1
%$%, 3(1'$+8/8$1 $ /DWDU%HODNDQJ0DVDODK Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara yang mengakui kedaulatan berada di tangan rakyat. Kedaulatan ini lahir dari sistem pemerintahan demokrasi. Para pemimpin daerah maupun di pusat, dipilih langsung oleh rakyat (one man one fote) melalui pesta rakyat yang dilaksanakan sekali 5 tahun menjadi titik klimaks dari kepemimpinan di negara ini. Kecenderungan sebagian rakyat merasa tertipu dari janji-janji kampanye para calon wakil pilihannya, baik calon kepala daerah hingga calon presiden dan menjadi momok yang tak pernah berubah dari periode sebelumnya ke periode selanjutnya. Di saat tampuk kepemimpinan berlangsung, kekuasaan sering kali dijalankan diluar impian para pemilihnya. Kepentingan rakyat terabaikan karena kepentingan pribadi atau golongan dari pemimpin terpilih. Tidak dapat dipungkiri, bahwa kehidupan sebagian pemimpin dikalahkan oleh problema materialistik. Memperkaya diri sendiri dan golongan membuat kebutuhan rakyat dinomor duakan. Mereka tidak lagi hadir sebagai pelayan rakyat, namun sebaliknya, rakyatlah yang diposisikan sebagai pelayan. Banyak kebijakan pemimpin yang tidak lagi memikirkan atau berpihak pada kehidupan rakyatnya, kebutuhan pangan, harga bahan pokok melonjak, anakanak yang tidak berpendidikan dan banyaknya pengangguran merupakan korban akan keserakahan para pemimpin. Negara telah merdeka 70 tahun lamanya, namun mengsejahterakan kehidupan rakyat belum mengalami perubahan yang signifikan. Namun sebaliknya, sebagian pemimpin menjadi koruptor, melemahkan hukum dan keadilan. Semestinya, dari sebuah negara yang kaya, terdiri dari ribuan pulau, hasil bumi yang tidak ternilai harganya dan keberagaman suku bangsa, bahasa, agama, budaya serta adat-istiadatnya. Melahirkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, menjadi cerminan akan kehidupan bangsa ini.
2
Kearifan lokal yang dimiliki negara di setiap suku bangsa, belum pernah dijadikan sumber nilai yang mampu membuat negara ini lebih bermartabat dan bermoral. Di setiap adat, bahasa, suku dan agama itu terkandung sistem nilai dan sistem pengetahuan yang sudah tumbuh ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu. Jauh sebelum lahirnya NKRI, wilayah yang dikenal dengan nama nuswantara atau nusantara. Seiring dengan perkembangan peradaban di seluruh dunia. Populasi makin bertambah, perkembangan suku-suku bangsa membentuk diri menjadi sebuah wilayah kekuasaan dalam teritorial kampung (palili) atau dapat dikatakan sebagai polis dalam istilah Plato. Hingga menyatu membentuk kerajaan besar, sangat kuat dan diperhitungkan oleh kerajaan-kerajaan sekitarnya. Indonesia sebenarnya adalah bangsa
yang hidup
di dalam
kemajemukan rakyatnya. Bersuku-suku, ada ratusan bahasa, setiap bangsa memiliki karakter dan kualitas yang beragam. Karakter ini terbentuk berdasarkan sejarah dan perkembangan budaya masyarakat. Memiliki wujud kesatuan sosial khasnya masing-masing yang terus menjadi suatu kebudayaan lengkap dengan tatanan aturan tingkah lakunya. Interaksi yang terus menerus di antara mereka memiliki sistem politik, sistem ekonomi dan sistem pemerintahan sendiri. Selain kerajaan, ada pula komunitas adat. Komunitas berdasarkan ruang lingkup yang lebih kecil jika dibandingkan dengan menggunakan kata masyarakat yang lebih luas. Menurut Koentjaraningrat (2002: 148) definisi komunitas adalah suatu kesatuan hidup manusia, menempati suatu wilayah yang nyata dan yang berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat, serta terikat suatu rasa identitas komunitas. Artinya, komunitas memiliki ruang lingkup kesadaran wilayah, kesadaran identitas berbeda dengan identitas yang berada di luar wilayah mereka. Soekanto (2001: 162) mengatakan istilah Community dapat diterjemahkan sebagai “masyarakat setempat”, menunjuk pada warga sebuah desa, kota, suku dan bangsa. Dijelaskan, bahwa apabila anggota-anggota
3
suatu kelompok, baik kelompok kecil atau besar, hidup bersama sedemikian rupa sehingga merasakan bahwa kelompok tersebut dapat memenuhi kepentingan-kepentingan hidup yang utama, maka kelompok tadi disebut masyarakat setempat. Poplin (dalam Soelaeman, 1989: 67) mengartikan secara ringkas bahwa komunitas sebagai satuan kebersamaan hidup sejumlah orang banyak yang memiliki ciri-ciri: teritorialitas terbatas, keorganisasian tata kehidupan bersama dan berlakunya nilai-nilai dan orientasi nilai yang kolektif. Ruang lingkup komunitas yang hidup bermasyarakat dengan sistem yang sudah diatur dan dikelola secara turun-temurun hingga tidak terhitung jumlah hukum adat, sistem kepercayaan dan agama. Hal ini terbukti dengan pasang surutnya kejayaan-kejayaan bangsa pada masa lalu dengan keberagaman kerajaan atau komunitas adat. Kebaradaan komunitas adat dinyatakan dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45) hasil amandemen mendapat pengakuan dan penghormatan, termaktub dalam Pasal 18 B ayat 2. Pasal ini memberikan posisi konstitusional kepada komunitas adat dalam hubungannya dengan negara. Dengan demikian, pada pasal tersebut adalah satu deklarasi tentang kewajiban konstitusional bagi negara untuk mengakui
dan
juga
menghormati
komunitas
adat,
memiliki
hak
konstitusional untuk memperoleh pengakuan serta penghormatan terhadap hak-hak tradisionalnya. Hal ini menjadi penting diatur oleh negara, sebab beberapa komunitas adat di negeri ini, masih memberlakukan sistem politik dan pemerintahan lokal yang sangat mencerminkan nilai-nilai adat dan leluhur mereka. 1 Penulis melihat, sudah seharusnya negara kembali kepada nilai-nilai yang terkandung pada kearifan lokal suku bangsa yang dimiliki. Penulis membahas Komunitas Adat Kajang (KAK) di Kabupaten Bulukumba 1
Misalnya: Keraton Yogyakarta di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang saat ini dipimpin Sultan HB IX secara turun temurun; masyarakat adat Minangkabau di Sumatera Barat (Sumbar) dengan kepemimpinan kepala-kepala adat yang disebut datuk (baca: Toeah, 1985). Komunitas adat Dayak yang hingga saat ini masih terdapat di Pulau Kalimantan (Laksono, dkk, 2006); Spina (1981) menuliskan Mitos dan Legenda Suku Mentawai dengan bagus dan beberapa komunitas adat yang masih banyak ditemukan di Indonesia.
4
Sulawesi
Selatan
dengan
kepemimpinan
Ammatoa
(kepala
adat).
Kepemimpinan Ammatoa diyakini memiliki kebijaksanaan, kekuataan dan keahlian lebih. Dalam konsep KAK lebih mengarah pada tatanan sosial serta mendahulukan kepentingan komunitasnya, pola hidup sederhana dan bersahaja untuk memanifestasikan kekuasaan adat dalam menjaga hutan adat serta budaya leluhur, serta KAK adalah komunitas yang mempunyai pengaruh besar terhadap pemerintahan yang ada di luar Tana Toa. Komunitas adat biasanya memiliki struktur dan lembaga-lembaga sosial yang diakui secara formal dalam pemerintahan (negara). Lembagalembaga sosial yang dimaksud dalam KAK adalah Ada’ Limaya, dan Karaeng Tallua. Dalam struktur kelembagaan terdapat personil yang mengendalikan gerak dan peranan lembaga-lembaga tersebut, Ammatoa dibantu sejumlah perangkat adat lain yang dikenal dengan Sulle Hatang, Anak Karaeng, Pu’Sanro, dan Anrongta (Katu, 2005: 2). Ammatoa bagi KAK adalah sosok orang suci dari para leluhur mereka yang menerima titah Tu Riek A’ra’na (TRA). Dalam penuturan Pasang berupa cerita suci dan ungkapan lainnya menyebut bahwa perintah atau amanah dari TRA disampaikan kepada manusia melalui manusia pilihan, Ammatoa. Sebelum masuk pembahasan yang mendalam mengenai KAK, penulis beralih pada filsuf Yunani yang telah menghasilkan karya tentang negara ideal -Republik-. Plato, salah satu filsuf besar yang mengatakan bahwa negara harus dipimpin kaum sofis, menurutnya kaum sofislah yang memiliki kebijaksanaan (Budiman, 2002: 9). Dalam Bahasa Yunani nama Plato dieja sebagai “Platon” artinya “yang berbahu lebar”, namun literatur Bahasa Latin dieja menjadi “Plato” sama halnya dalam literatur Bahasa Inggris dan berbagai bahasa lainnya. Sementara di Indonesia menyebutnya “Plato”, garagara filsafat masuk ke negeri ini lewat Bahasa Belanda, yang memakai kata “Plato”. Andai ingin mengikuti Bahasa Yunaninya Pla/twn (Platon), dan kalau ingin menyesuaikan diri dengan sebagian besar bahasa internasional di Barat, lebih baik menyebutnya Platon, karena lebih tepat untuk menggambarkan munculnya kata-kata turunan Platonisme, Platonic, Platonis atau Platonisian (Wibowo, 2008: 4-5). Dari sumber yang berbeda, dinyatakan nama julukan Plato itu diberikan oleh seorang pelatih senamnya, berarti “si lebar”.
5
Julukan ini lebih cepat populer dan menjadi panggilan sehari-hari, bahkan menjadi nama resmi yang diabadikannya lewat seluruh karyanya (Rapar, 2001: 37-38). Namun, dalam penulisan ini, tetap menggunakan ejaan Plato karena ini ejaan yang populer di sebagian kalangan akademisi dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Pemikiran Plato mengenai negara ideal bukan hal yang tidak berdasar atau asal-asalaan saja. Melihat konsep Plato memiliki indikator yang sama dalam berjalanannya pemerintahan KAK yang dipimpin Ammatoa. Plato, dalam karya monumentalnya -Republik-, memulai tulisannya dengan menjelaskan makna keadilan (justice) dalam dialog yang dilakukan Socrates. Bagian pertama (Book I) Republik dijelaskan apa dan bagaimana suatu keadilan. Konsep mengenai keadilan tersebut mengarah pada sosok pemerintahan dan pemimpin yang baik, dibahas dalam Republik. Argumen mendasar dalam Republik ialah bahwa “pemimpin” (ruler) harus memperhatikan aspek moral dan membangun sebuah harmoni antara individu dan negara (state), perhatiannya terhadap “negara ideal” tersebut sangat berlandaskan pada etika dalam pelaksanaannya (Melling, 2002: 139). Hal ini setidaknnya dapat dilaksanakan raja (king) yang mempunyai kemampuan
sebagaimana
yang
filosof
miliki.
Pendapat
Plato
memperlihatkan raja adalah filosof dan sebaliknya filosof juga seorang raja (Melling, 2002: 142). Melihat pemerintahan yang dibangun dalam kearifan lokal KAK dan ajaran atau pemikiran Plato dalam Republiknya dapat memberikan gambaran kearifan lokal dan pemikiran filsafat dalam menciptakan pemimpin yang bijaksana dan terciptanya negara ideal. Seorang pemimpin diharapkan dari kaum sofis, menurut penulis menarik jika melihat kepemimpinan Ammatoa dalam KAK. Ammatoa dianggap manusia pilihan dan bijaksana menjadi sosok pemimpin KAK, penulis melihat dari sudut pandang negara RepublikPlato. Hal mendasar untuk menulis konsep negara KAK dikarenakan keberadaan dan keeksistensian nilai-nilai KAK tetap terjaga dan terus dilestarikan komunitasnya sampai saat ini.
6
% 5XPXVDQ0DVDODK Pemaparan latar belakang masalah mengenai pemikiran Plato dan pemerintahan KAK telah menghasilkan beberapa masalah untuk dijadikan rumusan sebagai berikut: 1. Bagaimana konsep pemerintahan dalam filsafat politik Plato? 2. Bagaimana struktur dan sistem pemerintahan komunitas adat Kajang? 3. Apa konsep pemerintahan komunitas adat Kajang ditinjau dari pemikiran Plato dalam ‘Republik’? & .HDVOLDQ3HQHOLWLDQ Penulis mengambil tema terkait KAK ditinjau dari pemikiran -RepublikPlato. Maka terkait penulisan tersebut, terbukti sejauh ini belum ditemukannya penelitian yang bertema sama. Plato sebagai filsuf awal mencoba melihat negara ideal dipimpin kaum aristokrat, sangat menarik untuk menggali pemikirannya secara lebih mendalam. Beberapa penelusuran penulis terkait para peneliti, akademisi yang pernah mengangkat KAK telah terdapat sebagai berikut: 1. Karya dari buku: a.
Sitti Aminah. P. H. berjudul Nilai-Nilai Luhur Budaya Spiritual Ammatoa Kajang, yang diterbitkan Kanwil Depdikbud Propinsi Sulawesi Selatan, tahun 1989. Buku ini banyak menjabarkan ajaran nilai-nilai luhur dalam hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan alamnya, manusia dengan manusia dan manusia dengan diri sendiri serta menjabarkan tata cara ritual KAK. Buku tersebut belum membahas khusus mengenai sistem pemerintahannya (Aminah , 1989: 19-22).
b.
Yusuf Akib. Potret Manusia Kajang. Penerbit Pustaka Refleksi, 2003. Karya yang banyak berbicara masalah kepercayaan Patuntung dalam bahasa Konjo, juga karya ini banyak mengungkap kamase-mase (orang yang bersahaja) dalam sistem nilai-nilainya. Karya Akib cukup
7
membantu dalam memahami nilai-nilai falsafah ajaran patuntung (Akib, 2003, 35-39; 52). c.
Mas Alim Katu. Tasawuf Kajang. Penerbit: Pustaka Refleksi, Makassar, 2005. Karya Katu mengulas penganut kepercayaan Patuntung berdasarkan pada pasang-pasang dari Kajang. Menurut hasil penelitiannya, orang Kajang mengklaim bahwa Al-Qur’an turun dari Kajang, 30 Juz dibawah ke tanah Arab dan 10 Juz Al-Qur’an tinggal di Kajang. 10 Juz Al-Qur’an yang berada di Kajang merupakan hakikat dari Pasang ri Kajang (Katu, 2005: 31-32).
2. Karya dari Skripsi, Tesis dan Disertasi: a. Lungga. Ungkapan Tradisional Dalam Upacara Perkawinan Suku Kajang Kabupaten Bulukumba (suatu tinjauan antropolingiustik) ditulis dalam skripsi milik Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin, 1991. Penelitian ini lebih membahas pada ungkapan terkait perkawinan KAK Desa Tana Toa. Karya Lungga belum menyentuh hal-hal terkait pemerintahan lokal di Kajang (Lungga, 1991: 24). b. Abdul Kadir Ahmad. Komunitas Ammatoa di Kajang Bulukumba Studi
Tentang
Peranan
Kepercayaan
Terhadap
Pelestarian
Lingkungan Hidup ditulis dalam tesis Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin tahun 1991. Tesis ini dituliskan bagaimana komunitas Ammatoa dalam hubungannya dengan alam. Hal ini dapat membantu tesis penulis dalam karya Ahmad menjelaskan aturanaturan adat terkait lingkungan atau alam berdasarkan pasang, dengan dipimpin langsung pemangku adat, Ammatoa (Ahmad, 1991: 68). c. Sukirman. Konflik dan Integrasi Dalam Masyarakat Bulukumba (Suatu
Kajian
Antropologi
Budaya
Di
Kelurahan
Tanajaya
Kecamatan Kajang) yang ditulis dalam sebuah tesis Program Pascasarjana
Universitas
Hasanuddin
tahun
2002.
Tesis
ini
digambarkan konflik yang terjadi di antara etnis Bugis dan etnis berbahasa Konjo di Kecamatan Kajang. Dalam tulisan ini, tidak
8
menyinggung bagaimana kedudukan dan kehidupan komunitas Ammatoa secara langsung dan jelas (Sukirman, 2002: 53). d. Kaimuddin Salle. Kebijakan Lingkungan Menurut Pasang (Sebuah Kajian Hukum Lingkungan Adat Pada Masyarakat Ammatoa Kecamatan Kajang Kabupaten Daerah Tingkat II Bulukumba). Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin tahun 1999. Disertasi ini, fokus kepada kebijakan lingkungan atau alam yang dilakukan komunitas Ammatoa (Salle, 1999: 100), sementara penulis lebih kepada ketatanegaraan KAK dalam konsep negara. Namun penulis dapat mengutip pasang-pasang yang terdapat dalam tesis tersebut. Bagi penulis, ini cukup membantu memahami ilham-ilham yang pernah turun melalui Ammatoa maupun KAK pada umumnya.
3. Laporan Penelitian: a. KMA. M. Usop. Pasang Ri Kajang: Kajian Sistem Nilai Di “Benteng Hitam: Ammatoa. Laporan Penelitian Pusat Latihan Penelitian IlmuIlmu Sosial, Ujung Pandang, 1978. Penelitian ini membicarakan pasang yang diyakini diturunkan melalui Ammatoa (Usop, 1978: 42). b. Redaksi: R. A. Pelenkahu., Djirong Basang., Abdul Muthalib Saeha., dan Nurdin Yatim. Dialek Kondjo Di Sulawesi Selatan: Suatu Laporan Penelitian Lembaga Bahasa Nasional Tjabang III. Diterbitkan: Lembaga Bahasa Nasioanal Tjabang III, Udjung Pandang, 1971. Penelitian ini cukup membantu dalam hal bahasa Konjo dan budaya Kajang (Pelenkahu, dkk.,1971: 1). ' 0DQIDDW3HQHOLWLDQ Penelitian yang dilakukan diharapkan memiliki manfaat buat peneliti selanjutnya, beberapa manfaat penelitian ini: 1. Pada ranah teoritis-akademis, diharapkan memberikan sumbangan wawasan dan ilmu pengetahuan bagi khazanah penelitian kefilsafatan pada
9
umumnya, filsafat ke-nusantara-an dan filsafat ke-negara-an dalam sudut pandang KAK pada khususnya. 2. Berangkat dari kemajuan Fakultas Ilmu Filsafat, Universitas Gadjah Mada berlandaskan Filsafat Pancasila (Dasar Negara NKRI) maka penelitian falsafah lokal (lokal wisdom) merupakan ‘isi dalam’ falsafah Pancasila. Penelitian ini diharapkan memberikan sumbangsih bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan pendidikan demi kemajuan bangsa dan negara. 3. Penelitian diharapkan dapat mengajukan wacana dan orientasi baru dalam pengembangan penelitian filsafat dalam konteks negara (pemerintahan adat) serta yang berakar dari kearifan-kearifan budaya masyarakat Indonesia. ( 7XMXDQ3HQHOLWLDQ Berdasarkan masalah yang telah dirumuskan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Menjelaskan pemikiran filsafat Plato secara umum dan secara khusus pada filsafat politik pemerintahan ‘Republik’. 2. Menjelaskan secara detail struktur dan sistem pemerintahan KAK. 3. Menganalisis konsep pemerintahan KAK dengan perspektif Plato tentang Republik. )
7LQMDXDQ3XVWDND Kebutuhan dalam literatur untuk dapat menambahkan wawasan tentang KAK sangatlah perlu, tetapi perlu dikatakan bahwa sangat jarang orang-orang akademisi dapat menulis dan meneliti tentang KAK. KAK sebenarnya baru terbuka terhadap masyarakat luar pada masa kepemimpinan Puto Cacong. Jadi berangkat dari penelusuran pustaka, penulis menemukan berbagai literatur yang berkaitan dengan topik ini. diantaranya: Ungkapan tradisional dalam upacara perkawinan Suku Kajang Kabupaten Bulukumba, suatu tinjauan antropolingiustik yang ditulis dalam skripsi milik Fakultas Sastra UNHAS 1991 oleh Lungga. Penelitian yang
10
berangkat dari teori-teori antropolinguistik, membahas pada ungkapan terkait perkawinan KAK Desa Tana Toa. Misalnya, ungkapan dalam sisaliliki, adduta, angingassai paua, anggutta sunrang, appanasi balanja, tanro allo passitteang dan aqnikkah. Diketahui bahwa ungkapan tradisional dalam upacara perkawinan KAK tidak diucapkan begitu saja, tetapi diungkapkan berdasarkan konsep-konsep kebudayaan, bahwa ungkapan adalah perkataan atau kelompok kata yang khusus mengatakan buah maksud dengan arti kiasan. Dalam Bahasa Konjo, istilah itu dapat di kenal dengan pasang, ilham dapat digolongkan sebagai ungkapan yang berdiri atas susunan kata-kata yang baik, indah, menarik dan menggugah perasaan guna mengungkapkan maksud dengan baik (Lungga, 1991: 34). Sebuah karya dari Sitti Aminah. P.H. berjudul Nilai-nilai luhur budaya spiritual Ammatoa Kajang, buku ini banyak menjabarkan tentang ajaran nilai-nilai luhur dalam hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan alamnya, manusia dengan manusia dan manusia dengan diri sendiri (Aminah, 1989: 19). Buku ini sangat deskriptif, menuliskan secara datar tanpa menggunakan teori khusus. Yusuf Akib salah satu penulis KAK, Potret Manusia Kajang. Karya yang banyak berbicara masalah kepercayaan Patuntung dalam Bahasa Konjo, karya ini banyak mengungkap tentang kamase-mase dalam sistem nilainilainya (Akib, 2003: 35). Ada kaitan dengan penelitian penulis. Mas Alim Katu. Tasawuf Kajang. Penerbit: Pustaka Refleksi, Makassar, 2005. Karya Katu mengulas penganut kepercayaan Patuntung berdasarkan pasang-pasang dari Kajang. Menurut hasil penelitiannya, orang Kajang mengklaim bahwa asal mula Al-Qur’an turun dari Kajang. 30 Juz dibawah ke tanah Arab dan selebihnya 10 Juz ditaruh di Kajang. 10 Juz AlQur’an yang berada di Kajang merupakan hakikat dari Pasang ri Kajang (Katu, 2005: 31-32). Komunitas Ammatoa di Kajang Bulukumba Studi Tentang Peranan Kepercayaan Terhadap Pelestarian Lingkungan Hidup yang ditulis dalam tesis pascasarjana Universitas Hasanuddin tahun 1991 oleh H. Abdul Kadir
11
Ahmad. Dalam tesisnya, dituliskan menggunakan teori-teori terkait dengan lingkungan, melihat komunitas Ammatoa dalam hubungannya dengan alam (Ahmad, 1991: 68). Konflik dan Integrasi Dalam Masyarakat Bulukumba suatu kajian antropologi budaya di Kelurahan Tanajaya, Kecamatan Kajang yang ditulis dalam tesis pascasarjana Universitas Hasanuddin tahun 2002 oleh Sukirman. Tesis Sukirman menggambarkan konflik yang terjadi di antara etnis Bugis dan etnis Konjo di Kecamatan Kajang (Sukirman, 2002: 53). Dalam tulisan ini, penulis tidak menyinggung bagaimana kedudukan dan kehidupan komunitas Ammatoa secara langsung dan jelas. Sebuah disertasi ditulis Kaimuddin Salle pada program pascasarjana Universitas Hasanuddin tahun 1999, Kebijakan Lingkungan Menurut Pasang sebuah kajian hukum lingkungan adat pada komunitas Ammatoa Kecamatan Kajang Kabupaten Daerah Tingkat II Bulukumba. Pada tesis ini, fokus kepada kebijakan lingkungan atau alam yang dilakukan komunitas Ammatoa, sementara penulis lebih pada ketatanegaraan komunitas Ammatoa dalam konsep negara (Salle, 1999: 100). Namun penulis dapat mengutip tentang pasang-pasang yang terdapat dalam tesis tersebut. Bagi penulis ini cukup membantu dalam memahami ilham-ilham yang pernah turun melalui Ammatoa maupun KAK pada umumnya. KMA. M. Usop. Pasang Ri Kajang: Kajian Sistem Nilai Di “Benteng Hitam: Ammatoa. Laporan Penelitian Pusat Latihan Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Ujung Pandang, 1978. Penelitian ini membicarakan pasang atau ilham diyakini diturunkan melalui Ammatoa (Usop, 1978: 42). R. A. Pelenkahu., Djirong Basang., Abdul Muthalib Saeha., dan Nurdin Yatim. Dialek Kondjo Di Sulawesi Selatan: Suatu Laporan Penelitian. Diterbitkan: Lembaga Bahasa Nasioanal Tjabang III, Udjung Pandang, 1971, laporan penelitian yang cukup rinci menjelaskan tentang dialek, Bahasa Konjo dan mencontohkan kata-perkata agar mudah dipahami bunyi atau ucapan (Pelenkahu, dkk.,1971: 1).
12
* /DQGDVDQ7HRUL Landasan teoritis akan memuat teori, konsep, serta asas-asas yang digunakan menganalisis permasalahan yang dikaji dalam penelitian. Adapun landasan teoritis dimaksudkan berhubungan dengan pengertian negara, gagasan Plato tentang republik, negara ideal, bentuk-bentuk pemerintahan negara dan ketidakadilan serta etika dan politik. 1. Pengertian Negara Negara adalah lembaga purba manusia yang telah ada sekitar 10.000 tahun lampau, sejak masyarakat pertanian pertama muncul di Mesopotamia. Di Cina, negara dengan birokrasi yang sangat terlatih telah ada selama ribuan tahun. Di Eropa, negara modern, yang mempunyai pasukan besar, kekuasaan perpajakan, dan birokrasi terpusat yang dapat menjalankan otoritas tertinggi atas suatu wilayah luas, muncul lebih belakangan, sekitar empat atau lima ratus tahun sejak konsolidasi kerajaan-kerajaan Prancis, Spanyol, dan Swedia (Fukuyama, 2005: 1). Sementara Plato mengatakan negara adalah tubuh yang senantiasa maju, berevolusi dan terdiri dari orang-orang (individu-individu) yang timbul atau ada karena masing-masing dari orang itu secara sendirisendiri tidak mampu memenuhi kebutuhan dan keinginannya yang beraneka ragam, menyebabkan mereka harus bekerja sama untuk memenuhi kepentingan bersama (Melling, 2002: 135). Melihat definisi di atas, dapat diperkuat pernyataan Musa (1963: 25) bahwa negara merupakan sekumpulan manusia yang secara tetap mendiami wilayah tertentu dan memiliki institusi abstraknya sendiri, sistem yang dipatuhi para pemegang kekuasaan dan ditaatinya serta memiliki kemerdekaan politik. Lanjutnya, dari definisi tersebut dapat ditarik unsur-unsur yang ada bagi terwujudnya dan berdirinya negara adalah adanya bangsa yang mendiami wilayah tertentu di belahan bumi, adanya institusi abstrak yang diterima baik bangsa tersebut dan direalisasikan oleh pemegang kekuasaan, adanya sistem yang ditaati dan mengatur jenjang-jenjang kekuasaan serta kebebasan politik yang
13
menjadi identitas bangsa tersebut sehingga tidak mengekor kepada negara lain (Musa, 1963: 25).
2. Asal Mula Negara Menurut Plato Keberadaan negara di muka bumi sudah lama, misalnya adanya negaranegara Babylonia, Mesir, Assyria dan negara-negara ini adanya sekitar abad ke XVIII sebelum masehi dengan sistem pemerintahan yang sangat absolut (Soehino, 2005: 11). Namun pemikiran-pemikiran mengenai negara dan kekuasaan serta hukum dimulai pada masa Bangsa Yunani kuno dalam abad ke V sebelum masehi yaitu di Athena (Soehino, 2005: 11-13). Terbukti, banyaknya pemikiran-pemikiran dan tokoh-tokoh filsafat yang lahir dari bangsa ini, seperti Socrates, Plato, Aristoteles dan lain sebagainya. Plato adalah seorang filsuf didikan dari Socrates, hidup pada tahun 429-347SM dan terkenal sebagai pencipta ajaran alam cita (ideeenleer), dapat diketahui ada tiga karyanya yang terkenal: pertama, Politeia (negara hukum); kedua, Politikos (ahli negara); dan terakhir, Nomoi (undang-undang), (Sabon, dkk., 1989: 39). Plato menjelaskan negara timbul atau ada karena adanya kebutuhan dan keinginan manusia beraneka ragam, yang menyebabkan harus bekerja sama untuk memenuhi kebutuhan yang diinginkan. Karena itu, sesuai kecakapan mereka masing-masing di dalam kerja sama tersebut diadakan pembagian tugas, namun tetap dalam kesatuan karena tugas-tugas yang berbeda itu dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan mereka bersamasama (Melling, 2002: 135). Kesatuan mereka itulah yang kemudian disebut masyarakat atau negara (Soehino, 2005: 17). Di dalam bukunya Politeia (Republik), Plato menggambarkan negara dalam bentuk ideal seperti manusia yang mempunyai tiga kemampuan jiwa, yaitu; Kehendak, akal pikiran dan perasaan. Sesuai dengan tiga kemampuan jiwa yang ada pada manusia tersebut, maka di
14
dalam negara juga terdapat tiga golongan masyarakat yang mempunyai kemampuannya masing-masing (Saragih, 1988: 14-15). Solusi Plato terhadap tentang struktur ideal Negara Beradab adalah pembagian warga negara ke dalam tiga kelas, masing-masing memiliki fungsi khususnya sendiri: penguasa akan menyelenggarakan negara, prajurit Pasukan Asing (Warrior Auxiliaries) akan mendukung dan membantu Penguasa, Kelas ketiga, warga negara lainnya, akan menyediakan semua jenis barang dan jasa yang diperlukan untuk kehidupan yang beradab (Melling, 2002: 146-147). Golongan pertama hendaknya terdiri dari orang-orang pandai ahli-ahli berpikir dan ahli-ahli filsafat, rajanya diharapkan orang berfilsafat tinggi (Soehino, 2005: 21). Plato, individu memiliki kecenderungan yang keras dalam bertindak atas dasar kepentingannya sendiri. Menurutnya, hanya filsuf yang dapat melihat persoalan sebenarnya dalam kehidupan, dapat membedakan yang baik dan yang buruk (Soehino, 2005: 18). Filsuf melihat nilai-nilai yang abadi; filsuf dapat membebaskan diri dari “dunia lahir yang berubah dan berganti-ganti dalam gejalanya” dan mereka mengetahui persoalan sampai pada inti dari segala-galanya (Budiman, 2002: 9). Lanjutnya, bagi Plato yang bisa menjadi pemimpin atau raja dalam sebuah negara itu hanyalah seorang filsuf. Golongan kedua disebut golongan ksatria atau prajurit, bertugas menjaga keamanan negara jika diserang dari luar atau kalau keadaan di dalam negara mengalami kekacauan (Saragih, 1988: 15). Mereka harus mendapatkan didikan khusus untuk menjalankan tugasnya, pertama-tama dibutuhkan adanya siasat keberanian dan golongan ketiga adalah golongan pekerja atau rakyat, yang biasa disamakan dengan perasaan manusia. Lanjut Soehino, golongan ini termasuk golongan petani dan pedagang, tugasnya memenuhi kebutuhan-kebutuhan benda atau material orang yang hidup di dalam negara (Soehino, 1980: 21).
15
3. Tujuan Negara Sepanjang perkembangan sejarah kenegaraan sejak zaman dahulu hingga sekarang, tujuan daripada negara tidak pernah sama dan tetap. Ada beberapa pendapat mengenai tujuan dari negara, yaitu sebagaimana ajaran etik yang Plato kembangkan, maka bagi Plato tujuan negara sinkron
dengan
tujuan
hidup
manusia,
yaitu
kesenangan
dan
kebahagiaan warganya (Sabon, dkk. 1989: 93-97). Ketika tujuan negara adalah kesenangan dan kebahagiaan hidup manusia maka tugas negara yang paling menonjol ialah fungsi kesejahteraan yakni mengupayakan kesenangan dan kebahagiaan tersebut. Kendati demikian pemikiran Plato tidaklah dapat dimaknai sesederhana itu, karena sesungguhnya terdapat pemahaman dan pengertian filsafat yang mendalam. Ketika Plato mengungkapkan tujuan hidup manusia untuk mengejar kesenangan dan kebahagiaan, tidak berarti Plato mengobarkan semangat hedonisme yang mengutamakan kenikmatan dunia belaka (Melling, 2002: 138).
4. Bentuk-bentuk Negara Menurut Plato Terkait dengan bentuk negara, Plato mengungkapkan terdapat lima bentuk negara yang sesuai dengan kondisi jiwa manusia (Plato, 2002: 353). Menurut Plato, negara dan manusia memilik persamaan, maka senantiasa ada kesesuaian antara manusia dan negara, baik dalam sifat dan karakter maupun kondisi dan lain sebagainya (Meiling, 2002: 150; Soehino, 2005: 18). Sebagaimana latar belakang Plato yang sangat kritis terhadap demokratis, maka ia meletakkan bentuk negara aristokrasi sebagai negara terbaik dari empat bentuk negara lainnya, yakni timokrasi, oligarki, demokasi, dan tirani (Plato, 2002: 150). Menurut Plato, pemerintahan aristokratik berada di tangan para cendekiawan yang oleh Plato dikatakan sebagai orang-orang terbaik yang penuh dan berorientasi pada keadilan, kebajikan, dan kebaikan yang dapat dinikmati oleh seluruh
16
warga negara, sehingga baginya. Aristokrasi adalah bentuk negara yang paling tepat dan sempurna bagi suatu negara ideal (Sabon dkk, 1989: 147). Bentuk negara ini tidaklah abadi walaupun kota (negara) yang dibangun dengan sistem aristokrasi sulit untuk digoyahkan, tetapi Plato menyatakan bahwa segala sesuatu yang memiliki awal pasti juga memiliki akhir, demikian juga dengan negara Aristokrasi (Plato, 2002: 355). Perubahan bentuk negara dimulai ketika pemerintahan tidak lagi ditujukan kepada kepentingan umum, tidak lagi berpedoman pada rasa keadilan sehingga keadaan seperti itu tidak lagi dinamakan aristokrasi tapi berubah menjadi timokrasi (Sabon dkk, 1989: 147). Dalam sistem pemerintahan timokrasi ini, segala sesuatu dilaksanakan semata-mata untuk kepentingan penguasa (Sabon dkk, 1989 : 147) dimana penguasa memiliki sifat sedikit hakikat tamak di dalam dirinya dan tidak tulus ikhlas terhadap kebaikan (Plato, 2002: 360). Timokrasi pun tidaklah kekal. Pendewaan terhadap kehormatan dan kemuliaan akan berakhir dan bergeser pada kekayaan. Sistem pemerintahan akhirnya beralih pada sistem Oligarki, dimana manusia atau para penguasa akan menjadi tamak terhadap uang, mereka akan menyembunyikna hasrat yang dahsyat terhadap emas dan perak, yang akan mereka timbun secara diam-diam di tempat gelap tersembunyi walau sebenarnya harta yang mereka miliki itu adalah uang orang lain dan mereka pergunakan untuk kesenangan diri mereka sendiri (Plato, 2002: 358-359). Terlebih lagi, mereka yang duduk di pemerintahan tidaklah lagi berdasarkan kecakapan dan keterampilan mereka, melainkan karena kekayaan (Sabon dkk, 1989: 148). Keadaan yang terus berlangsung sedemikian rupa dalam oligarki menyebabkan rakyat sadar bahwa keadaan mereka semakin memburuk. Penguasa tidak pernah puas memperkaya diri, maka orang-orang yang tersingkir dari persaingan menimbun harta akan melarat. Jumlah orang melarat semakin bertambah hingga akhirnya mereka mau melawan dan
17
merebut kekuasaan, serta membunuh orang kaya (Sabon dkk, 1989: 148) hingga terjadinya revolusi (Plato, 2002: 372). Ketika penguasa tersebut dapat ditaklukkan maka kemudian dibentuklah pemerintahan yang penguasa dan rakyatnya sederajat, sebab pemerintah dipilih oleh rakyat dan berasal dari rakyat. Lahirlah demokrasi sebagai bentuk keempat negara oleh Plato. Dalam pemerintahan ini kemerdekaan dan kebebasan merupakan prinsip yang paling utama (Sabon dkk, 1989: 148). Ketika rakyat semakin lama semakin mengejar kebebasan, hal ini membuat setiap orang ingin mengatur dirinya sendiri dan berbuat sesuka hati sehingga timbullah berbagai kekacauan, kekerasan, ketidaktertiban, bahkan anarki (Sabon dkk, 1989: 148). Kebebasan yang diagungkan dalam sistem demokrasi akhirnya sampai pada titik yang berlebihna atau kebebasan yang terlalu bebas tanpa batas, kebebasan yang kebablasan entah dalam negara ataupun dalam diri setiap individu, kebebasan yang sangat ekstrem inilah yang akhirnya melahirkan negara tirani (Plato, 2002: 385). + 0HWRGH3HQHOLWLDQ a. Sumber Data Penelitian yang akan digunakan dalam penulisan karya tulis ini adalah metode penelitian pustaka. Mengambil dan menganalisis datadata yang ada dalam karya tulis ini merujuk pada berbagai sumber primer dan sekunder yang berasal dari karya-karya pustaka, baik yang telah diterbitkan sebagai buku maupun dalam bentuk karya tulis ilmiah, serta tentunya dari artikel sendiri sebagai sumber data yang akan dianalisis. Adapun objek material dalam karya ini adalah Komunitas Adat Kajang (KAK). Penulis mencoba mencari konsep falsafah KAK tentang pemerintahan adat yang dapat dimisalkan sebagai ’negara’. Sedangkan objek formal yang digunakan dalam karya ini adalah Plato
18
dengan teori negara idealnya. Plato memikirkan negara ideal yang dituliskan dalam karyanya dengan judul Republik. Sumber data primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa karya-karya kepustakaan yang dapat dijadikan sebagai rujukan utama dalam penulisan karya tulis ini. Sebagaimana diketahui, banyak penulis yang membicarakan konsep negara dari berbagai sudut pandang keilmuan, termasuk filsafat. Sehingga dalam menganalisa berbagai fenomena dalam persoalan tersebut, penulis berupaya untuk melihat persoalan tersebut secara lebih komprehensif dengan menggunakan beberapa karya atau hasil penelitian yang menyangkut persoalan yang menjadi topik utama dalam penulisan ini, agar di kemudian hari tidak menimbulkan kontradiksi-kontradiksi pokok dalam menganalisis persoalan yang dimaksud. Beberapa sumber pustaka yang akan digunakan sebagai rujukan dalam penelitian ini, diantaranya adalah: i. Karya Plato yang berjudul The Republic, 1992. New York: Quality Paperback Book Club. Terbitan dalam bahasa Indonesia berjudul Republik, diterbitkan oleh Bentang: Yogyakarta, 2002. ii. Plato, Great Dialogues of Plato. New American Library, 1970. Karya ini sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Dua Dialog Sokrates. Diterbitkan oleh Sinar Baru, Bandung pada tahun 1983. iii. Plato, Apologia: Pidato Pembelaan Socrates Yang diabadikan Plato. Diterbitkan di Jakarta oleh Bulan Bintang pada tahun 1986. iv. Plato, Simposium: Dialog Sokrates Tentang Hakekat Cinta. Diterbitkan di Bandung, oleh Sinar Baru, pada tahun 1986. v. Plato, Matinya Socrates. Diterjemahkan dari Phaedo dalam The Republic and Other Works, Anchor Books, Random House, Inc, New York, 1989. Cetakan pertama di Yogyakarta oleh penerbit Bentang pada tahun 2003.
19
vi. Karya ini dituliskan oleh Plato dengan judul aslinya adalah Plato dan diterjemahkan oleh A. Setyo Wibowo dengan judul Indonesia: Mari
Berbincang
Bersama
Plato:
Keberanian
(Lakhes).
Diterbitkan oleh Indonesia Publishing, tahun 2011.
Beberapa sumber lain atau sekunder untuk membantu, memperkaya dalam penulisan ini, yaitu: i.
Konrad Kebung Beoang, Plato: Jalan Menuju Pengetahuan Yang Benar. Di terbitkan di Yogyakarta oleh Kanisius, tahun 1997.
ii.
Lou Marinoff, Plato: Not Prozac! Diterbitkan oleh Teraju, di Jakarta tahun 2003.
iii.
G.R.F.Ferrari, The Cambridge Companion to Plato’s Republic. Diterbitkan oleh Cambridge University Press di New York, tahun 2007.
iv.
A. J. Bartlett, Badiou and Plato. Diterbitkan oleh Edinburgh University Press di Great Britain, tahun 1988.
v.
C.C.W.Taylor, Routledge History of Philosophy Volume I: From the Beginning to Plato. Diterbitkan di Landon and New York, oleh Taylor & Francis Group tahun 1997.
vi.
Zainal Abidin Ahmad, Al Farabi: Negara Utama (Madinatu’l Fadilah). Diterbitkan oleh PT Kinta di Jakarta, tahun 1980.
vii.
A. Setyo Wibowo dan Haryanto Cahyadi, Mendidik Pemimpin dan Negarawan (Dialektika Filsafat Pendidikan Politik Plato Dari Yunani Antik Hingga Indonesia). Diterbitkan oleh Lamalera, di Yogyakarta tahun 2014.
viii.
David Melling. Jejak Langkah Pemikiran Plato. Diterbitkan di Yogyakarta oleh Bentang, tahun 2002.
b. Langkah-Langkah Penelitian Tahap awal dari penelitian ini adalah berupa pengumpulan data dari berbagai
sumber
referensi
pustaka
yang
tersedia
untuk
20
mengeksplorasi data yang dapat memberikan informasi dan selanjutnya dapat dijadikan sebagai bahan dalam penulisan karya ini. Setelah tahap awal tersebut rampung dengan data-data yang memadai, langkah selanjutnya adalah mereduksi data yang tidak relevan dengan penelitian ini, yang kemudian dapat memudahkan penulis dalam tahap selanjutnya yakni tahap analisis. Pada tahap akhir, penulis akan mengolah data dari hasil penelitian ini dengan menggunakan metode analisis terhadap data yang telah diverifikasi pada tahap sebelumnya, agar kemudian menemukan deskripsi yang tepat dan akurat dalam setiap pokok permasalahan yang menjadi topik kajian dalam pembahasan penelitian ini. Laporan akhir dari hasil penelitian yang dilaksanakan tersebut
selanjutnya
akan
berupa
tesis,
yang
akan
dipertanggungjawabkan pada sidang selanjutnya.
c. Metode Penelitian Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini untuk menganalisis data yang telah terkumpul dan terverifikasi sebelumnya, agar kemudian mendapatkan hasil analisis yang lebih akurat dalam analisa terhadap objek material penelitian ini. Penulis yang menggunakan studi pustaka tentu membutuhkan beberapa metode: pertama, metode deskripsi. Metode ini digunakan untuk dapat memaparkan dan menjelaskan KAK dengan kearifan lokal yang dimiliki secara baik dan tersistematis serta memaparkan pemikiran-pemikiran Plato di dalam Republik. Kedua, metode analisa, ini penulis gunakan untuk menganalisis data-data yang telah penulis kumpulkan dari berbagai sumber untuk dapat lebih dipertajam sesuai dengan tema. Ketiga, metode Induksi-deduksi, sumber-sumber mengenai KAK dan Republik Plato, akan dipelajari sebagi suatu keutuhan masing-masing, dengan meneliti semua istilah dan konsep pokok satu per satu (induksi). Penulis juga menggunakan jalan
21
terbalik (deduksi) bahwa dari semua sumber yang penulis dapatkan, akan dipahami dengan lebih baik dengan pemakaian istilah tertentu, atau sinonimnya. Dalam usaha itu penulis akan terlibat langsung dalam
pemikiran-pemikiran
itu
(identifikasi),
namun
tanpa
kehilangan ketelitiannya. Keempat, metode komparasi. Penulis yang mencoba melihat hubungan-hubungan dalam kehidupan komunitas atau
bernegara.
Penulis
berusaha
agar
metode
komparasi
memudahkan memahami objek penelitian. Dalam penelitian filsafat, komparasi dapat diadakan seprti tokoh atau naskah; dapat diadakan diantara sistem atau konsep dan perbandingan dapat dilakukan diantara pribadi atau yang lebih banyak. Lanjutnya, menurut Collins bahwa mereka dapat sangat serupa atau dapat berbeda sekali dan masih banyak lagi kemungkinan-kemungkinan variasi yang dapat diadakan (dalam: Bakker dan Charris Zubair, 1990: 51). Objek penelitian akan tampak lebih jelas dan terfokus dengan menentukan kesamaan dan perbedaan sehingga hakikat objek dapat dimengerti. , 6LVWHPDWLND3HQXOLVDQ Penulisan hasil penelitian ini akan dipaparkan sesuai dengan sistematika berikut: BAB I PENDAHULUAN: Latar Belakang Masalah Penelitian Masalah Penelitian, Rumusan Penelitian, Keaslian Penelitian, Manfaat Penelitian, Tujuan Penelitian, Tinjauan Pustaka, Landasan Teori, Metode Penelitian,
Sumber
Data,
Langkah-Langkah
Penelitian,
Metode
Penelitian, Sistematika Tulisan. BAB II FILSAFAT POLITIK DAN PLATO: Filsafat Yunani: Plato; Filsafat Politik; Filsafat Politik Plato; Biografi Plato, Pemikiran dan Karya-Karya Plato. BAB
III
GARIS-GARIS
UMUM
DAN
SISTEM
PEMERINTAHAN SUKU KAJANG:Letak dan Aksesibilitas Wilayah,
22
Sepintas Tentang Desa Tana Toa dan Sejarah Masyarakat Kajang, Mata Pencarian dan Tingkat Pendidikan, Pemukiman, Sistem Kepercayaan, Sistem Kekerabatan, Bahasa, Sistem Kesenian, Kebiasaan Hidup. Para Kelompok Bangsawan dan Strata Suku Kajang, Galla, Ta’ Bala’ Laya, Pasang dan Pappasang: Pegangan Hidup Suku Kajang, Tanah: Sebuah Pemahaman Awal Kehidupan Manusia, Awal Mula Bumi, Hutan: Hutan Rakyat dan Hutan Adat. BAB IV ANALISIS FILOSOFIS KONSEP NEGARA PLATO DALAM KONTEKS SUKU KAJANG: Strata Sosial-Politik Suku Kajang Dalam Pandangan Plato Tentang Republik, Landasan Pemikiran Komunitas Adat Kajang, Negara Suku Kajang. BAB V KESIMPULAN:Kesimpulan dan Saran-saran.
***