BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) secara keseluruhan berada pada posisi rawan bencana, baik bencana alam geologis maupun bencana alam yang diakibatkan ulah manusia. Dengan posisi geografis yang unik, kepulauan Indonesia berada pada pertemuan tiga lempeng tektonik raksasa (Eruasia, India Australia dan Pasifik) dan terletak diantara Benua Asia dan Australia dan Samudera Hindia dan Pasifik serta terdiri dari ± 17.000 pulau yang sebagian besar berhadapan dengan laut lepas dengan garis pantai lebih dari 81.000 km. Posisi geografis tersebut, menyebabkan Indonesia rentan terhadap letusan gunung berapi dan gempa bumi, terpengaruh gelombang pasang hingga tsunami serta cuaca ekstrim yang berpotensi menimbulkan banjir dan tanah longsor serta kekeringan. Berdasarkan sejarah kebencanaan yang terhimpun, hampir semua bencana alam di dunia telah terjadi di Indonesia dan setiap terjadi bencana alam, setiap kali pula kejadian tersebut menimbulkan korban jiwa (Hendrianto, 2012). Kota Medan merupakan salah satu kota di Indonesia yang rentan terhadap bencana. Terjadinya berbagai bencana alam yang melanda berbagai wilayah Kota Medan seperti banjir, kebakaran, dan gempa, dan lain-lain mengakibatkan berbagai penderitaan bagi masyarakat. Adapun jenis bencana yang sering melanda Kota Medan ialah banjir, kebakaran, dan gempa (http://bpbd.pemkomedan.go.id/).
Bencana banjir yang kerap terjadi di Medan dipengaruhi oleh 3 (tiga) sungai besar yaitu Sungai Belawan, Sungai Deli, dan Sungai Denai, yang tersebar di wilayah Kota Medan. Hulu sungai Belawan berasal dari Kabupaten Karo sedangkan untuk Sungai Deli dan Sungai Denai, dan Sungai Denai berada di Kabupaten Deli Serdang. Hal ini mengakibatkan potensi banjir sangat tinggi di Medan. Banjir bandang di Kota Medan merupakan kiriman air sungai dari daerah hulu atau Kota Brastagi yang melewati 12 Kecamatan dan 27 Keluruhan di Kota Medan, dan juga angin kencang yang diikuti angin puting beliung. Akibat yang ditimbulkan oleh banjir bandang ialah melumpuhkan sektor ekonomi, merusak peralatan elektronik dan mempengaruhi kinerja masyarakat. Banjir yang parah juga terjadi sekitar Januari 2013 dimana banjir meluap di 6 kelurahan di Kecamatan Medan Maimun yang mengakibatkan rumah penduduk
terendam
sungai
Deli
sebanyak
1.633
KK
(http://bpbd.pemkomedan.go.id/). Banjir tersebut telah membuat 3.625 orang warga menderita akibat rumahnya terendam air hingga ketinggian dua meter. Banjir juga terjadi pada tanggal Januari 2011 yang mencapai empat meter dan menggenangi ribuan rumah penduduk yang terdapat di sebelas kecamatan di Kota Medan, yaitu Kecamatan Medan Maimun, Kecamatan Medan Labuhan, Kecamatan Medan Deli, Kecamatan Medan. Banjir yang hebat juga terjadi April 2011 dengan ketinggian sekitar 2-4 meter. Ada 11 kecamatan yang menjadi korban banjir saat itu, yaitu Medan Tuntungan, Medan Selayang, Medan Polonia, Medan Baru, Medan Petisah, Medan Johor, Medan Barat, Medan Helvetia, Medan Maimun, Medan Labuhan, dan Medan Belawan.
Dampak kejadian bencana banjir di Kota Medan menyentuh seluruh bidang, baik ekonomi, sosial-budaya, politik, namun yang paling utama dirasakan adalah bidang kesehatan. Disadari bahwa dengan adanya kejadian bencana, maka selalu timbul wabah penyakit yang merupakan dampak dari kondisi lingkungan yang rusak, sanitasi yang jelek, daya tahan tubuh manusia menurun drastis dan kurangnya sarana obat-obatan. Pelayanan kesehatan pada saat bencana banjir merupakan faktor yang sangat penting untuk mencegah terjadinya kematian, kecacatan dan kejadian penyakit, karena bencana merupakan suatu kejadian yang tidak diinginkan dan biasanya terjadi secara mendadak serta disertai jatuhnya korban. Keadaan ini bila tidak ditangani secara cepat dan tepat dapat menghambat, mengganggu, serta menimbulkan kerugian bagi kehidupan masyarakat. Upaya penanggulangan krisis akibat bencana merupakan rangkaian kegiatan yang dimulai sejak sebelum terjadinya wabah dan bencana yang dilakukan melalui kegiatan pencegahan, mitigasi (pelunakan/penjinakan dampak) dan kesiapsiagaan dalam menghadapi wabah dan bencana. Kegiatan yang dilakukan pada saat terjadinya wabah dan bencana berupa kegiatan
tanggap darurat dan selanjutnya pada saat
setelah terjadinya wabah dan bencana berupa kegiatan pemulihan/rehabilitasi dan rekonstruksi. Untuk itu penanggulangan
krisis akibat wabah dan bencana harus
mempunyai suatu pemahaman permasalahan dan penyelesaian secara komprehensif, serta terkoordinasi secara lintas program dan lintas sektor. Sebagaimana kebijakan dan strategi nasional saat ini, upaya penanggulangan bencana lebih dititik beratkan
pada upaya sebelum terjadinya bencana, yang salah satunya adalah kegiatan kesiapsiagaan. Menurut UU No.24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, kesiapsiagaan merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna (pelatihan, gladi, penyiapan sarana dan prasarana, SDM, logistik dan pembiayaan). Dengan kesiapsiagaan yang tepat diharapkan upaya penanggulangan dapat lebih cepat dan tepat sehingga dapat meminimalisir jumlah korban dan kerusakan. Kesiapsiagaan dapat membantu petugas kesehatan maupun Dinas Kesehatan kota Medan dalam memenuhi kebutuhan kesehatan akibat bencana banjir. SDM kesehatan, logistik dan obat-obatan dan sarana dan prasarananya merupakan objek yang sangat berperan ketika terjadi bencana banjir. Penanganan bencana di Kota Medan oleh bidang kesehatan merunut Keputusan Mentri Kesehatan No.145 tahun 2007 tentang Pedoman Penanggulangan Bencana Bidang Kesehatan yang pada tingkat Kabupaten/Kota dilakukan oleh Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota, dimana yang dimaksud pada penelitian ini adalah
instansi Dinas Kesehatan Kota Medan. Dalam KMK No.145 Tahun 2007 disebutkan Dinas
Kesehatan
Kota/Kabupaten
dalam
penanggulangan
bencana
banjir
berkoordinasi dengan BPBD Kota Medan dan BPBD Provinsi Sumatera Utara. Dalam penanggulangan bencana juga agar mengupayakan mobilisasi sumber daya dari instansi terkait, sektor swasta, LSM, dan masyarakat setempat.
Pada survei awal di Dinas Kesehatan Kota Medan menunjukkan bahwa sudah ada bagian yang khusus menangani tentang bencana yaitu seksi Wabah dan Bencana. SDM yang mengurusi bidang ini memang sudah berpengalaman dalam mengahadapi bencana dan sudah memiliki pendidikan kebencanaan. SK yang menunjukkan penugasan
tenagan kesehatan bila terjadi bencana juga sudah dibentuk, namun
belum ada garis koordinasi yang baku yang bisa menjadi panduan tenaga kesehatan dan menyatukan hubungan dengan instansi lain yang berhubungan dengan penanggulangan bencana. Sehingga dengan demikian dapat disimpulkan, jika bencana terjadi Dinas Kesehatan masih bekerja sendiri-sendiri. Menurut Aritonang (2014) setiap daerah memiliki karakteristik yang berbeda dalam menghadapi masalah bencana oleh karenanya tidak semua kebijakan yang dikeluarkan secara nasional dapat langsung diterapkan di daerah sehingga Dinas Kesehatan perlu membuat SOP Penanggulangan bencana yang sesuai dengan karakteristik daerah misalnya kekhususan tentang banjir untuk wilyah kota Medan. SOP yang dibuat juga harus merujuk kepada Keputusan Menteri Terkait seperti Keputusan Menteri tentang pelaksanan gizi, sanitasi, imuniasi, dan obat/perbekalan kesehatan dalam keadaan darurat. Tenaga untuk melakukan RHA (Rapid Helath Assesment) sangat dibutuhkan untuk memberikan informasi kebutuhan tenaga dan keadaan bencana. Meskipun Dinas Kesehatan Kota Medan telah memiliki Satgas untuk bencana namun untuk pelatihan keterampilan dalam melakukan RHA (Rapid Helath Assesment) oleh Dinas Kesehatan tidak ada yang dibekali dengan pelatihan sebelumnya. Penting untuk
membekali tenaga kesehatan dengan pendidikan dan pelatihan agar memiliki kemampuan dan kapasitas untuk melakukan analisa dampak bencana bagi kesehatan (Aritonang,
2014).
Namun
ketiadaan
pendidikan
dan
pelatihan
tersebut
mengakibatkan ketidakmampuan tenaga kesehatan untuk melakukan analisa tersebut. Menurut Zulaikha (2014), bencana erupsi Gunung Sinabung mengakibatkan tingginya angka kesakitan sehingga meningkatkan kebutuhan jumlah tenaga kesehatan di pengungsian. Demikian juga halnya dengan Kota Medan dimana banjir sering terjadi di bulan November dan Desember menyebabkan banjir di Medan Utara dan Medan Denai sehingga angka kesakitan meningkat dari bulan sebelumnya. Pada bulan Oktober yang curah hujannya tidak begitu tinggi, jumlah kunjungan penyakit ISPA adalah 1.555 kunjungan. Sementara itu, kunjungan di bulan November dan Desember meningkat menjadi 2.404 dan 2.109. Penyakit ISPA adalah salah satu penyakit yang sering muncul jka terjadi banjir dan pengungsian. Dinas Kesehatan Kota Medan belum memiliki pemetaan tenaga kesehatan yang siap dipakai bila terjadi bencana. Ibaratnya menekan tombol, begitu keadaan bencana terjadi sudah sepatutnya tim kesehatan yang ditetapkan menjadi bagian dari penanggulangan bencana sudah memahami prosedur kerja menempati posnya sendiri. Membuat kerjasama dengan instansi terkait seperti PMI, RS Daerah dan RS Swasta akan membantu meringankan masalah tingginya angka kunjungan berobat ketika terjadi bencana sehingga dapat mengurangi beban kerja dari Dinas Kesehatan itu sendiri. Indrina (2009) dalam penelitiannya mengatakan beban kerja yang tidak
sesuai mengurangi kemampuan pelayanan kesehatan sehingga jumlah tenaga harus disesuaikan dengan beban kerja. Kebijakan adalah aspek penting dalam mengaktifkan semua instansi pemerintahan daerah untuk turut bekerja dalam penanggulangan bencana. Namun pemerintah Kota Medan maupun Dinas Kesehatan sendiri belum memiliki kebijakan tersendiri maupun terkait instansi lain dalam bentuk peraturan daerah atau Keputusan Kepala Dinas Kesehatan. Kebijkan penting dalam menyatukan persepsi personil dalam penanggulangan bencan agar bekerja sama dan sesuai dengan fungsi masingmasing sehingga setiap elemen yang terkait memiliki persepsi yang sama untuk mecegah terjadinya kegiatan yang sporadik dan chaos. Pada penelitian Cahyo (2010) yang menganalisa kebijakan daerah pemerintah Kabupaten Blitar tentang kebijakan pemerintah dalam penanggulangan bencana mengatakan bahwa perlu adanya legalitas suatu kebijakan, peningkatan kapasitas SDM, dan kapasitas penunjang serta peningkatan kemampuan masyarakat agar kebijakan dapat terlaksana dengan baik. Nhayatun (2010) juga menemukan ketidakmaksimalan pelaksanaan kebijakan banjir di kota Semarang yang berhubungan dengan birokrasi yang tidak efektif dan efesien. Salah satu kesiapsiagaan yang juga penting adalah ketersediaan obat dan logistik pada masa bencana. Survei awal menunjukkan bahwa bagian farmasi dan logistik di Dinkes Kota Medan membuat persediaan obat berdasarkan permintaan dari puskesmas yang selanjutnya dilebihkan 10% dari jumlah permintaan sebagai cadangan. Perhitungan tersebut jugalah yang dilakukan jika terjadi bencana di Kota Medan. Sebenarnya dalam penanggulangan bencana sudah ada peraturan yang
dikeluarkan oleh Menteri Kesehatan untuk mengatasi pemenuhan logistik dan obatobatan dalam keadaan bencana seperti jumlah, jenis dan permintaan obat yang dibutuhkan. Obat dan perbekalan kesehatan sering menjadi masalah dalam mengatasi bencana seperti kekurangan obat, ketidaksesuaian jenis obat dengan kebutuhan dan kurangnya sarana dan prasarana kesehatan di pengungsian. Penelitian Aritonang (2014) juga menyebutkan bahwa ada masalah dalam penanggulangan bencana erupsi Gunung Sinabung dalam hal ketersediaan obatobatan dan sarana prasarana yang menunjang dalam penanggulangan bencana akibat bencana tidak diakomodir dalam APBD di daerah. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa Dinas Kesehatan memang mengalami kekurangan sarana dan parasarana khususnya
yang
digunakan
untuk
pelayanan
kesehatan
seperti
stetoskop,
tempat/ruang pemeriksaan, tensi meter, thermometer, dan meja pemeriksaan. Mengatasi masalah seperti di atas, pemerintah sebenarnya sudah mengatur hal ini melalui Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 059 tahun 2011 yang mengamanatkan tentang pentingnya buffer stock obat dan
perbekalan kesehatan
untuk situasi bencana. Kebijakan tersebut juga menjelaskan tentang jumlah, jenis dan cara perhitungan kebutuhan obat dalam situasi bencana sekaligus metode pendistribusiannya. Dinas Kesehatan kurang memanfaatkan pedoman ini menjadi dasar/latar belakang dalam memenuhi kebutuhan obat dan perbekalan. Pemerintah sebenarnya sudah mengeluarkan surat Kepmenkes Nomor : 64 tahun 2013 tentang Penanggulangan Krisis Kesehatan yang dikeluarkan sejak tanggal 27 November Tahun 2013 untuk membantu Dinas Kesehatan dalam memenuhi
tugasnya untuk kesiapsiaagaan bencana. Kebijakan tersebut menguraikan tentang pedoman penanganan bencana bidang kesehatan pada masa pra bencana, bencana, dan pasca bencana mulai situasi bencana tingkat Pusat, Provinsi dan Kabupaten. Tugas pokok dan Fungsi yang tertera dalam kebijakan tersebut cukup menjelaskan langkah-langkah yang perlu diaplikasikan jika terjadi bencana. Namun kenyataan di lapangan tidaklah seperti yang dimanatkan dalam kebijakan tersebut dan penanggulangannya masih bersifat spontanitas belum dengan perencaan pra bencana. Pada penanggulangan bencana telah terjadi perubahan paradigma, dari penanganan bencana berubah menjadi pengurangan risiko bencana, artinya saat ini penyelenggaraan penanggulangan bencana lebih menitik beratkan pada tahap pra bencana daripada tahap tanggap darurat (Eddie, 2009). Kesiapsiagaan terhadap bencana ini harus dapat diantisipasi baik oleh unsur pemerintah, swasta maupun masyarakat. Dalam kesiapsiagaan krisis akibat bencana oleh pemerintah diperlukan upaya-upaya, mulai dari pengembangan peraturan-peraturan, penyiapan program, pendanaan dan pengembangan jejaring lembaga atau organisasi siaga bencana. Berdasarkan permasalahan di atas, maka kesiapsiagaan terhadap bencana khususnya bidang kesehatan mutlak diperlukan. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk menganalisis kesiapsiagaan bidang kesehatan terhadap penanggulanan bencana di Kota Medan.
1.2. Permasalahan Berdasarkan latar belakang tersebut di atas maka dapat ditarik sebagai masalah penelitian yaitu kesiapsiagaan institusi kesehatan dan peran tim-tim kesehatan yang ada belum terpetakan dan belum saling mendukung satu sama lain dalam satu lingkup kawasan rawan bencana di Kota Medan seperti masalah SDM yang belum mendapatkan pelatihan khusus kebencanaan, ketiadaan kebijakan seperti SOP, logistik dan obat-obatan yang belum memiliki buffer stock dan sarana dan prasarana yang kurang mencukupi bila terjadi bencana yang mengakibatkan pengungsian.
1.3. Tujuan Peneltian Berdasarkan permasalahan di atas, penelitian ini bertujuan untuk : 1. Menganalisa kesiapsiagaan Dinas Kesehatan kota Medan dalam Penanggulangan Bencana Bidang Kesehatan pada tahun 2015. 2. Menganalisis faktor yang menghambat kesiapsiagaan bidang kesehatan dalam menghadapi bencana di Kota Medan. 3. Menganalisis faktor yang mendukung kesiapsiagaan bidang kesehatan dalam menghadapi bencana di Kota Medan.
1.4. Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini dapat bermanfaat, yaitu sebagai berikut: 1.
Bagi Dinas Kesehatan Kota Medan dapat dijadikan masukan dalam evaluasi penanggulangan bencana bidang kesehatan pada bencana dan memberikan rekomendasi kesiapsiagaan di masa yang akan datang.
2.
Bagi mahasiswa, menambah pengetahuan tentang bagaimana memanajemen sumber daya kesehatan yang ada dalam situasi bencana
3.
Bagi penelitian berikutnya, semoga dapat menjadi referensi dalam penelitian mengenai penanggulangan bencana.