ISSN 2339-0085
AGROSWAGATI JURNAL AGRONOMI Pangan Bukan Segalanya Tetapi Tanpa Pangan Segalanya Tidak Ada Artinya
VOLUME 3, NOMOR 1, NOVEMBER 2015
Pengaruh Dosis Pupuk Majemuk NPK terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tiga Varietas Tanaman Padi (Oryza Sativa L.) Feri Kurniawan Kajian Kemampuan Lahan Terhadap Potensi Produksi Tanaman Pangan Di Wilayah Kota Cirebon Dr. Amran Jaenudin, Ir., MS dan Maryuliyanna Pengaruh Bobot Bibit dan Dosis Pupuk Kalium terhadap Serapan K, Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Bawang Merah (Allium ascalonicum L.) Varietas Bima Lies Ernawati Pengaruh Aplikasi Beberapa Pupuk Organik Pabrikan dan Jumlah Bibit Per Lubang Terhadap Serapan N, Pertumbuhan, dan Hasil Tanaman Padi (Oryza Sativa L.) Varietas Inpari 19 Nurkholis Khasan Pengaruh Konsentrasi Pupuk Organik Cair Chitosan terhadap Bintil Akar, Pertumbuhan, dan Hasil Tiga Kultivar Tanaman Kedelai (Glycine Max L. Merrill) Rachmat Indrianto Pengaruh Konsentrasi Zat Pengatur Tumbuh Auksin Golongan NAA dan Waktu Penyiangan terhadap Pertumbuhan dan Hasil Kacang Hijau (Vigna radiata L.) Lina Dwi Agustina Pengaruh Konsentrasi ZPT GA3 dan Lamanya Perendaman Benih terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Kacang Hijau (Phaseolus Vulgari) Varietas Sriti Linda Permasi Dewi
PROGRAM STUDI AGRONOMI PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI Jurnal
Volume
Nomor
Halaman
Agroswagati
3
1
1 – 85
Cirebon,
ISSN
November 2015 2339-0085
Jurnal AGROSWAGATI 3 (1), November 2015
Jurnal Agronomi terbit berskala setiap 4 bulan, merupakan media komunikasi ilmiah bagi semua pihak yang berminat di bidang pertanian Pelindung: Rektor Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon Prof. Dr. Rochanda Wiradinata., MP Penanggung Jawab: Direktor Program Pasca Sarjana Dr. H. Harwan Sutomo, Ir., MP Pemimpin Redaksi: Dr. Amran Jaenudin, Ir., MS Anggota Dewan Redaksi: Dra. A. Faqih. Ir.,MM Prof. Dr. Ir. Tadjudin Surawinata, MS Dr. Alfandi, Ir., M.Si Umi Trisnaningsih, Ir., MP Mitra Bestari: Prof. Dr. Jajang Sauman Ir., MS (Dosen UNPAD BAndung) Prof. Dr. Ai Komariah, Ir., MS(Dosen UNWIM Sumedang) Dr. Mustadjab Hary Kusnadi, Ir., MS (Dosen UVN Jogjakarta) Dr. H. Tohidin, Ir., MP (Dosen UNWIR Indramayu) Dr. H. Djoni, Ir., MS (Dosen UNSIL Tasikmalaya) Distributor: Agus Supriyadi, S.Pd.,M.Si Aan Anisah, SE., M.Pd Yeyen Herarusanti, A.Md
PENERBIT PROGRAM STUDI AGRONOMI PROGRAM PASCA SARJANA UNSWAGATI CIREBON
ALAMAT PENERBIT Sekretariat Prodi Agronomi Program Pasca Sarjana Unswagati Jl. Terusan Pemuda No.1, Cirebon Telp. (0231) 488924 ex 64. E-mail:
[email protected]
AGROSWAGATI | Nomor 1 | Volume 3 | November 2015
i
Jurnal AGROSWAGATI 3 (1), November 2015
DAFTAR ISI Pengaruh Dosis Pupuk Majemuk NPK terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tiga Varietas Tanaman Padi (Oryza Sativa L.) Feri Kurniawan
Halaman 1 – 11
Kajian Kemampuan Lahan Terhadap Potensi Produksi Tanaman Pangan Di Wilayah Kota Cirebon Dr. Amran Jaenudin, Ir., MS dan Maryuliyanna
13 – 26
Pengaruh Bobot Bibit dan Dosis Pupuk Kalium terhadap Serapan K, Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Bawang Merah (Allium ascalonicum L.) Varietas Bima Lies Ernawati
27 - 39
Pengaruh Aplikasi Beberapa Pupuk Organik Pabrikan dan Jumlah Bibit
41 – 48
Per Lubang Terhadap Serapan N, Pertumbuhan, dan Hasil Tanaman Padi (Oryza Sativa L.) Varietas Inpari 19 Nurkholis Khasan Pengaruh Konsentrasi Pupuk Organik Cair Chitosan terhadap Bintil
49 - 60
Akar, Pertumbuhan, dan Hasil Tiga Kultivar Tanaman Kedelai (Glycine Max L. Merrill) Rachmat Indrianto Pengaruh Konsentrasi Zat Pengatur Tumbuh Auksin Golongan NAA
61 - 71
dan Waktu Penyiangan terhadap Pertumbuhan dan Hasil Kacang Hijau (Vigna radiata L.) Lina Dwi Agustina Pengaruh Konsentrasi ZPT GA3 dan Lamanya Perendaman Benih
73 - 85
terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Kacang Hijau (Phaseolus Vulgari) Varietas Sriti Linda Permasi Dewi
PROGRAM STUDI AGRONOMI PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI
ii
AGROSWAGATI | Nomor 1 | Volume 3 | November 2015
Jurnal AGROSWAGATI 3 (1), November 2015
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, Jurnal Agroswagati Prodi Agronomi Program Pasca Sarjana Unswagati Volume 1, Nomor 1, Maret 2015 dapat diterbitkan. Pada penerbitan jurnal pertama ini dikemukakan hasil penelitian dari komoditas gedong gincu, mangga arumanis, nenas, kedelai, tomat, dan ubi jalar. Bahan tulisan tersebut selain diisi oleh para Dosen dan Mahasiswa dari Prodi Agronomi Program Pascasarjana, para peneliti Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat, serta Dosen Universitas lainnya. Pada penerbitan ini, kami berupaya memberikan sistem penulisan dan kualitas penulisan terbaik, sehingga hasil penelitian-penelitian tersebut dapat tersampaikan dengan baik dan dapat bermanfaat bagi para peneliti dan masyarakat, khususnya para petani. Seperti tujuan awal dari penerbitan media ini untuk memberikan ruang bagi para dosen, mahasiswa, dan peneliti instansi lain untuk secara rutin dapat menerbitkan hasil penelitiannya. Media ini diharapkan dapat membantu menyelesaikan permasalahan ilmu dan teknologi di bidang pertanian pada umumnya. Melalui upaya yang sederhana ini, kami turut berembuk dalam menghadapi swasembada pangan nasional. Alasan jurnal ini sesuai dengan motto kami, “pangan bukan segalanya tetapi tanpa pangan tidak ada artinya”. Selanjutnya, masukan dari pihak luar maupun dari dosen dibutuhkan guna memperbaiki dan meningkatkan substansi maupun kualitas penulisan. Akhirnya kami sampaikan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah mendukung penerbitan jurnal ini, khususnya kepada bapak rektor unswagati yang selalu memberikan dorongan dan dukungannya.
Cirebon, November 2015
Dewan Redaksi.
AGROSWAGATI | Nomor 1 | Volume 3 | November 2015
iii
Jurnal AGROSWAGATI 3 (1), November 2015
Pedoman Penulisan Naskah
Ketentuan Umum:
Makalah yang dibuat merupakan laporan hasil penelitian empat tahun terakhir atau makalah suntingan yang belum pernah dipublikasikan dan tidak dalam proses penerbitan. Bidang kajian di bidang pertanian meliputi budidaya tanaman serta bidang pertanian lainnya mencakup aspek tanah, OPT, mekanisasi, pemuliaan, dan ilmu dasar tanaman. Penulis adalah peneliti dari suatu perguruan tinggi, lembaga penelitian atau industri (swasta dan pemerintah). Naskah di dalam jurnal Agroswagati dapat ditulis dalam bahasa indonesia dan bahasa Inggris dengan gaya bahasa efektif dan ilmiah. Naskah berupa hasil penelitian yang informatif untuk menunjang pengembangan pertanian. Naskah diketik pada kertas HVS ukuran A4 dengan jarak 1 spasi, bentuk huruf Times New Roman, dengan ukuran 11 (program pengolahan kata Microsoft Word).
Ketentuan Khusus: Susunan naskah, sebagai berikut:
iv
Judul harus singkat dan menunjukkan identitas subjek, indikasi tujuan studi, memuat kata kunci, dan maksimal 20 kata. Nama Penulis disebutkan, disertai dengan profesi, dan instansi tempat kerja. Abstark (Abstract), merupakan uraian singkat asli yang bersifat informatif (bukan abstrak indikasi), yang menyajikan data pokok dan informasi penting serta kesimpulan yang dimuat dalam naskah asli. Pendahuluan, berisi latar belakang alasan pentingnya dilakukan penelitian, kerangka pemikiran, telusuran literatur, serta hubungan dari masing-masing teori/evidensi (yang diperhatikan termasuk relevansi dan kemutakhiran), hipotesis yang mendasari pendekatan umum dan tujuan diadakannya penelitian. Metode Penelitian, berisi penjelasan mengenai bahan, alat, waktu, tempat, teknik, dan rancangan percobaan, atau model penelitiannya. Hasil dan Pembahasa, disajikan secara singkat dapat dibantu dengan tabel, grafik, dan foto. Pembahasan merupakan tinjauan terhadap hasil penelitian secara singkat tetapi jelas dan merujuk terhadap literatur yang terkait. Kesimpulan dan Saran, merupakan hasil konkrit ataupun keputusan dari penelitian yang dilakukan dan saran tindak lanjut untuk bahan pengembangan penelitian berikutnya. Daftar Pustaka, mencantumkan semua pustaka berikut semua keterangan yang lazim dengan tujuan jika ada pembaca yang membutuhkan dapat dengan mudah menelusurinya. Daftar pustaka ditulis dengan menggunakan sistem nama, tahun, dan disusun secara abjad. AGROSWAGATI | Nomor 1 | Volume 3 | November 2015
Jurnal AGROSWAGATI 3 (1), November 2015
Beberapa contoh: Buku: Buol, S.W., F.D. Hole and R.J. Mc Craken. 1980. Soil Genesis and Classification. 2nd ed. Iowa State Univ. Press. Ames. Artikel dalam buku: Epton, H.A.S., M.Wilson, S.L. Nicholas dan D.C. Siegee. 1984. Biological Control of Erwinia amylovoria with erwinia herbicola. P 333-352 In Blakeman, J.P. dan B. Wiliamson (Eds.) Ecofty of Plant Patogens. CAB. Internal. Wallingford, UK. Prosiding: Ida Ayu Mayun. 2007. Efek Mulsa Jerami Padi dan Pupuk Kandang Sapi terhadap Pertumbuhan dan Hasil Bawang Merah di Daerah Pesisir. Agritrop, 26 (1) : 33 - 40. Fakultas Pertanian Universitas Udayana Denpasar Bali. Publikasi Internet: Wayan Sudana., Nyak Ilham., Dewa Ketut Sandra, S. dan Rita Nur Suhaeti. 1999. Metode Penelitian dan Pengkajian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta. Dalamhttp://www.deptan.go.id/. Diakses tanggal 28 Juli 2009. Penulis dimohon membatasi tulisanya hingga 14 halaman A4, lengkap dengan tabel dan gambar dan diserahkan dalam bentuk print out dan soft copy dalam CD atau di email ke alamat:
[email protected] Redaksi berhak menyusun naskah sedemikian sehingga sesuai dengan pemuatan naskah atau mengembalikannya untuk diperbaiki, atau menolak naskah yang bersangkutan. Naskah yang dimuat dikenankan biaya pencetakan sebesar Rp 150.000,00 (Seratus Lima Puluh Ribu Rupiah) per naskah. Penulisan akan menerima 2 kopi naskah termuat dengan cuma-cuma. Permintaan lebih dari 2 kopi akan dilayani dengan biaya tambahan dari penulis sebesar Rp 50.000,00.
AGROSWAGATI | Nomor 1 | Volume 3 | November 2015
v
PENGARUH DOSIS PUPUK MAJEMUK NPK TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL TIGA VARIETAS TANAMAN PADI (Oryza sativa L.) Dose Effect of Compound Fertilizer NPK on growth and Results Three Rice Varieties (Oryza sativa L.)
Feri Kurniawan Mahasiswa Program Pascasarjana Program Studi Agronomi, Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui : (1) mengetahui pengaruh dosis pupuk NPK terhadap pertumbuhan dan hasil tiga varietas tanaman padi (Oryza sativa L.) (2) mengetahui kombinasi dosis pupuk majemuk NPK dan varietas mana yang menghasilkan pertumbuhan dan hasil tanaman padi (Oryza sativa L.) terbaik, dan (3) mengetahui korelasi antara komponen pertumbuhan dengan hasil pada tiga varietas tanaman padi (Oryza sativa L.). Penelitian dilaksanakan di Desa Panggasari Kecamatan Losari, Cirebon, dari bulan Mei sampai dengan bulan September 2014. Metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK). Percobaan ini terdiri dari 9 kombinasi perlakuan dosis pupuk majemuk NPK dan varietas padi yang masing-masing diulang tiga kali, sehingga terdapat 27 petak percobaan. Kombinasi perlakuan yang diuji di lapangan adalah : A (200 kg/ha dan Varietas Ciherang), B (200 kg/ha dan Varietas Situbagendit), C (200 kg/ha dan Varietas Hibrida DG-1), D (250 kg/ha dan Varietas Ciherang), E (250 kg/ha dan Varietas Situbagendit), F (250 kg/ha dan Varietas Hibrida DG-1), G (300 kg/ha dan Varietas Ciherang), H (300 kg/ha dan Varietas Situbagendit), dan I (300 kg/ha dan Varietas Hibrida DG-1). Hasil penelitian menunjukkan bahwa : (1) terdapat pengaruh yang nyata antara kombinasi dosis pupuk majemuk NPK dan varietas padi terhadap parameter ratarata tinggi tanaman umur 45 dan 60 HST, jumlah anakan per rumpun umur 45 dan 60 HST, Shoot Root Ratio umur 45 dan 60 HST, Laju Pertumbuhan Tanaman umur 30 sampai 45 HST dan umur 45 sampai 60 HST, dan gabah kering panen per rumpun dan per petak, (2) gabah kering panen per petak tertinggi terdapat pada perlakuan F (250 kg/ha dan Varietas Hibrida DG-1) yang menghasilkan 8,03 kg/petak atau setara dengan 10,71 ton/ha dengan asumsi 80 % lahan efektif, (3) terdapat korelasi yang nyata antara komponen pertumbuhan tinggi tanaman umur 30, 45, dan 60 HST, jumlah anakan per rumpun umur 30 dan 45 HST, dan Laju Pertumbuhan Tanaman umur 30 sampai 45 HST dan umur 45 sampai 60 HST dengan gabah kering panen per petak. Kata Kunci : padi, pupuk majemuk NPK, varietas padi
Dosis Pupuk Majemuk NPK dan Tiga Varietas Padi
ABSTRACT This study aimed to determine: (1) determine the effect of NPK fertilizer on growth and yield of three varieties of rice plants (Oryza sativa L.) (2) determine the combination of NPK compound fertilizers and varieties which produce the growth and yield of rice (Oryza sativa L.) best, and (3) determine the correlation between the growth components results in three varieties of rice plants (Oryza sativa L.). The experiment was conducted in the village of the District Panggasari Losari, Cirebon, from May until the month of September 2014. The method used in this study is the experimental method. The experimental design used was a randomized block design (RBD). This experiment consisted of nine treatment NPK compound fertilizer and rice varieties, each of which was repeated three times, so there are 27 experimental plots. The combination treatment was tested in the field are: A (200 kg / ha and Varieties Ciherang), B (200 kg / ha and Varieties Situbagendit), C (200 kg / ha and Hybrid Varieties DG-1), D (250 kg / ha and varieties Ciherang), E (250 kg / ha and varieties Situbagendit), F (250 kg / ha and Hybrid Varieties DG-1), G (300 kg / ha and varieties Ciherang), H (300 kg / ha and varieties Situbagendit ), and I (300 kg / ha and Hybrid Varieties DG-1). The results showed that: (1) there is a real effect between the combination of NPK compound fertilizers and rice varieties to the average parameters of plant height between 45 and 60 days after planting (DAP), the number of tillers per hill age of 45 and 60 DAP, Shoot Root Ratio of age 45 and 60 DAP, Plant Growth ages 30 to 45 DAP and age 45 to 60 DAP, and harvesting of dry grain per panicle and per plot, (2) dried grain harvested per plot was highest in treatment F (250 kg / ha and Hybrid Varieties DG-1) which produces 8.03 kg / plot, equivalent to 10.71 tons / ha assuming 80% effective land, (3) there is a significant correlation between high growth component of plant age 30, 45, and 60 DAP, the number of tillers per clump ages of 30 and 45 DAP, and Plant Growth aged 30 to 45 DAP and age 45 to 60 DAP to harvest of dry grain per plot Keywords : NPK compound fertilizer, rice, rice varieties
2
AGROSWAGATI | Nomor 1 | Volume 3| November 2015
Dosis Pupuk Majemuk NPK dan Tiga Varietas Padi PENDAHULUAN Padi merupakan tanaman pangan utama yang dikonsumsi oleh sekitar setengah penduduk dunia. Di masa mendatang, diperkirakan banyak negara akan mengalami bencana kekurangan pangan. Menurut Prasetyo (2003) lebih dari 88 negara di dunia mengalami krisis pangan, diantaranya Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan semakin berkurangnya luas lahan padi, tenaga kerja semakin sedikit, dan ketersediaan air semakin berkurang. Seiring dengan pertambahan jumlah penduduk, kebutuhan pangan semakin tinggi, produksi pangan, khususnya beras harus ditingkatkan, mengingat beras merupakan bahan makanan pokok bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Ilmu pengetahuan dan teknologi diharapkan mampu memberi kontribusi dan solusi yang tepat, dalam menghadapi tantangan tersebut. Rendahnya hasil yang diperoleh dari usahatani tanaman padi disebabkan antara lain oleh penggunaan benih yang kurang unggul dan bermutu, adanya gangguan hama dan penyakit, pengaruh saingan dengan tumbuhan pengganggu dan teknik bercocok tanam kurang baik. Menurut Iwan Juhardi (1999), rendahnya hasil bukan hanya disebabkan oleh penggunaan benih yang kurang unggul dan bermutu, kurang tepatnya pengendalian hama dan penyakit, tetapi juga masih kurangnya pengetahuan petani tentang pemupukan yang tepat dalam penyediaan unsur hara terutama nitrogen, fosfat, dan kalium secara seimbang. Lubis et al. (1999), menyatakan varietas unggul baru merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan hasil dan mengantisipasi kegagalan usahatani padi sawah di tingkat petani, dimana varietas unggul yang beredar sekarang pada suatu saat hasilnya akan menurun dan ketahanannya terhadap hama dan penyakit tertentu akan berkurang. Sebagai contoh varietas padi Ciherang dan Situbagendit merupakan varietas yang paling populer di beberapa sentra produksi padi sawah di Losari, namun hasilnya sudah menurun dan peka AGROSWAGATI | Nomor 1 | Volume 3| November 2015
terhadap serangan hama/penyakit utama, seperti ulat grayak dan wereng coklat. Serangan hama kresek menjadi ancaman utama pertanian tanaman pangan di Losari selain tikus dan wereng, dihimbau petani mengganti varietas padi dengan jenis tahan jamur dan penyakit seperti hibrida DG-1. Padi hibrida merupakan teknologi alternatif yang dapat meningkatkan produksi padi hingga 15-20% dibandingkan dengan padi inbrida. Penggunaan padi hibrida diharapkan dapat memenuhi kebutuhan beras nasional di tengah keterbatasan lahan pertanian. Kendala yang dihadapi dalam pengembangan padi hibrida saat ini yaitu ketersediaan benih padi hibrida berkualitas tinggi dengan harga terjangkau belum mencukupi kebutuhan petani. Hal ini terkait dengan masalah produksi dan penyimpanan benih. Program Pemupukan Berimbang adalah suatu upaya peningkatan produktivitas padi dan kualitas gabah yang dihasilkan (Ditjen Bina Produksi Tanaman Pangan, 2004). Untuk memperoleh produksi gabah yang optimal dengan mutu yang baik dan memperhatikan kelestarian kesuburan lahan, maka pemupukan berimbang perlu disosialisasikan sampai ke petani sebagai pelaksana usahatani. Pemupukan berimbang adalah pemberian pupuk (hara) sesuai dengan kebutuhan tanaman baik dalam jumlah maupun jenis pupuk (hara) yang dikaitkan dengan sifat tanah, status hara tanah, kebutuhan tanaman serta keadaan lingkungan. Hal itu dapat dicapai tidak hanya melalui penambahan unsur hara yang kurang, tetapi juga dapat mengurangi pemberian unsur hara yang berlebihan. Ditambahkan oleh Ditjen Bina Produksi Tanaman Pangan (2004), dalam aplikasi pemupukan berimbang di lapangan, selain memperhatikan asas 6 tepat (tepat waktu, jumlah, jenis, harga, mutu, dan penggunaan) juga disesuaikan dengan kondisi wilayahnya (spesifik lokasi).
3
Dosis Pupuk Majemuk NPK dan Tiga Varietas Padi BAHAN DAN METODE
9. I = 300 kg/ha dan Varietas Hibrida DG-1 Ukuran petak 3 m x 2 m, jarak antar petak 30 cm, jarak antar ulangan 100 cm, dan jarak tanam 25 cm x 25 cm. Pelaksanaan percobaan di lapangan akan meliputi kegiatan persiapan tanam (pengolahan tanah, penyiapan bibit, penanaman, pemeliharaan, dan pemungutan hasil atau panen). Parameter yang diamati meliputi tinggi tanaman, jumlah anakan per rumpun, Shoot Root Ratio, Laju Pertumbuhan Tanaman, jumlah anakan produktif, jumlah malai per rumpun, jumlah butir padi per malai, dan gabah kering panen per rumpun dan per petak. Analisis data dilakukan menggunakan sidik ragam dan uji lanjutan dengan Uji Gugus Scott Knott pada taraf 5 %. Setelah itu dilakukan Uji Korelasi dengan analisa Uji t Product Moment antara komponen pertumbuhan dengan hasil tanaman padi.
Penelitian ini dilaksanakan di lahan sawah irigasi Desa Panggasari Kecamatan Losari, Cirebon.Terletak pada ketinggian 10 m di atas permukaan laut (dpl), jenis tanah aluvial. Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan bulan September 2014. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain adalah benih padi varietas Ciherang, Situbagendit, dan Hibrida DG-1, pupuk kandang kambing, pupuk majemuk NPK, fungisida, dan insektisida. Percobaan dilakukan dengan menggunakan metode eksperimen dengan Rancangan Acak Kelompok (RAK). Percobaan ini terdiri dari 9 kombinasi perlakuan dosis pupuk majemuk NPK dan varietas padi yang masing-masing diulang tiga kali, sehingga akan terdapat 27 petak percobaan. Kombinasi perlakuan yang diuji di lapangan adalah sebagai berikut : 1. A = 200 kg/ha dan Varietas Ciherang 2. B = 200 kg/ha dan Varietas Situbagendit 3. C = 200 kg/ dan Varietas Hibrida DG-1 4. D = 250 kg/ha dan Varietas Ciherang 5. F = 250 kg/ha dan Varietas Situbagendit 6. E = 250 kg/ha dan Varietas Hibrida DG-1 7. G = 300 kg/ha dan Varietas Ciherang 8. H = 300 kg/ha dan Varietas Situbagendit
HASIL DAN PEMBAHASAN Tinggi Tanaman (cm) Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan kombinasi dosis pupuk majemuk NPK dan varietas padi memberikan pengaruh yang nyata terhadap rata-rata tinggi tanaman pada umur 45 dan 60 HST. Sedangkan pada tinggi tanaman umur 30 HST perlakuan kombinasi dosis pupuk majemuk NPK dan varietas padi tidak menunjukkan perbedaan yang nyata.
Tabel 1. Pengaruh Kombinasi Dosis Pupuk Majemuk NPK dan Varietas Padi Terhadap Tinggi Tanaman Umur 30, 45, dan 60 HST Perlakuan A B C D E F G H 4
(200 (200 (200 (250 (250 (250 (300 (300
kg/ha kg/ha kg/ha kg/ha kg/ha kg/ha kg/ha kg/ha
dan dan dan dan dan dan dan dan
Varietas Ciherang) Varietas Situbagendit) Varietas Hibrida DG-1) Varietas Ciherang) Varietas Situbagendit) Varietas Hibrida DG-1) Varietas Ciherang) Varietas Situbagendit)
Tinggi Tanaman (cm) 30 HST 45 HST 60 HST 64,29 a 85,93 a 101,07 a 64,17 a 83,50 a 96,09 a 70,09 a 101,22 c 108,11 b 65,24 a 89,88 b 106,75 b 62,82 a 82,7 a 94,89 a 72,71 a 103,44 c 113,48 b 67,48 a 91,21 b 106,83 b 64,23 a 85,19 a 95,87 a
AGROSWAGATI | Nomor 1 | Volume 3| November 2015
Dosis Pupuk Majemuk NPK dan Tiga Varietas Padi Perlakuan I (300 kg/ha dan Varietas Hibrida DG-1)
Tinggi Tanaman (cm) 30 HST 45 HST 60 HST 69,98 a 96,66 c 103,27 b
Keterangan : Angka rata-rata dengan disertai huruf sama pada kolom sama, menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan Uji Gugus Scott-Knott pada taraf nyata 5%. Tinggi tanaman pada umur 30 HST menunjukkan perbedaan yang tidak nyata pada setiap perlakuannya. Dari analisa tanah yang dilakukan sebelum percobaan menunjukkan bahwa N-Total dalam tanah sangat rendah (0,08 %). Hal ini menyebabkan dalam segi pertumbuhan khususnya tinggi tanaman umur 30 HST perlakuan dosis pupuk majemuk NPK tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Fungsi N untuk tanaman yaitu untuk pertumbuhan pucuk tanaman dan menyuburkan pertumbuhan vegetatif (Campbell, 2000). Tinggi tanaman pada umur 45 dan 60 HST menunjukkan perbedaan yang nyata pada setiap perlakuannya. Hal ini disebabkan karena pupuk majemuk memiliki keunggulan dibandingkan dengan pupuk tunggal, yaitu mengandung lebih dari jenis 2 hara, lebih praktis dalam pemesanan, transportasi, penyimpanan, dan aplikasinya di lapangan. Keuntungan lain penggunaan pupuk majemuk tersebut adalah lebih homogen dalam penyebaran pupuk (Achorn dan Balay, 1997 dalam J. Purnomo,
2008). Padi hibrida merupakan salah satu inovasi yang meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman (Fatiwati et al., 2008). Jumlah Anakan per Rumpun (anakan) Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan kombinasi dosis pupuk majemuk NPK dan varietas padi memberikan pengaruh yang nyata terhadap rata-rata jumlah anakan pada umur 30 dan 45 HST. Sedangkan pada jumlah anakan umur 60 HST perlakuan kombinasi dosis pupuk majemuk NPK dan varietas padi tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Peningkatan hasil padi akibat pemberian pupuk NPK berhubungan erat dengan kenaikan jumlah anakan (Abdurrachman, 2004). Keunggulan dari padi hibrida antara lain hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan padi inbrida dan keunggulan pada beberapa karakteristik morfologi seperti anakan yang lebih banyak (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2007).
Tabel 2. Pengaruh Kombinasi Dosis Pupuk Majemuk NPK dan Varietas Padi Terhadap Jumlah Anakan per Rumpun Umur 30, 45, dan 60 HST
Perlakuan A B C D E F G H I
(200 (200 (200 (250 (250 (250 (300 (300 (300
kg/ha kg/ha kg/ha kg/ha kg/ha kg/ha kg/ha kg/ha kg/ha
dan dan dan dan dan dan dan dan dan
Varietas Ciherang) Varietas Situbagendit) Varietas Hibrida DG-1) Varietas Ciherang) Varietas Situbagendit) Varietas Hibrida DG-1) Varietas Ciherang) Varietas Situbagendit) Varietas Hibrida DG-1)
Jumlah Anakan per Rumpun (anakan) 30 30 HST 30 HST HST 16,32 a 16,32 a 16,32 a 16,15 a 16,15 a 16,15 a 18,38 a 18,38 a 18,38 a 16,94 a 16,94 a 16,94 a 15,86 a 15,86 a 15,86 a 22,67 b 22,67 b 22,67 b 18,20 a 18,20 a 18,20 a 12,79 a 12,79 a 12,79 a 20,98 b 20,98 b 20,98 b
Keterangan : Angka rata-rata dengan disertai huruf sama pada kolom sama, menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan Uji Gugus Scott-Knott pada taraf nyata 5%
AGROSWAGATI | Nomor 1 | Volume 3| November 2015
5
Dosis Pupuk Majemuk NPK dan Tiga Varietas Padi
Shoot Root Ratio (SSR) Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan kombinasi dosis pupuk majemuk NPK dan varietas padi memberikan pengaruh yang nyata terhadap
rata-rata Shoot Root Ratio pada umur 45 dan 60 HST. Sedangkan pada Shoot Root Ratio umur 30 HST perlakuan kombinasi dosis pupuk majemuk NPK dan varietas padi tidak menunjukkan perbedaan yang nyata.
Tabel 3. Pengaruh Kombinasi Dosis Pupuk Majemuk NPK dan Varietas Padi Terhadap Shoot Root Ratio Umur 30, 45, dan 60 HST Shoot Root Ratio 30 HST A (200 kg/ha dan Varietas Ciherang) 1,46 a 1,40 a 1,55 b B (200 kg/ha dan Varietas Situbagendit) 1,60 a 1,32 a 1,26 a C (200 kg/ha dan Varietas Hibrida DG-1) 1,78 a 1,70 b 1,24 a D (250 kg/ha dan Varietas Ciherang) 1,71 a 1,71 b 1,21 a E (250 kg/ha dan Varietas Situbagendit) 1,68 a 1,70 b 1,77 b F (250 kg/ha dan Varietas Hibrida DG-1) 1,36 a 1,69 b 1,83 b G (300 kg/ha dan Varietas Ciherang) 1,94 a 1,24 a 1,27 a H (300 kg/ha dan Varietas Situbagendit) 2,18 a 1,07 a 1,39 a I (300 kg/ha dan Varietas Hibrida DG-1) 1,64 a 1,29 a 1,60 b Keterangan : Angka rata-rata dengan disertai huruf sama pada kolom sama, menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan Uji Gugus Scott-Knott pada taraf nyata 5%. Perlakuan
30 HST
Unsur nitrogen yang terkandung dalam pupuk majemuk NPK berfungsi dalam meningkatkan kadar protein dalam tanaman (Mul Mulyani Sutejo, 1997). Padi varietas hibrida memiliki intensitas respirasi yang lebih rendah dan translokasi asimilat lebih tinggi (Fatiwati et al., 2008). Padi varietas unggul merupakan hasil persarian antara dua spesies yang memiliki sifat-sifat unggul dimana produksinya masih di bawah padi hibrida, tapi bila padi hibrida tersebut dirawat
30 HST
dengan benar produksinya bisa menyamai padi hibrida (Wirajaswadi, 2008). Laju Pertumbuhan Tanaman (LPT) Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan kombinasi dosis pupuk majemuk NPK dan varietas padi memberikan pengaruh yang nyata terhadap rata-rata Laju Pertumbuhan Tanaman pada umur 30 sampai 45 HST dan umur 45 sampai 60 HST.
Tabel 4. Pengaruh Kombinasi Dosis Pupuk Majemuk NPK dan Varietas Padi Terhadap Laju Pertumbuhan Tanaman pada umur 30 sampai 45 HST dan umur 45 sampai 60 HST Laju Pertumbuhan Tanaman Perlakuan
6
30 sampai 45 HST
45 sampai 60 HST
A (200 kg/ha dan Varietas Ciherang)
63,31 a
148,22 a
B (200 kg/ha dan Varietas Situbagendit)
101,93 b
171,47 b
C (200 kg/ha dan Varietas Hibrida DG-1)
78,89 a
161,66 b
D (250 kg/ha dan Varietas Ciherang)
45,61 a
148,86 a
E (250 kg/ha dan Varietas Situbagendit)
94,89 b
177,87 b
F (250 kg/ha dan Varietas Hibrida DG-1)
118,35 b
197,50 b
AGROSWAGATI | Nomor 1 | Volume 3| November 2015
Dosis Pupuk Majemuk NPK dan Tiga Varietas Padi G (300 kg/ha dan Varietas Ciherang)
66,30 a
116,01 a
H (300 kg/ha dan Varietas Situbagendit)
71,21 a
137,13 a
I (300 kg/ha dan Varietas Hibrida DG-1)
55,85 a
193,87 b
Keterangan : Angka rata-rata dengan disertai huruf sama pada kolom sama, menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan Uji Gugus Scott-Knott pada taraf nyata 5%. Menurut Salisbury (1995), bila tumbuhan dicabut dan dikeringkan di dalam oven dengan suhu 70 - 80ºC selama 1 - 2 hari, maka hampir seluruh hampir seluruh air yang terdapat pada tumbuhan tersebut telah menguap, bahan yang tertinggal disebut dengan bahan kering. Komponen utamanya adalah polisakarida dan lignin yang berasal dari dinding sel, sedang protein, lipid, asam amino, asam organik berasal dari sitoplasma. Kesemua ini adalah hasil dari fotosintesis yang bersumber dari unsur hara yang diserap oleh akar yang diproses di daun dengan bantuan sinar matahari yang dikenal dengan hasil fotosintat yang merupakan indikasi dari Laju Pertumbuhan Tanaman. Jumlah Malai per Rumpun (malai) Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan kombinasi dosis pupuk majemuk NPK dan varietas padi memberikan pengaruh yang nyata terhadap rata-rata jumlah malai per rumpun. Tabel
5. Pengaruh Kombinasi Dosis Pupuk Majemuk NPK dan Varietas Padi Terhadap Jumlah Malai per Rumpun Jumlah Malai per Rumpun (malai)
Perlakuan A B C D E F
(200 kg/ha dan Ciherang) (200 kg/ha dan Situbagendit) (200 kg/ha dan Hibrida DG-1) (250 kg/ha dan Ciherang) (250 kg/ha dan Situbagendit) (250 kg/ha dan Hibrida DG-1)
Varietas Varietas Varietas Varietas Varietas Varietas
G
(300 kg/ha dan Varietas 17,90 a Ciherang) H (300 kg/ha dan Varietas 16,67 a Situbagendit) I (300 kg/ha dan Varietas 18,52 a Hibrida DG-1) Keterangan : Angka rata-rata dengan disertai huruf sama pada kolom sama, menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan Uji Gugus Scott-Knott pada taraf nyata 5%.
Jumlah malai per rumpun menunjukkan perbedaan yang tidak nyata pada setiap perlakuannya. Hal ini disebabkan karena dari hasil analisa tanah yang dilakukan sebelum percobaan menunjukkan kandungan P2O5 yang tersedia dalam tanah rendah. Sehingga perlu ditambah lagi dosis pemupukan khususnya pupuk fosfor. Unsur fosfor mempercepat masa pembungaan dan pemasakan buah, biji atau gabah serta dapat meningkatkan hasil biji-bijian (Mul Mulyani Sutejo, 1997). Jumlah Butir Padi per Malai (butir) Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan kombinasi dosis pupuk majemuk NPK dan varietas padi memberikan pengaruh yang nyata terhadap rata-rata jumlah butir padi per malai. Tabel
17,33 a
Perlakuan
17,83 a 18,50 a
A
16,92 a
B
17,83 a
C
19,17 a
D
AGROSWAGATI | Nomor 1 | Volume 3| November 2015
6. Pengaruh Kombinasi Dosis Pupuk Majemuk NPK dan Varietas Padi Terhadap Jumlah Butir Padi per Malai
(200 kg/ha dan Varietas Ciherang) (200 kg/ha dan Varietas Situbagendit) (200 kg/ha dan Varietas Hibrida DG-1) (250 kg/ha dan Varietas Ciherang)
Jumlah Butir Padi per Malai (butir) 145,67 a 157,83 a 165,83 a 147,67 a 7
Dosis Pupuk Majemuk NPK dan Tiga Varietas Padi E
(250 kg/ha dan 151,17 a Varietas Situbagendit) F (250 kg/ha dan 172,67 a Varietas Hibrida DG-1) G (300 kg/ha dan 145,67 a Varietas Ciherang) H (300 kg/ha dan 147,33 a Varietas Situbagendit) I (300 kg/ha dan 172,50 a Varietas Hibrida DG-1) Keterangan : Angka rata-rata dengan disertai huruf sama pada kolom sama, menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan Uji Gugus Scott-Knott pada taraf nyata 5%.
Jumlah malai per rumpun menunjukkan perbedaan yang tidak nyata pada setiap perlakuannya. Hal ini disebabkan karena dari hasil analisa tanah yang dilakukan sebelum percobaan menunjukkan kandungan P2O5 yang tersedia dalam tanah rendah. Sehingga perlu ditambah lagi dosis pemupukan khususnya pupuk fosfor. Kekurangan fosfor umumnya menyebabkan volume jaringan tanaman menjadi lebih kecil dan menjadi lebih gelap dan pucat (Mul Mulyani Sutejo, 1997). Varietas padi hibrida memiliki keunggulan pada beberapa karakteristik morfologi seperti anakan lebih banyak, jumlah butir padi per malai lebih banyak, dan bobot 1000 butir gabah isi yang lebih tinggi (Fatiwati et al., 2008). Gabah Kering Panen per Rumpun (g) dan per Petak (kg) Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan kombinasi dosis pupuk majemuk NPK dan varietas padi memberikan pengaruh yang nyata terhadap rata-rata gabah kering panen per rumpun dan per petak.
8
Tabel
7. Pengaruh Kombinasi Dosis Pupuk Majemuk NPK dan Varietas Padi Terhadap Gabah Kering Panen per Rumpun dan per Petak Gabah Kering Panen
Perlakuan
per Rumpun (g)
per Petak (kg)
A (200 kg/ha dan Varietas 74,18 a 6,42 a Ciherang) B (200 kg/ha dan Varietas 79,85 a 7,09 b Situbagendit) C (200 kg/ha dan Varietas 84,68 b 7,87 b Hibrida DG-1) D (250 kg/ha dan Varietas 74,77 a 6,01 a Ciherang) E (250 kg/ha dan Varietas 86,25 b 6,89 b Situbagendit) F (250 kg/ha dan Varietas 91,98 b 8,03 c Hibrida DG-1) G (300 kg/ha dan Varietas 82,66 b 6,90 b Ciherang) H (300 kg/ha dan Varietas 74,06 a 6,04 a Situbagendit) I (300 kg/ha dan Varietas 88,53 b 7,33 b Hibrida DG-1) Keterangan : Angka rata-rata dengan disertai huruf sama pada kolom sama, menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan Uji Gugus Scott-Knott pada taraf nyata 5%.
Di dalam tanaman P memberikan pengaruh melalui kegiatan-kegiatan yaitu pembentukan buah, bunga, dan biji, mempercepat masaknya buah, dan meningkatkan kualitas hasil tanaman (Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, 1991). Padi hibrida merupakan teknologi alternatif yang dapat meningkatkan produksi padi hingga 15-20% dibandingkan dengan padi inbrida.
AGROSWAGATI | Nomor 1 | Volume 3| November 2015
Dosis Pupuk Majemuk NPK dan Tiga Varietas Padi Analisis Korelasi Antara Komponen Pertumbuhan dan Hasil Hasil perhitungan analisis korelasi menunjukkan bahwa terdapat korelasi/ hubungan antara tinggi tanaman dengan hasil gabah kering panen per petak. Unsur hara N yang terkandung dalam pupuk majemuk NPK lebih banyak berfungsi untuk meningkatkan kadar karbohidrat dan gula dalam buah, menambah bobot biji tanaman menjadi lebih berisi dan padat, dan meningkatkan kualitas buah (Afandie Rosmarkam dan Nasih Widya Yuwono, 2002). Tabel 8. Hubungan Tinggi Tanaman Umur 30, 45, dan 60 HST dengan Gabah Kering Panen per Petak Uraian
Tinggi Tanaman 30 60 45 HST HST HST
Koefisien Korelasi (r)
0,500
0,645
0,437
Kategori r
Sedan g
Sedang
Sedan g
0,250
0,416
0,191
2,885 2,060 Nyata
4,218 2,060 Nyata
2,428 2,060 Nyata
Koefisien Determinasi (r2) Nilai thitung Nilai t0,025(25) Kesimpulan
Hasil perhitungan analisis korelasi menunjukkan bahwa terdapat korelasi/ hubungan antara jumlah anakan per rumpun umur 30 dan 45 HST dengan hasil gabah kering panen per petak. Hal ini sesuai dengan pendapat Afandie Rosmarkam dan Nasih Widya Yuwono (2002), bahwa fungsi N terhadap pertumbuhan tanaman yaitu dapat menaikkan pertumbuhan jaringan meristem. Serta tidak terdapat korelasi/ hubungan antara jumlah anakan per rumpun umur 60 HST dengan hasil gabah kering panen per petak. Hal ini dikarenakan unsur nitrogen lebih terlihat peranannya terhadap hasil tanaman dibandingkan pertumbuhan tanaman. Sesuai dengan pendapat Afandie Rosmarkam dan Nasih Widya Yuwono (2002), bahwa salah satu fungsi nitrogen adalah membentuk dan mengangkut karbohidrat. AGROSWAGATI | Nomor 1 | Volume 3| November 2015
Tabel 9. Hubungan Jumlah Anakan per Rumpun Umur 30, 45, dan 60 HST dengan Gabah Kering Panen per Petak Uraian Koefisien Korelasi (r) Kategori r Koefisien Determinasi (r2) Nilai thitung Nilai t0,025(25) Kesimpulan
Jumlah Anakan per Rumpun 30 45 60 HST HST HST 0,481
0,511
0,320
Sedang
Sedang
Rendah
0,232
0,261
0,102
2,745 2,060
2,970 2,060
Nyata
Nyata
1,688 2,060 Tidak Nyata
Hasil perhitungan analisis korelasi menunjukkan bahwa tidak terdapat korelasi/ hubungan antara Shoot Root Ratio dengan hasil gabah kering panen per petak. Hal ini disebabkan karena di dalam tanaman P lebih banyak berfungsi sebagai pembentukan buah, bunga, dan biji, mempercepat masaknya buah, dan meningkatkan kualitas hasil tanaman (Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, 1991). Tabel 10. Hubungan Shoot Root Ratio Umur 30, 45, dan 60 HST dengan Gabah Kering Panen per Petak Uraian
Shoot Root Ratio 30 HST 45 HST
60 HST
Koefisien Korelasi (r)
-0,265
0,182
0,258
Kategori r
Tidak Berkorelasi
Sangat Rendah
Rendah
0,070
0,033
0,066
-1,371
0,927
1,333
2,060
2,060
2,060
Tidak Nyata
Tidak Nyata
Tidak Nyata
Koefisien Determina si (r2) Nilai thitung Nilai t0,025(25) Kesimpula n
Sedangkan hasil perhitungan analisis korelasi menunjukkan bahwa terdapat korelasi/ hubungan antara Laju Pertumbuhan Tanaman dengan hasil gabah kering panen per petak. Hal ini disebabkan karena semakin cepat Laju 9
Dosis Pupuk Majemuk NPK dan Tiga Varietas Padi Pertumbuhan Tanaman yang ada pada tanaman akan membuat semakin banyak pula proses fotosintesis yang terjadi. Marschner (1986) dalam Afandie Rosmarkam dan Nasih Widya Yuwono (2002) mengemukakan bahwa penyerapan unsur hara dilakukan melalui daun yaitu pada stomata. Tabel 11. Hubungan Laju Pertumbuhan Tanaman dengan Gabah Kering Panen per Petak Laju Pertumbuhan Tanaman Uraian Umur Umur 30 - 45 45 - 60 HST HST Nilai r
0,468
0,419
Sedang
Sedang
Nilai r²
0,219
0,176
Nilai t Nilai t₀,₀₂₅₍25₎
2,648
2,307
2,032
2,032
Kesimpulan
Nyata
Nyata
Kategori r
KESIMPULAN 1. Terdapat pengaruh yang nyata antara kombinasi dosis pupuk majemuk NPK dan varietas padi terhadap parameter rata-rata tinggi tanaman umur 45 dan 60 HST, jumlah anakan per rumpun umur 45 dan 60 HST, Shoot Root Ratio umur 45 dan 60 HST, Laju Pertumbuhan Tanaman umur 30 sampai 45 HST dan umur 45 sampai 60 HST, dan gabah kering panen per rumpun dan per petak. 2. Gabah kering panen per petak tertinggi terdapat pada perlakuan F (250 kg/ha dan Varietas Hibrida DG1) yang menghasilkan 8,03 kg/petak atau setara dengan 10,71 ton/ha dengan asumsi 80 % lahan efektif. 3. Terdapat korelasi yang nyata antara komponen pertumbuhan tinggi tanaman umur 30, 45, dan 60 HST, jumlah anakan per rumpun umur 30 dan 45 HST, dan Laju Pertumbuhan Tanaman umur 30 sampai 45 HST dan umur 45 sampai 60 HST dengan gabah kering panen per petak. 10
SARAN 1. Pemberian pupuk majemuk NPK dengan dosis 250 kg/ha dapat menjadi alternatif cara dalam upaya meningkatkan hasil tanaman padi varietas Hibrida DG-1. 2. Untuk mendapatkan rekomendasi yang lebih tepat perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terutama untuk beberapa daerah, jenis tanah yang berbeda, dan musim yang berbeda (penelitian multi lokasi). DAFTAR PUSTAKA Abdurrachman, S. 2004. Teknologi Budidaya Padi Tipe Baru. Makalah disampaikan pada Pelatihan Pengembangan Varietas Unggul Tipe Baru (VUTB) Fatmawati dan VUB Lainnya. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi. Hal 32. Afandie Rosmarkam dan Nasih Widya Yuwono. 2002. Ilmu Kesuburan Tanah.Kanisius, Yogyakarta. Badan Litbang Pertanian. 2007. Pedoman Umum Produksi Benih Sumber Padi. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. 37 hal. Campbel, N.A.2000. Biologi.Erlangga, Jakarta. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. 1991. Kesuburan Tanah. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Ditjen Bina Produksi Tanaman Pangan. 2004. Pemupukan Berimbang. Fatiwati, A.Y., M.D. Mario, R.H. Anasiru, A. Zubair dan Y. Antu. 2008. Petunjuk Teknis Budidaya Padi Hibrida. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Gorontalo, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. 23 Hal. Iwan Juhardi. 1999. Reaksi Beberapa Varietas dan Galur Padi terhadap Penyakit Hawar Daun Bakteri dan Hawar Daun Jingga. Makalah pada Kongres PFI X. Denpasar. Hal 6. J Purnomo. 2008. Pengaruh Pupuk Npk Majemuk Terhadap Hasil Padi AGROSWAGATI | Nomor 1 | Volume 3| November 2015
Dosis Pupuk Majemuk NPK dan Tiga Varietas Padi Varietas Ciherang dan Sifat Kimia Tanah Inceptisol. Bogor. Lubis, E. Suwarno, & M. Bustaman. 1999. Genetik Ketahanan Beberapa Varietas Lokal Padi Gogo terhadap Penyakit Blas. Balai Penelitian Tanaman Padi Sukamandi. Penelitian Pertanian Tanaman pangan V. 18:2:1999. Puslitbangtan Mul Mulyani Sutejo. 1997. Pupuk dan Cara Pemupukan. Rineke Cipta, Jakarta. Hal 42. Prasetyo, Y, T. 203. Bertanam Padi Gogo Tanpa Olah Tanah.Penebar Swadaya. Jakarta. Salisbury, F, B, and C, W, Rose. 1995. Plant Physicology. Corolade State University.Hal. 27. Wirajaswadi, L. 2008. Mempercepat Adopsi Varietas Unggul Baru (VUB) Padi Melalui Pemilihan Varietas Secara Partisipatif.
AGROSWAGATI | Nomor 1 | Volume 3| November 2015
11
KAJIAN KEMAMPUAN LAHAN TERHADAP POTENSI PRODUKSI TANAMAN PANGAN DI WILAYAH KOTA CIREBON Oleh : Dr. Amran Jaenudin, Ir., MS.1 dan Maryuliyanna2
ABSTRAK Untuk menghindari dan mencegah akibat dari kekurangan pangan diperlukan adanya potret wajah potensi pangan Kota Cirebon. Seberapa besar potensi lahan pertanian Kota Cirebon dalam mengupayakan ketersediaan pangan khusunya bagi masyarakat Kota Cirebon. Sejauh mana berdampak langsung terhadap tinggi rendahnya tingkat ketahanan pangan di Kota Cirebon tersebut. Maka dilakukan penelitian Kajian Kemampuan Lahan Terhadap Potensi Produksi Tanaman Pangan Di Wilayah Kota Cirebon. Lokasi studi kegiatan kajian ini dilaksanakan di lima wilayah kecamatan yaitu Kecamatan Kejaksan, Lemahwungkuk, Harjamukti, Pekalipan dan Kesambi. Metode penelitian studi ini menggunakan pendekatan penelitian triangulasi, yaitu gabungan antara metode kuantitatif (teknik pengambilan datanya adalah non survei) dengan kualitatif (teknik pengambilan datanya menggunakan teknik survei). Berdasarkan hasil penelitian potensi lahan pertanian terhadap potensi produksi pertanian di Kota Cirebon, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1) luas lahan untuk kegiatan pertanian di Kota Cirebon meliputi areal seluas 781 ha terdiri dari sawah 261 ha, kebun/tegalan 309 ha, ditanami pohon atau hutan rakyat 297 ha, pekarangan seluas 147 ha serta 8 ha kolam, 2) luas areal tanam yang semakin sempit berdampak pada produksi tanaman pangan yang semakin menurun pada tiap tahunnya, produksi tanaman pangan pada tahun 2013 yang terdiri dari padi 2.826 ton, Jagung 18 ton, ubi kayu 194 ton dan ubi jalar 68 ha, dan 3) potensi pengembangan produksi pangan dapat dilihat dari jumlah kelompok tani yang memadai, tetapi hal ini tidak didukung oleh luasan lahan. Dibuktikan dengan Luas lahan baku sawah di Kota Cirebon dalam 6 (enam) tahun terakhir yang dilihat pada Indeks Pertanaman (IP) terus mengalami penurunan seiring dengan kecenderungan alih fungsi lahan sawah dan tegalan ke penggunaan lain terutama pemukiman dan perdagangan. Kata Kunci: Kemampuan lahan, potensi produksi, tanaman pangan dan Kota Cirebon
PENDAHULUAN1 Thomas2 Robert Malthus menyebutkan dalam teorinya bahwa pertumbuhan penduduk akan selalu mengikuti deret ukur, sedangkan ketersediaan pangan akan mengikuti deret hitung. Teori tersebut terkenal dengan teori ledakan penduduk di wilayah perkotaan yang tidak diimbangi dengan ketersediaan pangan. Meskipun teori tersebut tidak 1
Dosen Program Studi Agronomi Pascasarjana Universitas Swadaya Gunung Jati, Cirebon 2
Mahasiswa Program Studi Agronomi Pascasarjana Universitas Swadaya Gunung Jati, Cirebon
seluruhnya benar dan mendapat banyak sekali bantahan dan kelemahan. Kelemahan dari teori yang kemukakan oleh Malthus tersebut, salah satunya adalah tidak mempertimbangkan kemajuan teknologi pertanian yang dapat meningkatkan produktivitas pertanian. Untuk mewujudkan kedaulatan pangan nasional, diperlukan implementasi kebijakan teknikal dan politik-ekonomi secara sinergis. Menurut UU No.18/2002, “ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap individu warga negara, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup baik jumlah maupun mutunya, aman, merata,
Kemampuan Lahan Terhadap Potensi Tanaman Pangan dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budayamasyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secaraberkelanjutan”. Dari definisi tersebut, jelas bahwa dalam ketahanan pangan, asal bahan pangan bisa dari produksi dalam negeri atau impor. Sedangkan, kedaulatan pangan mengandung arti bahwa pasok pangan, khususnya bahan pangan pokok, mesti berasal dari produksi dalam negeri. Wilayah Kota Cirebon yang luas wilayah administrasi ± 37,35 km2 atau 3.735,8 hektar. Menurut hasil Sensus Penduduk Tahun 2012 jumlah penduduk Kota Cirebon telah mencapai jumlah 301.720 ribu jiwa. Dengan komposisi penduduk laki-laki 151.273 jiwa dan perempuan 150.447 jiwa, dan ratio jenis kelamin sekitar 100,55. Penduduk Kota Cirebon tersebar di lima kecamatan, kecamatan yang memiliki tingkat kepadatan penduduk tertinggi adalah Kecamatan Pekalipan sebesar 18,88 ribu jiwa/km², terpadat kedua adalah Kecamatan Kejaksan 11,89 ribu jiwa/km², kemudian kecamatan Kesambi 8,86 ribu jiwa/km², Kecamatan Lemahwungkuk 8,25 ribu jiwa/km², dan kepadatan terendah terdapat di Kecamatan Harjamukti hampir 5,9 ribu jiwa/km² (BPS Kota Cirebon, 2014). Permasalahan pangan yang dihadapi baik secara global, nasional, maupun lokal dapat dipilah menjadi masalah produksi, distribusi, dan konsumsi. Masalah tersebut selain bersifat teknis maka juga terkait dengan dimensi sosial ekonomi dan budaya. Kegiatan riset di bidang pangan tentu perlu pula didukung adanya penelitian dengan riset dan pengembangan sains dasar. Masalah yang terkait dengan produksi pangan dapat disebabkan oleh salah satu atau kombinasi dari beberapa faktor produksi, termasuk kinerja petani, ketersediaan dan kualitas lahan produksi, ketersediaan dan keterjangkauan harga sarana produksi, serta kondisi iklim selama periode tanam atau selama siklus produksi. Permasalahan pangan pada tahap produksi, distribusi, dan konsumsi dapat saling terkait satu sama lain. Oleh sebab itu, penanganan masalah pangan tidak dapat dilakukan secara parsial. Untuk panduan operasional, permasalahan pangan dipilah menjadi:
14
(a) Kekurangan pangan pokok, sebagai akibat kebutuhan yang lebih tinggi dari kapasitas produksi dalam negeri; (b) Pengurangan luas lahan pertanian produktif akibat konversi penggunaannya untuk keperluan nonpertanian; (c) Kecilnya marjin usaha tani yang berakibat pada rendahnya motivasi petani untuk meningkatkan produksi; (d) Kendala dalam distribusi pangan sebagai akibat keterbatasan jangkauan jaringan transportasi; (e) Beberapa produk pangan tidak dapat tersedia sepanjang tahun karena belum berkembangnya teknologi pengolahan/pengawetan; (f) Pola konsumsi yang baku sehingga upaya diversifikasi pangan sering terhambat; (g) Masih sering dijumpai produk pangan yang tidak memenuhi standar kesehatan pangan, termasuk kurang gizi dan tidak memenuhi standar keamanan pangan, sehingga sulit menerapkan SNI untuk produk pangan; (h) Belum semua rumah tangga secara ekonomi mampu memenuhi kebutuhan pangan pokoknya. Untuk menghindari dan mencegah hal yang tidak diinginkan diperlukan adanya potret wajah potensi pangan Kota Cirebon yang memuat beberapa variable penting. Variabel tersebut tentunya yang mudah diukur dan dianalisa sehingga kondisi dan potensi produksi pangan Kota Cirebon dapat diketahui dengan jelas. Seberapa besar potensi lahan pertanian Kota Cirebon dalam mengupayakan ketersediaan pangan khusunya bagi masyarakat Kota Cirebon. Sejauh mana berdampak langsung terhadap tinggi rendahnya tingkat ketahanan pangan di Kota Cirebon tersebut. Maka dilakukan penelitian Kajian Kemampuan Lahan Terhadap Potensi Produksi Tanaman Pangan Di Wilayah Kota Cirebon. Sebagaimana diuraikan pada rumusan masalah, tujuan penelitian ini adalah: 1) Untuk memberikan gambaran obyektif mengenai potensi lahan pertanian.
AGROSWAGATI | Nomor 1 | Volume 3| November 2015
Kemampuan Lahan Terhadap Potensi Tanaman Pangan 2) Untuk memberikan gambaran obyektif mengenai potensi produksi tanaman pangan. 3) Untuk memberikan gambaran obyektif mengenai kemampuan lahan terhadap potensi produksi tanaman pangan. METODE PENELITIAN Lokasi Studi Kegiatan Kajian Kemampuan Lahan Terhadap Potensi Produksi Tanaman Pangan Di Wilayah Kota Cirebon dilaksanakan di 22 (dua puluh dua) kelurahan di lima wilayah kecamatan yaitu Kecamatan Kejaksan, Lemahwungkuk, Harjamukti, Pekalipan dan Kesambi. Studi ini menggunakan pendekatan penelitian triangulasi, yaitu gabungan antara metode kuantitatif (teknik pengambilan datanya adalah non survei) dengan kualitatif (teknik pengambilan datanya menggunakan teknik survei). Penggunaan metode kualitatif dan kuantitatif secara bersamaan ini diperlukan dalam rangka mengungkap fenomenafenomena mikro dan makro daerah penelitian. Analisis data dilakukan dengan mengkompilasikan semua aspek yakni meliputi semua aspek fisik wilayah, demografis, sosio ekonomi, kelembagaan atau pengaturan, dan aspek lingkungan. Hasil analisis yang diperoleh kemudian dijadikan rekomendasi. Rekomendasi disusun baik bersifat generasi maupun spesiifik menyangkut aspek-aspek yang dianalisis. Sebagaimana diuraikan dalam Term Of Reference, kegiatan studi ini Cirebon meliputi hal-hal sebagai berikut: 1. Data potensi lahan dan produksi pangan di Kota Cirebon, yakni meliputi : o Luas sawah o Luas kebun/tegalan o Luas pekarangan o Tambak/pantai o Kolam o Produksi tanaman pangan 2. Data pemasaran hasil produksi pangan, meliputi : o Industri rumah tangga : o Rumah makan/toko makanan o Pasar tradisional o Pasar modern/swalayan. AGROSWAGATI | Nomor 1 | Volume 3| November 2015
HASIL DAN PEMBAHASAN A. Potensi Kondisi Fisik Lingkungan Seperti yang kita ketahui bahwa Kota Cirebon merupakan daerah yang terletak di pantai utara Propinsi Jawa Barat bagian timur, sehingga Kota Cirebon berada di daerah dataran rendah Propinsi Jawa Barat. Secara geografis Kota Cirebon terletak pada posisi 108,330 BT dan 6,420 LS. Kota Cirebon memanjang dari barat ke timur ± 8 kilometer, utara selatan ± 11 kilometer dengan ketinggian tempat ± 20 meter dari permukaan laut (m dpl). Luas wilayah administrasi Kota Cirebon adalah ± 37,35 km2 atau 3.735,8 Ha. Wilayah Kota Cirebon merupakan dataran rendah dengan ketinggian bervariasi yaitu antara 0 – 20 m dpl. Peningkatan ketinggian bermula dari daerah pantai menuju ke arah Selatan dengan ketinggian maksimal 20 m dpl yaitu di Kelurahan Argasunya yang berada di Kecamatan Harjamukti. Sebagaian besar wilayah Kota Cirebon merupakan dataran rendah dengan kemiringan lereng antara 0-18%. Berdasarkan presentase kemiringan, wilayah kota Cirebon sebagian besar merupakan lahan datar (kelerengan 0-8%). Hal ini menjadi keuntungan sendiri karena pengelohan tanah untuk usaha pertanian lebih mudah dari pada dilahan yang memiliki kemiringan tinggi. Dengan kondisi kemiringan lereng yang rendah penggunaan teknologi seperti traktor dapat digunakan dengan efisien. Sehingga seharunsnya dapat menjadi potensi yang baik untuk usaha pertanian terutama untuk mengusahakan budidaya tanaman pangan. Selain faktor kondisi kemeringan tanah yang datar letak geografis Kota Cirebon yang sangat strategis dapat memudahan pemasaran hasil pertanian.
15
Kemampuan Lahan Terhadap Potensi Tanaman Pangan
Gambar 1 Curah Hujan Per Bulan di Kota Cirebon 2010-2012
Gambar 2 Temperatur Kota Cirebon Tahun 2012 Wilayah Kota Cirebon termasuk dalam iklim tropis yang dipengaruhi oleh angin muson. Suhu minimum rata-rata Kota Cirebon adala 25,430C dan maksimum ratarata 30,480C. Musim penghujan jatuh pada bulan Oktober - April/Mei, dan musim kemarau jatuh pada bulan Juni - September. Musim pancaroba terjadi pada bulan April dan November. Rata-rata curah hujan tahunan di Kota Cirebon ± 1.624,2 mm/tahun dengan jumlah hari hujan 71 hari. Dengan kondisi iklim seperti ini Kota Cirebon termasuk daerah yang cukup panas dan tidak banyak memiliki hari hujan. Sehingga tanaman yang tahan akan penyiraman sangat baik dibudidayakan. Salah satunya adalah untuk tanaman tahunan. Grafik data curah hujan dan tempertur suhu Kota Cirebon dapat dilihat pada Gambar 1 dan Gambar 2 di atas. Faktor iklim ini merupakan faktor eksternal yang mempengaruhi
pertumbuhan dan hasil tanaman budidaya. Jika kondisi iklim di wilayah sekitar cukup baik atau mendukung untuk tumbuhanya tanaman pangan maka potensi hasil tanaman pangan juga semakin meningkat. Hal ini ditunjukkan apabila kondisi rata-rata curah hujan di Kota Cirebon per tahunnya rendah maka petani mengalami kekeringan dan banyak petani yang tidak menanam lahannya, sehingga luas panen pun akan berkurang yang seiring dengan jumlah produksi yang semakin menurun. Produksi padi dan palawija mengalami naik turun sejalan dengan perubahan kondisi prasarana terutama ketersediaan air yang terjadi setiap tahun. Fluktuasi ketersediaan air secara langsung berpengaruh terhadap perkembangan luas tanam dan indeks pertanaman. B. Potensi Lahan Pertanian Luasan lahan pertanian berdasarkan penggunaan lahan di Kota Cirebon pada tahun 2013 hanya terdapat di Kecamatan Kejaksan, Kelurahan Kesenden dengan luasan lahan 1,75 ha yang dimanfaatkan untuk lahan tambak, Kecamatan Lemahwungkuk Kelurahan Pegambiran dengan luasan lahan 1,50 ha, Kecamatan Harjamukti dengan luasan lahan 327,45 ha seluruh kelurahannya memiliki lahan pertanian dan Kecamatan Kesambi dengan luasan lahan 83,65 ha seluruh kelurahannya memiliki lahan pertanian kecuali Kelurahan Kesambi. Sedangkan sebaran penggunaan lahan untuk kegiatan pertanian di Kota Cirebon berdasarkan jenis penggunaan lahan per-kecamatan terdapat pada Tabel 1. Kecamatan Harjamukti merupakan kecamatan dengan luasan lahan pertanian terluas terutama untuk yag digunakan untun lahan sawah yang tersebar pada lima kelurahan.
Tabel 1. Penggunaan Lahan untuk Kegiatan Pertanian Per-Kecamatan Pada Tahun 2013 Luas Per- Kecamatan (Ha) Jenis Penggunaan No. Harja LemahLahan Pekalipan Kesambi Kejaksan Jumlah mukti wungkuk I Lahan Pertanian I.1. Lahan Sawah :
16
AGROSWAGATI | Nomor 1 | Volume 3| November 2015
Kemampuan Lahan Terhadap Potensi Tanaman Pangan
No.
Jenis Penggunaan Lahan a. b. c.
Luas Per- Kecamatan (Ha) Harja mukti 15 177 -
Lemahwungkuk 28 -
Pekalipan
Irigasi Tadah Hujan Rawa Pasang Surut d. Rawa Lebak Jumlah Lahan Sawah 192 28 I.2. Lahan Bukan Sawah : a. Tegal / Kebun 256 14 b. Ladang / Huma c. Perkebunan 295 d. Ditanami pohon / hutan rakyat 5 5 e. Padang penggembalaan / rumput 10 10 f. Sementara tidak diusahakan 42 24 1 g. Lainnya (pekarangan yang ditanami tanaman pertanian, dll. Jumlah Lahan Pertanian Bukan Sawah 608 53 1 Ii Lahan Bukan 995 586 155 Pertanian Total (Luas wilayah) 1.795 667 156 Sumber : SP- Lahan, Data Statistik DKP3 Kota Cirebon, 2014 Berdasarkan tabel di atas bahwah penyebaran luas lahan pertanian terbagi di tiga kecamatan yang berada dibeberapa kawasan pertanian, yaitu: a. Kecamatan Kesambi Luas lahan sawah di Kecamatan Kesambi adalah 18 ha menggunakan sistem irigasi dan 23 ha sawah tadah hujan, untuk lahan tegalan 33 ha. Luasan ini tersebar di Kawasan Majasem. Kawasan majasem terletak di bagian utara Jalan Perjuangan, membentang dari Barat ke Timur. Prasarana irigasi yang ada di Kawasan Majasem sudah mendukung untuk irigasi primer tetapi debit air terkadang tidak dapat mengalir hingga ke
AGROSWAGATI | Nomor 1 | Volume 3| November 2015
Kesambi
Kejaksan
Jumlah
18 23 -
-
33 228 -
41
-
261
33 -
6 1 2
309 1 297
-
-
10
-
-
20
28
52
147
61 704
61 271
784 2.711
806
332
3.756
kawasan ini. Jenis tanaman pangan yang dibudidayakan di kawasan majasem adalah tanaman padi dan palawija (jagung dan kacang-kacangan) dengan pola tanam Padi – Padi atau Padi – Palawija. Rata-rata hasil padi per ha di kawasan ini adalah 5,2 ton/ha dengan potensi hasil keseluruhan 431,08 ton. Kemudian ada sebagian tanaman sayuran ditanaman di kawasan ini dengan memanfaatkan lahan tegalan. Tanaman sayuran yang dibudidayakan adalah kangkung, bayam, cabe, kacang panjang dan mentimun. Di kawasan ini terdapat 4 (empat) kelompok tani yaitu Bangkit, Jaya Mulya, Sipeti dan Sedayu. Lahan pertanian yang ada di kawasan ini tidak bisa dipertahankan karena semakin banyaknya kegiatan ahli fungsi lahan.
17
Kemampuan Lahan Terhadap Potensi Tanaman Pangan b. Kecamatan Lemahwungkuk Luas lahan sawah di Kecamatan Lemahwungkuk adalah 28 ha sawah tadah hujan, untuk lahan tegalan 14 ha. Luasan ini tersebar di Kawasan Pegambiran. Pengairan dari Barat ke Timur. Jumlah lahan pertanian di kawasan ini adalah 59,6 ha. Jeni tanaman pangan yang biasa diusahakan adalah tanaman padi dengan pola tanam Padi – Padi – Padi. Rata-rata hasil padi per ha di kawasan ini adalah 5,8 ton/ha dengan potensi hasil keseluruhan 1.037,04 ton. Di kawasan ini terdapat 3 (tiga) kelompok tani yaitu Tani Mukti, Sirandu Jaya dan Sipawon. Lahan pertanian yang ada di kawasan ini tidak bisa dipertahankan karena semakin banyaknya kegiatan ahli fungsi lahan. c. Kecamatan Harjamukti Lahan pertanian di Kecamatan Harjamukti terbagi menjadi beberapa kawasan, yaitu kawasan larangan menuju kalijaga, kawasan penggung menuju katiyasa, dan kawasan sitopeng. Luas lahan sawah di Kecamatan Harjamukti adalah 15 ha sawah irigasi dan 177 ha sawah tadah hujan, untuk lahan tegalan 256 ha. Luasan ini terbagi menjadi tiga kawasan, yaitu: 1. Kawasan Belakang SMP depan kantor pengairan (larangan) menuju Kalijaga Terletak di bagian utara jalan Perjuangan, membentang dari Barat ke Timur. Pengairan dari Barat ke Timur. • Luas lahan pertanian 77,05 ha • Jenis tanaman pangan yang biasa diusahakan Padi • Pola Tanam Padi-Padi-Padi • Rata-rata hasil per ha 5 ton/ha • Potensi hasil keseluruhan 1155,75 ton • Jumlah dan nama kelompok tani 3 (Kecapi, Sekarmaju dan Makmur Jaya) • Lahan pertanian di kawasan ini tidak bisa dipertahankan 2. Kawasan Penggung menuju Katiyasa Terletak di bagian utara jalan Perjuangan, membentang dari Barat ke Timur. Pengairan dari Barat ke Timur. • Luas lahan pertanian 12 ha • Jenis tanaman pangan yang biasa diusahakan Padi • Pola Tanam padi-padi-bera 18
• Rata-rata hasil per ha = 5 ton/ha • Potensi hasil keseluruhan 120 ton • Jumlah dan nama kelompok tani 1 (Makmur Jaya) • Lahan pertanian di kawasan ini tidak bisa dipertahankan 3. Kawasan Sitopeng Lahan pertanian di kawasan Sitopeng letaknya membentang dari belakang perumahan Sitopeng menuju kampung Kopi Luhur, membentang dari Barat ke Timur. Pengairan dari Barat ke Timur. • Luas lahan pertanian 70,26 ha • Jenis tanaman pangan yang biasa diusahakan Padi • Pola Tanam Padi-Padi-bera • Rata-rata hasil per ha 5 ton/ha • Potensi hasil keseluruhan 702.6 ton • Jumlah dan nama kelompok tani 5 (Pandan Wangi, Kedung Mendeng, Kopi luhur, Sumber Hidup dan Sidemung) • Lahan pertanian di kawasan ini tidak bisa dipertahankan Ada sebagian tanaman sayuran ditanaman di kawasan ini dengan memanfaatkan lahan tegalan. Tanaman sayuran yang dibudidayakan adalah kangkung, bayam, cabe, kacang panjang dan mentimun. Sebagian prasaran pertanian berada di kawasan Kecamatan Harjamukti. Pada tiga kawasan tersebut yang menjadi kendala adalah pengairannya bergantung pada hujan sehingga pada musim kemarau menjadi lahan kering. Agar petani tetap dapat melakukan budidaya maka dibuat semur resapan disekitar lahan pertanian. Selain itu banyak kegiatan alih fungsi lahan. C. Potensi Produksi Tanaman Pangan Potensi produksi tanaman pangan merupakan acuan pemenuhan kebutuhan pangan di suatu daerah. Jika produksi tanaman pangan di daerah tersebut sudah mencukupi kebutuhan konsumen maka disebut mandiri pangan. Sedangkan apabila jumlah produksi tanaman pangan belum mencukupi maka pemenuhan konsumsi pangan berasal dari luar daerah tersebut. Potensi produksi tanaman pangan di Kota Cirebon terdapat pada Tabel 2.
AGROSWAGATI | Nomor 1 | Volume 3| November 2015
Kemampuan Lahan Terhadap Potensi Tanaman Pangan
Tabel 2. Produksi Tanaman Pangan di Kota Cirebon Tahun 2013 Jagung Ubi Kayu Ubi Jalar Kecamatan/Kelurahan Padi (ton) (ton) (ton) (ton) Kejaksan Kejaksan Sukapura Kesenden Kebonbaru Kesambi 510 26 58 Drajat 65 Pekiringan Kesambi Karyamulya 343 20 Sunyaragi 102 6 Pekalipan Pekalipan Pulasaren Jagasatru Pekalangan Lemahwungkuk 474 Panjunan Lemahwungkuk Kesepuhan Pegambiran 474 Harjamukti 1.842 18 168 10 Harjamukti 58 13 Kalijaga 374 21 Argasunya 1198 17 107 10 Kecapi 212 0 27 Larangan 1 Kota Cirebon 2.826 18 194 68 Sumber : Kompilasi Data DKP3 Kota Cirebon (2014) dan Monografi Kelurahan (2014) Produksi sayuran di Kota Cirebon didominasi jenis tanaman sayuran berumur pendek yakni mentimun dan kangkung serta sayuran berumur sedang
yakni kacang panjang dan cabe. Gambaran produksi komoditas sayuran utama secara lengkap disajikan dalam Tabel 3.
Tabel 3. Keadaan Produksi Sayuran Pada Tahun 2013 Komoditas Kecamatan / No Kacang Kelurahan Cabe Mentimun Kangkung Panjang Harjamukti 1 Harjamukti 1 7 2 Kalijaga 4 8 12 3 Argasunya 8 15 12 23 4 Kecapi 1 1,5 8 5 Larangan Jumlah I 8 21 21,5 50 Lemahwungkuk 6 Panjunan -
AGROSWAGATI | Nomor 1 | Volume 3| November 2015
19
Kemampuan Lahan Terhadap Potensi Tanaman Pangan
No
Kecamatan / Kelurahan
Komoditas Kacang Panjang
Cabe
Mentimun
Kangkung
7 8 9
Lemahwungkuk Kesepuhan Pegambiran 30,8 Jumlah II 30,8 Pekalipan 10 Pekalipan 11 Pulasaren 12 Jagasatru 13 Pekalangan Jumlah III Kesambi 14 Drajat 2 15 Pekiringan 16 Kesambi 17 Karyamulya 32 31 28 18 Sunyaragi 4,3 11 Jumlah IV 32 35,3 41 Kejaksan 19 Kejaksan 20 Sukapura 21 Kesenden 22 Kebonbaru Jumlah V Jumlah Seluruh 40 21 56,8 121,8 Sumber : Kompilasi Data DKP3 Kota Cirebon (2014) dan Monografi Kelurahan (2014)
Produksi buah-buahan di Kota Cirebon selama empat tahun terakhir didominasi oleh mangga meskipun produksinya mengalami fluktuasi. Jenis tanaman buah-buahan lainnya yang banyak diusahakan yakni pisang, Nangka, dan pepaya. Gambaran produksi buah-buahan secara lengkap disajikan dalam Tabel 4. Tabel 4. Realisasi Produksi Buah-Buahan Di Kota Cirebon Tahun 2012-2013 Produksi (ton) No Komoditas 2012 2013 1. Alpukat 6 2. Belimbing 80 449 3. Duku/Langsat 4. Durian 5. Jambu Biji 169 539 6. Jambu Air 126 670 7. Jeruk 2 8. Mangga 1.647 639 9. Manggis 10. Nangka 548 585
20
Produksi (ton) 2012 2013 11. Srikaya 427 163 12. Pepaya 40 440 13. Pisang 623 591 14. Rambutan 20 20 15. Sawo 40 236 16. Sirsak 26 350 17. Sukun 122 2.355 18. Melinjo 70 888 19. Petai 144 1.633 Jumlah 4.090 9.558 Sumber : RKSP-BST, Data Statistik DKP3 Kota Cirebon, 2014 No
Komoditas
Berdasarkan tabel di atas komoditas mangga merupakan produksi buah-buahan paling banyak di Kota Cirebon dari pada buah-buahan lainnya pada Tahun 2012. Sedangkan pada tahun 2013 produksi buah mangga mengalami penurunan dari pada tahun sebelum. Kemudian pada tahun 2013
AGROSWAGATI | Nomor 1 | Volume 3| November 2015
Kemampuan Lahan Terhadap Potensi Tanaman Pangan komoditas sukun merupakan buah-buahan paling banyak.
produksi
D. Pemasaran Hasil Pertanian Distribusi dan pemasaran bahan pangan di Kota Cirebon tidak hanya dalam bentuk bahan mentah namun juga dalam bentuk bahan olahan. Sebagian besar komoditas pertanian yang diperdagangkan
berasal dari luar, kecuali komoditas ikan laut yang banyak dihasilkan oleh nelayan Kota Cirebon. Ikan hasil tangkapan nelayan dipasarkan melalui tempat pelelangan (TPI) yang ada di Kota Cirebon. Sebaran tempat pelelangan ikan (TPI) dan prasarana tata niaga lainnya di Kota Cirebon sebagaimana Tabel 5.
Tabel 5. Jenis Sarana Prasarana Tata Niaga Bahan Pangan Kecamatan / Kelurahan
No
Jenis Pengolahan (Pabrik) Pasar Tradisional Masar Modern
Toko Makanan
TPI
Harjamukti 1
Harjamukti
-
1
4
-
2
Kalijaga
-
-
2
-
3
Argasunya
-
-
1
-
4
Kecapi
-
1
4
-
5
Larangan
2
-
4
-
Jumlah I
2
2
15
-
Lemahwungkuk 6
Panjunan
2
-
5
7
Lemahwungkuk
5
1
2
-
8
Kesepuhan
-
-
3
-
9
Pegambiran
-
-
1
Jumlah II
7
1
11
Pekalipan -
10
Pekalipan
-
11
Pulasaren
-
1
-
-
12
Jagasatru
1
-
3
-
13
Pekalangan
-
-
-
-
1
3
5
4
Jumlah III Kesambi 14
Drajat
-
1
15
Pekiringan
-
1
16
Kesambi
-
17
Karyamulya
-
18
Sunyaragi Jumlah IV
Kejaksan Kejaksan 19
-
-
-
-
7
-
-
-
7
-
-
2
21
-
15
1
4
-
-
-
20
Sukapura
5
-
21
Kesenden
-
1
1
22
Kebonbaru
2
-
6
AGROSWAGATI | Nomor 1 | Volume 3| November 2015
21
Kemampuan Lahan Terhadap Potensi Tanaman Pangan
No
Kecamatan / Kelurahan Jumlah V
Toko Makanan 22
Jenis Pengolahan (Pabrik) Pasar Tradisional Masar Modern 2
Jumlah Seluruh 32 10 Sumber : Kompilasi Data Primer (2014) dan Monografi Kelurahan (2014) Seperti yang kita ketahui bahwa Kota Cirebon merupakan sentra dari perdagangan, maka banyak sekali dibangun pusat perbelanjaan di Kota Cirebon. Begitu banyaknya pusat perbelanjaan di Kota Cirebon, kadang pusat perbelanjan tersebut saling bersebelahan satu sama lain. Sebagai contoh adalah Asia Plaza dan Surya Plaza saling bersebelahan, di seberangnya terdapat Grand Yogya Grand Plaza tidak jauh dari Pusat Grosir Cirebon (PGC) terdapat Plaza Yogya Siliwangi. Grage Mall Cirebon bertetanggaan dengan Gunungsari Trade Center dan juga Cirebon Superblock. Kemudian Cirebon Mall hanya berjarak beberapa langkah dari Plaza Index Cirebon. Hal ini dapat
TPI
15 67
dijadikan sebagai tempat pemasaran yang bagus. Secara umum distribusi komoditas pangan dari produsen ke masyarakat (konsumen) dilakukan melalui pasar baik pasar tradisional maupun pasar modern (super market dan minimarket). Di Kota Cirebon terdapat beberapa pasar tradisional yang memperdagangkan bahan pangan pokok dan kebutuhan pangan lainnya. Jenis dan volume beberapa jenis bahan pokok yang diperdagangkan baik di pasar tradisional sebagaimana dapat dilihat dalam Tabel 4.5.3. Sedangkan volume ketersediaan bahan makanan pokok yang dipasarkan di beberapa TPI yang ada di Kota Cirebon sebagaimana disajikan dalam Tabel 6.
Tabel 6. Ketersediaan Bahan Makanan Pokok yang Ada Di Pasar-Pasar Kota Cirebon Pada Tahun 2013 Ketersediaan No. Sumber Data per tahun per bulan per minggu per hari (ton) (ton) (ton) (ton) 1 Padi-padian a. Beras 130.722 10.893,5 2.513,88 358,14 b. Jagung 205 17,08333 3,94 0,56 Padi-padian 130.927 10.910,58 2.517,83 358,70 2 Makanan Berpati a. Ubi Jalar 1.815 151,25 34,91 4,97 b. Ubi Kayu 1.029 85,75 19,79 2,82 c. Tepung sagu 1.702 141,83 32,73 4,66 Makanan Berpati 4.546 378,83 87,42 12,45 3 Gula a. Gula Pasir 2.152 179,33 41,38 5,90 b. Gula Merah 1.870 155,83 35,96 5,12 Gula 4.022 335,17 77,35 11,02 4 Buah/Biji Berminyak a. Kacang Tanah 1.525 127,08 29,33 4,18 b. Kedelai 1.687 140,58 32,44 4,62 c. Kacang Hijau 67 5,58 1,28 0,18 d. Kelapa/Kopra 515 42,92 9,90 1,41 Buah/Biji Berminyak 3.794 316,17 72,96 10,39 5 Buah-buahan a. Adpokat 28 2,33 0,53 0,08 b. Jeruk 194 16,17 3,73 0,53 c. Jambu 221 18,42 4,25 0,61 22
AGROSWAGATI | Nomor 1 | Volume 3| November 2015
Kemampuan Lahan Terhadap Potensi Tanaman Pangan
No.
Sumber Data
Ketersediaan per bulan per minggu (ton) (ton) 159,08 36,71 125,67 29 42,75 9,87 2,92 0,67 3,17 0,73 128,67 29,69 2,42 0,56 1,58 0,36 1,25 0,28 12,67 2,92 517,08 119,37
per tahun (ton) 1.909 1.508 513 35 38 1.544 29 19 15 152 6.205
d. Mangga e. Pepaya f. Pisang g. Rambutan h. Sawo i. Semangka j. Bimbing k. Manggis l. Nangka/Campedak m. Sukun Buah-buahan 6 Sayur-sayuran a. Bawang Merah 6.372 b. Mentimun 78 c. Kacang Panjang 36 d. Kentang 9.440 e. Cabe Merah 34.131 f. Terong 23 g. Kangkung 178 h. Bayam 143 Sayur-sayuran 50.401 7 Daging a. Daging Sapi 2.236 b. Daging Kambing 396 c. Daging Domba 293 d. Daging Ayam Buras 1.992 e. Daging Ayam Ras 595 f. Daging Itik 217 Daging 5.729 8 Telur a. Telur Ayam Buras 743 b. Telur Ayam Ras 1.030 c. Telur Itik 124 Telur 1.897 9 Susu a. Susu Sapi 20.758 Susu 20.758 Sumber : Data Hasi Analisis NBM, 2014 Gambaran jumlah pedagang di No. masing-masing pasar tradisional sebagaimana dapat dilihat dalam Tabel 7. 3 Tabel 7. Jumlah Pedagang Pasar 4 Tradisional di Kota Cirebon Jumlah 5 No. Nama Pasar Pedagang 6 1 Pasar Kanoman 1.982 2
Pasar Pagi
1.290
AGROSWAGATI | Nomor 1 | Volume 3| November 2015
7
per hari (ton) 5,23 4,13 1,41 0,10 0,10 4,23 0,08 0,05 0,04 0,42 17,00
531 6,5 3 786,67 2844,25 1,92 14,83 11,92 4200,08
122,54 1,5 0,69 181,54 656,37 0,44 3,42 2,75 969,25
17,46 0,21 0,10 25,86 93,51 0,06 0,49 0,39 138,08
186,33 33 24,42 166 49,58 18,08 477,42
43 7,66 5,63 38,31 11,44 4,17 110,17
6,13 1,08 0,80 5,46 1,63 0,59 15,70
61,92 85,83 10,33 158,08
14,29 19,81 2,38 36,48
2,04 2,82 0,34 5,20
1729,83 1729,83
399,19 399,19
56,87 56,87
Nama Pasar Pasar Jagasatru
Jumlah Pedagang 701
Pasar Kramat
221
Pasar Drajat
297
Pasar Perumnas
413
Pasar Harjamukti
1.633
23
Kemampuan Lahan Terhadap Potensi Tanaman Pangan No.
Nama Pasar
8
Pasar Balong
9
Pasar Gunung Sari Pasar Kebes
10
Jumlah Pedagang 81 188 57
Sumber : PD Pasar Kota Cirebon, 2014 E. Tingkat Pemenuhan Kebutuhan Pangan Untuk mengetahui tingkat kebutuhan kalori atau penyediaan konsumsi pangan per kapita per tahun di Kota Cirebon dapat diukur dengan menggunakan produksi tanaman pangan dengan kebutuhan ratarata konsumsi penduduk di Kota Cirebon sesuai dengan yang tertera pada tabel berikut: Tabel 8. Tingkat Pemenuhan Kebutuhan Pangan Di Kota Cirebon Tahun 2013 Komoditi
Produksi
(Ton)
Keb. Konsumen (Ton)
% Pemenuhan Keb. Pangan
Padi (Eq. 2.888 36.401 7,93 Beras) Palawija (Eq. 435 6.066 7,17 Beras) Sayuran 356 10.617 3,35 (segar) Buah9.558 10.617 90,30 buahan Sumber: Data Lapora DKP3 Kota Cirebon, 2014 Luas lahan baku sawah di Kota Cirebon dalam 6 (enam) tahun terakhir terus mengalami penurunan seiring dengan kecenderungan alih fungsi lahan sawah dan tegalan ke penggunaan lain terutama pemukiman dan perdagangan. Dengan demikian peluang peningkatan produksi dengan memaksimalkan sumberdaya lahan diarahkan melalui peningkatan intensitas penanaman sehingga terjadi peningkatan Indeks Pertanaman (IP). Keadaan Indeks Pertanaman di Kota Cirebon pada 6 (enam) tahun terakhir serta potensi pengembangannya dapat dilihat dalam Tabel 9.
24
Tabel 9. Potensi Indeks Pertanaman (IP) Pada Lahan Sawah Potensi Saat Ini Luas Lahan Luas Tahun Baku Tanam IP (%) (Ha) (Ha) 2008 333 249 2009 327 176 2010 307 280 2011 269 657 244 2012 262 604 231 2013 261 524 200 Sumber : Data DKP3 Kota Cirebon (2014) Dari Tabel 9 diketahui bahwa potensi Indeks Pertanaman (IP) pada tiap tahun tidak stabil. IP pada tahun 2013 mengalami penurunan yaitu 31 % hal ini disebabkan karena banyaknya alih fungsi lahan. Oleh sebab itu perlu dilakukan intensifikasi berupa peningkatan teknologi. Kemudian untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat Kota Cirebon selami ini didapat dari luar daerah Kota Cirebon. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian potensi lahan pertanian terhadap potensi produksi pertanian di Kota Cirebon, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Luas lahan untuk kegiatan pertanian di Kota Cirebon meliputi areal seluas 781 ha terdiri dari sawah 261 ha, kebun/tegalan 309 ha, ditanami pohon atau hutan rakyat 297 ha, pekarangan seluas 147 ha serta 8 ha kolam. 2. Luas areal tanam yang semakin sempit berdampak pada produksi tanaman pangan yang semakin menurun pada tiap tahunnya, produksi tanaman pangan pada tahun 2013 yang terdiri dari padi 2.826 ton, Jagung 18 ton, ubi kayu 194 ton dan ubi jalar 68 ha. 3. Produksi sayuran mencapai 239,60 ton yakni terdiri dari 40,00 ton kacang panjang, 21,00 ton cabe, 56,80 mentimun dan 121,80 ton kangkung. Wilayah pengusahaan meliputi 7 kelurahan yakni Kelurahan Harjamukti, Kalijaga, Argasunya, Kecapi (Kecamatan Harjamukti), serta Kelurahan
AGROSWAGATI | Nomor 1 | Volume 3| November 2015
Kemampuan Lahan Terhadap Potensi Tanaman Pangan Karyamulya, Sunyaragi dan Drajat (Kecamatan Kesambi). 4. Produksi buah-buahan mengalamin kenaikan yaitu pada tahun 2012 sebanyak 4.090 ton dan di tahun 2013 menjadi 9.558 ton. 5. Dalam pengembangan usaha pertanian dihadapkan pada keterbatasan sumber daya lahan dan sumber daya manusia, yakni alih fungsi lahan dan minat warga masyarakat untuk bertani. Sekalipun usaha pertanian memiliki potensi besar karena dekat dengan pasar hasil pertanian, akan tetapi petani di Kota Cirebon, kebanyakan merupakan penduduk kabupaten Cirebon dan Kuningan. 6. Potensi pengembangan produksi pangan dapat dilihat dari jumlah kelompok tani yang memadai, tetapi hal ini tidak didukung oleh luasan lahan. Dibuktikan dengan Luas lahan baku sawah di Kota Cirebon dalam 6 (enam) tahun terakhir yang dilihat pada Indeks Pertanaman (IP) terus mengalami penurunan seiring dengan kecenderungan alih fungsi lahan sawah dan tegalan ke penggunaan lain terutama pemukiman dan perdagangan. B. Saran Berdasarkan kesimpulan penelitian potensi lahan pertanian terhadap potensi produksi pertanian di Kota Cirebon, maka dapat dikemukakan saran-saran sebagai berikut: 1. Dengan keterbatasan sumberdaya alam yang relatif kecil serta dengan kecenderungan terus menurun maka upaya pemenuhan pangan lebih diarahkan pada penguatan pemanfaatan lahan pertanian secara optimal dengan mendayagunakan SDM petani dengan dilakukan pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan usahatani, penggunaan bibit atau benih unggul, serta keanekaragaman komoditas yang dibudidayakan, teknik produksi yang sesuai dengan anjuran serta penerapan analisis usahatani dalam memanajemen usaha agrobisnis, serta penanganan pascapanen yang berorientasi kepada kualitas dan menghasilkan produk olahan yang dapat diterima oleh pasar.
AGROSWAGATI | Nomor 1 | Volume 3| November 2015
2.
Perlu dilakukan studi penataan ruang bagi lahan pertanian sehingga dalam perkembangannya tidak terjadi gesekan dengan pemanfaatan ruang yang lain seperti permukiman, kawasan perdagangan dan utilitas utama lainnya.
DAFTAR PUSTAKA Badan Ketahanan Pangan Kota Cirebon.2014. Analisis dan Penyusunan Pola Konsumsi dan Suplai Pangan Kota Cirebon. Badan Pusat Statistik Kota Cirebon. 2014. Kota Cirebon Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kota Cirebon, Cirebon. Dinas Kelautan Perikanan Peternakan dan Pertanian Kota Cirebon. 2014. Laporan Tahunan Tahun 2013. Dinas Kelautan Perikanan Peternakan dan Pertanian Pemerintah Kota Cirebon, Cirebon. Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 06/Permentan/OT.140/1/2014 Tentang Pedoman Desa Mandiri Pangan Tahun 2014 Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 07/Permentan/OT.140/1/2014 Tentang Pedoman Penguatan Lembaga Distribusi Pangan Masyarakat Tahun 2014 Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 08/Permentan/OT.140/1/2014 Tentang Pedoman Pengembangan Lumbung Pangan Masyarakat Tahun 2014 Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 09/Permentan/OT.140/1/2014 Tentang Pedoman Gerakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Tahun 2014 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 2002 Tentang Ketahanan Pangan Profil Kelurahan Harjamukti, Kecapi, Larangan, Kalijaga dan Argasunya Kecamatan Harjamukti. 2013. Profil Kelurahan Kejaksan, Sukapura, Kesenden dan Kebon Baru Kecamatan Kejaksan. 2013 Profil Kelurahan Kesambi, Sunyaragi, Pekiringan, Karyamulya dan Drajat Kecamatan Kesambi. 2013.
25
Kemampuan Lahan Terhadap Potensi Tanaman Pangan Profil Kelurahan Lemahwungkuk, Panjunan, Kasepuhan dan Pegambiran Kecamatan Lemahwungkuk. 2013. Profil Kelurahan Pekalipan, Pekalangan, Jagasatru dan Pulasaren Kecamatan Pekalipan. 2013 Rancangan Peraturan Daerah Kota Cirebon Nomor 8 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Cirebon Tahun 2011 – 2031 Suryana,A, 2004. Strategi Kebijakan Penelitian dan Pengembangan Palawija. Hlm 23-50. Dalam Rusastra , I.W, T.A. Napitupulu ,MO.A, Manikmas , F.Kasim (Eds), Pengembangan Agribisnis Berbasis Palawija di Indonesia : Prannya dalam Peningkatan Ketahanan Pangan dan Pengentasan Kemiskinan. CAPSA Monograph No.49, United Nations ESCAP; Puslitbang Tanaman Pangan.Prosiding Seminar Nasional Bogor, 13 Juli 2003. Undang-undang Nomor. 18 Tahun 2012 tentang Pangan
26
AGROSWAGATI | Nomor 1 | Volume 3| November 2015
PENGARUH BOBOT BIBIT DAN DOSIS PUPUK KALIUM TERHADAP SERAPAN K, PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN BAWANG MERAH (ALLIUM ASCALONICUM L.) VARIETAS BIMA Effect of Seed Weight and Potassium Fertilizer Doses Of Uptake of K, Growth and Yield Crop Shallot (Allium ascalonicum L.) Bima Variety Oleh : Lies Ernawati1
ABSTRAK Bawang merah (Allium ascalonicum L.) merupakan tanaman sayuran yang banyak manfaatnya bagi masyarakat Indonesia. Upaya untuk meningkatkan produksi bawang merah di antaranya dengan penggunaan benih yang memiliki fisik baik, selain itu juga dengan pemupukan kalium. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh interaksi penggunaan bobot bibit dan pupuk kalium terhadap komponen pertumbuhan dan hasil bawang merah serta mengetahui korelasi antara komponen pertumbuhan dan hasil bawang merah. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Sindangjawa, Kecamatan Dukupuntang, Kabupaten Cirebon, Propinsi Jawa Barat. Terletak pada ketinggian tempat 150 m di atas permukaan laut, jenis tanah grumosol dengan derajat keasaman tanah (pH) 6,0. Penelitian ini dimulai pada bulan Maret sampai Juni 2014. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) pola faktorial dengan faktor pertama bobot bibit (B) terdiri dari 3 taraf perlakuan (B1 : bobot < 2,5 g, B2 : 2,5 g-5,0 g, dan B3 : >5,0-7,5 g), dan faktor ke dua pupuk kalium (K) terdiri dari tiga taraf perlakuan (K1 : dosis 100 kg KCl/ha, K2 : dosis 200 kg KCl/ha, dan K3 : dosis 300 kg KCl/ha). Perbandingan antar perlakuan menggunakan uji jarak berganda Duncan pada taraf 5%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi interaksi antara perlakuan bobot bibit dan pupuk Kalium terhadap komponen pertumbuhan dan hasil tanaman bawang merah (Allium ascalonicum L.). Interaksi terjadi pada tinggi tanaman 15 HST, 21 HST, 28 HST dan 35 HST, jumlah daun 15 HST, 21 HST, 28 HST dan 35 HST, jumlah anakan 15 HST, 21 HST, 28 HST dan 35 HST, jumlah umbi, laju pertumbuhan tanaman minggu ke-2 dan minggu ke-3, serapan K, bobot basah per rumpun, bobot kering per rumpun, bobot basah per petak dan bobot kering per petak. Tidak terdapat korelasi yang nyata antar komponen pertumbuhan dan bobot kering umbi per petak pada tanaman bawang merah (Allium ascalonicum L.). Kata kunci : bawang merah, pupuk Kalium, pertumbuhan, hasil
PENDAHULUAN1 Dalam budidaya bawang merah, bagian yang sangat menarik perhatian adalah bagian umbi, karena bagian ini memiliki banyak kegunaan dan bernilai ekonomis. Untuk menghasilkan bawang merah secara optimal dengan kualitas yang baik, maka diperlukan teknik budidaya yang tepat. Salah satu usaha yang dapat dilakukan yaitu dengan 1
Mahasiswa Pascasarjana Program Studi Agronomi Universitas Swadaya Gunung Jati
memodifikasi lingkungan tempat tanaman ini tumbuh serta penggunaan bibit unggul. Penggunaan bibit yang bermutu baik merupakan faktor yang sangat penting untuk meningkatkan produktivitas tanaman bawang merah. Rendahnya produktivitas tanaman bawang merah khusunya di daerah sentra produksi, antara lain akibat kualitas bibit yang rendah. Oleh karena itu, upaya peningkatan produksi bawang merah harus dimulai dengan tersedianya bibit berkualitas agar bisa berproduksi lebih
Bobot Bibit dan Dosis Kalium Pada Bawang Merah tinggi, dalam volume memadai dan tersedia setiap musim agar petani dapat menanam tepat waktu. Faktor yang cukup menentukan kualitas umbi bibit bawang merah adalah ukuran umbi. Secara umum kualitas umbi yang baik untuk bibit adalah umbi yang berukuran sedang (Stallen dan Hilman, 1991). Umbi bibit berukuran sedang merupakan umbi ganda, rata-rata terdiri dari dua siung umbi, sedangkan umbi bibit berukuran besar rata-rata terdiri dari tiga siung umbi (Rismunandar, 1986 dalam Sumarni dan Hidayat, 2005). Umbi bibit yang besar dapat menyediakan cadangan makanan yang banyak untuk pertumbuhan dan perkembangan selanjutnya di lapangan. Umbi bibit berukuran besar akan tumbuh lebih vigor, menghasilkan daun-daun lebih panjang, luas daun lebih besar, sehingga dihasilkan jumlah umbi per tanaman dan total hasil yang tinggi (Stallen dan Hilman, 1991; Hidayat dan Rosliani, 2003). Namun jika dihitung berdasarkan berat bibit, harga umbi bibit berukuran besar mahal, sehingga umumnya petani menggunakan umbi bibit berukuran sedang. Umbi bibit berukuran kecil akan lemah pertumbuhannya dan hasilnya pun rendah (Rismunandar, 1986 dalam Sumarni dan Hidayat, 2005). Penggunaan umbi bibit berukuran besar tidak meningkatkan persentase bobot umbi berukuran besar yang dihasilkan, tetapi total hasil per plot lebih tinggi jika umbi bibit besar yang ditanam (Stallen dan Hilman, 1991). Pemupukan merupakan salah satu faktor penentu dalam upaya meningkatkan hasil tanaman. Pupuk yang digunakan sesuai anjuran diharapkan dapat memberikan hasil yang secara ekonomis menguntungkan. Dengan demikian, dampak yang diharapkan dari pemupukan tidak hanya meningkatkan hasil per satuan luas tetapi juga efisien dalam penggunaan pupuk. Mengingat penggunaan pupuk di tingkat petani cukup tinggi, sehingga dapat menimbulkan masalah terutama defisiensi unsur hara mikro, pemadatan tanah, dan pencemaran lingkungan (Bangun et al, 2000). 28
Penambahan kalium akan meningkatkan tanaman dalam penyerapan unsur hara sehingga akan meningkatkan laju pertumbuhan tanaman. Ketersediaan kalium yang cukup akan mendorong penetrasi akar yang lebih dalam sehingga akar dapat mengekstraksi air dari lapisan tanah yang dalam (Nelson, 1982 dalam Joelbahri, 2010). Penambahan kalium juga akan meningkatkan laju difusi dan sebagai pengatur potensial air dalam sel tanaman sehingga pengaruh yang merugikan dapat diperkecil, di samping itu penambahan kalium juga dapat berfungsi sebagai bahan aktif untuk mencegah infeksi jamur. Pada bawang merah, kalium dapat memberikan hasil umbi yang lebih baik, mutu dan daya simpan umbi yang lebih tinggi, dan umbi tetap padat meskipun disimpan lama (Gunadi, 2009). Tanaman yang kekurangan unsur K biasanya mudah rebah, sensitif terhadap penyakit, hasil dan kualitas hasil rendah, dan dapat menyebabkan gejala keracunan ammonium, sedangkan kelebihan K menyebabkan tanaman kekurangan hara Mg dan Ca (Jones et al., 1991 dalam Sumarni et al., 2012). Tanaman bawang merah menyerap K dalam jumlah yang lebih banyak daripada yang dibutuhkan tanaman (Jones et al., 1991 dalam Sumarni et al., 2012). Penyerapan K oleh tanaman dari larutan tanah bergantung pada beberapa faktor, antara lain tekstur tanah, kelembaban dan temperatur tanah, pH, serta aerasi tanah (Mengel dan Kirkby, 1980 dalam Sumarni et al., 2012). Oleh karena itu ketersediaan K dalam tanah jarang yang mencukupi untuk mendukung proses-proses penting seperti transportasi gula dari daun ke umbi, aktivitas enzim,, sintesis protein, dan pembesaran sel yang pada akhirnya menentukan hasil dan kualitas hasil. Salah satu cara untuk mengatasinya yaitu dengan penambahan pupuk K yang memadai. Hasil penelitian Mozumder et al. (2007) menunjukkan bahwa pemberian pupuk kalium dengan dosis 175 kg/ha menghasilkan tinggi tanaman, jumlah daun/tanaman, panjang umbi, diameter umbi, berat kering umbi dan hasil yang maksimum. Hasil penelitian Subhan dan AGROSWAGATI | Nomor 1 | Volume 3| November 2015
Bobot Bibit dan Dosis Kalium Pada Bawang Merah Nunung. N (2004) dalam Joelbahri (2010), melaporkan bahwa pemupukan kalium dapat meningkatkan bobot basah umbi, bobot kering umbi, diameter umbi dan jumlah siung umbi bawang putih yang dihasilkan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh interaksi antara bobot bibit dan dosis pupuk kalium terhadap serapan K, pertumbuhan dan hasil tanaman bawang merah varietas Bima serta mengetahui korelasi antara komponen pertumbuhan dengan hasil tanaman bawang merah varietas Bima. BAHAN DAN METODE Percobaan dilaksanakan di Desa Sindangjawa Kecamatan Dukupuntang Kabupaten Cirebon Jawa Barat. Lokasi tersebut terletak pada ketinggian 150 m di atas permukaan laut (dpl), tipe tanah grumosol dengan derajat kemasamam tanah (pH) 6,0. Waktu percobaan dilaksanakan pada bulan Maret 2014 sampai dengan Juni 2014. Metode penelitian yang digunakan dalam percobaan ini adalah percobaan lapangan (eksperimental) dengan Rancangan Acak Kelompok (RAK) berpola faktorial yang menggunakan dua faktor, yaitu bobot bibit (B) dan dosis pupuk kalium (K). Masing-masing faktor terdiri dari 3 taraf dan diulang sebanyak 3 kali. Faktor pertama bobot bibit (B) terdiri dari 3 taraf perlakuan (B1 : bobot < 2,5 g, B2 : 2,5 g-5,0 g, dan B3 : >5,0-7,5 g), dan faktor ke dua pupuk kalium (K) terdiri dari tiga taraf perlakuan (K1 : dosis 100 kg KCl/ha, K2 : dosis 200 kg KCl/ha, dan K3 : dosis 300 kg KCl/ha). Tahapan persiapan dalam penelitian ini meliputi persiapan bibit, persiapan lahan budidaya, persiapan peralatan-peralatan pengolahan tanah dan peralatan untuk perawatan lainnya, serta persiapan bahan-bahan yang akan digunakan. Untuk bibit bawang digunakan varietas Bima. Bibit bawang yang digunakan dipilih bibit yang sehat, warna mengkilat, kompak/tidak keropos, kulit tidak luka dan telah disimpan ± 2-3
AGROSWAGATI | Nomor 1 | Volume 3| November 2015
bulan setelah panen. Bibit dikelompokkan ke dalam tiga kelas berdasarkan bobotnya. Pemupukan dilakukan secara bertahap yaitu yaitu dua kali. Pupuk yang diberikan yaitu : Urea 200 kg/ha, SP-36 100kg/ha, dan KCl sesuai dengan perlakuan. Untuk pupuk SP-36 diberikan pada tahap pertama pemupukan bersamaan dengan pupuk organik (pupuk dasar). Untuk pupuk Urea diberikan dua kali, pemupukan pertama dilakukan 7 hari setelah tanam dengan dosis 100 kg/ha urea, dan pemupukan kedua dilakukan 25 hari setelah tanam dengan dosis dan cara yang sama pada pemupukan pertama. Sedangkan untuk pupuk KCl dosisnya disesuaikan dengan masingmasing perlakuan.Teknik dan waktu pemberian bersamaan dengan pemupukan susulan I dan susulan II yaitu 7 hari setelah tanam dan 25 hari setelah tanam, diberikan secara larikan dan dibenamkan. Peubah yang diamati meliputi : (1) pertumbuhan tanaman (tinggi tanaman, jumlah daun dan jumlah anakan per tanaman) pada umur 35 HST. Laju Petumbuhan Tanaman (LPT) dilakukan dengan cara menghitung selisih bobot kering brangkasan seluruh tanaman pada waktu pengamatan awal dengan bobot kering brangkasan tanaman pada pengamatan terakhir. Bobot kering tanaman diukur dengan cara mengeringkan seluruh organ tanaman (daun, umbi dan akar) di dalam oven (85oC) selama beberapa hari sampai mencapai bobot kering konstan, (2) hasil umbi, yaitu jumlah umbi per tanaman (rata-rata jumlah umbi pada setiap tanaman contoh dalam satu petak percobaan), bobot umbi segar (saat panen) dan bobot kering eskip (7 hari setelah dijemur di udara terbuka/panas matahari), (3) serapan K tanaman,yaitu rata-rata serapan unsur K yang diserap oleh tanaman pada umur 35 HST. Data-data pengamatan dianalisi dengan uji F, sedangkan perbedaan antara perlakuan dianalisis dengan uji duncan pada taraf nyata 5%. Analisis korelasi dilakukan untuk mengetahui hubungan antara komponen pertumbuhan tanaman dengan hasil tanaman. 29
Bobot Bibit dan Dosis Kalium Pada Bawang Merah HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Tanah Sebelum Percobaan Tanah pada tempat percobaan memiliki kandungan 9,25 % pasir, 31,61 % debu, dan 59,07 % liat. Kondisi ini menunjukkan bahwa tekstur tanah termasuk kriteria liat berdebu, memiliki pH 6,0 dengan kriteria agak masam yang masih memenuhi syarat untuk pertumbuhan tanaman bawang merah (Grubben, 1990 dalam Rosliani et al., 2005). Kandungan C-organik 1,260 % (rendah), N-total 0,126 % (rendah), kandungan nisbah C/N 10,00 (rendah) dan kandungan P2O5 tersedia 4,597 me% (rendah). Kandungan K2O tersedia 0,469 me% termasuk dalam kriteria sedang. Kandungan Ca 2,737 me% (rendah), kandungan Mg 0,868 me% (rendah), kandungan Na 0,939 me% (tinggi), kandungan K sangat rendah (tidak terukur), Kapasitas Tukar Kation (KTK) 20,904 me% (sedang) dan Kejenuhan Basa (KB) 25,26 (rendah). Pertukaran kation dalam tanah merupakan peristiwa yang sangat penting. Besarnya nilai KTK tanah beragam untuk setiap jenis tanah, tergantung antara lain pada tekstur tanah, pH tanah dan macam koloid tanah (liat dan humus). Curah Hujan Rata-rata curah hujan sepuluh tahun terakhir (2004 – 2013) di Desa Sindangjawa Kecamatan Dukupuntang sekitar 1.788,70 mm/tahun dengan ratarata jumlah bulan kering (>60 mm/bulan) sekitar 4,4, rata-rata bulan lembab (60-100 mm/bulan) sekitar 1,1, dan rata-rata bulan basah (>100 mm/bulan) sekitar 6,2.
Berdasarkan hasil tersebut maka tipe curah hujan di Desa Sindangjawa Kecamatan Dukupuntang Kabupaten Cirebon menurut Schmidt dan Fergusson (1951) termasuk tipe D (60,00 ≤ Q < 100) yaitu bersifat Sedang. Pertumbuhan Tanaman Tinggi Tanaman Terjadi pengaruh interaksi antara perlakuan bobot bibit dan dosis pupuk Kalium terhadap tinggi tanaman. Perlakuan bobot bibit 2,5 g-5 g dan dosis pupuk K 300 kg KCl/ha menghasilkan tinggi tanaman tertinggi sebesar 29,72 cm, seperti terlihat pada Tabel 2. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Sufyati et al. (2006) yang menunjukkan bahwa ukuran fisik umbi berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman umur 28 HST dan 35 HST. Selain itu, hasil penelitian Addai et al. (2013) menunjukkan bahwa ukuran bibit dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman bawang merah. Pemberian unsur K melalui pemupukan Kalium akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman bawang merah. Dengan penambahan K 200 kg KCl/ ha ke dalam tanah maka akan meningkatkan ketersediaan unsur K di dalam tanah tersebut (Aisyah et al., 2006), di mana dosis pemupukan K 200 kg KCl/ha merupakan dosis anjuran untuk pemupukan K tanaman bawang merah untuk dapat tumbuh dan berproduksi optimal (Rukmana, 1994). Dengan pemupukan K sesuai anjuran maka akan meningkatkan pertumbuhan yang optimal.
Tabel 1. Pengaruh Interaksi Perlakuan Bobot Bibit dan Dosis Pupuk K terhadap Tinggi Tanaman Pupuk K Bobot bibit K1 K2 K3 a 22,40 a 24,59 a 28,14 B1 A A A a 22,40 a 28,32 a 29,72 B2 A B B
30
AGROSWAGATI | Nomor 1 | Volume 3| November 2015
Bobot Bibit dan Dosis Kalium Pada Bawang Merah Pupuk K
Bobot bibit B3
K1 24,42
K2 a
25,97
K3 a
27,99
a
A A A Keterangan : Nilai rata-rata perlakuan yang ditandai dengan huruf yang sama pada kolom sama dan pada baris yang sama, tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak Berganda Duncan pada taraf 5% Jumlah Daun Terjadi pengaruh interaksi antara perlakuan bobot bibit dan dosis pupuk Kalium terhadap jumlah daun. Perlakuan bobot bibit >5,0 g – 7,5 g dan dosis pupuk K 300 kg KCl/ha menghasilkan jumlah daun terbanyak yaitu 27,00, seperti disajikan pada Tabel 2. Bobot bibit yang besar berarti cadangan makanan yang tersimpan dalam umbi tersebut besar sehingga cadangan makanan tersebut dapat digunakan oleh tanaman untuk proses pertumbuhannya sebelum akar terbentuk dan dapat menyerap unsur hara dalam tanah. Menurut Sutono et al., (2007) umbi yang berukuran besar tumbuh lebih baik dan menghasilkan daun-daun yang lebih panjang, dan luas daun lebih besar. Penambahan unsur K dalam tanah dengan jalan pemupukan akan menambah ketersediaan unsur hara K di dalam tanah. Salah satu fungsi dari unsur K adalah berperan dalam perkembangan jaringan meristem (Sumiati dan Gunawan, 2007). Dengan unsur hara K yang tersedia banyak, maka jaringan meristem akan berkembang optimal. Daun bawang merah berkembang dari meristem apikal daun (Rukmana, 1994). Unsur K berfungsi sebagai transport penyaluran unsur hara yang diserap oleh akar ke bagian tanaman
serta menyalurkan fotosintat dari daun ke seluruh bagian tanaman (Aisyah et al., 2006). Jumlah Anakan Terjadi pengaruh interaksi antara perlakuan bobot bibit dan dosis pupuk K. Perlakuan bobot bibit 2,5 g – 5,0 g dan dosis pupuk K 200 kg KCl/ha menghasilkan jumlah anakan terbanyak yaitu 7,67. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 3. Menurut Samsudin (1979), umbi bibit yang baik mempunyai ukuran fisik yang tidak terlalu kecil. Ukuran umbi bibit yang terlalu kecil cenderung akan menghasilkan anakan yang sedikit, sedangkan apabila umbi bibit yang terlalu besar, merupakan pemborosan karena umbi bibit yang terlalu besar sering kali kurang menghasilkan tunas. Bobot bibit dengan ukuran sedang berpengaruh terhadap terjadinya tunas pada tanaman bawang merah, sehingga jumlah anakan pun akan banyak. Dengan pemberian pupuk K maksimum sebanyak 300 kg KCl/ha, jumlah tunas yang terbentuk tersebut akan lebih optimal berkembang menjadi anakan, hal ini sejalan dengan fungsi dari unsur K yaitu berperan dalam perkembangan jaringan meristem tanaman.
Tabel 2. Pengaruh Interaksi Perlakuan Bobot Bibit dan Dosis Pupuk K terhadap Jumlah Daun Pupuk K Bobot bibit K1 K2 K3 a 20,74 a 25,55 a 26,74 B1 A B B a 25,30 b 25,33 a 26,81 B2 A A A
AGROSWAGATI | Nomor 1 | Volume 3| November 2015
31
Bobot Bibit dan Dosis Kalium Pada Bawang Merah
B3
24,33
b
25,63
a
27,00
a
A A A Keterangan : Nilai rata-rata perlakuan yang ditandai dengan huruf yang sama pada kolom sama dan pada baris yang sama, tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak Berganda Duncan pada taraf 5% Tabel 3. Pengaruh Interaksi Perlakuan Bobot Bibit dan Dosis Pupuk K terhadap Jumlah Anakan Pupuk K Bobot bibit K1 K2 K3 a 5,74 a 7,26 a 6,67 B1 A B AB a 7,41 b 7,67 a 7,30 B2 A A A a 7,22 b 6,59 a 7,18 B3 A A A Keterangan : Nilai rata-rata perlakuan yang ditandai dengan huruf yang sama pada kolom sama dan pada baris yang sama, tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak Berganda Duncan pada taraf 5% Laju Pertumbuhan Tanaman Perlakuan bobot bibit secara mandiri memberikan pengaruh tidak nyata pada pengamatan minggu ke-1, sedangkan pada perlakuan Kalium terdapat pengaruh mandiri seperti terlihat pada Tabel 4. Pada pengamatan minggu ke-1 perlakuan pupuk K dengan dosis 100 kg KCl/ha menghasilkan nilai LPT tertinggi yaitu 0,21. Hal ini berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Hal ini mungkin disebabkan karena kandungan K2O terdedia dalam tanah termasuk kriteria sedang, sehingga dengan penambahan pupuk Kalium dengan dosis 100 kg KCl/ha sudah mencukupi kebutuhan hara bagi tanaman, maka pada penambahan dosis berikutnya tidak
memberikan pengaruh nyata terhadap laju pertumbuhan tanaman. Pada pengamatan minggu ke-2 dan minggu ke-3 terjadi pengaruh interaksi perlakuan bobot bibit dan dosis pupuk K terhadap laju pertumbuhan tanaman. Pada pengamatan minggu ke-2 perlakuan bobot bibit 2,5 g – 5,0 g dan dosis pupuk K 100 kg KCl/ha menghasilkan nilai LPT tertinggi yaitu 0,50, seperti terlihat pada Tabel 5. Pada pengamatan minggu ke-3, perlakuan bobot bibit pada semua taraf perlakuan dengan dosis pupuk K sebanyak 100 kg KCl/ha menghasilkan nilai LPT yang sama dan tertinggi dari perlakuan lainnya, yaitu sebesar 0,70. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 4. Pengaruh Mandiri Perlakuan Bobot Bibit dan Dosis Pupuk K terhadap Laju Pertumbuhan Tanaman Minggu ke-1. Perlakuan bobot bibit B1= bobot bibit < 2,5 g B2= bobot bibit 2,5-5,0 g B3= bobot bibit 5,1-7,5 g
32
Laju Pertumbuhan Tanaman ke-1 0,20a 0,20a 0,20a
AGROSWAGATI | Nomor 1 | Volume 3| November 2015
Bobot Bibit dan Dosis Kalium Pada Bawang Merah Pupuk K K1= 100 kg KCl/ ha K2= 200 kg KCl/ ha K3= 300 kg KCl/ ha Keterangan :
0,21b 0,20ab 0,19a
Nilai rata-rata perlakuan yang ditandai dengan huruf yang sama pada kolom sama, tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak Berganda Duncan pada taraf 5%.
Penggunaan bibit ukuran sedang, dalam pembentukan akarnya akan optimal, sehingga penyerapan unsur hara akan lebih banyak ditambah dengan perlakuan pupuk K yang akan menyalurkan unsur hara dari dalam tanah ke seluruh bagian tanaman. Kemudian bahan-bahan tersebut akan terakumalisi menjadi bahan kering (Salisburry dan Ross, 1994). Penambahan kalium akan meningkatkan tanaman dalam penyerapan unsur hara sehingga akan meningkatkan laju pertumbuhan tanaman. Ketersediaan kalium yang cukup akan mendorong penetrasi akar yang lebih dalam sehingga akar dapat mengekstraksi air dari lapisan tanah yang dalam (Nelson, 1982 dalam Joelbahri, 2010).
Fase pertumbuhan tanaman bawang merah dibagi menjadi 2 fase pertumbuhan, yaitu fase vegetatif dan fase generatif. Fase vegetatif dimulai sejak tanaman berumur 15 HST sampai 35 HST (Rukmana, 1994). Perkembangan tanaman pada akhir fase vegetatif sudah optimal sehingga pengukuran bahan kering pada fase ini akan lebih efektif. Menurut Salisburry dan Ross (1994), laju pertumbuhan tanaman dipengaruhi oleh laju asimilasi bersih dan indeks luas daun. Apabila indeks luas daun besar maka laju pertumbuhan tanaman juga akan besar. Dengan pemberian pupuk K akan meningkatkan proses metabolisme tanaman sehingga dapat meningkatkan berat kering tanaman (Aisyah et al., 2006).
Tabel 5. Pengaruh Interaksi Perlakuan Bobot Bibit dan Dosis Pupuk K terhadap Laju Pertumbuhan Tanaman Minggu ke-2 Pupuk K
Bobot bibit B1 B2 B3
K1
K2
0,43
a
0,42
A
K3 a
A
0,50
b
A
0,43
B
a
A
0,46
a
a
0,42
a
0,43 A
0,41
a
a
0,42
B A A Keterangan : Nilai rata-rata perlakuan yang ditandai dengan huruf yang sama pada kolom sama dan pada baris yang sama, tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak Berganda Duncan pada taraf 5% Tabel 6. Pengaruh Interaksi Perlakuan Bobot Bibit dan Dosis Pupuk K terhadap Laju Pertumbuhan Tanaman Minggu ke-3 Pupuk K
Bobot bibit B1
K1 0,70 B
K2 a
0,63 A
AGROSWAGATI | Nomor 1 | Volume 3| November 2015
K3 a
0,62
a
A
33
Bobot Bibit dan Dosis Kalium Pada Bawang Merah
B2 B3
0,70
a
B 0,70
0,65
a
A a
0,65
a
A
0,63
a
0,64
a
B A A Keterangan : Nilai rata-rata perlakuan yang ditandai dengan huruf yang sama pada kolom sama dan pada baris yang sama, tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak Berganda Duncan pada taraf 5% Serapan K Tanaman Jumlah Umbi Terjadi pengaruh interaksi antara perlakuan bobot bibit dan dosis pupuk K terhadap serapan K seperti disajikan pada Tabel 7. Ukuran bibit memberikan pengaruh nyata pada serapan K tanaman. Ukuran bibit yang kecil menghasilkan serapan K terendah dibandingkan dengan bibit sedang dan bibit besar, sedangkan bibit ukuran sedang menghasilkan serapan K tertinggi dibandingkan dengan ukuran lainnya. Menurut Jones et al., 1991 dalam Sumarni et al. (2012), tanaman bawang merah menyerap K dalam jumlah yang lebih banyak daripada yang dibutuhkan tanaman. Penyerapan K oleh tanaman dari larutan tanah bergantung pada beberapa faktor, antara lain tekstur tanah, kelembaban dan temperatur tanah, pH, serta aerasi tanah (Mengel dan Kirkby, 1980 dalam Sumarni et al., 2012). Penggunaan bibit ukuran sedang akan membentuk perakaran lebih banyak sehingga penyerapan unsur hara pun akan lebih banyak (Salisburry dan Ross, 1994). Penambahan dosis pupuk K 100 kg KCl/ha memberikan pengaruh nyata terhadap serapan K oleh tanaman, sedangkan penamhana dosis pupuk K lebih dari 100 kg KCl/ha memberikan pengaruh tidak nyata terhadap serapan K. Hal ini diduga karena kandungan K tersedia dalam tanah termasuk kategori sedang sehingga dengan pemberian pupuk K sebanyak 100 kg KCl/ha kebutuhan akan unsur K oleh tanaman sudah mencukupi. Respon tanaman terhadap pemupukan akan meningkat jika pemberian pupuk sesuai dengan dosis, waktu dan cara yang tepat. Serapan K terbesar terjadi pada perlakuan B2K1, yaitu 80,70 mg per berat kering tanaman.
34
Terjadi pengaruh interaksi antara perlakuan bobot bibit dan dosis pupuk K terhadap jumlah umbi seperti disajikan pada Tabel 8. Dari hasil pengamatan menunjukkan bahwa jumlah umbi terbanyak diperoleh dari perlakuan bobot bibit >5,0 g – 7,5 g dan dosis pupuk K 100 kg KCl/ha yaitu sebanyak 10,58, sedangkan jumlah umbi paling sedikit diperoleh dari perlakuan bobot bibit <2,5 gdan dosis pupuk K 200 kg KCl/ha yaitu sebanyak 8,25. Perlakuan umbi kecil memberikan hasil terendah. Hal ini diduga karena umbi kecil tidak memiliki umbi samping dan selain itu umbi kecil memiliki cadangan makanan sedikit dibandingan dengan umbi besar sehingga pembentukan umbiumbi baru sedikit. Pada umbi besar dalam pembentukan anakan dan rumpun lebih cepat dan lebih banyak, karena umbi besar merupakan umbi ganda yang terdiri dari rata-rata tiga umbi samping dan dari tiap umbi tersebut dapat membentuk umbi baru sehingga umbi yang terbentuk lebih banyak. Umbi bibit berukuran besar akan tumbuh lebih vigor, menghasilkan daundaun lebih panjang, luas daun lebih besar, sehingga dihasilkan jumlah umbi per tanaman dan total hasil yang tinggi (Stallen dan Hilman, 1991; Hidayat dan Rosliani, 2003). Umbi bibit berukuran kecil akan lemah pertumbuhannya dan hasilnya pun rendah (Rismunandar, 1986 dalam Sumarni dan Hidayat, 2005). Umbi bibit berukuran sedang merupakan umbi ganda, rata-rata terdiri dari dua siung umbi, sedangkan umbi bibit berukuran besar rata-rata terdiri dari tiga siung umbi (Rismunandar, 1986 dalam Sumarni dan Hidayat, 2005).
AGROSWAGATI | Nomor 1 | Volume 3| November 2015
Bobot Bibit dan Dosis Kalium Pada Bawang Merah Tabel 7. Pengaruh Interaksi Perlakuan Bobot Bibit dan Dosis Pupuk K terhadap Serapan K. Pupuk K
Bobot bibit B1 B2 B3
K1 54,22
K2 a
35,36
B
K3 a
A
80,70
c
A
65,50
B
c
b
c
56,97
A
76,18
a
34,74
A
55,18
b
b
49,19
B A A Keterangan : Nilai rata-rata perlakuan yang ditandai dengan huruf yang sama pada kolom sama dan pada baris yang sama, tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak Berganda Duncan pada taraf 5% Tabel 8. Pengaruh Interaksi Perlakuan Bobot Bibit dan Dosis Pupuk K terhadap Jumlah Umbi. Pupuk K
Bobot bibit B1 B2 B3
K1 8,27
K2 a
8,25
A 8,96
a
A ab
8,56
A 10,58
K3
10,31
a
A ab
A b
8,57 9,24
ab
A b
10,36
b
A A A Keterangan : Nilai rata-rata perlakuan yang ditandai dengan huruf yang sama pada kolom sama dan pada baris yang sama, tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak Berganda Duncan pada taraf 5% Bobot Umbi Basah Terjadi interaksi antara perlakuan bobot bibit dan dosis pupuk K terhadap bobot umbi basah per petak yang disajikan pada Tabel 9. Perlakuan bobot bibit memberikan pengaruh yang baik terhadap bobot umbi. Pada perlakuan bobot bibit >5,0 g – 7,5 g dan dosis pupuk K 100 kg KCl/ha memberikan hasil tertinggi pada bobot umbi basah per petak dibandingkan dengan perlakuan lainnya, yaitu sebesar 3,78 kg per petak, atau sekitar 12,60 ton/ha. Sedangkan hasil terendah diperoleh dari perlakuan bobot bibit <2,5 g dan dosis pupuk K 300 kg KCl/ha, yaitu sebesar 3,41 kg per petak, atau sekitar 11,37 ton/ha. Umbi besar dan umbi sedang tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Singgih Wibowo (2009) mengatakan AGROSWAGATI | Nomor 1 | Volume 3| November 2015
bahwa umbi yang berbobot kecil memberikan hasil yang rendah dibandingkan dengan umbi yang berbobot sedang dan besar, tetapi umbi besar memberikan hasil yang tidak berbeda nyata dengan umbi yang berbobot sedang. Hasil penelitian Morozowska dan Holubowicz (2004) menunjukkan bahwa ukuran bibit yang besar memberikan pengaruh yang baik terhadap jumlah umbi dan berat umbi. Menurut hasil penelitian Nagaich et al. (1998) dalam Poornima (2007) penambahan K memberikan pengaruh yang nyata terhadap bobot umbi bawang merah yang dihasilkan. Hasil umbi meningkat dengan penambahan dosis kalium sebanyak 80 dan 120 kg/ha pupuk kalium.
35
Bobot Bibit dan Dosis Kalium Pada Bawang Merah Bobot Umbi Kering Terjadi interaksi antara perlakuan bobot bibit dan dosis pupuk K terhadap bobot umbi kering per petak yang disajikan pada Tabel 10. Pada perlakuan bobot bibit >5,0 g – 7,5 g dan dosis pupuk K 100 kg KCl/ha memberikan hasil tertinggi pada bobot umbi kering per petak dibandingkan dengan perlakuan lainnya, yaitu sebesar dan 3,38 kg per petak, atau sekitar 11,27 ton/ha. Sedangkan hasil terendah diperoleh dari perlakuan bobot bibit <2,5 g dan dosis pupuk K 300 kg KCl/ha, yaitu sebesar 3,05 kg per petak, atau sekitar 10,17 ton/ha. Dari hasil analisis menunjukkan bahwa hasil kering tanaman bawang merah semakin menurun dengan adanya penurunan bobot bibit yang digunakan. Berat kering adalah berat kandungan fotosintat dari umbi tersebut. Apabila
berat kering suatu tanaman besar, maka hasil proses metabolismenya sebesar berat kering tanaman tersebut. Bawang merah menyimpan hasil fotosintatnya di dalam umbi. Berat kering dapat diartikan sebagai berapa besar tanaman tersebut melakukan proses fisiologis yang dicerminkan dalam bentuk berat kering (Salisburry dan Ross, 1994). Pemupukan K akan meningkatkan berat kering tanaman. Pemberian K dapat mempengaruhi pertumbuhan, hasil dan kualitas umbi bawang merah (Woldesadick, 2003). Hasil penelitian Napitupulu dan Winarno (2010), menunjukkan bahwa penambahan pupuk K 100 kg KCl/ha berpengaruh nyata meningkatkan hasil bawang merah. Sedangkan menurut Sutrisna et al. (2003), keseimbangan unsur hara terutama K di dalam tanah berperan dalam sintesis karbohidrat dan protein sehingga dapat memperbesar umbi bawang merah.
Tabel 9. Pengaruh Interaksi Perlakuan Bobot Bibit dan Dosis Pupuk K terhadap Bobot Basah per Petak (kg). Pupuk K Bobot bibit K1 K2 K3 a 3,56 a 3,54 a 3,41 B1 A A A b 3,72 ab 3,71 a 3,68 B2 A A A b 3,78 b 3,71 a 3,62 B3 A A A Keterangan : Nilai rata-rata perlakuan yang ditandai dengan huruf yang sama pada kolom sama dan pada baris yang sama, tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak Berganda Duncan pada taraf 5%
Tabel 10. Pengaruh Interaksi Perlakuan Bobot Bibit dan Dosis Pupuk K terhadap Berat Kering per Petak. Pupuk K
Bobot bibit B1 B2
36
K1 3,11
K2 a
A 3,36 A
3,08
K3 a
A b
3,36 A
3,05
a
A b
3,32
b
A
AGROSWAGATI | Nomor 1 | Volume 3| November 2015
Bobot Bibit dan Dosis Kalium Pada Bawang Merah
B3
3,38
b
3,29
b
3,27
b
A A A Keterangan : Nilai rata-rata perlakuan yang ditandai dengan huruf yang sama pada kolom sama dan pada baris yang sama, tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak Berganda Duncan pada taraf 5% Korelasi Antara Komponen Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Bawang Merah Analisis korelasi dilakukan terhadap komponen pertumbuhan tinggi tanaman, jumlah daun dan Laju Pertumbuhan Tanaman (LPT) terhadap komponen hasil panen bawang merah. Nilai koefisien korelasi (| r |) komponen pertumbuhan terhadap hasil tanaman dapat dilihat pada Tabel 11. Analisis korelasi antara tinggi tanaman terhadap bobot kering umbi per petak tidak menunjukkan korelasi yang nyata dengan kategori r yang sangat rendah, yaitu 0,125 pada 28 HST dan 0,134 pada 35 HST. Hal ini disebabkan pada 1535 HST unsur hara yang diserap tanaman digunakan untuk pertumbuhan vegetatif. Analisis korelasi antara jumlah daun terhadap bobot kering umbi per petak tidak menunjukkan korelasi yang nyata. Pada 28 HST kategori r sangat
rendah dengan nilai korelasi masingmasing -0,019 dan 0,072, pada 35 HST kategori r rendah (0,218). Analisis korelasi antara Laju Pertumbuhan Tanaman (LPT) terhadap bobot kering umbi per petak tidak menunjukkan korelasi yang nyata dengan kategori r pada minggu ke-1 sangat rendah, yaitu 0,149. Pada minggu ke-2 dan ke-3 kategori r rendah dengan nilai korelasi masing-masing 0,348 dan 0,380. Korelasi adalah teknik statistik untuk menyatakan suatu hubungan kedekatan antara variabel pengamatan (Vincent Gaspersz, 1994). Dari hasil analisis korelasi, tidak ada komponen pertumbuhan yang berkorelasi signifikan dengan bobot kering per petak, dengan kata lain tidak ada hubungan keeratan antara komponen pertumbuhan dan bobot kering per petak.
Tabel 11. Analisis Korelasi Antara Tinggi Tanaman, Jumlah Daun, Laju Pertumbuhan Tanaman terhadap Bobot Kering Umbi per Petak. No. Nilai Korelasi terhadap Bobot Komponen Pertumbuhan Kering Umbi per Petak 1. Tinggi tanaman 28 HST 0,125 Kategori | r | Sangat Rendah Tinggi tanaman 35 HST 0,134 Kategori | r | Sangat Rendah 2.
Jumlah daun 28 HST Kategori | r | Jumlah daun 35 HST Kategori | r |
3.
Laju pertumbuhan tanaman 1 mst Kategori | r | Laju pertumbuhan tanaman 2 mst Kategori | r | Laju pertumbuhan tanaman 3 mst Kategori | r | Keterangan: *= nyata pada taraf 5%
AGROSWAGATI | Nomor 1 | Volume 3| November 2015
0,072 Sangat Rendah 0,218 Rendah 0,149 Sangat Rendah 0,348 Rendah 0,380 Rendah
37
Bobot Bibit dan Dosis Kalium Pada Bawang Merah KESIMPULAN 1.
2.
Terjadi interaksi antara perlakuan bobot bibit dan dosis pupuk Kalium terhadap tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah anakan, jumlah umbi, Laju Pertumbuhan Tanaman (LPT) minggu ke-2 (21 HST) dan minggu ke-3 (28 HST), serapan hara K, bobot basah, serta bobot kering. Perlakuan bobot bibit >5,0 g-7,5 g dan dosis pupuk 100 kg KCl/ha menunjukkan pengaruh terbaik terhadap hasil tanaman. Bobot kering per rumpun dan per petak yang dihasilkan adalah 37,40 g per rumpun dan 3,38 kg per petak atau setara dengan 11,27 ton/ha. Tidak terdapat korelasi yang nyata antar komponen pertumbuhan dan bobot kering umbi per petak pada tanaman bawang merah (Allium ascalonicum L.). DAFTAR PUSTAKA
Addai, I. K., H. Takyi, and R. K. Tsitsia. 2013. Effect Of Cultivar And Bulb Size On Growth And Bulb Yield Of Onion (Allium cepa L.) In The Northern Region Of Ghana. British Journal Of Applied Science And Technology. 4(14):2090-2099. Aisyah. D. S, Tien Kurniatin, Siti Mariam, Benny Joy, Maya Damayani, Tamyid Syammusa, Nenny Nurlaeni, Anny Yuniarti, Emma Trinurani, Yuliati Machmud. 2006. Kesuburan Tanah dan Pemupukan. RR Print. Bandung. Bangun, E., M. Nur, H.I., F.H. Silalahi, dan J. Ali. 2000. Pengkajian Teknologi Pemupukan Bawang Merah di Sumatera Utara. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Spesifik Lokasi Menuju Desentralisasi Pembangunan Pertanian.13-14 Maret 2000. Medan. Hlm. 338-342. Gunadi, N. 2009. Kalium Sulfat dan Kalium Klorida Sebagai Sumber Pupuk Kalium pada Tanaman Bawang Merah .J.Hort. Vol.19, No. 2 : 174-85 Hidayat, A dan Rosliani, R. 2003. Pengaruh Jarak Tanam dan Ukuran 38
Umbi Bibit Bawang Merah terhadap Hasil dan Distribusi Ukuran Umbi Bawang Merah. Laporan Hasil Penelitian, Balai Penelitian Tanaman Sayuran. Lembang. Joelbahri. 2010. Pengaruh Dosis Arang Sekam dan Pupuk Kalium terhadap Pertumbuhan dan Hasil Bawang Merah.Universitas Muhamadiyah Purwokerto. Morozowska, M., and Roman Holobowicz. 2004. Effect Of Bulb Size On Selected Morphological Characteristic Of Seed Stalks, Seed Yield And Quality Of Onion (Allium cepa L.) Seeds. Folia Horticulture. Ann. 21/1, 2009. 27-38. Mozumder S.N., Moniruzzaman M. dan Halim G.M.A. 2007. Effect of N, K and S on The Yield and Stability of Transplanted Onion (Allium cepa L.) in The Hilly Region.J.Agric Rural Dev 5(1&2) : 58-63. Napitupuli, D., dan L. Winarto. 2010. Pengaruh Pembenrian Pupuk N Dan K Terhadap Pertumbuhan Dan Produksi Bawang Merah. J. Hort. 20(1):27-35 Poornima K.S. 2007.Effect of Potassium and Sulphur on Yield and Quality of Onion and Chilli Intercrops in a Vertisol. University of Agricultural Sciences, Dharwad – 580 005. Rosliani, R., Suwandi, dan N. Sumarni. 2005. Pengaruh Waktu Tanam dan Zat Pengatur Tumbuh Mepiquat Klorida terhadap Pembungaan dan Pembijian Bawang Merah (TSS). J. Hort.15(3): 208-214. Rukmana Nana. 1994. Budidaya Dan Pasca Panen Bawang Merah. Penebar Swadaya. Salisburry, F. B., dan C. W. Ross. 1994. Fisiologi Tumbuhan (Terjemahan). ITB, Bandung. Samsudin, U. S. 1979. Bawang Merah. Bina Cipta, Bandung. Singgih Wibowo. 2009. Budidaya Bawang. Penebar Swadaya. Depok. Stallen, MPH dan Hilman, Y. 1991.Effect of Plant Density and Bulb Size on Yield and Quality of Shallots. Bul. Penel. Hort., vol. 20, no 1, pp. 117-25. Sufyati, Y., Said Irman AK., dan Fikrinda. 2006. Pengaruh Ukuran Fisik Dan AGROSWAGATI | Nomor 1 | Volume 3| November 2015
Bobot Bibit dan Dosis Kalium Pada Bawang Merah Jumlah Umbi Perlubang Terhadap Pertumbuhan Dan Hasil Bawang Merah (Allium ascalonicum L.). J. Floratek 2: 43-54. Sumarni, N dan Hidayat, A. 2005. Budidaya Bawang Merah. PanduanTeknis PTT Bawang Merah No. 3. Balai Penelitian Tanaman dan Sayuran. Sumarni, N., Rosliani, R. dan Suwandi. 2012. Optimasi Jarak Tanam dan Pupuk NPK untuk Produksi Bawang Merah dari Benih Umbi Mini di Dataran Tinggi. J. Hort. 22(2):148-155. Sumarni, N., Rosliani, R., Basuki, RS.,dan Hilman, Y. 2012. Pengaruh Varietas, Status K-Tanah, dan Dosis Pupuk Kalium terhadap Pertumbuhan, Hasil Umbi, dan Serapan Hara K Tanaman Bawang Merah. J. Hort. 22(3):233-241. Sumiati, E., dan Gunawan, O. S. 2007. Aplikasi Pupuk Hayati Mikoriza Untuk Meningkatkan Serapan Unsur Hara NPK Serta Pengaruhnya Terhadap Hasil Dan Kualitas Hasil Bawang Merah. J. Hort., vol.17, no. 1, hlm. 34-42. Sutono S., W. Hartatik, dan J. Purnomo. 2007. Penerapan Teknologi Pengelolaan Air dan Hara Terpadu untuk Bawang Merah di Donggala. Balai Penelitian Tanah. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 41 Halaman. Vincent Gaspersz. 1994. Metode Perancangan Percobaan. Penerbit Armico. Bandung. Woldetsadik, Keber. 2003. Shallot (Allium cepa var. ascolonicum) Response To Plant Nutriens And Soil Mousture A Sub-Humid Tropical Climate. Thesis Doctoral Swedish University Of Agricultural Science Alnarp. 28 p.
AGROSWAGATI | Nomor 1 | Volume 3| November 2015
39
PENGARUH APLIKASI BEBERAPA PUPUK ORGANIK PABRIKAN DAN JUMLAH BIBIT PER LUBANG TERHADAP SERAPAN N, PERTUMBUHAN, DAN HASIL TANAMAN PADI (Oryza sativa L.) VARIETAS INPARI 19 The Effect of Some Applications of Organic Fertilizer Manufacturing and Number of seeds per hole on N Uptake, the Growth and Yield Rice (Oryza sativa L.) Varieties Inpari 19 Oleh : Nurkholis Khasan1
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui : (1) pengaruh interaksi antara aplikasi beberapa pupuk organik pabrikan dan jumlah bibit per lubang terhadap serapan N, pertumbuhan, dan hasil tanaman padi (Oryza sativa L.) Varietas Inpari 19 (2) pupuk organik apa dan jumlah bibit berapa yang menghasilkan serapan N, pertumbuhan, dan hasil padi (Oryza sativa L.) Varietas Inpari 19 terbaik, dan (3) korelasi antara komponen pertumbuhan dengan hasil padi (Oryza sativa L.) Varietas Inpari 19. Penelitian dilaksanakan di lahan sawah Desa Sumuradem Timur Kecamatan Sukra Kabupaten Indaramayu Propinsi Jawa Barat, dari bulan Juli sampai dengan bulan Oktober 2013. Metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK), pola faktorial. Penelitian terdiri dari dua faktor perlakuan, yaitu pupuk organik pabrikan dan jumlah bibit per lubang yang diulang 3 kali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa : (1) terdapat pengaruh interaksi antara aplikasi beberapa pupuk organik pabrikan dan jumlah bibit per lubang terhadap tinggi tanaman per rumpun 3 dan 5 Minggu Setelah Pindah Tanam, jumlah anakan per rumpun umur 3 dan 7 MSPT, jumlah anakan produktif, dan gabah kering panen per petak. Aplikasi beberapa pupuk organik pabrikan dan jumlah bibit per lubang secara mandiri berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman per rumpun umur 7 MSPT dan jumlah bulir per malai, (2) perlakuan Pupuk Kujang atau Pupuk Petroganik 500 kg/ha dan 1 bibit per lubang memberikan hasil yang terbaik untuk gabah kering panen per petak sebesar 7,47 kg/petak (9,96 ton/ha) dan 7,45 kg/petak (9,93 ton/ha), (3) tidak terdapat hubungan positif yang signifikan nyata antara tinggi tanaman dan jumlah anakan per petak dengan hasil gabah kering giling per petak. Kata Kunci : padi, pupuk organik pabrikan, jumlah bibit per lubang, serapan N, pertumbuhan, hasil
PENDAHULUAN1 Padi (Oryza sativa L.) merupakan komoditi pangan yang mendapat prioritas utama dalam pembangunan pertanian sebab padi merupakan bahan makanan pokok bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Seiring dengan peningkatan penduduk dan perubahan menu dari non beras ke beras, maka kebutuhan akan beras di negara kita juga terus meningkat. Untuk 1
Mahasiswa Program Pascasarjana Program Studi Agronomi Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon
mengimbangi dan mengatasi kebutuhan beras yang terus meningkat maka diperlukan upaya keras dalam peningkatan produksi beras baik kualitas maupun kuantitas. Salah satu alternatif dalam penyelesaian masalah penurunan produktifitas lahan dan kelangkaan pupuk adalah sistem pemupukan terpadu dimana penggunaan pupuk anorganik dikurangi dengan penambahan pupuk organik dalam komposisi pemupukan. Produksi padi di Indonesia menemui kendala dalam bidang
Pupuk Organik Pabrikan dan Jumlah Bibit Perlubang Pada Tanaman Padi produktivitas. Produktivitas padi semakin lama semakin menurun, disebabkan beberapa faktor diantaranya : berkurangnya luasan areal penanaman padi yang semakin menyempit, penggunaan pupuk anorganik yang berlebihan dan kendala serangan hama dan penyakit yang ditimbulkan oleh keadaan perubahan iklim yang ekstrim. Maka dibutuhkan teknologi cara penanaman padi yang lebih inovatif sehingga dapat mempertahankan dan meningkatkan produktivitas padi sekaligus mengendalikan organisme pengganggu tanaman padi. Penggunaan jumlah tanam perlubang yang baik untuk tanaman padi di petani masih belum banyak yang mengetahui berapa bibit yang baik untuk perlubangnya, apabila semua petani mengetahui dan memakai jumlah tanam perlubang yang baik maka akan membantu produksi tanaman . Permasalahan lain di lapangan yaitu kurangnya petani dalam penggunaan pupuk organik. Padahal jika pupuk organik digunakan dapat mengurangi input pupuk anorganik yang diberikan ke areal pertanian, lebih ramah lingkungan, akan sangat mendukung terhadap pemulihan kesehatan tanah dan kesehatan pengguna produknya. Pupuk organik bukan sebagai pengganti pupuk anorganik tetapi sebagai komplementer. Pupuk organik dapat mensuplai sebagian hara tanaman. Dengan demikian pupuk organik harus digunakan secara terpadu dengan pupuk anorganik untuk meningkatkan produktivitas tanah dan tanaman secara berkelanjutan dan ramah lingkungan. Oleh karena itu penggunaan pupuk kimia buatan yang tidak diimbangi dengan pemberian pupuk organik dapat merusak struktur tanah dan mengurangi aktivitas biologi tanah. Hasrizart, I (2008), mengungkapkan bahwa metode penanaman padi dengan pemakaian bibit yang lebih sedikit yaitu satu bibit perlubang tanam mampu memberikan hasil panen yang jauh lebih tinggi dari pada metode tradisional menanam 3 bibit per lubang tanam. Penelitian ini juga sejalan dengan metode SRI (System Rice of Intensification) yang 42
menerapkan teknologi penanaman satu bibit per lubang tanam dengan umur 7 hari setelah semai memberikan jumlah anakan lebih banyak bila dibandingkan dengan penanaman konvensional 7 bibit per lubang. BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan di Desa Sumuradem Timur Kecamatan Sukra Kabupaten Indramayu Propinsi Jawa Barat. Lokasi tersebut terletak pada ketinggian 100 m di atas permukaan laut, jenis tanah aluvial dengan derajat kemasaman (pH) 5,30. Percobaan dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan November 2013. Bahan-bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah 3 pupuk Kujang, pupuk Petroganik, pupuk Kuda laut, Furadan, Sandovin 85 WP, Runner, fungisida Dithane M-45, phonska, dan padi varietas Inpari 19. Rancangan yang digunakan adalah metode eksperimen dengan Rancangan Acak Kelompok (RAK). Penelitian ini terdiri dari dua faktor yaitu sistim tanam Legowo dan aplikasi kompos jerami. Faktor pertama pupuk organik pabrikan (O) terdiri dari tiga taraf : O1 (500 kg/ha pupuk Kujang), O2 (500 kg/ha pupuk Petroganik), K3 (500 kg/ha pupuk Kuda Laut). Faktor jumlah bibit per lubang (B) terdiri dari tiga taraf : B1 (1 bibit per lubang), B2 (2 bibit per lubang), B3 (3 bibit per lubang). Setiap perlakuan atau satuan percobaan diulang tiga kali sehingga jumlah keseluruhan terdapat 27 petak. Pengolahan tanah pertama dilakukan pada 15 hari sebelum tanam. Pengolahan tanah kedua pada 10 hari sebelum tanam. Pengolahan tanah ke 3 dilakukan 3 hari sebelum waktu tanam. Setelah pengolahan tanah selesai, kemudian dibuat petak-petak yang ukurannya 3 m x 2 m, jarak antar petak 50 cm, dan jarak antar ulangan 100 cm yang digunakan untuk saluran pembuangan air drainase. Pupuk dasar menggunakan jenis pupuk organik pada setiap petak sesuai perlakuan penelitian, dengan dosis 500 kg/ha diberikan saat tanam. Bibit yang sudah disemai selama 15 HST, kemudian dipindahtanamkan pada lahan yang sudah AGROSWAGATI | Nomor 1 | Volume 3| November 2015
Pupuk Organik Pabrikan dan Jumlah Bibit Perlubang Pada Tanaman Padi disiapkan. Jarak tanam 25 cm x 25 cm dan jumlah bibit per lubang disesuaikan dengan perlakuan penelitian. Pupuk yang digunakan dalam percobaan ini adalah pupuk organik pabrikan sesuai dengan perlakuan dan pupuk phonska 200 kg/ha. Parameter yang diamati meliputi serapan N, tinggi tanaman per rumpun, jumlah anakan per rumpun, jumlah anakan produktif per rumpun, Laju Pertumbuhan Tanaman, panjang malai, jumlah bulir padi per malai, dan gabah kering panen per petak. Analisis data dilakukan menggunakan sidik ragam dan uji lanjutan dengan Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5 %. Setelah itu dilakukan Uji Korelasi dengan analisa Uji t Product Moment antara komponen pertumbuhan dan serapan K dengan hasil tanaman padi. HASIL DAN PEMBAHASAN Serapan N Pada pengamatan serapan N, secara mandiri perlakuan aplikasi beberapa pupuk organik dan jumlah bibit per lubang tidak menunjukkan pengaruh yang nyata. Dari analisa tanah yang dilakukan sebelum percobaan menunjukkan bahwa kandungan N-total dalam tanah sedang (0,36 %), sehingga untuk menambah serapan N pada tanaman dibutuhkan dosis pupuk organik yang lebih tinggi lagi. Tabel 1. Pengaruh Aplikasi Beberapa Pupuk Organik Pabrikan dan Jumlah Bibit per Lubang Terhadap Serapan N (g/1 tanaman) Perlakuan Serapan N Pupuk Organik Pabrikan (O) : O1 (Pupuk Kujang ) 0,685 a O2 (Pupuk Petroganik) 0,703 a O3 (Pupuk Kuda Laut ) 0,645 a Jumlah Bibit (B) : B1 (1 Bibit per Lubang) 0,724 a B2 (2 Bibit per Lubang) 0,633 a B3 (3 Bibit per Lubang) 0,676 a Keterangan : Angka rata-rata yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama berbeda tidak nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5%.
AGROSWAGATI | Nomor 1 | Volume 3| November 2015
Tinggi Tanaman Pemberian Pupuk Petroganik 500 kg/ha yang dikombinasikan 1 bibit per lubang memberikan tinggi tanaman umur 3 MSPT tertinggi dan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Perbedaan tinggi tanaman ini berkaitan dengan fungsi nitrogen yang terkandung dalam Pupuk Petroganik mempunyai kemampuan dalam mensuplai hara, meningkatkan kapasitas tukar kation, mensuplai asam-asam seperti asam humat dan asam sulfat (PT Petrokimia Gresik, 2012). Tabel 2. Pengaruh Aplikasi Beberapa Pupuk Organik Pabrikan dan Jumlah Bibit per Lubang Terhadap Tinggi Tanaman Umur 3 MSPT Tinggi Tanaman Umur 3 MSPT (cm) B1 (1 bibit/ B2 (2 bibit/ B3 (3 bibit/ Perlakuan lubang) lubang) lubang) O1 29,67 b 27,33 a 27,00 a (Pupuk A A A Kujang) O2 30,00 b 25,00 a 27,00 a (Pupuk B A A Petroganik) O3 25,00 a 28,00 a 28,33 a (Pupuk A B B Kuda Laut)
Keterangan : Angka rata-rata yang diikuti huruf kecil yang sama pada kolom dan huruf besar yang sama pada baris yang sama berbeda tidak nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5%.
Terjadi interaksi antara aplikasi beberapa pupuk organik pabrikan dan jumlah bibit per lubang terhadap tinggi tanaman umur 5 MSPT. Kekurangan nitrogen akan menghambat tingkat pertumbuhan pada tanaman padi, karena fase pertumbuhan tanaman padi membutuhkan nitrogen yang terkandung dalam Pupuk Petroganik untuk proses pertumbuhannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Subandi (1988), bahwa tanaman padi yang kekurangan unsur nitrogen akan memperlihatkan pertumbuhan yang kurang.
43
Pupuk Organik Pabrikan dan Jumlah Bibit Perlubang Pada Tanaman Padi Tabel 2. Pengaruh Aplikasi Beberapa Pupuk Organik Pabrikan dan Jumlah Bibit per Lubang Terhadap Tinggi Tanaman Umur 5 MSPT Tinggi Tanaman Umur 5 MSPT (cm) B1 (1 bibit/ B2 (2 bibit/ B3 (3 bibit/ Perlakuan lubang) lubang) lubang) O1 56,32 a 55,24 a 54,29 a (Pupuk A A A Kujang) O2 54,23 a 54,17 a 61,71 b (Pupuk A A B Petroganik) O3 57,48 a 58,09 a 52,82 a (Pupuk B B A Kuda Laut)
Keterangan : Angka rata-rata yang diikuti huruf kecil yang sama pada kolom dan huruf besar yang sama pada baris yang sama berbeda tidak nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5%.
Selain itu 1 bibit per lubang memberikan tinggi tanaman yang tinggi, hal ini disebabkan oleh karakteristik khusus yang dimiliki setiap varietas dalam pertumbuhan dan perkembangannya di lapangan, termasuk kemampuannya dalam beradaptasi dengan kondisi lingkungan tempat tumbuhnya (Rudi Priyadi Randriamiharisoa, 2002). Secara mandiri aplikasi beberapa pupuk organik pabrikan dan jumlah bibit per lubang berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman umur 7 MSPT. Hal ini disebabkan karena Pupuk Petroganik memiliki keunggulan memperbaiki struktur dan tata udara tanah sehingga penyerapan unsur hara oleh akar tanaman menjadi lebih baik sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman khususnya tinggi tanaman (PT Petrokimia Gresik, 2012). Tabel 3. Pengaruh Aplikasi Beberapa Pupuk Organik Pabrikan dan Jumlah Bibit per Lubang Terhadap Tinggi Tanaman Umur 7 MSPT
Perlakuan
Tinggi Tanaman Umur 7 MSPT (cm)
Pupuk Organik Pabrikan (O) :
O1 (Pupuk Kujang ) O2 (Pupuk Petroganik) O3 (Pupuk Kuda Laut ) 44
88,89 a 93,00 b 90,44 a
Jumlah Bibit (B) : B1 (1 Bibit per Lubang) 91,22 a B2 (2 Bibit per Lubang) 91,00 a B3 (3 Bibit per Lubang) 90,11 a Keterangan : Angka rata-rata yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama berbeda tidak nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5%.
Jumlah Anakan per Rumpun Dosis 500 kg/ha Pupuk Petroganik sudah memenuhi kebutuhan unsur hara makro dan mikro yang dibutuhkan oleh tanaman padi yang dapat meningkatkan jumlah anakan. Pinus Lingga (2003) menambahkan bahwa pucuk-pucuk muda tanaman sangat peka terhadap pemakaian konsentrasi pupuk organik yang tinggi. Penanaman 1 bibit per lubang tanam, sebelum keluar anakan pertama tumbuh pada batang primer, tanaman tersebut mempunyai waktu untuk recovery atau kembali menstabilkan diri di lapangan akhirnya anakan yang terbentuk akan maksimal. Tabel 4. Pengaruh Aplikasi Beberapa Pupuk Organik Pabrikan dan Jumlah Bibit per Lubang Terhadap Jumlah Anakan per Rumpun Umur 3 MSPT Jumlah Anakan per Rumpun Umur 3 MSPT B1 (1 B2 (2 B3 (3 Perlakuan bibit/ bibit/ bibit/ lubang) lubang) lubang) 25,33 a 23,33 a 24,67 a O1 (Pupuk A A A Kujang) a 23,67 a O2 28,67 b 24,33 (Pupuk A A B Petroganik) 24,00 a 25,67 a 23,67 a O3 (Pupuk A A A Kuda Laut) Keterangan : Angka rata-rata yang diikuti huruf kecil yang sama pada kolom dan huruf besar yang sama pada baris yang sama berbeda tidak nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5%.
Pada awal pertumbuhan pupuk nitrogen tidak memberikan pengaruh terhadap jumlah anakan per rumpun. Hal ini diduga akar tanaman belum mampu menyerap unsur hara dari pupuk nitrogen AGROSWAGATI | Nomor 1 | Volume 3| November 2015
Pupuk Organik Pabrikan dan Jumlah Bibit Perlubang Pada Tanaman Padi yang diberikan, sehingga tinggi tanaman relatif sama. Tanaman padi dapat menggunakan N baik yang berasal dari pupuk buatan ataupun yang berasal dari bahan alami. Tabel 5. Pengaruh Aplikasi Beberapa Pupuk Organik Pabrikan dan Jumlah Bibit per Lubang Terhadap Jumlah Anakan per Rumpun Umur 5 MSPT Perlakuan
Jumlah Anakan Umur 5 MSPT
Pupuk Organik Pabrikan (O) : O1 (Pupuk Kujang ) 22,44 a O2 (Pupuk Petroganik) 24,33 a O3 (Pupuk Kuda Laut ) 23,22 a Jumlah Bibit (B) : B1 (1 Bibit per Lubang) 24,22 a B2 (2 Bibit per Lubang) 23,56 a B3 (3 Bibit per Lubang) 22,22 a Keterangan : Angka rata-rata yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama berbeda tidak nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5%.
Pemberian pupuk organik pada tanaman padi ini diperkirakan akan mempercepat sintesis asam amino dan protein sehingga mempercepat pertumbuhan tanaman. Hal ini sesuai dengan pendapat Rao (1994) dan Poerwowidodo (1992) yang mengatakan bahwa pupuk organik mengandung unsur kalium yang berperan penting dalam setiap proses metabolisme tanaman, yaitu dalam sintesis asam amino dan protein dari ionion amonium serta berperan dalam memelihara tekanan turgor dengan baik sehingga memungkinkan lancarnya prosesproses metabolisme dan menjamin kesinambungan pemanjangan sel. Tabel 6. Pengaruh Aplikasi Beberapa Pupuk Organik Pabrikan dan Jumlah Bibit per Lubang Terhadap Jumlah Anakan per Rumpun Umur 7 MSPT Jumlah Anakan per Rumpun 7 MSPT B1 (1 B2 (2 B3 (3 Perlakuan bibit/ bibit/ bibit/ lubang) lubang) lubang) 24,00 a 24,67 a 25,33 a O1 (Pupuk A A A Kujang) a 24,67 a O2 29,00 b 23,00
AGROSWAGATI | Nomor 1 | Volume 3| November 2015
(Pupuk A A B Petroganik) 24,67 a 24,67 a 24,00 a O3 (Pupuk A A A Kuda Laut) Keterangan : Angka rata-rata yang diikuti huruf kecil yang sama pada kolom dan huruf besar yang sama pada baris yang sama berbeda tidak nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5%.
Jumlah Anakan Produktif per Rumpun Penanaman satu bibit perlubang tanam menunjukan karakteristik fisiologi perkembangan akar lebih baik sehingga kandungan gula terlarut, nitrogen non protein, dan prolin pada daun meningkat sehingga tanaman tersebut lebih tahan terhadap kekeringan dan anakan yang terbentuk lebih banyak (Shao-hua, dkk, 2002 dalam Aktaviyani, S dan T.S Syamsudin, 2008 ). Menurut Pinus Lingga dan Marsono (2001) bahwa pemberian pupuk organik pada tanaman dapat mempercepat pembungaan, perkembangan biji dan buah, membantu pembentukan karbohidrat, protein, lemak dan berbagai persenyawaan lainnya, serta membantu asimilasi dan pernapasan bagi tanaman. Tabel 7. Pengaruh Aplikasi Beberapa Pupuk Organik Pabrikan dan Jumlah Bibit per Lubang Terhadap Jumlah Anakan Produktif per Rumpun Jumlah Anakan Produktif per Rumpun B1 (1 B2 (2 B3 (3 Perlakuan bibit/ bibit/ bibit/ lubang) lubang) lubang) 23,00 a 22,67 a 23,00 a O1 (Pupuk A A A Kujang) a 24,33 a O2 28,00 b 22,67 (Pupuk A A B Petroganik) 23,33 a 23,67 a 24,00 a O3 (Pupuk A A A Kuda Laut) Keterangan : Angka rata-rata yang diikuti huruf kecil yang sama pada kolom dan huruf besar yang sama pada baris yang sama berbeda tidak nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5%.
45
Pupuk Organik Pabrikan dan Jumlah Bibit Perlubang Pada Tanaman Padi Panjang Malai Pada pengamatan panjang malai, secara mandiri perlakuan aplikasi beberapa pupuk organik dan jumlah bibit per lubang tidak menunjukkan pengaruh yang nyata. Kekurangan nitrogen akan menghambat tingkat pertumbuhan malai pada tanaman padi, karena fase pertumbuhan malai pada tanaman padi membutuhkan nitrogen untuk proses pertumbuhannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Subandi (1988), bahwa tanaman padi yang kekurangan unsur nitrogen akan memperlihatkan pertumbuhan yang kurang. Tabel
8. Pengaruh Aplikasi Beberapa Pupuk Organik Pabrikan dan Jumlah Bibit per Lubang Terhadap Panjang Malai
Perlakuan
Jumlah Bulir Padi per Malai
Pupuk Organik Pabrikan (O) : O1 (Pupuk Kujang ) 226,34 b O2 (Pupuk Petroganik) 229,35 c O3 (Pupuk Kuda Laut ) 224,53 a Jumlah Bibit (B) : B1 (1 Bibit per Lubang) 229,88 c B2 (2 Bibit per Lubang) 226,78 b B3 (3 Bibit per Lubang) 223,57 a Keterangan : Angka rata-rata yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama berbeda tidak nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5%.
Penanaman 1 bibit per lubang tanam, sebelum keluar anakan pertama Perlakuan Panjang Malai tumbuh pada batang primer, tanaman tersebut mempunyai waktu untuk recovery Pupuk Organik Pabrikan (O) atau kembali menstabilkan diri di lapangan : akhirnya anakan yang terbentuk akan 27,47 a O1 (Pupuk Kujang ) maksimal. Anakan pertama tumbuh pada 28,11 a O2 (Pupuk Petroganik) kondisi yang terbaik, sehingga terbentuk 26,33 a O3 (Pupuk Kuda Laut ) anakan yang banyak dan rumpun yang Jumlah Bibit (B) : besar (Vallois dkk., 2000). 28,27 a B1 (1 Bibit per Lubang) Gabah Kering Panen per Petak 26,42 a B2 (2 Bibit per Lubang) Pengaruh interaksi terdapat pada 27,22 a B3 (3 Bibit per Lubang) perlakuan Pupuk Kujang 500 kg/ha yang Keterangan : Angka rata-rata yang diikuti dikombinasikan 1 bibit per lubang (O1B1) huruf yang sama pada kolom dan perlakuan Pupuk Petroganik 500 yang sama berbeda tidak nyata kg/ha yang dikombinasikan 1 bibit per menurut Uji Jarak Berganda lubang (O2B1) memberikan gabah kering Duncan pada taraf 5%. panen tertinggi dan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Gabah kering panen per Jumlah Bulir Padi per Malai perka perlakuan O1B1 yaitu 7,47 kg/petak Pupuk Petroganik bermanfaat atau setara dengan 9,96 ton/ha dengan untuk memperbaiki struktur dan tata udara asumsi 80 % lahan efektif, sedangkan tanah sehingga penyerapan unsur hara gabah kering panen per petak perlakuan oleh akar tanaman menjadi lebih baik dan O2B1 yaitu 7,45 kg/petak atau setara meningkatkan daya sangga air tanah dengan 9,93 ton/ha dengan asumsi 80 % sehingga ketersediaan air dalam tanah lahan efektif. menjadi lebih baik, sehingga tanaman padi dapat menyerap unsur hara dan air menjadi lebih optimal.
Tabel
46
9. Pengaruh Aplikasi Beberapa Pupuk Organik Pabrikan dan Jumlah Bibit per Lubang Terhadap Jumlah Bulir Padi per Malai AGROSWAGATI | Nomor 1 | Volume 3| November 2015
Pupuk Organik Pabrikan dan Jumlah Bibit Perlubang Pada Tanaman Padi Tabel 10. Pengaruh Aplikasi Beberapa Pupuk Organik Pabrikan dan Jumlah Bibit per Lubang Terhadap Gabah Kering Panen Gabah Kering Panen (kg) B1 (1 B2 (2 B3 (3 Perlakuan bibit/ bibit/ bibit/ lubang) lubang) lubang) 5,41 a 5,70 O1 7,47 b (Pupuk A A B Kujang) 6,51 a 6,50 O2 7,45 b (Pupuk A A B Petroganik) 6,32 a 6,32 a 6,73 O3 (Pupuk A A A Kuda Laut) Keterangan : Angka rata-rata yang diikuti huruf kecil yang sama pada kolom dan huruf besar yang sama pada baris yang sama berbeda tidak nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5%.
Pada dosis Pupuk Kujang dan Pupuk Petroganik yang dianjurkan dapat memberikan unsur hara yang cukup sesuai dengan kebutuhan dan perkembangannya. Dwijosaputro (1990) menyatakan bahwa tanaman akan tumbuh dengan baik apabila unsur hara yang diberikan berada dalam jumlah yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan tanaman. Sistem budidaya padi sawah umumnya memakai bibit 3-7 bibit perlubang tanam, terjadi persaingan unsur hara dan ruang gerak untuk perkembangan akar dan anakan yang pada akhirnya produktifitas rendah (Uphoff, 2001). Analisis Korelasi Antara Komponen Pertumbuhan dan Hasil Analisis korelasi menunjukkan bahwa tidak terdapat korelasi/ hubungan antara tinggi tanaman dengan hasil gabah kering panen per petak. Dari analisa tanah yang dilakukan sebelum percobaan menunjukkan bahwa kandungan N-total dalam tanah sedang (0,36 %), sehingga untuk menambah serapan N pada tanaman dibutuhkan dosis pupuk organik yang lebih tinggi lagi. Karena bahan organik dapat membantu dalam proses mineralisasi dan akan melepaskan hara tanaman yang lengkap (N, P, K, Ca, Mg, S, serta hara mikro) dalam jumlah tidak tentu AGROSWAGATI | Nomor 1 | Volume 3| November 2015
dan relatif kecil (Afandie Rosmarkam dan Nasih Widya Yuwono, 2002). Tabel 11. Hasil Analisis Korelasi Antara Tinggi Tanaman dengan Gabah Kering Panen per Petak Uraian Nilai r Kategori r Nilai r² Nilai t Nilai t₀,₀₂₅₍30₎ Kesimpulan
Tinggi Tanaman 5 MSPT 0,198 Sangat Rendah Rendah 0,130 0,039 1,932 1,009
3 MSPT 0,360
7 MSPT 0,196 Sangat Rendah 0,038 0,998
2,060
2,060
2,060
Tidak Nyata
Tidak Nyata
Tidak Nyata
Analisis korelasi menunjukkan bahwa tidak terdapat korelasi/ hubungan antara jumlah anakan per rumpun dengan hasil gabah kering panen per petak. Anakan yang banyak belum tentu semuanya menghasilkan malai, dan anakan yang menghasilkan malai itu disebut dengan anakan produktif. Secara teoritis, semakin banyak jumlah anakan produktif per satuan luas, maka semakin banyak jumlah malai per satuan luas, dengan bulirbulirnya yang terbentuk pada malai-malai tersebut. Menurut Sumartono, dkk. (1994), jumlah anakan produktif ditentukan oleh jumlah anakan yang tumbuh sebelum mencapai fase primordia. Namun, kemungkinan ada peluang bahwa anakan yang membentuk malai terakhir, bisa saja tidak akan menghasilkan malai yang bulirbulirnya terisi penuh semuanya,sehingga berpeluang menghasilkan gabah hampa. Tabel 12. Hasil Analisis Korelasi Antara Jumlah Anakan per Rumpun dengan Gabah Kering Panen per Petak Uraian Nilai r Kategori r Nilai r² Nilai t Nilai t₀,₀₂₅₍30₎ Kesimpulan
Jumlah Anakan per Rumpun 3 MSPT 5 MSPT 7 MSPT 0,307 0,198 0,281 Sangat Rendah Rendah Rendah 0,094 0,039 0,079 1,611 1,009 1,463 2,060
2,060
2,060
Tidak Nyata
Tidak Nyata
Tidak Nyata 47
Pupuk Organik Pabrikan dan Jumlah Bibit Perlubang Pada Tanaman Padi Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tinggi tanaman dan jumlah anakan per rumpun bukan merupakan indikasi adanya peningkatan terhadap gabah kering panen per petak. Maka, jika semakin tinggi jumlah anakan per rumpun dan tinggi tanaman tidak diikuti dengan meningkatnya hasil tanaman padi. 1.
2.
3.
1.
2.
48
KESIMPULAN Terdapat pengaruh interaksi antara aplikasi beberapa pupuk organik pabrikan dan jumlah bibit per lubang terhadap tinggi tanaman pada umur 3 dan 5 MSPT, jumlah anakan per rumpun pada umur 3 dan 7 MSPT, jumlah anakan produktif per rumpun, dan gabah kering panen per petak. Aplikasi pupuk organik pabrikan dan jumlah bibit per lubang secara mandiri berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman per rumpun pada umur 7 MSPT dan jumlah bulir per malai. Perlakuan Pupuk Kujang atau Pupuk Petroganik dengan jumlah 1 bibit per lubang tanam memberikan hasil yang terbaik untuk gabah kering panen per petak sebesar 7,47 kg/petak (9,96 ton/ha) dan 7,45 kg/petak (9,93 ton/ha). Tidak terdapat hubungan positif yang signifikan antara tinggi tanaman dan jumlah anakan per petak dengan hasil gabah kering giling per petak. SARAN Untuk memperbaiki pertumbuhan dan meningkatkan hasil padi, disarankan menggunakan Pupuk Kujang dengan takaran 500 kg/ha dan jumlah 1 bibit per lubang tanam. Penelitian ini perlu dilanjutkan untuk mengetahui secara tepat Pupuk Kujang atau Pupuk Petroganik dan jumlah bibit per lubang yang tepat dalam rangka meningkatkan produksi tanaman padi, pada daerah yang berbeda, dan varietas padi yang berbeda.
DAFTAR PUSTAKA Afandie Rosmarkam dan Nasih Widya Yuwono. 2002. Ilmu Kesuburan Tanah. Kanisius, Yogyakarta. Aktaviyani, S dan T.S Syamsudin. 2008. “Pertanian Padi Organik Sebagai Salah Satu Solusi Menuju Terwujudnya Ketahanan Pangan dan Kesehatan Masayarakat”. Prosiding Simposium Nasional Mahasiswa Pascasarjana Tahun 2008 Tema: 100 tahun Kebangkitan Nasional dalam berbagai perspektif. Yogyakarta, halaman 311-320. Dwijosaputro, D. 1990. Pengantar Fisiologi Tumbuhan. Gramedia, Jakarta. Hanizart, I. 2008. Pertumbuhan dan Prosuksi Beberapa Varietas Padi Sawah (Oryza sativa L.) Pada Persiapan Tanah dan Jumlah Bibit yang Berbeda. Pinus Lingga. 2003. Petunjuk Penggunaan Pupuk. Penebar Swadaya. Jakarta. Poerwowidodo. 1992. Telaah Kesuburan Tanah. Penerbit Angkasa. Bandung. PT Petrokimia Gresik. 2012. Pupuk Organik Petroganik. http://www.petrokimiagresik.com. Diakses 15 Maret 2013. Rao, S. 1994. Mikroorganisme dan Pertumbuhan Tanaman. Universitas Indonesia, Jakarta. Rudi Priyadi Randriamiharisoa. 2002. Research Result on Biological Nitrogren Fixation with the System of Rice Intensification. Proceedings International Conference Assessments of System of Rice Intensification, Uphoff, N., Fernandes, E.C.M., Editor, Sanya, CIIFAD, 40-46. Subandi. 1988. Padi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan Bogor. Sumartono, B. Samad dan R. Hardjono. 1994. Bercocok Tanam Padi. Cetakan 12. CV. Yasaguna, Jakarta. Uphoff, N. 2001. Initial Report on China National SRI Workshop. Hangzhon. Vallois, P, Upphoff, and A. Colli ck. 2000. Malagasy System of Rice Intensification (SRI). Early Rice Planting System. Miscellaneou. V.1.3I.P.N.R.
AGROSWAGATI | Nomor 1 | Volume 3| November 2015
PENGARUH KONSENTRASI PUPUK ORGANIK CAIR CHITOSAN TERHADAP BINTIL AKAR, PERTUMBUHAN, DAN HASIL TIGA KULTIVAR TANAMAN KEDELAI (Glycine max L. Merrill) The Effect of Chitosan Concentration of Liquid Organic Fertilizer on Growth and Yield of Three Cultivars of Soybean Plants (Glycine max L. Merrill) Oleh Rachmat Indrianto
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui : (1) mengetahui pengaruh konsentrasi pupuk organik cair Chitosan terhadap bintil akar, pertumbuhan, dan hasil tiga kultivar tanaman kedelai (Glycine max L. Merrill) (2) mengetahui kombinasi konsentrasi pupuk organik cair Chitosan dan kultivar yang terbaik pengaruhnya terhadap bintil akar, pertumbuhan, dan hasil tanaman kedelai (Glycine max L. Merrill), dan (3) mengetahui korelasi antara komponen pertumbuhan dan bintil akar dengan hasil tanaman kedelai (Glycine max L. Merrill). Penelitian dilaksanakan di UPTD Balai Pengembangan Benih Palawija (BPBP) di Plumbon Cirebon Jawa Barat, dari bulan Maret sampai dengan bulan Juni 2014. Metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK). Percobaan ini terdiri dari 12 kombinasi perlakuan konsentrasi pupuk organik cair Chitosan dan kultivar kedelai yang masing-masing diulang tiga kali, sehingga terdapat 36 petak percobaan. Kombinasi perlakuan yang diuji di lapangan adalah : A (1 ml/1 liter air dan Kultivar Anjasmoro), B (1 ml/1 liter air dan Kultivar Argomulyo), C (1 ml/1 liter air dan Kultivar Grobogan), D (3 ml/1 liter air dan Kultivar Anjasmoro), E (3 ml/1 liter air dan Kultivar Argomulyo), F (3 ml/1 liter air dan Kultivar Grobogan), G (5 ml/1 liter air dan Kultivar Anjasmoro), H (5 ml/1 liter air dan Kultivar Argomulyo), I (5 ml/1 liter air dan Kultivar Grobogan), J (7 ml/1 liter air dan Kultivar Anjasmoro), K (7 ml/1 liter air dan Kultivar Argomulyo), dan L (7 ml/1 liter air dan Kultivar Grobogan). Hasil penelitian menunjukkan bahwa : (1) terdapat pengaruh yang nyata terhadap tinggi tanaman umur 49 dan 56 HST, jumlah daun trifoliate per rumpun umur 56 dan 63 HST, bobot bintil akar per tanaman umur 63 HST, jumlah bintil akar per tanaman umur 63 HST, biomassa kering tanaman umur 63 HST, Laju Pertumbuhan Tanaman umur 49 sampai 56 HST, jumlah polong per rumpun, bobot polong kering per rumpun, bobot biji kering per rumpun dan per petak, dan bobot 100 butir biji kering per petak, (2) bobot biji kering per petak terbaik terdapat pada kombinasi perlakuan konsentrasi pupuk organik cair Chitosan 3 ml/1 liter air dan Kultivar Grobogan (F) yang menghasilkan 2,44 kg/petak atau setara dengan 2,99 ton/ha dengan asumsi 80 % lahan efektif, (3) terdapat korelasi yang nyata antara tinggi tanaman umur 49 HST, jumlah daun trifoliate per rumpun umur 49, 56, dan 63 HST, dan biomassa kering tanaman umur 49 dan 56 HST dengan bobot biji kering per petak. Kata Kunci : kedelai, kultivar kedelai, pupuk organik cair Chitosan
PENDAHULUAN1 Kedelai (Glycine max L. Merrill) merupakan salah satu komoditas pangan utama setelah padi yang mempunyai nilai ekonomi yang cukup tinggi, yaitu sebagai 1
Mahasiswa Program Pascasarjana Program Studi Agronomi Unswagati Cirebon
sumber protein nabati bagi kebutuhan pangan manusia. Beberapa produk yang dihasilkan dari kedelai yang dapat dikonsumsi oleh manusia diantaranya tempe, tahu, kecap, tauji, kembang tahu, susu kedelai, minyak makanan, dan tepung kedelai. Kedelai juga merupakan salah satu komoditas pangan bergizi tinggi
Konsentrasi Pupuk Organik Cair Chitosan dan Tiga Kutivar Kedelai dengan harga yang terjangkau oleh semua lapisan masyarakat. Dalam tiap 100 g kedelai mengandung 330 kalori, terdiri atas protein 42 %, lemak 18 %, karbohidrat 32 %, dan air 8 % (Balai Pengembangan Benih Palawija, 2002). Rendahnya hasil yang diperoleh dari usahatani tanaman kedelai disebabkan antara lain oleh penggunaan benih yang kurang unggul dan bermutu, adanya gangguan hama dan penyakit, pengaruh saingan dengan tumbuhan pengganggu dan teknik bercocok tanam kurang baik. Rendahnya hasil bukan hanya disebabkan oleh penggunaan benih yang kurang unggul dan bermutu, tetapi juga masih kurang tepatnya pemupukan dan pengendalian hama dan penyakit. Kultivar unggul merupakan salah satu teknologi yang berperan penting dalam peningkatan kuantitas dan kualitas produk pertanian. Upaya untuk terus menemukan dan mengembangkan kultivar yang lebih unggul (kualitas dan kuantitas, termasuk aromatik) dan mempunyai daya adaptasi yang lebih baik terhadap lingkungan tumbuh tertentu (spesifik) merupakan salah satu kebijakan yang tepat untuk pengembangan usahatani kedelai yang produktif, efektif dan efisien di masa yang akan datang. Untuk mencapai hasil maksimal dari penggunaan-penggunan kultivar baru, diperlukan lingkungan tumbuh yang sesuai agar potensi hasil dan keunggulannya dapat terwujudkan. Upaya peningkatan produktivitas dan perbaikan kondisi lingkungan dipengaruhi oleh jenis tanah, kualitas benih, kultivar, pengelolaan tanaman, takaran pupuk, pengendalian hama dan penyakit, waktu tanam dan panen, teknologi yang digunakan, dan interaksi semua faktor tersebut. Upaya meningkatkan produktivitas tanaman kedelai dapat dilakukan dengan banyak cara. Produksi tanaman kedelai sangat dipengaruhi oleh teknik budidaya, pengendalian hama dan pemupukan yang dapat dilakukan melalui akar dan daun. Karena tanaman kedelai adalah tanaman yang memerlukan unsur hara atau pupuk yang banyak, maka upaya 50
yang dapat ditempuh agar pemupukan lebih efektif dan efisien adalah dengan menyemprotkan larutan pupuk melalui daun dan bagian batang tanaman. Penggunaan pupuk organik cair dapat menghemat pupuk anorganik hingga 50% dan produktivitas meningkat 40% (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, 2008). Respon tanaman terhadap pemupukan akan meningkat jika pemberian pupuk sesuai dengan dosis, waktu, dan cara yang tepat. Pada saat pemberian pupuk dalam bentuk cair, yang perlu diperhatikan adalah konsentrasi yang diberikan, karena setiap jenis tanaman mempunyai tingkat kebutuhan larutan pupuk yang berbeda. Ketepatan konsentrasi dan jumlah nutrisi yang dibutuhkan tanaman dari setiap macam larutan penting untuk diketahui, kurangnya kandungan unsur hara makro maupun mikro dapat mengakibatkan hambatan bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman serta produktivitasnya. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pertumbuhan dan produktivitas tanaman kedelai adalah dengan pemberian pupuk organik cair. BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan di UPTD Balai Pengembangan Benih Palawija (BPBP) di Plumbon Cirebon Jawa Barat. Lokasi tersebut terletak pada ketinggian 17 m di atas permukaan laut, jenis tanah regosol dengan derajat kemasaman (pH) 5,90. Percobaan dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Juni 2014. Bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah benih kedelai kultivar Anjasmoro, Argomulyo, dan Grobogan, pupuk kandang kambing, pupuk urea (46 % N), pupuk SP-36 (36 % P2O5), pupuk KCl (60 % K2O), pupuk organik cair Chitosan Chi-Farm, dan Decis. Percobaan dilakukan dengan menggunakan metode eksperimen dengan Rancangan Acak Kelompok (RAK). Percobaan ini terdiri dari 12 kombinasi perlakuan konsentrasi pupuk organik cair Chitosan dan kultivar kedelai yang masing-masing diulang tiga kali, sehingga AGROSWAGATI | Nomor 1 | Volume 3| November 2015
Konsentrasi Pupuk Organik Cair Chitosan dan Tiga Kutivar Kedelai akan terdapat 36 petak percobaan. Kombinasi perlakuan yang diuji di lapangan adalah sebagai berikut : 1. A = 1 ml/1 liter air dan Kultivar Anjasmoro 2. B = 1 ml/1 liter air dan Kultivar Argomulyo 3. C = 1 ml/1 liter air dan Kultivar Grobogan 4. D = 3 ml/1 liter air dan Kultivar Anjasmoro 5. E = 3 ml/1 liter air dan Kultivar Argomulyo 6. F = 3 ml/1 liter air dan Kultivar Grobogan 7. G = 5 ml/1 liter air dan Kultivar Anjasmoro 8. H = 5 ml/1 liter air dan Kultivar Argomulyo 9. I = 5 ml/1 liter air dan Kultivar Grobogan 10. J = 7 ml/1 liter air dan Kultivar Anjasmoro 11. K = 7 ml/1 liter air dan Kultivar Argomulyo 12. L = 7 ml/1 liter air dan Kultivar Grobogan Ukuran petakan 3 m x 2 m (6 m2) dengan jarak antar petak 40 cm dan jarak antar ulangan 50 cm. Petakan yang akan ditanami dibuat lubang dengan menggunakan tugal sedalam 5 cm dengan jarak tanam 40 cm x 20 cm. Pelaksanaan percobaan lapangan, meliputi kegiatan budidaya (pengolahan tanah, penyiapan benih, penanaman, pemeliharaan, dan pemanenan). Parameter yang diamati meliputi tinggi tanaman, jumlah daun terifoliate per rumpun, bobot bintil akar per tanaman, jumlah bintil akar per tanaman, efektivitas bintil akar per tanaman, biomassa kering tanaman, Laju Pertumbuhan Tanaman, jumlah polong per rumpun, bobot polong kering per rumpun, bobot biji kering per rumpun dan per petak, dan bobot 100 butir biji kering. Analisis data dilakukan menggunakan sidik ragam dan uji lanjutan dengan Uji Gugus Scott Knott pada taraf 5 %. Setelah itu dilakukan Uji Korelasi dengan analisa Uji t Product Moment antara AGROSWAGATI | Nomor 1 | Volume 3| November 2015
komponen pertumbuhan dan bintil akar dengan bobot biji kering. HASIL DAN PEMBAHASAN Tinggi Tanaman (cm) Pupuk organik cair Chitosan sebagai sumber energi akan meningkatkan kegiatan biologis tanah dan dalam proses perombakannya akan terbentuk senyawasenyawa organik yang penting dalam pembentukan struktur tanah oleh karena itu kemantapan stuktur tanah akan meningkat, aerasi menjadi lebih baik, permeabilitas yang tinggi terpelihara. Dengan terpeliharanya tata air dan udara dalam tanah mengakibatkan perkembangan sistem perakaran menjadi terjamin, yang mempunyai peranan penting bagi awal-awal pertumbuhan tanaman, sehingga pertumbuhan tinggi tanaman meningkat. Salah satu manfaat Chitosan di bidang pertanian, yaitu meningkatkan fiksasi nitrogen, dimana nitrogen berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman (Harry Agusnar, 2009). Tabel 1. Pengaruh Kombinasi Konsentrasi Pupuk Organik Cair Chitosan dan Kultivar Kedelai Terhadap Tinggi Tanaman Umur 49, 56, dan 63 HST
Perlakuan A (1 ml/1 liter air dan Kultivar Anjasmoro) B (1 ml/1 liter air dan Kultivar Argomulyo) C (1 ml/1 liter air dan Kultivar Grobogan) D (3 ml/1 liter air dan Kultivar Anjasmoro) E (3 ml/1 liter air dan Kultivar Argomulyo)
Tinggi Tanaman (cm) 49 56 63 HST HST HST 50,53 a
52,00 a
58,07 a
50,87 a
52,20 a
56,40 a
47,87 a
58,40 a
60,47 a
52,93 a
54,13 a
55,47 a
48,93 a
51,20 a
52,67 a
51
Konsentrasi Pupuk Organik Cair Chitosan dan Tiga Kutivar Kedelai F
(3 ml/1 liter air dan 62,00 67,00 67,47 Kultivar b c a Grobogan) G (5 ml/1 liter air dan 54,60 56,53 58,00 Kultivar b a a Anjasmoro) H (5 ml/1 liter air dan 48,53 54,80 57,47 Kultivar a a a Argomulyo) I (5 ml/1 liter air dan 48,33 63,87 61,60 Kultivar a b a Grobogan) J (7 ml/1 liter air dan 50,07 55,80 57,87 Kultivar a a a Anjasmoro) K (7 ml/1 liter air dan 55,80 57,20 58,93 Kultivar b a a Argomulyo) L (7 ml/1 liter air dan 48,80 57,93 62,00 Kultivar a a a Grobogan) Keterangan : Angka rata-rata dengan disertai huruf sama pada kolom sama, menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan Uji Gugus Scott-Knott pada taraf nyata 5%.
Jumlah Daun Trifoliate per Rumpun (helai) Tabel 2. Pengaruh Kombinasi Konsentrasi Pupuk Organik Cair Chitosan dan Kultivar Kedelai Terhadap Jumlah Daun Trifoliate per Rumpun Umur 49, 56, dan 63 HST
Perlakuan A (1 ml/1 liter air dan Kultivar Anjasmoro) B (1 ml/1 liter air dan Kultivar Argomulyo) C (1 ml/1 liter air dan Kultivar Grobogan) D (3 ml/1 liter air dan Kultivar 52
Jumlah Daun Trifoliate (helai) 49 56 63 HST HST HST 12,87 a
13,60 a
13,93 a
13,00 a
14,13 b
14,40 b
12,80 a
13,27 a
13,67 a
12,87 a
13,80 a
14,00 a
Perlakuan
Jumlah Daun Trifoliate (helai) 49 56 63 HST HST HST
Anjasmoro) E (3 ml/1 liter air 12,13 13,00 13,47 dan Kultivar a a a Argomulyo) F (3 ml/1 liter air 15,00 15,20 15,40 dan Kultivar a b b Grobogan) G (5 ml/1 liter air 12,53 13,20 13,53 dan Kultivar a a a Anjasmoro) H (5 ml/1 liter air 13,20 13,53 13,93 dan Kultivar a a a Argomulyo) I (5 ml/1 liter air 12,33 13,00 13,53 dan Kultivar a a a Grobogan) J (7 ml/1 liter air 12,87 13,27 13,60 dan Kultivar a a a Anjasmoro) K (7 ml/1 liter air 13,40 13,87 14,13 dan Kultivar a a a Argomulyo) L (7 ml/1 liter air 13,20 14,47 14,93 dan Kultivar a a b Grobogan) Keterangan : Angka rata-rata dengan disertai huruf sama pada kolom sama, menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan Uji Gugus Scott-Knott pada taraf nyata 5%.
Menurut Jamaran Kaban (2009) manfaat Chitosan bagi tanaman adalah memacu dan mempercepat pertumbuhan akar, anakan, daun (masa vegetatif). Penambahan bahan organik tidak hanya menambah unsur hara bagi tanaman, tetapi juga menciptakan kondisi lingkungan yang sesuai untuk tanaman dengan memperbaiki aerasi, mempermudah penetrasi akar dan memperbaiki kapasitas menahan air. Bobot Bintil Akar per Tanaman (g) Pupuk organik cair Chitosan merangsang pertumbuhan tanaman dengan cara meningkatan asupan unsur hara dari tanah, karena bersifat kationik, yaitu bermuatan ion positif (Chi-Fram, 2013). Simbiosis antara bakteri Rhizobium dengan tanaman kedelai merupakan simbiosis mutualisme yaitu hubungan AGROSWAGATI | Nomor 1 | Volume 3| November 2015
Konsentrasi Pupuk Organik Cair Chitosan dan Tiga Kutivar Kedelai yang saling menguntungkan, dimana unsur nitrogen tersebut dimanfaatkan untuk pertumbuhan tanaman kedelai, sedangkan bakteri Rhizobium memerlukan makanan yang berasal dari tanaman kedelai (Afandie Rosmarkam dan Nasih Widya Yuwono, 2002). Tabel 3. Pengaruh Kombinasi Konsentrasi Pupuk Organik Cair Chitosan dan Kultivar Kedelai Terhadap Bobot Bintil Akar per Tanaman Umur 49, 56, dan 63 HST Bobot Bintil Akar per Tanaman (g) Perlakuan 49 56 63 HST HST HST A (1 ml/1 liter air 3,09 6,27 12,00 dan Kultivar a a a Anjasmoro) B (1 ml/1 liter air 3,12 4,44 15,26 dan Kultivar a a b Argomulyo) C (1 ml/1 liter air 3,07 4,97 15,71 dan Kultivar a a b Grobogan) D (3 ml/1 liter air 2,85 4,69 14,16 dan Kultivar a a b Anjasmoro) E (3 ml/1 liter air 3,23 4,67 10,68 dan Kultivar a a a Argomulyo) F (3 ml/1 liter air 3,57 7,03 17,53 dan Kultivar a a b Grobogan) G (5 ml/1 liter air 3,05 6,41 16,23 dan Kultivar a a b Anjasmoro) H (5 ml/1 liter air 2,85 6,10 16,45 dan Kultivar a a b Argomulyo) I (5 ml/1 liter air 2,93 5,35 16,70 dan Kultivar a a b Grobogan) J (7 ml/1 liter air 3,45 5,60 16,35 dan Kultivar a a b Anjasmoro) K (7 ml/1 liter air 3,24 4,92 15,61 dan Kultivar a a b Argomulyo) L (7 ml/1 liter air 3,17 4,10 11,21 dan Kultivar a a a Grobogan) Keterangan : Angka rata-rata dengan disertai huruf sama pada kolom sama, menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan Uji Gugus Scott-Knott pada taraf nyata 5%. AGROSWAGATI | Nomor 1 | Volume 3| November 2015
Jumlah Bintil Akar per Tanaman (buah) Tanaman kedelai termasuk tanaman leguminosae yang memiliki bintil akar. Di dalam bintil-bintil akar ini, terdapat bakteri rhizobium yang dapat mengikat nitrogen bebas dari udara. Peristiwa penambahan nitrogen ini dikenal dengan nama penambahan N secara simbiosis. Selanjutnya nitrogen tersebut digunakan oleh tanaman untuk keperluan hidupnya (Kurnia Rozika Sari, 2011). Tabel 4. Pengaruh Kombinasi Konsentrasi Pupuk Organik Cair Chitosan dan Kultivar Kedelai Terhadap Jumlah Bintil Akar per Tanaman Umur 49, 56, dan 63 HST Jumlah Bintil Akar (buah) Perlakuan 49 56 63 HST HST HST A (1 ml/1 liter air 49,00 58,00 59,00 dan Kultivar a a a Anjasmoro) B (1 ml/1 liter air 54,73 58,33 62,33 dan Kultivar a a b Argomulyo) C (1 ml/1 liter air 58,67 62,00 62,67 dan Kultivar a a b Grobogan) D (3 ml/1 liter air 59,67 60,67 61,00 dan Kultivar a a b Anjasmoro) E (3 ml/1 liter air 53,00 59,67 57,67 dan Kultivar a a a Argomulyo) F (3 ml/1 liter air 62,33 63,67 64,67 dan Kultivar a a b Grobogan) G (5 ml/1 liter air 47,00 56,00 63,33 dan Kultivar a a b Anjasmoro) H (5 ml/1 liter air 51,00 57,67 58,33 dan Kultivar a a a Argomulyo) I (5 ml/1 liter air 60,00 62,00 64,00 dan Kultivar a a b Grobogan) J (7 ml/1 liter air 54,33 58,00 63,67 dan Kultivar a a b Anjasmoro) K (7 ml/1 liter air 50,67 58,33 62,33 dan Kultivar a a b Argomulyo) L (7 ml/1 liter air 61,33 61,67 63,00 dan Kultivar a a b 53
Konsentrasi Pupuk Organik Cair Chitosan dan Tiga Kutivar Kedelai
Perlakuan
Jumlah Bintil Akar (buah) 49 56 63 HST HST HST
Grobogan) Keterangan : Angka rata-rata dengan disertai huruf sama pada kolom sama, menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan Uji Gugus Scott-Knott pada taraf nyata 5%.
Efektivitas Bintil Akar per Tanaman (buah) Pupuk organik cair Chitosan merangsang pertumbuhan tanaman dengan cara meningkatan asupan unsur hara dari tanah, karena bersifat kationik, yaitu bermuatan ion positif (Chi-Fram, 2013). Simbiosis antara bakteri Rhizobium dengan tanaman kedelai merupakan simbiosis mutualisme yaitu hubungan yang saling menguntungkan, dimana unsur nitrogen tersebut dimanfaatkan untuk pertumbuhan tanaman kedelai, sedangkan bakteri Rhizobium memerlukan makanan yang berasal dari tanaman kedelai (Afandie Rosmarkam dan Nasih Widya Yuwono, 2002). Tabel 5. Pengaruh Kombinasi Konsentrasi Pupuk Organik Cair Chitosan dan Kultivar Kedelai Terhadap Efektivitas Bintil Akar per Tanaman Umur 49, 56, dan 63 HST Efektivitas Bintil Akar (buah) Perlakuan 56 63 49 HST HST HST A (1 ml/1 liter air 17,33 19,67 26,00 dan Kultivar a a a Anjasmoro) B (1 ml/1 liter air 19,33 22,67 27,67 dan Kultivar a a a Argomulyo) C (1 ml/1 liter air 17,33 19,67 28,33 dan Kultivar a a a Grobogan) D (3 ml/1 liter air 11,33 20,33 26,33 dan Kultivar a a a Anjasmoro) E (3 ml/1 liter air 22,00 25,67 29,67 dan Kultivar a a a Argomulyo) F (3 ml/1 liter air 25,00 28,33 31,67 dan Kultivar a a a Grobogan) G (5 ml/1 liter air 14,00 19,00 29,67 54
Perlakuan
Efektivitas Bintil Akar (buah) 56 63 49 HST HST HST a a a
dan Kultivar Anjasmoro) H (5 ml/1 liter air 14,67 22,00 26,67 dan Kultivar a a a Argomulyo) I (5 ml/1 liter air 22,33 25,67 31,00 dan Kultivar a a a Grobogan) J (7 ml/1 liter air 20,67 24,67 29,33 dan Kultivar a a a Anjasmoro) K (7 ml/1 liter air 18,67 23,00 28,67 dan Kultivar a a a Argomulyo) L (7 ml/1 liter air 25,00 26,67 31,33 dan Kultivar a a a Grobogan) Keterangan : Angka rata-rata dengan disertai huruf sama pada kolom sama, menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan Uji Gugus Scott-Knott pada taraf nyata 5%.
Biomassa Kering Tanaman (g) Pupuk organik cair Chitosan dapat meningkatkan kesehatan tanaman dan daya tahan terhadap cekaman (stress) (Jamaran Kaban, 2009). Tersedianya kultivar unggul yang beragam sangat penting artinya guna menjadi banyak pilihan bagi petani baik untuk pergiliran kultivar antar musim, mencegah petani menanam satu kultivar terus-menerus, mencegah timbulnya serangan hama dan penyakit, dan menjadi pilihan petani sesuai kondisi lahan (Mangoendidjojo, 2003). Tabel 6. Pengaruh Kombinasi Konsentrasi Pupuk Organik Cair Chitosan dan Kultivar Kedelai Terhadap Biomassa Kering Tanaman Umur 49, 56, dan 63 HST Biomassa Kering Tanaman (g) Perlakuan 49 56 63 HST HST HST A (1 ml/1 liter air 11,41 24,96 39,59 dan Kultivar a a a Anjasmoro) B (1 ml/1 liter air 12,58 15,44 35,54 dan Kultivar a a a Argomulyo) AGROSWAGATI | Nomor 1 | Volume 3| November 2015
Konsentrasi Pupuk Organik Cair Chitosan dan Tiga Kutivar Kedelai C (1 ml/1 liter air 11,75 16,51 45,72 dan Kultivar a a b Grobogan) D (3 ml/1 liter air 17,36 29,73 dan Kultivar 8,95 a a a Anjasmoro) E (3 ml/1 liter air 10,09 14,07 38,27 dan Kultivar a a a Argomulyo) F (3 ml/1 liter air 15,16 26,96 52,66 dan Kultivar a a b Grobogan) G (5 ml/1 liter air 13,14 18,09 49,56 dan Kultivar a a b Anjasmoro) H (5 ml/1 liter air 13,60 18,25 33,56 dan Kultivar a a a Argomulyo) I (5 ml/1 liter air dan 12,62 17,78 44,07 Kultivar a a b Grobogan) J (7 ml/1 liter air dan 11,90 15,62 27,35 Kultivar a a a Anjasmoro) K (7 ml/1 liter air 11,13 15,00 35,82 dan Kultivar a a a Argomulyo) L (7 ml/1 liter air 11,28 16,63 38,62 dan Kultivar a a a Grobogan) Keterangan : Angka rata-rata dengan disertai huruf sama pada kolom sama, menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan Uji Gugus Scott-Knott pada taraf nyata 5%.
Laju Pertumbuhan Tanaman (g/m 2/hari) Tabel 7. Pengaruh Kombinasi Konsentrasi Pupuk Organik Cair Chitosan dan Kultivar Kedelai Terhadap Laju Pertumbuhan Tanaman Umur 49 sampai 56 HST dan umur 56 sampai 63 HST
Perlakuan A (1 ml/1 liter air dan Kultivar Anjasmoro) B (1 ml/1 liter air dan Kultivar Argomulyo) C (1 ml/1 liter air dan Kultivar Grobogan) D (3 ml/1 liter air
Laju Pertumbuhan Tanaman (g/m2/hari) 49 – 56 56 – 63 HST HST 2,10 c
2,26 a
0,58 a
3,04 a
0,85 a
4,34 a
1,37 b
1,93 a
AGROSWAGATI | Nomor 1 | Volume 3| November 2015
dan Kultivar Anjasmoro) E (3 ml/1 liter air dan Kultivar 0,74 a 3,62 a Argomulyo) F (3 ml/1 liter air dan Kultivar 1,85 c 3,84 a Grobogan) G (5 ml/1 liter air dan Kultivar 0,87 a 4,66 a Anjasmoro) H (5 ml/1 liter air dan Kultivar 0,83 a 2,35 a Argomulyo) I (5 ml/1 liter air dan Kultivar 0,90 a 3,92 a Grobogan) J (7 ml/1 liter air dan Kultivar 0,70 a 1,84 a Anjasmoro) K (7 ml/1 liter air dan Kultivar 0,72 a 3,14 a Argomulyo) L (7 ml/1 liter air dan Kultivar 0,93 a 3,31 a Grobogan) Keterangan : Angka rata-rata dengan disertai huruf sama pada kolom sama, menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan Uji Gugus Scott-Knott pada taraf nyata 5%.
Chi-Farm mengandung asam amino esensial, senyawa bioaktif, unsur hara makro, dan unsur hara mikro. Kandungan asam amino esensial yang terdapat pada chitosan dapat merangsang hormon pertumbuhan dari tanaman itu sendiri (Chi-Farm, 2013). Kelebihan pupuk organik cair, selain mengandung unsur hara makro-mikro terlarut air yang dapat diserap langsung baik melalui akar maupun daun tanaman, juga mampu mengikat air dan unsur hara secara labil sehingga terhindar dari proses pencucian (leaching) dan pengikatan (fixation) oleh kompleks padatan tanah. Jumlah Polong per Rumpun (polong) Keuntungan penananaman kultivar genjah dan berumur sedang seperti kultivar Grobogan adalah lebih cepat dipanen, resiko serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) lebih rendah, dan meningkatkan indeks panen (Bahar dan Zein, 1993). Pupuk organik cair Chitosan berpengaruh terhadap sifat kimia 55
Konsentrasi Pupuk Organik Cair Chitosan dan Tiga Kutivar Kedelai tanah, meliputi kemampuannya mensuplai hara, meningkatkan kapasitas tukar kation, mensuplai asam-asam seperti asam humat dan asam sulfat. Tabel 8. Pengaruh Kombinasi Konsentrasi Pupuk Organik Cair Chitosan dan Kultivar Kedelai Terhadap Jumlah Polong per Rumpun Jumlah Polong Perlakuan per Rumpun (polong) A (1 ml/1 liter air dan 59,98 a Kultivar Anjasmoro) B (1 ml/1 liter air dan 57,87 a Kultivar Argomulyo) C (1 ml/1 liter air dan 73,25 b Kultivar Grobogan) D (3 ml/1 liter air dan 49,87 a Kultivar Anjasmoro) E (3 ml/1 liter air dan 56,20 a Kultivar Argomulyo) F (3 ml/1 liter air dan 75,60 b Kultivar Grobogan) G (5 ml/1 liter air dan 54,60 a Kultivar Anjasmoro) H (5 ml/1 liter air dan 51,07 a Kultivar Argomulyo) I (5 ml/1 liter air dan 56,27 a Kultivar Grobogan) J (7 ml/1 liter air dan 59,15 a Kultivar Anjasmoro) K (7 ml/1 liter air dan 54,94 a Kultivar Argomulyo) L (7 ml/1 liter air dan 73,80 b Kultivar Grobogan) Keterangan : Angka rata-rata dengan disertai huruf sama pada kolom sama, menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan Uji Gugus Scott-Knott pada taraf nyata 5%.
Bobot Polong Kering per Rumpun (g) Kultivar Grobogan mempunyai keunggulan umurnya pendek, polongnya besar, dan tingkat kematangan polong dan daun bersamaan, jadi pada saat dipanen daun kedelai sudah rontok (BPPP, 2008). Pupuk organik cair Chitosan dapat meningkatkan kualitas produk tanaman dengan cara meningkatkan hasil tanaman (Jamaran Kaban, 2009). Tabel 9. Pengaruh Kombinasi Konsentrasi Pupuk Organik Cair Chitosan dan Kultivar Kedelai Terhadap Bobot Polong Kering per Rumpun Perlakuan Bobot Polong 56
Kering per Rumpun (g) A (1 ml/1 liter air dan 58,78 a Kultivar Anjasmoro) B (1 ml/1 liter air dan 56,71 a Kultivar Argomulyo) C (1 ml/1 liter air dan 71,79 b Kultivar Grobogan) D (3 ml/1 liter air dan 48,87 a Kultivar Anjasmoro) E (3 ml/1 liter air dan 55,08 a Kultivar Argomulyo) F (3 ml/1 liter air dan 74,09 b Kultivar Grobogan) G (5 ml/1 liter air dan 53,51 a Kultivar Anjasmoro) H (5 ml/1 liter air dan 50,05 a Kultivar Argomulyo) I (5 ml/1 liter air dan 55,14 a Kultivar Grobogan) J (7 ml/1 liter air dan 57,97 a Kultivar Anjasmoro) K (7 ml/1 liter air dan 53,84 a Kultivar Argomulyo) L (7 ml/1 liter air dan 72,32 b Kultivar Grobogan) Keterangan : Angka rata-rata dengan disertai huruf sama pada kolom sama, menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan Uji Gugus Scott-Knott pada taraf nyata 5%.
Bobot Biji Kering per Rumpun (g) dan per Petak (kg) Tabel 10. Pengaruh Kombinasi Konsentrasi Pupuk Organik Cair Chitosan dan Kultivar Kedelai Terhadap Bobot Biji Kering per Rumpun dan per Petak Bobot Biji Kering per per Perlakuan rumpun petak (g) (kg) A (1 ml/1 liter air dan 29,24 b 1,58 a Kultivar Anjasmoro) B (1 ml/1 liter air dan 32,82 b 1,32 a Kultivar Argomulyo) C (1 ml/1 liter air dan 32,22 b 1,58 a Kultivar Grobogan) D (3 ml/1 liter air dan 32,18 b 1,08 a Kultivar Anjasmoro) E (3 ml/1 liter air dan 21,22 a 1,63 a Kultivar Argomulyo) F (3 ml/1 liter air dan 38,87 b 2,24 c Kultivar Grobogan) G (5 ml/1 liter air dan 23,34 a 1,39 a Kultivar Anjasmoro) AGROSWAGATI | Nomor 1 | Volume 3| November 2015
Konsentrasi Pupuk Organik Cair Chitosan dan Tiga Kutivar Kedelai
Perlakuan
Bobot Biji Kering per per rumpun petak (g) (kg)
H (5 ml/1 liter air dan 31,82 b 1,89 b Kultivar Argomulyo) I (5 ml/1 liter air dan 35,54 b 1,25 a Kultivar Grobogan) J (7 ml/1 liter air dan 18,43 a 1,22 a Kultivar Anjasmoro) K (7 ml/1 liter air dan 28,02 b 1,93 b Kultivar Argomulyo) L (7 ml/1 liter air dan 35,42 b 1,34 a Kultivar Grobogan) Keterangan : Angka rata-rata dengan disertai huruf sama pada kolom sama, menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan Uji Gugus Scott-Knott pada taraf nyata 5%.
Adanya pengaruh Chitosan terhadap pertumbuhan tanaman dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman kedelai selama fase vegetatif dan awal fase generatif. Pupuk organik cair yang akan digunakan selain mengadung Chitosan juga mengandung C-organik, P2O5, K2O, Fe, Mn, Cu, Zn, B, dan Co (Chi-Farm, 2013). Kultivar-kultivar baru (unggul) ditemukan melalui seleksi galur atau persilangan (crossing), diharapkan sifatsifat baru yang akan dihasilkan dapat dipertanggungjawabkan, baik dalam hal produksi, umur produksi, maupun daya tahan terhadap hama dan penyakit (Mangoendidjojo, 2003). Bobot 100 Butir Biji Kering (g) Pemilihan kultivar kedelai disesuaikan dengan lokasi (spesifik lokasi), Untuk mendapatkan hasil yang tinggi, disarankan agar menggunakan kultivar unggul yang bermutu (BPPP, 2008). Pupuk organik cair Chitosan dapat meningkatkan hasil tanaman karena chitosan mengandung banyak nutrisi yang dibutuhkan oleh tanaman (Chi-Farm, 2013). Tabel 11. Pengaruh Kombinasi Konsentrasi Pupuk Organik Cair Chitosan dan Kultivar Kedelai Terhadap Bobot 100 Butir Biji Kering Perlakuan
Bobot 100 Butir Biji Kering (g)
AGROSWAGATI | Nomor 1 | Volume 3| November 2015
Perlakuan
Bobot 100 Butir Biji Kering (g)
A (1 ml/1 liter air dan Kultivar Anjasmoro) 8,28 a B (1 ml/1 liter air dan Kultivar Argomulyo) 8,28 a C (1 ml/1 liter air dan Kultivar Grobogan) 8,43 a D (3 ml/1 liter air dan Kultivar Anjasmoro) 8,33 a E (3 ml/1 liter air dan Kultivar Argomulyo) 7,95 a F (3 ml/1 liter air dan Kultivar Grobogan) 11,95 b G (5 ml/1 liter air dan Kultivar Anjasmoro) 10,55 b H (5 ml/1 liter air dan Kultivar Argomulyo) 10,72 b I (5 ml/1 liter air dan Kultivar Grobogan) 8,75 a J (7 ml/1 liter air dan Kultivar Anjasmoro) 9,42 a K (7 ml/1 liter air dan Kultivar Argomulyo) 11,15 b L (7 ml/1 liter air dan Kultivar Grobogan) 10,87 b Keterangan : Angka rata-rata dengan disertai huruf sama pada kolom sama, menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan Uji Gugus Scott-Knott pada taraf nyata 5%.
Analisis Korelasi Antara Komponen Pertumbuhan dan Bintil Akar dengan Hasil Tabel 12. Hubungan Tinggi Tanaman Umur 49, 56, dan 63 HST dengan Bobot Biji Kering per Petak Tinggi Tanaman Uraian 49 HST 56 HST 63 HST Koefisien 0,453 0,278 0,322 Korelasi (r) Kategori r Sedang Rendah Sedang Koefisien Determina 0,205 0,077 0,103 si (r2) Nilai thitung 2,963 1,687 1,980 Nilai 2,032 2,032 2,032 t0,025(34) Tidak Tidak Kesimpulan Nyata Nyata Nyata
Hasil perhitungan analisis korelasi menunjukkan bahwa terdapat korelasi/ hubungan yang nyata antara tinggi tanaman umur 49 HST dengan hasil bobot biji kering per petak. Sedangkan berdasarkan hasil perhitungan analisis 57
Konsentrasi Pupuk Organik Cair Chitosan dan Tiga Kutivar Kedelai korelasi menunjukkan bahwa terdapat korelasi/ hubungan yang tidak nyata antara tinggi tanaman umur 56 dan 63 HST dengan hasil bobot biji kering per petak. Hasil perhitungan analisis korelasi menunjukkan bahwa terdapat korelasi/ hubungan yang nyata antara jumlah daun trifoliate per rumpun umur 49, 56, dan 63 HST dengan hasil bobot biji kering per petak. Tabel 13. Hubungan Jumlah Daun Trifoliate per Rumpun Umur 49, 56, dan 63 HST dengan Bobot Biji Kering per Petak
Uraian Koefisien Korelasi (r) Kategori r Koefisien Determina si (r2) Nilai thitung Nilai t0,025(34) Kesimpulan
Jumlah Daun Trifoliate per Rumpun 49 56 HST 63 HST HST 0,526
0,404
0,437
Sedang
Rendah
Sedang
0,277
0,163
0,191
3,609
2,577
2,830
2,032
2,032
2,032
Nyata
Nyata
Nyata
Hasil perhitungan analisis korelasi menunjukkan bahwa terdapat korelasi/ hubungan yang tidak nyata antara bobot bintil akar per tanaman umur 49, 56, dan 63 HST dengan hasil bobot biji kering per petak. Tabel 14. Hubungan Bobot Bintil Akar per Tanaman Umur 49, 56, dan 63 HST dengan Bobot Biji Kering per Petak
Uraian
Bobot Bintil Akar per Tanaman 49 56 HST 63 HST HST
Koefisien Korelasi (r)
0,144
0,263
0,162
Kategori r
Sangat Rendah
Rendah
Sangat Rendah
0,021
0,069
0,026
0,849
1,591
0,960
2,032
2,032
2,032
Koefisien Determina si (r2) Nilai thitung Nilai t0,025(34) 58
Kesimpulan
Tidak Nyata
Tidak Nyata
Tidak Nyata
Hasil perhitungan analisis korelasi menunjukkan bahwa terdapat korelasi/ hubungan yang tidak nyata antara jumlah bintil akar per tanaman umur 49, 56, dan 63 HST dengan hasil bobot biji kering per petak. Tabel 15. Hubungan Jumlah Bintil Akar per Tanaman Umur 49, 56, dan 63 HST dengan Bobot Biji Kering per Petak Jumlah Bintil Akar per Tanaman Uraian 63 49 HST 56 HST HST Koefisien -0,091 -0,108 -0,034 Korelasi (r) Tidak Tidak Tidak Kategori r Berkorelasi Berkorelasi Berkorelasi Koefisien Determinasi 0,008 0,012 0,001 (r2) Nilai thitung -0,532 -0,636 -0,196 Nilai t0,025(34) 2,032 2,032 2,032 Tidak Tidak Tidak Kesimpulan Nyata Nyata Nyata
Hasil perhitungan analisis korelasi menunjukkan bahwa terdapat korelasi/ hubungan yang tidak nyata antara efektivitas bintil akar per tanaman umur 49, 56, dan 63 HST dengan hasil bobot biji kering per petak. Tabel 16. Hubungan Efektivitas Bintil Akar per Tanaman Umur 49, 56, dan 63 HST dengan Bobot Biji Kering per Petak Efektivitas Bintil Akar per Tanaman Uraian 49 56 63 HST HST HST Koefisien 0,097 0,060 -0,006 Korelasi (r) Sangat Sangat Tidak Kategori r Rendah Rendah Berkorelasi Koefisien Determinasi 0,009 0,004 0,00004 (r2) Nilai thitung 0,570 0,352 -0,036 Nilai t0,025(34) 2,032 2,032 2,032 Tidak Tidak Tidak Kesimpulan Nyata Nyata Nyata
Hasil perhitungan analisis korelasi menunjukkan bahwa terdapat korelasi/ hubungan yang nyata antara biomassa AGROSWAGATI | Nomor 1 | Volume 3| November 2015
Konsentrasi Pupuk Organik Cair Chitosan dan Tiga Kutivar Kedelai kering tanaman umur 49 dan 56 HST dengan hasil bobot biji kering per petak.
Tabel 17. Hubungan Biomassa Kering Tanaman Umur 49, 56, dan 63 HST dengan Bobot Biji Kering per Petak Biomassa Kering Tanaman Uraian 49 56 HST 63 HST HST Koefisien 0,433 0,474 0,296 Korelasi (r) Kategori r Sedang Sedang Rendah Koefisien 0,187 0,224 0,088 Determinasi (r2) Nilai thitung 2,799 3,135 1,809 Nilai t0,025(34) 2,032 2,032 2,032 Tidak Kesimpulan Nyata Nyata Nyata
Hasil perhitungan analisis korelasi menunjukkan bahwa terdapat korelasi/ hubungan yang tidak nyata antara Laju Pertumbuhan Tanaman umur 49 sampai 56 HST dan umur 56 sampai 63 HST dengan hasil bobot biji kering per petak. Tabel
18.
Hubungan Laju Pertumbuhan Tanaman umur 49 sampai 56 HST dan umur 56 sampai 63 HST dengan Bobot Biji Kering per Petak Laju Pertumbuhan Tanaman
Uraian
Umur 49 - 56 HST
Umur 56 - 63 HST
Nilai r
0,273
0,009
Kategori r
Rendah
Sangat Rendah
Nilai r²
0,075
0,0001
Nilai t
1,657
0,055
Nilai t₀,₀₂₅₍34₎
2,032
2,032
Kesimpulan
Tidak Nyata
Tidak Nyata
KESIMPULAN 1. Terdapat pengaruh yang nyata antara kombinasi konsentrasi pupuk organik cair Chitosan dan kultivar kedelai terhadap parameter rata-rata tinggi tanaman umur 49 dan 56 HST, jumlah daun trifoliate per rumpun umur 56 dan 63 HST, bobot bintil akar per tanaman umur 63 HST, jumlah bintil akar per tanaman umur 63 HST, biomassa kering tanaman umur 63 HST, Laju Pertumbuhan Tanaman AGROSWAGATI | Nomor 1 | Volume 3| November 2015
umur 49 sampai 56 HST, jumlah polong per rumpun, bobot polong kering per rumpun, bobot biji kering per rumpun dan per petak, dan bobot 100 butir biji kering per petak. 2. Bobot biji kering per petak terbaik terdapat pada kombinasi perlakuan konsentrasi pupuk organik cair Chitosan 3 ml/1 liter air dan Kultivar Grobogan (F) yang menghasilkan 2,44 kg/petak atau setara dengan 3,25 ton/ha dengan asumsi 80 % lahan efektif. 3. Terdapat korelasi yang nyata antara tinggi tanaman umur 49 HST, jumlah daun trifoliate per rumpun umur 49, 56, dan 63 HST, dan biomassa kering tanaman umur 49 dan 56 HST dengan bobot biji kering per petak. SARAN 1. Pemberian pupuk organik cair Chitosan dengan konsentrasi 3 ml/1 liter air dapat menjadi alternatif cara dalam upaya meningkatkan hasil tanaman kedelai Kultivar Grobogan. 2. Untuk mendapatkan rekomendasi yang lebih tepat perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terutama untuk beberapa daerah, jenis tanah yang berbeda, dan musim yang berbeda (penelitian multi lokasi). DAFTAR PUSTAKA Afandie Rosmarkam dan Nasih Widya Yuwono. 2002. Ilmu Kesuburan Tanah. Kanisius, Yogyakarta. Chi-Farm. 2013. Tentang Chi-Farm. http://www.chi-farm.com. Diakses di Cirebon tanggal 23 Februari 2014. Bahar, M., dan A. Zein. 1993. Parameter Genetik Pertumbuhan Tanaman. Zuriat. 4(1). 4-7 Balai Pengembangan Benih Palawija. 2002. Deskripsi Varietas Kedelai. Departemen Pertanian. Jawa Barat. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. 2008. Membuat Pupuk Organik Cair Bermutu dari Limbah Kambing. Warta Penelitian Pertanian. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali, Denpasar. 59
Konsentrasi Pupuk Organik Cair Chitosan dan Tiga Kutivar Kedelai BPPP. 2008. Deskripsi Varietas Unggul Kacang-kacangan dan Umbiumbian, Balikabi Hal. 42, 52 dan 64. Harry Agusnar. 2009. Kitosan Sebagai Bio Immunizer Tanaman Untuk Meningkatkan Produksi Hasil Pertanian yang Ramah Lingkungan. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara. Jamaran Kaban. 2009. Modifikasi Kimia dari Kitosan dan Aplikasi Produk yang Dihasilkan. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara. Kurnia Rozika Sari. 2011. Pengaruh Mikoriza Arbuskula dan Rhizobium pada Tanaman Kacang Tanah di Media Tanah Madura pada Kondisi Cekaman Kekeringan. Institut Teknologi Sepuluh November, Surabaya. Mangoendidjojo, 2003. Dasar-Dasar Pemuliaan Tanaman. Kanisius. Yogyakarta.
60
AGROSWAGATI | Nomor 1 | Volume 3| November 2015
PENGARUH KONSENTRASI ZAT PENGATUR TUMBUH AUKSIN GOLONGAN NAA DAN WAKTU PENYIANGAN TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL KACANG HIJAU (VIGNA RADIATA L.) Oleh Lina Dwi Agustina ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh konsentrasi zat pengatur tumbuh auksin golongan NAA (Atonik) dan waktu penyiangan terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman kacang hijau (Vigna radiata L.). Penelitian ini dilaksanakan di Balai Pengembangan Benih Palawija Provinsi Jawa Barat Pada bulan Maret 2014 sampai dengan Juni 2014. Metode percobaan menggunakan metode eksperimen dengan Rancangan Acak Kelompok (RAK) pola faktorial. Perlakuan terdiri dari dua faktor dengan tiga kali ulangan. Faktor yang pertama adalah konsentrasi zat pengatur tumbuh auksin golongan NAA (Atonik) yang terdiri dari 4 taraf konsentrasi (0,50 ml/l (A1); 1,00 ml/l (A2); 1,5 ml/l (A3); 2,00 ml/l (A4)). Sedangkan faktor yang kedua adalah waktu penyiangan yang terdiri dari 3 taraf (2dan 3 MST(B1); 2 dan 4 MST (B2); 2 dan 5 MST (B3)). Hasil penelitian menunjukkan adanya interaksi antara konsentrasi zpt auksin golongan NAA (Atonik) dan waktu penyiangan terhadap tinggi tanaman umur 7 MST dengan nilai rata-rata 83,99 cm dan 8 MST dengan nilai rata-rata 89,19 cm, laju pertumbuhan tanaman umur 9 MST dengan nilai rata-rata 44,292 g/m2/minggu, bobot biji per rumpun dengan nilai rata-rata 11,0528 g, bobot biji per petak dengan nilai rata-rata 1.075,307 g, bobot 100 butir dengan nilai rata-rata 6,85 g, dan indeks panen dengan nilai rata-rata 0,2129. Perlakuan konsentrasi zat pengatur tumbuh Atonik 1,5 ml/l dengan waktu penyiangan 2 dan 5 MST (A3B3) menunjukkan hasil tertinggi Pada bobot biji kering per petak yakni 1.257,408 g. Kata Kunci :
Kacang Hijau (Vigna radiata Atonik,Waktu Penyiangan
PENDAHULUAN1 Kacang hijau merupakan salah satu bahan pangan yang termasuk dalam komoditas palawija yang dipandang memiliki prospek yang cukup baik dilihat dari peluang pengembangan peningkatan produksi dalam pemenuhan kebutuhan bahan pangan masyarakat. Penggunaan kacang hijau sangat beragam dari olahan sederhana hingga produk olahan teknologi industri. Kacang hijau merupakan sumber protein nabati, vitamin, dan beberapa mineral yang diperlukan oleh tubuh. Hasil analisis kimia kacang hijau mengandung 20 – 24% protein, 2,1% minyak, 1 – 2% lemak, karbohidrat, vitamin A dan B 1
Mahasiswa Program Studi Agronomi Program Pasca Sarjana Universitas Swadaya Guning Jati Cirebon
L.),
ZPT
Auksis
Golongan
NAA,
(James, 1981 dalam Dalnavizadeh dan Mehranzadeh, 2013). Beberapa hal yang menjadi peluang pengembangan produksi kacang hijau adalah: 1) Permintaan terus meningkat untuk konsumsi dan industri olahan, 2) ketersediaan sumber lahan yang cukup luas, 3) kesenjangan produktivitas lapangan 11,48 Kw/Ha dan potensi hasil 15 – 24 Kw/Ha, 4) tersedianya paket teknologi dan varietas baru, serta sumberdaya manusia yang cukup terampil. Kebutuhan kacang hijau terus meningkat dengan rata-rata 350.000 ton, produksi rata-rata 311.658 ton (1,72%) dengan volume impor rata-rata 42.655 ton. Kebutuhan kacang hijau digunakan untuk benih, pakan, bahan makanan dan industri (per kapita 1,27 Kg/tahun) (Direktorat Budidaya Aneka Kacang dan Umbi, 2012). Dilihat dari segi potensi yang cukup
Konsentrasi ZPT Auksin dan Waktu Penyiangan berpeluang untuk dikembangkan, maka disinilah kita harus bisa menyikapi permasalahan-permasalahan yang menjadi penyebab dari rendahnya produksi kacang hijau yang dihasilkan. Permasalahanpermasalahan tersebut tentunya tidak dapat dilakukan secara keseluruhan dan sekaligus, namun dapat dilakukan secara terfokus seperti terhadap faktor dasar yang sangat berperan yakni dalam kajian teknologi budidaya kacang hijau. Dalam kajian teknologi budidaya, ruang lingkup agronomi merupakan hal yang sangat diperhatikan karena sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang pada akhirnya sangat menentukan hasil dari komoditas yang dibudidayakan. Adapun faktor-faktor yang berpengaruh antara lain jenis tanah, kualitas benih, varietas, pengelolaan tanaman, takaran pupuk, pengendalian hama dan penyakit, waktu tanam dan panen, dan teknologi yang digunakan. Hormon tumbuhan atau fitohormon merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Hormon tumbuhan dapat diartikan luas yakni sebagai suatu senyawa organik yang disintesis di salah satu bagian tumbuhan dan dipindahkan ke bagian lain yang dapat mendorong maupun menghambat pertumbuhan. Pemahaman terhadap fitohormon pada saat ini dinilai telah membantu peningkatan hasil pertanian dengan ditemukannya berbagai macam zat sintetis yang memiliki pengaruh yang sama dengan fitohormon alami, dimana senyawa-senyawa ini dikenal dengan nama ZPT (zat pengatur tumbuh) dan jenis ZPT yang cukup berkembang saat ini diantaranya adalah ZPT auksin golongan NAA (Atonik). Pada kadar rendah tertentu zat pengatur tumbuh akan mendorong pertumbuhan, sedangkan pada kadar yang lebih tinggi akan menghambat pertumbuhan, meracuni bahkan mematikan tanaman. Sehingga untuk memperoleh hasil yang optimum diperlukan adanya kontrol dalam pemberian ZPT yakni dalam konsentrasi tertentu.
62
Faktor lain yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman adalah keberadaan gulma. Menurut Nurjen at al. (2002) dalam Yugi dan Harjoso (2012), salah satu faktor penyebab rendahnya produksi kacang hijau adalah pengendalian gulma yang belum tepat. Persaingan dengan gulma menyebabkan persaingan dalam hal pemanfaatan sumber daya yang sama yang bisa mengurangi produksi fotosintat tanaman (Ermawati dan Supriyantono, 2001 dalam Yugi dan Harjoso, 2012). Pengendalian gulma terkadang dianggap sebagai suatu hal yang diabaikan oleh petani karena dianggap membutuhkan waktu, tenaga dan biaya yang cukup besar, sehingga perlu dilakukan upaya pola penyiangan yang tepat disesuaikan dengan tingkat stres tanaman terhadap keberadaan gulma yakni dengan cara menentukan waktu penyiangan yang tepat yang dapat memberikan hasil yang optimum. TUJUAN PENELITIAN Tujuan dari penelitian ini adalah sebgai berikut: 1. Untuk mengetahui pengaruh antara konsentrasi pemberian zat pengatur tumbuh auksin golongan NAA (Atonik) dan waktu penyiangan terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman kacang hijau (Vigna radiata L.). 2. Untuk mengetahui konsentrasi pemberian zat pengatur tumbuh auksin golongan NAA (Atonik) dan waktu penyiangan yang dapat memberikan pengaruh terbaik terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman kacang hijau (Vigna radiata L.) 3. Untuk mengetahui interaksi antara konsentrasi pemberian zat poengatur tumbuh auksin golongan NAA (Atonik) dan waktu penyiangan terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman kacang hijau (Vigna radiata L.). METODE PENELITIAN Penelitian akan dilaksanakan di UPTD Balai Pengembangan Benih Palawija AGROSWAGATI | Nomor 1 | Volume 3| November 2015
Konsentrasi ZPT Auksin dan Waktu Penyiangan (BPBP) di Plumbon Cirebon Jawa Barat.. Lokasi berada pada ketinggian ±17 m dpl, dengan jenis tanah regosol, derajat keasaman (pH) 6,92 dan memiiliki curah hujan rata-rata 879 mm/tahun. Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Maret 2014 sampai dengan Juni 2014. Materi utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih kacang hijau varietas walet dan zat pengatur tumbuh auksin golongan NAA (Atonik). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) pola faktorial. Penelitian ini terdiri dari dua faktor yaitu konsentrasi zat pengatur tumbuh auksin golongan NAA (Atonik) dan waktu penyiangan, dengan 12 perlakuan dan 3 kali ulangan. Faktor perlakuan konsentrasi zat pengatur tumbuh auksin golongan NAA (Atonik) terdiri dari 4 taraf konsentrasi, yaitu 0,5 ml/lt (A1), 1,0 ml/lt (A2), 1,5 ml/lt (A3)
dan 2,0 ml/lt (A4). Faktor perlakuan waktu penyiangan terdiri dari 3 taraf yaitu 2 dan 3 MST (B1), 2 dan 4 MST (B2), dan 2 dan 5 MST (B3). Variabel yang diamati dilakukan terhadap komponen pertumbuhan dan hasil tanaman meliputi tinggi tanaman, jumlah daun trifoliate per rumpun, laju pertumbuhan tanaman, jumlah polong per rumpun, bobot biji kering per rumpun, bobot biji kering per petak, bobot 100 butir, dan indeks panen. Pengamatan komponen pertumbuhan dilakukan pada umur 6, 7, 8 dan 9 minggu setelah tanam, sedangkan untuk komponen hasil dilakukan pada saat panen. Data hasil pengamatan dianalisis menggunakan uji F dan apabila terdapat pengaruh yang nyata antar perlakuan dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan pada taraf 5%. Analisis data ini delakukan dengan menggunakan program SPSS.16 for windows.
Gambar 1. Bobot Gulma Total Pada Beberapa Petak Percobaan (Perlakuan) HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan pada gambar 1 diatas menunjukkan bahwa pada perlakuan pemberian zpt yang sama, bobot gulma tertinggi terdapat pada perlakuan waktu penyiangan 2 dan 3 minggu setelah tanam yakni 6,5 kg dan bobot terendah pada perlakuan waktu penyiangan 2 dan 5
AGROSWAGATI | Nomor 1 | Volume 3| November 2015
minggu setelah tanam yakni 4,2 kg. Pada perlakuan waktu penyiangan 2 dan 3 minggu setelah tanam memiliki rentang waktu yang lebih lama sampai pada waktu pengamatan bobot gulma yang dilakukan setelah akhir panen. Hal tersebut memberikan peluang yang cukup lama pula bagi pertumbuhan gulma sehingga
63
Konsentrasi ZPT Auksin dan Waktu Penyiangan intensitas gulma yang tumbuh pun akan semakin tinggi yang akhirnya sangat berpengaruh terhadap bobot total gulma yang diperoleh. Sedangkan untuk perlakuan waktu penyiangan 2 dan 5 minggu setelah tanam memberikan peluang waktu yang lebih sempit sampai pada waktu panen, sehingga pertumbuhan atau intensitas gulma yang tumbuh pun lebih rendah. Pada perlakuan waktu penyiangan yang sama dengan konsentrasi pemberian zpt yang berbeda berdasarkan pada grafik diatas terlihat tidak terlihat perbedaan yang signifikan pada bobot gulma yang dihasilkan. Pada perlakuan A1B2, A2B2 dan A3B2 memiliki bobot gulma total yang sama yakni 6 kg, sedangkan pada perlakuan A4B2 diperoleh bobot gulma total 5 kg. Berdasarkan hal di atas menunjukkan bahwa intensitas pertumbuhan gulma dipengaruhi oleh
waktu penyiangan sedangkan konsentrasi pemberian zpt tidak terlalu berpengaruh terhadap intensitas pertumbuhan gulma. Keberadaan gulma sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman karena keberadaan gulma menyebabkan adanya kompetisi dalam memperoleh faktor-faktor yang berpengaruh bagi pertumbuhan seperti unsur hara, cahaya, air dan ruang tumbuh antara tanaman utama dengan gulma itu sendiri. Waktu penyiangan yang tepat adalah hal penting yang harus diperhatikan dimana sangat berkaitan terhadap waktu tanaman inti memasuki tahap penting dalam fase pertumbuhannya dan fase pada saat produksi, dimana hal tersebut dikenal dengan masa kritis tanaman terhadap keberadaan gulma.
Gambar 2. Indeks Luas Daun Tanaman Kacang Hijau Berdasarkan gambar 2 diatas terlihat bahwa pada perlakuan pemberian konsentrasi zpt Atonik yang sama, perbedaan indeks luas daun tidak berada pada rentang yang yang jauh. Pada perlakuan A1B1 indeks luas daun 0,229840 dimana angka tersebut tertinggi dibandingkan dengan perlakuan waktu penyiangan lainnya dengan konsentrasi pemberian zpt yang sama. Sedangkan
64
pada perlakuan pemberian konsentrasi Atonik yang berbeda, peningkatan indeks luas daun terjadi secara signifikan seiring dengan semakin meningkatnya konsentrasi zpt Atonik yang diberikan. Perlakuan A4B2 memiliki indeks luas daun tertinggi yakni 0,4993495, ini berarti bahwa di atas 1 cm2 permukaan tanah terdapat daun seluas 0,4993495 cm2. Pada tanaman kacang hijau di lahan percobaan,
AGROSWAGATI | Nomor 1 | Volume 3| November 2015
Konsentrasi ZPT Auksin dan Waktu Penyiangan posisi daun saling bersinggungan (sedikit ternaungi) satu dengan yang lain antar rumpun. Keadaan saling menaungi diantara daun seiring dengan perkembangan indeks luas daun dan umur tanaman yang ditanam pada populasi yang umum diterapkan akan berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman. Secara umum perlakuan pemberian zpt Atonik pada beberapa taraf konsentrasi dan waktu penyiangan penyiangan yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang nyata baik pada komponen pertumbuhan maupun pada komponen hasil. Berdasarkan hasil analisa menunjukkan tidak adanya perbedaan yang nyata antara perlakuan konsentrasi pemberian zpt Atonik 0,50 ml/l dan 1,00 ml/l terhadap rata-rata tinggi tanaman
umur 6 MST karena terdapat pada subset yang sama. Namun demikian kedua perlakuan tersebut memberikan perbedaan yang nyata terhadap rata-rata tinggi tanaman pada umur 6 MST dengan kedua perlakuan lainnya, dimana konsentrasi zpt Atonik 1,50 ml/l memberikan pengaruh terbaik terhadap rata-rata tinggi tanaman umur 6 MST yakni 70,2667 cm. Ketiga perlakuan waktu penyiangan memberikan perbedaan yang nyata terhadap rata-rata tinggi tanaman umur 6 MST, dengan waktu penyiangan 2 dan 3 MST (B1) memberikan pengaruh terbaik terhadap rata-rata tinggi tanaman umur 6 MST dengan nilai tinggi 71,7667 cm, sedangkan perlakuan penyiangan 2 dan 4 MST (B2) memiliki rata-rata tinggi tanaman umur 6 MST terendah yakni 65,8833 cm.
Tabel 1. Pengaruh Konsentrasi ZPT Atonik dan Waktu Penyiangan Terhadap Komponen Hasil Berdasarkan Analisis Uji Jarak Berganda Duncan Pada taraf 5% LPT Perlakuan T (cm) JDT JPR (gr/m2/minggu) 6 7 7 8 9 6 7 6 MST 7 MST 8 MST 8 MST MST MST MST MST MST MST MST Konsentrasi Atonik A1 (0,5 82,615 87,958 15,56 17,22 1,777 3.383 3,957 20,78 67,333 a 7,67a 23,67b ml/l) 6a 9a b a a a b b A2 (1,00 67,8222 83,497 88,615 15,56 17,22 1,634 3,421 5,538 10,44 23,22 25,44c ml/l) a 8b 6b b a b a c b c A3 (1,50 70,2667 85,647 90,974 16,44 18,67 1,551 4,102 5,379 12,44 24,89 27,56d ml/l) c 8d 4d c b b c c c d A4 (2,00 68,9556 84,247 89,192 14,33 16,44 1,784 3,596 2,841 17,22 7,33a 20,44a ml/l) b 8c 2c a a c b a a Waktu Penyiangan B1 (2 dan 3 71,7667 86,896 92,620 15,3 17,2 1,58 3,54 4,51 9,42 22,6 25,08b MST) c 7c 0c 3b 5a 6b 8b 4ab b 7b B2 (2 dan 4 65,8833 81,812 86,791 14,5 16,5 1,47 3,15 3,84 7,67 18,0 21,00a MST) a 5a 7a 8a 8a 6a 4a 4a a 0a B3 (2 dan 5 68,1333 83,297 88,144 16,5 18,3 1,54 4,17 4,92 11,3 23,9 26,75c MST) b 5b 2b 0c 3b 8a 5c 9b 3c 2c Keterangan: Nilai yang diikuti huruf kecil yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata; T = Tinggi Tanaman; JDT = Jumlah Daun Trifoliate; LPT = Laju Pertumbuhan Tanaman; JPR = Jumlah Polong Per Rumpun.
Rata-rata tinggi tanaman cenderung meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi zpt Atonik yang diberikan, namun terjadi penurunan pada pemberian konsentrasi zpt Atonik 2,00 ml/l. Perlakuan konsentrasi zpt Atonik 1,50 ml/l (A3) memberikan pengaruh terbaik terhadap rata-rata tinggi tanaman dengan tinggi 85,6478 cm, sedangkan rata-rata terendah 82,6156 cm dihasilkan dari AGROSWAGATI | Nomor 1 | Volume 3| November 2015
perlakuan konsentrasi zpt Atonik 0,05 ml/l (A1). Perlakuan waktu penyiangan (B) memberikan perbedaan yang nyata terhadap rata-rata tinggi tanaman umur 7 MST. Rata-rata tinggi tanaman dari perlakuan waktu penyiangan 2 dan 3 MST memberikan pengaruh terbaik dengan tinggi 86,8967 cm. Sedangkan pada tanaman dengan perlakuan waktu penyiangan 2 dan 4 MST memiliki rata65
Konsentrasi ZPT Auksin dan Waktu Penyiangan rata tinggi terendah yakni 81,8125 cm. Pada umur 8 MST rata-rata tinggi tanaman cenderung meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi zpt Atonik yang diberikan, namun terjadi penurunan pada pemberian konsentrasi zpt Atonik 2,00 ml/l. Perlakuan konsentrasi zpt Atonik 1,50 ml/l (A3) memberikan pengaruh terbaik terhadap rata-rata tinggi tanaman dengan tinggi 90,9744 cm, sedangkan nilai terendah dihasilkan dari perlakuan konsentrasi zpt Atonik 0,50 ml/l (A1) yakni 87,9589 cm. Perlakuan waktu penyiangan (B) memberikan perbedaan yang nyata terhadap rata-rata tinggi tanaman umur 8 MST. Rata-rata tinggi tanaman dari perlakuan waktu penyiangan 2 dan 3 MST (B1) memberikan pengaruh terbaik dengan tinggi 92,6200 cm. Sedangkan pada tanaman dengan perlakuan waktu penyiangan 2 dan 4 MST (B2) memiliki rata-rata tinggi terendah yakni 86,7917 cm (Tabel 1). Pemberian zpt Atonik diasumsikan sangat berperan dalam pengaruhnya terhadap proses aliran plasma sel dan mengefektifkan penyerapan pupuk sehingga dapat memici pertumbuhan tanaman. Proses penyiangan pun berpengaruh positif terhadap pertumbuhan tanaman, karena dengan dilakukannya penyiangan maka kompetisi terhadap faktor-faktor yng berperan untuk pertumbuhan antara tanaman utama dan gulma. Berdasarkan tabel 1 hasil uji jarak berganda Duncan 5% menunjukkan tidak adanya perbedaan yang nyata antara perlakuan konsentrasi pemberian zpt Atonik 0,50 ml/l (A1) dan 1,00 ml/l (A2) terhadap rata-rata jumlah daun trifoliate umur 6 MST karena terdapat pada subset yang sama. Namun demikian kedua perlakuan tersebut memberikan perbedaan yang nyata terhadap rata-rata jumlah daun trifolite pada umur 6 MST dengan kedua perlakuan lainnya, dimana konsentrasi zpt Atonik 1,50 ml/l (A3) memberikan pengaruh terbaik yakni 16,44, sedangkan rata-rata jumlah daun trifoliate terendah dihasilkan dari perlakuan konsentrasi zpt Atonik 2,00 ml/l (A4) yakni 14,33. Ketiga perlakuan waktu penyiangan memberikan perbedaan yang nyata terhadap rata-rata jumlah 66
daun trifoliate pada umur 6 MST, dengan waktu penyiangan 2 dan 3 MST (B3) memberikan pengaruh terbaik terhadap rata-rata jumlah daun trifoliate pada umur 6 MST dengan nilai tinggi 16,50, sedangkan nilai rata-rata terendah dihasilkan dari perlakuan waktu penyiangan 2 dan 4 MST (B2) yakni 14,58. Rata-rata tinggi tanaman pada umur 7 MST cenderung meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi zpt Atonik yang diberikan, namun terjadi penurunan pada pemberian konsentrasi zpt Atonik 2,00 ml/l (A4). Perlakuan konsentrasi zpt Atonik 1,50 ml/l (A3) memberikan pengaruh terbaik terhadap rata-rata jumlah dauh daun trifoliate pada umur 7 MST yakni 18,67, dan rata-rata terendah diperoleh dari perlakuan konsentrasi zpt Atonik 2,00 ml/l (A4) yakni 16,44. Perlakuan waktu penyiangan 2 dan 3 MST (B1) dan waktu penyiangan 2 dan 4 MST (B2) tidak berbeda nyata terhadap rata-rata jumlah daun trifoliate pada umur 7 MST. Rata-rata junlah daun trifoliate perlakuan waktu penyiangan 2 dan 5 MST (B3) memberikan pengaruh terbaik yakni 18,33. Sedangkan pada tanaman dengan perlakuan waktu penyiangan 2 dan 4 MST (B2) memiliki rata-rata terendah yakni 16,58. Perlakuan pemberian zpt Atonik 1,00 ml/l (A2) dan 1,50 ml/l (A3) menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap rata-rata laju pertumbuhan tanaman pada umur 7 MST. Namun demikian kedua perlakuan tersebut memberikan perbedaan yang nyata terhadap rata-rata laju pertumbuhan tanaman pada umur 7 MST dengan kedua perlakuan lainnya. Perlakuan waktu penyiangan 2 dan 4 MST (B2) dan waktu penyiangan 2 dan 5 MST (B5) tidak berbeda nyata terhadap rata-rata laju pertumbuhan tanaman pada umur 7 MST, begitu juga antara waktu penyiangan 2 dan 3 MST (B1) dan waktu penyiangan 2 dan 5 MST (B3), sedangkan perlakuan waktu penyiangan 2 dan 3 MST (B1) dan waktu penyiangan 2 dan 4 MST (B2) berbeda nyata terhadap rata-rata laju pertumbuhan tanaman pada umur 7 MST. Berdasarkan tabel 1 terlihat tidak adanya perbedaan yang nyata terhadap rata-rata laju pertumbuhan tanaman pada AGROSWAGATI | Nomor 1 | Volume 3| November 2015
Konsentrasi ZPT Auksin dan Waktu Penyiangan umur 8 MST pada perlakuan konsentrasi zpt Atonik 0,50 ml/l (A1) dan konsentrasi zpt Atonik 1,00 ml/l. Rata-rata laju pertumbuhan tanaman pada umur 8 MST cenderung meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi zpt Atonik yang diberikan, namun terjadi penurunan pada pemberian konsentrasi zpt Atonik 2,00 ml/l (A4). Perlakuan waktu penyiangan (B) memberikan perbedaan yang nyata terhadap rata-rata laju pertumbuhan tanaman pada umur 8 MST. Rata-rata laju pertumbuhan tanaman umur 9 MST m,enunjukkan adanya perbedaan yang nyata pada perlakuan konsentrasi zpt Atonik 0,50 ml/l (A1), 1,50 ml/l (B3) dan 2,00- ml/l (A4), sedangkan untuk perlakuan konsentrasi zpt Atonik 1,00 ml/l (A2) memberikan hasil yang tidak berbeda nyata dengan hasil perlakuan konsentrasi zpt Atonik 1,50 ml/l (A3) namun berbeda nyata dengan hasil dari perlakuan lainnya. Perlakuan waktu penyiangan 2 dan 3 MST (B1) memberikan hasil yang tidak berbeda nyata dengan hasil yang diperoleh dari perlakuan waktu penyiangan 2 dan 4 MST (B2). perbedaan yang nyata terhadap ratarata tinggi tanaman umur 9 MST. perlakuan waktu penyiangan 2 dan 3 MST (B1) juga memberikan hasil yang tidak berbeda nyata dengan hasil yang diperoleh dari perlakuan waktu penyiangan 2 dan 5 MST (B3). Berdasarkan tabel diatas hasil rata-rata tertinggi diperoleh dari perlakuan waktu penyiangan 2 dan 5 MST (B3). Pemberian Atonik dapat merangsang seluruh jaringan tumbuhan secara biokimiawi dan langsung meresap melalui akar, batang, dan daun sehingga dapat mempercepat metabolisme pada tumbuhan. Atonik adalah zat perangsang tumbuh yang mempunyai peranan dalam mendorong pertumbuhan tanaman. Namun demikian dalam penggunaannya harus dengan dosis yang tepat karena pada dosis yang tinggi maka akan bersifat sebagai inhibitor yaitu menghambat proses metabolisme (Lestari, 2011). Menurut Naem dan Ahmad (1999) dalam Harjoso dan Yugi (2012) menjelaskan bahwa penyiangan memegang peranan penting dalam pengendalian gulma dalam AGROSWAGATI | Nomor 1 | Volume 3| November 2015
menjaga atau mempertahankan pertumbuhan. Gulma harus disiang pada waktu yang tepat dimana waktu tersebut didekatkan dengan fase pertumbuhan tanaman utama yang dijadikan sebagai waktu krisis terhadap gulma. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa waktu penyiangan 2 dan 5 minggu memberikan hasil yang lebih efektif terhadap pertumbuhan dan produksi. Tidak adanya perbedaan yang nyata antara perlakuan konsentrasi pemberian zpt Atonik 1,00 ml/l (A2) dan 2,00 ml/l (A4) terhadap rata-rata jumlah polong per rumpun terjadi pada tanaman umur 6 MST. Namun demikian kedua perlakuan tersebut memberikan perbedaan yang nyata terhadap rata-rata laju pertumbuhan tanaman pada umur 7 MST dengan kedua perlakuan lainnya. Nilai rata-rata jumlah polong per rumpun tertinggi pada umur 6 MST dihasilkan pada perlakuan konsentrasi zpt Atonik 1,500 ml/l (A3) yakni 12,44. Masing-masing perlakuan waktu penyiangan memberikan hasil yang berbeda nyata terhadap rata-rata jumlah polong per rumpun pada umur 6 MST. Hasil rata-rata tertinggi diperoleh pada perlakuan waktu penyiangan 2 dan 5 MST (B3) yakni 11,33. Berdasarkan hasil analisin uji jarak berganda Duncan 5% pada tabel 19 (lampiran), terlihat adanya perbedaan yang nyata terhadap rata-rata jumlah polong per rumpun pada umur 7 MST pada masing-masing perlakuan konsentrasi zpt Atonik. Rata-rata jumlah polong per rumpun pada umur 7 MST cenderung meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi zpt Atonik yang diberikan, namun terjadi penurunan pada pemberian konsentrasi zpt Atonik 2,00 ml/l (A4). Nilai rata-rata jumlah polong per rumpun terbaik dihasilkan pada perlakuan konsentrasi zpt Atonik 1,50 ml/l (A3) yakni 24,89 buah. Setiap perlakuan waktu penyiangan (B) memberikan perbedaan yang nyata terhadap rata-rata jumlah polong per rumpun pada umur 8 MST. Hasil yang diperoleh dari perlakuan waktu penyiangan 2 dan 4 MST (B2) lebih rendah dari hasil yang diperoleh pada perlakuan waktu penyiangan 2 dan 3 MST (B1). Hasil 67
Konsentrasi ZPT Auksin dan Waktu Penyiangan terbaik diperoleh pada perlakuan waktu penyiangan 2 dan 5 MST (B3) yakni 23,92 buah. Perbedaan yang nyata terhadap rata-rata jumlah polong per rumpun terjadi pada tanamn umur 9 MST pada masing-masing perlakuan konsentrasi zpt Atonik. Rata-rata jumlah polong per rumpun cenderung meningkat seiring dengan semakin meningkatnya konsentrasi zpt Atonik yang diberikan, namun rata-rata jumlah polong per rumpun pada perlakuan konsentrasi zpt Atonik 2,00 ml/l (A4) lebih rendah dari rata-rata jumlah polong per rumpun pada perlakuan konsentrasi zpt Atonik 0,50 ml/l (A1). Rata-rata jumlah polong per rumpun pada umur 8 MST terbaik diperoleh pada perlakuan konsentrasi zpt Atonik 1,50 ml/l (A3) yakni 27,56 (27 buah). Masing-masing perlakuan waktu penyiangan menunjukkan hasil yang berbeda nyata. Rata-rata jumlah polong per rumpun pada perlakuan waktu penyiangan 2 dan 4 MST (B2) terendah
dibandingkan dengan hasil yang diperoleh dari kedua perlakuan waktu penyiangan yang lainnya. Rata-rata terbaik diperoleh pada perlakuan waktu penyiangan 2 dan 5 MST (B3) yakni 26,75 (27 buah). Rata-rata Rata-rata jumlah polong per rumpun cenderung meningkat seiring dengan semakin meningkatnya konsentrasi zpt Atonik yang diberikan, namun rata-rata jumlah polong per rumpun pada perlakuan konsentrasi zpt Atonik 2,00 ml/l (A4) lebih rendah dari rata-rata jumlah polong per rumpun pada perlakuan konsentrasi zpt Atonik 0,50 ml/l (A1). Hasil terbaik diperoleh pada perlakuan A3B3 yakni 31 buah. Atonik memiliki daya fisiologi yang dapat memperbanyak pertumbuhan buah sehingga rata-rata jumlah buah akan meningkat. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa dosis pemberian Atonik 1,50 ml/l merupakan dosis optimum karena pada pemberian dosis 2,00 ml/l jumlah polong yang tumbuh semakin menurun (Tabel 1).
Tabel 2. Pengaruh Konsentrasi ZPT Atonik dan Waktu Penyiangan Terhadap Komponen Hasil Berdasarkan Analisis Uji Jarak Berganda Duncan Pada taraf 5% Perlakuan Bobot Biji Per Bobot Biji Per Bobot 100 Butir Indeks Panen Rumpun (g) Petak (g) (g) Konsentrasi Atonik A1 (0,5 ml/l) 1,042a 1,001a 6,491a 0,216b A2 (1,00 ml/l) 1,129b 1,084b 6,788b 0,208a A3 (1,50 ml/l) 1,258c 1,208c 7,616c 0,205a A4 (2,00 ml/l) 1,040a 9,990a 6,495a 0,221b Waktu Penyiangan B1 (2 dan 3 1,124b 1,079b 6,853b 0,214b MST) B2 (2 dan 4 1,087a 1,044a 6,604a 0,226c MST) B3 (2 dan 5 1,142c 1,096c 7,085c 0,197a MST) Keterangan: Nilai yang diikuti huruf kecil yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata Rata-rata bobot biji kering per rumpun pada masing- masing perlakuan menunjukkan jumlah yang cenderung meningkat, kecuali untuk perlakuan konsentrasi zpt Atonik 2,00 ml/l (A4) yang memberikan hasil tidak berbeda nyata dengan hasil pada perlauan konsentrasi
68
zpt Atonik 0.50 ml/l (A1). Pada masingmasing perlakuan waktu penyiangan menunjukkan hasil yang berbeda nyata. Rata-rata bobot biji kering per rumpun pada perlakuan waktu penyiangan 2 dan 4 MST (B2) terendah dibandingkan dengan hasil yang diperoleh dari kedua perlakuan
AGROSWAGATI | Nomor 1 | Volume 3| November 2015
Konsentrasi ZPT Auksin dan Waktu Penyiangan waktu penyiangan yang lainnya (Tabel 2). Berat kering biji sangat berkaitan erat dengan jumlah fotosintat yang terakumulasi pada polong. Fotosisntat yang terakumulasi baik pada bagian vegetatif yang terekam pada berat kering brangkasan maupun yang terekam pada berat kering biji sangat dipengaruhi oleh daun tanaman yang merupakan organ fotosintesis. Hasil fotosintesis yang berupa gula reduksi digunakan sebagai sumber energi untuk memelihara kehidupan tanaman, dibentuk sebagai tubuh tanaman (akar, batang dan daun) serta diakumulasikan dalam buah, biji atau organ penimbun (sink). Selanjutnya hasil fotosintesis yang tertimbun dalam bagian vegetatif sebagian ditransfer ke bagian generatif (polong) setelah bagian tersebut terbentuk dan tumbuh. Rata-rata bobot biji kering per petak pada masingmasing perlakuan menunjukkan jumlah yang cenderung meningkat, kecuali untuk perlakuan konsentrasi zpt Atonik 2,00 ml/l (A4) yang memberikan hasil tidak berbeda nyata dengan hasil pada perlauan konsentrasi zpt Atonik 0.50 ml/l (A1). Pada masingmasing perlakuan waktu penyiangan menunjukkan hasil yang berbeda nyata. Rata-rata bobot biji kering per petak pada perlakuan waktu penyiangan 2 dan 4 MST (B2) terendah dibandingkan dengan hasil yang diperoleh dari kedua perlakuan waktu penyiangan yang lainnya. Rata-rata bobot biji kering per petak cenderung meningkat seiring dengan semakin meningkatnya konsentrasi zpt Atonik yang diberikan, namun rata-rata bobot biji kering pada perlakuan konsentrasi zpt Atonik 2,00 ml/l (A4) hampir sama dengan rata-rata bobot biji kering per petak pada perlakuan konsentrasi zpt Atonik 0,50 ml/l (A1). Hasil terbaik diperoleh pada perlakuan A3B3 yakni 1.257,408 g/petak. Menurut Lestari (2012) penambahan zat-zat yang berasal dari Atonik seperti S, Bo, Fe, Zu, dan Cu walaupun dalam jumlah kecil tetapi sangat dibutuhkan oleh tanaman karena dapat membantu kerja enzim. Tanpa adanya enzim maka proses metabolisme akan berlangsung lambat atau tidak dapat berlamngsung sama sekali. Dengan AGROSWAGATI | Nomor 1 | Volume 3| November 2015
adanya peningkatan proses metabolisme menyebabkan peningkatan pembentukan karbohidrat, protein dan lemak yang pada akhirnya potensi panen dapat lebih meningkat. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi zpt Atonik 1,50 ml/l adalah konsentrasi optimal dengan potensi panen tertinggi, dengan waktu penyiangan terbaik adalah 2 dan 5 minggu setelah tanam. Pada umur 2 MST tanaman mulai giat dalam memasuki fase vegetatif (pertumbuhan) dan ini tetap berlangsung pada saat tanaman memasuki fase generatif, sedangka umur 5 MST adalah waktu tanaman berbunga, sehingga untuk menghasilkan buah yang tinggi maka pembentukan bunga harus optimal sehingga kompetisi tanaman dengan gulma harus seminimal mungkin. Bobot 100 butir menunjukkan adanya perbedaan yang nyata pada masing- masing perlakuan dengan jumlah yang cenderung meningkat, kecuali untuk perlakuan konsentrasi zpt Atonik 2,00 ml/l (A4) yang memberikan hasil tidak berbeda nyata dengan hasil pada perlakuan konsentrasi zpt Atonik 0.50 ml/l (A1). Pada masing-masing perlakuan waktu penyiangan menunjukkan hasil yang berbeda nyata. Rata-rata bobot 100 butir pada perlakuan waktu penyiangan 2 dan 4 MST (B2) terendah dibandingkan dengan hasil yang diperoleh dari kedua perlakuan waktu penyiangan yang lainnya. Rata-rata bobot 100 butir cenderung meningkat seiring dengan semakin meningkatnya konsentrasi zpt Atonik yang diberikan, namun rata-rata bobot biji kering per rumpun pada perlakuan konsentrasi zpt Atonik 2,00 ml/l (A4) hampir sama dengan rata-rata bobot biji kering per rumpun pada perlakuan konsentrasi zpt Atonik 0,50 ml/l (A1), terdapat 2 titik yang saling berpotongan yang menunjukkan hasil yang sama pada waktu penyiangan tertentu, namun secara garis besar ratarata bobot 100 butir pada konsentrasi zpt Atonik 2.00 ml/l (A4) lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata bobot 100 butir pada perlakuan konsentrasi zpt Atonik 0.50 ml/l (A1). Hasil terbaik
69
Konsentrasi ZPT Auksin dan Waktu Penyiangan diperoleh pada perlakuan A3B3 yakni 8,24 g (Tabel 2). Pada indeks panen menunjukkan tidak adanya perbedaan yang nyata terhadap rata-rata indeks panen pada perlakuan konsentrasi zpt Atonik 1,00 ml/l (A2) dan konsentrasi zpt Atonik 1,50 ml/l (A3). Hal yang sama juga terlihat pada perlakuan konsentrasi zpt Atonik 0,50 ml/l (A1) dan konsentrasi zpt Atonik 2,00 ml/l (A4). Pada masing-masing perlakuan waktu penyiangan menunjukkan hasil yang berbeda nyata. Rata-rata indeks panen pada perlakuan waktu penyiangan 2 dan 5 MST (B3) terendah yakni 0,197742 dan tertinggi pada perlakuan waktu penyiangan 2 dan 4 MST (B2) yakni 0.226733 (Tabel 2). Ratarata indeks panen cenderung lebih tinggi untuk perlakuan waktu penyiangan 2 dan 4 MST (B2) dibandingkan dengan hasil yang diperoleh dari 2 perlakuan waktu penyiangan lainnya terkecuali pada perlakuan konsentrasi zpt Atonik 1.50 ml/l (A3) dimana terlihat rata-rata indeks panen terendah terdapat pada perlakuan waktu penyiangan 2 dan 4 MST (B2) namun hasil tersebut tidak jauh berbeda dengan hasil yang diperoleh pada waktu penyiangan 2 dan 5 MST (B3). Rata-rata indeks panen tertinggi diperoleh pada perlakuan A4B2 yakni 0,2402. Dari hasil percobaan diperoleh rata-rata indeks panen dengan nilai rendah, hal ini dikarenakan bobot brankasan tanaman yang tinggi akibat dari pertumbuhan yang tinggi pula hal ini disebabkan oleh pengaruh pemberian zpt Atonik seperti yang telah diuraikan di atas. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian pengaruh konsentrasi zpt auksin golongan NAA (Atonik) dan waktu penyiangan terhadap pertumbuhan dan hasil kacang hijau, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Terdapat pengaruh interaksi antara konsentrasi zpt auksin golongan NAA (Atonik) dan waktu penyiangan terhadap tinggi tanaman umur 7 MST dan 8 MST, laju pertumbuhan 70
2.
tanaman umur 9 MST, bobot biji per petak, bobot biji per rumpun, bobot 100 butir dan indeks panen. Perlakuan konsentrasi zpt Atonik 1,5 ml/l dengan waktu penyiangan 2 dan 5 MST (A3B3) menunjukkan hasil terbaik pada bobot biji kering per petak yakni 1.257,408 g.
Saran Berdasarkan kesimpulan di atas, maka saran yang dapat penulis ajukan sebagai berikut: 1. konsentrasi zpt Atonik 1,5 ml/l dengan waktu penyiangan 2 dan 5 MST disarankan untuk digunakan dalam budidaya kacang hijau varietas walet. 2. Untuk mendapatkan rekomendasi yang lebih tepat perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terutama untuk varietas yang berbeda, jenis tanah yang berbeda, interval pemberian zpt Atonik, metode penyiangan yang berbeda, jenis dan dosis pupuk. DAFTAR PUSTAKA Atman. 2007. Teknologi Budidaya Kacang Hijau (Vigna radiata L.) Di Lahan Sawah. Jurnal Ilmiah Tambua, Vol.VI, No. 1, Januari-April 2007:89-95 hlm. ISSN 1412-5838. Budiastuti Sri. 2000. Penggunan Triakontanol Dan Jarak Tanam Pada Tanaman Kacang Hijau (Phaseolus radiatus L.). Agrosains Vol. 2 No. 2, 2000. Dalnavizadeh Parviz dan Mohammad Mehranzadeh. 2013. Effect Of Seed Rate On Growth, Yield Components And Yield Of Mungbean Grown Under Irrigated Conditions In The North Of Khuzestan. IJACS/2013/520/2359-2364. ISSN 2227-670X. Dewi Intan Ratna. 2008. Peranan dan Fungsi Fitohormon Bagi Tumbuhan. http:// pustaka. unpad. ac.id diakses 1 Nopember 2013. Departemen Pertanian. 2013. Mengenal Tanaman Kacang Hijau. http:// cybex. deptan. go.id/ penyuluhan/ mengenal-tanaman-kacang-hijau diakses 27 Oktober 2013
AGROSWAGATI | Nomor 1 | Volume 3| November 2015
Konsentrasi ZPT Auksin dan Waktu Penyiangan Department Agriculture, Forestry and Fisheries Republic of South Africa. 2010. Mung Bean: Production Guideline. http:// www.nda.agric.za/docs/Brochures/ MbeanpGUDELINS.pdf diakses 20 Desember 2013 Direktorat Budidaya Aneka Kacang dan Umbi. 2012. Kacang Hijau. Buletin Direktorat Budidaya Aneka Kacang dan Umbi Periode Bulan September 2012. Djanaguiraman, M., M. Pandiyan, D. Durga Devi. 2005. Abscission of Tomato Fruit Follows Oxidative Damage and its Manipulation by Atonik Spray. International Journal of Agriculture and Biology, 15608530/2005/07-1-39-44. Haroun, S. A., W. M. Shukry, M. A. Abbas, dan A. M. Mowafy. 2011. Growth and Physiological Responses of Solanum lycopersicum to Atonik and Benzyl Adenine Under Vernalized Conditions. Journal of Ecology and The Natural Environment Vol. 3(9), pp. 319-331, 12 September 2012. Harso Tri. 2010. Dasar-dasar Perlindungan Tanaman. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. 215 – 237. Hartati Sri. 2010. Pengaruh Macam Ekstrak Bahan Organik Dan ZPT Terhadap Pertumbuhan Planlet Anggrek Hasil Persilangan Pada Media Kultur. Caraka Tani XXV No. 1 Maret 2010. Heddy Suwasono. 2003. Ekofisiologi Pertanaman. Sinar Baru Algesindo, Bandung. 133 hal. Jumin Hasan Basri. 2008. Dasar-Dasar Agronomi. Raja Grafindo Persada, Jakarta. 250 hal.
AGROSWAGATI | Nomor 1 | Volume 3| November 2015
Lakitan Benyamin. 2012. Dasar-Dasar Fisiologi Tumbuhan. Raja Grafindo Persada, Jakarta. 206 hal. Lestari Bibit Lilik. 2011. Kajian ZPT Atonik dalam Berbagai Konsentrasi dan Interval Penyemprotan Terhadap Produktivitas Tanaman Bawang Merah (Allium ascolanicum L.). Rekayasa, Vol 4 No. 1, April 2011. Murrinie, E. D. 2010. Analisis Pertumbuhan Tanaman Kacang Tanah Dan Pergeseran Komposisi Gulma Pada Frekuensi Penyiangan dan Jarak Tanam Yang Berbeda. Sitompul, S. M., dan Bambang Guritno. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. 407 hal. Subali Bambang. 2010. Analisis Statistika Menggunakan Program SPSS Aplikasinya Dalam Rancangan Percobaan. Universitas Negeri Yogyakarta. 69 hal. Sumiaty Etty. 1990. Pengaruh Konsentrasi Zat Pengatur Tumbuh Atonik 6,5L Terhadap Hasil dan Kualitas Buah Cabe besar Kultivar Padang. Buletin Penelitian Hortikultura Vol. XX No. 2, 1990. Sunarlim, N., Elfi, R., dan Ana, M. 2012. Performan Sifat Vegetatif, Komponen Hasil, Dan Hasil Berbagai Bvarietas Kacang Jijau (Vigna radiata L.) Di Media Gambut. Jurnal Agroteknologi Vol. 2 No. 2, Februari 2012:7-14. Yugi Ahadiyat dan Tri Harjoso. 2012. Karakter Hasil Biji Kacang Hijau Pada Pemupukan P dan Intensitas Penyiangan Yang Berbeda. Jurnal Agrivigor 11(2):137-143, Januari-April 2012. ISSN 1412-2286
71
PENGARUH KONSENTRASI ZPT GA3 DAN LAMANYA PERENDAMAN BENIH TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN KACANG HIJAU (Phaseolus vulgari) VARIETAS SRITI. Regulatory Effect Subtance Concentration GA3 Plants and Duration Of Seed Soaking On Plant Growth and Results Of Green Bean (Phaseolus vulgari) Variety Sriti. Oleh : Linda Permasi Dewi1 ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh konsentrasi ZPT GA3 dan lamanya perendaman benih terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman Kacang Hijau (Phaseolus vulgari) varietas sriti. Penelitian ini menggunakan metode percobaan yang dilaksanakan di lahan di BPBP Plumbon Kecamatan Plumbon Kabupaten Cirebon. Penelitian ini dilakukan pada bulan April sampai Agustus 2013. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap Pola Faktorial diulang dua kali dengan dua faktor, terdiri dari Giberellin (GA3) sebagai faktor pertama yang terdiri dari 4 taraf yaitu : G1 = 10 ppm, G2 = 20 ppm, G3 = 30 ppm, G4 = 40 ppm. Lamanya perendaman benih ebagai fktor yang kedua terdiri dari 4 taraf yaitu : R1 = 2 jam, R2 = 4 jam, R3 = 6 jam, R4 = 8 jam. Variabel yang diamati meliputi Daya Tumbuh, Tinggi Tanaman, Jumlah Cabang, Jumlah Daun, Jumlah Polong per Tanaman, Jumlah Biji per Tanaman, Bobot Biji Kering per Tanaman, Bobot Biji Kering per Petak, dan Bobot 100 Biji Kering. Hasil penelitian menunjukkan terjadinya pengaruh interaksi antara Lamanya Perendaman Benih dan Giberellin (GA3) terhadap Daya Tumbuh 5 hst, Tinggi Tanaman umur 21 dan 28 hst, Jumlah Biji per Tanaman pada Kacang Hijau (Phaseolus vulgari) Varietas Sriti.Pengaruh mandiri konsentrasi ZPT GA3 dan Lamanya Perendaman Benih berpengaruh nyata terhadap Jumlah Polong per Tanaman, bobot Biji kering per Petak dan Bobot 100 Biji Kering. Terdapat Korelasi positif yang nyata antara Jumlah Daun (21 hst), dengan Bobot Biji Kering per Tanaman Kacang Hijau. Kata Kunci : Kacang Hijau, Aplikasi ZPT GA3, Lamanya perendaman, pertumbuhan, hasil PENDAHULUAN1 Kacang-kacangan memiliki peranan pokok sebagai pemenuh kebutuhan pangan dan industri dalam negeri yang setiap tahun mengalami peningkatan sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk dan berkembangnya industri pangan. Disamping itu kacang-kacangan merupakan sumber protein nabati yang sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia Indonesia. Untuk itu maka pengembangan kacangkacangan harus terus diupayakan dan ditingkatkan karena akan berdampak pada peningkatan pendapatan petani. Kacang hijau memiliki kandungan gizi yang cukup baik, mengandung 1
Mahasiswa Program Pascasarjana Program Studi Agronomi Unswagati Cirebon
kandungan B1 dan vitamin A, kacang hijau yang sudah menjadi kecambah kaya kandungan vitamin E (tokoferol) yang penting sebagai anti oksidan, dalam mencegah penuaan dini, dan anti sterilitas. Kandungan protein kacang hijau mencapai 24% dengan kandungan asam amino esensial seperti isoleusin, eosin, lisin, metionin, fenilalanin, theonin, triptofan dan valin.Kacang hijau mengandung karbohidrat sekitar 58%.Pemanfaatn dari patinya dapat dibuat sebagai tepung bahan berbagai bentuk makanan bayi sampai oraang dewasa. Pati kacang hijau terdiri dari amilosa 28,8% dan amilopektin 71,2%. Kegunaan lain pada tanaman kacang hijau adalah sebagai pupuk hijau dan penutup tanah (Balittan, 2007)
Konsentrasi ZPT GA3 dan Lamanya Perendaman Benih Pada Kacang Hijau Komoditi kacang hijau mempunyai arti yang strategis karena menyediakan kebutuhan paling esensial bagi kehidupan sebagai bahan pangan serta sumber protein nabati yang sangat dibutuhkan. Kebutuhan akan kacang hijau akan semakin meningkat sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk dan berkembangnya industri pangan dan pakan. Disisi lain produksi kacang hijau yang dihasilkan belum dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Pengembangan kacang hijau harus terus diupayakan dan ditingkatkan guna memenuhi kebutuhan tersebut dan tentunya akan berdampak pula pada peningkatan pendapatan petani dan menggerakkan kegiatan perekonomian di wilayah pedesaan. Upaya-upaya pengembangan kacang hijau dilakukan melalui peningkatan luas areal tanam, panen dan produktivitas, nilai tambah dan daya saing. Daerah-daerah sentra kacang hijau yang selama ini menurun luas tanamnya bahkan mengalihkan ke komoditas lain perlu diarahkan dan dibimbing untuk menanam kembali kacang hijau. Peranan pemerintah provinsi dan kabupaten / kota sangat diharapkan fasilitasinya dalam upaya pembinaan peningkatan produksi kacang hijau dengan memanfaatkan potensi dan peluang yang ada di daerah masingmasing. Pada saat yang bersamaan diperlukan pula peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) dalam rangka pemberdayaan petani / pelaku agribisnis kacang hijau guna mewujudkan produk.yang berdaya saing dan berkelanjutan, melalui pemberdayaan dan pembentukan kelompok tani, gabungan kelompok tani bahkan asosiasi yang menangani dan berperan dalam agribisnis kacang hijau. Menurut Departemen Pertanian (2012), permasalahan dalam pengembangan komoditi kacang hijau secara umum adalah sebagai berikut ; a. Penerapan teknologi anjuran belum berkembang yang mengakibatkan produktivitas belum optimal, b. Penggunaan benih bermutu masih rendah, AGROSWAGATI | Nomor 1 | Volume 3| November 2015
c.
Penggunaan pupuk berimbang, hayati dan organik masih rendah, d. kompetisi lahan dengan komoditas lainnya, e. Resiko budidaya tinggi, f. Harga kurang menarik dibanding komoditas lain, g. Masih dianggap sebagai tanam sela dalam sistem budidaya, h. lemahnya akses petani terhadap sumber permodalan / pembiayaan usaha, dan i. Kelembagaan dan kemitraan usaha belum berkembang. Disamping itu, kendala di luar sektor pertanian juga sangat berpengaruh yaitu antara lain : a) semakin berkurangnya ketersediaan lahan produksi akibat alih fungsi lahan, b) berkurangnya ketersediaan air irigasi dan persaingan penggunaan air dengan industri dan pemukiman, c) Dampak Perubahan Iklim (DPI) dan d) Laju pertumbuhan penduduk. Menurut Rini Wudianto, (1999) salah satu upaya untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas kacang hijau adalah menggunakan benih yang berkualitas. Untuk mendapatkannya adalah dengan menanam benih yang mempunyai vigor yang baik. Untuk memacu pertumbuhan benih adalah memperhatikan syarat-syarat tumbuh tanaman, juga harus memperhatikan faktor penunjang lainnya seperti penggunaan ZPT (Zat Pengatur Tumbuh). Di dalam dunia tumbuhan, zat pengatur tumbuh mempunyai peranan dalam pertumbuhan dan perkembangan (growth and development) untuk kelangsungan hidupnya. (Went and Thymann. 1937) menyatakan bahwa Ohne wuchstoff, kein wachstum artinya ; Tanpa zat pengatur tumbuh berarti tidak ada pertumbuhan. Pemberian zat pengatur tumbuh (ZPT) merupakan upaya untuk mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman sehingga tanaman dapat tumbuh lebih optimal. ZPT dapat meningkatkan kemampuan bersaing tanaman terhadap gulma dan meningkatkan produksi.
74
Konsentrasi ZPT GA3 dan Lamanya Perendaman Benih Pada Kacang Hijau ZPT adalah senyawa organik bukan unsur hara yang dalam jumlah sedikit sekali dapat mempengaruhi proses fisiologi tanaman, baik sebagai perangsang maupun sebagai penghambat pertumbuhan (Harjadi, 1996). Senyawa organik ini didalam tanaman dapat mendorong atau mempengaruhi inisiasi reaksi biokimia dan perubahan komposisi kimia yang mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan pola pertumbuhan dan perkembangan tanaman sehingga terbentuk akar, batang, cabang, daun, bunga, buah, dan bagian lain (Davies, 1995). Menurut Wareing (1982), ZPT dapat berfungsi untuk mendorong aktivitas fisiologis tanaman sehingga dapat meningkatkan keefektifan penggunaan energi matahari dan pemakaian unsur hara. ZPT adalah senyawa bukan hara dalam jumlah tertentu akan mendorong, menghambat dan bahkan dapat pula mengatur proses fisiologis dalam pertumbuhan awal tanaman. Salah satu zat pengatur tumbuh yang aktif dalam pertumbuhan awal tanaman adalah GA3. GA3 diduga berperan menggantikan kebutuhan cahaya dan suhu yang diperlukan bagi perkecambahan benih. Peranan giberelin tidak hanya merangsang perkecambahan benih, tetapi juga bersifat mengendalikan pertumbuhan aktif tanaman. Pengaruh fisiologis giberelin terhadap tanaman menyebabkan perpanjangnya batang, memperbesar ukuran bunga dan daun, dapat pula menyebabkan perubahan warna daun.Disamping itu beberapa tanaman mengalami peningkatan luas daun. BAHAN DAN METODE Percobaan akan dilaksanakan di Lahan Desa Pamijahan Kecamatan Plumbon Kabupaten Cirebon, yang berada pada ketinggian 19 m dpl. Curah hujan rata-rata per tahun yaitu 879 mm/tahun, dan termasuk tipe curah hujan termasuk tipe C (agak basah).Waktu percobaan akan dimulai dari bulan April 2013 sampai dengan Agustus 2013.
75
Bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah : benih kacang hijau varietas sriti (Deskripsi pada Lampiran 1), Giberellin (GA3), pupuk urea, pupuk sp36, furadan 3G, Decis 25EC. Alat yang digunakan untuk percobaan ini antara lain : Thermometer, Baskom, Cangkul, kored, ajir, papan nama, selang tetes, kertas label,sprayer, pipet, gelas ukur, penggaris, alat tulis, dan lain sebagainya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) pola faktorial. Penelitian ini terdiri dari dua faktor yaitu perlakuan konsentrasi ZPT GA3 dan Lamanya Perendaman Benih pada tanaman kacang hijau varietas sriti, yaitu : Faktor pertama perlakuan zat pengatur tumbuh Ga3 terdapat 4 taraf, yaitu : G1 (10 ppm), G2 (30 ppm), G3 (20 ppm), G4 (40 ppm) Faktor kedua Lamanya perendaman terdapat 4 taraf, yaitu : R1 (2 jam), R2 (4 jam), R3 (6 jam), R4 (8 jam) Pengolahan lahan yang akan digunakan, di ukur dan dibersihkan dari gulma kemudian dibuat plot percobaan dengan jarak 40 cm x 15 cm dibuat parit drainase dengan jarak antar plot 25cm. Pembuatan Larutan GA3 yang digunakan adalah giberelin berbentuk cair dengan kandungan 10 mg/100 ml. Dalam penentuan pembuatan larutan GA3 mengikuti rumus sebagai berikut: N1.V1 = N2.V2 Keterangan : N1 :Konsentrasi larutan Ni : Standar (ppm), V1 : Volume air media yang digunakan (liter), N2 : Konsentrasi Ni yang diinginkan (ppm), V2 : Volume larutan standar yang digunakan (liter). Terlebih dahulu membuat larutan stok (larutan induk) GA3 yaitu dengan membuatlarutan 100 ppm GA3 = 100 mg atau 0,1 g GA3 yang dilarutkan dalam dalam 1000 ml air. Parameter yang diamati meliputi, daya tumbuh, Tinggi tanaman (cm), Jumlah cabang per tanaman, Jumlah daun per tanaman/petak, Jumlah polong total per tanaman/petak, Jumlah biji per tanaman./petak, Bobot biji kering per tanaman (g)/petak, Bobot 100 biji kering (g)/petak. AGROSWAGATI | Nomor 1 | Volume 3| November 2015
Konsentrasi ZPT GA3 dan Lamanya Perendaman Benih Pada Kacang Hijau
HASIL dan PEMBAHASAN Pengamatan penunjang Menurut Hasil analisis tanah sebelum percobaan menunjukkan bahwa tanah percobaan mempunyai kandungan nitrogen yang sangat rendah (0,09%), P2O5 (Bray) sebesar 40,1 mg. kg -1 (sangat tinggi), K20 yang sedang (35,9 mg/100 g) dan pH tanah netral yaitu 6,92 (pH H2O). tanah percobaan memiliki tekstur lempung berpasir dan C/N ratio yang sangat tinggi. Selama percobaan dilakukan yaitu dari bulan April – Agustus 2013 keadaan suhu harian selama percobaan adalah berkisar antara 20 – 32 Co. sedangkan kondisi kelembaban udara dilapangan selama percobaan adalah berkisar antara 40-60%. Selama penelitian berlangsung terlihat pertumbuhan tanaman mempunyai vigor yang baik. Namun terlihat beberapa tanaman terserang hama pada minggu ke- 6 yang menyebabkan beberapa tanaman bagian daunnya dimakan dan ada pula yang menggerek batang. Serangan hama ini umumnya disebabkan oleh belalang. Jenis hama yang dominan menyerang tanaman kacang hijau adalah kepik hijau (Nezara viridula L), berbentuk bulat dan berwarna hijau, penggerek polong (Etiella zincknella Treit). Kepik hijau menyerang daun, polong, ataupun batang tanaman, serangan pada polong menyebabkan polong dan biji menjadi keriput. Serangan penggerek polong menyebabkan permukaan polong tampak diselubungi benang-benang putih, pada kulit polong yang terserang akan namapk titik hitam atau coklat tua bekas masuknya hama. Untuk menekan serangan hama tersebut dikendalikan dengan menyemprotkan Curacron 50 EC dan Decis 2,5 EC dengan konsentrasi 0,5 ml/l air. Penyakit yang menyerang yaitu bercak daun yang disebabkan oleh cendawan atau jamur Cercospora canescen, bercak Sclerotium yang disebabkan cendawan Selerotium rolfsii. Penyakit ini menyerang tanaman pada umur 45 HST yang ditandai dengan adanya bercak coklat dan bercak kekuning-kuningan dipermukaan daun.Tapi serangannya AGROSWAGATI | Nomor 1 | Volume 3| November 2015
dapat dikendalikan dengan menyemprotkan Dithane M-45 2 g/l air dan pupuk daun secara teratur, sehingga penyakit bercak daun ini tidak meluas. Bunga kacang hijau berwarna kuning, tersusun dalam tandan, keluar pada cabang beserta batang, & dapat menyerbuk sendiri. Awal periode munculnya bunga terjadi pada 32-37 HST. Tanaman kacang hijau mulai dipanen pada umur 58 hari setelah tanaman, ketika sudah matang fisiologis dengan ciri-ciri polong berwarna coklat kehitaman atau hitam pekat. Pengamatan Utama Daya Tumbuh Berdasarkan analisis data hasil pengamatan daya tumbuh pada umur 3 HST menunjukkan tidak terjadi interaksi dan tidak berbeda nyata antara Konsentrasi ZPT GA3 dan lamnya perendaman benih. Hal tersebut menunjukan bahwa daya pertumbuhan tidak dipengaruhi oleh GA3 maupun perendaman. Diduga hal ini terjadi karena, pada tingkat viabilitas sedang dan tingkat viabilitas tinggi proses metoblisme energi berlangsung efektif dan dapat menghasilkan energi sesuai dengan kebutuhannya pertumbuhan kecambah sehingga pengaruh perlakuan konsentrasi GA3 dan perendaman tidak signifikan. Kecambah muda bergantung pada cadangan makanan sebelum mampu menyerap garam mineral dari tanah dan sebelum dapat memanjangkan system tajuknya menuju cahaya.Kecambah menghadapi kesulitan dengan lemak, polosakarida, dan protein, sebab molekul tersebut tidak dapat dipindahkan. Benih yang memiliki viabilitas rendah, metabolisme energinya tidak optimal yang disebabkan oleh rendahnya kinerja sel terutama mitokondria yang sebagian rusak pada benih dengan viabilitas rendah (Nonogaki et al. 2010). Tabel 5.Rata-rata Daya Tumbuhan 3 hst. Rata-rata daya Perlakuan kecambah G1 88.8 a G2 89.8 a 76
Konsentrasi ZPT GA3 dan Lamanya Perendaman Benih Pada Kacang Hijau G3 85.0 a G4 91.0 a R1 86.5 a R2 89.3 a R3 88.8 a R4 90.0 a Akan tetapi terjadi perubahan pada saat umur 5 hst kecepatan pertumbuhan tanaman kacang hijau, menunjukkan bahwa pengaruh lamanya perendaman dan konsentrasi GA3 terjadi Interaksi terhadap rata-rata daya pertumbuhan antara pengaruh konsentrasi zpt GA3 dan lamanya perendaman benih Tabel 6. Pengaruh Interaksi pengaruh konsentrasi zpt GA3 dan lamanya perendaman benih Terhadap daya pertumbuhan Umur 5 HST Lamanya konsentrasi ZPT GA 3 Perendama n G1 G2 G3 G4 94 92 93 b 92 a R1 c b C B A B 96 88 97 c 96 b R2 b a B C A B 96 89 96 c 95 b R3 c a B C A B 96 99 93 b 96 b R4 c c B A C B Keterangan : Angka rata-rata yang disertai huruf kecil yang sama pada kolom,atau huruf besar yang sama pada baris, menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan Uji Duncan pada taraf nyata 5 %.
mengemukakan bahwa, segera setelah benih berkecambah, sistem akar dan tajuk muda mulai menggunakan hara mineral, lemak, pati dan protein yang terdapat di sel penyimpanan benih. Benih dengan GA3 mampu meningkatkan metabolisme energi benih yang sedang tumbuh sehingga memungkinkan tercukupnya energi untuk tumbuh dan berkembang menjadi kecambah normal. Cadangan makanan dalam benih yang dapat dicerna dengan mudah adalah yang terdapat didalam proses embrio oleh enzim βamilase. Akan tetapi energi tersebut tidak mencukupi untuk proses pertumbuhan (pembelahan sel) terutama pada titik tumbuh akar sehingga ujung akar tidak mampu memanjang dan menebus dinding sel. Sebagian besar tumbuhan dikotil dan beberapa monokotil memberikan respon dengan cara tumbuh lebih cepat ketika diberi perlakua giberelat (Pharis & Kuo dalam Salisbury & Ross 1995). Tinggi Tanaman Berdasarkan hasil analisis data statistik pengamatan, menunjukkan bahwa konsentrasi GA3 dan lamanya perendaman terjadi Interaksi terhadap rata-rata tinggi tanaman kacang hijau pada umur 21 dan 28, akan tetapi pada umur 35 hari setelah tanam (HST) ratarata tinggi tanaman kacang hijau tidak terjadi interaksi dan tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tanaman kacang hijau. Tabel 7. Pengaruh Interaksi Konsentrasi GA3 dan Lamanya Perendaman Terhadap Tinggi Tanaman Umur 21dan 28 HST (cm)
Dari Tabel diatas, dapat dilihat bahwa rata-rata daya pertumbuhan kacang hijau pada umur 5 HST menunjukkan perbedaan yang nyata dimana perlakuan G2R2 dan G4R3 tidak menunjukkan beda nyata dan nilai tertinggi dicapai oleh perlakuan G3R4 (30 ppm dan 8 jam) dengan nilai 99. Hal ini menunjukan bahwa pada perlakuan perendaman zpt GA3 dan lamanya perendaman tanaman kacang hijau terjadi adanya interaksi. Salisburi & Ross (1995) 77
AGROSWAGATI | Nomor 1 | Volume 3| November 2015
Konsentrasi ZPT GA3 dan Lamanya Perendaman Benih Pada Kacang Hijau Lama nya Renda man
konsentrasi ZPT GA 3
Lama nya Renda man
Konsentrasi ZPT G3
G1 G2 G3 G4 23.58 22.00 22.00 R1 c a 23.50 b b B A C B 25.25 24.83 21.83 R2 c b 21.42 a b C B B A 23.92 23.11 22.92 R3 c b 18.75 a b B B A B 20.91 23.42 21.92 R4 a c 23.09 b b A B B B Keterangan : Angka rata-rata yang disertai huruf kecil yang sama pada kolom,atau huruf besar yang sama pada baris, menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan Uji Duncan pada taraf nyata 5 %.
G2 G3 G4 32.00 36.33 R1 36.5 c a 35.67 b c C A C C 37.67 35.84 33.75 R2 c b 32.42 a b C C B B 36.17 33.34 33.25 R3 c b 27.50 a b B B A A 31.67 32.67 35.17 R4 a b 34.67 c c A B C C Keterangan : Angka rata-rata yang disertai huruf kecil yang sama pada kolom,atau huruf besar yang sama pada baris, menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan Uji Duncan pada taraf nyata 5 %.
Dari Tabel diatas, dapat dilihat bahwa rata-rata tinggi tanaman kacang hijau pada umur 21 HST menunjukkan perbedaan yang nyata dimana perlakuan G3R1 pada baris dan G1R3 dengan G3R2 dan G4R2 pada baris menunjukkan beda nyata dan nilai yg tertinggi diperoleh pada perlakuan G1R2 (10 ppm, 4 jam) dengan nilai 25.25. Asam giberelat tidak tahan panas. Secara umum, peranan asam giberelat didalam tanaman adalah menginduksi pemanjangan ruas yang disebabkan oleh pertambahan ukuran dan jumlah sel-sel pada ruas-ruas. Giberelin juga berperan terhadap ukuran luas daun, ukuran buah, pemanjangan batang dan mempengaruhi proses pembungaan tanaman (Wattimena, 1998). Sedangkan pada umur 28 hst enunujukan perbedaan yang nyata dimana perlakuan G1R3 dan G2R3 berbeda dengan G3R3 dan G4R4 dan nilai yang tertinggi diperoleh pada perlakuan G1R2 (10 ppm, 4 jam) dengan nilai 37.67.
Hal ini dikarenakan perlakuan konsentrasi GA3 dan lamanya perendaman memberikan pengaruh dan terjadi interaksi antara konsentrasi GA3 dan lamanya perendaman terhadap tinggi tanaman kacang hijau. Menurut pendapat Salisbury dan Ross (1995) mengemukakan bahwa, segera setelah benih berkecambah, sistem akar dan tajuk muda mulai menggunakan hara mineral, lemak, pati dan protein yang terdapat di sel penyimpanan pada benih.
AGROSWAGATI | Nomor 1 | Volume 3| November 2015
G1
Tabel
9. Rata-rata Tinggi Tanaman Kacang hijau Umur 35 HST Rata-rata Tinggi Perlakuan tanaman G1 47.4 a G2 45.0 a G3 45.7 a G4 45.1 a R1 45.5 a R2 45.7 a R3 46.3 a R4 45.7 a Keterangan : Angka rata-rata yang disertai huruf yang sama, menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan Uji Duncan pada taraf nyata 5 %. 78
Konsentrasi ZPT GA3 dan Lamanya Perendaman Benih Pada Kacang Hijau Pada umur 35 hst tinggi tanaman kacang hijau menunjukkan tidak adanya pengaruh yang nyata terhadap perlakuan konsentrasi GA3 dan lamanya perendaman benih. Ini disebabkan karena adanya persaingan antar tanaman kacang hijau, Mercado (1969) menyatakan bahwa kompetisi terhadap cahaya matahari terjadi apabila tanaman saling memacu pertumbuhan terhadap tinggi tanaman dan tajuk, apabila tanaman tanaman lebih tinggi da rimbun aan lebih cepat menguasai cahaya sehingga menaungi tanaman yang lebih pendek dengan tajuk kuraang rimbun. Hal ini ini sesuai dengan pendapat Salisbury & Ross (1995) menyatakan bahwa, setiap hormon mempengaruhi respon pada banyak bagian tumbuhan, dan respon tersebut tergantung pada spesies, bagian tumbuhan, fase perkembangan, konsentrasi hormon dan interaksi antar hormon yang diketahui. Jumlah Cabang Berdasarkan hasil analisis statistik terhadap jumlah cabang menunjukkan tidak terjadi pengaruh interaksi dan tidak adanya pengaruh yang nyata antara konsentrasi GA3 dengan lamanya perendaman benih. Dari tabel diatas menunjukan bahwa perlakuan konsentrasi GA3 dan lamanya perendaman benih tidak menunjukkan perbedaan yang nyata diantara perlakuan. Hal tersebut menunjukkan bahwa jumlah cabang tidak dipengaruhi oleh konsentrasi GA3 ataupun lamanya perendaman. Tabel 10. Rata-rata Jumlah Cabang Kacang Hijau Umur 21, 28,dan 35HST
Perlakuan
G1 G2 G3 79
Rata-rata Jumlah Cabang 28 35 21 hst hst hst 31.20 44.10 22.10 a a a 29.80 41.80 21.00 a a a 29.00 40.10 19.80 a a a
30.30 42.50 a a 30.60 41.25 R1 20.90 a a a 30.70 42.25 R2 21.30 a a a 29.20 41.59 R3 20.70 a a a 29.90 43.34 R4 21.50 a a a Keterangan : Angka rata-rata yang disertai huruf yang sama, menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan Uji Duncan pada taraf nyata 5 %. G4
21.60 a
Hal ini menunjukan bahwa, pemberian GA3 terhadap tanaman menunjukkan respon yang berbeda-beda. Menurut Budiarto dan Wuryaningsih (2007), bahwa penampilan fenotip suatu tanaman dipengaruhi oleh faktor genetik, lingkungan dan interaksi antara faktor genetik dan lingkungan.Sehubungan dengan itu tanggap varietas terhadap konsentrasi GA3 yang diberikan dapat dipengaruhi oleh waktu inisiasi bunga, jumlah bunga per tanaman, panjang dan diameter tangkai bunga. Perbedaan penampilan antar varietas ini diduga berhubungan dengan perbedaan genotip yang disebabkan oleh faktor genetik tanaman berbeda spesifik. Jumlah Daun Berdasarkan analisis data hasil pengamatan jumlah daun pada umur 21, 28 dan 35 HST menunjukkan tidak terjadi interaksi antara konsentrasi GA3 dan lamanya perendaman benih.Hasil analisis statistik tercantum pada Tabel 9. Tabel 9. Rata-rata Jumlah daun Kacang Hijau Umur 21, 28 dan 35 HST Rata-rata Jumlah Cabang Perlakuan 21 28 35 hst hst hst 4.59 9.58 15.00 G1 a a a 5.08 9.25 13.8 G2 a a a 4.67 8.25 12.70 G3 a a a G4 5.33 9.33 14.50
AGROSWAGATI | Nomor 1 | Volume 3| November 2015
Konsentrasi ZPT GA3 dan Lamanya Perendaman Benih Pada Kacang Hijau Rata-rata Jumlah Cabang Perlakuan 21 28 35 hst hst hst a a a 4.75 9.00 14.00 R1 a a a 5.25 9.00 14.50 R2 a a a 4.75 9.00 13.30 R3 a a a 4.91 9.00 14.20 R4 a a a Keterangan : Angka rata-rata yang disertai huruf yang sama, menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan Uji Duncan pada taraf nyata 5 %. Dari Tabel 9 nampak bahwa perlakuan konsentrasi GA3 dan lamanya perendaman benih tidak menunjukan perbedaan yang nyata diantara perlakuan. Hal tersebut menunjukkan bahwa jumlah daun tanaman kacang hijau diduga karena adanya suatu perubahan pada lingkungan yang sedang terjadi seperti perubahan iklim yang berubah-ubah secara mendadak sesuai dengan pendapat (Sadjad et al. 1999) mengatakan benih yang mempunyai daya hidup potensial atau viabilitas potensial hanya akan tumbuh menjadi tanaman normal pada kondisi lingkungan tumbuh yang optimum, sedangkan benih yang masih mampu menumbuhkan tanaman normal, pada kondisi lingkungan tumbuh tidak optimum atau sub optimum adalah benih yang memiliki vigor tinggi. Jumlah Polong per Tanaman (buah) Berdasarkan analisis data hasil tidak terjadi interaksi antara konsentrasi GA3 dan lamanya perendaman benih terhadap jumlah polong per tanaman Akan tetapi pengaruh mandiri menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap jumlah polong per tanaman. Tabel 11. Rata-rata jumlah polong per Tanaman (buah) Perlakua Rata-rata Jumlah Polong n Total per tanaman (buah) G1 16.50 c G2 12.58 b AGROSWAGATI | Nomor 1 | Volume 3| November 2015
G3 14.27 c G4 11.96 a R1 13.36 a R2 14.82 a R3 13.74 a R4 13.39 a Keterangan : Angka rata-rata yang disertai huruf yang sama, menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan Uji Duncan pada taraf nyata 5 %. Berdasarkan dari Tabel diatas dapat dilihat bahwa jumlah polong per tanaman tertinggi pada perlakuan G1 (10 ppm) dan G3 (30 ppm) berbeda dengan perlakuan G2 (20 ppm) dan G4 (40 ppm). Hal ini jumlah polong per tanaman tidak mutlak dipengaruhi oleh lamanya perendaman benih tetapi juga menunjukkan bahwa pengaruh perlakuan konsentrasi GA3 dan lamanya perendaman benih GA3 dapat meningkatkan persentase bunga jadi polong. Hal ini terjadi karena pemberian GA3 pada tanaman akan meningkatkan kandungan auksin dan dapat mengurangi keguguran bunga sehingga persen bunga jadi polong meningkat. Peningkatan jumlah polong juga didukung oleh faktor lingkungan yang mendukung dan proses fotosintesis sehingga jumlah asimilat yang dihasilkan meningkat. Dalam Manurung et al (1993) Yennita menjelaskan bahwa kemampuan tanaman menyediakan asimilat dan kemapuan tanaman menyimpan asimilat (Source and Sink) tergantung pada tanaman mengadaptasikan diri dalam lingkungan tumbuhnya (Yennita, 2003) Jumlah Biji per Tanaman (Butir) Berdasarkan analisis data hasil pengamatan, terjadi interaksi antara konsentrasi GA3 dan lamanya perendaman biji terhadap jumlah biji per tanaman.Hasil analisis statistic. Tabel 12. Rata-rata Jumlah Biji per Tanaman Kacang Hijau(butir) Lamanya Perendaman R1 R2
G1 106.50 b B 130.83 c B
Konsentrasi ZPT GA3 G2 G3 G4 84.73 a 132.33 c 121.99 b A C c 131.68 b 93.33 a 156.67 c C A c
80
Konsentrasi ZPT GA3 dan Lamanya Perendaman Benih Pada Kacang Hijau R3 R4
126.50 c C 105.50 a A
110.84 b 115.00 b A B 136.34 c 148.34 c C C
116.66 a C 127.17 b B
Keterangan : Angka rata-rata yang disertai huruf kecil yang sama pada kolom, atau huruf besar yang samapada baris menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan Uji Duncan pada taraf nyata 5 %. Dari Tabel diatas, dapat dilihat bahwa rata-rata jumlah biji per tanamankacang hijau menunjukkan adanya interaksi.Hal ini dikarenakan perlakuankonsentrasi GA3 dan lamanya perendamanmemberikan pengaruh dan terjadi interaksi antara konsentrasi GA3 dan lamanya perendaman terhadap tinggi tanaman kacang hijau dimana perlakuan G2R2 (20 ppm dan 4 jam) dan G2R3 (20 ppm dan 6 jam) berbeda dengan G4R1 dan G4R3. Hal ini dikarenakan karena banyaknya jumlah biji dipengaruhi oleh faktor pembungaan dan lingkungan yang mendukung pada saat pengisian polong.Hal ini sesuai dengan pendapat Soeaatmadja (1993) yang menyatakan bahwa banyaknya biji terbentuk ditentukan oleh faktor pebungaan dan lingkungan yang mendukung pada saat pengisian polong.Menurut pendapat Salisbury dan Ross (1995) mengemukakan bahwa, segera setelah benih berkecambah, sistem akar dan tajuk muda mulai menggunakan hara mineral, lemak, pati dan protein yang terdapat di sel penyimpanan pada benih.. Bobot Biji Kering per Petak Berdasarkan analisis data hasil pengamatan, tidak terjadi interaksi antara konsentrasi GA3 dan lamanya perendaman biji terhadap jumlah biji per tanaman.Hasil analisis statistic. Zaenal Abidin (1982), juga menyatakan bahwa Zat pengatur tumbuh pada tanaman (plant regulator) merupakan senyawa organik yang bukan hara yang dalam jumlah sedikit dapat mendukung, menghambat dan merubah proses fisiologi tanaman.
81
Tabel 13. Rata-rata Bobot Biji kering per Petak (gram) Rata-rata Bobot Biji Kering Perlakuan per Petak G1 924.20 c G2 963.80 c G3 869.50 b G4 862.20 a R1 864.40 a R2 922.30 a R3 914.30 a R4 918.70 a Keterangan : Angka rata-rata yang disertai huruf yang sama, menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan Uji Duncan pada taraf nyata 5 %. Perlakuan lamanya perendaman benih (R) tidak berpengaruh didalam meningkatkan bobot biji kering per petak.Hal ini sesuai dengan literatur Mangoendidjojo, (2003) yang menyatakan varietas unggul merupakan faktor utama yang menentukan tingginya produksi yang diperoleh bila persyaratan lain dipenuhi.Varietas unggul dapat diperoleh melalui pemuliaan tanaman. Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa, bobot biji kering per petak pada perlakuan G1 dan G2 berbeda dengan perlakuan G3 dan G4 dan tertinggi dihasilkan oleh perlakuan G2 ( 20 ppm) sebesar 963.80 dan terendah dihasilkan oleh perlakuan G4 ( 40 ppm) sebesar 86.20. hal ini dikarenakan karena banyaknya jumlah biji dipengaruhi oleh faktor pembungaan dan lingkungan yang mendukung pada saat pengisian polong. Hal ini sesuai dengan pendapat Soeaatmadja (1993) yang menyatakan bahwa banyaknya biji terbentuk ditentukan oleh faktor pembungaan dan lingkungan yang mendukung pada saat pengisian polong. BobotBiji Kering per Tanaman (gram) Pengaruh interaksi perlakuan konsentrasi GA3 dan lamanya perendaman benih terhadap bobot biji kering. Menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi GA3 dan lamanya perendaman yang diaplikasikan pada AGROSWAGATI | Nomor 1 | Volume 3| November 2015
Konsentrasi ZPT GA3 dan Lamanya Perendaman Benih Pada Kacang Hijau tanaman kacang hijau memberikan hasil yang berbeda nyata. Bobot biji kering tertinggi diperoleh pada perlakuan G1R1 pada kolom sebesar 6.95gram dan bobot biji kering per tanaman terendah diperoleh pada perlakuan R4G2 pada baris sebesar 4.97 gram. Menurut Rini Wudianto, (1999) salah satu upaya untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas kacang hijau adalah menggunakan benih yang berkualitas. Untuk mendapatkannya adalah dengan menanam benih yang mempunyai vigor yang baik.Untuk memacu pertumbuhan benih adalah memperhatikan syarat-syarat tumbuh tanaman, juga harus memperhatikan faktor penunjang lainnya seperti penggunaan ZPT (Zat Pengatur Tumbuh). Tabel 14. Rata-rata Bobot Biji Kering per Tanaman (gram) Lamanya Konsentrasi ZPT GA3 Perendama n G1 G2 G3 G4 R1 6.95 c 6.22 c 5.98 b 5.04 a C C B A R2 6.88 c 5.90 b 6.78 c 5.46 a C B C A R3 5.60 b 5.71 c 5.44 b 5.35 a B B B A R4 5.57 b 4.97 a 6.18 b 6.92 c A A C C Keterangan : :Angka rata-rata yang disertai huruf kecil yang sama pada kolom, atau huruf besar yang samapada baris menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan Uji Duncan pada taraf nyata 5 %. Selanjutnya Suwasono Heddy (1987) mengatakan bahwa persediaan foto sintesis yang mungkin terbatas atau kemampuan dari pertumbuhan untuk bersaing bersama-sama dengan perkembangan bagian-bagian yang lain mungkin terbatas walaupun ada persamaannya. Bobot 100 Biji (gram) Berdasarkan analisis data hasil pengamatan, tidak terjadi interaksi antara konsentrasi GA3 dan lamanya perendaman terhadap bobot 100 biji. Hal AGROSWAGATI | Nomor 1 | Volume 3| November 2015
ini dikarenakan karena banyaknya jumlah biji dipengaruhi oleh factor pembungaan dan lingkungan yang mendukung pada saat pengisian polong.Hal ini sesuai dengan pendapat Soeaatmadja (1993) yang menyatakan bahwa banyaknya biji terbentuk ditentukan oleh faktor pembungaan dan lingkungan yang mendukung pada saat pengisian polong. Dari Tabel 15 dapat dilihat bahwa bobot 100 biji tertinggi dihasilkan oleh G1 ( 10 ppm) dengan nilai 6,25 gram dan G2 (20 ppm) dengan nilai 6,05 gram berbeda nyata dengan perlakuan G3 (30 ppm) dengan nilai 4,91 gram G4 ( 40 ppm) dengan nilai 5.20 gram. Tabel 15.rata-rata bobot 100 biji Rata-rata Jumlah Perlakuan Cabang G1 6.25 c G2 6.05 c G3 4.91 a G4 5.20 b R1 5.63 a R2 5.65 a R3 5.79 a R4 5.35 a Keterangan : Angka rata-rata yang disertai huruf yang sama, menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan Uji Duncan pada taraf nyata 5 %. Selanjutnya Astanto (1993) menyatakan kelemahan atau kekurangan kacang hijau adalah hasilnya yang tidak stabil, disebabkan bukan oleh tingkat adaptasi tanaman yang belum memadai dalam mengatasi cakupan lingkungan fisik terutama kompetisi dengan gulma, serangan hama trips, penyakit embun tepung, kudis, Rizoctonia dan virus. Analisis Korelasi antara Komponen Pertumbuhan dengan Hasil Secara keseluruhan hasil analisis korelasi Pearson, ternyata antara tinggi tanaman dan jumlah cabang umur 21 HST tidak terdapat korelasi dengan bobot biji kering per tanaman yang dihasilkan menunjukkan adanya hubungan yang tidak nyata, karena setelah dilakukan analisis korelasi pearson diperoleh bahwa thitung> ttabel. 82
Konsentrasi ZPT GA3 dan Lamanya Perendaman Benih Pada Kacang Hijau Tabel 16. Hasil Analisis Korelasi Antara Tinggi Tanaman, Jumlah Cabang dan Jumlah Daun Umur 21 HST dengan Bobot Biji Kering per Tanaman. Ting Bob gi Juml Juml ot tana ah ah Biji man caba daun keri 21 ng 21 21 ng TT Pearson 21 Correlation
1
Sig. (2-tailed) N JC 21
.278 .161
.682
.124 .379
32
32
Pearson Correlation
.075
1
Sig. (2-tailed)
.682
N JD 21
.075
32
32
Pearson Correlation
.278
.218
1
Sig. (2-tailed)
.124
.230
32
32
Sig. (2-tailed) N
32 .350
TT Pearson Correlation 2 8 Sig. (2-tailed)
*
.050 32
32
.161
.013 .350*
1
.379
.943
.050
32
32
32
32
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). Sedangkan jumlah daun (21 HST) memiliki korelasi yang nyata dengan bobot biji kering per tanaman yang dihasilkan. Berdasarkan hasil perhitungan korelasi pearson menunjukkan bahwa nilai koefesien determinasi (r2) secara berturut-turut 0.161, 0,013 dan 0,350. Hal ini menujukkan bahwa bobot biji kering yang dihasilkan tanaman kacang hijau dipengaruhi oleh jumlah daun umur 21 HST sebesar 0.350. Menurut Salisbury & Ross (1995) menyatakan bahwa, setiap hormon mempengaruhi respon pada banyak bagian tumbuhan, fase perkembangan, konsentrasi hormon dan interaksi benih yang diketahui. Giberelin (GA3) menstimulir sintesis enzim αamilase yang berperan dalam proses perombakan cadangan makanan yang tersimpan didalam endosperma (Kamil, 1979). 83
Ting Bob gi Juml Juml ot tana ah ah Biji man caba daun keri 28 ng 28 28 ng
32
.230 .943 32
BB Pearson K Correlation
Tabel 17. Hasil Analisis Korelasi Antara Tinggi Tanaman, Jumlah Cabang dan Jumlah daun Umur 28 HST dengan Bobot Biji Kering per Tanaman
.218 .013
32
N
Berdasarkan hasil analisis korelasi Pearson ternyata tinggi tanaman, jumlah cabang dan jumlah daun umur 28 tidak terjadi korelasi antara tinggi tanaman, jumlah cabang dan jumlah daun yang dihasilkan dengan bobot biji kering per tanaman.
N JC 28
.171 .158
.031
.350 .388
32
Pearson Correlation
.382*
Sig. (2-tailed)
.031
N JD 28
1 .382*
32
32
32
32
1 .604**
.031
.000 .866 32
32
32
Pearson Correlation
.171 .604**
Sig. (2-tailed)
.350
.000
32
32
32
32
.158 -.031
.186
1
.388
.866
.309
32
32
32
N BB Pearson K Correlation Sig. (2-tailed) N
1 .186 .309
32
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). Dari Tabel 17 di atas, dapat dilihat bahwa tiinggi tanaman, jumlah cabang dan jumlah daun dengan bobot biji kering tidak memiliki korelasi yang nyata. Lain halnya antaratinggi tanaman dengan jumlah cabang memiliki hubungan korelasi, diperoleh nilai korelasi sebesar 0.832 begitu juga dengan antara jumlah cabang dengan jumlah daun dengan memiliki nilai 0.604.Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara tinggi AGROSWAGATI | Nomor 1 | Volume 3| November 2015
Konsentrasi ZPT GA3 dan Lamanya Perendaman Benih Pada Kacang Hijau tanaman, jumlah cabang dan jumlah daun dengan bobot biji kering per tanaman yang dihasilkan. . Menurut Salisbury &Ross (1995) menyatakan bahwa, setiap hormon mempengaruhi respon pada banyak bagian tumbuhan, fase perkembangan, konsentrasi hormon dan interaksi benih yang diketahui. Berdasarkan hasil analisis korelasi Pearson, ternyata tinggi tanaman, jumlah cabang dan jumlah daun pada umur 35 HST tidakterjadi adanya korelasi dengan bobot biji kering. Dari Tabel 18 dibawah, dapat dilihat bahwa tidak terdapat adanya hubungan korelasi antara tinggi tanaman, jumlah cabang dan jumlah daunumur 35 HST dengan bobot biji kering per tanaman. Akan tetapi terjadi hubungan yang nyata antara jumlah cabang dengan jumlah daun yang dihasilkan.Hal ini diduga karena, hormon tumbuhan memberikan pengaruh yang berbeda-beda terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang dipengaruhi oleh antara lain faktor varietas, umur jaringan dan tingkat perkembangan tanaman. Tabel 18. Hasil Analisis Korelasi Antara Tinggi Tanaman, Jumlah Cabang dan Jumlah Daun dengan Bobot Biji Kering per Tanaman Ting Bob gi Juml Juml ot tana ah ah Biji man caba daun keri 35 ng 35 35 ng TT Pearson Correlation 35
1
Sig. (2-tailed) N JC 35
Pearson Correlation
.196
Sig. (2-tailed)
.283
N JD 35
32
.273 .101
.283
.131 .583
32
32
32
1 .871**
.233
.000 .199 32
32
32
Pearson Correlation
.273 .871**
1
.271
Sig. (2-tailed)
.131
.000
32
32
N
32
.196
BB Pearson K Correlation Sig. (2-tailed) N
.101 -.233 -.271 .583
.199
.134
32
32
32
1
32
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). Menurut Salisbury & Ross (1995) menyatakan bahwa, setiap hormon mempengaruhi respon pada banyak bagian tumbuhan, fase perkembangan, konsentrasi hormon dan interaksi benih yang diketahui. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan Pembahasan, maka disimpulkan sebagai berikut : 1. Terjadi pengaruh interaksi antara konsentrasi GA3 dan Lamanya Perendaman Benih terhadap kecepatan pertumbuhan umur 5 HST, tinggi tanaman umur 21 HST, jumlah biji per tanaman dan bobot kering per tanamankacang hijau (Phaseolus vulgari) dengan rata-rata perlakuan G1 (10 ppm) dan G2 (20 ppm). 2. Pengaruh mandiri pada perlakuan konsentrasi GA3 dengan lamanya perendaman benih berpengaruh nyata terhadap bobot biji kering per petak, jumlah polong total per tanaman, dan bobot 100 butir 3. Terdapat korelasi positif yang nyata antara jumlah daun (21 HST), dengan bobot biji kering per tanaman yang dihasilkan. Saran : 1. Pada penanaman kacang hijau sebaiknya dilakukan dengan melakukan perendaman benih terlebih dahulu dengan konsentrasi GA3 2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut pada perendaman benih, ZPT GA3, kultivar, tempat dan waktu yang berbeda, untuk memperoleh gambaran yang lebih luas
.134 32
32
AGROSWAGATI | Nomor 1 | Volume 3| November 2015
84
Konsentrasi ZPT GA3 dan Lamanya Perendaman Benih Pada Kacang Hijau DAFTAR PUSTAKA Adisarwanto, 2005.Budidaya Dengan Pemupukan Yang Efektif dan Pengoptimalan Peran Bintil Akar. Campbel, N. A. et al. 2000. Biologi. Jakarta Erlangga. Dwidjoseputro, D. 1990. Pengantar Fisiologi Tumbuhan. PT. Gramedia. Jakarta. Davies, PJ. 1995. Plant Hormones Physiology, Biochemistry and Molecular Biology. Kluwer Academic Publisher. Netherlands Fachruddin, 2000.Budidaya kacangkacangan. Kanisius, Yogyakarta. Fatimah, S. 1993. Pengaruh Pemberian GA3 terhadap laju Respirasi dan Kadar Glukosa pada Biji Kacang Hijau (Vigna Radiata).Skripsi. Universitas Brawijaya Malang http://fentykienormajelitapertanian.blog spot.com/2010/01/pertanian.html (11-02-2013) http://awandaawan.blogspot.com/2012/ 03/zat-pengatur-tumbuh.html Rini Wudianto. 1999. Petunjuk Penggunaan Pestisida. Penebar Swadaya. Jakarta. Rusmana. 2007. Petunjuk Praktikum Mata Kuliah Ekologi Tanaman. Jurusan Agronomi. Faperta-Untirta. Serang Salisbury, F.B., and C.W., Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan. Jilid III Perkembangan Tumbuhan dan Fisiologi Lingkungan. ITB - Press. Bandung Santoso, U., dan Fatimah, N., 2004. Kultur Jaringan Tanaman. UMM- Press. Malang. Soemaatmadja, S., 1993. Sumber Daya Nabati Asia Tenggara I. Editor Maesen, L.J.G.V. Gravindo Pustaka Utama. Jakarta. Wareing, PF. 1982. Plant Growth Substances.Academic Press. London. Wattimena, G.A. 1988. Zat Pengatur Tumbuh Tanaman. Bogor: IPB Press. Went.F.W. and K.v.Thymann.1937. Phytohormones. In Leopold A.C. and Paul E Kriesdermann. 1975. Plant Growth and Development. Second Edition. Mc Graw Hill book Company. 545 pp.
85
Weaver, R. J. 1972. Plant Growth Substances in Agriculture. W. H. Freeman and Company. San Fransisco p. 59. Wilkins, M. B., 1989. Fisiologi Tanaman, alih bahasa oleh Sutedjo, M.M., dan Kartasapoetra, A.G., Bumi aksara. Jakarta Zaenal Abidin. 1988. Dasar-dasar Pengetahuan Tentang Zat Pengatur Tumbuh. Aksara. Bandung.
AGROSWAGATI | Nomor 1 | Volume 3| November 2015