387
Pengaruh intensitas pencahayaan pada pemeliharaan larva kepiting ...
PENGARUH INTENSITAS PENCAHAYA AN PADA PEMELIHARA AN L ARVA KEPITING BAKAU, Scylla paramamosain Gunarto, Aan Fibro Widodo, dan Herlinah Jompa Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau Jl. Makmur Dg. Sitakka No. 129, Maros 90512, Sulawesi Selatan E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Penelitian dilakukan di panti benih kepiting di Instalasi Tambak Penelitian Marana, BRPBAP Maros. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh intensitas pencahayaan pada sintasan dan perkembangan larva kepiting bakau Scylla paramamosain. Larva yang baru menetas ditebar dalam enam bak fiberglas kerucut yang masing-masing diisi air payau salinitas 30 ppt sebanyak 250 L/bak dengan padat tebar 100 ind./L. penelitian didesain dengan Rancangan Acak Lengkap, tiga perlakuan dan masing-masing perlakuan dengan dua ulangan. Tiga perlakuan intensitas pencahayaan tersebut yaitu: A = tanpa penambahan pencahayaan dari lampu bohlam ( intensitas cahaya 44-52 luks meter) = kontrol; B = penambahan pencahayaan dengan satu lampu bohlam 15 watt ( intensitas cahaya 6 – 72 luks meter) dan C = penambahan pencahayaan dengan dua lampu bohlam masing-masing 15 watt ( intensitas cahaya 82 – 86 luks meter). Monitoring terhadap sintasan larva dilakukan setiap tiga hari sekali dengan cara mengambil sampel air sebanyak 200 mL beberapa kali dan dihitung populasi larva yang ada kemudian hasil rata-ratanya dikonversi ke kepadatan larva/L. Di samping itu, perkembangan jumlah megalopa dimonitor pada masing-masing perlakuan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sintasan larva paling tinggi hingga hari ke 17 menjelang menjadi megalopa dijumpai pada perlakuan A = 42,5±3,5 ekor/L; kemudian diikuti oleh perlakuan C = 37,5±10,6 ekor/L dan B = 37,5±3,5 ekor/L. Analisis statistik menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (P >0,05) di antara ketiga perlakuan. Jumlah megalopa yang paling banyak berhasil dipanen di perlakuan C = 754,5±260,9 ekor/250 L/bak, kemudian diikuti perlakuan A = 725±233,3 ekor/250 L/bak dan yang terendah perlakuan B = 471±29,6 ekor/250 L/bak, namun ketiganya secara statistik menunjukkan perbedaan yang tidak (P >0,05). KATA KUNCI: larva kepiting bakau S. paramamosain, intensitas cahaya, sintasan, megalopa
PENDAHULUAN Nilai ekonomis kepiting bakau cukup tinggi dan kebutuhannya di pasar dalam dan luar negeri terus meningkat setiap tahunnya, menyebabkan kepiting bakau banyak diburu dan ditangkap dari alam. Oleh karena itu dalam upaya pelestarian sumberdaya kepiting dan meningkatkan produksinya, maka budidaya pembenihan dan pembesaran kepiting bakau harus segera dikembangkan. Pada saat ini budidaya pembesaran kepiting bakau hanya berlangsung di tambak dekat daerah penghasil kepiting bakau secara alami, misalnya di pertambakan di daerah muara sungai Cenranae Kabupaten Bone Sulawesi Selatan. Teknologi perbenihan kepiting bakau yang telah ada belum dikuasai secara penuh, namun perkembangannya dalam beberapa tahun terakhir telah menunjukkan kemajuan. Walaupun demikian budidaya pembesaran kepiting bakau di tambak hingga kini belum berkembang. Hal ini karena terbatasnya benih kepiting yang ada terutama dari alam dan terasa semakin lama produksi benih alam semakin menurun akibat kerusakan habitatnya dan over fishing (tangkap lebih) di beberapa daerah penghasil kepiting bakau. Oleh karena itu, teknologi produksi benih kepiting secara massal harus segera dikuasai. Aspek yang sulit dalam pembenihan kepiting bakau adalah pemeliharaan larva hingga menjadi megalopa. Periode kritis pada larva ikan adalah pada saat peralihan sumber nutrisi dari dalam (endogenous) yang berupa kuning telur (yolk) dan butir minyak (oil globule) ke nutrisi dari luar (Imai, 1980). Selanjutnya Battaglene et al. (1994) menyatakan bahwa sintasan larva ikan pengaruhi oleh
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2011
388
faktor nutrisi, ukuran makanan, kepadatan makanan, kelengkapan nutrisi pakan dan kondisi pemeliharaan larva (intensitas cahaya, suhu, salinitas, pH, oksigen terlarut). Hal tersebut kemungkinan juga berlaku pada larva kepiting bakau. Literatur yang membahas mengenai intensitas pencahayaan pada pemeliharaan larva kepiting bakau masih kurang. Pada umumnya larva dekapoda mampu makan pada kondisi gelap, ini mengindikasikan bahwa larva tersebut tidak banyak membutuhkan pencahayaan untuk mencari makan, tetapi menurut Minagawa, (1994); Gardner dan Miguire, (1998) menyatakan bahwa pencahayaan merupakan faktor abiotik yang penting dalam mempengaruhi perkembangan larva termasuk berenang, tingkah laku makan, dan pertumbuhan. Sebetulnya larva krustase dekapoda tidak mutlak memerlukan cahaya untuk mendeteksi pakannya, tetapi dengan adanya cahaya maka akan menjadi efisien dalam memanfaatkan pakan (Rabbani & Zeng, 2005). Gunarto et al. (2011) pada penelitian pendahuluan tentang pengaruh intensitas pencahayaan pada pemeliharaan larva kepiting bakau S. olivacea mendapatkan bahwa pada intensitas pencahayaan 20 luks meter (18 jam terang dan 6 jam gelap) periode stadia larva lebih singkat dan jumlah megalopa yang diperoleh lebih banyak dari pada apabila larva dipelihara dengan intensitas pencahayaan 15 luks meter (18 jam terang dan 6 jam gelap). Pada rajungan, Portunus pelagicus perkembangan larva hingga menjadi megalopa paling cepat dalam waktu 8 hari dicapai pada periode pencahayaan selama 18 jam dan periode gelap selama 6 jam dalam setiap 24 jam (Andres et al., 2010). Pada penelitian ini ditelaah pengaruh intensitas pencahayaan yang lebih tinggi (44-86 luks meter). pada pemeliharaan larva kepiting bakau, S. paramamosain agar periode larva menjadi megalopa lebih singkat, begitu juga diharapkan terjadi sinkronisasi/serentak pada periode larva menjadi megalopa. BAHAN DAN METODE Penelitian dilakukan untuk mengetahui pengaruh intensitas pencahayaan terhadap sintasan dan perkembangan larva menjadi megalopa. Zoea-1 kepiting bakau S. paramamosain yang baru menetas dipelihara menggunakan bak fiberglass kerucut volume 300 L, diisi air payau salinitas 30 ppt sebanyak 250 L. Air yang digunakan sebelumnya disaring dengan saringan membran (membrane filter) dan disinari dengan sinar ultraviolet (UV). Padat tebar zoea-1 adalah 100 ind./L. Pakan larva adalah rotifer dipertahankan pada kepadatan 20 ind./mL dan setelah masuk ke stadia Zoea-3, selain rotifer juga ditambahkan naupli artemia sebanyak 2-5 individu/mL. Penelitian uji intensitas pencahayaan dilakukan dengan tiga perlakuan yaitu; perlakuan A:= tanpa penambahan pencahayaan dengan lampu bohlam 15 watt = kontrol (44-52 luks meter); B = penambahan pencahayaan dengan satu lampu bohlam 15 watt ( 66-72 luks meter) dipasang diatas permukaan air di bak pemeliharaan larva dan C = penambahan pencahayaan dengan dua lampu bohlam masing-masing 15 watt ( 82-86 luks meter) dipasang diatas permukaan air di bak pemeliharaan larva. Pengukuran intensitas pencahayaan dilakukan menggunakan alat luks meter dengan cara elektroda dimasukkan di dalam air pemeliharaan larva yang telah ditambahkan pencahayaan dengan lampu bohlam. Posisi elektroda tepat dibagian tengah pada kedalaman 5 cm dari permukaan air. Masing-masing perlakuan dengan dua ulangan. Penambahan pencahayaan dengan lampu bohlam di perlakuan B dan C, diatur secara otomatis dengan saklar dimana dalam setiap 24 jam lampu bohlam akan menyala selama 18 jam dan padam selama 6 jam. Demikian seterusnya hingga larva mencapai megalopa. Pengamatan dilakukan terhadap sintasan zoea setiap tiga hari sekali dengan cara mengambil air sebanyak 200 mL sebanyak tiga hingga empat kali di setiap bak, kemudian dihitung kepadatan larva/200 mL, selanjutnya hasilnya dikonversi ke rata-rata kepadatan larva/L. Disamping itu juga dimonitor perkembangan jumlah megalopa yang dihasilkan dan kualitas air terutama amoniak, nitrit dan fosfat dari masing-masing perlakuan. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisa Varians pola Rancangan Acak Lengkap. Sebagai alat bantu untuk melaksanakan uji statistik tersebut digunakan paket program SPSS (Statical Product Service Solution). HASIL DAN BAHASAN Masa kritis pemeliharaan larva kepiting bakau adalah pada hari ke empat, karena setelah hari ke empat pakan cadangan pada larva kepiting telah habis, sehingga larva harus mendapatkan pakan
389
Pengaruh intensitas pencahayaan pada pemeliharaan larva kepiting ...
dari luar dengan cara makan makanan yang disediakan. Biasanya populasinya akan menurun tajam atau mati secara keseluruhan apabila pakan yang disediakan berupa rotifer ukurannya tidak cocok dengan lebar mulut zoea-1 kepiting bakau. Pada penelitian ini ukuran rotifer yang diberikan ke zoea-1 sekitar 30 mikron. Apabila larva kepiting terbebas dari serangan protozoa dan jamur, maka populasi larva yang dipelihara akan stabil setelah hari keempat. Hal ini mengindikasikan bahwa rotifer yang disediakan dimakan oleh larva kepiting tersebut. Selama ini pakan larva kepiting yang diberikan berupa nauplius rotifera dengan populasi 20 ind./mL. Pengelolaan larva agar tidak terserang jamur dan protozoa sangat penting untuk langkah keberhasilan pemeliharaan larva kepiting bakau. Untuk hal tersebut harus diawali sejak masa pengeraman, dimana induk setelah memijah harus segera dipisahkan secara tersendiri dan disterilkan dengan larutan formalin 200 mg/L selama 5 menit, sebelum masuk ke wadah pengeraman. Setelah larva menetas hanya larva yang lincah berenangrenang di permukaan air yang digunakan untuk penelitian/dibudidayakan. Perkembangan populasi larva pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1. Nampak bahwa hingga hari ke-13 pada stadia zoea-5 menjelang menjadi megalopa, perlakuan yang tidak menggunakan penambahan lampu, populasi larva kepiting bakau paling tinggi (42 ind./L), sedang pada perlakuan yang menggunakan penambahan lampu 15 watt satu unit, perlakuan B (37 ind./L ) dan penambahan lampu 15 watt sebanyak dua unit, perlakuan C (37 ind/L), populasi larvanya lebih rendah. Namun demikian secara statistik populasi larva di antara ketiga perlakuan tersebut menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (P >0,05). Penelitian sebelumnya untuk melihat pengaruh intensitas pencahayaan pada pemeliharaan larva kepiting bakau S. olivacea menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan pada pencahayaan 20 luks (menggunakan penambahan lampu 5 watt sebanyak 2 unit) dijumpai zoea-5 lebih cepat ganti kulit menjadi megalopa dan jumlahnya lebih banyak dari pada perlakuan yang menggunakan penambahan hanya satu lampu 5 watt (17 Luks) dan
Gambar 1. Sintasan larva kepiting bakau S. paramamosain hingga menjelang menjadi megalopa dengan intensitas pencahayaan berbeda tanpa penambahan lampu (15 Luks) untuk pencahayaan pada pemeliharaan larva kepiting bakau (Gunarto et al, 2011). Pada penelitian ini larva S. paramamosain dari stadia zoea-5 menjadi stadia megalopa hanya dibutuhkan waktu enam hari di semua perlakuan. Stadia megalopa terjadi lebih simultan/bersamaan, karena hanya dibutuhkan waktu dua hari dari awal mulai muncul megalopa hingga hampir 100% zoea-5 menjadi megalopa. Hal ini berbeda yang terjadi pada S. olivacea dengan pencahayaan 15-21 Luks, dimana waktu yang diperlukan adalah 7 hari dari stadia zoea-5 hingga mulai munculnya megalopa. Stadia megalopa terjadi tidak secara sinkron dalam populasi larva di setiap perlakuan,
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2011
390
tetapi sedikit demi sedikit dan diperlukan waktu hingga lima hari untuk secara keseluruhan zoea-5 di bak berkembang menjadi megalopa. Dari kenyataan ini kemungkinan intensitas pencahayaan pada S. olivacea terlalu rendah (15-21 Luks meter = lampu bohlam 5 watt sebanyak 1 hingga 2 unit). sehingga stadia megalopa terjadi tidak secara sinkron. Sedangkan untuk larva S. paramamosain menggunakan intensitas pencahayaan lebih tinggi (44-88 Luks meter) dan stadia megalopa terjadi secara sinkron di semua perlakuan. Hal ini mengindikasikan bahwa untuk terjadinya stadia megalopa secara sinkron, maka intensitas pencahayaan harus > 40 Luks meter seperti yang terjadi pada larva S. paramamosain pada penelitian ini. Faktor pencahayaan yang cukup berpengaruh terhadap kegiatan larva untuk mempermudah mendapatkan makanannya, sehingga akan tumbuh optimum dan akhirnya zoea-5 akan serentak ganti kulit menjadi megalopa. Hal ini berbeda dengan yang dijumpai pada S. olivacea, intensitas pencahayaan yang diuji rendah yaitu hanya pada kisaran 15-21 Luks meter. Oleh karena itu, intensitas pencahayaan nampak berpengaruh terhadap percepatan ganti kulit menjadi megalopa. Hal ini terbukti pada hari pertama paling banyak dijumpai megalopa adalah pada perlakuan pencahayaan 21 Luks (114 ind megalopa), sedangkan pencahayaan 17 Luks (5 ind. megalopa) dan pada pencahayaan 15 Luks (11 ind. megalopa). Pada hari kedua perlakuan pencahayaan 21 Luks (146 ind. megalopa), sedangkan pencahayaan 17 Luks (154 ind. megalopa) dan pada pencahayaan 15 Luks (120 ind. megalopa). Pada hari ketiga perlakuan pencahayaan 21 Luks (412 ind megalopa), sedangkan pencahayaan 17 Luks (185 ind. megalopa) dan pada pencahayaan 15 Luks (70 ind. megalopa). Pada hari keempat perlakuan pencahayaan 21 Luks (23 ind. megalopa), sedangkan pencahayaan 17 Luks (150 ind. megalopa) dan pada pencahayaan 15 Luks (30 ind. megalopa). Pada hari kelima perlakuan pencahayaan 21 Luks (164 ind. megalopa), sedangkan pencahayaan 17 Luks (261 ind.megalopa) dan pada pencahayaan 15 Luks (342 ind. megalopa), (Gunarto et al., 2011). Kepadatan larva pada stadia zoea-1 adalah 100 ekor/L. Menurut Andres et al. (2010), bahwa respon pencahayaan adalah tergantung spesies, pada kepiting katak, Ranina ranina, sintasan larva lebih rendah pada pemeliharaan dengan kondisi gelap selama 24 jam atau terang selama 24 jam dibanding apabila 12 jam terang dan 12 jam gelap. Selanjutnya pada kepiting Pseudocarcinus gigas, Sesarma reticulatum dan lobster Jasus edwarsii, sintasan larva tidak terpengaruh oleh pencahayaan. Pada Portunus pelagicus meningkatnya waktu pencahayaan dalam tempo 24 jam akan mempersingkat waktu yang diperlukan untuk perkembangan larva menjadi megalopa, sebaliknya menurunnya lama waktu pencahayaan akan memperlambat secara signifikan pada perkembangan larva menjadi megalopa. Populasi megalopa yang diperoleh dari setiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 1. Nampak bahwa jumlah terbanyak megalopa diperoleh dari perlakuan C (82-86 Luks) yaitu 754±260,90 ind./ bak, kemudian disusul oleh perlakuan A (44-52 Luks) sebanyak 725±233,34 ind./bak dan yang terendah
Tabel 1. Pengaruh perbedaan intensitas pencahayaan terhadap jumlah megalopa yang dihasilkan
Perlakuan Intensitas pencahayaan (luks meter)
Periode pencahayaan/24 jam
Periode larva hingga mencapai megalopa (hari)
Jumlah megalopa yang dipanen per bak fiberglas
A = (44 – 52 luks) B = (66 – 72 luks) C = (82 – 86 luks)
18 jam nyala 6 jam gelap 18 jam nyala 6 jam gelap 18 jam nyala 6 jam gelap
14 - 15 14 - 15 14 - 15
725 + 233,34 471 + 29,69 754 + 260,90
adalah perlakuan B (66-72 Luks) sebanyak 471±29,69 ind./bak. Uji statistik terhadap jumlah megalopa yang dihasilkan dari ketiga perlakuan tersebut menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (P>0,05). Dari jumlah megalopa yang berhasil dipanen di setiap perlakuan, nampak masih rendah. Hal ini akibat banyak megalopa yang lemah kemudian mengalami kematian di bak sebelum dipanen. Pengamatan terhadap kualitas air menunjukkan konsentrasi amoniak, nitrit dan bakteri Vibrio sp. yang tinggi di semua perlakuan (Tabel 2). Konsentrasi amoniak di bak pemeliharaan zoea-5 masing-
391
Pengaruh intensitas pencahayaan pada pemeliharaan larva kepiting ...
masing pada kisaran 3,71-6,21 mg/L (A), 4,20-5,57 mg/L (B), 2,42-6,47 mg/L (C) dan nitrit pada kisaran 3,03-3,46 mg/L (A), 2,61-3,45 mg/L (B), 1,82-4,72 mg/L C). Tingginya konsentrasi amoniak dan nitrit kemungkinan disebabkan oleh pembusukan bahan organik yang berasal dari rotifer, artemia, dan larva yang mati juga berasal dari kulit artemia, sisa pakan flek yang diberikan ke zoea-5 yang terurai akibat aktifitas mikroorganisme. Sebetulnya penggantian air media pemeliharaan larva sebanyak 20% rutin dilakukan setiap dua hari sekali dengan tujuan untuk memperbaiki kualitas air. Namun nampaknya volume penggantian air perlu ditingkatkan dan frekuensinya harus lebih sering terutama setelah zoea-3 karena mulai diberi pakan flek yang aroma ikannya sangat kuat, sehingga kemungkinan mudah sekali merusak kualitas air. Menurut Seneriches-Abiera (2007), menyatakan bahwa konsentrasi nitrit yang aman untuk pemeliharaan larva kepiting bakau adalah 4,16; 6,30; 2,55; 2,99 dan 6,99 mg/L untuk zoea- 1, 2, 3, 4 dan 5. Dengan demikian konsentrasi nitrit yang dimonitor pada waktu larva menjelang menjadi megalopa masih dalam batas yang ditoleransi untuk hidupnya larva kepiting bakau S. paramamosain. Dengan demikian kemungkinan yang menyebabkan kematian megalopa di bak larva adalah serangan Vibrio sp. Populasi Vibrio sp. mencapai 2,81x 104 cfu/mL (A); 3,57x10 4 cfu/mL (B) dan 6,43x10 3 cfu/mL (C). Populasi Vibrio sp. di perlakuan C lebih Tabel 2. Kualitas air di bak pemeliharaan larva kepiting bakau S. paramamosain dengan intensitas pencahayaan yang berbeda
Perlakuan
Amoniak (mg/L)
Nitrit (mg/L)
Fosfat (mg/L) Vibrio sp (cfu/mL)
A = (44 – 52 luks)
3,71-6,21
3,03-3,46
0,82-0,84
2,81x 10
B = (66 – 72 luks)
4,20-5,57
2,61-3,45
0,82-0,83
3,57x10
4
C = (82 – 86 luks)
2,42-6,47
1,82-4,72
0,86-0,88
6,43x10
3
4
rendah daripada di perlakuan A dan B (Tabel 2), maka wajar apabila produksi megalopa di perlakuan C relatif lebih banyak dari pada di perlakuan A dan B. KESIMPUL AN Pemberian intensitas pencahayaan pada 82-86 Luks meter di atas bak pemeliharaan larva kepiting bakau, S. paramamosain menghasilkan megalopa yang cenderung lebih banyak dari pada pemberian intensitas pencahayaan sebanyak 66-72 dan 44-52 Luks meter, namun secara statistik menunjukkan perbedaan yang tidak berarti (P>0,05). DAF TAR ACUAN Andres, M., Guiomar, R., & Zeng, C. 2010. Survival, development and growth of larvae of the blue swimmer crab, Portunus pelagicus, cultured under different photoperiod conditions. Aquaculture, 300(20): 218-222. Battaglene, S.C., McBride, S., & Talbot, R.B. 1994. Swim bladder inflantion in larvae of cultured sand whiting, Sillago ciliata Cuvier (Sillaginidae). Aquaculture, 128: 177-192. Gardner, C. & Miguire, G.B. 1998. Effect of photoperiod and light intensity on survival, development and canibalismof larvae of the Australian giant crab, Pseudocarcinus gigas (Lamarck). Aquaculture, 165(1-2): 51-63. Gunarto, Widodo, A.F., & Jompa, H. 2011. Pemeliharaan larva kepiting bakau Scylla olivacea dengan intensitas penyinaran yang berbeda. Laporan Hasil Penelitian Balai Riset Perikanan budidaya Air Payau Maros. Imai, T. 1980. Sensory anatomy and feeding of fish larvae. In J. E. Bardach, J. J. Magnuson, R. C. May & J. M. Reinhard (Editors). Fish behavior and its use in the capture and culture of fishes. ICLARM Conference Proceeding, (5): 512. Minagawa, M. 1994. Effect of photoperiod on survival, feeding and development of larvae of the red frog, Ranina ranina. Aquaculture, 120(1-2): 105-114.
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2011
392
Rabbani, A.G. & Zeng, Z. 2005. Effect of tank colour on larval survival and developmeny of mud crab Sclla serrata (Forskal). Aquas. Res., 36 : 1112-1119. Seneriches-Abiera, M.L., Parado-Estepa, F., & Gonzales, G.A. 2007. Acute toxicity of nitrite to mud crab Scylla serrata (Forskal) larvae. Aquaculture Research, 38(14): 1495-1499.