PENGARUH PERAN NILAI PELANGGAN DAN CITRA MEREK TERHADAP KEPERCAYAAN ATAS MEREK PRODUK OBAT HERBAL TOLAK ANGIN DI YOGYAKARTA Th. A. Radito STIE Isti Ekatana Upaweda Yogyakarta
Abstract This study examining the effect of the role of customer value and brand image of the trust on the brand of herbal medicinal products Tolak Angin. This research was conducted in Yogyakarta with the consideration that the culture of the people in Yogykarta still attached to the habit of using herbal medicine. Variable brand image has a coefficient of 1.352, which means that the brand image variables have a positive relationship with consumer confidence. This means that the higher the brand image, the higher the confidence in the brand Tolak Angin herbal medicine. The magnitude of the changes described by the brand belief variable customer value and brand image amounted to 79.9% (R2 = 0.799) while the other variables that explain the confidence in the brand is 20.1%. So it can be concluded that the variable customer value and brand image positive and significant impact on brand trust. Keywords: Customer Value, Brand, herbal medicine PENDAHULUAN Semakin berkembang kondisi perekonomian suatu negara akan merubah pola perilaku masyarakat ketika akan melakukan pembelian barang dan/atau jasa. Masyarakat semakin cerdas dalam menentukan sendiri barang dan jasa yang dikehendaki sesuai dengan kemampuan ekonomis yang dimilikinya ketika dihadapkan dengan aneka penawaran barang dan/atau jasa yang ada. Kenyataan ini membuat para pengusaha sekarang berorientasi ke arah pasar konsumen artinya kondisi pasar ditangan konsumen. Konsumen memiliki kebebasan menggunakan uangnya serta bebas untuk membandingkan produk yang ada beserta faktor yang berhubungan dengan produk tersebut seperti merek atau citra produk, harga produk, kualitas produk dan pelayanan. Seseorang membeli bisa karena pengaruh sebuah merek. Merek menjadi satu pembeda suatu produk dari produk lainnya di belantara komoditas, sekaligus menegaskan persepsi para konsumen. Persepsi ini bukan sekedar tentang barang, melainkan juga persepsi akan kualitas dan gengsi yang diraih. Menurut Ardianto (1999), ekuitas merek dapat memberikan proteksi yang kuat sehingga perusahaan akan semakin bergantung kepada merek dan tidak cukup hanya
berorientasi pada produk. Perusahaan yang melibatkan orientasi merek dalam formulasi strategi perusahaannya memiliki sumber untuk menuju keunggulan bersaing yang berkelanjutan (sustainable competitive advantage) (Ardianto, 1999). Ekuitas merek adalah seperangkat asset dan liabilitas merek yang terkait dengan suatu merek, nama, simbol yang mampu menambah atau mengurangi nilai yang diberikan oleh suatu produk atau jasa baik dari perusahaan atau pada pelanggan (Ardianto, 1999). Hal ini disadari sepenuhnya oleh PT Industri Farmasi dan Jamu Sido Muncul Tbk. dengan produk andalannya Tolak Angin. Perusahaan tersebut sangat menyadari bahwa beragamnya merek produk yang ditawarkan mengharuskan hanya produk yang memiliki ciri khas ataupun yang memiliki merek yang kuat saja yang bakalan mampu membedakan dengan produk yang lain dan mudah diingat oleh konsumen. PT Industri Farmasi dan Jamu Sido Muncul Tbk. merupakan salah satu produsen dalam negeri yang sudah mulai merambah dunia internasional. Tolak Angin merupakan salah satu produk dari PT Industri Farmasi dan Jamu Sido Muncul Tbk. yang diharapkan menjadi pendorong bagi produk-produk Sido Muncul lainnya untuk eksis di kancah international. Dunia bisnis menuntut adanya suatu pola hubungan jangka panjang yang terus menerus antara konsumen dan produsen. Hal tersebut hanya bisa dicapai apabila ada kepercayaan antara konsumen dengan produsen. Costabile (2002) mendefinisikan kepercayaan atau trust sebagai persepsi akan keterandalan dari sudut pandang konsumen yang didasarkan pada pengalaman, atau lebih pada urut-urutan transaksi atau interaksi yang dicirikan oleh terpenuhinya harapan akan kinerja produk dan kepuasan. Kepercayaan dapat pula diartikan sebagai keyakinan akan keandalan dan keyakinan partner dan proses transaksi (Liljander & Ross, 2002). Bahkan Liljander & Ross (2002) menambahkan bahwa kepercayaan berkembang sebagai hasil dari pelayanan yang konsisten dan kompeten serta perlakuan yang wajar kepada konsumen. Proses terciptanya kepercayaan bagi individu terhadap merek didasarkan pada pengalaman mereka dengan merek tersebut. Pengalaman akan menjadi sumber bagi konsumen dan terciptanya rasa percaya serta pengalaman ini akan mempengaruhi evaluasi konsumen dalam konsumsi, penggunaan atau kepuasan secara langsung dan kontak tidak langsung dengan merek (Costabile, 2002). Dalam menciptakan kepercayaan pelanggan, perusahaan harus dapat meningkatkan nilai pelanggan (customer value) maupun citra merek (brand image). Kepercayaan pelanggan dapat diciptakan melalui nilai pelanggan dan citra merek dari para pelanggannya. Semakin baik penilaian dan citra pelanggan, akan semakin tinggi pula kepercayaan pelanggan (Costabile, 2002). Nilai pelanggan dan persepsi pada citra produk merupakan bagian dari emosi konsumen terhadap produk (Ardianto, 2000). Oleh karena itu perlu dipahami mengenai nilai pelanggan dan
citra merek dalam memilih produk yang berhubungan dengan kepercayaan merek. Konsep nilai pelanggan dan citra merek sangat berarti untuk mengerti dan menjelaskan perilaku konsumen. Obat-obatan merupakan produk yang memiliki banyak variasi baik dari dari segi kualitas maupun kuantitas. Ini membuat konsumen membutuhkan banyak pertimbangan dan mungkin membutuhkan bantuan orang lain atau mungkin karyawan yang ahli dalam bidang obat-obatan (apoteker) yang disediakan oleh apotik-apotik dalam memilih produk yang cocok dengan kebutuhan konsumen. Keberadaan apoteker memungkinkan konsumen untuk berkonsultasi sehingga mendorong konsumen untuk terlibat lebih jauh dalam memilih produk obat-obatan yang tepat. Meningkatnya tingkat pendidikan, status sosial, ekonomi masyarakat dan perkembangan IPTEK, perubahan pola penyakit, juga sistem informasi yang semakin canggih, serta kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan mengharuskan para produsen farmasi untuk menyesuaikan produk yang sesuai dengan yang kebutuhan masyarakat. Meningkatnya kesadaran masyarakat akan hidup sehat membawa dampak bertambah pula jenis-jenis obat-obatan herbal. Perusahaan farmasi semakin menyadari bahwa peranan pelanggan sangat penting dalam menentukan masa depan perusahaan mereka. Salah satu produsen yang gencar mempromosikan produk obat-obatan herbal adalah PT Sido Muncul dengan produk obat herbal Tolak Angin. Upaya promosi yang dilakukan menggunakan tokoh-tokoh atau endorser seperti Chris Jhon, Mbah Marijan, Trio Macan, Agnes Monica, Rhenald Khasali dan tokoh lainnya. Penggunaan tokoh-tokoh tersebut sebagai bintang iklan produk obat herbal Tolak Angin merupakan salah satu upaya membentuk kepercayaan konsumen. Proses terciptanya kepercayaan bagi individu terhadap produk didasarkan pada pengalaman mereka dengan produk tersebut. Pengalaman akan menjadi sumber bagi konsumen bagi terciptanya rasa percaya dan pengalaman ini akan mempengaruhi evaluasi konsumen dalam konsumsi. Pengalaman yang dialami konsumen ini dapat dilihat dari nilai pelanggan dan persepsi pada citra produk (Costabile, 2002). Mengingat nilai pelanggan dan citra merek berperan dalam membentuk kepercayaan konsumen, dengan latar belakang di atas maka peneliti bermaksud untuk menguji pengaruh nilai pelanggan dan citra merek terhadap kepercayaan atas merek obat herbal Tolak Angin. RUMUSAN MASALAH Dengan dasar tersebut di atas maka Pokok permasalahan yang ingin dikaji dalam penelitian ini adalah: 1. Apakah nilai pelanggan berpengaruh terhadap kepercayaan atas merek produk herbal Tolak Angin? 2.
Apakah citra merek berpengaruh terhadap kepercayaan atas merek produk herbal Tolak Angin?
LANDASAN TEORI A. Nilai Pelanggan Konsep nilai pelanggan memberikan gambaran tentang pelanggan suatu perusahaan, mempertimbangkan apa yang mereka inginkan, dan percaya bahwa mereka memperoleh manfaat dari suatu produk (Woodruff dalam Wilkie, 2001). William (1991) melihat perlunya lintas fungsional dalam sebuah perusahaan, yaitu pemasaran, operasi dan sumber daya manusia sebagai prasyarat dalam mengelola nilai pelanggan. Elemen mengelola hubungan dengan pelanggan dan mengelola persepsi nilai adalah tugas dari fungsi pemasaran, elemen meningkatkan kemampuan para karyawan sebagai value creator adalah tugas dari manajemen sumber daya manusia, sedangkan elemen meningkatkan kinerja kualitas adalah tugas dari fungsi operasi. Nilai pelanggan merupakan keseluruhan penilaian pelanggan tentang kegunaan suatu produk yang berdasar pada persepsi tentang apa yang diterima dan apa yang diberikan (Zeithami dalam William, 1991). Nilai pelanggan merupakan kualitas yang dirasakan pelanggan yang disesuaikan dengan harga relatif dari produk yang dihasilkan oleh suatu perusahaan (Slater dan Narver, 1994). Dengan nilai pelanggan atau pelanggan, diartikan ikatan emosional yang terbentuk antara pelanggan dan produsen setelah pelanggan menggunakan suatu produk atau jasa penting yang diproduksi oleh produsen dan menemukan produk tersebut memberikan suatu tambahan nilai (Butz dan Goodstein dalam William, 1991). Dari konsep dan beberapa definisi tentang nilai pelanggan diatas dapatlah kita kembangkan secara komprehensif, bahwa secara garis besar nilai pelanggan merupakan perbandingan antara manfaat (benefits) yang dirasakan oleh pelanggan dengan apa yang pelanggan korbankan (costs) untuk mendapatkan atau mengkonsumsi produk tersebut. Sehingga nilai pelanggan merupakan suatu preferensi yang dirasakan oleh pelanggan dan evaluasi terhadap atribut-atribut produk serta berbagai konsekuensi yang timbul dari penggunaan suatu produk untuk mencapai tujuan dan maksud pelanggan (Woodruff dalam Wilkie, 2001). Konsep nilai pelanggan mengindikasikan suatu hubungan yang kuat terhadap kepuasan pelanggan atau pelanggan (Woodruff dalam Wilkie, 2001). Dimana konsep tersebut menggambarkan pertimbangan yang evaluatif pelanggan tentang produk yang mereka konsumsi. Nilai yang diinginkan pelanggan terbentuk ketika mereka membentuk persepsi bagaimana baik buruknya suatu produk dimainkan dalam situasi penggunaan. Mereka mengevaluasi pengalaman penggunaan pada atribut yang sama, yaitu merk dan keunggulan layanan atas produk. Nilai yang diterima bisa mengarahkan secara langsung pada formasi perasaan-perasaan kepuasan secara keseluruhan. Kepuasan secara menyeluruh merupakan perasaan-perasaan pelanggan dalam respon untuk evaluasi dari satu atau lebih pengalaman pelanggan dalam penggunaan suatu produk.
Dengan tercapainya tingkat kepuasan pelanggan yang optimal maka mendorong terciptanya loyalitas di benak pelanggan yang merasa puas tadi. B. Citra Merek Konsep citra dalam dunia bisnis telah berkembang dan menjadi perhatian para pemasar. Citra yang baik dari suatu organisasi akan mempunyai dampak yang menguntungkan sedangkan citra yang jelek akan merugikan organisasi. Citra adalah proses pengintegrasian, penyeleksian dan pengorganisasian stimuli dari lingkungan dalam suatu pola yang berarti atau bermakna. Stimuli tersebut dapat berasal dari suatu obyek, kejadian maupun situasi. Kotler (2000) mendefinisikan citra sebagai berikut; “Citra tidak mengambarkan kualitas atau sifat, tapi entitas secara keseluruhan pada pikiran seseorang bukan hanya sebuah objek. Citra merupakan susunan bidang sebuah objek” Definisi citra perusahaan dipandang sebagai apa yang dipikirkan konsumen tentang suatu perusahaan. Citra perusahaan adalah keseluruhan pikiran yang dimiliki konsumen dari lingkungan perusahaan. Roberts dalam Fatmawati (2004) mendefinisikan citra sebagai gambaran secara umum atau persepsi yang dimiliki oleh masyarakat umum tentang suatu perusahaan, unit atau produk. Citra sebagai gambaran mental atau konsep tentang sesuatu. Mengacu pada definisi diatas citra produk dapat didefinisikan sebagai suatu kesan yang dimiliki oleh konsumen maupun publik terhadap suatu produk. Citra juga didefinisikan sebagai kesan yang dimiliki oleh konsumen ataupun publik terhadap suatu produk sebagai suatu refleksi atas evaluasi produk yang bersangkutan. Studi tentang citra menunjukkan bahwa citra terbentuk dari dua faktor yaitu faktor komunikasi dan pengalaman konsumen selama mengkonsumsi barang atau jasa yang mereka beli (Suhartanto dan Nuralia, 2001). Komunikasi yang dimaksud adalah komunikasi antar konsumen tentang apa yang mereka alami, mereka lihat dan mereka dengar. Komunikasi tersebut berasal dari promosi, iklan televisi, koran, majalah, dan radio yang dapat mempengaruhi seseorang. Faktor kedua yang mempengaruhi citra adalah pengalaman konsumen baik secara langsung atau tidak langsung dalam berhubungan dengan penyedia produk maupun jasa. Dengan demikian citra perusahaan merupakan suatu kesan yang dimiliki oleh konsumen maupun publik terhadap suatu produk. Citra produk tersebut merupakan penilaian individu yang berasal dari pengalaman konsumen setelah melakukan pembelian. Setelah melakukan pembelian itulah konsumen mengambil keputusan mengenai puas atau tidak berbelanja produk tersebut. Apabila konsumen merasa puas maka akan timbul citra yang baik, sehingga konsumen akan melakuan pembelian ulang produk itu. Merek adalah nama, istilah, tanda, simbol, atau design atau kombinasi dari semuanya, yang dimaksudkan untuk mengidentifikasi barang atau jasa dari seseorang atau sekelompok pemasar dan membedakannya dari pesaing (Kotler, 2000). Definisi tersebut memberikan
gambaran bagaimana peran sebuah merek dalam strategi pemasaran sebuah produk. Merek akan berpengaruh terhadap kinerja pemasaran produk tersebut, sehingga sebuah merek secara essential merupakan janji produsen kepada konsumen tentang fitur, keuntungan, pelayanan yang konsisten. Sebuah merek yang baik memberikan jaminan kualitas yang baik pula. Kertajaya dalam Ferrinadewi (2005) mengatakan bahwa merek sebagai value indicator, yaitu indikator yang menggambarkan seberapa kokoh dan solidnya nilai yang ditawarkan ke pelanggan. Nilai yang ditawarkan dari merek suatu perusahaan antara lain : (1) harga premium, suatu merek yang memiliki ekuitas yang kuat maka perusahaan memiliki privilese untuk mendapatkan harga di atas rata-rata (2) merek yang kuat akan memberikan peluang bagi produsen untuk melakukan perluasan merek untuk mengeksploitasi pasar secara lebih mendalam(3) merek bisa menjadi basis terbentuknya loyalitas dan bahkan fanatisme pelanggan (4) merek dapat menjadi komponen keunggulan bersaing yang sangat kuat, yang sulit ditiru oleh pesaing. Dalam membahas merek tidak bisa mengabaikan konsep ekuitas merek. Ekuitas merek didefinisikan sebagai seperangkat asset dan liabilities yang terkait dengan merek yang menambah atau membagi nilai sebuah produk atau jasa kepada perusahaan dan atau konsumennya (Aaker, 1991). Menurut Quelch dan Harding dalam Aaker (1996), ada tiga aspek yang perlu dipertimbangkan sebelum sebuah perusahaan memutuskan untuk menggunakan merek distributor. Pertama, ancaman dari produk lain yang menggunakan merek distributor apakah semakin kuat dan lemah. Kedua, kekuatan dari merek. Aspek ini penting mengingat kekuatan merek akan berepengaruh pada loyalitas. Ketiga, apabila perusahaan telah memproduksi dengan merek distributor maka harus diperhitungkan biaya untuk bersaing dalam pasar generik. Pemberian nama merek, menurut Kotler (2000) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 1. Nama merek harus memberikan gambaran tentang keutungan dari produk. 2. Nama merek harus menggambarkan kualitas dari produk. 3. Sebuah nama merek harus mudah diucapkan, dikenali, dan diingat. 4. Sebuah merek harus jelas. 5. Sebuah merek tidak boleh mengandung arti buruk dalam bahsa asing atau dalam budaya negara lain. Kotler (2000) juga menyatakan bahwa tingkat keterlibatan konsumen dalam memilih suatu merek dapat dikategorikan ke dalam tingkat keterlibatan yang rendah (low involvement) dan tingkat keterlibatan yang tinggi (high involvement). Tingkat keterlibatan konsumen terhadap produk dikatakan rendah apabila dalam proses pembelian seorang konsumen tidak melibatkan banyak faktor dan informasi yang harus ikut dipertimangkan. Sedangkan dalam tingkat keterlibatan yang tinggi terhadap produk, konsumen akan melibatkan banyak daktor pertimbangan dan informasi yang harus diperolehnya sebelum
keputusan untuk membeli diambil. Termasuk dalam faktor pertimbangan tersebut adalah faktor resiko, yaitu resiko kinerja, fisik, sosial dan waktu. Proses di mana konsumen membuat keputusan pembelian haruslah dipahami sebagai suatu langkah untuk mengembangkan aplikasi yang strategis. Pembuatan keputusan oleh konsumen adalah bukan hanya proses yang sederhana tetapi kadang-kadang melibatkan sebuah proses yang cukup rumit dan kompleks. Keputusan untuk membeli sebuah motor tentunya merupakan sebuah proses yang sangat berbeda dengan keputusan untuk membeli sebuah pasta gigi. Menurut Assael dalam Ferrinadewi (2005) dikatakan bahwa tipologi pengambilan keputusan oleh konsumen didasarkan pada dua dimensi yaitu (1) seberapa jauh pembuatan keputusan tersebut dan (2) tingkat keterlibatan di dalam pembelian itu sendiri. Kotler (2000), menyebutkan bahwa para pembeli mungkin mempunyai tanggapan berbeda terhadap citra perusahaan atau merek. Citra merek adalah persepsi masyarakat terhadap perusahaan atau produknya. Citra dipengaruhi oleh banyak faktor yang di luar kontrol perusahaan. Citra yang efektif akan berpengaruh terhadap tiga hal yaitu : pertama, memantapkan karakter produk dan usulan nilai. Kedua, menyampaikan karakter itu dengan cara yang berbeda sehingga tidak dikacaukan dengan karakter pesaing. Ketiga, memberikan kekuatan emosional yang lebih dari sekadar citra mental. Supaya bisa berfungsi citra harus disampaikan melalui setiap sarana komunikasi yang tersedia dan kontak merek. Contoh : jika “IMB berarti pelayanan” pesan ini harus diekspresikan melalui lambang-lambang, media tertulis dan audiovisual, suasana (ruang fisik), peristiwa (kegiatan), serta perilaku karyawan. Menurut Kotler (2000), citra merek adalah sejumlah keyakinan tentang merek. Engel, Roger, Blackwell, dan Paul (2000) juga bicara tentang keyakinan. Jelasnya hubungan antara dua node, misalnya, Volvo adalah mobil yang aman. Dua node yang dimaksud adalah Volvo dan aman. Kata ’adalah’ yang menghubungkan kedua node tersebut menunjukkan adanya keyakinan customer. Asosiasi terhadap merek merupakan segala hal yang berkaitan dengan ingatan mengenai sebuah merek. Asosiasi merek merupakan kumpulan keterkaitan sebuah merek pada saat konsumen mengingat sebuah merek (Aaker, 1996). Asosiasi merek menjadi salah satu komponen yang membentuk ekuitas merek dikarenakan asosiasi merek dapat membentuk image positif terhadap merek yang muncul, yang pada akhirnya akan menciptakan perilaku positif konsumen. Menurur Keller dalam Kotler (2000), asosiasi yang timbul terhadap merek didorong oleh identitas merek yang ingin dibangun perusahaan, dan disebutkan asosiasi merek memiliki berbagai tipe yaitu atribut (attributes), asosiasi yang diakitkan dengan atribut-atribut dari merek tersebut, seperti : price, user image, usage imagery, feelings, experiences dan brand personality, manfaat (benefit), asosiasi suatu merek dikaitkan dengan manfaat dari merek tersebut, baik manfaat fungsional maupun manfaat simbolik dari pemakainya, serta pengalaman yang dirasakan oleh pengguna (experiental benefit).
Sikap (attitudes), asosiasi yang muncul dikarenakan motivasi diri sendiri yang merupakan sikap dari berbagai sumber, seperti punishment, reward dan knowledge. Keller dalam Tjiptono (1994) mendefinisikan citra merek sebagai persepsi tentang merek sebagaimana yang dicerminkan oleh merek itu sendiri ke dalam memori ketika seorang konsumen melihat merek tersebut. Model konseptual dari citra merek ini meliputi atribut merek, keuntungan merek dan sikap merek. Pengetahuan akan suatu merek di dalam memori/ingatan penting terhadap pembuatan sebuah keputusan dan telah didokumentasikan dengan baik dalam ingatan sehingga pengetahuan merek (brand knowledge) sangat penting dalam mempengaruhi apa yang dipikirkan oleh seseorang tentang suatu merek. Brand knowledge terdiri dari dua komponen yaitu kesadaran merek (brand awareness) dan citra merek (citra merek). Kesadaran merek berhubungan dengan pengenalan dan pengingatan kembali tentang kinerja suatu merek oleh konsumen. Sedangkan citra merek (citra merek) mengacu pada serangkaian asosiasi yang berhubungan dengan merek yang tertanam di dalam benak konsumen (Keller dalam Kotler, 2000). Citra merek (citra merek) adalah citra tentang suatu merek yang dianggap sebagai sekelompok asosiasi yang menghubungkan pemikiran konsumen terhadap suatu nama merek (Biel, dalam Tjiptono, 1994). Faktor-faktor pembentuk citra merek adalah tipe asosiasi merek, keuntungan asosiasi merek, kekuatan asosiasi merek, dan keunikan asosiasi merek (Keller dalam Kotler 2000). Jadi citra merek yang positif diciptakan oleh suatu asosiasi merek yang kuat, unik dan baik. Keller dalam Tjiptono (1994) menyebutkan bahwa citra merek yang dibangun dari asosiasi merek ini biasanya berhubungan dengan informasi yang ada dalam ingatan dengan sesuatu yang berhubungan dengan jasa atau produk tersebut. Kotler (2000) mengatakan bahwa konsumen akan mengembangkan suatu kepercayaan akan merek. Kepercayaan konsumen akan merek tertentu dinamakan citra merek. Kepercayaan konsumen ini akan bervariasi sesuai dengan citra yang sebenarnya sampai konsumen suatu saat tiba pada sikap preferensi ke arah alternative merek melalui prosedur evaluasi tertentu. Salah satu prosedur yang mempengaruhi evaluasi itu adalah kepercayaan merek atau citra merek. Keller dalam Kotler (2000), mengemukakan dimensi dari citra perusahaan (corporate image), yang secara efektif dapat mempengaruhi brand equity yaitu terdiri dari : a. Atribut produk, manfaat dan perilaku secara umum, terkait kualitas dan inovasi. b. Orang dan relationship, terkait orientasi pada pelanggan (customer orientation). c. Nilai dan program, terkait keperdulian lingkungan dan tanggung jawab sosial. d. Kredibilitas perusahaan (corporate kredibility), terkait keahlian, kepercayaan dan menyenangkan. Beberapa penelitian telah dilakukan oleh para ahli pemasaran mengenai merek. Penelitian pertama dilakukan oleh Keller dalam Aaker (1996) yang mengkategorikan persepsi konsumen terhadap merek menjadi brand awareness dan citra merek. Brand awareness
merupakan proses recognition dan recall suatu merek. Sedangkan citra merek didefinisikan oleh Keller dalam Aaker (1996) sebagai persepsi tentang suatu merek yang terekam dalam memori konsumen. Aaker (1991;1996) mendukung penelitian tersebut dengan mengungkapkan bahwa asosiasi terhadap merek merupakan segala sesuatu tentang merek yang terhubung dengan memori konsumen. Dobni and Zinkhan dalam Aaker (1991) mengemukakan definisi citra merek sebagai persepsi rasional dan emosional terhadap suatu merek tertentu. Citra merek atau citra merek muncul berdasarkan keyakinan konsumen terhadap suatu merek tertentu baik secara fungsional maupun simbolis. Sementara itu Park dan Sinivasan dalam Mowen dan Minor (2002) mengutarakan bahwa agar dapat memahami citra merek secara lebih baik, hendaknya memperhatikan karakteristik yang unik dari suatu produk. C. Kepercayaan merek Costabile (2002) mendefinisikan kepercayaan merek (trust) sebagai persepsi terhadap keandalan dari sudut pandang pelanggan didasarkan pada pengalaman, atau mengarah pada tahapan transaksi atau interaksi yang dicirikan oleh terpenuhinya harapan kinerja produk dan tercapainya kepuasan. Patterson (2003) menyatakan bahwa kepercayaan adalah salah satu komponen dari keberadaan hubungan pelanggan dengan merek. Proposisi yang ditunjukkan oleh Ferrinadewi (2004) adalah kepercayaan terbentuk dari kepuasan pelanggan yang kemudian menjadi indikasi awal terbentuknya kesetiaan pelanggan. Dalam penelitian ini, sejalan dengan riset Costabile (2002) kepercayaan atau trust didefinisikan sebagai persepsi akan keterandalan dari sudut pandang konsumen didasarkan pada pengalaman, atau lebih pada urut-urutan transaksi atau interaksi yang dicirikan oleh terpenuhinya harapan akan kinerja produk dan kepuasan. Kepercayaan dapat pula diartikan sebagai keyakinan akan keandalan dan keyakinan patner dan proses transaksi (Liljander & Ross, 2002). Kepercayaan berkembang sebagai hasil dari pelayanan konsisten dan kompeten serta perlakuan yang wajar kepada konsumen. Proses terciptanya kepercayaan bagi individu terhadap merek didasarkan pada pengalaman mereka dengan merek tersebut. Pengalaman akan menjadi sumber terciptanya rasa percaya bagi konsumen dan pengalaman ini akan mempengaruhi evaluasi konsumen dalam konsumsi, penggunaan atau kepuasan secara langsung dan kontak tidak langsung dengan merek (Costabile, 2002). Dalam usaha jasa seringkali terjadi kesalahan dalam interaksi antara karyawan dengan konsumen dan karena sifat jasa yang inseparability sehingga kesalahan ini tidak terhindarkan. Saat hubungan konsumen dengan penyedia jasa telah sampai pada hubungan yang disebut sebagai true relationship dimana hubungan tipe ini didasarkan pada kepercayaan yang tinggi
konsumen terhadap penyedia jasa (Liljander dan Roos, 2002) maka konsumen dapat lebih memaafkan penyedia jasa bila terjadi kegagalan dalam proses transfer jasa. Oleh karena itu penting bagi perusahaan jasa untuk mengendalikan kepercayaan konsumen (Chiou, Droge, dan Hanvanich, 2002). Kepercayaan pelanggan tidak cukup untuk membuat pelanggan setia, meski dapat dijadikan indikasi awal ditinjau dari perilaku kognitifnya. Perusahaan harus memperhatikan dinamika perilaku pelanggan mereka, sehingga perusahaan dapat menetapkan kelompokkelompok pelanggan yang menguntungkan bagi kepentingan jangka panjang. Kepercayaan konsumen dibentuk dari kualitas layanan karyawan. Harapan konsumen yang terpenuhi akan membentuk belief dalam diri konsumen. Kepercayaan yang terbentuk dalam diri konsumen akan menciptakan positif sense. Hal ini membentuk kepuasan konsumen terhadap layanan jasa yang diberikan oleh perusahaan. Selain itu, positif sense dan kepuasan konsumen akan membentuk suatu sikap, perilaku, dan kognisi loyal dalam diri konsumen untuk mengulangi pengalaman yang diterima dahulu. Ukuran yang paling kuat dari nilai suatu merek adalah kepercayaan yang membentuk loyalitas terhadap produk, baik dalam bentuk pembelian ulang maupun munculnya cerita dari mulut ke mulut yang merupakan cerminan loyalitas dari suatu pelanggan. Loyalitas merek merupakan inti bagi nilai suatu merek. Pada saat konsumen mencapai tahapan loyal pada merek tertentu, maka tidak akan mudah berpindah pada merek lain, walaupun terjadi perubahan seperti kenaikan harga. Pelanggan loyal umumnya bersedia membayar lebih untuk merek yang dianggap lebih baik dengan merek lainnya. Indikator lain yang menjadi tolok ukur loyalitas merek adalah kepuasan pelanggan. Aaker (1999) menyebutkan bahwa kepuasan tercipta oleh akumulasi pengalaman mereka terhadap suatu merek. Konsumen akan merasa puas ketika kebutuhannya terpenuhi melebihi dari yang mereka harapkan, sehingga mereka akan terus menerus menggunakan merek tersebut dan bahkan bersedia merekomendasikan ke orang lain. Loyalitas pada merek adalah salah satu komponen dari ekuitas merek. Ekuitas merek mempunyai lima kategori yaitu (1) loyalitas pada merek (2) name awareness, kualitas, asosiasi merek dan beberapa asset merek lain seperti paten, trademark dan lainnya (Aaker, Kumar dan Day dalam Fatmawati, 2004). Loyalitas pada merek adalah perilaku mengutamakan sebuah merek dengan melakukan pembelian berulang (Assael dalam Kasali 2001). Sedangkan Lau dan Lee dalam Kasali (2001) mengemukakan bahwa loyalitas pada merek adalah perilaku niat untuk membeli sebuah prooduk dan mendorong orang lain untuk melakukan hal yang sama. Assael dalam Kasali (2001) menujukkan bahwa ada beberapa keterbatasan dalam mengidentifikasi loyalitas pada merek dengan pendekatan perilaku. Pertama, mengukur loyalitas pada merek dengan persepsi masa lalu akan menyebabkan terjadinya bias. Kedua, pembelian yang dilakukan konsumen belum tentu merefleksikan perubahan. Ketiga loyalitas pada merek lebih merupakan fungsi dari konsep yang multidimensional daripada sebuah bagian dari perilaku masa lalu.
Menurut Dharmmesta dan Handoko (1997), ada empat tahap loyalitas berdasarkan pendekatan attitudinal dan behavioral. Keempat tahap tersebut adalah kognitif, afektif, konati dan loyalitas tindakan. Tahap loyalitas kognitif menggunakan basis informasi yang secara memaksa menunjukan pada satu merek atas merek lainnya. Loyalitas yang terjadi hanya berdasarkan kognisi saja. Tahap kedua, yaitu loyalitas afektif yang didasari dari pemikiran bahwa sikap merupakan fungsi dari kognisi (pengharapan) pada periode awal pembelian (masa pra konsumsi) dan merupakan fungsi dari sikap sebelumnya ditambah dengan kepuasan pada periode berikutnya (masa konsumsi). Loyalitas pada tahap ini sulit berubah karena loyalitasnya sudah masuk ke dalam benak konsumen sebagai sebuah afeksi. Loyalitas afektif muncul sebagai akibat dari kepuasan, meskipun demikian belum menjamin adanya loyalitas karena masih ada faktor lain yang perlu dipertimbangkan yaitu pembelian kembali. Loyalitas tahap ketiga adalah loyalitas konatif. Konasi menunjukkan bahwa suatu niat atau komitmen untuk melakukan sesuatu kearah tujuan tertentu. Oleh karena itu loyalitas konatif mencakup komitmen mendalam dari konsumen untuk melakukan pembelian. Loyalitas tahap ini mengalami pengembangan menjadi perilaku atau tindakan atau kontrol tindakan. Dalam runtutan kontrol tindakan, niat yang diikuti motivasi, merupakan kondisi yang mengarah pada kesiapan bertindak dan pada keinginan untuk mengatasi amatan untuk mencapai tindakan tersebut. D. Teori Perilaku Konsumen Berbicara mengenai perilaku konsumen berarti memasuki topik yang paling inti dari kegiatan pemasaran, artinya perilaku konsumen merupakan suatu fondasi dari suatu kegiatan pemasaran.Oleh karena itu pemahaman mengenai perilaku konsumen merupakan suatu keharusan bagi seorang manajer pemasaran dalam membuat suatu kebajikan dalam pemasaran secara tepat. Pengertian perilaku konsumen menurut Engel et al (2000) didefinisikan sebagai tindakan individu yang terlibat secara langsung dan menggunakan barang dan jasa meliputi keputusan dalam penggunaan barang atau jasa tersebut. Pemahaman tentang konsumen dan proses konsumsi akan menghasilkan sejumlah manfaat, yang di antaranya adalah kemampuan untuk membantu para manajer mengambil keputusan, memberikan para peneliti pemasaran pengetahuan dasar ketika menganalisis konsumen, membantu legislatif negara serta pembuat peraturan menciptakan hukum dan peraturan yang berhubungan dengan pembelian dan penjualan barang atau jasa, dan membantu konsumen menengah dalam pengambilan keputusan yang lebih baik. Analisis konsumen harusnya menjadi dasar manajemen pemasaran karena akan membantu para manajer untuk mendesain bauran pemasaran, mensegmen pasar bisnis, memposisikan dan mendiferensiasikan produk, melaksanakan analisis lingkungan dan mengembangkan studi riset pasar. Analisis konsumen memberikan pengetahuan menyeluruh tentang perilaku manusia. Studi perilaku konsumen juga memberikan tiga jenis informasi yaitu
orientasi konsumen, fakta-fakta tentang perilaku manusia, dan teori-teori yang menjadi pedoman proses pemikiran (Mowen dan Minor, 2002). Analisis perilaku konsumen diperlukan untuk mengetahui keinginan, persepsi, preferensi, dan perilaku belanja serta pembelian konsumen (Kotler, 2000). Untuk memahami perilaku konsumen diperlukan pemikiran yang lebih khusus lagi. Konsumen beraneka ragam menurut usia, pendapatan, tingkat pendidikan, selera, dan sebagainya. Karena orientasi pemasaran adalah untuk memuaskan kebutuhan konsumen maka para pemasar perlu memahami perilaku konsumen yang beraneka ragam tersebut sehingga mampu mengembangkan barang dan jasa yang dihubungkan dengan kebutuhan mereka. Seperti layaknya ilmu sosial, perilaku konsumen menggunakan metoda serta prosedur riset dari psikologi, sosiologi, ekonomi, dan antropologi. Untuk menggeneralisasikan, riset perilaku konsumen dilakukan berdasarkan tiga perspektif riset yang bertindak sebagai pedoman pemikiran dan pengidentifikasikan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku perolehan (akuisisi) konsumen. Ketiga perspektif tersebut adalah: (1) perspektif pengambilan keputusan (decision-making perspective), (2) perspektif pengalaman (experiental perspective), dan (3) perspektif pengaruh perilaku (behavioral influence perspective). Perspektif pengambilan keputusan menggambarkan seorang konsumen sedang melakukan serangkaian langkah-langkah tertentu pada saat melakukan pembelian. Langkahlangkah ini termasuk pengenalan masalah, mencari, evaluasi alternatif, memilih, dan evaluasi pascaperolehan. Akar dari pendekatan ini adalah pengalaman kognitif dan psikologi serta faktorfaktor ekonomi lainnya. Perspektif pengalaman atas pembelian konsumen menyatakan bahwa untuk beberapa hal konsumen tidak melakukan pembelian sesuai dengan proses pengambilan keputusan yang rasional. Namun, mereka membeli produk dan jasa tertentu untuk memperoleh kesenangan, menciptakan fantasi, atau perasaan emosi saja. Pengklafisikasian berdasarkan perspektif pengalaman menyatakan bahwa pembelian akan dilakukan karena dorongan hati dan mencari variasi. Pencarian variasi ini terjadi ketika konsumen beralih ke merek lain dengan penyebab yang sederhana, yaitu karena mereka merasa bosan dengan merek lama dan tergoda oleh produk baru yang lain. Banyak konsumen yang melakukan pembelian barang dan jasa hanya untuk tujuan kesenangan saja memiliki komponen pengalaman yang kuat. Sebagai contoh, konser rock, simfoni, taman hiburan, dan bioskop. Sasaran dasar dari produk ini adalah menciptakan suasana hati konsumen. Perspektif pengaruh perilaku mengasumsikan bahwa kekuatan lingkungan memaksa konsumen untuk melakukan pembelian tanpa harus terlebih dahulu membangun perasaan atau kepercayaan terhadap produk. Menurut perspektif ini, konsumen tidak saja melalui proses pengambilan keputusan rasional, namun juga bergantung pada perasaan untuk membeli produk atau jasa tersebut. Sebagai gantinya, tindakan pembelian konsumen secara langsung merupakan
hasil dari kekuatan lingkungan, seperti sarana promosi penjualan (seperti kontes), nilai-nilai budaya, lingkungan fisik, dan tekanan ekonomi. Pemahaman tentang konsumen dan proses konsumsi akan menghasilkan sejumlah manfaat, yang di antaranya adalah kemampuan untuk membantu para manajer mengambil keputusan, memberikan para peneliti pemasaran pengetahuan dasar ketika menganalisis konsumen, membantu legislatif negara serta pembuat peraturan menciptakan hukum dan peraturan yang berhubungan dengan pembelian dan penjualan barang atau jasa, dan membantu konsumen menengah dalam pengambilan keputusan yang lebih baik. Analisis konsumen harusnya menjadi dasar manajemen pemasaran karena akan membantu para manajer untuk mendesain bauran pemasaran, mensegmentasikan pasar bisnis, memposisikan dan mendiferensiasikan produk, melaksanakan analisis lingkungan dan mengembangkan studi riset pasar. Analisis konsumen memberikan pengetahuan menyeluruh tentang perilaku manusia. Studi perilaku konsumen juga memberikan tiga jenis informasi yaitu orientasi konsumen, fakta-fakta tentang perilaku manusia, dan teori-teori yang menjadi pedoman proses pemikiran (Mowen dan Minor, 2002). Analisis perilaku konsumen diperlukan untuk mengetahui keinginan, persepsi, preferensi, dan perilaku belanja serta pembelian konsumen (Kotler, 2000). Untuk memahami perilaku konsumen diperlukan pemikiran yang lebih khusus lagi. Konsumen beraneka ragam menurut usia, pendapatan, tingkat pendidikan, selera, dan sebagainya. Karena orientasi pemasaran adalah untuk memuaskan kebutuhan konsumen maka para pemasar perlu memahami perilaku konsumen yang beraneka ragam tersebut sehingga mampu mengembangkan barang dan jasa yang dihubungkan dengan kebutuhan mereka. Menurut Dharmmesta dan Handoko (1997) ada dua faktor penting tentang arti perilaku konsumen, yaitu proses pengambilan keputusan dan kegiatan-kegiatan fisik. Semua ini melibatkan individu dalam menilai, mendapatkan, dan mempergunakan barang dan jasa ekonomis. Perilaku disini diartikan tidak hanya menyangkut kegiatan-kegiatan yang tampak jelas, sebab kegiatan-kegiatan yang tampak jelas hanyalah merupakan salah satu bagian dari pengambilan keputusan.
E. Hipotesis Berdasarkan tinjauan pustaka yang sudah diuraikan maka hipotesis dalam penelitian ini ada 2, yaitu: 1. Nilai pelanggan berpengaruh terhadap kepercayaan atas merek Tolak Angin.
produk herbal
2. Citra merek berpengaruh terhadap kepercayaan atas merek produk herbal Tolak Angin
F. Model Penelitian Untuk menguji pengaruh Nilai Pelanggan dan Citra Merek terhadap Kepercayaan Atas Merek digunakan model yang terdapat dalam Gambar 1
Nilai Pelanggan
H1
Kepercayaan Atas Merek Citra Merek
H2
METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian dilakukan di Kota Daerah Istimewa Yogyakarta. Kota ini dipilih sebagai lokasi penelitian karena kultur masyarakatnya masih kental akan tradisi minum jamu sebagai obat herbal. B. Data dan Teknik Pengumpulan Data yang digunakan adalah data primer yang berasal dari pengisian kuesioner yang dibagikan kepada setiap responden. Data ini berkaitan dengan persepsi masing-masing responden mengenai pengaruh peran nilai pelanggan dan citra merek terhadap kepercayaan atas merek produk obat herbal Tolak Angin. C. Populasi dan Sampel Penelitian Subyek penelitian adalah orang yang dalam kurun waktu 3 bulan terakhir ini menggunakan atau meminum produk herbal Tolak Angin. Metode pengambilan sampel menggunakan convenience sampling, yaitu mengambil sampel dari setiap orang yang bisa ditemui di lokasi penelitian (Sekaran, 2003). Jumlah sampel ditetapkan sebanyak 100 responden. Jumlah ini sudah memenuhi rules of thumbs yang dikemukakan oleh Roscoe (dalam Sekaran, 2003), bahwa jumlah sampel yang tepat untuk sebagian besar penelitian adalah lebih dari 30 dan kurang dari 500.
D. Definisi Operasional Variabel Definisi operasional adalah batasan pengertian variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian. Definisi operasional diperlukan untuk menjelaskan supaya ada kesamaan penaksiran dan tidak mempunyai arti yang berbeda-beda (Sekaran, 2003). Nilai pelanggan (X1) didefinisikan sebagai kesesuaian nilai yang dirasakan konsumen antara harga produk dengan kualitas produk yang diterima konsumen. Nilai pelanggan diukur dengan indikator kesesuaian harga, berkualitas, mudah diperoleh, bermanfaat dan dibutuhkan. Citra merek (X2) didefinisikan sebagai asosiasi merek berdasarkan persepsi rasional dan emosional terhadap suatu merek produk, yang diukur dengan indikator selalu diingat, persepsi positif, ciri khas, asosiasi dengan kualitas, dan terkenal. Kepercayaan konsumen (Y) didefinisikan (trust) sebagai persepsi terhadap keandalan dari sudut pandang pelanggan didasarkan pada pengalaman, atau mengarah pada tahapan transaksi atau interaksi yang dicirikan oleh terpenuhinya harapan kinerja produk dan tercapainya kepuasan meliputi rasa aman, jaminan, trustworthiness akan produk, dan kepercayaan menggunakan produk. Atribut kepercayaan merek terdiri atas lima butir pernyataan mengenai rasa nyaman, jaminan, trustworthiness akan produk, trustworthiness akan efek negatif produk jika memilih produk lain dan perhatian merek pada konsumen. E. Pengukuran Variabel Pengukuran variabel dilakukan menggunakan skala Likert sebagai berikut: 1) Kategori Sangat Setuju : 5 2) Kategori Setuju : 4 3) Kategori Ragu-ragu : 3 4) Kategori Tidak setuju : 2 5) Kategori Sangat tidak Setuju : 1 F. Uji Instrumen Penelitian 1. Uji Validitas Uji validitas dilakukan untuk mengetahui apakah suatu instrumen alat ukur telah menjalankan fungsi ukurnya. Menurut Sekaran (2003) validitas menunjukkan ketepatan dan kecermatan alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya. Untuk mengetahui konsistensi dan akurasi data yang dikumpulkan dari penggunaan instrumen dilakukan uji validitas dengan menggunakan korelasi product moment pearson. Suatu skala pengukuran disebut valid bila ia melakukan apa yang seharusnya dilakukan dan mengukur apa yang seharusnya diukur. Bila skala pengukuran tidak valid maka ia tidak bermanfaat bagi peneliti karena tidak mengukur apa yang seharusnya diukur atau melakukan apa yang seharusnya dilakukan. Pada penelitian ini validitas yang di uji adalah validitas konstruk (construct validity) dengan mengkorelasikan skor masingmasing butir dengan skor total. Skor total sendiri adalah skor yang didapat dari penjumlahan skor
butir untuk instrumen tersebut. Sebuah item dikatakan valid bila r-hitung > r-tabel (Sugiyono, 2001). Uji validitas dalam penelitian ini dilakukan dengan bantuan program SPSS. 2. Uji Reliabilitas. Pengujian reliabilitas adalah berkaitan dengan masalah adanya kepercayaan terhadap instrumen. Suatu instrumen dapat memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi (konsisten) jika hasil dari pengujian instrumen tersebut menunjukkan hasil yang tetap. Dengan demikian, masalah reliabilitas instrumen berhubungan dengan masalah ketepatan hasil. Uji reliabilitas dilakukan untuk mengetahui tingkat kestabilan suatu alat ukur. Pada penelitian ini, uji reliabilitas dilakukan dengan menggunakan pendekatan internal consistency reliability yang menggunakan Cronbach Alpha untuk mengidentifikasikan seberapa baik item-item dalam kuisioner berhubungan antara satu dengan yang lainnya. Sebuah faktor dinyatakan reliabel/handal jika koefisien Alpha lebih besar dari 0,6 (Sekaran, 2003). HASIL DAN PEMBAHASAN A. Uji Instrumen Penelitian Sebelum melakukan analisis data, data penelitian terlebih dahulu dilakukan uji validitas dan reliabilitas data penelitian. Uji validitas dalam penelitian ini menggunakan metode korelasi product moment pearson. Sedangkan uji reliabilitas menggunakan cronbach alpha dengan alat bantu statistik SPSS. (1). Uji Validitas Untuk mengetahui konsistensi dan akurasi data yang dikumpulkan dari penggunaan instrumen dilakukan uji validitas dengan menggunakan Korelasi Product Moment Pearson. Suatu skala pengukuran disebut valid bila variabel melakukan apa yang seharusnya dilakukan dan mengukur apa yang seharusnya diukur. Bila skala pengukuran tidak valid maka ia tidak bermanfaat bagi peneliti karena tidak mengukur apa yang seharusnya diukur atau melakukan apa yang seharusnya dilakukan (Sugiyono, 2001). Uji validitas dilakukan dengan mengkorelasi antara skor yang diperoleh untuk masing-masing pertanyaan dengan skor total. Sebuah item dinyatakan valid/sahih apabila r-hitung lebih besar dari r-tabel (Sugiyono, 2001). Dengan populasi penelitian sebanyak 100 orang maka ditemukan besarnya r-tabel yaitu 0,195 dan hasil uji validitas disajikan dalam tabel berikut: Uji Validitas Variabel Nilai Pelanggan No r-hitung r-tabel Validitas 1 0,896 0,195 Valid 2 0,738 0,195 Valid 3 0,944 0,195 Valid 4 0,924 0,195 Valid 5 0,826 0,195 Valid Sumber: Data Primer, 2014
Tabel 2 Uji Validitas Variabel Citra Merek No r-hitung r-tabel 1 0,463 0,195 2 0,486 0,195 3 0,605 0,195 4 0,711 0,195 5 0,789 0,195 Sumber: Data Primer, 2014
Validitas Valid Valid Valid Valid Valid
Tabel 3 Uji Validitas Variabel Kepercayaan Merek No r-hitung r-tabel Validitas 1 0,692 0,195 Valid 2 0,940 0,195 Valid 3 0,940 0,195 Valid 4 0,248 0,195 Valid 5 0,925 0,195 Valid Sumber: Data Primer, 2014 Berdasarkan hasil uji validitas menggunakan korelasi Product Moment Pearson diketahui bahwa semua item pernyataan dalam variabel penelitian valid/sahih. Menurut Cooper (2003) sebuah variabel dikatakan valid apabila r-hitung > r-tabel (r-hitung>0,195). (2) Uji Reliabilitas Pengujian reliabilitas adalah berkaitan dengan masalah adanya kepercayaan terhadap instrumen. Suatu instrumen dapat memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi jika hasil dari pengujian instrumen tersebut menunjukkan hasil yang tetap. Dengan demikian, masalah reliabilitas instrumen berhubungan dengan masalah ketepatan hasil. Analisis reliabilitas penelitian ini menggunakan Cronbach Alpha untuk mengidentifikasikan seberapa baik item-item dalam kuisioner berhubungan antara satu dengan yang lainnya.
Tabel 4 Uji Reliabilitas Data Variabel Alpha Cronbach alpha Nilai pelanggan 0,917 0,6 Citra merek 0,679 0,6 Kepercayaan merek 0,817 0,6 Sumber: Data Primer, 2014
Reliabilitas Reliabel Reliabel Reliabel
Berdasarkan uji reliabilitas menggunakan Cronbach Alpha, semua variabel yang dikumpulkan melalui instrumen penelitian adalah reliabel/handal karena Alpha lebih besar dari 0,6. B. Analisis Data Analisis pengaruh nilai pelanggan dan citra merek terhadap kepercayaan merek sebagai berikut: Tabel 5 Ringkasan Hasil Analisis Regresi Variabel
Beta
Nilai-t
Prob
Konstanta (α)
4.862
5,436
0.000
Nilai pelanggan
0.616
14,460
0.000
Citra merek
1.352
19,624
0.000
F = 192,657 ; Sig F = 0.000 R2 = 0.799; Sumber: Data Primer, 2014.
Dari Tabel 5 dapat dilihat bahwa nilai konstanta sebesar 4,862 berarti kepercayaan merek tetap ada sebesar 4,862 meskipun tidak dipengaruhi oleh variabel nilai pelanggan dan citra merek. Variabel nilai pelanggan memiliki koefisien sebesar yaitu 0,616 yang berarti variabel nilai pelanggan memiliki hubungan positif dengan kepercayaan konsumen. Hal ini berarti semakin tinggi nilai pelanggan maka semakin tinggi kepercayaan merek obat herbal Tolak Angin. Sebaliknya semakin rendah nilai pelanggan maka semakin rendah juga kepercayaan merek.
Variabel citra merek memiliki koefisien sebesar yaitu 1,352 yang berarti variabel citra merek memiliki hubungan positif dengan kepercayaan konsumen. Hal ini berarti semakin tinggi citra merek maka semakin tinggi kepercayaan merek obat herbal Tolak Angin. Sebaliknya semakin rendah citra merek maka semakin rendah juga kepercayaan merek. Besarnya perubahan variabel kepercayaan merek dijelaskan oleh nilai pelanggan dan citra merek sebesar 79,9% (R2 = 0.799) sedangkan variabel lain yang menjelaskan kepercayaan merek adalah sebesar 20,1%. Sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel nilai pelanggan dan citra merek berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepercayaan merek. Kepercayaan merek terbentuk dari pengalaman konsumen (Costabile, 2002). Pengalaman merupakan hasil dari psikologis konsumen dan tercipta apabila ada keterlibatan konsumen selama proses pra pembelian maupun pada saat pembelian baik dalam bentuk dorongan motivasi maupun bentuk dorongan motivasi maupun dalam bentuk multidimensional (Broderick dan Foxall, 1999). Pengalaman yang dibentuk melalui nilai pelanggan dan persepsi pada citra merek akan menjadi sumber terciptanya rasa percaya bagi konsumen dan pengalaman ini akan mempengaruhi evaluasi konsumen dalam konsumsi, penggunaan atau kepuasan secara langsung dan kontak tidak langsung dengan merek (Costabile, 2002).
SIMPULAN Berdasarkan analisis data diperoleh kesimpulan nilai pelanggan dan citra merek berpengaruh terhadap kepercayaan atas merek produk obat herbal Tolak Angin. Hal ini berarti semakin tinggi nilai pelanggan dan citra merek maka semakin tinggi kepercayaan merek obat herbal Tolak Angin. Sebaliknya semakin rendah nilai pelanggan dan citra merek maka semakin rendah juga kepercayaan merek. Besarnya perubahan variabel kepercayaan merek dijelaskan oleh nilai pelanggan dan citra merek sebesar 79,9% (R2 = 0.799) sedangkan variabel lain yang menjelaskan kepercayaan merek adalah sebesar 20,1%. Saran untuk penelitian mendatang supaya lebih mempertimbangkan untuk mendapatkan data menggunakan metode yang berbeda, karena data dalam penelitian ini berupa persepsi responden tergantung pada pemahaman butir pertanyaan yang tercantum dalam kuesioner sehingga kemungkinan terjadi perbedaan persepsi responden dengan pengukuran yang bersifat self reported sehingga kemungkinan terjadi responden menjawab yang tidak sesuai dengan kenyataan diri.
DAFTAR PUSTAKA Aaker, David. 1991. “Managing Brand Equity”, The Free Press: New York. Aaker, David. 1996. “Building Strong Brands”, The Free Press: New York. Angipora, Marius P. 1999. Dasar-dasar Pemasaran. Cetakan Pertama. Jakarta : PT Rajawali Grafindo Persada. Ardianto, Eka. 2000. Measuring Consumer Involvement Profiles, Jurnal Manajemen Prasetiya Mulya, Volume V, Nomor 10-Agustus, pp.57-61. Ardianto, Eka. 1999. “Mengelola Aktiva Merek : Sebuah Pendekatan Strategis”;Forum Manajemen Prasetiya Mulya, No. 67, p.34-39. Azwar, Saifuddin. 1992. Sikap Manusia : Teori dan pengukurannya, Yogyakarta : Pustaka pelajar. Broderick, Amanda dan Gordon R. Foxall. 1999. Cross-National Consumer Involvement: Putting The Concept in Context, Aston Bussiness School Research Journal, Aston University, Birmingham. Costabile, Michele, 2002. A Dynamic Model of Customer Loyalty, Paper. Chiou, Jyh Shen, Cornelia Droge dan Sangphet Hanvanich. 2002. Does Customer Knowledge Affect How Loyalty Form ?. Journal of Service Research, vol. 5 No 2 Costabile, Michele. 2002. A Dynamic Model of Customer Loyalty, Paper. Cooper, D.R., and Schnindler, P.S. 2003. Business research method, 8th edition. New York: McGraw-Hill Cravens, David W. 2000. Strategic Marketing. USA: Fifth Edition, Mc-Graw Hill. Dharmmesta, Basu Swasta dan T. Hani Handoko. 1997. Manajemen Pemasaran, Analisis Perilaku Konsumen, Edisi 1, BPFE Yogyakarta. Engel, James F., Roger D. Blackwell, and Paul W. Miniard. 2000. Consumer Behavior, International Edition, Forth Worth : Dreyden Press. Fatmawati, Indah. 2004. Citra Rumah Sakit, Kepuasan dan Loyalitas Pelanggan-Studi pada Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta, Utilitas, Vol 12 No 2, Juli. Ferrinadewi, Erna. 2005. Pengaruh Tipe Keterlibatan Konsumen terhadap Kepercayaan Merek dan Dampaknya pada Keputusan Pembelian. Modus. Vol 12 Maret. Kasali, Rhenald. 2001. Membangun Hubungan Emosional (3)”, Kontan, Edisi 29/V 16 April. Kotler, Philip. 2000. Marketing Management, Millennium Edition, New Jersey : Prentice Hall International, Inc.
Liljander, Veronica dan Inger Roos. 2002. Customer-relationship-Level From Spurious to True Relationships, Journal of Services Marketing, vol. 16 (7) Mowen, John C dan Minor, Michael. 2002. Perilaku Konsumen, Jakarta: Erlangga, Perilaku Konsumen, edisi 5, jilid 2, Gelora Aksara Pratama, Bandung. Patterson, Paul G.. 2003. The Impact of Key Personality Constructs on Satisfaction, Trust, Loyalty Relationship in a Service Context, Journal of Services Marketing, vol. 18 (5). Probosari, Ninik. 2003. “Empowerment sebagai Upaya untuk Mencapai dan Memperkuat Kesuksesan Organisasi Bisnis dalam Persaingan Global”, Telaah Bisnis, vol. 4 (1), p. 79-88. Sekaran, Uma. 2003. Research Methods for Business : Skill-Building Approach, Fourth Edition, New York : John Wiley &nSons Inc. Slater and Narver. 1994. ” Does Competitive Moderate the Orientation Performance Relationship?”, Journal of Marketing, 58(1), pp. 46-55Stanton, William J. 2000, Prinsip Pemasaran, Erlangga: Jakarta Suhartanto, Dwi & Anna Nuralia. 2001. Citra Supermarket: Pengaruhnya Terhadap Perilaku Konsumen, Kajian Bisnis, No 23 Mei-Agustus 2001 Sugiyono, E. Wibowo. 2001. Statistika Penelitian, Edisi I, Bandung : Alfabeta Tjiptono, Fandy. 1994. Strategi pemasaran, Yogyakarta : penerbit Andi offset Willkie, William L. 2001. Consumer Behavior, 6 Edition, New York: John Wiley & Sons Inc. William, Band, A. 1991. Creating Value for Customers, John Wiley and Sons Inc.