MODEL PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN BERKELANJUTAN BERBASIS PETERNAKAN SAPI POTONG TERPADU DI KABUPATEN SITUBONDO
SUYITMAN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi saya yang berjudul ”Model Pengembangan Kawasan Agropolitan Berkelanjutan Berbasis Peternakan Sapi Potong Terpadu di Kabupaten Situbondo” adalah merupakan disertasi hasil penelitian saya sendiri, dengan arahan komisi pembimbing. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program studi sejenis di perguruan tinggi manapun. Semua sumber informasi yang berasal dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan oleh penulis lain yang digunakan dalam penulisan disertasi ini telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Juli 2010
Suyitman NRP. P061060031
ABSTRACT SUYITMAN. 2010. Model of Sustainable Agropolitan Region Development Based on Animal Husbandry at Situbondo. Under the supervision of SURJONO HADI SUTJAHJO as committee chairman, CATUR HERISON and MULADNO as committee members. Rural development for Situbondo Region which based on agriculture and animal husbandry is Agropolitan Region based on animal husbandry. The purposes of this research were (1) to identify the potency, development level, and sustainability of The Situbondo Region. 2) to develop a model of sustainable agropolitan region based on animal husbandry; and 3) to formulate policy direction and strategy of agropolitan development. Research conducted at some areas of the ranch based in Situbondo, namely: Asembagus, Jangkar, Arjasa, Kapongan, and Mangaran. Types of data analysis applied in this study were location quotient (LQ) analysis, analysis of superior and leading commodity, the analysis of farming, analysis of area typology, principle component analysis (PCA), cluster analysis, scalogram analysis, and analysis of centrality, multidimensional scaling (MDS), prospective analysis, and dynamic system analysis. The results showed that Situbondo Region had some bases commodities on farm such as: beef cattle, sheep, goats, and ducks. Cattle production (fattening) as a leading commodity gives highest profit for farmer (Rp 4 250 000,-/head/year). Situbondo Region also constitutes Pre-Agropolitan II category; including 4 villages at advanced level, 17 villages at medium level and 21 villages at low level of growth development. From the sustainability analysis which analysed 73 attributes only 24 attributes are sensitive to the value of sustainability index based on farms area. Considering status of eco-dimensional (46.50%), technology of infrastructure (45.48%), and institutional (47.46%) showed the status of less sustainable, whereas the economic dimensions (69.53%) and socio-cultural (55.14%) showed quite sustainable condition. Focussed on repairing these sensitive attributes that affected sustainability, it can improves the sustainability status for future scenarios. With dynamic system analysis, we can find out that up to 2025, the population patterns tends to grow positively and exponentially, while agropolitan productions and farming profits have the same patterns until at one point, will moves to an equilibrium point (stable conditions) because of the “limit to growth” processes (archetype). Therefore, optimistic scenarios with great intervention on one or more affected variables need to apply to increase the model performance. Finally, Situbondo development policies should based on The County Farm by forming Village Growth Center and hinterland completed with facilities and infrastructures, actuation commodity diversification and home industries breeders, improvement production through extensification and intensification, fostering economic and social institutions, entwining partnership between stakeholders, and capability improvement of human resources especially for the breeders.
Keywords: agropolitan region, animal husbandry, status of sustainability, and dynamic system.
RINGKASAN
Pembangunan perdesaan khususnya di Wilayah Kabupaten Situbondo yang berbasiskan pertanian dan peternakan harus mulai didorong untuk mengatasi permasalahan pembangunan yang terjadi yang didukung oleh kemampuan pelayanan infrastruktur, pendidikan, sosial, kesehatan, dan lainnya sehingga mampu menggerakkan perekonomian perdesaan dan menciptakan nilai tambah yang dapat dinikmati oleh masyarakat. Pembangunan pertanian harus bersinergi dengan pembangunan wilayah perdesaan dengan tujuan untuk meningkatkan taraf kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Dalam mencapai tujuan tersebut, pengembangan kawasan potensial dengan basis perdesaan sebagai pusat pertumbuhan akan menstranformasikan perdesaan menjadi kotakota pertanian atau dikenal dengan pengembangan kawasan agropolitan merupakan salah satu pilihan strategis yang tepat. Penelitian ini bertujuan untuk menyusun suatu model pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan terpadu di Kabupaten Situbondo dalam rangka meningkatkan taraf kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Untuk mencapai tujuan utama tersebut, maka ada beberapa kegiatan yang perlu dilakukan sebagai tujuan antara, seperti: 1) Menganalisis potensi wilayah berbasis peternakan di Kabupaten Situbondo. 2) Menganalisis tingkat perkembangan dan keberlanjutan wilayah Kabupaten Situbondo. 3) Menganalisis sistem kawasan peternakan di Kabupaten Situbondo. 4) Merumuskan kebijakan dan skenario strategi pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan sapi potong terpadu di Kabupaten Situbondo. Penelitian dilaksanakan di wilayah berbasis peternakan sapi potong di Kabupaten Situbondo, yaitu: Kecamatan Asembagus, Jangkar, Arjasa, Kapongan, dan Mangaran. Penelitian dilakukan mulai bulan Mei 2008 sampai bulan Mei 2009. Analisis data meliputi: 1) Identifikasi potensi wilayah Kabupaten Situbondo terdiri atas: analisis location quotient (LQ), analisis komoditas unggulan dan andalan, dan analisis usahatani. 2) Tingkat perkembangan wilayah Kabupaten Situbondo terdiri atas: analisis tipologi (strata) kawasan, principle component analysis (PCA), analisis cluster, analisis skalogram, dan analisis sentralitas. 3) Status keberlanjutan kawasan Kabupaten Situbondo dianalisis dengan multidimensional scaling (MDS) yang disebut Rap-BANGKAPET, analisis leverege, analisis Monte Carlo, dan analisis prospektif. 4) Menyusun model pengembangan kawasan agropolitan dengan analisis powersim constructor versi 2,5 C. Hasil penelitian menunjukkan bahwa wilayah Kabupaten Situbondo merupakan basis beberapa komoditas peternakan, seperti: sapi potong, domba, kambing, dan itik. Dari komoditas ternak tersebut, penggemukan ternak sapi potong merupakan komoditas unggulan dan memberikan keuntungan yang tertinggi bagi peternak, yaitu Rp 4 250 000,/ekor/tahun. Wilayah Kabupaten Situbondo juga merupakan pengembangan tanaman
pangan jagung dan padi yang menjadi komoditas unggulan, sedangkan tanaman tebu, tembakau, dan kopi merupakan komoditas unggulan tanaman perkebunan daerah ini. Wilayah Kabupaten Situbondo termasuk kategori strata Pra Kawasan Agropolitan II dengan 4 desa termasuk dalam tingkat perkembangan maju, 17 desa termasuk tingkat perkembangan sedang, dan 21 desa termasuk tingkat perkembangan rendah. Status keberlanjutan dimensi ekologi (46.50 %), infrastruktur/teknologi (45.48 %), dan kelembagaan (47.46 %) termasuk status kurang berkelanjutan, sedangkan dimensi ekonomi (69.53 %) dan sosial budaya (55.14 %) termasuk cukup berkelanjutan. Dari 73 atribut yang dianalisis, 24 atribut yang sensitif berpengaruh terhadap peningkatan nilai indeks keberlanjutan wilayah berbasis peternakan. Untuk meningkatkan status keberlanjutan ke depan skenario, yang dapat dipilih adalah melakukan perbaikan secara menyeluruh pada atribut yang sensitif berpengaruh terhadap nilai indeks keberlanjutan. Hasil analisis sistem dinamik, menunjukkan setiap komponen penyusun model, menunjukkan kecenderungan membentuk kurva pertumbuhan positif naik mengikuti kurva eksponential. Namun pada beberapa komponen sub model, seperti peningkatan pertumbuhan penduduk dan peningkatan luas lahan selalu diimbangi oleh laju pengurangan jumlah penduduk dan konversi lahan ke non pertanian sehingga dalam model ini terjadi hubungan timbal balik positif melalui proses reinforcing dan timbal balik negatif melalui proses balancing. Peningkatan jumlah penduduk yang terus bertambah memberikan tekanan terhadap sumberdaya yang ada termasuk terhadap jumlah populasi ternak dan sumberdaya lahan. Akibat tekanan ini, peningkatan yang terjadi terhadap semua komponen dalam sistem pada suatu saat akan sampai pada suatu titik keseimbangan tertentu dan selanjutnya terjadi penurunan akibat penekanan terhadap sumberdaya yang tersedia. Fenomena ini mengikuti konsep limit to growth sehingga bentuk model yang terjadi dapat disebut mengikuti pola dasar (archetype) “limit to growth” dalam sistem dinamik. Untuk meningkatkan perubahan kinerja model maka skenario yang perlu dilakukan adalah skenario optimis dengan melakukan intervensi yang lebih besar satu atau lebih variabel yang berpengaruh dalam model. Arah kebijakan pengembangan wilayah berbasis peternakan sapi potong terpadu di Kabupaten Situbondo adalah pengembangan kawasan agropolitan. Strategi yang perlu dilakukan adalah membentuk Desa Pusat Pertumbuhan (DPP) dan hinterland-nya dengan melengkapi sarana dan prasarana yang dibutuhkan, menggerakkan diversifikasi komoditas unggulan dan industri rumah tangga peternak, meningkatkan produksi melalui kegiatan ekstensifikasi dan intensifikasi, menumbuh-kembangkan kelembagaan ekonomi dan sosial masyarakat, dan menjalin kemitraan dengan stakeholder, serta meningkatkan kapasitas sumberdaya manusia (SDM) peternak.
@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1) Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber: a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2) Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
MODEL PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN BERKELANJUTAN BERBASIS PETERNAKAN SAPI POTONG TERPADU DI KABUPATEN SITUBONDO
SUYITMAN
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
PELAKSANAAN UJIAN
1. Ujian Tertutup Tanggal : 1 Februari 2010
Penguji Luar Komisi
: a. Prof. Dr. Ir. Toto Toharmat, M.Sc. : b. Dr. Drh. Akhmad Arif Amin
2. Ujian Terbuka Tanggal : 29 Juli 2010 Penguji Luar Komisi
: a. Dr. Ir. Gunawan, M.S. (Direktur Perbibitan, Direktorat Jenderal Peternakan Kementerian Pertanian) b. Dr. Ir. Yuli Retnani, M.Sc. (Dosen dan Peneliti Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan IPB, Bogor)
Judul Disertasi: Model Pengembangan Kawasan Agropolitan Berkelanjutan Berbasis Peternakan Sapi Potong Terpadu di Kabupaten Situbondo
Nama
: Suyitman
NRP
: P 061060031
Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL)
Disetujui: Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Surjono Hadi Sutjahjo, M.S. Ketua
Dr. Ir. Catur Herison, M.Sc. Anggota
Prof. Dr. Ir. Muladno, M.S.A. Anggota
Mengetahui:
Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL)
Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
Prof. Dr. Ir. Surjono Hadi Sutjahjo, M.S. NIP. 1960 02 04 1985 03 1003
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S. NIP. 1956 04 04 1980 11 1002
Tanggal Ujian: 29 Juli 2010
Tanggal Lulus: …………………………
PRAKATA Alhamdulillah disampaikan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan ridho-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan disertasi dengan judul: ”Model Pengembangan Kawasan Agropolitan Berkelanjutan Berbasis Peternakan Sapi Potong Terpadu di Kabupaten Situbondo. Disertasi ini merupakan tugas akhir Program Doktor (S3) pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL), Sekolah Pascasarjana (SPs) Institut Pertanian Bogor (IPB), Bogor. Penulis menyadari bahwa disertasi ini adalah atas sumbangsih dari berbagai pihak, oleh sebab itu penulis menyampaikan rasa terimakasih yang tulus kepada semua pihak yang telah memberikan berbagai masukan dalam penulisan ini, khususnya kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Surjono Hadi Sutjahjo, M.S., Bapak Dr. Ir. Catur Herison, M.Sc., dan Bapak Prof. Dr. Ir. Muladno, M.S.A., selaku ketua dan anggota
komisi pembimbing yang telah banyak
memberikan bimbingan, bantuan, dan arahan sejak penyusunan proposal sampai penyelesaian disertasi ini. Semoga ilmu yang telah diberikan dan diamalkan mendapatkan imbalan dari Allah SWT. Terimakasih juga disampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Toto Toharmat, M.Sc. dan Bapak Dr. Drh. Akhmad Arif Amin, Bapak Dr. Ir. Gunawan, M.S. dan Ibu Dr. Ir Yuli Retnani, M.Sc. yang telah bersedia menjadi Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup dan Ujian Terbuka serta telah memberikan kritik dan saran yang konstruktif terkait penulisan disertasi ini. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada Ketua dan Sekretaris beserta staf Program Studi
Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL), Dekan Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, dan Rektor IPB beserta segenap jajarannya yang telah banyak memfasilitasi penulis selama menempuh pendidikan di SPs-IPB. Ucapan yang sama juga disampaikan kepada Rektor Universitas Andalas dan Dekan Fakultas Peternakan Universitas Andalas Padang, Pemda Kabupaten Situbondo dan semua pihak yang telah banyak membantu dan mendukung dalam penyusunan disertasi ini. Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada ayahanda, ibunda, isteri dan anak, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa disertasi ini masih jauh dari sempurna, untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat diharapkan agar disertasi ini menjadi lebih baik. Semoga disertasi ini bermanfaat bagi kita sekalian. Amien … Bogor,
Juli 2010
Suyitman
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Situbondo pada tanggal 1 Mei 1961 sebagai anak sulung dari pasangan Abdul Syakur dan Syafinatun. Pada tahun 1989, penulis menikah dengan Dra. Retno Palupi, dan telah dikaruniai dua anak, yaitu anak pertama Dear Rahmatullah Ramadhan lahir pada tanggal 4 April 1991, dan anak kedua Prisca Sari Paramudhita lahir pada tanggal 5 Februari 1993. Pendidikan sarjana ditempuh di Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta lulus pada tahun 1985. Pada tahun 1991, penulis diterima di Program Studi Ilmu Ternak pada Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung dan menamatkannya pada tahun 1993. Pada tahun 2006, penulis mendapatkan kesempatan melanjutkan pendidikan program doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui program penyelenggaraan Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPS) dari Departemen Pendidikan Nasional. Pada tahun 1986, penulis diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai Dosen di Fakultas Peternakan Universitas Andalas, Padang sampai sekarang. Pada tahun 1998-2005, penulis diberi kepercayaan menjadi Kepala Laboratorium Hijauan Pakan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Andalas, Padang. Karya ilmiah terbaru yang ditulis akan diterbitkan (in press) pada jurnal ilmiah (Jurnal Agro Ekonomi: Akreditasi: Kep. Dikti-Depdiknas-RI No.26/Dikti/Kep/2005 dan No.64/AKRED-LIPI/P2MBI/12/ 20060) Tahun 2009/2010 dengan judul: Status keberlanjutan wilayah berbasis peternakan di Kabupaten Situbondo untuk pengembangan kawasan agropolitan. Bantuan dana penelitian diperoleh melalui Program Hibah Doktor Dikti pada tahun 2009.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ........................................................................................ iv DAFTAR GAMBAR ................................................................................... viii DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xi I.
PENDAHULUAN ...............................................................................
1
1.1 Latar Belakang ..............................................................................
1
1.2 Tujuan Penelitian............................................................................
8
1.3 Kerangka Pemikiran .......................................................................
8
1.4 Perumusan Masalah ........................................................................ 12 1.5 Manfaat Penelitian .......................................................................... 16 1.6 Kebaruan (Novelty) Penelitian ........................................................ 17 II. TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 19 2.1 Ketimpangan Pembangunan Kota dan Desa .................................... 19 2.2 Pembangunan Perdesaan ................................................................ 20 2.3 Konsep Kawasan Agropolitan ....................................................... 24 2.4 Pengembangan Kawasan Agropolitan ............................................. 26 2.5 Pengembangan Komoditas Peternakan ........................................... 31 2.6 Pembangunan Usaha Peternakan secara Berkelanjutan ................... 42 2.7 Usaha Peternakan Sapi Potong Terpadu ...........................................
49
2.8 Pendekatan Sistem ......................................................................... 53 2.9 Kabupaten Situbondo ..................................................................... 58 III. METODE PENELITIAN ................................................................... 62 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ......................................................... 62 3.2 Teknik Penentuan Responden ......................................................... 63 3.3 Metode Analisis Data .................................................................... 64 3.4 Definisi Operasional ......................................................................... 68 IV. KONDISI UMUM WILAYAH .............................................................. 72 4.1 Kondisi Geografis dan Administrasi................................................ 72 4.2 Jenis Tanah, Topografi, dan Iklim....................................................
73
4.3 Kondisi Sosial, Ekonomi, dan Budaya Kabupaten Situbondo.......... 74 4.3.1 Kependudukan...................................................................... 76 4.3.2 Mata Pencaharian Penduduk................................................. 76
i
4.3.3 Tingkat Pendidikan Penduduk............................................... 77 4.4 Kondisi Infrastruktur........................................................................ 4.4.1 Aksesibilitas........................................................................ 4.4.2. Kelistrikan........................................................................... 4.4.3. Sarana Air Bersih................................................................ 4.4.4. Telekomunikasi................................................................... 4.4.5. Sarana Pendidikan............................................................... 4.4.6. Sarana Kesehatan................................................................ 4.4.7. Sarana Keagamaan .............................................................
79 79 80 80 81 82 83 83
4.5 Kondisi Pertanian di Wilyah Kabupaten Situbondo....................... 4.5.1. Sistem Pertanian.................................................................. 4.5.2 Pemanfaatan Lahan ……………………………………… 4.5.3 Produksi dan Produktivitas Komoditas Pertanian.............. 4.5.4 Produksi dan Produktivitas Komoditas Peternakan............ 4.5.5 Kelembagaan....................................................................... 4.6 Kondisi Sistem Agribisnis Kawasan .............................................. 4.6.1. Subsistem Agribisnis Hulu ................................................. 4.6.2. Subsistem Agribisnis Budidaya Peternakan ....................... 4.6.3. Subsistem Agribisnis Hilir .................................................. 4.6.4. Subsistem Jasa Penunjang Agribisnis .................................
85 85 86 87 89 92 93 93 94 95 96
V. IDENTIFIKASI POTENSI WILAYAH KABUPATEN SITUBONDO Abstrak.....................................................................................................
97
5.1 Pendahuluan...................................................................................... 98 5.2 Metode Analisis Identifikasi Potensi Wilayah Kabupaten Situbondo........................................................................................
99
5.3 Hasil dan Pembahasan Analisis Potensi Wilayah Berbasis Peternakan Sapi Potong Terpadu di Kabupaten Situbondo............ 104 5.4 Kesimpulan...................................................................................... 119 VI. TINGKAT PERKEMBANGAN WILAYAH KABUPATEN SITUBONDO.......................................................................................... 122 Abstrak..................................................................................................... 122 6.1
Pendahuluan.................................................................................... 123
6.2
Metode Analisis Kajian Tingkat Perkembangan Wilayah Kabupaten Situbondo...................................................................... 123
6.3
Hasil dan Pembahasan Analisis Tingkat Perkembangan Wilayah Kabupaten Situbondo....................................................................... 126 6.3.1 Tipologi Wilayah Kabupaten Situbondo............................... 126 6.3.2 Perkembangan Wilayah Berdasarkan Kelengkapan Fasilitas................................................................................. 131 6.3.3 Persepsi Masyarakat dan Alternatif Pengambilan Keputusan untuk Pengembangan Kawasan Agropolitan...... 139
ii
6.4 Kesimpulan........................................................................................ 143 VII. STATUS KEBERLANJUTAN WILAYAH KABUPATEN SITUBONDO.......................................................................................... 146 Abstrak..................................................................................................... 146 7.1 Pendahuluan...................................................................................... 147 7.2 Metode Analisis Status Keberlanjutan Wilayah Kabupaten Situbondo........................................................................................... 149 7.3 Hasil dan Pembahasan Analisis Status Keberlanjutan Wilayah Kabupaten Situbondo........................................................................ 158 7.4 Kesimpulan........................................................................................ 179 VIII. MODEL PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN DI KABUPATEN SITUBONDO......................................................... 181 Abstrak...................................................................................................... 181 8.1
Pendahuluan.................................................................................... 182
8.2
Metode Analisis Sistem Kawasan Peternakan Sapi Potong Terpadu di Kabupaten Situbondo ................................................... 183 8.3 Hasil dan Pembahasan Sistem Kawasan Peternakan Sapi Potong Terpadu di Kabupaten Situbondo ................................................... 193 8.3.1. Simulasi Model Pengembangan Kawasan Agropolitan Berbasis Peternakan Sapi Potong Terpadu............................ 193 8.3.2. Simulasi Skenario Model Pengembangan Kawasan Agropolitan Berbasis Paternakan Sapi Potong Terpadu ..... 208 8.3.3. Konsep Pengembangan Agribisnis Peternakan Sapi Potong Terpadu yang Diharapkan..................................................... 217 8.3.4. Uji Validasi Model................................................................ 232 8.3.5. Uji Kestabilan dan Sensitivitas Model................................... 234 8.4 Kesimpulan......................................................................................... 235 IX. PEMBAHASAN UMUM ........................................................................ 242 X.
REKOMENDASI KEBIJAKAN............................................................ 250 10.1 Kebijakan Umum............................................................................... 250 10.2 Kebijakan Operasional....................................................................... 251
XI. KESIMPULAN DAN SARAN............................................................... 257 11.1 Kesimpulan........................................................................................ 257 11.2 Saran-saran .............. ........................................................................ 261 DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 262 LAMPIRAN ..................................................................................................... 269
iii
DAFTAR TABEL Halaman
1
Populasi ternak (ekor) di Kabupaten Situbondo……………………………
3
2
Jumlah aktivitas ekonomi dan infrastruktur di Kabupaten Situbondo dan Kota Surabaya ……………………………………………………………..
13
3
Jenis, sumber data, dan metode analisis model pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan di Kabupaten Situbondo ...........................
65
Luas kecamatan lokasi penelitian pada tahun 2008 .....................................
73
5. Luas penyebaran tanah di lokasi penelitian pada tahun 2008 .....................
73
6. Jumlah penduduk di lokasi penelitian pada tahun 2008 ..............................
76
7. Jumlah dan persentase penduduk Kabupaten Situbondo menurut mata pencaharian pada tahun 2008........................................................................
77
8. Jumlah penduduk menurut mata pencaharian di lokasi penelitian pada tahun 2008 .....................................................................................................
77
9. Jumlah penduduk berdasarkan pendidikan di lokasi penelitian pada tahun 2008 ..........................................................................................................
78
10. Jarak antara ibukota kecamatan dan kota Situbondo ..................................
79
11. Jumlah listrik masuk desa di lokasi penelitian pada tahun 2008 ..................
80
12. Jumlah sarana telekomunikasi di lokasi penelitian pada tahun 2008 ...........
81
13. Jumlah lembaga pendidikan di Kabupaten Situbondo pada tahun 2008 ......
82
14. Jumlah lembaga pendidikan di lokasi penelitian pada tahun 2008 ..............
82
15. Jumlah sarana kesehatan di lokasi penelitian pada tahun 2008...................
83
16. Jumlah tempat ibadah di lokasi penelitian pada tahun 2008 .......................
84
17. Jumlah sarana keagamaan di lokasi penelitian pada tahun 2008 ................
84
18. Luas wilayah menurut penggunaan tanah di Kabupaten Situbondo tahun 2008 ..........................................................................................................
86
19. Luas pemanfaatan tanah (ha) di lokasi penelitian pada tahun 2008 .............
87
4
iv
20. Luas panen, produksi, dan rataan komoditas pertanian pada tahun 2008 ....
88
21. Luas panen dan produksi tanaman pangan di lokasi penelitian pada tahun 2008 ..........................................................................................................
88
22. Luas areal dan produksi tanaman perkebunan pada tahun 2008 ..................
89
23. Populasi ternak ruminansia dan unggas dari tahun 2003 – 2007 ................
90
24. Populasi ternak ruminansia dan unggas di lokasi penelitian pada tahun 2007 ..........................................................................................................
91
25. Jumlah ternak ruminansia dan unggas yang dipotong di Kab. Situbondo dari tahun 2003 – 2007.............................................................................
91
26. Jumlah ternak ruminansia dan unggas yang dipotong di lokasi penelitian pada tahun 2007 ......................................................................................
92
27. Produksi daging, telur, susu, dan kulit di Kabupaten Situbondo dari tahun 2004 – 2007 ..............................................................................................
92
28. Jumlah lembaga keagamaan di lokasi penelitian pada tahun 2007 .............
93
29. Nilai LQ beberapa jenis ternak di wilayah Kabupaten Situbondo ..............
104
30. Nilai LQ beberapa jenis tanaman pangan di wilayah Kabupaten Situbondo.
107
31. Nilai LQ beberapa jenis tanaman perkebunan di wilayah Kabupaten Situbondo........................................................................................................
111
32. Penilaian komoditas ternak di Wilayah Kabupaten Situbondo tahun 2007 .
112
33. Penilaian komoditas tanaman pangan di Wilayah Kabupaten Situbondo tahun ..........................................................................................................
113
34. Penilaian komoditas tanaman perkebunan di Wilayah Kabupaten Situbondo tahun 2007 .................................................................................................
114
35. Hasil analisis usahatani beberapa komoditas peternakan di Kabupaten Situbondo .................................................................................................
116
36. Hasil analisis usahatani beberapa komoditas pertanian di Kabupaten Situbondo ..................................................................................................
118
v
37. Keragaman variabel yang menggambarkan perkembangan wilayah Kabupaten Situbondo ................................................................................
127
38. Tipologi wilayah desa pada lima kecamatan di wilayah Kabupaten Situbondo berdasarkan kemiripan karakteristiknya.....................................
130
39. Hierarkhi wilayah desa di lima kecamatan basis peternakan di Kabupaten Situbondo berdasarkan kelengkapan fasilitas .............................................
136
40. Tingkat perkembangan desa di lima kecamatan basis peternakan di Kabupaten Situbondo berdasarkan analisis sentralitas ...............................
138
41. Atribut-atribut dan skor keberlanjutan pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan ................................................................................... .
153
42. Kategori status keberlanjutan pengembangan kawasan agropolitan berdasarkan nilai indeks hasil analisis Rap-BANGKAPET ........................
153
43. Pedoman penilaian prospektif dalam pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan ...................................................................................
155
44. Pengaruh antar faktor dalam pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan .................................................................................................
156
45. Perbedaan nilai indeks keberlanjutan analisis Monte Carlo dengan Analisis Rap-BANGKAPET ...................................................................................
174
46. Hasil analisis Rap-BANGKAPET untuk nilai stress dan koefisien determinasi (R2) ........................................................................................
174
47. Faktor-faktor kunci yang berpengaruh dalam pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan di Kabupaten Situbondo .............................
175
48. Analisis kebutuhan aktor/stakeholder dalam pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan di Kabupaten Situbondo ...........................
185
49. Simulasi perkembangan pemanfaatan lahan agropolitan (ha) di wilayah basis peternakan di Kabupaten Situbondo.....................................................
198
50. Simulasi jumlah penduduk dan jumlah peternak di wilayah berbasis peternakan di Kabupaten Situbondo tahun 2004 – 2024................................
203
51. Simulasi jumlah sapi potong (ekor) di wilayah berbasis peternakan di Kabupaten Situbondo tahun 2004 – 2025 ......................................................
204
vi
52. Simulasi produk olahan hasil ternak dan jumlah agroindustri di kawasan agropolitan berbasis peternakan di Kabupaten Situbondo tahun 2004-2025 ... 206 53. Simulasi limbah industri peternakan (kg) di kawasan agropolitan berbasis peternakan di Kabupaten Situbondo tahun 2004-2025................................ .... 207 54. Simulasi skenario sumbangan PDRB (Rp) di kawasan agropolitan berbasis peternakan sapi potong terpadu ..................................................................... 215 55. Konsep pengembangan peternakan sapi potong terpadu di Kabupaten Situbondo ..................................................................................................... 231 56. Perbandingan jumlah sapi potong aktual dan hasil simulasi di wilayah berbasis peternakan sapi potong terpadu di Kabupaten Situbondo tahun 2004-2007 .................................................................................................... 234 57. Beberapa kegiatan yang dapat dilakukan petani, Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Situbondo, Pemerintah Daerah Tingkat I Provinsi Jawa Timur, dan Pemerintah Pusat …………....................................................................... 256
vii
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Kerangka pemikiran penelitian model pengembangan kawasan agropolitan berkelanjutan berbasis peternakan sapi potong terpadu ....................................
11
2. Skema perumusan masalah model pengembangan kawasan agropolitan berkelanjutan berbasis peternakan sapi potong terpadu di Kab. Situbondo .......
15
3. Contoh model agribisnis di kawasan agropolitan ..............................................
28
4. Lingkup pembangunan agribisnis peternakan...................................................
36
5. Pohon industri ternak .......................................................................................
40
6. Pola umum saluran tataniaga ternak .................................................................
41
7. Usaha agribisnis peternakan yang ramah lingkungan .......................................
46
8. Pola usahatani peternakan sapi potong terpadu dengan tanaman pangan dan perkebunan……………………………………………………………………..
52
9.
Lokasi penelitian ............................................................................................
63
10. Tahapan dan metode analisis data penelitian pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan sapi potong terpadu di Kabupaten Situbondo.
67
11 Dendrogram koefisien korelasi beberapa variabel penciri tipologi desa di lima kecamatan di Kabupaten Situbondo ............................................................... 129 12 Pengetahuan masyarakat tentang agropolitan ................................................... 140 13 Sumber informasi mengenai agropolitan .......................................................... 140 14 Pengembangan kawasan agropolitan akan dapat menciptakan lapangan kerja .. 141 15 Pengembangan kawasan agropolitan dapat memberikan keuntungan ekonomi . 142 16 Kondisi jalan di kecamatan .............................................................................. 142 17 Pemberdayaan masyarakat dalam agropolitan ................................................. 143 18 Ilustrasi indeks keberlanjutan pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan sebesar 50 % (berkelanjutan) ......................................................... 154
viii
19 Ilustrasi indeks keberlanjutan setiap dimensi pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan ....................................................................... 154 20 Penentuan elemen kunci pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan ....................................................................................................... 157 21 Diagram layang (kite diagram) nilai indeks keberlanjutan wilayah Kabupaten Situbondo ........................................................................................................ 159 22 Peran masing-masing atribut aspek ekologi yang dinyatakan dalam bentuk nilai root mean square (RMS) ........................................................................ 162 23 Peran masing-masing atribut aspek ekonomi yang dinyatakan dalam bentuk nilai root mean square (RMS) ........................................................................ 165 24 Peran masing-masing atribut aspek sosial budaya yang dinyatakan dalam bentuk nilai root mean square (RMS) ............................................................. 167 25 Peran masing-masing atribut aspek infrastruktur dan teknologi yang dinyatakan dalam bentuk nilai root mean square (RMS) ................................. 169 26 Peran masing-masing atribut aspek hukum dan kelembagaan yang dinyatakan dalam bentuk nilai root mean square (RMS) ................................................... 172 27 Indeks keberlanjutan multidimensi wilayah Kabupaten Situbondo ................... 173 28 Hasil analisis tingkat kepentingan faktor-faktor yang berpengaruh pada sistem yang dikaji ...................................................................................................... 178 29 Diagram input-output (black box) pengembangan kawasan agropolitan berkelanjutan berbasis peternakan sapi potong terpadu ...................................... 188 30 Diagram lingkar sebab akibat (causal loop) pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan sapi potong terpadu ........................ ................ 189 31 Struktur model dinamik pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan di Kabupaten Situbondo..................................................................... 196 32 Sub model pengembangan lahan agropolitan…………………………………… 197 33 Sub model budidaya sapi potong ..................................................................... 200 34 Simulasi jumlah penduduk dan jumlah peternak di wilayah berbasis peternakan di Kabupaten Situbondo tahun 2004 – 2024...................................... 202
ix
35 Sub model pengembangan industri pengolahan hasil ternak .............................. 205 36 Sumbangan PDRB (Rp) pada beberapa skenario di kawasan agropolitan berbasis peternakan sapi potong terpadu .......................................................... 216
x
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1
Hasil analisis loqation quotient (LQ) beberapa komoditas pertanian di Kabupaten Situbondo............................................................................................
269
Hasil analisis komoditas unggulan dan andalan komoditas peternakan di Kabupaten Situbondo........................................................................................... .
275
3
Hasil analisis usahatani komoditas peternakan di Kabupaten Situbondo ............
275
4
Nilai strata masing-masing kecamatan wilayah berbasis peternakan di Kabupaten Situbondo berdasarkan hasil analisis tipologi ...................................
279
Hasil analisis komponen utama (AKU) terhadap variabel yang berpengaruh pada tipologi wilayah berbasis peternakan di Kabupaten Situbondo ...................
280
Karekteristik desa-desa di kecamatan berbasais peternakan di Kabupaten Situbondo ............................................................................................................ .
282
7 Tingkat perkembangan desa wilayah berbasis peternakan di Kabupaten Situbondo berdasarkan hasil analisis sentralitas ..................................................
284
2
5
6
8
Nilai skor pendapat pakar existing condition dimensi keberlanjutan wilayah berbasis peternakan di Kabupaten Situbondo ...................................................
286
Nilai indeks lima dimensi keberlanjutan wilayah berbasis peternakan di Kabupaten Situbondo ......................................................................................
290
10 Sistem penggaduhan sapi potong di Kabupaten Situbondo.................................
296
11 Hasil analisis usahatani penggemukan sapi potong ............................................
297
12 Hasil analisis usahatani penggemukan sapi potong/ekor (kondisi eksisting).....
297
13 Hasil analisis usahatani pembibitan sapi potong/ekor (kondisi eksisting).........
298
14 Hasil analisis usahatani tanaman padi/hektar/musim (intensif)...........................
299
15 Hasil analisis usahatani jagung/hektar/musim (intensif).....................................
300
16 Hasil analisis usahatani tebu kepras/hektar/musim/tahun (intensif)....................
301
9
xi
17 Hasil analisis usahatani penggemukan sapi potong (2 ekor/tahun)..................... 302 18 Hasil analisis usahatani penggemukan sapi potong secara intensif (4 ekor/tahun) ..................................................................................................... 302 19 Usahatani Rumput Raja per ha............................................................................ 303 20 Asumsi model pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan di Kabupaten Situbondo ........................................................................................ 305
xii
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Dalam rangka mempercepat pembangunan pertanian dan perdesaan, pemerintah pada tahun 2002 mencanangkan Program Pengembangan Kawasan Agropolitan. Program ini mencakup aspek fisik, sosial, dan ekonomi yang basis pengembangannya adalah daerah pusat pertumbuhan perdesaan, yaitu sentra pertanian (Deptan 2002). Melalui pembangunan tersebut diharapkan dapat menyeimbangkan pembangunan dan mengurangi disparitas desa-kota, serta perlu memperhatikan aspek lingkungan, karena pengembangan kawasan agropolitan akan mempengaruhi lingkungan yang memerlukan biaya cukup besar. Pembangunan pertanian haruslah sinergi dengan pembangunan wilayah perdesaan, yaitu memiliki tujuan untuk meningkatkan taraf kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. potensial
dengan
Untuk mencapai tujuan tersebut, pengembangan kawasan basis
perdesaan
sebagai
pusat
pertumbuhan
dengan
mentransformasikan perdesaan menjadi kota-kota pertanian atau dikenal dengan pengembangan kawasan agropolitan merupakan salah satu pilihan strategis yang tepat. Agropolitan dapat diartikan sebagai kota pertanian yang tumbuh dan berkembang karena berjalannya sistem dan usaha agribisnis serta mampu melayani, mendorong, menarik, menghela kegiatan pembangunan pertanian (agribisnis) di wilayah sekitarnya (Deptan 2002). Kota pertanian ini diharapkan dapat berfungsi sebagai pusat pertumbuhan ekonomi yang mendorong pertumbuhan pembangunan perdesaan dan desa-desa hinterland atau wilayah sekitarnya melalui pengembangan ekonomi yang tidak terbatas sebagai pusat pelayanan sektor pertanian, tetapi juga pembangunan sektor secara luas seperti usaha pertanian (tanaman pangan, perkebunan, peternakan, dan perikanan), industri kecil, pariwisata, jasa pelayanan, dan pelayanan lainnya.
2
Menurut Rustiadi et al. (2006) bahwa pengembangan kawasan agropolitan, pada dasarnya memiliki keunggulan-keunggulan, yaitu: (1) mendorong ke arah terjadinya desentralisasi
pembangunan maupun kewenangan, (2) menanggulangi
hubungan saling memperlemah antara perdesaan dan perkotaan, dan (3) menekankan kepada pengembangan ekonomi yang berbasis sumberdaya lokal dan diusahakan dengan melibatkan sebesar mungkin masyarakat perdesaan itu sendiri. Menurut UU No. 26 Tahun 2007 bahwa kawasan agropolitan ini terdiri atas satu atau lebih pusat kegiatan pada wilayah perdesaan sebagai sistem produksi pertanian dan pengelolaan sumberdaya alam tertentu yang ditunjukkan oleh adanya kegiatan fungsional dan hierarki keruangan satuan sistem permukiman dan sistem agribisnis. Kabupaten Situbondo merupakan daerah agraris. Hal ini disebabkan sebagian besar wilayah ini dimanfaatkan untuk lahan pertanian. Beberapa tahun belakangan ini lahan pertanian di Kabupaten Situbondo mempunyai permasalahan utama yang sangat serius, yaitu ketersediaan pasokan air dari Sungai Sampean yang selama ini menjadi andalan petani Kabupaten Situbondo untuk pengairan lahan pertanian, ketersediaannya semakin berkurang.
Hal ini disebabkan hutan di hulu Sungai
Sampean banyak yang rusak, apalagi kalau menghadapi musim kemarau yang sangat panjang. Petani yang sebelumnya bisa menanam padi sepanjang tahun (3 kali per tahun), saat ini paling banyak 1-2 kali dalam setahun dan sisanya ditanami palawija. Untuk meningkatkan pendapatan, selain menanam tanaman pangan (padi, kedele, jagung, kacang tanah, kacang hijau, ketela pohon, dan lain sebagainya), petani juga banyak yang beternak secara semi intensif maupun intensif.
Jenis ternak yang
dipelihara, antara lain: sapi potong, kambing, domba, kerbau, ayam bukan ras (buras), ayam ras, dan itik. Animo masyarakat Kabupaten Situbondo sangat tinggi terhadap sub sektor peternakan, khususnya peternakan sapi potong (misalnya: Sapi Simental, Hereford, Limousin, Brahman, Brangus, dan Peranakan Onggole) serta domba dan kambing. Peternakan sapi potong beberapa tahun terakhir ini mengalami kemajuan yang cukup signifikan dan menarik animo masyarakat.
Hal ini disebabkan
keuntungan dari beternak sapi potong cukup menjanjikan dan keuntungan dari usaha pertanian
tanaman
pangan
semakin
menurun
dan
prospeknya
kurang
3
menggembirakan. Selain itu harga-harga sarana produksi pertanian (seperti: bibit, pupuk, obat-obatan, dan tenaga kerja) semakin meningkat serta ketersediaan lahan pertanian semakin berkurang, Populasi ternak 5 (lima) tahun terakhir mulai tahun 2003 sampai dengan 2007 pada umumnya menunjukkan peningkatan seperti terlihat pada Tabel 1.
No
Tabel 1 Populasi ternak (ekor) di Kabupaten Situbondo tahun 2003-2007 Jenis Ternak 2003 2004 2005 2006 2007
1 Sapi Potong 134 799 135 068 136 253 2 Sapi Perah 67 72 72 3 Kerbau 732 735 733 4 Kambing 47 465 47 804 48 222 5 Domba 77 292 77 872 78 540 6 Ayam Buras 564 321 568 222 562 116 7 Ayam Ras 24 900 25 500 26 529 8 Itik 45 069 45 600 46 893 Sumber: Bappekab dan BPS Kabupaten Situbondo 2008
137 058 73 735 48 507 78.993 557 916 27 618 47 753
137 361 60 721 48 601 79 108 530 988 29 000 48 295
Di Kabupaten Situbondo Jawa Timur peternakan sapi potong mempunyai potensi yang sangat baik untuk dikembangkan dan telah ditetapkan sebagai komoditas unggulan daerah. Kebijakan ini sangat direspon oleh masyarakat berdasarkan 6 (enam) fakta di lapangan. Pertama, permintaan pasar terhadap komoditas peternakan cukup tinggi. Hal ini dicerminkan oleh banyaknya ternak yang dipotong dan ternak yang keluar setiap tahunnya di Kabupaten Situbondo. Untuk tahun 2007 jumlah ternak yang dipotong sebagai berikut: 8 464 ekor Sapi Potong; 727 ekor Kambing; 2 733 ekor Domba; 693 027 ekor Ayam Buras; dan 741 210 ekor Ayam Ras. Jumlah ternak yang keluar adalah sebagai berikut: 20 407 ekor Sapi Potong; 128 ekor Kerbau; 495 ekor Kuda; 20 933 ekor Kambing; 31 886 ekor Domba (Bappekab dan BPS Kabupaten Situbondo 2008). Kedua, potensi lahan yang tersedia dan ketersediaan sumber pakan sangat mendukung untuk pengembangan usaha peternakan. Kondisi ini ditunjukkan oleh pemanfaatan tanah di Kabupaten Situbondo untuk kehutanan (44.80 %), sawah (18.56 %); pertanian tanah kering
4
(17.09 %); padang rumput (4.56 %) dari total luas wilayah 163 850 ha.
Pada
umumnya jenis tanahnya adalah: Aluvial, Gleysol, dan Regosol, dengan tingkat kemiringan lahan:
0-2 % (27.22 %) dan 2-15 % (21.24 %). Kedalaman efektif
tanah: 91 cm lebih (36.07 %) dan 60 – 90 cm (30.63 %), sedangkan tekstur tanah termasuk sedang (debu, lempung berdebu, lempung, dan lempung berpasir sangat halus) adalah
(96.26 %) dan drainase tanah termasuk tidak pernah tergenang
sebanyak 99.42 % (Bappekab dan BPS Kabupaten Situbondo 2008). Sumber pakan yang tersedia di daerah ini cukup memadai karena peternak selain memanfaatkan padang rumput, lahan-lahan kosong (tepi jalan, kebun, pekarangan, tegal, sempadan sungai, tanggul irigasi) untuk di tanami rumput unggul (Rumput Benggala, Gajah, dan Raja), peternak juga memanfaatkan sebagian lahan kehutanan dan limbah tanaman pangan (jerami padi, daun ketela pohon, daun jagung, daun kacang tanah, daun kedelai, dan pucuk tebu) yang cukup banyak di daerah ini, serta limbah agroindustri (dedak padi, ampas tahu, ampas kecap, dan ampas tebu) yang terdapat di sekitar lokasi peternak. Ketiga, kesesuaian kondisi agroklimat. Seperti halnya daerah lain di Indonesia, Kabupaten Situbondo memiliki iklim tropis yang ditandai dengan adanya dua musim, yaitu musim kemarau dan musim penghujan. Musim kemarau atau panas berlangsung antara bulan Mei – September, sedangkan musim penghujan berlangsung antara bulan Oktober – April dengan curah hujan rata-rata 994 mm hingga 1 053 mm/tahun dengan temperatur lebih kurang antara 24.7 0C – 27.9 0C. Kondisi ini cukup ideal untuk pengembangan usaha peternakan, terutama untuk ternak ruminansia. Keempat, budaya masyarakat dan tenaga kerja yang terdapat di daerah ini cukup mendukung pengembangan usaha peternakan. Jumlah penduduk di Kabupaten Situbondo sampai dengan tahun 2007 adalah sebesar 638 537 jiwa, yang terdiri atas 311 119 jiwa penduduk laki-laki dan 327 338 jiwa penduduk perempuan. Dengan luas wilayah 1 638.50 km2, maka kabupaten Situbondo memiliki kepadatan penduduk sebesar 390 jiwa/km2. Sebagian besar masyarakat Kabupaten Situbondo adalah Suku Madura dan Jawa yang banyak bekerja di bidang pertanian (tanaman pangan, perkebunan, peternakan, dan perikanan) karena daerah ini dikenal daerah agraris.
Kondisi ini sangat mendukung perkembangan usaha peternakan, karena
5
masyarakat sudah tidak asing lagi dengan dunia peternakan, terutama peternakan sapi potong (Sapi Madura, Peranakan Onggole, Simental, Brahman, Brangus, Limousin, dan Hereford), domba, serta kambing. Kelima, dukungan pemerintah daerah terhadap sektor peternakan cukup baik. Hal ini ditandai dengan disediakannya fasilitas-fasilitas peternakan, seperti: rumah potong hewan (RPH) sebanyak 3 (tiga) unit, pasar hewan sebanyak 3 (tiga) unit, petugas inseminasi buatan (IB) tersebar pada setiap kecamatan sebanyak 17 (tujuh belas) unit dengan jumlah petugas IB sebanyak 1-2 orang, demikian juga Poskeswan terdapat pada setiap kecamatan, penyediaan bibit rumput unggul (rumput gajah, rumput raja, dan setaria) tersedia di Dinas Peternakan Tingkat II Kabupaten Situbondo. Keenam, pasar produk peternakan memberikan peluang pasar yang sangat baik.
Selain produk peternakan untuk mencukupi kebutuhan
masyarakat Kabupaten Situbondo, juga untuk melayani permintaan dari kota-kota lain seperti Surabaya, Malang, dan Jakarta. Hal ini ditunjukkan oleh banyaknya ternak dan unggas yang dipotong serta ternak yang keluar setiap tahunnya. Kontribusi
sektor
peternakan
dan
hasil-hasilnya
pada
tahun
2007
dapat
menyumbangkan produk domestik regional bruto (PDRB) sebanyak 9.87 % atau sebesar Rp 146 804 670 000,- (Bappekab dan BPS Kabupaten Situbondo 2008). Pengembangan sapi potong di Kabupaten Situbondo sangat mendapat dukungan dari masyarakat, Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Situbondo, Pemerintah Daerah Tingkat I Provinsi Jawa Timur, maupun Pemerintah Pusat.
Hal ini
disebabkan pemerintah kembali mencanangkan program untuk mewujudkan swasembada daging sapi, yaitu Program Swasembada Daging Sapi 2014 (PSDS2014), yang merupakan kelanjutan program sebelumnya, yaitu Swasembada Daging 2005 dan Program Percepatan Swasembada Daging Sapi (P2SDS) 2010 yang kedua program ini telah ”gagal” dicapai. Saat ini PSDS 2014 merupakan salah satu program dari 21 program utama Departemen Pertanian terkait dengan upaya mewujudkan ketahanan pangan hewani asal ternak berbasis sumberdaya domestik. Program ini juga merupakan peluang untuk dijadikan pendorong dalam mengembalikan Indonesia sebagai eksportir sapi seperti masa lalu. Ada 11 (sebelas) langkah pendekatan yang akan dilakukan dalam mencapai sasaran PSDS tahun 2014 yaitu: (1) pengembangan
6
pembibitan, (2) penyediaan bibit melalui kredit usaha pembibitan sapi (KUPS), (3) optimalisasi insemininasi buatan dan intensifikasi kawin alam, (4) penyediaan dan pengembangan mutu pakan, (5) pengembangan usaha, (6) pengembangan integritas, (7) penanggulangan gangguan reproduksi dan peningkatan pelayanan kesehatan hewan, (8) peningkatan kualitas rumah potong hewan, (9) pencegahan pemotongan betina produktif, (10) pengendalian sapi import bakalan dan daging serta (11) pengendalian distribusi dan pemasaran. Diharapkan melalui sejumlah program, penyediaan daging sapi dari dalam negeri diproyeksikan meningkat dari 67 persen pada tahun 2010 menjadi 90 persen pada 2014 dan populasi sapi potong ditargetkan meningkat dari 12 juta ekor pada tahun 2009 menjadi 14.6 juta ekor pada tahun 2014 (Meilani 2009). Sebagai suatu sistem, pengembangan peternakan sapi potong pada saat ini masih menghadapi berbagai kendala.
Menurut
Dinas Peternakan Kabupaten
Situbondo (2006) bahwa permasalahan-permasalahan yang sering muncul di daerah ini adalah: (1) harga obat hewan yang semakin tinggi, (2) kesulitan untuk memperoleh bibit, (3) kesulitan untuk akses ke sumber modal, (4) rendahnya nilai tambah yang diperoleh peternak, (5) rendahnya angka kelahiran dan masih tingginya angka kematian ternak, (6) masih tingginya angka pemotongan ternak betina produktif, (7) manajemen pakan yang kurang baik, (8) masih rendahnya tingkat keberhasilan teknologi inseminasi buatan, dan (9) rendahnya upaya pemanfaatan limbah pertanian sebagai sumber pakan dan kotoran ternak sebagai pupuk organik secara intensif. Program pengembangan kawasan agropolitan yang menekankan pada aspek agribisnis berbasis pertanian tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, dan perikanan belum banyak diselenggarakan pada berbagai daerah di Indonesia. Sumberdaya peternakan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dapat diperbarui (renewable) dan berpotensi untuk dikembangkan guna meningkatkan dinamika ekonomi daerah. Hal ini, menurut Saragih (2000) didasarkan atas 4 (empat) pertimbangan. Pertama, kegiatan peternakan relatif bersifat tidak tergantung pada ketersediaan lahan dan tidak terlalu menuntut kualitas tenaga kerja yang tinggi.
7
Kedua, kegiatan budidaya peternakan memiliki kelenturan bisnis dan teknologi yang luas dan luwes. Ketiga, produk peternakan merupakan produk yang memiliki nilai elastisitas permintaan terhadap perubahan pendapatan yang tinggi. Keempat, sifat produk peternakan yang memiliki nilai elastisitas permintaan terhadap perubahan pendapatan yang tinggi dan kegiatan peternakan yang dilihat sebagai suatu sistem agribisnis, akan mampu menciptakan kesempatan kerja, kesempatan berusaha dan peningkatan pendapatan, mulai pada agribisnis hulu, budidaya, agribisnis hilir, dan kegiatan jasa terkait tranportasi, dan perbankan. Untuk mendapatkan manfaat yang optimal, pengembangan pengelolaan peternakan perlu memenuhi kriteria pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang mempersekutukan antara kepentingan ekonomi, sosial budaya, dan kelestarian ekologi (Saragih dan Sipayung
2002).
Diharapkan dengan
menerapkan pengembangan kawasan agropolitan secara berkelanjutan berbasis peternakan, dapat meningkatkan pendapatan petani/peternak dan kontribusi terhadap pendapatan asli daerah (PAD), menyerap tenaga kerja dan memeratakan pendapatan, mengaplikasikan teknologi untuk meningkatkan produktivitas, patuh hukum serta berfungsinya kelembagaan peternakan. Dengan demikian, diperlukan penelitian yang komprehensif untuk merumuskan kebijakan dan skenario pengembangan kawasan agropolitan secara berkelanjutan berbasis peternakan terpadu. Sejalan dengan program pembangunan ekonomi nasional bidang pertanian, sektor peternakan memiliki peranan penting dalam upaya mendukung program peningkatan ketahanan pangan dan pengembangan agribisnis.
Sektor Peternakan
berpotensi besar untuk dikembangkan tidak hanya sebagai penghasil daging, susu, dan telur yang merupakan komponen penting dalam rantai pangan modern serta sumber protein hewani yang bernilai tinggi, akan tetapi juga penting dilihat dari fungsi non pangan seperti penyerapan tenaga kerja, penyediaan tenaga kerja ternak, daur ulang nutrisi (nutrient recycling), kotoran ternak yang dapat mengkompensasi kurangnya akses terhadap input modern seperti pupuk dan gas, serta fungsi lainnya dalam membantu mempertahankan kelangsungan hidup dan kelestarian fungsi lingkungan (Dirjen Bina Produksi Peternakan 2002).
8
Hasil penelitian pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan sapi potong terpadu di Kabupaten Situbondo ini diharapkan dapat mengubah paradigma pembangunan daerah yang selama ini mengalami pengurasan sumberdaya yang berlebihan, menjadi pembangunan perdesaan yang berkelanjutan yang setara dengan kota dengan memandang desa sebagai basis potensial kegiatan ekonomi melalui investasi sarana dan prasarana yang menunjang kegiatan pertanian/peternakan dengan memberdayakan masyarakat lokal.
1.2. Tujuan Penelitian Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk
menyusun suatu model
pengembangan kawasan agropolitan berkelanjutan berbasis peternakan sapi potong terpadu di Kabupaten Situbondo dalam rangka meningkatkan taraf kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Untuk mencapai tujuan utama tersebut, maka ada beberapa kegiatan yang perlu dilakukan sebagai tujuan antara, seperti: 1). Menganalisis potensi wilayah berbasis peternakan di Kabupaten Situbondo. 2). Menganalisis tingkat perkembangan wilayah berbasis peternakan di Kabupaten Situbondo. 3). Menganalisis
status keberlanjutan
wilayah
berbasis
peternakan di
Kabupaten Situbondo. 4). Menganalisis sistem kawasan peternakan sapi potong terpadu di Kabupaten Situbondo. 5). Merumuskan kebijakan dan skenario strategi pengembangan kawasan agropolitan
berbasis peternakan sapi potong terpadu di Kabupaten
Situbondo.
1.3. Kerangka Pemikiran Kebijakan pembangunan nasional mengamanatkan bahwa pendayagunaan sumberdaya alam sebagai pokok-pokok kemakmuran rakyat dilakukan secara terencana, rasional optimal bertanggungjawab, dan sesuai dengan kemampuan daya dukungnya dengan mengutamakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat serta
9
memperhatikan fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup bagi pembangunan yang berkelanjutan. Namun proses pembangunan yang dilaksanakan selama ini, selain memberikan dampak positif seperti diamanatkan dalam kebijakan pembangunan nasional, di sisi lain telah menimbulkan masalah yang cukup besar dan kompleks. Pendekatan pembangunan yang lebih menonjolkan pertumbuhan ekonomi secara cepat tidak bisa dipungkiri telah mengakibatkan terjadinya kesenjangan pembangunan antar wilayah yang cukup besar, dimana investasi dan sumberdaya terserap dan terkonsentrasi di perkotaan dan pusat-pusat pertumbuhan, sementara wilayah-wilayah perdesaan (hinterland) mengalami pengurasan sumberdaya yang berlebihan. Ketidakseimbangan pembangunan antar wilayah/kawasan tentunya akan berdampak semakin buruknya distribusi dan alokasi pemanfaatan sumberdaya yang menciptakan inefisiensi dan tidak optimalnya sistem ekonomi, serta potensi konflik yang cukup besar, dimana wilayah yang dulunya kurang tersentuh pembangunan mulai menuntut hak-haknya.
Di sisi lain akumulasi pembangunan di wilayah
perkotaan dan pusat-pusat pertumbuhan mendorong terjadinya migrasi penduduk ke perkotaan, sehingga kota-kota dan pusat-pusat pertumbuhan mengalami over urbanization, sementara di wilayah perdesaan mengalami krisis tenaga kerja akibat arus urban yang cukup besar. Menyadari terjadinya ketidakseimbangan pembangunan, maka pemerintah telah menyelenggarakan berbagai program-program pengembangan wilayah/kawasan yang didasarkan atas keunggulan-keunggulan komparatif (comparative advantages) berupa upaya-upaya peningkatan produksi dan produktivitas kawasan yang didasarkan atas pertimbangan optimalisasi daya dukung (carryng capacity), kapabilitas (capability), dan kesesuaian (suitability) sumberdaya wilayah diantaranya pembangunan wilayah melalui pengembangan kawasan agropolitan (Rustiadi et al. 2003).
Konsep pengembangan agropolitan pertama kali diperkenalkan Friedmann dan Douglass (1976) sebagai siasat untuk pengembangan perdesaan. konsep ini pada dasarnya memberikan pelayanan perkotaan di kawasan perdesaan atau dengan istilah lain yang digunakan Friedmann adalah ”kota di ladang”. Dengan demikian petani atau masyarakat desa tidak perlu ke kota untuk mendapatkan pelayanan, baik dalam
10
pelayanan yang berhubungan dengan kebutuhan sosial budaya dan kehidupan setiap hari.
Peran agropolitan adalah untuk melayani kawasan produksi pertanian di
sekitarnya dimana berlangsung kegiatan agribisnis oleh para petani setempat. Departeman Pertanian dan Departemen Kimpraswil untuk tahun anggaran 2002 mengangkat agropolitan sebagai isu nasional yang tujuannya untuk mengembangkan sistem dan usaha agribisnis, mendorong dan meningkatkan percepatan pembangunan wilayah, serta meningkatkan keterkaitan desa dan kota di daerah calon kawasan agropolitan. Dalam pengembangan kawasan agropolitan secara berkelanjutan berbasis peternakan sapi potong terpadu, maka perlu dilakukan pengkajian mengenai potensi wilayah dan kendala yang dihadapi dalam mendukung rencana pengembangan kawasan agropolitan tersebut. Gambar 1.
Adapun kerangka pemikiran dapat dilihat pada
11
Pembangunan Wilayah - Non Trickle Down Effect - Backwash Effect - Kemiskinan Tinggi - Urbanisasi ke Kota - SDM Rendah - Infrastuktrur Tidak Lengkap
Perdesaan
Ketimpangan Pembangunan
Pusat Industri, Perdagangan, dan Jasa
Kelestarian Lingkungan
Budidaya
Agroindustri
Akumulasi Pembangunan
Pusat Pertumbuhan Ekonomi
AGROPOLITAN (Peternakan Sapi Potong Terpadu)
KAPET, KUAT, KPP, dll
Produksi
Infrastuktur Lengkap
Perkotaan
Kelembagaan / Kemitraan
Pemasaran
Pemberdayaan Masyarakat
Infrastruktur
Unggulan Lokal
Pengembangan Wilayah
Suprastruktur
Pembangunan Agropolitan Berkelanjutan Berbasis Peternakan Sapi Potong Terpadu
Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian model pengembangan kawasan agropolitan berkelanjutan berbasis peternakan sapi potong terpadu
12
1.4. Perumusan Masalah Kabupaten Situbondo merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi Jawa Timur yang cukup dikenal dengan sebutan Daerah Wisata Pantai Pasir Putih yang letaknya berada di ujung Timur Pulau Jawa bagian Utara. Kabupaten Situbondo merupakan daerah agraris yang memiliki potensi pertanian cukup baik. Potensi sektor pertanian yang memiliki kontribusi terbesar diantaranya adalah produksi pertanian tanaman pangan, peternakan, perkebunan, perikanan, dan kehutanan. Namun seiring dengan perkembangan pembangunan, kenyataan menunjukkan telah terjadi ketimpangan pertumbuhan ekonomi di daerah ini yang disebabkan oleh 2 (dua) hal utama, yaitu: 1). Disparitas pembangunan antara wilayah perkotaan dengan perdesaan. Undang-Undang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, diharapkan memberikan kegairahan bagi pelaksanaan pembangunan Kabupaten dan Kota termasuk di Kabupaten Situbondo, karena memperoleh kewenangan untuk mengatur dirinya sendiri. Namun demikian, salah satu tujuan yang ingin dicapai dalam pembangunan daerah, yaitu pemerataan pembangunan wilayah belum tampak secara optimal. Pembangunan wilayah perkotaan sebagai pusat pertumbuhan yang dicirikan oleh aktivitas ekonomi dominan berupa industri pengolahan, perdagangan dan jasa yang kuat, sumberdaya manusia berkualitas, serta tingkat pelayanan infrastruktur yang cukup dan lengkap
memberikan
kesan
lebih
dominan
dibandingkan
dengan
pembangunan wilayah perdesaan. Sebaliknya wilayah perdesaan didominasi oleh kegiatan sektor pertanian dalam arti luas, kualitas sumberdaya manusia rendah,
kemiskinan,
dan
infrastruktur
yang
terbatas.
Disparitas
pembangunan antara wilayah perkotaan dengan perdesaan dapat dilihat pada Tabel 2.
13
Tabel 2 Jumlah aktivitas ekonomi dan infrastruktur di Kabupaten Situbondo dan Kota Surabaya No Uraian Kabupaten Situbondo Kota Surabaya 1 PDRB (Triliun) 5.104 684.23 2 SLA (Unit) 15 168 3 Perguruan Tinggi (Unit) 3 77 4 Rumah Sakit Umum (Unit) 2 39 5 Puskesmas (Unit) 17 53 Sumber: Bappekab dan BPS Kabupaten Situbondo 2008 serta BPS Kota Surabaya 2008 2). Perbedaan tingkat
kesejahteraan antara masyarakat
perkotaan dan
perdesaan. Berkembangnya kota sebagai pusat-pusat pertumbuhan, ternyata tidak memberikan efek penetesan ke bawah (trickle down effect), tetapi justru menimbulkan efek pengurasan sumberdaya dari wilayah sekitarnya (backwash effect). Hal ini akan menyebabkan wilayah perkotaan tumbuh dengan pesat, sementara wilayah perdesaan di sekitarnya mengalami pengurasan sumberdaya yang belebihan sehingga terjadi ketimpangan tingkat kesejahteraan dan pembangunan wilayah perkotaan dan perdesaan. Kondisi ini dapat dilihat dari jumlah persentase rumah tangga miskin yang terdapat di wilayah Kabupaten Situbondo sebanyak 15.60% sedangkan di Kota Surabaya sebanyak 7.98% (Bappekab dan BPS Kabupaten Situbondo 2008 serta BPS Kota Surabaya ). Berdasarkan ketimpangan-ketimpangan pertumbuhan ekonomi tersebut di atas serta mengacu pada kerangka pemikiran, maka salah satu pendekatan pengembangan kawasan perdesaan untuk mewujudkan kemandirian pembangunan perdesaan yang didasarkan atas potensi wilayah di Kabupaten Situbondo
adalah dengan
pengembangan kawasan agropolitan yang merupakan konsep pengembangan atau pembangunan
perdesaan
(rural
development)
dengan
mengaitkan
atau
menghubungkan perdesaan dengan pembangunan wilayah perkotaan (urban development) pada tingkat lokal.
14
Konsep pengembangan kawasan agropolitan yang pertama kali diperkenalkan Friedmann dan Douglass pada tahun 1974, sebagai siasat untuk mengembangkan perdesaan. Konsep ini pada dasarnya memberikan pelayanan perkotaan di kawasan perdesaan.
Di Indonesia agropolitan baru diperkenalkan pada tahun 2002 oleh
Departemen Pertanian yang bertujuan untuk: (1) meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani di perdesaan, (2) mendorong berkembangnya sistem dan usaha agribisnis yang
berdaya saing,
berbasiskan kerakyatan dan berkelanjutan,
(3) meningkatkan keterkaitan desa dan kota, (4) mempercepat pertumbuhan kegiatan ekonomi perdesaan yang berkeadilan, (5) mempercepat industrialisasi di wilayah perdesaan, (6) mengurangi arus urbanisasi atau migrasi dari desa ke kota, (7)
memberi peluang
usaha
serta
menciptakan
lapangan
pekerjaan,
dan
(8) meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Dalam rangka menyeimbangkan pembangunan, mengurangi disparitas desa-kota, dan menyiapkan lapangan kerja di desa agar tidak terjadi urbanisasi, pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan sapi potong terpadu di Kabupaten Situbondo merupakan salah satu alternatif yang tepat. Perumusan masalah model pengembangan kawasan agropolitan secara berkelanjutan berbasis peternakan dapat dilihat pada Gambar 2.
15
Pembangunan Wilayah Kabupaten Situbondo
Wilayah Perkotaan : - Pusat Pertumbuhan Ekonomi - Infrastruktur Lengkap, SDM Tinggi - Pusat Industri, Perdagangan, dan Jasa
Wilayah Perdesaan - Backwash Effect - Infrastruktur Tidak Lengkap - Kemiskinan Tinggi, SDM Rendah
Ketimpangan Pembangunan
Pengembangan Kawasan Agropolitan Berkelanjutan Berbasis Peternakan Sapi Potong Terpadu
Analisis Potensi Kawasan (Mengidentifikasi Potensi Wilayah untuk Pengembangan Kawasan Agropolitan Berbasis Peternakan Sapi Potong Terpadu di Kabupaten Situbondo
Analisis Keberlanjutan Kawasan (Menentukan Indeks Keberlanjutan Wilayah Berbasis Peternakan Sapi Potong Terpadu di Kabupaten Situbondo)
Analisis Tingkat Perkembangan Kawasan (Mengetahui Sejauh mana Tingkat Perkembangan Wilayah untuk Mendukung Pengembangan Kawasan Agropolitan Berbasis Peternakan Sapi Potong Terpadu)
Kebijakan Pembangunan Wilayah
Model Pengembangan Kawasan Agropolitan Berkelanjutan Berbasis Peternakan Sapi Potong Terpadu
Gambar 2 Skema perumusan masalah model pengembangan kawasan agropolitan berkelanjutan berbasis peternakan sapi potong terpadu di Kabupaten Situbondo
16
Rumusan permasalahan pengembangan kawasan agropolitan berkelanjutan berbasis peternakan sapi potong terpadu adalah: 1). Bagaimana kondisi dan potensi wilayah Kabupaten Situbondo, Provinsi Jawa Timur menunjang pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan sapi potong terpadu? 2). Bagaimana tingkat perkembangan wilayah Kabupaten Situbondo, Provinsi Jawa Timur untuk menunjang pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan sapi potong terpadu? 3). Bagaimana keberlanjutan potensi wilayah Kabupaten Situbondo, Provinsi Jawa Timur dapat mendukung pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan sapi potong terpadu? 4). Bagaimana sistem pengembangan kawasan agropolitan berkelanjutan berbasis peternakan sapi potong terpadu di Kabupaten Situbondo? 5). Bagaimana rumusan kebijakan dan skenario strategi pengembangan kawasan agropolitan berkelanjutan berbasis peternakan sapi potong terpadu di Kabupaten Situbondo?
1.5. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut: 1). Manfaat bagi pemerintah daerah, dapat dijadikan pedoman untuk menyusun perencanaan pembangunan wilayah khususnya pembangunan perdesaan melalui pengembangan kawasan agropolitan secara berkelanjutan berbasis peternakan sapi potong terpadu. 2). Manfaat bagi masyarakat (stakeholder),
memberikan kontribusi hasil
pemikiran secara ilmiah bagi mayarakat dan pengusaha/investor yang akan menginvestasikan modalnya dalam pengelolaan peternakan sapi potong terpadu secara berkelanjutan di kawasan agropolitan. 3). Manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan, sebagai bahan referensi dan pengkajian lebih lanjut perencanaan pembangunan pedesaan berbasis perkotaan yang berpihak pada optimalisasi di sektor pertanian/peternakan.
17
1.6. Kebaruan (Novelty) Penelitian Dasar pertimbangan dalam menentukan kebaruan (novelty) dalam penelitian ini adalah didasarkan pada beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya baik
yang
menyangkut
pengembangan
kawasan
keberlanjutannya, dan lokasi penelitian dilaksanakan.
agropolitan,
analisis
Penelitian-penelitian yang
berkaitan dengan topik penelitian ini yang telah dilaksanakan terdahulu antara lain: 1.
Hasan (2003), dengan judul penelitian ” Model Tata Ruang Kota Tani yang Berorientasi Ekonomi dan Ekologis (Studi Kasus di Kabupaten Gowa, Provinsi Sulawesi Selatan)”, menyimpulkan bahwa interaksi kawasan kota tani dengan beberapa kawasan sekitarnya (hinterland) adalah salah satu segmen aglomerasi wilayah dalam mengatasi permasalahan dan ketimpangan ekonomik sosial, dan lingkungan yaitu saling melengkapi dalam mengembangkan fungsi kota tani sebagai pusat pelayanan, produksi, dan pemasaran hasil pertanian kawasan.
2.
Departemen Pekerjaan Umum (2005) telah menyusun
Laporan Akhir
”Pengembangan Keterkaitan Infrastruktur Intra dan Inter Kawasan Agropolitan dan Perdesaan”.
Dalam laporan akhir tersebut dirumuskan kebijakan dan
strategi pengembangan kawasan agropolitan dan perdesaan. 3.
Pranoto (2005), dengan judul penelitian Berkelanjutan
”Pembangunan Perdesaan
melalui Model Pengembangan Agropolitan” menyimpulkan
bahwa pengembangan agropolitan sebagai pendekatan pembangunan perdesaan yang berkelanjutan dapat tercapai jika peningkatan
produksi pertanian,
peningkatan sarana dan prasarana pemukiman, transportasi, dan pemasaran disertai dengan peningkatan konservasi sumberdaya alam; pengembangan agribisnis dan pembangunan agroindustri dibarengi dengan perbaikan pemasaran secara berkelanjutan, perencanaan dan pelaksanaan program dibarengi dengan peningkatan peran dan kinerja kelembagaan yang ada. 4.
Thamrin (2008), dengan judul penelitian ”Model Pengembangan Kawasan Agropolitan secara Berkelanjutan di Wilayah Perbatasan Kalimantan Barat (Studi
Kasus
Wilayah
Perbatasan
Kabupaten
Bengkayang-Sarawak).
Menyimpulkan bahwa sebanyak 92 % penduduk setuju jika wilayah ini
18
dijadikan wilayah pengembangan kawasan agropolitan karena mereka yakin dapat menciptakan lapangan kerja (84 %). Adapun alternatif pengembangan kawasan agropolitan yang dapat dilakukan adalah pengembangan kawasan agropolitan terpadu antara agropolitan tanaman pangan dengan peternakan.
Berdasarkan hasil-hasil penelitian tersebut selanjutnya ditemukan kebaruan yang membedakan dengan penelitian terdahulu. Adapun kebaruan (novelty) dalam penelitian ini, yaitu kebaruan dari segi hasil penelitian adalah mempertimbangkan keberlanjutan pembangunan wilayah dari dimensi ekologi, ekonomi, sosial budaya, infrastruktur/teknologi, hukum/kelembagaan, serta tersusunnya skenario strategi pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan sapi potong terpadu di Kabupaten Situbondo.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Ketimpangan Pembangunan Kota dan Desa Orang desa termasuk kelompok yang rendah pendapatannya. Bekerja di bidang pertanian ternyata kurang menarik, karena pendapatannya lebih rendah apabila dibandingkan bekerja di bidang non pertanian. Pada tahun 2003 pendapatan tenaga kerja pertanian sebesar Rp 1 694 619,- per tahun, sementara non pertanian sebesar Rp 7 340 531,- per tahun.
Hal ini berarti bekerja pada bidang pertanian,
pendapatannya hanya sekitar 25 % dari pendapatan apabila bekerja di bidang non pertanian. Bekerja di kota ternyata lebih baik dan menjanjikan dari pada bekerja dengan lumpur di perdesaan (Suwandi 2005). Adanya ketimpangan pembangunan antara desa sebagai produsen pertanian dengan kota sebagai pusat kegiatan dan pertumbuhan ekonomi telah mendorong aliran sumberdaya dari wilayah perdesaan ke kawasan perkotaan secara tidak seimbang. Akibatnya jumlah dan persentase penduduk miskin lebih banyak terdapat di perdesaan dari pada di perkotaan. Berbagai program untuk mengatasi beberapa permasalahan kesenjangan pembangunan wilayah, sebenarnya telah dilakukan sejak Repelita (1968 – 1973). Pada waktu itu pemerintah menetapkan tiga asas dalam menetapkan lokasi proyek pembangunan yaitu efisiensi, perimbangan antar daerah dan perimbangan di dalam daerah. Program tersebut antara lain: 1). Percepatan pembangunan wilayah-wilayah unggulan/potensial berkembang, tetapi relatif tertinggal dengan menetapkan kawasan-kawasan seperti: (a) kawasan andalan (Kadal) dan (b) kawasan pembangunan ekonomi terpadu (Kapet) yang merupakan salah satu Kadal terpilih di tiap provinsi. 2). Program percepatan pembangunan yang bernuansa mendorong pembangunan kawasan perdesaan dan sentra produksi pertanian seperti: (a) kawasan sentra produksi (KSP atau Kasep); (b) pengembangan kawasan tertinggal; dan (c) proyek pengembangan ekonomi lokal. 3). Program-program sektoral dengan pendekatan wilayah seperti: (a) program Bimas dengan pengembangan kelembagaan pelayanan perdesaan dan
20
pengembangan kapasitas petaninya (dilakukan lebih dari 35 tahun); (b) perwilayahan komoditas unggulan; (c) pengembangan sentra industri kecil; (d) pengembangan ekonomi masyarakat pesisir (PEMP); (e) program pengembangan kecamatan (PPK); dan (f) program kemiskinan.
2.2. Pembangunan Perdesaan Menurut Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang didefinisikan kawasan perdesaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumberdaya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Kata kawasan sendiri dapat diartikan sebagai wilayah dengan fungsi utama adalah lindung atau budidaya, sedangkan wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional. Menurut Suwandi (2005), desa
selama
ini
diartikan
sebagai
struktur
pemerintahan dan tidak pernah ditonjolkan desa sebagai aset nasional, aset perekonomian nasional.
Desa tiada lain adalah kawasan fungsional dengan ciri
kegiatan utama adalah sektor pertanian.
Pembangunan perdesaan dan politik
perberasan nasional, yang dilakukan sejak Repelita I, ternyata mematikan desa sebagai desa industri. Coba perhatikan hilangnya kelembagaan lokal dan pemrosesan beras oleh rakyat, tranportasi beras dari desa ke kota, semua itu proses industri menjadi pupus dengan dibangunnya secara sentralistik BULOG. Sikap mencari nilai tambah yang menjadi ciri industri hilang dari perdesaan. Desa sebagai aset perekonomian menjadi mandul, berubah menjadi aparat pelaksana proyek pemerintah. Di era 90-an yang menggaungkan agribisnis, yang mengharapkan bisa menggugah masyarakat desa/petani berbisnis besar yang beroreintasi pasar, tidak bisa juga merubah sikap petani yang sama sekali tidak mencirikan suatu ciri pelaku industri. Petani adalah produsen, produknya adalah produk kotor yang bisnisnya sekedar sampai ke pengepul. Tidak peduli produk itu mau diapakan, mudahnya mendapatkan uang merupakan target satu-satunya yang dikuasai. Itulah agribisnisnya.
21
Adanya krisis multi dimensi menyebabkan konsep pengembangan kawasan agropolitan
dilirik kembali setelah perekonomian
nasional terpuruk.
Konsep
pengembangan kawasan agropolitan untuk negara-negara berkembang di Asia, telah dianjurkan Friedmann dan Douglass pada tahun 1975.
Menurut Suwandi
(2005), sektor industri yang diyakini dapat mengejar ketinggalan bangsa dan negara, seperti yang dilakukan Indonesia, ternyata gagal menumbuhkan dasar perekonomian yang kuat. Di lain pihak recovery pembangunan pertanian yang terputus oleh adanya prioritas pembangunan industrialisasi, jauh lebih susah daripada membangun baru sistem pertanian
pada konsep pengembangan wilayah transmigrasi atau
pengembangan wilayah yang bersifat resourses base yang lain.
Perombakan
akumulasi kesalahan pada proses pembangunan pertanian yang lalu tidak dapat otomatis menyelasaikan masalah lemahnya nilai tukar produk pertanian ke produk industri manufaktur, sehingga dapat me-recover keunggulan kompetitif dan komparatif produk pertanian yang dihasilkan. Dewasa ini pengembangan kawasan agropolitan bukan saja harus disiapkan sebagai suatu revolusi mental petani dan pejabat saja, tetapi juga harus didukung oleh komitmen nasional yang konsisten untuk jangka panjang. Pengembangan kawasan agropolitan di Indonesia, yang diuji coba mulai tahun 2002 merupakan salah satu upaya dalam merealisasikan pembangunan ekonomi berbasis pertanian pada kawasan pertanian terpilih dengan pendekatan pertanian industri. Kawasan pertanian yang terpilih ini dapat merupakan kawasan atau sentra produksi pertanian berbasis tanaman pangan atau berbasis hortikultura atau berbasis perkebunan atau berbasis perternakan atau komoditas campuran. Pradhan (2003) menyatakan bahwa pembangunan perdesaan hanya dapat berkesinambungan apabila fasilitas prasarana dan sarana yang tersedia dapat menstimulasi serta mendorong aktivitas produksi dan pasar di wilayah perdesaan. Perdesaan sebagai pemasok hasil produksi pertanian dalam bentuk produk-produk primer harus didorong menjadi desa-desa yang mampu menghasilkan bahan olahan atau industri hasil pertanian sehingga menjadi kawasan pertumbuhan ekonomi lokal.
22
Menurut Pranoto (2002) untuk mencapai tujuan pembangunan perdesaan diperlukan integrasi kegiatan-kegiatan pokok yang meliputi: 1). Pembangunan sarana dan prasarana. 2). Pembangunan sistem agribisnis. 3). Pengembangan industri kecil dan rumah tangga. 4). Penguatan lembaga dan organisasi ekonomi masyarakat. 5). Pengembangan jaringan produksi dan pemasaran. 6). Penguasaan teknologi tepat guna. 7). Pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam yang berkelanjutan dan peningkatan kehidupan sosial ekonomi kelompok keluarga miskin secara terpadu. 8). Menyempurnakan struktur organisasi pemerintah desa dan lembagalembaga ekonomi lainnya. Menurut Kurnia (1999) upaya untuk melakukan modernisasi dan penguatan ekonomi perdesaan adalah melalui dukungan penyediaan infrastruktur perdesaan seperti jalan, listrik, air bersih, dan prasarana kegiatan ekonomi lainnya. Miyoshi (1997) mengemukakan pernyataan Friedmann dan Douglass, bahwa strategi pembangunan perdesaan yang cocok supaya memperhatikan: 1). Sektor pertanian harus dipandang sebagai leading sektor, 2). Kesenjangan pendapatan dan kondisi kehidupan antara kota dan desa harus dikurangi, 3). Dikembangkan small scale production untuk pemasaran lokal harus dilindungi melawan kompetisi dari pengusaha besar. Menurut Tong Wu (2002) strategi pembangunan dapat mencakup: 1). Redistribusi dengan pertumbuhan. 2). Substitusi export. 3). Penciptaan lapangan kerja dan pembangunan perdesaan. Pembangunan berkelanjutan atau sustainable development merupakan gagasan atau konsep pembangunan yang sudah sejak lama dicanangkan baik oleh sekelompok masyarakat tertentu, negara, maupun oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
23
Konsep tersebut dipicu oleh kekhawatiran manusia terhadap kelestarian tempat dimana mereka tinggal, disamping upaya mencari kemungkinan tempat tinggal lain di luar planet bumi. Namun demikian, yang lebih penting bagi manusia adalah bagaimana melestarikan tempat tinggal yang ada saat ini sehingga generasi penerus atau anak cucu kita dapat menikmatinya. Menurut WCED (1987), definisi pembangunan berkelanjutan adalah sebagai berikut: ”Humanity has the ability to make development sustainable to ensure that it meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs”. Pembangunan berkelanjutan dapat didefinisikan sebagai “upaya sadar dan terencana yang memadukan lingkup hidup termasuk sumberdaya ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan”. Dalam definisi tersebut, dapat dipahami bahwa konsep pembangunan berkelanjutan didirikan atau didukung oleh tiga pilar, yaitu ekonomi, sosial, dan lingkungan. Ketiga pendekatan tersebut bukanlah pendekatan yang berdiri sendiri, tetapi saling terkait dan mempengaruhi satu sama lain (Munasinghe 1993). Tantangan pembangunan berkelanjutan adalah menemukan cara untuk meningkatkan kesejahteraan sambil menggunakan sumberdaya alam secara bijaksana. Oleh karena itu, kebijakan pembangunan harus memberi perhatian untuk perlunya menata kembali landasan sistem pengelolaan asset-aset di wilayah baik di perkotaan maupun di perdesaan. Penataan kembali tersebut lebih berupa integrasi kepada pemanfaatan ganda, yaitu ekonomi dan lingkungan/ekosistem, dan keberhasilannya dapat dilihat dan dirumuskan dengan melihat indikator-indikator antara lain: kontribusi terhadap keberlanjutan lingkungan lokal, kontribusi terhadap keberlanjutan penggunaan sumberdaya alam, kontribusi terhadap peningkatan lapangan kerja, kontribusi terhadap keberlanjutan ekonomi makro, efektivitas biaya, dan kontribusi terhadap kemandiran teknis.
24
2.3. Konsep Kawasan Agropolitan Menurut Departemen Pertanian (2002) agropolitan berasal dari kata agro berarti pertanian dan politan berarti kota, yaitu kota pertanian yang tumbuh dan berkembang yang mampu memacu berkembangnya sistem dan usaha agribisnis sehingga dapat melayani, mendorong, dan menarik kegiatan pembangunan pertanian (agribisnis) di wilayah sekitarnya. Agropolitan dapat juga diartikan sebagai kota pertanian atau kota di daerah lahan pertanian. Agropolitan jika diartikan dalam bahasa Indonesia adalah Kota Tani. Friedmann dan Douglass (1976) menyarankan kawasan agropolitan (kota pertanian dan desa-desa penyangganya/sentra produksi pertanian) sebagai aktivitas pembangunan berpenduduk antara 50 000 sampai 150 000 orang. Barangkali luasan dan besaran penduduk ini, secara administrasi setara dengan 1 (satu)
Wilayah
Pengembangan Partial (WPP) pemukiman transmigrasi, sedangkan di Pulau Jawa berkisar 1 (satu) sampai 5 (lima) kecamatan. Sebagai contoh di luar Pulau Jawa pada kawasan pertanian di Kabupaten Agam yang sekarang dirintis sebagai kawasan agropolitan dengan komoditas unggulan sapi penggemukan, terdiri atas 5 (lima) kecamatan yang jumlah penduduknya sekitar 56 000 jiwa. Di Pulau Jawa pada kawasan Kecamatan Pacet Cianjur penduduknya sebanyak 171 000 jiwa. Menurut Friedmann dan Doglass tersebut, kawasan agropolitan terdiri atas distrik-distrik agropolitan dan distrik agropolitan didefinisikan sebagai kawasan pertanian perdesaan yang memiliki kepadatan penduduk rata-rata 200 jiwa/km2. Dalam distrik agropolitan akan dijumpai kota-kota tani yang berpenduduk 10 000-25 000 jiwa. Agropolitan merupakan salah satu bentuk rencana untuk penataan kota di perdesaan yang aktivitasnya di sektor pertanian. Agropolitan merupakan gagasan yang baru diperkenalkan di Indonesia oleh Departemen Pertanian pada tahun 2002, namun sampai saat ini perhatian pembangunan masih tetap berorientasi dan didominasi oleh kota-kota besar. Dalam rangka pembangunan perdesaan yang setara kota dimana sektor pertanian yang mendominasi aktifitas masyarakat di perdesaan, maka solusi penataan pembangunannya seyogyanya difokuskan pada sektor pertanian.
25
Agropolitan menjadi sangat relevan dengan wilayah perdesaan karena pada umumnya sektor pertanian dan pengelolaan sumberdaya alam memang merupakan mata pencaharian utama dari sebagian besar masyarakat
perdesaan. Otoritas
perencanaan dan pengambilan keputusan sebaiknya didesentralisasikan
sehingga
masyarakat yang tinggal di perdesaan akan mempunyai tanggung jawab penuh terhadap perkembangan dan pembangunan daerahnya sendiri (Rustiadi et al. 2006). Menurut Rustiadi et al. (2006) pengembangan kawasan agropolitan di Indonesia lebih cocok dilakukan pada skala kecamatan (district scale) karena pada skala kecamatan, akan memungkinkan hal-hal sebagai berikut: 1). Akses lebih mudah bagi rumah tangga atau masyarakat perdesaan untuk menjangkau kota. 2). Cukup luas untuk meningkatkan/mengembangkan wilayah pertumbuhan ekonomi (scope of economic growth) dan cukup luas dalam upaya pengembangan diversifikasi produk dalam rangka mengatasi keterbatasanketerbatasan pemanfaatan desa sebagai unit ekonomi. 3). Pengetahuan lokal (local knowledge) akan mudah diinkorporasikan dalam proses perencanaan. Namun demikian, sebagai unit wilayah fungsional, agropolitan selain dapat berada dalam satu wilayah kecamatan, pengembangan kawasan agropolitan dapat juga berada dalam beberapa kecamatan dalam satu wilayah kabupaten, atau beberapa kecamatan dalam lintas wilayah beberapa kabupaten, atau beberapa kabupaten dalam satu provinsi atau lintas provinsi tergantung kemampuan dan kesiapan wilayah pengembangan tersebut. Menurut Rustiadi et al. (2006) pengembangan kawasan agropolitan adalah bertujuan
meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan
masyarakat
melalui
percepatan pembangunan wilayah dan peningkatan keterkaitan desa dan kota dengan mendorong berkembangnya sistem dan usaha agribisnis yang berdayasaing. Sasaran pengembangan kawasan agropolitan adalah untuk mengembangkan kawasan pertanian yang berpotensi menjadi kawasan agropolitan, melalui:
26
1). Pemberdayaan masyarakat pelaku agribisnis agar mampu meningkatkan produksi, produktivitas komoditi pertanian serta produk-produk olahan pertanian, yang dilakukan dengan pengembangan sistem dan usaha agribisnis yang efisien. 2). Penguatan kelembagaan petani. 3). Pengembangan kelembagaan agribisnis (penyedia agroinput, pengelolaan hasil, pemasaran, dan penyedia jasa). 4). Pengembangan kelembagaan penyuluhan pembangunan terpadu. 5). Pengembangan iklim yang kondusif bagi usaha dan investasi.
2.4. Pengembangan Kawasan Agropolitan Pengembangan kawasan agropolitan dirancang dan dilaksanakan dengan jalan mensinergikan berbagai potensi yang ada di masyarakat, pengusaha, dan pemerintah. Tanggung jawab keberhasilan dan pengembangan kawasan agropolitan terletak dari kemampuan pemerintah daerah dalam hal ini Pemerintah Kabupaten/Kota untuk dapat
bertumbuh
sebagai
inisiator
dan
motivator
dalam
menggali
dan
mengembangkan semua potensi yang ada di mayarakat, sedangkan pemerintah provinsi dan pusat lebih berperan dalam membantu fasilitasi yang diperlukan untuk dapat berlangsung dengan kegiatan pengembangan agropolitan. Menurut Suwandi (2005) keberhasilan pengembangan kawasan agropolitan sangat ditentukan oleh 3 (tiga) kegiatan yaitu: 1). Sosialisasi Kegiatan ini sangat penting agar masyarakat mengerti dan memahami kawasan agropolitan.
Pemahaman ini diperlukan agar masyarakat dapat
berperan aktif secara optimal.
Sosialisasi juga diperlukan untuk jajaran
pemerintah kabupaten/kota baik pihak eksekutif, legislatif, dan yudikatif agar fasilitasi pengembangan kawasan dapat lebih tajam dengan skala prioritas yang didasarkan dengan kemampuan dan kebutuhan yang ada.
27
2). Rencana induk pengembangan kawasan agropolitan (master plan) Master plan merupakan dasar fasilitasi dalam mengembangkan kawasan agropolitan oleh berbagai pihak baik pemerintah (kabupaten/kota, provinsi, pusat), pengusaha, dan masyarakat
sendiri.
Oleh karena itu proses
menyiapkan master plan harus melibatkan para pakar, praktisi, dan masyarakat kawasan. Master plan dirancang untuk keperluan jangka panjang (15 – 25 tahun). Oleh karena itu aspek legalitas sangat diperlukan untuk terjaminnya keberlanjutan dari program ini. 3). Manajemen pengembangan kawasan agropolitan Pengembangan kawasan agropolitan
yang kemudian disepekati sebagai
”Gerakan” mengandung arti bahwa berbagai pihak (pemerintah, masyarakat, dan
dunia
usaha)
mempunyai
kepentingan
untuk
bersama-sama
bertanggungjawab sesuai dengan fungsi dan peran mereka masing-masing. Keberagaman kondisi pemerintah daerah (kabupaten/kota, provinsi) baik dilihat dari struktur pemerintah daerah yang dikembangkan, maupun kemampun pemerintah daerah dan masyarakat sehingga mendorong untuk dikembangkan manajemen pengembangan kawasan yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan daerah setempat. Pada tahap awal, khususnya dalam kegiatan sosialisasi dan penyiapan master plan, manajemen pengembangan kawasan dengan cara pembentukan kelompok kerja (tingkat kabupaten/kota, provinsi, dan pusat) masih dinilai cukup efektif. Namun dalam kondisi di mana operasionalisasi program sudah semakin intensif dan
keterlibatan
berbagai pihak semakain kompleks, maka perlu disiapkan suatu manajemen khusus dengan mengembangkan suatu unit sebagai ”tim kerja” yang diberi otoritas untuk bertindak sebagai ”POSKO” (Pos Simpul Koordinasi). Berdasarkan pengembangan
permasalahan
kawasan
pembangunan
agropolitan
merupakan
perdesaan alternatif
yang solusi
terjadi, untuk
pengembangan wilayah perdesaan. Kawasan agropolitan di sini diartikan sebagai sistem fungsional desa-desa yang ditunjukkan dari adanya hirarki keruangan desa yakni dengan adanya pusat agropolitan dan desa-desa di sekitarnya membentuk
28
kawasan agropolitan.
Kawasan tersebut terkait dengan sistem pusat-pusat
permukiman nasional da sistem permukiman pada tingkat provinsi (RTRW Provinsi) dan Kabupaten (RTRW Kabupaten). Kawasan agropolitan ini juga dicirikan dengan kawasan pertanian yang tumbuh dan berkembang karena berjalannya system dan usaha agribisnis di pusat agropolitan yang diharapkan dapat melayani dan mendorong kegiatan-kegiatan pembangunan pertanian (agribisnis) di wilayah sekitarnya. Model agribisnis dan konsep pengembangan kawasan agropolitan dapat dilihat seperti Gambar 3.
Produksi Tanaman Komoditas Unggulan
Peternakan Komoditas Unggulan
Komoditas Unggulan Segar Produk Olahan (Industri Kecil/Rumah Tangga)
Pasar Sub Terminal Agribisnis
Bahan Organik Kotoran Perikanan (Pembenihan & Pembesaran)
Gambar 3 Contoh model agribisnis di kawasan agropolitan
29
Suatu wilayah dapat menjadi suatu kawasan agropolitan bila dapat memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1). Memiliki sumberdaya lahan dengan agroklimat yang sesuai untuk mengembangkan komoditi pertanian yang dapat dipasarkan atau telah mempunyai pasar (selanjutnya disebut komoditi unggulan), serta berpotensi atau telah berkembang diversifikasi usaha dari komoditi unggulannya. Pengembangan kawasan tersebut tidak saja menyangkut kegiatan budidaya pertanian (on farm) tetapi juga kegiatan off farm-nya, yatu mulai pengadaan sarana dan prasarana pertanian (seperti bibit, obat-obatan, pupuk, alat dan mesin pertanian, kegiatan pengolahan hasil pertanian (seperti: pembuatan produk olahan, produk makanan ringan/kripik, dodol, dan lain sebagainya) sampai dengan kegiatan pemasaran hasil pertanian (seperti bakulan, warung, jual beli hasil pertanian, pasar lelang, terminal/sub terminal agribisnis, dan lain sebagainya), dan juga kegiatan penunjangnya (seperti pasar hasil dan agrowisata). 2). Memiliki berbagai sarana dan prasarana agribisnis yang memadai untuk mendukung pengembangan sistem dan usaha agribisnis, yaitu: (a) Pasar, baik pasar untuk hasil-hasil pertanian, pasar sarana pertanian, alat dan mesin pertanian, maupun pasar jasa pelayanan termasuk pasar lelang, gudang tempat penyimpanan dan prosessing hasil pertanian sebelum dipasarkan. (b) Lembaga keuangan (perbankan dan non perbankan) sebagai sumber modal untuk kegiatan agribisnis. (c) Memiliki kelembagaan petani (kelompok, koperasi, assosiasi) yang harus berfungsi pula sebagai sentra pembelajaran dan pengembangan agribisnis (SPPA).
Kelembagaan petani di samping sebagai pusat
pembelajaran (pelatihan), juga diharapkan kelembagaan petani/petani maju dengan petani di sekitarnya merupakan inti plasma dalam usaha agribisnis.
30
(d) Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) yang berfungsi sabagai Klinik Konsultasi Agribisnis (KKA) yakni dengan sebagai sumber informasi agribisnis,
tempat
percontohan
usaha
agribisnis,
dan
pusat
pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan usaha agribisnis yang lebih efisien
dan menguntungkan.
Dalam pengembangan kawasan
agropolitan ini BPP perlu diarahkan menjadi Balai Penyuluhan Pembangunan Terpadu dimana BPP ini merupakan basis penyuluhan bagi para penyuluh dan petugas yang terkait dengan pembangunan kawasan agropolitan dan penyuluh swakarsa seperti kontrakan/petani maju, tokoh, masyarakat, dan lain sebagainya. (e) Percobaan/pengkajian teknologi agribisnis, untuk mengembangkan teknologi tepat guna yang cocok untuk daerah kawasan agropolitan. (f) Jaringan jalan yang memadai dan aksessibilitas dangan daerah lainnya serta sarana
irigasi, yang ke semuanya untuk mendukung usaha
pertanian (agribisnis) yang lebih efisien. 3. Memiliki sarana dan prasarana umum yang memadai, seperti transportasi, jaringan listrik, telekomunikasi, air bersih, dan lain-lain. 4. Memiliki sarana dan prasarana kesejahteraan sosial/masyarakat yang memadai seperti kesehatan, pendidikan, kesenian, rekreasi, perpustakaan swalayan, dan lain-lain. 5. Kelestarian lingkungan hidup baik kelestarian sumberdaya alam, kelestarian soial budaya maupun keharmonisan hubungan kota dan desa terjamin. Berdasarkan persyaratan di atas, bila kawasan agropolitan merupakan suatu sistem, maka sistem tersebut terdiri atas subsistem sumberdaya manusia, pertanian dan komoditas unggulan, subsistem sarana dan prasarana agribisnis, sarana dan prasarana umum, prasarana kesejahteraan sosial, dan subsistem kelestarian laingkungan (Deptan 2004).
31
Menurut Deptan (2004) suatu kawasan agropolitan yang sudah berkembang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: 1). Sebagian besar masyarakat di kawasan tersebut memperoleh pendapatan dari kegiatan pertanian (agribisnis). 2). Sebagian besar kegiatan di kawasan tersebut didominasi oleh kegiatan pertanian atau agribisnis, termasuk di dalamnya usaha industri (pengolahan) pertanian, perdagangan hasil-hasil pertanian (termasuk) perdagangan untuk kegiatan ekspor, perdagangan agribisnis hulu (sarana pertanian dan permodalan), agrowisata, dan jasa pelayanan. 3). Hubungan antara kota dan daerah-daerah hinterland atau daerah-daerah sekitarnya di kawasan agropolitan bersifat interdependensi/timbal balik yang harmonis, dan saling membutuhkan. Dimana kawasan pertanian mengembangkan usaha budidaya (on farm) dan produk olahan skala rumah tangga
(off
farm),
sebaliknya
kota
menyediakan
fasilitas
untuk
berkembangnya usaha budidaya dan agribisnis seperti penyediaan sarana pertanian, modal, teknologi, informasi pengolahan hasil dan penampungan (pemasaran) hasil produksi/produk pertanian. 4). Kehidupan masyarakat di kawasan agropolitan mirip dengan susasana kota karena keadaan sarana yang ada di kawasan agropolitan tidak jauh berbeda dengan di kota.
2.5. Pengembangan Komoditas Peternakan Usaha peternakan adalah suatu usaha yang melakukan kegiatan untuk memproduksi hasil peternakan (daging, telur, dan susu) serta hasil ikutannya dengan tujuan sebagian atau seluruh hasilnya untuk dijual/ditukar yang berguna bagi kepentingan manusia (Pambudy 1999). Menurut Saragih (2000), kegiatan usaha budidaya peternakan merupakan bagian dari sistem agribisnis peternakan yang mencakup empat subsistem, yaitu: subsistem agribisnis hulu (upstream off-farm agribusiness); subsistem agribisnis budidaya peternakan (on-farm agribusiness);
32
subsistem agribisnis hilir (downstream off-farm agribusiness); dan subsistem jasa penunjang (supporting institution). Produksi daging, susu, dan telur secara nasional pada tahun 2007 adalah sebagai berikut: 2 069 500 ton daging; 567 700 ton susu; dan 1 382 100 ton telur (Direktorat Jenderal Peternakan 2008). Dengan meningkatnya jumlah penduduk Indonesia, permintaan akan produk peternakan semakin meningkat yang ditunjukkan dengan banyaknya impor daging sebesar 70 626 ton pada tahun 2006. Impor daging yang paling banyak berupa daging sapi sebesar 25 949 ton atau lebih dari sepertiga impor daging Indonesia (Direktorat Jenderal Peternakan 2007). Secara nasional kebutuhan daging, susu, dan telur sebagian besar dipenuhi dari usaha peternakan rakyat. Usaha peternakan rakyat dicirikan oleh: 1). Skala usaha kecil. 2). Bersifat subsistem. 3). Dilakukan sebagai usaha keluarga sering sebagai usaha sambilan. 4). Menggunakan tenaga kerja sederhana sehingga produktivitasnya rendah. 5). Bersifat padat karya. Dengan demikian kondisi ini memiliki posisi lemah dan rentan terhadap perubahan (Dermawan dan Yusmichard 1995). Ada 2 (dua) faktor penyebab lambannya perkembangan peternakan sapi potong di Indonesia (Soehadji, 1995), yaitu: 1). Sentra produksi utama sapi potong di Pulau Jawa dengan porsi 45 % dari total populasi nasional ternyata masih belum optimal, karena: a) Ternak dipelihara menyebar menurut rumah tangga peternakan (RTP) di seluruh perdesaan. b) Ternak diberi pakan hijauan pekarangan dan limbah pertanian. c) Teknologi budidaya rendah. d) Tujuan pemeliharaan adalah menjadikan sapi potong sebagai sumber tenaga kerja. e) Budidaya sapi potong untuk menghasilkan daging dengan orientasi pasar rendah.
33
2). Sentra produksi sapi potong kedua yaitu di Kawasan Timur Indonesia (KTI) dengan porsi 16 % dari populasi nasional memiliki padang penggembalaan yang luas namun padang penggembalaan tersebut dihadapkan pada musim kering yang panjang (9 bulan) dan tampilan (performance) ternaknya sebagai berikut: a) Kematian anak tinggi. b) Kondisi sapi kurus. c) Angka kelahiran rendah. Produktivitas sapi potong di Indonesia masih sangat memprihatinkan karena produksinya masih jauh dari target untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Ada beberapa faktor yang menyebabkan volume produksi daging masih rendah, antara lain: 1). Populasi rendah, yang dikarenakan pada umumnya peternak memelihara sapi potong dalam skala kecil dan lahan terbatas serta modal yang terbatas pula dan usaha sapi potong merupakan bagian kecil dari seluruh usaha pertanian dan pendapatan total keluarga. 2). Tingkat produksi rendah, karena bibit yang tidak/kurang berkualitas dan keterbatasan jumlah pakan yang tersedia serta tujuan pemeliharaan yang ganda yaitu sebagai hewan potongan dan hewan kerja (Sugeng 2002). Menurut Sitomorang dan Gede (2003) untuk meningkatkan produktivitas sapi potong perlu dilakukan pemuliaan yang terarah melalui kawin alam maupun inseminasi buatan (IB) tergantung dari kondisi lokal setempat.
Pada sistem
perkawinan alam produksi anak sapi potong (net calf crop) dapat ditingkatkan dengan meningkatkan kualitas pakan pejantan dan betina selama kebuntingan, penyapihan dini, mengoptimalkan ratio jantan dan betina, pemilihan pejantan untuk menghindari distokia dan pengontrolan penyakit. Untuk pemanfaatan teknologi IB, penggunaan semen beku (dingin) dapat digunakan untuk meningkatkan kinerja IB tersebut. Menurut Pambudy (1999), sejalan dengan perkembangan pembangunan bidang peternakan, kegiatan budidaya peternakan dilaksanakan melalui tiga evolusi pendekatan yaitu pendekatan teknis, pendekatan terpadu, dan pendekatan agribisnis.
34
2.5.1. Pendekatan Teknis Pendekatan teknis dilakukan dengan tujuan peningkatan populasi ternak, sehingga dapat memenuhi tuntutan kebutuhan pembangunan peternakan dengan upaya: (a) Meningkatkan kelahiran melalui inseminasi buatan (IB). (b) Menekan
kematian
pemberantasan, dan
melalui
penolakan,
pencegahan,
penyidikan,
pengendalian penyakit ternak dan kesehatan
masyarakat veteriner. (c) Pengendalian dan pencegahan pemotongan ternak betina produktif. (d) Mengendalikan ekspor ternak. (e) Mengimpor ternak unggul serta meningkatkan mutu ternak dalam negeri. (f) Distribusi bibit ternak betina serta jantan (Pambudy et al. 2001).
2.5.2. Pendekatan Terpadu Pengalaman menunjukkan bahwa berbagai upaya pendekatan teknis yang dilakukan ternyata tidak mampu memenuhi tuntutan kebutuhan pembangunan. Untuk mencapai tujuan peningkatan populasi ternak dan pendapatan peternak maka diterapkan pendekatan terpadu dengan cara melakukan pembinaan secara masif melalui tiga penerapan teknologi, yaitu: teknologi produksi, ekonomi, dan sosial (Pambudy 1999). Penerapan teknologi produksi dilakukan dengan program Panca Usaha yaitu: perbaikan mutu bibit, pakan, penanganan kesehatan hewan, pemeliharaan, dan reproduksi.
Sebagai pendukung penerapan teknologi produksi diterapkan pula
teknologi ekonomi berupa perbaikan pascapanen dan pemasaran sehingga Panca Usaha menjadi Sapta Usaha, sedangkan penerapan teknologi sosial dilakukan dengan
mengorganisir peternak dalam kelompok tani dan koperasi.
salah satu
program yang dilahirkan melalui pendekatan terpadu adalah Panca Usaha Ternak Potong (PUTP).
35
2.5.3. Pendekatan Agribisnis Menurut Djajalogawa dan Pambudy (2003), agribisnis peternakan diartikan sebagai suatu kegiatan bidang usaha peternakan yang menangani seluruh aspek siklus produksi secara seimbang dalam suatu paket kebijakan yang utuh melalui pengelolaan pengadaan, penyediaan dan penyaluran sarana produksi, kegiatan budidaya, pengelolaan pemasaran dengan melibatkan semua stakeholders (pemangku kepentingan) dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan yang seimbang dan proporsional bagi kedua belah pihak (petani-peternak dan perusahaan swasta). Sistem agribisnis peternakan merupakan kegiatan yang mengintegrasikan pembangunan sektor pertanian secara simultan (dalam arti luas) dengan industri dan jasa dalam suatu kluster industri peternakan yang mencakup empat subsistem. Keempat subsistem tersebut menurut Saragih (2000) adalah sebagai berikut: 1). Subsistem agribisnis hulu (upstream off-farm agribusiness), yaitu kegiatan ekonomi (produksi dan perdagangan) yang menghasilkan sapronak seperti bibit, pakan, industri obat-obatan, inseminasi buatan, dan lain-lain. 2). Subsistem agribisnis peternakan (on-farm agribusiness) yaitu, kegiatan ekonomi yang selama ini kita sebut sebagai usaha ternak. 3). Subsistem agribisnis hilir (downstream off-farm agribusiness), yaitu kegiatan ekonomi yang mengolah dan memperdagangkan hasil usaha ternak.
Ke dalam subsistem ini termasuk industri pemotongan ternak,
industri pengalengan dan pengolahan daging, industri pengolahan kulit. 4). Subsistem jasa penunjang (supporting institution), yaitu kegiatan yang menyediakan jasa agribisnis ternak, seperti: perbankan, asuransi, koperasi, transportasi, penyuluhan, poskeswan, kebijakan pemerintah, lembaga pendidikan serta penelitian, dan lain-lain. Agribisnis merupakan sistem terpadu yang meliputi 4 (empat) bagian subsistem (Irawan dan Pranadji 2002) yaitu: 1). Subsistem pengadaan dan distribusi sarana/prasarana produksi yang akan dipergunakan sebagai input produksi pada subsistem budidaya.
36
2). Subsistem produksi atau usahatani, yang akan menghasilkan produk pertanian primer, misalnya: daging, telur, susu, dan lain-lain. 3). Subsistem pengolahan hasil dan pemasaran. 4). Subsistem pelayanan pendukung, berupa fasilitas jalan, kredit, kebijakan pemerintah. Dengan demikian dapat diartikan secara substansial pengertian sistem agribisnis dari kedua teori tersebut tidak ada perbedaan. Menurut Departemen Pertanian (2001) sebagai suatu sistem, keempat subsistem agribisnis peternakan beserta usaha-usaha di dalamnya berkembang secara simultan dan harmonis, sebagaimana disajikan pada Gambar 4. Subsistem Agribisnis Hulu
Subsistem Agribisnis Budidaya
Subsistem Agribisnis Hilir
Sistem produksi dan distribusi sarana dan alat-alat peternakan:
Sistem kegiatan produksi peternakan primer, penanganan dan pemasaran produkproduk primer: - Pengolahan lahan - Antisipasi iklim/cuaca - Pencegahan penyakit - Pemberantasan penyakit - Pembelian sapronak - Manajemen - Kegiatan produksi
Sistem pengumpulan produk primer peternakan, Pengolahan produk, Distribusi dan pemasaran produk (segar, beku, kaleng, dan sebagainya) sampai ke konsumen akhir
- Bibit/induk/semen - Pakan/konsentrat - Obat ternak - Lahan - Kandang - Tenaga kerja
Subsistem Lembaga Penunjang - Prasarana (jalan, pasar, kelompok peternak, koperasi, dan lembaga keuangan). - Sarana (transportasi, informasi, kredit, peralatan, dan lain-lain). - Kebijakan (RUTR, makro, mikro, dan lain-lain). - Penyuluhan. Gambar 4 Lingkup pembangunan agribisnis peternakan
37
2.5.3.1. Subsistem Agribisnis Hulu Subsistem agribisnis hulu (upstream off-farm agribusness) dari sistem agribisnis peternakan mencakup kegiatan ekonomi (produksi dan perdagangan) yang menghasilkan sarana produksi peternakan, seperti: bibit ternak, pakan, industri obatobatan, dan lain-lain. Kegiatan pada subsistem ini memiliki peranan penting dalam pengembangan sistem agribisnis peternakan, terutama ketersediaan bibit ternak. Salah satu contoh untuk peternakan sapi potong, skala usaha atau jumlah pemilikan induk sapi untuk pembibitan umumnya kecil, berkisar antara 1 – 3 ekor per peternak. Kecilnya usaha ini karena merupakan usaha rumah tangga, dengan modal, tenaga kerja, dan manajemen seluruhnya atau sebagian besar berasal dari keluarga peternak yang serba terbatas.
Kecilnya pemilikan ternak mengakibatkan usaha
pembibitan umumnya hanya sebagai usaha sampingan (Santoso 2001). Ada dua macam teknik reproduksi yang sudah dikembangkan di Indonesia untuk menghasilkan bibit ternak, yaitu inseminasi buatan (IB) dan kawin alam. Di antara kedua teknik reproduksi tersebut, IB semakin popular di kalangan masyarakat peternak.
Hal ini disebabkan oleh tingginya permintaan akan ternak bakalan,
terutama peranakan bangsa sapi yang produktivitasnya tinggi, seperti Simmental, Brahman, Limousin, dan Hereford. Menurut Hadi dan Ilham (2002) ada beberapa permasalahan dalam industri pembibitan sapi potong di Indonesia, antara lain: 1). Angka pelayanan kawin per kebuntingan (service per conception = S/C) masih cukup tinggi mencapai 2.6. 2). Masih terbatasnya fasilitas pelayanan IB yang tersedia baik ketersediaan semen beku, tenaga inseminator, dan masalah transportasi. 3). Jarak beranak (calving interval) masih terlalu panjang. 4). Tingginya tingkat kematian (mortality rate) pedet para sapih, bahkan ada yang mencapai 50 %. Rendahnya produktivitas sapi pembibitan seperti ini menyebabkan kebutuhan sapi bakalan bermutu belum dapat terpenuhi. Hal ini sekaligus mencerminkan masih lemahnya program perbaikan mutu genetik, yang mengharuskan kita tetap mengimpor sapi bakalan dalam jumlah yang cukup besar.
38
2.5.3.2. Subsistem Agribisnis Budidaya Pada subsistem agribisnis budidaya (on-farm agribusness) ada dua kegiatan utama, yaitu kegiatan pembibitan (reproduksi) dan penggemukan. Kegiatan budidaya sapi potong untuk tujuan penggemukan sudah banyak dilakukan, baik dalam skala usaha kecil (petani) maupun dalam bentuk perusahaan besar. Jenis sapi potong yang banyak dikembangkan oleh peternak dalam skala kecil di Indonesia termasuk ke dalam kelompok sapi tropis. Beberapa bangsa sapi tropis yang sudah cukup populer dan banyak dikembangkan sampai saat ini adalah: Sapi Bali, Sapi Madura, Sapi Ongole, dan Sapi American Brahman (Santoso 2001). Menurut Sugeng (1998) kelompok sapi tropis secara umum memiliki ciri-ciri mencolok yang sangat mudah dibedakan dengan kelompok sapi subtropis (Eropa). Bangsa-bangsa sapi tropis memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1. Pada umumnya sapi memiliki ponok. 2. Pada bagian ujung telinga meruncing. 3. Kepala panjang dengan dahi sempit. 4. Kulit longgar dan tipis, kurang dari 5 – 6 mm, kelenjar keringat besar. 5. Timbunan lemak, baik yang ada di bawah maupun di dalam kulit, dan ototototnya rendah. 6. Garis punggung pada bagian tengah berbentuk cekung dan pada bagian tingginya miring. 7. Bahunya pendek, halus, dan rata. 8. Kakinya panjang sehingga gerakannya lincah. 9. Lambat dewasa karena pertumbuhannya lambat, berat maksimal baru bisa dicapai pada umur 5 tahun. 10. Bentuk tubuh sempit dan kecil, berat timbangan sekitar 250 – 650 kg. 11. Ambingnya kecil sehingga produksi susunya rendah. 12. Tahan terhadap suhu panas dan kehausan, kadar air kotorannya rendah. 13. Toleran terhadap berbagai jenis pakan yang kandungan serat kasarnya tinggi dan pakan sederhana. 14. Pada umumnya badannya tahan terhadap gigitan nyamuk dan caplak.
39
Menurut Hadi dan Ilham (2002) jenis sapi potong yang banyak dikembangkan oleh perusahaan penggemukan dalam skala usaha besar adalah jenis sapi Subtropis, seperti: Simmental, Limousin, Carolise, dan Hereford.
Jenis sapi ini memiliki
beberapa keunggulan antara lain: 1). Pertambahan berat badan (PBB) per harinya tinggi. 2). Tingkat konversi pakan tinggi. 3). Komposisi karkas tinggi dengan komponen tulang lebih rendah. Faktor yang penting untuk diperhatikan dalam usaha budidaya sapi potong adalah manajemen pemberian pakan. Pemberian pakan pada sapi potong dibedakan dua golongan, yaitu pakan perawatan (untuk mempertahankan hidup dan kesehatan) serta pakan produksi (untuk pertumbuhan dan pertambahan berat badan (Santoso 2001). Jenis pakan sapi potong terdiri atas hijauan dan konsentrat. Pakan hijauan yang merupakan sumber serat kasar, umumnya berasal dari rumput segar (rumput Gajah, Raja, dan lain-lain), rumput alam yang tumbuh di lahan-lahan terbuka, dan limbah pertanian seperti jerami padi, jagung, dan kacang-kacangan. Pakan konsentrat terbuat dari bahan padat energi, seperti: bekatul, jagung, ubi kayu, ampas ketela pohon, dan ampas tahu (Sugeng 1998).
2.5.3.3. Subsistem Agribisnis Hilir Subsistem agribisnis hilir (downstream off-farm agribusiness) dari sistem agribisnis
peternakan
adalah
kegiatan
ekonomi
yang
mengolah
dan
memperdagangkan hasil usaha ternak. Ke dalam subsistem ini termasuk industri pemotongan ternak, industri pengalengan dan pengolahan daging, industri pengolahan kulit, dan lain-lain. Pengembangan teknologi proses dan produk pada subsistem hilir diarahkan untuk peningkatan efisiensi, pengembangan diversifikasi teknologi prosesing untuk menghasilkan diversifikasi produk, meminumkan waste dan pollutan, serta pengembangan teknologi produk. Berikut ini pada Gambar 5, disajikan pohon industri ternak, yang memberikan kontribusi terhadap perbaikan mutu lingkungan
40
dengan produk pupuk organik. Produk tersebut dibuat dari limbah ternak, yaitu feses dan urin.
Daging
Ternak
- Daging Segar - Pengalengan Daging - Pabrik Sosis - Pabrik Baso, dsb.
Telur
- Telur Segar - Telur Asin, dsb.
Susu
- Pabrik Susu, Cream - Skim, Susu Segar, dsb.
Bulu
- Wool - Kerajinan
Kulit
- Kerupuk Kulit - Kerajinan
Darah
- Tepung Darah
Feses
- Pupuk Organik
Urin
- Pupuk Organik
Tulang, Kuku, dan Tanduk
Gambar 5 Pohon industri ternak
- Tepung Tulang - Kerajinan
41
Menurut Ilham et al. (2002) saluran tataniaga ternak
menunjukkan bahwa
sebagian besar konsumen akhir adalah konsumen produk peternakan dalam bentuk segar (telur, susu, dan daging segar). Pola umum saluran tataniaga ternak dapat dilihat pada Gambar 6.
Peternak Peternak
Peternak, Pejagal atau Pemotong
Pengecer
Konsumen
Pedagang
Gambar 6 Pola umum saluran tataniaga ternak
Konsumen membeli hasil ternak (daging, susu, dan telur) dengan harga eceran jika membeli dari pengecer, atau harga produsen jika membeli dari pejagal atau distributor. Kelompok konsumen terdiri atas: konsumen rumah tangga, rumah makan atau restoran, hotel, penjual baso, dan lain-lain.
2.5.3.4. Subsistem Lembaga Penunjang Agribisnis Subsistem lembaga penunjang agribisnis (supporting institution) merupakan subsistem yang sangat berperan terhadap ketiga subsistem agribisnis lainnya. Subsistem ini akan memberikan dukungan secara kelembagaan dalam pengembangan sistem agribisnis secara keseluruhan. Ada beberapa lembaga yang berperan di dalam subsistem lembaga penunjang untuk pengembangan sistem agribisnis peternakan, seperti: perbankan, asuransi, koperasi, transportasi, penyuluhan, poskeswan, kebijakan pemerintah, lembaga pendidikan, penelitian, dan lain-lain.
42
Koperasi merupakan salah satu lembaga yang perlu mendapat perhatian dalam upaya pengembangan sistem agribisnis peternakan, mengingan peternak sebagai pelaku mayoritas dan utama dalam sistem ini memiliki kemampuan yang lemah dalam hal permodalan, akses informasi, dan teknologi.
Koperasi dapat menjadi
media bagi peternak untuk secara bersama-sama membangun usahanya secara terintegrasi dari subsistem hulu sampai subsistem hilir, agar peternak dapat memperoleh nilai tambah yang lebih baik. Untuk saat ini, koperasi yang bergerak di kalangan peternak memang belum berkembang sebaik koperasi yang bergerak di kalangan peternak sapi perah, misalnya Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI). Menurut Karim (2002) dari aspek permodalan, pihak perbankan masih menganggap bahwa usaha kegiatan agribisnis sapi potong sebagai usaha yang belum mendapat prioritas untuk mendapatkan bantuan kredit usaha. Hal ini dikarenakan, pihak perbankan masih menganggap bahwa agribisnis sapi potong berisiko tinggi (high risk) dan rendah dalam hal pendapatan (low return). Namun menurut Thohari (2003) ada beberapa sumber pembiayaan yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung pengembangan agribisnis peternakan, antara lain: Kredit Taskin, Modal Ventura, Pemanfaatan Laba BUMN, Pegadaian, Kredit BNI, Kredit Komersial Perbankan (Kupedes dari BRI, Swamitra dari Bukopin, Kredit Usaha Kecil dari: BNI, Bank Danamon, BII, Bank Mandiri, Kredit BCA, Kredit Pengusaha Kecil dan Mikro (KPKM) dari Bank Niaga, Kredit Modal Kerja dari Bank Agro Niaga, dan pemanfaatan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) di perdesaan.
2.6. Pembangunan Usaha Peternakan secara Berkelanjutan Konsep pembangunan
berkelanjutan akhir-akhir ini menjadi suatu konsep
pembangunan yang diterima oleh semua negara di dunia untuk mengelola sumberdaya alam agar tidak mengalami kehancuran dan kepunahan. Konsep ini berlaku untuk seluruh sektor pembangunan termasuk pembangunan sektor peternakan.
Konsep pembangunan berkelanjutan bersifat multi disiplin karena
banyaknya aspek pembangunan yang harus dipertimbangkan, antara lain aspek ekologi, ekonomi, sosial-budaya, hukum, dan kelembagaan.
Walaupun banyak
43
pendapat akhli yang lain memberikan persyaratan pembangunan berkelanjutan dengan aspek-aspek yang hampir sama tetapi dengan cara dan pendekatan yang berbeda. Konsep pembangunan berkelanjutan pertama kali diperkenalkan oleh the World Commission on Environment and Development (WCED) pada tahun 1987 dengan laporannya berjudul ”Our Common Future” (Kay dan Alder 1999). Laporan ini dibuat oleh sekelompok ahli yang diketuai oleh Gro Harlem Brutland, sehingga laporan tersebut sering disebut sebagai laporan Brutland (The Brutland Report). Dalam laporan tersebut terkandung definisi pembangun berkelanjutan yaitu pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan saat ini tanpa membatasi peluang generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. dengan pengertian tersebut, Beller (1990) mengemukakan prinsip ”justice of fairness” yang bermakna manusia dari berbagai generasi yang berbeda mempunyai tugas dan tanggung jawab satu terhadap yang lainnya seperti layaknya berada di dalam satu generasi. Dalam konsep pembangunan berkelanjutan akan ada perpaduan antara dua kata yang kontradiktif yaitu pembangunan (development) yang menuntut perubahan dan pemanfaatan sumberdaya alam, dan berkelanjutan (sustainabilitas) yang berkonotasi tidak boleh mengubah di dalam proses pembangunan yang berkelanjutan. Persekutuan antara kedua kepentingan
ini
pada dasarnya
mengembalikan
developmentalis dan environmentalis back to basic yaitu oikos dimana kepentingan ekonomi dan lingkungan hidup disetarakan (Saragih dan Sipayung 2002). Kay dan Alder (1999) mengemukakan adanya tiga tema yang terkandung dalam definisi pembangunan berkelanjutan tersebut, yaitu: integritas lingkungan, efisiensi ekonomi, dan keadilan kesejahteraan (equity). Pendapat ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Munasinghe (1993) bahwa pembangunan dikatakan berkelanjutan jika memenuhi tiga dimensi, yaitu: secara ekonomi dapat efisien serta layak, secara sosial berkeadilan, dan secara ekologis lestari (ramah lingkungan).
Makna dari
pembangunan berkelanjutan dari dimensi ekologi memberikan penekanan pada pentingnya menjamin dan meneruskan kepada generasi mendatang sejumlah kuantitas modal alam (natural capital) yang dapat menyediakan suatu hasil
44
keberlanjutan secara ekonomis dan jasa lingkungan termasuk keindahan alam. Konsep lain yang masih berkaitan dengan hal tersebut adalah konsep pemanfaatan sumberdaya yang berkelanjutan (sustainable use of resources) yang bermakna bahwa pemanenan, ekstraksi, ataupun pemanfaatan sumberdaya tidak boleh melebihi jumlah yang dapat diproduksi atau dihasilkan dalam kurun waktu yang sama. Persyaratan agar pembangunan berkelanjutan dapat terwujud menurut Kay dan Alder (1999) yaitu: 1. Integrasi antara konservasi dan pengembangan. 2. Kepuasan atas kebutuhan dasar manusia. 3. Peluang untuk memenuhi kebutuhan manusia yang bersifat non materi. 4. Berkembang ke arah keadilan sosial dan kesejahteraan. 5. Menghargai dan mendukung keragaman budaya. 6. Memberikan
peluang
penentuan
identitas
diri
secara
sosial
dan
menumbuhkan sikap ketidak-tergantungan diri, dan 7. Menjaga integritas ekologis. Menurut Munasinghe (1993) bahwa pembangunan berkelanjutan mencakup tiga penekanan, yaitu: 1. Pembangunan ekonomi untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia. 2. Pembangunan yang sesuai dengan lingkungan. 3. Pembangunan yang sesuai dengan keadilan kesejahteraan, yaitu keadilan penyebaran keuntungan dari pembangunan yang mencakup: a) intersocietal equity misalnya antar kelompok dalam masyarakat, menghargai hak khusus masyarakat lokal, dan lain-lain. b) intergenerational equity yaitu tidak membatasi peluang atau pilihan bagi generasi mendatang. c) international equity yaitu memenuhi kewajiban (obligasi) terhadap bangsa lain dan terhadap masyarakat internasional mengingat adanya kenyataan saling ketergantungan secara global. Menurut Suryana et al. (1998) bahwa konsep berkelanjutan di bidang pertanian mengandung pengertian, bahwa pengembangan produk pertanian harus tetap
45
memelihara kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup guna menjaga keberlanjutan pertanian dalam jangka panjang lintas generasi (inter-generational sustainability), antara lain dengan mengembangkan sistem usaha tani konservasi, penerapan pengendalian hama terpadu (PHT), dan kepatuhan pada prosedur analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) pertanian.
Sedangkan Departemen
Pertanian (2001) mengemukakan bahwa dalam pengembangan usaha-usaha agribisnis termasuk usaha budidaya peternakan perlu menerapkan prinsip berkelanjutan. Prinsip ini mengandung ciri bahwa dalam pengembangan usaha budidaya peternakan harus memiliki kemampuan merespon perubahan pasar, inovasi teknologi yang terus menerus, menggunakan teknologi yang ramah lingkungan, dan mengupayakan pelestarian sumberdaya alam serta lingkungan hidup. Konsep ramah lingkungan dalam usaha budidaya peternakan dapat dilakukan karena limbah utama peternakan berupa kotoran ternak telah diteliti banyak mengandung unsur N, P, dan K serta tidak mengandung logam berat dan antibiotik (Sarwono dan Arianto 2002) yang dapat mensuplai unsur hara yang dibutuhkan tanah dan memperbaiki struktur tanah agar menjadi lebih baik.
Di samping itu
kotoran ternak mengandung gas methan yang dapat digunakan sebagai bahan energi. Pembuatan biogas merupakan proses biologis. Bahan dasar kotoran ternak yang berupa bahan organik akan berfungsi sebagai sumber karbon yang merupakan sumber kegiatan dan pertumbuhan bakteri. Dalam keadaan tanpa oksigen, bahan organik akan diubah oleh bakteri untuk menghasilkan campuran gas methan (CH 4 ), karbondioksida (CO 2 ), dan sedikit gas lain.
Campuran gas-gas tersebut disebut
biogas (Santosa 2001) Berikut ini pada Gambar 7, disajikan budidaya peternakan ramah lingkungan yang memberikan kontribusi terhadap peningkatan pendapatan dan perbaikan mutu lingkungan serta menghasilkan produk pupuk organik, dan produk peternakan, seperti: daging segar, susu segar, telur, produk susu dan daging olahan. Proses pembuatan pupuk organik dari kotoran ternak dibuat dengan komposisi sebagai berikut: kotoran ternak 87.5 %, abu organik/sekam 10 %, serbuk gergaji 5 %, kalsit 2 %, dan stardek 0.1 %. RPH Cakung di Jakarta sudah membuat pilot project pembuatan pupuk organik dari limbah yang dihasilkan oleh RPH. Dari 5 m3 limbah
46
yang dihasilkan per hari dapat diolah menjadi pupuk organik sebanyak 1.25 m3 atau 0.75 ton (750 kg) per hari yang terjual dengan harga Rp 150,- per kilogram (SEMAI 1998).
Usaha Peternakan (Sapi, Domba, Kambing, Ayam, dsb)
Budidaya Ternak
Feses (Kotoran Ternak)
Bio Gas
Pengomposan Daging, Susu, Telur, dan Produk Peternakan Olahan (Sosis, Dendeng, Abon, Yoghurt, Skeam, Keju, Telur Asin, dsb)
Limbah
Pupuk Organik
Pertanian Organik
Peningkatan Pendapatan Petani/Peternak
Gambar 7 Usaha agribisnis peternakan yang ramah lingkungan
47
Penggunaan pupuk organik pada lahan pertanian mampu memperbaiki struktur tanah sehingga aerasi di dalamnya menjadi lancar dan dapat mengikat unsur Al, Mg, dan Fe, sehingga unsur pospornya menjadi bebas dan dapat dimanfaatkan oleh tanaman. Di samping itu, penggunaan pupuk organik dapat meningkatkan cita rasa dari produk pertanian menjadi lebih enak, biaya produksi menjadi lebih rendah, lebih tahan terhadap serangan hama, dan aman untuk dikonsumsi.
Dengan demikian,
produk pertanian organik memiliki harga jual lebih yang lebih tinggi dari pada produk pertanian yang menggunakan pupuk anorganik. Hal ini berarti, limbah yang dihasilkan oleh kegiatan peternakan jika diolah menjadi pupuk organik tidak akan mencemari lingkungan, akan tetapi justru memberikan manfaat terhadap perbaikan mutu lingkungan dan peningkatan pendapatan peternak (Hardjowigeno 1992). Untuk menjamin keberlanjutan pengembangan sistem budidaya peternakan jangka panjang dan lintas generasi, maka penerapan konsep pembangunan berkelanjutan perlu dilakukan sebagai bentuk tanggung jawab dari generasi sekarang terhadap hak-hak generasi yang akan datang.
Penerapan konsep pembangunan
berkelanjutan dalam suatu kegiatan pembangunan menjadi lebih komprehensif untuk menjelaskan pengertian dari suatu kegiatan dikatakan berkelanjutan.
Dengan
demikian sistem budidaya peternakan dikatakan berkelanjutan jika memenuhi kriteria dari masing-masing dimensi dari konsep pembangunan berkelanjutan, yaitu: dimensi ekologi, ekonomi, sosial-budaya, teknologi, hukum, dan kelembagaan. Suatu sistem budidaya peternakan dikatakan memenuhi dimensi ekologis dalam konsep pembangunan berkelanjutan jika sistem tersebut tidak melakukan eksploitasi berlebih terhadap sumberdaya peternakan, tidak terjadi pembuangan limbah yang melampaui kapasitas asimilasi lingkungan yang menimbulkan pencemaran, serta penerapan sistem manajemen lingkungan dalam melakukan kegiatan usaha. Dengan demikian, atribut yang dapat digunakan untuk mencerminkan keberlanjutan dimensi ini adalah tingkat pemanfaatan limbah peternakan untuk pupuk organik dan limbah pertanian untuk pakan ternak, ketersediaan tempat pembuangan akhir (TPA), instalasi pengelolaan limbah di rumah potong hewan (RPH), rencana tata ruang wilayah (RTRW) yang sesuai dan dipatuhi, dan lain-lain.
48
Suatu sistem budidaya peternakan dikatakan memenuhi dimensi ekonomi dalam konsep pembangunan berkelanjutan jika sistem tersebut mampu menghasilkan ternak dan produk peternakan secara berkesinambungan, sehingga terjadi peningkatan dinamika ekonomi daerah yang ditandai dengan peningkatan pendapatan peternak, penyerapan tenaga kerja, dan tumbuhnya berbagai kegiatan usaha pendukung. Dengan demikian, atribut ekonomi yang dapat mencerminkan keberlanjutan dari dimensi ini adalah kelayakan usaha dari aspek finansial, tingkat pendapatan peternak, kontribusi terhadap pendapatan asli daerah (PAD), besarnya keuntungan dari usaha peternakan, dan lain-lain. Suatu sistem budidaya peternakan dikatakan memenuhi dimensi sosial-budaya dalam konsep pembangunan berkelanjutan jika sistem tersebut dapat mendukung pemenuhan kebutuhan dasar (pangan, sandang, perumahan, kesehatan, dan pendidikan), terjadi pemerataan, terbukanya kesempatan berusaha secara adil, serta terdapat akuntabilitas serta partisipasi masyarakat. Dengan demikian atribut sosialbudaya yang dapat mencerminkan keberlanjutan dari dimensi ini antara lain adalah pemahaman masyarakat yang tinggi terhadap lingkungan, bekerja dalam kelompok, tingkat pendidikan yang tinggi, alternatif usaha selain beternak, frekuensi pertemuan warga yang tinggi dan lain-lain.
Karena kondisi yang demikian akan mampu
mendorong ke arah keadilan sosial dan mencegah terjadinya konflik kepentingan. Di samping itu partisipasi, komitmen, spirit, dan tingkah laku masyarakat sangat menetukan keberhasilan dari setiap program pembangunan.
Oleh karena itu
pengelolaan sumberdaya yang berbasis pada masyarakat lokal harus dapat dipertahankan. Keberlanjutan dari dimensi teknologi dicerminkan oleh seberapa jauh pengembangan dan penggunaan teknologi dapat meningkatkan produktivitas dan nilai tambah usaha dan meminumkan kemungkinan dampak yang dapat merugikan sumberdaya alam dan lingkungan. Penerapan teknologi inseminasi buatan (IB) dan kesehatan hewan, teknologi pengolahan limbah, teknologi pakan, teknologi pengolahan hasil, teknologi informasi, dan transportasi dapat digunakan untuk menilai keberlanjutan dimensi ini.
49
Untuk menilai keberlanjutan dari dimensi hukum dan kelembagaan ditentukan dengan cara melihat seberapa jauh perangkat hukum dan kelembagaan beserta penegakan dan kepatuhannya yang dapat mendorong keberlanjutan sistem budidaya peternakan. Tersedianya peraturan perundangan yang memadai, aturan adat dan agama/kepercayaan yang masih diakui oleh masyarakat, penyuluhan hukum, adanya aparat penegak hukum dan tokoh adat yang disegani adalah merupakan contoh atribut yang dapat mendorong keberlanjutan sistem budidaya peternakan. Selain itu penting juga untuk dilihat atribut transparansi, keadilan, dan demokrasi dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan yang juga akan berpengaruh terhadap keberlanjutan dari sistem ini. Namun kunci dari semua atribut ini tentunya adalah kepatuhan masyarakat terhadap peraturan perundangan dan aturan adat yang berlaku. Dari uraian sebelumnya, semakin jelas bahwa tujuan pembangunan sistem budidaya peternakan dengan menerapkan konsep pembangunan berkelanjutan barsifat multidimensi (multi objective) yaitu mewujudkan kelestarian (sustainability) sistem budidaya peternakan baik secara ekologis, ekonomi, sosial budidaya, teknologi maupun hukum, dan kelembagaan.
Implikasinya memang lebih menantang dan
kompleks jika dibandingkan dengan sistem konvensional yang hanya mengejar satu tujuan yakni pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi jika berhasil membangun sistem ini dan terwujud kelima dimensi (tujuan) pembangunan berkelanjutan secara seimbang sesuai dengan kondisi biofisik dan sosio kultural suatu daerah/kawasan, maka kita dapat menyaksikan kehidupan manusia yang lebih sejahtera dan damai dalam lingkungan hidup yang lebih ramah, sehat, bersih, dan indah (Mersyah 2005).
2.7. Usaha Peternakan Sapi Potong Terpadu Konsep pengembangan peternakan sapi potong terpadu yang melibatkan ternak dan tanaman (tanaman pangan dan tanaman perkebunan) telah dikembangkan di beberapa negara Asia, seperti: Thailand, Filipina, Vietnam, RRC, dan Indonesia. Di Indonesia integrasi antara ternak dan tanaman sudah diterapkan oleh petani di perdesaan,
namun sistem pengelolaannya
masih
memperhitungkan nilai ekonomi (Diwyanto et al. 2002).
bersifat
tradisional tanpa
50
Sistem usahatani terpadu yang didasarkan penelitian dan pengkajian mulai diperkenalkan sekitar tahun 1970-an oleh Lembaga Pusat Penelitian Pertanian (LP3) di Bogor. Penelitian ini diberi nama ”on station multiple cropping” mengacu pada pola International Rice Research Institute = IRRI (Manwan 1989). Sejak saat itu kajian dan inovasi penerapan pertanian terpadu terus dikembangkan seperti: pola tanam (cropping pattern), pola usahatani (cropping system), sistem usahatani (farming system), dan terakhir adalah sistem tanaman ternak terjemahan dari crop livestock system (CLS). Selain CLS masih ada beberapa pola sejenis antara lain pertanian dengan perikanan dan lainnya (Diwyanto et al. 2002). Dalam sistem usahatani ternak, interaksi terjadi akan mendorong terjadinya efisiensi produksi, pencapaian produksi yang optimal, peningkatan diversifikasi usaha dan
peningkatan
dayasaing
produk
pertanian
yang
dihasilkan,
sekaligus
mempertahankan dan melestarikan sumberdaya lahan (Diwyanto dan Handiwirawan 2004). Sudaryanto (2006) menyatakan bahwa, pengembangan integrasi tanaman padi dan sapi potong bertujuan: (1) mendukung upaya peningkatan kandungan bahan organik lahan melalui penyediaan pupuk organik; (2) meningkatkan produktivitas padi sawah dan penyediaan daging; (3) peningkatan populasi ternak sapi dan pendapatan petani.
Menurut Diwyanto (2001), ada 8 (delapan) keuntungan
penerapan integrasi usaha tanaman dan ternak, yaitu: (1) diversifikasi penggunaan sumberdaya produksi; (2) mengurangi terjadinya resiko;
(3) efisiensi penggunaan
tenaga kerja; (4) efisiensi penggunaan komponen produksi;
(5) mengurangi
ketergantungan sumberdaya lain dari luar usaha; (6) sistem ekologi lebih lestari, tidak menimbulkan polusi; (7) meningkatkan output; dan (8) megembangkan rumah tangga petani yang lebih stabil. Sistem integrasi ternak dangan tanaman merupakan salah satu kegiatan pertanian organik (organic farming) berbasis teknologi, dengan memanfaatkan sumberdaya lokal yang didaur ulang secara efektif. Sistem ini melibatkan paling tidak tiga jenis kegiatan usahatani yang saling berkaitan, yaitu: (1) budidaya ternak sapi potong, (2) budidaya tanaman pangan atau perkebunan, dan (3) pengolahan limbah pertanian dan ternak.
Ruang lingkup budidaya ternak mencakup pengandangan
51
ternak, sistem pemberian pakan, pengolahan hasil ternak dan limbah, serta pemanfaatan kompos
untuk tanaman pertanian.
Budidaya tanaman merupakan
teknologi pengolahan produk, penyimpanan dan peningkatan kualitas limbah tanaman sebagai pakan ternak.
Pengomposan adalah proses mengubah limbah
organik menjadi pupuk dengan tujuan mengurangi bahan organik yang dikandung bahan limbah, menekan timbulnya bau, membunuh gulma dan orginisme yang bersifat patogen, produknya berupa pupuk organik yang sesuai untuk diaplikasikan pada lahan pertanian (Sutanto 2002). Dalam sistem usahatani ternak, interaksi terjadi akan mendorong terjadinya efisiensi produksi, pencapaian produksi yang optimal, peningkatan diversifikasi usaha dan
peningkatan
dayasaing
produk
pertanian
yang
dihasilkan,
sekaligus
mempertahankan dan melestarikan sumberdaya lahan. Menurut Wardhani dan Musofie (2004) bahwa dalam melaksanakan usahatani peternakan terpadu dengan tanaman pangan/perkebunan maka petani akan melibatkan ternak, sumberdaya lahan, tenaga kerja, dan ketersediaan modal. Antara sub-sistem rumah tangga, ternak, dan tanaman saling terkait, terpadu, dan saling tergantung. Pola usahatani peternakan sapi potong terpadu dengan tanaman dapat dilihat pada Gambar 8. Kegiatan usahatani tanaman (pangan dan perkebunan) menghasikan hijauan pakan ternak, seperti: rumput alam dari pematang sawah, gulma yang diperoleh dari kebun, dan limbah pertanian berupa jerami padi, kacang tanah, daun jagung, daun singkong, dan daun pucuk tebu. Selain itu dari limbah agroindustri, seperti: dedak, molases, ampas tahu, tongkol jagung, ampas kecap, dan lainnya sebagai merupakan input untuk usaha ternak. Kegiatan usaha ternak menyerap tenaga kerja manusia dan sumberdaya lain yang dapat menghasilkan produk peternakan. Ternak menghasilkan pupuk organik yang dapat digunakan untuk tanaman pangan, perkebunan, tanaman pakan ternak.
Pola usahatani peternakan terpadu dengan tanaman pangan dan
perkebunan mampu memberikan nilai tambah pada masing-masing sektor usaha. Dalam pola ini petani mengurangi penggunaan input luar, tenaga kerja diusahakan berasal dari dalam keluarga, sarana produksi sedapat mugkin didapat dari produk masing-masing kegiatan yang saling terkait. Pengembangan integrasi tanaman-sapi
52
bertujuan: (1) mendukung upaya peningkatan kandungan bahan organik lahan melalui penyediaan pupuk organik, (2) meningkatkan produktivitas tanaman dan penyediaan daging, dan (3) meningkatkan populasi ternak sapi dan pendapatan petani.
PASAR
Tenaga Kerja Non-Farm Pupuk Insektisida Tenaga Kerja
RUMAH TANGGA Ternak Konsentrat Obat Hewan Manajemen, Tenaga Kerja
TANAMAN (Padi, Jagung, dan Tebu)
TERNAK
Limbah Tanaman
Pupuk, Tenaga Kerja Ternak
Gambar 8 Pola usahatani peternakan sapi potong terpadu dengan tanaman pangan/perkebunan
53
2.8. Pendekatan Sistem Menurut Eriyatno (1998) pendekatan sistem didefinisikan sebagai suatu metodologi penyelesaian masalah yang dimulai dengan secara tentatif mendifinisikan atau merumuskan tujuan dan hasilnya adalah suatu sisitem operasi yang secara efektif dapat dipergunakan untuk menyelesaikan permasalahan. Permasalahan tersebut dapat dalam bentuk perbedaan kepentingan (conflict of interest) atau keterbatasan sumberdaya (limited of resources). Pendekatan sistem memberikan penyelesaian masalah dengan metode dan alat yang mampu mengidentifikasi, manganalisis, mensimulasi, dan mendesain sistem dengan komponen-komponen yang saling terkait, yang diformulasikan secara lintasdisiplin dan komplementer untuk mencapai tujuan yang sama (Eriyatno 2002). Menurut Manetch dan Park (1977) suatu pendekatan sistem akan dapat berjalan dengan baik jika terpenuhi kondisi-kondisi berikut ini: 1. Tujuan sistem didefinisikan dengan baik dan dapat dikenali jika tidak dapat dikuantifikasikan. 2. Prosedur pembuatan keputusan dalam sistem riil adalah tersentralisasi atau cukup jelas batasannya. 3. Dalam perencanaan jangka panjang memungkinkan untuk dilakukan. Menurut Aminullah (2003) ada beberapa tahapan yang perlu dilakukan dalam pendekatan sistem untuk menyelesaikan permasalahan yang kompleks, yaitu: 1. Analisis kebutuhan, yang bertujuan untuk mengidentifikasi kebutuhan dari semua stakeholder dalam sistem. 2. Formulasi permasalahan, yang merupakan kombinasi dari semua permasalahan yang ada dalam sistem. 3. Identifikasi sistem, bertujuan untuk menentukan variabel-variabel sistem dalam rangka memenuhi kebutuhan semua stakeholders dalam sistem. 4. Pemodelan abstrak, pada tahap ini mencakup suatu proses interaktif antara analisis sistem dengan pembuat keputusan, yang menggunakan model
54
untuk mengeksploitasi dampak dari berbagai alternatif dan variabel keputusan terhadap berbagai kriteria sistem. 5. Implementasi, tujuan utamanya adalah untuk memberikan wujud fisik dari sistem yang diinginkan. 6. Operasi, pada tahap ini akan dilakukan validasi sistem dan seringkali pada tahap ini terjadi modifikasi-modifikasi tambahan karena cepatnya perubahan lingkungan dimana sistem tersebut berfungsi.
2.8.1. Sistem Secara leksikal, sistem berarti: susunan yang teratur dari pandangan, teori, asas, dan sebagainya. Dengan kata lain, sistem adalah suatu kesatuan usaha yang terdiri atas bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain yang berusaha mencapai suatu tujuan dalam suatu lingkungan yang kompleks (Marimin 2005). Sistem adalah suatu gugus atau kumpulan dari elemen yang berinteraksi dan terorganisir untuk mencapai tujuan (Manetch
dan Park 1977),
sedangkan
O’Brien (1999),
mendefinisikan sistem sebagai suatu bentuk atau struktur yang memiliki lebih dari dua komponen yang saling berinteraksi secara fungsional. Dengan demikian, berarti setiap sistem harus memiliki komponen atau elemen yang saling berinteraksi (terkait) dan terorganisir dengan suatu tujuan atau fungsi tertentu. Menurut Eriyatno (2003) bahwa sistem merupakan totalitas himpunan hubungan yang mempunyai struktur dalam nilai posisional sereta matra dimensional terutama dimensi ruang dan waktu. Oleh karena itu, setiap pendekatan kesisteman selalu mengutamakan kajian tentang struktur sistem baik yang bersifat penjelasan maupun sebagai dukungan kebijakan. Dalam ilmu manajemen secara sederhana sistem digambarkan sebagai satu ke satuan antara input, proses, dan output. Sistem akan membentuk satu siklus yang berjalan secara terus menerus dan dikendalikan oleh suatu fungsi kontrol atau umpan balik.
Prinsip sistem ini dapat digunakan sabagai dasar untuk menyelesaikan
permasalahan yang kompleks yang sering kita hadapi atau menyusun (merangkai) berbagai elemen, sehingga menghasilkan sesuatu yang lebih bermanfaat.
Untuk
55
menyelesaikan
permasalahan
melalui
pendekatan
mengidintifikasi semua komponen yang terdapat
sistem kita
harus
dapat
dalam sistem dan menentukan
hubungan dari masing-masing komponen tersebut (Midgley 2000). Perubahan pada suatu komponen dari suatu sistem akan mempengaruhi komponen lain dan biasanya akan menghasilkan umpan balik pada periode yang sama atau pada periode berikutnya.
Perubahan tersebut dapat disebabkan oleh faktor
internal (dari dalam sistem) maupun faktor eksternal (dari luar sistem). Misalnya: jika terjadi perubahan harga input produksi (obat hewan) pada sistem budidaya peternakan karena adanya intervensi pemerintah maka akan mempengaruhi perilaku sistem.
Dalam hal ini intervensi pemerintah terhadap harga input produksi
merupakan faktor eksternal yang mempengaruhi perilaku sistem. Sistem Dinamis adalah sistem yang memiliki variabel yang dapat berubah sepanjang waktu sebagai akibat dari perubahan input dan interaksi antar elemenelemen sistem.
Dengan demikian nilai output sangat tergantung pada nilai
sebelumnya dari variabel input (Djojomartono 2000).
2.8.2. Model Model adalah suatu penggambaran abstrak dari sistem dunia nyata (riil), yang akan bertindak seperti dunia nyata untuk aspek-aspek tertentu (Aminullah 2003). Menurut Eriyatno (2003) bahwa model pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi 3 jenis yaitu: model ikonik (model fisik), model analog (model diagramatik), dan model simbolik (model matematik). Model yang baik akan memberikan gambaran perilaku dunia nyata sesuai dengan permasalahan dan akan meminimalkan perilaku yang tidak signifikan dari sistem yang dimodelkan. Menurut Eriyatno (2003), salah satu cara untuk menyelesaikan permasalahan yang kompleks dengan pendekatan sistem adalah menggunakan konsep model simulasi sistem dinamis. Dengan menggunakan simulasi sistem dinamis, maka model akan mengkomputasikan jalur waktu dari variabel model untuk tujuan tertentu dari input sistem dan parameter model. Karena itu model simulasi akan dapat digunakan untuk keperluan optimasi, di mana suatu kriteria model dioptimalkan terhadap input
56
atau struktur sistem alternatif. Oleh sebab itu model dapat dibangun dengan basis data (data base) atau basis pengetahuan (knowladge base). Langkah pertama dalam menyusun model sistem dinamis adalah dengan menentukan struktur model. Struktur model akan memberikan bentuk kepada sistem dan sekaligus memberi ciri yang mempengaruhi perilaku sistem. Perilaku tersebut dibentuk oleh kombinasi perilaku umpan balik (causal loop) yang menyusun struktur model.
Semua perilaku model, bagaimanapun rumitnya dapat disederhanakan
menjadi struktur dasar yaitu mekanisme dari masukan, proses, keluaran, dan umpan balik. Menurut Muhammadi et al. (2001) mekanisme tersebut akan bekerja menurut perubahan waktu atau bersifat dinamis yang dapat diamati perilakunya dalam bentuk unjuk kerja (level) dari suatu model sistem dinamis. Menurut Eriyatno (2003) untuk memahami struktur dan perilaku sistem yang akan membantu dalam pembentukan model dinamika kuantitatif formal dipergunakan diagram sebab akibat (causal loop) dan diagram alir (flow chart). Diagram sebab akibat dibuat dengan cara menentukan variabel penyebab yang signifikan dalam sistem dan menghubungkannya dengan menggunakan garis panah ke variabel akibat, dan garis panah tersebut dapat berlaku dua arah jika kedua variabel saling mempengaruhi. Pada sistem dinamis, diagram sebab akibat ini akan dipergunakan sebagai dasar untuk membuat diagram alir yang akan disimulasikan dengan menggunakan program model sistem dinamis misalnya Program Powersim.
Program Powersim akan
memberikan gambaran tentang perilaku sistem dan dengan simulasi dapat ditentukan alternatif terbaik dari sistem yang kita bangun, setelah itu dilakukan analisis untuk mendapatkan kesimpulan, dan kebijakan apa yang harus dilakukan untuk mengantisipasi/mengubah perilaku sistem yang terjadi. Perilaku model sistem dinamis ditentukan oleh keunikan dari struktur model, yang dapat dipahami dari hasil simulasi model.
Dengan simulasi model akan
didapatkan perilaku dari suatu gejala atau proses yang terjadi dalam sistem, sehingga dapat dilakukan analisis dan peramalan perilaku gejala atau proses tersebut di masa
57
depan.
Menurut Muhammadi et al. (2001) tahapan-tahapan untuk melakukan
simulasi model adalah sebagai berikut: 1. Penyusunan konsep Pada tahap ini dilakukan identifikasi variabel-variabel yang berperan dalam menimbulkan gejala atau proses.
Variabel-variabel tersebut saling
berinteraksi, saling berhubungan, dan saling berketergantungan. Kondisi ini dijadikan sebagai dasar untuk menyusun gagasan atau konsep mengenai gejala atau proses yang akan disimulasikan. 2. Pembuatan model Gagasan atau konsep yang dihasilkan pada tahap pertama selanjutnya dirumuskan sebagai model yang berbentuk uraian, gambar atau rumus. 3. Simulasi Simulasi dilakukan dengan menggunakan model yang telah dibuat. Pada model kuantitatif, simulasi dilakukan dengan memasukkan data ke dalam model, sedangkan pada model kualitatif, simulasi dilakukan dengan menelusuri dan melakukan analisis hubungan sebab akibat antar variabel dengan memasukkan data atau informasi yang dikumpulkan untuk memahami perilaku gejala atau proses model. 4. Validasi hasil simulasi Validasi bertujuan untuk mengetahui kesesuaian antara hasil simulasi dengan gejala atau proses yang ditirukan. Model dapat dinyatakan baik jika kesalahan atau simpangan hasil simulasi terhadap gejala atau proses yang terjadi di dunia nyata relatif kecil. Hasil simulasi yang sudah divalidasi digunakan untuk memahami perilaku gejala serta kecenderungan di masa depan, yang dapat dijadikan sebagai dasar pengambil keputusan untuk merumuskan suatu kebijakan di masa mendatang.
58
2.9. Kabupaten Situbondo Bappekab dan BPS Kabupaten Situbondo (2008) melaporkan bahwa Kabupaten Situbondo merupakan salah satu Kabupaten di Jawa Timur yang cukup dikenal dengan sebutan Daerah Wisata Pantai Pasir Putih yang letaknya berada di ujung Timur Pulau Jawa bagian Utara dengan posisi di antara 7035’ – 7044’ Lintang Selatan dan 113030’ – 114042’ Bujur Timur. Letak Kabupaten Situbondo Provinsi Jawa Timur, berbatasan dengan: - Sebelah Utara
: Selat Madura.
- Sebelah Timur
: Selat Bali.
- Sebelah Selatan : Kabupaten Bondowoso dan Banyuwangi. - Sebelah Barat
: Kabupaten Probolinggo.
Luas Kabupaten Situbondo adalah 1 638.50 km2 atau 163 850 ha, bentuknya memanjang dari barat ke timur lebih kurang 150 km. Pantai Utara umumnya berdataran rendah dan di sebelah Selatan berdataran tinggi dengan rataan lebar wilayah lebih kurang 11 km.
Luas wilayah menurut kecamatan, terluas adalah
Kecamatan Banyuputih 481.67 km2 disebabkan oleh luasnya hutan jati di perbatasan antara Kecamatan Banyuputih dan wilayah Banyuwangi Utara.
Sedangkan luas
wilayah yang terkecil adalah kecamatan Besuki yaitu 26.41 km2. Dari 17 kecamatan yang ada, diantaranya terdiri dari 13 kecamatan memiliki pantai, dan 4 kecamatan tidak memiliki pantai. Temperatur daerah ini lebih kurang di antara 24.7o C – 27.9o C dengan rataan curah hujan antara 994 – 1 503 mm/tahun dan daerah ini tergolong kering. Daerah ini berada pada ketinggian 0 – 1 250 m di atas permukaan laut. Jenis tanahnya antara lain Alluvial, Regosol, Latosol, Mediteran, dan Andosol. Kabupaten Situbondo terdiri dari 17 kecamatan, 4 kelurahan, 132 desa, 660 dusun, 1 220 rukun warga, dan 3 189 rukun tetangga. Jumlah penduduk tahun 2006 adalah sebanyak 636 199 jiwa, yang terdiri atas 308 443 jiwa laki-laki dan 327 756 jiwa perempuan. Jumlah fasilitas pendidikan untuk Pra Sekolah atau Taman KanakKanak: 216 buah, Sekolah Dasar: 455 buah, SLTP: 58 buah, SLTA: 13 buah, Sekolah tingkat kejuruan 11 buah, Perguruan Tinggi Swasta 3 buah, yaitu: Institut Agama
59
Islam Ibrahimy di Sukorejo, Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) dan Universitas Abdurrahman Saleh (UNARS) yang keduanya berada di pusat kota Situbondo. Pelayanan kesehatan di Kabupaten Situbondo di samping diusahakan oleh pemerintah seperti RSUD, Puskesmas, Pustu dan lain-lain, juga terdapat Rumah Sakit Swasta Elisabeth milik PTPN XI yang juga melayani kepentingan umum. Banyaknya fasilitas pelayanan kesehatan yang ada, Puskesmas: 17 unit, Puskesmas Pembantu: 59 buah, dan Puskesmas Keliling: 27 unit. Kegiatan
ekonomi
masyarakat
Kabupaten
Situbondo
lebih
banyak
terkonsentrasi pada sektor pertanian (tanaman pangan, peternakan, perikanan laut/tambak, perkebunan dan kehutanan). Pertanian tanaman pangan yang banyak diusahakan adalah: padi, jagung, ubi kayu, kacang tanah, kacang hijau, dan kedelai. Tanaman perkebunan yang banyak diusahakan masyarakat adalah: tebu, kopi, tembakau, kelapa, kapas, kapuk, dan pinang.
Peternakan yang banyak diminati
adalah sapi potong, kambing, domba, ayam, dan itik. Populasi ternak tahun 2007 menunjukkan perkembangan yang positif, antara lain dapat ditunjukkan oleh kenaikan populasi sapi potong dari 137 058 ekor menjadi 137 394 ekor, kambing dari 48 507 ekor menjadi 48 601 ekor, domba dari 78 993 ekor menjadi 79 108 ekor. Potensi perikanan darat dan laut, seperti budidaya tambak, kolam, dan penangkapan ikan memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap nilai tambah di sektor perikanan, antara lain disumbang oleh peranan budidaya tambak dan hatchery serta hasil dari perikanan laut baik yang diusahakan secara tradisional maupun modern oleh mayarakat sekitar maupun pengusaha swasta. Produksi dari sub-sektor kehutanan di antaranya berupa kayu jati yang cukup menonjol, kayu rimba, kayu bakar, lak cabang, serta getah pinus. Produk domestik regional bruto (PDRB) Kabupaten Situbondo tahun 2007 yang mempunyai
kontribusi
yang
sangat
besar
berturut-turut
adalah
pertanian,
perdagangan, industri pengolahan, jasa-jasa, angkutan, telekomunikasi, keuangan, dan persewaan. Hal ini menunjukkan bahwa daerah ini merupakan daerah agraris dan potensi pertanian (tanaman pangan, peternakan, perikanan, perkebunan, dan
60
kehutanan) di Kabupaten Situbondo merupakan sektor yang
menonjol dan
merupakan sektor unggulan yang harus tetap dipertahankan dan ditingkatkan agar pembangunan daerah ini berjalan lebih baik. Pendapatan per kapita di Situbondo tahun 2007 adalah sebesar 8 023 111 rupiah/tahun meningkat sebesar 15.14 % dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya 6 968 048 rupiah/tahun. Disamping sangat perlu diupayakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi di semua sektor ekonomi, penyumbang produk domestik regional bruto (PDRB) terbesar adalah pertanian dan perdagangan. Keberadaan potensi industri di Kabupaten Situbondo baik industri kecil kerajinan rumah tangga (IKKR) maupun industri besar/sedang (I B/S) cukup menggembirakan. Jumlah keseluruhan dari industri kecil dan kerajinan rumah tangga tahun 2006 yang ada sebanyak 8 839 unit atau meningkat 2.39 % dibandingkan tahun 2005 yaitu sebanyak 8 633 unit. Jumlah tenaga kerja tahun 2006 yang diserap juga meningkat dari 29 493 menjadi 30 472 atau meningkat 3.2 %. Industri besar/sedang sebanyak 94 perusahaan. Jumlah tersebut naik 5.62 % dibandingkan tahun sebelumnya yaitu sebanyak 89 perusahaan, karena dampak kondisi krisis yang belum sepenuhnya pulih. Berbagai jenis usaha industri kecil meliputi: industri makanan, minuman, perhiasan, kemasan, anyaman, genteng, bata, pandai besi, dan lainnya terbanyak berasal dari industri makanan dan minuman, genteng, bata, anyaman dan lainnya. Walaupun sektor industri terlihat menurun, tetapi tenaga kerja yang terserap cukup banyak. Hal ini menunjukkan bahwa peranan industri perlu dikembangkan, mengingat sumber daya alam sebagai bahan baku yang ada cukup memadai seperti bahan baku kerajinan dari kerang, kayu jati, genteng, bata, kapur, dan industri lainnya. Industri besar/sedang yang ada cukup banyak menyerap tenaga kerja, utamanya industri makanan dan minuman, seperti pabrik gula sebanyak 4 buah, pabrik tapioka, mebel, pemindangan, penggilingan padi, pengolahan kapas, industri mie/sohun, kecap, tahu, dan lain-lainnya. Jumlah tenaga kerja industri besar/sedang yang aktif sebanyak 6 488 unit.
61
Sarana tranportasi yang menghubungkan antar daerah baik antar desa, kecamatan, maupun antar kota dapat dilalui oleh perhubungan jalan darat dan laut. Luas jalan dapat dibedakan atas jalan negara, jalan provinsi, dan jalan kabupaten. Panjang jalan Negara di Kabupaten Situbondo sepanjang 110.30 km dengan kondisi jalan baik tergolong kelas I, jalan Provinsi sepanjang 16.980 km, sedangkan panjang jalan Kabupaten sepanjang 1 142.399 km. Banyaknya jembatan negara adalah 136 buah dan jembatan kabupaten sebanyak 201 buah.
Tersedianya sarana dan prasarana yang memadai, seperti:
tersedianya jaringan jalan, jembatan, transportasi antar nodal infrastruktur pasar dan perbankan, pendidikan, kesehatan, perumahan, air bersih, irigasi, telekomunikasi, dan sarana lainnya akan mempercepat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan sebuah wilayah.
III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Situbondo Provinsi Jawa Timur. Penetapan lokasi penelitian didasarkan atas pertimbangan Kabupaten Situbondo mempunyai potensi yang memungkinkan untuk pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan dan didukung dengan sarana dan prasarana umum yang memadai.
Kabupaten Situbondo yang merupakan lokasi penelitian (Gambar 9),
terlebih dahulu dikaji karekteristik wilayah yang akan mendukung pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan. Penetapan lokasi penelitian dipilih secara sengaja
(purposive) sebanyak 5 (lima) kecamatan dari 17 kecamatan, yaitu:
Kecamatan Asembagus, Jangkar, Arjasa, Kapongan, dan Mangaran dengan pertimbangan: 1. Sinergi dengan program pembangunan yang telah dicanangkan oleh pemerintah daerah setempat. 2. Aksesibilitas
kawasan
telah
dihubungkan
oleh
jalan
arteri
yang
menghubungkan antar kabupaten. 3. Potensi lahan yang memungkinkan untuk pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan dan didukung dengan sarana dan prasarana umum yang memadai. 4. Peternakan merupakan komoditi unggulan daerah yang diharapkan memberikan kontribusi terhadap dinamika ekonomi daerah. 5. Peternakan merupakan salah satu mata pencaharian masyarakat setempat secara turun-temurun. 6. Ketersediaan sumber pakan dan tenaga kerja yang cukup untuk pengembangan peternakan. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Mei 2008 sampai dengan bulan Mei 2009, terhitung mulai dari penyusunan proposal sampai pelaksanaan penelitian, dilanjutkan dengan penulisan disertasi sampai saat ini bulan Juli 2010.
63
Gambar 9 Lokasi penelitian.
3.2. Teknik Penentuan Responden Teknik
penentuan responden dalam rangka
menggali
informasi dan
pengetahuannya ditentukan/dipilih secara sengaja (purposive sampling). Pemilihan responden disesuaikan dengan kondisi lingkungan dan jumlah responden yang akan diambil yaitu responden yang dapat dianggap mewakili dan memahami permasalahan yang diteliti. Penentuan responden dilakukan dua cara:
64
1. Responden dari peternak untuk survei sosial ekonomi di lokasi penelitian dilakukan dengan menggunakan metode
purposive
random sampling.
Data sosial ekonomi tersebut digunakan untuk analisis perilaku peternak dan menentukan status serta indeks keberlanjutan agropolitan berbasis peternakan. Jumlah responden (n) dapat ditentukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut: N n = ---------------1 + Ne2 Keterangan:
n = Jumlah responden. N = Jumlah populasi (kepala keluarga peternak). e = Galat yang dapat diterima (10 %).
Responden tersebut diambil dari 5 (lima) kecamatan di Kabupaten Situbondo, yaitu: Kecamatan Asembagus, Jangkar, Arjasa, Kapongan, dan Mangaran. 2. Responden dari kalangan pakar. Responden pakar dipilih secara sengaja (purposive sampling. Responden yang terpilih memiliki kepakaran sesuai dengan bidang yang dikaji. Syarat-syarat responden pakar antara lain: a) Mempunyai pengalaman yang kompeten sesuai bidang yang dikaji. b) Memiliki reputasi, kedudukan/jabatan dalam kompetensinya dengan bidang
yang dikaji dan telah menunjukkan kredibilitasnya sebagai ahli
atau pakar pada bidang yang diteliti. c) Mempunyai komitmen terhadap permasalahan yang dikaji. d) Bersifat netral, bersedia menerima pendapat responden lain. e) Memiliki kredibilitas yang tinggi dan bersedia dimintai pendapat.
3.3. Metode Analisis Data a. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penetapan kawasan agropolitan berbasis peternakan terdiri atas data primer dan data sekunder. Adapun data primer seperti total biaya dan penerimaan usahatani, serta data skoring dari pendapat pakar.
65
Data sekunder seperti data produksi peternakan, komoditas unggulan, jumlah penduduk, kegiatan utama masyarakat di sektor peternakan, aksesibilitas kawasan ke kawasan/daerah lainnya, kedekatan dengan pasar, kelengkapan sarana dan prasarana pendukung, potensi lahan untuk mendukung pengembangan kawasan agropolitan, dan perolehan PDRB, fasilitas pendidikan latihan dan penyuluhan, fasilitas kesehatan hewan dan IB, fasilitas ibadah, fasilitas olah raga, fasilitas keamanan, fasilitas ekonomi seperti ketersediaan pasar dan Koperasi Unit Desa (KUD). Data sekunder ini diperoleh dari instansi-instansi terkait di Kabupaten Situbondo, seperti: Bappekab, Dinas Peternakan, Dinas Pertanian, Badan Pusat Statistik (BPS), Kecamatan dan Desa dalam wilayah Kecamatan Asembagus, Jangkar, Arjasa, Kapongan, dan Mangaran. Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Jenis, sumber data, dan metode analisis model pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan sapi potong terpadu di Kabupaten Situbondo No Tujuan Jenis Bentuk Sumber Metode Output yang Khusus Data Data Data Analisis Diharapkan 1.
2.
3.
4.
Identifikasi potensi wilayah Kabupaten Situbondo
Primer
Tingkat perkembangan wilayah Kabupaten Situbondo
Primer
Status keberlanjutan wilayah Kabupaten Situbondo
Primer
Model pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan di Kabupaten Situbondo
Sekunder
Sekunder
Hasil wawancara dan penyebaran kuisioner Laporan tahunan Dinas terkait Hasil wawancara dan penyebaran kuisioner Laporan tahunan Dinas terkait Hasil wawancara dan penyebaran kuisioner
Sekunder
Primer
Laporan tahunan Dinas terkait Hasil wawancara dan penyebaran kuisioner
Sekunder Laporan tahunan Dinas terkait
Dinas atau Instansi terkait. Responden terpilih.
LQ, analisis unggulan dan andalan, serta usahatani
Teridentifikasi potensi wilayah Kabupaten Situbondo
Dinas atau Instansi terkait. Pendapat pakar.
Analisis Tipologi, PCA, Cluster, Skalogram, Sentralitas
Diketahui tingkat perkembangan wilayah Kabupaten Situbondo
Dinas atau Instansi terkait. Pendapat pakar.
Multidimensional Scaling (MDS), Montecarlo, dan Prospektif
Diketahui status keberlanjutan wilayah Kabupaten Situbondo
Dinas atau Instansi terkait. Pendapat pakar.
Sistem Dinamik dengan Powersim
Terbangun model pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan di Kabupaten Situbondo
66
b. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data primer dilakukan dengan cara wawancara, diskusi, pengisian kuesioner, dan pengamatan langsung terhadap kegiatan di lokasi penelitian untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Responden di wilayah studi yang terdiri atas berbagai pakar dan peternak yang terkait dengan kegiatan pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan. Data sekunder diperoleh dari beberapa sumber, seperti: hasil studi pustaka, hasil penelitian terdahulu, laporan, dan dokumen dari beberapa instansi yang terkait dengan penelitian. c. Metode Analisis Data Metode analisis data, dilakukan dengan tahapan-tahapan sebagai berikut: (1) Studi potensi wilayah Kabupaten Situbondo. (2) Studi tingkat perkembangan wilayah Kabupaten Situbondo. (3) Studi status keberlanjutan wilayah Kabupaten Situbondo untuk pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan sapi potong terpadu. (4) Membangun model pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan sapi potong terpadu di wilayah Kabupaten Situbondo. Penelitian ini menggunakan beberapa metode analisis data seperti: analisis location quotient (LQ), analisis komoditas unggulan dan andalan, analisis usahatani, analisis tipologi kawasan, principle component analysis (PCA), analisis cluster, analisis skalogram, analisis sentralitas, analisis keberlanjutan dengan multi dimensional scaling (MDS) modifikasi dari rapfish, analisis prospektif, dan analisis sistem dinamik dengan powersim. Adapun metode analisis data secara rinci dapat dilihat pada Tabel 3 dan pada bab pembahasan setiap tujuan (Bab V, VI, VII, dan VIII). Adapun tahapan-tahapan penelitian dan metode analisis data yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 10.
67
PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN BERBASIS PERTERNAKAN SAPI POTONG TERPADU
Perkembangan Kawasan
Potensi Kawasan
Berbasis Kegiatan
Location Quotient
Komoditas Usahatani Unggulan
Unggulan & Andalan
R/C Ratio
Karakteristik Kawasan
Sarana & Prasarana
Tipologi
Skalogram Sentralitas
PCA, Cluster
Keberlanjutan Pengembangan Kawasan Agropolitan Berbasis Peternakan Sapi Potong Terpadu * MDS (Rap-BANGKAPET) *Analisis Prospektif
Model Pengembangan Kawasan Agropolitan Berkelanjutan Berbasis Perternakan Sapi Potong Terpadu * Sistem Dinamik (Visual Basic, Powersim) Gambar 10
Tahapan dan metode analisis data penelitian pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan sapi potong terpadu di Kabupaten Situbondo
68
3.4. Definisi Operasional Definisi operasional menjelaskan kaidah-kaidah yang terkandung pada judul penelitian, sehingga setiap kata yang dipergunakan dapat dipahami secara baku oleh peneliti dan pembaca hasil penelitian. Definisi opersional tersebut adalah sebagai berikut. 1. Model adalah abstraksi atau penyederhanaan dari sistem yang sebenarnya. Model merupakan suatu penggambaran abstrak dari sistem dunia nyata (riil), yang akan bertindak seperti dunia nyata untuk aspek-aspek tertentu (Marimin 2005). 2. Pengembangan kawasan adalah upaya adaptif mengembangkan kawasan yang dapat
menyesuaikan dengan lingkungan untuk mencapai keserasian
antarsektor dan antarwilayah, serta antarnegara yang bertetangga sehingga dapat mensejajarkan diri dengan negara yang lebih maju. 3. Kawasan adalah wilayah yang memiliki fungsi utama lindung atau budidaya (UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang). 4. Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait
yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek
administratif dan/atau aspek fungsional (UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang). 5. Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam dan sumber daya buatan (UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang). 6. Kawasan budidaya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar
kondisi dan potensi sumberdaya alam,
sumberdaya manusia, dan sumberdaya buatan (UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang). 7. Kawasan perdesaan adalah wilayah yang mempunyai kegiata utama pertanian, termasuk pengelolaan sumberdaya
alam dengan susunan fungsi kawasan
sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan,
69
pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi (UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang). 8. Kawasan agropolitan adalah kawasan yang terdiri atas satu atau lebih pusat kegiatan pada wilayah perdesaan sebagai sistem produksi pertanian dan pengelolaan sumberdaya alam tertentu yang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan fungsional dan hierarki keruangan satuan sistem permukiman dan sistem agribisnis (UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang). 9. Kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi (UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang). 10. Agropolitan berasal dari kata Agro berarti pertanian dan Politan berarti kota, yaitu kota pertanian yang tumbuh dan berkembang yang mampu memacu berkembangnya sistem dan usaha agribisnis sehingga dapat melayani, mendorong, dan menarik kegiatan pembangunan pertanian (agribisnis) di wilayah sekitarnya. Agropolitan dapat juga diartikan sebagai kota pertanian atau kota di daerah lahan pertanian atau pertanian di daerah kota (Departemen Pertanian 2002). 11. Komoditas andalan adalah komoditas potensial yang dipandang dapat dipersaingkan dengan produk sejenis di daerah lain, karena disamping memiliki keunggulan komparatif juga memiliki efisiensi usaha yang tinggi. Efisiensi usaha itu dapat tercermin dari efisiensi produksi, produkivitas pekerja, profitabilitas dan lain-lain (Pemkab Purbalingga 2003). 12. Komoditas unggulan adalah komoditas andalan yang memiliki keunggulan kompetitif, karena telah memenangkan persaingan dengan produk sejenis di daerah lain. Keunggulan kompetitif demikian dapat terjadi karena efisiensi produksinya yang tinggi akibat posisi tawarnya yang tinggi baik terhadap pemasok, pembeli, dan daya saingnya yang tinggi terhadap pesaing, pendatang baru maupun barang substitusi (Pemkab Purbalingga 2003).
70
13. Pembangunan berkelanjutan dapat didefinisikan sebagai “upaya sadar dan terencana yang memadukan lingkungan hidup temasuk sumberdaya ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan”. Pembangunan berkelanjutan dapat juga didefinisikan sebagai pembangunan untuk memenuhi kebutuhan hidup saat ini tanpa merusak atau menurunkan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (WCED 1987). 14. Kebijakan adalah serangkaian keputusan yang diambil oleh seorang aktor atau kelompok aktor yang berkaitan dengan seleksi tujuan dan cara mencapai tujuan tersebut dalam situasi tertentu, dimana keputusan tersebut berada dalam cakupan wewenang para pembuatnya (Hardjosubroto dan Astuti 1993). 15. Sistem adalah suatu kesatuan usaha yang terdiri atas bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain yang berusaha mencapai suatu tujuan dalam suatu lingkungan kompleks (Marimin 2004). 16. SHE (sibernetik, holistik, dan efektifitas). Sibernetik dapat diartikan bahwa dalam penyelesaian masalah tidak berorientasi pada permasalahan (problem oriented) tetapi lebih berorientasi pada tujuan (goal oriented). Holistik lebih menekankan pada penyelesaian permasalahan secara utuh dan menyeluruh. Efektifitas berarti bahwa sistem yang telah dikembangkan tersebut harus dapat dioperasikan (Hardjomidjojo 2006). 17. Kabupaten Situbondo merupakan salah satu kabupaten yang terdapat di Provinsi Jawa Timur yang cukup dikenal dengan sebutan Daerah Wisata Pantai Pasir Putih yang letaknya berada di ujung Timur Pulau Jawa bagian Utara yang terdiri atas 17 (tujuh belas) kecamatan (Bappekab dan BPS Situbondo 2008). 18. Peternakan adalah segala macam kegiatan pengusahaan untuk mengambil manfaat
yang lebih
besar dari ternak demi kepentingan manusia
(Hardjosubroto dan Astuti 1993).
71
19. Peternakan sapi potong terpadu adalah usaha peternakan sapi potong merupakan usaha basis utama, sedangkan penunjangnya adalah pertanian tanaman pangan dan tanaman perkebunan. Semuanya terpadu dalam suatu siklus usaha. Dalam siklus usaha itu tidak ada lagi bahan yang terbuang, baik limbah peternakan maupun pertanian. Praktis seluruh mata usaha itu bersifat ramah lingkungan (Sarwono dan Arianto 2003).
IV. KONDISI UMUM WILAYAH
4.1. Kondisi Geografis dan Administrasi Bappekab dan BPS Kabupaten Situbondo (2008) melaporkan bahwa Kabupaten Situbondo merupakan salah satu Kabupaten di Jawa Timur yang cukup dikenal dengan sebutan Daerah Wisata Pantai Pasir Putih yang letaknya berada di ujung Timur Pulau Jawa bagian Utara dengan posisi di antara 7035’ – 7044’ Lintang Selatan dan 113 030’ – 114042’ Bujur Timur. Letak Kabupaten Situbondo Provinsi Jawa Timur, berbatasan dengan: - Sebelah Utara
: Selat Madura.
- Sebelah Timur
: Selat Bali.
- Sebelah Selatan : Kabupaten Bondowoso dan Banyuwangi. - Sebelah Barat
: Kabupaten Probolinggo.
Luas Kabupaten Situbondo adalah
1 638.50 km2 atau 163 850 ha,
bentuknya memanjang dari Barat ke Timur lebih kurang 150 km. Pantai Utara umumnya berdataran rendah dan di sebelah Selatan berdataran tinggi dengan rataan lebar wilayah lebih kurang 11 km. Untuk penelitian disertasi model pengembangan kawasan agropolitan berkelanjutan berbasis peternakan di Kabupaten Situbondo ditetapkan 5 (lima) kecamatan, yaitu: Kecamatan Asembagus, Kecamatan Jangkar, Kecamatan Arjasa, Kecamatan Kapongan, dan Kecamatan Mangaran. Kelima kecamatan tersebut berbatasan dengan: - Sebelah Utara
: Selat Madura.
- Sebelah Timur
: Kabupaten Banyuwangi.
- Sebelah Selatan : Kabupaten Bondowoso dan Banyuwangi. - Sebelah Barat
: Kecamatan Situbondo dan Kabupaten Bondowoso.
Secara administratif Kecamatan Asembagus terdiri atas 10 (sepuluh) desa, yaitu: 1. Desa Mojosari, 2. Desa Kertosari, 3. Desa Kedung Lo, 4. Desa Bantal, 5. Desa Awar- Awar, 6. Desa Perante, 7. Desa Trigonco, 8. Desa Asembagus, 9. Desa
Gudang, dan 10. Desa Wringin Anom.
Kecamatan
Jangkar terdiri atas 8 (delapan) desa, yaitu: 1. Desa Sopet, 2. Desa Curah Kalak, 3. Desa Palangan, 4. Desa Jangkar, 5. Desa Gadingan, 6. Desa Kumbang Sari, 7. Desa Pesanggrahan, dan 8. Desa Agel.
Kecamatan Arjasa terdiri atas 8
(delapan) desa, yaitu: 1. Desa Curah Tatal, 2. Desa Jati Sari, 3. Kayumas, 4. Desa
73
Bayeman, 5. Desa Ketoan, 6. Desa Kedung Dowo, 7. Desa Lamongan, dan 8. Desa Arjasa. Kecamatan Kapongan terdiri atas 10 (sepuluh) desa, yaitu: 1. Desa Kandang, 2. Desa Curah Cotok, 3. Desa Peleyan, 4. Desa Wonokoyo, 5. Desa Seletreng, 6. Desa Landangan, 7. Desa Kapongan, 8. Desa Kesambi Rampak, 9. Gebangan, dan 10. Desa Pokaan. Kecamatan Mangaran terdiri atas 6 (enam), yaitu: 1. Desa Tanjung Kamal, 2. Desa Tanjung Glugur, 3. Desa Tanjung Pecinan, 4. Desa Semiring, 5. Desa Trebungan, dan 6. Desa Mangaran. Jumlah desa secara keseluruhan di lima kecamatan adalah: 42 (empat puluh dua) desa. Luas wilayah di lima kecamatan dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Luas kecamatan lokasi penelitian pada tahun 2008 Luas km2
Luas ha
Asembagus 118.74 Jangkar 67.00 Arjasa 216.38 Kapongan 44.55 Mangaran 35.70 Jumlah 482.37 Sumber: Bappekab dan BPS Kabupaten Situbondo 2008
11 874 6 700 21 638 4 455 3 570 48 237
No
Kecamatan
1 2 3 4 5
4.2. Jenis Tanah, Topografi, dan Iklim Jenis tanah di lokasi penelitian basis peternakan di Kabupaten Situbondo dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5 Luas penyebaran tanah di lokasi penelitian pada tahun 2008 No
Kecamatan
Alluvial
Regosol
Renzina
Grumosol
589 362 2 179 395 Asembagus 201 410 2 133 1 226 Jangkar 150 555 1 253 1 860 Arjasa 2 158 853 1 007 1 350 Kapongan 1 807 1 025 1 350 232 Mangaran 4 905 3 205 7 922 5 063 Jumlah Sumber: Bappekab dan BPS Kabupaten Situbondo 2008
1 2 3 4 5
Mediteran
Latosol
Andosol
3 887
3 692
770
2 730
1 025
650
5 430
5 430
3 063
1 340
760
245
250
340
13 637
11 247
320 5 048
74
Pada umumnya topografi di daerah lokasi penelitian adalah datar dan dataran rendah dan hanya sebagian kecil saja yang mempunyai topografi berbukit yaitu: Desa Curah Tatal, Jatisari, dan Kayumas yang terletak di Kecamatan Arjasa. Keadaan iklim di Kabupaten Situbondo hampir sama pada semua kecamatan. Temperatur daerah ini lebih kurang 24.7o C – 27.9o C dengan ratarata curah hujan antara 994 mm – 1 503 mm per tahunnya dan daerah ini tergolong kering (Bappekab dan BPS Kabupaten Situbondo 2008).
4.3. Kondisi Sosial, Ekonomi, dan Budaya Kabupaten Situbondo Pembangunan wilayah di Kabupaten Situbondo sampai saat ini dirasakan agak lamban apabila dibandingkan dengan kabupaten lain di Provinsi Jawa Timur. Kenyataan di lapangan menunjukkan perbedaan dan kesenjangan yang cukup besar dari berbagai aspek, baik dari aspek sosial, ekonomi, budaya, dan infrastruktur.
Ditinjau dari aspek sosial, menunjukkan bahwa kehidupan
masyarakat di daerah perdesaan lebih banyak yang miskin di bandingkan dengan masyarakat perkotaan. Kurangnya infrastruktur, tingginya angka kemiskinan dan banyaknya jumlah keluarga pra-sejahtera, rendahnya mutu sumberdaya manusia, dan belum optimalnya pemanfaatan sumberdaya alam menyebabkan perbedaan tingkat kesejahteraan antara masyarakat perkotaan dan perdesaan semakin tinggi. Adanya perbedaan pembangunan antara wilayah perkotaan dengan perdesaan serta kesenjangan sosial yang cukup tinggi sering menimbulkan kecemburuan sosial, dan jika tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan konflik. Ditinjau dari aspek ekonomi, Kabupaten Situbondo memliki potensi yang cukup besar untuk meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat, khususnya melalui sektor pertanian sub sektor peternakan. Produksi sub sektor peternakan dari tahun ke tahun menunjukkan perkembangan yang positif. Populasi ternak tahun 2007 menunjukkan perkembangan yang meningkat. Jumlah ternak sapi meningkat dari 137 058 ekor menjadi 137 394 ekor, ternak kambing meningkat dari 48 507 ekor menjadi 48 601 ekor, ternak domba meningkat dari 78 993 ekor mejadi 79 108 ekor, ayam ras meningkat dari 27 618 ekor menjadi 29 000 ekor, dan itik meningkat dari 47 753 ekor menjadi
48 295 ekor. Satu-
75
satunya populasi ternak yang mengalami penurunan adalah ayam buras dari 557 916 ekor menjadi 530 988 ekor. Demikian pula apabila dilihat dari produksinya, yaitu produksi daging meningkat dari 2 677 ton menjadi 3 356.9 ton (naik 25.40 %), produksi telur meningkat dari 276.9 ton menjadi 740.6 ton (naik 167.46 %), kulit sapi meningkat dari 5 239 lembar menjadi 8 337 lembar (naik 59.13 %), kulit kambing meningkat dari 200 lembar menjadi 712 lembar (naik 256 %), dan kulit domba meningkat dari 600 lembar menjadi 2 678 lembar (naik 246.33%). Pasar produk peternakan memberikan peluang pasar yang sangat baik. Selain produk peternakan untuk mencukupi kebutuhan masyarakat Kabupaten Situbondo, juga untuk melayani permintaan dari kota-kota lain seperti Surabaya, Malang, dan Jakarta. Hal ini ditunjukkan oleh banyaknya ternak dan unggas yang dipotong serta ternak yang keluar setiap tahunnya. Kontribusi sektor peternakan dan hasil-hasilnya pada tahun 2007 dapat menyumbangkan produk domestik regional bruto (PDRB) sebanyak 9.87 % atau sebesar Rp 146 804 670 000,- juta (Bappekab dan BPS Kabupaten Situbondo 2008). Ditinjau dari aspek budaya, Kabupaten Situbondo didominasi oleh Suku Madura, dan Jawa, serta sebagian kecil suku Sunda, Minangkabau, Bugis, dan Cina. Heterogenitas etnis yang diikuti oleh keanekaragaman budaya masingmasing sudah saling berinteraksi dengan baik sejak dulu sampai saat ini. Suku Madura dan Jawa yang merupakan suku paling dominan di Kabupaten Situbondo pada dasarnya memiliki sifat sosial dan gotong royong yang tinggi dengan masyarakat sekitarnya baik terhadap sesama suku maupun dengan suku lainnya, sehingga kehidupan di Kabupaten Situbondo cukup harmonis dan kondusif. Salah satu sifat Suku Madura yang cukup menonjol dan dikenal masyarakat umum adalah kecintaannya terhadap ternak, terutama ternak sapi telah membantu perkembangan peningkatan populasi ternak sapi di Kabupaten Situbondo. Usaha ternak sapi potong yang dahulunya bersifat ekstensif dan sebagai tabungan, akhirakhir ini berkembang cukup pesat dengan digiatkannya kawin suntik atau inseminasi buatan (IB) dengan bibit-bibit ternak sapi potong unggul, seperti: Simental, Limousin, Brahman, Angus, Peranakan Onggol, dan lain sebagainya. Performan yang menarik dan bobot badan dewasa yang bisa mencapai lebih 1 000 kg/ekor serta harga yang tinggi menambah peternak semakin intensif untruk
76
memelihara jenis ternak ini. Menurut laporan Dinas Peternakan (2006) bahwa Kabupaten Situbondo merupakan salah satu lumbung ternak sapi potong di Provinsi Jawa Timur.
4.3.1. Kependudukan Hasil perhitungan yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS), penduduk Kabupeten Situbondo pada tahun 2007 telah mencapai 638 537 jiwa, yang terdiri atas 311 199 penduduk laki-laki dan 327 338 penduduk perempuan. Perbandingan antara penduduk laki-laki dan perempuan atau sex ratio sebesar 95.07 % artinya dalam setiap 100 penduduk perempuan terdapat penduduk laki-laki 95 jiwa. Dengan demikian penduduk perempuan lebih banyak dari penduduk laki-laki. Jumlah penduduk di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Jumlah penduduk di lokasi penelitian pada tahun 2008 No
Kecamatan
Jumlah (jiwa)
(%)
Kepadatan Penduduk (jiwa/ km2)
1 2 3 4 5
Asembagus 48 960 7.67 412 Jangkar 36 082 5.65 539 Arjasa 40 032 6.27 185 Kapongan 36 583 5.73 821 Mangaran 30 556 4.79 650 Jumlah 192 213 30.11 2 607 (rataan=521 jiwa/km2) Sumber: Bappekab dan BPS Kabupaten Situbondo 2008
4.3.2. Mata Pencaharian Penduduk Berdasarkan hasil analisis data Bappekab dan BPS Kabupaten Situbondo (2008) menunjukkan bahwa sektor pertanian merupakan mata pencaharian yang paling banyak dibandingkan dengan mata pencaharian lainnya. Kondisi ini sesuai dengan potensi wilayah Kabupaten Situbondo yang merupakan daerah agraris dan cukup potensial untuk pengembangan sektor pertanian.
Lima jenis mata
pencaharian yang paling banyak dijumpai di Kabupaten Situbondo adalah pertanian, perdagangan, jasa-jasa, industri, dan komunikasi. Jumlah persentase penduduk menurut mata pencaharian dapat dilihat pada Tabel 7.
dan
77
Tabel 7 Jumlah dan persentase penduduk Kabupaten Situbondo menurut mata pencaharian pada tahun 2008 No Mata Pencaharian Jumlah (orang) % 1 Pertanian 180 798 2 Perdagangan 59 904 3 Jasa-jasa 55 501 4 Industri 23 352 5 Komunikasi 14 585 Sumber: Bappekab dan BPS Kabupaten Situbondo 2008
52.67 17.45 16.17 6.80 4.25
Jumlah penduduk dari lima kecamatan yang ditetapkan sebagai lokasi penelitian mempunyai sebaran mata pencaharian seperti pada Tabel 8.
Tabel 8 Jumlah penduduk menurut mata pencaharian di lokasi penelitian pada tahun 2008 No
Mata Pencaharian
Kec. Asembagus
Kec. Jangkar
Kec. Arjasa
1 Petani 11 363 6 993 2 Buruh Tani 7 189 10 156 3 Nelayan 180 1 207 4 Peternakan 6 836 11 350 5 Penggalian 7 157 6 Industri 205 596 7 Perdagangan 4 533 2 426 8 Pengangkutan 1 228 679 9 Bank/Keuangan 29 15 0 PNS 851 111 11 TNI & POLRI 163 22 12 Jasa Lainnya 607 717 13 Pensiunan 264 77 14 Pencari Kerja 1 150 511 Sumber: Bappekab dan BPS Kabupaten Situbondo
8 365 8 388 37 6 619 62 205 1 697 256 3 217 21 881 107 549 2008
Kec. Kapongan
Kec. Mangaran
6 963 8 464 807 5 591 42 391 2 005 692 10 237 21 431 107 774
2 602 5 347 1 152 4 249 0 304 1 677 473 7 318 19 510 152 839
4.3.3. Tingkat Pendidikan Penduduk Tingkat pendidikan masyarakat dapat dijadikan sebagai salah satu indikator yang menunjukkan kualitas sumberdaya manusia yang ada di suatu wilayah atau daerah. Artinya jika tingkat pendidikan masyarakat tinggi, berarti kualitas sumberdaya manusia juga akan menjadi baik. Dalam kaitannya dengan
78
pengembangan sub sektor peternakan, maka tingkat pendidikan sangat erat hubungannya dengan pengetahuan, pemahaman, kemampuan untuk berusaha dan pengelolaan peternakan. Tingkat pendidikan masyarakat di Kabupaten Situbondo pada umumnya di dominasi oleh masyarakat yang belum tamat sekolah dasar. Namun demikian tidak sedikit masyarakat yang mampu melanjutkan sampai ke perguruan tinggi. Jumlah persentase penduduk yang berumur di atas 10 tahun adalah sebagai berikut: tidak tamat sekolah dasar 40.61 %, tamat Sekolah Dasar 30.66 %, tamat SLTP 12.52 %, tamat SLTA 11.78 %, dan tamat Diploma I/II 1.21 %, tamat Akademi 0.53 %, tamat Perguruan Tinggi 2.68 %. Dari lima kecamatan yang ditetapkan sebagai lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Jumlah penduduk berdasarkan pendidikan di lokasi penelitian pada tahun 2008 No Pendidikan
Kec. Asembagus
Kec. Jangkar
Kec. Arjasa
1 Tidak Tamat SD 16 737 12 335 13 685 2 SD 12 637 9 314 10 333 3 SLTP 5 161 3 803 4 220 4 SLTA 4 854 3 578 3 969 5 Diploma I/II 498 367 407 6 Akademi 220 162 180 7 Sarjana 1 107 816 905 Sumber: Bappekab dan BPS Kabupaten Situbondo 2008
Kec. Kec. Kapongan Mangaran
12 506 9 443 3 856 3 627 372 164 827
10 445 7 887 3 221 6 438 311 137 691
Dari tabel di atas menunjukkan, bahwa penduduk di lokasi penelitian masih cukup banyak yang pendidikannya tidak tamat sekolah dasar (39.77 %), tamat sekolah dasar (30.03 %), tamat SLTP (12.26 %), tamat SLTA (13.60). Namun demikian, sebagian masyarakat sudah ada yang melanjutkan sampai ke perguruan tinggi, yaitu: tamat Diploma I/II (1.18 %), tamat Akademi (0.52 %), dan tamat
Sarjana (2.64 %).
Masyarakat yang pendidikannya rendah pada
umumnya banyak yang berkecimpung menjadi buruh tani, petani, peternak, dan nelayan, sedangkan yang berpendidikan menengah sampai perguruan tinggi pada umumnya banyak menjadi PNS, bekerja di industri dan perdagangan. Masyarakat masih beranggapan bergerak di bidang pertanian (pertanian, peternakan, dan perikanan) tidak menjanjikan masa depan yang baik.
79
4.4. Kondisi Infrastruktur 4.4.1. Aksesibilitas Sarana transportasi yang menghubungkan antar daerah baik antar desa, kecamatan, maupun antar kota seluruhnya dapat dilalui dengan jalan darat dan sebagian dengan laut. Panjang jalan di Kabupaten Situbondo dapat dibedakan atas Jalan Negara, Jalan Propinsi, dan Jalan Kabupaten. Panjang Jalan Negara di Kabupaten Situbondo sepanjang 110.03 km dengan status kondisi jalan baik tergolong kelas I, Jalan Propinsi sepanjang 16.98 km status kondisi jalan baik, dan sepanjang 5.25 km status kondisi jalan sedang. Akses jalan di ibu kota Kabupaten Situbondo sudah sangat baik, demikian juga akses jalan ke lokasi penelitian dari Situbondo – Kapongan – Arjasa – Jangkar – Asembagus (Jalan Negara yang dilalui kendaraan jurusan Bali) dan Situbondo – Mangaran sudah cukup baik, dihotmix, rata, dan lebar. Akses jalan di lokasi penelitian (antara kecamatan satu dengan lainnya) telah mempunyai akses jalan yang resmi yang menghubungkan kelima kecamatan tersebut (Kecamatan Mangaran, Kapongan, Arjasa, Jangkar, dan Asembagus) dari ibu kota provinsi (Surabaya) ke ibu kota kabupaten Situbondo. Jarak antara ibukota kecamatan dan kota Situbondo dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10 Jarak antara ibukota kecamatan dan kota Situbondo Situbondo 6 Mangaran 7 7 Kapongan 15 15 8 Arjasa 28 28 21 13 Jangkar 29 29 19 11 4 Sumber: Bappekab dan BPS Kabupaten Situbondo 2008
Asembagus
Aksesibilitas beberapa desa di lokasi penelitian (lima kecamatan) sudah cukup memadai, karena setiap desa mempunyai jalan/akses ke masing-masing ibukota kecamatan yang bisa dilalui kendaran roda empat. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi pembangunan infrastruktur jalan sebagai sarana yang vital untuk perkembangan suatu wilayah di Kabupaten Situbondo sudah cukup memadai.
80
Di lokasi penelitian juga ada pelabuhan penyeberangan Jangkar yang terletak di Kecamatan Jangkar yang menghubungkan transportasi laut dari Jangkar ke Kalianget – Pulau Madura dan beroperasi setiap hari. Sarana ini paling banyak digunakan oleh masyarakat yang ingin bepergian ke Pulau Madura. Selain Pelabuhan Jangkar, di lokasi penelitian juga ada Pelabuhan Kalbut di Desa Semiring dan Pelabuhan Tanjung
Kamal,
Kecamatan Mangaran,
yang
dicadangkan apabila di Pelabuhan Kalbut terjadi air laut pasang/ombak besar. Kedua pelabuhan tersebut melayani tujuan Pulau Sepudi dengan perahu dan tidak setiap hari beroperasi, tetapi hanya hari Selasa, Rabu, dan Sabtu. Perahu-perahu dari Pulau Sepudi tiba di Pebuhan Kalbut/Tanjung Kamal pada hari Minggu, Senin, dan Kamis.
4.4.2. Kelistrikan Seluruh desa yang berada di daerah Kabupaten Situbondo sudah terdapat jaringan listrik. Sumber daya listrik sebagian masih menggunakan bahan bakar minyak, yang disuplai oleh PLTD di bawah unit kerja PT (Persero) PLN dan sebagian dari PLTU Paiton. Jumlah desa yang telah masuk listrik di Kabupaten Situbondo sebanyak 134 desa dari jumlah 136 desa atau sebanyak 98.53 %. Jumlah listrik masuk desa di lokasi penelitian dapat di lihat pada Tabel 11.
Tabel 11 Jumlah listrik masuk desa di lokasi penelitian pada tahun 2008 No Uraian Kec. Kec. Kec. Kec. Kec. Asembagus Jangkar Arjasa Kapongan Mangaran 1 2 3
Jumlah Desa 10 8 8 Desa Berlistrik 10 8 7 Persentase (%) 100 100 87,50 Sumber: Bappekab dan BPS Kabupaten Situbondo 2008
10 10 100
6 6 100
bertahap
berupaya
4.4.3. Sarana Air Bersih Pemerintah
Kabupaten
Situbondo
secara
memprioritaskan pembangunan sarana dan prasarana air bersih di ibukota maupun di ibukota kecamatan. Produksi air bersih dan yang didistribusikan di Kabupaten selama tahun 2007 adalah sebanyak 7 430 371 m3 yang digunakan oleh pelanggan yang berjumlah 21 450 pelanggan. Jumlah pelanggan air bersih pada umumnya
81
banyak terdapat di daerah perkotaan, sedangkan di daerah perdesaan masih banyak menggunakan sumur pompa, sumur gali, dan mata air. Di lokasi penelitian (lima kecamatan) pada umumnya sudah memiliki Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) yang melayani kebutuhan konsumen akan air bersih walaupun dengan kapasitas yang terbatas. Seperti masyarakat Kecamatan Kapongan menggunakan air bersih dari PDAM sebanyak 3.37 % (215 KK), Sumur pompa 34. 78 % (2 218 KK), Sumur Gali
61.47 % (3 920 KK),
Mata Air 0.37 % (24 KK). Sumber air bersih masyarakat di lokasi penelitian sebagian besar menggunakan sumur gali dan sumur pompa. Hal ini disebabkan sumber air tidak terlalu dalam dan kualitas air cukup baik serta masyarakat dapat menghemat pengeluaran biaya setiap bulannya.
4.4.4. Telekomunikasi Kondisi sarana dan prasarana telekomunikasi yang terdapat di Kabupaten Situbondo meliputi: telepon rumah, telepon umum coin, telepon seluler, internet, warnet, wartel, serta Kantor Pos dan Giro yang tersebar di wilayah kecamatan. Ketersediaan sarana dan prasarana telekomunikasi pada umumnya masih banyak didominasi kecamatan-kecamatan yang berdekatan dengan ibukota kabupaten. Jumlah pelanggan telepon pada tahun 2007 di Kabupaten Situbondo adalah: 15 186 pelanggan, internet 708 pelanggan, Telepon umum coin 238 unit, Warnet 14 pelanggan, Wartel 720 pelanggan. Kondisi sarana dan prasarana telekomunikasi yang terdapat di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 12.
No
Tabel 12 Jumlah sarana telekomunikasi di lokasi penelitian pada tahun 2008 Uraian Kec. Kec. Kec. Kec. Kec. Asembagus Jangkar Arjasa Kapongan Mangaran
1 Kantor Pos 1 1 1 2 Wartel 14 6 4 3 Telepon 861 3 318 1 504 Sumber: Bappekab dan BPS Kabupaten Situbondo 2008
1 14 187
1 9 160
82
Saat ini perkembangan telepon seluler di Kabupaten Situbondo cukup pesat peningkatannya, apalagi biaya komunikasi beberapa operator cenderung lebih murah dibandingkan telepon biasa, sehingga penggunaan media pos dan giro mengalami penurunan, ditambah pelayanan pos dan giro membutuhkan waktu yang cukup lama agar informasi sampai ke tempat tujuan.
4.4.5. Sarana Pendidikan Sarana pendidikan di Kabupaten Situbondo pada umumnya sudah cukup baik dan tersebar di seluruh pelosok desa, hal ini dapat ditunjukkan oleh perkembangan institusi/lembaga, jumlah guru, murid, dan tingkat partisipasi sekolah dari tahun ke tahun yang meningkat. Jumlah lembaga pendidikan dapat dilihat pada Tabel 13. No
Tabel 13 Jumlah lembaga pendidikan di Kab. Situbondo tahun 2008 Sekolah 2006 2007 Naik %
1 TK 216 2 SD 455 3 SLTP 58 4 SLTA 13 5 Kejuruan 11 6 Perguruan Tinggi 3 Sumber: Bappekab dan BPS Kabupaten Situbondo 2008
225 457 63 14 12 3
4.17 0.44 8.62 7.69 9.09 0
Kondisi sarana pendidikan di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 14.
Tabel 14 Jumlah lembaga pendidikan di lokasi penelitian tahun 2008 No Sekolah Kec. Kec. Kec. Kec. Kec. Asembagus Jangkar Arjasa Kapongan Mangaran 1 TK 8 7 12 2 SD 34 23 35 3 SLTP 4 3 4 4 SLTA 1 0 0 5 Kejuruan 0 0 0 Sumber: Bappekab dan BPS Kabupaten Situbondo 2008
13 27 1 1 1
6 19 5 0 0
83
4.4.6. Sarana Kesehatan Sarana kesehatan dan pembangunan di bidang kesehatan dari waktu ke waktu terus mendapat perhatian yang serius sebab merupakan salah satu indikator yang turut menentukan tingkat kesejahteraan masyarakat, terlebih dalam kondisi ekonomi yang belum menentu, utamanya bagi masyarakat yang tinggal di perdesaan. Pelayanan kesehatan di Kabupaten Situbondo diusahakan oleh pemerintah daerah, seperti Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) sebanyak 1 unit, Puskesmas (17 unit), Puskesmas Keliling (27 unit), Puskesmas Perawatan (5 unit), Poliklinik Desa (69), Posyandu (894 unit), Kader Kesehatan (3 577 orang), Dokter (36 orang), tenaga Paramedis (169 orang), Dukun Bayi (270 orang), dan juga terdapat Rumah Sakit Swasta Elisabeth milik PTPN XI yang juga melayani kepentingan umum. Sarana kesehatan yang terdapat di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15 Jumlah sarana kesehatan di lokasi penelitian pada tahun 2008 No Uraian
Kec. Asembagus
Kec. Jangkar
Kec. Arjasa
1 Puskesmas 1 1 2 Puskesmas Keliling 3 1 3 Puskesmas Pembantu 3 3 4 Poliklinik Desa 8 6 5 Dokter 4 3 6 Bidan 13 7 7 Mantri 8 10 8 Posyandu 75 51 9 Dukun Bayi 21 54 Sumber: Bappekab dan BPS Kabupaten Situbondo
1 2 5 3 3 7 9 64 50 2008
Kec. Kapongan
1 1 3 6 2 9 3 59 16
Kec. Mangaran
1 0 2 3 4 7 2 54 28
4.4.7. Sarana Keagamaan Sarana keagamaan di Kabupaten Situbondo pada umumnya sudah cukup baik dan tersebar di seluruh pelosok desa, hal ini dapat ditunjukkan oleh perkembangan tempat ibadah dari tahun ke tahun yang terus meningkat. Jumlah tempat ibadah di Kabupaten Situbondo adalah sebagai berikut: Masjid 645 unit,
84
Langgar 2 880 unit, Mushalla 1 441, Gereja Protestan 19, Gereja Katolik 18, Wihara 2 unit. Jumlah tempat ibadah di lokasi penelitian pada tahun 2008 dapat dilihat pada Tabel 16.
Tabel 16 Jumlah tempat ibadah di lokasi penelitian pada tahun 2008 No
Tempat Ibadah
Kec. Asembagus
Kec. Jangkar
Kec. Arjasa
1 Masjid 43 39 52 2 Langgar 197 119 215 3 Musholla 105 51 20 4 Gereja Protestan 2 0 0 5 Gereja Katolik 1 0 0 6 Wihara 0 0 0 Sumber: Bappekab dan BPS Kabupaten Situbondo 2008
Kec. Kec. Kapongan Mangaran
35 207 73 0 0 0
37 108 76 1 0 0
Jumlah pondok pesantren di Kabupaten Situbondo adalah 145 pondok dengan jumlah santri 27 919 orang, Ormas Islam: 315
Majelis Taqlim: 324,
TPQ/TPA: 244, Muballigh 267, Khotib: 2 069, dan Ulama 273. Jumlah sarana keagamaan di lokasi penelitian pada tahun 2008 dapat dilihat pada Tabel 17.
Tabel 17 Jumlah sarana keagamaan di lokasi penelitian pada tahun 2008 No Sarana Kec. Kec. Kec. Kec. Kec. Keagamaan Asembagus Jangkar Arjasa Kapongan Mangaran 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Pondok Pesantren 15 9 4 Santri 1 251 475 54 Guru 65 68 4 Ormas Islam 47 4 118 Majelis Taqlim 53 3 27 TPQ/TPA 15 12 9 Mubaligh 31 8 19 Khotib 157 100 135 Ulama 5 1 6 Sumber: Bappekab dan BPS Kabupaten Situbondo 2008
7 2 005 230 11 7 10 23 168 14
8 921 86 9 16 5 17 173 5
85
4.5.
Kondisi Pertanian di Wilyah Kabupaten Situbondo
4.5.1. Sistem Pertanian Potensi sektor pertanian di Kabupaten Situbondo yang memberikan kontribusi terbesar diantaranya: produksi pertanian tanaman pangan, perkebunan, peternakan, perikanan laut, tambak, dan kehutanan. Produksi pertanian meliputi: tanaman pangan (padi, jagung, ubi kayu, kacang tanah, kacang hijau, dan kedelai), perkebunan (tebu, tembakau, kopi, kelapa, dan kapuk), peternakan (sapi, domba, kambing, ayam, dan itik), tambak (udang dan ikan mujair), serta kehutanan (kayu jati dan kayu rimba). Sistem pertanian di Kabupaten Situbondo pada umumnya menggunakan sistem pertanian semi intensif, dan sebagian lagi menggunakan intensif dengan mengusahakan beberapa komoditas unggulan. Lahan yang dimiliki oleh petani pada umumnya lahan sawah dan sebagian kecil lahan kering atau tegalan. Lahan tersebut digunakan untuk usahatani tanaman pangan, perkebunan, dan komoditas lainnya termasuk kegiatan peternakan. Dalam kegiatan usahatani, pada umumnya petani menanam beberapa komoditas unggulan. Sistem penanamannya adalah monokultur, yaitu dengan cara menanam suatu komoditas tanaman dalam satu luasan petak usahatani, lahan kemudian dibagi menjadi petak-petak yang lebih kecil dan setiap petakan kecil ditanami dengan tanaman yang berbeda. Para petani di wilayah ini, selain membudidayakan tanaman pangan dan perkebunan, juga memelihara ternak, seperti: sapi potong, domba, dan kambing. Petani memanfaatkan limbah pertanian, seperti: jerami padi, daun jagung, daun kacang tanah, dan daun pucuk tebu, serta limbah agroindustri, seperti: ampas tahu, dedak padi, tongkol jagung, dan tetes tebu untuk diberikan sebagai pakan ternak. Sementara kandang diletakkan di sekitar rumah atau pekarangan rumah, sehingga usaha peternakan sapi potong, domba, dan kambing tidak mengurangi lahan pertanian. Limbah peternakan yang berupa pupuk kandang dimanfaatkan oleh petani sebagai pupuk organik untuk diberikan kepada tanaman yang dibudidayakan. Pola peternakan sapi potong terpadu dengan tanaman pangan dan perkebunan sebenarnya sudah diterapkan oleh petani di wilayah ini, namun sistem pengelolaannya masih bersifat tradisional tanpa memperhitungkan nilai ekonomi.
86
Petani beberapa tahun belakangan ini menghadapi masalah yang cukup serius, yaitu masalah ketersediaan air irigasi yang bersumber dari Sungai Sampeyan semakin berkurang dan kurang memadai untuk budidaya tanaman pangan. Kondisi ini mengakibatkan petani hanya bisa menanam padi 1-2 kali saja dalam setahun, sedangkan sisanya ditanami palawija atau dibiarkan saja menunggu datangnya hujan.
Dalam menghadapi situasi seperti ini, usaha
peternakan sapi potong merupakan salah satu solusi untuk menambah pendapatan petani yang semakin berkurang akhir-akhir ini. Usaha peternakan sapi potong di wilayah ini cepat berkembang, karena tidak membutuhkan lahan yang luas, mudah dilaksanakan, pakan cukup tersedia, permintaan pasar cukup tinggi, sesuai dengan kondisi agroklimat, bibit mudah diperoleh, dan dukungan pemerintah terhadap usaha peternakan sapi potong cukup baik.
4.5.2. Pemanfaatan Lahan Pemanfaatan lahan di wilayah Kabupaten Situbondo bervariasi, mulai dimanfaatkan untuk permukiman sampai perkebunan.
Luas wilayah menurut
penggunaan tanah dapat dilihat pada Tabel 18.
Tabel 18 Luas wilayah menurut penggunaan tanah di Kabupaten Situbondo pada tahun 2008 No
Pemanfaatan Lahan
Luas (ha)
1 Permukiman 2 Sawah 3 Pertanian Tanah Kering 4 Kebun Campuran 5 Perkebunan 6 Hutan 7 Rawa 8 Tambak 9 Padang Rumput 10 Tanah Tandus 11 Lain-lain Sumber: Bappekab dan BPS Kabupaten Situbondo
2 841.72 30 405.95 27 997.13 414.00 1 780.26 73 407.00 174.00 1 875.30 7 464.10 17 052.10 438.44 2008
Persentase (%)
1.73 18.56 17.09 0.25 1.09 44.80 0.11 1.14 4.56 10.41 0.27
87
Adapun luas pemanfaatan tanah di lokasi penelitian pada tahun 2008 dapat dilihat pada Tabel 19.
Tabel 19 Luas pemanfaatan tanah (ha) di lokasi penelitian pada tahun 2008 No Pemanfaatan Lahan
1 2 3 4 5
Kec. Asembagus
Kec. Jangkar
Kec. Arjasa
Kec. Kec. Kapongan Mangaran
Sawah Berpengairan 2 964.00 2 858.00 3 338.00 Sawah Tadah Hujan 8.00 46.00 0.00 Tegal 223.30 304.50 790.93 Pekarangan 305.00 558.00 146.15 Lainnya 0.00 0.00 133.50 Sumber: Bappekab dan BPS Kabupaten Situbondo 2008
2 296.00 0.00 1 433.33 2 693.84 90.58
1 567.00 0.00 0.00 419.30 496.03
4.5.3. Produksi dan Produktivitas Komoditas Pertanian Komoditas pertanian yang diusahakan oleh petani di Kabupaten Situbondo pada umumnya sangat beragam, hal ini bertujuan untuk menjaga stabilitas pendapatan pada waktu tertentu dan kesesuaian lahan yang diusahakan serta nilai ekonomis masing-masing komoditas pertanian. Diharapkan dengan keragaman komoditas pertanian yang diusahakan, maka pendapatan petani menjadi lebih baik dan tidak mengalami kerugian dalam usahataninya. Saat ini secara umum petani di Kabupaten Situbondo merasakan sarana produksi relatif agak mahal demikian juga ongkos tenaga kerja buruh tani relatif mahal, sehingga biaya produksi yang dikeluarkan sangat besar. Sementara harga jual komoditas pertanian di kabupaten Situbondo relatif rendah. Dalam rangka menghadapi situasi seperti ini, sub sektor peternakan menjadi alternatif sambilan atau pendamping yang sangat cocok dalam rangka meningkatkan pendapatan petani. Hasil survey dan informasi masayarakat setempat serta data BPS Kabupaten Situbondo tahun 2008, menunjukkan banyak komoditas pertanian yang dapat dikembangkan di daerah ini, antara lain: tanaman pangan dan hortikultura, tanaman perkebunan, tanaman sayuran, tanaman obat-obatan, tanaman
kehutanan,
komoditas
peternakan,
dan
komoditas
perikanan.
Komoditas-komoditas yang dikembangkan selain dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, juga untuk komersial.
Perkembangan beberapa komoditas
pertanian di Kabupaten Situbondo dapat dilihat pada Tabel 20.
88
Tabel 20 Luas panen dan produksi komoditas pertanian di Kabupaten Situbondo pada tahun 2008 No
Jenis Tanaman
Luas Panen (ha)
Produksi (kw)
1 Padi Sawah 32 206 2 057 277.37 2 Padi Gogo 396 14 762.88 3 Jagung 42 087 2 048 242.58 4 Ubi Kayu 623 115 659.95 5 Kacang Tanah 406 7 774.55 6 Kacang Hijau 423 3 921.21 7 Kacang Kedelai 135 1 573.75 Sumber: Bappekab dan BPS Kabupaten Situbondo 2008
Rataan (kw/ha)
63.88 37.28 48.67 185.65 19.15 9.27 11.66
Adapun luas panen dan produksi tanaman pangan di lokasi penelitian pada tahun 2008 dapat dilihat pada Tabel 21, sedangkan luas areal dan produksi perkebunan pada tahun 2008 dapat dilihat pada Tabel 22.
Tabel 21 Luas panen dan produksi tanaman pangan di lokasi penelitian pada tahun 2008 No
Uraian
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Luas Panen Padi Sawah Produksi Padi Sawah Luas Panen Padi Gogo Produksi Padi Gogo Luas Panen Jagung Produksi Jagung Luas Panen Ubi Kayu Produksi Ubi Kayu Luas Panen Kcg Tanah Produksi Kcg Tanah Luas Panen Kcg Hijau Produksi Kcg Hijau Luas Panen Kedelai Produksi Kedelai
Kec. Asembagus
Kec. Jangkar
1 357 80 172 16 596 4 258 197 809 0 0 0 0 0 0 0 0
2 925 191 841 20 746 4 192 219 467 0 0 109 2 083 121 1 122 0 0
Kec. Kec. Kec. Arjasa Kapongan Mangaran 2 419 162 648 81 3 020 6 473 297 395 407 75 560 114 2 188 53 491 0 0
Sumber: Bappekab dan BPS Kabupaten Situbondo 2008
3 388 226 742 0 0 1 233 59 767 21 3 899 15 288 0 0 17 202
2 478 150 166 0 0 1 407 113 139 0 0 0 0 0 0 0 0
89
Tabel 22 Luas areal dan produksi tanaman perkebunan pada tahun 2008 No
Komoditas
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Tebu Tembakau Kapas Jarak Kelapa Kopi Cengkeh Jambu Mete Kapuk Randu Siwalan Pinang Asam Jawa
Luas Areal (ha) 9 943 1 882 5 405 4 343 1 356 18 45 523 16 241 234
Produksi (ton) 62 399 1 331 3 24 4 730 314 2 18 138 48 135 374
Produktivitas (kg/ha) 6 275 707 614 60 1 493 383 285 610 376 3 684 781 2 092
Sumber: Bappekab dan BPS Kabupaten Situbondo 2008
4.5.4. Produksi dan Produktivitas Komoditas Peternakan Usaha peternakan di Kabupaten Situbondo yang meliputi: sapi potong, kambing, domba, ayam ras dan bukan ras, serta itik pada awalnya hanya bersifat sambilan dan hobi. Namun demikian, beberapa tahun belakangan ini dengan dicanangkannya program kawin suntik menggunakan bibit-bibit ternak unggul dan dijumpainya beberapa kendala dalam pengelolaan pertanian (misalnya: ketersediaan air irigasi semakin berkurang dan kurang memadai untuk budidaya tanaman pangan dan perkebunan, pendapatan petani yang kurang optimal, harga jual produk pertanian yang tidak menentu, harga-harga sarana produksi yang semakin mahal, ongkos tenaga kerja semakin mahal, pupuk sering sulit ketersediaannya/hilang di pasaran, dan banyaknya hama serta penyakit yang menyerang tanaman) membuat petani banyak yang menekuni usaha peternakan sapi potong selain bercocok tanam. Usaha peternakan sapi potong di Kabupaten Situbondo menjadi salah satu komoditas unggulan yang banyak diminati oleh masyarakat. Sistem pemeliharaan ternak sapi potong pada umumnya dilakukan secara semi intensif dan sebagian lagi secara intensif. Pakan ternak yang diberikan sebagian besar adalah rumput lapangan dan limbah pertanian tanaman pangan dan perkebunan, serta limbah agroindustri yang banyak tersedia di wilayah ini. Kandang ternak sapi potong diletakkan di sekitar rumah atau pekarangan rumah,
90
sehingga usaha peternakan sapi potong, tidak mengurangi lahan pertanian. Letak kandang yang berkumpul dengan rumah sedikit mengganggu estetika dan menimbulkan bau yang kurang sedap. Limbah peternakan yang berupa pupuk kandang dimanfaatkan oleh petani sebagai pupuk organik untuk diberikan kepada tanaman yang dibudidayakan. Pola peternakan sapi potong terpadu dengan tanaman pangan dan perkebunan merupakan salah satu kegiatan pertanian organik, dengan memanfaatkan sumberdaya lokal yang didaur ulang secara efektif. Produksi subsektor peternakan dari tahun ke tahun menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 23.
Tabel 23 Populasi ternak ruminansia dan unggas (ekor) di Kabupaten Situbondo No Jenis Ternak 2003 2004 2005 2006 2007 1 Sapi Potong 134 799 135 068 136 253 2 Sapi Perah 67 72 72 3 Kerbau 732 735 733 4 Kambing 47 465 47 804 48 222 5 Domba 77 292 77 872 78 540 6 Ayam Buras 564 321 568 222 562 116 7 Ayam Ras 24 900 25 500 26 529 8 Itik 45 069 45 600 46 893 Sumber: Bappekab dan BPS Kabupaten Situbondo 2008
137 058 73 735 48 507 78 993 557 916 27 618 47 753
137 394 60 721 48 601 79 108 530 988 29 000 48 295
Populasi ternak tahun 2007 menunjukkan perkembangan yang positif, antara lain ditunjukkan oleh kenaikan populasi sapi potong dari 137 058 menjadi 137 394 atau naik 0.25 %; populasi ternak kambing dari 48 507 menjadi 48 601 atau naik 0.19 %; populasi ternak domba dari 78 993 menjadi 79 08 atau naik 0.15 %; ayam ras dari 27 618 menjadi 29 000 naik 5 %, populasi ternak itik 47 753 menjadi 48 295 naik 1.14 %. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 23. Jenis ternak sapi potong, kambing, domba, ayam kampung, dan itik adalah jenis ternak yang banyak dipelihara oleh masyarakat di wilayah penelitian. Populasi beberapa jenis ternak di lima kecamatan lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 24.
91
Tabel 24 No
Populasi ternak ruminansia dan unggas (ekor) di lokasi penelitian tahun 2007
Jenis Ternak
Kec. Asembagus
Kec. Jangkar
Kec. Arjasa
1 Sapi potong 10 806 26 129 12 749 2 Sapi Perah 6 0 0 3 Kerbau 0 0 14 4 Kambing 1 737 1 613 2 752 5 Domba 4 836 6 845 5 785 6 Ayam Buras 38 343 37 332 22 429 7 Ayam Ras 0 0 0 8 Itik 1 722 2 184 2 753 Sumber: Bappekab dan BPS Kabupaten Situbondo 2008
Kec. Kec. Kapongan Mangaran
14 528 8 15 4 450 8 940 58 010 0 5 253
11 052 0 0 3 856 6 302 48 438 0 2 529
Komoditas ternak yang paling banyak dipotong adalah ayam buras, ayam ras, sapi potong, domba, dan kambing. Jumlah ternak dan unggas yang dipotong di Kabupaten Situbondo dapat dilihat pada Tabel 25.
No 1 2 3 4 5 6
Tabel 25 Jumlah ternak ruminansia dan unggas (ekor) yang dipotong di Kabupaten Situbondo dari tahun 2003 - 2007 Jenis Ternak 2003 2004 2005 2006 2007
Sapi Potong 7 987 8 019 8 279 Kerbau 0 0 0 Kambing 692 711 714 Domba 2 701 2 677 2 700 Ayam Buras 483 603 488 685 493 710 Ayam Ras 443 789 457 728 466 588 Sumber: Bappekab dan BPS Kabupaten Situbondo 2008
8 323 0 712 2 700 493 889 480 571
8 464 0 727 2 733 493 027 441 210
Komoditas ternak yang paling banyak dipotong di lokasi penelitian adalah ayam ras/broiler, ayam buras, sapi potong, domba, dan kambing. Adapun jumlah ternak dan unggas yang dipotong di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 26.
92
Tabel 26 Jumlah ternak ruminansia dan unggas (ekor) yang dipotong di lokasi penelitian pada tahun 2007 No
Jenis Ternak
Kec. Asembagus
Kec. Kec. Jangkar Arjasa
1 Sapi Potong 2 078 18 32 2 Kerbau 0 0 0 3 Kambing 67 28 23 4 Domba 272 85 63 5 Ayam Buras 54 875 12 854 13 913 6 Ayam Ras 100 082 27 813 12 905 Sumber: Bappekab dan BPS Kabupaten Situbondo 2008
Kec. Kec. Kapongan Mangaran
25 0 21 69 34 124 10 916
45 0 39 145 17 249 9 256
Produksi daging, telur, susu, dan kulit di Kabupaten Situbondo dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan. Produksi komoditas ternak di Kabupaten Situbondo dapat dilihat pada Tabel 27.
No
Tabel 27 Produksi daging, telur, susu, dan kulit di Kabupaten Situbondo dari tahun 2004 – 2007 Uraian 2004 2005 2006 2007
1 Daging (ton) 2 541.0 2 609.0 2 Telur (ton) 258.7 273.8 3 Susu (liter) 67 198.0 64 884.0 4 Kulit Sapi (lembar) 7 859.0 7 851.0 5 Kulit Kambing (lembar) 690.0 710.0 6 Kulit Domba (lembar) 2 614.0 2 621.0 Sumber: Bappekab dan BPS Kabupaten Situbondo 2008
2 677.0 276.9 70 291.0 5 239.0 714.0 2 600.0
3 357.0 740.6 48 069.0 8 337.0 712.0 2 678.0
4.5.5. Kelembagaan Kelembagaan yang masih ada dan aktif di Kabupaten Situbondo antara lain: kelompok tani, kelompok ternak, Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu), Poliklinik Desa (Polindes), Tim Penggerak PKK, Karang Taruna 136, Palang Merah Remaja 1 083, Korps Sukarela
70, Himpunan Petani Pemakai Air
(HIPPA) 125. Kelompok pengajian, Ormas Islam, Majlis Ta’lim, dan kelompok kebaktian di Kabupaten Situbondo terlihat aktif mengadakan pertemuanpertemuan bulanan dan mingguan. Kelompok pengajian hampir terdapat di setiap desa. Kelompok pengajian pada umumnya mengadakan pengajian-pengajian di
93
masjid atau di rumah-rumah warga manakala ada diantara anggotanya bersedia menyelenggarakan pengajian di rumahnya. Ada juga kelompok pengajian yang berbentuk arisan yang dilaksanakan setiap minggu atau sebulan sekali, sedangkan kelompok kebaktian pada umumnya melaksanakan kebaktian di gereja-gereja yang terdapat di ibukota kecamatan. Jumlah lembaga keagamaan di kabupaten Situbondo pada tahun 2007 adalah sebagai berikut: 315 Ormas Islam, 324 Majlis Ta’lim, 244 TPA/TPQ, 150 Penyuluhan Agama, dan 206 Seni Islam. Banyaknya lembaga keagamaan di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 28. Tabel 28 Jumlah lembaga keagamaan di lokasi penelitian pada tahun 2007 No Lembaga Kec. Kec. Kec. Kec. Kec. Kegamaan Asembagus Jangkar Arjasa Kapongan Mangaran 1 2 3 4 5
Ormas Islam 47 4 118 Majlis Ta’lim 53 3 27 TPQ/TPA 15 12 9 Penyuluhan Agama 10 5 4 Seni Islam 24 11 4 Sumber: Bappekab dan BPS Kabupaten Situbondo 2008
11 7 10 8 17
9 16 5 6 14
Kelembagaan lain yang relatif aktif adalah Posyandu yang merupakan kegiatan rutin dilaksanakan pada setiap bulan untuk memantau perkembangan balita.
Kegiatan yang dilakukan antara lain: penimbangan bayi, kegiatan
immunisasi, pemeriksaan ibu hamil, pemberian makanan pada balita, dan pemberian vitamin A dosis tinggi.
4.6.
Kondisi Sistem Agribisnis Kawasan
4.6.1. Subsistem Agribisnis Hulu ( upstream off-farm agribusiness ) Subsistem agribisnis hulu kegiatan
(upstream off-farm agribusiness), yaitu
ekonomi (produksi dan perdagangan) yang menghasilkan sapronak.
Kondisi sarana dan prasarana pada subsistem ini seperti kios sapronak, bibit ternak/IB, obat-obatan/vitamin, dan pakan konsentrat
tersedia pada kota
kecamatan, sedangkan untuk gudang peralatan dan mesin bersifat individual maupun secara berkelompok (kelompok tani).
Pos Keswan (pos kesehatan
94
hewan) tersedia pada setiap kecamatan yang melayani penyediaan bibit ternak sapi potong melalui inseminasi buatan (IB) dan pengobatan ternak. Pelayanan ini dilakukan oleh 1 (satu) orang mantri hewan untuk satu kecamatan.
Pakan
konsentrat diperoleh di kios sapronak maupun di pabrik agroindustri yang terdapat di sekitar peternak, seperti: konsentrat, ampas tahu, dedak padi, ampas kecap, dan ampas tebu. Industri pakan ternak masih belum tersedia di kawasan ini, sehingga peternak
dalam
menyusun
ransum
mencari
bahan
baku
sendiri
dan
mencampurnya kemudian diberikan kepada ternak.
4.6.2. Subsistem Agribisnis Budidaya Peternakan (on-farm agribusiness) Subsistem agribisnis budidaya peternakan (on-farm agribusiness) yaitu, kegiatan ekonomi yang selama ini disebut sebagai usaha ternak yang akan menghasilkan produk peternakan primer, seperti: daging, susu, dan telur serta hasil ikutannya dengan tujuan sebagian atau seluruh hasilnya untuk dijual/ditukar yang berguna bagi kepentingan manusia. Pemeliharaan ternak sapi potong di lokasi ini dilakukan secara semi intensif, penerapan program panca usaha ternak potong (PUTP), seperti: perbaikan mutu bibit, pakan, penanganan kesehatan ternak, pemeliharaan, dan reproduksi ternak belum sepenuhnya dilaksanakan. Pakan yang diberikan sebagian besar dalam bentuk pakan hijauan dan limbah pertanian, berupa: jerami padi, daun jagung, daun ketela pohon, daun kedelai, daun kacang tanah, dan pucuk tebu yang cukup tersedia di lokasi ini, serta limbah agroindustri (dedak padi, ampas tahu, ampas kecap, dan molases/tetes tebu). Lokasi kandang ternak pada umumnya berkumpul dengan rumah atau jadi satu dengan tempat tinggal. Kondisi ini akan mengganggu kesehatan masyarakat demikian juga bau yang ditimbulkan, sehingga mengganggu kenyamanan masyarakat.
Kebersihan kandang pada umumnya masih kurang diperhatikan,
sehingga kotoran ternak (feses) cukup banyak dan hanya sebagian kecil saja feses yang dimanfaatkan untuk dikelola menjadi pupuk organik. Pengelolaan reproduksi ternak pada umumnya memanfaatkan teknologi inseminasi buatan (IB) yang tersedia dan berjalan sangat baik di lokasi ini. Demikian juga penanganan kesehatan ternak sudah berjalan cukup baik, karena di setiap kecamatan sudah dibangun pos kesehatan hewan (Poskeswan) yang didukung dengan tersedianya tenaga yang cukup memadai, seperti: mantri hewan dan petugas penyuluh
95
peternakan (PPL). Air baku yang digunakan dalam usahaternak pada umumnya berasal dari air sumur yang cukup banyak tersebar di kawasan ini. Kondisi jalan produksi (jalan usahatani) masih banyak berupa jalan tanah sehingga memerlukan peningkatan perbaikan
untuk memperlancar trasportasi.
Dalam sistem
usahaternak, penjualan ternak dilakukan dengan cara membawa ternak ke pasar ternak menggunakan mobil pick up atau pedagang ternak (belantik kandang) yang mendatangi rumah peternak. Jual beli ternak dilakukan dengan cara taksiran (tawar menawar), bukan berdasarkan berat badan hidup ternak. Model pengembangan ternak sapi di kawasan ini terbagi dua, (1) sebagian besar ternak sapi yang dipelihara adalah kepunyaan sendiri dan (2) sistem gaduhan atau bagi hasil. Dalam sistem gaduhan agak merugikan peternak yang memelihara, karena setiap hari peternak harus menyediakan pakan, merawat, dan membersihkan kandang. Jika peternak tidak tekun dalam merawat ternaknya, banyak peternak yang merugi dan keuntungan banyak dinikmati oleh pemilik modal.
4.6.3. Subsistem Agribisnis Hilir (downstream off-farm agribusiness) Subsistem agribisnis hilir (downstream off-farm agribusiness),
yaitu
kegiatan ekonomi yang mengolah dan memperdagangkan hasil usahaternak. Dalam subsistem ini termasuk industri pemotongan ternak, industri pengalengan dan pengolahan daging, serta industri pengolahan kulit. Pada kawasan ini industri pengolahan hasil ternak sangat kurang, kalaupun ada hanya sebatas home industri (industri rumah tangga), seperti pembuatan bakso daging sapi, dendeng, abon, dan kerupuk kulit yang jumlahnya
sangat terbatas. Jenis produk yang dihasilkan
dalam usaha peternakan pada umumnya dalam bentuk produk primer peternakan yaitu: anak sapi (pedet), daging, telur, dan susu, sedangkan produk olahan hasil ternak (produk sekunder peternakan sangat sedikit. Jumlah agroindustri peternakan yang belum berkembang, mengakibatkan kontribusi dari subsektor peternakan belum optimal dalam memberikan sumbangan PDRB terhadap daerah Kabupaten Situbondo. Pasar ternak di kawasan ini baru tersedia satu unit berskala pasar kecamatan yaitu terletak di Desa Kertosari Kecamatan Asembagus, demikian juga rumah potong hewan (RPH) hanya tersedia satu unit yang terletak di Desa Asembagus Kecamatan Asembagus.
96
4.6.4. Subsistem Jasa Penunjang Agribisnis (supporting institution) Subsistem jasa penunjang agribisnis (supporting institution) yaitu kegiatan yang menyediakan jasa agribisnis ternak, seperti: perbankan, asuransi, koperasi, transportasi, penyuluhan, poskeswan, kebijakan pemerintah, lembaga pendidikan serta penelitian, dan lain-lain. Kondisi subsistem jasa penunjang (supporting institution) di kawasan ini masih belum memadai. Lembaga penyuluhan pertanian/Balai Penyuluhan Pertanian (BPP), sudah terdapat di daerah ini, namun demikian perlu ditingkatkan lagi aktifitasnya terutama dalam frekuensi penyuluhan dan pelatihan terhadap pengelolaan usaha peternakan agar dapat secara bertahap mengubah perilaku peternak dalam mengelola usaha peternakan ke arah yang lebih maju/intensif dan berkelanjutan. keuangan mikro (LKM) di daerah ini sangat sedikit
Ketersediaan lembaga yang khusus untuk
menyediakan dana kegiatan usaha peternakan. Dalam rangka meningkatkan pengembangan usaha peternakan, keberadaan LKM sangat dibutuhkan untuk lebih mempermudah dalam pelayanan kegiatan ekonomi masyarakat. Kelompok tani ternak walaupun sudah terbentuk di beberapa daerah namun aktivitasnya belum maksimal. Demikian juga koperasi tani ternak di kawasan ini masih belum terbentuk, padahal keberadaan koperasi dapat menjadi media bagi peternak untuk secara bersama-sama membangun usahanya secara terintegrasi dari subsistem hulu sampai subsistem hilir, agar peternak dapat memperoleh nilai tambah yang lebih baik. Kawasan ini juga masih belum memiliki Balai Penelitian Ternak dan Hijauan Makanan Ternak (BPT – HMT) yang merupakan sarana pusat informasi dan penelitian ternak serta ajang promosi ternak di kawasan ini.
V. IDENTIFIKASI POTENSI WILAYAH KABUPATEN SITUBONDO Abstrak Dalam rangka mempercepat pembangunan pertanian dan perdesaan di wilayah Kabupaten Situbondo yang sebagian besar didominasi oleh sektor pertanian, perkebunan, peternakan, dan perikanan adalah dengan pengembangan kawasan agropolitan. Untuk mengembangkan kawasan agropolitan perlu mengidentifkasi potensi wilayah tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi potensi wilayah Kabupaten Situbondo dalam rangka pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan sapi potong terpadu. Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis location quotient (LQ), analisis komoditas unggulan dan andalan, analisis usahatani. Hasil penelitian menunjukkan bahwa wilayah Kabupaten Situbondo merupakan basis beberapa komoditas peternakan, seperti: ternak sapi potong, domba, kambing, dan itik. Namun demikian, dari beberapa komoditas ternak hanya ternak sapi potong yang merupakan komoditas unggulan wilayah Kabupaten Situbondo. Tingkat pendapatan peternak bervariasi, pendapatan tertinggi diperoleh oleh peternak penggemukan sapi potong dengan rata-rata sebesar Rp 4 250 000,- /ekor/tahun. Selain basis pengembangan peternakan sapi potong, wilayah Kabupaten Situbondo juga merupakan basis pengembangan tanaman pangan dan perkebunan. Tanaman jagung dan padi merupakan komoditas unggulan tanaman pangan, sedangkan tanaman tebu, tembakau, dan kopi merupakan komoditas unggulan tanaman perkebunan di wilayah Kabupaten Situbondo. Kata kunci: potensi wilayah, Kabupaten Situbondo.
Abstract Development agropolitan area by identifying region potential is needed to accelerate agricultural and rural development at Situbondo Region which largely dominated by agriculture sector (plantation, animal husbandry, and fisheries). This study is aimed to identify potential areas in Situbondo Region to expand agropolitan area based on animal husbandry. Methods of data analysis used in this study were analysis of location quotient (LQ), analysis of superior and leading commodity, farm business analysis. The results showed that the Situbondo Region suitable for some farm commodities, such as cattle, sheep, goats, and ducks. However, from the number of livestock commodities only cattle becomes the best commodity in Situbondo. Proven by cattle farmer (fattening) incomes that the highest incomes earned by fattening beef cattle with an average income of Rp 4 250 000, - / year. Keywords: potential of the region, Situbondo.
98
5.1. Pendahuluan Kabupaten Situbondo merupakan daerah agraris.
Hal ini disebabkan
sebagian besar wilayah ini dimanfaatkan untuk pertanian. Potensi sektor pertanian di Kabupaten Situbondo pada tahun 2007 yang memberikan kontribusi terbesar di antaranya adalah: produksi pertanian tanaman pangan, perkebunan, peternakan, perikanan laut, tambak, dan kehutanan. Subsektor peternakan mempunyai potensi yang sangat baik untuk dikembangkan. Hal ini berdasarkan beberapa fakta di lapangan. Pertama, permintaan pasar terhadap komoditas peternakan cukup tinggi. Kedua, potensi lahan yang tersedia dan ketersediaan sumber pakan sangat mendukung untuk pengembangan usaha peternakan. Ketiga, kesesuaian kondisi agroklimat terutama untuk ternak ruminansia. Keempat, budaya masyarakat dan tenaga kerja yang terdapat di daerah ini cukup mendukung pengembangan usaha peternakan. Kelima, dukungan pemerintah daerah terhadap sektor peternakan cukup baik. Hal ini ditandai dengan disediakannya fasilitas-fasilitas peternakan, seperti: rumah potong hewan (RPH), pasar hewan, inseminasi buatan (IB), dan penyediaan bibit rumput unggul. Keenam, pasar produk peternakan memberikan peluang pasar yang sangat baik. Selain produk peternakan untuk mencukupi kebutuhan masyarakat Kabupaten Situbondo, juga untuk melayani permintaan dari kota-kota lain seperti Surabaya dan
Jakarta. Hal ini ditunjukkan oleh
banyaknya ternak dan unggas yang dipotong serta ternak yang keluar setiap tahunnya. Kontribusi sektor peternakan dan hasil-hasilnya pada tahun 2007 dapat menyumbangkan produk domestik regional bruto (PDRB) sebanyak 9.87 % atau sebesar Rp 146 804 670 000,- (Bappekab dan BPS Kabupaten Situbondo 2008). Sebagai suatu sistem, pengembangan peternakan pada saat ini masih menghadapi berbagai kendala. Menurut Dinas Peternakan Kabupaten Situbondo (2006) bahwa permasalahan-permasalahan yang sering muncul di daerah ini adalah sebagai berikut: (1) harga obat hewan yang semakin tinggi, (2) kesulitan untuk memperoleh bibit, (3) kesulitan untuk akses ke sumber modal, (4) rendahnya nilai tambah yang diperoleh peternak, (5) rendahnya angka kelahiran dan masih tingginya angka kematian ternak, (6) masih tingginya angka pemotongan ternak betina produktif, (7) manajemen pakan yang kurang baik, (8) masih rendahnya tingkat keberhasilan teknologi inseminasi buatan, dan
99
(9) rendahnya upaya pemanfaatan limbah pertanian sebagai sumber pakan dan kotoran ternak sebagai pupuk organik secara intensif. Wilayah Kabupaten Situbondo mempunyai potensi
sumberdaya yang
cukup besar untuk dimanfaatkan secara optimal untuk
sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
Potensi
sumberdaya yang dapat dikembangkan adalah
sektor peternakan disamping potensi sumberdaya lainnya. Dari luas wilayah sebesar 48 236.7 ha (lokasi Studi lima kecamatan) sektor peternakan sangat potensial untuk dikembangkan. harus berintegrasi
Dalam pengembangan sektor peternakan ini,
dengan pembangunan wilayah.
Salah satu program
pembangunan wilayah yang dapat dilakukan dengan mensinergikan potensi yang dimiliki adalah pengembangan kawasan agropolitan. Melalui pengembangan kawasan agropolitan diharapkan dapat berfungsi sebagai pusat pertumbuhan ekonomi yang mendorong pertumbuhan pembangunan perdesaan dan desa-desa hinterland atau wilayah sekitarnya melalui pengembangan ekonomi yang tidak terbatas sebagai pusat pelayanan sektor peternakan, tetapi juga pembangunan sektor secara luas seperti usahatani
(on farm dan off farm), industri kecil,
pariwisata, jasa pelayanan, dan pelayanan lainnya. Penelitian yang terkait dengan pengembangan kawasan agropolitan di Kabupaten Situbondo masih belum pernah dilakukan, oleh karena itu perlu dilakukan penelitian mendalam untuk mengetahui potensi yang dimiliki wilayah Kabupaten Situbondo dalam rangka pengembangan kawasan agropolitan tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi potensi yang dimiliki wilayah Kabupaten Situbondo dalam pengembangannya sebagai kawasan agropolitan berbasis peternakan sapi potong terpadu. 5.2. Metode Analisis Identifikasi Potensi Wilayah Kabupaten Situbondo a. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penetapan kawasan agropolitan berbasis peternakan terdiri atas data primer dan data sekunder. Adapun data primer yang diambil adalah total biaya dan penerimaan usahatani peternakan.
100
Data sekunder seperti data produksi peternakan dan pertanian, komoditas unggulan, jumlah penduduk, kegiatan utama masyarakat di sektor peternakan dan pertanian, aksesibilitas kawasan ke kawasan/daerah lainnya, kedekatan dengan pasar, kelengkapan sarana dan prasarana pendukung, potensi lahan untuk mendukung pengembangan kawasan agropolitan, dan perolehan PDRB, fasilitas pendidikan latihan dan penyuluhan, fasilitas kesehatan hewan dan inseminasi buatan (IB), fasilitas ibadah, fasilitas olah raga, fasilitas keamanan, fasilitas ekonomi seperti ketersediaan pasar dan koperasi unit desa (KUD). b. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data primer dilakukan dengan cara wawancara, diskusi, pengisian kuesioner, dan pengamatan langsung terhadap kegiatan di lokasi penelitian untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Responden di wilayah studi yang terdiri atas berbagai pakar dan stakeholder yang terkait dengan kegiatan pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan. Data sekunder diperoleh dari beberapa sumber, seperti: hasil studi pustaka, hasil penelitian terdahulu, laporan, dan dokumen dari beberapa instansi yang terkait dengan penelitian. c. Metode Analisis Data Metode analisis data, dilakukan dengan tahapan-tahapan sebagai berikut: c.1. Analisis Location Quotient (LQ) Penentuan kecamatan sampel berdasarkan hasil analisis location quotient yaitu untuk menentukan keadaan apakah suatu kecamatan merupakan sektor basis atau non basis dalam hal populasi ternak. Kecamatan yang dijadikan sampel adalah kecamatan yang populasi ternaknya merupakan sektor basis, sedangkan peternak yang dijadikan sampel diambil secara acak.
Metode ini dapat juga
digunakan terhadap beberapa komoditas penting lainnya. Rumus location quotient (LQ) adalah sebagai berikut:
101
Xij/Xi. LQij = -------X.j/X. Keterangan: Xij Xi.
= Produksi sektor tertentu (i) di kecamatan j. = Produksi seluruh sektor di kecamatan j.
X.j = Produksi total sektor (i) di kabupaten. X..
= Total produksi seluruh sektor di kabupaten.
Jika LQ >1, maka aktivitas yang diamati tersebut adalah aktivitas basis, artinya sektor tersebut menjadi komoditi utama bagi wilayah tersebut. Jika LQ = 1, maka aktivitas yang diamati di wilayah kecamatan adalah aktivitas yang sama dengan produksi keseluruhan. Jika LQ <1, maka aktivitas yang diamati adalah aktivitas non basis, artinya sektor tersebut tidak menjadi kegiatan utama dalam wilayah tersebut. Penilaian terhadap basis atau bukan suatu komoditas didasarkan pada nilai LQ yaitu LQ>1, LQ = 1, dan LQ < 1. Nilai LQ > 1 memberikan pengertian bahwa komoditas tersebut merupakan basis pengembangan di kecamatan tersebut. Sebaliknya jika nilai LQ < 1, dapat diartikan bahwa komoditas tersebut merupakan bukan basis pengembangan di kecamatan tersebut. Nilai LQ = 1, dapat diartikan bahwa komoditas mempunyai potensi yang tinggi untuk dikembangkan di kecamatan tersebut.
Dalam penelitian ini, analisis LQ
menggunakan data populasi ternak (ekor) pada tahun 2007. Dalam penghitungan nilai LQ untuk beberapa komoditas ternak digunakan faktor konversi kesetaraan nilai, karena nilai setiap jenis ternak sangat berbeda jauh. Berdasarkan harga beberapa komoditas ternak menurut Bappekab dan BPS Kabupaten Situbondo (2008) adalah sebagai berikut: sapi potong Rp 6 000 000,-/ekor, kambing Rp 480 000,-/ekor, domba Rp 540 000,-/ekor, ayam buras Rp 30 000,-/ekor, ayam buras Rp 30 000,-, itik Rp 30 000,-/ekor, sapi perah Rp 8 400 000,-/ekor, kerbau Rp 6 000,-/ekor, dan ayam ras Rp 24 000,-/ekor, sehingga untuk sapi potong faktor konversi kesetaraan nilai dikalikan (200), kambing (16), domba (18), ayam buras (1), itik (1), sapi perah (280), kerbau (200), dan ayam ras (0.8).
102
c.2. Analisis Komoditas Unggulan dan Andalan Analisis komoditas unggulan dan andalan digunakan untuk menentukan komoditas unggulan dan andalan di suatu wilayah. Komoditas unggulan dan andalan merupakan komoditas basis atau penggerak utama pertumbuhan ekonomi dari sektor peternakan. Selain komoditas unggulan dan andalan, dikenal juga istilah komoditas penunjang yang lebih mengarah pada komoditas yang dapat diusahakan dengan komoditas utama untuk tujuan efisiensi pemanfaatan sumberdaya. Komoditas andalan, memiliki ciri-ciri sebagai berikut: a) Merupakan komoditas yang dominan yang diusahakan masyarakat. b) Merupakan komoditas spesifik lokasi. c) Dapat dibudidayakan berdasarkan agroklimat. Komoditas unggulan memiliki ciri-ciri sebagai berikut: a) Merupakan salah satu komoditas andalan. b) Besaran ekonominya menguntungkan. c) Memiliki prospek pasar. d) Meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan keluarga. e) Potensi dan sumberdaya lahan yang besar. f) Secara sosial digemari oleh masyarakat dan diusahakan sepanjang tahun. g) Merupakan komoditas dominan.
Dalam analisis komoditas unggulan dan andalan, ada 7 (tujuh) kriteria yang dapat dijadikan sebagai dasar penilaian, antara lain: 1. Kesesuaian
lahan dengan indikator penilaian adalah arahan
pengembangan komoditas dengan kesesuaian lahan agroklimat. Analisis dilakukan dengan menemukan persyaratan kesesuaian lahan untuk pengembangan komoditas peternakan berdasarkan hasil analisis kesesuaian lahan. 2. Pengusahaannya dominan, dengan indikator penilaian adalah hirarkhi jumlah terbanyak atau terluas komoditas.
103
3. Tingkat produktivitas wilayah dengan indikator penilaian adalah nilai relatif produktivitas komoditas. 4. Memiliki keunggulan komparatif, dengan indikator penilaian adalah nilai LQ banyaknya usaha ternak. 5. Memiliki
keunggulan
kompetitif,
dengan
indikator
penilaian
perbandingan produksi relatif dan harga relatif antar komoditas. 6. Komoditas diperdagangkan antar wilayah, dengan indikator penilaian adalah nilai LQ nilai produksi komoditas. 7. Keterkaitan produk ke depan, dengan indikator penilaian adalah merupakan bahan baku industri dan memiliki peluang pengembangan ke depan.
Untuk komoditas peternakan, pengelompokan komoditas unggulan dan andalan dilakukan dengan menilai tujuh kriteria yaitu: (1) nilai populasi (Rp), (2) kesesuaian wilayah (arahan kesesuaian wilayah), (3) laju perkembangan (%), (4) nilai relatif perkembangan wilayah terhadap wilayah hirarkhi lebih tinggi (ratio), (5) keunggulan kompetitif antar komoditas, (6) komoditas diperdagangkan antar wilayah (LQ), dan (7) prospek permintaan (permintaan daging, susu, dan telur). Pemberian bobot pada setiap komponen yang dinilai sama dengan cara komoditas lainnya dari satu (1) sampai dengan lima (5). Total bobot dan cara klasifikasi bobot adalah sama dengan komoditas tanaman yang hanya diklasifikasikan menjadi dua kelompok yaitu kelompok komoditas andalan total nilai 6-20 dan komoditas unggulan total nilai 21-30. c.3. Analisis Usahatani Analisis usahatani dilaksanakan untuk mengetahui biaya dan manfaat usahatani dalam menghasilkan suatu produk. Salah satu teknik analisis yang dapat digunakan untuk mengetahui kelayakan usahatani (Badan Agribisnis Departemen Pertanian, 1999 dan Djamin, 1993) adalah revenue cost ratio (R/C ratio) yang menggambarkan ratio pendapatan dengan nilai biaya total selama musim usaha, dengan rumus sebagai berikut:
104
R/C = ∑ R/ ( ∑ Cs + ∑ Ct ) Keterangan:
R/C = Rasio pendapatan terhadap modal. ∑ R = Pendapatan total. ∑Cs = Biaya tunai. ∑ Ct = Biaya terhitung.
5.3. Hasil dan Pembahasan Analisis Potensi Wilayah Berbasis Peternakan Sapi Potong Terpadu di Kabupaten Situbondo 5.3.1. Basis Komoditas Pertanian a. Komoditas Peternakan Wilayah studi terdiri atas 5 (lima) kecamatan, yaitu: Kecamatan Asembagus, Jangkar, Arjasa, Kapongan, dan Mangaran merupakan objek kajian dalam penelitian ini. beberapa
Setiap kecamatan mempunyai potensi untuk pengembangan
komoditas
peternakan,
sehingga
dapat
menjadi
basis
bagi
pengembangan komoditas peternakan tertentu. Untuk mengetahui apakah setiap kecamatan yang dianalisis di wilayah Kabupaten Situbondo merupakan basis (dominan) pengembangan komoditas ternak tertentu dapat dilakukan dengan menggunakan analisis location quotient (LQ) seperti terlihat pada Tabel 29 dan Lampiran 1. Tabel 29 Nilai LQ beberapa jenis ternak di wilayah Kabupaten Situbondo No
Jenis Ternak
Kec. Asembagus
Kec. Jangkar
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Sapi Potong Sapi Perah Kerbau Kambing Domba Ayam Buras Ayam Ras Itik
1.03 0.00 0.00 0.47 0.80 0.94 0.00 0.47
1.07 0.00 0.00 0.19 0.49 0.39 0.00 0.25
Kec. Arjasa
1.04 0.00 0.22 0.63 0.82 0.47 0.00 0.64
Kec. Kec. Kapongan Mangaran
1.00 0.00 0.20 0.87 1.07 1.04 0.00 1.03
1.01 0.00 0.00 0.99 0.99 1.14 0.00 0.65
Sumber: Data diolah dari data sekunder: Bappekab dan BPS Kabupaten Situbondo 2008
105
Jenis ternak yang paling dominan dan merupakan basis pengembangan ternak di lima kecamatan adalah ternak sapi potong, sedangkan ternak sapi perah, kerbau, dan ayam ras bukan merupakan basis pengembangan di lokasi studi. Ternak domba, ayam buras, dan itik cukup dominan pengembangannya di Kecamatan
Kapongan,
demikian
juga
ayam
buras
cukup
dominan
pengembangannya di Kecamatan Kapongan. Ternak kambing dan domba mempunyai potensi untuk dikembangkan di Kecamatan Mangaran (Tabel 29). Jenis ternak yang dominan ini didasarkan pada populasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan populasi wilayah di atasnya yaitu Kabupaten Situbondo dan ini didasarkan pada nilai LQ >1. Nilai LQ >1 dapat dijadikan petunjuk bahwa kecamatan tersebut surplus akan komoditas tertentu (merupakan kantong ternak) dan telah mengekspornya ke daerah lain atau memiliki tingkat kebutuhan konsumen yang tinggi yang berasal dari daerah lain di luar kecamatan tersebut. Komoditas-komoditas ini juga telah banyak diminati oleh masyarakat setempat untuk dibudidayakan, dan cukup sesuai dengan kondisi agroklimat, sehingga dapat dikatakan komoditas-komoditas tersebut merupakan komoditas unggulan baik dilihat dari keunggulan kompetitif maupun keunggulan komparatif. Namun demikian perhitungannya masih sederhana yang hanya didasarkan pada nilai LQ saja, sehingga perlu analisis lebih lanjut untuk memasukkan ke dalam kategori sebagai komoditas unggulan. Jumlah ternak sapi potong di daerah ini cukup dominan dibandingkan daerah lainnya. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 23, 24, 25, 26, dan 27. Dalam
rangka
lebih
meningkatkan
pendapatan
peningkatan produksi terhadap komoditas-komoditas
peternak.
upaya
ternak yang telah
dikembangkan oleh masyarakat perlu terus digiatkan baik terhadap komoditas yang memiliki nilai LQ > 1 dan LQ = 1 maupun komoditas dengan nilai LQ < 1 mengingat
komoditas-komoditas
ini
sudah
banyak
dikembangkan
oleh
masyarakat setempat secara turun-temurun. Upaya peningkatan produksi dapat dilakukan melalui kegiatan ekstensifikasi dan intensifikasi, mengingat wilayah ini masih memiliki lahan yang cukup untuk pengembangan komoditas dominan dengan tingkat penggunaan sarana produksi peternakan (sapronak) dan
106
pemanfaatan teknologi yang masih kurang, sehingga komoditas dominan tersebut masih mempunyai peluang yang besar untuk ditingkatkan baik kualitas maupun kuantitasnya. Ternak ruminansia, khususnya ternak sapi potong sangat potensial untuk dikembangkan di wilayah Kabupaten Situbondo dan pemerintah daerah serta masyarakat sangat antusias dan merespon kebijakan ini. Hal ini disebabkan antara lain: (1) permintaan pasar terhadap komoditas peternakan cukup tinggi, untuk tahun 2007 saja jumlah ternak yang dipotong: 8 464 ekor; (2) potensi lahan yang tersedia dan ketersediaan sumber pakan sangat mendukung untuk pengembangan usaha peternakan. Kondisi ini ditunjukkan oleh pemanfaatan tanah di Kabupaten Situbondo untuk kehutanan (44.80 %), sawah (18.56 %); pertanian tanah kering (17.09 %); padang rumput (4.56 %) dari total luas wilayah 163 850 ha. (3) kesesuaian kondisi agroklimat dengan jenis ternak sapi potong. Seperti halnya daerah lain di Indonesia, Kabupaten Situbondo memiliki iklim tropis yang ditandai dengan adanya dua musim, yaitu musim kemarau dan musim penghujan. Musim kemarau atau panas berlangsung antara bulan Mei – September, sedangkan musim penghujan berlangsung antara bulan Oktober – April dengan curah hujan rata-rata 994 mm hingga 1 053 mm per tahun dengan temperatur lebih kurang antara 24.7
0
C – 27.9
0
C. Kondisi ini cukup ideal untuk
pengembangan usaha peternakan, terutama untuk ternak sapi potong, (4) budaya masyarakat dan tenaga kerja yang terdapat di daerah ini cukup mendukung pengembangan usaha peternakan sapi potong. Jumlah penduduk di Kabupaten Situbondo sampai dengan tahun 2007 adalah sebesar 638 537 jiwa, yang terdiri atas 311 119 jiwa penduduk laki-laki dan 327 338 jiwa penduduk perempuan. Dengan luas wilayah 1 638.50 km2, maka kabupaten Situbondo memiliki kepadatan penduduk sebesar 390 jiwa/km2.
Sebagian besar masyarakat
Kabupaten Situbondo adalah Suku Madura dan Jawa yang banyak bekerja di bidang pertanian (tanaman pangan, perkebunan, peternakan, dan perikanan) karena daerah ini dikenal daerah agraris. Selain itu Suku Madura dikenal sangat dekat dan senang memelihara sapi potong, karena ada kaitannya dengan hoby Karapan Sapi. Kondisi ini sangat mendukung perkembangan usaha peternakan sapi potong di wilayah ini. (5) dukungan pemerintah daerah terhadap sektor
107
peternakan cukup baik. Hal ini ditandai dengan disediakannya fasilitas-fasilitas peternakan, seperti: rumah potong hewan (RPH), pasar hewan, inseminasi buatan (IB), penyediaan bibit rumput unggul, serta bibit sapi potong unggul, seperti Limousin, Simmental dan Brahman, Brangus, dan Hereford. (6) pasar produk peternakan (permintaan daging segar) memberikan peluang pasar yang sangat baik.
Selain produk peternakan untuk mencukupi kebutuhan masyarakat
Kabupaten Situbondo, juga untuk melayani permintaan dari kota-kota lain seperti Surabaya, Malang, dan Jakarta. Hal ini ditunjukkan oleh banyaknya ternak yang dipotong serta ternak yang keluar setiap tahunnya. Kontribusi sektor peternakan dan hasil-hasilnya pada tahun 2007 dapat menyumbangkan produk domestik regional bruto (PDRB) sebanyak 9.87 % atau sebesar Rp 146 804 670 000,(Bappekab dan BPS Kabupaten Situbondo 2008). b. Basis Komoditas Tanaman Pangan Hasil analisis nilai LQ untuk komoditas tanaman pangan pada Tabel 30, menunjukkan bahwa setiap kecamatan di lima kecamatan wilayah studi memiliki komoditas tanaman pangan yang dominan dikembangkan oleh masyarakat. Di Kecamatan Asembagus, komoditas tanaman pangan yang merupakan komoditas dominan adalah jagung dan kacang tanah. Di Kecamatan Jangkar komoditas yang dominan adalah tanaman padi, jagung, dan kacang tanah, sedangkan di Kecamatan Arjasa komoditas dominan adalah tanaman jagung, kacang tanah, dan ketela pohon. Di Kecamatan Mangaran tanaman padi merupakan komoditan dominan. Tabel 30 Nilai LQ komoditas tanaman pangan di wilayah Kabupaten Situbondo No
Komoditas
1. 2. 3. 4. 5.
Padi Jagung Kacang Tanah Kedelai Ketela Pohon
Kec. Asembagus
Kec. Jangkar
Kec. Arjasa
0.54 1.31 1.56 0.48 0.08
1.00 1.08 2.91 0.89 0.12
0.55 1.13 2.06 0.27 4.81
Kec. Kapongan
1.49 0.42 0.53 1.81 0.48
Kec. Mangaran
1.32 0.58 0.21 0.51 0.19
108
Jenis tanaman pangan yang dominan ini didasarkan pada tingkat produksi yang lebih tinggi dibandingkan dengan produksi wilayah di atasnya yaitu Kabupaten Situbondo dan ini didasarkan pada nilai LQ >1. Nilai LQ >1 dapat dijadikan petunjuk bahwa kecamatan tersebut surplus akan komoditas tertentu dan telah mengekspornya ke daerah lain atau memiliki tingkat kebutuhan konsumen yang tinggi yang berasal dari daerah lain di luar kecamatan tersebut. Komoditaskomoditas ini juga telah banyak diminati oleh masyarakat setempat untuk dibudidayakan, dan cukup sesuai dengan kondisi agroklimat, sehingga dapat dikatakan komoditas-komoditas tersebut merupakan komoditas unggulan baik dilihat dari keunggulan kompetitif maupun keunggulan komparatif.
Namun
demikian perhitungannya masih sederhana yang hanya didasarkan pada nilai LQ saja, sehingga perlu analisis lebih lanjut untuk memasukkan ke dalam kategori sebagai komoditas unggulan. Dalam rangka
lebih
meningkatkan pendapatan
masyarakat,
upaya
peningkatan produksi terhadap komoditas-komoditas tanaman pangan yang telah dikembangkan oleh masyarakat perlu terus digiatkan terutama terhadap komoditas yang memiliki nilai LQ > 1 mengingat komoditas-komoditas ini sudah banyak dikembangkan oleh masyarakat setempat secara turun-temurun.
Upaya
peningkatan produksi tanaman pangan dapat dilakukan melalui kegiatan intensifikasi, yaitu dengan penggunaan sarana produksi pertanian
dan
pemanfaatan teknologi pertanian yang tepat, sehingga komoditas dominan tersebut masih mempunyai peluang yang cukup besar untuk ditingkatkan baik kualitas maupun kuantitasnya. Komoditas tanaman pangan, khususnya tanaman padi dan jagung sangat potensial untuk dikembangkan di wilayah Kabupaten Situbondo.
Hal ini
disebabkan antara lain: (1) masyarakat daerah ini sudah terbiasa menanam padi dan jagung, luas panen padi tahun 2007, yaitu 32 602 ha dengan produksi 2 057 277.37 kwintal, sedangkan luas panen jagung: 42 089 ha dengan produksi 2 048 242.58 kwintal,
(2) potensi lahan yang tersedia sangat mendukung untuk
pengembangan usaha tanaman pangan, khususnya padi dan jagung. Kondisi ini ditunjukkan oleh pemanfaatan tanah di Kabupaten Situbondo untuk kehutanan
109
(44.80 %), sawah (18.56 %); pertanian tanah kering (17.09 %); padang rumput (4.56 %) dari total luas wilayah 163 850 ha. (3) komoditas tanaman pangan cukup sesuai dengan kondisi agroklimat daerah ini.
Seperti halnya daerah lain di
Indonesia, Kabupaten Situbondo memiliki iklim tropis yang ditandai dengan adanya dua musim, yaitu musim kemarau dan musim penghujan. Musim kemarau atau panas berlangsung antara bulan Mei – September, sedangkan musim penghujan berlangsung antara bulan Oktober – April dengan curah hujan rata-rata 994 mm hingga 1 053 mm per tahun dengan temperatur lebih kurang antara 24.70C – 27.90C. Kondisi ini cukup ideal untuk pengembangan usaha tanaman pangan padi dan jagung. Namun sejak akhir tahun 1980 an, ketersediaan pasokan air dari Sungai Sampean yang selama ini menjadi andalan petani Kabupaten Situbondo untuk pengairan lahan pertanian, ketersediaannya semakin berkurang. Hal ini disebabkan hutan di hulu Sungai Sampean banyak yang rusak, apalagi kalau sudah menghadapi musim kemarau yang sangat panjang.
Petani yang
sebelumnya bisa menanam padi sepanjang tahun (3 kali per tahun), saat ini paling banyak 1-2 kali dalam setahun dan sisanya ditanami palawija atau dibiarkan saja. Untuk meningkatkan pendapatan, selain menanam tanaman pangan, petani juga banyak yang beternak secara semi intensif maupun intensif. Jenis ternak yang dipelihara pada umumnya sapi, domba, dan kambing. Jenis ternak ini sangat mudah dipelihara dan petani dalam memberikan pakan kepada ternaknya pada umumnya memanfaatkan limbah tanaman padi dan jagung (jerami padi dan daun jagung) yang cukup tersedia di daerah ini. Keuntungan dari beternak sapi potong cukup menjanjikan dalam rangka meningkatkan pendapatan petani, di saat pendapatan usaha pertanian tanaman pangan dan perkebunan semakin menurun dan prospeknya kurang menggembirakan, (5) dukungan pemerintah daerah terhadap sektor tanaman pangan dan perkebunan cukup baik. Hal ini ditandai dengan disediakannya fasilitas-fasilitas tanaman pangan dan perkebunan, (6) pasar produk tanaman pangan dan perkebunan
sangat baik.
Selain produk
tanaman pangan dan perkebunan untuk mencukupi kebutuhan masyarakat Kabupaten Situbondo, juga untuk melayani permintaan dari kota-kota lain seperti Surabaya, Malang, Denpasar, dan Jakarta. Hal ini ditunjukkan oleh banyaknya komodtas tanaman pangan dan perkebunan yang keluar setiap tahunnya.
110
Kontribusi sektor tanaman pangan dan perkebunan hasil-hasilnya pada tahun 2007 dapat menyumbangkan produk domestik regional bruto (PDRB) sebanyak 17,18% dan 12.37 % (Bappekab dan BPS Kabupaten Situbondo 2008). c. Basis Komoditas Perkebunan Hasil analisis nilai LQ untuk komoditas tanaman perkebunan, menunjukkan bahwa setiap kecamatan di lima kecamatan wilayah studi memiliki komoditas tanaman perkebunan yang dominan dikembangkan oleh masyarakat. Tanaman tebu (luas tanam 7 878 ha) merupakan komoditas tanaman perkebunan yang paling dominan di wilayah studi, karena di 5 (lima) kecamatan wilayah studi (Kecamatan Asembagus, Jangkar, Arjasa, Kapongan, dan Mangaran) tanaman tebu merupakan tanaman dominan dan luasan pengusahaannya paling luas dibandingkan tanaman perkebunan lainnya (Tabel 31). Tanaman tebu sudah sangat familiar dengan petani, karena di Kabupaten Situbondo terdapat 5 (lima) pabrik gula (PG) yang dibangun sejak zaman Belanda, yaitu: PG. Asembagus, PG. Panji, PG. Olean, PG. Wringin Anom, dan PG. Demas. Sejak lama Kabupaten Situbondo dikenal dengan sebutan Penghasil Gula di Jawa Timur. Tanaman tebu selain menghasilkan gula, oleh petani limbah tanaman tebu (daun pucuk tebu) dimanfaatkan untuk pakan ternak sapi, demikian juga limbah pabrik gula dari hasil pengelolaan tanaman tebu, yang berupa tetes (molases) dimanfaatkan petani untuk pakan ternak sapi. Oleh karena itu, perkembangan ternak sapi di daerah ini cukup baik. Jenis tanaman perkebunan lainnya yang merupakan komoditas dominan adalah tanaman tembakau (luas tanam 762 ha) dan kopi (luas tanam 1 197 ha) yang pada umumnya terletak di Kecamatan Arjasa, khususnya di Desa Kayumas. Tembakau asal Desa Kayumas merupakan salah satu jenis tembakau yang cukup terkenal di Situbondo dan banyak diminati oleh masyarakat setempat maupun luar Kabupaten Situbondo (pabrik rokok di Jawa Timur) karena aromanya yang harum dan terkenal di pasaran dengan sebutan Tembakau Kayumas.
Desa Kayumas yang terletak di Kecamatan
Arjasa, selain terkenal penghasil tembakau, juga dikenal penghasil kopi, oleh karena itu Desa Kayumas dikenal dengan sebutan Perkebunan Kayumas.
111
Dalam rangka lebih meningkatkan pendapatan masyarakat,. upaya peningkatan produksi terhadap komoditas-komoditas tanaman perkebunan yang telah dikembangkan oleh masyarakat, seperti: tanaman tebu, tembakau, dan kopi perlu terus digiatkan mengingat komoditas-komoditas ini sudah banyak dikembangkan oleh masyarakat setempat. Upaya peningkatan produksi tanaman perkebunan dapat dilakukan melalui kegiatan intensifikasi, yaitu dengan penggunaan sarana produksi perkebunan dan pemanfaatan teknologi pertanian yang tepat guna, sehingga komoditas dominan tersebut masih mempunyai peluang yang cukup besar untuk ditingkatkan baik kualitas maupun kuantitasnya. Tabel 31 Nilai LQ komoditas tanaman perkebunan di wilayah Kabupaten Situbondo No Komoditas
1. 2. 3. 4. 5.
Tebu Tembakau Kopi Kelapa Kapuk
Kec. Asembagus
Kec. Jangkar
Kec. Arjasa
Kec. Kapongan
Kec. Mangaran
1.99 0.19 0.00 0.15 0.22
1.39 0.32 0.00 0.09 0.19
1.11 2.60 6.50 0.09 0.17
2.66 0.05 0.00 0.16 0.16
2.66 0.06 0.00 0.10 0.10
5.3.2. Komoditas Unggulan dan Andalan a. Komoditas Unggulan dan Andalan Peternakan Komoditas unggulan dan andalan komoditas peternakan terdiri atas 5 (lima) komoditas, yaitu: sapi potong, domba, kambing, ayam kampung, dan itik. Kelima komoditas peternakan tersebut terseleksi dari dominansi harga jual masing-masing komoditas peternakan tersebut. Setelah menggunakan penilaian berikutnya, maka diperoleh bahwa ada 4 (empat) komoditas yang tergolong dalam komoditas andalan, yaitu: domba, kambing, ayam kampung, dan itik serta hanya 1 (satu) komoditas peternakan yang tergolong dalam komoditas unggulan, yaitu ternak sapi potong. Hasil analisis dapat dilihat pada Tabel 32.
112
Tabel 32 Penilaian komoditas ternak di Wilayah Kabupaten Situbondo pada tahun 2007 Komoditas
Kriteria Penilaian
1
2
3
4
5
6
7
Total Bobot
Keputusan
6 000 000,- V 0.25 (4) 71.03 (5) (5) 1.20 (4) 27 Unggulan (5) (4) 500 000,- V 0.15 (2) 2.08 (3) (3) 0.39 (3) 18 Andalan Domba (4) (3) 400 000,- V 0.19 (3) 0.45 (2) (2) 0.11 (2) 14 Andalan Kambing (3) (2) 30 000,V -4.83 (1) 26.44 (4) (4) 9.80 (5) 20 Andalan Ayam (1) (5) 40 000,V 1.14 (5) 0.10 (1) (1) 0.01 (1) 11 Andalan Itik (2) ( 1) Keterangan: (1) Nilai populasi (Rp), (2) Kesesuaian wilayah, (3) Laju perkembangan (%), (4) Nilai relatif perkembangan wilayah terhadap wilayah hirarkhi lebih tinggi (ratio), (5) Keunggulan kompetitif antar komoditas , (6) Komoditas diperdagangkan antar wilayah (LQ), dan (7) Prospek permintaan (daging, susu, dan telur)
Sapi Potong
Sumber: Data diolah dari data sekunder: Bappekab dan BPS Kabupaten Situbondo 2008 Pada Tabel 32 menunjukkan bahwa komoditas ternak sapi potong unggul hampir pada semua kriteria yang dinilai dibandingkan dengan komoditas lainnya, sehingga komoditas ternak sapi potong tergolong komoditas unggulan di wilayah Kabupaten Situbondo. Komoditas ayam kampung unggul pada tingkat permintaan daging, komoditas diperdagangkan, dan itik unggul pada kriteria laju perkembangan, sedangkan ternak domba dan kambing mempunyai kriteria penilaian yang agak rendah, sehingga keempat komoditas ternak tersebut (ayam kampung, itik, domba, dan kambing) tergolong pada komoditas andalan. Keunggulan ternak sapi potong sebagai komoditas unggulan dibandingkan dengan jenis ternak lainnya, selain disebabkan oleh 7 (tujuh) kriteria penilaian di atas tersebut, juga disebabkan antara lain intensifnya Pemerintah Daerah melalui Dinas Peternakan Kabupaten Situbondo memperkenalkan jenis-jenis sapi potong unggul, seperti Simmental, Limousin, Brahman, Brangus, dan Hereford melalui kawin suntik (inseminasi buatan/IB). Lahirnya bibit sapi potong unggul yang bobot badan dewasa dapat melebihi dari 1 000 kg/ekor dan harga pedet (umur 3 4 bulan) sapi potong berkisar Rp 5 000 000,- - Rp 6 000 000,- /ekor membuat masyarakat tertarik dan dalam waktu yang tidak terlalu lama, perkembangan dan populasi ternak sapi potong di wilayah ini cukup menonjol serta wilayah ini dikenal dengan sebutan kantong ternak sapi potong untuk Jawa Timur.
113
b. Komoditas Unggulan dan Andalan Tanaman Pangan Komoditas unggulan dan andalan komoditas tanaman pangan terdiri atas 5 (lima) komoditas, yaitu: padi, jagung, kacang tanah, kedelai, dan ketela pohon. Kelima komoditas tanaman pangan tersebut terseleksi dari dominansi luas tanaman
masing-masing
komoditas
tanaman
pangan
tersebut.
Setelah
menggunakan kriteria penilaian berikutnya, maka diperoleh bahwa ada 3 (tiga) komoditas yang tergolong dalam komoditas andalan, yaitu: kacang tanah, kedelai, dan ketela pohon serta ada 2 (dua) komoditas tanaman pangan yang tergolong dalam komoditas unggulan, yaitu padi dan jagung.
Hasil analisis komoditas
unggulan dan andalan tanaman pangan dapat dilihat pada Tabel 33. Tabel 33 Penilaian komoditas tanaman pangan di Wilayah Kabupaten Situbondo tahun 2007 Komoditas
Kriteria Penilaian
5
6
7
Total Bobot
0.89 (2)
(5)
(5)
29
Unggulan
4.87 (3)
0.97 (3)
(4)
(4)
28
Unggulan
2
1.92 (2)
1.66 (4)
(2)
1.75 (5) 1.70 (4) 0.80 (2)
(2)
16
Andalan
42 (1)
3
1.17 (1)
0.72 (1)
(3)
(3)
13
Andalan
446 (3)
1
18.60 (5)
1.97 (5)
(1)
0.59 ( 1) 1.38 (3)
(1)
19
Andalan
1
2
3
12 567 (4)
4
6.39 (4)
17 563 (5)
5
292 (2)
4
Padi Jagung Kacang Tanah Kedelai Ketela Pohon
Keputusan
Keterangan: (1) Luas panen (ha), (2) Kesesuaian lahan, (3) Produktivitas (ton/ha), (4) Keunggulan komparatif, (5) Keunggulan kompetitif, (6) LQ Produksi, dan (7) Peluang pengembangan
Sumber: Data diolah dari data sekunder: Bappekab dan BPS Kabupaten Situbondo 2008
Pada Tabel 33 menunjukkan bahwa komoditas tanaman padi dan jagung unggul hampir pada semua kriteria yang dinilai dibandingkan dengan komoditas lainnya, sehingga komoditas tanaman padi dan jagung tergolong komoditas unggulan di wilayah Kabupaten Situbondo. Komoditas ketela pohon unggul pada tingkat produktivitas ton/ha dan keunggulan komparatif, sedangkan kacang tanah dan kedelai mempunyai kriteria penilaian yang agak rendah, sehingga ketiga komoditas tanaman pangan tersebut (ketela pohon, kacang tanah dan kedelai) tergolong pada komoditas andalan.
114
Keunggulan tanaman padi dan jagung sebagai komoditas unggulan dibandingkan dengan komoditas tanaman pangan lainnya, selain disebabkan oleh 7 (tujuh) kriteria penilaian di atas tersebut, juga disebabkan antara lain intensifnya Pemerintah Daerah melalui Dinas Pertanian Kabupaten Situbondo memberikan penyuluhan dan memperkenalkan varietas-varietas unggul kepada petani. c. Komoditas Unggulan dan Andalan Tanaman Perkebunan Penilaiankomoditas tanaman perkebunan di wilayah Kabupaten Situbondo dapat dilihat pada Tabel 34. Tabel 34 Penilaian komoditas tanaman perkebunan di Wilayah Kabupaten Situbondo tahun 2007 Komoditas
Kriteria Penilaian
1
2
3
7 878 (5)
5
6 482 (5)
4 1.40 (4)
5
6
7
Total Bobot
Keputusan
(5)
1.10 (5) 33 Unggulan Tebu (4) 762 (3) 2 2 500(3) 0.74 (3) (4) 0.57 (4) 22 Unggulan Tembakau (3) 1 197 (4) 1 3 040 (4) 1.60 (5) (3) 1.25 (3) 25 Unggulan Kopi (5) 209 (2) 4 1 200 (2) 0.09 (1) (1) 0.07 (2) 13 Andalan Kelapa ( 1) 39 (1) 3 376 (1) 0.14 (2) (2) 0.11 (1) 12 Andalan Kapuk (2) Keterangan: (1) Luas tanam (ha), (2) Kesesuaian lahan, (3) Produktivitas (ton/ha), (4) Keunggulan komparatif, (5) Keunggulan kompetitif, (6) LQ Produksi, dan (7) Peluang pengembangan
Sumber: Data diolah dari data sekunder: Bappekab dan BPS Kabupaten Situbondo 2008
Komoditas unggulan dan andalan komoditas tanaman perkebunan terdiri atas 5 (lima) komoditas, yaitu: tanaman tebu, tembakau, kopi, kelapa, dan kapuk. Kelima komoditas tanaman perkebunan tersebut terseleksi dari dominansi luas tanam komoditas tanaman pangan tersebut.
Setelah menggunakan penilaian
berikutnya, maka diperoleh bahwa ada 3 (tiga) komoditas yang tergolong dalam komoditas unggulan, yaitu: tebu, kopi, dan tembakau serta hanya 2 (dua) komoditas tanaman perkebunan yang tergolong dalam komoditas andalan, yaitu tanaman kelapa dan kapuk.
115
Pada Tabel 34 di atas menunjukkan bahwa komoditas tanaman tebu unggul hampir pada semua kriteria yang dinilai dibandingkan dengan komoditas lainnya, sehingga komoditas tanaman tebu tergolong komoditas unggulan di wilayah Kabupaten Situbondo. Tanaman kopi dan tembakau mempunyai kriteria penilaian yang agak rendah di kesesuaian lahan, namun komoditas ini termasuk komoditas unggulan di daerah daerah studi. Komoditas tanaman kelapa dan kapuk mempunyai kriteria penilaian yang agak rendah, sehingga kedua komoditas tanaman perkebunan tersebut tergolong pada komoditas andalan.
5.3.3. Analisis Usahatani a. Komoditas Peternakan Data kegiatan usahatani peternakan yag dilakukan oleh peternak di wilayah Kabupaten Situbondo diperoleh melalui kegiatan survai terhadap rumah tangga peternak. Jumlah responden sebanyak 1 350 orang peternak terdiri atas: 500 responden peternak sapi, 200 responden peternak domba, 250 responden peternak kambing, 300 responden peternak ayam buras, 100 responden peternak itik, yang diambil dari lima kecamatan, yaitu: Kecamatan Asembagus, Jangkar, Arjasa, Kapongan, dan Mangaran.
Responden dalam penelitian ini adalah
peternak yang selain mengelola usaha ternaknya juga melakukan usaha lainnya, seperti: dalam bidang pertanian, perkebunan, perikanan, perdagangan, dan lain sebagainya. Umur responden peternak terdiri atas 14 % berumur 21-30 tahun, 59 % berumur 31-50 tahun, dan sisanya 27 % berumur lebih dari 50 tahun. Pendidikan responden peternak sebagian besar (66 %) hanya berpendidikan SD, 22 % berpendidikan SLP, 11 % berpendidikan SLA, dan hanya 1 % yang berpendidikan diploma/sarjana. Rata-rata jumlah kepemilikan ternak yang dimiliki responden, yaitu untuk sapi potong 2 ekor, domba 11 ekor, kambing 9 ekor, ayam kampung 19 ekor, dan itik 89 ekor.
116
Komoditas peternakan yang dikembangkan di wilayah Kabupaten Situbondo pada umumnya meliputi: sapi potong, domba, kambing, ayam kampung, dan itik, sedangkan ternak kerbau dan sapi perah tidak berkembang dan tidak terlalu banyak diusahakan oleh masyarakat. Jenis komoditas peternakan yang diusahakan oleh peternak sangat ditentukan oleh permintaan pasar yang tinggi baik pasar daerah sendiri maupun luar daerah serta kemudahan dalam pemeliharaan. Untuk mengetahui apakah kegiatan usahatani yang dilakukan secara ekonomis menguntungkan atau merugi secara ekonomis dapat dilakukan analisis usahatani yang didukung data-data yang memadai baik data pengeluaran untuk berbagai sarana produksi maupun biaya upah dan ongkos yang dikeluarkan. Hasil analisis usahatani beberapa komoditas ternak dapat dilihat pada Tabel 35 dan Lampiran 3. Tabel 35 Hasil analisis usahatani beberapa komoditas ternak di Kabupaten Situbondo No Komoditas 1. Sapi Potong (Penggemukan) 2. Sapi Potong (Pembibitan) 3. Domba 4. Kambing 5. Ayam Buras 6. I t i k
Total Biaya 8 750 000,-
Penerimaan 13 000 000,-
Keuntungan 4 250 000,-
R/C 1.49
12 030 000,-
15 000 000,-
2 970 000,-
1.25
5 720 000,5 220 000,8 955 000,12 987 600,-
7 100 000,6 200 000,9 950 000,15 150 000,-
1 380 000,980 000,995 000,2 162 400,-
1.24 1.19 1.11 1.17
Pada Tabel 35 menunjukkan bahwa seluruh komoditas peternakan yang dibudidayakan di Kabupaten Situbondo secara ekonomis menguntungkan untuk dikembangkan. Kelayakan secara ekonomis untuk dikembangkan dapat dilihat dari nilai R/C ratio yang lebih besar dari satu (R/C > 1). Komoditas ternak sapi potong menghasilkan pendapatan yang tertinggi dibandingkan komoditas ternak lainnya, selanjutnya berturut-turut disusul ternak domba, kambing, itik, dan ayam buras.
117
Dari sisi pendapatan peternak dalam setahun, menunjukkan bahwa usahatani penggemukan ternak sapi potong menghasilkan keuntungan tertinggi, yaitu sekitar Rp 4 250 000,- /ekor/tahun, diikuti berturut-turut pembibitan sapi potong Rp 2 970 000,-/ekor/tahun, ternak itik Rp 2 162 400,-/55 ekor/tahun, ternak domba Rp 1 380 000,-/5 ekor/tahun, ayam buras Rp 995 000,-/55 ekor/tahun, dan terendah adalah usahatani ternak kambing yaitu sekitar Rp 980 000,- /5 ekor/tahun. Hasil analisis tersebut memperlihatkan nilai keuntungan dari usahatani peternakan masih tergolong rendah. Hal ini disebabkan oleh rendahnya tingkat
produktivitas
komoditas
peternakan
yang
diusahakan
peternak.
Rendahnya produktivitas komoditas peternakan tersebut, antara lain disebabkan jumlah ternak yang dikembangkan masih dalam skala kecil (untuk sapi potong rata-rata 2 ekor/peternak) dan umumnya dipelihara secara semi intensif, sehingga produktivitasnya
kurang
optimal.
Selain
itu,
menggunakan biaya produksi yang relatif rendah.
sebagian
besar
peternak
Pada umumnya peternak
pembibitan sapi potong, domba, dan kambing hanya mengandalkan rumput saja atau jerami padi serta jerami kacang tanah untuk pakan ternaknya. Demikian juga dalam hal biaya pemeliharaan, biaya tenaga kerja, dan biaya pakan. Pada umumnya peternak memanfaatkan tenaga kerja dalam rumah tangga sendiri untuk merawat ternak dan mencari pakan hijauan. Peluang peningkatan pendapatan peternak yang diterima dalam usahatani masih dapat ditingkatkan, baik melalui ekstensifikasi maupun intesifikasi usahaternak, yaitu dengan peningkatan jumlah ternak yang dipelihara, pemberian pakan yang rasional, penggunaan bibit unggul, dan pemeliharaan ternak yang baik. Untuk mendapatkan keuntungan yang layak dan usaha peternakan dapat dijadikan sebagai pekerjaan pokok, dengan penghasilan Rp 12 000 000,-/tahun, maka ternak yang dipelihara minimal untuk penggemukan sapi potong sebanyak 3 ekor, pembibitan sapi potong sebanyak 4 ekor, domba 44 ekor, kambing 60 ekor, ayam buras 660 ekor, dan itik 300 ekor. b. Komoditas Pertanian (Tanaman Pangan dan Perkebunan) Komoditas tanaman pangan yang dikembangkan di wilayah studi pada umumnya tanaman padi dan jagung yang luasannya cukup luas, yaitu 12 567 ha
118
dan 17 563 ha, sedangkan kacang tanah, kedelai, dan ketela pohon tidak terlalu banyak diusahakan oleh masyarakat, yaitu berturut-turut: 292 ha, 42 ha, dan 446 ha. Komoditas tanaman perkebunan yang paling dominan dikembangkan di wilayah ini adalah tanaman tebu (luas tanam 7 878 ha), sedangkan tanaman tembakau seluas 762 ha dan terpusat di Desa Kayumas, yaitu seluas 666 ha. Jenis komoditas tanaman pangan dan perkebunan yang diusahakan oleh petani sangat ditentukan oleh permintaan pasar yang tinggi baik pasar daerah sendiri maupun luar daerah serta kemudahan dalam pemeliharaan dan modal yang dibutuhkan dalam usahatani. Untuk mengetahui apakah kegiatan usahatani yang dilakukan secara ekonomis menguntungkan atau merugi secara ekonomis dapat dilakukan analisis usahatani yang didukung data-data yang memadai baik data pengeluaran untuk berbagai sarana produksi maupun biaya upah dan ongkos yang dikeluarkan. Hasil analisis usahatani tanaman padi, jagung, dan tebu dapat dilihat pada Tabel 36 dan Lampiran 3 Tabel 36 Hasil analisis usahatani beberapa komoditas pertanian di Kabupaten Situbondo No Komoditas
Total Biaya Penerimaan Keuntungan Komoditas Tanaman Pangan (per Hektar) 9 325 000 15 000 000 5 675 000 7 880 000 16 000 000 8 120 000 Komoditas Tanaman Perkebunan (per Hektar) 19 611 450 31 189 575 11 578 125
R/C
1. 2.
Padi Jagung
1.61 2.03
1
Tebu
1.59
Pada Tabel 36 menunjukkan bahwa seluruh komoditas pertanian, tanaman pangan maupun tanaman perkebunan yang dibudidayakan di Kabupaten Situbondo secara ekonomis menguntungkan untuk dikembangkan.
Kelayakan
secara ekonomis untuk dikembangkan dapat dilihat dari nilai R/C ratio yang lebih besar dari satu (R/C > 1). Komoditas tanaman pangan jagung menghasilkan pendapatan yang tertinggi dibandingkan komoditas tanaman pangan lainnya, selanjutnya berturut-turut disusul tanaman padi, dan tebu.
119
Dari sisi pendapatan petani dalam setahun, menunjukkan bahwa usahatani tanaman jagung menghasilkan keuntungan tertinggi, yaitu sekitar Rp 8 120 000 /hektar/musim, diikuti berturut-turut tanaman padi Rp 5 675 000,-/hektar/musim, dan tanaman tebu Rp 11 578 125,-/hektar/tahun.
Hasil analisis tersebut
memperlihatkan nilai keuntungan dari usahatani pertanian masih tergolong rendah.
Hal ini disebabkan oleh rendahnya tingkat produktivitas komoditas
pertanian yang diusahakan petani. Rendahnya produktivitas komoditas pertanian tersebut, antara lain disebabkan jumlah luasan lahan yang dikembangkan masih dalam skala kecil, yaitu sekitar 0.5 hektar dan umumnya dipelihara secara semi intensif, sehingga produktivitasnya kurang optimal. Selain itu, sebagian besar petani menggunakan biaya produksi yang relatif rendah. Demikian juga dalam hal biaya pemeliharaan, biaya tenaga kerja, dan biaya bibit. Pada umumnya petani memanfaatkan tenaga kerja dalam rumah tangga sendiri. Peluang peningkatan pendapatan petani yang diterima dalam usahatani masih dapat ditingkatkan, yaitu melalui intesifikasi usahatani yang tepat, meliputi pemakaian bibit unggul, pengolahan tanah yang benar, pemakaian pupuk berimbang, pencegahan penyakit, pengairan yang cukup, pemeliharaan yang baik, dan pengelolaan pasca panen. Untuk mendapatkan keuntungan yang layak dan usaha pertanian dapat dijadikan sebagai pekerjaan pokok, dengan penghasilan Rp 12 000 000,-/tahun, maka lahan yang diusahakan oleh petani minimal satu hektar. 5.4. Kesimpulan Wilayah Kabupaten Situbondo merupakan basis untuk pengembangan komoditas peternakan, seperti: sapi potong, domba, kambing,
dan itik.
Komoditas ternak sapi potong merupakan komoditas unggulan dan memberikan keuntungan yang tertinggi bagi peternak. Keuntungan usahatani yang diperoleh pada umumnya masih agak rendah yang disebabkan skala usaha ternak yang kecil dan sistem pemeliharaannya pada umumnya masih semi intensif. Dalam rangka mengoptimalkan keuntungan usahatani, maka program intensifikasi pemeliharaan ternak melalui panca usaha ternak potong (PUTP) harus dilaksanakan dan skala usaha ternak sapi potong jumlahnya ditingkatkan minimal 3-4 ekor/perternak. Selain basis pengembangan komoditas peternakan, wilayah Kabupaten Situbondo
120
juga merupakan basis pengembangan tanaman pangan dan perkebunan. Komoditas tanaman jagung dan padi merupakan komoditas unggulan tanaman pangan dan memberikan keuntungan tertinggi bagi petani, sedangkan tanaman tebu, tembakau, dan kopi merupakan komoditas unggulan tanaman perkebunan di wilayah studi. Keuntungan usahatani yang diperoleh pada umumnya masih dapat ditingkatkan dengan cara menambah luasan skala usahatani (minimal 1 hektar) dan sistem pemeliharaannya dilakukan secara intensif.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Agribisnis Departemen Pertanian. 1999. Kelayakan Investasi Agribisnis Rambutan, Manggis, dan Mangga. Cetakan Pertama. Yogyakarta: Kanisius. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2007. Situbondo Dalam Angka 2006/2007. Situbondo: Pemerintah Kabupaten Situbondo Kerjasama BPS dan BAPPEKAB Situbondo. [BAPPEKAB] Badan Perencanaan dan Pembangunan Kabupaten dan [BPS] Badan Pusat Statistik. 2008. Profil Kabupaten Situbondo. Situbondo: Pemerintah Kabupaten Situbondo Kerjasama BAPPEKAB dan BPS Situbondo. [Disnak Situbondo] Dinas Peternakan Situbondo. 2006. Laporan Tahunan Dinas Peternakan Situbondo. Situbondo: Dinas Peternakan Kabupaten Situbondo. Djamin Z. 1993. Perencanaan dan Analisa Proyek. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Kurnia G. 1999. Modernisasi dan Penguatan Ekonomi Rakyat di Perdesaan; Pembangunan Ekonomi Rakyat Perdesaan. Jakarta: Bina Rena Pariwara. Pambudy R, T. Sipayung T, Priatna WB, Burhanuddin, Kriswantriyono A, Satria A. 2001. Bisnis dan Kewirausahaan dalam Sistem Agribisnis. Bogor: Pustaka Wirausaha Muda. [Pemkab] Pemerintah Kabupaten Purbalingga. 2003. Profil Produk Potensial, Andalan, dan Unggulan Kabupaten Purbalingga. Purbalingga: Pemerintah Kabupaten Purbalingga. Santosa U. 2001. Prospek Agribisnis Penggemukan Pedet. Jakartra: Penebar Swadaya. Saragih B. 2000. Agribisnis Berbasis Peternakan. Bogor: USESE Foundation dan Pusat Studi Pembangunan IPB.
121
Sarwono B, Arianto HB. 2002. Jakarta: Penebar Swadaya.
Penggemukan Sapi Potong Secara Cepat.
Soehadji. 1995. Peluang Usaha Sapi Potong dan Kemitraan Usaha. Jakarta: Dirjen Peternakan, Depertemen Pertanian. Sugeng YB. 1998. Sapi Potong. Jakarta: Penebar Swadaya. -------------. 2002. Budidaya Sapi Potong. Jakarta: Penebar Swadaya.
VI. TINGKAT PERKEMBANGAN WILAYAH BERBASIS PETERNAKAN DI KABUPATEN SITUBONDO Abstrak Dalam rangka mempercepat pembangunan pertanian dan perdesaan, pemerintah mencanangkan program pengembangan kawasan agropolitan. Program ini mencakup aspek fisik, sosial, dan ekonomi yang basis pengembangannya adalah daerah pusat pertumbuhan perdesaan, yaitu sentra pertanian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat perkembangan wilayah berbasis peternakan di Kabupaten Situbondo dalam rangka pengembangan kawasan agropolitan. Metode analisis data yang digunakan meliputi analisis tipologi kawasan dan skalogram. Hasil penelitian menunjukkan bahwa wilayah basis peternakan di Kabupaten Situbondo termasuk dalam strata prakawasan agropolitan II dengan 4 (empat) desa termasuk desa maju, 17 (tujuh belas) desa termasuk berkembang, dan 21 (dua puluh satu) desa tertinggal. Jenis agropolitan yang perlu dikembangkan adalah agropolitan terpadu (peternakantanaman pangan-perkebunan) dimana peran pemerintah sangat dibutuhkan terutama kebijakannya dalam pengembangan kawasan agropolitan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat. Kendala yang dihadapi adalah terbatasnya infrastruktur dan rendahnya sumberdaya manusia (SDM), sehingga dibutuhkan program peningkatan kualitas SDM dan penyediaan infrastruktur yang memadai. Kata kunci: perkembangan wilayah, agropolitan
Abstract In order to accelerate agricultural and rural development, the government announced the development of agropolitan area. This program covers the physical aspects, social, and economic development that based on rural growth centers area, the agricultural center. The aim of this study is to determine regional development level based on ranch to develop Situbondo agropolitan area. Data analysis methods used were analysis of area typology and scalogram. The results showed that Situbondo constitutes Pre-Agropolitan II category; with 4 villages as the developed village, 17 villages as the developing village and 21 villages as the undeveloped village. Agropolitan types which need to be developed is an integrated agropolitan (farm-food-crop plantations) supported by government policy to increase people incomes. Limited infrastructures and low quality of human resources were the constraints that had to overcome by quality improvement programs and provision of adequate infrastructures. Keywords: regional development, agropolitan
123
6.1. Pendahuluan Keberpihakan pemerintah terhadap pembangunan perdesaan, ternyata tidak mudah dijalankan. Kesulitan ini bermula dari asumsi dasar bekerjanya kebijakan ekonomi, sosial, dan politik bahwa aktifitas tersebut sebagian besar berada di perkotaan dengan cara kerja formal, terencana, terregulasi, mengakibatkan kebijakan nasional mengenai pembangunan perdesaan tidak dapat langsung diterapkan. Dalam rangka penanganan pembangunan di wilayah perdesaan, paradigma pembangunan yang orientasinya lebih dominan ke wilayah perkotaan perlu dirubah dengan cara menyeimbangkan pembangunan wilayah perdesaan dengan wlayah perkotaan. Salah satu konsep pembangunan desa-kota berimbang yang diharapkan dapat mengangkat kualitas kesejahteraan masyarakat dan kemajuan wilayah perdesaan yang didasarkan pada potensi lokal wilayah dengan memberdayakan masyarakat setempat dan tanpa mengorbankan kelestarian lingkungan adalah pengembangan kawasan agropolitan sebagaimana dicanangkan pemerintah pada tahun 2002. Dalam rangka penetapan suatu wilayah untuk pengembangan kawasan agropolitan, sebaiknya terlebih dahulu dikaji sejauh mana tingkat perkembangan wilayah tersebut sehingga dapat diketahui kemajuan-kemajuan yang telah dicapai serta permasalahan-permasalahan yang dihadapi.
Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui tingkat perkembangan wilayah yang terdapat di lima kecamatan di Kabupaten Situbondo untuk pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan. 6.2. Metode Analisis Kajian Tingkat Perkembangan Wilayah Kabupaten Situbondo a. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang diperlukan yang berkaitan dengan perkembangan wilayah kawasan agropolitan berupa data primer dan data sekunder yang diperoleh dari responden dan pakar yang terpilih, berbagai instansi yang terkait dengan topik penelitian dan hasil studi kepustakaan. Data primer terdiri dari persepsi masyarakat dan pendapat para pakar serta stakeholder yang berperan dalam menyusun strategi pengembangan agropolitan berkelanjutan berbasis peternakan sapi potong.
124
Data sekunder yang diperlukan berupa data: jumlah penduduk dan sosial ekonomi, jumlah kepala keluarga (KK) atau proporsi terhadap jumlah penduduk/luas wilayah, jumlah keluarga pra sejahtera, banyak desa yang terpencil, jarak desa ke kecamatan dan kabupaten, sarana dan prasarana umum, pola penggunaan lahan, sarana dan prasarana peternakan, sarana dan prasarana pertanian, populasi ternak, luas tanam dan panen, komoditas unggulan, produksi pertanian dan peternakan, tingkat pendidikan, keberadaan kelembagaan pertanian dan peternakan, serta kebijakan atau peraturan-peraturan yang ada. b. Metode Pengumpulan Data Data primer diperoleh dari hasil wawancara, diskusi, kuisioner, dan survey lapangan dengan responden di wilayah studi, sedangkan data sekunder diperoleh dari beberapa sumber kepustakaan dan dokumen
dari beberapa instansi yang terkait
dengan penelitian. c. Metode Analisis Data Metode analisis data, dilakukan dengan tahapan-tahapan sebagai berikut: c.1. Analisis Tipologi Kawasaan Analisis tipologi kawasan diperlukan untuk mengidentifikasi berbagai karekteristik dari masing-masing kawasan. Dalam analisis ini digunakan analisis berstrata untuk mengetahui posisi kawasan yang terdiri atas tiga strata, yaitu: Pra Kawasan Agropolitan I, Pra Kawasan Agropolitan II, dan Kawasan Agropolitan, sedangkan analisis komponen utama (principle component analysis) digunakan untuk menentukan peubah-peubah yang paling dominan mempengaruhi perkembangan kawasan
agropolitan
dan
selanjutnya
dilakukan
analisis
cluster
untuk
mengelompokkan wilayah-wilayah berdasarkan kemiripan yang dimiliki. Analisis komponen utama dan analisis cluster dilakukan dengan menggunakan software Minitab 14.
125
c.2. Analisis Skalogram Analisis skalogram digunakan untuk mengetahui jumlah dan jenis sarana pelayanan (fasilitas) yang dimiliki oleh setiap wilayah. Dalam metode ini, seluruh fasilitas yang dimiliki setiap wilayah didata dan disusun dalam satu tabel dimana unit wilayah yang memiliki fasilitas lebih lengkap diletakkan paling atas, dan selanjutnya unit wilayah yang memiliki fasilitas kurang lengkap. Secara umum, fasilitas yang dimiliki oleh setiap unit wilayah dikelompokkan menjadi enam, yaitu: fasilitas rumah potong hewan, fasilitas tempat pembuangan akhir, fasilitas pendidikan latihan dan penyuluhan, fasilitas kesehatan hewan dan IB, fasilitas keamanan, dan fasilitas ekonomi seperti ketersediaan pasar hewan dan koperasi unit desa (KUD) lainnya. Selanjutnya dilakukan analisis sentralistis untuk mengelompokkan hirarkhi wilayah berdasarkan kelengkapan sarana dan prasarana yang dimiliki. 1. Kelompok I (tingkat perkembangan tinggi) diasumsikan sebagai kelompok desa yang memiliki jumlah jenis, jumlah unit sarana dan prasarana, serta kepadatan penduduk yang lebih besar atau sama dengan rata-rata + 2 x standar deviasi. 2. Kelompok II (tingkat perkembangan sedang) diasumsikan sebagai kelompok desa yang memiliki jumlah jenis, jumlah unit sarana dan prasarana, serta kepadatan penduduk antara rata-rata sampai rata-rata + 2 x standar deviasi. 3. Kelompok III (tingkat perkembangan rendah) diasumsikan sebagai kelompok desa yang memiliki jumlah jenis, jumlah unit sarana dan prasarana serta kepadatan penduduk kurang dari nilai rata-rata.
126
6.3. Hasil dan Pembahasan Analisis Tingkat Perkembangan Wilayah Kabupaten Situbondo 6.3.1. Tipologi Wilayah Kabupaten Situbondo Berdasarkan hasil analisis tipologi wilayah, 5 (lima ) kecamatan yang merupakan basis peternakan sapi potong di wilayah Kabupaten Situbondo termasuk dalam strata Pra KawasanAgropolitan II, seperti terlihat pada Lampiran 4. Status pra kawasan agropolitan II pada lima kecamatan di Kabupaten Situbondo memberikan gambaran bahwa secara umum masih banyak variabel-variabel sebagai indikator penilaian untuk meningkatkan strata kawasan menuju strata kawasan agropolitan belum terpenuhi secara lengkap. Khusus yang berkaitan variabel komoditas unggulan, jika dikaitkan dengan hasil analisis komoditas unggulan dan andalan, terlihat bahwa hanya tanaman tebu yang mengalami proses pengolahan di Pabrik Gula Asembagus menjadi gula, sedangkan tanaman padi, jagung, dan ternak tidak mengalami proses pengolahan di wilayah tersebut. Peternak langsung menjual ternaknya ke pasar hewan atau ke pedagang ternak, demikian juga petani langsung menjual padi dan jagung ke pasar dan toko. Kelembagaan serta sarana dan prasarana umum yang ada, seperti: pendidikan, kesehatan, sarana dan prasarana sosial lainnya, serta sarana agribisnis masih terlihat agak minim.
Dilihat dari kelengkapan Lembaga Penyuluh
Pertanian/Peternakan (BPP), seluruh kecamatan telah memiliki BPP. Tipologi wilayah Kabupaten Situbondo termasuk Pra Kawasan Agropolitan II yang menggambarkan tingkat perkembangan wilayah untuk pengembangan kawasan agropolitan, masih didasarkan pada variabel-variabel yang bersifat umum sebagaimana yang ditetapkan oleh Departemen Pertanian pada Tahun 2002. Untuk mengetahui tingkat
perkembangan
wilayah
dalam pengembangan kawasan
agropolitan masih banyak faktor-faktor pendukung lain yang bersifat spesifik yang menggambarkan variabilitas kawasan yang dapat dijadikan sebagai indikator penilaian. Analisis tipologi kawasan yang didasarkan pada variabel-variabel yang
127
lebih spesifik dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan principle component analysis (PCA) atau lebih dikenal dengan analisis komponen utama (AKU). Dalam penelitian ini, varibel-variabel terpilih yang dianalisis dengan menggunakan teknik PCA antara lain: jumlah penduduk (jiwa), jarak kecamatan ke kabupaten (km), jumlah kepala keluarga (KK), sarana dan prasarana umum (unit), sarana dan prasarana agribisnis (unit), jumlah komoditas peternakan (jenis), keluarga pemakai PLN (KK), desa terpencil/potensi rendah (desa),
jumlah keluarga pra
sejahtera (jiwa), jumlah keluarga sejahtera (jiwa), produksi tanaman pangan (kw), populasi sapi potong (ekor), populasi domba (ekor), populasi kambing (ekor), populasi ayam buras (ekor), populasi itik (ekor). Keragaman setiap variabel dapat dilihat pada Tabel 37. Tabel 37 Keragaman variabel yang menggambarkan perkembangan wilayah Kabupaten Situbondo No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
Variabel Jumlah penduduk (jiwa/) Jarak kecamatan ke Kabupaten (km) Jumlah kepala keluarga (KK) Sarana dan prasarana umum (unit) Sarana dan prasarana agribisnis (unit) Jumlah komoditas peternakan (jenis) Keluarga pemakai PLN Desa terpencil/potensi rendah (desa) Jumlah keluarga pra sejahtera (jiwa) Jumlah keluarga sejahtera (jiwa) Produksi tanaman pangan (kw) Populasi sapi potong (ekor) Populasi domba (ekor) Populasi kambing (ekor) Populasi ayam buras (ekor) Populasi i t i k (ekor)
Asembagus
Jangkar
48 960 26 16 038 28 296 866 6 16 038 2 5 237 11 143 278 577 10 806 4 836 1 737 38 343 1 722
36 082 28 13 234 36 359 952 5 13 234 7 5 479 7 179 412 054 26 129 6 845 1 613 37 332 2 184
Arjasa
40 032 15 13 236 18 672 410 6 13 236 7 5 678 7 225 538 623 12 749 5 785 2 752 22 429 2 753
Kapongan
Mangaran
36 583 30 556 7 6 14 040 11 481 20 417 16 642 621 498 7 5 14 040 11 481 0 5 2 963 3 693 9 923 7 680 290 408 263 305 12 528 7 052 8 940 6 302 4 450 3 856 58 010 48 438 5 253 2 529
Sumber: Bappekab dan BPS Situbondo, 2008 Hasil analisis komponen utama (Lampiran 5 dan Tabel 37), menunjukkan bahwa setiap variabel memberikan pengaruh yang berbeda-beda antara satu variabel dengan variabel lainnya yang menggambarkan keragaman tipologi wilayah di Kabupaten Situbondo.
Namun demikian, keragaman tipologi wilayah yang
disebabkan oleh keseluruhan variabel yang dianalisis dapat disederhanakan menjadi
128
kelompok variabel yang lebih kecil yang dapat menggambarkan keseluruhan informasi yang terkandung dalam semua variabel. Dengan berpedoman pada total persentase kumulatif sebagaimana ditetapkan oleh Iriawan dan Astuti (2006), yaitu sebesar 80 – 90 %, maka dari 16 variabel yang dianalisis, dapat disederhanakan menjadi 7 variabel yang menyebar dalam 3 komponen utama (PC), yaitu komponen utama 1 (PC 1), komponen utama 2 (PC 2), dan komponen utama 3 (PC 3) dengan nilai proporsi eigenvalue masing-masing: 43.6 %, 31.3 %, dan 14.8 % atau persentase kumulatifnya menjadi 89,7 %. Hasil analisis komponen utama dapat dilihat pada Lampiran 5. Adapun variabel-variabel dari ketiga komponen utama (PC 1, PC 2, dan PC 3) hasil penyederhanaan variabel meliputi: populasi kambing, jarak kecamatan ke kabupaten, jumlah keluarga pra sejahtera, jumlah keluarga sejahtera, jumlah kepala keluarga, populasi sapi potong, sarana dan prasarana agribisnis, sarana dan prasarana umum. Hal ini berarti ketujuh variabel tersebut di atas dapat menjelaskan variabilitas keenambelas variabel yang berpengaruh terhadap tipologi wilayah di Kabupaten Situbondo atau dengan kata lain ketujuh variabel baru hasil analisis komponen utama dapat menjelaskan sekitar 89.7 % dari total variabilitas variabel. Adanya perbedaan tipologi wilayah terhadap kecamatan di Kabupaten Situbondo sangat dipengaruhi oleh keragaman variabel-variabel spesifik yang dimiliki setiap desa pada setiap kecamatan. Namun demikian, keragaman setiap variabel pada setiap desa dapat dikelompokkan menjadi kelompok variabel yang lebih kecil dan homogen berdasarkan kemiripan setiap variabel yang dimiliki oleh setiap desa.
Untuk mengelompokkan desa-desa yang memiliki kemiripan
berdasarkan keragaman variabel, dapat dilakukan dengan analisis cluster. Tujuan dilakukan analisis cluster terhadap desa-desa di kecamatan wilayah Kabupaten Situbondo adalah untuk memaksimumkan keragaman antar kelompok desa dan meminimumkan dalam kelompok desa. Dalam analisis cluster ini, ada 42 desa di lima (5) kecamatan wilayah studi masing-masing, yaitu: Kecamatan Asembagus 10 desa, Kecamatan Jangkar 8 desa, Kecamatan Arjasa 8 desa, Kecamatan Kapongan 10 desa,
129
dan Kecamatan Mangaran 6 desa. Karakteristik variabel setiap desa di lima kecamatan di Kabupaten Situbondo seperti pada Lampiran 6 dan hasil analisis cluster dapat dilihat pada Gambar 11. Hasil analisis cluster terhadap 42 desa/kelurahan di lima kecamatan dalam wilayah
kabupaten
Situbondo
memperlihatkan
bahwa
secara
keseluruhan
desa/kelurahan dapat dilekompokkan dalam empat (4) cluster (empat tipologi) berdasarkan kemiripan karakteristik wilayah yang dimiliki yaitu tipologi I, II, III, dan IV. Adapun keempat cluster tersebut seperti terlihat pada Gambar 11.
Dendrogram with Average Linkage and Correlation Coefficient Distance
Similarity
97,42
98,28
99,14
100,00
i i i l l l t l i ar an sa o te ng ar ar ak an an an y o n g m as n g an ur lo ar ta ta a an co u s an an ng an ok an an lak an an ar an e ge ar o s w r ja ow an ir i o s w p g k a n a o r e no m a ey ug ng tis Ta an am g n ag g g a m o t g g a g ah g k ar op A gs oj eto A gd Per em er tar - ARambanPo ec i n okeletn A ay uan dPel Gl du Jaah B g K bunr igomb onadinGuday e C d anponh Kalan gr Jan n g S an M K un S K w i Ge P o S g i K K ng K e ur n m T se L am G B r ah an k a ra P san M a mb d A A amb C njuTr e u L C u Pa ng W r i n ju Ku C Ke u n a s j W a T e n T K Ta
Variables
Gambar 11. Dendrogram koefisien korelasi beberapa variabel penciri tipologi desa di lima kecamatan di Kabupaten Situbondo Pada Gambar 11, terlihat bahwa kelompok desa yang termasuk dalam tipologi I meliputi 19 desa yaitu Desa Mojosari, Ketowan, Arjasa, Kedung Dowo, Perante, Semiring, Kertosari, Awar-Awar, Kesambi Rampak, Gebangan, Pokaan,
130
Tanjung Pecinan, Wonokoyo, Seletreng, Wringin Anom, Kayumas, Kandang, Peleyan, dan Tanjung Glugur dengan nilai koefisien korelasi > 99,77 %. Kelompok desa yang termasuk dalam tipologi II meliputi 6 desa yaitu Desa Kedunglo, Kedungsari, Curah Tatal, Bantal, Tanjung Kamal, dan Trebungan, dengan nilai koefisien korelasi sebesar 98,68 – 99,57 %. Kelompok desa yang termasuk ke dalam tipologi III meliputi 14 desa yaitu Desa Trigonco, Asembagus, Lamongan, Gadingan, Gudang, Bayeman, Curah Cotok, Landangan, Kapongan, Curah Kalak, Palangan, Pasangrahan, Jangkar, dan Mangaran, dengan koefisien korelasi 99.57 – 99.77 %. Sementara kelompok desa yang termasuk dalam tipologi IV meliputi 3 desa yaitu Desa Sopet, Agel, dan Desa Kumbangsari dengan koefisien korelasi sebesar < 98,68 %. Adapun keseragaman karakteristik setiap desa pada setiap kelompok tipologi secara rinci disajikan pada Tabel 38. Tabel 38 Tipologi wilayah desa pada lima kecamatan di wilayah Kabupaten Situbondo berdasarkan kemiripan karakteristiknya Tipologi
Tipologi I
Tipologi II
Kelompok Desa Desa Mojosari, Ketowan, Arjasa, Kedung Dowo, Perante, Semiring, Kertosari, Awar-Awar, Kesambi Rampak, Gebangan, Pokaan, Tanjung Pecinan, Wonokoyo, Seletreng, Wringin Anom, Kayumas, Kandang, Peleyan, dan Tanjung Glugur
Desa Kedunglo, Kedungsari, Curah Tatal, Bantal, Tanjung
Karakteristik
Luas desa relatif agak luas, jumlah penduduk relatif banyak, jumlah KK pemakai PLN relatif banyak, sapras umum dan agribisnis relatif agak lengkap, persentase KK peternakan relatif tinggi, jarak ke ibu kekota kecamatan relatif agak jauh, dan jarak ke ibu kota kabupaten relatif sangat jauh. Luas desa relatif luas, jumlah penduduk relatif banyak, jumlah KK pemakai PLN relatif banyak, sapras umum dan agribisnis relatif agak lengkap, persentase KK peternakan relatif tinggi, jarak ke ibu ke
131
Kamal, dan Trebungan Desa Trigonco, Asembagus, Lamongan, Gadingan, Gudang, Tipologi Bayeman, Curah Cotok, Landangan, Kapongan, III Curah Kalak, Palangan, Pasangrahan, Jangkar, dan Mangaran
Desa Sopet, Agel, dan Tipologi Kumbangsari IV
kota kecamatan relatif agak jauh, dan jarak ke ibu kota kabupaten relatif jauh. Luas desa relatif kecil, jumlah penduduk relatif agak banyak, jumlah KK pemakai PLN relatif banyak, jumlah sapras umum relative agak banyak, jumlah sapras agribisnis relatif lengkap, persentase KK peternakan relatif tinggi, jarak ke ibu kekota kecamatan relatif dekat, dan jarak ke ibu kota kabupaten relatif sangat jauh. Luas desa relatif agak luas, jumlah penduduk relatif agak banyak, jumlah KK pemakai PLN relatif banyak, sapras umum relatif agak lengkap dan sapras agribisnis relatif lengkap, persentase KK peternakan relatif tinggi, jarak ke ibu kekota kecamatan relatif agak jauh, dan jarak ke ibu kota kabupaten relatif jauh.
Sumber: Data diolah dari Data Sekunder Profil Kabupaten Situbondo, 2008; Profil Kecamatan Asembagus, Jangkar, Arjasa, Kapongan, dan Mangaran, 2008.
6.3.2. Perkembangan Wilayah Berdasarkan Kelengkapan Fasilitas Tingkat perkembangan wilayah Kabupaten Situbondo sangat berhubungan dengan potensi yang dimiliki baik potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, maupun kelengkapan fasilitas yang dimiliki.
Dilihat dari potensi sumberdaya
manusia, wilayah ini memiliki jumlah penduduk yang besar. Dari lima kecamatan yang ditetapkan sebagai pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan di Kabupaten Situbondo telah memiliki jumlah penduduk sekitar 192 213 jiwa (Bappekab dan BPS Kab. Situbondo 2008). Jumlah penduduk yang besar ini telah memenuhi syarat untuk ditetapkan sebagai satu kawasan pengembangan kawasan agropolitan (Friedmann dan Douglass 1976). Namun permasalahan yang dihadapi adalah bahwa kualitas sumberdaya manusia di wilayah ini masih tergolong agak rendah, mereka (peternak) pada umumnya lulusan Sekolah Dasar (SD) dan hanya sebagian kecil yang dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi baik
132
pada tingkat Sekolah Lanjutan Pertama (SLP), Sekolah Lanjutan Atas (SLA) maupun melanjutkan pendidikan di Perguruan Tinggi. Agak rendahnya kualitas sumberdaya manusia di wilayah ini, disebabkan lebih tiga puluh tahun yang lalu wilayah ini sarana pendidikan terutama sarana pendidikan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi setelah sekolah dasar masih minim. Hal ini mengakibatkan masyarakat untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi menjadi sulit. Potensi sumberdaya alam di wilayah Kabupaten Situbondo, sektor pertanian dan sub sektor peternakan merupakan tulang punggung penggerak perekonomian di wilayah ini. Kedua sektor ini sebagai sumber konsumsi masyarakat dan penghasilan, penyedia lapangan kerja sebagian besar masyarakat, serta sebagai penghasil nilai tambah dan devisa daerah. Dari keseluruhan penduduk wilayah Kabupaten Situbondo, sekitar 70 – 80 % masyarakatnya adalah keluarga petani dan peternak. Masyarakat pada umumnya menggantungkan hidup dan keluarganya dari kegiatan ini. Beternak mereka lakukan sebagai usaha tambahan dan tabungan serta mengisi waktu kekosongan di sela-sela usahatani. Usaha ternak pada umumnya dilakukan secara semi intensif, sehingga tidak terlalu banyak memerlukan waktu dalam pemeliharaannya dan usahaternak bisa dilakukan di sela waktu-waktu kosong dalam kegiatan usahatani. Kelengkapan fasilitas yang dimiliki oleh wilayah Kabupaten Situbondo cukup beragam, dari fasilitas yang minim sampai fasilitas yang lebih lengkap yang menyebar pada setiap desa.
Untuk mengetahui tingkat perkembangan kawasan
pengembangan agropolitan berbasis peternakan di Kabupaten Situbondo dapat dilakukan dengan menggunakan analisis skalogram. Dalam analisis skalogram, akan dihasilkan hierarki wilayah berdasarkan kelengkapan fasilitas yang dimiliki, dimana hierarki wilayah yang paling tinggi ditentukan oleh semakin banyaknya jenis dan jumlah fasilitas yang dimiliki dan demikian sebaliknya, semakin sedikit fasilitas yang dimiliki terutama dari segi jenis fasilitas, menggambarkan semakin rendahnya hierarkhi wilayah.
133
Untuk mengetahui tingkat perkembangan wilayah Kabupaten Situbondo dalam rangka pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan berdasarkan kelengkapan fasilitas dilakukan analisis skalogram dan analisis sentralitas. Dalam analisis skalogram, seluruh fasilitas yang telah didata disusun dalam satu tabel dimana unit fasilitas yang lebih lengkap (tinggi) disusun pada bagian tabel teratas dan selanjutnya disusul oleh fasilitas yang jumlah unitnya lebih rendah (sedikit). Hierarkhi wilayah yang paling tinggi adalah wilayah yang memiliki jenis dan jumlah fasilitas yang lebih banyak, sebaliknya semakin sedikit fasilitas yang dimiliki menggambarkan semakin rendahnya hierarkhi wilayah tersebut. Sementara analisis sentralitas dilakukan untuk mengelompokkan tingkat perkembangan wilayah berdasarkan kelengkapan fasilitas dilihat dari nilai indeks fasilitas. Kelompok I adalah wilayah dengan tingkat perkembangan lebih tinggi (maju) dengan nilai indeks sentralitas lebih besar atau sama dengan rata-rata ditambah dua (2) kali standar deviasi. Kelompok II adalah wilayah dengan tingkat perkembangan sedang dengan nilai indeks sentralitas berada diantara nilai rata-rata fasilitas sampai rata-rata ditambah dua (2) kali standar deviasi. Kelompok III adalah wilayah dengan tingkat perkembangan rendah dengan nilai indeks sentralitas lebih kecil dari nilai rata-rata fasilitas. Analisis skalogram dan sentralitas dilakukan dalam wilayah Kabupaten Situbondo yang terdiri atas lima (5) kecamatan yaitu Kecamatan Asembagus, Kecamatan Jangkar, Kecamatan Arjasa, Kecamatan Kapongan, dan Kecamatan Mangaran. Lima kecamatan tersebut ditentukan secara purposive sampling dengan pertimbangan kecamatan tersebut merupakan basis pengambangan peternakan terutama
peternakan
sapi
potong.
Kecamatan
Asembagus
terdiri
atas
9
desa/kelurahan, Kecamatan Jangkar 8 desa/kelurahan, Kecamatan Arjasa 8 desa/kelurahan, Kecamatan Kapongan 10 desa/kelurahan, dan Kecamatan Mangaran 6 desa/kelurahan. Adapun desa-desa di lima kecamatan tersebut secara rinci disajikan seperti pada Tabel 39.
134
Fasilitas-fasilitas yang dapat dikaji untuk mengetahui tingkat perkembangan wilayah meliputi fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan, dan fasilitas sosial, serta fasilitas penunjang lainnya seperti fasilitas pendukung agribisnis. Hierarkhi wilayah desa tertinggi di Kecamatan Asembagus adalah Desa Asembagus dan paling rendah adalah Desa Kedunglo, Kecamatan Jangkar, hierarkhi desa tertinggi adalah Desa Jangkar dan terendah adalah Desa Gadingan, Kecamatan Arjasa hierarkhi desa tertinggi adalah Desa Lamongan dan terendah Bayeman, Kecamatan Kapongan hierarkhi desa tertinggi adalah Desa Kesambirampak dan terendah Desa Kandang, dan Kecamatan Mangaran hierarkhi desa tertinggi adalah Desa Mangaran dan terendah Desa Tanjung Kamal. Tingkat perkembangan wilayah desa secara keseluruhan di 5 (lima) kecamatan basis peternakan di Kabupaten Situbondo adalah, Desa Asembagus di kecamatan Asembagus menduduki hierarkhi tertinggi dan terendah adalah Desa Bayeman di Kecamatan Arjasa. Adapun Hierarkhi wilayah desa berdasarkan hasil analisis skalogram pada lima kecamatan basis peternakan
di
Kabupaten Situbondo seperti terlihat pada Tabel 33. Hasil analisis skalogram pada Tabel 39 menunjukkan bahwa desa yang menduduki hierarkhi wilayah tertinggi berdasarkan kelengkapan jenis fasilitas yang dimiliki adalah Desa Asembagus dengan jumlah jenis fasilitas sebanyak 107 jenis dan jumlah unit sebanyak 3 678 unit. Desa Asembagus terletak di ibukota kecamatan Asembagus, merupakan desa yang paling berkembang dibandingkan dengan desadesa lainnya. Hal ini dicirikan dari kelengkapan fasilitas yang dimiliki baik fasilitas umum maupun fasilitas pendukung, seperti fasilitas pendidikan, kesehatan, transportasi, telekomunikasi, lembaga keuangan, lembaga pertanian, dan fasilitas sosial serta fasilitas pendukung agribisnis.
Fasilitas pendidikan tersedia cukup
lengkap mulai dari dari Sekolah Taman Kanak-Kanak (TK) sampai Sekolah Menengah Atas (SMA) baik negeri maupun swasta termasuk pondok pesantren. Fasilitas kesehatan juga tersedia cukup lengkap, di desa ini telah mempunyai fasilitas kesehatan seperti Puskesmas, tempat praktek dokter, mantri dan bidan, posyandu, poliklinik desa, apotik dan toko obat. Fasilitas sosial dan kelembagaan juga sudah
135
tersedia seperti sarana ibadah, baik agama Islam, Kristen, dan Katolik, majelis taklim dan yayasan kematian, lembaga perbankan, kantor pos, dan lembaga penyuluh pertanian. Desa Asembagus lebih berkembang dibandingkan dengan desa-desa lainnya, hal ini disebabkan oleh adanya keberadaan agroindustri yang cukup besar dan menonjol yaitu Pabrik Gula Asembagus yang mulai beroperasi sejak zaman penjajahan Belanda sampai dengan sekarang. Keberadaan Pabrik Gula Asembagus ini telah mempercepat pertumbuhan kawasan ini dan perkembangan fasilitas umum serta fasilitas pendukung lainnya, seperti: pendidikan, kesehatan, transportasi, telekomunikasi, lembaga keuangan, lembaga pertanian, dan fasilitas sosial serta fasilitas pendukung agribisnis. Hierarkhi wilayah desa yang kedua adalah Desa Trigonco yang terletak di Kecamatan Asembagus dan bersebelahan/berdampingan dengan Desa Asembagus. Dilihat dari kelengkapan fasilitas yang dimiliki, perkembangan wilayah desa ini tidak terlalu jauh dibandingkan dengan Desa Asembagus, yaitu jumlah fasilitas sebanyak 105 jenis dan jumlah unit fasilitas adalah sebanyak 4 311 unit. Keberadaan Pabrik Gula Asembagus yang terletak di Desa Asembagus dan tidak terlalu jauh letaknya dengan Desa Trigonco telah membantu perkembangan wilayah Desa Trigonco lebih pesat.
Banyak penduduk yang bermukim di desa ini adalah karyawan dari
perusahaaan ini, sehingga efek keberadaan Pabrik Gula Asembagus sangat dirasakan oleh penduduk sekitar. Fasilitas yang dimiliki baik fasilitas umum maupun fasilitas pendukung, seperti fasilitas pendidikan, kesehatan, transportasi, telekomunikasi, lembaga keuangan, lembaga pertanian, dan fasilitas sosial serta fasilitas pendukung agribisnis juga terdapat di Desa Trigonco.
Fasilitas pendidikan tersedia cukup
lengkap mulai dari Sekolah Taman Kanak-Kanak (TK) sampai Sekolah Menengah Atas (SMA) baik negeri maupun swasta termasuk pondok pesantren.
Fasilitas
kesehatan juga tersedia cukup lengkap, di desa ini telah mempunyai fasilitas kesehatan seperti Puskesmas, tempat praktek dokter, mantri dan bidan, posyandu, poliklinik desa, apotik dan toko obat. Fasilitas sosial dan kelembagaan juga sudah
136
tersedia seperti sarana ibadah, baik agama Islam, Kristen, dan Katolik, majelis taklim dan yayasan kematian, lembaga perbankan, kantor pos, dan lembaga penyuluh pertanian. Hierarkhi wilayah desa paling rendah adalah Desa Bayeman di Kecamatan Arjasa.
Jumlah penduduk yang bermukin di Desa Bayeman adalah 1 755 jiwa
dengan kepadatan penduduk sekitar 111 jiwa/km2, jumlah jenis fasilitas yang dimiliki sekitar 70 jenis dan jumlah unit fasilitas sebanyak 1 272 unit merupakan jumlah yang rendah jika dibandingkan dengan desa-desa lainnya. Di Desa Bayeman hanya memiliki fasilitas pendidikan berupa Sekolah Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, dan Sekolah Menengah Pertama, masing-masing 1 (satu) sekolah, sedangkan fasilitas pendidikan lainnya belum tersedia. Demikian pula fasilitas kesehatan, yang ada hanya Puskesmas Pembantu dengan tempat praktek paramedis yang dipunyai hanya 1 (satu) mantri kesehatan, sehingga jika ada masyarakat yang sakit keras sangat sulit untuk mendapat pelayanan kesehatan yang memadai. Fasilitas sosial, keagamaan, dan kelembagaan juga masih minim, lembaga perbankan juga belum tersedia. Tabel 39 Hierarkhi wilayah desa di lima kecamatan basis peternakan di Kabupaten Situbondo berdasarkan kelengkapan fasilitas No. Kecamatan
Desa
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.
Asembagus Trigonco Gudang Perante Awar-Awar Bantal WringinAnom Mojosari Kertosari Kedung Lo Jangkar Curah Kalak Agel Palangan Sopet Pesanggrahan Kumbangsari
Asembagus Asembagus Asembagus Asembagus Asembagus Asembagus Asembagus Asembagus Asembagus Asembagus Jangkar Jangkar Jangkar Jangkar Jangkar Jangkar Jangkar
Jumlah Penduduk
6 878 5 909 4 641 4 139 3 898 5 067 5 604 3 798 4 726 4 300 8 160 2 756 4 180 4 912 8 549 2 550 2 947
Jumlah Jenis
107 105 96 89 89 86 84 83 80 72 104 90 88 85 83 80 77
Jumlah Unit
3678 4 311 3 292 2 539 2 091 1 914 2 589 2 245 2 534 1 543 6 925 2 779 4 725 4 617 9 913 2 309 3 520
Hierarkhi Hierarkhi Kecamatan Keseluruhan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1 2 3 4 5 6 7
1 2 5 13 15 20 23 26 30 41 3 10 16 21 25 31 33
137
18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42.
Jangkar Arjasa Arjasa Arjasa Arjasa Arjasa Arjasa Arjasa Arjasa Kapongan Kapongan Kapongan Kapongan Kapongan Kapongan Kapongan Kapongan Kapongan Kapongan Mangaran Mangaran Mangaran Mangaran Mangaran Mangaran
Gadingan Lamongan Arjasa Ketowan Kedungdowo Curah Tatal Kayumas Jatisari Bayeman K. Rampak Seletreng Peleyan Kapongan Landangan Pokaan Gebangan Curah Cotok Wonokoyo Kandang Mangaran Trebungan Semiring Tjg. Pecinan Tjg. Glugur Tjg. Kamal
2 028 3 580 4 157 4 951 3 248 7 631 6 026 8 684 1 755 4 793 7 483 3 125 1 898 2 767 4 593 4 071 1 558 2 722 3 573 4 384 6 463 3 376 6 412 3 788 6 133
72 85 84 80 79 76 74 73 70 95 93 92 90 89 82 82 77 75 73 104 92 90 87 87 86
1 571 2 553 2 425 2 918 1 929 1 845 2 974 2 756 1 272 2 518 4 420 1 611 1 474 2 280 2 654 2291 1 140 1 757 1 722 3 821 2 819 2 095 3 477 1 959 2 471
8 1 2 3 4 5 6 7 8 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1 2 3 4 5 6
40 22 24 29 32 35 37 38 42 6 7 9 12 14 27 28 34 36 39 4 8 11 17 18 19
Selanjutnya untuk mengelompokkan hierarkhi wilayah desa dapat dilakukan dengan analisis sentralitas. Dalam analisis sentralitas, parameter yang diukur adalah kelengkapan fasilitas yang dimiliki setiap desa. Hasil analisis ini akan menggambarkan tingkat perkembangan desa yang dapat dibagi atas tiga kelompok yaitu : a. Kelompok I adalah adalah desa dengan tingkat perkembangan tinggi (maju) yaitu apabila memiliki nilai indeks sentralitas jenis fasilitas sebesar nilai rata-rata + 2 kali standar deviasi. b. Kelompok II adalah desa dengan tingkat perkembangan sedang yaitu apabila memiliki nilai indeks sentralitas jenis fasilitas sebesar nilai rata-rata sampai ratarata + 2 kali standar deviasi
138
c. Kelompok III adalah desa dengan tingkat perkembangan rendah (relatif tertinggal) yaitu apabila mamiliki nilai indeks sentralitas jenis fasilitas kurang dari nilai rata-rata. Berdasarkan hasil analisis sentralitas terhadap kelengkapan fasilitas yang dimiliki seluruh desa di lima kecamatan di Kabupaten Situbondo (Lampiran 7), diperoleh 3 (tiga) kelompok perkembangan desa seperti pada Tabel 40. Tabel 40 Tingkat perkembangan desa di lima kecamatan basis peternakan di Kabupaten Situbondo berdasarkan analisis sentralitas No Perkembangan Indeks Kecamatan Kelompok Desa Desa Sentralitas 1. Tingkat Asembagus Asembagus dan Trigonco perkembangan Jangkar > 102,523 Jangkar tinggi (maju) Mangaran Mangaran Bantal, Awar-Awar, Perante, Asembagus 2. Tingkat Gudang, dan Wrigin Anom perkembangan 85,119 – Jangkar Curah Kalak dan Agel sedang 102,523 Peleyan, Seletreng, Kapongan Landangan, Kapongan, dan Kesambi Rampak Tanjung Kamal, Tanjung Mangaran Glugur, Tanjung Pecinan, Semiring, dan Trebungan Mojosari, Kertosari, dan Asembagus Kedunglo 3. Tingkat Sopet, Palangan, Gadingan, perkembangan Jangkar Kumbangsari, dan rendah (relatif < 85,119 Pesanggrahan tertinggal) Curah Tatal, Jatisari, Kayumas, Bayeman, Ketowan, Arjasa Kedungdowo, Lamongan, dan Arjasa Kandang, Curah Totok, Kapongan Wonokoyo, Gebangan, dan Pokaan
139
Tabel 40 menunjukkan Desa Asembagus dan Trigonco di Kecamatan Asembagus, Desa Jangkar di Kecamatan Jangkar, dan Desa Mangaran di Kecamatan Mangaran merupakan kelompok desa yang sudah mengalami tingkat perkembangan wilayah tinggi atau lebih maju dengan nilai indeks sentralitas > 102,523. Dilihat dari posisi geografisnya, keempat desa tersebut berada di ibukota kecamatan dan mempunyai akses yang cukup baik dengan ibukota kabupaten Situbondo. Keempat desa ini memiliki fasilitas yang lebih lengkap dibandingkan dengan desa-desa lain di sekitarnya terutama fasilitas pendidikan, kesehatan, sosial, dan fasilitas pendukung lainnya. Sedangkan desa-desa yang termasuk dalam kategori desa dengan tingkat perkembangan relative sedang terdiri atas 17 desa dari 4 kecamatan yang meliputi Desa Bantal, Awar-Awar, Perante, Trigonco, Asembagus, Gudang, dan Wriginanom (Kecamatan Asembagus); Desa Curah Kalak dan Agel (Kecamatan Jangkar); Desa Peleyan, Seletreng, Landangan, dan Kapongan, Kesambirampak (Kecamatan Kapongan); dan Desa Tanjung Kamal, Tanjung Glugur, Tanjung Pecinan, Semiring, dan Trebungan (Kecamatan Mangaran). Adapun desa-desa dengan tingkat perkembangan relative lambat terdiri atas 21 desa dari 4 kecamatan yaitu Desa Mojosari, Kertosari, dan Kedunglo (Kecamatan Asembagus); Desa Sopet, Palangan, Gadingan, Kumbangsari, dan Pesanggrahan (Kecamatan Jangkar); Desa Curah Tatal, Jatisari, Kayumas, Bayeman, Ketowan, Kedungdowo, Lamongan, dan Arjasa (Kecamatan Arjasa); dan Desa Kandang, Curah Cotok, Wonokoyo, Gebangan, dan Pokaan (Kecamatan Kapongan). 6.3.3. Persepsi Masyarakat Berkaitan Pengembangan Kawasan Agropolitan Berbasis Peternakan di Kabupaten Situbondo Berkaitan dengan pengetahuan masyarakat tentang agropolitan, pada Gambar 12 terlihat bahwa hanya sekitar 13 % masyarakat Kabupaten Situbondo yang sudah mengenal agropolitan, sedangkan sebagian besar masyarakat yaitu 87 % belum pernah mendengar/mengenal tentang kata agropolitan. Hal ini menunjukkan bahwa penyuluhan dan penjelasan mengenai agropolitan di wilayah Kabupaten Situbondo sangat kurang.
Kondisi ini disebabkan pemerintah daerah Kabupaten Situbondo
masih belum ada rencana untuk pencanangan pengembangan agropolitan di
140
wilayahnya. Pada tahun 2009 ini Pemerintah Daerah melalui Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Situbondo baru mulai mengadakan kajian awal mengenai kemungkinan pengembangan kawasan agropolitan.
Mengenal Agropolitan 13%
87% Ya
Tidak
Gambar 12 Pengetahuan masyarakat tentang agropolitan Sumber informasi mengenai agropolitan, pada umumnya masyarakat di Kabupaten Situbondo memperoleh informasi dari media massa sekitar 75 % serta dari penyuluhan dan sosialisasi pemerintah sekitar 25%. Masyarakat yang memperoleh informasi dari media massa, pada umumnya melalui koran, majalah pertanian, dan radio. Sumber informasi responden mengenai agropolitan dapat dlihat pada Gambar 13. Sumber Informasi Agropolitan 0% 25%
75% Teman
Sosialisasi Pemerintah
Media Massa
Gambar 13 Sumber informasi responden mengenai agropolitan
141
Masyarakat yang mengetahui tentang agropolitan tidaklah banyak (sedikit). Namun demikian, ketika ditanyakan mengenai pengembangan kawasan agropolitan akan dapat menciptakan lapangan kerja bagi mereka, maka sebagian besar responden, yaitu sekitar 97 % mengaku yakin bahwa pengembangan kawasan agropolitan dapat membuka lapangan kerja baru apabila dilaksanakan dengan penuh keseriusan dan tanggungjawab yang tinggi dari para pengambil kebijakan. Responden yang raguragu terhadap pembukaan lapangan kerja baru hanya sekitar 3 % saja. Persepsi responden bahwa pengembangan kawasan agropolitan dapat menciptakan lapangan kerja baru di Kabupaten Situbondo dapat dilihat pada Gambar 14.
Persentasi (%)
Agropolitan Menciptakan Lapangan Kerja 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
97
3
Ya
Ragu-Ragu
0 Tidak
Kriteria
Gambar 14 Pengembangan kawasan agropolitan akan dapat menciptakan lapangan kerja Responden di wilayah Kabupaten Situbondo sangat sedikit yang mengetahui perihal agropolitan, walaupun demikian mereka pada umumnya (97 %) sangat yakin bahwa pengembangan kawasan agropolitan dapat memberikan keuntungan ekonomi. Responden
yang ragu-ragu terhadap pengembangan kawasan agropolitan dapat
memberikan keuntungan ekonomi hanya sekitar 3 % saja. Persepsi responden bahwa pengembangan kawasan agropolitan dapat memberikan keuntungan ekonomi di Kabupaten Situbondo dapat dilihat pada Gambar 15
142
Agropolitan Memberikan Keuntungan Ekonomi
Persentase (%)
100
97
80 60 40 3
20
0
0
Ya
Ragu-Ragu
Tidak
Kriteria
Gambar 15 Pengembangan kawasan agropolitan dapat memberikan keuntungan ekonomi Salah satu yang cukup menentukan keberhasilan pengembangan kawasan agropolitan diantaranya adalah keadaan kondisi jalan di kecamatan. Responden sekitar 80,6 % menyatakan bahwa kondisi jalan di kecamatan bagus dan sisanya sekitar 19,4 % menyatakan sedang. Hal ini sangat membantu menghubungkan desa yang satu dengan desa lainnya apabila nanti dibuka kawasan agropolitan dan juga lebih memudahkan dan memperlancar arus transportasi barang dan jasa antar wilayah. Kondisi jalan di kecamatan disajikan pada Gambar 16. Keadaan Jalan Kecamatan
Persentase (%)
100
80,6
80 60 40 20
19,4 0
0
0
0 Sangat
Bagus
Sedang
Jelek
Sangat
Gambar 15 Kondisi jalan di kecamatanJelek Bagus Kriteria
Gambar 16 Kondisi jalan di kecamatan
143
Responden yang menyatakan bahwa pemberdayaan masyarakat dalam agropolitan hanya melibatkan masyarakat lokal saja sekitar 16 %, masyarakat lokal dan daerah lain sekitar 10 %, sedangkan sebagian besar melibatkan masyarakat lokal, daerah lain, dan lintas negara sekitar
74 %.
Pemberdayaan masyarakat dalam
agropolitan dapat dilihat pada Gambar 17.
Pemberdayaan Masyarakat dalam Agropolitan 16%
Kondisi Keamaman 100
Persentase (%)
97
80
10%
60 40 20
3
0
0
0
0 Sangat Bagus
74%
Bagus
Sedang
Jelek
Sangat Jelek
Kriteria
Masyarakat Lokal Saja Masyarakat Lokal dan Daerah Lain Masyarakat Lokal, Daerah Lain, dan Lintas Negara
Gambar 17 Pemberdayaan masyarakat dalam agropolitan
6.4. Kesimpulan Tingkat perkembangan wilayah Kabupaten Situbondo termasuk dalam strata Pra Kawasan Agropolitan II. Untuk meningkatkan strata kawasan, variabel lain yang perlu diperhatikan adalah jumlah penduduk (jiwa), jarak kecamatan ke kabupaten (km), jumlah kepala keluarga (KK), sarana dan prasarana umum (unit), sarana dan prasarana agribisnis (unit), jumlah komoditas peternakan (jenis), keluarga pemakai PLN, desa terpencil/potensi rendah (desa), jumlah keluarga pra sejahtera (jiwa), produksi tanaman pangan (kw), populasi sapi potong (ekor), populasi domba (ekor), populasi kambing (ekor), populasi ayam buras (ekor), populasi itik (ekor). Dilihat dari kelengkapan fasilitas yang dimiliki setiap desa, terdapat 4 (empat) desa dengan tingkat perkembangan tinggi/maju, 17 (tujuh belas) desa dengan tingkat
144
perkembangan sedang, 21 (dua puluh satu) desa dengan tingkat perkembangan rendah/relatif tertinggal. Masyarakat wilayah Kabupaten Situbondo setuju jika daerahnya direncanakan untuk
pengembangan
kawasan
agropolitan.
Jenis
agropolitan
yang
dapat
dikembangkan adalah agropolitan terpadu antara peternakan sapi potong, tanaman pangan, dan perkebunan dengan tujuan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2007. Situbondo Dalam Angka 2006/2007. Situbondo: Pemerintah Kabupaten Situbondo Kerjasama BPS dan BAPPEKAB Situbondo. [BAPPEKAB] Badan Perencanaan dan Pembangunan Kabupaten dan [BPS] Badan Pusat Statistik. 2008. Profil Kabupaten Situbondo. Situbondo: Pemerintah Kabupaten Situbondo Kerjasama BAPPEKAB dan BPS Situbondo. [Deptan] Departemen Pertanian. 2002. Pedoman Umum Pengembangan Kawasan Agropolitan dan Pedoman Program Rintisan Pengembangan Kawasan Agropolitan. Jakarta: Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia Pertanian. Departemen Pertanian. [Deptan] Departemen Pertanian. 2004. Penerapan Konsep Kawasan Agropolitan. Jakarta: Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia (SDM) Pertanian. Dermawan DHA, Yusmichard Y. 1995. Dampak Perkembangan Usaha Industri Peternakan Sapi Potong dalam Perekonomian. Jakarta: APFINDO. [Disnak Situbondo] Dinas Peternakan Situbondo. 2006. Laporan Tahunan Dinas Peternakan Situbondo. Situbondo: Dinas Peternakan Kabupaten Situbondo. [Dirjen] Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan. 2002. Integrasi Ternak Sapi dengan Perkebunan Kelapa Sawit. Jakarta: Direktorat Pengembangan Peternakan, Departemen Pertanian Republik Indonesia. -----------------------------------------. 2003. Buku Statistik Peternakan Tahun 2002. Jakarta: Departemen Pertanian Republik Indonesia. [Dirjen] Direktorat Jenderal Peternakan. 2007. Buku Statistik Peternakan Tahun 2006. Jakarta: Departemen Pertanian Republik Indonesia.
145
[Dirjen] Direktorat Jenderal Peternakan. 2008. Buku Statistik Peternakan Tahun 2007. Jakarta: Departemen Pertanian Republik Indonesia. Iriawan N, Astuti SP. 2006. Mengolah Data Statistik dengan Mudah Menggunakan Minitab 14. Yogyakarta: Penerbit Andi. Soenarno. 2003. Pengembangan kawasan agropolitan dalam rangka pengembangan wilayah. Makalah Seminar Nasional Agroindustri dan Pengembangan Wilayah Februari 2003. Jakarta:Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah. Suwandi. 2005. Agropolitan Merentas Jalan Meniti Harapan. Jakarta: Duta Karya Swasta.
VII. STATUS KEBERLANJUTAN WILAYAH BERBASIS PETERNAKAN DI KABUPATEN SITUBONDO
Abstrak Pemerintah Kabupaten Situbondo masih belum menetapkan untuk pengembangan kawasan agropolitan. Untuk itu sebelum program agropolitan dilaksanakan perlu dikaji terlebih dahulu tingkat keberlanjutan wilayah Kabupaten Situbondo. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis indeks dan status keberlanjutan wilayah Kabupaten Situbondo dari lima dimensi keberlanjutan. Penelitian meggunakan mentode analisis Multidimensional Scaling (MDS) yang disebut Rap-BANGKAPET dan hasilnya dinyatakan dalam bentuk indeks dan status keberlanjutan. Untuk mengetahui atribut yang sensitif berpengaruh terhadap indeks dan status keberlanjutan dan pengaruh galat dilakukan analisis Leverage dan Monte Carlo. Untuk menyusun skenario peningkatan status keberlanjutan ke depan dilakukan analisis prospektif. Hasil analisis keberlanjutan menunjukkan bahwa dimensi ekologi berada pada status kurang berkelanjutan (46.50 %), dimesi ekonomi cukup keberkelanjutan (69.53 %), dimensi sosial budaya cukup berkelanjutan (55.14 %), dimensi infrastruktur dan teknologi kurang berkelanjutan (45.48 %), serta dimensi hukum dan kelembagaan kurang berkelanjutan (47.46 %). Dari 73 (tujuh puluh tiga) atribut yang dianalisis, 24 (dua puluh empat) atribut yang perlu segera ditangani karena sensitif berpengaruh terhadap peningkatan indeks dan status keberlanjutan dengan tingkat galat (error) yang sangat kecil pada taraf kepercayaan 95 %. Dalam rangka meningkatkan status keberlanjutan ke depan (jangka panjang), skenario yang perlu dilakukan adalah skenario progresif-optimistik dengan melakukan perbaikan secara menyeluruh terhadap semua atribut yang sensitif dalam peningkatan status kawasan. Kata kunci: indeks dan status keberlanjutan, agropolitan, Kabupaten Situbondo
Abstract Government of Situbondo Region has not determine Situbondo being develop as an agropolitan area, yet. Before implementing agropolitan policy, sustainability analysis was needed to know how far this concept could sustain at Situbondo. The aim of this research is to analyze the sustainability status by measuring sustainability index of Situbondo area in five dimensions of sustainability. Reseach methods used Multidimensional Scaling (MDS) that called Rap-BANGKAPET. RAP-BANGKAPET supported with Leverage and Monte Carlo analysis to determine attributes that affects the index and status of sustainability. Sustainability analysis resulted ecological dimension was less sustained (46.50%), economical dimension was sustained (69.53%), social and cultural dimension was sustained enough (55.14%), infrastructure and technology
147
dimension was less sustained (45.48%), legal and institutional dimension less sustained (47.46%). From 73 attributes which analysed, only 24 attributes will need to settle immediately because could affects sustainability index sensitively, proven with minimum error at 95% confidence level. Prospective analysis is needed to build scenarios to increase sustainability index and sustainability status in future. There is progressive-optimistic scenarios with overall improvement at sensitive attributes could increase sustainability status of agropolitan area. Keywords: sustainability index, sustainability status, agropolitan, Situbondo Region
7.1. Pendahuluan Program pengembangan kawasan agropolitan yang menekankan pada aspek agribisnis berbasis pertanian tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, dan perikanan belum banyak diselenggarakan pada berbagai daerah di Indonesia. Sumberdaya peternakan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dapat diperbarui (renewable) dan berpotensi untuk dikembangkan guna meningkatkan dinamika ekonomi daerah.
Hal ini, menurut Saragih (2000)
didasarkan atas beberapa pertimbangan, yaitu: Pertama, kegiatan peternakan relatif bersifat tidak tergantung pada ketersediaan lahan dan tidak terlalu menuntut kualitas tenaga kerja yang tinggi. Kedua, kegiatan budidaya peternakan memiliki kelenturan bisnis dan teknologi yang luas dan luwes. Ketiga, produk peternakan merupakan produk yang memiliki nilai elastisitas permintaan terhadap perubahan pendapatan yang tinggi. Keempat, sifat produk peternakan yang memiliki nilai elastisitas permintaan terhadap perubahan pendapatan yang tinggi dan kegiatan peternakan yang dilihat sebagai suatu sistem agribisnis, akan mampu menciptakan kesempatan kerja, kesempatan berusaha dan peningkatan pendapatan, mulai pada agribisnis hulu, budidaya, agribisnis hilir, dan kegiatan jasa terkait tranportasi, perbankan, dan lain-lain. Untuk mendapatkan manfaat yang optimal, pengembangan pengelolaan peternakan perlu memenuhi kriteria pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang mempersekutukan antara kepentingan ekonomi, sosial budaya, dan kelestarian ekologi (Saragih dan Sipayung
2002).
Diharapkan dengan
148
menerapkan pengembangan kawasan agropolitan secara berkelanjutan berbasis peternakan, dapat meningkatkan pendapatan petani/peternak dan kontribusi terhadap pendapatan asli daerah (PAD), menyerap tenaga kerja dan memeratakan pendapatan, mengaplikasikan teknologi untuk meningkatkan produktivitas, patuh hukum serta berfungsinya kelembagaan peternakan.
Dengan demikian,
diperlukan penelitian yang komprehensif untuk merumuskan kebijakan dan skenario pengembangan kawasan agropolitan secara berkelanjutan berbasis peternakan. Sejalan dengan program pembangunan ekonomi nasional bidang pertanian, subsektor peternakan memiliki peranan penting dalam upaya mendukung program peningkatan ketahanan pangan dan pengembangan agribisnis.
Sub sektor
Peternakan berpotensi besar untuk dikembangkan tidak hanya sebagai penghasil daging, susu, dan telur yang merupakan komponen penting dalam rantai pangan modern serta sumber protein hewani yang bernilai tinggi, akan tetapi juga penting dilihat dari fungsi non pangan seperti penyerapan tenaga kerja, penyediaan tenaga kerja ternak, daur ulang nutrisi (nutrient recycling), kotoran ternak yang dapat mengkompensasi kurangnya akses terhadap input modern seperti pupuk dan gas, serta fungsi lainnya dalam membantu mempertahankan kelangsungan hidup dan kelestarian fungsi lingkungan (Dirjen Bina Produksi Peternakan 2002). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui status keberlanjutan wilayah Kabupaten Situbondo dari lima dimensi keberlanjutan yaitu dimensi ekologi, dimensi ekonomi, dimensi sosial dan budaya, dimensi infrastruktur dan teknologi, dan dimensi hukum dan kelembagaan. Dengan mengetahui status keberlanjutan wilayah dari lima dimensi, akan memudahkan dalam melakukan perbaikanperbaikan terhadap atribut-atribut yang sensitif berpengaruh terhadap peningkatan status keberlanjutan wilayah terutama pada dimensi keberlanjutan dengan status yang lebih rendah guna mendukung pengembangan kawasan agropolitan ke depan. Hasil penelitian pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan di Kabupaten Situbondo ini diharapkan dapat merubah paradigma pembangunan daerah yang selama ini hanya dijadikan sebagai halaman belakang menjadi
149
pembangunan perdesaan yang berkelanjutan yang setara dengan kota dengan memandang desa sebagai basis potensial kegiatan ekonomi melalui investasi sarana dan prasarana yang menunjang kegiatan pertanian/peternakan dengan memberdayakan masyarakat lokal. 7.2. Metode Analisis Status Keberlanjutan Wilayah Kabupaten Situbondo a. Jenis dan Sumber data Jenis data yang diperlukan dalam analisis keberlanjutan pengembangan kawasan agropolitan adalah data primer berupa atribut-atribut yang terkait dengan lima dimensi keberlanjutan pembangunan yaitu: dimensi ekologi, ekonomi, sosial, teknologi/infrastruktur, serta hukum dan kelembagaan.
Data primer dapat
bersumber dari para responden dan pakar yang terpilih, serta hasil pengamatan langsung di lokasi penelitian. b. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data dalam analisis keberlanjutan pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan di Kabupaten Situbondo dilakukan melalui wawancara, diskusi, kuisioner, dan survey lapangan dengan responden di wilayah studi yang terdiri dari berbagai pakar dan stakeholder yang terkait dengan topik penelitian ini. c. Metode Analisis Data c.1. Analisis Multidimensional Scaling (MDS) Analisis keberlanjutan pengembangan kawasan agropolitan dilakukan dengan pendekatan
Multidimensional Scaling (MDS) yang disebut dengan
pendekatan Rap-BANGKAPET yang merupakan pengembangan dari metode Rapfish yang digunakan untuk menilai status keberlanjutan perikanan tangkap. Analisis keberlanjutan ini, dinyatakan dalam Indeks Keberlanjutan Pengembangan Kawasan Agropolitan Berbasis Peternakan Terpadu (ikb-BANGKAPET).
150
Analisis dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu: a) Penentuan atribut pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan secara berkelanjutan yang mencakup lima dimensi yaitu: ekologi, ekonomi, sosial budaya, teknologi, serta hukum dan kelembagaan; b) Penilaian setiap atribut dalam skala ordinal berdasarkan kriteria keberlanjutan setiap dimensi; dan c) Penyusunan indeks dan status keberlanjutan pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan.
Atribut-atribut yang akan dikaji pada dimensi ekologi antara lain: a) Pemanfaatan limbah peternakan untuk pupuk organik. b) Pemanfaatan limbah pertanian untuk pakan ternak. c) Sistem pemeliharaan ternak. d) Lahan (kesuburan tanah). e) Tingkat pemanfaatan lahan. f) Agroklimat dan daya dukung pakan. g) Ketersediaan instalasi pengelolaan limbah (IPAL) agroindustri hasil ternak h) Kebersihan kandang. i) Ketersediaan rumah potong hewan (RPH). j) Ketersediaan instalasi pengelolaan limbah (IPAL) rumah potong hewan (RPH). k) Jenis pakan ternak. l) Kuantitas limbah peternakan. m) Jarak lokasi usaha peternakan dengan permukiman penduduk. n) Kejadian kekeringan. o) Fekuensi kejadian banjir. p) Curah hujan. q) Kondisi prasarana jalan usahatani. r) Kondisi prasarana jalan desa.
151
Atribut-atribut yang akan dikaji pada dimensi ekonomi antara lain: a) Keuntungan (profit) dalam usaha budidaya peternakan. b) Kontribusi terhadap produk domestik regional bruto (PDRB). c) Kontribusi terhadap pendapatan asli daerah (PAD). d) Rataan penghasilan peternak relatif terhadap UMR Provinsi Jatim. e) Rataan penghasilan peternak relatif terhadap total pendapatan. f) Transfer keuntungan. g) Ketersediaan pasar produk agroindustri peternakan. h) Ketersediaan agroindustri peternakan i) Kelayakan finansial budidaya peternakan j) Perubahan nilai APBD bidang peternakan (5 tahun terakhir). k) Ketersediaan industri pakan l) Ketersediaan pasar ternak/sub terminal agribisnis (STA). m) Besarnya subsidi. n) Persentase penduduk miskin. o) Harga komoditas ternak. p) Jumlah tenaga kerja pertanian. q) Jenis komoditas unggulan. r) Kelayakan usaha agroindustri peternakan. s) Tingkat ketergantungan konsumen.
Atribut-atribut yang akan dikaji pada dimensi sosial budaya antara lain: a) Pekerjaan dilakukan secara individual atau kelompok. b) Jumlah rumah tangga peternakan. c) Pertumbuhan rumah tangga peternakan. d) Pengetahuan terhadap lingkungan. e) Tingkat penyerapan tenaga kerja bidang agroindustri peternakan. f) Frekuensi konflik. g) Partisipasi keluarga dalam usaha agroindustri peternakan. h) Peran masyarakat dalam usaha agroindustri peternakan. i) Frekuensi penyuluhan dan pelatihan. j) Tingkat penyerapan tenaga kerja pertanian.
152
k) Alternatif usaha selain usaha agribisnis peternakan. l) Jumlah penduduk yang bekerja di bidang agroindusri peternakan. m) Alokasi waktu yang digunakan usaha agroindustri peternakan. n) Jumlah desa dengan penduduk bekerja di sub sektor peternakan.
Atribut-atribut yang akan dikaji pada dimensi teknologi antara lain: a) Penyebaran tempat pelayanan pos kesehatan hewan (Poskeswan). b) Penyebaran tempat pos pelayanan inseminasi buatan (IB). c) Penggunaan vitamin dan probiotik untuk memacu pertumbuhan ternak. d) Teknologi pakan. e) Teknologi pengolahan limbah peternakan/agroindustri peternakan. f) Teknologi pengolahan hasil produk peternakan. g) Teknologi informasi dan transportasi. h) Ketersediaan sarana dan prasarana agribisnis. i) Ketersediaan infrastrukur/sarana dan prasarana umum. j) Tingkat penguasaan teknologi budidaya peternakan. k) Ketersediaan teknologi informasi peternakan. l) Standarisasi mutu produk peternakan.
Atribut-atribut yang akan dikaji pada dimensi hukum dan kelembagaan antara lain: a) Koperasi tani ternak. b) Perjanjian kerjasama dengan daerah lain soal peternakan. c) Sinkronisasi kebijakan pusat dan daerah. d) Kelompok tani ternak. e) Ketersediaan lembaga sosial. f) Ketersediaan lembaga keuangan mikro (bank/kredit). g) Ketersediaan Lembaga Penyuluhan Pertanian/Balai Penyuluhan Pertanian (BPP). h) Ketersediaan Badan Pengelola Kawasan Agropolitan.
153
Setiap atribut pada masing-masing dimensi diberikan skor berdasarkan scientific judgment dari pembuat skor. Rentang skor berkisar antara 0 – 3 atau tergantung pada keadaan masing-masing atribut yang diartikan mulai dari yang buruk (0) sampai baik (3). Tabel 41 berikut menyajikan atribut-atribut dan skor yang digunakan untuk menilai keberlanjutan pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan pada setiap dimensi. Tabel 41 Atribut-atribut dan skor keberlanjutan pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan Dimensi dan Atribut
Skor
Baik
Buruk
Keterangan
Dimensi Ekologi Dimensi Ekonomi Dimensi Sosial Budaya Dimensi Infrastruktur dan Teknologi Dimensi Hukum dan Kelembagaan
Nilai skor dari masing-masing atribut dianalisis secara multidimensional untuk menentukan satu atau beberapa titik yang mencerminkan posisi keberlanjutan pengembangan kawasan agropolitan yang dikaji relatif terhadap dua titik acuan yaitu titik baik (good) dan titik buruk (bad). Adapun nilai skor yang merupakan nilai indeks keberlanjutan setiap dimensi terdapat pada Tabel 42. Tabel 42 Kategori status keberlanjutan pengembangan kawasan agropolitan berdasarkan nilai indeks hasil analisis Rap-BANGKAPET Nilai Indeks 0-25 26-50 51-74 75-100
Kategori Buruk Kurang Cukup Baik
154
Melalui
metode
MDS,
maka
posisi
titik
keberlanjutan
dapat
divisualisasikan melalui sumbu horizontal dan sumbu vertikal. Dengan proses rotasi, maka posisi titik dapat divisualisasikan pada sumbu horizontal dengan nilai indeks keberlanjutan diberi nilai skor 0 % (buruk) dan 100 % (baik). Jika sistem yang dikaji mempunyai nilai indeks keberlanjutan lebih besar atau sama dengan 50 % (> 50 %), maka sistem dikatakan berkelanjutan (sustainable) dan tidak berkelanjutan jika nilai indeks kurang dari 50 % (<50 %). Ilustrasi hasil ordinasi nilai indeks keberlanjutan dapat dilihat pada Gambar 18. Nilai indeks keberlanjutan setiap dimensi dapat divisualisasikan dalam bentuk diagram layang-layang (kite diagram) seperti pada Gambar 19. Buruk
Baik
0%
Gambar 18
50%
100%
Ilustrasi indeks keberlanjutan pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan sebesar 50 % (berkelanjutan) Dimensi Ekologi
Dimensi Hukum dan Kelembagaan
Dimensi Infrastruktur/Teknologi
Dimensi Ekonomi
Dimensi Sosbud
Gambar 19. Ilustrasi indeks keberlanjutan setiap dimensi pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan
155
Untuk melihat atribut yang paling sensitif memberikan kontribusi terhadap indeks keberlanjutan pengembangan kawasan agropolitan dilakukan analisis sensivitas dengan melihat bentuk perubahan root mean square (RMS) ordinasi pada sumbu X. Semakin besar perubahan nilai RMS, maka semakin sensitif atribut tersebut dalam pengembangan kawasan agropolitan. Dalam analisis tersebut di atas akan terdapat pengaruh galat yang dapat disebabkan oleh berbagai hal seperti kesalahan dalam pembuatan skor karena kesalahan pemahaman terhadap atribut atau kondisi lokasi penelitian yang belum sempurna, variasi skor akibat perbedaan opini atau penilaian oleh peneliti, proses analisis MDS yang berulang-ulang, kesalahan pemasukan data atau ada data yang hilang, dan tingginya nilai stress, yaitu nilai stress dapat diterima jika nilai < 25 % (Kavanagh 2001). Untuk mengevaluasi pengaruh galat pada pendugaan nilai ordinasi pengembangan kawasan agropolitan digunakan analisis Monte Carlo.
c.2. Analisis Prospektif Analisis prospektif dilakukan dalam rangka menghasilkan skenario pengembangan kawasan agropolitan secara berkelanjutan berbasis peternakan di Kabupaten Situbondo untuk masa yang akan datang dengan menentukan faktor dominan yang berpengaruh terhadap kinerja sistem. Pengaruh antar faktor diberikan skor oleh pakar dengan menggunakan pedoman penilaian analisis prospektif seperti pada Tabel 43. Tabel 43 Pedoman penilaian prospektif dalam pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan Skor 0 1
Keterangan Tidak ada pengaruh Berpengaruh kecil
Skor 2 3
Keterangan Berpengaruh sedang Berpengaruh sangat kuat
156
Adapun pedoman pengisian pengaruh langsung antar faktor berdasarkan pedoman penilaian dalam analisis prospektif adalah sebagai berikut: a) Dilihat dahulu apakah faktor tersebut tidak ada pengaruhnya terhadap faktor lain, jika ya beri nilai 0. b) Jika tidak, selanjutnya dilihat apakah pengaruhnya sangat kuat, jika ya beri nilai 3. c) Jika tidak, baru dilihat apakah berpengaruh kecil = 1, dan berpengaruh sedang = 2. Pengaruh antar faktor, selanjutnya disusun dengan menggunakan matriks seperti Tabel 44 berikut ini. Tabel 44 Pengaruh antar faktor dalam pengembangan kawasan agropolitan Dari Terhadap A B C D E F G
A
B
C
D
E
F
G
Kemungkinan-kemungkinan masa depan yang terbaik dapat ditentukan berdasarkan hasil penentuan elemen kunci masa depan dari beberapa faktor-faktor atau elemen-elemen yang sangat berpengaruh terhadap pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan di Kabupaten Situbondo yang menuntut untuk segera dilaksanakan tindakan.
Adapun cara menemukan elemen kunci dapat
dilihat seperti Gambar 20 berikut ini.
157
Penentuan Elemen Kunci
P E
Faktor Penentu
N
INPUT
Faktor Penghubung
G A R U
Fakor Bebas
Faktor Terikat
UNUSED
QUTPUT
H KETERGANTUNGAN
Gambar 20 Penentuan elemen kunci pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan
Hasil analisis berbagai faktor atau variabel seperti pada Gambar 20 di atas menunjukkan bahwa faktor-faktor atau variabel-variabel yang berada pada: a. kuadran I berupa INPUT, memuat faktor-faktor yang mempunyai pengaruh kuat dengan tingkat ketergantungan yang kurang kuat. Faktor pada kuadran ini merupakan faktor penentu atau penggerak (driving variabels) yang paling kuat dalam sistem. b. Kuadran II berupa STAKES, memuat faktor-faktor yang mempunyai pengaruh dan ketergantungan yang kuat (leverage variables). Faktor pada kuadran ini dianggap peubah yang kuat. c.
Kuadran III (OUTPUT), memuat faktor-faktor yang mempunyai pengaruh kecil, namun ketergantungannya tinggi.
d.
Kuadran IV (UNUSED), memuat faktor-faktor yang mempunyai pengaruh dan ketergantungan kecil (rendah).
158
Berdasarkan faktor dominan yang berpengaruh terhadap sistem maka dibangun keadaan yang mungkin terjadi di masa depan faktor-faktor tersebut sebagai alternatif penyusun skenario pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan. Selanjutnya disusun skenario pengembangan kawasan agropolitan yang mungkin terjadi di masa depan dapat berupa konservatif-pesimistik, moderat-optimistik, dan progresif-optimistik.
7.3. Hasil dan Pembahasan Analisis Status dan Skenario Keberlanjutan Wilayah Kabupaten Situbondo 7.3.1. Status Keberlanjutan Wilayah Kabupaten Situbondo Dalam penelitian pengembangan kawasan agropolitan di wilayah Kabupaten Situbondo, penentuan indeks keberlanjutan kawasan ditetapkan pada lima dimensi keberlanjutan, yatu dimensi ekologi, ekonomi, sosial dan budaya, infrastruktur dan teknologi, serta hukum dan kelembagaan dengan atribut dan nilai skoring hasil pendapat pakar pada Lampiran 9.
Berdasarkan hasil analisis
dengan menggunakan Rap-BANGKAPET (MDS) diperoleh nilai indeks kberlanjutan untuk dimensi
ekologi sebesar 46.50 % dengan status kurang
berkelanjutan, dimensi hukum dan kelembagaan sebesar 47.46 % dengan status kurang berkelanjutan, dimensi infrastruktur dan teknologi sebesar 45.48 % dengan status kurang berkelanjutan, dimensi sosial budaya sebesar 55.14 % dengan status cukup cukup berkelanjutan, dan dimensi ekonomi 69.53 % dengan status cukup berkelanjutan.
Agar nilai indeks ini di masa yang akan datang dapat terus
meningkat sampai mencapai status berkelanjutan, perlu perbaikan-perbaikan terhadap atribut yang sensitif berpengaruh terhadap nilai indeks dimensi ekologi. Atribut-atribut yang dinilai oleh para pakar didasarkan pada kondisi existing wilayah. Adapun nilai indeks lima dimensi keberlanjutan hasil analisis RapBANGKAPET seperti pada Gambar 21 dan Lampiran 9.
159
Dimensi Ekologi (46,50 %) 80 60 40 Dimensi Kelembagaan (47,46 %)
20
Dimensi Ekonomi (69,53 %)
0
Dimensi Teknologi (45,48 %)
Dimensi Sosial-Budaya (55,14 %)
Gambar 21 Diagram layang (kite diagram) nilai indeks keberlanjutan wilayah Kabupaten Situbondo a. Status Keberlanjutan Dimensi Ekologi Atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat keberlanjutan pada dimensi ekologi terdiri atas 20 (dua puluh) atribut, yatu; (1) pemanfaatan limbah peternakan untuk pupuk organik, (2) pemanfaatan limbah pertanian untuk pakan ternak, (3) sistem pemeliharaan ternak, (4) lahan (kesuburan tanah) (5)
tingkat pemanfaatan lahan, (6) agroklimat,
dukung pakan, (8) ketersediaan IPAL agroindustri ternak, kandang, (10) ketersediaan rumah potong hewan (RPH),
(7) daya
(9) kebersihan (11) ketersediaan
instalasi pengelolaan limbah (IPAL) rumah potong hewan (RPH), (12) jenis pakan ternak, (13) ketersediaan lahan untuk pakan, (14) kuantitas limbah peternakan, (15) jarak lokasi usaha peternakan dengan permukiman penduduk, (16) kejadian kekeringan, (17) frekuensi kejadian banjir, (18) curah hujan,
(19) kondisi
prasarana jalan usahatani, dan (20) kondisi prasarana jalan desa. Berdasarkan Gambar 21 nilai indeks keberlanjutan untuk dimensi ekologi adalah sebesar 46.50 % termasuk dalam kategori kurang berkelanjutan. Untuk melihat atribut-atribut yang sensitif memberikan pengaruh terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi, dilakukan analisis leverage. Berdasarkan hasil analisis leverage diperoleh 7 (tujuh) atribut yang sensitif terhadap nilai indeks
160
keberlanjutan dimensi ekologi, yaitu: (1) ketersediaan instalasi pengelolaan limbah rumah potong hewan (RPH), (2) ketersediaan rumah potong hewan (RPH), (3) kebersihan kandang, (4) ketersediaan IPAL agroindustri hasil ternak, (5) kuantitas limbah peternakan, (6) daya dukung pakan, dan (7) jarak lokasi usaha peternakan dengan permukiman penduduk. Hasil analisis leverage dapat dilihat pada Gambar 22. Atribut-atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi, yaitu: (1) ketersediaan instalasi pengelolaan limbah di rumah potong hewan (RPH) masih belum tersedia, sehingga perlu disediakan karena pembuangan limbah pemotongan ternak pada saat ini yang langsung dibuang ke sungai akan menimbulkan pencemaran dan gangguan kesehatan bagi masyarakat pengguna sungai tersebut. (2) ketersediaan rumah potong hewan (RPH) masih sangat terbatas (di lokasi penelitian hanya tersedia satu unit dan termasuk type C). Pada masa yang akan datang jumlah ketersediaan rumah potong hewan perlu ditingkatkan jumlahnya demikian juga kategorinya ditingkatkan menjadi type B sesuai dengan jumlah pemotongan ternak dan target pasar yang dituju. (3) kebersihan kandang belum sepenuhnya diperhatikan oleh peternak. Kotoran ternak dibiarkan menumpuk di kandang beberapa hari sebelum dikumpulkan di suatu tempat dan kadang-kadang keadaan di dalam kandang sampai becek. Kondisi ini akan menyebabkan gangguan lingkungan dan kesehatan penduduk. Hal ini perlu dipikirkan secepatnya agar kebersihan kandang dijaga setiap saat, sehingga kesehatan ternak lebih terjamin dan produktivitas ternak bisa optimal. Penyuluhan kepada peternak sangat diperlukan untuk selalu menjaga kebersihan kandang, agar kekhawatiran seperti hal tersebut di atas dapat dicegah. (4) ketersediaan IPAL agroindustri hasil ternak masih belum tersedia, sehingga perlu disediakan mulai sekarang karena pembuangan limbah agroindustri hasil ternak yang sembarangan akan menimbulkan pencemaran lingkungan dan gangguan kesehatan bagi masyarakat sekitarnya. (5) kuantitas atau jumlah limbah peternakan (feses) pada umumnya cukup banyak dan hanya sebagian kecil yang dimanfaatkan atau dikelola untuk pupuk organik. Pemanfaatan limbah peternakan untuk pupuk organik di daerah ini belum memasyarakat, karena petani sebagian besar
lebih
menyukai
menggunakan
pupuk
anorganik
(pupuk
buatan)
161
dibandingkan pupuk organik/pupuk kandang. Kelemahan pupuk organik (pupuk kandang), seperti: a) kandungan hara pupuk kandang yang rendah, b) jumlah pupuk organik yang dibutuhkan sangat banyak akan menyulitkan bagi transportasi dan pemberian sehingga kurang ekonomis, c) perhitungan dosis tidak bisa tepat dan respon tanaman lebih lambat dibanding pupuk buatan, d) mudah terurai habis di daerah tropika, dan e) pupuk organik dapat menjadi inang bagi hama dan penyakit akar tanaman. Kekurangan yang dimiliki pupuk organik tersebut di atas mengakibatkan beberapa petani lebih menyukai menggunakan pupuk buatan. Pemberian pengertian dan penyuluhan serta sosialisasi pemanfaatan pupuk organik kepada petani harus segera dilakukan tentang manfaat dan keunggulan penggunaan pupuk organik baik dari segi ekonomi maupun perbaikan mutu lingkungan dan kesuburan tanah. (6) daya dukung pakan pada saat ini masih berada pada posisi aman dan cukup tersedia. Dalam rangka pengembangan ternak ruminansia, daya dukung pakan harus tetap dipertahankan agar ternak yang dibudidayakan dapat berkembang secara maksimal. Limbah pertanian, seperti: jerami padi, jagung, kacang tanah, dan pucuk tebu serta limbah agroindustri (dedak padi, tongkol jagung, ampas tahu, bungkil kelapa, ampas tebu, dan ampas kecap) yang cukup tersedia di daerah ini, telah membantu daya dukung pakan berada pada posisi aman. (7) jarak lokasi usaha peternakan dengan permukiman penduduk perlu diperhatikan. Kandang ternak yang berkumpul dengan tempat tinggal atau terlalu dekat dengan rumah penduduk akan mengganggu kesehatan masyarakat demikian juga bau yang ditimbulkan, sehingga mengganggu kenyamanan penduduk. Kondisi ini perlu diantisipasi, misalnya dengan cara membikin kandang kolektif yang jaraknya terpisah dari tempat pemukiman dan tidak terlalu jauh dari tempat tinggal penduduk, sehingga efek yang akan ditimbulkan seperti hal tersebut di atas dapat dikurangi dan tidak menimbulkan gangguan lingkungan. Pembuatan kandang kolektif lebih memudahkan dalam pengelolaan ternak, misalnya: dalam pelaksanaan IB, pengawasan penyakit, pengumpulan limbah ternak (feses), pembuatan pupuk organik, keamanan ternak, dan pemasaran ternak.
Dengan demikian jika setiap atribut tersebut dikelola
dengan baik, maka indeks keberlanjutan dimensi ekologi di masa yang akan datang akan lebih meningkat lagi statusnya.
162
Analisis Leverage Dimensi Ekologi
0,768
Kondisi prasarana jalan desa
0,550
Kondisi prasarana jalan usahatani Curah hujan
0,686 0,578
Frekuensi kejadian banjir
0,637
Kejadian kekeringan
2,894
Jarak lokasi usaha peternakan dengan permukiman
3,100
Kuantitas limbah peternakan 0.419376374
Ketersediaan lahan untuk pakan
2,00
Atribut
Jenis pakan ternak Ketersediaan instalasi pengolahan limbah RPH
3,472
Ketersediaan rumah potong hewan (RPH)
3,429
Kebersihan kandang
3,415 3,307
Ketersediaan IPAL agroindustri hasil ternak 2,959
Daya dukung pakan Agroklimat
1,800 1,931
Tingkat pemanfaatan lahan Lahan (kesuburan tanah)
2,093
Sistem pemeliharaan
1,677 1,118
Pemanfaatan limbah pertanian untuk pakan ternak
1,461
Pemanfaatan limbah peternakan untuk pupuk organik 0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
Root Mean Square Change % in Ordination when Selected Attribute Removed (on Status scale 0 to 100)
Gambar 22 Peran masing-masing atribut aspek ekologi yang dinyatakan dalam bentuk nilai root mean square (RMS) Status Keberlanjutan Dimensi Ekonomi Jumlah atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat keberlanjutan dimensi ekonomi adalah 19 (sembilan belas) atribut yang meliputi:(1) keuntungan (profit) dalam budidaya peternakan, (2) kontribusi terhadap produk domestik regional bruto (PDRB),
(3) kontribusi terhadap
pendapatan asli daerah (PAD) untuk bidang pertanian, (4) rataan penghasilan peternak relatif terhadap upah minimum regional (UMR) Provinsi Jatim, (5) rataan penghasilan peternak relatif terhadap total pendapatan, (6) transfer keuntungan, (7)
pasar produk agroindustri peternakan, (8) ketersediaan
agroindustri peternakan (9) kelayakan finansial, (10) perubahan nilai APBD
163
bidang peternakan (5 tahun terakhir), (11) ketersediaan indusri pakan, (12) ketersediaan pasar ternak/sub terminal agribisnis, (13) besarnya subsidi, (14) persentase penduduk miskin, (15) harga komoditas ternak, (16) jumlah tenaga kerja pertanian, (17) jenis komoditas unggulan, (18) kelayakan usaha agroindustri ternak, dan (19) tingkat ketergantungan konsumen. Berdasarkan Gambar 23 nilai indeks keberlanjutan untuk dimensi ekonomi adalah sebesar 69.53 % termasuk dalam kategori cukup berkelanjutan. Untuk melihat atribut-atribut yang sensitif memberikan pengaruh terhdap nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi, dilakukan analisis leverage. Berdasarkan hasil analisis leverage diperoleh 4 (empat) atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi, yaitu: (1 ) ketersediaan agroindustri peternakan, (2) pasar produk agroindustri peternakan. (3) ketersediaan industri pakan, (4) ketersediaan pasar ternak/sub terminal agribisnis (STA). Hasil analisis leverage dapat dilihat pada Gambar 23. Atribut-atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi, yaitu: (1) ketersediaan agroindustri peternakan di wilayah ini sangat minim, kalaupun ada hanya sebatas home industri (industri rumah tangga), seperti pembuatan bakso daging sapi, dendeng, abon, dan kerupuk kulit yang jumlahnya terbatas. Jenis produk yang dihasilkan dalam usaha peternakan pada umumnya dalam bentuk produk primer peternakan yaitu: anak sapi (pedet), daging, telur, dan susu, sedangkan produk olahan hasil ternak (produk sekunder peternakan sangat sedikit. Jumlah agroindustri peternakan yang belum berkembang, mengakibatkan kontribusi dari subsektor peternakan belum optimal dalam memberikan sumbangan PDRB terhadap daerah Kabupaten Situbondo. Kondisi ini harus segera diperbaiki dengan cara membangun beberapa agroindustri peternakan (misalnya: pabrik pengolahan daging segar/corned beef, sosis, dendeng, pabrik penyamakan kulit, dan pembuatan pupuk organik) di beberapa tempat agar wilayah ini cepat berkembang dan maju dengan subsektor peternakan sebagai motor penggerak pertumbuhan ekonomi; (2) pasar produk agroindustri peternakan masih bersifat lokal. Hal ini disebabkan, ketersediaan agroindustri peternakan di wilayah ini sangat minim/sedikit. Kondisi ini harus diperbaiki dan
164
ditingkatkan, dengan cara membangun beberapa agroindustri peternakan dan menciptakan kondisi yang mendukung serta meningkatkan penyediaan sarana dan prasarana agribisnis/infrastruktur penunjang yang lebih baik sehingga pembeli dari beberapa daerah datang ke Kabupaten Situbondo untuk membeli produkproduk agroindustri peternakan. (3) ketersediaan industri pakan di wilayah ini masih belum tersedia.
Peternak dalam memberikan pakan pada umumnya
mengandalkan pakan yang terdapat di sekitar tempat tinggal.
Peternak sapi
potong, misalnya memanfaatkan rumput alam yang banyak tumbuh di padang penggembalaan, kebun, hutan, dan memanfaatkan limbah pertanian serta limbah agroindustri pertanian yang cukup tersedia di wilayah ini. Ketergantungan pada rumput alam ini akan menghadapi kendala pada saat musim kering/kemarau tiba. Dalam rangka menjamin ketersediaan pakan dan kecukupan gizi ternak, pembangunan industri pakan sangat dibutuhkan di daerah ini, apalagi ketersediaan produk pertanian (jagung) dan limbah pertanian (jerami padi, daun jagung, daun ketela pohon, daun kacang tanah, dan pucuk tebu) serta limbah industri pertanian (dedak padi, ampas tahu, ampas kecap, molasses/tetes, ampas tebu, dan tongkol jagung) yang bisa dimanfaatkan untuk pakan ternak cukup banyak tersedia. Dengan adanya industri pakan ternak di wilayah ini, selain untuk memenuhi kebutuhan pakan ternak di daerah sendiri, selebihnya bisa dipasarkan ke beberapa daerah, dan selain itu dapat menyerap tenaga kerja setempat serta memberikan multiplier effek terhadap wilayah ini, sehingga industri pakan dapat memberikan sumbangan pendapatan kepada masyarakat maupun daerah. (4) ketersediaan pasar ternak/sub terminal agribisnis (STA) hanya terbatas di wilayah tertentu, sehingga peternak agak kesulitan dalam memasarkan ternaknya. Peternak dalam memasarkan ternaknya masih banyak menjual lewat pedagang perantara. Hal ini mengakibatkan keuntungan yang diperoleh dalam usaha ternak sedikit berkurang, karena peternak tidak bisa menentukan harga yang lebih layak dan umumnya pedagang perantara membeli di bawah harga pasar. Keadaan ini harus diperbaiki dengan cara menambah pasar ternak di daerah-daerah yang padat ternak dan membuka industri pemotongan ternak serta sistem penjualan ternak sebaiknya berdasarkan per kilogram bobot badan ternak, sehingga peternak lebih mudah menjual ternaknya dan keuntungan yang diperoleh lebih optimal.
165
Analisis Leverage Dimensi Ekonomi 2,036
Tingkat ketergantungan konsumen
1,347
Kelayakan usaha agroindustri
1,489
Jenis komoditas unggulan
1,175
Jumlah tenaga kerja pertanian
0,348
Harga komoditas ternak
0,418
Persentase penduduk miskin
Atribut
Besarnya subsidi
2,286 2,676
Ketersediaan pasar ternak/sub terminal agribisnis
2,931
Industri pakan ternak Perubahan nilai APBD bidang peternakan (5 Thn terakhir)
1,043 1,237
Kelayakan finansial budidaya peternakan
4,285
Ketersediaan agroindustri peternakan
3,672
Pasar produk agroindustri peternakan
0,732
Transfer keuntungan Rataan penghasilan peternak relatif thd total pendapatan
0,929 0,721
Rataan penghasilan peternak relatif thd UMR Prov. Jatim
0,605
Kontribusi terhadap PAD bidang pertanian Kontribusi terhadap PDRB
0,110 0,611
Keuntungan (profit) dalam budidaya peternakan
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
4.5
Root Mean Square Change % in Ordination when Selected Attribute Removed (on Status scale 0 to 100)
Gambar 23
Peran masing-masing atribut aspek ekonomi yang dinyatakan dalam bentuk nilai root mean square (RMS)
Status Keberlanjutan Dimensi Sosial Budaya Jumlah atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat keberlanjutan dimensi sosial budaya berjumlah 14 (empat belas), yaitu: (1) pekerjaan dilakukan secara individual atau kelompok, (2) jumlah rumah tangga peternakan, (3) pertumbuhan rumah tangga peternakan, (4) pengetahuan terhadap lingkungan, (5) tingkat penyerapan tenaga kerja agroindustri peternakan, (6) frekuensi konflik, (7) partisipasi keluarga dalam usaha agroindustri peternakan, (8) peran masyarakat dalam usaha agroindustri peternakan, (9) frekuensi penyuluhan dan pelatihan, (10) tingkat penyerapan tenaga kerja pertanian, (11) alternatif usaha selain usaha agribisnis peternakan, (12 jumlah penduduk yang bekerja di agroindustri peternakan, (13) alokasi waktu yang digunakan untuk usaha agroindustri peternakan, dan (14) jumlah desa dengan penduduk bekerja di sektor peternakan.
166
Berdasarkan Gambar 24 nilai indeks keberlanjutan untuk dimensi sosial budaya adalah sebesar 55.14 % termasuk dalam kategori cukup berkelanjutan. Untuk melihat atribut-atribut yang sensitif memberikan pengaruh terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial budaya, dilakukan analisis leverage. Berdasarkan hasil analisis leverage diperoleh 5 (lima) atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial budaya, yaitu: (1) tingkat penyerapan tenaga kerja agroindustri peternakan, (2) peran masyarakat dalam usaha agroindustri peternakan, (3) jumlah penduduk yang bekerja di bidang agroindustri peternakan, (4) alokasi waktu yang digunakan untuk usaha agroindustri peternakan, dan (5) partisipasi keluarga dalam usaha agroindustri peternakan. Atribut-atribut yang sensitif memberikan pengaruh terhdap nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial budaya, yaitu: (1) tingkat penyerapan tenaga kerja di bidang agroindustri peternakan di wilayah ini sangat sedikit.
Hal ini
disebabkan ketersediaan agroindustri peternakan belum berkembang dan peran masyarakat juga masih rendah dalam penyediaan agroindustri peternakan. Dalam rangka meningkatkan penyerapan tenaga kerja di bidang agroindustri peternakan, peran pemerintah, BPP, lembaga keuangan mikro, dan peran masyarakat sangat dibutuhkan untuk meningkatkan ketersediaan agroindustri peternakan. Dengan adanya agroindustri peternakan, maka nilai tambah dari agribisnis peternakan menjadi lebih optimal dan dapat memacu kemajuan wilayah lebih cepat dan memberikan sumbangan PDRB pada daerah lebih tinggi. (2) peran masyarakat dalam usaha agroindustri peternakan yang relatif rendah selama ini perlu ditingkatkan agar pertumbuhan dan perkembangan agroindustri peternakan di daerah ini lebih maju lagi. Rendahnya peran masyarakat dalam bidang usaha agroindustri peternakan mengakibatkan ketersediaan agroindustri
jumlahnya
sangat sedikit yang pada akhirnya berdampak terhadap jumlah penduduk yang bekerja di bidang agroindustri peternakan juga masih sedikit. Keterkaitan antara ketersediaan agroindustri, peran masyarakat, jumlah penduduk yang terlibat, partisipasi keluarga serta alokasi waktu yang digunakan untuk usaha agroindustri peternakan sangat erat kaitannya dan saling mempengaruhi. (3) jumlah penduduk yang bekerja di usaha bidang agroindustri peternakan saat ini masih sedikit.
167
Dalam rangka meningkatkan keterserapan tenaga kerja di bidang agroindustri peternakan, ketersediaan agroindustri sangat mutlak diperlukan. Dengan adanya agroindustri peternakan nilai tambah dari produk peternakan akan menjadi lebih maksimal. (4) alokasi waktu yang digunakan untuk usaha agroindustri peternakan masih rendah. Hal ini disebabkan ketersediaan agroindustri peternakan di wilayah ini masih terbatas.
Dengan adanya agroindustri peternakan akan menarik
masyarakat lebih menekuni usahanya, sehingga masyarakat lebih banyak terlibat dalam usaha ini. (5) partisipasi keluarga dalam usaha agroindustri peternakan di daerah ini masih rendah. Keadaan ini supaya dirubah dan diperbaiki serta untuk masa yang akan datang agar ditingkatkan dengan jalan mengajak seluruh keluarga untuk berpartsipasi dalam pengelolaan usaha agroindustri peternakan, sehingga usaha agribisnis peternakan di daerah ini semakin maju dan pesat. Analisis Leverage Dimensi Sosial Budaya 1,109
Jumlah desa dengan penduduk kerja di sektor peternakan
1,712
Alokasi waktu yang digunakan untuk usaha agroindustri peternakan
1,790
Jumlah penduduk yang bekerja di agroindustri peternakan
0,674
Alternatif usaha selain usaha peternakan
0,902
Tingkat penyerapan tenaga kerja peternakan
1,280
Atribut
Frekuensi penyuluhan dan pelatihan
3,037
Peran masyarakat dalam usaha agroindustri peternakan
1,507
Partisipasi keluarga dalam usaha agoindustri peternakan Frekuensi konflik
0,119 3,326
Tingkat penyerapan tenaga kerja agroindustri peternakan Pengetahuan terhadap lingkungan
0,229 0,791
Pertumbuhan rumah tangga peternak Jumlah rumah tangga peternak
0,170
Pekerjaan dilakukan secara individual atau kelompok
0,197
0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 Root Mean Square Change % in Ordination when Selected Attribute Removed (on Status scale 0 to 100)
Gambar 24
Peran masing-masing atribut aspek sosial budaya yang dinyatakan dalam bentuk nilai root mean square (RMS)
168
Status Keberlanjutan Dimensi Infrastruktur dan Teknologi Jumlah atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat keberlanjutan dimensi infrastruktur dan teknologi berjumlah 12 (dua belas) atribut, yaitu: (1) penyebaran tempat
pelayanan pos kesehatan hewan
(Poskeswan), (2) penyebaran tempat pos pelayanan inseminasi buatan (IB), (3) penggunaan vitamin dan probiotik untuk memacu pertumbuhan ternak, (4) teknologi pakan, (5) teknologi pengolahan limbah peternakan/agroindustri ternak, (6) teknologi pengolahan hasil produk peternakan, (7) teknologi informasi dan transportasi, (8) ketersediaan bangunan agroindustri peternakan, (9) ketersediaan infrastruktur/sarana prasarana umum, (10) tingkat penguasaan teknologi budidaya peternakan, (11) ketersediaan teknologi informasi peternakan, dan (12) standarisasi mutu produk peternakan. Untuk melihat atribut-atribut yang sensitif memberikan pengaruh terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi infrastruktur dan teknologi, dilakukan analisis leverage. Berdasarkan hasil analisis leverage diperoleh 4 (empat) atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi infrastruktur dan teknologi, yaitu: (1) teknologi pengolahan hasil produk peternakan, (2) teknologi pengolahan limbah peternakan/agroindustri ternak, (3) ketersediaan bangunan agroindustri peternakan, dan (4) ketersediaan infrastruktur/sarana dan prasarana umum. Atribut-atribut yang sensitif memberikan pengaruh terhdap nilai indeks keberlanjutan dimensi infrastruktur dan teknologi, yaitu: (1) teknologi pengolahan hasil produk peternakan di daerah ini masih belum berkembang dan bersifat sederhana, seperti: pembuatan dendeng, abon, dan bakso yang dilakukan dalam skala kecil dan jumlahnya tidak banyak, sehingga ke depan perlu ditingkatkan agar dapat memberikan nilai tambah yang lebih besar bagi usaha agribisnis peternakan. (2) teknologi pengolahan limbah peternakan/agroindustri ternak masih belum berkembang dan masyarakat hanya sebagian kecil saja memanfaatkan limbah peternakan sebagai pupuk organik. Dalam rangka meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang teknologi pengolahan limbah peternakan dan pemanfaatannya untuk pupuk organik perlu sosialisasi dan penyuluhan kepada masyarakat tentang manfaat dan keuggulan penggunaan
169
pupuk organik baik dari segi ekonomi maupun perbaikan mutu lingkungan. (3) ketersediaan bangunan agroindustri peternakan, seperti: (bangunan industri pengolahan daging, kulit, pupuk organik, industri pakan, dan lain sebagainya) perlu ditingkatkan ketersediaannya dan aktifitasnya. Dengan tersedianya bangunan agroindustri peternakan, maka jenis produk peternakan yang dihasilkan akan meningkat
menjadi produk olahan hasil ternak (produk sekunder).
Pembangunan dan ketersediaan agoindustri peternakan sangat dibutuhkan dalam memberikan nilai tambah yang lebih besar bagi pelaku usaha budidaya peternakan dan dapat memberikan dampak ekonomi yang positif terhadap mayarakat yang mempunyai kegiatan dalam bidang agroindustri dan agribisnis peternakan. (4) ketersediaan infrastruktur/sarana dan prasarana umum sangat dibutuhkan dalam pengembangan wilayah. Aksesibilitas beberapa desa di wilayah ini sudah tersedia, namun ada beberapa desa yang hanya tersedia jalan tanah dengan perkerasan pasir dan batu seadanya. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi pembangunan infrastruktur jalan sebagai sarana yang vital untuk perkembangan wilayah masih perlu ditingkatkan, jika tidak akan menyebabkan biaya tinggi. Analisis Leverage Dimensi Infrastruktur dan Teknologi Standarisasi mutu produk peternakan
0,888
Ketersediaan teknologi informasi peternakan
0,849
Tingkat penguasaan teknologi budidaya peternakan
1,006 3,193
Ketersediaan infrastruktur/sarana dan prasarana umum
Atribut
Ketersediaan sarana dan prasarana agribisnis
4,055
Teknologi informasi dan transportasi
1,202 4,864
Teknologi pengolahan hasil produk peternakan
Teknologi pengolahan limbah peternakan dan agroindustri ternak
4,381
Teknologi pakan
1,110 1,261
Penggunaan vitamin dan probiotik Penyebaran tempat pos pelayaan inseminasi buatan
1,012
Penyebaran tempat pelayanan Poskeswan
1,217
0
1
2
3
4
5
6
Root Mean Square Change % in Ordination when Selected Attribute Removed (on Status scale 0 to 100)
Gambar 25 Peran masing-masing atribut aspek infrastruktur dan teknologi yang dinyatakan dalam bentuk nilai root mean square (RMS)
170
Status Keberlanjutan Dimensi Hukum dan Kelembagaan Jumlah atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat keberlanjutan dimensi hukum dan kelembagaan berjumlah 8 (delapan) yaitu: (1) koperasi tani ternak, (2) perjanjian kerjasama dengan daerah lain soal peternakan, (3) sinkronisasi kebijakan pusat dan daerah, (4) kelompok tani ternak, (5) ketersediaan lembaga sosial, (6) lembaga keuangan mikro (bank/kredit), (7) lembaga penyuluhan pertanian/Balai Penyuluhan Pertanian (BPP), dan (8) badan pengelola kawasan agropolitan. Untuk melihat atribut-atribut yang sensitif memberikan pengaruh terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi hukum dan kelembagaan, dilakukan analisis leverage. Berdasarkan hasil analisis leverage diperoleh 4 (empat) atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi hukum dan kelembagaan, yaitu: (1) lembaga penyuluhan pertanian/Balai Penyuluhan Pertanian (BPP), (2) ketersediaan lembaga keuangan mikro (bank/kredit), (3) badan pengelola kawasan agropolitan, dan (4) koperasi tani ternak. Atribut-atribut yang sensitif memberikan pengaruh terhdap nilai indeks keberlanjutan dimensi hukum dan kelembagaan, yaitu: (1) lembaga penyuluhan pertanian/Balai Penyuluhan Pertanian (BPP), lembaga penyuluhan pertanian sudah terdapat di daerah ini, namun demikian perlu ditingkatkan lagi aktifitasnya terutama dalam frekuensi penyuluhan dan pelatihan terhadap pengelolaan usaha peternakan agar dapat
secara bertahap mengubah perilaku peternak dalam
mengelola usaha peternakan ke arah yang lebih maju/intensif dan berkelanjutan. Penyuluhan kepada peternak tentang kebersihan kandang dan pengolahan limbah peternakan menjadi pupuk organik sangat mendesak untuk segera ditindaklanjuti. Masyarakat
perlu
diberi
pemahaman
mengenai
beberapa
keunggulan
pemanfaatan/penggunaan pupuk organik/pupuk kandang, seperti: pupuk organik dapat
menambah unsur-unsur
hara tanah, memperbaiki struktur tanah,
meningkatkan kapasitas tukar kation (KTK) tanah, menambah kemampuan tanah dalam menahan air, meingkatkan biologi tanah, meningkatkan pH tanah menjadi netral, meningkatkan ketersediaan unsur-unsur hara mikro, dan pupuk organik tidak menimbulkan polusi lingkungan.
Demikian juga BPP harus dapat
171
meningkatkan peran masyarakat dalam ketersediaan bidang usaha agroindustri peternakan. Adanya beberapa agroindustri peternakan di wilayah ini akan banyak menyerap tenaga kerja yang terlibat dan dengan adanya agroindustri peternakan, maka nilai tambah dari agribisnis peternakan menjadi lebih optimal dan dapat memacu kemajuan wilayah lebih cepat dan memberikan sumbangan PDRB pada daerah lebih tinggi. (2) ketersediaan lembaga keuangan mikro (LKM) di daerah ini sangat sedikit peternakan.
yang khusus untuk menyediakan dana kegiatan usaha
Dalam rangka meningkatkan pengembangan usaha peternakan,
keberadaan LKM sangat dibutuhkan untuk lebih mempermudah dalam pelayanan kegiatan ekonomi masyarakat. Dari aspek permodalan, pihak perbankan masih menganggap bahwa usaha kegiatan agribisnis sapi potong sebagai usaha yang belum mendapat prioritas untuk mendapatkan bantuan kredit usaha.
Hal ini
dikarenakan, pihak perbankan masih menganggap bahwa agribisnis sapi potong berisiko tinggi (high risk) dan rendah dalam hal pendapatan (low return). (3) ketersediaan badan pengelola kawasan agropolitan sangat diperlukan dalam mendukung keberhasilan pengembangan kawasan agropolitan. Badan ini berperan antara lain: a) merumuskan program, kebijakan operasional, dan koordinasi perencanaan dan pelaksanaan pengembangan kawasan agropolitan; b) mendorong partisipasi dan swadaya masyarakat dalam mempersiapkan master plan, program, dan melaksanakan program kawasan agropolitan; c) menumbuh kembangkan kelembagaan, sarana dan prasarana pendukung program pengembangan kawasan agropolitan; (4) koperasi tani ternak merupakan salah satu lembaga yang perlu mendapat perhatian dalam upaya pengembangan sistem agribisnis peternakan, mengingan peternak sebagai pelaku mayoritas dan utama dalam sistem ini memiliki kemampuan yang lemah dalam hal permodalan, akses informasi, dan teknologi. Koperasi dapat menjadi media bagi peternak untuk secara bersamasama membangun usahanya secara terintegrasi dari subsistem hulu sampai subsistem hilir, agar peternak dapat memperoleh nilai tambah yang lebih baik. Untuk saat ini, koperasi yang bergerak di kalangan peternak memang belum berkembang sebaik koperasi yang bergerak di kalangan peternak sapi perah, misalnya Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI).
172
Analisis Leverage Dimensi Hukum dan Kelembagaan Badan pengelola kawasan agropolitan
0,639
Lembaga penyuluhan pertanian/BPP
2,349
Attribute
Ketersediaan lembaga keuangan mikro
1,158 0,056
Ketersediaan lembaga sosial
0,264
Kelompok tani
Sinkronisasi kebijakan pusat dan daerah
0,027
Perjanjian kerjasama dengan daerah lain soal peternakan
0,191 0,645
Koperasi ternak sapi potong
0
0.5
1
1.5
2
2.5
Root Mean Square Change % in Ordination when Selected Attribute Removed (on Status scale 0 to 100)
Gambar 26 Peran masing-masing atribut aspek hukum dan kelembagaan yang dinyatakan dalam bentuk nilai root mean square (RMS)
Status Keberlanjutan Multidimensi Hasil analisis Rap-BANGKAPET multidimensi keberlanjutan wilayah Kabupaten Situbondo
untuk
pengembangankawasan agropolitan
berbasis
peternakan berdasarkan kondisi eksisting, diperoleh nilai indeks keberlanjutan sebesar 51,66
% dan termasuk dalam status cukup berkelanjutan.
Nilai ini
diperoleh berdasarkan penilaian 73 (tujuh puluh tiga) atribut dari lima dimensi keberlanjutan,
yaitu
dimensi
ekologi,
infrastruktur/teknologi, dan hukum/kelembagaan. dengan
Rap-BANGKAPET
mengenai
ekonomi,
sosial
budaya,
Hasil analisis multidimensi
keberlanjutan
wilayah
Kabupaten
Situbondo untuk pengembangan kawasan agropoltan berbasis peternakan dapat dilihat pada Gambar 27.
173
Gambar 27 Indeks keberlanjutan multidimensi wilayah Kabupaten Situbondo
Hasil analisis Monte Carlo menunjukkan bahwa nilai indeks keberlanjutan pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan di Kabupaten Situbondo pada taraf kepercayaan 95 %, menunjukkan hasil yang tidak mengalami perbedaan dengan hasil Rap-BANGKAPET (multidimensional scaling = MDS). Hal ini berarti bahwa kesalahan dalam analisis dapat diperkecil baik dalam hal pemberian skoring setiap atribut, variasi pemberian skoring karena perbedaan opini relatif kecil, dan proses analisis data yang dilakukan secara berulang-ulang stabil, serta kesalahan dalam menginput data dan data hilang dapat dihindari. Perbedaan nilai indeks keberlanjutan analisis MDS dan Monte Carlo seperti pada Tabel 45.
174
Tabel 45 Perbedaan nilai indeks keberlanjutan analisis Monte Carlo dengan Analisis Rap-BANGKAPET Dimensi Keberlanjutan
MDS
Monte Carlo
Perbedaan
Ekologi
46.50
46.51
0.01
Ekonomi
69.53
69.90.
0.37
Sosial-Budaya
55.14
55.82
0.68
Infrastruktur/Teknologi
45.48
46.84
1.36
Hukum/Kelembagaan
47.46
47.85
0.39
Multidimensi
51.66
52.23
0.57
Hasil analisis Rap-BANGKAPET menunjukkan bahwa semua atribut yang dikaji terhadap status keberlanjutan wilayah Kabupaten Situbondo untuk pengembangan kawasan agropolitan, cukup akurat sehingga memberikan hasil analisis yang semakin baik dan dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini terlihat dari nilai stress yang hanya berkisar antara 11 % sampai 20 % dan nilai koefisien determinasi (R2) yang diperoleh berkisar antara 0.93 dan 0.94 Hal ini sesuai dengan pendapat Fisheries (1999), yang menyatakan bahwa hasil analisis cukup memadai apabila nilai stress lebih kecil dari nilai 0.25 (25 %) dan nilai koefisien determinasi (R2) mendekati nilai 1.0.
Adapun nilai stress dan koefisien
determinasi dapat dilihat pada Tabel 46.
Tabel 46 Hasil analisis Rap-BANGKAPET untuk nilai stress dan koefisien determinasi (R2) Parameter
A
B
C
D
E
F
Stress
0.11
0.11
0.12
0.13
0.15
0.20
R2
0.93
0.94
0.95
0.95
0.95
0.93
3
3
3
2
2
4
Iterasi
Keterangan: A = Dimensi Ekologi, B = Dimensi Ekonomi, C = Dimensi Sosial Budaya, D = Dimensi Infrastruktur - Teknologi, E = Dimensi Hukum-Kelembagaan, dan F = Multidimensi
175
7.3.2. Skenario Strategi Pengembangan Wilayah untuk Pengembangan Kawasan Agropolitan Berbasis Peternakan Sapi Potong Terpadu yang Berkelanjutan
Strategi pengembangan wilayah Kabupaten Situbondo untuk pengembangan kawasan agropolitan berkelanjutan berbasis peternakan sapi potong terpadu dilakukan menggunakan analisis prospektif yang bertujuan untuk memprediksi kemungkinan yang akan terjadi di masa yang akan datang sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Analisis prospektif dilakukan melalui tiga tahap, yaitu: (1) mengidentifikasi faktor kunci di masa depan, (2) menentukan tujuan strategis dan kepentingan pelaku utama, dan (3) mendefinisikan dan mendeskripsikan evolusi kemungkinan di masa depan sekaligus menentukan strategi pengembangan wilayah secara berkelanjutan sesuai dengan sumberdaya. Penentuan faktor-faktor kunci dalam analisis diambil dari faktor-faktor kunci yang sensitif berpengaruh pada kinerja sistem hasil analisis keberlanjutan. Berdasarkan hasil analisis keberlanjutan diperoleh 24 faktor (atribut) yang sensitif dan selanjutnya diajukan kepada pakar untuk dinilai dan selanjutnya dianalisis prospektif . Hasil analisis prospektif diperoleh 7 (tujuh) faktor kunci seperti tertera pada Gambar 28. Tabel 47 Faktor-faktor kunci yang berpengaruh dalam pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan di Kabupaten Situbondo No. Faktor Analisis Keberlanjutan Dimensi Ekologi (7 faktor kunci) 1. Ketersediaan instalasi pengelolaan limbah rumah potong hewan (RPH). 2. Ketersediaan rumah potong hewan (RPH). 3. Kebersihan kandang. 4. Ketersediaan IPAL agroindustri hasil ternak. 5. Kuantitas limbah peternakan. 6. Daya dukung pakan. 7. Jarak lokasi usaha peternakan dengan permukiman. Dimensi Ekonomi (4 faktor kunci) 8. Ketersediaan agroindustri peternakan. 9. Pasar produk agroindustri peternakan. 10. Ketersediaan industri pakan. 11. Ketersediaan pasar ternak/sub terminal agribisnis.
176
Dimensi Sosial Budaya (5 faktor kunci) 12. Tingkat penyerapan tenaga kerja agroindustri peternakan. 13. Peran masyarakat dalam usaha agroindustri peternakan. 14. Jumlah penduduk yang bekerja di bidang agroindustri peternakan. 15. Alokasi waktu yang digunakan untuk usaha agroindustri peternakan. 16. Partisipasi keluarga dalam usaha agroindustri peternakan. Dimensi Infrastruktur - Teknologi (4 faktor kunci) 17. Teknologi pengolahan hasil produk peternakan. 18. Teknologi pengolahan limbah peternakan/agroindustri ternak. 19. Ketersediaan bangunan agroindustri peternakan. 20. Ketersediaan infrastruktur dan sarana prasarana umum. Dimensi Hukum-Kelembagaan (4 faktor kunci) 21. Lembaga penyuluhan pertanian/Balai Penyuluhan Pertanian (BPP). 22. Ketersediaan lembaga keuangan mikro (Bank/Kredit). 23. Badan pengelola kawasan agropolitan. 24. Koperasi tani ternak.
Berdasarkan hasil analisis tingkat kepentingan antar faktor diperoleh 7 (tujuh) faktor kunci/penentu yang mempunyai pengaruh kuat dan ketergantungan antar faktor tidak terlalu kuat, yaitu: (1) Ketersediaan agroindustri peternakan. (2) Ketersediaan rumah potong hewan (RPH). (3) Jumlah penduduk yang bekerja di bidang agroindustri peternakan. (4) Koperasi tani ternak. (5) Pasar produk agroindustri peternakan. (6) Ketersediaan bangunan agroindustri peternakan. (7) Ketersediaan industri pakan.
Dengan demikian ketujuh faktor tersebut perlu dikelola dengan baik dan dibuat berbagai keadaan (state) yang mungkin terjadi di masa yang akan datang agar terwujud pengembangan kawasan agropolitan berkelanjutan berbasis peternakan sapi potong terpadu di Kabupaten Situbondo untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah.
177
Ketersediaan industri pengolahan hasil ternak, seperti: industri pengolahan daging sapi, industri pengolahan kulit, dan industri pupuk organik akan membutuhkan bahan baku ternak sapi potong yang cukup banyak, selain itu juga akan membutuhkan dan menyerap tenaga kerja yang cukup banyak di kawasan ini, membutuhkan ketersediaan rumah potong hewan yang memadai serta industri pakan ternak.
Keberadaan industri hasil ternak ini juga akan mempengaruhi
pasar produk hasil peternakan dan berdampak banyak (multiplier effects) terhadap perkembangan kawasan dan yang pada akhirnya akan meningkatkan produk domestik regional bruto (PDRB). Oleh sebab itu, ketersediaan industri pengolahan hasil ternak sangat membantu kawasan ini dalam rangka memajukan pertumbuhan kawasan dan meningkatkan PDRB daerah ini. Keberadaan industri pengolahan hasil ternak juga akan meningkatkan agribisnis komoditas unggulan lokalita, yang saling mendukung dan menguatkan termasuk industri kecil, pengolahan hasil, jasa pemasaran dan agrowisata dengan mengoptimalkan manfaat sumberdaya alam, secara efisien dan ekonomis, sehingga tidak ada limbah yang terbuang atau yang yang tidak dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat (usaha pertanian terpadu tanpa limbah). Peternak dalam memberikan pakan pada umumnya masih mengandalkan pakan yang terdapat di sekitar tempat tinggal. Peternak sapi potong, misalnya memanfaatkan rumput alam yang banyak tumbuh di padang penggembalaan, kebun, hutan, dan memanfaatkan limbah pertanian serta limbah agroindustri pertanian yang cukup tersedia di wilayah ini. Ketergantungan pada rumput alam ini akan menghadapi kendala pada saat musim kering/kemarau tiba. Dalam rangka menjamin ketersediaan pakan dan kecukupan gizi ternak, pembangunan industri pakan sangat dibutuhkan di daerah ini, apalagi ketersediaan produk pertanian (jagung) dan limbah pertanian (jerami padi, daun jagung, daun ketela pohon, daun kacang tanah, dan pucuk tebu) serta limbah industri pertanian (dedak padi, ampas tahu, ampas kecap, molasses/tetes, ampas tebu, dan tongkol jagung) yang bisa dimanfaatkan untuk pakan ternak cukup banyak tersedia. Dengan adanya industri pakan ternak di wilayah ini, selain untuk memenuhi kebutuhan pakan ternak di daerah sendiri, selebihnya bisa dipasarkan ke beberapa daerah, dan selain itu dapat menyerap tenaga kerja setempat serta memberikan multiplier effects
178
terhadap wilayah ini, sehingga industri pakan dapat memberikan sumbangan pendapatan kepada masyarakat maupun daerah. Dalam rangka membangun kawasan agropolitan berbasis peternakan yang maju, kehadiran koperasi sangat dibutuhkan untuk memudahkan masyarakat mencari suntikan dana/modal, menampung produk agroindustri peternakan dan memasarkannya, serta lebih mempermudah dalam pelayanan pembiayaan kegiatan
ekonomi mikro masyarakat setempat.
Koperasi yang terbentuk
sebaiknya merupakan upaya kesadaran dan partisipasi dari masyarakat dalam menjalankan program pengembangan untuk kepentingannya sendiri. Pada pola ini masyarakatlah yang memilki inisiatif dan berperan penuh pada kegiatankegiatan mereka, sehingga keberhasilannya sangat ditentukan dari rasa tanggungjawab dari masyarakat itu sendiri. Langkah awal dari pembentukan koperasi ini harus ada pendampingan, pengorganisasian, dan pemberdayaan masyarakat.
Gambar 28 Hasil analisis tingkat kepentingan faktor-faktor yang berpengaruh pada sistem yang dikaji
179
7.3. Kesimpulan Berdasarkan kondisi eksisting lokasi penelitian berbasis peternakan di Kabupaten Situbondo, dimensi ekologi, infrastruktur-teknologi, serta hukum dan kelembagaan kurang berkelanjutan, sedangkan dimensi ekonomi dan sosial budaya cukup berkelanjutan. Secara multidimensi wilayah basis peternakan di Kabupaten Situbondo cukup berkelanjutan dengan 24 atribut yang sensitif berpengaruh dalam meningkatkan indeks keberlanjutan. Atribut-atribut tersebut adalah: 7 atribut pada dimensi ekologi, 4 atribut pada dimensi ekonomi, 5 atribut pada dimensi sosial budaya, 4 atribut pada dimensi infrastruktur-teknologi, dan 4 atribut pada dimensi hukum dan kelembagaan. Untuk meningkatkan status keberlanjutan ke depan (jangka panjang), skenario yang perlu dilakukan untuk meningkatkan status pengembangan kawasan agropolitan di wilayah basis peternakan di Kabupaten Situbondo adalah skenario progesif-optimistik dengan melakukan perbaikan secara menyeluruh terhadap semua atribut yang sensitif, minimal 7 atribut faktor kunci yang dihasilkan dalam analisis prospektif, sehingga semua dimensi menjadi berkelanjutan untuk pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan sapi potong terpadu.
DAFTAR PUSTAKA
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2007. Situbondo Dalam Angka 2006/2007. Situbondo: Pemerintah Kabupaten Situbondo Kerjasama BPS dan BAPPEKAB Situbondo. [BAPPEKAB] Badan Perencanaan dan Pembangunan Kabupaten dan [BPS] Badan Pusat Statistik. 2008. Profil Kabupaten Situbondo. Situbondo: Pemerintah Kabupaten Situbondo Kerjasama BAPPEKAB dan BPS Situbondo. [Deptan] Departemen Pertanian. 2001. Program Pembangunan Pertanian 2001 – 2004. Jakarta: Departemen Pertanian Republik Indonesia. [Deptan] Departemen Pertanian. 2002. Pedoman Umum Pengembangan Kawasan Agropolitan dan Pedoman Program Rintisan Pengembangan Kawasan Agropolitan. Jakarta: Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia Pertanian. Departemen Pertanian.
180
[Deptan] Departemen Pertanian. 2004. Penerapan Konsep Kawasan Agropolitan. Jakarta: Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia (SDM) Pertanian. [Disnak Situbondo] Dinas Peternakan Situbondo. 2006. Laporan Tahunan Dinas Peternakan Situbondo. Situbondo: Dinas Peternakan Kabupaten Situbondo. [Dirjen] Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan. 2002. Integrasi Ternak Sapi dengan Perkebunan Kelapa Sawit. Jakarta: Direktorat Pengembangan Peternakan, Departemen Pertanian Republik Indonesia. -----------------------------------------. 2003. Buku Statistik Peternakan Tahun 2002. Jakarta: Departemen Pertanian Republik Indonesia. [Dirjen] Direktorat Jenderal Peternakan. 2007. Buku Statistik Peternakan Tahun 2006. Jakarta: Departemen Pertanian Republik Indonesia. [Dirjen] Direktorat Jenderal Peternakan. 2008. Buku Statistik Peternakan Tahun 2007. Jakarta: Departemen Pertanian Republik Indonesia. Hardjowigeno S. 1992. Ilmu Tanah. Ed ke-3. Jakarta: PT. Mediyatama Sarana Perkasa. Kavanagh P. 2001. Rapid Appraisal of Fisheries (Rapfish) Project. Rapfish Software Description (for Microsoft Exel). Vancouver: University of British Columbia, Fishries Centre. Pambudy R, Sipayung T, Priatna WB, Burhanuddin, Kriswantriyono A, Satria A. 2001. Bisnis dan Kewirausahaan dalam Sistem Agribisnis. Bogor: Pustaka Wirausaha Muda. Santosa U. 2001. Prospek Agribisnis Penggemukan Pedet. Jakartra: Penebar Swadaya. Saragih B. 2000. Agribisnis Berbasis Peternakan. Bogor: USESE Foundation dan Pusat Studi Pembangunan IPB. Saragih B, Sipayung T. 2002. Biological utilization in developmentalism and environmentalism. Paper Presented at the International Seminar on Natural Resources Accounting Environmental Economic Held in Yogyakarta, Indonesia, April 29. Sarwono B, Arianto HB. 2002. Jakarta: Penebar Swadaya.
Penggemukan Sapi Potong Secara Cepat.
SEMAI. 1998. Saatnya kembali ke kompos. Bulan Nopember.
Informasi Agribisnis Nasional.
Sugeng YB. 1998. Sapi Potong. Jakarta: Penebar Swadaya. --------------. 2002. Budidaya Sapi Potong. Jakarta: Penebar Swadaya.
VIII. SISTEM KAWASAN PETERNAKAN SAPI POTONG TERPADU DI KABUPATEN SITUBONDO
Abstrak Wilayah Kabupaten Situbondo masih belum mencanangkan wilayahnya untuk pengembangan kawasan agropolitan. Dalam rangka mempersiapkan dan mendukung pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan sapi potong terpadu nantinya, maka perlu dibangun model pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan sapi potong terpadu untuk menggambarkan kondisi yang terjadi saat ini dan akan terjadi di masa yang akan datang dalam bentuk data simulasi berdasarkan kondisi nyata. Penelitian ini bertujuan untuk membangun model pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan sapi potong terpadu di Kabupaten Situbondo. Dalam membangun model ini digunakan metode analisis sistem dinamik dengan software powersim. Hasil penelitian menunjukkan bahwa model pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan sapi potong terpadu di Kabupaten Situbondo dibangun dari 3 (tiga) sub model, yaitu: (1) sub model pengembangan lahan agropolitan, (2) sub model budidaya peternakan sapi potong di kawasan agropolitan, dan (3) sub model pengembangan industri pengolahan hasil ternak sapi potong. Kata kunci: Model, pengembangan kawasan, agropolitan, sistem dinamik
Abstract The Government of Situbondo Region does not declare their territory for developing agropolitan area, yet. Preparing and supporting the development of farmbased agropolitan in the future, it is necessary to build model-based agropolitan farm development area which describes existing condition and what will happen in the future. This model should be formed by data simulation based on actual conditions. The aim of this study is to build a development model-based agropolitan area farms in Situbondo. These model was dynamical systems analysis methods build on Powersim softwares. The results showed that model of regional development based on agropolitan farms in Situbondo consisted of 3 (three) sub-models, namely (1) submodel of agropolitan land development, (2) sub-model of cultivation farms in the area agropolitan, and (3) sub-model of development industrial processing of cattle production.
Keywords: model, regional development, agropolitan, dynamic system
182
8.1. Pendahuluan Wilayah Kabupaten Situbondo memiliki potensi sumberdaya alam yang cukup besar untuk dapat dikembangkan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat, salah satu potensi yang dimiliki dan sesuai dengan karekteristik wilayah adalah sub sektor peternakan. Melihat potensi yang besar ini, maka pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan merupakan salah satu pilihan yang tepat sebagai konsep pembangunan desa-kota berimbang dengan menyesuaikan potensi dan karekteristik wilayah yang bersangkutan. Pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan di Kabupaten Situbondo dimaksudkan agar terjadi keseimbangan pembangunan antara perkotaan dan perdesaan di Kabupaten Situbondo sehingga efek pengurasan sumberdaya (backwash effect) baik pengurasan sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia yang ada di perdesaan dapat dihindari. Menurut Rustiadi et al. (2006)
melalui pengembangan kawasan agropolitan akan mendorong terjadinya
desentralisasi pembangunan dan wewenang di daerah, desa dan kota dapat saling memperkuat, serta terjadinya pengembangan ekonomi yang berbasis sumberdaya lokal melalui pemberdayaan masyarakat setempat. Banyak
permasalahan
yang
kompleks
dihadapi
masyarakat
dalam
pengembangan kawasan agropolitan di wilayah Kabupaten Situbondo, yang sulit diselesaikan dengan hanya menggunakan satu metode spesifik saja.
Salah satu
metode yang dapat digunakan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang kompleks tersebut adalah dengan pendekatan sistem (system approach).
Manestch
dan Park (1977) menyatakan bahwa pendekatan sistem dapat memberikan penyelesaian masalah dengan baik bagi permasalahan multidisiplin yang kompleks. Penbekatan sistem didefinisikan sebagai suatu metodologi penyelesaian masalah yang dimulai dengan secara tentatif mendefinisikan atau merumuskan tujuan dan hasilnya adalah suatu sistem operasi yang secara efektif dapat dipergunakan untuk menyelesaikan permasalahan (Eriyatno 1998). Dalam pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan di Kabupaten Situbondo dengan pendekatan sistem ini, perlu dikatahui hubungan antar beberapa
183
komponen yang saling berpengaruh satu sama lain baik pada usaha on farm maupun off farm-nya. Untuk melihat hubungan antar komponen dalam pengembangan kawasan agropolitan tersebut perlu dibangun model yang merupakan simplikasi dari sistem. Sebagaimana diketahui bahwa model dapat dibedakan dua jenis, yatiu model statik dan model dinamik, namun yang banyak digunakan adalah model diamik karena memiliki variabel yang dapat berubah sepanjang waktu sebagai akibat dari perubahan input dan interaksi antar elemen-elemen sistem. Melalui model dinamik dalam pengembangan kawasan agropolitan di wilayah Kabupaten Situbondo ini, dapat menggambarkan dunia nyata yang terjadi selama ini sekaligus sebagai proses peramalan dari suatu keadaan untuk masa yang akan datang. Melihat besarnya peran permodelan dalam pengembangan kawasan, maka dilakukan penelitian permodelan di wilayah Kabupaten Situbondo dalam rangka pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan sapi potong terpadu. Penelitian bertujuan untuk membangun model pengembangan kawasan agropolitan berkelanjutan berbasis peternakan sapi potong terpadu di Kabupaten Situbondo. 8.2. Metode Analisis Sistem Kawasan Peternakan Sapi Potong Terpadu di Kabupaten Situbondo a. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang diperlukan dalam menyusun model pengembangan berupa data primer maupun data sekunder yang diperoleh dari responden dan pakar yang terpilih, serta dari berbagai instansi yang terkait dengan topik penelitian. Data primer yang diperlukan berupa faktor-faktor atau variabel penting yang berpengaruh dalam pengembangan agropolitan.
Variabel tersebut akan diperoleh setelah melakukan
wawancara terhadap responden di lapangan. Data sekunder yang diperlukan berupa data populasi ternak sapi potong, tingkat kematian dan kelahiran ternak, jumlah pemotongan ternak, jumlah ternak ke luar daerah, tingkat keberhasilan IB, jenis penyakit ternak, tingkat konsumsi daging, masyarakat, jumlah feses per ekor ternak, jumlah penduduk, luas wilayah agropolitan, rata-rata pendapatan penduduk, jumlah petani dan peternak, jumlah angkatan pencari
184
kerja, pendapatan rata-rata petani dan peternak agropolitan, gaji rata-rata tenaga pekerja, laju pertambahan luas lahan, produksi komoditas utama, input-input produksi pertanian dan peternakan, harga produk, jumlah industri, harga mesin industri, dan pendapatan asli daerah (PAD). b. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data dalam penyusunan model pengembangan kawasan agropolitan di Kabupaten Situbondo dilakukan melalui wawancara, diskusi, kuisioner, dan survey lapangan dengan responden di wilayah studi yang terdiri atas berbagai pakar dan stakeholder yang terkait dengan kegiatan pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan untuk pengumpulan data primer. Pengumpulan data sekunder diperoleh dari beberapa sumber kepustakaan dan dokumen dari beberapa instansi yang terkait dengan penelitian. c. Metode Analisis Data Metode analisis data dalam model sistem dinamis pengembangan kawasan agropolitan secara berkelanjutan berbasis peternakan di Kabupaten Situbondo adalah sistem dinamik dengan bantuan software powersim constructor versi 2.5. Tahapantahapan dalam sistem dinamik meliputi analisis kebutuhan, formulasi masalah, simulasi model, dan validasi model. Dalam analisis sistem dinamik ini akan dikaji empat sub model lahan, sub model budidaya, sub model industri, dan sub model pemasaran. c.1. Analisis Kebutuhan Analisis kebutuhan bertujuan untuk mengidentifikasi kebutuhan setiap pelaku yang terlibat dalam pengembangan agropolitan.
Berdasarkan kajian pustaka,
stakeholder yang terlibat dalam pengembangan kawasan agropolitan ini adalah seperti dalam Tabel 48.
185
Tabel 48 Analisis kebutuhan aktor/stakeholder dalam pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan di Kabupaten Situbondo No 1.
Aktor/Stakeholder Peternak (Tradisional, Penggaduh, dan Pengusaha Ternak)
Kebutuhan 1.1 Tersedianya bibit dengan harga yang terjangkau 1.2 Peningkatan nilai tambah/pendapatan 1.3 Keamanan ternak dari pencurian ternak 1.4 Pembinaan manajemen pakan dan pemeliharaan 1.5 Pelayanan Keswan dan IB yang terjangkau 1.6 Modal pengembangan usaha agroindustri ternak 1.7 Terbukanya lapangan pekerjaan 1.8 Pemasaran yang baik dan harga jual tinggi 1.9 Tersedianya sarana produksi dan informasi 1.10 Terbentuknya koperasi ternak sapi potong
2.
Pemerintah
2.1 2.2 2.3 2.4 2.5 2.6 2.7 2.8 2.9
Sarana dan prasarana pelayanan Keswan dan IB Jumlah SDM yang cukup Peningkatan populasi ternak Menurunkan angka sakit dan kematian ternak Kebijakan kawasan agropolitan Pendapatan daerah meningkat Peningkatan kesejahteraan masyarakat Kemitraan peternak dengan pihak terkait Pengembangan wilayah dan potensi unggulan
3
Lembaga Keuangan
3.1 Profitabilitas usaha 3.2 Pengembalian pinjaman modal tepat waktu
4
Pedagang Pengumpul dan Pedagang Besar Peternakan
4.1 4.2 4.3 4.4 4.5 4.6
5
Industri Pengolahan Hasil Ternak
5.1 Kontuinitas produksi dan mutu yang terjamin 5.2 Harga beli rasional 5.3 Terjaminnya persediaan bahan baku
6
LSM
6.1 6.2 6.3 6.4
7
Perguruan Tinggi
7.1 Kemitraan dengan perguruan tinggi
Kualitas hasil peternakan terjamin Harga beli yang rasional Kontuinitas hasil peternakan Margin keuntungan tinggi Akses modal yang mudah Jaringan pemasaran yang kondusif
Lingkungan sehat Tidak terjadi konflik sosial Transparansi Good governance
186
7.2 Hasil kajian yang aplikatif 7.3 Kualitas dan kuantitias hasil peternakan terjamin 8
Masyarakat
8.1 Penyediaan lapangan kerja 8.2 Tersedianya industri pengolahan hasil ternak 8.3 Lingkungan yang bersih dan indah
c.2. Formulasi Permasalahan Formulasi masalah dibuat karena adanya konflik kepentingan (conflict of interest) di antara para stakeholder terhadap ketersediaan suatu sumberdaya dalam mencapai tujuan sistem (Eriyatno 2003). Beberapa masalah yang dapat disusun dalam rangka pengembangan kawasan agropolitan secara berkelanjutan berbasis peternakan sapi potong terpadu di Kabupaten Situbondo, yaitu: a) Terbatasnya sarana dan prasarana, modal, dan sumberdaya manusia dalam pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan sapi potong terpadu di Kabupaten Situbondo. b) Keterbatasan kemampuan peternak dalam manajemen pemeliharaan, sehingga angka sakit dan kematian ternak cukup tinggi, belum menerapkan teknologi inseminasi buatan (IB) secara optimal, sistem pemeliharaan yang kurang baik, dan lain-lain. c) Rendahnya produktivitas peternakan dan pertanian di Kabupaten Situbondo untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan kebutuhan industri pengolahan yang ada. d) Terbatasnya infrastruktur untuk mendukung pemasaran hasil peternakan dan pertanian ke daerah sekitarnya. e) Lemahnya tanggung jawab pemerintah di Kabupaten Situbondo terhadap pengembangan kawasan agropolitan berkelanjutan berbasis peternakan sapi potong terpadu.
187
f) Lemahnya
kerjasama
masyarakat
di
Kabupaten
Situbondo
dalam
memasarkan produksi peternakan dan pertanian untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan bahan baku industri pengolahan. g) Hukum dan kelembagaan yang kurang operasional dan kurang konsisten dalam pelaksanaan.
c.3. Identifikasi Sistem Identifikasi sistem merupakan suatu rantai hubungan antara pernyataan dari kebutuhan-kebutuhan dengan pernyataan masalah yang harus dipecahkan dalam rangka memenuhi kebutuhan tersebut.
Tujuan identifikasi sistem adalah untuk
memberikan gambaran tentang hubungan antara faktor-faktor yang saling mempengaruhi dalam kaitannya dengan pembentukan suatu sistem. Hubungan antar faktor digambarkan dalam bentuk diagram lingkar sebab-akibat (causal lop), kemudian dilanjutkan dengan interpretasi diagram lingkar ke dalam konsep kotak gelap (black box).
Dalam menyusun kotak gelap, jenis informasi
dikategorikan menjadi tiga golongan yaitu: peubah input, peubah output, dan parameter-parameter yang membatasi struktur sistem. Diagram black box diagram lingkar sebab-akibat (causal loop) dapat dilihat pada Gambar 29 dan 30.
dan
188
Diagram Input-Output (Black Box) Input Lingkungan :
Input Tak Terkontrol: Harga bibit dan obat ternak/ tanaman pangan/perkebunan Penyakit ternak/tanaman. Tingkat suku bunga perbankan. Kondisi iklim dan cuaca. Kondisi lahan pertanian. Harga produk peternakan/ pertanian.
UU No. 26/2007. UU Peternakan. Perda Peternakan. Kebijakan Pemerintah dalam Pengembangan Kawasan Agropolitan.
Model Pengembangan Kawasan Agropolitan Berkelanjutan Berbasis Peternakan Sapi Potong Terpadu Input Terkontrol Manajemen pemeliharaan ternak dan tanaman. Pelayanan Keswan dan IB. Kerjasama lintas sektor Keterampilan peternak. Lokasi peternakan. Kualitas dan kuantitas. Sarana dan prasarana. Kelembagaan.
Output yang Dikehendaki: Pengelolaan agropolitan berbasis peternakan sapi potong terpadu berkelanjutan. Masyarakat sejahtera. Peningkatan lapangan kerja. Peningkatan PAD. Kontuinitas produksi. Agroindustri pengolahan hasil ternak meningkat. Produktivitas/nilai tambah. Kualitas hasil terjamin. Peningkatan produksi pupuk organik dan pemanfaatan limbah pertanian untuk pakan Pematuhan hukum dan berfungsinya kelembagaan
Output Tidak Diinginkan Pencemaran lingkungan. Agroindustri pengolahan peternakan tidak berjalan. Gangguan kesehatan dan bau. Konflik antara masyarakat. Kerusakan lingkungan. Masyarakat menjadi miskin. Ketimpangan pendapatan. Kelembagaan tidak berfungsi
Manajemen Pengendalian dan Pengembangan Agropolitan
Gambar 29 Diagram input-output (black box) pengembangan kawasan agropolitan berkelanjutan berbasis peternakan sapi potong terpadu
189
(+)
Tenaga Kerja
(+) Penduduk
Lahan Pemukiman
(+) Industri Pakan Agroindustri Peternakan
(+)
Permintaan Pangan
Agropolitan Lahan Pengembangan
(+)
(+) (+)
(+)
(+)
Produk Ternak Sapi
Produksi
Gambar 30 Diagram lingkar sebab akibat (causal loop) pengembangan kawasan agropolitan berkelanjutan berbasis peternakan sapi potong terpadu
Berdasarkan Gambar 30, dapat dilihat hubungan antar faktor yang saling berinteraksi dalam sistem agropolitan berkelanjutan berbasis peternakan di Kabupaten Situbondo. Sistem tersebut dibentuk oleh beberapa dimensi (ekologi, ekonomi, sosial budaya, teknologi, hukum, dan kelembagaan) serta masing-masing dimensi tersebut diwakili oleh beberapa faktor.
Hubungan agropolitan berbasis
peternakan dari dimensi ekologi dan faktor populasi penduduk dari dimensi sosial budaya adalah dengan bertambahnya jumlah penduduk akan meningkatkan jumlah permintaan terhadap ternak yang berakibat terjadi penurunan jumlah populasi ternak dan meningkatkan jumlah tenaga kerja yang tersedia (dimensi sosial budaya).
190
Hubungan antar faktor agropolitan berbasis peternakan dengan tenaga kerja adalah jika jumlah populasi ternak di daerah agropolitan meningkat maka akan membutuhkan jumlah tenaga kerja yang lebih banyak lagi sehingga jumlah pengangguran menjadi berkurang (dimensi sosial budaya).
Demikian juga
hubungan agropolitan berbasis peternakan dengan limbah peternakan, meningkatnya populasi ternak akan menyebabkan jumlah limbah peternakan semakin meningkat sehingga terjadi peningkatan jumlah produksi pupuk organik dan penurunan kualitas lingkungan (dimensi ekologi).
Meningkatnya jumlah populasi peternakan di
kawasan Agropolitan berbasis peternakan akan memerlukan peningkatan kebutuhan pelayanan kesehatan hewan dan inseminasi buatan (dimensi teknologi), sehingga diperlukan peran kelembagaan pemerintah daerah. Peningkatan populasi ternak juga mengakibatkan peningkatan kebutuhan pakan ternak, baik rumput alam, rumput unggul maupun
sumber pakan alternatif (dimensi ekologi).
Hubungan antara
agropolitan berbasis peternakan dengan pendapatan asli daerah (dimensi ekonomi) adalah dengan meningkatnya jumlah populasi ternak akan meningkatkan pemasaran ternak yang dikirim ke luar daerah, ditambah dengan peningkatan jumlah pemotongan ternak karena bertambahnya
jumlah penduduk akan meningkatkan
pendapatan asli daerah (PAD) dalam bentuk retribusi pemerikasaan ternak sebelum dipotong dan sebelum dikirim ke luar daerah. c.4. Simulasi Model Simulasi model merupakan peniruan perilaku suatu gejala atau proses. Tujuan simulasi model adalah untuk memahami gejala atau proses, membuat analisis, dan peramalan perilaku gejala atau proses resebut di masa depan (Eriyatno, 2003). Dengan menggunakan perangkat lunak Powersim, variabel-variabel akan saling dihubungkan membentuk suatu sistem yang dapat menirukan kondisi sebenarnya. Hasil simulasi model berupa gambar atau grafik yang menggambarkan prilaku dari sistem.
191
c.5. Validasi Model Apabila struktur dasar suatu model dapat menggambarkan perilaku polanya dapat menggambarkan perilaku sistem nyata atau dapat mewakili sistem dengan cukup akurat, data yang dikumpulkan sehubungan dengan sistem nyata atau asumsi yang dibuat berdasarkan data, maka model tersebut dapat dikatakan valid. Untuk memenuhi kaidah keilmuwan pada model sistem, maka perlu dilakukan uji validasi. Validasi merupakan penilaian keobyektifan dari status pekerjaan ilmiah. Validasi model ini akan menggambarkan sejauh mana status model dapat menirukan fakta.
Dalam validasi model dapat dilakukan dua pengujian yaitu
struktur
dan uji validasi kinerja.
uji validasi
Uji validasi struktur lebih menekankan pada
keyakinan pada pemeriksaan kebenaran logika pemikiran, sedangkan uji validasi kinerja lebih menekankan pemerikasaan kebenaran yang taat pada data empiris. Model yang baik adalah yang memenuhi kedua syarat tersebut yaitu logis-empiris (logico-empirical). Uji validasi struktur bertujuan untuk memperoleh keyakinan sejauh mana keserupaan struktur model mendekati unsur nyata. Uji ini dibedakan atas dua jenis yaitu validasi konstruksi dan kestabilan struktur.
Validasi konstruksi adalah
keyakinan terhadap konstruksi model diterima secara akademis, sedangkan kestabilan struktur adalah keberlakuan atau kekuatan struktur dalam dimensi
waktru
(Muhammadi et al. 2001). Uji validasi kinerja bertujuan untuk memperoleh keyakinan sejauhmana kinerja model sesuai (compatible) dengan kinerja sistem nyata sehingga memenuhi syarat sebagai model ilmiah dengan taat fakta, yaitu dengan melihat apakah perilaku output model sesuai dengan perilaku empirik. Penyimpangan terhadap output model dengan data empirik dapat diketahui dengan uji statistik yaitu menguji penyimpangan ratarata absolutnya (AME = absolute means error) dan penyimpangan variasi absolute (AVE = absolute variation error). Batas penyimpangan yang dapat diterima berkisar
192
antara 5 – 10 % (Muhammadi et al. 2001). Adapun rumus untuk menghitung nilai AME dan AVE seperti di bawah ini. Rumus AME (absolute means error) = (Si - Ai) / Ai x 100 % Si = Si / N Ai = Ai / N
Keterangan: S = nilai simulasi A = nilai aktual N = interval waktu pengamatan
Rumus AVE (absolute variation error) = (Ss – Sa) / Sa x 100 % Ss = (Si – Si)2 / N Sa = (Ai – Ai)2 / N
Keterangan: Sa = deviasi nilai aktual Ss = deviasi nilai simulasi N = interval waktu pengamatan
c. 6. Uji Kestabilan Model Uji kestabilan model pada dasarnya merupakan bagian dari uji validasi struktur. Uji ini dilakukan untuk melihat kestabilan atau kekuatan model dalam dimensi waktu. Model dikatakan stabil apabila struktur model agregat dan disagregat memiliki kemiripan. Caranya adalah dengan menguji struktur model agregat yang diwakili oleh sub-sub model yang ada. c.7. Uji Sensitivitas Model Uji sensitivitas model merupakan respon model terhadap suatu stimulus. Respon ini ditunjukkan dengan perubahan perilaku dan/atau kinerja model. Stimulus diberikan dengan memberikan perlakuan tertentu pada unsur atau struktur model.
193
8.3. Hasil dan Pembahasan Sistem Kawasan Peternakan Sapi Potong Terpadu di Kabupaten Situbondo 8.3.1. Simulasi Model Pengembangan Kawasan Agropolitan Berbasis Peternakan Sapi Potong Terpadu Model dinamik pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan sapi potong terpadu di Kabupaten Situbondo dibangun melalui logika hubungan antara komponen yang terkait dan interaksinya. Komponen-komponen yang terkait adalah pertumbuhan penduduk, luas lahan kawasan agropolitan, luas lahan permukiman, luas lahan budidaya, produksi dan keuntungan usahaternak, kondisi lingkungan di kawasan agropolitan, jumlah industri, pendapatan pemanfaatan industri, jumlah limbah yang dihasilkan, biaya pengolahan, pendapatan dari hasil pengolahan, keuntungan dan sumbangan pengembangan agropolitan terhadap produk domestik regional bruto (PDRB) Kabupaten Situbondo. Model dinamik yang dibangun terdiri atas 3 (tiga) sub model yang mewakili dimensi ekologi, ekonomi, dan sosial, yaitu: (1) sub model lahan agropolitan yang menggambarkan perkembangan kebutuhan lahan untuk permukiman, budidaya, fasilitas, dan lahan untuk hutan/kawasan lindung; (2) sub model budidaya peternakan yang menggambarkan perkembangan produksi, kondisi lingkungan akibat pengembangan agropolitan,
produk domestik regional
bruto (PDRB), serta dinamika pertumbuhan penduduk, (3) sub model pengolahan industri hasil ternak yang menggambarkan jumlah industri, pendapatan, dan jumlah limbah yang dihasilkan.
Perilaku model dinamik pengembangan kawasan
agropolitan berbasis peternakan di Kabupaten Situbondo dianalisis menggunakan program powersim constructor versi 2.5 dengan struktur model seperti pada Gambar 31 dan formula pada Lampiran 20. Analisis dilakukan untuk 15 tahun yang akan datang dimulai pada tahun 2010 dan berakhir pada tahun 2025. Waktu 15 tahun ini diharapkan dapat memberikan gambaran perkembangan kawasan agropolitan di Kabupaten Situbondo untuk masa jangka panjang.
Beberapa data awal dan asumsi-asumsi yang digunakan dalam
permodelan ini antara lain:
194
1. Jumlah penduduk adalah akumulasi dari lima kecamatan yang merupakan cakupan wilayah studi dengan jumlah penduduk sebesar 189 734 jiwa pada tahun 2007 (Bappekab dan BPS Kabupaten Situbondo 2008). Pertumbuhan penduduk diasumsikan mengalami pertumbuhan normal tanpa dipengaruhi oleh mobilisasi penduduk dalam jumlah yang besar
seperti transmingrasi, dengan tingkat
kelahiran 0.53 % per tahun. 2. Luas untuk pengembangan agropolitan yang meliputi lima kecamatan sekitar 48 236.7 hektar dengan alokasi penggunaan lahan masing-masing untuk sawah 12 567 ha (28.51%), sawah tadah hujan 228.3 ha (0.47%), tegal 10 432.5 ha (21.63%), permukiman 3 903.3 ha (8.09%), tambak 674.1 ha (1.40%), perkebunan 1 751.7 ha (3.63%), kehutanan 17 059 ha (35.04%), dan padang penggembalaan/padang rumput 3 291.6 ha (6.83%). 3. Komoditas peternakan yang dimodelkan adalah ternak sapi potong yang merupakan komoditas unggulan di lokasi studi, sedangkan komoditas pertanian, seperti: jagung dan padi merupakan komoditas pertanian yang sangat dominan dibudidayakan oleh masyarakat petani di daerah ini dan merupakan sumber pakan ternak. Produksi setiap komoditas dihitung berdasarkan luas panen pada tahun 2007 adalah: produksi jagung sebesar 88 758 ton dengan luas tanam sekitar 17 563 ha, padi 81 157 ton dengan luas tanam sekitar 12 567 ha. Populasi ternak sapi potong sebanyak 69 264 ekor dan luas padang penggembalaan/padang rumput sekitar 3 291.6 ha 4. Hasil jagung akan diolah menjadi pakan ternak dan untuk mengolah bahan tersebut dibutuhkan industri pengolahan jagung berkapasitas 15 000 ton per tahun, sehingga diperlukan jumlah industri sebanyak
6 (enam) unit dengan
jumlah tenaga kerja sebanyak 4 orang untuk setiap unit industri. Jerami padi, daun jagung, dan daun pucuk tebu yang merupakan limbah pertanian akan dimanfaatkan sebagai pakan ternak, demikian juga dedak yang dihasilkan dari hasil sampingan penggilingan padi akan dimanfaatkan juga sebagai pakan ternak.
195
5. Ternak sapi potong yang dihasilkan sebagian akan diolah menjadi daging olahan dan untuk mengolah daging segar tersebut dibutuhkan industri pengolahan daging, yang mempunyai kapasitas 3 650 ekor per tahun. Ternak sapi potong yang disediakan untuk pengolahan daging berjumlah sekitar 18 000 ekor per tahun, sehingga dibutuhkan sekitar 5 unit industri pengolahan daging dengan jumlah
tenaga kerja sebanyak 5 orang untuk satu unit industri pengolahan
daging.
Hasil sampingan dari pemotongan ternak adalah kulit ternak.
Pengolahan kulit ternak dibutuhkan industri khusus yang mengelola kulit ternak menjadi kulit samak. Industri kecil pengolahan kulit ternak mempunyai kapasitas sekitar 18 250 lembar kulit per tahun dengan jumlah tenaga kerja 4 orang untuk satu unit industri pengolahan kulit. Feses yang dihasilkan oleh setiap peternak dikelola menjadi pupuk kandang (kompos), yang merupakan hasil sampingan dari budidaya peternakan. 6. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pemasaran hasil olahan adalah struktur pasar, regulasi, dan infrastruktur. 7. Sumbangan pengembangan agropolitan terhadap produk domestik regional bruto (PDRB) Kabupaten Situbondo dihitung dari PDRB peternakan dan pertanian yang meliputi komoditas ternak sapi potong dan jagung berdasarkan harga berlaku.
196
Fr_TKDGSGR Fr_TK
TK_TSD
Fr_EMI
PEGGR
RINCOME
Lj_KMT PDDK
Lj_EMI
HHDP
HHDP_KSJH
Lj_IMI
Fr_TKOLH Fr_TKPO TK_TRSRP
Fr_TKEKSP
Fr_TKSPOT
Fr_KLHR
Fr_IMI
DG_OLH
INCOME
PMT_LUAR
TK_IND Fr_KERLING_IND_D G_OLH
KTO KO
PO
Hrg_KTO
Hrg_DGSGR PDRB_TO_INCOME
Fr_TEK_IND_DG_OL FP_TEKIND_DO IND_LIND_DO H FK_TEKIND_DO
FK_SDM_IND_DO
IRM_IND_DO
TK_AGRIB
POP_SAPOT
DG_SGR
Lj_KLHR
Fr_TKKO
Fr_TKKTO
TKIND_DO PM_IND_DO ITK_IND_DO
IG_TKIND_DO
Fr_KONT_DG_OLH
LIMB_IND_DO MB_IND_DO KERLIND_DO FK_LIND_DO
TEK_IND_DG_OLH Hrg_OLH PDRB_AGRBPDRB_TOT
KONT_DO PDRB_IND
FP_IND_DO
JUMLH_IND_DO
Fr_KIND_DO
LIND_DO
JKK
PMNT_DGSP_LOK
Fr_KK
L_KrPT
Hrg_SPOT
Hrg_PO
R_KrPA
Fr_KMT_SAPOT
POP_SAPOT
DG_SGR
Fr_BSP
Lj_PERTUMB
PMT_LUAR
Fr_PIND_DO
POT_BHN_BAKU
Fr_SGR
OLH
LIND_SPT
KONT
Lj_OLH
Fr_BSP
TOT_PEMOT
IG_TK_IND
Fr_OLH
Fr_KAP
KELEMB
PM_IND_SPT FK_SDM_IND_SPT Fr_TIND_SPT
L_KWS_AGROP Fr_KLT
Fr_FESES
K_LINDUNG
BKO
TIND Fr_KERLIND_SPT KERLIND
JKK
POP_SAPOT PROD_TEBU
HARGA JG PROD_JG PROD_PADI NILAI JUAL JG
FK_LIMB_IND_SPT
KO
L_PERT L_PERKBUN
IRM_IND_SPT
Fr_PO
PROD_TEBU-PER-HA
L_INFS
LIMB_IND_SPT IND_LIND_SPT
Lj_PO
Fr_KPO
BHN_KLT
Fr_L_PERKBUN
Fr_L_PERT
FP_TIND_SPT MB_IND_SPT
PO
K_BDY
KTO
Lj_KO
Fr_KTO Fr_KPKO
Fr_KO
PROD_PADI_PER_H A NILAI JUAL TEBU PDRB EKSISTING SKENARIO PDRB 1 SKENARIO PDRB 2
HARGA_TEBU
SKENARIO PDRB 3
HARGA PADI PROD_JG_PER_HA NILAI JUAL PADI
Fr_KLTS_IND Fr_PERTAMB_IND
FP_IND_PAK
KLTS_IND
JML_IND_PAK
KONT_IND_PAK
LAJU_IND_PAK KLBG
TEK_IND IG_TK_IND_PAK Fr_KONT_PAK PDPT_MASY_IND
TK_IND_PAK FK_LIMB_IND
F_KLTS_SDM Fr_TEK_IND
TK_IND_SPT
FK_TIND_SPT
BHN_PO
L_PERMK
PDDK
Fr_PIND
ITK_IND_SPT
Fr_L_RMH
Fr_INFS
TOT_IND JML_IND_SPT
DG_OLH Fr_KONT
DDK
Fr_KIND_SPT
KIND_SPT
Lj_MIGR
Fr_BTN Fr_LHR_SAPOT
KIND_DO
FP_IND_SPT
NET_LJ_PTB J_PTRNK
KELEMB_DO
Hrg_KO
R_KrPT
TOT_PEMOT
Fr_SAPI
Fr_PTRNK
L_KrPA
FK_INC_KON
TK_KONS_DG
LIMB_IND FR_LIMB_IND KERLING_IND
Fr_KELING_IND FP_TEK_IND
ITK_IND_PAK MOD_BGN_IND
FK_TEK_IND IRMOD
Gambar 31 Struktur model dinamik pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan sapi potong terpadu di Kabupaten Situbondo
197
a. Sub Model Pengembangan Lahan Agropolitan Pada sub model pengembangan lahan agropolitan terlihat hubungan komponenkomponen seperti lahan budidaya, lahan permukiman, lahan fasilitas, dan lahan hutan/kawasan lindung. Adapun pengaruh dari setiap komponen-komponen tersebut seperti digambarkan dalam bentuk stock flow diagram (SFD) pada Gambar 32.
Gambar 32. Sub model pengembangan lahan agropolitan Simulasi model dinamik alokasi penggunaan lahan seperti pada Gambar 32 berawal dari luas lahan agropolitan yang luasnya mencapai 48 236.7 ha di 5 (lima) kecamatan yang merupakan lokasi studi.
Lahan agropolitan dialokasikan pada dua jenis
penggunaan yaitu lahan budidaya dan kawasan lindung/hutan lindung dengan alokasi masing-masing 70% atau 33 765.7 ha untuk lahan budidaya dan 30% (14 471 ha) untuk kawasan lindung/lahan hutan.
Lahan budidaya diasumsikan dimanfaatkan
selain untuk pengembangan pertanian, perkebunan, peternakan, dan perikanan, juga dimanfaatkan untuk lahan permukiman dan lahan fasilitas dengan alokasi masingmasing sekitar 5%.
Berdasarkan asumsi-asumsi ini dihasilkan simulasi model
penggunaan lahan di kawasan agropolitan seperti pada Tabel 49.
198
Tabel 49
Simulasi perkembangan pemanfaatan lahan agropolitan (ha) di wilayah basis peternakan di Kabupaten Situbondo
Tahun
Agropolitan
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025
48 236 48 236 48 236 48 236 48 236 48 236 48 236 48 236 48 236 48 236 48 236 48 236 48 236 48 236 48 236 48 236
Lindung Budidaya Permukiman
29 908 29 788 29 668 29 547 29 425 29 302 29 179 29 055 28 930 28 804 28 677 28 549 28 421 28 292 28 162 28 031
18 328 18 447 18 568 18 689 18 811 18 933 19 057 19 181 19 306 19 432 19 559 19 686 19 815 19 944 20 074 20 207
2 450 2 466 2 482 2 498 2 514 2 531 2 547 2 564 2 581 2 597 2 614 2 631 2 649 2 666 2 683 2 701
Pertanian Perkebunan
10 781 10 851 10 922 10 993 11 065 11 137 11 210 11 283 11 356 11 430 11 505 11 580 11 655 11 731 11 808 11 885
4 900 4 932 4 964 4 997 5 029 5 062 5 095 5 128 5 162 5 195 5 229 5 263 5 298 5 332 5 367 5 402
Pada Tabel 49 terlihat alokasi penggunaan lahan di kawasan agropolitan untuk lahan budidaya dan lahan hutan/kawasan lindung. Pada lahan budidaya, terjadi penambahan luas dari 18 328 ha pada tahun 2010 menjadi 20 207 ha pada tahun 2025 dengan rataan pertambahan luas lahan sebesar 2.0% per tahun.
Demikian pula
peningkatan luas lahan permukiman memperlihatkan peningkatan penggunaan lahan yang cukup tajam. Dari luas lahan permukiman sekitar 2 450 ha pada tahun 2010 naik menjadi 2 701 ha pada tahun 2025 dengan laju pertumbuhan lahan 1.5% per tahun. Sementara luas lahan hutan/kawasan lindung terjadi penurunan dari 29 908 ha pada tahun 2010 menjadi 28 031 ha pada tahun 2025 atau terjadi penurunan seluas 2 447.36 ha selama 15 tahun. Luas lahan pertanian memperlihatkan peningkatan dari 10 781 ha pada tahun 2010 menjadi 11 885
ha pada tahun 2025. Luas lahan
perkebunan menunjukkan peningkatan dari 4 900 ha pada tahun 2010 menjadi 5 402 ha pada tahun 2025.
199
Dengan asumsi pertambahan pemanfaatan lahan budidaya 2.0% per tahun, maka pada tahun 2025 pemanfaatan lahan budidaya belum terpakai secara keseluruhan dari alokasi penggunaan sebesar 70% atau seluas 33 766 ha. Hal ini memungkinkan
untuk
dilakukannya
kegiatan
ekstensifikasi
dalam
rangka
meningkatkan produksi pertanian di wilayah ini. Dari Tabel 49 dapat disimpulkan bahwa perkembangan luas lahan budidaya, permukiman, dan fasilitas seperti pada tabel di atas disebabkan oleh peningkatan kebutuhan lahan sebagai akibat dari pertumbuhan penduduk. Pertumbuhan luas lahan ini membentuk kecenderungan kurva pertumbuhan positif. peningkatan ini dapat menyebabkan terjadinya penurunan
Namun demikian, lahan hutan/kawasan
lindung sebagai akibat dari pemafaatan kawasan hutan ini untuk tujuan pemanfaatan lainnya.
b. Sub Model Budidaya Peternakan di Kawasan Agropolitan Stock
flow
diagram
(SFD)
sub
model
budidaya
peternakan
yang
menggambarkan hubungan beberapa komponen seperti jumlah penduduk sebagai komponen utama dan selanjutnya diikuti oleh komponen jumlah ternak sapi potong, bahan baku daging segar, dan kulit disajikan pada Gambar 33.
200
Gambar 33. Sub model budidaya sapi potong
Jumlah penduduk dipengaruhi oleh pertambahan penduduk secara alami yaitu kelahiran dan kematian, serta jumlah penduduk yang migrasi (imgrasi dan emigrasi). Tingkat emigrasi penduduk di wilayah ini (0.38 %) lebih besar diandingkan dengan tingkat imigrasi (0.29%). Faktor pendorong terjadinya emigrasi di wilayah ini adalah rendahnya pendapatan masyarakat dari mata pencaharian yang digelutinya sehingga mendorong mereka untuk migrasi ke perkotaan untuk mencari sumber mata pencaharian baru. Selain itu sarana pendidikan tingkat lanjut yang tersedia masih sangat terbatas sehingga untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi, mereka harus pindah ke daerah lain seperti perkotaan yang menyediakan fasilitas pendidikan yang diinginkan.
201
Tingkat emigrasi lebih besar dari pada tingkat imigrasi, namun kurva pertumbuhan penduduk memperlihatkan kecenderungan pertumbuhan positif (positif growth) naik mengikuti kurva eksponensial pada tahun simulasi 2004 sampai 2024 (20 tahun yang akan datang). Hal ini disebabkan laju tingkat kelahiran (0.55%) lebih besar dibandingkan dengan laju kematian (0.32%). pertambahan penduduk
Namun demikian, laju
ini akan diimbangi oleh adanya kematian dan dapat
menyebabkan terjadinya pertumbuhan negatif apabila tingkat kematian penduduk jauh lebih besar dari tingkat kelahiran. Pada tahun 2010,
penduduk wilayah berbasis peternakan di Kabupaten
Situbondo 196 023 orang dan meningkat menjadi 216 097 orang pada tahun 2025 dengan laju kelahiran penduduk sebesar 0.55% dan kematian 0.32% per tahun. Laju pertumbuhan penduduk ini sangat mempengaruhi kebutuhan lahan untuk penggunaan tertentu, seperti: lahan untuk permukiman, lahan budidaya pertanian, lahan fasilitas, dan peruntukan lahan untuk kawasan lindung. Melihat laju pertumbuhan penduduk dan tingkat kebutuhan penggunaan lahan yang semakin meningkat setiap tahun, mengindikasikan bahwa pada suatu saat, laju pertumbuhan tersebut akan menuju pada suatu titik keseimbangan tertentu dan selanjutnya mengalami penurunan. Pertambahan jumlah penduduk dan peternak menyebabkan pertambahan kebutuhan penggunaan lahan. Dalam hal ini terjadi hubungan timbal balik positif antara pertumbuhan penduduk dan kebutuhan lahan melalui proses reinforcing. Namun karena keterbatasan luas lahan menyebabkan pertambahan luas lahan pada suatu waktu tidak dapat mengimbangi laju pertumbuhan penduduk sehingga ketersediaan lahan untuk suatu penggunaan tertentu dapat ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan penduduk, namun ketersediaan lahan untuk penggunaan lainya mengalami penurunan sebagai akibat terjadinya konversi lahan. Hal ini terlihat pada hasil simulasi model dimana pertambahan luas lahan untuk kebutuhan lahan permukiman,
lahan fasilitas dan lahan budidaya menyebabkan penurunan
ketersediaan lahan untuk kawasan lindung. Fenomena ini memperlihatkan adanya hubungan timbal balik negatif melalui proses balancing dalam hal ini komponen daya
202
dukung lingkungan akan menjadi faktor pembatas yang dapat menekan laju peningkatan kebutuhan lahan hasil simulasi pertumbuhan penduduk dapat dilihat pada Gambar 34.
300,000
250,000
200,000
150,000
100,000
50,000
0 Jan 01, 2004
Jan 01, 2009
Jan 01, 2014
Jan 01, 2019
Jan 01, 2024
Gambar 34 Simulasi jumlah penduduk dan jumlah peternak di wilayah berbasis peternakan sapi potong terpadu di Kabupaten Situbondo tahun 2004 – 2024
203
Tabel 50 Simulasi jumlah penduduk dan jumlah peternak di wilayah berbasis peternakan sapi potong terpadu di Kabupaten Situbondo tahun 2010 – 2025 Tahun 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025
Jumlah Penduduk 196 023 197 302 198 589 199 884 201 188 202 500 203 821 205 150 206 488 207 834 209 189 210 553 211 926 213 308 214 698 216 097
Jumlah Peternak 26 953 27 129 27 306 27 484 27 663 27 844 28 025 28 208 28 392 28 577 28 764 28 951 29 140 29 330 29 521 29 713
Peningkatan luas lahan khususnya lahan budidaya pertanian akan memberikan dampak positif terhadap peningkatan produksi pertanian dan peternakan dalam hal ini peningkatan luas lahan untuk budidaya pertanian akan berpengaruh terhadap peningkatan produksi pertanian dan peternakan. Produksi pertanian dan peternakan meningkat akan berpengaruh terhadap peningkatan pendapatan petani dan peternak. Hubungan antar komponen ini merupakan hubungan timbal balik positif (positive feedback) melalui proses reinforcing. Peningkatan populasi sapi potong di wilayah kabupaten Situbondo. Dengan rata-rata pertumbuhan ternak sapi sebesar 3.5% per tahun maka populasi ternak sapi menjadi 77 008 ekor pada tahun 2025 dari 70 245 ekor pada tahun 2010 (Tabel 51).
204
Tabel 51 Simulasi jumlah sapi potong (ekor) di wilayah berbasis peternakan di Kabupaten Situbondo tahun 2010 – 2025 Tahun 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025
Jumlah Sapi Potong (ekor) 70 245 70 537 70 764 71 029 71 330 71 669 72 044 72 457 72 905 73 389 73 907 74 461 75 048 75 669 76 323 77 008
C. Sub Model Pengembangan Industri Pengolahan Hasil Ternak Sub model pengembagan industri pengolahan hasil ternak merupakan bagian permodelan untuk mengetahui pengaruh komponen-komponen dalam permodelan dalam pengembangan kawasan agropoloitan berbasis peternakan di Kabupaten Situbondo. Dalam simulasi model ini terdapat beberapa komponen yang saling berpengaruh seperti teknologi, tenaga kerja, kualitas produksi, dan PDRB. Pengaruh antar komponen di dalam model disajikan dalam gambar stock flow diagram ( SFD) seperti pada Gambar 35. Pada gambar tersebut terlihat bahwa jumlah industri pengolahan hasil peternakan (daging dan kulit) sangat tergantung pada produksi yang diperoleh, dalam hal ini adalah kontuinitas hasil dari olahan daging dan kulit tersebut.
205
Fr_T
T
RINCOM Fr_TK
T
POP_SAPO
PDRB_TO_INC
Hrg_DG
H DG_SGR
Fr
O BHN_PO
Fr_KAP
Gambar 35 Sub model pengembangan industri pengolahan hasil ternak
206
Terjadi peningkatan jumlah daging olah dari 7 461.28 ton pada tahun 2010 menjadi 27 113.41 ton pada tahun 2025. Demikian juga peningkatan terjadi pada jumlah kulit olahan dari 16.54 ton pada tahun 2010 menjadi 70.63 ton pada tahun 2025. Hal yang sama juga terjadi pada jumlah pupuk organik, pada tahun 2010 dihasilkan 227 363 ton meningkat menjadi 238 470 ton 2025.
Demikian juga
produksi jagung sebagai bahan baku industri pakan ternak terjadi peningkatan mulai dari 35 399.95 ton pada tahun 2010 menjadi 36 050.68 ton pada tahun 2025. Tabel 52 Simulasi produk olahan hasil ternak dan jumlah agroindustri di kawasan agropolitan berbasis peternakan sapi potong terpadu di Kabupaten Situbondo tahun 2010-2025 Tahun
Daging Olah
Kulit Olah
Pupuk Organik
Produksi Jagung
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025
7461.28 8725.71 9995.39 11269.15 12547.67 13831.63 15121.68 16418.49 17722.71 19035.01 20356.01 21686.35 23026.66 24377.54 25739.60 27113.41
16.54 18.87 20.69 22.80 25.21 27.92 30.93 34.22 37.81 41.68 45.83 50.26 54.96 59.93 65.15 70.63
227363 227842 228215 228649 229144 229701 230318 230995 231731 232525 233378 234287 235252 236272 237345 238470
35399.95 35 457.88 35513.92 35568.04 35620.17 35670.30 35718.36 35764.31 35808.12 35849.74 35889.11 35926.19 35960.94 35993.31 36023.24 36050.68
Industri Industri Industri Kulit Daging Olah Pakan
2 2 2 2 3 3 3 4 4 4 5 5 6 6 7 7
4 5 5 5 5 6 6 6 7 7 7 8 8 8 8 9
3 3 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4
Peningkatan juga terjadi pada jumlah industri sepatu dari 2 unit pada tahun 2010 menjadi 7 unit tahun 2025. Demikian juga terjadi peningkatan pada jumlah industri daging olah dari 4 unit pada tahun 2010 menjadi 9 unit pada tahun 2025. Hal yang sama juga terjadi pada industri pakan ternak dari 3 unit pada tahun 2010 meningkat menjadi 4 unit pada tahun 2025.
207
Peningkatan setiap komponen industri tersebut di atas memperlihatkan kurva yang cukup tajam atau dengan kata lain mengikuti kurva sigmoid sampai batas tertentu.
Akibatnya keterbatasan sumberdaya seperti: keterbatasan produksi dan
lahan, maka pada suatu saat, kurva tersebut akan melambat dan sampai pada titik keseimbangan tertentu, produksi tersebut tidak bisa ditingkatkan lagi. Industri yang beroperasi dalam pengolahan hasil ternak ini akan menghasilkan limbah yang akan berpengaruh terhadap kondisi lingkungan, semakin tinggi limbah yang dihasilkan peluang terjadinya kerusakan juga akan semakin besar. Namun mengingat limbah yang dihasilkan limbah organik maka dalam pemanfaatannya pupuk organik diharapkan dapat meningkatkan memperbaiki kualitas lingkungan. Adapun simulasi limbah industri peternakan sapi potong terpadu dapat dilihat pada Tabel 53. Tabel 53 Simulasi limbah industri peternakan (kg) di kawasan agropolitan berbasis peternakan sapi potong terpadu di Kabupaten Situbondo tahun 2010-2025 Tahun
Daging Olah
Kulit Olah
Pupuk Organik
Produksi Jagung
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025
7461.28 8725.71 9995.39 11269.15 12547.67 13831.63 15121.68 16418.49 17722.71 19035.01 20356.01 21686.35 23026.66 24377.54 25739.60 27113.41
16.54 18.87 20.69 22.80 25.21 27.92 30.93 34.22 37.81 41.68 45.83 50.26 54.96 59.93 65.15 70.63
227363 227842 228215 228649 229144 229701 230318 230995 231731 232525 233378 234287 235252 236272 237345 238470
35 399.95 35 457.88 35513.92 35568.04 35620.17 35670.30 35718.36 35764.31 35808.12 35849.74 35889.11 35926.19 35960.94 35993.31 36023.24 36050.68
Industri Industri Industri Kulit Daging Olah Pakan
2 2 2 2 3 3 3 4 4 4 5 5 6 6 7 7
4 5 5 5 5 6 6 6 7 7 7 8 8 8 8 9
3 3 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4
208
8.3.2. Simulasi Skenario Model Pengembangan Kawasan Agropolitan Berbasis Peternakan Sapi Potong Terpadu Kinerja model yang digambarkan dalam struktur sistem menggambarkan kondisi saat ini. Seiring dengan perjalanan waktu, maka akan terjadi perubahan kinerja sistem sesuai dengan dinamika waktu yang akan terjadi pada masa yang akan datang. Berdasarkan hal tersebut disusun, berbagai skenario pada model yang telah dibangun sebagai strategi yang dapat dilakukan ke depan dalam rangka pengembangan kawasan agropolitan di Kabupaten Situbondo.
Skenario yang
dibangun terdiri atas 3 skenario, antara lain: (1) skenario pesimis, (2) skenario moderat, dan (3) skenario optimis. Skenario persimis dapat diartikan bahwa variabel-variabel yang berpengaruh pada kinerja sistem mengalami kemunduran atau terjadi perubahan dari keadaaan eksisting yang mengarah pada tercapainya pada kemajuan tetapi perubahan tersebut cukup kecil untuk mempengaruhi kinerja sistem atau terjadi perubahan yang sangat cepat dari keadaan yang perlu dihambat perkembangannya.
Skenario moderat
diartikan sebagai perubahan beberapa variabel yang berpengaruh pada kinerja sistem dimana perubahan tersebut lebih baik dari pada skenario pesimis. Skenario optimis diartikan bahwa terjadi perubahan yang lebih besar dari variabel- variabel yang berpengaruh pada kinerja sistem dimana perubahan ini lebih baik dari skenario pertama dan kedua. Adapun variabel-variabel tersebut sebagai variabel kunci yang sangat berpengaruh pada kinerja sistem, meliputi peningkatan populasi ternak sapi potong, input produksi, dan sistem pemeliharaan ternak. Variabel-variabel ini akan berpengaruh terhadap perubahan penggunaan lahan di kawasaan agropolitan, peningkatan produksi, tingkat keuntungan usahatani, dan sumbangan terhadap produk domestik regional bruto (PDRB).
209
Dalam menyusun model pengembangan peternakan sapi potong terpadu dengan tanaman pangan dan perkebunan di Kabupaten Situbondo ada beberapa pola usahatani yang ditawarkan, yaitu: (1) Pola usahatani ternak sapi potong kondisi eksisting
terpadu dengan
tanaman pangan, yaitu padi dan jagung (skenario pesimis). (2) Pola usahatani ternak sapi potong kondisi eksisting terpadu dengan tanaman pangan, yaitu padi dan jagung serta tanaman perkebunan tebu (skenario moderat). (3) Pola usahatani ternak sapi potong kondisi eksisting terpadu dengan tanaman pangan dan perkebunan serta industri pengolahan hasil ternak (skenario optimis).
Skenario (1): Pola usahatani ternak sapi potong kondisi eksisting (semi intensif) terpadu dengan tanaman pangan padi dan jagung Model pengembangan usahatani ternak sapi potong (kondisi eksisting) terpadu dengan tanaman pangan padi dan jagung digunakan untuk mengkaji kelayakan secara usahatani apakah berdampak pada peningkatan produk domestik regional bruto (PDRB) daerah Kabupaten Situbondo. Dalam pola pengembangan usahatani ternak sapi
potong terpadu dengan tanaman pangan padi dan jagung
(skenario 1 = skenario pesimis) didasarkan pada asumsi-asumsi sebagai berikut: Sistem pemeliharaan ternak Pemeliharaan ternak sapi potong di lokasi ini dilakukan secara semi intensif terpadu dengan usaha tanaman pangan padi dan jagung sesuai kondisi eksisting Dalam usahatani ternak sapi potong dilakukan 2 macam, yaitu: pembibitan sapi potong dan penggemukan sapi potong. Penggemukan sapi potong pada umumnya dilakukan selama 12 bulan/periode. Pembibitan sapi potong diharapkan dalam 3 (tiga) tahun dapat menghasilkan pedet (anak sapi)
210
sebanyak 2 (dua) ekor. Sistem perkawinan sapi potong di kawasan ini pada umumnya sudah menggunakan inseminasi buatan (IB). Kandang Lokasi kandang berkumpul dengan tempat tinggal/rumah peternak atau berada di pekarangan rumah. Ternak sapi potong yang dipelihara pada umumnya sudah
dikandangkan.
Namun
demikian,
kebersihan
kandang
belum
sepenuhnya diperhatikan, sehingga kondisi kandang kurang bersih dan sedikit becek serta agak berbau. Pakan ternak Pakan hijauan yang diberikan oleh peternak dengan cara mengarit rumput di sekitar lokasi peternak. Demikian juga pemberian pakan yang berasal dari limbah pertanian, berupa jerami padi, dan daun jagung, diambil peternak dengan cara mengambil limbah pertanian dari usahatani. Peternak pada pola usahatani ini tidak menanam rumput unggul di lahan usahataninya, sehingga ketersediaan pakan sangat bergantung kepada pakan hijauan yang tersedia di sekitarnya dan limbah pertanian. Pakan hijauan pada umumnya diberikan pada pembibitan ternak sapi potong, sedangkan pada penggemukan ternak sapi potong, selain diberikan pakan hijauan juga ditambah pakan konsentrat berupa dedak padi, ampas tahu, dan molases/tetes tebu yang cukup tersedia di sekitar lokasi peternak. Pupuk kandang Pada pola pemeliharaan ternak secara semi intensif (kondisi eksisting), feses ternak belum dikelola secara baik dan belum dimafaatkan untuk tanaman padi, jagung, dan tebu.
Hal ini disebabkan antara lain kurangnya pengetahuan
peternak dalam mengelola feses menjadi kompos/pupuk kandang, selain itu jumlah ternak yang dipelihara sedikit, sekitar 1-2 ekor/peternak dan letak
211
kandang yang berkumpul dengan rumah agak menyulitkan dalam pengelolaan feses menjadi pupuk kandang/kompos. Usahatani padi Budidaya tanaman padi dilakukan secara intensif dan limbah pertanian (jerami padi) yang dihasilkan diberikan seluruhnya untuk pakan ternak sapi potong. Jerami padi yang dihasilkan sekitar 4 ton jerami kering/musim dan apabila diberikan kepada ternak sapi potong dapat mencukupi kebutuhan pakan ternak sapi potong sebanyak 4 ekor/musim. Usahatani tanaman padi memerlukan waktu sekitar 4 bulan/musim. Penanaman padi pada umumnya dilakukan 1 kali dalam setahun, yaitu pada saat puncak musim hujan, dimulai sekitar bulan Desember, Januari, dan Februari. Setelah ditanami tanaman padi, lahan sawah ditanami palawija, seperti: jagung, kedelai, dan kacang tanah. Analisis usahatani tanaman padi dapat dilihat pada Lampiran 14. Usahatani jagung Petani dalam membudidayakan tanaman jagung sudah melakukan secara intensif dan limbah pertanian (jerami
jagung) yang dihasilkan diberikan
seluruhnya untuk pakan ternak sapi potong. Jerami jagung yang dihasilkan apabila diberikan kepada ternak sapi potong dapat mencukupi kebutuhan pakan ternak sapi potong sebanyak 4 ekor/musim. Usahatani tanaman jagung memerlukan waktu sekitar 4 bulan/musim.
Penanaman jagung pada
umumnya dilakukan 2 kali dalam setahun, yaitu pada saat memasuki bulan kemarau, dimulai sekitar bulan Mei dan Juni setiap tahunnya. Analisis usahatani tanaman jagung dapat dilihat pada Lampiran 15.
212
Skenario (2): Pola usahatani ternak sapi potong kondisi eksisting (semi intensif) terpadu dengan tanaman pangan padi dan jagung, serta tanaman perkenunan tebu Pola pengembangan usahatani ternak sapi potong terpadu dengan tanaman padi, jagung, dan tebu (skenario 2 = skenario moderat) dicirikan dengan terbentuknya kandang kelompok atau kandang kolektif. Para peternak membentuk kelompok tani dan setiap kelompok tani mendirikan kandang kelompok yang letaknya terpisah dari komplek perumahan penduduk. Sistem pemeliharaan ternak sapi potong masih dilakukan secara semi intensif, demikian juga pemberian pakan memanfaatkan limbah tanaman pangan dan perkebunan, yaitu: jerami padi, daun jagung, dan pucuk tebu. Skenario (2) didasarkan pada asumsi-asumsi sebagai berikut: Kandang kolektif Para peternak bergabung membentuk beberapa kelompok tani dan dalam satu kelompok membentuk kandang kelompok atau kandang kolektif.
Lokasi
kandang kelompok terletak di suatu lokasi tertentu yang tidak terlalu jauh dari lokasi perumahan, namun tidak mengganggu secara lingkungan dan kesehatan penduduk. Adanya kandang kelompok mempermudah dalam pengelolaan limbah peternakan menjadi kompos. Kondisi ini membuat kondisi kandang terawat dan bersih, karena feses setiap saat dikumpulkan untuk dijadikan bahan kompos atau pupuk kandang. Pupuk kandang Pada pola pemeliharaan ternak sekenario 2, feses ternak sudah dikelola secara baik dan dimafaatkan oleh petani untuk tanaman dan sebagian dijual. Bersatunya peternak dalam mengelola sapi potong di suatu tempat mempermudah dalam mengelola feses menjadi pupuk kandang.
Jumlah
ternak 69 264 ekor akan menghasilkan feses sebanyak: 69 264 ekor x 15 kg/hari: 1 038 960 kg/hari. Jumlah 1 038 960 kg feses diperkirakan akan
213
menghasilkan pupuk kandang sebanyak: 60% x 1 038 960 kg = 623 376 kg kompos/hari atau setara 227 532.24 ton/tahun. Usahatani tebu Budidaya tanaman tebu secara kepras dilakukan secara intensif dan limbah tanaman tebu berupa daun pucuk tebu yang dihasilkan diberikan seluruhnya untuk pakan ternak sapi potong. Daun pucuk tebu yang dihasilkan diberikan kepada ternak sapi potong dapat mencukupi kebutuhan pakan ternak sapi potong sebanyak 4 ekor/musim. Usahatani tebu kepras memerlukan waktu sekitar 12 bulanan/musim. Pemanenan tebu tekpras dilakukan 1 kali dalam setahun. Analisis usahatani tanaman tebu dapat dilihat pada Lampiran 16.
Skenario (3): Pola usahatani ternak sapi potong kondisi eksisting terpadu dengan tanaman pangan dan perkebunan serta industri pengolahan hasil ternak Skenario 3 (optimis) dicirikan dengan adanya industri pengolahan hasil ternak berupa industri pengolahan daging segar, industri pengolahan kulit, industri pengolahan pupuk organik, dan industri pakan ternak. dilakukan secara
semi intensif
Pemeliharaan ternak sapi potong
yang dipadukan dengan tanaman pangan dan
perkebunan tebu. Kandang dibuat kandang kelompok/kandang kolektif yang terletak di suatu areal tertentu yang agak jauh dari lokasi perumahan penduduk. Pada pola ini peternak mengelola limbah peternakan (feses) menjadi pupuk kandang (kompos). Petani dalam usahataninya menyisihkan sebagian lahannya (10%) untuk menanam rumput unggul (rumput raja). Pola pemeliharaan ternak sapi potong sama dengan skenario 2, yaitu dilakukan secara semi intensif terpadu dengan tanaman pangan dan perkebunan tebu.
Namun pada skenario 3 (optimis), petani sudah menyisihkan
sebagian lahannya untuk budidaya rumput unggul (rumput raja) dan adanya pembangunan industri pengolahan hasil ternak. Untuk lebih jelasnya (skenario 3) adalah sebagai berikut:
214
Kandang kelompok Para peternak membentuk kelompok tani dan membuat kandang kelompok atau kandang kolektif. Lokasi kandang kelompok terletak di suatu lokasi tertentu yang tidak terlalu jauh dari lokasi perumahan, namun tidak mengganggu secara lingkungan dan kesehatan penduduk. Adanya kandang kelompok mempermudah dalam pengelolaan limbah peternakan menjadi kompos. Kondisi ini membuat kondisi kandang terawat dan bersih, karena feses setiap saat dikumpulkan untuk bahan kompos. Kebun rumput unggul Rumput unggul (rumput raja atau king grass) sengaja ditanam secara intensif untuk menjamin ketersediaan pakan hijauan dan meningkatkan kualitas pakan yang diberikan kepada ternak. Rumput raja mempunyai produktivitas tinggi, yaitu: 1 076 ton/ha/tahun produksi segar dan kandungan protein kasar: 13.50%, lemak kasar: 3.50%, serat kasar: 31,40%, abu: 18,60%, Ca: 0,37%, dan P: 0,35% sangat baik diberikan kepada ternak dalam rangka meningkatkan pertambahan bobot badan yang cepat. Kebutuhan ternak sapi potong akan hijauan sekitar 10% dari bobot badan/hari/ekor. Jika berat badan sapi potong 500 kg/ekor, maka kebutuhan akan hijauan per hari adalah 50 kg. Jadi kebutuhan akan hijauan per ekor per tahun adalah 18.25 ton. Berdasarkan perhitungan tersebut berarti kapasitas tampung kebun rumput raja yang dikelola secara intensif: (1 076/18.25) x ekor/tahun = 58 ekor sapi potong/ha/tahun secara potong angkut (Balai Penelitian Ternak 2008). Pembuatan kebun rumput unggul (rumput raja) seluas 535 ha (10% dari luas lahan perkebunan tebu) sangat diperlukan pada skenario 3 ini dalam rangka menjamin ketersediaan pakan dan meningkatkan kualitas dan kandungan gizi pakan yang diberikan kepada ternak sapi potong. Kebun rumput seluas 535 ha jika dikelola secara intensif dapat menampung ternak sebanyak: 535 x 58 ekor
215
= 31 030 ekor/tahun. Analisis usahatani tanaman rumput raja dapat dilihat pada Lampiran 19. Industri pengolahan hasil ternak Dalam rangka meningkatkan pendapatan petani dan PDRB daerah ini, Pemerintah Daerah Kabupaten Situbondo bekerjasama dengan pihak swasta dan instansi terkait membangun beberapa industri pengolahan hasil ternak, seperti: industri pengolahan daging segar, industri pengolahan kulit, industri pengolahan pupuk organik, dan industri pakan ternak. Industri pengolahan hasil ternak ini minimal dibangun 1 (satu) unit di daerah pusat pertumbuhan I (DPP I) di kawasan ini. Dengan adanya industri pengolahan hasil ternak, diharapkan pendapatan peternak dan PDRB daerah ini akan meningkat dan dapat meningkatkan ketersediaan tenaga kerja. Sumbangan PDRB ternak sapi potong terpadu dengan tanaman pangan dan perkebunan pada beberapa skenario dapat dilihat pada Tabel 54 dan Gambar 36. Tabel 54 Simulasi skenario sumbangan PDRB (Rp) di kawasan agropolitan berbasis peternakan sapi potong terpadu Tahun Skenario PDRB 1
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025
870.569.698.382 874.747.007.014 878.787.997.554 882.188.630.988 885.971.011.655 890.133.702.138 894.674.667.328 899.591.272.902 904.880.285.401 910.537.873.905 916.559.613.362 922.940.489.549 929.674.905.698 936.756.690.782 944.179.109.452 951.934.873.625
Skenario PDRB 2
1.091 e12 1.097 e12 1.103 e12 1.107 e12 1.113 e12 1.118 e12 1.124 e12 1.131 e12 1.138 e12 1.145 e12 1.152 e12 1.160 e12 1.169 e12 1.177 e12 1.186 e12 1.195 e12
Skenario PDRB 3
1696 e12 1.790 e12 1.885 e12 1.979 e12 2.073 e12 2.169 e12 2.265 e12 2.362 e12 2.461 e12 2.560 e12 2.660 e12 2.761 e12 2.863 e12 2.966 e12 3.071 e12 3.176 e12
216
5e 12
4e 12
3e 12
2e 12
1e 12
04 05 06 07 08 09 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
Gambar 36
Sumbangan PDRB (Rp) pada beberapa skenario di kawasan agropolitan berbasis peternakan sapi potong terpadu
Pada Tabel 54 dan Gambar 36 menunjukkan sumbangan PDRB pada skenario optimis lebih tinggi dibandingkan skenario moderat dan pesimis.
Perbedaan ini
disebabkan oleh adanya industri pengolahan hasil ternak, seperti: industri pengolahan daging segar, industri pengolahan kulit, industri pengolahan pupuk organik, dan industri pakan ternak. Dengan adanya industri pengolahan hasil ternak, pendapatan peternak dan PDRB daerah ini akan meningkat sangat tajam (sampai 3 kali lebih dari skenario pesimis). Hasil simulasi skenario pesimis menunjukkan bahwa pada tahun 2010 diperoleh PDRB sebesar Rp 870 569 698 382,-
atau
Rp 0.870 triliun
meningkat menjadi Rp 951 934 873 625,- atau Rp 0.951 triliun pada tahun 2025. Pada skenario moderat diperoleh sumbangan PDRB lebih tinggi
dibandingkan
skenario pesimis yaitu sebesar Rp 1.091 triliun pada tahun 2010 meningkat menjadi Rp 1.195 triliun pada tahun 2025. Demikian juga pada skenario optimis terjadi peningkatan yang lebih besar dibandingkan skenario pesimis dan optimis yaitu sebesar Rp 1.696 triliun pada tahun 2010 dan naik menjadi Rp 3.176 triliun pada tahun 2025.
217
8.3.3. Konsep Pengembangan Agribisnis Peternakan Sapi Potong Terpadu yang Diharapkan Konsep pengembangan agribisnis peternakan sapi potong yang diharapkan adalah konsep peternakan sapi potong terpadu.
Konsep peternakan sapi potong
terpadu yang melibatkan ternak dan tanaman (tanaman pangan dan tanaman perkebunan) telah dikembangkan di beberapa negara Asia, seperti: Thailand, Filipina, Vietnam, RRC, dan Indonesia. Di Indonesia integrasi antara ternak dan tanaman sudah diterapkan oleh petani di perdesaan, namun sistem pengelolaannya masih bersifat tradisional tanpa memperhitungkan nilai ekonomi. Sistem usahatani terpadu yang didasarkan penelitian dan pengkajian mulai diperkenalkan sekitar tahun 1970-an oleh Lembaga Pusat Penelitian Pertanian (LP3) di Bogor. Penelitian ini diberi nama ”on station multiple cropping” mengacu pada pola International Rice Research Institute = IRRI. Sejak saat itu kajian dan inovasi penerapan pertanian terpadu terus dikembangkan seperti: pola tanam (cropping pattern), pola usahatani (cropping system), sistem usahatani (farming system), dan terakhir adalah sistem tanaman ternak terjemahan dari crop livestock system (CLS). Selain CLS masih ada beberapa pola sejenis antara lain pertanian dengan perikanan dan lainnya. Pola CLS merupakan salah satu kegiatan pertanian organik (organic farming) berbasis teknologi, dengan memanfaatkan sumberdaya lokal yang didaur ulang secara efektif. Upaya peningkatan produktivitas lahan dan efisiensi usahatani dilakukan melalui penerapan teknologi inovatif, optimalisasi sumberdaya lahan dan tenaga kerja, serta membangun kelembagaan usaha bersama.
Ruang lingkup budidaya
ternak mencakup pengandangan ternak, sistem pemberian pakan, pengolahan hasil ternak dan limbah, serta pemanfaatan kompos untuk tanaman pertanian. Budidaya tanaman merupakan teknologi pengolahan produk, penyimpanan dan peningkatan kualitas limbah tanaman sebagai pakan ternak.
Pengomposan adalah proses
mengubah limbah organik menjadi pupuk dengan tujuan mengurangi bahan organik yang dikandung bahan limbah, menekan timbulnya bau, membunuh gulma dan
218
orginisme yang bersifat patogen, produknya berupa pupuk organik yang sesuai untuk diaplikasikan pada lahan pertanian. Dalam sistem usahatani ternak, interaksi terjadi akan mendorong terjadinya efisiensi produksi, pencapaian produksi yang optimal, peningkatan diversifikasi usaha dan
peningkatan
dayasaing
produk
pertanian
yang
mempertahankan dan melestarikan sumberdaya lahan.
dihasilkan,
sekaligus
Pengembangan integrasi
tanaman padi dan sapi potong bertujuan: (1) mendukung upaya peningkatan kandungan bahan organik lahan melalui penyediaan pupuk organik; (2) meningkatkan produktivitas padi sawah dan penyediaan daging; (3) peningkatan populasi ternak sapi dan pendapatan petani. Ada 8 (delapan) keuntungan penerapan integrasi usaha tanaman dan ternak, yaitu: (1) diversifikasi penggunaan sumberdaya produksi; (2) mengurangi terjadinya resiko;
(3) efisiensi penggunaan tenaga kerja; (4) efisiensi
penggunaan komponen produksi; (5) mengurangi ketergantungan sumberdaya lain dari luar usaha; (6) sistem ekologi lebih lestari, tidak menimbulkan polusi; (7) meningkatkan output; dan (8) megembangkan rumah tangga petani yang lebih stabil. Berdasarkan kondisi kawasan saat ini, maka konsep pengembangan kawasan agribisnis peternakan sapi potong terpadu yang diharapkan adalah sebagai berikut: 8.3.3.1. Subsistem Agribisnis Hulu (upstream off-farm agribusiness) Konsep pengembangan subsistem agribisnis hulu antara lain berupa: a) Bibit ternak Sumber bibit ternak sapi potong yang akan dijadikan indukan diusahakan berasal dari anggota dan dari luar kelompok tani yang dibeli (dikoordinasikan antara pengurus, pendamping/instansi terkait). Jenis ternak yang dijadikan bibit atau indukan adalah peranakan Simental, Limousin, Brahman, Onggole, Brangus, dan Hereford yang merupakan hasil inseminasi buatan (IB). Melalui penyediaan bibit ternak unggul sapi potong diharapkan pedet yang dihasilkan,
219
apabila dipelihara secara intensif akan menghasilkan pertumbuhan yang cepat sehingga keuntungan yang diperoleh peternak akan optimal. b) Sarana produksi peternakan dan obat-obatan Pembangunan kios sapronak dilakukan pada setiap ibukota kecamatan agar jangkauan para peternak untuk budidaya peternakan tidak harus ke ibukota kabupaten atau ibukota provinsi dalam mendapatkan sapronak, sehingga biaya produksi dapat dikurangi. Selain itu, untuk menunjang penyediaan sarana produksi peternakan diupayakan dapat disediakan oleh kelompok tani dengan membentuk lembaga koperasi tani atau sejenisnya serta membuka peluang bagi swasta/pengusaha sapronak untuk dapat membuka usaha di bidang ini berupa pembukaan supermarket sapronak dengan pelayanan yang lebih lengkap. Sumber penyediaan obat-obatan sebaiknya berkoordinasi dengan petugas keswan dan koperasi kelompok. c) Industri pakan Ketersediaan industri pakan ternak di kawasan ini masih belum tersedia, walaupun bahan baku pakan ternak cukup tersedia di kawasan ini, seperti: jerami padi, daun kacang tanah, daun jagung, daun pucuk tebu, ampas tebu, ampas tahu, ampas kecap, dedak padi, jagung, molases, dan lain sebagainya. Upaya pembangunan industri pakan skala menengah pada setiap kecamatan perlu dikembangkan untuk menyediakan kebutuhan pakan ternak di kawasan ini maupun di luar kawasan. Dalam penyediaan industri pakan sebaiknya kelompok tani dengan membentuk koperasi dapat membangun industri pakan, selain itu membuka peluang bagi swasta/pengusaha industri pakan untuk dapat membuka usaha di bidang ini. 8.3.3.2. Subsistem Agribisnis Budidaya Peternakan (on-farm agribusiness) Konsep pengembangan subsistem agribisnis budidaya peternakan atau usaha budidaya peternakan sapi potong dapat berupa:
220
a) Sistem pemeliharaan ternak Pada umumnya pemeliharaan ternak sapi potong dilakukan secara semi intensif, sehingga pendapatan yang diperoleh peternak kurang optimal. Dalam rangka meningkatkan pendapatan peternak, maka sistem pemeliharaan tersebut di atas harus ditingkatkan dan diarahkan menjadi pemeliharaan ternak secara intensif. Pada pemeliharaan ternak secara internsif yang dikenal dengan Sapta Usaha Peternakan meliputi antara lain: pemilihan bibit unggul yang tepat, penggunaan kandang yang memenuhi syarat, pemberian pakan yang rasional, pencegahan dan pemberantasan penyakit, pengelolaan reproduksi, penanganan pasca panen dan pemasaran, serta manajemen usaha yang baik. Model pengembangan ternak sapi di kawasan ini terbagi dua, (1) ternak sapi yang dipelihara adalah kepunyaan sendiri dan (2) sistem gaduhan atau bagi hasil (bahasa setempat “epaoan”). Epaoan adalah suatu istilah di Kabupaten Situbondo yang digunakan berkenaan dengan pemeliharaan ternak (termasuk sapi potong).
Dalam
hal ini pemilik modal
(masyarakat yang punya
kemampuan ekonomi) membelikan ternak (sapi) untuk dipelihara peternak (dalam bahasa setempat “tokang oan”). Anak sapi yang dihasilkan dibagi secara bergiliran antara peternak dengan pemilik atau kalau dijual dibagi dua hasilnya, sedangkan kalau induknya dijual, maka nilai tambah dari induk ini juga dibagi sesuai dengan kesepakatan. Kegiatan ini murni hubungan antar masyarakat perdesaan tanpa adanya campur tangan pemerintah atau pihak lain dan merupakan perwujudan rasa
kepedulian
masyarakat yang memiliki
kemampuan
masyarakat
ekonomi
ekonomi
terhadap
lemah.
Model
pengembangan ternak sistem gaduh/bagi hasil agak merugikan peternak yang memelihara (tokang oan), karena setiap hari peternak harus menyediakan pakan, merawat, dan membersihkan kandang.
Jika peternak tidak tekun
dalam merawat ternaknya, banyak peternak yang merugi dan keuntungan banyak dinikmati oleh pemilik modal.
221
Berkenaan dengan pemberdayaan masyarakat di kawasan agropolitan Kabupaten Situbondo, maka model yang paling sesuai untuk dikembangkan dalam pemberdayaan masyarakat di kawasan agropolitan Kabupaten Situbondo
adalah
“SISTEM
PENGGADUHAN
SAPI
POTONG
SITUBONDO (SIDU SAPOSIT)” dengan ketentuan sebagai berikut: 1) Setiap masyarakat/peternak sasaran harus tergabung dalam koperasi ternak sapi potong. 2) Setiap masyarakat/peternak sasaran mendapatkan bantuan berupa 2 (dua) ekor sapi, satu ekor sapi bibit betina dan satu ekor sapi pejantan. Sapi bibit betina dikelola dengan pola 1-2-5. Artinya, peternak diberikan bantuan 1 (satu) ekor sapi bibit betina dan mengembalikan 2 (dua) ekor betina (ukuran yang sama seperti bantuan yang diberikan) dengan masa pelihara 5 (lima) tahun, sedangkan induk dan anaknya dimiliki oleh peternak. Sapi pejantan disamping sebagai pejantan/pemacek juga dikelola sebagai pola bagi hasil bantuan penggemukan sapi dengan pembagian keuntungan 60% peternak dan 40% koperasi.
Pola ini lebih
menguntungkan dari pola bagi hasil/sistem gaduhan. Pola 1-2-5 dapat dijadikan tabungan oleh peternak, sedangkan pola penggemukan sapi potong diharapkan mampu untuk memenuhi kebutuhan keuangan jangka pendek atau kebutuhan sehari-hari peternak dan keluarganya. Keuntungan bagi hasil 40% untuk koperasi sangat berguna untuk penguatan modal koperasi dan insentif buat pengurus koperasi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran 10. b) Peningkatan pengetahuan dan sumberdaya manusia (SDM) peternak Sebagian besar peternak di kawasan ini berpendidikan Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Lanjutan Pertama (SLP) dan sudah mempunyai pengetahuan dan keterampilan yang cukup dalam membudidayakan ternak. Hal ini terlihat dari cara mengelola dan merawat ternak yang dipeliharanya, sebagian besar sudah
222
semi intensif. Namun demikian, peningkatan pengetahuan peternak harus tetap dilakukan, terutama dalam menentukan lokasi dan kebersihan kandang. Selain itu, pengetahuan pemberian pakan juga perlu ditingkatkan, agar pakan yang diberikan tidak hanya rumput saja (untuk ternak sapi potong) tetapi harus ditambah dangan pakan tambahan lain, seperti pakan konsentrat. Pengetahuan dan teknologi pengolahan serta pemanfaatan pakan dari limbah pertanian, seperti jerami padi dan pucuk tebu perlu disosialisasikan kepada peternak, misalnya: penggunaan urea, silase, amoniasi, dan fermentasi jerami padi. c) Penggunaan bibit ternak unggul Penggunaan bibit ternak unggul di kawasan ini sudah berjalan cukup baik yaitu dengan memanfaatkan teknologi IB untuk ternak sapi, sehingga pedet yang dihasilkan adalah jenis-jenis ternak sapi potong unggul yang berkualitas baik. Seleksi selalu dilakukan untuk replacement stock dan melakukan culling terhadap induk yang tidak produktif, serta melakukan recording secara teratur terhadap ternak-ternak yang dipelihara. Poskeswan yang terdapat pada setiap kecamatan sangat membantu berhasilnya penanganan dan pencegahan penyakit serta keberhasilan IB di kawasan ini. Penggunaan bibit sapi potong unggul untuk IB, seperti: Simental, Limousin, Angus, Brahman, Brangus, Hereford, dan Peranakan Onggole telah memotivasi peternak untuk mengelola ternaknya lebih baik lagi agar keuntungan yang diperoleh dari usahatani ini semakin maksimal. d) Pemberian pakan Pemberian pakan yang selama ini mengandalkan pakan hijauan saja harus ditambah pengan pemberian pakan konsentrat, seperti: dedak padi, ampas tahu, ampas kecap, bungkil kelapa, dan tetes tebu/molases, yang cukup banyak tersedia di kawasan ini. Peternak juga harus dibiasakan agar menggunakan rumput unggul dalam pemberian pakan hijauan, selain rumput
223
alam dan pemanfaatan jerami tanaman pangan maupun perkebunan. Untuk itu sosialisasi penanaman rumput unggul seperti: rumput raja (king grass) yang mempunyai produksi segar 1 076 ton/ha/tahun serta kandungan gizi tinggi harus segera dilaksanakan melalui Gerakan Menanam Rumput Raja Makanan/Pakan Ternak Secara Serentak (GEMAR RAMPAK) di kawasan ini, agar pakan yang diberikan mempunyai kandungan gizi yang lebih baik, sehingga pertumbuhan ternak yang dipelihara lebih optimal dan pendapatan yang diperoleh peternak seuai dengan yang diharapkan. Penanaman rumput unggul dapat menggunakan lahan-lahan kosong seperti: tepi jalan, kebun, pekarangan, tegal, sempadan sungai, dan tanggul irigasi. Pemanfaatan limbah tanaman pertanian, seperti: jerami padi, daun ketela pohon, daun jagung, daun kacang tanah, daun kedelai, dan pucuk tebu perlu ditingkatkan. Untuk meningkatkan gizi dan kecernaan dari pakan tersebut, perlakuan fermentasi jerami, amoniasi, silase dan penambahan urea perlu disosialisikan kepada peternak. Demikian juga pemberian pakan tambahan berupa konsentrat dan limbah agroindustri yang terdapat di kawasan ini. e) Penggunaan kandang kelompok Lokasi kandang ternak yang pada umumnya berkumpul atau berdekatan dengan rumah penduduk atau jadi satu dengan tempat tinggal, harus dipisahkan dengan jalan membentuk kandang ternak kelompok.
Lokasi
kandang kelompok harus terpisah dan tidak terlalu jauh dari lokasi perumahan penduduk, sehingga tidak mengganggu kesehatan masyarakat serta estetika dan tidak menimbulkan gangguan lingkungan. Pembuatan kandang kelompok lebih memudahkan dalam pengelolaan ternak, misalnya: dalam pelaksanaan IB, pengawasan penyakit, pengumpulan limbah ternak (feses), pembuatan pupuk organik, keamanan ternak, dan pemasaran ternak. Jumlah anggota peternak yang tergabung dalam pembuatan kandang kolektif bisa disesuaikan, misalnya satu unit kandang kolektif untuk satu kelompok tani ternak yang beranggotakan 50-75 peternak atau satu dusun dibuatkan satu unit kandang
224
kelompok. Dalam kandang kelompok juga disediakan pengelelolaan limbah feses dan urin menjadi pupuk organik atau kompos, yang selanjutnya dimanfaatkan untuk pemupukan tanaman. Kompos berperanan penting dalam menunjang kegiatan mix farming atau integrated farming yang merupakan kegiatan pertanian organik terpadu berbasis peternakan. Dalam kegiatan ini pemakaian bahan kimia dibatasi seminimal mungkin, bahkan bila perlu tidak menggunakan bahan kimia sama sekali. Dari kegiatan peternakan sapi dapat dihasilkan bahan organik berupa pupuk kandang (kompos) dan pupuk cair (urine sapi). Menurut Sarwono dan Arianto (2003) dari 3 ekor sapi dapat dihasilkan feses yang dapat dipakai untuk memupuk 5 ha sawah per tahun. f) Pencegahan dan pengobatan penyakit serta inseminasi buatan (IB) Penanganan dan pencegahan penyakit serta vaksinasi harus dikoordinasikan dengan petugas kesehatan hewan. Pos Keswan yang terdapat pada setiap kecamatan di kawasan ini sangat membantu dalam penanganan dan pencegahan penyakit selama ini. Demikian juga pelaksanaan IB sebaiknya dikoordinasikan dengan petugas IB di Pos Keswan, petugas IB swasta/mandiri atau anggota kelompok yang sudah dilatih.
8.3.3.3. Subsistem Agribisnis Hilir (downstream off-farm agribusiness) Subsistem agribisnis hilir (downstream off-farm agribusiness), yaitu kegiatan ekonomi yang mengolah dan memperdagangkan hasil usahaternak. Dalam subsistem ini termasuk industri pemotongan ternak, industri pengalengan dan pengolahan daging, industri pengolahan kulit, dan pengolahan pupuk kandang. Konsep pengembangan subsistem agribisnis ini adalah dengan menyediakan fasilitas-fasilitas berikut ini dalam kawasan:
225
a) Pembangunan pasar ternak atau sub terminal agribisnis (STA) Pasar ternak di kawasan ini baru tersedia satu unit berskala pasar kecamatan yaitu terletak di Desa Kertosari Kecamatan Asembagus. Pembangunan pasar ternak atau sub terminal agribisnis (STA)
pada setiap kecamatan perlu
dilakukan agar para peternak tidak terlalu jauh dalam menjual ternaknya. Hal ini salah satu upaya untuk memperkecil biaya produksi yang ditanggung peternak dan juga memudahkan peternak dalam menjual ternaknya. Keberadaan pasar ternak akan mengurangi aktivitas pedagang perantara atau belantik kandang, sehingga peternak dapat menjual langsung kepada pembeli dan keuntungan yang diperoleh bisa lebih optimal.
Selain itu, penjualan
ternak sebaiknya berdasarkan berat badan ternak agar tidak ada yang dirugikan baik peternak maupun pembeli. b) Rumah potong hewan (RPH) Rumah potong hewan (RPH) yang terdapat di kawasan ini hanya berjumlah satu unit yang terletak di Desa Asembagus Kecamatan Asembagus. Konsep pembangunan RPH ke depan perlu ditambah dengan cara membangun RPH di setiap kecamatan agar mempermudah pemotongan ternak dan mengurangi beban biaya tranportasi. c) Industri pengolahan hasil ternak Ketersediaan industri pengolahan hasil ternak di kawasan ini sangat kurang, kalaupun ada hanya sebatas home industri (industri rumah tangga) kecil, seperti pembuatan bakso daging sapi, dendeng, abon, dan kerupuk kulit yang jumlahnya
sangat terbatas. Jenis produk yang dihasilkan dalam usaha
peternakan pada umumnya masih dalam bentuk produk primer peternakan yaitu: pedet (anak sapi), daging segar, dan kulit ternak, sedangkan produk olahan
hasil
ternak
(produk
sekunder
peternakan)
sangat
sedikit.
Pembangunan agroindustri hasil peternakan harus segera dilakukan pada
226
kawasan ini, agar kontribusi subsektor peternakan lebih meningkat dalam memberikan sumbangan PDRB terhadap daerah Kabupaten Situbondo. Selain itu, dengan adanya agroindustri di kawasan ini akan memberikan nilai tambah dan multiplier effect terhadap kesejahteraan masyarakat.
Pembangunan
agroindustri pengolahan hasil peternakan seperti: industri pengolahan daging segar/corned beef, sosis, dendeng, penyamakan kulit, dan pupuk organik di beberapa tempat sangat membantu pembangunan dan perkembangan kawasan ini dengan subsektor peternakan sebagai motor penggerak pertumbuhan ekonomi. Konsep pembangunan industri pengolahan daging adalah dengan membangun industri pengolahan daging skala kecil (kapasitas satu ton daging per hari) di setiap kecamatan, demikian juga untuk industri pengolahan kulit ternak. Kulit ternak yang dihasilkan dari pemotongan ternak diharapkan dapat diolah di kawasan ini untuk selanjutnya dijadikan bahan baku sepatu, jaket, tas, dan lain sebagainya. Pembangunan industri pengolahan pupuk organik skala kecil dilakukan pada setiap kelompok tani, sehingga feses dan urin yang dihasilkan dari budidaya ternak sapi potong tidak mencemari lingkungan. Pengolahan feses dan urin menjadi pupuk organik selain memberikan nilai tambah bagi peternak juga meningkatkan kesuburan tanah dan melestarikan lingkungan. Diharapkan pupuk organik yang dihasilkan di kawasan ini dapat dimanfaatkan petani tanaman pangan dan perkebunan, sehingga kebutuhan akan pupuk anorganik atau pupuk buatan dapat dikurangi dan kesuburan tanah serta kelestarian lingkungan tetap terjaga. Dengan memanfaatkan kotoran sapi sebagai pupuk organik untuk tanaman pangan dan perkebunan berarti telah mengaplikasikan peternakan sapi potong terpadu dan mengoptimalisasi penggunaan sumberdaya dengan metode ternak-tanaman. Biaya pakan untuk usaha ternak sapi potong dapat ditekan dengan memanfaatkan limbah hasil samping usahatani tanaman (padi, jagung, dan tebu).
Pola ini menerapkan pendekatan low external input sustainable
agriculture (LEISA). Biaya pakan bahkan mendekati zero cost. Dengan pengembangan peternakan terpadu dengan tanaman pangan dan perkebunan
227
akan diperoleh beberapa keuntungan antara lain: (1) mendukung upaya peningkatan kandungan bahan organik lahan melalui penyediaan pupuk organik; (2) meningkatkan produktivitas tanaman dan penyediaan daging; (3) peningkatan populasi ternak sapi dan pendapatan petani; (5) diversifikasi penggunaan sumberdaya produksi; (6) mengurangi terjadinya resiko; (7) efisiensi penggunaan tenaga kerja;
(8) efisiensi penggunaan komponen
produksi; (9) mengurangi ketergantungan sumberdaya lain dari luar usaha; (10) sistem ekologi lebih lestari, tidak menimbulkan polusi; (11) meningkatkan output; dan (12) megembangkan rumah tangga petani yang lebih stabil. 8.3.3.4. Subsistem Jasa Penunjang Agribisnis (supporting institution) Subsistem jasa penunjang agribisnis (supporting institution), yaitu kegiatan yang menyediakan jasa agribisnis ternak, seperti: perbankan, asuransi, koperasi, transportasi, penyuluhan, poskeswan, kebijakan pemerintah, lembaga pendidikan serta penelitian, dan lain-lain. Konsep pengembangan subsistem jasa penunjang agribisnis (supporting institution) ini dapat berupa: a) Kelompok tani Pembentukan kelompok tani akan memudahkan pembinaan dan penyaluran bantuan modal. Setiap kelompok tani ternak sebaiknya beranggotakan sekitar 50–75 orang. Dengan kepemilikan ternak yang rata-rata 3-4 ekor/peternak maka jumlah ternak dalam satu kelompok sekitar 150-300 ekor. Ternak sapi dipelihara dalam satu kandang kelompok (corporate farming) dalam satu kawasan agar memudahkan pengawasan, pembinaan, dan pelayanan inseminasi buatan (IB) maupun kesehatan hewan (Keswan).
Kelompok
didampingi seorang pendamping yang sudah dilatih untuk mengelola usaha peternakan dan bekerja secara profesional (pemberian gaji berdasarkan persentase keuntungan).
Diharapkan dengan membentuk kelompok tani,
maka sistem pemeliharaan ternak tidak lagi berkumpul atau berdekatan
228
dengan rumah penduduk atau jadi satu dengan tempat tinggal, tetapi harus terpisah dengan cara membentuk kandang kelompok.
Lokasi kandang
kelompok harus terpisah dan tidak terlalu jauh dari lokasi perumahan penduduk, sehingga efek
bau dan pencemaran lingkungan yang akan
ditimbulkan dapat dikurangi dan peternak dalam mengelola ternaknya tidak terlalu jauh dari tempat tinggalnya. Pembuatan kandang kelompok lebih memudahkan dalam pengelolaan ternak, misalnya: dalam pelaksanaan IB, pengawasan penyakit, pengumpulan limbah ternak (feses), pembuatan pupuk organik, keamanan ternak, dan pemasaran ternak. Pada kawasan kandang kelompok sebaiknya dibangun industri pengolahan pupuk organik, sehingga feses dan urin yang dihasilkan dari budidaya ternak sapi potong dapat dimanfaatkan untuk pupuk organik tanaman dan peternak dapat tambahan penghasilan dari pengolahan limbah feses dan urin ini. b) Koperasi Wadah yang dianggap paling tepat dewasa ini dan sedang dalam pembinaan pemerintah adalah koperasi. Bahkan sarana produksi akan lebih mudah di didapatkan dan pemasaran sapi dapat diatur secara bersama-sama apabila peternak bergabung dalam koperasi.
Bilamana perlu diadakan kerjasama
antara koperasi dengan rumah potong hewan setempat agar harga penjualan sapi dapat lebih tinggi dan kualitasnya dapat terkontrol.
Pengalaman
menunjukkan bahwa koperasi yang bergerak di bidang peternakan dan ditata secara baik dan profesional berkembang dengan pesat dan tidak terjadi kesulitan dalam mendapatkan modal usaha. Koperasi merupakan salah satu lembaga yang perlu mendapat perhatian dalam upaya pengembangan sistem agribisnis peternakan, mengingat peternak sebagai pelaku mayoritas dan utama dalam sistem ini memiliki kemampuan yang lemah dalam hal permodalan, akses informasi, dan teknologi. Koperasi dapat menjadi media bagi peternak untuk secara bersama-sama membangun usahanya secara terintegrasi dari subsistem hulu sampai subsistem hilir, agar peternak dapat
229
memperoleh nilai tambah yang lebih baik.
Pembentukan koperasi dapat
dibentuk satu desa untuk satu unit koperasi tani ternak yang beranggotakan gabungan beberapa kelompok tani yang berada di kawasan tersebut. c) Lembaga Keuangan Mikro (LKM) Lembaga keuangan mikro (LKM) di kawasan ini sangat sedikit yang khusus untuk menyediakan dana kegiatan usaha peternakan. Dalam rangka meningkatkan pengembangan usaha peternakan, keberadaan LKM sangat dibutuhkan untuk lebih mempermudah dalam pelayanan kegiatan ekonomi masyarakat. Dari aspek permodalan, pihak perbankan masih menganggap bahwa usaha kegiatan agribisnis sapi potong sebagai usaha yang belum mendapat prioritas untuk mendapatkan bantuan kredit usaha.
Hal ini
dikarenakan, pihak perbankan masih menganggap bahwa agribisnis sapi potong berisiko tinggi (high risk) dan rendah dalam hal pendapatan (low return).
Dalam rangka mengatasi permodalan bagi masyarakat peternak,
pemerintah telah mengimplementasikan program Bantuan Pinjaman Langsung Masyarakat (BPLM). Ditjen Peternakan (2004) menjelaskan bahwa tujuan dari BPLM adalah untuk: (1) memperkuat modal usaha kelompok dalam mengembangkan usaha; (2) meiningkatkan produksi dan produkvitas usaha; (3) mengembangkan usaha agribisnis
dan agroindustri di kawasan
pengembangan; (4) meningkatkan kemandirian dan kerjasama kelompok; serta (5) mendorong berkembangnya lembaga keuangan mikro (LKM) agribisnis dan kelembagaan ekonomi lainnya. Adapun sasaran yang ingin dicapai yakni: (1) pengembangan kawasan peternakan yang diintroduksi dapat berjalan dengan baik; (2) usaha peternakan dapat berkembang dengan baik; (3) proses pembelajaran peternak menjadi lebih mantap untuk dapat melepas ketergantungannya pada bantuan pemerintah.
230
d) Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) Lembaga Penyuluhan Pertanian/Balai Penyuluhan Pertanian (BPP), sudah terdapat pada setiap kecamatan di kawasan ini, namun demikian perlu ditingkatkan lagi aktifitasnya terutama dalam frekuensi penyuluhan dan pelatihan terhadap pengelolaan usaha peternakan agar dapat secara bertahap mengubah perilaku peternak dalam mengelola usaha peternakan ke arah yang lebih maju/intensif dan berkelanjutan. Penyuluhan kepada peternak tentang kebersihan kandang dan pengolahan limbah peternakan menjadi pupuk organik sangat mendesak untuk segera ditindaklanjuti. Masyarakat perlu diberi pemahaman mengenai beberapa keunggulan
pemanfaatan dan
penggunaan pupuk organik atau pupuk kandang. Demikian juga mengenai pemanfaatan limbah pertanian, seperti fermentasi jerami padi, amoniasi jerami, perlakuan urea terhadap jerami, dan penggunaan urea molases blok. e) Balai Penelitian Ternak dan Hijauan Makanan Ternak (BPT-HMT) Sebagai salah satu kawasan produksi ternak sapi potong di Jawa Timur maka perlu disediakan pusat informasi tentang peternakan. Pada balai ini segala informasi tentang peternakan dan usaha agribisnis peternakan serta kelembagaan dan aktifitasnya
bisa diperoleh di balai ini. Konsep
pengembangan akan dilengkapi dengan balai pendidikan dan latihan skala kabupaten sehingga
terjadi peningkatan sumberdaya manusia khususnya
inovasi pengembangan produk peternakan.
Keberadaan BPT-HMT di
kawasan ini juga merupakan tempat penyediaan bibit ternak unggul dan hijauan makanan ternak unggul, yang dapat meningkatkan motivasi dan pengetahuan peternak dalam membudidayakan ternak. Kesimpulan dari konsep pengembangan peternakan sapi potong terpadu antara peternakan sapi potong dangan tanaman dapat dilihat pada Tabel 55.
231
Tabel 55 No 1
2
3
4
Agribisnis Subsistem Agribisnis Hulu
Subsistem Agribisnis Budidaya Peternakan
Subsistem Agribisnis Hilir
Subsistem Jasa Penunjang Agribisnis
Konsep pengembangan peternakan sapi potong terpadu di Kabupaten Situbondo Program yang Dibutuhkan a. Pembangunan kebun bibit hijauan makanan ternak (HMT) unggul b. Kios sapronak dan peralatan c. Industri pakan ternak a. Kandang kelompok b. Komposting
Lokasi 42 desa dalam kawasan agropolitan
Lingkup Layanan 1 kebun bibit untuk 1 desa
42 desa dalam kawasan agropolitan DPP I
DPP I
1 kios sapronak di setiap desa 1 industri untuk 1 DPP 1 bangunan untuk 1 kelompok tani 1 bangunan untuk 1 kelompok tani 1 bangunan untuk 1 kecamatan 1 industri untuk 1 DPP
DPP I DPP I
1 industri untuk 1 DPP 1 industri untuk 1 DPP
Ibu kota Kecamatan
1 unit RPH untuk 1 kecamatan 1 STA untuk 1 kecamatan 1 kelompok untuk 50-75 peternak Setiap desa
42 desa dalam kawasan agropolitan
c. Poskeswan dan inseminasi buatan (IB) a. Industri pengolahan daging segar b. Industri pengolahan kulit c. Industri pengolahan pupuk organik c. Rumah potong hewan (RPH)
Ibu kota Kecamatan
a. Sub terminal agribisnis (STA) a. Kelompok tani
Ibu kota Kecamatan 42 desa dalam kawasan agropolitan
b. Koperasi tani c. Lembaga Keuangan Mikro (LKM) d. Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) e. Balai Penelitian Ternak Hijauan Makanan Ternak (BPT-HMT)
Ibu kota Kecamatan
1 unit untuk 1 kecamatan
DPP I
1 unit untuk 1 kawasan agropolitan
232
8.3.4. Uji Validasi Model Secara garis besar uji validasi model dapat dilakukan dalam dua bentuk yaitu uji validasi struktur dan uji validasi kinerja. b.1. Uji Validasi Struktur Uji validasi struktur lebih menekankan pada keyakinan pada pemeriksaan kebenaran logika pemikiran atau dengan kata lain apakah struktur model yang dibangun sudah sesuai dengan teori.
Secara logika terlihat bahwa pertumbuhan
penduduk yang semakin meningkat akan diikuti oleh peningkatan kebutuhan lahan. Pertumbuhan penduduk ini dipengaruhi oleh pertambahan jumlah penduduk yang berasal dari kelahiran (natalitas) dan penduduk yang datang (imigrasi), serta pengurangan jumlah penduduk akibat kematian (mortalitas) dan perpindahan penduduk keluar (emigrasi). Pertumbuhan penduduk dan peningkatan luas lahan agropolitan mengikuti pola pertumbuhan kurva sigmoid (sigmoid curve) dimana pada suatu waktu tertentu akan menemui titik keseimbangan (stable equilibrium) sesuai dengan konsep limit to growth (Muhammadi et al 2001). Dalam hal ini terjadi proses reinforcing yang diimbangi oleh proses balancing. Kondisi ini terjadi karena keterbatasan ketersediaan lahan yang dapat menjadi faktor pembatas dan menekan pertumbuhan penduduk. Lahan yang tersedia akan dimanfaatkan untuk alokasi permukiman penduduk, ruang fasilitas, penyediaan ruang terbuka hijau dan kawaan lindung, serta lahan untuk kegiatan budidaya pertanian. Karena keterbatasan luas lahan maka semakin luas penggunaan lahan untuk tujuan tertentu akan berpengaruh terhadap luas lahan untuk tujuan penggunaan lainnya.
Dalam hal ini akan terjadi konversi lahan untuk
memenuhi kebutuhan penggunaan lahan. Berkaitan dengan lahan budidaya, terlihat bahwa semakin luas ketersediaan lahan budidaya akan berdampak pada semakin meningkatnya produksi usahatani yang dihasilkan petani. Hal ini juga berdampak terhadap peningkatan keuntungan
233
yang diperoleh.
Namun demikian, semakin tinggi intensitas penggunaan lahan
budidaya akan menyebabkan tekanan terhadap lahan sehingga kualitasnya dapat menurun.
Akibatnya produksi usahatani juga akan menurun yang diikuti
menurunnya keuntungan yang diperoleh petani.
Hal ini berarti konsep limit to
growth juga terjadi terhadap produksi dan keuntungan usahatani agropolitan. Dengan melihat hasil simulasi model dinamik berdasarkan struktur model yang telah dibangun sesuai dengan konsep teori empirik seperti diuraikan di atas, maka model pengembangan kawasan agropolitan di wilayah Kabupaten Situbondo dapat dikatakan valid secara empirik. b.2. Uji Validasi Kinerja Uji validasi kinerja merupakan aspek pelengkap dalam metode berpikir sistem. Tujuannya adalah untuk memperoleh keyakinan sejauh mana kinerja model sesuai (compatable) dengan kinerja sistem nyata, sehingga model yang dibuat memenuhi syarat sebagai model ilmiah yang taat fakta (Muhammadi et al. 2001). Menurut Barlas (1996) bahwa uji validasi kiunerja dilakukan dengan cara memvalidasi kinerja model dengan data empiris. Uji ini dapat dilakukan dengan menggunakan uji statistik seperti uji penyimpangan antara nilai rata-rata simulasi terhadap aktual (absolute mean error = AME) dan uji peyimpangan nilai variasi simulasi terhadap aktual
(absolute variation error = AVE) dengan batas
penyimpangan yang dapat diterima maksimal 10%. Dalam uji validasi kinerja, dapat digunakan satu atau beberapa komponen (variabel) baik pada komponen utama (main model) maupun komponen yang terkait (co-model).
Uji validasi kinerja dalam
penelitian
menggunakan data aktual
ini
menggunakan uji AME
dengan
perkembangan jumlah sapi potong periode 4 tahunan yaitu tahun 2004 – 2007. Adapun jumlah sapi potong Situbondo seperti pada Tabel 56.
aktual dan hasil simulasi di wilayah Kabupaten
234
Tabel 56 Perbandingan jumlah sapi potong aktual dan hasil simulasi di wilayah berbasis peternakan sapi potong terpadu di Kabupaten Situbondo tahun 2004-2007 Jumlah Sapi Potong di Wilayah Basis Peternakan di Kabupaten Situbondo Tahun Aktual Simulasi 2004 67 534 68 179 2005 68 127 68 563 2006 68 529 68 931 2007 69 264 69 283 Jumlah 273 454 274 956
Hasil pengujian terhadap validitas kinerja untuk elemen jumlah sapi potong tersebut menunjukkan bahwa antara model dengan data empirik terdapat kesesuaian dalam ambang batas yang diperbolehkan. Berdasarkan nilai hasil uji validasi kinerja model tersebut menunjukkan nilai AME dan AVE lebih kecil dari 10%, yaitu 2.96% (AME) dan 4.92 % (AVE), sehingga dapat disimpulkan bahwa model tersebut memiliki kinerja yang baik, relatif tepat, dan dapat diterima secara ilmiah.
8.3.5. Uji Kestabilan dan Uji Sensitivitas Model Sebagaimana diketahui bahwa uji kestabilan model dilakukan untuk melihat kestabilan atau kekuatan
model dalam dimensi waktu.
Model dikatakan stabil
apabila struktur model agregat dan disagredat memiliki kemiripan. Caranya adalah dengan menguji struktur model agregat yang diwakili oleh sub-sub model yang ada. Adapun uji kestabilan model berdasarkan struktur model agregat dan disagregat disajikan seperti pada Gambar 31 (agregat) dan 32, 33, dan 35 (disagregat). Hasil simulasi pada struktur model disagregat memperlihatkan kemiripan dengan struktur model agregatnya, sehingga dapat disimpulkan bahwa model tersebut dapat dikatakan stabil.
235
Menurut Muhammadi et al. (2001) bahwa uji sensitivitas dilakukan untuk melihat respon model terhadap suatu stimulus.
Respon ini ditunjukkan dengan
perubahan perilaku dan/atau kinerja model. Stimulus diberikan dengan memberikan intervensi tertentu pada unsur atau struktur model. Hasil uji sensitivitas ini adalah dalam bentuk perubahan perilaku dan/atau kinerja model sehingga dapat diketahui efek intervensi yang diberikan terhadap satu atau lebih unsur atau model tersebut. Adapun perubahan perilaku kinerja model berdasarkan intervensi yang diberikan dapat dilihat pada Tabel 54 (yang diskenariokan) dimana pada tabel tersebut terlihat besarnya perubahan dari setiap perubahan satu atau lebih unsur di dalam model tersebut. Pada Tabel 54 misalnya, dengan memberikan intervensi dengan meningkatkan input produksi dalam suatu kegiatan usahatani, maka produksi peternakan yang diharapkan juga akan semakin besar. Hal ini terlihat dengan semakin meningkatnya PDRB dari skenario pesimis ke skenario moderat dan optimis. Dengan adanya perubahan nilai produksi pada setiap pertambahan tahun dapat disimpulkan bahwa model sangat sensitif terhadap intervensi yang diberikan.
8.4. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa konsep pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan sapi potong yang diharapkan adalah konsep peternakan sapi potong terpadu, yang melibatkan ternak dengan tanaman (tanaman pangan dan tanaman perkebunan). Di lokasi penelitian integrasi antara ternak dengan tanaman sudah diterapkan oleh petani di perdesaan, namun sistem pengelolaannya masih bersifat tradisional tanpa memperhitungkan nilai ekonomi. Pola ternak dengan tanaman merupakan salah satu kegiatan pertanian organik (organic farming) berbasis teknologi, dengan memanfaatkan sumberdaya lokal yang didaur ulang secara efektif. Upaya peningkatan produktivitas lahan dan efisiensi usahatani dilakukan melalui penerapan teknologi inovatif, optimalisasi
236
sumberdaya lahan dan tenaga kerja, serta membangun kelembagaan usaha bersama. Ruang lingkup budidaya ternak mencakup pengandangan ternak, sistem pemberian pakan, pengolahan hasil ternak dan limbah, serta pemanfaatan kompos
untuk
tanaman pertanian. Budidaya tanaman merupakan teknologi pengolahan produk, penyimpanan dan peningkatan kualitas limbah tanaman sebagai pakan ternak. Pola ini menerapkan pendekatan low external input sustainable agriculture (LEISA). Pola pemeliharaan ternak sapi potong yang dilakukan secara intensif yang dipadukan dengan tanaman pangan (padi dan jagung) dan perkebunan tebu, lebih menguntungkan dibandingkan pola pemeliharaan ternak secara semi intensif. Pada pola ini peternak melakukan penggemukan secara intensif dengan memanfaatkan konsentrat yang cukup banyak dan lama penggemukan cukup singkat, yaitu selama 3 bulan saja, sehingga dalam 1 tahun peternak dapat menjual ternak sapi potong sebanyak 4 kali. Pemeliharaan pembibitan sapi potong memanfaatkan teknologi inseminasi buatan (IB) dengan menggunakan bibit sapi potong unggul, seperti: Simmental, Limousin, Angus, Hereford, Brahman, Peranakan Onggole. Dalam pola ini,
beberapa peternak berkelompok membentuk kelompok tani dan membuat
kandang kelompok atau kandang kolektif yang terletak di suatu areal tertentu yang tidak terlalu jauh dari lokasi perumahan penduduk. Dengan adanya kandang kelompok memudahkan peternak mengelola limbah peternakan (feses dan urin) menjadi pupuk kandang (kompos). Petani dalam usahataninya juga menyisihkan sebagian lahan untuk menanam rumput unggul (rumput raja) yang mempunyai produktivitas dan kandungan gizi tinggi, sehingga ketersediaan pakan tidak hanya tergantung pada rumput alam dan limbah pertanian/perkebunan. Untuk menunjang keberhasilan pola peternakan sapi potong terpadu di Kabupaten Situbondo, beberapa lembaga penunjang agribisnis, seperti: industri pakan ternak, industri pengolahan hasil ternak, kios sapronak, rumah potong hewan (RPH), pasar ternak, lembaga keuangan mikro, koperasi ternak, Poskeswan, Balai Penyuluhan Pertanian (BPP), Balai Penelitian Ternak dan Hijauan Makanan Ternak (BPT-HMT) sangat diperlukan keberadaannya di lokasi ini.
237
Hasil simulasi setiap
komponen penyusun
sub
model
menunjukkan
kecenderungan membentuk kurva pertumbuhan positif (positive growth) naik mengikuti kurva eksponensial. Namun pada beberapa komponen sub model seperti pertambahan penduduk dan peternak serta peningkatan luas lahan pertanian selalu diimbangi oleh laju pengurangan jumlah penduduk akibat kematian dan migrasi keluar dan laju konversi lahan ke non pertanian, sehingga dalam model ini terjadi hubungan timbal balik positif melalui proses reinforecing dan timbal balik negatif melalui proses balancing. Penigkatan jumlah penduduk dan peternak yang terus bertambah dapat memberikan tekanan terhadap sumberdaya yang ada termasuk sumberdaya lahan. Akibat dari tekanan ini, peningkatan yang terjadi terhadap semua komponen dalam sistem pada suatu saat akan sampai pada titik keseimbangan tertentu dan selanjutnya terjadi penurunan sebagai akibat tekanan terhadap sumberdaya yang tersedia (penurunan daya dukung lingkungan). Untuk meningkatkan perubahan kinerja model maka skenario yang perlu dilakukan adalah skenario optimis dengan melakukan intervensi yang lebih besar terhadap variabel kunci yang berpengaruh dalam model.
DAFTAR PUSTAKA
Aminullah E. 2003. Berpikir Sistem dan Pemodelan Dinamika Sistem. Bogor: Program Pascasarjana. Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2007. Situbondo Dalam Angka 2006/2007. Situbondo: Pemerintah Kabupaten Situbondo Kerjasama BPS dan BAPPEKAB Situbondo. [BAPPEKAB] Badan Perencanaan dan Pembangunan Kabupaten dan [BPS] Badan Pusat Statistik. 2008. Profil Kabupaten Situbondo. Situbondo: Pemerintah Kabupaten Situbondo Kerjasama BAPPEKAB dan BPS Situbondo. Barlas Y. 1996. Formal Aspect of Model Validity and Validition of System Dynamics. System Dynamics Rev. 12. (www. Albany edu/cp/sds/sdcourses). Diakses tanggal 27 Oktober 2007.
238
[Deptan] Departemen Pertanian. 2001. Program Pembangunan Pertanian 2001 – 2004. Jakarta: Departemen Pertanian Republik Indonesia. [Deptan] Departemen Pertanian. 2002. Pedoman Umum Pengembangan Kawasan Agropolitan dan Pedoman Program Rintisan Pengembangan Kawasan Agropolitan. Jakarta: Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia Pertanian. Departemen Pertanian. [Deptan] Departemen Pertanian. 2004. Penerapan Konsep Kawasan Agropolitan. Jakarta: Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia (SDM) Pertanian. [Disnak Situbondo] Dinas Peternakan Situbondo. 2006. Laporan Tahunan Dinas Peternakan Situbondo. Situbondo: Dinas Peternakan Kabupaten Situbondo. [Dirjen] Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan. 2002. Integrasi Ternak Sapi dengan Perkebunan Kelapa Sawit. Jakarta: Direktorat Pengembangan Peternakan, Departemen Pertanian Republik Indonesia. -----------------------------------------. 2003. Buku Statistik Peternakan Tahun 2002. Jakarta: Departemen Pertanian Republik Indonesia. [Dirjen] Direktorat Jenderal Peternakan. 2004. Pedoman Teknis Bantuan Pinjaman Langsung Masyarakat (BPLM) Berbasis Pemberdayaan Kelompok Peternak. Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan. Departemen Pertanian. [Dirjen] Direktorat Jenderal Peternakan. 2007. Buku Statistik Peternakan Tahun 2006. Jakarta: Departemen Pertanian Republik Indonesia. [Dirjen] Direktorat Jenderal Peternakan. 2008. Buku Statistik Peternakan Tahun 2007. Jakarta: Departemen Pertanian Republik Indonesia. Diwyanto K. 2001. Model perencanaan terpadu: Integrasi tanaman-ternak (croplivestock system). Makalah Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor: Balai Penelitian Veteriner 17-18 September 2001. Diwyanto K, Prawiradiputra BR, Lubis D. 2002. Integrasi tanaman ternak dalam pengembangan agribisnis yang berdaya saing, berkelanjutan dan berkerakyatan. Wartazoa 12(1):1-8. Diwyanto K, Handiwirawan E. 2004. Peran litbang dalam mendukung usaha agribisnis pola integrasi tanaman-ternak. Di dalam: Prosiding Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman Ternak. Denpasar, Bali 20-22 Juli 2004 Djojomartono M. 2000. Dasar-dasar Analisis Sistem Dinamik. Bogor: Program Pascasarjana Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, IPB. Eriyatno. 1998. Ilmu Sistem; Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen. Jilid I. Ed ke-2. Bogor. IPB Press.
239
---------. 2002. Ilmu Sistem; Apa dan Bagaimana. Jakarta: Centre for System Studies and Development (CSSD) Indonesia. ---------. 2003. Ilmu Sistem; Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen. Jilid I. Ed ke-3. Bogor: IPB. Fisheries. 1999. Rapfish Software for Excel. Fisheries Centre Research Reports. Friedmann J, Douglass M. 1976. Pengembangan Agropolitan: Menuju Siasat Baru Perencanaan Regional di Asia. Jakarta: (Terjemahan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia). Hardjosubroto W, Astuti M. 1993. Buku Pintar Peternakan. Jakarta: PT. Grasindo. Hardjowigeno S. 1992. Ilmu Tanah. Ed ke-3. Jakarta: PT. Mediyatama Sarana Perkasa. Ilham N, Hastuti S, Karyasa IK. 2002. Pendugaan parameter dan elastisitas penawaran dan permintaan beberapa jenis daging di Indonesia. Jurnal Agro Ekonomi 2: -24. Irawan B, Pranadji T. 2002. Pem-berdayaan lahan kering untuk pengembangan agribisnis berkelanjutan. FAE 2:8-17. Iriawan N, Astuti SP. 2006. Mengolah Data Statistik dengan Mudah menggunakan Minitab 14. Yogyakarta: Penerbit Andi. Kasaman, A Ella, A Nurhayu. 2004. Kontribusi kotoran sapi dalam sistem usahatani padi sawah irigasi di Sulawesi Selatan. Di dalam: Prosiding Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman Ternak. Denpasar, Bali 20-22 Juli 2004. hlm 182-185 Kavanagh P. 2001. Rapid Appraisal of Fisheries (Rapfish) Project. Rapfish Software Description (for Microsoft Exel). Vancouver: University of British Columbia, Fishries Centre.. Kay R, Alder J. 1999. Coastal Planning and Management. New York: Routledge. Kurnia G. 1999. Modernisasi dan Penguatan Ekonomi Rakyat di Perdesaan; Pembangunan Ekonomi Rakyat Perdesaan. Jakarta: Bina Rena Pariwara. Manetch TJ, Park GL. 1977. System Analysis and Simulation with Application to Economic and Social System Part I. Third Edition, Departement of Electrical Engineering and System Science. Michigan: Michigan State University, East Lansing. Manwan I. 1989. Farming system research in Indonesia: its evolution and future outlock. Di dalam: Prosedures for Farming System Research.
240
Mersyah R. 2005. Desain sistem budidaya sapi potong berkelanjutan untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah di Kabupaten Bengkulu Selatan. [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Midgley G. 2000. Systemic Intervention: Philosophy, Methodology, and Practice. New York: Kluwer Academic Plenum Publisher. Muhammadi, Aminullah E, Soesilo B. 2001. Analisis Sistem Dinamis: Lingkungan Hidup, Sosial, Ekonomi, dan Manajemen. Jakarta: UMJ Press. Munasinghe M. 1993. Environmental Economic and Sustainable Development. Washington D.C: The International Bank for Reconstructioan and Development /The World Bank. Musofie A. 2004. Kajian system pertanian organic dalam integrasi usahatani tanaman padi-sapi potong. Di dalam: Prosiding Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman Ternak. Denpasar, Bali 20-22 Juli 2004. hlm 116-125. Pambudy R. 1999. Perilaku komunikasi, perilaku wirausaha peternak, dan penyuluhan dalam sistem agribisnis peternakan ayam. [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Pambudy R., Sipayung T, Priatna WB, Burhanuddin, Kriswantriyono A, Satria A. 2001. Bisnis dan Kewirausahaan dalam Sistem Agribisnis. Bogor: Pustaka Wirausaha Muda. Prasetyo T, Anwar H, Supadno H. 2001. Integrasi tanaman-ternak pada sistem usahatani di lahan irigasi. Di dalam: Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Jawa Tengah, September 2001, BPTP Ungaran. Rustiadi E, Saifulhakim S, Panuju DR. 2003. Perencanaan pengembangan wilayah, konsep dasar dan teori. Bogor: Program Pascasarjana IPB. Rustiadi E, Hadi S, Muttaqien WA. 2006. Kawasan agropolitan pembangunan desa-kota berimbang. Bogor: Crestpent Press, IPB. Santosa U. 2001. Swadaya.
Prospek Agribisnis Penggemukan
Pedet. Jakarta:
konsep Penebar
Saragih B. 2000. Agribisnis Berbasis Peternakan. Bogor: USESE Foundation dan Pusat Studi Pembangunan IPB. Saragih B, Sipayung T. 2002. Biological utilization in developmentalism and environmentalism. Paper Presented at the International Seminar on Natural Resources Accounting Environmental Economic Held in Yogyakarta, Indonesia, April 29.
241
Sarwono B, Arianto HB. 2002. Penggemukan Sapi Potong Secara Cepat. Jakarta: Penebar Swadaya. SEMAI. 1998. Saatnya kembali ke kompos. Informasi Agribisnis Nasional. Bulan Nopember. Soenarno. 2003. Pengembangan kawasan agropolitan dalam rangka pengembangan wilayah. Makalah Seminar Nasional Agroindustri dan Pengembangan Wilayah Februari 2003. Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah. Jakarta. Sudaryanto B. 2006. Sistem pembibitan ternak mendukung ketersediaan sapi potong. http://www.nasih.staf.ugm.ac.id Sugeng YB. 2002. Budidaya Sapi Potong. Jakarta: Penebar Swadaya. Suryana A, Erwidodo, Prajogo UH. 1988. Issu strategis dan alternative kebijaksanaan pembangunan pertanian memasuki Repelita VII. Bogor: Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Sutanto R. 2002. Pertanian Organik: Menuju Pertanian Alternatif dan Berkelanjutan. Yogyakarta: Kanisius. Suwandi. 2005. Agropolitan Merentas Jalan Meniti Harapan. Jakarta: Duta Karya Swasta.
IX. PEMBAHASAN UMUM
Kabupaten Situbondo merupakan daerah agraris. Hal ini disebabkan sebagian besar wilayah ini dimanfaatkan untuk pertanian. Potensi sektor pertanian di Kabupaten Situbondo yang memberikan kontribusi terbesar di antaranya adalah: produksi pertanian tanaman pangan, perkebunan, peternakan, perikanan laut, tambak, dan kehutanan. Sektor pertanian beberapa tahun terakhir ini tidak lagi sangat dominan dalam menyumbang besarnya produk domestik regional bruto (PDRB) Kabupaten Situbondo, karena tahun 2007 sektor pertanian hanya dapat menyumbang PDRB sebesar 31.77% (urutan kedua), sedangkan urutan pertama sektor perdagangan dapat memberikan sumbangan sebanyak 33.54%. Dominasi sektor perdagangan, hotel, dan restoran didukung oleh meningkatnya pendapatan di sektor perdagangan karena bertambahnya jumlah pelaku perdagangan dan harga barang yang semakin tinggi serta pengelolaan hotel dan restoran yang semakin baik. Menurunnya kontribusi sektor pertanian sangat dipengaruhi oleh kontribusi tanaman pangan dan perkebunan yang beberapa tahun terakhir ini mengalami penurunan. Salah satu penyebabnya adalah ketersediaan air irigasi yang bersumber dari Sungai Sampeyan tidak lagi mencukupi untuk mengairi sawah petani sepanjang tahun. Kondisi ini mengakibatkan banyak petani selain membudidayakan tanaman pangan juga memelihara ternak ruminansia, yaitu sapi potong, domba, kambing dalam rangka menambah dan meningkatkan pendapatannya.
Prospek peternakan
ruminansia, khususnya sapi potong cukup baik, apalagi dengan diperkenalkannya bibit sapi potong unggul melalui inseminasi buatan, seperti: Simental, Brahman, Brangus, Limousin, dan Hereford, maka dalam waktu yang tidak terlalu lama Kabupaten Situbondo sudah dikenal sebagai kantong ternak sapi potong di Jawa Timur.
242
Sebagian besar masyarakat Kabupaten Situbondo adalah Suku Madura dan Jawa yang banyak bekerja di bidang pertanian (tanaman pangan, perkebunan, peternakan, dan perikanan) karena daerah ini dikenal daerah agraris. Kondisi ini sangat mendukung perkembangan usaha peternakan, karena masyarakat sudah tidak asing lagi dengan dunia peternakan, terutama peternakan sapi potong, domba, serta kambing. Faktor berikutnya adalah, dukungan pemerintah daerah terhadap sektor peternakan cukup baik. Hal ini ditandai dengan disediakannya fasilitas-fasilitas peternakan, seperti: rumah potong hewan (RPH), pasar hewan, Pos Keswan dan inseminasi buatan (IB), penyediaan bibit rumput unggul, dan lain sebagainya. Selain itu, pasar produk peternakan memberikan peluang pasar yang sangat baik dewasa ini. Produk peternakan selain untuk mencukupi kebutuhan masyarakat Kabupaten Situbondo, juga untuk melayani permintaan dari kota-kota lain seperti Surabaya, Malang, dan Jakarta. Hal ini ditunjukkan oleh banyaknya ternak sapi potong dan unggas yang dipotong serta ternak yang keluar setiap tahunnya. Kontribusi sektor peternakan dan hasil-hasilnya pada tahun 2007 dapat menyumbangkan produk domestik regional bruto (PDRB) sebanyak 9.87% atau sebesar Rp 146 804 670 000,juta (Bappekab dan BPS Kabupaten Situbondo 2008). Populasi ternak 5 (lima) tahun terakhir mulai tahun 2003 sampai dengan tahun 2007 pada umumnya menunjukkan peningkatan, berturut-turut: Sapi Potong: dari 134 799 ekor menjadi 137 394 ekor; Sapi Perah: dari 67 ekor menjadi 75 ekor; Kerbau: dari 732 ekor menjadi 741 ekor; Kambing: dari 47 465 ekor menjadi 48 601 ekor; Domba: dari 77 292 ekor, menjadi 79 108 ekor; Ayam Buras: dari 564 321 ekor menjadi 568 222 ekor; Ayam Ras: dari 24 900 ekor menjadi 29 000 ekor; Itik: dari 45 069 ekor menjadi 48 295 ekor (Bappekab dan BPS Kabupaten Situbondo 2008). Sub sektor peternakan di Kabupaten Situbondo Jawa Timur mempunyai potensi yang sangat baik untuk dikembangkan dan telah ditetapkan sebagai komoditas unggulan daerah. Kebijakan pemerintah dareah ini sangat direspon oleh masyarakat, karena permintaan pasar terhadap komoditas peternakan cukup tinggi, potensi lahan yang
tersedia
dan
ketersediaan
sumber
pakan
sangat
mendukung
untuk
243
pengembangan usaha peternakan,
sesuai dengan kondisi agroklimat,
budaya
masyarakat dan tenaga kerja yang terdapat di daerah ini cukup mendukung pengembangan usaha peternakan, dukungan pemerintah daerah terhadap sektor peternakan cukup baik, dan pasar produk peternakan memberikan peluang pasar yang sangat baik.
Melihat potensi dan permasalahan yang dijumpai di Kabupaten
Situbondo, maka perencanaan terpadu dan komprehensif merupakan salah satu jawaban untuk mempercepat pembangunan di wilayah ini.
Langkah awal dan
strategis yang perlu dilakukan adalah dengan terlebih dahulu mengetahui karekteristik wilayah berbasis peternakan secara utuh baik dari potensi yang dimiliki, perkembangan wilayah yang terjadi selama ini, maupun kendala-kendala yang dihadapi dalam pengembangannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kabupaten Situbondo sangat potensial untuk pengembangan di sektor pertanian. Hal ini dilihat dari kondisi agroklimat yang sangat mendukung untuk pengembangan sektor ini. Selain itu, sekitar 180 798 orang (52,67%) penduduk di wilayah ini matapencahariannya di sektor pertanian dan memberikan kontribusi terbesar kedua penyumbang PDRB (31.77%) Kabupaten Situbondo pada tahun 2007, sedangkan urutan pertama ditempati sektor perdagangan yang memberikan sumbangan sebanyak 33.54%. Subsektor pertanian yang potensial dikembangkan antara lain subsektor peternakan dengan komoditas unggulannya adalah sapi potong. Selain basis pengembangan peternakan sapi potong, wilayah Kabupaten Situbondo
juga merupakan basis tanaman pangan dan perkebunan.
Tanaman padi dan jagung merupakan komoditas unggulan tanaman pangan, sedangkan tanaman tebu, tembakau, dan kopi merupakan komoditas unggulan tanaman perkebunan. Hasil analisis usahatani, kegiatan yang dilakukan oleh peternak, secara ekonomi masih memberikan keuntungan yang layak bagi peternak. Keuntungan terbesar yang dimiliki peternak berturut-turut adalah: usahatani ternak sapi potong, domba, kambing, ternak itik, dan ayam buras, sedangkan untuk tanaman pangan dan perkebunan berturut-turut adalah: jagung, padi, dan tebu.
244
Ditinjau dari potensi yang dimiliki wilayah Kabupaten Situbondo khususnya wilayah yang mempunyai basis peternakan, maka kebijakan pembangunan di wilayah ini
diarahkan
pada
pembangunan
di
sektor
pertanian/peternakan
melalui
pengembangan agribisnis yang didukung oleh kelengkapan sarana dan prasarana yag memadai baik sarana dan prasarana umum maupun sarana dan prasana pengembangan agribisnis.
Salah satu konsep pengembangan wilayah berimbang
yang dapat dikembangkan di wilayah Kabupaten Situbondo adalah pengembangan kawasan agropolitan atau dikenal agropolitan. Konsep ini sebenarnya telah digagas oleh pemerintah
dalam hal ini Departemen Pertanian bekerjasama dengan
Departemen Pekerjaan Umum pada tahun 2002 dalam rangka membangun desa-kota berimbang melalui pengembangan kota pertanian di perdesaan. Hasil analisis menunjukkan bahwa masyarakat Kabupaten Situbondo sangat setuju dan yakin jika wilayah ini dijadikan sebagai wilayah pengembangan kawasan agropolitan akan menciptakan lapangan pekerjaan (97%). Namun demikian, kondisi eksisting kawasan masih berada pada Strata Pra Kawasan Agropolitan II, sehingga perlu dilakukan upaya-upaya peningkatan strata kawasan menuju Strata Kawasan Agropolitan dengan dilengkapi sarana dan prasana yang dibutuhkan. Berdasarkan kelengkapan fasilitas setiap desa di 5 (lima) kecamatan lokasi studi penelitian basis peternakan di Kabupaten Situbondo terdapat 4 (empat) desa yang sudah termasuk dalam kategori desa maju, 17 (tujuh belas) desa dengan perkembangan sedang, dan 21 (dua puluh satu) desa dengan tingkat perkembangan lambat atau tertinggal. Kendala utama yang dihadapi dalam pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan di Kabupaten Situbondo adalah belum tersedianya agroindustri peternakan, yaitu adanya industri yang dapat mengolah hasil-hasil peternakan, baik yang berupa daging, kulit, dan limbahnya (feses) maupun industri pakan. Selain itu terbatasnya infrastruktur dan suprastruktur serta pemasaran menyebabkan wilayah ini masih tergolong dalam Para Kawasan Agropolitan II.
Dalam rangka mengatasi
kendala utama tersebut di atas, dibutuhkan pembangunan agroindustri pengolahan hasil peternakan dan penyediaan infrastruktur yang memadai serta peningkatan
245
pembinaan suprastruktur yang kuat. Dalam hal ini peran pemerintah sangat penting terutama kebijakan dalam pengembangan kawasan agropolitan, baik Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi Jawa Timur, maupun Pemerintah Kabupaten Situbondo. Pemerintah Pusat dan Provinsi berfungsi sebagai fasilitator, motivator, dan dinamisator dalam pengembangan kawasan, sedangkan pemerintah kabupaten sebagai pelaksana langsung di lapangan. Peran suprastruktur atau kelembagaan seperti adanya koperasi menjadi sangat penting perannya di kawasan ini.
Kehadiran koperasi sangat dibutuhkan untuk
memudahkan masyarakat mencari suntikan dana/modal, menampung produk agroindustri peternakan dan memasarkannya, serta lebih mempermudah dalam pelayanan pembiayaan kegiatan ekonomi mikro masyarakat setempat. Koperasi yang terbentuk sebaiknya merupakan upaya kesadaran dan partisipasi dari masyarakat dalam menjalankan program pengembangan untuk kepentingannya sendiri.
Pada
pola ini masyarakatlah yang memiliki inisiatif dan berperan penuh pada kegiatankegiatan mereka, sehingga keberhasilannya sangat ditentukan dari rasa tanggungjawab dari masyarakat itu sendiri. Langkah awal dari pembentukan koperasi ini harus ada pendampingan, pengorganisasian, dan pemberdayaan masyarakat. Dalam rangka meningkatkan populasi ternak untuk mendukung ketersediaan bahan baku industri pengolahan hasil ternak serta meningkatkan pendapatan masyarakat, pembentukan koperasi ternak sapi potong sangat penting dan diperlukan untuk membantu peternak dalam memberikan pinjaman modal usahataninya. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa pemeliharaan sapi potong selama ini dilakukan secara semi intensif, yaitu ternak dikandangkan dan kadangkadang ternak dikeluarkan beberapa jam pada siang hari (untuk exercise) sedangkan pakan yang diberikan pada umumnya rumput alam dan limbah pertanian (jerami padi). Pemberian pakan tambahan (konsentrat) hanya dilakukan pada penggemukan sapi potong, sedangkan untuk pembibitan sapi potong jarang diberikan pakan konsentrat. Model pengembangan ternak sapi yang selama ini telah dilakukan dan berkembang secara turun temurun di Kabupaten Situbondo adalah sistem gaduhan
246
atau bagi hasil (bahasa setempat “epaoan”).
Epaoan adalah suatu istilah di
Kabupaten Situbondo yang digunakan berkenaan dengan pemeliharaan ternak (termasuk sapi potong). Dalam hal ini pemilik modal (masyarakat yang punya kemampuan ekonomi) membelikan ternak (sapi) untuk dipelihara peternak (dalam bahasa setempat “tokang oan”). Anak sapi yang dihasilkan dibagi secara bergiliran antara peternak dengan pemilik atau kalau dijual dibagi dua hasilnya, sedangkan kalau induknya dijual, maka nilai tambah dari induk ini juga dibagi sesuai dengan kesepakatan. Kegiatan ini murni hubungan antar masyarakat perdesaan tanpa adanya campur tangan pemerintah atau pihak lain dan merupakan perwujudan rasa kepedulian masyarakat yang memiliki kemampuan ekonomi terhadap masyarakat ekonomi lemah. Model pengembangan ternak sistem gaduh/bagi hasil agak merugikan peternak yang memelihara (tokang oan), karena setiap hari peternak harus menyediakan pakan, merawat, dan membersihkan kandang. Jika peternak tidak tekun dalam merawat ternaknya, banyak peternak yang merugi dan keuntungan banyak dinikmati oleh pemilik modal. Berkenaan dengan pemberdayaan masyarakat
di kawasan agropolitan
Kabupaten Situbondo, maka model yang paling sesuai untuk dikembangkan dalam pemberdayaan masyarakat di kawasan agropolitan Kabupaten Situbondo adalah “SISTEM PENGGADUHAN SAPI POTONG SITUBONDO (SIDU SAPOSIT)” dengan ketentuan sebagai berikut: 1) Setiap masyarakat/peternak sasaran harus tergabung dalam koperasi ternak sapi potong. 2) Setiap masyarakat/peternak sasaran mendapatkan bantuan berupa 2 (dua) ekor sapi, satu ekor sapi bibit betina dan satu ekor sapi pejantan. Sapi bibit betina dikelola dengan pola 1-2-5. Artinya, peternak diberikan bantuan 1 (satu) ekor sapi bibit betina dan mengembalikan 2 (dua) ekor betina (ukuran yang sama seperti bantuan yang diberikan) dengan masa pelihara 5 (lima) tahun, sedangkan induk dan anaknya dimiliki oleh peternak. Sapi pejantan disamping
247
sebagai pejantan/pemacek juga dikelola sebagai pola bagi hasil bantuan penggemukan sapi dengan pembagian keuntungan 60% peternak dan 40% koperasi. Pola ini lebih menguntungkan dari pola bagi hasil/sistem gaduhan. Pola 1-2-5 dapat dijadikan tabungan oleh peternak, sedangkan pola penggemukan sapi potong diharapkan mampu untuk memenuhi kebutuhan keuangan
jangka
pendek
atau
kebutuhan
sehari-hari peternak
dan
keluarganya. Keuntungan bagi hasil 40% untuk koperasi sangat berguna untuk penguatan modal koperasi dan insentif buat pengurus koperasi. Dalam pola 1-2-5, jika peternak secara intensif megelola ternak sapi potong selama 5 (lima) tahun, maka bisa menghasilkan 9 ekor sapi potong. Dikembalikan ke koperasi 2 ekor, yaitu: 1 ekor umur 2 tahun dan 1 ekor umur 18 bulan dan selanjutnya ternak ini dapat digulirkan kepada peternak yang lainnya, sedangkan peternak mendapatkan 7 ekor sapi, yaitu: 1 ekor induk umur 7 tahun, 1 ekor induk umur 4 tahun, 1 ekor induk umur 3 tahun, 1 ekor dara umur 12 bulan, 2 ekor pedet umur 6 bulan dan 1 ekor pedet umur 1 bulan. Penggemukan sapi potong jika dipelihara secara intensif bisa menghasilkan pendapatan kotor Rp 3 500 000,-/ekor/4 bulan. Selama 4 bulan peternak mendapatkan keuntungan kotor 60%, yaitu sekitar Rp 2 100 000,-, sedangkan koperasi sapi potong mendapat keuntungan bersih 40%, yaitu Rp 1 400 000,-. Konsep pengembangan agribisnis peternakan sapi potong yang diharapkan di Kabupaten Situbondo adalah konsep peternakan sapi potong terpadu, yang melibatkan ternak dengan tanaman (tanaman pangan dan tanaman perkebunan). Di lokasi penelitian integrasi antara ternak dengan tanaman sudah diterapkan oleh petani di perdesaan, namun sistem pengelolaannya masih bersifat tradisional tanpa memperhitungkan nilai ekonomi. Pola ternak dengan tanaman merupakan salah satu kegiatan
pertanian
organik
(organic
farming)
berbasis
teknologi,
dengan
memanfaatkan sumberdaya lokal yang didaur ulang secara efektif. Upaya peningkatan produktivitas lahan dan efisiensi usahatani dilakukan melalui penerapan teknologi inovatif, optimalisasi sumberdaya lahan dan tenaga kerja, serta membangun
248
kelembagaan
usaha
bersama.
Ruang
lingkup
budidaya
ternak
mencakup
pengandangan ternak, sistem pemberian pakan, pengolahan hasil ternak dan limbah, serta pemanfaatan kompos untuk tanaman pertanian. Budidaya tanaman merupakan teknologi pengolahan produk, penyimpanan dan peningkatan kualitas limbah tanaman sebagai pakan ternak.
Pola ini pada umumnya sudah menerapkan
pendekatan low external input sustainable agriculture (LEISA). Pola pemeliharaan ternak sapi potong yang dilakukan secara intensif dan dipadukan dengan tanaman pangan (padi dan jagung) dan perkebunan tebu, lebih menguntungkan dibandingkan pola pemeliharaan ternak secara semi intensif. Pada pola ini peternak melakukan penggemukan secara intensif dengan memanfaatkan konsentrat yang cukup banyak dan lama penggemukan cukup singkat, yaitu selama 3 bulan saja, sehingga dalam 1 tahun peternak dapat menjual ternak sapi potong sebanyak 4 kali. Pemeliharaan pembibitan sapi potong memanfaatkan teknologi inseminasi buatan (IB) dengan menggunakan bibit sapi potong unggul, seperti: Simmental, Limousin, Angus, Hereford, Brahman, Peranakan Onggole. Dalam pola ini,
beberapa peternak berkelompok membentuk kelompok tani dan membuat
kandang kelompok atau kandang kolektif yang terletak di suatu areal tertentu yang tidak terlalu jauh dari lokasi perumahan penduduk. Dengan adanya kandang kelompok memudahkan peternak mengelola limbah peternakan (feses dan urin) menjadi pupuk kandang (kompos). Petani dalam usahataninya juga menyisihkan sebagian lahan untuk menanam rumput unggul (rumput raja) yang mempunyai produktivitas dan kandungan gizi tinggi, sehingga ketersediaan pakan tidak hanya tergantung pada rumput alam dan limbah pertanian/perkebunan. Untuk menunjang keberhasilan pola peternakan sapi potong terpadu di Kabupaten Situbondo, beberapa lembaga penunjang agribisnis, seperti: industri pakan ternak, industri pengolahan hasil ternak, kios sapronak, rumah potong hewan (RPH), pasar ternak, lembaga keuangan mikro, koperasi ternak, Poskeswan, Balai Penyuluhan Pertanian (BPP), Balai Penelitian Ternak dan Hijauan Makanan Ternak (BPT-HMT) sangat diperlukan
249
keberadaannya dalam mendukung pengembangan agropolitan berbasis peternakan sapi potong terpadu di Kabupaten Situbondo. Hasil simulasi setiap
komponen penyusun
sub
model
menunjukkan
kecenderungan membentuk kurva pertumbuhan positif naik mengikuti kurva eksponensial.
Namun pada beberapa komponen sub model seperti pertambahan
penduduk dan peningkatan luas lahan pertanian selalu diimbangi oleh laju pengurangan jumlah penduduk akibat kematian dan migrasi keluar dan laju konversi lahan ke non pertanian sehingga dalam model ini terjadi hubungan timbal balik positif melalui proses reinforcing dan timbal balik negatif melalui proses balancing. Akibat dari tekanan ini, peningkatan yang terjadi terhadap semua komponen dalam sistem pada suatu saat akan sampai pada titik keseimbangan tertentu (stable equilibrium) dan selanjutnya terjadi menurun sebagai akibat tekanan terhadap sumberdaya yag tersedia (penurunan daya dukung lingkungan). Bentuk model yang terjadi mengikut i pola dasar archetype”limit to growth” dalam sistem dinamik. Untuk meningkatkan perubahan kinerja model maka skenario yang perlu dilakukan adalah skenario optimis dengan melakukan intervensi yang lebih besar satu atau lebih variabel yang berpengaruh dalam model.
X. REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN BERKELANJUTAN BERBASIS PETERNAKAN SAPI POTONG TERPADU DI KABUPATEN SITUBONDO
10.1. Kebijakan Umum Penduduk Kabupaten Situbondo pada umumnya banyak bergerak di sektor pertanian.
Sekitar
180 798 orang (52.67%) penduduk di wilayah ini mata
pencahariannya di sektor pertanian dan memberikan kontribusi terbesar kedua penyumbang PDRB (31.77%) Kabupaten Situbondo pada tahun 2007, sedangkan urutan pertama sektor perdagangan dapat memberikan sumbangan sebanyak 33.54%. Penyumbang terbesar ketiga adalah sektor industri pengolahan sebanyak 9.49% dan jasa sebanyak 8.79%.
Sektor pertanian tidak lagi sangat dominan dalam
menyumbang besarnya PDRB. Menurunnya kontribusi sektor pertanian sangat dipengaruhi oleh kontribusi subsektor tanaman pangan dan perkebunan yang menjadi potensi daerah beberapa tahun terakhir ini mengalami penurunan.
Salah satu penyebab utamanya adalah
ketersediaan air irigasi yang bersumber dari Sungai Sampeyan tidak lagi mencukupi untuk mengairi sawah petani sepanjang tahun. Kondisi ini mengakibatkan banyak petani selain membudidayakan tanaman pangan juga memelihara ternak ruminansia, seperti: sapi potong, domba, kambing dalam rangka menambah dan meningkatkan pendapatannya. Prospek peternakan ruminansia, khususnya sapi potong cukup baik, apalagi dengan diperkenalkannya bibit sapi potong unggul melalui inseminasi buatan, seperti: Simental, Brahman, Brangus, Limousin, dan Hereford, maka dalam waktu yang tidak terlalu lama Kabupaten Situbondo sudah dikenal sebagai kantong ternak sapi potong di Jawa Timur. Potensi peternakan yang cukup besar di wilayah ini dapat menjadi pilihan utama dengan mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya alam yang tersedia dengan tetap melestarikan daya dukung lingkungan. Hal ini dapat dilakukan melalui pengembangan agribisnis dan agroindustri secara maksimal dalam rangka meningkatkan posisi tawar masyarakat dan petani untuk peningkatan daya saing
251
komoditas pertanian yang dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani dan masyarakat di wilayah ini. Dalam rangka memperkuat posisi tawar masyarakat dan petani/peternak melalui pengembangan agribisnis dan agroindustri untuk pembangunan wilayah, maka salah satu kebijakan pembangunan wilayah yang dapat dilakukan sesuai dengan potensi wilayah yang dimiliki adalah pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan sapi potong terpadu dengan pertanian. Sub-sektor pertanian yang dapat dipadukan dalam pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan sapi potong di Kabupaten Situbondo adalah tanaman pangan dan perkebunan.
10.2. Kebijakan Operasional Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan sebelumnya, diketahui bahwa alternatif kebijakan dalam rangka pengembangan kawasan agropolitan di Kabupaten Situbondo adalah pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan sapi potong terpadu dengan tanaman pangan dan perkebunan. Namun demikian, dalam konsep
keterpaduan pengembangan kawasan ini, tidak saja dilihat dari sisi
keterpaduan dari jenis agropolitan yang dapat dikembangkan, tetapi dalam pengembangannya harus didukung oleh keterpaduan
lainnya baik dalam hal
keterpaduan antar wilayah, keterpaduan antar sektor, keterpaduan antar stakeholder, dan keterpaduan antar disiplin ilmu. Keterpaduan antar wilayah dapat dilihat dari wilayah pengembangan bahwa tidak saja dapat dilaksanakan pada satu wilayah atau kecamatan tetapi dapat dilakukan pada gabungan beberapa kecamatan. Terpadu antar sektor dapat dilihat dari banyaknya sektor
yang terkait dan terlibat dalam pengembangan kawasan
agropolitan ini dengan mengintegrasikan semua kepentingan sektor-sektor tersebut. Keterpaduan antar stakeholder dapat dilihat dari banyaknya stakeholder yang terlibat dalam pengembangan kawasan agropolitan, baik pemerintah, masyarakat, pihak
252
swasta, LSM, dan perguruan tinggi harus bersatu padu dalam memajukan kawasan. Sementara terpadu antar disiplin ilmu
menekankan bahwa untuk memajukan
kawasan perlu melibatkan berbagai disiplin ilmu mengingat wilayah tersebut memiliki karekteristik wilayah dan sosial budaya yang agak beragam. Dalam rangka mendukung keterpaduan pengembangan kawasan agropolitan di wilayah Kabupaten Situbondo, maka beberapa rumusan arahan kebijakan yang perlu dikembangkan sebagai kebijakan operasional antara lain: 1. Menetapkan Desa Asembagus, Desa Trigonco,
Desa Jangkar, dan Desa
Mangaran sebagai Desa Pusat Pertumbuhan (DPP) dan desa-desa lain di sekitarnya sebagai daerah hinterland.
Hal ini terkait dengan tingkat
perkembangan desa tersebut yang lebih maju dibandingkan dengan desa-desa lainnya. 2. Membangun sarana dan prasarana agribisnis peternakan yang dibutuhkan baik pada daerah DPP maupun pada daerah hinterland yang didukung oleh sarana dan prasarana umum yang memadai terutama sarana dan prasana transportasi di seluruh desa di kawasan agropolitan.
Hal ini dimaksudkan untuk
meningkatkan produktivitas usahatani, memudahkan akses antar wilayah dalam pengadaan sarana produksi peternakan dan pemasaran hasil peternakan. Pembangunan sarana agribisnis peternakan sapi potong yang dibutuhkan, meliputi: subsistem agribisnis hulu (industri pakan ternak, kios sapronak, pembangunan kebun hijauan makanan ternak unggul); subsistem agribisnis budidaya peternakan (kandang kolektif, Poskeswan, dan komposting); subsistem agribisnis hilir (industri pengolahan daging segar, industri pengolahan kulit, industri pengolahan pupuk organik, rumah potong hewan, dan pasar ternak); subsistem jasa penunjang agribisnis (kelompok tani, koperasi tani, lembaga keuangan mikro, Balai Penyuluhan Pertanian, serta Balai Penelitian Ternak dan Hijauan Makanan Ternak).
253
3. Menggerakkan diversifikasi komoditas unggulan dan industri rumah tangga, yaitu industri pengolahan hasil ternak (pengolahan daging, pembuatan dendeng, bakso, penyamakan kulit, dan pembuatan pupuk organik) untuk menggerakkan perekonomian masyarakat.
Hal ini dimaksudkan untuk
menjaga kontuinitas pasar dan memberikan nilai tambah yang tinggi kepada peternak. Diversifikasi komoditas dapat dilakukan dengan mengintroduksi komoditas unggulan lainnya untuk mendukung komoditas unggulan utama. Semua produk peternakan yang dihasilkan oleh peternak diarahkan sebagai bahan baku industri sehingga memberikan efek multiplier yang tinggi. 4. Meningkatkan produksi peternakan sapi potong di kawasan agropolitan melalui kegiatan ekstensifikasi sampai pada batas maksimal ketersediaan lahan usahatani dengan menghindari sekecil mungkin konversi lahan pertanian untuk tujuan penggunaan lainnya.
Selanjutnya meningkatkan
kegiatan intensifikasi budidaya perternakan dengan menerapkan teknologi peternakan yang ramah lingkungan dan pendekatan low external input sustainable agriculture (LEISA). 5. Menumbuh-kembangkan kelembagaan ekonomi masyarakat tani baik pada on farm maupun off farm-nya yang tumbuh dari, oleh, dan untuk kepentingan masyarakat tani itu sendiri dan bukan kelembagaan yang dibentuk untuk kepentingan
instansi pembina,
tetapi membutuhkan pembinaan dari
instansi/lembaga yang terkait karena pada umumnya peternak berusaha sendiri-sendiri dengan keterampilan dan modal seadanya. dapat dilakukan
Langkah yang
adalah memberi dorongan dan bimbingan agar mereka
mampu bekerjasama di bidang ekonomi secara berkelompok, selanjutnya membentuk gabungan kelompok atau asosiasi. Apabila asosiasi ini sudah berjalan dengan baik dan lancar, bimbingan selanjutnya diarahkan agar mereka mampu menjadi salah satu lembaga ekonomi formal, misalnya dengan membentuk koperasi ternak sapi potong.
254
6. Meningkatkan koordinasi dan menjalin kemitraan yang baik pada semua stakeholder yang terkait.
Dalam hal ini koordinasi dan kemitraan antara
pemerintah, masyarakat (peternak) dan dunia usaha menjadi sangat penting dalam pengembangan kawasan agropolitan sesuai dengan kewenangan masing-masing. Peran pemerintah diharapkan dalam hal penyediaan sarana da prasarana publik yang strategis dan kegiatan-kegiatan riset peternakan. Peran dunia usaha penting dalam hal penyediaan input peternakan dan dalam hal pengolahan hasil peternakan, sedangkan masyarakat sebagai pelaku utama memberika kontribusi dalam hal pemanfaatan sarana dan prasarana yang telah disiapkan
oleh
pemerintah
dan
dunia
usaha
untuk
meningkatkan
pendapatannya. 7. Meningkatkan kapasitas peternak dengan memberikan pendidikan baik formal maupun pendidikan non formal, seperti pelatihan-pelatihan, kursus, dan lokakarya.
Hal ini penting mengingat peternak sebagai penggerak utama
kawasan agropolitan diharapkan mampu berprakarsa secara mandiri dan kreatif untuk mencapai langkah-langkah kegiatan
usahataninya
termasuk
yang harus dilakukan dalam
pengolahan
hasil
peternakan
dan
pemasarannya. 8. Meningkatkan status keberlanjutan wilayah Kabupaten Situbondo untuk pengembangan kawasan agropolitan ke depan baik untuk jangka pendek, menengah, maupun jangka panjang. Strategi yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan perbaikan-perbaikan secara menyeluruh dan terpadu terhadap atribut-atribut yang sensitif berpengaruh terhadap peningkatan status kawasan. Berdasarkan hasil analisis MDS dan prospektif, terdapat 24 atribut yang perlu ditangani dengan baik untuk meningkatkan status keberlanjutan. Namun demikian, agar status keberlanjutan kawasan ke depan dapat lebih meningkat, maka perbaikan terhadap atribut yang tidak sensitif juga perlu dilakukan.
255
9. Mengembangkan model peternakan sapi potong terpadu dengan tanaman pangan dan perkebunan adalah sebagai berikut: pemeliharaan ternak sapi potong dilakukan secara intensif dengan menerapkan sapta usaha ternak potong, yaitu: perbaikan mutu bibit ternak, pakan, pemeliharaan, reproduksi, penanganan kesehatan hewan, perbaikan pasca panen, dan pemasaran. Penggemukan sapi potong dilakukan selama 3 bulan per periode, sedangkan pembibitan sapi potong dengan memanfaatkan teknologi inseminasi buatan (IB) diharapkan dalam 1 (satu) tahun dihasilkan 1 (satu) ekor pedet. Peternak membentuk kelompok tani dan setiap kelompok tani membuat kandang ternak ternak sapi potong secara kolektif. Feses dan urin yang dihasilkan diproses dan diolah menjadi pupuk kandang atau kompos, sehingga peternak mendapat nilai tambah dari pembuatan pupuk kandang. Pakan ternak yang diberikan selain rumput alam dan limbah pertanian (jerami padi dan daun jagung) serta perkebunan (pucuk tebu), peternak juga mengalokasikan sebagian lahan pertaniannya untuk menanam rumput unggul (rumput raja) yang mempunyai produktivitas dan kandungan gizi cukup tinggi. 10. Dalam rangka pemberdayaan masyarakat di kawasan agropolitan, Sistem Penggaduhan Sapi Potong Situbondo (SIDU SAPOSIT) cukup baik dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: (a) setiap masyarakat/peternak sasaran harus tergabung dalam koperasi ternak sapi potong. (b) Setiap masyarakat/peternak sasaran mendapatkan bantuan berupa 2 (dua) ekor sapi, satu ekor sapi bibit betina dan satu ekor sapi pejantan. Sapi bibit betina dikelola dengan pola 1-2-5. Artinya, peternak diberikan bantuan 1 (satu) ekor sapi bibit betina dan mengembalikan 2 (dua) ekor sapi betina (ukuran yang sama seperti bantuan yang diberikan) dengan masa pelihara 5 (lima) tahun, sedangkan induk dan anaknya dimiliki oleh peternak. Sapi pejantan disamping sebagai pejantan/pemacek juga dikelola sebagai pola bagi hasil bantuan penggemukan sapi dengan pembagian keuntungan 60% peternak dan 40% koperasi.
256
11. Meningkatkan peran aktif dan kegiatan yang dapat dilakukan oleh masyarakat, Pemerintah Daerah Kabupaten, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Pusat dalam mewujudkan kawasan agropolitan berkelanjutan berbasis peternakan sapi potong, seperti ditunjukkan pada Tabel 57. Tabel 57 Beberapa kegiatan yang dapat dilakukan petani, Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Situbondo, Pemerintah Daerah Tingkat I Provinsi Jawa Timur, dan Pemerintah Pusat Kegiatan 1. Kios sapronak dan peralatan 2. Alat pengolah pupuk organik 3. Kandang kelompok 4. Poskeswan dan IB 5. Pembuatan kompos 6. Optimalisasi RPH 7. Timbangan ternak 8. Pasar agroindustri/produk olahan 9. Industri pakan ternak 10. Home industri peternakan 11. Teknologi pengolahan 12. Teknologi pengolahan limbah 13. Pembangunan infrastruktur/jalan 14. Kelompok tani 15. Koperasi tani 16. Lembaga Keuangan Mikro/LKM 17. Balai Penyuluhan Pertanian/BPP 18. BPT-HMT
Petani X X X X X X X -
Kabupaten X X X X X X X X X X X X X X X
Provinsi X X X X X X X X X X X X X
Pusat X X X X X X X X
XI. KESIMPULAN DAN SARAN 11.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Potensi, tingkat perkembangan wilayah, persepsi, dan status keberlanjutan wilayah basis peternakan di Kabupaten Situbondo untuk pengembangan kawasan agropolitan: a. Wilayah Kabupaten Situbondo merupakan pusat pengembangan beberapa komoditas peternakan, seperti: sapi potong, domba, kambing, dan itik. Namun demikian, hanya ternak sapi potong merupakan komoditas unggulan yang secara ekonomi memberikan keuntungan yang lebih baik. Selain itu, wilayah Kabupaten Situbondo juga merupakan basis tanaman pangan dan perkebunan.
Tanaman padi dan jagung merupakan komoditas unggulan
tanaman pangan, sedangkan tanaman tebu, tembakau, dan kopi merupakan komoditas unggulan tanaman perkebunan di wilayah Kabupaten Situbondo. b. Tingkat perkembangan wilayah termasuk dalam strata Pra Kawasan Agropolitan II. Terdapat 4 (empat) desa dengan tingkat perkembangan lebih maju, 17 (tujuh belas) desa dengan tingkat perkembangan sedang, dan 21 (dua puluh satu) desa dengan tingkat perkembangan relatif tertinggal. c. Masyarakat sangat setuju terhadap rencana pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan yang dipadukan dengan tanaman pangan dan perkebunan dengan tujuan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat. d. Berdasarkan kondisi eksisting, lokasi studi termasuk dalam status cukup berkelanjutan dengan 24 atribut yang sensitif berpengaruh terhadap nilai indeks keberlanjutan. Berdasarkan hasil analisis tingkat kepentingan antar faktor dari 24 atribut yang sensitif diperoleh 7 (tujuh) faktor kunci/penentu yang mempunyai pengaruh kuat dan ketergantungan antar faktor tidak terlalu
258
kuat, yaitu: (1) ketersediaan agroindustri peternakan; (2) ketersediaan Rumah Potong Hewan (RPH); (3) jumlah penduduk yang bekerja di bidang agroindustri peternakan; (4) koperasi tani; (5) pasar produk agroindustri peternakan; (6) ketersediaan bangunan agroindustri peternakan; dan (7) ketersediaan industri pakan. Dalam rangka meningkatkan status keberlanjutan ke depan (jangka panjang), dilakukan melalui perbaikan secara menyeluruh terhadap semua atribut yang sensitif. Keberlanjutan yang diharapkan dapat mengikuti tipe yaitu tipe indikator kondisi dan indikator trend yang menggambarkan kecenderungan linier dari perkembangan sumberdaya sampai pada batas optimal.
Skenario yang dapat dilakukan untuk meningkatkan
status keberlanjutan adalah skenario ke-3 dengan melakukan perbaikan secara menyeluruh pada atribut yang sensitif berpengaruh terhadap peningkatan status keberlanjutan kawasan. e. Model pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan di Kabupaten Situbondo dibangun dari 3 (tiga) sub model berdasarkan hasil analisis sistem dinamik. Ketiga sub model meliputi: sub model pengembangan lahan agropolitan, sub model budidaya sapi potong, dan sub model agroindustri berbasis peternakan di kawasan agropolitan. Hasil simulasi setiap komponen penyusun sub model menunjukkan kecenderungan membentuk kurva pertumbuhan positif naik mengikuti eksponential.
Namun pada beberapa
komponen sub model seperti pertambahan penduduk dan peningkatan luas lahan pertanian selalu diimbangi oleh laju pengurangan jumlah penduduk akibat kematian dan migrasi keluar dan laju konversi lahan ke non pertanian sehingga dalam model ini terjadi hubungan timbal balik negatif melalui proses balancing. Peningkatan jumlah penduduk dan populasi sapi potong yang terus bertambah dapat memberikan tekanan terhadap sumberdaya yang ada termasuk sumberdaya lahan. Akibat dari tekanan ini, peningkatan yang terjadi terhadap semua komponen dalam sistem pada suatu saat akan sampai pada titik
259
keseimbangan tertentu dan selanjutnya terjadi penurunan sebagai akibat tekanan terhadap sumberdaya yang tersedia
(penurunan daya dukung
lingkungan). Fenomena ini dapat disebut mengikuti pola dasar (archetype) “limit to growth” dalam sistem dinamik. Untuk meningkatkan perubahan kinerja dalam model maka skenario yang perlu dilakukan adalah skenario optimis dengan melakukan intervensi yang lebih besar satu atau lebih variable yang berpengaruh dalam model. 2. Arahan kebijakan dalam pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan sapi potong terpadu di wilayah Kabupaten Situbondo: a. Hasil identifikasi potensi wilayah, menunjukkan wilayah Kabupaten Situbondo sangat potensial untuk pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan sapi potong terpadu dengan tanaman pangan (padi dan jagung) serta tanaman perkebunan tebu. b. Rumusan arahan kebijakan yang dapat dilakukan antara lain: (1) Menetapkan Desa Pusat Pertumbuhan (DPP) berdasarkan tingkat kemajuan wilayah dan konsentrasi kegiatan ekonomi rakyat dan daerah hinterland-nya. (2) Membangun sarana dan prasarana agribisnis peternakan yang dibutuhkan baik pada daerah DPP maupun pada daerah hinterland yang didukung oleh sarana dan prasarana umum yang memadai. (3) Menggerakkan diversifikasi komoditas unggulan lokal dan industri rumah tangga pengolahan hasil ternak untuk menggerakkan perekonomian masyarakat. (4) Meningkatkan produksi peternakan di kawasan agropolitan melalui kegiatan ekstensifikasi sampai pada batas optimal yang diikuti kegiatan
260
intensifikasi
budidaya
perternakan
dengan
menerapkan
teknologi
peternakan yang ramah lingkungan. (5) Menumbuh-kembangkan kelembagaan ekonomi masyarakat tani baik pada on farm maupun off farm-nya yang tumbuh dari, oleh, dan untuk kepentingan masyarakat tani itu sendiri melalui pembentukan koperasi ternak sapi potong. (6)
Meningkatkan koordinasi dan menjalin kemitraan yang baik pada semua stakeholder yang terkait. Dalam hal ini koordinasi dan kemitraan antara pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat pelaku utama (peternak).
(7)
Meningkatkan kapasitas peternak dengan memberikan pendidikan formal maupun pendidikan informal
(8)
Meningkatkan status keberlanjutan wilayah Kabupaten Situbondo untuk pengembangan kawasan agropolitan ke depan baik untuk jangka pendek, menengah, maupun jangka panjang.
(9)
Mengembangkan model peternakan sapi potong terpadu dengan tanaman pangan dan perkebunan, yaitu dengan cara memelihara ternak sapi potong
secara intensif dengan menerapkan sapta usaha ternak
potong. Penggemukan sapi potong dilakukan selama 3 bulan per periode, sedangkan pembibitan sapi potong memanfaatkan teknologi inseminasi buatan (IB). Dalam model peternakan ini dicirikan dengan terbentuknya kelompok tani, kandang kolektif, pengolahan pupuk kandang, dan penanaman rumput unggul (rumput raja) sebagai pakan ternak. (10) Dalam rangka pemberdayaan masyarakat di kawasan agropolitan, Sistem Penggaduhan Sapi Potong Situbondo (SIDU SAPOSIT) pola 1-2-5 cukup baik dilakukan.
261
11.2. Saran-Saran 1. Perlu diprioritaskan perbaikan dimensi keberkanjutan yang mempunyai nilai indeks keberlanjutan yang rendah, yaitu: dimensi ekologi, hukum/kelembagaan, dan teknologi/infrastruktur. 2. Perbaikan-perbaikan atribut pada setiap dimensi seharusnya tidak hanya dilakukan terhadap atribut yang sensitif, tetapi juga terhadap atribut yang tidak sensitif berpengaruh terhadap peningkatan nilai indeks keberlanjutan agar status keberlanjutan dapat ditingkatkan secara maksimal. 3. Perlu dibentuk lembaga khusus yang berbasis masyarakat untuk menangani pengembangan kawasan agropolitan.
Hal ini dimaksudkan agar pengelolaan
kawasan agropolitan dapat lebih terarah dan keberlanjutan. 4. Memperpanjang proses limit to growth dengan mengurangi tekanan penggunaan sumberdaya yang berlebihan yang menyebabkan daya dukung lingkungan menurun. Hal ini perlu diatur dengan regulasi yang diikuti dengan penegakan hukum yang tegas. 5. Peran aktif masyarakat/petani, Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Situbondo, Pemerintah Daerah Tingkat I Provinsi Jawa Timur, dan Pemerintah Pusat sangat dibutuhkan dalam rangka mewujudkan kawasan agropolitan berkelanjutan berbasis peternakan sapi potong terpadu di Kabupaten Situbondo. 6. Perlu dilakukan penelitian secara mendalam berkaitan pengembangan kawasan agropolitan di wilayah Kabupaten Situbondo terutama dari aspek pemetaan kesesuaian lahan yang didukung oleh data yang memadai.
DAFTAR PUSTAKA
Aminullah E. 2003. Berpikir Sistem dan Pemodelan Dinamika Sistem. Bogor: Program Pascasarjana. Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor. Arsyad L. 2001. Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi Daerah. ”Ed ke1”. Yogyakarta: BPFE, Universitas Gadjah Mada. Badan Agribisnis Departemen Pertanian. 1999. Kelayakan Investasi Agribisnis Rambutan, Manggis, dan Mangga. Cetakan Pertama. Yogyakarta: Kanisius. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2007. Situbondo Dalam Angka 2006/2007. Situbondo: Pemerintah Kabupaten Situbondo Kerjasama BPS dan BAPPEKAB Situbondo. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2008. Surabaya Dalam Angka 2008. Surabaya: Badan Pusat Statistik Surabaya. [BAPPEKAB] Badan Perencanaan dan Pembangunan Kabupaten dan [BPS] Badan Pusat Statistik. 2008. Profil Kabupaten Situbondo. Situbondo: Pemerintah Kabupaten Situbondo Kerjasama BAPPEKAB dan BPS Situbondo. Barlas Y. 1996. Formal Aspect of Model Validity and Validition of System Dynamics. System Dynamics Rev. 12. (www. Albany edu/cp/sds/sdcourses). Diakses tanggal 27 Oktober 2007. Beller W. 1990. How to sustain a small island. Di dalam Beller, W., P. d’Ayala dan P. Hein, editor: Sustainable Development and Environmental Management of Small Island. Man and the Biosphere Series. Paris: Vol. 5 UNESCO and The Parthenon Publishing Group. [Deptan] Departemen Pertanian. 2001. Program Pembangunan Pertanian 2001 – 2004. Jakarta: Departemen Pertanian Republik Indonesia. [Deptan] Departemen Pertanian. 2002. Pedoman Umum Pengembangan Kawasan Agropolitan dan Pedoman Program Rintisan Pengembangan Kawasan Agropolitan. Jakarta: Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia Pertanian. Departemen Pertanian. [Deptan] Departemen Pertanian. 2004. Penerapan Konsep Kawasan Agropolitan. Jakarta: Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia (SDM) Pertanian. Dermawan DHA, Yusmichard Y. 1995. Dampak Perkembangan Usaha Industri Peternakan Sapi Potong dalam Perekonomian. Jakarta: APFINDO.
263 [Disnak Situbondo] Dinas Peternakan Situbondo. 2006. Laporan Tahunan Dinas Peternakan Situbondo. Situbondo: Dinas Peternakan Kabupaten Situbondo. [Dirjen] Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan. 2002. Integrasi Ternak Sapi dengan Perkebunan Kelapa Sawit. Jakarta: Direktorat Pengembangan Peternakan, Departemen Pertanian Republik Indonesia. -----------------------------------------. 2003. Buku Statistik Peternakan Tahun 2002. Jakarta: Departemen Pertanian Republik Indonesia. [Dirjen] Direktorat Jenderal Peternakan. 2004. Pedoman Teknis Bantuan Pinjaman Langsung Masyarakat (BPLM) Berbasis Pemberdayaan Kelompok Peternak. Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan. Departemen Pertanian. [Dirjen] Direktorat Jenderal Peternakan. 2007. Buku Statistik Peternakan Tahun 2006. Jakarta: Departemen Pertanian Republik Indonesia. [Dirjen] Direktorat Jenderal Peternakan. 2008. Buku Statistik Peternakan Tahun 2007. Jakarta: Departemen Pertanian Republik Indonesia. Diwyanto K. 2001. Model perencanaan terpadu: Integrasi tanaman-ternak (croplivestock system). Makalah Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor: Balai Penelitian Veteriner 17-18 September 2001. Diwyanto K, Prawiradiputra BR, Lubis D. 2002. Integrasi tanaman ternak dalam pengembangan agribisnis yang berdaya saing, berkelanjutan dan berkerakyatan. Wartazoa 12(1):1-8. Diwyanto K, Handiwirawan E. 2004. Peran litbang dalam mendukung usaha agribisnis pola integrasi tanaman-ternak. Di dalam: Prosiding Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman Ternak. Denpasar, Bali 20-22 Juli 2004. Djajalogawa SS, Pambudy R. 2003. Peduli Peternak Rakyat. Jakarta: Yayasan Agrindo Mandiri. Djamin Z. 1993. Perencanaan dan Analisa Proyek. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Djojomartono M. 2000. Dasar-dasar Analisis Sistem Dinamik. Bogor: Program Pascasarjana Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, IPB. Eriyatno. 1998. Ilmu Sistem; Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen. Jilid I. Ed ke-2. Bogor: IPB Press. ---------. 2002. Ilmu Sistem; Apa dan Bagaimana. Jakarta: Centre for System Studies and Development (CSSD) Indonesia.
264 ---------. 2003. Ilmu Sistem; Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen. Jilid I. Ed ke-3. Bogor: IPB. Fisheries. 1999. Rapfish Software for Excel. Fisheries Centre Research Reports. Friedmann J, Douglass M. 1976. Pengembangan Agropolitan: Menuju Siasat Baru Perencanaan Regional di Asia. Jakarta: (Terjemahan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia). Hadi PU, Ilham N. 2002. Peluang pengembangan usaha pembibitan ternak sapi potong di Indonesia dalam rangka swasembada daging 2005. Monograph Series No. 22. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Hardjosubroto W, Astuti M. 1993. Buku Pintar Peternakan. Jakarta: PT. Grasindo. Hardjowigeno S. 1992. Ilmu Tanah. Ed ke-3. Jakarta: PT. Mediyatama Sarana Perkasa. Hasan. 2003. Model tata ruang kota tani yang berorientasi ekonomi dan ekologis: studi kasus di Kabupaten Gowa, Provinsi Sulawesi Selatan. [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Ilham N, Hastuti S, Karyasa IK. 2002. Pendugaan parameter dan elastisitas penawaran dan permintaan beberapa jenis daging di Indonesia. Jurnal Agro Ekonomi 2:15-24. Irawan B, Pranadji T. 2002. Pemberdayaan lahan kering untuk pengembangan agribisnis berkelanjutan. FAE 2:8-17. Iriawan N, Astuti SP. 2006. Mengolah Data Statistik dengan Mudah menggunakan Minitab 14. Yogyakarta: Penerbit Andi. Karim A. 2002. Peran perbankan dalam pengembangan agribisnis. Pascasarjana, IPB.
Bogor: Program
Kasaman, Ella A, Nurhayu A. 2004. Kontribusi kotoran sapi dalam sistem usahatani padi sawah irigasi di Sulawesi Selatan. Di dalam: Prosiding Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman Ternak. Denpasar, Bali 20-22 Juli 2004. hlm 182-185 Kavanagh P. 2001. Rapid Appraisal of Fisheries (Rapfish) Project. Rapfish Software Description (for Microsoft Exel). Vancouver: University of British Columbia, Fishries Centre. Kay R, Alder J. 1999. Coastal Planning and Management. New York: Routledge. Kurnia G. 1999. Modernisasi dan Penguatan Ekonomi Rakyat di Perdesaan; Pembangunan Ekonomi Rakyat Perdesaan. Jakarta: Bina Rena Pariwara.
265 Manetch TJ, Park GL. 1977. System Analysis and Simulation with Application to Economic and Social System Part I. Third Edition, Departement of Electrical Engineering and System Science. Michigan: Michigan State University, East Lansing. Manwan I. 1989. Farming system research in Indonesia: its evolution and future outlock. Di dalam: Prosedures for Farming System Research. Marimin. 2005. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Ed ke2. Jakarta: Grasindo Gramedia Widiasarana Indonesia. Meilani. 2009. Swasembada daging sapi 2014. http://www.ditjennak.go.id. Diakses tanggal 8 Agustus 2010. Mersyah R. 2005. Desain sistem budidaya sapi potong berkelanjutan untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah di Kabupaten Bengkulu Selatan. [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Midgley G. 2000. Systemic Intervention: Philosophy, Methodology, and Practice. New York: Kluwer Academic Plenum Publisher. Miyoshi T. 1997. Successes and Failures Associated With The Growth Pole Strategies. A Dissertation Submitted to The University of Manchester for The Degree of MA. http://miyoshi,tripod,com/dissert.htm. Muhammadi, Aminullah E, Soesilo B. 2001. Analisis Sistem Dinamis: Lingkungan Hidup, Sosial, Ekonomi, dan Manajemen. Jakarta: UMJ Press. Munasinghe M. 1993. Environmental Economic and Sustainable Development. Washington D.C: The International Bank for Reconstructioan and Development /The World Bank. Musofie A. 2004. Kajian system pertanian organik dalam integrasi usahatani tanaman padi-sapi potong. Di dalam: Prosiding Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman Ternak. Denpasar, Bali 20-22 Juli 2004. hlm 116-125. O’Brien JA. 1999. Management Information System. Arizona. USA McGraw Hill. Pambudy R. 1999. Perilaku komunikasi, perilaku wirausaha peternak, dan penyuluhan dalam sistem agribisnis peternakan ayam. [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Pambudy R, Sipayung T, Priatna WB, Burhanuddin, Kriswantriyono A, Satria A. 2001. Bisnis dan Kewirausahaan dalam Sistem Agribisnis. Bogor: Pustaka Wirausaha Muda.
266 Pasaribu M. 1999. Kebijakan dan dukungan PSD-PU dalam pengembangan agropolitan. Makalah pada Seminar Sehari Pengembangan Agropolitan dan Agribisnis serta Dukungan Prasarana dan Sarana. Jakarta: 3 Agustus 1999. [Pemkab] Pemerintah Kabupaten Purbalingga. 2003. Profil Produk Potensial, Andalan, dan Unggulan Kabupaten Purbalingga. Purbalingga: Pemerintah Kabupaten Purbalingga. Pradhan PK. 2003. Manual for Urban Rural Lingkage and Rural Development Analysis. Nepal: New Hira Books Enerprises. Pranoto S. 2002. Reformasi kebijakan pembangunan prasarana dan sarana perdesaan untuk mendukung pemberdayaan ekonomi rakyat. Karya Tulis Prestasi Perorangan (KTP2). Jakarta: Diklatpim Tk.I. Angkatan III. LAN-RI. Pranoto S. 2005. Pembangunan perdesaan berkelanjutan melalui model pengembangan agropolitan. [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Prasetyo T, Anwar H, Supadno H. 2001. Integrasi tanaman-ternak pada sistem usahatani di lahan irigasi. Di dalam: Seminar Nasional Tenologi Peternakan dan Veteriner. Jawa Tengah, September 2001, BPTP Ungaran. Rustiadi E, Saifulhakim S, Panuju DR. 2003. Perencanaan pengembangan wilayah, konsep dasar dan teori. Bogor: Program Pascasarjana IPB. Rustiadi E, Hadi S, Muttaqien WA. 2006. Kawasan agropolitan konsep pembangunan desa-kota berimbang. Bogor: Crestpent Press, IPB. Santosa U. 2001. Prospek Agribisnis Penggemukan Pedet. Jakartra: Penebar Swadaya. Saragih B. 2000. Agribisnis Berbasis Peternakan. Bogor: USESE Foundation dan Pusat Studi Pembangunan IPB. Saragih B, Sipayung T. 2002. Biological utilization in developmentalism and environmentalism. Paper Presented at the International Seminar on Natural Resources Accounting Environmental Economic Held in Yogyakarta, Indonesia, April 29. Sarwono B, Arianto HB. 2002. Penggemukan Sapi Potong Secara Cepat. Jakarta: Penebar Swadaya. SEMAI. 1998. Saatnya kembali ke kompos. Nopember.
Informasi Agribisnis Nasional. Bulan
267 Situmorang P, Gede IP. 2003. Peningkatan efisiensi reproduksi melalui perkawinan alam dan pemanfaatan inseminasi buatan (IB) untuk mendukung program pemuliaan. Makalah disampaikan pada Lokakarya Nasional Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi. Bogor, 9-10 September 2003. Soehadji. 1995. Peluang Usaha Sapi Potong dan Kemitraan Usaha. Jakarta: Dirjen Peternakan. Depertemen Pertanian. Soenarno. 2003. Pengembangan kawasan agropolitan dalam rangka pengembangan wilayah. Makalah Seminar Nasional Agroindustri dan Pengembangan Wilayah Februari 2003. Jakarta:Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah. Sudaryanto B. 2006. Sistem pembibitan ternak mendukung ketersediaan sapi potong. http://www.nasih.staf.ugm.ac.id Sugeng YB. 1998. Sapi Potong. Jakarta: Penebar Swadaya. --------------. 2002. Budidaya Sapi Potong. Jakarta: Penebar Swadaya. Suryana A, Erwidodo, Prajogo UH. 1988. Issu strategis dan alternative kebijaksanaan pembangunan pertanian memasuki Repelita VII. Bogor: Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Susilo SB. 2003. Keberlanjutan pembangunan pulau-pulau kecil: studi kasus Kelurahan Pulau Panggang dan Pulau Pari, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sutanto R. 2002. Pertanian Organik: Menuju Pertanian Alternatif dan Berkelanjutan. Yogyakarta: Kanisius. Suwandi. 2005. Agropolitan Merentas Jalan Meniti Harapan. Jakarta: Duta Karya Swasta. Thamrin. 2008. Model pengembangan kawasan agropolitan secara berkelanjutan di wilayah perbatasan Kalimantan Barat: studi kasus wilayah perbatasan Kabupaten Bengkayang-Sarawak. [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana IPB. Thohari ES. 2003. Sumber-sumber pembiayaan untuk agribisnis. Makalah Disampaikan pada Lokakarya Nasional Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi. Bogor , 9 – 10 September. Tong Wu C. 2002. The New Regional Planning: Economic or Politics ? University of Sydney. Undang-Undang No. 32. Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
268
Undang-Undang No. 32. Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang No. 26. Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. WCED. 1987. Our Common Future. New York: Oxford Univ. Press.
269 Lampiran 1 Hasil analisis location quotient (LQ) beberapa komoditas pertanian di Kabupaten Situbondo A. Komoditas Peternakan 1. Kecamatan Asembagus
Jenis Ternak
Populasi di Kecamatan
Populasi di Kabupaten
Sapi Potong Kambing Domba Ayam Buras Itik Sapi Perah Kerbau Ayam Ras
10 806 1 737 4 836 28 343 1 722 6 0 0
137 361 48 601 79 108 530 988 48 295 60 721 29 000
Jumlah Ternak
47 444
874 134
L Q 1.4494333 0.658493252 1.126322093 0.983462548 0.656943004 0 0 0
2. Kecamatan Jangkar
Jenis Ternak
Populasi di Kecamatan
Populasi di Kabupaten
Sapi Potong Kambing Domba Ayam Buras Itik Sapi Perah Kerbau Ayam Ras
26 129 1 613 6 845 37 332 2 184 0 0 0
137 361 48 601 79 108 530 988 48 295 60 721 29 000
Jumlah Ternak
74 103
874 134
LQ 2.243890022 0.391499656 1.020693314 0.829351765 0.533448731 0 0 0
270 3. Kecamatan Arjasa Jenis Ternak Sapi Potong Kambing Domba Ayam Buras Itik Sapi Perah Kerbau Ayam Ras Jumlah Ternak
Populasi di Kecamatan 12 749 2 752 5 785 22 429 2 753 0 14 0 46 482
4. Kecamatan Kapongan Populasi di Jenis Ternak Kecamatan
Populasi di Kabupaten 137 361 48 601 79 108 530 988 48 295 60 721 29 000 874 134
Populasi di Kabupaten
Sapi Potong Kambing Domba Ayam Buras Itik Sapi Perah Kerbau Ayam Ras
14 528 4 450 8 940 58 010 5 253 8 15 0
137 361 48 601 79 108 530 988 48 295 60 721 29 000
Jumlah Ternak
79 196
874 134
5. Kecamatan Mangaran Populasi di Jenis Ternak Kecamatan
LQ 1.745443855 1.064869604 1.375232619 0.794361909 1.072006077 0 0.365162337 0
Populasi di Kabupaten
Sapi Potong Kambing Domba Ayam Buras Itik Sapi Perah Kerbau Ayam Ras
11 052 3 856 6 302 48 438 2 529 0 0 0
137 361 48 601 79 108 530 988 48 295 60 721 29 000
Jumlah Ternak
43 177
874 134
LQ 1.006683769 1.010623916 1.247360191 0.997979833 1.200549293 0 0.229631128 0
L Q 1.039380127 1.606265639 1.612811246 0.893637516 1.060161938 0 0 0
271 B. Komoditas Tanaman Pangan 1. Kecamatan Asembagus Jenis Tanaman
Luas di Kecamatan
Luas di Kabupaten
Padi Jagung Ketela Pohon Kacang Tanah Kacang Hijau Kedelai
1357 4258 4 49 8 5
32602 42089 623 407 423 135
Jumlah
5681
79279
L Q 0.540083537 1.312690628 0.083310028 1.562165368 0.245400224 0.480575438
2. Kecamatan Jangkar Jenis Tanaman
Luas di Kecamatan
Luas di Kabupaten
Padi Jagung Ketela Pohon Kacang Tanah Kacang Hijau Kedelai
2925 4192 7 109 121 11
32602 42089 623 407 423 135
Jumlah
7365
79279
L Q 0.974491085 1.081804814 0.122041135 2.908896921 3.106999949 0.885024228
3. Kecamatan Arjasa Jenis Tanaman
Luas di Kecamatan
Luas di Kabupaten
Padi Jagung Ketela Pohon Kacang Tanah Kacang Hijau Kedelai
2419 6473 407 114 53 5
32602 42089 623 407 423 135
Jumlah
9471
79279
L Q 0.546434009 1.132617051 4.81118945 2.062797223 0.922744782 0.272761036
272 4. Kecamatan Kapongan Jenis Tanaman
Luas di Kecamatan
Luas di Kabupaten
Padi Jagung Ketela Pohon Kacang Tanah Kacang Hijau Kedelai
3388 1233 21 15 4 17
32602 42089 623 407 423 135
Jumlah
4678
79279
L Q 1.492652106 0.420778856 0.484161986 0.529366299 0.135824797 1.808733542
5. Kecamatan Mangaran Jenis Tanaman
Luas di Kecamatan
Luas di Kabupaten
Padi Jagung Ketela Pohon Kacang Tanah Kacang Hijau Kedelai
2478 1407 7 5 8 4
32602 42089 623 407 423 135
Jumlah
3909
79279
L Q 1.313676731 0.577772595 0.194196519 0.21232789 0.32687452 0.512103414
C. Komoditas Tanaman Perkebunan 1. Kecamatan Asembagus Jenis Tanaman
Luas di Kecamatan
Luas di Kabupaten
Tebu Tembakau Kelapa Pinang Kapuk randu Asam jawa Kopi Jarak Kapas
1566 27 49 11 9 12 0 0 3
10206 1882 4343 241 523 234 1356 405 5
Jumlah
1677
19195
L Q 1.990955387 0.18615276 0.146396801 0.59224442 0.223288397 0.665412145 0 0 7.785322098
273 2. Kecamatan Jangkar Jenis Tanaman
Luas di Kecamatan
Luas di Kabupaten
Tebu Tembakau Kelapa Pinang Kapuk randu Asam jawa Kopi Jarak Kapas
1310 56 37 6 9 7 0 0 0
10206 1882 4343 241 523 234 1356 405 5
Jumlah
1425
19195
L Q 1.394157935 0.323195013 0.092535449 0.270414796 0.186911948 0.324921482 0 0 0
3. Kecamatan Arjasa Jenis Tanaman
Luas di Kecamatan
Luas di Kabupaten
Tebu Tembakau Kelapa Pinang Kapuk randu Asam jawa Kopi Jarak Kapas
1570 6 24 7 3 5 0 0 0
10206 1882 4343 241 523 234 1356 405 5
Jumlah
1615
19195
L Q 2.658737963 0.055101457 0.095510883 0.50201009 0.099140479 0.369305347 0 0 0
274 4. Kecamatan Kapongan Jenis Tanaman
Luas di Kecamatan
Luas di Kabupaten
L Q 2.659902267 0.053424179 0.155441675 0.655594169 0.164781708 0.49105888 0 0 0
Tebu Tembakau Kelapa Pinang Kapuk randu Asam jawa Kopi Jarak Kapas
1890 7 47 11 6 8 0 0 0
10206 1882 4343 241 523 234 1356 405 5
Jumlah
1969
19195
5. Kecamatan Mangaran Jenis Tanaman
Luas di Kecamatan
Luas di Kabupaten
L Q 2.658737963 0.055101457 0.095510883 0.50201009 0.099140479 0.369305347 0 0 0
Tebu Tembakau Kelapa Pinang Kapuk randu Asam jawa Kopi Jarak Kapas
1570 6 24 7 3 5 0 0 0
10206 1882 4343 241 523 234 1356 405 5
Jumlah
1615
19195
275 Lampiran 2
Analisis komoditas unggulan dan andalan komoditas peternakan di Kabupaten Situbondo
Komoditas
Tingkat Harga (Rp)
Kesesuaian Lahan
Sapi Potong 6 000 000 Domba 500 000 Kambing 400 000 Ayam Buras 30 000 Itik 40 000
-
Laju Per- Nilai kembang Relatif an (%) (Ratio)
0.25 0.15 0.19 -4.83 1.14
71.03 2.08 0.45 26.44 0.10
Keunggulan Kompetitif
LQ diper Tingkat dagang Permin kan taan
5 3 2 4 1
1.20 0.39 0.11 9.80 0.01
4 3 2 5 1
Lampiran 3 Hasil analisis usahatani komoditas peternakan di Kabupaten Situbondo a. Penggemukan Sapi Potong Uraian Pengeluaran Selama 1 Tahun Bibit sapi unggul umur 3 bulan Obat-obatan dan vitamin Pakan hijauan Dedak/ampas/tetes/garam Tenaga kerja Penyusutan kandang Penerimaan Selama 1 Tahun Jual sapi umur 15 bulan Keuntungan: Penerimaan – Pengeluaran = R/C ratio
Satuan
Harga Satuan (Rp) Total Harga (Rp)
1 ekor 4 kali 365 hari 365 hari 365 hari 365 hari
5 000 000 25 000 5 000 2 000 2 000 1 000 Pengeluaran
5 000 000 100 000 1 825 000 730 000 730 000 365 000 8 750 000
1 ekor
13 000 000 Penerimaan
13 000 000 13 000 000
13 000 000 – 8 750 000
=
4 250 000 1.49
276 b. Pembibitan Sapi Potong Uraian Pengeluaran Selama 1 Tahun Sapi indukan Obat-obatan dan vitamin Inseminasi buatan (IB) Pakan hijauan Tenaga kerja Penyusutan kandang Penerimaan Selama 1 Tahun Jual anak sapi umur 3 bulan Nilai taksiran harga indukan Keuntungan: Penerimaan – Pengeluaran = R/C ratio
Satuan
Harga Satuan (Rp) Total Harga (Rp)
1 ekor 2 kali 2 kali 365 hari 365 hari 365 hari
9 000 000 25 000 30 000 5 000 2 000 1 000 Pengeluaran
9 000 000 50 000 60 000 1 825 000 730 000 365 000 12 030 000
1 ekor 1 ekor
5 000 000 10 000 000 Penerimaan
5 000 000 10 000 000 15 000 000
15 000 000 – 12 030 000 =
2 970 000 1.25
c. Ternak Domba Uraian Pengeluaran Selama 1 Tahun Domba betina umur 12 bulan Domba jantan umur 12 bulan Pakan hijauan Vitamin Obat cacing Tenaga kerja Penyusutan kandang
Satuan 4 ekor 1 ekor 365 hari 2 kali 4 kali 365 hari 365 hari
Penerimaan Selama 1 Tahun Jual induk domba bunting 4 ekor Jual domba jantan umur 24 bulan 1 ekor Jual anak domba umur 5 bulan 8 ekor Keuntungan: Penerimaan – Pengeluaran = R/C ratio
Harga Satuan (Rp) Total Harga (Rp) 500 000 600 000 5 000 50 000 25 000 2 000 1 000
2 000 000 600 000 1 825 000 100 000 100 000 730 000 365 000
Pengeluaran
5 720 000
1 000 000 700 000 300 000 Penerimaan
4 000 000 700 000 2 400 000 7 100 000
7 100 000 – 5 720 000
=
1 380 000 1.24
277 d. Ternak Kambing Uraian Pengeluaran Selama 1 Tahun Kambing betina umur 12 bulan Kambing jantan umur 12 bulan Pakan hijauan Vitamin Obat cacing Tenaga kerja Penyusutan kandang Penerimaan Selama 1 Tahun Jual induk kambing bunting Jual kambing jantan umur 24 bln Jual anak kambing umur 5 bulan Keuntungan: Penerimaan – Pengeluaran = R/C ratio
Satuan
Harga Satuan (Rp) Total Harga (Rp)
4 ekor 1 ekor 365 hari 2 kali 4 kali 365 hari 365 hari
400 000 500 000 5 000 50 000 25 000 2 000 1 000 Pengeluaran
1 600 000 500 000 1 825 000 100 000 100 000 730 000 365 000 5 220 000
4 ekor 1 ekor 8 ekor
9 000 000 600 000 250 000 Penerimaan
3 600 000 600 000 2 000 000 6 200 000
6 200 000 – 5 220 000
=
980 000 1.19
e. Ternak Ayam Buras Uraian Pengeluaran Selama 1 Tahun Ayam betina umur 12 bulan Ayam jantan umur 12 bulan Pakan: 55 x 0.1 kg x 365 hari Vitamin dan obat Tenaga kerja Penyusutan kandang Penerimaan Selama 1 Tahun Jual ayam betina umur 24 bulan Jual ayam jantan umur 24 bln Jual telur: 50 ekor x 150 butir Keuntungan: Penerimaan – Pengeluaran = R/C ratio
Satuan
Harga Satuan (Rp) Total Harga (Rp)
50 ekor 5 ekor 2007.5 kg 12 kali 365 hari 365 hari
40 000 30 000 2 000 50 000 5 000 1 000 Pengeluaran
2 000 000 150 000 4 015 000 600 000 1 825 000 365 000 8 955 000
50 ekor 5 ekor 7500 btr
45 000 40 000 1 000 Penerimaan
2 250 000 200 000 7 500 000 9 950 000
9 950 000 – 8 955 000
=
995 000 1.11
278 f. Ternak Itik Uraian Pengeluaran Selama 1 Tahun Itik betina umur 10 bulan Itik jantan umur 10 bulan Pakan: 55 x 0.15 kg x 365 hari Vitamin dan obat Tenaga kerja Penyusutan kandang Penerimaan Selama 1 Tahun Jual itik betina umur 24 bulan Jual itik jantan umur 24 bln Jual telur: 50 ekor x 255 butir Keuntungan: Penerimaan – Pengeluaran = R/C ratio
Satuan
Harga Satuan (Rp) Total Harga (Rp)
50 ekor 5 ekor 3011.3 kg 6 kali 365 hari 365 hari
50 000 30 000 2 000 50 000 10 000 1 000 Pengeluaran
2 500 000 150 000 6 022 600 300 000 3 650 000 365 000 12 987 600
50 ekor 5 ekor 12 750 btr
45 000 30 000 1 000 Penerimaan
2 250 000 150 000 12 750 000 15 150 000
15 150 000 – 12 987 600 =
2 162 400 1.17
279 Lampiran 4 Nilai strata masing-masing kecamatan wilayah berbasis peternakan di Kabupaten Situbondo berdasarkan hasil analisis tipologi No 1 a b c 2 a b c 3 a b c 4 a b c 5 5.1. a b c 5.2. a b c 5.3. a b c
Indikator Komoditas Unggulan Satu jenis komoditas Lebih dari satu jenis komoditas Komoditas unggulan produk olahannya Kelembagaan Pasar Meanampung hasil dari sebagian kecil kawasan Meanampung hasil dari sebagian besar kawasan Meanampung hasil dari kawasan agropolitan dan luar kawasan Kelembagaan Petani Kelompok tani Gabungan kelompok tani Koperasi(Credit Union/CU) Kelembagaan Balai Penyuluh Pertanian (BPP) BPP sebagai Balai Penyuluh Pertanian BPP sebagai Balai Penyuluh Agribisnis BPP sebagai Balai Penyuluh Pembangunan Sarana dan Prasarana Aksesibilitas ke/di Sentra Produksi Kurang Sedang Baik Sarana dan Prasarana Umum Kurang Sedang Baik Sarana dan Prasarana Kesejahteraan Sosial Kurang Sedang Baik Jumlah Skor Maksimal Sumber: Deptan, 2002 dan Data Diolah Skor 1 - 7 = Strata Pra Kawasan Agropolitan I Skor 8 - 14 = Strata Pra Kawasan Agropolitan II Skor 15 - 21 = Strata Kawasan Agropolitan
Skor
Wilayah Studi
1 2 3
3
1 2
2
3 1 2 3
2
1 2 3
1
1 2 3
2
1 2 3
2
1 2 3
2
14
280 Lampiran 5 Hasil analisis komponen utama (AKU) terhadap variabel yang berpengaruh pada tipologi wilayah berbasis peternakan di Kabupaten Situbondo Eigenanalysis of the Correlation Matrix Eigenvalue Proportion Cumulative
6,9719 0,436 0,436
5,0069 0,313 0,749
2,3657 0,148 0,897
1,6554 0,103 1,000
Eigenvalue Proportion Cumulative
0,000 0,000 1,000
0,000 0,000 1,000
0,000 0,000 1,000
-0,000 -0,000 1,000
0,0000 0,000 1,000
0,0000 0,000 1,000
-0,000 -0,000 1,000
0,0000 0,000 1,000
-0,000 -0,000 1,000
0,0000 0,000 1,000
-0,000 -0,000 1,000
-0,000 -0,000 1,000
Variable Jumlah Penduduk Jarak ke kabupaten Jumlah KK Sapras Umum Sapras Agribisnis Jumlah Komoditas Peternakan Keluarga pemakai PLN Desa dgn potensi rendah Jumlah keluarga pra sejahtera Jumlah keluarga sejahtera Produksi tanaman pangan Populasi sapi potong Populasi domba Populasi kambing Populasi ayam buras populasi itik
PC1 0,218 0,361 0,155 0,285 0,229 -0,163 0,155 0,196 0,354 -0,033 0,163 0,214 -0,259 -0,377 -0,276 -0,303
PC2 0,313 0,096 0,397 0,094 0,201 0,297 0,397 -0,382 -0,094 0,434 -0,229 -0,069 0,032 -0,025 0,170 0,101
PC3 -0,268 0,141 -0,097 0,405 0,412 -0,149 -0,097 -0,022 -0,155 -0,090 -0,165 0,458 0,377 -0,037 0,323 0,128
PC4 0,076 0,010 0,113 0,022 -0,135 0,441 0,113 0,045 0,124 -0,138 0,542 0,310 0,341 0,054 -0,215 0,405
PC5 -0,366 0,052 -0,062 -0,190 0,072 0,112 -0,068 -0,172 -0,147 0,269 0,402 0,252 -0,572 -0,189 0,281 0,097
PC6 0,342 -0,309 -0,152 -0,137 -0,043 -0,066 -0,145 0,036 0,209 0,423 0,069 0,490 0,118 0,287 0,129 -0,370
Variable Jumlah Penduduk Jarak ke kabupaten Jumlah KK Sapras Umum Sapras Agribisnis Jumlah Komoditas Peternakan Keluarga pemakai PLN Desa dgn potensi rendah Jumlah keluarga pra sejahtera Jumlah keluarga sejahtera Produksi tanaman pangan Populasi sapi potong Populasi domba Populasi kambing Populasi ayam buras populasi itik
PC7 0,166 -0,315 0,521 0,462 -0,317 -0,116 -0,389 -0,037 -0,224 -0,101 0,114 0,038 -0,155 -0,079 0,126 0,000
PC8 0,200 0,517 0,064 -0,201 -0,421 -0,053 0,060 0,427 -0,213 0,045 -0,005 0,047 0,128 -0,098 0,455 -0,006
PC9 0,186 -0,067 -0,543 0,419 -0,330 -0,159 0,459 -0,273 -0,115 -0,088 0,167 -0,021 -0,097 -0,004 0,113 -0,000
PC10 0,055 0,240 -0,216 0,286 -0,177 0,035 -0,349 0,066 0,369 0,354 -0,254 -0,042 -0,202 0,131 -0,085 0,509
PC11 0,452 0,159 -0,014 -0,229 0,344 -0,493 -0,196 -0,221 -0,118 -0,082 0,330 -0,143 0,013 0,145 0,018 0,312
PC12 -0,012 -0,463 0,131 -0,156 0,020 -0,360 0,400 0,352 0,139 0,039 -0,159 0,153 -0,101 -0,202 0,073 0,452
Variable Jumlah Penduduk Jarak ke kabupaten Jumlah KK Sapras Umum Sapras Agribisnis Jumlah Komoditas Peternakan Keluarga pemakai PLN Desa dgn potensi rendah Jumlah keluarga pra sejahtera Jumlah keluarga sejahtera
PC13 0,159 -0,179 -0,225 0,242 0,354 0,243 -0,031 0,556 -0,395 0,262
PC14 0,237 -0,119 -0,069 0,008 0,220 0,348 -0,048 0,068 0,391 -0,468
PC15 -0,316 -0,032 0,139 0,163 -0,003 -0,210 0,063 0,022 0,412 0,289
PC16 -0,186 0,162 0,247 0,133 0,039 -0,112 0,279 0,180 -0,063 -0,082
281 Produksi Populasi Populasi Populasi Populasi populasi
tanaman pangan sapi potong domba kambing ayam buras itik
0,186 -0,273 -0,040 0,002 -0,059 -0,002
-0,038 -0,107 -0,227 0,082 0,552 0,002
0,394 -0,444 0,313 0,017 0,302 -0,100
0,044 0,085 -0,284 0,796 -0,040 -0,031
--------- Data diolah dengan Minitab pada tanggal 09/06/2009 7:25:27 ----------
282 Lampiran 6 Karekteristik desa-desa di kecamatan berbasis peternakan di Kabupaten Situbondo No
Desa
Variabel b c d e Kecamatan Asembagus 20,46 3798 1286 2245 84 20,43 4726 1605 2534 60 26,10 4300 1321 1543 51 17,60 5067 2099 1914 138 3,55 3898 1339 2091 66 4,66 4139 1319 2539 53 2,27 5909 1794 4311 109 1,87 6878 2134 5238 140 1,61 4641 1234 3292 114 20,19 5604 1907 2589 51 Kecamatan Jangkar 36,89 8549 3245 9913 70 5,59 2756 1005 2779 42 5,06 4912 1843 4617 211 5,50 8160 2841 6925 270 1,89 2028 632 1571 70 3,42 2947 1139 3520 94 2,80 2550 908 2309 65 5,85 4180 1621 4725 150 Kecamatan Arjasa 42,56 7631 2495 1845 47 47,59 8684 2770 2756 87 76,29 6026 2049 2974 44 15,80 1755 660 1272 40 12,55 4951 1629 2918 90 5,51 3248 1129 1929 40 10,26 3580 1140 2553 20 5,82 4157 1364 2425 42 Kecamatan Kapongan 6,42 3573 1435 1722 63 2,37 1558 643 1140 62 6,14 3125 1192 1611 45 2,08 2722 1199 1757 53 10,25 7483 3021 4420 97 4,83 2767 1065 2280 63 3,10 1898 710 1474 55 2,92 4793 1628 2518 50 3,62 4071 1450 2291 66 2,80 4593 1697 2654 67 a
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8 9. 10.
Mojosari Kertosari Kedunglo Bantal Awar-Awar Perante Trigonco Asembagus Gudang Wringin Anom
11 12 13 14 15 16 17 18
Sopet Curah Kalak Palangan Jangkar Gadingan Kumbangsari Pesanggrahan Agel
19 20 21 22 23 24 25 26
Curah Tatal Jatisari Kayumas Bayeman Ketowan Kedungdowo Lamongan Arjasa
27 28 29 30 31 32 33 34 35 36
Kandang Curah Cotok Peleyan Wonokoyo Seletreng Landangan Kapongan Kesambi Rampak Gebangan Pokaan
f
g
h
63,92 74,70 76,38 86,14 53,92 72,02 29,65 20,53 58,97 66,23
3,0 2,0 3,5 5,5 2,5 2,0 1,5 1,0 1,0 2,5
26,0 26,0 29,0 31,0 28,0 28,0 26,0 26,0 26,0 28,0
99,18 62,79 95,87 89,76 85,12 93,92 91,24 90,58
8 5 2 1 2 4 8 4
26 23 25 29 26 24 20 24
29,70 33,83 86,29 83,33 47,76 60,50 57,11 42,16
10 7 25 11 8 4 2 1
25 22 40 26 23 19 17 15
82,37 54,74 68,96 58,97 99,18 34,65 21,97 19,59 33,93 49,03
10 5,0 7,2 4,6 4,8 2,0 1,1 0,1 2,0 4,8
17 12 14,2 11,6 11,8 9,0 8,1 7,1 9,0 11,8
283 Kecamatan Mangaran 37 Mangaran 3,41 4384 1595 3821 131 87,59 0,5 7,0 38 Tanung kamal 9,18 6133 2404 2471 61 81,53 2,0 9,0 39 Tanjung Glugur 3,44 3788 1437 1959 57 90,29 2,5 9,5 40 Tanjung Pecinan 11,76 6412 2366 3477 61 59,68 4,0 8,5 41 Semiring 3,42 3376 1208 2095 78 91,87 6,0 7,0 42 Trebungan 5,59 6463 2471 2819 110 92,15 3,0 5,5 Sumber : Kecamatan Asembagus, Jangkar, Arjasa, Kapongan, dan Mangaran, 2008 serta data diolah Keterangan : a. Luas desa (km2) b. Jumlah penduduk (Jiwa) c. Jumlah keluarga memakai PLN (KK) d. Jumlah sarana dan prasarana umum (unit) e. Jumlah sarana dan prasarana agribisnis (unit) f. Persentase keluarga peternakan (%) g. Jarak ke ibukota kecamatan (km) h. Jarak ke ibukota kabupaten (km)
284 Lampiran 7 Tingkat perkembangan desa wilayah berbasis peternakan di Kabupaten Situbondo berdasarkan hasil analisis sentralitas No Desa 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Mojosari Kertosari Kedunglo Bantal Awar-Awar Perante Trigonco Asembagus Gudang Wringin Anom
11 12 13 14 15 16 17 18
Sopet Curah Kalak Palangan Jangkar Gadingan Kumbangsari Pesanggrahan Agel
19 20 21 22 23 24 25 26
Curah Tatal Jatisari Kayumas Bayeman Ketowan Kedungdowo Lamongan Arjasa
28 29 30 31 32 33 34 35 36
Kandang Curah Cotok Peleyan Wonokoyo Seletreng Landangan Kapongan Kesambi Rampak Gebangan Pokaan
37 38
Mangaran Tanjung Kamal
Banyak Jenis (X-X) (X-X)2 Fasilitas Kecamatan Asembagus 83 -2.119 4.490161 80 -5.119 26.204161 70 -15.119 228.584161 86 0.881 0.776161 89 3.881 15.062161 89 3.881 15.062161 105 19.811 395.254161 107 21.881 478.778161 96 10.881 118.396161 84 -1.119 1.252161 Kecamatan Jangkar 83 -2.119 4.490161 90 4.881 23.824161 85 -0.119 0.014161 104 18.881 356.492161 72 -13.119 172.108161 77 -8.119 65.918161 80 -5.119 26.204161 88 2.881 8.300161 Kecamatan Arjasa 76 -9.119 83.156161 73 -12.119 146.870161 74 -11.119 123.632161 72 -13.119 172.108161 80 -5.119 26.204161 79 -6.119 37.442161 85 -0.119 0.014161 84 -1.119 1.252161 Kecamatan Kapongan 73 -12.119 146.870161 77 -8.119 65.918161 92 6.881 47.348161 75 -10.119 102.394161 93 7.881 62.110161 89 3.881 15.062161 90 4.881 23.824161 95 9.881 97.634161 82 -3.119 9.728161 82 -3.119 9.728161 Kecamatan Mangaran 104 18.881 356.492161 86 0.881 0.776161
Tinggi
Sedang
Rendah
x x x x x x X X x x x x x X x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x X x
285 39 Tanjung Glugur 87 1.881 3.538161 x 40 Tanjung Pecinan 87 1.881 3.538161 x 41 Semiring 90 4.881 23.824161 x 42 Trebungan 92 6.881 47.348161 Sumber: Kecamatan Asembagus, Jangkar, Arjasa, Kapongan, Mangaran, 2008 dan data diolah
286 Lampiran 8 Nilai skor pendapat pakar existing condition dimensi keberlanjutan wilayah berbasis peternakan sapi potong terpadu di Kabupaten Situbondo Dimensi dan Atribut Dimensi Ekologi Pemanfaatan limbah peternakan untuk pupuk organic
Hasil Skor
Baik Buruk
1
3
0
Pemanfaatan limbah pertanian untuk pakan ternak.
3
3
0
Sistem pemeliharaan ternak.
1
3
0
Lahan (kesuburan tanah).
1
2
0
Tingkat pemanfaatan lahan.
1
2
0
Agroklimat
1
2
0
Daya dukung pakan
3
3
0
0 0
3 1
0 0
0
2
0
0
3
0
Jenis pakan ternak. Ketersediaan lahan untuk pakan Kuantitas limbah peternakan Jarak lokasi usaha peternakan dengan permukiman penduduk
1
2
0
1 0
3 2
0 0
0
4
0
Kejadian kekeringan
1
2
0
Frekuensi kejadian banjir
2
2
0
Ketersediaan IPAL agroindustri hasil ternak Kebersihan kandang Ketersediaan rumah potong hewan (RPH) Ketersediaan instalasi pengelolaan limbah RPH
Keterangan (0) tidak dimanfaatkan; (1) sebagian kecil dimanfaatkan; (2) sebagian besar dimanfaatkan; (3) seluruhnya dimanfaatkan (0) tidak dimanfatkan; (1) sebagian kecil dimanfaatkan; (2) sebagian besar dimanfaatkan; (3) seluruhnya dimanfaatkan (0) > 50% tradisional; (1) 25 - 50 %; (2) 10 - < 25 %; (3) < 10 % tradisional (0) tanah tidak subur; (1) tanah kesuburan sedang; (2) tanah subur (0) melebihi kapasitas; (1) sedang; (2) rendah mengacu pada type iklim di Indonesia (0) agoklimat kering; (1) agroklimat sedang; (3) agroklimat basah mengacu pada Dinas Peternakan (0) sangat kritis; (1) kritis; (2) rawan; (3) aman (0) tidak ada; (1) ada tetapi sederhana; (2) ada dan kondisinya baik; (3) ada kondisinya sangat baik (0) kotor; (1) bersih mengacu pada Dirjen Peternakan: (0) type C; (1) type B; (2) type A (0) tidak ada; (1) ada tetapi sederhana; (2) ada dan kondisinya baik; (3) ada kondisinya sangat baik (0) seadanya/hijauan alami; (1) hijauan + limbah pertanian/agroindustri; (2) hijauan + limbah pertanian/agroindustri + konsentrat (0) tidak ada; (1) ada tetapi sedikit; (2) ada dan cukup; (3) Ada dan cukup luas (0) ada banyak; (1) sedikit; (2) tidak ada (0) di lokasi permukiman; (1) dekat; (2) agak dekat; (3) agak jauh; (4) Jauh (0) sering; (1) kadang-kadang; (2) tidak pernah terjadi (0) sering; (1) kadang-kadang; (2) tidak pernah terjadi
287 Curah hujan Kondisi prasarana jalan usahatani Kondisi prasarana jalan desa
1
2
0
2
3
0
2
3
0
(0) rendah; (1) sedang; (2) tinggi (0) Sangat jelek, (1) jelek, (2) agak baik (3) baik (0) Sangat jelek, (1) jelek, (2) agak baik (3) baik
Dimensi Ekonomi
Keuntungan (profit) dalam budidaya peternakan. Kontribusi terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Kontribusi terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) untuk bidang pertanian Rataan penghasilan peternak relatif terhadap UMR Provinsi Jatim. Rataan penghasilan peternak relatif terhadap total pendapatan.
4
4
0
mengacu pada analisis usaha: (0) rugi besar; (1) rugi sedikit; (2) kembali modal; (3) keuntungan marginal; (4) sangat menguntungkan
1
2
0
(0) rendah: < 10 %; (1) sedang: 10 -20 %; (2) tinggi: >20 %
1
2
0
(0) rendah: < 30 %; (1) sedang: 30 -50 %; (2) tinggi: >50 %
1
4
0
(0) jauh di bawah; (1) di bawah; (2) sama; (3) lebih tinggi; (4) jauh lebih tinggi)
1
2
0
Transfer keuntungan. Pasar produk agroindustri peternakan Ketersediaan pasar ternak/sub terminal agribisnis Tempat peternak menjual ternaknya
2
2
0
0
2
0
1
2
0
0
2
0
Ketersediaan industri pakan Perubahan nilai APBD bidang peternakan (5 tahun terakhir).
0
2
0
2
2
0
Kelayakan finansial.
2
2
0
Besarnya subsidi.
4
4
0
Persentase penduduk miskin
2
3
0
Harga komoditas ternak
1
3
0
Jumlah tenaga kerja pertanian
2
3
0
(0) < 30 %; (1) 30 - 70%; (2) > 70 % (0) lebih banyak di penduduk luar daerah; (1) seimbang antara lokal dan luar daerah; (2) terutama berada di penduduk lokal (0) pasar lokal; (1) pasar nasional; (2) pasar internacional (0) tidak ada; (1) ada pada desa tertentu; (2) tersedia pada setiap desa (0) lewat perantara; (1) pasar ternak; (2) pengusaha industri pemotongan (0) tidak ada; (1) ada pada desa tertentu; (2) tersedia pada setiap desa (0) berkurang; (1) tetap; (2) bertambah (0) tidak layak; (1) break event point; (2) layak (0) keharusan mutlak; (1) sangat tergantung; (2) besar; (3) sedikit; (4) tidak ada (0) sangat tinggi, (1) tinggi, (2) sedang, (3) rendah (0) sangat tinggi, (1) tinggi, (2) sedang, (3) rendah (0) sedikit, (1) sedang, (2) tinggi, (3) sangat tinggi
288
Jenis komoditas unggulan Kelayakan usaha agroindustri Tingkat ketergantungan konsumen Dimensi Sosial Budaya Pekerjaan dilakukan secara individual atau kelompok Jumlah rumah tangga peternakan. Pertumbuhan rumah tangga peternakan. Pengetahuan terhadap lingkungan. Tingkat penyerapan renaga kerja agroindustri peternakan Frekuensi konflik. Partisipasi keluarga dalam usaha agribisnis peternakan. Peran masyarakat dalam usaha peternakan. Frekuensi penyuluhan dan pelatihan. Tingkat penyerapan tenaga kerja pertanian Alternatif usaha selain usaha agribisnis peternakan. Jumlah penduduk yang bekerja di bidang agroindustri peternakan Alokasi waktu yang digunakan untuk usaha agribisnis peternakan. Jumlah desa dengan penduduk bekerja di sektor peternakan Dimensi Teknologi Penyebaran tempat pelayanan Pos Kesehatan Hewan (Poskeswan). Penyebaran pos pelayanan Inseminasi Buatan (IB).
1 1
2 1
0 0
(0) hanya satu, (1) lebih dari satu, (2) banyak (0) tidak layak, (1) layak
1
2
0
(0) rendah, (1) sedang, (2) tinggi (0) pekerjaan secara individual; (1) kerjasama satu keluarga; (2) kerjasama kelompok (0) < 1/3; (1) 1/3 - 2/3; (2) > 2/3 dari total jumlah jumlah rumah tangga rencana kawasan (0) < 10 %; (1) 10 - 20 %; (2) 20 - 30 %; (3) > 30 % (0) sangat minim < 1/3; (1) cukup: 1/3 – 2/3; (2) banyak/luas: >2/3
1
2
0
1
2
0
1
3
0
1
2
0
0 1
2 2
0 0
1
3
0
2
2
0
1
3
0
(0) tidak ada; (1) sedikit; (2) banyak (0) tidak pernah ada; (1) sekali dalam setahun; (2) dua kali dalam setahun; (3) minimal tiga kali dalam setahun
1
3
0
(0) rendah, (1) sedang, (3) tinggi
1
2
0
(0) banyak; (1) sedikit; (2) tidak ada
0
2
0
(0) tidak ada; (1) sedikit (2) banyak
1
3
0
(0) hanya hobby; (1) paruh waktu; (2) musiman; (3) penuh waktu
2
2
0
(0) tidak ada, (1) desa tertentu saja, (2) semua desa
2
3
0
3
3
0
(0) tidak ada; (1) sedikit; (2) banyak (0) banyak; (1) sedikit; (2) tidak ada (0) tidak ada; (1) 1 - 2 anggota keluarga; (2) 3-4 anggota keluarga; (3) > 5 anggota keluarga
(0) tidak dilakukan; (1) terpusat; (2) agak terpusat; (3) tersebar (0) tidak dilakukan; (1) terpusat; (2) agak terpusat; (3) tersebar
289 Penggunaan vitamin dan probiotik untuk memacu pertumbuhan ternak. Teknologi pakan. Teknologi pengolahan limbah peternakan/agroindustri peternakan . Teknologi pengolahan hasil produk peternakan. Teknologi informasi dan transportasi. Ketersediaan sarana dan prasarana agribisnis Ketersediaan infrastruktur/ sarana dan prasarana umum. Tingkat penguasaan teknologi budidaya peternakan Ketersediaan teknologi informasi peternakan
1 1
2 2
0 0
(0) tidak pernah; (1) kadang-kadang; (2) rutin (0) tradisional; (1) sederhana; (2) modern
0
2
0
(0) tidak ada; (1) sederhana; (2) modern
0
2
0
(0) tidak ada; (1) sederhana; (2) modern
1
2
0
(0) sangat minim; (1) cukup; (2) baik
0
2
0
(0) sangat minim; (1) cukup; (2) lengkap
1
2
0
(0) sangat minim; (1) cukup; (2) lengkap
1
2
0
1
2
0
1
2
0
(0) rendah, (1) sedang, (2) tinggi (0) tidak tersedia, (1) tersedia tetapi tidak optimal, (2) tersedia optimal (0) belum diterapkan, (1) diterapkan pada produk tertentu, (2) diterapkan untuk semua produk.
0
2
0
1
2
0
2
2
0
Kelompok tani ternak
1
2
0
Ketersediaan lembaga sosial Lembaga keuangan mikro (bank/kredit). Lembaga penyuluhan pertanian/BPP Badan pengelola kawasan agropolitan
1
2
0
1
2
0
1
2
0
0
2
0
Standarisasi mutu produk peternakan Dimensi Kelembagaan Pusat pelatihan dan konsultasi milik petani Perjanjian kerjasama dengan daerah lain soal peternakan Sinkronisasi kebijakan pusat dan daerah
(0) belum ada, (1) ada tapi tidak berjalan optimal, (2) ada dan berjalan optimal (0) belum ada, (1) ada tapi kurang berjalan optimal, (2) ada dan berjalan optimal (0) tidak sinkron, (1) kurang sinkron, (2) sinkron (0) tidak ada; (1) ada tetapi kurang berjalan; (2) ada dan berjalan (0) tidak ada; (1) ada tetapi kurang berjalan; (2) ada dan berjalan (0) tidak ada; (1) ada tetapi kurang berjalan; (2) ada dan berjalan (0) tidak ada; (1) ada tetapi kurang berjalan; (2) ada dan berjalan (0) tidak ada; (1) ada tetapi tidak berjalan; (2) ada dan berjalan
290 Lampiran 9 Nilai indek lima dimensi keberlanjutan wilayah berbasis peternakan sapi potong terpadu di Kabupaten Situbondo
A. Dimensi Ekologi
60
Up
40
20 Good
Bad 0 0
20
40
60
80
-20
-40
Down -60 Status Keberlanjutan Dimensi Ekologi (46.50 %)
100
120
291 B. Dimensi Ekonomi
60 Up
40
20 Good Bad 0 0
20
40
60
80
-20
-40
Down -60 Status Keberlanjutan Dimensi Ekonomi (69.53 %)
100
120
292 B. Dimensi Teknologi
60 Up
40
20
Bad
Good
0 0
20
40
60
80
-20
-40
Down -60 Status Keberlanjutan Dimensi Teknologi (45.48 %)
100
120
293 D. Dimensi Sosial Budaya
60 Up
40
20
Bad
Good
0 0
20
40
60
80
-20
-40
Down -60 Status Keberlanjutan Dimensi Sosial-Budaya (55.14 %)
100
120
294 E. Dimensi Kelembagaan
60 Up
40
20
Bad 0 0
Good 20
40
60
80
-20
-40
Down -60 Status Keberlanjutan Dimensi Kelembagaan (47.46 %)
100
120
295 F. Multidimensi
60 Up
40
20 Good
Bad 0 0
20
(560
40
80
-20
-40
Down -60 Status Keberlanjutan Multidimensi (51.66 %)
100
120
296 Lampiran 10 Sistem penggaduhan sapi potong di Kabupaten Situbondo Sistem Penggaduhan Sapi Potong Situbondo (SIDU SAPOSIT) Pelihara 0 tahun Induk bunting
1 tahun + A. lahir
2 tahun
3 tahun
4 tahun
5 tahun
+ B. lahir
+ C. lahir
+ D. lahir
+ Induk1) E. lahir
* A. di IB
+ A. I. lahir
+ A.2 lahir
** A. bunting2) A.I. bunting3) A. 2 umur 6 bln4)
* B. di IB
+ B .1 lahir
* C. di IB
** B. bunting5) B.1. umur 6 bln6) ** C. bunting7) D. umur 1 tahun8) E. umur 1 bulan9)
Keterangan: 1). Sapi umur sekitar 7 tahun 2). Sapi umur sekitar 4 tahun 3). Sapi umur sekitar 1,5 tahun 4). Sapi umur sekitar 6 bulan 5). Sapi umur sekitar 3 tahun (dikembalikan ke koperasi) 6). Sapi umur sekitar 6 bulan 7). Sapi umur sekitar 2 tahun (dikembalikan ke koperasi) 8). Sapi umur sekitar 1 tahun 9). Sapi umur sekitar 1 bulan
297 Lampiran 11 Hasil analisis usahatani penggemukan sapi potong (selama 4 bulan) Uraian Satuan Harga Satuan (Rp) Total Harga (Rp) Pengeluaran selama 4 bulan/periode/ekor Sapi potong bakalan umur 1 thn 1 ekor 8 000 000 8 000 000 Obat-obatan dan vitamin 1 kali 25 000 25 000 Pakan hijauan 120 hari 5 000 600 000 Dedak/ampas 120 hari 2 000 240 000 Tenaga kerja 120 hari 2 000 240 000 Penyusutan kandang 120 hari 1 000 120 000 Pengeluaran 9 225 000 Penerimaan selama 4 bulan/periode/ekor Jual sapi potong umur 16 bulan 1 ekor 11 500 000 11 500 000 Pendapatan kotor Pendapatan kotor peternak Pendapatan bersih peternak Pendapatan koperasi
= = = =
11 500 000 - 8 000 000 60% x 3 500 000 2 100 000 – 1 225 000 40% x 3 500 000
3 500 000 2 100 000 875 000 1 400 000
Lampiran 12 Hasil analisis usahatani penggemukan sapi potong/ekor (kondisi eksisting) Uraian Pengeluaran selama 1 tahun Bibit sapi unggul/bakalan umur 3 bln Obat-obatan dan vitamin Pakan hijauan Dedak/ampas/tetes/garam Tenaga kerja Penyusutan kandang
Satuan Jumlah Harga Satuan Total Harga ekor kali hari hari hari hari
1 4 365 365 365 365
Pengeluaran selama 1 tahun
ekor
1
Penerimaan selama 1 tahun Jual sapi potong umur 15 bulan
ekor
1
Keuntungan dalam 1 tahun
ekor
1
R/C ratio
5 000 000 25 000 5 000 2 000 2 000 1 000
5 000 000 100 000 1 825 000 730 000 730 000 365 000 8 750 000
13 000 000
13 000 000 4 250 000 1.49
298 Lampiran 13 Hasil analisis usahatani pembibitan sapi potong/ekor (kondisi eksisting) Uraian Pengeluaran selama 1 tahun Sapi indukan Obat-obatan dan vitamin Inseminasi buatan (IB) Pakan hijauan Tenaga kerja Penyusutan kandang Total pengeluaran (1 tahun) Penerimaan selama 1 tahun Jual anak sapi umur Nilai taksiran harga indukan
Satuan Jumlah Harga Satuan
Total Harga
ekor hali kali hari hari hari
1 2 2 365 365 365
9 000 000 25 000 30 000 5 000 2 000 1 000
9 000000 50 000 60 000 1 825 000 730 000 365 000 12 030 000
ekor ekor
1 1
5 000 000 10 000 000
5 000 000 10 000 000
Total penerimaan (1 tahun)
15 000 000
Keuntungan dalam 1 tahun
2 970 000
R/C ratio
1.25
299 Lampiran 14 Hasil analisis usahatani tanaman padi/hektar/musim (intensif) Uraian
Satuan
Pengeluaran/musim/4bulan Sewa lahan/1x tanam/ha Bibit padi Bajak tanah Tabunan dan gem-gem Ongkos tanam Pupuk I: 1 kwintal urea Bersihkan rumput Pupuk II: 2 kwintal urea Pupuk NPK 0.5 kwintal Bersihkan rumput Pupuk III: 2 kwintal urea Pupuk NPK 0.5 kwintal Obat pestisida dan ongkos Ongkos memupuk Ongkos mengairi sawah/merawat Ongkos panen Ongkos giling beras Iuran HIPPA
hektar kg paket orang orang kwintal orang kwintal kwintal orang kwintal kwintal paket orang paket paket kg musim
Jumlah Harga Satuan 1 40 1 8 12 1 56 2 0.5 56 2 0.5 1 6 1 1 3 000 1
Total pengeluaran/musim/4 bulan Pendapatan/musim/4 bulan Produksi beras Produksi jerami padi 4 UT/musim Total pendapatan usahatani padi Keuntungan/musim/4 bulan R/C (Revenue/Cost)
2 500 000 6 500 500 000 25 000 25 000 120 000 25 000 120 000 200 000 25 000 120 000 200 000 300 000 15 000 300 000 500 000 225 100 000
Total Harga 2 500 000 260 000 500 000 200 000 300 000 120 000 1 400 000 240 000 100 000 1 400 000 240 000 100 000 300 000 90 000 300 000 500 000 675 000 100 000 9 325 000
kg
3 000 12 000
5 000 15 000 000 100 1 200 000 16 200 000 6 875 000 1.737
300 Lampiran 15 Hasil analisis usahatani jagung/hektar/musim (intensif) Uraian Pengeluaran/musim/4 bln Sewa lahan/tanam/ha Bibit jagung Ongkos tanam Ongkos nyisip tanaman Ongkos ngebruk/gemburkan Pupuk cair Pupuk urea Obat-obatan pestisida Ongkos memupuk urea Ongkos mengobat Ongkos panen Ongkos giling jagung Iuran HIPPA
Satuan Jumlah Harga Satuan hektar kg orang orang orang mobil kwintal paket orang orang paket kg musim
1 20 12 4 12 2 4 1 4 5 1 8 000 1
2 500 000 55 000 25 000 25 000 25 000 400 000 120 000 100 000 25 000 20 000 500 000 175 100 000
Total pengeluaran/musim/4 bln Total pendapatan/musim/4 bln Produksi jagung Produksi daun jagung 3 UT/4 bl kg Total pendapatan/musim/4 bln Keuntungan/musim/4 bulan R/C
(Revenue/Cost)
Total Harga 2 500 000 1 100 000 300 000 100 000 300 000 800 000 480 000 100 000 100 000 100 000 500 000 1 400 000 100 000 7 880 000
8 000 10 000
2 000 100
16 000 000 1 000 000 17 000 000 9 120 000 2.157
301 Lampiran 16 Hasil analisis usahatani tebu kepras/hektar/musim/tahun (intensif) Uraian Menbakar lahan tebu: (1.175 lolos/ha) Keprasan Sulam tanaman yang mati Pupuk I Pupuk II Torapan: 4 kali x (250,-/kali) Bumbun Ngolpat dan membersihkan gulma ke-1 Longgarkan tanah dengan garpu Bersihkan gulma ke-II pakai herbisida Memperdalam selokan/jurungan keliling Memperdalam selokan/jurungan mojur Memperdalam selokan/jurungan malang Ngolpat dan membersihkan gulma ke-II Ngolpat/rao ke-III Ongkos angkut pupuk ke sawah Sewa pompa air selama kemarau Pupuk ZA: 6 kwintal Pupuk Phonska: 4 kwintal Biaya tebang: 500,-/kwintal Biaya giling (34% dari produksi gula) Uang dapur: 1 juta Sewa lahan: 7.5 juta/tahun Bunga bank: 8%/tahun
Satuan Jumlah Harga Satuan lolos 1 175 200 lolos 1 175 500 lolos 1 175 200 lolos 1 175 100 lolos 1 175 100 lolos 1 175 1 000 lolos 1 175 300 lolos 1 175 350 lolos 1 175 500 lolos 1 175 300 meter 325 400 meter 125 400 meter 1 100 300 lolos 1 175 350 lolos 1 175 350 kali 2 50 000 kali 3 750 000 kwintal 6 105 000 kwintal 4 175 000 kwintal 950 500 paket paket persen
1 1 000 000 1 7 500 000 0.08 18 158 750
Total pengeluaran Produksi gula petani dalam 1 tahun Produksi gula:950 kwintal, rendemen:6,5 %; untuk petani: 66% Pendapatan gula: harga gula: 6.650,-/kg Harga tetes: 1.300,-/kg (2,5 kg/kw tebu) Penerimaan uang dapur Daun pucuk tebu 1 UT/tahun Total penerimaan Keuntungan dalam 1 tahun R/C ratio
Total Harga 235 000 587 500 235 000 117 500 117 500 1 175 000 352 500 411 250 587 500 352 500 130 000 50 00 330 000 411 250 411 250 100 000 2 250 000 630 000 700 000 475 000 1 000 000 7 500 000 1 452 700 19 611 450
kwintal 950 kg 4 075.5 kg 2 375 paket 1 kg 10 000
0.0429 6 650 27 102 075 1 300 3 087 500 1 000 000 1 000 000 100 1 000 000 32 189 575 12 578 125 1.64
302 Lampiran 17 Hasil analisis usahatani penggemukan sapi potong (2 ekor/tahun) Uraian Pengeluaran selama 6 bulan Bibit sapi unggul Obat-obatan dan vitamin Pakan hijauan Dedak dan ampas Tenaga kerja Penyusutan kandang
Satuan Jumlah
Pengeluaran/periode/6 bulan
ekor
1
Penerimaan/periode/6 bulan Jual sapi potong
ekor
1
ekor
1 2
Keuntungan/periode/6 bulan Keuntungan dalam 1 tahun
ekor kali hari hari hari hari
Harga Satuan Total Harga
1 3 180 180 180 180
5 000 000 25 000 5 000 3 000 2 000 1 000
5 000 000 75 000 900 000 540 000 360 000 180 000 7 055 000
9 500 000
9 500 000 2 445 000 4 890 000
R/C ratio
1.69
Lampiran 18 Hasil analisis usahatani penggemukan sapi potong secara intensif (4 ekor/tahun) Uraian
Satuan Jumlah
Pengeluaran selama 3 bulan Bibit sapi unggul Obat-obatan dan vitamin Pakan hijauan Dedak/ampas/tetes/boss dext/probion Tenaga kerja Penyusutan kandang
ekor kali hari hari hari hari
1 3 90 90 90 90
Pengeluaran/periode/3 bulan
ekor
1
Penerimaan/periode/3 bulan Jual sapi potong Keuntungan/periode/3 bulan Keuntungan dalam 1 tahun R/C ratio
ekor ekor ekor
1 1 4
Harga Satuan 5 000 000 25 000 4 000 6 000 2 000 1 000
Total Harga
5 000 000 75 000 360 000 540 000 180 000 90 000 6 245 000
8 000 000
8 000 000 1 755 000 7 020 000 2.12
303 Lampiran 19 Usahatani Rumput Raja per ha Pengeluaran Sewa lahan selama 1 tahun Mengolah tanah Pupuk kandang 15.000/30 kg Sebar pupuk kandang Pupuk SP36 Pupuk KCl Sebar pupuk (SP 36 dan KCl) Bibit rumput (60 x 60) cm Ongkos tanam Pupuk urea Ongkos sebar pupuk Bumbun Pupuk urea Ongkos sebar pupuk Panen I Pupuk kandang 15.000/30 kg Ongkos sebar pupuk Pupuk SP36 Pupuk KCl Pupuk urea Ongkos sebar pupuk Bumbun Panen II Pupuk kandang 15.000/30 kg Ongkos sebar pupuk Pupuk SP36 Pupuk KCl Pupuk urea Ongkos sebar pupuk Bumbun Panen III Pupuk kandang 15.000/30 kg Ongkos sebar pupuk Pupuk SP36 Pupuk KCl Pupuk urea Ongkos sebar pupuk Bumbun Panen IV Pupuk kandang 15.000/30 kg Ongkos sebar pupuk
Satuan hektar hektar kg orang kwintal kwintal orang Stek orang kwintal orang orang kwintal orang orang kg orang kwintal kwintal kwintal orang orang orang kg orang kwintal kwintal kwintal orang orang orang kg orang kwintal kwintal kwintal orang orang orang kg orang
Jumlah 1 1 5 000 6 1.5 1 1 55 778 10 1 1 12 2 2 8 1 000 2 1.5 1 2 3 12 8 1 000 2 1.5 1 2 3 12 8 1 000 2 1.5 1 2 3 12 8 1 000 2
Harga Satuan 7 500 000 500 000 500 25 000 200 000 200 000 25 000 50 25 000 120 000 25 000 25 000 120 000 25 000 25 000 500 25 000 200 000 200 000 120 000 25 000 25 000 25 000 500 25 000 200 000 200 000 120 000 25 000 25 000 25 000 500 25 000 200 000 200 000 120 000 25 000 25 000 25 000 500 25 000
Total Harga 7 500 000 500 000 2500 000 150 000 300 000 200 000 25 000 2 788 900 250 000 120 000 25 000 300 000 240 000 50 000 200 000 500 000 50 000 300 000 200 000 240 000 75 000 300 000 200 000 500 000 50 000 300 000 200 000 240 000 75 000 300 000 200 000 500 000 50 000 300 000 200 000 240 000 75 000 300 000 200 000 500 000 50 000
304 Pupuk SP36 Pupuk KCl Pupuk urea Ongkos sebar pupuk Bumbun Panen V Pupuk kandang 15.000/30 kg Ongkos sebar pupuk Pupuk SP36 Pupuk KCl Pupuk urea Ongkos sebar pupuk Bumbun Panen VI Pupuk kandang 15.000/30 kg Ongkos sebar pupuk Pupuk SP36 Pupuk KCl Pupuk urea Ongkos sebar pupuk Bumbun Panen VII
kwintal kwintal kwintal orang orang orang kg orang kwintal kwintal kwintal orang orang orang kg orang kwintal kwintal kwintal orang orang orang
1.5 1 2 3 12 8 1 000 2 1.5 1 2 3 12 8 1 000 2 1.5 1 2 3 12 8
200 000 200 000 120 000 25 000 25 000 25 000 500 25 000 200 000 200 000 120 000 25 000 25 000 25000 500 25 000 200 000 200 000 120 000 25 000 25 000 25 000
Total Pengeluaran /1 tahun Total Pemasukan Penerimaan R/C
300 000 200 000 240 000 75 000 300 000 200 000 500 000 50 000 300 000 200 000 240 000 75 000 300 000 200 000 500 000 50 000 300 000 200 000 240 000 75 000 300 000 200 000 26 338 900
kg 700 000
150
105 000 000 78 661 100 3.98