JMS Vol. 5 No. 2, hal. 69 – 81 Oktober 2000
Pengaruh Prostaglandin F2α Terhadap Fertilitas Tikus (Rattus norvegicus) Wistar Jantan Suripto1), Lien A. Sutasurya1), Hasanuddin2), dan Dwi Arinto Adi3) 1) Jurusan Biologi FMIPA-ITB, Jl. Ganesa 10 Bandung 2) Jurusan Biologi FKIP-UNHAS, Makasar 3) Jurusan Biologi FKIP-UNHALU, Palu Diterima tanggal 14 September 2000, disetujui untuk dipublikasikan 25 Oktober 2000
Abstrak. Telah dilakukan penelitian mengenai pengaruh Prostaglandin F2α (PGF2α) terhadap fertilitas tikus putih (Rattus norvegicus) Wistar jantan. Penelitian dilakukan dengan mengamati jumlah sperma, kualitas sperma, kontraksi epididimis kauda dan vas deferens serta uji kawin. Penelitian menggunakan tikus dewasa seksual dengan berat badan antara 200 - 300 g. Untuk uji jumlah sperma, kualitas sperma, dan uji kawin, pemberian PGF2α dilakukan secara subkutan, sekali sehari selama 11 hari berturut-turut dengan dosis sekali suntikan 1,5 ; 2,0 dan 3,0 mg/kg bb. yang dilarutkan dalam 0,4 ml larutan salin. Aktivitas kontraksi epididimis kauda dan vas deferens diukur dengan miograf dan fisiograf. Konsentrasi PGF2α yang dipakai untuk perlakuan adalah 0,4 mg/ml dan 0,6 mg/ml dalam larutan Tyrode. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa jumlah sperma dan sperma yang motil menurun sesuai dengan peningkatan dosis, demikian juga dengan sperma yang abnormal. Aktivitas kontraksi yang terjadi selama perlakuan PGF2α meningkatkan tonus epididimis kauda dan vas deferens. Kemampuan kawin tikus perlakuan tidak berbeda dari tikus kontrol, sedangkan indeks fertilitas tikus perlakuan mengalami penurunan dan berbeda nyata (p<0.05) dari indeks fertilitas tikus kontrol. Kata kunci: Prostaglandin F2α, fertilitas, epididimis kauda, vas deferens, tikus. Abstract The effect of PGF2α on the fertility of male Wistar rat (Rattus norvegicus) has been investigated . Sexually mature male rats with a body weight of 200 to 300 g were used . Sperm numbers and quality, and mating ability, were observed after rats were subcutaneously injected with 1.5 ; 2.0 and 3.0 mg/kg body weight of PGF2α dissolved in 0.4 ml saline solution daily for 11 consecutive days for the treatment groups , respectively. Contraction of caudal epididymis and vas defferens were recorded using myograph and physiograph, whereas the concentration of PGF2α was 0.4 and 0.6 mg/ml dissolved in Tyrode. The result showed that motility and number of normal as well as abnormal sperm decreased in conjuction with the increasing dosage of PGF2α. The contraction of organs which occurred when solution was added, showed that PGF2α increased the tonus tensions of caudal epididymis as well as vas deferens. There were no differences in mating ability of the treated rats compared to the control rats, while the fertility index of treated rats was significantly (p<0.05) lower than the control. Keywords: Prostaglandin F2α, fertility, caudal epididymis, vas deferens, rat. 69
70
JMS Vol. 5 No. 2, Oktober 2000
1. Pendahuluan Sampai saat ini pengaturan fertilitas lebih banyak ditujukan pada wanita, sedangkan pada pria masih terus dilakukan penelitian untuk mendapatkan suatu cara pengaturan fertilitas yang efektif dan aman. Metode kontrasepsi yang tepat bagi pria masih belum memperoleh hasil yang meyakinkan terhadap timbulnya efek samping dan berbagai kendala yang menyertainya. Berbagai teknik untuk menurunkan fertilitas pada pria yang sedang dilakukan ialah
pemakaian bermacam jenis senyawa antifertilitas yang dapat
menurunkan jumlah sperma, pengaturan hormon, pencegahan maturasi sperma, dan pengubahan struktur sperma itu sendiri1). Pemakaian senyawa antifertilitas yang berpengaruh terhadap fertilitas pada manusia harus memenuhi berbagai persyaratan tertentu, yaitu dapat menurunkan jumlah sperma sampai mencapai azoospermia, aman bagi kesehatan, bersifat dapat dipulihkan kembali dalam jangka tertentu, dan bekerja secara spesifik1). Prostaglandin merupakan hormon lokal yang dapat dijumpai
pada hampir
semua jenis jaringan hewan mamalia, berasal dari derivat asam lemak arakhidonat dan mempunyai aktivitas biologi dengan spektrum yang luas2). Pengaruh fisiologis PGF2α adalah merangsang kontraksi otot polos dalam dinding saluran pencernaan, pembuluh darah, ginjal, paru-paru dan organ reproduksi3). Telah diketahui bahwa PGF2α berpengaruh terhadap kontraksi saluran reproduksi hewan betina dalam mentranspor sperma2). Prostaglandin F2α yang diberikan pada kuda dapat menurunkan jumlah sperma dan meningkatkan volume semen4). Menurunnya jumlah sperma dalam semen diduga berkaitan dengan mekanisme transpor sperma dalam saluran reproduksi jantan. Perlakuan PGF2α pada kelinci tidak berpengaruh terhadap jumlah sperma yang dihasilkan5). Sejauh ini telah diketahui bahwa epididimis dan vas deferens sebagai saluran reproduksi jantan dapat berkontraksi secara spontan baik in vitro maupun in vivo6). Menurut Guyton7) kontraksi spontan ini disebabkan oleh adanya lapisan jaringan otot polos yang mempunyai sifat self excitatory, meskipun demikian dapat juga dipengaruhi oleh rangsangan dari saraf maupun hormon. Bartke dan Koerner8) melaporkan bahwa PGF2α yang diberikan pada kelinci dapat meningkatkan kecepatan pengangkutan sperma dari epididimis kauda ke vas deferens. Prostaglandin F2α secara in vitro dapat meningkatkan kontraksi tubulus seminiferus tikus serta meningkatkan transpor sperma, akibatnya terjadi peningkatan
JMS Vol. 5 No. 2, Oktober 2000
71
jumlah sperma muda di dalam duktus epididimis9). Perlakuan dengan PGF2α selama 60 hari tidak mempengaruhi fertilitas pada kelinci jantan meskipun pada hari ke-30, kelinci menampakkan keadaan infertil5). Kimbal et al.10) menyatakan bahwa perlakuan PGF2α pada tikus menurunkan bobot testis dan berpengaruh terhadap spermatogenesis, yang dapat mempengaruhi fertilitas. Namun Didolkar dan Roychowdhury11) menyatakan bahwa PGF2α tidak menurunkan bobot testis dan tidak mempengaruhi spermatogenesis pada tikus. Fungsi PGF2α dalam hubungannya dengan fertilitas masih banyak yang belum dipahami, terutama yang berkaitan dengan sistem reproduksi jantan, dan informasinya masih banyak simpang siur. Aktivitas PGF2α sangat kompleks dan masih banyak hal yang belum terungkap serta diduga berpengaruh terhadap fertilitas hewan jantan, meskipun dalam hal ini masih banyak pertentangan pendapat Setiawan12). Sehubungan dengan pemakaian PGF2α yang sangat luas dan pengaruhnya terhadap ferilitas jantan yang belum jelas, maka pada penelitian ini ingin mengetahui apakah PGF2α mempunyai pengaruh terhadap kuantitas dan kualitas sperma serta kontraksi saluran reproduksi yang berperan terhadap fertilitas hewan jantan.
2. Bahan dan Metode 2.1 Hewan Uji Hewan uji yang digunakan berupa tikus (Rattus norvegicus) Wistar jantan dengan berat badan antara 200-300 g, sebanyak 24 ekor yang dibagi menjadi tiga kelompok perlakuan dan satu kelompok kontrol. Setiap kelompok terdiri atas enam ekor yang dipelihara dalam kandang dengan pencahayaan selama 12 jam gelap dan 12 jam terang, dengan suhu ruang berkisar antara 22-26°C. Tikus diberi makan pakan anak babi (P.T. Charoen Pokphand Indonesia), sebanyak 20g (hewan hari), dan air dari saluran air minum (PAM) secara ad libitum. 2.2 Metode Dosis untuk kelompok perlakuan 1, 2 dan 3, berturut-turut diberi 1,5; 2,0 dan 3,0 mg prostaglandin /kg bb prostaglandin yang dilarutkan dalam 0,4 ml larutan salin dan diberikan secara subkutan, selama 11 hari berturut-turut. Kelompok kontrol hanya diberi larutan salin, dengan cara pemberian yang sama. Ketiga kelompok perlakuan dan
72
JMS Vol. 5 No. 2, Oktober 2000
kelompok kontrol masing-masing terdiri atas enam ekor. Pada hari perlakuan terakhir tikus jantan dibunuh dengan kloroform lalu dibedah, organ-organ reproduksi (testis, epididimis, vesikula seminalis dan kelenjar prostat) diisolasi untuk ditimbang beratnya. Berat organ reproduksi dinyatakan dalam g/100g bb. Pengamatan dilakukan terhadap jumlah sperma, motilitas sperma, kelainan morfologi sperma dengan membuat sediaan histologi dari epididimis. Rancangan penelitian yang dipakai adalah Rancangan Acak Lengkap. 2.3 Penghitungan Jumlah Sperma Cairan sperma dari duktus epididimis diisap dengan mikrosyring 10 µl yang telah diisi dengan campuran parafin cair dan pewarna Sudan hitam, hingga jelas terbaca pada skala mikrosyring. Cairan sperma yang diambil dari duktus epididimis sebanyak 0,2 µl, kemudian diencerkan dengan 200 ml Phosphate Buffered Saline (PBS) dan dikocok sampai homogen. Penghitungan jumlah sperma dilakukan dengan menggunakan hemasitometer Improved Neubauer diamati dengan mikroskop pada perbesaran 200 kali. Penghitungan dilakukan untuk 5 kotak pada counting chamber (terdapat 25 kotak) untuk setiap sampel dengan pengulangan 3 kali kemudian dihitung rata-ratanya. Jumlah sperma = 25/5 X pengenceran X N (jumlah sperma terhitung rata-rata) / mm3. 2.4 Penghitungan Jumlah Sperma Motil Suspensi sperma dalam PBS diteteskan pada kamar hitung hemasitometer Improved Neubauer yang diletakkan di atas lempeng pemanas pada suhu 35oC. Penghitungan sperma motil yaitu dengan membandingkan jumlah sperma yang bergerak berkelok-kelok dan tidak terlalu cepat (kategori 2) ditambah jumlah sperma yang bergerak lurus dan cepat (kategori 3) terhadap setiap seratus sperma yang diulang sebanyak tiga kali, yang dihitung dengan menggunakan rumus: % Sperma motil =
kategori2 + kategori3 × 100% 100
Keterangan : angka 100 terdiri atas : sperma yang tidak bergerak sama sekali (kategori 0) + sperma yang bergerak sangat lambat (kategori 1) + sperma yang bergerak berkelok-kelok (kategori 2) + sperma yang bergerak lurus dan cepat (kategori 3).
JMS Vol. 5 No. 2, Oktober 2000
73
2.5 Morfologi Sperma Sperma yang mengalami kelainan morfologi diamati dengan membuat preparat apusan sperma yang difiksasi didalam dua mililiter formaldehida 2% (dalam PBS) selama 10 menit, kemudian dikeringkan dan diwarnai dengan pewarna Bryan selama 4 menit, ditetesi asam asetat 1%, dan dibilas dengan akuadest13). Pengamatan dilakukan menggunakan mikroskop dengan perbesaran 400 kali. Kelainan morfologi sperma dinyatakan dalam persen. 2.6 Pengaruh PGF2α terhadap Fertilitas Uji kawin I dilakukan pada hari ke-11 pemberian perlakuan dengan PGF2α, sedangkan uji kawin II dilakukan 14 hari setelah pemberian perlakuan dengan PGF2α terakhir. Uji kawin dilakukan dengan menyatukandangkan
dua ekor betina proestrus
dengan seekor jantan yang telah diberi perlakuan maupun kontrol pada sore hari antara pukul 16.00-17.00 WIB. Untuk uji kawin I digunakan lima ekor jantan dan sepuluh ekor betina, sedangkan pada uji kawin II (uji pemulihan) digunakan tiga ekor jantan diambil dari tikus yang sama pada uji kawin I dan enam ekor betina. Keberhasilan kawin diketahui dengan melihat apusan vagina pada esok harinya, jika ditemukan sperma pada apusan vagina, maka hari itu dinyatakan sebagai hari kehamilan ke 0. Dengan mengamati apusan vagina pada setiap hewan betina dapat diketahui berapa ekor jumlah betina yang kawin hingga dapat dihitung berapa ratio kawin betina. Selanjutnya tikus betina dipisahkan dari tikus jantan baik kontrol maupun perlakuan untuk dipelihara hingga umur kebuntingan 18 hari. Tikus betina yang bunting kemudian dibunuh dan dibedah untuk diambil dan ditimbang berat dari testis, epididimis, dan
vesikula seminalis + kelenjar prostata.
Fertilitas dilihat dari penghitungan kemampuan kawin, ratio kawin, dan indeks fertilitas (Lestari. 1994) dengan rumus sebagai berikut. Kemampuan kawin = (∑ jantan yang kawin / ∑ jantan yang dikawinkan) X 100% Ratio kawin
= (∑ betina yang kawin / ∑ betina yang dikawinkan) X 100%
Indeks fertilitas
= (∑ betina yang hamil / ∑ betina yang kawin) X 100%
2.7 Kontraksi Epididimis Kauda dan Vas Deferens Epididimis kauda dan vas deferens yang telah diisolasi dimasukkan ke dalam penangas organ yang berisi larutan Tyrode dan dipertahankan pada suhu 37°C. Aktivitas
74
JMS Vol. 5 No. 2, Oktober 2000
kontraksi kedua organ dicatat dengan menggunakan alat Myograph F.60 dan Physiograph Mark III. Prostaglandin F2α dalam larutan Tyrode secara in vitro diuji pengaruhnya setelah aktivitas kontraksi kontrol berlangsung selama 2,5 menit. Aktivitas kontraksi yang terjadi diamati selang 30 menit selama 2,5 menit, dengan pengulangan sebanyak 5 kali, yang kemudian dirata-ratakan. 2.8 Analisis statistik Data yang bersifat parametrik dianalisis dengan menggunakan analisis sidik ragam, sedangkan data non parametrik dianalisis dengan menggunakan uji KruskalWallis yang dilanjutkan dengan "Wilcoxon's Rank Sum Test" dengan p < 0.0514). 3. Hasil 3.1 Berat organ reproduksi Berat testis rata-rata maupun berat vesikula seminalis dan kelenjar prostata rata-rata tikus perlakuan secara statistik tidak berbeda nyata dari tikus kontrol. Berat epididimis rata-rata tikus perlakuan dosis 1,5; 2.0 dan 3,0 mg/kg bb. di antara ketiga perlakuan tersebut tidak berbeda nyta secara statistik, namun ketiganya menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05) dengan tikus kontrol (Tabel 1). 3.2 Jumlah Sperma Dalam epididimis kauda yang diberi perlakuan PGF2α sebanyak 1,5 dan 2,0 mg/kg bb. terjadi penurunan jumlah sperma meskipun tidak berbeda nyata dengan kontrol, sedangkan pada tikus yang diberi perlakuan dosis 3,0 mg/kg bb. terjadi peningkatan jumlah sperma secara nyata (p< 0,05) bila dibandingkan dengan perlakuan dosis 1,5 dan 2,0 mg/kg bb. (Tabel 2). 3.3 Sperma Motil Persentase sperma motil yang diberi perlakuan menunjukkan penurunan secara nyata meskipun antara perlakuan dosis 2,0 dan 3,0 mg/kg bb. tidak berbeda, namun jika dibandingkan terhadap perlakuan dosis 1,5 mg/kg bb. kedua perlakuan dengan dosis 2,0 dan 3,0 mg/kg bb. menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05) (Tabel 2).
JMS Vol. 5 No. 2, Oktober 2000
75
3.4 Morfologi Sperma Kelainan morfologi sperma total meningkat pada tikus perlakuan bila dibandingkan dengan kontrol, meskipun hanya pada perlakuan dosis 2,0 mg/kg bb. saja yang berbeda nyata dengan kontrol maupun dengan perlakuan dosis yang lainnya. Namun untuk jumlah sperma yang patah leher terlihat bahwa baik pada dosis 2,0 mg/kg bb. maupun pada 3,0 mg/kg. bb. keduanya menunjukkan peningkatan yang nyata bila dibandingkan dengan kontrol dan perlakuan dengan 1,5 mg/kg bb. Kelainan morfologi sperma secara total pada tikus perlakuan meningkat jika dibandingkan dengan tikus kontrol, namun hanya pada tikus perlakuan dengan dosis 2,0 mg/kg bb. saja yang berbeda nyata (p< 0,05) dibandingkan dengan tikus kontrol maupun terhadap tikus perlakuan dengan dosis yang lain (Tabel 2). 4. Uji Kawin 4.1 Uji Kawin I Kemampuan kawin tikus perlakuan dosis 1,5 mg/kg bb. tidak berbeda dengan tikus kontrol, sedangkan tikus perlakuan dengan dosis 2,0 dan 3,0 mg/kg bb. menunjukkan penurunan yang tidak berbeda nyata dengan kontrol (p< 0,05). Rasio kawin pada tikus betina perlakuan dan kontrol tidak berbeda (Tabel 3). Fertilitas tikus perlakuan dosis 1,5 mg/kg bb. menurun dan berbeda nyata dengan kontrol (p< 0,05) . Jumlah fetus rata-rata yang dihasilkan pada tikus perlakuan menunjukkan penurunan jika dibandingkan dengan kontrol. 4.2 Uji Kawin II (Uji Pemulihan) Antara tikus perlakuan dan tikus kontrol tidak ada perbedaan dalam kemampuan kawin, demikian pula dengan rasio kawin dari tikus betina. Indeks fertilitas tikus perlakuan dosis 1,5 dan 2,0 mg/kg bb tidak berbeda dengan kontrol, sedangkan tikus perlakuan dosis 3,0 mg/kg bb. menunjukkan penurunan dan berbeda nyata (p< 0,05) (Tabel 3). Jumlah fetus hidup pada tikus perlakuan juga masih menunjukkan penurunan jika dibandingkan dengan kontrol.
76
JMS Vol. 5 No. 2, Oktober 2000
4.3 Kontraksi Epididimis Kauda Pemberian PGF2α dengan konsentrasi 0,4 mg/ml mampu meningkatkan tegangan tonus epididimis kauda sampai mencapai puncaknya pada jam ke-4, dan mulai turun kembali pada jam ke-5,
sampai kembali ke keadaan semula pada jam ke-8. Pada
pemberian PGF2α dengan konsentrasi 0,6 mg/ml tegangan tonus mencapai puncaknya pada jam ke-4 yang selanjutnya menurun sampai ke keadaan semula pada jam ke-8. (Tabel 4). 4.4 Kontraksi Vas Deferens Peningkatan tegangan tonus pada vas deferens terjadi pada menit ke 30 dan mulai menurun kembali sampai mencapai ke keadaan semula pada menit ke 90. Pada perlakuan dengan konsentrasi 0,6 mg/mL tegangan tonus lebih besar dibanding pada konsentrasi 0,4 mg/ml (Tabel 5). 5. Pembahasan Terjadinya peningkatan jumlah sperma yang patah leher (Tabel 1), diduga karena adanya peningkatan tegangan tonus (kontraksi) otot polos yang terdapat pada dinding duktus epididimis yang akan meningkatkan transpor sperma di sepanjang saluran tersebut, sesuai dengan hasil yang diperoleh4). Penurunan jumlah sperma yang motil, berkaitan erat dengan peningkatan persentase jumlah sperma yang mengalami kelainan morfologi, dan jumlah sperma yang mengalami patah di bagian leher. Penurunan jumlah sperma yang motil ini menunjukkan adanya gangguan dalam proses pematangan sperma sepanjang duktus epididimis, karena ikut berperannya PGF2α dalam proses glikolisis maupun dalam mengontrol proses degradasi asam lemak selama masa pematangan sperma15). Munculnya sperma yang patah di bagian leher diduga diakibatkan oleh gangguan peningkatan tegangan tonus yang mempengaruhi kekuatan kontraksi otot polos yang terdapat sepanjang dinding duktus epididimis9). Hal ini terbukti dari hasil yang diperoleh pada percobaan kontraksi epididimis maupun pada vas deferens. PGF2α meningkatkan tegangan tonus duktus epididmis kauda maupun pada vas deferens (Tabel 1, 2). Peningkatan tegangan tonus yang terjadi pada duktus epididimis kauda dan vas deferens keduanya sebanding dengan besarnya konsentrasi PGF2α yang diberikan. Adanya perbedaan lama peningkatan tegangan tonus antara duktus epididimis kauda dan vas deferens diduga disebabkan oleh
JMS Vol. 5 No. 2, Oktober 2000
77
perbedaan tebal lapisan jaringan otot polos pada kedua organ tersebut. Dari uji fertilitas terbukti bahwa jumlah fetus rata-rata yang dihasilkan pada tikus perlakuan menunjukkan penurunan jika dibandingkan dengan jumlah fetus rata-rata yang diperoleh dari hewan kontrol. Dari data yang dihasilkan terlihat bahwa penurunan fertilitas tikus jantan yang diberi perlakuan dengan PGF2α disebabkan oleh terjadinya gangguan terhadap kuantitas dan kualitas sperma ekstratestikuler, namun penurunan fertilitas yang ditunjukkan masih rendah. Diharapkan penurunan jumlah sperma dan penurunan kualitas sperma akan meningkat bila dosis PGF2α yang digunakan lebih tinggi. Meskipun jumlah sperma yang dihasilkan penurunannya tidak nyata, namun dari segi kualitas yaitu dari jumlah sperma yang motil
dan meningkatnya persentase jumlah sperma yang mengalami kelainan
morfologi terutama sperma yang mengalami patah di bagian leher maka fertilitas pada tikus jantan masih dapat diturunkan lebih besar lagi. 6. Kesimpulan Prostaglandin F2α , dosis 1,5; 2 dan 3 mg/kg bb mampu menurunkan fertilitas tikus jantan dengan penurunan jumlah sperma motil dan meningkatkan jumlah sperma patah leher, akibat peningkatan kontraksi saluran epididimis. Daftar Pustaka 1. Bartke, A., D.W. Hahn, R.G. Foldesy & J.I. Mcguire. “Experiment studies in the development of male contraceptive”, di dalam : R.J. Aitken(ed) Male Contraception: Advances and Future Prospects, Oxford, Perganon Press. 1987. 2. Curtis-Prior, P.B., “Prostaglandin: An Introduction to their Biochemistry, Physiology and Pharmacology”, Amsterdam North Holland Publishing Company 1976. 3. Cox, R.I., “Occurrence and biochemistry of luteolytic prostaglandin”, di dalam Evaluation of Practical Technique for Synchronization of Oestrous in Cattle with Prostaglandins. C.D.Nancarrow & R.I. Cox (ed) Sydney: ICI Australia Ltd. 1976. 4. Kreider, J.L., W.L.Ogg & J.W.Turner, “Influence of PGF2α on sperm production”, Prostaglandin 6:903-913, (1981). 5. Hunt,W.L. & N.Nicholson, “Studies on semen from rabbits injected with H3-thymidine and treated with prostaglandins E2 & F2α”, Fertil. Steril. 10:763-768, (1972).
78
JMS Vol. 5 No. 2, Oktober 2000
6. Jaakola,U.M. & A.talo, “Effect of oxytosin and vasopressin on electrical and mechanical activity of rat epididymis”, J.Reprod. 63:57-61, (1981). 7. Guyton, A.C., “Textbook of Medical Physiology”, Edisi ke-8. California: Lange Medical Publications 1981. 8. Bartke, A & S.Koerner. “Androgenic regulation of concentration of prostaglandins F2α in the male reproductive system of rat and mice”, Endocrinology 95:1739-1743, (1974). 9. Tso, E.C. & Lacy,D. 1975. Effect of prostaglandin F2α on the reproductive system of male rat. J. Reprod. Fert. 44:545-550, (1975) 10. Kimball, F.A., R.D. Frielink & S.E. Porteus, “Effect of 15(s) 15-methyl PGF2α methylester containing silastic discs in the male rats”, Fertil. Steril. 29:103-108, (1978). 11. Didolkar, A.K. & D. Roychowdhury, “Effect of prostaglandin A1, E2 and F2α on spermatogenesis in rats”, J. Reprod. Fert. 58:275-278, (1980). 12. Setiawan, B., “Farmakologi prostaglandin, thromboxane, dan prostasiklin. P. 1-14”. di dalam Prostaglandin & Implikasi Klinis. P.15-31. A. Tjokronegoro & B. Setiawan (ed). Jakarta Penerbit: FKUI 1983. 13. Bryan, J.H.D., “An eosin-fast green-naphthol yellow mixture for differential staining of cytologic components in mammalian spermatozoa”, Stain.Technol. 45:231-236, (1970). 14. Zar, J.H., “Biostatistical analysis”, London: Prentice-Hall Inc. 1984. 15. Bedford, J.M., “Maturation of the fertilizing ability of mammalian spermatozoa in the male and female reproduction tract”, Biol. Reprod. 11:346-362, (1974).
JMS Vol. 5 No. 2, Oktober 2000
79
Tabel 1. Berat organ reproduksi tikus jantan setelah 11 hari perlakuan dengan PGF2α Dosis PGF2α (mg/kg bb)
Jumlah hewan
0 1,5 2 3
6 6 6 6
Berat organ reproduksi (g/100 g bb) ( X + SEM) Testis Epididmis V.seminalis & kel.prostat 0,60+0,04 a 0,19+0,01 a 0,46+0,07 a 0,59+0,03 a 0,16+0,02 b 0,46+0,07 a 0,59+0,04 a 0,16+0,01 b 0,43+0,07 a 0,58+0,05 a 0,17+0,02 b 0,39+0,05 a
Keterangan : Huruf yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata Tabel 2. Keadaan sperma epididimis kauda tikus kontrol dan perlakuandengan PGF2α selama 11 hari.
Dosis PGF 2 α (mg/kg bb)
Jumlah hewan jantan
Jumlah sperma (juta/ml) X + SEM
Jumlah sperma yang motil (%) X + SEM
Morfologi sperma epididimis kauda (%) x + SEM Abnormal Patah Sperma abnormal + patah
0
6
141, 819+34,79 a
72.,813+12, 29 a
9, 8+2,9 a
7.,2+2,9 a
17,0+4.,8 a
1.5
6
109.,883+20,45 a
20,93+14. 2,9 b
9,7+2,5 a
7. 4+9, 0 a
17, 1+8, 1 a
2.0
6
103, 449+40.43 a
9,71+7, 67 c
18,6+5,4 b
28, 7+2, 2 b
47,3+25, 9 b
3.0
6
280,636+96,46 b
9,52+2, 36 c
6, 4+2, 9 a
16,3+10,6 b
22, 7+13,4 a
Keterangan: Huruf yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata.
80
JMS Vol. 5 No. 2, Oktober 2000
Tabel 3. Penampilan reproduksi tikus jantan kontrol dan perlakuan dengan prostaglandin F2α selama 11 hari (uji kawin I), dan 14 hari setelah pemberian perlakuan terakhir dengan prostaglandin F2α (uji kawin II).
Dosis PGF2α (mg/kg .bb) Uji Kawin I 0 1,5 2,0 3,0 Uji kawin II 0 1,5 2,0 3,0
JJ
KK (%)
JBDK
RKB (%)
JBH
IF
5 5 5 5
100 100 100 100
10 10 10 10
100 100 80 90
10 8 6 5
100 a 80 a 75 a 55,5 a
3 3 3 3
100 100 100 100
6 6 6 6
100 100 100 100
6 5 4 3
100 a 83,3 a 75 a 50 b
Keterangan: Huruf yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata JJ = jumlah hewan jantan. KK = kemampuan kawin. JBDK = jumlah betina yang dikawinkan. JBH = jumlah betina hamil RKB = rasio kawin betina (%) IF = indeks fertilitas
Tabel 4. Tegangan tonus rata-rata epididimis kauda sebelum dan selama pemberian PGF2α pada konsentrasi 0,4 dan 0,6 mg/ml. Konsent -rasi PGF2α (mg/ml)
Tegangan tonus (mg) pada jam ke … N
0
1
2
3
4
5
6
7
8
0.4
5
252,9 +3,3 a
301,0 +25,5 ab
339,0 +21,9 b
344,0 +25,1 b
359,0 +40,8 b
350,0 +40,8 b
317,5 +46,2 b
304,0 +36,8 ab
258,8 +5,9 a
0.6
4
252,9 +3,3 a
318,1 +13,3 b
356,9 +10,9 b
383,0 +19,5 bc
408,8 +34,4 c
428,6 +27,5 c
423,6 +27,5 c
320,6 +18,4 b
258,0 +10,9 ab
9
10
-
-
265,0 +6,8 a
251,3 +1,4 a
Keterangan : Analisis varians dengan uji F yang dilanjutkan dengan uji Duncan pada taraf kepercayaan 95% (p< 0,05). Huruf yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan. 0 = awal perlakuan PGF2α.
JMS Vol. 5 No. 2, Oktober 2000
81
Tabel 5. Tegangan tonus rata-rata vas deferens sebelum dan selama pemberian PGF2α dengan konsentrasi 0,4 dan 0,6 mg/ml. Konsentrasi PGF2α (mg/ml)
Jumlah hewan
0.4
5
0.6
5
Tegangan tonus (mg) pada menit ke ..
0
30
60
90
120
249,6+5,20 a 249,6+5,2 a
300,4+39,2 b 347,5+12,9 c
285,0+15,9 ab 329,1+11,4 c
254,0+2,2 a 281,5+10,9 ab
248,6+2,3 a
Keterangan : Analisis varians dengan uji F yang dilanjutkan dengan uji Duncan pada taraf kepercayaan 95% (p<0,05). Huruf yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan. 0 = awal perlakuan PGF2α.