i
PENGARUH PENGUASAAN LAHAN TERHADAP KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT (Kasus: Kampung Cijengkol, Desa Cigudeg, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat)
EKA ARIWIJAYANTI I34070026
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
ii
ABSTRACT EKA ARIWIJAYANTI. The Land Tenure Effect to Socio-Economic Conditions in the Community (Case in Kampung Cijengkol, Cigudeg Village , Cigudeg District, Bogor Regency, West Java) Supervized by MARTUA SIHALOHO. Land is the most important, high value, and become the source of life and the place of the all human activities. Every human activity needs a certain space located above the ground. Availability of land from time to time are relatively fixed, but the human needs for the the soil have increased time by time. The growing population pressure led to the need for land is increasing. However, the actual problems of land tenure is seen as a problem concern of social relations, economics, and politics which is associated with wealth, income, economic opportunity, social status and political domination among human. Therefore, this study is about how the influence of tenure to the socio-economic conditions of villagers. The purpose of this study was to determine, identify and analyze 1) the factors that affect land tenure, 2) relationship factors to the land tenure’s level, and 3) the influence of tenure to socio-economic conditions of the villagers. This study used qualitativef approach supported by quantitative approache by using kuesioner, observation in the field and in-depth interviews. The results of this study are 1) there are factors that influenced the acquisition of land in Kampung Cijengkol which is the system of inheritance and a lack of capital, 2) there is a relationship between factors that affect the tenure mastery of the land in Kampung Cijengkol, and 3) there is a relationship mastery level on the socioeconomic conditions of land which is seen from the land that affect the level of income, education level and ownership of assets and capital. Keywords: land, land tenure, land tenure factor, the system of inheritance, capital, socio-economic
iii
RINGKASAN EKA ARIWIJAYANTI. PENGARUH PENGUASAAN LAHAN TERHADAP KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT (KASUS KAMPUNG CIJENGKOL, DESA CIGUDEG, KECAMATAN CIGUDEG, KABUPATEN BOGOR , PROVINSI JAWA BARAT. (Dibawah bimbingan MARTUA SIHALOHO). Sumberdaya agraria merupakan sumber nafkah yang akan menentukan seberapa jauh jangkauan para petani dalam memenuhi kebutuhan pangan, perumahan, pendidikan, dan unsur kesejahteraan lainnya. Oleh sebab itu, ketimpangan penguasaan sumberdaya agraria akan menimbulkan kemiskinan di pedesaan. Tanah sebagai benda yang paling penting dan tinggi nilainya, merupakan sumber kehidupan dan tempat berlangsungnya segala aktivitas-aktivitas lainnya. Ketersediaan tanah dari waktu ke waktu jumlahnya relatif tetap, namun untuk kebutuhan manusia terhadap tanah makin meningkat. Tekanan penduduk yang makin besar menyebabkan kebutuhan akan tanah pun semakin meningkat. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui, mengidentifikasi dan menganalisis 1) faktor-faktor yang mempengaruhi penguasaan lahan pertanian di Kampung Cijengkol, 2) pengaruh faktor-faktor penguasaan lahan terhadap tingkat penguasaan lahan, dan 3) pengaruh tingkat penguasaan lahan terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat khususnya dilihat dari tingkat pendapatan, tingkat pendidikan dan kepemilikan asset dan modal. Penelitian ini dilaksanakan di Kampung Cijengkol, Desa Cigudeg, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif didukung dengan pendekatan kuantitatif. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara mendalam, sensus awal untuk mengetahui seberapa warga yang menguasai lahan selain itu analisis dokumen dan didukung dengan kuesioner. Menurut hasil pendataan sensus awal yang dilakukan peneliti tahun 2011 warga Kampung Cijengkol RW 18 terdiri atas 130 kepala rumahtangga. Unit analisis dalam penelitian ini adalah 46 rumahtangga yang ditentukan berdasarkan rumus slovin dan stratified random sampling. Ketidakmerataan
penguasaan
atas
tanah
pertanian
menyebabkan
kemiskinan di desa khususnya bagi para petani. Hak menguasai atas tanah yang lemah menyebabkan para petani kecil tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup
iv
sehari-harinya. Para petani yang menguasai sebagian tanah yang kecil berusaha untuk mencukupi kebutuhan hidupnya dengan cara menyewakan ataupun menjual tanah yang mereka miliki. Terjadinya ketidakmerataan akses penguasaan atas tanah ini menjadikan bertambahnya petani tidak bertanah dan mengakibatkan posisi kaum petani ini termarginalisasi dari kehidupan sosialnya. Ketimpangan tersebut
berdampak pada distribusi pendapatan rumah tangga pedesaan yang
berasal dari usaha pertanian. Beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi bentuk ketimpangan akses terhadap tanah yang terdapat di Kampung Cijengkol yaitu 1) adanya sistem bagi waris dimana lahan yang diwariskan dibagikan kepada pihak yang mempunyai hak waris, 2) Jumlah penduduk yang padat, dan 3) modal. Faktor-faktor di atas mengakibatkan terjadinya struktur kelas dalam masyarakat desa yang menekankan fungsi ekonomi dan kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan dari warga kampung juga mempengaruhi tingkat penguasaan warga kampung terhadap lahan pertanian. Di Kampung Cijengkol Struktur kelas dapat dilihat dari hubungan sosial dengan lahan yaitu pemilikpenggarap, pemilik-bukan penggarap, bukan pemilik-penggarap. Cara warga memperoleh lahan yaitu dengan cara buka lahan, warisan, jual-beli, gadai, dan bagi hasil. Tingkat penguasaan lahan di Kampung Cijengkol dapat dilihat dari luas lahan yang dimiliki. Luas lahan mempengaruhi kondisi sosial ekonomi warga kampung dilihat dari tingkat pendapatan, tingkat pendidikan dan kepemilikan asset dan modal. Luas lahan mempengaruhi tingkat pendapatan warga kampung pada luas lahan yang berketegori sempit, sedangkan luas lahan tidak mempengaruhi tingkat pendidikan warga kampung karena kesadaran pentingnya pendidikan belum ada. Luas lahan tidak mempengaruhi kepemilikan asset dan modal karena kebanyakan warga kampung menganggap lahan sebagai modal untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
v
PENGARUH PENGUASAAN LAHAN TERHADAP KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT (Kasus: Kampung Cijengkol, Desa Cigudeg, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat)
EKA ARIWIJAYANTI I34070026
SKRIPSI
Sebagai Bagian Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
vi
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang ditulis oleh: Nama Mahasiswa
: Eka Ariwijayanti
NIM
: I34070026
Judul Skripsi
: Pengaruh Penguasaan Lahan terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat (Kasus Kampung Cijengkol, Desa Cigudeg, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat)
Dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Institut Pertanian Bogor
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Martua Sihaloho, SP, M.Si NIP. 19770417 200604 1 007 Mengetahui, Ketua Departemen
Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS NIP. 19550630 198103 1 003
Tanggal Lulus:
vii
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “PENGARUH PENGUASAAN LAHAN TERHADAP KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT (Kasus Kampung Cijengkol, Desa Cigudeg, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat” ADALAH BENAR HASIL KARYA SENDIRI DAN SEBAGAI KARYA ILMIAH UNTUK MEMPERKUAT PENELITIAN YANG SEBELUMNYA. SEMUA DATA DAN INFORMASI YANG DIGUNAKAN TELAH DINYATAKAN DENGAN JELAS DAN DAPAT DIPERIKSA KEBENARANNYA.
Bogor, Agustus 2011
Eka Ariwijayanti I34070026
viii
RIWAYAT HIDUP
Penulis yang bernama Eka Ariwijayanti dilahirkan pada tanggal 15 Maret 1989 di Kota Bogor. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara, anak dari pasangan suami istri Wasino dan Een Suhaenah. Penulis telah menempuh pendidikan TK di TK Tunas Muda, lalu bersekolah di SDN Semeru I Bogor, dilanjutkan di SMP Negeri 14 Bogor dan SMA Rimba Madya Bogor. Kemudian penulis melanjutkan pendidikannya di Institut Pertanian Bogor, Fakultas Ekologi Manusia Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat dengan jalur masuk Ujian Seleksi Masuk IPB (USMI). Pada saat duduk di bangku SMP, penulis mengikuti kegiatan ekstrakulikuler Paskibra dan telah mengikuti beberapa lomba Paskibra di SMA PGRI 1, Balai Kota Bogor dan beberapa tempat lainnya. Penulis juga menjadi salah satu anggota MPK (Majelis Perwakilan Kelas) yang bekerja sama dengan OSIS SMPN 14 dalam melakukan kegiatan berkenaan dengan Masa Orientasi Siswa (MOS). Pada saat SMA, penulis aktif di kegiatan ekstrakulikuler DKM sekolah, sedangkan di masa perkuliahan penulis pun aktif di berbagai kegiatan kampus seperti masuk kepada Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Gentra Kaheman, Himpunan Peminat Ilmu-Ilmu Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (Himasiera), dan kegiatan kepanitiaan lainnya. Semasa penulis menjadi anggota aktif dari sebuah UKM Gentra Kaheman, Penulis mengikuti beberapa kegiatan seperti lomba tari saman di Universitas Indonesia, juga sebagai salah satu pengisi acara dalam penyambutan mahasiswa Korea dan mahasiswa Malaysia.
ix
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Martua Sihaloho, SP, MSi. yang telah membimbing penulis dalam penulisan studi pustaka dan skripsi. Skripsi ini berjudul Pengaruh Penguasaan Lahan Terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat (Kasus Kampung Cijengkol, Desa Cigudeg, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat). Penulisan skripsi ini ditujukan untuk memenuhi syarat gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Penelitian yang ditulis dalam skripsi ini bertujuan untuk mengetahui, mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi penguasaan lahan di Desa Cigudeg, menganalisis hubungan faktor-faktor yang mempengaruhi penguasaan lahan terhadap tingkat penguasaan lahan, dan menganalisis pengaruh tingkat penguasaan lahan tehadap kondisi sosial ekonomi masyarakat di Desa Cigudeg, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat.
Bogor, Agustus 2011
Eka Ariwijayanti NIM I34070026
1
UCAPAN TERIMAKASIH
Penyelesaian penulisan skripsi ini tidak lepas dari nikmat dan rahmat yang dianugerahkan Allah SWT kepada penulis, serta bantuan dan dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah membantu, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam penyelesaian skripsi ini, antara lain: 1. Bapak Martua Sihaloho, SP, M.Si sebagai dosen pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan dan arahan mengenai pembuatan Skripsi yang baik sesuai tema dan kaidah penulisan. 2. Bapak Dr. Ir. Arif Satria, M.Si sebagai dosen pembimbing akademik yang selama ini telah menuntun dan membantu selama berlangsungnya perkuliahan penulis. 3. Ibu Heru Purwandari, SP, M.Si dan Bapak Ir. Dwi Sadono, M.Si sebagai dosen penguji utama dan penguji wakil Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat atas kesediaannya untuk menguji dan member saran yang berguna bagi penulisan skripsi ini. 4. Seluruh masyarakat Kampung Cijengkol, Desa Cigudeg, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor dan staf Pemerintahan Desa atas partisipasi, keramahan dan informasinya yang sangat berguna bagi aktivitas skripsi penulisa, khususnya Bapak H. Firdaus (Kepala Desa Cigudeg) dan Ibu Ida Kader Desa yang telah membantu peneliti selama di Kampung Cijengkol. 5. Kedua orangtua yaitu Bapak Wasino dan Ibu Een Suhaenah, serta Adik penulis Aldy Dwi Handono yang sangat berarti dalam mendukung penulis untuk melakukan segala aktivitas pendidikan serta untuk segala perhatian dan kasih sayang yang diberikan kepada penulis. 6. Keluarga besar orangtua yang selalu memberi dukungan, semangat dan do’a bagi penulis dalam penyelesaian skripsi ini. 7. Teman satu bimbingan yaitu Ayu Chandra yang saling memberi pengertian, memberi semangat dan berbagi informasi mengenai literature.
2
8. Sahabat seperjuangan penulis (Dian Widya S, Titania Aulia, Thresa Jurenzy, Rizki Afianti, Akira Bena YM, dan Aris Safrudin) yang saling menyemangati, mendorong dan memotivasi penulis. 9. Nur Irvany Putri yang telah memberikan bantuan dalam pengolahan data, pengertian dan semangat kepada penulis. 10. Dewi Agustina dan Intan Yuliastry yang telah memotivasi penulis dalam penyelesaian skripsi ini. 11. Mahardi dan Indri sahabat penulis dari SMA yang selalu memberikan semangat, dorongan, dan motivasi bagi penulis. 12. Teman-teman di Departemen Sains KPM angkatan 44 yang telah memberikan semangat dan doa yang tulus kepada penulis. Semoga persahabatan dan kebersamaan kita tidak mudah putus.
Bogor, Agustus 2011
Penulis
3
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ...................................................................................................... xii DAFTAR TABEL .............................................................................................. xiv DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xvi DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xvii BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1.1 Latar Belakang .......................................................................................... 1.2 Perumusan Masalah .................................................................................. 1.3 Tujuan Penelitian ...................................................................................... 1.4 Kegunaan Penelitian ..................................................................................
1 1 4 5 5
BAB II PENDEKATAN TEORETIS ............................................................... 2.1 Tinjauan Pustaka ...................................................................................... 2.1.1 Pengertian Konsep Agraria ................................................................. 2.1.2 Struktur Agraria ................................................................................... 2.1.2.1 Pengertian Tanah dan Penggunaannya .......................................... 2.1.2.2 Pola Penguasaan Lahan .................................................................. 2.1.3 Pemilikan Tanah dan Pelapisan Masyarakat ....................................... 2.1.3.1 Pengertian Diferensiasi dan Stratifikasi ....................................... 2.1.3.2 Struktur Pelapisan Masyarakat ....................................................... 2.2 Kerangka Pemikiran .................................................................................. 2.3 Hipotesis Penelitian ................................................................................... 2.4 Definisi Operasional ..................................................................................
6 6 6 7 9 11 15 15 17 18 20 20
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ........................................................... 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................................... 3.2 Teknik Pengambilan Data ......................................................................... 3.3 Teknik Pengolahan dan Analisis Data .......................................................
23 23 24 26
BAB IV GAMBARAN UMUM DESA ............................................................. 4.1 Gambaran Umum Desa Cigudeg .............................................................. 4.1.1 Letak Geografis dan Demografis Desa Cigudeg ................................. 4.1.2 Jumlah Penduduk Desa Cigudeg ......................................................... 4.2 Gambaran Umum Kampung Cijengkol ..................................................... 4.3 Agraria Lokal Kampung Cijengkol ........................................................... 4.4 Karakteristik Responden Kampung Cijengkol...........................................
27 27 27 27 32 33 36
4
BAB V POLA PENGUASAAN LAHAN DAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGUASAAN LAHAN ................................. 39 5.1 Penguasaan Lahan Pertanian ..................................................................... 39 5.2 Pola Penguasaan Lahan Di Kampung Cijengkol ...................................... 41 5.3 Cara Warga Kampung Cijengkol Memperoleh Lahan Garapan ................ 44 5.3.1 Buka Sendiri .......................................................................................... 44 5.3.2 Warisan ................................................................................................. . 45 5.3.3 Bagi Hasil .............................................................................................. . 45 5.3.4 Gadai ..................................................................................................... . 46 5.3.5 Jual Beli ................................................................................................. . 46 5.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penguasaan Lahan ............................ . 47 5.4 Ikhtisar ....................................................................................................... 48 BAB VI HUBUNGAN FAKTOR-FAKTOR PENGUASAAN LAHAN TERHADAP TINGKAT PENGUASAAN LAHAN ............................... 6.1 Keragaan Penguasaan Lahan .................................................................... 6.2 Tingkat Penguasaan Lahan ....................................................................... 6.3 Hubungan Faktor-Faktor Penguasaan Lahan dengan Tingkat Penguasaan Lahan ..................................................................................... 6.4 Ikhtisar .......................................................................................................
51 51 53 55 57
BAB VII MODEL PENGELOLAAN KOLABORATIF .................................. 59 7.1 Hubungan Pengaruh Penguasaan Lahan Terhadap Tingkat Pendapatan Pertanian ................................................................................ 59 7.2 Hubungan Pengaruh Penguasaan Lahan Terhadap Tingkat Pendidikan ... 63 7.3 Hubungan Pengaruh Penguasaan Lahan Terhadap Kepemilikan Asset dan Modal ................................................................................................. 67 7.4 Implikasi Pengaruh Penguasaan Lahan Terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Rumahtangga Petani ................................................................... . 63 7.5 Ikhtisar ....................................................................................................... . 65 BAB VIII PENUTUP ......................................................................................... 69 8.1 Kesimpulan ............................................................................................... 69 8.2 Saran .......................................................................................................... 70 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 71 LAMPIRAN ....................................................................................................... 74
5
DAFTAR TABEL Nomor Tabel 1
Halaman Jumlah Penduduk, Luas Desa dan Kepadatannya di Kecamatan Cigudeg Tahun 2008 .........................................................................
3
Tabel 2
Penyebaran Tanah Pertanian di Jawa Tahun 1984 ............................. 13
Tabel 3
Jadwal Pelaksanaan Penelitian Tahun 2011 ....................................... 23
Tabel 4
Jumlah Penduduk Laki-Laki dan Perempuan menurt Umur, Desa Cigudeg Tahun 2010 .......................................................................... 28
Tabel 5
Sarana dan Prasarana Desa Cigudeg, Kecamatan Cigudeg ................ 31
Tabel 6
Kepemilikan Lahan Sawah dan Kebun berdasarkan Hasil Sensus Tahun 2011 ......................................................................................... 33
Tabel 7
Status Lahan berdasarkan Hasil Sensus Awal Pebelitian Tahun 2011 .................................................................................................... 34
Tabel 8
Diferensiasi Hubungan Sosial Sumberdaya Agraria berdasarkan Hasil Sensus Tahun 2011 .................................................................. 36
Tabel 9
Pendidikan Responden di Kampung Cijengkol, Tahun 2011............. 37
Tabel 10 Pekerjaan Responden di Kampung Cijengkol, Tahun 2011 .............. 37 Tabel 11 Sebaran Responden Tingkat Ketergantungan pada Lahan Pertanian
38
Tabel 12 Jumlah Anggota Setiap Keluarga di Kampung Cijengkol Tahun 2011 .................................................................................................... 40 Tabel 13 Sebaran Responden berdasarkan Status Kepemiikan Lahan Tahun 2011 ................................................................................................... 52 Tabel 14 Sebaran Responden menurut Luas Lahan yang di Kuasai Tahun 2011 .................................................................................................... 54 Tabel 15 Hubungan Luas Lahan dengan Tingkat Pendapatan Tahun 2011 ..... 59 Tabel 16 Hubungan Luas Lahan dengan Tingkat Pendidikan Tahun 2011 ...... 61 Tabel 17 Hubungan Luas Lahan dengan Kepemilikan Asset dan Modal Tahun 2011 ................................................................................................... 62 Tabel 18 Sebaran Tingkat Pendapatan Responden di Sektor Pertanian Tahun 2011 .................................................................................................... 64 Tabel 19 Sebaran Tingkat Pendapatan Responden di Sektor Pertanian Tahun 2011 ................................................................................................... 65
6
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
Gambar 1 Bagan Kerangkan Analisis Pengaruh Penguasaan Lahan terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Desa ................................... 19 Gambar 2 Jumlah Penduduk Desa Cigudeg berdasarkan Mata Pencaharian Tahun 2011 ...................................................................................... 29 Gambar 3 Persentase Luas Lahan menurut Penggunaannya di Desa Cigudeg, 2008 ................................................................................................. 29 Gambar 4 Jumlah Penduduk Desa Cigudeg berdasarkan Pendidikan Tahun 2011 ................................................................................................. 30
7
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
Lampiran 1
Denah Lokasi Penelitian .............................................................. 72
Lampiran 2
Kuesioner ..................................................................................... 73
Lampiran 3
Data Sensus Populasi ................................................................... 79
Lampiran 4
Panduan Pertanyaan ..................................................................... 81
Lampiran 5
Populasi ...................................................................................... 82
Lampiran 6
Kerangka Sampling ..................................................................... 84
Lampiran 7
Data Responden ........................................................................... 86
Lampiran 8
Hasil Olah Data SPSS Rank Spearman ....................................... 87
Lampiran 9
Dokumentasi ................................................................................ 88
1
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Tanah merupakan benda yang paling penting dan tinggi nilainya dan merupakan sumber kehidupan dan tempat berlangsungnya segala aktivitas-aktivitas lainnya. Setiap kegiatan manusia memerlukan ruang tertentu dan ruang berada di atas tanah. Menurut Sudiyat dalam Hamid (1992) bahwa demi hidup dan penghidupannya untuk kepentingan setiap bagian fungsi hidupnya (pekerjaan, sandang, pangan, kandang, istirahat dan rekreasi) setiap orang membutuhkan penguasaan atas sebagian permukaan bumi walaupun hanya sementara dan tidak menentu. Penguasaan atas tanah bagi setiap orang merupakan hal yang mutlak adanya baik dalam nama, jenis, jumlah maupun intensitasnya. Berkaitan dengan intensitas, hak menguasai dapat bergerak mulai dari kadar yang paling lemah hingga kepada bobot yang paling kuat, seperti hak pakai, memetik kemudian menikmati hasil, hak memelihara/mengelola/mengurus, hak memiliki sampai kepada hak mengasingkan dalam segala bentuk. Ketersediaan tanah dari waktu ke waktu jumlahnya relatif tetap, namun untuk kebutuhan manusia terhadap tanah makin meningkat. Tekanan penduduk yang semakin besar menyebabkan kebutuhan akan tanah pun semakin meningkat. Daya dukung tanah tidak dapat memenuhi kebutuhan manusia yang jumlahnya semakin besar dengan luas tanah yang tetap. Hal ini dialami oleh Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang. Contohnya saja di pedesaan Jawa, Kepadatan penduduk mencapai 480 jiwa setiap 1 kilometer persegi dan bahkan ada tempat-tempat dimana kepadatan penduduknya mencapai 800 jiwa setiap 1 kilometer persegi (Soekanto 1987 dalam Tjondronegoro 1999). Masalah kelebihan penduduk agraris yaitu terdapatnya surplus tenaga kerja manusia dibandingkan dengan tersedianya tanah pertanian. Akibat dari ketiadaan pilihan kesempatan kerja lain maka penduduk desa terus-menerus memadati tanah yang ada, menawarkan investasi tenaga kerja dalam proses produksi pertanian melebihi titik efisiensi optimum, sehingga selanjutnya menghambat keseluruhan usaha
2
pembangunan ekonomi. Namun tidak banyak yang diketahui mengenai kombinasi khususnya faktor-faktor sosio-ekonomi dan sejarah yang menyebabkan kelebihan penduduk agraris demikian itu. Evolusi hubungan antara tipe penguasaan tanah dan struktur sosial desa di Jawa dapat menyumbangkan pengertian mengenai masalah yang makin mendesak di negara-negara sedang berkembang. Sajogyo (1985) menjelaskan bahwa sumberdaya agraria merupakan sumber nafkah yang akan menentukan seberapa jauh jangkauan para petani dalam memenuhi kebutuhan pangan, perumahan, pendidikan, dan unsur kesejahteraan lainnya. Oleh sebab itu, ketimpangan penguasaan sumberdaya agraria akan menimbulkan kemiskinan di pedesaan (Soemarjan 1984). Sama halnya dengan yang diungkapkan oleh Geertz dalam penelitiannya yaitu yang terjadi di Jawa bukanlah pemerataan kemakmuran tetapi kemiskinan berbagi (shared proverty). Namun, sebenarnya masalah penguasaan tanah dipandang sebagai masalah hubungan yang menyangkut hubungan sosial, ekonomi dan politik antar manusia yang berkaitan dengan kekayaan, pendapatan, kesempatan ekonomi, status sosial dan penguasaan politik diantara manusia satu dengan manusia lainnya. Kekuasaan politik maupun kesejahteraan rakyat sangat erat kaitannya dengan penguasaan atas tanah oleh lapisan-lapisan masyarakat tertentu. Maka dari itu, Pemerintah RI membuat peraturan tentang penguasaan tanah yang lebih adil bagi petani. Beberapa pembangkangan antara lain gerakan Samin, pemberontakan di daerah pedesaan di Jawa (Kartodiharjo 1973 dalam Tjondronegoro 1999) dan juga beberapa kasus di daerah lainnya seperti sumatera menunjukkan bahwa penguasaan tanah yang tidak adil pada awalnya menyebabkan protes-protes sosial dan akhirnya menimbulkan perlawanan politik. Pada akhirnya pemerintah RI dalam keputusannya yaitu membuat peraturan mengenai penguasaan tanah yang adil menghasilkan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No.5/1960 yang diundangkan dalam bulan September. Masalah-masalah tanah ditinjau dari sudut pandang sosiologis berarti dimulai dengan menganalisis hubungan antar golongan atau lapisan masyarakat yang menguasai tanah dan asset atau modal lainnya, kemudian dilanjutkan dengan berusaha mengubah hubungan tersebut. Artinya, harus dipahami adanya lapisan yang penguasaannya kuat ada pula yang lemah atau sama sekali tidak mempunyai
3
kuasa apapun sehingga menjadi sangat tergantung. Dasar kekuasaan tersebut terdiri dari kombinasi faktor-faktor politik, ekonomi maupun sosial. Ketiga faktor tersebut sangat sulit dipisahkan. Menurut Tauchid (2009) Luas Indonesia dengan penduduknya belum menunjukkan kelebihan penduduk menurut ukuran kesanggupan bumi dan alamnya untuk memberi makan penduduknya. Tetapi di berbagai daerah di Indonesia masalah kepadatan penduduk berbeda-beda. Di beberapa daerah masalah kepadatan penduduk sudah menjadi masalah yang sangat berat, sedangkan di daerah lainnya sebaliknya mempunyai masalah kekurangan orang. Kedua-duanya merupakan kepincangan yang berat dalam masalah kemakmuran rakyat. Masalah kepadatan penduduk dialami oleh desa-desa di Kecamatan Cigudeg yang dapat ditunjukkan dengan angka-angka pada Tabel 1 sebagai berikut.
Tabel 1. Jumlah Penduduk, Luas Desa dan Kepadatannya di Kecamatan Cigudeg Tahun 2008 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Desa Sukarasa Sukamaju Cigudeg Banyu Resmi Wargajaya Bunar Mekarjaya Cintamanik Banyu Wangi Banyu Asih Tegalega Batu Jajar Rengas Jajar Bangun Jaya Argapura Jumlah
Jumlah Penduduk (jiwa) 8.418 8.667 12.538 5.880 6.181 8.348 6.178 8.956 4.472 4.556 7.364 5.910 8.788 8.246 10.933 115.445
Luas km² 6,11 6,24 9,48 7,99 7,22 5,91 7,49 23,59 9,05 9,29 6,89 6,66 11,64 11,62 23,60 152,78
Kepadatan Jiwa/km² 1.378 1.391 1.323 736 856 1.413 825 380 494 490 1.069 887 755 710 463 756
Sumber: BPS, Tahun 2008
Salah satu Desa di Kecamatan Cigudeg adalah Desa Cigudeg yang memiliki jumah penduduk, luas desa dan kepadatannya sekitar 12.538 jiwa, 9,48 km², 1.323 jiwa/km² dengan luas lahan pertanian yang sebesar 164 hektar (BPS
4
2008). Menariknya, mayoritas masyarakat desa ini bermata pencaharian sebagai pedagang dan wirausaha. Lalu, bagaimana dengan lahan peranian yang ada di desa ini. Maka dari itu, penelitian ini mengangkat mengenai pengaruh penguasaan lahan terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat desa.
1.2
Perumusan Masalah
Indonesia adalah negara yang agraris juga negara yang sedang berkembang yang mengalami tekanan penduduk yang semakin besar sehingga menyebabkan kebutuhan akan tanahpun semakin meningkat. Seperti di Jawa, kepadatan penduduk mencapai 480 jiwa setiap 1 kilometer persegi dan bahkan ada tempattempat dimana kepadatan penduduknya mencapai 800 jiwa setiap 1 kilometer persegi (Soekanto 1987 dalam Tjondronegoro 1999). Kepadatan penduduk mengakibatkan masalah yaitu terjadinya surplus tenaga kerja manusia dibandingkan dengan tersedianya tanah pertanian. Akibat dari ketiadaan pilihan kesempatan kerja lain maka penduduk desa terus-menerus memadati tanah yang ada, menawarkan investasi tenaga kerja dalam proses produksi pertanian melebihi titik efisiensi optimum, sehingga selanjutnya menghambat keseluruhan usaha pembangunan ekonomi. Namun tidak banyak yang diketahui mengenai kombinasi khususnya faktor-faktor sosio-ekonomi dan sejarah yang menyebabkan kelebihan penduduk agraris. Evolusi hubungan antara tipe penguasaan tanah dan struktur sosial desa di Jawa dapat menyumbangkan pengertian mengenai masalah yang makin mendesak di negara-negara sedang berkembang sehingga perlu dikaji faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi penguasaan lahan. Sayogyo (1985) menjelaskan bahwa sumberdaya agraria merupakan sumber nafkah yang akan menentukan seberapa jauh jangkauan para petani dalam memenuhi kebutuhan pangan, perumahan, pendidikan, dan unsur kesejahteraan lainnya. Oleh sebab itu, ketimpangan penguasaan sumberdaya agraria akan menimbulkan kemiskinan di pedesaan (Soemardjan 1984). Sehingga dalam hal ini dapat dirumuskan bagaimana hubungan faktor-faktor yang mempengaruhi penguasaan lahan terhadap tingkat penguasaan lahan. Adanya ketimpangan tersebut, maka ada istilah-istilah kepemilikan lahan seperti; pemilik-penggarap, pemilik-bukan penggarap, dan bukan pemilik-penggarap. Dengan adanya bentuk
5
hubungan penguasaan lahan, penelitian ini diarahkan pada pertanyaan yang menjelaskan bagaimana tingkat penguasaan lahan mempengaruhi kondisi sosial ekonomi masyarakat desa.
1.3
Tujuan Penelitian
Adapun
tujuan
penelitian
ini
diantaranya
adalah
untuk
mengetahui,
mengidentifikasi dan menganalisis: 1. faktor-faktor yang mempengaruhi penguasaan lahan; 2. hubungan faktor-faktor yang mempengaruhi penguasaan lahan terhadap tingkat penguasaan lahan; dan 3. pengaruh tingkat penguasaan lahan terhadap kondisi sosial-ekonomi masyarakat.
1.4
Kegunaan Penelitian
Penelitian ini ditujukan untuk dapat menggambarkan secara jelas mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi penguasaan lahan yang terjadi pada masyarakat desa, khususnya di Kampung Cijengkol, Desa Cigudeg, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor. Selain itu juga dapat mengetahui bentuk hubungan penguasaan lahan dan pengaruhnya terhadap kondisi sosial-ekonomi masyarakat di Kampung Cijengkol. Penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan pengetahuan baru di bidang akademisi dan insititusi pemerintahan dalam permasalahan sosial yang terjadi pada sumberdaya agraria khususnya lahan pertanian di masyarakat desa sehingga masyarakat dan pemerintah sebagai institusi yang berwenang dapat saling kerja sama menentukan kebijakan ke arah kemerataan hak akses terhadap lahan pertanian bagi masyarakat Desa Cigudeg, khususnya Kampung Cijengkol.
6
BAB II PENDEKATAN TEORETIS
2.1
Tinjauan Pustaka
2.1.1
Pengertian Konsep Agraria
Agraria mempunyai arti yang sangat berbeda antara bahasa yang satu dengan bahasa lainnya. Dalam Bahasa Latin kata agraria berasal dari kata ager dan agrarius. Kata Ager berarti tanah atau sebidang tanah, sedangkan kata agrarius mempunyai arti sama dengan “perladangan, persawahan, pertanian”. Dalam bahasa inggris kata agraria diartikan agrarian yang selalu diartikan tanah dan dihubungkan dengan usaha pertanian. Pengertian agraria ini, sama sebutannya dengan agrarian laws bahkan sering kali digunakan untuk menunjuk kepada perangkat peraturan hukum yang bertujuan mengadakan pembagian tanah-tanah yang luas dalam rangka lebih meratakan penguasaan lahan dan pemilikan tanah. Pengertian agraria dapat pula dikemukakan dalam undang-undang Pokok Agraria (UUPA). Jika dijabarkan pengertian “Tanah” adalah menurut pasal 4 ayat 1 “tanah” adalah permukaan bumi, sedangkan pengertian “Bumi” menurut pasal 1 ayat 4, selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi serta yang berada di bawah air. Adapun yang termasuk bumi Indonesia tidaklah terbatas pada yang berada di bawah batas-batas perairan Indonesia saja, yaitu perairan pedalaman (“inland waters”) dan laut wilayah (“territorial waters”) melainkan bumi yang berada di bawah air laut diluar batas-batas itu. Hubungan agraris menurut Wiradi (2009) secara garis besar mencakup berbagai jenis hubungan sebagai 1) hubungan antara tanah dengan lingkungannya, 2) hubungan antara manusia dengan tanah, 3) hubungan antara manusia dengan tanaman, 4) hubungan antara manusia dengan hewan, dan 5) hubungan antara manusia dengan manusia. Dalam studi agraria, hubungan antara manusia dengan manusia ini yang dianggap paling penting karena menyangkut hubungan sosial secara keseluruhan. Sedangkan hubungan manusia dengan yang lain (tanah, tanaman, hewan) hanya memiliki makna sepanjang hubungan itu merupakan hubungan aktivitas karena melalui hubungan aktivitas ini akan menimbulkan
7
implikasi terhadap hubungan dengan manusia lain. Berkaitan dengan hubungan antara manusia, salah satu ciri pokok masyarakat agraris adalah adanya hubungan antara mereka yang mencurahkan tenaga kerjanya secara langsung dalam berproduksi (produsen langsung seperti petani pemilik, petani penyakap, buruh tani) dengan mereka yang tidak berproduksi langsung, akan tetapi memiliki kekuasaan untuk mengklaim sebagian dari hasil produksi secara langsung maupun tidak langsung. Klaim hasil produksi baik langsung maupun tidak langsung didasarkan atas penguasaan mereka atas berbagai jenis sarana produksi, terutama tanah. Hubungan-hubungan tersebut
Wiradi (2009) menterjemahkan secara konkret
dalam konteks hubungan antara “siapa” dengan “siapa”, maka berdasarkan masalah-masalah yang secara empiris muncul di Indonesia seperti: 1) antara petani dan buruh tani, 2) antara petani dan bukan petani, 3) antara petani dan perusahaan (HGU/HPH/pertambangan, dll), 4) antara petani dan proyek-proyek pemerintah, 5) antara proyek-proyek pemerintah sendiri, 6) antara petani dan satuan
desa/lembaga
adat,
dan
7)
antara
perusahaan
besar
(HGU/HPH/pertambangan, dll) dan Negara. Dalam setiap hubungan agraris yang dijelaskan, terdapat tiga atribut yang melekat yaitu masalah kekuasaan, masalah kesejahteraan ekonomi dan masalah hierarki sosial (Ghose 1983 dalam Wiradi 2009). Ketiga atribut ini membentuk jaringan hubungan yang saling terkait satu sama lain dan pada gilirannya akan menentukan corak kehidupan secara keseluruhan.
2.1.2
Struktur Agraria
Tata hubungan antar manusia yang menyangkut pemilikan, penguasaan dan peruntukan tanah lalu menjadi mapan disebut sebagai “Struktur Agraria”. Dalam masyarakat agraris, masalah pemilikan dan penguasaan tanah merupakan faktor penentu bangunan masyarakat secara keseluruhan. Masalah tersebut bukan hanya sebatas menyangkut hubungan teknis antara manusia dengan tanah melainkan menyangkut hubungan sosial manusia dengan manusia yang diartikan mencakup hubungan orang-orang langsung atau tidak langsung terlibat dalam proses produksi, seperti hubungan sewa antara pemilik tanah dan penggarap, hubungan
8
pengupahan antara petani majikan dengan buruh tani, hubungan kredit dan/atau dagang antara pemilik modal dan petani, hubungan petani dengan penguasa melalui mekanisme pajak dan sebagainya. Wiradi (2009) menjelaskan bahwa hakikat struktur agraria merupakan masalah yang menyangkut susunan pembagian tanah, penyebaran atau distribusi tanah yang pada akhirnya menyangkut hubungan kerja dan proses produksi. Ada dua istilah penting yang menyangkut struktur agraria yaitu land tenure dan land tenancy. Land tenure memiliki arti hak atas tanah atau penguasaann tanah. Istilah ini biasanya dipakai untuk menguraikan masalah-masalah pokok mengenai status hukum dari penguasaan tanah seperti hak milik, pacht, gadai, bagi hasil, sewamenyewa, dan juga kedudukan buruh tani. Sedangkan land tenancy berasal dari kata tenant yang memiliki arti orang yang memiliki, memegang, menempati, menduduki, menggunakan atau menyewa sebidang tanah tertentu yang menunjuk kepada pendekatan ekonomis. Artinya, penelaahannya meliputi hak-hal yang menyangkut hubungan penggarap tanah. Obyek penelaahan ini yaitu pembagian hasil antara pemilik dan penggarap tanah, faktor-faktor tenaga kerja, investasiinvestasi, besarnya nilai sewa dan lain sebagainya. Struktur agraria menurut Wiradi (2009) ini perlu memperhatikan dan membedakan antara istilah pemilikan, penguasaan dan penguasahaan tanah. Kata “pemilikan”
menunjukan
kepada
penguasaan
formal,
sedangkan
kata
“penguasaan” menunjuk kepada penguasaan efektif. Misalnya saja sebidang tanah disewakan kepada orang lain maka orang itulah yang secara efektif menguasainya. Kata “pengusahaan” sangat jelas menunjuk kepada bagaimana caranya sebidang tanah diusahakan secara produktif. Tatanan hubungan dalam struktur agraria dapat berubah akibat kerjanya berbagai faktor yang bekerja dan mempengaruhinya. Wiradi menyebutkan ada lima faktor yang menyebabkan perubahan tata hubungan itu antara lain yaitu 1) perubahan struktur politik, 2) perubahan orientasi politik, 3) perubahan kebijakan ekonomi, 4) perubahan teknologi dan 5) faktor-faktor lain sebagai turunan dari keempat faktor tersebut. Proses perubahan tata hubungan ini dapat terjadi secara perlahan atau dapat terjadi melalui, juga menimbulkan suatu gejolak sosial.
9
2.1.2.1 Pengertian Tanah dan Penguasaannya Dalam kamus besar bahasa Indonesia disebutkan pengertian mengenai tanah yaitu permukaan bumi atau lapisan yang diatas sekali. Pengertian tanah diatur dalam pasal 4 UUPA dinyatakan sebagai berikut: “atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum”. Menurut Firey dalam Johara (1992) penggunaan tanah menunjukkan pengaruh budaya yang besar dalam adaptasi ruang, dan berkesimpulan bahwa ruang merupakan lambang bagi nilai-nilai sosial misalnya penduduk sering memberikan nilai sejarah yang besar terhadap sebidang tanah). Berhubungan dengan pendapat Firey tersebut, Chapin dalam Johara (1992) menggolongkan tanah dalam tiga kelompok yaitu yang memiliki: 1. nilai keuntungan: yang dihubungkan dengan tujuan ekonomi dan yang dapat dicapai dengan jual-beli tanah dipasaran bebas 2. nilai kepentingan umum: yang berhubungan dengan pengaturan untuk masyarakat umum dalam perbaikan kehidupan masyarakat 3. nilai sosial: yang merupakan hal yang mendasar bagi kehidupan (misalnya sebidang tanah yang dipelihara, peninggalan, pusaka, dan sebagainya), dan yang dinyatakan oleh penduduk dengan perilaku yang berhubungan dengan pelestarian, tradisi, kepercayaan dan sebagainya. Pertimbangan dalam kepentingan tanah diberbagai wilayah mungkin berbeda tergantung kepada struktur sosial penduduk tertentu akan diberikan prioritas bagi fungsi tertentu kepada tanah. Jika hal ini tidak dipenuhi, maka kehidupan masyarakat tersebut akan dirugikan. Lahan memiliki arti lebih luas dari pada makna tanah, jika mengingat bahwa tanah merupakan salah satu aspek dari lahan. Pemanfaatan lahan cenderung mendekati pola ke arah pendayagunaan dan pengaturan fungsi ketatalaksanaan lahan. Menurut Bappenas-PSE-KP (2006) dalam Darwis (2009), pemanfaatan lahan merupakan resultan dari interaksi berbagai macam faktor yang
10
menentukan keputusan baik perorangan dan kelompok maupun pemerintah.1 Sama halnya yang tercantum dalam ruang lingkup agraria menurut UUPA meliputi bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Permukaan bumi sebagai bagian dari bumi juga disebut dengan tanah. Tanah yang merupakan salah satu aspek dari lahan yang dimaksudkan bukan mengatur tanah dalam segala aspeknya melainkan hanya mengatur salah satu aspek yaitu tanah dalam pengertian yurudis yang disebut hak-hak penguasaan atas tanah. Pengertian “penguasaan” dapat dipakai dalam artian fisik dan dalam arti yuridis, beraspek privat maupun publik. Penguasaan secara yuridis merupakan penguasaan yang dilandasi hak yang dilindungi oleh hukum dan pada umumnya memberikan kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara fisik tanah yang menjadi haknya, misalnya pemilik tanah mempergunakan dan mengambil manfaat dari tanah yang menjadi haknya, tidak diserahkan kepada pihak lain.2 Adanya penguasaan secara yuridis walaupun memberi kewenangan untuk menguasai tanah yang hak secara fisik, namun kenyataannya penguasaan fisik dilakukan oleh orang lain. Misalnya saja, seseorang yang memiliki tanah tidak mempergunakannya sendiri melainkan tanah tersebut disewakan kepada orang lain. Tetapi ada juga yang penguasaan secara yuridis tidak memberikan kewenangan untuk menguasai tanah yang bersangkutan secara fisik, misalnya saja kreditor atau bank sebagai pemegang hak jaminan atas tanah mempunyai hak penguasaan secara yuridis atas tanah yang telah dijadikan jaminan oleh pemiliknya. Akan tetapi secara fisik penguasaannya tetap pada pemegang hak atas tanah. Menurut Sudiyat dalam Hamid (1992) bahwa demi hidup dan penghidupannya untuk kepentingan setiap bagian fungsi hidupnya (pekerjaan, sandang, pangan, kandang, istirahat dan rekreasi) setiap orang membutuhkan penguasaan atas sebagian permukaan bumi walaupun hanya sementara dan tidak
1
2
Valeriana Darwis. Keragaan Penguasaan Lahan Sebagai faktor Utama Penentu Pendapatan Petani. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. 2009 .http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/MP_Pros_A8_2009.pdf. diakses tanggal 20 November 2010 Urip Santoso, S.H., M.H. Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah. Kencana Prenada Media Group.2007, h.73
11
menentu.3 Dari hal yang dikatakan di atas jelaslah bahwa penguasaan atas tanah bagi setiap orang merupakan hal yang mutlak adanya baik dalam nama, jenis, jumlah maupun intensitasnya. Berkaitan dengan intensitas, hak menguasai dapat bergerak mulai dari kadar yang paling lemah hingga kepada bobot yang paling kuat,
seperti
hak
pakai,
memetik
kemudian
menikmati
hasil,
hak
memelihara/mengelola/mengurus, hak memiliki sampai kepada hak mengasingkan dalam segala bentuk. Ketidakmerataan
penguasaan
atas
tanah
pertanian
menyebabkan
kemiskinan di desa khususnya bagi para petani. Hak menguasai atas tanah yang lemah menyebabkan para petani kecil tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup sehari-harinya. Para petani yang menguasai sebagian tanah yang kecil berusaha untuk mencukupi kebutuhan hidupnya dengan cara menyewakan ataupun menjual tanah yang mereka miliki. Hal ini mereka lakukan karena tanah yang mereka kuasai pun tidak dapat memenuhi kebutuhan mereka dan mereka terpaksa menjadi buruh di tanah sendiri. Terjadinya ketidakmerataan akses penguasaan atas tanah ini menjadikan bertambahnya petani tidak bertanah dan mengakibatkan posisi kaum petani ini termarginalisasi dari kehidupan sosialnya.
2.1.2.2 Pola Penguasaan Lahan Penguasaan lahan menunjukkan istilah yang perlu diberi batasan yaitu penguasaan dan tanah. Tanah yang dimaksud adalah tanah yang berada dipermukaan bumi atau bidang tanah yang diukur dalam meter persegi dan dipergunakan di tempat tanah itu berada atau disebut terplaatse (Sayogyo 1982) yang merupakan sumber hidup dan kehidupan manusia baik tanah sawah, kebun, tempat berburu maupun tempat mengembala ternak dan sebagainya.4 Penguasaan tanah berarti suatu hak dan wewenang untuk mengatur, mengelola, menggunakan dan memberikan hak milik tanah dalam suatu wilayah kekuasaan berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku baik hukum adat maupun peraturan lainnya. Pola pengaturan adalah suatu perangkat norma yang mengatur praktek ideal kehidupan masyarakat. Aturanaturan tersebut menentukan tata cara kerjasama dan koordinasi anggota masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya serta membantu dalam menentukan 3 4
ibid, h.41 Ilyas Abd Hamid dan Usuluddin Tadorante, op.cit, h .30
12
hak serta kewajiban masing-masing (Hayami dan Kikuchi, 1982 dalam Kasryno 1984 dalam Joula 2002). Mengambil pemikiran Wiradi bahwa pola pengaturan sumberdaya agraria yang ada berdasarkan pada UUPA tahun 1960 yang secara hukum adalah 1) “peruntukan” (mana untuk keperluan negara, mana untuk masyarakat, mana untuk perorangan),
2)
cara
memperoleh,
3)
hak
penguasaan,
4)
masalah
pengguanaannya. Dapat dilihat bahwa kelembagaan agraria merupakan suatu bentuk kegiatan mengatur sumber-sumber agraria yang ada dan melihat hubungan yang saling tergantung (interdependensi) antara manusia dan manusia terhadap tanah serta hubungan manusia dengan tanah. Masyarakat Jawa yang agraris tanah merupakan sumber utama pendapatan. Menurut tradisi, Raja adalah pemilik tanah satu-satunya yang secara teoritis berkuasa atas tanah. Pangeran dan priyayi diberi lungguh (apanage) atau tanah gaji untuk keperluan sendiri yang biaya kegiatan yang dilakukan. Namun, lungguh ini akan dikembalikan kepada raja apabila pemegangnya meninggal dunia atau dipecat. Dengan pemilikan oleh raja atas seluruh tanah serta penggunaannya mencegah tumbuhnya kaum ningrat penguasa tanah yang kokoh. Lungguh tersebut tidak dihitung berdasarkan luas dalam hektar tetapi menurut jumlah penduduknya (cacah). Ada faktor yang mencegah berkembangnya pengertian yang kuat mengenai hak milik atas tanah diantara kaum priyayi yaitu agar dapat menguasai kaum elit, raja mengatur supaya cacah pengikut seorang pemegang lungguh tercerai-berai tinggalnya sehingga memudahkan raja untuk melaksanakan kebijaksanaannya dan mencegah seorang lungguh mempunyai suatu kesatuan tanah yang besar tempat seluruh pengikutnya berkumpul. Kaum elite terpisah jauh dari produksi dan tidak menghargai tanah namun tidak demikian dengan para petani. seorang petani penggarap tanah dan penghidupan utamanya diperoleh dari tanah. Perbedaan kelas antara kaum petani berdasarkan atas cara dia menguasai tanah. Petani penguasa tanah disebut sikep (mereka yang menanggung beban tanah) mempunyai numpang (tanggungan) juga belum menikah (bujang) yang merupakan lapisan terendah dalam lingkungan desa. Makanan dan tempat tinggal petani numpang tergantung kepada sikep kepada siapa dia mempersembahkan seluruh pekerjaannya. Disamping sikep yang
13
elite di antara kaum petani dan numpang ada golongan petani menengah. Petani numpang yang menikah dan telah cukup lama melayani sikepnya diberi pembagian dari tanah desa atau persekutuan. Namun, pembagian tanah persekutuan tidak dikuasai secara tetap oleh petani menengah melainkan digilirkan diantara petani-petani menengah lainnya. Dapat kita lihat pada Tabel 12 bentuk penguasaan tanah pertanian dan penyebarannya di Jawa dan Madura.
Tabel 2. Penyebaran Tanah Pertanian di Jawa Tahun 1984 Karesidenan Banten Karawang Kabupaten Priangan Cirebon Tegal Banyumas Pekalongan Bagelen Semarang Jepara Rembang Madiun Kediri Surabaya Pasuruan Probolinggo Besuki Banyuwangi Madura
Jumlah desa disurvei 56 10 105 53 32 40 26 50 50 34 54 63 59 56 44 26 36 6 6
Desa tanpa sawah 1 1 1
1 1 3 2 2 2 9 3 3 4
Desa tanpa tegalan 4 15 15 18 8 13 5 25 22 17 38 22 33 17 6 5 1
Sumber: Hiroyoshi Kano. Dua Abad Penguasaan Tanah, Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa.Yayasan Obor Indonesia.1984, h.43
Pola penguasaan tanah orang jawa cenderung berada diantara dua kutub yang berlawanan yaitu antara pemilikan komunal yang kuat atau hak ulayat dan pemilikan perorangan dengan beberapa hak istimewa komunal. Akibat adanya tekanan penduduk yang besar dan tidak ada cadangan tanah baru yang dibuka menjadi tanah pertanian, pola-pola penguasaan perorangan semakin bertambah banyak dengan mengorbankan pengawasan komunal yang dulu pernah ada. Bentuk bentuk penyakapan tanah dan bagi hasil menunjukkan banyak ragam
14
kelenturan dan strata sosial tradisional masyarakat telah terganggu dan apa yang disebut kesetiaan “fungsional” baru menjadi nyata di masyarakat desa, terutama di kalangan proletariat pedesaan. Penguasaan lahan di daerah Jawa lebih besar diakibatkan kebijakan pembangunan pada masa lalu yang mengutamakan pencetakan sawah di pedesaan Jawa daripada di luar Jawa. Kebijakan pembangunan tersebut dilatarbelakangi oleh tiga faktor yaitu 1) sumberdaya lahan di Jawa dapat dijadikan sawah lebih tersedia dibandingkan diluar Jawa, 2) anggaran atau biaya pencetakan sawah di Jawa lebih murah, dan 3) masalah kelangkaan pangan lebih tinggi di Jawa sehingga diprioritaskan di Jawa karena secara langsung hal itu akan mengurangi masalah pangan tersebut. Bentuk tradisional yang paling umum di Jawa adalah hak penguasaan secara komunal. Dengan adanya sistem ini maka semua tanah baik yang dapat ditanami maupun yang merupakan tanah cadangan, dan petani penggarap menerima tanah desa atas kesepakatan bersama para anggota masyarakat desa. Bentuk ini tidak menutup adanya hak atas tanah yang dikuasai seorang desa sebagai bagian dari tanah komunal. Dengan bentuk ini, seorang tersebut dapat menggunakan terus-menerus sebidang tanah yang cukup luas untuk menghidupi dirinya dan keluarga. Tanah tersebut pun dapat diwariskan kepada ahli warisnya untuk dimanfaatkan, walaupun pengalihan hak (alienation) keluar desa tidak mungkin. Namun, semakin lama penguasaan atas tanah di Jawa semakin meningkat hak-hak pribadi atas tanah sehingga mengakibatkan melemahnya pengawasan komunal. Tahun 1927 Poertjaja Gadroen dan Vink di daerah Jawa Timur menemukan bentuk-bentuk pemilikan tanah sebagai berikut:5 1. pemilikan tanah komunal dengan penggarap secara bergiliran dan luas tanah garapan berbeda ukuran. Dewan desa mempunyai wewenang untuk memperbanyak jumlah penggarap yang ikut serta; 2. pemilikan tanah komunal, tetapi dengan jumlah penggarap terbatas; 3. pemilikan tanah komunal dengan penggarap bergiliran, tetapi dengan tanah garapan yang luasnya tetap;
5
Justus M van der Kroef. Dua Abad Penguasaan Tanah, Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa.Yayasan Obor Indonesia.1984, h.148
15
4. pemilikan tanah komunal dengan hak-hak perorangan tetentu. Hak-hak tersebut tidak pasti dapat diwariskan. Dewan desa harus menentukan siapa yang akan mendapatkan tanah tersebut setelah penggarap sebelumnya meninggal; 5. seperti pada no.4 tetapi dengan kepastian hak waris; 6. seperti pada no.5 tetapi dengan hak menjual sebagian tanah yang bersangkutan kepada penduduk lain sedesa; 7. seperti pada no.5 tetapi dengan hak menjual sebagian tanah menjual sebagian tanah kepada orang bukan penduduk sedesa, asalkan kewajiban kerja untuk desa dapat dipenuhi oleh pembelian bukan sedesa tersebut; 8. pemilikan tanah pribadi yang dapat diwariskan, tetapi dibatasi kewajiban partisipasi dalam pekerjaan komunal; 9. pemilikan tanah pribadi yang dapat diwariskan tanpa kewajiban kerja komunal selama sebagian tanah garapan lainnya tetap tunduk kepada aturan kewajiban kerja komunal; dan 10. pemilikan tanah pribadi bercorak barat dan dapat digadaikan (dihipotekkan).
2.1.3
Pemilikan Tanah dan Pelapisan Masyarakat Desa
2.1.3.1 Pengertian Diferensiasi dan Statifikasi Diferensiasi terutama digunakan dalam teori perubahan sosial serta merupakan konsep penting dalam menganalisa perubahan sosial dan dalam membandingkan masyarakat desa. Diferensiasi merujuk pada proses dimana seperangkat aktivitas sosial yang dibentuk oleh sebuah institusi sosial yang terbagi di antara institusi sosial
yang berbeda-beda. Diferensiasi
juga
menggambarkan terjadinya
peningkatan spesialisasi bagian-bagian masyarakat yang diikuti terjadinya peningkatan heterogenitas di dalam masyarakat desa. Berdasarkan hubungan sosial dalam penguasaan sumberdaya agraria, diferensiasi sosial masyarakat pedesaan (masyarakat agraris) yang berlangsung akan menunjuk pada gejala terjadinya penambahan kelas-kelas petani. Diferensiasi tersebut kemudian akan membentuk
struktur
sosial
masyarakat
agraris
yang
semakin
(terstratifikasi) atau struktur sosial masyarakat agraris yang terpolarisasi.
berlapis
16
Suatu struktur sosial masyarakat agraris bukanlah suatu struktur yang tetap sepanjang masa, tetapi secara dinamis struktur sosial masyarakat tersebut akan berubah mengikuti perubahan yang terjadi pada lingkungan sekitarnya, termasuk berlangsungnya transformasi moda produksi dan transformasi struktur agraria yang dijalankan kaum tani. Pada kasus masyarakat agraris, Hayami dan Kikuchi (1987) dalam Fadjar (2009) mengartikan stratifikasi sebagai proses perkembangan ketidaksamaan yang melipatgandakan sub-kelas masyarakat agraris dalam rangkaian spektrum dari buruh tani tunakisma sampai tuan tanah yang tidak mengusahakan sendiri tanahnya. Sementara itu, polarisasi diartikan sebagai proses perkembangan ketidaksamaan yang mengkutubkan masyarakat agraris menjadi hanya dua lapisan, yakni lapisan “petani luas komersial yang kaya” dan lapisan “buruh tani tunakisma yang miskin”.6 Pendapat lain mengenai pengertian startifikasi dikemukakan oleh Sorokin dalam Soekanto (1982) Sistem lapisan merupakan ciri yang tetap dan umum dalam setiap masyarakat yang hidup teratur. Sistem lapisan masyarakat dalam sosiologi dikenal dengan social stratification. Social stratification
adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke daalm
kelas-kelas secara bertingkat (Hierarkis). Perwujudannya adalah kelas-kelas tinggi dan kelas yang rendah. Sorokin pun mengatakan bahwa dasar dan inti lapisan masyarakat adalah tidak adanya keseimbangan dalam pembagian hak dan kewajiban, kewajiban, dan tanggung jawab nilai-nilai sosial pengaruhnya diantara anggota-anggota masyarakat. Ukuran atau kriteria yang biasa dipakai untuk menggolong-golongkan anggota-anggota masyarakat ke dalam suatu lapisan adalah sebagai berikut: 1. ukuran kekayaan: seseorang yang memiliki kekayaan paling banyak termasuk lapisan teratas. Kekayaan tersebut dapat dilihat dari bentuk rumah yang bersangkutan, mobil pribadinya, cara-cara berpakaian serta bahan pakaian yang dipakai, kebiasaan berbelanja barang-barang mahal dan seterusnya; 2. ukuran kekuasaan: Seseorang yang memiliki kekuasaan atau yang mempunyai wewenang terbesar menempati lapisan teratas; 3. ukuran kehormatan: ukuran kehormatan tersebut terlepas dari ukuran-ukuran kekayaan dan/atau kekuasaan. Orang yang paling disegani dan dihormati 6
Undang Fadjar. Transformasi Struktur Agraria dan Diferensiasi Sosial pada Komunitas Petani (Disertasi).2009, h. 33
17
mendapat tempat yang teratas. Ukuran semacam ini banyak dijumpai dalam masyarakat tradisional; dan 4. ukuran ilmu pengetahuan: ilmu pengetahuan sebagai ukuran dipakai oleh masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan. Namun ukuran tersebut terkadang menyebabkan terjadinya akibat-akibat yang negatif karena bukan mutu ilmu pengetahuan yang dijadikan ukuran tetapi gelar kesarjanaannya.
2.1.3.2 Struktur Pelapisan Masyarakat Menurut Fadjar dkk (2002) perubahan struktur sosial masyarakat agraris menunjukkan kepada mekanismenya yang mengarah ke bentuk stratifikasi (seperti berlangsungnya sistem pewarisan dan sistem bagi hasil) dan ke bentuk polarisasi (seperti berlangsungnya sistem pembelian kebun dan penyewaan kebun oleh petani kaya). Namun, Scott (1989) mengemukakan bahwa bentuk kapitalis dalam pemilikan tanah yang disertai dengan pertambahan penduduk yang pesat telah mendorong perubahan bentuk struktur sosial masyarakat agraris, terutama tumbuhnya satu kelompok besar yang terdiri dari penyewa tanah dan penggarap bagi hasil (bukan buruh upahan).7 Terlebih lagi menurut Sajogyo (1985) dan Rusli (1982) menjelaskan bahwa pertumbuhan penduduk menyebabkan semakin kecilnya persediaan lahan rata-rata per orang, semakin bertambahnya penduduk tak bertanah, dan munculnya fraksionalisasi lahan.8 Struktur kelas dalam masyarakat desa sangat menekankan fungsi ekonomi dan kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan dari anggota masyarakat desa. 9 1. golongan tuan tanah: terdiri dari para pemilik tanah lima sampai ratusan hektar yang disewakan kepada penyakap. Kebanyakan dari mereka merupakan orang kaya baru dan mampu mengumpulkan tanah selama masa pendudukan Jepang dan Zaman Revolusi; 2. petani kaya: terdiri dari mereka yang memiliki tanah (mis: 5-10 hektar) tetapi dikerjakannya sendiri. Meskipun golongan ini dapat menyewakan tanahnya,
7
Undang Fadjar. Transformasi Struktural Agraria dan Diferensiasi Sosial pada Komunitas Petani (Disertasi). 2009, h. 37 8 Ibid, h.37 9 Justus M van der Kroef.op.cit, h. 161-162
18
namun mereka lebih senang mempekerjakan buruh tani daripada penyakap untuk menggarap tanahnya; 3. petani sedang: memiliki tanah sampai 5 hektar sekedar cukup untuk kepentingan sendiri dan tidak mempekerjakan buruh tani atau penyakap. Sebagian besar golongan ini berkecimpung dalam bidang perdagangan hasil surplus pertanian; 4. petani miskin: dicirikan oleh pemilikan tanah yang sempit (kurang dari 1 hektar) yang tidak mencukupi untuk menghidupi dirinya sendiri dan keluarganya. Sebagian besar mereka terpaksa bekerja sebagai buruh tani atau petani bagi hasil; dan 5. buruh tani tak bertanah: banyak yang tidak memiliki alat-alat pertanian sama sekali, dan bertempat tinggal diatas tanah orang lain atau menumpang. Bersama petani miskin, secara politik mereka merupakan unsur yang mudah meledak di masyarakat pedesaan Jawa. Secara teori, struktur kelas di atas dapat dibagi menjadi lima golongan seperti yang disebutkan di atas. Kenyataannya, desa yang mengalami stratifikasi sosial berdasarkan luasan tanah yang dimiliki penduduk desa terbagi menjadi empat golongan petani pedesaan yaitu petani kaya berlahan luas, petani berlahan sedang, petani berlahan sempit dan buruh tani. Hanya 10-20 persen luasan tanah yang dikuasai penduduk desa sedangkan sisanya telah dikuasai oleh mayoritas orang-orang dari luar desa. Pendapatan rumah tangga masyarakat agraris diperoleh dari kegiatan usahatani yang memerlukan lahan sebagai faktor produksi utama. Bagi masyarakat desa, kepemilikan atau penguasaan lahan selain mencerminkan kesejahteraan petani juga sangat penting dalam kehidupan masyarakat desa karena identik dengan status sosial rumah tangga.
2.2
Kerangka Pemikiran
Penguasaan lahan merupakan kemampuan seseorang dalam memiliki, mengelola, memanfaatkan dan memperoleh keuntungan yang dihasilkan dari penggunaan lahan. Penguasaan lahan biasanya berkaitan dengan bentuk hubungan antara manusia dengan lahan. Hal tersebut dapat dilihat dari bentuk hubungan penguasaan lahan, seperti pemilik sekaligus penggarap; pemilik bukan penggarap;
19
bukan pemilik, penggarap; bukan pemilik dan bukan penggarap. Tingkat penguasaan lahan dipengaruhi oleh faktor yaitu akses terhadap lahan dan kebijakan pemerintah. Akses terhadap lahan dapat dilihat dari kemampuan petani dalam mengelola, memanfaatkan dan memperoleh lahan, sedangkan kebijakan pemerintah dapat dilihat dari peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah terkait dengan hak akses terhadap lahan.
Faktor-faktor penguasaan lahan: akses terhadap lahan kebijakan pemerintah
Tingkat penguasaan lahan: luas lahan yang dikuasai status kepemilikan lahan
Kondisi sosial ekonomi rumah tingkat tangga penda petani: patan tingkat pendid ikan kepemilikan asset dan modal
Karakteristik rumah tangga petani: jumlah tanggungan rumah tangga pendidikan keluarga tingkat ketergantun gan pada lahan
Gambar 1. Bagan Kerangka Analisis Pengaruh Penguasaan Lahan terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Keterangan: = mempengaruhi
= kualitatif
= memiliki hubungan
= kuantitatif
= mempengaruhi (kualitatif)
= keterkaitan
Tingkat penguasaan lahan dapat dilihat dari luas lahan yang dikuasai dan status lahan yang dikuasai. Luas lahan adalah ukuran lahan yang dimiliki oleh seseorang dalam satuan hektar, sedangkan status lahan adalah suatu ukuran yang dimiliki seseorang dalam hal bentuk hubungan dengan tanah. Adapun dengan
20
tingkat penguasaan lahan yang dilihat dari luas lahan dan status lahan akan mempengaruhi
kondisi sosial ekonomi rumah tangga petani. Kondisi sosial
ekonomi dapat dilihat dari tingkat pendapatan, tingkat pendidikan, dan kepemilikan asset dan modal rumah tangga petani. Pertama, tingkat pendapatan dilihat dari besarnya pendapatan petani yang diterima setiap bulannya. Kedua, tingkat pendidikan dapat dilihat dari kemampuan petani dalam memenuhi kebutuhan pendidikan anggota keluarga (usia sekolah). Pengukuran tingkat pendapatan dan tingkat pendidikan dapat dilihat dari karakteristik rumah tangga petani yang dilihat dari jumlah tanggungan keluarga, pendidikan keluarga dan ketergantungan terhadap lahan. Ketiga, yaitu kepemilikan asset dan modal dapat dilihat dari lahan yang dikelola atau dimiliki petani untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga petani.
2.3 Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka pemikiran penelitian, peneliti mengajukan satu hipotesis utama yaitu tingkat penguasaan lahan mempengaruhi kondisi sosial ekonomi masyarakat desa. 2.4 Definisi Operasional 1. Luas lahan adalah ukuran lahan yang dimiliki oleh responden dalam satuan hektar. Untuk penentuan kategori pengukuran dilakukan berdasarkan hasil rataan luas lahan menurut kondisi lapang. Pengukuran: a. Luas (> 1)
= kode 3
b. Sedang (0,5-1) = kode 2 c. Sempit (< 0,5) = kode 1 2. Status hubungan sosial dengan lahan lahan adalah suatu ukuran yang dimiliki oleh responden dalam hal bentuk hubungan dengan tanah. Pengukuran: Pemilik-penggarap
= kode 3
Pemilik- bukan penggarap
= kode 2
Bukan pemillik-penggarap
= kode 1
Bukan pemilik-bukan penggarap = kode 0
21
3. Stratifikasi sosial yaitu jenjang pelapisan sosial yang terdapat di dalam masyarakat dengan ukuran. Dalam penelitian ini stratifikasi sosial berdasarkan luas lahan yaitu luas, sedang, dan sempit dengan ukuran sebagai berikut: Luas (> 1)
= kode 3
Sedang (0,5-1)
= kode 2
Sempit (< 0,5)
= kode 1
4. Kepemilikan asset dan modal merupakan lahan yang dimiliki atau dikelola oleh responden untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga. Asset adalah lahan yang dimiliki seseorang atau responden yang tidak digarap untuk memenuhi kebutuhan hidup sedangkan modal adalah lahan yang mereka miliki atau kuasai dan digarap untuk memenuhi kebutuhan hidup responden. Dapat diukur sebagai berikut:
6.
1. memiliki lahan sebagai asset dan sebagai modal
= kode 3
2. memiliki lahan sebagai asset dan bukan sebagai modal
= kode 2
3. memiliki lahan sebagai modal saja
= kode 1
4. tidak memiliki lahan sebagai asset dan modal
= kode 0
Tingkat ketergantungan pada lahan adalah sejauh mana lahan dianggap penting dalam memenuhi kebutuhan responden yang diukur berdasarkan persentase pendapatan pertanian dari keseluruhan total pendapatan rumah tangga responden. Pengukuran:
7.
1. tinggi
= kode 2
2. rendah
= kode 1
Jumlah tanggungan keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yang masih menjadi tanggungan responden dalam memenuhi kebutuhan hidup sampai sekarang. Pengukuran jumlah tanggungan ini dapat dikategorikan dengan sedikit dan banyaknya jumlah tanggungan keluarga. Pengukurannya yaitu : >4 = Banyak 2 < x ≤ 4 = Sedang ≤2 = Kecil
22
8.
Pendidikan keluarga adalah kemampuan responden untuk memenuhi kebutuhan pendidikan anak. Pengukuran pendidikan keluarga dapat dikategorikan menjadi tiga yaitu: Perguruan tinggi,DI,DII,DIII/Sederajat (Sangat berpendidikan)
= kode 3
Tamat SMA, tamat SMP/sederajat (Berpendidikan)
= kode 2
SD, tidak tamat SD, tidak sekolah, (Kurang berpendidikan)
= kode 1
23
BAB III PENDEKATAN LAPANGAN
3.1
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kampung Cijengkol, Desa Cigudeg, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pemilihan tempat penelitian dilakukan secara sengaja (purposive). Pemilihan tempat penelitian didasarkan pada adanya fakta bahwa setengah wilayah di Desa Cigudeg ini dikuasai oleh PT Perkebunan Nasional VIII. Lahan pertanian Desa ini luasnya mencapai 164 hektar namun, mayoritas penduduknya bermata pencaharian sebagai pedagang dan wirausaha. Mata pencaharian di lahan pertanian tidak dijadikan sebagai pendapatan utama padahal sekitar 1.406 jumlah rumahtangga yang bekerja pada lahan pertanian (BPS 2008) sehingga desa ini menarik untuk dijadikan lokasi penelitian. Dari sembilan dusun di desa ini dipilih dusun sembilan yaitu Kampung Cijengkol RW 18 karena banyak warga miskin di kampung ini sedangkan mata pencaharian sebagian dari mereka adalah petani. Pemilihan kampung juga dilakukan berdasarkan fakta bahwa kelompok tani yang ada di kampung ini tidak aktif seperti di kampung-kampung lainnya yang masih wilayah Desa Cigudeg. Pengumpulan data dan pengolahan data dari penelitian ini dilakukan pada bulan April-Mei 2011. Pengolahan data dan hasil penyusunan penelitian selanjutnya dilakukan pada bulan Mei-Juni 2011.
Tabel 3. Jadwal Pelaksanaan Penelitian Tahun 2011 Kegiatan Penyusunan proposal dan instrument Penelitian Pengumpulan data Pengolahan data Penyusunan skripsi Ujian skripsi
Maret April Mei Juni Juli 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2
24
3.2
Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif didukung oleh pendekatan kuantitatif. Dalam pendekatan kualitatif metode yang dilakukan melalui wawancara mendalam dan pengamatan (observasi) lapangan. Sedangkan dalam pendekatan kuantitatif menggunakan metode survai. Penelitian survai adalah penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data yang pokok (Singarimbun 1989). Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari lapangan atau hasil dari kuesioner yang disebarkan dan diisi oleh responden secara langsung. Selain itu, digunakan pula wawancara mendalam dengan informan. Data sekunder diperoleh melalui sumbernya yang berasal dari monografi desa. Subjek dalam penelitian ini ada dua yaitu responden dan informan. Data penelitian kuantitatif diperoleh melalui kuesioner yang diberikan kepada responden dimana responden adalah orang yang memberikan informasi mengenai dirinya sendiri. Hasil kuesioner tersebut dicatat sesuai apa adanya, kemudian diolah dengan melakukan analisis dan interpretasi, selanjutnya dilakukan pembuatan kesimpulan tentang hasil kuesioner. Data kualitatif diperoleh melalui wawancara kepada, responden, informan dan analisis dokumen dan observasi secara langsung di lapangan kepada informan. Populasi dari penelitian ini adalah seluruh rumah tangga di Kampung Cijengkol, Desa Cigudeg, Kecamatan Cigudeg Kabupaten Bogor yang jumlahnya 130 KK. Populasi diambil berdasarkan informasi yang diperoleh dari monografi Desa Cigudeg. Unit analisis penelitian ini adalah rumat tangga petani di kampung tersebut. Penentuan responden dalam penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan teknik stratified random sampling. Artinya, populasi yang tidak homogeny dibagi-bagi dalam lapisan-lapisan yang seragam, dan dari setiap lapisan dapat diambil sampel secara acak. Maka dibuatlah kerangka sampling untuk masing-masing subpopulasi. dengan metode ini, semua lapisan dapat terwakili (Singarimbun 1989). Responden dibagi kedalam tiga kelompok atau kategori berdasarkan luas lahan yang mereka kuasai untuk diusahakan. Sebelum
25
melakukan pembagian responden kedalam tiga kategori, dilakukan beberapa tahap dalam pengambilan responden yaitu: 1. dilakukan sensus penelitian awal untuk mengetahui warga yang menguasai lahan pertanian (sawah maupun kebun) yang terdapat di Kampung Cijengkol RW 18 sekitar 130 KK. 2. setelah sensus penelitian awal dilakukan, kemudian didapat warga yang menguasai lahan pertanian (sawah dan kebun) sekitar 84 KK yang ada di RW 18 Kampung Cijengkol. Lalu dilakukan pengkategorian dari hasil yang di dapat dari sensus dan 84 KK tersebut ke dalam pengkategorian luas lahan Sempit, Sedang dan Luas. 3. Dari pengkategorian tersebut dipilih sampel yang ditentukan berdasarkan hasil perhitungan rumus Slovin sebagai berikut: N n= 1+Ne² Keterangan: n = jumlah sampel N = jumlah populasi e = nilai kritis (batas ketelitian) yang digunakan (10 %)
4. Setelah diketahui bahwa responden yang didapat dari rumus tersebut adalah 46 responden, maka dilakukan pengambilan responden berdasarkan kategori yang disebutkan di atas yaitu responden yang memiliki lahan luas, sedang, dan sempit. 5. Penentuan responden berdasarkan kategori dilakukan dengan menggunakan acak yaitu setiap kertas diberi nama lalu kemudian dikocok. Nama yang keluarlah yang dijadikan responden. Penentuan jumlah responden dari setiap kategori dilakukan menggunakan proporsi. Pengambilan jumlah informan dalam penelitian ini tidak dibatasi, dengan tujuan untuk memperkaya informasi mengenai pengaruh penguasaan lahan masyarakat desa. Pengambilan informan dilakukan secara snowball sampling yaitu pertama-tama saya diantar oleh salah satu staf desa menuju ke Kampung Cijengkol dan langsung menemui Ketua RW 18. Setelah itu, peneliti di anatar oleh Ketua RW untuk mengetahui lebih jelas mengenai petani di kampung kepada
26
Ketua Kelompok Tani yang tidak lain adalah mantan Kepala Dusun Sembilan. Kemudian, peneliti ditunjukkan kepada Ketua RT yang ada di kampung tersebut dan juga kepada Kepala Dusun Sembilan sebagai informan yang dapat dimintai keterangan mengenai kondisi dan keadaan Kampung Cijengkol.
3.3
Teknik Pengolahan dan Analisis Data Data kuantitatif diperoleh melalui kuesioner yang dibagikan kepada
responden dianalisis. Pengolahan data tersebut melalui beberapa langkah yaitu editing kuesioner, pengkodean data, pemindahan data kelembar penyimpanan data (Microsoft excel), dan mengubah data dari excel ke SPSS untuk memudahkan pembersihan dan pengolahan data. Proses editing dilakukan untuk membaca dan memberi koreksi pada setiap kuesioner yang telah diisi oleh enumerator. Proses editing ini berguna untuk mencek kelengkapan data, logika urutan jawaban atas setiap pertanyaan dalam kuesioner, kelogisan jawaban dan ketelitian (dalam hal pencatatan angka-angka). Setelah editing kemudian dilakukan pengkodean data yang merupakan suatu proses penyusunan secara sistematis data mentah (yang terdapat dalam kuesioner) kedalam bentuk yang mudah dibaca oleh komputer. Pemberian kode ini yaitu memberikan simbol-simbol angka kepada jawaban-jawaban tertentu. Setelah pengkodean data, dilakukan pemindahan data kelembar penyimpanan data menggunakan Microsoft excel dan SPSS (statistical package for social) dan selanjutnya dilakukan pembersihan data yang bertujuan untuk menghilangkan kesalahan pemberian kode atau meringkas kembali kategori-kategori jawaban. Setelah itu dalam menganalisis data dilakukan uji analisis data menggunakan koefisien korelasi rank spearman untuk mengukur korelasi antara dua variabel yang memiliki tingkat ordinal. Metode analisis berikutnya yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis non inferensia untuk menguji hipotesis penelitian dengan menggunakan tabulasi silang. Data kualitatif dengan mengutip hasil pembicaraan dengan responden atau informan adakan dijelaskan dan disampaikan secara deskriptif untuk mempertajam hasil penelitian.
27
BAB IV GAMBARAN UMUM DESA
4.1
Gambaran Umum Desa Cigudeg
4.1.1 Letak Geografis dan Demografi Desa Cigudeg merupakan salah satu desa di wilayah Kecamatan Cigudeg. Desa ini mempunyai luas wilayah 1.666,485 hektar yang terdiri dari sembilan dusun, dua puluh satu RW dan enam puluh empat RT juga merupakan desa yang terdekat dari Kecamatan Cigudeg.
Adapun batas-batas administratif
Desa
Cigudeg adalah sebagai berikut: 1. sebelah Utara
: Desa Wargajaya Kecamatan Cigudeg
2. sebelah Timur
: Desa Kalong Kecamatan Cigudeg
3. sebelah Selatan
: Desa Sukaraksa Kecamatan Cigudeg
4. sebelah Barat
: Desa Bunar Kecamatan Cigudeg
Dilihat dari topografi dan kontur tanah, secara umum desa ini berupa bukan pesisir dataran yang berada pada ketinggian 400 m diatas permukaan laut wilayah di luar kawasan hutan dengan suhu rata-rata berkisar antara 23° sampai dengan 25° Celcius. Jarak dan waktu tempuh Desa ini ke Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor dan Ibu Kota Provinsi Jawa Barat dan Ibu kota Negara adalah sebagai berikut: 1. Kecamatan Cigudeg
: 0,6 km dengan waktu tempuh 0,5 menit,
2. Kabupaten Bogor
: 56 km dengan waktu tempuh 120 menit,
3. Ibu Kota Provinsi Jawa Barat
: 156 km dengan waktu tempuh 5 jam, dan
4. Ibu Kota Negara
: 96 km dengan waktu tempuh 3 jam
4.1.2
Jumlah Penduduk Desa Cigudeg Desa Cigudeg merupakan desa yang memiliki jumlah penduduk terbesar
diantara desa-desa lainnya se-Kecamatan Cigudeg. Jumlah penduduk desa ini hampir mencapai 13.189 Jiwa pada tahun 2010 dengan jumlah laki-laki sebesar 6.842 jiwa dan jumlah perempuan sebesar 6.317 jiwa dan jumlah kepala keluarga
28
sebesar 3.181 KK. Tabel 4 di bawah ini menunjukkan jumlah penduduk laki-laki dan perempuan di Desa Cigudeg berdasarkan umur.
Tabel 4. Jumlah Penduduk Laki-laki dan Perempuan Menurut Umur No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Kelompok Umur 00-04 05-09 10-14 15-19 20-24 25-30 30-34 35-39 40-44 45-49 50-54 55-59 60-64 65-69 70-keatas Jumlah
Laki-laki 490 502 462 464 430 420 385 385 390 404 410 495 443 466 418 6872
Perempuan 365 427 452 390 460 544 579 516 403 459 396 412 330 324 98 6317
Jumlah 855 974 914 854 890 964 964 901 739 863 806 907 773 790 516 13189
Sumber : Data Monografi Desa Cigudeg, 2010
Berdasarkan Tabel 4 dapat dilihat bahwa jumlah penduduk laki-laki lebih besar dibandingkan jumlah penduduk perempuan. Dari keseluruhan kelompok umur, kelompok umur 25-29 dan 30-34 yang jumlahnya lebih besar dibandingkan dengan kelompok umur lainnya. Tabel tersebut menunjukkan bahwa jumlah penduduk yang berumur produktif yang lebih besar dibandingkan dengan umur yang non produktif. Jumlah penduduk di desa ini cukup besar
dan beragam pula mata
pencaharian yang penduduk lakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehariharinya. Beragam mata pencaharian tersebut diantaranya yaitu sebagai petani, buruh tani, pedagang, pegawai negeri, TNI/Polri dan wirausaha lainnya. Dapat dilihat jumlah penduduk menurut mata pencahariannya berdasarkan diagram dibawah ini:
29
Sumber : Data Monografi Desa Cigudeg, 2010
Gambar 2. Persentase Penduduk Desa Cigudeg Berdasarkan Mata Pencaharian Berdasarkan
Gambar 2 mayoritas mata pencaharian penduduk Desa
Cigudeg adalah pedagang dan wirausaha dengan persentase sebesar 27 %. Penduduk desa ini lebih memilih sektor dagang atau wirausaha lainnya daripada memilih di sektor pertanian. Hal ini mereka lakukan karena pekerjaan di sektor pertanian tidaklah menjanjikan dan tidak dapat mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Kenyataannya, lahan pertanian yang terdapat di Desa Cigudeg cukup luas sekitar 105 hektar lahan pertanian untuk sawah atau 13 % dari luas tanah yang dipergunakan di Desa Cigudeg. dapat dilihat pada gambar 3 mengenai luas tanah menurut penggunaannya di Desa Cigudeg yaitu:
Sumber: BPS, Tahun 2008
Gambar 3.Persentase Luas Tanah Menurut Penggunaannya di Desa Cigudeg, 2008
30
Jumlah penduduk di desa ini sangat banyak sehingga penduduk pun selain memiliki beragam mata pencaharian, merekapun beragam dalam tingkat pendidikannya. Mulai dari yang tidak tamat SD/Sederajat, tamat SD/sederajat, Tamat SLTP/sederajat, tamat SLTA/sederajat, tamat akademi DI-DII hingga tamat S1-S3. Hal ini dapat dilihat pada diagram dibawah ini yaitu sebagai berikut:
Sumber : Data Monografi Desa Cigudeg, 2010
Gambar 3. Jumlah Penduduk Desa Cigudeg Berdasarkan Pendidikan Berdasarkan
Gambar 3 jumlah penduduk yang pendidikannya rendah
yaitu tidak tamat SD/sederajat merupakan jumlah yang paling banyak sebesar 4.845 orang. Jumlah penduduk yang tamat SD/sederajat yaitu sebesar 4.226 orang, tamat SLTP/sederajat sebanyak 1.778 orang, tamat SLTA/sederajat sebanyak 1.247 orang, tamat akademi DI, DII sebanyak 123 orang dan tamat S1S3 sebanyak 72 orang. Dapat disimpulkan bahwa penduduk Desa Cigudeg pendidikannya rata-rata tidak tamat SD/sederajat, walaupun ada beberapa yang lulusan pendidikan hingga S1-S3. Hal ini karena pentingnya pendidikan belum di sadari oleh masyarakat desa dan tidak adanya dana untuk sekolah menjadi halangan bagi masyarakat desa untuk mengecam pendidikan padahal sarana pendidikan di desa ini sudah cukup baik. Desa ini memiliki jumlah penduduk yang sangat banyak sehingga dalam menunjang kebutuhan penduduknya sendiri, terdapat berbagai sarana dan prasarana di desa ini mulai dari sarana dan prasarana desa (kantor desa, balai pertemuan, pos kamling), perhubungan (jalan beton, hotmik, aspal, pengerasan,
31
tanah, jembatan), pendidikan (taman kanak-kanak/PAUD, sekolah dasar/MI, SLTP/MTs, dan SLTA), kesehatan (posyandu, klinik umum, puskesmas, poskesdes, bidan, dukun bayi terlatih), ekonomi (bank pemerintah, bank PDPK, Koperasi Unit Desa, Kios/Toko/Warung dan Toko Matrial), dan olahraga (lapangan sepak bola, lapangan bulu tangkis, lapangan voli, lapangan tenis, dan lapangan tenis meja). Jumlah dari sarana dan prasarana yang ada di desa dapat dilihat pada Tabel 5 yaitu sebagai berikut.
Tabel 5. Sarana dan Prasarana Desa Cigudeg Kecamatan Cigudeg No Sarana dan Prasarana 1 Desa
2
Perhubungan
3
Pendidikan
4
Kesehatan
5
Ekonomi
6
Olahraga
Bentuk Sarana dan Prasarana 1. Kantor Desa 2. Balai Pertemuan 3. Pos Kamling 1. Jalan Beton 2. Jalan Hotmik 3. Jalan Aspal 4. Jalan Pengerasan 5. Jalan Tanah 6. Jembatan 1. Taman Kanak-Kanak/PAUD 2. Sekolah Dasar/MI 3. SLTP/MTs 4. SLTA 1. Posyandu 2. Klinik Umum 3. Puskesmas 4. Poskesdes 5. Bidan 6. Dukun Bayi Terlatih 1. Bank Pemerintah 2. Bank PDPK 3. Koperasi Unit Desa 4. Kios/Toko/Warung 5. Toko Matrial 1. Lapangan sepak bola 2. Lapangan bulu tangkis 3. Lapangan bola voli 4. Lapangan tenis 5. Lapangan tenis meja
Sumber : Data Monografi Desa Cigudeg, 2010
Jumlah 1 buah 1 buah 21 buah 20 km 12 km 12 km 8 km 11 km 7 buah 4 buah 8 buah 2 buah 1 buah 16 buah 2 buah 1 buah 1 buah 8 orang 5 orang 1 buah 1 buah 1 buah 150 buah 5 buah 1 buah 4 buah 4 buah 1 buah 1 buah
32
4.2
Gambaran Umum Kampung Cijengkol Kampung Cijengkol merupakan salah satu kampung di desa Cigudeg,
Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor yang letaknya sekitar 1 km dari kantor desa. Kampung Cijengkol termasuk kedalam dusun sembilan Desa Cigudeg yang terdiri dari dua RW yaitu RW 18 dan RW 19. Seperti yang telah disebutkan di gambaran umum desa bahwa Desa Cigudeg memiliki 9 dusun yang masingmasing dusun menaungi dua RW dengan 1 RW terdiri dari empat RT. Penduduk di kampung ini cukup padat dimana jumlah penduduk 1 RW hampir sekitar 200 jiwa. Mayoritas penduduk disana bermata pencaharian sebagai petani, namun banyak juga yang melakukan pola nafkah ganda sebagai pedagang, serabutan, buruh panggul, tukang ojek dan lain sebagainya. Kampung ini berada di sekitar kaki Gunung Si Gelap. Batas-batas kampung Cijengkol yaitu sebelah barat berbatasan dengan Kampung Katulampa, sebelah timur berbatasan dengan Kampung Empang, sebelah selatan berbatasan dengan Kampung Cikasungka dan sebelah utara berbatasan dengan Kampung Pasir Angin. Sarana dan prasarana yang terdapat di kampung ini yaitu satu buah masjid, satu buah mushala dan satu buah sekolah SD (SD Cijengkol). Sarana dan prasarana tersebut digunakan warga kampung dengan sebaik-baiknya. Masjid dan mushala dipergunakan warga untuk kegiatan keagamaan seperti shalat berjamaah dan pengajian rutin yang diadakan seminggu dua kali. Adapun kegiatan pengajian rutin yang dilakukan warga kampung adalah pengajian yang disebut “Muawanah” atau dikenal dengan “Tablig Akbar” yang diikuti oleh desa se-Kabupaten Bogor yang diadakan satu tahun sekali. Kegiatan rutin ini dilakukan untuk menjalin dan memperat tali silaturahmi antara warga desa satu dengan warga desa lainnya juga warga mendapat pengetahuan secara mendalam tentang agama. Kegiatan ini biasanya dilakukan di masjid yang mendapat gilliran, karena pengajian ini dilakukan dengan cara di undi untuk tempat dan “Guru Besar” atau disebut dengan “Khiyai” dalam mengisi acara pengajian tersebut. Sarana seperti sekolah SD digunakan warga kampung untuk mengenyam pendidikan bagi anak-anaknya. Sekolah ini pun dimanfaatkan warga untuk dijadikan sekolah SMP terbuka agar para warga yang kurang mampu untuk melanjutkan ke SMP negeri maupun swasta karena tidak punya biaya walaupun dalam seminggu hanya 3 hari sekolah.
33
4.3
Agraria Lokal Kampung Cijengkol
Proses penguasaan lahan yang terdapat di Kampung Cijengkol berawal dari pembukaan lahan hutan yang dijadikan lahan garapan oleh warga yang hidup pada jaman Belanda dan dilakukan untuk kegiatan pertanian. Lahan garapan yang dibuka berada di sekitar Gunung Si Gelap yang mengitari kampung ini. Warga yang membuka lahan akan menandakan agar tidak diakui oleh warga lainnya atau lahan tersebut di patok dengan menggunakan bambu atau kayu untuk batas-batas kepemilikan lahan. Kegiatan pertanian yang dilakukan pada lahan yaitu kegiatan menyawah (sawah) dan berkebun. Penandaan kepemilikan lahan yang sebelumnya hanya menggunakan tanda kini berkembang menjadi surat girik yang dikeluarkan oleh desa dan makin berkembang dengan adanya pencatatan status tanah yang dikeluarkan oleh Kantor Pajak dan dilegitimasi oleh pihak desa dengan nama Surat Pemberitahuan Pajak Terutang(SPPT). Saat ini, SPPT dianggap oleh warga kampung sebagai bukti kepemilikan lahan yang sah karena dengan memiliki SPPT mereka juga membayar kewajiban pajak atas lahan-lahan yang mereka miliki, baik lahan sawah maupun lahan kebun. Lahan-lahan yang dimiliki warga Kampung Cijengkol berdasarkan hasil sensus awal penelitian pada tahun 2011 terlihat pada Tabel 6 sebagai berikut.
Tabel 6. Kepemilikan Lahan Sawah dan Kebun berdasarkan Hasil Sensus Tahun 2011 Kepemilikan lahan Memiliki sawah Memiliki kebun Memiliki sawah dan kebun Tidak memiliki keduanya Total
Jumlah 19 18 47 46 130
% 14,62 13,85 36,15 35,38 100,00
Berdasarkan Tabel 6 di atas menggambarkan bahwa dari satu RW yaitu RW 18 di Kampung Cijengkol, Warga yang memiliki sawah sebesar 19 orang atau 14,62 % dan warga yang memiliki kebun sebesar 18 orang atau 13,85 %. Warga yang memiliki lahan sawah dan kebun sebesar 47 orang atau 36,15 % dan yang tidak memiliki keduanya sekitar 46 orang atau 35,38 %. Kepemilikan lahan
34
sawah maupun kebun didapatkan warga dari hasil sesepuh mereka dengan cara membuka lahan. Lahan-lahan tersebut hampir semuanya hanya memiliki SPPT dan tidak didukung dengan adanya sertifikat lahan. Menurut mereka, dengan adanya sertifikat maka kekuatan kepemilikan terhadap lahan-lahan yang mereka miliki menjadi makin kuat secara hukum. Namun, mahalnya biaya yang dibutuhkan untuk melakukan sertifikasi lahan membuat warga kampung Cijengkol belum melakukan proses tersebut. Status kepemilikan lahan di Kampung Cijengkol sebagian mengalami peralihan kepada orang lain yang tidak lain adalah terhadap generasi berikutnya (keturunannya). Adapun peralihan kepemilikan terjadi kepada warga antar kampung atau di luar desa. Hingga saat ini peralihan kepemilikan di Kampung Cijengkol hanya terjadi di dalam kampung, baik yang pendatang di kampung ini maupun warga asli kampung. Proses peralihan status kepemilikan lahan dari warga Kampung Cijengkol ke warga lain di luar kampung ini pada umumnya didasarkan pada hubungan kekeluargaan di tingkat mereka. Menurut Wardini (2010) status kepemilikan lahan jika ditinjau dari proses mendapatkannya dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu 1) kepemilikan lahan karena proses warisan keluarga, dan 2) Kepemilikan lahan karena proses jual-beli. Kampung Cijengkol merupakan salah satu kampung yang status kepemilikan lahannya didapat dari waris dan jual-beli.
Namun, penguasaan lahan yang
terdapat di kampung ini diperoleh dari beberapa cara memperoleh akses terhadap lahan yang dapat dilihat pada Tabel 8 di bawah ini sebagai berikut. Tabel 7. Status Lahan berdasarkan Hasil Sensus Awal Penelitian Tahun 2011 Status lahan Sawah Warisan Beli Gadai Bagi hasil Menyewa Total
Jumlah
%
43 12 3 6 2 66
65,15 18,18 4,55 9,09 3,03 100,00
Status lahan Kebun Warisan Beli Gadai Bagi hasil Menyewa Total
Jumlah
%
51 13 1 0 0 65
78,46 20,00 1,54 0 0 100,00
Berdasarkan Tabel 7 menggambarkan bahwa perolehan akses lahan baik lahan sawah maupun lahan kebun dilihat dari status lahan pada Kampung
35
Cijengkol lebih didominasi oleh cara perolehan dari warisan10. Berbeda dengan Tabel 5 yaitu irisan mengenai kepemilikan lahan dari sawah dan kebun sedangkan Tabel 6 menjelaskan masing-masing lahan (sawah dan kebun) dalam status lahan. Sebesar 65,15 % atau 43 orang memiliki lahan sawah yang didapat dari warisan dan 78,46 % atau 51 orang yang memiliki lahan kebun yang didapat dari warisan. Hal ini karena sistem peralihan kepemilikan lahan yang terdapat di kampung ini menggunakan sistem bagi waris sehingga akses warga terhadap lahan pun disebabkan adanya sistem tersebut. Cara perolehan lahan yang didapat dari cara lain seperti beli, bagi hasil, gadai, dan menyewa hanya sedikit yang ditemukan di kampung ini. Menurut Sanderson (2003) dalam Fadjar (2009), masyarakat agraris adalah masyarakat yang menyandarkan hidupnya pada pertanian, baik sebagai pemilik lahan maupun bukan pemilik lahan (tunakisma). Sumberdaya agraria (lahan) digunakan secara berkesinambungan, oleh sebab itu gambaran struktur sosial masyarakat agraris merujuk kepada peta hubungan sosial dikalangan anggota masyarakat agraris yang bertumpu pada posisi petani dalam penguasaan sumberdaya agraria, baik melalui mekanisme penguasaan tetap (pemilikan) maupun penguasaan sementara (seperti bagi hasil). Lalu, diferensiasi sosial masyarakat agraris menunjukkan pada keberadaan kelompok-kelompok dalam masyarakat dengan posisinya dalam penguasaan sumberdaya agraria yang tidak sama. Penguasaan lahan perorangan yang terjadi di Kampung Cijengkol mengalami ketidakmerataan akses di antara warga kampung dalam penguasaan sumberdaya agraria (lahan). Ketidakmerataan akses lahan di kampung menyebabkan warga kampung menjadi terdiferensiasi. Berdasarkan hubungan sosial dalam penguasaan sumberdaya agraria (penguasaan tetap dan penguasaan sementara), hasil sensus terhadap seluruh rumahtangga petani di Kampung Cijengkol menunjukkan bahwa struktur sosial masyarakat agraris yang muncul saat ini terdiferensiasi dalam banyak lapisan yang dapat dilihat pada Tabel 9 di bawah ini sebagai berikut. 10
Sistem waris (warisan) yang terdapat di Kampung Cijengkol adalah sistem waris yang pembagian kepada hak waris yang samarata baik untuk hak waris laki-laki maupun hak waris perempuan. Sistem waris ini tidak mengikuti sebagaimana yang diajarkan di Agam Islam.
36
Tabel 8. Diferensiasi Hubungan Sosial Sumberdaya Agraria berdasarkan Hasil Sensus Tahun 2011 Hubungan sosial dengan lahan Sawah Pemilik-penggarap Pemilik-bukan Penggarap Bukan pemilik Penggarap Total
Jumlah
%
48 7
70,73 13,60
11
15,67
66
100,00
Hubungan sosial dengan lahan Kebun Pemilik-penggarap Pemilik-bukan Penggarap Bukan pemilik Penggarap Total
Jumlah
%
55 8
84,61 12,31
2
3,08
65
100,00
Berdasarkan Tabel 8 menunjukkan bahwa diferensiasi hubungan sosial sumberdaya agraria (lahan sawah dan kebun) yang terdapat di Kampung Cijengkol yaitu pemilik-penggarap sebesar 70,73 % dari lahan sawah dan 84,61 % dari lahan kebun. Ketiga kategori hubungan sosial dengan lahan muncul di Kampung Cijengkol dan yang mendominasi hubungan tersebut yaitu pemilikpenggarap karena mayoritas warga kampung memiliki akses lahan yang didapat dari warisan sehingga mereka menggarap lahan yang mereka miliki sendiri.
4.4
Karakterstik Responden Kampung Cijengkol
Pendidikan merupakan salah unsur penting dalam melihat kondisi sosial ekonomi suatu masyarakat. Pendidikan yang terdapat di Kampung Cijengkol dengan ditunjang sarana pendidikan oleh Desa Cigudeg mengharuskan warganya dapat sekolah hingga ke jenjang yang lebih baik seperti SMA karena akses warga kampung untuk sekolah SMA tersedia di Desa Cigudeg yang berjarak 1 km dari kampung ke arah sekolah tersebut. Namun kenyataannya tidak seperti itu, kesadaran pentingnya sekolah tidak terdapat pada warga kampung ini. Kemauan anak yang ingin sekolah tidak didukung dengan biaya yang dimiliki oleh orangtua untuk sekolah sehingga terpaksa tidak bersekolah. Kebalikan dari itu, ada orangtua yang mampu untuk menyekolahkan anaknya, namun dari anaknya yang tidak mau sekolah sehingga orangtua mengikuti kemauan anak dan tidak mendorong anaknya untuk bersekolah. Dapat dilihat pada Tabel 9 sebagai berikut.
37
Tabel 9. Pendidikan Responden di Kampung Cijengkol, Tahun 2011 Kategori KB B SB Total
Jumlah Responden 22 19 5 46
Persentase (%) 41,30 47,83 10,87 100,00
Keterangan:KB = kurang berpendidikan B = berpendidikan SB = sangat berpendidikan
Berdasarkan Tabel 9 menggambarkan bahwa dari 46 responden sebanyak 22 responden atau 41,30 % ada pada kategori kurang berpendidikan. Kurang berpendidikan yang dimaksud disini yaitu warga yang hanya bersekolah lulus SD ataupun tidak lulus SD tetapi pernah bersekolah SD. Kategori berpendidikan dan sangat berpendidikan sebanyak 19 responden dan 5 responden dari jumlah responden 46. Kategori berpendidikan dilihat dari tamatan SMP dan tamatan SMA, sedangkan kategori sangat berpendidikan dilihat dari Perguruan Tinggi baik DI, DII, DIII dan seterusnya. Mayoritas warga Kampung Cijengkol menguasai lahan pertanian (sawah maupun kebun) yang berada di kampung tersebut. Jumlah warga kampung RW 18 yaitu dari 130 KK, yang menguasai lahan pertanian sebanyak 84 KK. Namun untuk sebaran pekerjaan yang terdapat di kampung ini di dapat dari pekerjaan di luar sektor pertanian. Dapat dilihat pada Tabel 10 sebagai berikut.
Tabel 10. Pekerjaan Responden di Kampung Cijengkol, Tahun 2011 Jenis Pekerjaan Pedagang/petani Petani PNS IRT Buruh Swasta Wirausaha Jumlah
Jumlah 11 21 2 1 6 4 1 46
% 23,91 45,65 4,35 2,18 13,04 8,69 2,18 100,00
Berdasarkan Tabel 10 menggambarkan bahwa responden yang menguasai lahan sebanyak 46 tidak bekerja sebagai petani saja melainkan mereka ada yang bekerja di luar sektor pertanian seperti wirausaha, swasta, buruh, pedagang, dan
38
PNS. Dapat dilihat pula pada Tabel 11 mengenai tingkat ketergantungan terhadap lahan pertanian.
Tabel 11. Sebaran Responden Tingkat Ketergantungan pada Lahan Pertanian Tahun 2011 Tingkat Ketergantungan pada Lahan Tinggi (0-1) Rendah (2) Total
Jumlah 18 28 46
% 39,13 60,87 100,00
Tingkat ketergantungan pada lahan pertanian yang terdapat di Kampung Cijengkol dapat disimpulkan bahwa tingkat ketergantungannya rendah sebanyak 28 responden atau 60,87 % yang menyatakan bahwa warga tidak tergantung pada lahan pertanian dan mereka memiliki sumber penghasilan selain dari lahan pertanian. Warga menganggap bahwa penghasilan yang didapat dari lahan pertanian tidak mencukupi kebutuhan yang makin hari makin besar. Maka dari itu, warga melakukan strategi nafkah ganda yaitu sumber penghasilan yang didapat dari lahan pertanian digunakan untuk konsumsi sedangkan pendapatan yang dihasilkan selain dari lahan digunakan untuk keperluan lain seperti biaya untuk anak dan lain-lain.
39
BAB V POLA PENGUASAAN LAHAN DAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGUASAAN LAHAN
5.1
Penguasaan Lahan Pertanian
Lahan pertanian memiliki manfaat yang cukup besar dilihat dari segi ekonomi, sosial dan lingkungan sehingga lahan pertanian dapat dikatakan sebagai pemasukan yang penting untuk proses keberlanjutan produksi, juga eksistensi lahan terkait dengan tatanan kelembagaan masyarakat petani dan budayanya (Darwis 2009). Namun, di Indonesia distribusi lahan pertanian tidaklah merata terutama di desa jawa karena penduduknya yang padat. Dua konsep tradisional mengenai hak atas tanah yang saling berkaitan yaitu raja atau kaum elit yang mengklaim mengenai pajak dan kepemilikan tanah sementara petani menganggap tanah sebagai milik mereka kerena mereka yang membuka lahan dan menjadikannya sesuatu yang berharga yang dapat diwariskan kepada anak cucu. Ketimpangan lahan menjadikan pemerintah memperhatikan keadaan yang merugikan petani sehingga usaha pemerintah Indonesia dalam membangun sosialekonomi difokuskan pada pembangunan pertanian. Hal ini terlihat dari adanya kebijakan yang merencanakan peningkatan produksi beras untuk mencapai swasembada. Namun kebijakan ini dianggap telah gagal karena hanya mencakup petani bersawah yang mendapat kredit dalam program tersebut, sedangkan syarat untuk meningkatkan kesejahteraan orang miskin (terutama di desa) adalah dengan mengikutsertakan petani gurem dan petani tak bertanah ke dalam reforma agraria. Redistribusi lahan dilaksanakan karena adanya kebijakan UUPA tahun 1960 yang berpihak kepada petani gurem dan petani tak bertanah. Namun, di awal tahun tersebut banyak pemilik tanah yang ketakutan akan peraturan landreform sehingga mereka menyerahkan tanah kepada penggarap dan meninggalkan praktik pertanian bagi hasil dan beralih ke penggunaan buruh upahan. Hal ini dilakukan karena dianggap lebih ekonomis dibandingkan dengan mempekerjakan petani penggarap untuk menggarap tanah mereka.
40
Kampung Cijengkol merupakan salah satu kampung yang penduduknya cukup padat diantara kampung-kampung lain yang berada di Desa Cigudeg. Kampung ini pun salah satu kampung dimana penduduknya banyak melakukan aktivitas pertanian terutama di sawah dan kebun. Namun, ada juga sebagian kecil warga yang melakukan aktivitasnya di ladang, pekarangan, hutan bahkan diluar pertanian. Jika dibandingkan dengan kampung lain yang ada di Desa Cigudeg, lebih banyak warga Kampung
Cijengkol yang berpendapatan rendah.
Kebanyakan dari warga memanfaatkan, mengolah dan mengambil keuntungan dari lahan yang mereka garap untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti sawah yang ditanami padi dan kebun yang ditanami sayur-sayuran atau kayu jenjeng (warga menyebutnya ki ambon) yang dapat dijual untuk mendapatkan tambahan uang. Namun hasil yang mereka telah tanam hanya dapat dinikmati oleh sendiri (subsisten). Hal ini mengartikan bahwa mereka yang beraktivitas di pertanian (sebagai petani) dapat dikatakan sebagai petani gurem. Jumlah penduduk di kampung ini terbilang cukup padat. Hal ini dapat dilihat dengan banyaknya jumlah anggota keluarga yang ada. Tabel 12 menggambarkan bahwa banyaknya jumlah anggota keluarga setiap satu keluarga. Tabel 12. Jumlah anggota setiap keluarga di Kampung Cijengkol Kategori Banyak Sedang Sedikit
IK Jumlah Anggota Keluarga >7 4<x≤7 1<x≤4 Total
Jumlah 15 19 12 46
Persentase (%) 32,60 41,30 26,10 100,00
Berdasarkan Tabel 12 bahwa jumlah anggota dari setiap keluarga dengan kategori jumlah anggota keluarga yang sedang yang paling banyak terdapat di kampung ini. Sekitar 19 keluarga yang memiliki anggota dari 4-7 orang atau 41,30 %. Urutan kedua yaitu jumlah anggota keluarga yang lebih dari 7 orang dengan jumlah 15 keluarga atau sekitar 32,60 %, sedangkan untuk kategori sedikit yaitu 1-4 orang anggota hanya ada 12 keluarga atau sekitar 26,10 %. Maka dari itu, dapat dilihat bahwa jumlah penduduk di kampung ini merupakan jumlah penduduk yang cukup banyak. Hal ini mempengaruhi warga dalam hal akses
41
terhadap lahan karena dengan padatnya penduduk maka lahan yang dikuasai pun semakin kecil karena lahan dibagi-bagikan kepada anaknya (diwariskan).
5.2
Pola Penguasaan Lahan di Kampung Cijengkol Pola penguasaan lahan di Jawa cenderung berada diantara dua kutub yang
berlawanan yaitu antara pemilikan komunal yang kuat atau hak ulayat dan pemilikan perorangan dengan beberapa hak istimewa komunal. Akibat adanya tekanan penduduk yang besar dan tidak ada cadangan tanah baru yang dibuka menjadi tanah pertanian, pola-pola penguasaan perorangan semakin bertambah banyak dengan mengorbankan pengawasan komunal yang dulu pernah ada. Bentuk-Bentuk penyakapan tanah dan bagi hasil menunjukkan banyak ragam kelenturan dan strata sosial tradisional masyarakat yang telah terganggu. Bentuk penguasaan lahan di Jawa beragam seperti dijelaskan oleh Wiradi (2009) mengenai land tenure yang memiliki arti hak atas tanah atau penguasaan tanah dan menguraikan masalah-masalah mengenai status hukum dari penguasan tanah seperti hak milik pacht, gadai, bagi hasil, sewa-menyewa, dan juga kedudukan buruh tani. Pola penguasaan lahan di Kampung Cijengkol saat ini cenderung lebih ke arah pemilikan perorangan. Kebanyakan dari warga kampung memiliki dan menggarap sendiri lahan yang mereka miliki (sawah dan kebun) yang didapat dari hasil membeli ataupun warisan dari orang tua. Jika dikaitkan dengan “Struktur agraria” yaitu tata hubungan antar manusia menyangkut pemilikan, penguasaan dan peruntukan tanah menjadi mapan yang menjadikan faktor penentu bangunan masyarakat secara keseluruhan, juga hubungan sosial manusia dengan manusia yang diartikan mencakup hubungan orang-orang langsung atau tidak langsung terlibat dalam proses produksi, seperti hubungan sewa antara pemilik tanah dan penggarap, hubungan pengupahan antara petani majikan dengan buruh tani, hubungan kredit dan/atau dagang antara pemilik modal dan petani, hubungan petani dengan penguasa melalui mekanisme pajak dan sebagainya terlihat di kampung ini. Hanya saja hubungan antar manusia dengan tanah secara teknis lebih banyak dibandingkan hubungan orang-orang langsung atau tidak langsung yang terlibat dalam proses produksi. Tidak dipungkiri juga bahwa hubungan sewa
42
antara pemilik dan penggarap dan pengupahan (buruh tani) terlihat juga di kampung ini walaupun tidak banyak. Bentuk hubungan yang sering ada di kampung Cijengkol adalah pemilik-sekaligus penggarap, bukan pemilikpenggarap, pemilik-bukan penggarap. Tiga bentuk hubungan tersebut adalah sebagai berikut: a.
Pemilik-sekaligus penggarap Bentuk penguasaan seperti ini adalah yang paling banyak terdapat di
Kampung Cijengkol. Warga kampung ini sebagian besar memiliki sawah dan kebun dan mereka menggarapnya sendiri. Lahan sawah digunakan untuk menanam padi dan biasanya di sisi sawah ditanam pohon pisang atau cabai. Namun tidak semua orang memanfaatkan sisi sawah dengan menanam pohon buah atau cabai. Masa panen padi di kampung ini tiga kali dalam setahun namum tidak serempak karena pada saat musim tanam pun waktunya tidak sama. Sesuai dengan apa yang dikatakan Bapak SBI (39 tahun) warga RT 01 yaitu; “Untuk musim panen disini mah tidak bareng seperti yang terjadi di daerah Karawang atau Cianjur. Wargapun disini bukan petani yang benar-benar petani. Mereka bisa bertani secara otodidak saja. Cara nanamnya pun tidak sesuai dengan cara nanam yang baik, hanya sekedar nanam tanpa diperhatikan jarak tanamnya. Makanya walaupun sawahnya luas namun cara tanamnya tidak baik akan mempengaruhi hasilnya. Misalnya saja hasilnya jadi tidak memuaskan dan tidak banyak tidak seperti yang seharunya dihasilkan dengan luas sawah yang dimiliki”. Kebun yang warga miliki lebih sering ditanami kayu jenjeng atau warga sering menyebutnya kayu ki ambon walaupun ada beberapa orang yang ditanami buah-buahan atau sayur-sayuran. Kebun yang dimiliki warga letaknya di gunung dan mereka pun tidak menanam sayur-sayuran atau buah-buahan karena sering dimakan oleh binatang seperti monyet dan babi hutan. Oleh karena itu, lebih aman untuk mereka tanam kayu dibandingkan buah-buahan atau sayuran karena kayu tidak akan di makan oleh binatang tersebut.
b.
Bukan pemilik-penggarap
Bentuk penguasaan seperti ini terdapat juga di kampung Cijengkol walaupun tidak banyak. Sebagian kecil warga ada yang menggarap lahan sawah maupun kebun
43
untuk menghidupi keluarganya tetapi bukan pemilik yang sebenarnya. Mereka yang bukan pemilik-penggarap berstatus lahan sebagai penyewa, gadai, dan bagi hasil. Sedikit warga yang memiliki status lahan sebagai penyewa, gadai dan bagi hasil yang ditemukan di lokasi penelitian. Kebanyakan pola bagi hasil dilakukan warga kampung terhadap lahan sawahnya dikarenakan warga tersebut sudah tidak sanggup untuk mengolah sawah karena fisiknya yang tidak kuat, ataupun mereka adalah janda. Seperti yang dikatakan Ibu MMY (30 tahun) warga RT 01 kampung Cijengkol yaitu: “Saya teh gaduh sawah alit, pamasihan kolot warisan kitu neng, ku saya di maparo keun ka batur. Mun ku nyalira mah teu tiasa deui, kan bapak teh tos lami teu damang”. Ibu Mmy (30 tahun) mengatakan bahwa beliau memiliki sawah walaupun sedikit. Sawah tersebut dikasih dari orang tuanya sebagai warisan. Namun, sawah tersebut di bagi hasil dengan orang karena jika digarap sendiri sudah tidak bias karena suaminya sudah lama sakit. Memang tidak banyak yang melakukan bagi hasil seperti Ibu Mmy (30 tahun) ini, karena warga lebih memilih untuk menggarapnya sendiri dengan luas lahan relatif kecil yang mereka miliki dan masih bisa dijangkau oleh mereka untuk penggarapannya.
c.
Pemilik-bukan penggarap
Bentuk penguasaan seperti ini terdapat juga di Kampung Cijengkol, namun tidaklah banyak seperti bentuk penguasaan pemilik-sekaligus penggarap. Hal ini dikarenakan warga kampung
menganggap bahwa lahan digarap sendiri dan
hasilnya juga untuk sendiri dan tidak berkurang karena pembagian kecuali hasilnya berkurang karena iklim sehingga hasilnya tidak maksimal. Beberapa warga kampung menilai bahwa lahan sangatlah penting untuk status sosial dan untuk masa depan. Namun untuk pemilik lahan-bukan penggarap, mereka bukanlah menyewakan lahan mereka kepada orang lain melainkan lahan tersebut dibiarkan saja tidak digarap (lahan tidur). Lahan tersebut biasanya adalah kebun warga yang letaknya jauh dari rumah mereka. Dari 46 responden tidak semuanya menggantungkan hidupnya dari usahatani, walaupun mereka menguasai sebagian lahan pertanian. Salah satunya yaitu Bapak Dusun 9 Kampung Cijengkol yaitu
44
Bapak JJT (37 tahun) memiliki pekerjaan sebagai Guru Agama di salah satu sekolah swasta. Beliau tidak menggantungkan hidupnya pada hasil pertanian. Lahan yang dikuasainya pun tidak digarap. Pernyataan langsung dari beliau yaitu; “saya punya kebun, tapi gak punya sawah. Kebun pun tidak digarap, dibiarkan begitu saja. Kebun itu saya beli bukan didapat dari warisan, dan itu saya anggap sebagai investasi saya saja”. Pemilik-bukan penggarap bukan hanya seseorang yang memiliki, menguasai lahan, menyewakan, dan menggadaikan lahannya kepada orang lain melainkan lahan yang sengaja tidak digarap oleh pemiliknya sendiri. Hanya sebagian kecil warga Kampung Cijengkol yang membiarkan lahannya tidak digarap olehnya ataupun orang lain.
5.3
Cara Warga Kampung Cijengkol Memperoleh Lahan Garapan Lahan yang digarap oleh warga kampung tidaklah semata-mata
Pemerintah Desa memberikan akses terhadap lahan. Setengah dari wilayah desa pun di kuasai oleh PTPN VII1 Nasional, namun kontribusinya tidak sampai kepada pemberian lahan atau pembebasan lahan Hak Guna Usaha (HGU) seluas sekian hektar kepada masyarakat Desa Cigudeg. Terdapat beberapa cara perolehan lahan garapan yang umum ditemukan yaitu buka sendiri, warisan, ganti rugi, bagi hasil, gadai, dan jual beli. Warga desa khususnya di kampung Cijengkol memperoleh lahan garapan dengan cara buka sendiri, warisan, bagi hasil, gadai, dan jual beli.
5.3.1
Buka sendiri
Dahulu warga Kampung Cijengkol memperoleh lahan garapan dengan pembukaan lahan. Pembukaan lahan dilakukan dengan menebang pohon di kawasan hutan sekitar Gunung Si Gelap. Hal ini dilakukan untuk pemenuhan kebutuhan hidup dengan usahatani yang dilakukan oleh warga setempat dan pada saat itu jumlah penduduk kampung masih sedikit. Sesuai dengan pernyataan dari mantan Kepala Dusun 9 Kampung Cijengkol yaitu Bapak MYS (50 tahun) seperti di bawah ini: “Mungkin dulunya tanah-tanah seperti sawah dan kebun yang sekarang warga miliki yang didapat dari orang tuanya dahulu hasil
45
dari ngebuka lahan hutan. Saya kurang tahu jelasnya tapi kemungkinan seperti itu”. Kemungkinan asal-usul lahan baik sawah maupun kebun yang warga miliki hasil dari nenek moyang mereka dengan cara membuka lahan hutan di sekitar Gunung Si Gelap. Warga pun tidak mengetahui dengan jelas bagaimana sejarah lahan garapan yang sebenarnya.
5.3.2
Warisan
Mayoritas lahan garapan (sawah maupun kebun) yang diperoleh oleh warga Kampung Cijengkol berasal dari warisan orangtua yang diwariskan kegenerasi berikutnya. Sistem bagi waris yang berlaku di Kampung Cijengkol tidak mengikuti aturan agama seperti yang telah dijelaskan dalam agama Islam. Pembagian warisan disamaratakan baik laki-laki maupun perempuan. Ada juga beberapa warga yang diwarisi lahan dengan tidak ditujukan kepada salah satu anaknya melainkan digarap secara bergantian oleh siapa saja anaknya yang mau menggarap. Jika tidak bergantian, maka salah satu anaknya yang mampu untuk menggarap lahan tersebut dipersilahkan untuk menggarapnya. Namun, hasil dari lahan tersebut dibagikan kepada anak-anak lainnya (saudaranya) dengan pembagian yang sedikit.
5.3.3
Bagi Hasil
Sistem bagi hasil tidak banyak digunakan oleh warga Kampung Cijengkol. Hasil panen yang minim menyebabkan warga enggan untuk melakukan bagi hasil. Ada sebagian kecil warga yang melakukan bagi hasil antara keluarga saja dikarenakan ketidakmampuan pemilik lahan untuk menggarap lahannya akibat faktor usia yang sudah tua atau keluarga tersebut tidak memilki akses terhadap lahan (tidak mampu) sehingga melakukan bagi hasil untuk membantu keluarga tersebut. Kebanyakan warga melakukan bagi hasil dengan pemilik lahan yang berasal dari kampung lain yang masih satu wilayah Desa Cigudeg. Pembagian dari bagi hasil tersebut disebut maparo, dimana hasil panen dibagi dua antara pemilik dengan penggarap sama besar atau dengan perhitungan yang sudah dikurangi modal awal seperti bibit atau pupuk.
46
5.3.4
Gadai
Sistem gadai ini merupakan sistem yang jarang digunakan oleh warga Kampung Cijengkol meskipun ada beberapa warga yang melakukan sistem ini. Sistem Gadai ini biasanya dilakukan oleh warga yang membutuhkan uang untuk keperluaannya sehingga menggadaikan lahan (sawah maupun kebun) kepada orang lain. Status lahan tersebut tetaplah dipegang oleh yang menggadaikan lahan, namun untuk penguasaannya seperti halnya memanfaatkan dan memperoleh keuntungan dari lahan tersebut adalah orang yang menerima gadaian. Kemudian jika orang tersebut tidak bisa mengembalikan uang yang didapat dari hasil gadai maka tanah tersebut tetap di garap oleh orang yang menerima gadai. Namun, jika orang yang menerima gadai ingin memiliki lahan tersebut sedangkan pemiliknya belum bisa mengembalikan uang yang dipinjami, maka orang yang menerima gadai akan memberikan uang sebesar harga lahan tersebut sebagai syarat pembelian jual beli tanah. Bedanya uang yang dibayarkan tidak utuh karena yang menggadaikan belum bisa mengembalikan uang gadai.
5.3.5
Jual Beli
Sistem jual beli lahan garapan banyak terjadi di Kampung Cijengkol terutama lahan yang statusnya warisan. Hal ini warga lakukan karena kebutuhan hidup yang mendesak mereka untuk menjual warisan tersebut. Tidak jarang mereka melakukannya untuk membangun rumah atau memperbaiki rumah, atau membeli barang-barang seperti motor, televisi, dan lain sebagainya. Meski warisan tersebut sebenarnya tidak boleh diperjualbelikan, namun ada saja warga yang menjual warisan tersebut. Hasilnya mereka tidak memiliki lagi lahan untuk digarap sehingga terkadang mereka rela melakukan apa saja untuk dapat memenuhi kebutuhan keluarganya seperti menjadi buruh/serabutan. Selain kelima sistem tersebut, sebenarnya masih ada sistem lain yang berkaitan dengan cara perolehan lahan garapan di Kampung Cijengkol. Sistem lainnya yaitu bawon yang artinya numpang tanam (baik padi atau tanaman lain) pada lahan garapan milik orang lain. Hal ini dilakukan warga yang tidak dapat mengakses lahan walaupun hanya sebagian kecil warga yang melakukan sistem tersebut juga sistem tukar dimana lahan yang dimiliki seseorang yang
47
jangkauannya jauh ditukar dengan lahan yang dekat dari rumahnya. Salah satu contoh yang ditemukan pada saat berada di lokasi penelitian adalah tukar sejenis yaitu kebun. Kebun yang dimiliki oleh salah seorang responden merupakan hasil dari sistem tukar dengan warga lainnya dengan luas yang dipertukarkan sama.
5.4
Faktor-Faktor yang mempengaruhi Penguasaan Lahan
Penguasaan lahan yang terjadi sering menimbulkan ketimpangan akses terhadap lahan di masyarat desa. Ketimpangan distribusi lahan dan penguasaannya akan berdampak pada distribusi pendapatan rumah tangga pedesaan yang berasal dari pertanian. Ketimpangan akses terhadap lahan tidak dipungkiri disebabkan oleh faktor-faktor yang mendukung terjadinya ketimpangan tersebut dalam masyarakat desa khususnya petani. Laju penyusutan lahan pertanian di Indonesia pun sangat cepat disebabkan adanya penyusutan kepemilikan lahan pertanian sebagai dampak sistem bagi waris dan alih fungsi lahan. Besarnya tekanan populasi penduduk mengakibatkan besar pula ketidaksetaraan dalam hal akses terhadap lahan. Seperti halnya sistem bagi waris menjadikan lahan petani dari generasi satu ke generasi berikutnya semakin sempit sehingga terjadinya marginalisasi pemilikan lahan pada petani berlahan sempit. Zaman pra-kolonial, distribusi tanah di Pulau Jawa dengan penduduk yang padat terjadi tidak merata. Namun, dibandingkan dengan beberapa Negara lain, ketidakmerataan distribusi tanah di Jawa masih dalam skala kecil (Wiradi dan White 2009). Dahulu raja dan kaum elit mengklaim mengenai pajak dari kepemilikan tanah sementara petani menganggap tanah sebagai milik mereka karena mereka yang membuka lahan dan menjadikannya sebagai sesuatu yang berharga yang dapat diwariskan kepada anak cucu. Munculnya pengakuan atau klaim Negara atas lahan tersebut menyebabkan terjadinya landreform yaitu pengurangan hak dan kepemilikan tanah petani Kepemilikan lahan di Kampung Cijengkol cenderung makin kesini makin ke arah penyempitan warga dalam mengakses lahan pertanian. Akses warga kampung terhadap lahan sangatlah kecil dikarenakan adanya sistem bagi waris. Sistem ini sebenarnya akan lama mengalami penyempitan akses lahan jika satu keluarga memiliki anak satu atau dua. Namun berbeda dengan kenyataannya,
48
jumlah anggota setiap keluarga bisa banyak dan lahan yang dimiliki diwariskan kepada anak-anaknya yang jumlahnya banyak sehingga setiap anak yang mendapatkan warisan memiliki lahan yang kecil dibagi rata. Kebanyakan dari warga kampung yang mendapatkan warisan lahan (sawah maupun kebun) cenderung menjualnya dikarenakan ingin membangun rumah, memperbaiki rumah maupun dengan alasan kebutuhan ekonomi yang mendesak. Akibatnya, mereka kehilangan akses terhadap lahan yang dimiliki. Tanah yang dimiliki warga didapat dari warisan nantinya pun akan mereka bagikan kepada anak-anaknya sehingga akses tanah semakin menyempit karena tanah diturunkan secara turun-menurun terhadap generasi berikutnya. Jika tidak ada hubungan keluarga inti maka mereka tidak dapat mengakses lahan yang ada di Kampung Cijengkol kecuali mereka memiliki modal untuk membeli lahan tersebut. Warga yang ada di Kampung Cijengkol merupakan penduduk asli, jadi tidak heran mereka yang memiliki akses terhadap lahan lebih besar daripada warga pendatang walaupun lahan tersebut tidaklah luas. Jumlah penduduk di Kampung ini cukup padat, sehingga lahan-lahan yang diusahakan pun menjadi makin sedikit. Lahan-lahan tersebut dijadikan rumah untuk bermukim warga. Faktor lain yang menyebabkan warga kampung sulit mengakses lahan adalah tidak adanya modal untuk memiliki lahan dan juga untuk menggarapnya. Modal biasanya menjadi penghalang bagi pendatang dalam mengakses lahan yang ada di Kampung Cijengkol karena kebanyakan lahan yang ada merupakan lahan turun-menurun. Sedangkan untuk warga kampung asli modal juga merupakan faktor penghambat dalam menggarap lahan, karena jika tidak ada modal mereka tidak bisa membeli bibit padi dan membeli pupuk.
5.5
Ikhtisar Lahan pertanian merupakan lahan yang dianggap besar manfaatnya bagi
petani di pedesaan Jawa sehingga penguasaan lahan sangatlah penting demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Hal ini dirasakan pula oleh warga Kampung Cijengkol yang sebagian besar penduduknya memenuhi kebutuhan hidup dari lahan pertanian baik hasil dari sawah maupun kebun. Namun kenyataannya, lahan pertanian yang warga akses makin kecil sehingga tidak dapat
49
mencukupi kebutuhan yang makin lama makin besar dan tidak jarang warga yang didesak oleh kebutuhan menjual lahan mereka untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Pola penguasaan lahan di Kampung Cijengkol cenderung lebih kearah pemilikan perorangan. Kebanyakan dari warga kampung memiliki dan menggarap sendiri lahan yang mereka miliki. Struktur agraria yang terdapat di Kampung Cijengkol lebih ke arah hubungan antar manusia dengan tanah secara teknis lebih terlihat dibandingkan hubungan orang-orang langsung atau tidak langsung yang terlibat dalam proses produksi. Tidak dipungkiri juga bahwa hubungan sewa antara pemilik dan penggarap dan pengupahan (buruh tani) terlihat juga walaupun tidak banyak. Bentuk hubungan yang terlihat di Kampung Cijengkol adalah pemilik-penggarap, pemilik-bukan penggarap, dan bukan pemilik-penggarap. Bentuk yang paling banyak dari ketiga bentuk hubungan yang terdapat di Kampung Cijengkol yaitu pemilik-penggarap. Mayoritas warga kampung memiliki akses terhadap lahan pertanian dan menggarap lahan sendiri (sawah dan kebun), walaupun terkadang mereka juga menggarap lahan milik orang lain. Hasil dari lahan sawah dan kebun mereka manfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Lahan yang digarap oleh warga Kampung Cijengkol mereka bukanlah semata-mata diberikannya akses lahan oleh Pemerintah Desa dengan kondisi setengah dari wilayah desa di kuasai oleh PTPN VII Nasional. Namun kontribusinya tidak sampai kepada pembebasan lahan seluas sekian hektar kepada masyarakat Desa Cigudeg terutama warga Kampung Cijengkol. Dahulu warga meperoleh lahan pertanian (sawah dan kebun) dari hasil membuka lahan, dan lalu dibagikan kepada generasi berikutnya yang menjadi hak waris (sistem bagi waris). Selain membuka lahan sendiri dan sistem bagi waris, ada juga warga yang menguasai lahan dengan cara bagi hasil, gadai, dan jual-beli. Faktor-faktor yang mempengaruhi penguasaan lahan yaitu adanya sistem bagi waris dan modal. Sistem ini sebenarnya akan lama mengalami penyempitan akses lahan jika satu keluarga memiliki anak satu atau dua. Namun berbeda dengan kenyataannya, jumlah anggota setiap keluarga yang terdapat di Kampung ini cukup banyak sehingga lahan yang diwariskan kepada anak-anaknya menjadi kecil dibagi samarata kepada setiap hak waris. Terkadang lahan warisan yang
50
didapat mereka jual karena kebutuhan mendesak sehingga mereka kehilangan akses terhadap lahan. Adapun jumlah penduduk yang memadati kampung cukup banyak, sehingga ketersediaan lahan yang ada tidak mampu mendukung kebutuhan hidup dengan jumlah penduduk yang makin besar. Faktor lain yang mempengaruhi akses warga terhadap lahan pertanian adalah modal. Modal yang kuat dapat mempengaruhi akses warga terhadap lahan sehingga warga dapat membeli lahan dan menggarapnya. Modal juga menjadi penghalang bagi warga pendatang dalam mengakses lahan. Jika pendatang memiliki modal maka mereka dapat membeli lahan atau menyewa lahan pertanian untuk digarapnya, untuk warga asli yang memiliki modal mereka bisa membeli bibit dan pupuk untuk ditanam di sawah sehingga tidak perlu menjual lahannya untuk memenuhi kebutuhan hidup.
51
BAB VI HUBUNGAN FAKTOR-FAKTOR PENGUASAAN LAHAN TERHADAP TINGKAT PENGUASAAN LAHAN
6.1
Keragaman Penguasaan Lahan
Penguasaan lahan menunjukkan istilah yang perlu diberi batasan yaitu penguasaan dan tanah. Tanah merupakan sumber hidup dan kehidupan manusia baik tanah sawah, kebun, tempat berburu maupun tempat menggembala ternak dan sebagainya. Penguasaan tanah berarti suatu hak dan wewenang untuk mengatur, mengelola, menggunakan dan memberikan hak milik tanah dalam suatu wilayah kekuasaan berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku baik hukum adat maupun peraturan lainnya. Mengambil pemikiran Wiradi (1990:5) pola pengaturan sumberdaya agraria yang ada berdasarkan pada UUPA Tahun 1960 yang secara hukum adalah 1) “peruntukan” (mana untuk keperluan Negara, mana untuk keperluan masyarakat dan mana untuk perorangan), 2) cara memperoleh, 3) hak penguasaan, dan 4) masalah penggunaannya. Kelembagaan agraria menjelaskan bagaimana mengatur sumber-sumber agraria yang ada dan melihat hubungan yang saling tergantung (interdependensi) antara manusia dan manusia terhadap tanah serta hubungan manusia dengan tanah yang berkaitan dengan sumber utama pendapatan masyarakat yang di peroleh dari penguasaan lahan. Penguasaan lahan merupakan faktor penentu bagi pendapatan masyarakat desa khususnya petani. Lahan bagi masyarakat desa sangat penting karena mereka tergantung pada lahan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ketidakmerataan penguasaan atas tanah pertanian menyebabkan kemiskinan di desa khususnya bagi para petani. Hak menguasai atas tanah yang lemah menyebabkan para petani kecil tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup sehari-harinya. Para petani yang menguasai sebagian tanah yang kecil berusaha untuk mencukupi kebutuhan hidupnya dengan cara menyewakan ataupun menjual tanah-tanah yang mereka miliki. Hal ini karena tanah yang mereka kuasai pun tidak dapat memenuhi kebutuhan
dan
terpaksa
menjadi
buruh
di
tanah
sendiri.
Terjadinya
ketidakmerataan akses penguasaan atas tanah ini menjadikan bertambahnya petani
52
tidak bertanah dan mengakibatkan posisi kaum petani termarginalisasi dari kehidupan sosialnya. Ketidakmerataan atau sering disebut dengan ketimpangan penguasaan lahan telah terjadi dari masa sebelum penjajahan. Penguasaan lahan sebagai faktor penentu pendapatan dialami juga oleh warga Kampung Cijengkol. Warga memahami bahwa lahan sangat penting bagi mereka untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Namun penguasaan lahan yang mereka miliki saat ini didapat secara turun-temurun (untuk penduduk asli kampung) warisan dari orangtua. Penguasaan yang terjadi di kampung ini mengakibatkan akses warga terhadap lahan menjadi sempit. Padatnya penduduk kampung mengakibatkan terjadinya penyempitan lahan pertanian. Selain itu, modal yang kuat akan mempengaruhi akses warga terhadap lahan. Misalnya, untuk warga pendatang maupun warga asli kampung jika memiliki modal yang kuat dapat membeli lahan untuk digarap. Maka dari itu, modal dikatakan sebagai salah satu penentu warga untuk dapat mengakses lahan garapan. Penguasaan lahan yang terjadi di Kampung Cijengkol dapat dilihat pada Tabel 13 sebagai berikut: Tabel 13. Sebaran Responden Berdasarkan Status Kepemilikan Lahan Tahun 2011 Kategori Gadai Menyewa Bagi hasil Milik sendiri (warisan) Jumlah
Jumlah 1 1 4 45 51
Persentase (%) 1,96 1,96 7,84 88,24 100,00
Keragaman penguasaan lahan di Kampung Cijengkol yaitu Gadai, Menyewa, Bagi Hasil dan Milik Sendiri. Kebanyakan status kepemilikan lahan yang terdapat di Kampung Cijengkol adalah milik sendiri (warisan). Hampir 88,24 % atau 45 orang dari jumlah responden 46 status kepemilikannya berasal dari warisan yang lainnya hanya 7,84 % bagi hasil dan 1,96 % untuk gadai dan menyewa. Namun, dari data pada Tabel 7 warga tidak hanya memiliki warisan dari lahan yang digarapnya terkadang mereka pun menggunakan sistem bagi hasil untuk menguasai lahan garapan. Misalnya, seseorang memiliki lahan sawah yang didapat dari warisan dengan luas sekitar 0,05 ha. Namun dengan luas sawah yang kecil maka seseorang itupun melakukan sistem bagi hasil dengan sawah milik
53
orang lain orang lain. Kasus seperti ini dijumpai di Kampung Cijengkol, tidak hanya sistem bagi hasil saja yang digunakan melainkan gadai dan menyewa pun mereka lakukan walaupun mereka memiliki lahan garapan (dengan luas lahan yang kecil). Hal ini mereka lakukan demi mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari walaupun banyak juga warga yang mencari tambahan di luar pertanian.
6.2
Tingkat Penguasaan Lahan
Penguasaan lahan di daerah Jawa lebih besar dibandingkan di daerah Luar Jawa. Hal ini karena adanya kebijakan pembangunan pada masa lalu yang mengutamakan pencetakan sawah di pedesaan Jawa. Kebijakan pembangunan tersebut dilatarbelakangi oleh tiga faktor yaitu 1) sumberdaya lahan di Jawa dapat dijadikan sawah lebih tersedia dibandingkan di Luar Jawa, 2) anggaran atau pencetakan sawah di Jawa lebih murah, dan 3) masalah kelangkaan pangan lebih tinggi di Jawa sehingga diprioritaskan di Jawa karena secara langsung hal itu akan mengurangi masalah pangan tersebut. Namun, kepadatan penduduk di Jawa menjadikan akses mereka terhadap lahan menjadi semakin sempit. Luas lahan yang tetap dan jumlah penduduk yang semakin meningkat menyebabkan daya dukung tanah tidak dapat mencukupi kebutuhan manusia dalam jumlah besar. Maka dari itu, terjadi ketidakmerataan akses terhadap lahan di pedesaan Jawa. Pendapatan rumah tangga sebagian besar diperoleh dari kegiatan usahatani yang memerlukan lahan sebagai faktor produksi utama. Bagi masyarakat desa, luas kepemilikan lahan mencerminkan kesejahteraan mereka. Peran lahan sangatlah penting dalam kehidupan masyarakat desa karena identik dengan status sosial rumah tangga. Ketimpangan distribusi lahan dan penguasaan lahan akan berdampak pada distribusi pendapatan rumah tangga pedesaan yang berasal dari usaha pertanian. Ketimpangan pemilikan dan penguasaan lahan disebabkan oleh beberapa faktor yaitu adanya sistem bagi waris dimana lahan yang diwariskan dibagikan kepada pihak yang mempunyai hak waris. Sistem tersebut menjadikan lahan petani menjadi semakin sempit dan terjadi marginalisasi pemilikan lahan pada petani berlahan sempit. Sempitnya lahan yang dikuasai mengakibatkan pendapatan yang diperoleh dari lahan tersebut tidak mencukupi kebutuhan rumah tangga petani sehingga mereka terpaksa menjual lahannya.
54
Tanah yang dimiliki warga Kampung Cijengkol termasuk kedalam dua kelompok nilai tanah menurut Chapin dalam Johara (1992) yaitu nilai keuntungan dan nilai sosial. Nilai keuntungan adalah yang dihubungkan dengan tujuan ekonomi dan yang dapat dicapai dengan jual-beli tanah dipasaran. Maksud dari nilai keuntungan yang terdapat di kampung Cijengkol adalah warga dapat menggarap lahan yang mereka miliki dengan menanam padi di sawah dan pohon jengjeng ataupun pohon buah di kebun. Hasil dari penanaman padi dan pohon buah dinikmati oleh sendiri, terkadang untuk buah (misalnya pisang) dapat mereka jual di pasar sehingga mereka mendapat keuntungan ekonomi. Nilai sosial adalah hal yang mendasar bagi kehidupan (misalnya sebidang tanah yang diperihara, peninggalan, pustaka dan sebagainya) dan yang dinyatakan oleh penduduk dengan perilaku berhubungan dengan pelestarian, tradisi, kepercayaan dan sebagainya. Maksud dari nilai sosial kampung ini adalah lahan dianggap penting dan dapat mencerminkan status sosial dan berkaitan dengan kesejahteraan warga. Ketimpangan pemilikan dan penguasaan lahan dialami oleh warga Kampung Cijengkol yang mayoritas penduduknya bergantung pada lahan pertanian. Ketimpangan pemilikan yang terjadi dikarenakan adanya sistem bagi waris yang kental di kalangan warga kampung dan modal. Akibatnya, akses warga menjadi sempit terhadap lahan pertanian (sawah dan kebun). Lahan diwariskan dari generasi satu ke generasi berikutnya yang penduduknya semakin bertambah sehingga mereka mendapatkan lahan yang luasnya sedikit. Faktor lain yang menyebabkan sulitnya mengakses lahan pertanian adalah modal. Modal dianggap warga sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi dalam akses terhadap lahan. Tabel 10 di bawah ini merupakan sebaran responden menurut luas lahan yang dikuasai berdasarkan tiga kategori luas, sedang dan sempit.
Tabel 14. Sebaran Responden menurut Luas Lahan yang Dikuasai Tahun 2011 Kategori Luas Sedang Sempit
Luas Lahan (ha) >1 0,5-1 <0,5 Jumlah
Jumlah 4 5 37 46
Persentase (%) 10,64 11,10 78,26 100,00
55
Berdasarkan Tabel 14 bahwa penguasaan lahan yang terjadi di Kampung Cijengkol ada dalam kategori luas lahan yang sempit. Dapat dilihat sekitar 78,26 % atau 36 orang memiliki lahan hanya seluas kurang dari 0,5 ha. Kategori lahan luas hanya sekitar 10,64 % atau 4 orang yang memiliki luas lahan diatas atau lebih besar dari 1 ha, sedangkan untuk luas lahan kategori sedang hanya 11,10 % atau 5 orang yang memiliki luas lahan antara 0,5-1 ha. Kemungkinan ini tejadi dikarenakan sistem bagi waris yang terdapat di kampung ini. Penduduk asli kampung memiliki akses lebih besar terhadap lahan pertanian dibandingkan dengan pendatang. Namun luas akses terhadap lahan tidaklah luas karena warisan lahan yang warga kampung miliki (warga asli) samarata dengan kakak atau adik mereka yang mendapat hak waris sehingga lahan dengan luas tertentu dibagi samarata kepada hak waris sesuai dengan jumlah anggota keluarga (anak). Akibatnya, pembagian lahan terjadi dengan luas yang kecil untuk seluruh jumlah anggota keluarga yang mempunyai hak waris.
6.3
Hubungan Faktor-Faktor Penguasaan Lahan Dengan Tingkat Penguasaan Lahan Wiradi (2009) menjelaskan bahwa hakikat struktur agraria merupakan
masalah yang menyangkut susunan pembagian tanah, penyebaran atau distribusi tanah yang pada akhirnya menyangkut hubungan kerja dan proses produksi. Struktur agraria perlu memperhatikan dan membedakan antara istilah pemilikan, penguasaan dan pengusahaan tanah. Penguasaan merupakan penguasaan yang menunjuk kepada penguasaan efektif, misalnya sebidang tanah disewakan kepada orang lain maka orang itulah secara efektif menguasainya. Penguasaan sangat jelas menunjuk kepada bagaimana caranya sebidang tanah diusahakan secara produktif. Lahan memiliki arti lebih luas daripada makna tanah dan tanah merupakan salah satu aspek dari lahan. Pemanfaatan lahan cenderung mendekati pola kearah pendayagunaan dan pengaturan fungsi ketatalaksanaan lahan. Menurut Bappenas-PSE-KP (2006) dalam Darwis (2009), pemanfaatan lahan merupakan resultan dari interaksi berbagai macam faktor yang menentukan keputusan baik perorangan dan kelompok maupun pemerintah.
56
Penguasaan lahan merupakan faktor penentu pendapatan pertanian masyarakat desa. Namun, penguasaan lahan yang terjadi di Jawa tidaklah merata. Ketimpangan penguasaan lahan mengakibatkan kemiskinan di pedesaan Jawa. Ketimpangan penguasaan lahan tidaklah terjadi begitu saja karena faktor-faktor yang mempengaruhi penguasaan lahan. Faktor-faktor yang mempengaruhi penguasaan lahan akan mempengaruhi terhadap tingkat penguasaan lahan. Tingkat penguasaan lahan merupakan ukuran dimana seseorang menguasai (memanfaatkan, mengelola, dan memperoleh keuntungan) dari sekian hektar lahan garapan. Tingkat penguasaan lahan dapat dilihat dari luasan lahan yang dikuasai dan status kepemilikan lahan tersebut. Faktor-faktor yang mempengaruhi penguasaan lahan berpengaruh terhadap luas lahan yang dikuasai dan status kepemilikan lahan. Luas lahan yang dikuasai dibagi menjadi tiga kategori yaitu luas, sedang, dan sempit. Sedangkan untuk status kepemilikan lahan yang dikuasai dilihat dari lahan yang digarapnya merupakan lahan sendiri (milik sendiri), menyewa, gadai, warisan, beli dan bagi hasil. Ketimpangan penguasaan lahan terjadi di Kampung Cijengkol yang mayoritas penduduknya bergantung pada lahan pertanian. Ketimpangan ini disebabkan beberapa faktor yang mempengaruhi penguasaan lahan. Faktor-faktor tersebut yaitu adanya sistem bagi waris, penduduk yang padat dan modal yang dapat mempengaruhi penguasaan lahan. Sistem bagi waris mengakibatkan lahan yang diwariskan kepada hak waris semakin sedikit, sehingga akses warga terhadap lahan pun dibatasi. Jumlah penduduk Kampung Cijengkol terbilang padat dan merupakan kendala bagi warga dalam hal akses terhadap lahan karena mereka menempati lahan yang tadinya lahan pertanian untuk bermukim. Jumlah keluarga yang banyak lebih dari program pemerintah mengakibatkan pembagian warisan kepada anak-anaknya atau hak waris menjadi saling sedikit dibagi samarata. Sistem waris ini menjadikan warga yang mendapatkan hak waris dengan luas lahan yang didapat adalah kecil dan tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Faktor lain yang mempengaruhi penguasaan lahan adalah faktor modal. Modal merupakan salah satu faktor yang kuat untuk dapat mengakses lahan pertanian. Lahan akan menghasilkan manfaat jika di garap, dan lahan yang
57
digarap membutuhkan modal. Bagi warga yang memiliki lahan dan modal yang kuat mereka dapat menggarap tanah, mengelola, memanfaatkan dan memperoleh hasil dari lahan yang digarap. Namun, bagi warga yang tidak mempunyai lahan mereka akan melakukan bagi hasil dengan pemilik lahan yang mereka garap ataupun mereka akan menyewa sebidang tanah ataupun gadai tanah orang lain. Bagi penduduk yang belum memiliki akses terhadap lahan modal menjadi penting karena
mereka
dapat
membeli
sebidang
tanah
dan
dapat
mengelola,
memanfaatkan dan memperoleh hasil dari lahan tersebut. Dapat terjadi jika modal yang dimiliki besar dan cukup untuk membeli tanah dan menggarapnya. Namun kenyataannya, hanya sedikit warga Kampung Cijengkol yang memiliki modal yang besar sehingga bisa memperluas lahan. Faktor-faktor yang telah disebutkan di atas memiliki hubungan dengan tingkat penguasaan lahan. Faktor-faktor tersebut mempengaruhi bagaimana penguasaan lahan warga Kampung Cijengkol dari luas lahan yang dimiliki dan status kepemilikannya. Kebanyakan warga Kampung Cijengkol menggunakan sistem bagi waris dengan jumlah anggota rumah tangga yang banyak sehingga luas lahan yang diwariskan pun luasnya menjadi sedikit dibagi samarata. Kuatnya modal yang dimiliki sedikitnya warga kampung pun mempengaruhi tingkat penguasaan lahan. Berdasarkan olah data yang dibuat peneliti menunjukkan bahwa faktor-faktor penguasaan lahan akan mempengaruhi tingkat penguasaan lahan baik dari segi luas lahan maupun status kepemilikan lahan warga Kampung Cijengkol. Maka dari itu, faktor-faktor tersebut mempengaruhi tingkat penguasaan lahan yang terjadi di Kampung Cijengkol.
6.4
Ikhtisar Lahan pertanian bagi masyarakat desa sangat penting karena mereka
tergantung pada lahan tersebut untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Keragaman penguasaan lahan menjadikan adanya perbedaan dalam mengakses lahan sehingga hasil yang didapatkan pun berbeda. Keragaman penguasaan lahan yang terdapat di Kampung Cijegkol yaitu gadai, menyewa, bagi hasil dan milik sendiri. Mayoritas kepemilikan lahan warga kampung adalah milik sendiri
58
(warisan). Sekitar 88,24 % dari jumlah responden berstatus kepemilikan lahan berasal dari warisan. Keragaman penguasaan lahan akan mempengaruhi bagaimana perolehan pendapatan dari kegiatan yang dilakukan di atas lahan tersebut. Bagi masyarakat desa, kegiatan usahatani merupakan faktor penentu pendapatan dan lahan sebagai faktor produksi utamanya. Ketimpangan pemilikan dan penguasaan lahan yang terjadi di Kampung Cijengkol ini disebabkan adanya sistem bagi waris, modal yang kurang. Kedua faktor tersebut sangat berpengaruh terhadap tingkat penguasaan lahan di kampung ini. Faktor dominan yang mempengaruhi penguasaan lahan yaitu sistem bagi waris yang mengakibatkan lahan yang diwariskan kepada hak waris makin sedikit ditambah jumlah setiap anggota keluarga cukup besar, sehingga akses warga terhadap lahan pun makin dibatasi dengan pembagian yang samarata kepada setiap hak waris. Sistem ini menjadikan warga (hak waris) dengan luas lahan didapat kecil dan tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Faktor lain yang mempengaruhi penguasaan lahan yaitu modal. Modal merupakan salah satu faktor yang kuat untuk dapat mengakses lahan pertanian. Warga yang memiliki modal yang kuat dapat menggarap lahan yang dimilikinya, sedangkan untuk pendatang dapat membeli, menyewa atau gadai agar dapat mengakses lahan. Juga jumlah penduduk (warga asli maupun pendatang) yang memadati kampung menjadikan lahan yang ada di kampung mengalami penyusutan.
59
BAB VII HUBUNGAN PENGARUH TINGKAT PENGUASAAN LAHAN TERHADAP KONDISI SOSIAL EKONOMI RUMAH TANGGA PETANI
7.1
Hubungan Pengaruh Luas Lahan Terhadap Tingkat Pendapatan Pertanian
Penguasaan lahan merupakan faktor penentu pendapatan dari kegiatan usahatani bagi masyarakat desa. Penguasaan lahan ini pun terjadi di Kampung Cijengkol, Desa Cigudeg mayoritas penduduknya bergantung pada lahan pertanian (sawah dan kebun). Penguasaan lahan dapat dilihat dari luas lahan yang warga kuasai dari sawah maupun kebun. Tingkat penguasaan lahan Kampung Cijengkol bervariasi mulai dari luas lahan yang luas, sedang, hingga sempit dan status kepemilikan dimulai dari lahan milik sendiri, bagi hasil, menyewa sampai lahan gadai. Penelitian pada kampung ini
adalah ingin
melihat adanya hubungan
mempengaruhi antara luas lahan yang dikuasai dengan tingkat pendapatan yang di dapat oleh warga kampung. Hipotesisnya yaitu jika luas lahan yang dikuasai berkategori luas maka seharusnya tingkat pendapatan dari lahan yang digarappun tinggi. Tabel 15. Hubungan Luas Lahan dengan Tingkat Pendapatan Tahun 2011 Tingkat Penguasaa n Lahan Sempit Sedang Luas Jumlah
R 32 4 2 38
% 69,57 8,70 4,35 82,62
S 5 0 1 6
Tingkat Pendapatan % T 10,87 0 0 1 2,17 1 13,04 2
n % 0 2,17 2,17 4,34
37 5 4 46
% 80,44 10,87 8,69 100,00
Keterangan: mempengaruhi dengan hasil SPSS rank spearman sebesar 0,927 sangat kuat dan searah dengan nilai p(0,014)
Hal ini dibuktikan berdasarkan data olahan yang diperoleh peneliti dalam Tabel 15 tabulasi silang luas lahan dengan tingkat pendapatan. Berdasarkan Tabel 15 mengenai hubungan luas lahan dengan tingkat pendapatan adalah 32 orang atau 69,57 % orang yang memiliki lahan yang sempit memiliki tingkat pendapatan
60
yang rendah dari kegiatan usahatani. Walaupun ada 5 atau 10,87 % luas lahan sempit memperoleh pendapatan yang sedang dari lahan yang dikuasainya. Luas lahan dengan kategori sedang juga memperoleh 8,70 % atau 4 orang dengan tingkat pendapatan yang rendah dan terdapat 1 orang yang mendapatkan tingkat pendidikan yang tinggi. Kategori luas lahan yaitu luas pun hanya 1 orang yang tingkat pendapatannya tinggi sedangkan 1 orang dengan kategori lahan luas tingkat pendapatan berada pada posisi sedang dan 2 orang pada ketegori luas lahan yang luas berada pada posisi rendah pada tingkat pendapatan. Hasil dari tabulasi silang ini yaitu terdapat hubungan mempengaruhi antara luas lahan dengan tingkat pendapatan pada lahan yang luasnya sempit. Namun, untuk kategori lahan luas dengan tingkat pendapatan rendah pun dapat dijelaskan bahwa tidak semua orang yang menguasai lahan dapat menggarap lahan tersebut dengan baik dan menikmati hasilnya pun dengan baik. Salah seorang warga kampung menyatakan bahwa luas lahan yang dikuasi dengan hasil dari lahan tersebut tidak seimbang karena tidak menggarap lahan tersebut dengan baik. Jarak tanam padi di lahan sawah juga harus diperhitungkan dengan baik sehingga panen yang dihasilkan optimal. Selain itu, hama yang menyerang padi dan cuaca yang tidak bagus menyebabkan hasil panen yang diperoleh tidak optimal. Adanya hubungan mempengaruhi antara luas lahan dengan tingkat pendapatan diperkuat dengan adanya hasil olah data dengan menggunakan rank spearman yang dapat dilihat pada lampiran 9. Hasil dari olah data SPSS ini menunjukkan bahwa ada korelasi antara luas lahan dengan tingkat pendapatan. Korelasi antara Luas Lahan dengan tingkat pendapatan sebesar 0,927 sangat kuat dan searah dengan nilai p(0,014)
Hubungan Pengaruh Luas Lahan Terhadap Tingkat Pendidikan
Luas lahan yang dikuasai dapat mempengaruhi tingkat pendapatan masyarakat desa sehingga pendapatan besar yang diterima dari hasil pertanian dapat memperbaiki tingkat pendidikan keluarga mereka. Hal ini sangat jelas jika pendapatan mereka besar mereka dapat membiayai sekolah anak-anaknya sampai ke jengjang yang lebih tinggi. Masyarakat akan mementingkan pendidikan jika
61
kebutuhan hidup (untuk konsumsi) dirasa cukup dan mereka menginginkan kahidupan yang lebih baik bagi anak-anaknya kelak. Maka dari itu pendidikan sangat perlu diperhatikan agar mendapatkan kehidupan yang lebih baik.
Tabel 16. Hubungan Luas Lahan dengan Tingkat Pendidikan Tahun 2011 Tingkat Penguasaa n Lahan Sempit Sedang Luas Jumlah
KB
%
17 4 1 22
36,96 8,70 2,17 47,83
Tingkat Pendidikan B % SB 16 1 2 19
34,78 2,17 4,35 41,30
4 0 1 5
%
n
8,70 0 2,17 10,87
37 5 4 46
% 80,44 10,87 8,69 100,00
Keterangan: mempengaruhi dengan hasil SPSS rank spearman sebesar 0,816 sangat kuat dan terbalik dengan nilai p(0,035)
Berdasarkan hasil dari Tabel 16 hubungan antara luas lahan dengan tingkat pendidikan dapat disimpulkan bahwa luas lahan mempengaruhi tingkat pendidikan keluarga dengan 36,96 % atau 17 KK yang memiliki lahan sempit mempengaruhi kualitas pendidikan mereka sehingga keluarga tersebut kurang berpendidikan. Walaupun demikian ada juga 16 KK yang memiliki luas lahan sempit berada pada tingkat pendidikan yang berpendidikan. Kategori luas lahan sedang yang berada pada posisi kurang berpendidikan pada tingkat pendidikan ini sekitar 4 orang atau 8,70 % dan untuk yang berpendidikan sekitar 2,17 % atau 1 KK. Kategori luas lahan yang berada pada posisi berpendidikan sekitar 4,35 % atau 2 KK sedangkan untuk yang sangat berpendidikan hanya sekitar 1 KK dan kurang berpendidikan hanya 1 KK. Sumberdaya manusia warga Kampung Cijengkol masih belum terbuka terhadap masalah pendidikan. Pendidikan di Kampung ini terbilang cukup rendah karena banyak yang hanya lulus sebagai lulusan SD dan orangtua yang tidak mampu untuk membiayai anak-anaknya sekolah. Namun, ada juga keluarga yang mampu tetapi anaknya yang tidak mau sekolah dan tidak ada dorongan kuat untuk membujuk anaknya untuk sekolah. Berbeda kasus dengan orangtua yang ingin menyekolahkan anaknya namun terpaksa tidak bisa karena tidak mempunyai biaya, sehingga dapat dikatakan bahwa pendidikan warga di kampung ini rendah dan banyak pula warga miskin di kampung tersebut. Maka dari itu, luas lahan
62
tidak mempengaruhi tingkat pendidikan seseorang. Hal ini diperkuat dengan hasil olah data dari SPSS yang dapat dilihat pada lampiran 9. Hasil olah data SPSS menunjukkan bahwa korelasi antara Luas Lahan dengan Tingkat Pendidikan sebesar 0,816 sangat kuat dan terbalik dengan nilai p(0,035)
7.3
Hubungan Pengaruh Luas Lahan Terhadap Kepemilikan Asset dan Modal
Luas lahan yang dikuasai oleh warga kebanyakan berasal dari sistem bagi waris sehingga kebanyakan warga memiliki luas lahan dengan kategori sempit. Hal ini mengakibatkan bahwa lahan menurut mereka tidak dapat mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Lahan dapat dijadikan asset dan juga modal tergantung dari si pemilik lahan. Lahan dijadikan asset jika mereka menganggap bahwa memiliki sebidang tanah (baik sawah maupun kebun) untuk investasi masa depan mereka. Namun, jika seseorang memiliki sebidang tanah dan dari tanah itulah mereka hidup berarti tanah tersebut dijadikan sebagai modal untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka. Kepemilikan asset dan modal di Kampung Cijengkol yang dipengaruhi oleh luas lahan dapat dilihat pada Tabel 17 di bawah ini.
Tabel 17. Hubungan Luas Lahan dengan Kepemilikan Asset dan Modal Tahun 2011 Tingkat Penguasaan Lahan Sempit Sedang Luas Jumlah
M 26 2 2 30
% 56,52 4,35 4,35 65,22
A 7 1 1 9
Kepemilikan Asset dan Modal % AM 15,22 4 2,17 2 2,17 1 19,56 7
% 8,70 4,35 2,17 15,22
n
%
37 5 4 46
80,44 10,87 8,69 100,00
Keterangan: tidak mempengaruhi dengan hasil SPSS rank spearman sebesar ,234 lemah dan searah dengan nilai p(0,117)>alpha 10 persen, (M=modal, A=asset, AM=asset dan modal).
Berdasarkan Tabel 17 di atas dapat dikatakan bahwa tidak ada kaitannya antara luas lahan dengan kepemilikan asset dan modal. Pada tabel
63
terlihat bahwa luas lahan yang sempit mempengaruhi seseorang dalam hal menganggap lahan sebagai modal saja 26 KK atau 56,52 %. Beberapa warga yang memiliki luas lahan yang sempit mengatakan bahwa lahan hanya sebagai asset ada 7 KK dan yang menganggap lahan sebagai asset dan modal 4 KK. Kategori luas lahan sedang yang mengganggap lahan sebagai asset dan modal dan lahan hanya sebagai modal sekitar 2 KK sedangkan untuk lahan yang dianggap sebagai asset hanya 1 KK. Berbeda dengan luas lahan pada kategori luas hanya 2 KK yang menganggap bahwa lahan hanya sebagai modal untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari sedangkan untuk lahan yang dianggap sebagai asset dan lahan yang dianggap sebagai asset dan modal sekitar 1KK saja. Kesimpulan dari hasil olah data yaitu bahwa luas lahan tidak mempengaruhi kepemilikan asset dan modal karena warga tidak hanya menggantungkan pendapatan dari lahan yang mereka kuasai atau mereka milik. Seseorang yang menganggap lahan yang dijadikan asset dan modal memiliki arti bahwa selain memiliki lahan untuk digarap demi mencukupi kebutuhan sehari-hari juga memiliki lahan yang bisa dijadikan investasi masa depan karena lahan dianggap sangat penting terkait dengan peran lahan yang dikaitkan dengan kesejahteraan lahan dan status sosial. Adapun beberapa warga kampung yang memiliki atau menguasai lahan yang sempit menganggap lahan sebagai asset dikarenakan warga tidak bergantung terhadap lahan yang digarapnya. Warga kampung memillih untuk mencari pendapatan lain di luar sektor pertanian. Oleh karena itu, luas lahan tidak mempengaruhi kepemilikan asset dan modal yang diperkuat dengan adanya hasil dari olah data SPSS yang dapat dilihat pada lampiran 9. Hasil dari olah data SPSS ini menunjukkan bahwa Korelasi antara Luas Lahan dengan Kepemilikan Asset dan modal sebesar 0,234 lemah dan searah dengan nilai p(0,117)>alpha 10 persen artinya korelasi tidak significant. Artinya tidak ada hubungan antara luas lahan dengan kepemilikan asset dan modal seseorang.
64
7.4
Implikasi Pengaruh Penguasaan Lahan Terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Rumahtangga Petani
Pengaruh penguasaan lahan terhadap kondisi sosial ekonomi tidaklah menjadi tolak ukur bagi masyarakat untuk merasa cukup dalam mencukupi kebutuhan hidup. Banyak dari warga mencari tambahan pendapatan untuk menutupi kekurangan yang dirasakannya. Maka dari itu, warga memilih untuk melakukan strategi nafkah ganda untuk mencukupi kebutuhan yang dirasa kurang tersebut. Pekerjaan yang mereka pilih merupakan pekerjaan yang berada di luar sektor pertanian seperti pedagang, guru, buruh bangunan, ojek dan buruh serabutan. Pendapatan yang dihasilkan di luar sektor pertanian pun tidak bisa dibilang melebihi pendapatan yang dihasilkan dari sektor pertanian. Akses warga terhadap lahan pertanian di Kampung Cijengkol terbilang terbatas dengan adanya sistem bagi waris yang masih melekat pada warga. Mereka akan bisa mengakses lahan lebih besar jika memiliki modal yang kuat untuk membeli lahan, menyewa ataupun gadai lahan. Namun, kanyataannya banyak warga yang menjual tanahnya (sawah maupun kebun) demi untuk mencukupi kebutuhan hidupnya karena dirasa dari lahan tidaklah cukup maka lebih baik mereka menjual lahan yang mereka miliki. Kebanyakan dari lahan yang dijual adalah lahan yang didapat dari sistem bagi waris, padahal lahan yang dihasilkan dari bagi waris tidaklah boleh dijual. Namun, mereka terpaksa menjualnya karena kebutuhan yang mendesak. Dapat dilihat pada Tabel 18 di bawah ini bagaimana hasil pendapatan dari sektor pertanian yaitu sebagai berikut.
Tabel 18. Sebaran Tingkat Pendapatan Responden di Sektor Pertanian Tahun 2011 Kategori Rendah Sedang Tinggi
Interval pendapatan (x Rp.1000) ≤ 1000 1000 < x ≤ 2000 > 2000 Total
Jumlah 38 6 2 46
Persentase (%) 82,61 13,04 4,35 100,00
Berdasarkan Tabel 18 di atas bahwa pendapatan yang dihasilkan dari sektor pertanian adalah rendah. Terdapat 38 KK atau 82,61 % pendapatan yang dihasilkan terolong pada kategori rendah, dan 6 KK atau 13,04 % pendapatan
65
pada kategori sedang dan 4,35 % atau 2 orang yang pendapatannya tergolong tinggi. Pendapatan tersebut didapat setiap kali panen dan biasanya dalam 1 tahun mereka harus menunggu 4 bulan untuk mendapatkan hasil dari yang mereka tanam karena dalan setahun mereka panen tiga kali. Hal ini menjelaskan bahwa lahan yang mereka miliki tidak mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari sehingga mereka memilih melakukan pekerjaan lain di luar sektor pertanian untuk mendapatkan tambahan pendapatan. Pekerjaan di luar sektor lebih menjanjikan dibandingkan bekerja pada sektor pertanian. Dapat dilihat pada Tabel 19 tentang sebaran tingkat pendapatan yang berasal dari luar sektor pertanian.
Tabel 19 Sebaran Tingkat Pendapatan Responden di Luar Sektor Pertanian Tahun 2011 Kategori Rendah Sedang Tinggi
Interval Pendapatan (x Rp.1000) ≤ 1000 1000 < x ≤ 2000 > 2000 Total
Jumlah 41 4 1 46
Persentase (%) 89,13 8,70 2,17 100,00
Berdasarkan Tabel 19 dapat dilihat bahwa hampir semua responden melakukan strategi nafkah ganda. Pendapatan yang dihasilkan per bulan dirasa cukup untuk menutupi kekurangan dari hasil pertanian yang didapat. Pendapatan pada kategori rendah dengan jumlah 41 KK atau 89,13 % lebih tinggi dibandingkan dengan pendapatan pada kategori sedang dengan jumlah 4 KK atau 8,70 % dan pendapatan pada kategori tinggi dengan jumlah 1 KK atau 2,17 %. Data menunjukan walaupun pendapatan yang dihasilkan tidak banyak tetapi dirasa cukup untuk menutupi kekurangan yang dirasakan oleh warga Kampung Cijengkol.
7.5
Ikhtisar
Tingkat penguasaan lahan yang akan diukur dengan variabel kondisi sosial ekonomi yaitu luas lahan. Luas lahan akan diukur dengan variabel tingkat pendapatan, tingkat pendidikan dan kepemilikan asset dan modal. Tingkat penguasaan lahan yang dilihat dari luas lahan seseorang mempengaruhi tingkat pendapatannya.
Kampung Cijengkol
merupakan
kampung
yang
tingkat
66
penguasaan lahannya beragam. Luas lahan yang dikuasai warga kampung adalah berstatus milik sendiri (warisan), menyewa, gadai, dan bagi hasil. Luas lahan yang warga kuasai akan mempengaruhi tingkat pendapatannya yang dihasilkan dari lahan tersebut (yang digarap). Berdasarkan hasil SPSS rank spearman menyatakan bahwa Korelasi antara Luas Lahan dengan tingkat pendapatan sebesar 0,927 sangat kuat dan searah dengan nilai p(0,014)alpha 10 persen artinya korelasi tidak signifikan. Artinya tidak ada hubungan antara luas lahan dengan kepemilikan asset dan modal seseorang. Pendapatan yang diterima warga dari hasil kegiatan usahatani tidaklah mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari sehingga warga mencari tambahan pendapatan dari kegiatan lainnya. Sebagian besar dari responden melakukan strategi nafkah ganda untuk memenuhi kebutuhan yang tidak mencukupi dari hasil pertanian. Mereka melakukan kegiatan lain yang dapat dijadikan tambahan pendapatan di luar pertanian karena lahan yang mereka miliki tidak mencukupi dalam memenuhi kebutuhan, dan lahannya pun kebanyakan diperoleh dari sistem bagi waris. Sistem ini mengakibatkan akses warga terhadap lahan pertanian
67
menjadi kecil kecuali warga memiliki modal yang kuat untuk dapat membeli atau menyewa lahan dan memperluas penguasaan lahan agar mereka dapat mengakses lahan tersebut dan mengelola, memanfaatkan dan menikmati hasil dari lahan yang digarapnya.
68
BAB VIII PENUTUP
8.1
Kesimpulan
Hasil penelitian ini dapat disimpulkan menjadi tiga bagian yaitu Pertama, faktorfaktor yang mempengaruhi penguasaan lahan yang terdapat di Kampung Cijengkol ada tiga yaitu adanya sistem bagi waris, Jumlah penduduk yang padat dan modal. Sistem bagi waris menyebabkan lahan yang dimiliki generasi berikutnya makin menyempit. Jumlah penduduk yang banyak menyebabkan lahan pertanian dijadikan pemukiman untuk tinggal para warga dan ditambah lagi adanya pendatang yang memadati kampung menjadikan lahan yang ada makin menyempit. Modal merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi penguasaan lahan. Tidak memiliki modal berarti warga tidak dapat menggarap lahan yang dimiliki, sedangkan untuk warga pendatang tidak memiliki modal berarti tidak dapat mengakses lahan pertanian. Kedua, faktor-faktor yang telah disebutkan memiliki hubungan dengan tingkat penguasaan lahan. Faktor-faktor sistem bagi waris, jumlah penduduk yang padat dan modal mempengaruhi bagaimana penguasaan lahan warga kampung dari luas lahan yang dimiliki dan status lahan. Adanya faktor-faktor tersebut menyebabkan makin menyempit penguasaan lahan pertanian yang dapat di akses oleh warga kampung sehingga tingkat penguasaan lahan yang dilihat dari luas lahan yang warga miliki hanya berada pada kategori sempit sekitar < 0,5 ha. Ketiga, tingkat penguasaan lahan mempengaruhi kondisi sosial ekonomi masyarakat yang diukur dari luas lahan dengan tingkat pendapatan, luas lahan dengan tingkat pendidikan dan luas lahan dengan kepemilikan asset dan modal. Terdapat hubungan mempengaruhi antara luas lahan dengan tingkat pendapatan. Terdapat hubungan negatif antara luas lahan dengan tingkat pendidikan. Kesadaran akan pentingnya pendidikan di kampung ini belum ada selain itu warga juga memiliki pendapatan yang rendah sehingga tidak mampu untuk membiayai sekolah anaknya. Luas lahan tidak mempengaruhi kepemilikan asset dan modal
69
karena warga tidak hanya menggantungkan sumber penghasilan dari lahan pertanian melainkan mereka juga memiliki sumber penghasilan di luar pertanian.
8.2
Saran
Saran yang dapat diajukan dari hasil penelitian ini adalah: 1. Bagi masyarakat khususnya warga Kampung Cijengkol mengupayakan untuk memaksimalkan lahan yang dimiliki supaya hasil yang diperoleh dari lahan baik. Warga kampung juga terbuka dan mau mencoba pengetahuan mengenai cara tanam yang baik. Kelompok tani yang ada di aktifkan kembali dan dibuat sebagai ruang diskusi mengenai masalah-masalah pertanian yang dihadapi. 2. Pemerintah desa perlu memperhatikan juga masalah pendidikan warga Kampung Cijengkol yang kesadaran akan pentingnya pendidikan masih rendah. Perlunya penyadaran akan pentingnya pendidikan bagi kelangsungan hidup mereka.
70
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik. 2009. Kependudukan Kecamatan Cigudeg. Kabupaten Bogor [ID]: BPS. 172 hal. Breman J dan Gunawan W. 2004. Masa Cerah dan Masa Suram di Pedesaan Jawa. Jakarta [ID]: Pustaka Ip3s Indonesia. 423 hal. Darwis V. 2009. Keragaan Penguasaan Lahan sebagai Faktor Utama Penentu Pendapatan Petani [internet]. [dikutip 20 November 2010]. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Dapat diunduh dari http://osun.org.pdf Fadjar U. 2009. Transformasi Struktur Agraria dan Diferensiasi Sosial pada Komunitas Petani. [Disertasi]. Bogor [ID]. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. 294 hal. Hamid IA dan Usuluddin. 1992/1993. Pola Penguasaan Pemilikan dan Penggunaan Tanah Secara Tradisional Daerah Sulawesi Tengah. Departemen Pendidikan and Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional [ID]. 225 hal. Harsono B.1962. Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Penyusunan Isi dan Pelaksanaannya, Jilid I. Jakarta [ID]: Penerbit Djambatan. 801 hal. Johara JT.1992. Tata Guna Tanah dalam Perencanaan Pedesaan Perkotaan dan Wilayah. Bandung [ID]: Penerbit ITB Bandung. 306 hal. Rajagukguk E. 1995. Hukum Agraria, Pola Penguasaan Tanah dan Kebutuhan Hidup. Jakarta [ID]: Candra Pratama. 204 hal. Sajogyo. 1985. Penduduk dan Pola Penggunaan Tanah dalam S.M.P Tjondronegoro, S.Rusli, dan U. Tuanaya (Penyunting) Ilmu Kependudukan: Suatu Kumpulan Bacaan. Jakarta [ID]: Erlangga. 302 hal. Singarimbun M dan Effendi S. 1989. Metode Penelitian Survai. Jakarta [ID]; LP3ES. 336 hal. Soekanto So.1982. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta [ID]: PT RajaGrafindo Persada. 404 hal. Soemardjan S. 1984. Kemiskinan Struktural: Suatu Bunga Rampai. Jakarta [ID]: Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial. 187 hal. Sondakh JOM. 2002. Pola Pengaturan Pemanfaatan Sumber-Sumber Agraria serta Implikasinya pada Keberlanjutan Kelompok Sosial dan Kelestarian Alam. [Tesis]. Bogor [ID]. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. 154 hal.
71
Tauchid M. 2009. Masalah Agraria Sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia. Yogyakarta [ID]: Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional. 691 hal. Tjondronegoro S. 1999. Sosiologi Agraria.Bandung [ID]: Yayasan AKATIGA. 201 hal. Wardini C. 2010. Dinamika Agraria Lokal di Sekitar Kawasan Pertambangan Emas (Studi Kasus Kampung Pongkor, Desa Cisarua, Kecamatan Nanggung, Provinsi Jawa Barat). [Skripsi]. Bogor [ID].Institut Pertanian Bogor. 112 hal. White B dan Gunawan W. 2009. Reforma Agraria dalam Tinjauan Komparatif. Bogor [ID]: Brigthen Institute. 122 hal. Wiradi G. 2009. Metodologi Studi Agraria. Shohibuddin (penyunting). Bogor [ID]: Sayogyo Institute. 348 hal.
72
LAMPIRAN
73
Lampiran 1. Denah Lokasi Penelitian Desa Cigudeg, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor, Jawa Barat
74
Lampiran 2 Kuesioner INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT KUESIONER Pengaruh Penguasaan Lahan terhadap Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat Di Desa Cigudeg, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat Nomor Responden Nama Enumerator Tanggal Pengisian I.
: ………………………….. : ………………………….. : …………………………..
DATA DIRI RESPONDEN Nama : Nama KK : Usia : Jenis Kelamin : Laki-laki Alamat : Pekerjaan Utama : Status : Kawin Janda/Duda Pendidikan Terakhir: Tidak Sekolah
Perempuan
Belum Kawin SD
SMP
SMA
II. DATA PENELITIAN 2.1 Ekonomi Responden 1.
2.
3.
4.
Berapa jumlah anggota keluarga bapak (termasuk bapak)? ……………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………….orang Berapa jumlah anggota keluarga Bapak yang masih menjadi tanggungan?.................................................................................................... ......................................................................................................................... ...............................................................................................................orang Apakah Bapak mempunyai anak (usia sekolah) yang masih sekolah? a. Ya b. Tidak Jika tidak, apa alasannya? ……………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………… Berapa jumlah anak Bapak yang masih sekolah? ........................................................................................................................
PT
75
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
……………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………...................orang Apakah ada anggota keluarga Bapak yang sudah bekerja (tidak termasuk bapak)? a. Ya b. Tidak Berapa jumlah anggota keluarga Bapak yang sudah bekerja? ......................................................................................................................... ......................................................................................................................... ...............................................................................................................orang Jenis pekerjaan apa saja yang dilakukan anggota keluarga Bapak yang sudah bekerja?Sebutkan! ……………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………… Apakah anggota keluarga Bapak yang sudah bekerja, ikut membantu dalam memenuhi kebutuhan keluarga? a. Ya b. Tidak Seberapa besar bantuan yang diberikan oleh anggota keluarga Bapak yang sudah bekerja tersebut? a. Besar b. Sedang c. Tidak besar Berapa jumlah pendapatan rumah tangga Bapak? Rp. ……………………………………………………………………………………… …......../Bulan Apakah pendapatan yang Bapak peroleh dapat mencukupi kebutuhan keluarga Bapak (terutama dalam hal konsumsi)? a. Ya b. Tidak Alasannya ……………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………… Berapa total pendapatan rumah tangga yang berasal dari lahan pertanian? Rp. ……………………………………………………………………………………… ………./Bulan Apakah Bapak hanya bergantung pada lahan pertanian sebagai sumber penghasilan utama? a. Ya b. Tidak Adakah sumber penghasilan yang Bapak peroleh selain dari lahan pertanian? a. Ya b. Tidak Jika Ya darimana Bapak mendapatkannya? ……………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………………
76
15.
16.
17.
18.
19.
20.
……………………………………………………………………………………… Apakah Bapak menginginkan anak Bapak menjadi petani? a. Ya b. Tidak Jika tidak mengapa? ……………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………… Bapak menginginkan anak Bapak menjadi apa (kerja dimana)? ……………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………… Bapak menginginkan anak Bapak sekolah sampai tingkat mana? ……………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………… Apakah Bapak memiliki tabungan pendidikan untuk anak Bapak? a. Ya b. Tidak Jika kesejahteraan masyarakat di desa ini terdiri dari : miskin/kurang, cukup/sedang, kaya, maka termasuk yang manakah keluarga Bapak? a. Miskin/kurang b. Cukup/sederhana c. Kaya d. Lainnya ………………… Menurut perkiraan Bapak (berdasarkan pengalaman selama ini) bagaimana kesejahteraan keluarga bapak dimasa yang akan datang? a. Membaik b. Tetap c. Menurun Mengapa demikian? …………………………………………………………………………………....... ……………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………………
77
2.2 Penerimaan Rumah Tangga No
Jenis Penerimaan
A.
Pertanian 1. Sawah 2. Kebun 3. Ternak (unggas, ternak besar)
B.
Non Pertanian 1. Pegawai Negeri 2. Pedagang 3. TNI/POLRi 4. Swasta 5. Wirausaha 6. Lainnya ………………..
Per ming gu
Per bulan
Per tah un
Keterangan
2.3 Kepemilikan Lahan 21 Apakah Bapak memiliki sawah ? a. Ya b. Tidak 22 Apakah Bapak memiliki kebun? a. Ya b. Tidak 23. Berapa luas sawah dan kebun yang Bapak miliki? ……………………………………..……....Ha 24. Apakah status sawah dan kebun yang Bapak miliki? a. Gadai b. Menyewa c. Bagi hasil d. Milik sendiri (penyewa) 25. Apakah Bapak hanya bergantung pada sawah dan kebun tersebut untuk sumber penghasilan dalam pemenuhan kebutuhan hidup keluarga Bapak? a. Ya b. Tidak Alasannya ………………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………………… 26. Adakah kebijakan pemerintah yang mempengaruhi Bapak dalam mengakses lahan?
78
a. Ya b. Tidak Jika Ya, Kebijakan seperti apa? .......................................................................................................................... ………………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………………… 27. Bagaimana Bapak menganggap lahan yang dimiliki? (pilih salah satu jawaban dibawah ini) a. Lahan sebagai asset dan modal b. Lahan hanya sebagai asset c. Laha hanya sebagai modal d. Lahan bukan sebagai asset dan modal
III. Kepemilikan Asset Rumah Tangga Responden (lingkari yang sesuai dengan yang dimiliki) No Indikator Keterangan 1 Dinding rumah a. Tembok b. Bambu/triplek 2 Lantai rumah a. Keramik b. tanah 3 Kamar mandi a. PAM b. Sumur c. sungai d. tidak punya 4 Peralatan (elektronik) a. televise b. radio c. kulkas d. DVD/VCD e. Kipas angin f. AC g. komputer h. telepon/HP i. Setrika j. Rice Cooker 5 Kendaraan a. Mobil b. motor c. sepeda d. tidak punya
79
IV. Data Anggota Rumah Tangga No
Nama Anggota Keluarga
Jenis Kelamin (L/P)
Umur /usia
Status
Pendidikan (lulus/sdg sekolah)
Pekerja an
Ket.
Pekerja an
Ket .
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
V. Data Anak yang tidak se-rumah tangga namun satu rumah No Anak ke Jenis Umur Status Pendidikan Kelamin /usia (lulus/sdg (L/P) sekolah) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
80
Lampiran 3 Data Sensus INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
Saya, Eka Ariwijayanti, mahasiswi Institut Pertanian Bogor, Program Studi Sains Komunikasi
dan
Pengembangan
Masyarakat.
Sehubungan
dengan
penelitian yang saya lakukan, saya meminta kesediaan saudara/bapak/ibu untuk mengisi angket ini dengan keadaan yang sebenar-benarnya. Kerahasiaan jawaban saudara/bapak/ibu akan dijamin kerahasiaannya dan hanya untuk kepentingan penelitian ini. Terima kasih
Nomor Responden
: …………………………..
Nama Enumerator
: …………………………..
Tanggal Pengisian
: …………………………..
IV. DATA DIRI Nama Usia Jenis Kelamin Alamat Pekerjaan Utama
: : : : :
Laki-laki
Perempuan
1. Pegawai Negeri 2. Pedagang 3. TNI/Polri 4. Petani 5. Buruh Tani 6. Swasta 7. Wirausaha 8. lainnya ………....... : Kawin Belum Kawin
Status Janda/Duda Pendidikan Terakhir:
Tidak Sekolah
SD
SMP
SMA
PT
81
VI. Data Penguasaan Lahan No Lahan yan g dius aha kan( saw ah/k ebu n/pe kara nga n, dll)
Lokasi 1. dalam desa 2. luar desa
Luas
Jrk ( h a )
Thn da ri r m h ( … k m ke ar ah … .)
Kondisi Status hukum: p aw 1. tanah adat e al: 2. tanah milik r 1. hutan sendiri (ada o2. bekas surat) l hutan 3. tanah e 3. bekas sendiri h perkeb (tanpa unan surat) 4. lahan 4. tanah milik tergar (akte) ap, 5. tanah milik lainny (sertifikat) a lainnya………
Sumber
Yang menggarap
mod
1. sendiri
al:
2. keluarga inti
1. bantua n …. 2. jual 3. lain… …
3. kerabat luas 4. tetangga/tema n 5. orang lain 6. lainnya
82
83
Lampiran 4 Panduan Pertanyaan Panduan Pertanyaan (Wawancara mendalam dengan responden) 1. Sejak kapan anda menjadi petani?jelaskan! 2. Mengapa anda menjadi petani? jelaskan! 3. Tanaman apa yang anda tanam di lahan yang anda miliki? jelaskan! 4. Apakah lahan yang anda garap milik sendiri? jelaskan! 5. Menurut anda adakah kebijakan pemerintah yang menjadi faktor penghambat anda dalam menguasai lahan/akses terhadap lahan? jelaskan! 6. Bagaimana kebijakan pemerintah tersebut menjadi faktor yang mempengaruhi penguasaan lahan selama ini di desa anda? jelaskan! 7. Apakah menjadi petani penghasilannya besar? jelaskan! 8. Apakah penghasilan yang diperoleh dari seorang petani dapat memenuhi kebutuhan hidup? jelaskan! 9. Menurut anda apakah fungsi utama dari lahan? jelaskan! 10. Seberapa penting lahan bagi anda? jelaskan! 11. Bagaimana anda memperoleh akses terhadap lahan? jelaskan! 12. Adakah hambatan yang dirasakan dalam mengakses lahan? jelaskan! 13. Apa yang anda harapkan dari lahan yang anda miliki? jelaskan! 14. Menurut anda, apakah luas lahan yang seseorang miliki dapat meningkatkan status sosial dalam masyarakat? jelaskan! 15. Menurut anda, faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi penguasaan lahan? jelaskan!
84
Lampiran 5. Populasi No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39
Nama Smn Img Ysf Jjt Asr Awg Ets Spi Mra Aag Adg Slh Jmn Awr Mil Rop Ebg Shi Jki Udi Myf Oby Ujg Udn Umd Asn Spa Srt Aam Arn Ata Ani Ids Jni Sma Mmy Ddi Alp Prd
RT/RW 01/18 01/18 01/18 01/18 01/18 01/18 01/18 01/18 01/18 01/18 01/18 01/18 01/18 01/18 01/18 01/18 01/18 01/18 01/18 01/18 01/18 01/18 01/18 01/18 01/18 01/18 01/18 01/18 01/18 01/18 01/18 01/18 01/18 01/18 01/18 01/18 02/18 02/18 02/18
No 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78
Nama Jne Srn Srn Apa Seb Hld Mmo Smw Hsn Snn Hri Alk Amj Mdk Srh Iip Jad Agr Mjw Jja Jmh Ran Ilg Mmd Mrd Tno Hmn Sdn Stm Ari Dma Sta Sbh Enb Sdk Sud Ace Skw Ssr
RT/RW 02/18 02/18 02/18 02/18 02/18 02/18 02/18 02/18 02/18 02/18 02/18 02/18 02/18 02/18 02/18 02/18 02/18 02/18 02/18 02/18 02/18 02/18 02/18 02/18 02/18 02/18 02/18 02/18 02/18 02/18 02/18 02/18 03/18 03/18 03/18 03/18 03/18 03/18 03/18
85
No 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115 116 117
Nama Bdi Ein Jhr Str Ujn Ata Iwn Anr Itk Ajs Dan Uik Mdr Krt Krm Uja Uus Yyn Nsr Uin Trs Mnt Aca Jkr Akg Hrm Ddi Mrk Srh Nsn Rsd Rln Jkh Edh Dvd Ant Dis Rhm Ddg
RT/RW 03/18 03/18 03/18 03/18 03/18 03/18 03/18 03/18 03/18 03/18 03/18 03/18 03/18 03/18 03/18 03/18 03/18 03/18 03/18 03/18 04/18 04/18 04/18 04/18 04/18 04/18 04/18 04/18 04/18 04/18 04/18 04/18 04/18 04/18 04/18 04/18 04/18 04/18 04/18
No 118 119 120 121 122 123 124 125 126 127 128 129 130
Nama Spn Sra H. Ahm Eng Jhr Aan Ujn Ags Srn Shr Enj Snt Jka
RT/RW 04/18 04/18 04/18 04/18 04/18 04/18 04/18 04/18 04/18 04/18 04/18 04/18 04/18
86
Lampiran 6. Kerangka Sampling No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39
Nama Ysf Jjt Asr Awg Ata Spr Atg Slh Jmn Asw Ebg Ski Jkr Udi Myf Oby Ujg Umd Asn Spr Mmy Srt Aam Ani Ddi Adp Srn Smn Seb Hld Mmo Hsn Snn Amj Mdk Shn Asg Jja Ran
RT/RW 01/18 01/18 01/18 01/18 01/18 01/18 01/18 01/18 01/18 01/18 01/18 01/18 01/18 01/18 01/18 01/18 01/18 01/18 01/18 01/18 01/18 01/18 01/18 01/18 02/18 02/18 02/18 02/18 02/18 02/18 02/18 02/18 02/18 02/18 02/18 02/18 02/18 02/18 02/18
No 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78
Nama Ilg Mmd Mdi Tno Stm Ard Drm Sbh Enb Sdk Sdn Ace Ssr Bdi Emn Jhr Str Anr Itk Ubk Mdr Krt Uja Yyn Nsr Trs Mnt Aca Akg Hrn Mki Shi Nsn Jkh Ant Dis Spn Srn H. Ahm
RT/RW 02/18 02/18 02/18 02/18 02/18 02/18 02/18 03/18 03/18 03/18 03/18 03/18 03/18 03/18 03/18 03/18 03/18 03/18 03/18 03/18 03/18 03/18 03/18 03/18 03/18 04/18 04/18 04/18 04/18 04/18 04/18 04/18 04/18 04/18 04/18 04/18 04/18 04/18 04/18
87
No 79 80 81 82 83 84
Nama Eng Jhr Srn Shr Jka Asp
RT/RW 04/18 04/18 04/18 04/18 04/18 02/18
88
Lampiran 7. Data Responden No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32
Nama Arn Asw Jjt Asr Ata Asn Awag Aam Slh Ran Smn Dma Ilg Snn Srh Mmo Asp Sub Amj Srn Mdk Sbh Emn Bdi Sdk Krt Enb Skw Ace Ssr Uja Jhr
RT/RW 01/18 01/18 01/18 01/18 01/18 01/18 01/18 01/18 01/18 02/18 02/18 02/18 02/18 02/18 02/18 02/18 02/18 02/18 02/18 02/18 02/18 03/18 03/18 03/18 03/18 03/18 03/18 03/18 03/18 03/18 03/18 03/18
No 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46
Nama Sdn Ubk H. Ahm Eng Dis Hmn Ant Spn Snr Mnt Shi Mki Akg Asm
RT/RW 03/18 03/18 04/18 04/18 04/18 04/18 04/18 04/18 04/18 04/18 04/18 04/18 04/18 04/18
89
Lampiran 8. Hasil Olah Data SPSS Rank Spearman
Correlations
tingkat pendapat an
luas lahan Spearman's rho
luas lahan
Correlation Coefficient
1.000
.014
.
.927
46
46
Correlation Coefficient
.014
1.000
Sig. (2-tailed)
.927
.
46
46
Sig. (2-tailed) N tingkat pendapatan
N Keterangan: Alfa = 10 %
Correlations tingkat pendidik an
luas lahan Spearman's rho
luas lahan
Correlation Coefficient
1.000
-.035
.
.816
46
46
-.035
1.000
.816
.
46
46
Sig. (2-tailed) N tingkat pendidikan Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Keterangan: Alfa = 10 %
Correlations kepemilikan asset dan modal
luas lahan Spearman's rho luas lahan
Correlation Coefficient
1.000
.234
.
.117
46
46
Correlation Coefficient
.234
1.000
Sig. (2-tailed)
.117
.
46
46
Sig. (2-tailed) N kepemilikan asset dan modal
N Keterangan: Alfa= 10 %
90
Lampiran 9. Dokumentasi
Sawah dengan padi yang mulai menguning
Sawah dengan padi setelah dipanen
91
Petak sawah yang telah dipanen dan petak sawah yang menunggu dipanen
Kegiatan anak-anak di sawah setelah sawah dipanen