sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Oseana, Volume XXXI, Nomor 1, Tahun 2006 : 9 - 19
ISSN 0216-1877
PENELITIAN IKTIOPLANKTON; PERLU DAN PENTING? Oleh :
A. Syahailatua1)
ABSTRACT ICHTHYOPLANKTON STUDIES; NECESSARY AND IMPORTANT? Understanding of fish population dynamics is useful to some human benefits, such as optimizing commercial fish landing or recreational fish catching, or conservation of a species, population or community. However, much information assisting all management policies on fisheries resources are dominated by the biological and ecological results of adult fishes. Over the past 30 years, many analyses on fish population dynamics have also been included knowledge derived from ichthyoplankton (fish eggs and larvae) studies as an essential element. This paper is discussed 2 topics and results of the ichthyoplankton research that they are necessary and significant to maintain the fish and fisheries resources. PENDAHULUAN
Kemampuan gerak yang sangat terbatas dari iktioplankton (telur dan larva ikan) mengakibatkan mudahnya kedua komponen ini dimangsa oleh predator-predator yang ada di lingkungan perairan. Disamping itu, kemampuannya juga sangat terbatas untuk mendapatkm makanan alami pada saat persediaan kuning telur (yolk sac) terserap habis, sehingga kondisi dari larva ikan sangat ditentukan oleh peluang dimana mereka berada. Sekiranya mereka berada di tempat yang berlimpah zooplankton, maka kondisinya akan baik, namun jika sebaliknya, maka kondisinya akan memburuk. Kedua faktor ini, yaitu kemampuan yang terbatas untuk menghindar dari predator dan untuk mendapatkan makanan yang cukup, mengakibatkan tinggi-tingkat mortalitas yang selalu dihadapi oleh iktioplankton.
Istilah iktioplankton (atau dalam bahasa Inggris ‘ichthyoplankton’) dalam biologi perikanan mencakup telur ikan dan larva ikan. Dua komponen ini melewati fase hidupnya sebagai plankton di dalam ekosistem perairan (tawar, payau atau laut). Dalam fasenya sebagai plankton, telur dan larva ikan mempunyai pergerakan yang sangat terbatas, diakibatkan belum berkembangnya alat-alat gerak dengan sempurna, terutama sirip ship. Pergerakan pasif yang dialami oleh iktioplankton sangat dipengaruhi oleh pergerakan masa air, seperti arus, turbulensi, pasang surut, dan juga proses penaikan (upwelling).
1)
Bidang Sumberdaya Laut, Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI, Jakarta.
9
Oseana, Volume XXXI No. 1, 2006
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Tingginya tingkat mortalitas dari iktioplankton berarti menurunkan laju kelangsungan hidupnya (survival rate). Hal ini sangat mempengaruhi keberhasilan dalam proses rekruitmen ikan dewasa dan sekaligus produksi sumberdaya perikanan. Pengalaman menurunnya produksi perikanan seperti pada perikanan ‘Pacific sardine’ (Sardinops sagax) pada tahun 1940-an memberikan banyak inspirasi bagi para peneliti biologi perikanan untuk mengkaji lebih dalam aspek-aspek yang berhubungan dengan telur dan larva ikan (LASKER, 1987). Salah satu pakar iktioplankton yang terkenal adalah OSCAR E. SETTE, diminta pemerintah federal Amerika Serikat untuk menyelidiki penyebab menurunnya produksi ‘sardine’ di lepas pantai California (USA). la merancang program penelitian umuk mencari sebab musabab kejadian ini, dan memberikan priontas bagi penelitian telur dan larva ikan. Dengan demikian hubungan iktioplankton dan proses rekruitmen menjadi fokus dalam pengkajian masalah-masalah yang berhubungan dengan produksi perikanan. Beberapa permasalahan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan yang dapat diperoleh informasi untuk
pemecabannya lewat iktioplankton adalah sebagai berikut (LASKER, 1987); penyebaran, pendugaan biomas, identifikasi jenis, rekruitmen, interaksi antar jenis, budidaya, polusi, ‘restocking’ dan stok identifikasi. Tidak semua permasalahan dibahas secara khusus dalam tulisan ini, namun ada dua studi kasus yang dirangkum untuk menjelaskan peranan yang nyata dari penelitian iktioplankton untuk menjawab permasalahan dalam bidang produksi perikanan. Kasus pertama adalah penyebab menurunnya produksi perikanan ‘Japanese sardine (Sardinops melanostictus) yang dikaji oleh WATANABE (2002); dan produksi perikanan di Australia yang rendah tidak berarti keanekaragaman jenis ikan juga rendah (SYAHAILATUA, 2005). KASUS PERTAMA - Penurunan produksi perikanan ‘sardine’ (Sardinops melanostictus) di perairan Jepang pada abad 20 (WATANABE, 2002) Perikanan ‘sardine (Sardinops melanostictus) di perairan Jepang mengalami produksi tertinggi sebanyak dua kali selama abad ke 20, yaitu ditahun 1930-an dan 1980-an (Gambar 1). Total hasil tangkapan yang dicapai pada tahun 1936 adalah sebesar 1,6 juta ton
Gambar 1. Fluktuasi hasil tangkapan tahunan dari ‘sardine’ di Jepang dari 1905-2000 memperlihatkan dua puncak hasil tangkapan yang terjadi di tahun 1930-an dan 1980-an (Sumber: WATANABE, 2002).
10
Oseana, Volume XXXI No. 1, 2006
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
dan tahun 1988 adalah 4,5 juta ton. Selama tahun-tahun dengan produksi tertinggi ini, perikanan ‘sardine’ memberikan kontribusi sebesar 30-40% bagi total produksi perikanan termasuk budidaya (ikan, kerang-kerangan dan rumput laut) di Jepang. Daerah penangkapan yang utama dari perikanan ini adalah di perairan Doto (lepas pantai utara Pulau Hokkaido; Gambar 2). Penurunan hasil tangkapan yang menyolok mulai terjadi di tahun 1989, dimana produksi dari kapal-kapal pukat cincin di daerah Doto sebesar 1,2 juta
ton di tahun 1988 menurun drastis menjadi 0,4 juta ton di tahun 1994. Estimasi biomas dari stok ‘sardine’ di Doto pada tahun itu adalah sebesar 0,7 juta ton. Ini berarti sekitar 50% dari stok ‘sardine’ berkurang akibat dari penangkapan. Dua hipotesa tentang tangkap lebih (overfishing) pada perikanan ‘sardine’ dibuat, yaitu tangkap lebih yang diakibatkan karena tertangkapnya banyak ikan-ikan muda (growth overfishing) dan tangkap lebih yang diakibatkan karena gagalnya proses rekruitmen (recruitment overfishing).
Gambar 2. Skema dari daerah pemijahan (spawning grounds) sepanjang arus ‘Kuroshio’ di sebelah selatan Jepang dan daerah mencari makanan (feeding grounds) di lokasi Oyashio (sebelah utara Jepang). Doto area (yang diarsir) yang terletak di pantai timur pulau Hokkaido, merupakan daerah penangkapan yang potensial pada tahun 1980-an (Sumber: WATANABE, 2002).
11
Oseana, Volume XXXI No. 1, 2006
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
komposisi yang nyata. Pada tahun 1991, ikanikan yang berumur 2 tahun (kelas umur 1989) dan 3 tahun (kelas umur 1988) hanya 4% dari total tangkapan, sedangkan sisanya adalah ikan-ikan dengan komposisi lebih dari 4 tahun. Begitu juga dengan kejadian di tahun 1992, dimana ikan-ikan yang berumur 1 tahun (kelas umur 1991) tidak nampak dan lebih dari 96% adalah ikan-ikan yang berumur 4 tahun atau lebih. Kesimpulan dari hasil pengamatan komposisi umur ini memperlihatkan bahwa menurunnya hasil tangkapan ‘sardine’ tidak disebabkan karena adanya tangkap lebih dari ikan-ikan muda.
Komposisi umur dari ‘sardine’ yang tertangkap di perairan Doto mengalami banyak perubahan dari pertengahan 1980an sampai awal 1990-an (Gambar 3). Tahun 1984-1988 ketika puncak dari produksi perikanan itu terjadi, komposisi umur 1, 2, 3 dan 4 tahun atau lebih memiliki kontribusi relatif seimbang sebesar 20-30% dari hasil tangkapan. Tahun 1989, ikan berusia satu tahun (kelas umur 1988) tidak ditemukan dalam hasil tangkapan, dan tahun 1990, ikan-ikan yang dipijah tahun 1988 (berumur 2 tahun) tidak nampak, dan juga yang dipijah tahun 1989 tidak menunjukkan
Gambar 3. Komposisi umur dari ‘sardine’ yang tertangkap di daerah Doto selama 19841992. Lebih dari 95% hasil tangkapan pada tahun 1991 dan 1992 terdiri dari ikan-ikan yang berumur lebih dari 4 tahun (Sumber: WATANABE, 2002).
12
Oseana, Volume XXXI No. 1, 2006
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Pertambahan dengan cepat dalam komposisi dari kelompok ikan-ikan dewasa memberikan indikasi kuat bahwa proses rekruitmen generasi baru ke dalam populasi sardine berkurang setelah tahun 1988. Banyak ikan kelompok umur 1 tahun dari ‘sardine’ yang bermigrasi ke perairan Doto di musim panas merupakan indeks rekruitmen yang baik. Pendugaan jumlah dari ikan-ikan muda selama tahun 1980-1987 mengalami fluktuasi dari 2,1 milyar (tahun 1984) sampai 16,3 milyar (tahun 1981). Kelas umur yang tinggi terjadi di tahun 1980, 1983 dan 1986 menjadikan ‘sardine’ memiliki biomas maksimum sebesar 39 juta ton di tahun 1988. Rekruitmen di tahun 1988 adalah sebesar 0,1 milyar dan tidak ada rekruitmen yang terjadi di tahun 1990 dan 1991. Kegagalan rekruitmen terjadi secara berkesinambungan dari 1988 sampai 1991. Hal ini menyebabkan pertambahan yang cepat dalam komposisi ikan-ikan dewasa. Penangkapan yang intensif yang mengeksploitasi berjuta-juta ton ‘sardine’ menurunkan stok biomas pemijahan dan menghasilkan produksi telur yang rendah dalam tahun dimana rekruitmen mengalami
kegagalan setelah 1988. Kenyataan sebaliknya terjadi di daerah sebelah selatan sepanjang arus Kuroshio, dimana produksi telur tahunan (Gambar 4) mengalami kenaikan dari 450 trilyun (1979) menjadi 6660 trilyun (1990), dengan pengecualian di tahun 1986, dimana produksi mencapai 8990 trilyun. Produksi telur ini kemudian menurun tajam menjadi 170 trilyun di tahun 1996. Rata-rata produksi telur selama periode kegagalam rekruitmen tahun 1988-1991 adalah sebanyak 4610±1370 (rata-rata ± s.d.) trilyun telur, sedangkan pada periode sebelumnya (1980 1987, kecuali 1986), produksi rata-rata dari telur sardine hanya tercatat 1450±480 trilyun telur. Ini berarti ikan-ikan sardine, dewasa menghasilkan telur yang lebih banyak pada masa kegagalan rekruitmen. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penelitian telur dan larva dari sardine secara jelas menunjukkan bahwa kegagalan rekruitmen di tahun 1988-1991 tidak menurunkan kemampuan reproduksi dari ikan ikan dewasa, sehingga tangkap lebih akibat dari kegagalan dalam proses rekruitmen tidak dapat dibuktikan selama periode tersebut.
Gambar 4. Produksi tahunan dari telur ikan ‘sardine’ di perairan Jepang sebelah timur dari tahun 1978-1996. Pada 1988-1992 dimana terjadi penurunan produksi hasil tangkapan, produksi telur ikan relatif tinggi dibandingkan tahun-tahun yang lain, kecuali di tahun 1986 yang mencapai 8900 trilyun butir (Sumber: WATANABE).
13
Oseana, Volume XXXI No. 1, 2006
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Mortalitas masal diperkirakan terjadi setelah pemijahan dan penetasan telur. Untuk itu beberapa kajian dalam kaitannya dengan kematian masal dilakukan, seperti hubungan antara produksi telur, kelimpahan larva yang masih memiliki kuning telur, kelimpahan larva yang telah memperoleh makanan alamiah, dan ikan sardine muda yang berumur 1 tahun. Korelasi positif diperoleh dalam hubungan hubungan ini kecuali pada hubungan antara kelimpahan larva ikan yang telah memperoleh makanan alamiah dengan ikan-ikan muda yang berumur 1 tahun. Ini menunjukkan adanya variasi dalam kematian masal setelah larva berada dalam tahapan ‘first feeding’ (untuk pertama kali mendapatkan makanan alamiah) menentukan besarnya rekruitmen.
Data dari penelitian telur dan larva ikan (Gambar 5) menyediakan informasi tentang penyebaran dan luas area pemijahan dari ikanikan pelagik. Daerah pemijahan dari ‘sardine’ mengalami perubahan lokasi dan ukuran selama proses fluktuasi dalam populasi. Di akhir tahun 1970-an, ketika populasi di bawah maksimum, daerah pemijahan berada di perairan pantai Jepang pada paparan benua lepas Samudera Pasifik. Pada tahun dimana populasi mencapai puncak, daerah pemijahan mengalami perluasan ke arah lepas pantai perairan samudera mengikuti sumbu arus ‘Kuroshio’ dimana kedalaman sampai mencapai ribuan meter. Pusat dari daerah pemijahan berada 20-80 km kearah pantai dari sumbu arus ‘Kuroshio’ sampal tahun 1984 dan berpindah
Gambar 5. Peta penyebaran telur ‘sardine’ sepanjang arus ‘Kuroshio’ (lihat garis) di perairan Jepang sebelah timur tahun 1990. Setiap lingkaran tertutup menandai produksi telur tahunan dalam trilyun di daerah seluas 30’x 30’ persegi dari garis lintang dan bujur (Sumber: WATANABE, 2002).
14
Oseana, Volume XXXI No. 1, 2006
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
ke sekitar sumbu arus ‘Kurohio’ setelah tahun 1985. Pada pertengahan tahun 1990an produksi telur berkurang secara drastis, dan daerah pemijahan terbatas di sepanjang perairan pantai Samudera Pasifik seperti pada akhir tahun 1970an. Dominasi dari arus ‘Kuroshio’ dengan kecepatan rata-rata sebesar 2 knot (3,6 km per jam) dapat memindahkan volume masa air yang besar dari daerah pemijahan ‘sardine’ di sebelah barat daya ke arah timur laut. Telur dan larva ‘sardine’ yang menyebar di sekitar arus ini ikut terbawa. Untuk memprediksi besarnya produksi telur yang dipindahkan, maka dikembangkan model perpindahan partikel berdasarkan data ADCP (Acoustic Doppler Current Profiler) pada tiga strata kedalaman (10, 50 dan 100 m). Jika model ini disimulasikan untuk memindahkan partikel yang dilepaskan pada lokasi antara pantai dan sumbu arus ‘Kuroshio’ di bagian selatan Jepang (simulasi 1), maka diperkirakan 50% dari produksi telur akan dipindahkan ke perairan pantai Semenanjung Boso dalam 2 minggu dimana arus ini akan bergerak lepas pantai Jepang berbelok ke arah timur menuju ke perairan Pasifik utara bagian tengah, dan ini dikenal sebagai ‘Kuroshio extention’. Sisa produksi telur yang 50% akan menyebar di sepanjang pantai timur Jepang (pantai Pasifik). Dalam simulasi yang kedua, bila telur dilepaskan hanya di perairan pantai, maka 5% dari produksi telur yang akan berpindah ke lepas pantai Jepang mengikuti ‘Kuroshio extention’ dalam waktu 3 minggu. Penyebaran lokasi pemijahan selama tahun 1985-1992 lebih luas dari area Kuroshio dalam simulasi 1, sehingga lebih dari 50% telur yang diproduksi sepertinya berpindah ke daerah ‘Kuroshio extention’ setelah dipijahkan dalam periode dimana terjadi pemijahan di lepas pantai. Dari hasil kajian telur dan larva ‘sardine’ ini dapat disimpulkan bahwa menurunnya produksi ‘sardine’ di perairan sebelah timur Jepang tidak disebabkan karena tangkap lebih
dari ikan-ikan muda atau kegagalan proses rekruitmen dan juga menurunnya kemampuan ikan-ikan dewasa dalam bereproduksi. Kemungkinan disebabkan oleh peranan dari faktor oseanografi, khususnya arus ‘Kuroshio’ dalam menentukan penyebaran dari telur dan larva ke lokasi ‘Kuroshio extention’. Hal ini berdampak pada pola rekruitmen yang biasanya terjadi secara normal di daerah asuhan dan penangkapan sekitar perairan Doto mengalami penurunan, sehingga sekaligus mempengaruhi produksi perikanan sardine. KASUS KEDUA - Produksi perikanan Australia yang rendah tidak berarti kekayaan jenis ikannya juga rendah (SYAHAILATUA, 2005). Australia adalah negara yang memiliki luas perairan laut terbesar nomor tiga di dunia, namun hasil produksi perikanannya (ikan, kerang kerangan dan rumput laut) menduduki urutan ke 55 (KAILOLA et al., 1993). Sesuatu yang cukup kontradiktif karena luas laut memiliki hubungan yang negatif dengan produksi perikanan. Konsentrasi unsur-unsur hara di perairan laut yang cukup rendah dibandingkan dengan kandungan unsur hara perairan laut lainnya di dunia menjadi alasan mengapa produksi perikanan di perairan Australia sangat rendah. Studi iktioplankton di perairan Australia sudah dilakukan dengan cukup intensif, dan hasil penelitian menunjukkan bahwa kekayaan jenis ikan di perairan Australia cukup tinggi. Dalam penelitian di perairan Australia bagian timur (lepas pantai negara bagian New South Wales) pada November 1998 (3 malam) dan Januari 1999 (5 malam), dipergunakan dua jenis jaring larva dengan masing-masing memiliki ukuran mata jaring sebesar 500 µm. Satu jaring dioperasikan di bagian permukaan perairan dan jaring yang lainnya dioperasikan pada kedalaman 10-20m, 20-30m dan 30-40m di stasiun yang memiliki kedalaman 50m atau 10
15
Oseana, Volume XXXI No. 1, 2006
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
30m, 30-50m dan 50-80m di stasiun yang memiliki kedalaman 100m. Total hasil koleksi selama 8 malam adalah sebanyak 113 suku dan 1 ordo ikan (Tabel 1), dan komposisinya merupakan campuran antara taxa yang berasal dari perairan tropis dan sub tropis. Kelimpahan jenis larva juga disertai dengan kelimpahan individu dari beberapa jenis ikan dan umumnya jenis yang berlimpah ini merupakan ikan-ikan ekonomis penting yang berasal dari suku bothidae, clupeidae, carangidae, sillaginidae, lutjanidae, platycephalide, labridae, mullidae, dan sparidae. Temuan ini sangat didukung oleh beberapa hasil penelitian terdahulu di perairan Australia, antara lain yang dilakukan di perairan
barat daya Australia Barat (103 suku-YOUNG et al., 1986) di lepas pantai negara bagian New South Wales (119 suku-GRAY, 1993); lepas pantai Sydney (70 suku-DEMPSTER et al., 1997; 111 suku-SMITH & SUTHERS, 1999), dan di perairan Australia bagian tenggara (119 suku-GRAY & MISKIEWICZ, 2000). Percampuran jenis antara taxa tropis dan sub tropis ini dapat terjadi karena di perairan pantai timur Australia ada arus laut yang dikenal dengan mina ‘East Australian Current (EAC)’. Arus ini bergerak dari laut ‘Coral’ (daerah tropis) ke arah barat, dan setelah mencapai pantai Australia bagian timur berbelok ke dua arah, yaitu ke utara (perairan
Tabel 1. Komposisi larva ikan yang terdiri 111 suku dan 1 ordo, tertangkap di lepas pantai negara bagian New South Wales pada November 1998 (penelitian selama 3 malam) dan Januari 1999 (5 malam) (Sumber: SYAHAILATUA, 2005) Acanthuridae Acropomatidae Ambassidae Ammodytidae Anguilliformes Apogonidae Argentinidae Arripidae Atherinidae Aulostomidae Balistidae Belonidae Berycidae Blennidae Bothidae Bramidae Bregmacerotidae Bythitidae Callanthidae Callionymidae Caproidae Carangidae Centrolophidae
Cepolidae Chaetodontidae Champsodontidae Cheilodactylidae Chironemidae Cirrhitidae Clupeidae Coryphaenidae Creediidae Cynoglossidae Dactylopteridae Diodontidae Engraulidae Enoplosidae Exocoetidae Fistulariidae Gempylidae Gerreidae Girellidae Gobiesocidae Gobiidae Gonorhynchidae Gonostomatidae
Haemullidae Hemiramphidae Holocentridae Kyphosidae Labridae Leiognathidae Leptoscopidae Lethrinidae Lophotidae Lutjanidae Macruronidae Malacosteidae Melamphidae Menidae Microcanthidae Microdesmidae Monacanthidae Monodactylidae Mugilidae Mullidae Myctophidae Nemipteridae Notacanthidae
16
Oseana, Volume XXXI No. 1, 2006
Odacidae Ophididae Opistognathidae Ostraciidae Paralepididae Paralichthyidae Pegasidae Pempherididae Percophidae Pinguipedidae Platycephalidae Plesiophidae Pleuronectidae Poecilopsettidae Polynemidae Pomacanthidae Pomacentridae Pomatomidae Priacanthidae Psettodidae Pseudochromidae Samaridae Scaridae
Scatophagidae Schindleriidae Scianidae Scomberesocidae Scombridae Scorpaenidae Scorpididae Serranidae Siganidae Sillaginidae Soleidae Sparidae Sphyraenidae Synodontidae Teraponidae Tetraodontidae Trachichthyidae Trichiuridae Trichonotidae Triglidae Trypterigiidae Uranoscopidae
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
tropis) dan ke selatan (perairan sub-tropis). EAC yang bergerak ke selatan ini (Gambar 6) juga turut memindahkan larva ikan dari perairan tropis ke perairan sub tropis, khususnya di musim semi dan panas (September-Februari). Disamping itu, arus ini juga berperan dalam memicuh terjadinya proses penaikkan masa air dari dasar perairan ke bagian permukaan (upwelling), yang dilaporkan terjadi di lepas pantai negara bagian New South Wales pada
musim panas. Proses penaikan masa air ini turut membantu pengayaan unsur hara di perairan Australia, dan menstimulasi terjadinya pemijahan banyak jenis ikan. Hal ini dapat dibuktikan dengan ditemukannya larva ikan yang berada pada tingkatan ‘pre-flextion’ dan ‘flextion’, sehingga menjadikan daerah perairan pantai negara bagian New South Wales (di sebelah timur benua Australia) lokasi pemijahan dan sekaligus daerah asuhan.
Gambar 6. Arus Australia Timur (EAC) yang bergerak ke arah selatan di sepanjang pantai Australia bagian timur (lihat panah), selain dapat mengakibatkan proses penaikan masa air dari dasar ke permukaan perairan (upwelling), juga sekaligus dapat memindahkan telur dan larva ikan dari perairan Australia tropis ke subtropis (hak cipta CSIRO Marine Research, Hobart 1998).
17
Oseana, Volume XXXI No. 1, 2006
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Dari studi ini dapat disimpulkan bahwa rendahnya tingkat produksi perikanan, khususnya perikanan laut di Australia tidak diikuti dengan rendahnya keanekaragaman jenis biota laut, khususnya ikan. Permasalahan yang perlu dikaji adalah bagaimana kondisi dan pertumbuhan larva itu sendiri, kemudian setelah menjadi ikan muda dan ikan dewasa untuk memasuki tahapan rekruitmen. Disamping itu, pola migrasi dari ikan-ikan ini juga perlu dikaji dengan serius. Namun, hal yang perlu digaris-bawahi disini bahwa penelitian iktioplankton setidak-tidaknya dapat memberikan jawaban bahwa produksi perikanan, khususnya ikan, yang rendah, tidak berarti kekayaan jenis ikan juga rendah.
tentang perkembangan ikan pada tahapan awal ini menjadi begitu penting untuk menjelaskan perkembangan dalam tahapan yang lebih lanjut. Pengaruh faktor-faktor lingkungan sangat berperan (secara langsung maupun tidak langsung) dalam perkembangan telur dan larva ikan, sehingga faktor-faktor ini juga harus selalu diperhitungkan dalam mempelajari iktioplankton.
DAFTAR PUSTAKA DEMPSTER, T., M.T. GIBBS., D. RISSIK, and I.M. SUTHERS., 1997. Beyond hydrography: daily ichthyoplankton variability and short term oceanographic events on the Sydney continental shelf. Continental Shelf Research, 17: 1461-1481.
KESIMPULAN Semakin jelas terlihat peranan dari penelitian iktioplankton dalam menjawab beberapa tantangan dan permasalahan yang dihadapi dalam dunia perikanan. Dua kasus yang dibahas disini adalah sebagai contoh dari belahan bumi utara (perairan Jepang) dan belahan bumi selatan (perairan Australia). Kedua contoh ini memberikan gambaran yang mendalam tentang perlu dan pentingnya penelitian iktioplankton untuk menjelaskan fenomena alam yang terjadi dan sekaligus dapat dipergunakan untuk memberikan jalan keluar dalam pengambilan kebijakan untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi. Memang semakin rumit suatu permasalahan akan semakin rumit juga cara pemecahannya, namun penelitian iktioplankton yang merupakan penelitian dasar dalam perikanan, dapat memberikan masukan yang berarti untuk menjelaskan sesuatu permasalahan yang saling berkaitan satu dengan yang lain. Hal ini dapat dengan mudah dipahami, karena hampir semua perkembangan biologi ikan dimulai dari tahapan telur dan larva, sehingga pengetahuan
GRAY, C.A. and A.G. MISKIEWICZ., 2000. Larval fish assemblages in South east Australia coastal waters: Seasonal and Spatial Structure. Estuarine, Coastal and Shelf Science, 50: 549-570. GRAY, C.A., 1993. Horizontal and vertical trends in the distributions of larval fishes in coastal waters off central New South Wales, Australia. Marine Biology, 116:649-666. KAILOLA, P., M.WILLIAMS., P. STEWART., R. REICHELT., A.MCNEE., and C. GRIEVE., 1993. Australian Fisheries Resources. Bureau of Resources Sciences, Canberra. LASKER, R. 1987. Use of fish eggs and larvae in probing some major problems in fisheries and aquaculture. American Fisheries Society Symposium, 2: 17-29.
18
Oseana, Volume XXXI No. 1, 2006
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
SMITH, K.A. and I.M. SUTHERS., 1999. Displacement of diverse ichthyoplankton assemblages by a coastal upwelling event on the Sydney shelf. Marine Ecology Progress Series, 176: 49-62.
WATANABE, Y. 2002. Resurgence and decline of the Japanese sardine population. In: Fuiman, L.A. and Werner, R.G. (eds), Fishery Science; The unique contributions of early life stages, chapter 11 (case studies). Blackwell Science Ltd, Oxford: 243-257.
SYAHAILATUA, A. 2005. Biological oceanography of larval fish diversity and growth off’eastern Australia. PhD Thesis, UNSW, Sydney: 150 pp.
YOUNG, P.C., J.M. LEIS and H.F. HAUSFELD., 1986. Seasonal and spatial distribution of fish larvae in waters over the north west continental shelf of Western Australia. Marine Ecology Progress Series, 31: 209-222.
19
Oseana, Volume XXXI No. 1, 2006