PENGARUH EKSTRAK STEROID TERIPANG PASIR (Holothuria scabra) DAN 17α METILTESTOSTERON PADA SUHU BERBEDA TERHADAP PEMBALIKAN KELAMIN JUVENIL LOBSTER AIR TAWAR (Cherax quadricarinatus)
(Tesis)
Oleh Fadhli Dzil Ikrom
PROGRAM STUDI MAGISTER BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2017
ABSTRACT THE EFFECT OF STEROID EXTRACTS OF SEA CUCUMBER (Holothuria scabra) AND 17α METHYLTESTOSTERONE AT DIFFERENT TEMPERATURE ON JUVENIL FRESH WATER CRAYFISH (Cherax quadricarinatus) By Fadhli Dzil Ikrom Red claw (Cherax quadricarinatus) is one kind of fresh water cray fish with high economic value which encourages farmers to increase their production. However, there are several obstacles where the growth of female individuals is faster than male. To overcome this problem, it is important to undergo a monosex (single gender) cultivation. The aim of this research is to find out the effect of sea cucumber's steroid extract and 17α methyltestosterone at different temperature to sex reversal to males on juvenile freshwater crayfish, Cherax quadricarinatus. This research was designed using Factorial Complete Random Design Method. The treatments were observed at temperatures of 27° C and 31ºC as follows: 50 mg/kg of sea cucumber's steroid extracts at temperatures of 27°C and 31ºC, and 50 mg/kg of 17α methyltestosterone at temperatures of 27 ° C and 31 ° C. The results showed that the most effective use of steroid extracts of sea cucumber and 17α methyltestosterone was at 27°C to increase the male percentage of 75.16% and 73.79% respectively and gave a significant effect on female genital decrease, total length, daily weight gain and biomass. While giving the steroid hormone did not make a significant effect on survival rate, intersex percentage and feed conversion of juvenile freshwater crayfish. Keywords: sea cucumber, steroid, freshwater crayfish, 17α methyltestosterone, temperature
ABSTRAK
PENGARUH EKSTRAK STEROID TERIPANG PASIR (Holothuria scabra) DAN 17α METILTESTOSTERON PADA SUHU BERBEDA TERHADAP PEMBALIKAN KELAMIN JUVENIL LOBSTER AIR TAWAR (Cherax quadricarinatus) Oleh Fadhli Dzil Ikrom Lobster air tawar jenis red claw (Cherax quadricarinatus) memiliki nilai ekonomis yang tinggi sehingga mendorong pelaku pembudidaya untuk meningkatkan hasil produksinya. Namun terdapat kendala dimana pertumbuhan individu jantan lebih cepat dibandingkan betina. Untuk mengatasi hal ini pada lobster air tawar perlu dilakukan budidaya monoseks (kelamin tunggal). Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh pemberian steroid teripang pasir dan17α metiltestosteron pada suhu berbeda terhadap pembalikan kelamin (sex reversal) menuju jantan pada juvenil lobster air tawar, Cherax quadricarinatus. Penelitian ini disusun dengan menggunakan Metode Rancangan Acak Lengkap Faktorial. Perlakuan yang diberikan yaitu kontrol suhu 27°C dan 31ºC, 50 mg/kg steroid teripang pasir dengan suhu 27°C dan 31º C, dan 50 mg/kg 17α metiltestosteron dengan suhu 27°C dan 31ºC. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian hormon steroid teripang pasir dan 17α metiltestosteron serta suhu 27°C efektif untuk meningkatkan persentase jantan yaitu sebesar 75,16 % dan 73,79 %, serta memberikan pengaruh yang signifikan terhadap penurunan persentase kelamin betina, panjang total, pertambahan bobot harian dan biomassa. Sedangkan pemberian hormon steroid tersebut tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kelulushidupan, persentase kelamin interseks dan konversi pakan pada juvenil lobster air tawar. Kata kunci: teripang pasir, steroid, lobster air tawar, 17α metiltestosteron, suhu
PENGARUH EKSTRAK STEROID TERIPANG PASIR (Holothuria scabra) DAN 17α METILTESTOSTERON PADA SUHU BERBEDA TERHADAP PEMBALIKAN KELAMIN JUVENIL LOBSTER AIR TAWAR (Cherax quadricarinatus) (Tesis)
Oleh Fadhli Dzil Ikrom
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar MAGISTER SAINS Pada Program Studi Magister Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung
PROGRAM PASCA SARJANA MAGISTER BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2017
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kota Bumi, pada tanggal 8 Januari 1992, sebagai anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Jaya Rahmat, SKM dan Ibu Komala Sari SE.
Penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah Dasar Al–Kautsar Bandar Lampung pada tahun 2004. Menyelesaikan pendidikan di SMP Al-Kautsar Bandar Lampung pada tahun 2007 serta menamatkan pendidikan di SMA Negeri 4 Bandar Lampung pada tahun 2010. Tahun 2010, penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan S1 di Perguruan Tinggi Universitas Lampung Fakultas Pertanian, Jurusan Budidaya Perairan. Pada tahun 2015 penulis diterima bekerja sebagai Dosen di Prodi D3 Akademi Perikanan Bhima Sakti, Prasetya Mandiri Group Lampung. Tahun 2015 penulis melanjutkan pendidikan sebagai mahasiswa Magister Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung Bandar Lampung.
MOTTO
Setinggi apapun pangkat yang dimiliki anda tetap seorang pegawai. Sekecil apapun usaha yang anda punya, anda adalah bosnya. ~ Bob. Sadino ~
Jangan menyerah jatuh bukanlah sesuatu yang memalukan, yang memalukan adalah kalau aku tak berdiri lagi. ~ Shintaro Midorima ~
Takdir setiap manusia memang telah ditentukan sejak mereka lahir, tetapi dengan kerja keras kita dapat mengalahkan takdir. ~ Naruto Uzumaki ~
Kalau kita berusaha sebaik mungkin kepada hal yang kita sukai, kita akan menikmati kemenangan dari lubuk hati kita. ~ Kuruko Tetsuya ~
The only way to do great work is to love what you do. ~ Steve Jobs ~
PERSEMBAHAN
Dengan rasa syukur kepada Allah SWT, ku persembahkan karya yang sederhana ini untuk orang yang selalu mendo’akan dan menyemangati, terutama bagi: 1.
Ayahanda Jaya Rahmat, SKM dan Ibunda Komala Sari, SE yang telah membesarkanku, membimbing sampai saat ini, selalu menberikan dukungan dan berdoa untuk keberhasilanku.
2.
Kedua kakakku M. Kurnia Wijaya Kusuma, SE., MM dan M. Nurhadi Wijaya Kesuma, SE yang selalu mendukung dan mendoakan akan keberhasilanku.
3.
Nyai yang selalu mendoakan dengan tulus untuk aku untuk menjadi orang yang bermanfaat bagi banyak orang.
4.
Almamaterku Universitas Lampung
SANWACANA
Dengan menyebut nama Allah SWT Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas limpahan rahamat dan karunia–Nya yang telah diberikan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Magister Sains (M.Si) pada program studi Magister Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung dengan judul “Pengaruh Ekstrak Steroid Teripang Pasir (Holothuria scabra) dan 17α Metiltestosteron Pada Suhu Berbeda Terhadap Pembalikan Kelamin Juvenil Lobster Air Tawar (Cherax quadricarinatus). Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1.
Bapak Dr. G. Nugroho Susanto, M.Sc selaku pembimbing utama dan pembimbing akademik yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, nasihat, ide, saran, dan kritik dalam penulisan tesis ini.
2.
Bapak Dr. Supono, M.Si selaku pembimbing pembantu yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, nasihat, ide, saran, dan kritik dalam penulisan tesis ini.
3.
Bapak Prof. Dr. Sutyarso, M.Biomed selaku dosen penguji atas kritik dan saran yang diberikan hingga terselesainya tesis ini.
4.
Bapak Dr. Sumardi, M.Si selaku selaku Ketua Program Studi Magister Biologi FMIPA Unila atas dukungan, kritik dan saran yang telah diberikan.
5.
Ibu Dra. Nuning Nurcahyani, M.Sc selaku selaku Ketua Jurusan Biologi FMIPA Unila atas dukungan, kritik dan saran yang telah diberikan.
6.
Bapak Prof. Warsito, S.Si., DEA., Ph.D., selaku Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung.
7.
Bapak dan Ibu Dosen, Staf beserta Laboran Jurusan Biologi, Kimia, Biomas FMIPA Unila atas ilmu, dukungan dan pengalaman yang telah diberikan kepada penulis.
8.
Gemma Farm Jawa Tengah (Klaten), Bapak akin pegempul teripang yang turut membantu untuk menyediakan bahan yang dibutuhkan untuk penelitian ini.
9.
Teman-teman Magister Biologi FMIPA Unila angkatan 2015, Bayu Danan Jaya, M.Si, Asep Yusuf Hamdani, S.Pd., M.Si, Lusiati, S.Si.,M.Si dan Shofi, S.Si.,M.Si untuk kebersamaannya selama ini.
10. Teman- teman Budidaya Perairan Fakultas Pertanian angkatan 2010, Ahmad Fauzy, S.Pi, Anggi Trisatria, S.Pi, Andi Bimantara, S.Pi, Windi Pratiwi S.Pi, Roma Ade Saputra,S.IP, Rudi Irawan, S.Pi, Shoffan Al-Haq, S.Pi, MM, Winda Rohaila, S.Pi, Vina Olivia, S.Pi, Dio Sandi Kiswara, S.Pi, Assovaria, S.Pi, Sandi Putra Barlian, S.Pi. Terima kasih selama 7 tahun untuk kebersamaannya. 11. Semua pihak yang telah membantu dalam proses perkuliahan dari awal hingga akhir yang tidak dapat dituliskan satu persatu. 12. Almamater tercinta Universitas Lampung.
Hanya dengan Do’a yang dapat penulis berikan untuk membalas budi semuanya. Semoga Allah SWT memberikan yang terbaik untuk kita semua, dan dengan segala kerendahan semoga tesis ini dapat diterima dan bermanfaat bagi kita semua, Amin.
Bandar Lampung, Penulis
Fadhli Dzil Ikrom
Mei 2017
DAFTAR ISI
I.
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .......................................................................................... 1.2 Tujuan Penelitian....................................................................................... 1.3 Manfaat Penelitian .................................................................................... 1.4 Kerangka Pikir........................................................................................... 1.5 Hipotesis ....................................................................................................
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Lobster Air Tawar Red Claw (Cherax quadricarinatus) ....... 2.2 Morfologi, Anatomi dan Fisiologi Lobster Air Tawar Red Claw (Cherax quadricarinatus) ....................................................................................... 2.3 Pemanfataan Teknologi Sex Reversal pada Budidaya Lobster Air Tawar (Cherax quadricarinatus) ......................................................................... 2.4 Pemanfaatan Ekstrak Steroid Teripang Pasir (Holothuria scabra) .......... 2.5 Pemanfaatan Hormon 17α metiltestosteron .............................................. 2.6 Metode Sex Reversal Melalu Pemberian Pakan (Oral) ............................. 2.7 Metode Sex Reversal Melalui Suhu Air yang Berbeda............................. III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ................................................................... 3.2 Alat dan Bahan Penelitian ......................................................................... 3.3 Desain Penelitian ....................................................................................... 3.4 Prosedur Penelitian .................................................................................... 3.4.1 Persiapan wadah pemeliharaan benih .............................................. 3.4.2 Pengisian air wadah pemeliharaan ................................................... 3.4.3 Pembuatan hormon ekstrak steroid teripang .................................... 3.4.4 Pencampuran hormon steroid dalam pakan ................................... 3.5 Pelaksanan Penelitian ................................................................................ 3.5.1 Persiapan wadah pemeliharaan benih ............................................. 3.5.2 Persiapan lobster uji ......................................................................... 3.5.3 Pemeliharaan lobster uji................................................................... 3.5.4 Metode pegambilan sampel pertumbuhan panjang dan bobot......... 3.5.5 Manajemen kualitas air .................................................................... 3.5.6 Pengukuran kualitas air ................................................................... 3.6 Pengambilan Data ..................................................................................... 3.6.1 Panjang total .................................................................................... 3.6.2 Pertambahan bobot harian ...............................................................
1 5 6 6 8
10 10 12 15 17 18 20
22 22 23 24 24 24 25 26 27 27 27 28 28 29 29 29 29 30
3.6.3 Biomassa .......................................................................................... 3.6.4 Kelulushidupan ................................................................................ 3.6.5 Konversi pakan ............................................................................... 3.6.6 Keberhasilan pembentukan jenis kelamin ...................................... 3.7 Analisis Data .............................................................................................
30 31 31 32 33
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Persentase Lobster Air Tawar (LAT) Jantan............................................. 4.2 Persentase Lobster Air Tawar (LAT) Betina ........................................... 4.3 Persentase Lobster Air Tawar (LAT) Interseks ........................................ 4.4 Kelulushidupan Lobster Air Tawar (LAT) .............................................. 4.5 Panjang Total Juvenil Lobster Air Tawar (LAT) ...................................... 4.6 Pertambahan Bobot Harian Juvenil Lobster Air Tawar (LAT)................. 4.7 Biomassa Lobster Air Tawar (LAT) ........................................................ 4.8 Konversi Pakan Lobster Air Tawar (LAT) ............................................... 4.9 Kualitas Air ...............................................................................................
34 42 46 49 53 57 59 63 66
V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan................................................................................................ 5.2 Saran ..........................................................................................................
70 70
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Persentase individu jantan dari juvenil LAT yang diberi perlakuan hormon steroid teripang dan 17α metiltestosteron pada suhu berbeda selama 50 hari pemeliharaan .............................................................. Tabel 2. Persentase individu betina dari juvenil LAT yang diberi perlakuan hormon steroid teripang dan 17α metiltestosteron pada suhu berbeda selama 50 hari pemeliharaan. ............................................................. Tabel 3. Persentase individu interseks dari juvenil LAT yang diberi perlakuan hormon steroid teripang dan 17α metiltestosteron pada suhu berbeda selama 50 hari pemeliharaan. ............................................................. Tabel 4. Kelulushidupan LAT selama 50 hari pemeliharaan ........................... Tabel 5. Biomassa LAT selama 50 hari pemeliharaan .................................... Tabel 6. Konversi pakan LAT selama 50 hari pemeliharaan ........................... Tabel 7. Kualitas air pemeliharaan LAT selama 50 hari pemeliharaan ...........
34
42
46 49 50 63 66
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Kerangka pikir penelitian .............................................................. Gambar 2. Perbedaan alat reproduksi pada LAT ............................................. Gambar 3. Rumus bangun inti steroid (cyclopentanohydrophenanthrene) (a) dan testosteron (b) (Kustiariah, 2006) .................................... Gambar 4. Penempatan wadah pemeliharaan selama penelitian. .................... Gambar 5. Persentase juvenil LAT jantan selama 50 hari pemeliharaan ....... Gambar 6. Persentase juvenil LAT betina selama 50 hari pemeliharaan ....... Gambar 7. Persentase juvenil LAT interseks selama 50 hari pemeliharaan ... Gambar 8. Persentase kelulushidupan LAT .................................................... Gambar 9. Panjang rerata LAT pada tiap perlakuan selama 50 hari pemeliharaan. ................................................................................. Gambar 10. Panjang total LAT selama 50 hari pemeliharaan ....................... Gambar 11. Bobot rerata LAT pada tiap perlakuan selama 50 hari pemeliharaan. .............................................................................. Gambar 12. Pertambahan bobot harian LAT selama 50 hari pemeliharaan ... Gambar 13. Biomassa LAT selama 50 hari pemeliharaan .............................. Gambar 14. Konversi pakan LAT selama 50 hari pemeliharaan ....................
8 12 15 24 35 43 47 50 53 54 56 57 61 64
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Lobster air tawar red claw (Cherax quadricarinatus) merupakan komoditi perikanan yang berasal dari Queensland, Australia dan telah diintroduksikan ke Indonesia sejak 1991. Usaha budidaya lobster ini semakin digemari oleh para pembudidaya karena memiliki kemampuan adaptasi yang baik terhadap lingkungan sehingga memiliki potensi untuk dibudidaya sepanjang tahun. Di Indonesia komoditi ini dibudidayakan sebagai produk unggulan karena morfologinya yaitu bentuk dan corak warna tubuhnya yang unik sehingga dapat dijadikan sebagai komoditi ikan hias. Disamping itu biota ini memiliki tekstur daging yang padat, empuk dan cukup gurih rasanya jika dibanding lobster laut atau jenis udang lainnya, sehingga juga sebagai hewan konsumsi. Lobster air tawar memiliki kandungan gizi yang cukup tinggi terutama untuk memenuhi kebutuhan protein (Iskandar, 2003).
Lobster air tawar ini memiliki nilai ekonomis yang tinggi sehingga mendorong pelaku budidaya untuk meningkatkan hasil produksinya. Namun terdapat kendala dalam pembesaran karena lobster jantan dan betina pertumbuhannya tidak sama. Lobster jantan dengan waktu pemeliharaan 7-8 bulan pertumbuhannya mencapai bobot rerata 30 gr/ekor, lebih besar
2
dibanding lobster betina yang hanya mencapai bobot ± 20 gr/ ekor (Curtis dan Jones 1995). Hasil akhir yang didapatkan dari budidaya pertumbuhan lobster air tawar jantan lebih cepat dibandingkan betina. Hal ini berdampak pada biaya operasional budidaya yang tinggi karena pakan yang diberikan untuk pembesaran lobster menjadi kurang optimal.
Seiring perkembangan budidaya perikanan munculah salah satu rekayasa budidaya dengan teknik sex reversal (pembalikan kelamin). Teknik rekayasa ini banyak digunakan dalam proses maskulinisasi ikan termasuk lobster air tawar yang bertujuan untuk meningkatkan persentase jumlah individu jantan. Sex reversal umumnya dilakukan dengan pemberian hormon yang tidak berbahaya bagi biota budidaya maupun konsumen. Namun, pada kenyataannya hormon steroid yang biasa digunakan dalam pembalikan kelamin umumnya adalah 17α metiltestosteron. Hormon sintetis ini bersifat menimbulkan residu yang berpotensi buruk terhadap kesehatan manusia, lingkungan dan organisme budidaya, tetapi tingkat keberhasilan dalam sex reversal tinggi mencapai 96-100% (Zairin, 2003). Oleh karena itu penelitian untuk menemukan sumber steroid alami yang aman bagi manusia dan ramah lingkungan perlu dilakukan guna mengatasi permasalahan yang ada. Salah satu cara adalah memanfaatkan hormon alami yang diekstraksi dari jeroan teripang pasir (Holothuria scabra).
Berbagai penelitian menyebutkan bahwa teripang termasuk biota laut yang memiliki kandungan protein tinggi, berkadar lemak rendah serta dipercaya
3
sebagai aprodisiaka karena mengandung steroid tinggi (Kustiariah, 2006). Bahkan jeroan teripang diketahui memiliki kandungan steroid tertinggi dibandingkan bagian tubuh lainnya. Riani et al. (2005) menyatakan bahwa diantara bagian teripang pasir yang diekstraksi, rendemen terbesar berupa ekstrak kasar steroid diperoleh dari ekstrak jeroan basah teripang pasir. Riani et al. (2005) menyatakan bahwa steroid pada hewan banyak dihasilkan oleh organ reproduksi seperti testis, ovari, korteks dan plasenta. Organ-organ reproduksi ini dan usus merupakan bagian terbesar dari organ-organ visceral (jeroan) teripang. Hasil uji Lieberman-Burchard dan bioassay menggunakan anak ayam menunjukkan bahwa ekstrak teripang terbukti mengandung steroid. Rendemen terbesar diperoleh dari 1 kg jeroan basah (21,28 g ekstrak kasar) mengandung steroid 6,124 μg/kg jenis testosteron (Riani et al., 2005., Kustiariah, 2006).
Secara fisiologis, jenis kelamin ikan dapat diarahkan dengan menggunakan hormon steroid. Perlakuan hormon dilakukan pada periode labil yaitu sebelum gonad berdiferensiasi saat masih sensitif terhadap perlakuan hormon (Piferrer, 2001). Faktor yang menentukan keberhasilan dalam pembentukan
monoseks jantan, salah satu adalah dosis yang sesuai dan lama waktu pemberian hormon. Dalam proses pembalikan kelamin (sex reversal) apabila dosis hormon serta umur larva tidak sesuai maka efektifitas hormon yang diberikan menjadi kurang optimal (Susanto dan Supono, 2012).
4
Salah satu metode pemberian hormon steroid yang sering digunakan adalah melalui oral (mulut) dengan mencampurkannya pada pakan buatan (pelet). Cara ini merupakan paling mudah dan efektif serta tidak memerlukan keahlian yang khusus (Kuhl dan Brouwer, 2005). Namun metode ini memiliki beberapa kelemahan, karena pakan tidak langsung termakan yang menyebabkan hormon yang terkandung dalam pakan akan tercuci dalam media budidaya. Selain itu dengan metode oral ini memungkinkan terjadinya degradasi hormon oleh enzim pencernaan, sehingga hormon dapat rusak sebelum bekerja (Zairin, 2002).
Dari metode pembalikan jenis kelamin (sex reversal) secara oral beberapa kelemahan dapat diminimalisir dengan memanipulasi lingkungan budidaya yaitu melalui peningkatan suhu media budidaya. Suhu merupakan faktor yang dapat mempengaruhi kecepatan reaksi kimia dalam tubuh seperti laju metabolisme (El-Fotoh et al., 2014). Dengan adanya peningkatan suhu dapat membantu mempercepat proses metabolisme sehingga nafsu makan lobster air tawar menjadi meningkat. Hal ini dapat membantu penyerapan hormon steroid yang terkandung pada pakan supaya tidak rusak dan efektif bekerja dalam tubuh.
Kondisi suhu air yang optimal akan mempengaruhi laju metabolisme tubuh, sehingga masa sensitivitas gonad terhadap stimulasi hormon berjalan dengan baik. Sebaliknya suhu yang terlalu rendah menyebabkan sensitivitas gonad terhadap stimulasi hormon berjalan lambat. Pada ikan nila, temperatur
5
pemeliharaan 28 °C menghasilkan persentase jantan 52,33% (El-Fotoh et al., 2014). Pada ikan channel catfish, temperatur pemeliharaan 29 - 30ºC dapat memberikan efek pada persentase jantan 69,5% (Patino et al., 1996). Sedangkan pada suhu 36 °C menghasilkan persentase ikan nila jantan 81% (El-Fotoh et al., 2014). Dari beberapa hasil penelitian ini menunjukkan suhu juga berpengaruh terhadap proses pembalikan kelamin (sex reversal). Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian tentang pengaruh penggunaan hormon steroid ekstrak teripang pasir dan 17α metiltestosteron pada suhu berbeda terhadap pembalikan kelamin pada juvenil lobster air tawar. Penelitian ini diharapkan dapat menjawab permasalahan dalam budidaya lobster air tawar jenis red claw (Cherax quadricarinatus), khususnya memproduksi individu jantan, dalam upaya meningkatkan produksi dari pembesaran lobster air tawar secara monoseks.
1.2 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Untuk mengetahui pengaruh ekstrak steroid teripang pasir dan 17α metiltestosteron pada suhu berbeda terhadap peningkatan persentase pembalikan kelamin (sex reversal) menuju jantan pada juvenil lobster air tawar (Cherax quadricarinatus).
2.
Untuk membandingkan efektifitas hormon ekstrak steroid teripang pasir dan hormon sintetis 17α metiltestosteron terhadap persentase pembalikan
6
kelamin(sex reversal) menuju jantan pada juvenil lobster air tawar (Cherax quadricarinatus).
1.3 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang dihasilkan dari penelitian ini adalah keberhasilan dalam produksi masal lobster air tawar jantan dengan menggunakan hormon alami steroid teripang dan17α metiltestosteron pada suhu berbeda. Hal ini diharapkan dapat memenuhi kebutuhan akan permintaan pasar lobster air tawar yang terus meningkat baik secara kualitas maupun kuantitas.
1.4 Kerangka Pikir
Pembalikan kelamin (sex reversal) yaitu cara pembalikan arah perkembangan kelamin yang seharusnya berkelamin jantan diarahkan perkembangan gonadnya menjadi betina atau sebaliknya. Teknik ini dilakukan pada saat sebelum terjadinya diferensiasi gonad secara jelas antara menuju jantan dan betina pada waktu menetas. Sex reversal merubah fenotip ikan tetapi tidak merubah genotipnya (Masduki, 2010). Hormon yang umum dipakai untuk sex reversal jantan adalah 17α metiltestosteron, yang merupakan hormon sintetis (Barrett et al., 2005). Bioassay yang dilakukan pada ayam, diketahui bahwa hormon sintetis ini memberikan efek samping bersifat toksik pada hati, limpa dan bursa fabricius (Riani et al., 2005). Salah satu cara alternatif adalah menggunakan sumber hormon testosteron alami yang berasal dari ekstrak steroid teripang pasir.
7
Pemberian hormon steroid dipengaruhi oleh interval waktu perkembangan gonad, yaitu ketika keadaan gonad sedang labil, sehingga hormon steroid sebagai pemicu diferensiasi harus diberikan pada saat yang tepat terjadinya diferensiasi alami. Periode diferensiasi kelamin merupakan fase penentuan atau pengarahan jenis kelamin. Masa diferensiasi dimulai dari fase larva menetas, dimana masih terdapat kuning telur sampai larva mulai mencari makan. Pada fase kritis tersebut adalah fase yang efektif untuk pemberian hormon steroid (Handajani, 2006).
Selain adanya pengaruh hormon, suhu yang optimal juga dapat mempengaruhi proses pembalikan kelamin (sex reversal). Adanya suhu yang tepat dapat mempengaruhi proses pembentukan individu jantan. Pada proses sex reversal, faktor lingkungan berupa suhu dapat mempengaruhi kecepatan reaksi kimia dalam tubuh seperti laju metabolisme (El-Fotoh et al., 2014). Dengan adanya peningkatan suhu dapat membantu mempercepat proses metabolisme, sehingga meningkatkan nafsu makan. Hal ini tentu dapat membantu penyerapan hormon steroid yang terkandung pada pakan, sehingga bekerja secara efektif dalam mengarahkan determinasi seksualnya menuju jantan. Sedangkan kerangka pikir penelitian dapat dilihat pada Gambar 1 berikut ini.
8
Permasalahan pembenihan lobster air tawar : Pertumbuhan betina lebih lambat dibandingkan jantan Penggunaan bahan kimia berbahaya untuk kesehatan dan lingkungan Produksi rendah dan tidak dapat memenuhi permintaan pasar.
Hasil Penelitian :
Alternatif pemecahan Masalah: Meningkatkan produktifitas Pemanfaatan bahan alami yang sehat dan ramah lingkungan.
Penerapan Aplikasi :
Bobot akhir individu rata-rata meningkat Jumlah larva lobster monoseks jantan meningkat. Produk aman untuk dikonsumsi dan ramah lingkungan.
Pemberian hormon steroid alami berasal dari jeroan teripang Manipulasi lingkungan budidaya dengan suhu berbeda.
Gambar 1. Kerangka pikir penelitian.
1.5 Hipotesis
Hipotesis penelitian ini adalah: 1.
Pemberian ekstrak steroid teripang pasir (Holothuria scabra) dan 17 α metiltestosteron pada suhu berbeda, berpengaruh terhadap proses pembalikan kelamin juvenil lobster air tawar (Cherax quadricarinatus).
9
2.
Pemberian ekstrak steroid teripang pasir lebih efektif dibanding hormon sintesis 17α metiltestosteron pada proses pembalikan kelamin juvenil lobster air tawar (Cherax quadricarinatus).
10
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Klasifikasi Lobster Air Tawar Red Claw (Cherax quadricarinatus)
Penelitian ini menggunakan lobster air tawar jenis red claw (Cherax quadricarinatus). Klasifikasi lobster air tawar jenis Cherax quadricarinatus menurut Jones (2005) adalah: Phylum
: Arthropoda.
Klas
: Crustacea.
Sub klas : Malacostraca. Ordo
: Decapoda.
Famili
: Parastacidae.
Genus
: Cherax.
Spesies
: Cherax quadricarinatus.
2.2 Morfologi, Anatomi dan Fisiologi Lobster Air Tawar Red Claw (Cherax quadricarinatus) Cherax quadricarinatus adalah lobster air tawar yang berasal dari Australia, banyak ditemukan di sungai, rawa dan danau pesisir utara Australia bagian timur laut dari Queensland. Di Indonesia populasi ini ditemukan di daerah Papua. Lobster air tawar tidak memiliki tulang dalam (internal skeleton), seluruh tubuh ditutupi oleh cangkang yang terbuat dari zat tanduk (chitin).
11
Cangkang akan mengelupas secara periodik melalui proses molting (pergantian kulit) seiring dengan pertumbuhan tubuhnya (Jones, 1995).
Pertumbuhan pada hewan Krustacea ini terjadi pada saat proses pergantian kulit (molting). Frekuensi pergantian kulit pada krustacea ditentukan oleh faktor umur dan makanan. Pada krustacea muda lebih sering mengalami pergantian kulit dan krustacea yang mendapat makanan yang cukup dan baik akan lebih cepat mengalami pergantian kulit. Selain itu pertumbuhan lobster jantan lebih cepat dibandingkan dengan yang betina (Jones, 1995).
Lobster air tawar genus Cherax termasuk dalam kelompok udang (Krustacea) yang secara alami memiliki tubuh relatif besar dan memiliki daur hidup di lingkungan air tawar. Lobster jenis red claw memiliki kelebihan dibandingkan jenis lain yaitu mudah dibudidayakan, tidak mudah terserang penyakit, pemakan tumbuhan dan hewan (omnivora), pertumbuhannya relatif cepat dan memiliki fekunditas yang tinggi (Jones, 1995).
Perbedaan Cherax jantan dan betina terlihat dari letak alat kelamin. Pada betina, lubang genital terletak pada dasar kaki jalan ketiga, sedangkan pada jantan alat kelamin berbentuk tonjolan (kerucut), yang terletak pada dasar kaki jalan kelima. Bentuk alat kelamin Cherax dapat dilihat berdasarkan posisi lubang genital karena sifatnya gonokoris. Perbedaan jenis kelamin pada Cherax jenis red claw dapat juga dilihat dari ada tidaknya garis merah pada tepi luar dari capit (propodus). Pada red claw jantan yang telah dewasa ditemukan garis merah pada tepi luar propodusnya (Edgerton, 2005). Untuk
12
pertumbuhan garis merah ini berhubungan dengan panjang karapas orbital, sedangkan pada saat tahap juvenil garis merah ini belum berkembang. Biasanya pembentukan garis merah ini setelah jantan memiliki panjang karapas orbital mencapai 23 mm (Widha, 2003).
♀Pethasma ♂
♂Thelicium
♀Pethasma ♂Thelicium
1 mm
1 mm
Gambar 2. Perbedaan alat reproduksi pada LAT jantan (kiri) dan betina (kanan) memiliki tonjolan pada dasar kaki jalan ke-5 yang disebut pethasma, sedangkan betina memiliki lubang bulat terletak pada dasar kaki jalan ke-3 yang disebut thelicium. 2.3 Pemanfataan Teknologi Sex Reversal pada Budidaya Lobster Air Tawar (Cherax quadricarinatus)
Sex reversal dapat diartikan sebagai suatu teknologi yang membalikkan arah perkembangan kelamin menjadi berlawanan. Dengan penerapan teknologi ini,
13
ikan yang seharusnya berkelamin jantan diarahkan perkembangan gonadnya menjadi betina dan sebaliknya. Cara ini mungkin dilakukan karena pada waktu menetas gonad ikan belum terdiferensiasi secara jelas akan menjadi jantan atau betina (Zairin, 2002).
Menurut Zairin (2002) dengan membudidayakan ikan secara sex reversal maka didapatkan ikan dengan pertumbuhan yang lebih cepat, mencegah terjadinya pemijahan liar, mendapatkan ikan dengan penampilan yang menarik dan menunjang genetika ikan yaitu teknik pemurniaan ras ikan. Kegiatan budidaya secara monoseks, berkelamin tunggal jantan atau betina akan bermanfaat dalam peningkatan laju pertumbuhan ikan. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan kecepatan pertumbuhan antara jenis ikan jantan dan ikan betina.
Jenis kelamin suatu individu ditentukan bersama oleh faktor genetis dan lingkungan. Faktor genetis yang menentukan jenis kelamin ikan adalah kromosom, sedangkan faktor lingkungan adalah suhu, ukuran tubuh, ukuran populasi, hormon eksogen, dan lain-lain. Kromosom yang berpengaruh adalah tubuh dan kromosom kelamin (Wichins and Lee, 2002). Menurut Rougeot et al. (2002) diferensiasi gonad diatur oleh mekanisme genetik melalui sistem endokrin embrional, tetapi dalam prosesnya faktor lingkungan dalam dan luar dapat merubah penentuan jenis kelamin embrio.
Peran faktor lingkungan menentukan ekspresi fenotip jenis kelamin ikan dan udang, memungkinkan terjadinya perubahan kelamin tanpa mengubah
14
genetisnya tetapi melalui pendekatan hormonal. Perubahan genetis dilakukan melalui persilangan antar spesies atau genus, sedangkan pendekatan hormonal dilakukan dengan pemberian steroid androgen maupun estrogen, sebelum terjadinya diferensiasi kelamin (Piferrer, 2001).
Hormon adalah bahan kimia organik dan merupakan senyawa aktif biologis yang dihasilkan oleh bagian kelenjar, jaringan atau organ tertentu dari hewan dan manusia. Hormon bekerja pada konsentrasi kecil dan mempunyai cara kerja yang spesifik. Hormon mempunyai peranan yang sangat penting dalam pengaturan fisiologi, dan umumnya hormon bekerja sebagai aktivator spesifik atau inhibitor dari enzim (Robbins, 1996).
Hormon steroid meliputi hormon adrenal kortikal, androgen dan estrogen, yang dapat larut dalam lemak. Klasifikasi hormon steroid berdasarkan respons fisiologis adalah sebagai berikut (Murray et al., 2001) : 1.
Glucocorticoids, seperti cortical (C21) yang mengatur metabolisme protein, lemak dan karbohidrat, dan mempengaruhi fungsi-fungsi penting seperti reaksi inflammatori dan meredakan stres.
2.
Aldosterone dan mineralcorticoids lainnya, mengatur pembuangan garam dan air melalui ginjal.
3.
Androgen dan estrogen yang mengatur perkembangan dan fungsi seksual.
15
Testosteron, komponen C19 merupakan hormon androgen (seks jantan). Hormon steroid merupakan turunan kolesterol, dengan rumus bangun berupa cincin siklopentana cyclo pentane perhydrophenanthrene (Kustiariah, 2006).
Gambar 3. Rumus bangun inti steroid (cyclopentanohydrophenanthrene) (a) dan testosteron (b) (Kustiariah, 2006).
2.4 Pemanfaatan Ekstrak Steroid Teripang Pasir (Holothuria scabra)
Pandian dan Sheela (1995) menyatakan bahwa proses pemberian hormon steroid sintetis pada metode pembalikan jenis kelamin dapat menimbulkan stres, sehingga tingkat kelulushidupan benih, baik jantan maupun betina menjadi rendah. Dosis yang terlalu rendah menyebabkan proses pembalikan jenis kelamin berlangsung kurang sempurna dan sebaliknya jika terlalu tinggi ada kecenderungan menjadi steril atau terjadi penyimpangan jenis kelamin, yaitu yang diberi hormon androgen berubah menjadi betina (Wichins dan Lee 2002).
Berbagai penelitian menyebutkan bahwa teripang termasuk biota laut yang memiliki kandungan protein tinggi, berkadar lemak rendah serta dipercaya sebagai aprodisiaka karena mengandung steroid tinggi, bahkan jeroan
16
teripang diketahui memiliki kandungan hormon steroid tertinggi dibandingkan bagian tubuh lainnya (Kustiariah, 2006).
Hormon ini diduga dapat meningkatkan vitalitas laki-laki, oleh karena itu banyak diminati sebagai bahan makanan kesehatan. Kustiariah (2006), berhasil mengidentifikasi steroid dari teripang dan mengaplikasikannya pada ayam. Pemanfaatan teripang sebagai aprodisiaka pada manusia telah dilakukan oleh Kustiariah (2006) dan Dewi (2008) dan diuji cobakan pada mencit (Nurjanah, 2008). Ekstrak steroid teripang yang mengandung testosteron (Kustiariah, 2006) juga dapat digunakan untuk sex reversal pada komoditi-komoditi yang jenis kelamin jantannya lebih bernilai ekonomis dari pada jenis kelamin betina, seperti pada udang galah dan ikan gappy (Riani et al., 2008).
Pemanfaatan bahan aktif di dalam teripang pasir (Holothuria scabra) yang merupakan steroid alam sangat diperlukan dalam pengembangan budidaya perikanan, misalnya budidaya lobster air tawar (Cherax quadricarinatus). Teripang pasir mengandung steroid yang berpengaruh terhadap aktifitas metabolisme, sehingga agresifitas/nafsu makan akan meningkat (Huberman, 2000). Peranan hormon ini juga dapat mempengaruhi produksi hewan, merangsang pertumbuhan dan penentuan jenis kelamin (diferensiasi) serta tingkah laku ikan (Sarida, 2008).
17
2.5 Pemanfaatan Hormon 17α metiltestosteron
Hormon androgen yang paling umum yang digunakan dalam aplikasi sex reversal untuk maskulinisasi (pengarahan kelamin menjadi jantan) adalah 17α metiltestosteron yang diperkirakan efektif digunakan pada lebih dari 25 spesies yang telah diuji. Pada penelitian ini hormon 17α metiltestosteron yang digunakan berasal dari Biotech argo-laboratorium (Sidoarjo).
Metiltestosteron merupakan androgen yang paling sering dipakai untuk merubah jenis kelamin dan penggunaan metiltestosteron pada dosis yang berbeda akan memberikan pengaruh yang berbeda pula. 17α metiltestosteron merupakan hormon sintetis yang molekulnya sudah dimodifikasi agar tahan lama di dalam tubuh. Hal ini karena pada karbon ke-17 telah ditempeli gugus metal agar tahan lama (Homklin et al., 2009). Metiltestosteron dibuat dengan cara menambahkan satu kelompok α-metil pada atom karbon ke-17 di dalam gugus testosteron dengan rumus bangun kimia kimia C20H30O2, berbobot molekul 302,05 (Homklin et al., 2009). Pemberian hormon androgen jenis 17α metiltestosteron pada larva udang galah berumur 25 hari melalui perendaman selama 24 jam dengan dosis 25 mg/l menghasilkan 82,02 % jantan (Hadie dan Hadie, 2001) dan pada larva udang galah berumur 20 hari yang diberi hormon 17α-metiltestosteron melalui makanan dengan dosis 35 mg/kg pakan selama 30 hari dapat menghasilkan 80,91 % jantan (Kusmini et al., 2001).
18
Dalam penelitian ini 17α metiltestosteron diberikan secara oral melalui makanan sebab cara ini merupakan paling mudah dan efektif serta tidak memerlukan keahlian khusus (Kuhl dan Brouwer, 2005). Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui tingkat dosis pemberian 17α metiltestosteron yang tepat melalui pakan dalam produksi lobster air tawar (Cherax quadricarinatus) jantan sebagai upaya efisiensi produksi.
2.6 Metode Sex Reversal Melalui Pemberian Pakan (Oral)
Pada dasarnya dikenal dua metode sex reversal yaitu dengan terapi hormon (cara langsung) dan rekayasa kromosom. Pada terapi hormon hanya mempengaruhi fenotip tanpa merubah genotip. Teknik ini bisa dilakukan pada semua jenis organisme akuatik apapun kromosom seksnya. Teknik ini memiliki kelemahan yaitu tingkat keberhasilannya bervariasi. Hanya saja teknik ini lebih mudah untuk dilakukan (Kuhl dan Brouwer, 2005). Sedangkan rekayasa kromosom adalah suatu teknik untuk mengubah kromosom ikan normal diploid (2N) dari hasil kontribusi 1N set kromosom betina dan 1N jantan (Sugama, 2006). Menurut Pifferrer (2001) hormon steroid akan mempengaruhi target sel seperti gonad dan saluran otak. Diduga pada saat fertilisasi sudah terbentuk sel kromosom. Apabila diberi hormon testosteron dari luar, maka hormon ini akan merangsang hormon endogen mensintesis steroid untuk pertumbuhan dan perkembangan gonad secara fungsional (Dunham, 2004). Demikian juga otak dipengaruhi oleh hormon
19
eksogen ini, yang memberi perintah kepada poros aksis hipotalo-hipofisagonad (Dunham, 2004).
Aplikasi hormon untuk sex reversal pada organisme akuatik dapat dilakukan melalui penyuntikan, perendaman dan oral (melalui pakan). Cara pemilihan harus didasarkan pada efektivitas, efisiensi, palatabilitas, kemungkinan polusi dan biaya. Pada lobster air tawar, teknik yang sering dipakai adalah oral. Metode oral dilakukan dengan pemberian hormon melalui pakan. Teknik ini dilakukan dengan menyemprotkan hormon pada pakan lobster, kemudian pakan diberikan pada lobster selama waktu tertentu (Zairin, 2002).
Penelitian sebelumnya pemberian 17α metiltestosteron dengan dosis 50 mg/kg pakan efektif untuk meningkatkan persentase jantan pada Cherax sebesar 59,96 dengan lama perlakuan 30 hari (Carman et al., 2008). Sedangkan perlakuan pemberian hormon teripang pasir pada perlakuan 400 mg/kg pakan memperoleh persentase jantan yang optimal sebesar 65.13% yang diberikan pada ikan gappy dengan lama perlakuan 12 hari (Emilda, 2015).
Hormon yang diberikan melalui pakan, diduga banyak hilang karena terlarut dalam air. Hal ini terjadi karena biasanya tidak semua lobster langsung memakan pakan yang diberikan. Akibatnya jumlah hormon yang masuk ke dalam tubuh lobster akan berkurang, sehingga efektifitas hormon dalam mempengaruhi diferensiasi kelamin menjadi berkurang.
20
Menurut Gale et al. (1999) hormon yang diberikan lewat pakan membutuhkan waktu dan jumlah yang cukup untuk mempengaruhi diferensiasi kelamin embrio. Hal serupa dinyatakan oleh Pandian dan Sheela (1995) bahwa steroid yang diberikan lewat pakan akan banyak terlarut dalam air dan mengalami degradasi pada saluran pencernaan, sehingga aktifitas hormon menurun. Fitzpatrick et al. (1996) menyatakan bahwa pemberian hormon secara oral menyebabkan pengaruh yang berbeda pada setiap ikan, karena tergantung pada ukuran tubuh dan kebiasaan makan secara alami pada ikan.
Piferrer (2001) menyatakan bahwa perlakuan dosis hormon sangat terkait dengan lama perlakuan. Jika menggunakan dosis yang rendah maka lama perlakuannya diperpanjang untuk menghasilkan sex reversal yang optimal. Akan tetapi dosis hormon yang terlalu tinggi dan masa perlakuan yang panjang dapat menyebabkan sterilisasi dan efek paradoks (Chatain et al., 1999).
2.7 Metode Sex Reversal Melalui Suhu Air yang Berbeda
Salah satu strategi budidaya yang dapat dikembangkan dalam rangka efisiensi produksi, khususnya untuk jenis ikan hias yang nilai jual jantannya lebih tinggi dari pada betina adalah dengan mengupayakan pengembangan teknologi produksi jantan monoseks secara masal. Proses pengarahan jenis kelamin dapat dilakukan dengan manipulasi suhu lingkungan. Suhu
21
merupakan faktor yang dapat mempengaruhi kecepatan reaksi kimia dalam tubuh seperti laju metabolisme (Liana, 2007).
Arfah et al. (2005) menyatakan bahwa proporsi jantan pada ikan gappy dan medaka lebih tinggi dibandingkan betina pada musim panas di daerah temperate (sedang) beriklim empat, sehingga faktor lingkungan (suhu) dapat mempengaruhi alih kelamin.
Metode dengan peningkatan suhu air (manipulasi lingkungan) memiliki kekurangan yakni tingkat kelangsungan hidup ikan rendah, apabila suhu air ditingkatkan sampai suhu mematikan. Kisaran suhu optimal dalam budidaya lobster air tawar yaitu 20–24 °C (Jones, 1995).
Oleh karena itu perlu dilakukan manipulasi lingkungan dengan pemberian suhu yang optimal yang dapat mempengaruhi laju metabolisme tubuh lobster air tawar, sehingga masa sensitivitas gonad terhadap stimulasi hormon berjalan baik. Sebaliknya apabila suhu terlalu rendah akan menyebabkan sensitivitas gonad terhadap stimulasi hormon berjalan lambat, sehingga berdampak pada jumlah individu jantan yang dihasilkan akan menurun.
22
III. METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan selama 50 hari pada bulan Oktober hingga November 2016, bertempat di laboratorium penelitian biologi akuatik, gedung MIPA Terpadu, Fakultas MIPA Universitas Lampung.
3.2 Alat dan Bahan Penelitian
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian sebagai berikut: akuarium ukuran 50x50x40 cm10 buah, akuarium 20x50x40 cm 12 buah, aerator kapasitas 41/menit 2 buah, shelter pipa paralon 0,5 inch 300 buah, batu aerasi16 buah, selang aerasi 20 m, heater 75 watt sebanyak 12 buah, selang penyedot kotoran 10 m, test kit (pH, KH, GH), termometer, DO meter, timbangan digital, penggaris, ember plastik volume 22 liter, semprotan, skop net 2 buah, juvenil lobster air tawar ukuran panjang 2- 2,5 cm sebanyak 300 ekor, alkohol 70%, teripang kering (ekstrak) 5x100g, hormon 17α metiltestosteron 100 mg, pakan lobster tenggelam dengan kandungan protein 39-40%, etanol 2,5 liter, aquades 1 liter dan dietileter 1 liter.
23
3.3 Desain Penelitian
Penelitian ini disusun dengan menggunakan Metode Rancangan Acak Lengkap Faktorial, yang terdiri dari faktor suhu 2 taraf (suhu 27°C dan 31°C) dan faktor hormon 2 taraf (steroid teripang pasir dan 17α metiltestosteron) dengan masing-masing faktor terdapat kontrol, sehingga terdapat 6 perlakuan dimana tiap perlakuan diulang sebanyak tiga kali. Perlakuan tersebut adalah sebagai berikut : a.
KT 27. Pemeliharaan lobster air tawar tanpa menggunakan hormon dengan suhu media pemeliharaan 27ºC (kontrol)
b.
KT 31. Pemeliharaan lobster air tawar tanpa menggunakan hormon dengan suhu media pemeliharaan 31ºC (kontrol)
c.
ST 27. Pemeliharaan lobster air tawar menggunakan hormon steroid teripang pasir 50 mg/kg pakan dengan suhu media pemeliharaan 27ºC
d.
ST 31. Pemeliharaan lobster air tawar menggunakan hormon steroid teripang pasir 50 mg/ kg pakan dengan suhu media pemeliharaan 31ºC
e.
MT 27. Pemeliharaan lobster air tawar menggunakan hormon 17α metiltestosteron 50 mg/ kg pakan dengan suhu media pemeliharaan 27ºC
f.
MT 31. Pemeliharaan lobster air tawar menggunakan hormon 17α metiltestosteron 50 mg/ kg pakan dengan suhu media pemeliharaan 31ºC
24
Tata letak unit penelitian terdapat pada Gambar 4. Penempatan setiap satuan percobaan dilakukan secara acak.
KT.31.1
ST.27.1
MT.31.3
ST.27.3
KT.27.2
KT.27.3
MT.27.2
KT.27.1
MT.31.1
MT.27.1
MT.27.3
KT.31.3
ST.31.3
ST.31.1
KT.31.3
MT.31.2
ST.31.2
ST.27.2
Gambar 4. Penempatan wadah pemeliharaan selama penelitian.
3.4 Prosedur Penelitian
3.4.1 Persiapan wadah pemeliharaan benih Wadah pemeliharaan meliputi bak plastik untuk pemeliharaan benih bervolume 22 liter yang terlebih dahulu harus disuci hamakan dengan kaporit (CaOCl) 10 mg/l. Dibilas dengan air steril dan kemudian bak dijemur hingga kering selama 24 jam dan baru digunakan.
3.4.2 Pengisian air wadah pemeliharaan Pengisian air bak bervolume 22 liter untuk pemeliharaan benih dilakukan setelah pengeringan, air yang digunakan berasal dari sumur bor salinitas 0 ppt. Bak pemeliharaan disi air dengan ketinggian 5-7 cm dan diendapkan selama 2-3 hari.
25
3.4.3 Pembuatan hormon ekstrak steroid teripang 1.
Pengeluaran dan pemisahan jeroan teripang dari daging teripang diikuti pengawetan sementara dalam freezer suhu 4°C.
2.
Ekstraksi lemak teripang dengan maserasi pada jeroan teripang dengan pelarut etanol menggunakan cara refluks dengan perbandingan bahan dan pelarut = 1:2 (berat/volume) pada suhu 40°-50° (selama 3-4 jam atau hingga pelarut habis).
3.
Sentrifugasi hasil ekstrak pada kecepatan 3000 rpm selama 15 menit (suhu 4°C).
4.
Supernatan hasil sentrifugasi dievaporasi dengan rotary vacuum evaporator hingga seluruh pelarut menguap (suhu 55°C).
5.
Supernatan hasil sentrifugasi dicampur dengan 50 ml KOH 1 M dan direfluks kembali dalam suhu 70°C selama 1 jam, kemudian campuran hasil refluks didinginkan dengan penambahan akuades sebanyak 100 ml.
6.
Campuran refluks dimasukkan ke dalam tabung pemisah dan disabunkan dengan dietil eter sebanyak 100 ml, kemudian dikocok dan diendapkan hingga diperoleh supernatan dan residu. Residu dipisah dan disabunkan kembali dengan cara yang sama hingga diperoleh supernatant kedua dan ketiga.
7.
Semua supernatan yang diperoleh digabungkan, dimasukkan ke dalam corong untuk dicuci dengan aquades 40 ml sebanyak 3 kali
26
8.
Residu yang diperoleh dipisahkan dan ditambah KOH 0,5 M 40 ml dan 1 tetes phenol ptalin (pp), kemudian dikocok dan didiamkan hingga terbentuk dua fasa.
9.
Dua fasa yang terbentuk dipisah, kemudian supernatan yang diperoleh ditambahkan 40 ml aquades, dikocok dan didiamkan kembali hingga terbentuk dua fasa, lalu dipisahkan kembali.
10. Supernatan ditambah KOH 0,5 M 40 ml, dikocok dan didiamkan
kembali hingga terbentuk dua fasa, lalu dipisahkan kembali 11. Supernatan dicuci dengan aquades hingga tidak terbentuk lagi
warna merah muda jika ditambahkan indikator phenol ptalin (pp). 12. Larutan yang diperoleh kemudian dievaporasi dengan rotary
vacuum evaporator hingga seluruh pelarut menguap (suhu 55° C). 13. Ekstrak steroid asal teripang pasir diperoleh dan siap digunakan.
3.4.4 Pencampuran hormon steroid dalam pakan Perlakuan dengan pakan berhormon dilakukan dengan mencampurkan hormon dalam pakan pelet (buatan) berjenis tenggelam yang berasal dari Gemma Farm (Klaten) dengan kandungan protein 40%, air 12%, lemak 6% dan serat 3%. Pakan berhormon dibuat dengan dosis 50 mg /kg pakan steroid ekstrak teripang pasir dan 50 mg /kg pakan hormon 17α-metiltestosteron. Adapun cara pembuatan pakan berhormon sebagai berikut : 1.
Menimbang 50 mg steroid ekstrak teripang pasir dan hormon 17α metiltestosteron
27
2.
Hormon steroid dilarutkan dalam 250 ml alkohol 70% untuk satu kilogram pakan
3.
Memasukkan hormon steroid dalam alat penyemprot
4.
Larutan hormon steroid disemprotkan pada pakan secara merata
5.
Mengaduk dan kering udarakan selama 24 jam sampai alkohol menguap
6.
Menyimpan pakan dalam wadah tertutup.
3.5 Pelaksanan Penelitian
3.5.1 Persiapan wadah pemeliharaan benih Wadah pemelihaaraan benih menggunakan bak plastik bervolume 22 liter dengan diameter 50x50x30 cm. Sebelum digunakan bak dibersihkan dan direndam menggunakan kaporit (CaOCl) 10 mg/l, untuk mensterilkan. Bak pemeliharaan diberi label sesuai dengan rancangan penempatan penelitian. Bak pemeliharaan diisi air dengan ketinggian 5-7 cm dan diberi aerasi pada setiap bak pemeliharaan dan selanjutnya pengaturan suhu air dengan heater.
3.5.2 Persiapan lobster uji Juvenil lobster yang akan digunakan pada penelitian berumur ± 2-3 minggu atau berukuran panjang tubuh 2- 2,5 cm sebanyak 300 ekor yang berasal dari Gemma Farm (Klaten). Juvenil yang digunakan secara morfologis dalam kondisi sehat serta memiliki kelengkapan organ tubuh yang sempurna dan diambil dari induk yang telah terseleksi
28
baik. Sebelum dimasukkan ke dalam bak pemeliharaan, juvenil terlebih dahulu ditimbang untuk mengetahui berat awal (Wo), kemudian benih diaklimasi sebelum dilepaskan di dalam bak pemeliharaan.
3.5.3 Pemeliharaan lobster uji Pemeliharaan benih lobster dilakukan selama 50 hari sampai dapat dibedakan jenis kelaminnya. Benih lobster yang digunakan adalah benih berukuran 2- 2,5 cm berumur ± 2-3 minggu. Selanjutnya benih dimasukkan ke dalam bak pemeliharaan berukuran 50x50x30cm dengan kepadatan 20 ekor/wadah. Perlakuan dilakukan dengan pemberian pakan yang mengandung hormon dari ekstrak teripang pasir dan 17α-metiltestosteron dengan dosis 50 mg/ kg pakan diikuti dengan pengaturan suhu air sebesar 27°C dan 31°C. Pemberian pakan hormon dilakukan selama 40 hari kemudian 10 hari diberikan pakan tanpa hormon. Untuk pengaturan pemberian jumlah pakan sebanyak 8% dari bobot total juvenil lobster. Frekuensi pemberian pakan 2 kali sehari yaitu pagi pukul 09.00 dan sore hari pukul 17.00.
3.5.4 Metode pengambilan sampel pertumbuhan panjang dan bobot Pengambilan sampel pertumbuhan panjang dan bobot lobster dilakukan setiap 10 hari sebanyak 40% dari 20 ekor dari tiap-tiap perlakuan. Pengukuran panjang total menggunakan penggaris plastik dan penimbangan bobot total lobster menggunakan timbangan digital.
29
3.5.5 Manajemen kualitas air Pergantian air sebanyak 30-40% dilakukan setiap 3 hari dengan membuang air dasar atau kotoran yang mengendap setelah itu ditambahkan air baru yang telah diendapkan hingga ketinggian air seperti semula.
3.5.6 Pengukuran kualitas air Air merupakan faktor penting dalam keberhasilan pemeliharaan larva lobster air tawar. Oleh karena itu perlu dilakukan pengumpulan data kualitas air meliputi suhu, DO, pH dan kesadahan. Pengamatan suhu media pemeliharaan larva dilakukan setiap hari. Pengamatan DO dan pH dilakukan setiap 3 hari. Suhu diukur dengan thermometer, DO diukur dengan DO meter, pH diukur dengan pH meter. Data yang didapat dibuat grafik dan tabel sebagai data pendukung penelitian.
3.6 Pengambilan Data
3.6.1 Panjang total Panjang total adalah perubahan panjang rata-rata individu pada tiap perlakuan dari awal hingga akhir pemeliharaan. Panjang total (cm) ditentukan berdasarkan selisih panjang akhir (Lt) dengan panjang awal (Lo) pemeliharaan.
30
Panjang total dihitung berdasarkan rumus Effendi (2004) sebagai berikut : L = Lt - Lo Keterangan : L
= Pertumbuhan panjang total (cm)
Lt = Panjang rata-rata akhir (cm) Lo = Panjang rata-rata awal (cm)
3.6.2 Pertambahan bobot harian Pertambahan bobot harian dihitung dengan menggunakan rumus (Effendie, 2004).
GR
Wt Wo t
Keterangan : GR : Laju pertumbuhan harian (g/hari) Wt : Bobot rata-rata ikan pada hari ke-t (g) Wo : Bobot rata-rata ikan pada hari ke-0 (g) t
: Waktu pemeliharaan (hari)
3.6.3 Biomassa Pertumbuhan biomassa akhir adalah selisih antara bobot basah pada akhir penelitian dengan bobot basah pada awal penelitian. Menurut Effendie (2004) rumus mencari biomassa adalah:
31
∆ W = Wt – Wo
Keterangan : W = Biomassa (gram) Wt = Biomassa pada akhir penelitian (gram) Wo = Biomassa pada awal penelitian (gram)
3.6.4 Kelulushidupan Tingkat kelulushidupan populasi merupakan nilai persentase jumlah individu/ lobster yang berpeluang hidup selama masa pemeliharaan tertentu untuk menentukan produksi yang akan diperoleh (Najayati, 1992).
Kelulushidupan lobster dihitung sesuai Effendie (2004): Nt SR =
x 100% No
Keterangan: SR = Kelulushidupan lobster uji (%) Nt = Jumlah lobster uji pada akhir penelitian (ekor). No = Jumlah lobster uji pada awal penelitian (ekor)
3.6.5 Konversi pakan Konversi pakan merupakan banyaknya pakan yang harus diberikan kepada ikan agar menghasilkan pertambahan bobot 1 kg (Effendi,
32
2004). Konversi pakan merupakan indikator untuk menentukan efektivitas penggunaan pakan dan evaluasi kualitas pakan.
Perbandingan konversi pakan dihitung berdasarkan Effendi (2004):
FCR =
F (Wt+D) – Wo
Keterangan : FCR = Perbandingan konversi pakan F
= Jumlah pakan yang diberikan selama pemeliharan (kg)
Wt = Bobot ikan saat akhir pemeliharaan (kg) D
= Bobot ikan yang mati selama pemeliharaan (kg)
Wo = Bobot saat awal pemeliharaan (kg)
3.6.6 Keberhasilan pembentukan jenis kelamin Pengamatan jenis kelamin dilakukan pada akhir penelitian. Nisbah kelamin dihitung dengan membagi antar jumlah salah satu jenis kelamin dibagi dengan jumlah total lobster yang hidup hingga akhir percobaan dikali dengan 100 % diukur dengan menggunakan rumus:
J (%) = Jumlah lobster jantan x 100% Jumlah lobster sampel B (%) = Jumlah lobster betina x 100% Jumlah lobster sampel I (%) = Jumlah ikan interseks x 100% Jumlah lobster sampel
33
3.7 Analisis Data
Data yang diperoleh dari penelitian ini antara lain pertumbuhan panjang total, laju pertumbuhan bobot harian, biomassa, kelulushidupan, konversi pakan dan keberhasilan pembentukan jenis kelamin. Data yang diperoleh kemudian dianalisis menggunakan analisis ragam, jika terdapat perbedaan yang nyata maka dilanjutkan dengan uji BNT (Beda Nyata Terkecil) dengan taraf 5% menggunakan program SPSS 19.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan : 1. Pemberian hormon steroid teripang pasir dan 17α metiltestosteron 50 mg/kg pakan terhadap pembalikan kelamin (sex reversal) menuju individu jantan pada LAT (Cherax quadricarinatus) memiliki persentase tertinggi pada suhu 27°C yaitu 75,16% dan 73,79% 2. Pemberian hormon steroid teripang pasir lebih efektif dalam pembalikan kelamin (sex reversal) menuju individu jantan pada LAT (Cherax quadricarinatus) jika dibandingkan dengan 17α metiltestosteron baik pada suhu 27°C maupun 31°C yaitu 75,16% dan 62,5%
5.2 Saran
1. Hormon steroid teripang (Holothuria scabra) terbukt cukup efektif dalam pembalikan kelamin (sex reversal), sehingga perlu adanya penelitian mengenai jenis-jenis teripang lain yang berpotensi menghasilkan hormon steroid untuk pembalikan kelamin (sex reversal). 2. Perlu dilakukan budidaya teripang pasir (Holothuria scabra) untuk memperoleh sumber hormon steroid yang lebih mudah.
71
DAFTAR PUSTAKA
Anthony JC, Anthony TG, Layman DK. (1999). Leucine supplementation enchance skeleton muscles recovery in rats following exercise. The Journal of Nutrition 129: 1102-1106. Arfah H, Mariam S, Alimuddin. (2005). Pengaruh suhu terhadap reproduksi dan nisbah kelamin ikan gapi Poecilia reticulata. Jurnal Akuakultur Indonesia 4: 1–4. Arfah H. (2008). Efektivitas madu terhadap pengarahan kelamin ikan gapi Poecilia reticulata. Jurnal Akuakultur Indonesia 6: 155-160. Arifin, M.Z. (1991). Budidaya Lele. Dohara prize. Semarang. Arisandi. (2007). Efektivitas ekstrak steroid teripang untuk memanipulasi kelamin udang galah (tesis). Bogor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Ayuningtyas. (2005). Alih kelamin jantan ikan nila menggunakan 17α metiltestosteron melalui pakan dan peningkatan suhu. Jurnal Akuakultur Indonesia 14: 159–163. Barrett, G.M., Bardi, M., Guillen, A.K.Z., Mori, A., and Shimizu, K. (2005). Regulation of Sexual Behaviour in Male Macaques by Sex Steroid Modulation of the Serotonergic System. Experimental Physiology 91(2): 445-456. Brotowijoyo, M. D., Dj. Tribawono., E. Mulbyantoro. (1995).Pengantar Lingkungan Perairan dan Budidaya Air. Penerbit Liberty, Yogyakarta. Carman O, Jamal MY, Alimuddin. (2008). Pemberian 17α-metiltestosteron melalui pakan meningkatkan persentase kelamin jantan lobster air tawar Cherax quadricarinatus. Jurnal Akuakultur Indonesia 7: 25–32. Chatain B, E Saillant dan S Peruzzi. (1999). Production of monosex male populations of European seabass, Dicentrarchus labrax L. by use of the synthetic androgen 17-methyldehydrotestosterone. Aquaculture, 178: 225234.
72
Craig CR, Stitzel RE. (1997). Modern pharmacology with clinical application. Boston: Little Brown and Company. Curtis M.C. and C.M. Jones. (1995). Observations on monosex culture of redclaw crayfish Cherax quadricarinatus Von Martens (Decapoda: Parastacidae) in earthern ponds. J. World Aquaculture Soc. 26: 154-158. Dewi, K.H. (2008). Kajian ekstraksi steroid teripang pasir (Holothuria scabra J.) sebagai sumber testosteron alami [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Dharmananda S (2003). Gallnuts and the uses of tannins in Chinese medicine. A paper Delivered at the Institute for Traditional Medicine, Portland, Oregon. Donaldson ED, Benfey TJ. (1987). Current status of induced sex manipulation. Di dalam : Reproductive physiology of fish. Proceeding of Third International Symposium. St. John's, Newfounland, p. 108-119. Dunham, R.A. (2004). Aquaculture and Fisheries Biotechnology: Genetic Approaches. Department of Fisheries and Applied Aquacultures. Auburn University Alabama. USA. CABI Publishing. Edgerton, B.F. (2005). Freshwater crayfish production for poverty alleviation. World Aquaculture 36: 48-64. Effendi, I. (2004). Pengantar Akuakultur. Jakarta : Penebar Swadaya. Effendi. (2003). Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta. El-Fotoh Abou EM, Ayyat MS, Abd El Rahman GA, Farag ME. (2014). Mono sex male production in Nile tilapia Oreochromis niloticus using different water temperatures. Journal of Agricultural Research 41: 1–9. Emilda. (2015). Pemanfaatan ekstrak steroid asal jeroan teripang untuk sex reversal pada ikan gapi. Faktor Exacta vol.5. no 4: 336-349. Fitzpatrick MS, CB Schreck and WL Gale. (1996). Masculinization of tilapia through immersion in 17α-methyltestosterone or 17α-methyldihydro testosterone. Aquaculture Collaborative Research Support Program, Oregon State University, USA. Fulierton DS. (1980). Steroid dan senyawa terapetik sejenis. Buku teks Wilson dan Gisvold. Kimia farmasi dan medicinal organik. Editor: Doerge RF. Edisi VIII, bagian II. J.B. Lippincott Company. Philadelphia-Toronto. USA. Hal.675-754.
73
Gale WL, MS Fitzpatrick, M Lucero, WMC Sanchez and CB Schreck. (1999). Masculinization of nile tilapia (Oreochromis niloticus) by immersion in androgens. Aquaculture, 178: 349-357. Goddard,S. (1996). Feed Management Intensive Aquaculture. Chapman and Hall. New York. 194 hlm. Hadie, W. dan Hadie, L. E. 2001. Tinjauan tingkah laku reproduski udang galah. Di dalam: Prosiding Workshop Hasil Penelitian Budidaya Udang Galah. Pusat Riset Perikanan Budidaya hlm 56-53. Handajani, H. (2006). Pengujian Hormon Metiltestosteron Terhadap Keberhasilan Monosex Jantan Ikan Gurami (Osphronemus gouramy). Jurnal Protein Fakultas Peternakan-Perikanan UMM, Vol. 13 No. 1 Malang. Huberman, A. (2000). Shrimp Endocrinology. A review. Aquaculture. 191 : 191208. Harper, J dan G. Jeffrey. (2008). Morphologic effects of the Stress response in fish. ILAR Journal 50(4):387-396. Holdich DM and Lowery RS. (1988). Freshwater crayfish: biology management, and exploitation. London: Croom Helms Homklin S, Wattanodorn T, Ong SK, Limpiyakorn T (2009) Biodegradation of 17alpha-methyltestosterone and isolation of MT-degrading bacterium from sediment of Nile tilapia masculinization pond. Water Sci Technol 59(2):261–265. Iskandar. (2003). Budidaya Lobster Air Tawar. Jurnal Akuakultur Indonesia 4:14. Jones, C.M. (1995). Production of juvenile redclaw crayfish, Cherax quadricarinatus (von Martens) (Decapoda, Parastacidae). I. Development of hatchery and nursery procedures. Aquaculture 138: 221-238. Karplus, I., A. Sagi, I. Khalaila & A. Barki. (2003). The soft red patch of the Australian freshwater crayfish Cherax quadricarinatus (von Martens): a review and prospects for future research. J. Zool. Lond. 259: 375-379. Kuhl AJ and Brouwer. (2005). Antiestrogen inhibit xenoestrogen-induced brain aromatase activity but not prevent xenoestrogen-induced feminization in Japanese Medaka (Oryzias latipes). Environmental Health Perspectives Vol. 114/4.
74
Kusmini, I. I., L. E. Hadie, dan N. Rukminasari. (2001). Pengaruh dosis hormon 17α- metiltestosteron dalam pakan terhadap peningkatan proporsi kelamin jantan larva udang galah (Macrobrachium rosenbergii). Prosiding workshop hasil penelitian budidaya udang galah. Jakarta. 16 Juli. Hal.: 103 – 106. Kustiariah. (2006). Isolasi dan Uji Aktivitas Biologis Senyawa Steroid dari Teripang sebagai Aprodisiaka Alami (Thesis). Bogor : Sekolah Pascasarjana, IPB. Law, A.T., Wong, Y.H., and Munafi, A.B.A. (2002). Effect of Hydrogen Ion on Macrobrachium rosenbergii (de Man) Egg Hatchability in Brackish Water. Aquaculture 214 : 247 – 251. Liana YP. (2007). Efektivitas aromatase inhibitor yang diberikan melalui pakan buatan terhadap sex reversal ikan nila merah Oreochromis sp. Jurnal Sumberdaya Perairan 2: 1–7. Masduki, E. (2010). Sex Reversal. SUPM Negeri Bone. Sulawesi Selatan. Mukti, A.T., Priambodo, B., Rustidja, dan Widodo, M.S., (2002). Optimalisasi Dosis Hormon Sintetis 17 α-Metiltestosteron dan Lama Perendaman Larva Ikan Nila (Oreochromis spp.) Terhadap Keberhasilan Perubahan Jenis Kelamin. http://digilib.brawijaya.ac.id/virtuallibrary/mlgserial/Pdf% 20Material/Biosain%20Edisi%20. diakses pada tanggal 15 April 2005. Murray, A.P., Muniain, C., Seldes, A.M., and Maier, M. (2001). Patagonicoside A : a Novel Antifungal Disulfated Triterpene glycoside from the Sea Cucumber Psolus patagonicus. Tetrahedron 57: 9563-9568. Najayati http://www.ristek.go.id/ ati, S. (1992). Memelihara Lele Dumbo di Kolam Taman. Penebar Swadaya. Jakarta. Nurjanah S. (2008). Identifikasi steroid teripang pasir (Holohturia scabra) dan Bioassay produk teripang sebagai sumber aprodisiak alami dalam upaya peningkatan nilai tambah teripang. Disertasi. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Pakarainen, T., Zhang, F.P., Makela, S., Poutanen, M., and Huhtaniemi, I.. (2005). Testosterone Replacement Therapy Induces Spermatogenesis and Partially Restores Fertility in Luteinizing Hormone Receptor Knockout Mice. Endocrinology 146(2): 596-606. Pandian TJ and SG Sheela. (1995). Hormonal induction of sex reversal in fish. Aquaculture, 138: 1-22.
75
Pandit NP, and Nakamura M. (2010). Effect of high temperature on survival, growth, and feed conversion ratio of nile tilapia, Oreochromis niloticus. Our Nature 8: 219-224. Patino, R.,K.B. Davis, J. E. Schoore, C. Uguz, C. A. Strussmann, N. C. Parker, B. A. Simco and C. A Goudie. (1996), Sex differentiation of channel catfish gonads: Normal development and effects of temperature. Journal of Experimental Zoology. 276:209–218 Piferrer, F. (2001). Endocrine Sex Control Strategis For Feminization Of Teleosts Fish. Aquaculture. 197: 229 – 281. Pranoto, E.N., Widodo, F.M., dan Delianis P. (2012). Kajian Aktivitas Bioaktif Ekstrak Teripang Pasir (Holothuria scabra) Terhadap Jamur Candida albicans. Jurnal Pengolahan dan Bioteknologi Hasil Perikanan. 1(1): 1-8. Quackenbush, L. S. (1991). Regulation of Vitellogenesis in Penaeid Shrimp. Frontiers of shrimp research. Edited by: DeLoach, P. F, Dougherty, W.J, Davidson, M.A. Elsevier. USA. Pp. 125 – 140. Riani, Etty, Khaswar Syamsu dan Kaseno. (2008). Pemanfaatan Steroid Teripang Sebagai Aprodisiaka Alami dan untuk Pegembangan Budidaya Perikanan. Laporam Eksekutif Hibah Penelitian Pascasarjana HPTP. ITB. Riani E, K Syamsu., Kaseno, S Nurjanah dan Kurnia. (2005). Pemanfaatan Steroid Teripang Sebagai Aprosidiaka Alami. Laporan Hibah Penelitian Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Robbins, A. (1996). Androgens and Male Sexual Behavior. Trends Endoclinol Metab 7:345-359. Rougeot, C., Jacobs, B., Kestemont, P., and Melard, C. (2002). Sex Control and Sex Determinism Study in Eurasian Perch Perca fluviatilis, by Use of Hormonally Sex-Reversed Male Breeders. Aquaculture 211: 81 – 89 Ridzwan, B.H., Kaswandi, M., Azman, Y., and Fuad, M. (2003). Screening for antibacterial agents in three species of sea cucumbers from coastal areas of Sabah. General Farmakology Vol 26. No 7 p.1539–1543. Sagi, A., E. Snir & I. Khalaila. (1997). Sexual differentiation in decapod crustaceans: role of the androgenic gland. Invert. Reprod. Develop. 31: 5561.
76
Sarida, M. (2008). Efektifitas Ekstrak Steroid Teripang Pasir (Holothuria scabra) Dalam Produksi Udang Galah (Macrobrachium rosenbergii De Man) Jantan. Jurusan Perikanan Fakultas Perikanan Universitas Lampung. Prosiding Seminar Nasional Sains Dan Teknologi–II 2008 Universitas Lampung, 17-18 November 2008. Hlm 197-208. Setyohadi, D., Wiadnya, G.D.R., dan Soemarno. (2001). Pengaruh Aerasi dan Resirkulasi Bio – Filter Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Udang Galah, Macrobrachium rosenbergii (de Man). Biosain, vol.1, No. 1, April 2001. Hal. 39 – 46. Shephered CJ dan NJ Bromage. (1988). Intensive fish farming. BPS profesional books. Oxford London Edinburgh Boston Melbourne. Sucipto, A., S. Hanif, D. Junaedi, dan T. Yuniarti. (2004). Breeding Program Produksi Nila Kelamin Jantan di Balai Budidaya Air Tawar (BBAT) Sukabumi, Jawa Barat. http://defishery. files.wordpress.com/2009/11/hibridasi-ikan-nila-bbat-sukabumi.pdf. Sugama, K. (2006). Perbaikan mutu genetik ikan untuk mendukung pengembangan perikanan budidaya. Perbaikan pertumbuhan ikan nila dengan seleksi famili (Rudhy Gustiano) pengukuhan professor riset, bidang perikanan budidaya, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan. 77 pp. Sumantadinata, K dan Carman, O. (1995). Teknologi Ginogenesis dan Seks Reversal dalam Pemuliaan Ikan. Buletin Ilmiah Gukuryoju, Volume I. Hal.11-18 Susanto dan Supono, (2012). Efektifitas Penggunaan Ekstrak Steroid Teripang Dalam Sex Reversal Menuju Produksi Massal Lobster Air Tawar (Cherax quadricarinatus). Laporan Akhir Penelitian Hibah Bersaing 2011-2012, Kemendiknas. Triajie H. (2008). Efektifitas ekstrak teripang pasir yang telah diformulasikan terhadap maskulinisasi udang galah (Macrobrachium rosenbergii) (tesis). Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Tytler, P. and P. Calow. (1985). Fish Energetics: New Perspetives. Croom Helm Ltd, Sydney, Australia. 394 p. Wibowo S, Yunizal, Setiabudi E, Erlina MD, Tazwir. (1997). Teknologi Penanganan dan Pengolahan Teripang (Holothuridea). Jakarta: IPPL Slipi.
77
Wichins, J.F. and Lee, D.O.C. (2002). Crustacean Farming (Raching and Culture). Iowa State University Press. Blackwell Science Company. USA. 446 pp. Widha W. (2003). Beberapa Aspek Biologi Reproduksi Lobster Air Tawar Jenis Red Claw (Cherax quadricarinatus, Von Martens; Crustacea; Parastacidae). Tesis. Sekolah Pascasarjana. IPB, Bogor. Zairin, M. Jr. (2002). Sex Reversal, Memproduksi Benih Ikan Jantan atau Betina. Penebar Swadaya. Jakarta. 88 hal. Zairin, M. Jr. (2003). Endokrinologi dan Peranannya Bagi Masa Depan Perikanan Indonesia. Orasi Ilmiah Pengukuhan Guru Besar Tetap Ilmu Fisiologi Reproduksi dan Endokrinologi Hewan Air. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Zairin, M. Jr. (2004). Sex Reversal : Memproduksi Benih Ikan Jantan Atau Betina. Penebar Swadaya. Jakarta.