KAJIAN EKSTRAKSI STEROID TERIPANG PASIR (Holothuria scabra ) SEBAGAI SUMBER TESTOSTERON ALAMI
KURNIA HARLINA DEWI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
9
SURAT PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi dengan judul : “KAJIAN EKSTRAKSI
STEROID TERIPANG PASIR (Holothuria scabra J)
SEBAGAI SUMBER TESTOSTERON ALAMI “ adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Disertasi ini.
Bogor, Agustus 2008
Kurnia Harlina Dewi NIM F361030031
10
ABSTRACT Kurnia Harlina Dewi. Study on the extraction of steroid from sandfish (Holothuria scabra) as natural testosterone. Under the supervision of Tun Tedja Irawadi, Wan Ramli Wan Daud, Etty Riani and Khaswar Syamsu. Sandfish has a potency as a source of the steroid hormones. The research aimed to study the extraction methods (conventional methods : maceration, soxhlet and refluxs) and Supercritical Fluids Extraction (SFE) in order to find the best method of testosterone extraction. The study used experimental design and descriptive analysis. Solvent selected for sandfish extraction consists of acetone, methanol, methanol: chloroform (1:2 v/v) and chloroform. The material solvent ratio was 1:1, 1:2 and 1:3 w/v, respectively. Effects of temperature (40o, 50o and 60oC) and time (0, 30, 60, 90, 120, 150, 180, 210 and 240 minute) on scaled-up of refluxs extraction were studied. The treatments for extraction of sandfish testosterone using SFE were at temperature levels (40, 50 and 60oC) and pressure levels (23, 25 and 27 MPa), ratio of flow rate SFE : co-solvent (2,7:0,3, 2,5:0,5 dan 2:1 ml/minute). Identification of testosterone consists of qualitative analysis (color test, thin layer chromatography/TLC and FT-IR) and quantitative analysis (spectrophotometer and HPLC) The highest yield in maceration was obtained by using acetone at ratio of 1:3 (w/v), i.e. 0, 077 mg/100 g (dry basis), while in soxhlet extraction the highest yield was obtained by using methanol chloroform solvent at ratio of 1:3 (w/v) i.e. 0,622 mg/100 g (dry basis) and in refluxs extraction the highest yield was obtained by using methanol chloroform at ratio 1:2 v/v i.e. 7,614 mg/100 g (dry basis). The effects of temperature on refluxs extraction at scale of 3000 ml, showed that the extraction yield of testosterone increases with the increasing of temperature up to 50oC and above which the value of the extraction yield is not significant. The purity of testosterone increases with the increasing of temperature, but it is not significant. The highest yield of testosterone i.e. 7,905 mg/100 g dry basis at temparature 50oC and the highest purity (0,776%) was obtained at temperature 60oC. The highest yield and the highest purity of testosterone using SFE was obtained at temperature 50oC and pressure 27 MPa i.e. 6,337 mg/100 g dry basis and i.e. 1,899%. The effects of flow rate ratio CO2 : co-solvent, showed that the extraction yield of testosterone increases with the increasing of flow rate ratio, but purity of testosterone increases with the increasing of flow rate ratio up to 2,5:05 ml/minute and above which the purity of testosterone decreases. The highest yield of testosterone i.e. 9,281 mg/100 g dry basis at flow rate ratio CO2 : co-solvent ratio 2:1 ml/ minute and the highest purity (1,176%) was obtained at flow rate ratio CO2 : co-solvent 2,5:0,5 ml/ minute. Qualitative analysis of testosterone (colour test, TLC, FT-IR) and quntitative analysis of testosterone (Spectrophotometer and HPLC) from sandfish showed that sandfish testosterone was similar to standard testosterone (Acros). Keywords : testosterone, maceration, soxhlet, reflux, supercritical fluids extraction.
11
RINGKASAN Kurnia Harlina Dewi. “KAJIAN EKSTRAKSI STEROID TERIPANG PASIR (Holothuria scabra J) SEBAGAI SUMBER TESTOSTERON ALAMI dibawah bimbingan Tun Tedja Irawadi, Wan Ramli Wan Daud, Etty Riani dan Khaswar Syamsu. Teripang yang dikenal sebagai gingseng laut, digemari sebagai makanan kesehatan karena meningkatkan vitalitas (laki-laki), serta berpotensi menjadi sumber testosteron. Testosteron tidak hanya digunakan sebagai obat, tetapi juga digunakan sebagai sex reversal berbagai hewan air yang jenis kelamin jantannya lebih bernilai ekonomis, seperti udang galah, ikan gapi dan berbagai ikan hias lainnya.
Untuk memperoleh testosteron yang tinggi perlu dilakukan upaya
meningkatkan hasil testosteron yang diperoleh dengan melakukan kajian tentang ekstraksi teripang, baik secara konvensional maupun secara Supercritical Fluids Extraction (SFE). Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan metode ekstraksi yang mampu menghasilkan testosteron yang tinggi dari ekstrak teripang. Tujuan penelitian ekstraksi secara konvensional adalah mendapatkan metode, jenis pelarut dan rasio bahan dengan pelarut, suhu ekstraksi dan lama ekstraksi yang tepat. Sedangkan tujuan penelitian ekstraksi secara SFE adalah untuk mendapatkan suhu, tekanan, rasio laju alir co-solvent serta lamanya ekstraksi yang menghasilkan testosteron tertinggi. Penelitian dilakukan secara bertahap yang diawali dengan karakterisasi dan analisis proksimat teripang pasir.
Pemilihan metode ekstraksi secara
konvensional (secara maserasi, soxhlet dan refluks), jenis pelarut (metanol, aseton, metanol kloroform (1:2 v/v) dan kloroform) serta rasio bahan dan pelarut yang digunakan yaitu 1:1, 1:2 dan 1:3 (b/v). Pada ekstraksi secara SFE dilakukan pemilihan suhu (40, 50, 60oC) dan tekanan (23, 25 dan 27 MPa), dilanjutkan dengan penentuan waktu (30, 60, 90, 120, 150, 180, 210 dan 240 menit) dan rasio laju alir metanol kloroform sebagai co-solvent (2,7:0,3, 2,5:0,5 dan 2:1 ml/menit), dengan suhu dan tekanan tertinggi pada SFE (50oC dan 27 MPa).
Analisis
kualitatif dilakukan dengan uji warna dan KLT. Analisis kuantitatif testosteron dilakukan dengan menggunakan Ultra Violet-Visible (UV-Vis) spektrometer dan
12
High Performance Liqiud Chromatography (HPLC). dilakukan dengan
Fourier
Analisis kualitatif juga
Transform-Infra Red (FT-IR). Metode analisis
statistik yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial dan uji lanjut Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) pada tahap pemilihan metode, jenis pelarut dan rasio serta pemilihan suhu dan tekanan pada SFE. Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial
in time (Repeated Measurment Annova) dilakukan
dalam mengkaji pengaruh lama dan suhu pada ekstraksi perkolasi skala 3000 ml serta lama ekstraksi dan rasio laju alir co-solvent pada SFE. Pelarut yang menghasilkan bobot (mg/100 g bk teripang segar) testosteron tertinggi pada ekstraksi secara maserasi adalah aseton (0,077), sedangkan ekstraksi secara soxhlet (0,622) dan reflux (7,614) adalah pelarut campuran metanol kloroform. Rasio bahan dan pelarut yang menghasilkan bobot (mg/100 g bk teripang segar) testosteron tertinggi pada ekstraksi secara maserasi dan soxhlet adalah rasio 1:3, sedangkan ekstraksi secara reflux adalah rasio 1:2. Metode ekstraksi yang menghasilkan testosteron tertinggi adalah metode reflux karena menghasilkan rendemen (mg testosteron/100 g teripang segar) tertinggi (7,614) dibandingkan ekstraksi secara soxhlet (0,622) dan maserasi (0,077) serta menggunakan pelarut lebih sedikit. Ekstraksi secara reflux skala 3000 ml memperlihatkan bahwa suhu yang menghasilkan testosteron tertinggi adalah suhu 50oC. Peningkatan suhu dari 40 ke 50oC meningkatkan bobot testosteron dari 6,349 ke 7,905 mg/100 g bk teripang segar, sedangkan peningkatan suhu selanjutnya tidak menunjukkan perbedaan bobot testosteron yang nyata. Akan tetapi, peningkatan suhu (40, 50 dan 60oC) tidak berpengaruh terhadap persentase testosteron (bobot testosteron/bobot ekstrak kasar) yakni sebesar 0,689, 0,692 dan 0,776%. Waktu yang menghasilkan testosteron tertinggi adalah 180 menit pada semua suhu ekstraksi, peningkatan waktu ekstraksi selanjutnya tidak menunjukkan perbedaan bobot testosteron. Semakin meningkatnya suhu ekstraksi, waktu ekstraksi yang diperlukan semakin singkat (dari 240 menit menjadi 120 menit) untuk menghasilkan bobot testosteron yang sama (6,349 mg/100 g bk teripang segar). Suhu dan tekanan sangat berpengaruh terhadap testosteron yang diperoleh pada hasil ekstraksi secara SFE, yaitu suhu yang menghasilkan bobot (mg/100 g
13
bk teripang segar) dan persentase testosteron tertinggi adalah pada suhu 50o C. Peningkatan suhu dari 40 ke 50oC meningkatkan bobot rata-rata testosteron dari 4,300 ke 5,010 dan persentase testosteron dari 1,298 ke 1,366%. Peningkatan suhu selanjutnya (60oC) menurunkan bobot testosteron menjadi 2,451 dan persentase testosteron menjadi 0,856%. Tekanan yang menghasilkan bobot dan persentase testosteron tertinggi adalah pada tekanan 27 MPa.
Peningkatan
tekanan dari 23 ke 27 MPa meningkatkan bobot testosteron rata-rata dari 3,081 ke 4,881 mg/100 g bk teripang segar dan meningkatkan persentase testosteron dari 0,904 ke 1,615%.
Kondisi ekstraksi yang menghasilkan testosteron tertinggi
adalah pada suhu 50oC dan tekanan 27 MPa (6,337 mg/100 g bk teripang segar). Pengaruh penggunaan co-solvent pada ekstraksi secara SFE menunjukkan bahwa penggunaan co-solvent meningkatkan bobot testosteron yang diperoleh dan mempersingkat waktu ekstraksi.
Rasio laju alir CO2 dan co-solvent yang
menghasilkan testosteron tertinggi adalah rasio 2:1 ml/menit. Peningkatan rasio laju alir CO2 dan co-solvent dari rasio 2,7:0,3 menjadi 2:1 ml/menit meningkatkan bobot testosteron dari 2,194 menjadi 9,281 mg/100 g bk teripang segar. Waktu ekstraksi yang menghasilkan bobot testosteron tertinggi adalah 45 menit. Semakin banyak co-solvent yang digunakan maka waktu ekstraksi yang diperlukan semakin singkat (dari 240 menit menjadi 15 menit) untuk menghasilkan bobot testosteron yang sama (2,194 mg/100 g bk teripang segar).
Semakin lama
ekstraksi, bobot testosteron yang dihasilkan semakin meningkat. Hasil analisis uji warna (warna hijau), waktu retensi pada KLT dan HPLC, panjang gelombang absorbansi testosteron tertinggi pada spektrofotometer UVVis serta terdapat gugus-gugus penciri pada FT-IR yang sama antara testosteron standar dan hasil ekstrak, membuktikan bahwa ekstrak teripang yang dihasilkan mengandung testosteron.
14
@ Hak cipta milik IPB, tahun 2008 Hak cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
15
KAJIAN EKSTRAKSI STEROID TERIPANG PASIR (Holothuria scabra J) SEBAGAI SUMBER TESTOSTERON ALAMI
KURNIA HARLINA DEWI
Disertasi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh gelar Doktor Pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
16
Ujian Tertutup Penguji Luar Komisi
: Prof. Dr. Ir. M. Anwar Nur, MSc.
Ujian Terbuka Penguji Luar Komisi
:
1. Prof. Dr. Ir. A. Aziz Darwis, MSc. 2. Prof. Dr. Hari Eko Irianto
17
Judul Disertasi Nama
: Kajian Ekstraksi Steroid Teripang Pasir (Holothuria scabra ) Sebagai Sumber Testosteron Alami : Kurnia Harlina Dewi
NRP
: F. 361030031
Program Studi
: Teknologi Industri Pertanian Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Tun Tedja Irawadi, MS. Ketua
Dr. Ir. Khaswar Syamsu, MSc. Anggota
Prof. Dr. Ir. Wan Ramli Wan Daud Anggota
Dr. Ir. Etty Riani, MS. Anggota
Ketua Program Studi Teknologi Industri Pertanian
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Dr. Ir. Irawadi Jamaran
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS.
Tanggal ujian : 04 Agustus 2008
Tanggal lulus :
18
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga disertasi ini berhasil diselesaikan dengan baik. Tulisan ini merupakan hasil penelitian yang disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian di Institut Pertanian Bogor.
Penelitian ini merupakan bagian dari
Penelitian Hibah Pasca yang di danai oleh Dikti. Disertasi ini berjudul Kajian Ekstraksi Steroid Teripang Pasir (Holothuria scabra) Sebagai Sumber Testosteron Alami.
Penulis menyadari bahwa
penyelesaian tulisan ini tidak lepas dari bantuan beberapa pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang tulus kepada : 1. Prof. Dr. Ir. Tun Tedja Irawadi, MS, selaku ketua komisi pembimbing, Prof. Dr. Ir. Wan Ramli Wan Daud, Dr. Ir. Khaswar Syamsu dan Dr. Ir. Etty Riani selaku anggota komisi pembimbing atas segala bimbingan dan arahan dengan penuh dedikasi serta dorongan motivasi sehingga penulis dapat menyelesaikan tulisan ini. 2. Prof. Dr. Ir. M. Anwar Nur, MSc (Guru Besar Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, IPB), selaku penguji luar komisi pada ujian tertutup. Prof. Dr. Ir. A. Aziz Darwis, MSc (Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian, IPB) dan Prof. Dr. Hari Eko Irianto (Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan) selaku penguji luar komisi pada ujian terbuka. 3. Dr. Ir. Sam Herodian, MS dan Dr. Ir. Sugiyono, M.App.Sc, selaku dekan dan wakil dekan Fakultas Teknologi Pertanian IPB, Dr. Ir. Irawadi Jamaran, selaku ketua program studi TIP dan kepada Dr. Ir. Ani Suryani, DEA., selaku sekretaris Program Studi TIP atas kemudahan dan fasilitas yang diberikan selama studi, serta semua civitas akademika TIP atas segala bantuannya. 4. Dr. Ir. Etty Riani, MS., Dr. Ir. Khaswar Syamsu, MSc. dan Dr. Ir. Kaseno, M. Eng, selaku Tim Hibah Pasca yang telah memberi kesempatan pada penulis untuk terlibat dalam proyek tersebut.
19
5. Prof. Madya. Dr. Mohd. Sobri Takriff selaku Ketua Jabatan Kejuruteraan Kimia dan Proses, Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) dan Dr. Masturah Markoum selaku penyelia luar, atas semua bimbingan, kemudahan dan fasilitas selama penulis melakukan penelitian di UKM serta civitas akademika Fakulti Kejuruteraan UKM atas segala bantuannya. 6. Sang Cahaya Hati, Ir. H. Yovial Mahyoedin Rajo Dirajo M T, yang selalu memberi dorongan dan bimbingan lahir bathin dalam sabar, doa dan keputihan hati. 7. Ibu Sri Mulyasih, Mbak Yaya, Mbak Santi, Uni Dewi atas segala bantuan dan kerja sama selama pelaksanaan penelitian di IPB. Cik Norly, Cik Rosna, Cik Nonizar, Khuzaimah, Dhenik, Pak Tjukup, Pak Gusri, Pak Wawan, Yos, Ivan, Pak An dan Bu Zes atas dorongan semangat dan doanya dalam kebersamaan selama di Malaysia. 8. Rekan-rekan TIP 2003, Sarifah Nurjanah, Srigunani P, Ismiati, Acep J, Acep M, Firman Noer TA, Sulistyo Sidik, Pak Sjoufjan Awal, Komar Sutriah, Eddy Mulyono atas kebersamaan dan saling memotivasi selama belajar dan penelitian 9. Ayahanda H. Harmaini (alm) dan H. Mahyoedin Yacoeb SH, (alm) atas kebanggaan beliau terhadap pentingnya “pendidikan”. Kepada ibunda Hj. Caya Amin, ibunda Hj. Sri Bainar dan 20 keluarga (kakak, adik dan kemenakan) yang tak dapat ditulis satu persatu, terima kasih atas doa dan dorongan semangatnya. Terima kasih kepada keluarga besar Boer (ni Evi, da Eva dan da Men) atas bantuan yang diberikan. Penulis juga mengucapkan terima kasih pada semua pihak yang tidak dapat disebut satu-persatu yang telah membantu penulis selama studi, penelitian dan penyelesaian disertasi ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Agustus 2008
20
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Palembang pada tanggal 12 Agustus 1967 sebagai anak ke lima dari pasangan H. Harmaini (Alm) dan Hj. Tjaya Amin. Pendidikan sarjana ditempuh di bidang studi Teknologi Pengolahan Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu, lulus pada tahun 1991, tempat penulis bekerja sebagai staf pengajar sejak 1993 sampai saat ini.
Pada tahun 1993, penulis
melanjutkan studi di PS.TIP Fakultas Pascasarjana IPB dan menyelesaikannya pada tahun 1996. Pada tahun 2003, dengan Beasiswa program BPPS Departemen Pendidikan Nasional, penulis mendapat kesempatan melanjutkan ke program doktor pada Sekolah Pascasarjana PS.TIP, IPB. Selama mengikuti program S3 penulis telah menulis beberapa artikel ilmiah antara lain : 1. Kajian Ekstraksi Secara Maserasi Dalam Produksi Steroid Teripang Pasir (Holothuria scabra) sebagai Aprodisiaka alami (Study of maserasi extraction of steroids from sandfish (Holothuria scabra) as natural aprhrodisiac) sudah dipublikasikan pada Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia, terakreditasi SK No.39/DIKTI/Kep/2004 (JIPI, Edisi Khusus No 2 tahun 2007). 2. Kajian Ekstraksi Secara reflux Dalam Produksi Steroid Teripang Pasir (Holothuria scabra) sebagai Aprodisiaka alami (Study of refluxs extraction of steroids from sandfish (Holothuria scabra) as natural aprhrodisiac) diterima untuk diterbitkan akan dipublikasikan pada Journal EXERGY UPN, Yogyakarta. 3. Pengaruh Laju Alir co-solvent Terhadap Hasil Ekstrak Steroid Teripang Pasir (Holothuria scabra) pada Supercritical Fluids Ekstraction (Effect of cosolvent in Supercritical Fluids Extraction of sea cucumber/sandfish (Holothuria scabra J)
akan disajikan dan dipublikasikan pada Seminar
Internasional “SOMCHe”, di Kuala Lumpur, Malaysia, pada bulan November 2008. (Teknik Kimia Universiti Kebangsaan Malaysia, submitted). Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari disertasi program S3 penulis. Bogor, Agustus 2008 Kurnia Harlina Dewi
21
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI DAFTAR GAMBARDAFTAR TABEL DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN ............................................................................................... 1 Latar Belakang............................................................................................... 1 Perumusan Masalah....................................................................................... 4 Tujuan Penelitian ........................................................................................... 5 Manfaat Penelitian ......................................................................................... 6 Ruang Lingkup Penelitian ............................................................................. 7 Kerangka Pemikiran Penelitian..................................................................... 6 TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................... 8 Metode Ekstraksi Konvensional .................................................................. 8 Metode Ekstraksi Fluida Superkritis (Supercritical Fluid Extraction)...... 15 Teripang Pasir (Holothuria scabra J) ........................................................ 20 Hormon Steroid Testosteron ..................................................................... 26 Bioassay Aktivitas Biologis Ekstrak Steroid Teripang Pasir ..................... 27 METODE PENELITIAN ............................................................................... 31 Tempat dan Waktu penelitian ..................................................................... 31 Bahan dan Alat Penelitian ........................................................................... 31 Tahapan Penelitian ...................................................................................... 32 Metode Penelitian ........................................................................................ 49 HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................................... 45 Karakterisasi dan Analisa Kimia Teripang Pasir ......................................... 45 Ekstraksi Teripang Secara Konvensional .................................................... 49 Ekstraksi Teripang Secara Maserasi ................................................... 49 Ekstraksi Teripang Menggunakan Soxhlet ......................................... 51 Ekstraksi Teripang Secara Reflux ....................................................... 54 Perbandingan Metode Ekstraksi Secara Maserasi, Soxhlet, Reflux ... 56 Ekstraksi Secara Reflux Skala 3000 mL ...................................................... 58 Ekstraksi Teripang Secara SFE .................................................................... 60 Pengaruh Suhu terhadap Bobot Testosteron ....................................... 60 Pengaruh Tekanan terhadap Bobot Testosteron ................................. 63 Perbandingan Hasil Ekstraksi Secara SFE dan Reflux ....................... 65 Pengaruh Rasio Laju Alir CO2 dan Co-solvent ................................. 66
22
Analisis Kualitatif dan Kuantitatif Testosteron ........................................... 70 Hasil Uji Warna ................................................................................... 70 Analisis Kualitatif Testosteron dengan KLT ...................................... 71 Analisis Kuantitatif Testosteron dengan Spektrofotometer UV-Vis . 72 Analisis Kuantitatif Testosteron dengan HPLC ................................ 72 Analisis Kualitatif Testosteron dengan FT-IR .................................. 74 KESIMPULAN ................................................................................................. 77 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 80 LAMPIRAN....................................................................................................... 93
23
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1
Ilustrasi proses difusi sebagai dasar ekstraksi ............................... 12
Gambar 2
Tahap-tahap prinsip kerja dalam ekstraksi.................................... 14
Gambar 3
Diagram fase pada komponen murni CO2 dan nilai densitas, 15 viskositas, koeffisien difusi ...........................................................
Gambar 4
Teripang pasir (Holothuria scabra J) .......................................... 21
Gambar 5
Rumus bangun steroid testosteron................................................. 25
Gambar 6
Diagram alir tahapan penelitian .................................................... 33
Gambar 7
Peralatan ekstraksi secara konvensional ...................................... 35
Gambar 8
Skematis ekstraksi skala 3000 ml .................................................. 37
Gambar 9
Peralatan secara SFE...................................................................... 38
Gambar 10 Hasil yang diharapkan pada setiap tahapan................................... 44 Gambar 11 Bahan baku dalam ekstraksi steroid teripang pasar ...................... 45 Gambar 12 Hasil ekstraksi teripang secara maserasi ....................................... 49 Gambar 13 Hasil ekstraksi teripang menggunakan soxhlet ............................. 51 Gambar 14 Hasil ekstraksi teripang secara reflux ............................................ 55 Gambar 15 Perbandingan hasil ekstraksi secara konvensional ....................... 56 Gambar 16 Bobot testosteron pada ekstraksi secara reflux skala 3000 ml ...... 58 Gambar 17 Testosteron (%) pada ekstraksi reflux skala 3000 ml ................... 59 Gambar 18 Pengaruh suhu terhadap bobot testosteron pada SFE ................... 60 Gambar 19 Pengaruh tekanan terhadap hasil ekstraksi secara SFE ................ 63
24
Halaman Gambar 20 Persentase testosteron pada SFE dan Reflux ................................. 65 67 Gambar 21 Bobot hasil ekstrak secara SFE pada berbagai laju alir CO2 co-solvent ..................................................................................... Gambar 22 Persentase testosteron pada berbagai rasio laju alir co-solvent .... 69 Gambar 23 Hasil uji warna ekstrak teripang .................................................. 73 Gambar 24 Hasil analisis kuantitatif testosteron menggunakan FT-IR ........ 75 Gambar 25 Hasil analisis kualitatif dan kuntitatif dengan HPLC .................. 76
25
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1
Sifat beberapa pelarut organik .............................................. 11
Tabel 2
Kondisi kritis untuk berbagai pelarut super kritis ................ 16
Tabel 3
Perlakuan suhu, tekanan, aliran CO2 dan co-solvent pada SFE ........................................................................................ 19
Tabel 4
Hasil bioassay ekstrak steroid sebagai aprodisiaka.............. 30
Tabel 5
Hasil analisis proksimat teripang pasir segar ....................... 47
Tabel 6
Interpretasi spektrum infrared hasil ekstrak dan standar 76 testosteron ..............................................................................
26
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1
Prosedur analisa proksimat teripang pasir......................................... 93
Lampiran 2
Prosedur penyabunan pada hasil ekstrak teripang ............................ 95
Lampiran 3
Prosedur analisis kualitatif uji warna ................................................ 96
Lampiran 4
Analisis kualitatif dengan Kromatografi Lapis Tipis (KLT) ............ 97
Lampiran 5
Hasil analisis kualitatif dengan Kromatografi Lapis Tipis (KLT) ... 98
Lampiran 6
Analisis kualitatif dan kuntitatif testosteron menggunakan spektrofotometer UV-Vis .................................................................. 99
Lampiran 7
Analisis kualitatif dan kuntitatif testosteron menggunakan 102 spektrofotometer HPLC .....................................................................
Lampiran 8
Prosedur analisis kualitatif menggunakan FT-IR ............................. 104
Lampiran 9
Prosedur Supercritical Fluids Extractuin (SFS) ............................... 105
Lampiran 10
Pengamatan bobot testosteron hasil ekstraksi secara maserasi ........ 106
Lampiran 11
Analisis keragaman dan uji lanjut hasil ekstraksi secara maserasi 107 (SAS) ..................................................................................................
Lampiran 12
Pengamatan bobot testosteron hasil ekstraksi secara soxhlet ........... 108
Lampiran 13
Analisis keragaman dan uji lanjut hasil ekstraksi secara soxhlet (SAS) .................................................................................................. 119
Lampiran 14
Pengamatan bobot testosteron hasil ekstraksi secara reflux ............. 111
Lampiran 15
Analisis keragaman dan uji lanjut hasil ekstraksi secara reflux (SAS) .................................................................................................. 113
Lampiran 16
Bobot dan persentase testosteron pada berbagai metode ekstraksi .. 114
Lampiran 17
Hasil anova dan uji lanjut DMRT pada berbagai metode, pelarut dan RAL in time ................................................................................. 115
Lampiran 18
Bobot testosteron hasil ekstraksi secara reflux RAL in time ............ 117
Lampiran 19
Analisis keragaman dan uji lanjut bobot ekstrak 3000 ml................ 118
27
Lampiran 20
Bobot testosteron pada ekstraksi skala 3000 ml RAL in time .......... 119
Lampiran 21
Analisis keragaman dan uji lanjut bobot testosteron ........................ 121
Lampiran 22
Persentase bobot testosteron terhadap bobot ekstrak (%) ................. 122
Lampiran 23
Analisis keragaman dan uji lanjut kemurnian testosteron ................ 123
Lampiran 24
Bobot hasil ekstrak pada berbagai suhu dan tekanan (SFE) ........... 124
Lampiran 25
Analisis keragaman dan uji lanjut bobot ekstrak secara SFE ........... 126
Lampiran 26
Bobot testosteron hasil ekstrak pada berbagai suhu dan tekanan (SFE) .................................................................................................. 127
Lampiran 27
Analisis keragaman dan uji lanjut bobot testosteron secara SFE ..... 128
Lampiran 28
Persentase bobot testosteron terhadap bobot ekstrak pada SFE 129 (%) ......................................................................................................
Lampiran 29
Analisis keragaman dan uji lanjut kemurnian testosteron (%) ......... 130
Lampiran 30
Bobot hasil ekstrak pada SFE + co-solvent ....................................... 131
Lampiran 31
Analisis keragaman dan uji lanjut DMRT bobot ekstrak dengan RAL in time ...................................................................................... 132
Lampiran 32
Bobot testosteron pada SFE + co-solvent.......................................... 133
Lampiran 33
Analisis keragaman dan uji lanjut DMRT bobot testosteron dengan RAL in time ........................................................................... 134
Lampiran 34
Perbandingan bobot testosteron dan ekstrak pada SFE + cosolvent ................................................................................................ 135
Lampiran 35
Analisis keragaman dan uji lanjut DMRT kemurnian testosteron (%) dengan RAL in time .................................................................... 136
28
PENDAHULUAN
Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki 17.504 pulau dan garis pantai lebih dari 81.000 km dengan luas perairan laut sekitar 5,8 juta km2 (75% dari total Wilayah Indonesia). Kondisi alam dan iklim yang tidak fluktuatif, menjadikan Indonesia mempunyai potensi sumber daya laut dengan
keanekaragaman
hayati
yang
sangat
besar,
walaupun
belum
terdayagunakan (Reina 2004). Bioteknologi kelautan yang berkembang pesat bertujuan memanfaatkan biota laut, salah satunya dengan ekstraksi senyawa bioaktif sebagai obat-obatan dan bahan farmasi. Mengingat prospek ekonomi yang besar dari sumber-sumber hayati di laut sebagai bahan obat-obatan itu, Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) menjadikan bioteknologi kelautan sebagai program unggulan sejak tahun 2002 (Dahuri 2005). Salah satu hasil laut yang mempunyai nilai penting adalah teripang dengan nama lain teat fish, sea cucumber dan ginseng laut. Secara ekonomi teripang mempunyai nilai penting karena dua hal, yakni sebagai sumber biofarmaka potensial dari hasil laut dan sebagai makanan kesehatan (Kerr 2000). Kandungan kimia teripang basah, terdiri dari 44-55% protein, 3-5% karbohidrat dan 1,5% lemak (Anonim 2004a). Teripang mengandung asam amino esensial, kolagen dan vitamin E.
Menurut Fredalina (1998), kandungan asam lemak
penting pada teripang seperti EPA (asam eikosapentaenoat ) dan DHA ( asam dekosaheksaenoat ) berperan dalam perkembangan syaraf otak, agen penyembuh luka dan antithrombotik.
Selain itu teripang juga mengandung bahan aktif
antihipertensi (Zhao et al. 2007), antibakteri (Haug et al. 2002; Villasin and Christopher 2000; Ridzwan et al. 1995), antifungi (Anonim 2003; Murray et al. 2002 dan Aryantina 2002), antikanker (Murwani dan Agus 2003), antikoagulan (Mulloy et al. 2000), sebagai penghasil protease (Xue-Yuan Fu et al. 2005a) dan arginine kinase (Xue-Yuan Fu et al. 2005b ), T-antigen lectin (Gowda et al. 2008), triterpen glikosida ( Yuan et al. 2007; Kovalchuk et al. 2006; Ismail 2008)
29
Penyebaran teripang di Indonesia terdapat pada perairan Pantai Madura, Bali, Lombok, Aceh, Bengkulu, Bangka, Riau dan sekitarnya, Belitung, Kalimantan Barat/Timur/Selatan, Sulawesi, Maluku dan Kepulauan Seribu. Total hasil tangkapan teripang di Indonesia pada tahun 2004 adalah sebesar 184.631 ton (DKP 2006). Di beberapa tempat, antara lain di La Ende, Barangka Sulawesi, bahkan telah dilakukan budidaya pembesaran teripang.
Saat ini teripang
Indonesia diekspor sebesar 2600 ton/tahun dalam bentuk kering (beche-de-mer), konoko (gonad kering) dan konowata (usus asin). Produk ini banyak diminati sebagai makanan kesehatan karena dapat meningkatkan vitalitas bagi laki-laki, oleh karena itu diduga teripang mengandung steroid Kustiariah (2006) berhasil mengidentifikasi steroid dari teripang, dimana testosteron pada hasil ekstrak teripang segar lebih tinggi daripada teripang kering dan mengaplikasikan ekstrak steroidnya pada ayam. Seleksi bahan baku dan bagian tubuh teripang menunjukkan steroid pada teripang pasir lebih tinggi dari pada teripang gamat dan teripang hitam. Bagian tubuh yang mengandung steroid tertinggi adalah bagian daging teripang, dan telah dilakukan bioassay pada mencit terhadap penggunaannya sebagai aprodisiaka (Nurjanah 2008). Selain dimanfaatkan sebagai aprodisiaka, ekstrak steroid teripang yang mengandung testosteron juga dapat digunakan untuk keperluan sex reversal pada hewan air yang jenis jantannya lebih bernilai ekonomis daripada jenis kelamin betina, seperti pada udang galah, ikan gapi dan ikan hias lainnya (Riani et al. 2008). Ekstrak teripang berpotensi besar untuk dimanfaatkan sebagai sumber testosteron alami, namun belum didapat metode ekstraksi untuk keperluan produksi massal. Oleh karena itu perlu diteliti faktor-faktor yang berpengaruh pada berbagai metode ekstraksi dan penggandaan skala, sehingga dapat menjadi pedoman untuk ekstraksi ke skala industri. Teknik ekstraksi dalam industri farmasi umumnya adalah ekstraksi dengan pelarut (maserasi, soxhlet dan reflux) yang selanjutnya didestilasi.
Kondisi
ekstraksi konvensional yang tidak tepat dapat menimbulkan kehilangan dan degradasi senyawa target yang diinginkan. Oleh karena itu perlu dikaji faktorfaktor yang berpengaruh, seperti metode ekstraksi (maserasi, soxhlet dan reflux), jenis pelarut, rasio bahan pelarut, suhu dan lama ekstraksi (Goat et al. 1997).
30
Oleh karena itu, penelitian ini mengkaji penggunaan pelarut (metanol, aseton, metanol kloroform dan kloroform), diduga aseton merupakan pelarut terbaik bagi testosteron pada ekstraksi secara maserasi karena adanya kesesuaian polaritas dengan testosteron. Selain itu, rasio bahan dan pelarut diduga
mempengaruhi
hasil ekstrak (bervariasi) tergantung dengan metode yang digunakan, serta diduga terdapat kombinasi suhu dan lama ekstraksi yang dapat memberikan hasil testosteron tertinggi. Metode ekstraksi lain yang berkembang dewasa ini adalah ekstraksi dengan fluida superkritis, dikenal sebagai Supercritical Fluids Extraction (SFE). Teknik ekstraksi ini disukai karena produk hasil bebas dari residu pelarut organik dan resiko oksidasi termal dapat diminimalkan seperti dalam mengekstrak vitamin E dan lemak (Xu et al. 2007). Teknik SFE dapat secara efektif memurnikan campuran yang dikehendaki, tanpa menghasilkan produk yang tak layak untuk aplikasi lebih lanjut dan memerlukan waktu ekstraksi yang lebih singkat, serta menggunakan gas CO2 sebagai pelarut.
Keunggulan penggunaan pelarut ini
adalah karena CO2 berkerapatan tinggi, mempunyai daya larut tinggi terhadap berbagai komponen, relatif inert, tidak polar, relatif tidak mahal, tidak beracun, tidak mudah terbakar, mudah sekali didaur ulang dan tersedia di pasaran dengan kemurnian tinggi (Hugh dan Krukonis 1993; Rizvi et al. 1999; Sun 2002). Akan tetapi, metode ini memerlukan biaya investasi yang tinggi atau merupakan teknologi padat modal. Kapasitas pelarut SFE bergantung pada densitas, sehingga sangat sensitif terhadap perubahan suhu dan tekanan. Nilai tekanan dan temperatur suatu bahan menggambarkan tingkat keadaan bahan tersebut pada kondisi tertentu. Fluida dalam kondisi superkritis memiliki sekaligus sifat gas dan cairan. Kapasitas maksimum pelarut dan variasi luas sifat pelarut dapat dicapai dalam kondisi ini dengan perubahan kecil temperatur dan tekanan.
Hal ini menawarkan
karakteristik ekstraksi yang menarik, karena berkaitan dengan difusifitas, viskositas, tegangan permukaan serta sifat fisik lainnya. Banyak penelitian menggunakan metode SFE dalam berbagai bidang, seperti yang dilakukan pada bidang farmasi (Dean dan Khundker 1997), bahan aktif pada mikroalga (Mendes et al. 2003), steroid pada tablet (Yamini et al.
31
2002); steroid pada tes urine (Stolker et al. 1999 dan Cawley et al. 2005); mikrokapsul (Steckel et al. 1997), minyak ikan (Catchpole et al. 2000), minyak kacang mete (Patel et al. 2005), minyak berbagai hasil pertanian (King et al. 2004), berbagai minyak tak tersabunkan (Lesellier 2001) dan makanan (Ong et al. 1990). Sedangkan penelitian menggunakan SFE untuk mengekstrak steroid pada teripang belum pernah dilakukan. Pada ekstraksi teripang secara SFE, diduga terdapat kombinasi suhu dan tekanan yang menghasilkan testosteron tertinggi. Hal ini berkaitan dengan adanya pengaruh kombinasi densitas, viskositas dan volatilitas dari sistim yang dapat memberikan hasil testosteron tertinggi. Selain dengan variabilitas kepadatan pada berbagai suhu dan tekanan, hasil ekstrak dapat ditingkatkan dengan penambahan co-solvent, yakni suatu zat organik yang mempunyai volatilitas sedang terhadap CO2 sebagai pelarut dan senyawa yang akan diekstrak. Penggunaan co-solvent bertujuan meningkatkan polaritas dan kekuatan pelarut (CO2 dan co-solvent) dan interaksi spesifiknya dengan senyawa yang diekstrak (Rizvi 1999). Peranan lain co-solvent adalah dapat meningkatkan selektivitas separasi (Hugh dan Krukonis 1993). Dengan keunggulan penggunaan co-solvent pada ekstraksi secara SFE, maka semakin banyak co-solvent yang digunakan testosteron yang diperoleh semakin meningkat serta waktu ekatraksi yang diperlukan semakin singkat. Jumlah co-solvent yang digunakan ditentukan dari rasio laju alir CO2 dan co-solvent. Oleh karena itu, diduga terdapat rasio laju alir CO2 dan co-solvent tertentu yang dapat memberikan testosteron tertinggi. Kajian perbandingan ekstraksi teripang sebagai sumber testosteron secara konvensional dan SFE perlu dilakukan untuk dasar pertimbangan pemilihan metode ekstraksi yang akan diterapkan, sesuai dengan kondisi setempat. Hasil ekstrak teripang yang diduga mengandung testosteron yang dapat dibuktikan pada analisis kualitatif (uji warna dan KLT) dan analisis kuantitatif (spektrofotometer UV-Vis dan HPLC) serta terdapat gugus-gugus penciri testosteron pada hasil ekstrak. Maka perlu dibuktikan bahwa pada hasil ekstraksi secara SFE mengandung testosteron.
32
Perumusan Masalah Testosteron yang beredar merupakan testosteron sintetik yang mempunyai efek samping dalam penggunaannya. Di beberapa negara maju hormon ini sudah dilarang peredarannya, sehingga sangat sulit memperolehnya.
Efek samping
testosteron sintetik yang membahayakan adalah bersifat karsinogenik. Riani et al. (2008) melaporkan bahwa penggunaan 17 α-metil testosteron pada hewan uji menyebabkan timbulnya benjolan-benjolan yang abnormal, sebagai gejala awal karsinogenik.
Kesadaran penggunaan produk alami memicu dan memacu
pencarian sumber-sumber testosteron alami, diantaranya adalah teripang. Penelitian testosteron pada teripang baru sampai tahap identifikasi dan bioassay sebagai aprodisiaka pada manusia dan keperluan sex reversal pada hewan, belum sampai pada tahap bagaimana mengekstraksi testosteron teripang dengan rendemen yang tinggi dan produksi massal.
Kajian ini perlu untuk
menjadikan steroid teripang sebagai komoditi hasil laut yang potensial dikembangkan pada skala komersil di masa datang, baik dengan teknologi konvensional maupun dengan teknologi modern.
Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah mendapatkan pelarut, rasio bahan dengan pelarut, metode ekstraksi serta kondisi ekstraksi (suhu dan lama ekstraksi) yang menghasilkan testosteron tertinggi baik pada pada ekstraksi konvensional maupun pada ekstraksi non konvensional (SFE). Lebih rinci tujuan penelitian ini adalah : 1. Mendapatkan jenis pelarut, rasio bahan dan pelarut serta metode ekstraksi yang menghasilkan bobot testosteron tertinggi pada hasil ekstrak teripang secara konvensional skala 300 ml. 2. Mendapatkan suhu dan lama ekstraksi yang menghasilkan testosteron tertinggi pada hasil ekstrak teripang skala 3000 ml dengan metode konvensional terpilih. 3. Mendapatkan suhu dan tekanan yang menghasilkan testosteron tertinggi pada hasil ekstrak teripang secara SFE.
33
4. Mendapatkan rasio laju alir CO2 dengan co-solvent dan lama ekstraksi yang menghasilkan testosteron tertinggi pada hasil ekstrak teripang secara SFE. 5. Membuktikan terdapat testosteron pada hasil ekstrak teripang secara kualitatif dan kuantitatif.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan memiliki manfaat sebagai berikut : 1.
Menjadi dasar perancangan proses produksi testosteron dari teripang.
2.
Menjadi referensi bagi pihak-pihak terkait, seperti investor dalam dan luar negeri, peneliti, industri kecil dan menengah dan pihak pemerintah (pemda) dalam perancangan industri steroid teripang, sehingga dapat meningkatkan nilai tambah teripang.
3.
Menjadi masukan dalam pengembangan industri kelautan di Indonesia untuk komoditas selain ikan, khususnya teripang.
Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian yang akan dilakukan dalam mencapai tujuan pada penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Melakukan karakterisasi dan identifikasi teripang berdasarkan bobot dan ukuran sebagai bahan baku untuk ekstraksi. 2. Ekstraksi teripang pada skala 300 ml secara konvensional (maserasi, soxhlet dan reflux) dengan berbagai pelarut dan rasio bahan pelarut pada skala 300 ml. 3. Ekstraksi teripang pada skala 3000 ml dengan metode, pelarut dan rasio terpilih untuk mendapatakan suhu dan lama ekstraksi yang menghasilkan tetsosteron tertinggi. 4. Ekstraksi teripang dengan metode SFE pada berbagai suhu dan tekanan. 5. Ekstraksi teripang dengan metode SFE pada kondisi ekstraksi (suhu dan tekanan) terpilih, menggunakan berbagai rasio laju alir CO2 dan co-solvent. 6. Menganalisis secara kualitatif dan kuantitatif testosteron pada hasil ekstraksi dengan uji warna, kromatografi lapis tipis/KLT, spertrofotometer UV-Vis, HPLC dan FT-IR.
34
Kerangka Pemikiran Penelitian Penambahan nilai suatu produk dapat dilakukan melalui penemuan bahan baku baru, penemuan proses baru ataupun produk baru. Salah satu hasil laut yang potensial dikembangkan adalah teripang pasir (Holothuria scabra J) yang merupakan bahan baku baru sumber steroid. Produksi testosteron dari teripang pasir dapat memberikan nilai tambah suatu bahan menjadi produk yang bernilai tinggi, yakni dari teripang yang hanya diekspor dalam bentuk beku/kering menjadi produk testosteron. Untuk menjembatani hasil temuan testosteron dalam teripang dan pemanfaatan testosteron dengan permintaan testosteron alami, diperlukan kajian ekstraksi teripang pasir sebagai sumber testosteron alami.
Kajian ini akan
membahas faktor-faktor yang mempengaruhi proses ekstraksi testosteron pada hasil ekstraksi teripang, baik pada ekstraksi secara konvensional maupun secara SFE, untuk mendapatkan hasil yang tinggi.
Hal ini sangat penting sebagai
pedoman pengembangan proses ekstraksi testosteron dari ekstrak teripang sehingga dapat dikembangkan ke skala industri. Kajian perbandingan ekstraksi konvensional dan SFE dalam mengekstrak testosteron pada hasil ekstrak teripang sangat perlu dilakukan sebagai dasar pertimbangan pemilihan penerapan metode ekstraksi sesuai dengan kondisi setempat (ketersediaan modal, sarana dan prasarana, tenaga kerja dan lain-lain) dalam pengembangan industri testosteron dari ekstrak teripang. Kebutuhan konsumen akan testosteron alami, membuka lapangan pekerjaan, meningkatkan pendapatan nelayan melalui keterjaminan harga teripang, sehingga secara simultan industri ini diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat pada umumnya.
TINJAUAN PUSTAKA Metode Ekstraksi Konvensional Metode berasal dari kata “meta” (=melalui) dan “hodos” (=jalan), artinya metode adalah cara atau jalan yang harus ditempuh untuk mencapai tujuan,
35
sedangkan
ilmu
yang
mempelajari
cara
tersebut
disebut
metodologi
(wikipedia.org). Ekstraksi adalah proses penyarian senyawa aktif (penarikan sari) dari simplisia untuk memperoleh keseluruhan senyawa-senyawa yang terkandung pada simplisia bersangkutan (ekstraksi total) ataupun golongan senyawa tertentu saja (Ansel 1989).
Sudut pandang kimia mendefinisikan ekstraksi sebagai
pemisahan satu atau beberapa bahan dari suatu padatan atau cairan dengan bantuan pelarut, dan pemisahannya terjadi atas dasar kemampuan larut yang berbeda dari komponen-komponen dalam campuran (Coulson dan Richardson 1999). Metode ekstraksi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah cara memisahkan yang harus ditempuh atau dijalankan untuk mendapatkan senyawa target (testosteron) yang diinginkan.
Efektivitas ekstraksi dipengaruhi oleh
beberapa hal, antara lain kondisi alamiah simplisia (jaringan lunak/keras, bahan segar atau dikeringkan), ukuran partikel simplisia, suhu proses, tekanan udara dalam proses, jenis pelarut dan metode ekstraksi (peralatan ekstraksi). Pelarut yang digunakan berupa pelarut non polar (heksan, sikloheksan dan toluene), pelarut semi polar (kloroform, diklorometan, dietil eter dan etil asetat) dan pelarut polar (metanol, etanol dan air). Menurut Ansel (1989) metode dasar dari ekstraksi bahan obat adalah maserasi (proses”M”) dan perkolasi (proses “P”). Maserasi berasal dari bahasa latin macerare yang artinya merendam, merupakan proses bahan yang akan diekstrak direndam dalam pelarut sampai meresap dan melunakan sel-sel sehingga zat-zat yang mudah larut akan melarut. Perkolasi berasal dari kata “per” artinya melalui dan “colare” artinya merembes. Perkolasi merupakan proses ekstraksi dimana bahan yang akan diekstrak diletakkan di dalam alat (perkolator) dengan pelarut yang dialirkan merembes melalui kolom. Ada banyak metode ekstraksi yang dapat digunakan dalam mengekstrak bahan aktif, diantaranya adalah :
Maserasi
: Metode ekstraksi melalui perendaman simplisia dalam cairan penyari (solvent) yang sesuai disertai pengadukan atau penggojogan sehingga senyawa aktif tersari sempurna (Ansel 1989)
36
Perkolasi
: Metode ekstraksi senyawa aktif dari simpisia menggunakan penambahan cairan penyari (pelarut) secara berkesinambungan (continuous extraction process) sehingga senyawa aktif tersari sempurna (Ansel 1989)
Soxhlet
: Metode ekstraksi dengan menggunakan peralatan soxhlet, pelarut dan simplisia berada pada tempat terpisah, penyarian terjadi secara berulang akibat pergerakan pelarut melalui proses pemanasan dan kondensasi (Ruiz-Jimenez et al. 2004) : Metode ekstraksi dengan mereflux simplisia bersama dengan
Reflux
pelarut pada tempat yang sama, menggunakan pemanasan dan kondensor balik sehingga pelarut akan masuk kembali dalam tempat proses ekstraksi berlangsung (Garcia-Ayuso et al. 1998) Menurut Coulson dan Richardson (1999), ada empat faktor penting yang berpengaruh pada proses ekstraksi, yakni ukuran partikel, pelarut, suhu dan pengadukan.
Ukuran partikel berpengaruh terhadap luas permukaan yang
menentukan kontak bahan dan pelarut, pelarut berpengaruh terhadap kesesuaian komponen yang akan diekstrak, suhu dan pengadukan berpengaruh terhadap kelarutan komponen yang akan diekstrak. Selanjutnya dijelaskan bahwa, secara umum suatu proses ekstraksi biasanya terdiri atas tiga tahap, yakni :
Pertama, perubahan fase padat menjadi campuran dalam pelarut (mencampurkan bahan ekstrak dengan pelarut) dan membiarkannya saling kontak.
Kedua, proses difusi pelarut melalui pori-pori ataupun secara langsung membawa hasil ekstrak keluar dari partikel.
Ketiga, perpindahan solute (komponen yang diekstrak) dari larutan ekstrak (campuran), berkaitan patikel utama dari campuran. Goad dan Toshihiro (1997) membagi proses rangkaian ekstraksi meliputi
persiapan bahan yang akan diekstrak, kontak bahan dengan pelarut, pemisahan residu dengan filtrat dan proses penghilangan pelarut dari ekstrak. Perlakuan Pendahuluan
37
Salah satu perlakuan pendahuluan pada proses ekstraksi adalah pengecilan ukuran, dilakukan dengan menggunakan peralatan yang bekerja secara pemotongan, penekanan dan/atau kombinasinya.
Persiapan sample mengikuti
beberapa metode untuk proses ekstraksi sterol, yaitu : (1) material segar yang akan diekstraksi digiling atau dijadikan tepung, (b) material segar dihomogenisasi menggunakan pelarut menjadi pasta, (c) material segar pertama dibekukan kemudian dihomogenisasi dengan pelarut, (d) material dikeringkan di oven atau udara kering, dilakukan penepungan dan ekstraksi, selanjutnya dihomogenisasi dengan pelarut (e) jaringan diliopilisis dan ditepungkan sebelum diekstrasi dengan pelarut (Goad dan Toshihiro 1997) Bahan Pelarut Pemilihan pelarut untuk proses ekstraksi tergantung pada sifat komponen yang akan diisolasi, yakni polaritas suatu senyawa. Senyawa polar diekstrak menggunakan pelarut polar, demikian juga dengan senyawa semi polar dan non polar.
Oleh karena itu penentuan polaritas bahan yang akan diekstrak dan
polaritas bahan pelarut sangatlah perlu dalam pemilihan bahan pelarut. Menurut Tzia dan Liadakis (2003) dasar pemilihan pelarut adalah kelarutan, pemisahan, tegangan permukaan dan viskositas serta ideal (tidak bersifat racun, stabil, tidak reaktif, ramah lingkungan dan murah). Metode yang ideal digunakan untuk mengekstrak lipid dari suatu jaringan yakni dengan memindahkan semua campuran lipophilik yang diperlukan secara efisien tanpa perubahaan formasi asli atau kehilangan akibat hidrolisis, autoksidasi atau degradasi (Goad dan Toshihiro 1997). Pelarut yang sering digunakan untuk mengektrasi jaringan hewan dan tanaman tingkat rendah adalah kloroform, aseton, metanol, campuran kloroformmetanol, etanol, propanol dan heksan atau petroleum eter. Fredalina, et al. (1998) mendapatkan komposisi asam lemak dari Stichopus chloronotus segar dengan menggunakan bahan pelarut metanol, etanol, PBS (Phosphat Buffer Saline) dan air destilasi dengan hasil EPA tertinggi diperoleh menggunakan PBS sebesar 25,69% dan DHA tertinggi menggunakan air 57,55%. Panomarenko et al. (2000) berhasil mengekstrak fraksi free sterol dari kelas Holothuriodea (Synapta
38
maculate, Cladolabes bifurcates dan Cucuraria sp) menggunakan kloroform secara reflux pada suhu 60oC. Ibrahim (2001) berhasil mengisolasi senyawa steroid dari lintah laut (Discodoris sp) menggunakan pelarut aseton dingin yang dilanjutkan dengan partisi menggunakan campuran asetil asetat dan air. Dengan teknik ekstraksi yang sama, Alwir (2001) mengisolasi steroid dari cacing laut (Eunice siciliensis). Beberapa pelarut dengan sifat-sifatnya perlu menjadi dasar pertimbangan dalam pemilihan pelarut seperti pada Tabel 1. Tabel 1 Sifat beberapa pelarut organik (Adam dan Dyson 2004). Pelarut
Konst Dielektrik (Debye) Sikloheksan 2,0 Dioksan 2,2 Karbon Tetraclorida 2,2 Benzen 2,3 Toluen 2,4 Karbon disulfide 2,6 Diisopropil Eter 3,9 Dietil Eter 4,3 Kloroform 4,8 Etil Asetat 6,0 As.Asetat Glasial 6,2 Tetrahidroform 7,6 Metanol Kloroform (1:2)* 14,1 Isopropanol 18,3 Aseton 20,7 Etanol 24,3 Metanol 32,6 NN-Dimetilformamida 34,8 Dietilenaglikol 37,7 Air 78,5 *)Hasil perhitungan pencampuran pelarut
Titik Didih 81 102 76 80 111 76 68 35 61 77 78 66 61-65 68 56 78 65 154 245 100
Metode Ekstraksi Secara umum ekstraksi lemak mengikuti satu atau kombinasi beberapa metode, yakni: (a) Perlakuan material dengan perendaman pada pelarut dengan pemanasan 40oC, dengan atau tanpa pengadukan/goncangan dalam waktu pendek atau periode yang panjang, (b) Pemanasan material dengan pelarut ekstraksi secara reflux selama 2 – 12 jam atau reflux secara seri dengan penambahan pelarut atau penurunan polaritas, (c) Ekstraksi dengan soxhlet menggunakan satu pelarut
39
atau menggunakan pelarut dengan peningkatan polaritas secara seri, (d) Homogenisasi pada pelarut ekstraksi dan (e) ultrasonik pada material kecil dalam cairan ekstraksi atau dalam satu seri pelarut (Goad dan Toshihiro 1997). Aspek Fundamental dalam Ekstraksi Ekstraksi sebagai proses difusi, adalah proses dimana molekul diangkut dari satu bagian ke bagian lain dalam sistem karena pergerakan acak yang disebabkan oleh gradien konsentrasi.
Ekstraksi dengan pelarut dapat dianggap sebagai proses
difusi dalam keadaan cair karena transfer larutan, bahkan dalam padatan. Ilustrasi proses difusi sebagai dasar ekstraksi dapat dilihat pada Gambar 1.
Pori-pori kapiler
Padatan Difusi internal
Cairan Eksternal Difusi
Kelarutan Degradasi Bahan terlarut Pelarut
Gambar 1 Ilustrasi proses difusi sebagai dasar ekstraksi (Tzia dan Liadakis 2003) Sistem Ekstraksi Secara Konvensional Perancangan sistem ekstraksi dan rincian pemilihan peralatan yang sesuai tergantung pada tujuan proses dan sifat fisis material yang akan diekstraksi. Kemampuan melarut dan pemilihan bahan pelarut cairan yang sebagian besar didasarkan pada air, hidrokarbon seperti heksan atau alkohol digunakan untuk mengekstrak komponen tertentu yang diinginkan. Model Operasi (Cox dan Rydberg 2004)
40
Model operasi dalam ekstraksi dibedakan atas ekstraksi batch, quasicontinuous dan continuous, sedangkan berdasarkan tahapan prinsip kerja dibedakan atas ekstraksi satu tahap dan ekstraksi banyak tahap dan hubungan antar tahap dibedakan atas yakni co-current, cross-current dan counter-current Model operasi ekstraksi batch. Ekstraksi dilakukan dalam vessel yang telah diisi dengan bahan padat yang akan diekstrak. Bahan pelarut selanjutnya disaring melalui bed solid atau ditambahkan ke vessel sampai padatan sepenuhnya terbenam. Kadang campuran pelarut bahan padat digerakkan untuk meningkatkan terjadinya perpindahan massa.
Setelah waktu tahan tertentu (holding time),
campuran pelarut-ekstrak, disebut miscella, ditarik dari vessel dan bahan padat dibuang. Proses ini hampir ditinggalkan, kecuali pada beberapa aplikasi khusus, karena gangguan yang diperlukan operasi untuk bongkar-muat dan diperlukan jumlah bahan pelarut yang besar. Model operasi ekstraksi quasi-continuous, bertujuan meningkatkan efisiensi ekstraktor, beberapa batch ektraktors dapat dioperasikan secara urut menggunakan bahan pelarut yang terisi dalam satu ekstraktor dan dilewatkan melalui bed solid yang masih berisi sejumlah unsur ekstraksi.
Peningkatan
konsentrasi larutan akan terjadi pada cara ini, secara berangsur-angsur mendekati total kapasitas bahan pelarut. Setelah suatu interval tertentu, masukan dan keluaran diubah sedemikian sehingga bed solid yang diekstrak sampai hasil tertinggi ditutup untuk pembuangan hingga giliran ekstraktor selanjutnya. Model operasi continuous, pada operasi kontinu lengkap, bahan solid harus diambil dan dibuang secara kontinu dari dan ke ekstraktor. Prinsip Kerja Prinsip kerja pada ekstraksi dibedakan atas ekstraksi satu tahap dan ekstraksi banyak tahap. Ekstraksi satu tahap (single stage), peralatan sederhana ekstraksi pelarut cair adalah single stage vessel yang digunakan untuk ekstraksi pencelupan (immersion). Untuk menjaga periode ekstraksi, vessel digerakkan, sehingga campuran pelarut-bahan padat akan berbentuk slury yang dapat mengalir.
Ekstraksi banyak tahap (multi stage),operasi ini bertujuan
meningkatkan nilai maksimal beban larutan dari pelarut untuk pemisahan produk
41
dan pemulihan pelarut yang seekonomis mungkin. Tahap-tahap dan prinsip kerja ekstraksi dapat dilihat pada Gambar 2.
Refinat 1
Umpan
Refinat 2
Refinat 3
Tahap 1
Tahap 2
Pelarut
Pelarut
Tahap 1
Tahap 2
Tahap 3
Ekstrak 1
Ekstrak 2
Ekstrak 3
Tahap 1
Tahap 2
Tahap Tahap 33
Tahap 3
Pelarut Pelarut
Umpan
Umpan
Pelarut
Gambar 2 Tahap-tahap prinsip kerja dalam ekstraksi (Tzia dan Liadakis 2003) Tiga cara yang berbeda digunakan untuk menghubungkan berbagai tahap, yakni co-current, cross-current dan counter-current (Gambar 2). Dalam ekstraksi co-current, dua phasa mengalir pada arah yang sama diantara berbagai pemberi kontak/kontaktor. Pada diagram dalam Gambar 4 diperlihatkan
bahwa
dengan
konfigurasi ini tidak ada kelebihan dari kontak tunggal karena keseimbangan dicapai pada kontaktor pertama, aliran terpisah telah dalam keseimbangan juga ketika memasuki kontaktor kedua, maka relatif tidak terjadi perubahan konsentrasi. Pada konfigurasi kedua, (b) cross-current, hasil yang dimurnikan berhubungan dengan sampel pelarut segar. Hal ini merupakan cara ekstraksi klasik dalam laboratorium jika menggunakan corong separator dan akan meningkatkan recovery larutan. Dalam skala industri, hal ini jarang digunakan karena konsentrasi larutan yang diinginkan berkurang pada produksi massa phasa produk.
Bentuk ketiga (c) adalah counter current, yang biasanya digunakan
dalam industri. Volume phasa tetap, dan dengan feeding kedua phasa pada ujung yang berlawanan dari kontaktor, gaya penggerak ekstraksi, yaitu perbedaan konsentrasi larutan kedua phasa, akan maksimal.
42
Metode Ekstraksi Fluida Superkritis (Supercritical Fluid Extraction) Supercritical Fluid Extraction (SFE) adalah suatu metode ekstraksi dengan prinsip memisahkan komponen di atas titik kritis tekanan dan suhu suatu fluida, yaitu suatu keadaan dimana fluida berada dalam keadaan seimbang antara bentuk gas dan bentuk cair (Hugh dan Krukonis 1993). Pada kondisi SFE, daya larut mempunyai nilai lebih tinggi dan lebih selektif daripada bentuk cair atau bentuk gas (Rizvi 1999). Pada kondisi tersebut, daya larut dari pelarut yang digunakan sangat besar, sehingga dapat melarutkan zat lain dalam jumlah yang besar pula. Fluida superkritis ditandai oleh kerapatannya yang tinggi, kekentalan yang relatif rendah dan koeffisien diffusinya berada di antara fase gas dan fase cair. Sifat ini menyebabkan fluida superkritis berpotensi tinggi dan lebih unggul dibandingkan jenis pelarut lain. Diagram antara suhu dan tekanan CO2 dilihat pada Gambar 3.
Area Fluida Superkritis
Densitas : 0,6 – 1,6 Viskositas :0,0- 0,002 Koeff.difusi : 0,000002
Titik Kritis
Pc Tekanan
Densitas : 0,2 – 0,5 Viskositas : 0,0001-0,0003 Koeff.difusi : 0,0007
Padat
Cair Densitas : 0,0006-0,1 Viskositas : 0,003-0,0001 Koeff.difusi : 0,1
Gas
Temperatur
Tc
Gambar 3 Diagram fase pada komponen murni CO2 dan nilai densitas, viskositas, koeffisien difusi (Hugh dan Krukonis 1993) Rizvi (1999) menyebutkan bahwa karakteristik fluida superkritis sangat tergantung pada kondisi fisiknya, terutama suhu dan tekanan.
Pemilihan
parameter ini akan berperan pada perubahan-perubahan densitas, viskositas dan difusivitas. Perubahan tersebut dapat digunakan untuk meningkatkan efisiensi ekstraksi dalam SFE, misalnya kelarutan suatu zat tergantung pada besarnya
43
densitas, suhu dan tekanan pelarut.
Sedangkan kelarutan zat bervariasi,
tergantung pada bobot molekul yang dilarutkan dan struktur zat yang berlainan. Penerapan fluida superkritis didasarkan pada penelitian yang menunjukkan bahwa banyak gas memperlihatkan peningkatan kekuatan, bila tekanan sampai kondisi di atas titik kritisnya. Kemampuan inilah yang dapat melarutkan bahan padat pada tekanan dan suhu kritis. Suhu maksimum dimana gas dapat cair disebut suhu kritis dan tekanan yang diperlukan untuk menyebabkan pencairan pada suhu tersebut disebut tekanan kritis. Beberapa pelarut dengan kondisi suhu dan tekanan kritisnya terdapat pada Tabel 2. Tabel 2 Kondisi kritis berbagai pelarut superkritis (Hugh dan Krukonis 1993) Pelarut Karbondioksida Etana Etilen Propana Propilen Isopropanol Benzen Toluena Air
Suhu Kritis (oC) 31,1 32,3 9,3 96,7 91,9 235,2 289,0 318,6 374,2
Tekanan Kritis (atm) 72,8 48,2 49,7 41,9 45,6 47,0 48,3 40,6 217,6
Pelarut yang banyak digunakan dalam SFE adalah CO2 karena berkerapatan tinggi, mempunyai daya larut terhadap berbagai komponen sangat tinggi, relatif inert, tidak polar, tidak mahal, tidak beracun, tidak mudah terbakar, tetapi mudah sekali didaur ulang dan tersedia dipasaran dengan kemurnian tinggi sehingga dijamin tidak meninggalkan residu dalam hasil akhir (Hugh dan Krukonis 1993; Rizvi 1999; Sun 2002). Teknik ekstraksi dalam industri farmasi umumnya menggunakan ekstraksi secara destilasi dan ekstraksi dengan pelarut (perkolasi, maserasi dan soxhlet). Teknik konvensional ini membutuhkan waktu, peralatan operasi, penanganan, volume serta biaya bahan pelarut yang tinggi. Selain itu penggunaan suhu yang tinggi dapat menimbulkan kehilangan dan degradasi senyawa target yang diinginkan. Penggunaan SFE terdapat pada banyak bidang, seperti lingkungan (PAHs, PCBs, pestisida, hidrokarbon alifatik), medis (obat, ekstraksi jaringan rambut,
44
kuku, darah, urine), makanan, tanaman dan hewan. Umumnya SFE mengekstrak komponen tidak mudah larut seperti minyak, lemak, asam lemak, kolesterol, steroid, limbah.
Ekstraksi minyak dari hasil pertanian seperti pada kedelai,
kacang, biji kapuk, jagung (King 2004), minyak biji jambu mete (Patel 2005), minyak dari kayu Eucalyptus globulus (Gonzalez-Vila et al. 2000), asam lemak tak tersabunkan pada minyak Callophylum calaba ( Crane et al. 2005), lemak tak tersabunkan (Lesellier 2001), ekstraksi asam lemak pada biji anggur (Cao dan Yoichiro 2003), asam lemak pada minyak biji kachnar (Ramadhan et al. 2005), kolesterol dari lemak hewan (Russo 2004) dan komposisi asam lemak pada produk ikan yang digaramkan (Ikura, Tarako, Tobiko dan Kazunoko).
Pada
bidang medis, SFE digunakan dalam ekstraksi komponen pharmaceutical penting dari mikroalga (Mendes 2003; Dean dan Khudker 1996), steroid pada sampel biologi (Kureckova et al. 2002), Secosteroid dari hasil laut (Scalia dan Domenica 2004), metiltestosteron, nortestosteron dan testosteron pada urine (Stolker et al. 1999). Catchpole
(2000)
berhasil
mengfraksinasi
minyak
ikan
dengan
menggunakan SFE, menghasilkan ekstrak tertinggi 135 bar dan suhu 40oC (perlakuan
90, 100, 130, 135 bar dengan suhu 40 dan 60oC).
Sedangkan
Vederaman et al. (2004) mengekstrak kolesterol dari otak sapi, menghasilkan ekstrak tertinggi pada 270 bar ≈ 27 MPa pada suhu 60oC dan 70oC. Kane (1992) menunjukkan peningkatan suhu (40, 60 dan 80oC) memberikan hasil ekstrak tertinggi pada suhu 60oC terhadap steroid murni. Demikian juga dengan hasil penelitian Kurechova et al. (2002), menunjukkan hasil ekstrak tertinggi pada suhu 40oC dari perlakuan suhu 20, 30, 40, 50, 60 dan 70oC dalam mengekstrak corticosteroid (deoksicorticosteron, corticosteron dan cortisol).
Akan tetapi
Ghaseni (2006) menunjukkan hasil ekstrak tertinggi adalah pada 45oC dari 35, 40 dan 45oC dalam mengekstrak Artemisia sieberi dan Mendes (2003) menunjukkan hasil ekstrak tertinggi 328.11 K (≈ 55oC) dari 313,1 K (≈ 40oC) dalam mengekstrak mikroalga. Petel et al. (2005) mendapatkan suhu optimum 60oC dalam mengekstrak biji jambu mete dan Vederaman et al (2004) mendapatkan suhu 60oC dan 70oC tidak berbeda nyata dalam mengekstrak kolesterol pada otak sapi.
45
Variasi temperatur pada SFE mempengaruhi densitas pelarut, sifat volatilitas dan desorpsi komponen pada matrik/jaringan. Pada temperatur tinggi volatilitas meningkat, tetapi densitas CO2 menurun.
Indikasi ini menyatakan
bahwa peningkatan efisiensi ekstraksi dengan menaikkan suhu tergantung pada bobot molekul. Peningkatan suhu dari 308 ke 348 K meningkatkan efisiensi ekstraksi medroxyprogesteron asetat (med) disebabkan peningkatan suhu mendekati sifat gas mengakibatkan densitas menurun, volatilitas meningkat, desorpsi komponen pada matrik meningkat. Pengaruh penurunan densitas lebih kecil daripada efek peningkatan volatilitas sehingga peningkatan suhu akan meningkatkan hasil med.
Sebaliknya, peningkatan suhu 308 ke 348 K
menurunkan efisiensi ekstraksi cyproteron acetat (cyp) sebab rendahnya densitas menurunkan hasil ekstraksi (Yamini et al. 2002). Sedangkan pengaruh tekanan terlihat bahwa peningkatan tekanan (100, 200 dan 300) pada suhu 308 K meningkatkan efisiensi pengekstrakan med, tetapi menurunkan efisiensi cyp. Pengaruh suhu dan tekanan diteliti oleh Ghasemi et al. (2006) dalam mengekstrak Artemisia sieberi.
Peningkatan suhu dari 308
ke 318 K
meningkatkan hasil ekstrak, tetapi peningkatan suhu 318 ke 328 K menurunkan hasil ekstrak. Hal ini disebabkan peningkatan suhu akan meningkatkan volatilitas, tetapi juga mengakibatkan turunnya densitas. Pada peningkatan suhu 308 ke 318 K, peningkatan volatilitas lebih dominan dari penurunan densitas, maka hasil meningkat, sedangkan peningkatan suhu 318 ke 328 K, penurunan densitas lebih dominan daripada peningkatan volatilitas, maka hasil menurun. Pengaruh tekanan (10,2, 20,2 dan 30,4 MPa) menunjukkan peningkatan hasil karena peningkatan tekanan akan meningkatkan densitas, sehingga kelarutan meningkat. Peningkatan volatilitas akan mengakibatkan pelarut mendekati sifat gas di mana densitas akan berkurang maka kemampuan mengekstrak akan menurun.
Di sisi lain,
peningkatan volatilitas akan mengakibatkan viskositas berkurang, difusifitas meningkat sehingga kemampuan mengekstrak meningkat, maka hasil ekstraksi meningkat. Pengaruh mana yang lebih dominan akan menentukan hasil ekstrak meningkat atau menurun. Pengaruh tekanan pada teknik SFE juga dilaporkan oleh penelitian-peneliti lain, yakni Mendes (2003), Vederaman, et al. (2004), Petel et al. (2005), Ghaseni
46
et al. (2006) yang mendapatkan hasil bahwa semakin tinggi tekanan, maka ekstrak yang diperoleh semakin tinggi.
Penelitian Mendes (2003) menyatakan hasil
ekstrak pada tekanan 35 MPa > 27,5 MPa > 20 MPa, Vederaman (2004) menghasilkan ekstrak tertinggi 270 bar (≈27 MPa) dari 230 bar dan 250 bar. Sedangkan Petel (2005) menunjukkan hasil ekstrak pada tekanan 300 bar > 250 bar > 225 bar > 200 bar dan Gahseni (2006) menunjukkan hasil ekstrak pada tekanan 30,4 MPa tertinggi dari tekanan 20,2 MPa dan 10,1 MPa. Secara ringkas penelitian tentang pengaruh suhu dan tekanan pada berbagai komoditi terlihat pada Tabel 3. Tabel 3 Perlakuan suhu, tekanan,aliran CO2 dan co-solvent pada SFE Suhu
Perlakuan Tekanan
333 K(60oC) 323 K(50oC) 313 K(40oC)
200 Bar* 225 Bar 250 Bar 300 Bar 230 Bar 70oC 250 Bar 60oC 270 Bar 50oC 313 K(40oC) 12,5 MPa** 333 K(60oC) 20,0 M Pa 30,0 M Pa 70oC 15,0 M Pa
Aliran CO2
Pustaka
1,2 kg/jam 1 kg/jam
Patel at al. 2005
2 kg/jam 3 kg/jam 4 kg/jam Tidak dilaporkan
Vedaraman et al. 2004
Tidak dilaporkan o 75 C 10 M Pa Tidak 25 M Pa dilaporkan CO2 + 313 K(40oC) 95 Bar 333 K(60oC) 100, 130, Etanol 135 Bar 0-12% o 40 C, 200 atm perbandingan dengan soxhlet, destilasi uap dan maserasi Perbandingan Soxhlet (pelarut toluen, sikloheksan, diklorometan) dengan SFE
Mendes et al. 2003 Lesellier et al. 2001 Gonzalez-Vila et al. 2000 Catchpole et al. 2000
B.Baku dan Pengamatan Anarcadium occidentale: Yield minyak Komposisi minyak Otak Sapi : Total Kolesterol Free sterol MikroAlgae: Yield minyak Lemak tak tersabunkan : Sterol dan Free Sterol Eucalyptus globules : Komposisi lemak Minyak Ikan kasar : Komposisi minyak
Scalia et al. 1999
Chamamole Flower : Komposisi minyak
Miege et al. 1998
Limbah pertanian
Teripang Pasir (Holothuria scabra J) Klasifikasi Teripang Teripang yang juga sering disebut ketimun laut (sea cucumber) termasuk Kelas Holothuroidea dari Filum/Bangsa Echinodermata yang merupakan hewan
47
tidak bertulang belakang yang bertubuh lunak atau berduri. Klasifikasi teripang menurut Wibowo et al. (1997) adalah sebagai berikut : Filum Sub Filum Kelas Sub Kelas Ordo
: : : : :
Famili Genus
: :
Species
:
Echinodermata Echinozoa Holothuroidea Aspichitotecea 1. Aspidoochirota 2. Dendrochirota Aspidochirotae 1. Holothuria 2. Stichopus 3. Theolonata 1. 2. 3. 4.
Holothuria : a. Holothuria nobilis J b. Holothuria scabra J. Stichopus : Stichopus variegatus J Thelonata : Thelonata ananas J Actinopyga : a. Actinopyga lecanora J b. Actinopyga miliaris c. Actinopyga echinitis
Morfologi Teripang Pasir (Holothuria scabra) Warna teripang bervariasi tergantung jenisnya, mulai dari berwarna hitam, coklat atau kehijauan bahkan ada beberapa jenis yang mempunyai warna terang seperti merah muda, oranye, ungu, bergaris atau belang (Young 1997). Tubuh teripang umumnya lunak atau licin, berotot tebal atau tipis dengan kulit halus atau berbintik-bintik. Teripang pasir (Holothuria scabra J), seperti ditunjukkan pada Gambar 1 mempunyai tubuh bulat panjang, dengan punggung abu-abu atau kehitaman berbintik putih atau kuning, di seluruh permukaan tubuh diselimuti lapisan kapur yang tebal tipisnya tergantung umur.
Teripang umumnya
menempati ekosistem terumbu karang dengan perairan yang jernih, bebas polusi, air relatif tenang, mutu air dengan salinitas 29-33 ppt (Wibowo et al. 1997). Teripang adalah hewan detritus yang melakukan kegiatan makan dengan cara menyapu pasir ke dalam mulutnya.
Pergerakan teripang yang lambat
menyebabkan ia perlu mempunyai mekanisme pertahanan tubuh yang efisien, yaitu mengeluarkan holothurin yang toksik dan dapat melumpuhkan. Holothurin dikeluarkan oleh kelenjar khusus yang disebut kuvier (Anonim 2004 a). Teripang
48
yang memenuhi syarat komersial adalah yang telah mencapai bobot 400-500 gram/ekor, minimal mencapai 300 gram/ekor.
Gambar 4 Teripang pasir (Holothuria scabra J) (http://www/.Enchanted Learning.com). Di Indonesia ditemukan tiga genus teripang, yaitu Holothuria, Muelleria dan Stichopus. Ketiga genus tersebut yang banyak dieksplotasi adalah H.scabra, H. edulis, H. argus, H. marmorata, H. vacubanda, M. lecanora, S. ananas, S. chloromatus dan S. variegatus, yang berprospek dibudidayakan adalah H. scabra (Rustam 2006). Wibowo et al. (1997) mengelompokkan teripang berdasarkan harga di pasar Internasional, yakni kelompok teripang harga tinggi (H. fuscogilva, H. nobilis dan Thelonata ananas), kelompok harga sedang (H. scabra, A. miliaris, A. lecanora, A. mauriatana, S. chloronatus) dan kelompok teripang harga rendah (H. edulis, A. echinetes, B. asgus, H. atra, H. fuscopunctata). Hasil penelitian Nurjanah (2008) menunjukkan Holothuria scabra mempunyai kandungan steroid lebih tinggi dibandingkan teripang gamat (S. variegatus) dan teripang hitam (H. nobilis). Kandungan Kimia Teripang
49
Teripang kering mempunyai kandungan nutrisi yang terdiri atas kadar air (8,90%), protein (82,00%), lemak (1,70%), abu (8,60%), karbohidrat (4,80%), vitamin A (455 ug), vitamin B (thiamine 0,04 %, riboflavin 0,07 %, niacin 0,4 %) dan total kalori (385 cal/100g). Kadar protein yang cukup besar memberikan nilai gizi yang cukup baik, disamping itu protein teripang mempunyai asam amino yang lengkap. Kandungan lemaknya mengandung asam lemak tidak jenuh yang sangat diperlukan bagi kesehatan jantung dan otak (Fredalina et al. 1998). Dari hasil analisis terhadap tubuh teripang diketahui bahwa teripang mengandung protein ±44%, karbohidrat antara 3-5% dan lemak 1,5% (Anonim 2004). Selain itu teripang juga mengandung bahan aktif antibakteri (Haug et al. 2002; Villasin and Christopher 2000), antifungi (Aryantina 2002), antikoagulan (Mulloy et al. 2000), sebagai penghasil protease (Fu et al. 2005a) dan arginine kinase (Fu et al. 2005b), bahan aktif antihipertensi (Zhao et al. 2007), antikanker (Murwani dan Agus 2003), T-antigen lectin (Gowda et al.
2008), triterpen
glikosida (Kovalchuk et al. 2006; Yuan et al. 2007; Ismail 2008) dan sterol bebas (Stonik et al. 1997; Ponomarenko et al. 2000). Ridzwan et al. (1995) menemukan bahan aktif antibakteria dari ekstraksi pelarut metanol dan Phosphat Buffered Saline (PBS).pada tiga spesies teripang di Sabah, yakni H. atra, H. scabra dan B. argus. Hasil ekstrak diujikan terhadap tujuh bakteria S. faecalis, S. viridens, S. pneumonieae, S. auriens, E. coli, Shigella sinnei dan Proteus mirabilis.
Bahan aktif antibakteria juga terdeteksi pada
jaringan tubuh, telur dan organ dalam (A. rubens), kulit (S. droebachiensis) dan telur (C. frendosa) yang diamati terhadap E. coli, C. glutamicum, V. anguillarum dan S. aureus (Haug et al. 2002). Pada jaringan tubuh Parastichopus parvimensis ditemukan antibakteria yang diamati terhadap B. substilis dan E. coli (Villasin dan Christopher 2000). Antifungi pada teripang (Actinocopyga lecanora) yang diekstrak menggunakan metanol, etil acetat, n-butanol, menunjukkan aktivitas antifungi terhadap 21 fungi (Kumar et al. 2006). Ekstrak senyawa bioaktif antifungi juga dapat diekstrak menggunakan pelarut etanol, etil asetat dan kloroform dari Holothuria vacabunda terhadap E. coli, S. auriens, P. flourescens, V. damsela, V. harveyi, V. parahaemolycitus dan V. charcarie (Aryantina 2002).
50
Gowda (2008) melakukan purifikasi dan karakterisasi T-antigen spesifik lektin pada cairan coelomic Holothuria scabra (HSL) yang memberikan respon tahan terhadap aglutinasi bakteria. Gelatin dari teripang (Acaudina molpadioides) dihidrolisa menggunakan bromelin dan alcalase menghasilkan bahan bioaktif sebagai antihipertensi ( Zhao et al. 2007) dari teripang (Acaudina molpadioides) Stonik et al. (1998) berhasil mengisolasi dan mengidentifikasi komposisi 78 sterol bebas dari ekstrak teripang (P. trachus, H. nobilis, H. scabra, T. orientale dan B. natans) dengan menggunakan HPLC, GLC, GLC-MS dan NMR. Spesies yang mengandung sterol bebas terbanyak adalah H. scabra sebanyak 60 sterol bebas, diikuti H. nobilis sebanyak 42 sterol bebas, B.natans sebanyak 39 sterol bebas, T. orientale sebanyak 37 sterol bebas dan P. Trachus sebanyak 34 sterol bebas.
Sedangkan pada Synapta maculata terdapat 32 sterol bebas,
Cladolabes bifurcatus terdapat 7 sterol bebas dan Cucumaria sp terdapat sterol bebas sebanyak 30 macam. Teripang dikenal sebagai makanan kesehatan bagi Masyarakat China dan pesisir karena dapat meningkatkan vitalitas bagi laki-laki.
Hal ini berkaitan
dengan kandungan steroid pada teripang, yakni testosteron (atau senyawa antaranya), sebagaimana telah diteliti lebih lanjut oleh Kustiariah (2006), Riani et al. (2008) dan Nurjanah (2008). Ekstrak steroid dari teripang pasir segar lebih tinggi dibandingkan ekstrak steroid teripang kering (Kustiariah 2006). Teripang pasir (Holothuria scabra) juga mengandung steroid yang lebih tinggi (58.46 ±2,94 x10-4 g/g, bk) dibandingkan teripang hitam (H.nobilis) dan teripang gamat (S. variegatus). Steroid teripang tertinggi terdapat pada daging, (58,46 x10-4±2,94 g/g, bk) pada gonad (30,79 ±2,94 x10-4g/g, bk) dan pada jeroan (28,13 ±1,89 x104
g/g, bk) (Nurjanah 2008).
Hormon Steroid Testosteron Steroid merupakan derivat sistem cincin perhidroksiklopentanofenantren yakni empat cincin A sampai D dan 19 atom C. Salah satu steroid yang dikenal adalah testosteron yang merupakan hormon, maka untuk dapat memahami steroid testosteron mestilah dimulai dari pemahaman tentang hormon.
Turner dan
Baghara (1976) mendefinisikan bahwa hormon merupakan suatu zat kimia yang
51
dihasilkan oleh bagian tertentu berupa kelenjar dan langsung berdifusi ke dalam peredaran darah menuju organ tubuh tertentu. Dilain pihak, Schunack et al. (1990) mendefinisikan hormon sebagai senyawa aktif biologis, bekerja dalam konsentrasi yang kecil, yang dibentuk dalam jaringan atau organ tertentu dari organisme hewan dan manusia, melalui aliran darah mencapai organ sasaran dan memperlihatkan kerja spesifik. Sterol merupakan kelompok steroid yang mengandung gugus hidroksil pada C3 dan rantai alifatik tersusun paling sedikit 8 atom C tertempel pada C17. Sterol utama pada bahan hewani adalah kolesterol, sedangkan sterol utama pada bahan nabati adalah fitosterol (terdapat 10 atom C pada C17).
Kolesterol
merupakan senyawa penting (senyawa antara) dalam pembentukan hormon steroid, salah satunya adalah hormon kelamin jantan yaitu testosteron dan androstedion.
Pengenalan hormon steroid (hormon kelamin) estrogen dan
androgen pada tahap awal dilakukan dengan melihat C17 dimana hanya mempunyai gugus hidroksil atau keto. Selanjutnya terlihat estradiol (esterogen) pada cincin A merupakan fenolik sedangkan androgen (testosteron dan progesteron) hanya mempunyai satu ikatan rangkap (Gambar 2).
Dengan
demikian akan terdeteksi dengan jelas perbedaan testosteron dan estrogen (Montgomery 1993). Testosteron Testosteron merupakan hormon androgen terpenting, hormon steroid C-19 yang diproduksi oleh testis. Kerja genetalis bersifat androgenik dan anabolik. Kerja androgenik adalah memelihara ciri-ciri kelamin pria sekunder yakni pembentukan organ kelamin pria, penegakan fungsi kelamin bantu, pematangan sperma dan pemelihara libido. Sedangkan kerja anabolik adalah massa otot pria yang besar, kekar, pematangan tulang dan pertumbuhan tinggi serta pengaruh psike (Schunak 1990). Rumus bangun testosteron dilihatkan pada Gambar 5.
52
Kotrisol D
C A
D
C A
Estradiol
B
Progesteron
B
18 12 19 2 3
1
13 14
11 10
5
9 6
8 7
17
16 15
Testosteron
4
Gambar 5 Rumus bangun steroid testosteron (Schunak 1990)
Testosteron sebagai aprodisiaka Berdasarkan kerja genitalis hormon steroid, cukup banyak produk yang dapat dikembangkan dari steroid teripang. Berdasarkan kerja hormon estrogen, steroid dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan pada wanita, sedangkan hormon androgen dapat digunakan untuk peningkatan vitalitas laki-laki (aprodisiaka) dan pembentukan otot. Produk steroid yang telah dikomersilkan banyak ditemui dalam berbagai bentuk, diantaranya steroid berbentuk tablet, steroid berbentuk kapsul keras, steroid berbentuk kapsul lunak dan steroid berbentuk ampul (cair). Steroid banyak digunakan baik secara langsung maupun melalui oral, tidak dibatasi oleh jenis kelamin. Produk steroid yang segmen pasarnya wanita, umumnya menonjolkan fungsinya untuk menghaluskan kulit dan
53
awet muda, sedangkan untuk segmen pria, lebih menekankan fungsi pembentukan otot perkasa dan peningkatan vitalitas. Produk lain yang ada di pasar komersial adalah steroid kompleks alami (Natural Sterol Compex) dengan merk dagang relacore, zantrex dan estrin D. Keinginan untuk tampil lebih prima, baik secara stamina maupun bentuk badan yang ideal menjadikan produk aprodisiaka berkembang pesat, bahkan berupa obat-obatan konvensional, seperti jamu.
Produk yang mengandung
aprodisiaka dalam negeri keluaran Sido Muncul adalah Kuku Bima TL, menggunakan aprodisiaka dari kuda laut yang berguna untuk meningkatkan libido (Anonim 2004 b).
Produk aprodisiaka luar negeri penggunaannya lebih
bervariasi, tidak hanya berupa oral tablet (Anabol tab, Sustanon 250), tetapi juga berupa krim atau gel dengan merk dagang orgasmus cream, erotisin cream, libimex cream.
Bioassay Aktivitas Biologis Ekstrak Steroid Teripang Pasir Bioassay aktivitas biologis steroid teripang sebagai sex reversal Tingkat keberhasilan dan dosis pemberian hormon steroid untuk keperluan sex reversal sangat dipengaruhi oleh jenis steroid yang digunakan, jenis spesies dan tahapan perkembangan organisme. Umumnya aplikasi dilakukan pada fase embrio karena akan memberikan efek perubahan yang bersifat permanen (organisation effects), sementara pemberian pada fase dewasa umumnya bersifat temporer (activational effets) (Riani et al. 2008). Pengujian aktivitas steroid dari ekstrak teripang pasir sebagai sex reversal pada udang galah (Riani et al. 2006) Pengujian aktivitas steroid sebagai sex reversal pada udang dilakukan dengan dua metode yaitu perendaman juvenil dan penyuntikan pada induk. Perendaman pada juvenil terdiri atas lima perlakuan : juvenil direndam dalam cairan tanpa ekstrak steroid, juvenil direndam dengan larutan ekstrak kosentrasi 1 mg/l, 2 mg/l, 3 ml/l dan kontrol positif (hormon 17 α-metil testosteron). Parameter pengamatan nisbah kelamin jantan, derajat hidup, pertumbuhan juvenil. Pada metode perendaman nisbah kelamin jantan menunjukkan pemberian ekstrak teripang memberi respon positif dibandingkan kontrol (21,01%), yakni
54
44,15%, 49,65%, 49,72% dan 50,45% pada kontrol positif. Pertumbuhan juvenil dengan pemberian ekstrak steroid menunjukkan tidak berpengaruh terhadap ratarata pertumbuhan harian. Pemberian esktrak teripang dengan cara penyuntikan pada induk udang galah dilakukan dengan perlakuan yakni kontrol negatif 0,5 ml minyak jagung/1 kg induk, ekstrak steroid teripang 5 mg/1 kg induk, ekstrak steroid teripang 10 mg/1 kg induk, ekstrak steroid teripang 15 mg/1 kg induk dan hormon 17 α Metil testosteron 15 mg/1 kg induk. Parameter yang diamati adalah nisbah kelamin jantan, fekunditas, derajat pengeraman, derajat pembuahan, derajat penetasan, derajat hidup, ukuran telur, konsentrasi testosteron. Hasil yang diperoleh dengan cara penyuntikan terhadap nisbah kelamin jantan 35,56% pada tanpa pemberian, 42,22% pada pemberian 5 mg/1 kg induk, 63,33% pada pemberian 10 mg/1 gr induk, 48,89% pada pemberian 15 mg/1 kg induk dan kontrol positif. Fekunditas tertinggi pada pemberian 15 mg/ 1 kg induk yakni 686 butir telur/1 gr induk.
Derajat pengeraman menunjukkan hasil
pengaruh dosis tidak berbeda nyata (99%, 99,15%, 98,98%) dengan kontrol negatif (99,22%), tetapi berbeda nyata dengan kontrol positif (96,68%). Derajat penetasan menunjukkan hal yang sama (98,34%, 98,14%, 97,96%, 98,28%) dengan kontrol positif sebesar 79,92%. Derajat hidup pada kontrol negatif dan pemberian teripang tidak berbeda nyata, sedangkan kontrol positif menunjukkan pengaruh nyata terhadap tingginya jumlah larva yang hidup.
Ukuran telur
menunjukkan kontrol negatif lebih kecil dari perlakuan lain. Pertumbuhan larva kontrol negatif dan semua dosis pemberian adalah 5,80, sedangkan pada kontrol positif 5,98. Pertumbuhan juvenil menunjukkan hasil tertinggi pada pemberian 15 mg/l (57,14). Konsentrasi testosteron tertinggi terdapat pada pemberian 10 mg/l. Kesimpulan dari penelitian mengenai efektivitas ekstrak steroid teripang untuk memanipulasi kelamin udang galah adalah pemberian hormon ekstrak steroid dari teripang melalui metode injeksi secara efektif dapat mempengaruhi zigot dan larva berkembang menjadi jantan secara fenotipe sehingga jumlah udang galah jantan lebih besar dari udang galah betina. Metode perendaman dengan dosis ekstrak teripang 3 ml/l selama 24 dapat menghasilkan populasi jantan tertinggi 49,72%. Metode injeksi dengan dosis ekstrak steroid teripang 10
55
mg/kg dapat menghasilkan populasi jantan tertinggi yaitu 63,33% dan merupakan perlakuan terbaik. Pengujian aktifitas steroid dari ekstrak teripang pasir sebagai sex reversal pada ikan gapi (Riani et al. 2008) Pengujian aktifitas steroid teripang sebagai sex reversal dilakukan dengan pemberian secara oral dan secara perendaman dengan perlakuan pemberian ekstrak teripang 200 mg/kg pakan, pemberian ekstrak teripang 400 mg/kg pakan, pemberian ekstrak teripang 600 mg/kg pakan, kontrol negatif (tanpa steroid testosteron) dan kontrol positif dengan steroid 17α metiltestosteron. Pemberian perlakuan teknik oral adalah dengan memasukkan ke dalam mulut, sedangkan teknik perendaman dilakukan dengan merendam induk ikan gapi yang sedang bunting di dalam larutan yang mengandung hormon selama 24 jam. Dengan teknik perendaman ini diharapkan hormon akan larut dalam air kemudian masuk ke dalam tubuh ikan secara difusi atau melalui insang.
Kemudian hormon
tersebut akan menuju organ target. Parameter pengamatan yang dilakukan adalah waktu melahirkan, jumlah anak, nisbah kelamin jantan dan persentase kelangsungan hidup. Teknik pemberian dengan oral menunjukkan perlakuan 200 mg/kg dan kontrol positif terjadi variasi waktu melahirkan yang cukup tinggi. Sedangkan pemberian hormon tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah anak yang dilahirkan. Persentase tertinggi anak berkelamin jantan dari perlakuan steroid dengan dosis 400 mg/kg pakan yaitu sebesar 61,11% dan 58,33% pada kontrol positif serta persentase terkecil sebesar 34,21% diperoleh dari ikan yang pakannya tidak diberi hormon. Rata-rata tingkat kelangsungan hidup masih di atas nilai 90%. Nilai yang terendah adalah pada kontrol positif yaitu 91,86%, sedangkan yang tertinggi yaitu 98,41% pada perlakuan pemberian ekstrak teripang sebesar 400 mg/kg. Teknik pemberian dengan perendaman menunjukkan bahwa hasil perendaman dalam hormon alami yang berasal dari ekstrak teripang tidak berpengaruh terhadap kecepatan waktu melahirkan, sedangkan perendaman induk ikan gapi dalam larutan hormon 17α metiltestosteron bisa mempercepat kelahiran anak ikan gapi. Pemberian ekstrak steroid teripang pada berbagai dosis dan lama
56
perendaman yang berbeda tidak berpengaruh terhadap variasi jumlah anak yang dilahirkan. Nisbah kelamin jantan diperoleh bahwa rata-rata persentase jantan yang tertinggi diperoleh dari kontrol positif yaitu sebesar 88,89%. Berikutnya adalah perlakuan dengan dosis 400 mg/l yaitu sebesar 78,23% dan rata-rata persentase terkecil diperoleh dari kontrol negatif yaitu sebesar 48%. Tingkat kelangsungan hidup berpengaruh pada tingkat kelangsungan hidup ikan gapi, secara umum keseluruhan perlakuan masih memiliki tingkat kelangsungan hidup rata-rata di atas 90%. Tingkat abnormalitas, terlihat pada pemberian hormon 17α metiltestosteron, berpengaruh terhadap anak ikan gapi yang dilahirkan. Hal ini ditunjukkan dengan terjadinya kematian total pada anak ikan yang dilahirkan dari induk yang diberi pakan mengandung hormon 17α metiltestosteron. Sedangkan induk yang diberi perlakuan ekstrak steroid dan kontrol negatif tidak memperlihatkan kondisi yang abnormal. Begitu pula pada teknik perendaman. Sebagian induk ikan yang direndam dalam larutan hormon 17α metiltestosteron hanya melahirkan anak dalam jumlah sedikit. Sementara pada perlakuan lain dan kontrol negatif rata-rata anak yang dilahirkan berjumlah besar. Hasil bioassay memperlihatkan bahwa steroid dari ekstrak teripang berpengaruh terhadap persentase kelamin jantan, baik pada udang maupun pada ikan gapi. Hal ini menunjukkan steroid dari ekstrak teripang dapat dijadikan sumber testosteron alami yang digunakan sebagai sex reversal, sehingga efek negatif penggunaan testosteron sintetik dapat dihindari. Bioassay aktivitas biologis steroid teripang sebagai aprodisiaka Potensi kegunaan produk teripang sebagai aprodisiaka salah satunya ditentukan oleh dosis pemberian.
Perlakuan dosis pemberian ekstrak steroid
adalah 10, 30 dan 50 μg/ 100 g bb, sebagai kontrol dilakukan tanpa pemberian hormon dan pemberian metil testosteron. Parameter pengamatan adalah kissing vagina, mounting dan kadar testosteron dalam darah. Hormon steroid, terutama testosteron, berpengaruh terhadap libido pada laki-laki, sesuai dengan penelitian Robbins (1996) dalam Nurjanah (2008) yang menunjukkan bahwa semakin tinggi hormon steroid dalam tubuh, semakin tinggi libido sampai batas tertentu. Secara lengkap pengaruh ekstrak steroid teripang dapat dilihat pada Tabel 4.
57
Tabel 4 Hasil bioassay ekstrak steroid teripang sebagai aprodisiaka (Nurjanah 2008) Parameter Pengamatan Libido - kissing vagina (30 menit) - mounting Kadar Testosteron (ppm) Kualitas spermatozoa - Kosentrasi spermatozoa - Morfologi spermatozoa - Normalitas spermatozoa - Motilitas
Kontrol 0
Pemberian ekstrak teripang (μg/ 100 g bb) 15 30 50
3 1
6 1
8 2
4 0
139 ± 14,51
643,46 ± 37,98
1458,74 ± 15,44
95,56 ± 5,56
117 jt/ml normal 62,69 50 Lambat
175 jt/ml normal 57,12 22 Sedang
158 jt/ml normal 59,17 18 sedang
192 jt/ml normal 62,76 27 sedang
58
METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Pengawasan Mutu Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fateta, IPB; Laboratorium Teknik Kimia Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fateta, IPB; Laboratorium Rekayasa Proses Pangan, PPSDH (Pusat Penelitian Sumber Daya Hayati), IPB; Makmal Pemisahan di Jabatan Kejuruteraan Kimia dan Proses, Fakulti Kejuruteraan, Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM); Institut Bahan Api UKM; Makmal FT NMR Pusat Pengajian Sains dan Makanan, Fakulti Sains dan Teknologi, Universiti Kebangsaan Malaysia. Penelitian dilakukan pada bulan Januari 2006 sampai bulan Juni 2007.
Bahan dan Alat Penelitian Bahan Penelitian Bahan baku yang digunakan adalah teripang pasir (Holothuturia scabra) dewasa, yang diperoleh dari hasil tangkapan nelayan di Propinsi Bengkulu, dengan bobot 200-500 g/ekor. Bahan kimia yang digunakan adalah bahan kimia untuk analisis proksimat, bahan kimia untuk ekstraksi testosteron dari teripang dan bahan kimia untuk analisis kualitatif dan kuantitatif testosteron. Bahan kimia yang digunakan untuk analisis proksimat bahan baku adalah eter, NaOH, H2SO4 dan alkohol. Bahan kimia yang digunakan untuk ekstraksi teripang secara konvensional adalah metanol, aseton, campuran metanol kloroform (1:2 v/v), kloroform dan bahan kimia untuk penyabunan kalium hidroksida (KOH), akuades, dietil eter, indikator pp. Bahan kimia pada ekstraksi secara SFE adalah CO2 dan co-solvent campuran metanol kloroform.
Bahan
kimia untuk analisis kualitatif steroid, pada uji warna (asetat anhidrat, H2SO4 pekat), pada Kromatografi Lapis Tipis (KLT) fraksi standar, lempeng lapis tipis silica gel 60 F254 katalog Art 5554.
59
Alat Penelitian Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah peralatan preparasi bahan baku, yakni alat penggiling, alat pengering, timbangan digital (Mettler Toledo AB 204 S). Peralatan ekstraksi secara konvensional (peralatan ekstraksi maserasi, peralatan ekstraksi soxhlet, peralatan ekstraksi secara reflux), sentrifugasi (high speed refrigerated sentrifuge/Himac CR 216), evaporasi (rotary vacuum evaporator).
Peralatan yang digunakan untuk analisis kualitatif dan
kuantitatif steroid dengan timbangan dan uji warna pada hasil ekstrak, analisis kualitatif dan kuantitatif testosteron menggunakan KLT, spektrofotometer (UVVisible 1601 PC, Shimadzu), HPLC (Model C1313A, Agilent 1100 Series), FTIRLX 20-00B (Perkin Elmer). Peralatan pada SFE menggunakan tabung gas CO2 dan meteran gas (Saffire 230 series, murex UK), cooler (Tech-Lab, manufactur S/B), kompresor CO2 (Jasco, PU-2080 Tokyo Japan), kompresor co-solvent (Series III, Lab Alliance, Japan), back pressure regulator (BPR, Jasco BP-158081 Tokyo Japan).
Tahapan Penelitian Penelitian dibagi atas enam tahap, yaitu 1) karakterisasi dan analisis kimia teripang pasir sebagai bahan baku, 2) ekstraksi secara konvensional (maserasi, menggunakan soxhlet dan reflux) skala 300 ml, 3) ekstraksi pada skala 3000 ml secara reflux. 4) ekstraksi secara SFE pada berbagai suhu dan tekanan, 5) ekstraksi SFE pada suhu dan tekanan yang menghasilkan testosteron tertinggi menggunakan berbagai rasio laju alir co-solvent 6) analisis kualitatif dan kuantitatif testosteron pada hasil ekstrak. Diagram alir tahapan penelitian secara lengkap disajikan pada Gambar 6.
Teripang Segar Karakterisasi teripang Jeroan
Pemisahan bagian teripang
60
Daging
Analisis Proksimat
Penggilingan
Ekstraksi konvensional (maserasi, soxhlet, refluks)
• •
Jenis Pelarut Ratio bahan
Pengeringan/Penepungan
metode, pelarut dan rasio terbaik
Ekstraksi skala 3000 ml • Suhu • Waktu
Pelarut terbaik Suhu, tekanan terbaik
• •
SFE Tekanan Suhu
Ekstraksi secara SFE Rasio laju alir co-solvent Waktu
Sentrifugasi, 10.000 rpm, 15 menit, 4oC
Presipitat
Supernatan Evaporasi (Rotary vacuum evaporator)
Pelarut
Hasil ekstrak Penyabunan
Bagian tersabunkan
Bagian tak tersabunkan
Testosteron Analisis kualitatif ekstrak uji warna Analisis kuantitatif ekstrak penimbangan
Analisis kualitatif testosteron KLT, FT-IR Analisis kuantitatif testosteron Spektrofotometer UV-Vis dan HPLC
Gambar 6 Diagram alir tahapan penelitian
Karakterisasi dan Analisis Proksimat Teripang Pasir Tahapan awal penelitian ini adalah melakukan karakterisasi dan analisis proksimat bahan baku.
Teripang yang akan diekstrak terlebih dahulu
dikarakterisasi jenis dan umurnya berdasarkan kriteria bobot dan panjang teripang.
Hal ini sangat penting karena bobot dan panjang teripang
menggambarkan umur teripang yang menentukan kandungan testosteron. Testosteron terdapat pada teripang yang sudah dewasa atau matang gonad yang
61
dapat diamati dari bobot (200-500 g) dan panjangnya (25-35 cm). Teripang yang telah memenuhi kriteria, dibersihkan dan dipisahkan antara daging teripang dan jeroan, dicuci dan digiling, selanjutnya dilakukan analisis proksimat (Lampiran 1).
Ekstraksi Teripang secara Konvensional Ekstraksi secara maserasi. Ekstraksi dengan maserasi dilakukan dengan cara perendaman bahan yang akan diekstrak pada lemari pendingin (suhu ± 4oC) menggunakan bahan pelarut selama 24 jam. Teripang segar yang telah digiling ditimbang sebanyak 100 g, dimasukkan ke dalam erlemeyer, direndam dalam pelarut dengan berbagai jenis pelarut dan berbagai rasio bahan pelarut, yang selanjutnya dimasukkan ke dalam lemari pendingin selama 24 jam (Gambar 7 a) Ekstraksi menggunakan soxhlet. Teripang segar yang telah digiling ditimbang sebanyak 100 g, dibungkus dengan kertas saring kemudian diletakkan pada tempat sampel pada perangkat alat soxhlet. Alat pemanas peralatan soxhlet dinyalakan pada suhu 60oC selama 4 jam sehingga pelarut akan menguap melalui kondensor dan turun pada kolom tempat sampel. Jika akumulasi pelarut pada kolom sampel telah penuh maka pelarut akan turun ke bagian tempat pelarut yang dipanaskan. Siklus pelarut berulang kembali (merefluks) selama ekstraksi berlangsung ± 4 jam (Gambar 7 b). Ekstraksi secara reflux. Ekstraksi dengan reflux merupakan ekstraksi dengan merefluks bahan dengan pemanasan, bahan dan pelarut secara bersamaan dimana di atas campuran bahan dan pelarut diletakkan kondensor balik. Kondisi ini menjadikan pelarut yang menguap akan terkondensasi kembali (reflux) ke dalam campuran bahan dan pelarut.
Proses ekstraksi berjalan efektif karena
pemanasan dapat mempercepat kelarutan dan pengadukan meningkatkan kontak bahan dengan pelarut. Teripang segar yang telah digiling ditimbang sebanyak 100 g, dimasukkan ke dalam erlemeyer dan ditambahkan pelarut dengan berbagai rasio sesuai dengan perlakuan. Selanjutnya dilakukan pemanasan sampai suhu 50oC selama selama 4 jam (Gambar 7 c).
62
(a)
(b)
(c)
Gambar 7 Ekstraksi secara konvensional dengan menggunakan cara (a) maserasi (b) soxhlet dan (c) reflux
Pemilihan Pelarut dan Ratio Bahan dan Pelarut Pemilihan pelarut untuk proses ekstraksi tergantung dari sifat komponen yang akan diisolasi, salah satunya adalah polaritas suatu senyawa. polaritas senyawa bergantung pada besarnya tetapan dielektrik.
Derajat
Pelarut yang
digunakan dalam penelitian ini terdiri atas empat macam pelarut, yakni metanol, aseton, campuran metanol kloroform (1:2 v/v) dan kloroform.
Rasio bahan
pelarut yang digunakan adalah 1:1, 1:2 dan 1:3 b/v. Bahan yang akan diekstrak ditimbang sebanyak 100 g, diekstrak dengan berbagai pelarut serta berbagai rasio bahan dan pelarut sesuai dengan perlakuan. Setelah ekstraksi selesai, dilanjutkan dengan pemisahan supernatan/fasa cair dari presipitan/residu menggunakan sentrifugasi (10.000 rpm, selama 15 menit pada suhu 4oC).
Supernatan yang diperoleh, dievaporasi dengan
menggunakan rotary vacuum evaporator sampai semua pelarut menguap. Hasil evaporasi yang diperoleh pada tahap ini merupakan hasil ekstrak teripang, selanjutnya ditimbang dan dilakukan analisis kualitatif steroid dengan uji warna. Pemisahan steroid yang merupakan lemak tak tersabunkan dari hasil ekstrak, dilakukan dengan penyabunan (Lampiran 2). Hasil penyabunan ditambahkan etanol sebanyak 10 mL, lalu dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif kadar testosteron dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 240 nm.
63
Ekstraksi skala 3000 ml secara reflux Ekstraksi secara reflux dengan pelarut metanol kloroform 1:2 v/v dan rasio bahan pelarut 1:2 b/v digunakan pada tahap ini, karena pada tahap sebelumnya kondisi ekstraksi ini menghasilkan testosteron tertinggi.
Tahapan kali ini
bertujuan untuk menentukan suhu dan lama ekstraksi yang menghasilkan testosteron tertinggi.
Daging teripang segar yang telah digiling ditimbang
sebanyak 1000 g, dimasukkan ke dalam ekstraktor, ditambahkan pelarut sebanyak 2000 ml. Ekstraksi dilakukan pada berbagai suhu ekstraksi (40, 50 dan 60oC) dan lama ekstraksi (30, 60, 90, 120, 150, 180, 210 dan 240 menit). Selama ekstraksi secara reflux berlangsung, dilakukan pengadukan untuk meningkatkan kontak bahan dan pelarut. Hasil ekstraksi diambil setiap 30 menit sebanyak 10 ml, disentrifugasi, selanjutnya dipisahkan antara supernatan/fasa cair dan presipitan/residu. Supernatan dievaporasi dengan menggunakan rotary vacuum evaporator sampai semua pelarut menguap dan ditimbang. Skema alat ekstraksi pada skala 3000 ml dapat dilihat pada Gambar 8. Pengambilan sampel Termometer
Motor Pengaduk Kondensor
Air masuk Pengaduk Air keluar
Gambar 8 Skema alat ekstraksi skala 3000 ml Pada hasil penimbangan yang merupakan bobot hasil ekstrak, dilakukan analisis kualitatif steroid dengan uji warna metode Lieberman Burchad. Pemisahan testosteron yang merupakan lemak tak tersabunkan dari hasil ekstrak,
64
dilakukan dengan penyabunan hasil ekstrak. Tahapan penyabunan dapat dilihat pada Lampiran 2. Hasil penyabunan ditambahkan etanol sebanyak 10 ml, lalu dianalisis kualitatif testosteron dengan uji warna metode Lieberman Burchad dan analisis kuantitatif testosteron dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 240 nm.
Ekstraksi secara Supercritical Fluids Extraction (SFE) Teripang segar dikeringkan dengan oven pada suhu 40oC selama 3 hari, digiling dan disaring lolos saringan Sieve 40 mesh. Sebanyak 5 g tepung teripang dimasukkan ke dalam tabung ekstrakstor, ditutup hingga tabung ekstraktor tertutup
secara sempurna kemudian alat ekstraksi SFE dioperasikan pada
berbagai suhu dan tekanan. Prosedur penggunaan alat SFE secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 9, sedangkan peralatan SFE yang digunakan terlihat pada Gambar 9. Pendeteksi tekanan Penampung ekstrak
Pompa co-solvent
Oven multi fungsi
Pompa CO2
Regulator Tekanan Pendingin
Gambar 9 Peralatan secara SFE (Supercritical Fluids Extraction)
Penentuan Suhu dan Tekanan Ekstraksi SFE dilakukan pada variasi perlakuan suhu (40, 50, 60oC) dan tekanan (23, 25 dan 27 MPa) selama 4 jam. Pengambilan hasil ekstraksi pada menit ke 30, 60, 90, 120, 150, 210 dan 240 menit. Hasil ekstraksi ditimbang dan dilakukan analisis kualitatif steroid dengan uji warna metode Lieberman Burchad.
65
Pemisahan steroid yang merupakan lemak tak tersabunkan dari hasil ekstrak, dilakukan dengan penyabunan (Lampiran 2). Hasil penyabunan ditambahkan etanol sebanyak 10 mL, lalu dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif kadar testosteron dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 240 nm.
Penentuan Rasio Laju Alir CO2 dan co-solvent CO2 Pada tahap ini ekstraksi SFE dilakukan dengan penambahan co-solvent, yakni pelarut yang menghasilkan testosteron tertinggi pada ekstraksi secara konvensional (campuran metanol kloroform 1:2 v/v). Rasio laju alir CO2 dan cosolvent yang digunakan adalah 2,7:0,3, 2,5:0,5 dan 2:1 ml/menit dengan laju alir total pelarut 3 ml/menit. Ekstraksi dilakukan selama 4 jam, dengan pengambilan hasil ekstrak pada menit ke 15, 30, 45, 60, 90, 120, 150, 180, 210 dan 240 menit. Hasil ekstraksi dievaporasi dengan rotary vacuum evaporator, ditimbang dan selanjutnya dilakukan analisis kualitatif testosteron dengan uji warna metode Lieberman Burchad.
Hasil yang diperoleh merupakan bobot hasil ekstrak,
selanjutnya dilakukan penyabunan untuk mendapatkan testosteron (Lampiran 2).
Analisis Kualitatif dan Kuantitatif Testosteron Analisis
kualitatif
dan
kuantitatif
testosteron
mengidentifikasi testosteron pada hasil ekstrak.
dilakukan
untuk
Analisis kualitatif dilakukan
secara bertahap, diawali dengan analisis steroid dengan uji warna (Lieberman Burchad-Fitokimia, Lampiran 3), dilanjutkan dengan analisis testosteron menggunakan KLT (Lampiran 4).
Setelah diketahui ada atau tidaknya
testosteron, dilanjutkan dengan analisis kuantitatif yang menunjukkan seberapa banyak jumlah testosteron pada hasil ekstrak.
Analisis kuantitatif dilakukan
dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 240 nm (Lampiran 6) dan menggunakan HPLC (Lampiran 7). Tahap terakhir, dilakukan pengamatan gugus-gugus penciri testosteron menggunakan FT-IR (Lampiran 8)
Metode Penelitian
66
Metode yang digunakan pada penelitian ini dijelaskan sesuai dengan tahapan-tahapan yang dilakukan 1. Karakterisasi dan analisis proksimat teripang pasir Tujuan
: Untuk mendapatkan teripang sebagai bahan baku yang mengandung testosteron.
Hipotesis
: Teripang
pasir
telah
dewasa
kelamin
mempunyai
karakteristik bobot 200-500 g/ekor panjang rata-rata 19 cm merupakan teripang yang telah dewasa kelamin, mengandung testosteron jika diekstrak. Perlakuan
: Pengamatan visual dan penimbangan, membandingkan dengan karakteristik teripang sebagai sumber testosteron.
Parameter
: Bobot dan ukuran panjang teripang.
2. Ekstraksi secara secara konvensional (metode maserasi, soxhlet dan reflux) Tujuan
: Untuk mendapatkan pelarut dan rasio bahan dengan pelarut yang menghasilkan testosteron tertinggi pada setiap metode ekstraksi (maserasi, menggunakan soxhlet dan reflux).
Hipotesis
: Dari keempat pelarut yang dikaji (metanol, aseton, metanol kloroform dan kloroform), diduga aseton merupakan pelarut terbaik bagi testosteron karena adanya kesesuaian polaritas dengan testosteron.
Perlakuan
: Metode ekstraksi : maserasi, menggunakan soxhlet dan reflux Pelarut : metanol, aseton, kloroform:metanol, kloroform Rasio bahan dan pelarut : 1:1, 1:2, 1:3 b/v.
Parameter
: Bobot testosteron yang dihasilkan dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis.
Rancangan Percobaan
: Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) Faktorial dengan 3 kali ulangan. Yij = μ + αi + βj + αβij + εij = nilai respon dari ulangan ke-j faktor ke-i Y ij μ = rata-rata sebenarnya αi = pengaruh faktor ke-i
67
βi αβij εij
= pengaruh faktor ke-j = pengaruh faktor interaksi ke-ij = nilai galat
3. Ekstraksi secara reflux skala 3000 ml Tujuan
: Untuk mendapatkan suhu dan waktu ekstraksi teripang
Hipotesis
: Pada ekstraksi dengan metode reflux terdapat kombinasi suhu dan lama ekstraksi yang diduga dapat memberikan hasil testosteron tertinggi.
Perlakuan
: Suhu ekstraksi : 40,50 dan 60oC Lama ekstraksi : 0, 30, 60, 90, 120, 150, 180, 210 dan 240 menit
Parameter
: Bobot hasil ekstrak yang dihasilkan dengan penimbangan Bobot testosteron yang dihasilkan dengan UV-Vis Persentase testosteron terhadap hasil ekstrak (%)
Rancangan
: Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan
Percobaan
Acak Lengkap (RAL) Faktorial in time dengan 3 kali ulangan. Yij = μ + αi + δijk + γkl+ ωl +αωil+βω jl + αβωij+ εijkl Keterangan : Y ijkl = nilai respon pada faktor A taraf ke-i, ulangan ke-k dan waktu pengamatan ke-l. μ = rata-rata sebenarnya/rataan umum αi = pengaruh faktor A taraf ke-i δijk = komponen acak perlakuan γkl = komponen acak waktu pengamatan ωl = pengaruh waktu pengamatan ke-l αωil= pengaruh interaksi waktu pengamatan dan faktor εijkl = komponen acak dari interaksi waktu dan perlakuan
4. Ekstraksi Pengaruh suhu dan tekanan pada ekstraksi teripang dengan SFE Tujuan
: Untuk mendapatkan temperatur dan tekanan yang menghasilkan testosteron tertinggi.
Hipotesis
: Pada ekstraksi secara SFE terdapat kombinasi suhu dan tekanan terbaik yang dapat menghasilkan ekstrak tertinggi. Hal ini berkaitan dengan adanya pengaruh kombinasi
68
densitas, viskositas dan volatilitas dari sistim yang dapat memberikan hasil testosteron tertinggi. Perlakuan
: Suhu ekstraksi SFE : 40, 50 dan 60 oC. Tekanan ekstraksi SFE : 23, 25 dan 27 MPa.
Parameter
: Bobot hasil ekstrak yang dihasilkan dengan penimbangan. Bobot testosteron yang dihasilkan dengan UV-Vis. Kemurnian testosteron (%) terhadap hasil ekstrak.
Rancangan
: Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan
Percobaan
Acak Lengkap (RAL) Faktorial dalam waktu (RAL Factorial in time) dengan 3 kali ulangan untuk bobot ekstrak. Yij = μ + αi + δijk + γkl+ ωl +αωil+βω jl + αβωij+ εijkl Keterangan : Y ijkl = nilai respon pada faktor A taraf ke-i, ulangan ke-k dan waktu pengamatan ke-l. μ = rata-rata sebenarnya/rataan umum αi = pengaruh faktor A taraf ke-i δijk = komponen acak perlakuan γkl = komponen acak waktu pengamatan ωl = pengaruh waktu pengamatan ke-l αωil= pengaruh interaksi waktu pengamatan dan faktor εijkl = komponen acak dari interaksi waktu dan perlakuan
5. Pengaruh rasio laju alir CO2 dan co-solvent pada SFE Tujuan
: Untuk mendapatkan rasio laju alir CO2 dan co-solvent pada SFE yang menghasilkan testosteron tertinggi.
Hipotesis
: Pada ekstraksi secara SFE terdapat rasio laju alir CO2 dan co-solvent tertentu yang dapat memberikan testosteron tertinggi dan kemurnian produk tertinggi.
Perlakuan
: Penggunaan co-solvent dapat meningkatkan testosteron yang dihasilkan dibandingkan tanpa co-solvent.
Parameter
: Bobot hasil ekstrak dengan penimbangan. Bobot testosteron dengan UV-Vis.
Rancangan
: Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan
Percobaan
Acak Lengkap (RAL) Faktorial in time dengan 3 kali
69
ulangan. Yij = μ + αi + δijk + γkl+ ωl +αωil+βω jl + αβωij+ εijkl Keterangan : Y ijkl = nilai respon pada faktor A taraf ke-i, ulangan ke-k dan waktu pengamatan ke-l. μ = rata-rata sebenarnya/rataan umum αi = pengaruh faktor A taraf ke-i δijk = komponen acak perlakuan γkl = komponen acak waktu pengamatan ωl = pengaruh waktu pengamatan ke-l αωil= pengaruh interaksi waktu pengamatan dan faktor εijkl = komponen acak dari interaksi waktu dan perlakuan 6. Analisis kualitatif dan kuantitatif testosteron pada hasil ekstrak teripang Tujuan
: Untuk mengidentifikasi testosteron pada hasil ekstraksi teripang.
Hipotesis
: Analisis kualitatif (uji warna, KLT, FT-IR) dan analisis kuantitatif (spektrofotometer UV-Vis dan HPLC) mampu mengidentifikasi testosteron pada hasil ekstrak teripang.
Perlakuan
: Pengamatan kualitatif testosteron (uji warna, KLT, FTIR). Pengamatan kuantitatif testosteron (UV-Vis dan HPLC).
Parameter
: Warna hijau pada uji warna. Panjang spot/noda pada KLT. Absorbansi pada spektrofotometer UV-Vis. Waktu retensi pada HPLC. Spektrum pada FT-IR.
70
Teripang mengandung steroid sangat potensial dikembangkan sebagai sumber testosteron alami
Bahan baku adalah teripang pasir yang dewasa kelamin
KAJIAN EKSTRAKSI TERIPANG ekstraksi konvensional dan non konvensional (SFE) serta faktorfaktor yang mempengaruhinya
Mendapatkan metode ekstraksi dsn kondisi ekstraksi yang menghasilkan testosteron tertinggi
Karakterisasi teripang pasir berdasarkan bobot dan panjang
Teripang dengan bobot 300-500 g/ekor Panjang lebih 20 cm
Rendemen ekstraksi konvensional dipengaruhi oleh : metode, pelarut dan rasio bahan pelarut
Ekstraksi konvensional pada berbagai metode, pelarut dan rasio bahan pelarut
Suhu dan lama ekstraksi berpengaruh terhadap hasil ekstraksi
Ekstraksi dengan berbagai suhu suhu dan lama ekstraks (3000 ml)
Rendemen testosteron ekstraksi SFE dipengaruhi oleh suhu dan rekanan
Rasio laju alir CO2 dan co-solvent berpengaruh terhadap hasil testosteron
Pembuktian hasil ekstraksi teripang mengandung testosteron
Metode, pelarut, rasio yang menghasilkan testosteron tertinggi
Suhu dan lama ekstraksi yang menghasilkan rendemen tertinggi pada ekstraksi konvensional
Ekstraksi pada berbagai suhu dan tekanan secara SFE
Suhu dan tekanan yang menghasilkan testosteron tertinggi
Ekstraksi pada berbagai rasio cosolvent pada SFE
Rasio laju alir alir yang menghasilkan rendemen tertinggi
Analisis kualitatif dan kuantitatif hasil ekstrak teripang
Hasil ekstrak teripang mengandung testosteron secara kualitatif dan kuantitatif
Gambar 10. Hasil yang diharapkan pada setiap tahapan penelitian
71
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakterisasi dan Analisis Kimia Bahan Baku Teripang Karakterisasi Teripang Pasir (Holothuria scabra J ) Sebelum digunakan, karakterisasi teripang dilakukan terlebih dahulu pada bahan baku yang diperoleh. Teripang pasir yang digunakan berasal dari Perairan Bengkulu yang merupakan hasil tangkapan dari alam oleh nelayan. Teripang pasir berbentuk bulat, panjang seperti ketimun, dengan punggung abu-abu atau kehitaman berbintik putih atau kuning, di seluruh permukaan tubuh diselimuti lapisan kapur. Tubuh teripang kesat, berotot tebal dengan kulit berbintik-bintik. Karakteristik ini sesuai dengan karakteristik teripang pasir (Holothuria scabra J) (Wibowo et al. 1997). Secara lengkap bentuk teripang yang digunakan sebagai bahan baku, dapat dilihat pada Gambar 11.
Gambar 11 Bahan baku steroid teripang pasir (Holothuria scabra J) Bobot rata-rata teripang yang digunakan pada penelitian ini adalah 300500 g/ekor, dengan ukuran panjang lebih dari 20 cm. Menurut Fechter (1969) teripang yang telah mencapai umur dewasa kelamin mempunyai ciri-ciri antara lain tubuh panjang antara 25-35 cm dengan bobot badan 200-500 gram. Rata-rata
72
usia teripang dewasa adalah 5,5 – 8 bulan. Sesuai dengan ciri-ciri tersebut, maka teripang yang digunakan dalam penelitian ini merupakan teripang yang sudah dewasa atau matang gonad, sehingga sudah menghasilkan senyawa steroid untuk aktivitas reproduksinya. Teripang yang telah dewasa atau matang gonad sangat penting untuk bahan baku ekstraksi sebagai sumber testosteron alami karena sudah mulai memproduksi hormon-hormon reproduksi untuk melangsungkan kegiatan reproduksi.
Adanya hormon reproduksi pada teripang telah dewasa (matang
gonad) memungkinkan perolehan hormon tersebut dari ekstraksi terhadap bahan bakunya. Bentuk dan warna teripang pasir yang digunakan ini sejalan dengan hasil karakteristik teripang pasir pada penelitian Riani et al. (2008) dalam mengekstrak testosteron dari teripang, yakni teripang berwarna abu-abu sampai kehitaman, dengan garis melintang berwarna hitam, tetapi yang berbeda bobot dan panjang teripang. Teripang pada penelitian ini lebih besar (300-500 g/ekor), dibandingkan teripang yang digunakan Riani et al. (2008), bobot rata-rata 130,54 g dengan panjang lebih 19,85 cm, Selain itu, karakteristik teripang yang digunakan sesuai dengan karakteristik teripang yang digunakan Nurjanah (2008) dalam mengekstrak steroid, dengan bobot 200-500 g dan panjang lebih dari 19 cm. Dijelaskan lebih lanjut, bahwa teripang segar mengandung testosteron lebih banyak daripada teripang kering (Riani et al. 2008), sedangkan bagian tubuh teripang yang paling banyak mengandung steroid adalah daging teripang dibandingkan dari testis dan jeroan. Bobot daging adalah sebesar 44,63 ± 12,54% dari bobot teripang segar, bobot testis sebesar 5,00 ± 0,17% dari bobot teripang segar dan jeroan sebesar 28,13 ± 1,89 g/g, bk dari bobot teripang segar.
Analisis Kimia Bahan Baku Analisis kandungan kimia teripang yang dilakukan pada penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kandungan air, lemak, protein, kadar abu dari teripang yang digunakan sebagai bahan baku ekstraksi. Hasil analisis secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 5.
73
Tabel 5 Hasil analisis proksimat teripang pasir segar Komponen Air (%) Abu (%), bk Lemak (%), bk Protein (%), bk
Hasil
Wibowo et al. 1997
Riani et al. 2008
88,99 31,43 4,18 38,96
86,73 48,30 4,07 46,42
80,72 47,61 4,51 43,41
Komposisi kimia teripang segar yang digunakan relatif sama dengan komposisi kimia seperti yang dilaporkan peneliti lain (Wibowo et al. 1997 dan Riani et al. 2008). Perbedaan kandungan kimia dapat disebabkan oleh perbedaan musim, lingkungan lokasi asal teripang dan faktor genetis.
Oleh karena itu
kandungan kimia teripang yang digunakan pada penelitian ini mendukung hasil yang telah diperoleh Wibowo et al. (1997) dan Riani et al. (2008). Kandungan abu yang tinggi (31,43% bk teripang segar) disebabkan di seluruh permukaan tubuhnya diselimuti lapisan kapur. Teripang termasuk salah satu hewan berkulit duri atau Echinodermata, tetapi duri-duri berukuran sangat kecil sehingga tidak dapat dilihat oleh mata biasa. Duri-duri teripang tersebar dalam lapisan epidermis, merupakan butir-butir kapur mikroskopis. Kadar protein yang tinggi (38,96% bk teripang segar) memberikan nilai gizi baik sebagai makanan.
Protein di dalam tubuh dapat berupa cadangan
makanan, zat pembangun dan zat pengatur (enzim, antibodi, dan lain-lain). Protein berupa enzim yang terdapat pada teripang antara lain alkaline protease (Xue-Yuan Fu et al. 2005a), arginin kinase (Xue-Yuan Fu et al. 2005b), bromelin dan alcase (Zha et al. 2007). Protein sebagai antibodi terlihat dari kandungan senyawa aktif, sebagai antibakteria (Haug et al. 2002; Villasin dan Christopher 2000; Ridzwan et al. 1995 ), antifungi (Murray et al. 2000 dan Aryantina 2002), antikanker (Murwarni dan Agus 2003), antikoagulan (Mulloy et al. 2000). Protein pada teripang mempunyai asam amino yang lengkap, baik asam amino esensial maupun asam amino non esensial. Asam amino sangat berguna dalam sintesa protein pada pembentukan otot dan dalam pembentukan hormon androgen, yakni testosteron, yang berperanan dalam reproduksi - baik untuk meningkatkan libido maupun pembentukan spermatozoa.
74
Kandungan lemak teripang segar (4,18% bk) terdiri atas asam lemak jenuh dan asam lemak tak jenuh. Fredalina et al. (1998) menyatakan asam lemak dominan penyusun teripang adalah EPA (25,69%), olet (21,98%) dari hasil ekstraksi menggunakan PBS. Ekstraksi menggunakan air memberikan kandungan DHA (57,55%), linoleat (12,59%). Nurjanah 2008 melaporkan bahwa teripang juga mengandung asam lemak linolenat sebesar 0,119% dan arakhidonat 0,128%. Dengan demikian terlihat keunggulan kandungan kimia teripang sebagai makanan kesehatan, mengandung omega 3 (linolenat, EPA dan DHA) dan omega 6 (linoleat dan arakhidonat). Selain itu, terdapat 60 jenis sterol bebas pada teripang pasir (Stonik et al. 1998). Sterol merupakan kelompok steroid yang mengadung gugus hidroksil pada C3, dengan paling sedikit terdapat 8 atom C menempel pada C17 (Montgomery et al. 1993). Dengan adanya kandungan lemak 4,18% bk diduga cukup menyediakan kolesterol sebagai bahan pembentuk testosteron. Lemak dalam bentuk kolesterol merupakan bahan antara pada pembentukan hormon steroid, dimana kolesterol merupakan prekursor semua hormon steroid, disintesa di dalam kelenjar atau diambil dari plasma (High Density Lipoprotein, pembentuk kolesterol pada kelenjar). Kolesterol dengan reaksi hidrolisis, kehilangan enam atom karbon, terbentuk pregnenolon. Reaksi ini dikatalis dengan enzim demolase dan dipacu oleh
ACTH
(AdrenoCortocoTropic
Hormon)
membutuhkan
NADPH
(Nicotinamide Adenine Dinucleotide Phosphate Hormon). Hidroksilasi pada C17 membentuk α 17-hidroksi progesteron. Rantai dua atom karbon dihilangkan dari C17 membentuk androstedion yang mempunyai gugus keto pada posisi C17. Terjadi perubahan hidroksil pada C3 ke gugus keto dan migrasi ikatan rangkap 5-6 ke 4-5 menghasilkan progesteron. Gugus keto dan C17 direduksi menjadi hidroksi membentuk testosteron di dalam testis (Turner dan Bagara 1976; Greenberg 1968). Komoditi teripang yang hanya diekspor dalam bentuk kering, banyak diminati sebagai makanan kesehatan karena dapat meningkatkan vitalitas bagi laki-laki.
Hal ini berkaitan dengan kandungan asam amino yang lengkap
(Nurjanah 2008) dan kandungan hormon steroid pada teripang (Ponomarenko et al. 2001; Valentine et al. 1998; Kustiariah 2006; Riani et al. 2008).
75
Metode Ekstraksi Teripang Secara Konvensional Ekstraksi Teripang Secara Maserasi Polaritas pelarut merupakan sifat utama pelarut yang berdasarkan pada konstanta dielektriknya, disamping titik didih, bilangan Lowry, aseptor number, donor number dan lain-lain. Semakin rendah konstanta dielektrik suatu pelarut maka semakin non polar pelarut tersebut (Riddick dan Burger 1970). Kemampuan pelarut dalam mengekstrak sangat ditentukan oleh kesesuaian tingkat kepolaran bahan yang akan diekstrak dengan pelarut.
Pelarut polar akan
melarutkan komponen polar. Pelarut non polar dapat mengekstrak komponen non polar (Ashton dan Mcdermott, 2004).
Hasil ekstraksi secara maserasi dapat
dilihat pada Gambar 12.
Gambar 12 Bobot testosteron pada hasil ekstraksi teripang secara maserasi Pada penelitian ini, pelarut paling polar yang digunakan adalah metanol dengan konstanta dielektrik 32,6 debye, aseton dengan konstanta dielektrik 20,7 debye, pelarut campuran metanol-kloroform dengan konstanta dielektrik ±14,07 debye dan kloroform dengan konstanta dielektrik 4,8 debye. Penurunan konstanta elektrik pelarut yang digunakan, dari 32,6 (metanol) hingga 20,7 (aseton) menunjukkan peningkatan testosteron pada hasil ekstrak, akan tetapi penurunan
76
konstanta dielektrik pelarut selanjutnya menurunkan bobot testosteron. Pola ini terlihat sama untuk semua rasio (1:1, 1:2 dan 1:3 b/v). Hasil yang diperoleh ini menegaskan pengaruh perbedaan tingkat kepolaran pelarut yang digunakan terhadap kemampuan pelarut dalam mengekstrak. Dengan demikian terlihat bahwa testosteron dari teripang berbeda dari lemak pada umumnya yang mudah larut dalam pelarut-pelarut non polar. Sedangkan hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa testosteron lebih mudah larut pada pelarut semi polar. Hasil ini mendukung hasil penelitian Kustiariah (2006) yang mengekstrak testosteron dengan menggunakan aseton. Hasil analisis keragaman pada ekstraksi secara maserasi memperlihatkan perbedaan penggunaan pelarut menghasilkan bobot testosteron yang sangat berbeda dengan rata-rata bobot secara berurutan adalah 0,075, 0,058, 0,039 dan 0,029 mg/100 g bk teripang segar (aseton, metanol kloroform, metanol dan kloroform). Uji beda lanjut menggunakan DMRT memperlihatkan juga bahwa jenis pelarut yang digunakan menghasilkan perbedaan bobot testosteron yang nyata pada taraf 0,05 sedangkan pengaruh rasio bahan dan pelarut menunjukkan perbedaan pada R1 dan R2 (bobot rata-rata 0,078 dan 0,070 g/100 g bk teripang segr), tetapi berbeda dengan R1 (0,054 mg/100 g bk teripang segar). Kombinasi perlakuan yang menghasilkan bobot testosteron tertinggi adalah pelarut aseton dengan rasio 1:3 b/v sebesar 0,077 mg/100 g bk teripang segar (Lampiran 11). Pengaruh rasio bahan dan pelarut pada ekstraksi secara maserasi memperlihatkan pola hasil testosteron yang sama untuk semua jenis pelarut, yakni semakin banyak pelarut yang digunakan atau rasio semakin kecil, maka testosteron yang diperoleh semakin banyak.
Testosteron tertinggi diperoleh
dengan mengekstrak 100 gr teripang menggunakan 300 ml pada semua pelarut. Penggunaan pelarut yang banyak menyebabkan kontak yang terjadi antara bahan dan pelarut lebih tinggi, sehingga kemampuan melarutkan juga meningkat. Sedangkan penggunaan pelarut 200 ml dan 100 ml dalam mengekstrak 100 gr teripang menunjukkan hasil yang lebih rendah karena kontak antara bahan dan pelarut makin rendah sehingga kemampuan melarutkan juga rendah. Peningkatan penggunaan pelarut dari 100 ke 200 ml menghasilkan perbedaan bobot testosteron yang nyata, sedangkan
peningkatan penggunaan
77
pelarut dari 200 ke 300 ml tidak menunjukkan perbedaan. Hasil ini disebabkan karena pada ekstraksi secara maserasi, yang dikelompokkan dalam sistem batch dengan singel stage, kontak antara bahan dan pelarut hanya dipengaruhi oleh jumlah pelarut yang digunakan karena tidak adanya pengadukan (Tzia dan Liadakis
2003).
Namun demikian, penggunaan pelarut akan dibatasi oleh
kandungan senyawa dalam bahan serta biaya pelarut dan dampak lingkungannya.
Ekstraksi Teripang menggunakan Soxhlet Ekstraksi menggunakan soxhlet merupakan suatu cara ekstraksi dimana pelarut dan bahan yang akan diekstrak tidak berada pada satu tempat, akan tetapi terpisah. Pelarut akan mengekstrak bahan secara berulang setelah menguap dan terkondensasi ke dalam tempat sampel.
Testosteron hasil ekstraksi sangat
ditentukan oleh waktu kontak bahan dan pelarut, sedangkan waktu kontak bahan dan pelarut ditentukan oleh jumlah tahapan atau sirkulasi pelarut.
Sirkulasi
pelarut itu sendiri dipengaruhi oleh sifat-sifat pelarut, antara lain titik didih dan viskositas pelarut (Tzia dan Liadakis 2003; Taylor dan Francis 2004). Bobot testosteron hasil ekstraksi teripang secara soxhlet disajikan pada Gambar 13.
Gambar 13 Bobot testosteron hasil ekstraksi teripang secara soxhlet
78
Hasil ekstraksi teripang dengan peralatan soxhlet menunjukkan testosteron yang dihasilkan sangat fluktuatif karena kadar air yang terkandung dalam bahan (88,99%) mempengaruhi lapisan air pada permukaan pelarut. Lapisan air ini dapat menghambat proses sirkulasi pelarut. Pada rasio bahan-pelarut 1:1 dan 1:2 b/v, rasio air dan pelarut hampir mendekati ± 89 ml:100 ml dan ±89 ml:200 ml, sirkulasi yang terjadi sangat lambat, sehingga kontak bahan dan pelarut sangat rendah. Pada rasio bahan pelarut 1:3 b/v, rasio air dan pelarut adalah ±89 ml:300 ml, sehingga proses sirkulasi dapat terjadi dengan baik. Perbedaan sirkulasi yang ekstrim tersebut menjadikan testosteron yang diperoleh sangat bervariasi. Pelarut metanol dengan rasio 1:1 b/v, hanya mengalami 1 kali sirkulasi. Pelarut aseton mengalami 16 kali sirkulasi dan pelarut metanol kloroform 1: mengalami sirkulasi 12 kali sirkulasi. Hasil ini menegaskan bahwa semakin banyak pelarut yang digunakan, hambatan oleh lapisan air pada permukaan semakin sedikit sehingga sirkulasi dapat berjalan semakin normal. Pada ekstraksi menggunakan soxhlet, kemampuan pelarut dalam mengekstrak tidak hanya ditentukan oleh kesesuaian tingkat kepolaran pelarut dan bahan, tetapi juga ditentukan oleh titik didih pelarut.
Titik didih pelarut
berpengaruh terhadap sirkulasi pelarut, yang menentukan waktu kontak bahan dan pelarut. Semakin rendah titik didih, yang berarti semakin cepat penguapan, maka semakin banyak tahapan atau sirkulasi pelarut, sehingga kontak bahan dan pelarut semakin tinggi. Akan tetapi, siklus yang terlalu cepat juga akan menyebabkan kontak bahan dan pelarut hanya sebentar sehingga hasil yang diperoleh tidak maksimal. Rasio bahan dan pelarut yang menghasilkan bobot testosteron tertinggi adalah mengekstrak 100 g teripang menggunakan 300 ml pelarut (rata-rata 0,388 mg/100 g, bk teripang segar), dibandingkan dengan penggunaan pelarut 200 ml (rata-rata 0,174 mg/100 g bk teripang segar) dan penggunaan 100 ml yang hanya menghasilkan testosteron rata-rata sebobot 0,030 mg/100 g bk teripang segar (Lampiran 12 dan 13). Pelarut campuran metanol kloroform menghasilkan bobot testosteron yang tidak berbeda dengan pelarut aseton, tetapi memberikan hasil yang berbeda dengan menggunakan pelarut kloroform dan metanol (Lampiran 13). Hasil ini
79
disebabkan oleh perbedaan titik didih pelarut. Titik didih metanol kloroform aseton dan kloroform secara berurutan adalah sebesar 61-65oC, 56oC dan 61oC, sehingga sirkulasi pelarut metanol kloroform tidak secepat pelarut aseton. Perbedaan sirkulasi pelarut tersebut menyebabkan perbedaan waktu kontak bahan dan pelarut (Tzia dan Liadakis 2003; Taylor dan Francis 2004). Rendahnya hasil ekstraksi menggunakan soxhlet dengan pelarut metanol, selain karena ketidak sesuaian tingkat kepolaran, juga disebabkan oleh sirkulasi yang terjadi hanya 1 kali sehingga kontak bahan dan pelarut sangat sedikit. Penggunaan panas pada ekstraksi menggunakan soxhlet menghasilkan testosteron yang lebih tinggi daripada maserasi. Diduga pemanasan mempengaruhi ikatan elektron sehingga mempengaruhi sifat kimia pelarut (donor number dan aceptor number, bilangan Lowrey). Perubahan dari metode ekstraksi maserasi ke ekstraksi menggunakan soxhlet meningkatkan bobot testosteron pada semua jenis pelarut dan rasio. Pelarut metanol kloroform meningkat dari bobot rata-rata 0,058 menjadi 0,273 mg/100 g bk, aseton meningkat dari 0,075 menjadi 0,263 mg/100 g bk, pelarut kloroform meningkat dari 0,029 menjadi 0,161 mg/100 g bk dan metanol meningkat dari 0,039 menjadi 0,092 mg/100 g bk teripang segar. Perbedaan metode ekstraksi, meningkatkan bobot testosteron yang tertinggi pada penggunaan pelarut 300 ml, yakni dari 0,078 menjadi 0,388 mg/100 g dan penggunaan pelarut 200 ml, yakni dari 0,070 menjadi 0,174 mg/100 g bk teripang segar. Penggunaan pelarut 100 ml mengalami penurunan bobot testosteron yang diperoleh (0,054 menjadi 0,030 mg/100 g bk teripang segar) karena kontak pelarut dengan bahan sangat sedikit. Bobot testosteron tertinggi yang diperoleh pada kombinasi pelarut dan rasio bahan pelarut adalah dengan menggunakan pelarut campuran metanol kloroform pada rasio bahan pelarut 1:3 b/v sebesar 0,622 mg/100 g bk teripang segar (Lampiran 13).
Ekstraksi Teripang Secara Reflux Ekstraksi dengan reflux merupakan metode ekstraksi, yang letak antara bahan dan pelarut dicampurkan pada satu tempat, dilakukan pemanasan dan pengadukan serta penggunaan kondensor balik sehingga pelarut yang menguap
80
akibat pemanasan akan masuk kembali ke tempat semula. Pemanasan dilakukan untuk meningkatkan kelarutan komponen yang akan diekstrak dan pengadukan dilakukan untuk meningkatkan kontak bahan dan pelarut, sehingga hasil yang diperoleh lebih banyak. Ekstraksi secara reflux termasuk dalam kelompok batch dengan sistem stirred vessel (Tzia dan Liadakis 2003). Pengaruh pelarut pada ekstraksi secara reflux menunjukkan bobot rata-rata testosteron sebesar 7,863 (kloroform), 7,167 (metanol kloroform), 3,776 (aseton) dan 3,044 mg/100 g bk teripang segar (metanol).
Hasil uji lanjut DMRT
menunjukkan penggunaan pelarut metanol kloroform memberikan hasil yang tidak berbeda dengan pelarut kloroform, tetapi berbeda dengan hasil pelarut aseton dan metanol. Rasio bahan dan pelarut yang menghasilkan bobot rata-rata testosteron tertinggi adalah pada rasio 1:2 (b/v) sebesar 7,086 mg/100 g bk teripang segar. Peningkatan penggunaan jumlah pelarut juga menunjukkan bobot rata-rata testosteron yang berbeda (Lampiran 15). Kombinasi perlakuan ekstraksi yang menggunakan pelarut kloroform pada semua rasio menghasilkan bobot testosteron (7,955, 7,805 dan 7,829 mg/100 g bk teripang segar) yang tidak berbeda dengan penggunaan pelarut metanol kloroform pada rasio 1:2 b/v (7,614 mg/100 g bk teripang segar). Pengaruh penggunaan pelarut pada ekstraksi secara reflux memperlihatkan semakin rendah konstanta dielektrik pelarut (semakin non polar pelarut), semakin meningkat bobot testosteron yang diperoleh.
Penurunan konstanta dielektrik
pelarut yang digunakan secara berurutan adalah 32,6, 20,7, 14,07 dan 4,8 debye (metanol, aseton, metanol kloroform dan kloroform). Tingkat konstanta dielektrik bukan merupakan satu-satunya penentu kepolaran, tetapi juga ditentukan oleh sifat kimia pelarut yang lain seperti bilangan Lowry (proton number dan aseptor number) yang menunjukkan kemampuan untuk menerima pasangan elektron, elektrostatik, induktif, dispersive, transfer muatan dan gaya ikatan hidrogen (Adam dan Dyson 2004). Hasil ekstraksi steroid teripang secara reflux dapat dilihat pada Lampiran 14 dan Gambar 14.
81
Gambar 14 Bobot testosteron hasil ekstraksi teripang secara reflux Sifat kimia ini sangat dipengaruhi oleh pemanasan, sehingga bobot testosteron yang dihasilkan berbeda pada ekstraksi reflux (pemanasan) dibandingkan dengan ekstraksi secara maserasi (suhu rendah). Disamping itu, perbedaan testosteron yang diperoleh juga diduga karena perbedaan solubility pelarut dalam air (kadar air teripang 88,99%). Kemampuan melarut (solubility) dalam air secara berurutan dari yang tertinggi adalah kloroform, aseton dan metanol (Ashton McDermott 2004). Pengaruh rasio bahan dan pelarut menunjukkan, semakin banyak pelarut yang digunakan, testosteron yang dihasilkan semakin tinggi sampai penggunaan 200 ml pelarut, tetapi bobot testosteron menggunakan 200 ml pelarut tidak menunjukkan perbedaan dengan menggunakan 300 ml pelarut (Lampiran 15). Penggunaan pelarut pada ekstraksi secara reflux lebih sedikit daripada ekstraksi secara maserasi dan soxhlet (300 ml) karena pada ekstraksi secara reflux menggunakan pengadukan yang meningkatkan kontak bahan dan pelarut serta dan pemanasan yang meningkatkan kelarutan. Kombinasi pelarut dan rasio bahan dan pelarut yang dipilih pada ekstraksi secara reflux adalah pelarut campuran metanol kloroform dengan rasio bahan dan
82
pelarut 1:2 b/v. Pemilihan ini didasarkan pada pertimbangan bahwa penggunaan pelarut lebih sedikit, biaya lebih murah (harga kloroform yang lebih mahal dari metanol) dan dampak lingkungan kloroform terhadap lingkungan dapat dikurangi.
Perbandingan metode ekstraksi secara maserasi, soxhlet dan reflux Setelah diperoleh jenis pelarut, rasio bahan dan pelarut yang tepat pada setiap metode ekstraksi, selanjutnya dilakukan perbandingan metode ekstraksi, jenis pelarut dan rasio bahan pelarut berdasarkan persentase bobot testosteron yang terekstrak terhadap bobot testosteron total pada teripang. Secara lengkap perbandingan metode ekstraksi, jenis pelarut dan rasio bahan pelarut dapat dilihat pada Gambar 15.
Gambar 15 Perbandingan bobot testosteron hasil ekstraksi secara konvensional Hasil ekstraksi secara maserasi yang menghasilkan testosteron tertinggi adalah ekstraksi dengan pelarut aseton, dengan rasio bahan pelarut 1:3 b/v yakni sebesar 0,077 mg/100 g bk teripang segar.
Ekstraksi menggunakan soxhlet
menghasilkan testosteron tertinggi dengan menggunakan pelarut campuran metanol kloroform, dengan rasio 1:3 b/v sebesar 0,622 mg/100 g bk teripang segar.
Ekstraksi secara reflux menghasilkan testosteron yang tertinggi
menggunakan kloroform, tidak berbeda dengan menggunakan pelarut campuran
83
metanol kloroform dengan rasio 1:2 b/v sebesar 7,614 mg/100 g bk teripang segar. Pengaruh pelarut dapat dilihat dari sifat fisik molekular (dipole moment), sifat fisik bulk (tekanan kohesif, konstanta dielektrik, indeks refraktif, titik didih dan titik beku), sifat kimia (nomor donor, nomor aseptor), sifat Solvatochromik (ENT, α, β, π*) (Adam dan Dyson 2004). Perbedaan metode, pelarut dan rasio bahan pelarut meningkatkan persentase hasil yang diperoleh dari 0,971% (maserasi) menjadi 7,819% menggunakan soxhlet, bahkan secara reflux mencapai 95,720% (Lampiran 16). Perbedaan metode juga menunjukan perbedaan pelarut dan volume pelarut yang sesuai dalam mengekstrak testosteron. Pelarut yang sesuai dalam mengekstrak testosteron secara maserasi adalah aseton, sedangkan ekstraksi secara soxhlet dan reflux pelarut yang sesuai adalah campuran metanol kloroform 1:2. Hasil analisis keragaman (metode, pelarut dan rasio bahan pelarut (Lampiran 17), memberikan pengaruh yang nyata terhadap bobot testosteron (α=0,05). Uji lanjut dengan DMRT menunjukkan metode ekstraksi secara reflux memberikan hasil ekstrak yang sangat berbeda dengan hasil ekstraksi secara soxhlet dan maserasi.
Pelarut yang sesuai mengekstrak testosteron secara
berurutan adalah kloroform, metanol kloroform, aseton dan metanol, perbedaan penggunaan pelarut kloroform tidak berbeda nyata dengan pelarut metanol kloroform. Penggunaan pelarut 300 ml, 200 ml dan 100 ml dalam mengakstrak 100 g teripang segar, menunjukkan perbedaan bobot testosteron yang nyata.
Ekstraksi secara reflux skala 3000 ml Ekstraksi teripang dalam skala yang lebih besar dilakukan berdasarkan metode, pelarut dan rasio bahan : pelarut yang terpilih pada tahap sebelumnya, yakni metode ekstraksi secara reflux dengan pelarut metanol kloroform dan rasio bahan pelarut (1:2 b/v). Selanjutnya dilakukan pemilihan suhu dan lama ekstraksi yang dapat menghasilkan testosteron tertinggi, yakni 40, 50 dan 60oC yang diekstraksi selama 4 jam (240 menit). Pemanasan pada ekstraksi secara reflux, merupakan kondisi yang sangat membantu proses ekstraksi. Peningkatan suhu akan meningkatkan kelarutan, sehingga testosteron lebih cepat larut.
84
Pengaruh suhu terhadap bobot testosteron memperlihatkan bahwa peningkatan suhu ekstraksi dari 40oC hingga 60oC meningkatkan bobot testosteron.
Hasil
ini
menggambarkan
bahwa
peningkatan
suhu
akan
meningkatkan kelarutan (solubilitas) dan difusifitas pada ekstraksi, sehingga semakin lama hasil yang diperoleh semakin meningkat, sejalan dengan Aguilera (2003) yang menyatakan bahwa ekstraksi merupakan sinergis kerja pelarut melalui proses difusi pelarut dan kelarutan, baik melalui jaringan sel ataupun melalui kapiler. Bobot testosteron hasil ekstraksi secara reflux dapat dilihat pada Gambar 16.
Gambar 16 Bobot testosteron hasil ekstraksi reflux skala 3000 ml Hasil persamaan yang diperoleh menunjukkan peningkatan suhu ekstraksi dari 40oC menjadi 50oC, akan meningkatkan bobot rata-rata testosteron dari 6,349 menjadi 7,905 mg/100 g bk teripang segar, akan tetapi peningkatan suhu selanjutnya memberikan bobot testosteron yang tidak berbeda (7,746 mg/100 g bk teripang segar). Hasil ini sejalan dengan teori yang menyatakan bahwa suhu berpengaruh terhadap laju ekstraksi, dimana semakin tinggi suhu, hasil ekstraksi makin meningkat. Tetapi peningkatan tersebut dibatasi oleh tingkat penguapan pelarut (Tzia dan Liadakis 2003; Taylor dan Francis 2004).
85
Selain jumlah testosteron yang tinggi menjadi dasar pemilihan suhu ekstraksi, juga perlu diketahui persentase testosteron, yakni persentase bobot testosteron terhadap bobot ekstrak kasar diperoleh akibat perbedaan suhu ekstraksi. Peningkatan suhu ekstraksi (40, 50 dan 60oC) akan menaikkan tingkat persentase testosteron (persentase testosteron) secara berurutan 0,689%, 0,692% dan 0,776%. Lama ekstraksi juga mempengaruhi bobot dan persentase testosteron yang diperoleh, yakni semakin lama ekstraksi, bobot dan persentase testosteron (persentase testosteron) semakin meningkat. Pada lama ekstraksi yang sama, semakin tinggi suhu, bobot dan persentase testosteron juga makin meningkat sampai suhu 500C, tetapi peningkatan tersebut tidak terjadi pada suhu 600C (Lampiran 22). Persentase testosteron yang diperoleh secara rinci dapat dilihat pada Gambar 17 dan Lampiran 22. Peningkatan suhu juga memepengaruhi waktu ekstraksi. Hasil penelitian ini menunjukkan semakin tinggi suhu, waktu ekstraksi semakin singkat. Peningkatan suhu dari 40 ke 50oC dalam menghasilkan bobot testosteron ± 6,347 mempersingkat waktu ekstraksi dari 240 menit menjadi 120 menit.
Gambar 17 Persentase testosteron pada berbagai suhu ekstraksi secara reflux
86
Perbedaan kecil persentase testosteron akibat peningkatan suhu ekstraksi meningkatan kelarutan yang tidak hanya meningkatkan kelarutan testosteron, tetapi juga meningkatkan kelarutan komponen lain. Hal ini dapat dilihat pada peningkatan hasil ekstrak (Lampiran 18).
Metode Ekstraksi Teripang Secara SFE Pengaruh Suhu Terhadap Bobot Testosteron Ekstraksi secara SFE sangat sensitif terhadap perubahan suhu dan tekanan. Pengaruh suhu terhadap laju ekstraksi secara SFE dapat diketahui dengan melihat hasil ekstrak pada setiap tekanan yang sama (Gambar 18). Dalam rentang tekanan dan suhu yang digunakan pada penelitian ini terlihat bahwa pada tekanan yang sama, peningkatan suhu ekstraksi dari 40oC ke 50oC menunjukkan peningkatan bobot testosteron, akan tetapi peningkatan suhu ekstraksi di atas 50oC akan menurunkan hasil ekstrak. Kecenderungan ini sama untuk semua tekanan yang digunakan (23, 25 dan 27 MPa).
Gambar 18 Pengaruh suhu terhadap bobot testosteron Perubahan suhu mempengaruhi densitas cairan, sifat kemampuan menguap (volatilitas) dan desorpsi komponen pada matriks (Yamini et al. 2002).
87
Peningkatan suhu pada SFE menjadikan pelarut mendekati fase gas/sifat gas. Hal ini mengakibatkan densitas pelarut menurun, volatilitas meningkat dan desorpsi komponen pada matriks juga meningkat.
Pengaruh penurunan densitas dan
peningkatan volatilitas akan menentukan hasil ekstraksi yang diperoleh. Jika penurunan densitas akibat peningkatan suhu lebih dominan daripada peningkatan volatilitas maka hasil yang diperoleh akan menurun, akan tetapi jika peningkatan volatilitas lebih dominan daripada
penurunan densitas maka hasil akan
meningkat. Pada penelitian ini terlihat bahwa pengaruh suhu ekstraksi yang meningkatkan bobot testosteron hanya sampai suhu 500C, peningkatan suhu selanjutnya akan menurunkan bobot testosteron yang diperoleh.
Peningkatan
bobot testosteron pada suhu 40 dan 500C disebabkan oleh pengaruh peningkatan volatilitas lebih dominan dari pengaruh penurunan densitas, sehingga hasil testosteron meningkat. Pada ekstraksi dengan tekanan 23 MPa, peningkatan suhu ini memperlihatkan peningkatan dari 3,496 menjadi 4,043 mg/100 g bk teripang segar. Pada tekanan 25 MPa terjadi peningkatan dari 4,225 menjadi 4,650 dan pada tekanan 27 MPa dari 5,179 menjadi 6,337 mg/100 g bk teripang segar. Peningkatan suhu 50 ke 60oC memperlihatkan penurunan testosteron karena efek penurunan densitas lebih dominan daripada efek peningkatan volatilitas. Penurunan testosteron pada tekanan 23 MPa terjadi dari 4,043 menjadi 1,705 pada tekanan 25 MPa dari 4,650 menjadi 2,520 dan pada tekanan 27 MPa dari 6,333 menjadi 3,127 mg/100 g bk teripang segar. Hasil uji lanjut DMRT (Lampiran 27) memperlihatkan bobot rata-rata testoseron pada semua tekanan. Suhu 50, 40 dan 60oC menghasilkan bobot rata-rata testosteron secara berurutan adalah 2,252, 1,938 dan 1,102 mg/100 g bk teripang segar. Pengaruh suhu terhadap hasil ekstrak pada penelitian ini mendukung hasil peneliti-peneliti lain. Kane (1992) menunjukkan bahwa peningkatan suhu (40, 60 dan 80oC) memberikan hasil ekstrak tertinggi pada suhu 60oC dalam mengekstrak steroid murni. Demikian juga dengan hasil penelitian Kurechova (2002) yang melaporkan hasil ekstrak tertinggi pada suhu 40oC dari perlakuan suhu 20, 30, 40, 50, 60 dan 70oC dalam mengekstrak kortikosteroid (deoksikortikosteron, kortikosteron dan kortisol).
Petel et al. (2005) mendapatkan suhu 60oC
88
memberikan hasil tertinggi dalam mengekstrak minyak biji mete.
Catchpole
(2000) mengfraksinasi minyak ikan dengan hasil tertinggi diperoleh pada suhu 40oC dan tekanan 135 bar (perlakuan suhu 40, 50, 60oC dan tekanan 90, 100, 130, 135 bar). Variasi temperatur pada SFE mempengaruhi densitas pelarut, sifat volatilitas dan desorpsi komponen pada matriks/jaringan bahan yang diekstrak. Pada temperatur tinggi volatilitas meningkat, tetapi densitas pelarut menurun. Indikasi lain, peningkatan efisiensi ekstraksi dengan menaikkan suhu tergantung pada bobot molekul dan titik penguapan molekul. Yamini (2005) mendapatkan peningkatan suhu dari 308 ke 408 K meningkatkan efisiensi ekstraksi medroxyprogesteron asetat (med), tetapi perubahan suhu ini menurunkan efisiensi ekstraksi cyproteron asetat (cyp). Fenomena ini disebabkan oleh peningkatan suhu pada med mengakibatkan densitas menurun, volatilitas meningkat dan desorpsi komponen pada matrik meningkat. Pengaruh penurunan densitas lebih kecil daripada pengaruh peningkatan volatilitas pada med sehingga hasil meningkat, sedangkan pada cyp pengaruh penurunan densitas lebih dominan daripada peningkatan volatilitas, sehingga hasil menurun. Pengaruh suhu pada penelitian Ghasemi et al. (2006) dalam mengekstrak Artemisia sieberi memperlihatkan peningkatan suhu dari 308 ke 318 K meningkatkan hasil ekstrak, tetapi peningkatan suhu 318 ke 328 K, menurunkan hasil ekstrak. Hal ini disebabkan peningkatan suhu akan meningkatkan volatilitas, tetapi juga mengakibatkan turunnya densitas. Peningkatan suhu dari 308 ke 328 K memberikan efek peningkatan volatilitas lebih dominan daripada penurunan densitas, sehingga hasil meningkat. Akan tetapi, peningkatan suhu dari 308 ke 328 K memberikan efek penurunan densitas lebih dominan daripada peningkatan volatilitas, sehingga hasil menurun. Ekstrak kolesterol dari otak sapi secara SFE memperlihatkan bahwa peningkatan suhu memberikan hasil yang tidak berbeda.
Peningkatan suhu
menurunkan densitas dan viskositas, akan tetapi meningkatkan difusivitas (koeffisien baur). Penurunan densitas mengurangi koeffisien perpindahan massa, semua berkonstribusi terhadap perpindahan massa eksternal. Pengaruh antara penurunan densitas dan peningkatan difusifitas yang seimbang pada perubahan
89
suhu 60oC dan 70oC, menunjukkan kolesterol yang diperoleh dari otak sapi tidak berbeda nyata (Vederaman et al. 2005).
Pengaruh Tekanan Terhadap Bobot Testosteron Pengaruh tekanan pada penelitian ini menunjukkan peningkatan tekanan dari 23 ke 27 MPa meningkatkan bobot rata-rata testosteron dari 3,496 menjadi 5,179 mg/100 g bk teripang segar (pada suhu 40oC). Ekstraksi pada suhu 50oC, perubahan tekanan yang sama, meningkatkan testosteron dari 4,043 menjadi 6,337 mg/100 g bk teripang segar dan peningkatan testosteron dari 1,705 menjadi 3,127 mg/100 g bk teripang segar pada hasil ekstraksi suhu 60oC. Peningkatan testosteron tertinggi akibat peningkatan tekanan terjadi pada ekstraksi suhu 50oC. Pengaruh tekanan terhadap bobot testosteron secara garfis dapat dilihat pada Gambar 19.
Gambar 19 Pengaruh tekanan terhadap bobot testosteron Gambar 19 memperlihatkan bahwa, semakin tinggi tekanan pada SFE, bobot testosteron pada hasil ekstraksi semakin meningkat. Hasil yang diperoleh ini disebabkan peningkatan tekanan pada suhu tetap (Gambar 3) mengakibatkan pelarut bergerak ke fase cair (sifat pelarut mendekati sifat cair), sehingga terjadi peningkatan densitas dari 0,2-0,5 g/ml menjadi 0,6-1,6 g/ml (Haug dan Krokonis
90
1986). Peningkatan densitas diduga meningkatkan kemampuan pelarut dalam mengekstrak testosteron. Densitas CO2 pada keadaan gas adalah sebesar 0,00060,1 g/ml, dalam kondisi superkritis sebesar 0,2-0,5 g/ml dan dalam kondisi cair sebesar 0,6-1,6 g/ml (Sun 2002). Disisi lain, peningkatan tekanan pada suhu tetap mengakibatkan terjadi peningkatan viskositas, dari 0,0001-0,003 menjadi 0,0020,03 g/cm-menit (Rizvi 1999).
Penurunan viskositas ini diduga menurunkan
kemampuan pelarut dalam mengekstrak teripang. Perbedaan pengaruh densitas dan viskositas ini yang memepngaruhi testosteron pada hasil ekstrak. Metode SFE pada teripang pasir memberikan pengaruh peningkatan densitas lebih dominan daripada
pengaruh peningkatan viskositas, sehingga
menjadikan hasil ekstrak meningkat dengan meningkatnya tekanan.
Kondisi
fluida superkritis seperti itu mengakibatkan kemampuan pelarut semakin meningkat, testosteron pada hasil ekstrak semakin tinggi hingga tekanan 27 MPa. Hasil analisis uji lanjut DMRT, menunjukkan perbedaan pengaruh tekanan dari 23 MPa menjadi 25 MPa tidak memberikan perbedaan bobot testosteron. Tetapi, peningkatan menjadi 27 MPa memberikan bobot testosteron yang berbeda. Pengaruh tekanan pada penelitian ini mendukung hasil peneliti-peneliti lain (Mendes, 2003; Vederaman, et al. 2004; Patel et al, 2005; Ghaseni et al. 2006), yakni semakin tinggi tekanan ekstraksi, hasil yang diperoleh semakin meningkat. Vederaman et al. (2004) menghasilkan ekstrak kolesterol tertinggi pada tekanan 270 bar (≈27 MPa) dari 230 dan 250 bar. Pengaruh peningkatan tekanan dalam mengekstrak kolesterol dari 230 bar menjadi 270 bar meningkatkan persentase pengekstrakan karena peningkatan tekanan akan meningkatkan densitas, sehingga mendorong kearah suatu perpindahan massa yang lebih tinggi (dari 3x10-5 menjadi 3,7x10-5), walaupun peningkatan tekanan menurunkan difusifitas (dari 7,7 menjadi 6,2x10-9 m2/menit). Hasil penelitian Mendes (2003) menyatakan bahwa hasil ekstrak mikro alga pada tekanan 35 MPa lebih besar dari tekanan 27,5 MPa, juga lebih besar dari 20 MPa. Petel et al. (2005) menunjukkan hasil ekstrak minyak biji mete terbanyak, secara berurutan adalah pada tekanan 300 bar, 250 bar, 225 bar, 200 bar, dan Gahseni et al. (2006) menunjukkan hasil ekstrak pada tekanan 30,4 MPa tertinggi daripada tekanan 20,2 MPa dan 10,1 MPa.
91
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Yamini et al. (2002) dalam mengekstrak cyp, tetapi sejalan dengan hasil ekstraksi med. Pengaruh peningkatan tekanan (100, 200 dan 300 Bar) meningkatkan hasil ekstraksi pada med, tetapi peningkatan tekanan memberikan hasil yang menurun dalam mengekstrak cyp.
Hal ini disebabkan dalam mengekstraksi med
peningkatan tekanan meningkatkan densitas, sehingga kemampuan melarutkan semakin meningkat. Ekstraksi cyp menunjukkan “matrick interference” dalam hal ini kelarutan hanya sedikit tergantung pada tekanan, tetapi dipengaruhi oleh matrik jaringan, sehingga mengakibatkan hasil ekstrak rendah pada tekanan tinggi.
Perbedaan suhu dan tekanan optimum tersebut disebabkan pengaruh
sumber bahan baku yang akan diekstrak (hewan atau tanaman), bagian bahan baku yang diekstrak (akar, batang, daun, bunga atau tulang, daging), ukuran partikel, laju alir pelarut, dan penggunaan co-solvent.
Perbandingan Hasil Ekstraksi Secara SFE dan Konvensional Gambar 20 memperlihatkan perbandingan persentase testosteron pada metode SFE dengan ekstraksi secara reflux yang merupakan salah satu pertimbangan dalam pemilihan kondisi dan metode ekstraksi setelah bobot testosteron.
Supercritical Fluid Extraction
Reflux
METODE EKSTRAKSI
Gambar 20 Persentase testosteron pada ekstraksi secara SFE dan reflux
92
Semakin tinggi persentase testosteron, semakin dominan testosteron pada hasil ekstrak, dengan kata lain kemurniannya meningkat. Hasil yang diperoleh sejalan dengan keunggulan SFE, yakni mendapatkan produk yang lebih persentase testosteron lebih tinggi. untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran 28. Persentase testosteron tertinggi hasil ekstraksi secara reflux diperoleh pada suhu 60oC, sedangkan persentase testosteron tertinggi secara SFE pada suhu 50oC. Perbedaan ini disebabkan peningkatan suhu ekstraksi (40, 50 dan 60oC) secara reflux berada dalam tekanan normal, sehingga yang mempengaruhi solubilitas pelarut hanya temperatur. Sedangkan ekstraksi secara SFE berlangsung di atas tekanan kritis, sehingga kondisi densitas, viskositas dan difusifitas pelarut memberikan hasil yang lebih spesifik. Persentase testosteron pada ekstraksi secara SFE memperlihatkan bahwa semakin tinggi tekanan pada semua suhu ekstraksi, kemunian testosteron yang diperoleh semakin meningkat (2,712, 3,002 dan 4,846%). Akan tetapi, semakin tinggi suhu, persentase testosteron dapat meningkat dan dapat menurun (1,298, 1,366 dan 0,856%).
Hasil ini disebabkan oleh seberapa besar pengaruh
peningkatan densitas dan peningkatan volatilitas terhadap hasil ekstrak. Sedangkan peningkatan suhu (40, 50 dan 60oC) pada ekstraksi secara reflux meningkatkan persentase testosteron (0,485, 0,514 dan 0546%). Hasil uji lanjut terhadap kemurnian hasil SFE memperjelas bahwa peningkatan suhu dari 40 ke 50oC, tidak memberikan peningkatan persentase testosteron yang berbeda (1,298% dan 1,366%), sedangkan peningkatan suhu menjadi 60oC menurunkan tingkat kemurnian menjadi 0,856%. Hasil uji lanjut terhadap persentase testosteron pada reflux menunjukkan peningkatan suhu memberikan peningkatan kemurnian sebesar 0,689%, 0,692% dan 0,776% (Lampiran 28).
Pengaruh Rasio Laju Alir CO2 dan Co-solvent Co-solvent adalah zat organik yang mempunyai “volatility intermediate” terhadap pelarut superkritis dan larutan yang akan diekstrak, sering ditambahkan ke dalam pelarut superkritis.
Tujuan penggunaan co-solvent adalah untuk
merubah karakteristik bahan pelarut, seperti polaritas dan interaksi spesifik tanpa perubahan signifikan densitas dan kompresibilitas (kemampuan mampat) bahan
93
pelarut asal.
Campuran co-solvent dan SFE-CO2 menjadi superkritis jika
tekanannya di atas tekanan kritis campuran dan temperaturnya di atas temperatur kritis campuran, biasanya tidak berbeda jauh dengan nilai kritis pelarut murni (Haugh dan Krokonis 1903). Co-solvent yang digunakan pada ekstraksi secara SFE adalah pelarut campuran metanol dengan kloroform 1:2 b/v. Hasil ekstraksi secara SFE dengan penambahan co-solvent secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 30 dan hasil analisis keragaman pada Lampiran 31. Semakin besar laju alir co-solvent yang digunakan (semakin banyak cosolvent yang digunakan), maka hasil ekstrak yang diperoleh semakin meningkat serta waktu ekstraksi semakin singkat, karena co-solvent dapat mempengaruhi proses ekstraksi dengan cara meningkatkan volatility larutan, meningkatkan densitas SFE dengan berpotensi meluaskan fase kondensasi cairan atau dengan penambahan daya campur komponen (Dunford dan King 2003). Hasil ekstrak secara berurutan diperoleh pada ekstraksi dengan rasio laju alir co-solvent 2:1 ml/menit sebesar 1350 mg/100 g, bk teripang segar, pada rasio 2,5:0,5 ml/menit sebesar 331 mg/100 g, bk teripang segar dan terendah pada rasio 2,7:0,3 ml/menit sebesar 213 mg/100 g, bk teripang segar (Lampiran 34). Pengamatan terhadap bobot testosteron hasil ekstrak secara SFE menggunakan co-solvent dapat dilihat pada Gambar 21.
Gambar 21 Bobot testosteron pada berbagai rasio laju alir CO2 : co-solvent
94
Peningkatan rasio laju alir co-solvent mempengaruhi lama ekstraksi, terlihat dari hasil ekstrak (persentase hasil) setiap waktu pengamatan. Semakin banyak pelarut yang digunakan, waktu ekstraksi semakin cepat. Rasio laju alir co-solvent 2,7:0,3 mg/menit memperlihatkan hasil ekstrak mencapai 93% pada ekstraksi menit ke 180, rasio laju alir 2,5:0,5 ml/menit bobot ekstrak mencapai 93% pada menit ke 150, bahkan penggunaan rasio 2:1 ml/menit mencapai hasil 93% pada ekstraksi selama 50 menit. Peningkatan hasil ini menunjukkan bahwa pemakaian co-solvent sangat mempercepat proses ekstraksi secara SFE. Hal ini disebabkan co-solvent meningkatkan kelarutan komponen yang akan diekstrak dengan meningkatkan densitas pelarut. Peningkatan rasio laju alir co-solvent mempengaruhi hasil ekstrak dan mempersingkat waktu ekstraksi, dimana peningkatan rasio laju alir dari 2,7:0,3 ml/menit menjadi 2,5:0,5 ml/menit pada ekstraksi selama 120 menit, mampu meningkatkan hasil ekstraksi dua kali lipat (153 menjadi 303 mg/100 g bk teripang segar), bahkan peningkatan rasio laju alir co-solvent 3x (dari 2,7:0,3 ml/menit ke 1 ml/menit) mampu meningkatkan hasil 4 kali hasil semula, yakni menjadi 1349 mg/100 g bk teripang segar (Lampiran 30). Hasil testosteron yang diperoleh menunjukkan pola yang sama dengan pengaruh co-solvent terhadap bobot ekstrak teripang, semakin banyak co-solvent yang digunakan, semakin banyak testosteron pada hasil ekstrak (Lampiran 31). Bobot testosteron tertinggi diperoleh pada penambahan co-solvent dengan rasio laju alir 2:1 ml/menit, yaitu 9,281 mg/100 g bk teripang segar, diikuti dengan penambahan co-solvent dengan rasio laju alir 2,5:0,5 ml/menit menghasilkan testosteron sebobot 3,889 mg/100 g bk teripang segar dan testosteron terendah pada penggunaan co-solvent dengan rasio laju alir 2,7:0,3 ml/menit menghasilkan testosteron sebobot 2,194 mg/100 g bk teripang segar. Hal ini disebabkan cosolvent dapat mempengaruhi proses ekstraksi dengan cara meningkatkan densitas SFE, dengan berpotensi meluaskan fase kondensasi cairan atau dengan penambahan daya campur komponen, sehingga solubilitas meningkat. Hasil yang diperoleh pada penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Cocero dan Garcia (2000), yang menggunakan metanol, etanol, butanol dan hexanol sebagai co-solvent dalam mengekstrak minyak biji-biji secara SFE dapat
95
meningkatkan hasil ekstrak.
Lebih lanjut hasil yang diperoleh diolah
menghasilkan model matematis sehingga dapat digunakan pada skala industri Cocero dan Garcia (2002). Catchpole et al. (2000) menggunakan etanol sebagai co-solvent dalam mengekstrak dan mengfraksinasi minyak ikan secara SFE dapat meningkatkan hasil ekstrak. Kureckova (2002) memperoleh hasil ekstrak yang meningkat dari 33,2% menjadi 50,7% dan 53,9% pada perlakuan tanpa co-solvent, acetonitril dan Trifluracetic acid+ acetonitril. Perbedaan rasio laju alir co-solvent mempengaruhi bobot hasil ekstrak dan bobot testosteron.
Peningkatan bobot hasil ekstrak dan bobot testosteron
mempengaruhi tingkat kemurnian produk akhir (persentase testosteron). Variasi bobot hasil ekstrak dan bobot testosteron akibat pengaruh perbedaan rasio laju alir co-solvent terhadap persentase testosteron yang diperoleh dapat dilihat pada Gambar 22.
Gambar 22 Persentase testosteron pada berbagai rasio laju alir CO2 : co-solvent Peningkatan rasio penggunaan co-solvent dari 2,7:0,3 ml/menit menjadi 2,5:0,5 ml/menit memperlihatkan peningkatan persentase testosteron, tetapi peningkatan
menjadi
2:1
ml/menit
menghasilkan
penurunan
persentase
testosteron.
Hasil ini disebabkan peningkatan pelarut dalam mengekstrak
testosteron juga meningkatan kelarutan komponen lain yang terdapat pada bahan,
96
sehingga peningkatan testosteron lebih kecil dari peningkatan hasil ekstrak. Peningkatan penggunaan co-solvent dari rasio laju alir 2,7:0,3 ml/menit menjadi 2:1 ml/menit, meningkatkan hasil ekstrak enam kali bobot semula (213 menjadi 1350 mg/100 g bk teripang segar), sedangkan testosteron hanya meningkat empat kali bobot semula (2,19 menjadi 9,28 mg/100 g bk teripang segar). Pengaruh rasio laju alir co-solvent terhadap persentase testosteron terlihat pada Gambar 22. Peran co-solvent dalam SFE adalah untuk meningkatkan polaritas dan kekuatan pelarut disamping menahan kepekaan daya larut terhadap tekanan dan temperatur (Rizvi 1999). Co-solvent dapat meningkatkan selektivitas saparasi dengan interaksi antara satu atau lebih komponen serta memfasilitasi saparasi fraksional yang selektif. Secara umum co-solvent non polar meningkatkan daya larut hidrokarbon aromatik sampai beberapa ratus persen (Sun 2002). Co-solvent biasanya dipilih untuk interaksi secara spesifik dengan larutan target melalui ikatan hidrogen, interaksi berdasarkan asam-basa, interaksi dipole-dipole.
Analisis Kualitatif dan Kuantitatif Testosteron Analisis kualitatif dan kuantitatif testosteron pada hasil ekstrak teripang dilakukan secara bertahap, diawali dengan uji warna yang menunjukkan keberadaan steroid (ada atau tidak).
Selanjutnya dilakukan analisis kulitatif
dengan KLT, mendeteksi testosteron berdasarkan kesamaan Rf dengan testosteron standar pada hasil ekstra.
Pengujian kualitatif dilanjutkan dengan pengujian
kuantitatif (Spektrofotometer UV-Vis dan HPLC), terakhir dilakukan analisis kualitatif menggunakan FT-IR untuk melihat gugus-gugus fungsional yang mencirikan testosteron (C=O, -OH dan C=C).
Hasil Uji Warna Pengamatan uji warna pada hasil ekstraksi teripang dapat dilihat pada Gambar 23, memberikan warna hijau. Hasil uji warna ini menunjukkan ekstrak mengandung steroid. Warna hijau disebabkan oleh terjadinya polimerisasi lemak tak jenuh dalam medium asam asetat anhidrat dan asam sulfat pekat (Lampiran 3). Hasil yang diperoleh sejalan dengan hasil uji warna steroid dari cacing laut (Alwir, 2001), steroid dari lintah laut (Ibrahim, 2001) dan steroid dalam kerang
97
hijau (Riris, 1994) yang juga menunjukkan hasil uji warna yang sama yaitu berwarna hijau. Hasil uji warna steroid dari teripang yang dilaporkan Nurjanah (2008) dan Riani et al. (2008) juga menunjukkan warna hijau kebiruan seperti hasil penelitian ini.
Gambar 23 Hasil uji warna ekstrak teripang
Analisis kualitatif testosteron dengan KLT Analisis kualitatif testosteron menggunakan KLT merupakan pemisahan komponen berdasarkan interaksi spesifik komponen tersebut dengan fase diam relatif terhadap fase gerak.
Fase diam yang digunakan adalah lapis tipis
adsorbens dan fase gerak adalah metanol kloroform (1:2 b/v), berdasarkan azas kapiler, sambil membawa serta komponen-komponen yang dipisahkan.
Tiap
komponen bergerak dengan kecepatan yang berbeda dan akhirnya terpisah dalam bentuk noda-noda yang saling terpisah.
Pemisahan noda hasil ekstraksi
dibandingkan dengan pemisahan noda testosteron standar (Lampiran 4). KLT digunakan untuk analisis hasil kualitatif, dengan membandingkan nilai Rf yang diperoleh dari hasil ekstraksi teripang dan Rf yang diperoleh dari testosteron standar (Acros). Nilai Rf dari steroid hasil ekstraksi teripang adalah 0,837, sedangkan nilai Rf dari testosteron standar adalah 0,825 (Lampiran 5). Nilai Rf yang diperoleh dari hasil ekstraksi teripang mendekati nilai Rf testosteron
98
menunjukkan bahwa hasil ekstraksi teripang pasir yang diperoleh mengandung testosteron.
Analisis Kuantitatif Testosteron Analisis kuantitatif testosteron pada hasil ekstrak teripang dilakukan untuk mengetahui jumlah testosteron pada hasil ekstrak. Analisis kuantitatif dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis dan HPLC, yang berkaitan dengan deteksi awal analisis kualitatif pada alat yang sama.
Analisis Kuantitatif Testosteron dengan Spektrofotometer UV-Vis Pengamatan dengan spektrofotometer diawali dengan penentuan panjang gelombang yang tertinggi dalam menentukan kadar testosteron standar. Panjang gelombang 240 nm merupakan panjang gelombang tertinggi yang mampu mendeteksi testosteron tertinggi. Pengamatan pada panjang gelombang tersebut digunakan untuk mengidentifikasi testosteron pada hasil ekstrak teripang. Sebelum mengamati testosteron pada hasil ekstrak, terlebih dahulu dibuat kurva testosteron standar, selanjutnya pengamatan pada hasil ekstrak dilakukan dan dibandingkan dengan testosteron standar (Lampiran 6). Kurva testosteron standar dibuat dengan mengamati pembacaan (absorbansi/Ao) dari berbagai konsentrasi testosteron (mg/ml), kemudian diplot ke dalam grafik sehingga diperoleh hubungan antara absorbans dengan konsentrasi. Peralatan spektrofotometer UV1601PC menggunakan program yang ada pada alat mengsubstitusi hasil pembacaan dalam bentuk absorbansi (Ao) menjadi kosentrasi (mg/ml).
Hasil
analisis kuantitatif testosteron selanjutnya disesuaikan dengan pengenceran dan volume sampel. Bobot testosteron adalah 2,800 mg (Lampiran 6)
Analisis kuantitatif testosteron dengan HPLC Analisis kualitatif testosteron pada hasil ekstrak teripang dilakukan dengan menggunakan HPLC, mengikuti pemisahan komponen yang dilalukan pada kolom (fase diam) altex ultrasphere Si ukuran 10 mm (D) x 25 cm dengan eluen (fase mobil) kloroform : metanol (5:1) pada panjang gelombang 240. Prosedur analisis kualitatif dan kuantitatif dengan HPLC terdapat pada (Lampiran 7) dan
99
hasil analisis terlihat pada Gambar 24. Metode HPLC bersifat relatif, artinya diperlukan standar yang identitasnya diketahui dengan pasti.
Dasar analisis
kualitatif pada HPLC adalah waktu retensi, yaitu lamanya waktu yang diperlukan untuk mengelusi suatu komponen dalam kolom. Dengan membandingkan waktu retensi standar dan waktu retensi komponen menunjukkan komponen tersebut sama dengan standar. Hasil analisis dengan HPLC dari testosteron standar (C19H28O2. BM 288,42, ACROS ORGANICS (katalog 164410050) dan hasil ekstrak teripang terlihat pada Gambar 24 (a) dan 24 (b). Dari kedua gambar tersebut terlihat bahwa ekstrak teripang mengandung testosteron yang waktu retensi/elusinya (Ret Time) sama dengan waktu retensi standar. Waktu retensi testosteron standar menunjukkan peak (puncak) pada pembacaan 4,228 menit, sedangkan waktu retensi ekstrak teripang menunjukkan puncak pada menit 4,228.
Hasil ini
menunjukkan bahwa pada hasil ekstrak terdapat testosteron karena mempunyai waktu retensi yang sama dengan testosteron standar. mAU
mAU
Ret Time (menit)
Ret Time (menit)
Testosteron standar Hasil ekstrak teripang Gambar 24 Analisis kualitatif dan kuantitatif dengan HPLC Untuk mengetahui jumlah testosteron yang telah terdeteksi pada analisis kualitatif, dilakukan pembuatan kurva testosteron standar. Kurva standar dibuat dengan mengamati luas puncak pada berbagai konsentrasi standar, diplot ke
100
dalam grafik sehingga diperoleh persamaan yang menunjukkan hubungan luas puncak dan konsentrasi. Hasil analisis kuantitatif dengan HPLC menunjukkan testosteron pada hasil ekstrak sebesar 0,002 mg/ml (392,96 mAU*s) pada standard sebesar 1,826 mg/ml (357,774 mAU*s). Stonik et al. 1998 dengan menggunakan HPLC menemukan rasio sterol C27 : C28 : C29 ≈ 1,5 : 1 : 25 dari ekstrak teripang pasir, sedangkan Ponomaren et al pada 2000 berhasil mengidentifikasi sterol bebas menggunakan HPLC dari holothurians lain.
Analisis kualitatif testosteron dengan FT-IR Analisis kualitatif testosteron dengan menggunakan FT-IR dilakukan untuk mengidentifikasi gugus-gugus fungsional yang mencirikan testosteron. Gugus-gugus fungsional pada suatu senyawa jika dilalui sinar infra red akan tervibrasi dan terotasi. Setiap ikatan kimia yang berbeda seperti C-C, C=C, C≡C dan C=O, O-H mempunyai frekuensi fibrasi yang berbeda-beda (Nur 1989b). Gugus fungsi suatu senyawa dapat diketahui berdasarkan frekuensi fibrasi (Nur 1989a). Spektrum standar dan hasil ekstrak memperlihatkan pola yang hampir sama, yang membedakan adalah tingkat ketajaman spektrum. Pada spektrum testosteron standar terlihat lebih tajam dibandingkan spektrum pada hasil ekstraksi karena perbedaan tingkat kemurnian.
Interpretasi spektrum infra red diawali
dengan memeriksa puncak absorpsi dari gugus fungsional utama, seperti C-C, C=C, C≡C dan C=O, O-H. Gugus fungsional utama yang diperiksa adalah gugus karbonil (C=O), dengan puncak pada kisaran 1600-1820 (Carey 1992) atau 1760 (Creswell 1982). Pada testosteron standar terdapat spektrum tajam pada 1737 cm-1 dan pada hasil ekstrak spektrum pada frekuensi 1711 cm-1(tidak tajam). Spektrum lain yang dilihat adalah karbon dengan ikatan rangkap (C=C) yang terdapat pada spektrum 1465 cm-1 (Creswell 1982; Carey 1992 dan Nur 1989a).
Pada
testosteron standar dan hasil ekstrak terdapat gugus karbonil (C=C) pada 1432,13 dan 1465,87 cm-1.
Selanjutnya dilihat spektrum yang mencirikan alkohol
sekunder (> C – OH). Spekstrum ini ditemukan pada frekuensi 3317,03 cm-1 (hasil ekstrak) dan 3314,00 cm-1 (testosteron standar), sesuai dengan yang
101
Plot antara transmitans dengan frekuensi pada hasil ekstrak dan testosteron standar menggunakan FT-IR disajikan pada Gambar 25.
>CH-O-H
C-H
C-H3 C=O
>C=CH
Frekuensi (cm-1)
Testosteron standar(Acros)
>CH-O-H
C-H
C-H3
C=O
>C=CH
Frekuensi (cm-1)
Ekstrak Teripang Gambar 25 Spektrum hasil FT-IR testosteron standar dan hasil ekstrak
102
dilaporkan Creswell (1982), gugus fungsi alkohol sekunder dicirikan oleh spektrum pada frekuensi 3200-3600 cm-1.
Oleh karena ditemukannya gugus-
gugus fungsi penciri testosteron pada hasil ekstrak relatif hampir sama dengan hasil standar testosteon, maka pada hasil ekstrak terdapat testosteron. Gugusgugus penciri ini juga ditemukan sebagai penciri testosteron yang diisolasi dari terung susu (Solanum mammosum). Interpretasi spektrum FT-IR dan hasil ekstrak secara ringkas disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Interpretasi spektrum IR testosteron standar dan hasil ekstrak teripang Frekuensi Standar (cm-1) 3528,57 3390,54 3026,88 2944,00 2929,07 2877,82 2847,50 1734,77 1665,60 1656,72 1612,71 1445,97 1432,13 1413,33 1066,08 1056,33
Frekuensi Ekstrak (cm-1) 3400,97
Gugus fungsi
Creswell,1982 3200 - 3600
2923,44
Alkohol sekunder >CH - O- H C-H (streching) Aldehid C-H
2852,45
Alkana CH3 - C
2853 - 2962
1711,06 1637,45
Gugus C=O Alkena C=C
1760 1600-1680 1650- 1730
1497,93 1465,87 1412,18 1097,03
Alkana CH3 - C Alkena >C = CH
1375 - 1450 1465
Eter
1000 – 1300
3010 - 3095 3000 - 2900
103
KESIMPULAN Kesimpulan 1.
Ekstraksi teripang secara konvensional (maserasi, soxhlet dan reflux) pada skala 300 ml memberikan hasil sebagai berikut : a. Pelarut yang menghasilkan bobot (mg/100 g bk teripang segar) testosteron tertinggi pada ekstraksi secara maserasi adalah aseton (0,077), sedangkan pada ekstraksi secara soxhlet (0,622) dan reflux (7,614) pelarut yang menghasilkan bobot testosteron tertinggi adalah pelarut campuran metanol kloroform 1:2 v/v. b. Rasio bahan dan pelarut yang menghasilkan bobot (mg/100 g bk teripang segar) testosteron tertinggi pada ekstraksi secara maserasi dan soxhlet adalah rasio 1:3, sedangkan ekstraksi secara reflux adalah rasio 1:2. c. Metode ekstraksi yang menghasilkan testosteron tertinggi adalah metode reflux karena menghasilkan rendemen (mg testosteron/100 g teripang segar) tertinggi (7,614) dibandingkan ekstraksi secara soxhlet (0,622) dan maserasi (0,077) serta menggunakan pelarut lebih sedikit.
2.
Ekstraksi secara reflux skala 3000 ml memperlihatkan bahwa : a. Suhu yang menghasilkan testosteron tertinggi adalah suhu 50oC. Peningkatan suhu dari 40 ke 50oC meningkatkan bobot testosteron dari 6,349 ke 7,905 mg/100 g bk teripang segar, sedangkan peningkatan suhu selanjutnya tidak menunjukkan perbedaan bobot testosteron yang nyata. Akan tetapi, peningkatan suhu (40, 50 dan 60oC) tidak berpengaruh terhadap persentase testosteron (bobot testosteron/bobot ekstrak kasar) yakni sebesar 0,689, 0,692 dan 0,776% b. Waktu yang menghasilkan testosteron tertinggi adalah 180 menit pada semua suhu ekstraksi.
Peningkatan waktu ekstraksi selanjutnya tidak
menunjukkan perbedaan bobot testosteron. Semakin meningkatnya suhu ekstraksi (40 ke 50oC), waktu ekstraksi yang diperlukan untuk menghasilkan bobot testosteron yang sama (6,349 mg/100 g bk teripang segar), semakin singkat (dari 240 menjadi 120 menit).
104
3.
Suhu dan tekanan sangat berpengaruh terhadap testosteron yang diperoleh pada hasil ekstraksi secara SFE, yaitu : a. Suhu yang menghasilkan bobot (mg/100 g bk teripang segar) dan persentase testosteron tertinggi adalah pada suhu 50o C. Peningkatan suhu dari 40 ke 50oC meningkatkan bobot rata-rata testosteron dari 4,300 ke 5,010 dan persentase testosteron dari 1,298 ke 1,366%. Peningkatan suhu selanjutnya (60oC) menurunkan bobot testosteron menjadi 2,451 dan persentase testosteron menjadi 0,856%. b. Tekanan yang menghasilkan bobot dan persentase testosteron tertinggi adalah pada tekanan 27 MPa. Peningkatan tekanan dari 23 ke 27 MPa meningkatkan bobot testosteron rata-rata dari 3,081 ke 4,881 mg/100 g bk teripang segar dan meningkatkan persentase testosteron dari 0,904 ke 1,615%. c. Kondisi ekstraksi yang menghasilkan testosteron tertinggi adalah pada suhu 50oC dan tekanan 27 MPa (6,337 mg/100 g bk teripang segar).
4. Pengaruh penggunaan co-solvent pada ekstraksi secara SFE menunjukkan bahwa : a. Penggunaan co-solvent meningkatkan bobot testosteron yang diperoleh dan mempersingkat waktu ekstraksi. Rasio laju alir CO2 dan co-solvent yang menghasilkan testosteron tertinggi adalah rasio 2:1 ml/menit. b. Peningkatan rasio laju alir CO2 dan co-solvent dari rasio 2,7:0,3 menjadi 2:1 ml/menit meningkatkan bobot testosteron dari 2,194 menjadi 9,281 mg/100 g bk teripang segar. c. Waktu ekstraksi yang menghasilkan bobot testosteron tertinggi adalah 45 menit. Semakin banyak co-solvent yang digunakan maka waktu ekstraksi yang diperlukan untuk menghasilkan bobot testosteron yang sama (2,194 mg/100 g bk teripang segar),.semakin singkat (dari 240 menjadi 15 menit). 5. Hasil analisis uji warna (warna hijau), waktu retensi pada KLT dan HPLC, panjang gelombang pada absorbansi tertinggi pada spektrofotometer UV-Vis serta terdapat gugus-gugus penciri pada FT-IR yang sama antara testosteron standar dan hasil ekstrak, membuktikan bahwa ekstrak teripang yang dihasilkan mengandung testosteron.
105
Metode ekstraksi secara reflux sesuai dikembangkan pada daerah terpencil, sedangkan metode ekstraksi secara SFE sesuai dikembangkan pada daerah dengan ketersediaan fasilitas lengkap (terutama ketersediaan listrik). Kondisi ekstraksi secara reflux adalah menggunakan pelarut metanol kloroform (1:2 v/v) dengan rasio bahan dan pelarut 1:2 b/v pada suhu 50oC dan waktu ekstraksi 180 menit. Kondisi ekstraksi secara SFE adalah pada suhu 50oC dan tekanan 27 MPa, menggunakan co-solvent metanol kloroform dengan rasio laju alir CO2 dan cosolvent 1:2 ml/menit selama 45. Produk yang dihasilkan dari ekstraksi secara reflux sesuai digunakan untuk keperluan sex reversal, sedangkan produk yang dihasilkan secara SFE sesai digunakan untuk sediaan produk farmaka sumber testosteron bagi manusia.
Saran 1.
Perlu dikaji lebih lanjut tentang proses ekstraksi teripang pasir secara reflux dan analisis finansialnya pada skala yang lebih besar (pilot plant) agar kondisi ekstraksi steroid teripang mendekati skala produksi industri secara komersial.
2.
Perlu pengembangan budidaya teripang yang baik untuk menunjang agroindustri ekstraksi steroid teripang sebagai sumber testosteron alami.
3.
Dalam upaya menjaga ketersediaan bahan baku teripang, perlu diteliti lebih lanjut pola-pola kerja sama antara industri testosteron teripang dengan nelayan teripang, sehingga dapat membantu kehidupan nelayan dan memberi jaminan ketersediaan bahan baku yang menguntungkan industri.
4.
Untuk menggali potensi pemanfaatan teripang yang tinggi, maka perlu penelitian tentang komponen bahan aktif yang terdapat pada hasil samping ekstraksi teripang, sehingga pemanfaatan teripang maksimal. Hasil samping yang potensial dikaji adalah hasil samping pada presipitat (sumber protein dan kalsium), pada pelarut metanol (T-Lectin untuk obat HIV dan triterpenoid untuk berbagai aplikasi) dan pada bagian tersabunkan (asam lemak DHA dan EPA), sehingga menghasilkan produk lain sebagai hasil samping dari industri testosteron dari teripang.
106
KESIMPULAN Kesimpulan 4.
Ekstraksi teripang secara konvensional (maserasi, soxhlet dan reflux) pada skala 300 ml memberikan hasil sebagai berikut : a. Pelarut yang menghasilkan bobot (mg/100 g bk teripang segar) testosteron tertinggi pada ekstraksi secara maserasi adalah aseton (0,077), sedangkan pada ekstraksi secara soxhlet (0,622) dan reflux (7,614) pelarut yang menghasilkan bobot testosteron tertinggi adalah pelarut campuran metanol kloroform 1:2 v/v. b. Rasio bahan dan pelarut yang menghasilkan bobot (mg/100 g bk teripang segar) testosteron tertinggi pada ekstraksi secara maserasi dan soxhlet adalah rasio 1:3, sedangkan ekstraksi secara reflux adalah rasio 1:2. c. Metode ekstraksi yang menghasilkan testosteron tertinggi adalah metode reflux karena menghasilkan rendemen (mg testosteron/100 g teripang segar) tertinggi (7,614) dibandingkan ekstraksi secara soxhlet (0,622) dan maserasi (0,077) serta menggunakan pelarut lebih sedikit.
5.
Ekstraksi secara reflux skala 3000 ml memperlihatkan bahwa : c. Suhu yang menghasilkan testosteron tertinggi adalah suhu 50oC. Peningkatan suhu dari 40 ke 50oC meningkatkan bobot testosteron dari 6,349 ke 7,905 mg/100 g bk teripang segar, sedangkan peningkatan suhu selanjutnya tidak menunjukkan perbedaan bobot testosteron yang nyata. Akan tetapi, peningkatan suhu (40, 50 dan 60oC) tidak berpengaruh terhadap persentase testosteron (bobot testosteron/bobot ekstrak kasar) yakni sebesar 0,689, 0,692 dan 0,776% d. Waktu yang menghasilkan testosteron tertinggi adalah 180 menit pada semua suhu ekstraksi.
Peningkatan waktu ekstraksi selanjutnya tidak
menunjukkan perbedaan bobot testosteron. Semakin meningkatnya suhu ekstraksi (40 ke 50oC), waktu ekstraksi yang diperlukan untuk menghasilkan bobot testosteron yang sama (6,349 mg/100 g bk teripang segar), semakin singkat (dari 240 menjadi 120 menit).
107
6.
Suhu dan tekanan sangat berpengaruh terhadap testosteron yang diperoleh pada hasil ekstraksi secara SFE, yaitu : a. Suhu yang menghasilkan bobot (mg/100 g bk teripang segar) dan persentase testosteron tertinggi adalah pada suhu 50o C. Peningkatan suhu dari 40 ke 50oC meningkatkan bobot rata-rata testosteron dari 4,300 ke 5,010 dan persentase testosteron dari 1,298 ke 1,366%. Peningkatan suhu selanjutnya (60oC) menurunkan bobot testosteron menjadi 2,451 dan persentase testosteron menjadi 0,856%. b. Tekanan yang menghasilkan bobot dan persentase testosteron tertinggi adalah pada tekanan 27 MPa. Peningkatan tekanan dari 23 ke 27 MPa meningkatkan bobot testosteron rata-rata dari 3,081 ke 4,881 mg/100 g bk teripang segar dan meningkatkan persentase testosteron dari 0,904 ke 1,615%. c. Kondisi ekstraksi yang menghasilkan testosteron tertinggi adalah pada suhu 50oC dan tekanan 27 MPa (6,337 mg/100 g bk teripang segar).
6. Pengaruh penggunaan co-solvent pada ekstraksi secara SFE menunjukkan bahwa : a. Penggunaan co-solvent meningkatkan bobot testosteron yang diperoleh dan mempersingkat waktu ekstraksi. Rasio laju alir CO2 dan co-solvent yang menghasilkan testosteron tertinggi adalah rasio 2:1 ml/menit. b. Peningkatan rasio laju alir CO2 dan co-solvent dari rasio 2,7:0,3 menjadi 2:1 ml/menit meningkatkan bobot testosteron dari 2,194 menjadi 9,281 mg/100 g bk teripang segar. c. Waktu ekstraksi yang menghasilkan bobot testosteron tertinggi adalah 45 menit. Semakin banyak co-solvent yang digunakan maka waktu ekstraksi yang diperlukan untuk menghasilkan bobot testosteron yang sama (2,194 mg/100 g bk teripang segar),.semakin singkat (dari 240 menjadi 15 menit). 7. Hasil analisis uji warna (warna hijau), waktu retensi pada KLT dan HPLC, panjang gelombang pada absorbansi tertinggi pada spektrofotometer UV-Vis serta terdapat gugus-gugus penciri pada FT-IR yang sama antara testosteron standar dan hasil ekstrak, membuktikan bahwa ekstrak teripang yang dihasilkan mengandung testosteron.
108
Metode ekstraksi secara reflux sesuai dikembangkan pada daerah terpencil, sedangkan metode ekstraksi secara SFE sesuai dikembangkan pada daerah dengan ketersediaan fasilitas lengkap (terutama ketersediaan listrik). Kondisi ekstraksi secara reflux adalah menggunakan pelarut metanol kloroform (1:2 v/v) dengan rasio bahan dan pelarut 1:2 b/v pada suhu 50oC dan waktu ekstraksi 180 menit. Kondisi ekstraksi secara SFE adalah pada suhu 50oC dan tekanan 27 MPa, menggunakan co-solvent metanol kloroform dengan rasio laju alir CO2 dan cosolvent 1:2 ml/menit selama 45. Produk yang dihasilkan dari ekstraksi secara reflux sesuai digunakan untuk keperluan sex reversal, sedangkan produk yang dihasilkan secara SFE sesai digunakan untuk sediaan produk farmaka sumber testosteron bagi manusia.
Saran 5.
Perlu dikaji lebih lanjut tentang proses ekstraksi teripang pasir secara reflux dan analisis finansialnya pada skala yang lebih besar (pilot plant) agar kondisi ekstraksi steroid teripang mendekati skala produksi industri secara komersial.
6.
Perlu pengembangan budidaya teripang yang baik untuk menunjang agroindustri ekstraksi steroid teripang sebagai sumber testosteron alami.
7.
Dalam upaya menjaga ketersediaan bahan baku teripang, perlu diteliti lebih lanjut pola-pola kerja sama antara industri testosteron teripang dengan nelayan teripang, sehingga dapat membantu kehidupan nelayan dan memberi jaminan ketersediaan bahan baku yang menguntungkan industri.
8.
Untuk menggali potensi pemanfaatan teripang yang tinggi, maka perlu penelitian tentang komponen bahan aktif yang terdapat pada hasil samping ekstraksi teripang, sehingga pemanfaatan teripang maksimal. Hasil samping yang potensial dikaji adalah hasil samping pada presipitat (sumber protein dan kalsium), pada pelarut metanol (T-Lectin untuk obat HIV dan triterpenoid untuk berbagai aplikasi) dan pada bagian tersabunkan (asam lemak DHA dan EPA), sehingga menghasilkan produk lain sebagai hasil samping dari industri testosteron dari teripang.
109
DAFTAR PUSTAKA [Anonim]. 2003. Potensi dari Laut Belum dimaksimalkan. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Jakarta. [26 Feb 2005]. [Anonim]. 2004a. The Holothuroidea. http://www.Holothuroidea.htm. [26 Feb 2005]. [Anonim]. 2005a. Buku Petunjuk Penggunaan Peralatan SFE. Makmal Pemisahan Kejuruteraan Kimia dan Proses. Fakulti Kejuruteraan. Universiti Kebangsaan Malaysia. Malaysia. [Anonim]. 2005b. Buku Petunjuk Penggunaan FT-IR. Makmal Institut Bahan Api. Fakulti Kejuruteraan. Universiti Kebangsaan Malaysia. Malaysia. [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan 2005. Agen Anti Kanker dalam Teripang. http//www/dkp [ 20 Jan 2005]. [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2006. Statistik Kelautan dan Perikanan Indonesia 2005. Jakarta. Departemen Kelautan dan Perikanan. [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2000. Penanganan dan Pengolahan Teripang. http://www/dkp [20 Jan 2005]. Adam DJ, Paul D, Stewart JT. 2004. Chemistry and Alternative Reaction Media. Jhon Wiley & Sons Ltd. The Atrium South Gate. England. Adnan AZ. 2001. Penelitian Farmasi dalam Tantangan Masa - Isolasi Alkaloid dari Buah Terung Susu (Solanum mammosum L). Pusat Penelitian Universita Andalas. Padang. Agilera JM. 2003. Solid-Liqiud Extraction. Marcel Dekker, Inc. New York. Alwir Y. 2001. Isolasi Penentuan Komposisi Kimia dan Uji Biologi Senyawa Steroid dari Cacing Laut (Eunice siciliensisi) [tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Ansel HC. 1989. Introduction to Pharmaceutical Dosage Form. Lea and Febiger, Inc. New York.
110
AOAC. 1984. Official Methodes of Analysis of The Association of Official Analytical Chemists. Virginia:Association of Association of Official Analytical Chemist, Inc. Aryantina PL. 2002. Ekstraksi Komponen Antibakteri dari Teripang (Holothuria vacubanda) dan Pengujian Aktifitasnya Sebagai Antibakteria. [Thesis]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Ash M dan Deamicis C. 2001. Optimizing a Temperatur-Sensitive Reaction for Scale-up. Konferensi Agronaut Technologies inc. http://www. argotech. com. Ashton, NF dan McDermott, C. 2004. Chemical Extraction of Non Reacting Solites. Willey Interscience. Jhon Wiley and Sons. New York. Bernasconi G. 1995. Chemische Technologie. PT. Pramadya Paramita. Jakarta. Buncel E, R.A. Stairs dan H. Wilson. 2003. The Role of Solvent in Chemical Reaction. Oxford University Press. Great Claredon Street. Oxford. Cao X dan Yoichiro I. 2003. Supercritical Fluids Extraction of Grape Seed Oil and Subsequent Separation of Free Fatty Acids by High-speed Counter-Current Chromatography. Journal Chromatography. A(947): 117-124. Elsevier. http://www.sciencedirect. [12 Agustus 2005]. Carey FA. 1992. Organic Chemistry. McGraw-Hill, Inc. New York. Catchpole OJ, JB Grey dan KA Noermark. 2000. Fractionation of Fish Oils Using Supercritical CO2 and CO2+ethanol Mixture. Journal Super Fluids. V (19): 25-37. Elsevier. http://www.sciencedirect. [22 Juli 2005]. Cawley AT, Rymantas K, Graham JT dan Adrian VG. 2005. Determination of Urine Steroid Sulfate Metabolites Using Ion Paired Extraction. Journal Chromatography. http://www.sciencedirect. [20 Juli 2005]. Charlotta T, Cicelia SE dan Erland B. 2002. Collection in Analytical-scale Supercritical Fluids Extraction. Journal Chromatography. V(947): 1-22. Elsevier. http://www.sciencedirect. [20 Juli 2005]. Claus EP, Varro ET dan Lynn B. Philadelphia.
1999.
Pharmacognosy.
Febiger.
Cocero MJ dan J Garcia. 2001. Mathematical Model of Supercritical Extraction Applied to Oil Seed Extraction by CO2+saturated alcohol. Journal Super Fluids V (20): 245-255. Elsevier. http://www.sciencedirect. [20 Juli 2005].
111
Coulson JM dan JF Richardson. 1999. Chemical Engineering – 4th ed. British Library Cataloguing in Publication Data. Bath Press, Bath. Great Britain. Cox M dan Rydberg. 2004. Solvent Extraction Principle and Practice. 2nd. Marcel Dekker. Inc. Madison Avenue, New York. Craig CR dan Robert ES. 1997. Modern Pharmacology with Clinical Applications. 4 ed. Little, Brown & Company. Boston. Crane S, Guylene A, Henry J, Zephirin M dan Paul B. 2005. Composition of Fatty Acids Triacylglycerols dan Unsaponifiable Matter in Calophyllum calabab L. Oil from Guadeloupe. Phytochemistry. http://www.science direct. [20 Juli 2005]. Creswell CJ, OA Runquist dan Malcom C. 1982. Senyawa Organik. 1982. ITB. Indonesia.
Analisis Spektrum
Dahuri R. 2004. Industri Bioteknologi Perairan dan Kemakmuran Bangsa. Departemen Perikanan dan Kelautan. http//www/dkp [3 Feb 2005]. Dahuri R. 2005. Menggali Bahan Baku Obat di dalam Laut. Departemen Perikanan dan Kelautan. http://www/dkp [6 Maret 2005]. Darsono P, Soekarna, Notowinarto dan Sutomo. 1995b. Perkembangan Larva Teripang Pasir Holothuria scabra Jaeger pada Bak Pemeliharaan. Dalam : Pengembangan dan Pemanfaatan Potensi Kelautan. Puslitbang Oseanologi. LIPI. Jakarta. Darsono, Soekarno dan Notowinarto. 1995a. Siklus Reproduksi Teripang Pasir Holothuria scabra Jaeger (Holothuria, Aspidochirota) di Perairan Teluk Lampung. Kongres Nasional Biologi XI. Jakarta. Dean JR dan S Khundker. 1997. Extraction of Pharmaceuticals Using Pressured Carbon Dioxide. Journal Phar. Biomed. Analy. V (15): 875886. Elsevier. http://www.sciencedirect. [22 Juli 2005]. Donal LEM. 1989. Veterinary Endocrinology dan Reproduction. 4 Philadelphia : Lea dan Fiber : 1-12.
rd
Dunford, Nurhan T, Motonobu G dan Feral T. 1997. Modelling of Oil Extraction Supercritical CO2 from Atlantic Mackerel (Scomber scombrus) at Different Moisture Contens. Journal Supercritical Fluids. http://www.sciencedirect. [20 Juli 2005]. Euzen JP, Pierre T dan JP Wauquir. 1993. Scale-Up Methodology for Chemical Process. Gulf Publishing Company. Houston, Texas. US.
112
Fechter H. 1969. The Sea Cucumber. Didalam Grzimek B, editor. Grzimek’s Animal life Encyclopedia. New York : Van Nostrand Reinhold Company. Hlm: 305-325. Fessenden RJ dan Joan SF. 1986. Kimia Organik. Pudjaatmika AH, penerjemah. PT.Gelora Aksara Pratama. Jakarta. Terjemahan dari : Organic Chemistry. Fredalina BH Ridzwan, AA Zainal A, MA Kaswandi, H Zaiton, I Zali, P Pittakop dan AM Mat Jais. 1998. Fatty Acid Compositions in Local Sea Cucumber, Stichopus chloronotus, for wound healing. General Pharmacology. (33): 337-340. Elsiver Science. Inc. http://sciencedirec.com. [14 November 2004]. Gani R, G Hytoft dan C Jaksland. 1997. Design and Analysis of Supercritical Extraction Processes. App. Therm. Engineering. V (17):889-899. Elsevier. http://www.sciencedirect. [20 Juli 2005]. Garcia-Ayuso et al. 1998. Ultrasound-assisted Extraction. Journal Chromatography A 57:1196-1197. Elsevier. http://www.sciencedirect. [20 Juli 2005]. Ghasemi, Ensieh, Yamini Y, Nader B dan Fatemmeh S. 2006. Comperative Analysis of The Oil and Supercritical CO2 Extrac of Artemisia sieberi. J. Food Engineering xxx(17):889-899. Elsevier. http://www.sciencedirect. [20 Juli 2005]. Goat LJ dan Toshihiro A. 1997. Analysis of sterols. Blackie Academic & Profisional. London. Goldberg E. 1997. Handbook of Downstream Processing, Blackie Academic & Professional. London. Gonzalez-Vila F.J, JM. Bautista A, A Gutierrez, JC Del Rio dan AG Gonzalez. 2000. Supercritical Carbon Dioxide Extraction of Lipids from Eucalyptus globulus Wood. Journal Biochem. Biophys. Metho. V (43): 345-351. Elsevier. http://www.sciencedirect. [20 Juli 2006]. Gowda, Nagaraj M, Usha G dan M.Islam K. 2008. Purification and Characteristic of T-antigen Spesific Lectin from the Coelomic Fluids of Marene Invertebrata, Sea Cucumber (Holothuria scabra). Journal Fish & Shellfish immunology. (24): 450-458. Elsevier. http://www.sciencedirect. [2 Juni 2008]. Greenberg DM. 1968. Metabolic Pathways. Academic Press. New York and London.
113
Haug T, Anita KK, Olaf BS, Erling S, Orjan MO dan Klara S. 2002. Antibacterial Activity in Strongylocentrotus droebachoensis (Echinoidea), Cucumaria frondosa (Holothuroidea), and Asteria rubens (Astroideae). J. of Intevertebrate Pathology (81):94-102. Academic Press. http: //www.sciencedirect.com. [14 Desember 2004]. Himmelblau DM. 1996. Basic Principles and Calculations in Chemical Engineering, Fourth edition, Prentice-Hall,Inc., Engliwoods cliffs, New Jersey. Huang FH, Li MH, Lee LL, Starling KE dan Chung, FTH. 1985. An Accurate Equation of State for Carbon Dioxide, Journal of Chemical Engineering of Japan. 18 (6): 490. [20 Juli 2005]. Hugh MA. dan Krukonis VJ. 1993. Supercritical Fluids Extractions Principle and Practice. Butterworth-Heinemann. London. Ismail H, S Lemris, ZB Aoun, L Mhadhebi, A Dellai, Y. Kacem, P Boiron dan A. Bouraoui. 2008. Antifungal Activity of Aqueous and Methanolic Extracts from Mediterranean Sea Cucumber, Holuthuria polii. Journal De Mycologie Medicale. (18): 23-26. Academic Press. http: //www.sciencedirect.com. [2 Juni 2008]. Kane M, JR Dean dan SM Hitchen. 1993. Experiment Design Approach for Supercritical Fluids Extraction. Journal Analy Chim Acta V (271):8390. Elsevier. http://www.sciencedirect. [20 Juli 2005]. Kerr, AM. 2000. Holothuroidea : Sea Cucumber. http://www. Holothuroidea. htm. [26 Feb 2004]. King JW. 2004. Critical Fluids Technology for the Processing of Lipidrelated Natural Products. C. R. Chemical V(7): 647-659. Elsevier. http://www. Science direct. [22 Juli 2005]. Kovalchuk SN et al. 2006. Esterogenic Activity of Triterpen Glycosides in Yeast Two-Hybrid Assay. Journal Steroid Biochem. Eng Molekuler Biology. http://www.sciencedirect. [20 Juli 2007]. Kumar, Rajez, Ashok KC, Praveen KS dan Vijai L. 2006. Antifungal Activity in Triterpen Glycosides from the Sea Cucumber Actinopyga lecanora. Biorganic and Medical Chemistry Letters.17: p.4387-4391. http://www. sciencedirect. [20 Juli 2007]. Kureckova, Katerina, Barbora M dan Karel V. 2002. Supercritical Extraction of Steroids from Biological Sample and First Experience with Solid-phase Microextraction-liquid Chromatography. Journal Chrom B (770): 83-89. Elsevier. http://www.sciencedirect [20 Juli 2005].
114
Kustiariah. 2006. Isolasi dan Uji Aktivitas Biologis Senyawa Steroid dari Teripang Sebagai Aprodisiaka Alami (Thesis). Bogor : Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Legniger LA. 1982. Principles of Biochemistry. Publisher.Inc : 206-218.
New York. Worth
Leng LB, 2004, From Bench to Plant : Scale Up Speciality Chemical Processes Directly, pp37-44. http://www.cepmagazine.org. [8 Mei 2005]. Lesellier E. 2001. Analysis of non-saponifiable by super-/subcritical=Fluids Chromatography. Journal Chrom V (936): 201-214. Elsevier. http://www. sciencedirect. [20 Juli 2005]. Li SFY, CP Ong, ML Lee dan HK Lee. 1990. Supercritical Fluids Extraction and Chromatography of Steroids with Freon-22. Journal Chrom. V (515): 515-520. Elsevier. http://www.sciencedirect. [20 Juli 2005]. Lucas S, MP Calvo, J Garcia-serna, C Palencia dan MJ Cocero. 2006. Two parameter model for mass transfer process dan Between Solid Matrixes and Supercritical Fluids : Analytical solution. Journal Supercritical Fluids. http://www.sciencedirect. [22 Juli 2006]. Martin. 1979. Text Book of Endocrine Physiology. University of New York City. Page: 251-269. Martoyo J, N Aji dan TJ Winanto. 2004. Budidaya Teripang. Penebar Swadaya. Jakarta. Maszudyulhak. 2004. Pengelolaan Wilayah Pesisir dalam Perspektif Otonomi Daerah di Provinsi Bengkulu [disertasi]. Bogor: Program Pasca Sarjana, Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor. Mendes RL, Beatriz PN, Cardaso, Ana PP, dan Antonio FP. 2003. Supercritical Carbon Dioxide Extraction of Compounds with Pharmaceutical Importance from Microalgae. Journal. Inor.Chim Acta. V (356):328-334. Elsevier. http://www.sciencedirect. [22 Juli 2005].
Miege C, J Dugay dan MC Hennion. 1998. Optimization and Validation of Solvent and Supercritical Fluids Extraction for the Trace-determination of Polycyclic Aromatic Hydrocarbons in Sewage Sludge by Liquid Chromatography Coupled Array and Flourescence Detection. Jounal Chrom.V(823):219-230. Elsevier. http://www.sciencedirect. [22 Juli 2005].
115
Montgomery DC. 2001. Design and Analysis of Experiments. 5th.ed. Jhon Wiley & Sons, Inc. New York. Chichester Weinheim Brisbane Toronto Singapore. Montgomery R, Robert LD, Thomas WC dan Arthur AS. 1993. Biokimia : Suatu Pendekatan Berorientasi Kasus. Ismadi. Penterjemah. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Terjemahan dari Biochemistry : A Case-Oriented Approach. Morris, CCOR. dan Morris P. 1976. Separation Methodes in Biochemistry. Pitman Publishing, London. Mulloy B, PAS Mourao dan Gray. 2000. Structur/Function Studies of Anticoagulant Sulphated Polysaccarides using NMR. WWW J Biotech. 77(1): 123-135. http://sciencedirect.com. [ 12 Agus 2004]. Muray, Ana P, Claudia M, Alicia MS dan Marta SM. 2002. Patagonicoside A : Novel Antifungal Disulfated Triterpene Glycoside from the Sea Cucumber Psolus pataginicus Journal Tetrahedron. V (57): 9563-9568. http://science direct.com [12 Agus 2004]. Murwani, Retno dan Agus T. 2003. Peneliti Undip Temukan Senyawa Antikanker. Departemen Perikanan Dan Kelautan [22 Juli 2005]. Nogrady T. 1993. Kimia Medisinal Pendekatan Secara Biokimia. Institut Teknologi Bandung. Bandung. Notowinarto dan D.H. Putro. 1991. Tehnik Pembenihan Teripang. Bulletin. Budidaya Laut. V(2): 33-36. Nur MA. 1989. Teknik Spektroskopi Dalam Analisis Biologis. PAU. IPB. Bogor. Nur MA. 1989. Spektroskopi. Pusat Antar Universitas. IPB. Bogor. Nurjanah S. 2008. Identifikasi Steroid Teripang Pasir (Holothuria scabra) dan Pemanfaatannya Sebagai Sumber Steroid Alami (Disertasi). Bogor : Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Ong CP, HK Lee dan SFY Li. 1990. Supercritical Fluids Extraction and Chromatography of Cholesterol in Food Samples. Journal Chromatography. http://www.sciencedirect. [22 Juli 2005]. Ozcan A dan Asiye SO. 2004. Comparison of Supercritical Fluids and Soxhlet Extraction for The Quantifikasi of Hydrocarbons from Euphorbia macroclada. Journal Talanta. V.(64): 491-495. Elsivier. http://www.science direct. [22 Juli 2005]. Parwa A. 1991. Analisis Farmasi Metode Modern. Airlangga University Press. Surabaya.
116
Patel RN, Santanu B dan Anuradda G. 2005. Extraction of Cashew (Anacardium occidentale) Nut Shell Liquid Using Supercritical Carbon Dioxide. Journal Bior.Tech. Elsevier. http://www.sciencedirect. [22 Juli 2005]. Pine SH, Hendrickson JB, Donald JC dan Goerge SH. 1988. Kimia Organik. Joedodibroto, R dan Sasanti. Bandung : Penerbit ITB. Terjemahan dari : Organic chemistry. Ponowarenko, Ljudmila P, Anatoly IK, Olga PM dan Valentin AS. 2001. Free Sterols from The Holothurians: Synapta maculata, Cladolabes bicartus and Cucumaria sp. Journal Comp. Biochem. and Physio. V(128): 53-62. Elsevier. http://www.sciencedirect. [12 Agus 2004]. Ramadhan MF, G Sharabanabasappa, YN Seetharam, M Seshagiri dan JoergT M. 2005. Characterisation of Fatty Acids and Bioactive Compounds of kachnar (Bauhinia purpurea L) seed oil. Food Chemistry 9 : p 359365. . http://www.sciencedirect. [12 Agus 2005]. Reina A. 2004. Sea Cucumber a Promosing Mainstay Commodity. Program OGB Indonesia. http://www.oxfamgb.org/eastasia. [26 Feb 2005]. Riani E, Khaswar S dan Kaseno. 2008. Pemanfaatan Steroid Teripang Sebagai Aprodisiaka Alami untuk Pengembangan Budidaya Perikanan. Laporan Eksekutif Hibah Penelitian Pascasarjana-HPTP. Institut Pertanian Bogor. Riddick JA dan WB Burger. 1970. Organic Solvents. Willey Interscience. Jhon Wiley and Sons. New York. Ridzuwan BH, MA. Kaswandi, Y Azman dan M Fuad. 2005. Screening for Antibacterial Agent in Three Species of Sea Cucumber from Coastal Areas of Sabah. Journal General Pharmacology: The Vascular Sytem 26: 1539-1543. http://Sciencedirect.com [ 26 Feb 2004]. Rizvi SS. 1999. Supercritical Fluids Processing of Food and Biomaterials. Aspen Publisher, Inc. Gaithersburg, Maryland. Ruiz-Jimenez J. 2004. Automatic Soxhlet Extraction. Journal Anal Chim Acta 159-525. Elsevier. http://www.sciencedirect. [20 Juli 2005]. Russo MV, Antonella DL dan Vicenzo M. 2004. Solid Phase ExtractionGas-Chromatographic Methode to Determine Free Cholesterol in Animal Fats. Journal Food Composition and Analysis. (18): 617-624. Elsevier. http://www.sciencedirect. [20 Juli 2005]. Samad MY. 2000. Perbaikan Kualitas Produk Industri Kecil Teripang. Journal Saint dan Teknologi. V 2 (3). p 52-55. http://www.IPTEKnet.htm [23 Maret 2004].
117
Scalia S, L Giuffreda dan P Pallado. 1999. Analytical and Praparative Supercritical Fluids Extraction of Chamomile Flowers and its Comparison with Conventional Methods. J. Pharm. Biomed. Anal. V (21): 549-558. Elsevier. http://www.sciencedirect. [20 Juli 2005]. Schunack W, Klaus M dan Manfred H. 1990. Senyawa Obat. Gadjah Mada Univertitas Press. Yogyakarta. Shirai N, Tomoyuki H dan Hiramitsu. 2004. Analysis of Lipid Classes and The Fatty Acid Composition of the Salted Fish Food Product, Ikura, Tarako, Tobiko and Kazunoko. Food Chemistry. V(94): p.61-67. http://Science direct.com [ 26 Feb 2004]. Steckel H, J Thies dan BW Muller. 1997. Micronozing of Steroids for Pulmonary Delivery by Supercritical Carbon Dioxide. Journal Int. Pharm. V (152) : 99-110. Elsevier. http://www.sciencedirect. [20 Juli 2005]. Stolker AAM, LA Van Ginkel, RW Stephany dan RJ Maxwell. 1999. Supercritical Fluids Extraction of Methyltestosterone Nortestosterone and Testosterone at low ppb Levels from fortified Bovine Urine. J.Chrom. V (726): 121-131. Elsevier. http://www.sciencedirect. [20 Juli 2005]. Sudjadi. 2003. Penentuan Struktur Senyawa Organik. Garude Indonesia. Jakarta. Sun Ya-Ping. 2002. Supercritical Fluids Technology in Materials Science dan Engineering Synthesis, Properties and Applications. Marcel Dekker, Inc. Madison Avenue, New York. USA. SY Guo, Zhi G, Qin G, BY Chen dan Xi-Cheng W. 2003. Expression, Purification and Characterization of Arginine Kinase from The Sea Cucumber Stichopus japonicus. Protein Expression and Purification, V.29 (P. 230-234). http://Sciencedirect.com [ 26 Feb 2004]. Turner dan Bagara, 1976. Hormonal Enchanment of Growth in Fish Physiology. V (8): 456-597. Academic Press. New York. Tzia C dan G.Liadakis. 2003. Extraction in Food Engineering. Marcel Dekker, Inc. United States of America. Vederaman N, C Srinivasakannan, G.Brunner, BV Ramambramam dan PG Rao. 2005. Experimental and Modeling Studies on Extraction of Cholesterol from Cow Brain Using Supercritical Carbon Dioxide. Journal Supercritical Fluids V(34): 27-34. Elsevier. http://www.sciencedirect. [22 Juli 2005]. Villasin dan Christopher M.P. 2000. Antibacterial Activity of Extracts from the body wall of Parastichopus parvimensis {Echinodermata:
118
Holothuroidea). Journal Fish & Shellfish Immunology. V (10);465-467. http://sciencedirect.com. [12 Agus 2004]. Voet WE dan Schreiber MD. 1999. Medical Aspects of Biochemistry. Little, Brown and Company. Boston. Voight R. 1994. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Soendani Noegrono, penerjemah. Gadjah Mada University Press.Terjemahan dari : Lehrbuch der pharmazeutischen technologie. Warren LM, Julian CS dan Peter H. 1999. Chemical Engineering Operation. Erlangga. Jakarta. Wibowo S, Yunizal, Eddy S, Mei DE dan Tazwir. 1997. Teknologi Penanganan dan Pengolahan Teripang (Holothuroidea). Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Jakarta. Wilson and Gisvold. 1993. Kimia Farmasi dan Medisinal Organik. J. B. Lippincott Company. Philadelphia – Toronto. Xu J, Shubing C dan Qiuhui H. 2004. Antioxidant Activity of Brown Pigment and Extracts from Black Sesame Seed (Sesamum indicum L). Food Research Inter. V (39): 343-329. http://sciencedirect.com. [2 Mei 2008] Xu X, Yanxiang G, Guangmin L, Qi W dan J Zhao. 2007. Optimization of Supercritical CO2 Extraction of Sea Buckthorn (Hippophae thamnoides L) Oil Using Respon Surface Methodology. LWT (41): p.1223-1231. http://sciencedirect.com. [2 Mei 2008] Xueli C dan Yoichiro I. 2003. Supercritical Fluids Extraction of Grape seed Oil and Subsequent Separation on Free Fatty Acid by High-speed Counter-current Chromatography. Journal Chrom. V (1021): 117-124. Elsevier. http://www.sciencedirect. [20 Juli 2005]. Xue-Yan Fu et al. 2005b. Characterization of Protease from The Digestive Track of Sea Cucumber (Stichopus japanicus). Journal Aquacultur, In Press, Correted Proof. http://sciencedirect.com. [20 Mei 2005] Xue-Yuan Fu et al. 2005a. Study of Alkaline Protease Extracted from Digestive Track of Sea Cucumber (Stichopus japanicus). Food Research Inter. V (38): 323-329. Elsevier. http://www.sciencedirect. [28 Juli 2005]. Yamini Y, Mehdi A dan Naader B. 2002. Effects of Differents Parameters on Supercritical Fluids Extraction of Steroid Drugs from Spiked Matrices and Tablets. Talanta. V (58):1003-1010. Elsevier. http://www.sciencedirect. [22 Juli 2005].
119
Young C. 1997. Sea Cucumber. Western Fisheries. http://www.wa.gov.au/ westfish/wf/bc97aut.html. [26 Februari 2004]. Yuan WH, Yang HY, Ling L, Bao SL, Hong WZ dan Peng S. 2007. Two Triterpene Glycosides from Sea Cucumber Bohadschia marmorata J. Chinese Chemical Letters. 19 : p.457-460. http://www.sciencedirect. [20 Mei 2008]. Zhao S, Luba SK, Jhon RW, Bryan DS, Jinsen G, Judy K dan Keng HC. 2002. A Benchmark Assesment of Residue : Comparison of Athabasca bitumen with convention and heavy crudes. Fuel. http://fuelfirst.com. [2 Juni 2004] Zhao Y, Bafang L, Zunying L, Shiyuan D, Xue Z dan Mingyong Z. 2007. Anthypertensive Affect and Purification of an ACE Inhibitor Peptide from Sea Cucumber Gelatin Hydrolysate. J. Process Biochemistry. Elsevier. http://www.sciencedirect. [2 Juni 2008].
120
LAMPIRAN
121
Lampiran 1 Analisa proksimat teripang pasir (AOAC,1995) 1. Kadar Air Sampel sebanyak 2 sampai 5 gram ditimbang secara teliti di dalam wadah aluminium kering yang telah diketahui bobotnya, lalu dikeringkan dalam oven pada suhu 100o C selama 3 sampai 5 jam. Setelah kering cawan beserta isinya didinginkan dalam desikator hingga mencapai suhu kamar, selanjutnya ditimbang. Pengeringan contoh dilakukan sampai mencapai bobot yang konstan. B1 – B2 Kadar air (%) = -------------------- x 100 B1 Keterangan :
2.
B1 = Bobot contoh awal (gram) B2= Bobot contoh akhir (gram)
Kadar Lemak Contoh bebas air sebanyak 2 gram diekstraksi dengan pelarut eter dalam
sokhlet selama 6 jam. Contoh hasil ekstraksi diuapkan dengan cara dianginanginkan, kemudian dikeringkan di dalam oven dengan suhu 100o C selama 30 menit dan didinginkan dalam desikator sampai bobotnya konstan. B2 Kadar lemak (%) = ------------- x 100 B1 Keterangan : 3.
B1 = Bobot contoh awal (gram) B2= Bobot lemak (gram)
Kadar Protein Contoh yang telah dihaluskan sebanyak 0,1 gram dimasukkan dalam labu
kjedahl 30 ml, ditambahkan 2,5 ml asam sulfat pekat, 1 gram katalis dan batu didih. Selanjutnya dididihkan selama 1 sampai 1,5 jam sampai cairan menjadi jernih. Labu didinginkan, lalu isinya dipindahkan ke dalam alat destilasi dan ditambahkan 15 ml larutan NaOH 50%, kemudian dibilas dengan air suling. Erlenmeyer berisi 25 ml asam klorida 0,02 N, diletakkan di bawah kondensor, sebelumnya ditambahkan 2 sampai 3 tetes indikator nitrogen.
Ujung tabung
kondensor terendam dalam larutan klorida, kemudian destilasi dilakukan sampai 25 ml destilat dalam erlenmeyer. Destilat dititrasi dengan NaOH 0,02 N sampai
122
terjadi perubahan warna hijau menjadi ungu. Penetapan blanko dilakukan dengan cara yang sama. (Y – Z) x N x 1,4 x 6,25 Protein kasar (%) = ------------------------------------- x 100 W Keterangan :
4.
Y = ml NaOH titer untuk blanko B = ml NaOH titer untuk contoh N = Normalitas NaOH W = bobot contoh (gram)
Kadar Abu Contoh sebanyak 2 gram ditempatkan dalam cawan porselen dan di
masukkan dalam tanur bersuhu 600oC, proses pengabuan dilaksanakan selama 2 jam, kemudian contoh didinginkan dalam desikator dan ditimbang. B2 Kadar abu (%) = ------------- x 100 B1 Keterangan : B1 = Bobot contoh awal (gram) B2= Bobot lemak (gram)
123
Lampiran 2 Prosedur penyabunan pada hasil ekstrak teripang (Catchpole 2000) Pemisahan steroid dari hasil ekstrak dilakukan dengan penyabunan karena steroid merupakan kelompok lemak tak tersabunkan.
Tahapan penyabunan
sebagai berikut : 1. Hasil ekstraksi yang telah diperoleh dengan berbagai motode, ditimbang (a gram), dimasukkan kedalam labu, ditambahkan 50 ml KOH 1 M dan dilakukan refluks pada suhu 70oC selama 1 jam. 2. Setelah 1 jam ditambahkan aquades sebanyak 100 ml ke dalam larutan yang telah direfluks dan dilakukan pendinginan. 3. Dietil eter ditambahkan sebanyak 100 ml untuk memisahkan bagian yang tersabunkan dan tak tersabunkan. Bahan yang telah ditambah dietil eter dalam tabung pemisah dikocok, diendapkan, dipisahkan antara supernatan pertama dan presipitan. Presipitan diekstrak kembali menggunakan dietil eter 100 ml sebanyak 2 kali, diperoleh supernatan kedua dan ketiga. 4. Semua supernatan yang diperoleh digabungkan, dimasukkan kedalam corong untuk dicuci dengan aquades 40 ml sebanyak 3 kali pencucian. 5. Presipitan dipisahkan, ditambahkan KOH 0,5 M sebanyak 40 ml dan 1 tetes pp, dikocok dan didiamkan sampai terbentuk dua fasa. 6. Dua fasa yang terbentuk dipisahkan dan supernatan yang diperoleh ditambahkan 40 ml aquades, dikocok, didiamkan dan dipisahkan kembali dua fasa yang terbentuk. Ke dalam supernatan ditambahkan kembali 40 ml KOH 0,5 M, selanjutnya dikocok, didiamkan dan dipisahkan antara supernatan dan presipitan. 7. Supernatan selanjutnya dicuci sampai tidak berwarna merah muda lagi jika ditambahkan indikator pp. 8. Larutan yang dihasilkan kemudian dievaporasi dengan rotary vacuum evaporator pada suhu 55oC sampai semua pelarut menguap, bagian yang tak menguap merupakan steroid teripang.
124
Lampiran 3 Analisis kualitatif dengan uji warna (metode Lieberman Burchad)
Steroid diidentifikasi dengan metode Lieberman Burchad yaitu penambahan beberapa tetes asam asetat anhidrat dan 0,5 ml khloroform pada ekstrak teripang, kemudian diaduk. Selanjutnya ditambahkan satu tetes asam sulfat pekat. Jika menunjukan warna hijau berarti mengadung steroid (Cook, 1958)
125
Lampiran 4 Analisis kualitatif dengan Kromatografi Lapis Tipis (Nur, 1989)
Identifikasi steroid menggunakan KLT dilakukan dengan prosedur kerja sebagai berikut : 1. Lempeng lapis tipis silika gel 60 F254 katalog Art 5554 dengan ukuran panjang 10 cm dan lebar 5 cm dikeringkan dalam oven pada suhu 80oC selama 2 jam dan dimasukkan ke dalam desikator. 2. Ekstrak steroid dari teripang yang telah diperoleh dilarutkan dalam kloroform dan standar testosteron dilarutkan dalam kloroform. 3. Tabung kromatografi diisi dengan eluen yang akan digunakan, yakni kloroform : metanol (2:1) sebanyak + 2 cm tingginya dari dasar tabung. Ditutup rapat agar jenuh dengan uap eluen. 4. Larutan ekstrak steroid dari teripang dan larutan standar testosteron ditotolkan pada lempeng dengan jarak 1 cm dari salah satu ujung lempeng dan jarak antara keduanya + 1.5 cm. 5. Ujung lempeng yang terdekat pada tempat penotolan dicelupkan ke dalam tabung kromatografi yang sudah jenuh dengan eluen. 6. Tabung kromatografi ditutup rapat dan dibiarkan pelarut naik sampai batas yang ditentukan. 7. Setelah dielusi pada batas tertentu, lempeng tersebut diangkat dan selanjutnya dikeringkan di dalam oven selama 5 menit. 8. Lempeng yang telah dikeringkan tersebut disemprot dengan H2SO4 pekat. Penampakan noda terjadi setelah dikeringkan dalam oven atau dilihat langsung dibawah sinar UV. 9.
Perhitungan nilai Rf tiap noda (spot) ditentukan dengan mengukur jarak noda (bagian titik tengah noda) dibagi jarak eluen.
126
Lampiran 5 Hasil analisis kualitatif dengan Kromatografi Lapis Tipis
Keterangan : Jarak spot/noda Rf = -------------------Jarak eluen
8 cm
7,7 cm Rf ekstrak = ---------- = 0,96 8 cm 7,7 cm
7,6 cm
7,6 cm Rf Standar = ----------- = 0,95 8
Ekstrak
Standar
127
Lampiran 6 Analisis kualitatif dan kuantitatif testosteron menggunakan Spektrofoto-meter UV-Vis (Gorog, 1983) Prosedur Spektrofotometer Dalam mengidentifikasi steroid menggunakan UV-Visible 1601 PC (Shimadzu) diawali dengan pencarian panjang gelombang yang tertinggi yang dapat mendeteksi testosteron dengan menggunakan standar testosteron (Acros). Puncak panjang gelombang yang diperoleh pada kromatogram digunakan sebagai panjang gelombang pada pengamatan selanjutnya, yakni dalam identifikasi hasil ekstrak teripang dan pembuatan kurva standar. Tahapan pelaksanaan adalah : Larutan standar testosteron Testosteron ditimbang sebanyak 0,1 gr, dilarutkan ke dalam 10 ml etanol. Selanjutnya larutan testosteron diencerkan sehingga diperoleh testosteron dengan berbagai kosentrasi (0,1%, 0,2%, 0,3%, 0,4%, dan 0,5%) Standar siap dibaca dengan UV-Visible 1601 PC. Larutan hasil ekstrak Hasil ekstrak yang telah disabunkan diambil sebanyak 10 ml, dikeringkan menggunakan evaporator. Kemudian ditambahkan 10 ml etanol, sampel siap dibaca dengan UV-Visible 1601 PC. Pembacaan dengan menggunakan Spektrofotometer UV-Vis 1.
Tekan tombol on pada alat spektrofotometer dan nyalakan komputer pencatat (CPU dan monitor)
2.
Letakkan kuvet berisi pelarut tanpa sampel (blanko) pada kedua tempat
3.
Pada Komputer pilih program UV-Vis, jalankan operasi standar alat.
4.
Ganti kuvet tempat sampel dengan standar testosteron, operasikan alat untuk mencari panjang gelombang tertinggi.
5.
Setelah diperoleh panjang gelombang tertinggi, masukan panjang gelombang kedalam program komputer.
6.
Ganti kuvet tempat sampel dengan hasil ekstrak yang ingin diketahui.
Hasil analisis kualitatif dan kuantitatif testosteron menggunakan Spektrofotometer UV-1601PC (Gorog, 1983)
128
150
200
250
300
350
400
240
240
nm
nm
129
240
nm
Absorbansi maksimum standar dan hasil ekstrak diperoleh pada panjang gelombang yang sama (λ =240 nm), menunjukkan di dalam ekstrak teripang terdapat testosteron. Kosentrasi testosteron yang diperoleh 0,279 mg/ml (ulangan I) dan 0,282 mg/ml (ulangan II) dengan volume 5 ml dan pengenceran 2 kali, diperoleh bobot testosteron adalah 2,8 mg.
130
Lampiran 7 Analisis kualitatif dan kuantitatif testosteron menggunakan HPLC (Panomarenko et al. 2000) Persiapan sampel 1. Hasil ekstraksi teripang disabunkan untuk mendapatkan testosteron yang merupakan komponen tak tersabunkan. 2. Komponen yang tak tersabunkan disaparasi secara bertingkat menggunakan kolom kromatografi (100x1 cm) menggunakan sephadex LH-20 dengan metanol kloroform (1:2) 3. Selanjutnya dilakukan pemisahan kembali dengan Silicagel L (40/100 µ) 4. Hasil yang diperoleh dikeringkan menggunakan rotary vacuum evaporator sampai semua pelarut menguap Prosedur HPLC Larutan sampel diinjeksikan ke dalam kolom altex ultrasphere pada alat HPLC. Kondisi operasi alat HPLC yang digunakan adalah sebagai berikut : Jenis Kolom
: Altex Ultrasphere Si
Volume sampel
: 20 μl
Ukuran kolom
: 10 mm (D) x 25 cm
Eluen
: Kloroform : metanol (5:1)
Tekanan
: 120 kg/cm2
Kecepatan Alir
: 1.5 ml/menit
Detektor UV
: UV pada λ 240
Kepekaan
: 0.04
Kecepatan kertas
: 10 mm/menit
Selanjutnya larutan standar (testostero, sigma) disuntikkan sejumlah yang sama kedalam kolom zorbak. Dari hasil kromatogram dapat dilihat komponen penyusun sampel. Dengan membandingkan waktu retensi hasil ekstraksi dengan waktu retensi standar maka dapat diketahui komponen yang diinginkan ada atau tidak secara kulitatif. Analisis kuantitatif perhitungan bobot testosteron pada HPLC
131
Data Kurva Standar Testosetron Kosentrasi mg/ml
Luas Area mAU*s
0 0,001 0,002 0,003 0,004 0,005
0,000 201,177 392,967 592,051 780,171 955,417
Luas area pada Ret Time 4,228 ( Ret Time standar testosteron 4,222) Adalah 357,774 mAU*s disubstitusi kedalam persamaan X = Y / 193837
Y = 193837 X
X = 357,774 / 193837 =0,001846
mg/ml
Pengenceran 30 kali Jadi,
X1 =
0,055
mg/ml
Volume hasil ekstrak = 5 ml Maka, bobot testosteron =
X1 =
0,277
mg
132
Lampiran 8 Prosedur analisis kualitatif testosteron menggunakan FT-IR (Anonim 2005 a) Persiapan sampel (hasil ekstrak teripang) 1. Hasil ekstrak teripang disabunkan untuk mendapatkan testosteron yang merupakan komponen tak tersabunkan. 2. Komponenyang tak tersabunkan disaparasi secara bertingkat menggunakan kolom kromatografi (100x1 cm) menggunakan sephadex LH-20 dengan metanol kloroform (1:2) 3. Selanjutnya dilakukan pemisahan kembali dengan Silicagel L (40/100 µ) 4. Hasil yang diperoleh dikeringkan menggunakan rotary vacuum evaporator sampai semua pelarut menguap. Pembuatan film sampel (hasil ekstrak teripang) 1. Sampel yang telah dipreparasi, ditimbang dan ditambahkan KBr sebanyak 1-5%, diletakan ke dalam alat pembuat lapisan tipis (film) 2. Sampel telah berupa film, siap untuk diamati, diletakkan ke dalam tempat sampel pada peralatan FT-IR. 3. Alat FT-IR dijalankan (run), hasil pembacaan tampil pada monitor berupa plot antara frekuensi (cm-1)dan transmitans (%T) dan siap untuk dicetak. Pembuatan film testosteron standar 1. Testosteron standar ditimbang dan ditambahkan KBr sebanyak 1-5%, diletakan ke dalam alat pembuat lapisan tipis (film) 2. Sampel telah berupa film, siap untuk diamati, diletakkan ke dalam tempat sampel pada peralatan FT-IR. 3. Alat FT-IR dijalankan (run), hasil pembacaan tampil pada monitor berupa plot antara frekuensi (cm-1)dan transmitans (%T) dan siap untuk dicetak. Interprestasi spektrum Spektrum pembacaan yang diperoleh diinterprestasikan dengan literatur untuk mengetahui gugus-gugus fungsi yang terdapat pada hasil pengamatan baik spektrum hasil ekstrak teripang maupun spektrum testosteron standar
133
Lampiran 9 Prosedur ekstraksi supercritical fluids extraction (Anonim, 2005b) Tahapan memulai operasi SFE diawali dengan menyalakan cooler, set pada suhu 2oC dan ditunggu sampai suhu tersebut tercapai agar CO2 yang digunakan berada pada fase cair. Semua saluran keluar CO2, outlet, inlet dan purge dalam kondisi terbuka. Tepung teripang dimasukkan ke dalam tabung ekstrakstor sebanyak 5 g, kemudian tabung ekstraktor dimasukkan ke dalam oven sehingga tabung terpasang sempurna. Selanjutnya oven dinyalakan, set sesuai dengan suhu yang diinginkan. Pompa CO2 dan BPR dijalankan hingga semua alat dalam sistem terdeteksi dalam kondisi OK. Tutup saluran masuk CO2, outlet, inlet dan purge. Buka kran CO2 (pada tabung), amati petunjuk pada pompa CO2 sampai 6-7 MPa. Setelah pompa CO2 lebih dari 6 MPa, buka kran CO2 yang keluar dari pompa, set tekanan pada BPR. Jika tekanan pada BPR telah mencapai 10 MPa, buka kran masuk dan kran keluar dari tabung ekstraktor, tunggu sampai sampel keluar (menandakan tekanan operasi BPR telah tercapai). Jika tekanan operasi telah tercapai, tutup kran masuk dan kran keluar tabung ekstraktor, tutup saluran CO2 dan matikan (off) pumpa CO2. Biarkan selama 15-20 menit yang merupakan masa/waktu keseimbangan tercapai. Setelah masa keseimbangan tercapai, buka saluran CO2, nyalakan pompa CO2 tunggu sampai tekanan pompa CO2 mencapai 10 MPa. Setelah 10 MPa, buka kran masuk dan keluar tabung ekstraktor, penghitungan waktu dimulai. Ambil hasil ekstraksi setiap 30 menit selama 4 jam.
134
Lampiran 10 Pengamatan bobot testosteron hasil ekstraksi teripang segar secara maserasi (mg/100 g, bk teripang segar)
Per Ulg lakuan P1R1 P1R2 P1R3 P2R1 P2R2 P2R3 I P3R1 P3R2 P3R3 P4R1 P4R2 P4R3 P1R1 P1R2 P1R3 P2R1 P2R2 P2R3 II P3R1 P3R2 P3R3 P4R1 P4R2 P4R3 P1R1 P1R2 P1R3 P2R1 P2R2 P2R3 III P3R1 P3R2 P3R3 P4R1 P4R2 (Sambungan)
A 0,026 0,059 0,069 0,095 0,108 0,211 0,068 0,077 0,136 0,048 0,043 0,052 0,026 0,056 0,060 0,086 0,085 0,184 0,068 0,068 0,087 0,036 0,040 0,050 0,030 0,055 0,065 0,090 0,095 0,190 0,058 0,070 0,095 0,040 0,040
Peng enceran 10 10 10 10 10 5 10 10 5 5 10 10 10 10 10 10 10 5 10 10 10 5 10 10 10 10 10 10 10 5 10 10 10 5 10
A - blanko 0,00057 0,00129 0,00150 0,00207 0,00235 0,00230 0,00148 0,00168 0,00148 0,00052 0,00094 0,00113 0,00057 0,00122 0,00131 0,00187 0,00185 0,00201 0,00148 0,00148 0,00190 0,00039 0,00087 0,00109 0,00065 0,00120 0,00142 0,00196 0,00207 0,00207 0,00126 0,00153 0,00207 0,00044 0,00087
mg/ 100 gr bb 0,00227 0,00514 0,00602 0,00828 0,00942 0,00920 0,00593 0,00671 0,00593 0,00209 0,00375 0,00453 0,00227 0,00488 0,00523 0,00750 0,00741 0,00802 0,00593 0,00593 0,00759 0,00157 0,00349 0,00436 0,00262 0,00480 0,00567 0,00785 0,00828 0,00828 0,00506 0,00610 0,00828 0,00174 0,00349
mg/ 100 g bk 0,021 0,047 0,055 0,075 0,086 0,084 0,054 0,061 0,054 0,019 0,034 0,041 0,021 0,044 0,048 0,068 0,067 0,073 0,054 0,054 0,069 0,014 0,032 0,040 0,024 0,044 0,051 0,071 0,075 0,075 0,046 0,055 0,075 0,016 0,032
135
Pelarut Metanol
Aseton
Met:klo
Kloroform
Pelarut Metanol Aseton Met:Klo Kloroform Jumlah Rata-rata
R1 R2 R3 R1 R2 R3 R1 R2 R3 R1 R2 R3
I 0,021 0,047 0,055 0,075 0,086 0,084 0,054 0,061 0,054 0,019 0,034 0,041
Ulangan II 0,021 0,044 0,048 0,068 0,067 0,073 0,054 0,054 0,069 0,014 0,032 0,040
1:1 0,022 0,072 0,051 0,016 0,161 0,054
1:2 0,045 0,076 0,057 0,032 0,210 0,070
1:3 0,051 0,077 0,066 0,039 0,233 0,078
Ratio
Jumlah
R
III 0,024 0,044 0,051 0,071 0,075 0,075 0,046 0,055 0,075 0,016 0,032 0,036
0,065 0,135 0,154 0,215 0,228 0,232 0,154 0,170 0,198 0,049 0,097 0,116
0,022 0,045 0,051 0,072 0,076 0,077 0,051 0,057 0,066 0,016 0,032 0,039
Jumlah 0,118 0,225 0,174 0,088
Rata-rata 0,039 0,075 0,058 0,029
136
Lampiran11 Analisis keragaman dan uji lanjut bobot testosteron hasil ekstraksi secara maserasi (SAS) Sumber keragaman dB
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
(JK) (KT) Perlakuan 11 0,01612279 0,00146571 Pelarut 3 0,01378354 0,00459451 Rasio 2 0,00055721 0,00027861 PelarutxRasio 6 0,00178203 0,00029701 Error 24 0,00186487 0,00007770 Total 35 0,01798766 *) Kecil dari 0,05 : berbeda sangat nyata
F hit 18,86 59,13 3,59 3,82
F.Tabel 0,05 <,0001* <,0001* 0,0434 0,0081
Uji lanjut DMRT pengaruh pelarut terhadap bobot testosteron (SAS) Duncan Grouping A B C D
Mean 0,075 0,058 0,039 0,029
N 9 9 9 9
PLR Aseton MetKlo Metanol Kloroform
Uji lanjut DMRT pengaruh rasio terhadap bobot testosteron (SAS) Duncan Grouping A A B C
Mean 0,078 0,070 0,054
N 12 12 12
RASIO R3 R2 R1
Uji lanjut DMRT pengaruh kombinasi pelarutxrasio terhadap bobot testosteron (SAS) Duncan Grouping A B B A B C B C D C D C D D E E F E F G F G
Mean 0,077 0,076 0,072 0,066 0,058 0,051 0,051 0,045 0,039 0,033 0,032 0,016
N 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
PELARUT x RASIO Aseton R3 Aseton R2 Aseton R1 MetKlo R3 MetKlo R2 Metanol R3 MetKlo R1 Metanol R2 Klorofo R3 Klorofo R1 Klorofo R2 Metano R1
*) Setiap dua rataan yang mempunyai huruf yang sama dinyatakan tidak berbeda nyata pada taraf 5%
137
Lampiran 12
Pengamatan bobot testosteron hasil ekstraksi teripang segar menggunakan soxhlet (mg/100 g, bk teripang segar)
Per lakuan
I
II
III
P1R1 P1R2 P1R3 P2R1 P2R2 P2R3 P3R1 P3R2 P3R3 P4R1 P4R2 P4R3 P1R1 P1R2 P1R3 P2R1 P2R2 P2R3 P3R1 P3R2 P3R3 P4R1 P4R2 P4R3 P1R1 P1R2 P1R3 P2R1 P2R2 P2R3 P3R1 P3R2 P3R3 P4R1 P4R2
A X (mg/ml) Peng mg / mg/ - blanko enceran 100 gr bb 100 gr bk
A
blanko
0,325 0,348 0,379 0,832 0,901 1,104 0,387 0,561 0,521 0,305 0,956 0,274 0,341 0,560 0,722 0,977 1,198
0,075 0,075 0,075 0,075 0,075 0,075 0,075 0,075 0,075 0,075 0,075 0,075 0,075 0,075 0,075 0,075 0,075 0,075
0,371 0,559 1,724
0,075 0,075 0,075
0,296 0,484 1,649
0,520 0,358 1,154 0,206 0,380 0,434 0,642 0,816 1,090 0,280 0,443 1,586 0,366 0,230
0,075 0,075 0,075 0,075 0,075 0,075 0,075 0,075 0,075 0,075 0,075 0,075 0,075 0,075
0,445 0,283 1,079 0,131 0,305 0,359 0,567 0,741 1,015 0,205 0,368 1,511 0,291 0,155
1,666
(Bersambung...)
0,250 0,273 0,304 0,757 0,826 1,029 0,312 0,486 1,591 0,446 0,230 0,881 0,199 0,266 0,485 0,647 0,902 1,123
0,00054 0,00060 0,00066 0,00165 0,00180 0,00224 0,00068 0,00106 0,00347 0,00097 0,00050 0,00192 0,00043 0,00058 0,00106 0,00141 0,00197 0,00245 0,00065 0,00106 0,00359 0,00097 0,00062 0,00235 0,00029 0,00066 0,00078 0,00124 0,00162 0,00221 0,00045 0,00080 0,00329 0,00063 0,00034
1 5 5 1 5 5 1 5 5 1 5 5 1 5 5 1 5 5 1 5 5
1 5 5 1 5 5 1 5 5 1 5 5 1 5
0,00218 0,01190 0,01325 0,00660 0,03601 0,04486 0,00272 0,02119 0,06936 0,00389 0,01003 0,03841 0,00174 0,01160 0,02114 0,00564 0,03932 0,04896 0,00258 0,02110 0,07189 0,00388 0,01234 0,04704 0,00114 0,01330 0,01565 0,00494 0,03230 0,04425 0,00179 0,01604 0,06587 0,00254 0,00676
0,020 0,107 0,119 0,059 0,324 0,404 0,025 0,191 0,625 0,035 0,090 0,346 0,016 0,104 0,190 0,051 0,354 0,441 0,023 0,190 0,648 0,035 0,111 0,424 0,010 0,120 0,141 0,045 0,291 0,399 0,016 0,145 0,593 0,023 0,061
138
(Sambungan)
Pelarut Metanol
Aseton
Met:klo
Kloroform
Pelarut Metanol Aseton Met:Klo Kloroform Jumlah Rata-rata
R1 R2 R3 R1 R2 R3 R1 R2 R3 R1 R2 R3
I 0,020 0,107 0,119 0,059 0,324 0,404 0,025 0,191 0,625 0,035 0,090 0,346
Ulangan II 0,016 0,104 0,190 0,051 0,354 0,441 0,023 0,190 0,648 0,035 0,111 0,424
1:1 0,015 0,052 0,021 0,031 0,119 0,030
1:2 0,110 0,323 0,175 0,087 0,696 0,174
1:3 0,150 0,415 0,622 0,363 1,550 0,388
Ratio
III 0,010 0,120 0,141 0,045 0,291 0,399 0,016 0,145 0,593 0,023 0,061 0,320 Jumlah 0,276 0,789 0,818 0,482
Jumlah 0,046 0,331 0,451 0,155 0,970 1,244 0,064 0,526 1,866 0,093 0,262 1,090 Rata-rata 0,092 0,263 0,273 0,161
139
Lampiran 13
Analisis keragaman dan uji lanjut bobot testosteron hasil ekstraksi menggunakan soxhlet (SAS)
Sumber keragaman
dB
Jumlah KuadratTengah Kuadrat (KT) (JK) Perlakuan 11 1,219 0,110 Pelarut 3 0,202 0,067 Rasio 2 0,777 0,388 PelarutxRasio 6 0,239 0,039 Error 24 0,016 0,000 Total 35 1.235 *) Kecil dari 0,05 : berbeda sangat nyata
F hit
F.Tabel 0,05
164,81 100,28 578,23 59,26
<,0001* <,0001* <,0001* <,0001* <,0001*
Uji lanjut DMRT pengaruh pelarut terhadap bobot testosteron (SAS) Duncan Grouping A
Mean
A B C
0,263 0,161 0,092
N 0,273 9 9 9
PLR 9
MetKlo
Aseton Klorofo Metanol
Uji lanjut DMRT pengaruh rasio terhadap bobot testosterone (SAS) Duncan Grouping Mean N RASIO A 0,388 12 R3 B 0,174 12 R2 C 0,030 12 R1 Uji lanjut DMRT pengaruh pelarutxrasio terhadap bobot testosteron (SAS) Duncan Grouping Mean N Pelarur x Rasio A 0,622 3 MetKlo R3 B 0,415 3 Aseton R3 C 0,363 3 Klorofo R3 C 0,323 3 Aseton R2 D 0,175 3 MetKlo R2 D E 0,150 3 Metanol R3 E F 0,110 3 Metanol R2 F G 0,087 3 Klorofo R2 G H 0,052 3 Aseton R1 H 0,031 3 Klorofo R1 H 0,021 3 MetKlo R1 H 0,015 3 Metanol R1 *) Setiap dua rataan yang mempunyai huruf yang sama dinyatakan tidak berbeda nyata pada taraf 5%
140
Lampiran 14 Per lakuan Ulg P1R1 P1R2 P1R3 P2R1 P2R2 P2R3 I P3R1 P3R2 P3R3 P4R1 P4R2 P4R3 P1R1 P1R2 P1R3 P2R1 P2R2 P2R3 II P3R1 P3R2 P3R3 P4R1 P4R2 P4R3 P1R1 P1R2 P1R3 P2R1 P2R2 P2R3 III P3R1 P3R2 P3R3 P4R1 (Bersambung)
(Sambungan)
Pengamatan bobot testosteron hasil ekstraksi teripang segar secara reflux (mg/100 g, bk teripang segar) A
blanko
0,770 0,865 0,759 0,805 0,991 0,996 0,888 0,993 0,985 1,124 2,175 1,274 0,778 0,895 0,789 1,344 1,090 1,106 0,900 1,060 0,981 1,099 1,604 1,126 0,770 0,900 0,784 0,805 1,068 1,124 0,894 1,080 1,106 0,992
0,075 0,075 0,075 0,075 0,075 0,075 0,075 0,075 0,075 0,075 0,075 0,075 0,075 0,075 0,075 0,075 0,075 0,075 0,075 0,075 0,075 0,075 0,075 0,075 0,075 0,075 0,075 0,075 0,075 0,075 0,075 0,075 0,075 0,075
A - blanko 0,695 0,790 0,684 0,730 0,916 0,921 0,813 0,918 0,910 1,049 2,100 1,199 0,703 0,820 0,714 1,269 1,015 1,031 0,825 0,985 0,906 1,024 1,529 1,051 0,695 0,825 0,709 0,730 0,993 1,049 0,819 1,005 1,031 0,917
X (mg/ml) 0,00151 0,00172 0,00149 0,00159 0,00200 0,00201 0,00177 0,00200 0,00198 0,00229 0,00458 0,00261 0,00153 0,00179 0,00156 0,00277 0,00221 0,00225 0,00180 0,00215 0,00197 0,00223 0,00333 0,00229 0,00151 0,00180 0,00155 0,00159 0,00216 0,00229 0,00179 0,00219 0,00225 0,00200
Peng mg / mg enceran 100 gr bb 100 gr bk 50 0,303 2,730 50 0,344 3,103 50 0,447 4,030 50 0,318 2,867 50 0,399 3,598 50 0,402 3,617 100 0,709 6,386 100 0,800 7,211 100 0,793 7,148 100 0,915 8,240 50 0,000 0,000 100 1,045 9,418 50 0,306 2,761 50 0,357 3,221 50 0,311 2,804 50 0,553 4,984 50 0,442 3,986 50 0,449 4,049 100 0,719 6,480 100 0,859 7,737 100 0,790 7,117 100 0,893 8,044 50 0,000 0,000 100 0,916 8,256 50 0,303 2,730 50 0,360 3,240 50 0,309 2,785 50 0,318 2,867 50 0,433 3,900 50 0,457 4,120 100 0,714 6,433 100 0,876 7,894 100 0,899 8,099 100 0,800 7,203
141
I 2,730
Ulangan II 2,761
III 2,730
3,103
3,221
R3
4,030
R1
Jumlah
R
8,220
2,740
3,240
9,564
3,188
2,804
2,785
9,619
3,206
2,867
4,984
2,867
10,718
3,573
R2
3,598
3,986
3,900
11,484
3,828
R3
3,617
4,049
4,120
11,787
3,929
R1
6,386
6,480
6,433
19,300
6,433
R2
7,211
7,737
7,894
22,843
7,614
R3
7,148
7,117
8,099
22,363
7,454
R1
8,240 7,732
8,044 8,478
7,203 7,654
23,487
7,829
23,864
7,955
9,418
8,256
9,874
27,548
7,805
R2
R3
3,188 3,828 7,614 7,955 22,585 5,646
3,206 3,929 7,454 7,805 22,395 5,599
Jumlah 9,134 11,330 21,502 23,589
Rata-rata 3,045 3,777 7,167 7,863
Pelarut
Ratio
Metanol
R1 R2
Aseton
Met:klo
Kloroform
Metanol Aseton Met:Klo Kloroform Jumlah Rata-rata
R2 R3
R1 2,740 3,573 6,433 7,829 20,575 5,144
142
Lampiran 15
Analisis keragaman dan uji lanjut bobot testosteron hasil ekstraksi secara reflux (SAS)
Sumber dB Jumlah Kuadrat keragaman (JK) Perlakuan 11 357,307 Pelarut 3 297,204 Rasio 2 22,8762 Pelarut*Rasio 6 37,227 Error 24 18,927 Total 35 376,235 *) berbeda sangat nyata
Kuadrat Tengah (KT) 32,483 99,068 672 6,205 0,789
F hit 41,19 125,62 11,43 14,50 7,87
F.Tabel 0,05 <,0001* <,0001* <,0001* <,0001* <,0001*
Uji lanjut DMRT pengaruh pelarut terhadap bobot testosteron (SAS) Duncan Grouping A A B C C
Mean 7,863 7,167 3,777 3,045
N 9 9 9 9
PLR Klorofo MetKlo Aseton Metanol
Uji lanjut DMRT pengaruh rasio terhadap bobot testosteron (SAS) Duncan Grouping A B C
Mean 5,646 5,599 5,144
N 12 12 12
RASIO R2 R3 R1
Uji lanjut DMRT pengaruh pelarutxrasio terhadap bobot testosteron (SAS) Duncan Grouping A A B A B A B C B C D D D D D D
Mean 7,955 7,805 7,829 7,614 7,455 6,433 3,929 3,828 3,573 3,206 3,188 2,740
N 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
Pelarut Klorofo Klorofo Klorofo MetKlo MetKlo MetKlo Aseton Aseton Aseton Metanol Metanol Metanol
x
Rasio R2 R3 R1 R2 R3 R1 R3 R2 R1 R3 R2 R1
*) Setiap dua rataan yang mempunyai huruf yang sama dinyatakan tidak berbeda nyata pada taraf 5%
143
Lampiran 16 Bobot dan persentase testosteron pada berbagai metode ekstraksi
Rendemen testosteron (mg/100 g bk teripang segar)* Rasio Metode Pelarut 1:1 1:2 1:3 Met 0,002 0,005 0,006 Ase 0,008 0,008 0,009 Maserasi M:K 0,006 0,006 0,007 Klor 0,002 0,004 0,004 Met 0,015 0,110 0,150 Ase 0,052 0,323 0,415 Soxhlet M:K 0,021 0,175 0,622 Klor 0,031 0,087 0,363 Met 2,740 3,188 3,206 Ase 3,573 3,828 3,929 Reflux M:K 6,433 7,614 7,454 Klor 7,829 7,955 7,805 Berat testostero/ kandungan testosteron (%)** Met 0,272% 0,564% 0,644% Ase 0,899% 0,956% 0,971% Maserasi M:K 0,644% 0,713% 0,830% Klor 0,206% 0,408% 0,488% Met 0,191% 1,389% 1,889% Ase 0,649% 4,063% 5,212% Soxhlet M:K 0,268% 2,202% 7,819% Klor 0,389% 1,099% 4,567% Met 34,447% 40,075% 40,306% Ase 44,914% 48,123% 49,390% Reflux M:K 80,875% 95,720% 93,712% Klor 98,419% 100,000% 98,121% *Rendemen testosteron = bobot hasil testosteron/ bobot teripang segar **Yield = bobot hasil testosteron / bobot kandungan testosteron x 100%
144
Lampiran 17
Hasil anova dan uji lanjut (DMRT) bobot testosteron pada berbagai metode, pelarut dan rasio RAL in time
Analisis Keragaman bobot testosteron pada berbagai metode, pelarut dan rasio
Jumlah Kuadrat F Sumber keragaman dB kuadrat tengah hitung Pr > F Perlakuan 35 64021,50606 1829,18589 130,76 < ,0001* Metode 2 44960,27315 22480,13658 1607,06 < ,0001* Pelarut 3 5261,75946 1753,91982 125,38 < ,0001* Rasio 2 466,82329 466,82329 16,69 < ,0001* Metodex Pelarut 6 10549,9947 10549,9947 125,7 < ,0001* Metodex Rasio 4 790,72862 790,72862 14,13 < ,0001* Pelarut x Rasio 6 633,66978 633,66978 7,55 < ,0001* MetodexPelarutxRasio 12 1358,25705 1358,25705 8,09 < ,0001* Error 72 1007,16243 13,98837 Total 107 65028,66849 Keterangan : < .0001 artinya berbeda nyata pada taraf 1% Uji Lanjut DMRT bobot testosteron pada berbagai metode, pelarut dan rasio Metode
Pelarut Rasio A Kloroform A Rasio 1:1 A Reflux B Metanol : Kloro B Rasio 1:2 B Soxhlet Maserasi B Aseton C Rasio 1:3 C Metanol C Uji Lanjut DMRT bobot testosteron pada berbagai metode x pelarut, metode x rasio dan pelarut x rasio : Metode x Pelarut Metode x Rasio Pelarut x Rasio Reflux x kloroform A Kloroform x R2 A Reflux x R2 A Reflux x R3 B Kloroform x R3 A Reflux x met klo A B Reflux x aseton C Reflux x R1 C Met klo R2 A B Reflux metanol D Soxhlet x R3 D Kloroform x R1 C B Soxhlet x Met klo E Soxhlet x R2 D Met klo R3 C B Soxhlet x Aseton E Soxhlet x R1 D Met klo R1 C D Soxhlet x kloroform E Maserasi x R3 D Aseton x R1 E D Soxhlet x metanol E Maserasi x R2 D Aseton x R2 E D Maserasi x Aseton E Maserasi x R1 D Aseton x R1 E Maserasi x Met klo E Metanol x R3 E Maserasi Metanol E Metanol x R2 E Maserasi x kloroform E Metanol x R1 E Uji Lanjut DMRT bobot testosteron pada berbagai metode x pelarut x rasio
145
Metode x Pelarut x Rasio Reflux x klo x R2 Reflux x klo x R3 Reflux x klo x R1 Reflux x met klo x R2 Reflux x met klo x R3 Reflux x met klo x R1 Reflux x Aseton x R3 Reflux x Aseton x R2 Reflux x Aseton x R1 Reflux x Metanol x R3 Reflux x Metanol x R2 Reflux x Metanol x R1 Soxhlet x met klo x R3 Soxhlet x aseton x R3 Soxhlet x kloroform x R3 Soxhlet x aseton x R2 Soxhlet x met klo x R2 Soxhlet x metanol x R3
A AB A B A B C D E E F E F E F E F G G G G G G
Metode x Pelarut x Rasio Soxhlet x metanol x R2 Soxhlet x kloroform x R2 Maserasi x Aseton x R3 Maserasi x Aseton x R2 Maserasi x Aseton x R1 Maserasi x met klo x R3 Maserasi x met klo x R2 Soxhlet x aseton x R1 Maserasi x metanol x R3 Maserasi x met klo x R1 Maserasi x metanol x R2 Maserasi x kloroform x R1 Soxhlet x kloroform x R1 Maserasi x metanol x R1 Soxhlet x met klo x R1 Maserasi x kloroform x R3 Soxhlet x metanol x R1 Maserasi x klorofirm x R2
*) Setiap dua rataan yang mempunyai huruf yang sama dinyatakan tidak berbeda nyata pada taraf 5%
G G G G G G G G G G G G G G G G G G
146
Lampiran 18
Suhu Waktu o
C
40
50
60
menit 0 30 60 90 120 150 180 210 240 0 30 60 90 120 150 180 210 240 0 30 60 90 120 150 180 210 240
Bobot testosteron ekstraksi reflux skala 3000 ml (mg/100 g bk teripang segar) menggunakan Rancangan Acak Lengkap in time B. sampel(mg)
I mg 0,00 3,64 3,49 3,12 2,44 3,03 2,91 2,88 2,55 0,00 4,24 4,16 4,16 4,40 3,91 4,36 4,53 4,30 0,00 4,14 4,31 4,35 3,98 4,39 4,41 4,03 4,13
II mg 0,00 4,33 4,49 4,12 4,44 4,03 3,91 4,88 4,55 0,00 3,55 3,68 2,99 3,30 4,33 4,76 4,15 4,51 0,00 3,24 3,14 3,51 4,12 3,83 4,00 3,52 3,56
B. Total (mg) Berat Berat Log B B.Hasil Hitung mg/ mg/ mg/ I II mg 00 g b100 g bk100/bk mg mg mg 0 0 97 0 0 0 0,000 867 1048 1247 1148 115 1034 3,015 961 1005 1293 1149 115 1035 3,015 899 1187 1043 104 939 2,973 1016 991 99 893 2,951 1055 703 1279 873 1161 1017 102 916 2,962 1085 982 98 885 2,947 1109 838 1126 829 1405 1117 112 1007 3,003 1130 734 1310 1022 102 921 2,965 1148 0 0 35 0 0 0 0,000 957 1221 1022 1122 112 1011 3,005 1198 1060 1129 113 1017 3,008 1069 1198 861 1030 103 928 2,968 1135 1267 950 1109 111 999 3,000 1181 1126 1247 1187 119 1069 3,029 1217 1256 1371 1313 131 1183 3,073 1247 1305 1195 1250 125 1126 3,052 1272 1238 1299 1269 127 1143 3,058 1293 0 0 55 0 0 0 0,000 920 1192 933 1063 106 957 2,982 1241 904 1073 107 966 2,986 1025 1253 1011 1132 113 1020 3,009 1087 1146 1187 1166 117 1051 3,022 1130 1264 1103 1184 118 1066 3,028 1164 1270 1152 1211 121 1091 3,038 1192 1161 1014 1087 109 979 2,991 1215 1189 1025 1107 111 998 2,999 1235
Hitung % 8% 76% 84% 88% 92% 94% 97% 98% 100% 3% 74% 83% 88% 91% 94% 96% 98% 100% 4% 74% 83% 88% 91% 94% 96% 98% 100%
147
Lampiran 19 Analisis keragaman dan uji lanjut bobot ekstrak bobot ekstrak (3000 ml) Analisis keragaman bobot ekstrak secara reflux 3000 ml RAL in time Sumber keragaman Perlakuan Suhu (S) R (C) Waktu (W) R (W) S*W Gallat total Jumlah
dB
JK
KT
F hit
37
Pr > F
7826848,051 211536,434 14,91 <,0001* 2 730380,657 365190,328 25,74 <,0001* 3 654937,190 327468,595 23,08 <,0001* 8 682533,028 85316,629 6,01 0,0012* 8 109507,584 13688,448 0,96 0,4953** 16 204744,192 12796,512 0,90 0,5804** 16 226978,714 14186,170 53 8053826,765
Uji lanjut DMRT pengaruh suhu terhadap bobot ekstrak : Duncan Grouping
Mean
N
Suhu
A A A
1045,32 1002,62 941,02
18 18 18
50 60 40
Uji lanjut DMRT pengaruh waktu terhadap bobot ekstrak : Duncan Grouping
Mean
N
W
A A A A A A A A B
1168,80 1151,52 1132,80 1128,96 1116,96 1110,72 1088,64 1068,00 0,00
6 6 6 6 6 6 6 6 6
180 210 240 150 120 90 60 30 0
148
Lampiran 20 Bobot testosteron pada ekstraksi skala 3000 ml RAL in time Menit ke Menit
40
50
Abs
P'enceran
o
[K] mg/ml
Berat
Rata-Rata
mg/100 bb mg/100 g bk
Log
Rata2
1+
mg/100 g bk 0,000
0 0 30 30 60 60 90 90 120 120 150 150 180 180 210 210 240 240
A 0,000 0,000 0,099 0,109 0,147 0,145 0,139 0,138 0,154 0,159 0,166 0,168 0,167 0,168 0,208 0,204 0,201 0,199
3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
0,000 0,000 0,012 0,013 0,018 0,018 0,017 0,017 0,019 0,019 0,020 0,020 0,020 0,020 0,025 0,025 0,024 0,024
0,000 0,000 0,346 0,381 0,514 0,507 0,486 0,482 0,538 0,556 0,580 0,587 0,584 0,587 0,727 0,713 0,703 0,696
0,000 0,000 3,143 3,460 4,667 4,603 4,413 4,381 4,889 5,047 5,270 5,333 5,301 5,333 6,603 6,476 6,381 6,317
0,00 0,00 0,62 0,65 0,75 0,75 0,73 0,73 0,77 0,78 0,80 0,80 0,80 0,80 0,88 0,87 0,87 0,86
0 0 30 30 60 60 90 90 120 120 150 150 180 180 210 210 240 240
0,000 0,000 0,143 0,141 0,213 0,221 0,195 0,196 0,147 0,157 0,220 0,216 0,233 0,184 0,216 0,216 0,248 0,250
3 3 3 3 3 3 3 3 4 4 3 3 3 3 3 3 3 3
0,000 0,000 0,017 0,017 0,026 0,027 0,024 0,024 0,024 0,025 0,027 0,026 0,028 0,022 0,026 0,026 0,030 0,030
0,000 0,000 0,500 0,493 0,744 0,772 0,682 0,685 0,685 0,732 0,769 0,755 0,814 0,643 0,755 0,755 0,867 0,874
0,000 0,000 4,540 4,476 6,762 7,016 6,190 6,222 6,222 6,645 6,984 6,857 7,397 5,841 6,857 6,857 7,873 7,936
0,00 0,00 0,74 0,74 0,89 0,90 0,86 0,86 0,86 0,88 0,90 0,90 0,92 0,84 0,90 0,90 0,95 0,95
(Bersambung)
(Sambungan)
3,301 4,635 4,397 4,968 5,301 5,317 6,540 6,349 0,000 4,508 6,889 6,206 6,434 6,920 6,619 6,857 7,905
149
Menit keMenit
60
0 0 30 30 60 60 90 90 120 120 150 150 180 180 210 210 240 240
Abs
P'enceran
o
A 0,000 0,000 0,132 0,118 0,187 0,188 0,157 0,157 0,166 0,165 0,180 0,182 0,200 0,200 0,207 0,217 0,245 0,243
[K] mg/ml
3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
0,000 0,000 0,016 0,014 0,023 0,023 0,019 0,019 0,020 0,020 0,022 0,022 0,024 0,024 0,025 0,026 0,030 0,029
Berat
Rata-Rata
mg/100 bb mg/100 g bk 0,000 0,000 0,461 0,412 0,654 0,657 0,549 0,549 0,580 0,577 0,629 0,636 0,699 0,699 0,723 0,758 0,856 0,849
0,000 0,000 4,190 3,746 5,936 5,968 4,984 4,984 5,270 5,238 5,714 5,778 6,349 6,349 6,571 6,889 7,778 7,714
Log
Rata2
1+
mg/100 g bk
0,00 0,00 0,72 0,68 0,84 0,84 0,78 0,78 0,80 0,80 0,83 0,83 0,87 0,87 0,88 0,90 0,94 0,94
0,000 3,968 5,952 4,984 5,254 5,746 6,349 6,730 7,746
150
Lampiran 21 Analisis keragaman dan uji lanjut bobot testosteron (3000 ml) Analisis keragaman bobot testosteron (reflux 3000 ml) RAL in time Sumber keragaman Perlakuan Suhu (S) R (S) Waktu (W) R (W) S*W Gallat total Jumlah
dB
JK
37 2 3 8 8 16 16 53
KT
F hit
329,711 8,911 12,45 <,0001* 17,302 8,651 12,08 0,0006* 1,257 0,419 0,58 0,6335** 293,990 36,749 51,32 <,0001* 5,704 0,713 1,00 0,4752** 11,458 0,716 1,00 0,4999** 11,456 0,716 341,167
*) Berbeda nyata **)Tidak berbeda nyata
Uji lanjut DMRT pengaruh suhu terhadap bobot testosteron : Duncan Grouping
Mean
N
S
A A B
6,105 6,012 4,860
18 18 18
60 50 40
Uji lanjut DMRT pengaruh waktu terhadap bobot testosteron : Duncan Grouping
Mean
N
W
A A A B D D D E F
8,074 7,969 7,188 6,711 5,831 5,522 5,487 4,147 0,000
6 6 6 6 6 6 6 6 6
240 210 150 180 120 90 60 30 0
B C C
Pr > F
151
Lampiran 22 Persentase bobot testosteron terhadap bobot ekstrak (%) Suhu oC
o
40 C
o
50 C
o
60 C
Lama menit 0 30 60 90 120 150 180 210 240 0 30 60 90 120 150 180 210 240 0 30 60 90 120 150 180 210 240
B.Ekstrak B.Testo %Testo og B.Ekstra log B.Testo Log Testo mg/100g bkmg/100g bk % mg/100g bkmg/100g bk % 0 1034 1035 939 893 916 885 1007 921
0,000 3,301 4,635 4,397 4,968 5,301 5,317 6,540 6,349
0 1011 1017 928 999 1069 1183 1126 1143
0,000 4,508 6,889 6,206 6,434 6,920 6,619 6,857 7,905
0 957 966 1020 1051 1066 1091 979 998
0,000 3,968 5,952 4,984 5,254 5,746 6,349 6,730 7,746
0,000% 0,319% 0,448% 0,468% 0,557% 0,579% 0,601% 0,650% 0,689% 0,000% 0,446% 0,677% 0,669% 0,644% 0,647% 0,559% 0,609% 0,692% 0,000% 0,414% 0,616% 0,489% 0,500% 0,539% 0,582% 0,687% 0,776%
0,000 3,015 3,015 2,973 2,951 2,962 2,947 3,003 2,965 0,000 3,005 3,008 2,968 3,000 3,029 3,073 3,052 3,058 0,000 2,982 2,986 3,009 3,022 3,028 3,038 2,991 2,999
0,000 0,634 0,751 0,732 0,776 0,799 0,801 0,877 0,866 0,000 0,741 0,897 0,858 0,871 0,899 0,882 0,895 0,950 0,000 0,696 0,842 0,777 0,796 0,829 0,866 0,888 0,942
*% testosteron = bobot testosteron/bobot ekstrak x 100% **% log testosteron = log bobot testosteron/ log bobot ekstrak x 100%
0,000% 21,016% 24,901% 24,624% 26,290% 26,987% 27,161% 29,212% 29,217% 0,000% 24,658% 29,823% 28,900% 29,040% 29,668% 28,694% 29,334% 31,049% 0,000% 23,350% 28,206% 25,823% 26,346% 27,376% 28,511% 29,691% 31,400%
152
Lampiran 23 Analisis keragaman dan uji lanjut persentase testosteron (%) Analisis keragaman persentase testosteron (%) RAL in time Sumber keragaman Perlakuan Suhu (S) R (S) Waktu (W) R (W) S*W Gallat total Jumlah
Db
JK
KT
F hit
Pr > F
37
2,875 0,078 6.40 <.0001* 2 0,129 0,064 5,30 0,017* 3 0,19030344 0,095 7,84 0,004 8 0,40866050 0,051 4,21 0,007 8 0,07422167 0,009 0,76 0,638 16 0,20341574 0,013 1,05 0,464 16 0,19429322 0,1214333 53 3,06882370
*) Berbeda nyata **)Tidak berbeda nyata Uji lanjut DMRT pengaruh suhu terhadap persentase testosteron (%) Duncan Grouping
Mean
N
S
A A A
0,546 0,514 0,485
18 18 18
60 50 40
Uji lanjut DMRT pengaruh waktu terhadap persentase testosteron (%) Duncan Grouping A A B A B C B C C C C D E
Mean
N
W
0,735 0,711 0,643 0,582 0,529 0,529 0,526 0,378 0,000
6 6 6 6 6 6 6 6 6
240 210 150 180 60 120 90 30 0
153
Lampiran 24 Bobot hasil ekstrak pada berbagai suhu dan tekanan (SFE) Bobot Akumulatif mg/ ekstraksi
Bobot Akumulatif mg/ 100 g bb
Bobot Akumulatif mg/ 100 g bk
75 85 95 105 115 130 140 145
18,52 20,99 23,46 25,93 28,40 32,10 34,57 35,80
166,83 189,08 211,32 233,57 255,81 289,18 311,42 322,54
P1T2 0,085 0,025 0,01 0,03 0,01 0,005 0,005 0,005
85 110 120 150 160 165 170 175
20,99 27,16 29,63 37,04 39,51 40,74 41,98 43,21
189,08 244,69 266,93 333,67 355,91 367,03 378,16 389,28
30 60 90 120 150 180 210 240
P1T3 0,08 0,01 0,005 0,01 0,01 0,01 0,005 0
80 90 95 105 115 125 130 130
19,75 22,22 23,46 25,93 28,40 30,86 32,10 32,10
177,96 200,20 211,32 233,57 255,81 278,06 289,18 289,18
30 60 90 120 150 180 210 240
P2T1 0,07 0,02 0,025 0,015 0,005 0,015 0,01 0,015
70 90 115 130 135 150 160 175
17,28 22,22 28,40 32,10 33,33 37,04 39,51 43,21
155,71 200,20 255,81 289,18 300,30 333,67 355,91 389,28
24,69 27,16 Akumulatif mg/ 100 g bb
222,44 244,69 Akumulatif mg/ 100 g bk
Tekanan
Suhu
Waktu
Bobot
P, Mpa
oC
menit
g ekstraksi
23 23 23 23 23 23 23 23
40 40 40 40 40 40 40 40
30 60 90 120 150 180 210 240
P1T1 0,075 0,01 0,01 0,01 0,01 0,015 0,01 0,005
23 23 23 23 23 23 23 23
50 50 50 50 50 50 50 50
30 60 90 120 150 180 210 240
23 23 23 23 23 23 23 23
60 60 60 60 60 60 60 60
25 25 25 25 25 25 25 25
40 40 40 40 40 40 40 40
25 25 Tekanan P, Mpa
50 50 Suhu oC
30 60 Waktu menit
P2T2 0,1 100 0,01 110 Bobot Akumulatif g mg/ ekstraksi ekstraksi
154
25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25
50 50 50 50 50 50 60 60 60 60 60 60 60 60
90 120 150 180 210 240
0,01 0,01 0,01 0,015 0,015 0,01
120 130 140 155 170 180
29,63 32,10 34,57 38,27 41,98 44,44
266,93 289,18 311,42 344,79 378,16 400,40
30 60 90 120 150 180 210 240
P2T3 0,105 0,01 0,01 0,005 0,005 0,005 0 0,01
105 115 125 130 135 140 140 150
25,93 28,40 30,86 32,10 33,33 34,57 34,57 37,04
233,57 255,81 278,06 289,18 300,30 311,42 311,42 333,67
100 110 115 115 120 120 130 135
24,69 27,16 28,40 28,40 29,63 29,63 32,10 33,33
222,44 244,69 255,81 255,81 266,93 266,93 289,18 300,30
27 27 27 27 27 27 27 27
40 40 40 40 40 40 40 40
30 60 90 120 150 180 210 240
P3T1 0,1 0,01 0,005 0 0,005 0 0,01 0,005
27 27 27 27 27 27 27 27
50 50 50 50 50 50 50 50
30 60 90 120 150 180 210 240
P3T2 0,1 0,01 0,005 0,01 0,005 0,005 0,01 0,005
100 110 115 125 130 135 145 150
24,69 27,16 28,40 30,86 32,10 33,33 35,80 37,04
222,44 244,69 255,81 278,06 289,18 300,30 322,54 333,67
27 27 27 27 27 27 27 27
60 60 60 60 60 60 60 60
30 60 90 120 150 180 210 240
P3T3 0,07 0,01 0,005 0 0,005 0,01 0,01 0,005
70 80 85 85 90 100 110 115
17,28 19,75 20,99 20,99 22,22 24,69 27,16 28,40
155,71 177,96 189,08 189,08 200,20 222,44 244,69 255,81
155
Lampiran 25 Analisis keragaman dan uji lanjut bobot ekstrak secara SFE Analisis keragaman bobot ekstrak pada SFE Sumber keragaman Perlakuan Suhu Tekanan Suhu*Tekanan Error
dB
JK
KT
F hit
8044,444 1005,555 3677,777 1838,889 4044,444 2022,222 322,222 80,555 2850,000 316,666
Jumlah total
Pr > F
3,18 5,81 6,39 0,25
0,052 0,024 0,019 0,8998
10894,444
Uji lanjut pengaruh suhu terhadap bobot ekstrak pada SFE : Duncan Grouping
Mean
N
SUHU
A A
168,33 150,00 133,33
6 6 6
T2 T1 T3
B B
Uji lanjut DMRT pengaruh tekanan terhadap bobot ekstrak pada SFE: Duncan Grouping
Mean
N
Tekanan
A A
168,33 151,67 131,67
6 6 6
P2 P1 P3
B B
Uji lanjut pengaruh suhu*tekanan terhadap bobot ekstrak pada SFE : Duncan Grouping A A A A A A
B B B B B B
C C C C C C
Mean
N
INTER
180,00 175,00 175,00 150,00 150,00 145,00 135,00 130,00 115,00
2 2 2 2 2 2 2 2 2
T2P2 T1P2 T2P1 T2P3 T3P2 T1P1 T3P1 T1P3 T3P3
156
Lampiran 26 Bobot testosteron hasil ekstrak pada berbagai suhu dan tekanan (SFE) Suhu o C
o
40 C
o
50 C
o
60 C
Tekanan MPa
Abs oA
[K] mg/ml
P
Berat mg/ ekstraksi
Berat mg/ 100 g bb
Berat mg/ 100 g bb
23 23 25 25 27 27 23 23 25 25 27 27 23 23 25 25 27 27
0,832 0,722 0,901 0,977 1,104 1,198 0,325 0,274 0,348 0,341 0,379 0,560 0,387 0,371 0,561 0,559 0,666 0,724
0,034 0,029 0,036 0,040 0,045 0,048 0,013 0,011 0,014 0,014 0,015 0,023 0,016 0,015 0,023 0,023 0,027 0,029
10 10 10 10 10 10 30 30 30 30 30 30 10 10 10 10 10 10
1,683 1,460 1,822 1,976 2,233 2,423
0,416 0,361 0,450 0,488 0,551 0,598 0,487 0,411 0,521 0,511 0,568 0,839 0,193 0,185 0,280 0,279 0,333 0,362
3,743 3,248 4,054 4,396 4,967 5,390
1,972 1,663 2,112 2,069 2,300 3,398 0,783 0,750 1,135 1,131 1,347 1,464
4,387 3,698 4,697 4,603 5,116 7,559 1,741 1,669 2,524 2,515 2,997 3,257
157
Lampiran 27 Analisis keragaman dan uji lanjut bobot testosteron Analisis keragaman bobot testosterone secara SFE Sumber keragaman Perlakuan Suhu Tekanan Suhu*Tekanan Error
dB
JK
KT
F hit
Pr > F
8 2 2 4
4,234 1,990 0,139
2,11695206 0,99522422 0,03477664
26,70 12,55 0,44
0,001* 0,003* 0,778**
9
Jumlah total
17
Uji lanjut DMRT pengaruh suhu terhadap bobot testosteron pada SFE : Duncan Grouping A A B
Mean
N
SUHU
2,252 1,938 1,102
6 6 6
T2 T1 T3
Uji lanjut DMRT pengaruh tekanan terhadap bobot testosteron pada SFE : Duncan Grouping
Mean
N
Tekanan
A B B
2,194 1,707 1,385
6 6 6
P3 P2 P1
Uji lanjut DMRT pengaruh suhu*tekanan terhadap bobot testosteron (SFE) : Duncan Grouping
Mean
N
INTER
A A A
2,849 2,328 2,090 1,899 1,817 1,571 1,405 1,133 0,766
2 2 2 2 2 2 2 2 2
T2P3 T1P3 T2P2 T1P2 T2P1 T1P1 T3P3 T3P2 T3P1
B B B B D C D C D E
C C C E E
158
Lampiran 28 Persentase bobot testosteron terhadap bobot ekstrak pada SFE (%) Suhu o C
o
40 C
o
50 C
o
60 C 40 50 60
Tekanan B.Ekstrak MPa mg/ 100 g bk 23 322,545 25 389,278 27 300,300 23 389,278 25 400,400 27 333,667 23 289,178 25 333,667 27 255,811
240 240 240
921 1143 998
Berat mg/ 100 g bk 3,496 4,225 5,179 4,043 4,650 6,337 1,705 2,520 3,127 6,349 7,905 7,746
Kemurnian Testosteron (%)
1,084% 1,085% 1,724% 1,038% 1,161% 1,899% 0,590% 0,755% 1,222% 0,689% 0,692% 0,776%
Berat testosteron (mg/100 g bk teripang segar Tekanan Jumlah
Suhu
40 50 60
Jumlah Rata-rata
23 3,496 4,043 1,705
25 4,225 4,650 2,520
27 5,179 6,337 3,127
9,244
11,394
14,643
3,081
3,798
4,881
Kemurnian testosteron( %) Tekanan
Suhu
40 50 60
Jumlah Rata-rata
23 1,084% 1,038% 0,590%
25 1,085% 1,161% 0,755%
27 1,724% 1,899% 1,222%
2,712%
3,002%
4,846%
0,904%
1,001%
1,615%
Rata-rata
12,899 15,030 7,352
4,300 5,010 2,451
Jumlah
Rata-rata
3,894% 4,099% 2,567%
1,298% 1,366% 0,856%
159
Lampiran 29 Analisis keragaman dan uji lanjut persentase testosteron (%) Analsisi keragaman persentase testosteron (%) secara SFE : Sumber keragaman Perlakuan Suhu Tekanan Suhu*Tekanan Error
dB
JK
8
0,00029144 0,00009744 0,00018978 0,00000422 0,00005350
2 2 4 9
Jumlah total
KT
17
F hit 0,00003643 0,00004872 0,00009489 0,00000106 0,00000594
Pr > F 6,13 8,20 15,96 0,18
0,0068 0,0094 0,0011 0,9443
0,00034494
Uji lanjut DMRT pengaruh suhu terhadap persentase testosteron pada SFE : Duncan Grouping Mean N Suhu A A B
0,014 0,013 0,009
6 6 6
T2 T1 T3
Uji lanjut DMRT pengaruh tekanan terhadap persentase testosteron (SFE) : Duncan Grouping
Mean
N
Tekanan
A B B
0,016 0,010 0,009
6 6 6
P3 P2 P1
Uji lanjut DMRT pengaruh tekanan x suhu terhadap persentase testosteron : Duncan Grouping
Mean
N
INTER
A A B C C C C C D
0,019 0,018 0,012 0,012 0,011 0,011 0,010 0,007 0,006
2 2 2 2 2 2 2 2 2
T2P3 T1P3 T3P3 T2P2 T1P2 T1P1 T2P1 T3P2 T3P1
B C D D D D D
160
Lampiran 30 Bobot hasil ekstrak pada SFE + co-solvent Waktu B Tempat T + Sampel B sampel B Hasil B.Ekstrak B.Ekstrak B.Ekstrak g/ g/ g/ g/ mg / mg / mg / Menit ekstraksi ekstraksi ekstraksi ekstraksi ekstraksi 100 g bb 100 g bk Fr : 2,7:0,3 ml/mnt
0 15 30 45 60 90 120 150 180 210 240
12,678 12,479 12,733 12,679 12,624 12,654 12,910 12,669 12,718 12,666 12,677
12,678 12,538 12,736 12,681 12,625 12,657 12,911 12,670 12,738 12,668 12,681
0,000 0,059 0,003 0,002 0,001 0,003 0,001 0,001 0,020 0,002 0,004
0,000 0,059 0,062 0,064 0,065 0,069
0 15 30 45 60 90 120 150 180 210 240
12,789 12,831 12,664 12,668 12,650 12,557 12,762 12,595 12,702 12,641 12,587
12,789 12,930 12,691 12,672 12,652 12,560 12,763 12,597 12,703 12,648 12,589
0,000 0,099 0,027 0,004 0,002 0,003 0,001 0,002 0,002 0,007 0,002
0,000 0,099 0,126 0,130 0,132 0,135
0,069
0,070 0,089 0,092
0 59 62 64 65 69 69 70 89 92 96
0 15 15 16 16 17 17 17 22 23 24
0 132 139 143 145 152 153 155 199 204 213
0% 62% 65% 67% 68% 71% 72% 72% 93% 96% 100%
0 99 126 130 132 135 136 138 140 147 149
0 24 31 32 33 33 34 34 34 36 37
0 220 280 289 294 301 303 307 311 326 331
0% 66% 85% 87% 89% 91% 92% 93% 94% 99% 100%
0 471 544 544 581 601 606 606 607 607 607
0 116 134 134 143 148 150 150 150 150 150
0 1048 1209 1210 1292 1336 1349 1349 1349 1350 1350
0% 78% 90% 90% 96% 99% 100% 100% 100% 100% 100%
0,096 Fr : 2,5:0,5 ml/mnt
0,136
0,138 0,140 0,147 0,149
Berat mg/mg %
Fr : 2:1 ml/mnt
0 15 30 45 60 90 120 150 180 210 240
12,634 12,479 12,760 12,679 12,660 12,867 12,631 12,778 12,591 12,649 12,479
12,634 12,951 12,833 12,679 12,697 12,887 12,636 12,778 12,591 12,650 12,479
0,000 0,471 0,073 0,000 0,037 0,020 0,006 0,000 0,000 0,000 0,000
0,000 0,471 0,544 0,544 0,581 0,601 0,606
0,606 0,607 0,607 0,607
161
Lampiran 31 Analisis keragaman dan uji lanjut DMRT bobot ekstrak dengan Rancangan Acak Lengkap dalam waktu (RAL in time) Analisis keragaman bobot ekstrak pada SFE+cosolvent : Sumber dB JK KT F hit Pr > F keragaman Co-solvent(C) 2 268508,3869 134254,1935 12731,7 <,.0001* R (C) 3 54,7285 27,3642 2,60 0,0995** Waktu (W) 10 39739,03236 3973,90324 334,64 <,0001* R (W) 10 118,753 11,875 1,13 0,3913 C*W 20 291122,4655 14556,1233 1380,39 <,0001* Gallat total 20 210,898 10,545 Jumlah 65 3447411,713 *) Berbeda nyata pada taraf 5% **) Tidak berbeda nyata pada taraf 5%
Uji lanjut DMRT pengaruh co-solvent terhadap bobot ekstrak : Duncan Grouping A B C
Mean 524,827 121,027 66,836
N 22 22 22
C 3 2 1
Uji lanjut DMRT pengaruh waktu terhadap bobot ekstrak : Duncan Grouping A A B B C C C D E E F G
Mean 283,867 281,733 278,533 271,367 270,533 268,033 259,433 246,033 243,967 209,700 0,000
N 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6
W 240 210 180 150 120 90 60 45 30 15 0
162
Lampiran 32 Bobot testosteron pada SFE + co-solvent Waktu
Abs
[K]
Menit
A
mg/ ml
Peng enceran
0,1 15 30 45 60 90 120 150 180 210 240
0,000 1,279 0,465 0,181 0,034 0,288 0,010 0,288 0,278 0,443 0,511
0,000 0,050 0,018 0,007 0,001 0,011 0,000 0,011 0,011 0,017 0,020
1 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1
0,1 15 30 45 60 90 120 150 180 210 240
0,000 2,280 2,382 0,430 0,447 0,252 0,192 0,219 0,226 0,127 0,133
0,000 0,089 0,093 0,017 0,017 0,010 0,007 0,009 0,009 0,005 0,005
1 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1
0,1 15 30 45 60 90 120 150 180 210 240
0,000 2,370 1,670 1,649 1,411 0,434 0,017 0,022 0,013 0,010 0,998
0,000 0,092 0,065 0,064 0,055 0,017 0,001 0,001 0,001 0,000 0,039
1 5 2 2 1 1 1 1 1 1 1
mg/ Berat Berat mg/ mg/ mg/ ekstraksi ekstraksi 100 g bb
2,7:0,3 ml/menit 0,000 0,000 0,499 0,499 0,091 0,590 0,035 0,625 0,007 0,632 0,056 0,688 0,002 0,690 0,056 0,746 0,054 0,800 0,086 0,886 0,100 0,986 2,5:0,5 ml/menit 0,000 0,000 0,889 0,889 0,465 1,354 0,084 1,438 0,087 1,525 0,049 1,574 0,037 1,612 0,043 1,654 0,044 1,698 0,025 1,723 0,025 1,748 2:1 ml/menit 0,000 0,000 2,311 2,311 0,651 2,963 0,643 3,606 0,275 3,881 0,085 3,966 0,003 3,969 0,004 3,973 0,003 3,976 0,002 3,978 0,195 4,172
Berat B Hit mg/ mg/ 100 g bk 100 g bk
Berat %
0,000 0,123 0,146 0,154 0,156 0,170 0,170 0,184 0,198 0,219 0,243
0,000 1,110 1,312 1,390 1,405 1,530 1,534 1,659 1,780 1,972 2,194
0,000 0,523 0,601 0,646 0,679 0,724 0,756 0,781 0,802 0,819 0,834
0% 63% 72% 78% 81% 87% 91% 94% 96% 98% 100%
0,000 0,220 0,334 0,355 0,377 0,389 0,398 0,408 0,419 0,425 0,432
0,000 1,978 3,012 3,198 3,392 3,502 3,585 3,680 3,778 3,833 3,889
0,000 1,124 1,284 1,377 1,444 1,537 1,604 1,655 1,698 1,733 1,764
0% 64% 73% 78% 82% 87% 91% 94% 96% 98% 100%
0,000 0,571 0,732 0,890 0,958 0,979 0,980 0,981 0,982 0,982 1,030
0,000 5,141 6,590 8,021 8,633 8,822 8,829 8,838 8,844 8,848 9,281
0,000 2,728 3,110 3,333 3,492 3,715 3,874 3,997 4,097 4,182 4,256
0% 64% 73% 78% 82% 87% 91% 94% 96% 98% 100%
163
Lampiran 33 Analisis keragaman dan uji lanjut DMRT bobot testosteron dengan Rancangan Acak Lengkap dalam waktu (RAL in time) Analisis keragaman bobot testosteron (%) pada SFE+cosolvent : Sumber keragaman
dB 45
Cosolvent(C) R (C) Waktu (W) R (W) C*W Gallat total Jumlah
JK
KT
F hit
123,0284179 2,7339648 1829,56 <,0001 2 85,46926112 42,73463056 28597,9 <,0001
3 0,00431409 0,00143803 10 26,66278182 2,66627818 10 0,03935036 0,00393504 20 10,85271055 0,54263553 20 0,0298865 0,0014943 65
Pr > F
0,96 1784,27 2,63 363,13
123,0583045
*) Berbeda nyata pada taraf 5% **) Tidak berbeda nyata pada taraf 5%
Uji lanjut DMRT pengaruh co-solvent terhadap bobot testosteron : Duncan Grouping Mean N C A 3,345 22 3 B 1,383 22 2 C 0,649 22 1 Uji lanjut DMRT pengaruh waktu terhadap bobot testosteron : Duncan Grouping A A B A B C A B C C C
D D D
Mean 2,302 2,196 2,158 2,125 2,090 2,076 2,013
N 6 6 6 6 6 6 6
W 240 210 180 150 120 90 60
0,4298 <,0001 0,0313 <,0001
164
Lampiran 34 Perbandingan bobot testosteron dan ekstrak pada SFE+ co-solvent Waktu Menit
B Ekstrak
B Testosteron
% Testosteron
mg/100 g bk
mg/100 g bk
testostro/ekstrak
0,1 15 30 45 60 90 120 150 180 210 240
Rasio laju alir 2,7:0,3 ml/menit 0 0,000 132 1,110 139 1,312 143 1,390 145 1,405 152 1,530 153 1,534 155 1,659 199 1,780 204 1,972 213 2,194
0,000% 0,843% 0,945% 0,973% 0,967% 1,004% 1,000% 1,073% 0,895% 0,966% 1,028%
0,1 15 30 45 60 90 120 150 180 210 240
Rasio laju alir 2,5:0,5 ml/menit 0 0,000 220 1,978 280 3,012 289 3,198 294 3,392 301 3,502 303 3,585 307 3,680 311 3,778 326 3,833 331 3,889
0,000% 0,900% 1,076% 1,106% 1,154% 1,165% 1,183% 1,197% 1,216% 1,175% 1,176%
0,1 15 30 45 60 90 120 150 180 210 240
Rasio laju alir 2:1 ml/menit 0 0,000 1048 5,141 1209 6,590 1210 8,021 1292 8,633 1336 8,822 1349 8,829 1349 8,838 1349 8,844 1350 8,848 1350 9,281
0,000% 0,491% 0,545% 0,663% 0,668% 0,660% 0,655% 0,655% 0,656% 0,656% 0,687%
Persentase testosteron (% testosteron) = bobot testosteron/ bobot ekstrak x 100%
165
Lampiran 35 Analisis keragaman dan uji lanjut DMRT persentase testosteron (%) dengan Rancangan Acak Lengkap dalam waktu (RAL in time) Analisis keragaman persentase testosteron (%) pada SFE+cosolvent : Sumber keragaman Perlakuan Co-solvent(C) R (C) Waktu (W) R (W) C*W Gallat total Jumlah
dB
JK
45
16,89178597 0,37537302 117,28 <,0001* 0,01082094 0,00541047 1,69 0,2097** 13,90692300 4,63564100 1448,40 <,0001* 1,48017882 0,14801788 46,25 <,0001* 1,43069148 0,14306915 44,70 <,0001* 0,06317173 0,00315859 0,99 0,5116** 0,06401052 0,00320053 16.95579648
2 3 10 10 20 20 65
KT
F hit
Pr > F
*) Berbeda nyata pada taraf 5% **) Tidak berbeda nyata pada taraf 5%
Uji lanjut DMRT pengaruh co-solvent terhadap persentase testosteron (SFE) : Duncan Grouping Mean N C A 0,485 22 1 A 0,460 22 3 Uji lanjut DMRT pengaruh waktu terhadap persentase testosteron (SFE) : Duncan Grouping A A B B A B A B A B A B A B A B A B B
Mean 0,572 0,542 0,524 0,512 0,512 0,509 0,500 0,496 0,491 0,478 0,000
N 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6
W 45 30 60 90 120 240 15 150 180 210 0
166