PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP KEDAULATAN NEGARA INDONESIA Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos.)
Oleh Nurul Ghazy NIM: 104033201104
PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN & FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1430 H./2009 M.
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 26 Januari 2009
Nurul Ghazy
KATA PENGANTAR Alhamdulillâhi rabbi al-‘âlamîn, mungkin hanya ungkapan itu yang patut dan layak penulis ungkapkan saat ini mengiringi rasa syukur tiada tara atas segala nikmat dan anugerah yang telah dicurahkan oleh Allah swt. Rabb yang Maha Perkasa sekaligus Maha Penyayang, Maha Berkehendak sekaligus Maha Tahu, dan Maha Kuat sekaligus Maha Lembut. Hanya dengan kehendak-Nyalah akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan. Shalawat serta salam tak henti akan selalu penulis sampaikan kepada manusia paling agung ciptaan-Nya Muhammad saw. Rosul paling akhir yang membawa kebenaran hakiki di bumi ini, semoga penulis termasuk manusia yang mendapat syafaatnya di hari akhir kelak. Dalam prosesnya, penulisan skripsi ini tidak bisa dibilang mudah, namun problema, dinamika, dan dialektika yang selalu mengiringinya akan selalu penulis kenang sebagai salah satu bagian proses dalam hidup untuk menjadi manusia yang lebih baik. Dalam proses tersebut penulis banyak mendapatkan bantuan berharga dari beberapa pihak. Oleh karenanya, meskipun ungkapan terima kasih tak cukup untuk mengganjar bantuan tersebut, izinkanlah penulis untuk mengungkapkannya. Ungkapan terima kasih tiada tara yang pertama dan sekaligus utama penulis sampaikan kepada Ayahanda dan Ibunda penulis: Bpk. H. Agus Sholahuddin Mas’ud, M.Pd. & Hj. Rini Nuraini, S.Ag. kepada kalianlah penulis dedikasikan karya ini. Doa, kasih sayang, dan dukungan materiil dari kalian yang tak terhitung, menjadi spirit tak ternilai dalam proses penulisan skripsi ini. Semoga Tuhan mengampuni dosa kalian dan menyayangi kalian sebagaimana kalian menyayangi penulis.
Kepada kakak dan kedua adikku: Nur Ifansyah, Nurul Fadhillah dan Muhammad Bintang Giffari terima kasih banyak atas dukungan kalian agar penulis secepatnya menyelesaikan skripsi dan menjadi sarjana. Semoga kalian cepat menyusul. Untuk Bpk. A. Bakir Ihsan, M.Si. selaku pembimbing, penulis merasa berhutang budi atas bimbingan, saran, dan masukannya yang sangat berharga dalam proses penulisan skripsi ini, semoga amal baik bapak diganjar dengan anugerah berlimpah oleh Allah swt. Kepada seluruh teman-teman penulis, mohon maaf tak dapat disebutkan semua, baik di jurusan PPI angkatan 2004 (Aziz, Iin, Hayat, Ipeh, Acu, Hafiz, Nurkholis, Rahmat, dll.) Maupun di dalam lingkungan Forum Mahasiswa Alumni Lirboyo (Gus Zaenal, Gus Muin, Gus Day, Gus Ded, Gus Syarif, Tiharoh, Rofiah, Ikhwan, Andi, Arif, Kang Soim, Kang Rosyid, dll.) terima kasih banyak atas kesediaan kalian menemani dan menjadi kawan setia penulis dalam menjalani perkuliahan di UIN dan selama hidup di Ciputat, sekaligus dalam proses penulisan skripsi ini. Khusus kepada Nurmala, segala motivasi, candaan, dan bantuannya kepada penulis menjadi satu spirit tersendiri yang tak terlupakan. Terima kasih banyak atas kesetiaan menemani penulis pada masa-masa sulit dari proses penulisan tugas akhir ini. Terakhir, terima kasih kepada seluruh civitas akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, khususnya Jurusan Pemikiran Politik Islam Fakultas Ushuluddin & Filsafat, Bapak Dekan beserta jajarannya, Ketua & Sekretaris Jurusan Pemikiran Politik Islam, dan seluruh dosen yang secara langsung maupun
tidak telah mentransfer ilmu kepada penulis. Semoga rahmat Allah swt. selalu tercurah kepada kalian. Meskipun dalam skripsi ini masih banyak ditemukan kekurangan, namun, penulis berharap, semoga skripsi ini dapat diterima dengan baik dan bermanfaat sekaligus menghasilkan yang baik pula bagi penulis khususnya dan semua pihak umumnya, Amin.
Ciputat, 26 Januari 2009 Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................ i DAFTAR ISI .................................................................................................... iv BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ......................................................... 1 B. Batasan dan Rumusan Masalah .............................................. 8 C. Tujuan Penelitian ................................................................... 8 D. Metode Penelitian .................................................................. 8 E. Sistematika Penulisan.............................................................. 9
BAB II
TEORI DAN SEJARAH GLOBALISASI A. Definisi Teori Globalisasi .................................................... 11 B. Sejarah Globalisasi ............................................................... 20 C. Aktor-aktor Globalisasi ........................................................ 22
BAB III
PARADIGMA KEDAULATAN NEGARA A. Makna dan Paradigma Kedaulatan Negara ........................... 25 B. Batas-batas Kedaulatan Negara ............................................ 35 C. Kedaulatan Negara di dalam Konstitusi ................................ 43
BAB IV
EKSISTENSI KEDAULATAN NEGARA DI TENGAH GLOBALISASI A. Globalisasi & Peminggiran Peran Negara ............................. 49
B. Globalisasi Sebagai Bentuk Neo-Imperialisme ..................... 58 1.
Intervensi Asing & Utang ........................................... 62
2.
Undang-undang Penanaman Modal Asing ................... 68
C. Masa Depan Kedaulatan Negara ........................................... 73
BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan .......................................................................... 76 B. Saran .................................................................................... 78
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 79
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Saat ini dunia sedang berhadapan dengan arus tranformasi menuju globalisasi. Siapa atau apa pun yang ada di dunia ini tidak ada yang dapat menghindar dari proyek besar berskala internasional ini, baik individu, kelompok, maupun sebuah negara yang berdaulat. Proyek globalisasi ini berdampak terhadap segala aspek kehidupan seperti politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, dan bahkan peradaban. Bagi sebagian masyarakat dunia sistem ini dianggap sebagai prospek, sebagian lainnya menganggap sistem ini sebagai ancaman, dan bahkan adapula yang acuh tak acuh terhadap tema besar ini, meskipun secara langsung maupun tidak mereka telah merasakan dampaknya. Globalisasi merupakan sebuah konsep yang berasal dari perkembangan sistem di Barat. Kemunculannya berbarengan dengan kemunculan paham Neoliberalisme pada pertengahan 1980-an. Globalisasi yang menekankan pada privatisasi, anti intervensi negara dalam ekonomi, dan kepercayaan absolut pada mekanisme pasar ini, diimplementasikan lewat badan-badan dunia seperti World Trade Organization (WTO), International Monetery Fund (IMF), World Bank atau Bank Dunia; dan perusahan-perusahan internasional (Transnasional Corporations) seperti Exxon, Freeport, General Motor, dan lain-lain. Menurut Mansour Fakih, Globalisasi dalam perspektif ekonomi adalah proses pengintegrasian ekonomi nasional kepada sistem ekonomi dunia berdasarkan keyakinan pada perdagangan bebas yang sesungguhnya telah
dicanangkan sejak zaman kolonialisme.1 Globalisasi merupakan tahapan ketiga proses eksploitasi manusia atas manusia (penjajahan). Tahap pertama adalah kolonialisme, kedua developmentalisme, dan terakhir globalisasi. Globalisasi dalam arti politik merupakan wujud dari hegemoni baru negara-negara pemilik modal dalam kerangka penguasaan negara-negara nirmodal (tidak memiliki modal).2 Mereka yang menganggap globalisasi sebagai prospek, umumnya adalah mereka yang merasa diuntungkan oleh proses ini yaitu negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, karena mereka memiliki modal, baik dalam bidang ekonomi dan politik. Bahkan aktor-aktor globalisasi (IMF, WTO, WB, dan TNCs) berada dalam pengaruhnya, sehingga kesepakatan-kesepakatan yang dihasilkan oleh lembaga-lembaga di atas adalah untuk kepentingan negara maju tersebut. Bagi mereka yang merasa cemas terhadap globalisasi, paling tidak memiliki dua alasan. Yang pertama yaitu karena globalisasi menerapkan sistem ekonomi kapitalis, dan yang kedua karena melihat ideologi Neoliberal yang menopangnya. Kedua hal tersebut menjadi ancaman bagi eksistensi negara-negara miskin dan berkembang yang terkelompokkan ke dalam negara Dunia Ketiga. Yang pertama merujuk pada konsep Kapitalisme yang berorientasi pada bagaimana memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya dan meminimalisir kerugian, serta mengakumulasi modal. Ketika orientasi tersebut telah tercapai, maka pemilik modal akan dengan sendirinya memiliki otoritas politik dan kekuasaan. Hal tersebut tentu membuat resah sebagian negara-negara di Dunia
1
Mansour Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi (Yogyakarta: Insist Press, 2002), h. 209-210. 2 Pravendi Januarsa, “Globalisasi dalam Tinjauan Kritis Soekarno,” artikel diakses pada 08 Agustus 2008 dari http://www.pdiperjuangan-jatim.org/v03/index.php?mod=berita&id=135
Ketiga. Asumsinya adalah ketika modal yang sudah jelas kepemilikiannya didominasi oleh perusahaan-perusahaan trans-nasional yang sebagian besar berpusat di wilayah negara-negara maju, sebut saja Amerika Serikat, tentu melalui mekanisme globalisasi pendapatan mereka akan semakin meningkat, mereka menjadi semakin kaya, dan leluasa menghegemoni kehidupan negara lain, guna merealisasikan kepentingan mereka. Sedangkan negara-negara miskin dan berkembang akan tetap pada kategori dan berstatus sebagai negara dengan “tangan di bawah” dan bergantung pada kebijakan negara-negara Adi Daya.3 Menyangkut ideologi Neoliberal yang menopang globalisasi, masyarakat Dunia Ketiga melihatnya sebagai ancaman lebih luas pada peradaban mereka. Ideologi ini secara umum dipahami sebagai ide yang membawa nilai hak dan kebebasan individual melalui mekanisme pasar bebas, menjunjung tinggi rasionalitas, dan mendistorsi peran agama dalam masyarakat dan politik.4 Dengan adanya globalisasi, maka gerbang bagi penyebarluasan paham ini di berbagai penjuru dunia semakin terbuka lebar. Padahal tiap negara yang berdaulat memiliki batasan nilai dan landasan moral tersendiri, yang tidak bisa begitu saja menerima nilai-nilai baru. Dalam percaturan politik global negara-negara maju sangat berpengaruh, karena mereka memiliki kepentingan yang sangat besar, baik dalam bidang politik, ekonomi, maupun keamanan. Di bidang politik negara-negara maju/Barat sangat berkepentingan untuk menyebarkan ideologi Demokrasi. Di bidang ekonomi negara-negara Barat berkepentingan untuk mendapatkan sumber mineral
3 Arief Budiman, Pembangunan dalam Krisis: Teori Pembangunan Dunia Ketiga (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996), h. 113-120. 4 B. Herry Priyono, “Dalam Pusaran Neoliberalisme,” dalam I. Wobowo & Prancis Wahono, ed., Neoliberalisme (Yogyakarta: Cindelaras, 2003), h. 70.
untuk memenuhi kebutuhannya akan sumber daya alam tersebut, Barat juga memiliki kepentingan untuk memasarkan produk yang mereka ciptakan. Di bidang keamanan, dengan dalih untuk menjamin keamanan dunia, Barat melakukan kampanye perang melawan terorisme. Didukung dengan infrastruktur yang mereka miliki seperti media komunikasi, transportasi, dan modal yang besar peran negara-negara Barat menjadi sangat besar.5 Peran dan pengaruh Barat yang demikian besar dalam percaturan politik global memunculkan persepsi kuat bahwa pada era globalisasi ini telah terjadi praktek kolonialisme dan imperialisme baru. Misalnya kebijakan-kebijakan luar negeri yang dipraktekan oleh Amerika Serikat, khususnya pasca tragedi 11/9 2001. Isu-isu seperti senjata nuklir, senjata pemusnah massal, dan terorisme dijadikan argumentasi untuk menekan kelompok tertentu atau bahkan untuk menginvasi negara tertentu. Lalu bagaimana dengan negara-negara selain Barat? Pada era globalisasi ini negara-negara berkembang dan miskin dibuat sangat tergantung dengan utang luar negeri yang diberikan oleh lembaga-lembaga internasional seperti IMF dan World Bank. Masyarakat negara miskin dan berkembang dibuat kecanduan dengan produk-produk teknologi maju melalui Konsumerisme yang disiarkan oleh media massa. Selain itu, perusahaan-perusahaan internasional milik negara maju (Transnational Corporations[TNCs] atau Multinational Corporations[MNCs]) menguasai hampir semua lini utama perekonomian dunia. Bahkan banyak perusahaan-perusahaan lokal di negara miskin dan berkembang terpaksa gulung tikar karena kalah bersaing dengan perusahaan-perusahaan internasional yang 5
“Bangsa Indonesia Menyambut Globalisasi,” artikel diakses pada 11 Semptember 2008 dari situs http://hildaku.blog.com/568343/
memiliki modal besar dan teknologi yang canggih. Perusahaan asing juga memonopoli eksplorasi penambangan sumber mineral di negara-negara miskin dan berkembang. Dengan demikian terlihat jelas bahwa TNCs merupakan bagian dari aktor penting globalisasi selain negara-negara maju; lembaga-lembaga keuangan internasional (IMF & WB); dan WTO. Tetapi peran TNCs dalam globalisasi tidak berhenti pada penguasaan sumber daya mineral negara-negara miskin dan berkembang saja. Karena untuk memuluskan tujuan penguasaan tersebut, TNCs harus terlebih dahulu memengaruhi dan menekan pemerintah dari negara miskin dan berkembang untuk memberlakukan peraturan yang memuluskan jalan mereka. TNCs menekan dan memengaruhi pemerintah negara korban globalisasi tersebut dengan cara mendesakkan kepentingannya di dalam kesepakatan– kesepakatan yang dibuat oleh lembaga-lembaga internasional seperti IMF, World Bank, dan WTO. Kesepakatan tersebut bertujuan untuk menekan negara berkembang dan miskin untuk melakukan reformasi kebijakan nasionalnya. Umumnya kebijakan negara yang harus direformasi adalah kebijakan di bidang pertanahan, investasi, perpajakan, dan tata hubungan antara pemerintah pusat dengan daerah (desentralisasi) yang berpotensi menghambat investasi secara langsung.6 Kebijakan di bidang investasi, misalnya, memaksa negara untuk membuka pasar selebar-lebarnya agar perusahaan-perusahaan asing dapat dengan bebas berinvestasi. Pemerintah juga ditekan untuk tidak menerapkan kebijakankebijakan yang dapat menghambat investasi (deregulasi) seperti penerapan pajak
6
Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, h. 219-220.
yang murah, buruh yang murah, dan kontrak karya yang panjang dan fleksibel.7 Penerapan deregulasi ini berimplikasi pada melemahnya peran negara dalam menentukan kebijakan sesuai dengan kepentingan rakyatnya. Fakta ini juga menunjukan bahwa globalisasi ternyata memengaruhi sikap anti-negara, dalam arti menolak segala bentuk campur tangan pemerintah dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Jalan yang ditempuh untuk menyukseskan desakan-desakan itu adalah salah satunya melalui utang. Lembaga-lembaga atau negara-negara donor (pemberi utang) mencantumkan syarat reformasi kebijakan tersebut sebagai salah satu syarat utang. Dengan demikian tampak di sini bahwa utang merupakan instrumen campur tangan asing. Implikasi dari reformasi kebijakan nasional negara miskin dan berkembang tersebut adalah semakin terpinggirkannya rakyat miskin, terbengkalainya nasib para petani kecil, nelayan, pedagang, dan masyarakat adat khususnya dalam hal perebutan sumber daya alam terutama tanah, hutan, dan laut. Fakta di atas menampakkan melemahnya kedaulatan negara khususnya negara miskin dan berkembang (Negara Dunia Ketiga) di tengah hegemoni globalisasi terutama dalam hal kemandirian menentukan kebijakan-kebijakan untuk kepentingan negeri sendiri. Sebagaimana kita ketahui bahwa negara yang berdaulat adalah negara yang bisa menentukan nasib bangsanya sendiri (otonom) tanpa intervensi negera
7
I. Wibowo, “Emoh Negara: Neoliberalisme dan Kampanye Anti-Negara,” dalam I. Wibowo & Prancis Wahono, ed., Neoliberalisme, h. 266.
manapun.8
Oleh
karenanya
ketika
sebuah
negara
tidak
lagi
dapat
mengatur/menentukan urusan-urusannya kepada dirinya sendiri sebagai negara yang berdaulat, maka visi dan misi menciptakan negara yang maju dan sejahtera tidak akan tercapai. Betapa tidak, misalnya Indonesia sebagai bagian dari negara Dunia Ketiga yang memiliki utang terhadap lembaga-lembaga donor harus mengikuti apapun syarat yang diajukan oleh lembaga pemberi utang tersebut. sedangkan persyaratan yang dipaksakan ternyata untuk kepentingan perusahaanperusahaan internasional, lembaga-lembaga dan negara-negara donor bukan untuk kepentingan negara penerima utang. Namun demikian, dalam perkembangan kontemporer, banyak negara yang mulai menampilkan keberaniannya untuk menerapkan kebijakan di luar mainstream kepentingan global. Misalnya Indonesia, dalam bidang politik, dengan mendesak AS dan sekutunya agar menarik pasukan dari Irak, Abstain dalam rapat Dewan Keamanan PBB tentang Resolusi sanksi bagi Iran. Dalam bidang ekonomi, di dalam konstitusinya Indonesia tetap memberlakukan pasal 33 UUD 1945 yang dikenal sebagai landasan hukum bagi intervensi negara. Ini artinya bahwa pada era hegemoni globalisasi ini kedaulatan negara tidak serta merta hilang dan musnah begitu saja. Dari fenomena yang dipaparkan di atas, penulis merasa tertarik untuk meneliti lebih jauh pembahasan mengenai pengaruh globalisasi terhadap kedaulatan negara Indonesia ke dalam sebuah karya yang berbentuk skripsi.
8
Muhajir Arif Rahmani, “Arti Penting Kedaulatan Negara,” artikel diakses pada 11 September 2008 dari situs http://www.cmm.or.id/cmm-ind_more.php?id=A3763_0_3_0_M, lihat juga dalam Budiyanto, Dasar-dasar Ilmu Tatanegara, (Jakarta: Erlangga, 2003), h. 25.
B. Batasan dan Rumusan Masalah Karena tema globalisasi adalah tema yang umum dan luas, maka pada skripsi ini penulis lebih membatasi permasalahan pada globalisasi dalam perspektif politik. Dalam perspektif ini globalisasi menjadi suatu kekuatan yang mampu mendesak negara untuk menciptakan kebijakan yang dapat melemahkan kedaulatannya. Dalam skripsi ini penulis juga membatasi pembahasan mengenai kedaulatan negara pada kedaulatan dalam bidang politik, dalam arti kemandirian negara dalam menentukan dan menjalankan kebijakan dalam dan luar negerinya. Lebih jelasnya, untuk membatasi ruang pembahasan skripsi, penulis merumuskannya dalam pertanyaan Bagaimana Pengaruh Globalisasi Terhadap Kedaulatan Negara Indonesia?
C. Tujuan Penelitian Penulis menetapkan judul Pengaruh Globalisasi Terhadap Kedaulatan Negara Indonesia secara akademis memiliki tujuan: 1. Memperoleh pengetahuan yang lebih mendalam tentang konsep globalisasi dan kedaulatan negara serta keterkaitan antara keduanya. 2. Mengetahui dampak globalisasi terhadap kedaulatan negara, khususnya bagi negara Indonesia.
D. Metode Penelitian Metode pengumpulan data yang dipakai dalam skripsi ini adalah metode kepustakaan (library research). Sebagai sumber primer penulis menggunakan buku-buku tentang globalisasi dan kedaulatan negara, baik yang ditulis oleh para
pakar dalam negeri maupun luar negeri, seperti Buku Globalisasi Peluang atau Ancaman bagi Indonesia karya Budi Winarno, buku Neoliberalisme karya I. Wibowo et.al., buku Runtuhnya Teori Pembangunan & Globalisasi karya Mansour Fakih, buku Dasar-dasar Ilmu Tatanegara karya Budiyanto, dan lainlain. Adapun sebagai sumber sekundernya penulis menggunakan tulisan-tulisan atau artikel-artikel yang tersebar di berbagai majalah, surat kabar, dan internet yang terkait dengan pembahasan mengenai globalisasi dan kedaulatan negara. Sedangkan metode pembahasan dalam skripsi ini penulis menggunakan metode deskriptif analitis. Dengan metode ini, penulis akan menggambarkan dan memaparkan secara obyektif pola kerja globalisasi yang berpengaruh terhadap eksistensi kedaulatan negara berdasarkan referensi yang digunakan. Setelah itu, penulis akan menganalisa secara lebih mendalam baik melalui analisa sendiri maupun dengan menggunakan bantuan para pakar. Dengan itu diharapkan akan didapatkan pengetahuan yang obyektif dan seimbang sekaligus kritis. Untuk pedoman penulisan skripsi, penulis menggunakan buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi), terbitan CeQDA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
E. Sistematika Penulisan Agar penulisan skripsi ini lebih sistematis, maka penulis menyusunnya ke dalam lima bab. Bab I akan mengungkap seputar signifikansi tema yang diangkat. Mengapa tema yang akan ditulis ini layak diangkat sebagai sebuah skripsi. Akan diungkapkan mulai dari landasan pemikiran sampai sistematika penulisannya.
Bab II adalah gambaran umum seputar teori dan sejarah globalisasi sebagai landasan teoritis untuk memahami pembahasan pada bab selanjutnya. Pada bab ini akan dijelaskan mengenai definisi teori globalisasi, sejarah, dan aktor-aktor globalisasi. Bab III akan membahas mengenai paradigma kedaulatan negara. Pada pembahasan seputar kedaulatan negara ini akan dijelaskan mengenai makna dan paradigma kedaulatan negara, batas-batas kedaulatan negara, dan sumber kedaulatan negara Indonesia yang terdapat dalam konstitusi. Pada Bab IV merupakan bab inti, di dalamnya penulis akan mencoba menjelaskan mengenai pengaruh globalisasi terhadap kedaulatan negara Indonesia. Pembahasan diawali dengan pemaparan tentang globalisasi dan peminggiran peran negara, kemudian penulis akan mencoba mengungkapkan proses neo-imperialisme yang bersembunyi dibalik proses globalisasi, dan bagian terakhir merupakan analisa tentang masa depan eksistensi kedaulatan negara. Bab V merupakan bab penutup dari skripsi ini yang berisi kesimpulan dari tema yang diangkat yaitu bahwa globalisasi mengancam kedaulatan negara Indonesia, dan disertai juga dengan saran-saran yang konstruktif dari penulis.
BAB II TEORI DAN SEJARAH GLOBALISASI
A.
Definisi Teori Globalisasi Perkembangan dunia internasional dewasa ini telah memunculkan suatu
terminologi baru, yaitu globalisasi. Tentang pengertian globalisasi hingga saat ini belum ada satu definisi baku yang dapat mewakili semua kepentingan dari berbagai sudut pandang yang digunakan untuk memahami globalisasi. Yang pasti, globalisasi adalah sebuah istilah yang memiliki hubungan dengan peningkatan keterkaitan dan ketergantungan antarbangsa dan antarmanusia di seluruh dunia melalui perdagangan, investasi, perjalanan, budaya populer, dan bentuk-bentuk interaksi yang lain sehingga batas-batas suatu negara menjadi bias.9 Secara bahasa kata globalisasi berasal dari kata global, menurut kamus Dwi Bahasa Oxford-Erlangga kata itu mengandung arti seluruh; sejagat; seantero dunia.10 Dalam bahasa Indonesia penambahan sufiks “isasi” pada akhir sebuah kata memiliki arti proses sehingga globalisasi diartikan sebagai pengglobalan seluruh aspek kehidupan.11 Ada juga yang melihat globalisasi sebagai terjemahan dari bahasa Prancis monodialisation yang berarti menjadikan sesuatu mendunia atau bersifat internasional, yakni menjadikannya dari sesuatu yang terbatas dan terdeteksi. Oleh karenanya,
9
globalisasi
dapat
pula
diartikan
menghilangkan
batas-batas
“Pengertian Globalisasi,” artikel diakses pada 21 Oktober 2008 dari http://fransis.wordpress.com/2008/02/17/pengertian-globalisasi.html 10 Joycem Hawkins, Kamus Dwi Bahasa Oxpord-Erlangga (Jakarta: Erlangga, 1996), h. 142. 11 Adi Gunawan, Kamus Praktis Ilmiah Populer (Surabaya: Kartika, 2001), h. 147.
kenasionalan dalam bidang ekonomi dan membiarkan segala sesuatu bebas melintas dunia dan menembus level internasional.12 Meskipun secara bahasa globalisasi memiliki arti yang mapan. Namun, sebagai teori globalisasi hingga saat ini belum memiliki definisi yang mapan kecuali sekedar definisi kerja (working definition) sehingga tergantung dari sisi mana orang memandangnya. Secara sederhana working definition ini terbagi menjadi dua, yaitu (1) yang memaknai globalisasi sebagai sebuah proses global dan (2) yang memandang globalisasi sebagai hasil akhir dari sebuah proses. Orang yang memandang globalisasi sebagai sebuah proses cenderung melihat globalisasi sebagai suatu proses sosial atau proses sejarah atau proses alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan negara di dunia makin terikat satu sama lain, mewujudkan satu tatanan kehidupan baru atau kesatuan koeksistensi dengan menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi, dan budaya masyarakat. Sebagai proses, globalisasi berlangsung melalui dua dimensi dalam interaksi antar bangsa, yaitu dimensi ruang dan waktu. Ruang makin dipersempit dan waktu makin dipersingkat dalam interaksi dan komunikasi pada skala dunia. Globalisasi berlangsung di semua bidang kehidupan, seperti bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan keamanan dan lain- lain. Teknologi informasi dan komunikasi adalah faktor pendukung utama dalam globalisasi. Definisi seperti di atas diamini oleh Martin Albrow dengan mengatakan ”Globalisasi menyangkut seluruh proses di mana penduduk dunia terinkorporasi ke dalam masyarakat dunia yang tunggal, masyarakat global,”13 dan Malcom
12 M. Istijar, “Globalisasi; Antara Impian dan Kenyataan,” Modul Pelatihan Dasar Anti Globalisasi LS-ADI (Ciputat: LS-ADI Press, 2003), h. 1. 13 M. Istijar, “Globalisasi Anak Kandung Kapitalisme,” Modul Pelatihan Dasar Anti Globalisasi LS-ADI, h. 29.
Waters, seorang sosiolog Australia, yang mengatakan bahwa “Globalisasi adalah sebuah proses sosial yang berakibat bahwa pembatasan geografis pada keadaan sosial budaya menjadi kurang penting, yang terjelma di dalam kesadaran orang.”14 Sedangkan orang yang memandang globalisasi sebagai hasil akhir sebuah proses melihat globalisasi sebagai sebuah proyek yang diusung oleh negaranegara maju sehingga bisa saja orang memiliki pandangan negatif atau curiga terhadapnya. Dari sudut pandang ini, globalisasi tidak lain adalah kapitalisme dalam bentuknya yang paling mutakhir. Negara-negara yang kuat dan kaya praktis akan mengendalikan ekonomi dunia dan negara-negara kecil makin tidak berdaya karena tidak mampu bersaing. Sebab globalisasi cenderung berpengaruh besar terhadap perekonomian, bahkan berpengaruh terhadap bidang-bidang lain seperti politik, budaya, dan agama.15 Pada definisi inilah kemudian globalisasi penulis pandang sebagai ancaman bagi kedaulatan negara Indonesia. Kapitalisme pada dasarnya bersumber dan berakar pada pandangan filsafat ekonomi klasik, terutama ajaran Adam Smith yang dituangkan dalam karyanya Wealth of Nation (1776). Selain Adam Smith, yang umumnya disebut sebagai tokoh perintis pandangan ekonomi klasik adalah pemikir ekonomi lainnya, seperti David Ricardo, James Mill, Thomas Robert Malthus, dan Jean Baptiste Say. Keseluruhan filsafat pemikiran penganut ekonomi klasik tersebut dibangun di atas landasan filsafat ekonomi liberalisme. Mereka percaya pada kebebasan individu (personal liberty), pemilikan pribadi (private property), dan inisiatif individu serta
14 “Pengertian Globalisasi,” artikel diakses pada 21 Oktober 2008 http://sobatbaru.blogspot.com/2008/05/pengertian-globalisasi.html 15 “Globalisasi,” artikel diakses pada 08 Agustus 2008 http://id.wikipedia.org/wiki/Globalisasi.html
dari dari
usaha swasta (private enterprise).16 Karl Marx menjelaskan bahwa kapitalisme berwatak universal, artinya, Kapitalisme tidak dapat hidup dalam satu negeri. Hanya dengan berada di manamana, bertempat di mana-mana, dan menjalin hubungan di mana-mana, barulah sistem perekonomian ini bisa eksis. Watak kapitalisme inilah yang melahirkan ekspansi dan pada akhirnya imperialisme. Berkaitan dengan hal ini, Lenin mengatakan bahwa “imperialisme sebagai tahap akhir kapitalisme,”17 dan James Petras menilai imperialisme adalah ungkapan yang paling tepat untuk memahami globalisasi yang sedang terjadi saat ini.18 Upaya pendefinisian globalisasi sesungguhnya, sudah gencar dilakukan sejak tahun 1990-an oleh para ilmuan, mulai dari ilmuan ekonomi, politik, sosiologi, budayawan, bahkan oleh ahli geografi. Semuanya memiliki maindset globalisasi yang beragam sesuai dengan bidang ilmu yang mereka geluti. Tetapi, umumnya wilayah pendefinisian globalisasi cenderung mengambil perspektif ekonomi karena memang sistem ini lahir sebagai sebuah sistem ekonomi yang berdampak pada semua aspek kehidupan. George
Ritzer,
seorang
sosiolog
Amerika,
mengingatkan
bahwa
karakteristik yang paling penting dari globalisasi adalah bias western-nya, artinya, segala sesuatu yang berkaitan dengan globalisasi, baik ide maupun prakteknya, selalu disesuaikan dengan perkembangan di Barat dan ide di luar dunia Barat tak punya pilihan lain kecuali menyesuaikan diri dengan ide Barat tersebut. Bahkan
16
Mansour Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi (Yogyakarta: Insist Press, 2002), h. 45-46. 17 Franz Magnis Suseno, Dalam Bayang-bayang Lenin (Jakarta: Gramedia, 2005), h. 10. 18 Revrisond Baswir, “Menelanjangi Globalisasi,” pengantar dalam James Petras dan Henry Veltmeyer, Imperialisme Abad 21. Penerjemah Agung Prihantono (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2002), h. viii.
Anthony Giddens, seperti dikutip Ritzer, secara terang-terangan mengatakan “Globalisasi berasal dari Barat, membawa jejak kekuasaan ekonomi dan politik Amerika”. Selain itu, menurut Ritzer juga, proses globalisasi ditandai dengan usaha menuju homogenitas (keseragaman) seluruh aspek kehidupan, baik kultur, ekonomi, maupun politik oleh Barat, terutama Amerika.19 Dari perspektif kultur, trend menuju homogenitas ini identik dengan istilah imperialisme kultural atau dengan kata lain terjadinya ekspansi kultur Barat/Amerika terhadap kultur tertentu di daerah lain. Dari berbagai budaya Barat yang berpenetrasi ke seluruh dunia, yang paling mencolok dampaknya adalah budaya materialistis dan sekuler. Gejala materialistis bisa kita lihat manakala melimpahnya materi/harta benda dianggap sebagai barometer keberhasilan hidup. Sedangkan gejala sekuler dapat kita saksikan ketika dalam tatanan bermasyarakat dan bergaul sudah mengabaikan norma-norma susila dan norma agama. Afirmasi terhadap “budaya global/Barat” hampir niscaya merupakan negasi terhadap budaya lokal masyarakat-masyarakat belahan bumi Selatan. Hegemoni budaya global mendorong pendiskreditan budaya-budaya lokal sehingga bersifat terlalu kedaerahan (jadi tidak global), kuno (jadi tidak modern dan global), dan ketinggalan jaman. Pendiskreditan ini dengan sendirinya diikuti oleh peminggiran budaya-budaya tersebut. Mengingat bahwa konsumerisme bukan hanya sekedar “gaya hidup” yang dangkal belaka, melainkan berakar pada suatu filsafat yang lebih dalam (yaitu individualisme), penegakan budaya global juga berarti
19
George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern. Penerjemah Alimandan (Jakarta: Kencana, 2003), h. 588.
transformasi mendasar masyarakat-masyarakat di luar negara Barat, yang kerap diikuti oleh benturan dan resistensi dalam prosesnya.20 Dalam bidang ekonomi logika homogenizing pun tetap berlaku. Joseph Stiglitz, peraih hadiah Nobel Ekonomi 2001, melihat globalisasi sebagai penyebaran sistem ekonomi kapitalisme neoliberal ke seluruh kawasan di dunia.21 Sesuai dengan namanya ideologi atau sistem ekonomi kapitalisme neoliberal adalah merupakan kelanjutan dari gagasan liberalisme klasik Adam Smith (1723-1790) pada abad ke-18, seiring dengan perkembangan sejarah paham ini menemukan bentuk barunya di tangan ekonom terkemuka, yaitu, Freidrick von Hayek dan Milton Friedman pada abad ke-20. Paham neoliberalisme inilah yang menjadi pijakan ekonomi berbasis perdagangan dan pasar bebas sekaligus menjadi ideologi globalisasi. Pada dasarnya kedua paham tersebut sama,22 yakni menganjurkan: pertama, liberalisasi, artinya jika ingin ekonomi maju maka perdagangan harus dibebaskan seluas-luasnya, begitu juga dengan sektor fiskal/keuangan harus didorong lebih liberal dan kian ketat bersaing agar terjadi peningkatan efisiensi. Kedua, privatisasi, negara dilarang untuk menguasai aset-aset publik atau memiliki perusahaan (seperti BUMN di Indonesia), hendaknya penguasaan aset-aset publik tersebut diserahkan kepada individu-individu. Dan ketiga, deregulasi, negara tidak berhak ikut campur dalam urusan ekonomi karena negara tidak memiliki alasan 20
Robert H. Imam, “Neoliberalisme, Era Baru, dan Peradaban Pasar,” dalam I. Wibowo & Prancis Wahono, ed., Neoliberalisme (Yogyakarta: Cindelaras, 2003), h. 316. 21 Joseph E. Stiglitz, Dekade Keserakahan. Penerjemah Aan Suhaeni (Tangerang: Marjin Kiri, 2005), h. 216. 22 B. Herry Priyono mencacat ada sedikit perbedaan antara liberalisme klasik Adam Smith dengan Neoliberalisme yaitu hanya pada peran pemerintah. Kalau pada liberalisme klasik Smith memberi ruang pada peran pemerintah lewat penyelenggaraan tata-keadilan, oleh karenanya akumulasi kekayaan oleh individu adalah dalam rangka pembangunan suatu bangsa (the wealth of nation), sedangkan neoliberalisme tidak. Lihat B. Herry Priyono, “Dalam Pusaran Neoliberalisme,” dalam I. Wibowo dan Prancis Wahono, ed., Neoliberalisme, h. 55.
apapun untuk mencampuri dan menguasai ‘pasar’, tugas negara hanyalah sebagai “penjaga malam” yang menjamin lancarnya kinerja tiga anjuran neoliberalisme tersebut.23 Ketiga paket kebijakan neoliberalisme tersebut dikenal juga dengan istilah Washington Consensus yang penerapannya dipaksakan oleh negara-negara maju penganut neoliberalisme kepada negara-negara miskin dan berkembang melalui organisasi-organisasi internasional seperti WTO, IMF, dan World Bank. Pada dasarnya semua proses homogenizing sistem perekonomian global ini merupakan
harapan
dan
hasil
perjuangan
dari
perusahaan-perusahaan
transnasional karena merekalah yang paling diuntungkan dari proses tersebut. Selama dasawarsa menjelang berakhirnya millenium, perusahaan-perusahaan transnasional berskala raksasa tersebut (TNCs)24 meningkat jumlahnya secara pesat dari sekitar 7000 TNCs pada tahun 1970 dan dalam tahun 1990 jumlah itu mencapai 37.000 TNCs. Selain jumlahnya meningkat, TNCs juga dapat menguasai perekonomian dunia. Kekuatan ekonomi TNCs yang luar biasa tersebut akan semakin bertambah jika globalisasi berjalan. Mereka pada saat yang lalu saja berhasil menguasai 67% dari perdagangan dunia antar TNCs dan menguasai 34,1% total perdagangan global. Lebih lanjut, TNCs juga telah menguasai 34,1% total perdagangan global. Ada sekitar 100 TNCs dewasa ini menguasai ekonomi dunia. Mereka mampu mengontrol sampai 75% perdagangan dunia.25
23
A. Tony Prasetiantono, “IMF (International Monetary Fund),” dalam I. Wibowo dan Prancis Wahono, ed., Neoliberalisme, h. 120. 24 Perusahaan transnasional/Transnational Corporation (TNC) dapat didefinisikan sebagai perusahaan yang kegiatan bisnisnya bersifat internasional dan lokasi produksinya terletak di beberapa negara. 25 Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, h. 214.
Perspektif politik juga menekankan pada proses menuju homogenitas, yaitu menyebarluaskan model nation-state ke seluruh dunia dan tumbuhnya model tata pemerintahan di seluruh dunia yang kurang lebih serupa (demokrasi). Bahkan Benjamin Barber, seperti dikutip Ritzer, menganalisa akan terbentuknya sebuah orientasi politik tunggal yang semakin pervasif (menyebar) di seluruh dunia, atau ia mengistilahkannya dengan “McWorld.”26 Tesis demikian juga diperkuat dengan pendapat Ulrich Beck, seorang ilmuan sosial penting yang menulis buku What Is Globalization?. Menurut Beck ada perbedaan antara globalisme, globalitas, dan globalisasi. Globalisme adalah pandangan bahwa dunia didominasi oleh perekonomian dan kita menyaksikan munculnya hegemoni pasar dunia kapitalis dan ideologi neoliberalisme yang menopangnya. Dalam globalisme, sifat global yang multidimensionalitas direduksi menjadi dimensi ekonomi saja. Pandangan Beck lebih komprehensif terhadap makna globalitas. Ia melihat proses transnasional ini bukan hanya ekonomi, tetapi juga melibatkan ekologi, kultur, politik, dan masyarakat sipil. Globalitas berarti mulai sekarang tidak ada kejadian di planet kita yang hanya pada situasi lokal terbatas; semua temuan, kemenangan, dan bencana memengaruhi seluruh dunia. Beck melihat globalisasi sebagai menurunnya kekuatan bangsa-bangsa dan batas-batas nasional. Jadi, globalisasi berarti denationalization, berarti pula bangkitnya organisasi transnasional dan mungkin negara transnasional.27
26
Ritzer, Teori Sosiologi Modern, h. 589. Ibid., h. 592.
27
Globalisasi dalam bentuk yang semakin jelas dewasa ini, seperti diungkapkan di atas, mempunyai maksud westernisasi dunia atau dengan ungkapan lain Amerikanisasi dunia. Martin Khor dan Mansour Fakih menyebutnya sebagai “bentuk baru kolonialisasi,” bahkan mantan Menteri Agama RI, Said Agil Husein al-Munawar pernah mengatakan: “Arus globalisasi yang menggejala saat ini lebih berbentuk ‘Amerikanisasi’ karena pengaruh Amerika Serikat dalam ekonomi, politik, dan budaya yang begitu kuat. Tujuan pokok globalisasi adalah ekonomi yang menggunakan kekuatan politik dan budaya untuk meraih tujuan ekonomi tersebut. globalisasi saat ini ingin mengubah dunia ke arah sistem pasar tunggal yang didominasi oleh perusahaan multinasional, namun, tanpa terciptanya kesamaan kesempatan. Praktek globalisasi sekarang ini memanipulasi teori darwin. Dalam artian, praktek itu telah mengubah teori darwin yang berprinsip ‘terbaiklah yang bertahan’ menjadi ‘terkuatlah yang bertahan’.”28
Pandangan tentang teori globalisasi yang paling ekstrim disampaikan oleh Mansour Fakih, ekonom Indonesia, yang mengatakan bahwa globalisasi adalah proses pengintegrasian ekonomi nasional kepada sistem ekonomi dunia berdasarkan keyakinan pada perdagangan bebas yang sesungguhnya telah dicanangkan sejak zaman kolonialisme.29 Menurutnya, globalisasi merupakan kelanjutan dari sejarah dominasi dan eksploitasi manusia atas manusia yang lain, yang diperkirakan telah berusia lebih dari lima ratus tahun. Proses pengintegrasian ekonomi nasional terhadap ekonomi global menjadi sebuah ancaman bagi Indonesia, karena negara dituntut oleh kepentingan global untuk menerapkan kebijakan-kebijakan yang pro terhadap kepentingan global tersebut ketimbang kepentangan nasionalnya.
28
“Menteri Agama Kritik Globalisasi Barat,” Kompas, 6 Mei 2003, h. 2. Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, h. 209.
29
B.
Sejarah Globalisasi Sangat sulit menentukan kapan sesungguhnya proses globalisasi itu dimulai.
Kalau kita mengacu pada makna harfiahnya yang berarti pengglobalan, sesungguhnya, globalisasi telah berlangsung sejak ribuan tahun silam, yaitu sejak masa awal dari adanya sistem politik dan kemasyarakatan dunia. Tepatnya setelah sistem city state (negara kota) Athena dan Sparta digantikan oleh berbagai imperium, perluasan imperium itu menandai awal dari proses globalisasi. Imperium-imperium tersebut antara lain adalah Byzantium; Dinasti Tang di China; dan Kekhalifahan Islam. Era globalisasi selanjutnya, adalah ketika masa imperium ini berganti menjadi era kebangkitan Barat, beberapa negara di kawasan Eropa mengalami kemajuan, dan karena kebutuhan mendesak akan bahan-bahan mentah seperti rempah-rempah yang tak tersedia di wilayahnya maka negara-negara Eropa ini melakukan kolonialisasi atau penjajahan ke belahan dunia lain, seperti di kawasan Afrika, Asia, dan Amerika Selatan. Proses pengglobalan/globalisasi dunia ini terus belangsung hingga saat ini melalui berbagai dimensi, baik kultur, ekonomi, maupun politik, dengan memanfaatkan kemajuan di bidang industri dan informasi. Globalisasi dari masa ke masa ini melahirkan paradoks, satu sisi menguntungkan pihak yang memiliki keunggulan dalam berbagai bidang—seperti militer, teknologi, dan industri—dan merugikan pihak yang tidak memiliki keunggulan tersebut. Dari perspektif teori, seperti yang dikatakan Mansour Fakih, bahwa sejarah globalisasi adalah kelanjutan proses sejarah dominasi manusia terhadap manusia lainnya. Proses sejarah dominasi itu pada dasarnya dapat dibagi ke dalam tiga
periode formasi sosial. Fase pertama adalah periode kolonialisme, yakni fase perkembangan kapitalisme di Eropa yang mengharuskan ekspansi secara fisik untuk memastikan perolehan bahan baku mentah. Melalui fase kolonialisme inilah proses dominasi manusia dengan segenap teori perubahan sosial yang mendukungnya telah terjadi dalam bentuk penjajahan secara langsung selama ratusan tahun. Proses ini berakhir pada saat terjadinya revolusi negara-negara jajahan segera setelah berakhirnya Perang Dunia II, sekitar enam puluh tahun silam. Fase kedua, yaitu setelah berakhirnya era kolonialisme yang dikenal sebagai era pembangunan atau era developmentalisme. Pada era ini dominasi negaranegara bekas penjajah terhadap bekas koloni mereka tetap dipertahankan melalui kontrol terhadap teori dan proses perubahan sosial mereka, atau dengan kata lain, melalui hegemoni cara pandang dan ideologi. Fase ketiga, yaitu globalisasi yang terjadi menjelang abad duapuluh satu, ditandai dengan liberalisasi segala bidang yang dipaksakan melalui Structural Adjusment Program (Program Penyesuaian Struktural)30 oleh lembaga finansial global (IMF & World Bank),31 dan disepakati oleh forum GATT (General Agreement on Tariffs and Trade) atau pada saat sekarang dikenal dengan WTO
30
Structural Adjusment Program (SAP) adalah resep yang dipaksakan oleh lembaga keuangan internasional (IMF & World Bank) dan WTO kepada negara-negara yang mengalami masalah dalam hal keuangan. Isi dari resep tersebut adalah (1) liberalisasi, (2) deregulasi, dan (3) privatisasi. Lihat A. Tony Prasetiantono, “IMF (International Monetary Fund),” h. 119. 31 IMF berdiri pada bulan Juli 1944 di kota kecil Bretton Woods, yang terletak di negara bagian New Hampshire Amerika Serikat. World Bank yang dahulu dikenal dengan International Bank of Reconstruction and Development (IBRD) juga didirikan pada tahun tersebut oleh negara Amerika, Ingris dan 42 negara lainnya. IMF bertugas di bidang moneter sedangkan World Bank di bidang pembangunan ekonomi. Lihat Ibid., h. 115.
(World Trade Organization).32 Sejak saat itulah suatu era baru telah muncul menggantikan era sebelumnya, yaitu globalisasi. Mengenai ketiga fase dominasi tersebut, Fakih menulis: “Secara teoritis sebenarnya tidak ada perubahan ideologi dari ketiga periode zaman tersebut, bahkan semakin bertambah canggih pendekatan, mekanisme, dan sistem yang secara ekonomis berwatak eksploitatif, secara politik berwatak represif, dan secara budaya berwatak hegemonik dan diskursif, dari sebagian kecil elit masyarakat yang dominan terhadap rakyat kecil.”33 Sesungguhnya, ada perbedaan antara fase pembangunan dan globalisasi, yaitu kalau pada fase pembangunan lebih menekankan pada pertumbuhan ekonomi nasional dan mereka lebih melihat ke dalam negeri sendiri, dalam era globalisasi mereka didorong untuk menjadi bagian dari pertumbuhan ekonomi global, di mana aktornya bukan hanya negara tetapi perusahaan transnasional (TNCs) dan bank-bank transnasional (TNBs), serta lembaga keuangan multilateral seperti Bank Dunia dan International Monetary Fund (IMF), serta birokrasi perdagangan regional dan global seperti WTO, Nafta, Apec, ASEAN, dan sebagainya.
C.
Aktor-aktor Globalisasi Globalisasi sebagai proses pengintegrasian ekonomi nasional ke dalam
sistem ekonomi dunia pada dasarnya diperankan oleh aktor-aktor utama proses tersebut. Ada tiga aktor utama, pertama, adalah perusahaan multinasional yang 32
GATT adalah forum yang didirikan pada tahun 1947 dengan tujuan untuk mengatur lalu lintas perdagangan internasional, dalam hal ini adalah perdagangan barang, dan sebagai sebuah forum GATT sifatnya tidak mengikat. Namun, kelak forum ini mengalami evolusi menjadi lebih mengikat setelah berubah menjadi WTO pada tahun 1995, ruang lingkupnya pun menjadi lebih luas, yakni meliputi tiga bidang: perdagangan barang (trade in goods), perdagangan jasa (trade in service), dan hak atas kekayaan intelektual terkait perdagangan (trade related intellectual property right). Lihat Bonnie Setiawan, “Antara Doha dan Cancun: Cengkeraman Neoliberalisme pada Tubuh WTO,” dalam I. Wibowo & Prancis Wahono, ed., Neoliberalisme, h. 85. 33 Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, h. 210.
besar yang dengan dukungan negara-negara yang dipengaruhi dan diuntungkan olehnya (yaitu negara maju)34 membentuk suatu dewan perserikatan perdagangan global yang dikenal dengan WTO yang kemudian menjadi aktor kedua. Ketiga, adalah lembaga keuangan global IMF dan Bank Dunia. Ketiga aktor globalisasi tersebut menetapkan aturan-aturan seputar investasi, Intelectual Property Rights dan kebijakan internasional. Kewenangan lainnya adalah mendesak atau mempengaruhi serta memaksa negara-negara melakukan penyesuaian kebijakan nasionalnya bagi kelancaran proses pengintegrasian ekonomi nasional ke dalam ekonomi global. Proses memperlicin jalan pengintegrasian tersebut ditempuh dengan cara mengubah semua aturan kebijakan yang menghalangi ketiga aktoraktor globalisasi, terutama perusahaan multinasional untuk beroperasi dalam bentuk ekspansi produksi, pasar, maupun ekspansi investasi. Berkaitan dengan hal tersebut Fakih menulis “...sesungguhnya globalisasi tidak ada sangkut pautnya dengan kesejahteraan rakyat ataupun keadilan sosial di negara-negara Dunia
34 Pengaruh negara-negara maju pada lembaga-lembaga internasional semacam IMF, Bank Dunia, dan WTO bisa dilihat dari sistem hak suara (voting strengths) di lembaga-lembaga tersebut. IMF dan Bank Dunia memiliki sistem suara yang ditentukan berdasarkan saham anggota. Hal itu dengan sendirinya akan membuat suara selalu didominasi negara yang memiliki saham lebih besar, dalam hal ini negara-neagra maju. Sistem demikian membuat berbagai kebijakan yang diambil lebih menguntungkan kepentingan negara maju. WTO memiliki sistem sedikit berbeda. Setiap negara anggota memiliki satu suara, dan ini membuat negara miskin dan negara berkembang yang bergabung di dalamnya dapat lebih berperan dalam memengaruhi proses pengambilan keputusan. Walaupun di atas kertas hal tersebut adalah benar, dalam kenyataan proses yang terjadi tidak semudah itu. Hal ini disebabkan karena dalam berbagai perundingan, di mana terdapat perbedaan pendapat sangat tajam, juga dilakukan pertemuan informal bersifat terbatas, baik pada tingkat menteri maupun pejabat tinggi. Pada pertemuan-pertemuan yang dikenal dengan green room, room F meeting, maupun Chairman Consultative Group (CCG), negara maju yang memiliki kepentingan berbeda dengan negara berkembang dan negara miskin dapat melakukan tekanan, terutama dengan menggunakan mekanisme bilateral untuk memastikan negara-negara berkembang dan miskin sepakat menerima kepentingan negara maju. Lihat Riza Pramahendra, “Tata Kelola Globalisasi dan Dampaknya Pekerjaan Rumah untuk Indonesia,” dalam Sugeng Bahagijo, ed., Globalisasi Menghempas Indonesia (Jakarta: LP3ES, 2006), h. 38-39.
Ketiga (termasuk Indonesia), melainkan lebih didorong demi motif kepentingan pertumbuhan dan akumulasi kapital berskala global...”35
35
Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, h. 216.
BAB III PARADIGMA KEDAULATAN NEGARA
A.
Makna dan Paradigma Kedaulatan Negara Sebelum membahas tentang kedaulatan negara, penulis terlebih dahulu akan
menjelaskan pengertian negara. Secara literal istilah negara merupakan terjemahan dari kata-kata asing, yakni state (bahasa Inggris), staat (bahasa Belanda dan Jerman), dan etat (bahasa Prancis). Kata staat, state, etat itu diambil dari kata bahasa Latin status atau statum, yang berarti keadaan yang tegak dan tetap atau sesuatu yang memiliki sifat-sifat yang tegak dan tetap. Kata status atau statum lazim diartikan sebagai standing atau station (kedudukan). Istilah ini dihubungkan dengan kedudukan persekutuan hidup manusia, yang juga sama dengan istilah status civitatis atau status republicae. Dari pengertian yang terakhir inilah, kata status pada abad ke-16 dikaitkan dengan negara.36 Penggunaan kata “negara” di Indonesia berasal dari bahasa Sansekerta nagari atau nagara, yang berarti wilayah, kota, atau penguasa.37 Secara terminologi, para pakar teori negara mengungkapkan definisi yang berbeda-beda, di antaranya adalah Roger H. Soltau yang mendefinisikan negara sebagai “alat (agency) atau wewenang (authority) yang mengatur atau mengendalikan persoalan-persoalan bersama, atas nama masyarakat,” Harold J. Laski mengatakan bahwa “negara adalah suatu masyarakat yang diintegrasikan karena mempunyai wewenang yang bersifat memaksa dan yang secara sah lebih 36
Tim ICCE UIN Jakarta, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani (Jakarta:UIN, 2004), h. 41. 37 Budiyanto, Dasar-dasar Ilmu Tata Negara (Jakarta: Erlangga, 2003), h. 3.
agung daripada individu atau kelompok yang merupakan bagian dari masyarakat itu. Masyarakat merupakan suatu kelompok manusia yang hidup dan bekerja sama untuk mencapai terkabulnya keinginan-keinginan mereka bersama,” Max Weber mengatakan “negara adalah satu-satunya lembaga yang memiliki keabsahan untuk menggunakan kekerasan terhadap warganya.” Dan masih banyak tokoh lain yang memiliki definisi berlainan. Namun, secara sederhana negara dapat diartikan dengan organisasi tertinggi di antara satu kelompok masyarakat yang mempunyai cita-cita untuk bersatu, hidup di daerah tertentu dan mempunyai pemerintahan yang berdaulat. Pengertian ini mengandung nilai konstitutif dari sebuah negara yang meniscayakan adanya unsur dalam sebuah negara, yakni adanya masyarakat (rakyat), adanya wilayah (daerah), dan adanya pemerintah yang berdaulat.38 Dari pengertian, dan teori negara di atas dapat kita mengerti bahwa negara merupakan organisasi yang di dalamnya terdapat kekuasaan yang besar. Meskipun para ahli bersepakat dengan definisi tersebut, namun, terdapat perbedaan pendapat mengenai dari mana sumber kekuasaan tersebut diperoleh oleh negara dan siapa atau lembaga apa di dalam negara yang memiliki wewenang memegang kekuasaan tersebut. Mengenai sumber kekuasaan, terdapat dua arus pemikiran yang berbeda pendapat mengenai dari manakah asal kekuasaan negara. Pendapat yang pertama diwakili oleh teori Teokrasi yang menyatakan bahwa asal atau sumber dari kekuasaan itu adalah dari Tuhan. Teori ini berkembang pada jaman abad pertengahan, yaitu dari abad IV sampai abad XV Masehi. Penganut dari teori ini
38
Tim ICCE UIN Jakarta, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, h. 42.
antara lain adalah Augustinus (354-430), Thomas Aquinas (1226-1274), dan Marsilius. Pendapat yang kedua adalah yang diberikan oleh teori hukum alam. Teori ini menyatakan bahwa kekuasaan itu berasal dari rakyat; kekuasaan yang ada pada rakyat ini tidak lagi dipandang berasal dari Tuhan, melainkan dari alam kodrat. Kemudian kekuasaan yang ada pada rakyat ini, melalui kontrak sosial, diserahkan kepada seseorang atau sekelompok orang (raja/pemerintah) untuk memerintah dan menyelenggarakan kepentingan masyarakat. Tokoh-tokoh teori ini antara lain: Thomas Hobbes, John Locke (1632-1704), dan J.J. Rousseau (1712-1778).39 Selanjutnya tentang pemilik kekuasaan di dalam negara. Dalam hal ini tentu yang dimaksud dengan kekuasaan adalah kekuasaan tertinggi atau kedaulatan. Kedaulatan berasal dari kata “daulat” yang dalam teori pemerintahan berasal dari kata daulah (Arab), sovereignity (Inggris), souvereiniteit (Prancis), supremus (Latin), dan sovranita (Italia) yang berarti “kekuasaan tertinggi.”40 Kekuasaan tertinggi berarti kekuasaan untuk dapat menentukan kebijakan pada taraf tertinggi dan terakhir. Dan secara istilah kedaulatan berarti “hak negara untuk melaksanakan kekuasaan penuh atas status kemerdekaannya tanpa boleh ada campur tangan dari pihak lain terhadap masalah internal maupun eksternalnya.”41 Salah satu pemikir yang mendefinisikan kedaulatan secara tegas adalah Jean Boddin, filosof Prancis yang hidup pada abad XVI, dengan mengatakan bahwa kedaulatan itu adalah kekuasaan tertinggi untuk menentukan hukum dalam suatu negara, yang sifatnya: tunggal, asli, abadi, dan tidak dapat dibagi-bagi. Tunggal artinya hanya negara yang memiliki. Jadi, di dalam negara tidak ada kekuasaan 39
Soehino, Ilmu Negara, cet. II (Yogyakarta: Liberty, 1981), h. 150. Budiyanto, Dasar-dasar Ilmu Tata Negara, h. 24. 41 B. N. Marbun, Kamus Politik (Jakarta: Sinat Harapan, 2007), h. 237. 40
lain yang berhak menentukan atau membuat undang-undang. Asli berarti kekuasaan itu tidak berasal dari kekuasaan lain yang lebih tinggi. Abadi artinya kekuasaan itu tetap ada selama negara itu berdiri sekalipun pemegang pemerintahan sudah berganti-ganti. Dan tidak dapat dibagi-bagi berarti bahwa kedaulatan itu tidak dapat diserahkan kepada orang atau badan lain, baik sebagian maupun seluruhnya. Bila ada kekuasaan lain yang membatasinya, tentu kekuasaan tertinggi yang dimilikinya akan lenyap.42 Mengenai siapakah yang memiliki kedaulatan di dalam negara terdapat lima teori berbeda yang menjelaskan, yaitu (1) teori kedaulatan Tuhan, (2) teori kedaulatan raja, (3) teori kedaulatan negara, (4) teori kedaulatan hukum, dan (5) teori kedaulatan rakyat. 1. Kedaulatan Tuhan Di antara teori kedaulatan lainnya, teori kedaulatan Tuhan dianggap yang paling tua atau paling dulu muncul. Teori ini memandang bahwa Tuhanlah yang memiliki kedaulatan dalam sebuah negara. Teori ini berkembang pada abad IV sampai abad XV Masehi dan sangat erat kaitannya dengan agama Kristen. Para penganut teori ini kesemuanya adalah penganut teori teokrasi yaitu Augustinus, Thomas Aquinas, dan Marsilius. Augustinus mengatakan bahwa yang memiliki kedaulatan adalah Tuhan dan Paus menjadi wakil Tuhan di dunia untuk menjalankan kedaulatannya. Tetapi Paus harus berbagi tugas dengan raja; Paus dalam urusan keagamaan dan raja dalam urusan keduniawian.
42
Soehino, Ilmu Negara, h. 79.
Pandangan Marsilius agak berbeda, dia hanya menitikberatkan pemegang kedaulatan di dunia hanya kepada raja. Akibat dari ajaran ini pada masa itu adalah tindakan para raja yang sewenang-wenang, mereka merasa berkuasa untuk berbuat apa saja menurut kehendaknya, dengan alasan bahwa perbuatannya itu adalah sudah menjadi kehendak Tuhan. Raja tidak merasa bertanggung jawab kepada siapapun kecuali kepada Tuhan.43 2. Kedaulatan Raja Teori kedaulatan raja ini sesungguhnya tak berbeda jauh dengan teori kedaulatan Tuhan. Teori ini berkembang pada sekitar abad XV. Teori ini dilatarbelakangi oleh perkembangan kekuasaan yang sudah bergeser dari Gereja (Paus) ke Raja. Tokoh-tokoh yang mempopulerkan teori ini di antaranya adalah: Niccolo Machiavelli, Jean Boddin, Thomas Hobbes, dan G.W.F. Hegel. Umumnya mereka benpendapat bahwa kedaulatan negara terletak di tangan raja, karena raja dianggap sebagai penjelmaan kehendak Tuhan dan raja juga merupakan bayangan dari Tuhan di bumi ini. Agar negara kuat, raja harus berkuasa mutlak dan tak terbatas; posisi raja berada di atas undang-undang; dan rakyat harus rela menyerahkan hak-hak asasi dan kekuasaannya secara mutlak kepada raja.44 Contoh negara yang menerapkan teori ini adalah Prancis pada masa dipimpin oleh Raja Louis XIV (1643-1715) dengan ucapannya yang amat terkenal “L’Etat C’est Moi” yang berarti, “negara adalah saya.” 3. Kedaulatan Negara
43
Soehino, Ilmu Negara, h. 153. Budiyanto, Dasar-dasar Ilmu Tata Negara, h. 26.
44
Teori ini berkembang di Eropa antara abad XV-XIX. Diilhami oleh gerakan Renaissance dan ajaran Niccolo Machiavelli tentang negara sebagai sentral kekuasaan. Teori ini memandang bahwa kekuasaan pemerintah bersumber dari kedaulatan negara (staats-souvereiniteit); negara dianggap sebagai sumber kedaulatan yang memiliki kekuasaan tidak terbatas; karena negara abstrak, maka kekuasaannya diserahkan kepada raja atau presiden atas nama negara; negaralah yang menciptakan hukum. Oleh sebab itu, negara tidak wajib tunduk kepada hukum. Tokoh yang mendukung teori ini di antaranya adalah: George Jellinek, Paul Laband, Adolf Hitler, dan B. Mussolini. Khusus kedua tokoh yang disebutkan belakangan bahkan mempraktekkannya ketika mereka masing-masing menjadi pemimpin negara Jerman dan Italia. Mereka menganggap dirinya sebagai pusat kekuasaan negara serta memerintah secara totaliter dan sentralistis.45 Kusnardi dan Bintan Saragih melihat teori ini hanya sekedar untuk merevitalisasi teori kedaulatan raja yang sebelumnya sudah usang dan tergantikan oleh teori kedaulatan rakyat. Teori kedaulatan negara juga mengadopsi logika teori kedaulatan rakyat, bahwa jika rakyat berdaulat, berarti juga negara yang berdaulat karena negara adalah bentukan rakyat. Akan tetapi karena negara itu mempunyai arti yang abstrak, timbul pertanyaan siapakah yang memegang kekuasaan negara. Maka yang memegang kedaulatan dalam negara tidak lain dan tidak bukan adalah raja sendiri. Pengertian negara yang abstrak itu dikongkritkan dalam tubuh raja.
45
Budiyanto, Dasar-dasar Ilmu Tata Negara, h. 26.
Ajaran itu disebut Verkulpringstheorie yang artinya negara menjelma dalam tubuh raja.46 4. Kedaulatan Hukum Teori ini berkembang setelah Revolusi Prancis dan diilhami oleh semboyan rakyat Prancis ketika itu, yaitu Liberte (kebebasan); Egalite (persamaan); dan Fraternite (persaudaraan) yang ingin hidup lepas dari kesewenang-wenanganan penguasa (raja). Tokohnya yang terkenal antara lain adalah H. Krabbe, Immanuel Kant, dan Kranenburg. Menurut teori ini yang memiliki bahkan yang merupakan kekuasaan tertinggi di dalam suatu negara adalah hukum. Karena baik raja/penguasa, rakyat/warganegara, maupun negara itu sendiri tunduk kepada hukum. Semua sikap, tingkah laku, dan perbuatannya harus sesuai dengan ketentuan hukum; yang berdaulat adalah hukum; dan setiap tindakan negara harus didasarkan pada hukum. Lalu apa yang menjadi sumber hukum? Menurut Krabbe sumber itu adalah rasa keadilan dan kesadaran hukum yang terdapat di dalam jiwa masyarakat. Hukum itu tidaklah lahir dari kehendak negara, artinya hukum itu terlepas dari kehendak negara. Hal ini berkaitan dengan teorinya yang mengatakan bahwa hukum itu adalah salah satu dari sekian banyak jenis perasaan kita. Krabbe menambahkan selain manusia punya rasa susila, keindahan, keagungan dan sebagainya, ia juga punya rasa hukum. Hukum adalah bagian dari jiwa manusia, misalnya, ketika melihat sesuatu yang janggal pastilah jiwa kita akan berkata hal itu tidak sesuai. Oleh karenanya, 46
Moh. Kusnardi dan Bintan Saragih, Ilmu Negara, cet.III (Jakarta: Gaya Media Pratama),
h. 122.
kesadaran hukum juga adalah salah satu fungsi dari jiwa manusia. Jadi, karena hukum adalah jiwa dan perasaan kita, maka ia berada di luar kehendak kita dan bahkan negara.47 5. Kedaulatan Rakyat Pengaruh dari teori kedaulatan hukum di atas adalah lahirnya teori kedaulatan rakyat, karena teori kedaulatan hukum tersebut menempatkan rakyat tidak hanya sebagai objek, tetapi juga subjek dalam negara. Teori kedaulatan rakyat muncul pada abad XVII dan terus berkembang hingga sekarang. Di antara tokoh-tokohnya yang terkenal adalah John Locke, Montesquieu, dan J. J. Rouseau. Teori ini memandang bahwa yang memiliki dan menjadi sumber kedaulatan sebuah negara adalah rakyat. Jadi, yang berdaulat adalah rakyat. Rakyat merupakan kesatuan yang dibentuk oleh individu-individu melalui perjanjian masyarakat (social contract), kemudian rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi memberikan sebagian haknya kepada penguasa untuk kepentingan bersama. Penguasa dipilih dan ditentukan atas dasar kehendak rakyat/umum (volonte generale) melalui perwakilan yang duduk di dalam pemerintahan. Namun, pemerintah tidak memerintah secara absolut, karena pemerintah yang berkuasa tidak serta merta menguasai hak rakyat sepenuhnya.48 Dari pembahasan tentang teori-teori kedaulatan di atas, tiga teori yang dibahas terlebih dahulu (kedaulatan Tuhan, raja, dan negara) mengarah kepada absolutisme kekuasaan negara yang pada umumnya dipegang oleh seorang raja. 47
Soehino, Ilmu Negara, h. 156-157. Budiyanto, Dasar-dasar Ilmu Tata Negara, h. 26.
48
Namun, seiring perkembangan zaman dan pengaruh teori demokrasi modern, pada saat ini teori-teori tersebut tergantikan oleh teori kedaualatan rakyat yang mengidealkan kekuasaan/kedaulatan berada di tangan rakyat, karena negara terbentuk berdasarkan kehendak rakyat, bahkan kalaupun raja yang memimpin negara tersebut hal itu karena persetujuan dari rakyat. Karena rakyat banyak maka tidak mungkin jika rakyat bersama-sama menjalankan pemerintahan berdasarkan kedaulatan yang mereka miliki, akan tetapi rakyat menunjuk dan menentukan pemerintah untuk mengatur negara sesuai dengan kehendak mereka. Paul Hirst dan Grahame Thompson menamakan kedualatan seperti ini sebagai kedaulatan yang demokratis.49 Selanjutnya, kedaulatan yang dimiliki tiap negara mempunyai kekuatan yang berlaku
ke dalam
(interne-souvereiniteit) dan ke
luar (externe-
souvereiniteit). Kedaulatan ke dalam berarti bahwa pemerintah/negara memiliki wewenang tertinggi dalam mengatur dan menjalankan organisasi negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan kedaulatan ke luar berarti pemerintah berkuasa bebas, tidak terikat dan tidak tunduk kepada kekuatan lain, selain ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan.50 Demikian juga, negara lain harus pula menghormati kekuasaan negara yang bersangkutan, dengan tidak mencampuri urusan dalam negerinya. Hal ini senada dengan yang dikatakan oleh Paul Hirst dan Grahame Thompson bahwa “setiap negara adalah berdaulat dan karena itu setiap negara menentukan di dalam dirinya kebijakan internal dan eksternalnya.”51
49 Paul Hirst dan Grahame Thompson, Globalisasi Adalah Mitos. Penerjemah P. Soemitro (Jakarta: YOI, 2001), h. 263. 50 Budiyanto, Dasar-dasar Ilmu Tata Negara, h. 25. 51 Paul Hirst dan Grahame Thompson, Globalisasi Adalah Mitos, h. 260.
Jadi, kedaulatan negara yang dimaksud dalam skripsi ini adalah kedaulatan yang dimiliki oleh rakyat yang kemudian diserahkan kepada negara atau lebih tepatnya kepada pemerintah untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan cita-cita dibangunnya negara. Lebih tegasnya, kamus politik mengartikan kedaulatan negara sebagai “hak negara untuk melaksanakan kekuasaan penuh atas status kemerdekaannya tanpa boleh ada campur tangan dari pihak lain terhadap masalah internal maupun eksternalnya. Setiap negara bebas untuk membuat keputusan sendiri.”52 Sehingga negara yang berdaulat adalah negara yang bisa menentukan nasib bangsanya sendiri (otonom) tanpa intervensi negera manapun. Soekarno mencatat bahwa setidaknya negara yang memiliki kedaulatan harus memenuhi tiga kriteria, yaitu (1) berdaulat dalam bidang politik, (2) berdikari dalam bidang ekonomi, dan (3) berkepribadian dalam budaya. 53 Berdaulat dalam bidang politik mengisyaratkan bahwa secara politik negara harus merdeka dan bebas dari segala bentuk penjajahan, dan bebas dari intervensi lembaga manapun dalam menentukan kebijakan. Secara ekonomi, kemandirian sebuah negara amat penting, kemandirian perekonomian sebuah negara mencegah terjadinya intervensi atau campur tangan pihak asing dalam mewujudkan kesejahteraan rakyatnya. Misalnya dalam hal pengelolaan sumber daya alam, negara berhak atas apa yang terkandung di dalam wilayahnya dan mengelolanya sebaik mungkin untuk kepentingan rakyatnya. Berkepribadian dalam budaya menjadi penting karena kebudayaan erat kaitannya dengan karakter suatu negarabangsa dan rasa nasionalisme masing-masing warga negaranya. Sebuah negara 52
B. N. Marbun, Kamus Politik, h. 237. Pravendi Januarsa, “Globalisasi dalam Tinjauan Kritis Soekarno,” artikel diakses pada 08 Agustus 2008 dari http://www.pdiperjuangan-jatim.org/v03/index.php?mod=berita&id=135 53
harus
memiliki
kebudayaan
yang
berkepribadian
untuk
menjaga
agar
eksistensinya tetap kokoh di tengah gempuran budaya-budaya asing. Ketiga kriteria kedualatan negara yang disebutkan oleh Soekarno seperti dijelaskan di atas merupakan syarat mutlak agar eksistensi negara dengan kedaulatannya tetap terjaga di tengah hegemoni globalisasi seperti yang terjadi saat ini. Globalisasi dengan implikasi negatif yang dibawanya benar-benar mengancam eksistensi kedaulatan negara dalam tiga bidang yang disebutkan oleh kriteria tersebut. Dalam bidang politik negara terancam dengan intervensi negara tertentu dalam mendesakkan kepentingannya, terutama dengan dalih menjaga ketertiban-keamanan dunia dan pengelolaan sumber daya alam. Dalam bidang ekonomi negara juga terancam dengan ekspansi modal besar-besaran yang tak mengenal
batas
negara
dan
cengkeraman
perusahaan-perusahaan
multinasional/transnasional yang mengeruk sumber daya alamnya dengan dukungan lembaga-lembaga internasional yang sangat berpengaruh. Dan dalam bidang budaya, dengan dukungan kemajuan di bidang teknologi dan informasi, negara mendapat ancaman dari budaya asing yang bertentangan dengan budaya lokal yang mampu merangsek sampai ke pelosok suatu negara.
B.
BATAS-BATAS KEDAULATAN NEGARA Agar kekuasaan negara—dengan kedaulatannya—tidak menjadi absolut dan
jelas, maka diperlukan pembatasan-pembatasan yang jelas. Pembatasan tersebut terjadi diberbagai aspek, seperti pada pembatasan kekuasaan lembaga-lembaga negara yang tertuang dalam bentuk pemisahan atau pembagian kekuasaan, kemudian pembatasan kedaulatan pada wilayah kekuasaan suatu negara, dan
pembatasan kedaulatan pada hukum dasar (konstitusi), karena negara yang berdaulat biasanya selalu diiringi dengan bentuk negara yang berdasarkan hukum, seperti Indonesia. Hal pertama yang harus dibatasi adalah kepemilikan kekuasaan antar lembaga yang terdapat dalam negara. Pembatasan ini biasa disebut sebagai pemisahan atau pembagian kekuasaan. Doktrin mengenai pemisahan kekuasaan (separation of power) pertama kali dikemukakan oleh John Locke, filosof Inggris yang hidup pada tahun 1632-1704, dalam buku Two Treaties On Civil Goverment. Dalam buku itu Locke menyebut bahwa kekuasaan negara terdiri atas tiga macam (Trias Politica), yaitu kekuasaan eksekutif, legislatif, dan federatif.54 Kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan yang melaksanakan undang-undang, misalnya raja dan presiden, sedangkan kekuasaan legislatif merupakan lembaga perumus undang-undang dan peraturan-peraturan hukum fundamental negara lainnya. Menurut Locke kekuasaan legislatif ini tidak bisa dialihkan kepada siapa pun atau lembaga manapun karena pada hakekatnya kekuasaan legislatif adalah manifestasi pendelegasian kekuasaan rakyat pada negara. Kekuasaan
legislatif
dijalankan
oleh
parlemen
yang
merupakan
pengejawantahan atau bentuk representasi semua kelas sosial masyarakat baik kaum bangsawan, orang-orang kaya maupun rakyat jelata. Kekuasaan suara di parlemen itu menurut Locke ditentukan oleh prinsip mayoritas. Mengenai kekuasaan federatif, Locke berpendapat bahwa kekuasaan itu berkaitan dengan masalah hubungan luar negeri, kekuasaan menentukan perang,
54
Budiyanto, Dasar-dasar Ilmu Tata Negara, h. 48.
perdamaian, liga dan aliansi antar negara, dan transaksi-transaksi dengan negara asing.55 Dengan pemisahan kekuasaan seperti ini, Locke berharap penyalahgunaan kekuasaan oleh penguasa dapat dicegah, sekaligus menjamin hak-hak warga negara. Pemikiran Locke tentang pemisahan kekuasaan dikembangkan lebih lanjut oleh filsuf Prancis Montequieu (1689-1755) dalam bukunya L’Esprit Des Lois (The Spirit of The Laws) yang membagi Trias Politica dalam bentuk kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Mengenai kekuasaan eksekutif dan legislatif, pandangan Montesquieu tidak berbeda dengan pendapat Locke, perbedaannya hanya pada kekuasaan yudikatif. Menurut Montesquieu kekuasaan yudikatif adalah lembaga yang tugas utamanya mengadili pelanggaran undang-undang. Konkritnya di Indonesia lembagalembaga tersebut adalah Presiden (eksekutif), DPR (legislatif), dan Mahkamah Agung (yudikatif). Doktrin pemisahan kekuasaan ini (terutama pandangan Montesquieu) berlangsung di banyak negara pada masa sekarang, misalnya Amerika Serikat, sebagian besar negara di Eropa, Indonesia, dan lain-lain. Namun, seiring perkembangan zaman, penerapannya berbeda dengan konsep aslinya, artinya pemisahan kekuasaan antar ketiga lembaga (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) tidak berjalan secara tegas dan banyak mengalami perkembangan atau tegasnya, menurut Miriam Budiarjo, telah bergeser menjadi pembagian kekuasaan (division of powers). Misalnya seperti yang terjadi di Amerika, dengan asumsi bahwa kekuasaan yang terdapat dalam lembaga-lembaga negara tersebut bisa saja
55
Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat (Jakarta: Gramedia, 2001), h. 203.
diselewengkan oleh pemegang kekuasaannya, maka diperlukan sistem “checks and balaces” untuk membendung kecenderungan penyalahgunaan kekuasaan tersebut.56 Sistem ini menggambarkan bahwa setiap cabang kekuasaan dapat mengawasi dan mengimbangi cabang kekuasaan lainnya. Misalnya, presiden diberi wewenang untuk memveto rancangan undang-undang yang telah disepakati oleh Congress, akan tetapi dipihak lain veto ini dapat dibatalkan oleh Congress dengan dukungan 2/3 dari Majelis. Mahkamah Agung mengadakan check terhadap badan eksekutif dan badan legislatif melalui judicial review (hak uji), dan di lain pihak Hakim Agung yang telah diangkat oleh badan eksekutif dapat diberhentikan oleh Congress jika ternyata melakukan tindakan kriminal. Praktek pembagian kekuasaan seperti di atas juga terjadi di Indonesia. Badan eksekutif di Indonesia tidak hanya bertindak sebagai pelaksana undangundang atas persetujuan parlemen, tetapi juga bergerak dalam bidang legislatif, misalnya, menyusun rancangan undang-undang, membuat Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, dan sebagainya. Pemerintah juga berkecimpung di bidang yudikatif, misalnya memberi grasi, amnesti, sedangkan kekuasaan yudikatif dijalankan oleh Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman, Komisi Yudisial, dan Mahkamah Konstitusi. Pembatasan kedaulatan yang kedua adalah dalam bidang wilayah. Oleh karena dunia ini tidak hanya dihuni oleh satu negara tetapi banyak negara, maka masing-masing negara memiliki kedaulatan dalam wilayah yang dikuasai atau didiaminya. Untuk menciptakan ketertiban kepemilikan wilayah maka diaturlah
56
Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, cet.xxv (Jakarta:Gramedia, 2003), h. 153.
perjanjian internasional mengenai kedaulatan wilayah masing-masing negara, baik di wilayah darat, air, maupun udara. Pengaturan tegas mengenai batas wilayah ini menjadi penting karena wilayah merupakan tempat berlindung bagi rakyat sekaligus
sebagai
tempat
bagi
pemerintah
untuk
mengorganisir
dan
menyelenggarakan pemerintahan. Penentuan batas-batas suatu wilayah daratan, baik yang mencakup dua negara atau lebih, pada umumnya berbentuk perjanjian atau traktat. Misalnya: 1. Traktat antara Belanda dan Inggris pada tanggal 20 Juli 1891 menentukan batas wilayah Hindia Belanda di Pulau Kalimantan. 2. Perjanjian antara Republik Indonesia dan Australia mengenai garis-garis batas tertentu dengan Papua Nugini yang ditandatangani pada tanggal 12 Februari 1973.57 Mengenai wilayah lautan, pada awalnya terdapat dua konsepsi pokok mengenai wilayah lautan, yaitu res nullius dan res communis. Res nullius adalah konsepsi yang menyatakan bahwa laut itu dapat diambil dan dimiliki oleh masingmasing negara. Konsepsi ini dikembangkan oleh John Sheldon (1584-1654) dari Inggris dalam buku Mare Clausum atau The Right and Dominion of The Sea. Sedangkan Res communis adalah konsepsi yang beranggapan bahwa laut itu adalah milik masyarakat dunia sehingga tidak dapat diambil atau dimiliki oleh masing-masing negara. Konsepsi ini kemudian dikembangkan oleh Grotius dari Belanda pada tahun 1608 dalam buku Mare Liberum (laut bebas). Karena konsepsi inilah, kemudian Grotius dianggap sebagai bapak hukum internasional.58
57
Budiyanto, Dasar-dasar Ilmu Tata Negara, h. 21. Ibid., h. 21.
58
Dewasa ini, masalah wilayah lautan telah memperoleh dasar hukum, yaitu Konferensi Hukum Laut Internasional III tahun 1982 yang diselenggarakan oleh PBB atau United Nations Conference on The Law of The Sea (UNCLOS) di Jamaica. Konferensi PBB itu ditandatangani oleh 119 peserta dari 117 negara dan 2 organisasi kebangsaan di dunia tanggal 10 Desember 1982. Dalam bentuk traktat multilateral, batas-batas laut terinci sebagai berikut.59 a) Batas Laut Teritorial Setiap negara mempunyai kedaulatan atas laut teritorial yang jaraknya sampai 12 mil laut, diukur dari garis lurus yang ditarik dari pantai. b) Batas Zona Bersebelahan Sejauh 12 mil laut di luar batas laut teritorial atau 24 mil dari pantai adalah batas zona bersebelahan. Di dalam wilayah ini negara pantai dapat mengambil tindakan dan menghukum pihak-pihak yang melanggar undangundang bea-cukai, fiskal, imigrasi, dan ketertiban negara. c) Batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) ZEE adalah wilayah laut dari suatu negara pantai yang batasnya 200 mil laut diukur dari pantai. Di dalam wilayah ini, negara pantai yang bersangkutan berhak menggali kekayaan alam lautan serta melakukan kegiatan ekonomi tertentu. Negara lain bebas berlayar atau terbang di atas wilayah itu, serta bebas pula memasang kabel dan pipa di bawah lautan itu. Negara pantai yang bersangkutan berhak menangkap nelayan asing yang kedapatan menangkap ikan dalam ZEE-nya. d) Batas Landas Benua
59
Ibid., h. 22.
Landas benua adalah wilayah lautan suatu negara yang lebih dari 200 mil laut. Dalam wilayah ini negara pantai boleh mengadakan eksplorasi dan eksploitasi, dengan kewajiban membagi keuntungan dengan masyarakat internasional. Sedangkan untuk masalah wilayah udara pada saat ini belum ada kesepakatan di forum internasional mengenai kedaulatan di ruang udara. Pasal 1 Konvensi Paris 1919 yang kemudian diganti oleh pasal 1 Konvensi Chicago 1944 menyatakan bahwa setiap negara mempunyai kedaulatan yang utuh dan eksklusif di ruang udara di atas wilayahnya, artinya negara berhak mengadakan eksplorasi dan eksploitasi di wilayah udaranya, misalnya untuk kepentingan radio, satelit, dan penerbangan. Mengenai ruang udara (air space), di kalangan para ahli masih terjadi silang pendapat karena berkaitan dengan batas jarak ketinggian di ruang udara yang sulit diukur. Sebagai contoh, Indonesia, menurut undang-undang no. 20 tahun 1982 menyatakan bahwa wilayah kedaulatan dirgantara yang termasuk orbit geo-stationer adalah 35.761 km.60 Para ahli yang berbeda pendapat mengenai batas wilayah udara di antaranya adalah Lee, Von Holzen Dorf, dan Henrich’s yang masing-masing berpendapat:61 1. Lee Ia berpendapat bahwa lapisan atmosfir dalam jarak tembak meriam yang dipasang di darat dianggap sama dengan udara teritorial negara. Di luar jarak tembak itu, harus dinyataka sebagai udara bebas, dalam arti dapat dilalui oleh semua pesawat udara negara manapun. 2. Von Holzen Dorf 60
Ibid., h. 23. Ibid.
61
Ia menyatakan bahwa ketinggian ruang udara adalah 1.000 meter dari titik permukaan bumi yang tertinggi. 3. Henrich’s Ia menyatakan bahwa negara dapat berdaulat di ruang atmosfir selama masih terdapat gas atau partikel-partikel udara atau pada ketinggian 196 mil. Di luar atmosfir, negara sudah tidak lagi mempunyai kedaulatan.
Batasan kedaulatan negara selanjutnya adalah melalui hukum (konstitusi), pembatasan oleh hukum seperti ini terjadi pada negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat), artinya negara dalam melaksanakan akstivitasnya (penyelenggaraan pemerintahannya) tidak boleh berdasarkan atas kekuasaan belaka tetapi harus berdasarkan pada hukum yang berlaku. Kata konstitusi berasal dari bahasa Prancis Constitur yang berarti membentuk. Dalam bahasa Belanda istilah konstitusi dikenal dengan istilah Grondwet, yang berarti undang-undang dasar. Sedangkan di Jerman dikenal dengan istilah Grundgesetz, yang juga berarti undang-undang dasar. Secara terminologi Konstitusi berarti sejumlah aturan-aturan dasar dan ketentuanketentuan hukum yang dibentuk untuk mengatur fungsi dan struktur lembaga pemerintahan termasuk dasar hubungan kerja sama antara negara dan masyarakat (rakyat) dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara.62 Konstitusi juga dapat dipahami sebagai bagian dari social contract (kontrak sosial) yang memuat aturan main dalam berbangsa dan bernegara antara rakyat dan negara, di
62
Tim ICCE UIN Jakarta, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, h. 91-
90.
dalamnya diatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban rakyat/warga negara dan alatalat pemerintahan negara. Seperti sudah disinggung di atas bahwa konstitusi berfungsi untuk memberikan pembatasan sekaligus pengawasan terhadap kekuasaan politik. Namun selain itu,
konstitusi juga berfungsi untuk menjamin hak-hak
warganegara, seperti yang dikatakan oleh Miriam Budiarjo: “Undang-undang dasar mempunyai fungsi yang khas yaitu membatasi kekuasaan pemerintah sedemikian rupa sehingga penyelenggaraan kekuasaan tidak bersifat sewenang-wenang. Dengan demikian diharapkan hak-hak warga negara akan lebih terlindungi.”63
Selain sebagai pembatasan terhadap kekuasaan negara dan cerminan bagi terjaminnya hak-hak warganegara, konstitusi juga berfungsi sebagai gambaran ruang lingkup kedaulatan negara. Konstitusi negara Indonesia yang kemudian dikenal dengan Undang-undang Dasar 1945, menggambar ketiga fungsi tersebut.
C.
Kedaulatan Negara di dalam Konstitusi Di dalam teks pembukaan (prembule) UUD 1945 Indonesia menyatakan
dengan tegas kemerdekaannya, dengan bunyi kalimat “...maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya...” dan dengan kalimat “dan perjuangan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur” negara Indonesia menyatakan dirinya telah berdaulat, artinya merdeka dan bebas dari segala bentuk penjajahan. Kemudian, kedualatan negara Indonesia
63
Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, h. 96.
berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang (ayat 2 Pasal 1).64 Ini berarti bahwa kedaulatan tidaklah dipegang oleh satu atau sekelompok orang saja. Dan dengan semangat kedaulatan rakyat maka di Indonesia dibentuk badan-badan penyelenggara negara yang mencerminkan kedaulatan rakyat tersebut, seperti MPR, DPR, DPD, Presiden, MA, dan lain-lain. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) berwenang mengubah dan menetapkan undang-undang dasar. Majelis ini juga bertugas untuk melantik presiden dan/atau wakil presiden, dan bahkan dapat memberhentikan mereka dalam masa jabatannya menurut undang-undang. Keanggotaan MPR terdiri atas Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang anggotanya dipilih melalui pemilihan umum (Pasal 2 & 3). DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang, lembaga ini memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Dewan ini juga memiliki hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat (Pasal 20 & 20A). Sedangkan DPD adalah lembaga yang anggotanya dipilih dari setiap provinsi yang masing-masing provinsi memiliki jumlah anggota yang sama. DPD dapat mengajukan kepada DPR dan bersama-bersama membahas rancangan undang-undang, serta mengawasi pelaksanaan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dengan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah (Pasal 22C & 22D).
64
“UUD ’45 Amandemen I, II, III, IV” (Jakarta: Bintang Indonesia, 2004), h. 3.
Lembaga-lembaga seperti MPR, DPR, dan DPD, seperti disebutkan di atas, menurut UUD merupakan lembaga legislatif, artinya pemegang kekuasaan legislasi. Sedangkan pemegang kekuasaan eksekutif adalah Presiden. Presiden dan wakil presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat (Pasal 6A). Presiden adalah pemegang kekuasaan pemerintahan, dalam melakukan kewajibannya presiden dibantu oleh satu orang wakil presiden (Pasal 4); dan dalam struktur kekuasaan eksekutif Presiden juga dibantu oleh dewan pertimbangan yang dibentuk olehnya dan bertugas untuk memberikan nasehat dan pertimbangan (Pasal 16); dan menteri-menteri yang dibentuk olehnya (Pasal 17); dalam urusan dengan daerah Presiden juga dibantu oleh pimpinan daerah, seperti Gubernur dan Bupati/walikota, yang masing-masing dipilih secara demokratis oleh warga daerah tersebut (Pasal 18). Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR, dan Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya (Pasal 5). Kekuasaan kehakiman di Indonesia dilakukan oleh sebuah lembaga Mahkamah Agung (MA) dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi (Pasal 24). Mahmakah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undangundang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang (Pasal 24A). Sedangkan Mahkamah Konstitusi mengadili pada tingkat pertama
dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar, memutus pembubaran partai politik, dan mumutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum (Pasal 24C). Selain dua lembaga tersebut, dalam bidang kehakiman Indonesua juga memiliki Komisi Yudisial yang sala satu wewenangnya adalah mengusulkan pengangkatan hakim agung dan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim (Pasal 24B). Kesemua tugas dan wewenang lembaga-lembaga negara dijalankan berdasarkan kemerdekaan negara, tidak boleh ada campur tangan dari manapun, termasuk intervensi dari negara lain dan/atau dari lembaga-lembaga internasional. Karena kekuasaan dan kewenangan suatu negara dalam mengatur kehidupan dirinya adalah cerminan dari kedaulatan negara tersebut. Kemerdekaan yang telah diperoleh Indonesia tidaklah diperuntukkan untuk menjajah bangsa lain, tetapi diperuntukkan untuk memajukan kesejahteraan dan kecerdasan rakyatnya, sekaligus juga untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia. Seperti yang termaktub dalam pembukaan UUD ’45 yaitu: “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.”65
Di
sini
terlihat
bahwa
negara
yang
telah
memperoleh
kemerdekaan/kedaulatan memiliki fungsi untuk memajukan kesejahteraan bangsanya. Negara Indonesia dalam hal mewujudkan kesejahteraan sosial dan 65
Ibid., h. 2.
perekonomian nasional mengaturnya dalam konstitusi (UUD 1945) yang tertuang dalam pasal 33 dan 34. Kedua pasal tersebut berbunyi: Pasal 33 ayat (1) perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan, (2) cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara, (3) bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, (4) perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip keadilan, kebersamaan, efisiensi, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.66 Pasal 34 ayat (1) fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara, (2) negara mengembangkan sistem jaringan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan, (3) negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.67 Dalam pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang-seorang. Sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Kalau tidak, tampuk produksi jatuh ke tangan orang-seorang yang berkuasa dan rakyat yang banyak akan tertindas. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung dalam 66
Ibid., h. 25-26. Ibid., h. 26.
67
bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Cerminan kedaulatan ekonomi dan politik negara Indonesia seperti yang termaktub dalam konstitusi, sebenarnya juga dianut oleh negara-negara lain di dunia. Setiap negara di dunia dengan kedaulatan yang dimilikinya berhak mengatur dan mengeluarkan kebijakan dalam bidang politik, ekonomi, sosial, dan lainnya di dalam kedaulatan wilayahnya untuk kepentingan negara dan warganya.
BAB IV PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP KEDAULATAN NEGARA INDONESIA
A. Globalisasi dan Peminggiran Peran Negara Pada era globalisasi ini negara dituntut harus melakukan kebijakan deregulasi, melakukan liberalisasi ekonomi, membuka selebar-lebarnya jalan bagi investasi asing, menurunkan tarif impor, dan melakukan privatisasi. Tuntutantuntutan tersebut sebenarnya mengarah kepada minimalnya peran negara karena doktrin ekonomi-politik yang dibangun pada era globalisasi ini adalah doktrin ideologi neoliberalisme yang memandang pertumbuhan ekonomi suatu negara hanya akan terjadi jika negara membuka pasar selebar-lebarnya bagi investasi dan negara tidak ikut campur dalam perekonomian biarkan pasar yang menentukan (pasar bebas). Teori mengenai mekanisme pasar bebas ini sebenarnya pertama kali dicetuskan oleh Adam Smith melalui teori “absolute advantage” yang dikemukakannya dalam buku The Wealth of Nation. Smith mengajarkan bahwa semua bangsa akan mendapat untung jika mengadakan perdagangan dan mendukung kebijakan laissez faire (pasar bebas). Perdagangan bebas akan membuat sumberdaya dunia dipakai secara amat efisien dan dengan demikian akan menghasilkan kesejahteraan dunia secara maksimal. Selanjutnya pemikirin Smith ini dikembangkan oleh David Ricardo dengan teori “comparative advantage” dalam bukunya Principles of Political Economy and Taxation (1817), dengan teorinya ini Ricardo berpendapat bahwa, karena setiap negara pasti
memiliki keunggulan dalam hal produksi yang berbeda dengan negara lainnya, maka alangkah lebih baik jika masing-masing negara mengonsentrasikan produksi pada produk-produk unggulan tersebut dan kemudian, untuk mendapatkan produk lain, negara melakukan perdagangan dengan negara lainnya yang memiliki keunggulan produk yang berbeda.68 Perkembangan selanjutnya dari perkembangan perdagangan bebas ini adalah munculnya teori “competitive advantage” yang dituangkan oleh Michael Porter dalam bukunya The Competitive Advantage of Nation (1990). Dalam teori ini, negara tidak hanya berdagang tetapi juga bersaing. Kalau sebuah negara ingin memperoleh kemakmuran (diukur dengan pertumbuhan ekonomi tinggi), ia harus bersaing dengan negara-negara lain untuk merayu modal yang dimiliki oleh perusahaan-perusahaan multinasional yang jumlahnya terbatas itu. Dalam rangka persaingan inilah negara berlomba mengurangi hambatan untuk terjadinya perdagangan
bebas
maupun
masuknya
investor,
dan
sekaligus
juga
mengembangkan kekayaan yang dimilikinya seperti struktur ekonomi nasional, nilai-nilai, kultur, dan sejarah bangsa. I. Wibowo berpendapat bahwa teori competitive advantage merupakan revisi radikal terhadap teori comparative advantage karena dalam teori baru itu negara tidak hanya harus membuka pasar, tetapi juga menyediakan fasilitasfasilitas untuk menarik modal yang dimiliki oleh para investor, terutama investor
68
Ricardo mencohtohkan Inggris dan Portugal. Inggris yang menjadi penghasil wool ulung lebih baik tidak mencoba untuk memproduksi anggur yang menjadi keunggulan Portugal. Inggris tetap menjadi penghasil wool, dan Portugal penghasil anggur. Keduanya akan menikmati wool dan anggur dengan kualitas unggul, kalau keduanya melakukan perdagangan. Lihat I. Wibowo, “Emoh Negara: Neoliberalisme dan Kampanye Anti Negara,” dalam I. Wibowo & Prancis Wahono, ed., Neoliberalisme (Yogyakarta: Cinderalas, 2003), h. 279. Lihat juga dalam Halwani, Ibid., h. 203.
global.69 Implikasi serius dari teori ini adalah bahwa negara harus semakin mundur dari kegiatan intervensinya dalam ekonomi, terutama di bidang regulasi dan redistribusi kekayaan. Karena pendapatan negara dari pajak menurun, implikasi lebih jauh adalah dikuranginya alokasi dana untuk kesejahteraan sosial. Teori inilah yang kemudian menjadi landasan bagi perdagangan bebas yang pada era globalisasi ini berlangsung semakin massif. Teori-teori mengenai pasar bebas inilah yang menjadi landasan bagi peminggiran peran negara. Pasar harus berkuasa dan negara harus minggir. Ajaran bahwa pasar harus bebas di mana-mana dengan menggunduli negara inilah yang menjelma menjadi ajaran “neoliberalisme” yang sekaligus juga menjadi dasar bagi globalisasi. Negara memang tidak sepenuhnya hilang, tetapi ia masih diperlukan, setidaknya untuk menyediakan infrastruktur, menjamin penegakan hukum, dan menjamin keamanan. Gejala peminggiran negara ini telah menimpa beberapa negara Barat, yaitu Inggris dan Amerika Serikat pada tahun 1970-an, dan semakin menguat sejak ambruknya Uni Soviet dan Blok Timur, termasuk Cina. Peminggiran negara melanda Inggris sejak naiknya Margaret Thacther, sang Iron Lady, ke kursi Perdana Menteri pada tahun 1979. Negara yang telah menjalankan kebijakan untuk kesejahteraan rakyat (welfare) dikecam dan dikritik. Mulai tahun 1980-an dan seterusnya, di Inggris terjadilah privatisasi perusahaan-perusahaan negara dan pemangkasan kebijakan kesejahteraan (welfare policy). Pada tahun 1991 (menjelang akhir pemerintahan partai konservatif) sebagian besar keperluan umum telekomunikasi, gas, bandara, air, dan listrik ditambah perusahaan-
69
Ibid., h. 280.
perusahaan besar yang semula dikendalikan oleh pemerintah seperti BP, Cable and Wireless, Jaguar, dan sebagainya sudah diprivatisasikan semua. Ada seluruhnya empat wilayah dari welfare policy: pelayanan kesehatan, pendidikan, santunan penganggur, dan pensiun hari tua, semuanya mengalami pemangkasan oleh Thacher, diteruskan oleh Jhon Major, bahkan oleh Tony Blair dari Partai Buruh.70 Negara harus mundur dari semua keterlibatan di bidang-bidang tersebut karena dianggap sebagai biang keladi merosotnya pertumbuhan ekonomi, inflasi, defisit belanja negara, dan seterusnya. Inilah negara tempat lahir ekonom kondang, Jhon Maynard Keynes, yang mengajarkan pentingnya peran negara dalam ekonomi, tetapi justru di Inggris dimulailah gerakan menggunduli peran negara. Inggris yang selalu menjadi percontohan dari lahirnya sebuah welfare state, tidak dinyana-nyana juga menjadi negara yang memelopori pembubaran welfare state. Kepeloporan Inggris ini bergema ke negara-negara di daratan Eropa. Prancis dan Italia, kemudian Jerman juga menyusul dan menjiplak kebijakan yang diterapkan di Inggris. Mereka beramai-ramai mengadakan privatisasi, mengurangi subsidi, menurunkan pajak perusahaan, dan sebagainya. Jumlah pegawai negeri dikurangi hingga ke tingkat minimal. Negara dirampingkan, defisit dikurangi. Pengusaha swasta, termasuk pengusaha swasta internasional, diberi ruang seluasluasnya untuk beroperasi.71 Entah kebetulan entah tidak, di seberang Lautan Atlantik, di Amerika Serikat, muncul Ronald Reagan sebagai presiden, yang tidak kalah agresif 70
Ibid., h. 269. Noreena Herzt, Perampok Negara Kuasa Kapitalisme Global dan Matinya Demokrasi. Penerjemah M. Mustafied (Yogyakarta: Alenia, 2005), h. 17-47. 71
dibandingkan Margaret Thacher dalam gerakan menolak negara. Pengeluaran untuk kesejahteraan dikurangi, kecuali program-program untuk orang usia lanjut. Hambatan perdagangan dikurangi atau dibuang sama sekali, semacam subsidi disingkirkan kecuali subsidi pertanian (akibat krisis pertanian tahun 1984-1985). Regulasi terhadap bisnis dikurangi, kecuali untuk pabrik senjata. Sementara itu pajak pada orang-orang kaya diturunkan secara dramatis pada tahun 1982 dan 1987.72 Pada belahan bumi yang lain, pada waktu yang kurang lebih sama, sejak tahun 1980 negara Cina juga melancarkan usaha besar-besaran untuk melucuti negara. Tokohnya adalah Deng Xiaoping, seorang yang oleh Mao Zedong dikatakan sebagai “pejalan kapitalis no. 2.” Ramalan ini tidak meleset karena sejak tahun itu hingga hari ini Cina menganut sistem ekonomi terencana pusat selama 30 tahun, secara konsisten, setapak demi setapak, mengurangi peran negara, memberi kebebasan berusaha kepada pengusaha swasta. Negara tidak lagi membuat perencanaan terpusat terhadap ekonomi, tidak menentukan harga barang maupun jasa, tidak memegang monopoli dalam produksi barang. Perusahaan swasta bermunculan, juga perusahaan swasta asing. Ekonomi Cina yang lama dilindungi oleh dinding proteksionisme yang tinggi kini terbuka terhadap perdagangan internasional. Seperti di Eropa dan Amerika Serikat, subsidi untuk welfare menyusut drastis. Tidak lama sesudah Cina, gurunya, Uni Soviet, tidak malu mengikuti jejak dalam mempreteli negara dari perannya di bidang ekonomi. Gorbachev merupakan tokoh sentral. Rencana semula cuma mengadakan reformasi ekonomi,
72
I. Wibowo, “Emoh Negara: Neoliberalisme dan Kampanye Anti Negara,” h. 269.
ternyata berubah menjadi ambruknya seluruh sistem politik. Pada tahun 1991 sistem komunisme bubar di Uni Soviet, dan diganti dengan sistem kapitalisme. Seperti di Cina perdagangan internasional menerobos masuk pasar Rusia.73 Tetapi dua tahun sebelum Uni Soviet, sistem komunisme sudah berguguran di negara-negara Eropa Timur yang menjadi negara satelit Uni Soviet. Mulai dengan Polandia, negara-negara lainnya menyusul satu persatu mengganti sistem komunisme dengan sistem kapitalisme. Secara ideologis peristiwa ini sering dirayakan sebagai kemenangan sebuah sistem atas sistem tandingan, tetapi sama dengan yang terjadi di Amerika Serikat maupun Eropa, inilah saat “negara” dijadikan kambing hitam atas kegagalan ekonomi. Bersama-sama mereka menyatakan “anti negara.” Aktor-aktor yang menjadi juru kampanye paling meyakinkan dari ajaran pasar bebas dan kemudian anti-negara ini antara lain adalah World Bank, IMF, WTO, dan negara-negara Barat/maju. Kesemuanya merupakan aktor globalisasi. World Bank, dengan statusnya sebagai institusi keuangan terkemuka di dunia, memberi nasehat kepada negara untuk mengambil sikap yang investor friendly seperti mengurangi aneka hambatan, termasuk hambatan yang datang dari serikat-serikat buruh. Mengenai masalah buruh, World Bank mengingatkan agar negara tidak melakukan tawar-menawar dengan mereka pada tingkat nasional, sektoral, atau industrial. Kalau serikat buruh ingin memperjuangkan haknya, maka mereka sebaiknya mengadakan bergaining pada tingkat perusahaan saja. Yang penting negara tidak mempengaruhi jalannya mekanisme pasar bebas.
73
Ibid., h. 270.
Sedangkan yang dilakukan IMF untuk mengikis peran negara adalah dengan menuntut “structural adjustment programme” atau program penyesuaian strutural kepada negara pengutang. Program tersebut terdiri dari tiga hal: liberalisasi perdagangan, privatisasi, dan deregulasi. Banyak negara tidak bisa mengelak dari tuntutan ini karena dalam keadaan tak berdaya, dan ini menjadi cara paling efektif untuk mengikis peran negara sampai ke tingkat paling minimal. WTO, sebagai institusi yang langsung berkepentingan dengan masalah perdagangan dan investasi, mati-matian memperjuangkan agar asas perdagangan bebas dilaksanakan oleh negara-negara anggotanya maupun oleh negara calon anggota. WTO sangat berperan untuk membongkar dinding proteksionisme dan melucuti semua subsidi yang diberikan oleh negara. Bagi WTO, semua aktor ekonomi tidak boleh mendapat pertolongan dari negara, negara harus minggir. Mereka harus bersaing di pasar bebas dunia. Kalau desakan untuk meminggirkan negara oleh institusi multilateral masih tidak cukup kuat, maka tugas yang sama diambil alih oleh negara Barat. Modus desakan yang dilakukan oleh negara Barat ini adalah dengan memberikan bantuan (utang) yang disertai dengan beberapa syarat. Misalnya, bantuan ekonomi Amerika serikat lewat Alliance for Progress (didirikan 1961) diberikan dengan syarat bahwa negara penerima utang akan mengadakan pembaruan di bidang sosial dan politik. Dengan kata lain, bantuan yang diberikan mensyaratkan apa yang disebut “political conditionality.” Artinya, harus ada perubahan politik dan pemerintahan sebagai syarat diberikan bantuan untuk pembangunan. Ini berarti perubahan ke arah demokratisasi dan meningkatkan hak-hak asasi manusia, dan berarti dijalankannya “good governance.”
“Good governance” berarti administrasi yang sehat, dan sekaligus juga politik yang demokratis, plus serangkaian keutamaan yang non-ekonomis, seperti kesamaan, keseimbangan jender, menghormati hukum, toleransi sosial, kultural, dan individual. Tapi dibalik deskripsi ini, sebenarnya terselip teori politik kaum neoliberal yang mengatakan bahwa politik yang demokratis serta birokrasi yang ramping, efisien dan akuntabel, itu perlu bagi berkembangnya pasar bebas. Ahli pembangunan yang beraliran neolib memang percaya bahwa kegagalan pembangunan merupakan konsekuensi langsung dari pemerintah yang otoriter dan governance yang amburadul. Semuanya itu mereka katakan berakar dari konsentrasi kekuasaan ekonomi dan kekuasaan politik secara berlebihan di tangan negara. Jadi, tuntutan akan good governance yang semula nampak sebagai tuntutan netral, menjadi sebuah tuntutan yang bermuatan agenda neoliberal: meminggirkan negara.74 Contoh kasus dari proses peminggiran negara di Indonesia adalah seperti yang terjadi dalam hal pengaturan kebijakan ketahanan pangan. Lewat LoI (Letter of Intent) Oktober 1997 dan MEFP (Memorandum of Economic and Financial Policies) 11 September 1998, IMF menuntut diberlakukannya tariff impor beras sebesar 0%. Ini juga berlaku bagi jagung, kedele, tepung terigu dan gula. Selain itu LoI juga mengatur agar BULOG tidak lagi mengurus kestabilan harga pangan dan agar melepaskannya ke mekanisme pasar. BULOG dibatasi menjadi sebatas pedagang beras, itupun harus bersaing dengan pedagang swasta. Demikian pula BULOG harus mengambil pinjaman dari bank komersial, tidak lagi dari dana BLBI yang sangat ringan. Liberalisasi juga telah diberlakukan dalam hal harga
74
Ibid, h. 285.
pupuk dan sarana produksi padi lainnya yang tidak lagi disubsidi pemerintah, melainkan diserahkan pada mekanisme pasar. Sementara itu subsidi petani lewat KUT (kredit usaha tani) hanya sebesar Rp 1,8 trilyun (bandingkan dengan dana BLBI). Dengan demikian kini petani menghadapi harga produksi yang mahal, sementara harga jual padi hancur. Liberalisasi pertanian sebenarnya juga bagian dari ratifikasi Indonesia atas Agreement on Agriculture (AOA) dari WTO, yang mengatur penghapusan dan pengurangan tarif serta pengurangan subsidi.75 Sejak itu masuklah secara besar-besaran impor beras dari luar dengan harga lebih murah dari beras hasil petani lokal. BULOG dan pihak swasta kini berlomba untuk mendatangkan beras dari mancanegara. HKTI mencatat bahwa hingga akhir Maret 2000, beras impor yang masuk ke Indonesia mencapai 9,8 juta ton, 6 juta ton diantaranya sudah masuk pasar. Padahal produksi beras dalam negeri sekitar 30 juta ton, sementara kebutuhan nasional diperkirakan mencapai 32 juta ton; sehingga sebenarnya Indonesia hanya membutuhkan impor 2 juta ton. Karena jeritan para petani dan kritik yang berdatangan, akhirnya bea masuk impor dinaikkan menjadi 30%, itupun semula IMF berkeberatan. Akan tetapi ternyata hal ini tetap bukan penghalang bagi importir untuk mengimpor beras dari Thailand, Vietnam dan Australia dengan tetap meraih untung. Harga beras impor dari Thailand misalnya, setelah keluar dari Tanjung Priok dijual Rp 1.600/kg, dan beras dari Australia dijual Rp 1.400/kg; dan tetap masih meraih laba sekitar Rp 600. Meskipun kemudian pemerintah menghentikan impor beras pada Maret 2000, ternyata belum dapat mengangkat harga gabah di tingkat petani. Beras impor terus saja masuk dengan deras. Akibatnya yang parah, adalah harga padi 75
Bonnie Setiawan, “Globalisasi Dan Pengaruhnya Terhadap Ekonomi Indonesia Dan Kritiknya,” artikel diakses pada 21 Oktober 2008 dari situs Http://Www.IcrpOnline.Org/Wmview.Php?Artid=170&Page=20
lokal terus merosot tajam, sehingga kini hanya mencapai sekitar Rp 600/kg. Padahal harga pupuk sudah sekitar Rp 700/kg. Inilah awal dimulainya tragedi kehancuran ketahanan pangan Indonesia, bila tidak ada langkah-langkah protektif dengan segera. Petani pedesaan mengalami kebangkrutan dan akan menyebabkan kerawanan ekonomi masyarakat pedesaan yang tak terkira. Dengan liberalisasi pertanian ini, maka akan habislah petani Indonesia dilibas oleh TNC dan importir besar.76
B. Globalisasi Sebagai Bentuk Neo-Imperialisme Imperialisme memiliki arti “kekuasan tertinggi dan unggul”. Oxford English Dictionary (OED) mendefinisikan “imperial” sebagai “sesuatu yang mengacu pada kemaharajaan” dan “imperialisme” sebagai “pemerintahan seorang kaisar, raja, terutama yang despotik dan semena-mena; perbuatan yang memajukan kepentingan-kepentingan kemaharajaan.” Oleh Lenin dan Kautsky, dalam bukunya Imperialism: The Highest Stage of Capitalism, makna imperialisme di hubungkan dengan kapitalisme. Imperialisme di pandang sebagai tahap tertinggi dari kapitalisme (imperialisme as the highest of capitalism). Hal ini terjadi ketika modal semakin berlimpah, sementara sumber daya alam dan tenaga dalam negeri semakin terbatas. Modal lalu dipakai untuk mencari keuntungan di luar negeri (negeri koloni).77 Menurut Edward Said, istilah “imperialisme” diartikan dengan praktek, teori, dan sikap dari suatu pusat metropolitan yang menguasai suatu wilayah yang
76
Ibid. Gading Sianipar, "Mendefinisikan Pascakolonialisme? Pengantar Menuju Wacana Pemikiran Pascakolonialisme," dalam Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto, Hermeneutika Pascakolonial, Soal Identitas (Yogyakarta: Kanisius, 2004), h. 16-17. 77
jauh; ‘kolonialisme,’ yang hampir selalu merupakan konsekuensi imperialisme, adalah dibangunnya pemukiman-pemukiman di wilayah-wilayah yang jauh. Sebagaimana di kemukakan oleh Michael Doyle: “imperium adalah suatu hubungan, formal atau informal, di mana satu negara menguasai kedaulatan politik efektif dari suatu masyarakat politik lainnya. Hal itu bisa dicapai dengan paksa, melalui kolaborasi politik, melalui ketergantungan ekonomi, sosial, atau budaya. Imperialisme adalah proses atau kebijaksanaan untuk menegakkan atau mempertahankan imperium.” Di masa kita, kolonialisme langsung kebanyakan telah berakhir; imperialisme, sebagaimana yang akan kita lihat, tetap hidup di tempat ia hidup sebelumnya, dalam semacam lingkaran budaya umum maupun dalam praktik-praktik politik, ideologi, ekonomi serta sosial tertentu.78 Sementara itu, dalam dunia modern, imperialisme tidak memerlukan kekuasaan atas negara lain secara langsung. Karena itu, pengertian imperialisme modern (neo-imperialisme) bukan pertama-tama soal pengambilalihan wilayah dan perampasan sumber material, tetapi lebih sebagai sistem global yang melakukan penetrasi bidang ekonomi, pengendalian pasar, serta tekanan politik negara maju dan kaya terhadap negara-negara miskin (globalisasi), misalnya kontrol “imperialisme Amerika” atas negara-negara di dunia dalam bidang ekonomi, politik, dan militer di era globalisasi ini meskipun tidak mempunyai kendali politis secara langsung.79 Globalisasi, seperti sudah dipaparkan pada Bab II, bukanlah fenomena baru dalam sejarah peradaban manusia. Jauh sebelum munculnya nation-state, perdagangan dan migrasi lintas benua telah berlangsung sejak kurang lebih lima 78
Nur Ahmad Soim, “Mafia Barkeley dan Neo-Kolonialisme Indonesia,” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2007), h. 31-32. 79 Ibid., h. 35.
abad yang lalu. Pada masa itu perusahaan-perusahaan dari negara-negara yang perekonomiannya sudah maju telah mulai meluaskan jangkauannya melalui aktifitas produksi dan perdagangan. Kemudian proses globalisasi tersebut meningkat tajam, baik dari segi intensitas maupun cakupannya, pada dekade 1980-an. Seiring dengan perkembangan tersebut, khususnya ketika dunia memasuki abad ke-20 fenomena globalisasi dipandang sebagai gelombang masa depan. Hal tersebut terutama sekali berkaitan dengan derasnya arus uang dan modal internasional yang menyebar ke berbagai belahan dunia yang ditunjang oleh massifnya pemberlakuan kebijakan liberalisasi oleh banyak negara dan perkembangan teknologi, khususnya teknologi komunikasi.80 Meskipun demikian, sesungguhnya—seperti dikatakan Budi Winarno— kepopuleran istilah globalisasi tidak dibarengi dengan kesadaran akan adanya bahaya yang terkandung dalam gagasan globalisasi tersebut, yang pada hakikatnya adalah bentuk perkembangan kapitalisme. Di masa lalu, untuk menjamin tersedianya bahan baku dan pasar bagi barang yang diproduksi oleh sebuah negara, kapitalisme berubah bentuk menjadi kolonialisme. Caranya adalah dengan menaklukan negeri-negeri lain secara fisik dan menjadikan negeri-negeri tersebut sebagai jajahan atau koloninya. Negara-negara yang lebih kuat bisa secara paksa membeli bahan baku dengan harga yang sangat murah, selanjutnya menjual hasil produknya dengan harga yang sangat tinggi. Sekarang ini, cara pemaksaan seperti yang terjadi pada masa kolonialisme tidak bisa dilakukan lagi. Ini dikarenakan cara seperti itu dianggap tidak beradab dan bertentangan dengan hak asasi manusia yang diakui sebagai hak universal. 80
Budi Winarno, Globalisasi Peluang atau Ancaman bagi Indonesia (Jakarta: Erlangga, 2008), h. 2.
Oleh karena itu, agar negara-negara yang lebih kuat masih mampu membeli bahan baku dengan harga semurah mungkin, maka negara-negara maju merumuskan suatu cara yang lebih canggih yaitu melalui globalisasi. Hal ini senada dengan yang dikatakan oleh Mansour Fakih,
yaitu “globalisasi adalah proses
pengintegrasian ekonomi nasional kepada sistem ekonomi dunia berdasarkan keyakinan pada perdagangan bebas yang sesungguhnya telah dicanangkan sejak zaman kolonialisme.”81 Fenomena arus modal pada masa sekarang bisa menjadi representasi bahwa sesungguhnya globalisasi adalah proyek yang diciptakan oleh negara-negara maju dalam rangka mengkoloni negara miskin dan berkembang, dan lalu lintas finansial dunia juga dapat mengancam negara yang berdaulat. Dikatakan mengancam karena ruang lingkup lalu lintas finansial dunia tersebut tidak mengenal batas-batas negara, oleh karenanya semakin sulit dikontrol oleh pemerintah negara yang berdaulat. Ada beberapa faktor yang melandasi argumen tersebut, di antaranya adalah pertama, kekuatan modal yang dimiliki negara-negara maju telah melampaui kekuatan modal negara-negara sedang berkembang, dan pada akhirnya menghancurkan fondasi ekonomi negaranegara tersebut. Sebagai contoh, Pendapatan Nasional Indonesia (GNP) setiap tahunnya hanya mencapai 136 miliar dolar Amerika Serikat (AS), sementara peralihan atau perpindahan pasar keuangan dunia setiap harinya mencapai 1,5 triliun dolar AS. Kedua, kekuatan modal tersebut telah berdiri sendiri lepas dari kontrol negara. Ini berarti bahwa negara tidak lagi mampu mengontrol kekuatan modal tersebut, yang saat ini lebih banyak dipakai sebagai alat spekulasi di pasar 81
Mansour Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi (Yogyakarta: Insist Press, 2001), h. 210.
modal dan bursa dunia dibandingkan sebagai alat produksi. Ketiga, dampak yang ditimbulkan oleh aktifitas aliran modal tersebut menyentuh sektor-sektor riil dan perdagangan. Dalam situasi seperti ini, kaum kapitalis dapat mengeruk keuntungan yang besar dari aktifitas spekulasi tanpa menanggung resiko atau beban yang selama ini dipikul dunia industri dan perdagangan dalam menghadapi red-tape birokrasi, pemogokan buruh, dan semacamnya. Bila para petualang pasar modal ini melihat kerugian yang mungkin akan timbul, maka kaum kapitalis ini dapat dengan mudah memindahkan modal mereka ke pasar modal di negaranegara lainnya yang lebih menguntungkan. Keempat, kekuatan pasar secara efektif telah mentransformasikan negara menjadi komoditi yang menarik bagi penanaman investasi, sehingga semuanya itu meningkatkan tingkat investasi.82 Ekses negatif lainnya dari fenomena arus finansial global ini adalah ruang gerak dan campur tangan pemerintah nasional semakin berkurang karena negara diperlemah oleh tumbuhnya kekuatan perusahaan multinasional dan para pemilik modal. Kekuasaan tidak lagi menjadi monopoli negara, tetapi berpindah dan tumbuh semakin kuat pada perusahaan-perusahaan mulitinasional (MNC/TNC). 1. Intervensi Asing & Utang Bentuk imperialisme yang dialami oleh Indonesia adalah adanya campur tangan asing dalam proses pengambilan kebijakan negara. Intervensi asing ini terjadi melalui berbagai cara, misalnya, dengan memberikan masukan dan ide langsung melalui beberapa ahlinya dan LSM-LSM dalam proses pengambilan kebijakan atau amandemen undang-undang sebuah negara, dan melalui utang.
82
Budi Winarno, Globalisasi Peluang atau Ancaman bagi Indonesia, h. 5.
Cara yang pertama terjadi di Indonesia ketika berlangsungnya amandemen UUD 1945 tahun 2002, hal ini seperti yang diakui oleh DR. Valina Singka Subekti (anggota Panitia Ad Hoc I MPR RI 1999-2004). Ketika itu beberapa LSM, baik dalam negeri maupun asing (seperti Cetro, Koalisi Perempuan Indonesia, IDEA, IFES, NDI, dll), memberi masukan secara langsung dan giat membangun wacana publik dan meramaikannya di media massa tentang demokratisasi, hak asasi manusia, liberalisasi ekonomi, dan lain sebagainya. Bahkan Andrew Ellis (konsultan ahli NDI) selalu hadir dalam setiap rapat Panitia Ad Hoc I MPR dan aktif memberi masukan, buku-buku, dan makalah-makalah terkait pentingnya amandemen UUD 1945 kepada para anggota panitia tersebut.83 Lalu mengenai masalah utang, Teresa Hayter, seperti dikutip Revrisond Baswir, berdasarkan hasil penelitiannya yang dibiayai Bank Dunia di empat negara Amerika Latin: Columbia, Chile, Brazil, dan Peru, secara tegas menyimpulkan bahwa “utang luar negeri pada dasarnya bukanlah transfer sumberdaya
yang
bebas
persyaratan.”
Menurut
Hayter,
hal-hal
yang
dipersyaratkan dalam pemberian utang luar negeri meliputi: (a) pembelian barang dan jasa dari negara pemberi pinjaman; (b) peniadaan kebebasan dalam melakukan kebijakan ekonomi tertentu, misalnya, nasionalisasi perusahaan asing; (c)
permintaan
untuk
melakukan
kebijakan-kebijakan
ekonomi
“yang
dikehendaki”, terutama peningkatan peran sektor swasta dan pembatasan campur tangan langsung pemerintah dalam bidang ekonomi.84
83
Usep Ranawijaya, dkk. Ancaman Terhadap Jatidiri Bangsa (Jakarta: Yayasan Kepada Bangsaku, 2008), h. 83-86. 84 Revrisond Baswir, “Utang Luar Negeri dan Neokolonialisme Indonesia,” Makalah di sampaikan dalam Seminar Nasional 50 Tahun Mafia Berkeley VS Gagasan Alternatif Pembangunan Ekonomi Indonesia (Jakarta: Koalisi Anti Utang, 2006), h. 2.
Selanjutnya, ketika berbicara mengenai IMF, Bank Dunia, dan USAID, Hayter secara jelas menyatakan bahwa sudut pandang ketiga lembaga itu dalam menetapkan syarat pemberian pinjaman cenderung seragam. Fokus kebijakan ketiganya, terutama IMF dan Bank Dunia, senantiasa mengarah pada pengendalian inflasi serta perintah untuk memotong investasi publik dan belanja kesejahteraan. Menurut Hayter, faktor utama di balik kecenderungan tersebut adalah posisi dominan Amerika Serikat pada ketiga lembaga itu. Implikasinya, walaupun tidak dinyatakan secara terbuka, dalam memberikan pinjaman, ketiganya tidak hanya mengevaluasi proyek yang akan mereka biayai, tetapi juga negara yang akan menerima pinjaman tersebut. Kesimpulan Hayter itu belakangan dipertegas oleh Hudson. Menurut Hudson tujuan pemberian pinjaman oleh Amerika sejak 1960 memang tidak dimaksudkan untuk membantu negara-negara penerima pinjaman, melainkan untuk meringankan tekanan terhadap neraca pembayaran negara tersebut. Kebijakan itu erat kaitannya dengan upaya pemerintah Amerika untuk mensubsidi peningkatan ekspor berbagai barang dan jasa mereka ke seluruh penjuru dunia.85 Dalam rangka itu, sebagaimana diakui oleh John Perkins, Amerika tidak hanya ingin bekerja melalui mekanisme hubungan ekonomi-politik biasa. Amerika secara terstruktur mengembangkan sebuah profesi yang dikenal sebagai preman ekonomi (economic of hitman), yang bernaung di bawah Badan Keamanan Nasional (NSA) Amerika, yang secara khusus bertugas untuk membangkrutkan negara-negara dunia ketiga.86
85
Ibid., h. 3. John Perkins, Confessions of an Economic Hit Man. Penerjemah Herman Tirtaatmaja dan Dwi Karyani (Jakarta: Abdi Tandor, 2005), h. 3-32. 86
Tiga catatan penting yang perlu diangkat ke permukaan mengenai keberadaan preman ekonomi itu adalah sebagai berikut. Pertama, preman ekonomi bekerja di bawah Koordinasi Badan Keamanan Nasional (The National Security Agency). Walaupun secara resmi para ekonom penjajah direkrut, dilatih, dan bekerja di bawah koordinasi NSA, tetapi secara operasional mereka dipekerjakan secara terselubung melalui perusahaan-perusahaan swasta Amerika. Perkins antara lain menyebut perusahaan-perusahaan seperti Monsanto, General Electric, Nike, General Motors, dan Wal-Mart, sebagai beberapa contoh. Kedua, misi para preman ekonomi adalah memperoleh komitmen para pejabat negara-negara Dunia Ketiga untuk berbelanja secara kredit ke Amerika. Dalam menjalankan misinya, seorang preman ekonomi diperkenankan melakukan apa pun, termasuk melakukan cara-cara ilegal. Target mereka adalah mendorong para pejabat negara-negara Dunia Ketiga untuk berutang sebanyak-banyaknya, sehingga negara mereka tidak mampu membayarnya. Kata-kata Perkins di bawah ini setidaknya menggambarkan hal tersebut: “Aspek yang harus disembunyikan dari semua proyek tersebut ialah membuat laba sangat besar buat para kontraktor, dan membuat bahagia beberapa gelintir keluarga dari negara-negara penerima utang yang sudah kaya dan berpengaruh di negaranya masing-masing. Dengan demikian ketergantungan keuangan negara penerima utang menjadi permanen sebagai instrumen untuk memperoleh kesetiaan dari pemerintah-pemerintah penerima utang. Maka semakin besar jumlah utang semakin baik. Kenyataan bahwa beban utang yang sangat besar menyengsarakan bagian termiskin dari bangsanya dalam bidang kesehatan, pendidikan dan jasa-jasa sosial lainnya selama berpuluh-puluh tahun tidak perlu masuk dalam pertimbangan.”87
Ketiga, kegagalan para preman ekonomi bukanlah akhir dari upaya pemerintah Amerika dalam mewujudkan dominasinya. Dua hal dapat terjadi 87
Ibid., h. 15-16.
menyusul kegagalan tersebut. Pertama, berlangsungnya operasi CIA, yaitu yang ditandai oleh terjadinya berbagai peristiwa yang mengarah pada penggulingan atau pembinasaan seorang pejabat negara Dunia Ketiga. Kedua, penaklukan negara-negara Dunia Ketiga yang bersangkutan melalui operasi militer.88 Menarik untuk menyimak sejarah masuknya dominasi asing ke Indonesia sejak era Soeharto sebagai bentuk imperialisme. Dengan naiknya Soeharto sebagai penguasa baru di Indonesia (1966), sikap pemerintah terhadap utang luar negeri berubah secara drastis. Hal itu tidak hanya tampak pada strategi pembangunan yang dijalankannya, atau pada jumlah utang baru yang dibuatnya, tetapi terutama tampak secara mencolok pada berbagai tindakan yang dilakukannya dalam memulihkan kondisi ekonomi Indonesia. Beberapa tindakan yang dilakukan Soeharto dalam memulihkan kondisi ekonomi Indonesia adalah sebagai berikut: pertama, memperbaiki hubungan dengan para kreditor, terutama negara-negara blok Barat dan lembaga-lembaga keuangan multirateral. Tujuannya adalah untuk memperoleh utang luar negeri baru dan meminta penjadwalan kembali pembayaran utang luar negeri yang diwariskan Soekarno. Hasil yang diperolehnya adalah sebagai berikut. Pertama, menyusul pertemuan negara-negara kreditor blok Barat di Tokyo pada September 1966, yang dikenal sebagai the Paris Club, bulan Oktober 1966 Indonesia memperoleh komitmen untuk menerima pinjaman siaga sebesar 174 juta dollar AS. Selanjutnya, menyusul pertemuan serupa di Paris pada Desember 1966, Indonesia memperoleh komitmen untuk menerima tambahan pinjaman sebesar 375 juta dollar AS.
88
Ibid. 3-32.
Setelah itu, menyusul pertemuan kelompok Paris di Amsterdam pada Februari 1967, yang sekaligus menandai lahirnya Inter-Govermental Group on Indonesia (IGGI), Indonesia kembali memperoleh komitmen pinjaman siaga sebesar 95,5 juta dollar AS. Adapun penjadwalan kembali pembayaran utang luar negeri Indonesia, dengan negara-negara blok Barat, baru disepakati tahun 1970. Sedangkan dengan negara-negara blok Timur disepakati tahun 1971 dan 1972. Pendaftaran kembali keanggotaan Indonesia pada lembaga-lembaga keuangan multirateral, berlangsung secara bertahap pada tahun 1967. Pendaftaran kembali ke IMF berlangsung bulan Februari 1967. Pendaftaran kembali ke Bank Dunia berlangsung bulan Mei 1967. Sedangkan pendaftaran keanggotaan ke ADB berlangsung bersamaan dengan pendirian lembaga tersebut tahun 1968.89 Kedua,
melanjutkan
pelaksanaan
program
stabilisasi
IMF
serta
mengeluarkan kebijakan ekonomi yang lebih bersahabat dengan sektor swasta dan investasi asing. Sebagaimana diketahui, sesuai dengan persyaratan utang luar negeri yang diminta Amerika, pelaksanaan program stabilisasi IMF ini telah berlangsung sejak 1963. tetapi menyusul terjadinya tragedi 30 September 1965, pelaksanaan program tersebut terpaksa dihentikan. Dalam era Soeharto, dengan dikeluarkannya paket kebijakan 3 Oktober 1966, pelaksanaan program stabilisasi IMF itu dilanjutkan kembali.90 Sesuai dengan permintaan IMF, hal yang harus dilakukan Indonesia untuk meningkatkan stabilitas ekonomi dalam garis besarnya meliputi: penyusunan anggaran berimbang, pelaksanaan kebijakan uang ketat, penghapusan subsidi dan 89
I. Palmer, The Indonesia Economy Since 1965: A Case Study of Political Economy, (London: Frank Cass, 1978), h. 28-29. 90 Frans Seda, "Mengenang Situasi Lahirnya Peraturan 3 Oktober 1966" dalam Bustomi Hadjid Ronodirdjo dkk, ed., Presiden Soeharto Bapak Pembangunan Indonesia Evaluasi Pembangunan Pemerintah Orde Baru, (Bandung: Harapan Bandung, 1983), h. 99.
peningkatan harga komoditas layanan publik, peningkatan peranan pasar, penyederhanaan prosedur ekspor, dan peningkatan pengumpulan pajak. Sehubungan dengan kebijakan untuk lebih bersahabat dengan sektor swasta dan asing, tepat bulan Januari 1967, pemerintah Soeharto menerbitkan UndangUndang Penanaman Modal Asing (UU PMA) No. I/1967. UU PMA yang baru ini lebih liberal dari pada UU yang digantikannya. Bersamaan dengan itu, perusahaan-perusahaan swasta asing yang dinasionalisasikan Soekarno pada 1963-1965, diundang kembali untuk melanjutkan kegiatan mereka di Indonesia.91 Dengan berlangsungnya pembalikan orientasi Indonesia, yaitu dari yang berorientasi pada peningkatan kemandirian ekonomi menuju peningkatan ketergantungan, rasanya tidak berlebihan bila peralihan kekuasaan dari Soekarno kepada Seoharto diwaspadai sebagai proses sistematis berlangsungnya transisi kolonialisme di Indonesia. Artinya, setelah merdeka dari kolonialisme Belanda, pembuatan utang luar negeri secara besar-besaran di era pemerintahan Soeharto, patut diwaspadai sebagai proses sistematis penjerumusan Indonesia ke dalam perangkap neoimperialisme Amerika. 2. Undang-Undang Penanaman Modal Asing Contoh menarik lainnya untuk kasus Indonesia adalah penetapan dan pemberlakuan kebijakan mengenai penanaman modal asing. Undang-undang atau peraturan yang mengatur tentang hal ini terus disempurnakan dari tahun 1967 sampai dengan tahun 2007. UU NO. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA), Menurut Jeffrey Winter, seperti dikutip Kwik Kian Gie, rancangannya dipersiapkan oleh
91
Revrisond Baswir, “Utang Luar Negeri dan Neokolonialisme Indonesia,” h. 8.
kelompok David Rockeffeler, ekonomon Amerika, di Jenewa bersama-sama dengan kelompok yang oleh David Rockeffeler dinamakan Berkeley Mafia, 92 isinya masih mengakui adanya cabang-cabang produksi yang dianggap menguasai hajat hidup orang banyak, dan oleh karenanya tidak terbuka bagi modal asing, yaitu yang dirinci dalam pasal 6 ayat 1 sebagai berikut: (a) Pelabuhan-pelabuhan, (b) Produksi, tranmisi dan distribusi tenaga listrik untuk umum, (c) Telekomunikasi, (d) Pelayaran, (e) Penerbangan, (f) Air Minum, (g) Kereta Api Umum, (h) Pembangkitan Tenaga Atom, dan (i) Mass Media. Undang-undang yang merupakan produk Mafia Berkeley ini, lambat laun selalu mengalami perubahan, ini semua dilakukan untuk menuju pada liberalisasi total. Sehingga pada tahun berikutnya muncul Undang-undang No. 6 tahun 1968 mengenai Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) yang pasal 3 ayat 1 sudah mengizinkan investor asing memasuki cabang-cabang produksi yang jelas disebut “menguasai hajat hidup orang banyak” itu asalkan porsinya modal asing tidak melampaui 49%. Namun ada ketentuan bahwa porsi investor Indonesia yang 51% harus ditingkatkan menjadi 75% tidak lebih lambat dari tahun 1974.
92
Mafia Berkeley adalah julukan bagi kaum ekonom liberalis, penganut paham ekonomi neo-klasik dan kurang patriotik-nasionalistik serta pro modal asing dan mudah terdikte untuk melakukan utang luar negeri, kelompok ini dimobilisasi belajar di Berkeley (Universitas California, kemudian juga Pittsburg) dan universitas-universitas lain mitranya, seperti Cornell, MIT, Harvard). The Ford Foundation dan The Rockefeller Foundation memobilisasi dan membiayai sarjana-sarjana Indonesia untuk belajar di Amerika Serikat dan CIA juga aktif terlibat di dalamnya. Itu semua dilakukan dalam rangka pencekokkan ilmu ekonomi liberal atau pengAmerika-an. Sumitro Djojohadikusumo dikatakan sebagai pimpinan The Berkeley Mafia, dengan pengikut-pengikut utamanya antara lain Widjojo Nitisastro, Emil Salim, M. Sadli, Subroto, Sudjatmoko, Barli Halim, Rachmat Saleh, dan Radius Prawiro. Kita tahu pada masa Orde Baru tokoh-tokoh Mafia Berkeley ini mengalami kejayaannya dengan memegang tempat-tempat strategis di pemerintahan presiden Soeharto. Pada masa saat ini pun mereka masih tetap memegang kendali di pemerintahan khususnya bidang perekonomian, sebut saja Sri Mulyani dan Boediono, lihat Sri Edi Swasono, “Berkeley Mafia VS Pemikiran Hatta”, Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional 50 Tahun Mafia Berkeley VS Gagasan Alternatif Pembanguna Ekonomi Indonesia (Koalisi Anti Utang, Hotel Mulia Jakarta, 5 Juni 2006). h. 1, dan David Ransom, Mafia Berkeley dan Pembunuhan Massal di Indonesia (Jakarta: Koalisi Anti Utang, 2006), hal. 11.
Pada tahun 1994 terbit peraturan pemerintahan nomor 20 yang pasal 5 ayat 1-nya berisi izin dibolehkannya perusahaan asing melakukan kegiatan usaha yang tergolong penting bagi negara dan menguasai hajat hidup rakyat banyak yaitu pelabuhan, produksi dan transmisi, serta distribusi tenaga listrik umum, telekomunikasi, pelayaran, penerbangan, air minum, kereta api umum, pembangkitan tenaga atom dan mass media. Pasal 6 ayat 1 mengatakan: “Saham peserta Indonesia sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) huruf a sekurang-kurangnya 5% (lima perseratus) dari seluruh modal disetor perusahaan pada waktu pendirian.” PP N0. 20/1994 menentukan bahwa batas antara boleh oleh asing atau tidak, adalah kepemilikan oleh pihak Indonesia dengan 5%. Tidak ada lagi pembatasan waktu tentang dikuranginya porsi modal asing.93 Klimaks dari agenda liberalisasi total adalah pada tahun 2007 dengan disahkannya Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UU-PMA). Salah satu pasal yang membuat kita prihatin di Undang-Undang tersebut adalah pasal 8 ayat 3 yang mengatakan “penanam modal diberi hak untuk melakukan transfer dan repatriasi (pemulangan dana) dalam valuta asing secara bebas,” yang dalam perinciannya praktis tidak ada yang tidak boleh ditransfer kembali ke negara asalnya. Di dalamnya juga diatur bahwa Hak atas tanah menjadi 95 tahun untuk Hak Guna Usaha, 80 tahun untuk Hak Guna Bangunan dan 70 tahun untuk Hak
93
Kwik Kian Gie, “50 Tahun Berkeley Mafia; Antara Kenyataan dan Fiksi,” Makalah di sampaikan dalam Seminar Nasional 50 Tahun Mafia Berkeley VS Gagasan Alternatif Pembangunan Ekonomi Indonesia (Jakarta: Koalisi Anti Utang, 2006), h. 6-7.
Pakai. Pengaturan semacam ini sangat sulit ditemukan dalam Undang-Undang investasi di negara manapun.94 Misalnya, Amerika Serikat, sebagai pusat dari indoktrinasi paham seperti yang dikemukakan di atas, menerapkan proteksi untuk melindungi warga negaranya sendiri. Tidak saja defensif dengan menutup pintu masuk negaranya dalam bidang apa saja dan dengan tarif setinggi berapa saja, jika dirasa perlu. Tetapi bila perlu melakukan agresi. Irak dihancurleburkan dengan dalih mempunyai senjata pemusnah massal yang akan dipakai untuk memusnahkan umat manusia. Tidak kurang dari Tim Ahli PBB yang diketuai oleh Hans Blik, yang sebelum invasi AS ke Irak menyatakan, bahwa di Irak tidak ada senjata pemusnah massal. Toh, Irak diserbu, Presiden Saddam Husein dihukum gantung, semua peninggalan sejarah yang begitu penting untuk peradaban umat manusia dimusnahkan, manusia dengan jumlah sangat besar terbunuh, dan yang sangat penting, bagaimana nasib minyak yang bersumber di bawah tanah bumi Irak sangatlah tidak jelas. Masalah minyak inilah yang sesungguhnya menjadi target utama dari invasi AS. Kalau karena minyak Irak dan Presiden Saddam Husein dihancurkan dan diporak-porandakan, itu disebabkan karena pendirian Saddam yang demikian kuat dalam mempertahankan kemandiriannya. Lain halnya dengan bangsa kita. Sudah sejak lama sampai sekarang, 92% dari minyak kita dieksploitasi oleh perusahaan-perusahaan minyak asing. Tambang kita dikeduk oleh pemodal asing, dan hasil yang milik mereka itu dicatat 94
Kwik Kian Gie, “Terjajahnya Kembali Indonesia Sejak 1967,” dalam Amin Aryoso dkk., UUD 2002 Hasil Amandemen UUD ’45 Menghancurkan Bangsa Secara Ideologi, Politik, Ekonomi, dan Kebudayaan (Jakarta: Yayasan Kepada Bangsaku, 2008), h. 71.
oleh Biro Pusat Statistik sebagai Produk Domestik Bruto Indonesia. Bangsa Indonesia kebagian royalti dan pajak yang relatif sangat kecil. Hasil tambang dan mineral sangat mahal yang milik pemodal asing itu ketika diekspor dicatat oleh Biro Pusat Statistik sebagai Eskpor Indonesia yang meningkat.95 Bung Karno dalam tulisannya “Mentjapai Indonesia Merdeka” menyatakan “Sejak adanya opendeur-politiek di dalam tahun 1905, maka modal yang boleh masuk ke Indonesia dan mencari rezeki di Indonesia bukanlah lagi modal Belanda saja, tetapi juga modal Inggris, juga modal Amerika, juga modal Jepang, juga modal Jerman, juga modal Perancis, juga modal Italia, juga modal lain-lain, sehingga imperialisme di Indonesia kini adalah imperialisme yang internasional karenya. Raksasa "biasa" yang dulu berjengkelitan di atas pada kerezekian Indonesia, kini sudah menjadi raksasa Rahwana Dasamuka yang bermulut sepuluh.”96 Dari tulisan Bung Karno ini, jelas bahwa dia juga mengartikan penanaman modal asing sama dengan imperialisme. Oleh karena itu, sesuai dengan pernyataan Bung Karno di atas, bahwa Undang-undang yang akan mengundang masuk modal asing dari segala sudut dunia tidak bisa diartikan lain kecuali memperkuat kedudukan imperialisme internasional yang sudah bercokol di negeri kita ini.
95
Ibid., h. 73. M.H. Lukman., “Penanaman Modal Asing Berarti Memperkuat Kedudukan Imperialisme di Negeri Kita,” artikel diakses pada 10 Januari 2009 dari www.geocities.com/edicahy/antiimperialisme/MH-Lukman.pdf 96
D. Masa Depan Eksistensi Kedaulatan Negara Melihat fenomena bahwa proses globalisasi di satu sisi menguntungkan dan merugikan di sisi lain, tak salah jika mengatakan bahwa Globalisasi berwatak ambigu. Bagian Dunia yang makmur dan mampu melakukan integrasi atas struktur pasar dunia menjadi aktor yang sedang merayakan perkembangan itu. Namun, bagi sebagian negara lainnya, termasuk kita di sini, globalisasi seperti meletakkan masyarakat pada labirin yang gelap dan berliku. Alih-alih menjadi pemain dan aktor kuat, sebagai penonton pun mungkin kita tak punya cukup modal. Negara-negara industri utama yang tergabung dalam grup delapan (G-8), merupakan negara-negara yang mengalami keuntungan karena didukung oleh aktor-aktor ekonomi yang mereka miliki. Sementara ketiadaan aktor ekonomi di negara miskin dan berkembang membuat mereka menjadi negara yang mengalami kerugian, karena ketiadaan aktor ekonomi, dan posisinya yang menjadi subordinat dari kepentingan global. Sistem global diatur oleh logika kompetisi pasar, dan kebijakan publik paling baik adalah jika berada pada tingkat sekunder, karena tidak ada badanbadan pemerintah yang dapat menandingi besarnya kekuatan pasar dunia. Pandangan ini menganggap pemerintah nasional sebagai kotapraja dari sistem global: perekonomiannya tidak lagi ‘nasional’ dalam arti apapun dan hanya efektif sebagai pemerintah jika menerima peranannya yang sekedar menyediakan pelayanan publik secara lokal yang diperluas oleh perekonomian global.97
97
Paul Hirst & Grahame Thompson, Globalisasi Adalah Mitos. Penerjemah P. Soemitro (Jakarta: YOI, 2001), h. 275.
Meskipun kedaualatan negara mengalami penyusutan, tidak berarti keberadaan negara dan kedaulatannya tidak menjadi penting. Mekanisme dan arus globalisasi tetap menganggap penting peran negara. Mekanisme tersebut tidak akan berjalan tanpa adanya negara. Negara merupakan poros dari setiap aturan, mekanisme, dan regulasi globalisasi. Karena negara memiliki peran sebagai sumber legitimasi di dalam menyerahkan kekuasaan atau menyetujui kekuasaan baru baik ‘di atasnya’ maupun ‘di bawahnya’: di atas, melalui persetujuan antara negara-negara
untuk
mendirikan—dan
berada
di situ
dalam
bentuk—
pemerintahan/institusi internasional (seperti IMF dan World Bank); di bawah, melalui penataan secara konstitusional oleh negara itu di dalam teritorial hubungan kekuasaan dan kewenangan antara pemerintah pusat, provinsi, dan lokalnya sendiri dan juga pengaturan terhadap swasta terhadap yang diakui secara publik di dalam masyarakat sipil.98 Kemudian, negara dengan posisinya yang demikian, tidak serta merta mengamini atau mengimplementasikan seluruh kepentingan global (Amerika). Banyak negara, maju atau dunia ketiga, yang menerapkan kebijakan-kebijakan yang bersebrangan dengan tuntutan global. Misalnya, China, Cuba, Venezuela, Bolivia, dll, termasuk Indonesia. Hal demikian dapat terjadi karena negara merupakan institusi yang harus mementingkan kepentingan warganegaranya, karena berkat kehendak merekalah negara terbentuk, dan negara juga harus menjalankan aturan-aturan kebijakan yang tercantum dalam konstitusinya. Indonesia misalnya, dalam fenomena kontemporer, Indonesia tidak serta merta menyesuaikan kebijakannya dengan kepentingan global. Dalam bidang
98
Ibid., h. 292.
ekonomi Indonesia tetap memberlakukan pasal 33 UUD 1945, melunasi utangnya dengan IMF,99 dan kemudian membubarkan forum CGI.100 Dalam bidang politik, Indonesia mendesak agar AS dan sekutunya menarik pasukan dari Irak,101 memilih abstain dalam sidang DK PBB yang membahas tentang sanksi bagi Iran.102 Jadi, jika selama negara-negara memiliki kemandirian dalam mengambil sikap yang “menentang” kepentingan global untuk kepentingan dirinya, maka tidak selamanya globalisasi menjadi ancaman bagi kedaulatan negara.
99
Pelunasan utang Indonesia kepada IMF dilakukan pada tanggal 5 Oktober 2006. Lihat dalam “IMF Sambut Baik Pelunasan Seluruh Utang Indonesia,” berita diakses pada 30 Desember 2008 dari http://www.detikfinance.com/read/2006/10/06/091514/690304/4/imf-sambut-baikpelunasan-seluruh-utang-indonesia 100 Forum CGI dibubarkan pada tanggal 25 Januari 2007. Lihat dalam “Pembubaran CGI Murni Keputusan Pemerintah Indonesia,” berita diakses pada 30 Desember 2008 dari http://www.halamansatu.net/index.php?option=com_content&task=view&id=306&Itemid=50 101 Usulan penarikan pasukan AS di Irak disampaikan oleh Presiden Susilo Bambang Yidhoyono ketika Presiden Amerika George W. Bush berkunjung ke Indonesia pada tanggal 6 Desember 2006. Lihat Muhammad Takdir, “Indonesia Mencari Solusi di Irak,” artikel diakses pada 30 Desember 2008 dari http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/opini/indonesiamencari-solusi102 Indonesia abstain dalam voting tentang penambahan sanksi bagi Iran di DK PBB pada tanggal 4 Maret 2008. Lihat dalam “Indonesia Abstain dalam Voting Sanksi Tambahan untuk Iran,” berita diakses pada 30 Desember 2008 dari http://www.kompas.com/read/xml/2008/03/04/05365735/indonesia.abstain.dalam.voting.sanksi.ta mbahan.untuk.iran
BAB V PENUTUP
A.
Kesimpulan Dari uraian yang telah disampaikan pada bab-bab terdahulu, terdapat poin
penting yang penulis rasa patut diungkapkan di sini sebagai suatu kesimpulan terkait dengan eksistensi kedaulatan negara di tengah hegemoni globalisasi, yaitu: Globalisasi secara bahasa berarti pengglobalan seluruh aspek kehidupan. Globalisasi identik dengan peningkatan
keterkaitan dan
ketergantungan
antarbangsa dan antarmanusia di seluruh dunia melalui perdagangan, investasi, perjalanan, budaya populer, dan bentuk-bentuk interaksi yang lain sehingga batasbatas suatu negara menjadi bias. Sedangkan secara teori globalisasi diartikan sebagai hasil akhir sebuah proses, yakni globalisasi tidak lain ialah kapitalisme dalam bentuknya yang paling mutakhir. Globalisasi ditandai dengan usaha menuju homogenitas (keseragaman) seluruh aspek kehidupan, baik budaya, ekonomi, maupun politik oleh Barat, terutama Amerika. Dalam perspektif budaya, homogenisasi dunia terjadi melalui berbagai sarana, khususnya media komunikasi dan informasi. Dalam bidang ekonomi dan politik, penyeragaman dilakukan dengan dikampanyekannya demokrasi dan
paham ekonomi neoliberalisme dan perdagangan bebas yang
dilakukan oleh negara-negara maju dengan dukungan lembaga-lembaga internasional, seperti IMF, Bank Dunia, dan WTO. Dari sudut pandang ini jelas terlihat bahwa negara-negara yang kuat dan kaya praktis akan mengendalikan ekonomi dunia dan negara-negara kecil makin tidak berdaya karena tidak mampu
bersaing. Karena sifatnya yang global, maka globalisasi menjadi ancaman bagi kedaulatan negara. Globalisasi telah menciptakan berbagai kebijakan dan kepentingan yang sifatnya global, intrastate atau bahkan suprastate. Banyak masalah yang tidak lagi bisa diatasi sendiri oleh sebuah negara secara unilateral sehingga kerjasama internasional yang sifatnya multilateralisme menjadi pilihan suatu negara. Begitu banyak kepentingan-kepentingan yang tidak lagi bisa dipenuhi kecuali melalui peran kekuatan global atau melibatkan unsur suprastate. Pada titik ini, kedaulatan sebuah negara terancam karena setiap negara— terutama negara dunia ketiga—didesak untuk menerapkan kepentingan global dalam setiap kebijakannya. Kepentingan global tersebut tak lain adalah kepentingan negara-negara maju (terutama Amerika Serikat). Misalnya, penerapan ideologi neoliberalisme dan pasar bebas dalam bidang ekonomi dan demokrasi dalam bidang politik. Namun, keterancaman kedaulatan negara tidak berarti menghilangkan sepenuhnya eksistensi negara dan kedaulatannya. Bagaimanapun kuatnya desakan kepentingan global, negara merupakan porosnya. Artinya, kepentingan global tersebut diterapkan melalui peran negara sebagai institusi yang berdaulat atas wilayah dan penduduknya. Negara melakukan hal ini dengan cara yang tidak dapat dilakukan oleh badan-badan lain: negaralah poros antara badan-badan internasional dan kegiatan sub-nasional, karena memberikan legitimasi sebagai suara eksklusif dari penduduk yang terikat secara teritorial. Saat ini kedaualatan negara mengalami pemaknaan baru, kedaualatan tidak lagi berarti berkuasa atau berwenang atas semuanya di dalam teritorialnya, tetapi
sekedar mengawasi perbatasan suatu teritorial dan, sesuai dengan tingkat kedemokrasiannya, mereka merupakan wakil warga negara di perbatasan itu. Meskipun demikian, negara masih tetap menampilkan wajah yang mandiri dari desakan kepentingan global, karena negara sebagai institusi yang mewaikili warganegaranya dan menjalankan amanat konstitusinya. Misalnya, seperti yang dilakukan oleh Indonesia dengan melunasi utang terhadap IMF, mendesak AS dan sekutunya untuk menarik pasukan dari Irak, dan mendukung program nuklir Iran untuk kepentingan damai.
B.
Saran Melihat fenomena hegemoni globalisasi yang amat merugikan bagi negara
Dunia Ketiga, penulis merasa perlu untuk memberikan beberapa saran yang konstruktif, dengan harapan: (1) ke depan negara-negara Dunia Ketiga, seperti Indonesia, tidak hanya menjadi korban dari globalisasi dan (2) terciptanya tatanan dunia yang lebih adil. Bagaimanapun, globalisasi—meskipun menghasilkan ketimpangan—adalah proses yang sedang berlangsung. Oleh karenanya, pertama, negara-negara Dunia Ketiga harus berusaha keras mencari cara menciptakan sistem ekonomi nasional yang kuat dengan memberikan perlindungan kepada industri-industri dalam negeri agar mampu bersaing secara sehat dikemudian hari. Kedua, sistem ekonomi nasional yang dimaksud tentunya adalah sistem ekonomi yang mandiri, sesuai dengan semangat kedaulatan negara. Negara harus berani menolak bentuk kerjasama ekonomi yang tidak adil dan eksploitatif.
Misalnya, bentuk kerjasama pengelolaan sumber daya alam dengan perusahaanperusahaan internasional. Ketiga, semua elemen di dunia ini harus senantiasa memperjuangkan suatu tatanan yang lebih adil bagi negara-negara di dunia dan masyarakat umum. Karena bagaimanapun juga suatu kebijakan nasional tidak akan pernah efektif tanpa perubahan tatanan dunia seperti saat ini. Karena, segala rekomendasi kebijakan yang dijalankan akan mempunyai hasil yang kurang memuaskan jika situasi global yang menyisakan ketimpangan dan dominasi modal negara-negara maju teru berlanjut. Keempat, atau yang terakhir, dan sekaligus yang amat penting adalah membangkitkan kembali rasa nasionalisme setiap negara di dunia. Nasionalisme merupakan benteng terpenting sebuah negara dari gempuran globalisasi. Dalam berbagai perspektif, baik ekonomi, politik, maupun budaya, revitalisasi nasionalisme menjadi jawaban bagi melemahnya kedaulatan negara di tengah hegemoni globalisasi seperti saat ini.
DAFTAR PUSTAKA
Budiman, Arief. Pembangunan dalam Krisis: Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996. Baswir, Revrisond. “Menelanjangi Globalisasi.” Pengantar dalam James Petras dan Henry Veltmeyer. Imperialisme Abad 21. Penerjemah Agung Prihantono. Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2002 ______________. “Utang Luar Negeri dan Neokolonialisme Indonesia.” Makalah di sampaikan dalam Seminar Nasional 50 Tahun Mafia Berkeley VS Gagasan Alternatif Pembangunan Ekonomi Indonesia. Jakarta: Koalisi Anti Utang, 2006. Budiyanto. Dasar-dasar Ilmu Tatanegara. Jakarta: Erlangga, 2003. Budiarjo, Miriam. Dasar-dasar Jakarta:Gramedia, 2003.
Ilmu
Politik,
cet.xxv.
“Bangsa Indonesia Menyambut Globalisasi.” Artikel diakses pada 11 Semptember 2008 dari situs http://hildaku.blog.com/568343/ Fakih, Mansour. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Yogyakarta: Insist Press, 2002. Gie, Kwik Kian. “50 Tahun Berkeley Mafia; Antara Kenyataan dan Fiksi.” Makalah di sampaikan dalam Seminar Nasional 50 Tahun Mafia Berkeley VS Gagasan Alternatif Pembangunan Ekonomi Indonesia. Jakarta: Koalisi Anti Utang, 2006. ______________. “Terjajahnya Kembali Indonesia Sejak 1967.” Dalam Amin Aryoso dkk. UUD 2002 Hasil Amandemen UUD ’45 Menghancurkan Bangsa Secara Ideologi, Politik, Ekonomi, dan Kebudayaan. Jakarta: Yayasan Kepada Bangsaku, 2008. Gunawan, Adi. Kamus Praktis Ilmiah Populer. Surabaya: Kartika, 2001. “Globalisasi.” Artikel diakses pada 08 Agustus 2008 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Globalisasi.html
Hawkins, Joycem. Kamus Dwi Bahasa Oxpord-Erlangga. Jakarta: Erlangga, 1996. Herzt, Noreena. Perampok Negara Kuasa Kapitalisme Global dan Matinya Demokrasi. Penerjemah M. Mustafied. Yogyakarta: Alenia, 2005. Hirst, Paul dan Grahame Thompson. Globalisasi Adalah Mitos. Penerjemah P. Soemitro. Jakarta: YOI, 2001. Imam, Robert H. “Neoliberalisme, Era Baru, dan Peradaban Pasar.” Dalam I. Wibowo & Prancis Wahono, ed., Neoliberalisme. Yogyakarta: Cinderalas, 2003. Istijar, M. “Globalisasi; Antara Impian dan Kenyataan.” Modul Pelatihan Dasar Anti Globalisasi LS-ADI. Ciputat: LS-ADI Press, 2003. ______________. “Globalisasi Anak Kandung Kapitalisme,” Modul Pelatihan Dasar Anti Globalisasi LS-ADI. Ciputat: LS-ADI Press, 2003 Januarsa, Pravendi. “Globalisasi dalam Tinjauan Kritis Soekarno.” Artikel diakses pada 08 Agustus 2008 dari http://www.pdiperjuanganjatim.org/v03/index.php?mod=berita&id=135 Kusnardi, Moh. dan Bintan Saragih. Ilmu Negara, cet.III. Jakarta: Gaya Media Pratama. Lukman, M.H. “Penanaman Modal Asing Berarti Memperkuat Kedudukan Imperialisme di Negeri Kita.” Artikel diakses pada 10 Januari 2009 dari www.geocities.com/edicahy/antiimperialisme/MH-Lukman.pdf “Menteri Agama Kritik Globalisasi Barat.” Kompas, 6 Mei 2003. Marbun, B. N. Kamus Politik. Jakarta: Sinat Harapan, 2007. “Pengertian Globalisasi.” Artikel diakses pada 21 Oktober 2008 dari http://fransis.wordpress.com/2008/02/17/pengertianglobalisasi.html Perkins, John. Confessions of an Economic Hit Man. Penerjemah Herman Tirtaatmaja dan Dwi Karyani. Jakarta: Abdi Tandor, 2005.
Palmer, I. The Indonesia Economy Since 1965: A Case Study of Political Economy. London: Frank Cass, 1978. Pramahendra, Riza. “Tata Kelola Globalisasi dan Dampaknya Pekerjaan Rumah untuk Indonesia.” Dalam Sugeng Bahagijo, ed. Globalisasi Menghempas Indonesia. Jakarta: LP3ES, 2006. Prasetiantono, A. Tony. “IMF (International Monetary Fund).” Dalam I. Wibowo & Prancis Wahono, ed. Neoliberalisme. Yogyakarta: Cinderalas, 2003. Priyono, B. Herry. “Dalam Pusaran Neoliberalisme.” Dalam I. Wobowo & Prancis Wahono, ed. Neoliberalisme. Yogyakarta: Cindelaras, 2003. Ransom, David. Mafia Berkeley dan Pembunuhan Massal di Indonesia. Jakarta: Koalisi Anti Utang, 2006. Rahmani, Muhajir Arif. “Arti Penting Kedaulatan Negara.” Artikel diakses pada tanggal 11 September 2008 dari situs http://www.cmm.or.id/cmm-ind_more.php?id=A3763_0_3_0_M Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. Teori Sosiologi Modern. Penerjemah Alimandan. Jakarta: Kencana, 2003. Ranawijaya, Usep dkk. Ancaman Terhadap Jatidiri Bangsa. Jakarta: Yayasan Kepada Bangsaku, 2008. Seda, Frans. "Mengenang Situasi Lahirnya Peraturan 3 1966." Dalam Bustomi Hadjid Ronodirdjo dkk, ed. Soeharto Bapak Pembangunan Indonesia Pembangunan Pemerintah Orde Baru. Bandung: Bandung, 1983.
Oktober Presiden Evaluasi Harapan
Suseno, Franz Magnis. Dalam Bayang-bayang Lenin. Jakarta: Gramedia, 2005. Stiglitz, Joseph E. Dekade Keserakahan. Penerjemah Aan Suhaeni. Tangerang: Marjin Kiri, 2005. Soehino. Ilmu Negara, cet. II. Yogyakarta: Liberty, 1981. Setiawan, Bonnie. “Antara Doha dan Cancun: Cengkeraman Neoliberalisme pada Tubuh WTO.” Dalam I. Wibowo & Prancis Wahono, ed. Neoliberalisme. Yogyakarta: Cinderalas, 2003 ______________. “Globalisasi Dan Pengaruhnya Terhadap Ekonomi Indonesia Dan Kritiknya.” Artikel diakses pada 21
Oktober 2008 dari situs Http://Www.IcrpOnline.Org/Wmview.Php?Artid=170&Page=20 Soim, Nur Ahmad. “Mafia Barkeley dan Neo-Kolonialisme Indonesia.” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2007. Sianipar, Gading. "Mendefinisikan Pascakolonialisme? Pengantar Menuju Wacana Pemikiran Pascakolonialisme." Dalam Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto. Hermeneutika Pascakolonial, Soal Identitas. Yogyakarta: Kanisius, 2004. Suhelmi, Ahmad. Pemikiran Politik Barat. Jakarta: Gramedia, 2001. Swasono, Sri Edi. “Berkeley Mafia VS Pemikiran Hatta.” Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional 50 Tahun Mafia Berkeley VS Gagasan Alternatif Pembanguna Ekonomi Indonesia. Jakarta: Koalisi Anti Utang, 2006. Tilaar, H. A. R. Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam Era Globalisasi. Jakarta: Grasindo, 1997. Tim ICCE UIN Jakarta. Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani. Jakarta: UIN, 2004. UUD ’45 Amandemen I, II, III, IV. Jakarta: Bintang Indonesia, 2004. Warganegara, Arizka. “Globalisasi dan Islam Politik.” Artikel diakses pada 11 September 2008 dari http://arizkagiddens.blogspot.com/2008/09/globalisasi-dan-islam-politiksebuah.html. Wibowo, I. “Emoh Negara: Neoliberalisme dan Kampanye AntiNegara.” Dalam I. Wibowo & Francis Wahono, ed. Neoliberalisme. Yogyakarta: Cinderalas, 2003. Winarno, Budi. Globalisasi Peluang atau Ancaman bagi Indonesia. Jakarta: Erlangga, 2008.