Vol.2 No.1 April 2010
ISSN : 2085 - 384X
Pengaruh Peningkatan Jumlah Produksi Asbuton Terhadap Indikator Ekonomi Wilayah Kabupaten Buton. Andreas Christiawan Persepsi Masyarakat Terhadap Teknologi Sumur Resapan Air Hujan dan Lubang Resapan Biopori, (Studi Kasus : Kabupaten Tangerang Selatan). Bastin Yungga Angguniko Peran Infrastruktur Jalan Terhadap Dinamika Sosial Dan Ekonomi Di Kawasan Perbatasan Indonesia--Papua New Guinea (Studi Kasus Di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua). Andi Suriadi, J. Kundjono, Osnidar Akseptibilitas Masyarakat Terhadap Aspek Operasi Dan Pemeliharaan Jembatan Cable Stayed Palibaja Di Sukabumi. Satrio Sang Raksono Tinjauan Aspek Ekonomi pada Kebijakan Berwawasan Gender (Studi kasus di lingkungan kementrian pekerjaan umum). Retta Ida Lumongga Perspektif Sosial Ekonomi Terhadap Aplikasi Teknologi Rumah Risha. Dimas Hastama Nugraha Index
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum
Vol. 2
No. 1
Hal. 1 - 65
Jakarta April 2010
ISSN 2085-384X
i
Volume 2 Nomor 1 April 2010
ISSN : 2085-384X
Jurnal Sosial Ekonomi PEKERJAAN UMUM Jurnal Sosial Ekonomi Lingkungan Pekerjaan Umum adalah wadah informasi bidang Sosial, Ekonomi bidang Pekerjaan Umum berupa hasil penelitian, studi kepustakaan maupun tulisan ilmiah yang memuat aspek sosial, ekonomi bidang infrastruktur pekerjaan umum. Jurnal ini terbit 2009 dengan frekuensi terbit tiga kali dalam setahun yaitu pada bulan April, Agustus dan Desember. Pelindung Kepala Pusat Litbang Sosial, Ekonomi Budaya dan Peran Masyarakat Pembina Kepala. Bagian Tata Usaha Kepala. Bidang Pengembangan Keahlian dan Penelitian Kepala. Bidang Program dan Kerjasama Kepala. Bidang Penyiapan NPM dan Diseminasi Kepala. Balai Litbang Sosek Bidang Sumber Daya Air Kepala. Balai Litbang Sosek Bidang Jalan dan Jembatan Kepala. Balai Litbang Sosek Bidang Permukiman Penanggung Jawab Dra. Retno Sinarwati, MT Redaktur Dedy Budiman, S.Sos Mitra Bestari Prof. Drs. Rusdi Muchtar, MA Peneliti Bidang Komunikasi dan Budaya Prof. Ir. Suprapto, M.Sc Bidang Sains Bangunan dan Pencegahan Kebakaran Dewan Redaksi Dr. Ir. R. Pamekas, M.Eng Peneliti Utama Bidang Teknologi dan Manajemen Lingkungan Drs. Suhardi A.M, M.Si Peneliti Madya Bidang Kajian Dampak Sosial dan Evaluasi Program Ir. Aim Abdurahim Idris, M.Sc Peneliti Madya Bidang Lingkungan dan Pemukiman Ir. Joyce Martha Widjaja, Dipl. HE Peneliti Madya Bidang Drainase Drs. FX. Hermawan, K, M.Si Peneliti Muda Bidang Perencanaan dan Kebijakan Sekretaris Redaksi Bangkit Aditya W, S.Sos Rahaju Sutjipta, S.Sos Abdul Rachman
Jurnal Sosial Ekonomi Pekerjaan Umum diterbitkan oleh Puslitbang Sosial, Ekonomi Budaya dan peran masyarakat, Badan Litbang, Kementerian Pekerjaan Umum. Alamat Redaksi/Penerbit: Puslitbang Sosial, Ekonomi, Budaya dan peran Masyarakat, Badan Litbang, Kementerian Pekerjaan Umum Jl. Sapta Taruna Raya No. 26 Komplek PU, Pasar Jumat, Lebak Bulus, Jakarta Selatan 12310 Telp. (021) 7511081, 7511844, Fax. (021) 7511843 email:
[email protected]
ii
ISSN : 2085-384X
Volume 2 Nomor 1 April 2010
Jurnal Sosial Ekonomi PEKERJAAN UMUM DAFTAR ISI
Pengaruh Peningkatan Jumlah Produksi Asbuton Terhadap Indikator Ekonomi Wilayah Kabupaten Buton. Andreas Christiawan
1-7
Persepsi Masyarakat Terhadap Teknologi Sumur Resapan Air Hujan dan Lubang Resapan Biopori, (Studi Kasus : Kabupaten Tangerang Selatan). Bastin Yungga Angguniko
9-20
Peran Infrastruktur Jalan Terhadap Dinamika Sosial Dan Ekonomi Di Kawasan Perbatasan Indonesia--Papua New Guinea (Studi Kasus Di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua). Andi Suriadi, J. Kundjono, Osnidar
21-36
Akseptibilitas Masyarakat Terhadap Aspek Operasi Dan Pemeliharaan Jembatan Cable Stayed Palibaja Di Sukabumi. Satrio Sang Raksono
37-45
Tinjauan Aspek Ekonomi pada Kebijakan Berwawasan Gender (Studi kasus di lingkungan kementrian pekerjaan umum). Retta Ida Lumongga
47-55
Perspektif Sosial Ekonomi Terhadap Aplikasi Teknologi Rumah Risha. Dimas Hastama Nugraha
57-64
Index
65
iii
PENGANTAR REDAKSI Jurnal Sosial Ekonomi Pekerjaan Umum diterbitkan oleh Puslitbang Sosial Ekonomi dan Lingkungan, Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Pekerjaan Umum merupakan elemen penting untuk menyebarluaskan hasil penelitian dan pemikiran para peneliti dan calon peneliti serta pejabat fungsional lainnya yang terkait. Mulai edisi April 2010 tampilan Jurnal berubah dari Ukuran B5 menjadi A4, hal ini dilakukan untuk memudahkan setting dan diharapkan dapat memberikan sajian yang lebih baik, sehingga akan meningkatkan kualitas dan kepuasan penulis maupun pembaca. Pada terbitan Volume 2 No.1 edisi April 2010, Jurnal Sosial Ekonomi Pekerjaan Umum menyajikan 6 (enam) tulisan yaitu; Pengaruh Peningkatan Jumlah Produksi Asbuton Terhadap Indikator Ekonomi Wilayah Kabupaten Buton , Persepsi Masyarakat Terhadap Teknologi Sumur Resapan Air Hujan dan Lubang Resapan Biopori (Studi Kasus : Kabupaten Tangerang Selatan), Peran Infrastruktur Jalan Terhadap Dinamika Sosial dan Ekonomi di Kawasan Perbatasan Indonesia--Papua New Guinea (Studi Kasus di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua), Akseptibilitas Masyarakat Terhadap Aspek Operasi Dan Pemeliharaan Jembatan Cable Stayed Palibaja di Sukabumi, Tinjauan Aspek Ekonomi Pada Kebijakan Berwawasan Gender ( Studi kasus di lingkungan kementrian pekerjaan umum ), Perspektif Sosial Ekonomi Terhadap Aplikasi Teknologi Rumah Risha.
Terima kasih kami sampaikan kepada yang terhormat, Prof DR. Ir. Suprapto, M.Sc dan Bapak Prof Drs. Rusdi Muchtar, MA atas bantuan dan kerjasamanya yang bertindak sebagai Mitra Bestari.
Akhirnya Dewan Redaksi menyampaikan selamat membaca, semoga tulisan yang kami sajikan bermanfaat bagi para penentu kebijakan, dan pemangku kepentingan lainnya di Bidang sosial ekonomi dan lingkungan.
iv
PENGARUH PENINGKATAN JUMLAH PRODUKSI ASBUTON TERHADAP INDIKATOR EKONOMI WILAYAH KABUPATEN BUTON Andreas Christiawan Balai Litbang Sosek Bidang SDA Jl. Sapta Taruna Raya No.26 Komplek PU Pasar Jumat - Jaksel Email:
[email protected] Abstract Nowadays, Indonesia still import asphalt because of inadequate asphalt production to cover all road construction. Indonesia has abundant deposit of Buton asphalt (also known as asbuton). The utilization of asbuton in road construction has been government policy to minimize asphalt import. Regional Government of Buton gives response that policy by easing private entity to mine asphalt in Buton. It will be an opportunity to escalate regional economic growth. The aim of this research is to confirm the impact of increasing asbuton production to PDRB, Regional Income (PAD) and Regional Economic Growth as indicator of economic condition. Regression analysis will be used in this research. As a result, the increasing asbuton production positively and significantly impact PDRB, but not significantly impact PAD and regional economic growth. So, the increasing of asbton production is not the only way to increase PAD and regional economic growth. Keyword: Asbuton production, PDRB, Regional Income (PAD), Regional Economic Growth Abstrak Indonesia saat ini mengimpor aspal karena produksi aspal minyak tidak mencukupi kebutuhan aspal untuk pembangunan jalan. Padahal Indonesia mempunyai cadangan aspal yang cukup besar di Pulau Buton. Pemerintah mengeluarkan kebijakan pemanfaatan aspal buton untuk mengurangi impor. Respon Pemerintah Kabupaten Buton memberikan kemudahan bagi perusahaan yang bergerak di bidang aspal untuk menambang aspal di Buton. Hal ini menjadi peluang dalam peningkatan ekonomi wilayah Buton. Tujuan penelitian ini adalah membuktikan pengaruh peningkatan produksi asbuton terhadap PDRB, PAD dan pertumbuhan ekonomi wilayah. Untuk itu, penelitian ini menggunakan teknik analisis regresi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan produksi asbuton berpengaruh positif dan sigifikan pada PDRB. Sedangkan terhadap PAD dan pertumbuhan ekonomi wilayah, peningkatan produksi asbuton berpengaruh postif tetapi tidak signifikan. Kata kunci: produksi asbuton, PDRB, PAD, Pertumbuhan Ekonomi Wilayah
PENDAHULUAN Kebutuhan aspal untuk pembangunan jalan Indonesia mencapai 1.200.000 ton/tahun. Pertamina sebagai penyedia aspal minyak hanya mampu memenuhi 50%nya. Indonesia harus import untuk mencukupi kebutuhan tersebut (www.tempointeraktif.com, 2006). Padahal Indonesia memiliki cadangan aspal di Pulau Buton yaitu sebesar 650 juta ton. Aspal ini dikenal dengan nama Aspal Buton (Asbuton) (Asrun, 1998). Menurut beberapa artikel, pengusahaan asbuton sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 1926 dan dikenal dengan
nama Butas (Buton Aspal). Bahkan hingga tahun 1987 telah ada yang menambang sebesar 3,9 juta ton. Sebagai upaya mengurangi impor aspal, pemerintah akan memanfaatkan asbuton untuk pembangunan jalan di Indonesia khususnya jalan Provinsi dan Kabupaten. Untuk mendukung pemanfaatan asbuton, Puslitbang Jalan dan Jembatan, Badan Litbang Departemen PU telah melakukan penelitian untuk menghasilkan teknologi aplikasi asbuton yang mudah dan handal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan asbuton dapat menghemat biaya pembuatan jalan sebe-
1
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.2 No.1, April 2010 hal 1-7
sar 20 persen. Dengan asbuton ketebalan jalan dapat dikurangi 1 cm tanpa mengurangi kualitas jalan (www. tempointeraktif.com, 2006). Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Sulawesi Tenggara menjelaskan bahwa pada tahun 2008, banyak perusahaan telah melakukan eksplorasi dan eksploitasi asbuton, namun hanya 36% yang aktif menambang. Ini berarti banyak pemegang Kuasa Penambangan (KP) ”tidur”. Padahal untuk mendapatkan 200.000 ton asbuton, dibutuhkan penambangan sebanyak 1 juta ton raw material. Berarti untuk mereduksi aspal impor, dibutuhkan 3 juta ton raw material asbuton. Di sisi lain, kapasitas produksi perusahaan yang melakukan eksploitasi rata-rata sebesar 120.000 ton. Hal ini menunjukkan ada ketimpangan antara permintaan dan penyediaan aspal. Penelitian teknis asbuton telah banyak dilakukan bahkan telah dilakukan pula ujicoba di berbagai lokasi dan menyimpulkan bahwa asbuton memiliki keunggulan-keunggulan dibandingkan aspal minyak. Studi kelayakan ekonomi asbuton juga telah dilakukan oleh Puslitbang Jalan dan Jembatan, Balitbang Departemen PU, yang menyimpulkan bahwa asbuton dapat menghemat devisa sebesar USD 150.000 (Tanty, 2006). Hasil penelitian lainnya menunjukkan harga asbuton yang kompetitif bila harga aspal minyak di suatu daerah 30% lebih tinggi dari harga asbuton (Harlan, 2007). Penelitian ini menjelaskan bagaimana pengaruh peningkatan pengusahaan asbuton terhadap kondisi ekonomi wilayah Buton yang ditunjukkan dengan indikator PDRB, PAD dan Pertumbuhan Ekonomi. Salah satu solusi untuk mengatasi masalah ketimpangan tersebut adalah dengan meningkatkan kapasitas produksi. Oleh karena itu dibutuhkan investor yang berminat di bidang asbuton. Sejak dikeluarkannya Kepmen PU No. 35/PRT/M/2006 yang mewajibkan penggunaan asbuton dalam pembangunan jalan mulai tahun anggaran 2007, penambangan aspal mulai menjadi primadona investor. Hal ini ditunjukkan dengan jumlah perusahaan yang memperoleh KP eksplorasi dan eksploitasi. Peningkatan produksi asbuton akan dapat menambah kontribusi sektor pertambangan dalam perhitungan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Hal ini berarti peningkatan aktivitas di sektor pertambangan diindikasikan akan meningkatkan PDRB. Salah satu kebijakan Pemerintah Kabupaten Buton untuk menarik investor adalah dengan memberikan kemudahan untuk mendapatkan KP. Selain itu, untuk meningkatkan kualitas asbuton, Pemkab Buton juga mengeluarkan kebijakan agar asbuton tidak lagi diproduksi dalam bentuk raw material. Kebijakan ini diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Buton
2
karena sektor pertambangan memberikan kontribusi melalui penerimaan pajak pertambangan. Secara singkat, uraian di atas menjelaskan bahwa jumlah produksi asbuton akan berpengaruh pada PDRB, PAD dan pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, peneliti membangun 3 hipotesis sebagai berikut: H1: Jumlah produksi asbuton berpengaruh pada PDRB H2: Jumlah produksi asbuton berpengaruh pada PAD H3: Jumlah produksi asbuton berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi
METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang akan menjelaskan fenomena yang ada di lapangan. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif, karena data yang digunakan penelitian ini berasal dari hasil wawancara dengan narasumber kunci. Selain itu, penelitian ini juga memperhatikan/mengacu berita -berita atau artikel dan hasil penelitian sebelumnya. Ada dua metode analisis data yang digunakan yaitu analisis kualitatif dan analisis kuantitatif, namun penggunaannya tidak bersamaan. Untuk menganalisis perubahan sosial, Peneliti menggunakan model Miles & Huberman (Sugiono, 2008). Analisis ini dimulai sejak pengumpulan data dengan membuat catatan-catatan hasil wawancara, melakukan kategorisasi data, dan menyimpulkan. Metode kuantitatif digunakan untuk menganalisis aspek ekonomi. Peneliti menggunakan statistik deskriptif untuk memberikan gambaran ekonomi secara umum dan statistik regresi untuk mendapatkan besarnya pengaruh produksi asbuton terhadap perekonomian daerah dan masyarakat. Pengusahaan asbuton ditunjukkan dengan produksi asbuton. Sehingga variabel produksi asbuton menjadi variabel independen (X). Data produksi yang digunakan adalah produksi PT. SAKA karena merupakan pemain asbuton terbesar dan sudah mengusahakan aspal sejak tahun 1997. Meskipun saat ini sudah terdapat perusahaan lain yang juga mengusahakan asbuton, namun karena keterbatasan data produksi, maka perusahaan lain diabaikan dalam penelitian ini. Variabel dependen (Y) adalah perubahan ekonomi daerah yang ditunjukkan dengan pertumbuhan ekonomi wilayah dan Pendapatan Asli Daerah (PAD), dan perubahan ekonomi masyarakat ditunjukkan dengan perubahan PDRB per Kapita. Data PDRB yang digunakan adalah PDRB atas dasar harga berlaku karena data ini lebih menggambarkan kondisi riil pada periode
Pengaruh Peningkatan Jumlah Produksi Asbuton Terhadap Indikator Ekonomi Wilayah Kabupaten Buton Andreas Christiawan pengamatan. Penelitian ini menggunakan data time series yaitu data produksi asbuton mulai dari tahun 2001 hingga 2004. Model regresi yang dibangun adalah sebagai berikut: Y(PDRB) = a + bX1 ...................... (1) Y(PAD) = a + bX1 ...................... (2) Y(EKO) = a + bX1 ...................... (3) dimana: PAD = Pendapatan Asli Daerah Kab. Buton PDRB = Produk Domestik Bruto (per kapita) EKO = Pertumbuhan Ekonomi Kab. Buton X1 = Produksi asbuton HASIL DAN PEMBAHASAN Pengusahaan Aspal Buton Dari wawancara dengan manajemen PT Sarana Karya (SAKA), diperoleh keterangan pengusahaan asbuton telah dilakukan sejak tahun 1926 oleh Pemerintah Belanda. Kemudian baru tahun 1954 tambang asbuton diserahkan ke Pemerintah Indonesia dengan nama Perusahaan Buton tambang Aspal (BUTAS). Pada tahun 1961, Pemerintah mengeluarkan Peraturan yaitu PP No.195 tentang pendirian Perusahaan Aspal Negara (PAN) menggantikan BUTAS. Kemudian, pada tahun 1984, berdasarkan PP No.3, berdirilah PT.Sarana Karya (SAKA). Pada waktu itu, SAKA mampu memproduksi 500.000 ton dan mampu menjual 121.940 ton. Masa keemasan asbuton mulai surut pada tahun 1987, akibatnya sebanyak 360.000 ton asbuton tertumpuk di gudang dan SAKA mulai berhenti produksi. Hingga tahun 1990, SAKA hanya menjual sisa stock aspal hingga tersisa 150.000 ton. SAKA kembali berproduksi pada tahun 1990 namun tidak maksimal karena sebagian besar peralatan sudah rusak tidak digunakan. Dinas PU Kabupaten Buton mengatakan dari awal pengusahaan asbuton hingga tahun 2006, asbuton diproduksi dalam bentuk raw material, sehingga agar asbuton dapat diaplikasikan, harus melalui proses lebih lanjut. Proses ini menyulitkan para pengguna dan hasil penghamparannya tidak sebagus aspal minyak, akibatnya muncul pandangan negatif tentang asbuton dan berdampak pula pada penurunan penjualan secara drastis. Informasi ini dibenarkan oleh PT.SAKA. Menindaklanjuti kebutuhan Departemen Pekerjaan Umum, SAKA mulai memproduksi raw material dalam bentur butiran kecil yang berukuran ½ inch, ¼ inch, dan BGA. SAKA memproduksi ukuran ¼ inch pada tahun 1997 dan berhenti produksi pada tahun 2000, sedangkan produk BGA diproduksi mulai tahun 2003 hingga 2005.
Sumber: Laporan Penelitian Asbuton, 2008
Diagram 1. Jumlah Produk Tambang Aspal Kabungka PT.SAKA Tabel 1 diatas menunjukkan bahwa dari tahun 1997 dan seterusnya, jumlah aspal kabungka yang dieksploitasi terus menurun bahkan sejak tahun 2000 SAKA mengambil tambang jauh dibawah target (60.000 ton/ thn). Penurunan eksploitasi aspal ini disebabkan oleh tidak adanya permintaan raw material lagi, dan SAKA masih memiliki persediaan raw material yang banyak.
Kebijakan Pemerintah Daerah dalam Pengusahaan Aspal Buton Dinas Pertambangan Provinsi Sulawesi Tenggara menjelaskan bahwa Pengaturan eksplorasi dan eksploitasi aspal buton adalah wewenang Pemerintah Kabupaten Buton karena selama ini pabrik asbuton yang besar hanya ada di Kabupaten Buton. Meskipun demikian, Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara mempunyai kebijakan pendukung yaitu Peraturan Daerah nomor 4 tahun 2004 tentang Ketentuan Penanaman Modal/Investasi di Provinsi Sulawesi Tenggara. Perda tersebut menyebutkan pertambangan umum dan industri lanjutannya merupakan bidang usaha prioritas yang diberi peluang penanaman modal seluasluasnya. Sejak semula asbuton diproduksi dalam bentuk curah (raw material) sehingga penerapan asbuton menjadi rumit dan kurang optimal. Selain itu, harga jual raw material jauh lebih rendah daripada aspal refining sehingga penerimaan retribusi dan pajak penambangan aspal rendah. Untuk mendorong penjualan asbuton, yang harus diperhatikan adalah kualitas produk itu sendiri. Oleh karena itu, Pemerintah Kabupaten Buton sedang menyiapkan perda yang mengharuskan perusahaan melakukan pengolahan asbuton sebelum dijual ke konsumen. Dengan adanya perda ini, maka asbuton tidak lagi dijual dalam bentuk raw material. Perda ini berdampak positif pada penyerapan tenaga kerja dan peningkatan PAD dari sektor pertambangan. Dampak negatifnya adalah perusahaan pengolah asbuton di luar buton tidak lagi berproduksi karena tidak ada bahan baku, dan hanya produsen bermodal besar yang mampu membangun pabrik.
3
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.2 No.1, April 2010 hal 1-7
Perubahan Sosial akibat Pengusahaan Asbuton Mayoritas masyarakat Desa Winning, Kecamatan Pasarwajo hidup dari aktivitas berkebun dan bertani. Sebagian besar lahan kebun tersebut adalah milik ne gara. Masyarakat tidak mempunyai bukti kepemilikan lahan kebun, namun masyarakat membayar PBB (ada bukti pembayaran PBB). Alasanya pengenaan PBB ka rena masyarakat mengusahakan tanah dan menghasilkan sesuatu. Begitu juga dengan masyarakat Desa Suandala, mayoritas menggantungkan hidupnya dari hasil berkebun cokelat dan jambu mente. Tahun 1981 tanaman kopi dan jagung berkembang cukup baik. Bahkan pada tahun 1986 pernah ada penyuluhan penanaman cokelat dan sampai sekarang komoditas itu menjadi sumber penghasilan pokok. Berdasarkan FGD dengan masyarakat di Desa Winning didapat keterangan bahwa pada tahun 1962, pengusahaan asbuton dilakukan oleh Perusahaan Aspal Negara (PAN) dengan melibatkan 10 – 20 % masyarakat desa Winning, namun pada tahun 1982 – 1987 terjadi pengurangan tenaga kerja besar-besaran. Hal ini membawa dampak pada peningkatan pengangguran, sehingga sebagian besar warga kembali berkebun. Sekarang ada lebih dari 1 perusahaan yang menambang aspal, namun mereka tidak mengambil tenaga
kerja lokal (dari Desa Winning). Rata-rata pekerja tambang berasal dari Pasarwajo, Banabungi, Wasago, Wajinaga dan Panutaga. Hal ini menyebabkan hubungan antara perusahaan dan warga setempat menjadi kurang harmonis. Dengan semakin banyak aktivitas ekplorasi dan ekploitasi asbuton masyarakat mulai mencemaskan kehilangan lahan pertanian dan kebun mereka meskipun mereka menyadari bahwa sebagian lahan yang diusahakan merupakan tanah negara. Ketika patok lahan pertambangan masuk ke kebun masyarakat, pemerintah memberikan ganti rugi tanaman dan hasilnya, misalnya Rp 2.000,- untuk satu rumpun pisang, Rp 500,untuk satu rumpun tanaman kopi, Rp 25.000,- untuk satu pohon kelapa. Untuk mengatasi kecemasan, masyarakat pernah mencoba menjadi tenaga kerja di salah satu perusahaan aspal, namun ditolak karena alasan tidak memenuhi kriteria yang disyaratkan. Selain masalah tenaga kerja, ternyata juga ada kesenjangan upah yang sangat mencolok. Buruh atau te naga kasar yang menambang aspal mendapatkan upah sebesar Rp 25.000 per hari atau sekitar Rp 600.000/ bulan. Sedangkan tenaga kontrak (dari luar) mendapat upah sebesar Rp 3.000.000/bulan. Hal ini memicu demo menuntut kenaikan upah dan tunjangan.
Pengaruh Pengusahaan Asbuton terhadap Produk Domestik Bruto (PDRB) dan PDRB per Kapita
Sumber: Kabupaten Buton Dalam Angka, 2005
Gambar 1. Struktur PDRB Kabupaten Buton
4
Pengaruh Peningkatan Jumlah Produksi Asbuton Terhadap Indikator Ekonomi Wilayah Kabupaten Buton Andreas Christiawan PDRB merupakan indikator perkembangan ekonomi suatu daerah. PDRB dihitung berdasar nilai tambah barang dan jasa yang dihasilkan oleh seluruh lapangan usaha. Sedangkan untuk mengukur tingkat kemakmuran suatu daerah digunakan indikator PDRB per kapita. Kabupaten Buton terkenal karena cadangan aspal dalam jumlah besar yang mencapai 650 juta ton. Tidak heran aspal yang dihasilkan diberi nama aspal buton (asbuton). Meskipun demikian, sektor pertanian menjadi kontributor terbesar pembentuk PDRB Kabupaten Buton yaitu sebesar 48%, sedangkan sektor pertambangan hanya sebesar 2,03%. Penyumbang terbesar lainnya adalah sektor perdagangan dan jasa yaitu masing masing sebesar 13,61% dan 17,62%.
Y(PDRB Kapita) R2 Sig F
= = =
2.253.152 + 29,965 X(Prod) ...................... (1B) 0,7230 0,1497
Perubahan produksi asbuton ternyata berkorelasi positif terhadap penambahan PDRB per Kapita. Model tersebut menunjukkan bahwa peningkatan produksi asbuton sebesar 1.000 ton dapat meningkatkan penghasilan masyarakat sebesar Rp 29.965,-. Hasil korelasi ini signifikan untuk tingkat kesalahan 15%. Besarnya pengaruh ditunjukkan dengan nilai R2. Dari hasil olahan regresi diperoleh nilai R2 sebesar 0,7230. Ini berarti bahwa sebesar 72,30% perubahan PDRB per kapita dipengaruhi oleh jumlah produksi asbuton. Hasil analisis regresi tersebut membuktikan bahwa hipotesis pertama (H1) diterima. Ini berarti peningkatan produksi asbuton berpengaruh pada perubahan PDRB baik regional maupun per kapita.
Pengaruh Pengusahaan Pendapatan Asli Daerah
Asbuton
terhadap
Sumber: Diolah dari Kabupaten Buton Dalam Angka, 2005
Gambar 2. Grafik Perubahan PDRB dan PDRB per Kapita selama 5 Tahun Tren perubahan PDRB dan PDRB per kapita Kabupaten Buton terus meningkat setiap tahunnya. Gambar 2 diatas menunjukkan bahwa pada tahun 2005 terjadi peningkatan PDRB yang cukup besar dibandingkan tahun 2004. PDRB tahun 2004 sebesar 13 milyar dan pada tahun 2005 mencapai 20 milyar. Dari analisis regresi, pengaruh produksi asbuton terhadap perubahan PDRB ditunjukkan dengan model regresi sebagai berikut: Y(PDRB) = 10.706.669.306 + 84.686,24245 X(Prod) ................ (1A) R2 = 0,7727 Sig F = 0,1209 Dari model diatas, ternyata perubahan produksi asbuton berkorelasi positif terhadap penambahan PDRB. Penambahan produksi asbuton sebesar 1.000 ton dapat menambah PDRB sebesar Rp 84.686.242,-. Hasil korelasi ini signifikan pada tingkat kesalahan 15%. Nilai R2 yang diperoleh adalah 0,7727 yang berarti perubahan PDRB dipengaruhi oleh produksi aspal buton sebesar 77,27%. Pengaruh produksi asbuton terhadap perubahan PDRB per kapita dapat diketahui dari model regresi sebagai berikut:
Sumber: Diolah dari Kabupaten Buton Dalam Angka, 2005
Gambar 3. Grafik Perubahan PAD dan PDRB selama 5 Tahun Dari Gambar 3 di atas diketahui bahwa jumlah PAD Kabupaten Buton dari tahun 2001 hingga 2004 menunjukkan tren meningkat, namun mulai tahun 2004 menunjukkan tren menurun meskipun PDRB menunjukkan tren meningkat. Pendapatan Asli Da erah (PAD) Kabupaten Buton pa da tahun 2003 mencapai lebih dari 24 milyar dan pada tahun 2004 mencapai lebih dari 30 milyar. Berdasarkan informasi dari Kabupaten Buton dalam Angka tahun 2004, kenaikan PAD disebabkan karena terjadinya peningkatan jumlah bagi hasil pajak yang mencapai hampir 80%. Akan tetapi pada tahun 2005, terjadi penurunan PAD dari 30,114 milyar menjadi 29,798 milyar. Penyebab penurunan PAD ini salah satunya karena terjadi penurunan pajak daerah dan pendapatan lain-lain. Penurunan pajak daerah ini disebabkan karena menurunnya penerimaan Pajak Pengambilan dan pengolahan Galian Golongan C dari Rp 336,668 juta (2004)
5
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.2 No.1, April 2010 hal 1-7
menjadi Rp 215,357 juta (2005). Penurunan jumlah produksi asbuton pada tahun 2005 menjadi penyebab utama penurunan penerimaan pajak tersebut. Pengaruh peningkatan produksi asbuton terhadap PAD ditunjukkan dengan model regresi sebagai berikut: Y(PAD) = R2 = Sig F =
16.394.082.404 + 406.999,898 X(Prod) ...................... (3) 0,4631 0,3194
Hasil analisis regresi menunjukkan peningkatan produksi asbuton ternyata berpengaruh positif terhadap PAD. Model di atas dapat diartikan bahwa dengan peningkatan produksi asbuton sebesar 1.000 ton dapat meningkatkan PAD sebesar Rp 406.999.898,-. Namun, secara statistik, nilai signifikansi F lebih dari 15% yang berarti peningkatan produksi asbuton ternyata tidak berpengaruh signifikan terhadap perubahan PAD, sehingga hipotesis kedua (H2) ditolak. Ditolaknya H2 disebabkan karena dalam struktur PAD, ternyata penyumbang PAD terbesar adalah dari penerimaan Bagi Hasil Pajak. Disamping itu, penerimaan pajak terbesar bukan dari Pajak Pengambilan dan Pengolahan Galian Golongan C melainkan dari Pajak Kendaraan Bermotor. Kebijakan pemerintah untuk memberikan fasilitas kemudahan investor untuk mendapatkan KP turut menjadi penyebab rendahnya penerimaan Pajak Pengambilan dan Pengolahan Galian Golongan C.
Pengaruh Pengusahaan Asbuton terhadap Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Buton
Pengaruh peningkatan produksi asbuton terhadap pertumbuhan ekonomi ditunjukkan dengan model regresi sebagai berikut: Y(EKO) = R2 = Sig F =
0,058863911 + 0,00000343902 X(Prod) .................. (4) 0,6562 0,1899
Model regresi di atas membuktikan bahwa peningkatan produksi asbuton ternyata berpengaruh positif terhadap perubahan pertumbuhan ekonomi. Model tersebut dapat diartikan bahwa peningkatan 1.000 ton asbuton dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi Kabupaten Buton sebesar 0,343 %. Meskipun demikian secara statistik hasil ini tidak signifikan karena nilai signifikasi F lebih besar dari 15%. Jadi, hipotesis ketiga (H3) ditolak. Ditolaknya H3 karena pertumbuhan ekonomi wilayah Kabupaten Buton lebih dipengaruhi oleh peningkatan hasil di sektor lain seperti pertanian, dan jasa, sehingga meskipun terjadi penurunan produksi asbuton belum tentu berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi. Disamping itu, Pulau Buton juga memiliki tambang selain aspal, sehingga meskipun terjadi penurunan produksi aspal tidak mempengaruhi pertumbuhan ekonomi
KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis, penelitian ini menyimpulkan bahwa peningkatan produksi asbuton berpengaruh positif dan signifikan pada PDRB baik regional maupun per kapita. Hal ini disebabkan karena aspal merupakan salah satu hasil tambang utama di Pulau Buton, sehingga semakin banyak produksi asbuton maka semakin makmur daerah Buton. Tidak seperti PDRB, peningkatan produksi asbuton berpengaruh positif terhadap PAD dan pertumbuhan ekonomi, namun pengaruh ini tidak signifikan. Hal ini disebabkan karena sumber terbesar pendapatan daerah adalah dari penerimaan pajak kendaraan bermotor, bukan dari penerimaan pajak bidang pertambangan.
Sumber: Diolah dari Kabupaten Buton Dalam Angka 2005
Gambar 4. Grafik Pertumbuhan Ekonomi Kab Buton selama 5 Tahun Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Buton dari tahun 2001 hingga 2005 berkisar antara 5,0% hingga 7,0%. Gambar 4 menunjukkan pertumbuhan ekonomi dari tahun 2001 hingga tahun 2004 yang terus meningkat, namun pada tahun 2005, terjadi penurunan pertumbuhan ekonomi.
6
SARAN Penelitian ini mempunyai keterbatasan dalam mendapatkan data produksi asbuton dari perusahaan lain, sehingga untuk penyempurnaan penelitian selanjutnya diperlukan data yang labih banyak dan waktu periode pengamatan yang lebih panjang.
Pengaruh Peningkatan Jumlah Produksi Asbuton Terhadap Indikator Ekonomi Wilayah Kabupaten Buton Andreas Christiawan
DAFTAR PUSTAKA Asrun dan rekan. 1998. Aspal Buton (As-Buton). Artikel. http://members.tripod.com/sultra/ASPAL_BUTON. htm. Dinas PU Sultra. Balai Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Bidang Jalan dan Jembatan. 2008. Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pemanfaatan Asbuton dalam Pembangunan Jalan. Laporan Penelitian. Surabaya. Pangihutan, Harlan. 2007. Evaluasi Tingkat Daya Saing (Competitiveness) Harga Asbuton. Laporan Penelitian. Puslitbang Jalan dan Jembatan. Bandung. Sugiono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Alfabeta. Bandung. Sukwanti, Tanty Krisna. 2006. Kajian Ekonomi Aplikasi Teknologi Asbuton. Laporan Penelitian. Puslitbang Jalan dan Jembatan. Bandung. Badan Pusat Statistik Kabupaten Buton, 2003. Kabupaten Buton dalam Angka tahun 2003. Buton. Badan Pusat Statistik Kabupaten Buton, 2004. Kabupaten Buton dalam Angka tahun 2004. Buton. Badan Pusat Statistik Kabupaten Buton, 2005. Kabupaten Buton dalam Angka tahun 2005. Buton. www.tempointeraktif.com. 2006. Aspal Buton Ditargetkan Mulai Dipakai Tahun Depan. Artikel.
7
8
PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP TEKNOLOGI SUMUR RESAPAN AIR HUJAN DAN LUBANG RESAPAN BIOPORI (Studi Kasus : Kabupaten Tangerang Selatan) Bastin Yungga Angguniko Balai Litbang Sosek Bidang SDA – Puslitbang Sosial,Ekonomi,Budaya dan Peran Masyarakat Jl. Sapta Taruna Raya No. 26, Jakarta Selatan 12310 Email :
[email protected] Abstract Water plays an important role in our living, people subtract it for our daily activity, but only a few think to preserve and conserve it. Nature has its own capacity to infiltrate the surface water did not equal with people activitie which led to increasingly scarce water. This lead to negative impact that could occur, such as: water shortage, flooding and land subsidence. By knowing, understand and implement the LRB as an applied technology development; people could save the water, save environment and eventually save the earth. The purpose of this study is to find out how far the public perception to date in technology dissemination and application of SRAH and LRB. This approach is expected to empower the local potential, foster a sense of self, increase the value of benefits, and ensure sustainability. This article uses the action research method with locations in South Tangerang. This study wants to observe the application of participatory and LRB SRAH technology as a form of public participation in every stage of project / development through a gradual process of trial at the neighborhood level, village / district, and housing. As a result, in addition to overcome the problem of garbage in the neighborhood from inundation, government officials stationed as a supporter / facilitator, while control of the development process is entrusted to the public. Perception greatest level of acceptance in the socialization phase 49.70% (168 people) and the application of 87.28% (295 people) is at the level Neighborhood / Pillars of Citizens. Keywords: perception, soil permeability, Lubang Resapan Biopori, infiltration well, technology Abstrak Air memainkan peran penting dalam hidup kita, tetapi hanya sedikit orang yang berpikir untuk menjaga dan melestarikannya. Namun, kemampuan alam meresapkan air tidak seimbang dengan kegiatan manusia yang menyebabkan semakin langkanya air. Ini dapat menimbulkan dampak negatif, seperti: kekurangan air, banjir dan penurunan tanah. Dengan mengetahui, memahami, dan melaksanakan pembuatan sumur resapan air hujan (SRAH) dan lubang resapan biopori (LRB) sebagai alternatif pengembangan teknologi terapan, manusia dapat menyimpan air, menyelamatkan lingkungan, dan mengatasi kelangkaan air tersebut. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui seberapa jauh persepsi masyarakat hingga saat ini dalam sosialisasi dan penerapan teknologi SRAH dan LRB. Pendekatan ini diharapkan untuk memberdayakan potensi lokal, memupuk rasa milik diri, meningkatkan nilai manfaat, dan menjamin keberlanjutan. Artikel ini menggunakan metode penelitian tindakan dengan lokasi di Tangerang Selatan. Kajian ini ingin mengobservasi penerapan partisipatif dalam teknologi SRAH dan LRB sebagai bentuk partisipasi masyarakat dalam setiap tahap proyek /pembangunan melalui proses uji coba secara bertahap pada tingkat RT/RW, kelurahan/kecamatan, dan perumahan. Sebagai hasil, selain mengatasi masalah sampah di lingkungan perumahan akibat genangan, pejabat pemerintah ditempatkan sebagai pendukung / fasilitator, sementara kontrol terhadap proses pembangunan lebih dipercayakan kepada publik. Persepsi tingkat penerimaan terbesar dalam tahap sosialisasi 49.70% (168 orang) dan penerapan 87.28% (295 orang) adalah pada tingkat Rukun Tetangga / Rukun Warga. Kata kunci: persepsi, permeabilitas tanah, Lubang Resapan Biopori, sumur resapan, teknologi.
9
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.2 No.1, April 2010 hal 9-20
1. PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian persepsi masyarakat terhadap Teknologi Tepat Guna Sumur Resapan Air dan Lubang Resapan Biopori dengan lokasi Kabupaten Tangerang Selatan - Propinsi Banten penting dilakukan karena persepsi masyarakat terhadap pentingnya penerapan teknologi tepat guna resapan air untuk mengurangi kehilangan ruang terbuka hijau (RTH), daerah resapan air, situsitu (danau atau waduk kecil) dan lain-lain dirasakan kurang. Kejadian yang tidak terhindarkan tersebut karena bertambahnya penduduk dan kebutuhannya atas permukiman dan prasarana lainnya, sehingga telah mendesak lahan – lahan yang dahulunya merupakan daerah tempat penerapan resapan air (sumur resapan, dll) menjadi semakin sempit tertutupi bangunan-bangunan di atasnya. Perubahan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Jabodetabek Tahun 1972 – 2002 dapat dilihat sebagai berikut : 1970 (37,2%), 1985 (26-30%), 1995 (24,9%), dan 2002 (9,6%) (Kamir R.Brata, 2009). Pembukaan lapisan tanah atas (top soil) yang meskipun akhirnya tidak dibangun bangunan diatasnya (sisa lahan yang dimanfaatkan menjadi halaman rumah), karena dibiarkan terbuka tanpa ditanami rumput atau tidak dilapisi pasir maupun kerikil yang pada saat tertentu disinari matahari dan disaat lain terteduhi oleh bangunan, serta tingginya kelembaban iklim Indonesia yang tropis juga telah memicu tumbuhnya lumut. Lumut yang tebal dan merata juga menutup permukaan tanah seolah-olah terjadi pembetonan halaman oleh alam sehingga juga mengurangi kemampuan tanah dalam meresapkan air (infiltrasi). “Betonisasi – jalan” sedang marak dilakukan dimana-mana saat ini, mulai dari jalan tol hingga jalan desa atau kampung, dengan keyakinan bahwa konstruksi ini akan lebih tahan terhadap daya rusak air dibanding konstruksi lain. Namun sering kita lupa bahwa dalam mendapat keuntungan juga diiringi kerugian yang merupakan dampak negatif dari pelaksanaan pembangunan tersebut. Dampak negatif dari betonisasi jalan dan pembangunan permukiman sangat jelas, yaitu berkurangnya air yang meresap ke dalam tanah yang kemudian akan mengganggu siklus hidrologi, dimana limpasan permukaan (run-off) menjadi lebih besar dan lebih cepat yang selanjutnya akan menimbulkan kekeringan di musim kemarau dan sebaliknya akan menimbulkan banjir di musim penghujan (Angguniko, 2009). Pada tahun 2004 pernah dilakukan kajian partisipatif teknologi sumur resapan air hujan, dimana masyarakatnya berperan aktif dan mau menyumbangkan tenaganya dengan bergotong royong dalam pembua-
10
tan sumur resapan (Krisbandono dan Nugroho, 2006). Sumur yang dibuat telah berhasil meresapkan air sehingga jalan tidak becek karena waktu genangan air menjadi lebih pendek dan manfaat tersebut telah dirasakan oleh masyarakat, namun jika dilihat dari perbanyakan atau replikasinya sampai saat ini (5 tahun) sangat kecil, mengingat setelah kegiatan tersebut tidak ditindak lanjuti oleh stakeholders maupun bentuk-bentuk program kegiatan konservasi air dan lingkungan lainnya. Sebetulnya masyarakat ingin berperan dalam konservasi air dan lingkungannya, namun mereka keberatan untuk mengadakan bahan bangunan sumur resapan yang dirasakan cukup mahal meskipun secara berkelompok dan mengharapkan fasilitasi dari pemerintah. Pada tahun 2009, pernah juga dilakukan penelitian tentang persepsi masyarakat terhadap teknologi tepat guna yang pernah dilakukan oleh Puslitbang Sebranmas, Badan Penelitian dan Pengembangan Kementrian Pekerjaan Umum terkait dengan Pamsimas (Hastama, 2009) dan penelitian tentang persepsi masyarakat terhadap pembangunan rumah susun di Bali yang dilakukan oleh Puslitbang Permukiman, Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pekerjaan Umum (Suprijanto, 2009). Penelitian persepsi masyarakat terhadap Teknologi Tepat Guna Sumur Resapan Air dan Lubang Resapan Biopori dengan lokasi Kabupaten Tangerang Selatan Propinsi Banten memang penting dilakukan, dengan harapan dapat memberikan rekomendasi mengenai langkah-langkah yang perlu diambil oleh pemerintah agar lebih efektif dan efisien. Memperhatikan masalah iklim, lingkungan dan keberadaan air, maka permasalahan kegiatan penelitian dan pengembangan adalah : bagaimana mengupayakan teknologi resapan air dapat diterima, dipahami, dicoba, diterapkan dan diperbanyak oleh masyarakat. Maksud dan tujuan dilakukan kegiatan ini adalah mengukur sejauh mana persepsi masyarakat sampai dengan saat ini dalam sosialisasi dan penerapan teknologi tepat guna resapan air sumur resapan dan lubang resapan biopori (LRB) yang dapat mendorong mereka untuk lebih mengenal dan menerapkan teknologi yang disosialisasikan melalui pendekatan uji coba. Tujuan khusus adalah memberi gambaran umum tentang kondisi wilayah penelitian, menerangkan proses sosialisasi teknologi resapan air yang dilakukan, mengukur tingkat tingkat penerimaan masyarakat terhadap teknologi sumur resapan dan lubang resapan, dan mengukur tingkat pemahaman materi sosialisasi teknologi sumur resapan dan lubang resapan biopori.
Persepsi Masyarakat Terhadap Teknologi Sumur Resapan Air Hujan Dan Lubang Resapan Biopori (Studi Kasus : Kabupaten Tangerang Selatan) Bastin Yungga Angguniko 2. METODE PENELITIAN Lokasi penelitian dilaksanakan di tiga wilayah kecamatan di Kota Tangerang Selatan, yaitu Kecamatan Pamulang, Kecamatan Ciputat, dan Kecamatan Ciputat Timur. Kegiatan sosialisasi dan penerapan akan dilaksanakan di tingkat kecamatan, kelurahan, RW/RT, dan kompleks perumahan.. Waktu pelaksanaan penelitian Bulan April – September 2009 (6 bulan).
Gambar 2. Denah Lokasi Menurut metode, jenis penelitian ini digolongkan sebagai penelitian aksi (action research) karena sangat terkait dengan tindakan sosialisasi (social action) dan dilihat dari pemanfaatannya masuk dalam jenis penelitian sosial terapan (Aplied social research), karena setelah pengenalan teknologi langsung dilanjutkan dengan penerapan (sebagai contoh praktik pembelajaran) di lapangan. Metodologi penelitian dilakukan melalui sosialisasi, dan pendampingan penerapan TTG sumur resapan dan lubang resapan biopori. Jenis data dan analisis dilakukan secara kualitatif (forum group discussion dan wawancara) dan kuantitatif (survei kuesioner). Pengumpulan data primer (wawancara dan survei kuesioner) dan data sekunder. Metode analisa data yang digunakan dalam penelitian ini menerapkan kaidah-kaidah dalam penelitian kualitatif, yaitu dengan
cara mengumpulkan data, mengklasifikasikan data, kemudian menafsirkan data dan yang terakhir membuat kesimpulan dari data tersebut. Untuk menganalisis data kuantitatif, dilakukan perhitungan keeratan hubungan (asosiatif). Pada bagian ini, penulis akan menyajikan penghitungan keeratan hubungan (asosiasi) dari beberapa faktor sosio demografi responden untuk menampilkan kaitan antara dua variabel, atau menghitung apakah ada hubungannya dengan tingkat partisipasi. Data yang diinput berskala nominal atau ordinal. Pembuatan penghitungan keeratan hubungan (asosiasi) antarisi tabulasi silang. Di dalam analisa ini, faktor-faktor tersebut adalah jenis kelamin, level jabatan dalam masyarakat, prosentase tingkat (jenjang) partisipasi. Pendekatan penelitian adalah pendekatan eksploratif lebih kepada memahami fenoma dengan cara melakukan diagnosa terhadap suatu fenomena, menjaring alternatif serta menemukan ide-ide baru melalui observasi, wawancara, dan alat analisis lainnya. Persepsi Persepsi adalah suatu proses yang didahului oleh penginderaan. Karena itu, proses penginderaan merupakan proses yang mendahului terjadinya persepsi. Proses penginderaan terjadi setiap saat, yaitu pada waktu individu menerima stimulus yang mengenai dirinya melalui alat indera. Alat indera merupakan penghubung antara individu dengan dunia luarnya (Branca,1964; Woodworth dan Marquis, 1957). Stimulus yang mengenai individu itu kemudian diorganisasikan, diinterpretasikan, sehingga individu menyadari tentang apa yang diinderanya itu. Proses inilah yang dimaksud dengan persepsi. Jadi stimulus diterima oleh alat indera, kemudian melalui proses persepsi sesuatu yang diindera tersebut menjadi sesuatu yang berarti setelah diorganisasikan dan diinterpretasikan (Davidoff, 1981). Persepsi juga merupakan proses yang intergrated dari individu terhadap stimulus yang diterimanya (Moskowitz dan Orgel, 1969). Kondisi Kondisi dikategorikan menjadi dua yaitu, kondisi masyarakat dan kondisi daerah. Kondisi Masyarakat (Susila,Anik:2008) dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut: Kondisi sosial ekonomi masyarakat. Termasuk di dalamnya adalah struktur ekonomi, pola mata pencaharian, kelembagaan (koperasi, lembaga keuangan mikro dll); Kondisi sosial budaya masyarakat. Meliputi adat budaya dan tradisi yang hidup di tengah masyarakat dan potensi budaya yang lain. Terma-
11
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.2 No.1, April 2010 hal 9-20
suk pula pola relasi antar individu sebagai anggota masyarakat (paguyuban atau patembayan); Kondisi daerah : Tahun 2002 menunjukkan terjadinya penurunan cadangan air tanah yang diindikasikan oleh turunnya muka air tanah yang cukup drastis di sejumlah daerah di Tangerang. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Banten tahun 2002 juga menunjukkan bahwa intrusi air laut sudah mendekati Kota Tangerang. Selain itu, berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Departemen Pekerjaan Umum, pada tahun 2006 tercatat ada 24 situ di Tangerang. Akan tetapi, kini hanya tersisa beberapa situ karena telah beralih fungsi menjadi perumahan, perkantoran, sarana olah raga, dan terkena jalan tol. Banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau sering terjadi di lokasi tersebut. Lokasi ini pada saat hujan pasti timbul genangan air bahkan banjir yang lama surutnya. Genangan air yang muncul setelah hujan mengganggu aksesibilitas warga terutama di jalan masuk kampung. Lokasi rawan banjir di Tangerang Tahun 2008 dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel 4.2 Lokasi Rawan Banjir di Kota Tangerang Selatan 2008
Sumber : Hasil Olah Potensi Desa 2006 dalam Kompilasi Data Untuk Penyusunan RTRW Kota Tangerang Selatan Tahun 2006
Manfaat Manfaat yang didapatkan masyarakat dari penggunaan sumur resapan dan LRB adalah: memaksimalkan air yang meresap ke dalam tanah sehingga menambah cadangan air tanah, mengurangi genangan air yang menimbulkan penyakit, mengurangi air hujan yang dibuang percuma ke laut, mengurangi resiko banjir di musim hujan, maksimalisasi peran dan aktivitas flora dan fauna tanah, mencegah terjadinya erosi tanah dan bencana tanah longsor. Khusus untuk lubang resapan biopori (LRB) dapat dipakai untuk membuat kompos alami dari sampah organik daripada dibakar. Analisis potensi LRB sebagai pengurang volume sampah dapat dijelaskan sebagai berikut : volume lubang biopori diameter 10 cm dengan kedalaman 100 cm terdapat ruang sebesar 7,85 liter. Sementara keuntungan-keuntungan yang didapat dari sumur resapan adalah:
12
• • • • • • •
Memanfaatkan material dan sumber daya lokal Ramah lingkungan dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat secara mudah Menghasilkan nilai tambah dari aspek ekonomi dan aspek lingkungan hidup. Sedangkan keuntungan-keuntungan yang didapat dari Lubang Resapan Biopori adalah: Memerlukan biaya yang relatif murah dan terjangkau. Dapat diterapkan lebih luas dimana-mana Persyaratan teknis sederhana.
Kebutuhan Penerapan Salah satu perbedaan persepsi disebabkan oleh kebutuhan, yaitu kebutuhan sesaat maupun yang menetap pada diri seseorang yang akan mempengaruhi persepsi orang tersebut untuk menerapkan (Banteng,2004). Kemauan Penerapan Faktor yang mempengaruhi kemauan penerapan di masyarakat diantaranya : kepadatan penduduk, ketersediaan air bersih, kondisi tanah, tinggi muka air tanah, topografi, kondisi sosial ekonomi, dan kemampuan membangun dan mengelola. Pengetahuan TTG Sumur Resapan Sumur resapan air hujan sebagai salah satu TTG yang dihasilkan oleh Badan Litbang Departemen PU merupakan prasarana untuk menampung dan meresapkan air hujan ke dalam tanah (SNI 06-2459-2002). Sesuai dengan Inpres. No. 3 Tahun 2001, yang dimaksud TTG adalah teknologi yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dengan memanfaatkan material dan sumber daya lokal, dapat menjawab permasalahan masyarakat, tidak merusak lingkungan dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat secara mudah serta menghasilkan nilai tambah dari aspek ekonomi dan aspek lingkungan hidup. Pengetahuan TTG Lubang Resapan Biopori Munculnya gagasan pembuatan lubang biopori adalah belum terwujudnya penerapan sumur resapan secara menyeluruh di Indonesia meskipun beberapa daerah seperti DKI Jakarta telah membuat peraturan yang mewajibkan pembuatan sumur resapan dalam pemberian ijin bangunan . Tetapi tidak dapat dipungkiri untuk membuat sumur resapan memerlukan biaya yang relatif mahal dan memberatkan. Berangkat dari hal tersebut muncul pemikiran meresapkan air melalui lubang yang lebih kecil sehingga terjangkau oleh masyarakat dan dapat diterapkan lebih luas dimana-mana dengan persyaratan teknis yang tidak terlalu pelik.
Persepsi Masyarakat Terhadap Teknologi Sumur Resapan Air Hujan Dan Lubang Resapan Biopori (Studi Kasus : Kabupaten Tangerang Selatan) Bastin Yungga Angguniko Disebut biopori menurut penggagasnya karena lubang vertikal yang kita buat akan dilanjutkan oleh makhluk hidup lainnya dalam tanah yang ukurannya kecil, sangat kecil sampai halus sekali atau mikro, di mana organisme tersebut akan membuat lubanglubang kecil ke segala arah yang diyakini akan memperbesar rembesan air ke dalam tanah. Selain binatang-binatang kecil, tertampungnya air akan memicu pergerakan akar tanaman kearahnya sehingga bio pori didefinifikan sebagai ”Pori berbentuk liang (terowongan-terowongan kecil) di dalam tanah yang dibuat oleh akar tanaman dan fauna tanah”. Dengan terbentuknya liang silindris yang kontinyu ke segala arah, maka pergerakan air dan udara di dalam tanah menjadi lebih lancar. Liang-liang tersebut menjadi lebih kuat karena dindingnya dilapisi oleh senyawa organik dan tidak mudah tertutup meskipun pada tanah labil, yang mudah mengembang dan menyusut.
Gambar 3.3 Biopori dan Organisme dalam tanah
4. HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kota Tangerang Selatan merupakan kota termuda di Propinsi Banten karena baru terbentuk pada tanggal 26 Nopember 2008 yang mempunyai luas 147,19km2 dengan penduduk 1.241.441 jiwa terdiri dari 7 (tujuh) Kecamatan dengan 49 (empat puluh sembilan) Kelurahan dan 5 (lima) desa.
Adapun lokasi sosialisasi/pengenalan sumur resapan dan lubang resapan biopori dilaksanakan di 3 (tiga) kecamatan dengan perincian sebagai berikut :
13
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.2 No.1, April 2010 hal 9-20
Tabel 2. Lokasi sosialisasi/pengenalan sumur resapan dan lubang resapan biopori
Pemilihan lokasi kegiatan didasarkan pada strategi yang dibedakan dalam tingkatan kepengurusan masyarakat sesuai tempat tinggalnya. Strategi pemilihan lokasi tersebut adalah pada : • Masyarakat di tingkat Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW) • Masyarakat dan perangkat/aparat Kelurahan • Masyarakat dan perangkat/aparat Kecamatan • Masyarakat Perumahan Dengan perbedaan pemilihan masyarakat peserta pengenalan dan penerapan sumur resapan dan lubang resapan biopori tersebut, maka akan lebih mudah untuk melakukan evaluasi efektivitasnya kedepan, sehingga rekomendasi dari kegiatan ini dapat lebih disempurnakan.
Koordinasi Stakeholders Sebelum dimulai pelaksanaan kegiatan, langkah pertama yang harus dilakukan adalah dengan pihakpihak terkait (stakeholders) baik dengan instansi maupun tokoh masyarakat yang berpengaruh di lokasi setempat. Dalam koordinasi tersebut diutarakan maksud dan tujuan kegiatan pengenalan dan penerapan TTG tesebut, dan setelah didapat persetujuan, maka perencanaan sosialisasi atau pengenalan (dua TTG resapan air) dapat direncanakan dengan membuat jadwal dan agenda pelaksanaannya termasuk perencanaan petugas dan peserta sosialisasi di mana jumlahnya akan sangat mempengaruhi besarnya biaya pelaksanaan. Dalam koordinasi tersebut juga dibicarakan menge-
14
nai siapa yang mengundang dan siapa yang diundang. Contoh : bila peserta dari kelurahan maka undangan dikeluarkan oleh Kecamatan, demikian pula dengan Ketua Rukun Warga (RW) mengundang Ketua dan perwakilan rukun tetangga (RT) binaannya. Memang kelihatannya sepele namun koordinasi awal ini merupakan kunci yang menentukan kesuksesan pelaksanaan selanjutnya yang sangat tergantung dari kehadiran peserta undangan tersebut yang sering dilupakan oleh petugas pelaksana/peneliti.
Sosialisasi Teknologi Sumur Resapan Dan Biopori Sosialisasi pengenalan sumur resapan dan lubang resapan air biopori merupakan langkah kedua yang wajib dilaksanakan bila kita akan menyelamatkan lingkungan kita khususnya dalam konservasi air untuk menambah cadangan air dalam tanah dan mengurangi limpasan permukaan sehingga dampak kemarau dan banjir dapat diperkecil. Melalui kegiatan sosialisasi atau pengenalan ini diharapkan dapat membentuk pemahaman mengenai pentingnya menyelamatkan lingkungan atau sadar lingkungan (darling) yang kemudian menciptakan keinginan peserta untuk mencoba mempraktekkan penerapannya. Kegiatan sosialisasi diakhiri dengan kesepakatan rencana penerapan percontohan (jumlah alat dan bahan untuk pembuatan contoh lapangan) termasuk konfirmasi waktu pelaksanaannya secara bersama.
Persepsi Masyarakat Terhadap Teknologi Sumur Resapan Air Hujan Dan Lubang Resapan Biopori (Studi Kasus : Kabupaten Tangerang Selatan) Bastin Yungga Angguniko
Gambar 2: Sosialisasi/pengenalan lubang resapan biopori di Kec.Ciputat Timur
Penerapan Teknologi Sumur Resapan Dan Lubang Resapan Biopori Ketika kesepakatan dari masyarakat sudah didapat (rencana waktu praktek pembuatan sumur resapan dan lubang resapan biopori), maka harus segera disiapkan alat pembuat lubang (bor tangan) dan bahanbahan lainnya untuk sumur resapan. Pembuatan sumur resapan disesuaikan dengan kondisi fisik berupa : keadaan lahan, kondisi topografi, kemiringan slope aliran bawah permukaan, tinggi muka air tanah, dan kondisi ekonomi dan lingkungan hidup berupa : tingkat ekonomi warga di Kabupaten
Tangerang Selatan. Dengan hasil survei pendapatan upah minimum regional (UMR) daerah tersebut berkisar antara Rp 1-1,5juta per bulan, maka desain sumur resapan harus didesain seefektif dan seefisien mungkin. Kalau tidak, pemasyarakatan TTG tidak akan dapat diterapkan dan diduplikasikan masyarakat. Untuk menghemat biaya pembuatan diefektifkan melalui pembuatan lubang penutup menggunakan beton bertulang ringan dan paving block yang cetakannya dengan sangat mudah dibuat warga. Selain itu, spasi antar paving block dan balok bisa digunakan untuk melalukan air.
Gambar 3.1 Sumur Resapan
15
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.2 No.1, April 2010 hal 9-20
Tabel 3. Perbedaan biaya pembuatan sumur resapan dari bata merah dan buis beton
Rincian dari penyedianmodel sumur resapan dan alat bor tangan adalah sebagai berikut : Tabel 3. Jumlah dan Pemodelan Sumur Resapan
Tabel 4. Jumlah dan Pendistribusian Alat Bor LRB
Peserta dan Tingkat Partisipasi Prosentase jenis kelamin partisipan pada kegiatan sosialisasi dan penerapan sumur resapan dan lubang resapan biopori adalah 492 orang laki-laki dan 16 orang perempuan. Partisipasi masih banyak laki-laki dikarenakan proses penerapan sumur resapan dan LRB dirasakan merupakan pekerjaan kasar (konstruksi) dan dikerjakan laki-laki.
Grafik 1. Prosentase Jenis Kelamin
Gambar 3. Praktek Penerapan Lubang Biopori
16
Persepsi Masyarakat Terhadap Teknologi Sumur Resapan Air Hujan Dan Lubang Resapan Biopori (Studi Kasus : Kabupaten Tangerang Selatan) Bastin Yungga Angguniko
Grafik 2. Prosentase Jenis Pekerjaan
Prosentase jenis pekerjaan partisipan pada kegiatan sosialisasi dan penerapan adalah 2 orang akademisi, 3 orang Pemerintahan Kecamatan, 23 orang Pemerintahan Kelurahan, 475 orang masyarakat RT/RW, 5 orang organisasi masyarakat.
Grafik 3. Prosentase Tingkat Partisipasi Prosentase tingkat partisipasi pada kegiatan sosialisasi dan penerapan adalah 24.30% orang tingkat kecamatan, 4.96% orang tingkat kelurahan, dan 70.74% orang tingkat perumahan RT/RW.
Tingkat Pemahaman dan Penerimaan Masyarakat terhadap Sumur Resapan & Lubang Biopori Dalam praktek penerapan pembuatan sumur resa-
pan dan lubang biopori di halaman (outdoor), peserta mempunyai kesempatan mengajukan pertanyaan-pertanyaan ke narasumber mengenai hal-hal yang kurang jelas. Dan dari diskusi berkelompok (Focuss Group Discussion) tersebut telah membawa peserta kepada pemahaman dan peningkatan keinginan untuk menerapkan sumur resapan dan lubang biopori di rumahnya masing-masing. Sumur resapan dan lubang biopori yang semula ditujukan untuk membantu peresapan air ke dalam tanah. Namun dalam perkembangannya muncul pemikiran pada lubang biopori untuk mengkombinasikan dengan pengurangan sampah rumah tangga khususnya sampah sayuran/dapur atau daun-daunan yang jatuh dipekarangan sebagai sampah organik. Dari pencatatan hasil Focus Group Discussion dan memperhatikan jalannya diskusi (pertanyaan dan jawaban) saat kegiatan sosialisasi dan penerapan sumur resapan dan lubang resapan biopori dapat digambarkan pengenalan, pandangan, pemahaman dan sikap peserta/masyarakat pada awalnya terlihat pada tabel 5. Dari hasil perhitungan rerata didapat Ṝ= 47,92 %, yang menunjukkan nilai pemahaman masyarakat terhadap bahan materi sosialisasi pada skala interval (1-100 %). Dengan demikian dapat diketahui bahwa tingkat pemahaman masyarakat berada pada kisaran dibawah titik tengah (mid point) frekuensi kumulatif dari pernyataan tersebut, yaitu separoh pemilihan ada di atasnya dan separoh ada di bawahnya. Nilai pemahaman materi sosialisasi kurang, ditunjukkan dengan nilai rerata dari nilai skala atau pernyataan yang disetujui. Tabel 6. menggambarkan hasil perhitungan analisis keterikatan antarisi (asosiasi) antara jenjang jabatan responden terhadap tingkat penerimaan sumur resapan dan alat biopori.
Tabel 5. Nilai Pemahaman Materi
17
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.2 No.1, April 2010 hal 9-20
Tabel 6. Tingkat Penerimaan Sumur Resapan dan Alat Biopori
Dapat dilihat pada tabel di atas menunjukkan bahwa yang mempunyai persepsi tingkat prosentase penerimaan terbesar dalam tahap sosialisasi 49.70% (338 orang) dan penerapan 87.28% (338 orang) adalah tingkat Rukun Tetangga / Rukun Warga. Hal ini dikarenakan jenjang masyarakat terbesar yang tergerak mengaplikasikan secara langsung TTG ini adalah pada level RT/RW dibanding tingkatan jenjang lainnya. Di samping itu, kepadatan tingkat rutinitas pekerjaan pada kantor kecamatan dan kelurahan tidak memungkinkan waktu yang diberikan untuk sosialisasi dan penerapan seluas pada tingkat RT/RW. KESIMPULAN Kondisi pemilihan lokasi dan wilayah penelitian dibagi bertahap sebagai berikut : masyarakat di tingkat
18
Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW) di Kec. Ciputat Kelurahan Cipayung, masyarakat di tingkat perangkat/aparat Kecamatan/Kelurahan bertempat di Kec. Ciputat Timur dengan Kelurahan : Cempaka Putih, Rempoa, Pondok Ranji, Rengas, Pisangan, dan Cirendeu, masyarakat di tingkat Perumahan berlokasi di Perumahan Taman Kedaung, Kel. Kedaung, kec. Ciputat Timur. Pemilihan lokasi kegiatan didasarkan pada strategi yang dibedakan dalam tingkatan kepengurusan masyarakat sesuai tempat tinggalnya. Proses dilakukan melalui tahap-tahap koordinasi stakeholders, sosialisasi, dan penerapan teknologi sumur resapan dan lubang resapan biopori. Pertama, koordinasi stakeholders instansi maupun tokoh masyarakat yang berpengaruh di lokasi setempat. Dalam koordinasi tersebut diutarakan maksud dan tujuan ke-
Persepsi Masyarakat Terhadap Teknologi Sumur Resapan Air Hujan Dan Lubang Resapan Biopori (Studi Kasus : Kabupaten Tangerang Selatan) Bastin Yungga Angguniko giatan pengenalan dan penerapan TTG, dan setelah didapat persetujuan, maka perencanaan sosialisasi atau pengenalan (dua TTG resapan air) dapat direncanakan dengan membuat jadwal dan agenda pelaksanaannya termasuk perencanaan petugas dan peserta sosialisasi dimana jumlahnya akan sangat mempengaruhi besarnya biaya pelaksanaan. Dalam koordinasi tersebut juga dibicarakan mengenai siapa yang mengundang dan siapa yang diundang. Kedua, sosialisasi pengenalan sumur resapan dan lubang resapan air biopori merupakan langkah kedua yang wajib dilaksanakan. Melalui kegiatan sosialisasi atau pengenalan ini diharapkan dapat membentuk pemahaman mengenai pentingnya menyelamatkan lingkungan atau sadar lingkungan (darling) yang kemudian menciptakan keinginan peserta untuk mencoba mempraktekkan penerapannya. Kegiatan sosialisasi diakhiri dengan kesepakatan rencana penerapan percontohan (jumlah alat dan bahan untuk pembuatan contoh lapangan) termasuk konfirmasi waktu pelaksanaannya secara bersama. Ketiga, ketika kesepakatan dari masyarakat sudah didapat (rencana waktu praktek pembuatan sumur resapan dan lubang resapan biopori), maka harus segera disiapkan alat pembuat lubang (bor tangan) dan bahan-bahan lainnya untuk sumur resapan. Pembuatan sumur resapan disesuaikan dengan kondisi fisik berupa : keadaan lahan, kondisi topografi, kemiringan slope aliran bawah permukaan, tinggi muka air tanah, dan kondisi ekonomi dan lingkungan hidup berupa : tingkat ekonomi warga di Kabupaten Tangerang Selatan. Dengan hasil survei pendapatan upah minimum regional (UMR) daerah tersebut berkisar antara Rp 1-1,5juta per bulan, maka desain sumur resapan harus didesain seefektif dan seefisien mungkin. Kalau tidak, pemasyarakatan TTG tidak akan dapat diterapkan dan diduplikasikan masyarakat. Untuk menghemat biaya pembuatan diefektifkan melalui pembuatan lubang penutup menggunakan beton bertulang ringan dan paving block yang cetakannya dengan sangat mudah dibuat warga. Selain itu, spasi antar paving block dan balok bisa digunakan untuk melalukan air. Tingkat persepsi tingkat prosentase penerimaan terbesar dalam tahap sosialisasi 49.70% (338 orang) dan penerapan 87.28% (338 orang) adalah tingkat Rukun Tetangga / Rukun Warga. Hal ini dikarenakan jenjang masyarakat terbesar yang tergerak mengaplikasikan secara langsung TTG ini adalah pada level RT/RW dibanding tingkatan jenjang lainnya. Di samping itu, kepadatan tingkat rutinitas pekerjaan pada kantor kecamatan dan kelurahan tidak memungkinkan waktu yang diberikan untuk sosialisasi dan penerapan seluas pada tingkat RT/ RW. Tingkat pemahaman masyarakat terhadap bahan materi sosialisasi terhadap teknologi resapan air (sumur resapan air hujan dan lubang resapan biopori) dari hasil perhitungan rerata didapat Ŗ= 47,92 % (skala inter-
val 1-100 %). Dengan demikian dapat diketahui bahwa tingkat pemahaman masyarakat berada pada kisaran dibawah titik tengah (mid point) frekuensi kumulatif dari pernyataan tersebut, yaitu separuh pemilihan ada di atasnya dan separoh ada di bawahnya. Nilai pemahaman materi sosialisasi kurang, ditunjukkan dengan nilai rerata dari nilai skala atau pernyataan yang disetujui.
DAFTAR PUSTAKA
Adji Krisbandono dan Radityo Aji Nugroho, 2006. Kajian Penerapan Partisipatif Teknologi Tepat Guna Sumur Resapan Air Hujan. Jurnal Komunitas Volume 2. No.I April 2006. Bastin Yungga Angguniko, 2009. Laporan Akhir Penerapan dan Pemasyarakatan TTG Resapan Air. Jakarta : Balai Litbang Sosek Bidang SDA. Branca,1964; Woodworth dan Marquis, 1957 dalam Walgito, Bimo, 1978. Psikologi Sosial (Suatu Pengantar).Yogyakarta : Andi. Davidoff, 1981 dalam Walgito, Bimo, 1978. Psikologi Sosial (Suatu Pengantar). Yogyakarta : Andi. Dimas Hastama, 2009. Kajian Sosek Pengelolaan Pamsimas. Yogyakarta : Balai Litbang Sosek Bidang Permukiman. Iwan Suprijanto, 2009. Persepsi Masyarakat Terhadap Pembangunan Rumah Susun di Bali. Jurnal Sosial Ekonomi Pekerjaan Umum Vol. 1 No. 1 April 2009. Kamir R.Brata, 2009. Implementasi Lubang Resapan Biopori Untuk Perbaikan Lingkungan (bahan presentasi dalam kegiatan ”Pemasyarakatan dan Penerapan Teknologi Tepat Guna Resapan Air” yang diselenggarakan oleh Balai Litbang Sosek Bidang SDA, Puslitbang Sebranmas, Balitbang Dep.PU, di Tangerang Selatan 22 Juni 2009). Kota Tangerang Selatan (diakses dari http://id.wikipedia. org/wiki/Kota_Tangerang_Selatan, tanggal 29 September 2009) _____, Pedoman Penerapan Teknologi Tepat Guna Bidang Pekerjaan Umum, Pd T-09-2005-A, Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pekerjaan Umum, Jakarta, 2005. _____, Tata Cara Perencanaan Sumur Resapan Air Hujan untuk Lahan Pekarangan, SNI 06-2459-2002, Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pekerjaan Umum, Jakarta, 2002. Moskowitz dan Orgel, 1969 dalam Walgito, Bimo, 1978. Psikologi Sosial (Suatu Pengantar). Yogyakarta : Andi. Susila,Anik 1978. Studi Kelayakan Sosial Ekonomi Kampung Teknologi Jepara (KTJ). Jawa Tengah : UPT Litbang Jepara.
19
20
PERAN INFRASTRUKTUR JALAN TERHADAP DINAMIKA SOSIAL DAN EKONOMI DI KAWASAN PERBATASAN INDONESIA--PAPUA NEW GUINEA (Studi Kasus di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua) Andi Suriadi1, J. Kundjono2, Osnidar3 1
Mahasiswa Program Pascasarjana Sosiologi FISIP-UI Jl. Margonda raya no.1 Depok
2
Puslitbang Sosial Ekonomi Budaya dan Peran Masyarakat Jl. Sapta Taruna Raya no. 26, Pasar Jumat – Jakarta
3
Puslitbang Sosial Ekonomi Budaya dan Peran Masyarakat Jl. Sapta Taruna Raya no. 26, Pasar Jumat – Jakarta
Abstract Papua cross-road border infrastructure development in the border region of RI-PNG is basically expected to contribute in opening up isolated rural areas, thereby increasing social and economic conditions of society. The problem is how the role of the road towards the improvement of social and economic conditions that exist along the Papua cross-road border. Through qualitative research methods, revealed that the social side effects caused by road development is the changing pattern of increasing mobility, and increasingly good social relations among the indigenous tribes of Papua as well as with immigrants. Similarly, on the economic side, the construction of roads has resulted in increased public revenues due to the easy sale of crops and supply of basic necessities. However, it is not always a good road conditions. In the rainy season apparently have the opposite effect, inhibit social relationships occur, increasing transportation costs nearly three times, and increase 40100% of the price of basic commodities. Keywords: role of roads, papua tribes, immigrants, social dynamics, and economic dynamics Abstrak Pembangunan infrastruktur jalan lintas Papua di kawasan perbatasan RI – PNG pada dasarnya diharapkan berperan untuk membuka isolasi daerah-daerah pedalaman sehingga dapat meningkatkan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat. Pertanyaannya adalah bagaimana peran jalan terhadap peningkatan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat yang ada di sepanjang jalan lintas Papua. Untuk itu, melalui metode penelitian kualitatif, terungkap bahwa dari sisi sosial dampak akibat pembangunan jalan adalah meningkatnya berubahnya pola mobilitas, serta semakin baiknya hubungan sosial antara sesama suku asli Papua maupun dengan suku pendatang. Demikian pula, dari sisi ekonomi, pembangunan jalan telah berdampak pada meningkatnya pendapatan masyarakat akibat semakin mudahnya penjualan hasil bumi dan pasokan kebutuhan pokok. Namun demikian, tidak selamanya kondisi jalan baik. Pada musim hujan ternyata berdampak sebaliknya, yakni menghambat terjadi hubungan sosial dan meningkatnya biaya transportasi hampir 3 kali dan kenaikan harga kebutuhan pokok 40-100 %. Kata kunci: peran jalan, suku asli papua dan pendatang, dinamika sosial, dan dinamika ekonomi
21
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.2 No.1, April 2010 hal 21-36
PENDAHULUAN Jika dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya di Indonesia, Papua merupakan salah satu daerah cukup tertinggal. Ketertinggalan Papua sangat terkait dengan kurangnya dukungan prasarana dan sarana yang memungkinkan masyarakatnya melakukan aktivitas sosial dan ekonomi secara memadai. Sebenarnya, hal ini agak ironis karena Papua merupakan daerah yang kaya akan sumber daya alam seperti tambang emas dan hasil hutan. Namun demikian, dalam realitasnya, mayoritas penduduk Papua ternyata hidup dalam kemiskinan dengan kualitas hidup yang rendah di berbagai sektor kehidupan: kesehatan, pendidikan, dan ekonomi. Hasil penelitian UNDP bersama akademisi dan LSM menyebutkan bahwa saat ini terdapat kesenjangan yang besar pada berbagai dimensi di Papua, yakni kesenjangan antar-daerah dan komunitas; antara komunitas kota dan perdesaan/pedalaman; penduduk asli dan pendatang dalam hal akses pelayanan publik, sarana infrastruktur, dan fasilitas pembangunan lainnya (Trijono: 2006: 366). Bahkan, hasil perhitungan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tahun 2005-2006 oleh Badan Pusat Statistik, menunjukkan bahwa Provinsi Papua Barat menempati urutan ke-30 sedangkan Provinsi Papua meraih urutan terakhir yakni ke-33 dari seluruh provinsi di Republik Indonesia (BPS, 2007: 42-43). Ketertinggalan tersebut juga sering dijustifikasi dengan berbagai dalih oleh sejumlah pihak untuk mendiskreditkan Papua. Pertama, kondisi geografis Papua sangatlah luas sehingga tidak dimungkinkan untuk dilakukan pembangunan secara merata. Kedua, faktor kualitas sumber daya manusia yang masih rendah menyebabkan sulitnya penerapan berbagai jenis teknologi. Ketiga, masih adanya ancaman keamanan dari organisasi yang menginginkan Papua merdeka (OPM) sehingga menyulitkan melaksanakan pembangunan hingga ke pedalaman. Keempat, masyarakat suku asli Papua hidup secara menyebar dalam komunitas-komunitas kecil sehingga menyulitkan pelaksana pembangunan menjangkau secara keseluruhan dan serentak. Kelima, prasarana yang dibangun seringkali tidak ekonomis karena jumlah penduduk yang menikmati hasil pembangunan tidak sebanding dengan besarnya biaya yang dikeluarkan atau biaya yang harus dikeluarkan tidak sebanding dengan keuntungan (manfaat) yang diperoleh. Akan tetapi, saat ini dalih-dalih tersebut mulai melemah seiring dengan tumbuhnya kesadaran dan kemauan (political will) terutama di kalangan pengambil kebijakan untuk membangun Papua sehingga dapat berdiri sejajar dengan daerah-daerah lainnya. Sejak Era Reformasi, berbagai kebijakan yang bersifat afirmatif dikeluarkan pemerintah, seperti pemberian status
22
Otonomi Khusus Papua (berdasarkan UU Otsus No. 21 Tahun 2001) yang memberi perhatian khusus kepada pemberdayaan komunitas penduduk asli Papua dan pembentukan Provinsi Papua Barat (berdasarkan Keppres No. 1 Tahun 2003) untuk mempercepat rentang pelayanan publik kepada masyarakat. Secara faktual, salah satu wujud keseriusan pemerintah saat ini adalah adanya program (sebagian sudah dilaksanakan) membangun infrastruktur jaringan jalan di Papua untuk membuka isolasi dan memperlancar arus orang dan barang hingga ke pedalaman-pedalaman. Berdasarkan data dari Ditjen Bina Marga, Departemen Pekerjaan Umum, pembangunan beberapa ruas di wilayah Provinsi Papua dan Papua Barat telah dan akan dilaksanakan meliputi 11 ruas. Di antara 11 ruas tersebut, salah satu di antara yang cukup menarik adalah pembangunan ruas Merauke – Waropko. Pertama, pembangunan ruas tersebut melintasi perbatasan negara Republik Indonesia (RI) -Papua New Guinea (PNG) yang sangat rentan terhadap ancaman ketahanan dan pertanahan nasional. Kedua, terdapat beberapa suku (baik suku asli Papua maupun suku pendatang/transmigran) yang terlintasi oleh ruas jalan tersebut sehingga dari sisi dinamika kehidupan sosial dan ekonomi cukup kompleks, termasuk akses untuk suku di negara Papua New Guinea. Pembangunan jalan ruas Merauke – Waropko di perbatasan Indonesia – Papua New Guinea yang menjadi salah satu prioritas perlu mendapat perhatian kita semua. Bagaimanapun juga, jalan tersebut telah memainkan peran yang sangat strategis terutama bagi perkembangan kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat di sekitarnya. Sebenarnya, penelitian kaitan infrastruktur jalan dengan aspek sosial dan ekonomi sudah pernah dilakukan. Penelitian Direktorat Bina Teknik, Dep. Kimpraswil (2003) pernah meneliti tentang kaitan jalan dengan dampak soaial. Namun, penelitian tersebut lebih mengarah pada pemilihan variabel yakni demografi masyarakat lokal, sosial budaya, sosial ekonomi, dan antisipasi dampak sosial yang dianggap signifikan sebagai dasar kriteria untuk menentukan seleksi prioritas pembangunan jalan. Puslitbang Sebranmas (2005) melakukan penelitian tentang kajian sosial ekonomi masyarakat dalam pembangunan jalan lintas selatan Jawa. Namun, lebih banyak membahas tentang kebijakan serta respons pemda dan masyarakat terkait dengan pembangunan jalan lintas selatan Jawa. Sementara itu, kajian dampak pembangunan jalan terhadap daerah terisolasi telah dilakukan oleh Mashoed (2004), namun lebih terbatas pada pulau Jawa (bukan daerah perbatasan). Akan tetapi, penelitian yang menekankan peran jalan terhadap sisi dinamika sosial
Peran Infrastruktur Jalan Terhadap Dinamika Sosial Dan Ekonomi Di Kawasan Perbatasan Indonesia--Papua New Guinea Andi Suriadi, J. Kundjono, Osnidar dan ekonomi pada kawasan yang terisolasi, khususnya di daerah perbatasan antarnegara seperti di Papua New Guinea sejauh penelusuran literatur belum pernah dilakukan. Penelitian terhadap masalah tersebut di perbatasan sangat penting karena kebijakan pemerintah di masa lalu lebih mengedepankan pendekatan keamanan daripada pendekatan kesejahteraan. Oleh karena itu, penelitian ini berusaha mendeskripsikan tentang: Bagaimana peran jalan terhadap dinamika sosial dan ekonomi masyarakat di kawasan perbatasan Papua--Papua New Guinea? Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan memahami peran jalan terhadap dinamika sosial dan ekonomi masyarakat di kawasan perbatasan Papua – Papua New Guinea. Secara khusus, dinamika sosial yang hendak diketahui dan dipahami meliputi hubungan sosial di antara sesama suku asli, antara suku asli dan pendatang, serta antara suku asli dengan warga negara Papua New Guinea. Sedangkan dari sisi dinamika ekonomi adalah yang terkait dengan pemenuhan kebutuhan pokok dan penjualan hasil-hasil bumi masyarakat. Secara konseptual, dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan, khususnya Pasal 5, disebutkan bahwa jalan memiliki beberapa peran, yakni (a) sebagai prasarana transportasi mempunyai peran penting dalam bidang ekonomi, sosial budaya, lingkungan hidup, politik, pertahanan dan keamanan, serta dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, (b) sebagai prasarana distribusi barang dan jasa merupakan urat nadi kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara, dan (c) merupakan satu kesatuan sistem jaringan jalan menghubungkan dan mengikat seluruh wilayah Republik Indonesia. Berdasarkan Pasal 5 tersebut, dapat dikatakan bahwa jalan sesungguhnya memainkan peran yang sangat vital bagi kelangsungan dan perkembangan berbagai bidang kehidupan masyarakat, termasuk aspek sosial dan ekonomi. Hubungan pembangunan jalan sebagai salah satu subsektor transportasi dengan dinamika sosial ekonomi bukan hanya penting di daerah perkotaan, melainkan juga di daerah perdesaan. Dinamika sosial ekonomi yang dimaksud tersebut mencakup hubungan atau interaksi antarkelompok dengan berbagai motif dalam kehidupan sehari-hari mereka. Implikasi dari pola hubungan antarkelompok terutama ras (etnik) tersebut menurut Banton (dalam Sunarto, 2000: 152-153) dapat diikuti oleh proses akulturasi, dominasi, paternalisme, pluralisme, atau integrasi. Suparlan (2005: 31) menambahkan bahwa hubungan di antara warga yang berbeda sukubangsa yang terjalin sebagai hubungan saling menguntungkan, sebenarnya telah membuat
jembatan penghubung di atas batas-batas sukubangsa tersebut. Jembatan itu berupa hubungan pribadi sebagai persahabatan, perkawinan, atau hubungan sosial, hubungan kerja/ekonomi, dan hubungan politik. Menurut Mc. Kay, Reneche, dan Goshi (dalam Adisasmita, 2005: 175) bahwa pembangunan jalan di perdesaan memberikan pengaruh pada biaya transportasi menjadi lebih rendah dan memudahkan pengiriman pupuk, insektisida, dan sarana produksi lainnya sampai pada tangan petani tepat pada waktu yang diperlukan. Oleh karena itu, perbaikan infrastruktur jalan dan digunakannya kendaraan bermotor memberi manfaat terutama pada produksi hasil-hasil pertanian yang semula daerah pemasarannya sempit atau terbatas yang disebabkan ketidakmampuan sistem transportasi memindahkannya ke pasar yang lebih luas. Dengan perbaikan fasilitas, infrastruktur, serta aksesibilitas ke pasar dan biaya transportasi melalui penetapan harga kompetitif, maka pendapatan riil penduduk di perdesaan akan meningkat. Sebaliknya, jika tidak tersedia fasilitas memadai, maka perusahaan angkutan dapat mempertahankan tarif angkutan pada tingkat yang tinggi sehingga produsen pertanian tidak dapat menjual hasil-hasil pertanian mereka dalam pasar yang kompetetif. Secara empiris, studi Mashoed (2004: 148) di Wonosobo tentang pembangunan jalan terutama untuk membuka daerah terisolasi membuktikan adanya berbagai dampak positif akibat pembangunan jalan tersebut. Dampak positif yang ditimbulkan adalah meningkatnya mobilitas kendaraan; bertambahnya mobilitas orang dari desa-desa terisolasi; meningkatnya gairah masyarakat untuk mengelola sumber daya alam yang ada; serta meningkatnya kebutuhan kesadaran masyarakat akan pendidikan, penerangan, air bersih, dan sebagainya.
METODE PENELITIAN Yang menjadi lokasi penelitian ini adalah jalan lintas Papua di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua. Lokasi tersebut dipilih secara purposif dengan alasan (a) jalan lintas Papua merupakan jalan yang mengikuti garis perbatasan antara Indonesia dan Papua New Guinea sehingga dapat dilihat bagaimana kondisi jalan yang lokasi jauh dari pusat dan sejak dahulu jarang mendapat perhatian dan (b) ruas jalan lintas Papua merupakan salah satu urat nadi yang menghubungkan masyarakat di perbatasan dalam menjalani kehidupan sosial dan ekonomi, baik terhadap masyarakat di ibukota Merauke maupun dengan masyarakat di Papua New Guinea. Adapun waktu pelaksanaan penelitian ini yakni pada tahun 2008. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. Dipilihnya metode kuali-
23
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.2 No.1, April 2010 hal 21-36
tatif karena melalui metode kualitatif, dapat dipelajari kualitas kehidupan sehari-hari, keadaan lingkungan sekitar masyarakat serta berusaha mengkonstruksi realitas dan memahami maknanya (Somantri, 2005: 58). Dengan demikian, fenomena peran jalan terhadap kehidupan sosial budaya dan ekonomi masyarakat perlu dipelajari, dikontruksi, dan dipahami makna dari realitas mencakupinya (Borgatta dan Marie, 1992: 1577) sehingga dapat dipetik pelajaran dari peristiwa tersebut. Untuk memperoleh data, dilakukan empat teknik. Pertama, studi literatur dengan cara melakukan penelusuran kepustakaan dan pencarian data sekunder lainnya seperti hasil penelitian sebelumnya, data lembaga yang berkompeten. Kedua, melakukan wawancara mendalam kepada pemda Merauke, masyarakat lokal (suku asli dan pendatang/transmigran) sebagai pengguna jalan, dan pengusaha angkutan. Ketiga, melakukan observasi lapangan dengan menelusuri jalan lintas Papua dari Merauke hingga Muting (perbatasan Kab. Boven Digoel). Keempat, melakukan diskusi terkelompok terfokus (FGD) kepada para stakeholder (Pemda Kab. Merauke, tokoh masyarakat, dan pelaksana pembangunan jalan/SNVT). Dalam menganalisis data, digunakan empat tahap (Neuman, 1997: 427). Pertama, tahap pemilahan (sortiring) terhadap data yang terkait dengan pembangunan jalan lintas Papua dan dinamika sosial ekonomi masyarakat di Merauke. Kedua, tahap klasifikasi (categorizing) dengan melakukan tipologi tentang data mengenai pola hubungan sosial (penduduk asli dan
pendatang) serta distribusi barang (kebutuhan bahan pokok dan hasil bumi) masyarakat di sepanjang jalan lintas Papua. Ketiga, tahap komparasi dengan melakukan perbandingan antara data yang satu dengan yang lain (keadaan satu kampung dengan kampung yang lain dan hubungannya dengan jalan). Keempat, tahap sintesis (synthesizing) dengan melakukan penafsiran terhadap data peran jalan dan mengaitkannya dengan kerangka konseptual teori yang sudah dibangun sebelumnya sehingga dapat dipahami fenomena peran jalan terhadap dinamika sosial dan ekonomi di kawasan perbatasan.
HASIL DAN PEMBAHASAN a. Gambaran Umum Wilayah Penelitian Pembangunan jalan Lintas Papua (sebagai jalan Nasional) yang menghubungkan Merauke – Sota, Sota – Elikobel, serta Elikobel – Muting (dan Muting – Tanah Merah Kab. Boven Digoel) sepanjang 557 km. Namun, khusus yang masuk ke dalam wilayah Kab. Merauke jalan Nasional tersebut berjarak 271.000 km. Jalan lintas Papua yang merupakan jalan nasional (jalan negara) tersebut juga didukung oleh jalan provinsi sepanjang 233.407 km dan jalan kabupaten sepanjang 1.026.438. Akan tetapi, keadaan jalan di atas berdasarkan statusnya cukup beragam, baik dari segi jenis permukaannya maupun kondisi jalannya. Untuk jelasnya, keragaman keadaan jalan tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 1 Keadaan Jalan dalam Wilayah Kab. Merauke Berdasarkan Statusnya
24
Peran Infrastruktur Jalan Terhadap Dinamika Sosial Dan Ekonomi Di Kawasan Perbatasan Indonesia--Papua New Guinea Andi Suriadi, J. Kundjono, Osnidar Kondisi jalan tersebut secara umum digunakan oleh penduduk Kabupaten Merauke yang pada tahun 2007 berjumlah 175.389 jiwa. Luas wilayah Kabupaten Merauke adalah 45.071 km² dan kalau dikaitkan dengan jumlah penduduk, tingkat kepadatannya hanya mencapai 3,7 per km². Jumlah tersebut terbagi ke dalam 20 Distrik (kecamatan). Namun, jika dilihat dalam lingkup yang lebih kecil, wilayah distrik yang terlintasi oleh Jalan Lintas Papua sebenarnya hanya lima: Distrik Merauke, Distrik Sota, Distrik Oligobel, Distrik Ulilin, dan Distrik Muting.
belajar di perguruan tinggi. Ini mengindikasikan bahwa secara umum pendidikan penduduk di Kab. Merauke relatif masih rendah.
(Sumber: BPS, Kab. Merauke, 2007)
Grafik 2 Tingkat Pendidikan Penduduk di Kab. Merauke
(Sumber: Bappeda Kab. Merauke, 2008 dan Puslitbang Sebranmas, 2008)
Gambar 1 : Wilayah Distrik yang Dilintas Jalan Lintas Papua di Kab. Merauke Jumlah penduduk dari kelima distrik tersebut bervariasi dengan total 78.008 jiwa. Jumlah penduduk terbesar berada di wilayah Distrik Merauke sekitar 80 %, Distrik Muting 6,4 %, Distrik Ulilin 5,2 %, Distrik Elikobel 5 %, dan Distrik Sota 2,8 %. Grafik berikut menunjukkan perbedaan jumlah penduduk pada kelima distrik yang dilintasi jalan lintas Papua.
Rendahnya tingkat pendidikan di Kab. Merauke terkait dengan belum meratanya fasilitas sekolah di setiap kecamatan. Untuk sekolah lanjutan tingkat pertama, masih ada distrik yang belum memiliki sekolah seperti di Distrik Tamboji, Distrik Tubang, Distrik Ngguti, dan Distrik Kaptel. Terlebih-lebih lagi pada sekolah lanjutan atas, masih ada delapan distrik yang belum memiliki sekolah lanjutan atas, padahal jarak antara satu distrik dengan distrik lainnya sangat berjauhan, tetapi prasarana jalannya kurang baik dan sarana transportasi yang terbatas. Namun demikian, khusus pada distrik yang dilewati jalan Lintas Papua, paling tidak penduduk dapat mengakses jalan ini dengan lancar menuju sekolah, seperti di Distrik Ulilin dapat mengakses jalan menuju sekolah di Distrik Muting atau Distrik Elikobel.
b. Dinamika Sosial di Perbatasan Sejak dibangunnya jalan lintas Papua Merauke – Waropko, hubungan sosial di antara masyarakat yang berada di sekitar lokasi yang dilintasi jalan mengalami peningkatan. Hubungan sosial tersebut bukan hanya terjadi di antara suku-suku asli, melainkan juga terjadi antara suku asli dengan suku pendatang seperti para transmigran, pegawai, dan pedagang.
(Sumber: BPS, Kab. Merauke, 2007)
Grafik 1 Jumlah Penduduk Distrik yang Dilalui Jalan Lintas Papuadi Kab. Merauke Dalam hal pendidikan, tingkat pendidikan di Kabupaten Merauke berdasarkan data tahun 2007 menunjukkan bahwa proporsi terbesar masih di tingkat sekolah dasar mencapai 57 % dan hanya 5 % yang saat
Hubungan Sosial di Antara Suku-suku Asli Papua Sebenarnya, di Kabupaten Merauke terdapat beberapa suku-suku besar dan subetnik, namun suku besar dan subetnik tersebut berasal dari satu etnik induk yang bernama Malind Anim. Etnik inilah yang kemudian menyebar dan membentuk sub-subetnik di sekitar wilayah Kabupaten Merauke. Silsilah dan subsubetnik yang tersebar di Kabupaten Merauke dapat dilihat pada bagan di bawah ini.
25
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.2 No.1, April 2010 hal 21-36
(Sumber: Pengelola Taman Nasional Wasur Merauke, 2008)
Bagan 1: Silsilah Suku Besar di Kabupaten Merauke Khusus untuk wilayah yang dilalui oleh Jalan Lintas Papua, dapat dilihat berdasarkan wilayah satuan subetnik. Gambar berikut memperlihatkan adanya beber-
apa satuan wilayah subetnik yang dilintasi pembangunan jalan lintas Papua.
Suku
Bian
Marind
Suku
Yei/
Yeinan
Suku
Kanume
Suku
Marind
Pantai
Gambar 2 Satuan Wilayah Etnik yang Dilalui Jalan Lintas Papua
26
Suku
Marori
Peran Infrastruktur Jalan Terhadap Dinamika Sosial Dan Ekonomi Di Kawasan Perbatasan Indonesia--Papua New Guinea Andi Suriadi, J. Kundjono, Osnidar Akan tetapi, jika ditelusuri jejak historisnya, sebelum dibangunnya jalan lintas Papua, hubungan sosial di antara suku-suku yang ada di wilayah Merauke bagian timur (di sekitar daerah perbatasan) dapat dikatakan masih sangat terbatas. Keterbatasan hubungan sosial tersebut terkait dengan sulitnya aksesibilitas untuk mencapai permukiman suku-suku yang ada di sekitarnya yang letaknya berjauhan. Indikator keterbatasan hubungan sosial digambarkan oleh penduduk di daerah Sota (suku Kanum) bahwa ketika belum ada jalan, untuk mencapai wilayah kota Merauke ditempuh sekitar 2-3 hari jalan kaki. Hal yang sama juga dikatakan oleh warga di Kwel dan Erambu (suku Yeinan) bahwa satu-satunya prasarana untuk mencapai kota Merauke adalah melalui sungai. Untuk mendapatkan barang kebutuhan pokok, masyarakat di Kwel dan Erambu harus menyusuri sungai Maro (Kali Maro) selama 1 hari hingga mencapai Merauke. Intensitas hubungan sosial di antara suku-suku yang masih terikat dalam satu ikatan suku besar sebelum adanya jalan berlangsung seperti biasa sesuai ukuran warga setempat, yakni mengunjungi sanak saudara pada saat ada peristiwa siklus kehidupan seperti pernikahan dan kematian. Namun demikian, dengan adanya pembangunan jalan, hubungan sosial tersebut mengalami peningkatan intensitas. Menurut warga di Sota, dengan adanya jalan yang menghubungkan Sota dan Merauke sebagai jalan utama, mereka sudah mudah melakukan kunjungan sosial dengan kerabat dan sanak keluarga, baik di sekitar Sota (seperti Kampung Yanggandur) maupun Kampung di sekitar Taman Nasional Wasur (suku Marori), bahkan hingga ke Merauke. Hubungan mereka juga bukan lagi hanya sekadar mengunjungi sanak keluarga, melainkan telah meningkat pada hubunganhubungan perdagangan kendatipun sebagian masih bersifat subsisten. Eksistensi jalan tersebut kemudian didukung oleh adanya fasilitas angkutan umum (Damri) yang setiap hari melayani Merauke – Sota semakin mempermudah warga melakukan mobilitas. Angkutan umum Damri tersebut melayani rute Merauke – Sota yakni (a) pukul 7.30 – 10.30 dan (b) pukul 11.00 – 14.00. Ketersediaan prasarana (jalan) dan sarana (angkutan transportasi Damri) menyebabkan hubungan sosial di antara suku-suku yang ada menjadi semakin mudah. Saat ini, dengan mantapnya jalan khususnya Merauke – Sota, warga dapat mengakses jalan menuju kedua lokasi tersebut dengan biaya Rp 25.000,00 dan jika menggunakan ojek sepeda motor, biaya yang harus dikeluarkan berlipat ganda, yakni mencapai Rp 100.000,00. Namun, bagi warga yang tidak mau mengeluarkan biaya transportasi, mereka umumnya menggunakan sepeda,
baik untuk jarak dekat (dalam Kampung) maupun jarak jauh (antarkampung).
Hubungan Sosial Suku Asli dengan Pendatang Sejak adanya program transmigrasi terutama di daerah Muting, hubungan sosial antara suku asli dan pendatang sudah mulai intensif. Transmigran di daerah Muting merupakan bagian dari program transmigrasi di kawasan perbatasan yang berjumlah 44.000 KK (yang mencakup wilayah Kab. Merauke dan Kab. Jayapura) (Sardjadidjaja, 2004: 37). Daerah Muting yang sejatinya termasuk dalam satuan wilayah adat suku Bian Marind dan Muyu, dengan adanya program transmigran menjadikan Muting menjadi bagian yang tak terpisahkan dari para transmigran yang berasal dari suku Jawa dan Sunda. Seiring dengan terbentuknya permukiman transmigran di Muting, hadir pula sukusuku lain yang menjadi pegawai seperti dari Toraja dan NTT serta pedagang dari suku Bugis. Dengan adanya pembangunan dan peningkatan jalan, daerah Muting dan Ulilin yang sebelumnya relatif terisolasi menjadi semakin terbuka. Dampak dari keberadaan jalan lintas Papua juga dapat dicermati, seperti terjadinya heteogenitas suku dan bertambahnya jumlah penduduk secara signifikan. Selain itu, kehadiran pembangunan jalan telah berdampak pada perubahan pola transportasi sebagian besar suku asli Papua. Tradisi penggunaan sarana transportasi perahu yang dapat diakses melalui sungai-sungai seperti sungai Maro serta anak-anak sungai lainnya sudah mengalami perubahan. Perubahan dari moda transportasi sungai (perahu) ke penggunaan jalan (mobil) secara perlahan sudah mulai terjadi sejak adanya pembangunan jalan trans Papua melalui interaksi dengan pendatang. Meningkatnya hubungan sosial dengan para pendatang menyebabkan pola makan pokok yang sebelumnya dari sagu, kini sebagian sudah mulai beralih ke beras (padi). Kehadiran para transmigran terutama di daerah transmigran Muting dan Kuprik telah memberi jaminan stock makanan pokok yang berasal dari beras bagi penduduk asli Papua. Suku asli di Papua juga sudah mulai beralih kendatipun tradisi berburu dan meramu belum sepenuhnya dapat ditinggalkan. Sebaliknya, masyarakat pendatang senantiasa menghargai tradisi dan adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat suku asli Papua. Dalam kaitan dengan pembukaan lahan (termasuk pembangunan jalan), misalnya, pendatang sudah mengetahui adanya lokasilokasi yang dianggap sakral oleh masyarakat asli dan tidak boleh diganggu, apalagi diokupasi. Keberadaan tempat-tempat sakral tersebut sangat terkait dengan sistem kepercayaan yang tumbuh dan hidup di alam
27
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.2 No.1, April 2010 hal 21-36
pikiran segenap suku asli Papua. Oleh karena itu, ketika pendatang hendak menggunakan tanah di wilayah sakral tersebut, mereka dapat memahami bahwa daerah tersebut harus dijaga. Jika perencana pembangunan (sebagian pendatang) hendak membangun jalan, maka trase jalan tersebut harus dibelokkan menghindari titik-titik yang disakralkan penduduk asli. Hal tersebut sangat terkait dengan sistem kepercayaan masyarakat asli (terutama suku Marind Anim) tentang konsep dema bahwa manusia adalah milik tanah; tanah adalah simbol dari seluruh alam. Oleh karena itu, hidup haruslah tertib sesuai hukum alam (Erari, 1999: 85).
(Djohan dan Heri dalam http://katalog.pdii.lipi.go.id). Dalam mitologi, disebutkan bahwa suku-suku yang ada di kawasan perbatasan pada dasarnya berasal dari satu keturunan. Hal ini dapat dilacak dari cerita rakyat setempat (folklor) yang menegaskan bahwa antara suku di Merauke Indonesia dan suku di Bensbach di PNG masih berasal dari satu keturunan. Keberadaan pembangunan jalan lintas Papua pada dasarnya turut berpengaruh dalam mendukung hubungan sosial tersebut (kendatipun tidak terlalu besar karena suku-suku asli memang sudah berada di perbatasan dan tidak ada jalan utama yang meng-
(Sumber: Bappeda Kab. Merauke, 2008)
Gambar 3 : Peta Tempat-tempat Sakral di Kab. Merauke Namun demikian, suku asli Papua juga menawarkan suatu model resolusi jika akan menggunakan sekitar daerah sakral tersebut. Syaratnya adalah memotong sekitar 3 babi yang disertai dengan prosesi adat dengan tujuan agar roh tidak mengganggu tempat tersebut, atau dalam ungkapan bahasa setempat, ”Sebagai syukuran kasih makan tanah.”
Hubungan Sosial dengan Warga Negara Papua New Guniea (PNG) Suku-suku yang bermukim di Distrik Sota, Distrik Merauke, Distrik Ulilin, dan Distrik Muting sebenarnya memiliki ikatan kekerabatan dengan suku-suku di wilayah perbatasan Negara Papua New Guinea (PNG), yang ditandai oleh adanya kesamaan bahasa, adat-istiadat, dan mitologi. Ikatan kekerabatan tersebut terus dibina dan dipererat melalui interaksi dengan masih terjadinya hubungan pernikahan di antara mereka
28
hubungkan dengan PNG). Paling tidak, suku-suku yang ada di Kampung Rawa Biru, Kampung Yanggandur dan sekitar Taman nasional Wasur jika hendak menuju Dearah Weam dan Brensback (PNG) melalui Sota tentu melalui jalan lintas Papua. Keberadaan pembangunan jalan lintas Papua pada dasarnya turut berpengaruh dalam mendukung hubungan sosial tersebut (kendatipun tidak terlalu besar karena suku-suku asli memang sudah berada di perbatasan dan tidak ada jalan utama yang menghubungkan dengan PNG). Paling tidak, suku-suku yang ada di Kampung Rawa Biru, Kampung Yanggandur dan sekitar Taman nasional Wasur jika hendak menuju Dearah Weam dan Brensback (PNG) melalui Sota tentu melalui jalan lintas Papua. Hasil observasi empiris di perbatasan Sota, menunjukkan bahwa hubungan sosial antara suku-suku di Merauke dan Brensback di PNG ditandai oleh adanya
Peran Infrastruktur Jalan Terhadap Dinamika Sosial Dan Ekonomi Di Kawasan Perbatasan Indonesia--Papua New Guinea Andi Suriadi, J. Kundjono, Osnidar tradisi saling mengunjungi ketika ada acara (hajatan). Pada saat dilakukan penelitian lapangan, terdapat serombongan warga Merauke yang hendak menuju PNG dengan alasan menghadiri acara Hari Ulang Tahun Kemerdekaan PNG. Mereka semuanya menggunakan sepeda motor untuk melintas menuju PNG dengan membawa bekal seperti persediaan bahan bakar (bensin). Mereka juga membawa serta anggota keluarga (anak dan isteri) untuk menginap di rumah kerabatnya di PNG. Jalan yang dilalui untuk melintasi perbatasan hanyalah jalan setapak (jalan tanah). Hasil wawancara dengan tokoh masyarakat Sota, bahwa sekitar tahun 1993 memang pernah terjadi semacam ”eksodus” ke PNG. Sebagian warga Sota ter-
paksa ke PNG karena adanya ancaman dari kelompok tertentu. Namun, dalam beberapa tahun kemudian mereka sudah ada yang kembali (sebagian juga belum pulang karena masih mendapat ancaman). Dalam konteks hubungan itulah sebagian mereka juga tetap saling berkomunikasi sebagai orang yang masih terikat hubungan darah. Hubungan suku di Sota, Yanggandur, dan Erambu dengan suku di PNG juga terikat dalam kepemilikan tanah yang dikenal dengan dusun sagu (ladang sagu). Sebagai masyarakat pemburu dan peramu yang mengandalkan makan pokok dari hasil berburu dan tanaman sagu, suku-suku tersebut sering mencari makanan melintasi batas-batas negara.
(Sumber: Bandiyono dkk, 2004)
Gambar 4 Peta Korespondensi Papua -- PNG
29
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.2 No.1, April 2010 hal 21-36
Namun, dari sisi lain, untuk mengantisipasi pelintas illegal dan ancaman kelompok tertentu, TNI mendirikan sejumlah pos pertahanan untuk menjaga keamanan di sepanjang jalan lintas Papua. Menurut warga yang sering melintas, sejak dibangunnya pos pertahanan tersebut ancaman keamanan relatif sudah berkurang. Dengan terjaminnya keamanan di kawasan tersebut, ini berarti kesempatan melakukan hubungan sosial menjadi tidak terhalang lagi. Akan tetapi, di balik eksistensi jalan lintas Papua
tersebut, kondisi jalan yang saat ini sudah mengalami banyak kerusakan telah menyebabkan adanya berbagai hambatan. Kerusakan jalan banyak terjadi pada ruas Sota – Erambu – Ulilin – Muting. Kondisi jalan yang demikian telah menjadi hambatan bagi suku-suku yang ada di perbatasan (suku asli maupun pendatang) dalam melakukan hubungan sosial, termasuk aparat keamanan dalam melakukan patroli dan suplai logistik ke pos-pos pengamanan.
Tabel 2 Dinamika Sosial di Kawasan Perbatasan
(Sumber: Diolah dari data lapangan, 2008)
30
Peran Infrastruktur Jalan Terhadap Dinamika Sosial Dan Ekonomi Di Kawasan Perbatasan Indonesia--Papua New Guinea Andi Suriadi, J. Kundjono, Osnidar
c. Dinamika Ekonomi di Perbatasan Pembangunan jalan lintas Papua (Merauke – Waropko), pada dasarnya untuk membangkitkan aktivitas ekonomi terutama di daerah-daerah yang terlintasi, bahkan hingga ke Kab. Boven Digoel. Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Merauke tahun 2006 daerah seperti Muting, Ulilin, dan Elikobel termasuk dalam Wilayah Pengembangan III (Kawasan Perkebunan Utara) dengan prioritas pengembangan perkebunan, peternakan, dan pertanian lahan kering (agropolitan) (Bappeda Kab. Merauke, 2007: V-17). Dengan demikian, jalan lintas Papua diharapkan dapat mendorong terjadinya kelancaran arus barang (terutama hasil bumi sektor pertanian) dari wilayah-wilayah yang dilintasi. Secara empiris, keberadaan jalan lintas Papua ternyata memegang peranan penting dalam mendorong terjadinya dinamika ekonomi yang semakin intens, di sepanjang lokasi jalan lintas Papua. Dinamika tersebut secara tipologis, dapat dibagi ke dalam dua jenis kategori, yakni (a) distribusi pemenuhan kebutuhan pokok ke pedalaman dan (b) pemasaran hasil-hasil bumi dari pedalaman.
Distribusi Pemenuhan Kebutuhan Pokok ke Pedalaman Sebagai daerah dengan masyarakat yang hidupnya cenderung mengelompok (enclave) dan lokasi yang berjauhan menyebabkan distribusi pemenuhan kebutuhan pokok dari pusat aktivitas ekonomi di Merauke
mengalami dinamika tersendiri. Dinamika tersebut sangat terkait dengan keadaan jalan lintas Papua yang terkait dengan musim (hujan atau kemarau). Jika musim kemarau, distribusi jalan lintas Papua dapat dikatakan lancar, namun menjadi masalah jika musim hujan tiba. Distribusi barang kebutuhan pokok pada musim kemarau seperti gula, bahan bakar, dan minyak goreng dapat terlaksana tanpa hambatan yang berarti (kecuali kalau ada jembatan yang rusak). Pada musim kemarau kendaraan seperti kijang, panther, avansa, xenia, dan APV dapat melintasi jalan lintas Papua hingga perbatasan Boven Digoel. Demikian pula kendaraan seperti truck yang membawa barang kebutuhan pokok juga dapat sampai hingga perbatasan, bahkan ke Tanah Merah (ibukota Kab. Boven Digoel). Konsekuensi dari keadaan ini adalah semakin tumbuhnya peluang-peluang ekonomi baru seperti usaha warung. Data dari Bappeda Kab. Merauke yang terungkap pada saat FGD bahwa di Distrik Ulilin, sebelum tahun 2004 hanya ada 10 pedagang yang mengurus izin usaha, sampai 2008 ini telah ada 59 masyarakat mengurus izin perdagangan. Menurut warga, jika musim kemarau tiba, berbagai jenis kebutuhan pokok dapat dengan mudah diperoleh. Harganya pun tidak semahal dibandingkan jika musim hujan. Warga mengungkapkan, selain kemudahan melakukan perjalanan, keuntungan lain pada musim kemarau adalah perbedaan harga yang lebih rendah. Berikut adalah perbandingan harga barang kebutuhan pada musim kemarau dan musim hujan.
Tabel 2 Dinamika Sosial di Kawasan Perbatasan
(Sumber: Diolah dari data lapangan di Muting, 2008)
31
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.2 No.1, April 2010 hal 21-36
Data di atas menunjukkan bahwa perbedaan harga kebutuhan pokok pada saat musim kemarau (normal) dengan musim hujan berkisar 40-100 %. Terlihat bahwa kebutuhan yang paling tinggi pada saat musim hujan adalah bensin yakni mencapai 100%. Tingginya harga bensin tersebut karena terbatasnya jumlah pemasok (agen pertamina) dan borosnya pemakaian bensin ketika hujan. Besarnya selisih harga pada musim hujan di atas, terkait dengan sulitnya menjangkau daerah-daerah pedalaman Papua, seperti biaya bahan bakar lebih banyak (sering terperosok dalam kubangan), ban cepat aus, dan onderdil mobil cepat rusak. Berikut adalah gambaran nyata kesulitan distribusi kebutuhan bahan pokok dari Merauke.
Pemasaran Hasil-hasil Bumi (Perkebunan dan Peternakan) dari Pedalaman Seperti halnya pada pemenuhan kebutuhan pokok dari luar, pembangunan jalan juga sangat berperan terhadap pemasaran hasil-hasil bumi dari daerah pedalaman ke pusat-pusat perdagangan (Merauke dan Asiki Boven Digoel). Hasil identifikasi lapangan menunjukkan adanya dampak positif yang dirasakan oleh masyarakat akibat adanya jalan lintas Papua. Bagi masyarakat di sepanjang jalan lintas Papua dampak positif yang ditimbulkan adalah meningkatnya pendapatan. Para petani dan peladang dapat dengan mudah menjual hasil buminya dengan cepat. Berikut adalah daftar hasil bumi yang dijual keluar oleh warga di sepanjang jalan lintas Papua.
Tabel 4 Jenis Hasil Bumi (Perkebunan dan Peternakan)
(Sumber: Diolah dari data lapangan, 2008) Sebaliknya, jika hujan terjadi, maka berbagai jenis hasil bumi tersebut tidak dapat laku dengan cepat seperti halnya ketika musim kemarau. Jika harus menjual keluar wilayah, maka warga mengeluarkan biaya yang sangat tinggi untuk biaya angkutan. Sebagai contoh, masyarakat asli di Kampung Kweel harus mengeluarkan biaya Rp 400.000,00 untuk biaya angkutan hasil bumi ke Merauke seperti pisang dan umbi-umbi, padahal jika musim kemarau umumnya hanya mengeluarkan biaya sekitar Rp 150.000,00.
(Sumber: Observasi lapangan, 2008) Gambar 5 Kondisi Kesulitan Distribusi Kebutuhan Pokok Akibat Rusaknya Jalan
32
Peran Infrastruktur Jalan Terhadap Dinamika Sosial Dan Ekonomi Di Kawasan Perbatasan Indonesia--Papua New Guinea Andi Suriadi, J. Kundjono, Osnidar Gambar 6 Kesulitan Menjual Hasil-hasil Bumi Akibat Rusaknya Jalan dan Jembatan
(Sumber: Observasi lapangan, 2008)
Hal yang sama dialami oleh warga di Muting. Masyarakat transmigran terpaksa harus mengeluarkan biaya transportasi ojek untuk menjual hasil bumi ke daerah Asiki (Kab. Boven Digoel) yang merupakan pasar yang terdekat. Jika dihitung antara hasil bumi yang dijual dengan biaya transportasi ojek ke pasar keuntungannya kecil sekali. Artinya, warga harus menjual hasil
bumi dalam jumlah besar, tetapi yang diperoleh hanya sedikit karena harus mengeluarkan biaya transportasi yang besar sekali. Berikut adalah komparasi antara hasil-hasil bumi yang dijual dan biaya transportasi yang harus dikeluarkan oleh seorang ibu yang merupakan transmigran asal Tasikmalaya Jawa Barat di pasar Asiki (kawasan perkebunan sawit).
Tabel 5 Perbandingan Penjualan Hasil Bumi dan Biaya Transportasi Satu Kali ke Pasar Asiki pada Musim Hujan di Muting
(Sumber: Diolah dari data lapangan, 2008)
Data di atas menunjukkan bahwa rusaknya jalan pada musim hujan ternyata berdampak pada rendahnya pendapatan yang diperoleh warga (Rp 220.000,00). Warga yang hidup di pedalaman Papua terpaksa harus menjual hasil bumi (cabe, kacang tanah, kelapa, dan ayam) dalam jumlah yang banyak, tetapi sisanya
hanya sedikit karena untuk biaya ojek yang mencapai Rp 800.000,00 (PP). Bila dibandingkan dengan saat musim kemarau, biaya transportasi hanya sekitar Rp 250.000,00 – Rp 300.000,00 (PP), maka sisa penjualan hasil bumi lebih tinggi sehingga dapat digunakan atau dibelanjakan untuk berbagai kebutuhan lainnya.
33
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.2 No.1, April 2010 hal 21-36
Tabel 6 Dinamika Ekonomi di Kawasan Perbatasan
(Sumber: Diolah dari data lapangan, 2008)
Dari data yang ada, peran jalan terhadap dinamika sosial dan ekonomi di kawasan perbatasan Merauke cukup kuat. Artinya, secara kualitatif terdapat hubungan yang cukup signifikan antara eksistensi jalan yang baik dan mantap terhadap semakin dinamisnya hubungan sosial dan ekonomi di kawasan perbatasan. Demikian pula sebaliknya, kondisi jalan yang rusak menyebabkan terhalangnya terbagai aktivitas sosial dan ekonomi masyarakat di perbatasan. Kondisi ini menunjukkan bahwa amanat yang dituangkan dalam Undang-Undang RI Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan, khususnya Pasal 5 mengenai peran jalan mendapat validasi empiris di lapangan. Dalam Pasal 5 tersebut dijelaskan bahwa jalan berperan (a) sebagai prasarana transportasi mempunyai peran penting dalam bidang ekonomi, sosial budaya, lingkungan hidup, politik, pertahanan dan keamanan, serta dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa di bidang sosial (hubungan sosial sesama suku asli, dengan pendatang, dengan warga Papua New Guinea) menjadi semakin intens dengan tersedianya prasarana jalan. Pada butir selanjutnya disebutkan juga bahwa peran jalan (b) sebagai prasarana distribusi barang dan jasa merupakan urat nadi kehidupan masyarakat,
34
bangsa, dan negara. Artinya, prasarana jalan senantiasa diarahkan sebagai jalur lalu lintas barang dan jasa sebagai urat nadi kehidupan masyarakat. Sebagai urat nadi kehidupan, jalan lintas Papua secara empiris memainkan peran sebagai urat nadi kehidupan bagi masyarakat di sekitar perbatasan, bahkan hingga ke Kab. Boven Digoel. Karena jika jalan lintas Papua terputus (jembatan rusak dan jalan berkubang lumpur), pasti akan memutus urat nadi peredaran barang dan jasa. Barang-barang kebutuhan pokok seperti beras, gula, bahan bakar, dan kebutuhan lainnya yang umumnya dipasok dari Merauke tidak dapat sampai ke tujuan jika jalan tidak berfungsi secara maksimal. Sebaliknya, barang-barang hasil bumi seperti pisang, ubi, dan kelapa juga tidak bisa sampai ke pusat-pusat perdagangan di Merauke jika jalan rusak dan akan membusuk di tengah jalan jika hujan turun berturut-turut dalam beberapa hari. Demikian pula pada butir terakhir ditegaskan bahwa jalan (c) merupakan satu kesatuan sistem jaringan jalan menghubungkan dan mengikat seluruh wilayah Republik Indonesia. Jalan lintas Papua dapat dianalogikan sebagai tali yang melingkari wilayah perbatasan Indonesia di wilayah Merauke. Tali tersebut menjadi ikatan wilayah Republik Indonesia. Hanya saja, kenyataan di lapangan tali tersebut belum tersambung dengan
Peran Infrastruktur Jalan Terhadap Dinamika Sosial Dan Ekonomi Di Kawasan Perbatasan Indonesia--Papua New Guinea Andi Suriadi, J. Kundjono, Osnidar baik dari satu daerah ke daerah lain. Artinya, untuk mengakses wilayah-wilayah di kawasan perbatasan di Merauke, tidak dapat dilakukan semudah mengakses wilayah-wilayah di belahan bagian Tengah dan bagian Barat Indonesia. Jika dilakukan perjalanan dari kota Merauke ke Tanah Merah (ibukota Kab. Boven Digoel) pada musim hujan, maka akan membutuhkan waktu sekitar 6--7 hari. Sesuatu yang tidak mungkin kita dapatkan di belahan bagian Tengah dan Barat Indonesia antar ibukota kabupaten saja harus ditempuh sekitar satu minggu (sebuah ironi), belum lagi biaya transportasi mobil yang harus dikeluarkan dapat mencapai Rp 750.000,00 per orang. Kondisi di atas, jika dikaitkan konsep yang dikemukakan oleh Mc. Kay, Reneche, dan Goshi (dalam Adisasmita, 2005: 175) bahwa pembangunan jalan di perdesaan memberikan pengaruh pada biaya transportasi menjadi lebih rendah, tampaknya memperoleh konfirmasi empiris di lapangan. Dengan adanya jalan lintas Papua, dalam pengertian kondisi baik (musim kemarau), dapat menekan biaya transportasi menjadi lebih rendah dibanding dengan pada saat musim hujan. Pembangunan jalan seperti yang dikemukakan di atas dapat dipahami juga dalam konteks perbaikan dan pemeliharaan jalan. Seandainya perbaikan dan pemeliharaan jalan senantiasa terus dilakukan dalam skala besar, maka tentu fluktuasi biaya transportasi berdasarkan musim (hujan dan kemarau) tidak akan terjadi secara drastis. Dengan demikian, apa yang dikatakan oleh Mc. Kay, Reneche, dan Goshi bahwa perusahaan angkutan akan mempertahankan tarif yang tinggi, tidak mungkin terjadi. Sebaliknya, saat ini dengan kondisi jalan dan jembatan yang rusak, maka selain biaya transportasi menjadi mahal, hasil-hasil pertanian penduduk seperti pisang, umbi-umbian, kelapa, dan sebagainya juga tidak mencapai harga yang maksimal. Demikian pula konsep yang dikemukakan oleh Mashoed (2004: 148) bahwa pembangunan jalan terutama untuk membuka daerah terisolasi memberikan dampak positif seperti meningkatnya mobilitas penduduk terbukti di lapangan. Penduduk yang berada di sepanjang jalan lintas Papua seperti Sota, Kweel, Erambu, Ulilin, dan Muting (baik suku asli maupun pendatang) sejak adanya jalan semakin memudahkan mereka melakukan hubungan sosial dan ekonomi dengan daerah-daerah sekitarnya. Bahkan, seperti yang dikatakan Mashoed akan meningkatkan gairah mengelola sumber daya alam juga terjadi. Jika sebelum adanya jalan umumnya suku asli hanya mengenal ekonomi subsistensi, sejak adanya jalan dan kehadiran transmigran kemudian juga berpengaruh pada pola pengelolaan sumber daya alam yang orientasi pasar. Pola hubungan yang diikuti oleh saling pengertian
dan akulturasi antara suku pendatang dan suku asli seperti penghormatan tempat-tempat sakral serta perubahan ekonomi subsisten ke akumulasi modal, atau integrasi berupa perubahan pola konsumsi sebagian suku asli dari sagu menjadi beras menegaskan apa yang dikatakan oleh Banton (dalam Sunarto, 2000: 152-153) mendapat justifikasi empiris di lapangan. Demikian pula apa yang dikatakan oleh Suparlan (2005: 31) bahwa hubungan warga yang berbeda sukubangsa dapat menjadi jembatan bagi terjalinnya hubungan yang saling menguntungkan, baik dari sisi sosial maupun ekonomi terjadi akibat pengaruh keberadaan jalan lintas Papua di kawasan perbatasan.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan data dan analisis yang dilakukan, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: (a) Peran pembangunan jalan lintas Papua terhadap dinamika sosial di kawasan perbatasan sangat kuat. Kuatnya peran jalan dapat diidentifikasi dari dimensi/indikator intensitas hubungan lebih tinggi, waktu tempuh singkat, jenis moda transportasi lebih bervariasi, heterogenitas sosial lebih tinggi, terjadinya akulturasi, terbentuknya integrasi, dan semakin muv dahnya melakukan mobilitas. Dampaknya adalah semakin baiknya hubungan sosial di antara suku-suku asli (Bian Marind, Yei/Yeinan, Kanume, Marori, dan Marind Pantai); antara suku asli dan pendatang (Jawa, Sunda, Toraja, Flores, Maluku, dan Bugis); serta dengan warga negara Papua New Guinea (terutama di Brensback). (b) Dari sisi dinamika ekonomi, peran pembangunan jalan lintas Papua telah mendorong lancarnya suplai bahan kebutuhan pokok (gula, minyak tanah, bensin, dan minyak goreng) ke daerah pedalaman serta berkurangnya disparitas harga. Demikian pula, hasil bumi (pertanian dan peternakan) yang dijual ke pusat-pusat pemasaran seperti Merauke dan Asiki (Kab. Boven Digoel) juga semakin lancar. Dampaknya adalah semakin meningkatnya pendapatan masyarakat, baik suku asli maupun pendatang (transmigran). (c) Rusaknya jalan lintas Papua terutama pada musim hujan menyebabkan dinamika hubungan sosial dan ekonomi menjadi terhambat. Hubungan sosial terutama suku-suku yang lokasinya merupakan enclave menjadi sangat terbatas. Kerusakan jalan juga telah berdampak pada meningkatnya harga kebutuhan pokok yang berasal dari luar yang mencapai 40-100%. Sebaliknya, harga hasil bumi (pisang, umbi, ketela, kacang tanah, cabe, dan kelapa) mengalami penurunan bila dibandingkan dengan biaya transportasi yang melonjak tajam hingga mencapai 3 kali lipat.
35
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.2 No.1, April 2010 hal 21-36
Saran Berdasarkan kesimpulan yang dikemukakan di atas, dapat diajukan saran sebagai berikut: (a) Saran akademik: perlu adanya penelitian lanjutan yang bersifat kuantitatif untuk melihat besaran secara numerik peran jalan terhadap dinamika sosial dan ekonomi di kawasan perbatasan RI -- Papua New Guinea. (b) Saran kebijakan: perlu adanya perhatian yang lebih serius dan koordinasi dari pemerintah pusat (melalui SNVT) dan pemerintah daerah untuk mengambil langkah-langkah yang bersifat afirmatif (keberpihakan) untuk mengejar ketertinggalan Papua agar dapat berdiri sejajar dengan wilayah lainnya di Indonesia melalui pembangunan jalan dan infrastruktur lainnya. Keberadaan suku-suku asli dan pendatang (transmigran) di pedalaman Papua yang secara perlahan mengalami akulturasi, integrasi, dan peningkatan kesejahteraan perlu difasilitasi dengan infrastruktur jalan yang mantap agar mereka tetap merasa sebagai bagian dari negara kesatuan RI kendatipun berada di jauh dari pusat pemerintahan.
Daftar Pustaka Adisasmita, Rahardjo. 2005. Dasar-dasar Ekonomi Wilayah. Yogyakarta: Graha Ilmu. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Merauke. 2007. Buku Rencana Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Merauke 20072027. Badan Pusat Statistik. 2007. Indeks Pembangunan Manusia 2005-2006. Jakarta: Badan Pusat Statistik. Bandiyono dkk. 2004. Mobilitas Penduduk di Perbatasan Papua-PNG: Sebuah Peluang dan Tantangan. Jakarta: Pusat Penelitian Kependudukan LIPI. Bina Teknik, Ditjen Prasara Wilayah, Dep. Kimpraswil. 2003. Analisa Dampak Sosial dalam Mendukung Pembangunan Jalan Lintas Selatan Kalimantan. Borgatta, Edgar F dan Marie L Borgatta. 1992. Encyclopedia of Sociology. New York: Macmillan Publishing Company. Djohan, Eniarti dan Herry Yogaswara, “Hubungan Sosial Budaya Penduduk Perbatasan Indonesia dan Papua New Guinea: Kekerabatan, Ekonomi dan Mobilitas”. Prosiding Membangun Manusia Berkualitas di Kawasan Timur Indonesia: Menghadapi Era Globalisasi. Dalam http://katalog.pdii.lipi.go.id/index.php/ searchkatalog/downloadDatabyId/1030/1030.pdf. Erari, Karel Phil. 1999. Tanah Kita, Hidup Kita: Hubungan Manusia dan Tanah di Irian Jaya sebagai Persoalan Teologis. Jakarta: Sinar Harapan. Mashoed. 2004. Pemberdayaan Masyarakat Miskin: Membuka Kawasan Isolasi. Surabaya: Papyrus.
36
Neuman, W. Laurence. 1997. Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches. Boston: Allyn & Bacon. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Budaya dan Peran Masyarakat, Balitbang, Departemen Pekerjaan Umum. 2005. Kajian Sosial Ekonomi dan Peran Masyarakat dalam Pembangunan Jalan Lintas Selatan Jawa. _______________. 2008. Kajian Sosial Ekonomi Rencana Pengembangan Jalan Lintas Papua. Trijono, Lambang. 2006, “Otonomi Khusus dan Pembangunan Aras Lokal Papua”, dalam Analisis CSIS, Vol. 35 No. 4 Desember 2006. Sardjadidjaja, Rukman. 2004. Transmigrasi: Pembauran dan Integrasi Nasional. Jakarta: Sinar Harapan. Somantri, Gumilar Rusliwa. 2005. Memahami Metode Kualitatif. (Artikel) Makara Sosial Humaniora. Vol. 9 No. 2 Desember 2005. Sunarto, Kamanto. 2000. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Suparlan, Parsudi. 2005. Sukubangsa dan Huvbungan Antar-Sukubangsa. Jakarta: Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian. Penulis: 1. Mahasiswa Program Pascasarjana Sosiologi FISIP-UI 2. Mantan Kepala Bidang Penyiapan Norma Pedoman Manual dan Diseminasi 3. Jabatan Fungsional PU, Bidang Tata Bangunan dan Perumahan
AKSEPTIBILITAS MASYARAKAT TERHADAP ASPEK OPERASI DAN PEMELIHARAAN JEMBATAN CABLE STAYED PALIBAJA DI SUKABUMI Satrio Sang Raksono Balai Litbang Sosial Ekonomi Bidang Jalan dan Jembatan, PuslitbangSebranmas, Balitbang Kementerian PU Jl. Sapta Taruna Raya No.26 Komplek PU Pasar Jumat - Jaksel Email:
[email protected]
Abstract The construction of Palibaja cable stayed bridge in Sukabumi replacing the old broken obsolete suspension bridge. The construction of the bridge was an effort on imporving accessbility in order to make easier trade and people mobility. Society’s mobility is stranded by bridge’s load capacity and its wide. Thus condition needs a participative Operation and Maintenance (OM) that involves the role of the society. This role was intended so that the bridge could optimally functioned, and also ensuring bridge’s security and conservation. For long time duration, the OM for public bridge always held by the authority and its partner (contractor). Meanwhile, independently people has done OM on a simple bridge. That experience is considered as a social capital. The process to preparing society’s involvement becomes an important aspect on bridge’s participative OM. Therefore, it is necessary to conduct a research in order to understand society’s perception regarding their acceptibility to the importance of the OM activity. The purpose of this paper is (a) to estimate the desire and ability to operate and maintain bridge; (b) to map out the social capital to develop association enrolled in OM; (c) to map out the type of transgression related to OM; (d) to extract society’s perception regarding the importance of transgression prevention. The research method not only uses the distribution of questionairres and Focus Group Discussion (FGD) to gain primary data, but also uses secondary data examination. The analysis is in a qualitative approach. The results shows that societly’s acceptibility on OM aspect of cable stayed bridge is high enough. Keywords : Operation and Maintenance, Cable-Stayed Bridge, Acceptibility, Social Mapping, Social Capital Abstrak Pembangunan jembatan cable stayed Palibaja di Sukabumi menggantikan jembatan gantung sederhana yang telah rusak. Jembatan ini merupakan upaya peningkatan fungsi aksesibilitas sehingga memudahkan terjadinya pertukaran barang dan jasa serta mobilitas manusia. Kebutuhan mobilitas masyarakat terbatas oleh kapasitas beban dan lebar jembatan. Kondisi tersebut memerlukan operasi dan pemeliharaan (O&P) partisipatif pemanfaatan jembatan yang melibatkan unsur masyarakat. Keterlibatan masyarakat dimaksudkan agar jembatan berfungsi optimal serta pengamanan dan pelestarian pemanfaatan jembatan tetap terjamin. Selama ini O&P Jembatan yang dibangun pemerintah selalu dilakukan oleh pemerintah dengan pihak mitra kerja (swasta). Masyarakat secara mandiri telah melaksanakan O&P untuk jembatan sederhana. Pengalaman tersebut dapat diartikan sebagai modal sosial. Proses persiapan keterlibatan masyarakat menjadi sangat penting terkait O&P partisipatif pemanfaatan jembatan. Untuk itu perlu dilakukan penelitian guna memahami persepsi masyarakat tentang bagaimana akseptibilitas masyarakat terhadap pentingnya O&P jembatan. Tujuannya untuk (a) menilai kemauan dan kemampuan mengoperasikan dan memelihara jembatan; (b) memetakan modal sosial untuk pembentukan kelompok dalam melaksanakan O&P; (c) memetakan jenis-jenis pelanggaran yang berhubungan dengan O&P; (d) menggali persepsi masyarakat tentang pentingnya tindakan mencegah pelanggaran. Metode penelitian dilakukan dengan cara penyebaran kuesioner, wawancara mendalam dan focus group discussion (FGD) untuk menggali data primer serta penelusuran data sekundair yang diperlukan. Analisis dilakukan melalui pendekatan kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa akseptibilitas masyarakat terhadap aspek O&P jembatan cable stayed cukup tinggi. Kata Kunci : Operasi dan Pemeliharaan, Jembatan, Akseptibilitas
37
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.2 No.1, April 2010 hal 37-45
PENDAHULUAN Jembatan merupakan satu kesatuan sistem jaring an jalan. Undang – Undang No. 38 tahun 2004 menyiratkan bahwa jalan sebagai bagian prasarana transportasi mempunyai peranan penting terutama dalam mendukung aspek politik, ekonomi, sosial budaya, serta pertahanan dan keamanan, dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Ketersediaan infrastruktur bidang jalan dan jembatan melalui pembangunan jembatan cable stayed Palibaja di Sukabumi diharapkan sebagai salah satu penunjang pertumbuhan ekonomi pada wilayah tersebut. Prasarana ini sebagai fungsi peningkatan aksesibilitas sehingga memudahkan terjadinya pertukaran barang dan jasa serta mobilitas manusia. Jembatan Palibaja berdiri di atas sungai Cimandiri menghubungkan dua wilayah, desa Sindang Resmi kecamatan Jampang Tengah di sebelah selatan sungai yang merupakan daerah terisolir dengan desa Parakan Lima kecamatan Cikembar di sebelah utara yang cukup tersedia fasilitas umum. Fungsi jembatan sebagai pendukung kemudahan akses transportasi darat, diharapkan dapat membuka isolasi sosial ekonomi pada masyarakat desa tertinggal dengan munculnya multiplier effect seperti bangkitan ekonomi masyarakat lokal (swasta) melalui pengembangan faktor produksi termasuk sektor pariwisata jika memungkinkan. Sebelum ada jembatan masyarakat menggunakan transportasi sungai dengan moda perahu untuk memenuhi kebutuhan yang terdapat di wilayah seberang. Keadaan ini berlanjut sampai dibangunnya jembatan gantung sederhana (lebar 1 m) untuk pejalan kaki pada tahun 1994. Jembatan ini dibangun oleh Pemerintah Daerah dan swadaya masyarakat, terbuat dari kayu menggunakan teknologi sederhana. Prasarana tersebut digunakan untuk transportasi termasuk mengangkut hasil produksi pertanian, menggunakan tenaga manusia dengan cara dipikul sampai ke seberang atau menggunakan moda sepeda motor. Penyeberang dikenakan ongkos sukarela jika menggunakan jembatan tersebut untuk biaya operasi dan pemeliharaan (O&P) yang dilaksanakan secara swadaya oleh masyarakat. Seiring berjalannya waktu, jembatan yang rentan terhadap kerusakan tersebut kondisinya rusak berat dan membahayakan. Pembangunan jembatan cable stayed menggantikan jembatan gantung sederhana yang telah rusak tersebut, dinamakan jembatan Palibaja. Jembatan cable stayed di Sukabumi memiliki dimensi lebar hanya 2,2 meter dan kapasitas beban berjalan maksimal 2 ton selayaknya digunakan untuk pejalan kaki dan angkutan beban ringan sepeda motor. Masyarakat berharap jembatan juga dapat dilewati kendaraan roda 4, minimal untuk membawa hasil per-
38
tanian dan mengangkut orang sakit (ambulan). Pertimbangan kebutuhan masyarakat itu dimungkinkan dengan syarat antara lain operasi dan pemeliharaan day to day utamanya pengaturan perlintasan penggunaan jembatan karena tidak memungkinkan bersilang. Guna mewujudkan kebutuhan masyarakat serta menghindari konflik pemanfaatan jembatan, diperlukan kelembagaan Operasi dan Pemeliharaan (O&P) partisipatif yang melibatkan instansi pemerintah, masyarakat dan swasta (pengguna, pemanfaat, mitra kerja instansi). Selama ini O&P Jembatan yang dibangun pemerintah selalu dilakukan oleh pemerintah dengan pihak mitra kerja (swasta) saja. Pengalaman menunjukkan bahwa masyarakat secara mandiri telah melaksanakan O&P untuk jembatan sederhana. Pengalaman aktifitas O&P yang pernah dilakukan masyarakat terhadap jembatan gantung sederhana dapat diartikan sebagai modal sosial yang dimungkinkan untuk melaksanakan O&P partisipatif pemanfaatan jembatan cable stayed. Selain itu keterlibatan modal sosial dalam bentuk kerelaan masyarakat untuk melepas tanah dan tanaman maupun bangunan yang digunakan untuk pelebaran jalan dan pembangunan jembatan merupakan motivasi tersendiri dalam berpartisipasi melaksanakan O&P partisipatif. Pembangunan jembatan cable stayed di Sukabumi telah melibatkan partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan pada pelaksanaannya sebagai tenaga kerja. Pasca pembangunan diharapkan keterlibatan masyarakat dalam operasi dan pemeliharaan. Namun tidak seluruh tanggung jawab O&P diserahkan pada masyarakat, mengingat jembatan cable stayed memerlukan teknologi yang membutuhkan pengetahuan teknis dari stakeholder pemerintah daerah dan pemerintah pusat serta keterlibatan swasta sebagai mitra kerja. Masyarakat perlu terlibat dalam operasi dan pemeliharaan sederhana sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Perihal operasi yang dimungkinkan dapat dilakukan masyarakat antara lain mengatur lalu lintas di jembatan, memeriksa kelayakan jenis/dimensi dan beban kendaraan, melarang pelintas berhenti di jembatan, mencatat hal-hal yang perlu, mencegah perusakan jembatan, menghidupkan dan mematikan lampu penerangan. Untuk pemeliharaan dimungkinkan masyarakat dapat berperan antara lain pencegahan/ pengamanan jembatan terhadap perlakuan negatif, pembersihan tumbuhan liar dan sampah di sekitar jembatan, pembersihan saluran air/drainase pada jalan/lantai jembatan, pemasangan perbaikan rambu. Proses persiapan keterlibatan masyarakat menjadi sangat penting terkait O&P partisipatif pemanfaatan jembatan cable stayed agar berfungsi optimal
Akseptibilitas Masyarakat Terhadap Aspek Operasi Dan Pemeliharaan Jembatan Cable Stayed Palibaja Di Sukabumi Satrio Sang Raksono serta pengamanan dan pelestarian pemanfaatan jembatan tetap terjamin. Untuk itu perlu dilakukan penelitian guna memahami persepsi masyarakat tentang bagaimana akseptibilitas masyarakat terhadap pentingnya O&P jembatan. Tujuannya untuk (a) menilai kemauan dan kemampuan mengoperasikan dan memelihara jembatan; (b) memetakan modal sosial untuk pembentukan kelompok dalam melaksanakan O&P; (c) memetakan jenis-jenis pelanggaran yang berhubungan dengan O&P; (d) menggali persepsi masyarakat tentang pentingnya tindakan mencegah pelanggaran Jembatan cable stayed di Sukabumi dibangun sesuai kebutuhan masyarakat sekaligus untuk keperluan penelitian mulai tahun 2006 dan telah diselesaikan pada tahun 2009 oleh Puslitbang Jalan dan Jembatan sebagai jembatan uji coba. Puslitbang Sebranmas (Balai Litbang Sosek Jatan) meneliti aspek sosial ekonomi terkait optimalisasi jembatan tersebut. Salah satu bentuk upaya optimalisasi adalah pelaksanaan Operasi dan pemeliharaan patisipatif. Puslitbang Sebranmas telah mengadakan penelitian tentang O&P partisipatif sebelumnya antara lain terkait system irigasi di Cihea, pengamanan pantai di Jepara, namun ruang lingkup pelaksanaan O&P berbeda dengan O&P partisipatif pemanfaatan jembatan cable stayed di Sukabumi. Pada penelitian sebelumnya kelompok masyarakat mempunyai struktur tersendiri dan terpisah dalam melaksanakan O&P. Sementara O&P partisipatif pemanfaatan jembatan cable stayed mensinergikan instansi dan kelompok masyarakat menjadi satu struktur kelembagaan untuk melaksanakan O&P.
pustakaan, internet, jurnal yang berhubungan dengan penelitian ini. Metode Penentuan Sampel didasarkan atas populasi ruang (area population) meliputi wilayah yang terpengaruh dampak pembangunan jembatan cable stayed yang berada di dua desa dan dua kecamatan yaitu desa Parakanlima Kecamatan Cikembar dan Desa Sindangresmi Kecamatan Jampang Tengah. Pengambilan sampel dilakukan secara proporsional berdasarkan kepentingan dan kedekatan tehadap jembatan sesuai populasi area, yakni : (a) Terhadap warga yang berdomisili di radius 500 m dari jembatan, Dusun Parakan Lima dan Dusun Bantarjati (b) Terhadap warga yang berdomisili di luar radius 500 m dari jembatan : • Dusun Parakanlima, Mekarsari, Cijolang (Desa Parakanlima Kecamatan Cikembar) • Dusun Bantarjati, Kubang, Sampalan ( Desa Sindangresmi Kecamatan Jampang Tengah) Sehubungan dengan pertimbangan keterbatasan tenaga, waktu dan biaya, sample diambil untuk mendapatkan responden dari unsur masyarakat sebanyak 40 orang. Untuk melengkapi informasi dilakukan wawancara dengan unsur instansi terkait dari Desa, Kecamatan dan Kabupaten. Penentuan Responden menggunakan purposive sampling. Responden dipilih berdasarkan unit analisis keluarga, sedangkan unit observasi adalah anggota ke luarga yang sudah dewasa. Ketentuan pemilihan responden yakni satu responden mewakili satu KK (susunan kepala keluarga), responden lainnya diambil dari KK lain.
METODE PENELITIAN
KAJIAN PUSTAKA
Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Sukabumi pada tahun 2009, tahun pertama dari kegiatan penelitian sosial ekonomi pembangunan jembatan cable stayed selama 2 tahun. Penelitian ini merupakan penelitian terapan (applied research) menggunakan tipe action research. Metode analisis menggunakan analisis kualitatif didasarkan atas proses persiapan keterlibatan masyarakat terkait O&P melalui persepsi masyarakat untuk mengetahui akseptibilitasnya. Analisis dilakukan dengan bantuan tabulasi silang atas data yang telah dikategorikan dalam perhitungan prosentase. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah : (a) Data Primer diperoleh dari pengamatan, wawancara mendalam, penyebaran kuesioner (wawancara terstruktur), Focus Group Discussion (FGD). (b) Data Sekunder diperoleh dari data yang sudah tersedia pada Desa, Kecamatan dan Kabupaten, per-
Proses persiapan masyarakat dan stakeholder pemerintah terkait O&P sebenarnya merupakan bentuk kombinasi pendekatan Top-Down dan Bottom-Up Planning. Konsep yang digunakan dalam pendekatan penelitian ini yakni : (a) Participatory Rural Appaisal (PRA), Metode pendekatan ini merupakan pengembangan dari berbagai metode parsitipatif yang diangkat dari tradisi masyarakat setempat, sehingga bersifat pragmatis karena memiliki keleluasaan untuk menggunakan berbagai teknik dari metode-metode parsitipatif lainnya setelah disesuaikan dengan keperluannya. PRA bertujuan memberdayakan masyarakat supaya kebergantungan kepada pihak luar secara berangsur-angsur berkurang. PRA berorientasi pemenuhan kebutuhan atau tuntutan masyarakat setempat, sehingga dapat menumbuhkan sense of belonging terhadap program dan kegiatan-kegiatan pembangunan karena man-
39
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.2 No.1, April 2010 hal 37-45
faatnya dirasakan langsung oleh masyarakat. Aspek ”apraisal” proses belajar masyarakat dan tujuan praktis pengembangan program. (b) Pendekatan Aras Makro Dalam pendekatan ini yang diteliti adalah sistem besar terkait dengan domain sasaran pembangunan lingkungan yang lebih luas, antara lain Pembangunan Wilayah, Pembangunan Sektoral, Pembangunan Berkelanjutan, Pembangunan Infrastruktur, Pembangunan Sosial Ekonomi. (Suharto, 2005).
Teori Pembangunan Beberapa teori tentang pembangunan menyebutkan antara lain : Pembangunan adalah usaha untuk memajukan kehidupan masyarakat dan warganya (Budiman, 2001). Pembangunan dapat diartikan sebagai proses memajukan atau memperbaiki suatu keadaan melalui berbagai tahap secara terencana dan kesinambungan (Connyes dan Hills, 1984). Menurut United Nation Development Program (1990), pembangunan ditekankan pada pembangunan manusia yang merupakan suatu proses untuk mencapai tujuan besar yang menjadi pilihan masyarakat (proses of enlarging people choices). Berdasarkan beberapa teori diatas dapat disimpulkan bahwa pembangunan (Development) adalah suatu proses perubahan nilai-nilai dalam kehidupan masyarakat menuju ke arah yang lebih baik secara berencana dan berkesinambungan untuk kesejahteraan masyarakat. Pada UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah disebutkan bahwa otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Disebutkan dalam Penjelasan PP No. 72 tahun 2005 tentang Desa bahwa landasan pemikiran pengaturan mengenai desa sebagai berikut : (a) Keanekaragaman, yang memiliki makna bahwa segala sesuatu yang menyangkut desa dapat disesuaikan dengan asal usul dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat, (b) Partisipasi, memiliki makna bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa harus mampu mewujudkan paran aktif masyarakat, (c) Otonomi asli, memiliki makna bahwa kewenangan pemerintahan desa dalam mengatur dan mengurus masyarakat setempat didasarkan pada hak asal usul dan nilai-nilai sosial budaya yang terdapat pada masyarakat setempat namun harus diselenggarakan dalam perspektif adminstrasi pemerintahan negara yang selalu mengikuti perkembangan jaman,
40
(d) Demokratisasi, memiliki makna bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Desa harus mengakomodasi aspirasi masyarakat yang diartikulasi dan diagregasi melalui BPD dan Lembaga Kemasyarakatan sebagai mitra Pemerintah Desa, (e) Pemberdayaan masyarakat, memiliki makna bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Desa ditujukan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat melalui penetapan kebijakan, program dan kegiatan yang sesuai dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat. Perundang-undangan diatas, bermakna bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa harus mampu mewujudkan peran aktif masyarakat agar senantiasa memiliki dan turut serta bertanggungjawab terhadap perkembangan kehidupan bersama.
Teori Partisipatif Partisipasi merupakan proses anggota masyarakat sebagai individu maupun kelompok sosial dan organisasi, mengambil peran serta ikut mempengaruhi proses perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan kebijakan-kebijakan yang langsung mempengaruhi kehidupan mereka (Sumarto, 2004 dalam Randy, 2009). Perencanaan pembangunan tidak dapat efektif, kecuali bila dilakukan dengan pengenalan, pemahaman, dan pemanfaatan struktur kekuatan pemerintah dan nonpemerintah” (Branch, 1995 dalam Randy, 2009) Manfaat Partisipasi (1) Program dan pelaksanaannya lebih aplikatif terhadap konteks sosial, ekonomi dan budaya yang sudah ada, sehingga memenuhi kebutuhan masyarakat. Ini menyiratkan kebijakan desentralisasi. (2) Menciptakan rasa memiliki dan tanggung jawab di antara semua pihak terkait dalam merencanakan dan melaksanakan program, sehingga dampaknya dan begitu pula program itu sendiri berkesinambungan. (3) Perlunya memberikan peran bagi semua orang untuk terlibat dalam proses, khususnya dalam hal pengambilan dan pertanggungjawaban keputusan sehingga memberdayakan semua orang yang terlibat (terberdayakan). (4) Kegiatan-kegiatan pelaksanaan menjadi lebih obyektif dan fleksibel berdasarkan keadaan setempat. (5) Transparansi semakin terbuka lebar akibat penyebaran informasi dan wewenang. (6) Pelaksanaan proyek atau program lebih terfokus pada kebutuhan masyarakat (Randy, 2009) Hakekat partisipasi yang telah disebutkan dalam teori diatas cukup beralasan untuk melibatkan masyarakat sekitar jembatan untuk melaksanakan O&P. Pelibatan masyarakat tidak hanya datang dengan tan-
Akseptibilitas Masyarakat Terhadap Aspek Operasi Dan Pemeliharaan Jembatan Cable Stayed Palibaja Di Sukabumi Satrio Sang Raksono gan kosong melainkan berbekal modal sosial berupa pengalaman O&P jembatan gantung sederhana. Seperti yang dikatakan Brehm dan Rahn (Hurairah, 2008) bahwa modal sosial adalah jaringan kerjasama diantara warga masyarakat yang memfasilitasi hubungan sosial (social network). HASIL DAN PEMBAHASAN Akseptibilitas masyarakat terhadap aspek O&P partisipatif pemanfaatan jembatan cable stayed merupakan rangkaian proses persiapan masyarakat guna optimalisasi dan pelestarian fungsi jembatan. Hasil pengumpulan data persepsi-persepsi masyarakat mengenai operasi dan pemeliharaan (O&P) jembatan cable stayed dikelompokkan dalam persepsi penting melalui tabulasi silang. Pembahasan persepsi masyarakat menjelaskan akseptibilitas masyarakat terkait O&P merupakan jawaban yang menggambarkan proses persiapan keterlibatan masyarakat dalam O&P partisipatif pemanfaatan jembatan cable stayed di Sukabumi.
menyatakan tidak perlu partisipasi masyarakat dalam O&P jembatan cable stayed. Persepsi pesimis ini menganggap masyarakat tidak mampu mengerjakan. Persepsi sebagian kecil masyarakat ini menyatakan tidak tahu mengenai pelaksanaan O&P jembatan gantung sederhana. Persepsi perlunya partisipaasi (keterlibatan masyarakat) menunjukkan bahwa terdapat kemauan masyarakat dengan antusias yang besar untuk mengoperasikan dan memlihara jembatan. Kemampuan masyarakat ditinjau dari pengetahuan aktivitas O&P tergolong cukup tinggi. Tabel 2. TABULASI SILANG KEMAUAN DAN KEMAMPUAN MEMBAYAR INSENTIF PELAKSANA O&P
kemauan membayar insentif pelaksana O&P
Tabulasi Silang
x1 (%)
x2 (%)
Kemampuan membayar
y1 (%)
27,5
0
Jumlah (%) 27,5
pelaksana O&P
y2 (%)
0
72,5
72,5
27,5 72,5 100 x1 : bersedia membayar insentif pelaksana O&P per bulan x : sukarela membayar insentif pelaksana O&P per pelintas jembatan 2 y : 1000 – 2000 rupiah/KK/bulan 1 y : 500 – 1000 rupiah/pelintas jembatan sukarela (boleh tidak membayar) perlunya 2 Persepsi tentang partisipasi masyarakat terkait O&P mencerminkan kemauan masyarakat men Sebanyak 27,5 % warga menyatakan goperasikan dan memelihara jembatan. Sedangkan Ke- bersedia membayar insentif pelaksana O&P dengan kemammampuan masyarakat dari persepsi tentang modal so puan membayar per bulan sebesar antara Rp 1.000,sial berupa pengalaman melaksanakan O&P jembatan dengan Rp 2000,-. Sedangkan 72,5 % warga gantung sederhana yang mereka miliki sesuai tabulasi sampai menyatakan sukarela yang berarti boleh membayar silang (Tabel 1). Selain itu juga digali persepsi kemauan dengan kemampuan membayar per pelintas jembatan membayar O&P dan kemampuan untuk kepentingan sebesar antara Rp 500,- sampai dengan Rp 1.000,-. minimal untuk intensif petugas pelaksana O&P jem Jembatan cable memungkinkan stayed tidak untuk batan seperti ditunjukkan pada tabulasi silang (Tabel 2). diberlakukan pembayaran sistem tol. Atas kehendak Tabel 1. TABULASI SILANGPARTISIPASI DAN MODAL dan kreatifitas warga jika dilakukan pungutan/iuran SOSIAL O&P PARTISIPATIF untuk dana insentif pelaksana O&P, menunjukkan will- Tabulasi Silang partisipasi (melibatkan masyarakat) ingness to pay and ability to pay masyarakat tergolong rendah. Jumlah (%) x1 (%) x2 (%) Modal Sosial y1 (%) 35 0 35
Kemauan dan kemampuan mengoperasikan dan memelihara jembatan
(Pengalaman O&P
y2 (%)
35
0
35
Jembatan Gantung)
y3 (%)
25
5
30
Konklusi :
Berdasarkan persepsi kemauan tinggi, kemampuan Tabulasi Silangwillingness partisipasi masyarakat) cukup serta to pay (melibatkan and ability to pay renx (%) Jumlah (%) x (%) dah dapat dikemukakan bahwa akseptibilitas masyara35 0 35 y (%) kat terhadap aspek O&P jembatan dapat digolongkan 35 35 pembentukan y (%) cukup tinggi untuk kemauan dan0 kemampuan dalam 10 0 10 kelompok y (%) mengoperasikan dan memelihara jembatan. Sebagian besar (95%) masyarakat menyatakan 15 5 20 y (%) kegiatan pelaksanaan operasi dan pemeliharaan perlu 95 5 100 partisipasi melibatkan masyarakat. Masyarakat yang Modal sosial untuk pembentukan kelompok dan optimis mampu melaksanakan O&P jembatan berdasar melaksanakan O&P; pengalaman O&P jembatan gantung sebagai modal so Modal sosial merupakan jaringan kerjasama dian sial, meskipun tidak tahu aktivitas O&P jembatan gantara warga masyarakat yang memfasilitasi hubungan tung (25%), kurang (35%) masyarakat sosial (social network) termasuk dapam pembentukan tahu disamping yang tahu (35%). Hanya sebagian kecil (5%) masyarakat kelompok dan melaksanakan O&P jembatan. Untuk itu
95 5 x1 : perlu partisipasi masyarakat x2 : tidak perlu y1 : tahu aktivitas O&P jembatan gantung sederhana y2 : kurang tahu aktivitas O&P jembatan gantung sederhana y3 : tidak tahu aktivitas O&P jembatan gantung sederhana
100
1
2
1 2 3 4
41
Tabulasi Silang pembentukan kelompok Jumlah x2 (%) x3 (%) x4 (%) (%) x1 (%) 30 30 0 0 60 kemauan menjadi y1 (%) 5 5 10 20 40 anggota kelompok y2 (%) 35 35 10 20 100 x1 : pembentukan kelompok memanfaatkan kelompok yang telah ada x2 : pembentukan kelompok baru x3 : terserah dusun yang berdekatan dengan jembatan x4 : tidak perlu dibentuk kelompok y1 : bersedia terlibat dalam anggota kelompok y2 : tidak bersedia terlibat dalam anggota kelompok
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.2 No.1, April 2010 hal 37-45
dapat dipetakan melalui modal sosial tadi guna mengukur akseptibititas masyarakat terkait O&P jembatan seperti ditunjukkan pada tabulasi silang (Tabel 3 dan Tabel 4). Tabel 3. TABULASI SILANG PARTISIPASI DAN PEMBENTUKAN KELOMPOK Tabulasi Silang
partisipasi (melibatkan masyarakat) x1 (%)
x2 (%)
Jumlah (%)
y1 (%)
35
0
35
pembentukan
y2 (%)
35
0
35
kelompok
y3 (%)
10
0
10
y4 (%)
15
5
20
95
5
100
x1 : perlu partisipasi masyarakat
x2 : tidak perlu partisipasi masyarakat y1 : perlu pembentukan kelompok dengan memanfaatkan kelompok yang telah ada y2 : membentuk kelompok baru y3 : terserah dusun yang berdekatan dengan jembatan y4 : tidak perlu dibentuk kelompok
Hampir seluruh masyarakat (95%) menyatakan per lunya dalam pelaksanaan kegiatan O&P, 70 % partisipasi berpendapat bahwa dalam pelaksanaan kegiatan O&P perlu dibentuk keompok Pembentukan (kelembagaan). kelembagaan dilakukan dengan memanfaatkan kelom pok yang telah ada 35%, dilakukan denganpemben tukan kelompok baru 35 %. Sebagian (10%) masyara blanko, kat menyatakan persepsi ini dapat diartikan menyerahkan dibentuk kelompok atau tidak sama saja, pengambilan pada warga yang bermukim keputusan terdekat (radius 500m dari jembatan). 15 % warga me nyatakan perlu partisipasi akan tetapi tidak perlu diben tuk kelembagaan. Sedangkan sebagian kecil (5 %) warga Tabulasi Silang pembentukan kelompok Jumlah xmenyatakan : perlu partisipasi tidak masyarakat perlux patisipasi (%) x (%) masyarakat x (%) x (%) dan (%) tidak x : tidak perlu partisipasi masyarakat (%) 30 30 0 0 60 menkemauan menjadi y perlu dibentuk kelompok/lembaga, persepsi ini pembentukan dengan memanfaatkan y : perlu 5 5 10kelompok 20 yang40telah ada anggota kelompok kelompok y (%) jembatan cable 35stayed10 lebh20 tepat men: membentukO&P kelompok baru ygenggap 35 100 y : terserah dusun yang berdekatan dengan kelompok jembatanyang telah ada : pembentukan kelompok memanfaatkan x urusan jadi pemerintah, bukan urusan masyarakat. perlu dibentuk kelompok y : tidak x : pembentukan kelompok baru yang berdekatan tentang dengan jembatan x : terserah dusun Persepsi masyarakat perlunya pembentux : tidak perlu dibentuk kelompok kany kelompok melibatkan partisipasi masyarakat ter: bersedia terlibat dalam anggota kelompok tidak bersedia terlibat dalam anggota y : kelompok golong tinggi menunjukkan masyarakat mempunyai modal sosial dengan kategori baik untuk membentuk kelompok O&P. Pembentukan lembaga O&P dapat pembentukan melalui kelompok baru maupun me manfaatkan kelompok yang sudah ada. Pembentukan kelompok baru dipandang bisa lebih menguntungkan. Pembentukan kelompok dengan memanfaatkan ke lompok yang sudah ada seperti Kelompok Jasa Ojek, Petani pemakai Air akan overlapping menimbulkan personil maupun dalam melaksanakan kegiatan. 1
1
2
2
3
2
2 3
1
4
2
Konklusi : Berdasarkan pemetaan modal sosial masyarakat maka dapat dinyatakan akseptibilitas masyarakat terhadap aspek O&P jembatan dapat digolongkan tinggi untuk pembentukan kelompok dan melaksanakan O&P jembatan.
4
1
1
Sebagian besar masyarakat (80 %) setuju pembentukan kelompok O&P partisipatif. Warga (35%) setuju pembentukan kelompok dengan memanfaatkan kelompok yang telah ada, 30 % menyatakan bersedia terlibat dalam keanggotaan kelompok O&P, 5% tidak bersedia. Sedangkan 35 % warga lainnya setuju pembentukan kelompok baru, 30% diantaranya menyatakan bersedia terlibat dalam keanggotaan kelompok O&P dan 5% tidak bersedia. Sementara sebanyak 10 % tidak bersedia menjadi anggota kelompok O&P menyatakan warga terdekat dengan jembatan lebih tepat menjadi anggota kelompok. Sebagian kecil masyarakat (20%) tidak setuju pembentukan kelompok O&P partisipatif dan tidak bersedia terlibat dalam keanggotaan kelompok O&P. Menurut persepsi masyarakat kesediaan masyarakat untuk terlibat dalam keanggotaan kelompok O&P dengan kategori tinggi maka dapat dipetakan modal sosial untuk melaksanakan O&P tinggi.
3 4
1 2
Tabel 4. TABULASI SILANG PEMBENTUKAN KELOMPOK dan ketelibatan kelompok
Tabulasi Silang pembentukan kelompok Jumlah x1 (%) x2 (%) x3 (%) x4 (%) (%)
kemauan menjadi
y1 (%)
30
30
0
0
60
anggota kelompok
y2 (%)
5
5
10
20
40
35 35 10 20 x1 : pembentukan kelompok memanfaatkan kelompok yang telah ada x2 : pembentukan kelompok baru x3 : terserah dusun yang berdekatan dengan jembatan x4 : tidak perlu dibentuk kelompok y1 : bersedia terlibat dalam anggota kelompok y2 : tidak bersedia terlibat dalam anggota kelompok
100
42
Jenis-jenis pelanggaran yang berhubungan dengan O&P Persepsi masyarakat mengenai jenis pelanggaran O&P jembatan dapat dipetakan sesuai tabulasi silang (tabel 5, tabel 6, tabel 7 dan tabel 8). Sebanyak 62,5 % warga menyatakan bahwa jenis kendaraan roda empat dilarang melintas jembatan, sedangkan 37,5 % warga menyatakan bahwa jenis kendaraan roda empat boleh melintas jembatan. Sebanyak 77,5 % warga menyatakan bahwa kendaraan dengan beban lebih dari 2 ton dilarang melintas jembatan, sedangkan 22,5 % menyatakan tidak perlu dilarang. Sebanyak 85 % warga menyatakan bahwa pengambilan batu/pasir di sekitar jembatan tidak boleh dilakukan (dilarang), sedangkan 5 % menyatakan tidak perlu dilarang. Sebanyak 90% warga menyatakan bahwa perlu penjagaan pelanggaran yang dapat mengancam keamanan jembatan seperti pencurian bagian fisik jembatan. sedangkan 10 % warga menyatakan tidak perlu penjagaan.
Akseptibilitas Masyarakat Terhadap Aspek Operasi Dan Pemeliharaan Jembatan Stayed Palibaja Cable Di Sukabumi Satrio Sang Raksono
Persepsi masyarakat tersebut dapat dipetakan ses- adaran operasi dan pemeliharaan pada ma jembatan uai urutan pelanggaran yang dianggap paling tidak syarakat tergolong cukup tinggi. ditolerir bagian dapat adalah pencurian fisik jembatan, PELANGGARAN BEBAN Tabel 6. TABULASI SILANG pengambilan batu pasir disekitar jembatan, pelangga DAN TINDAKAN/REAKSI ran beban, pelanggaran jenis kendaraan. Tabulasi Silang pelanggaran beban x1 (%) y1 (%) 7,5 tindakan/reaksi y2 (%) 45 Berdasarkan pemetaan jenis pelanggaran menurut y3 (%) 10 persepsi masyarakat maka dapat dinyatakan bahwa ak y4 (%) 15 jembatan septibilitas masyarakat terhadap aspek O&P 77,5 x1 : tidak boleh melintas jembatan dapat digolongkan cukup tinggi untuk mengetahui dan x2 : boleh melintas jembatan
Konklusi :
memahami
jenis-jenis pelanggaran jembatan.
y1 y2 y3 y4
: membiarkan saja (tidak berbuat apa-apa) : membiarkan saja dan melaporkan : menegur (mencegah) : menegur (mencegah) dan melaporkan
Tindakan mencegah pelanggaran Tidakan/reaksi merupakan respon terhadap pelang Sebanyak 77,5 % warga menyatakan bahwa kendgaran jika benar-benar terjadi. Persepsi masyarakat araan dengan beban dari 2 ton dilarang lebih melin tentang hal tersebut dianalisis sesuai tabulasi silang tas jembatan. Tindakan/reaksi warga jika pelanggaran (tabel 5, tabel 6, tabel 7 dan tabel 8). terjadi pelarangan tersebut benar-benar 7,5% me- Tabel 5. TABULASI SILANG PELANGGARAN JENIS nyatakan membiarkan saja tidak bisa berbuat apa-apa KENDARAAN DAN TINDAKAN/REAKSI / tidak berani mengambil tindakan, sementara 45% Tabulasi Silang pelanggaran jenis kendaraan membiarkan saja, tidak berani menegur/mencegah x1 (%)
x2 (%)
Jumlah (%)
7,5
37,5
45
tetapi melaporkan pada tokoh masyarakat setempat, 10 % berani menegur/mencegah tetapi tidak perlu tindakan/reaksi y2 (%) 40 0 40 melaporkan, 15 % berani menegur/mencegah dan y3 (%) 5 0 5 y4 (%) 10 0 10 perlu melaporkan kepada tokoh masyarakat. Sedang62,5 37,5 100 kan 22,5 % warga menyatakan bahwa jenis kendaraan x1 : tidak boleh melintas jembatan roda empat boleh melintas jembatan tidak perlu dicex2 : boleh melintas jembatan y1 : membiarkan saja (tidak berbuat apa-apa) gah maupun dilaporkan. y2 : membiarkan saja dan melaporkan Pelanggaran beban kendaraan tidak diperkenankan y3 : menegur (mencegah) melintas, namun masih terdapat toleransi untuk meny4 : menegur (mencegah) dan melaporkan gakomodir kepentingan warga. mencegah Persepsi perlunya tindakan pelanggaran Sebanyak 62,5 % warga menyatakan bahwa jenis beban kendaraan menunjukkan bahwa keskendaraan roda empat dilarang melintas jembatan. terdapat adaran operasi dan pemeliharaan jembatan pada maTindakan/reaksi warga jika pelanggaran pelarangan syarakat tergolong cukup tinggi. tersebut benar-benar terjadi 7,5 % menyatakan mem biarkan saja tidak bisa berbuat apa-apa / tidak berani Tabel 7. TABULASI SILANG PELANGGARAN sementara 40% membiarkan mengambil tindakan, KEAMANAN (PENGAMBILAN BATU/PASIR) DAN saja, tidak berani menegur/mencegah tetapi melTINDAKAN/REAKSI aporkan pada tokoh masyarakat setempat, 5 % berani pelanggaran keamanan Tabulasi Silang tidak perlu melaporkan, (pengambilan batu/pasir) menegur/mencegah tetapi x (%) x (%) Jumlah (%) 10 % berani menegur/mencegah dan perlu melapor y (%) 72,5 15 87,5 kan pada tokoh masyarakat. Sedangkan 37,5 % warga tindakan/reaksi y (%) 12,5 0 12,5 menyatakan bahwa jenis kendaraan roda empat boleh y (%) 0 0 0 melintas jembatan tidak perlu dicegah maupun dily (%) 0 0 0 Tabulasi Silang pelanggaran beban 85 15 100 aporkan. x1 (%) x : tidak boleh (dilarang) Pelanggaran jenis ykendaraan 4 tidakdiperke7,5 roda 1 (%) x : boleh (sudah merupakan mata pencaharian) nankan melintas, namun toleransi un tindakan/reaksi y2 (%) masih 45 terdapat y : membiarkan saja (tidak berbuat apa-apa) 10 warga. y3 (%) tuk mengakomodir kepentingan y : membiarkan saja dan melaporkan 15 mencegah y : menegur (mencegah) 4 (%) Persepsi perlunya ytindakan pelanggaran y : menegur (mencegah) dan melaporkan 77,5 jenis kendaraan bahwa terdapat kes x1 : tidak boleh melintas menunjukkan jembatan y1 (%)
1
2
1 2 3 4
1 2
1 2 3
4
x2 : boleh melintas jembatan y1 : membiarkan saja (tidak berbuat apa-apa) y2 : membiarkan saja dan melaporkan y3 : menegur (mencegah) y4 : menegur (mencegah) dan melaporkan
43
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.2 No.1, April 2010 hal 37-45
Sebagian besar (85 %) warga menyatakan bahwa pelanggaran yang dapat mengancam keamanan jembatan berupa pengambilan batu/pasir di sekitar jembatan tidak boleh dilakukan (dilarang). Sedangkan sebagian kecil warga (5%) menyatakan tidak melarang tindakan tersebut. Tindakan/reaksi warga jika pelanggaran pelarangan tersebut benar-benar terjadi 72,5 % menyatakan membiarkan saja tidak bisa berbuat apa-apa / tidak berani mengambil tindakan, sedangkan 12,5 % membiarkan saja, tidak berani menegur/ mencegah tetapi melaporkan pada tokoh masyarakat setempat, sementara seluruh warga menyatakan tidak berani menegur dan mencegah perbuatan pelanggaran tersebut. Pelanggaran keamanan (pengambilan batu/pasir) disekitar jembatan tidak dapat ditoleransi. Pelarangan pengambilan batu/pasir di sekitar jembatan selayaknya disertai solusi pemindahan area yang aman. Pengambilan batu/pasir merupakan mata pencaharian masyarakat setempat sebelum jembatan dibangun. Persepsi perlunya tindakan mencegah pelanggaran keamanan (pengambilan batu/pasir) disekitar jembatan menunjukkan bahwa terdapat kesadaran operasi dan pemeliharaan jembatan pada masyarakat tergolong cukup tinggi. Tabel 8. TABULASI SILANG PELANGGARAN KEAMANAN (KEHILANGAN BAGIAN FISIK JEMBATAN) DAN TINDAKAN/REAKSI pelanggaran keamanan
Tabulasi Silang
tindakan/reaksi
(kehilangan bagian fisik jembatan) x1 (%)
x2 (%)
Jumlah (%)
y1 (%)
22,5
5
27,5
y2 (%)
45
5
50
y3 (%)
7,5
0
7,5
y4 (%)
15
0
90 10 x1 : perlu dijaga agar tidak terjadi kehilangan bagian fisik jembatan x2 : tidak perlu dijaga (keadaan wilayah selama ini aman) y1 : membiarkan saja (tidak berbuat apa-apa) y2 : membiarkan saja dan melaporkan y3 : menegur (mencegah) y4 : menegur (mencegah) dan melaporkan
15 100
Hampir seluruh warga (90 %) menyatakan bahwa pelanggaran yang dapat mengancam keamanan jembatan berupa kehilangan bagian fisik jembatan tidak boleh terjadi, oleh karena itu perlu penjagaan. Sedangkan sebagian kecil warga (10 %) menyatakan tidak perlu penjagaan karena menganggap selama ini wilayah disekitar jembatan dalam keadaan aman tidak pernah terjadi pencurian. Tindakan/reaksi warga jika pelanggaran pelaran gan tersebut benar-benar terjadi 22,5 % menyatakan / membiarkan saja tidak bisa berbuat apa-apa tidak berani mengambil sedangkan % mem tindakan, 45 biarkan saja karena tidak berani menegur/mencegah
44
tetapi melaporkan pada tokoh masyarakat setempat, 7,5 % berani menegur dan mencegah tetapi tidak perlu melaporkan, 15 % berani menegur/mencegah dan perlu melaporkan pada tokoh masyarakat. Pelanggaran keamanan (kehilangan bagian fisik jembatan) tidak dapat ditoleransi. Persepsi perlunya tindakan mencegah pelanggaran keamanan (kehilangan bagian fisik jembatan) menunjukkan bahwa terdapat kesadaran operasi dan pemeliharaan jembatan pada masyarakat cukup tinggi.
Konklusi : Berdasarkan persepsi masyarakat terhadap respon pelanggaran yang dapat mengancam kelestarian fungsi jembatan, berupa tindakan/reaksi yang seharusnya dilakukan maka dapat dikatakan akseptibilitas masyarakat terhadap aspek O&P jembatan dapat digolongkan cukup tinggi untuk kesadaran tindakan mencegah pelanggaran jembatan.
Perampatan Baerdasarkan konklusi hasil analisis melalui masingmasing indikator dapat disimpulkan bahwa akseptibilitas masyarakat terhadap aspek operasi dan pemeliharaan jembatan cable stayed Palibaja di Sukabumi cukup tinggi. Dari kesimpulan tersebut maka dapat digeneralisasikan bahwa akseptibilitas masyarakat terhadap O&P Jembatan cable stayed tergantung pada kemauan dan kemampuan mengoperasikan dan memelihara jembatan, modal sosial untuk pembentukan O&P dan melaksanakan O&P, Jenis-jenis pelanggaran yang berhubungan dengan O&P jembatan serta tindakan mencegah pelanggaran. KESIMPULAN 1. Kemauan dan kemampuan masyarakat dalam mengoperasikan dan memelihara jembatan cukup tinggi. 2. Masyarakat memiliki modal sosial besar untuk pembentukan kelompok dan melaksanakan O&P jembatan. 3. Masyarakat memiliki pengetahuan dan pemahaman rata-rata cukup tinggi pada jenis-jenis pelanggaran jembatan. Jenis pelanggaran yang berhubungan dengan O&P jembatan sesuai urutan yang tidak dapat ditolerir adalah pelanggaran pencurian bagian fisik jembatan, pelanggaran penggalian batu/pasir di sekitar jembatan, pelanggaran beban kendaraan serta pelanggaran jenis/dimensi kendaraan. 4. Tindakan/reaksi yang dilakukan masyarakat untuk mencegah pelanggaran yang dapat mengancam kelestarian fungsi jembatan cukup
tinggi. 5. Akseptibilitas masyarakat terhadap aspek operasi dan pemeliharaan jembatan cable stayed Palibaja di Sukabumi cukup tinggi. 6. Akseptibilitas masyarakat terhadap O&P Jembatan cable stayed tergantung pada kemauan dan kemampuan mengoperasikan dan memelihara jembatan, modal sosial untuk pembentukan O&P dan melaksanakan O&P, Jenis-jenis pelanggaran yang berhubungan dengan O&P jembatan serta tindakan mencegah pelanggaran.
DAFTAR PUSTAKA Abu Huraerah, 2007, Pengorganisasian dan Pengembangan Masyarakat, Model & Strategi Pembangunan berbasis Kerakyatan, Humaniora, Bandung. Azis, W. 1994. Ilmu Ekonomi Regional dan Beberapa Aplikasinya di Indonesia. FEUI, Jakarta. Piet D Hasiwan, 2006, Studi Kesiapan Masyarakat Setempat Terhadap Rencana Pengembangan Kawasan Industri, Kasus Rencana Pengembangan Kawasan Industri Di Cipeundeuy Kabupaten Bandung, ITB, Bandung. Peraturan Pemerintah No. 72 tahun 2005 tentang Desa Randi R, Wrihatnolo. Perencanaan Partisipatif. Diunduh tanggal 13 November 2009. http://www. slideshare.net/wrihatnolo/participatory-planninga-conceptual-framework Suharto, Edi. 2005. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat, Refika Aditama, Bandung. Tim Peneliti BPSEJJ, 2008, Analisis Sosial Ekonomi Pengalihan Jalan Tol Porong Sidoarjo akibat Lumpur Lapindo, Balai Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Bidang Jalan dan Jembatan, Departemen Pekerjaan Umum. Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
45
46
TINJAUAN ASPEK EKONOMI PADA KEBIJAKAN BERWAWASAN GENDER ( Studi kasus di lingkungan kementrian pekerjaan umum ) Retta Ida Lumongga, MM Sekretariat Balitbang, Kementerian. PU Jl. Sapta Taruna Raya No.26 Komplek PU Pasar Jumat - Jaksel Abstract : Gender issue is a part of global issue. And as a part of global community, ministry of public works as a government institution, need to include gender to its planning strategy. Common global gender issue is related to economic matters. So, it is important to do a reviewed of economic aspects of gender friendly policy, which is already implemented in public works, to see how the policy contribute to the problem solve of the matters. The researcher created a thinking concept. All the gender friendly policies and its implemented data were being collected from all area of public works. The common matters,found in global gender issue, are discrimination of wages, limited field of works and low productivity of maternial workers caused by unsupport working condition. The result show some policies were working well to solve this matters, but some others still need to be fixed. This information might be usefull as an input for further making of gender friendly policies’ plan. Key words: Gender, Public Works, Gender friendly policies, Global issue, Economic Aspects Abstrak Isu gender merupakan bagian dari isu global. Dan sebagai bagian dari komunitas global, Kementerian Pekerjaan Umum, sebagai suatu lembaga pemerintah, perlu memasukkan gender ke dalam strategi perencanannya. Isu gender secara global terkait dengan permasalahan ekonmi, untuk melihat bagaimana kebijakan berperanserta terhadap pemecahan permasasalahan yang ada. Seluruh kebijakan yang responsif gender dan data yang diimplementasi dikumpulkan dari lingkup pekerjaan umum. Permasalahan umumnya yang ditemui dalam isu gender global, adalah diskriminasi gaji, bidang kerja yang terbatas dan produktivitas kerja yang rendah yang disebabkan kondisi kerja yang tidak didukung. Hasilnya menunjukkan beberapa kebijakan berjalan dengan baik untuk memecahkan permasalahan, tetapi beberapa hal lain butuh untuk diperbaiki. Informasi ini dapat berguna sebagai masukan untuk pengembangan kebijakan responsif gender lebih jauh. Kata Kunci: Gender, Public Works, Gender friendly policies, Global issue, Economic Aspects
PENDAHULUAN Latarbelakang Isu dalam gender adalah bagaimana upaya mewujudkan kesetaraan gender, dalam artian kebutuhan laki-laki dan perempuan yang berbeda dapat terpenuhi dalam suatu konsep perencanaan yang sadar gender. Untuk mencapainya, diperlukan suatu langkah yang lazim disebut Pengarusutamaan Gender atau biasa disebut PUG. Konsep ini mulai muncul pada Konferensi PBB untuk perempuan IV di Beijing, dan diadopsi oleh PBB, pemerintah serta organisasi relevan. Dalam perkembangannya PUG menjadi strategi perwujudan gender sehingga gender perlu diintegrasikan dalam
perumusan kebijakan program dan kegiatan. Di indonesia PUG telah diadopsi secra resmi sejak dikeluarkannya Instruksi Presiden No.9 tahun 2000, dimana semua jajaran eksekutif perlu melakukan PUG di tiap tahapan penyusunan, perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan pada berbagai kebijakan, program/ kegiatan, termasuk anggaran. Khususnya pada Kementrian Pekerjaan Umum, saat ini telah sampai pada tahap memiliki piranti kelembagaan yang merupakan pra-kondisi untuk memungkinkan pelaksanaan PUG secara ideal, diantaranya dengan adanya pembentukan kelompok kerja dan pembuatan gender check-list yang berisikan program/kegiatan dari seluruh direktorat/badan di kementrian pekerjaan umum yang
47
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.2 No.1, April 2010 hal 47-55
didalamnya tersirat gender. PUG belakangan ini juga telah masuk dalam rencana strategis kementrian. Oleh karenanya, pra-kondisi saja tidak cukup untuk melaksanakan PUG dan perlu ditingkatkan. Dikarenakan isu gender secara global lekat dengan isu ekonomi, maka pembuatan kebijakan berwawasan gender sebaiknya bukan hanya melulu disoroti dari permasalahan sosial atau faktor kenyamanan semata tetapi juga perlu ditinjau, apakah telah juga berguna dari sisi ekonomi. Oleh karena itu, dirasakan perlu untuk melakukan tinjauan aspek ekonomi pada kebijakan/ implementasi berwawasan gender. Perumusan Masalah Permasalahan yang ada dan dicoba untuk dipecahkan adalah bagaimana gambaran kondisi akan sadar gender ini dalam kebijakan/implementasi kebijakan berwawasan gender di lingkungan bidang Kementrian Pekerjaan Umum yang telah ada saat ini, ditinjau dari aspek ekonomi. Tujuan dan Kegunaan Tujuan yang hendak dicapai adalah untuk mendapat suatu tinjauan sebagai bentuk upaya memperoleh gambaran akan kondisi kebijakan/implementasi kebijakan sadar gender yang ada saat ini di lingkungan bidang Kementrian Pekerjaan Umum maupun yang juga diterapkan di luar lingkungan namun dalam sektor pekerjaan umum, dalam kaitannya dengan pemenuhan aspek ekonomi, guna memperoleh gambaran sebagai pertimbangan bahan masukan bagi penyusunan maupun perbbaikan kebijakan ke depannya.
Lingkup Lingkup dibatasi pada identifikasi akan konsep gender, kebijakan maupun implementasi kebijakan yang berwawasan gender di lingkungan kementerian pekerjaan umum termasuk untuk kebijakan/implementasi kebijakan yang juga diterapkan di luar lingkungan kementrian pekerjaan umum pada sektor yang terkait pekerjaan umum, untuk kemudian ditinjau lebih lanjut untuk melihat ada tidaknya kontribusi kebijakan/ implementasi kebijakan tersebut dalam pemenuhan aspek ekonomi.
an pekerjaan umum dan pengamatan secara langsung. Penulis mengumpulkan data dari berbagai sumber, lalu memilah dan menentukan permasalahan yang difokuskan serta melakukan analisa. Dalam pengumpulan data, penulis melakukan riset kepustakaan yang meliputi pengumpulan bahan bacaan dari buku-buku literatur, pencarian di internet, referensi, makalah seminar, program/kegiatan, ketentuan perundangan terkait serta dengan mengikuti berbagai perkembangan berbagai permasalahan gender secara langsung. Penulis juga mengikuti berbagai workshop maupun sosialisasi gender untuk mendengarkan secara langsung pendapat para pembuat kebijakan, dengan tujuan agar penulis dapat mengikuti arah perkembangan kebijakan gender yang terkini. Sedangkan analisis data dilakukan dengan identifikasi, kategorisasi dan interpretasi (Miles & Huberman,1992) Penulisan tinjauan ini sebenarnya merupakan tindak lanjut dari kegiatan membentuk dan mengembankan pengarusutamaan gender sehingga data yang digunakan adalah data gender yang telah ada sejak 2004 (saat kementrian pekerjaan umum masih bernama kimpraswil) hingga 2010 kini. Namun, khusus untuk pekerjaan penulisan tinjauan aspek ekonomi pada kebijakan gender di lingkungan kementrian pekerjaan umum adalah dilakukan dalam kurun waktu sekitar dua bulan pada tahun 2010.
Kerangka Berpikir Dalam tinjauan ini, kebijakan pengarusutamaan gender yang telah ada maupun diterapkan di Kementrian Pekerjaan Umum diidentifikasikan lalu dari halhal yang telah ada tersebut, ditinjau penerapannya dari aspek ekonomi yang menjadi permasalahan pada gender di isu global.
METODOLOGI PENELITIAN Metodologi penelitian merupakan metode yang dilakukan secara ilmiah guna memperoleh data untuk dianalisis. Disini pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif, dengan membuat kerangka pikir, melakukan kajian literatur serta dokumentasi data sekunder terkait kebijakan /implementasi kebijakan berwawasan gender yang ada di lingkungan kementri-
48
Isu gender sudah merupakan isu global, karena masalah gender telah dirasakan oleh penduduk dunia. Kementrian Pekerjaan Umum sebagai sebuah instansi pemerintah perlu memiliki kebijakan berwawasan
Tinjauan Aspek Ekonomi Pada Kebijakan Berwawasan Gender ( Studi kasus di lingkungan kementrian pekerjaan umum ) Retta Ida Lumongga, MM gender dalam upaya mengikuti perkembangan gender yang ada di Indonesia khususnya dan dunia pada umumnya. Sebagai instansi pemerintah yang menangani sektor infrastruktur, kebijakan berwawasan gender yang ada di Kementrian Pekerjaan U9mum akan berdampak secara nasional, yang lebih lanjut menjadi bagian dari gender secara global. Kebijakan berwawasan gender di kementrian pekerjaan umum, perlu ditinjau keterpenuhan aspek ekonomi termasuk jika pelaksanaan kebijakan gender tersebut merambah keluar lingkungan kementrian pekerjaan umum. dalam artian menjadi kebijakan yang dapat berlaku secara global.
KAJIAN PUSTAKA Kata ‘gender’ sering salah diartikan sebagai laki-laki dan perempuan semata, atau perbedaan jenis kelamin. Namun, untuk memahami kata gender, harus dibedakan dari seks atau kelamin. Konsep gender adalah sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dibentuk oleh faktor-faktor sosial maupun budaya yang membedakan image laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa gender merupakan konsep sosial yang membedakan peran laki-laki dan perempuan, dimana perbedaan fungsi tersebut tidak ditentukan karena terdapat perbedaan biologis atau kodrati, tetapi dibedakan atau dipilah menurut kedudukan, fungsi dan peranan masing-masing dalam berbagai bidang kehidupan dan pembangunan (Trisakti Handayani MM,2006). Gender disini bukanlah merupakan sesuatu yang dapat dilihat secara kasat mata. Jika menyamakan gender dengan jenis kelamin laki-laki atau perempuan, maka persepsi itu adalah salah. Gender lebih melekat pada unsur yang ada, yang oleh masyarakat dianggap sebagai hal yang kelaki-lakian ataupun hal yang keperempuan-perempuanan, atau bisa disebut, maskulin atau feminin. Melalui pencarian internet, juga ditemulkan beberapa penjelasan mengenai konsep gender. Di dalam women’s studies encyclopedia, dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural. Konsep gender merupakan sebagai suatu dasar untuk menentukan perbedaan sumbangan laki-laki dan perempuan pada kebudayaan dan kehidupan kolektif yang sebagai akibat dari menjadi laki-laki atau perempuan. Seorang pakar gender juga mengartikan gender sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan. Dalam Webster’s New World Gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak atara lakilaki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku. Gender dapat dipahami sebagai suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan antara laki-laki dan perempuan dari segi sosial budaya ini, merupakan suatu bentuk rekayasa masyarakat,
bukannya sesuatu yang bersifat kodrati, jadi, gender adalah jenis kelamin sosial. Mengingat gender adalah sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dibentuk oleh faktor-faktor sosial maupun budaya laki-laki dan perempuan, maka dalam ilmu gender membedakan peran laki-laki dan perempuan adalah perbedaan fungsi tersebut tidak ditentukan karena terdapat perbedaan biologis atau kodrat, tetapi dibedakan atau dipilah menurut kedudukan, fungsi dan peranan masing-masing dalam berbagai bidang kehidupan dan pembangunan. Dalam pelaksanaannya, dalam penentuan peran sosial dalam masyarakat, sering terjadi ketimpangan hingga isu kesetaraan gender menjadi permasalahan dalam penerapan gender dalam masyarakat. Pengarusutamaan Gender dapat didefinisikan sebagai suatu strategi pengarusutamaan yang mengadaptasikan gender, permasalahan dan berbagai upaya pemecahannya, dalam suatu kebijakan. Kebijakan tersebut kemudian diterapkan sebagai bentuk jawaban atas permasalahan yang ada. Pemahaman pengarusutamaan gender bidang pekerjaan umum yang terpenting adalah bagaimana mengintegrasikan kebutuhan laki-laki dan perempuan dalam setiap merencanakan, membangun serta memelihara prasarana dan sarana bidang pekerjaan umum. Tujuan atau pusat perhatian dari ilmu ekonomi adalah untuk peningkatan kesejahteraan umat manusia. Pada prinsipnya, masalah ekonomi timbul karena kenyataan bahwa jumlah manusia sangat banyak demikian juga ragam kebutuhan manusia, sedangkan alat pemuas kebutuhan, relatif dengan kebutuhan manusia, adalah terbatas. Dalam ekonomi makro, salah satu aktivitas ekonomi yang penting adalah upaya mengatasi pengangguran. Dalam wikipedia, pengangguran adalah orang yang tidak bekerja, sedang mencari pekerjaan, atau sedang berusaha mendapatkan pekerjaan yang layak. Pengangguran timbul disebabkan, jumlah angka pencari kerja tidak sebanding dengan jumlah lapangan pekerjaan yang tersedia. Pengangguran menjadi masalah karena dapat menggaggu produktifitas ekonomi dan pendapatan masyarakat berkurang sehingga menimbulkan kemiskinan dan problema sosial lain, termasuk efek psikologis bagi penganggur dan keluarganya. Aspek ekonomi disini adalah hal yang terkait gender dan memenuhi unsur ekonomi. Perekonomian dan gender ditilik dari isu umumnya adalah perihal diskriminasi. Bidang-bidang pekerjaan pada sektor infrastruktur cenderung pekerjaan yang maskulin sehingga membatasi ruang gerak bagi pekerja wanita untuk turut serta, dan jika tidak mengubah perilaku menjadi sadar gender, maka akan terjadi keterbatasan pekerjaan
49
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.2 No.1, April 2010 hal 47-55
bagi perempuan yang berakibat pada kemiskinan dan kemerosotan ekonomi. Selain diskriminasi pada jenis pekerjaan, juga diskriminasi pada upah kerja. Perempuan kerap kali bekerja dengan jam kerja yang banyak, namun dihargai lebih murah dari laki-laki. Untuk itu diperlukan perubahan perilaku sadar gender, dimana adanya persamaan upah antara laki-laki dan perempuan dalam pekerjaan sektor infrastruktur. Jadi disini aspek ekonomi adalah kesempatan kerja, tingkat upah dan produktifitas kerja. Perempuan era kini dituntut memiliki kemampuan sama dengan laki-laki, namun memiliki beban tanggung jawab lebih tinggi terutama untuk perempuan yang telah menikah dan memiliki anak. Pandangan gender dalam masyarakat yang cenderung membebankan kewajiban mengasuh anak kepada perempuan, menyebabkan beban bagi perempuan, untuk membagi waktu antara mengurus anak dan melakukan pekerjaan. Dengan mengubah perilaku menjadi sadar gender, maka dalam kebijakan yang responsif gender, perlu disadari akan kondisi perempuan pekerja dan dipertimbangkan bagaimana upaya untuk menyelaraskan antara kewajiban perempuan di rumah dan kewajiban perempuan di kantor, sehingga tercipta iklim kerja yang kondusif terhadap peningkatan produktifitas kerja. Hal ini menjadi penting, karena berdasarkan data statistik biro kepegawaian, sebagian pegawai pekerja pada Kementrian Pekerjaan Umum adalah perempuan.
HASIL DAN PEMBAHASAN global gender Landasan internasional yang dapat digunakan adalah Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Strategi Nairobi, Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan, Konferensi ICPD Kairo, Beijing Platform, Millenium Development Goals. Sedangkan dalam tingkat nasional adalah Undang-Undang No 7 tahun 1984 tentang Ratifikasi CEDAW, Undang-Undang No 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional yang menetapkan RPJMN 2004-2009, Inpres no 9 tahun 2000 tentang Strategi Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan, Permen Keuangan No 119 Tahun 2009 tentang penyusunan dan penelaahan RKA-Kl 2010. Didalam Inpres No.9 Tahun 2000 tersirat tujuan Pengarusutamaan gender adalah Membentuk mekanisme untuk formulasi kebijakan dan program yang reponsif gender; Memberikan perhatian khusus pada kelompok – kelompok yang mengalami marjinalisasi, sebagai dampak dari bias; Meningkatkan pemahaman dan kesadaran semua pihak baik pemerintah maupun non pemerintah sehingga mau melakukan tindakan yang sensitif gender di bidang masing-masing. Berdasarkan
50
hasil Survey Penduduk BPS diketahui jumlah penduduk Indonesia jumlah laki-laki hanya sedikit lebih banyak dibandingkan perempuan. Namun, di sektor perekonomian, secara umum partisipasi perempuan masih rendah, kemampuan perempuan memperoleh peluang kerja dan berusaha masih rendah, demikian juga dengan akses terhadap sumber daya ekonomi. Demikian juga tingkat kematian bagi ibu dan bayi juga tinggi, termasuk kasus penjualan anak perempuan yang disembabkan himpitan ekonomi. Jika dibuatkan garis besar, maka permasalahan ekonomi yang terkait gender adalah permasalahan adanya diskriminasi upah antara pekerja laki-laki dan perempuan, keterbatasan lapangan pekerjaan yang ternyata belum responsif gender dan juga lingkungan kerja yang belum mendukung bagi kaum perepuan pekerja, terutama ibu pekerja, sehingga kaum perempuan kerap di cap memiliki produktifitas kerja lebih rendah daripada kaum laki-laki.
Konsep Gender PU Gender diartikan sebagai interpretasi mental dan kultural terhadap perbedaan kelamin yakni laki-laki dan perempuan. Gender dipergunakan untuk penciptaan suasana kondisi kerja yang dianggap tepat dan mewakili bagi laki-laki dan perempuan. Gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial dan kultural. Sifat gender yang melekat pada perempuan misalnya perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik emosional atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa. Pelaksanaan PUG meliputi menumbuhkembangkan komitmen para penyelenggara negara untuk melaksanakan PUG. Adanya kerangka kebijakan sebagai wadah pengintegrasian pelaksanaan PUG Struktur kelembagaan yang mendukung PUG Sumber daya yang memadai untuk pelaksanaan PUG Sistem informasi yang memadai untuk pelaksanaan PUG Sistem informasi dan pendataan berdasarkan jenis kelamin. Dorongan dari masyarakat madani kepada pemerintah. Kerangka Kebijakan untuk gender adalah dengan Mengintegrasikan pada mekanisme perumusan Kebijakan/program/kegiatan pembangunan jangka panjang (RPJP), jangka menengah (RPJM, Renstra), jangka pendek/tahunan (RKP, Renja) yang responsif gender; Mengintegrasikan KKG pada mekanisme penyusunan kerangka kerja akuntabilitas; Mengintegrasikan KKG pada mekanisme pemantauan dan evaluasi. Struktur kelembagaan PUG meliputi Unit kerja Struktural (Biro/ Badan/Bagian/ Subdit) yang salah satu tupoksinya diberi tanggung-jawab terhadap pelaksanaan PUG, agar terintegrasi pada setiap tahap manajemen pembangunan mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan,
Tinjauan Aspek Ekonomi Pada Kebijakan Berwawasan Gender ( Studi kasus di lingkungan kementrian pekerjaan umum ) Retta Ida Lumongga, MM pemantauan dan evaluasi; Unit kerja Fungsional / unit kerja ad hoc seperti Pokja/Forum PUG yang anggota terdiri dari lintas instansi, agar permasalahan gender dapat ditangani melalui berbagai kebijakan/program/ kegiatan lintas sektor secara terpadu. Pemerintah indonesia telah merumuskan new deal pembangunan ekonomi indonesia yang secara prinsip memuat triple track strategy, yaitu pro-growth, projob dan pro-poor. Pro-growth adalah meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan mengutamakan ekspor dan investasi. Pro-job dilakukan dengan menggerakkan sektor riil untuk menciptakan lapangan kerja. Dan Propoor dilakukan dengan merevitalisasi sektor pertanian, kehutanan kelautan dan ekonomi pedesaan untuk mengurangi kemiskinan. Pengarusutamaan gender harus masuk dalam ketiganya. Untuk operasionalnya, instruksi presiden nomor 9 tahun 2000 memerintahkan kepada seluruh kementrian/lembaga serta pemerin tah provinsi dan kabupaten/ kota untuk melaksanakan pengarusutamaan gender ke dalam siklus manajemen, yakni perencanaan, pelaksanaan, serta pemantauan dan evaluasi atas kebijakan dan program yang berperspektif gender di seluruh aspek pembangunan. Sebagai tindak lanjut dari inpres tersebut, telah diterbitkan peraturan menteri keuangan nomor 119/PMK.02/2009 yang mengatur tentang petunjuk penyusunan dan penelaahan rencana kerja dan anggaran kementerian/lembaga dan penyusunan, penelaahan, pengesahan dan pelaksanaan Daftar isian Pelaksanaan Anggaran tahun 2010 yang di dalamnya menekankan pentingnya isu pengarusutamaan gender. Konsep setara dan adil gender menjadi pegangan dalam setiap tahapan kegiatan PU. Setara disini berarti seimbang relasi antara laki-laki dan perempuan, kemampuan memadai meliputi knowledge, practise, attitude, pengakuan terhadap eksistensi, ruang partisipasi dan peran dan fungsi secara proposional. Adil dapat dikatakan tidak adanya pembakuan peran, beban ganda, subordinasi, marginalisasi dan kekerasan terhadap perempuan. Jika melihat pemahaman setara dan adil, maka jika dikaitkan dalam tolak ukur pengarusutamaan gender yang diukur dari sisi akses, kontrol dan manfaat, maka setara berada pada ukuran akses, partisipasi dan kontrol sedangkan adil adalah dari sisi pemanfaatannya. Terdapat tiga sudut pandang untuk melihat keidealan pembangunan, yaitu sudut pandang produk-produk yang dihasilkan, proses penyelenggaraan pembangunan ke-pu-an dan pemukiman serta sudut pandang kebijakan/NSPK. Identifikasi dari produk-produk yang dihasilkan oleh Kementrian PU dapat dilakukan tujuannya untuk melihat apakah produk-produk tersebut sudah mendukung konsep gender. Hasil data yang diperoleh dapat digunakan un-
tuk keperluan analisa gender, dimana diidentifikasikan aktifitas yang dilakukan oleh perempuan dan laki-laki. Identifikasi dari produk tersebut dapat dikembangkan dalam bentuk kajian maupun penelitian. Selain melakukan identifikasi, kriteria dan indikator juga perlu sebagai tolak ukur dalam PUG. Demikian juga identifikasi untuk penyelenggaraan kegiatan, perlu ditelaah perihal kesetaraan gender dalam penyelenggaraan kegiatan tersebut. Juga untuk pedoman/kebijakan pendukung kegiatan penyelenggaraan di lingkungan PU perlu ditelaah kembali untuk diidentifikasikan perihal ada/tidaknya muatan gender didalamnya, perihal kesetaraan gender.
Identifikasi Gender di PU Kebiajkan berwawasan gender di kementrian pekerjaan umum pada prinsipnya adalah hal-hal berikut ini.
Kementrian pekerjaan umum telah menyediakan data pegawai secara terpilah gender sederhana yang dapat diakses melalui internet pada website Pu. Dari data tersebut, kita dapat mengetahui perbandingan antara jumlah perempuan dan laki-laki di kementerian PU adalah sekitar satu berbanding lima. Jika perbandingan ini disetarakan dengan banyaknya perempuan yang menjadi perwakilan pejabat pada kementrian pu, maka untuk posisi eselon I hingga eselon III, maka dominasi pria masih terasa dan perempuan belum terwakilkan sesuai komposisi jumlahnya. Misalnya pada tingkat eselon I, di mana seluruhnya adalah pria.
51
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.2 No.1, April 2010 hal 47-55
Demikian juga pada tingkat eselon II, di mana perempuan hanya terwakili oleh enam persen sedangkan laki-laki sembilan puluh empat persen dan eselon III, perempuan hanya sepuluh persen dan sisanya laki-laki. Hal ini menunjukkan bahwa kementrian pekerjaan umum merupakan lingkungan yang maskulin, sehingga kesadaran akan gender perlu ditingkatkan.
Meskipun tidak secara eksplisit disebutkan, namun isu gender terlihat pada program/kegiatan. Identifikasi program/kegiatan berwawasan gender di bidang ke-pu-an. Sebagai gambaran pembanding dalam pelaksanaan kebijakan berwaawasan gender, hingga saat ini, beberapa program/ kegiatan yang responsif gender telah dijalankan oleh Kementrian PU diantaranya pembangunan jalan yang dipermudah dengan tangga atau jalan yang tidak curam, rencana tata ruang dengan kebutuhan ruang terbuka hijau dengan fasilitas tempat bermain anak serta pembangunan gedung kementrian yang dilengkapi dengan fasilitas ruang menyusui bagi pegawai perempuan dan ruang tempat penitipan anak.
Lebih lanjut berikut ini adalah implementasi gender di kementrian pekerjaan umum. Beberapa peraturan perundangan tentang gender: 1. SK Menteri Permukiman & Prasarana Wilayah No 411/KPTS/M/2004 2. Permen PU No.560/PRT/M/2005 3. SK Menteri Permukiman dan Prasarana Wlayah tahun 2004 l SK Tim PUG-PU oleh Sekjen PU tahun 2007 Kelembagaan di tingkat operasional: • BKM (Badan Keswadayaan Masyarakat) • KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat)
Program/kegiatan yang mengusung Pemberdayaan Perempuan: Kajian Pemberdayaan Perempuan dalam Pengelolaan Irigasi Petanian P3A Kab.Cianjur, NUSSP, P2KP dan Re-kompak Kegiatan PUG : • Semiloka sehari peluang proyek percontohan di Bidang Kimpraswil yang responsif Gender • Pelatihan Analisis PUG-PU • Sosialisasi PUG Pembentukan & pengembangan PUG di Lingkungan Kementrian PU: • NUSSP (Neighborhood Upgrading and Shelter Sector Project ) • Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan ( P2KP ) • Re-Kompak (Rehabilitasi dan rekonstruksi permukiman ) • Ruang Terbuka Hijau (RTH) => RTH juga berfungsi sebagai pemenuhan hak anak bermain dan sarana perempuan/ibu bersosialisasi • Pemberdayaan Perkumpulan Petani Pencinta Air • Infrastruktur Jalan=> diterapkan pada jembatan penyeberangan • Penerapan ruang untuk Ibu Menyusui pada bangunan (perkantoran) dan ruang tempat penitipan anak.
Kegiatan2 yang sudah berjalan yang menerapkan gender : Ket. Foto Atas. Foto Ruang Menyusui yang ada di tiap lantai gedung baru kementrian pekerjaan umum. Foto Bawah. Foto ruang yang rencananya akan digunakan untuk tempat penitipan anak balita pegawai kementrian pekerjaan umum namun masih belum difungsikan dan papan petunjuk lokasi
52
*NUSSP : • Diskusi Gender Anggota BKM (Perencana an),Pemanfaatan MCK (keberlanjutan),FGD Perempuan,Penerima Manfaat Kegiatan NUSSP (perencanaan),-Partisipasi Perempuan dalam Pembangunan Infrastruktur (pelaksanaan) • P2KP,FGDPerempuandanKemiskian(perenc anaan),KeterlibatanPerempuan dalam Pem
Tinjauan Aspek Ekonomi Pada Kebijakan Berwawasan Gender ( Studi kasus di lingkungan kementrian pekerjaan umum ) Retta Ida Lumongga, MM bangunan Drainase(pelaksanaan),Keterliba taperempuan dalam penyusunan PJM Pro nangkis (perencanaan), Pelatihan Relawan Program PeningkatanPartisipasi Perempuan NAD (keberlanjutan),Pengolahan sampah oleh perempuan,-Penyedian jalan yang aksesibel bagi perempuan
•
•
Ruang Terbuka hijau (RTH), RTH berfungsi juga sebagai pemenuhan hak anak untuk bermain dan sebagai sarana perempuan/ibu untuk bersosialisasi. P3AS,Keterlibatan Perempuan dalam Perbaikan saluran irigasi,-Keterlibatan Perempuan dalam rembug desa.
Matriks 1. Kebijakan/Implementasi, Indikas Gender, Pelaksanaan di lingkungan
internal/eksternal, Aspek Ekonomi
Deskripsi
Indikasi gender
1
Landasan Hukum dan Per-UU* Renstra PU Mencantumkan PUG Terkait gender Peraturan Menteri PU yang mendukung gender Pembentukan Tim Gender 2 Program/Kegiatan/Proyek NUSSP
Gender dan pengarusutamaan gender melalui GAP (Gender Action Plan), di 32 kab/kota, loan ADB
P2KP di NAD
Peningkatan Partisipasi Perempuan di NAD
Re-Kompak
Pelibatan secara aktif perempuan sebagai pelaku utama dalam pembangunan rumah dan penataan lingkungan
Pembuatan Data Pilah SDM
Genderisasi dalam penyajian data Proporsi perempuan dan laki-laki yang menduduki jabatan
Publikasi
Peran serta perempuan ditingkatkan dalam program air bersih
Pembuatan NSPK/ Panduan
Produk Pedoman Penyelenggaraan Pembangunan Bidang Permukiman dan Prasarana Wilayah yang Responsif gender melalui SK 320/KPTS/M2004 , yang saat ini sedang direvisi.
Proyek Infra struktur Jalan 3 POKJA BKM KSM SIKIB P4A P3AS 4
Pelibatan perempuan dan laki-laki dalam pengerjaan Kelembagaan dan Organisasi
Mengurusi perihal gender Pelibatan perempuan Pelibatan perempuan Peranan perempuan Pelibatan perempuan Pelibatan perempuan Infrastruktur/Bangunan / Fisik
RTH Ruang tempat menyusui dan ruang tempat penitipan anak Infrastruktur jalan Base camp
Pengaturan tata ruang Diterapkan pada perkantoran termasuk kantor pu Diterapkan pada jembatan, lampu penerangan cukup Khusus perempuan
Keterangan /Internal/Eksternal Lingkungan PU
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
C
Dalam tim dapat juga menggunakan narasumber pakar gender bekerjasama dengan instansi lain maupun pihak luar sesuai kebutuhan Implementasi kebijakan sebagai upaya menyediakan infrastruktur responsif gender, peran serta laki-laki dan perempuan lebih proporsional, meningkatkan kapasitas sdm sadar gender, dan penyediaan panduan/nspk responsif gender Partisipasi Nominal Jumlah laki-laki dan perempuan ikut dalam proyek Partisipasi Efektif Cara perempuan dan laki-laki mengikuti berbagai kegiatan dalam seluruh tahapan proyek, faktor yang mempengaruhi partisipasi, kebutuhan dan akses terhadap manfaat proyek, akses dalam pemantauan dan evaluasi, tanggung jawab OM, dll. Fokus pendampingan pada peningkatan kualitas partisipasi perempuan guna memperkuat relasi perempuan & laki-laki serta upaya rehabilitasi dan rekonstruksi paska bencana (dilaksanakan sejak 2005) Komposisi jumlah keseluruhan fasilitator >30% perempuan Setiap kelompok pemukiman/penerima bantuan min 30% perempuan Pengurus KP salah satunya adalah wanita Perempuan dilibatkan langsung dalam semua tahapan kegiatan bantuan dana rumah (BDR) maupun bantuan dana lingkungan (BDL) Sudah ada kebijakan Pimpinan (SEKJEN) untuk membuat data terpilah di lingkungan Dep. PU, September 2008, namun baru sebatas data kepegawaian, menurut usia, tk. pendidikan, eselon, per-satminkal Di tingkat operasional sudah ada data terpilah NUSSP di 32 kota/kabupaten; P2KP; Re-Kompak Water Supply for Low Income Communities (WSLIC) bekerjasama dengan Depkes, Depdagri, KLH merupakan Program Penyediaan Air Bersih dan Sanitasi untuk masyarakat berpenghasilan rendah dengan hibah Australia. *Untuk NUSSP pedoman, agar PUG dapat dimasukkan dalam siklus proyek (Hasilnya saat ini : Pedoman PUG untuk proyek perbaikan permukiman kumuh perkotaan ) *Untuk RE –KOMPAK Panduan Pelaksanaan Pemberdayaan Perempuan dan PUG Pedoman Operasional Kelurahn/desa Program Re-Kompak *Untuk P2KP Panduan Pelaksanaan Program Penguatan Partisipasi Perempuan NAD pilot P2KP ;Modul Pemberdayaan Perempuan dan Laki-laki ;Modul Pelatihan Dasar Gender, Ketimpangan, dan P4-NAD *Untuk profil gender diawali data terpilah kepegawaian Dep.PU. Saat ini Pusdata sedang menyusun pendataan terkait PUG, Menghilangkan diskriminasi upah antara pekerja perempuan dan pekerja laki-laki pada proyek Bentuk upaya perwujudan komitmen sadar gender dan meningkatkan peran lakilaki dan perempuan lebih proporsional terhadap kegiatan pu Kelompok kerja gender di kementrian pekerjaan umum Badan Keswadayaan Masyarakat Kelompok Swadaya Masyarakat Para istri kabinet indonesia bersatu yang mendukung suami Pemberdayaan Perkumpulan Petani Pecinta Air Keterlibatan perempuan dalam perbaikan saluran irigasi dan rembug desa Meningkatkan fasilitas kerja yang responsif gender dan infrastruktur yang aman dan nyaman baik untuk laki-laki dan perempuan (anak-anak, lansia, kaum difabel) RTH menjadi tempat bersosialisasi /arisan para ibu dan bermain bagi anak Perempuan bekerja yang dalam masa laktasi dapat lebih nyaman dan mudah melakukan kewajiban sebagai ibu, sekaligus kewaajiban bekerja. Kaum ibu (maupun kaum bapak) yang memiliki anak balita dapat menitipkan anaknya di kantor sehingga dapat lebih fokus bekerja sekaligus meningkatkan interaksi dengan anak Digunakan masyarakat umum Diterapkan pada proyek pengerjaan jalan Ket. A.Lapangan Kerja; B.Tingkat Pendapatan; C.Produktifitas Kerja; Ket. Kerja; B.Tingkat Pendapatan; C.Produktifitas Ket. *A.Lapangan Pelaksanaan LH dan Per-UU berpotensi ekonomi
B
Ket. * Pelaksanaan LH dan Per-UU berpotensi ekonomi
A
Menjaga komitmen kementrian PU dalam melaksanakan PUG
X
X
X
X X X X X X
X X X X X X
X
X X
X X
Kerja;
53
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.2 No.1, April 2010 hal 47-55
Dari penjabaran diatas, dimasukkannya unsur gender dalam kebijakan adalah juga bermanfaat bagi perbaikan perekonomian. Dengan adanya responsif gender pada pembangunan infrastruktur yang selama ini terkesan maskulin, menghasilkan peningkatan peran serta perempuan pada pembangunan infrastruktur yang secara tidak langsung mempengaruhi aspek ekonomi. Hal ini dikarenakan antara lain, karena sebagian jumlah PNS/CPNS kementrian pu adalah perempuan sehingga peningkatan peran perempuan berpengaruh pada kinerja kementrian PU. Peningkatan perempuan sebagai hasil dari implementasi kebijakan yang berwawasan gender tersebut ternyata memperluas kesempatan kerja bagi perempuan. Bukan hanya di lingkungan kementerian pekerjaan umum, tetapi kegiatan kemente rian PU yang responsif gender, ternyata juga meningkatkan peran serta perempuan pada umumnya. Dalam kegiatan NUSSP, P2KP maupun P3A, perempuan pedesaan dilibatkan secara aktif dalam pengurusan maupun pekerjaan terkait kegiatan pu tersebut. Aspek ekonomi kesempatan kerja, maka kebijakan berwawasan gender pada kegiatan tersebut adalah membuka lapangan pekerjaan pada perempuan. Mengingat permasalahan perempuan erat kaitannya dengan ekonomi keluarga dan beban ganda perempuan, maka dengan meningkatnya peran perempuan dalam bekerja, dilogikakan akan meningkatkan pemasukan bagi perekonomian keluarga pula. Dengan demikian, memiliki dampak keluar dari lingkungan PU. Selain meningkatkan kesempatan kerja, kementrian PU pada proyek pembangunan infrastruktur dalam rangka responsif gender juga tidak mengenal adanya diskriminasi upah antara pekerja laki-laki maupun perempuan. Dengan demikian, dari sisi ekonomi, adalah berpengaruh pada tingkat pendapatan. Meningkatnya tingkat pendapatan perempuan menjadi setara dengan lakilaki, menjadikan kontribusi perempuan dalam perekonomian keluarga semakin besar sehingga dengan adanya responsif gender ini meningkatkan pertumbuhan ekonomi dimulai dari perekonomian keluarga. Adanya pegawai perempuan di lingkungan PU juga berpengaruh pada kebutuhan perbaikan suasana kerja. Bangunan gedung yang dulu terasa didominasi maskulin, kini dibangun sarana ruang menyusui bagi para pekerja wanita yang memiliki anak usia menyusui. Pembangunan ruang menyusui ini adalah hasil dari kesadaran responsif gender. Dengan adanya ruang menyusui ini, maka kendala yang ada selama ini yang dihadapi oleh para pekerja perempuan dapat dieliminasi. Dengan ditiadakannya kendala tersebut, diharapkan produktifitas kerja pegawai perempuan pun dapat me-
54
ningkat. Dikarenakan sebagian pegawai kementerian PU adalah perempuan, maka jika produktifitas pegawai perempuan meningkat berarti berpengaruh pada produktifitas kementerian.
KESIMPULAN Responsif gender adalah suatu hal yang dikondisikan dikarenakan adanya kebutuhan yang merupakan isu global. Departemen pekerjaan umum yang sekarang bernama kementerian pekerjaan umum berada pada sektor infrastruktur dan bidang ke-PU-an cenderung maskulin. Isu gender yang kian merebak secara global, turut mengimbas kebijakan dalam bidang ke-PU-an sehingga perlu lebih responsif gender. Dari pembahasan diatas, diperoleh pemahaman akan kondisi sadar gender termasuk juga indikasi kebijakan berwawasan gender khususnya di lingkungan bidang kementrian pekerjaan umum. Kesadaran akan gender di kementrian PU baru berjalan selama beberapa tahun sehingga belum merambah pu secara keseluruhan. Namun, dari kondisi hingga telah disaat ini lakukan tinjauan dari aspek ekonomi terhadap dimasukkannya unsur gender dalam kebijakan/program/kegiatan dan diperoleh kesimpulan bahwa dimasukkannya unsur gender ternyata bukan hanya semata aspek sosial, namun juga memiliki aspek ekonomi. Dan dikarenakan implementasi dari kebijakan berwawasan gender tersebut bukan hanya dirasakan oleh internal PU melainkan juga eksternal, diantaranya dengan pemberdayaan perempuan desa, maka dengan demikian responsif gender berpotensi manfaat untuk meningkatkan perekonomian. Namun disayangkan, selama ini gender di lingkungan pekerjaan umum belum merambah ke banyak lingkup pekerjaan umum. Pelaksanaan gender juga belum maksimal. Seperti pada ruang menyusui, hingga kini berdasarkan hasil pengamatan lebih sering terkunci dan hanya sesekali dibuka, sehingga masih terasa mubazir karena ada di tiap lantai, demikian juga tempat penitipan anak. Sedangkan pada partisipasi perempuan desa, ternyata kebijakan gender masih lebih condong ke kaum laki-laki, karena meskipun perempuan telah mulai diberdayakan, namun keterlibatan perempuan masih lebih sedikit dibanding laki-laki, sehingga perlu dicermati, apakah kegiatan yang dirancang cenderung maskulin sehingga peran perempuan dikesampingkan. Data terpilah yang telah mulai dilakukan menjawab kebutuhan gender, namun, pemanfaatan data terpilah tersebut hingga kini baru sebatas informasi dan belum optimal sehingga perlu penanganan lebih lanjut dari pemanfaat data terpilah tersebut sehingga dapat menjadi kemajuan untuk kebijakan berwawasan gender di kementerian pekerjaan umum.
Tinjauan Aspek Ekonomi Pada Kebijakan Berwawasan Gender ( Studi kasus di lingkungan kementrian pekerjaan umum ) Retta Ida Lumongga, MM
SARAN Dari kesimpulan penelitian, didapat bahwa kebijakan berwawasan gender hingga saat ini terlihat baru merambah sebagian kecil saja dari keseluruhan area kebijakan di lingkungan kementrian pekerjaan umum sehingga belum dilaksanakan secara optimal. Oleh karenanya, dirasakan perlu untuk dilakukan telaah yang lebih mendalam terhadap seluruh kebijakan di kementerian PU, untuk melihat tingkat kepentingan tiap kebijakan tersebut untuk menjadi lebih sadar gender. Tentunya ini penting, karena dalam memasukkan kepentingan gender, bukan cuma sekedar persoalan pembiayaan, namun perlu disadari akan manfaat dan hasil diantaranya untuk menjawab permasalahan perekonomian.
DAFTAR PUSTAKA Burhin, Burngin. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Edisi 1. PT.Rajagrafindo Perkasa. Handayani, Trisakti dan Sugiarti. 2006. Konsep dan Teknik Penelitian Gender. Edisi Revisi. UMM Pers. ISBN: 979-3602-73-X Krugman, Paul R dan Obstfeld, Maurice. 1994. Ekonomi Internasional Teori dan Kebijakan. Edisi 2. Diterbitkan atas kerjasama PAU-FEUI dan Harpercollins Publishers. Manajemen PT Rajagrafindo Perkasa. Jakarta Meneg PP RI. 2008. Makalah Kebijakan Nasional Pelaksanaan Strategi Pengarusutamaan Gender di Indonesia. Jakarta Miles, Matthew B dan Huberman, A Michael, 1992. Qualitative Data Analysis, Sage Publication Inc.& UI Press, Jakarta. Nugroho, Riant. 2008. Gender dan Strategi Pengarusutamaannya di Indonesia. Cetakan 1. Pustaka Pelajar. ISBN: 978-602-8300-48-3 Puskim Departemen PU. Panduan Penulisan Ilmiah. Bandung. Rencana Strategis Kementrian Pekerjaan Umum. Setjen PU. 2008. Prosiding Pencanangan Peningkatan Implementasi Pengarusutamaan Gender Bidang Pekerjaan Umum. Jakarta. Sekretariat Tim PUG-PU. 2009. Makalah Sistem Monev PUG-PU. Disampaikan pada workshop monitoring dan evaluasi pokja k/l, Depok. Soediyono R, Prof.Dr.MBA. 1992. Ekonomi makro : Pengantar Analisis Pendapatan Nasional. Edisi 5. Liberty. Yogyakarta.
55
56
PERSPEKTIF SOSIAL EKONOMI TERHADAP APLIKASI TEKNOLOGI RUMAH RISHA Dimas Hastama Nugraha Balai Litbang Sosek Bidang Permukiman Puslitbang Sebranmas Balitbang Kementerian PU Jl. Sapta Taruna Raya No.26 Komplek PU Pasar Jumat - Jaksel ABSTRACT As a newest technology, RISHA has technical advantages. The application of this technology is particularly for non receiving reconstruction program area post disaster, seem not optimum yet. From the social economic aspect, the application of RISHA is well known by the community, but not yet find good market mechanism. This is due to the fact that RISHA has been selected as an alternative rather than as a main purposes. This study is aimed to review the application of RISHA from the socio economic aspect in 3 (three) provinces West Java, South Sumatera and West Nusa Tenggara. The Important founding conclusion is that alternative problem solution to low cost housing for low income RISHA is visible but still not yet bankable and thus need socialitazion to disseminate the perception of RISHA development because most respondents did not get complete information. Keywords : RISHA,Rumah, Sosial, Ekonomi, Teknologi Abstrak RISHA sebagai hasil penemuan teknologi permukiman memiliki banyak keunggulan teknis . Tetapi penerapan RISHA di daerah, khususnya di daerah yang tidak menerima program rekonstruksi pasca bencana, dinilai belum optimal. Dari aspek sosial ekonomi, penerapan RISHA, telah dikenal oleh masyarakat akan tetapi belum menemukan mekanisme pasar yang baik. Hal ini dikarenakan masih banyaknya masyarakat yang menganggap RISHA sebagai varian alternatif, bukan sebagai tujuan utama rumah. Penelitian ini ditujukan untuk menerangkan bagaimana aplikasi RISHA sejauh ini dari aspek sosial ekonomi di 3 (tiga) daerah yaitu Jawa Barat, Sumatera Selatan, dan Nusa Tenggara Barat.Temuan penting menunjukkan bahwa RISHA bersifat visible tetapi belum bankable, maka diperlukan sosialisasi untuk penyebarluasan persepsi pengembangan RISHA mengingat sebagian responden belum mengetahui informasi secara lengkap Kata Kunci : RISHA,Rumah, Sosial, Ekonomi, Teknologi PENDAHULUAN Latar Belakang RISHA berangkat dari pemikiran bahwa masih terdapat backlog dalam penyediaan rumah secara nasional dimana 7,2 juta keluarga di Indonesia yang belum memiliki rumah dan 14 juta unit rumah berada dalam kondisi yang kurang layak huni yang pada umumnya dihuni oleh masyarakat berpenghasilan rendah (Sabaruddin, 2005). Kebutuhan rumah dibarengi juga dengan harga rumah yang tinggi, sehingga ke depan perlu dicarikan solusi rumah layak huni dan terjangkau bagi MBR. Sehingga dari RISHA ini dapat menjadi alternatif solusi. Namun demikian RISHA selama ini bersifat
acceptable hanya untuk daerah bencana. Hal ini disimpulkan pada riset tahun 2007 yang dilakukan Balai Sosial Ekonomi Bidang Permukiman Puslitbang Sebranmas Badan Litbang Departemen Pekerjaan Umum, dimana telah melakukan penelitian sosial ekonomi terhadap aplikasi RISHA. Penelitian tersebut dilakukan dengan lebih ditekankan kepada daerah yang terkena bencana alam, dan menerima bantuan program rekonstruksi. Pada kegiatan rekonstruksi, penghuni memiliki keterbatasan dalam memilih teknologi hunian yang ditawarkan,sehingga RISHA menjadi acceptable. Sementara itu, pada daerah yang non bencana alam di mana tidak terdapat nota kesepakatan yang mengikat antara pihak pembangun dengan penemu atau pemi-
57
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.2 No.1, April 2010 hal 57-64
lik legal teknologi RISHA, maka pengembangan RISHA belum dapat terlihat secara nyata. Oleh karena itu, untuk pengembangan RISHA ke depan, faktor faktor yang mempengaruhi khususnya aspek sosial dan ekonomi, perlu diidentifikasi melalui serangkaian kegiatan penelitian. Dari latar belakang di atas perumusan masalah dalam tulisan ini adalah : • • •
Bagaimana dinamika pengembangan RISHA di wilayah penelitian? Bagaimana perspektif stakeholders terhadap teknologi RISHA? Bagaimana efektifitas strategi pemasaran dan pengembangan yang sudah dilakukan?
Keaslian Penelitian Penelitian tentang tentang aspek sosial ekonomi terhadap aplikasi teknologi rumah RISHA belum pernah dilakukan sebelumnya pada penelitian- penelitian sebelumnya. Penelitian ini akan melihat perspektif sosial ekonomi terhadap aplikasi rumah RISHA yang sudah ada.
Tujuan Penelitian Tujuan Umum penelitian ini adalah menerangkan perspektif aplikasi teknologi rumah RISHA ditinjau dari aspek sosial ekonomi. Sedangkan tujuan khusus penelitian ini adalah : a. Membahas dinamika pengembangan RISHA di wilayah penelitian b. Menemukenali (mengidentifikasi) persepsi stakeholders terhadap teknologi rumah Risha c. Mengkaji efektifitas strategi pemasaran dan pengembangan industri teknologi rumah Risha yang telah dilakukan
KAJIAN PUSTAKA METODE PENELITIAN Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari-November 2008, Lokasi penelitian ini dilakukan di 3 (tiga) wilayah yang tidak menerima program rekonstruksi pasca bencana yaitu di kota Mataram (Nusa Tenggara Barat), kota Palembang (Sumatera Selatan), dan kota Bandung (Jawa Barat). Ketiga lokasi tersebut mewakili daerah-daerah yang pembangunan perumahannya tidak termasuk kategori penerima program rekonstruksi pasca bencana. Karakteristik penelitian juga mewakili daerah regional barat (Palembang), regional tengah (Bandung), dan regional timur (Mataram). Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif terutama untuk menggali data dan informasi untuk dikembangkan menjadi konsep – konsep variabel dan indikator sosial ekonomi pengembangan RISHA. Na-
58
mun penelitian ini didukung oleh metode kuantitatif sehingga kombinasi pendekatan kualitatif dan kuantitatif dapat mengolah data lapangan secara komprehensif baik yang besifat numeric maupun eksplanatif. Data diperoleh dengan cara wawancara dengan para stakeholder sebagai informan dan yang dipandu serangkaian pertanyaan dalam interview guide dengan dukungan metode kuantitatif. Sampel data penelitian dibagi menjadi empat cluster responden; yaitu (i) pengguna RISHA dari perusahaan swasta, (ii) perseorangan, (iii) pemerintah dan (iv) non konsumen. Penarikan sampel dengan menggunakan metode purposive sampling. Data yang diperoleh dapat mewakili isu-isu penting dari stakeholder RISHA di ketiga daerah terkait dengan pengembangan sosial ekonomi RISHA. Analisis terhadap sikap dan perilaku masyarakat dalam memilih RISHA, menggunakan analisis statistik deskriptif berupa tabulasi silang, grafik, rata-rata dan frekuensi. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi perilaku masyarakat dalam memilih RISHA digunakan analisis faktor. Selanjutnya, untuk mengidentifikasi hubungan antara berbagai faktor perilaku konsumen di dalam memilih RISHA, digunakan crosstab analysis. Hasil FGD dianalisis lebih lanjut dengan menggunakan analisis SWOT, sedangkan olah data dilakukan dengan menggunakan SPSS versi 12. Selanjutnya, metoda sintesis hasil penelitian menggabungkan analisis dengan mempertimbangkan proporsi hasil kuantitatif maupun kualitatif, secara khusus analisis utama kuantitatif merujuk pada kegiatan survei dengan alat kuesioner. Sedangkan analisis utama kualitatif merujuk pada pendekatan triangulasi yang dilakukan dengan melakukan wawancara terhadap informan di lapangan, maupun FGD (Focussed Group Discussion). Disamping pengambilan data dengan kuisener dilakukan FGD, dengan data jumlah responden berjumlah 33 responden.
Kerangka Konseptual
Perspektif Sosial Ekonomi Terhadap Aplikasi Teknologi Rumah Risha Dimas Hastama Nugraha*
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Dinamika Pengembangan RISHA di Wilayah Penelitian Matriks -1 Dinamika Pengembangan RISHA di 3 (tiga) wilayah penelitian
Sumber : Hasil Survey, 2008
59
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.2 No.1, April 2010 hal 57-64
Pertimbangan minat konsumen terhadap ketiga aspek tersebut dibandingkan dengan pertimbangan terhadap faktor desain yang dipengaruhi oleh trend pasar perumahan dan asumsi membuat rumah harus mahal serta membutuhkan waktu yang lama. Penelitian ini juga berusaha mengidentifikasi kecenderungan pilihan RISHA, baik untuk produk permukiman dan fungsi lainnya, apakah didasarkan pada alasan alasan 1) sosial ekonomis-pemasaran, 2) kesesuaian dengan kebutuhan dan 3) persepsi kemudahan. Hasil analisis pada penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang pertimbangan responden di dalam memilih hunian yang layak (RISHA) yang mencerminkan Rumah yang Instan, Sehat dan Sederhana. Pertimbangan minat konsumen terhadap ketiga aspek tersebut dibandingkan dengan pertimbangan terhadap faktor desain yang dipengaruhi oleh trend pasar perumahan dan asumsi membuat rumah harus mahal serta membutuhkan waktu yang lama. Penelitian ini juga berusaha mengidentifikasi kecenderungan pilihan RISHA, baik untuk produk permukiman dan fungsi lainnya, apakah didasarkan pada alasan alasan 1) sosial ekonomis-pemasaran, 2) kesesuaian dengan kebutuhan dan 3) persepsi kemudahan.
perilaku konsumen yang positif. Hasil penelitian dalam Tabel-1 di atas merangkum dinamika kegiatan pengembangan RISHA yang direpresentasikan dengan menggunakan 12 indikator sosial ekonomi, yang terdiri dari 6 (enam) indikator sosial dan 6 (enam) indikator ekonomi serta 1 (satu) indikator ekonomi tambahan yaitu gambaran secara global peluang sistem kredit di masing- masing daerah. Indikator Sosial 1. Latar belakang penghuni 2. Alasan dibangun 3. Peruntukan 4. Alasan memilih 5. Pengambil keputusan 6. Respon penggunaan masyarakat sekitar Indikator ekonomi 1. Biaya 2. Pelaksana, 3. Mekanisme Penjualan 4. Jumlah unit yang terbangun, 5. Keluhan (Ekonomi) 6. Asal info RISHA 7. Kredit
2. Perspektif Stakeholders terhadap Teknologi RISHA
Gambar 1. Model Kuadran untuk Analisis Dimensi Kebutuhan Sosial Ekonomi Permukiman
Gambar-1 menjelaskan kondisi saat ini dan kondisi ideal RISHA di lapangan. Terkait dengan kondisi terkini RISHA terjelaskan dalam Kwadran I yang dipengaruhi tuntutan trend pasar permukiman dan dinamika kebutuhan sosial ekonomi permukiman. Dalam kwadran 1 ini RISHA masih belum menjadi pilihan masyarakat. Idealnya (kwadran IV) RISHA dapat menjadi pilihan permukiman masyarakat, hal ini sangat beralasan karena teknologi RISHA mempunyai jaminan mutu kekuatan, sesuai dengan kaidah teknis permukiman internasional. Dalam kwadran ini pula sisi ideal juga terlihat ketika masyarakat akan merespon baik dengan
60
Setidaknya terdapat indikasi perbedaan dan persamaan di ketiga daerah kajian. Asek aspek yang samai bisa dijadikan pijakan pengembangan RISHA ke depan. Ada empat persamaan yang menonjol. Pertama, alasan memilih. Isu ini menjadi sensitif ketika akan melihat RISHA dari perspektif konsumen. Dari ketiga daerah tersebut alasan memilih RISHA karena ekonomis-efisien-sosial. Ekonomis menjadi kata kunci untuk mendorong pengembangan RISHA. Kedua, respon masyarakat sekitar. Sebagian besar masyarakat merespon tertarik dengan RISHA apapun alasannya. Kondisi sebenarnya menjadi modal pengembangan pemasaran RISHA. Ketiga, mekanisme penjualan. Sampai riset ini berlangsung belum terlihat mekanisme penjualan yang jelas dalam mendorong produksi RISHA. Karena memang RISHA masih melekat dengan produk pemerintah, sehingga mengesampingkan orientasi keuntungan. Oleh sebab itu, RISHA terkesan pasif hanya menunggu permintaan. Selain itu persamaan yang lain adalah secara individu harga RISHA lebih mahal dan mekanisme penjualan yang pasif. Kedua hal tersebut disadari atau tidak memiliki satu mata rantai yang saling berhubungan. RISHA dalam arti sebenarnya dapat diartikan sebagai rumah sederhana tetapi sehat dan dibangun secara instan. Apabila dirunut dari berbagai kasus dan perkembangan di lapangan, telah terjadi beberapa
Perspektif Sosial Ekonomi Terhadap Aplikasi Teknologi Rumah Risha Dimas Hastama Nugraha* pergeseran makna. Hal tersebut dapat dianalisis dengan menggunakan metoda kwadran. di ketiga daerah tersebut, terdapat perbedaan respon terhadap aplikasi RISHA. Ketika RISHA tidak direspon secara utuh sebenarnya RISHA belum bisa diwacanakan sebagai rumah dalam kondisi ideal. Hal inilah yang kemudian mendorong munculnya RISHA dalam Kwadran II dan III. Bisa jadi RISHA hanya bisa menjadi pengetahuan bagi masyarakat atau alternative permukiman. Selain yang utama adalah rumah konvensional. Dalam FGD telah dibahas sebanyak 31 topik bahasan yang terdiri dari 19 (sembilan belas) aspek teknis, 7 (tujuh) aspek ekonomi dan 5 (lima) aspek sosial. Dengan analisis SWOT dari ke-19 aspek teknis tersebut, 10 aspek teknis berhubungan dengan masalah masalah ekonomi dan sisanya 8 (delapan) aspek berhubungan dengan masalah masalah sosial. Aspek teknis yang dibahas antara lain meliputi masalah masalah bahan baku (semen dan alternatifnya termasuk daur ulang limbah), peralatan cetak, konstruksi, ukuran, disain arsitektur, system panel, penyediaan lokasi, tenaga ahli, penyediaan dll. Aspek aspek ekonomi yang terpengaruh oleh aspek teknis antara lain adalah waktu pelaksanaan, biaya, kemampuan calon pembeli, efisiensi . Aspek aspek sosial yang terpengaruh oleh aspek teknis antara lain adalah sosialisasi teknologi Risha,pasar RISHA, pengetahuan masyarakat, modifikasi ukuran maupun fungsi Risha terkait dengan kearifan local. FGD yang membahas 31 (tigapuluh satu) topik, telah mengidentifikasikan 8 (delapan) isu isu penting terkait dengan pengembangan RISHA. Isu isu tersebut adalah (i) Risha untuk rumah sementara, (ii) kecepatan pemasangan, (iii) kredit pemilikan, (iv) pemilihan RISHA karena banyak orang yang membeli, (v) Pemilihan RISHA karena disain, (vi) Material RISHA yang dibuat sendiri, (vii) anggapan harga RISHA yang murah, (viii) persepsi masyarakat terhadap RISHA. Hasil olah data terhadap ke-8 (delapan) isu tersebut diuraikan sebagai berikut.
Gambar 2. Anggapan Untuk Rumah Sementara Diagram di atas memperlihatkan bahwa ada anggapan terhadap RISHA, bahwa RISHA tepat untuk rumah
sementara. Terlihat sebanyak 13 orang menyatakan sangat setuju dan setuju. Pendapat ini tidak mengherankan sebab RISHA sudah dikenal dalam membantu masyarakat korban bencana. Meskipun terdapat opini tersebut sebenarnya sifat RISHA bukanlah rumah sementara. Terlihat sebanyak 13 responden menyatakan sangat tidak setuju dan tidak setuju 5 orang dan raguragu 3 orang. Hal ini dapat dilihat pada gambar di atas. Kemudian isu penting lainnya terkait dengan waktu pasang RISHA, isu ini sangat penting mengingat salah satu keunggulan RISHA adalah waktu pembangunan yang cepat. Pada perakitan RISHA tanpa modifikasi dapat dipasang selama 2 sampai 3 hari. Maka tidak heran jika 12 responden menyatakan setuju dan 13 responden menyatakan sangat setuju terhadap cepatnya waktu pasang/rakit. Tetapi ada juga responden yang masih menyangsikan atau ragu-ragu dengan cepatnya waktu pasang sebanyak 6 responden. Ini dapat dilihat dalam Gambar 4 berikut ini.
Gambar 3. Kecepatan Pemasangan RISHA Isu penting lainnya masyarakat yakin akan nilai ekonomis RISHA, dalam hal ini RISHA oleh sebagian besar responden dianggap bisa dikreditkan. Pendapat ini diperoleh dari 9 responden yang menyatakan Sangat setuju dan 12 responden menyatakan setuju, jika RISHA dapat dikreditkan. Sedangkan responden yang menyatakan tidak setuju sebanyak 3 responden, raguragu 7 responden, tidak tahu 2 responden. Hal tersebut terlihat dalam Gambar-4 berikut ini.
Gambar 4. Nilai Ekonomis RISHA (Kredit) Isu lainnya masyarakat yakin bahwa alasan responden membeli rumah RISHA, karena banyak orang yang membelinya. Hasil olah data memperlihatkan 6
61
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.2 No.1, April 2010 hal 57-64
responden menyatakan setuju dan 5 responden menyatakan sangat setuju, Sedangkan responden yang menyatakan sangat tidak setuju sebanyak 5, tidak setuju 3, sangat tidak setuju 5 responden dan tidak tahu 2 responden. Yang menarik adalah ada 12 responden yang menyatakan ragu-ragu beralasan memilih RISHA. Hal ini mengindikasikan banyak responden rasional dalam memilih rumah huniannya. Hal tersebut terlihat dalam gambar 5. berikut ini.
Gambar 5. Memilih RISHA karena banyak orang membelinya
Gambar 7. Material dapat di buat sendiri Gambar 8 di bawah memperlihatkan salah satu isu sosial penting, mengenai persepsi masyarakat dalam bermukim dengan RISHA. Setidaknya ada 4 responden menyatakan sangat setuju dan 9 responden menyatakan setuju, jika RISHA memberi gengsi tersendiri. Sedangkan responden yang menyatakan sangat tidak setuju sebanyak 6, tidak setuju 5, ragu-ragu 7 responden dan tidak tahu 2 responden.
Isu penting lainnya yakni terkait dengan desain rumah, setidaknya 7 responden menyatakan sangat setuju dan 11 responden menyatakan sangat setuju,. Sedangkan responden yang menyatakan sangat tidak setuju sebanyak 2, tidak setuju 7, yang menyatakan ragu-ragu terdapat 8 responden dan tidak tahu 2 responden. Hal tersebut terlihat dalam gambar 6 berikut ini. Gambar 8. Persepsi Masyarakat terhadap RISHA
3. Efektifitas Pemasaran dan Pengembangan RISHA Hasl analisi SWOT dan analisis strategi pemasaran dan pengembangan RISHA dirangkum pada table matrik berikut: Gambar 6. Memilih RISHA karena Desain Rumah Isu penting lainnya ada pendapat bahwa material RISHA dapat dibuat sendiri. Setidaknya ada 7 responden menyatakan sangat setuju dan 5 responden menyatakan sangat setuju bahwa material RISHA dapat dibuat sendiri, yang menarik adalah ada pendapat responden lainnya yang berpendapat sebaliknya. Sedangkan responden yang menyatakan sangat tidak setuju sebanyak 5, tidak setuju 7, ragu-ragu 7 responden dan tidak tahu 2 responden. Ini mengindikasikan ada kebimbangan responden terhadap isu material yang dibuat sendiri. Hal tersebut terlihat dalam gambar 7 berikut ini.
62
Perspektif Sosial Ekonomi Terhadap Aplikasi Teknologi Rumah Risha Dimas Hastama Nugraha* Matriks-2 Analisis SWOT FGD tentang Pengembangan RISHA
Sumber: Hasil Analisis dan Sintesis, 2008
Analisis Peluang Kemampuan dan Kredit Masyarakat Terhadap RISHA Salah satu aspek yang dapat dijadikan sebagai strategi adalah peluang Kredit Masyarakat Terhadap RISHA. Ini dapat menjadi strategi mengatasi keluhan masyarakat akan harganya yang mahal bila individu, disamping strategi marketing secara kontinu. Keluhan dari hasil di atas yaitu harga yang dirasakan oleh masyarakat adalah relatif mahal sebenarnya ini adalah tidak sepenuhnya beralasan. Dari hasil data sekunder, rata- rata harga bangunan per-m2 (diluar tanah) adalah sebesar Rp 1.145.000,- (Bandung), Rp. 668151,- (Palembang), dan Rp.400.000,- (Mataram) . Dari data tersebut dan berdasarkan data yang sudah disampaikan sebelumnya, didapatkan hasil bahwa harga bangunan per m2 di Palembang dan Mataram lebih kecil daripada harga RISHA. Hal ini disebabkan karena untuk di Mataram pada saat menginisiasi adanya RISHA harus didatangkan dari Bali dan Palembang diinisiasi dari Bandung. Dari gambaran dari masing-
masing daerah (Nusa Tenggara, Jawa Barat, dan Sumatera Selatan) dapat digambarkan peluang kemampuan masyarakat dan kredit masyarakat secara global adalah sebagai berikut : Untuk Kota Bandung dari angka didapat hasil bahwa pendapatan per- kepala keluarga adalah sebesar Rp. 2.000.000,- (asumsi keluarga terdiri bapak, ibu, dan dua orang anak) (BPS, 2006). Dari hasil keluaran tersebut dapat ditaksir seberapa kemampuan masyarakat Bandung dalam pembelian RISHA. Skema peluang pembiayaan adalah adalah dengan sebagai berikut : • Pendapatan : Rp. 2.000.000,• Konsumsi / living cost : 65 % • Debt service ratio : 35 % • Interest rate KPR : 9,9 % ( asumsi : rata- rata interest of bank)
63
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.2 No.1, April 2010 hal 57-64
Dari hasil hitungan tersebut berarti kemampuan masyarakat untuk bisa mengangsur adalah sebesar Rp.2.000.000,- * 35 % (debt service ratio) adalah sebesar Rp. 700.000,- . Sehingga dengan hal tersebut skema adalah sebagai berikut (Bandung), untuk angsuran : Maks pinjaman KPR Angsuran Berjenjang • Angsuran tahun 1 • Angsuran tahun 2 • Angsuran tahun 3 • Angsuran tahun 4 dst • Pinjaman
Rp. Rp. Rp. Rp. Rp. Rp.
78,563,411.90 700,000.00 756,000.00 816,480.00 783,294.24 78,563,411.90
Untuk Kota Palembang dari angka didapat hasil bahwa pendapatan per- kepala keluarga adalah sebesar Rp. 2.600.000,- (asumsi keluarga terdiri bapak, ibu, dan dua orang anak) (BPS, 2006). Dari hasil keluaran tersebut dapat ditaksir seberapa kemampuan masyarakat Bandung dalam pembelian RISHA. Skema peluang pembiayaan adalah prinsip future of value (Kodoatie, 2005) sebagai berikut : • • • • •
Pendapatan : Rp. 2.600.000,Konsumsi / living cost : 65 % Debt service ratio : 35 % Interest rate KPR : 9,9 % ( asumsi : rata- rata interest of bank)
Dari hasil hitungan tersebut berarti kemampuan masyarakat untuk bisa mengangsur adalah sebesar Rp.2.000.000,- * 35 % (debt service ratio) adalah sebesar Rp. 910000. Sehingga dengan hal tersebut skema adalah sebagai berikut (Bandung) : Maks pinjaman KPR Angsuran Berjenjang Rp. 98,484,848.48 • Angsuran tahun 1 Rp. 910,000.00 • Angsuran tahun 2 Rp. 1,019,200.00 • Angsuran tahun 3 Rp. 1,141,504.00 • Angsuran tahun 4 dst Rp. 1,054,177.65 • Pinjaman Rp. 98,484,848.48 Maks pinjaman KPR Angsuran Berjenjang Rp. • Angsuran tahun 1 Rp. • Angsuran tahun 2 Rp. • Angsuran tahun 3 Rp. • Angsuran tahun 4 dst Rp. • Pinjaman Rp.
78,563,411.90 700,000.00 756,000.00 816,480.00 783,294.24 78,563,411.90
Kesimpulan 1. Dari aspek dinamika pengembangan RISHA di masing lokasi terdapat persamaan karakteristik dinamika yang ada baik di Mataram, Bandung, dan Palembang, yaitu mekanisme penjualan yang menunggu permintaan (pasif) dan keluhan harga dimana harga RISHA secara individu lebih mahal daripada rumah biasa. Sedangkan terkait harga secara tipe relatif sama di semua lokasi penelitian 2. Dari aspek persepsi stakeholders masing- masing lokasi terhadap teknologi RISHA, Responden menempatkan RISHA sebagai varian Rumah hunian alternatif, bukan sebagai varian hunian utama, responden juga melihat nilai tambah dari RISHA yaitu kecepatan pemasangan, nilai ekonomis (yang dianggap bisa dikreditkan), memilih karena banyak orang membelinya dan design (arsitektural)RISHA yang ada, material dapat di buat sendiri dan persepsi masyarakat terhadap RISHA yang positif. Sehingga dengan kata lain sebenarnya RISHA sudah visible, akan tetapi belum adanya dukungan pembiayaan perbankan sehingga belum bankable . 3. Dari segi efektifitas pemasaran dan pengembangan RISHA, yang sebenarnya terkait dengan dinamika pengembangan RISHA dan persepsi stakeholders maka dari hasil analisis SWOT efektifitas pemasaran dan pengembangan RISHA, RISHA yang masih relatif mahal, cetakan langka, dan pengetahuan kompleks/ “rumit” tentang RISHA menjadi kelemahan yang “mengganggu” efektifitas pengembangan RISHA.
DAFTAR PUSTAKA Biro Pusat Statistik. 2006. Bandung dalam Angka. Jakarta: Badan Pusat Statistik Biro Pusat Statistik. 2006. Sumatera Selatan dalam Angka. Jakarta: Badan Pusat Statistik Kajian Sosek pengembangan RISHA. 2008. Laporan Akhir, Balai Litbang Sosekkim, Puslitbang Sebranmas Badan Litbang Departemen PU. Kodoatie, Robert. 2005. Analisis Ekonomi Teknik. Yogyakarta. Sabaruddin. 2005. Membangun RISHA. Jakarta: Griya Kreasi.
1 Data diambil dari property-leader.net.Harga yang diambil adalah rata- rata minimal harga rumah di 3 (tiga) daerah kajian, dengan spesifikasi dan lokasi relative sepadan dengan RISHA
64
DAFTAR KATA INDEX JURNAL SOSEK PEKERJAAN UMUM Akseptibilitas Asbuton Betonisasi Biopori Buton Cable-Stayed Crosstab Analysis Dinamika Ekonomi Dinamika Sosial Ekonomi Makro Focus Group Discussion Gender Indikator Ekonomi Wilayah Infrastruktur Jalan Lintas Papua Jembatan Kelembagaan Konservasi Kualitatif Kuantitatif Lubang Resapan Biopori Mobilitas Modal Sosial Multiplier Effect Operasi dan Pemeliharaan Papua Papua New Guinea Participatory Rural Appraisal Partisipatif PDRB Pembangunan Jalan Peran Sosial Perubahan Ekonomi Perubahan Sosial Purposive Sampling Responsif Gender RISHA Ruang Terbuka Hijau Sampling Stakeholders Sulawesi Tenggara Sumur Resapan Tangerang Selatan Transmigrasi
65