PENGARUH ASAP CAIR TEMPURUNG KELAPA TERHADAP PATOGEN BUSUK LUNAK (Rhizopus stolonifer) PADA BUAH STROBERI (Fragaria x ananassa)
Oleh : Wawan Setiawan E-mail :
[email protected] Program Studi Agroteknologi - Fakultas Pertanian Pembimbing : Dr. Dedi Natawijaya, Drs., M.S. Dr. H. Budy Rahmat, Ir., M.S.
ABSTRAK Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai Mei 2015 di Laboratorium Produksi Fakultas Pertanian Universitas Siliwangi Tasikmalaya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh asap cair tempurung kelapa dan pelukaan terhadap patogen busuk lunak (Rhizopus stolonifer) pada buah stroberi lepas panen, dan untuk mengetahui interaksi dari kedua pelakuan tersebut. Metode Penelitian yang dilakuakan adalah metode eksperimen, adapun rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang disusun secara faktorial, dengan dua faktor perlakuan yaitu : faktor pertama konsentrasi asap cair tempurung kelapa (k) dengan 6 taraf (0%, 2%, 3%, 4%, 5%, dan 6%), dan faktor kedua pelukaan (p) dengan 2 taraf (dilukai, dan tidak dilukai). Hasil penelitian menunjukkan tidak terjadi interaksi antara perlakuan konsentrasi asap cair tempurung kelapa dengan pelukaan terhadap semua paremeter. Terdapat pengaruh dari pemberian asap cair tempurung kelapa tehadap perkembangan patogen busuk lunak (Rhizopus stolonifer), adapun konsentrasi yang terbaik adalah sebesar 6%, sedangkan untuk pengaruh pelukaan juga menunjukan adanya pengaruh yang nyata, dimana buah yang dilukai lebih rentan terhadap infeksi jamur Rhizopus stolonifer. Kata kunci : asap cair, Rhizopus stolonifer, busuk lunak, stroberi
PENDAHULUAN Stroberi (Fragaria x ananassa) merupakan salah satu tanaman buah yang bernilai ekonomis tinggi. Daya pikatnya terletak pada warna buah yang merah mencolok, dan rasanya manis segar. Budidaya stroberi telah
dilakukan oleh
beberapa petani di Indonesia, terutama di daerah-daerah dataran tinggi. Menurut Budiman dan Desi (2007) pengembangan stroberi di Indonesia bertempat di Sukabumi, Cianjur, Cipanas, Lembang, Batu (Malang), dan Bedugul (Bali). Di dalam aktivitas budidaya stroberi, salah satu hal penting yang perlu diperhatikan adalah penanganan pascapanen. Buah stroberi termasuk buah yang sensitif dan mudah mengalami kerusakan (Budiman dan Desi, 2007). Menurut Soesanto (2006) kehilangan pascapanen pada buah-buahan yang sensirif dan mudah rusak akan sangat tinggi. Menurut Sallato, Tores, Zoffoli, dan Latorre (2007) salah satu faktor utama penyebab kehilangan pascapanen pada buah-buahan adalah serangan patogen. Menurut Soesanto (2006) kehilangan hasil pada produk buahbuahan yang diakibatkan oleh infeksi patogen mencapai 10-50%. Menurut Lattanzio, Venere, Linesalata, Lima, Ippolito, dan Salemo (1996) patogen yang sering ditemui pada pascapanen stroberi pada umumnya berasal dari golongan jamur. Jamur dapat tumbuh dengan baik meskipun dalam kondisi derajat keasaman yang rendah, sehingga jamur seringkali menjadi penyebab kerusakan pada buah-buahan. Hal ini senada dengan pernyataan Vitoratos, Bilalis, Karkanis, dan Efthimiadou (2013) bahwa infeksi jamur merupakan penyebab utama kerusakan pasca panen buah-buahan. Rhizopus stolonifer merupakan salah satu jenis jamur yang sering menginfeksi buah stroberi pada saat penyimpanan. Rhizopus stolonifer merupakan penyebab penyakit busuk lunak (leek) pada stroberi (Sallato et al., 2007). Jamur ini menginfeksi pada saat buah menjelang matang. Pada saat pematangan dinding sel akan melunak dan lubang lentisel akan mudah terbuka sehingga akan mempermudah patogen untuk menginfeksi buah. Selain itu infeksi sering terjadi
pula melalui pelukaan. Infeksi melalui pelukaan akan lebih cepat terjadi karena jamur dapat mengambil nutrisi secara langsung dari cairan sel yang keluar. Mengingat kehilangan hasil pada saat pascapanen oleh aktivitas jamur cukup tinggi, maka perlu ada upaya pengendalian pertumbuhan jamur pada saat penyimpanan. Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah dengan pemberian/ aplikasi fungisida. Fungisida ada yang bersifat sintetik ada juga yang alami (berasal dari bahan alam). Penggunaan fungisida sintetik pada saat ini dirasa sudah tidak begitu menguntungkan, terutama terhadap kesehatan. Maka dari itu perlu ada upaya untuk memanfaatkan fungisida alami. Asap cair merupakan hasil dari dispersi koloid asap kayu dalam air, yang diduga berpotensi sebagai antimikroba. Dugaan tersebut didasarkan pada senyawa fenol, karbonil, dan asam yang terkandung didalamnya. Keberadaan senyawa aktif tersebiut pada asap cair dibenarkan oleh Sunardi dan Yuliansyah (2006), hasil penelitiannya menunjukkan terdapat senyawa fenol, karbonil, dan asam dari kayu bakau (Rhizophora mucronata Lamck). Kualitas asap cair salah satunya dipengaruhi oleh bahan dasar yang digunakan. Salah satu dari bahan dasar pembuatan asap cair yang telah diketahui dapat menghasilkan kualitas asap cair yang baik adalah tempurung kelapa. Hasil penelitian Anisah (2014), menunjukkan perolehan hasil asap cair dengan kualitas yang baik dari pirolisis tempurung kelapa, dengan komponen-komponen kimia yang didominasi oleh senyawa fenol, karbonil, dan asam. Kajian asap cair tempurung kelapa dari aspek kesehatan telah diteliti oleh Budijanto, Hasbullah, Prabawati, Setiadjit, Sukarno, dan Zuraida (2008) yang menyatakan bahwa asap cair tempurung kelapa aman digunakan pada produk pangan. Hasil tersebut dibuktikan oleh identifikasi komponen asap cair tempurung kelapa dengan GC-MS yang menunjukkan bahwa tidak ditemukannya senyawa yang bersifat karsinogenik. Secara umum asap cair dapat digunakan sebagai bahan pengawet alternatif yang aman.
METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai Mei 2015 di Laboratorium Produksi Fakultas Pertanian Universitas Siliwangi Tasikmalaya. Metode Penelitian yang dilakuakan adalah metode eksperimen dengan merujuk pada referensi dari Gomez dan Gomez (1995), adapun rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang disusun secara faktorial, dengan dua faktor perlakuan yaitu : a. Faktor pertama yaitu konsentrasi asap cair (k), terdiri dari 6 taraf. k0 = Konsentrasi 1
k3 = Konsentrasi 4
k1 = Konsentrasi 2
k4 = Konsentrasi 5
k2 = Konsentrasi 3
k5 = Konsentrasi 6
Penentuan angka konsentrasi ditentukan berdasarkan hasil dari uji in vitro, sehingga diperoleh lima taraf konsentrasi larutan uji (k1 - k5) dan satu kontrol (k0). b. Faktor kedua yaitu pelukaan (p), terdiri dari dua taraf. p0 = Tanpa Pelukaan p1 = Dengan Pelukaan dengan demikian diperoleh 12 kombinasi perlakuan dan masing-masing diulang sebanyak tiga kali. HASIL DAN PEMBAHASAN Redestilasi Asap Cair Aspek penting yang perlu diperhatikan dari redestilasi asap cair adalah rendemen dan kualitas asap cair yang dihasilkan setelah proses redestilasi. Rendemen dilihat dari persentase destilat, tar, dan senyawa tidak terkondensasi, sedangkan untuk kualitas dilihat berdasarkan warna dan aroma asap cair. Rendemen asap cair grade 2 pada penelitian ini adalah 88,6%, dengan tar 10,4%, dan senyawa tidak terkondensasi 1%, sedangkan untuk rendemen asap cair grade 1 adalah 88,4%, dengan tar 10,2%, dan senyawa tidak terkondensasi 1,3%. hasil ini tentu sesuai dengan rendemen redestilasi asap cair yang dilakukan Fachraniah dkk (2009), yang telah dijelaskan sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa proses redestilasi berjalan dengan baik, dimana alat destilasi tidak
mengalami kebocoran dan bekerja dengan baik dari mulai pemanasan, penguapan, dan pengembunan redestilat. Didalam proses redestilasi hal penting lain yang perlu diperhatikan adalah kualitas redestilat. Cara sederhana untuk mengetahui kualitas asap cair adalah dengan melihat warnanya dan mencium aromanya. Hasil redestilasi pada tahap pertama menghasilkan asap cair grade 2 dengan warna kuning muda, sedangkan pada redestilasi tahap dua menghasilkan asap cair grade 1 dengan warna lebih bening dengan sedikit warna kekuningan. Warna coklat pada asap cair grade 3 diduga karena adanya tar, sedangkan warna kekuningan sepada asap cair grade 2 dan grade1 diduga karena peran senyawa karbonil (Fachraniah dkk., 2009). Sedangkan untuk aroma asap grade 3 menghasilkan aroma yang sangat menyengat, sedangkan untuk grade 1 dan grade 2 aroma asap nya tidak begitu kuat. Hal ini diduga pada asap cair tempurung kelapa grade 3 masih mengandung tar, sehingga aroma asapnya lebih kuat, sedangkan untuk grade 2 dan grade 1 kandungan tarnya diduga sudah tidak ada. Adapun aroma asap yang masih tercium pada grade 2 dan grade 1 itu diduga karena kandungan senyawa fenol yang terkandung di dalamnya.
a. grade 3
b. grade 2
c. grade 1
Gambar 1. Asap Cair Tempurung Kelapa Berdasarkan Grade Fachraniah dkk (2009) menyatakan bahwa fenol merupakan senyawa yang paling bertanggung jawab pada pembentukan aroma tipikal yang diinginkan pada produk asapan. Fenol dalam hubungannya dengan sifat sensoris mempunyai bau
tajam menyengat. Meskipun Senyawa fenol memegang peranan penting dalam flavor asap, namun diperlukan senyawa lain seperti karbonil dan lakton agar flavor karakteristik asap dapat muncul. Uji In-Vitro Hasil pengamatan menunjukkan jamur tumbuh setelah 6 jam inkubasi pada konsentrasi 0%. Disusul oleh jamur yang diinokulasikan pada media yang diberi perlakuan asap cair tempurung kelapa 1% pada 24 jam setelah inokulasi. Jamur menunjukkan pertumbuhan pada 96 jam setelah inokulasi pada media agar yang diberi 2% asap cair tempurung kelapa. Persentase aktivitas penghambatan asap cair tempurung kelapa terhadap jamur Rhizopus stolonifer dapat dilihat pada Gambar di bawah ini.
Aktivitas Antijamur (%)
120 100 80 60 40 20 0 24
48
72
96
120
Waktu Inkubasi (jam) 1
2
3
4
5
6
7
8
9
Konsentrasi Asap Cair(%) Keterangan : Konsentrasi 0% dijadikan sebagai pembanding pada penentuan persentase aktivitas antijamur pada rumus AFA =(R1-R2)/R1 x 100%, sehingga data yang ditapilkan dimulai dari konsentrasi 19%.
Gambar 3. Aktivitas Antijamur Asap Cair Tempurung Kelapa terhadap Jamur Rhizopus stolonifer Konsentrasi 1% mengalami penurunan aktivitas anti jamurnya seiring dengan berjalannya waktu. Sedangkan untuk konsentrasi 2% terjadi sedikit pnurunan aktivitas antijamur pada 96 dan 120 jam setelah inokulasi. Konsentrasi 3-
9% aktivitas anti jamurnya sebesar 100% dan tidak menunjukkan penurunan selama 120 jam setelah inokulasi. Jamur yang ditumbuhkan pada media agar tanpa asap cair tempurung kelapa dapat tumbuh pada 6 jam setelah inokulasi, jumlah luasan diameter jamur terus berkembang sehingga pada 48 jam koloni jamur menutupi semua permukaan agar. Kondisi ini merupakan kondisi pertumbuhan jamur secara normal, tanpa ada penghambatan dari senyawa antijamur. Perlakuan 1% asap cair yang diberikan pada media agar menunjukkan aktivitas penghambatan sebesar 72% pada waktu inkubasi 48 jam, kemampuan penghambatannya menurun seiring berjalanya waktu sehingga pada 96 jam setelah inkubasi aktivitas penghambatannya menjadi 0%. Hal tersebut menunjukkan bahwa konsentrasi 1% dari asap cair hanya dapat memberikan daya hambat yang cukup baik pada 48 jam/dua hari, selebihnya tidak lagi efektif.
Uji In-Vivo Pengamatan Persentase Buah yang Terinfeksi (%) Pada perlakuan in-vitro jamur Rhizopus stolonifer sudah menunjukkan adanya gejala infeksi pada 24 jam setelah inkubasi. Akan tetapi pada perlakuan invivo gejala infeksi mulai muncul pada 4 Hari Setelah Inokulasi (HSI). Hal ini diduga karena pada perlakuan in-vivo faktor inang dan lingkunganya tidak begitu menguntungkan terhadap perkembangan jamur. Buah stroberi dalam hal ini yang dijadikan inang/media tumbuh jamur tidak sebaik media agar pada in-vivo. Menurut Soesanto (2006) ada beberapa hal yang menjadi penghambat perkembangan jamur pada buah lepas panen, diantaranya pH, nutrisi, status air, senyawa bioaktif, dan penghalang morfologi. Faktor lingkungannya pun tentu berbeda, seperti suhu dan kelembaban. Perlakuan in-vitro pengontrolan suhu akan lebih mudah karena dilakukan di ruangan dengan pengaturan suhu, sehingga pengaturan suhu dan kelembaban bisa
disesuaikan dengan mudah, sedangkan untuk perlakuan in-vivo faktor suhu akan dipengaruhi oleh laju respirasi buah, karena respirasi akan menghasilkan panas, begitupun dengan kelembaban akan sangat dipengaruhi oleh transpirasi dari buah, sehingga suhu dan kelembaban dalam boks akan relatif lebih tinggi. Tabel 4. Pengaruh Konsentrasi Asap Cair Tempurung Kelapa dan Pelukaan terhadap Persentase Buah yang Terinfeksi pada 4, 5, 6, 7 HSI. Persentase Buah yang Terinfeksi (%) Waktu Inkubasi Perlakuan 4 HSI 5 HSI Konsentrasi k0 (0%) 11,11 b 13,89 b A k1 (2%) 0,28 a 5,56 ab sa k (3%) 2 0,00 a 0,00 a p k3 (4%) 5,56 a 5,56 a C 2,78 a 2,78 a ai k4 (5%) r k5 (6%) 0,00 a 0,00 a p0 ( tidak dilukai) 0,93 A 0,93 A Pelukaan p1 (dilukai) 5,65 B 8,33 B
6 HSI
7 HSI
25,00 a 11,11 a 8,34 a 13,89 a 11,11 a 2,78 a 5,56 A 18,52 B
55,56 b 55,56 b 25,00 a 36,11 ab 27,78 ab 16,67 a 29,63 A 42,59 B
Keterangan : Data yang dianalisis adalah data hasil transformasi √𝑥 + 0,5, dan angka-anga yang ditandai huruf yang sama pada setiap waktu inkubasi tidak berbeda menurut uji jarak berganda Duncan pada taraf 5%.
Hasil pengamatan persentase buah yang terinfeksi pada 4 HSI menunjukkan adanya pengaruh dari kedua perlakuan, akan tetapi tidak menunjukkan adanya interaksi. Persentase buah yang terinfeksi pada perlakuan tanpa asap cair tempurung kelapa menunjukkan persentase yang terbesar, yaitu sebesar 11,11% pada 4 HSI. Pemberian asap cair tempurung kelapa 2% sudah menunjukkan aktivitas yang positif dalam mengurangi jumlah buah yang terinfeksi, dengan persentase infeksi sebesar 0,28% pada 4 HSI. Persentase terkecil terjadi pada perlakuan k2 dan k5 yaitu sebesar 0%. Hasil tersebut menunjukkan aktivitas dari asap cair tempurung kelapa sudah bekerja. Aktifitas asap cair terhadap jamur Rhizopus stolonifer yang terjadi, besar dugaan karena adanya peran dari senyawa fenol yang terkandung di dalam asap cair. Hasil pengamatan pada 5 HSI menunjukkan adanya pengaruh dari kedua perlakuan yang diberikan, akan tetapi tidak menunjukkan adanya interaksi.
Persentase terbesar masih sama seperti pada 4 HSI yaitu terjadi pada perlakuan tanpa asap cair tempurung kelapa, dan yang terendah terjadi pada perlakuan k2 dan k5. Hasil berbeda terjadi pada konsentrasi 2% (k1), hasil uji lanjut Duncan menunjukkan k1 tidak berbeda dengan k0. Hasil ini menunjukkan bahwa konsentrasi 2% sudah tidak lagi efektif pada 5 HSI, dan pengaruh yang nyata baru terlihat pada konsentrasi 3%. Penurunan kemampuan asap cair tempurung kelapa ini dimungkinkan terjadi karena sebagian dari senyawa aktif mengalami reaksi akibat adanya kontak dengan udara, dan penguapan senyawa aktif pun dimungkin dapat terjadi. Selain itu, ada kemungkinan jamur Rhizopus stolonifer dapat mentolelir keberadaan fenol dalam konsentrasi yang masih rendah, sehingga dapat tumbuh dengan cukup baik pada 5 HSI. Penurunan aktivitas antijamur ini juga terjadi pada perlakuan in-vitro, pada konsentrasi 1% penurunan aktivitas anti jamur terjadi pada 3 HSI, sedangkan pada konsentrasi 2% penurunan aktivitas anti jamur terjadi pada 4 HSI. Hal tersebut memperkuat dugaan bahwa kemampuan daya hambat asap cair tempurung kelapa pada konsentrasi rendah dapat mengalami penurunan seiring berjalanya waktu. Hasil pengamatan persentase buah terinfeksi pada 6 HSI menunjukkan hasil yang bebeda dengan hasil pengamatan sebelumnya. Dimana pada pengamatan 6 HSI pengaruh konsentrasi tidak terlihat, hanya pengaruh faktor pelukaan yang menunjukkan pengaruh yang nyata. Hal ini dimungkinkan karena adanya penurunan kemampuan daya hambat dari asap cair. Kemungkinan lain yang terjadi adalah adanya faktor fisiogis tumbuhan yang berubah karena terjadinya perubahan kematangan buah. Selain itu, metode pengambilan datapun bisa menjadi salah satu faktor yang membeberikan pengeruh terhadap data yang diperoleh. Walaupun bila melihat persentase terbesarnya masih terjadi pada perlakuan k0 dengan persentase sebesar 25%, dan terendah pada k5 yaitu sebesar 2,78%. Hal ini menunjukkan bahwa potensi daya hambat dari asap cair masih ada, dan hal terlihat pada pengamatan 7 HSI, dimana pengaruh dari asap cair tempurung kelapa masih terlihat. Hasil pengamatan pada 7 HSI menunjukkan adanya pengaruh dari kedua perlakuan. Persentase buah terinfeksi yang terbesar terjadi pada perlakuan k0 dan k1
dengan luas penutupan sebesar 55,56%, dan yang terendah terjadi pada k5 dengan luas penutupan sebesar 16,67%. Perlakuan k1 atau pemberian 2%, 4%, dan 5% asap cair tempurung kelapa tidak lagi efektif. Pengaruh perlakuan pelukaan (p1) pada semua waktu inkubasi menunjukkan persentase yang lebih besar dibandingkan dengan perlakuan tanpa pelukaan (p0). Besar kemungkian hal ini terjadi karena jamur Rhizopus stolonifer merupakan golongan jamur luka, sehingga jamur ini akan sangat mudah untuk menginfeksi buah yang mengalami luka. Menurut Soesanto (2006) kondisi buah yang terluka akan mengalami kerusakan jaringan pelindungnya, sehingga jaringan endodermis pada buah menjadi terbuka dan mengeluarkan cairan, keadaan ini akan memudahkan jamur untuk melakukan infeksi. Menurut Soesanto (2006) perkembangan penyakit dapat dikelompokan kepada dua stadium, yang pertama stadium infeksi, dan yang kedua stadium penampakan infeksi. Golongan jamur luka mengalami perkembangan dua stadium penyakitnya secara bersamaan tanpa adanya periode tak-bergerak, sehingga gejala telah terjadinya infeksi dapat langsung terlihat. Dalam penelitian ini, gejala terjadinya infeksi dapat ditemukan pula pada buah yang tanpa dilukai, hal ini diduga karena jamur melakukan infeksi melalui lentisel. Masih menurut Soesanto (2006) lentisel merupakan lubang alami yang terdapat pada produk buah-buahan. Terbukanya lubang alami selama tahap perkembangan produk akan membuka jalan untuk patogen dapat menginfeksi produk. Pengamatan Persentase Penutupan Jamur (%) Hasil pengamatan persentase penutupan jamur pada 4 HSI menunjukkan tidak ada pengaruh dari kedua faktor terhadap luas penutupan jamur pada buah stroberi. Hal ini diduga kerena miselium jamur baru menampakan gejala infeksi, belum memperlihatkan perkembangan pertumbuhannya. Buah yang terinfeksi menurut Ullio (2004) dicirikan dengan adanya perubahan warna pada buah menjadi kecoklatan, dan bila infeksi berlajut akan terbentuk miselium yang berbentuk kelabu pada permukaan buah. Selain itu faktor kematangan buah juga dimungkinkan mempengaruhi, buah stroberi yang belum terlalu matang
dimungkinkan
mengandung
senyawa
bioaktif
yang
dapat
menghambat
perkembangan jamur, disamping peran dari asap cair itu sendiri. Tabel 5. Pengaruh Konsentrasi Asap Cair Tempurung Kelapa dan Pelukaan terhadap Persentase Penutupan Jamur pada 4, 5, 6, 7 HSI. Persentase Penutupan Jamur (%) Waktu Inkubasi Perlakuan 4 HSI 5 HSI 6 HSI k0 (0%) 5,56 a 10,42 b 16,67 a k1 (2%) 0,69 a 3,47 a 7,64 a k2 (3%) 0,00 a 0,00 a 2,78 a Konsentrasi Asap Cair k3 (4%) 3,47 a 4,86 a 10,42 a k4 (5%) 0,69 a 2,08 a 5,56 a k5 (6%) 0,00 a 0,00 a 1,39 a p0 ( tidak dilukai) 0,46 A 0,69 A 2,55 A Pelukaan p1 (dilukai) 3,02 A 6,25 B 12,27 B
7 HSI 30,56 c 25,69 bc 11,81 ab 20,83 abc 15,97 abc 7,64 a 13,43 A 24,07 B
Keterangan : Data yang dianalisis adalah data hasil transformasi √𝑥 + 0,5, dan angka-anga yang ditandai huruf yang sama pada setiap waktu inkubasi tidak berbeda menurut uji jarak berganda Duncan pada taraf 5%.
Pada 5 HSI terdapat pengaruh yang nyata dari kedua perlakuan. Persentase pentutupan terbesar terdapat pada buah yang tanpa diberikan asap cair tempurung kelapa (k0) yaitu sebesar 10,42%, sedangkan yang terendah terdapat pada k2 dan k5, dengan persentase sebesar 0%. Berdasarkan uji lanjut Duncan perlakuan k1 – k5 pada seluruh taraf faktor pelukaan (p) tidak menunjukkan adanya perbedaan dan berbeda bila dibandingkan dengan k0. Hal tersebut bisa diartikan buah yang tanpa diberi asap cair menunjukkan persentase penutupan jamur yang lebih tinggi dibandingkan dengan buah yang diberi asap cair tempurung kelapa, akan tetapi pengaruh dari tingkatan konsentrasi yang diberikan tidak menujukan perbedaan. Adanya peran asap cair dalam mengurangi persentase penutupan jamur tersebut diduga karena ada aktivitas senyawa aktif dari asap cair tempurung kelapa yang memberikan pengaruh penghambatan terhadap perkembangan jamur. Seperti telah dibahas pada uji in-vitro bahwa salah satu senyawa aktif yang berperan besar dalam menghambat perkembangan jamur adalah senyawa fenol. Fenol dapat membentuk kompleks dengan ergosterol yang terdapat dalam membran sel jamur, kompleks tersebut menyebabkan pori- pori membesar pada sel
jamur. Lewat pori – pori inilah komponen kecil dari isi sel jamur keluar seperti asam nukleat dan protein lainnya. Hal tersebut bila terus berlangsung akan menyebabkan kematian jamur. Kompleks fenol berada dalam keadaan lemah, disosiasi tidak langsung yang menyebabkan fenol menembus sel. Pada konsentrasi tinggi senyawa fenol dapat menyebabkan lisis pada sel membran. Fenol mempunyai kelarutan yang tinggi pada lipid, maka efek terbesar fenol adalah kemampuanya bergabung dengan komponen lipid sel. Membran sel pada jamur tersusun atas fosfolipid yang akan menyebabkan permeabilitas membran sel terganggu sehingga jamur terhambat (Fardiaz, 1992) dalam Dewi (2009). Fenol juga memiliki sifat sebagai antioksidan alami, senyawa-senyawa fenol ini berperan sebagai donor hidrogen dan efektif dalam jumlah yang sangat kecil yang dapat menghambat terjadinya oksidasi. Kita ketahui, bahwa buah lepas panen masih menjalankan aktivitas fisiologisnya, salah satunya adalah respirasi. Respirasi berlangsung untuk memperoleh energi untuk aktivitas hidupnya. Semakin tinggi laju respirasi maka semakin cepat pula perombakan-perombakan tersebut yang mengarah pada kemunduran dari produk tersebut. Adanya aktivitas senyawa fenol sebagai antioksidan memungkinkan untuk terjadinya peran penghambatan laju oksidasi pada buah stroberi pada penelitian ini. Terhambatnya laju oksidasi akan melambatkan proses respirasinya sehingga daya tahan buah akan lebih lama, dengan terjaganya daya tahan buah tersebut akan menyulitkan jamur untuk melakukan perkembangan pertumbuhannya. Peran senyawa aktif lain seperti senyawa asam dan karbonil dimungkinkan tidak memberikan peran yang dominan dalam melakukan penghambatan perkembangan jamur. Senyawa asam akan lebih efektif dalam menekan perkembangan bakteri, karena bakteri tidak dapat tumbuh dalam kondisi asam. Kondisi asam tidak menjadi faktor pembatas pada jamur, jamur mampu tumbuh dalam kondisi asam, sehingga keberadaan senyawa asam tidak akan memberikan pengaruh yang kuat dalam menekan perkembangan jamur. Senyawa karbonil mungkin memberikan peran yang lebih baik dari senyawa asam dalam menghambat perkembangan jamur, akan tetapi pengaruhnya tidak sekuat senyawa fenol.
Pada 6 HSI pengaruh konsentrasi kembali tidak terlihat, dan hanya faktor pelukaan yang menunjukkan pengaruh yang nyata. Hasil ini sesuai dengan pengamatan jumlah buah terinfeksi, dimana pada 6 HSI pengaruh konsentrasi tidak terlihat. Alasannyapun tidak akan jauh berbeda yaitu, dimungkinkan kemampuan aktivitas antijamur telah menurun dan kemungkinan lainya adalah adanya pengaruh dari fisiologis buah, selain itu metode pengambilan data yang kurang tepat dimungkinkan dapat memberikan pengaruh. Pengaruh kedua perlakuan kembali terlihat pada 7 HSI, adapun hasilnya menunjukkan hasil yang relatif sama seperti 5 HSI, dimana persentase penutupan terbesar terdapat pada perlakuan k0 (tanpa asap cair), dan yang terkecil terdapat pada perlakuan k5. Berdasarkan uji lanjut Duncan perlakuan konsentrasi 2%, 4%, dan 5% tidak menunjukkan pengaruh dalam menekan luas penutupan jamur. Pengaruh konsentrasi asap cair tempurung kelapa 6% konsisten memberikan pengaruh yang nyata terhadap perkembangan jamur uji baik pada persentase buah terinfeksi maupun persentase penutupan jamur. Penurunan aktifitas anti jamur pada 7 HSI cukup ekstrim, hal ini di mungkinkan karena aktifitas anti jamur mengalami penurunan pada 7 HSI. Kemungkinn lain yang lebih kuat adalah jamur Rhizopus stolonifer mengalami masa pertumbuhan optimumnya pada 7 HSI. Menurut Soesanto (2006) pertumbuhan optimum jamur pada umumnya berkisar antara 3-5 hari. Pada penelitian ini jamur mulai menunjukan gejala infeksi pada 4 HSI, artinya pada 7 HSI adalah hari keempat pertumbuhan jamur. Bila dikaitkan pada pernyataan di atas, besar kemungkinan jamur uji berada pada pertumbuhan optimumnya, sehingga perkembangannya pun mencapai masa optimumnya.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1) Tidak terjadi interaksi antara perlakuan konsentrasi asap cair tempurung kelapa dengan pelukaan terhadap semua paremeter. 2) Teradapat pengaruh dari pemberian asap cair tempurung kelapa tehadap perkembangan patogen busuk lunak (Rhizopus stolonifer), adapun konsentrasi yang terbaik adalah sebesar 6%. Sedangkan untuk pengaruh pelukaan juga menunjukan adanya pengaruh yang nyata, dimana buah yang dilukai lebih rentan terhadap infeksi jamur Rhizopus stolonifer. Saran 1) Disarankan untuk menggunakan asap cair tempurung kelapa konsentrasi 6% dalam penanganan pascapanen buah stroberi. 2) Perlu ada pengujian asap cair tempurung kelapa terhadap jenis patogen pascapanen lain yang sering ditemui pada buah stroberi, misalnya Botrytis cinerea, dan Colletotricum sp.
DAFTAR PUSTAKA Alfiah, R. R., Siti, K., Mansur, T., 2015. Efektivitas ekstrak metanol daun sembung rambat (mikania micrantha kunth) terhadap pertumbuhan jamur candida albicans. Jurnal Protobiont. Vol. 4 (1). : hal. 52-57. Alviolita Z, H. Ashari Oramahi, F. Diba (2012) Inhibition damping off fungi cause on tusam seed (pinus merkusii jungh et de vriese) with liquid smoke from laban wood (vitex pubescens vahl). Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura Anisah, K., 2014. Analisis komponen kimia dan uji antibakteri asap cair tempurung kelapa sawit pada bakteri Staphilococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosa. Jakarta : UIN Syarif Hidayatuloh Budiman, S., dan D. Saraswati. 2007. Berkebun Stroberi Secara Komersial. Jakarta : Penebar Swadaya Budijanto, S., R. Hasbulloh, S. Prabawati, Setiadjit, 2007. Pengembangan asap cair tempurung kelapa untuk pengawetan produk buah-buahan. Ringkasan Eklusif : KKP3T. hal .179-180
Budijanto, S., R, Hasbullah., S. Prabawati., Setiadjit., Sukarno. dan I, Zuraida. 2008. Kajian keamanan asap cair tempurung kelapa untuk produk pangan. Jurna Ilmu Pertanian Indonesia. Vol. 13 (3). hlm. 194-203. Dewi, R., C., 2009. Uji aktivitas antijamur ekstrak buah pare belut (Trichosanthes anguina L.). Sekripsi : Universitas Sebelas Maret Fachraniah, Zahra Fona, Zahratur Rahmi, (2009). Peningkatan kualitas asap cair dengan destilasi. Jurnal Reaksi : Vol. 7, No. 14. Fessenden R., J. dan J., S., Fessenden 1990. Kimia Organik. Jakarta : Erlangga Ghaouth, A. E., J. Arul , J. Grenier, dan A. Asselin. 1991. Antifungal activity of chitosan on two postharverst pathogens of strawberry fruits. American Phytopathological Society. Gomez K., A., dan Gomez A., A., (1995). Prosedur Statistik untuk Penelitian Pertanian. Jakarta : Universitas Indonesia Press. Irianto, K. 2012. Bakteriologi Medis, Mikologi Medis, dan Virologi Medis (Medical Bacteriology, Medical Micology, and Medical Midical Virology. Bandung : Alfabeta. Lattanzio, V., D. D. Venere, V. Linsalata, G. Lima, A. Ippolito, and M. Salemo. 1996. Antifungal activity of 2,5-dimethoxybenzoic acid on postharvest phatogens of strawberry fruits. Postharvest Biologi and Technology. Vol. 9. Page 325-334. Kadir, S., P. Darmadji, C. Hidayat, Supriyadi, (2010). Fraksinasi dan identifikasi senyawa volatil pada asap cair tempurung kelapa hibrida. Jurnal Agritech : Vol. 30 (2). hlm. 57-67. Pantastico. E. B., 1997. Fisiologi Pascapanen. Yogyakarta : Gajah Mada University Press Pratiwi, T. S., 2008. Mikrobiologi Farmasi. Jakarta : Penerbit Erlangga. Pujilestari, 2007. Penggunaan cuka kayu/asap cair untuk pengawetan ikan. Banjarbaru Kalsel : Baristand Industri Banjarbaru Kalsel Roosheroe, I., G. dan W. Sjamsuridzal, 2006. Mikologi Dasar dan Terapan. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia Sallato, B. V., R. Torres, J. P. Zoffoli and B. A. Latorre. 2007. efffect of boscalid on postharvest decay of strawberry caused by Botrytis cinerea and Rhizopus stolonifer. Spainsh Journal of Agricultural Research, Vol. 5(1), page 67-78. Silsia. D, Y. Rosalina dan F. Muda. 2011. Pemanfaatan Asap Cair Untuk Mempertahankan Kesegaran Buah Pisang Ambon Curup. Universitas Bengkulu
Soesanto, L. 2006. Kanisius.
Penyakit Pascpanen (Sebuah Pengantar). Yogyakarta :
Solihat, H., J., T. Penturi, J.A. Rupiluh. A. Bandjar, R. Hutagalung, 2010. Aplikasi asap cair sebagai biopreservatif dalam bahan pangan (ikan cakalang asap). Makalah di seminarkan pada Proseding Seminan Basic Science II di Universitas Patimura Ambon. Sopandi, T dan Wardah. 2014. Mikrobiologi Pangan – Teori dan Praktik. Yogyakarta : Andi. Sunardi., dan W. Yuliansyah. 2006. Rendemen dan kandungan kimia cuka kayu (wood vinegar) serta rendemen arang dari kayu bakau (Rhizophora mucronata Lamck). Jurnal Hutan Tropis Borneo. No. 19, hlm. 109-121. Ullio, L. 2004. Strawberry Disease Control Guide. NWS : District Horticulturist Elizabeth Macarthur Agricultural Institute Camden. Vitoratos, A., D. Bilalis, A. Karkanis, A. Efthimiadou. 2013. Antifungal activity of plant essential oils against Botrytis cinerea, Pinicillium italicum and Penicillium digitatum. Notulae Botanicae Horti Agrobotanici Cluj Journal. Vol. 41(1), page 86-92.