PENGARUH PENYUNTIKAN SOMATOTROPIN TERHADAP KADAR GLUKOSA DARAH DAN CAIRAN AMNION PADA TIKUS BETINA BUNTING (Rattus norvegicus)
AGUS MULYADI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
RINGKASAN AGUS MULYADI. Pengaruh Penyuntikan Somatotropin terhadap Kadar Glukosa Darah dan Cairan Amnion pada Tikus Betina Bunting (Rattus norvegicus). Dibawah bimbingan Dr. Nastiti Kusumorini dan Drs. Pudji Achmadi. Penelitian ini dilakukan untuk melihat pengaruh pemberian bST terhadap kadar glukosa darah induk dan cairan amnion selama kebuntingan yang dihubungkan dengan tampilan anak.
Sampel tikus (Rattus norvegicus) yang
digunakan sebanyak 36 ekor dan dibagi dalam 3 kelompok percobaan yaitu kelompok yang disuntik dengan bST (kelompok H), kelompok yang disuntik minyak jagung (kelompok M) dan kelompk kontrol (K) yang tidak diberi perlakuan apapun. Tikus (Rattus norvegicus) disuntik pada hari ke-4 sampai hari ke-12 kebuntingan. Perlakuan dilakukan dalam 4 kali pengulangan. Setelah umur kebuntingan mencapai 13, 17, dan 21 hari, kadar glukosa darah, cairan amnion dan bobot fetus diamati dan dibandingkan pada masing-masing umur kebuntingan tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bovine somatotropin (bST) tidak mempengaruhi kadar glukosa darah maupun glukosa cairan amnion dan tidak menginduksi perubahan apapun terhadap bobot fetus.
ABSTRACT The aims of this research was to study influence of bST for blood and amnion glucose rate during gestation period which related to foetus performance. There are 36 rats (Rattus norvegicus) that devided into 3 treatment group that are the groups treated by injected bST (group H), treated by corn oil (group M), and the groups which has no any treatment (group K).
The rats (Rattus
norvegicus) was injected with bST and corn oil on 4 until 12 days of gestation. The experiment used 4 repetitions. When pregnant age reached days 13, 17 and 21, blood glucose rate, amnion glucose rate, and foetus wight mains perceived and compared at each the pregnant age. The results showes that bST did not influence blood and amnion glucose rate and did not induce any changes in average fetal weights.
PENGARUH PENYUNTIKAN SOMATOTROPIN TERHADAP KADAR GLUKOSA DARAH DAN CAIRAN AMNION PADA TIKUS BETINA BUNTING (Rattus norvegicus)
AGUS MULYADI
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
Judul
: Pengaruh Penyuntikan Somatotropin terhadap Kadar Glukosa Darah dan Cairan Amnion pada Tikus Betina Bunting.
Nama penulis : Agus Mulyadi NRP
: B04103004
Menyetujui : Dosen Pembimbing I
Dosen Pembimbing II
Dr. Nastiti Kusumorini NIP. 131 669 942
Drs. Pudji Achmadi NIP. 131 956 684
Mengetahui : Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor
Dr. Drh. I Wayan Teguh Wibawan, MS. NIP. 131 129 090 Tanggal lulus :
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Dompu, Nusa Tenggara Barat pada tanggal 13 Agustus 1984 sebagai anak kedua dari tiga orang bersaudara pasangan Bapak M. Yakub Rais dan Ibu Maatu M. Yakub. Pendidikan sekolah dasar penulis diselesaikan di SD Inpres Kandai I Dompu pada tahun 1997. Selanjutnya penulis meneruskan pendidikan di SLTP 1 Dompu dan lulus pada tahun 2000. Pendidikan sekolah menengah atas penulis diselesaikan di SMU 1 Dompu dan lulus pada tahun 2003. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 2003 melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) sebagai mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama (TPB), kemudian pada tahun 2004 penulis mulai menduduki bangku perkuliahan di Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) IPB. Selama menjadi mahasiswa FKH IPB penulis aktif di Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FKH-IPB sebagai pengurus pada tahun 2005-2006. Penulis juga aktif di Himpunan Minat Profesi (Himpro) Ruminansia dan Himpro Ornithologi dan Unggas 2005-2006. Disamping itu penulis juga terdaftar sebagai pengurus Forum Ilmiah Mahasiswa (FIM) dan Dewan Keluarga Mushola (DKM) AN-NAHL.
PRAKATA Puji dan syukur penulis haturkan kehadirat ALLAH SWT, atas berkat rahmat dan hidayah-Nya, penulisan skripsi dengan judul “Pengaruh Penyuntikan Somatotropin terhadap Kadar Glukosa Darah dan Cairan Amnion pada Tikus Betina Bunting”. Tugas akhir ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Shalawat dan Salam senantiasa tercurahkan kepada suri tauladan kita Nabi Muhammad SAW baserta keluarga, sahabat, dan umatnya. Terima kasih penulis ucapkan sebesar-besarnya kepada : 1. Dr. Nastiti Kusumorini selaku dosen pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan banyak ilmu, kesempatan, motivasi, inspirasi, pengarahan, koreksi, saran, serta pengorbanan dalam penelitian dan penyusunan skripsi. 2. Drs. Pudji Achmadi selaku dosen pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan banyak ilmu, kesempatan, pengarahan, koreksi, saran, dan pengorbanan dalam penelitian dan penyusunan skripsi. 3. Dr. drh. Aryani Sismin Satyaningtijas, MSc. Selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan banyak pengarahan, saran, dan pengorbanan dalam penelitian. 4. Dr. drh. Syahrun Hamdani Nasution, selaku dosen penilai skripsi. 5. drh. Dudung Abdullah, selaku pembimbing akademik. 6. Program Hibah Kompetitif (PHK) A-3 FKH IPB yang telah membiayai dan mendukung terlaksananya penelitian. 7. Mama, Dae, dan Dae lamu-koe tercinta, kakakku Adhim, adikku Ayu Mutmainnah serta keluarga besar yang telah memberikan dukungan moril dan materil. 8. Seluruh staf Laboratorium Fisiologi dan Farmakologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor, terutama Pak Edi, Ibu Sri, Ibu Ida yang telah banyak mencurahkan perhatian, waktu, dan tenaga selama penelitian. 9. Teman-teman sepenelitian, Widia, Ulil, Metha, Athien, dan Intan, terimakasih atas kebersamaan dan semangat yang telah diberikan.
10. Teman-teman Wisma Hattori (Adhim, Daeng, Berri, Lando, Dedi, Gunawan, dan Jemix). 11. Teman-teman terbaikku (Bheta, Bhonex, Zaldi, Daeng, Agung, Adam, Ilham, Adji, dan Berri). 12. Gymnolaemata 40, terimakasih atas kebersamaan dan kekompakannya. 13. Semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan, tetapi penulis berharap tulisan ini dapat memberikan warna baru dalam khasanah bidang veteriner terutama penggunaan hormon. Di luar kekurangan yang ada, penulis juga
berharap
tulisan ini
membutuhkannya.
dapat
bermanfaat
bagi
semua
pihak
yang
Untuk itu penulis sangat berharap kritik dan saran yang
bersifat membangun demi kesempurnaan tulisan ini.
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR ISI......................................................................................
i
DAFTAR TABEL..............................................................................
iii
DAFTAR GAMBAR.........................................................................
iv
PENDAHULUAN Latar Belakang....................................................................... Tujuan Penelitian................................................................... Manfaat Penelitian.................................................................
1 3 3
TINJAUAN PUSTAKA Hewan Coba........................................................................... Klasifikasi........................................................................ Biologi Reproduksi Tikus................................................ Fisiologi Kebuntingan............................................................ Hormon reproduksi.......................................................... Fungsi estrogen pada masa kebuntingan................. Fungsi progesteron pada masa kebuntingan............ Plasenta............................................................................ Nutrisi embrio................................................................... Nutrisi fetus...................................................................... Pertumbuhan embrio dan fetus........................................ Sirkulasi fetus................................................................... Cairan amnion dan allantois............................................ Somatotropin Struktur dan biosintesis somatotropin............................... Reseptor dan kerja somatotropin....................................... Efek somatotropin terhadap kadar glukosa....................... Bovine Somatotropin (bST)..............................................
4 4 4 5 6 6 7 7 10 12 13 16 16 18 20 22 24
MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian................................................ Bahan dan Alat....................................................................... Metode Penelitian.................................................................. Persiapan tikus percobaan.......................................... Perlakuan.................................................................... Pengambilan darah..................................................... Pengambilan cairan amnion....................................... Pengambilan dan penimbangan fetus......................... Pengukuran kadar glukosa.......................................... Analisis statistik…………………………………….. Parameter yang diamati…………………………….. Diagram penelitian......................................................
26 26 26 26 27 27 27 27 28 28 28 29
HASIL DAN PEMBAHASAN..........................................................
30
KESIMPULAN...................................................................................
34
SARAN.............................................................................................. .
34
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................
35
LAMPIRAN.........................................................................................
40
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1. Tabel 2. Tabel 3. Tabel 4. Tabel 5. Tabel 6.
Biologi reproduksi tikus putih................................................... Sumber energi embrio tikus....................................................... Perkembangan dan pertumbuhan tikus pada masa embrional... Diferensiasi dan organogenesis tikus......................................... Rataan kadar glukosa darah dan bobot fetus pada hari ke-13 Rataan kadar glukosa darah, glukosa amnion, dan bobot fetus pada hari ke-17................................................................. Tabel 7. Rataan kadar glukosa darah, glukosa amnion, dan bobot fetus pada hari ke-21.................................................................
DAFTAR GAMBAR
5 11 14 15 30 31 31
Halaman Gambar 1. Kontrol sekresi somatotropin..................................................
PENDAHULUAN
19
Latar Belakang Sektor peternakan merupakan sektor yang strategis, mengingat dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan dan mencerdaskan bangsa, sektor peternakan berperan penting melalui penyediaan protein hewani, seperti daging, susu, dan telur untuk makanan sehari-hari. Apabila bangsa Indonesia memenuhi asupan kecukupan nilai gizi tinggi, maka akan memiliki sumberdaya manusia sehat, cerdas, dan kuat. Kenyataan yang terjadi saat ini, penyediaan protein hewani untuk memenuhi
kebutuhan
masyarakat
belum
sepenuhnya
terpenuhi
karena
pertambahan penduduk yang lebih cepat dari peningkatan produksi pangan terutama protein hewani.
Meningkatnya kebutuhan konsumsi daging akibat
peningkatan taraf hidup, kenaikan tingkat pendidikan dan pengetahuan menyebabkan perubahan pola konsumsi masyarakat ke arah yang lebih baik, tanpa diimbangi oleh peningkatan populasi ternak. Sebagai gambaran, kebutuhan konsumsi daging di Indonesia baru terpenuhi 56% dari daging ayam, 23% terpenuhi dari daging sapi. Khusus untuk memenuhi kebutuhan daging sapi, Indonesia masih mengimpor 50 ribu ton daging dan 400 ribu ekor sapi setiap tahunnya dari negara lain dan yang diuntungkan adalah peternak negara lain (Yudhoyono, 2006). Menurut Riady (2006) telah terjadi peningkatan permintaan daging sapi, sejalan dengan peningkatan pertumbuhan penduduk sebesar 1.45% yang tidak diiringi kelahiran ternak sapi yang besarnya 20% per tahun, sehingga terdapat kekurangan pasokan dalam negeri sebesar 28-29%. Selain itu populasi ternak khususnya ternak sapi menurun rata-rata 0.98%, yaitu dari 11137 ribu ekor menjadi 10680 ekor, dalam kurun waktu lima tahun (2001-2005). Keberhasilan peningkatan populasi ternak sangat tergantung dari sistem reproduksi ternak tersebut.
Suatu usaha yang dapat meningkatkan kuantitas
hewan ternak dapat dilakukan melalui suatu penelitian dasar di bidang fisiologireproduksi, terutama usaha pengembangan ternak politokus (ternak yang dapat menghasilkan anak lebih dari satu dalam satu kali kebuntingan) sehingga usaha peningkatan kebutuhan pangan asal protein hewani dapat cepat tercapai.
Permasalahannya tidak hanya berhenti disini, jumlah anak yang banyak jelas membutuhkan suplai nutrisi yang cukup dari induk. Nutrisi merupakan faktor yang penting. Tanpa nutrisi yang baik dan dalam jumlah yang memadai, maka pertumbuhan anak tidak akan optimal. Selama kebuntingan, anak hewan harus mendapat nutrisi sebagai penunjang pertumbuhan selanjutnya. Jika selama kebuntingan kurang mendapat asupan nutrisi yang cukup, akan menjadi bakalan yang merugikan peternak, sekalipun merupakan keturunan dari bibit unggul. Tingkat ketersediaan nutrisi yang rendah dari induk dapat dikaitkan dengan kinerja tubuh yang tidak optimal selama masa fetus.
Apabila tubuh induk tidak mampu bekerja sebagaimana
mestinya maka anak yang banyak tidak akan bertahan hidup sehingga anak yang lahir nanti jumlahnya sedikit. Untuk mengatasi kecukupan nutrisi selama kebuntingan agar anak-anak yang dilahirkan optimal, maka diperlukan suatu suplemen dari luar tubuh untuk mengoptimalkan metabolisme induk sehingga kecukupan nutrisi untuk anak terpenuhi. Salah satu suplemen yang mungkin bisa memperbaiki nutrisi induk adalah hormon somatotropin.
Kerja hormon somatotropin ini adalah
mempengaruhi metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein dengan cara memobilisasi pemecahan asam lemak dan menstimulus glukoneogenesis (Tortora dan Anagnostakos, 1990). Adanya proses glukoneogenesis akan meningkatkan glukosa yang beredar di dalam darah induk. Keadaan tersebut akan memperbaiki asupan glukosa dari induk ke anak sehingga tampilan anak yang dilahirkan menjadi lebih baik. Melihat kondisi pertumbuhan ternak yang belum optimal, selanjutnya mengamati pentingnya peranan somatotropin pada periode kebuntingan, dan tersedianya hasil bioteknologi somatotropin, serta didukung oleh studi-studi penelitian yang telah dilakukan pada berbagai objek dan metode penyuntikan somatotropin selama ini, penelitian tentang pengaruh penyuntikan somatotropin terhadap kadar glukosa darah dan cairan amnion menarik untuk dilakukan. Dari berbagai hasil penelitian yang telah dipelajari, belum banyak data mengenai pengaruh penggunaan somatotropin terhadap kadar glukosa darah dan cairan amnion selama kebuntingan.
Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk melihat pengaruh pemberian somatotropin terhadap kadar glukosa darah induk dan cairan amnion selama kebuntingan yang dihubungkan dengan tampilan anak.
Manfaat Penelitian Dari hasil penelitian ini tentu akan diperoleh tambahan informasi mengenai aspek-aspek penggunaan soamtotropin pada hewan bunting serta efeknya terhadap ketersediaan glukosa dalam darah dan cairan amnion yang dihubungkan dengan tampilan anak.
TINJAUAN PUSTAKA
Hewan Coba Hewan model yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih yang termasuk hewan bersifat politokus.
Tikus putih sudah sejak lama digunakan
sebagai hewan laboratorium untuk kepentingan medis maupun penelitian karena relatif lebih murah dan mudah dalam pemeliharaannya. Untuk penelitian dalam bidang reproduksi, tikus adalah hewan yang tepat untuk digunakan karena memiliki siklus reproduksi yang pendek, mudah berkembang biak dengan jumlah keturunan yang cukup banyak (Harkness dan Wagner, 1983) dan daya adaptasi yang sangat tinggi pada berbagai macam kondisi iklim dan lingkungan (Poole, 1989).
Klasifikasi Klasifikasi tikus putih menurut Robinson (1979) : Class
: Mamalia
Subclass
: Eutheria
Order
: Rodentia
Suborder
: Myomorpha
Superfamily
: Muiroidea
Subfamily
: Murinae
Genus
: Rattus
Spesies
: Rattus norvegicus
Biologi reproduksi tikus Reproduksi adalah proses perkembangbiakan suatu makhluk hidup yang dimulai sejak bertemunya sel telur betina dengan sel sperma dari jantan, menjadi makhluk hidup baru yang disebut zigot, yang disusul dengan kebuntingan dan diakhiri dengan kelahiran anak (Hernawati, 2001). Tikus termasuk hewan yang memperlihatkan gejala birahi lebih dari dua kali dalam setahun, dengan selang birahi yang relatif pendek yaitu 4-5 hari. Data biologi reproduksi tikus disajikan pada tabel 1. Tabel 1. Data Biologi Reproduksi Tikus Putih Parameter
Keterangan
Lama bunting
20-22 hari
Kawin sesudah beranak
1-2 jam
Umur disapih
21 hari
Umur dikawinkan / pubertas
10 minggu
Siklus kelamin
Poliestrus
Siklus estrus
4-5 hari
Lama estrus
9-20 jam
Perkawinan
Pada waktu estrus
Ovulasi
8-11 jam sesudah kawin
fertilisasi
7-10 jam
Berat lahir
5-6 g
Berat dewasa
Jantan : 300-400 g Betina : 250-300 g
Jumlah anak
Rata-rata sembilan ekor
Plasenta
Diskoidal, hemokorial
Uterus
2 kornua, bermuara sebelum serviks
Perkawinan kelompok
3 betina 1 jantan
Sumber : (Smith dan Mangkoewidjaja, 1988)
Fisiologi Kebuntingan Kebuntingan merupakan keadaan dimana fetus sedang berkembang di dalam uterus seekor hewan betina (Frandson, 1992). Suatu interval waktu yang disebut periode kebuntingan (gestasi), terentang dari saat proses fertilisasi (pembuahan ovum) sampai lahirnya anak.
Hal ini mencakup fertilisasi atau
persatuan antara ovum dan sperma, nidasi atau implantasi, perkembangan membran fetus dan berlanjut ke pertumbuhan fetus (Mannan, 2002). Periode kebuntingan sangat bervariasi dari satu spesies ke spesies lainnya, begitu pula variasi antar individu dalam satu spesies tertentu. Saat terjadinya fertilisasi, sperma harus berada di dalam saluran alat kelamin betina untuk jangka waktu tertentu agar dapat membuahi ovum secara selektif. Ternak politokus memiliki jarak-jarak yang jelas antara blastosis (embrio yang sedang berkembang) di dalam uterus. Implantasi dari satu blastosis menyebabkan timbulnya wilayah
refraktori di dalam endometrium yang menghambat terjadinya implantasi lain di daerah yang sangat berdekatan (Mannan, 2002). Pertumbuhan makhluk baru dari hasil pembuahan ovum oleh spermatozoa setelah proses perkawinan berlalu mempunyai tiga periode, yaitu : periode ovum, periode embrio, dan periode fetus. Roberts (1971) mengatakan bahwa periode ovum dimulai pada saat terjadinya proses fertilisasi sampai saat terjadinya proses implantasi, periode embrio dihitung mulai terjadinya proses implantasi sampai saat terjadinya pembentukan alat-alat tubuh bagian dalam dan periode fetus dihitung mulai dari setelah pembentukan alat-alat tubuh bagian dalam, terbentuknya anggota gerak (extremitas) sampai fetus lahir.
Hormon reproduksi Terjadinya kebuntingan pada hewan diawali dengan pembuahan sperma terhadap sel telur dan diakhiri dengan kelahiran. Untuk menjaga kebuntingan, tubuh melakukan persiapan-persiapan yaitu pembentukan plasenta, pertumbuhan uterus, serta memproduksi hormon-hormon yang berperan dalam kebuntingan. Diantara hormon yang berperan dalam kebuntingan adalah estrogen dan progesteron. Pada saat hewan bunting estrogen dan progesteron diproduksi oleh ovarium, plasenta (Guyton, 1994), dan korpus luteum (Garverick et al., 1992).
Fungsi estrogen pada masa kebuntingan Pada hewan politokus seperti tikus estrogen akan menyebabkan pertumbahan vaskularisasi pembuluh darah dan pertumbuhan endometrium yang mengakibatkan adanya reaksi desidual di tempat terjadinya implantasi. Estrogen menyebabkan peningkatan aliran darah secara tidak langsung, yaitu melalui peningkatan prostaglandin yang dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah pada miometrium maupun pada endometrium (Scharmm et al., 1984). Estrogen mempengaruhi uterus untuk mempertahankan lingkungan yang cocok untuk pertumbuhan dan perkembangan embrio dan fetus dengan meningkatkan proliferasi sel-sel uterus. Konsentrasi estrogen pada tikus bunting tidak berubah mulai hari ke-2 sampai hari ke-12 kebuntingan, setelah itu meningkat secara berangsur-angsur
sampai akhir kebuntingan yaitu hari ke-22 (Taya dan Greenwald, 1981), sementara itu Tuju (1996) melaporkan bahwa konsentrasi estrogen tidak berubah dari hari ke-4 sampai dengan hari ke-12 kebuntingan dan selanjutnya akan berangsur meningkat sampai akhir kebuntingan. Pada akhir kebuntingan estrogen diperlukan dalam jumlah banyak untuk perkembangan kelenjar susu, pengendoran ligament-ligament pelvis, memprakarsai tonus uterus, relaksasi serviks dan mensensitifkan uterus terhadap oksitosin (Mannan, 2002).
Fungsi progesteron pada masa kebuntingan Progesteron merupakan hormon steroid yang terdiri dari 21 atom karbon. Konsentrasi progesteron meningkat setelah terjadinya ovulasi dan semakin meningkat terutama setelah periode plasentasi (Manalu dan Sumaryadi, 1995). Pada hewan bunting, progesteron meniadakan terjadinya ovulasi (Partodihardjo, 1992).
Progesteron merangsang deferensiasi sel-sel endometrium dan
menyiapkan implantasi, bersamaan dengan ini terjadi penurunan proliferasi dan penurunan reseptor estrogen (down regulation) (Okulicz dan Balsamo, 1993). Selanjutnya progesteron berfungsi mencegah kontraksi uterus sehingga tidak terjadi abortus (Putnam et al., 1975). Tuju (1996) melaporkan konsentrasi progesteron pada tikus bunting tidak mengalami perubahan dari umur kebuntingan ke-4 sampai dengan umur kebuntingan ke-12 sedangkan Rodway dan Rothchild (1980) menyatakan bahwa dalam serum tikus bunting konsentrasi progesteron mulai meningkat pada umur kebuntingan ke-12.
Peningkatan konsentrasi progesteron selama kebuntingan
dalam serum induk, terbukti meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan kelenjar susu selama kebuntingan (Tuju dan Manalu, 1995).
Plasenta Plasenta merupakan suatu tenunan yang tumbuh dari embrio dan induknya, dan terjalin saat proses pertumbuhan embrio yang memerlukan kebutuhan penyaluran zat makanan dari induk ke anak dan sebaliknya, sisa makanan anak dikeluarkan ke induk (Mannan, 2002). Menurut Guyton (1995) fungsi utama plasenta memungkinkan difusi bahan makanan dari darah induk ke
darah fetus dan difusi hasil-hasil ekskresi dari fetus kembali masuk ke induk. Pada awal kebuntingan, permeabilitas plasenta relatif kecil, karena tebal membran vili belum berkurang ke ketebalan minimum. Akan tetapi ketika plasenta bertambah tua, permeabilitasnya meningkat secara progresif sampai akhir kebuntingan. Jaringan luar tropoblas mengalami perubahan morfologi menjadi amnion, allantois, khorion, dan kantong kuning telur (Yolk sac).
Mc. Donald (1980)
melaporkan bahwa dengan meningkatnya ukuran embrio, proses difusi zat makanan menjadi tidak cukup untuk mempertahankan hidup dan meneruskan pertumbuhannya. Membran ekstra embrional berkembang sebagai sarana untuk mencukupi kebutuhan meningkatnya nutrisi yang lebih banyak. Proses ini disebut plasentasi. Amnion adalah lapisan yang menyelubungi fetus pada bagian dalam. Allantois adalah lapisan yang terdapat di antara amnion dan khorion. Khorion adalah lapisan yang menyelubungi fetus di bagian luar. Menurut Frandson (1992) plasenta terdiri dari susunan membran sedemikian rupa yang berisikan selaput khorion, allantois, amnion, dan kuning-kuning telur vestigal. Lapisan sel allantois pada bagian dalam menjadi satu atau berhimpitan dengan sel – sel membran khorion. Arteri dan vena yang datang dari plasenta ke tubuh embrio terdapat pada lapisan membran allantois dan khorion. Ruang yang terbentuk
karena
pembentukan
gelembung
amnion
berisi
cairan
yang
konsentrasinya amat kental dan disebut cairan amnion. Cairan amnion berfungsi untuk mengatur tekanan dalam pertumbuhan embrio dan mengurangi goncangan dari luar serta tempat menampung zat buangan embrio melalui urethra. Sedangkan ruang yang terbentuk karena gelembung allantois berisi cairan allantois. Kantong allantois mempunyai fungsi sebagai tempat pembuangan urin melalui urachus. Urachus adalah suatu saluran urin yang menghubungkan kantong urin dan kantong allantois melalui tali pusar (Mannan, 2002). Kantong kuning telur (yolk sac) tumbuh pada awal pertumbuhan embrio, dan terhenti saat setelah amnion dan allantois terbentuk sempurna. Lapis luar tropoblas tumbuh menjalar menyelimuti seluruh permukaan endometrium. Penjalaran tropoblas masing-masing hewan bervariasi sesuai dengan bentuk dan ada tidaknya karankula.
Pada sapi dan domba lapisan luar tropoblas yang
berhubungan dengan epitel karankula segera melarutkan sel-sel epitel vili tropoblas (Mannan, 2002). Difusi oksigen melalui membran plasenta hampir mirip dengan difusi oksigen melalui membran paru.
Oksigen yang terlarut di dalam darah yang
terdapat dalam sinus-sinus plasenta yang lebar mudah melalui membran vili masuk ke dalam darah fetus karena selisih tekanan oksigen dari darah induk dengan darah fetus. Pada pO2 yang rendah, hemoglobin fetal dapat membawa 20 sampai 30 persen oksigen lebih banyak dari pada yang dapat dibawa oleh hemoglobin induk. Selain itu konsentrasi hemoglobin fetus sekitar 50 persen lebih besar daripada konsentrasi hemoglobin induk. Hal ini merupakan faktor yang lebih penting dalam memperbesar jumlah oksigen yang ditranspor ke jaringan fetus (Guyton, 1995). Melalui membran plasenta, karbon dioksida secara terus menerus dibentuk dalam jaringan-jaringan fetus dengan cara yang sama seperti pembentukan karbon dioksida
dalam
jaringan-jaringan
induk.
mengekskresikan CO2 adalah melalui plasenta.
Satu-satunya
cara
untuk
pCO2 yang terkumpul dalam
darah fetus sedikit lebih besar dibandingkan pCO2 darah induk. Selisih tekanan yang rendah ini memungkinkan difusi CO2 yang cukup dari darah fetus ke dalam darah induk, karena kelarutan CO2 yang ekstrem dalam air membran plasenta sehingga memungkinkan CO2 berdifusi melalui membran itu dengan cepat, sekitar 20 kali kecepatan membran O2 (Guyton, 1995). Zat-zat metabolik lain yang dibutuhkan oleh fetus berdifusi ke dalam darah fetus dengan cara yang sama seperti oksigen. Zat makanan seperti glukosa memiliki tingkat konsentrasi dalam darah fetus sekitar 20 sampai 30 persen lebih rendah dibandingkan dengan kadar glukosa darah induk, karena glukosa dimetabolisme dengan cepat oleh fetus. Hal ini selanjutnya menyebabkan difusi glukosa lebih banyak dari darah induk ke darah fetus. Transport glukosa dari induk ke fetus tidak diperlukan energi, transport ini disebut transport fasilitatif. Transport fasilitatif memerlukan keberadaan zat pembawa (carrier) untuk mengangkut zat-zat melalui plasenta (Stefani, 2007). Zat-zat seperti ion kalium, natrium, dan klorida juga berdifusi dari darah induk ke dalam darah fetus (Guyton, 1995).
Sel-sel yang melapisi permukaan luar vili memungkinkan absorbsi secara aktif zat-zat gizi tertentu dari darah induk selama kebuntingan.
Misalnya,
kandungan asam amino, kalsium, dan fosfat inorganik memiliki konsentrasi lebih besar di darah fetus dibandingkan dengan darah induk. Efek ini menunjukan bahwa membran plasenta mempunyai kemampuan mengabsorbsi secara aktif (Guyton, 1995). Ekskresi melalui membran plasenta memiliki kemiripan dengan difusi karbon dioksida dari darah fetus ke darah induk, hasil-hasil ekskresi lain yang dibentuk dalam fetus berdifusi ke dalam darah induk dan kemudian diekskresikan lagi bersama dengan produk sekresi dari induk. Produk-produk sampah dapat berupa urea, asam urat, dan kreatinin. Kadar urea dalam darah fetus hanya sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan kadar urea dalam darah induk karena urea berdifusi dengan sangat mudah melalui membran plasenta (Guyton, 1995).
Nutrisi embrio Pembuahan sperma terhadap sel telur menghasilkan zigot.
Dalam
perkembangannya zigot membutuhkan nutrisi sebagai sumber energi agar mampu melakukan serangkaian pembelahan.
Pada awal pembelahan, embrio bisa
memakai piruvat, tetapi tidak bisa memakai laktat (Takahashi et al., 1992). Glukosa dibutuhkan oleh embrio setelah tahap 4-8 sel dan kebutuhan glukosa tergantung stadium serta bervariasi pada spesies hewan (Tabel 2) (Austin and Short, 1985 ; Gardner et al., 1993). Rendahnya pemakaian glukosa pada awal perkembangan dimaksudkan untuk mengatasi hambatan perkembangan sehingga tidak akan mengganggu proses glikolisis (Gardner et al., 1993). Pada embrio sapi kebutuhan glukosa rendah dan tetap rendah selama stadium pembelahan, kemudian pemakaian glukosa meningkat memasuki tahap 8 sel.
Hal ini
berhubungan dengan waktu aktivitas dari genom embrio (Matsuyama et al., 1993). Pola yang sama terjadi pada embrio domba serta spesies lain (Thompson et al., 1992 ; Kim et al., 1993b).
Tabel 2. Sumber energi yang mampu mendorong pertumbuhan dan perkembangan embrio tikus pada setiap tingkat pembelahan.
Tingkat Pembelahan Substrat Oosit 1-sel Piruvat + + Oxaloacetat + + Fosfoenolpirufat Laktat Glukosa Sumber : (Austin and Short, 1985)
2-sel + + + + -
8-sel + + + + +
Menurut Flood dan Wielbold (1988) pemakaian glukosa meningkat mulai morula kompak. Hal ini berhubungan dengan pembentukan tropoblas pada saat diferensiasi yaitu dibutuhkan energi tinggi sehingga metabolisme glukosa meningkat (Hewitson et al., 1996). Selain itu meningkatnya metabolisme glukosa pada tahap morula kompak disebabkan karena pada tahap ini kebutuhan energi dan bahan-bahan lain hasil metabolisme glukosa lebih banyak dipergunakan untuk proses kompaksi (Leese et al., 1993). Hal yang berbeda terjadi pada embrio domba, glukosa bukan merupakan sumber energi utama pada saat diferensiasi sel karena energi yang dihasilkan untuk metabolisme sel bisa berasal dari asam amino (Thompson et al., 1992). Glukosa berperan penting pada pertumbuhan blastosis dan proses hatcing yang ditunjukan dengan peningkatan pemakaian glukosa dan metabolisme (Brison dan Leese, 1994 ; Matsuyama et al., 1993). Adanya glukosa akan memperbaiki tingkat perkembangan normal embrio dan merangsang proses blastulasi berikutnya. Menurut Brison et al., (1994) peran glukosa pada tahap blastosis sangat penting, karena glukosa sebagai energi substrat diperlukan untuk pembentukan blastosul dan proses hacting.
Peningkatan pemakaian glukosa
menyebabkan perubahan sistem metabolisme dari metabolisme dasar piruvat ke metabolisme dasar glukosa. Selain itu perubahan metabolisme ini juga diketahui akibat adanya kontrol instrinsik dan kontrol ekstrinsik. Kontrol instrinsik embrio berhubungan dengan aktivitas enzim mediator intraselluler dan sistem transport membran plasma. Sedangkan kontrol ekstrinsik berhubungan dengan diferensiasi dan persiapan implantasi (Leese, 1995).
Selain dibutuhkan sebagai sumber
energi, glukosa dapat menghambat proses perkembangan embrio terutama pada stadium awal perkembangan. Glukosa menyebabkan efek crabtree yaitu efek
yang menekan proses fosforilisasi oksidasi dan respirasi di mitokondria, akibatnya akan menghambat petumbuhan embrionik (Seshagrirl et al., 1991).
Nutrisi fetus Sebagian energi dibutuhkan untuk pertumbuhan dan metabolisme berasal dari glukosa, seperempat bagian berasal dari laktat yang dibentuk dari glukosa di dalam plasenta, dan seperempat sisanya berasal dari asam amino. Fetus tidak mensintesis glukosa dari lemak atau protein (glukoneogenesis).
Proses
glukoneogenesis akan terjadi dengan segera setelah kelahiran ketika pO2 naik (Austin and Short, 1985).
Sebagai tambahan untuk energi, fetus harus
mempunyai persediaan bahan-bahan yang dibutuhkan untuk membangun organ tetapi tidak dapat disintesis.
Bahan-bahan tersebut misalnya, asam amino
esensial, asam lemak esensial, vitamin, mineral, dan trace elemen. Banyak dari zat-zat ini ditransfer secara selektif dari induk ke anak melalui mekanisme pengangkutan aktif yang melindungi kebutuhan fetus (Austin and Short, 1985). Nutrisi terutama glukosa disirkulasikan menuju fetus melalui aliran darah induk. Dalam jumlah yang sedikit glukosa berasal dari makanan yang dikonsumsi oleh induk, berasal dari glikogen hati, berasal dari depot lemak dan berasal dari pemecahan protein. Jumlah glukosa yang tersedia untuk fetus tergantung dari besarnya konsentrasi glukosa yang dibawa melalui aliran darah induk. Konsentrasi glukosa ini dipertahankan dengan menyertakan banyak organ endokrin. Selanjutnya tingkat glukosa induk ditentukan oleh absorbsi glukosa di usus dan kerja hormon kortikosteroid, katekolamin, glukagon dan somatotropin dengan meningkatkan proses glukoneogenesis. Selain itu peningkatan konsentrasi glukosa di atas level normal dicegah oleh insulin dengan meningkatkan penyimpanan glukosa di otot dalam bentuk glikogen atau lemak.
Hormon
kebuntingan tertentu lebih lanjut mengontrol glukosa induk dalam meningkatkan ketersediaan glukosa untuk fetus (Austin and Short, 1985). Sebagian besar periode kebuntingan disertai dengan peningkatan bobot badan karena terjadi peningkatan penyimpanan lemak di subkutan. Ini merupakan efek dari hormon progesteron. Kemudian ketika kebutuhan metabolik dari fetus mencapai puncaknya atau selama periode kelaparan, simpanan lemak inilah yang
digunakan untuk memelihara suplai glukosa ke fetus.
Pada primata terdapat
hormon tambahan yang disekresikan dalam jumlah yang besar ke dalam sirkulasi induk untuk membantu proses kebuntingan yang dikenal dengan nama plasenta laktogen.
Plasenta laktogen memiliki aktivitas biologis yang rendah, tetapi
bersama somatotropin ia mampu meningkatkan kadar glukosa darah. Kadar glukosa yang mencapai plasenta ditentukan oleh konsentrasi dan volume darah yang melewati plasenta.
Jika konsentrasi glukosa atau volume darah yang
melewati plasenta kecil maka akan memperlambat pertumbuhan fetus (Austin and Short, 1985).
Pertumbuhan embrio dan fetus Fertilisasi adalah peristiwa bertemunya spermatozoa dan ovum di bagian bawah ampula tuba Fallopii. Sebelum terjadi fertilisasi, spermatozoa mengalami tahap seleksi dan komposisi dengan spermatozoa yang lain.
Dari jutaan
spematozoa yang diejakulasikan, tidak lebih dari 1000 spermatozoa yang mencapai ampula tuba Fallopii.
Beberapa spermatozoa mencapai tempat
fertilisasi dalam waktu yang lebih singkat, kira-kia 15 menit setelah perkawinan. Spermatozoa yang berhasil melalui vagina dan uterus dengan baik akan mengalami reaksi akrosom pada membran plasmanya kemudian menembus massa kumulus, zona pellusida, dan membran vitelin ovum (Toelihere, 1985). Proses selanjutnya adalah fase cleavage, yaitu pembelahan sel tanpa pertumbuhan, selanjutnya terjadi transport konseptus ke uterus, dan dilanjutkan dengan proses implantasi. Pada tikus, implantasi terjadi pada hari ke-6 kebuntingan (Whimstatt, 1975). Pembelahan zigot dari 1 sel menjadi 2 sel, 2 sel menjadi 4 sel, 8 sel, hingga 16 sel berlangsung tanpa terjadi perubahan pada zigot.
Selama fase
cleavage sampai munculnya blastoecele, sel-sel embrional disebut blastomer. Pada tingkatan 16 sampai 32 sel, sel-sel berkumpul menjadi satu kelompok membentuk blastomer yang kemudian disebut morula. berubah menjadi blastula (Tabel 3).
Kemudian morula
Proses pembentukan blastula disebut
blastulasi. Pada mamalia blastula disebut blastocyst. Pada blastocyst terdapat
suatu rongga berisi cairan yang disbut blastocoele, sedangkan pada morula tidak terdapat blastoecoele (Sukra et al., 1989). Pada hewan politokus, blastosis tersebar di kedua tanduk rahim. Sebaran blastosis bisa sedemikian rupa sehingga masing-masing tanduk rahim berisi embrio sama banyak. Letak implantasi ditentukan oleh hubungan antara blastosis terhadap rahim, bukan oleh faktor gaya berat. Blastosis yang masuk ke dalam rahim tidak selalu langsung mengadakan implantasi. Dengan demikian blastosis mengalami hidup bebas sebelum implantasi. Jangka hidup bebas pada tikus 2 hari (Partodihardjo dan Manggung, 1978).
Tabel 3.
Data perkembangan dan Pertumbuhan Tikus pada Masa Embrional Fase sel
Waktu kejadian setelah pembuahan (jam)
1 sel
0-29
2 sel
23-52
3-4 sel
42-59
5-8 sel
49-60
Morulla
68-77
Blastosis
74-82
Sumber : Whitten dan Dagg (1961) Setelah mencapai tahap blastosis, proses selanjutnya adalah implantasi. Implantasi merupakan proses bersarangnya blastosis di dalam selaput lendir rahim sehingga terjadi hubungan erat antara selaput ekstra embrional dan selaput lendir rahim. Ketika zigot berkembang dan menuju rahim, korona radiata dan zona pelusida musnah, dengan demikian blastosis lebih leluasa berhubungan dengan rahim. Sinkronisasi antara blastosis dan kesiapan endometrium merupakan faktor penting kesempurnaan implantasi (Hafez, 1967).
Proses selanjutnya adalah
gastrulasi yang merupakan awal dari pembentukan organ-organ tubuh (Tabel 4).
Tabel 4. Data Diferensiasi dan Organogenesis Tikus Hari
Ciri - ciri
Kebuntingan 6
Implantasi elastosis dengan tropoblas dan inner cell mass delaminasi endoderm.
7
Vili
khorionik
sederhana
dan
tidak
bercabang
;
pembentukan cakram benih embrional ; diferensiasi bagianbagian embrional dan extra embrional. 8
Diferensiasi tropoblas secara cepat ; terlihat garis, legokan dan kancing primitif ; awal pembentukan mesoderm ; pemanjangan sepalo kaudal embrio ; pembentukan sumbu longitudinal embrio.
9
Pembentukan somit ossipital ; tampak dataran neural dari ektodermal dan awal pembentukan lipatan neural.
10 – 10.5
Penutupan parsial saluran neural, otak, primer terbentuk somit servikalis dan torasik bagian atas muncul dua arkus visceralis jelas ; pembentukan jantung, mata, dan telinga primordial ; diferensiasi endoderm menjadi saluran pencernaan bagian depan, tengah, belakang. Bakal hati terdapat di bawah jantung.
11 – 11.5
Pembentukan somit torakis bagian bawah dan lumbal, empat arkus visceralis, pucuk ekor dan pucuk kaki depan ; tubulus mesonefrik mulai berkembang ; pembentukan fleksura sepalika dan kaudal embrio berbentuk C ; lambung, saluran empedu, dan kantong empedu jelas.
12 – 12.5
Pembentukan otak sekunder, somit sakral, kaudal atas, mandibular, maxilar, dan frontonasal ; diferensiasi kaki depan dan kaki belakang ; pembentukan telinga bagian dalam.
13 -13.5
Kaudal bersomit ; proses pembentukan kaki depan dan kaki belakang, wajah, dan celah utama.
14 -14.5
Kaudal bersomit ; gulungan tubuh terbuka ; bakal telinga
jelas ; pembentulan pinna ; prekartilago di mandibula, mata berpindah ke anterior. 15 – 15.5
Kaudal bersomit ; celah di bagian wajah tertutup, diafragma jelas, mata berada di anterior wajah.
16
Kaudal bersomit terakhir; bagian kepala terangkat dari dada ; ossifikasi dari skeleton mulai terbentuk.
Sumber : (Hafez, 1970)
Sirkulasi fetus Aliran darah fetus melalui dua arteri umbilikalis akhirnya ke kapilerkapiler vili, dan kemudian kembali melalui vena umbilikalis ke fetus. Sebaliknya, aliran darah induk dari arteri uterina masuk ke dalam sinus-sinus darah besar di sekitar vili dan kemudian kembali masuk ke dalam vena uterina induk. Paru-paru tidak berfungsi terutama selama kehidupan fetal, sehingga jantung fetus tidak memompa banyak darah melalui paru. Sebaliknya, jantung fetus harus memompa darah dalam jumlah besar melalui plasenta. Sebagian besar darah yang masuk ke atrium kanan dari vena kava inferior langsung berjalan lurus melalui permukaan posterior atrium kanan dan kemudian melalui foramen ovale langsung masuk ke dalam atrium kiri. Jadi, darah yang dioksigenasi baik dari plasenta masuk ke sisi kiri jantung bukan ke sisi kanan jantung dan dipompa oleh ventrikel kiri terutama ke dalam pembuluh darah kepala dan anggota gerak bawah. Darah yang masuk atrium kanan dari vena kava superior langsung berjalan turun melalui katub trikuspidalis masuk ke dalam ventrikel kanan.
Darah ini terutama darah
deoksigenasi dari daerah kepala fetus, dan dipompa oleh ventrikel kanan masuk ke dalam arteri pulmonalis, kemudian melalui duktus arteriosus masuk ke dalam aorta descenden dan melalui arteri umbilikalis masuk ke plasenta, tempat darah deoksigenasi mengalami oksigenasi (Guyton, 1995).
Cairan amnion dan allantois Selaput ekstra embrional atau selaput fetal berkembang dan berfungsi pada kehidupan prenatal. Selaput ini dikeluarkan dari tubuh pada waktu partus atau
beberapa saat sesudahnya. Selaput tersebut terdiri dari kantong kuning telur, kantong amnion, allantois, dan khorion (Partodihardjo dan Manggung, 1978). Perubahan volume uterus pada saat permulaan terjadinya kebuntingan, sebagian besar disebabkan oleh pertambahan cairan amnion dan allantois. Pada waktu pertengahan dari masa kebuntingan, pertambahan volume menjadi hampir sama dengan pertambahan volume fetus.
Cairan amnion pada periode
perkembangan fetus bersifat jernih, tidak berwarna dan mukoid.
Pada sapi
volumenya dapat mencapai 2000-8000 ml dan rata-rata berkisar 5000-6000 ml. Cairan amnion mengandung pepsin, protein, fruktosa, lemak, dan garam serta bersifat bakterisidal dan adhesia. Sumber cairan amnion pada permulaan sampai pertengahan kebuntingan adalah epitel amnion dan urin fetus. Pada kebuntingan lebih lanjut sumber cairan amnion adalah air liur dan sekresi nasopharinks fetus (Mannan, 2002). Menurut Partodihardjo dan Manggung (1978) cairan amnion berfungsi untuk : (1) mencegah embrio menjadi kering, embrio berkembang di dalam lingkungan cairan (kolam renang pribadi embrio), (2) mencegah perlekatan embrio dengan selaput ekstra embrional lainnya.
Otot pada dinding amnion
berkontraksi sehingga secara tidak langsung menggoyang-goyang embrio, (3) meniadakan goncangan. Pada sapi allantois timbul pada minggu kedua dan ketiga kebuntingan sebagai suatu kantong luar usus belakang. Terdiri dari endoderm yang ditutupi oleh suatu selaput vaskuler mesoderm splanchono-pleurik. Lapisan luar allantois kaya pembuluh darah yang berhubungan dengan aorta fetus, melalui arteri umbilikalis. Kantong allantois menyimpan sisa-sisa bahan dari ginjal fetus yang memasukinya dari vesika urinaria melalui korda umbilikalis dengan perantaraan urethra. Cairan ini jernih seperti air dan berwarna kabur mengandung albumin, fruktosa dan urea. Pada sapi menjelang akhir kebuntingan volume cairan allantois berkisar antara 4000-15500 ml dan rata-rata 9500 ml, selanjutnya volume cairan amnion dan allantois mempunyai volume sesuai dengan umur kebuntingan (Mannan, 2002). Chorioallantois, terbentuk karena fusi lapisan luar allantois vaskuler dengan trophoblas, korion atau serosa. Struktur ini kaya pembuluh darah yang
menghubungkan fetus dengan endometrium uterus induk secara intim, diciptakan untuk mengangkut pertukaran metabolik zat-zat makanan, gas, dan bahan sisa antara sirkulasi fetal dan maternal.
Chorioallantois adalah plasenta fetal.
Walaupun cairan, dan gas dapat menembus korion ke sirkulasi maternal dan fetal benda-benda padat dan kebanyakan bakteri secara normal tidak dapat melewati korion kecuali penyakit pada korion memudahkan penetrasinya.
Beberapa
bakteri, virus, dan larva parasit tertentu dapat melewati plasenta yang utuh (Mannan, 2002).
Somatotropin Struktur dan biosintesis somatotropin Somatotropin (growth hormon) adalah hormon polipeptida yang berantai tunggal dan disekresikan oleh sel-sel somatotrof hipifise anterior (Coschigano et al., 2003). Diketahui paling tidak ada tiga macam bentuk somatotropin yang dikenal selama ini. Bentuk yang pertama mempunyai 191 asam amino dengan bobot molekul 22 kDa dan bentuk ini yang paling banyak ditemukan dalam kelenjar hipofise. Bentuk ini mengandung dua macam jembatan sulfida dalam molekul somatotropin, molekul yang satu menghubungkan asam amino (asam amino 53 dan 165 pada manusia) yang membentuk suatu lengkung besar dan yang lain terletak di dekat terminal atau ujung karboksil dari peptida (asam amino 182 dan 189) membentuk suatu lengkungan yang kecil. Bentuk hormon yang kedua mempunyai urutan asam amino yang sama seperti yang pertama, kecuali hilangnya 15 asam amino (nomor 32-460 dari terminus asam molekul tersebut). Bentuk ini mempunyai bobot molekul 20 kDa dan menempati sekitar 10-15% dari hormon yang ada di hipofise. Bentuk yang ketiga dibentuk dari dimerisasi 2 bentuk peptida 22 kDa yang dihubungkan dengan ikatan disulfida antar rantai dan mempunyai bobot molekul 45 kDa dan menempati 1% dari jumlah hormon hipofise. Perbedaan struktur somatotropin ini menyebabkan perbedaan dalam fungsi biologis. Somatotropin dengan berat molekul 20 kDa mempunyai ikatan yang kurang efektif dibandingkan dengan bentuk 22 kDa terhadap reseptor hati, meskipun kedua hormon ini merangsang pertumbuhan (Sodhi dan rajput, 2001).
Produksi dari somatotropin dipengaruhi oleh banyak faktor, termasuk di dalamnya stress, olah raga, nutrisi, tidur, hipoglisemia, estradiol, arginin dan somatotropin itu sendiri. Kontrol utama sekresi somatotropin adalah dua hormon hipothalamus, yaitu growth hormone-releasing hormone (somatokrinin) dan somatostatin. Selain itu hormon lambung (Ghrelin) juga ikut berperan dalam pengaturan sekresi somatotropin (Gambar 1).
Gambar 1. Kontrol Sekresi Somatotropin Sumber : (Cummings dan Merriam, 2003) Growth hormone-releasing hormone (GHRH) berfungsi menstimulasi sekresi dari somatotropin, sedangkan somatostatin menghambat pelepasan somatotropin dari hipofise. Ghrelin merupakan hormon peptida yang disekresikan dari lambung.
Ghrelin mengikat reseptor somatotroph dan menstimulasi
pengeluaran somatotropin (Hartman, 2000).
Sekresi somatotropin juga
dipengaruhi oleh umpan balik negatif yang menyertakan IGF-1. Konsentrasi IGF1 yang tinggi dalam darah akan mengurangi produksi somatotropin dengan merangsang produksi somatostatin. Somatotropin juga bersifat negatif feed back terhadap GHRH dengan menghambat kerja dari sel-sel somatotroph dan sekresi somatotropin dihambat oleh glukokortikoid (Anonymous, 2007).
Reseptor dan kerja somatotropin Reseptor somatotropin berada di permukaan sel. Pada prinsipnya, ikatan antara somatotropin dengan reseptornya mengakibatkan aktivasi enzim seperti fosforilasi yang dilakukan oleh enzim kinase dengan cara memindahkan atau menambahkan gugus fosfat. Hal ini mengakibatkan reaksi intra sel sehingga berpengaruh pada metabolisme dan fungsi sel (Granner, 2003). Somatotropin beredar dalam aliran darah diikat oleh suatu growth hormon binding protein (GHBP). Fungsi GHBP ini masih belum jelas tetapi ada yang berpendapat bahwa GHBP ini meningkatkan waktu paruh somatotropin, memodifikasi distribusinya, mengurangi efek biologis dari pulsatil sekresi somatotropin dengan mengurangi somatotropin bebas selama pulsa sekretori. Somatotropin bekerja di permukaan membran sel karena merupakan molekul peptida dengan reseptornya yang disebut growth hormon reseptor (GHR).
Ada dua macam reseptor somatotropin yang berafinitas tinggi dan
rendah, namun yang berafinitas tinggi sangat penting karena dikaitkan dengan pertumbuhan. Reseptor somatotropin berupa glikoprotein berantai tunggal yang mempunyai 620 asam amino dengan domain ekstra seluler yang luas (246 residu) asam amino, domain transmembran tunggal (24 residu) dan domain sitoplasmik yang panjang (350 residu). Bagian ekstra seluler terdiri atas hormne binding side, yaitu suatu daerah yang penting untuk dimerisasi reseptor (Sodhi dan Rajput, 2001). Selain somatotropin, ada istilah somatomedin yang ditujukan untuk mencerminkan kamampuan suatu unsur memperantarai pengaruh somatotropin. Somatomedin terdiri atas beberapa subtipe, salah satunya adalah somatomedin C. Istilah ini berganti dan didalilkan menjadi IGF-1 (insulin-like growth factor-1) dan IGF-II (insulin-like growth factor-1I). Kedua unsur tersebut dimasukan ke dalam golongan seperti insulin karena kemampuannya untuk merangsang pengambilan glukosa ke dalam otot dan lemak. Di dalam serum sebagian besar IGF adalah kompleks molekul berbobot 150 kDa yang mencakup IGFBP-3 (insulin-like growth factor binding protein-3) dan ALS (acid labile subunit) (Yakar et al., 2002). Somatomedin C dan IGF-1 adalah dua penamaan untuk peptida yang sama sedangkan somatomedin A adalah IGF-II. Penggantian istilah
somatomedin menjadi IGF menyusul purifikasi dua polipeptida yang sama untuk somatomedin A dan C dengan non-suppressible insulin-like activity (NLISA) dan aktivitasnya yang mempromosikan pertumbuhan dari serum manusia (Kamil et al., 2001). Aktivitas biologis IGF bergantung pada reseptor IGF yang spesifik yang ada pada sel target. Reseptor tipe I merupakan suatu glikoprotein dengan bobot molekul antara 300-350 kDa. Reseptor ini terdiri atas dua subunit ekstraselluler dengan bobot molekul 130 kDa dan dua subunit B transmembran dengan bobot molekul 95 kDa. Reseptor IGF ini baik dalam struktur atau fungsinya sejenis dengan reseptor insulin. Kapasitas dan avinitas reseptor IGF-I berubah selama perkembangan. Reseptor ini sudah tampak pada fetus dan tetap tinggi selama pasca melahirkan dan kemudian menurun ketika menuju ke tingkat dewasa. Reseptor tipe II berupa polipeptida berantai tunggal dengan bobot molekul 250 kDa, juga disebut reseptor manosa-6-fosfat.
Tipe ini secara struktural tidak
berkaitan dengan reseptor IGF-I atau insulin (Hartman, 2000). IGF-I berperan dalam pengaturan metabolisme, pertumbuhan, dan diferensiasi sel mamalia. Sintesis dan konsentrasi IGF-I di dalam plasma sangat dipengaruhi oleh somatotropin. IGF-I dalam darah sekitar 55 % diproduksi oleh hati, sehingga hati dianggap sebagai tempat utama produksi IGF-I. Penyuntikan somatotropin akan meningkatkan konsentrasi IGF-I di dalam darah (Vesteergaard et al., 2003).
Peningkatan level reseptor somatotropin berkaitan dengan
peningkatan konsentrasi IGF-I dalam plasma (Shen at al., 2002). Somatotropin memiliki dua efek dasar, yang pertama adalah berkaitan dengan proses produksi, dimana ia memiliki peranan sebagai penengah IGF-1 tetapi tidak bekerja sendiri, dan yang kedua adalah berperan pada ketersediaan nutrisi dimana sebagai penengahnya adalah somatotropin itu sendiri. Sifat dan kepentingan dari efeknya tergantung dari keadaan fisiologi dari hewan. Sebagai contoh : penyuntikan somatotropin pada hewan yang sedang tumbuh dapat meningkatkan jumlah protein otot sedangkan pada hewan yang sedang laktasi menyebabkan kehilangan protein tubuh.
Efek perlakuan somatotropin juga
berpengaruh pada status nutrisi dari hewan. Sebagai contoh : jika disuntikan pada hewan yang keseimbangan energinya positif maka akan mengurangi proses
lipogenesis pada jaringan lemak (tidak meningkatkan lipolisis), tetapi jika keseimbangan energinya negatif maka akan meningkatkan lipolisis (Boyd dan Bauman, 1988). Somatotropin memiliki fungsi yang penting terhadap metabolisme protein, lipid, dan karbohidrat. Pada umumnya somatotropin menstimulasi anabolisme protein di banyak jaringan. Efek ini mencerminkan bahwa terjadi peningkatan pengikatan asam amino, peningkatan sintesis protein, pengurangan oksidasi protein. Somatotropin meningkatkan pemanfaatan lemak dengan menstimulasi penguraian trigliserida dan oksidasi dalam jaringan adiposa (Cummings dan Merriam, 2003).
Pengaruh somatotropin terhadap kadar glukosa Glukosa merupakan bentuk karbohidrat (monosakarida) yang terdapat dalam makanan yang diserap dalam jumlah besar ke darah dan diubah menjadi simpanan, yaitu glikogen di dalam hati dan otot rangka sebagai sumber energi yang utama bagi jaringan tubuh hewan. Pada kondisi kelebihan glukosa, akan dirombak menjadi glikogen, disimpan di otot rangka dan di hati. Pada kondisi kekurangan glukosa, glikogen yang berada di hati akan dirombak menjadi glukosa kembali. Penguraian karbohidrat dalam proses pencernaan dimulai dari mulut dengan
enzim
amilase
yang
menghidrolisis
polisakarida
menghasilkan
monosakarida dan disakarida (Tortora dan Anagnostakos, 1990). Bila proses pencernaan dan penyerapan karbohidrat meningkat maka kadar glukosa dalam darah akan meningkat, begitu juga dengan sintesis glikogen dari glukosa oleh hati. Sebaliknya bila kadar glukosa turun, glikogen diuraikan menjadi glukosa untuk dikatabolisme menjadi energi (Wirahadikusumah, 1985). Makanan yang mengandung karbohidrat tinggi akan meningkatkan kadar glukosa darah secara cepat. Menurut Champe dan Harvey (1994) bahwa salah satu indikator klinis dari kurangnya asupan makanan sebagai sumber energi adalah rendahnya kadar glukosa darah, dimana pada kondisi cukup asupan makanan, glukosa terbakar di dalam sel menjadi CO2, H2O serta energi yang
digunakan untuk metabolisme. Guna menjaga keseimbangan metabolisme, maka kadar glukosa normal harus dipertahankan (Williams, 1995). Menurut Ganong (1995), faktor yang menentukan kadar glukosa darah adalah keseimbangan antara jumlah glukosa yang masuk dan glukosa yang meninggalkan aliran darah, ditentukan oleh masuknya diet, kecepatan masuk dalam sel otot, jaringan lemak dan organ lain serta aktivitas sintesis glikogen dari glukosa oleh hati. Masuknya glukosa ke dalam darah akan meningkatkan kadar glukosa darah dan insulin disekresikan dari pankreas serta menurunnya sekresi glukagon (Linder, 1992). Selanjutnya Guyton (1995) mengatakan somatotropin yang diberikan pada hewan pertama kali akan meningkatkan ambilan glukosa oleh sel dan konsentrasi glukosa darah sedikit menurun. Akan tetapi, bila sel menjadi jenuh oleh glikogen dan penggunaan glukosa untuk energi berkurang, ambilan glukosa menjadi sangat berkurang. Tanpa ambilan sel yang normal, konsentrasi glukosa darah meningkat, kadang-kadang mencapai 50 % sampai 100 % di atas normal. Menurut Tortora dan Anagnostakos (1990) somatotropin mempengaruhi metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein dengan cara memobilisasi pemecahan asam lemak dan menstimulus glukoneogenesis.
Penyuntikan
somatotropin umumnya melawan efek insulin sehingga terjadi peningkatan produksi glukosa di hati melalui proses glukoneogenesis. Akibatnya pemberian somatotropin dalam waktu yang panjang akan mengakibatkan penyakit diabetes militus serta efeknya di hati akan meningkatkan jumlah glikogen (Ganong, 2002). Selanjutnya Turner (1961) mengatakan bahwa pemberian somatotropin dalam jangka waktu yang lama menyebabkan diabetes militus yang permanen dan terjadi kerusakan dari sel ß pankreas yang mensekresikan insulin.
Belum pernah
dilaporkan apakah pemberian insulin, secara langsung akan menstimulasi sel ß pankreas untuk memproduksi insulin (efek pankretrophik) atau bekerja secara tidak langsung pada sel ß pankreas dengan meningkatkan konsentrasi glukosa darah melalui beberapa mekanisme ekstrapankreatik. Kelebihan glukosa darah akan memaksa kerja yang berlebihan dari sel ß pankreas, menyebabkan hipersekresi, hiperplasia, dan akhirnya terjadi kelelahan (fungsi menurun) dan
atropi. Kejadian ini dilihat pada tikus yang mendapatkan asupan karbohidrat yang terlalu banyak kemudian disuntik dengan somatotropin.
Bovine somatotropin (bST) Bovine somatotropin merupakan hormon polipeptida yang dihasilkan oleh hipofise anterior pada hewan sapi. Hormon ini berukuran besar karena disusun dari 191 asam amino. Pada tahun 1930 sampai awal tahun 1980, pengetahuan tentang struktur kimia, aktivitas dan fungsi bST mengalami kemajuan. Walaupun demikian sangat susah untuk mendapatkan bST murni dari hewan sapi (Crooker, 2007). Pada tahun 1921, Evans dan Long menyuntikan larutan yang diekstrak dari hipofise anterior sapi pada tikus normal dan pertumbuhan dari hewan tersebut mengalami percepatan. Percobaan berikutnya dilakukan oleh Smit pada tahun 1927, dia memberikan hasil ekstrak hipofise anterior yang sama pada tikus yang hpofisektomi.
Tahun 1944, Li dan Evans melaporkan bahwa berat molekul
protein dari ekstrak bovine hipofise sebesar 44.250 dalam larutan dengan pH 6.647.00 dan titik isoelektrik dengan pH 6.85 memiliki kemampuan untuk mendorong pertumbuhan pada tikus yang mengalami hipofisektomi.
Pada tahun 1947,
pertama kali dilakukan pemurnian terhadap bovine somatotropin dan disuntikan pada seorang gadis yang menderita kekerdilan dengan dosis 5 mg/KgBB tetapi tidak memiliki efek pada keseimbangan nitrogen.
Ini memberikan gambaran
bahwa hormon ini bersifat spesies spesifik, bovine somatotropin (bST) memiliki struktur kimia yang berbeda dengan human somatotropin (hST) sehingga bST tidak dapat dijadikan sebagai pemacu tumbuh pada manusia (Li, 1988). Perkembangan teknologi rekombinan DNA memungkinkan produksi bovine somatotropin (bST) dalam skala besar. Pada tahun 1980an, teknik biologis baru yang dikenal dengan ”rekayasa genetik” telah dikembangkan. Teknik ini memungkinkan isolasi gen somatotropin yang bertanggung jawab atas pemrograman sel-sel somatotrof pituitari untuk menghasilkan somatotropin, dan penyisipannya ke dalam gen bakteri. Bakteri yang membawa gen somatotropin kemudian akan menghasilkan somatotropin yang biasanya hanya dihasilkan oleh kelenjar pituitari sapi. Sejumlah besar somatotropin dapat dihasilkan oleh bakteri
dalam bejana fermentasi dan dimurnikan dengan biaya yang relatif murah (Manalu, 1994).
MATERI DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dimulai pada bulan Mei sampai dengan bulan Desember 2006 di Laboratorium Fisiologi dan Farmakologi Departemen Anatomi, Fisiologi, dan Farmakologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
Bahan dan Alat Penelitian ini menggunakan tikus betina bunting (Rattus norvegicus) galur Spraque-Dawley paritas kedua berumur ± 16 minggu. Bahan-bahan lain yang digunakan adalah bST (bovine Somatotropin), corn oil (minyak jagung), eter, dan NaCl fisiologis 0.9%. Alat yang digunakan antara lain timbangan, timbangan analitik, syringe 1 ml, alat bedah, kalkulator, tabung reaksi, rak, sentrifuge, pipet, refrigerator, spektrofotometer, dan alat-alat bantu lainnya yang digunakan sesuai kebutuhan.
Metode Penelitian Persiapan tikus percobaan Sebanyak 36 ekor tikus betina (Rattus norvegicus) dikawinkan dengan tikus jantan. Untuk melihat terjadinya perkawinan dilakukan pemeriksaan ulas vagina. Fertilisasi terjadi jika ditemukan spermatozoa di preparat ulas vagina. Hari pertama kebuntingan dihitung sejak ditemukan spermatozoa di preparat ulas vagina.
Selanjutnya tikus-tikus tersebut dibagi dalam 3 kelompok percobaan
yaitu kelompok yang disuntik dengan bST (kelompok H), kelompok yang disuntik minyak jagung (kelompok M), dan kelompok kontrol (K) yang tidak diberi perlakuan. Selanjutnya tikus-tikus tersebut ditempatkan dalam kandang secara individu. Tikus-tikus percobaan dipelihara dalam kandang tikus yang terbuat dari bahan plastik dan disusun dalam rak-rak yang terbuat dari plat besi, setiap satu kandang memiliki tempat pakan dan air minum. diberikan ad libitum.
Pakan (pelet) dan minum
Perlakuan Penyuntikan dilakukan pada hari ke-4 sampai hari ke-12 kebuntingan dengan dosis bST 0 mg/KgBB/hari (kelompok M) dan bST 9 mg/KgBB/hari (kelompok H) dan disuntik secara intramuskular (Azain et al., 1993) pada bagian kaki belakang kiri dan kanan otot semitendinosus secara bergantian. Hari ke-13, 17 dan 21 kebuntingan, tikus dieutanasia dan dibedah untuk pengambilan darah, cairam amnion, dan fetus.
Pengambilan darah Darah diambil dari jantung dengan menggunakan syringe, kemudian dimasukan ke dalam tabung reaksi. Untuk mendapatkan serum, darah dibiarkan selama 2 jam pada suhu kamar, kemudian disentrifuge dengan kecepatan 2500 rpm selama 15 menit. Cairan bening yang berupa serum dikoleksi dan disimpan dalam tabung eppendorf, dibekukan pada suhu -20oC untuk digunakan kemudian dalam penentuan kadar glukosa darah.
Pengambilan cairan amnion Setelah pengambilan darah melalui jantung, tikus dibedah dan diambil cairan amnionnya dengan menggunakan syringe (alat suntik). Cairan ini dimasukan ke dalam tabung eppendorf kemudian dibekukan pada suhu -20oC untuk digunakan kemudian dalam penentuan kadar glukosa cairan amnion. Khusus untuk cairan amnion pada umur kebuntingan 13 hari tidak diambil karena volumenya masih terlalu sedikit.
Pengambilan dan penimbangan fetus Setelah cairan amnion dipastikan optimal diambil, fetus diangkat dari uterus dengan menggunakan gunting dan scalpel.
Penimbangan bobot fetus
dilakukan pada umur 13, 17, dan 21 hari kebuntingan. Bobot fetus ditimbang dengan menggunakan timbangan analitik.
Pengukuran kadar glukosa darah dan cairan amnion Analisis kadar glukosa dilakukan dengan menggunakan metode GOD-PAP, sesuai petunjuk kerja KIT nomor katalog 112192 (Barham dan Trinder, 1972) yang diukur dengan spektrofotometer. Sebanyak 10 μl serum darah atau cairan amnion dimasukan ke dalam tabung reaksi, kemudian ditambahkan 1 ml (1000 μl) reagen (pereaksi warna) dan dihomogenkan dengan menggunakan Vortex. Campuran ini dibiarkan selama 10 menit dalam suhu kamar (20-25ºC), kemudian absorbansinya dibaca dengan menggunakan spektrofotometer. Untuk pengukuran ini, disiapkan juga larutan standar. Pembacaan absorbansi sampel dan standar dilakukan pada panjang gelombang 500.5 nm. Kadar glukosa darah diperoleh dengan membandingkan nilai absorbansi sampel dengan absorbansi standar kemudian dikalikan 100 mg/dl : As Kg =
x 100 mg/dl Ast
Keterangan : Kg : kadar glukosa darah/cairan amnion (mg/dl) As : absorbansi sampel Ast : absorbansi standar
Analisis statistik Data yang diperoleh dianalisa dengan menggunakan metode statistik ANOVA (analisa sidik ragam) dengan pola Rancangan Acak Lengkap (RAL) dan dilanjutkan dengan uji perbandingan DUNCAN.
Parameter yang diamati Kadar glukosa darah dan glukosa cairan amnion induk serta bobot fetus pada umur 13, 17, dan 21 hari kebuntingan.
Diagram penelitian
B A
4
C1 12
13
C2 17
C3 21
D Keterangan : A : Tikus bunting. B : Perlakuan pada hari ke-4 sampai hari ke-12 umur kebuntingan. C1 : Pengambilan sampel untuk menentukan kadar glukosa dan bobot badan pada hari ke-13. C2 : Pengambilan sampel untuk menentukan kadar glukosa dan bobot badan pada hari ke-17. C3 : Pengambilan sampel untuk menentukan kadar glukosa dan bobot badan pada hari ke-21. D : Usia kebuntingan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pengaruh Pemberian bST terhadap Kadar Glukosa Darah Induk dan Bobot Fetus pada Hari ke-13. Data pengukuran kadar glukosa darah dan bobot fetus pada hari ke-13 disajikan pada Tabel 5. Dari hasil penelitian terlihat bahwa pemberian bST 9 mg/KgBB pada hari ke-4 sampai hari ke-12 kebuntingan tidak mempengaruhi kadar glukosa darah induk pada hari ke-13 secara signifikan, namun demikian terlihat ada sedikit kenaikan kadar glukosa darah pada kelompok yang diberi bST. Sejalan dengan kadar glukosa darah, bobot fetus usia 13 hari juga tidak dipengaruhi oleh pemberian bST.
Tabel 5. Rataan Kadar Glukosa Darah dan Bobot Fetus pada Hari ke-13. Parameter Perlakuan Kontrol (K) Minyak (M) Hormon (H) Glukosa darah (mg/dl)
74.66 ± 24.52a
81.52 ± 41.01a
86.63 ± 17.35a
Bobot fetus (g) *
0.07 ± 0.01a
0.12 ± 0.05a
0.07 ± 0.03a
Keterangan : Nilai dengan huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukan hasil yang berbeda nyata (p < 0.05). * : Bobot fetus + plasenta
Pengaruh Pemberian bST terhadap Kadar Glukosa Darah, Glukosa Amnion, dan Bobot Fetus pada Hari ke-17. Data pengukuran kadar glukosa darah, glukosa amnion, dan bobot fetus pada hari ke-17 disajikan pada Tabel 6. Pada usia kebuntingan 17 hari terlihat bahwa bST 9 mg/KgBB tidak mempengaruhi kadar glukosa darah dimana perbandingan antara kadar glukosa darah kelompok bST, kelompok kontrol, dan kelompok minyak tidak signifikan. Perbandingan kadar glukosa amnion ke-3 kelompok percobaan tersebut juga memperlihatkan pola yang sama yaitu tidak signifikan. Sejalan dengan kadar glukosa darah, bobot fetus usia 17 hari tidak dipengaruhi oleh pemberian bST.
Tabel 6. Rataan Kadar Glukosa Darah, Glukosa Amnion, dan Bobot Fetus pada Hari ke-17. Parameter Perlakuan Kontrol (K) Minyak (M) Hormon (H) Glukosa darah (mg/dl)
84.81 ± 16.73a
79.33 ± 9.69a
77.10 ± 9.02a
Glukosa amnion (mg/dl)
24.68 ± 5.33a
26.96 ± 16.03a
22.09 ± 12.80a
Bobot fetus (g)
0.49 ± 0.07a
0.51 ± 0.10a
0.46 ± 0.14a
Keterangan : Nilai dengan huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukan hasil yang berbeda nyata (p < 0.05).
Pengaruh Pemberian bST terhadap Kadar Glukosa Darah, Glukosa Amnion, dan Bobot Fetus pada Hari ke-21. Data pengukuran kadar glukosa darah, glukosa amnion, dan bobot fetus pada hari ke-21 disajikan pada Tabel 7. Pada usia kebuntingan 21 hari, terlihat kadar glukosa darah induk kelompok bST 9 mg/KgBB lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol. Tingginya kadar glukosa darah tidak diikuti dengan kadar glukosa cairan amnion dan bobot fetus. Akan tetapi glukosa cairan amnion dan bobot fetus pada umur kebuntingan 21 hari dari kelompok bST menunjukan rataan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan kelompok kontrol dan minyak.
Tabel 7. Rataan Kadar Glukosa Darah, Glukosa Amnion, dan Bobot Fetus pada Hari ke-21. Parameter Perlakuan Kontrol (K) Minyak (M) Hormon (H) Glukosa darah (mg/dl)
72.26 ± 41.72a
80.93 ± 20.67ab
91.31 ± 28.12b
Glukosa amnion (mg/dl)
27.03 ± 15.88a
23.18 ± 1.95a
28.02 ± 16.66a
Bobot fetus (g)
3.88 ± 0.18a
3.91 ± 0.34a
4.39 ± 0.36a
Keterangan : Nilai dengan huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukan hasil yang berbeda nyata (p < 0.05).
Pembahasan Pemberian bST 9 mg/KgBB pada hari ke-4 sampai hari ke-12 kebuntingan tidak mempengaruhi kadar glukosa darah pada hari ke-13 secara signifikan, tetapi terlihat ada sedikit kenaikan kadar glukosa darah pada kelompok yang diberi bST. Hal ini disebabkan masih ada pengaruh bST walaupun penyuntikan dihentikan pada hari ke-12. Peningkatan kadar glukosa darah sesudah pemberian somatotropin merupakan kombinasi akibat penurunan pemakaian glukosa di dalam jaringan perifer dengan peningkatan produksi glukosa di hati melalui proses glukoneogenesis (Ganong, 2002 ; Pocius dan Herbein, 1986). Guyton (1995) melaporkan, somatotropin mempunyai aksi penting pada metabolisme glukosa dan metabolisme lemak di induk. Hormon ini menyebabkan penurunan sensitivitas insulin dan penurunan pemakaian glukosa oleh induk, sehingga jumlah glukosa yang tersedia untuk embrio atau fetus semakin besar. Selanjutnya Sterle et al. (1995) melaporkan bahwa somatotropin berperan penting dalam pertumbuhan prenatal. Pemberian somatotropin pada babi menstimulasi sintesis IGF-I di hati dan jaringan lain dan secara signifikan meningkatkan plasma glukosa, asam lemak bebas (FFA), dan insulin (Klindt et al., 1992). Interaksi inilah yang diharapkan mampu meregulasi pertumbuhan fetus (Anthony et al., 1995). Namun menurut Peel et al. (1983) kandungan glukosa yang beredar di dalam darah tidak selalu meningkat oleh perlakuan bST. Keragaman ini mungkin berkaitan dengan status neraca energi yang berbeda pada hewan coba sehingga memberikan respon yang berbeda pula terhadap perlakuan, atau dapat juga disebabkan oleh pengambilan sampel yang tidak cukup mewakili kisaran fluktuasi akut dalam konsentrasi glukosa yang beredar di dalam darah. Kadar glukosa darah induk selama kebuntingan masih dalam kisaran normal. Menurut Loeb (1989) kadar glukosa darah tikus normal adalah 60-100 mg/dl. Somatotropin (bST) yang diberikan pada tikus betina bunting tidak mempengaruhi bobot fetus, meskipun kadar glukosa darah sedikit lebih tinggi pada hari ke-13. Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Rehfeldt et al (2001) bahwa somatotropin yang diberikan pada umur 10-27 hari kebuntingan pada babi tidak menginduksi perubahan apapun terhadap rata-rata bobot embrionik, fetus, ataupun neonatal.
Regulasi dari pertumbuhan fetus sangat kompleks dan susah untuk dipahami. Pada hari ke-17 usia kebuntingan perbandingan antara kadar glukosa darah kontrol, minyak, dan hormon tidak signifikan, demikian halnya dengan kadar glukosa amnion maupun bobot fetus. Pada hari ke-13 usia kebuntingan memang terlihat sedikit kenaikan kadar glukosa darah pada perlakuan bST, tetapi perbedaan ini tidak dipertahankan pada hari ke-17. Hal ini mungkin terjadi akibat withdrawl time dari bST yang pendek. Pada sapi somatotropin meningkat dan mencapai puncak dalam plasma sekitar 8 jam setelah penyuntikan dan kemudian kembali ke konsentrasi basal sekitar 24 jam setelah penyuntikan (Manalu, 1994). Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Rehfe1dt et al. (2001) yang menyatakan bahwa somatotropin bekerja sebelum withdrawl timenya berakhir. Kadar glukosa darah meningkat secara signifikan pada hari ke-21 kebuntingan tetapi tidak diikuti dengan peningkatan kadar glukosa cairan amnion maupun bobot fetus.
Peningkatan kadar glukosa darah dan cairan amnion
kelompok bST disebabkan oleh mekanisme fisiologis normal tubuh seiring bertambahnya usia kebuntingan. Peningkatan kadar glukosa ini memang tidak meningkatkan bobot fetus secara signifikan tetapi terlihat rataannya lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol dan minyak yang mencerminkan pemanfaatan glukosa oleh fetus.
Selain glukosa, faktor lingkungan dan genetik juga
menentukan dalam regulasi pertumbuhan fetus (Gluckman, 1986 ; Blasco et al., 1993).
KESIMPULAN Pemberian bovine somatotropin (bST) pada tikus bunting usia 4-12 hari tidak mempengaruhi kadar glukosa darah maupun glukosa cairan amnion dan tidak menginduksi perubahan apapun terhadap bobot fetus.
SARAN Perlu diteliti efek penggunaan somatotropin (bST) dalam jangka waktu yang lama atau selama periode kebuntingan.
DAFTAR PUSTAKA Anonymous, 2007. Action of Anterior Pituitary Hormones : Growth Hormon (GH). http://en.wikipedia.org/wiki/Growth_hormone. Medical College of Georgia. Anthony, R.V., Pratt, S.L., Liang, R., and Holland M.D., 1995. Placental-Fetal Hormonal Interactions : Impact on Fetal growth. J. Anim. Sd. 73 : 18611871. Austin, C.R., and Short, R.V., 1985. Embryonic and fetal development. Cambridge University Press. Cambridge. Azain M.J., Kasser T.R., Sabacky M.J, and Baile C.A., 1993. Comparison of the Growth-Promoting Properties of daily Versus Contanious Administration of Somatotropin in Famale rats with Intact Pituitaries. J. Anim. Sci. 71 : 384392. Barham, D., Trinder, P., 1972. Enzymatic colorimetric test for determination of glucose in serum without deproteinisation. Analyst 97. Rajawali Nusindo. Blasco, A., Bidanel J., Bolet G., Haley, C.S., and Santacreu, M.A., 1993. The Genetics of Prenatal Survival of Pigs and Rabbits. Livest. Prod. Sci. 37 : 121. Boyd, R.D., and Bauman, D.E., 1988. Mechanism of action for somatotropin in growth. In “Current Concepts of Animal Growth Regulation”. Plenum. N.Y. Brison, D.R., and Leese, H.J., 1994. The role of exogenous energy substrat in blastocoele fluid accumulation in the rat. J. zygote. 2 : 69-77. Champe, P.C., and Harvey, R.A., 1994. Lippincot’s Illustrated reviews : Biochemistry. 2nd. Ed. J. B. Lippincot Co., Philadelphia. Coschigano, K.T. et al., 2003. Deletion, but not antagonism, of the mouse growth hormone receptor results in severely decreased body weigth, insulin and insulin-like growth factor I levels and increase life span. Endocrinology 144(9) : 3799 – 3810. Crooker, B.A., 2007. Dairy Research and Bovine Somatotropin. http://www.monsantodairy.com. University of Minnesotta. Cummings, D.E., and Merriam, G.R., 2003. Growth hormone therapy in adults. Annu Rev. Med. 54 : 513-533. (April 14, 2003). http://www. vivo. colostate.edu/hbooks/pathphys/endocrine/index.html. Frandson, R.D., 1992. Anatomy and Physiology of farm animals 4th. Ed. Lea and Febiger philadelphia, Pensivania, USA. Ganong, W.F., 1995. Fisiologi Kedokteran (Review of Medical Physiology). EGC. Jakarta. Ganong, W.F., 2002. Fisiologi Kedokteran (Review of Medical Physiology). EGC. Jakarta. Gardner, D.K., Lane, M., and Batt, P., 1993. Uptake and metabolism of Pyruvate and glucose by individual sheep preattachment embryos developed in vivo. J. Mol Reprod and Dev. 36 : 313-319. Garverick, H.A., Zollers, W.G., and Smith, M.F., 1992. Mechanisms associated with corpus luteum lifespan in animals having normal of subnormal luteal function. Anim. Reprod. Sci. 28 : 111-124.
Gluckman, P.D., 1986. The Regulation of Fetal Growth. In: Proc. 43rd Nottingham Easter School in Agric.Sci. p 85. Butterworths, London. Granner, D.K., 2003. Biokomia harper. Edisi 25. EGC jakarta. Guyton, A.C., 1994. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit. Alih Bahasa : Adji Dharma dan P. Lukman. Edisi II. EGC. Jakarta. Guyton, A.C., 1995. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit. Alih Bahasa : Dr. Petrus Adrianto Edisi III. EGC. Jakarta. Hafez, E.S.E., 1967. Reproductive Failure in Domestic Mammals. Comparative Aspects of reproductive failure. Benischke. Springer-Verlag. Berlin. Hafez, ESE., 1970. Reproduction and Breeding Techniques for Laboratory Animals Lea and Febiger. Philadelphia. Harkness, J.E., and Wagner, J.E., 1983. Biology and Medicine of rabbits and Rodents, Lea and Febiger. Philadelphia. USA. Hartman M.L., 2000. Physiological Regulators of Growth Hormone Secretion in Growth Hormone in Adults. 2nd ED. Cambridge University Press. pp 3-22. Hernawati, 2001. Pengaruh Superovulasi pada Laju ovulasi Sekresi Estradiol dan Progesteron, serta pertumbuhan dan Perkembangan Uterus dan Kelenjar Susu pada Tikus Putih (Rattus sp.) selama Siklus Estrus. Tesis. Program Pasca Sarjana IPB. Bogor. Hewitson, L.C., Martin, K.L., and Leese H.J., 1996. Effect of metabolic inhibitors on mouse preimplantation embryos development and energy metabolism of isolated inner cell masses. J. Mol. Reprod and Dev. 43 : 323-330. Kamil, K., Eten, M., An-an, Y., Elvia, H., dan Diding, L., 2001. Peranan somatotropic axis dalam pengaturan pertumbuhan ternak ruminansia. Fakultas Peternakan Unpad. Kim, J.H., Niwa, K., Lin, J.H., and Okuda, K., 1993b. Efect of phosphate, energy substrates and amino acids on development of invitro matured, in vitro fertilized bovine oocytes in a chemically defined, protein free culture medium. J. Biol of Reprod. 48 : 1320 – 1325. Klindt, J., Buonomo, F.C., and Yen, J.T., 1992. Administration of Porcine Somatotropin by Sustained-Release Implant : Growth and Endocrine Responses in Genetically Lean and Obese Barrows and Gilts. J. Anim. Sci. 70 : 3721-3733. Leese, H.J., Conaghan, J., Hardy, K.,. Handyside, A.H, Martine, K.L., dan Winston, R.M.L., 1993. Non-invasive bichemical methods for assessing human embryos quality. The proceedings of the fourth organon. Round table conference Thessaioniki. Greece. Leese, H.J., 1995. Metabolite control during preimplantation mammalian development. J. Science. 178:127-133. Li, C.H., 1988. Some Aspect on the Biochemistery of Growth Hormon. Plenunm Press : New York. Linder, M.C., 1992. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme dengan Pemakaian Secara Klinis. (Aminuddin Parakkasi, penerjemah). UI-Press. Jakarta. Loeb, W.F., Quimby, and Fred, W., 1989. The Clinical of Laboratory Animals. Pergamon Press. New York. Manalu, W., 1994. Application of Biotechnology Product in Dairy Industry. Journal Media Veteriner Vol 1. Laboratorium Fisiologi Veteriner, Jurusan
Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran hewan, Institut Pertanian Bogor. Manalu, W., dan Sumaryadi, M.Y., 1995. Hubungan antara konsentrasi progesteron dan estradiol dalam serum induk selama kebuntingan dengan total massa fetus pada akhir kebuntingan. Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi Peternakan, Pengolahan dan Komunikasi Hasil Pertanian. Balai Penelitian Ternak, Pusat Penelitian dan Pengembangan peternakan, badan Penelitian dan Pengambangan pertanian, Ciawi, Bogor.p.57-62. Mannan, D., 2002. Ilmu kebidanan Pada Ternak. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Departemen Pendidikan nasional. Matsuyama, K.H., Miyakoshi, H., and Fukui, Y., 1993. Effect of glucose levels during the in vitro culture in synthetic oviduct of bovine oocyte matured and fertilized in vitro. Theriogenology. 40 : 595-605. Mc. Donald, L.E., 1980. Veterinary Endocrinology and Reproduction. 3rd. Edit. Lea and Febriger. Philadelphia. Okulicz, W.C., dan Balsamo, M., 1993. A double immunofluorescent method for simultaneous analysis of progesterne-dependent changes in proliferation and the oestrogen receptor in endometrium of rhesus monkeys. J. reprod. and Fert. 99 : 545-549. Partodihardjo, S. dan Manggung, I.R, 1978. Ilmu-ilmu Reproduksi Ternak.. Departemen Reproduksi. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor. Partodihardjo, S., 1992. Ilmu Reproduksi Hewan. Cetakan ke-3. Mutiara Sumber Widya. Jakarta. Peel, C.J., Fronk, T.J., Bauman, D.E., and Goerewit, R.C., 1983. Effect of Exogenous Growth Hormone in Early and Late Lactation on Lactetional Performance in Dairy Cows. J. Dairy cows. J. Dairy Sci. 66, 776-782. Pocius dan Herbein, 1986 dalam Wasmen M., 1994. Journal Media Veteriner Vol 1. Laboratorium Fisiologi Veteriner, Jurusan Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran hewan, Institut Pertanian Bogor. Putnam, C.D., Brann, D.W., Kolbeck, R.C., and Faber, M., 1975. Follicular growth : the basic event in the mouse and human ovary. J. Reprod. Fert. 45 : 559-566. Rehfeldt, C., Kuhn, G., and Bayer, F., 2001. Effects of Exogenous Somatotropin during Early Gestation on Maternal Performance, Fetal Growth, and Compositional Traits in Pigs. Journal of Animal Science. Vol 79, Issue 7: 1789-1799. Riady, M., 2006. Kebijakan Impor Daging dan Upaya Mewujudkan Swasembada daging 2010. Departemen Pertanian Republik Indonesia. Robinson, R., 1979. Taxonomy and Genetic in the Laboratory Rat. Vol. I. Academic Press, Inc. New York. Rodway and Rothchild., 1980. Effects of estradiol on steroid dehydrogenase activities in rat corpora lutea. J. Endocrinol.84: 391-395. Scharmm, W., Einer, N., Brown, M.B., and Cracken, M.C., 1984. Effect of four primary prostaglandins and relaxin on blood flow in the ovine endometrium and myometrium. Biol. Of Reprod. 30 : 523-531.
Seshagirl, P.B., and Bavister, B.D., 1991. Phosphate is required for inhibition by glucose of development of hamster and cell embryos in vitro. J. Biol of reprod. 40 : 607-614. Shen, W., Mallon, D., Boyle, D.W., Liechty, E.A., 2002. Insulin-Like Growth Factor I and Insulin Regulate elF4F formation by different mechanisms in muscle and liver in the ovine fetus. Am. J Physiol Endocrinol Metab. 383 : E593-E603. Smith, J.B, dan Mangkoewidjojo., 1988. Pemeliharaan, Pembiakan, dan Penggunaan Hewan percobaan Daerah Tropis. UI Press. Jakarta. Sodhi, R., Rajput, Y.S., 2001. Mechanism of growth hormone action: Recent developments-a review. Asian-Aust J Anim Sci Vol 14 (12). Stefani, N., 2007. Perubahan Farmako kinetik Obat pada Wanita Hamil. http://www.kalbefarma.com. Bagian Obstetri dan Ginekologi, Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi, Manado. Sterle, J.A., Cantley T.C., Lamberson W.R., Lucy M.C., Gerrard D.E., Matteri R. L., and Day B.N., 1995. Effects of Recombinant Porcine Somatotropin on Placental Size, Fetal Growth, and IGF-I and IGF-I1 Concentrations in Pigs. J. Anini. Sci. 73:2980 – 2985. Sukra, J, Rahardja, L., dan Juwita, I., 1989. Pengantar Kuliah Embriologi. Departemen Zoologi. FKH IPB. Bogor. Takahashi, Y., and First, N.L., 1992. In vitro development of bovine one-cell embryos influence of glucose lactate, pyruvate, amino acids and vitamins Theriogenelogy. 37: 963-978. Taya, K., dan Greenwald, G.S., 1981. In vivo and in vitro ovarian steroidogenesis in the pregnant rats. Biol. Reprod. 25: 683-691. Thompson, Z.G., Simpson, A.C., Pugh, P.A., and Tervit, H.R., 1992. Requierement for glucose during in vitroculture of sheep preimplantation embryos. J. Mol Reprod and Dev. 31 : 253-257. Toelihere, M.R., 1985. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Penerbit Angkasa Bandung. Tortora, G.J., and Anagnostakos, P., 1990. Principle of Anatomy and Physiology. Harper and Row Publisher. New York. Tuju, E.A., 1996. Hubungan antar peningkatan konsentrasi estradiol dan progesteron dalam serum induk dan perkembangan fetus dan kelenjar susu selama kebuntingan pada tikus putih (Rattus sp.). Thesis. Program Pascasarjana. IPB, Bogor. Tuju, E.A., dan Manalu, W., 1995. Pertumbuhan dan perkembangan kelenjar ambing tikus selama periode kebuntingan dikaitkan dengan jumlah fetus yang dikandung, konsentrasi progesteron dan estradiol dalam serum induk. Dalam Hastiono et al. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Jilid 2. Departemen Pertanian. Halm 447-452. Turner, C.D., 1961. General Endocrinology. W. B. Saunders Company. Philadelphia and London. Whimsatt, W.H., 1975. Some comparative aspects of implantation. Biol. Reprod. 12 : 1-40. Whitten, W.K., dan Daag, C.P., 1961. Influence of spermatozoa on the cleavage rate of mouse eggs. J. Exp. Zool. 8 : 173-183.
Williams, M.H., 1995. Nutrition for Fitness and Sport (4th ed). Broken and Bench Mark Pub, Madison Wirahadikusumah, M., 1985. Biokimia : Metabolisme energi, Karbohidrat dan Lipid. ITB. Bandung. Yudhoyono, S.B., 2006. Sambutan pada tatap muka dengan peternak di Desa Doroncanga, kecamatan Calabai Kabupaten Dompu. Nusa Tenggara barat.
LAMPIRAN
Hasil Uji Anova Kadar Glukosa Darah, Kadar Glukosa Amnion, dan Bobot Fetus pada Hari ke-13, 17 dan 21.
W1 tbl1
W2 tbl1
W3 tbl1
W2 tbl2
W3 tbl2
W1 tbl3
W2 tbl3
W3 tbl3
Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total
Sum of Suquares 1300.322 7753.937 9054.26 125.952 1365.007 1490.959 6879.052 8877.076 15756.128 0.009 0.053 0.062 0.022 9.85 9.872 0.00627 0.01078 0.01705 0.005 0.105 0.109 0.648 0.833 1.481
Keterangan : W1 : Hari ke-13 W2 : Hari ke-17 W3 : Hari ke-21 tbl1 : Kadar glukosa darah tbl2 : Kadar glukosa amnion tbl3 : Bobot badan
df 2 9 11 2 9 11 2 9 11 2 5 7 2 9 11 2 9
Mean Square 650.161 861.549
F 0.755
Sig. 0.94
62.976 151.667
0.415
0.672
3439.526 986.342
3.487
0.076
0.04 0.011
0.407
0.686
0.011 1.094
0.01
0.99
0.00313 0.00120
2.62
0.127
0.002 0.012
0.198
0.824
0.324 0.093
3.501
0.075
11 2 9 11 2 9 11
Hasil Uji Perbandingan Duncan Kadar Glukosa Darah, Kadar Glukosa Amnion, dan Bobot Fetus pada Hari ke-13, 17 dan 21. Kadar glukosa darah pada hari ke-13 w1 tbl1 a
Duncan
perlakuan m k h Sig.
N 4 4 4
Subset for alpha = .05 1 61.1425 74.6600 86.6250 .270
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 4.000.
Kadar glukosa darah pada hari ke-17 w2 tbl1 a
Duncan
perlakuan h m k Sig.
N 4 4 4
Subset for alpha = .05 1 77.1000 79.3275 84.8100 .419
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 4.000.
Kadar glukosa darah pada hari ke-21 w3 tbl1 a
Duncan
perlakuan k m h Sig.
N
Subset for alpha = .05 1 2 4 36.130 4 80.930 80.930 4 91.308 .074 .651
Means for groups in homogeneous subsets are displa a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 4.000.
Kadar glukosa cairan amnion pada hari ke-17 w2 tbl2 a,b
Duncan
perlakuan h k m Sig.
N 2 4 2
Subset for alpha = .05 1 1.55 1.59 1.64 .379
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.400. b.
The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed.
Kadar glukosa cairan amnion pada hari ke-21 w3 tbl2 Duncan
a
perlakuan m k h Sig.
N 4 4 4
Subset for alpha = .05 1 -.0523575 .0000000 .0523575 .895
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 4.000.
Bobot fetus pada hari ke-13 Subset for alpha = .05 perlakuan
N
1
h
4
0.06556
k
4
0.07227
m
4
0.11705
Sig .481 Means for groups in homogenous subsets are displayed a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 4.000.
Bobot fetus pada hari ke-17 w2 tbl3 Duncan
a
perlakuan h k m Sig.
N 4 4 4
Subset for alpha = .05 1 .4600 .4900 .5075 .566
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 4.000.
Bobot fetus pada hari ke-21 w3 tb3 Duncan
perlakuan k m h Sig.
a
N 4 4 4
Subset for alpha = .05 1 3.8825 3.9075 4.3875 .051
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 4.000.
Keterangan : W1 : Hari ke-13 W2 : Hari ke-17 W3 : Hari ke-21 tbl1 : Kadar glukosa darah tbl2 : Kadar glukosa amnion tbl3 : Bobot badan