ARIANI DAN SETYANTO: EMISI N20 DARI SISTEM INTEGRASI TANAMAN-TERNAK
Pengaruh Pemberian Jerami dan Pupuk Kandang terhadap Emisi N2O dan Hasil Padi pada Sistem Integrasi Tanaman-Ternak Miranti Ariani1 dan Prihasto Setyanto2 Balai Penelitian Lingkungan Pertanian Jl. Jakenan-Jaken km 5 Pati, Jawa Tengah 2 Balai Besar Sumber Daya Lahan Pertanian Jl. Juanda 98 Bogor, Jawa Barat 1
ABSTRACT. Effects Rice Straw and Farm Yard Manures on N 2 O Emissions and Rice Yields in the Integrated CropLivestock System. Nitrous oxide (N 2 O) is one among the greenhouse gases that contribute to global warming. A field trial on N2O emissions and rice yields in an Integrated Crop-Livestock Systems (ICLS) was carried out at Research Station of the Indonesian Agricultural Environment Research Institute, Jakenan. The trial consisted of five treatments of organic fertilizer, namely (1) Rice straw given directly into the soil as fertilizer (JL); (2) Rice straw used as feed, and the cattle dung was used as manure (JPK); (3) Fermented rice straw by Probion used as feed, and the cattle dung was used as manure (JPrPk); (4) Fermented rice straw by Starbio used as feed, and the cattle dung was used as manure (JStPk), and (5) Waste of straw feed and livestock manure processed using the Biodigester, and then the waste was used as manure (JBioPk). Results of the trial showed that the volume of total N2O emission from rice plants treated with JL, JPK, JPrPk, JStPk, and JbioPk were 6.72 kg, 4.98 kg, 5.23 kg, 9.18 kg, and 5.41 kg/ha/season, respectively. The highest amount of N2O emissions and significantly different from other treatments was produced by plants treated with JStPk. In the plant treated with JL, JPk, and JPrPk, 50% of the total N2O emissions were not reached until the plant age 92 days after planting (DAP), whereas in plant treated with JbioPk and JStPk, this was reached earlier, at 60 DAP. The five organic fertilizer treatments gave no significant effect on rice yields and on N2O emissions. The rice grain yields ranged from 4.65 t/ha (JPK) and 5.17 t/ha (JBioPk), while the N2O/rice grain yield ratio ranged from 1.0 to 1.9 kg N2O/t rice grain. Keywords: Crop-livestock integration system, N2O emission, rice straw, organic fertilizers ABSTRAK. Gas N2O merupakan salah satu gas rumah kaca yang berperan dalam pemanasan bumi. Penelitian emisi gas N2O dan hasil padi pada Sistem Integrasi Tanaman-Ternak (SITT) dilaksanakan di Kebun Percobaan Balai Penelitian Lingkungan Pertanian, Jakenan. Penelitian dilakukan dengan lima perlakuan pupuk organik, yaitu: (1) Jerami langsung diberikan ke dalam tanah sebagai pupuk (JL); (2) Jerami digunakan sebagai pakan, kemudian kotoran ternak dimanfaatkan sebagai pupuk kandang (JPk); (3) Jerami difermentasi dengan Probion untuk dijadikan pakan, kemudian kotoran ternak dimanfaatkan sebagai pupuk kandang (JPrPk); (4) Jerami difermentasi dengan Starbio untuk dijadikan pakan, kemudian kotoran ternak dimanfaatkan sebagai pupuk kandang (JStPk), dan (5) Sisasisa jerami (pakan) dan kotoran ternak diproses melalui Biodigester, kemudian hasil Biogas dimanfaatkan sebagai pupuk kandang (JBioPk). Hasil penelitian menunjukkan bahwa emisi gas N2O total dari tanaman padi pada perlakuan JL, JPk, JPrPk, JStPk dan JbioPk berturut-turut 6,72 kg; 4,98 kg; 5,23 kg; 9,18 kg, dan 5,41 kg/ha/ musim. Emisi N2O tertinggi dan berbeda nyata dengan emisi dari perlakuan lainnya adalah yang dihasilkan pada perlakuan JStPk. Pada perlakuan JL, JPk dan JPrPk, 50% dari total emisi N2O baru
36
dicapai setelah tanaman berumur 92 hari setelah tanam, sedangkan pada perlakuan JStPk dan JbioPk dicapai pada waktu yang lebih awal (60 HST). Pengaruh kelima jenis pupuk organik yang digunakan tidak nyata baik terhadap hasil padi maupun emisi gas N2O. Hasil gabah berkisar antara 4,65 t/ha (JPk) dan 5,17 t/ha (JBioPk), sedangkan nisbah emisi gas N2O/hasil gabah berkisar antara 1,01,9 kg N2O/t GKG. Kata kunci: Sistem integrasi tanaman-ternak, jerami padi, pupuk organik, emisi N2O
S
istem Integrasi Tanaman-Ternak (SITT) telah menjadi bagian dari budaya bertani di Indonesia. Sistem ini mampu memanfaatkan sumber daya lokal, yaitu limbah tanaman dan limbah ternak, secara efisien. Ciri utama SITT adalah adanya keterkaitan yang saling memenuhi kebutuhan antara tanaman dan ternak. Misalnya, limbah tanaman (jerami) digunakan sebagai pakan ternak, sedangkan kotoran ternak digunakan sebagai pupuk organik untuk tanaman (Fagi et al. 2004). Oleh karena itu, program pengkajian SITT diinisiasi bersamaan dengan program pengkajian Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) padi sawah. PTT menganjurkan pemberian bahan organik sebagai salah satu komponen teknologi utama. Bahan organik dapat berupa sisa-sisa tanaman seperti jerami padi atau pupuk kandang. Pupuk kandang yang dihasilkan petani umumnya memiliki nisbah C/N tinggi. Pemberian pupuk kandang pada tanah dengan nisbah C/N tinggi memberikan emisi N2O yang tinggi pada lahan kering dan emisi CH4 yang tinggi pula pada lahan basah. Pemberian bahan organik seperti jerami dan pupuk kandang selain dapat memperbaiki struktur tanah juga berdampak negatif dengan terjadinya emisi gas rumah kaca (Setyanto et al. 1999). Lebih lanjut menurut Setyanto et al. (1999), emisi N2O dan CH4 akibat pemberian jerami ke tanah sawah lebih tinggi dibandingkan dengan pemberian pupuk kandang. Dengan demikian, penggunaan kotoran ternak sebagai pupuk organik untuk tanaman pangan (padi sawah) akan mengurangi emisi gas rumah kaca, dibandingkan dengan pemberian jerami langsung ke tanah. Jerami dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 29 NO. 1 2010
dengan atau tanpa proses fermentasi. Besarnya kontribusi komponen teknologi SITT, seperti pakan ternak dan pupuk kandang yang dihasilkan, terhadap volume emisi gas N2O dan hasil padi belum banyak diketahui. Volume emisi gas-gas rumah kaca, terutama CO2, CH4 dan N2O yang dilepaskan dari suatu sistem usahatani merupakan indikator “kebersihan lingkungan” dari sistem tersebut. Gas N2O meski konsentrasinya relatif kecil di banding CO 2 maupun CH 4, menurut Cicerone (1989), N 2O mempunyai waktu tinggal di atmosfer yang lama, mencapai 150 tahun dan lebih stabil serta potensi pemanasan rumah kaca 300 kali lebih besar dibandingkan dengan CO 2. Gas N 2O merupakan senyawa alami dan keberadaannya di atmosfer mempunyai dua peranan, yaitu (1) sebagai gas rumah kaca, dan (2) penipisan lapisan ozon stratosfer. Gas N2O mampu menyerap radiasi gelombang panjang infra merah di atmosfer. Sumber antropogenik N2O paling besar berasal dari tanah pertanian, kontribusinya dalam meningkatkan efek rumah kaca + 70% (Yan 2000) dan lebih dari 80% emisi N2O dari lahan sawah melalui tanaman padi. Gas-gas nitrogen khususnya N2O dan NO diproduksi dalam tanah melalui proses biotik dan abiotik, yang reaksinya dipengaruhi oleh ketersediaan bahan organik, suplai nitrat, ketersediaan air, aerasi, pH dan suhu tanah (Granli and Bockman 1994). Variasi spasial dan temporal emisi N2O sangat besar, karena faktor yang mempengaruhi produksi N 2 O dalam proses mikrobiologi juga sangat bervariasi. Emisi N 2 O dipengaruhi oleh tiga faktor utama, yaitu: (1) lingkungan (iklim, kandungan C organik, tekstur tanah, drainase dan pH tanah), (2) pengelolaan lahan (aplikasi pemupukan N dan jenis tanaman), dan (3) faktor yang berhubungan dengan pengukuran emisi (lamanya waktu pengambilan sampel dan frekuensinya) (Bauwman et al. 2002). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian jerami dan pupuk kandang dalam bentuk segar maupun terproses pada lahan sawah, sebagai hasil samping dari SITT terhadap volume emisi gas N2O yang dihasilkan dan terhadap hasil tanaman padi.
BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Balai Penelitian Lingkungan Pertanian, Jakenan pada MK 2007. SITT yang diteliti terdiri dari tujuh ekor sapi jantan muda dan pertanaman padi di sekitarnya. Sapi tersebut diberi pakan yang berbeda-beda selama tiga bulan agar dihasilkan pupuk kandang yang berbeda kualitasnya untuk diuji pengaruhnya terhadap hasil tanaman padi
dan volume emisi gas N2O, yaitu: (1) empat ekor sapi diberi pakan jerami kering kemudian kotoran ternaknya dimasukkan ke dalam biodigester dan bahan hasil Biogas dimanfaatkan sebagai pupuk kandang; (2) satu ekor sapi diberi pakan jerami kering yang difermentasi dengan Probion, dan kotoran ternaknya dimanfaatkan sebagai pupuk kandang; (3) satu ekor sapi diberi pakan jerami kering yang difermentasi dengan Starbio, dan kotoran ternaknya dimanfaatkan sebagai pupuk kandang dan (4) satu ekor sapi diberi pakan jerami kering tanpa diberi perlakuan terlebih dahulu kemudian kotorannya digunakan sebagai pupuk kandang. Kotoran dari masing-masing ternak sapi tersebut ditempatkan secara terpisah, dan menjadi bahan untuk perlakuan percobaan dengan simbol masing-masing JBioPk, JPrPk, JStPk, dan JPk. Sebagai perlakuan kontrol, jerami padi diberikan langsung ke tanah (JL). Jerami yang digunakan sebagai perlakuan pada penelitian ini difermentasi dengan bahan fermentasi Probion dan Starbio. Mula-mula jerami ditumpuk setebal 30 cm, ditaburkan urea dan Starbio atau Probion, lalu diperciki air hingga mencapai kadar air 60%. Kemudian mengulangi tahapan tadi, hingga tinggi tumpukan jerami minimal 1 m. Untuk memproses 1 ton jerami kering, diperlukan Starbio sebanyak 6 kg dan urea 6 kg atau Probion 2,5 kg dan urea 2,5 kg. Proses fermentasi membutuhkan waktu sekitar 21 hari. Jerami yang telah difermentasi segera dikeringkan sebagai stok pakan atau dapat langsung diberikan ke ternak. Probiotik Starbio mengandung mikroba proteolitik, selulolitik, lignolitik, lipolitik, aminolitik, dan penambat nitrogen nonsimbiotik. Jerami yang difermentasi dengan Probion memiliki warna kecoklat-coklatan dengan tekstur yang lebih lunak. Komposisi nutrisi jerami padi, jerami yang difermentasi, dan pakan tambahan berbeda, terutama kandungan protein kasar berturut turut 5,4%; 6,8%, dan 12,8%, lemak kasar 0,9%, 0,7%, dan 5,9%; dan kadar abu 21,5%, 24,7%, dan 8.2% (Mahendri dan Haryanto 2006). Penelitian Lapang Penelitian lapang dilakukan pada petak berukuran 4 m x 5 m, disusun mengikuti rancangan acak kelompok (RAK) dengan lima perlakuan dan tiga ulangan. Padi varietas Ciherang ditanam dengan jarak 20 cm x 20 cm. Pupuk organik dari masing-masing perlakuan disebar dengan takaran 5 t/ha. Pupuk anorganik urea, SP36 dan KCl diberikan dengan takaran masing-masing 250 kg, 100 kg, dan 100 kg/ha. SP36 dan KCl diberikan sebagai pupuk dasar, sedangkan urea diberikan tiga kali, yaitu sebagai pupuk dasar, pada fase anakan maksimal dan fase primordia, masing-masing 1/3 bagian.
37
ARIANI DAN SETYANTO: EMISI N20 DARI SISTEM INTEGRASI TANAMAN-TERNAK
HASIL DAN PEMBAHASAN
Parameter yang Diamati dan Metode Analisis Data Data yang dikumpulkan meliputi emisi gas N2O, pH tanah, dan hasil panen. Pengukuran pH tanah dilakukan setiap minggu, bersamaan dengan pengambilan sampel gas N2O. Pengambilan contoh gas N2O mengikuti Setyanto et al. (1999), gas diambil seminggu sekali pada pagi hari mulai pukul 06.00 pagi. Keluaran contoh gas N2O ditampung dalam sungkup yang terbuat dari fleksiglas ukuran 40 cm x 20 cm x 20 cm. Contoh gas diambil dengan jarum suntik dengan interval 5, 10, 15, dan 20 menit, kemudian dianalisis dengan GC Shimadzu 14A menggunakan detektor ECD (Electron Capture Detector). Selanjutnya emisi gas dihitung rumus Khalil et al. (1991), dc
E=
dt
x
Vch Ach
x
mW mV
x
273,2 (273,2+T)
i
E : Emisi gas N2O (mg/m2/hari) dc/dt : Perbedaan konsentrasi N2O per waktu (ppb/ menit) Vch : Volume boks (m3) Ach : Luas boks (m2) mW : Berat molekul N2O (g) mV : Volume molekul N2O (22,41 l) T : Temperatur rata-rata selama pengambilan sampel (oC) Data emisi N2O dianalisis dengan metode ANOVA (Analysis of Variance). Perbedaan dari masing-masing nilai tengah ditentukan dengan menggunakan uji Duncan pada P <0,05.
Fluks gas N2O (mg/m2/hari)
70 60 50 40 30 20 10 0 0
8
15
23
36
44
50
59
66
71
78
84
92 104
Umur tanaman (HST) Jl
JPk
JPrPk
JStPk
JBioPk
Gambar 1. Fluks N2O pada lima perlakuan pupuk kandang. KP Balingtan, Jakenan, Jawa Tengah, MK 2007.
38
Pola Fluks dan Emisi N2O kumulatif Pola fluks N2O pada penelitian ini disajikan pada Gambar 1. Fluks harian gas N2O selama pertumbuhan tanaman padi berfluktuasi cukup besar, berkisar antara 0,3-60,3 mg N2O/m2/hari. Namun fluktuasi yang besar tersebut terjadi pada dua periode, yaitu pada saat tanaman berumur kurang dari 23 HST (fase anakan aktif) dan setelah tanaman berumur 71 HST (Fase pembungaan). Pada saat tanaman berumur 23-71 HST, emisi N2O relatif rendah dan stabil, yaitu < 10,0 mg N2O/m2/hari, di mana pengaruh perlakuan tidak nyata. Pada fase awal pertumbuhan tanaman, pupuk organik yang diberikan ke tanah mulai mengalami proses perombakan dalam jumlah besar, sehingga terdapat perbedaan fluks antara dua kelompok perlakuan. Perlakuan pemberian jerami langsung (JL) dan jerami tanpa proses (JPk) lebih lambat mengurai dan melepas gas N2O pada saat tanaman berumur 15 HST sehingga fluks lebih rendah (2,6-3,2 mg N2O/m2/hari), sedangkan pada perlakuan jerami yang diproses (JPrPk, JStPk dan JBioPk) lebih cepat sehingga fluks N2O lebih tinggi (10,1-22,0 mg N2O/m2/hari). Hal ini mengindikasikan adanya peran mikroba pada saat pembuatan pakan ternak terhadap kualitas pupuk kandang yang dihasilkan, namun tidak diteliti. Pupuk kandang yang berasal dari sapi yang diberi pakan jerami fermentasi Starbio (perlakuan JStPk) memiliki fluks N2O yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya, terutama pada saat tanaman berumur 15, 23, dan 78 HST. Perlakuan JStPk memberikan emisi tertinggi, berkisar antara 13,8-22,3 mg N2O/m2/hari. Pada saat tanaman berumur 104 HST terjadi lonjakan emisi gas N2O yang tajam, dari <10 mg menjadi >30 mg N2O/m2/ hari. Perlakuan pemberian jerami langsung ke tanah sawah (JL) memberikan fluks gas N 2O tertinggi, mencapai 60,3 mg N2O/m2/hari, diikuti oleh perlakuan JPk, JPrPk, JStPk, dan JBioPk masing-masing 49,0 mg; 41,7 mg; 38,4 mg; dan 32,8 mg N2O/m2/hari. Data ini menunjukkan bahwa pemberian jerami yang tidak difermentasi memiliki fluks yang lebih tinggi di akhir pertumbuhan tanaman padi dibandingkan dengan jerami yang difermentasi, meskipun rata-rata fluks harian tertinggi pada perlakuan JStPk 9,5 mg N2O/m2/hari. Pada saat tanaman berumur 104 HST, lahan dalam kondisi kering (aerobik). Hal ini menguntungkan bagi terbentuknya gas N2O melalui proses nitrifikasi, namun kurang menguntungkan bagi pembentukan gas metan oleh bakteri metanogen. Volume emisi gas N2O secara kumulatif selama pertumbuhan tanaman padi disajikan pada Gambar 2. Volume kumulatif emisi N2O pada saat panen untuk
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 29 NO. 1 2010
Pola Perubahan pH Tanah dan Hubungannya dengan Fluks Gas N2O Selama pertumbuhan tanaman padi, pH tanah yang diberi lima perlakuan bahan organik memiliki tren yang hampir sama, yaitu fluktuatif menurun, dengan nilai berkisar antara 5,5-6,5 dari sejak awal tanam hingga tanaman berumur 66 HST (Gambar 3). Setelah itu, pH tanah meningkat tajam yang puncaknya terjadi pada 78 HST (awal pembungaan), lalu menurun hingga <5,5 pada 92 HST dan 104 HST, yaitu pada fase pemasakan gabah. Untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh pH tanah terhadap volume fluks gas N 2O dibuat hubungan sebaran titik seperti disajikan pada Gambar 4. Hubungan antara emisi gas N2O (Y) dan pH tanah (X) bersifat kuadratik, mengikuti persamaan berikut: Y = 6,29 X2 - 81,8 X + 270; R = 0,2683* n = 65 Persamaan kuadratik tersebut menunjukkan bahwa pada pH rendah (<5,5), fluks gas N2O tinggi. Fluks gas N2O menjadi sangat rendah pada pH tanah 5,5-6,5, dan pada pH >6,5 fluks cenderung naik kembali. 7,5 7,0 6,5 pH tanah
perlakuan JL, JPk, JPrPk, JStPk, dan JbioPK berturut-turut adalah 6,72 kg; 4,98 kg; 5,23 kg; 9,18 kg; dan 5,41 kg/ha. Emisi gas N2O yang paling tinggi terdapat pada perlakuan JStPk (jerami difermentasi dengan Starbio, kemudian dijadikan pakan, dan kotoran ternak dimanfaatkan sebagai pupuk kandang) sebesar 9,18 kg N2O/ha, sedangkan yang terendah pada perlakuan JPk (jerami dijadikan pakan langsung, dan kotoran ternak dimanfaatkan sebagai pupuk kandang) yaitu 4,98 kg N2O/ha. Perlakuan JStPk sejak tanaman berumur 15 HST sudah mengemisi gas N2O secara kumulatif lebih tinggi dibanding perlakuan lainnya dan semakin nyata perbedaannya hingga panen. Hal ini menunjukkan besarnya pengaruh mikroba dalam Starbio pada saat fermentasi jerami untuk pakan ternak, sehingga mengubah komposisi bahan organik yang memudahkan lepasnya gas N2O. Menurut Velthof et al. (2003), emisi N2O sangat dipengaruhi oleh macam dan komposisi bahan organik yang diberikan ke tanah. Nutrisi untuk ternak mempengaruhi kotorannya, yang pada akhirnya mempengaruhi volume emisi N2O jika kotoran tersebut diaplikasikan sebagai pupuk. Pada penelitian ini, 50% dari total emisi N2O baru tercapai setelah tanaman berumur 92 HST untuk perlakuan JL, JPk, dan JPrPk, sedangkan untuk perlakuan JStPk dan JbioPk pada umur 60 HST. Hal ini berarti 50% emisi N2O dari lahan sawah dihasilkan hampir di akhir pertumbuhan tanaman padi, yaitu pada saat tanaman sudah mendekati panen dan kondisi lahan sudah tidak lagi tergenang. Pada kondisi demikian gas N2O banyak terbentuk dan terlepas ke udara. Pada fase menjelang panen, penyerapan hara dari tanah terutama N dan K oleh akar tanaman semakin berkurang, sehingga kelebihan hara N dalam tanah, bila masih ada, akan mengalami proses denitrifikasi yang menghasilkan gas N2O.
6,0 5,5 5,0 4,5 0
20
40
JPrPk
JStPk
JBioPk
7 6
120
JPk
JPrPk
JStPk
JBioPk
70.000
5 4 3 2 1 0 0
8
15
23
36
44
50
59
66
71
78
84
92 104
Umur tanaman (HST)
Gambar 2. Kumulatif emisi N2O pada lima perlakuan pupuk organik. KP Balingtan Jakenan, Jawa Tengah, MK 2007.
Emisi N2O (ug/m2/hari)
Emisi N2O (kg/ha)
JPk
100
Gambar 3. Perubahan pH tanah selama pertumbuhan tanaman padi pada lima perlakuan pupuk organik. KP Balingtan, Jakenan, MK 2007.
10 JL
80
Umur tanaman (HST) Jl
9 8
60
y = 6289X2 - 81821X + 26965 R2 = 0,0072ns, n = 60
60.000 50.000 40.000 30.000 20.000 10.000 0 4,50
5,0
5,5
6,0
6,5
7,0
7,5
Kemasaman tanah
Gambar 4. Hubungan antara besarnya (pH) fluks N2O dan pH tanah. KP Balingtan, Jakenan, MK 2007.
39
ARIANI DAN SETYANTO: EMISI N20 DARI SISTEM INTEGRASI TANAMAN-TERNAK
Tabel 1. Bobot jerami, hasil gabah, emisi gas N2O dan rasio emisi/hasil gabah untuk tiap perlakuan jerami dan pupuk kandang. KP Jakenan, MK 2007.
Perlakuan
JL JPk JPrPk JStPk JBioPk
Bobot jerami kering (t/ha) 5,14 5,07 5,15 5,26 5,62
+ + + + +
0,35 0,39 1,17 0,61 0,67
a a a a a
Hasil GKG k.a 14% (t/ha) 4,96 4,65 5,06 4,84 5,17
+ + + + +
0,75 A 1,03 A 0,78 A 0,87 A 0,34 A
Emisi N2O kg/ha/musim 6,72 4,98 5,23 9,18 5,41
+ + + + +
2,79 1,24 1,59 1,52 2,56
a a a a a
Niasbah emisi N2O/ hasil padi kg N2O/t GKG 1,35 1,07 1,03 1,90 1,05
Angka selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 DMRT
Kemasaman (pH) tanah memegang peranan dalam menentukan aktivitas mikroorganisme tanah dan sistem enzim yang diperlukan dalam reduksi gas N2O. Beberapa penelitian menyatakan bahwa efek pH tanah terhadap emisi N2O sangat kompleks. Menurut Bouwman (1994), proses denitrifikasi umumnya menurun pada pH kurang dari 6,0 dan menjadi tidak terdeteksi pada pH 5. Penelitian ini menunjukkan adanya pengecualian, di mana pada pH rendah fluks N2O tidak selalu rendah, bahkan lebih tinggi dari pH netral (5,5-6,5). Tanah tempat percobaan memiliki pH rendah pada kondisi kering, dan tinggi bila tergenang. Pada saat tanaman berumur 70-80 HST (fase awal pembungaan), tanah telah lama tergenang, pH tanah mencapai >6,5 (Gambar 3). Pada kondisi tersebut, gas N2O banyak terbentuk yang jumlahnya bergantung pada perlakuan, namun masih terhambat genangan air, sehingga terakumulasi di tanah. Pada saat pengisian gabah, genangan air mulai dikeringkan untuk mempercepat pemasakan gabah, yaitu pada saat tanaman berumur 92-104 HST. Akibatnya, pH tanah menurun drastis sesuai dengan sifat tanah Jakenan dan gas N2O lepas dalam jumlah yang banyak dengan nilai fluks lebih dari empat kali lipat. Hasil dan Nisbah Emisi N2O/Hasil Hasil gabah, emisi gas N2O, dan nisbah emisi gas N2O/ hari gabah untuk tiap perlakuan disajikan pada Tabel 1. Bobot jerami kering tanaman padi antarperlakuan berkisar antara 5,07-5,62 t/ha GKG, namun tidak berbeda nyata (Tabel 1). Hasil gabah berkisar antara 4,65-5,17 t/ ha (JBioPk) dan juga tidak nyata berbeda antarperlakuan. Rendahnya hasil maupun bobot jerami kering kemungkinan disebabkan oleh semua perlakuan menerima bahan organik dalam jumlah besar dan sama banyak (5 t/ha) serta mendapatkan pupuk organik dalam jumlah yang juga sama dan cukup, sehingga pertumbuhan tanaman tidak bervariasi.. Besarnya emisi gas N2O sudah banyak dibahas sebelumnya, dimana perlakuan JStPk mengemisi N2O tertinggi yaitu 9,18 kg
40
N2O/ha/musim. Perlakuan lainnya mengemisi dalam jumlah yang hampir sama besar, berkisar antara 4,986,72 kg N2O/ha/musim. Nisbah antara emisi N2O dan hasil padi akibat pemberian pupuk kandang berkisar antara 1,0-1,9 kg N2O/t GKG. Ini berarti bahwa dari setiap 1 ton gabah yang dihasilkan, teremisi gas N2O sebesar 1,0-1,9 kg/ha/musim. Perlakuan JStPk mempunyai nisbah tertinggi, sedangkan perlakuan lainnya memiliki nisbah yang hampir sama. Semakin besar nisbah gas N2O yang diemisikan, semakin rendah tingkat keramahan lingkungan sistem produksi. Emisi gas pada budi daya padi adalah hasil dari sistem yang kompleks dari proses fisiko-kimia tanah dan interaksi tanaman–mikrobia. N2O akan dilepaskan melalui tanaman padi yang merupakan lintasan pertukaran gas antara tanah dan atmosfer. Dinitrogen oksida merupakan hasil samping dari proses nitrifikasi dan denitrifikasi nitrogen dalam rizosfer tanah. Proses ini melibatkan bakteri Nitrosomonas dan Nitrobacter. Ekosistem dengan keadaan anaerobik merupakan sumber penting penghasil N2O. Walau demikian gas N2O dapat terbentuk pada kondisi aerobik dan anaerobik. Menurut Bauwman (1994), lahan pertanian memiliki variasi emisi N2O yang besar. Hal ini disebabkan oleh banyaknya peubah dan faktor yang berpengaruh terhadap emisi N2O seperti suhu, jenis dan pH tanah, ketersediaan bahan organik, aerasi, dan penggunaan pupuk. Granli dan Bockman (1994) mengemukakan bahwa N2O merupakan bentukan dari reaksi antar -N02, O3, dan NH3 pada kondisi aerobik. Proses yang dominan pada kondisi aerobik adalah nitrifikasi, sedangkan pada kondisi anaerobik adalah denitrifikasi.
KESIMPULAN 1. Pencapaian 50% total emisi N2O terjadi pada saat tanaman padi berumur 92 HST untuk perlakuan JL, JPk, dan JPrPk, lebih lambat dibanding perlakuan JStPk dan JbioPk yaitu pada 60 HST.
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 29 NO. 1 2010
2. Pemberian pupuk organik asal jerami dan kotoran sapi yang berbeda prosesnya tidak nyata pengaruhnya terhadap hasil padi maupun emisi total N2O, kecuali jerami yang difermentasi dengan starbio. 3. Kemasaman tanah (pH) tidak berpengaruh langsung terhadap besarnya emisi N2O.
UCAPAN TERIMA KASIH
measurement data. Global Biogeochem Cycles, 16:art. no.1058. Chang, C., H. H. Jansen, C. M. Cho dan E. M. Nachoecny. 1998. Nitrous oxide emission through plants. Soil Sci. Am. J. 62: 35-38. Cicerone, R.J. 1989. Analysis of sources and sink of atmospheric nitrous oxide. J. Geophys. Res. 94:18265-18271. Fagi, A.M., I.G. Ismail, dan S. K artaatmadja. 2004. Evaluasi pendahuluan kelembagaan sistem usahatani tanaman-ternak di beberapa kabupaten di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dalam Fagi, A.M., dan Hermanto (eds.). Sistem Usahatani Tanaman-Ternak. Badan Litbang Pertanian Departemen Pertanian, Jakarta.
Terima kasih disampaikan kepada Titi Sopiawati dan Jumari yang membantu pelaksanaan kegiatan di lapang dan analisis di laboratorium, kepada Prof. A. Karim Makarim dan Prof. Sumarno untuk saran dan koreksinya, serta pada Ir. J. Johari Sasa, MS (Alm) sebagai penanggung jawab kegiatan.
Granli, T. dan O.C. Bockman. 1994. Nitrous oxide from agricultural. Norwegian Journal of Agricultural Sciences, Supplement, 12:7-128.
DAFTAR PUSTAKA
Setyanto, P., Suharsih, A. Wihardjaka, dan A.K. Makarim. 1999. Pengaruh pemberian pupuk anorganik terhadap emisi metan pada lahan sawah. Risalah Seminar Hasil Penelitian Emisi Gas Rumah Kaca dan Peningkatan Produktivitas Padi di Lahan Sawah. Bogor, 24 April 1999. Puslitbangtan, Bogor: 36-43.
Bauwman, A. P., 1994. Exchange of greenhouse gases between terrestrial ecosystem and the atmosphere. Dalam Orbanus Naharia, 2002. Teknologi Pengairan dan Pengolahan tanah pada budidaya padi untuk pengurangan emisi metana dan N 2O. Disertasi Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor: 35-39. Bouwman, A. F., Boumans L.J.M., Batjes N.H., 2002. Emissions of N 2O and NO from fertilized fields: summary of available
Khalil, M.A.K,R.A. Rasmussen, M.X.Wang, and Ren.1991. Methane emission from rice fields in China. Environ.Sci Technol, 25:979-981. Mahendri, I G.A.P. dan B. Haryono. 2006. Respon ternak kerbau terhadap penggunaan pakan jerami padi fermentasi pada usaha penggemukan. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. p. 323-328.
Velthof, L.G., P.J. Kockman, and O. Oenema. 2003. Nitrous Oxide Emission from Animal Manures Applied to Soil Under Controlled Conditions. Biol Fertil Soils, 37:221-230. X. Yan. 2000. Pathways of N2O Emission from rice paddy soil. Soil Biology and Biochemistry. 32:437-440.
41