JURNAL ILMU-ILMU KESEHATAN
SURYA MEDIKA
Volume 7. No. 1 Januari 2011
PENGARUH DAUN MINDI (Melia Azedarach L.) TERHADAP KADAR GULA DARAH DENGAN MENGGUNAKAN TIKUS JANTAN (Rattus Norvegicus) Oleh: Lia Ratna Sari1 ABSTRACT Background: The diabetes mellitus disease is a chronically disease that suffered by mostly people and requires a long period and routine medicinal treatment. The consumption of orally antidiabetical such as glibenclamid for long period causes unwanted side effect. The Mindi leaves as one of the traditional medicines has been utilized frequently. The research concerning about the utilizing of the Mindi leaves intravenously has been conducted but the effect of the utilizing of Mindi leaves boiled water in accordance with the people's utilizing has not been researched yet. Objective: This research has the purpose to observe the effect of Mindi leaves (melia azedarach I.) in decreasing the blood glucose content of the white experimental male mouse that suffered diabetes. Method: This research was carried out toward the subject of the white experimental male mouse (Rattus Norvegicus) number in 25 mousses of 200 - 250 grams weight and 4 months old. The treatment was divided into 5 groups and each group consists of 5 mousses. The first group was given standard medicine (glibenclamide) as the positive control, the second group was given the Mindi leaves boiled water of 0.1 g/ kg weight dosage, the third group was given the Mindi leaves boiled water of 0.2 g/ kg weight dosage, the fourth group was given the Mindi leaves boiled water of 0.4 g/ kg weight dosage, and the fifth group was being the negative control (aquadest). The mousses were made into suffering diabetes by inducting intravenously with streptozocotin of 50 mg/kg weight. The measurement of the blood glucose content was carried out at the day 0.7, 14 and 21 by means of GOD-PAP method (without deproteinisation). The data of measurement was processed by means of one-way Anova and continued by the Post Hoc Test. Result: From the Anova analysis result, it was showed that at the day 21 there a significance difference between the treatment of F output = 24.0145 > F tabel = 2.84 and from the Post Hoc Test it was found that in group IV that is the treatment of the Mindi leaves boiled water of 0.4 g/kg weight dosage capable to decrease the blood glucose content significantly (p>0,05). The conclusion of this research is the giving of the Mindi leaves boiled water of 0.4 g/ kg weight dosage is capable to decrease the blood glucose content of the white experimental male mouse that suffered diabetes significantly.
Key words: Melia Azedarach (mindi leaves), tradisional plant, hyperglikemik, diabetes mellitus 1
Pengajar Politeknik BSI Yogyakarta
1
JURNAL ILMU-ILMU KESEHATAN
Volume 7. No. 1 Januari 2011
PENDAHULUAN Diabetes Mellitus merupakan salah satu penyakit yang disebabkan oleh gangguan metabolisme karbohidrat sebagai sumber energi (Widiastuti, 1989) Kehidupan sehari-hari penyakit ini dikenal atau disebut penyakit kencing manis (Asdie, A.H, 1988) yang ditandai oleh peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemia) kronik akibat defisiensi insulin relatif maupun absolute (WHO, 1985). Diabetes Mellitus sebenarnya merupakan suatu kelompok heterogen penyakit yang gambaran umumnya adalah hiperglikemia. Secara sederhana penyakit ini dapat dibedakan/ diklasifikasikan dalam dua varian yang dibedakan berdasarkan pola pewarisan, respons insulin dan asalnya. Terdapat gejala khas dari Diabetes Mellitus yaitu polidipsi, poliuri dan polifagi (Suharto, dkk, 1980) Diabetes Mellitus terjadi karena terhambatnya penyerapan glukosa ke dalam sel serta gangguan metabolismenya sehingga akan timbul hiperglikemia. Keadaan normal 50 % glukosa yang dimakan akan termetabolisme dengan sempurna menjadi CO2 dan air, 5 % menjadi glikogen dan 30 - 40 % diubah menjadi lemak. Penderita diabetes semua itu terganggu sehingga semua glukosa yang dimakan akan tetap dalam sirkulasi darah dan energi utama diperoleh dari metabolisme protein dan lemak. Polidipsi timbul karena dehidarasi yang disebabkan glukosa tidak berdifusi dengan mudah melalui pori-pori membran sel dan peningkatan tekanan osmotik cairan ekstrasel menyebabkan pemindahan osmotik air keluar dari sel. Efek dari glukosa yang berlebihan menyebabkan kehilangan glukosa dalam urin dan menyebabkan diuresis. Diuresis terjadi karena efek osmotik glukosa dalam tubulus mencegah reabsorpsi cairan oleh tubulus sehingga
SURYA MEDIKA menyebabkan poliuri. Polifagi timbul karena perangsangan pusat nafsu makan di hipotalamus oleh karena kurangnya pemakaian glukosa (Suharto, dkk, 1980). Diabetes Mellitus merupakan penyakit kronik sehingga memerlukan pengobatan yang lama dan rutin (Darmono, 1990). Penyebab diabetes Mellitus dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain faktor pankreas, faktor darah, faktor perifer (reseptor defect sehingga insulin tidak dapat bekerja), dan faktor infeksi (virus) (Tjokroprawiro, A, 1989). Diagnosis Diabetes Mellitus dapat ditegakkan dengan melihat gejala khas dan mengukur kadar glukosa darah sewaktu lebih dari 200 mg/dl (Moerdowo, R. M, 1989). Selain itu untuk mempertegas diagnosis dapat dilakukan berbagai macam pemeriksaan yaitu pemeriksaan penyaring, tes penentu, test monitoring dan tes kondisi. Penggunaan obat antidiabetik oral yang digunakan masyarakat antara lain dari derivat sulfonilurea yaitu glibenklamid yang memiliki mekanisme kerja pelepasan insulin dari sel B, pengurangan kadar glukagon dalam serum, dan berefek pada ekstra pankreas untuk memperkuat kerja insulin pada jaringan targetnya (Katzung, B. G, 1997). Penggunaan jangka panjang dan rutin banyak menimbulkan efek samping antara lain mual, alergi pada kulit, berpengaruh pada sistem haemopoetik yaitu trombositopenia, leukopenia dan agranulositosis. Berdasarkan uraian di atas maka diharapkan bagi penderita Diabetes Mellitus untuk mendapatkan pengobatan alternatif yang relatif lebih murah dan aman. Daun mindi (Melia Azedarach L.) yang dikenal di masyarakat banyak digunakan sebagai obat tradisional. Salah satu khasiat yang dilaporkan, daun tanaman ini dapat digunakan sebagai
2
JURNAL ILMU-ILMU KESEHATAN
Volume 7. No. 1 Januari 2011
obat kencing manis (Diabetes Mellitus) (Hidayat dan Hutapea, J.R., 1991). Selain itu daun dari tanaman mindi ini dapat digunakan untuk menurunkan kadar glukosa darah pada penderita Diabetes Mellitus (Dharma, A.P, 1987) Kandungan utama dari daun ini adalah saponin, flavonoida dan polifenal (Hidayat, dkk, 1991). Flavonoida berfungsi sebagai antioksidan yang utama selain itu juga sebagai antikarsinogenik, antiinflamasi dan juga antiallergik (Aruoma, dkk, 1993). Uraian di atas maka tujuan dari penelitian ini adalah melihat efek air rebusan daun mindi (Melia Azedarach L.) dalam menurunkan kadar glukosa darah tikus putih jantan ( Rattus Norvegicus ) yang menderita diabetes mellitus. BAHAN DAN CARA PENELITIAN Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian eksperimental murni. Subyek yang diteliti adalah tikus putih (Rattus novergicus) galur wistar jantan yang diperoleh dari UPHP (Unit Pengembangan Hewan Percobaan) UGM. Jumlah hewan coba sebanyak 25 ekor dengan berat badan berkisar 200 250 gram, umur 4 bulan. Semua tikus dalam keadaan sehat sebelum perlakuan. Subyek penelitian dibagi menjadi 5 kelompok. Tiap kelompok hewan coba terdiri dari 5 ekor, kemudian masing-masing kelompok mendapat perlakuan yang berbeda yaitu kelompok I merupakan kontrol positif dengan perlakuan obat standar (glibenklamid) dosis 20 mg/kg.BB, kelompok II diberi air rebusan daun mindi 0,1 g/kg.BB, kelompok III diberi air rebusan daun mindi 0,2 g/kg.BB dan kelompok IV diberi air rebusan daun mindi 0,4 g/kg.BB dan
SURYA MEDIKA kelompok V sebagai kontrol negatif pemberian aquades 2,5 ml/kg.BB. Penentuan dosis berdasarkan dosis pada manusia, kemudian dikonversikan ke tikus putih berat 200 gram tetapan 0,018. Ransum tikus adalah BR ad lib. Perlakuan berlangsung selama 21 hari dengan frekuensi pemberian bervariasi tergantung dosis yang diberikan dengan memakai sonde oral. Tikus dibuat dalam keadaan diabetes dengan diinduksi streptozotocin dosis 50 mg/ kg. BB secara intraperitoneal (Chiba, T, 1981). Waktu yang dibutuhkan untuk menjadi diabetes (kadar glukosa sesaat > 200 mg/dl) adalah 10 hari. Pengukuran kadar glukosa darah dilakukan pada hari ke 0, 7, 14, dan 21. Pengukuran kadar glukosa darah menggunakan methode GOD PAP (tanpa deproteinisasi ). Pembuatan air rebusan daun mindi dengan cara air dengan volume yang merupakan hasil konversi dengan volume pada manusia dicampur dengan daun mindi segar sebanyak 1,62 gram yang telah dikonversikan dengan dosis manusia. Kemudian direbus sampai suhu 100° C dan dipekatkan lagi sampai menjadinya setengahnya (Hidayat dan Hutapea, J.R.,1991). Penegakan diagnosis diabetes mellitus pada percobaan ini dengan melihat kadar glukosa darah sesaat lebih dari 200 mg/dl (Moerdowo, R.M, 1989) Analisis data yang dilakukan adalah one-way Anova untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan yang bermakna antar kelompok dan kemudian dilanjutkan dengan Post Hoc Test untuk mengetahui kelompok mana yang paling bermakna menurunkan kadar glukosa darah.
3
JURNAL ILMU-ILMU KESEHATAN
SURYA MEDIKA
Volume 7. No. 1 Januari 2011
HASIL PENELITIAN Hasil dari rerata kadar gula darah selama pengambilan pada masing-
masing kelompok dapat dilihat pada tabel 1
Tabel 1. Rerata Kadar Gula Darah Tikus Rattus (mg/dl) Kelompok
Pengukuran Hari Ke-0
Hari Ke-7
Hari Ke-14
Hari Ke-21
KGD
SD
KGD
SD
KGD
SD
KGD
SD
Kontrol (+)
360,20
21,42
207,40
17,18
135,60
17,53
119,60
41,24
II. Daun Mindi 0,lg/kg.BB
549,40
34,65
340,40
40,43
237,00
24;91
193,00
24,90
III. Daun Mindi 0,2 R/Kg-BB
447,40
88,17
342,20
42,01
269,20
27,40
215,20
22,19
IV. Daun Mindi 0,4 g/kg.BB
407,00
63,18
196,60
14,64
112,80
10,50
82,40
10,92
V. Kontrol (-)
277,33
9,93
213,33
22,31
183,00
12,31
180,17
18,36
I.
Tabel terlihat pada hari ke 0 kadar glukosa darah semua kelompok menunjukkan nilai yang tinggi. Hal ini disebabkan karena pada hari ke 0 semua tikus diinduksi streptozotocin (50 mg/kg..BB) secara intraperitoneal dan belum diberikan perlakuan. Setelah diberi perlakuan, kelompok kontrol positif terlihat mengalami perbaikan mulai hari ke 14, menunjukkan kadar glukosa darah semakin menurun dan mendekati nomal. Kelompok kontrol positif mengalami perbaikan sekitar 66%. Pada kelompok kedua juga mengalami penurunan kadar glukosa darah sekitar 65 %. Kelompok ketiga juga mengalami penurunan kadar glukosa darah sebesar 52 %. Kelompok keempat terlihat pada pengukuran ke-4 (hari ke-21) kadar glukosa sudah menjadi normal bahkan lebih rendah dibanding kontrol positif dan mengalami penurunan kadar glukosa darah sekitar 80%. Kelompok ke-V sebagai kontrol
negatif hanya mengalami penurunan kadar glukosa sekitar 36 %. Hasil analisis data menggunakan uji Anova satu jalan dari hari ke 7, 14 dan 21 sewaktu pengambilan darah diperlihatkan pada tabel 2. Tabel 2. Hasil one-way Anova Pada Hari ke-7, 14 dan 21 Pengukur Df an ke-7 Hari 4 Hari ke4 14 Hari ke4 * 21p < 0,05 signifikan.
F 32,735 57,799 24,015
p .000* .000* .000*
Tabel 2 tersebut terlihat bahwa terdapat perbedaan yang bermakna yaitu pada had ke-7 perlakuan terlihat F output - 32,735 > Ftabel = 2,84 sehingga dapat disimpulkan rata-rata kadar gula darah kelima perlakuan berbeda nyata. Kemudian dilanjutkan dengan Post Hoc Test menunjukkan bahwa kelompok ke
4
JURNAL ILMU-ILMU KESEHATAN
Volume 7. No. 1 Januari 2011
IV mengalami penurunan yang bermakna dibanding kelompok lain dengan p < 0,05. Pengukuran had ke14 terlihat F output = 57,799 > F tabel = 2,84 sehingga dapat disimpulkan rata-rata kadar gula darah kelima perlakuan berbeda nyata. Kemudian hasil Post Hoc Test menunjukkan bahwa kelompok IV yang paling besar mengalami penurunan bermakna dengan p < 0,05. Pengukuran hari ke21 juga terlihat F output = 24,015 > F tabel = 2,84 sehingga dapat disimpulkan rata-rata kadar gula darah kelima perlakuan berbeda nyata. Kemudian dilanjutkan Post Hoc Tes dan terlihat kelompok IV mengalami penurunan yang bermakna kadar glukosanya (p < 0,05 ) terhadap seluruh kelompok perlakuan. Anova one-way kemudian dilanjutkan dengan Post Hoc Tes dapat disimpulkan bahwa yang paling bermakna menurunkan kadar glukosa darah yaitu kelompok IV dengan perlakuan pemberian air rebusan daun mindi dosis paling tinggi yaitu 0,8 mg/kg.BB. Pengukuran berat badan sejak awal penelitian sampai akhir secara statistic tidak ada perbedaan yang bermakna (p > 0,05).
Gambar 1. Grafik Rerata Kadar Gula Darah (KGD) Pada Pengukuran Hari ke-0, 7, 14 dan 21 Hasil penetapan kadar glukosa darah tikus diabetik pada kelima kelompok dapat dilihat lebih jelas pada
SURYA MEDIKA gambar 1 yang berisi grafik rerata KGD pada kelima kelompok tikus diabetik. PEMBAHASAN Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian air rebusan daun mindi dengan dosis 0,4 g/kg.BB selama tiga minggu mampu menurunkan kadar glukosa darah sampai dalam rentang normal yaitu disesuaikan dengan manusia 80 - 120 mg/dl (Darmono, S, 1990). Efek dari air rebusan daun mindi ditunjukkan dengan adanya penurunan kadar glukosa darah pada tikus dan semakin besar penurunan kadar glukosa maka semakin nyata efek dari air rebusan daun mindi tersebut. Pemberian dosis daun mindi 0,1 g/kg.BB dan 0,2 g/kg.BB terlihat menurunkan kadar glukosa darah belum mencapai kadar glukosa normal. Ada kemungkinan karena waktu perlakuan hanya 3 minggu sehingga pada dosis tersebut belum menunjukkan efek atau mekanisme kerja yang optimal. Beberapa mekanisme penurunan kadar glukosa darah dari golongan sulfonilurea adalah perangsangan sekresi insulin di pankreas agar terjadi pelepasan insulin, peningkatan aktivitas faal insulin dalam darah ataupun perbaikan sel-sel beta Langerhans pancreas (Suharto, B., Gan, 1980). Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan dosis yang paling tinggi yaitu 0,4 g/kg.BB mampu menurunkan kadar glukosa darah dalam waktu 21 hari. Kondisi mekanisme penurunan kadar glukosa darah pada percobaan tikus yang diinduksi streptozotocin dosis 50 mg/ kg BB dengan memperbaiki sel beta Langerhans pankreas dalam perangsangan sekresi insulin atau dengan mempertinggi aktivitas faal
5
JURNAL ILMU-ILMU KESEHATAN
Volume 7. No. 1 Januari 2011
insulin melalui penarikan glukosa oleh jaringan dan penghambatan pembentukan glukosa dari glikogen hati (Suharto, B., Gan, 1980). Kepastian mengenai mekanisme penurunan yang terjadi, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut melalui pemeriksaan histologi jarring an pankreas tikus setelah perlakuan. Penelitian tentang studi pendahuluan efek hipoglikemik infus daun mindi pada tikus putih jantan, menunjukkan bahwa pemberian secara infus daun mindi 40% b/v 20 ml/kg.BB mampu menurunkan kadar glukosa darah pada tikus putih jantan diabetik sampai melebihi kontrol dengan pemberian obat tolbutamid (Istiyaroh, N., 1987) Dilaporkan kegunaan dari daun ini adalah sebagai dermatosis, antihelminthik, expektorant, dan hipoglikemik (Jain, S.K., and Fillipps, R. A, 1991) Salah satu fungsinya sebagai hipoglikemik maka ada kaitannya dalam pengobatan antidiabetik. Selain itu, daun mindi yang disebut neem tree yang dapat dimanfatkan dalam dunia kedokteran selain sebagai antihelminthik juga sebagai antidiabetik dan juga penyakit sipillis (Jacobson, M., 1989) Kandungan daun ini yang paling utama adalah flavonoid (Robinson, T.,1995) Flavonoid merupakan derivat flavone yang dibentuk dalam jaringan tumbuhan dan kebanyakan mempunyai warna natural (Aruoma, Okezie, I.,1993) Flavonoid berperan dalam antioksidan yang digunakan untuk menghilangkan jumlah radikal bebas dalam tubuh (Aruoma, Okezie, I.,1993). Radikal bebas dapat diperoleh dari banyak sumber antar lain dari polusi udara, stres, makanan, radiasi, pestisida, dan penurunan kemampuan tubuh (proses degeneratif) (Varma,
SURYA MEDIKA S.D., Mizunoa, Kinoshita, 1977) Dilaporkan berbagai macam kegunaan dari flavanoid adalah meningkatkan perlindungan sel-sel tubuh dari kanker, melindungi dari serangan jantung, hipertensi, dan stroke, melindungi selsel dalam tubuh dari radikal bebas, untuk memperkuat sistem imun, mencegah terjadinya penyakit katarak, dan juga mencegah proses penuaan. Berdasarkan fungsi dari beberapa flavonoid maka flavonoid antioksidan dapat berfungsi dalam memperbaiki sel-sel beta pankreas yang rusak dalam penyakit diabetes mellitus (Varma, S.D., Mizunoa, Kinoshita, 1977). Oleh karena itu mengingat daun mindi sudah banyak dikonsumsi oleh masyarakat sebagai obat alternatif dalam pengobatan diabetes mellitus, maka perlu untuk diketahui secara pasti zat apa yang dapat menurunkan kadar glukosa darah secara lebih rinci dan perlu penelitian lebih lanjut. KESIMPULAN Penelitian ini dapat diambil kesimpulan bahwa air rebusan daun mindi dengan dosis 0,4 g/kg BB mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah tikus dalam waktu 21 hari secara bermakna (p< 0,05) dibandingkan dengan kontrol negatif dan glibenklamid (kontrol positif). DAFTAR PUSTAKA Aruoma, Okezie, I., 1993, Free Radical in Tropical Disease, Harwood Academic Publisher GmbH, Switzerland. Asdie, A.H, 1988, Penatalaksanaan Diabetes Mellitus pada Orang Dewasa, Berkala Ilmu Kedokteran XX, no.3, FK- UGM, Yogyakarta. Chiba, T., Kadowaki, S., and Tamiriato, T., 1981, Concentration and
6
JURNAL ILMU-ILMU KESEHATAN
Volume 7. No. 1 Januari 2011
Secretion of Gastric Somatostatin in Streptozotocin-diabetic Rats, Diabetes Vol 30. Darmono, S, 1990, Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Mellitus, Ilmu Penyakit Dalam, Jilid H, Balai Penerbit FK UI, Jakarta. Dharma, A.P., Indonesian Medicinal Plants First, Edisi 1, Balai Pustaka, Jakarta, 1987 Istiyaroh, N., 1987, Studi Pendahuluan Efek Hipoglikemik Infus Daun Mindi Pada Tikus Putih Jantan, Fakultas Farmasi UGM, Yogyakarta. Jain, S.K., and Fillipps, R. A., 1991, Medisinal Plants of India, reference Publication, Algonac MI. Jacobson, M., 1989, Focus on Phytochemical Pesticides, The Neem Tree Cilc Press, Boca Parton, Voll. Katzung, B. G, 1997, Basic and Clinical Pharmacology, edisi 6, EGC, Jakarta. Moerdowo, R. M, 1989, Etiopatogenesis Klinik dan Terapi Penyakit Kencing Manis, Ahli Penyakit Dalam Spektrum Diabetes Mellitus, Penerbit Djambatan, Jakarta.
SURYA MEDIKA Robinson, T., 1995, Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi, Penerbit Institut Teknologi Bandung, Bandung. Suharto, B., Gan, S, 1980, Insulin, Glukagon, dan Antidiabetik Oral, Farmakologi dan Terapi, edisi 2 , FKUI, Jakarta. Syamsulhidayat, S.S., dan Hutapea, J.R., 1991, Inventaris Tanaman Obat Indonesia, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan dan Dep. Kesehatan. Tjokroprawiro, A, 1989, Diabetes Mellitus Klasifikasi Diagnosis dan Dasar-Dasar Terapi. Penerbit PT Gramedia, Jakarta. Varma, S.D., Mizunoa, Kinoshita, 1977, Diabetic Cataracts and Flavonoid Science, 195:205-206. Widiastuti, 1989, Kebijakan Pemerintah mengenai Pengobatan Tradisional, Naskah Lengkap Seminar Sehari Peranan Pengobatan Tradisional dalam rangka Sistem Kesehatan Nasional, 16 September 1989, Universitas Padjajaran, Bandung. World Health Organization, 1985, Diabetes Mellitus, Technical Report Series No. 27, WHO Study Group-WHO.
7
JURNAL ILMU-ILMU KESEHATAN
SURYA MEDIKA
Volume 7. No. 1 Januari 2011
HUBUNGAN ANTARA LAMA WAKTU TERPASANG KATETER URETRA DENGAN TINGKAT KECEMASAN KLIEN DI BANGSAL RAWAT INAP DEWASA KELAS III RSU PKU MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA Oleh : Muskhab2 ABSTRACT
Background: Urinary catheterization is a method to provide the urinary diversion and the disability of urination also. A lot of patients are worry, fearful of feeling the pain and discomfort in facing the urinary catheterization. They seem emotional in facing the action of medication and also the treatment, particularly which deals with the urogenital areas which catheter penetrates to enter into the body. Objective: The purpose of this research is to determine whether the length of time urethral catheterized has a correlation with the patient’s anxiety scale on clients who are attached by urethra catheters in Third Class of Adult Ward Muhammadiyah Hospital of Yogyakarta. Method: The research is a quantitative research. The design of this research is cross - sectional with the descriptive correlation approach. The samples of this research are patients who are attached by urethra catheters in Marwah and Arofah Ward of Muhammadiyah Hospital of Yogyakarta. The sampling technique is uses the accidental sampling and get 30 respondents. Instruments used are questioners and statistic test uses Spearman Coefficient Correlation Test by computer program, SPSS for windows 11. Result: The research’s results show that length of time for urethral catheterization in Third Class of Adult Ward Muhammadiyah Hospital of Yogyakarta is more than 72 hours (43,33%), the anxiety scale in Third Class of Adult Ward Muhammadiyah Hospital Yogyakarta is light (76,7%). The statistical test’s result shows that = 0,002 ( < 0,01). Therefore, there is a significant correlation between the lengths of time for urethral catheterization with the patient’s anxiety scale.
Keywords: Catheterization, length of time urethral catheterization, anxiety scale 2
Staf Pengajar Profesi Ners Stikes Surya Global Yogyakarta
8
JURNAL ILMU-ILMU KESEHATAN
Volume 7. No. 1 Januari 2011
PENDAHULUAN Kateterisasi urin merupakan salah satu tindakan untuk membantu eliminasi urin maupun ketidakmampuan melakukan urinasi. Banyak pasien merasa cemas, takut akan rasa nyeri dan ketidaknyamanan dalam menghadapi kateterisasi urin. Mereka terlihat emosional menghadapi tindakan-tindakan pengobatan maupun perawatan terlebih yang berhubungan dengan daerah urogenital kateter menembus masuk ke dalam tubuh (Ellis, 1996). Perawat bertanggung jawab tidak hanya pada penampilan tindakan kateterisasi yang benar serta aman tetapi juga memberi pengajaran dan menghilangkan kecemasan tersebut (Ellis, 1996). Menurut penelitian di Amerika, dari 54 pasien di rumah sakit maupun home care yang terpasang kateter indwelling, 72% di antaranya mengalami beberapa komplikasi, antara lain terjadi blocking atau penyumbatan sehingga aliran urin terganggu, 37% di antaranya mengalami kebocoran urin di sekitar kateter dan 30% mengalami hematuria. Begitu juga pada pasien yang terpasang kateter uretra dalam jangka waktu lama (melebihi 3 bulan). (Ockmore K. et al cit Madigan et al, 2003). Waktu penggantian kateter uretra di bangsal rawat inap dewasa kelas III RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta dilakukan setiap 7-10 hari atau pada saat ada kerusakan/ kebocoran yang diharuskan untuk diganti. Menurut prosedur tetap pemasangan dan pelepasan kateter uretra di bangsal rawat inap dewasa kelas III RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta diketahui bahwa kateter harus diganti kurang lebih 1 minggu sekali.
SURYA MEDIKA Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut ; ” Apakah ada hubungan antara lama waktu terpasang kateter uretra dengan tingkat kecemasan klien di bangsal rawat inap dewasa kelas III RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta? ”. METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif. Desain penelitian yang digunakan adalah desain penelitian cross – sectional dengan pendekatan deskriptif korelasional. Subyek dalam penelitian ini adalah pasien yang terpasang kateter uretra di Bangsal Marwah dan Arofah RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta sebanyak 30 responden. Teknik pengambilan subyek yang digunakan adalah teknik accidental sampling. Variabel yang diteliti adalah lama waktu terpasang kateter sebagai variabel bebas dan tingkat kecemasan pada klien yang terpasang kateter uretra sebagai variabel terikat. Data penelitian untuk mengetahui tingkat kecemasan pada klien yang terpasang kateter uretra adalah data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari responden. Penelitian ini dilakukan langsung dengan memberikan kuesioner yang berisikan pertanyaan-pertanyaan mengenai tanda fisik dan gejala psikologi kecemasan untuk menilai tingkat kecemasan yang dirasakan yang kemudian dikategorikan sebagai kecemasan ringan, kecemasan sedang dan kecemasan berat. Lama waktu terpasang kateter uretra data merupakan data primer yang diperoleh dari keterangan responden. Uji validitas dan reabilitas instrumen menggunakan rumus product moment dan alpha chronbach. Analisis data yang digunakan adalah Koefisien korelasi
9
JURNAL ILMU-ILMU KESEHATAN
SURYA MEDIKA
Volume 7. No. 1 Januari 2011
bivariat, yaitu statistik yang dapat digunakan untuk menerangkan keeratan hubungan antara dua variabel (Arikunto, 2002). Uji statistik menggunakan rumus koefisien korelasi Spearman, yaitu analisis korelasi sedehana untuk variabel ordinal dengan variabel ordinal (Hasan M.I., 2002). HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian akan disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan tabulasi silang. Lama Waktu Terpasang Kateter Uretra Tabel 1. Frekuensi dan Persentase Responden Berdasarkan Lama waktu terpasang kateter Uretra Lama waktu terpasang kateter uretra 0 – 24 jam 25 – 48 jam 49 – 72 jam > 72 jam Total
Jumlah
Persentase (%)
5 7 5 13 30
16,67 23,33 16,67 43,33 100
Tabel 1 di atas dapat diketahui bahwa sebagian besar lama waktu terpasang kateter uretra adalah >72 jam yaitu sebanyak 13 responden
(43,33%) sedangkan yang paling sedikit adalah 0 – 24 dan 49 – 72 jam yakni masing – masing sebanyak 5 responden (16,67%). Tingkat Kecemasan Pada Klien yang Terpasang Kateter Uretra Tabel 2 Frekuensi dan Persentase Tingkat Kecemasan Klien Yang Terpasang Kateter Uretra Tingkat Jumlah Kecemasan Cemas Ringan 23 Cemas Sedang 4 Cemas Berat 3 Total 30
Persentase (%) 76,7 13,3 10 100
Tabel 2 dapat diketahui bahwa sebagian besar klien yang terpasang kateter uretra mengalami cemas ringan yaitu sebanyak 23 responden (76,7%). Klien yang mengalami cemas sedang sebanyak 4 responden (13,3%) dan yang mengalami cemas berat jumlah 3 responden (10%). Hubungan Antara Lama Waktu Terpasang Kateter Dengan Tingkat Kecemasan Pada Klien Yang Terpasang Kateter Uretra
Tabel 3. Hubungan Antara Lama Waktu Terpasang Kateter Dengan Tingkat Kecemasan Pada Klien Yang Terpasang Kateter Lama Terpasang Kateter Uretra (Jam) Tingkat Kecemasan Cemas Ringan Cemas Sedang
0-24
25-48
49-72
>72
Total
F (%)
F (%)
F (%)
F (%)
F (%)
0 (0%) 2 (6,%)
7(23,3%) 0(0%)
4(13, 3%) 1(3, 3%)
12(40%) 1(3, 3%)
23(76,7%) 4(13, 3%)
Cemas Berat
3(10%)
0(0%)
0(0%)
0(0%)
3(10%)
Total
5(16,%)
7(23,3%)
5(16, 7%)
13(43,3%)
30(100%)
10
JURNAL ILMU-ILMU KESEHATAN
Volume 7. No. 1 Januari 2011
Tabel 3 dapat diketahui bahwa responden yang terpasang kateter uretra selama 0-24 jam mengalami cemas ringan sebanyak 0 orang (0%), cemas sedang 2 orang (6,7%) dan cemas berat berjumlah 3 orang (10%). Sedangkan responden yang terpasang kateter uretra selama 25-48 jam mengalami cemas ringan sebanyak 7 orang (23,3%), cemas sedang tidak ada begitupun dengan cemas berat. Responden yang terpasang kateter selama 49-72 jam mengalami cemas ringan sebanyak 4 orang (13,3%), cemas sedang sebanyak 1 orang (3,3%) dan cemas berat tidak ada. Responden yang terpasang kateter uretra >72 jam mengalami cemas sedang sebanyak 1 orang (3,3%), cemas ringan sebanyak 12 orang (40%) dan cemas berat tidak ada. Rata-rata lama waktu penggunaan kateter ini bervariasi. Hal ini tergantung pada kondisi pasien, sesuai dengan anjuran medikasi. Kateter dapat diganti apabila terjadi kerusakan seperti kebocoran dan kateter dapat dilepas apabila pasien sudah dapat melakukan urinasi secara normal. Pasien dengan kateter harus dikaji mengenai keadaannya dan dapat diperoleh waktu yang optimum untuk mengganti ataupun melepas kateter (DoH cit Pomfret, I., 1999). Tingkat kecemasan pada klien yang terpasang kateter uretra sebagian besar adalah cemas ringan, ini dikarenakan sebagian besar responden berdasarkan tabel 2, terpasang kateter lebih dari 72 jam yaitu sebanyak 43,33%. Kondisi ini faktor adaptasi secara fisik, maupun psikologis terhadap kehadiran kateter dan faktor pengalaman berperan dalam mempengaruhi persepsi kecemasan, pada hari pertama dijadikan sebagai pengalaman yang
SURYA MEDIKA kemudian responden mempelajari bagaimana mengatasi kecemasan yang dirasakan. Adanya hubungan yang signifikan antara lama waktu terpasang kateter dengan tingkat kecemasan dikarenakan Banyak klien merasa cemas, takut akan rasa nyeri dan ketidaknyamanan dalam menghadapi kateterisasi urin. Mereka terlihat emosional menghadapi tindakan-tindakan pengobatan maupun perawatan terlebih yang berhubungan dengan daerah urogenital kateter yang menembus masuk ke dalam tubuh (Ellis, 1996). KESIMPULAN Kesimpulan penelitian meliputi: Pertama, sebagian besar lama waktu terpasang kateter uretra di Bangsal Rawat Inap Dewasa Kelas III RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta adalah lebih dari 72 jam. Kedua, sebagian besar tingkat kecemasan pada klien yang terpasang kateter uretra di Bangsal Rawat Inap Dewasa Kelas III RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta adalah cemas ringan. Ketiga, terdapat hubungan yang signifikan tetapi lawan kesejajaran antara lama waktu terpasang kateter dengan tingkat kecemasan pada klien yang terpasang kateter uretra, yaitu ada kecenderungan semakin lama terpasang kateter uretra, tingkat kecemasan yang dialami semakin ringan di bangsal rawat inap dewasa kelas III RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Kelima, tingkat keeratan hubungan antara lama waktu terpasang kateter dengan tingkat kecemasan pada klien yang terpasang kateter uretra di bangsal rawat inap dewasa kelas III RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta adalah sedang.
11
JURNAL ILMU-ILMU KESEHATAN
Volume 7. No. 1 Januari 2011
SURYA MEDIKA
DAFTAR PUSTAKA
Ellis, 1996. Modules for Basic Nursing Skills. Lipincott. Philadelphia
Madigan, E. & Neff, D. 2003. Care of Patients with Long-Term Indwelling Urinary Catheters. Online Journal of Issues In Nursing. Diakses 21 Maret 2006, dari http ://www.nursingworld.org/ojin/hirsh/top ic2/tpc2_1.htm
Hasan, M. Iqbal. 2004. Analisis Data Penelitian Dengan Statistik. PT. Bumi Aksara. Jakarta
Pomfret, I. 1999. Catheter Care In The Community. Nursing Standard/vol14/no27/ 2000
Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Rineka Cipta. Jakarta
12
JURNAL ILMU-ILMU KESEHATAN
SURYA MEDIKA
Volume 7. No. 1 Januari 2011
HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN PERAWAT TENTANG STANDAR ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN PENERAPAN STANDAR ASUHAN KEPERAWATAN DI PUSKESMAS KALASAN TAHUN 2010 Oleh : Arita Muwarni3 ABSTRACT
Background: The low level of knowledge of nurses on nursing care standard become one of the causes that can affect the performance of nurses in implementing nursing care in accordance with nursing care on health services, considering aspects of this knowledge is the basic foundation for the implementation of nursing actions. Objective: To identify the factors that influence nurse’s knowledge about nursing care standard with application of Standard Nursing Care in the Health Center of Kalasan District. Method: This research is non-experimental research is an observational study analytic inferential hypothesis, the method of crosses sectional approach with point time approach. The samples are nine respondents. Result: Statistical analysis result found that the value coefficient correlation Spearman between the level of nurse’s knowledge about nursing care with the implementation of Nursing Care Standards in Kalasan Health Center,with Spearmen Rho that is-0553 with significance level p = 0,364, then Ho is refused, which means there is significant relationship between the factors that affect nurses knowledge about the standard of nursing care by implementing standards of nursing care in Kalasan health center. Conclusion: Most of the respondent’s knowledge level on nursing care standards is good enough 5 people, poorly is 1 people. Part of Nursing Standard Application is good satisfactory as many as 5 people, poorly is 4 people. There are significant correlations between the factors that influence the level of knowledge about the health center nurse with Nursing Standard implementation in Kalasan Health Center
Keywords: Nurses Knowledge, SAK (Nursing Care Standard) application, Kalasan Health Center 3
Staf Pengajar Stikes Surya Global Yogyakarta
13
JURNAL ILMU-ILMU KESEHATAN
Volume 7. No. 1 Januari 2011
PENDAHULUAN Standar Asuhan Keperawatan adalah suatu pernyataan yang menguraikan kualitas yang diinginkan terkait dengan pelayanan keperawatan terhadap klien. Departemen Kesehatan Republik Indonesia (1990) menyatakan bahwa standar asuhan keperawatan adalah alat ukur kualitas asuhan keperawatan yang berfungsi sebagai pedoman atau tolok ukur dalam pelaksanaan praktek keperawatan. Standar Asuhan Keperawatan adalah upaya memberikan asuhan dan bimbingan langsung pada perawat untuk melaksanakan praktek keperawatan (Nursalam, 2007). Asuhan keperawatan yang aman artinya standar yang dibuat harus menjamin bahwa asuhan keperawatan tersebut aman untuk pasien dan perawat, karena profesi mempunyai komitmen untuk melindungi masyarakat dari praktek yang merugikan dan juga profesi seharusnya bertanggung jawab terhadap kompetensi perawat sesuai dengan standar yang dibuat. Efektif bisa berarti dengan biaya yang sedikit mampu menghasilkan yang terbaik dan etis berarti standar juga harus memperhatikan etik yang secara moral bisa dipertanggung jawabkan. Pencapaian maksud tersebut di atas tentu saja diperlukan pengetahuan mengenai standar asuhan keperawatan. Tujuan penting lainnya mencakup proteksi terhadap publik, pengaturan praktek perawat, pembuatan pedoman administratif, menafsirkan harapan publik dan profesional pelayanan kesehatan lainnya terhadap praktek perawat dan acuan legal untuk praktek yang layak. Tersedianya sarana kesehatan di seluruh pelosok tanah air menandakan keberhasilan pembangunan kesehatan yang ditandai dengan berdirinya Pusat Kesehatan
SURYA MEDIKA Masyarakat (Puskesmas). Puskesmas merupakan organisasi pelayanan terdepan yang mempunyai misi sebagai pusat pengembangan pelayanan kesehatan, yang melaksanakan pembinaan dan pelayanan kesehatan secara menyeluruh dan terpadu untuk masyarakat (Depkes RI, 2002). Wilayah kerja Puskesmas pada mulanya ditetapkan satu kecamatan, kemudian dengan semakin berkembangnya kemampuan dana yang dimiliki oleh pemerintah untuk membangun Puskesmas, wilayah kerja Puskesmas ditetapkan berdasarkan jumlah penduduk di satu kecamatan, kepadatan dan mobilitasnya. Umumnya satu Puskesmas mempunyai penduduk binaan antara 30.000-50.000 jiwa (Munijaya, 1999). Setiap kecamatan di Indonesia telah memiliki paling sedikit sebuah Puskesmas. Lebih dari 40% desa telah dilayani oleh sarana pelayanan kesehatan pemerintah. Tahun 2001 tersedia 7.277 Puskesmas, 21.587 Puskesmas Pembantu dan 6.392 Puskesmas Keliling (Depkes RI, 2001). Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan melalui wawancara dan pengamatan terhadap 9 orang tenaga perawat di Puskesmas Kalasan dapat diketahui bahwa sebagian besar perawat yaitu sebanyak 6 orang (60 %) kurang memahami tentang Standar Asuhan Keperawatan, dan tidak menerapkan Standar Asuhan Keperawatan sesuai dengan standar Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pengkajian keperawatan pengumpulan data belum sistematis, menggunakan format, pengelompokan data belum memenuhi kriteria data biologis, psikologis, sosial dan spiritual. Diagnosa keperawatan belum memenuhi komponen Problem Etiology Sympthom (PES). Perencanaan
14
JURNAL ILMU-ILMU KESEHATAN
Volume 7. No. 1 Januari 2011
keperawatan tidak sesuai prioritas masalah. Pencatatan asuhan keperawatan tidak mencantumkan inisial atau nama perawat yang melaksanakan tindakan, catatan tidak menggunakan formulir yang baku. Hal ini disebabkan latar belakang pendidikan lulusan Sekolah Pengatur Perawat/ Sekolah Perawat Kesehatan (SPR/SPK), belum pernah mengikuti pelatihan tentang Standar Asuhan Keperawatan serta kurangnya sosialisasi tentang Standar Asuhan Keperawatan. Standar Asuhan Keperawatan yang dilakukan oleh tenaga perawat masih perlu mendapatkan perhatian karena pelayanan kesehatan yang diberikan kepada individu, keluarga, kelompok/ masyarakat berupa asuhan keperawatan kesehatan masyarakat yang utuh (holistic), komprehensif, dan bersifat dinamis belum diterapkan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan dan dijadikan pedoman dalam melaksanakan tugasnya. Kesadaran perawat akan tuntutan dan kebutuhan asuhan keperawatan yang berkualitas di masa depan merupakan tantangan yang harus dipersiapkan secara benar-benar dan ditangani secara mendasar, terarah dan sungguhsungguh dari Puskesmas. Tanggung jawab ini memang berat mengingat bahwa keperawatan di Indonesia masih dalam tahap awal proses profesional. Rendahnya tingkat pengetahuan perawat tentang Standar Asuhan Keperawatan menjadi salah satu penyebab yang dapat mempengaruhi kinerja perawat dalam melaksanakan asuhan keperawatan yang sesuai dengan Standar Asuhan Keperawatan pada pelayanan kesehatan, mengingat aspek pengetahuan ini merupakan pondasi dasar untuk terselenggaranya suatu
SURYA MEDIKA tindakan keperawatan. Latar belakang di atas, perlu dilakukan penelitian guna mengetahui hubungan tingkat pengetahuan perawat Puskesmas dengan penerapan Standar Asuhan Keperawatan di Puskesmas Perawatan Kecamatan Kalasan. TUJUAN PENELITIAN Mengetahui hubungan tingkat pengetahuan perawat Puskesmas dengan penerapan Standar Asuhan Keperawatan di Puskesmas Perawatan Kecamatan Kalasan. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian non-eksperimental yang merupakan penelitian observasional bersifat analitis inferensial. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan cross sectional yaitu penelitian untuk mempelajari dinamika korelasi antara faktor-faktor risiko dengan efek, dengan cara pendekatan observasi atau pengumpulan data sekaligus pada suatu saat (point time approach) artinya setiap subjek penelitian hanya diobservasi sekali saja (Nursalam, 2007). Pada penelitian ini menggunakan uji Spearmen Rho dengan menguji satu variabel bebas dan satu variabel terikat. LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret-Mei 2010 di Puskesmas Kecamatan Kalasan INSTRUMEN PENELITIAN Instrumen penelitian yang digunakan adalah kuesioner untuk mengukur tingkat pengetahuan dan observasi dengan menggunakan check list. Kuesioner diartikan sebagai daftar pertanyaan yang sudah tersusun dengan baik, responden dalam
15
JURNAL ILMU-ILMU KESEHATAN
SURYA MEDIKA
Volume 7. No. 1 Januari 2011
interview tinggal memberikan tanda tertentu (Notoatmodjo, 2005). Pengetahuan menggunakan skala Ordinal yaitu pengetahuan Baik,Cukup dan Kurang.Sedangkan untuk Penerapan Standar Asuhan Keperawatan juga menggunakan skala Ordinal yakni Penerapan baik,Cukup dan Kurang. Observasi merupakan cara pengumpulan data dengan mengadakan pengamatan secara langsung kepada responden penelitian untuk mencari perubahan atau hal-hal yang akan diteliti (Hidayat, 2007) Instrumen pengumpulan data pada penelitian ini adalah lembar kuesioner yang dibuat sendiri, lembar kepada responden setelah diuji validitas dan reliabilitasnya bentuk pertanyaan dalam kuesioner pada penelitian ini adalah pertanyaan tertutup yang mencakup 4 (empat) jawaban alternatif, dan harus dijawab dan diisi oleh responden dengan memilih jawaban yang menurut responden paling benar mengenai pengetahuan perawat Puskesmas dengan penerapan standar asuhan keperawatan di Puskesmas Perawatan Kecamatan Kalasan. Instrumen penelitian melalui observasi berupa check list bersumber dari Depkes tahun 1995, sehingga tidak memerlukan pengujian validitas instrumen. Hasil penghitungan tiap-tiap item dibandingkan dengan tabel nilai product momment. Bila rhitung > dari rtabel dengan taraf signifikasi 5%, maka kuesioner dikatakan valid dan dapat dipakai untuk meneliti. Namun sebaliknya, jika rhitung kuesioner < rtabel maka pertanyaan tersebut tidak valid dan harus dikeluarkan dari kuesioner (Sugiyono, 2002).
HASIL PENELITIAN 1. Karakteristik Responden Karakteristik perawat Puskesmas Kalasan ditampilkan berdasarkan umur dan tingkat pendidikan berikut ini: Tabel 1.Karaktersistik Responden berdasarkan Umur No
Kategori
Frekuensi
1
31-35 th
3 orang
2
36-40th
2 orang
3
20-30th
4 orang
Total
9 orang
Gambaran umur responden menunjukkan bahwa sebagian besar responden kelompok umur 31 -35 tahun yaitu sebanyak 3 orang, kelompok umur 36 – 40 tahun sebanyak 2 orang, kelompok umur 20-30 tahun 4 orang . Interval umur tersebut merupakan umur yang produktif identik dengan idealisme yang tinggi, semangat kerja meningkat dan penuh optimisme. Kategori umur ini seorang perawat memiliki kinerja atau prestasi kerja yang tinggi. Tabel 2.Karakterstik Responden berdasarkan Tingkat Pendidikan No 1 2 3
Kategori D III Keperawatan D IV/S1 Keperawatan
frekuensi 5 orang 1 orang
SPK
3 orang
Total
9 orang
Gambaran pendidikan sebagian besar responden perawat berpendidikan DIII Keperawatan / AKPER yaitu sebanyak 5 orang, sedangkan perawat yang berpendidikan
16
JURNAL ILMU-ILMU KESEHATAN
Volume 7. No. 1 Januari 2011
DIV / S1 Keperawatan 1 orang dan yang lainnya berpendidikan SPR / SPK yaitu sejumlah 3 orang. Green cit Notoatmodjo, 1993 berpendapat bahwa pendidikan merupakan salah satu faktor yang menjadi dasar untuk melaksanakan tindakan. Pelayanan keperawatan yang profesional membutuhkan kualifikasi tenaga keperawatan yang profesional. Ciri-ciri perawat profesional adalah perawat lulusan pendidikan tinggi keperawatan minimal sarjana keperawatan / Ners. Semakin tinggi pendidikan seseorang maka akan semakin baik pengetahuan, sikap dan perilakunya. Perawat yang mempunyai pengalaman dipandang lebih mampu dalam melaksanakan tugas. Makin lama kerja seseorang kecakapan mereka akan lebih baik karena sudah dapat menyesuiakan diri dengan pekerjaanya. Pengalaman kerja yang sudah lama belum menjamin bahwa mereka lebih produktif dari pada karyawan yang paling sedikit lama kerjanya. 2. Tingkat PengetahuanResponden Tingkat pengetahuan perawat Puskesmas Kalasan ditampilkan dalam tabel 3 berikut ini: Tabel 3. Distribusi Pengetahuan Perawat tentang Standar Asuhan Keperawatan (SAK) No 1 2 3
Kategori Baik Cukup Kurang Total
Frekuensi 3 orang 5 orang 1 orang 9 orang
SURYA MEDIKA orang dan Kurang baik 1 orang. Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan responden belum memadai untuk dapat melaksanakan Standar Asuhan Keperawatan dengan baik, karena tingkat pendidikan responden perawat Puskesmas yaitu 5 orang. Pendidikan sebagai salah satu bagian dalam mencapai pengetahuan diperlukan oleh perawat sebagai sarana mencapai profesionalisme keperawatan, melalui pendidikan tinggi keperawatan tersebut diharapkan terjadi percepatan proses perubahan atau transisi keperawatan yang semula merupakan kegiatan okupasional menjadi profesional dan yang semula menggunakan pendekatan tradisional menjadi penyelesaian masalah ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan kepada pemakai jasa dan profesi ( Mubarak Wahid Iqbal, 2005). Jika menghendaki sesuatu agar bertahan lebih lama, maka jelas diperlukan pengetahuan positif tentang apa yang dikerjakan, sebab perilaku yang didasari pengetahuan akan lebih abadi dibandingkan dengan perilaku tanpa didasari pengetahuan. Menurut Notoatmodjo (2003), bahwa pengetahuan seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu: pengalaman, tingkat pendidikan, keyakinan, fasilitas, penghasilan dan sosial budaya. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt bihavior). 4. Penerapan Standar Asuhan Keperawatan.
Sebagian besar tingkat pengetahuan responden perawat Puskesmas tentang Standar Asuhan Keperawatan adalah cukup baik yaitu sebanyak 5 orang.Pengetahuan Baik 3
17
JURNAL ILMU-ILMU KESEHATAN
Volume 7. No. 1 Januari 2011
Tabel 4.Distribusi Penerapan Standar Asuhan Keperawatan No 1 2 3
Kategori
Frekuensi
Baik Cukup baik Kurang baik Total
3 orang 5 orang 1 orang 9 orang
Dilihat dari segi penerapan Standar Asuhan Keperawatan di Puskesmas Kalasan menunjukkan bahwa responden perawat Puskesmas dalam penerapan Standar Asuhan Keperawatan adalah baik ada 3 orang, cukup baik 5 orang dan kurang baik 1orang. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa perawat Puskesmas dalam penerapan Standar Asuhan Keperawatan salah satunya dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan pengetahuan seorang perawat. Hal ini sesuai dengan pendapat Notoatmodjo bahwa pendidikan adalah upaya untuk memberikan pengetahuan sehingga terjadi perubahan perilaku positif yang meningkat. Semakin tinggi tingkat pendidikan akan berpengaruh terhadap perilaku dan pengetahuan yang dimiliki. Pada kenyataannya sering kali bahwa seorang perawat dalam menjalankan peran dan fungsinya masih jauh dari harapan yaitu sebagai perawat yang mampu mandiri dan profesional dalam tatanan praktek keperawatan secara langsung di rumah sakit ataupun puskesmas (Mubarak Wahid Iqbal, 2005). Hubungan tingkat pengetahuan Perawat Puskesmas Tentang Standar Asuhan Keperawatan Dengan Penerapan Standar Pelayanan Kesehatan. Hasil penelitian ini menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara
SURYA MEDIKA tingkat pengetahuan perawat Puskesmas tentang Standar Asuhan Keperawatan dengan penerapan Standar Asuhan Keperawatan di Puskesmas Kecamatan Kalasan. Sejumlah 9 orang perawat yang memiliki tingkat pengetahuan tentang Standar Asuhan Keperawatan baik ada 3 orang, penerapan standar asuhan keperawatannya baik ada 3 orang perawat.Pengetahuan cukup baik ada 5 orang, sedangkan dari 9 orang yang memiliki tingkat pengetahuan tentang standar asuhan keperawatannya kurang baik ada 1 orang. Penerapan standar asuhan keperawatannya kurang baik ada 1 0rang.dari hasil uji Korelasi Spearmen Rho didapatkan hasil -0,553 lebih besar dibandingkan dengan tabel =0,364 dengan taraf Signifikansi 0,05.Artinya ada hubungan yang signifikan antara Tingkat Pengetahuan Perawat tentang SAK dengan Penerapan Standar asuhan keperawatan di Puskesmas Kalasan. Disimpulkan bahwa semakin tinggi pengetahuan perawat tentang Standar Asuhan Keperawatan maka akan semakin tinggi kinerjanya dalam penerapan Standar Asuhan Keperawatan. Hal ini sesuai dengan pendapat Notoatmodjo bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin besar kemampuan menyerap, menerima, mengadopsi informasi dan pengetahuannya akan semakin tinggi. Keperawatan hubungannya sangat banyak keterlibatan dengan segmen manusia dan kemanusiaan, oleh karena berbagai masalah kesehatan aktual dan potensial. Keperawatan memandang manusia secara utuh dan unik sehingga praktek keperawatan membutuhkan penerapan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang kompleks sebagai upaya untuk
18
JURNAL ILMU-ILMU KESEHATAN
Volume 7. No. 1 Januari 2011
memenuhi kebutuhan objektif pasien/klien. Keunikan hubungan ners dan klien harus dipelihara interaksi dinamikanya dan kontuinitasnya. Penerimaan dan pengakuan keperawatan sebagai pelayanan profesional diberikan dengan perawat profesional sejak tahun 1983, maka upaya perwujudannya bukanlah hal mudah di Indonesia. Keperawatan di Indonesia menghadapi tuntutan dan kebutuhan eksternal manajemen internal yang kesemuanya membutuhkan upaya yang sungguh– sungguh dan nyata keterlibatan berbagai pihak yang terkait sehingga kualitas struktur, proses dan hasil dapat dinilai Standar asuhan keperawatan berarti pernyataan kualitas yang didinginkan dan dapat dinilai pemberian asuhan keperawatan terhadappasien/klien. Terjadi kesepakatan antara praktisi terhadap tingkat kinerja dan menawarkan ukuran penilaian agar praktek keperawatan terbaru dapat dibandingkan. Penilaian esensial asuhan keperawatan melalui penataan standar sebagai dasar kesepakatan untuk mencapai asuhan keperawatan optimal. Standar keperawatan dalam prakteknya harus dapat diterima, setiap klien berhak mendapatkan asuhan berkualitas, tanpa membedakan usia dan diagnosa. Standar dapat diharapkan memberikan pondasi dasar dalam mengukur kualitas asuhan keperawatan. Setiap hari perawat bekerja sesuai standar-standar yang ada seperti merancang kebutuhan dan jumlah tenaga berdasarkan volume kerja, standar pemerataan dan distribusi pasien dalam unit khusus, standar pendidikan bagi perawat profesional sebagai persyaratan agar dapat masuk
SURYA MEDIKA dan praktek dalam tatanan pelayanan keperawatan profesional. Tujuan utama standar memberikan kejelasan dan pedoman untuk mengidentifikasi ukuran dan penilaian hasil akhir, dengan demikian standar dapat meningkatkan dan memfasilitasi perbaikan dan pencapaian kualitas asuhan keperawatan. Kriteria kualitas asuhan keperawatan mencakup : aman, aku kontinuitas, efektif biaya, manusiawi dan memberikan harapan yang sama tentang apa yang baik bagi perawat dan pasien. Pengembangan dan penetapan standar keperawatan melalui tahapan yaitu : harus diumumkan, diedarkan atau disosialisasikan dan terakhir penerapan dalam berbagai tatanan pelayanan Pelayanan keperawatan adalah esensial bagi kehidupan dan kesejahteraan klien oleh karena itu profesi keperawatan harus akuntabel terhadap kualitas asuhan yang diberikan. Pengembangan ilmu dan teknologi memungkinkan perawat untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan dalam rangka menerapkan asuhan bagi klien dengan kebutuhan yang kompleks. Penjaminan efektifitas asuhan keperawatan pada klien, harus tersedia kriteria dalam area praktek yang mengarahkan keperawatan mengambil keputusan dan melakukan intervensi keperawatan secara aman. Saat ini biaya asuhan kesehatan telah meningkat tajam walaupun hari rawat singkat. Melalui penataan standar keperawatan, maka tindakan keperawatan sesuai kebutuhan dan harapan pasien tanpa mengurangi kesejahteraan pasien namun biaya lebih terjangkau. Pemborosan anggaran dan fasilitas dan kesalahan praktek perawat standar asuhan keperawatan hendaknya dapat digunakan dalam
19
JURNAL ILMU-ILMU KESEHATAN
Volume 7. No. 1 Januari 2011
semua situasi pelayanan kesehatan. Standar asuhan keperawatan menjadi esensial terutama jika diterapkan dalam unit-unit pelayanan yang secara relatif terdapat sedikit jumlah perawat yang berpengalaman tapi harus memberikan pelayanan untuk berbagai jenis penyakit dan memenuhi kebutuhan kesehatan yang kompleks. Praktek keperawatan profesional harus terwujud dalam tatanan praktek yang nyata yaitu pemberian asuhan secara langsung kepada pasien, keluarga, kelompok ataupun komonitas.Penjaminan mutu asuhan yang diberikan diperlukan suatu ukuran untuk mengevaluasikannya. Uraian ini adalah suatu standar. Standar keperawatan dapat dibedakan atas dua jenis yaitu standar asuhan dan standar praktek. Profesi keperawatan harus mulai menata diri dengan membuat standar untuk berbagai keperluan seperti pelayanan, pendidikan, dan penelitian. Pelayanan keperawatan akan diterima dan dipercaya oleh komsumen bila mutu pelayanannya terjamin melalui standar yang baku dan selalu ditinggkatkan dari waktu ke waktu. Seseorang yang memiliki pengetahuan yang tinggi maka ketrampilan atau praktek yang ada dia miliki akan semakin tinggi pula jika dibandingkan dengan seseorang yang memiliki pengetahuan sedang. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian oleh Istanto (2002) ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan dengan pelaksanaan Standar Asuhan Keperawatan di RSUD Ambarawa. Penelitian juga sama dengan hasil penelitian Walin (2005), yang menyebutkan ada hubungan secara signifikan antara pengetahuan dengan penerapan Standar Asuhan Keperawatan.
SURYA MEDIKA KESIMPULAN Kesimpulan yang dapat diambil dalam penelitan ini adalah : Pertama. Sebagian besar tingkat pengetahuan responden Perawat Puskesmas tentang Standar Asuhan Keperawatan adalah cukup baik. Penerapan Standar Asuhan Keperawatan sebagian besar adalah cukup baik. Ketiga. Ada hubungan yang bermakna antara Tingkat pengetahuan perawat tentang Penerapan Standar Asuhan keperawatan dengan Penerapan Standar Asuhan Keperawatan di Puskesmas Kecamatan Kalasan DAFTAR PUSTAKA Arikunto. S, 2002. Prosedur Penelitian suatu Pendekatan Praktek. PT Rineka Cipta, Jakarta Depkes RI, 1990.Standar Asuhan bagi Perawat.Depkes RI Jakarta Depkes RI,2002.Laporan Tahunan Depkes RI,Depkes RI Jakarta Hidayat,2007.Metodologi Penelitian Keperawatan.Salemba Jakarta Mubaraq,dkk,2006.Ilmu Keperawatan Komunitas 2,Sagung Seto,Jakarta Muninjaya,1999.Manajemen Pelayanan Kesehatan.PT Rineka Cipta Notoatmodjo, S. 2005. Pendidikan dan Perilaku kesehatan. PT Rineka Cipta, Jakarta Notoatmodjo, S. 2007. Promosi Kesehatan dan Perilaku. PT Rineka Cipta, Jakarta Nursalam, 2007. Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan, Salemba Medika. Jakarta. Nursalam, 2007. Dokumentasi Keperawatan. Salemba Medika, Jakarta Sugiyono,2007.Statistika untuk Penelitian, Alfabeta, Bandung.
20
JURNAL ILMU-ILMU KESEHATAN
SURYA MEDIKA
Volume 7. No. 1 Januari 2011
UJI BANDING EFEKTIVITAS Allium Sativum (BAWANG PUTIH) 2% DENGAN KETOKONAZOL 2% SECARA IN VITRO TERHADAP PERTUMBUHAN Malassezia Furfur PADA Pityriasis Versicolor Oleh : Arief Zainal Rahman4 ABSTRACT Background: Garlic (Allium sativum) is a traditional or herbal medicine which has the effect of antifungal. While Ketoconazole is antifungal drug which effective in the treatment of fungi (pityriasis versicolor), which is a superficial fungal infection usually caused by Malassezia furfur. This study aimed to compare the effectiveness of Garlic 2% with Ketoconazole 2% in In Vitro in inhibiting the growth of Malassezia furfur, as cause of panau (pityriasis versicolor). Objective: To know the difference between the effectiveness of Garlic 2% with Ketoconazole 2% in inhibiting Malassezia furfur cause panau (pityriasis versicolor). Method: This type of experimental design with post-test, in comparing the two treatments that is giving Garlic Ketoconazole 2% and 2% in inhibiting the growth of fungi that cause panau. Data is analyzed using SPSS for Windows 13:00, hypothesis using Chi Square test with significance level p <0.05. Result: The Chi-Square test is obtained p = 0.606, which means there is no significant difference between the effectiveness of Garlic 2% with Ketoconazole 2% to the growth of Malassezia furfur causes of panau (pityriasis versicolor).
Keyword: pityriasis versicolor (Panau), Malassezia furfur, Allium sativum (Garlic), Ketoconazole. 4
Staf Pengajar Stikes Surya Global Yogyakarta
21
JURNAL ILMU-ILMU KESEHATAN
Volume 7. No. 1 Januari 2011
PENDAHULUAN Banyak ahli farmasi yang menemukan bahwa terdapat sejumlah agen anti fungal yang menurut data pemakaian klinis sudah menimbulkan resitensi. Dipaparkan bahwa kegagalan klinis penggunaan Griseofulvin tercatat setelah lebih dari 20 tahun penggunaannya. Mengutip laporan yang dibuat oleh Young, bahwa terdapat sekitar 20 % resistensi pada isolat klinis di Inggris pada tahun 1972. Berlanjut di tahun 1986 terdapat sekitar 5 % laporan resitensi terhadap Griseofulvin di Jerman. Sementara di tahun 1994 tidak terjadi kasus resistensi dengan Griseofulvin pada 100 kasus infeksi dermatofita. (Seow Chew Swee, 2006). Agen anti fungal lain, seperti Nistatin, yang sudah digunakan sejak 1927 ternyata masih menunjukkan sensitivitas terhadap jamur. Belum ada bukti adanya resistensi. Anti fungal dari golongan Azole seperti ketoconazole, itraconazole dan fluconazole masih belum diketahui dengan pasti apakah dapat menimbulkan resistensi sekunder pada dermatofita. Penelitian untuk melihat adanya resistensi di laboratorium juga belum menunjukkan hasil memuaskan (Bautista et.al, 2005). Informasi resistensi golongan azole terhadap infeksi oleh Malassezia furfur masih terbilang sedikit. Hal ini disebabkan oleh masih sedikitnya laboratorium yang berkemampuan mendeteksi resitensi agen anti fungal. Perbedaan terapan dalam kultur laboratorium juga tidak langsung berpengaruh pada lingkup aplikasi klinis oleh dokter (Dawson et.al, 2009). Anti fungal lain yang juga dilaporkan telah menimbulkan resistensi khususnya pada infeksi Trichophyton rubrum adalah
SURYA MEDIKA Allyllamine dan Terbinafine. Anti fungal Amorolfine, Ciclopiroxalamaine dan Haloprogin masih belum diketahui status resistensinya. Bisa dikatakan fokus utama dalam hal resistensi obat bertolak dari kegagalan pengobatan dermatomikosis. Faktor farmakokinetika anti fungal menjadi isu yang lebih penting dibandingkan resistensi obat (Klenk et.al. , 2003). Sekitar 2.000 tahun lalu, bapak ilmu kedokteran, Hippocrates, berujar, "Let your food be your medicine and your medicine be your food" diartikan, pola makan yang sehat dan seimbang dapat menunjang kesehatan seseorang secara optimal dan dari zat gizi makanan, sehingga kita dapat terhindar dari berbagai macam penyakit. Pedoman ini ada baiknya kita kembali ke pola hidup yang alami tanpa obat-obatan yang diproduksi secara kimiawi tersebut, karena ternyata selain mempunyai suatu efek samping yang merugikan juga belum tentu dapat mengobati penyakit misalnya ada faktor resistensi tersebut di atas (Darmansjah, 2002). Salah satu anti fungal alami yang cukup terkenal adalah bawang putih, walau belum ada penggunaan yang memasyarakat, mungkin disebabkan kurang adanya promosi dari suatu penelitian yang meyakinkan. Penelitian ini mencoba menggali lebih dalam kemampuan bawang putih sebagai anti fungal tadi dan diharapkan mampu meyakinkan kita semua akan khasiatnya sebagai obat tradisional, dalam hal ini bersifat alami. Penelitian ini mengamati seberapa berkhasiatnya bawang putih sebagai anti jamur tersebut dengan membandingkannya dengan anti jamur yang sudah terbukti secara medis dapat mengobati penyakit jamur pada manusia. Penyakit jamur pada manusia yang akan
22
JURNAL ILMU-ILMU KESEHATAN
Volume 7. No. 1 Januari 2011
diujikan berupa Pityriasis Versicolor atau panu yang disebabkan oleh Malassezia furfur (Macpherson et.al, 2005). Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka dilakukan penelitian terhadap anti fungal baru yang bersifat lebih alami dan tidak kalah efektif dengan anti fungal yang sudah terbukti cukup efektif secara farmakologi. Secara khusus diteliti ”Apakah ada perbedaan efektivitas antara A. sativum (bawang putih) 2% dengan ketokonazol 2% secara in vitro dalam menghambat pertumbuhan M. furfur pada Pityriasis versicolor (panu)?” TUJUAN PENELITIAN Tujuan penelitian yang dilakukan ini adalah untuk memperoleh membandingkankhasiat Bawang Putih sebagai salah satu obat herbal di Indonesia, dengan obat yang sudah terbukti efektif yaitu Ketokonazol, untuk mengetahui perbedaan antara efektifitas Bawang Putih 2% dengan Ketokonazol 2% dalam menghambat M.furfur penyebab panu, dan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mungkin mempengaruhi keefektivitasan Bawang Putih dalam menghambat jamur penyebab penyakit panu. METODE PENELITIAN Penelitian ini jenis eksperimental dengan desain post-test only, dalam membandingkan 2 perlakuan yaitu pemberian bawang putih 2% dan ketokonazol 2% dalam menghambat pertumbuhan jamur penyebab panu. POPULASI DAN SAMPEL Kerokan skuama kulit diambil dari pasien di Balai Pengobatan Sewu Husada Bakti yang terdiagnosa
SURYA MEDIKA Pityriasis versicolor (panu) dan dibuktikan dengan tes KOH di Laboratorium Mikrobiologi Stikes Surya Global. Sampel yang dikembang-biakan atau dikulturkan 10 buah (menjadi 10 buah untuk perlakuan Bawang Putih 2% dan 10 buah perlakuan Ketokonazol 2%), diambil dari 5 orang pasien yang terdiagnosa Pityriasis versicolor ikolor (panu). LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN Penelitian dilaksanakan di Balai Pengobatan Sewu Husada Bakti dan Laboratorium Mikrobiologi Stikes Surya Global, di desa Blado, Potorono, Banguntapan, Bantul. TEKNIK PENGUMPULAN DATA Sampel diambil kerokan skuama kulit yang diambil secara aseptik menggunakan skalpel steril dan ditampung di kaca gelas steril untuk pemeriksaan mikroskopis dengan KOH + tinta Parker blue black. Hasil dinyatakan positif (+) bila ditemukan gambaran meat ball and sphagetti dengan perbesaran 400X. Kerokan skuama kulit yang dinyatakan (+) dibiakkan pada Sabouraud Dekstrose Agar minyak kelapa 1% + Amoxycillin 2 mg/200 cc pada suhu 37°C selama 3 sampai 5 hari, di Laboratorium Mikrobiologi. M. furfur tumbuh pada media Sabouraud yang mengandung minyak zaitun (olive oil), selain itu juga berhasil dibiak pada media Sabouraud dekstrosa agar ditambah minyak kelapa 1%, dengan pengeraman suhu 37°C. Bila tumbuh koloni yeast pada media, maka dinyatakan biakan M. furfur (+), dan bila tidak tumbuh koloni yeast pada medium, maka dinyatakan biakan M. furfur (-). Hasil biakan (+) dilarutkan dengan NaCl 0,9% dan
23
JURNAL ILMU-ILMU KESEHATAN
Volume 7. No. 1 Januari 2011
disesuaikan dengan Mc. Farland 0,5, kemudian diambil 0,1 cc dan ditanamkan pada masing-masing media Sabouraud Dekstrose Agar minyak kelapa 1% yang mengandung Bawang Putih 2% dan media Sabouraud Dekstrose Agar minyak kelapa 1% yang mengandung Ketokonazol 2%. Satu sampel biakan (+) M. furfur dipakai untuk satu kali. Sejumlah 5 penderita Pityriasis versicolor peroleh 10 biakan dibagi 2 yang identik atau tidak ada variabel pembeda karena dari 1 penderita (Richard C.S. , 2003). Digunakan 10 biakan (+) M. Furfur untuk yang mengandung bawang putih 2% dan 10 biakan (+) M. Furfur untuk yang mengandung ketokonazol 2%. Media dimasukkan ke inkubator pada suhu 37°C selama 2 hari dan dilihat pertumbuhannya pada hari kedua. Bila tumbuh koloni yeast pada media tersebut maka dinyatakan biakan M. furfur (+), dan bila tidak tumbuh koloni yeast pada media tersebut maka dinyatakan biakan M. furfur (-). PENGOLAHAN DAN ANALISA DATA Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan program SPSS 13.00 for Windows, uji hipotesis menggunakan uji Chi Square dengan derajat kemaknaan p<0,05 (Nursalam, 2003). Penelitian ini masih bersifat in vitro, yang diharapkan dapat menjadi dasar bagi penelitian selanjutnya terutama berlanjut pada penelitian yang bersifat in vivo.
SURYA MEDIKA HASIL PENELITIAN Hasil pemeriksaan mikroskopis kerokan skuama kulit dengan KOH + tinta Parker blue black, 10 sampel (100%) dinyatakan Pityriasis versicolor (+). Sejumlah dari 10 sampel dengan Pityriasis versicolor (+) yang ditanamkan pada media Sabouraud Dekstrose Agar olive oil, 10 sampel (100%) dinyatakan biakan Malassezia furfur (+). Jadi jumlah yang digunakan adalah 10 sampel. Sejumlah 10 sampel dengan biakan Malassezia Furfur (+) di Sabouraud Dekstrose Agar olive oil yang mengandung bawang putih 2%, 8 (80%) dinyatakan Malassezia furfur (+) dan 2 (20%) dinyatakan Malassezia furfur (-). sebanyak 10 sampel dengan biakan Malassezia furfur (+) di Sabouraud Dekstrose Agar olive oil yang mengandung Ketokonazol 2%, 7 (70%) dinyatakan Malassezia furfur (+) dan 3 (30%) dinyatakan Malassezia furfur (-). Dengan uji Chi-Square didapatkan hasil p=0,606, yang berarti tidak terdapat perbedaan bermakna antara efektivitas bawang putih 2% dengan Ketokonazol 2% terhadap pertumbuhan Malassezia furfur.
Gambar 1. Perbandinganpertumbuhan M. furfur pada media Sabouraud Dekstrose Agar olive oil + Bawang Putih 2% dan pada media SabouraudDekstrose Agar olive oil Ketokonazol 2%.
24
JURNAL ILMU-ILMU KESEHATAN
SURYA MEDIKA
Volume 7. No. 1 Januari 2011
Tabel 1. Tabulasi silang antara Sabouraud Dekstrose Agar olive oil + Bawang Putih 2% atau Ketokonazol 2% terhadap pertumbuhan Malassezia furfur. M.furfur Biakan
Bawang Putih 2%
Ketokonazol 2 %
Total
Count Expected Count % Within Biakan Count Expected Count % Within Biakan Count Expected Count % Within Biakan
PEMBAHASAN Uji chi-square diperoleh hasil p=0,606 yang berarti tidak ada perbedaan antara bawang putih 2% dan Ketokonazol 2% dalam menghambat pertumbuhan Malassezia furfur. Ketokonazol adalah salah satu anti jamur golongan azol sintetik dengan konsentrasi 2% yang mempunyai spektrum luas dan efektivitas yang tinggi, yang bekerja menghambat sintesa ergosterol yaitu komponen yang penting untuk integritas membran sel jamur. Berdasarkan penelitian ini didapat fakta juga bahwa Ketokonazol 2% secara in vitro kurang efektif menghambat pertumbuhan Malassezia furfur. Walaupun secara in vivo terbukti bahwa Ketokonazol mempunyai efektivitas yang tinggi. Bawang Putih adalah tanaman obat berkhasiat yang terbukti melalui penelitian ilmiah memiliki efek imunomodulasi, efek reparasi dan peremajaan sel,efek vasoproteksi, efek antioksidan, anti biotik dan anti jamur. Berdasarkan hal tersebut, maka pada penelitian ini didapatkan bahwa efektivitas Bawang Putih 2% dalam menghambat pertumbuhan Malassezia furfur secara in vitro tidak berbeda dibandingkan dengan Ketokonazol 2%.
+ 7 7.5 70.0% 8 7.5 80.0% 15 15.0 75.0%
3 2.5 30.0% 2 2.5 20.0% 5 5.0 25.0%
Total 10 10.0 100.0% 10 10.0 100.0% 20 20.0 100.0%
Terbukti dari 10 media Sabouraud Dektrose Agar olive oil yang mengandung bawang putih 2%, 7 (70%) media ditumbuhi Malassezia furfur. Sejumlah 10 media Sabouraud Dekstrose Agar olive oil yang mengandung Ketokonazol 2%, 8 (80%) media ditumbuhi Malassezia furfur. Uji Chi-Square didapatkan p=0,606 yang berarti tidak ada perbedaan. Hal ini membuktikan bahwa Bawang Putih 2% yang mempunyai khasiat anti jamur memiliki efektivitas yang setara dengan Ketokonazol 2% dalam menghambat pertumbuhan Malassezia furfur pada Pityriasis versicolor atau penyakit panu. KESIMPULAN Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian mengenai perbedaan efektivitas antara bawang putih dan ketokonazol sebagai obat anti fungal secara In Vitro ini, maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan antara bawang putih 2% dengan Ketokonazol 2% dalam menghambat pertumbuhan Malassezia furfur pada Pityriasis Versicolor. DAFTAR PUSTAKA Bautista, D.M.; Movahed P.; Hinman A.; Axelsson HE; Sterner O;
25
JURNAL ILMU-ILMU KESEHATAN
Volume 7. No. 1 Januari 2011
SURYA MEDIKA
Hogestatt ED; Julius D; Jordt SE; and Zygmunt PM. 2005. "Pungent products from garlic activate the sensory ion channel TRPA1". Proc Natl Acad Sci USA 102 (34): 12248-52.
SunWook Hwang; and Ardem Patapoutian. 2005. "The Pungency Of Garlic: Activation Of TRPA1 And TRPV1 In Response To Allicin". Current Biology 15 (May 24): 929-934.
Darmansjah, Iwan. 2002. Menyikapi Efek Samping Obat. FK UI, Bagian Farmakologi, Jakarta.
Nursalam, 2007. Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan, Salemba Medika. Jakarta.
Dawson, Thomas JR; dan Boni Elewski. 2009. “Fast, Noninvansive Method for Molecular Detection and Speciation of Malassezia on Human Skin, and Application to Dandruff Microbiology”. Universitas Alabama, Birmingham. Klenk, AS; Martin AG; Heffernan MP. 2003. Yeast Infections: Candiadiasis, Pityasis Versikolor. In: Freedberg IM, Elsen AZ, Wolf Klaus, Austen KF, Goldsmith LA. Katz SI, editors. Fitzpatrick's dermatologi in general medicine. 6th ed. New York : Me-Graw Hill; p 2006-16.
Richard, C.S. 2003. Trichophyton, Microsporum, Epidermophyton, And Agents Of Superficial Mycoses. In: Murray Patrick R, Baron Ellen Jo, Jorgense James H, Pfaller Michael A, Yolken Robert H, Editors. Manual of Clinied Microbiology. 8th ed. New York : Me-Graw Hill; p 104-16. Seow Chew Swee, 2006. Obat Antifungal. National skin Centre & Division of Dermatology Dept of Medicine, National University of Singapore. www.majalahfarmacia.com.
Macpherson, Lindsey J.; Bernhard H. Geierstanger; Veena Viswanath; Michael Bandell; Samer R. Eid;
26
JURNAL ILMU-ILMU KESEHATAN
SURYA MEDIKA
Volume 7. No. 1 Januari 2011
GAMBARAN PERILAKU FAKTOR PEMUNGKIN (ENABLING FACTORS) DALAM PELAKSANAAN KEWASPADAAN UMUM TENAGA PERAWAT DALAM MELAYANI PASIEN SUSPECT HIV/ AIDS DI RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA Oleh : Yelli Yani Rusyani5 ABSTRACT Background: Increasing prevalence of HIV/AIDS also increases risk of health staff in services suspect HIV/AIDS patient, especially when universal preacaution is not implemented to all patients. Objective: This study aims to understand in depth about the behavior description actuating universal precaution of nurses in serving patients with HIV/AIDS suspect at PKU Muhammadiyah Hospital Yogyakarta. Method: This study used a qualitative approach with the case method. The subject of the study is consisted of 14 nurses who conduct risk prevention in the Arofah and Marwah Rooms. Triangulation research used the observation and interview with supervisors in Arofah and Marwah Rooms, the management and HIV/AIDS team as a prerequisite for the validity of the study. Result: The result of this study is not all nurses comply uses APD before and after the action. Enabling factor in the implementation of public awareness of nurses in serving patients suspected of HIV / AIDS is the hospital has adequate facilities in the care of patients suspected of HIV / AIDS, training / refreshing and VCT, there are no rules.
Keywords: universal, precaution, behavior, nurses, staff, suspect, HIV, AIDS 5
Staf Pengajar Stikes Surya Global Yogyakarta
27
JURNAL ILMU-ILMU KESEHATAN
Volume 7. No. 1 Januari 2011
PENDAHULUAN Rumah sakit merupakan instansi kesehatan yang berperan penting untuk melawan penyebaran HIV/AIDS dan memberikan perawatan bagi penderita HIV/AIDS. Rumah sakit memiliki potensi penularan penyakit seperti HIV/AIDS, hepatitis, TBC, Demam Berdarah, SARS dsb. Oleh karena itu, universal precaution diajarkan kepada perawat, bidan, dokter dan petugas kesehatan lainnya di tiap rumah sakit agar tidak tertular dari pekerjaannya (Achmadi U.F., 2005). Petugas kesehatan menghadapi peningkatan risiko kematian akibat penyakit yang ditularkan melalui darah contohnya HIV dan penyakit lain, dibandingkan pekerja di bidang lain (The Kaiser daily HIV/AIDS Report. 2008). Meningkatnya prevalensi HIV/AIDS meningkatkan pula risiko tenaga kesehatan yang dapat tertular dari darah pasien yang terinfeksi HIV, khususnya jika kewaspadaan terhadap darah dan cairan tubuh tidak dilaksanakan terhadap semua pasien. Tenaga kesehatan perlu mempertimbangkan bahwa semua pasien berpotensi untuk terinfeksi penyakit HIV/AIDS maupun penyakit menular lannya dan untuk menerapkan kewaspadaan untuk meminimalkan risiko penularan dari darah serta cairan tubuh semua pasien (Centers For Disease Control (CDC). 1987). Harus ditekankan bahwa pedoman tersebut dibutuhkan tidak hanya untuk melindungi terhadap penularan HIV tetapi yang tidak kalah penting terhadap infeksi lain yang dapat berat dan sebetulnya lebih mudah menular, karena akan sulit untuk mengetahui apakah pasien terinfeksi atau tidak. Petugas layanan kesehatan harus menerapkan kewaspadaan umum secara penuh dalam hubungan dengan semua pasien. Ada banyak alasan mengapa kewaspadaan umum tidak diterapkan,
SURYA MEDIKA termasuk: petugas layanan kesehatan kurang pengetahuan, kurang dana untuk menyediakan pasokan yang dibutuhkan, misalnya sarung tangan dan masker, Penyediaan pasokan tersebut kurang, petugas layanan kesehatan ‘terlalu sibuk’, dianggap ODHA, harus mengatakan bahwa dirinya HIV-positif agar kewaspadaan dapat dilakukan (Yayasan Spiritia, diakses 18 februari 2009) Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Provinsi DIY, bahwa distribusi kasus HIV/AIDS yang dilaporkan dari tahun 2003 sampai dengan Juli 2008 berjumlah 557 kasus ; laki-laki 237 kasus, perempuan 150 kasus, waria 1 kasus dan tidak diketahui 169 kasus (Dinas Kesehatan Provinsi DIY. 2008). Hasil wawancara observasi awal melakukan pada tanggal 1 April 2009 dengan koordinator HIV/AIDS dan manajer kasus yang ada di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta bahwa pada hari itu ada pasien yang dirawat dengan diagnosis HIV/ AIDS dan baru saja merujuk pasien AIDS ke rumah sakit Sardjito bukan karena menolak dengan statusnya AIDS tetapi tidak memadainya fasilitas karena pasien tersebut terkena kanker. Berdasarkan data dari penelitian Puspita bahwa tingkat kepatuhan pelaksanaan kewaspadaan umum oleh perawat masih rendah yakni hanya 64 responden dari 220 responden atau sebesar 33,5% (Puspita Dentiana. 2008). Perawat merupakan salah satu pemberi pelayanan yang mempunyai risiko dalam penanganan kasus HIV/ AIDS. Termasuk untuk perawat di Bangsal “Arofah” dan Bangsal “Marwa”. Selama ini pelayanan yang diberikan oleh perawat dalam penanganan kasus HIV/ AIDS adalah sarung tangan dan masker. Walau demikian masih ada perawat yang merasa ‘ribet’ apabila
28
JURNAL ILMU-ILMU KESEHATAN
Volume 7. No. 1 Januari 2011
harus pakai alat pelindung diri dan menganggap pelayanan akan lebih cepat bila tidak menggunakan alat pelindung diri. Seharusnya dalam memberikan pelayanan, kewaspadaan umum (universal precaution) tetap harus dilaksanakan. Masih ada juga perawat bila telah menyuntik pasiennya, perawat tersebut masih saja memasukkan jarum suntik ke dalam spuitnya dengan menggunakan dua tangan tanpa harus menutup kembali spuitnya, padahal tempat sampah khusus sudah disediakan oleh pihak rumah sakit atau dengan prosedur menutup dengan satu tangan. Petugas kesehatan yang melayani mempunyai risiko untuk tertular penyakit dan menuntut adanya kesiapan dalam mencegah penularan penyakit HIV/ AIDS. Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak manajemen rumah sakit diperoleh data awal bahwa sosialisasi dan pelatihan tentang pelayanan komprehensif HIV/ AIDS pernah diberikan oleh pihak rumah sakit, dan pihak manajemen mengharuskan perawat untuk menerapkan sistem kewaspadaan umum (universal precaution) dalam memberikan pelayanan pada pasiennya tapi mayoritas perawat jarang melaksanakannya. Adanya kondisi tersebut diperlukan penelitian yang bersifat kualitatif. Adanya program dari pemerintah dalam penanganan HIV/ AIDS, maka kiranya perlu di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta untuk menjalankan suatu pelayanan yang berkualitas dalam memberikan pelayanan HIV/ AIDS dengan tidak melanggar hak pasien dan menjamin keamanan dan keselamatan petugas kesehatan serta pasien lain dalam memberikan pelayanan.
SURYA MEDIKA METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus. Subyek dalam penelitian ini disebut dengan responden penelitian yang berjumlah 14 tenaga perawat yang ditentukan secara purposive sampling (Sugiyono,2008) dan untuk triangulasi menggunakan triangulasi sumber yaitu supervisor, pihak manajemen serta tim HIV/ AIDS yang selanjutnya disebut dengan informan penelitian. Obyek dalam penelitian ini adalah pelaksanaan kewaspadaan umum tenaga perawat. Pengumpulan data dilakukan dengan metode indept interview terhadap subyek penelitian, supervisor, pihak manajemen serta tim HIV/AIDS . Obervasi untuk melihat kegiatan yang dilakukan tenaga perawat dan cek list untuk mengetahui sarana dan prasarana yang mendukung pelaksanaan kewaspadaan umum. Pengolahan data dilakukan dengan metode content analysis dari Miles dan Huberman yang meliputi reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan (Milles, M.B. Huberman, A.M; Penerjemah Rohindi T.R. 2007). HASIL DAN PEMBAHASAN Perilaku Pelaksanaan Kewaspadaan Umum Alat Pelindung Diri (APD) Pertama, Sarung tangan perawat yang mendapat pelatihan: sebagian besar menggunakan alat ini bila dianggap penting karena perawat sering lupa, terburu-buru, merasa sibuk, ribet , tidak lancar dan tidak nyaman. Perawat yang belum mendapat pelatihan: Separuh responden kadangkadang saja menggunakan sarung tangan, responden sering pilih diagnose pasien dengan alasan untuk efisiensi
29
JURNAL ILMU-ILMU KESEHATAN
SURYA MEDIKA
Volume 7. No. 1 Januari 2011
karena jumlah sarung tangan yang tersedia minim dan separuh lagi selalu pakai sarung tangan karena bila tidak pakai kadang mendapat teguran teman. Hal ini mempunyai hasil yang sama antara wawancara dan observasi dan didukung oleh Ji,G,. (2005) prevalensi ketidakpatuhan penggunaan sarung tangan saat memeriksa dan menolong pasien sebesar 60% dari 137 responden. Didukung pula oleh Puspita yang menyatakan bahwa tingkat kepatuhan pelaksanaan kewaspadaan umum masih rendah sebesar 33, 5%. Sebagian besar perawat memakai sarung tangan non steril double dalalm melayani pasien suspect HIV/AIDS karena responden merasa sarung tangan yang dipakai tipis dan merasa takut sobek. Yanri dalam pedoman bersama ILO/ WHO, APD akan mencegah pajanan dari percikan darah dan akan mencegah luka karena jarum suntik. Penggunaan sarung tangan ganda dalam tindakan telah mengurangi tusukan dari sarung tangan bagian dalam sampai 60-70%. a. Masker, perawat sebagian besar jarang menggunakan masker. Masker hanya digunakan untuk kasus tertentu dan hanya sebagian kecil saja yang selalu pakai masker. Hal ini Bertentangan dengan Yunus dalam recommendation isolation yang menyatakan bahwa gunakan masker jika masuk ruangan. Nursalam juga mengungkapkan bahwa komponen utama kewaspadaan umum meliputi; masker yang digunakan untuk melindungi selaput mata, hidung, mulut saat terjadi kontak atau untuk menghindari cipratan darah dan cairan tubuh setiap berganti pasien dan untuk pasien infeksi respirasi.
b.
Baju tindakan; Sebagian besar perawat jarang menggunakan baju tindakan karena merasa tidak nyaman, ribet, risih dan dianggap menghabiskan waktu. Hanya sebagian kecil yang selalu pakai baju tindakan. Baju tindakan ini digunakan responden untuk medikasi, masuk ruang isolasi dan saat membersihkan alat-alat yang telah dipakai pasien.
c.
Kaca mata, Semua respoden tidak meggunakan kaca mata. Responden merasa tidak perlu dalam tindakan memakai kaca mata dan di ruang “Arofah” maupun “Marwa” kaca mata tidak tersedia.
d.
Sandal tindakan sebagian besar tidak menggunakannya karena di ruangan tidak tersedia dan hanya sebagian kecil perawat yang kadang menggunakanya yaitu pada saat responden masuk ruang isolasi di “A”.
Hal ini didukung oleh Priambodo, yang menyatakan bahwa tidak semua APD dipakai dalam waktu yang bersamaan tapi tergantung jenis tindakan. 1. Cuci Tangan Sebelum Dan Sesudah Tindakan Perawat yang mendapat pelatihan: Sebagian besar selalu cuci tangan sebelum tindakan. hal ini dianggap penting oleh perawat walaupun perawat telah mempergunakan sarung tangan dan dianggap sebagai suatu kebiasaan perawat. Perawat yang tidak mencuci tangan merasa tangannya sudah bersih, suka lupa dan adanya anggapan bahwa perawat dalam melakukan tindakan memakai sarung tangan serta sering terburu-
30
JURNAL ILMU-ILMU KESEHATAN
Volume 7. No. 1 Januari 2011
buru. Semua perawat selalu cuci tangan sesudah tindakan dan separuh perawat menyatakan sarung tangan memberi alasan takut bocor karena sarung tangan tipis, mencegah infeksi silang dan separuh lagi menyatakan adanya rasa “risih” karena di dalam sarung tangan ada sejenis tepung. Perawat yang mendapat pelatihan: semua responden menyatakan selalu cuci tangan sebelum dan sesudah tindakan karena merupakan suatu kebiasaan. Penggunaan sabun; sebagian besar perawat cuci tangan memakai sabun dengan air kran yang mengalir dan hanya sebagian kecil saja yang mencuci tangannya tanpa sabun karena alergi terhadap sabun perawat ganti dengan menggunakan alkohol semprot. Pemakaian Lap/ handuk digunakan perawat berkali-kali dan tisu baik di ruang Arofah dan Marwah tidak tersedia. dengan adanya hall tersebut perawat mengeluh lap/ handuk yang dipakai lembab. Perawat sering membawa tisu sendiri dan dua perawat yang membiarkan tangannya kering. Khusus untuk menangani pasien suspect HIV/ AIDS; sebagian besar cuci tangan di kran yang mengalir dengan memakai sabun atau alkohol dan hanya sebagian kecil di air kran yang mengalir dengan menggunakan sabun tanpa alkohol karena perawat merasa aman. Cara menutup kran sebagian besar responden menutupnya tangan tanpa alas dan sebagian kecil menggunakan sikutnya dan meminta bantuan teman di sebelahnya. Penelitian Ji, G. (2005), ketidakpatuhan cuci tangan sebelum
SURYA MEDIKA dan sesudah masih tinggi (40% dari 137 perawat) Berdasarkan pedoman pelaksanaan universal precaution (Depkes RI, 2006) terdapat 7 langkah dalam prosedur cuci tangan. Berdasarkan hasil indepth interview dan observasi, semua responden tidak melakukan cuci tangan secara lengkap. Hal ini dikarenakan faktor pemungkin (Green) yakni: lap/ handuk dipakai berkali-kali dan tisu tidak ada serta sosialisasi menutup kran tidak ada. 2. Pengelolaan Linen, Semua perawat memisahkan linen, perawat memasukan dalam kantung sesuai warnanya dan sebagian besar jarang menggunakan sarung tangan dan masker. Sebagian kecil perawat selalu pakai sarung tangan dan masker. 3. Penanganan Darah Dan Cairan Tubuh, Semua perawat menyatakan untuk penanganan darah dan cairan tubuh ditangani oleh cleaning service (bila banyak) dan dilakukan perawat (bila sedikit) biasanya perawat membersihkannya dengan menggunakan kapas/ tisu ditambah alkohol. 4. Pengelolaan Benda Tajam Dan Jarum, dikelola oleh bagian sanitasi. Penggunaan jarum suntik; jarum suntik digunakan 1 hari untuk pasien yang tidak suspect HIV/ AIDS dan 1 kali untuk pasien suspect HIV/AIDS. Semua perawat melakukan recapping jarum setelah dipakai; Sebagian besar perawat recapping jarum dengan menggunakan dua tangan dan ada sebagian kecil yang terkena luka saat recapping jarum. Bertentangan dengan Yanri dalam pedoman ILO/ WHO dan rekomendasi dalam teknik
31
JURNAL ILMU-ILMU KESEHATAN
Volume 7. No. 1 Januari 2011
kewaspadaan umum bahwa recapping tidak perlu dilakukan, jarum suntik dan syiringnya langsung buang ke tempat khusus, bila terpaksa gunakan dengan teknik satu tangan. Kondisi ini bertentangan dengan direktorat pengawasan kesehatan kerja dengan cara eliminasi recapping jarum memberikan hasil pengurangan 2/3 luka. 5. Pemulasaraan jenazah, Semua perawat menyatakan ada bagian tersendiri yang mengurusi jenazah. Semua perawat hanya membereskan alat yg terpasang dan tutup luka. Sesuai dengan petunjuk teknis perawatan jenazah pasien AIDS Depkes RI bahwa untuk perawatan jenazah perawat ruangan bertugas: luruskan tubuh, tutup mata, telinga dan mulut, melepas alat kesehatan yang terpasang, plester kedap air untuk tutup semua luka dan lubang. Faktor Pemungkin 1. Ketersediaan Fasilitas, sebagian besar responden APD disediakan oleh pihak rumah sakit dan sebagian kecil mengatakan APD yang disediakan meliputi: sarung tangan, masker, baju tindakan, sandal tindakan, penyeteril linen dan tempat buang sampah. Sebagian besar perawat menyatakan APD sudah cukup (bila butuh tersedia) dan sebagian kecil mengatakan minim sehingga harus menggunakannya secara efisien. Menurut manajer pelayanan ruang rawat inap; RS menyediakan APD (sarung tangan non steril, masker, baju tindakan dan di sebagian ruangan sandal tindakan), pengelolaan linen, pengelolaan limbah. Menurut Green, faktor pemungkin merupakan
SURYA MEDIKA faktor anteseden terhadap perilaku yg memungkinkan suatu motivasi terlaksana. 2. Program, semua perawat menyatakan bahwa program untuk pelayanan pasien suspect HIV/ AIDS sudah ada yaitu program pelatihan/ refreshing dan VCT. 3. Peraturan, semua perawat mengatakan untuk aturan dalam pelaksanaan kewaspadaan umum belum ada tetapi didasarkan kepada himbauan, kesadaran, inisiatif dan kedisplinan diri perawat dan adanya anggapan penularan HIV/ AIDS kecil. Begitu pula tentang reward dan punishment tidak ada. 4. Masukan; separuh responden menginginkan pemusatan ruang perawatan untuk pasien suspect HIV/AIDS. Sebagian kecil menginginkan ruang isolasi, kelengkapan APD dan hanya sebagian kecil saja yang merasa bahwa pelayanan yang diberikan sudah cukup. Hal ini didukung oleh manager pelayanan rawat inap bahwa aturan sudah include dalam SOP, aturan, reward dan punishment tidak ada. RS lebih menekankan kepada kesadaran diri hal tersebut dilakukan karena dengan kesadaran diri akan bersifat langgeng dan HIV kecil penularannya. KESIMPULAN Hasilnya adalah tidak semua perawat mematuhi penggunaan APD sebelum dan sesudah melakukan tindakan. Faktor pemungkin dalam pelaksanaan kewaspadaan umum tenaga perawat dalam melayani pasien suspect HIV/ AIDS adalah rumah sakit mempunyai fasilitas cukup dalam
32
JURNAL ILMU-ILMU KESEHATAN
SURYA MEDIKA
Volume 7. No. 1 Januari 2011
pelayanan pasien suspect HIV/AIDS, pelatihan/refreshing dan VCT, peraturan tidak ada
Pelayanan Medik. Direktorat Rumah Sakit Umum dan Pendidikan. Jakarta.
UCAPAN TERIMA KASIH Diucapkan terima kasih kepada Menteri Pendidikan Nasional yang telah memberikan dukungan pembiayaan melalui program Beasiswa Unggulan hingga penyelesaian tesis berdasarkan DIPA Sekretariat Jenderal Pendidikan Nasional Tahun Anggaran 2007 hingga 2009. Jenderal Pendidikan Nasional Tahun Anggaran 2007 hingga 2009.
Dinas Kesehatan Provinsi DIY. 2008. Laporan kasus HIV/AIDS. Seksi Pemberantasan Penyakit Menular. Yogyakarta.
DAFTAR PUSTAKA Achmadi U.F. , 2005. Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah. Penerbit Buku Kompas. Jakarta Azwar S., 2007. Sikap Manusia Teori Dan Pengukurannya. Pustaka Pelajar. Edisi Kedua. Cetakan XI. Yogyakarta. Centers For Disease Control (CDC). 1987. Universal Precaution For Prevention Of Transmission Of HIV And Other Bloodborne Infection. http//www.cdc.gov/hip/BLOOD/uni versa.HTM. Diakses November 2008 Departemen Kesehatan RI. 2006. Modul Pelatihan Konseling Dan Tes Sukarela HIV. Direktorat Jenderal Pelayanan Medik. Direktorat Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan. Jakarta. Departemen Kesehatan RI. 1996/1997. Petunjuk Khusus Perawatan Pasien dan Jenazah AIDS di Rumah Sakit. Direktorat Jenderal
Green L W dan Kreteur M W. 1991. Health Promotion Planning An Educational and Environmental Approach. Mayfield Publishing Company. Second Edition. London. Ji, G, 2005. Prevalence Of And Risk Factors For Non-Compliance With Glove Utilization And Hand Hygiene Among Abstetrics And Gynaecology Workers In Rural China. Journal Of Hospital Infection. Milles,
M.B. Huberman, A.M; Penerjemah Rohindi T.R. 2007. Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber Tentang Metode-Metode Baru. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta
---------------------. 2007. POKDIKSUS AIDS Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Laporan rutin. Jakarta. Notoatmodjo S., 2005. Promosi kesehatan teori dan aplikasinya. Rineka cipta. Cetakan pertama. Jakarta. Nursalam, 2007. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Terinfeksi HIV/AIDS. Salemba Medika, Edisi Pertama. Jakarta. Puspita Dentiana. 2008. Analisis Sistem Pelaksanaan Manajemen
33
JURNAL ILMU-ILMU KESEHATAN
SURYA MEDIKA
Volume 7. No. 1 Januari 2011
Keselamatan Dan Kesehatan Kerja Di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Yogyakarta. Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif Dan Kualitatif Dan R & D. Alfabeta. Bandung. The Kaiser daily HIV/AIDS Report. 2008. Petugas Kesehatan Menghadapi Peningkatan Risiko Kematian Akibat HIV Dan Penyakit Lain Yang Ditularkan Melalui Darah. http//spiritia, diakses 18 februari 2009 Yanri, Z, et al. 2005. Pedoman Bersama ILO/WHO Tentang Pelayanan Kesehatan Dan HIV/AIDS. Direktorat Pengawasan Kesehatan Kerja, Direktorat Jenderal Pembinaan
Pengawasan Ketenagakerjaan, Departemen Tenaga Kerja Dan Transmigrasi RI. Yunus
W, 2005/2006. Isolation Precaution. Seminar Nasional Universal Precaution. Program Studi Ilmu Keperawatan. Program Hibah Kompetisi (PHK A1). Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Yayasan Spiritia. Kewaspadaan Universal. Lembaran Informasi 811. New Mexico Infonet. http//www.aidsinfonet.org. diakses 18 februari 2009 Yayasan spiritia. Kewaspadaan Universal. Lembaran Informasi 154. New Mexico Infonet. http//www.aidsinfonet.org. Yayasan spiritia
34
JURNAL ILMU-ILMU KESEHATAN
SURYA MEDIKA
Volume 7. No. 1 Januari 2011
MODEL KESUKSESAN PENERIMAAN SISTEM INFORMASI RUMAH SAKIT DENGAN MENGGUNAKAN MODEL DELONE & MCLEAN Oleh: Sugiono6 ABSTRACT
One of the important element in implementing a hospital information system is the acceptance of information systems. For an organization such as hospitals, information system serves as a tool for the achievement of organizational goals through the provision of information. The success of an information system is not only determined by how the system can be process input and produce a good informed, but also how users will accept and use it, so can be achieve organizational goals. Acceptance of information systems can be measured by some evaluation models that have been developed at this time. Information technology systems success model developed by DeLone & McLean could be one of the model to evaluate the success of acceptance of information systems in hospitals, in addition, the result of this model are simple, valid and accurate.The purpose of this paper is to determine the success of information technology systems are implemented in hospitals by using the model of DeLone & McLean.
Key words : Hospital information system, Delone & Mclean Model 6
Staf Pengajar Stikes Surya Global Yogyakarta
35
JURNAL ILMU-ILMU KESEHATAN
Volume 7. No. 1 Januari 2011
PENDAHULUAN Kehadiran sistem teknologi informasi telah memberikan begitu banyak pengaruh terhadap sebuah organisasi, termasuk rumah sakit yang sangat komplek dalam memberikan pelayanan kepada para pasienya, sehingga Rumah sakit sebagai salah satu institusi pelayanan umum membutuhkan keberadaan suatu sistem informasi yang akurat dan andal, serta cukup memadai untuk meningkatkan pelayanannya kepada para pasien serta lingkungan yang terkait lainnya. Dengan lingkup pelayanan yang begitu luas, tentunya banyak sekali permasalahan kompleks yang terjadi dalam proses pelayanan di rumah sakit. Banyaknya variabel di rumah sakit turut menentukan kecepatan arus informasi yang dibutuhkan oleh pengguna dan lingkungan rumah sakit. Namun apakah semua sistem teknologi informasi yang diterapkan pada rumah sakit dapat dikategorikan sukses? Lalu bagaimana rumah sakit dapat mengetahui kesuksesan sistem teknologi informasi yang diterapkanya, maka dibutuhkan suatu model yang dapat mengakomodir hal tersebut. Salah satu model kesuksesan sistem teknologi informasi di rumah sakit tersebut adalah model DeLone & McLean. Pengelolaan data di rumah sakit merupakan salah satu komponen yang penting dalam mewujudkan suatu sistem informasi di rumah sakit. Pengelolaan data secara manual, mempunyai banyak kelemahan, selain
SURYA MEDIKA membutuhkan waktu yang lama, keakuratannya juga kurang dapat diterima, karena kemungkinan kesalahan sangat besar. Dengan dukungan teknologi informasi yang ada sekarang ini, pekerjaan pengelolaan data dengan cara manual dapat digantikan dengan suatu sistem informasi dengan menggunakan komputer. Selain lebih cepat dan mudah, pengelolaan data juga menjadi lebih akurat. PEMBAHASAN Pengelolaan data di rumah sakit merupakan salah satu komponen yang penting dalam mewujudkan suatu sistem informasi di rumah sakit. Pengelolaan data secara manual, mempunyai banyak kelemahan, selain membutuhkan waktu yang lama, keakuratannya juga kurang dapat diterima, karena kemungkinan kesalahan sangat besar. Dengan dukungan teknologi informasi yang ada sekarang ini, pekerjaan pengelolaan data dengan cara manual dapat digantikan dengan suatu sistem informasi dengan menggunakan komputer. Selain lebih cepat dan mudah, pengelolaan data juga menjadi lebih akurat. Perkembangan teknologi informasi (TI) telah memberikan berbagai sarana bagi menajemen dalam mengelola bisnis dan pembuatan keputusannya, termasuk dalam pengelolaan di rumah sakit. Sistem informasi yang didukung TI dapat memberikan nilai tambah bagi organisasi jika didesain menjadi sistem informasi yang efektif, sistem
36
JURNAL ILMU-ILMU KESEHATAN
Volume 7. No. 1 Januari 2011
informasi yang menandakan bahwa sistem tersebut sukses. Namun demikian, pengukuran atau penilaian kualitas suatu sistem informasi yang efektif sulit dilakukan secara langsung seperti pengukuran biaya-manfaat (Laudon dan Laudon, 2000).1 Kesulitan penilaian kesuksesan dan keefektifan sistem informasi secara langsung mendorong banyak peneliti mengembangkan model untuk menilai kesuksesan sistem informasi. Banyak penelitian telah dilakukan untuk mengidentifikasikan faktor-faktor yang menyebabkan kesuksesan sistem teknologi informasi. Salah satu penelitian yang terkenal di area ini adalah penelitian yang dilakukan oleh DeLone & McLean (1992). Model kesuksesan sistem teknologi informasi yang dikembangkan oleh DeLone & McLean (1992) ini cepat mendapat tanggapan. Salah satu sebabnya adalah model mereka merupakan model yang sederhana tetapi dianggap cukup valid. Model yang baik adalah model yang lengkap tetapi sederhana. Model semacam ini disebut dengan model yang parsimoni. Berdasarkan teoriteori dan hasil penelitian sebelumnya yang telah dikaji, DeLone & McLean (1992) kemudian mengembangkan suatu model parsimoni yang mereka sebut dengan nama model kesuksesan sistem informasi DeLone & McLean (D&M Information System Success Model) sebagai berikut ini:
SURYA MEDIKA
Gambar 1. Model DeLone & McLean (1992)
Dari gambar di atas menggambarkan bahwa kesuksesan sistem informasi yang diproksi dengan 2 (dua) variabel yaitu intensitas penggunaan sistem dan kepuasan pengguna sistem informasi yang bersangkutan. Variabel-variabel yang mempengaruhi kesuksesan sistem informasi adalah kualitas informasi (sebagai output sistem) dan kualitas sistem informasi yang bersangkutan. Dua variabel ini masing-masing mempengaruhi variabel kualitas informasi, dan kualitas sistem informasi (DeLone and Mc Lean 1992). Selanjutnya variabel intensitas penggunaan sistem juga mempengaruhi kepuasan pengguna sistem informasi yang bersangkutan. Markus dan Keil (1994), menyatakan bahwa sebuah kesuksesan sistem akan berdampak pada individu dan organisasi penggunanya, dan pada selanjutnya dampak individual tersebut berpengaruh terhadap kinerja organisasional. Selanjutnya kerangka teoritis tersebut menunjukkan bahwa kualitas sistem (system quality) dan kualitas informasi (information quality) yang baik, yang direpresentasikan oleh usefulness dari output sistem yang diperoleh, dapat berpengaruh terhadap tingkat penggunaan sistem
37
JURNAL ILMU-ILMU KESEHATAN
Volume 7. No. 1 Januari 2011
yang bersangkutan (intended to use) dan kepuasan pengguna (user satisfaction). Dengan menganut definisi bahwa kualitas sistem berarti kualitas dari kombinasi hardware dan software dalam sistem informasi (DeLone dan McLean, 1992), dalam artian bahwa semakin baik kualitas sistem dan kualitas output sistem yang diberikan, misalnya dengan cepatnya waktu untuk mengakses; dan kegunaan dari output sistem, akan menyebabkan pengguna tidak merasa enggan untuk melakukan pemakaian kembali (reuse); dengan demikian intensitas pemakaian sistem akan meningkat. Pemakaian yang berulang-ulang ini dapat dimaknai bahwa pemakaian yang dilakukan bermanfaat bagi pemakai. Tingginya derajat manfaat yang diperoleh mengakibatkan pemakai akan lebih puas. Individual impact merupakan pengaruh dari keberadaan dan pemakaian sistem informasi terhadap kinerja, pengambilan keputusan, dan derajat pembelajaran individu dalam organisasi. Leavitt (1965) mencermati bahwa penerapan sistem informasi yang baru akan berdampak pada reaksi yang ditunjukkan oleh perilaku individu dalam organisasi. Reaksi itu dapat berupa munculnya motivasi baru untuk bersaing dan meningkatkan kinerja. Secara positif keberadaan sistem informasi baru akan menjadi rangsangan (stimulus) dan tantangan bagi individu dalam organisasi untuk bekerja secara lebih baik, yang pada gilirannya berdampak pada kinerja organisasi.
SURYA MEDIKA Organizational impact merupakan dampak dari sistem informasi terhadap kinerja organisasi di mana sistem informasi diterapkan. Peneliti di bidang keperilakuan menyatakan bahwa penerapan sistem informasi dapat mengubah hirarki pengambilan keputusan dan menurunkan biaya untuk distribusi informasi (Malone, 1997). Keberadaan sistem informasi dapat memangkas fungsi dari manajer tingkat menengah (Leavitt dan Whisler, 1958). Dengan terpangkasnya fungsi manajer tingkat menengah ini maka keputusan dapat diambil secara lebih cepat dan lebih murah, begitu juga dengan distribusi informasi. Hal ini merupakan alasan yang menguatkan bahwa keberadaan sistem informasi dapat meningkatkan kualitas kinerja organisasi. Dari model proses dan kausal ini, maka dapat dijelaskan bahwa kualitas sistem (system quality) dan kualitas informasi (information quality) secara mandiri dan bersama-sama mempengaruhi baik penggunaan (use) dan kepuasan pemakai (user satisfaction). Besarnya penggunaan (use) dapat mempengaruhi kepuasan pemakai (user satisfaction) secara positif atau negatif. Penggunaan (use) dan kepuasan pemakai (user satisfaction) mempengaruhi dampak individual (individual impact) dan selanjutnya mempengaruhi dampak organisasional (organizational impact). KRITIK PETER B. SEDDON Model DeLone & Mclean (1992) banyak mengundang perhatian dari para peneliti, salah satunya
38
JURNAL ILMU-ILMU KESEHATAN
Volume 7. No. 1 Januari 2011
adalah Peter B. Seddon yang melontarkan kritik terhadap model yang diajukan oleh DeLone & Mclean. Menurut Seddon (1997) masalah utama dari model D&M (DeLone & McLean) adalah mencoba mengkombinasikan proses dan penjelasan kausal dari kesuksesan sistem informasi di model mereka. Dengan demikian model mereka tercampur antara model proses (process model) dan model varian (variance model). Model varian (variance model) dapat diuji secara empiris dengan mengumpulkan data dalam bentuk sampel, mengukur variabelvariabelnya dan menggunakan teknik statistik seperti regresi, SEM dan lain sebagainya, untuk menginferensi populasinya. Secara kontras, model proses (process model) menunjukkan kombinasi tertentu dari kejadiankejadian (events) dalam urutan-urutan tertentu yang mengakibatkan suatu hasil (outcomes). Model proses dan
SURYA MEDIKA model varian mengandung konsep yang berbeda dan tidak dapat digabungkan dengan arti yang sama begitu saja. Lebih lanjut, Seddon (1997) mengatakan bahwa kotak-kotak dan arah panah di model D&M dapat diintepretasikan keduanya yaitu suatu varian dan suatu kejadian di dalam proses. Dalam usaha mengatasi kesulitan-kesulitan di model D&M ini, Seddon (1997) mencoba melakukan spesifikasi ulang dan mengembangkan sedikit versi dari model D&M. Model yang dispesifikasi ulang ini tetap mempertahankan fiturfitur di model D&M tetapi menghilangkan kebingungan yang disebabkan oleh arti ganda dari kotakkotak dan arah-arah panahnya. Spesifikasi ulang ini dilakukan dengan memecah model D&M menjadi dua submodel-submodel varian (yaitu Use dan Success) dan menghilangkan intepretasi model proses.
Gambar 2. Model Seddon (1997) yang menggabungkan dua model varian
39
JURNAL ILMU-ILMU KESEHATAN
Volume 7. No. 1 Januari 2011
Keterangan : Kotak-kotak segi empat = Model kesuksesan SI Kotak-kotak oval = Model keperilakuan parsial dari penggunaan SI Panah garis penuh = Kausalitas independen (perlu dan cukup) Panah garis putus-putus = Pengaruh (bukan kausal, karena tujuan pengamat tidak diketahui) PEMBARUAN MODEL DELONE & MCLEAN (2003) Menanggapi kritik Seddon (1997) yang menyatakan bahwa proses dan kausal adalah dua konsep yang
SURYA MEDIKA berbeda dan membingungkan untuk digabungkan. DeLone & McLean (2003) menyetujui kritik ini.Dari kontribusi-kontribusi penelitianpenelitian sebelumnya dan akibat perubahan-perubahan dari peran dan penanganan sistem informasi yang telah berkembang, DeLone & McLean (2003) memperbarui modelnya dan menyebutnya sebagai model kesuksesan sistem informasi D&M yang diperbarui (updated D&M IS Success model). Dengan adanya beberapa penambahan variabel pada model, maka model DeLone & McLean yang telah diperbarui (2003) nampak sebagai berikut:
Gambar 3. Model kesuksesan sistem informasi DeLone & McLean diperbarui
Dari gambar di atas tampak ada beberapa hal yang diperbarui untuk mengetahui kesuksesan system informasi yang diterapkan, diantaranya adalah sebagai berikut : 1. Menambah dimensi kualitas pelayanan (service quality) sebagai tambahan dari dimensi-dimensi kualitas yang sudah ada, yaitu
kualitas sistem (system quality) dan kualitas informasi (information quality). 2. Menggabungkan dampak individual (individual impact) dan dampak organisasional (organizational impact) menjadi satu variabel yaitu manfaat-manfaat bersih (net benefits). Alasan terjadinya penggabungan adalah dampak dari
40
JURNAL ILMU-ILMU KESEHATAN
Volume 7. No. 1 Januari 2011
sistem informasi yang dipandang sudah meningkat tidak hanya dampaknya pada pemakai individual dan organisasi saja, tetapi dampaknya sudah ke grup pemakai, ke antar organisasi, konsumer, pemasok, sosial bahkan ke negara. Tujuan penggabungan ini adalah untuk menjaga model tetap sederhana (parsimony). 3. Menambahkan dimensi minat memakai (intention to use) sebagai alternatif dari dimensi pemakaian (use). DeLone & McLean (2003) mengusulkan pengukuran alternatif, yaitu minat memakai (intention to use). Minat memakai adalah suatu sikap (attitude), sedang pemakaian (use) adalah suatu perilaku (behavior). DeLone & McLean (2003) juga berargumentasi dengan mengganti pemakaian (use) memecahkan masalah yang dikritik oleh Seddon (1997) tentang model proses lawan model kausal. Dengan adanya pembaruan model tersebut, maka sangat tepat untuk diimplementasikan dalam memahami kesuksesan system informasi di rumah sakit yang sangat komplek dengan berbagai pelayanan kepada para pasien, sehingga diharapkan model ini mampu untuk menjembatani kesulitan-kesulitan yang terjadi dalam pengambilan kebijakan di rumah sakit untuk melakukan pengembangan dan penerapan teknologi system informasi di ruamah sakit agar mampu memberikan pelayanan yang optimal kepada para pasienya.
SURYA MEDIKA KESIMPULAN Pertama : Kesuksesan sebuah sistem informasi rumah sakit tidak hanya ditentukan oleh bagaimana sistem dapat memproses masukan dan menghasilkan informasi dengan baik, tetapi juga bagaimana pengguna mau menerima dan menggunakannya, sehingga mampu mencapai tujuan yang diharapkan oleh pihak rumah sakit. Kedua : Model kesuksesan sistem teknologi informasi yang dikembangkan oleh DeLone & McLean merupakan model yang sederhana tetapi dianggap cukup valid, Variabel-variabel yang mempengaruhi kesuksesan sistem informasi adalah kualitas informasi (sebagai output sistem) dan kualitas sistem informasi yang bersangkutan Ketiga : DeLone & McLean di tahun 2003 memperbarui modelnya dan menyebutnya sebagai model kesuksesan sistem informasi D&M yang diperbarui (updated D&M IS Success model) dengan pembaruan ini sangat tepat untuk diimplementasikan dalam memahami kesuksesan teknologi system informasi di rumah sakit. DAFTAR PUSTAKA Davis, Fred R. 1989. “Perceived Usefulness, Ease of Use, and User Acceptance of Infomation Technologie.” MIS Quarterly 13, No 3, September. De Lone, W.H. dan Mc Lean, E.R. 1992 Information system success : The Quest for the
41
JURNAL ILMU-ILMU KESEHATAN
Volume 7. No. 1 Januari 2011
Dependent Variable, Information System Research, (3.1), pp. 60 – 95 DeLone, W.H. and E.R.Mc Lean. 1992. ” Information System Success: The Quest for the Dependent Variable” Infomation System Research 3 (Marach) DeLone, W.H. and E.R.Mc Lean. 2003. ” The Delone and Mc Lean Modul of Information System Success : A ten-year up date “ Journal of Management Information” Systems, (19:4) 2003 pp. 9-30
SURYA MEDIKA
Livary, Juhani. 2005. “An Empirical Test of The DeLone-McLean Model of Information System Success” Data base for Advance in Information System (DFA). ISSN: 1532-0936 .Volume 36. ProQuest Company. Markus, M.Lynne, and Mark Keil. 1994. ”If We Build It, They Will Come: Designing Information Systems That People Want To Use.” Sloan Management Review (Summer)
Laudon, Kenneth C., 1985. ”Environment and Institutional Models of Systems Development “ Commucation of the ACM 28 Number 7 (July)
Seddon, Peter B. 1987. “ Respesificaation and Extension of the DeLone and Mc Lean Model of IS Success” Information System Research, 8:3.
Laudon, Kenneth C., and Jane P. Laudon, 2000. ”Organization and Technology in The Networked Enterprise “Management Information System, Six Edition, International Edition. www. prenhall.com/laudon.
Seddon, Peter, and Siew-Kee Yip. 1992. “An Empirical Evaluation of User Information Satisfaction (UIS) Measures for Use with General Ledger Accounting Software”, The Journal Information Systems, Volume Six, Number one, Spring.
42
JURNAL ILMU-ILMU KESEHATAN
SURYA MEDIKA
Volume 7. No. 1 Januari 2011
MEMBANGUN INSAN KESEHATAN BERKARAKTER RELIGIUS SEBAGAI LANGKAH STRATEGIS TERWUJUDNYA VISI, MISI DAN TUJUAN RUMAH SAKIT ISLAM Oleh: Dwi Suharyanta7 ABSTRACT
Human resource is the most important asset for organizations engaged in services are included in the health care or hospital. A personal service is going to be successful in realizing the vision and mission of the hospital. The hospitals which have religious background seem have a better chance in the future and given the uniqueness of the service. The efforts to build a religious character for the human health becomes an important and strategic step for the hospital management of Islam, the same pattern in paradigm, committed leaders, increased confidence, the establishment of a religious atmosphere or environment, becomes a major factor in the formation of character. Character of religious formation for health insane care in the Islamic hospital will support the realization of the vision, mission and goal.
Key words: Health human, religious character, Islamic hospital Vision 7
Staf Pengajar Stikes Surya Global Yogyakarta
43
JURNAL ILMU-ILMU KESEHATAN
Volume 7. No. 1 Januari 2011
PENDAHULUAN Sumber daya insani atau sumber daya manusia merupakan asset terpenting bagi organisasi yang bergerak dalam bidang jasa termasuk dalam hal ini organisasi pelayanan kesehatan atau rumah sakit. Sentuhan pelayanan yang personal akan semakin menjadi kunci sukses keberhasilan sebuah rumah sakit dalam mewujudkan visi, menjalankan misi dan mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Rumah sakit khusus serta rumah sakit beridentitaskan sebuah kelompok tertentu seperti misalnya rumah sakit berlatar belakang agama (Rumah Sakit Islam), nampaknya akan memiliki peluang yang lebih baik di masa mendatang mengingat adanya kekhususan pelayanan serta basis keterikatan emosional antara rumah sakit dengan pasien. Tentunya apabila rumah sakit benar-benar mampu untuk mempersiapkan sumber daya insaninya, agar memiliki kompetensi keilmuan, ketrampilan serta attitude di dalam memberikan layanan untuk segmen pasar khusus ini. PEMBAHASAN Upaya membangun insani kesehatan berkarakter religius menjadi langkah yang penting dan strategis bagi rumah sakit guna mencapai visi, misi dan tujuan rumah sakit islam. Sebagai langkah awal komitmen para pemimpin rumah sakit menjadi kunci suksesnya pembangunan karakter bagi insane kesehatan. Pengelola rumah sakit islam ini, komitmen dan cara pandang para pemimpin dalam mencapai tujuan, serta soliditas dalam melangkah akan memberikan dukungan yang kuat dalam proses pembangunan karakter.
SURYA MEDIKA Pembentukan karakter diawali dengan membangun landasan yaitu dengan terus memberikan ilmu dan wawasan tentang aqidah atau keyakinan, untuk apa tujuan manusia diciptakan di dunia sebagai kholifah/ pemimpin. Tingkatkan pemahaman dan tumbuhkan kesadaran bahwa setiap manusia adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinnya, seorang pekerja/ pegawai atau pengusaha muslim dalam melakukan berbagai aktivitas usaha harus selalu bersandar dan berpegang teguh pada dasar dan prinsip sebagai berikut : Pertama : seorang muslim harus bekerja dengan niat yang ikhlas karena Alloh SWT, karena dalam kacamata syariat bekerja hanyalah untuk menegakkan ibadah agar terhindar dari hal-hal yang diharamkan dan dalam rangka memelihara diri dari sifat-sifat yang tidak baik seperti meminta-minta atau menjadi beban orang lain. Apalagi seorang tenaga kesehatan yang bekerja di sebuah rumah sakit yang mereka harus melayani dan membantu orang yang memiliki beban yang berat. Bekerja juga bisa menjadi sarana untuk berbuat baik kepada orang lain dengan cara ikut andil membangun ummat di masa sekarang dan masa yang akan datang, serta melepaskan ummat dari belenggu ketergantungan orang lain dan jeratan transaksi haram. Kedua : seorang muslim harus bekerja dalam hal-hal yang baik dan usaha yang halal. Sehingga dalam pandangan seorang pekerja dan pengusaha muslim, tidak akan sama antara proyek dunia dengan proyek akhirat. Baginya tidak akan sama antara yang baik dan yang buruk, atau antara yang halal dan yang haram, meksipun
44
JURNAL ILMU-ILMU KESEHATAN
Volume 7. No. 1 Januari 2011
yang buruk itu menairk hati dan menggiurkan karena besarnya keuntungan materi yang didapat, ia akan selalu menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram. Bahkan hanya berusaha mencari rizki sebatas yang dibolehkan oleh Alloh SWT dan Rasul-Nya. Keempat : seorang muslim dalam bekerja harus menunaikan hak-hak yang harus ditunaikan, baik yang terkait dengan hak-hak Alloh seperti zakat atau yang terkait dengan hak-hak manusia seperti memenuhi pembayaran hutang atau mentaati perjanjian usaha. Menunda pembayaran hutang bagi yang mampu merupakan kedzaliman. Menyia-ntiakan amanah dan ingkar janji bukanlah seorang muslim. Kelima : seorang muslim harus menghindari transaksi riba atau berbagai bentuk usaha haram lainnya yang menggiring ke arahnya karena dosa riba sangat berat dan harta riba tidak berkah, bahkan hanya akan mendatangkan kutukan dari Alloh dan Rasul-Nya, baik di dunia maupun di akhirat. Keenam : seorang pegawai muslim tidak memakan harta orang lain dengan cara haram atau bathil, karena kehormatan harta seseorang seperti kehormatan darahnya. Harta seorang muslim haram untuk diambil kecuali dengan kerelaan hatinya dan adanya sebab syar’i untuk mengambilnya, seperti upah kerja, laba usaha, jual beli, hibah, warisan, hadiah dan yang semisalnya. Ketujuh : seorang pengusaha atau pekerja muslim harus menghindari segala bentuk sikap maupun tindakan yang bisa merugikan orang lain, ia juga harus bisa menjadi mitra yang handal sekaligus kompetitor yang bermoral, yang selalu mengedepankan kaidah segala yang berbahaya dan membahayakan haram hukumnya.
SURYA MEDIKA Kedelapan : seorang pegawai atau pemimpin muslim harus berpegang teguh pada aturan syariat dan bimbingan islam, agar terhindar dari pelanggaran danpenyimpangan yang mendatangkan sanksi hokum dan cacat moral. Kesembilan : seorang muslim dalam bekerja dan berusaha harus bersikap loyal kepada kaum mukmin dan menjadikan ukhuwah di atas kepentingan bisnis, sehingga bisnis tidak menjadi sarana untuk menciptakan ketegangan dan permusuhan sesame kaum muslimin. Dan ketika bersosial jangan bicara bisnis karena berakibat munculnya sikap tidak ikhlas dalam beramal. Seorang muslim harus berusaha hidup berkecukupan, memerangi kemalasan, bersemangat dalam mencari nafkah, berdedikasi dalam menutupi kebutuhan dan rajin bekerja demi memelihara masa depan anak-anaknya agar mampu hidup mandiri dan tidak menjadi beban orang lain dan menjadi pengemis yang menjual harga diri merupakan manusia yan paling tercela dan sangat dibenci islam. Imam Ibnul Jauzi berkata : “ tidaklah ada seorang yang malas bekerja melainkan berada dalam dua keburukan; pertama : menelantarkan keluarga dan meninggalkan kewajiban dengan alas an tawakal sehinggahidupnyamenjadi batu sandungan orang lain dan keluarganya, berada dalam kesusahan. Kedua: demikian itu suatu keinaan yang tidak menimpa kecuali pada orang yang hina dan gelandangan, sebab orang yang bermartabat tidak akan rela kehilangan harga diri hanya karena kemalasan dengan dalih tawakal yang syarat dengan hiasan kebodohan, sebab boleh jadi seseorang tidak memiliki harta tetapi masih neniliki kesempatan dan peluang untuk berusaha.
45
JURNAL ILMU-ILMU KESEHATAN
Volume 7. No. 1 Januari 2011
Inilah prinsip-prinsip yan harus dipahami dan dipegang erat oleh seorang muslim dalam menjalankan amanah, harapannya prinsip ini akan melekat dalam benak dan membekas dalam hati dan tervisualisasi dalam perkataan, sikap, perbuatan dan akan menjadi karakter bagi seorang insane kesehatan muslim. Upaya untuk meningkatkan kepahaman dan wawasan keilmuan bisa diselenggarakan majelis taklim yang terjadwal secara rutin dan harus diikuti seluruh pengelola rumah sakit dan dicontohkan para pemimpin rumah sakit untuk komitmen dan konsisten, majelis taklim bisa dilaksanakan pada saat apel pagi dan apel sore, atau diambil waktu yang memungkinkan untuk bisa diikuti sebagian besar dari para pengelola rumah sakit. Buat bulletin atau tulisantulisan yang bisa dibagikan untuk para pengelola. Pastikan para pemimpin bagian memiliki program untuk kaderisasi untuk terus meng-upgrade ilmu dengan harapan para pemimpin bagian memiliki kemampuan untuk memberikan nasehat kepadaorang-orang di bawah kepemimpinannya saat kapanpun dan dimanapun terutama pada saat melakukan koordinasi atau pun evaluasi dalam menjalankan pekerjaan atau amanah yang menjadi tugas dan tanggung jawab anak buahnya. Buat suatu program yang harus diikuti oleh seluruh pengelola rumah sakit, misalnya setiap insani harus menjaga sholat wajibnya dengan cara sholat berjamaah bagi laki-laki dan sholat tepat waktu bagi perempuan. Setiap insani harus membaca Al Quran setiap hari minimal 10 ayat, beserta maknanya, jalankan sholat lail, tegakkan sholat dhuha, lakukan shaum/ puasa sunnah dan selalu menjaga wudhu. Sebagai langkah evaluasi buatkan setiap
SURYA MEDIKA insani sebuah buku catatan amal harian yang telah mereka lakukan, dan kewajiban pemimpin untuk melakukan evaluasi tiap sore hari. Berikan reward bagi mereka yang telah berhasil melaksanakan program dengan tertib, bagi yang belum berhasil melaksanakan terus diberi motivasi agar terus semangat untuk mencoba, dan membantu untuk mencari solusi manakala ada kendala-kendala yang menghambat untuk bisa menjalankan program. Buat suasana yang kondusif untuk setiap insani agar mampu untuk melaksanakan program, tanpa ada rasa malu, untuk terus belajar dan mencoba, dukung dengan suasana religious, mulai dari penampilan yang bisa terlihat dari pakaian seragam, tulisan-tulisan yang mendorong semnagat, kebiasaankebiasaan yang dibangun untuk memulai aktivitas. Dari upaya-upaya yang telah diuraikan di atas diharapkan mampu membentuk karakter religius bagi setiap insane yang ada di rumah sakit, dengan karakter yang terbangun akan terjadi keselarasan dalam cara pandang dan cara berpikir. Dukungan terhadap pencapaian visi akan semakin menguat, misi rumah sakit mudah dijalankan. Tujuan serta sasaran yang telah ditetapkan bisa segera tercapai, tentunya dengan ridho Alloh SWT. Amiin.
KESIMPULAN Pembentukan karakter religius bagi insani kesehatan di rumah sakit islam, menjadi suatu hal yang sangat penting dan strategis serta harus diperhatikan oleh manajemen rumah sakit islam, langkah-langkah riil dan upaya yang nyata dalam membentuk karakter menjadi bukti kesungguhan manajemen rumah sakit dalam
46
JURNAL ILMU-ILMU KESEHATAN
Volume 7. No. 1 Januari 2011
mempersiapkan sumber daya insaninya menghadapi peluang dan tantangan ke depan guna mewujudkan visi, misi, tujuan dan sasaran rumah sakit islam.
DAFTAR PUSTAKA Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Tahqiq Muhammad bin Said bin Ruslan. Al Amr Bil Ma’ruf wan Nahyu Arul Mungkar. Penerbit : Darul Ulum al – Islamiyah, Kairo dan Darul Bukhari Buraidah, Saudi. Shaikh Ahmad ad Darwisy 1419. Fatawa. Lajnah Daimah dan Ifta, Penerbit : Darul Ashima, Cetakan Ketiga.
SURYA MEDIKA Mafatihur Rizki, Fadhl Ilahi. 1428 H/ 2007. Edisi Indonesia. Penerbit : Darul Haq, Cetakan ke-12. Ahmad Ibrahim Abu Sinn, 2008. Manajemen Syariah Sebuah Kajian Historis dan Kontemporer, Penerbit : Raja Grafindo Persada. Zainal Abidin Syamsudin, Lc. 2008. Mencari Kunci Rizki yang Hilang, Penerbit: Pustaka Imam Abu Hanifah. Cetakan Pertama Sya’ban 1429 H/ Agustus Syaikh Husain al-Awayasyah . 1412 H/ 1991, Wasyul Hulal fi Maratibil Ilmi wal Amal, Penerbit Darul Hijrah, Cetakan Pertama.
47
JURNAL ILMU-ILMU KESEHATAN
Volume 7. No. 1 Januari 2011
Petunjuk Penyumbang Artikel 1. Artikel merupakan hasil penelitian, kajian teoritis, konsep dasar bidang kesehatan yang belum dipublikasikan. 2. Artikel ditulis dengan bahasa Indonesia/Inggris baku sepanjang 1520 halaman kuarto spasi ganda, dilengkapi dengan abstrak tidak lebih dari 200 kata dan kata kunci. Artikel disertai dengan abstrak keseluruhan tulisan, ditulis naratif paling banyak 3 paragraf atau maksimal 1 halaman. 3. Judul artikel harus jelas, informatif tidak lebih dari 150 kata dan mengandung kata kunci.
SURYA MEDIKA Metode penelitian, (5) Hasil penelitian dan pembahasan, (6) Kesimpulan, (7) Daftar pustaka 6. Daftar Pustaka ditulis secara konsisten dengan menggunakan ketentuan penulisan Harvard. 7. Naskah yang tidak diterbitkan akan dikembalikan asalkan di beri perangko balasan secukupnya. Apabila diterbitkan penulis diberi nomor bukti sebanyak 1 eks. 8. Apabila dalam naskah terdapat gambar, grafik, tabel dan sebagainya, hendaknya disajikan secara proporsional, baik dan rapi.
4. Artikel dikirimkan dalam disket/cd Microsoft Word dan print out-nya (rangkap dua).
9. Penunjukan sumber acuan isi artikel (baik dari buku maupun jurnal) harus jelas dan sesuai dengan dafter pustaka yang ada dalam artikel.
5. Format artikel mengikuti pola semacam: (1) Judul disertai penulis, (2) Abstrak, (3) Pendahuluan, (4)
10. Naskah yang diterima redaksi akan diterbitkan setelah melalui proses penyuntingan.
48