1 PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang
Dalam peta teritorial Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Kabupaten Kepulauan Sangihe merupakan salah satu kabupaten yang menempati posisi paling utara dan berbatasan dengan negara tetangga Filipina serta berada di Laut Sulawesi dan pinggir Samudera Pasifik. Letak geografis tersebut menempatkan posisi Kabupaten ini sebagai daerah perbatasan dan memiliki nilai strategis, mengingat besarnya peluang melakukan kerjasama interregional- internasional yang berpengaruh terhadap akses pasar global, tetapi di sisi lain posisi ini mengandung kerawanan-kerawanan tertentu, antara lain: infiltrasi idiologi asing, terorisme internasional, penyelundupan, pencurian sumber daya alam (SDA), dan berbagai kegiatan illegal lainnya. Persoalan perbatasan negara bukan hanya mencakup persoalan teritorial, melainkan juga persoalan pengelolaan SDA dan kebanggaan identitas yang dalam konteks tertentu menjadi faktor penting terhadap kebanggaan lokal dan nasional. Persoalan perbatasan menjadi isu penting dalam agenda keamanan nasional. Perbatasan negara Indonesia di wilayah Kabupaten Kepulauan Sangihe, sering dijadikan jalur penyaluran senjata dan manusia untuk melakukan kegiatan terorisme di wilayah timur Indonesia, mulai perbatasan Filipina Selatan dari Zamboaga dan Davao (Mindanao), menuju kepulauan Sulu ke Serawak dan Nunukan Kalimatan serta Kepulauan Sangihe Talaud di Sulawesi Utara menuju Maluku dan Sulawesi Tengah. Pencurian ikan oleh kapal-kapal asing di perairan zone ekonomi eksklusif (ZEE) maupun laut teritorial dari tahun ke tahun menunjukkan kecenderungan yang masih tinggi dan meningkat, sudah sampai pada tahap yang mengkuatirkan karena dampaknya luar biasa, yaitu rusaknya kelestarian sumber daya ikan (SDI) dan kehilangan nilai ekonomi. Menurut Ditjen PSDKP (2009) modus penangkapan ikan oleh kapal-kapal asing illegal tersebut adalah menggunakan alat tangkap trawl yang merusak lingkungan, sebagian besar di ZEE dan dalam beberapa hal di laut
2 teritorial. Tiga kawasan yang menjadi daerah operasi kapal asing illegal, yaitu: (1) Laut Natuna, didominasi oleh kapal-kapal Vietnam, Thailand, Cina dan Malaysia; (2) perairan utara Sulawesi Utara yang berbatasan dengan Filipina yang didominasi oleh kapal-kapal Filipina (“pump boat”) dengan menggunakan alat tangkap hand line dan purse seine; dan (3) laut Arafura yang didominasi oleh kapal-kapal Thailand dan Cina dengan menggunakan alat tangkap pukat ikan dan gillnet. Kedudukan pulau-pulau kecil (P2K) perbatasan Kepulauan Sangihe memiliki aspek penting sebagai pita pengamanan nasional (national security belt) ditinjau dari perspektif keamanan nasional, dan secara geopolitik ikut menentukan Indonesia sebagai negara kepulauan (archipelagic state). Menurut Setiyono (2000), keutuhan wilayah negara Kepulauan Indonesia terjaga justru peranan P2K terluar yang lokasinya terpencil di perbatasan. Indonesia menggunakan ujung terluar daratan atau pulau sebagai dasar pengukuran lebar laut wilayah, zona ekonomi eksklusif (ZEE), maupun landas kontinen. Salah satu pulau yang digunakan sebagai titik dasar (base point, TD) lenyap, maka konfigurasi wilayah Indonesia akan berubah. Kepulauan Sangihe memiliki 105 pulau, dan sebanyak 26 pulau (24.76%) yang berpenduduk sisanya 79 pulau (75.24%) tidak berpenduduk, serta memiliki 5 (lima) pulau sebagai penentu garis batas terluar dari Indonesia, yaitu: Pulaua Marore, Pulau Kawio, Pulau Matutuang, Pulau Kawaluso, dan Pulau Lipang. Kepulauan Sangihe pada awalnya merupakan bagian dari Kabupaten Kepulauan Sangihe Talaud atau juga disebut dengan Kepulauan Nusa Utara dengan luas 35 400.23 km², dan luas laut 33 147.00 km² (diukur 4 mil laut) (Tabel 1). Tabel 1 memperlihatkan akan potensi laut yang cukup luas dihitung dari kewenangan 4 mil laut, dengan demikian potensi perikanan akan sangat menentukan arah pembangunan Kepulauan Nusa Utara termasuk Kepulauan Sangihe. Nisbah luas laut dengan daratan di Kepulauan Nusa Utara 15 : 1 dan yang terluas adalah Kepulauan Talaud sebesar 13 902 km² Kerjasama perikanan antar Kabupaten di menyusul Kepulauan Sangihe seluas 11 126 km². Kepulauan Nusa Utara dengan pasar ekspor negara tetangga Filipina akan memberikan peluang
3 yang cukup berarti bagi pengembangan ekonomi Nusa Utara. Anggoro (2001) menyatakan sasaran pembangunan perikanan di masa mendatang tidak hanya ditujukan untuk peningkatan pendapatan masyarakat, perolehan devisa, kesempatan kerja, tetapi juga dituntut untuk tetap mempertahankan daya dukung (carrying capacity) dan kualitas lingkungan agar tetap lestari bagi generasi sekarang dan yang akan datang. Tabel 1. Nisbah luas laut dan daratan Kepulauan Nusa Utara Kabupaten Pulau Luas Daratan Luas Laut Total luas Nisbah (buah) (km²) (km²) (km²) 105 736.97 11 126.00 11 862.97 15 : 1 Kepulauan Sangihe Kepulauan Talaud 16 1 240.40 13 902.00 15 142.40 11 : 1 47 275.86 8 119.00 8 394.92 29 : 1 Kepulauan Sitaro Nusa Utara 168 2 253.23 33 146.00 35 400.23 15 : 1 Sumber: Diolah dari Salindeho dan Sombowadile (2008).
Pada tahun 2002, Indonesia memiliki pengalaman pahit, dengan lepasnya Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan dari kedaulatan NKRI. Keputusan Mahkamah Internasional (International Court of Justice, ICJ) di Den Haag Belanda pada tanggal 17 Desember 2002 yang menetapkan kepemilikan P. Sipadan dan Ligitan bagian kedaulatan negara Malaysia merupakan “tragedi nasional” yang memiliki pengaruh terhadap luas laut. Keputusan ICJ diambil dengan memertimbangkan tiga aspek utama, yaitu: (1) penguasaan secara efektif (effective occupation) termasuk administrasi; (2) keberadaan terus menerus (continuous presence); serta (3) perlindungan dan pelestarian ekologis (maintenance and ecology preservation) (Adiwijoyo 2005; Rawis 2004; Retraubun dan Amini 2004; Sondakh 2003). Keputusan ICJ tersebut di atas memberikan pesan bagi Indonesia, antara lain: (1) kepemilikan P2K Perbatasan tidak hanya berdasarkan bukti hukum dan sejarah, tetapi harus diikuti dengan kebijakan dan implementasi program dan kegiatan serta peningkatan kesejahteraan masyarakat; (2) hilangnya tiga titik dasar (TD) yaitu satu TD di Pulau Sipadan dan dua TD di Pulau Ligitan; (3) pembangunan TD baru yang terletak di sekitar wilayah Pulau Sebatik di
4 sebelah timur Kabupaten Nunukan (Kalimantan Timur); dan (4) hilangnya kontribusi ekonomi Pulau Sipadan dan Ligitan karena Malaysia mampu melakukan kreasi potensi ekonomi yang luar biasa dari kegiatan pariwisata bahari (Fokus 2003). Menurut Hersutanto (2009), beberapa masalah krusial yang dihadapi Indonesia sebagai negara kepulauan, yaitu: (1) saat ini belum memiliki kebijakan nasional tentang pembangunan negara kepulauan (archipelagic state) yang terpadu. Kebijakan yang ada saat ini hanya bersifat sektoral, padahal pembangunan di negara kepulauan memiliki keterkaitan antar sektor yang tinggi; (2) lemahnya pemahaman dan kesadaran tentang arti dan makna Indonesia sebagai negara kepulauan dari segi geografi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya: (3) sampai saat ini belum seluruhnya ditetapkan batas-batas wilayah perairan; (4) permasalahan dalam pertahanan dan keamanan dari matra laut yang mencakup: (a) belum optimalnya peran pertahanan dan keamanan laut dalam menjaga keutuhan bangsa dan negara; (b) ancaman kekuatan asing yang ingin memanfaatkan perairan ZEE; (c) belum lengkapnya perangkat hukum dan implementasi pertahanan dan keamanan laut; (d) masih terbatasnya fasilitas untuk melakukan pengamanan laut; (e) makin meningkatnya kegiatan terorisme, perompakan, dan pencurian ikan di wilayah laut Indonesia; dan (f) masih lemahnya penegakan hukum kepada pelanggar hukum. Pengamanan kedaulatan wilayah, kewenangan dan kepentingan nasional, di wilayah perbatasan dari perebutan penguasaan SDA dapat dilakukan melalui kombinasi pendekatan ekonomi dan pendekatan pertahanan keamanan. Dalam konteks ini, terdapat tiga agenda utama yang perlu diperhatikan, yaitu: (1) penyelesaian batas wilayah laut Indonesia dengan negara tetangga Filipina; (2) penguatan dan pengembangan kemampuan pertahanan keamanan nasional di laut khususnya di wilayah perbatasan; dan (3) memakmurkan masyarakat wilayah Kepulauan Sangihe dengan berbagai kegiatan pembangunan ekonomi secara efisien, berkelanjutan (sustainable) dan berkeadilan atas dasar potensi SDA dan budaya lokal serta aspek pemasaran. Rapat kerja Menteri Negara Percepatan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia (PPKT) dengan Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) tanggal 2 September
5 2004, merumuskan daftar inventarisasi masalah di perbatasan Indonesia – Filipina, yaitu: (1) belum adanya kepastian garis batas Zone Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan Landas Kontinen Indonesia – Filipina; (2) berlangsungnya kegiatan-kegiatan illegal di daerah perbatasan, seperti penyelundupan barang, trafficking, dolar palsu, kapal tidak dilengkapi dengan dokumen yang sah, illegal loging, illegal fishing, dan transit point bagi kelompok teroris internasional. Sebagai satu kesatuan negara kepulauan, secara konseptual, geopolitik Indonesia dituangkan dalam salah satu doktrin nasional yang disebut Wawasan Nusantara dan politik luar negeri yang bebas aktif, sedangkan geostrategis Indonesia diwujudkan melalui konsep Ketahanan Nasional yang bertumbuh pada perwujudan kesatuan idiologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan. Dengan demikian mengacu pada kondisi geografi yang bercirikan maritim, maka diperlukan strategi besar (grand strategy) maritim sejalan dengan doktrin pertahanan defensif aktif dan fakta bahwa bagian terluar wilayah yang harus dipertahankan adalah laut. Implementasi strategi dari strategi maritim adalah mewujudkan kekuatan maritim (maritime power) yang dapat menjamin kedaulatan dan integritas wilayah dari berbagai ancaman, tantangan, dan gangguan. Matindas dan Sutisna (2006), mengingatkan bahwa penyelesaian masalah perbatasan tidak dapat dilepaskan dari perkembangan lingkungan strategis secara internasional, regional dan nasional, yang terus berkembang dalam beberapa dekade belakangan ini dan telah menimbulkan berbagai pergeseran-pergeseran di beberapa sisi hubungan internasional. Pergeseran geopolitik ke penguasaan secara ekonomi saat ini jauh lebih besar pengaruhnya karena bergerak melewati batas-batas kedaulatan sebuah negara. Pengelolaan wilayah perbatasan Kepulauan Sangihe masih merupakan masalah utama dan mendesak serta memerlukan perhatian bersama, serta harus dikelola secara terpadu, berkelanjutan dan terintegrasi antar berbagai sektor demi keutuhan kedaulatan (soveregnity) dan kesejahteraan (prosperity) masyarakat. Secara garis besar terdapat dua hal penting yang harus dilakukan yaitu pembangunan daerah perbatasan dengan pendekatan kesejahteraan (prosperity
6 approach) untuk mengangkat taraf hidup masyarakat setempat dan pendekatan keamanan (security approach) yang diperlukan guna terciptanya stabilitas politik, ekonomi, sosial budaya dan hankam (Dahuri 2005; Poetranto 2005). Dalam konteks pertahanan secara ekstrinsik, nelayan dan masyarakat pesisir memiliki peran “pengawas” laut yang selalu dapat berkoordinasi dengan aparat. Dengan demikian penting mendidik mereka untuk memperkuat nasionalisme, memahami isu-isu pertahanan serta secara teknis mampu menggunakan alat-alat komunikasi di laut. Untuk itulah dibutuhkan proses pelatihan nelayan untuk memperlancar proses ini. Namun reposisi nelayan dan masyarakat pesisir ke arah peran geopolitik tetap sangat tergantung pada posisi sosial ekonominya. Dalam perspektif geopolitik, wilayah perbatasan tidak hanya harus diisi dengan pertahanan militer yang tangguh, tetapi juga harus didukung oleh aktivitas ekonomi yang tangguh pula. Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan lepas dari NKRI karena salah satu alasannya adalah lemahnya kita memanfaatkan pulau itu untuk aktivitas ekonomi. Terdapat beberapa komponen yang seyogyanya ditempuh untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara kepulauan, yaitu: (1) meningkatkan pemahaman pentingnya laut dari aspek geopolitik dan geostrategis. Indonesia selayaknya memiliki armada pengamanan laut yang andal dan kuat guna menjaga keutuhan NKRI dan SDA; (2) mengubah orientasi pembangunan dari land based oriented menjadi archipelagic based oriented. Konsep archipelagic based oriented, mencakup darat, laut dan udara; dan (3) menentukan batas-batas wilayah perairan dengan mempercepat penetapan garis batas antara Indonesia dengan negara-negara tetangganya di kawasan laut. Turmudzi (2005) menyatakan bahwa Indonesia telah melupakan visi dan orientasi kepulauan dan lebih berorientasi tanah daratan (land based oriented) yang bersifat inward looking. Tanpa orientasi kepulauan, Indonesia tidak akan memiliki national security belt yakni titik-titik kawasan strategis bagi pengamanan kewilayahan dan kedaulatan Negara. Setiap titik bukan saja menjadi pos pertahanan tetapi juga harus dikembangkan potensi ekonomi dan sarana
7 prasarana pendidikan sehingga kawasan-kawasan tersebut akan terbangun sistem peringatan dini (early warning system). Orientasi kepulauan akan membangun dengan pandangan integratif antara darat, laut dan udara yang akan membuat lebih bersifat outward looking. Untuk mampu menjaga integritas wilayah, terutama wilayah-wilayah perbatasan di Kepulauan Sangihe, ke depan harus lebih mempertinggi dorongan untuk segera menetapkan kepastian batas-batas laut dengan Filipina. Pada saat bersamaan, memberikan perhatian membangun daerah perbatasan sesuai dengan kebutuhan masyarakat perbatasan. Keterbatasan wilayah sesuai dengan karakteristik wilayah Kepulauan Sangihe meniscayakan perlunya dirumuskan strategi pembangunan yang khas kepulauan perbatasan tersebut. Pelibatan masyarakat dalam berbagai program pemerintah serta memperhitungkan dampak secara seksama bagi perbaikan mutu kehidupan masyarakat adalah program yang penting untuk dikembangkan. Pemerintah harus mendorong tumbuhnya prakarsa masyarakat perbatasan untuk berkembang sesuai dengan tantangan dan peluang yang ada. Masyarakat Kepulauan Sangihe memperoleh kesempatan untuk memanfaatkan SDI sebagai potensi utama kawasan ini, seharusnya juga diberikan peranan yang luas dalam perdagangan wilayah perbatasan. Harapan ini terbentur dengan kebijakan di daerah perbatasan justru bercirikan pembatasan. Peraturan tentang produk ikan yang harus dipasarkan ke Bitung, yang letaknya jauh dari kawasan perbatasan serta harga yang relatif rendah sangat tidak ekonomis. Sebaliknya peluang pemasaran hasil tangkapan ikan ke pusat perikanan di negara tetangga Filipina yaitu di General Santos (Minandao) justru sangat dibatasi mesti faktanya di wilayah tersebut memiliki pabrik pengolahan ikan yang terbesar di Asia Tenggara dan lokasinya tidak terlalu jauh dari kawasan perbatasan dengan patokan harga yang relatif baik. Oleh karena itu, berbagai pembatasan yang dikenakan kepada masyarakat perbatasan harus ditinjau kembali terkait dengan upaya memajukan ekonomi masyarakat perbatasan di Kepulauan Sangihe. Berdasarkan uraian pemikiran tersebut di atas, diharapkan pengelolaan P2K perbatasan Kepulauan Sangihe akan memberikan keuntungan, antara lain: (1) terpelihara dan
8 berkembangnya keanekaragaman hayati (biodiversity) ekosistem; (2) terpelihara dan berkembangnya kekhasan dan keaslian nilai budaya; (3) meningkatnya kesejahteraan masyarakat lokal; (4) meningkatnya kesempatan kerja, pertumbuhan ekonomi dan pengembangan wilayah; dan (5) dapat berfungsi sebagai pita pengaman ekonomi (economic safety belt) dan pita pengamanan nasional (national security belt). 1.2 Identifikasi dan Perumusan Masalah Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Talaud, di masa kolonial Belanda disebut sebagai noorden einlanden yang berarti pulau-pulau lebih utara atau diterjemahkan sebagai “Nusa Utara”. Munculnya istilah noorden einlanden berawal dari perjalanan Gubernur Maluku Robertus Padtbrugge (16 Agustus - 25 Desember 1677), yang dilandasi oleh kepentingan geopolitik dan ekonomi pemerintah Hindia Belanda. Perspektif geopolitik adalah peneguhan batas wilayah jajahan Belanda sebab di bagian utara yaitu Filipina bagian selatan adalah wilayah jajahan Spanyol, sedangkan dalam perspektif ekonomi, Nusa Utara dijadikan kawasan penunjang kepentingan rempah-rempah dan produk perkebunan bagi perusahaan Belanda, yaitu kopra, pala dan cengkeh. Sebelum kedatangan Padtbrugge, orientasi pendidikan, perdagangan, dan hubungan kekerabatan masyarakat Nusa Utara adalah Ternate (Maluku) dan Filipina bagian selatan (jajahan Spanyol), yang dirintis oleh Winsulangi (Raja Siau), Tolo (Raja Manganitu), dan Tahete (Raja Tahuna). Padtbrugge mengubah kiblat tersebut dan mengalihkan dari Ternate dan Filipina Selatan ke wilayah daratan Sulawesi terutama ke Manado, serta jalur perdagangan ke wilayah Filipina dan Ternate resmi dihentikan. Kegiatan perdagangan yang dilakukan dalam arus utama (trade mainstream), diubah menjadi wilayah perbatasan (border area) yang bercirikan pinggiran (periphery). Pola pengembangan Hindia Belanda ditiru oleh Indonesia dan Filipina, saat kedua negara menyatakan kemerdekaan. Kegiatan masyarakat Nusa Utara berniaga ke Filipina bagian selatan
9 dikategorikan sebagai penyelundupan. Perdagangan wilayah perbatasan (border trade area, BTA), meskipun secara retoris diberikan kesempatan, namun dibebani berbagai pembatasan, baik volume dan nilai barang yang didagangkan serta batas arealnya. Kecenderungan orientasi Nusa Utara ke daratan Sulawesi yang dirintis oleh Padtbrugge, kemudian dikukuhkan dengan isu Nusa Utara sebagai perpanjangan daratan Manado (landstreek van Manado) (Henley 1996). Pengukuhan isu ini berinteraksi dengan kondisi alam Nusa Utara sehingga membawa implikasi terhadap keberadaan Nusa Utara sampai saat ini, yaitu: (1) ciri kepulauan yang terbuka selama berabad-abad dilakoni, akhirnya ditinggalkan dan dipatok sebagai daerah perbatasan (border region); (2) laut sebagai lalu lintas perniagaan atau lintas ekonomi dieliminasi dengan menerapkan kebijakan pembangunan bercirikan daratan (continental oriented); (3) gerak ekonomi berbentuk “kipas” diarahkan kendalinya ke satu sentrum sehingga menempatkan Nusa Utara sebagai kawasan periphery; (4) keunggulan sebagai kawasan yang dapat memanfaatkan kekuatan luar (outsourcing power) dan lintasan ekonomi dari berbagai penjuru disurutkan ke titik nadir; dan (5) kekuatan ekonomi bahari (maritime economic atau archipelagic economic) sebelum kedatangan “Barat” disirnakan dengan continental oriented; serta (6) SDI yang menjadi daya dorong (prime mover) ekonomi Nusa Utara faktanya dicuri (resources squeezing) oleh nelayan asing. P2K perbatasan Kepulauan Sangihe, selama ini kurang memperoleh sentuhan pembangunan, disebabkan beberapa alasan, yaitu: (1) kebanyakan P2K perbatasan tidak berpenghuni karena ukuran relatif kecil; kalaupun berpenghuni, jumlah penduduknya sangat sedikit sehingga tidak menjadi prioritas utama; (2) kawasan ini cenderung terisolasi sehingga diperlukan investasi yang besar (high cost investment) untuk membangun prasarana dan perhubungan laut; (3) kurangnya kepastian perlindungan hak dan kepastian berusaha; (4) pembangunan nasional selama ini lebih berorientasi ke darat; (5) rendahnya tingkat pendidikan masyarakat setempat; (6) kurang minatnya dunia usaha berinvestasi; (7) pilihan pengelolaan ekonomi menjadi terbatas karena ukuran (luas) P2K dan lokasi yang jauh (remote) serta
10 terbelakang; dan (8) kecilnya skala ekonomi dalam hal aktivitas produksi, transportasi, konsumsi dan administrasi. Atas dasar kepentingan mendesak untuk melihat sejauh mana posisi geografis dan potensi SDA di P2K perbatasan Kepulauan Sangihe dapat memberikan kontribusi terhadap pembangunan nasional dan kesejahteraan masyarakat, maka dirumuskan pertanyaan penelitian, sebagai berikut: (1) Bagaimana kinerja ekonomi Kabupaten Kepulauan Sangihe? (2) Komoditas apa yang dapat menjadi unggulan untuk dapat dikembangkan di Kepulauan Sangihe? (3) Bagaimana kondisi daya dukung ekonomi dan lingkungan yang dijadikan bahan pertimbangan dalam pengelolaan P2K perbatasan Kepulauan Sangihe? (4) Bagaimana kondisi wilayah perbatasan saat ini serta bagaimana aspirasi Kabupaten Kepulauan Sangihe ? ; dan (5) Variaberl apa saja yang mendorong terjadinya perdagangan illegal di perbatasan Kabupaten Kepulauan Sangihe?. 1.3 Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian Penelitian ini secara umum bertujuan merumuskan alternatif kebijakan dan program pengelolaan P2K perbatasan Kepulauan Sangihe berbasis geopolitik, daya dukung ekonomi dan lingkungan. Secara khusus, penelitian ini bertujuan: (1) Mengevaluasi dan menganalisis kinerja ekonomi Kabupaten Kepulauan Sangihe; (2) Mengevaluasi dan menganalisis komoditas unggulan Kepulauan Sangihe; (3) Mengevaluasi dan menganalisis daya dukung ekonomi dan lingkungan SDA di Kabupaten Kepulauan Sangihe; (4) Mengevaluasi dan menganalisis kondisi dan perkembangan wilayah perbatasan saat ini serta aspirasi masyarakat P2K perbatasan Kepulauan Sangihe; dan
11 (5)
Menganalisis variabel-variabel yang berpengaruh terhadap kegiatan perdagangan illegal
di perbatasan Kepulauan Sangihe. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada berbagai pihak, terutama: pemerintah, masyarakat dan dunia pendidikan. Bagi pemerintah, hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan masukan dalam pengambilan keputusan, agar pembangunan kawasan perbatasan Kabupaten Kepulauan Sangihe memperoleh porsi yang setara dan seimbang antara pendekatan geopolitik terutama pendekatan keamanan (security), ekonomi dan lingkungan. Bagi masyarakat, dapat dijadikan bahan informasi untuk pengembangan dunia usaha dalam rangka peningkatan kesejahteraan. Sedangkan untuk dunia akademik, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sumber informasi pengembangan ilmu pengetahuan terutama dalam pengelolaan P2K perbatasan Kepulauan Sangihe yang berbasis geopolitik, daya dukung ekonomi dan daya dukung lingkungan. 1.4 Kerangka Pendekatan Masalah Kepulauan Sangihe mempunyai peran strategis mengingat secara geografis letaknya berbatasan dengan negara Filipina, yang berpeluang terjadinya ancaman serta gangguan terhadap SDA dan kedaulatan negara. Kondisi ini diperparah dengan sentuhan pembangunan yang relatif rendah sebagai akibat paradigma pengelolaan lebih berorientasi kepada pendekatan keamanan (security approach). Kerangka pendekatan masalah penelitian tentang kebijakan pengelolaan P2K perbatasan Kepulauan Sangihe yang berbasis geopolitik, daya dukung ekonomi dan lingkungan disajikan pada Gambar 1. Selain penekanan pengelolaan yang lebih kepada security juga paradigma yang berhaluan daratan mampu menggeser posisi Negara Kepulauan (archipelagic state) sebagai bagian dari paradigma pembangunan nasional khususnya wilayah dengan luas laut yang dominan (matra laut). Interaksi paradigma pembangunan dengan karakteristik P2K di Kepulauan Sangihe (isolation, smallness, dan vulnerability) berakibat menjadi “pembatasan dan terbatasnya” ruang untuk economic activity sehingga terjadi proses
12 marjinalisasi dan pemiskinan serta rendahnya pemanfaatan SDA, yang bermuara pada rendahnya optimasi pemanfaatan SDA oleh masyarakat setempat. Pembatasan dan dibatasi juga tercermin dari proses penataan border crossing agreement (BCA) yang sejak awal penerapan perjanjian tersebut belum mampu memberikan peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat Kepulauan Sangihe khususnya di P2K perbatasan. Analisis Kondisi Saat Ini
Kebijakan Saat Ini
Potensi dan Permasalahan
Sumber daya alam
Analisis Permasalahan
Alternatif Kebijakan Pengelolaan
Geopolitik
Sosial dan Ekonomi Kondisi Kawasan Perbatasan
Kebijakan Masa Lalu
Hukum dan perundangundangan
Politik dan Hankam
Daya Dukung Ekonomi
Daya Dukung Lingkungan
Kebijakan Pemerintah Pusat
Kebijakan Pemerintah Daerah
ALTERNATIF KEBIJAKAN DAN PROGRAM PENGELOLAAN P2K PERBATASAN
Gambar 1 Pendekatan masalah penelitian kebijakan pengelolaan P2K perbatasan Realitas untuk dapat bertahan (survival) dalam kehidupan ekonomi masyarakat P2K perbatasan Kepulauan Sangihe terutama di Pulau Marore, Pulau Kawio, dan Pulau Matutuang serta pulau-pulau sekitarnya yang berada di Kecamatan Nusa Tabukan dan Kecamatan Tabukan Utara disebabkan sebagian dari kebutuhan sandang pangan, dan papan dipasok dari negara tetangga Filipina melalui Pulau Balut dan Pulau Saranggani. Fakta ini yang harus diterima untuk dijadikan koreksi terhadap implementasi kebijakan pengelolaan P2K perbatasan selama ini, walaupun sebagian bersifat illegal activity. Oleh karena itu upaya memperkecil illegal gains merupakan salah satu cara mengeliminasi kegiatan penyelundupan yang terjadi di Kepulauan Sangihe. Selain itu, paradigma pengelolaan berbasis SDA sebagai prime mover pembangunan harus dirubah dengan cara untuk mereduksi kekeliruan pengelolaan, yaitu: (1) meningkatkan
13 kemampuan memanfaatkan SDA oleh masyarakat P2K perbatasan dengan pemberian modal, peningkatan kemampuan tenaga kerja, peningkatan teknologi dan perluasan aksesibilitas pasar; dan (2) peningkatan kemampuan kelembagaan untuk melakukan koordinasi dalam implementasi program pengawasan SDI. Pengelolaan P2K perbatasan Kepulauan Sangihe berbasis geopolitik, daya dukung ekonomi dan lingkungan merupakan salah satu model kebijakan yang ingin dikaji, karena memiliki posisi strategis dalam mempertahankan kedaulatan negara, serta berpedoman kepada: (1) menjaga keutuhan wilayah NKRI, keamanan nasional, pertahanan negara dan bangsa serta menciptakan stabilitas kawasan; (2) memanfaatkan SDA dalam rangka pembangunan yang berkelanjutan; (3) memberdayakan masyarakat dalam rangka peningkatan kesejahteraan. Kebijakan pengelolaan P2K perbatasan tersebut perlu didekati dengan tiga pendekatan yang komprehensif yaitu melakukan sinergi antara pendekatan kesejahteraan (welfare approach) terutama pengembangan ekonomi perbatasan (border economic) dan geopolitik terutama keamanan (security), serta pendekatan lingkungan (environmental). 1.5 Kebaruan Penelitian Penelitian ini menemukan bahwa walaupun penduduk relatif kecil dan potensi perikanan yang cukup tersedia, tetapi karena keterbatasan pasar menyebabkan secara relatif potensi perikanan belum memberikan kegiatan ekonomi yang mendorong kesejeahteraan bagi penduduknya. Di lain pihak degradasi dan depresiasi SDI relatif cukup memprihatinkan walaupun belum membahayakan, yang relatif lebih disebabkan oleh tindakan illegal fishing dari nelayan asing dan nelayan lokal. Kerusakan lingkungan perairan dan terjadinya penyelundupan di kawasan perbatasan Kepulauan Sangihe dipicu oleh kebutuhan ekonomi dan kegagalan kebijakan. Oleh karena itu penyelesaian pasar secara politik karena berkaitan dengan negara tetangga dan kebijakan pengelolaan yang memadukan antara kepentingan pertahanan keamanan,
14 ekonomi dan lingkungan perlu segera dikembangkan jangan menunggu terjadinya ledakan kemiskinan dan kehilangan pulau kecil. Identifikasi negara bangsa mensyaratkan pengenalan batas-batas wilayah, sehingga persoalan perbatasan negara penting dikaitkan dengan identitas negara dan kedaulatan negara. Namun ketika batas-batas wilayah telah diidentifikasi dan diterapkan bukan berarti kedaulatan itu dengan demikian menjadi abadi. Pada perjalanannya, tanggungjawab pemerintah tetap dituntut untuk menjaga keberlangsungan kedaulatan tersebut dengan menjaga dan memperhatikan kawasan perbatasan tersebut. Perbatasan negara antara Indonesia dengan Filipina, walaupun secara hukum internasional belum ada kesepakatan batas wilayah terutama di ZEE dan Landas Kontinen, namun karena pembagian wilayah telah “diwariskan” oleh penjajah Spanyol dan Belanda. Penelitian ini menemukan bahwa kebanggaan terhadap fakta hukum dan sejarah akan menjadi lemah kedudukannya jika persoalan ekonomi tidak diselesaikan. Oleh karena itu penelitian menemukan akan terjadinya pergeseran persoalan penyelundupan menjadi “persoalan yang akut” apabila tidak dikembangkan kebijakan border trade yang memiliki keadilan secara ekonomi dan hukum, memiliki kemungkinan peluang yang relatif besar.