prasarana serta masih rendahnya kemampuan manajemen usaha oleh peternak. Selain itu juga bertujuan untuk menghindari terjadinya tunggakan kredit modal yang diperbantukan. Strategi ini juga diharapkan
205 dapat memanfaatkan potensi yang dimiliki untuk pengembangan ternak seperti ketersediaan sumberdaya lahan dan hijauan makanan ternak, tingginya motivasi masyarakat peternak serta adanya koordinasi dengan instansi terkait dalam upaya menjemput peluang yang ada seperti peningkatan hasil pertanian dan peternakan, otonomi daerah, adanya pasar ekspor, adanya pola kemitraan, adanya kebijakan pemerintah untuk mendukung sektor pertanian (peternakan) dan kecenderungan politik dan keamanan yang semakin membaik. Bantuan permodalan dengan pola kemitraan juga diharapkan dapat menghindari ancaman yang terjadi seperti masih tingginya tingkat suku bunga komersial, masuknya barang dari luas, biaya transportasi yang masih tinggi, pertumbuhan ekonomi daerah masih rendah, sumber modal Pemerintah Daerah yang masih rendah dan sulitnya informasi pasar. Strategi bantuan permodalan dengan sistem agunan ini dikembangkan dalam upaya mengantisipasi kelemahan yang dimiliki seperti kurangnya sumberdaya
manusia
pada
dinas,
masih
rendahnya
manajemen
pengorganisasian dinas dan terbatasnya sarana prasarana, serta upaya menghindari adanya kendala seperti tingkat suku bunga komersial yang tinggi dan keraguan investor. Strategi bantuan modal (kredit) dengan cara selektif lebih diarahkan pada petani dan peternak yang sudah memiliki usaha yang jelas, sehingga modal yang digunakan untuk pengembangan usaha dan peningkatan investasi. Sedangkan strategi bantuan permodalan dengan cuma-cuma dikembangkan dalam upaya mengatasi permasalahan yang dimiliki seperti; masih rendahnya pendapatan masyarakat, lahan usaha yang masih kecil dan kelembagaan petani dan dinas yang belum berjalan dengan baik. Bantuan permodalan
dengan
cuma-cuma
dapat
merangsang
peternak
untuk
meningkatkan hasil produksi ternaknya, namun bantuan ini diberikan kepada peternak yang benar-benar tidak memiliki modal yang cukup tapi memiliki kemauan dan motivasi yang kuat untuk beternak. Implementasi strategi pengembangan bantuan modal bagi peternak di Kabupaten Jayapura memerlukan implikasi kebijakan dalam pelaksanaannya dengan melihat permasalahan yang dihadapi selama ini, sehingga dapat menentukan solusi yang perlu ditentukan untuk mengatasi permasalahan.
206 5.9.
Arahan kebijakan Pengembangan Kawasan Agropolitan Yang Berkelanjutan di Kabupaten Jayapura Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan di atas, maka
penyusunan lokasi kawasan agropolitan di Kabupaten Jayapura diarahkan untuk memanfaatkan potensi yang sudah ada baik potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia maupun peluang pengembangan kawasan yang sudah ada. Hal ini berarti bahwa penentuan lokasi kawasan agropolitan di Kabupaten Jayapura diupayakan untuk mengeffisienkan investasi yang akan dilakukan dengan jalan menempatkan lokasi kawasan agropolitan sesuai dengan ketersediaan sumberdaya alam, pola pemanfaatan ruang yang sudah ada dan kelengkapan
ketersediaan
sarana
prasarana
ekonomi,
transportasi
dan
komunikasi.
Faktor lain yang turut diperhitungkan adalah kesiapan aparat
pemerintah dan kemampuan sosial masyarakat. Kesiapan aparat pemerintah baik pemerintahan distrik maupun kampung yang dimaksud adalah kesiapan aparat dalam menyikapi peluang pengembangan daerahnya dalam bentuk komitmen untuk bekerjasama dengan masyarakat dan bekerja keras demi pembangunan daerahnya. Kemampuan social masyarakat yang dituntut adalah kemampuan masyarakat untuk menyelesaikan berbagai persoalan dasar yang menyangkut pengembangan daerah, komitment anggota masyarakat termasuk tokoh agama dan tokoh masyarakat secara bersama-sama untuk menjawab peluang peningkatan taraf hidup masyarakat secara menyeluruh termasuk keterbukaan masyarakat untuk menerima perbedaan-perbedaan di antara anggota masyarakat. 1. Kawasan Pusat Agropolitan Mempertimbangkan kemampuan masyarakat dalam menjalankan usahatani baik tanaman bahan makanan, perkebunan dan usaha ternak, kelengkapan ketersediaan sarana prasarana ekonomi, transportasi dan komunikasi di wilayah studi termasuk letak kawasan terhadap berbagai lokasi di wilayah studi, maka Kawasan Pusat Agropolitan (KPA) dinominasikan Ibukota Distrik Nimboran.
Penduduk Distrik Nimboran menunjukan
keunggulan dalam melaksanakan berbagai usahatani yang tampak dari performance usahataninya yang lebih baik di banding distrik lainnya di kawasan studi seperti usaha tanaman bahan makanan, tanaman perkebunan dan usaha ternak sapi.
207 Distrik Nimboran juga memiliki keunggulan kelengkapan ketersediaan sarana prasarana ekonomi seperti, bank dan koperasi, sarana dan prasarana kesehatan seperti puskesmas, sarana prasarana komunikasi berupa telepon satelit dan listrik dan sarana prasarana transportasi berupa jalan, jembatan dan ketersediaan berbagai kendaraan baik roda 2, roda 4 dan roda 8. Selanjutnya, Distrik Nimboran mudah dijangkau dari berbagai lokasi di wilayah studi mengingat tersedianya ruas jalan yang menghubungkan distrik ini dengan lokasi lain di dalam wilayah studi. Selain Distrik Nimboran, Distrik Kemtuk terutama daerah di sekitar Kampung Mamda Yawan berpotensi pula untuk dikembangkan menjadi Kawasan Pusat Agropolitan. Distrik Kemtuk mudah dijangkau dari berbagai lokasi di wilayah studi termasuk letaknya yang lebih dekat ke Kota Outlet (Jayapura) dibandingkan dengan distrik lainnya di wilayah studi. Walaupun kelengkapan ketersediaan sarana prasarana ekonomi tidak sebaik Distrik Nimboran, Distrik Kemtuk memiliki sarana prasarana transportasi berupa jalan yang memadai dan menjangkau seluruh areal di wilayah studi. Selain itu
lahan
di
sekitar
Kampung
Mamda
Yawan
tidak
cocok
untuk
dikembangkan menjadi lahan pertanian mengingat sebagian besar kondisi tanahnya berbatu cadas. Kondisi lahan seperti ini sangat potensial untuk dikembangkan menjadi kawasan perkantoran sehingga tidak mengorbankan lahan-lahan potensial untuk usaha pertanian. 2. Letak Terhadap Kawasan Lain Letak kawasan agropolitan terhadap pusat-pusat kegiatan lainnya dapat dilihat pada Gambar 41, dan beberapa pertimbangan yang mendasari nominasi pusat-pusat distrik adalah: a. Kawasan Unit Penghasil Komoditas (KUPK) tersebar di seluruh wilayah studi. Oleh karenanya perlu dibangun kawasan sentra produk di setiap pusat distrik. b. Pusat-pusat distrik adalah daerah yang lebih berkembang dibanding lokasi-lokasi lain di dalam distrik. c. Ketersediaan sarana dan prasarana penunjang pengembangan kawasan sentra produksi di pusat-pusat distrik lebih lengkap dibanding lokasi lainnya di dalam distrik.
208 d. Pusat-pusat distrik umumnya merupakan lokasi yang mudah dijangkau baik dari lokasi-lokasi lain di dalam distrik maupun dari lokasi lain di luar distrik. Kawasan Agropolitan yang berlokasi di ibukota Kecamatan Nimboran terletak di sebelah Barat Daya ibukota Kabupaten Jayapura (Sentani) atau ibukota provinsi Papua (Jayapura).
Letak Pusat Agropolitan terhadap
ibukota distrik dalam kawasan agropolitan masing-masing di sebelah Barat Laut adalah ibukota Distrik Nimbokrang (Nimbokrang Sari) yang berjarak 10.8 km, di sebelah Tenggara adalah ibukota Distrik Kemtuk Gresi (Sawoy) yang berjarak 12.4 km, dan di sebelah Timur adalah ibukota Distrik Kemtuk (Sabron Samon) yang berjarak 26.3 km. Kota outlet yaitu Sentani dan Jayapura masing-masing berjarak 55.7 km dan 84 km terletak di sebelah Timur Laut Kawasan Agropolitan. Beberapa daerah yang potensial untuk dikembangkan sebagai kota pelabuhan yakni Demta dan Depapre terletak masing-masing di sebelah Utara dan Timur Laut Kawasan Agropolitan.
Jarak pusat agropolitan ke
Demta dan Depapre masing-masing adalah 35.84 km dan 76.4 km. Sarana prasarana penting lainnya yang menunjang pengembangan kawasan agropolitan adalah Rumah Pemotongan Hewan (RPH) yang terletak di daerah Yoka. Jarak pusat agropolitan ke Yoka adalah 58 km melalui jalur Genyem – Borowai – Sentani. 5.9.1. Kriteria Kawasan Kriteria
kawasan
menyangkut
keberadaan
berbagai
komponen
lingkungan suatu kawasan dan menjadi faktor penentu berfungsinya setiap subsistem agribisnis di kawasan bersangkutan. Berfungsinya setiap subsistem agribisnis dilihat dari aspek intensitas dan keberlanjutan serta kualitas fungsi setiap subsistem agribisnis ditentukan oleh keberadaan komponen-komponen lingkungan kawasan bersangkutan. Artinya, tingkat keberlanjutan dan intensitas serta kualitas berfungsinya setiap subsistem agribisnis adalah proporsional dengan tingkat keberadaan komponen-komponen lingkungan yang lazim disebut sebagai potret kawasan.
Hal ini berarti pula tingkat keberadaan setiap
komponen lingkungan kawasan dapat digunakan sebagai kriteria untuk menentukan ke dalam tingkat kelayakan mana kawasan itu berpotensi untuk
209 dikembangkan menjadi kawasan agropolitan. Apakah kawasan itu layak, kurang layak, ataukah tidak layak untuk dikembangkan menjadi sebuah kawasan. Berdasarkan hasil identifikasi yang diperkenalkan oleh Departemen Pertanian, komponen-komponen lingkungan kawasan adalah: (1) sumber daya alam dan agroklimat, (2) prasarana/sarana agribisnis, (3) prasarana/sarana umum,
(4)
lingkungan.
prasarana/sarana Tingkat
kesejahteraan
keberadaan
sosial,
masing-masing
ditempatkan sebagai kriteria kawasan.
dan
(5)
kawasan
kelestarian inilah
yang
Sebagai pedoman, Departemen
Pertanian memperkenalkan 5 prasyarat yang perlu dimiliki suatu kawasan agar dapat dikembangkan menjadi kawasan agropolitan. 1. Memiliki
sumber
daya
alam
dan
agroklimat
yang
sesuai
untuk
pengembangan komoditas bernilai pasar tinggi. 2. Memiliki prasarana/sarana agribisnis yang memadai. 3. Memiliki prasarana/sarana umum atau infrastruktur yang memadai. 4. Memiliki prasarana/sarana kesejahteraan sosial yang memadai. 5. Berlangsungnya suatu kondisi kelestarian lingkungan hidup. Kriteria kawasan yang mencakup 4 distrik yakni Distrik Nimboran, Nimbokrang, Kemtuk, dan Distrik Kemtuk Gresi berdasarkan potret kawasan yang telah diidentifikasi dan dengan memperhitungkan 5 prasyarat kawasan agropolitan dapat dijelaskan seperti di bawah ini. 1. Sarana dan prasarana agribisnis. Jenis prasarana/sarana agribisnis penting yang telah terdapat di kawasan ini adalah bank yakni BRI dan Bank Papua, pasar, KUD dan Kios Sarana Produksi Pertanian. Intensitas kegiatan yang berlangsung pada setia jenis prasana/sarana ini masih terbatas, dan kondisi fisik bangunan masingmasing
prasarana/sarana
tergolong
kecil
dan
sederhana.
Namun
keberadaannya mampu menempatkan kawasan ini memiliki potensi untuk dikembangkan
menjadi
kawasan
agropolitan
Kabupaten
Jayapura.
Pemusatan letak sebagian besar prasarana/sarana ini di Distrik Nimboran menempatkan Distrik Nimboran layak menjadi pusat kawasan agropolitan. Sarana prasarana umum. Jenis sarana prasarana umum atau infrastruktur yang telah terdapat di kawasan ini yang mencakup Distrik Nimboran, Nimbokrang, Kemtuk dan Distrik Kemtuk Gresi adalah jalan, telekomunikasi, pos dan giro, listrik, dan air bersih.
210 (1) Jalan Jalan darat merupakan satu-satunya prasarana/sarana transportasi vital yang menjamin mobilitas input maupun output pembangunan sektor pertanian disamping sektor-sektor lain di kawasan ini. Jaminan mobilitas input maupun output pembangunan sektor pertanian dari kawasan ke pusat-pusat pelayanan kegiatan subsistem agribisnis hilir di luar kawasan seperti pasar dan pelabuhan ekspor-impor serta rumah potong hewan yang berskala regional dimungkinkan oleh jalan poros yang telah ada. Selain jalan poros yang telah ada juga telah dirintis dua jaringan jalan poros alternatif. (1) Jaringan jalan poros dari “Padang Rumput Bonggrang” memasuki pasar dan pelabuhan ekspor-impor di Kota Kabupaten dan Kotamadya Jayapura melalui Kampung Maribu. (2) Jaringan jalan poros dari Pusat Kota Distrik Kemtuk memasuki pasar dan pelabuhan ekspor-impor di Kota Kabupaten Jayapura dan Kotamadya Jayapura melalui Kampung Yoka sebagai rumah potong hewan. Jaringan jalan poros yang telah ada sekarang telah mampu menjadi prasyarat bagi Distrik Nimboran dan Nimbokrang
serta
Distrik
Kemtuk
dan
Kemtuk
Gresi
untuk
dapat
mengembangkan kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura kea rah yang lebih baik. Badan jalan poros dan jembatan yang telah ada sekarang perlu diperbaiki dan dikembangkan secara bertahap serta dipelihara secara berkelanjutan sesuai kebutuhan kegiatan berbagai subsistem agribisnis di kawasan agropolitan selama tahapan operasional. Jalan simpang atau jalan kampung yang telah ada sekarang sebagian besar masih merupakan jalan tanah dan pengerasan.
Namun jalan ini telah
mampu memperlancar hubungan antara kampung dan pusat-pusat kota distrik pada masing-masing distrik, dan juga telah mampu menjamin hubungan antara Distrik Nimbokrang dan Distrik Kemtuk serta Distrik Kemtuk Gresi dengan Distrik Nimboran. Keragaan transportasi darat yang terujud sekarang merupakan salah satu kriteria yang telah memposisikan Distrik Nimboran sebagai pusat kawasan agropolitan dan Distrik Nimbokrang, Kemtuk Gresi serta Distrik Kemtuk sebagai hinterland kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura. Badan jalan kampung dan jembatan yang telah ada sekarang perlu dipelihara secara berkelanjutan dan dikembangkan secara bertahap sesuai kebutuhan kegiatan berbagai subsistem agribisnis di kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura setelah kegiatan pengembangan kawasan agropolitan ini telah mencapai tahapan operasinal.
211 (2) Listrik Jaringan listrik telah menjangkau sebagian besar kampung dan seluruh kelurahan di Distrik Nimboran dan Nimbokrang serta Distrik Kemtuk dan Distrik Kemtuk Gresi.
Lama pelayanan listrik pada setiap sambungan termasuk
sambungan ke rumah-rumah tinggal berlangsung 24 jam dalam setiap hari. Kinerja pelayanan listrik ini tampak mirip seperti di daerah-daerah lain di Provinsi Papua yakni kadang-kadang terjadi pemadaman secara bergiliran disamping padam tiba-tiba.
Walaupun demikian keberadaan prasarana/sarana listrik
sekarang telah mampu memposisikan Distrik Nimboran dan Nimbokrang serta Distrik Kemtuk dan Kemtuk Gresi untuk dikembangkan menjadi kawasan agropolitan, dengan tetap memberi perhatian besar pada upaya pemeliharaan jaringan listrik secara berkelanjutan, dan pengembangannya secara bertahap sesuai kebutuhan kegiatan berbagai subsistem agribisnis selama kegiatan pengembangan kawasan agropolitan ini telah mencapai tahapan operasional. (3) Telekomunikasi Prasarana/sarana telekomunikasi membatasi jumlah sambungan telepon otomat yang sangat terbatas yakni 25 sambungan dan terkonsentrasi di Distrik Nimboran, sehingga belum memungkinkan seluruh penduduk kampung dapat berkemunikasi dengan daerah lain secara lebih intensif.
Walaupun demikian
kondisi prasarana/sarana telekomunikasi yang telah ada sekarang dapat digunakan
sebagai
kriteria
yang
memposisikan
Distrik
Nimboran
dan
Nimbokrang serta Distrik Kemtuk dan Kemtuk Gresi untuk pengembangan selanjutnya menjadi kawasan agropolitan yang lebih maju. Pemusatan lokasi prasarana/sarana telekomunikasi menjadi salah satu kriteria yang memposisikan Distrik Nimboran sebagai pusat kawasan agropolitan, dan 3 distrik lainnya menjadi hinterland. Prasarana/sarana telekomunikasi yang telah ada sekarang perlu dipelihara secara berkelanjutan dan dikembangkan secara bertahap sesuai kebutuhan
kegiatan
berbagai
subsistem
agribisnis
pada
saat
kegiatan
pengembangan kawasan agropolitan telah mencapai tahapan operasional. (4) Pos dan Telekomunikasi. Sarana prasarana pos dan giro masih terbatas yakni lokasinya terpusat di Distrik Nimboran, sehingga tidak memungkinkan penduduk kampung di luar Distrik Nimboran untuk berkomunikasi tertulis dengan cara yang lebih intensif. Namun keberadaan prasarana/sarana pos dan giro sekarang dapat digunakan
212 sebagai satu kriteria yang menempatkan keempat distrik ini menjadi kawasan agropolitan. Pemusatan lokasi prasarana/sarana pos dan telekomunikasi yang telah ada sekarang di Distrik Nimboran dapat digunakan sebagai satu kriteria yang memposisikan distrik ini menjadi pusat kawasan agropolitan dan 3 distrik lainnya sebagai hinterland. Prasarana/sarana pos dan giro yang telah ada perlu dipelihara secara berkelanjutan, dan dikembangkan secara bertahap sesuai kebutuhan kegiatan berbagai subsistem agribisnis terutama pembangunan kantor-kantor unit pos dan giro di setiap pusat distrik yang diposisikan sebagai hinterland.
(5) Air bersih. Prasarana/sarana air bersih masih terbatas pada sumur tradisional yang dimiliki oleh sebagian besar rumahtangga penduduk Distrik Nimboran dan Nimbokrang serta Distrik Kemtuk dan Nimbokrang. Namun ditinjau dari kondisi hidrologi dan iklim kawasan ini memiliki potensi besar untuk membangun prasarana/sarana air bersih yang layak.
Pembangunannya perlu dilakukan
secara bertahap sesuai kebutuhan kegiatan berbagai subsistem agribisnis di kawasan agropolitan. 2. Sarana Prasaran Kesejahteraan Sosial. Jenis sarana prasarana kesejahteraan sosial yang telah ada sekarang di Distrik Nimboran dan Nimbokrang serta Distrik Kemtuk dan Kemtuk Gresi meliputi prasarana/sarana pendidikan, kesehatan dan keagamaan. (1) Pendidikan. Prasarana/sarana pendidikan dasar (SD) dan lanjutan pertama (SLTP) telah tersebar di setiap distrik yakni di Distrik Nimboran dan Nimbokrang serta Distrik Kemtuk dan Kemtuk Gresi. Sekolah lanjutan atas (SLTA) masih terbatas di Distrik Nimboran serta Nimbokrang, dan taman kanak-kanak masih terbatas di Distrik Nimbokrang. Pemusatan sebagian besar prasarana/sarana pendidikan di Distrik Nimboran menjadi satu kriteria yang memposisikan distrik ini wajar menjadi pusat kawasan agropolitan dan 3 distrik lainnya sebagai hinterland. Pemeliharaan prasarana/sarana yang telah ada perlu dilakukan secara berkelanjutan, dan penyelenggaraan proses belajar-mengajar perlu dilakukan secara efektip dan efisien serta berkelanjutan agar mampu menghasilkan
213 sumber
daya
manusia
berkualitas
dan
mampu
bersaing
murni
mendapatkan kesempatan kerja maupun kesempatan ekonomi.
untuk Khusus
prasarana/sara pendidikan kanak-kanak perlu dilakukan secara bertahap sesuai kebutuhan masyarakat yang semakin berkembang secara proporsional dengan perkembangan kawasan agribisnis. (2) Kesehatan. Prasarana/sarana kesehatan masih terbatas di Distrik Nimboran dan Distrik Kemtuk Gresi. Masing-masing distrik memiliki 1 unit PUSKESMAS dan 6 unit POLINDES. Pemeliharaan prasarana/sarana yang telah ada perlu dilakukan secara berkelanjutan, dan pengembangan status serta pengelolaan PUSKEMAS menjadi rawat nginap perlu dilakukan bertahap sesuai kebutuhan masyarakat untuk memelihara kesehatan keluarga yang akan terjadi proporsional dengan perkembangan kawasan agropolitan.
(3) Keagamaan. Prasarana/sarana keagamaan yakni rumah ibadah telah tersebar luas di setiap distrik, baik di Distrik Nimboran dan Nimbokrang serta Distrik Kemtuk dan Kemtuk Gresi, sesuai agama dan kepercayaan yang dianut marga masyarakat di setiap distrik. 5.9.2. Kelestarian Lingkungan Hidup. Wilayah Distrik Nimboran dan Nimbokrang serta Distrik Kemtuk dan Kemtuk Gresi sebagian besar (75,83 %) masih tertutup hutan, dan 35, 15 persen (22 675 ha) dari total luas hutan ini adalah hutan lindung. Keberadaan hutan ini merupakan salah satu indikator bahwa kelestarian lingkungan hidup di wilayah yang mencakup keempat distrik ini berada dalam keadaan yang alamiah. Sebaran luas hutan lindung yang hingga mencapai 52,55 % di Distrik Nimboran dan 0,79 persen di Distrik Kemtuk Gresi, menjadi satu kriteria yang menempatkan Distrik Kemtuk Gresi lebih unggul dibandingkan Distrik Nimboran ditinjau dari aspek kelestarian lingkungan hidup secara berkelanjutan di kawasan agropolitan. Keragaman berbagai komponen lingkungan kawasan yang mencakup Distrik Nimboran dan Nimbokrang serta Distrik Kemtuk dan Kemtuk Gresi yang telah dijelaskan di atas menunjukkan sejumlah kriteria yang memposisikan
214 keempat distrik ini berdasarkan 5 prasyarat kawasan dapat dikembangkan menjadi kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura yang lebih maju lagi. Berdasarkan
keragaan
kelima
prasyarat
tersebut,
kawasan
agropolitan
Kabupaten Jayapura dalam perkembangannya memiliki potensi untuk menjadi sebuah kawasan agropolitan yang ideal. Ciri-ciri kawasan agropolitan yang ideal menurut Departemen Pertanian dirumuskan seperti di bawah ini. 1. Perekonomian kawasan agropolitan didominasi oleh sektor pertanian dalam arti luas, meliputi pertanian tanaman pangan, perkebunan, peternakan, kehutanan, dan perikanan. 2. Sebagian besar penduduk kawasan agropolitan menggantungkan hidupnya pada usaha agribisnis, mulai dari hasil produksi sampai dengan pemasaran hasil produksi pertanian. 3. Kawasan agropolitan memiliki prasarana/sarana kota, karena semua kebutuhan yang menunjang kegiatan agribisnis telah tersedia secara lokal kawasan agropolitan. 4. Kota (pusat kawasan agropolitan) dan desa (hinterland) memiliki hubungan yang harmonis melalui hubungan interdependensi.
5.9.3. Pengembangan Kawasan Agropolitan Grime-Sekori Berdasarkan analisis terhadap keadaan sekarang (present condition), maka pengembangan kawasan agropolitan “Grime-Sekori” Kabupaten Jayapura dilaksanakan dengan mengikuti hierarki sebagaimana telah diuraikan pada pembahasan terdahulu, yaitu terdiri pusat kawasan, sentra produksi, dan unit penghasil komoditas. Pengembangan
kawasan
agropolitan
“Grime-Sekori”
Kabupaten
Jayapura pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat di kawasan, mendorong berkembangnya sistem usaha
agribisnis,
pertumbuhan
meningkatkan
kegiatan
ekonomi
keterkaitan pedesaan,
desa-kota, mempercepat
mempercepat industrialisasi
pedesaan, mengurangi arus urbanisasi, menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Jayapura. demikian,
aspek
pengembangan
kawasan
agropolitan
Dengan
“Grime-Sekori”
Kabupaten Jayapura dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu : aspek makro dan aspek mikro.
215 Pada aspek makro, yang perlu dilakukan adalah memberikan iklim yang kondusif melalui deregulasi dan debirokratisasi untuk meningkatkan efisiensi dan mendorong investasi pengembangan komoditas yang berorientasi ekspor (“export
promotion”)
dan
memenuhi
kebutuhan
komoditas
didatangkan dari daerah lain (“import substitution”).
yang
masih
Pada aspek mikro
pengembangan kawasan agropolitan di Kabupaten Jayapura seyogyanya diarahkan pada terutama membantu petani dalam penetrasi pasar dengan meningkatkan efisiensi, produktifitas dan kualitas serta ditunjang dengan pemasaran yang proaktif. Aspek-aspek tersebut harus dilakukan dalam rangka memberdayakan ekonomi pedesaan dengan menggeser orientasi komoditas ke orientasi pasar. Kabupaten Jayapura menghadapi lingkungan yang makin kompetitif, yaitu dengan masuknya berbagai komoditas baik dari daerah lain maupun dari negara lain.
Dalam situasi persaingan yang semakin ketat, secara spesifik
pengembangan kawasan agropolitan “Grime-Sekori” Kabupaten Jayapura harus dilakukan dengan upaya-upaya sebagai berikut : 1.
Pengembangan informasi pasar yang akan menuntun keputusan mengenai jenis komoditas yang akan diusahakan, penggunaan input, teknologi yang digunakan, dan keputusan-keputusan lain menyangkut pengembangan agribisnis.
2.
Pembentukan skala ekonomi untuk meningkatkan daya saing, terutama peningkatan efisiensi, meminimumkan variasi kualitas dan menjamin kontinuitas dari supply.
Dalam skala komersial, layanan kegiatan
pendukung misalnya grading, packaging atau prosesing harus segera dilakukan
dan
dikembangkan.
menjamin
pengelolaan
kualitas
relatif
lebih
mudah
Pembentukan skala ekonomi ini dikembangkan dengan
mendorong berkembangnya sentra-sentra produksi untuk komoditas lokalita unggulan. 3.
Mendorong program inkubator, sehingga para pengusaha dapat dilatih bagaimana menjalankan usahanya dan memasarkan hasilnya.
4.
Pengembangan kawasan agroindustri terpadu untuk meningkatkan efisiensi disetiap tingkatan kegiatan produksi sehingga dapat meningkatkan daya saing. Keterpaduan ini mengacu pada keterkaitan antara unit-unit penghasil komoditas (UPK) dengan kawasan sentra produksi (KSP) dan pusat kawasan (PK) serta outlet sehingga menciptakan efisiensi.
Efisiensi ini
216 sangat
penting
untuk
dapat
menangkap
semua
peluang
yang
menguntungkan. 5.
Mengembangkan kemitraan antara pengusaha besar dengan petani di sentra-sentran produksi dan di unit-unit penghasil komoditas misalnya dengan pola inti plasma.
Pada dasarnya perusahaan inti menyediakan
modal kerja dan input produksi, melakukan proses pengolahan dan pemasaran
hasil,
sedangkan
plasma
melakukan
proses
produksi
berdasarkan perjanjian yang disepakati kedua pihak mengenai kualitas, kuantitas dan perlakuan lain yang harus diterapkan. Perjanian dilakukan secara resmi dengan ikatan kontrak. 6.
Sosialisasi standar baik nasional maupun internasional
dan peraturan
perdagangan untuk meningkatkan kualitas. Untuk tujuan pengawasan dan promosi perlu dikembangkan pelabelan. 5.9.4. Strategi Pengembangan Kawasan Dengan memperhatikan potensi sumberdaya dan taraf pencapaian tujuan dari wilayah Distrik Nimboran, Distrik Nimbokrang, Distrik Kemtuk dan Distrik Kemtuk Gresi untuk dikembangkan sebagai kawasan agropolitan, maka strategi pengembangan wilayahnya didasarkan pada beberapa prinsip pokok. 1. Wilayah yang hendak dikembangkan menjadi kawasan agropolitan bukan merupakan wilayah kosong, maka pengembangan wilayah studi diarahkan untuk memberdayagunakan potensi sumberdaya yang sudah ada sehingga diharapkan dengan investasi yang seminimum mungkin dapat dihasilkan keluaran dan output yang maksimal.
Selain efisiensi, investasi yang
ditanamkan harus berhasilguna yaitu tepat sesuai dengan keinginan masyarakat, keinginan pemerintah dan para investor termasuk mitra pengusaha yang sudah membina hubungan kerja dengan masyarakat di wilayah keempat distrik ini. 2. Pengembangan keempat distrik menjadi kawasan agropolitan diarahkan untuk menciptakan kawasan yang dapat tumbuh dan berkembang sendiri. Investasi yang ditanamkan hendaknya dapat mendorong penciptaan unit-unit usaha baru yang dapat membiayai diri sendiri sekaligus mendorong bekerja perekonomian wilayah karena keterkaitan antar sektor dan usaha yang saling menunjang dan saling menguntungkan. 3. Pengembangan memperhatikan
keempat
distrik
menjadi
etika
dalam
bermasyarakat
di
kawasan
agropolitan
sehingga
harus
diharapkan
217 pengembangan kawasan agropolitan harus dapat memberdayakan penduduk lokal dan sekaligus dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di keempat distrik secara adil. 4. Pengembangan keempat distrik menjadi kawasan agropolitan melibatkan berbagai instansi pemerintah, swasta dan masyarakat maka pengembangan kawasan agropolitan harus dapat menciptakan tanggung jawab moral yang baik dari setiap pihak yang terlibat di dalamnya. 5. Pengembangan kawasan agropolitan di keempat distrik harus dipandang sebagai satu kesatuan yang terpadu di mana setiap unit atau unsur yang terlibat didalamnya berhubungan satu dengan lain. Berdasarkan hubungan ini, maka pengembangan kawasan harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada setiap unit yang terlibat di dalamnya dengan rada korban yang sekecil-kecilnya. Berdasarkan kondisi sekarang kawasan dan dengan berpatokan pada prinsip yang telah diuraikan di atas maka strategi pengembangan keempat distrik sebagai kawasan agropolitan diuraikan sebagai berikut. Tujuan pengembangan kawasan agropolitan dalam kebijakan jangka pendek
(1 - 5 tahun) adalah (1) Melakukan upaya-upaya nyata yang
memungkinkan unit-unit penghasil komoditi memiliki produktivitas tinggi, effisien, sesuai dengan kondisi biofisik, kesuburan tanah, keinginan masyarakat, keinginan pemerintah dan kemampuan untuk mendorong peciptaan unit-unit usaha baru secara mandiri. (2) Memperbaiki dan mengembangkan sistem pemasaran komoditi unggulan kawasan agropolitan yang memberikan kepastian dan
kestabilan
harga
terutama
bagi
petani
penghasil
komoditas,
(3)
Mengembangkan sistem transportasi yang dapat menjangkau kawasan unit-unit penghasil komoditi dan kota outlet dari kawasan sentra produksi dan (4) Meningkatkan dan memperbaiki pengadaan air bersih ke rumah-rumah penduduk di wilayah studi dan pusat pengembangan kawasan agropolitan. Kebijakan yang ditempuh dalam jangka pendek adalah (1)
Upaya
peningkatan pengetahuan dan kesadaran penduduk wilayah studi tentang konsep agropolitan.
Kebijakan ini merupakan langkah awal yang dipandang
sangat strategis dan perlu dilakukan untuk mencapai tujuan pengembangan kawasan
agropolitan
di
wilayah
studi.
Kesadaran
penduduk
bahwa
pengembangan agropolitan dapat menjawab masalah peningkatan taraf hidup penduduk wilayah studi dan pengembangan wilayah secara keseluruhan
218 merupakan kunci utama partisipasi penduduk di kawasan agropolitan secara utuh di dalam pengembangan kawasan agropolitan.
Diharapkan dengan
partisipasi penuh dan motivasi yang tinggi untuk memperbaiki diri dan membangun
daerah
maka
diharapkan
tujuan
pengembangan
kawasan
agropolitan dapat tercapai. (2) Kebijakan pemasaran hasil produksi komoditas unggulan utama secara berkelanjutan, (3) Kebijakan peningkatan produktivitas usahatani penduduk.
Kebijakan ini dapat ditempuh dengan tiga cara:
(a)
Peningkatan pengetahuan teknik budidaya penduduk, (b) Tindakan perbaikan kondisi lahan baik melalui masukan input, pembuatan parit drainase, perbaikan saluran irigasi dan penggunaan benih unggul dan (c) Pengembangan dan pembentukan sistem kerja berkelompok. Khusus untuk penduduk lokal, upaya ini dapat ditempuh dengan menyertakan tokoh adat di dalam mengkoordinir kegiatan usahatani penduduk. Yang terakhir atau (4) Kebijakan pengadaan, perbaikan dan peningkatan fasilitas penunjang utama dan fasilitas penunjang pengembangan kawasan agropolitan. Ada tiga upaya yang dapat dilakukan: 1.
Pembuatan
aturan
sistem
pemasaran
produk
kawasan
agropolitan.
Kegiatan ini diharapkan dapat menciptakan kestabilan dan kepastian harga komoditi unggulan yang dikembangkan di kawasan agropolitan. 2.
Pembangunan ruas jalan dan jembatan yang menghubungkan kawasan agropolitan dan kota outlet termasuk ruas jalan dan jembatan yang menghubungkan kawasan-kawasan sentra produksi dan unit penghasil komoditi.
3.
Kegiatan pengadaan dan penyaluran air bersih ke rumah-rumah penduduk dengan memanfaatkan sumber air yang tersedia di kawasan agropolitan. Dalam jangka menengah (5 – 10 tahun) tujuan utama pengembangan
kawasan agropolitan adalah (1)
Peningkatan kualitas produksi komoditi
unggulan kawasan agropolitan. (2)
Pengembangan dan peningkatan sistem
penanganan pasca panen komoditi unggulan, (3) Pengembangan sistem pemasaran output dengan memberdayakan organisasi yang telah terbentuk untuk tujuan ekspor ke luar Kabupaten Jayapura, (4) Pemberdayaan petani menuju
spesialisasi
produk
dan
komoditi
yang
diusahakan
dan
(5)
Pengembangan kelembagaan dan fasilitas perkantoran yang memadai untuk suatu kota dengan memperhatikan keindahan dan kelestarian lingkungan. Dalam jangka panjang (10 – 25 tahun) tujuan utama pengembangan kawasan adalah (1)
Mempertahankan kualitas komoditi produksi kawasan
219 agropolitan, (2)
Mengembangakan sistem spesialisasi komoditi unggulan
dengan memperhatikan diversifikasi usaha, (3) pemasaran
yang
berdasarkan
sistem
Melembagakan sistem
perjanjian-perjanjian
tertulis,
(4)
Peningkatan profesionalisme kelembagaan dan fasilitas penunjang kota pertanian, dan (5) Peningkatan nilai usahatani penduduk melalui penataan usahatani yang memperhatikan keindahan alam dan kenyamanan lingkungan dan mengembangkan sistem usahatani yang berbasis ekoturisme. 5.9.5. Program Pengembangan Pengembangan Kawasan Agropolitan merupakan suatu konsep terpadu yang melibatkan petani dan usaha tani sebagai unit penghasil produk pertanian, pedagang dan pemilik modal sebagai penggerak ekonomi, dan pihak pemerintah sebagai administrator. Agropolitan
maka
Dengan demikian untuk terwujudnya suatu Kawasan
kebijakan
yang
dicanangkan
hendaknya
menyentuh
komponen-komponen tersebut berdasarkan skala prioritasnya.
Dengan
demikian memiliki dimensi waktu dan skala prioritas. Dengan
berpedoman
kepada
prinsip
dan
kebijakan
umum
pengembangan Kawasan Agropolitan, maka programnya berdasarkan dimensi waktu dapat diuraikan sebagai berikut: (1) Jangka Pendek a. Pemasaran secara kontinyu komoditas unggulan yang telah dimiliki petani sehingga menjadi salah satu factor perangsang petani untuk berproduksi. b. Pemberdayaan petani untuk mengintensifkan usahatani tiap komoditas unggulan yang telah dimiliki menjadi suatu usahatani yang berorientasi agribisnis melalui suatu proses pembelajaran.
Proses pembelajaran
difasilitasi oleh suatu lembaga yang kompeten, berbarengan dengan upaya-upaya sebagai berikut yang dilakukan secara bertahap sesuai kebutuhan untuk memfungsikan semua subsistem agribisnis komoditi unggulan, yakni: (1) Inventarisasi sarana prasarana yang telah tersedia dan perencanaan
kebutuhan yang belum tersedia, (2) Penempatan
petugas penyuluh pertanian lapangan pada setiap Kawasan Sentra Produksi,
(3)
Pengaktifan
kegiatan-kegiatan
penyuluhan
dengan
menggunakan model percontohan (demplot) pada setiap Kawasan Sentra Produksi, (4) Pembinaan dan pembentukan kelembagaan petani, dan (5)
220 Pembenahan fungsi dan peran Lembaga Pertanian yang sudah ada (Balai Penyuluhan Pertanian, Balai Benih, dll) (2) Jangka Menengah a. Penguatan petani untuk meningkatkan skala usahatani tiap komoditas unggulan melalui proses pembelajaran penerapan teknik budidaya secara utuh dan benar. b. Pengembangan sarana/prasaran kawasan agropolitan secara bertahap sesuai kebutuhan merangsang dan mendorong petani memperbesar skala usahatani komoditas unggulan seperti: (1) Perbaikan prasarana jalan dari dan menuju Pusat Agropolitan dan Kawasan Sentra Produksi, (2) Pembukaan jalur lalu lintas (trayek) kendaraan umum dari Pusat Agropolitan ke Kawasan Sentra Produksi, (3) Pemberian pinjaman modal kepada kelembagaan petani yang sudah terbentuk dan berfungsi, (4) Pembangunan infrastruktur pertanian, (5) Pembangunan pasar ternak pada Puasat Agropolitan, (6) Pengaturan dan pembangunan infrastruktur perdagangan (pasar, ruko, kios,terminal bus, dll ) di Pusat Agropolitan, dan (7) Pemberian kemudahan bagi investor yang ingin membuka usaha dikawasan Agropolitan (perizinan, pajak, dll) c. Penguatan fungsi, peran, dan kemampuan komponen Unit Produksi, Kawasan Sentra Produksi, dan Pusat Agropolitan serta menciptakan keterkaitan positif pada komponen tersebut. Strategi ini bertujuan agar komponen-komponen agropolitan tersebut dapat berperan sesuai dengan fungsinya masing- masing. Strategi ini meliputi program- program :
¾ Kegiatan pendampingan untuk peningkatan kemampuan teknik budidaya petani.
¾ Penyediaan kredit bagi usaha-usaha tani untuk peningkatan kemampuan permodalan petani
¾ Penyediaan Sarana produksi (bibit, pestisida, pupuk, pakan ternak, dll) yang dapat dibeli pada kios- kios/ koperasi di Sentra Produksi
¾ Penyediaan sapi pejantan jenis unggul pada Sentra Produksi sapi ¾ Pembuatan Peraturan Daerah tentang tata niaga perdagangan komoditas unggulan untuk Kawasan Agropolitan.
221
d. Peningkatan kemampuan dan daya saing kawasan Agropolitan. Hal ini bertujuan untuk menciptakan Kawasan Agropolitan yang memiliki keunggulan- keunggulan. (3) Jangka panjang: a. Penerapan Teknologi Inseminasi Buatan pada produksi ternak sapi di KawasanAgropolitan b. Perluasan pasar bagi produk pertanian kawasan ke berbagai tujuan pemasaran c. Pemanfaatan produk limbah pertanian untuk tujuan komersil d. Pengujian dan standarisasi mutu produk pertanian kawasan
Pengembangan Kawasan Sentra Produksi Kawasan Sentra Produksi merupakan wadah usaha pertanian yang dijalankan di Unit Produksi.
Tergantung dari produksi komoditas yang
ditampungnya, maka dalam pembangunan dan pengembangan Kawasan Sentra Produksi
dipandang
perlu
untuk
menyediakan
fasilitas
seperti
gudang
penampungan hasil, pusat prosesing hasil, pengepakan hasil, bengkel (workshop), pool angkutan pedesaan dan pasar penampungan. Dalam pengembangannya di masa depan sangat diharapkan Kawasan Sentra Produksi dapat menjadi inti atau jembatan atau pasar antara dalam pembangunan ekonomi di wilayah itu, khususnya untuk wilayah yang Unit Produksinya masih jauh dari pusat kegiatan ekonomi. Di samping itu diharapkan limbah produksi pertanian sebagai hasil samping kegiatan pertanian dapat dirubah menjadi komoditi baru yang mempunyai nilai tambah. Industri pengolahan limbah tersebut agar diarahkan mempunyai daya guna bagi kegiatan pertanian lainnya.
Dengan berjalannya
waktu, diharapkan bahwa hasil samping pertanian, perkebunan, peternakan dan perikanan akan mempunyai nilai tambah melalui usaha-usaha industri, antara lain industri pakan ternak, industri pupuk organik. Pengembangan Unit Produksi Unit Produksi merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan Kawasan Agropolitan. Unit Produksi akan merupakan sumber pemasokan utama produksi pertanian dalam aspek kuantitas, kualitas dan kontinuitas bagi Kawasan
222 Sentral Produksi. Unit Produksi dicirikan oleh jenis tanah dari lahan usaha dan macam komoditas yang diusahakannya. Akan tetapi dengan berjalannya waktu, nampak bahwa di keempat wilayah distrik terjadi degradasi produktivitas hasil pertanian. Untuk keperluan pengembangannya, keberadaan Unit Produksi komoditas lainnya itu juga per dikaji lebih lanjut. Untuk pencapaian produktivitas yang lebih tinggi dari saat sekarang ini diperlukan pengkajian faktor-faktor yang diduga menjadi penyebab penurunan produktivitas. Faktor-faktor tersebut dapat berupa faktor tanah (sifat fisik dan sifat kimianya), faktor tenaga kerja yang tersedia, faktor ketersediaan sarana produksi, faktor pengetahuan dan teknologi yang dimiliki petaninya, ketersediaan pasar atau faktor sistem tataniaga. Selanjutnya faktor-faktor itu perlu disusun urutannya dan ditentukan prioritas penanggulangannya. Pengembangan Komoditas Unggulan Sapi Potong Sapi merupakan salah satu komoditas unggulan di kawasan Agropolitan. Pengembangan sapi di daerah ini pada umumnya sudah baik, keadaan sapi dalam kondisi yang sehat. Pendapatan petani melalui komoditas ini cukup tinggi sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan peternak., namun nilai tambah dari penjualan sapi, masih belum dirasakan. Hal ini disebabkan karena yang dijual adalah sapi, bukan dagingnya. Untuk lebih mensejahterakan peternak, strategi pengembangan sapi di kawasan diarahkan untuk mendapatkan bobot sapi yang lebih tinggi dengan kualitas yang baik pada umur yang relatif lebih singkat. Selain itu, strategi pengembangan sapi diarahkan agar nilai tambah yang berupa pemanfaatan limbah pemotongan sapi dapat pula dirasakan peternak. Dengan demikian strategi pengembangan komoditas sapi di kawasan agropolitan terdiri dari : 1. Peningkatan Produksi Ternak Sapi Hal
ini
dilakukan
melalui
upaya
(1)
Pembibitan
yaitu
dengan
mengidentifikasi penjantan unggul pada sapi-sapi yang telah ada di kawasan Agropolitan ataupun mendatangkan sapi unggul dari luar daerah baik dari tipe sapi yang sama maupun yang berbeda.
Untuk itu masa birahi dan teknik
inseminasi buatan perlu diketahui oleh setiap peternak sapi melalui bimbingan teknis yang dilakukan oleh instansi terkait. Sarana dan prasarana pendukung perlu pula disiapkan. Pemantauan terhadap kesehatan ternak dan dagingnya perlu dilakukan secara terus menerus oleh instansi terkait untuk menghindari
223 terjadinya wabah. (2) Pengelolaan padang rumput. Kualitas ternak yang baik memerlukan pakan yang bermutu. Dua strategi yang dapat diusulkan dalam rangka perbaikan pakan ternak adalah: Pembuatan paddock sebagai grazing zone dengan memperhatikan daya dukung lahan.
Strategi ini dianjurkan dengan memperhatikan
kemungkinan
pengembangan jumlah ternak serta luas padang rumput yang pada saat ini tersedia. Ternak akan digiring untuk merumput pada areal yang telah ditentukan dan secara bergilir berpindah dari satu lokasi ke lokasi berikutnya. Pemeliharaan rumput dapat dilakukan melalui pemotongan rumput secara menyeluruh sambil menghilangkan jenis rumput-rumputan yang tidak diminati sapi.
Setelah
beberapa rotasi diharapkan bahwa paddock tersebut akan ditumbuhi oleh jenis rumput-rumputan bermutu tinggi yang disenangi sapi. Pembuatan ranch tetap dibarengi penyediaan areal di luar ranch untuk penanaman hijauan pakan ternak. Luas areal yang ditanam ditentukan jumlah sapi yang dipelihara, Selanjutnya untuk menyuburkan lahan tersebut dapat memanfaatkan limbah (kotoran sapi)
Peternak diharapkan untuk selalu aktif
memberi hijauan, air dan mineral secara tetap kepada ternaknya. 2. Pemanfaatan limbah Selain kotoran yang digunakan, kulit sapi dapat bermanfaat untuk berbagai industri rumah tangga berbahan baku kulit. Iklim yang kondusif untuk berkembangnya industri tersebut perlu diciptakan oleh pemerintah melalui instansi teknisnya. Pemberdayaan Petani Masyarakat petani di wilayah Distrik Nimboran dan Nimbokrang serta Distrik Kemtuk dan Kemtuk Gresi dibedakan menjadi 2 golongan yakni petani lokal dan petani transmigran nasional. Golongan petani lokal adalah penduduk asli setempat yang kehidupan ekonominya sangat tergantung pada sektor pertanian dalam arti luas. Di dalam golongan petani ini termasuk petani alokasi penduduk pemukiman daerah transmigrasi (APPDT). Mereka adalah penduduk lokal yang dimukimkan dalam rangka program transmigrasi. Golongan petani transmigran nasional adalah petani yang berasal dari daerah berpenduduk padat di Pulau Jawa dan Bali serta Nusatenggara.
224 Golongan petani yang disebutkan pertama dilihat dari corak usahatani secara luas termasuk sebagai petani subsisten. Ditinjau dari aspek penggunaan dan penguasaan teknologi termasuk dalam golongan petani yang berada pada tahapan transisi, yakni dari tahapan peramu ke tahapan bertani.
Golongan
petani yang disebutkan kedua dilihat dari corak usahatani yang diterapkannya tergolong petani komersial. Ditinjau dari aspek penggunaan dan penguasaan teknologi pertanian termasuk dalam golongan petani maju. Selanjutnya ditinjau dari corak usahatani dan penguasaan serta kemampuan menerapkan teknologi pertanian tampaknya golongan petani lokal tidak berdaya. Sebaliknya mereka adalah pemegang hak adat atas sumber daya alam setempat termasuk tanah lokasi permukiman dan usaha pertanian kaum transmigran nasional sehingga mereka sangat kuat ditinjau dari aspek sosialpsikologi. Golongan petani transmigran ditinjau dari aspek corak usahatani dan penguasaan serta kemampuan menerapkan teknologi pertanian, tampak jelas golongan petani ini kuat. Berdasarkan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki oleh masing-masing golongan petani, tampaknya kedua golongan petani ini perlu dipadukan dalam upaya pengembangan kawasan agropolitan.
Kekuatan yang dimiliki oleh
masing-masing golongan akan menempatkan masing-masing golongan petani ini pada posisi saling menghela.
Golongan petani transmigran nasional mampu
menghela golongan petani lokal dalam hal penerapan manajemen dan teknologi produksi pertanian. Sebaliknya golongan petani lokal dapat menghela petani transmigran dalam hal penguatan status penguasaan tanah sebagai salah satu faktor produksi vital.
Kesediaan golongan petani lokal untuk menghela
diharapkan akan mampu memperkuat kondisi sosial-psikologi golongan petani transmigran dalam menjalankan usahatani. Ditinjau dari aspek permodalan dan pasar, kedua golongan petani di kawasan
ini
sama-sama
lemah.
Kendala
pasar
telah
menghambat
perkembangan berbagai cabang usahatani yang telah ada hingga sekarang. Hambatan perkembangan muncul karena ketidak mampuan petani untuk memupuk modal yang diperlukan untuk proses produksi selanjutnya. Kendalakendala ini muncul karena petani kurang memiliki akses ke pasar pada hirarki yang lebih luas disamping tidak memiliki akses ke bank sebagai sumber modal.
225 Untuk memberdayakan petani dalam melakukan kegiatan dalam berbagai subsistem agribisnis, perlu pendampingan oleh lembaga pendamping yang lebih kompoten.
Pendampingan diperlukan dalam hal tranfer teknologi produksi
pertanian secara luas dan juga dalam hal penguatan akses mereka ke pasar dan bank. Pengembangan Kelembagaan Petani Lembaga petani yang perlu dikembangkan adalah lembaga-lembaga yang secara fungsional mampu memperkecil dan bila mungkin menghilangkan sama sekali berbagai kendala yang dihadapi petani dalam melakukan kegiatan berbagai subsistem agribisnis. Selain itu pula lembaga petani yang layak untuk dikembangkan adalah lembaga-lembaga yang mampu berorientasi pada struktur sosial dan ekonomi serta budaya lokal. Berdasarkan pemikiran ini lembaga yang layak untuk dikembangkan disesuaikan dengan struktur sosial-budaya dari setiap golongan petani bersangkutan. Hal ini penting mengingat lembaga-lembaga petani konvensional tampaknya telah kehilangan kepercayaan di kalangan petani terutama di kalangan golongan petani lokal. Lembaga-lembaga yang sesuai struktur sosialbudaya dipandang layak dikembangkan sebagai lembaga alternatip. Disamping itu pula lembaga alternatip ini dinilai lebih efisien dan efektip melaksanakan tugas-tugas penyuluhan pertanian dalam arti luas. Pengembangan Permodalan Kendala permodalan bagi pelaku agribisnis di Kawasan Agropolitan Kabupaten Jayapura selain disebabkan oleh kemampuan pemupukan modal juga terkait dengan keberadaan lembaga keuangan bank dan bukan bank. Keberadaan lembaga perbankan sangat berhubungan dengan kesempatan bagi pelaku agribisnis untuk mendapatkan modal bagi perluasan dan pengembangan usaha. Di Kawasan Pengembangan Agropolitan Kabupaten Jayapura sampai saat ini belum ada bank yang berperan sebagai penyedia dana dalam jumlah yang cukup sesuai yang dibutuhkan oleh para pengusaha.
Oleh sebab itu
diperlukan lembaga perbankan yang baru maupun peningkatan status dari bankbank yang sudah ada seperti Bank Papua, Bank BRI menjadi Kantor Cabang
226 sehingga fungsi pelayanan dapat didekatkan kepada masyarakat. Keberadaan Bank Papua dan Bank BRI diharapkan dapat meningkatkan investasi di bidang pertanian khususnya agrobisnis dan agroindustri di Kawasan Pengembangan Agropolitan. Keberadaan bank dan lembaga keuangan belum menjamin terselesainya masalah permodalan di atas, jika akses para pengusaha terhadap kredit yang tersedia kecil. Hal ini dikarenakan tingginya tingkat bunga, persyaratan kredit yang terlalu berat bagi pengusaha kecil atau dikarenakan ketidaktahuan para pengusaha tentang prosedur dan tatacara mendapatkan kredit. Untuk mengatasi masalah
permodalan
di
atas,
dapat
ditempuh
strategi
pengembangan
permodalan seperti terlihat pada skema berikut.
Menghilangkan Ketergantungan, Menumbuhkan Keswadayaan
Bantuan Cuma-cuma
Sistem Ekonomi Rakyat
Bantuan Bergulir
Kredit Subsidi
Kredit Komersial (dengan Kemudahan Khusus)
Kredit Komersial (Penuh)
Gambar 41.
Strategi Pengembangan Permodalan
Bank Dunia menyebutkan bahwa selayaknya agribisnis diberikan tingkat bunga yang lebih rendah dari rata-rata tingkat bunga bank umum. Oleh sebab itu, perlu ditunjuk bank yang khusus untuk melayani kebutuhan investasi di bidang agribisnis, merumuskan kembali persyaratan untuk mendapatkan kredit dari bank sehingga tidak memberatkan, terutama bagi pengusaha-pengusaha yang bergerak disektor produksi disertai dengan sosialisasinya kepada pengusaha
secara
luas.
Bagi petani
yang
belum banyak tersentuh
pembangunan, terutama penghasil komoditi dapat dimulai dengan berbagai bantuan dalam bentuk “bantuan cuma-cuma” atau “bantuan bergulir”. Bantuan ini diberikan berdasarkan kebutuhan yang benar-benar dirasakan oleh petani
227 sesuai
hasil
analisa
kebutuhan.
Bagi
yang
sudah
lebih
baik
taraf
kemampuannya bantuan permodalan diberikan dalam bentuk “kredit subsidi” atau “kredit komersial dengan kemudahan khusus” (tanpa jaminan dan prosedurnya mudah). Kredit ini dapat digunakan untuk berbagai macam usaha baik on-farm maupun off-farm seperti usaha sarana produksi, pengolahan hasil, perdagangan dan pelayanan jasa keuangan. Apabila pelaku agribisnis sudah mampu, maka ditingkatkan menjadi “kredit komersial penuh”.
Dengan cara
demikian, maka kita berhasil mendidik mereka menjadi mandiri dalam kebutuhan permodalan
usaha.
Artinya,
apabila
mereka
membutuhkan
tambahan
permodalan bagi pengembangan usahanya mereka mampu berhubungan dengan bank (lembaga keuangan formal) dan mampu memenuhi persyaratan bank. Dalam
rangka
mengembangkan
kegiatan
agribisnis
di
Kawasan
Pengembangan Agropolitan, bantuan pemerintah melalui subsidi sangat penting. Subsidi melalui lembaga perbankan dan lembaga permodalan lainnya perlu dikembangkan yaitu subsidi yang diwujudkan dalam bentuk kredit kepada petani dan pengusaha agribisnis. Bimbingan dan penyuluhan merupakan bagian dari keberhasilan pelaku agribisnis dalam mengembangkan usahanya. Selama ini lembaga perbankan menyalurkan kredit pada sektor-sektor yang dianggap aman, dalam arti sektorsektor yang diperkirakan mempunyai tingkat pengembalian tinggi yaitu sektor perdagangan, kontraktor dan leveransir.
Sektor-sektor yang dianggap resiko
tinggi bagi pengembalian kredit seperti sektor produksi di bidang pertanian, perikanan dan peternakan tidak memperoleh porsi yang wajar. Padahal sektor produksi dan industrilah dasar bagi pertumbuhan ekonomi daerah. mengurangi
resiko
tingkat
pengembalian,
pihak bank
perlu
Untuk
melakukan
pendampingan teknis kepada pelaku agribisnis. Permodalan juga terkait dengan peran Pemerintah Daerah.
Investasi
pemerintah daerah di bidang pertanian seyogyanya diarahkan untuk memberikan insentif dan kondisi kondusif kepada para petani. Dengan dana yang terbatas, investasi pemerintah daerah seyogyanya lebih diarahkan pada pembangunan “public goods”, infrastruktur, penelitian, dan pengembangan sumberdaya manusia. Selama ini Pemerintah Daerah telah menyalurkan bantuan modal bagi para pengusaha kecil dalam bentuk kredit program melalui Bank Papua dan
228 Bank BRI. Sebagian besar kredit program ini berdasarkan pemantauan Bank Papua dan Bank BRI menjadi kredit macet.
Hal ini disebabkan kurangnya
bimbingan dan penyuluhan, sehingga yang seharusnya merupakan kredit produksi digunakan untuk membiayai keperluan konsumsi. Pemerintah daerah diharapkan merumuskan strategi yang dapat menciptakan iklim
kondusif sehingga pihak swasta dapat berperan dalam
penyediaan modal bagi pelaku agribisnis di dalam mengembangkan usahanya. Hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa strategi tersebut haruslah bersifat menghilangkan ketergantungan dari pihak luar dan lebih mengarah pada upaya menumbuhkan keswadayaan pelaku agribisnis dalam memenuhi kebutuhan permodalan.
Pengembangan Sistem Pembinaan Pembinaan terhadap pelaku agribisnis merupakan salah satu penentu keberhasilan
pengembangan
kawasan
agropolitan.
Untuk
mendukung
keberhasilan pengembangan kawasan agropolitan di Kabupaten Jayapura dibutuhkan berbagai wawasan yang harus dimiliki oleh seluruh pelakun agribisnis yang terkait.
Pemahaman wawasan ini dapat disampaikan secara terus-
menerus pada kegiatan pendampingan di lapangan. Wawasan tersebut antara lain wawasan keterpaduan dan keterkaitan serta wawasan lingkungan. Wawasan keterpaduan dan keterkaitan ini harus menjadi prioritas utama, mengingat banyaknya komponen yang terlibat dalam pengembangannya. Disamping itu keterpaduan dan keterkaitan merupakan kunci utama bagi berjalannya sistem dan usaha agribisnis. Sementara wawasan lingkungan pada dasarnya untuk memberi arah agar setiap kegiatan dalam pengembangan agribisnis senantiasa memperhatikan kondisi dan potensi sumberdaya alam dan lingkungan (fisik dan non fisik). Hal ini bertujuan agar kelestarian sumberdaya alam dan kualitas hidup terjamin untuk menunjang upaya pembangunan yang berkelanjutan. Pembinaan dan pendampingan lain yang perlu dilakukan adalah pendampingan terhadap aspek-aspek sebagai berikut : 1. Usahatani Kecil (Usaha Rumah Tangga) Langkah ini perlu dilakukan untuk mengembangkan sub-sistem budidaya pada usahatani kecil yang banyak menghadapi kendala dan masalah
229 sehubungan dengan keterbatasan usahatani. adalah
dengan
jalan
menerapkan
Langkah yang dapat dilakukan
industrialisasi
pertanian,
yaitu
mengembangkan suatu usaha budidaya sebagai bentuk kegiatan industri, dalam arti sistem dan mekanisme kerja yang lebih baik, efisien, penggunaan teknologi yang sesuai, homogenitas produk, kualitas yang standar, keteraturan produksi dan distribusi, responsif terhadap pasar dan sebagainya. 2. Pengembangan Agroindustri Kecil dan Menengah Aspek yang perlu dikembangkan antara lain menyangkut jenis dan ragam produk yang dihasilkan, teknologi yang digunakan berikut seluruh penunjangnya, pengembangan sistem organisasi dan manajemen serta pengembangan aspek pemasaran. 3. Pengembangan Lembaga Ekonomi Petani. Menghadapi berbagai tantangan dan permasalahan yang mungkin dihadapi,
perlu
dikembangkan
suatu
lembaga
ekonomi
petani,
yang
memungkinkan mereka mampu menangkap nilai tambah yang terjadi dari proses industrialisasi pertanian dan pengembangan usaha agroindustri.
Lembaga
petani perlu memiliki integrasi dalam berbagai jenjang, mulai dari lembaga usaha ekonomi yang dapat mengefisienkan unit produksi terkecil (usaha rumah tangga),
hingga
lembaga
yang
benar-benar
dapat
memperjuangkan
kepentingan-kepentingan petani dalam pengambilan keputusan dan bukan hanya sekedar organisasi politik yang bertindak atas nama petani. 4. Pengembangan Pelayanan Jasa. Pengembangan sub-sistem pelayanan jasa merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pengembangan sistem usaha agribisnis secara keseluruhan. Pengembangan lembaga-lembaga pelayanan jasa tersebut harus dilakukan terutama dalam peningkatan daya saing, sehingga tumbuh kepercayaan dunia usaha terhadap kemampuan dan kehandalan lembaga-lembaga pemberi jasa dalam memberikan dukungan dan pelayanannya.
Secara khusus lembaga
pelayanan jasa yang perlu mendapat perhatian adalah lembaga keuangan (khususnya di pedesaan), lembaga penelitian dan pendidikan (khususnya penyuluhan). Dalam kaitan ini beberapa faktor yang diperkirakan dapat menciptakan iklim yang kondusif dalam pengembangan agribisnis di Kawasan Pengembangan Agropolitan Kabupaten Jayapura adalah sebagai berikut :
230 1. Desentralisasi.
Agribisnis
adalah
kegiatan
yang
sifatnya
“highly
decentralized” (lokalita). Model serta pembangunan agribisnis di Kabupaten Jayapura sangat dipengaruhi oleh ciri daerah yang tidak selalu sinkron dengan kebijaksanaan yang sifatnya “centralized” sehingga acapkali harus merujuk pada kepentingan yang sifatnya menjadi prioritas nasional. Dalam kaitan
ini
desentralisasi
hanya
dapat
efektif
jika
dekonsentrasi
otoritas/kewenangan juga dapat dibentuk di Kabupaten Jayapura sehingga terdapat tanggungjawab yang jelas tentang siapa dan apa yang bertanggungjawab dalam menumbuhkembangkan agribisnis di lapisan bawah. 2. Mekanisme pemberi dan penerima. Kendala dalam mendorong pertumbuhan dan pengembangan agribisnis di Kabupaten Jayapura adalah kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah dalam hal penyaluran sarana produksi, jaminan pasar, kredit dan jasa penyuluhan untuk membentuk kapasitas dan partisipasi sebagai pemberi sering terbentur pada kesulitan institusional karena mekanisme penerima tidak berfungsi efektif mengakomodasi serta menjabarkan lebih lanjut berbagai kemudahan yang disediakan oleh pemerintah.
Salah satu kendalanya adalah informasi serta pemahaman
mengenai kebijakan tersebut selain terhenti ditengah, juga kurang dihayati oleh otoritas di daerah.
Kebanyakan koperasi yang berlokasi di pedesaan
hanya berfungsi sebagai pelaksana target pemerintah sehingga memperoleh kebudahan dalam dukungan pembiayaan tanpa adanya otoritas untuk melakukan terobosan-terobosan radikal di sektor pertanian. 3. Kelompok Tani. Pembentukan kelompok tani yang lahir dari hasil pembinaan penyuluhan di bidang pertanian yang berpusat pada satu hamparan lebih dirasakan sebagai organisasi bersama diantara para petani. Kelompok tani di kawasan pengembangan umumnya berusaha untuk mandiri dengan melakukan aksi bersama dengan tingkat pengetahuan yang sesuai dengan kemampuan individual.
Terdapat indikasi kuat bahwa kelompok ini dapat
berkembang baik untuk merencanakan dan mengupayakan apa yang menjadi kebutuhan kelompok.
Masalahnya adalah kelompok ini bukan
merupakan organisasi yang dikenal secara legal terutama menghadapi dunia perbankan. Pengorganisasian yang lebih mapan antara kelompok tani dan KUD merupakan harapan potensial untuk mendorong pengembangan kawasan agropolitan di Kabupaten Jayapura yang berbasis lokalita.
231 4. Kebijakan di bidang infrastruktur.
Infrastruktur, baik yang bersifat
kelembagaan maupun sarana teknis pendukung (transportasi, pasar, RPH, bank,
penyuluhan
dan
lain-lain)
harus
menjadi
prioritas
guna
mengembangkan agribisnis yang dapat menciptakan nilai tambah bagi petani.
Kenyataan menunjukkan meskipun produksi berbagai komoditas
pertanian meningkat, terdapat indikasi nilai tukar petani berkembang tidak proporsional di banding sektor lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa apa yang diterima petani lebih kecil dari apa yang diperoleh dari sektor pertanian. Oleh sebab itu, diperlukan kebijakan infrastruktur agar peningkatan nilai tambah dari produksi komoditas tersebut tidak jatuh dan dinikmati oleh pelaku di luar daerah. 5. Campur Tangan Pemerintah Daerah.
Tanpa mempertentangkan antara
prinsip ekonomi pasar dengan intervensi pemerintah, untuk mengembangkan agribisnis di kawasan pengembangan agropolitan di Kabupaten Jayapura masih memerlukan perlindungan pemerintah daerah dalam menghadapi pelaku bisnis kuat di pasar bebas. Dalam kaitan ini campur tangan tersebut tidak selalu harus ditujukan untuk mensubsidi atau melindungi komoditas pertanian, tetapi juga mencakup berbagai kebijakan yang dapat menciptakan iklim kondusif bagi pelaku agribisnis. Keterpaduan program Lintas Sektor Wawasan agribisnis adalah cara pandang terhadap pertanian sebagai lapangan usaha dan lapangan kerja yang menghasilkan barang dan jasa untuk memenuhi permintaan pasar, dengan tujuan untuk memperoleh nilai tambah yang maksimal secara kompetitif. Dalam meraih nilai tambah tersebut agribisnis memandang ruang geraknya tidak terbatas pada budidaya, tetapi juga usaha pada penyediaan bahan, sarana dan jasa di sektor hulu, usahatani, serta pasca panen, pengolahan, penanganan hasil, pemasaran dan lain-lain di sektor hilirnya. Prinsipnya adalah lapangan usaha pada usahatani maupun sektor pendukung dan penunjangnya baik yang di hulu maupun di hilir. Dalam konteks pengertian agropolitan, maka pengembangan kawasan agropolitan tidak hanya bertumpu pada sektor pertanian, tetapi menyangkut kegiatan lintas sektoral, menyangkut seluruh tatanan makro pelaku agribisnis atau sering disebut masyarakat agribisnis. Dengan demikian, pengembangan agribisnis tidak dapat dilakukan secara terkotak-kotak, dan mudah dimengerti
232 bahwa yang sangat kritikal bagi pengembangan agribisnis di kawasan pengembangan agropolitan Kabupaten Jayapura adalah adanya sinkronisasi dan koordinasi dari berbagai sektor. Sinkronisasi
dan
koordinasi
dari
berbagai
sektor
dan
program
pengembangan agribisnis adalah memaksimumkan komplelentaritas dan sinergi baik dalam arah, mekanisme dan dalam pemanfaatan aset yang dimiliki berbagai sektor.
Pemanfaatan seperti ini dapat dilakukan dengan adanya tim-tim
koordinasi dalam rangka melaksanakan kegiatan-kegiatan program tertentu. Pengembangan Infrastruktur Sesuai dengan konsep dan struktur serta hirarkhi Pengembangan Kawasan Agropolitas, maka pengembangan infrastruktur dalam Kawasan Agropolitan Kabupaten Jayapura diselaraskan dengan pemenuhan kebutuhan pendukung fungsi masing-masing kawasan yang telah ditetapkan. Di samping itu dipertimbangkan pula ketersediaan inratruktur saat ini di dalam setiap lokasi yang ditetapkan dalam struktur dan hirarkhi Kawasan Agropolitan. Berdasarkan kondisi tersebut, maka pengembangan infrastruktur yang akan dikembangkan di setiap lokasi sub sistem kawasan meliputi: (1) Meningkatkan kualitas dan fungsi Infrastruktur yang telah ada pada setiap Sub. Kawasan dan (2) Membangun infrastruktur yang belum tersedia tetapi merupakan kebutuhan minimal pendukung fungsi sub sistem kawasan bersangkutan. Secara umum berdasarkan struktur dan hirarkhi kawasan Agropolitan, maka infrastruktur minimum yang dibutuhkan meliputi: 1. Sarana dan prasarana pendukung sub sistem Agribisnis Hulu 2. Sarana dan prasarana pendukung sub sistem usaha tani 3. Sarana dan prasarana pendukung sub sistem pengolahan hasil 4. Sarana dan prasarana pendukung sub sistem pemasaran hasil 5. Sarana dan prasarana pendukung sub sistem jasa penunjang. Ke lima infrastruktur tersebut masing-masing terdiri dari berbagai jenis sarana dan prasarana serta penetapan lokasinya disesuaikan dengan fungsi dari
struktur dan hirarkhi kawasan agropolitan yang dibentuk.
Jumlah jenis
sarana dan prasarana yang akan dikembangkan pada setiap struktur dan hirarkhi kawasan disamping bergantung pada jenis komoditas unggulan dan tipologi kawasan, juga disesuaikan dengan kondisi sarana dan prasarana yang telah tersedia saat ini.
Berdasarkan hal-hal tersebut, maka pengembangan
233 infrastruktur dalam kwasan Agropolitan Kabupaten Jayapura seperti disajikan pada Tabel 48. Tabel 48. Jenis Prasarana Dan Sarana Pendukung yang Dibutuhkan pada Setiap Struktur dan Hirarkhi Kawasan Agropolitan Jayapura No 1.
Struktur/Hirarki Agropolitan Kawasan Sentra Produksi
Jenis Sarana/Prasarana
Rencana Lokasi
Status Pengembangan
Kios/Toko Saprodi
Sawoy, Sabron Samon, Nimbokrang Sari
Baru
Saluran Irigasi
Nimbokrang, Nimboran
Rehabilitasi
Jaringan Air Bersih
Kemtuk, Nimboran, Nimbokrang Sari, Kemtuk Gresi
Rehabilitasi
Gudang Penampungan hasil
Sawoy, Sabron Samon, Nimbokrang Sari
Baru
Tempat Penampungan Hewan (Holding Ground)
Kemtuk Gresi, Kemtuk
Rehabilitasi/baru
Balai Benih Ikan
Sermai Atas
Rehabilitasi
Balai Benih Sapi dan Klinik Sapi
Besum
Baru
Kolam Percontohan
Berap
Rehabilitasi
Balai Pembenihan Tanaman
Besum
Baru
Jalan Usaha Tani (Farm road)
Kemtuk, Kemtuk Gresi
Baru/Rehabilitas i
Sarana dan prasarana Sub Terminal Agribisnis (STA)
Sabron Samon, Sawoy, Nimbokrang Sari
Rehabilitasi/Bar u
Sarana Utilitas Umum (jaringan listrik, telepon/wartel, Sarana Air Bersih, Sanitasi, Drainase Jalan)
Nimboran, Nimbokrang, Kemtuk, Kemtuk Gresi
Baru/rehabilitasi
234
2.
Pusat Agropolitan
Sarana Pelayanan Umum (Puskesmas, Sekolah, Perkantoran dan Rumah Ibadah serta lapangan olah raga
Nimboran, Nimbokrang, Kemtuk, Kemtuk Gresi
Rehabilitasi
Sarana Kelembagaan ( Unit Usaha Agribisnis, Koperasi)
Nimboran, Nimbokrang, Kemtuk, Kemtuk Gresi
Baru/ Penguatan
Tempat Penjemuran Hasil Pertanian/Perikanan
Genyem
Baru
Gudang Penyimpanan Hasil Pertanian, Cold Storage, Rumah Pengepakkan, Tempat Sortasi dan Pengepakan
Genyem
Baru
Pusat Industri Kecil dan Pelayanan Makanan
Genyem
Baru
Pasar, pelataran parkir dan terminal Muat Bongkar
Genyem
Rehabilitasi
Pusat Pelelagan Ikan dan Hewan
Genyem
Baru
Jalan poros dan jalan cabang serta jembatan
Sentani, Kemtuk, Kemtuk Gresi, Nimboran, Nimbokrang
Baru dan rehabilitasi
Sarana Utilitas Umum (Jaringan air bersih, sanitasi, pengolahan sampah, jaringan listrik, Telepon, Warung Internet, Drainase Jalan
Genyem
Baru dan Rehabilitasi
Sarana Pelayanan Umum Pusat Perbelanjaan, Rumah
Genyem
235 Sakit, Pendidikan, Pusat Pelatihan dan Konsultasi Agribisnis, Perkantoran, dll.
3.
Kota Outlet
Sarana Kelembagaan (Kantor Badan Pengelola Agropolitan, Kantor Perbankan, Koperasi, Unit-Unit Usaha Agropolitan)
Genyem
Baru dan Rehabilitasi
Pelabuhan, Bandara, Terminal Induk
Jayapura, Sentani, Demta, Depapre
Rehabilitasi
Jayapura, Sentani Pusat Final Manufacturing Industri Pertanian, Gudang Eksport/Import dan Pusat Perdagangan Bursa Komoditas
Rehabilitasi
Pusat Berbagai Pelayanan Agroindustri
Baru
Jayapura, Sentani
236 Tabel 49. Program jangka pendek (3 tahun) pengembangan sarana/prasarana di Kawasan Agropolitan Grime-Sekori . No. 1.
2.
Jenis Sarana/Prasarana Jembatan pada bagian jalan poros
Jaringan Irigasi
Volume (Unit) 2 2 1 1 1
1
3.
4.
5.
Bangunan gudang fermentasi dan pengeringan biji kakao Bangunan tempat penampungan sapi
3
3
Sifat Lokasi Pekerjaan Pembangunan Braso-Sabyab Bramali- Sebyab GenyemBenyom Meikari-Sawoi Rehabilitasi Nimboran Ganti rugi tanah Rehabilitasi Nimbokrang Ganti rugi tanah Sanggai Pembangunan Sawoi SabronSamon Sanggai Pembangunan Sawoi SabronSamon
Gudang penampungan dan teknologi pengawetan pisang barangan
1
Pembangunan
Sanggai
6.
Jaringan air bersih
5
Pembangunan
7.
Pembibitan ikan
2
Rehabilitasi
Genyem Braso Sawoi SabronSamon Semai Atas
8.
Pencetakan kolam ikan budidaya
10
Rehabilitasi
Semai Atas
Penyandang Dana Kimpraswil
Kimpraswil Pemda Jayapura Kimpraswil Pemda Jayapura Dinas Perkebunan Kabupaten Jayapura Dinas Peternakan Kabupaten Jayapura Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Jayapura Kimpraswil
Dinas kelautan dan Perikanan Dinas kelautan dan Perikanan
237 Tabel
50.
Program
jangka
menengah
(5
tahun)
pengembangan
sarana/prasarana di Kawasan Agropolitan Grime-Sekori No . 1.
Jenis Volume Sarana/Prasara na Jalan poros 26 Km alternatif 30 Km
Lokasi
Pembanguna n Pembanguna n
Bongrang - Dayo SabronSamonPuay Genyem
Kimpraswil
Genyem
Kimpraswil
Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Dinas Pertanian dan Dinas Perkebunan Kabupaten Jayapura Dinas Peternakan Kabupaten Jayapura Dinas Peternakan Kabupaten Jayapura
2.
Pasar dan Kios
3.
Gudang penimbunan hasil produksi biji kakao Balai pembibitan tanaman pertanian unggulan
1
1
Pengembang an
Besum
5.
Unit pembibitan tanaman pertanian dan perkebunan unggulan
3
Pembanguna n
6.
Balai pembibitan ternak sapi
1
Pengembang an
Sangga i Sawoi Sabron Samon Besum
7.
Kilinik pembibitan sapi
3
Pembanguna n
8.
Bank
2
Pengembang an
9.
Listrik
4.
1 Unit
Sifat Pekerjaan
Pengembang an Pembanguna n
Pengembang an Jaringan
Sangga i Braso Sabron Samon Genyem
Genyem, Sanggai, Sermai Atas, Sawoi, Braso, dan SabronSamon
Penyandan g Dana Kimpraswil
BRI dan Bank Papua Cabang Kabupaten Jayapura PLN Cabang Kabupaten Jayapura
238
10.
Jalan Poros
47 Km
Pengembang an/ rehabilitasi
11.
Terminal angkutan jalan raya Sub terminal angkutan jalan raya
1 Unit
Pengembang an
4 Unit
Pembanguna n
Puskesmas
2 Unit
Pengembang an
12.
13.
Tabel
51.
Program
jangka
panjang
(
10
GenyemUmbrob GenyemSermai Atas YansuIbub YansuSawoi YansuYanim BerapBenyom Genyem
Kimpraswil
Kimpraswil
Sangga i Sawoi Braso Sabron Samon Genye m Sawoi
tahun)
Kimpraswil
Dinas Kesehatan Kabupaten Jayapura
pengembangan
sarana/prasarana di Kawasan Agropolitan Grime-Sekori . No. 1.
Jenis Sarana/Prasarana Jalan poros
2.
Jalan usahatani
3.
Jaringan Listrik
4.
Jaringan Telepon
Volume (Unit) 75 Km
Lokasi Sifat Pekerjaan Pengembangan/ Bramali-Puai rehabilitasi Braso-Sabeyab BesukmBelitung BerapWorambaim Berap-Dempta Pengembangan Semua kampung atau unit produksi Penambahan Kampung atau Jaringan unit produksi Penambahan Sanggai Sambungan Sawoi telepon otonat SabronSamon Genyem Nimbokrang
Penyandang Dana Kimpraswil
Kimpraswil
Kimpraswil Kadatel Cabang Jayapura
239
5.
Jaringan air bersih
6.
Kantor Giro
7.
Unit Pelayanan Pos dan Giro
8.
Puskesmas
8.
Pencetakan kolam ikan budidaya
Pos
dan
1 Unit
Penambahan Jaringan Pengembangan
Pembangunan
2 Unit
10
Pembangunan
Rehabilitasi
Sari Braso kampung atau Kimpraswil unit produksi Genyemi Kantor Pos dan Giro Cabang Jayapura Sawoi SabronSamon Nimbokrang Sari Semai Atas SabronSamon Nimbokrang Sari
Kantor Pos dan Giro Cabang Jayapura Dinas kelautan dan Perikanan Dinas Kesehatan Kabupaten Jayapura
Pembangunan dan pengembangan infrastruktur tersebut akan dilakukan secara
bertahap
sesuai
dengan
perkembangan
kawasan
agropolitan.
Rehabilitasi fasilitas-fasilitas yang telah ada menjadi prioritas utama pada tahap awal kegiatan pengembangan bersamaan dengan kegiatan sosialisai dan penyiapan sumberdaya manusianya.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa: 1. Semua komoditas ternak yang meliputi : sapi potong. babi, kambing, ayam buras, ayam rasa pedaging, ayam ras petelur dan itik berpotensi untuk dikembangkan
di
wilayah
Kabupaten
Jayapura,
namun
dalam
pengembangan model kebijakan ini, komoditas yang diunggulkan adalah ternak sapi. 2. Saat ini, kawasan agropolitan yang berbasis pada ternak sapi potong lebih berorientasi untuk menambah tingkat pendapatan keluarga dengan sistem usaha yang bersifat ekstensif karena peternak banyak yang tidak memiliki kandang, lahan usaha
yang terbatas, kesulitan dalam memperoleh bibit
ternak, sistem perkawinan masih banyak dilakukan secara alami, sarana dan prasarana yang kurang memadai dan kelembagaan peternak yang belum berjalan secara optimal. 3. Dengan kondisi dan karakteristik peternak sapi potong di kawasan agropolitan
tersebut,
hasil
analisis
MDS
menunjukkan
status
keberlanjutannya belum berkelanjutan, dikarenakan dari lima dimensi yang dianalisis hanya dua dimensi yang statusnya cukup berkelanjutan yaitu dimensi ekonomi dan sosial budaya, sedangakan dimensi ekologi, teknologi dan kelembagaan belum berkelanjutan. Untuk mencapai keberlanjutan pembangunan kawasan maka kinerja atribut-atribut yang perlu didorong secara optimal dan terpadu dari kelima dimensi ini adalah perbaikan sistem pemeliharaan, peningkatan sarana dan prasarana penunjang dalam kawasan agropolitan, penyediaan pos pelayanan inseminasi buatan (IB), tersedianya kelembagaan keuangan mikro
yang memberikan
kemudahan
dalam
pinjaman modal usaha dengan bunga yang rendah dan adanya dukungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dari pemerintah daerah yang berpihak bagi subsektor peternakan. 4. Alternatif kebijakan yang telah dirumuskan dan disepakati oleh stakeholder dan para pakar dalam pengembangan kawasan
agropolitan berbasis
agribisnis peternakan sapi potong yang berkelanjutan adalah pengembangan dan penguatan kemitraan usahatani dalam mendukung kegiatan agribisnis
241
komoditi peternakan unggulan, dengan strategi implementasi kebijakan dengan mengembangkan kualitas sumberdaya manusia, melaksanakan pembangunan dan pemeliharaan sarana dan prasarana, pengembangan sapi potong yang berintegrasi dengan tanaman pertanian untuk mendukung kemitraan usaha dan melaksanakan kebijakan sistem kemitraan usaha dalam meningkatkan pertumbuhan sektor keuangan sebagai sumber modal usaha peternakan.
6.2. Saran Berdasarkan analisis, sintesis, dan kesimpulan penelitian, beberapa saran dalam melaksanakan pengembangan model kebijakan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan sapi potong di Kabupaten Jayapura dapat disampaikan sebagai berikut: 1. Pengembangan kawasan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan harus
memperhatikan
kebijaksanaan
optimalisasi
pembangunan
sumber
daerah.
daya
Pemerintah
lokal
dan
daerahlah
strategi yang
memetakan pembangunan peternakan ke dalam kawasan-kawasan yang sudah ada. Pengembangan kawasan ini juga harus disesuaikan dengan agroekosistem dan alokasi tata ruang wilayah serta kondisi biofisik dan sosial ekonomi masyarakat kawasan. Disamping itu juga harus berbasis komoditas ternak unggulan yang memiliki prospek pasar yang luas dan didukung oleh ketersediaaan teknologi sehingga memilki peluang pengembangan produk yang tinggi serta didukung kelembagaan dan jaringan kelembagaan yang berakses kehulu dan hilir. Peternak sebagai subyek pembangunan harus ditingkatkan pendapatan dan kesejahteraannya dengan cara membentuk kelembagaan peternak, meningkatkan pengetahuannya dan diupayakan bantuan permodalannya. 2. Peran pemerintah kabupaten untuk mengembangkan kawasan yang sesuai dengan rencana dan strategi pengembangan kawasan agropolitan sangat diperlukan. Oleh sebab itu disarankan perlu dilakukan kajian kelembagaan pengelolaan kawasan agropolitan yang mendalam dan partisipatif agar dapat menghasilkan lembaga yang kuat di tingkat kabupaten untuk menjamin pelaksanaan mendatang.
strategi
pembangunan
kawasan
agropolitan
di
masa
242
3. Pelibatan stakeholder dalam proses perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi disarankan perlu dilakukan sehingga perumusan kebijakan, program, peningkatan
peran
serta,
pembinaan
dan
evaluasi
pelaksanaan
pengembangan agribisnis komoditas unggulan peternakan dalam rangka pemberdayaan ekonomi masyarakat/peternak dapat dilaksanakan dengan serasi dan berkesinambungan. Hal ini penting juga untuk menghindari konflik kewenangan antar instansi dan konflik pemanfaatan lahan oleh masyarakat lokal dengan pendatang dan pengusaha.
242
DAFTAR PUSTAKA Abidin Z. dan H. Soeprapto. 2006. Cara Tepat Penggemukan Sapi Potong. Agromedia Pustaka. Jakarta Aminullah E. 2003. Berpikir Sistem dan Pemodelan Dinamika Sistem. Makalah Kuliah Umum. Program Pascasarjana, Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Institut Pertanian Bogor. Akil. 2003. Penataan Ruang dan Pengembangan Wilayah. Sejarah Penataan Ruang Indonesia 1948 – 2000. Direktorat Jenderal Penataan Ruang. Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah. Atmadilaga D. 1975. Kedudukan Usaha Ternak Tradisional dan Perusahaan Peternakan dalam Sistem Pembangunan Peternakan. Fakultas Ekonomi UGM. Yogyakarta. Ayamiseba J.R., dan E.R. Giay. 2010. Ketika Tanah Menjadi Barang Publik. Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Kabupaten Jayapura. Althapritama Mandiri Sentani. Jayapura. Bachtiar N. 1991. Peran Subsektor Peternakan Dalam Perekonomian Indonesia; Aspek Lingkungan Terhadap Pengembangan Peternakan. Pusat Penelitian Universitas Andalas. Padang. Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia. Departemen Pertanian. 2002. Pedoman Umum Pengembangan Kawasan Agropolitan dan Pedoman Program Rintisan Pengembangan Kawasan Agropolitan. Proyek Pengembangan Kelembagaan Agribisnis dan Sumber Daya Manusia Pertanian Pusat. Bogor. Basri H. 1999. Pengantar Pembangunan Ekonomi Rakyat Pedesaan. Bina Rena Pariwara. Jakarta. Bond R., J. Curran, K. Patrick, N. Lece and P. Francis. 2001. Integrated Impact Assessment for Sustainable Development. A Case Study Approach. University of Manchester. UK. Bosshard A. 2000. A Methodology And Terminology of Sustainability Assessment and Its Perpectines for Rural Planning. Agriculture, Ecosystem and Environment 77, pp. 29-41. Bourgeois R dan F. Jesus. 2004. Participatory Prospective Analisys. Exploring and Anticipating Challenges with Stakeholders. UNESCAP-CAPSA. Bogor. BPS Kabupaten Jayapura. 2005. Kabupaten Jayapura dalam Angka. BP3D Kabupaten Jayapura dan BPS Kabupaten Jayapura. Provinsi Papua.
244
BPS Provinsi Papua. 2006. Papua dalam Angka. Provinsi Jayapura. Budiharsono S. 2001. Teknik Analisis Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan. Cetakan Pertama PT. Pradnya Paramita. Jakarta Charles A.T. 2001. Suatainable Fiseheries Systems. Blackwell Science. UK. Chemical Industry and Chemistry. 2005. Sustainable Development; The Concept.http://www.cefic.be/Templates/shwStory;asp? NID=10&HID=53. (9 Januari 2009) Chen L.F. and K. Salih. 1978. Growth Pole Strategy and Regional Development Policy. Asian Experience and Alternative Approaches. New York. [CSD]
Commission on Sustainable Development. 2001. Indicators of Sustainable Development: Framework and Methodology. Commission on Sustainable Development. Background Paper No. 3. Division for Sustainable Development. New York.
Dahuri R. 2003. Paradigma Baru Pembangunan Indonesia Berbasis Kelautan. Orasi Ilmiah : Guru Besar Tetap Bidang Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor Dahuri R., J. Rais, S.P. Ginting dan M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir Secara Terpadu, Cetakan Pertama PT. Pradnya Paramita. Jakarta Dardak H. 2004. Strategi Pengembangan Infrastruktur dan Sarana Utama di Kawasan Agropolitan. Makalah pada Workshop Pengembangan Agropolitan sebagai Strategi Pembangunan Perdesaan dan Wilayah Secara Berimbang. Kerjasama Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah dengan IPB. Bogor. Dardak H. And E. Elestianto[Tanpa tahun]. The Role of Agropolitan Infrastructure Development In Addressing The Underlying Causes of Land Degardation. http://www.virtualref.com/ancrd/1796.html. 9 Januari 2009 Daryanto A. 2007. Peningkatan Daya Saing Industri Peternakan. Permata Wacana Lestari. Jakarta. David F.R. 2002. Manajemen Strategis; Konsep. Ed ke-7. Sindoro A. Penerjemah. Terjemahan dari Concept of Strategic Management. Prenhallindo. Jakarta [Deptan] Departemen pertanian 2004a. Penerapan Konsep Kawasan Agropolitan (Laporan Pengkajian). Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia (SDM) Pertanian. Jakarta. 136 hal.
245
Direktur Pengembangan Peternakan. 2002. Pola Pengembangan Ternak Pemerintah Dalam Otonomi Daerah. Disampaikan pada pertemuan penyusunan pedoman umum penyebaran/pengembangan dan gaduhan ternak pemerintah di Jakarta. Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan. 2002. Integrasi Ternak Sapi dengan Perkebunan Kelapa Sawit. Direktur Pengembangan Peternakan. Departemen Pertanian Republik Indonesia. Jakarta. Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan. 2002. Pengembangan Kawasan Agribisnis Berbasis Peternakan. Direktur Pengembangan Peternakan. Departemen Pertanian Republik Indonesia. Jakarta. Direktorat Jenderal Penataan Ruang. 2003. Beberapa Ungkapan Sejarah Penataan Ruang Indonesia 1948 – 2000. Citra Kreasi. Jakarta. Djajadiningrat S.T. 1997. Pengantar Ekonomi Lingkungan. LP3ES. Pustaka. Jakarta. Djajalogara S.S. dan R. Pambudy. 2003. Peduli Peternak Rakyat. Yayasan Agrindo Indonesia. Jakarta. Djojohadikusumo S. 1994. Dasar Teori Ekonomi Pertumbuhan dan Ekonomi Pembangunan. LP3ES. Pustaka. Jakarta. Douglas M. 1998. A Regional Network Strategy for Reciprocal Rural-Urban Linkages. J. Agenda for Policy Research With Reference to Indonesia. Downey W.D. dan Erikson P.S. 1992. Manajemen Agribisnis. PT. Gelora Aksara Pratama. Jakarta. Dunn W.N. 2004. Analisis Kebijakan Publik. Gadjah Mada University Press, Jogjakarta. Dwidjowijoto N.R. 2003. Organisasi Publik Masa Depan: Redefinisi Peran Pemerintah. Pustaka Pergaulan. Jakarta. Dwiyanto K, D Sitompul, I manti, IW mathius, Soentor, 2003. Pengkajian Pengembangan Usaha Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi, Makalah Lokakarya Nasional Sistem Integrasi Kalapa Sawit-Sapi. Bengkulu, 9 – 10 September. Ernalia, L.R., D. Hardedi, T. Siahaan, A. Wahyu, D.N. Abdulkodir, Lukman, Lasminto, Y.K. Bhakti, R. Hidayat, da, W.S. Sahita. 2004. Penerapan Konsep Kawasan Agropolitan (Laporan Akhir). Bandan Pengembangan SDM Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta. 136 hal. Erwidodo E. 1999. Modernisasi dan Penguatan Ekonomi Masyarakat Pedesaan; Pembangunan Ekonomi Masyarakat Pedesaan. Bina Rena Pariwara. Jakarta.
246
Eriyatno. 2003. Ilmu Sistem. Meningkatkan Mutu dan Efektifitas Manajemen. IPB Press. Bogor Fauzi A., dan S. Anna. 2005. Pemodelan Sumber Daya Perikanan dan Lautan untuk Analisis Kebijakan. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Friedman J. 1996. Modular Cities: Betond The Rural-Urban Divide. J. Environment and Urbanization 8, pp,1-129. Friedman J. and M. Douglas. 1975. Development: Toward a New Strategy for Regional Planning in Asia. Regional Economic Centre. Nagoya. Japan. Godet M., R Monti, F Meunier, and F Roubelat. 1999. Scenarios and Strategies a Toolbox for Scenario Planning, LIPS Working Papers, Special issue Published with the Support of The French Ministry of Foreign Affairs, Paris, France. Greenland D.J. 1992. Soil Resilience and Sustainable Land Use. In Proceedings of Symposium Held in Budafest. 28 September to 2 October 1992. Including the Second Workshop on thr Ecological Foundations of Sustainable Agriculture Chemistry Hungarian Academy of Sciences. Budafest. Greenland D.J. and Szabolcs. 1994. Soil Resilience and Sustainable Land Use. Short Run Press Ltd. UK. Gumbira-Said E dan A.H. Intan. 2001. Manajemen Agribisnis. Penerbit Ghalia Indonesia. Jakarta. Gurnadi E. 1998. Livestock Development in Indonesia. Makalah Seminar Nasional Pengembangan Peternakan di Indonesia. Jakarta. Hadi P.U. dan N. Ilham. 2002. Peluang Pengembangan Usaha Peternakan Pembibitan Ternak Sapi Potong di Indonesia Dalam Rangka Swasembada Daging 2005. Monograph Series No. 22. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Hadi SHM. 2000. Riwayat Singkat Formula Penggemukan Sapi (Bossdext). Makalah Seminar Nasional Upaya Mewujudkan Swasembada Pangan dan Ketahanan Pangan Nasional. 20 – 21 Maret. Jakarta. Hadi SHM dan B. Sediono. 2000. Petunjuk Teknis Teknologi Bossdext Sapi Pedaging. Makalah Seminar Nasional Upaya Mewujudkan Swasembada Pangan dan Ketahanan Pangan Nasional. 20 – 21 Maret. Jakarta. Hall C.A.S. and W.D. John. Jr. 1977. Ecosystem Medeling in Theory and Practice an Introduction with Case Historie. John Wiley ang Son. New York.
247
Hanley N.M. 2001. Modelling Sustainable Development : System Dynamic and Input-Output Aproaches. Departemen of Economic. University of Glasgow. Scotland. Hardjosubroto W. dan M.J. Astuti. 1994. Buku Pintar Peternakan. Widiasarana Indonesia. Jakarta. Hartisari H. 2002. Panduan Lokakarya Analisis Prospektif. Fakultas Teknologi Pertanian, Jurusan Teknologi Industri Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Hasan. 2003. Model Tata Ruang Kota Tani yang Berorientasi Ekonomis dan Ekologis (Studi Kasus di Kabupaten Gowa, Provinsi Sulawesi Selatan). [Disertasi]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Herawati A.R., dan D Junanto. 2003. Pemberdayaan Masyarakat Daerah: Tantangan Dalam Mengelola Sumber Daya Manusia Di Era Otonomi Daerah (Kasus Pembangunan Masyarakat Pertanian di Beberapa Negara). Jurnal Good Governance Vol. 2 Maret 2003. STIA LAN Jakarta. Himawan D. 2002. Strategi Pengembangan Ternak Sapi Berorientasi Agribisnis dalam Rangka Meningkatkan Ketahanan Pangan di Provinsi Riau. [Tesis]. Program Pascasarjana. Program Studi Magister Manajemen Agribisnis. Institut Pertanian Bogor. Hull A. 1998. Spatial Planning, Journal The Development Plan as a Vechile to Unlock Development Potential? Cities 15(5), pp327-335. Ilham N, S. Hastuti, IK Karyasa. 2002. Pendugaan Parameter dan Elastisitas Penawaran dan Permintaan Beberapa Jenis Daging di Indonesia. Journal Agro Ekonomi. Volume 2 No. 2 Oktober. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Bogor. Irawan B. dan T. Pranadji. 2002. Pemberdayaan Lahan Kering untuk Pengembangan Agribisnis Berkelanjutan. FAE. Volume 2, No. 2 Desember. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Bogor. Karim A. 2002. Peran Perbankan Dalam Pengembangan Agribisnis. Makalah Kuliah Umum MMA-IPB. Bogor. Kasikoen K.M. 2005. Kajian Keterkaitan Perkotaan Perdesaan di Jawa Barat. [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Kavanagh. 2001. Rapid Appraisal of Fisheries (RAPFISH) Project: RAPFISH Software Description (for Microsoft Excel). Fisheries Centre. University of British Columbia Kay R. and J. Alder. 1999. Coastal Planning and Management. Routledge. New York.
248
Kholil. 2005. Rekayasa Model Sistem Dinamik Pengelolaan Sampah Terpadu Berbasis Nirlimbah (zero Waste), Studi Kasus di Jakarta Selatan. [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. KMNLH dan UNDP. 2000. Membuat Pembangunan Berkelanjutan. Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup. Jakarta. Kusumawati R. 1999. Analisis Pengaruh Nilai Tukar Rp/USD Terhadap Usaha Penggemukan dan Perdagangan Sapi Potong di Indonesia. [Tesis]. Program Pascasarjana. Program Studi Magister Manajemen Agribisnis. Institut Pertanian Bogor. Leach M.R., and I. Scoones. 1997. Challenges to Community-Based Sustainable Development. Dynamics, Entitlements, Institusions. IDS Bull. 28(4): 4-14. Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat. 1996. Pengembangan Agropolitan Menuju Siasat Baru. Perencanaan Rigional di Asia. Fakultas Ekonomi. Universitas Indonesia. Jakarta. Manetch T.J. and G.L. Park. 1977. System Analysis and Simulation with Application to Economic and Social System Part I. Third Edition, Departement of Electrical Engineering and System Science. Michigan State University. East Lansing. Michigan. Marten G.G. 2001. Human Ecology. Basic Concepts for Sustainable Development. London. Mastur. 2002. Potensi Pemanfaatan Lahan Marginal untuk Pembangunan Agribisnis Berkelanjutan. Alami. Jurnal Air, Lahan, Lingkungan dan Mitigasi Bencana 7 (1) : pp. 14 – 20. Meadows D.H. 1982. Batas-Batas Pertumbuhan. Gramedia. Jakarta. Mercado R.G. 2002. Rigional Development in The Philippine: A Review of Experience, State of The Art and Agenda for Research and Action, Discussion Paper Series. Philippine Institute for Development Studies. Mersyah R. 2005. Desain Sistem Budidaya Sapi Potong Berkelanjutan untuk Mendukung Pelaksanaan Otonomi Daerah di Kabupaten Bengkulu Selatan. Disertasi, Sekolah Pascasarjana Institut Pertaian Bogor. Meyer
M.F. and J.R.E. Harger. 1996. Definition of Indicators for Environmentally Sustainable Development. Unesco – 10C. Lrue Miollis. Paris. France.
Misra. 1980. Rural Development National Policies and Experiences. Japan. Mitchell B. 1997. Resource and Environmental Management. University of Waterlo. Waterlo. Ontario.
249
Miyoshi T. 1997. Successes and Failures Associated With The Growth Pole Stategies. A Dissertation Submitted to The University of Manchester for The Degree of MA. http;//miyotchi,tripod,com/dissert.htm. Mosher A.T. 1966. Getting Agriculture Moving. Frederick A. Praeger, Publishers. New York. Muhammadi A., Ernan B. Soesilo. 2001. Analisis Sistem Dinamis Lingkungan Hidup, Sosial, Ekonomi, Manajemen. UMJ Press. Jakarta. OECD. 1993. Coastal Zone Management. Integrated Policies. Organization for Economic Co-operation and Development. Paris. Pambudy R., T Sipayung, WB Priatna, Burhanudin, A Kriswantriyono, A Satria. 2001. Bisnis dan Kewirausahaan Dalam Sistem Agribisnis. Pustaka Wirausaha Muda. Bogor. Partowidagdo W. 1999. Memahami Analisis Kebijakan Kasus Reformasi Indonesia. Program Studi Pembangunan Program Pascasarjana ITB. Bandung. Pitcher T.J. 1999. Rapfish : A Rapid Appraisal Technique for Fisheries and Its Application to The Code of Conduct for Responsible Fisheries. FAO UN. Rome. Plessis C.D. 1999. Sustainable Development Demands Dialoque Between Develop and Developing Worlds. J. Building Research & Information 27(6), pp378-389. Pranoto S. 2005. Pembangunan Perdesaan Berkelanjutan melalui Model Pengembangan Agropolitan. (Disertasi) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Preston T.R. and R.A. Leng. 1987. Matching Ruminant Production System With Avalilable Resources in The Tropics and Subtropics. New South Wales. Australia. Priyanto R, E.R. Johnson, D.G. Taylor. 1997. Investigating Into The Accuracy of Prediction of Beef Carcass Composition Using Subcutaneous Fat Thickness and Carcass. I. Identifying Problems. J Meat Science. 17: 187-198. Priyanto R, E.R. Johnson, D.G. Taylor. 1999. The Importance of Genotype in Streers Fed Pasture or Lucerne Hay and Prepared for The Australian and Japanese Beef Market. New Zealand. J of Agric. Res. 42:393-404 Rahardi F.R., dan Hartono. 2003. Agribisnis Peternakan. Penebar Swadaya. Jakarta.
250
Razoux Schultz, F. H. N. 1958. Verslag van een Bodemkundige Opname van het Oostelijk Deel van de Grimevlakte. Bodemkundige Afdeling, Agrarisch Proefstation. Reksohadiprodjo, S. 1985. Produksi Tanaman Hijauan Makanan Ternak Tropik. Cetakan I Edisi Revisi. BPFE. Uiversitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Robin M.L and L.S. Mearns. 1997. Editorial: community Based Sustainable Development. Consensus or Conflict? IDS Bull. 28(4). Roderic G. and T. Meppem. 1997. Planning for Sustainability as a Learning Concept. New England Ecological Economic Group. Centre for Water Policy Research. University of New England. Armidale. Australia. Rondinelli D.A. 1985. Applied Methods of Regional Analysis. The Spatial Dimensions of Development Policy. Rusono N. 1999. Sinergi antar Subsektor Dalam Pengembangan Pertanian Terpadu. Seminar Nasional Dalam Rangka Lustrum Fapet UGM. Yogyakarta. Rustiadi E., S. Hadi, dan W. M. Ahmad. 2006. Kawasan Agropolitan Konsep Pembangunan Desa-Kota Berimbang. Crestpent Press Kampus IPB Baranang Siang P4W-LPPM IPB. Bogor. Rustiadi E. 2003. Paradigma Baru Proses Perencanaan Pengembangan Wilayah. Diktat Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. IPB. Bogor. Rustiadi E. 2004. Pemantapan Kebijakan dalam Mendukung Pengembangan Kawasan Agropolitan. Makalah Pada Lokakarya Nasional Agropolitan. Proyek Pengembangan Prasarana dan Sarana Desa Agropolitan. Gorontalo. Ruth M. and B. Hannon. 1997. Modeling Dynamic Economic System. Boston University. USA. Saaty T.L. 1993. Pengambilan Keputusan bagi Para Pemimpin : Proses Hirarki Analitik untuk Pengambilan Keputusan dalam Situasi yang Kompleks (terjemahan). Pustaka Binaman Pressindo. Jakarta. Sabrani M., Panjaitan dan A. Mulyadi. 1981. Prospek Pengembangan Kambing dan Domba Bagi Petani Kecil dan Perlunya Pendekatan Keilmuan Terpadu. Proceeding Seminar Penelitian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Saefulhakim S. 2004. Pengembangan Agropolitan Memacu Pembangunan Ekonomi Regional Melalui Keterkaitan Desa-Kota. Paper Bahan Diskusi dalam Seminar Nasional Pengembangan Agropolitan Sebagai Strategi Pembangunan Perdesaan dan Wilayah Secara Berimbang P4W – IPB. Bogor.
251
Sanim B. 2000. Kebijakan Pemerintah Dalam Pengembangan Agribisnis.. MMA-IPB. Bogor. Santosa U. 2001. Prospek Agribisnis Penggemukan Pedet. Penebar Swadaya. IKAPI. Jakarta. Santosa U. 2007. Tata Laksana Pemeliharaan Ternak Sapi. Penebar Swadaya. Jakarta. Saragih B. 1998. Strategi Pengembangan Pertanian Pasca Orde Baru : Alternatif Kebijakan. MMA-IPB. Bogor. Saragih B. 2000. Agribisnis Berbasis Peternakan. USESE Foundation dan Pusat Studi Pembangunan IPB. Bogor. Saragih B. 2003. Agribisnis Berbasis Peternakan. Pusat Studi Pembangunan Lembaga Penelitian IPB. Bogor. Saragih B, T Sipayung. 2000. Biological Utilization in Developmentalism and Environmentalism. Paper Presented at the International Seminar on Natural Resources Accounting-Environmental Economic Heid in Yogyakarta. Indonesia, April 29. Sarwono B dan H.B. Arianto. 2001. Penggemukkan Sapi Potong Secara Cepat. Ed ke-1. Penebar Swadaya. Depok. Schroo H. 1961. Analyse-rapport ener Bodembemonstering in het Oostelijk Deel der Grime-Vlakte. Bodemkundige Afdeling, Agrarisch Proefstation. Schroo H. 1963. An Inventory of Soils and Soil Suitabilities in West Irian. II A. Neth. J. Agric. Sci., Vol. 11, No.5. p 387-417. Serageldin I. 1996. Sustainability and Wealth of Nation First Step in an Ongoing Journey. Environmentally Sustainable Development Studies and Monograph Series No. 5. The World Bank, Washington D.C. Setiawan B. 2003. Konsep Dasar dan Prinsip-Prinsip Pengelolaan Lingkungan. dalam Seminar Penyusunan Pedoman Mekanisme Kerjasama Pengelola Lingkungan Antar Daerah. 10 Juli 2003. Kementerian Negara Lingkungan Hidup Shukla A. 2000. Regional Planning ang Sustainable Development. Kanisha Publishers. New Delhi. Sihombing D.T.H., I. Sawir, T.M. Wardiny, dan D.V. Sara. 2000. Lingkungan Ternak. Universitas Terbuka. Jakarta. Sitorus S. 2004. Pengembangan Sumber Daya Berkelanjutan. Laboratorium Perencanaan Pengembangan Sumber Daya Lahan IPB. Bogor.
252
Soemarwoto O. 2001. Ekologi Lingkungan Djambatan. Jakarta.
Hidup dan
Pembangunan
Soehadji. 1995. Membangun Peternakan Tangguh. Orasi Ilmiah. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Universitas Padjadjaran. Bandung. Sudrajat S. 2002, Ekspor Ternak dan http://www.kompas.com [9Januari 2009]
Hasil
Ternak
Melonjak.
Sugeng YB. 2002. Sapi Potong. Penebar Swadaya. Cimanggis-Bogor. Suharto. 1999. Integrasi Ternak pada Usaha Pertanian dan Peternakan. Seminar Nasional dalam Rangka Lustrum Fapet UGM. Yogyakarta. Susilo S.B. 2003. Keberlanjutan Pembangunan Pulau-Pulau Kecil: Studi Kasus Kelurahan Pulau Panggang dan Pulau Pari, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. [Disertasi]. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Sutjahjo S.H. 2004. Strategi Penanggulangan Dampak Pengembangan Peternakan Terhadap Lingkungan. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Pengembangan Peternakan Berwawasan Lingkungan. Gedung MMA-IPB, 15 Januari. Bogor. Syahrani and H.A. Husainie. 2001. The Application of The Agropolitan and Agrobusiness in Regional Economy Development. Fontir nomor 33. Tampubolon S.M.H. [Tanpa Tahun]. Sistem dan Usaha Agribisnis: Kacamata Sang pemikir. Bogor. Tawaf R., Sulaeman dan T.S. Udiantono. 1994. Strategi Pengembangan Industri Peternakan Sapi Potong Berskala Kecil dan Menengah. Proceding Agroindustri Sapi Potong Prospek Pengembangan Pada PJPT II. PPA-CIDES-UQ. Jakarta. Thohari E.S. 2003. Sumber-Sumber Pembiayaan Untuk Agribisnis. Makalah disampaikan pada Lokakarya Nasional Sistem Integrasi Kelapa Sawit – Sapi. Bengkulu, 9 – 10 September. Tim Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. 2002. Penyusunan Standar Kawasan Agribisnis Peternakan Dalam Rangka Pengembangan Sistem Informasi. Fakultas Peternakan IPB dan Direktur Pengembangan Peternakan, Dirjen Bina Produksi Peternakan, Deptan RI. Tjiptoherijanto P. 1996. Sumber Daya Manusia dalam Pembangunan Nasional. Lembaga Penerbit FEUI, Jakarta Tong Wu C. 2002. The New Regional Planning: Economic or Politics? University of Sydney. Uje. 1999. Bossdext Gemukan Sapi 1,5 – 4 Kg/Hari. Trobos Desember.
253
[UU 23/1997] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. [UU 26/2007] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang. Vining A.R. and D.L. Weimer. 1998. Policy Analysis Concept and Practice. Third Edition. Prentice-Hall Inc. United States of America. Voith R. 1998. Do suburbs need cities? J. Regional Science 38(3),pp445-464. Walpole R.E. 1995. Pengantar Statistika. Edisi ke-3. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta WCED. 1987. Our Commom Future. Oxford Univ. Press. New York. Wentholt F. A. 1939. Voorlopig Verslaag van de Kaartering van de GrimeSekolivlakte. Bodemkundige Afdeling, Agrarisch Proefstation. www. Papua.go.id. Visi dan Misi Pembangunan Provinsi Papua. Yudhoyono S.B. 2004. Pembangunan Pertanian dan Perdesan Sebagai Upaya Mengatasi Kemiskinan dan Pengangguran. Analisis Ekonomi – Politik Kebijakan Fiskal. [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Yusdja Y, H. Malian, B. Winarso, R. Sayuti, A.S. Bagyo. 2002. Analisis Kebijaksanaan Pengembangan Agribisnis Comoditas Peternakan. Volume 2, No. 1 dan 2 Februari. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta.
254 Lampiran 1. Analisis
perbandingan
eksponen
agribisnis
komoditas
unggulan peternakan di Kabupaten Jayapura.
A. Perhitungan pembobotan metode perbandingan eksponen (MPE). Nama-nama responden dalam analisis perbandingan eksponensial : 1. Sekretaris Daerah Provinsi Papua. 2. Kepala Dinas Perkebunan dan Peternakan Provinsi Papua. 3. Kepala Dinas Peternakan Kabupaten Jayapura. 4. Kepala Badan Kerjasana dan Pengembangan Masyarakat Pedesaan Provinsi Papua. 5. Ketua Komisi B DPRD Kabupaten Jayapura. 6. Kepala Sub Dinas produksi Dinas Peternakan Kabupaten Jayapura. 7. Kepala Sub Bidang Pertanian BAPPEDA Kabupaten Jayapura.
Keterangan : 1. Sapi Potong. 2. Babi. 3. Kambing. 4. Ayam Ras Pedaging. 5. Ayam Ras Petelur. 6. Ayam Buras. 7. Itik. Kriteria yang dianggap penting menurut responden dan masukan dari peternak dalam penetapan komoditas unggulan peternakan : a. Potensi Pasar. b. Sumber Daya Manusia Peternak. c. Kondisi Sosial Budaya. d. Jumlah/Populasi ternak. e. Ketersedian Modal. f.
Sarana dan Prasarana Transportasi Pendukung.
g. Ketersediaan Sarana Produksi. h. Penggunaan Teknologi. i.
Kebijaksanaan Pemerintah.
j.
Ketersediaan Lahan.
255 Batasan angka penilaiaan : 1 = Tidak berpengaruh 2 = Kurang berpengaruh 3 = Berpengaruh 4 = Sangat berpengaruh
Responden 1. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Komoditas Alternatif Sapi Potong Ayam Buras Kambing Babi Ayam Daging Ayam Petelur Itik Total Kriteria
a 4 3 2 4 4 4 3 24
Nilai Komoditas Berdasarkan Kriteria b c d e f g h i 4 3 4 3 4 4 3 4 3 3 4 2 4 3 4 4 2 4 4 1 4 2 2 3 2 3 3 2 4 2 4 4 4 4 3 4 4 2 1 4 4 4 3 4 4 2 2 4 2 3 3 2 4 3 2 3 21 24 24 18 28 18 18 26
j 4 4 3 4 3 3 4 25
Total Alternatif 37 34 27 32 33 34 29 266
a 4 3 3 3 4 4 4 25
Nilai Komoditas Berdasarkan Kriteria b c d e f g h i 3 4 3 3 4 3 2 3 3 3 3 3 4 2 4 3 3 4 3 1 4 2 2 3 3 3 3 2 3 2 2 3 4 3 4 1 4 3 3 3 4 3 4 1 4 3 3 3 3 3 4 1 4 3 3 3 23 23 24 12 27 18 19 21
j 3 3 3 3 3 3 3 21
Total Alternatif 32 31 28 27 32 32 31 213
a 4 4 3 3 3 4 3 24
Nilai Komoditas Berdasarkan Kriteria b c d e f g h i 2 3 4 3 4 3 4 3 2 3 4 2 4 3 3 2 3 3 4 2 3 3 3 3 3 3 4 3 4 4 3 3 3 4 4 3 3 4 2 3 3 4 4 3 4 4 2 3 3 3 4 2 3 3 2 3 19 23 28 18 25 24 19 20
j 3 4 3 4 3 3 4 24
Total Alternatif 33 31 30 34 32 34 30 224
Responden 2. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Komoditas Alternatif Sapi Potong Ayam Buras Kambing Babi Ayam Daging Ayam Telur Itik Total Kriteria
Responden 3. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Komoditas Alternatif Sapi Potong Ayam Buras Kambing Babi Ayam Daging Ayam Telur Itik Total Kriteria
256 Responden 4. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Komoditas Alternatif Sapi Potong Ayam Buras Kambing Babi Ayam Daging Ayam Telur Itik Total Kriteria
Nilai Komoditas Berdasarkan Kriteria a b c d e f g h i 4 3 3 4 3 4 4 3 4 4 3 3 3 3 3 2 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 2 3 3 3 4 4 3 4 4 2 4 3 3 4 4 3 4 4 2 4 3 3 4 3 3 3 3 2 3 23 21 24 24 21 24 23 17 24
j 4 3 3 3 4 4 3 24
Total Alternatif 36 30 30 29 35 35 30 225
a 3 3 2 3 2 2 2 17
Nilai Komoditas Berdasarkan Kriteria b c d e f g h i 4 3 3 2 4 3 3 4 3 3 3 2 4 3 3 3 4 3 2 2 3 3 2 3 4 3 3 3 4 3 3 3 3 2 2 2 4 3 3 2 3 2 2 2 4 2 3 2 3 3 2 2 4 3 2 2 24 19 17 15 27 20 19 19
j 4 4 4 4 3 3 2 24
Total Alternatif 33 31 28 33 26 25 25 201
a 4 4 4 3 4 4 4 27
Nilai Komoditas Berdasarkan Kriteria b c d e f g h i 3 3 4 3 3 3 2 4 4 4 3 3 4 3 4 3 4 3 3 3 4 3 2 4 3 4 2 2 3 2 2 3 4 4 4 3 3 4 2 3 4 4 4 3 3 4 2 3 3 4 2 2 3 2 1 2 25 26 22 19 23 21 15 22
j 4 2 3 3 4 4 3 23
Total Alternatif 33 34 33 27 35 35 26 223
a 3 3 2 3 2 2 2 17
Nilai Komoditas Berdasarkan Kriteria b c d e f g h i 4 3 3 2 4 3 3 4 3 3 3 3 4 3 3 3 4 3 2 2 3 3 2 3 4 3 3 3 4 3 3 3 3 2 2 2 4 3 2 2 3 2 1 1 4 3 2 2 3 3 1 1 3 2 2 2 24 19 15 14 26 20 17 19
j 4 4 4 4 3 3 2 24
Total Alternatif 33 32 28 33 25 23 21 195
Responden 5. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Komoditas Alternatif Sapi Potong Ayam Buras Kambing Babi Ayam Daging Ayam Telur Itik Total Kriteria
Responden 6. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Komoditas Alternatif Sapi Potong Ayam Buras Kambing Babi Ayam Daging Ayam Telur Itik Total Kriteria
Responden 7. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Komoditas Alternatif Sapi Potong Ayam Buras Kambing Babi Ayam Daging Ayam Telur Itik Total Kriteria
257 Nilai rata-rata 7 (tujuh) responden berdasarkan komoditas alternatif dan kriteria agribisnis komoditas unggulan peternakan Kabupaten Jayapura. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Komoditas Alternatif Sapi Potong Ayam Buras Kambing Babi Ayam Daging Ayam Telur Itik Total Kriteria
a 4 3 3 3 3 3 3 22
Nilai Komoditas Berdasarkan Kriteria b c d e f g h i 3 3 4 3 4 3 3 4 3 3 3 3 4 3 3 3 3 3 3 2 3 3 2 3 3 3 3 3 4 3 3 3 3 3 3 3 4 3 2 3 3 3 3 2 4 3 2 3 3 3 3 2 3 3 2 3 21 21 22 16 25 21 17 22
j 4 3 3 4 3 3 3 23
Total Alternatif 35 31 28 32 30 29 28 210
B. Perhitungan bobot kriteria dengan paired comparison criteria. Batasan angka penilaian pengisian pembobotan : 2 = Jika kriteria horizontal lebih penting dari pada kriteria vertikal 1 = Jika kriteria horizontal sama penting dari pada kriteria vertikal 0 = Jika kriteria horizontal kurang penting dari pada kriteria vertikal
Responden 1. Kriteria a b c d e f g h i j Jumlah
a 0 1 2 0 0 0 1 2 2 8
b 2
c 1 0
2 2 1 2 1 0 1 0 11
2 1 1 0 0 2 1 8
d 0 0 0 0 1 0 0 2 0 3
e 2 1 1 2 1 0 0 2 0 9
f 2 0 1 1 1 1 1 2 0 9
g 2 1 2 2 2 1 1 2 0 13
h 1 2 2 2 2 1 1
i
j 0 1 0 0 0 0 0 0
2 1 14
0 1
0 2 1 2 2 2 2 1 2 14
Score 10 7 10 15 9 9 5 4 17 4 90
Bobot 0,111 0,078 0,111 0,167 0,100 0,100 0,056 0,044 0,189 0,044 1,000
Responden 2. Kriteria a b c d e f g h i j Jumlah
a 0 1 0 1 0 1 2 2 2 9
b 2 2 2 1 1 2 2 2 2 16
c 1 0 0 2 0 1 2 2 2 10
d 2 0 2 2 0 1 2 2 2 13
e 1 1 0 0 0 2 1 1 2 8
f 2 1 2 2 2 2 2 2 2 17
g 1 0 1 1 0 0 0 0 0 3
h 0 0 0 0 1 0 2 0 0 3
i
j 0 0 0 0 1 0 2 2 2 7
0 0 0 0 0 0 2 2 0 4
Score 9 2 8 5 10 1 15 15 11 14 90
Bobot 0,100 0,022 0,089 0,056 0,111 0,011 0,167 0,167 0,122 0,156 1,000
258 Responden 3. Kriteria a b c d e f g h i j Jumlah
a 0 1 1 0 0 1 1 1 0 5
b 2 0 1 0 1 0 0 1 1 6
c 1 2 1 0 1 1 1 1 2 10
d 1 1 1 0 1 1 0 0 1 6
e 2 2 2 2 2 1 1 1 2 15
f 2 1 1 1 0 0 0 0 1 6
g 1 2 1 1 1 2 0 1 1 10
h 1 2 1 2 1 2 2 1 1 13
i
j 1 1 1 2 1 2 1 1
2 1 0 1 0 1 1 1 1
1 11
8
Score 13 12 8 12 3 12 8 5 7 10 90
Bobot 0,144 0,133 0,089 0,133 0,033 0,133 0,089 0,056 0,078 0,111 1,000
Score 8 9 11 8 8 7 7 13 10 9 90
Bobot 0,089 0,100 0,122 0,089 0,089 0,078 0,078 0,144 0,111 0,100 1,000
Score 11 13 8 10 5 12 8 5 7 11 90
Bobot 0,122 0,144 0,089 0,111 0,056 0,133 0,089 0,056 0,078 0,122 1,000
Responden 4. Kriteria a b c d e f g h i j Jumlah
a 1 1 1 1 1 1 2 1 1 10
b 1 1 0 1 1 1 2 1 1 9
c 1 1 1 1 0 0 1 1 1 7
d 1 2 1 1 1 1 1 1 1 10
e 1 1 1 1 1 1 2 1 1 10
f 1 1 2 1 1 1 2 1 1 11
g 1 1 2 1 1 1 2 1 1 11
h 0 0 1 1 0 0 0
i
j 1 1 1 1 1 1 1 0
2 1 5
1 1 1 1 1 1 1 1 1
1 8
9
Responden 5. Kriteria a b c d e f g h i j Jumlah
a 1 1 1 0 1 1 0 1 1 7
b 1 0 1 0 1 0 0 1 1 5
c 1 2 1 0 1 1 1 1 2 10
d 1 1 1 1 1 1 1 0 1 8
e 2 2 2 1 1 1 1 1 2 13
f 1 1 1 1 1 0 0 0 1 6
g 1 2 1 1 1 2 0 1 1 10
h 2 2 1 1 1 2 2 1 1 13
i
j 1 1 1 2 1 2 1 1
1 11
1 1 0 1 0 1 1 1 1 7
259 Responden 6. Kriteria a b c d e f g h i j Jumlah
a 0 0 0 1 1 0 1 1 2 6
b 2 2 0 2 2 2 0 2 0 12
c 2 0 1 2 1 2 0 1 0 9
d 2 2 1 1 1 0 0 1 0 8
e 1 0 0 1 2 2 0 0 2 8
f 1 0 1 1 0
g 2 0 0 2 0 1
1 2 2 2 10
0 1 2 8
h 1 2 2 2 2 0 2
i
j 1 0 1 1 2 0 1 0
2 2 15
0 2 2 2 0 0 0 0 0
2 8
6
Score 12 6 9 10 10 8 10 3 10 12 90
Bobot 0,133 0,067 0,100 0,111 0,111 0,089 0,111 0,033 0,111 0,133 1,000
Score 12 7 8 9 10 5 9 7 14 9 90
Bobot 0,133 0,078 0,089 0,100 0,111 0,056 0,100 0,078 0,156 0,100 1,000
Responden 7. Kriteria a b c d e f g h i j Jumlah
a 0 1 0 1 0 1 0 2 1 6
b 2
c 1 1
1 1 1 1 1 1 1 2 1 0 1 1 1 2 2 11 10
d 2 1 1 1 0 1 1 2 0 9
e 1 1 1 1 0 1 1 1 1 8
f 2 1 1 2 2
g 1 0 1 1 1 1
1 1 2 1 13
1 2 1 9
h 2 2 1 1 1 1 1 1 1 11
i
j 0 1 1 0 1 0 0 1 0 5
1 0 0 2 1 1 1 1 2 9
Hasil perhitungan nilai rata-rata bobot kriteria agribisnis komoditas unggulan peternakan Kabupaten Jayapura.
Kriteria
R1
a b c d e f g h i j Jumlah
0,111 0,078 0,111 0,167 0,100 0,100 0,056 0,044 0,189 0,044 1,000
Bobot kriteria 7 (tujuh) responden R2 R3 R4 R5 R6 0,100 0,022 0,089 0,056 0,111 0,011 0,167 0,167 0,122 0,156 1,000
0,144 0,133 0,089 0,133 0,033 0,133 0,089 0,056 0,078 0,111 1,000
0,089 0,100 0,122 0,089 0,089 0,078 0,078 0,144 0,111 0,100 1,000
0,122 0,144 0,089 0,111 0,056 0,133 0,089 0,056 0,078 0,122 1,000
0,133 0,067 0,100 0,111 0,111 0,089 0,111 0,033 0,111 0,133 1,000
R7
Score Bobot
0,133 0,078 0,089 0,100 0,111 0,056 0,100 0,078 0,156 0,100 1,000
0,832 0,622 0,689 0,767 0,611 0,600 0,690 0,578 0,845 0,766 7,000
Bobot kriteria akhir 0,119 0,089 0,098 0,110 0,087 0,086 0,099 0,083 0,121 0,109 1,00
260 Hasil perhitungan penentuan komoditas unggulan agribisnis peternakan Kabupaten Jayapura dengan metode perbandingan eksponensial (MPE). Komoditas Alternatif Sapi Potong Babi Kambing Ayam Buras Ayam Pedaging Ayam Petelur Itik Bobot Kriteria
a 4 3 3 3 3
b 3 3 3 3 3
c 3 3 3 3 3
d 4 3 3 3 3
Kriteria e f 3 4 3 4 2 3 3 4 3 4
g 3 3 3 3 3
h 3 3 2 3 2
i 4 3 3 3 3
j 4 3 3 4 3
3
3
3
3
2
4
3
2
3
3
3
3
3
3
2
3
3
2
3
3
0.12 0.09 0.10 0.11 0.09 0.09 0.10 0.08 0.12 0.11
Rating Rangking Nilai 11,36 I 11,20 III 11,10 VI 11,24 II 11,17
IV
11,13
V
11,10
VI
261 Lampiran 2. Nilai skor pendapat pakar pada setiap dimensi keberlanjutan pengembangan wilayah berbasis agribisnis peternakan sapi potong di Kabupaten Jayapura Dimensi dan Atribut Hasil Baik Buruk Keterangan Skor Dimensi Ekologi (0) sangat jelek , (1) jelek, (2) agak Kondisi prasarana jalan baik, (3) baik usahatani 2 3 0 Mengacu pada RTRW Jayapura (0) Rencana Tata Ruang tidak ada, (1) ada tapi tidak terperinci, Wilayah 1 2 0 Jarak lokasi dengan pemukiman Agroklimat
1
2
0
1
2
0
1
2
0
2
2
0
0
2
0
Kebersihan kandang Pemotongan ternak betina produkstif Ketersediaan RPH dan IPAL RPH
0
1
0
1
3
0
0
3
0
Jenis pakan ternak
0
2
0
Daya dukung pakan ternak
3
3
0
Tingkat pemanfaatan lahan
1
2
0
Lahan (tingkat kesuburan tanah) Sistem pemeliharaan
1
2
0
0
3
0
Pemanfaatan limbah pertanian untuk pakan ternak
1
3
0
Pemanfaatan limbah peternakan untuk pupuk organik
1
3
0
4
4
0
Kejadian banjir Kejadian kekeringan Kuantitas limbah peternakan
Dimensi Ekonomi Keuntungan (profit) dalam usaha agribisnis peternakan
(2) terperinci (0) dilokasi pemukiman, (1) dekat, (2) agak dekat, (3) agak jauh, (4) jauh mengacu pada tipe iklim di Indonesia, agroklimat : (0) kering, (1) sedang (2) basah (0) sering, (1) kadang-kadang (2) tidak pernah terjadi 0) sering, (1) kadang-kadang (2) tidak pernah terjadi
(0) ada banyak, (1) sedikit (2) tidak ada (0) kotor, (1) bersih (0) < 10%, (1) 10 – 25%, (2) 25 - < 50%, (3) > 50% (0) tidak ada, (1) ada tetapi sederhana, (2) ada dengan kondisinya baik, (3) ada dengan kondisinya sangat baik (0) seadanya/hijauan alami, (1) hijauan + limbah pertanian, (2) hijauan + limbah pertanian + konsentrat Mengacu pada Dinas Peternakan (0) sangat kritis, (1) kritis, (2) rawan, (3) aman (0) melebihi kapasitas, (1) sedang, (2) rendah (0) tidak subur, (1) sedang, (2) subur (0) > 50% tradisional, (1) 25 - 50%, (2) 10 – 25%, (3) < 10% (0) tidak dimanfaatkan, (1) sebagian kecil dimanfaatkan, (2) sebagian besar dimanfaatkan, (3) seluruhnya dimanfaatkan (0) tidak dimanfaatkan, (1) sebagian kecil dimanfaatkan, (2) sebagian besar dimanfaatkan, (3) seluruhnya dimanfaatkan mengacu pada analisis usaha : (0) rugi besar, (1) rugi sedikit, (2) kembali modal, (3) keuntungan marginal, (4) sangat menguntungkan
262 Perubahan nilai APBD subsektor peternakan Ketersediaan agroindustri peternakan Ketersediaan industri pakan ternak Kelayakan finansial
2
2
0
(0) berkurang, (1) tetap, (2) bertambah (0) pasar lokal, (1) pasar nasional, (2) pasar internasional (0) tidak ada, (1) ada pada desa tertentu, (2) tersedia pada setiap desa (0) tidak layak, (1) break event point, (2) layak (0) terutama berada di penduduk lokal, (1) seimbang antara penduduk lokal dengan penduduk luar daerah, (2) keuntungan lebih banyak di penduduk luar daerah (0) jauh di bawah, (1) di bawah, (2) sama, (3) lebih tinggi, (4) jauh lebih tinggi (0) jauh di bawah, (1) di bawah, (2) sama, (3) lebih tinggi, (4) jauh lebih tinggi (0) pasar lokal, (1) pasar nasional, (2) pasar internasional (0) < 30%, (1) 30 - 70%, (2) > 70%,
0
2
0
0
2
0
Transfer keuntungan
2 0
2 2
0 0
Rata-rata pendapatan peternak terhadap UMR
3
4
0
Rata-rata penghasilan peternak antar skala usaha
3
4
0
Besarnya pasar
0
2
0
Kontribusi terhadap total pendapatan keluarga Kontribusi terhadap PDRB dan PAD Trend harga ternak dan hasil ternak Pendapatan dari usaha non tani Dimensi Sosial Alternatif usaha selain peternakan Kesehatan masyarakat peternak Pertumbuhan penduduk
1
2
0
1
2
0
1
3
0
3
3
0
(0) rendah; < 30%, (1) sedang 30 50%, (2) tinggi; > 50% (0) sangat tinggi, (1) tinggi, (2) sedang, (3) rendah (0) sangat tinggi, (1) tinggi, (2) sedang, (3) rendah
1
2
0
(0) banyak, (1) sedikit, (2) tidak ada,
2 3
3 3
0 0
Pengetahuan terhadap lingkungan Frekuensi penyuluhan dan pelatihan
0
2
0
1
3
0
Partisipasi keluarga dalam usaha
1
3
0
Frekuensi konflik
1
2
0
1
3
0
0 2
2 2
0 0
Curahan waktu kerja dalam usaha peternakan Tingkat pendidikan rata-rata masyarakat peternak Rasio tenaga kerja
(0) buruk, (1) sedang, (2) baik, (3) sangat baik (0) sangat tinggi, (1) tinggi, (2) sedang, (3) rendah (0) sangat minim, (1) cukup, (2) banyak/luas (0) tidak pernah ada, (1) sekali dalam setahun, (2) dua kali dalam setahun, (3) minimal tiga kali dalam setahun 0) tidak ada, (1) 1 – 2 anggota keluarga, (2) 3 – 4 anggota keluarga, (3) > 5 anggota keluarga (0) sering terjadi, (1) kadang-kadang, (2) tidak ada (0) sekedar hobbi, (1) paruh waktu, (2) musiman, (3) waktu penuh (0) rendah, (1) kurang berpendidikan, (2) tinggi (0) anak-anak, (1) wanita dewasa, (2) pria dewasa
263 Pertumbuhan rumah tangga peternak Jumlah rumah tangga peternak Peran masyarakat dalam usaha agribisnis sapi potong Dimensi Teknologi Standar mutu produk peternakan Ketersediaan sarana dan prasarana agribisnis Ketersediaan teknologi informasi dan transportasi Penggunaan vitamin dan probiotik untuk pertumbuhan ternak Tempat pelayanan inseminasi buatan (IB) Tempat pelayanan kesehatan hewan (poskeswan) Teknologi pengolahan limbah peternakan Teknologi pakan Teknologi pengolahan hasil produk peternakan Dimensi Kelembagaan Ketersediaan lembaga keuangan (bank/kredit) Kerjasama antar negara dalam pengembangan peternakan Partisipasi pengusaha dalam usaha peternakan Sinkronisasi kebijakan pemerintah pusat dan daerah Lembaga penyuluhan pertanian Koperasi peternakan Kemitraan dengan lembaga adat Kemitraan dengan pemerintah Kemitraan kelompok tani
1
3
0
1
2
0
2
4
0
1
2
0
0
2
0
1
2
0
0
2
0
1
3
0
1
3
0
0 0
2 2
0 0
1
2
0
1
2
0
1
2
0
0
2
0
1
2
0
1
2
0
1
2
0
0
2
0
2 1
2 2
0 0
(0) < 10%, (1) 10 – 20%, (2) 20 – 30%, (3) > 30% (0) < 1/3, (1) 1/3 – 2/3, (2) > 2/3 total jumlah rumah tangga rencana kawasan (0) sangat negatif, (1) negatif, (2) netral, (3) positif, (4) sangat positif
(0) belum diterapkan, (1) tersedia tapi tidak optimal, (2) tersedia optimal (0) sangat minim, (1) cukup, (2) lengkap 0) sangat minim, (1) cukup, (2) lengkap (0) tidak pernah, (1) kadang-kadang, (2) rutin (0) tidak dilakukan, (1) terpusat, (2) agak terpusat, (3) tersebar (0) tidak dilakukan, (1) terpusat, (2) agak terpusat, (3) tersebar (0) tidak ada, (1) sederhana, (2) modern (0) tidak ada, (1) sederhana, (2) modern (0) tidak ada, (1) sederhana, (2) modern (0) tidak ada, (1) ada tapi kurang berjalan, (2) ada dan berjalan (0) tidak ada, (1) ada tapi kurang berjalan, (2) ada dan berjalan (0) tidak ada, (1) ada tapi kurang berjalan, (2) ada dan berjalan (0) tidak sinkron, (1) kurang sinkron, (2) sinkron (0) tidak ada, (1) ada tapi kurang berjalan, (2) ada dan berjalan (0) tidak ada, (1) ada tapi kurang berjalan, (2) ada dan berjalan (0) tidak bermitra, (1) ada tapi kurang berjalan, (2) bermitra (0) tidak bermitra, (1) ada tapi kurang berjalan, (2) bermitra (0) tidak bermitra, (1) ada tapi kurang berjalan, (2) bermitra
264
264 Lampiran 3. Nilai indek lima dimensi keberlanjutan kawasan berbasis agribisnis peternakan sapi potong di Kabupaten Jayapura
A. Dimensi Ekologi
RAPFISH Ordination 60 UP
Other Distingishing Features
40
20
Real Fisheries
48,5
0
BAD 0
20
40
60
80
-20
-40 DOWN -60 Fisheries Sustainability
GOOD 100 120
References Anchors
265 B. Dimensi Ekonomi
RAPFISH Ordination 60 UP
Other Distingishing Features
40
20
Real Fisheries
53.2 0
BAD 0
20
40
60
80
-20
-40 DOWN -60 Fisheries Sustainability
GOOD 100 120
References Anchors
266 C. Dimensi Sosial
RAPFISH Ordination 60 UP
Other Distingishing Features
40
20
Real Fisheries
67.0 0
BAD 0
20
40
60
80
-20
-40 DOWN -60 Fisheries Sustainability
GOOD 100 120
References Anchors
267 D. Dimensi Teknologi
RAPFISH Ordination 60 UP
Other Distingishing Features
40
20
40.5 0
Real Fisheries
BAD 0
20
40
60
80
GOOD References 100 120
Anchors -20
-40 DOWN -60 Fisheries Sustainability
268 E. Dimensi Kelembagaan
RAPFISH Ordination 60 UP
Other Distingishing Features
40
20
Real Fisheries
49.3 0
BAD 0
20
40
60
80
-20
-40 DOWN -60 Fisheries Sustainability
GOOD 100 120
References Anchors
Lampiran 4. Kuesioner penentuan faktor kunci pembangunan kawasan agropolitan berbasia agribisnis sapi potong yang berkelanjutan
7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Pedoman pengisian matrik analisis pengaruh adalah sebagai berikut: • nilai 0 untuk faktor yang tidak saling berpengaruh langsung • nilai 3 diberikan jika pengaruh langsung antar faktor sangat kuat, • nilai 2 untuk pengaruh langsung sedang • nilai 1 untuk pengaruh kecil 269
10
11
12
13
14
15
16
17
Ketersedia an BPP
4 5 6
9
Sinkronisas i Kebijakan pusat dan daerah
8
Ketersedia an Lembaga Keuangan Ketersedia an Pos Keswan
7
Ketersedia an Pos IB Pertumbuh an rumah tangga peternak
6
Tingkat pendidikan peternak Frekuensi penyuluhan & pelatihan
5
Peran masyarakat agribisnis
4
1 2 3
Perubahan nilai APBD peternakan
3
Kontribusi terhadap PDRB & PAD Pangsa pasar Konstribusi pendapata n keluarga
2
Kemitraan dg lembaga adat asli Agroklimat
1 Sistem pemeliharaan Tingkat pemanfaatan lahan Sarana & prasarana agribisnis Ketersediaan RPH & IPAL Agroklimat Kemitraan dengan lembaga adat Konstribusi terhadap total pendapatan keluarga Pangsa pasar Kontribusi terhadap PDRB & PAD Perubahan nilai APBD peternakan Peran masyarakat agribisnis Frekuensi penyuluhan & pelatihan Tingkat pendidikan peternak Pertumbuhan rumah tangga peternak Ketersediaan Pos IB Ketersediaan Pos Keswan Ketersediaan Lembaga Keuangan Sinkronisasi Kebijakan pusat dan daerah Ketersediaan BPP
Ketersedia an RPH & IPAL Sarana & prasarana agribisnis
Tingkat pemanfaat an lahan Sistem pemelihara an
Dari → terhadap ↓
18
19
270 Lampiran 5. Gambaran usaha peternakan sapi potong di Kabupaten Jayapura
271
272
273 Lampiran 6 Kuesioner AHP
PPEEN NEEN NTTU UA AN N KKEEBBIIJJA AKKA AN N PPEEN NG GEEM MBBA AN NG GA AN N KKA AW WA ASSA AN NA AG GRRO OPPO OLLIITTA AN N BBEERRBBA ASSIISS A AG GRRIIBBIISSN NIISS PPEETTEERRN NA AKKA AN N YYA AN NG G BBEERRKKEELLA AN NJJU UTTA AN N D DII KKA ABBU UPPA ATTEEN N JJA AYYA APPU URRA A
Identitas Responden Nama
:
Pekerjaan / Instansi
:
Telp/HP
:
Tanggal Wawancara : Paraf
:
Oleh:
Hermanus Rumajomi
PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
274
PENGANTAR Kuesioner ini disusun dengan memperhatikan kepentingan stakeholder dalam penyusunan kebijakan, dimensi pembangunan, dan kriteria setiap dimensi dengan metode partisipatif dengan melibatkan judgement pakar.
(1) Tata Cara Pengisian Kuesioner
Isilah perbandingan antara masing-masing atribut sesuai dengan Skala Saaty, seperti yang tertera pada Tabel 1 tentang Skala Angka Saaty. Perbandingan dilakukan dengan cara membandingkan komponen BARIS dengan komponen KOLOM terhadap TOPIK (lihat di judul tabel). Apabila komponen baris lebih kuat dari komponen kolom maka ditulis bilangan bulat (misalnya 5). Akan tetapi apabila sebaliknya, komponen kolom lebih kuat dari komponen baris, maka ditulis 1/5.
Pengisian harus dilakukan secara konsisten. Sebagai contoh, apabila atribut A lebih baik dari atribut B, dan atribut B lebih baik dari dari atribut C, maka atribut A harus lebih baik dari atribut C.
Bagian yang diarsir tidak perlu diisi
(2) Contoh Cara Pengisian Kuisioner Hasil Penentuan Bobot Faktor A, B, C, dan D terhadap alternatif kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan di Kab. Jayapura Atribut
A
B
C
D
A
1
1/7
1/3
1/5
1
5
3
1
1/3
B C D
1
Pengisian matriks perbandingan berpasangan tersebut memperlihatkan bahwa atribut yang memiliki prioritas tertinggi hingga terendah berturut-turut adalah B, D, C, dan A.
274
275 Tabel 1. Skala Angka Saaty Intensitas/ Pentingnya
Definisi
Keterangan
1
Atribut yang satu dengan yang lainnya sama penting
Dua aktivitas memberikan kontribusi yang sama kepada tujuan
3
Atribut yang satu sedikit lebih penting (agak kuat) dari atribut yang lainnya.
Pengalaman dan selera sedikit menyebabkan yang satu lebih disukai daripada yang lain
5
Sifat lebih pentingnya atribut yang satu dengan lain kuat
Pengalaman dan selera sangat menyebabkan penilaian yang satu lebih dari yang lain, yang satu lebih disukai dari yang lain.
7
Menunjukkan sifat sangat penting satu atribut dengan atribut lain
Aktivitas yang satu sangat disukai dibandingkan dengan yang lain, dominasinya tampak dalam kenyataan
9
Satu atribut ekstrim penting dari atribut lainnya
Bukti bahwa antara yang satu lebih disukai daripada yang lain menunjukkan kepastian tingkat tertinggi yang dapat dicapai.
2, 4, 6, 8
Nilai tengah di antara dua penilaian
Diperlukan kesepakatan (kompromi)
Resiprokal
Jika atribut i dibandingkan dengan j mendapat nilai bukan nol, maka j jika dibandingkan dengan i mempunyai nilai kebalikannya
Asumsi yang masuk akal
Rasio yang timbul dari skala
Jika konsistensi perlu dipaksakan dengan mendapatkan sebanyak n nilai angka untuk melengkapi matriks
Rasional
276 1. Penentuan bobot dan prioritas aktor penentuan kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan Isilah matriks perbandingan berpasangan untuk masing-masing AKTOR penentuan kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan berikut ini: Aktor Pemerintah
Pemerintah 1
Pengusaha dan investor ….
Petani Peternak ….
Masyarakat dan LSM ….
1
….
….
1
….
Pengusaha dan investor Petani Peternak Masyarakat dan LSM
1
2. Penentuan bobot dan prioritas kebutuhan pemerintah dalam kaitan dengan kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan Isilah matriks perbandingan berpasangan untuk masing-masing DIMENSI Penentuan Kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan yang merupakan prioritas Pemerintah berikut ini: Dimensi Ekologi
Ekologi 1
Ekonomi
Ekonomi ….
Sosial ….
Teknologi ….
Kelembagaan ….
1
….
….
….
1
….
….
1
….
Sosial Teknologi Kelembagaan
1
3. Penentuan bobot dan prioritas kebutuhan Pemerintah Daerah dalam kaitan dengan kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan Isilah matriks perbandingan berpasangan untuk masing-masing DIMENSI Penentuan Kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan yang merupakan prioritas Pemerintah Daerah berikut ini: Dimensi Ekologi Ekonomi Sosial Teknologi Kelembagaan
Ekologi 1
Ekonomi ….
Sosial ….
Teknologi ….
Kelembagaan ….
1
….
….
….
1
….
….
1
…. 1
276
277
4. Penentuan bobot dan prioritas kebutuhan pengusaha dan investor dalam kaitan dengan kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan Isilah matriks perbandingan berpasangan untuk masing-masing DIMENSI Penentuan Kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan yang merupakan prioritas pengusaha dan investor berikut ini: Dimensi Ekologi
Ekologi 1
Ekonomi
Ekonomi ….
Sosial ….
Teknologi ….
Kelembagaan ….
1
….
….
….
1
….
….
1
….
Sosial Teknologi Kelembagaan
1
5. Penentuan bobot dan prioritas kebutuhan petani peternak dalam kaitan dengan kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan Isilah matriks perbandingan berpasangan untuk masing-masing DIMENSI Penentuan Kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan yang merupakan prioritas petani peternak berikut ini: Dimensi Ekologi
Ekologi 1
Ekonomi
Ekonomi ….
Sosial ….
Teknologi ….
Kelembagaan ….
1
….
….
….
1
….
….
1
….
Sosial Teknologi Kelembagaan
1
6. Penentuan bobot dan prioritas kebutuhan masyarakat dan LSM dalam kaitan dengan kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan Isilah matriks perbandingan berpasangan untuk masing-masing DIMENSI Penentuan Kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan yang merupakan prioritas masyarakat berikut ini: Dimensi Ekologi Ekonomi Sosial Teknologi Kelembagaan
Ekologi 1
Ekonomi ….
Sosial ….
Teknologi ….
Kelembagaan ….
1
….
….
….
1
….
….
1
…. 1
278 7. Penentuan bobot dan prioritas dimensi ekologi dalam kaitan dengan kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan Isilah matriks perbandingan berpasangan untuk KRITERIA dalam kaitan dengan dimensi ekologi Penentuan Kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan berikut ini: Ekologi Sistem pemeliharaan
Sistem pemeliharaan 1
Pemanfaatan lahan
Pemanfaatan lahan ….
RPH & IPAL RPH ….
1
….
RPH & IPAL RPH
Agroklimat
1
Agroklimat
1
8. Penentuan bobot dan prioritas dimensi ekonomi dalam kaitan dengan kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan Isilah matriks perbandingan berpasangan untuk KRITERIA dalam kaitan dengan dimensi ekonomi Penentuan Kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan berikut ini:
Ekonomi
Pendapatan keluarga
Pangsa pasar besar
Kontribusi PDRB & PAD
Pendapatan keluarga
1
….
….
1
….
Pangsa pasar besar Kontribusi PDRB & PAD Perubahan nilai APBD peternakan
Perubahan nilai APBD peternakan
1 1
9. Penentuan bobot dan prioritas dimensi sosial dalam kaitan dengan kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan Isilah matriks perbandingan berpasangan untuk KRITERIA dalam kaitan dengan dimensi sosial Penentuan Kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan berikut ini: Sosial Penyuluhan dan pelatihan Peran masyarakat peternak Tingkat pendidikan Pertumbuhan RTP
Penyuluhan dan pelatihan 1
Peran masyarakat peternak ….
Tingkat pendidikan
1
….
Pertumbuhan RTP
….
1 1
278
279
10. Penentuan bobot dan prioritas dimensi teknologi dalam kaitan dengan kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan Isilah matriks perbandingan berpasangan untuk KRITERIA dalam kaitan dengan dimensi teknologi Penentuan Kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan berikut ini: Teknologi Teknologi IB
Teknologi IB
Teknologi Keswan
1
….
Sarana dan prasarana agribisnis ….
1
….
Teknologi Keswan Sarana dan prasarana agribisnis
11.
1
Penentuan bobot dan prioritas dimensi kelembagaan dalam kaitan dengan kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan Isilah matriks perbandingan berpasangan untuk KRITERIA dalam kaitan dengan dimensi kelembagaan untuk Penentuan Kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan berikut ini: Kelembagaan Lembaga keuangan (modal) Sinkronisasi kebijakan Badan Penyuluh Pertanian Kemitraan lembaga adat
Lembaga keuangan (modal) 1
Sinkronisasi kebijakan ….
Badan Penyuluh Pertanian ….
1
….
Kemitraan lembaga adat
1 1
280 12.
Penentuan bobot dan prioritas kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan dalam kaitan dengan Sistem Pemeliharaan Isilah matriks perbandingan berpasangan untuk masing-masing kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan dalam kaitan dengan Sistem Pemeliharaan berikut ini:
Alternatif Kebijakan Peningkatan kualitas SDM Pembangunan sarana & prasarana Peningktan jumlah ternak sapi Peningkatan kemitraan usaha
Peningkatan kualitas SDM
Pembangunan sarana & prasarana
Peningktan jumlah ternak sapi
Peningkatan kemitraan usaha
Penerapan teknologi budidaya
Peningkatan investasi
1
….
….
….
….
….
1
….
….
….
….
1
….
….
….
….
….
1
….
1
Penerapan teknologi budidaya Peningkatan investasi
13.
1
Penentuan bobot dan prioritas kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan dalam kaitan dengan Pemanfaatan Lahan Isilah matriks perbandingan berpasangan untuk masing-masing kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan dalam kaitan dengan Pemanfaatan Lahan berikut ini:
Alternatif Kebijakan Peningkatan kualitas SDM Pembangunan sarana & prasarana Peningktan jumlah ternak sapi Peningkatan kemitraan usaha Penerapan teknologi budidaya Peningkatan investasi
Peningkatan kualitas SDM
Pembangunan sarana & prasarana
Peningktan jumlah ternak sapi
Peningkatan kemitraan usaha
Penerapan teknologi budidaya
Peningkatan investasi
1
….
….
….
….
….
1
….
….
….
….
1
….
….
….
….
….
1
….
1
1
280
281
14.
Penentuan bobot dan prioritas kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan dalam kaitan dengan RPH dan IPAL RPH Isilah matriks perbandingan berpasangan untuk masing-masing kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan dalam kaitan dengan RPH dan IPAL RPH berikut ini:
Alternatif Kebijakan Peningkatan kualitas SDM Pembangunan sarana & prasarana Peningktan jumlah ternak sapi Peningkatan kemitraan usaha
Peningkatan kualitas SDM
Pembangunan sarana & prasarana
Peningktan jumlah ternak sapi
Peningkatan kemitraan usaha
Penerapan teknologi budidaya
Peningkatan investasi
1
….
….
….
….
….
1
….
….
….
….
1
….
….
….
….
….
1
….
1
Penerapan teknologi budidaya Peningkatan investasi
15.
1
Penentuan bobot dan prioritas kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan dalam kaitan dengan Agroklimat Isilah matriks perbandingan berpasangan untuk masing-masing kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan dalam kaitan dengan Agroklimat berikut ini:
Alternatif Kebijakan Peningkatan kualitas SDM Pembangunan sarana & prasarana Peningktan jumlah ternak sapi Peningkatan kemitraan usaha Penerapan teknologi budidaya Peningkatan investasi
Peningkatan kualitas SDM
Pembangunan sarana & prasarana
Peningktan jumlah ternak sapi
Peningkatan kemitraan usaha
Penerapan teknologi budidaya
Peningkatan investasi
1
….
….
….
….
….
1
….
….
….
….
1
….
….
….
….
….
1
….
1
1
282 16.
Penentuan bobot dan prioritas kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan dalam kaitan dengan Sumber Pendapatan Keluarga Isilah matriks perbandingan berpasangan untuk masing-masing kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan dalam kaitan dengan Sumber Pendapatan Keluarga berikut ini:
Alternatif Kebijakan Peningkatan kualitas SDM Pembangunan sarana & prasarana Peningktan jumlah ternak sapi Peningkatan kemitraan usaha
Peningkatan kualitas SDM
Pembangunan sarana & prasarana
Peningktan jumlah ternak sapi
Peningkatan kemitraan usaha
Penerapan teknologi budidaya
Peningkatan investasi
1
….
….
….
….
….
1
….
….
….
….
1
….
….
….
….
….
1
….
1
Penerapan teknologi budidaya Peningkatan investasi
17.
1
Penentuan bobot dan prioritas kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan dalam kaitan dengan Pangsa Pasar Besar Isilah matriks perbandingan berpasangan untuk masing-masing kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan dalam kaitan dengan Pangsa Pasar Besar berikut ini:
Alternatif Kebijakan Peningkatan kualitas SDM Pembangunan sarana & prasarana Peningktan jumlah ternak sapi Peningkatan kemitraan usaha Penerapan teknologi budidaya Peningkatan investasi
Peningkatan kualitas SDM
Pembangunan sarana & prasarana
Peningktan jumlah ternak sapi
Peningkatan kemitraan usaha
Penerapan teknologi budidaya
Peningkatan investasi
1
….
….
….
….
….
1
….
….
….
….
1
….
….
….
….
….
1
….
1
1
282
283
18.
Penentuan bobot dan prioritas kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan dalam kaitan dengan Kontribusi terhadap PDRB & PAD Isilah matriks perbandingan berpasangan untuk masing-masing kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan dalam kaitan dengan Kontribusi terhadap PDRB & PAD berikut ini:
Alternatif Kebijakan Peningkatan kualitas SDM Pembangunan sarana & prasarana Peningktan jumlah ternak sapi Peningkatan kemitraan usaha
Peningkatan kualitas SDM
Pembangunan sarana & prasarana
Peningktan jumlah ternak sapi
Peningkatan kemitraan usaha
Penerapan teknologi budidaya
Peningkatan investasi
1
….
….
….
….
….
1
….
….
….
….
1
….
….
….
….
….
1
….
1
Penerapan teknologi budidaya Peningkatan investasi
19.
1
Penentuan bobot dan prioritas kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan dalam kaitan dengan Perubahan Nilai APBD Peternakan Isilah matriks perbandingan berpasangan untuk masing-masing kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan dalam kaitan dengan Perubahan Nilai APBD Peternakan berikut ini:
Alternatif Kebijakan Peningkatan kualitas SDM Pembangunan sarana & prasarana Peningktan jumlah ternak sapi Peningkatan kemitraan usaha Penerapan teknologi budidaya Peningkatan investasi
Peningkatan kualitas SDM
Pembangunan sarana & prasarana
Peningktan jumlah ternak sapi
Peningkatan kemitraan usaha
Penerapan teknologi budidaya
Peningkatan investasi
1
….
….
….
….
….
1
….
….
….
….
1
….
….
….
….
….
1
….
1
1
284 20.
Penentuan bobot dan prioritas kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan dalam kaitan dengan Teknologi IB Isilah matriks perbandingan berpasangan untuk masing-masing kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan dalam kaitan dengan Teknologi IB berikut ini:
Alternatif Kebijakan Peningkatan kualitas SDM Pembangunan sarana & prasarana Peningktan jumlah ternak sapi Peningkatan kemitraan usaha
Peningkatan kualitas SDM
Pembangunan sarana & prasarana
Peningktan jumlah ternak sapi
Peningkatan kemitraan usaha
Penerapan teknologi budidaya
Peningkatan investasi
1
….
….
….
….
….
1
….
….
….
….
1
….
….
….
….
….
1
….
1
Penerapan teknologi budidaya Peningkatan investasi
21.
1
Penentuan bobot dan prioritas kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan dalam kaitan dengan Teknologi Keswan Isilah matriks perbandingan berpasangan untuk masing-masing kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan dalam kaitan dengan Teknologi Keswan berikut ini:
Alternatif Kebijakan Peningkatan kualitas SDM Pembangunan sarana & prasarana Peningktan jumlah ternak sapi Peningkatan kemitraan usaha Penerapan teknologi budidaya Peningkatan investasi
Peningkatan kualitas SDM
Pembangunan sarana & prasarana
Peningktan jumlah ternak sapi
Peningkatan kemitraan usaha
Penerapan teknologi budidaya
Peningkatan investasi
1
….
….
….
….
….
1
….
….
….
….
1
….
….
….
….
….
1
….
1
1
284
285
22.
Penentuan bobot dan prioritas kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan dalam kaitan dengan Sarana dan Prasarana Agribisnis Isilah matriks perbandingan berpasangan untuk masing-masing kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan dalam kaitan dengan Sarana dan Prasarana Agribisnis berikut ini:
Alternatif Kebijakan Peningkatan kualitas SDM Pembangunan sarana & prasarana Peningktan jumlah ternak sapi Peningkatan kemitraan usaha
Peningkatan kualitas SDM
Pembangunan sarana & prasarana
Peningktan jumlah ternak sapi
Peningkatan kemitraan usaha
Penerapan teknologi budidaya
Peningkatan investasi
1
….
….
….
….
….
1
….
….
….
….
1
….
….
….
….
….
1
….
1
Penerapan teknologi budidaya Peningkatan investasi
23.
1
Penentuan bobot dan prioritas kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan dalam kaitan dengan Lembaga Keuangan (Modal) Isilah matriks perbandingan berpasangan untuk masing-masing kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan dalam kaitan dengan Teknologi Lembaga Keuangan (Modal)berikut ini:
Alternatif Kebijakan Peningkatan kualitas SDM Pembangunan sarana & prasarana Peningktan jumlah ternak sapi Peningkatan kemitraan usaha Penerapan teknologi budidaya Peningkatan investasi
Peningkatan kualitas SDM
Pembangunan sarana & prasarana
Peningktan jumlah ternak sapi
Peningkatan kemitraan usaha
Penerapan teknologi budidaya
Peningkatan investasi
1
….
….
….
….
….
1
….
….
….
….
1
….
….
….
….
….
1
….
1
1
286 24.
Penentuan bobot dan prioritas kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan dalam kaitan dengan Sinkronisasi Kebijakan Isilah matriks perbandingan berpasangan untuk masing-masing kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan dalam kaitan dengan Sinkronisasi Kebijakan berikut ini:
Alternatif Kebijakan Peningkatan kualitas SDM Pembangunan sarana & prasarana Peningktan jumlah ternak sapi Peningkatan kemitraan usaha
Peningkatan kualitas SDM
Pembangunan sarana & prasarana
Peningktan jumlah ternak sapi
Peningkatan kemitraan usaha
Penerapan teknologi budidaya
Peningkatan investasi
1
….
….
….
….
….
1
….
….
….
….
1
….
….
….
….
….
1
….
1
Penerapan teknologi budidaya Peningkatan investasi
25.
1
Penentuan bobot dan prioritas kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan dalam kaitan dengan Badan Penyuluh Pertanian Isilah matriks perbandingan berpasangan untuk masing-masing kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan dalam kaitan dengan Badan Penyuluh Pertanian berikut ini:
Alternatif Kebijakan Peningkatan kualitas SDM Pembangunan sarana & prasarana Peningktan jumlah ternak sapi Peningkatan kemitraan usaha Penerapan teknologi budidaya Peningkatan investasi
Peningkatan kualitas SDM
Pembangunan sarana & prasarana
Peningktan jumlah ternak sapi
Peningkatan kemitraan usaha
Penerapan teknologi budidaya
Peningkatan investasi
1
….
….
….
….
….
1
….
….
….
….
1
….
….
….
….
….
1
….
1
1
286
287 26.
Penentuan bobot dan prioritas kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan dalam kaitan dengan Kemitraan Lembaga Adat Isilah matriks perbandingan berpasangan untuk masing-masing kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan dalam kaitan dengan Kemitraan Lembaga Adat berikut ini:
Alternatif Kebijakan Peningkatan kualitas SDM Pembangunan sarana & prasarana Peningktan jumlah ternak sapi Peningkatan kemitraan usaha
Peningkatan kualitas SDM
Pembangunan sarana & prasarana
Peningktan jumlah ternak sapi
Peningkatan kemitraan usaha
Penerapan teknologi budidaya
Peningkatan investasi
1
….
….
….
….
….
1
….
….
….
….
1
….
….
….
….
….
1
….
1
Penerapan teknologi budidaya Peningkatan investasi
27.
1
Penentuan bobot dan prioritas kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan dalam kaitan dengan Penyuluhan dan Pelatihan Isilah matriks perbandingan berpasangan untuk masing-masing kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan dalam kaitan dengan Penyuluhan dan Pelatihan berikut ini:
Alternatif Kebijakan Peningkatan kualitas SDM Pembangunan sarana & prasarana Peningktan jumlah ternak sapi Peningkatan kemitraan usaha Penerapan teknologi budidaya Peningkatan investasi
Peningkatan kualitas SDM
Pembangunan sarana & prasarana
Peningktan jumlah ternak sapi
Peningkatan kemitraan usaha
Penerapan teknologi budidaya
Peningkatan investasi
1
….
….
….
….
….
1
….
….
….
….
1
….
….
….
….
….
1
….
1
1
288 28.
Penentuan bobot dan prioritas kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan dalam kaitan dengan Peran Masyarakat Peternak Isilah matriks perbandingan berpasangan untuk masing-masing kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan dalam kaitan dengan Peran Masyarakat Peternak berikut ini:
Alternatif Kebijakan Peningkatan kualitas SDM Pembangunan sarana & prasarana Peningktan jumlah ternak sapi Peningkatan kemitraan usaha
Peningkatan kualitas SDM
Pembangunan sarana & prasarana
Peningktan jumlah ternak sapi
Peningkatan kemitraan usaha
Penerapan teknologi budidaya
Peningkatan investasi
1
….
….
….
….
….
1
….
….
….
….
1
….
….
….
….
….
1
….
1
Penerapan teknologi budidaya Peningkatan investasi
29.
1
Penentuan bobot dan prioritas kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan dalam kaitan dengan Tingkat Pendidikan Isilah matriks perbandingan berpasangan untuk masing-masing kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan dalam kaitan dengan Tingkat Pendidikan berikut ini:
Alternatif Kebijakan Peningkatan kualitas SDM Pembangunan sarana & prasarana Peningktan jumlah ternak sapi Peningkatan kemitraan usaha Penerapan teknologi budidaya Peningkatan investasi
Peningkatan kualitas SDM
Pembangunan sarana & prasarana
Peningktan jumlah ternak sapi
Peningkatan kemitraan usaha
Penerapan teknologi budidaya
Peningkatan investasi
1
….
….
….
….
….
1
….
….
….
….
1
….
….
….
….
….
1
….
1
1
288
289 30.
Penentuan bobot dan prioritas kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan dalam kaitan dengan Pertumbuhan RTP Isilah matriks perbandingan berpasangan untuk masing-masing kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan dalam kaitan dengan Pertumbuhan RTP berikut ini:
Alternatif Kebijakan Peningkatan kualitas SDM Pembangunan sarana & prasarana Peningktan jumlah ternak sapi Peningkatan kemitraan usaha
Peningkatan kualitas SDM
Pembangunan sarana & prasarana
Peningktan jumlah ternak sapi
Peningkatan kemitraan usaha
Penerapan teknologi budidaya
Peningkatan investasi
1
….
….
….
….
….
1
….
….
….
….
1
….
….
….
….
….
1
….
1
Penerapan teknologi budidaya Peningkatan investasi
1
31. Penentuan bobot dan prioritas aktor penentuan kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan Isilah matriks perbandingan berpasangan untuk masing-masing ALTERNATIF KEBIJAKAN penentuan kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan berikut ini:
Alternatif Kebijakan Peningkatan kualitas SDM Pembangunan sarana & prasarana Peningktan jumlah ternak sapi Peningkatan kemitraan usaha
Peningkatan kualitas SDM
Pembangunan sarana & prasarana
Peningktan jumlah ternak sapi
Peningkatan kemitraan usaha
Penerapan teknologi budidaya
Peningkatan investasi
1
….
….
….
….
….
1
….
….
….
….
1
….
….
….
….
….
1
….
1
Penerapan teknologi budidaya Peningkatan investasi
1
TERIMA KASIH ATAS PARTISIPASI SAUDARA!