PENERAPAN ANALISIS SISTEM DALAM KAJIAN EKONOMI UNTUK MENDUKUNG KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KOMODITAS PERKEBUNAN I Ketut Ardana Puslitbang Perkebunan E-mail: ....................
ABSTRAK Kajian ekonomi pada sektor pertanian sebagaimana kajian pada bidang lainnya, juga berkembang mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Berbagai metode penelitian telah diterapkan sesuai tujuan dan lingkup kajian. Publikasi hasil penelitian menunjukkan bahwa metode penelitian yang banyak digunakan dalam kajian ekonomi pertanian antara lain: analisis usahatani yang menggunakan perhitungan pendapatan usahatani dan rumah tangga petani, analisis kelayakan usahatani yang menggunakan kriteria investasi NPV, B/C, dan IRR, analisis tataniaga komoditas pertanian dengan fokus distribusi keuntungan antar pelaku tataniaga, optimasi usahatani dengan pendekatan Riset Operasi, analisis keterkaitan antar sektor menggunakan Input Output Analysis, Model Ekonometrik, Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SAM) atau Model Keseimbangan Umum (CGE). Disamping itu, dalam penyusunan rekomendasi kebijakan, dalam penentuan prioritas banyak digunakan metode perbandingan eksponensial (MPE), SWOT, dan analytical hierarchie process (AHP). Sejalan dengan perkembangan Aplikasi Komputer, metode analisis dan penyajian informasi hasil penelitian juga terus berkembang. Di sisi lain penetapan kebijakan sering memerlukan kajian yang komprehensif dalam waktu singkat. Penerapan analisis sistem menggunakan aplikasi komputer dalam kajian ekonomi komoditas perkebunan dapat dijadikan pilihan untuk mengintegrasikan hasil kajian parsial berbagai aspek yang saling terkait. Berbagai skenario yang dapat disimulasikan dalam pemodelan sistem dapat membantu pengambil kebijakan untuk menentukan pilihan strategi pengembangan komoditas perkebunan dan memprediksi dampak dari strategi kebijakan yang diambil terhadap kinerja sistem secara keseluruhan secara cepat. Kata kunci: Komoditas perkebunan, kajian ekonomi, analisis sistem
PENDAHULUAN Sejak dicanangkan program pembangunan nasional, baik yang berjangka pendek (tahunan), menengah (lima tahun) maupun panjang (10 - 25 tahun) pada zaman orde baru, hingga saat ini pertanian merupakan sektor penting, karena memberikan kontribusi signifikan baik terhadap PNB maupun penyediaan lapangan kerja. Sejalan dengan penempatannya sebagai prioritas dalam pembangunan nasional, kajian mengenai berbagai aspek dalam sektor pertanian juga mewarnai kajian-kajian untuk
114
Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat
mendukung kebijakan pembangunan. Kajian mengenai ekonomi pertanian telah dilakukan secara berkala baik dilingkungan Badan Litbang pertanian maupun Perguruan Tinggi. Departemen Pertanian bahkan mendirikan Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian untuk melaksanakan tugas dan fungsi penelitian dibidang sosial ekonomi pada sektor pertanian. Kajian ekonomi pertanian sebagaimana kajian pada bidang lainnya, juga berkembang mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Berbagai metode penelitian telah diterapkan sesuai tujuan dan lingkup kajian. Publikasi hasil penelitian menunjukkan bahwa metode penelitian yang banyak digunakan dalam kajian ekonomi pertanian antara lain: analisis usahatani yang menggunakan perhitungan pendapatan usahatani dan rumah tangga petani, analisis kelayakan usahatani yang menggunakan kriteria investasi NPV, B/C, dan IRR, analisis tataniaga komoditas pertanian dengan fokus distribusi keuntungan antar pelaku tataniaga, optimasi usahatani dengan pendekatan Riset Operasi, analisis keterkaitan antar sektor menggunakan Input Output Analysis, Model Ekonometrik, Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SAM) atau Model Keseimbangan Umum (CGE). Disamping itu, dalam penyusunan rekomendasi kebijakan, dalam penentuan prioritas banyak digunakan metode perbandingan eksponensial (MPE) dan analytical hierarchie process (AHP). Dari penelusuran publikasi hasil kajian, dapat dikemukakan bahwa sebagian besar kajian bersifat parsial berdasarkan kelompok produk dan pelaku usahatani, dan sebagian lainnya menggunakan pendekatan sistem. Sejalan dengan perkembangan Aplikasi Komputer, metode analisis dan penyajian informasi hasil penelitian juga terus berkembang. Di sisi lain penetapan kebijakan sering memerlukan kajian yang komprehensif dalam waktu singkat. Dalam upaya mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta menyajikan hasil kajian sesuai kebutuhan pengambil kebijakan, maka penerapan analisis sistem dalam kajian ekonomi komoditas perkebunan perlu dikembangkan. Dalam makalah ini disajikan studi kasus penerapan analisis sistem yang mencerminkan tahapan analisis sistem untuk menyusun rekomendasi kebijakan pengembangan komoditas perkebunan. Penyajian makalah diawali dengan beberapa hasil kajian parsial usahatani komoditas perkebunan yang telah dilakukan penulis baik secara sendiri maupun bersama peneliti lain sebagai pembanding terhadap hasil kajian menggunakan analisis sistem.
KAJIAN PARSIAL USAHATANI KOMODITAS PERKEBUNAN Kajian parsial usahatani komoditas pertanian, termasuk juga komoditas perkebunan, biasanya diawali dengan perumusan masalah yang menyebabkan komoditas yang bersangkutan tidak berkembang sebagaimana yang diharapkan, atau justifikasi kenapa suatu komoditas perlu dikembangkan di suatu wilayah. Hasil kajian seperti ini biasanya berupa kesimpulan tentang potensi, kendala dan kelayakan finansial Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat
115
usahatani. Beberapa hasil penelitian yang mencerminkan kajian parsial usahatani komoditas perkebunan sebagai berikut: 1. Hasil penelitian Androecia D., I Ketut Ardana dan R. Jundariatin (1990) tentang efisiensi usahatani kelapa menyimpulkan bahwa kontribusi usahatani kelapa terhadap pendapatan petani dapat ditingkatkan dengan meningkatkan efisiensi penggunaan faktor produksi lahan dan tenaga kerja. 2. Hasil penelitian Mamat H.S dan I Ketut Ardana (1992) tentang usahatani pada pertanaman cengkeh rakyat di Jawa Timur menyimpulkan bahwa 93% petani mengusahakan cengkeh secara polikultur. Penerapan pola polikultur dijadikan solusi untuk memperoleh tambahan dan kontinuitas pendapatan sebagai antisipasi terhadap terjadinya fluktuasi hasil dan fluktuasi harga cengkeh. 3. Penelitian I Ketut Ardana dan S.R. Sigarlaki (1994) tentang manfaat pembuatan gula kelapa di Propinsi Bengkulu menyimpulkan bahwa pendapatan usaha pembuatan gula kelapa di Kabupaten Bengkulu Utara dan Bengkulu Selatan masing-masing Rp 3.097.500/ha/th dan Rp 1.982.000/ha/th dengan R/C masing-masing 1,85 dan 1,67. 4. I Ketut Ardana (1994) meneliti tentang profit margin dan kelayakan usahatani jahe dan kedelai pada lorong tanaman kopi muda di propinsi Bengkulu, menyimpulkan bahwa penerapan budidaya lorong tanaman kopi dengan tanaman sela jahe layak secara finansial berdasarkan kriteria NPV, B/C dan IRR. 5. Hasil penelitian Wahyudi A., S. Wulandari dan I Ketut Ardana (2005) menyatakan bahwa efektivitas penambahan lahan usahatani mete dalam meningkatkan pendapatan petani di dua daerah sentra produksi, yakni Kabupaten Buton dan Kendari memiliki perilaku yang berbeda. Di kabupaten Buton efek penambahan lahan akan mulai memberikan pengaruh positif bila penambahannya lebih dari 4,6 ha untuk setiap rumah tangga. Sedangkan di Kendari sudah memberikan pengaruh positif pada penambahan 0,6 ha. Perbedaan efek tersebut karena kedua daerah memiliki karakteristik agribisnis berbeda, terutama dalam hal pola tanam yang diterapkan. 6. Hasil penelitian I Ketut Ardana dkk (2008) tentang pengembangan usahatani jarak pagar mendukung kawasan mandiri energi di Nusa Penida menyimpulkan bahwa karakteristik lahan dan iklim di wilayah Nusa Penida termasuk ke dalam kriteria sesuai (S-2) untuk pengembangan tanaman jarak pagar dengan faktor pembatas ketersediaan air pada musim kemarau, sehingga waktu panen hanya berlangsung hanya 5 bulan/th. Faktor penentu keberhasilan pengembangan jarak pagar di daerah tersebut adalah harga biji jarak di tingkat petani.
116
Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat
ANALISIS SISTEM PENGEMBANGAN KOMODITAS PERKEBUNAN Sistem didefinisikan sebagai kumpulan elemen yang saling terkait dan terintegrasi untuk mencapai suatu tujuan. Oleh karena itu analisis sistem memiliki tiga ciri utama, yaitu berorientasi tujuan (Cybernetic), menyeluruh (holistic), dan efektif. Dalam merepresentasikan sistem yang sesungguhnya, dalam analisis sistem dilakukan pemodelan sistem (System Modelling). Untuk menggambarkan sistem yang kompleks (terdiri atas banyak elemen yang saling terkait) biasanya dilakukan pengelompokan elemen ke dalam subsistem-subsistem (Muhammadi et al., 2001; Ortiz et al., 2005; Refsgaard, C.J. and H. J. Henriksen, 2002; Tasrif, M dan T. Avianto, 2004 ). Tahapan pemikiran dan alur analisis ditunjukkan pada Gambar 1 (Kusnadi et al., 2006).
Basis Pengetahuan
Basis Data
Identifikasi Sistem
Pengembangan Model
Simulasi
Identifikasi Skenario Pengembangan
Formulasi Opsi Kebijakan
Gambar 1. Alur tahapan analisis
Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat
117
Sebagai contoh penerapan analisis sistem, berikut ini disajikan hasil kajian sistem agribisnis lada untuk penyusunan rekomendasi kebijakan pengembangan agribisnis lada. 3.1. Sistem agribisnis lada Pembahasan sistem agribisnis lada dibagi menjadi beberapa sub sistem yaitu sub sistem pengadaan input, sub sistem usahatani lada, sub sistem pengolahan lada, sub sistem pemasaran lada, dan sub sistem kelembagaan dan kebijakan lada. Berikut adalah uraian untuk setiap sub sistem tersebut (Kusnadi et al., 2006). 3.1.1. Subsistem pengadaan input lada Kegiatan pada subsistem ini terdiri dari kegiatan penghasil bibit, benih, pupuk, obat-obatan, peralatan pertanian bagi pengembangan lada. Fungsi subsistem ini adalah memproduksi dan memasok kebutuhan input yang akan digunakan dalam subsistem berikutnya, yaitu subsistem produksi primer. Produktivitas lada di Indonesia saat ini lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata produktivitas lada di negara lain. Faktor produksi yang dimiliki dalam upaya pengembangan industri lada di Indonesia terdiri dari faktor kondisi dasar: (1) ketersediaan benih, (2) ketersediaan lahan dengan persyataran klimatisasi yang sesuai sehingga mendatangkan ketersediaan bahan baku, (2) ketersediaan tenaga kerja, (3) ketersediaan kapital. Sedangkan faktor kondisi lanjutan terdiri dari: (1) Ketersediaan teknologi, (2) Kapabilitas pelaku sebagai akumulasi pengalaman, dan (3) ketersediaan infrastruktur. Pada saat ini, telah dilepas tujuh varietas lada, yaitu Petaling 1. Petaling 2, Natar 1, Natar 2, Cunuk RS, Lampung Daun Kecil RS, dan Bengkayang LU. Masing-masing varietas mempunyai keunggulannya sendiri sehingga dalam pengembangannya disesuaikan dengan kondisi lahan dan iklim wilayahnya. Pada umumnya petani di Bangka-Belitung menanam lada jenis Lampung Daun Lebar, Lampung Daun Kecil dan Cunuk, sedangkan di Lampung banyak ditanam jenis Belantung sedang di Kalimantan ditanam varietas Bengkayang. Penggunaan bibit asalan terjadi pada petani lada. Sebagian besar petani menggunakan sulur gantung jenis lada lokal dan sebagian lagi menggunakan jenis belantung, yang berasal dari kebun sendiri atau membeli dari teman dan merasa yakin bahwa dari sekian jenis lada lokal, jenis belantung merupakan jenis yang paling toleran terhadap penyakit Busuk Pangkal Batang (BPB). Bahkan petani yang terlibat Prima Tani pun belum mempercayai 100% bahwa varietas Natar 1** yang telah dilepas dapat berproduksi tinggi dan tahan terhadap BPB, walaupun di desa binaan Prima Tani yaitu Desa Sukamarga, Kecamatan Abung Tinggi telah dibina kelompok petani penangkar ** benih lada Natar 1 .
118
Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat
3.1.2. Subsistem usahatani lada Terdapat berbagai cara dalam pelaksanaan budidaya lada. Di Bangka, lada diusahakan dalam bentuk budidaya yaitu (1) budidaya tiang panjat mati, (2) budidaya tiang panjat hidup, dan (3) budidaya lada perdu. Budidaya tiang panjat mati sebagian besar (98,4%) diusahakan dipropinsi Bangka Belitung (Elizabeth, 2005). Budidaya tiang panjat mati disebut budidaya intensif, karena menggunakan tiang panjat kayu yang bermutu tinggi serta menggunakan pupuk dan pestisida dosis tinggi sehingga biaya produksi lebih tinggi dibandingkan dengan tiang panjat hidup. Namun demikian masa produksi lada tiang panjat mati hanya 3 tahun, dengan produktivitas optimum minimal 1 ton/ha. Dengan harga tiang panjat mati yang makin mahal (sekarang mecapai Rp. 10.000/batang), maka petani mulai mencari tiang panjat yang lebih murah tetapi bagus dengan harga Rp. 4.000/batang. Petani umumnya petani sudah mengerti cara budidaya lada, karena sifatnya yang turun temurun. Namun dosis pupuk digunakan disesuaikan dengan modal yang dipunyai,kadangkadang dosisnya penuh kadang-kadang hanya sebagian. Sebagian besar petani menggunakan tenaga kerja keluarga kecuali panen. Mulai dari tanam, pemupukan, pengendalian hama, penyiangan dan penyulaman dilaksanakan bersama istri, anak dan menantu. Usahatani lada belum mendapat dukungan atau ada lembaga keuangan yang membantu dalam pendanaan usaha tani nya. Sedangkan di Propinsi Lampung, lada diusahakan dalam 3 bentuk budidaya yaitu: (1) budidaya tiang panjat mati, (2) budidaya tiang panjat hidup dan (3) budidaya lada perdu. Di Lampung petani menggunakan tiang panjat hidup. Tiang panjat hidup yang umumnya digunakan adalah pohon dadap ( Erytrina fusca Laur), gamal ( Gliricidia maculata) dan kapok (Ceiba pentandra). Tiang panjat ini memerlukan pemangkasan tiga kali setahun, tapi umumnya hanya dilakukan dua kali setahun untuk mengantisipasi adanya musim kemarau panjang. Meskipun tanaman lada membutuhkan pupuk N, P, dan K 3 ton/tahun dan sudah tersedia di kios-kios pupuk tingkat desa, namun sebagian besar petani tidak menggunakan pupuk N,P,K akibat tidak mempunyai modal yang cukup. Beberapa petani menggunakan pupuk NPK namun dosisnya sangat rendah. Analisis usahatani lada menunjukkan bahwa, sebenarnya menguntungkan seperti yang pernah dihitung oleh Nurasa dan Supriatna, (2005). Namun karena petani kurang dapat merawat tanamannya (kurang modal) dan adanya serangan penyakit BPB produktivitas menjadi menurun. Berdasarkan data penyebaran areal lada di Indonesia, 60% dari areal lada tersebut berada di Lampung dan Bangka-Belitung. Apabila digabung dengan Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat, proporsi luas arealnya menjadi 79% dari total lada Indonesia. Dengan demikian, sisanya sebesar 21% nya berasal dari provinsi lainnya (Ditjen Perkebunan, 2006). Perkembangan produksi lada meningkat tajam dari tahun 1980 sebesar 36.626 ton menjadi 69.899 ton tahun 1990 (9,08% rata- rata per tahun). Namun, selama satu dekade
Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat
119
berikutnya produksi berfluktuasi dan relatif stagnan. Selama periode 2001 - 2005 terjadi peningkatan produksi lada rata-rata 4,5% per tahun. Dari sisi produktivitas, perkembangan dari tahun ke tahun berfluktuasi dan berkisar antara 0,801 ton/ha sampai dengan 0,839 ton/ha. Hasil ini masih di bawah potensi varietas tanaman lada yang ditanam yaitu dapat mencapai 2 - 3 ton/ha. Dari sisi tenaga kerja, tenaga kerja yang diperlukan dalam industri lada tersedia secara memadai dengan sebaran yang merata, namun demikian terdapat perbedaan upah pada beberapa wilayah. Perbankan sebagai lembaga bagi percepatan pembangunan sektor riil memberikan dukungan yang sangat kuat terhadap pengembangan industri berbasis komoditas potensial lokal. Pada sisi implementasi, teknologi yang dibutuhkan telah tersedia dengan dukungan berbagai lembaga penelitian dalam proses pengembangannya. Selain itu kapabilitas pelaku realtif tinggi sebagai akumulasi pengalaman. Dari sisi infrastruktur, diketahui bahwa telah tersedia berbagai dukungan fasilitas fisik oleh pemerintah daerah pada berbagai tempat. 3.1.3. Subsistem pengolahan hasil lada Pengolahan hasil lada putih masih sangat tradisional. Pengolahan secara tradisional memerlukan waktu yang cukup lama, air yang bersih dan tenaga yang banyak. Buah lada dirontokkan dengan cara diinjak atau menggunakan tangan, kemudian direndam dengan menggunakan air kolong selama 10 - 14 hari, kualitas air yang kurang memadai menyebabkan aroma khas lada putih kurang tajam dan masih mengandung lada hitam. Mutu lada putih yang dihasilkan ditingkat petani cenderung rendah dan tidak memenuhi syarat negara importir. Hal ini menyebabkan harga lada putih yang baik dengan lada putih yang tercampur lada hitam berbeda Rp. 1.000/kg. Untuk meningkatkan nilai ekonomi dan daya saing lada Indonesia di pasar dunia perlu dilakukan perbaikan pengolahan dan penerapan sistem manajemen mutu di tingkat petani. Apabila petani lada dapat melakukan usahataninya secara berkelompok, perendaman dengan air bersih dapat dilakukan dengan membuat bak-bak perendaman dengan air yang mengalir yang dapat bertahan selama beberapa tahun. Di Propinsi Lampung, pengolahan lada lebih bervariatif diantaranya dijadikan lada hitam, lada putih, lada hijau, lada bubuk, minyak lada dan Oleoresin lada, dengan produk utama (lada hitam dan putih) serta produk samping (lada enteng, menir dan debu). Hampir semua petani di Lampung menjual lada dalam bentuk lada hitam, buah lada dipanen dengan menggunakan tenaga kerja luar dengan upah yang sangat bervariasi yaitu dengan upah harian atau bagian dari hasil panen lada yaitu Rp. 500Rp800, per 1 kg hasil atau sekitar 30 HOK per hektar atau untuk menghasilkan 1 ton kering lada diperlukan 5 orang selama 30 hari mulai dari panen sampai lada siap jual. Produk yang dikembangkan dari lada dibagi dalam tiga kelompok yakni lada hitam, lada putih dan lada hijau. Lada yang diperoleh dari sisa hasil sortasi, dapat dimanfaatkan menjadi produk lain berupa minyak lada dan oleoresin.
120
Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat
3.1.4.
Subsistem pemasaran lada
Rantai pemasaran lada di Indonesia cukup efisien. Bagian harga yang diterima petani mencapai 84,85% (Nurasa dan Supriatna, 2005). Petani menjual lada putih ke pedagang desa, pedagang desa ke pedagang kabupaten, dari pedagang kabupaten ke eksportir. Dari pedagang desa diperoleh informasi bahwa lada putih dari petani dibeli dengan harga Rp.38.000/kg. Kalau mutunya kurang baik hanya dibeli dengan harga Rp. 37.000/kg. Kemudian secara keseluruhan dijual ke pedagang besar di kabupaten dengan harga Rp. 38.250/kg. Disebutkan bahwa dari rata-rata 40.000 ton ekspor per tahun, pada tahun 2006 hanya dapat mengekspor 7.000 - 8.000 ton. Disebutkan bahwa saat ini lada putih Indonesia hanya mencapai kedudukan nomor 4, yang sebelumnya sempat menjadi eksportir kedua. Di Propinsi Lampung, petani menjual lada hitam ke pedagang pengumpul di desa, kemudian pedagang mengumpul menjual ke pedagang besar sebelum ke eksportir. Keuntungan yang diterima pedagang pengumpul maksimal Rp.1.000/kg. Begitu pula dipedagang besar di pasar Kabupaten , karena persaingan antara pedagang besar di pasar kabupaten sangat ketat untuk dapat membeli lada petani dengan harga tinggi. Dilihat dari margin keuntungan yang diperoleh pedagang pengumpul maupun pedagang besar, bagian harga yang diterima petani cukup besar yaitu lebih dari 85%. Harga lada ditentukan oleh informasi yang diterima oleh pedagang besar dari eksportir dan harga ini dikontrol hampir setiap waktu oleh eksportir berdasarkan harga luar negeri. Pada saat survei berlangsung harga yang dicapai Rp. 30.000/kg lada hitam kering. Masalah yang ditemui dalam rantai tataniaga adalah pedagang pengumpul selalu berusaha untuk mencampur produk petani yang sudah baik dengan lada asalan atau campuran lain yang memang khusus dibeli dengan harga murah. Ditingkat eksportir bagian yang baik dan bagian pencampur dipisah lagi, bagian produk yang bermutu tinggi diekspor, sedang bagian yang jelek dijual lagi ke pedagang besar untuk djual kepedagang pengumpul dangan harga murah. 3.2. Model kelembagaan perbenihan lada indonesia Kelembagaan bibit lada menyangkut banyak pihak yang menentukan kinerja lembaga secara keseluruhan. Antara satu lembaga dengan lembaga lainnya saling terkait dalam bentuk keterkaitan sosial ekonomi. Keterkaitan antara lembaga dan faktor-faktor bibit lada tersebut dinyatakan dalam bentuk diagram saling ketergantungan (causal loop diagram) seperti terlihat pada Gambar 2. Semua loop dalam model tersebut terjadi dalam bentuk positif (reinforcing) yang dinyatakan dalam lambang R. Pada model ini terdapat lima buah loop yang bersifat reinforcing. Loop R1 menggambarkan permintaan benih lada bermutu, minat penangkar benih, akses permodalan, produksi benih sebar, efektivitas BPPMB, minat petani menanam lada dan adopsi benih bermutu. Pada loop ini jika misalnya terjadi Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat
121
peningkatan minat petani dalam menanam lada, mengingat keterbatasan sumber benih sendiri yang dimiliki petani, petani akan terdorong untuk mengadopsi benih lada. Meningkatnya adopsi benih lada akan meningkatkan permintaan terhadap benih lada bermutu. Peningkatan permintaan terhadap benih lada bermutu tersebut didukung dengan akses permodalan yang semakin mudah akan mendorong tumbuhnya industri penangkar benih lada yang akan dapat menghasilkan benih sebar dalam jumlah yang semakin besar yang penyalurannya sangat ditentukan oleh efektivitas BPPMB. Di sini terjadi loop yang menghasilkan peningkatan terus menerus karena adanya mekanisme saling menguatkan antara variabel yang satu dengan yang lain. Sebaliknya jika terjadi penurunan di salah satu variabel, maka pada loop ini akan terjadi penurunan yang saling menekan. Misalnya, jika minat petani untuk menanam lada menurun, maka pada akhirnya produksi benih sebar pun akan menurun akibat tidak termotivasinya para penangkar benih untuk berproduksi. Jika pada faktanya industri penangkar benih lada tidak berkembang atau menurun, maka penyebabnya dapat ditelusuri dari variabelvariabel yang terdapat pada loop ini.
Gambar 2. Causal loop diagram peran lembaga pembenihan lada
122
Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat
Loop R2 merupakan pengembangan dari loop R1. Pada loop ini ditambahkan variabel intensitas penelitian dan mutu benih. Loop ini menggambarkan bahwa minat penangkar benih lada untuk menghasilkan benih lada bermutu juga sangat tergantung pada ketersediaan benih sumber yang bermutu. Mutu benih sumber itu sendiri sangat tergantung pada intensitas penelitian lada. Perkembangan industri penangkar benih lada bermutu juga dapat dikaitkan dengan berbagai variabel lain seperti yang dapat dilihat dalam loop R3. Pada loop yang menggambarkan peran ekspor lada tersebut dapat dilihat bahwa minat penangkar benih untuk memproduksi benih lada bermutu selain dipengaruhi oleh faktor-faktor di atas juga berhubungan dengan peningkatan luas areal perkebunan lada. Secara logis, peningkatan areal perkebunan lada ini akan meningkatkan produksi lada nasional sehingga memungkinkan peningkatan ekspor lada. Peningkatan ekspor itu sendiri juga dapat distimulir oleh meningkatnya harga Lada FOB yang dipicu oleh peningkatan permintaan impor lada. Peningkatan ekspor tersebut akan meningkatkan peran industri lada dalam perekonomian nasional. Sampai saat ini peran pasar lada ekspor dalam membentuk kinerja industri lada Indonesia, masih jauh lebih besar dibanding pasar dalam negeri. Mengingat pentingnya peran lada tersebut dalam perekonomian nasional maka dapat menstimulir peningkatan perhatian pemerintah yang terwujud dalam bentuk pengalokasian dana untuk pengembangan lada. Peningkatan anggaran lada tersebut pada akhirnya dapat meningkatkan intensitas penelitian untuk memperbaiki benih sumber maupun teknologi budidaya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa loop R3 menggambarkan perbaikan kinerja industri perbenihan lada melalui alokasi dana pemerintah yang direspons dengan perbaikan teknologi budidaya (benih maupun proses budidaya). Sebaliknya, seperti halnya loop R1 maupun R2, jika salah satu variabel terkait tersebut mengalami penurunan, maka kinerja industri lada umumnya akan cenderung turun. Selanjutnya diperlihatkan Loop R4 yang menggambarkan keterkaitan antara permintaan benih bermutu dengan efektivitas penyuluhan. Penyuluhan yang efektif akan dapat meningkatkan motivasi petani untuk menanam lada sehingga permintaan terhadap benih bermutu akan meningkat. Secara logis, peningkatan permintaan benih bermutu tersebut akan membutuhkan areal perkebunan yang semakin luas. Bertambahnya areal perkebunan akan meningkatkan produksi lada yang dapat berakibat pada meningkatnya penerimaan petani dari lada. Penerimaan petani pun akan semakin meningkat jika harga lada domestik meningkat karena meningkatnya harga FOB lada akibat kenaikan permintaan impor. Meningkatnya share penerimaan lada terhadap total penerimaan petani tersebut akan memotivasi petani untuk beralih ke menanam lada daripada menanam komoditi lain atau melakukan usaha yang lain. Kinerja lada dari sisi petani sangat erat kaitannya dengan kehadiran “pesaing” lada, yaitu sumber penerimaan rumahtangga selain lada. Hal diperlihatkan pada loop R5 yang kembali bersifat reinforcing dan mengarah pada penguatan. Meningkatnya minat petani untuk menanam lada akan berakibat pada menurunnya alokasi lahan untuk Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat
123
penggunaan non lada. Hal ini akan berakibat penerimaan petani dari usaha non lada menurun. Penurunan tersebut akan meningkatkan share penerimaan lada terhadap total penerimaan petani meningkat yang dapat memicu peningkatan minat petani untuk menanam lada dan mengurangi penanaman non lada, demikian seterusnya. Causal loop diagram yang diuraikan di atas merupakan kerangka dasar untuk membangun model system dynamics kelembagaan pembenihan lada Indonesia. Model system dynamics memanfaatkan sejumlah variabel yang telah dibahas di atas dengan mempertimbangkan focus pengembangan kelembagaan perbenihan lada berdasarkan analisis ISM yang telah dilakukan sebelumnya. Berdasarkan hasil analisis terhadap kendala-kendala yang dihadapi dalam pengembangan kelembagaan perbenihan lada, keterbatasan benih sumber, keterbatasan anggaran untuk inventarisasi penangkar dan kebun benih serta keterbatasan modal penangkar terkait dengan rendahnya akses permodalan, penyusunan model pengembangan kelembagaan perbenihan lada Indonesia difokuskan pada pengembangan kelembagaan benih yang memungkinkan peningkatan daya saing lada di dunia internasional melalui pengurangan biaya produksi lada dengan penerapan benih bermutu. Seperti dapat dilihat pada struktur model (Gambar 3).
laju laju penambahan area benih unggul
area lada
Area
ekstensifikasi
area ekstensifikasi
area lahan intensifikasi
rehabilitasi
total
Benih Unggul
intensifikasi
area lahan
luas lahan
Pengurangan
laju intensifikasi
area konservatif krn intensifikasi
luas lahan area
lahan
areal lada awal
total
ekstensifikasi
area
Pertumbuhan area intensifikasi
area lahan rehabilitasi
lada
laju rehabilitasi
intensifikasi
lahan
Produksi Lada Nasional
pertumbuhan
area lahan pengurangan area area rehabilitasi konservatif krn rehabilitasi rehabilitasi kebutuhan benih rehabilitasi kebutuhan benih
laju produktivitas produktivitas
intensifikasi
rataan
nasional
populasi kebutuhan benih ekstensifikasi
peningkatan produktivitas
biaya produksi per ha
permintaan potensial benih sebar
produktivitas awal
produksi benih
biaya produksi
sebar
per kg permintaan Area Benih Unggul
subsidi benih
satuan area pendampingan
efektif benih sebar
harga benih
produksi
delay pertumbuhan benih sumber
benih sumber
pertumbuhan produksi benih sumber
paket subsidi input lain biaya pendampingan kebutuhan subsidi biaya
anggaran
input lain
laju pertumbuhan
biaya satuan
produksi awal
pendampingan
benih sumber
produksi benih sumber 1
Gambar 3. Struktur model pengembangan kelembagaan perbenihan lada
124
Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat
Model kelembagaan perbenihan lada dibangun berdasarkan keterkaitan antara (1) sistem pengembangan areal produksi lada, (2) sistem produksi dan distribusi benih lada, (3) sistem pengembangan daya saing lada, (4) sistem perencanaan anggaran pengembangan benih lada dan operasional adopsi benih di tingkat petani. Sistem pengembangan areal produksi lada memanfaatkan kebijakan ekstensifikasi, intensifikasi maupun rehabilitasi lahan produksi lada. Berdasarkan model di atas, dengan target laju intensifikasi untuk meningkatkan produksi mencapai 20% dari total lahan lada seluas area sebesar 150.000 ha, maka pada tahun 2014 luas lahan yang direhabilitasi akan mencapai 126.398 ha. Dengan laju rehabilitasi sebesar 15% per tahun, luas lahan yang drehabilitasi pada akhir tahun 2014 diperkirakan akan mencapai 94.798 ha. Luas area ekstensifikasi akan mencapai 117.738 ha pada tahun 2014 dengan tingkat laju penambahan area sebesar 5% pertahun (Tabel 1). Tabel 1. Luas area produksi lada tahun 2010-2019 Tahun
Area Intensifikasi
Area Rehabilitasi
Area Ekstensifikasi
Area Lada Total
2010 2011
30,000.00 26,287.16
22,500.00 19,715.37
7,500.00 15,140.63
157,500.00 165,140.63
2012 2013
21,938.16 24,190.95
16,453.62 18,143.22
23,157.42 31,563.28
173,157.42 181,563.28
2014 2015
23,982.16 23,678.83
17,986.62 17,759.12
40,377.21 49,619.00
190,377.21 199,619.00
2016 2017
23,860.52 23,834.71
17,895.39 17,876.03
59,309.44 69,470.29
209,309.44 219,470.29
2018
23,811.48
17,858.61
80,124.39
230,124.39
2019
23,826.83
17,870.13
91,295.70
241,295.70
Peningkatan luas area produksi lada akan berakibat pada meningkatnya kebutuhan benih sebar lada. Sistem produksi benih lada terdiri atas sistem produksi benih sumber dan sistem produksi benih sebar. Sistem produksi benih sumber dilaksanakan oleh Balai Penelitian yang melepas varietas unggul sebagai sumber perbanyakan benih untuk produksi benih sebar. Diperkirakan dalam kurun waktu 5 tahun mendatang, hasil penelitian memungkinkan tingkat produksi dengan laju pertumbuhan produksi benih sumber sebesar lima persen per tahun. Sehingga pada tahun 2014 nanti produksi benih sumber mencapai 1.500.000 batang. Dengan potensi produksi 14 batang benih sebar per batang benih sumber maka potensi produksi benih sebar mencapai 21 juta batang Tabel 2. Namun pada tingkat produksi tersebut, permintaan potensial benih sebar belum dapat dipenuhi 100 persen. Pada luas lahan total sebesar 190.377 ha pada tahun 2014, diperkirakan akan dibutuhkan benih sebar sebanyak 33.508.415 batang, sementara Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat
125
kemampuan memproduksi benih hanya sebesar 21.000.000. Artinya berdasarkan model yang ada, potensi penangkar hanya mampu memenuhi 37% dari total kebutuhan benih sebar. Tabel 2. Produksi benih sumber, benih sebar dan permintaan potensial benih sebar Tahun
Produksi Benih Sumber
Produksi Benih Sebar
Permintaan Potensial Benih Sebar
2010 2011
1,100,000.00 1,200,000.00
15,400,000.00 16,800,000.00
33,178,243.95 30,120,500.84
2012 2013
1,300,000.00 1,400,000.00
18,200,000.00 19,600,000.00
32,494,687.92 33,020,760.09
2014 2015
1,500,000.00 1,600,000.00
21,000,000.00 22,400,000.00
33,508,414.79 34,399,552.85
2016 2017 2018 2019
1,700,000.00 1,800,000.00 1,900,000.00 2,000,000.00
23,800,000.00 25,200,000 .00 26,600,000.00 28,000,000.00
35,169,541.78 35,979,824.96 36,859,620.80 37,767,968.00
Sistem produksi benih sebar pada umumnya belum secara baik dapat beroperasi mengingat lembaga-lembaga penangkaran sebagai pelaksananya baru terbentuk di satu daerah yaitu di Lampung. Sedangkan di daerah lain, seperti Bangka, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Barat, lembaga penangkar belum terbentuk. Lembaga penangkar belum berkembang dengan baik di beberapa daerah tersebut karena belum ada pasar. Petani lebih banyak menggunakan benih hasil produksi sendiri, sehingga permintaan terhadap benih belum berkembang. Jika dilihat dari luas area lada yang menggunakan benih unggul sebagai hasil program ekstensifikasi, rehabilitasi dan intensifikasi, kontribusi adopsi benih unggul sangat signifikan dalam peningkatan produktivitas lada. Diperkirakan melalui ketiga program di atas, maka produktivitas nasional dapat mencapai lebih dari 1 ton/ha/tahun dalam waktu 4 -5 tahun (40% peningkatannya). Hal ini mampu meningkatkan daya saing lada di pasar internasional karena biaya produksi lada rata-rata per kg dapat berkurang sebesar 29%, dari Rp 18.000/kg hingga Rp 12.867/kg dalam waktu lima tahun (Tabel 3).
126
Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat
Tabel 3. Produktivitas dan biaya produksi lada nasional pada kondisi laju ekstensifikasi 5%, laju rehabilitasi 15% dan laju intensifikasi 20% Total
Luas Area
Produksi
Produktivitas
Biaya produksi/kg
2010 2011 2012
157,500.00 165,140.63 173,157.42
118,240,312.50 134,963,033.20 152,944,984.50
816.00 884.00 952.00
17,156.86 15,837.10 14,705.88
2013 2014 2015
181,563.28 190,377.21 199,619.00
172,356,615.45 193,292,443.85 215,854,744.92
1,020.00 1,088.00 1,156.00
13,725.49 12,867.65 12,110.73
2016 2017 2018
209,309.44 219,470.29 230,124.39
240,152,094.06 266,299,775.96 294,420,179.37
1,224.00 1,292.00 1,360.00
11,437.91 10,835.91 10,294.12
2019
241,295.70
324,643,215.27
1,428.00
9,803.92
Peningkatan daya saing tersebut dapat dicapai dengan penyediaan anggaran sekisar 1,5 trilyun rupiah dalam kurun waktu 5 tahun mendatang (Tabel 4). Penyerapan anggaran dialokasikan baik untuk subsidi benih, input lain maupun biaya pendampingan selama 5 tahun. Pengalokasian anggaran didasarkan pada kondisi saat ini dimana biaya overhead mencapai 15%, biaya tenaga kerja 50% dan 35% biaya input lain. Biaya pendampingan diberikan dalam bentuk bantuan modal untuk penangkar, maupun pelatihan untuk meningkatkan kemampuan dan kapasitas penangkar. Tabel 4. Kebutuhan anggaran dan subsidi pengembangan lada indonesia Tahun
Subsidi Benih
Subsidi Input Lain
Biaya Pendampingan
Kebutuhan Anggaran
2010
50,837,500,000.00
42,865,026,855.47
14,288,342,285.16
107,990,869,140.63
2011
55,737,500,000.00
116,298,963,771.83
38,766,321,257.28
210,802,785,029.11
2012
60,637,500, 000.00
188,140,009,223.21
62,713,336,407.74
311,490,845,630.95
2013
65,537,500,000.00
264,096,598,858.05
88,032,199,619.35
417,666,298,477.40
2014
70,437,500,000.00
339,376,725,050.86
113,125,575,016.95
522,939,800,067.82
2015
75,337,500,000.00
415,187,934,783.85
138,395,978,261.28
628,921,413,045.13
2016
80,237,500,000.00
491,938,140,851.76
163,979,380,283.92
736,155,021,135.69
2017
85,137,500,000.00
569,262,023,461.03
189,754,007,820.34
844,153,531,281.38
2018
90,037,500,000.00
647,300,527,807.80
215,766,842,602.60
953,104,870,410.40
2019
94,937,500,000.00
726,114,965,972.89
242,038,321,990.96
1,063,090,787,963.85
Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat
127
Namun jika laju ekstensifikasi, rehabilitasi dan intensifikasi meningkat sebesar lima persen, anggaran pengembangan lada akan meningkat menjadi 2 trilyun rupiah sebagaimana bisa dilihat dalam Tabel 5 di bawah ini. Peningkatan lebih dari setengah trilyun tersebut memiliki kontribusi yang cukup besar dalam peningkatan daya saing karena dapat menekan biaya produksi hingga Rp 8.900 per kilogram dalam lima tahun. Namun perlu dipertimbangkan ketersediaan lahan potensial jika target laju perluasan lahan tersebut diterapkan. Tabel 5. Kebutuhan anggaran dan besaran subsidi pada kenaikan laju ekstensifikasi rehabilitasi, dan intensifikasi sebesar 5% Tahun
Subsidi Benih
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019
50,837,500,000 55,737,500,000 60,637,500,000 65,537,500,000 70,437,500,000 75,337,500,000 80,237,500,000 85,137,500,000 90,037,500,000 94,937,500,000
Subsidi Input Lain 54,438,684,082 151,894,056,047 249,903,405,315 356,244,849,102 461,914,761,859 570,629,754,050 682,953,094,345 798,153,380,307 917,027,930,272 1,039,892,428,271
Biaya Pendampingan 18,146,228,027 50,631,352,015 83,301,135,105 118,748,283,034 153,971,587,286 190,209,918,016 227,651,031,448 266,051,126,769 305,675,976,757 346,630,809,423
Kebutuhan Anggaran 123,422,412,109 258,262,908,063 393,842,040,421 540,530,632,137 686,323,849,146 836,177,172,067 990,841,625,793 1,149,342,007,076 1,312,741,407,030 1,481,460, 737,695
3.3. Rumusan kebijakan pengembangan agribisnis lada Dengan asumsi laju ekstensifikasi 5 persen, laju intensifikasi 20 persen dan laju rehabilitasi 15%, kebijakan intensifikasi dilaksanakan dengan sumbangan 10 persen benih unggul untuk penyulaman tanaman-tanaman yang sudah mati dan pemberian sumbangan untuk bantuan pengadaan pupuk dan pestisida. Kebijakan rehabilitasi diberlakukan untuk areal petani yang telah mengadopsi benih unggul dengan populasi hanya tinggal 50 persen. Bantuan benih unggul untuk rehabilitasi maksimum 50 persen dari total kebutuhan dan bantuan pengadaan pupuk dan pestisida. Sementara kebijakan ekstensifikasi dimaksudkan untuk peremajaan kembali areal tanaman yang sudah rusak atau produktivitas tanaman sudah sangat rendah selain untuk pengembangan areal baru. Pemerintah dapat mendorong ekstensifikasi dengan memberikan benih unggul maksimum sampai 100 persen. Sistem produksi benih lada terdiri atas sistem produksi benih sumber dan sistem produksi benih sebar. Sistem produksi benih sumber dilaksanakan oleh Balai Penelitian yang melepas varietas unggul sebagai sumber perbanyakan benih untuk produksi benih sebar. Permintaan potensial benih belum dapat dipenuhi 100 persen karena produksi benih sumber belum mampu memenuhinya. Sistem produksi benih sebar pada
128
Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat
umumnya belum secara baik dapat beroperasi mengingat lembaga-lembaga penangkaran sebagai pelaksananya baru terbentuk di satu daerah yaitu di Lampung. Sedangkan di daerah lain, seperti Bangka, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Barat, lembaga penangkar belum terbentuk. Peran lembaga penjamin kualitas benih juga masih perlu untuk ditingkatkan kemampuannya agar benih yang beredar di petani semuanya memiliki sertifikasi. Pelaksanaan program intensifikasi, rehabilitasi dan ekstensifikasi menggunakan benih unggul menunjukkan bahwa kontribusi adopsi benih unggul sangat signifikan dalam peningkatan produktivitas lada. Diperkirakan melalui ketiga program di atas, maka produktivitas nasional dapat mencapai lebih dari 1 ton/ha/tahun dalam waktu 4 -5 tahun. Ditinjau dari sudut biaya produksi lada rata-rata, kenaikan produktivitas tersebut dapat meningkatkan daya saing lada di pasar internasional karena biaya produksi lada rata-rata per kg dapat berkurang dari Rp 18.000/kg hingga Rp 12.867/kg dalam waktu lima tahun. Untuk pelaksanaan program revitalisasi lada dalam bentuk perluasan dan perbaikan lahan serta penggunaan benih unggul diperlukan anggaran yang mencapai Rp 1,5 Trilyun dalam kurun waktu lima tahun pertama. Anggaran tersebut dialokasikan untuk mendorong adopsi benih lada secara nasional beserta sumbangan untuk pengadaan pupuk dan pestisida serta pendampingan untuk berbagai aplikasi teknologi.
PROGRAM KE DEPAN Penerapan analisis sistem sedapat mungkin dilakukan dalam mendukung analisis kebijakan pengembangan komoditas perkebunan secara selektif, terutama untuk penyusunan rekomendasi kebijakan antisipatif. Analisis sistem seyogyanya didukung dengan pengumpulan informasi melalui diskusi yang intensif antar stakeholders sebagai bahan untuk merumuskan keterkaitan antar elemen pembentuk sistem. Sebagai langkah awal sudah dibangun model utama sistem industri gula untuk menyusun neraca gula tahun 2011 dan strategi pencapaian swasembada gula nasional tahun 2014.
KESIMPULAN Penerapan analisis sistem dalam kajian ekonomi komoditas perkebunan dapat dijadikan pilihan untuk mengintegrasikan hasil kajian parsial berbagai aspek yang saling terkait. Berbagai skenario yang dapat disimulasikan dalam pemodelan sistem dapat membantu pengambil kebijakan untuk menentukan pilihan strategi pengembangan komoditas perkebunan dan memprediksi dampak dari strategi kebijakan yang diambil terhadap kinerja sistem secara keseluruhan.
Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat
129
DAFTAR PUSTAKA Androecia D., I Ketut Ardana dan R. Jundariatin, 1990. Efisiensi Usahatani Kelapa. Seri Pengembangan. Puslitbang perkebunan. Direktorat Jenderal Perkebunan. 2006. Statistik Perkebunan Indonesia: Lada. I Ketut Ardana, 1994. Profit Margin dan kelayakan Usahatani Jahe dan Kedelai pada Lorong Tanaman Kopi Muda di Rejang Lebong, Bengkulu. Media Komunikasi. Puslitbang Perkebunan. I Ketut Ardana, B. Pramudia, M. Hasana, dan A. Tambunan, 2008. Pengembangan Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) mendukung kawasan mandiri energi di Nusa Penida. Jurnal Littri 14(4) Desember 2008/ Puslitbang Perkebunan. I Ketut Ardana dan S.R. Sigarlaki, 1994. Analisis Manfaat Usaha pembuatan Gula Kelapa di propinsi Bengkulu. Media Komunikasi. Puslitbang perkebunan. Kusnadi, N., A. Wahyudi, Dwi Rachmina, E.R. Pribadi dan I Ketut Ardana, 2006. Pengembangan model kelembagaan perbenihan untuk optimalisasi peran lada Indonesia di pasar dunia. Laporan Hasil Penelitian. Institut Pertanian Bogor bekerjasama dengan Badan Litbang Pertanian. Mamat H.S. dan I Ketut Ardana, 1992. Usahatani pada areal cengkeh rakyat di Jawa Timur. Media Komunikasi. Puslitbang Perkebunan. Muhammadi, E. Aminullah, dan B. Soesilo. 2001. Analisis Sistem Dinamis: Lingkungan Hidup, Sosial, Ekonomi, Manajemen. UMJ Press. Nurasa T. dan A. Supriatna, 2005. Analisis Kelayakan Finansial Lada Hitam: Studi Kasus di Propinsi Lampung. Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian dan Agribisnis SOCA 5(1) Pebruari 2005. Universitas Udayana. Ortiz, A, J. Maria, and J. Santosa. 2005. Applying Modelling Paradigms to Analyze Organizational Problems. Refsgaard, C.J. and H. J. Henriksen. Framework.
2002.
Modelling Guidelines- A Theoritical
Tasrif, M dan T. Avianto. 2004. Kursus Analisis Kebijaksanaan Menggunakan Model System Dyanamics. Kelompok Penelitian dan Pengembangan Energi. ITB. Wahyudi, A dan S. Wulandari. 2006. Pengaruh Berbagai Kebijakan Produksi, Perdagangan, dan Makroekonomi terhadap Harga Relatif dan Kinerja Komoditas Perkebunan: Tinjauan Historis. Wahyudi, A., S. Wulandari, dan I Ketut Ardana. 2005. Efektivitas Penambahan Lahan Usahatani Mete dalam Peningkatan Pendapatan Petani. Jurnal Littri 11(1) Maret 2005. Puslitbang Perkebunan.
130
Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat