Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
PENGARUH PEMBERIAN FEED SUPLEMEN VITERNA PLUS TERHADAP PERTUMBUHAN KAMBING BOERKA YANG DIBERI Indigofera sp. SEBAGAI PAKAN BASAL (Effect of Viterna Plus as Feed Supplement on Growth of Boerka Goat Given Indigofera sp. as Basal Diet) ANTONIUS dan S.P. GINTING Loka Penelitian Kambing Potong Sei Putih, P.O. BOX 1 Galang, Sumatera Utara
ABSTRACT Indigofera sp. is a tree legume species whith high production and high nutrient content. It has potential to be used as basal feed for goats. Viterna Plus Supplement is a probiotic containing several essential amino acids, vitamins and minerals needed for growth and rumen microbial activity. The purpose of this study was to evaluate the effect of provision of Viterna Plus Supplement on growth of Boerka Goats given Indigofera sp as basal diet. Twelve Boerka goats were placed in individual cages and were randomly aranged in a randomized block design with four treatments and three groups as replication. The treatment was levels of Viterna Plus Supplement namely: 0, 6, 12 and 18 cc. The feed was offered at 4% body weight (dry matter). The diet consisted of forage (60%) and concentrate (40%). Results did not show significant differences on feed consumption, digestibility, average daily weight gain (ADG) and feed efficiency (P > 0.05). Consumption of feed dry matter ranged from 400.5 to 449.1 g, the consumption of organic matter was from 356.9 to 408.76 g, dry matter digestibility was from 72.55 to 74.06%, organic matter digestibility was from 74.25 to 76.29%, ADG was from 95.4 to 116.8 g and feed efficiency was from 0.22 to 0.27. It is concluded that granting Viterna Plus Supplements does not affect the consumption and digestibility of dry matter, organic matter, body weight gain and efficiency of the use of rations. Key Words: Indogofera sp., Viterna Plus, Boerka Goats ABSTRAK Suplemen Viterna Plus merupakan probiotik yang mengandung asam amino esensial, vitamin dan mineral. Probiotik tersebut dibutuhkan untuk memacu pertumbuhan dan aktivitas mikroba rumen. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pemberian suplemen Viterna Plus terhadap pertumbuhan kambing Boerka yang diberi Indigofera sp. sebagai pakan basal. Sebanyak 12 ekor kambing Boerka lepas sapih ditempatkan dalam kandang individu secara acak mengikuti pola rancangan acak kelompok dengan empat perlakuan dan tiga kelompok (berdasarkan berat badan) sebagai ulangan. Perlakuan yang diberikan adalah taraf pemberian suplemen Viterna Plus, yaitu 0, 6, 12 dan 18 cc/ekor/hari. Pakan (bahan kering) diberikan sebanyak 4% dari bobot hidup, dengan perbandingan hijauan dan konsentrat 60 : 40. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsumsi dan kecernaan bahan kering, bahan organik, pertambahan bobot hidup harian serta efesiensi penggunaan ransum tidak dipengaruhi oleh perlakuan pakan (P > 0,05). Konsumsi bahan kering pakan berkisar antara 400,5 – 449,1 g/ekor/ hari, konsumsi bahan organik 356,9 – 408,76 g/ekor/hari, kecernaan bahan kering 72,55 – 74,06%, kecernaan bahan organik 74,25 – 76,29%, PBHH 95,4 – 116,8 g/ekor/ hari dan efisiensi penggunaan pakan 0,22 – 0,27. Disimpulkan bahwa pemberian suplemen Viterna Plus tidak mempengaruhi konsumsi dan kecernaan bahan kering, bahan organik, pertambahan bobot hidup harian serta efesiensi penggunaan ransum. Kata kunci: Indogofera sp., Viterna plus, Kambing Boerka
PENDAHULUAN Pakan merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan usaha budidaya ternak kambing. Ketersediaan pakan yang tidak
berkesinambungan serta rendahnya kualitas pakan akan mengakibatkan kurangnya suplai nutrisi yang dibutuhkan oleh kambing untuk berproduksi secara maksimal. Akibatnya, potensi genetik untuk berproduksi menjadi
551
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
sulit tercapai. Rumput sebagai bahan pakan utama dalam budidaya kambing sering terkendala oleh rendahnya kualitas nutrien. Introduksi legumimosa, konsentrat atau feed supplement dapat mengatasi kekurangan tersebut (ELLA et al., 2004). Viterna Plus adalah suplemen pakan yang mengandung asam amino esensial, antara lain arginin, histidin, leusin dan isoleusin. Viterna Plus juga mengandung vitamin lengkap (A, C, D, E, K dan B kompleks. Selain itu, di dalam Viterna Plus juga terdapat kandungan mineral lengkap seperti N, P, K, Ca, Mg dan Cl (NASA, 2004). Indigofera sp. merupakan tanaman tropis dari jenis leguminosa pohon yang toleran terhadap kekeringan maupun salinitas, tumbuh tegak dengan tinggi mencapai 3 – 4 meter dan mampu berproduksi sekitar 15 – 20 ton/ha/tahun (HASSEN et al., 2007). Indigofera sp. memiliki keunggulan dalam hal tingginya kandungan protein (21 – 22%) serta seimbangnya kandungan Ca (0,5 – 2,0%) dan P (0,37%) (AREGHEORE, 2000). Tanaman ini belum dikembangkan secara intensif dan pemanfaatannya sebagai pakan ruminansia masih terbatas di Indonesia. Pemberian kedua bahan pakan tersebut di atas diharapkan mampu mengoptimalkan pertumbuhan kambing Boerka jantan lepas sapih. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi penggunaan Suplemen Viterna Plus dan Indigofera sp. di dalam ransum terhadap performan kambing Boerka. MATERI DAN METODE Penelitian dilakukan selama 2 bulan di kandang percobaan dan laboratorium Loka Penelitian Kambing Potong. Sebanyak 12 ekor Kambing Boerka lepas sapih (± 8,5 s/d 14,5 kg) ditempatkan dalam kandang individu secara acak mengikuti pola rancangan acak kelompok dengan empat perlakuan dan tiga kelompok (berdasarkan berat badan) sebagai ulangan. Perlakuan yang diberikan adalah taraf pemberian suplemen Viterna Plus, yaitu 0, 6, 12 dan 18 cc. Suplemen Viterna Plus diberikan kepada ternak menggunakan alat drensi gun pada pagi hari sebelum pemberian konsentrat. Jumlah pemberian pakan (dalam bahan kering) adalah sebesar 4% dari bobot hidup ternak. Pakan terdiri dari hijauan dan konsentrat dengan
552
perbandingan 60 : 40. Hijauan yang diberikan berupa daun leguminosa Indigofera sp. yang sebelumnya dilayukan selama 24 jam. Konsentrat terdiri dari dedak padi (22%), tepung jagung (24%), bungkil kelapa (50%), tepung ikan (1,5%), urea (0,5%), mineral (1%) dan garam (1%). Konsentrat diberikan setiap pagi sekitar pukul 08.00 WIB, sedangkan hijauan diberikan dua jam setelah pemberian konsentrat. Air minum disediakan secara ad libitum. Ternak dibiarkan beradaptasi dengan perlakuan pakan selama tiga minggu sebelum pengumpulan data dilkakukan. Obat anti cacing parasit (Kalbazen) diberikan kepada semua ternak percobaan sebelum perlakuan diberikan. Parameter yang diamati Parameter yang diamati adalah tingkat konsumsi, kecernaan, pertambahan bobot hidup harian (PBHH), efisiensi penggunaan pakan. Pengamatan jumlah konsumsi dilakukan setiap hari dengan cara menimbang jumlah pemberian dan sisa pakan setiap hari. Pertambahan bobot badan harian dihitung berdasarkan data bobot badan awal dan akhir penelitian. Efisiensi penggunaan pakan dihitung berdasarkan data pertambahan bobot hidup harian (PBHH) per unit bahan kering pakan yang dikonsumsi. Kecernaan zat-zat makanan ditentukan dengan metode total collection selama dua minggu setelah uji pakan dilakukan. Feses ditampung pada hari ke-10 dan ditimbang setiap hari selama lima hari berturutturut. Hasil penimbangan pakan, sisa dan feses diambil masing-masing sebanyak 10% setiap hari dan dikomposit per ternak, kemudian diambil 10% sebagai sampel untuk dianalisis. Sampel dikeringkan dalam oven pada temperatur 60°C selama 72 jam lalu digiling dengan penggiling Wiley mill dengan saringan berdiameter 1,0 mm. Analisis data Data dianalisis dengan analisa sidik ragam (SAS, 1991). Perbedaan antar perlakuan diuji dengan Uji Lanjut DMRT (Duncan’s Multiple Range Test) pada taraf 5 % (P < 0,05) (STEEL dan TORRIE, 1991).
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
Metode analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif, tabulasi silang dan analisis faktor (GOMEZ dan GOMEZ, 1984). Analisis deskriptif digunakan untuk data kualitatif, seperti data karakteristik responden dan preferensi konsumen terhadap konsumsi daging, susu dan telur. Data kualitatif tersebut disajikan dalam bentuk uraian dan tabulasi sederhana untuk mengetahui gambaran umum dari karakteristik responden dan preferensi responden dalam membeli dan mengkonsumsi produk. Sedangkan analisis tabulasi silang digunakan untuk mengetahui beberapa hal yang mempengaruhi tingkat preferensi konsumen dalam membeli dan mengkonsumsi daging, susu dan telur. Selanjutnya analisis faktor digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi responden dalam membeli dan mengkonsumsi daging, susu dan telur. Analisis faktor tersebut digunakan untuk mereduksi data, yaitu meringkas sejumlah variabel menjadi lebih sedikit dan menamakannya sebagai faktor (SANTOSO dan TJIPTONO, 2001). Untuk melakukan analisis faktor ini digunakan software atau program komputer SPSS (Statistical Package for Social Science) versi 12.0, dengan tahapan sebagai berikut: (a) memilih variabel yang layak dimasukkan dalam analisis faktor, yaitu melalui pengelompokan sejumlah variabel yang mempunyai korelasi cukup kuat menjadi
beberapa faktor, sedangkan variabel yang berkorelasi lemah akan dikeluarkan; (b) melakukan “ekstraksi” pada sejumlah variabel terpilih sehingga menjadi satu atau beberapa faktor; (c) melakukan “proses rotasi” untuk memperjelas apakah faktor yang terbentuk sudah secara signifikan berbeda dengan faktor lain dan (d) memberi nama pada faktor yang sudah terbentuk. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh taraf pemberiaan suplemen Viterna Plus terhadap konsumsi bahan kering disajikan pada Tabel 1. Rataan konsumsi bahan kering pakan adalah berturut-turut 430,6; 445,3; 449,1 dan 400,5 g/ekor/hari untuk perlakuan 0; 6; 12 dan 18 cc suplemen Viterna Plus. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa konsumsi bahan kering pakan tidak dipengaruhi oleh perlakuan taraf pemberiaan suplemen Viterna Plus (P > 0,05). Walaupun secara numerik terlihat bahwa tingkat konsumsi bahan kering pada kambing yang diberi 6 cc dan 12 cc suplemen Viterna Plus cenderung lebih tinggi 14,7 unit (3,41%) dan 18,5 unit (4,3%) dibandingkan dengan kambing yang tidak diberi suplemen Viterna Plus, namun peningkatan jumlah pemberian suplemen Viterna Plus menjadi 18 cc menurunkan tingkat konsumsi sebesar 7% (30,1 unit).
Tabel 1. Pengaruh perlakuan terhadap konsumsi bahan kering dan bahan organik pakan Uraian
Perlakuan pakan R0
R1
R2
R3
Indigofera sp.
257,9
Konsentrat
172,7
264,3
266
230,3
181
183,1
170,2
a
400,5a
Konsumsi bahan kering (g/ekor/hari)
Total konsumsi Konsumsi bahan kering (% BH)
430,6
a
445,3
a
449,1
3,77
3,74
3,73
3,58
Indigofera sp.
230,19
239,97
241,57
202.65
Konsentrat
158,83
165,31
167,19
154.25
a
a
a
356,9a
Konsumsi bahan organik (g/ekor/hari)
Total konsumsi
389,02
405,28
408,76
BH: Bobot hidup; R0: perlakuan tanpa pemberian suplemen Viterna Plus; R1: perlakuan pemberian 6 cc suplemen Viterna Plus; R2: perlakuan pemberian 12 cc suplemen Viterna Plus; R3: perlakuan pemberian 18 cc suplemen Viterna Plus; Superskrip huruf yang sama dalam satu baris yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (P > 0,05)
553
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
Peningkatan konsumsi bahan kering pakan pada kambing yang diberi sebanyak 6 dan 12 cc suplemen Viterna Plus diduga terjadi karena kandungan nutrien yang terdapat di dalam suplemen Viterna Plus. Asam amino dan mineral dalam suplemen tersebut merupakan nutrisi yang dapat mendukung perkembangan mikroba rumen. Dengan demikian, kemampuan mikroba rumen untuk mencerna pakan menjadi optimal, sehingga tingkat konsumsi juga meningkat (VAN HOUTERT et al., 1990; SITORUS, 1996; KUSWANDI et al., 2000; SOEPRANIANONDO, 2005; ZEMBAYASHI, 1974; DJAJANEGARA et al., 1996; GRACE et al., 1998 dan SUPRIYATI et al., 2000). Menurunnya taraf konsumsi pakan pada kambing yang diberi 18 cc suplemen Viterna Plus diduga disebabkan oleh meningkatnya asam amino di dalam darah. Walaupun kadar asam amino darah tidak dievaluasi dalam penelitian ini, namun menurut HAPPER (1977) konsumsi protein yang tinggi akan cepat menimbulkan sensasi kenyang sebagai akibat meningkatnya kadar asam amino di dalam plasma darah. Indigofera sp. sebagai pakan dasar merupakan bahan pakan yang memiliki kandungan protein yang tinggi yaitu sekitar 21 – 22% bahan kering (AREGHEORE, 2000). Suplemen Viterna Plus mengandung asamasam amino esensial berupa arginin, histidin, leusin dan isoleusin (NASA, 2004). Kondisi inilah yang kemudian di duga menyebabkan terjadinya peningkatan kadar asam amino di dalam darah, sehingga memberikan stimulan kepada hipotalamus untuk memberikan sensasi kenyang. SAYUTI (1989) menambahkan bahwa gangguan terhadap selera makan selain disebabkan oleh kelebihan asam amino, dapat pula terjadi karena ketidak seimbangan asam amino. Konsumsi bahan kering pada penelitian ini adalah sebesar 3,58 – 3,77 % bobot hidup, relatif sebanding dengan rekomendasi DEVENDRA dan BURNS (1994) sebesar 3 – 5% serta PETERSON (2005) sebesar 3 – 3,8% dan angka tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan rekomendasi NRC (1995) sebesar 2 – 3 % dan dari bobot hidup. Rataan konsumsi bahan organik adalah 389,02; 405,28; 408,76 dan 356,9 g/ekor/ hari berturut-turut untuk perlakuan R0, R1, R2 dan R3. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa konsumsi bahan organik pakan tidak
554
dipengaruhi oleh taraf pemberiaan suplemen Viterna Plus (P > 0,05). Tidak adanya perbedaan yang nyata terhadap konsumsi bahan organik disebabkan karena taraf pemberian suplemen Viterna Plus juga tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap konsumsi bahan kering yang sebagian besar terdiri dari bahan organik (MCDONALD et al., 2002). Nilai koefisien cerna bahan kering sebagaimana disajikan pada Tabel 2 adalah sebesar 73,05; 72,55; 74,04 dan 74,06%, sedangkan rataan kecernaan bahan organik adalah 74,25; 74,35; 75,36 dan 76,29% berturut-turut untuk perlakuan 0, 6, 12 dan 18 cc suplemen Viterna Plus. Kecernaan pakan dalam penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan yang dilaporkan TARIGAN (2009) yang menggunakan Indigofera sp. segar sebagai sumber hijauan, yaitu 43,92 – 59,04% untuk kecernaan bahan kering dan 46,99 – 61,67%. Tabel 2. Perlakuan terhadap kecernaan kering dan bahan organik pakan Uraian
bahan
Perlakuan pakan R0
R1
R2
R3
Kecernaan bahan kering (%)
73,05a
72,55a
74,04a
74,06a
Kecernaan bahan organik (%)
74,25a
74,35a
75,36a
76,29a
R0: perlakuan tanpa pemberian suplemen Viterna Plus; R1: perlakuan pemberian 6 cc suplemen Viterna Plus; R2: perlakuan pemberian 12 cc suplemen Viterna Plus; R3: perlakuan pemberian 18 cc suplemen Viterna Plus; Superskrip huruf yang sama dalam satu baris yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (P > 0,05)
untuk kecernaan bahan organik. Relatif lebih tingginya kecernaan yang diperoleh pada penelitian ini diduga terjadi karena perlakuan pelayuan Indigofera sp. dan pemberian suplemen Viterna Plus. Proses pelayuan dilaporkan dapat menurunkan kandungan fenolik, tannin dan indospicine pada Indigofera sp. (GINTING, komunikasi pribadi). Kandungan tannin pada Indigofera sp. adalah sebesar 9.35 – 10,43% (OLOGHOBO, 2009) yang dapat berikatan dengan protein mukosa usus dan sangat mempengaruhi penyerapan nutrien
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
(BUTLER dan ROGLER, 1992). Indospicine membentuk ikatan dengan mimosin berupa ikatan hepatotoxic yang dapat merusak fungsi hati pada domba, kambing dan sapi (ROSENTHAL, 1982). HEGARTY (1968) mengisolasi indospicine pada Indigofera endecaphylla dan melaporkan bahwa kandungan indospicine pada tanaman indigofera cukup tinggi. Selain proses pelayuan, kandungan nutrien di dalam suplemen Viterna Plus diduga memiliki peran penting untuk menurunkan efek toksik dari senyawa fenolik, tanin dan indospicine. suplemen Viterna Plus mengandung asam amino esensial, vitamin dan mineral yang dibutuhkan oleh mikroba rumen. Ketersediaan nutrien ini memungkinkan mikroba rumen untuk mengoptimalkan kinerjanya dalam mencerna pakan, sehingga diduga terjadi penguraian senyawa fenolik, tanin dan indospicine. Rataan PBHH selama penelitian berkisar antara 95,4 – 116,8 g/ekor/ hari (Tabel 3). Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa pengaruh perlakuan terhadap PBHH adalah tidak berbeda nyata (P > 0,05). Tidak terdapatnya perbedaan yang nyata terhadap PBHH dapat disebabkan oleh tingkat konsumsi bahan kering dan bahan organik dan kecernaan Tabel 3. Pengaruh perlakuan terhadap PBHH dan efisiensi penggunan pakan Uraian
Perlakuan pakan R0
R1
R2
R3
Bobot Hidup Awal (kg)
11,43
11,9
12,03
11,2
Bobot Akhir (kg)
15,75
15,83
15,63
14,73
a
116,8
a
106,2
97,3
a
95,4
a
a
a
0,22
a
0,24
a
PBHH (g/ekor/hari) Efisiensi pakan
pakan pada setiap perlakuan yang tidak berbeda (P > 0,05). PBHH merupakan suatu refleksi dari akumulasi konsumsi, fermentasi, metabolisme dan penyerapan zat-zat makanan di dalam tubuh ternak (ANTONIUS, 2009). Pertambahan bobot hidup harian pada penelitian ini lebih baik dari hasil penelitian yang dilaporkan oleh TARIGAN (2009) dan SIMANIHURUK (2009) yang menggunakan Indigofera sp. segar sebagai pakan basal, yaitu sebesar 39,37 – 52,38 dan 40,71 – 44,29 g/ekor/ hari. Efisiensi penggunaan pakan merupakan rasio antara pertambahan bobot hidup harian dengan jumlah bahan kering pakan yang dikonsumsi (TILMAN et al., 1998). Khususnya pada ternak ruminansia, efisiensi penggunaan pakan dipengaruhi oleh kualitas dan nilai biologis pakan, besarnya pertambahan bobot hidup harian dan nilai kecernaan pakan tersebut. Tidak terdapatnya perbedaan yang nyata (P > 0,05) antar perlakuan terhadap efisiensi penggunaan pakan merupakan akibat dari PBHH, konsumsi dan kecernaan pakan yang relatif sama antar perlakuan. Melihat data konsumsi, kecernaan, PBHH dan efisiensi pakan tersebut di atas, maka dapat dinyatakan bahwa pemberian pakan berupa Indigofera sp. yang sudah dilayukan selama 24 jam dan konsentrat sudah mampu memenuhi kebutuhan nutrisi kambing. Oleh karena itu, pemberian suplemen Viterna Plus tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap performan kambing percobaan. Diduga bahwa suplemen tersebut akan efektif bila diberikan kepada ternak yang mendapatkan pakan yang berkualitas rendah. KESIMPULAN
0,27
0,24
PBHH (Pertambahan Bobot Hidup Harian); R0 (perlakuan tanpa pemberian suplemen Viterna Plus); R1 (perlakuan pemberian 6 cc suplemen Viterna Plus); R2 (perlakuan pemberian 12 cc suplemen Viterna Plus); R3 (perlakuan pemberian 18 cc suplemen Viterna Plus); Superskrip huruf yang sama dalam satu baris yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (P > 0,05).
Penggunaan suplemen Viterna Plus pada kambing fase tumbuh yang diberi pakan basal Indigofera sp. dan pakan konsentrat tidak meningkatkan konsumsi, kecernaan, PBHH dan efisiensi penggunaan pakan. Konsumsi bahan kering pakan berkisar antara 400,5 – 449,1 g/ekor/hari, konsumsi bahan organik 356,9 – 408,76 g/ekor/hari, kecernaan bahan kering 72,55 – 74,06%, kecernaan bahan organik 74,25 – 76,29%, PBHH 95,4 – 116,8 g/ekor/hari dan efisiensi penggunaan pakan 0,22 – 0,27.
555
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
DAFTAR PUSTAKA ANTONIUS. 2009. Pemanfaatan jerami padi fermentasi sebagai subtitusi rumput Gajah dalam ransum sapi. JITV 14(4): 8 – 16. AOAC. 1991. Official Methods of Analysis. Association of Official Analytical Chemists. Arlington, Virginia, USA. AREGHEORE, E.M. 2000. Chemical composition and nutritive value of some tropical by-product feedstuffs for small ruminants- in vivo and in vitro digestibility. Anim. Feed Sci. Technol. 85: 99 – 109. BUTLER, L.G. and J.C. ROGLER. 1992. Biochemical mechanism of the antinutritional effects of tannins. In: Phenolic Compound in Food and Their Effects on Health I. CHI-TANG H., Y.L. CHANG and H. MOU-TUAN (Eds.). American Chem. Soc. Washington D.C. pp. 298 – 304. DEVENDRA, C. and M. BURNS. 1994. Produksi Kambing di Daerah Tropis. Penerjemah: PUTRA, H. Institut Teknologi Bandung dan Universitas Udayana. DJAJANEGARA, A. dan A. PRABOWO. 1996. Pencernaan in vitro bahan pakan berserat oleh mikroba organisme rumen dengan berbagai tingkat penambahan mineral seng. Ringkasan Seminar Nasional I Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak. Bogor 3 – 4 Juli 1996. hlm. 88. ELLA, A., D. PASAMBE dan A.B. LOMPENGENG. 2004. Pengaruh perbaikan pakan melalui suplementasi UMB terhadap bobot badan Kambing PE lepas sapih. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004. Bogor, 4 – 5 Agustus 2004. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 416 – 420. GOERING, H.K. and P.J. VAN SOEST. 1970. Forage Fiber Analyses (Apparatus, Reagents, Procedures and Some Application). Agric. Handbook 379. ARS. USDA Washington D.C. GRACE, N.D., J.R. ROVNCE, S.O. KNOWLES and J. LEE. 1997. Changing dietary Sintake and the Cu status of grazing lambs. New Zealand J. Agric. Res. 40(3): 329 – 334. HARPER, H.A., V.W. RODWELL and P.A. MAYS. 1977. Biochemistry (Review of Physiological Chemistry) 17th Ed. Drawer 1. Los Atlas, California 74022.
556
HASSEN, A, N.F.G. RETHMAN, VAN NIEKERK and TJ. TJELELE 2007. Influence of Season/year and Species on Chemical Composition and In Vitro Digestibility of Five Indigofera accessions. J. Anim. Feed Sci. Technol. 136: 312 – 322. HEGARTY, M.P. and A.W. POUND. 1968. Indospicine a New Hepatotoxic Amino Acid from Indigofera spicata. J Aust. Agric. Res. 217: 354 – 355. KEARL, L.C. 1982. Nutrient Requirements of Ruminants in Developing Countries. IF I, Utah, Agric. Exp. Sta. Utah State University, Logan, Utah. KUSWANDI, M. MARTAWIDJAJA, Z. MUHAMMAD, B. SETIADI dan D.B. WIYONO. 2000. Penggunaan N mudah tersedia pada pakan basal rumput lapangan pada kambing lepas sapih. JITV 5(4): 219 – 223. MCDONALD, P., R.A. EDWARDS, J.F.D. GREENHALGH and C.A. MORGAN. 2002. Animal Nutrition 6th Ed. Prentice Hall, London. NASA. 2004. Panduan Produk Viterna. Edisi 2. PT Natural Nusantara, Jogjakarta. NRC (NUTRIENT REQUIREMENT OF GOATS). 1995. National Academy Press, Washington DC. OLOGHOBO, A.D. 2009. Mineral and antinutritional contents of forage legumes consumed in Nigeria. http://www.fao.org/Wairdocs/ILRI/ htm (2 Juli 2009). PETERSON, P.R. 2005. Forage for Goat Production. Blacksburg. Dept. Virginia Tech. University. ROSENTHAL, G.A. 1982. Plant Nonprotein Amino and Imino Acids. Academic Press, New York and London. SAS. 1991. SAS User’s Guide: Statistics. SAS Institute.Inc., Cary N.C., USA. SAYUTI, N. 1989. Ruminologi. Fakultas Peternakan Universitas Andalas, Padang. SIMANIHURUK, K. dan J. SIRAIT. 2009. Pemanfaatan leguminosa pohon Indigofera sp. Sebagai pakan basal kambing boerka fase pertumbuhan. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009. Bogor, 13 – 14 Agustus 2009. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 449 – 454.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
SITORUS, S.S. 1996. Pemberian suplemen daun lamtoro pada kambing yang mendapat jerami sebagai ransum pokok. Ilmu dan Peternakan 2: 95 – 98. SOEPRANIANONDO, K. 2005. Dampak isi rumen sapi sebagai substitusi rumput Raja terhadap produk metabolit pada kambing peranakan Ettawa. Media Kedokteran Hewan 21(2): 94 – 96. STEEL, R.G.D. dan J.H. TORRIE. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistika. Suatu Pendekatan Biometrik Penerjemah: SUMANTRI, B. Ed.-2. PT Gramedia, Jakarta. SUPRIYATI, D. YULISTIANI, E. WINA, H. HAMID dan B. HARYANTO. 2000. Pengaruh suplementasi Zn, Cu dan Mo anorganik dan organik terhadap kecernaan rumput secara in vitro. JITV 5(1): 276 – 278.
TARIGAN, A. Produktivitas dan Pemanfaatan Indigofera sp. 2009. Sebagai Pakan Ternak Kambing pada Interval dan Intensitas Pemotongan Berbeda. Thesis. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. TILLMAN, D.A., H. HARTADI, S. REKSOHADIPRODJO, S. PRAWIROKUSUMO dan S. LEBDOSOEKOTJO. 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Cetakan ke-5, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. VAN
HOUTERT, M.F.J., H.B. FERDOCK and R.A. LENG. 1990. Factors effecting food efficiency and milk yield of cows offered straw-based diets. Animal Production 51 : 321-332.
ZEMBAYASHI, M. 1974. Studies on The Effects of Mineral on The Activities of Rumen Microorganism. Thesis. Kyoto University.
557