PENGARUH PENAMBAHAN SARI BUAH BELIMBING WULUH (Averrhoa bilimbi) SEBAGAI ACIDIFIER TERHADAP EFISIENSI RANSUM PADA BABI STARTER Marsudin Silalahi 1) dan Sauland Sinaga. S2) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Lampung Jl. Hi. Z.A. Pagar Alam No. 1A Rajabasa, Bandar Lampung 35145 E-mail :
[email protected] 2 Fakultas Peternakan Universitas Pajajaran Bandung 1
ABSTRAK Penelitian ini dilaksanakan di desa Cigugur, Kecamatan Cigugur, Kuningan pada tanggal 28 Januari 2012 sampai 9 Maret 2012. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan sari buah belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi) sebagai acidifier terhadap efisiensi ransum pada babi starter. Penelitian ini menggunakan 20 ekor babi starter yang berumur 8 minggu dengan bobot badan rata-rata15 kg dan koefisien variasi 5.1%. Rancangan percobaan adalah Rancangan Acak Lengkap dengan empat macam dosis penambahan sari buah belimbing wuluh (0%, 0,25%, 0,50%, 0,75%), setiap perlakuan diulang sebanyak lima kali. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penambahan sari buah belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi) pada dosis 0,50% berpengaruh sangat nyata terhadap konsumsi ransum, pertambahan bobot badan, dan efisiensi ransum. Kata Kunci: Sari buah belimbing wuluh, Konsumsi Ransum, Pertambahan Bobot Badan, Efisiensi Ransum, Babi Periode Starter THE EFFECT OF ADDING WULUH STARFRUIT EXTRACT (Averrhoa bilimbi) AS AN ACIDIFIER TO FEED EFFICIENCY STARTER PIG ABSTRACT This research was conducted in Cigugur village, Kuningan from January 28th to March 9th in 2012. The aim of this study was to know the effect of adding Wuluh starfruit extract (Averrhoa bilimbi) as an acidifier on feed efficiency starter pig. This research was used 20 starter period pigs, age 8 months with weight rate 15 and variation coefficient 5,1%. The method which was used in this research is Complete Randomize Design with four adding dosages of Wuluh starfruit extract (0%,0.25%, 0.5%, 0.75%), with five replication. The result of this research showed that adding Wuluh starfruit extract at 0.5% dosage statistically gave real effect on feed consumption, body weight gain and also feed efficiency.
Keyword : Pig, Wuluh starfruit extract, feed consumption, body weight gain, feed efficiency. 1
PENDAHULUAN Babi merupakan ternak yang memiliki potensi besar untuk dikembangkan karena memiliki sifat yang menguntungkan seperti laju pertumbuhan cepat, sifat prolifik yaitu jumlah anak perkelahiran yang tinggi (10-14 ekor/kelahiran), efisiensi ransum yang baik dan persentase karkas yang tinggi. Pertumbuhan yang cepat dan komposisi daging yang lebih banyak dibandingkan dengan tulang dan lemak pada karkas merupakan dua sasaran dalam pemeliharaan ternak babi (WILLIAMS, 2006). Kebutuhan akan daging babi cukup tinggi, prediksi kebutuhan daging babi pada tahun 2008 sebesar 119,6 ribu ton, tahun 2009 sebesar 121,3 ribu ton, dan tahun 2010 sebesar 122,9 ribu ton sedangkan prediksi populasi babi tahun 2008 sebanyak 7.341.316 ekor, tahun 2009 sebanyak 7.976.780 ekor, dan tahun 2010 sebanyak 8.667.250 ekor dengan pertambahan populasi per tahun 8,65% (Data Statistik Peternakan, 2007). Ternak babi periode starter secara fisiologis memiliki sistem pencernaan yang belum berkembang secara sempurna terutama pada organ lambung sehingga belum dapat menghasilkan asam secara optimal yang dapat membantu proses pencernaan makanan serta menghambat perkembangan bakteri merugikan. Salah satu cara untuk membantu menghasilkan asam didalam saluran pencernaan babi starter adalah dengan cara penambahan acidifier dalam ransum yang berasal dari sari buah belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi). Acidifier merupakan asam-asam organik yang bermanfaat dalam pengawetan, pemeliharaan, dan perlindungan pakan dari perusakan oleh mikrobia dan fungi namun juga berdampak langsung terhadap mekanisme perbaikan kecernaan pakan pada ternak. Penggunaan acidifier dalam ransum ternak dapat digunakan sebagai alternatif penggunaan antibiotik alami sehingga mendukung pelarangan penggunaan antibiotik kimia atau buatan yang dapat berakibat buruk bagi manusia yang mengkonsumsi ternak tersebut. Prinsip kerja acidifier yaitu menurunkan pH lambung dengan tujuan memperbaiki kecernaan dan membunuh mikroba patogen dalam usus sehingga meningkatkan penyerapan nutrisi ransum. 2
Belimbing wuluh disebut juga belimbing sayur atau belimbing asam (Averrhoa bilimbi) merupakan tanaman dengan tinggi mencapai 10 m dan batang yang tidak begitu besar dan mempunyai garis tengah hanya sekitar 30 cm. Belimbing wuluh dapat tumbuh dengan baik di tempat yang cukup lembab dan tidak ternaungi oleh tanaman lain. Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi) mengandung senyawa kimia antara asam format, asam sitrat, asam askorbat (Vitamin C), saponin, tanin, glukosid, flavonoid, dan beberapa mineral terutama kalsium dan kalium dalam bentuk kalium sitrat dan kalsium oksalat (Hutajulu, et al., 2009). Sehingga dari uraian tersebut penulis ingin meneliti pengaruh penambahan sari buah belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi) sebagai acidifier terhadap efisiensi ransum pada babi starter. Maksud dan tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penambahan sari buah Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi) dalam ransum terhadap efisiensi ransum pada babi periode starter serta mengetahui persentase sari buah Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi) yang optimal sebagai acidifier dalam ransum untuk menghasilkan efisiensi ransum pada babi starter yang terbaik.
BAHAN DAN METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di peternakan babi Desa Cigugur, Kecamatan Cigugur, Kuningan, Jawa Barat, menggunakan sebanyak 20 ekor babi peranakan Landrace priode starter bobot badan 18-20 kg dengan koefisien variasi < 10%. Ternak ditempatkan dalam kandang individu dan diacak secara sempurna untuk mendapatkan salah satu dari empat perlakuan pakan. Ransum perlakuan adalah R0 = Ransum basal; R1 = Ransum basal + 0,25 % sari buah belimbing wuluh; R2 = Ransum basal + 0,50 % sari buah belimbing wuluh;
R3 = Ransum basal +
0,75 % sari buah belimbing wuluh. Belimbing wuluh yang digunakan dalam penelitian ini adalah buah masak segar yang diperoleh dari pasar tradisional Tanjungsari Kabupaten Sumedang dan 3
sebagian langsung mengambil dari pohonnya. Proses pengolahannya dilakukan dengan cara dijuiser untuk menghasilkan sari buah murni. Kemudian sari buah dicampurkan secara homogen ke dalam pakan babi periode starter. Penyusunan ransum dilakukan berdasarkan pada zat-zat makanan yang dianjurkan oleh National Research Council (NRC, 2008). Susunan ransum basal ternak percobaan ditampilkan pada Tabel 1. Tabel 1. Susunan Ransum Basal Babi Periode Starter Bahan pakan Tepung jagung Dedak padi Tepung ikan Bungkil Kelapa Bungkil kedelai Tepung tulang Premix Jumlah Sumber :Hasil perhitungan
Persentase(%) 46.00 25.00 8.00 10.35 10.00 0.55 0.10 100,00
Perlakuan ransum dilakukan selama 4 minggu, dengan masa adaptasi 7 hari. Air minum diberikan ad libitum. Peubah yang diamati dalam penelitian ini antara lain : Konsumsi ransum (gram/ekor/ hari); Pertambahan Bobot Badan Harian (gram/ekor/hari); dan Efisiensi Ransum (%). Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian eksperimental dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari empat perlakuan dan lima ulangan. (Steel dan Torrie, 2006)
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Perlakuan terhadap Konsumsi Ransum Konsumsi ransum dihitung berdasarkan jumlah ransum yang diberikan dikurangi dengan jumlah ransum yang tersisa. Hasil pengamatan selama 4
penelitian mengenai pengaruh perlakuan terhadap konsumsi ransum per hari pada babi periode starter dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Rata-rata Konsumsi Ransum Harian Babi Periode Starter (gram/hari). Konsumsi Harian Babi Periode Starter Ulangan R0 R1 R2 R3 …………….………..gram/hari………….…… 1 660,38 710,02 681,36 659,02 2 653,33 707,71 679,96 660,33 3 652,93 711,87 686,29 659,49 4 659,42 707,80 680,44 663,96 5 661,38 707,64 690,82 660,80 Total 3287,44 3545,04 3418,87 3303,60 Rata - rata 657,49A 709,01C 683,77B 660,72A Keterangan : Huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda sangat nyata. Pada Tabel 2. terlihat rataan konsumsi ransum harian perlakuan masingmasing R0 (657,49), R1 (709,01), R2 (683,77), R3 (660,72) gram/ekor/hari. Konsumsi ransum harian tertinggi diperlihatkan oleh babi yang diberi ransum R1 (709,01), dan terendah pada R0 (657,49). Rataan konsumsi ransum babi starter dari hasil penelitian ini tidak sesuai dengan yang dianjurkan oleh NRC (1998), yaitu 950-1425 gram/ekor/hari, hal ini dapat disebabkan oleh kualitas pakan dan ternak babi yang digunakan dalam penelitian belum optimal. Sari buah belimbing wuluh yang diperoleh dari hasil perasan buah belimbing wuluh memiliki rasa yang asam serta berbau aromatik (Baitul herbal, 2011). Rasa dan bau yang khas pada sari buah belimbing wuluh di dalam ransum penelitian tersebut mempengaruhi palatabilitas ransum yang pada akhirnya mempengaruhi tinggi rendahnya konsumsi ransum harian pada tiap ransum perlakuan. Hasil analisis sidik ragam memperlihatkan bahwa konsumsi ransum babi starter yang mendapatkan perlakuan R0 (657,48) tidak berbeda nyata dengan R3 (660,72) yang dapat dilihat dari rataan konsumsi ransum antara R0 dan R3 tidak jauh berbeda. Hal ini disebabkan oleh rendahnya palatabilitas ransum yang mengakibatkan rendahnya jumlah ransum yang dikonsumsi. Rendahnya 5
palatabilitas ransum pada R0 diakibatkan oleh kurangnya rasa asam pada ransum karena pada R0 tidak ditambahkan sari buah belimbing wuluh, sedangkan pada R3 diakibatkan oleh tingginya rasa asam pada ransum karena mendapatkan penambahan sari buah belimbing wuluh paling banyak. Perlakuan R2 berbeda sangat nyata dengan perlakuan R0 dan R3, hal ini dapat dilihat dari rataan jumlah konsumsi ransum R2 yang lebih tinggi dibandingkan R0 dan R3. Lebih tingginya konsumsi ransum pada R2 dibandingkan pada R0 dan R3 disebabkan oleh palatabilitas ransum R2 lebih baik dibandingkan R0 dan R3, hal ini dikarenakan dosis penambahan sari buah belimbing wuluh pada R2 lebih rendah daripada R3 yang menyebabkan kandungan asam pada ransum R2 tidak terlalu tinggi sehingga ransum masih dapat dikonsumsi ternak babi starter dengan baik. Berdasarkan perhitungan Uji Jarak Berganda Duncan, maka konsumsi ransum pada perlakuan R1 berbeda nyata dengan perlakuan R2, R3, dan R0. Hal ini dapat dilihat dari rataan jumlah konsumsi ransum pada R1 lebih tinggi dibandingkan dengan R2, R3, dan R0. Hal ini disebabkan oleh sedikitnya penambahan sari buah belimbing wuluh dalam ransum R1 sehingga tingkat palatabilitas ransum R1 lebih tinggi yang berdampak pada konsumsi ransum yang tinggi. Dari hasil penelitian ini dapat dilihat bahwa penambahan sari buah belimbing wuluh dalam ransum babi periode starter pada dosis 0,25% memberikan hasil terbaik.
Pengaruh Perlakuan terhadap Pertambahan Bobot Badan Hasil pengamatan selama penelitian mengenai pengaruh perlakuan terhadap pertambahan bobot badan dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Rata-rata Pertambahan Bobot Badan Harian Babi Periode Starter (gram/hari). Pertambahan Bobot Badan Harian Babi Periode Starter Ulangan R0 R1 R2 R3 …………….………..gram/hari………….…… 1 126,67 142.22 146.67 104.44 6
2 3 4 5 Total Rataan
124,44 137.78 148.89 106.67 122.22 135.56 155.56 111.11 133.33 137.78 137.78 104.44 133.33 140.00 146.67 102.22 640.00 693.33 735.56 528.89 128.00 B 138.67 BC 147.11C 105.78 A Keterangan: huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata.
Berdasarkan pemberian dosis belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi) 0%, 0,25%, 0,50%, 0,75% dari jumlah pakan yang diberikan setiap hari, diperoleh rata-rata pertambahan bobot badan harian, masing-masing: R0 (128,00), R1 (138,67), R2 (147,11), R3 (105,78) gram/hari. Pertambahan bobot badan harian tertinggi diperlihatkan oleh babi yang diberi ransum R2 (147,11) dan terendah pada R3 (105,78). Rataan pertambahan bobot badan babi starter dari hasil penelitian ini tidak sesuai dengan yang dianjurkan oleh NRC (1998), yakni 450575 gram/ekor/hari dan Sihombing (1997), yakni 365-430 gram/ekor/hari, hal ini dapat disebabkan oleh kualitas pakan dan ternak babi yang digunakan dalam penelitian belum optimal. Hasil analisis sidik ragam memperlihatkan bahwa penambahan sari buah belimbing wuluh dalam ransum berpengaruh sangat nyata (F hit > F 0,05) terhadap pertambahan bobot badan. Perlakuan R3 (105,78) berbeda nyata dengan perlakuan R0 (127,56) yang dapat dilihat dari rataan pertambahan bobot badan R0 lebih tinggi dibandingkan R3. Hal ini disebabkan oleh tingginya kandungan asam dalam ransum R3 yang mengakibatkan menurunnya kemampuan ternak untuk mengubah ransum menjadi daging.n Perlakuan R1 berbeda nyata dengan perlakuan R3 yang dapat dilihat dari rataan pertambahan bobot badan pada R1 lebih tinggi dibandingkan dengan R3, hal ini disebabkan oleh jumlah konsumsi pada R1 lebih tinggi. Sedangkan perlakuan R1 tidak berbeda nyata dengan perlakuan R0, hal ini dapat dilihat dari rataan pertambahan bobot badan antara perlakuan R1 dan R0 tidak jauh berbeda, akan tetapi rataan pertambahan bobot badan pada R1 masih lebih tinggi dibandingkan R0, hal ini disebabkan oleh jumlah konsumsi ransum pada R1 lebih tinggi dibandingkan R0. 7
Perlakuan pada R2 tidak berbeda nyata dengan perlakuan R1, hal ini dapat dilihat dari rataan pertambahan bobot badan antara R2 dan R1 tidak jauh berbeda, tetapi rataan pertambahan bobot badan pada perlakuan R2 masih lebih tinggi dibandingkan dengan R1, walaupun rataan jumlah konsumsi ransum pada perlakuan R1 lebih tinggi dibandingkan R2. Hal ini diakibatkan oleh kandungan asam pada ransum R2 lebih tinggi dibandingkan perlakuan R1 sehingga berpengaruh dalam penurunan pH lambung yang bertujuan membantu kinerja enzim pepsin yang berfungsi untuk memecah protein yang berdampak pada proses penyerapan protein dalam usus halus. Semakin tinggi penyerapan protein oleh usus halus maka pertambahan bobot badan juga akan semakin tinggi. Berdasarkan uji Jarak Berganda Duncan, maka pertambahan bobot badan pada perlakuan R2 menunjukkan hasil tertinggi dibandingkan pada perlakuan R1, R0, dan R3. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan sari buah belimbing wuluh pada dosis 0,50% dari jumlah ransum yang diberikan setiap hari memberikan hasil yang terbaik pada pertambahan bobot badan babi starter, hal ini sesuai dengan pernyataan Christian et al. (2004) yang menyatakan penambahan ideal acidifier guna perbaikan performans yang disimpulkan dari beberapa penelitian adalah kurang dari 0,50%.
Pengaruh Perlakuan terhadap Efisiensi Ransum Hasil pengamatan selama penelitian mengenai pengaruh perlakuan terhadap efisiensi ransum pada babi periode starter dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Rata-rata Efisiensi Ransum Harian Babi Periode Starter (%). Ulangan 1 2 3 4
Efisiensi Ransum Harian Babi Periode Starter (%) R0 R1 R2 R3 …………………….………..(%)………….……………... 19,18 20,03 21,53 15,85 19,05 19,47 21,90 16,15 18,72 19,04 22,67 16,85 20,22 19,47 20,25 15,73 8
5 19,82 19,78 21,23 15,47 Total 96,99 97,79 107,57 80,05 Rataan 19,40B 19,56B 21,51C 16,01A Huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda sangat nyata. Pada Tabel 4 memperlihatkan bahwa rataan efisiensi ransum babi periode starter berkisar antara 16,01% - 21,51%. Efisiensi terendah diperlihatkan oleh babi yang mendapatkan perlakuan R3 (16,01%), sedangkan efisiensi tertinggi diperlihatkan oleh babi yang mendapatkan perlakuan R2 (21,51%). Rataan efisiensi ransum babi starter hasil penelitian tidak sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh NRC (2008), yaitu 36,8-42,1% hal ini disebabkan oleh kualitas pakan dan bibit babi yang digunakan masih belum begitu baik yang menyebabkan tingkat pertambahan bobot badan harian lebih rendah. Efisiensi ransum merupakan perbandingan antara pertambahan bobot badan dengan konsumsi ransum. Hasil analisis sidik ragam memperlihatkan pemberian sari buah belimbing wuluh dari jumlah ransum yang diberikan setiap hari memberikan pengaruh yang sangat nyata (F hit > F 0,01) terhadap efisiensi ransum. Perlakuan R3 (16,01) berbeda sangat nyata dengan perlakuan R0 (19,39) yang dapat dilihat dari rataan efisiensi ransum antara R3 dan R0 berbeda sangat nyata. Hal ini disebabkan oleh pertambahan bobot badan pada perlakuan R3 lebih rendah dibandingkan dengan R0 yang berdampak pada efisiensi ransum. Pada perlakuan R1 tidak berbeda nyata dengan perlakuan R0, yang dapat dilihat dari rataan efisiensi ransum R1 tidak jauh berbeda dibandingkan dengan R0, hal ini disebabkan oleh rataan pertambahn bobot badan antara R0 dan R1 tidak berbeda nyata yang sejalan dengan nilai efisiensi ransum pada R0 dan R1. Perlakuan R2 berbeda nyata dengan perlakuan R1 dan R0 yang dapat dilihat pada rataan efisiensi ransum R2 lebih tinggi dibandingkan R1 dan R0. Hal ini disebabkan oleh rataan pertambahan bobot badan pada R2 lebih tinggi dibandingkan pada R1 dan R0, sehingga rataan efisiensinya juga lebih tinggi.
9
Efisiensi ransum pada perlakuan R2 berbeda nyata dengan perlakuan R1, R0, dan R3. Hal ini dapat dilihat dari rataan efisiensi ransum pada R2 lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan R1, R0, dan R3. Hal ini disebabkan oleh lebih tingginya pertambahan bobot badan pada R2 sehingga meningkatkan rataan efisiensi ransum. Dari hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa penambahan sari buah belimbing wuluh dalam ransum babi periode starter pada dosis 0,50% memberikan hasil terbaik.
KESIMPULAN Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penambahan sari buah belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi) pada dosis 0,50% berpengaruh sangat nyata terhadap konsumsi ransum, pertambahan bobot badan, dan efisiensi ransum.
DAFTAR PUSTAKA Anonim.2006.BelimbingWuluh.http://www.idionline.org/05_infodk_obattrad2.ht m (November, 2006). Christian L, Nizamettin S, Hasan A, Aylin A. 2004. Acidifier-A Modern Alternative for Anti-Biotic Free Feeding in Livestock Production, with Special Focus on Broiler Production. Trakaya University, Agriculture Faculty, Departement of Animal Science, Tekirdag. Germany. DINAS PETERNAKAN PROPINSI JAWA BARAT. 2007. Laporan Tahunan 2006/2007 Hutajulu, Tiurlan F., Evi Azizah dan Ade Suherman. 2009. Pemanfaatan Alfa Hidroksi Karboksilat (AHA) dari Ekstrak Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi L) untuk Skin Care. Jurnal Riset Industri. Vol. III No. 1: 64-74. NRC. (National Research Council).2008. Nutrient Requirments of Swine. Tenth Edition. National Academy Press. Washington, D.C. USA. Sihombing, D.T.H. 1997. Ilmu Beternak babi. University Gadjah Mada Press, Yogyakarta. Steel, R.G.D dan J. H. Torrie. 2006. Prinsip dan Prosedur Statistika (terjemahan) Cetakan ke-4 PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Hal 289-300. Williams, K. 2006. Determining Protein Deposit Rate. Farmnote. F54/May. Agdex 440/50, QDPI Brisbane. Australia. 10