Daftar Isi Hakekat Sabar dalam Al-Quran (Kajian Tematik dalam Surah Al-Baqarah) The Meaning of Patience in The Alquran (Thematic study of Verse al-Baqarah) — 213 Hamka Hasan
Penegakan Hukum Atas Hak Beragama Bagi Anak (Law Enforcement The Religious Right For Children ) — 234 Soefyanto
Mempertahankan Keutuhan Keluarga: (Saling Pengertian adalah Kunci Kebahagiaan) Keeping Family Integrity: (Understanding is the Key to Happiness) — 274 Abdul Azis
Pencegahan Terorisme Melalui Tinjauan Agama dan Pendidikan (Terrorism Prevention Through Religion and Education Review) — 299 H. Muhammad Ilyasin
Peran KUA dalam Sosialisasi Tentang Larangan Pernikahan Beda Agama Sebagai Upaya Mewujudkan Keluarga Sakinah: Menimbang Prinsip Keyakinan dan Kemaslahatan (Role of Religious Affairs Office in Disseminating Prohibition of Interfaith Married as Efforts to Realize Harmonious (Sakinah) Family: Weighing The Principle of Faith and Welfare) — 323 Abdul Jalil.
Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.II 2013
Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Masjid Masjid NU dan Pemberdayaan Masyarakat Nahdliyin: Antara Cita dan Fakta (NU’s Mosque and the Empowerment of Nahdliyin Society: Between Idea and Fact) — 345 A. Musthofa Asrori
Dakwah Lewat Syair : Telaah Nazam Akhlak Karya KH. Muhammad — 375 Sugeng Sugiarto
The Meaning of Patience in The Al-Quran (Thematic study of Verse al-Baqarah) Hakekat Sabar dalam Al-Quran (Kajian Tematik dalam Surah al-Baqarah) Hamka Hasan Fakultas Dirasat Islamiyah, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta email :
[email protected]
Abstract : Patience is sometimes interpreted as a gesture of caving, helplessness, weakness, accept what is and other meanings. In contrast, the Qur’an gives a different meaning, namely effort to reach a noble goal. This means that the patient requires a strength not a weakness; activity not passivity; never give up, not mentality of loser. To find these conclusions, this paper uses the method of thematic interpretation combined with linguistic approach. This Methods and approaches can reveal the implicit meanings of the words in the Qur’an. The data used mainly primary and secondary data from the classics and modern books with the critical reading. Abstraksi : Sabar kadang kala dimaknai sebagai sikap mengalah, ketidakberdayaan, lemah, menerima apa adanya dan makna-makna yang lain. Sebaliknya, al-Quran memberikan makna berbeda yaitu upaya keras untuk mencapai sebuah cita-cita yang mulia. Ini berarti bahwa sabar membutuhkan kekuatan bukan kelemahan; keaktifan, bukan kepasifan; pantang menyerah, bukan bermental kalah. Untuk menemukan kesimpulan tersebut, makalah ini menggunakan metode tafsir tematik yang digabungkan dengan pendekatan linguistik. Metode dan pendekatan ini dapat menyingkap makna-makna yang tersirat di balik kata-kata dalam al-Quran. Data yang digunkan adalah data primer dan sekunder dari kitab-kitab klasik dan modern dengan pembacaan kritis. Keywords : Patience, Verse of Al-Baqarah.
214_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013
A. Pendahuluan Konsep sabar dalam al-Quran menjadi salah satu bahasan ulama yang cukup menarik dan penting. Disamping karena terakait dengan masalah teologi juga terkait dengan apek sosial masyarakat. Kajian Al-Quran tentang sabar menjadi salah satu bentuk kajian tafsir maudhu’î. Seperti dengan kajian tafsir maudhu’î yang lain, makalah ini memakai beberapa langkah yang dianggap menukung dalam pengkajian tentang konsep sabar secara ontologis yang terdapat dalam surah alBaqarah. Penulis terlebih dahulu mengidentifikasi setiap ayat yang mengandung kata sabar, kemudian sejumlah ayat tersebut diklasifikasi sesuai dengan tema pokok yang terkandung didalamnya. Tema-tema tersebut melahirkan sejumlah pembahasan seperti yang terdapat dalam pembahasan makalah ini. Untuk menemukan kajian yang konprehensif, maka penulis memakai beberapa pendekatan, diantaranya: pendekatan kebahasaan, eksegisis, informatif dan argumentatif. Makalah ini akan menjelaskan tentang sabar secara kebahasaan, sabar menurut surah al-Baqarah, hakekat sabar, manfaat sabar, objek kesabaran serta hubungan antara sabar dengan surah al-Baqarah.
B. Sabar dalam Literatur Kebahasaan Sabar adalah salah satu unsur internal yang dimiliki oleh setiap manusia. Meskipun term ini dipersilisihkan oleh kalangan intelektual tentang posisinya dalam manusia. Sebagian mereka mengatakan bahwa sabar adalah sikap yang dimiliki oleh setiap orang dan sebagian lain condong mengatakan bahwa sabar adalah sifat yang melekat pada diri seseorang. Lebih dari itu, term ini diperdebatkan tentang eksistensinya. Sebagian kalangan mengatakan bahwa setiap orang secara fitrah memiliki unsur tersebut dan sebagian yang lain mengatakan bahwa unsur ini timbul-tenggelam dalam diri manusia.
Hakekat Sabar dalam Al-Quran _215
Secara etimologi kata sabar pada awalnya diartikan sebagai “menahan pada tempat yang sempit”1. Selanjutnya, jika kata sabar dikaitkan dengan manusia, maka dapat berarti menahan jiwa dari hal-hal yang dapat dibenarkan oleh logika dan wahyu2. Lafadz sabar merupakan lafadz yang umum. Lafadz ini dapat berkembang maknanya sesuai dengan redaksi kalimat yang merangkai kata sabar tersebut3. sedangkan Ibn Faris menulis bahwa kata sabar memiliki tiga makna, yaitu: pertama, membelenggu4; kedua, ujung tertinggi dari sesuatu; ketiga, jenis batubatuan.5 Pengertian tersebut di atas dapat memberikan indikasi bahwa kata sabar secara etimologi dapat dipahami sebagai proses yang “aktif” bukan “passif”6. Kata sabar dengan aneka ragam derivasinya ditemukan makna yang beragam antara lain: shabara bih yang berarti “menjamin”. Shabîr yang berarti “pemuka masyarakat yang melindungi kaumnya”. Dari akar kata tersebut terbentuk pula kata yang berarti “gunung yang tegar dan kokoh”, “awan yang berada di atas awan lainnya sehingga melindungi apa yang terdapat di bawahnya”, “batu-batu yang kokoh”, “tanah yang gersang”, “sesuatu yang pahit atau menjadi pahit”. Dengan pengertianpengertian ini, Quraish Shihab menyimpulkan bahwa sebuah kesabaran menuntut ketabahan menghadapi sesuatu yang sulit, berat, pahit, yang harus diterima dan dihadapi dengan penuh tanggung jawab7. Dari pengertian tesebut, sabar secara terminologi dapat dirumuskan menjadi “menahan diri/membatasi jiwa dari keinginannya demi mencapai sesuatu yang lebih baik/luhur.
C. Konsep Sabar menurut surah al-Baqarah Pada pembahasan sebelumnya, penulis telah memaparkan pengertian sabar menurut ulama bahasa. Pengertian itu terambil dari beberapa kamus yang khusus menelaah dan mengkaji perkembangan bahasa arab. Pada pembahasan ini, penulis akan membahas konsep sabar dalam surah al-Baqarah. Meskipun pembahasan antara kedua konsep tersebut
216_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013
terpisah, namun penulis beusaha mencari titik temu dan hubungan antara keduanya. Kata sabar dengan seluruh derivasinya ditemukan sekitar 123 kali dalam Al-Quran yang tersebar pada surah Makkiyah dan Madaniyah. Meskipun sebagian diantara ulama memberikan perhitungan yang berbeda seperti Imam Al-Gazali menyebutnya sekitar 70 kali8, ibn AlQayyim menyebutnya 90 kali9 dan Abu Thalib al-Makki sekitar 90 kali.10 Meskipun jumlah kata sabar dalam Al-Quran beragam, namun keragaman itu dapat dikompromikan dengan melihat sebab perbedaan tersebut. Ulama berbeda cara pandangnya untuk menghitung satu ayat yang memuat dua atau tiga kata sabar. Jika jumlah ayat yang didalamnya terdapat kata sabar dihitung, maka akan berbeda dengan seluruh kata sabar yang terdapat dalam Al-Quran karena ada satu ayat yang mengandung dua atau tiga kata sabar. Sedangkan jumlah ayat yang berbicara tentang sabar dalam surah al-Baqarah sekitar 8 ayat dengan 9 kali pengulangan. Perbedaan jumlah ayat dan jumlah penyebutan disebabkan karena pada ayat 153 terdapat 2 kali penyebutan. Pada pembahasan ini, penulis akan memaparkan beberapa aspek yang berkenaan dengan sabar yang terdapat dalam surah al- Baqarah, yaitu: pengertian, hakekat, objek dan manfaat orang sabar dan hubungan antara sabar dengan surah al-Baqarah.
D. Pengertian orang sabar Penulis melihat bahwa dari sekian banyak ayat Al-Quran yang berbicara tentang sabar, maka ayat yang paling tepat untuk menggambarkan pengertian ini adalah Firman Allah swt., pada surah Al-Baqarah ayat 155-156:
ِ اﳋﻮ ٍِ ِ ٍ ﻮع َوﻧَـ ْﻘ ﺺ ِﻣ َﻦ ْاﻷ َْﻣ َﻮ ِال ِ ُاﳉ ْ ف َو َْْ َوﻟَﻨَْﺒـﻠَُﻮﻧﱠ ُﻜ ْﻢ ﺑ َﺸ ْﻲء ﻣ َﻦ ِ ِ اﻟﱠ ِﺬﻳﻦ إِ َذا أَﺻﺎﺑـْﺘـﻬﻢ ﻣ.ﺼﺎﺑِ ِﺮﻳﻦ ِ َو ْاﻷَﻧْـ ُﻔ ٌﺼﻴﺒَﺔ ُ ُْ ََ َ َ ﺲ َواﻟﺜ َﱠﻤَﺮات َوﺑَ ﱢﺸ ِﺮ اﻟ ﱠ ﻗَﺎﻟُﻮا إِﻧﱠﺎ ﻟِﻠﱠ ِﻪ َوإِﻧﱠﺎ إِﻟَْﻴ ِﻪ َر ِاﺟﻌُﻮ َن
Hakekat Sabar dalam Al-Quran _217
Artinya: Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, “Innaa lillaahi wa innaa ilaihi râji`ûn” Secara tekstual ayat tersebut menggambarkan bahwa manusia akan menerima cobaan di dunia dari Allah swt., berupa rasa khawatir, kelaparan, kemiskinan, kematian dan kelaparan. Oleh karena itu, Allah swt., memerintahkan kepada Nabi Muhammad saw., untuk menyampaikan sebuah pesan dari-Nya berupa kabar gembira kepada orang yang sabar. Yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengatakan ”kami ini adalah milik Allah swt., dan kepadaNyalah kami kembali”. Adapun isi pesan tersebut adalah sebagaimana yang tertera pada ayat selanjutnya:
ِ اﳋﻮ ٍِ ِ ٍ ﻮع َوﻧَـ ْﻘ ﺺ ِﻣ َﻦ ْاﻷ َْﻣ َﻮ ِال ِ ُاﳉ ْ ف َو َْْ َوﻟَﻨَْﺒـﻠَُﻮﻧﱠ ُﻜ ْﻢ ﺑ َﺸ ْﻲء ﻣ َﻦ ِ ِ اﻟﱠ ِﺬﻳﻦ إِ َذا أَﺻﺎﺑـْﺘـﻬﻢ ﻣ.ﺼﺎﺑِ ِﺮﻳﻦ ِ َو ْاﻷَﻧْـ ُﻔ ٌﺼﻴﺒَﺔ ُ ُْ ََ َ َ ﺲ َواﻟﺜ َﱠﻤَﺮات َوﺑَ ﱢﺸ ِﺮ اﻟ ﱠ ﻗَﺎﻟُﻮا إِﻧﱠﺎ ﻟِﻠﱠ ِﻪ َوإِﻧﱠﺎ إِﻟَْﻴ ِﻪ َر ِاﺟﻌُﻮ َن
.ﻚ ُﻫ ُﻢ اﻟْ ُﻤ ْﻬﺘَ ُﺪو َن َ ِات ِﻣ ْﻦ َرﱢ�ِ ْﻢ َوَر ْﲪَﺔٌ َوأُوﻟَﺌ َ ِأُوﻟَﺌ ٌ ﺻﻠَ َﻮ َ ﻚ َﻋﻠَْﻴ ِﻬ ْﻢ
Artinya : Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.
ِ اﳋﻮ ِ ﺺ ِﻣﻦ ْاﻷَﻣﻮ الAyat ﻮع َوﻧَـ ْﻘ ف َو ﻮﻧﱠ ُﻜ ْﻢ ﺑِ َﺸ ْﻲ ٍء ِﻣupaya ِ ُاﳉ ْtersebut َdiْ ْ atasَﻦmenggambarkan َْ 166 َsurah ٍal-Baqarah ََُوﻟَﻨَْﺒـﻠ ِorang ِswt., ِ apabila Allah orang-orang ْﻢ ُﻣmendefiniskan َﺻﺎﺑـَْﺘـ ُﻬ ﻳﻦ إِ َذا أ اﻟﱠ ِﺬ.ﻳﻦ ﺼﺎﺑِ ِﺮ ﱢﺸ ِﺮ اﻟyaitu ات َوﺑ اﻟﺜ َﱠﻤَﺮyang ﺲ َو َو ْاﻷَﻧْـ ُﻔ ﱠsabar, ٌﺼﻴﺒَﺔ َ َ َ َ ditimpa musibah mereka mengatakan “sesungguhnya adalah ِ إِﻟَﻴ ِﻪ رkami ِ إِﻧﱠﺎ ﻟِﻠﱠmilik ِ ﱠ ( 155 : 2 / اﻟﺒﻘﺮة ) ن ﻮ ﻌ اﺟ ﺎ ﻧ إ و ﻪ ﻗَﺎﻟُﻮا َ ُ َ ْ َ Allah swt., dan kepada-Nyalah kami dikembalikan”. 11
E. Hakekat Sabar Sabar merupakan salah satu aspekِ penting yang terkandung dalam ِ ْﺸ ِﺮtelah ِ seperti ِ وﻟَ ِﻜ ﱠﻦswt.,ب ِ َِْﱪﱠ أhakekat ﱪ ﺮ ﻐ ﻤ ﻟ ا و ق ﻞ اﻟْ َﻤdijelaskan ْن ﺗُـ َﻮﻟﱡﻮا ُو ُﺟApa ﺲ اﻟ ﻟَْﻴ ْ ﱠ ْ ujianْاﻟAllah yang َ sebelumnya. َﻮﻫ ُﻜ ْﻢ ﻗﺒ َ َ َ َ َ ِyang ِ ِ َﻜujian ِswt., ِ اﻣﻦ ﺑِﺎﻟﻠﱠdalam ِ َواﻟْ ِﻜﺘdari sabar dapat Allah termaktub ِ ءَاﺗَﻰyang ﲔ َو َواﻟﻨﱠﺒِﻴdipahami ﺎب ﺔ ﺋ ﻼ ﻤ ﻟ ا و ﺮ ﺧ اﻵ م ﻮ ـ ﻴ ﻟ ا و ﻪ ْ ْ ْ َ ﱢ َ َ pada surah َ َ al-Baqarahْ َtersebut َ ?.َ َ ََﻣ ْﻦ ء firmannya pada ayat 155-157 ِ ِ ﲔ َواﺑْ َﻦ اﻟ ﱠﺴﺒِ ِﻴﻞ َ اﻟْ َﻤ َ ﺎل َﻋﻠَﻰ ُﺣﺒﱢﻪ َذ ِوي اﻟْ ُﻘ ْﺮَﰉ َواﻟْﻴَﺘَ َﺎﻣﻰ َواﻟْ َﻤ َﺴﺎﻛ ِِ ِ َﲔ وِﰲ اﻟﱢﺮﻗ ﺼ َﻼةَ َوءَاﺗَﻰ اﻟﱠﺰَﻛﺎ َة َواﻟْ ُﻤﻮﻓُﻮ َن ﺎب َوأَﻗَ َﺎم اﻟ ﱠ َ َ َواﻟ ﱠﺴﺎﺋﻠ ِ ِ ﺼﺎﺑِ ِﺮﻳﻦ ِﰲ اﻟْﺒﺄْﺳ ِﺎء واﻟ ﱠ ِﺑِ َﻌ ْﻬ ِﺪ ِﻫﻢ إ ﲔ اﻟْﺒَﺄْ ِس اﻟ و ا و ﺪ ﺎﻫ ﻋ ا ذ ﱠ َ ُ َ َ ﻀﱠﺮاء َوﺣ َ َ َ ْ َ َ َ ِ ِ ِأُوﻟَﺌ ﱠ (177 :2/ﻚ ُﻫ ُﻢ اﻟْ ُﻤﺘﱠـ ُﻘﻮ َن )اﻟﺒﻘﺮة ﻳﻦ ﺬ ﻟ ا ﻚ َ ﺻ َﺪﻗُﻮا َوأُوﻟَﺌ َ َ َ
218_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013
Allah swt., berfirman: “Orang sabar adalah orang yang apabila ditimpa musibah mereka mengatakan “´Innâ Lillâhi wa ´Innâ ´Ila´ihi Râji’ûn” (“Sesungguhnya kami adalah milik Allah swt., dan kepadaNyalah kami kembali”). Ar-Razi dalam tafsirnya-mengutip Abu Bakr alWarraq-menulis bahwa ungkapan “´Innâ Lillâhi wa ´Innâ ´Ila´ihi Râji’ûn” merupakan hakekat sabar. Hakekat tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut:Pertama, premis pertama (´Innâ Lillâhi) menunjukkan pengakuan manusia bahwa hanya Dia-lah penguasa di alam semsta ini sekaligus mengakui bahwa hanya Dia-lah yang patut disembah. Sedangkan premis kedua wa ´Innâ (´Ila´ihi Râji’ûn) menunjukkan pengakuan bahwa alam serta seluruh isinya termasuk manusia akan hancur binasa; Kedua, ungkapan “´Innâ Lillâhi wa ´Innâ ´Ila´ihi Râji’ûn” merupakan pengakuan manusia akan adanya hari akhirat. Hari ini merupakan hari dibangkitkannya seluruh umat manusia. Pengakuan ini sekaligus mempertegas keyakinan orang sabar bahwa mereka akan diberikan pahala/balasan atas kemampuannya untuk mempertahankan sikap sabar untuk menghadapi berbagai macam cobaan dan ujian dari Tuhan mereka; Ketiga, ungkapan ´Innâ Lillâhi mengindikasikan adanya kerelaan dan keridhaan menerima ujian, cobaan dan musibah yang menimpah manusia pada saat sekarang ni, sementara ungkapan wa ´Innâ ´Ila´ihi Râji’ûn” menjadi indikasi kerelaan dan keridhaan menerima segala ujian, cobaan dan musibah yang ditimpakan pada saat-saat yang akan datang baik di dunia maupun di akhirat.12 Abu Hayyan dalam tafsirnya mengemukakan bahwa ungkapan “ wa ´Innâ ´Ila´ihi Râji’ûn” adalah menunjukkan adanya pengakuan dan keridhaan terhadap musibah kematian yang akan menimpa setiap manusia yang merupakan musibah yang paling agung. Disamping itu, ungkapan ini menjadi sebuah peringatan kepada seluruh umat manusia bahwa musibah tersebut senantiasa dialami baik untuk keluarga maupun untuk diri sendiri yang semestinya dihadapi dengan penuh sikap kesabaran. Dia menambahkan bahwa ayat tersebut mengandung dua esensi, yaitu: Pertama, fardhu berupa kewajiban menerima taqdir Allah swt.; Kedua,
Hakekat Sabar dalam Al-Quran _219
sunnah berupa anjuran untuk mengucapkan/memperdengarkan kalimat “´Innâ Lillâhi wa ´Innâ ´Ila´ihi Râji’ûn”sebagai tekanan kepada orang kafir bahwa kami (orang muslim) senantiasa berada dalam ketaatan kepadaNya meskipun dalam kesusahan dan kesulitan.13 Qurais Shihab memahami ungkapan “´Innâ Lillâhi wa ´Innâ ´Ila´ihi Râji’ûn” bahwa kami adalah milik-Nya. Jika demikian, Dia melakukan apa saja sesuai dengan kehendak-Nya. Tetapi Allah Maha Bijaksana. Segala tindakan-Nya pasti benar dan baik. Tentu ada hikmah di balik ujian atau musibah itu. Dia Maha pengasih, Maha Penyayang, kami akan kembali kepada-Nya, sehingga ketika bertemu nanti, tentulah pertemuan itu adalah pertemuan dengan kasih sayang-Nya. Kami adalah milik Allah. Bukan hanya saya sendiri yang menjadi miliknya, kami semua yang juga merupakan makhluk-Nya, Jika kali ini petaka menimpa saya, maka bukan saya yang pertama ditimpa musibah, bukan juga yang terakhir, makna ini akan meringankan petaka, karena semakin banyak yang ditimpa petaka, semakin ringan dipikul.14 Setiap orang berhak untuk mengapresiasikan sikap sabarnya dalam menghadapi ujian, cobaan dan musibah. Namun hal penting yang harus diperhatikan adalah kemampuannya untuk menghayati ungkapan“´Innâ Lillâhi wa ´Innâ ´Ila´ihi Râji’ûn. Ada beberapa makna yang bisa dipahami dari ungkapan tersebut seperti yang telah dijelaskan diatas, yaitu: Pertama, Pengakuan bahwa semua alam beserta isinya termasuk manusia dan apa yang dimiliki oleh manusia adalah milik-Nya. Dia berhak “mengeksploitasi” semua itu karena manusia hanya diberikan hak pakai saja sedangkan hak milik adalah kepunyaan-Nya. Pengakuan ini sekaligus menajadi dasar aqidah seorang hamba terhadap-Nya, karena mencakup aspek ´ulûhiyah, ‘ubûdiyyah dan rubûbiyyah; Kedua, pengakuan bahwa seluruh alam dan isinya termasuk manusia akan mengalami kehancuran. Pengakuan ini sekaligus mempertegas bahwa akhir dari segalanya adalah semua makhluk akan kembali kepada-Nya. Inilah yang diistilahkan sebagai hari akhirat, kebangkitan dan pembalasan. Dengan demikian, maka manusia senantiasa menyandarkan dirinya
220_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013
kepada-Nya sebagai aplikasi sikap sabarnya ketika menerma ujian, cobaan dan musibah dari-Nya. Ujian, cobaan dan musibah sebagai jalan untuk mendekatkan diri kepad-Nya bukan justru musibah itu menjadi penghalang untuk dekat kepada-Nya. Inilah esensi sikap sabar yang terkandung dalam Al-Quran.
F. Objek Sabar dalam Surah al-Baqarah Pembahasan ini dimaksudkan sebagai penjelasan tentang macammacam musibah yang Allah swt., timpakan kepada hamba-Nya yang harus diterima dengan sabar dan lapang dada. Secara etimologi mushîbah berarti lemparan panah yang tepat sasaran.15 Kemudian istilah ini tereduksi menjadi hal-hal yang menimpa manusia. Hanya saja Al-Quran menggunakan istilah ini baik dari segi keburukan maupun kebaikan. Dari segi keburukan dapat dilihat di surah Ali Imran: 165, 166, an-Nisa: 62, asy-Syura: 30. Adapun yang berkonotasi pada kebaikan dapat dilihat pada at-Taubah: 50, an-Nisa: 73, an-Nur: 43, arRum 48.16 Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa mushibah adalah cobaan dan ujian yang menimpa manusia.
ِ اﳋﻮ ٍِ ٍ ﻮع َوﻧَـ ْﻘ ﺺ ِﻣ َﻦ ْاﻷ َْﻣ َﻮ ِال ِ ُاﳉ ْ ف َو َْ ْ َوﻟَﻨَْﺒـﻠَُﻮﻧﱠ ُﻜ ْﻢ ﺑِ َﺸ ْﻲء ﻣ َﻦ ِ ﺲ واﻟﺜﱠﻤﺮ ِ اﻟﱠ ِﺬﻳﻦ إِ َذا أَﺻﺎﺑـْﺘـﻬﻢ ﻣ.ﺼﺎﺑِ ِﺮﻳﻦ ِ اﻟ ﺮ ﺸ ﺑ و ات ﱢ ﱠ ٌﺼﻴﺒَﺔ ُ ُْ ََ َ َ َ َ َ ِ َو ْاﻷَﻧْـ ُﻔ َ َ ﻗَﺎﻟُﻮا إِﻧﱠﺎ ﻟِﻠﱠ ِﻪ َوإِﻧﱠﺎ إِﻟَْﻴ ِﻪ َر ِاﺟﻌُﻮ َن
Allah swt secara tegas menyatakan bahwa diri-Nya akan memberikan cobaan kepada setiap manusia. Hal lain yang dapat dipahami dari ayat itu bahwa cobaan yang diberikan Allah swt., kepada hamba-Nya merupakan tujuan perantara bagi-Nya untuk mengetahui hamba-hamba-Nya yang termasuk golongan orang-orang sabar.
.ﻚ ُﻫ ُﻢ اﻟْ ُﻤ ْﻬﺘَ ُﺪو َن َ ِات ِﻣ ْﻦ َرﱢ�ِ ْﻢ َوَر ْﲪَﺔٌ َوأُوﻟَﺌ َ ِأُوﻟَﺌ ٌ ﺻﻠَ َﻮ َ ﻚ َﻋﻠَْﻴ ِﻬ ْﻢ
Penulis berpendapat bahwa ada dua ayat dalam surah al-Baqarah yang secara tekstual berbicara tentang objek kesabaran, yaitu: ayat 155 dan 177:
ِ اﳋﻮ ِ ٍ ِ ٍ ﻮع َوﻧَـ ْﻘ ﺺ ِﻣ َﻦ ْاﻷ َْﻣ َﻮ ِال ِ ُاﳉ ْ ف َو َْْ َوﻟَﻨَْﺒـﻠَُﻮﻧﱠ ُﻜ ْﻢ ﺑ َﺸ ْﻲء ﻣ َﻦ ِ ﺲ واﻟﺜﱠﻤﺮ ِ اﻟﱠ ِﺬﻳﻦ إِ َذا أَﺻﺎﺑـْﺘـﻬﻢ ﻣ.ﺼﺎﺑِ ِﺮﻳﻦ ِ اﻟ ﺮ ﺸ ﺑ و ات ﱢ ﱠ ٌﺼﻴﺒَﺔ ُ ُْ ََ َ َ َ َ َ ِ َو ْاﻷَﻧْـ ُﻔ َ َ (155 :2/ﻗَﺎﻟُﻮا إِﻧﱠﺎ ﻟِﻠﱠ ِﻪ َوإِﻧﱠﺎ إِﻟَْﻴ ِﻪ َر ِاﺟﻌُﻮ َن )اﻟﺒﻘﺮة ِ ﻮﻫ ُﻜﻢ ﻗِﺒﻞ اﻟْﻤ ْﺸ ِﺮِق واﻟْﻤ ْﻐ ِﺮ ِ ﻟَْﻴ ﱡ ب َوﻟَ ِﻜ ﱠﻦ اﻟِْ ﱠﱪ َ َ َ َ َ ْ َ ﺲ اﻟْﱪﱠ أَ ْن ﺗُـ َﻮﻟﻮا ُو ُﺟ َ
ِ اﳋﻮ ٍ ﻮع َوﻧَـ ْﻘ ﺺ ِﻣ َﻦ ْاﻷ َْﻣ َﻮ ِال ٍء ِﻣSabar ِ َﺸ ْﻲdalam ْﻢ ﺑAl-Quran _ﻨَْﺒـﻠَُﻮﻧﱠ ُﻜ221 ِ ُاﳉ ْ ف َو ََوﻟ َْْ َﻦHakekat ِ ﺲ واﻟﺜﱠﻤﺮ ِ اﻟﱠ ِﺬﻳﻦ إِ َذا أَﺻﺎﺑـْﺘـﻬﻢ ﻣ.ﺼﺎﺑِ ِﺮﻳﻦ ِ ِ َو ْاﻷَﻧْـ ُﻔ اﻟ ﺮ ﺸ ﺑ و ات ﱢ ﱠ ٌﺼﻴﺒَﺔ ََُ ُ َ ْ َ َ َ َ َ َ Artinya : Dan sungguh akan Kami berikan cobaan ِ رkepadamu, ِ وإِﻧﱠﺎ إِﻟَﻴdengan ِ إِﻧﱠﺎ ﻟِﻠﱠsedikit ( 155 :2/اﺟﻌُﻮ َن )اﻟﺒﻘﺮة ﻪ ﻪ ﻗَﺎﻟُﻮا َ ْ َDan berikanlah ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan.
berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, “`Innâ lillâhi wa `innâ ` ilaihi râji`ûn”
ِ ﻮﻫ ُﻜﻢ ﻗِﺒﻞ اﻟْﻤ ْﺸ ِﺮِق واﻟْﻤ ْﻐ ِﺮ ِ ﻟَْﻴ ﱡ ب َوﻟَ ِﻜ ﱠﻦ اﻟِْﱪﱠ َ َ َ َ َ ْ َ ﺲ اﻟْﱪﱠ أَ ْن ﺗُـ َﻮﻟﻮا ُِو ُﺟ َ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ﱠ ِ ﲔ َوءَاﺗَﻰ َ َﻣ ْﻦ ءَ َاﻣ َﻦ ﺑﺎﻟﻠﻪ َواﻟْﻴَـ ْﻮم ْاﻵﺧﺮ َواﻟْ َﻤ َﻼﺋ َﻜﺔ َواﻟْﻜﺘَﺎب َواﻟﻨﱠﺒﻴﱢ ِ ِ ﲔ َواﺑْ َﻦ اﻟ ﱠﺴﺒِ ِﻴﻞ َ اﻟْ َﻤ َ ﺎل َﻋﻠَﻰ ُﺣﺒﱢﻪ َذ ِوي اﻟْ ُﻘ ْﺮَﰉ َواﻟْﻴَﺘَ َﺎﻣﻰ َواﻟْ َﻤ َﺴﺎﻛ ِِ ِ َﲔ وِﰲ اﻟﱢﺮﻗ ﺼ َﻼةَ َوءَاﺗَﻰ اﻟﱠﺰَﻛﺎ َة َواﻟْ ُﻤﻮﻓُﻮ َن ﺎب َوأَﻗَ َﺎم اﻟ ﱠ َ َ َواﻟ ﱠﺴﺎﺋﻠ ِِ ِ ِ ﺼﺎﺑِ ِﺮﻳﻦ ِﰲ اﻟْﺒﺄْﺳ ِﺎء واﻟ ﱠ ﲔ اﻟْﺒَﺄْ ِس َ ﻀﱠﺮاء َوﺣ َ ﺑِ َﻌ ْﻬﺪﻫ ْﻢ إِذَا َﻋ َ َ َ َ ﺎﻫ ُﺪوا َواﻟ ﱠ ِ أُوﻟَﺌِﻚ اﻟﱠ (177 :2/ﻚ ُﻫ ُﻢ اﻟْ ُﻤﺘﱠـ ُﻘﻮ َن )اﻟﺒﻘﺮة ﺬ َ ِﺻ َﺪﻗُﻮا َوأُوﻟَﺌ َ ﻳﻦ َ َ
Artinya: Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa. Kedua ayat tersebut menjelaskan beberapa macam cobaan yang akan ditimpakan kepada hamba-Nya, diantaranya: ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, kekurangan jiwa dan kekurangan pangan, kesempitan hidup, penderitaan dan kondisi dalam peprangan. Mengapa Allah swt., Menurut hemat penulis, objek yang disebutkan di atas telah mencakup dari keseluruhan unsur kehidupan manusia, yaitu: unsur jasmani dan rohani.
222_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013
Ayat pertama yang berbicara tentang objek sabar adalah:
ِ اﳋﻮ ٍِ ِ ٍ ﻮع َوﻧَـ ْﻘ ﺺ ِﻣ َﻦ ْاﻷ َْﻣ َﻮ ِال ِ ُاﳉ ْ ف َو َْْ َوﻟَﻨَْﺒـﻠَُﻮﻧﱠ ُﻜ ْﻢ ﺑ َﺸ ْﻲء ﻣ َﻦ ِ ﺲ واﻟﺜﱠﻤﺮ ِ اﻟﱠ ِﺬﻳﻦ إِذَا أَﺻﺎﺑـْﺘـﻬﻢ ﻣ.ﺼﺎﺑِ ِﺮﻳﻦ ِ اﻟ ﺮ ﺸ ﺑ و ات ﱢ ﱠ ٌﺼﻴﺒَﺔ ُ ُْ ََ َ َ َ َ َ ِ َو ْاﻷَﻧْـ ُﻔ َ َ (155 :2/ﻗَﺎﻟُﻮا إِﻧﱠﺎ ﻟِﻠﱠ ِﻪ َوإِﻧﱠﺎ إِﻟَْﻴ ِﻪ َر ِاﺟﻌُﻮ َن )اﻟﺒﻘﺮة
Ayat ini mengemukakan bahwa Allah swt., akan menimpakan 5 hal kepada manusia, yaitu: 1. Rasa takut/khawatir
ِ ﻮﻫ ُﻜﻢ ﻗِﺒﻞ اﻟْﻤ ْﺸ ِﺮِق واﻟْﻤ ْﻐ ِﺮ ِ ﻟَْﻴ ﱡ ب َوﻟَ ِﻜ ﱠﻦ ﱠﱪ2. ِْاﻟKelaparan َ َ َ َ َ ْ َ ﺲ اﻟْﱪﱠ أَ ْن ﺗُـ َﻮﻟﻮا ُِو ُﺟ َ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ﱠ ِ 3. Kekurangan harta ﲔ َوءَاﺗَﻰ َ َﻣ ْﻦ ءَ َاﻣ َﻦ ﺑﺎﻟﻠﻪ َواﻟْﻴَـ ْﻮم ْاﻵﺧﺮ َواﻟْ َﻤ َﻼﺋ َﻜﺔ َواﻟْﻜﺘَﺎب َواﻟﻨﱠﺒﻴﱢ ِﺎل ﻋﻠَﻰ ﺣﺒﱢ ِﻪ َذ ِوي اﻟْ ُﻘﺮﰉ واﻟْﻴﺘَﺎﻣﻰ واﻟْﻤﺴﺎﻛ 4. ِ ِﺒKekurangan ﻴﻞ ﲔ َواﺑْ َﻦ اﻟ ﱠﺴ َ jiwa َ َ َ َْ ُ َ َ اﻟْ َﻤ َ َ َ ِواﻟ ﱠﺴﺎﺋِﻠ ِ َﲔ وِﰲ اﻟﱢﺮﻗ َن5. ﻓُﻮKekurangan اﻟﱠﺰَﻛﺎ َة َواﻟْ ُﻤﻮbuah-buahan (َﻼةَ َوءَاﺗَﻰpangan) ﺼ ﺎب َوأَﻗَ َﺎم اﻟ ﱠ َ َ َ Fakhruddin ar-Razi--salah seorang pakar dibidang tafisr--mengatakan ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِﺮﻳﻦayat ﲔ اﻟْﺒﺄْ ِس ﻀﱠﺮاء ﰲ اﻟْﺒَﺄْ َﺳﺎء َوdalam َواﻟdapat ﺎﻫ ُﺪوا ْﻢ إذَا َﻋdengan ﺑِ َﻌ ْﻬﺪﻫ “اﻟ ﱠketakutan” ﱠini َ َوﺣbahwa َ diartikan dalamَtafsirnya َ ﺼﺎﺑ ِramadhan, ِوأُوﻟَﺌpuasa ِأُوﻟَﺌ ﻚ اﻟﱠ ketakutan(kepada bulan /اﻟﺒﻘﺮةswt., ) “َنkelaparan” ُﻫ ُﻢ اﻟْ ُﻤﺘﱠـ ُﻘﻮadalah ﻚ 177 :2Allah ا ﻮ ﻗ ﺪ ﺻ ﻳﻦ ﺬ ُ َ َ َ َ َ َ “kekurangan harta” berupa zakat dan shadaqah, “kekurangan jiwa” berupa penyakit dan kematian.17 Pandangan ini dapat dipahamia bahwa cobaan yang diberikan Allah swt., adalah cobaan untuk melaksanakan perintah-perintah-Nya seperti taqwa,puasa dean zakat. Disamping itu, ada cobaan lain yang harus diterima dengan penuh kesabaran seperti kematian yang dialami oleh setiap makhluk hidup. Mutawalli Sya’rawiِ pakar tafsir abad menafsirkan “perasaan ِ�ﻦ رﱢXXI ِ ات ِأُوﻟَﺌ ِ ُ ن و ﺪ ﺘ ﻬ ﻤ ﻟ ا ﻢ ﻫ ﻚ ﺌ ﻟ و أ و ﺔ ﲪ ر و ﻢ ﻣ ﻮ ﻠ ﺻ ﻢ ﻬ ﻴ ﻠ ﻋ ﻚ ْ َ َ َ ٌ ْ َ ُ َ َ َ ٌ َ َ ْ ُ ْ َ ْ ْ ْ َ َ ُ َ َ َ ُ takut” sebagai perasaan khawatir yang timbul pada diri manusia karena 157 :2/jasmani )اﻟﺒﻘﺮة adanya sebuah ancaman dari luar. Baik ancaman itu (terhadap maupun rohani. “Perasaan lapar”ِ adalah dialami ِ ﻬﺎ اﻟﱠoleh ِﻮا اﺳﺘَﻌyang ِﺼﺎﺑ ِﻮا ﺑperasaan ِﺼ َﻼ ِة إ ﱠ ِ ﱠ ﻳﻦ ﺮ اﻟ ﻊ ﻣ ﻪ ﻠ اﻟ ن اﻟ و ﱪ ﺼ ﺎﻟ ﻴﻨ ﻨ اﻣ ء ﻳﻦ ﺬ ﱠ ﱠ ﱠ ُ ُ ْ َ ْ َ ﻳَﺎأَﻳـﱡ َ َ َ َ rangka mempertahankan َ manusia untuk makan dalam َ َ hidupnya. setiap (153 harta :2/ﺒﻘﺮة )اﻟ “Kekurangan harta” dapat berupa kehilangan sejumlah yang ِ ِ واﻟﻠﱠﻪُ ﻣﻊ اﻟ ﱠ... ﻮت (249 :2/ﻳﻦ )اﻟﺒﻘﺮة َ َﻓَـﻠَ ﱠﻤﺎ ﻓ َ َ َ ُ ُﺼ َﻞ ﻃَﺎﻟ َ ﺼﺎﺑ ِﺮ
Hakekat Sabar dalam Al-Quran _223
dimiliki oleh manusia, baik kekurangan itu setelah dimiliki secarah sah atau telah menjadi kepemilikan sempurna ataupun harta itu rusak di alam bebas. Kehilangan harta ini dapat diakibatkan oleh mansuia itu sendiri ataupun kehilangan itu disebabkan oleh Allah swt. “Kekurangan jiwa” dapat berupa kematian yang disebabkan oleh Allah swt, berupa kematian secara alami ataupun disebabkan oleh manusia berupa pembunuhan atau peperangan. “Kekurangan pangan” pernyataan ini dapat diartikan secara luas meskipun arti dasarnya adalah buahbuahan atau pangan. Tsmarât dapat diartikan sebagai hasil dari setiap usaha yang dilakukan.18 Manusia terkadang membuka suatu usaha, ia bercita-cita untuk mendapatkan sesuatu dari hasil usahanya, namun kenyataannya tidak sesuai dengan harapan. Inilah salah satu maksud ungkapan “kekurangan tsamarât”.
ِ اﳋﻮ ِ وﻟَﻨَﺒـﻠُﻮﻧﱠ ُﻜﻢ ﺑِ َﺸﻲ ٍء ِ ﺺ ِﻣﻦ ْاﻷَﻣﻮ ٍ ال ﻘ ـ ﻧ و ﻮع اﳉ و ف ﻦ ﻣ ِ ْ ْ ْ َ َ ْ ْ َ mengatakan َ ayatُ 155 َ dengan َ َ menafsirkan َْ َ ْ ْ bahwa Qurash Shihab ujian yang akan diberikan Allah swt., kepada hamba-Nya berupa sedikit ِ ِ ِ ِ ِ ﱠ ِ ِ ِ َﻧْـ ُﻔatau ﺔ ﻴﺒ ﺼ ﻣ ﻢ ﻬ ـ ﺘ ـ ﺑ ﺎ َﺻ أ ا ذ إ ﻳﻦ ﺬ ﻟ ا . ﻳﻦ ﺮ ﺑ ﺎ ﺼ اﻟ ﺮ ﺸ ﺑ و ات ﺮ ﱠﻤ ﺲ َو ْاﻷ ﱢ ﱠ ٌ َ ُyakni َ َ َ hati menyangkut rasa takut, sesuatu َ َ yang ْ ُ َْkeresahan َ َ َ َواﻟﺜburuk, hal-hal yang tidak menyenangkan yang diduga akan terjadi. Sedikit rasa (155 :untuk 2/اﻟﺒﻘﺮة ) ﻌُﻮ َنkarena ْﻴ ِﻪ َر ِاﺟperut إِﻧﱠﺎ ﻟِﻠﱠ ِﻪtetapi ﻗَﺎﻟُﻮا ََوإِﻧﱠﺎ إِﻟkosong, lapar, yakni keinginan meluap makan tidak menemukan makanan yang dibutuhkan, serta kekurngan harta, jiwa dan buah-buahan.19 Adapun ayat kedua adalah:
ِ ﻮﻫ ُﻜﻢ ﻗِﺒﻞ اﻟْﻤ ْﺸ ِﺮِق واﻟْﻤ ْﻐ ِﺮ ِ ﻟَْﻴ ﱡ ب َوﻟَ ِﻜ ﱠﻦ اﻟِْﱪﱠ َ َ َ َ َ ْ َ ﺲ اﻟْﱪﱠ أَ ْن ﺗُـ َﻮﻟﻮا ُِو ُﺟ َ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ﱠ ِ ﲔ َوءَاﺗَﻰ َ َﻣ ْﻦ ءَ َاﻣ َﻦ ﺑﺎﻟﻠﻪ َواﻟْﻴَـ ْﻮم ْاﻵﺧﺮ َواﻟْ َﻤ َﻼﺋ َﻜﺔ َواﻟْﻜﺘَﺎب َواﻟﻨﱠﺒﻴﱢ ِ ِ ﲔ َواﺑْ َﻦ اﻟ ﱠﺴﺒِ ِﻴﻞ َ اﻟْ َﻤ َ ﺎل َﻋﻠَﻰ ُﺣﺒﱢﻪ َذ ِوي اﻟْ ُﻘ ْﺮَﰉ َواﻟْﻴَﺘَ َﺎﻣﻰ َواﻟْ َﻤ َﺴﺎﻛ ِِ ِ َﲔ وِﰲ اﻟﱢﺮﻗ ﺼ َﻼةَ َوءَاﺗَﻰ اﻟﱠﺰَﻛﺎ َة َواﻟْ ُﻤﻮﻓُﻮ َن ﺎب َوأَﻗَ َﺎم اﻟ ﱠ َ َ َواﻟ ﱠﺴﺎﺋﻠ ِِ ِ ِ ﺼﺎﺑِ ِﺮﻳﻦ ِﰲ اﻟْﺒﺄْﺳ ِﺎء واﻟ ﱠ ﲔ اﻟْﺒَﺄْ ِس َ ﻀﱠﺮاء َوﺣ َ ﺑِ َﻌ ْﻬﺪﻫ ْﻢ إِذَا َﻋ َ َ َ َ ﺎﻫ ُﺪوا َواﻟ ﱠ ِ أُوﻟَﺌِﻚ اﻟﱠ ﺬ (177 :2/ﻚ ُﻫ ُﻢ اﻟْ ُﻤﺘﱠـ ُﻘﻮ َن )اﻟﺒﻘﺮة َ ِﺻ َﺪﻗُﻮا َوأُوﻟَﺌ َ ﻳﻦ َ َ
224_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013
Ayat ini menjelaskan tiga hal yang menjadi bahan ujian bagi manusia, yaitu: 1. Kesempitan 2. Penderitaan 3. Peperangan. Ketiga hal tersebut di atas merupakan ujian dari Allah swt., bagi hamba-Nya. Hamba harus bersikap sabar menghadapi ujian tersebut. Pada umumnya ulama tafsir menafsirkan kata “al-Ba’sâ´i” (kesempitan) sebagai sesuatu yang menimpa manusia berupa kefakiran dan kelaparan baik itu lansung dari arti Allah swt., ataupun melalui perantaraan manusia.20 Adapun kata “adh-dharrâ´i” lebih dipahami penderitaan yang berhubungan langsung dengan manusia secara intenal seperti penyakit. Sementara al-ba´ts adalah kondisi dan situasi pertempuran di medan perang.21 Abu Hayyan lebih jauh menjelaskan ketiga aspek tersebut di atas dengan tinjauan kebahasaan. Mengapa kata “al-Ba’sâ´i”dan “adhdharrâ´i” dihubungkan dengan huruf “Fî” sementara kata “al-Ba´ts” hanya dihubungkan dengan zharf ? kedua kata tersebut dihubungkan dengan kata Fî karena kedua hal tersebut tidak pernah lepas dari manusia. Manusia senantiasa berada dalam kefakiran dan penyakit. Bebeda dengan al-ba´ts yang terjadi pada waktu tertentu saja.22 Ar-Razi menafsirkan objek kesabaran disini seperti dengan ahli tafsir sebelumnya. Dia mengutip pandangan Ibn Abbas bahwa a-al-ba’sâî adalah kefakiran, adh-dharrâ´ adalah penyakit yang berhubungan dengan jasmani. Sedangkan hîna al-ba´as adalah petempuran di jalan Allah swt., dan jihad. Sebab al-ba´as secara etimologi berarti hal yang menggambarkan kondisi yang sengit dan keras. Peperangan digambarkan sebagai al-ba´as karena kondisi yang sangat keras bila terjadi peperangan.23
ِِ ِ ِ ﺼﺎﺑِ ِﺮﻳﻦ ِﰲ اﻟْﺒﺄْﺳ ِﺎء واﻟ ﱠ ﲔ اﻟْﺒَﺄْ ِس َ ﻀﱠﺮاء َوﺣ َ ﺑِ َﻌ ْﻬﺪﻫ ْﻢ إِذَا َﻋ َ َ َ َ ﺎﻫ ُﺪوا َواﻟ ﱠ ِ أُوﻟَﺌِﻚ اﻟﱠ ُﻗُﻮا َوأSabar (177 :2/ﻚ ُﻫ ُﻢ اﻟْ ُﻤﺘﱠـ ُﻘﻮ َن )اﻟﺒﻘﺮة ﺻ َﺪ ﻳﻦ َ ِوﻟَﺌHakekat َ _225 َ dalam َ ﺬAl-Quran G. Manfaat Sabar Ada beberapa ayat yang terdapat dalam surah al-Baqarah yang berbicara tentang manfaat orang sabar baik secara langsung maupun tidak langsung. Ayat tersebut adalah:
ﻚ ُﻫ ُﻢ اﻟْ ُﻤ ْﻬﺘَ ُﺪو َن َ ِات ِﻣ ْﻦ َرﱢ�ِ ْﻢ َوَر ْﲪَﺔٌ َوأُوﻟَﺌ َ ِأُوﻟَﺌ ٌ ﺻﻠَ َﻮ َ ﻚ َﻋﻠَْﻴ ِﻬ ْﻢ (157 :2/)اﻟﺒﻘﺮة ِﱠ ِ ﺼ َﻼ ِة إِ ﱠن اﻟﻠﱠﻪَ ﻣﻊ اﻟ ﱠ ﻳﻦ ﺼ ِْﱪ َواﻟ ﱠ اﺳﺘَﻌِﻴﻨُﻮا ﺑِﺎﻟ ﱠ ْ ﻳﻦ ءَ َاﻣﻨُﻮا ََ َ ﺼﺎﺑ ِﺮ َ ﻳَﺎأَﻳـﱡ َﻬﺎ اﻟﺬ (153 :2/)اﻟﺒﻘﺮة ِ ِ واﻟﻠﱠﻪُ ﻣﻊ اﻟ ﱠ... ﻮت (249 :2/ﻳﻦ )اﻟﺒﻘﺮة َ َﻓَـﻠَ ﱠﻤﺎ ﻓ َ َ َ ُ ُﺼ َﻞ ﻃَﺎﻟ َ ﺼﺎﺑ ِﺮ
Secara tekstual ayat tersebut di atas menggambarkan manfaat orang sabar adalah:
ِ ﺼ َﻼ ِﻳﺎأَﻳـﱡﻬﺎ اﻟﱠ ِﺬﻳﻦ ءاﻣﻨُﻮا اﺳﺘَﻌ ِﺼﺎﺑ ِ ِ ِ ﱠ ِ ﱠ ﻳﻦ ﺮ اﻟ ﻊ ﻣ ﻪ ﻠ اﻟ ن إ ة اﻟ و ﱪ ﺼ ﺎﻟ ﺑ ا ﻮ ﻴﻨ ﱠ ﱠ ﱠ ُ ْ ْ ََ َ َ َ ََ َ َ َ a. Keberkatan. (153 :2/)اﻟﺒﻘﺮة b. Rahmat.
1. Mereka akan mendapatkan:
c. Petunjuk.
2. Allah swt., akan senantiasa bersama mereka Hamba Allah swt., yang benar-benar mampu mengaplikasikan sikap sabarnya bila ditimpa musibah akan mendapatkan ganjaran dari-Nya. Ganjaran ini dapat diistilahkan dengan manfaat bagi mereka yang mampu menerima cobaan dan ujian dengan sabar dan lapang dada. Allah swt., menegaskan dalam firman-Nya bahwa hamba-Ku yang sabar akan mendapatkan keberkatan yang sempurna dan Rahmat dari tuhan mereka, dan mereka itulah yang mendapat petunjuk. Disamping itu sejumlah ayat yang menegaskan bahwa Allah swt., bersama dengan orang-orang yang sabar Ayat 157 secara tegas menjelaskan manfaat yang akan diterima oleh orang sabar dari Allah swt., berupa keberkatan, Rahmat dan petunjuk.
226_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013
Quraish Shihab memahami manfaat yang akan didapatkan orang sabar adalah bahwa keberkatan yang akan diterimanya berupa keberkatan yang sempurna, banyak dan beraneka ragam. Hal ini dipahami dengan melihat bentuk jamak yang digunakan ayat tersebut. Bentuk rahmat dapat berupa limpahan pengampunan, pujian, menggantikan yang lebih baik dari pada nikmat sebelumnya yang telah hilang dan lain-lain. Semua keberkatan itu bersumber dari Tuhan Yang Maha memelihara dan mendidik umat manusia. Dengan demikian, maka keberkatan itu dilimpahkan sesuai dengan pendidikan dan pemeliharaan-Nya. Disamping itu, mereka juga mendapatkan Rahmat. Meskipun kata tersebut berbentuk tunggal, namun dapat dipahami sebagai jamak karena dia adalah bentuk mashdar. Tak seorangpun yang mengetahui bentuk Rahmat allah yang diberikannya itu. tentunya berbeda dengan rahmat makhluk. Sebab rahmat makhluk lahir atas belas kasihan atau rasa pedih terhadap ketidakberdayaan orang lain yang kemudian mendorongnya untuk membantunya. Dan yang terakhir adalah mereka mendapatkan petunjuk. Petunjuk ini tentunya petunjuk yang dapat mengantarkannya ke jalan yang benar baik di dunia maupun di akhirat.24 Ar-Razi memahami mamfaat itu dengan redaksi yang hampir sama bahwa manfaat berupa keberkatan adalah pujian dan pengangan kepada orang sabar dari allah swt., sementara Rahmat berupa limpahan kenikmatan dari-Nya baik yang tiba-tiba maupun yang konstan. Adapun tentang petunjuk dapat berupa petunjuk untuk mendapatkan kebaikan, petunjuk untuk mendapatkan sejumlah pahala dan petunjuk untuk sampai ke surga 25 Manfaat lain yang didapatkan orang sabar adalah mereka senantiasa dekat dengan Allah swt., sebagaimana dalam firman-Nya di atas. Qurais Shihab memahami ungkapan “Allah akan bersama-sama orang sabar” sebagai keharusan melibatkan Allah swt., dalam setiap urusan manusia jika mereka ingin berhasil dan ingin mengatasi segala bentuk penyebab kesedihan dan kesulitan. Mereka harus bersama Allah swt., dalam kesulitannya dan dalam perjuangannya. Ketika itu, allah swt., Maha
ِ أُوﻟَﺌِ ﱠ (177 :2/ﻚ ُﻫ ُﻢ اﻟْ ُﻤﺘﱠـ ُﻘﻮ َن )اﻟﺒﻘﺮة َ ِﺻ َﺪﻗُﻮا َوأُوﻟَﺌ َ َ ﻳﻦ َ ﻚ اﻟﺬ Hakekat Sabar dalam Al-Quran _227
mengetahui, Maha Perkasa, lagi Maha Kuasa pasti membantunya, karena Dia pun telah bersama hamba-Nya. Tanpa kebersamaan itu, kesulitan tdiak akan tertanggulangibahkan tidak mustahil kesulitan diperbesar oleh setan dan nafsu amaran manusia sendiri.26
ﻚ ُﻫ ُﻢ اﻟْ ُﻤ ْﻬﺘَ ُﺪو َن َ ِات ِﻣ ْﻦ َرﱢ�ِ ْﻢ َوَر ْﲪَﺔٌ َوأُوﻟَﺌ َ ِأُوﻟَﺌ ٌ ﺻﻠَ َﻮ َ ﻚ َﻋﻠَْﻴ ِﻬ ْﻢ (157 :2/)اﻟﺒﻘﺮة H. Hukum Bersabar ِ َﻼ ِة إmendeskripsikan Pembahasan ﻳَﺎأَﻳـﱡ َﻬﺎ ﻳﻦ ﺼﺎﺑِ ِﺮ ﺼ اﺳ َاﻣﻨُﻮاsingkat ﻳﻦ ء اﻟﱠ ِﺬtentang ﻪَ َﻣ َﻊ اﻟ ﱠiniﱠن اﻟﻠﱠakan ﺼ ِْﱪ َواﻟ ﱠ ﺘَﻌِﻴﻨُﻮا ﺑِﺎﻟ ﱠsecara ْ َ َ َ hukum sabar yang dapat dipahami dari surah al-Baqarah. Ada beberapa (153 :2/)اﻟﺒﻘﺮة argumentasi yang dapat dikemukakan sebagai pendukung pandangan yang mengatakan (249 :2/bahwa )اﻟﺒﻘﺮةsabar ﻳﻦ ﺎﺑِ ِﺮadalah ﺼ ِ َواﻟﻠﱠﻪ...yang ﻮت ﺼ َﻞ ﻃَﺎ ُﻟdiwajibkan َﻣ َﻊ اﻟ ﱠkewajiban ﻓَـﻠَ ﱠ َﻤﺎ ﻓoleh ُ ُ َ َ Allah swt. 27
1. Firman allah swt:
ِﱠ ِ ﺼ َﻼ ِة إِ ﱠن اﻟﻠﱠﻪَ ﻣﻊ اﻟ ﱠ ﻳﻦ اﺳﺘَﻌِﻴﻨُﻮا ﺑِﺎﻟ ﱠ ﺼ ِْﱪ َواﻟ ﱠ ْ ﻳﻦ ءَ َاﻣﻨُﻮا ََ َ ﺼﺎﺑ ِﺮ َ ﻳَﺎأَﻳـﱡ َﻬﺎ اﻟﺬ (153 :2/)اﻟﺒﻘﺮة Ayat ini memakai redaksi al-´amr (perintah). Ulama sepakat bahwa redaksi perintah pada ayat ini bermakna wajib. Hal ini sejalan dengan kaidah yang yang disepakati oleh ulama bahwa redaksi perintah menunjukkan hal wajib. Disamping itu, banyak ayat lain yang menunjukkan redaksi al-´amr. 2. Ada beberapa ayat yang melarang untuk melaksanakan lawan dari sabar, seperti:
ِ ﻳﺎأَﻳـﱡﻬﺎ اﻟﱠ ِﺬﻳﻦ ءاﻣﻨﻮا إِذَا ﻟَِﻘﻴﺘﻢ اﻟﱠ ﱡ ﻮﻫ ُﻢ ﻟ ﻮ ـ ﺗ ﻼ ﻓ ﺎ ﻔ ﺣ ز ا و ﺮ ﻔ ﻛ ﻳﻦ ﺬ َ َ َ ً َ ُ َُ َ َ ُ َ ْ َ ُ َ ُُ َ َ (15:ْاﻷ َْدﺑَ َﺎر)اﻷﻧﻔﺎل
Ayat ini menceritakan tentang larangan meninggalkan medan perang. Dengan demikian dapat dipahami bahwa mereka yang meninggalkan medan perang berarti mereka tidak bersabar terhadap cobaan yang diberikan oleh allah swt.
ِ َﻃﻴﻌﻮا اﻟﻠﱠﻪ وأ ِ ﻳﺎأَﻳـﱡﻬﺎ اﻟﱠ ِﺬﻳﻦ ءاﻣﻨُﻮا أ ﻮل َوَﻻ ﺗُـْﺒ ِﻄﻠُﻮا َ َﻃﻴﻌُﻮا اﻟﱠﺮ ُﺳ َ ُ َ َ ََ َ َ (33 :أ َْﻋ َﻤﺎﻟَ ُﻜ ْﻢ )ﳏﻤﺪ
(15:ْاﻷ َْدﺑَ َﺎر)اﻷﻧﻔﺎل 228_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013
ِ َﻃﻴﻌﻮا اﻟﻠﱠﻪ وأ ِ ﻳﺎأَﻳـﱡﻬﺎ اﻟﱠ ِﺬﻳﻦ ءاﻣﻨُﻮا أ ﻮل َوَﻻ ﺗُـْﺒ ِﻄﻠُﻮا َ َﻃﻴﻌُﻮا اﻟﱠﺮ ُﺳ َ ُ َ َ ََ َ َ (33 :أ َْﻋ َﻤﺎﻟَ ُﻜ ْﻢ )ﳏﻤﺪ
Ayat ini melarang seseorang untuk membatalkan/menghapus amal shalehnya dengan perilaku-perilaku yang bertentanagn dengan ajaran islam. Jika hal itu dilakukan, maka mereka tidak mampu bersabar dalam melaksanakan ajaran agama.
اﻹﻣﺴﺎك.
3. Salah satu fungsi al-Quran adalah sebagai pembawa berita dan ancaman. Manusia tidak akan berhasil untuk mengatasi segala keinginannya dan tidak mampu melaksanakan perintah agama jika tidak dibarengi dengan sikap dan sifat sabar yang ada dalam dirinya. Dengan demikian, maka sabar sebgai sarana untuk mencapai tujuan menjadi wajib.
اﳊﺒﺲ.
I. Hubungan Antara Surah Al-Baqarah Dengan Hakekat Sabar Surah al-Baqarah adalah surah II dalam urutan mushhâf setelah surah al-Fâtihah. Ada beberapa ulama yang mengkaji hubungan antara penamaan sebuah surah dengan kandungan ayat yang terdapat dalam surah tersebut. Oleh karena itu, pembahasan ini akan menjelaskan hubungan antara surah al-Baqarah dengan hakekat sabar. Surah ini dinamakan surah al-Baqarah karena karean memuat kisah tentang baqarah (sapi betina). Kisah ini diuraikan panjang lebar dalam surah tersebut mulai ayat 67 hingga ayat 73. intinya bahwa umat Nabi Musa as., saling menuduh tentang siapa yang membunuh seseorang dari bani israil. Persoalan ini dibawa kepada Nabi Musa as., lalu allah swt., memerintahkan kepada mereak untuk menyembelih sapi betina. Bagian dari sapi yang telah disembelih tersebut dipukulkan kepada mayat yang diperselisihkan pembunuhnya itu. dengan izin dan kekuasaan Allah SWT., mayat tersebut menjadi hidup. Dengan demikian, maka surah
Hakekat Sabar dalam Al-Quran _229
ini diharapkan dapat dipahami dalam kerangka untuk membenarkan kekuasaan dan keagungan Allah swt., dan segala implikasinya. Bagaimana hubungan antara sabar dengan sapi betina tersebut ? Hakekat sabar adalah termaktub pada ucapan “´Innâ Lillâhi wa ´Innâ ´Ila´ihi Râji’ûn”, yang menunjukkan dua persaksian, yaitu: Pertama, Pengakuan bahwa semua alam beserta isinya termasuk manusia dan apa yang dimiliki oleh manusia adalah milik-Nya. Dia berhak “mengeksploitasi” semua itu karena manusia hanya diberikan hak pakai saja dan hak milik adalah kepanyaan-Nya. Pengakuan ini sekaligus menajadi dasar aqidah seorang hamba terhadap-Nya, karena mencakup aspek ´ulûhiyah, ‘ubûdiyyah dan rubûbiyyah; Kedua, pengakuan bahwa seluruh alam dan isinya termasuk manusia akan mengalami kehancuran. Pengakuan ini sekaligus mempertegas bahwa akhir dari segalanya adalah semua makhluk akan kembali kepada-Nya. Inilah yang diistilahkan sebagai hari akhirat, kebangkitan dan pembalasan. Dengan demikian, maka manusia senantiasa menyandarkan dirinya kepada-Nya sebagai aplikasi sikap sabarnya ketika menerma ujian, cobaan dan musibah dari-Nya. Ujian. Cobaan dan musibah sebagai jalan untuk mendekatkan diri kepad-Nya bukan justru musibah itu menajdi penghalang untuk dekat kepada-Nya. Inilah esensi sikap sabar yang terkandung dalam Al-Quran. Dengan demikian, maka sabar adalah bagian penting dari ketauhidan manusia. Karfena hakekat sabar tergambar dari dua unsur terebut, yaitu: unsur pengakuan akan kekuasaan allah swt., dan pengakuan atas hari akhirat. Baik surah al-Baqarah maupun hakekat sabar keduanya memiliki unsur ketauhidan.
J. Penutup Ada beberapa kesimpulan yang dapat dikemukakan sebagai penutup dalam makalah ini, diantaranya: 1. Sabar menurut tinjauan kebahasaan adalah menahan. Konsep ini terkait dengan makna sabar yang terkandung dalam Al-Quran.
230_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013
2. Hakekat sabar adalah kemampuan seseorang menghayati kalimat “´Innâ Lillâhi wa ´Innâ ´Ila´ihi Râji’ûn”. 3. Objek dan manfaat kesabaran yang terkandung dalam al-Quran mencakup aspek jasmani dan rohani. 4. Hakekat sabar terkait dengan tujuan dan makna yang terkandung dalam penamaan surah al-Baqarah.
Hakekat Sabar dalam Al-Quran _231
Daftar Pustaka Al-Biqai, Nuzhm ad-Durar fI Tanâsub al-´Ayât wa as-Suwar, Beirut:Dâr al-Kutub al-’Ilmiyah, 1995 M/1415 H. Faris, Ibn, Mu’jam Maqâyîs al-Lughah, Beirut: Dar al-Fikr, t.th Al-Gazali, Ihya ‘Ulum ad-Din,Beirut: Dar Ma’rifah, 1990 M/ Hayyan, Abu, Al-Bahr Al-Muhîth, Beirut: Dar al-Fikr, t.th. al-Makki, Abu Thalib, Qauth al-Qulub, (Cairo: Dar al-halabi, t.th), Juz I. Qayyim, Ibn, Madarij as-Salikin, (Cairo: Dar Salam, t.th), Juz II. , Juz IV. Shihab, Quraish, Tafsir al-Amanah, (Indonesia: Pustaka Kartini, 1992 M/1413 H), Cet. I. ________, Tafsir al-Mishbâh;Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, (jakarta: Lentera Hati, 2000 M/1421 H), Juz II. Ar-Raghib al-Ashfahani, Mufradât al-Fâdz al-Quran, edisi. Shafwan Adnan Dawudi, Damsykus: Dar al-Qalam,1992 M/1412 H. Ar-Razi, Fahruddin, Tafsir al-Fakhru ar-Razi, Beirut: Dâr al-Fikr, 1985 M/1405 H. Samin al-Halabi, ad-Durru al-Mashûn fî ‘Ulûm al-kitâb al-maknûn, Lubnan: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1994 M/1414 H. Sya’rawi, Tafsîr Sya’rawî, Mesir: al-Akhbar al-Yaum, 1991.
:اﻷﻧﻔﺎل ِ (وأ15 ِ ﻳﺎأَﻳـﱡﻬﺎ اﻟﱠ ِﺬﻳﻦْاﻷءَْدﺑَاﻣﻨَُﺎرﻮا) أ ﱠ ﻮل َوَﻻ ﺗُـْﺒ ِﻄﻠُﻮا َﻃ ﻪ ﻠ اﻟ ا ﻮ ﻴﻌ َﻃ َ ﻮﻫﻢﻴﻌُﻮا اﻟﱠﺮ ُﺳ َ ﻳﺎأَﻳـﱡﻬﺎ اﻟﱠ ِﺬﻳﻦ ءاﻣﻨُﻮا إِذَا َﻟَِﻘﻴﺘَُﻢ اﻟﱠ ِﺬ ﻳﻦ َﻛَ َﻔَﺮوا َز ْﺣ ًﻔُﺎ ﻓَ َﻼ ﺗَُـﻮﻟَﱡ ُ َ َ ََ َ ُ َ (33 :ُأ َْﻋ َﻤﺎﻟَُ ُﻜ ْﻢ )َﳏﻤﺪ 232_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013 (15:ْاﻷ َْدﺑَ َﺎر)اﻷﻧﻔﺎل ِﱠ ِ َﻃﻴﻌﻮا اﻟﻠﱠﻪ وأ ِ ﻮل َوَﻻ َﻃﻴﻌُﻮا َ اﻟﱠﺮ ُﺳEndnotes َ َ ُ ﻳﻦ ءَ َاﻣﻨُﻮا أ َ ﻳَﺎأَﻳـﱡ َﻬﺎ اﻟﺬ (33 :ﺎﻟَ ُﻜﻢ )ﳏﻤﺪkata: أ َْﻋ َﻤ 1. Arti menahan ini diperoleh ْdari اﻹﻣﺴﺎك. ِ ﻮل وَﻻ ﺗُـﺒ ِ ِ ُﻳﺎأَﻳـﱡﻬﺎ اﻟﱠ ِﺬﻳﻦ ءاﻣﻨ ا ﻮ ﻠ ﻄ ﺳ ﺮ اﻟ ا ﻮ ﻴﻌ َﻃ أ َ ُ 2. Sabar dengan pengertian ْ َ “menahan” َﻮا اﻟﻠﱠﻪberarti ُﻮا أَﻃﻴﻌfisik َ seperti َ َ material َ ُ َو ُ ﱠdapat َ menahan seseorang dalam tahanan/kurungan dan dapat berarti non fisik/ (33 :َْﻋ َﻤﺎﻟَ ُﻜ ْﻢ )ﳏﻤﺪyang أ inmaterial seperti menahan diri/jiwa dalam menghadapi sesuatu اﳊﺒﺲ. diinginkannya. اﻹﻣﺴﺎك. 3. Ar-Raghib al-Ashfahani, Mufradât al-Fâdz al-Quran, edisi. Shafwan Adnan Dawudi, (Damsykus: Dar al-Qalam,1992 M/1412 H), h. 474-475.
4. Makna ini diambil dari kata اﳊﺒﺲ.Kata ini semakna dengan اﻹﻣﺴﺎك. 5. Ibn Faris, Mu’jam Maqâyîs al-Lughah, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), Juz III, H. 3249-330.
اﳊﺒﺲ.yang 6. Yang saya maksudkan sebagai proses yang aktif adalah sebuah proses
bergerak dalam satu ruang dan waktu. Sabar dapat terealisasikan jika ada proses yang aktif untuk “menahan”, “membelenggu” dan “menutup”. Jika hal ini dilakukan secara aktif, maka proses ini akan berujung pada sebuah hasil yang disebut sebagai ‘sabar.
7. Quraish Shihab, Tafsir al-Amanah, Indonesia: Pustaka Kartini, 1992 M/1413 H, Cet. I, h. 111.
8. Imam al-Gazali, Ihya ‘Ulum ad-Din,(Beirut: Dar Ma’rifah, 1990 M), Juz IV, h. 61
9. Ibn Qayyim, Madarij as-Salikin, (Cairo: Dar Salam, t.th), Juz II, h. 121. 10. Abu Thalib al-Makki, Qauth al-Qulub, (Cairo: Dar al-halabi, t.th), Juz I, h. 197 11. Konsep ini dapat dilihat dalam Abu Hayyan, Al-Bahr Al-Muhîth, (Beirut: Dar
al-Fikr, t.th), Juz II, h. 57-58 . Dia mengatakan bahwa isim maushûl dapat berfungsi sebagai jawaban yang terbuang, yaitu : siapa orang-orang sabar itu? jawabannya adalah lanjutan ayat itu.
12. Fahruddin ar-Razi, Tafsir al-Fakhru ar-Razi, (Beirut: Dar al-Fikr, 1985 M/1405 H), Juz III,h. 171.
13. Abu Hayyan, al-Bahr Al-Muhîth, h. 57-58 14. Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh;Pesan, Kesan dan Keserasian AlQuran, (jakarta: Lentera Hati, 2000 M/1421 H), Juz II, h. 343.
15. Ar-Raghib al-Ashfahani , Mufradât al-Fâdz al-Qur’ân, h. 495 16. Ar-Raghib al-Ashfahani, Mufradât al-Fâdz al-Qur’ân, h. 495 17. Fahruddin ar-Razi, Tafsir al-Fakhru ar-Razi, Tafsîr al-Fakhr ar-Râzi, Juz III, h. 167
Hakekat Sabar dalam Al-Quran _233
18. Mutawalli Sya’rawi, Tafsir Sya’rawi, (Mesir: al-Akhbar al-Yaum, 1991), Juz II, h. 666.
19. Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh;Pesan, Kesan dan Keserasian AlQuran, op. cit., Juz II, h, 342.
20. Qurais Shihab, Tafsir al-Mishbâh;Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, h. 364-
366, Mutawalli Sya’rawi, Tafsîr Sya’rawî, h. 728-743, ar-Razi, op. cit, jilid III, h. 37-48, Abu Hayyan, al-Bahr al-Muhîth, h. 128-141, al-Biqai, Nuzhm ad-Durar fI Tanâsub al-´Ayât wa as-Suwar, Beirut:Dar al-Kutub al-’Ilmiah, 1995 M/1415 H, jilid I, h. 323-333
21. 22. 23. 24. 25. 26. 27.
al-Biqai, Nuzhm ad-Durar fi Tanâsub al-Ayât was-Suwar, h. 323-333 Abu Hayyan, al-Bahr al-Muhîth, h. 128-141. Ar-Razi, Tafsîr al-Fakhr ar-Râzi, Jilid V-VI, h. 49 Qurais shiahb, Tafsir al-Mishbâh; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, h. 344. Lihat ar-Razi, Tafsîr al-Fakhr ar-Râzi, h. 172. Tafsir al-Mishbâh, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, h. 340 Ibn Qayyim berpendapat bahwa sabar adalah wajib secara ijma’. Lihat Ibn Qayyim, Madârij as-Sâlikîn, h. 121.
Law Enforcement The Religious Right For Children Penegakan Hukum Atas Hak Beragama Bagi Anak Soefyanto Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta & Universitas Islam Jakarta email :
[email protected]
Abstract : Children must always be protected as well as possible. Parents, families and communities are responsible for keeping and maintaining the rights of the child in accordance with the rights and obligations imposed by law. To ensure the protection of minors in religion, religion in accordance with the religion of their parents. Anyone who intentionally commit a ruse to choose another religion not of his own volition, but the child is not known to be its choice, it is an act that can be punishable by penal provisions. The provision is to provide maximum protection of children from irresponsible actions. Abstraksi : Anak senantiasa harus dilindungi dengan sebaik-baiknya. Orang tua, keluarga dan masyarakat bertanggung jawab untuk menjaga dan memelihara hak-hak anak sesuai dengan hak dan kewajiban yang dibebankan oleh hukum. Untuk menjamin perlindungan terhadap anak yang belum dewasa dalam memeluk agama, agamanya sesuai dengan agama yang dipeluk orang tuanya. Barang siapa dengan sengaja melakukan tipu muslihat untuk memilih agama lain bukan atas kemauannya sendiri, padahal diketahui anak tersebut belum dapat menentukan pilihannya, hal tersebut merupakan perbuatan yang dapat diancam dengan ketentuan pidana. Ketentuan tersebut untuk memberikan perlindungan maksimal terhadap anak dari tindakan yang tidak bertanggung jawab. Keywords : Child Protection, Freedom of Religion.
Penegakan Hukum Atas Hak Beragama Bagi Anak _235
A. Pendahuluan A. Latar Belakang Siapapun kita, tidak boleh melewatkan perhatiannya terhadap anak dan pertumbuhannya, karena merekalah yang akan melanjutkan keberadaan kita sebagai bangsa, dan sebagai manusia. Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.1 Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa yang memiliki peranan strategis, dan mempunyai ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial secara utuh, serasi, selaras, dan seimbang. Indonesia pada saat ini telah memliki beberapa undang-undang yang berhubungan langsung dengan anak; - Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3886); - Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4235; - Konvensi tentang Hak-Hak Anak yang disetujui pada tanggal 20 November 1989, dan Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil Dan Politik, Ditetapkan oleh Resolusi Majelis Umum 2200 A (XXI) Tertanggal 16 Desember 1966. Kajian ini dimaksudkan sebagai bagian perhatian terhadap anak dari aspek hukum, khususnya hak beragama bagi anak, yang merupakan harapan bangsa Indonesia, dan dengan disahkan dan diundangkan
236_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013
Undang-Undang Perlindungan Anak kini menjadi tonggak upaya mewujudkan hak beragama bagi anak yang merupakan bagian dari perlindungan anak dan semangat penegakan hukum sebagai bagian dari pembangunan hukum nasional. Di samping itu dengan persetujuan konvensi-konvensi menjadilah institusi internasional yang mewajibkan Indonesia menyebarluaskan norma, mentaati dan melaporkan pelaksanaannya ke Sekjen PBB. b. Pokok Permasalahan Permasalahan dimaksudkan adanya gap antara dassollen dan dassein, antara konsepsi perundangundangan dengan pelaksanaannya. Apalagi kini peristiwa terkait hak beragama selau menjadi isu nasional yang berdimensi internasional. Identifikasi masalah dapat dirumuskan sebagai berikut: Bagaimana konsepsi perundang-undangan tentang hak beragama bagi anak dan bagaimana pelaksanaan perlindungan tersebut dalam masyarakat, dan bagaimana langkah penyelesaian dalam hal terjadi kasus yang mengabaikan perlindungan hak beragama bagi anak. c. Tujuan Penelitian dan manfaat Secara umum tujuan penelitian ingin mengungkapkan obyek yang hendak diteliti, untuk mengungkapkan dan menemukan sejauh mana Negara Indonesia memberikan perlindungan hak beragama kepada anakanak. Untuk mengungkapkan dan secara khusus menemukan penerapan hukum bagi pelaku yang mengabaikan ketentuan perlindungan anak dalam hal ini perlindungan hak beragama sesuai peraturan perundangundangan. Manfaatnya, dapat menemukan identifikasi ketentuan yang menyangkut pelayanan perlindungan anak sesuai dengan yang dikehendaki peraturan perundang-undangan, yang sekaligus memenuhi prinsip hak asasi manusia, dan dapat menemukan landasan teoritis dan yuridis perlindungan hak beragama bagi anak dan menambah informasi
Penegakan Hukum Atas Hak Beragama Bagi Anak _237
dalam pengembangan ilmu pengetahuan hukum khususnya hukum perlindungan anak, perlindungan hak beragama bagi anak d. Jenis dan Sumber Data Bahan hukum; primer, sekunder, tersier. Bahan hukum primer, bahan yang mempunyai kekuatan mengikat atau yang membuat orang taat pada hukum, antara lain; UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4235. Konvensi Internasional terkait yang kemudian di Ratifikasi pemerintah Indonesia, Putusan pengadilan/Putusan Mahkamah Agung, Putusan Mahkamah Konstitusi. Bahan Hukum Sekunder, bahan yang tidak mengikat tetapi menjelaskan mengenai bahan hukum primer, untuk menemukan sumber bahan-bahan yang berkaitan dengan konsep, doktrin dan kaidah hukum yang berkaitan yang dapat menambah kejelasan permasalahan, antara lain, tulisan atau pendapat ahli hukum mengenai asas-asas berlakunya hukum dalam suatu putusan dalam buku-buku, jurnal, makalah, internet. Bahan Hukum tersier, bahan hukum yang yang memberikan informasi dan petunjuk lebih lanjut mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. e. Metode pengumpulan data dan analisis Pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan cara mengumpulkan, membaca, menelaah mencari, dan mengkaji konsepsi-konsepsi, teoriteori, pendapat-pendapat atau penemuan-penemuan, antara lain peraturan perundang-undangan, hasil karya ilmiah. Metode observasi tidak terstruktur, dimaksudkan tanpa menggunakan pedoman observasi. Dokumen penting lainnya di sini adalah keputusan pengadilan, yang diperoleh secara langsung dari pengadilan yang memeriksa
238_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013
perkara terkait. Analisis data kualitatif dilakukan dengan jalan mengorganisasikan data, memilah-milah menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskan, mencari, dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain.2 Analisa juga dilakukan atas statemen (statement) atau keterangan atau pendapat yang dikemukakan oleh subyek dalam forum formal seperti di sidang pengadilan. Dengan demikian analisis yang digunakan diskriptif kualitatif, di sini menjelaskan obyek secara mendalam berdasarkan konsep dan teori yang digunakan serta hasil-hasilnya. Sedang penalaran digunakan penalaran deduktif dari hal-hal yang sifatnya umum, teori, konsep, diambil kesimpulan yang sifatnya khusus, guna menjawab masalah penelitian.
B. Pembahasan a. Konsepsi Perlindungan Anak Perhatian terhadap anak terus berkembang, perkembangan penting dengan diundangkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, pada tanggal 22 Oktober 2002. Di dalam undangundang itu tampak jelas arahan filosofisnya di mana Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin kesejahteraan tiap‑tiap warga negaranya, termasuk perlindungan terhadap hak anak, hak beragama anak, yang merupakan hak asasi manusia. Kiranya, demikian Ir Soekarno dalam pidatonya pada 1 Juni 1945 mengatakan pendapatnya mengenai prinsip ketuhanan yang sesuai bagi Negara Indonesia. ”....Prinsip Ketuhanan! bukan saja bangsa Indonesia ber Tuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan. Tuhannya sendiri.... Marilah kita amalkan, jalankan agama, baik Islam, maupun Kristem, dengan cara berkeadaban. Apakah cara yang berkeadaban itu? Ialah hormat menghormati satu sama lain....”3
Penegakan Hukum Atas Hak Beragama Bagi Anak _239
Selanjutnya, dalam pekembangannya, perumusan pengaturan mengenai hak asasi manusia yang diputusakan dalam rapat Paripurna Sidang Tahunan MPR-RI ke-9, 18 Agustus 200, ada perubahan UUD 1945, di mana sebelum perubahan tidak ada bab tersendiri tentang Hak Asasi Manusia, dan UUD 1945 sesudah perubahan ada tersendiri tentang Hak Asasi Manusia,4 yaitu, Bab XA tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J. Pasal 28 E menegaskan sebagai berikut; Pasal 28E 1) Setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali. 2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya. Ketentuan terkait menunjuk secara jelas hak beragama dijelaskan: Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali. Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya. Dalam ketentuan berikiutnya; Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masingmasing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.5 Namun dijelaskan pula bahwa; Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan Undang-Undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan
240_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013
moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.6 Konvensi – Konvensi Hak Anak, Hak-Hak Sipil dan Politik Sebelum Konvensi Hak Anak, kita mengenal Deklarasi Hak Anak, di mana pada tahun 1924 deklarasi hak anak diadopsi secara internasional oleh Liga Bangsa-Bangsa, yang kemudian dikenal sebagai Deklarasi Jenewa. Deklarasi merupakan suatu pernyataan umum mengenai prinsipprinsip yang bisa diterima bersama dan tidak mengikat seperti konvensi. Konvensi Hak Anak - Convention on the Rights of the Child -, kata lain dari treaty (traktat atau pakta), merupakan perjanjian di antara beberapa negara. Perjanjian ini bersifat mengikat secara yuridis dan politis, oleh karena itu konvensi merupakan suatu hukum internasional atau biasa juga disebut sebagai instrumen internasional. Konvensi Hak Anak adalah perjanjian yang mengikat secara yuiridis dan politis di antara berbagai negara yang mengatur hak-hak yang berhubungan dengan hak anak. Hak anak berarti hak asasi manusia untuk anak.7 Bahwa selanjutnya disetujui oleh Majlis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 20 November 1989 Konvensi Hak Anak, dan Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak, dinyatakan dalam Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tertanggal 25 Agustus 1990, dengan demikian kita wajib mengakui dan memenuhi hak-hak anak sebagaimana dirumuskan dalam Konvensi Hak Anak.8 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, menegaskan konsep asas dan tujuan sebagaimana ketentuan Pasal 2, Penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan Undang‑Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta prinsip‑prinsip dasar Konvensi Hak‑Hak Anak meliputi: 1. non diskriminasi; 2. kepentingan yang terbaik bagi anak; 3. hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan 4. penghargaan terhadap pendapat anak. Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak‑hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan
Penegakan Hukum Atas Hak Beragama Bagi Anak _241
martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.9 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil Dan Politik yang ditetapkan oleh Resolusi Majelis Umum 2200 A (XXI) Tertanggal 16 Desember 1966, Pasal 18 menyatakan bahwa Negara Pihak dalam Kovenan ini berjanji untuk menghormati kebebasan orang tua dan apabila diakui, wali hukum yang sah, untuk memastikan bahwa pendidikan agama dan moral bagi anak-anak mereka sesuai dengan keyakinan mereka sendiri.10 Siapa yang dimaksud dengan anak, anak dijelaskan adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Dalam Konvensi hak anak, secara umum mendefinisikan sebagai ”manusia yang umumnya belum mencapa 18 tahun”, namun dari pengertian ini diakui juga kemungkinan adanya perbedaam atau variasi dalam penentuan batas diberikan juga pengakuan terhadap batasan umur yang berbeda yang mungkin diterapkan dalam perundangundangan nasional negara peserta. Kegiatan perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak‑hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera. Anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita‑cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan. Anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita‑cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis
242_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013
dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan. Untuk melaksanakan hal itu pandangan mengenai anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Anak dimaksud yang memperoleh perlindungan anak. Perlidungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak‑haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara. Anak juga memiliki hak perlindunagn khusus, yang dimaksud dengan perlindungan khusus adalah perlindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan, perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran. Ada beberapa hak anak yang dinormatifkan sebagai muatan dalam undang-undang. Hak anak, adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara. Hak-hak anak dimaksud, sebagiannya yaitu;11 Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas
Penegakan Hukum Atas Hak Beragama Bagi Anak _243
diri dan status kewarganegaraan. Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua. Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri. Dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar maka anak tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang‑undangan yang berlaku.12 Agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawabnya, ia perlu mendapat kesempatan yang seluas‑luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia, untuk itu perlu dilakukan upaya perlindungan serta untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak‑haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi. Undang‑undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, meskipun telah mencantumkan tentang hak anak, pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara untuk memberikan perlindungan pada anak namun masih memerlukan suatu undang‑undang mengenai perlindungan anak sebagai landasan yuridis bagi pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab tersebut. Dengan demikian, pembentukan undang‑undang perlindungan anak didasarkan pada pertimbangan bahwa perlindungan anak dalam segala aspeknya merupakan bagian dari kegiatan pembangunan nasional, khususnya dalam memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara.13 Orang tua, keluarga, dan masyarakat bertanggung jawab untuk menjaga dan memelihara hak asasi tersebut sesuai dengan kewajiban yang dibebankan oleh hukum. Demikian pula dalam rangka penyelenggaraan perlindungan anak, negara dan pemerintah bertanggung jawab menyediakan fasilitas dan aksesibilitas bagi anak, terutama dalam
244_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013
menjamin pertumbuhan dan perkembangannya secara optimal dan terarah. Undang‑undang perlindungan anak menegaskan bahwa pertanggungjawaban orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terus‑menerus demi terlindunginya hak‑hak anak. Rangkaian kegiatan tersebut harus berkelanjutan dan terarah guna menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak, baik fisik, mental, spiritual maupun sosial. Tindakan ini dimaksudkan untuk mewujudkan kehidupan terbaik bagi anak yang diharapkan sebagai penerus bangsa yang potensial, tangguh, memiliki nasionalisme yang dijiwai oleh akhlak mulia dan nilai Pancasila, serta berkemauan keras menjaga kesatuan dan persatuan bangsa dan negara. Bertitik tolak dari konsepsi perlindungan anak yang utuh, menyeluruh, dan komprehensif, undang‑undang Perlindungan Anak meletakkan kewajiban memberikan perlindungan kepada anak berdasarkan asas‑asas: a. nondiskriminasi; b. kepentingan yang terbaik bagi anak; c. hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan d. penghargaan terhadap pendapat anak. Dalam melakukan pembinaan, pengembangan dan perlindungan anak, perlu peran masyarakat, baik melalui lembaga perlindungan anak, lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, organisasi sosial, dunia usaha, media massa, atau lembaga pendidikan. b. Permasalahan Masalah perlindungan anak adalah sesuatu yang kompleks, dan ketepatan pemahaman perlindungan anak akan sangat bermanfaat. Kesalahan pemahaman akan menimbulkan berbagai permasalahan yang tidak mudah untuk diatasi, diselesaikan oleh perorangan tetapi membutuhkan perpaduan, dan tanggung jawab bersama antar kita. Juga dikatakan, kebahagian yang dilindungi adalah kebahagiaan yang melindungi.14
Penegakan Hukum Atas Hak Beragama Bagi Anak _245
Ada beberapa dasar pemikiran dalam masalah perlindungan anak; arti, sikap dan tindak, pengertian tentang manusia, pengertian tentang keadilan, dan hasil interaksi, baik masalah yang positif atau negatif.15 Lebih lanjut beberapa dasar pemikiran sebagai landasan pembahasan masalah perlindungan anak sebagai berikut. Arti sikap dan tindakan, hendaknya kita memahami lebih dahulu arti atau mempunyai pengertian yang tepat mengenai suatu masalah, diperlukan pemahaman lebih dahulu. Dengan dimilikinya pengertian yang tepat mengenai perlindungan anak misalnya, maka diharapkan kita akan bersikap dan bertindak tepat pula dalam menghadapi dan mengatasi permasalahan. Pemahaman tentang manusia, bahwa manusia adalah mutlak kita meratakan pengertian mengenai manusia apabila kita mau berhasil melakukan perlindungan anak. Pengertian yang tidak tepat mengenai manusia merupakan salah satu faktor penghambat kegiatan mengembangkan keadilan dan kesejahteraan pada umumnya dan kegiatan perlindungan anak pada umumnya. Pengertian yang tepat mengenai manusia dapat pula mengembangkan rasa tanggung jawab kita terhadap sesama anggota masyarakat. Pengertian tentang keadilan, rasa keadilan seseorang akan mempengaruhi adanya kelangsungan kegiatan perlindungan anak. Maka dapat dikatakan, bahwa di mana ada keadilan, disitu seharusnya terdapat pula perlindungan anak yang baik. Anak dilindungi untuk dapat melaksanakan hak dan kewajibannya secara rasional, bertangung jawab dan bermanfaat. Hasil interaksi; hampir setiap tindakan dan masalah yang ada, yang terjadi, baik yang positif atau negatif dapat merupakan hasil interaksi karena adanya interrelasi antara fenomena yang ada dan saling mempengaruhi. Interaksi adalah suatu hubungan timbal balik antara orang satu dengan orang lainnya,16 Di dalam ilmu sosiologi interaksi selalu dikaitkan dengan istilah sosial yaitu hubungan timbal balik atau aksi dan reaksi diantara
246_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013
orang-orang, yang mana interaksi sosial tidak memperdulikan hubungan tersebut bersifat bersahabat atau bermusuhan, formal atau informal, apakah dilakukan berhadapan muka secara langsung atau melalui komunikasi yang tidak berhadapan secara langsung. Yang penting dalam interaksi ini adalah adanya kontak dan komunikasi diantara orang-anak itu. Interaksi di sini interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang menyangkut hubungan antar individu, individu (seseorang) dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok. Tanpa adanya interkasi sosial maka tidak akan mungkin ada kehidupan bersama, tidak ada proses sosial, tidak ada suatu interaksi atau hubungan timbal balik atau saling mempengaruhi antar manusia yang berlangsung sepanjang hidupnya didalam amasyarakat.17 Menurut Soerjono Soekanto, proses sosial diartikan sebagai cara-cara berhubungan yang dapat dilihat jika individu dan kelompok-kelompok sosial saling bertemu serta menentukan sistem dan bentuk hubungan sosial.18 Proses Interaksi sosial adalah pada saat manusia bertindak terhadap sesuatu atas dasar makna yang dimiliki bagi manusia, makna yang dimiliki itu berasal dari interaksi antara seseorang dengan sesamanya. Makna tidak bersifat tetap namun dapat dirubah, perubahan terhadap makna dapat terjadi melalui proses penafsiran yang dilakukan orang ketika menjumpai sesuatu. Proses tersebut disebut juga dengan interpretative process.19 Sedangkan kata interelasi saling berhubungan satu sama lainnya.20 Fenomena bisa berarti gejala, misalkan hal-hal yang dirasakan dengan pancaindra.21 Di sini dimaksudkan yang penting adalah mengamati fenomena mana saja yang relevan dan memainkan peranan yang penting dalam terjadinya sesuatu tindakan atau hal tertentu. c. Perlindungan khusus Bahwa anak adalah individu yang belum matang baik secara fisik, mental, maupun sosial. Karena kondisinya yang rentan dibandingkan
Penegakan Hukum Atas Hak Beragama Bagi Anak _247
dengan orang dewasa, lebih beresiko. Untuk memahami istilah matang - kematangan perlu mengkaitkan perkembangan anak, perkembangan jiwa anak.22 Santrock menjelaskan pengertian perkembangan sebagai berikut; “…..Development is the patterrn of change that begins at conception and continues through the life span. Most development involves growth, althought it includes decay (as in death and clying). The pattern of movement is complex because it is product of several processes-biological, cognitive, and socioemotional….”23 Dimaksud perkembangan tidaklah terbatas pada pengertian pertumbuhan yang semakin membesar melainkan didalamnya juga terkandung serangkaian perubahan yang berlangsung secara terus menerus dan bersifat tetap dari fungsi-fungsi jasmaniah dan rohaniah yang dimiliki individu menuju ke tahap kematangan melalui pertumbuhan, pemasakan, dan belajar. Perkembangan menghasilkan bentuk-bentuk dan ciri-ciri kemampuan baru yang berlangsung dari tahap aktivitas yang sederhana ke tahap yang lebih tinggi. Perkembangan itu bergerak secara berangsur-angsur tetapi pasti, melalui suatu bentuk/tahap ke bentuk/tahap berikutnya, yang kian hari kian bertambah maju, mulai dari masa pembuahan dan berakhir dengan kematian. Pertumbuhan dan perkembangan itu pada umumnya berjalan selaras dan pada tahaptahap tertentu menghasilkan suatu “kematangan”, baik kematangan jasmani maupun kematangan mental. Istilah kematangan24 juga sering digunakan dalam biologi yang menunjuk pada keranuman atau kemasakan. Kemudian istilah ini diambil untuk digunakan dalam perkembangan individu karena dipandang terdapat beberapa persesuaian. Kematangan mula-mula merupakan suatu hasil dari adanya perubahan-perubahan tertentu dan penyesuaian struktur pada diri individu, seperti adanya kematangan jaringan-jaringan tubuh, saraf, dan kelenjar-kelenjar yang disebut dengan kematangan biologis. Kematangan terjadi pula pada aspek-aspek psikis
248_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013
yang meliputi keadaan berpikir; rasa, kemauan, dan lain-lain, serta kematangan pada aspek psikis ini yang memerlukan latihan-latihan tertentu. Usaha pemaksaan terhadap kecepatan tibanya masa kematangan yang terlalu awal akan mengakibatkan kerusakan atau kegagalan dalam perkembangan tingkah laku individu yang bersangkutan. Perlindungan khusus merupakan perlindungan yang diberikan kepada anak anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.25 Pemerintah diantaranya Kementerian Agama, dan lembaga-lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak. Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum meliputi anak yang berkonflik dengan hukum dan anak korban kejahatan dan tindak pidana. Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum dilaksanakan melalui: perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak‑hak anak, penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini, penyediaan sarana dan prasarana khusus, penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak, pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum, pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau keluarga; dan perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi. Dalam hal anak menjadi korban kejahatan perlindungan dilaksanakan melalui upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga, perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi, pemberian jaminan keselamatan bagi saksi
Penegakan Hukum Atas Hak Beragama Bagi Anak _249
korban dan saksi ahli, baik fisik, mental, maupun sosial, dan pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara. Bagi anak kelompok minoritas dan terisolasi perlindungan dilakukan melalui penyediaan prasarana dan sarana untuk dapat menikmati budayanya sendiri, mengakui dan melaksanakan ajaran agamanya sendiri, dan menggunakan bahasanya sendiri. Setiap orang dilarang menghalang‑halangi anak untuk menikmati budayanya sendiri, mengakui dan melaksanakan ajaran agamanya, dan menggunakan bahasanya sendiri tanpa mengabaikan akses pembangunan masyarakat dan budaya. Dalam melakukaan pembinan, pengembangan dan perlindungan anak, perlu peran masyarakat, baik melalui lembaga perlindungan anak, lembaga keagaman, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, organisasi sosial, dunia usaha, media massa, atau lembaga pendidikan. d. Hak Memilih Agama Sebagai Perlindungan Anak Adalah hak setiap orang atas kebebasan berpikir, keinsyafan batin dan beragama. Kebebasan ini dirumuskan dalam pasal 18 Universal Declaration of Human Rights; Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, harti nurani dan agama, dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaan dengan cara mengajarkannya, mempraktekkannya, melaksanakan ibadanya dan mentaatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum maupun sendiri.26 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil Dan Politik, Pasal 18 ayat 4 menyatakan bahwa Negara Pihak dalam Kovenan ini berjanji untuk ... memastikan bahwa pendidikan agama dan moral bagi anak-anak mereka sesuai dengan keyakinan mereka sendiri.
250_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013
Ketentuan itu bukan hanya meliputi kebebasan berganti agama atau keyakinan, tetapi juga kebebasan untuk menyatakan dengan jelas agamanya atau keyakinannya, entah secara perorangan, entah secara bersama-sama dengan orang lain, baik di muka umum maupun dalam lingkungannya sendiri (kehidupan privenya), dalam (1) mengajarkan, (2) peneterapannya dalam praktek, (3) ibadat, (4). pengabdian pada perintah-perintah dan peraturan-peraturan agamanya. Adapun, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, secara spesifik menegaskan pengaturan perlindungan anak, perlindungan kepada anak-anak aspek agama. Perlindungan itu diperlukan mengingat anak adalah individu yang belum matang baik secara fisik, mental, maupun sosial. Ketentuan tersebut tercantum dalam Undang-Undang Perlindungan Anak, BAB IX, tentang, Penyelenggaraan Perlindungan, Bagian Kesatu tentang “Agama”, menegaskan sebagai berikut: Pasal 42; (1) Setiap anak mendapat perlindungan untuk beribadah menurut agamanya. (2) Sebelum anak dapat menentukan pilihannya, agama yang dipeluk anak mengikuti agama orang tuanya. Pasal 43; (1) Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, orang tua, wali, dan lembaga sosial menjamin perlindungan anak dalam memeluk agamanya. (2) Perlindungan anak dalam memeluk agamanya tersebut meliputi pembinaan, pembimbingan, dan pengamalan ajaran agama bagi anak. Penjelasan Pasal 42 ayat (2) Anak dapat menentukan agama pilihannya apabila anak tersebut telah berakal dan bertanggung jawab, serta memenuhi syarat dan tata cara sesuai dengan ketentuan agama yang dipilihnya, dan ketentuan peraturan perundang‑undangan yang berlaku. Ketentuan tersebut “diawasi” oleh ketentuan Pasal 86 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang menegaskan bahwa Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan tipu muslihat, rangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk memilih agama lain bukan atas kemauannya sendiri, padahal diketahui atau patut diduga bahwa anak tersebut belum berakal dan belum bertanggung jawab sesuai
Penegakan Hukum Atas Hak Beragama Bagi Anak _251
dengan agama yang dianutnya dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Ketentuan lain dengan nafas yang sama dapat dibaca dalam UndangUndang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886, di mana dalam Pasal 55 menegaskan sebagai berikut: “Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berfikir, berekspresi sesuai dengan tingkat intelektualitas dan usianya di bawah bimbingan orang tua dan atau wali.” e. Uji Materiil ketentuan Pasal 86 UU Nomor 23 Tahun 2002 Ketentuan dalam Undang-Undang Perlindungan Anak tersebut pada tahun 2005 telah diajukan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi dan telah memperoleh Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 018/ PUU-III/2005. Pemohon uji materiil memiliki kegiatan atau aktivitasnya sering memberikan dan menyampaikan pelajaran agama, pendidikan agama, bimbingan agama, penyuluhan agama dan pelayanan kepada masyarakat umum yang berupa pelajaran dan / khotbah menurut agamanya, kepada orang-orang yang sudah dewasa dan belum dewasa atau anak-anak, yang dilakukan di gereja, tempat-tempat ibadah, balai atau tempat pertemuan umum dan di tempat-tempat pendidikan. Kegiatan menyampaikan pelajaran agama, pendidikan agama, atau bentuk bimbingan lainnya dilakukan, diberikan dan disampaikan atas kehendak sendiri, baik mereka yang beragama Kristen dan non-Kristen, maupun kepada mereka yang sudah dewasa dan belum dewasa atau anak-anak. Pada dasarnya apa yang dilakukan merupakan hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon, dan juga merupakan kewajiban asasi Pemohon menurut peraturan perundang-undangan di Negara Republik Indonesia dan menurut agama yang dianut oleh Pemohon.
252_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013
Bahwa Uji Materiil yang dimohonkan adalah khusus berhubung dengan berlakunya ketentuan Pasal 86 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang berbunyi; “Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan tipu muslihat, rangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk memilih agama lain bukan atas agamanya sendiri, padahal diketahui atau patut diduga bahwa anak tersebut belum berakal dan belum bertanggung jawab sesuai dengan agama yang dianutnya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah).” Ketentuan yang diajukan untuk diuji materiil tersebut tesebut sebagaimana telah dijelaskan dimuka adalah ketentuan yang merupakan pengawasan pelaksanaan ketentuan Pasal 42 ayat (2). Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara. Salah satu hak anak adalah beribadat menurut agamanya, berpikir dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya dalam bimbingan orang, agar tujuan perlindungan anak dapat tercapai, yaitu menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal demi terwujudnya anak yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera. Ketentuan tersebut dipandang pemohon akan dapat memberikan peluang serta mudah disalahgunakan untuk meniadakan, mengekang ataupun mengurangi hak dan kebebasan berbicara pemohon atau orang lain yang sama kegiatan atau aktivitasnya dengan pemohon, para pendidik dan pengajar agama di dalam memberikan pendidikan, pengajaran dan penerangan atau penyuluhan agama yang dilakukan atau diselenggarakan di tempat-tempat ibadah dan di sekolah-sekolah agama, dengan dalih bahwa perbuatan yang dilakukan itu adalah sebagai perbuatan dengan sengaja menggunakan tipu muslihat, rangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk memilih agama lain bukan atas kemauannya sendiri.
Penegakan Hukum Atas Hak Beragama Bagi Anak _253
Ketentuan Pasal 86 UU Nomor 23 tahun 2002 tersebut menurut pemohon merugikan kiprahnya dalam memberikan dan menyampaikan pelajaran agama, pendidikan agama, penyuluhan agama dan pelayanan masyarakat yang berupa pelajaran dan khotbah menurut agamanya, kepada orang-orang yang sudah dewasa dan belum dewasa atau anak-anak, yang dilakukan di gereja, tempat ibadah, balai atau tempat pertemuan umum dan di tempat-tempat pendidikan, hal itu bertentangan dengan hak dan/atau kewenangan konstitusional dan kewajiban asasi pemohon yang diatur di dalam Undang Undang Dasar Negara RI Tahun 1945; Pasal 28A, Pasal 28B ayat (1) dan (2), Pasal 28C ayat (1) dan (2) Pasal 28E ayat (1), (2), dan (3). yang pokok-pokoknya sebagai berikut: - Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. - Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. - Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. - Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia. - Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya. - Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
254_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013
- Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya. - Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Alasan yang dikemukakan pemohon antara lain sebagai berikut:27 Kegiatan atau akitivitasnya sering memberikan dan menyampaikan pelajaran agama, pendidikan agama, bimbingan agama, penyuluhan agama dan pelayanan masyarakat umum yang berupa pelajaran dan/ khotbah menurut agamanya, kepada orang-orang yang sudah dewasa dan belum dewasa atau anak-anak. Kegiatan yang dilakukan, diberikan dan disampaikan atas kehendak sendiri, baik mereka yang beragama Kristen dan non Kristen, maupun kepada mereka yang sudah dewasa dan belum dewasa atau anak-anak, pada dasarnya merupakan hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya, dan juga merupakan kewajiban asasi menurut peraturan perundangundangan di Negara Republik Indonesia dan menurut agama yang dianutnya. Uji materiel yang dimohon khusus berhubung dengan berlakunya ketentuan Pasal 86 UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, di mana, dengan berlakunya Pasal 86 UU Nomor 23 Tahun 2002 tersebut, pemohon beranggapan bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya untuk melakukan kegiatan atau aktivitasnya telah dirugikan, dengan alasan-alasan sebagai berikut: 1) Hak dan kewajiban konstitusionil di dalam melakukan kegiatan dan aktivitas, memberikan dan menyampaikan pelajaran agama, pendidikan agama, bimbingan agama, penyuluhan agama, dan pelayanan masyarakat umum serta khotbah menurut agamanya, kepada anak-anak Kristen dan anak-anak yang bukan Kristen yang datang atas kemauannya sendiri atau orang tua maupun wali mereka masing-masing, yang dilakukan ditempat-tempat ibadah, pendidikan/pengajaran agama dan di dalam balai/tempat pertemuan
Penegakan Hukum Atas Hak Beragama Bagi Anak _255
yang terbuka untuk umum, dirugikan, dan kegiatan tersebut dapat dianggap telah melakukan ”tindak pidana”. 2) Bahwa ketentuan yang diatur dalam Pasal 86 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, akan dan dapat memberikan peluang, serta mudah disalahgunakan untuk meniadakan, mengekang ataupun mengurangi hak dan kebebasan berbicara pemohon, orang lain yang sama kegiatannya, para pendidik dan pengajar agama di dalam memberikan pendidikan, pengajaran dan penerangan atau penyuluhan agama yang dilakukan atau diselenggarakan di tempattempat ibadah dan di sekolah-sekolah agama, dengan dalih bahwa perbuatan yang dilakukan itu adalah sebagai perbuatan: ”dengan sengaja menggunakan tipu muslihat, rangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk memilih agama lain bukan atas kemauannya sendiri ... .” 3) Ketentuan yang diatur dalam Pasal 86 UU Nomor 23 Tahun 2002, bertentangan dengan hak dan/atau kewenangan konstitusional dan kewajiban asasi yang diatur di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu; a) Bahwa Pasal 28 ayat (3) UUD 1945 menetapkan dan mengatur; Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang. Namun, ketentuan pada Pasal 86 Undangundang Nomor 23 Tahun 2002 itu potensial untuk mengurangi dan mengekang kemerdekaan pemohon dan orang-orang lain yang bersama dengan pemohon untuk berserikat dan berkumpul mengeluarkan pikiran dengan lisan perihal agama Kristen yang dilakukan di tempat ibadah, di tempat pertemuan umum dan di tempat-tempat pendidikan; b) Bahwa Pasal 28E ayat (1) UUD 1945, mengatur; Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih
256_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013
kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.” c) Bahwa Pasal 28E ayat (2) UUD 1945, mengatur; Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.” Namun demikian, ketentuan yang diatur pada Pasal 86 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 berpotensi untuk mengurangi dan mengekang kebebasan dan kemerdekaan seorang anak untuk memilih pendidikan dan pengajaran agama yang dikehendakinya, oleh karena harus mengikuti dan menganut agama orang tuanya atau wali mereka. 4) Bahwa akibat hukum dari peraturan perudang-undangan tersebut, ialah seseorang yang memberikan pendidikan dan pengajaran agama tertentu kepada anak yang menganut agama orang tua atau wali mereka, menyebabkan orang yang memberikan pendidikan dan pengajaran agama tertentu bukan agama orang tua atau wali dari si anak, dapat dituduh dan dipidana telah melakukan perbuatan sebagaimana diatur dalam Pasal 86 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 ; 5) Dengan alasan tersebut di atas, maka ketentuan yang diatur pada Pasal 86 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum yang berlaku mengikat; Berdasarkan pada alasanalasan tersebut di atas, Pemohon mohon kepada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia berkenan menerima permohonannya, dan berkenan memberikan putusan hukum sebagai berikut: a) Menerima dan mengabulkan Permohonan Uji Materiil atas Pasal 86 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang dimohon beserta seluruh alasan-alasannya ; b) Menyatakan bahwa materi muatan Pasal 86 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 dan/atau bagian dari undang-undang dimaksud, adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Penegakan Hukum Atas Hak Beragama Bagi Anak _257
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terutama dalam Pasal 28 dan 28E ayat (1) dan (2) ; dan menyatakan bahwa materi muatan Pasal 86 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 dan/atau bagian dari undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat ; Majlis hakim berpendapat bahwa pemohon dapat dikualifikasikan sebagai pemohon perorangan warga negara Indonesia, memiliki hak konstitusional. Hak konstitusional yang dimiliki oleh pemohon tidak ada hubungan sebab akibat dengan ketentuan Pasal 86 Undang Undang Perlindungan Anak. Pasal 86 sama sekali tidak mengurangi hak konstitusional pemohon sebagaimana dijamin dalam Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2) UUD Tahun 1945. Justru sebaliknya, ketentuan sebagaimana yang termuat dalam Pasal 86 Undang-Undang Perlindungan Anak tersebut merupakan penegasan bahwa negara bertanggung jawab dari kemungkinan tipu muslihat, kebohongan, atau bujukan yang menyebabkan anak tersebut memilih agama tertentu bukan atas kesadarannya sendiri. Mengingat pemohon tidak memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan, maka diputuskan permohonannya dinyatakan tidak dapat diterima (niet onvankelijk verklaard). Putusan ini diputuskan dalam rapat permusyawaratan hakim yang dihadiri oleh 9 (sembilan) hakim konstitusi pada hari senin tanggal 16 Januari 2006 dan diucapkan dalam sidang pleno Mahkmah Konstitusi yang terbuka untuk umum pada hari Selasa, 17 Januari 2006.28 Dengan Keputusan Mahkamah Konstitiusi tersebut, menegaskan kembali bahwa ketentuan dalam undang-undang tersebut konstitusional dan berlaku, dapat ditafsirkan sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi yakni kebebasan dan persamaan (keadilan). Dan perlunya menerapkan undang-undang dengan mengadili pelanggaran undang-undang, pelanggaran hukum dan dengan melaksanakan hukum berdasarkan undang-undang itu memperkokoh fungsi negara. Bahkan
258_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013
dengan melihat penjelasan Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003, Keputusan Mahkamah Konstitiusi tersebut, bila dikaitkan dengan sifat final, dan mengikat dari putusan Mahkamah Konstitusi artinya telah tetutup segala kemungkinan untuk menempuh upaya hukum, tatkala putusan tersebut diucapkan dalam sidang pleno, maka ketika itu lahir kekuatan mengikat (verbindende kracht).29 f. Kasus Terkait Permohonan uji materil tersebut terkait dengan kasus hukum yang terjadi dan kemudian diperiksa di Pengadilan Negeri Indramayu.30 Kasus dimaksud adalah peristiwa hukum melanggar ketentuan Pasal 86 yang tercantum dalam Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2) Undang Undang Dasar Negara RI Tahun 1945. Ketentuan Pasal 86 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tersebut berbunyi; “Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan tipu muslihat, rangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk memilih agama lain bukan atas agamanya sendiri, padahal diketahui atau patut diduga bahwa anak tersebut belum berakal dan belum bertanggung jawab sesuai dengan agama yang dianutnya, dipidana ….”, Peristiwa hukum dimaksud terjadi dan diperiksa di Pengadilan Negeri Indramayu,31 kiranya dapat dijadikan sebagai suatu yurisprudensi, perilaku kongkrit memenuhi ketetuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Pasal 86. Ketentuan Pasal 86 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tersebut dapat dirinci memiliki beberapa unsur, sebagai berikut: a. setiap orang b. dengan sengaja menggunakan tipu muslihat, rangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk memilih agama lain bukan atas agamanya sendiri,
Penegakan Hukum Atas Hak Beragama Bagi Anak _259
c. diketahui atau patut diduga bahwa anak tersebut belum berakal dan belum bertanggung jawab sesuai dengan agama yang dianutnya, d. dipidana ….”, Dalam kasus terdapat, unsur-unsur sebagaimana diuraikan di atas, Majelis Hakim mencatat dan mempertimbangkan sebagai berikut: Unsur 1. Setiap Orang; Yang dimaksud dengan setiap orang dalam undangundang adalah subyek hukum baik perorangan atau bersamasama (koorporasi) yang melakukan perbuatan pidana dan mampu mempertanggungjawabkan atas perbuatan yang dilakukannya; Pada sekitar bulan September 2003 terdakwa telah membuka kegiatan Minggu Ceria yang ditujukan untuk anak-anak yang beragama Kristen saja, namun pelaksanaannya para terdakwa mengajak anak-anak yang non Kristen untuk mengikutinya dan terdakwa tidak melarangnya. Unsur 2. Sengaja mengunakan tipu muslihat, rangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk memilih agama lain bukan atas kemauan sendiri. Mengenai apa yang dimaksud membujuk; a) Yang dimaksud membujuk adalah melakukan pengaruh dengan kelicikan terhadap orang, sehingga orang tersebut menurutinya berbuat sesuatu yang apabila mengetahuinya masalah sebenarnya ia tidak akan berbuat begitu (dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), R. Susilo). b) membujuk berasal dari kata ”bujuk” yang berarti usaha untuk mengelabui dengan tujuan menyakinkan apa yang disampaikannya (Kamus lengkap Bahasa Indonesia karangan Drs. Bambang Marhinyanto, penerbit Terbit Terang Surabaya).
260_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013
c) Berdasarkan fakta-fakta dari keterangan para saksi dan para terdakwa : d) benar, para terdakwa telah membuka kegiatan Minggu ceria di rumahnya terdakwa dan kegiatan tersebut bertujuan untuk memberikan nilai raport bagi anak-anak yang beragama Kristen, dan kegiatan tersebut juga untuk anak-anak Kristen saja. e) semula kegiatan tersebut diikuti anak-anak Kristen namun sebulan kemudian terdakwa mengajak anak-anak yang beragama Islam. f) dalam Minggu Ceria ini juga diajarkan matematika dan pelajaran sekolah lainnya, namun dalam kenyataannya diajarkan pula berdoa secara Kristen, benyanyi lagu-lagu Kristen, mewarnai gambar tokoh-tokoh Kristen dan bercerita tentang tokoh-tokoh Kristen, dan selain diajarkan hal tersebut pada setiap kegiatan Minggu ceria di beri makanan kecil dan minuman serta diajak jalan-jalan ke kolam renang, ke Taman Mini Indonesia Indah, dan diberikan Al Kitab (Injil) dan diajak pula pada acara natalan dan kebaktian di Gereja. g) bahwa anak tersebut sudah pandai menyanyi lagu-lagu rohani Kristen dan berdoa secara Kristen. h) bahwa sekarang anak-anak tersebut sudah di Islam-kan lagi. Menurut Drs. Abdul Wahid Syahuri, MM, saksi ahli dari Dep. Agama Kabupaten Indramayu, menyatakan bahwa anak-anak muslim yang diajak mengikuti acara Minggu Ceria dan sudah bisa bernyanyi lagulagu Kristen berdoa secara Kristen adalah sudah murtad. Dan menurut John Nainggolan M.Th. saksi a de charge, menyatakan sebenarnya kegiatan Minggu ceria tersebut hanya untuk anak-anak yang beragama Kristen saja, dan bagi anak-anak yang beragama Islam dilarang untuk mengikutinya. Dengan tindakan para terdakwa pada kegiatan Minggu Ceria mengajarkan menyanyi lagu Kristen, mewarnai gambar tokoh-tokoh
Penegakan Hukum Atas Hak Beragama Bagi Anak _261
Kristen, berdoa secara Kristen dan (kepada saksi Yusliyah) di beri Al Kitab (Injil) serta diajak acara kebaktian di gereja, kepada anak yang beragama Islam, diajak jalan-jalan ke kolam renang dan ke Taman Mini yang akhirnya anak-anak tersebut pandai bernyanyi lagu-lagu Kristen dan berdoa secara Kristen. Tindakan para terdakwa tersebut sudah dikategorikan membujuk anak untuk memilih agama lain bukan atas kemauannya sendiri, ini dimaksud bahwa unsur tersebut telah terbukti menurut hukum. Unsur 3. Diketahuinya atau patut diduga bahwa anak tersebut belum berakal atau belum bertanggung jawab sesuai dengan agama yang dianutnya. Dan anak-anak tersebut masih berumur 11 sampai dengan 13 tahun dan masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD). Dilihat dari usia anak tersebut masih di bawah umur, belum dewasa, masih belum dapat melakukan perbuatan hukum, belum bisa menentukan mana yang baik dan mana yang buruk, segala sesuatu masih tergantung pada orang tuanya atau walinya, oleh karena itu patut diduga bahwa anak tersebut belum berakal dan belum bertanggungjawab sesuai dengan agama yang dianutnya telah terbukti. Unsur 4. Yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan yang turut serta melakukan. Bahwa untuk dapat membuktikan unsur tersebut telah dilihat fakta yang terungkap; - benar pada bulan September tahun 2003 mereka terdakwa bersepakat untuk membuka kegiatan Minggu Ceria di rumah terdakwa I, di Kabupaten Indramayu. - dalam kegiatan Minggu Ceria tersebut terdakwa I sebagai pengajar, terdakwa II sebagai koordinator dan merangkap sebagai pengajar, sedangkan terdakwa III sebagai penanggungjawab kegiatan Minggu Ceria dan juga kadang-kadang mengajar Al Kitab.
262_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013
- semula kegiatan diikuti anak-anak beragama Kristen, kerena memang kegiatan tersebut diperuntukan untuk anak-anak yang beragama Kristen saja, namun kemudian anak-anak yang beragama Islam yang mengikuti kegiatan tersebut, sementara, terdakwa I dan terdakwa II sudah mengetahui kalau anak tersebut beragama Islam tapi mereka terdakwa tidak melarangnya malahan telah diajarkan doa Kristen, nyanyian lagu-lagu rohani Kristen, diajak kebaktian di Subang, diundang talan dan diajak ke Taman Mini, diberikan buku dan alat tulis yang bergambar salib, kaos dan makanan serta minuman, dan diberi Al Kitab. - Terdakwa I dan tedakwa II sudah melaporkan kejadian tersebut ke terdakwa III namun terdakwa III tetap diam dan membiarkannya, padahal terdakwa III tahu kalau sebenarnya kegiatan tersebut bukan untuk anak-anak yang beragama Islam. - melihat fakta tersebut terbukti ada kerjasama saling berhubungan dan saling mendukung sesuai dengan tugas masing-masing. Berdasarkan pertimbangan tersebut, unsur - yang melakukan dan yang turut serta melakukan- telah terbukti. - Dengan demikian keseluruhan unsur dari pasal 86 UU Nomor 23 Tahun 2002 jo. Pasal 55 ayat (1) ke KUHP telah dapat dibuktikan, dan tidak diketemukan adanya alasan pembenar dan pemaaf yang dapat menghapus kesalahan terdakwa, oleh karena itu para terdakwa harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, para terdakwa terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana, menyatakan terdakwa (I, terdakwa II, dan terdakwa III), telah terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ‘secara bersama-sama membujuk anak untuk memilih agama lain bukan atas kemauan sendiri, diketahui dan patut diduga anak tersebut belum berakal dan belum bertanggungjawab sesuai dengan agama yang dianutnya’.32
Penegakan Hukum Atas Hak Beragama Bagi Anak _263
Perkara di Tingkat Banding Perkara tersebut diajukan banding pada Pengadilan Tinggi Bandung, yang kemudian memeriksa pada tingkat Banding dalam register perkara Nomor 241/Pid/2005/PT.Bdg, di mana dalam putusannya menyatakan:33 - Majelis Hakim Pengadilan Tinggi meneliti, mempelajari dengan seksama surat-surat pemeriksaan perkara, berita acara dan salinan resmi putusan Pengadilan Negeri Indramayu No. 181/Pid.B/2005/ PN.Im, ditinjau dalam hubungannya satu dengan yang lain, maka membenarkan dan menyetujui pendirian Hakim Tingkat Pertama, yang di dalam putusannya, telah dengan tepat dan benar menyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana ”Secara bersamasama membujuk anak untuk memilih agama lain bukan atas kemauannya sendiri, diketahui dan patut diduga anak tersebut belum berakal dan bertanggung jawab sesuai dengan agama yang dianutnya.” sehingga putusan tersebut dapat disetujui dan diambil alih serta dijadikan sebagai pertimbangan hukumnya sendiri di dalam memeriksa dan mengadili perkara ini. - Bahwa berdasarkan akan pertimbangan-pertimbangan hukum tersebut di atas, maka putusan Pengadilan Negeri Indramayu tertanggal 1 September 2005, No. 181/Pid.B/2005/PN.Im, dikuatkan.34 Perkara di Tingkat Kasasi Kasus hukum pada Pengadilan Negeri Indramayu No. 181/Pid.B/2005/ PN.Im, Perkara Nomor 241/Pid/2005/PT.Bdg., diajukan ke tingkat Kasasi dengan akta permohonan Kasasi No 05/Akta.Pid/2005/PN.Im tanggal 28 Nopember 2005, dengan register Mahkamah Agung Nomor 2275 K/ Pid/2005. Alasan-alasan yang diajukan pada pokoknya adalah sebagai berikut:35 Bahwa Judex Facti telah keliru dan salah menerapkan hukum
264_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013
karena tekanan dari intimidasi dari kelompok organisasi massa dalam persidangan, maka suasana persidangan tidak kondusif sehingga para Pemohon tidak mampu mengungkapkan secara jelas dan terang dimuka persidangan tentang dasar, maksud dan tujuan aktifitas yang dilakukan oleh karena itu objektifitas perkara yang terungkap di persidangan sangat diragukan, lagi pula dalam pertimbangan hukumnya menyatakan para Pemohon melakukan bujukan kepada anak-anak atau lingkungan sekitar untuk pindah agama (Kristenisasi), padahal para Pemohon Kasasi merasa prihatin dan sedih melihat masyarakat lingkungan sekitar yang hidup di bawah garis kemiskinan dan tekanan ekonomi yang berat, anak-anak yang tidak terurus sehingga menimbulkan kepedulian terhadap sesama manusia tanpa memandang latar belakang, ras dan agama dengan melakukan pengobatan secara gratis, mengajar membaca anak-anak dan lain-lain tanpa memiliki maksud atau tujuan Kristenisasi kepada masyarakat. Bahwa Judex Facti telah keliru dan salah menerapkan hukum karena dalam situasi dan kondisi di bawah tekanan, ancaman dan intimidasi dari kelompok organisasi massa yang banyak jumlahnya, (suasana tidak kondusif), maka seharusnya dalam memutus perkara tetap menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan serta mempertimbangkan dampak psikologis, traumatis para Pemohon Kasasi pada saat persidangan sehingga putusan memenuhi rasa keadilan bagi semua pihak; Atas alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat, alasanalasan tersebut tidak dapat dibenarkan, karena Judex Facti tidak salah menerapkan hukum. Selanjutnya, berdasarkan pertimbangan di atas, putusan Judex Facti tidak bertentangan dengan hukum dan/atau Undangundang, maka permohonan kasasi tersebut harus ditolak, selanjutnya mengadili dan menyatakan; menolak permohonan kasasi.36 Dengan keputusan itu menguatkan putusan Pengadilan Negeri Indramayu Nomor 181/Pid.B/2005/PN.Im. Dengan kasus hukum tersebut, maka Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, khususnya terkait hak beragama
Penegakan Hukum Atas Hak Beragama Bagi Anak _265
bagi anak telah diperjelas secara kongkrit arah konsepsi pengaturan dan operasionalnya di masyarakat. Dengan peristiwa hukum yang terjadi di Indramayu, kemudian diperiksa di pengadilan tingkat pertama, tingkat banding, bahkan sampai tingkat kasasi, serta telah diajukan uji materiil di Mahkamah Konstitsi, maka menjadi terang, jelas dan kokoh regulasinya. Analisa Permasalahan Kasus Apabila kita melihat konsepsi perlindungan anak, di mana pihak terdakwa, atau orang dewasa yang berkewajiban memberikan perlindungan kepada anak-anak, menyatakan merasa prihatin dan sedih melihat masyarakat lingkungan sekitar yang hidup di bawah garis kemiskinan dan tekanan ekonomi yang berat, anak-anak yang tidak terurus sehingga menimbulkan kepedulian terhadap sesama manusia tanpa memandang latar belakang, ras dan agama dengan melakukan pengobatan secara gratis, mengajar membaca anak-anak dan lain-lain, tanpa memiliki maksud atau tujuan Kristenisasi kepada masyarakat, maka menunjukkan bahwa permasalahannya kurang atau tidak dipahaminya konsep perlindungan anak, khususnya pada aspek; - Kesatu; arti perlindungan anak secara tepat, sehingga sikap dan tindakannya menjadi tidak tepat, demikian pula analisa permasalahannya. Secara teori apabila dimiliki pengertian yang tepat akan dapat membuat kebijaksanaan yang lebih baik dan dapat dilaksankan. - Kedua; pengertian manusia, pengertian keadilan, dan juga hasil interaksi. Kelemahan pemahaman yang diperlukan berdampak tidak tepat memahami obyek dan subyek dalam perlindungan anak, yang sama-sama mempunyai hak dan kewajiban. Seharusnya dalam perlindngan anak akan menciptakan, bahwa kebahagian yang dilindungi adalah kebahagiaan yang melindungi. Ketidakpahaman konsepsi ini menjadikan pelaksanaan perlindungan tidak memberikan kebahagiaan pada satu pihak, atau bahkan pada pihak-pihak lainnya.
266_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013
Peristiwa hukum sebagaimana telah diuraikan, kiranya dapat menjadi tanda bahwa Indonesia telah melaksanakan isi perjanjian internasional itu secara yuridis dan secara politis. Penegakan hukum atas peristiwa hukum tersebut juga membuktikan Indonesia melaksanakan hak-hak yang berhubungan dengan hak anak, yang berarti juga melaksanakan hak asasi manusia. Selanjutnya menjadi tugas warga masyarakat untuk secara berkelanjutan memelihara ketentuan tersebut dengan memberikam pelayanan perlindungan hukum atas hak beragama bagi anak-anak. Diharapkan masyarakat memiliki pemahaman demikian, sehingga semua pihak dapat menjaga norma hukum agar menjadi hidup dan masyarakat memiliki daya mengawasi pelaksanannya. Dari pembahasan di atas, menjadi jelas bahwa anak harus dilindungi, dipelihara dan dijaga dengan sebaik-baiknya, karena dalam diri anak tersebut melekat harkat, martabat, dan hak-hak lain sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, ikut berpartisipasi, serta berhak atas kebebasan bergerak dan berekspresi serta perlindungan dari tindak kekerasan dan perlakuan diskriminatif. Orang tua, keluarga dan masyarakat ikut bertanggung jawab untuk menjaga dan memelihara hak-hak anak sesuai dengan hak dan kewajiban yang dibebankan oleh hukum, demikian pula negara dan pemerintah, utamanya dalam menyediakan fasilitas dan aksesibilitas bagi anak itu sendiri, juga bertanggung jawab dalam menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak secara terarah dan optimal. Perlindungan dan tanggung jawab tersebut secara terus menerus demi terselenggaranya perlindungan anak. Bahwa setiap anak mendapat perlindungan untuk beribadah menurut agamanya, dan sebelum anak dapat menentukan pilihannya, agama yang dipeluk anak mengikuti agama orang tuanya. Kegiatan yang bersifat tipu muslihat atau bentuk sejenis lainnya untuk
Penegakan Hukum Atas Hak Beragama Bagi Anak _267
maksud anak untuk memilih agama lain bukan atas kemauan sendiri, dapat dikategorikan membujuk anak untuk memilih agama bukan atas kemauannya sendiri. Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak dalam Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tertanggal 25 Agustus 1990, dengan demikian dituntut untuk memenuhi hak-hak anak dan mengembangkannya yang berarti memenuhi hak asasi manusia untuk anak. Dan dalam melakukan perlindungan anak, terhadap kebebasan memeluk agama dan beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya, perlu peran aktif dari orang tua dan masyarakat pada umumnya, baik melalui lembaga-lembaga perlindungan anak, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, organisasi sosial, dunia usaha, media massa, lembaga pendidikan formal/informal dan lembaga-lembaga keagamaan. Perlu dipahamkan, prinsip dan operasional di masyarakat bahwa setiap orang bebas memeluk agama yang diyakini dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya masing-masing, dan kemerdekaan beragama bagi setiap penduduk adalah merupakan perwujudan hak asasi yang tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun. Untuk menjamin perlindungan anak, agama yang dipeluk anak sesuai dengan agama orang tuanya. Seseorang yang dengan sengaja membujuk anak untuk memilih agama bukan atas kemauannya sendiri, maka perbuatan tersebut diancam dengan pidana. Ketentuan tersebut, hakekatnya memberikan perlindungan maksimal terhadap anak yang belum dewasa dari tindakan-tindakan pihak lain yang tidak bertanggung jawab. Perlu sosialisasi agar setiap warga masyarakat memahami konsepsi hukum perlindungan anak, dan memiliki kemampuan menilai operasional pelaksanaannya sehingga mengetahui mana perbuatan yang patut diduga sengaja melakukan tipu muslihat, dengan rangkaian kebohongan atau membujuk anak untuk memilih agama lain bukan atas kemauannya sendiri.
268_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013
Penutup a. Kesimpulan 1. Setiap anak mendapat perlindungan untuk beribadah menurut agamanya, anak dapat menentukan agama pilihannya apabila telah berakal, bertanggung jawab serta memenuhi syarat dan tata cara sesuai dengan ketentuan agama yang dipilihnya, sebelum anak dapat menentukan pilihannya, agama yang dipeluk anak mengikuti agama orang tuanya. 2. Kegiatan yang bersifat tipu muslihat atau bentuk sejenis lainnya untuk maksud anak untuk memilih agama lain bukan atas kemauan sendiri, dapat dikategorikan membujuk anak untuk memilih agama bukan atas kemauannya sendiri. b. Saran 1. Dalam rangka perlindungan anak terhadap kebebasan memeluk agama dan beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya, perlu membangun kesadaran peran dari orang tua, masyarakat pada umumnya, baik melalui lembaga-lembaga perlindungan anak, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, lembaga pendidikan formal/informal dan lembaga-lembaga keagamaan. 2. Perlu sosialisasi agar setiap warga masyarakat memahami konsepsi hukum perlindungan anak, dan memiliki kemampuan menilai operasional pelaksanaannya sehingga mengetahui mana perbuatan yang patut diduga sengaja melakukan tipu muslihat untuk memilih agama lain bukan atas kemauannya sendiri, demikian untuk menjamin dan melindungi anak agar nantinya dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal.
Penegakan Hukum Atas Hak Beragama Bagi Anak _269
Daftar Pustaka Al Qur’anul Karim Undang-undang dan Putusan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1974 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Anak; Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1977 Tentang Pengadilan Anak ; Undang Undang Republk Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak; Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia; Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Universal Declaration of Human Rights; Deklarasi Hak-hak Anak, dan Konvensi Hak-Hak Anak disetujui Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 20 November 1989. Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil Dan Politik Ditetapkan oleh Resolusi Majelis Umum 2200 A (XXI) Tertanggal 16 Desember 1966. Putusan Pengadilan: (1) Putusan Pengadilan Negeri Indramayu Nomor : 181/PID.B/2005/PN.IM.; (2) Putusan Pengadilan Tinggi Bandung Reg.No.241/PID/2005/PT.BDG; (3)Putusan Mahkamah Agung Nomor : 2275 K/PID/2005, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 018/PUU-III/2005. Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, latar Belakang, Proses, dan Hasil Perubahan 1999-2002, Buku VIII, Edisi Revisi, tahun 2010. Pokja Pengkajian dan Pengembangan Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Penyusun, Buku Pedoman Pengkajian dan Pengembangan Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Desember 2005.
270_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013
Buku Dellyana, Shanty, ”Wanita dan Anak Di Mata Hukum” Yogyakarta: Liberty, 1998 Cet-I. Gosita, Arif, ”Masalah Perlindungan Anak”, Jakarta, Akademika Pressindo, 1985, Edisi Pertama. Kusumah, Mulyana. W. (Peny.) ”Hukum dan Hak-hak Anak”, Jakarta: CV Rajawali, , 1986, Cet-I. Soefyanto, ”Perlindungan Anak”, Jakarta: Universitas Islam Jakarta, 2008, Cet-I. Suparmin, Mamin, Makna Psikologis Perkembangan Peserta Didik, Sumber Jurnal Ilmiah SPIRIT. ISSN : 1411-8319 Vol. 10. No. 2. Tahun 2010, dari sumber online, ejournal.utp.ac.id, diunduh-5/1/2013. Susilowati, Ima, dkk., Pengertian Konvensi Hak Anak, UNICEF, dicetak ulang oleh Deputi Bidang Pelindungan Anak, Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan, 2007
Penegakan Hukum Atas Hak Beragama Bagi Anak _271
Endnotes 1. Pengertian pelindungan anak tersebut sebagaimana didefinisikan dalam UU Nomor 23 Tahun 2002, Pasal 1 angka 2.
2. Sumber online=
= dari “Bogdan & Biklen, 1982” artikel Tahapan Analisis Data Penelitian Kualitatif, diunduh (8-9-2012)
3. Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, latar Belakang, Proses, dan Hasil Perubahan 1999-2002, Buku VIII, Edisi Revisi, tahun 2010. Kutipan Pidato Ir Soekarno, dikutip sebagaiannya terkait. h. 89
4. Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, latar Belakang, Proses, dan Hasil Perubahan 1999-2002, Buku VIII, Edisi Revisi, tahun 2010. h. 357
5. Ketentuan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945. 6. Ketentuan Pasal 28J ayat (1) dan ayat (2). 7. Pengertian Konvensi Hak Anak, Unicef, dicetak ulang oleh Deputi Bidang Pelindungan Anak, Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan, tahun 2007, H. 2.
8. Ima Susilowati, dkk., Penyusun, Pengertian Konvensi Hak Anak, Unicef, dicetak ulang oleh Deputi Bidang Pelindungan Anak, Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan, tahun 2007, H. 5
9. Dalam Penjelasan pasal dijelaskan, asas perlindungan anak di sini sesuai dengan prinsip‑prinsip pokok yang terkandung dalam Konvensi Hak‑Hak Anak. Yang dimaksud dengan asas kepentingan yang terbaik bagi anak adalah bahwa dalam semua tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, badan legislatif, dan badan yudikatif, maka kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama.
10. Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil Dan Politik Ditetapkan oleh Resolusi Majelis Umum 2200 A (XXI) Tertanggal 16 Desember 1966, Pasal 18 angka 4.
11. Hak dan Kewajiban Anak secara rinci disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak , Bab III, Pasal 4 sampai dengan Pasal 18.
12. Sejumlah hak-hak anak lainnya yang dirumuskan dalam undang-undang
dapat diloihat pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
272_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013
13. Demikian dijelaskan dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
14. Arif Gosita, ”Masalah Perlindungan Anak”, Jakarta, Penerbit Akademika Presindo, th 1985, Edisi Pertama, h. 11
15. Aruf Gosita, ”Masalah Perlindungan Anak”, h. 11-18, demikian pula, Shanty
Dellyana, Wanita dan Anak Di mata Hukum, Libarty, Yogyakarta, 1988, Hkm 14-17, juga Soefyanto, dalam “Perlindungan Anak”, Jakarta, Penerbit Universitas Islam, 2008. Cet. I, h. 26 – 27.
16. Demikian Anik Fidiyanti mengutip pendapat Drs. Soetomo, dalam artikel, Pengertian Interaksi, sumber, http://id.shvoong.com, diunduh-5/1/2013.
17. Haryanto, “Pengertian Interaksi Sosial”, Sumber, http://belajarpsikologi.com, diunduh- 5/1/2013.
18. Haryanto, “Pengertian Interaksi Sosial”, Sumber, http://belajarpsikologi.com, diunduh- 5/1/2013.
19. Diolah dari Pengertian Interaksi Sosia,menurut Herbert Blumer, se-
bagaimana dikutip dari sumber blog.umy.ac.id, diunduh- 5/1/2013. Interelasi berasal dari bahasa Inggris “interrelation” yang berarti ”mutual relation” atau saling berhubungan satu sama lainnya Lihat. AS. Hornby, Oxford Edvanced Dictionary English (London: Oxford University Press, 2000), h. 447.
20. fenomena dari bahasa Yunani phainomenon, “apa yang
terlihat”,dalam bahasa indonesia bisa berarti gejala, misalkan gejala alam, hal-hal yang dirasakan dengan pancaindra.Sumber http:// id.wikipedia.org, diuduh 5/1/2013.
21. Mamin Suparmin, “Makna Psikologis Perkembangan Peserta Didik”, Jurnal Ilmiah SPIRIT. Vol. 10. No. 2. Tahun 2010, dan online, ejournal. utp.ac.id, diunduh-5/1/2013.
22. Mamin Suparmin, “Makna Psikologis Perkembangan Peserta Didik”…. Terjemah bebas; Pembangunan adalah patterrn perubahan yang dimulai pada saat pembuahan dan berlanjut melalui rentang hidup. Pengembangan yang paling melibatkan pertumbuhan, walaupun itu termasuk kerusakan (seperti dalam kematian dan clying). Pola gerakan kompleks karena merupakan produk dari beberapa prosesbiologis, kognitif, dan sosioemosional. “
23. Kematangan dalam bahasa Inggris disebut dengan maturation, sering dilawankan dengan immaturation yang artinya tidak matang.
Penegakan Hukum Atas Hak Beragama Bagi Anak _273
24. Pengertian pelindungan khusus tersebut sebagaimana didefinisikan dalam UU Nomor 23 Tahun 2002, Pasal 1 angka 15.
25. Gunawan Sumodiningrat, Ibnu Purna, (Penyunting), “Landasan Hu-
kum dan Rencana Aksi Nasional HAM”. Dari Deputi Sekretaris Wakil Presiden, Bidang Kewilayahan, Kebangsaan dan Kemanusiaan, tahun 2008, h. 13
26. Di simpulkan dari data dalam Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor Nomor 018/PUU-III/2005
27. Lihat Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor Nomor 018/PUUIII/2005Malik, “Telaah makna Hukum Putusan MK yang Final dan Mengikat”, Jurnal Konstitusi, Jakarta, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2009, Volume 6 Nomor 1 h. 82.
28. Perkara pidana Nomor 181/Pid.B/2005/PN.Indramayu, dengan terdakwa I EP., terdakwa II. RMB, dan terdakwa III. RLZ.,
29. Perkara pidana Nomor 181/Pid.B/2005/PN.Indramayu, dengan terdakwa I EP., terdakwa II. RMB, dan terdakwa III. RLZ.,
30. Disarikan dari Bunyi putusan perkara pidana Nomor 181/Pid.B/2005/ PN.Indramayu.
31. Disarikan dari Putusan Pengadilan Tingkat Banding, Pengadi-
lan Tinggi Bandung dalam register perkara Nomor 241/Pid/2005/ PT.Bandung
32. Lihat Putusan banding perkara Nomor 241/Pid/2005/PT.Bdg pada Pengadilan Tinggi Bandung.
33. Lihat Putusan banding perkara Nomor 241/Pid/2005/PT.Bdg pada Pengadilan Tinggi Bandung.
34. Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 2275 K/Pid/2005
Keeping Family Integrity: Understanding is the Key to Happiness Mempertahankan Keutuhan Keluarga: Saling Pengertian adalah Kunci Kebahagiaan
Abdul Azis Majelis Taklim Raudlatul Ummah, Dukuh Seti, Kab. Pati. email : [email protected]
Abstract : Marriage is a sacred bond that should be kept with mutual understanding among couple and solve the problems in family life. Make sure that every problems must be solved without sacrificing other. Trowaway individual egoism and solve the problems for the happiness together. Abstraksi : Pernikahan adalah ikatan suci yang harus dijaga dengan penuh saling pengertian sesama pasangannya dan selesaikan permasalahan yang telah terjadi demi keutuhan keluarga. Yakinlah semua masalah pasti ada petunjuk dan jalan keluarnya tanpa harus mengorbankan orang lain. Lupakan egoisme masing-masing dan lakukan langkah demi langkah menyelesaikan persoalan demi kebahagian bersama. Keywords : Marriage, People, Happiness.
Mempertahankan Keutuhan Keluarga _275
A. Pendahuluan Indonesia adalah negara berpenduduk muslim terbanyak di dunia yang berbhineka tunggal ika dengan artian beragam kelompok dan golongan islam dan tetap satu kata yaitu muslim. Pernikahan umat muslim yang terjadi setiap tahunnya terus meningkat, semisal tahun 2012 kurang lebih 2.000.000 terjadi pernikahan yang tecatat di kantor urusan agama seluruh Indonesia. Demikian pula angka perceraian yang terus meningkat dengan asumsi peningkatan 8-10% setiap tahunnya hampir sebanding kenaikan jumlah pernikahan dan jumlah penduduk di Indonesia. Sedangkan pada tahun 2009 perceraian mencapai 250.000. Tampak terjadi kenaikan dibanding tahun 2008 yang berada dalam kisaran 180.000, tahun 2007 sekitar 157.771, tahun 2005 dan 2006 sekitar 145.000. Menurut data Ditjen Badilag MA (direktorat jenderal badan peradilan agama mahkamah agung) 2010, jumlah perkara peceraian secara nasional pada 2010 mencapai 314.354 tingkat pertama. Dengan Bidang perkara yang berakhir cerai mencapai 284.379 dengan jumlah tersebut cerai gugat mendominasi mencapai 190.280 Angka tersebut lebih menonjol dibanding cerai talak yang mencapai 94.009. Kasus tersebut dibagi menjadi beberapa aspek yang menjadi pemicu munculnya perceraian. Misalnya, ada 10.029 kasus perceraian yang dipicu masalah cemburu. Kemudian, ada 67.891 kasus perceraian dipicu masalah ekonomi. Sedangkan perceraian karena masalah ketidakharmonisan dalam rumah tangga mencapai 91.841 perkara. Pemicu masalah politik tercatat ada 334 kasus perkara. Berdasarkan temuan Mark Cammack, guru besar dari Southwestern School of Law-Los Angeles, USA. pada tahun 1950-an angka perceraian di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, tergolong yang paling tinggi di dunia. Pada dekade itu, dari 100 perkawinan, 50 di antaranya berakhir dengan perceraian. Tetapi pada tahun 1970-an hingga 1990-an, tingkat perceraian di Indonesia dan negara-negara lain di Asia Tenggara
276_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013
menurun drastis, padahal di belahan dunia lainnya justru meningkat. Angka perceraian di Indonesia meningkat kembali sejak tahun 2001, bahkan melonjak secara signifikan sejak tahun 2007. Sementara, perbandingan cerai gugat dan cerai talak relative tetap. Jumlah cerai gugat dalam beberapa tahun terakhir ini rata-rata 1,7 kali jumlah cerai talak. Atau sekitar 65 % berbanding 35%.1
B. Pelestarian Ikatan Suci Pernikahan Sejak tahun 1974 telah di undangkan suatu undang-undang tentang perkawinan yang dikenal dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Materi undang-undang tersebut merupakan kumpulan tentang hukum munakahat yang terkandung di dalam alQuran, Sunnah Rasulullah, dan kitab-kitab fiqih klasik kontemporer, yang telah berhasil diangkat oleh sistem hukum nasional Indonesia dari hukum normatif menjadi hukum tertulis dan hukum positif yang mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa kepada seluruh rakyat Indonesia, termasuk umat muslim Indonesia.2 Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun Tahun 1974 Tentang Perkawinan secara jelas menyebutkan bahwasanya perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.3 Tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa serta dapat melanjutkan generasi dan memperoleh keturunan. Akan tetapi dalam kenyataannya tidak sedikit perkawinan yang putus karena terjadinya perceraian. Pasangan suami isteri kadang harus menghadapi masalah di dalam kehidupan rumah tangga mereka, besar kecilnya persoalan yang dihadapi tergantung dari pandangan dan cara mereka menyelesaikan persoalan tersebut, tidak sedikit dari pasangan suami isteri merasa bahwa perkawinan mereka sudah tidak dapat dipertahankan lagi dan kemudian mereka
Mempertahankan Keutuhan Keluarga _277
memutuskan untuk mengakhiri masalah rumah tangga mereka dengan jalan perceraian, tanpa melalui sidang pengadilan, maka secara hukum perceraian tersebut dianggap tidak sah. Maka oleh itu setiap perkawinan yang sah dan telah tercatat hanya dapat diakhiri dengan perceraian yang harus dilakukan di depan sidang pengadilan. Menurut M. Yahya Harahap asas-asas yang dipandang cukup prinsip dalam Undang-Undang Perkawinan adalah: 1. Menampung segala kenyataan-kenyataan yang hidup dalam masyarakat bangsa Indonesia dewasa ini. Undang-undang Perkawinan menampung di dalamnya segala unsur-unsur ketentuan hukum agama dan kepercayaan masing-masing. 2. Sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman. Maksud dari perkembangan zaman adalah terpenuhinya aspirasi wanita yang menuntut adanya emansipasi, disamping perkembangan sosial ekonomi, ilmu pengetahuan teknologi yang telah membawa implikasi mobilitas sosial di segala lapangan hidup dan pemikiran. 3. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga bahagia yang kekal. Tujuan tersebut dapat dielaborasi menjadi tiga. Pertama, suami-isteri saling bantu membantu serta saling lengkap melengkapi. Kedua, suami-isteri harus saling membantu mengembangkan kepribadiannya masing-masing. Ketiga, tujuan terakhir yang ingin dikejar oleh keluarga bangsa Indonesia ialah keluarga bahagia yang sejahtera spiritual dan material. 4. Kesadaran akan hukum agama dan keyakinan masing-masing warga negara bangsa Indonesia yaitu perkawinan harus dilakukan berdasarkan hukum agama dan kepercayaan masing-masing serta harus memenuhi administratif pemerintahan dalam bentuk pencatatan (akta nikah). 5. Undang-undang perkawinan menganut azas monogami akan tetapi tetap terbuka peluang untuk melakukan poligami selama hukum
278_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013
agamanya mengizinkannya. 6. Hukum perkawinan dan pembentukan keluarga dilakukan oleh pribadi-pribadi yang telah matang jiwa dan raganya. 7. Kedudukan suami isteri dalam kehidupan keluarga adalah seimbang, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat.4 Untuk meningkatkan kualitas perkawinan menurut ajaran Islam diperlukan bimbingan dan penasihatan perkawinan secara terusmenerus dan konsisten agar dapat mewujudkan rumah tangga/keluarga yang sakinah mawaddah warahmah. Pemerintah pada tanggal 3 Januari 1960 membentuk Badan Penasihatan, Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) dan dikukuhkan oleh Keputusan Menteri Agama Nomor 85 tahun 1961 sebagai satu-satunya badan yang berusaha dibidang penasihatan perkawinan dan pengurangan perceraian. Fungsi dan tugas BP4 tetap konsisten melaksanakan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Perundang lainnya tentang Perkawinan, oleh karenanya fungsi dan peranan BP4 sangat diperlukan masyarakat dalam mewujudkan kualitas perkawinan.5 BP4 mempunyai upaya dan usaha sebagai berikut: 1. Memberikan bimbingan, penasihatan dan penerangan mengenai nikah, talak, cerai, rujuk kepada masyarakat baik perorangan maupun kelompok 2. Memberikan bimbingan tentang peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan keluarga 3. Memberikan bantuan mediasi kepada para pihak yang berperkara di pengadilan agama 4. Memberikan bantuan advokasi dalam mengatasi masalah perkawinan, keluarga dan perselisihan rumah tangga di peradilan agama
Mempertahankan Keutuhan Keluarga _279
5. Menurunkan terjadinya perselisihan serta perceraian, poligami yang tidak bertanggung jawab, pernikahan di bawah umur dan pernikahan tidak tercatat 6. Bekerjasama dengan instansi, lembaga dan organisasi yang memiliki kesamaan tujuan baik di dalam maupun di luar negeri 7. Menerbitkan dan menyebarluaskan majalah perkawinan dan keluarga, buku, brosur dan media elektronik yang dianggap perlu 8. Menyelenggarakan kursus calon/pengantin, penataran/pelatihan, diskusi, seminar dan kegiatan-kegiatan sejenis, yang berkaitan dengan perkawinan dan keluarga 9. Menyelenggarakan pendidikan keluarga untuk peningkatkan penghayatan dan pengamalan nilai-nilai keimanan, ketaqwaan dan akhlaqul karimah dalam rangka membina keluarga sakinah 10. Berperan aktif dalam kegiatan lintas sektoral yang bertujuan membina keluarga sakinah 11. Meningkatkan upaya pemberdayaan ekonomi keluarga 12. Upaya dan usaha lain yang dipandang bermanfaat untuk kepentingan organisasi serta bagi kebahagiaan dan kesejahteraan keluarga.6
C. Perceraian Bukan Solusi Masalah Rumah Tangga Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UndangUndang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 16 dikatakan bahwa pengadilan hanya memutuskan untuk mengadakan sidang pengadilan untuk menyaksikan perceraian apabila memang terdapat alasan-alasan seperti yang dimaksud dalam Pasal 19 peraturan pemerintah tersebut dan pengadilan berpendapat bahwa antara suami isteri yang bersangkutan tidak mungkin lagi didamaikan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Alasan-alasan cerai yang disebutkan dalam Undang-Undang Nomor
280_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang pertama adalah apabila salah satu pihak berbuat yang tidak sesuai dengan syariat seperti berbuat zina, mabuk, berjudi, kemudian salah satu pihak meninggalkann pihak yang lain selama dua tahun berturut-turut. Apabila suami sudah meminta izin untuk pergi, namun tetap tidak ada kabar dalam jangka waktu yang lama, maka istri tetap dapat mengajukan permohonan cerai melalui putusan verstek. Selain itu, alasan cerai lainnya adalah apabila salah satu pihak tidak dapat menjalankan kewajibannya, misalnya karena frigid atau impoten. Alasan lain adalah apabila salah satu pihak (biasanya suami) melakukan kekejaman. Kompilasi Hukum Islam (KHI) menambahkan satu alasan lagi, yaitu apabila salah satu pihak meninggalkan agama atau murtad. Dalam hal salah satu pihak murtad, maka perkawinan tersebut tidak langsung putus. Perceraian merupakan delik aduan, sehingga apabila salah satu pasangan tidak keberatan apabila pasangannya murtad, maka perkawinan tersebut dapat terus berlanjut. Pengadilan Agama hanya dapat memproses perceraian apabila salah satu pihak mengajukan permohonan ataupun gugatan cerai. Perceraian dianggap telah terjadi, beserta segala akibat-akibat hukumnya sejak saat pendaftaran pada kantor pencatat perceraian di Pengadilan Negeri, kecuali bagi mereka yang beragama Islam terhitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.7 Didasarkan Pasal 39 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, ditegaskan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan. Hal ini merupakan salah satu cara untuk mempersulit terjadinya perceraian sesuai dengan prinsip hukum Perkawinan Nasional. Hal ini dinyatakan pula oleh Hilman Hadikusuma yang berpendapat bahwa : “Salah satu prinsip dalam hukum Perkawinan Nasional ialah mempersulit terjadinya perceraian (cerai hidup), karena perceraian berarti gagalnya tujuan perkawinan
Mempertahankan Keutuhan Keluarga _281
untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera, akibat perbuatan manusia. Lain halnya dengan terjadinya putus perkawinan karena kematian yang merupakan takdir dari Tuhan Yang Maha Esa yang tidak dapat dielakkan oleh manusia”.8 Berdasarkan pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dalam Penjelasan Pasal 39 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, bahwa alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian adalah sebagai berikut: a) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan b) Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan-alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemauannya c) Salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlansung d) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak lain e) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami isteri f) Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan/ pertengkaran dan tidak ada harapan akan rukun lagi dalam rumah tangga. Selain alasan-alasan tersebut, di dalam Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam juga diatur dua alasan perceraian yang tidak diatur dalam UU Perkawinan/PP Perkawinan yaitu: a) Suami melanggar taklik talak b) Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya
282_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013
ketidakrukunan dalam rumah tangga.
Yurisprudensi atau Putusan Hakim yang dapat menjadi dasar hukum dalam pengambilan putusan perceraian adalah Putusan No. 164/Pdt.G/2012/PA.Clg
c) Belum juga mempunyai anak yang berdampak pada tidak harmonisnya rumah tangga dan terjadi pisah ranjang atau pisah rumah. Sebagaimana pada perkara perceraian dalam Putusan No. 164/ Pdt.G/2012/PA.Clg. Dalam putusannya, si suami (Pemohon) menjatuhkan talak satu raj’i kepada isterinya (Termohon) di depan sidang Pengadilan Agama Cilegon karena mereka tidak juga mempunyai anak sejak menikah pada tanggal 29 Juli 2005. Dikatakan bahwa rumah tangga Pemohon dan Termohon pada awalnya rukun dan harmonis, namun sejak setahun terakhir tidak rukun lagi, sering terjadi perselisihan. Penyebabnya adalah karena sudah sekian tahun mereka menikah dan upaya pengobatan pun telah ditempuh berbagai cara, namun belum juga dikaruniai anak, sedangkan Pemohon sangat menginginkan anak/keturunan. Dikatakan juga bahwa rumah tangga Pemohon dan Termohon sudah sulit untuk dirukunkan kembali. Pertimbangan Majelis Hakim mengacu pada ketentuan penjelasan Pasal 39 ayat (2) huruf f Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan Jo. Pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 jo. Pasal 116 huruf f Kompilasi Hukum Islam, disebutkan bahwa suatu permohonan perceraian dipandang beralasan hukum dan tidak melawan hak apabila didasarkan pada alasan antara lain bahwa suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.9
D. Memperkecil Angka Perceraian Pada dasarnya suami isteri harus bergaul dengan sebaik-baiknya, saling mencintai dan menyayangi, harus bersabar apabila melihat sesuatu
Mempertahankan Keutuhan Keluarga _283
yang kurang berkenan atau disenangi pada pasangannya, sebagaimana dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 19:
ِ ِ ﻮﻫ ﱠﻦ ﻓَـ َﻌ َﺴﻰ أَ ْن ﺗَ ْﻜَﺮُﻫﻮا ُ وﻫ ﱠﻦ ﺑِﺎﻟْ َﻤ ْﻌُﺮوف ﻓَِﺈ ْن َﻛ ِﺮْﻫﺘُ ُﻤ ُ َو َﻋﺎﺷُﺮ... َﺷْﻴﺌًﺎ َوَْﳚ َﻌ َﻞ اﻟﻠﱠﻪُ ﻓِ ِﻴﻪ َﺧْﻴـًﺮا َﻛﺜِ ًﲑا
Artinya:
“... dan bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak”
ِ اﻟﻼِﰐ َﲣﺎﻓُﻮ َن ﻧُﺸﻮزﻫ ﱠﻦ ﻓَﻌِﻈُﻮﻫ ﱠﻦ واﻫﺠﺮوﻫ ﱠﻦ ِﰲ اﻟْﻤﻀ ﻊ ﺎﺟ ِ َ َو ﱠ َُ ُ ُ ُ ْ َperintah ُ dan ُlarangan َ mengandung Ayat di َatas demi untuk kebaikan ِﺳﺒِ ًﻴﻼ إyaitu ِﻬ ﱠﻦperintah َﻛﺎ َنsuami ﱠن اﻟﻠﱠﻪisteri, ﺗَـْﺒـﻐُﻮا َﻋﻠَْﻴuntuk ُﻜ ْﻢ ﻓَ َﻼbergaul ْن أَﻃَ ْﻌﻨdengan ﻮﻫ ﱠﻦ ﻓَِﺈ ِﺮﺑisteri اﺿ ْ َو َ ُ َ ُ َ secara baik menurut yang ditetapkan oleh kebiasaan yang tumbuh dari kemanusiaan yang terhormat. Kebalikannya ayat juga mengandung (٣٤ini:اﻟﻨﺴﺂء ) َﻋﻠِﻴًّﺎ َﻛﺒِ ًﲑا larangan menyusahkan isteri dan berlaku kasar kepadanya.
ِِ ِﺖ ِﻣﻦ ﺑـ ْﻌﻠِ َﻬﺎ ﻧُ ُﺸ ًﻮزا أَو إ ﺎح ﻨ ﺟ ﻼ ﻓ ﺎ اﺿ ﺮ ﻋ َ َ َ ْ ً َ ْ ْ ََوإن ْاﻣَﺮأَةٌ َﺧﺎﻓ َ ُ َ ْ ِﺼﻠdini ِ ﻀﺮ ِ ُﺣidentifikasi ِ 1. Melakukan kondisi rumah tangga sejak ت أ و ﺮ ـ ﻴ ﺧ ﺢ ﻠ ﺼ اﻟ و ﺎ ﺤ ﻠ ﺻ ﺎ ﻤ ﻬ ـ ﻨ ـ ﻴ ـ ﺑ ﺎ ﺤ ْ ْ ﱡ َ َ ْ ْ ْ ُ ُ ً َ َ َ ْ َُﻋﻠَْﻴﻬ َﻤﺎ أَ ْن ﻳ َ َ ٌ ُ َ Identifikasi rumah tangga perlu dilakukan secara serius sejak dini َﻤﻠُﻮ َنsebagai ِﲟَﺎ ﺗَـ ْﻌberikut: ﺲ اﻟ ﱡﺸ ﱠﺢ َوإِ ْن ُْﲢ ِﺴﻨُﻮا َوﺗَـﺘﱠـ ُﻘﻮا ﻓَِﺈ ﱠن اﻟﻠﱠﻪَ َﻛﺎ َن atas hal-hal ُ ْاﻷَﻧْـ ُﻔ a) Jarang terlihat mesra, baik dari bahasa lisan (ataupun bahasa) tubuh. ١٢٨:اﻟﻨﺴﺂء َﺧﺒِ ًﲑا
Al-Qur›an mengantisipasi kemungkinan terjadinya perceraian dan menempatkan perceraian itu sebagai alternatif terakhir yang tidak mungkin dihindarkan. Ada beberapa upaya untuk antisipasi terhadap kemelut antara suami isteri yang bisa mengarah kepada perceraian:
Hubungan yang tak sehat akan terlihat dari komunikasi pasangan yang tidak menimbulkan kenyamanan, sikap yang tidak menghargai, ataupun sering terlihat pandangan mata yang tidak memancarkan sikap senang.
ﺎق ﺑَـْﻴﻨِ ِﻬ َﻤﺎ ﻓَﺎﺑْـ َﻌﺜُﻮا َﺣ َﻜ ًﻤﺎ ِﻣ ْﻦ أ َْﻫﻠِ ِﻪ َو َﺣ َﻜ ًﻤﺎ ِﻣ ْﻦ َ َوإِ ْن ِﺧ ْﻔﺘُ ْﻢ ِﺷ َﻘ b) Melakukan segala sesuatu sendiri-sendiri. Kebersamaan yang kurang َﻛﺎ َنmembuat , ﺑـَْﻴـﻨَـ ُﻬ َﻤﺎpasangan َﻼ ًﺣﺎ ﻳـُ َﻮkering ﺻ ﻳُِﺮkehilangan أ َْﻫﻠِ َﻬﺎ إِ ْن َdan ْ ِﻳﺪا إ َإِ ﱠن اﻟﻠﱠﻪhubungan ُﻓﱢ ِﻖ اﻟﻠﱠﻪmenjadi akan ِﻋﻠ (٣٥:ﻴﻤﺎ َﺧﺒِ ًﲑا )اﻟﻨﺴﺂء ً َ
284_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013
‘ruhnya’. c) Selalu melibatkan orangtua dalam banyak masalah. Sikap seperti ini bukan saja menunjukkan ketidaksiapan menjalani masalah rumah tangga, tapi biasanya malah akan menimbulkan masalah baru bagi pasutri. d) Selalu menghitung untung-rugi. Suami yang sudah bekerja di luar merasa rugi jika harus mengurusi urusan rumah tangga, begitu pula sebaliknya. Atau merasa rugi minta maaf lebih dulu karena merasa tidak bersalah. e) Tidak konstruktif ketika berselisih. Tak mampu mengontrol ketidaksetujuan dengan menetapkan aturan-aturan yang baku, seperti dengan kepala dingin, sama-sama mencari alternatif solusi. Sebaliknya, malah sering mengumbar ejekan ketika marah atau menghina dan mengkritik dengan sinis.10 2. Memperhitungkan kerugian yang harus ditanggung setiap anggota keluarga harus memperhitungkan kerugian yang harus ditanggung ketika keputusannya adalah bercerai dapat digambarkan seperti: a) Anak menjadi korban Anak merupakan korban yang paling terluka ketika orang tuanya memutuskan untuk bercerai. Anak dapat merasa ketakutan karena kehilangan sosok ayah atau ibu mereka, takut kehilangan kasih sayang orang tua yang kini tidak tinggal serumah. Mungkin juga mereka merasa bersalah dan menganggap diri mereka sebagai penyebabnya. Prestasi anak di sekolah akan menurun atau mereka jadi lebih sering untuk menyendiri. Anak-anak yang sedikit lebih besar bisa pula merasa terjepit di antara ayah dan ibu mereka. Salah satu atau kedua orang tua yang telah berpisah mungkin menaruh curiga bahwa mantan pasangan
Mempertahankan Keutuhan Keluarga _285
hidupnya tersebut mempengaruhi sang anak agar membencinya, yang membuat anak menjadi serba salah, sehingga mereka tidak terbuka termasuk dalam masalah-masalah besar yang dihadapi ketika mereka remaja. Sebagai pelarian, anak-anak bisa terlibat dalam pergaulan yang buruk, narkoba, atau hal negatif lain yang bisa merugikan. b) Dampak untuk orang tua Orang tua dari pasangan yang bercerai juga mungkin terkena imbas dari keputusan untuk bercerai. Sebagai orang tua, mereka dapat saja merasa takut anak mereka yang bercerai akan menderita karena perceraian ini atau merasa risih dengan pergunjingan orang-orang. Beberapa orang tua dari pasangan yang bercerai akhirnya harus membantu membesarkan cucu mereka karena ketidaksanggupan dari pasangan yang bercerai untuk memenuhi kebutuhan anakanaknya. c) Bencana keuangan Jika sebelum bercerai, suami sebagai pencari nafkah maka setelah bercerai Anda tidak akan memiliki pendapatan sama sekali apalagi jika mantan pasangan Anda tidak memberikan tunjangan. Atau jika pemasukan berasal dari Anda dan pasangan, sekarang setelah bercerai, pemasukan uang Anda berkurang. Jika Anda mendapat hak asuh atas anak, berarti Anda juga bertanggung jawab untuk menanggung biaya hidup dari anak Anda. Yang perlu diingat, setelah bercerai, umumnya banyak keluarga mengalami penurunan standar kehidupan hingga lebih dari 50 persen. d) Masalah pengasuhan anak Setelah bercerai, berarti kini Anda harus menjalankan peranan ganda sebagai ayah dan juga sebagai ibu. Ini bukanlah hal yang mudah karena ada banyak hal lain yang harus Anda pikirkan
286_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013
seorang diri. Terlebih, jika anak sudah memasuki masa remaja yang penuh tantangan, Anda harus dengan masuk akal menjaga atau memberikan disiplin kepada anak agar dapat tumbuh menjadi anak yang baik. Masalah lain dalam hal pengasuhan anak adalah ketika harus berbagi hak asuh anak dengan pasangan karena bisa jadi Anda masih merasa sakit hati dengan perlakuan mantan Anda sehingga sulit untuk bersikap adil. Hal-hal yang harus dibicarakan seperti pendidikan atau disiplin anak mungkin dapat menyebabkan pertengkaran karena tidak sepaham dan rasa sakit hati dapat membuat hal ini semakin buruk. e) Gangguan emosi Adalah hal yang wajar jika setelah bercerai Anda masih menyimpan perasan cinta terhadap mantan pasangan Anda. Harapan Anda untuk hidup sampai tua bersama pasangan menjadi kandas, ini dapat menyebabkan perasaan kecewa yang sangat besar yang menyakitkan. Mungkin juga Anda ketakutan jika tidak ada orang yang akan mencintai Anda lagi atau perasaan takut ditinggalkan lagi di kemudian hari. Perasaan lain yang mungkin dialami adalah perasaan terhina atau perasaan marah dan kesal akibat sikap buruk pasangan. Anda juga mungkin merasa kesepian karena sudah tidak ada lagi tempat Anda berbagi cerita, tempat Anda mencurahkan dan mendapatkan bentuk kasih saying. Serangkaian problem kesehatan juga bisa disebabkan akibat depresi karena bercerai. f) Bahaya masa remaja kedua Pasangan yang baru bercerai sering mengalami masa remaja kedua. Mereka mencicipi kemerdekaan baru dengan memburu serangkaian hubungan asmara dengan tujuan untuk menaikkan harga diri yang jatuh atau untuk mengusir kesepian. Hal ini bisa menimbulkan problem baru yang lebih buruk dan tragis karena
Mempertahankan Keutuhan Keluarga _287
tidak mempertimbangkan baik-baik langkah yang dilakukan.11 3. Penyelesaian Nusyuz dari pihak Isteri
ِ ِ ﻮﻫ ﱠﻦ ﻓَـ َﻌ َﺴﻰ أَ ْن ﺗَ ْﻜَﺮُﻫﻮا ُ وﻫ ﱠﻦ ﺑِﺎﻟْ َﻤ ْﻌُﺮوف ﻓَِﺈ ْن َﻛ ِﺮْﻫﺘُ ُﻤ ُ َو َﻋﺎﺷُﺮ... َﺷْﻴﺌًﺎ َوَْﳚ َﻌ َﻞ اﻟﻠﱠﻪُ ﻓِ ِﻴﻪ َﺧْﻴـًﺮا َﻛﺜِ ًﲑا
Isteri yang disebut nusyuz adalah isteri yang berusaha keluar dari kewajibannya sebagai isteri, berusaha meninggalkan suami sebagai pucuk pimpinan rumah tangga, menuruti kemauannya sendiri, dan menghendaki agar kehidupan rumah tangga menjadi berantakan. Al-Qur’an memberi petunjuk cara menormalisir keadaannya, sebagaimana diajarkan dalam surat an-Nisa’ ayat 34:
ِ اﻟﻼِﰐ َﲣﺎﻓُﻮ َن ﻧُﺸﻮزﻫ ﱠﻦ ﻓَﻌِﻈُﻮﻫ ﱠﻦ واﻫﺠﺮوﻫ ﱠﻦ ِﰲ اﻟْﻤﻀ ﺎﺟ ِﻊ َ َو ﱠ َ َ ُ ُُ ْ َ ُ َُ ُ ﻮﻫ ﱠﻦ ﻓَِﺈ ْن أَﻃَ ْﻌﻨَ ُﻜ ْﻢ ﻓَ َﻼ ﺗَـْﺒـﻐُﻮا َﻋﻠَْﻴ ِﻬ ﱠﻦ َﺳﺒِ ًﻴﻼ إِ ﱠن اﻟﻠﱠﻪَ َﻛﺎ َن ْ َو ُ ُاﺿ ِﺮﺑ (٣٤:َﻋﻠِﻴًّﺎ َﻛﺒِ ًﲑا )اﻟﻨﺴﺂء
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain ِﺖ ِﻣﻦ ﺑـﻌﻠsebagian (wanita), dan karena merekaِ(laki-laki) telah menafkahkan dari harta ِ ِوإ َ ﺎح ﻨ ﺟ ﻼ ﻓ ﺎ اﺿ ﺮ ﻋ إ َو أ ا ﻮز ﺸ ﻧ ﺎ ﻬ ﻓ ﺎ ﺧ ة أ ﺮ اﻣ ن َ ٌ َ َ ُ َ ُ ْ ً ً ْ ْ َ ْ َ ْ ُ ْ َ َ َ yang saleh, ialah yang taat kepada Allah َ lagiَ mereka. sebab itu Maka wanita ِ ﺮdiri ِ ُﺣketika memelihara tidak olehﻤﺎ karena telah ََﻋﻠَْﻴ ِﻬ َﻤﺎ أ ت ﻀ ْﻴـٌﺮ َوأsuaminya ﺼ ْﻠ ُﺢ َﺧ ﺎ َواﻟada, ﺻ ْﻠ ًﺤ ﺑـَْﻴـﻨَـ ُﻬAllah ﺼﻠِ َﺤﺎ ْن ﻳmemelihara ﱡ ْ ْ ُ ُ َ َ (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah ِ وإpukullah mereka dan mereka. ﻠُﻮ َنpisahkanlah ﺎ َن ِﲟَﺎ ﺗَـ ْﻌ َﻤmereka اﻟﻠﱠﻪَ َﻛdi ﱠنtempat ﺘﱠـ ُﻘﻮا ﻓَِﺈtidur ﻮا َوﺗَـmereka, ْن ُْﲢ ِﺴﻨdan ﺲ اﻟ ﱡﺸ ﱠﺢ ْاﻷَﻧْـ ُﻔ ُ َ ُ kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi Maha )besar” (١٢٨lagi:اﻟﻨﺴﺂء َﺧﺒِ ًﲑا Artinya:
Dari ayat di atas, tindakan yang dapat dilakukan suami terhadap isterinya yang nusyuz, ialah:
ﺎق ﺑَـْﻴﻨِ ِﻬ َﻤﺎ ﻓَﺎﺑْـ َﻌﺜُﻮا َﺣ َﻜ ًﻤﺎ ِﻣ ْﻦ أ َْﻫﻠِ ِﻪ َو َﺣ َﻜ ًﻤﺎ ِﻣ ْﻦ َ َوإِ ْن ِﺧ ْﻔﺘُ ْﻢ ِﺷ َﻘ إِ ﱠن اﻟﻠﱠﻪَ َﻛﺎ َن, ﺻ َﻼ ًﺣﺎ ﻳـُ َﻮﻓﱢ ِﻖ اﻟﻠﱠﻪُ ﺑـَْﻴـﻨَـ ُﻬ َﻤﺎ َ أ َْﻫﻠِ َﻬﺎ إِ ْن ﻳُِﺮ ْ ِﻳﺪا إ ِ (٣٥:ﻴﻤﺎ َﺧﺒِ ًﲑا )اﻟﻨﺴﺂء ً َﻋﻠ
Pertama, bila terlihat tanda-tanda bahwa isteri akan nusyuz, suami harus memberikan peringatan dan pengajaran, nasihat dan petunjuk yang
288_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013
baik. Menjelaskan kepada isterinya bahwa tindakannya itu perbuatan dosa di sisi Allah, salah menurut agama dan menimbulkan risiko ia dapat kehilangan haknya. Apabila dengan pengajaran seperti itu si isteri kembali kepada keadaan semula sebagai isteri yang baik, masalah sudah terselesaikan dan tidak boleh diteruskan kepada tindakan lain. Kedua, apabila dengan cara pertama isteri tidak memperlihatkan perbaikan sikap dan secara nyata nusyuz itu telah terjadi, langkah kedua yang ditempuh suami ialah pisah tempat tidur, isteri dikucilkan dari tempat tidur dalam arti menghentikan hubungan seksual. Hijrah dalam ayat di atas, bisa juga diartikan meninggalkan komunikasi dengan isteri. Apabila dengan cara ini isteri telah kembali taat, persoalan sudah terselesaikan dan tidak boleh diteruskan kepada tindakan lain. Ketiga, jika dengan cara pisah ranjang, isteri belum memperlihatkan adanya perbaikan, ditempuh langkah ketiga, yaitu suami boleh mengambil tindakan pisik/jasmani, suami boleh memukul isterinya dengan pukulan yang tidak menyakiti. Pukulan dalam dalam hal ini dalam bentuk ta›dib atau edukatif, bukan atas dasar kebencian. Perlu diperhatikan, kebolehan suami memukul isteri yang nusyuz bukanlah berarti memberi hak kepada suami untuk memukul isteri yang nusyuz dalam keadaan apapun dan pada tempat manapun, melainkan sematmata bersifat pengajaran dan bertujuan kemaslahatan serta tidak ada jalan selainnya, kesemuanya dilakukan terjauh dari rasa dendam. Dalam hal ini hendaklah dicontoh sikap Rasulullah saw sebagai orang pertama yang melaksanakan al-Qur’an, beliau tidak pernah selama hayatnya memukul isterinya. Dibolehkan suami memukul isterinya yang nusyuz adalah jika memang cara itu satu-satunya jalan mendidik isterinya dan mengembalikannya kepada ketaatan, karena pada sebagian wanita ada yang hanya dapat diperbaiki nusyuznya dengan cara ini. 4. Penyelesaian Nusyuz dari pihak Suami Suami nusyuz mengandung arti pendurhakaan suami kepada Allah
َُ َ ْ
َ َ َ َ َ ُ ُ ﱠ َ ْ ُ َ ْ َ ُْ ُ ُ ﱠ َﺷْﻴﺌًﺎ َوَْﳚ َﻌ َﻞ اﻟﻠﱠﻪُ ﻓِ ِﻴﻪ َﺧْﻴـًﺮا َﻛﺜِ ًﲑا Mempertahankan Keutuhan Keluarga _289
karena meninggalkan kewajibannya kepada isteri. Nusyuz suami terjadi bila ia tidak melaksanakan kewajiban kepada isterinya, baik meninggalkan kewajiban yang bersifat materi, seperti memberi nafkah atau meninggalkan kewajibannya yang bersifat non materi yaitu tidak menggauli isterinya secara mu’asyarah bil ma’ruf. Yaitu segala sesuatu yang dapat dikategorikan menggauli isteri dengan cara buruk, seperti suami bersikap keras dan kasar kepada isteri, tidak mau menggauli (badaniyah) isterinya dalam waktu tertentu, dan tindakan lain yang bertentangan dengan asas pergaulan baik.
ِ اﻟﻼِﰐ َﲣﺎﻓُﻮ َن ﻧُﺸﻮزﻫ ﱠﻦ ﻓَﻌِﻈُﻮﻫ ﱠﻦ واﻫﺠﺮوﻫ ﱠﻦ ِﰲ اﻟْﻤﻀ ﺎﺟ ِﻊ َ َو ﱠ َ َ ُ ُُ ْ َ ُ َُ ُ ﻮﻫ ﱠﻦ ﻓَِﺈ ْن أَﻃَ ْﻌﻨَ ُﻜ ْﻢ ﻓَ َﻼ ﺗَـْﺒـﻐُﻮا َﻋﻠَْﻴ ِﻬ ﱠﻦ َﺳﺒِ ًﻴﻼ إِ ﱠن اﻟﻠﱠﻪَ َﻛﺎ َن ْ َو ُ ُاﺿ ِﺮﺑ (٣٤:َﻋﻠِﻴًّﺎ َﻛﺒِ ًﲑا )اﻟﻨﺴﺂء
ِ ِوإ ِﺖ ِﻣﻦ ﺑـ ْﻌﻠِ َﻬﺎ ﻧُ ُﺸ ًﻮزا أَو إ َ ﺎح ﻨ ﺟ ﻼ ﻓ ﺎ اﺿ ﺮ ﻋ ﻓ ﺎ ﺧ ة أ ﺮ اﻣ ن َ ٌ َ َ َ ْ ً ْ َ ْ ْ ُ ْ َ َ َ َ َ ِﻋﻠَﻴ ِﻬﻤﺎ أَ ْن ﻳﺼﻠ ِ ﻀﺮ ِ ﺼ ْﻠﺢ ﺧﻴـﺮ وأُﺣ ت اﻟ و ﺎ ﺤ ﻠ ﺻ ﺎ ﻤ ﻬ ـ ﻨ ـ ﻴ ـ ﺑ ﺎ ﺤ ْ ﱡ َ ُْ َ ْ ْ ْ ُ ُ ً َ َ ٌ ُ َ َ َ َ َْ َ ﺲ اﻟ ﱡﺸ ﱠﺢ َوإِ ْن ُْﲢ ِﺴﻨُﻮا َوﺗَـﺘﱠـ ُﻘﻮا ﻓَِﺈ ﱠن اﻟﻠﱠﻪَ َﻛﺎ َن ِﲟَﺎ ﺗَـ ْﻌ َﻤﻠُﻮ َن ُ ْاﻷَﻧْـ ُﻔ (١٢٨:َﺧﺒِ ًﲑا )اﻟﻨﺴﺂء
Al-Qur’an memberi petunjuk kepada isteri ketika suaminya nusyuz, dijelaskan dalam surat an-Nisa’ ayat 128:
Artinya: “Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, Maka tidak mengapa bagi keduanya Mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan“.
ﺎق ﺑَـْﻴﻨِ ِﻬ َﻤﺎ ﻓَﺎﺑْـ َﻌﺜُﻮا َﺣ َﻜ ًﻤﺎ ِﻣ ْﻦ أ َْﻫﻠِ ِﻪ َو َﺣ َﻜ ًﻤﺎ ِﻣ ْﻦ َ َوإِ ْن ِﺧ ْﻔﺘُ ْﻢ ِﺷ َﻘ إِ ﱠن اﻟﻠﱠﻪَ َﻛﺎ َن, ﺻ َﻼ ًﺣﺎ ﻳـُ َﻮﻓﱢ ِﻖ اﻟﻠﱠﻪُ ﺑـَْﻴـﻨَـ ُﻬ َﻤﺎ َ أ َْﻫﻠِ َﻬﺎ إِ ْن ﻳُِﺮ ْ ِﻳﺪا إ ِ (٣٥:ﻴﻤﺎ َﺧﺒِ ًﲑا )اﻟﻨﺴﺂء ً َﻋﻠ
Banyak cara yang dapat ditempuh isteri, seperti bersikap manis dan simpatik, berhias dan berdandan, bermuka jernih, senyum simpatik, diharapkan mempunyai pengaruh posistif dalam menghilangkan amarah suami, sebagai air conditioning bagi panasnya hati suami. Apabila masih belum berhasil, hendaknya isteri melakukan sulh, yaitu perundingan yang membawa kepada perdamaian, sehingga suami tidak menceraikan
ٍ ﺎك ِﲟﻌﺮ ٍ وف أَو ﺗَﺴ ِﺮﻳﺢ ﺑِِﺈﺣﺴ ِ (٢٢٨:ﺎن )اﻟﺒﻘﺮة ْ َ ٌ ْ ْ ُ َْ ٌ ﻓَﺈ ْﻣ َﺴ
ِ ﺎﺷﺮوﻫ ﱠﻦ ﺑِﺎﻟْﻤﻌﺮ ِ وﻋ... ﻮﻫ ﱠﻦ ﻓَـ َﻌ َﺴﻰ أَ ْن ﺗَ ْﻜَﺮُﻫﻮا وف ﻓَِﺈ ْن َﻛ ِﺮْﻫﺘُ ُﻤ ََ ُ ْ ُ َ ُ ُ 290_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013 َﺷْﻴﺌًﺎ َوَْﳚ َﻌ َﻞ اﻟﻠﱠﻪُ ﻓِ ِﻴﻪ َﺧْﻴـًﺮا َﻛﺜِ ًﲑا
isterinya. Seperti kesediaan isteri untuk dikurangi hak materi dalam bentuk nafkah, atau dikurangi hak nonmateri, seperti isteri bersedia dikurangi giliran malam dan diberikan kepada isteri yang lain (dalam perkawinan poligami).12
ِ اﻟﻼِﰐ َﲣﺎﻓُﻮ َن ﻧُﺸﻮزﻫ ﱠﻦ ﻓَﻌِﻈُﻮﻫ ﱠﻦ واﻫﺠﺮوﻫ ﱠﻦ ِﰲ اﻟْﻤﻀ َو ﱠ ﺎﺟ ِﻊ ُ َ َ َ ْ ُ ُ ُ ُ َ َ ُ Syiqaq adalah Situasi konflik suami isteri yang sudah parah. Apabila ِ ﺳﺒitu persengketaan اﻟﻠﱠﻪَ َﻛﺎ َنsuami ًﻴﻼ إِ ﱠنisteri ْﻴ ِﻬ ﱠﻦsudah ﻨَ ُﻜ ْﻢ ﻓَ َﻼ ﺗَـْﺒـrupa ن أَﻃَ ْﻌmemuncaknya, اﺿ ِﺮﺑ َﻐُﻮا َﻋﻠsedemikian ْ ﻮﻫ ﱠﻦ ﻓَِﺈ ْ َو ُ ُ َ suami isteri tidak menemukan jalan memperbaikinya atau menemui jalan (٣٤:اﻟﻨﺴﺂء ) َﻛﺒِ ًﲑاsaling َﻋﻠِﻴًّﺎ buntu, hendaknya keduanya berjauhan lebih dahulu, tidak boleh 5. Penyelesaian Syiqaq
menyakiti, tidak boleh saling memperkosa hak-hak yang lain. Suami isteri supaya menenangkan diri, mengenang jasa-jasa dan kebaikan lawannya, memikirkan nasib anak-anaknya dan mengintrospeksi dirinya masingmasing. Apabila keduanya tidak bisa lagi mendinginkan amarah hati yang mendidih, barulah diperkenankan meminta bantuan pihak luar.
ِ ِ َوإِ ِن اﻣﺮأَةٌ ﺧﺎﻓ ﺎح َاﺿﺎ ﻓَ َﻼ ُﺟﻨ ً ﺖ ﻣ ْﻦ ﺑـَ ْﻌﻠ َﻬﺎ ﻧُ ُﺸ ًﻮزا أ َْو إِ ْﻋَﺮ ْ َ َْ َ َ Syiqaq timbul apabila suami atau isteri atau keduanya tidak ِ ﻳﺼﻠsuami ِ ﻀﺮ ِ ُﺣkewajiban ت أ و ﺮ ـ ﻴ ﺧ ﺢ ﻠ ﺼ اﻟ و ﺎ ﺤ ﻠ ﺻ ﺎ ﻤ ﻬ ـ ﻨ ـ ﻴ ـ ﺑ ﺎ ﺤ َﻋﻠَْﻴ ِﻬ ْ ْ ﱡ melaksanakan yang mesti dipikulnya. Apabila َ َ ْ ْ ْ َ َ ٌ ُ َ ً ُ َ ُ َ َ ْ ُ َﻤﺎ أَ ْنisteri sudah tidak mampu menyelesaikan konflik tersebut, maka menjadi ﻠُﻮ َنjama’ah ِﲟَﺎ ﺗَـ ْﻌ َﻤkaum َﻛﺎ َنmuslimin ﻮا َوﺗَـﺘﱠـ ُﻘﻮmemprioritaskan ﺲ kewajiban ُاﻟ ﱡﺸ ﱠﺢ َوإِ ْن ُْﲢ ِﺴﻨkewajiban َا ﻓَِﺈ ﱠن اﻟﻠﱠﻪdengan ُ ْاﻷَﻧْـ ُﻔ keluarga kedua belah untuk mendamaikannya. Apabila terjadi syiqaq (١٢٨:َﺧﺒِ ًﲑا )اﻟﻨﺴﺂء antara suami isteri, al-Qur’an memberi petunjuk untuk menyelesaikannya sebagaimana dikemukakan dalam surat an-Nisa’ ayat 35:
ﺎق ﺑَـْﻴﻨِ ِﻬ َﻤﺎ ﻓَﺎﺑْـ َﻌﺜُﻮا َﺣ َﻜ ًﻤﺎ ِﻣ ْﻦ أ َْﻫﻠِ ِﻪ َو َﺣ َﻜ ًﻤﺎ ِﻣ ْﻦ َ َوإِ ْن ِﺧ ْﻔﺘُ ْﻢ ِﺷ َﻘ إِ ﱠن اﻟﻠﱠﻪَ َﻛﺎ َن, ﺻ َﻼ ًﺣﺎ ﻳـُ َﻮﻓﱢ ِﻖ اﻟﻠﱠﻪُ ﺑـَْﻴـﻨَـ ُﻬ َﻤﺎ َ أ َْﻫﻠِ َﻬﺎ إِ ْن ﻳُِﺮ ْ ِﻳﺪا إ ِﻋﻠ (٣٥:ﻴﻤﺎ َﺧﺒِ ًﲑا )اﻟﻨﺴﺂء ً َ Artinya: “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga
ٍ ِ ٌ ﻓَِﺈﻣﺴ ٍ وف أَو ﺗَﺴ ِﺮﻳﺢ ﺑِِﺈﺣﺴ (٢٢٨:ﺎن )اﻟﺒﻘﺮة َ ْ ٌ ْ ْ ﺎك ﲟَْﻌُﺮ َْ
Mempertahankan Keutuhan Keluarga _291
perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud Mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”. Pengertian surat an-Nisa’ ayat 35 di atas, ialah apabila hakim menyelesaikan konflik suami isteri yang syiqaq, hendaklah dipanggil seorang hakam (juru damai) dari pihak suami dan seorang hakam dari pihak isteri. Dimaksud dengan hakam ialah orang yang mengetahui hukum dengan baik dan hakam itu diambilkan dari keluarga suami dan keluarga isteri karena mereka lebih besar pengaruhnya terhadap suami isteri dibandingkan dengan orang lain. Para hakam itu dipandang mengenal hakikat perkara suami isteri sampai ke lubuk batinnya. Mereka mengetahui cara-cara memperbaiki jiwa suami isteri, karena kadang-kadang yang menjadi sebab persengketaan itu bersifat batiniyah, tersembunyi, suami isteri tidak mau membukanya di hadapan orang lain, sehingga hikmah dipilihnya hakam dari keluarga kedua belah pihak adalah jelas sekali. Tujuan bertahkim dalam masalah syiqaq ini adalah semata-mata untuk mendamaikan suami isteri, mencari persesuaian sebagai ganti perpecahan. Tahkim dimaksudkan sebagai jalan untuk memadamkan api peperangan suami isteri, melenyapkan sebab-sebab kemarahan hati, setelah kedua suami isteri sendiri tidak mampu mengatasi persoalannya. Kedua hakam itu dipilih yang adil, bagus pandangannya dan tahu hukum. Tugas hakam adalah mendamaikan persengketaan suami isteri. Hakam dari suami hendaklah menemui suami dan hakam dari isteri menemui isteri. Masing-masing hakam menanyakan kehendak dari keduanya, apakah masih senang hidup bersatu atau tidak. Apabila suami menjawab masih senang dan menginginkan kembali kepada isterinya, berarti suami tidak nusyuz, tetapi jika sebaliknya, ia tidak memerlukan lagi isterinya dan meminta supaya diceraikan saja, maka diketahui suamilah yang nusyuz. Demikian juga yang dilakukan hakam dari pihak
ﻀﺮت ﺻ ْﻠ ًﺤﺎ َواﻟ ﱡ ْ ُﻬﻤﺎ أ ْن ﻳ ْ ﺼ ْﻠ ُﺢ َﺧْﻴـٌﺮ َو ُ ﻠﺤﺎ ﺑـَْﻴـﻨَـ ُﻬ َﻤﺎ َ ﺼ َ َﻋﻠَْﻴ َ أﺣ ﺲ اﻟ ﱡﺸ ﱠﺢ َوإِ ْن ُْﲢ ِﺴﻨُﻮا َوﺗَـﺘﱠـ ُﻘﻮا ﻓَِﺈ ﱠن اﻟﻠﱠﻪَ َﻛﺎ َن ِﲟَﺎ ﺗَـ ْﻌ َﻤﻠُﻮ َن ْاﻷَﻧْـ ُﻔ ُ 292_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013 (١٢٨:َﺧﺒِ ًﲑا )اﻟﻨﺴﺂء
isteri, sehingga kedua hakam dapat mengambil kebijakan yang tepat untuk mengusahakan islah antara suami isteri. Hakam sekuat tenaga hendaknya berusaha menyelamatkan rumah tangga dari perpecahan (syiqaq), jangan berputus asa, segala sesuatu harus diarahkan untuk mencari jalan damai, mencari penyelesaian sebaik mungkin. Apabila segala usaha sudah ditempuh, kedua hakam tidak sanggup memperbaiki suami isteri yang konflik dan perceraian satu-satunya jalan yang paling baik untuk mengakhiri perkawinan, maka ditempuhlah jalan perceraian itu dengan cara yang baik, terjauh dari dendam kesumat, melainkan perpisahan dengan saling pengertian, sesuai dengan petunjuk al-Qur’an:
ﺎق ﺑَـْﻴﻨِ ِﻬ َﻤﺎ ﻓَﺎﺑْـ َﻌﺜُﻮا َﺣ َﻜ ًﻤﺎ ِﻣ ْﻦ أ َْﻫﻠِ ِﻪ َو َﺣ َﻜ ًﻤﺎ ِﻣ ْﻦ َ َوإِ ْن ِﺧ ْﻔﺘُ ْﻢ ِﺷ َﻘ إِ ﱠن اﻟﻠﱠﻪَ َﻛﺎ َن, ﺻ َﻼ ًﺣﺎ ﻳـُ َﻮﻓﱢ ِﻖ اﻟﻠﱠﻪُ ﺑـَْﻴـﻨَـ ُﻬ َﻤﺎ َ أ َْﻫﻠِ َﻬﺎ إِ ْن ﻳُِﺮ ْ ِﻳﺪا إ ِ (٣٥:ﻴﻤﺎ َﺧﺒِ ًﲑا )اﻟﻨﺴﺂء ً َﻋﻠ
Artinya:
ٍ ﺎك ِﲟﻌﺮ ٍ وف أَو ﺗَﺴ ِﺮﻳﺢ ﺑِِﺈﺣﺴ ِ (٢٢٨:ﺎن )اﻟﺒﻘﺮة ْ َ ٌ ْ ْ ُ َْ ٌ ﻓَﺈ ْﻣ َﺴ
“Dan jika mereka ber›azam (bertetap hati untuk) talak, Maka sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui”.
Dari upaya-upaya antisipasi perceraian di atas semakin jelas bahwa Islam menghendaki adanya upaya untuk mencegah terjadinya perceraian antara suami isteri. Perceraian adalah jalan terakhir, yaitu setelah berbagai upaya yang ditempuh tidak membuahkan hasil.13 6. Pembinaan Remaja Wakil Menteri Agama Nasaruddin Umar prihatin dengan tingginya angka perceraian. Karenanya, agar program pembekalan remaja usia nikah terus ditingkatkan secara arif dan bijak. Salah satu akar penyebab perceraian terbesar adalah rendahnya pengetahuan dan kemampuan suami isteri mengelola dan mengatasi perlbagai permasalahan rumah tangga. Hampir 80 persen dari jumlah kasus perceraian, terjadi pada perkawinan di bawah usia 5 tahun. Ketidakmampuan pasangan suami isteri menghadapi kenyataan hidup yang sesungguhnya, mengakibatkan mereka kerap menemui kesulitan dalam melakukan penyesuaian atas perlbagai permasalahan di usia
Mempertahankan Keutuhan Keluarga _293
perkawinan yang masih “balita”. Fenomena yang tak sehat ini lambat laun akan menggeser norma dan cara pandang masyarakat terhadap institusi perkawinan ke arah negatif. Akibatnya, masyarakat tidak lagi memandang perkawinan sebagai suatu lembaga yang seharusnya dipertahankan keutuhannya. “Pertengkaran kecil suami-isteri bukan lagi bagai “bumbu” dan “bunga” perkawinan yang dapat menambah instensitas kemesraan, manakala berbaikan kembali. Pertengkaran karena masalah “kecil” pun dapat menjelma menjadi percekcokan hebat. Di beberapa kasus, hal ini bahkan menjadi “entry point” untuk menjustifikasi perselingkuhan, dan tindakan kekerasan dalam rumah tangga. Yang mengkhawatirkan lagi adalah ketika perceraian kemudian tidak lagi dinilai sebagai aib keluarga, tapi dianggap kewajaran, sebagai solusi sah pemecahan masalah rumah tangga. Melonjaknya angka perceraian ini tidak bisa diantisipasi oleh salah satu pihak atau lembaga. “Semua pihak yang memiliki keterkaitan dengan masalah perkawinan harus duduk bersama untuk merumuskan solusi alternatif.”14 7. Menumbuhkan kembali rasa Saling Percaya Dalam perkawinan kita perlu membina rasa saling percaya agar memiliki jaminan hubungan jangka panjang. Dengan dicapainya rasa saling percaya, kita dapat melewati hidup bersama pasangan secara lebih tenang, tanpa banyak konflik. untuk dapat benar-benar mencapai rasa saling percaya yang mendalam, terdapat beberapa elemen yang tidak terlalu sederhana. Pertama, kepercayaan yang mencakup memahami karakter pasangan, yaitu kemampuan untuk meramalkan apa yang akan dilakukan pasangannya. Hal ini dapat dicapai dengan berjalannya waktu, melalui pengalaman sepanjang hubungan yang telah dilewati untuk memberikan rasa nyaman.
294_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013
Kedua, menerima pasangan apa adanya, dengan terus mengusahakan keterbukaan. yang diperlukan adalah kesediaan kita untuk menciptakan rasa nyaman bagi pasangan sepanjang interaksi dengannya. Kenyamanan dapat tercipta bila kita memberikan rasa penerimaan terhadap pasangan sebagaimana dia adanya. pasangan kita bukan orang sempurna (seperti kita sendiri tidak pernah sempurna), kita dapat menerima dia sebagaimana adanya bila komitmen perkawinan kita cukup murni, tidak dicampuri oleh motif tertentu yang bersifat egoistis. Ketiga, komitmen, berpasangan dengan motivasi komitmen internal (bukan karena menghasilkan reward, menghindari punishment, atau menghindari rasa bersalah), dengan merasakan apa yang mereka lakukan sebagai pasangan yang bahagia.15
E. Kesimpulan Mempertahankan pernikahan dapat dilakukan dengan beberapa cara seperti Melakukan identifikasi kondisi rumah tangga sejak dini, memperhitungkan kerugian yang harus ditanggung, penyelesaian nusyuz dari pihak isteri, penyelesaian nusyuz dari pihak suami, penyelesaian syiqaq, pembinaan remaja, intensifkan peran kelembagaan, menumbuhkan kembali rasa saling percaya. Keyakinan harus ditumbuhkan pada diri kita bahwa semua persoalan yang terjadi dalam keluarga pasti ada petunjuk dan jalan keluarnya dengan tanpa harus mengorbankan kepentingan pihak istri atau suami. Semua cobaan dan ujian hidup yang diberikan Allah pasti tidak akan melebihi batas kemampuan umat-Nya melainkan hanya yang mampu dilalui umat-Nya. Kita harus memulai lupakan egoisme masing-masing terlebih dahulu kemudian baru melakukan langkah demi langkah dalam menyelesaikan
Mempertahankan Keutuhan Keluarga _295
satu persatu persoalan dan jangan sampai masalah tersebut dibiarkan menumpuk seperti gunungan es yang suatu saat bisa mencair dan menimbulkan badai dalam keluarga. Saling pengertian yang dibentuk dan di jaga antara suami istri adalah kunci utama dalam menggapai rumah tangga yang bahagia, harmonis, sakinah dan dirahmati Allah Subhanahu wa Taala, Amin ya rabbal alamin.
296_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013
Daftar Pustaka Anggaran Dasar BP4 Hasil Munas BP4 ke XIV Tahun 2009 Cammack, Mark, Publikasi hasil penelitian: Guru Besar dari Southwestern School of Law-Los Angeles USA, pada website http//:www. bimasislam.kemenag.go.id. diakses pada 8 Januari 2013 Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan Pengadilan Agama Cilegon Banten No. 164/Pdt.G/2012/PA.Clg. Faridl, Miftah, 150 Masalah Nikah Keluarga, Jakarta: Gema Insani Press, 1999, Cet.1 Gazhali, Moch, Wan Abdul Fatah, Wan Ismail, Nusyuz Syiqaq dan Hakam menurut al-Quran, Sunnah dan Undang-Undang Keluarga Islam, KUIM, 2007, Cet.I Kusuma, Hilman, Hukum Adat Dalam Yurisprudensi, Hukum Kekeluargaan Perkawinan, Perwarisan, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993 MK, M. Anshary MK, Hukum Perkawinan di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010 Muqaddimah Anggaran Dasar BP4 Hasil Munas BP4 ke XIV Tahun 2009 Nuruddin, Amir dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006 Prodjohamidjojo, Martiman, Tinjauan Mengenai Undang-Undang Perkawinan, Jakarta: Indonesia Legal Publishing, 2003 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Web. http://kumpulan.info, Apa Saja Dampak Perceraian, diakses pada 20 April 2013 http://ummi-online.com, Kategori Psikologi Keluarga: Antisipasi Cerai Sejak Dini, diakses pada 19 Agustus 2013 http://www.kemenag.go.id, Wamenag: Tingkatkan Program Pembekalan Remaja Usia Nikah, diakses pada 17 Agustus 2013 http://www.kesehatan.kompas.com, Membangun Saling Percaya, diakses pada 4 Februari 2013
Mempertahankan Keutuhan Keluarga _297
Endnotes 1. Mark Cammack, Publikasi hasil penelitian: Guru Besar dari Southwestern School of Law-Los Angeles USA, pada website http//:www.bimasislam.kemenag. go.id. diakses pada 8 Januari 2013
2. M. Anshary MK, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 10.
3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan 4. Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), h. 52
5. Muqaddimah Anggaran Dasar BP4 Hasil Munas BP4 ke XIV Tahun 2009
6. Anggaran Dasar BP4 Hasil Munas BP4 ke XIV Tahun 2009 7. Martiman Prodjohamidjojo, Tinjauan Mengenai Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Indonesia Legal Publishing, 2003), h. 54
8. Hilman Kusuma, Hukum Adat Dalam Yurisprudensi, Hukum Kekeluargaan Perkawinan, Perwarisan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993), h. 160
9. Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan Pengadilan Agama Cilegon Banten No. 164/Pdt.G/2012/PA.Clg.
10. http://ummi-online.com, Kategori Psikologi Keluarga: Antisipasi Cerai Sejak Dini, diakses pada 19 Agustus 2013
11. http://kumpulan.info, Apa Saja Dampak Perceraian, diakses pada 20 April 2013
12. Moch Gazhali, Wan Abdul Fatah, Wan Ismail, Nusyuz Syiqaq dan Hakam menurut al-Quran, Sunnah dan Undang-Undang Keluarga Islam, (KUIM, 2007), Cet.I, h.5
13. K.H. Miftah Faridl, 150 Masalah Nikah Keluarha, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999) Cet.1, h.158
298_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013
14. http://www.kemenag.go.id, Wamenag: Tingkatkan Program Pembekalan Remaja Usia Nikah, diakses pada 17 Agustus 2013
15. http://www.kesehatan.kompas.com, Membangun Saling Percaya, diakses pada 4 Februari 2013
Terrorism Prevention Through Religion and Education Review
Pencegahan Terorisme Melalui Tinjauan Agama dan Pendidikan
H. Muhammad Ilyasin STAIN Samarinda Kalimantan Timur email : [email protected]
Abstract : Religion as a giver of group identity and narratives that sustain can develop further into what the main characteristics of religious violence all this time. That is, granting legitimacy to use the violence in major jihad against other groups. This was due by ambiguity of religion that intrinsically potential to result in conflict and violence. Therefore, ambiguity should and should serve as an opportunity for new opportunities to demonstrate and realize a potential r intrinsic of religion as a resource of peace. It is require a commitment of religionist in concrete actions to that aim. If violence in the name of religion requires militancy, so the peace efforts by religion also require a militancy. Similarly in Islam, attitude of equality and mutual respect are the medium to create a society respectfully of human rights, persuasive, free of coercion and discrimination. While, terrorism prevention through education is making the prevention of terrorism as basis of moral philosophy in religious education. So, philosophically, terrorism is only understood as destructive actions the articulation of values that was established in the social and cultural construction even religion.
300_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013
Abstraksi : Agama sebagai pemberi identitas kelompok dan narasi yang menopangnya dapat berkembang lebih jauh ke dalam apa yang menjadi ciri utama kekerasan keagamaan selama ini, yaitu pemberian legitimasi kepada penggunaan kekerasan dalam jihad besar melawan kelompok lain. Hal tersebut disebabkan sisi ambigiusitas agama yang secara intrinsik potensial untuk melahirkan konflik dan kekerasan. Oleh karena itu, ambiguitas selayaknya harus dijadikan sebagai kesempatan dan peluang baru untuk menunjukkan dan mewujudkan potenti intrinsic agama sebagai sumberdaya perdamaian. Hal tersebut memerlukan komitmen agamawan dalam aksi-aksi konkret ke arah itu. Jika kekerasan atas nama agama memerlukan militansi, maka upaya perdamain oleh agama juga mensyaratkan sebuah militansi. Demikian pula dalam ajaran Islam, sikap persamaan dan prinsip saling menghargai merupakan sarana untuk menciptakan tatanan masyarakat yang saling menghargai hak-hak manusia, persuasive bebas dari paksaan dan sikap diskriminatif. Sedangkan upaya pencegahan terorisme melalui pendidikan dengan menjadikan pencegahan terorisme sebagai basis falsafah dalam pendidikan moral agama. Sehingga secara filosofis, terorisme hanya dipahami sebagai tindakan merusak artikulasi nilai-nilai yang sudah mapan dalam konstruksi sosial budaya masyarakat bahkan agama. Keyword : Terrorism, Religion Opinion, Education
A. Pengantar Para Agamawan yang humanis untuk mudahnya sebutlah begitu sementara ini, seringkali dongkol dengan kebiasaan komunikasi massa (umumnya media massa populer, tetapi kadang juga buku-buku instan, yang ditulis terburu-buru untuk momentum tertentu dan biasanya dangkal isinya) mengungkap hal-hal yang melulu buruk mengenai ekspresi sosial-politik agama.1 Yang biasanya diungkap adalah konflik dan aksi-aksi kekerasan, seringkali dengan akibat amat memilukan, yang
Pencegahan Terorisme Melalui Tinjauan Agama dan Pendidikan _301
dilakukan atas nama agama.2 Ingatlah bagaimana media memberitakan orang-orang Yahudi di Israel yang membunuhi kaum Muslim yang tengah salat di Masjid Hebron, orang-orang Hindu di India yang membakar Masjid Babri, orang-orang Islam di Mesir yang meneror dan membunuh para turis atau di Bangladesh dan Iran yang menuntut hukuman mati terhadap novelis Taslima Nasreen atau Salman Rushdie, akar-akar (etnis-)agama konflik berkepanjangan di Irlandia Utara dan bekas Yugoslavia, dan seterusnya.3 Dalam model pemberitaan seperti ini, orang-orang dengan motivasi keagamaan itu disebut dengan kata-kata seram: zealots, extremists, militants, dan yang sejenisnya. Kadang liputan itu dilengkapi dengan ilustrasi foto yang mengerikan, membangunkan bulu kuduk. Model pemberitaan yang sebaliknya, berisi kisah yang enak didengar, misalnya tentang upaya-upaya perdamaian oleh kalangan agamawan, amat jarang ditemukan. Para agamawan di atas itu punya sejumlah alasan untuk merasa dikecewakan. Pertama-tama, konflik dan kekerasan hanyalah salah satu wajah sosial-politik agama – dan tidak selamanya merupakan wajahnya yang terpenting. Maka model pemberitaan di atas, sekalipun jika benar didasarkan atas peristiwa yang benar terjadi, dipandang tidak adil terhadap agama. Apalagi jika diingat bahwa tradisi agama-agama, selain memiliki ajaran (yang memang bisa, dan sering, diselewengkan dan disalahgunakan) yang menyerukan perdamaian (perlu diingat: sebagian pemuka agama bahkan mengklaim bahwa inilah inti ajaran agama), juga memiliki sederet tokoh yang telah terbukti mau dan berani berkorban, bahkan dengan jiwa mereka, untuk memperjuangkan ajaran itu. Dalam sejarah agama-agama abad ke-20 saja, misalnya, kita bisa menyebut nama Mahatma Gandhi (Hindu), Martin Luther King Jr. (Kristen), Malcolm X (Islam), Ibu Theresa (Katolik), dan Dalai Lama (Budha). Agar adil, pemberitaan mengenai kekerasan berjubah agama, yang sebenarnya bertentangan dengan semangat ajaran agama itu sendiri, seharusnya mengungkap pula akar-akar kultural dan struktural
302_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013
terjadinya kekerasan itu, oleh para aktor agama di sebuah lingkungan sosial, ekonomi dan politik tertentu. Tetapi persis alasan inilah yang seringkali absen dari model pemberitaan di atas. Banyak sekali contoh yang memperlihatkan bagaimana seorang atau sekelompok agamawan yang semula berwawasan pluralis, sedikitnya inklusivis, beralih menjadi sebaliknya, berwawasan eksklusif dan bersikap ekstrem, karena deraan informasi yang dangkal dan tidak lengkap mengenai kekerasan yang dilakukan terhadap rekan-rekannya seiman oleh kelompok agama lain. Dalam kasus seperti ini, berlakulah rumus: “fundamentalisms breed another fundamentalisms,” fundamentalisme hanya akan melahirkan fundamentalisme lainnya.4 Yang pasti, Terorisme tegas dinyatakan tidak bisa dikaitkan dengan agama tertentu, karena semua agama mengutuk terorisme. Namun untuk melawan terorisme perlu menggunakan metode lain yaitu menggunakan soft power persuasif antara lain mengikutsertakan tokohtokoh agama dalam upaya menetralisir pembibitan dan penyebaran ajaran radikalisme. Disinilah, agama sebagai pembawa rahmat, terutama para pemuka agama dan tokoh agamanya bertanggungjawab untuk menciptakan pemahaman dan kesadaran agama yang lembut, tentram dan damai di tengah-tengah umat. Agama perlu dikembalikan kepada ajaran yang otentik sebagai sumber moralitas luhur. Agama perlu dilepaskan dari tarikan kepentingan sempit kelompok, apalagi sebagai justifikasi melakukan kekerasan. Agama perlu dilabuhkan ke dalam misi kesejehteraan hidup, ke dalam realitas konkret melalui substansi ajaran yang hakiki dan tidak sepotong-sepotong. Penguatan dan pembumian ajaran agama akan mempersempit perkembangan terorisme. Dan dalam hal Pendidikan, seharusnya pendidikan tidak bisa lagi sebagai proses pembelajaran, tetapi menjadi proses yang mengantarkan manusia untuk to have dan to be, membentuk jati diri manusia yang bersumber dari moralitas luhur agama, nilai kemanusiaan universal dan kearifan lokal.
Pencegahan Terorisme Melalui Tinjauan Agama dan Pendidikan _303
B. Agamawan dan Fundamentalis Ketika menyebut “agamawan humanis” di atas, teringat kepada orang-orang seperti Abdullahi Ahmed An-Na’im asal Sudan, yang harus mengasingkan diri ke luar negeri karena komitmennya kepada penegakan Hak-hak Asasi Manusia (HAM) yang dilecehkan regim di negerinya. Atau orang seperti Sulak Sivaraksa, seorang tokoh Budha di Thailand, yang terus melawan arus dan tetap mengabarkan bahwa kekerasan, apa pun alasannya, hanya akan mengkhianati dan mencederai ajaran Budha. Atau trio pendeta Budha (Maha Ghosanada), aktivis HAM Yahudi (Liz Bernstein), dan pendeta Jesuit (Bob Maat), yang tanpa kenal lelah dan menempuh segala risiko memimpin sejumlah kelompok umat Budha di Kamboja dalam aksi-aksi tanpa-kekerasan dalam menyelesaikan konflik. Orang-orang seperti mereka itu, seraya tetap teguh percaya akan kebenaran yang termuat dalam agama mereka, tetap tidak menutup peluang bagi berlangsungnya dialog dan pertukaran budaya dengan orang atau orang-orang dengan latar belakang mana pun – baik yang religius maupun yang sekular. Mereka bukan saja menyepakati pluralisme (yang lebih “berisiko” dari sekadar inklusivisme, apalagi eksklusivisme), tetapi juga menyatakan komitmen mereka untuk menegakkannya. Kita menyebut mereka “humanis,” karena mereka percaya bahwa agama ada energi moral untuk kemaslahatan manusia di bumi, sekalipun didesain oleh dan bersumber dari Yang Mahasuci di atas manusia dan di atas makhluk lain mana pun di alam semesta ini, diturunkan untuk – dan hanya untuk – manusia, semua manusia, bukan untuk Tuhan itu sendiri atau sekelompok kecil umat manusia yang terpilih sebagai nabi atau utusan-Nya. Didorong oleh religiusitas yang menggempal dalam jiwa mereka, mereka melihat citra dan bayangan Yang Mahasuci dalam diri manusia, juga dalam tindak penciptaan manusia, kehidupan, dan alam semesta. Dan untuk semua itu, mereka tidak bisa berbuat lain kecuali mengusahakan tetap terpeliharanya kesucian semua itu, kesucian penciptaan dan martabat kehidupan, dengan manusia sebagai
304_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013
porosnya. Bagi mereka, menjadi religius adalah menjadi saksi mengenai kesucian dan ketinggian harkat penciptaan ini. Dalam posisi ini, konflik dan kekerasan atas nama agama, yang mengharuskan jatuhnya korban manusia di atas altar perjuangan demi Yang Mahasuci, bukan saja absurd, melainkan juga scandalous! Nah, oleh pemberitaan media mengesankan kepada kita bahwa para agamawan yang humanis itu kini seakan sedang berperang melawan dua front yang sama kelas beratnya, militansinya, ekstremnya–yang satu sama lain saling menyalahkan, bahkan saling menyetankan. Yang pertama adalah kaum “fundamentalis agama,” yang merasa bahwa sesuatu yang bernama kebenaran sudah ada di tangan mereka (dan hanya di tangan mereka), yang bulat tanpa benjol sedikit pun karena sumbernya Tuhan yang sepenuhnya benar, dan tugas mereka adalah memperjuangkannya, termasuk dengan kekerasan kalau perlu. Orang-orang yang tergabung dalam front ini (mereka ada di semua agama tanpa pandang bulu) dengan sendirinya militan dan ekstremis, karena mereka memandang bahwa mereka adalah kelompok pilihan yang diberi keistimewaan untuk membawa misi suci, dan yang mati di jalannya sama artinya dengan mati syahid.5 Sedang front yang kedua adalah kaum “fundamentalis sekular,” yang merasa bahwa agama sudah tidak punya hak hidup sekarang ini, dengan berbagai alasan: karena semua persoalan harus diputuskan hanya oleh akal manusia; bahwa intervensi agama dalam urusan dunia hanya mendatangkan pertumpahan darah, seperti banyak dicatat dalam sejarah kemanusiaan; dan bahwa perpaduan agama dan politik itu tidak normal dan berbahaya. Kaum ini mengingatkan kita kepada pemimpin tertentu Revolusi Perancis yang menjadikan sekularisasi total sebagai salah satu program utamanya, yang merasa bahwa gereja adalah lawan yang sedikit pun tidak punya kebajikan dan harus diluluhlantakkan sehabis-habisnya, di abad ke-18.6
Pencegahan Terorisme Melalui Tinjauan Agama dan Pendidikan _305
C. Akar Terorisme dan Radikalisme Agama Jika benar demikian duduk perkaranya, maka pertanyaan yang perlu kita jawab adalah: bagaimana perilaku saling menyetankan dan menebar ketakutan ditengah masyarakat itu bisa diakhiri? sedikitnya diminimalisasi terus-menerus, dan segala upaya ke arah perdamaian ditopang dan digalakkan, Bagaimana maksud baik para tokoh Agama untuk membangun jembatan dialog dan pertukaran budaya di antara umat manusia, memajukan pendidikan, dan mengajarkan agama yang baik dan benar yang mana dapat disistematisasikan dan diagendakan, dibangun strategi, dan teknik-tekniknya? Dan perlu ditegaskan sekali lagi di sini bahwa Terorisme jangan diartikan sebagai dorongan spirit agama Islam, itu anggapan yang sangat fatal dan sangat menciderai kontruksi suci agama itu sendiri, mengingat bahwa istilah terorisme sendiri booming pasca penyerangan WTC 11 September tahun 2001 yang lalu, A War Against Terrorism demikian slogan Amerika ketika berkomitment menabuh genderang perang terhadap terorisme, tapi apa lacur “terorisme” sendiri bak mahluk halus sulit yang sulit didefinisikan apalagi ditangkap, hingga kini istilah itu belum ada satupun kesepakatan dari berbagai pihak tentang definisinya, karena semua pihak merasa berkepentingan untuk menerjemahkannya sesuai dengan kepentingan dan sudut pandangnya masing masing,7 dan media Barat lah yang kemudian cenderung bahkan massive memberikan stempel dan Cap bahwa terorisme disokong sepenuhnya oleh semnagat jihad Islam dan celakanya itu berhasil mempengaruhi pandangan masyarakat dunia bahkan sebagian besar muslim tanah air, Padahal, di Eropa juga ada gerakan terorisme yang dipolopori oleh Brigade Merah, teroris ETA di Spanyol, IRA di Irlandia dan masih banyak lainnya.8 Mati satu tumbuh seribu. Mungkin pribahasa inilah yang sangat tepat untuk menggambarkan semakin merajalelanya aksi-aksi terorisme di Tanah Air. Tertangkapnya tujuh terduga teroris beberapa waktu lalu menjadi bukti bahwa terorisme terus mengancam kehidupan berbangsa
306_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013
dan bernegara. Mereka ditangkap terkait kasus perampokan toko mas di Tambora Jakarta Barat, 10 Maret lalu. Berdasarkan informasi, ketujuh teroris tersebut diduga terkait jaringan teroris Abu Umar. Paham radikal yang dibawa para teroris tampaknya masih sangat mengancam kesatuan NKRI dan keutuhan bangsa Indonesia. Jaringan terorisme telah membumi di tengah-tengah masyarakat kita, sehingga keberadaannya perlu direspons secara serius agar generasi-generasi berikutnya tidak bermunculan lagi. Seacara teoretis, ‘radikal’ adalah sikap. Sama seperti sikap ‘disiplin’ militer atau sikap ‘rajin’ belajar. Sikap radikal adalah perasaan (afeksi) yang positif terhadap segala yang serba ekstrem, sampai ke akar-akarnya.9 Paham radikal ini sepertinya sangat susah dibasmi, mengingat regenerasi sangat gencar dilakukan dengan merekrut generasi muda sebagai penerus untuk melancarkan pelbagai aksi teror. Kekeliruan memaknai jihad telah membawa mereka ke dalam ideologi radikal. Di sini yang keliru bukanlah ajaran agamanya, namun manusia yang salah dalam memahami ajaran agama yang penuh kedamaian dan toleran. Zuhairi Misrawi dalam bukunya10 mengatakan terorisme dan radikalisme tidak bisa dikaitkan dengan agama, karena yang bermasalah bukan agama, tetapi umat yang kerap kurang tepat memahami doktrin agama, tidak kontekstual, dan bernuansa kekerasan. Para pelaku teror sangat keliru dalam memaknai ajaran agama, seperti jihad. Mereka mengidentikkan jihad dengan kekerasan, perang dan pembunuhan. Jika jihad dimaknai secara sempit, maka pemahaman seperti itu sangat keliru dan fatal yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap perkembangan dan pemikiran para generasi muda. Tampaknya terorisme telah berhasil membajak agama untuk kepentingan penghancuran kemanusiaan. Ketika agama dibajak untuk melegalkan radikalisme atas nama agama, maka agama menjadi instrumen pembenaran diri (self-justification,truth claim) dalam melakukan kekerasan. Sempitnya makna jihad di kalangan teroris terjadi karena pemahaman keagamaan yang minim dan adanya kesalahpahaman dalam memaknai kata jihad. Islam memang membolehkan perang fisik,
Pencegahan Terorisme Melalui Tinjauan Agama dan Pendidikan _307
tapi dengan aturan yang benar, seperti tidak boleh membunuh anakanak dan perempuan, tidak boleh merusak rumah ibadah milik ummat manapun dan fasilitas umum. Pertanyaan kita selanjutnya apa dan bagaimana fundamentalisme - radikalisme agama itu kita cegah pada masyarakat?11 Jika kita identifikasi secara jernih, distingsi antara “kita” dan “mereka,” membutuhkan legitimasi terus-menerus agar tidak usang, dikembangkan lewat narasi besar berupa dasar-dasar keimanan, kisah-kisah dan ritual keagamaan, keterlibatan dalam upacara-upacara keagamaan tertentu, dan seterusnya. Narasi ini seringkali diperkokoh oleh bentuk-bentuk ekspresi keagamaan yang amat kasat mata seperti kekhasan pakaian, arsitektur, musik dan lainnya. Semua ini hanya menambah kekokohan identitas diri dan kelompok di atas, dan memperteguh pembedaan di antara banyak orang dan kelompok. Dalam situasi yang amat genting, narasi seperti ini akan berkembang makin tajam, mengarah kepada eskalasi konflik: kelompok sendiri, “kita,” disucikan dan makin disucikan; sedang kelompok lain, “mereka,” dilecehken dan disetankan. Fungsi agama sebagai pemberi identitas dan kelompok, dan narasi yang menopangnya – dapat berkembang lebih jauh ke dalam apa yang mencirikan pola utama kekerasan keagamaan selama ini, yaitu pemberian legitimasi kepada penggunaan kekerasan (bersenjata) dalam jihad besar, “perjuangan suci,” melawan kelompok-kelompok lain, kelompok “mereka.” Pemberian legitimasi ini dapat berlangsung dalam berbagai cara, misalnya: seruan formal kepada tradisi kegamaan tertentu, yang menunjukkan situasi-situasi khusus di mana penggunaan kekerasan (bersenjata) dapat dibenarkan; penguatan narasi-narasi yang menunjukkan kejahatan dan kebengisan kelompok lain, kelompok “mereka,” yang mengancam keselamatan kelompok “kita”; dan rujukan kepada sebuah misi suci keagamaan tertentu di mana tindakan militeristik, setidaknya dalam situasi tententu, dapat dibenarkan. Kemudian, bagaimanakah sebuah aksi kekerasan (bersenjata) pada akhirnya dapat dibenarkan oleh agama? Inilah sebab keempat mengapa Agama secara
308_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013
intrinsik potensial untuk melahirkan konflik dan kekerasan: karena komunitas agama tertentu, kelompok “kita,” pada akhirnya memerlukan sebuah ruang dan wilayah dimana “kita” bisa unggul dan mendominasi. Kalau kita lihat sejarah sekilas saja, maka akan tampak jelas bahw ambiguitas di atas adalah fakta-fakta keras, sebuah hard fact, yang sulit ditolak. Karenanya, hal itu mestinya tidak telalu mengagetkan siapa pun atau mengecewakan siapa pun. Kenyataan itu juga tidak perlu membuat galau dan malu para agamawan yang mendambakan dunia yang damai, karena selalu ada jarak antara apa yang diajarkan agam dan apa yang dilakukan oleh para pemeluknya, antara keinginan dan kenyataan, antara cita-cita luhur dan fakta yang sebaliknya. Sementara benar bahwa agama, bahkan inti ajarannya, menyerukan perdamaian, juga benar dikatakan bahwa, semua agama, baik dalam sejarah maupun dalam konteks kontemporernya, merupakan salah satu dari beberapa sumber konflik kekerasan yang paling pokok.12
D. Agama: Sumber Daya Perdamaian Pengakuan mengenai fakta keras itu sendiri sebenarnya tidak terlalu penting. Yang lebih penting adalah apa yang harus dilakukan setelah kita menyadari dan mengakuinya. Dalam hal ini, ambiguitas di atas harus dijadikan sebagai kesempatan, sebagai peluang baru, justru untuk menunjukkan dan mewujudkan potenti intrinsic agama sebagai sumberdaya perdamaian. Para agamawan yang punya komitmen kepada perdamaian tidak hanya boleh berkeluh kesah. Tidak cukup bagi mereka hanya dengan mengatakan agama dapat berperan seperti itu, melainkan juga menyatakan komitmen mereka dalam aksi-aksi konkret ke arah itu. Jika kekerasan atas nama agama memerlukan militansi, maka upaya perdamain oleh agama juga mensyaratkan sebuah militansi.13 Untuk sampai ke sana, sisi kedua dari agama di atas, yaitu sisinya sebagai salah satu sumber konflik, pertama-tama harus diurai dan diperhatikan sungguh-sungguh. Ekspresi kekerasan atas nama
Pencegahan Terorisme Melalui Tinjauan Agama dan Pendidikan _309
agama harus ditinjau secara teliti, dilihat kasus demi kasus, dalam konteksnya yang luas. Bukan untuk menekankan terutama sisi buruk agama. Melainkan untuk memperoleh potretnya yang benar, selengkaplengkapnya, sebagai dasar bagi perumusan agenda dan strategi kerja ke arah upaya-upaya perdamaian di masa depan. Dalam hal ini, kabar buruk yang benar harus dipandang sebagai lebih baik ketimbang kabar baik yang palsu, yang bohong. Jika ancang-ancangnya benar demikian, maka kita memiliki tiga gugus pertanyaan besar yang harus dijawab di sini. Pertama, dalam kondisi apa saja para aktor agama yang militan melakukan aksi-aksi kekerasan atas nama agama? Kedua, sebaliknya, dalam kondisi apa pula para aktor agama menolak aksi-aksi kekerasan dan menentang komitmen aktor agama yang ekstremis atau militan untuk menggunakan kekerasan sebagai sebuah tugas suci atau sebuah privelese keagamaan?14 Dan ketiga, dalam kondisi apa pula para aktor agama yang memiliki komitmen kepada perdamaian dan aksi-aksi tanpa kekerasan dapat mengembangkan diri menjadi para agen pembangun perdamaian (peace builder)? Dalam studinya baru-baru ini, Scott Appleby mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas itu. Menurutnya, kekerasan keagamaan tejadi ketika para pemimpin ekstremis agama tertentu, dalam reaksi mereka terhadap apa yang mereka pandang sebagai ketidakadilan dalam sebuah lingkungan struktural suatu masyarakat, berhasil memanfaatkan argumen-argumen keagamaan (atau etnis-keagamaan) untuk melakukan tindakan kekerasan terhadap kelompok lain. Penolakan keagamaan terhadap berbagai kekuatan ektremisme dimungkinkan jika para pemimpin agama berhasil menumbuhkan militansi anti-kekerasan (non-violent militancy), baik sebagai norma agama maupun sebagai strategi untuk menentang dan mengatasi ketidakadilan dalam sebuah lingkungan strukural suatu masyarakat. Upaya-upaya perdamaian oleh agama tejadi ketika para pemeluk agama yang militan dan mau mendedikasikan diri mereka kepada sikap dan aksi-aksi tanpa kekerasan, memiliki kemampuan teknis dan profesional untuk mencegah, memberi
310_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013
sinyal awal, memerantarai dan melakukan unsur-unsur lain le arah transformasi konflik dan kekerasan.15
E. Agama Perdamaian sebagai Militansi Tandingan Saya mencatat dua unsur kunci dalam paparan Appleby yang cermat di atas. Yang pertama adalah militansi, dan yang kedua adalah persepsi mengenai ketidakadilan yang menjadi dasar pijak para aktor agama untuk melakukan kekerasan atas nama agama. Mengenai yang pertama, sudah ditegaskannya di atas. Jika kekerasan atas nama agama memerlukan militansi, maka upaya-upaya perdamaian oleh agama juga mensyaratkan sebuah militansi. Dengan kata lain, upaya-upaya ini harus ditegaskan dan gencar dilakukan, dengan organisasi seperti Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) atau LSM lain yang disusun rapi, serius dan agenda yang jelas, dengan ketrampilan dan teknik-teknik yang memungkinkan pencapaiannya. Hal ini penting dan harus dilakukan untuk menunjukkan bahwa sentimen dan komitmen kagamaan bukanlah hak prerogratif mereka yang esklusif dalam wawasan keagamaannya, yang biasanya mudah menggunakan aksi-aksi kekerasan untuk menyelesaikan masalah. Mereka yang berwawasan eksklusif itu punya hak untuk menafsirkan dan megekspresikan agama menurut cara pandang mereka, tetapi hal itu bukanlah satu-satunya penafsiran dan ekspresi agama yang sah. Di atas sudah disebutkan bahwa aksi-aksi kekerasan atas nama agama turut dibangun oleh nasari-narasi yang memperkokoh identitas “kita,” seraya menyetankan “mereka.” Agar kampanye perdamaian atas nama agama dapat berjalan baik, maka para agamawan yang anti-kekerasan harus membangun narasi-narasi tandingannya, yang dapat menopang perdamaian. Narasi-narasi beraura konflik dan permusuhan harus ditandingi dengan naras-narasi yang mendorong tumbuhnya rasa saling menghormati di antara sesama manusia dan cita-cita pluralisme.
Pencegahan Terorisme Melalui Tinjauan Agama dan Pendidikan _311
Dasar argumentasi yang sama juga harus disampaikan secara terang-benderang kepada kaum “fundamentalis sekular” yang sering mencibir dan melecehkan kemampuan agama sebagai sumberdaya perdamaian. Cita-cita luhur pencerahan, pada praktiknya juga sama tidak mulusnya dengan cita-cita yang diinspirasikan oleh sumber lain. Abad ke-20 yang baru lalu mencatat bahwa, sekalipun membawa kemakmuran ekonomi dan banyak kemudahan hidup lain pada segmen tertentu umat manusia, proyek modernisme juga tetap memakan banyak korban, langsung atau tidak: nuklirisme, kerusakan lingkungan, alienasi, kemiskinan massa di belahan dunia yang tertinggal, dan seterusnya. Semua ini hanya menunjukkan pentingnya mereka untuk bersikap lebih rendah diri, bersiap diri mendengar suara lain, termasuk suara agamawan. Mereka harus menyadari bahwa keinginan untuk memperoleh semacam ketenangan batin, rasa aman, dan identitas kelompok, di tengah dunia yang bagi sebagian orang sering tak termaknakan ini, adalah sesuatu yang tidak bisa disepelekan. Kalau mereka menyatakan bahwa adalah manusia itu sendiri yang berdaulat atas dirinya, bukankah agamawan juga adalah manusia yang patut dihargai kedaulatannya, dengan mendengarkan suara dan asiprasinya.16 Selain itu, peralatan agama secara fungsional juga dapat dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan perdamaian. Jika kaum “fundamentalis sekular” tidak percaya pada “jalan agama,” toh dialog dengan kalangan agamawan – sebagai sesama manusia – tetap saja diperlukan dalam rangka koeksistensi damai. Yang lebih fungsional dari itu juga bisa: karena daya rengkuh agama tetap besar, Anda dapat memanfaatkan sumberdayanya yang menopang perdamaian, sekalipun Anda sebenarnya skeptis kepadanya. Akhirnya, di era yang disebut pascamodern ini, siapa pun tidak bisa mengabaikan peran yang disebut kepemimpinan karismatik. Jika seorang pemimpin agama yang karismatik dapat memompa aksi-aksi kekerasan, mengapa Anda tidak berusaha untuk mendekatinya dan mengajaknya untuk berperan sebagai peace builder? Singkatnya, jika kerja sama dengan agama yang sepenuh,
312_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013
setengah atau bahkan seperempat hati tidak mungkin dilakukan, maka berusahalah untuk tidak menyerang dan melecehkannya.17 Sebagai bangsa yang multikultur, khsusunya provinsi Kalimantan Timur salah satu wilayah paling kondusif mengingat komposisi agama dan suku sangat heterogen, ini modal awal sebagai sumber daya yang cukup potensial meredam aksi aksi radikalisme, maka semua pihak kita harus libatkan dan membuang sikap fanatisme, intoleransi, dan radikalisme dan hingga kini provinsi ini belum pernah terdeteksi ada gerakan gerakan sempalan yang berhaluan terorisme. Dan inilah tugas utama kita di FKPT di kaltim secara serius menjaga kondusifitas itu. Dengan demikian, reproduksi teroris bisa diminimalisir semaksimal mungkin dan wilayah ini mampu keluar dari bayang-bayang terorisme. Untuk membebaskan para teroris dari paham radikal, para tokoh agama harus melakukan tindakan nyata dengan cara memberikan pemahaman yang benar kepada masyarakat terutama generasi muda mengenai ajaran agama, sosial serta bidang keilmuan lainnya.
F. Agama “Rahmatal lil Alamin”: Kontekstualisasi Peran Sosok Muslim Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin artinya Islam merupakan agama yang membawa rahmat dan kesejahteraan bagi semua seluruh alam semesta, termasuk hewan, tumbuhan dan jin, apalagi sesama manusia. Pernyataan bahwa Islam adalah agamanya yang rahmatan lil ‘alamin sebenarnya adalah kesimpulan dari firman Allah swt:
∩⊇⊃∠∪ š⎥⎫Ïϑn=≈yèù=Ïj9 ZπtΗôqy‘ ωÎ) š≈oΨù=y™ö‘r& !$tΒuρ
Terjemahannya : Dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.
Ĩ $¨Ζ9$melarang # “ω÷ƒr& manusia ôMt6|¡x. berlaku $yϑÎ/ Ìós t7ø9$#uρ Îhy9ø9$# ’Îterhadap û ߊ$|¡xø9makhluk $# tyγsß Islam semena-mena
Allah, lihat saja sabda Rasulullah sebagaimana yang terdapat dalam
∩⊆⊇∪ tβθãèÅ_ötƒ öΝßγ¯=yè9s (#θè=ÏΗxå “Ï%©!$# uÙ÷èt/ Νßγs)ƒÉ‹ã‹Ï9
Pencegahan Terorisme Melalui Tinjauan Agama dan Pendidikan _313
Hadis riwayat al-Imam al-Hakim: “Siapa yang dengan sewenang-wenang membunuh burung, atau hewan lain yang lebih kecil darinya, maka Allah akan meminta pertanggungjawaban kepadanya”. Sungguh begitu indahnya Islam itu bukan !. Dengan hewan saja tidak boleh sewenang-wenang, apalagi dengan manusia. Bayangkan jika manusia memahami dan mengamalkan ajaran-ajaran islam, maka akan sungguh indah dan damainya dunia ini. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam diutus dengan membawa ajaran Islam, maka Islam adalah rahmatan lil’alamin, Islam adalah rahmat bagi seluruh manusia. rahmat artinya kelembutan yang berpadu dengan rasa iba. Atau dengan kata lain rahmat dapat diartikan dengan kasih sayang. Kalau ditelusuri, kata Islam berasal dari kata asalama-yuslimu, islaman. Kata Asalama bukanlah hanya selamat tapi akan tetapi“menyelamatkan”. Siapa yang diselamatkan, disebutkan dalam al-qur’an wama arsalnaka illa rahmatan lil alamin, bukan hanya dibatasi orang-orang muslim saja. Akan tetapi seluruh alam, jadi bukan hanya rahmatan li nash, akan tetapi seluruh (ekosistem), Dari sini kita bisa memahami Islam adalah agama penyelamat bukan hanya bagi ummatnya sendiri tapi Islam adalah agama penyelamat ummat yang lain. Seorang muslim yang baik adalah apabila orang lain yang ada disekitarnya, orang muslim sendiri maupun non muslim akan merasa selamat, nyaman, tentram dan damai. Mengapa terjadi gunung longsor, karena kita tidak mau menyelamatkan. Karena alam tidak dirahmati, maka terjadilah bencana dimana-mana. ∩⊇⊃∠∪ š⎥⎫Ïϑn=≈yèù=Ïj9 ZπtΗôqy‘ ωÎ) š≈oΨù=y™ö‘r& !$tΒuρ Maka sesungguhnya terjadinya bencana adalah merupakan timbal-balik dari perbuatan manusia itu sendiri . sebagaiman firman Allah dalan AlQuran surat Ar-Rum:41:
Ĩ$¨Ζ9$# “ω÷ƒr& ôMt6|¡x. $yϑÎ/ Ìóst7ø9$#uρ Îhy9ø9$# ’Îû ߊ$|¡xø9$# tyγsß
∩⊆⊇∪ tβθãèÅ_ötƒ öΝßγ¯=yès9 (#θè=ÏΗxå “Ï%©!$# uÙ÷èt/ Νßγs)ƒÉ‹ã‹Ï9
314_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013
Terjemahannya: Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). Untuk itu, berangkat dari pengertian terminologis ini orang Islam yang baik adalah sosok yang kapanpun dan dimanapun, memiliki misi menyelamatkan, membuat kedamaian. Dalam konteks ini, Islam sebagai agama yang dapat memberi keselamatan, kesejahteraan dan kedamaian bagi pemeluk dan bagi masyarakat sekitarnya. Egaliterianisme adalah dua kata yang terdiri dari yang terdiri dari egaliter dan isme. Egaliter merupakan sikap tentang memandang sesuatu atau seseorang itu ⊃∠∪ berarti š⎥⎫Ïfaham, ϑn=≈yèù=Ïj9dengan ZπtΗôqy‘demikian ωÎ) šegaliteranisme ≈oΨù=y™ö‘r& !$tΒuρ sederajat, sementara∩⊇ isme adalah faham yang memandang seseorang atau sesuatu itu sederajat, tidak menganggap rendah dan diskriminatif. Dari faham inilah kemudian menjadi sikap positif terhadap orang lain. Dari sikap tersebut maka atau tidak Ĩ$¨Ζmuncul 9$# “ωsikap ÷ƒr& ôM t6|¡perlakuan x. $yϑÎ/ Ìós t7ø9$#uρmembedakan Îh9y ø9$# ’Îû ߊ$|umat ¡xø9$#manusia tyγsß atau jenis kelamin, asal-usul etnis, warna kulit, latar belakang, historis, social, ekonomi, dan sebagainya. Sikap persamaan ini merupakan refleksi ∩⊆⊇∪ tβθãyang èÅ_dimanifestasikan ötƒ öΝßγ¯=yè9s (#θè=ÏΗxådalam “Ï%©!ukhuwah $# uÙ÷èt/ yaitu Νßγs)prinsip ƒÉ‹ã‹Ï9 dari sikap tauhid yang menekankan nilai kebersamaan yang dibingkai rasa tanggung jawabdalam menjalani hidup dan kehidupan masyarakat. Sebagaimana firman Allah dalam al-Quran surat al-Hujurat: 13
öΝä3≈oΨù=yè_ y uρ 4©\s Ρé&uρ 9x.sŒ ⎯ÏiΒ /ä3≈oΨø)n=yz $¯ΡÎ) â¨$¨Ζ9$# $pκš‰r'¯≈tƒ
öΝä39s)ø?r& «!$# y‰ΨÏã ö/ä3tΒtò2r& ¨βÎ) 4 (#þθèùu‘$yètGÏ9 Ÿ≅Í←!$t7s%uρ $\/θãèä© ∩⊇⊂∪ ×Î7yz îΛ⎧Î=tã ©!$# ¨βÎ) 4
Terjemahannya: Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari
ΝÍκön=tã $uΖóstGxs9 (#öθs)¨?$#uρ (#θãΖtΒ#u™ #“tà)ø9$# Ÿ≅÷δr& ¨βr& öθs9uρ
Pencegahan Terorisme Melalui Tinjauan Agama dan Pendidikan _315
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. Ayat ini memuat pesan bahwa Islam tidak membeda-bedakan baik laki-laki maupun perempuan dalam hal apapun. Perbedaannya hanya terletak pada ketaqwaan dan kualitas keimanannya kepada allah. Ayat ini mengajarkan tentang sikap penghargaan terhadap seseorang tanpa melihat warna kulit, suku, ras bahkan agama dan sebagainya. Karena sikap penghargaan terhadap seseorang diniati berdasarkan prestasi bukan prestise seperti fanatisme keturunan, maupun kesukuan. Dalam ke-Islaman sikap persamaan dan prinsip saling menghargai merupakan sarana untuk menciptakan tatanan masyarakat yang saling menghargai hak-hak manusia, persuasive bebas dari paksaan dan sikap diskriminatif. Selain itu, refleksi dari sikap egaliter dapat membentuk karakter muslim yang toleran yakni sikap saling pengertian kepada orang lain yang berbeda baik secara akidah maupun keyakinan beragama. Toleransi merupakan konsep ajaran Islam, hadir sebagai bukti adanya pengakuan Islam Islam terhadap hak-hak asasi masing-masing individu manusia. Being a good Moslem, harus tercermin dalam daily life-nya mencerminkan pribadi Muslim yang menyelamatkan, itu jauh lebih esensial. Kalau ada orang yang mengaku Islam akan tetapi membuat orang lain tidak merasa nyaman, merasa takut, pasti ada “something wrong” dibalik yang diyakininya tersebut. Dengan demikian, apapun yang tidak membuat proses damai atau mendamaikan bukanlah mencerminkan nilai-nilai agama Islam, meskipun dihadirkan dengan simbol-simbol keislaman. Jika menghendaki agar Islam benar-benar menjadi agama yang membawa rahmat bagi seluruh alam, maka kaum muslim dituntut untuk mengevaluasi pemahaman keagamaannya dan praktek keberagamaannya. Instrospeksi dan mawas diri atas segala sikap dan
316_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013
perilaku yang berkaitan dengan praktik agama islam. Jangan sampai kita mengklaim bahwa kelompok kita paling benar, sedangkan orang lain salah. Dalam pergaulan dengan siapapun maka kita harus melakukan pendekatan yang arif, toleransi dan ramah. Sikap-sikap seperti itu hanya bisa dilakukan dengan sikap dewasa dan hati yang tenang serta kepala dingin. Melalui pengembangan dan penerapan konsep-konsep toleransi yang baik dan sesuai dengan ajaran agama , maka Islam sebagai agama “Rahmatal lil ‘Alamin” bisa diharapkan dan dirasakan oleh semua pihak. Tanpa adanya toleransi dan dan mawas diri, maka penerapan ajaran agama akan sangat keras dan kaku, yang akhirnya bisa menimbulkan fanatisme golongan atau kelompok.
G. Pendidikan Sebagai Proteksi Ideal Sekalipun pendidikan bukanlah faktor langsung yang dapat menyebabkan munculnya gerakan terorisme, akan tetapi dampak yang dihasilkan dari suatu pendidikan yang keliru juga sangat berbahaya. Maka peran aktif dunia pendidikan dianggap vital sebagai proteksi dini secara menyeluruh untuk pencegahan gejala dan faham kekerasan atas nama agama, khususnya Pendidikan agama yang harus lebih diperhatikan. Ajaran agama yang mengajarkan toleransi, kesantunan, keramahan, membenci pengerusakan, dan menganjurkan persatuan tidak sering didengungkan. Retorika pendidikan yang disuguhkan kepada ummat lebih sering bernada mengejek daripada mengajak, lebih sering memukul daripada merangkul, lebih sering menghardik daripada mendidik. Maka lahirnya generasi umat yang merasa dirinya dan kelompoknyalah yang paling benar sementara yang lain salah maka harus diperangi, adalah akibat dari sistem pendidikan kita yang salah. Sekolah-sekolah agama dipaksa untuk memasukkan kurikulum-kurikulum umum, sementara sekolah umum alergi memasukan kurikulum agama. Dan tidak sedikit orang-orang yang terlibat dalam aksi terorisme justru dari kalangan yang berlatar pendidikan umum, seperti dokter,
Pencegahan Terorisme Melalui Tinjauan Agama dan Pendidikan _317
insinyur, ahli teknik, ahli sains, namun hanya mempelajari agama sedikit dari luar sekolah, yang kebenaran pemahamananya belum tentu dapat dipertanggungjawabkan. Atau dididik oleh kelompok Islam yang keras dan memiliki pemahaman agama yang serabutan. Maka dibutuhkan pengembangan pendidikan agama yang integrative atau menyeluruh untuk menghindari pemahaman agama secara parsial, Pendidikan dan Agama satu paket yang tidak bias dipisah pisahkan. Pendidikan agama memiliki kedudukan yang sangat penting dalam system pendidikan nasional. Secara eksplisit Undang- undang nomor 20/2003 menyebutkan bahwa pendidikan agama merupakan mata pelajaran yang wajib diajarkan di setiap jenjang dan jenis pendidikan. Pendidikan Agama diberikan sesuai dengan agama peserta didik dan diajarkan oleh guru yang seagama dan bertujuan untuk menumbuhkan dan membentuk manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa (Undang-undang Nomor 20/2003). Karena kedudukannya yang sangat penting, pendidikan agama seringkali menjadi indikator utama keberhasilan pendidikan, khususnya pembentukan moralitas peserta didik. Pendidikan agama seringkali menjadi tertuduh utama dan paling besar menanggung dosa atas merosotnya moralitas peserta didik. Pendidikan agama juga tidak jarang dijadikan kambing hitam atas masalah kenegaraan seperti separatisme Islam, terorisme, dan kekerasan bernuansa agama. Penilaian ini jelas tidak adil. Pendidikan agama bukanlah segala-galanya karena banyak variabel lain terkait dengan pendidikan. Namun pada sisi yang lain penilaian tersebut sungguh tidak berlebihan, karena faktanya membuktikan bahwasanya aksi kekerasan sebagaimana terorisme sebagian besar dilakukan oleh orang yang berpendidikan. Bertolak dari hal di atas, upaya pencegahan terorisme melalui pendidikan merupakan basis falsafah dalam pendidikan nilai, moral agama. Secara filosofis terorisme hanya dipahami sebagai tindakan merusak (fasilitas public, harmuni antar sesama dan stabilitas nasional)
318_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013
Ĩ$¨Ζ9$# “ω÷ƒr& ôMt6|¡x. $yϑÎ/ Ìóst7ø9$#uρ Îh9y ø9$# ’Îû ߊ$|¡xø9$# tyγsß
artikulasi nilai-nilai yang sudah mapan (established) dalam konstruksi sosial budaya masyarakat bahkan agama.
∩⊆⊇∪ tβθãèÅ_ötƒ öΝßγ¯=yè9s (#θè=ÏΗxå “Ï%©!$# uÙ÷èt/ Νßγs)ƒÉ‹ã‹Ï9
Demikianlah penjabaran singkat untuk penangkalan terorisme, semoga dapat bermanfaat. Tugas kita ke depan tentu sangat berat, maka diperlukan kerjasama yang sinergeis antara semua elemen bangsa, baik ulama, pemerintah, dan mengikis tindakan terorisme sampai ke akarakarnya. Paling tidak langkah itu dapat dimulai dengan cara meluruskan paham-paham öΝä3≈oΨù=yèy_uρ keagamaan 4©\s Ρé&uρ 9x.yang sŒ ⎯Ïmenyimpang iΒ /ä3≈oΨø)n=yzoleh$¯ΡÎ)ulama, â¨$¨menciptakan Ζ9$# $pκš‰r'¯≈tƒ keadilan dan stabilitas ekonomi dan politik oleh pemerintah. Serta menciptakan suasana kondusif bagi tumbuhnya tatanan masyarakat öΝä39sdamai, )ø?r& «!toleran, $# y‰ΨÏãaman, ö/ä3tΒtmerdeka, ò2r& ¨βÎ)religius, 4 (#þθèùu‘$yèbertaqwa tGÏ9 Ÿ≅Í←!$t7dan s%uρ $\memiliki /θãèä© yang semangat kecintaan tanah air yang kuat. Dengan langkah ini kita memohon kepada ∩⊇⊂Allah ∪ ×Î7Swt, yz îΛ⎧Îsemoga =tã ©!$#bangsa ¨βÎ) 4 dan negara kita terlindung dari bahaya terorisme, sesuai dengan janji dan spirit al-Qur’an:
ΝÍκön=tã $uΖóstGxs9 (#öθs)¨?$#uρ (#θãΖtΒ#u™ #“tà)ø9$# Ÿ≅÷δr& ¨βr& öθs9uρ (#θç/¤‹x. ⎯Å3≈s9uρ ÇÚö‘F{$#uρ Ï™!$yϑ¡¡9$# z⎯ÏiΒ ;M≈x.tt/ ∩®∉∪ tβθç7Å¡õ3tƒ (#θçΡ$Ÿ2 $yϑÎ/ Μßγ≈tΡõ‹s{r'sù
“Seandainya penduduk suatu kaum itu beriman dan bertakwa, maka niscaya akan kami bukakan pintu berkah kepada mereka dari arah langit dan bumi, akan tetapi mereka mendustkan (agama), maka akan kami binasakan mereka akibat dari perbuatanya itu sendiri” (Q.S. al-A’raf: 96). Demikian, Wallahu ‘alam.
Pencegahan Terorisme Melalui Tinjauan Agama dan Pendidikan _319
Daftar Pustaka Abimanyu, Bambang. 2005. Teror Bom di Indonesia, Jakarta : Grafindo. Arifin, Sifaul, Juli Antony, Raja, Nugroho, Irfan dan Amali, Irfan (eds.). 2002. Melawan Kekerasan tanpa Kekerasan. Jakarta: Pengurus Pusat Ikatan Remaja Muhammadiyah, The Asia Foundation, Pustaka Pelajar. H Purwanto, Wawan. 2004. Terorisme Ancaman Tiada Akhir, Jakarta :Grafindo. Hanif Hassan, Muhammad. 2007. Terorist Membajak Islam, Jakarta : Grafindo. Hendropriyono, A.M. 2009. Terorisme:Fundamentalis Kristen,Yahudi,Islam, Jakarta : Kompas. http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/03/25/mk6tleaksi-teroris-bisa-dicegah-via-tokoh-agamadengan memperketat pengamanannya. Juergensmeyer, Mark. Terorisme para pembela agama,terj.Amin Rozany Pane,Yogyakarta : Tarawang Press, 2003. Misrawi, Zuhairi. Pandangan Muslim Moderat; Toleransi,Terorisme dan Oase Perdamaian, Jakarta : Kompas, 2010. Nugroho, AS. 2009. Misteri Noordin M Top dan Jaringan Terorisme di Indonesia, Yogyakarta : Pustaka Timur. Qodir, Zuly. 2004. Syariah Demokratik, Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Ridwan, Nurkhalik. 2009. Doktrin Wahabi dan Benih Benih Radikalisme Islam, Yogyakarta : Tanah Air. Turner Johnson, James. 2002. Perang Suci Atas Nama Tuhan, Terj. Bandung :Pustaka Hidayah.
320_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013
Endnotes 1. Mengenai kecenderungan media untuk meliput melulu kekerasan atas
nama agama, dengan model penyajian yang dangkal dan lengkap, terang memerlukan pembahasan sendiri – yang bukan di sini tempatnya. Tetapi secara sederhana dapat dikatakan bahwa hal ini terkait dengan semacam rumus yang amat dipegang di dunia industri komunikasi, bahwa berita yang layak dijual adalah berita-berita mengenai korban dan kenestapaan. Rumus itu dikenal dengan “bad news adalah good news (untuk dijual).” Sebagian orang mengatakan, ini ada kaitannya dengan bawaan intrinsik manusia kepada kekerasan. Akan halnya soal kedangkalan berita, hal ini terkait dengan keinginan media, didorong oleh tingkat kompetisi yang makin tinggi, untuk menyajikan berita secepat – jadi jelas bukan sedalam atau selengkap – mungkin. Istilahnya: hard news atau breaking news, pokoknya berita saja. Sebagian orang mengatakan hal ini terkait dengan hasrat manusia modern yang makin meningkat akan informasi yang instan.
2. James Turner Johnson,Perang Suci Atas Nama Tuhan, Terj. Bandung :Pustaka Hidayah,2002 h.61
3. Mark Juergensmeyer,Terorisme para pembela agama,terj.Amin Rozany Pane,Yogyakarta : Tarawang Press, 2003, h.175
4. AS Nugroho, Misteri Noordin M Top dan Jaringan Terorisme di Indonesia, Yogyakarta : Pustaka Timur, 2009, h. 121
5. Muhammad Hanif Hassan, Terorist Membajak Islam, Jakarta : Grafindo, 2007, h.159-162
6. Muhammad Hanif Hassan, Terorist Membajak Islam, h.159-162 7. Bambang Abimanyu, Teror Bom di Indonesia, Jakarta : Grafindo, 2005, h.129
8. Wawan H Purwanto, Terorisme Ancaman Tiada Akhir, Jakarta :Grafindo, 2004, h.48
9. http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/03/25/mk6tleaksi-teroris-bisa-dicegah-via-tokoh-agamadengan pengamanannya.
memperketat
Pencegahan Terorisme Melalui Tinjauan Agama dan Pendidikan _321
10. Zuhairi Misrawi, Pandangan Muslim Moderat; Toleransi,Terorisme dan Oase Perdamaian, Jakarta : Kompas, 2010
11. Zuly Qodir, Syariah Demokratik, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004, h.40-47
12. Pernah diterbitkan dalam Sifaul Arifin, Raja Juli Antony, Irfan Nugroho, dan Irfan Amali (eds.), Melawan Kekerasan tanpa Kekerasan (Jakarta: Pengurus Pusat Ikatan Remaja Muhammadiyah, The Asia Foundation, Pustaka Pelajar, 2002), h. 67-84.
13. Klaim ini biasanya diikuti dengan upaya para agamawan untuk membedakan antara agama yang “benar” (atau autentik), yang dipandang hanya menyerukan perdamaian, dan agama yang “palsu,” yang dianggap lebih “militan,” “ekstremis” dan “fundamentalistik.” Pandangan ini mengecam para pemimpin politik yang membawabawa agama untuk mencapai kepentingan politik dan ekonomi sendiri. Agama, menurut sudut pandang ini, harus dibebaskan dari konsekuensi-konsekuensi tragis yang muncul dari “niat buruk” para pemimpin politik.
14. berjumpa dengan banyak orang, dari kalangan Islam di Indonesia, yang mengalami perubahan sikap seperti ini menyusul tidak tuntastuntasnya kasus pertikaian antara kalangan Islam dan Kristen di Ambon dan Maluku Utara. Mereka sebenarnya menyadari akar-akar non-agama pertikaian itu. Tetapi ketika kasus itu tidak juga tuntas, dan tidak ada tanda-tanda penuntasannya, sementara mereka didera dengan informasi mengenai korban yang terus berjatuhan, maka yang kemudian tumbuh dalam dada mereka adalah in-group feeling terhadap saudara-saudara seiman. Dalam penilaian mereka, lepas dari asal-usul sejatinya yang non-agama, yang mereka lihat belakangan ini pada akhirnya adalah sebuah aksi saling tumpas dan saling bunuh oleh orang-orang yang berbeda karena baju agamanya.
15. Dikutip dari Theodore M. Hesburgh, dalam “Foreword,” untuk R. Scott Appleby, The Ambivalence of the Sacred: Religion, Violence, and
322_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013
Reconcilliation (Lanham, Maryland: Rowman & Littlefield Publishers, Inc., 2000), h. ix.
16. A.M.Hendropriyono, Terorisme:Fundamentalis Kristen,Yahudi,Islam, Jakarta : Kompas, 2009. h. 7
17. Lihat lebih lengkap dalam pemaparan Nurkhalik Ridwan, Doktrin Wahabi dan Benih Benih Radikalisme Islam, Yogyakarta : Tanah Air, 2009
Role of Religious Affairs Office in Disseminating Prohibition of Interfaith Married as Efforts to Realize Harmonious (Sakinah)Family: Weighing The Principle of Faith and Welfare
Peran KUA Dalam Sosialisasi Tentang Larangan Pernikahan Beda Agama Sebagai Upaya Mewujudkan Keluarga Sakinah: Menimbang Prinsip Keyakinan dan Kemaslahatan
Abdul Jalil (KUA Pasar Minggu Jakarta Selatan) email : [email protected]
Abstract : Ideals of marriage is to realize that sakinah family, mawaddah and rahmah. Surely these ideals coupled with the efforts of the perpetrators of marriage (husband-wife) as well as related parties, both of each families of the couple nor the parties involved in this case is the KUA (Religious Affairs Office). When a marriage without any similarity in terms of principle (belief / religious) marriage between the two actors, will certainly lead to conflicts in married life. Many marriages cases happened in interfaith married and eventually lead to divorce. These cases occurred in many large cities, and most of the perpetrator is public figure, especially the artists. It is certainly noble ideals of marriage are not achieved. In this case, KUA (Religious Affairs Office) role will be crucial in minimizing and preventing such cases in the region.
324_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013
Abstraksi : Cita-cita pernikahan adalah mewujudkan keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Tentunya cita-cita tersebut dibarengi dengan usaha dari pelaku perkawinan (suami-istri) serta pihak-pihak yang terkait, baik masing-masing keluarga dari pasangan suami istri maupun pihak yang terkait dalam hal ini adalah KUA. Bila suatu perkawinan tanpa ada kesamaan dalam hal yang prinsipil (keyakinan/agama) antara kedua pelaku perkawinan, tentunya akan menimbulkan konflik dalam kehidupan berumah tangga. Banyak terjadi beberapa kasus perkawinan beda keyakinan yang pada akhirnya berujung pada perceraian. Kasus-kasus tersebut banyak terjadi di kota besar, dan pelakunya kebanyakn publik figur, terutama para artis. Yang tentunya cita-cita luhur perkawinan tidak akn tercapai. Di sini peran KUA akan sangat penting dalam meminimalisir dan mencegah kasus-kasus tersebut di wilayahnya. Keyword: Interfaith, KUA (Religious Affairs Office), Public Figures, divorce
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pernikahan merupakan ikatan suci yang sangat agung, al-Qur’an menyebutnya dengan mîtsâqan ghalîzhan1 (perjanjian yang amat kokoh). Indikator kokohnya perjanjian tersebut adalah dua kalimat suci yang dikenal dengan ijâb-qabûl, yakni ikrar bersama antara calon isteri melalui walinya dan calon suami untuk hidup bersama dalam mewujudkan kebahagiaan. Karena itu, ijab-qabul hanya menjadi retorika semata, jika kebahagiaan tidak dapat dirasakan secara bersama oleh suami dan isteri.2 Sebagaimana ditegaskan al-Qur’an:
وﻣﻦ اﻳﺘﻪ ان ﺧﻠﻖ ﻟﻜﻢ ﻣﻦ اﻧﻔﺴﻜﻢ ازواﺟﺎ ﻟﺘﺴﻜﻨﻮا اﻟﻴﻬﺎ وﺟﻌﻞ ﺑﻴﻨﻜﻢ . ﻣﻮدة ورﲪﺔ ان ﰲ ذﻟﻚ ﻻﻳﺖ ﻟﻘﻮم ﻳﺘﻔﻜﺮون “Di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia telah menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan
وﻫﻲ ﻧﻮر ﰱ اﻟﻘﻠﺐ،ﻣﺎ ﳚﺪﻩ اﻟﻘﻠﺐ ﻣﻦ اﻟﻄﻤﺄﻧﻴﻨﺔ ﻋﻨﺪ ﺗﻨﺰل اﻟﻐﻴﺐ وﻫﻮ ﻣﺒﺎدى ﻋﲔ اﻟﻴﻘﲔ،ﻳﺴﻜﻦ إﱃ ﺷﺎﻫﺪﻩ وﻳﻄﻤﺌﻦ
Peran KUA Dalam Sosialisasi Tentang Larangan Pernikahan Beda Agama _325
sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir”. (QS al-Rum/30:21).3 Pernyataan ayat di atas menunjukkan bahwa untuk mewujudkan kebahagian dalam rumah tangga, dibutuhkan persamaan prinsip antara suami-isteri. Ini berarti, pernikahan tidak hanya mengikat perihal fisik dan materi, melainkan mencakup tataran ideal spiritual, yaitu unsurunsur ruhaniyah.4 Kata “azwâjan” pada surat ar-Rum ayat 21 mengandung isyarat, bahwasanya suami-isteri harus seiring sejalan dalam upaya merealisasikan tujuan mereka melangsungkan pernikahan,5 betapa pun secara fisik memiliki perbedaan. Dalam pandangan Islam, kehidupan keluarga akan terwujud secara sempurna jika suami-isteri berpegang teguh pada ajaran yang sama. Perbedaan keyakinan di antara kedua belah pihak, seringkali menimbulkan berbagai kesulitan di lingkungan keluarga dalam pelaksanaan ibadah, pendidikan anak, pengaturan makanan serta pengamalan yang menyangkut tradisi keagamaan, seperti: perayaan ‘Idul Fitri, Natal dan lain-lain. Apabila suami-isteri diilustrasikan dengan nahkoda kapal, maka keduanya harus seiring sejalan mempunyai prinsip dan tujuan yang sama. Kapal tidak akan sampai ke tujuan, bahkan mungkin tenggelam di tengah lautan, karena kedua nahkoda bertengkar mempertahankan prinsipnya masing-masing. Berdasarkan itu, Islam menganjurkan agar melangsungkan pernikahan antara dua orang yang seagama. Namun realitasnya, di tengah-tengah masyarakat kita telah terjadi pernikahan beda agama yang banyak ditemui di kalangan para artis. Beberapa deretan artis yang melakukan nikah beda agama antara lain: Jamal Mirdad (Muslim) dan Lydia Kandau (Kristen), Katon Bagaskara (Kristen) dan Ira Wibowo (Muslimah), Adi Subono (Muslim) dan Chrisye (Kristen), Henry Siahaan (Kristen) dan Yuni Sara (Muslimah), Ari Sihasale (Kristen) dan Nia Zulkarnaen (Muslimah), Dedi Kobusher (Kristen) dan Kalina (Muslimah), Frans (Kristen) dan Amara (Muslimah), Sony Lauwany (Muslim) dan
326_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013
Cornelia Aghata (Kristen) serta masih banyak lagi. Di antara mereka ternyata tidak bisa mempertahankan kelangsungan rumah tangganya, yang berakhir dalam perceraian. Seperti: Jamal Mirdad-Lydia Kandau, Katon Bagaskara-Ira Wibowo, Henry Siahaan-Yuni Sara dan Dedi Kobusher-Kalina. Sesungguhnya kasus perceraian pasangan suami isteri dari pernikahan beda agama banyak terjadi di tengah-tengah masyarakat, namun karena tidak tercatat pada institusi resmi, baik KUA maupun Catatan Sipil, maka data tersebut sulit diungkap. Fakta empiris di atas menunjukkan bahwa praktik pernikahan beda agama tetap berjalan, meskipun kalangan ulama dan tokoh Islam telah menyampaikan larangan melakukannya. Dikatakan Ahmad Nurcholis, salah satu pelaku pernikahan beda agama dan penulis buku “Menjawab 101 Masalah Nikah Beda Agama”, sejak tahun 2004 hingga 2012 tercatat ada 1.109 pasangan yang melakukan pernikahan beda agama, dengan jumlah terbesar adalah pasangan antara Islam dan Kristen, lalu Islam dan Katolik, kemudian Islam dan Hindu, selanjutnya Islam dan Budha. Adapun yang paling sedikit yaitu pasangan Kristen dan Budha.6 Pembicaraan al-Qur’an tentang pernikahan, meliputi: anjuran nikah, wanita-wanita yang boleh dan tidak boleh dinikahi, serta batasan jumlah yang diperbolehkan.7 Al-Qur’an menganjurkan kepada hamba Allah agar menikah, dan melarangnya berbuat zina.8 Mengenai wanita-wanita yang tidak boleh dinikahi, al-Qur’an menyebutkan: ibu kandung, ibu tiri dan nenek seterusnya ke atas, anak kandung dan seterusnya ke bawah, saudari kandung seayah seibu maupun seayah atau seibu saja, saudari sesusuan, ibu isteri (mertua), anak perempuan isteri yang sudah digauli, isteri anak kandung (menantu), dan diharamkan pula menikahi dua perempuan yang bersaudara.9 Al-Qur’an juga melarang menikahi wanita musyrik (QS alBaqarah/2:221). Berkaitan dengan ayat ini, para mufassir berbeda pendapat tentang hukum menikahi wanita ahl al-kitâb (Yahudi dan Nasrani/Kristen). Sebagian mufassir berpendapat, kata musyrikah dan
Peran KUA Dalam Sosialisasi Tentang Larangan Pernikahan Beda Agama _327
musyrikin di dalam ayat ini umum, untuk semua orang kafir, termasuk ahl al-kitab. Yang lain berpendapat bahwa larangan yang dipahami dari ayat itu telah dihapus oleh QS al-Maidah/5:4. Pendapat pertama, yang melarang menikahi wanita-wanita ahl al-kitab, mengacu kepada sumber Ibn Umar dan dijadikan pegangan oleh madzhab Zaidiyah. Ibn Umar dikenal sangat hati-hati, sehingga pendapatnya yang melarang itu agaknya dilatarbelakangi oleh sikap kehati-hatian serta kekhawatiran akan keselamatan akidah/agama suami-isteri dan anak-anak. Pendapat kedua dan ketiga, yang membolehkan menikahi wanita-wanita ahl alkitab, dipegang oleh mayoritas ulama.10 Untuk memahami kontroversi di kalangan ulama mengenai keabsahan pernikahan beda agama, tidaklah mudah bagi kalangan masyarakat muslim. Dalam hal ini, diperlukan pemahaman komprehensif tentang ayat-ayat dan hadits-hadits yang berkaitan dengan hukum munâkahât, serta tinjauan sosiologis bahkan politis didasarkan pada komparasi peraturan dan perundang-undangan yang berlaku sebagai pertimbangan kemaslahatan. Peran KUA jelas sangat urgen dalam memberikan penerangan kepada masyarakat muslim mengenai maksud positif dari larangan pernikahan beda agama di Indonesia yang dituangkan di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan diperkuat oleh Kompilasi Hukum Islam serta Fatwa MUI, agar bisa ditemukan kejelasan status hukumnya. Berdasarkan uraian di atas, penulis memilih judul penelitian: “Peran KUA Dalam Sosialisasi Tentang Larangan Pernikahan Beda Agama Sebagai Upaya Mewujudkan Keluarga Sakinah: Menimbang Prinsip Keyakinan Dan Kemaslahatan”. Penelitian ini akan mengungkap urgensi kesamaan akidah (keyakinan) bagi pasangan suami isteri dalam membangun rumah tangga yang harmonis dalam bingkai keluarga sakinah. Betapa pun pernikahan beda agama merupakan fakta yang telah terjadi sejak zaman Rasulullah saw dan para sahabat hingga sekarang, namun patut dikaji maslahat serta mudharatnya. KUA sebagai lembaga pernikahan, memiliki peran strategis untuk menyosialisasikan kepada masyarakat muslim
328_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013
di Indonesia agar tidak melakukan pernikahan beda agama, karena dipandang sisi kemudharatan lebih besar dibanding kemaslahatan.
B. Perumusan Masalah Sebelum menguraikan perumusan masalah, terlebih dahulu penulis akan memaparkan pengertian beberapa istilah yang terdapat dalam susunan judul penelitian tersebut. Ini dimaksudkan untuk memudahkan sistematika berpikir di dalam merumuskan pokok masalah yang diangkat. Peran ialah “pemain atau tindakan yang dilakukan dalam suatu peristiwa”.11 Bila dikaitkan dengan KUA pada judul penelitian, berarti “bagian penting yang dimainkan untuk mempengaruhi masyarakat mengikuti opini”. Sosialisasi ialah “proses belajar seorang anggota masyarakat untuk mengenal dan menghayati kebudayaan masyarakat dalam lingkungannya”.12 Jadi, sosialisasi mengandung arti “proses pembelajaran untuk mengenalkan sesuatu yang belum diketahui, sehingga menjadi bagian yang inheren di masyarakat”. Menurut Prof. Masjfuk Zuhdi, yang dimaksud dengan pernikahan beda agama yaitu: “perkawinan orang Islam (pria/wanita) dengan orang bukan Islam (pria/wanita)”.13 Mengenai masalah ini, Islam membedakan hukumnya pada tiga katagori: pernikahan antara seorang pria muslim dengan wanita musyrik; pernikahan antara seorang pria muslim dengan wanita ahl al-kitab; dan pernikahan antara seorang wanita muslimah dengan pria non muslim. Istilah keluarga sakinah berasal dari dua kata, yakni “keluarga dan sakinah”. Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan, keluarga ialah “pasangan yang terdiri dari suami isteri dengan anak-anaknya”. Ini dinamakan keluarga inti. Sedangkan yang tidak hanya terdiri atas suami, isteri dan anak, tetapi juga mencakup adik, kakak ipar, keponakan dan sebagainya dikenal dengan sebutan keluarga besar.14
وﻫﻮ ﻣﺒﺎدى ﻋﲔ اﻟﻴﻘﲔ،ﻳﺴﻜﻦ إﱃ ﺷﺎﻫﺪﻩ وﻳﻄﻤﺌﻦ اﻟﻴﻬﺎ وﺟﻌﻞ ﺑﻴﻨﻜﻢPeranﻟﺘﺴﻜﻨﻮا وﻣﻦ اﻳﺘﻪ ان ﺧﻠﻖ ﻟﻜﻢ ﻣﻦ اﻧﻔﺴﻜﻢ ازواﺟﺎ KUA Dalam Sosialisasi Tentang Larangan Pernikahan Beda Agama _329 . ﻣﻮدة ورﲪﺔ ان ﰲ ذﻟﻚ ﻻﻳﺖ ﻟﻘﻮم ﻳﺘﻔﻜﺮون زوال اﻟﺮﻋﺐ
Kata Sakinah, secara harfiah artinya “ketenangan”. Al-Raghib alAshfahaniy mengartikan al-sakinah dengan ungkapan: (hilangnya kecemasan dan rasa takut).15 Sementara al-Syarif ‘Ali bin Muhammad al-Jurjaniy mendefinisikan al-sakinah sebagai berikut:
وﻫﻲ ﻧﻮر ﰱ اﻟﻘﻠﺐ،ﻣﺎ ﳚﺪﻩ اﻟﻘﻠﺐ ﻣﻦ اﻟﻄﻤﺄﻧﻴﻨﺔ ﻋﻨﺪ ﺗﻨﺰل اﻟﻐﻴﺐ وﻫﻮ ﻣﺒﺎدى ﻋﲔ اﻟﻴﻘﲔ،ﻳﺴﻜﻦ إﱃ ﺷﺎﻫﺪﻩ وﻳﻄﻤﺌﻦ “Ketenangan yang ditemukan oleh hati ketika datang keraguan. Ketenangan tersebut merupakan cahaya yang ada dalam hati yang memberi ketenteraman kepada orang yang menyaksikannya, berdasarkan penglihatan yang meyakinkan (ainul yakin)”.16
زوال اﻟﺮﻋﺐ
Dari penjelasan itu dapat disimpulkan, bahwa keluarga sakinah adalah keluarga yang tenang, tenteram, bahagia dan sejahtera lahir batin. Sejalan dengan penegasan sabda Rasulullah saw: “Baiti Jannati” (rumah tanggaku laksana surgaku). Dalam sebuah do’a, surga diungkapkan dengan “Dar al-Salam”, yang artinya: “tempat yang tenang dan tenteram”. Beranjak dari sinilah, penulis merumuskan pokok masalah sebagai obyek kajian, antara lain: 1. Bagaimana peran KUA dalam sosialisasi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam dan Fatwa MUI yang melarang pernikahan beda agama? 2. Adakah Korelasi antara nikah seagama dengan terbentuknya keluarga sakinah? 3. Sejauh mana pengaruh nikah beda agama terhadap problem rumah tangga? 4. Di mana letak strategis KUA sebagai lembaga pernikahan dalam upaya mewujudkan keluarga sakinah?
330_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Melalui kajian ini, diharapkan masyarakat muslim dapat mengetahui kedudukan dan hukum pernikahan beda agama secara komprehensif, yakni tidak hanya dilihat dari aspek teologis, melainkan perspektif sosialekonomi bahkan politik. Indonesia adalah Negara yang hingga sekarang melarang pernikahan beda agama, sementara praktik nikah beda agama cenderung bertambah dan meningkat. Keberadaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam dan Fatwa MUI yang melarang pernikahan beda agama seharusnya bisa dijadikan rujukan dan payung hukum. Dengan penelitian inilah, akan terungkap bahwa peran KUA sebagai lembaga pernikahan sangat penting dalam memberikan pelayanan publik, tidak hanya menyangkut pelaksanaan pencatatan peristiwa nikah, namun juga berkait dengan perihal penyelamatan pendangkalan akidah akibat nikah beda agama. Hasil studi ini diharapkan bisa menjadi salah satu kontribusi pemikiran untuk memperkaya kepustakaan, khususnya di lingkungan Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah. Sejalan dengan sabda Rasulullah saw: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat untuk sesamanya”.
D. Metode Penelitian Penelitian ini bercorak library murni, dalam arti semua sumber datadatanya berasal dari bahan-bahan tertulis yang berkaitan dengan topik yang dibahas. Adapun metode yang digunakan adalah pendekatan komparatif (perbandingan), yaitu “usaha membandingkan dua pokok bahasan, yakni bahasan materi tentang larangan pernikahan beda agama dan bahasan materi keluarga sakinah untuk ditelaah secara kritis yang didasarkan atas argumen-argumen naqly (Qur’an dan Hadits), aqly (logika), sejarah atau argumen lain yang dianggap relevan”.
Peran KUA Dalam Sosialisasi Tentang Larangan Pernikahan Beda Agama _331
Sedangkan analisis data terhadap dua pokok bahasan tersebut, penulis menggunakan metode deduktif, yakni mengambil kesimpulan (pengertian) khusus dari kesimpulan umum.17 Selama kajian berlangsung, seluruh argumentasi yang mendukung penyusunan tulisan ini adalah bersumber dari buku-buku, jurnal, surat kabar dan tulisan-tulisan ilmiah yang memiliki keterkaitan dengan obyek yang dikaji. Sementara teknis penulisannya menggunakan Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) yang disusun Tim Penulis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.18
Hubungan Fungsional KUA dan Keluarga Sakinah Kantor Urusan Agama (KUA) adalah instansi di lingkungan Kementerian Agama yang melaksanakan sebagian tugas pemerintah di bidang agama Islam, yang berada di wilayah kecamatan.19 Keberadaan KUA yang berhadapan langsung dengan masyarakat, seringkali disebutnya sebagai ujung tombak Kementerian Agama. Jika melihat sejarah, lahirnya KUA hanya berselang sepuluh bulan dari kelahiran Departemen Agama, yaitu tanggal 21 Nopember 1946. Ini menunjukkan bahwa KUA memiliki peran yang sangat strategis dalam mewarnai kehidupan keagamaan di masyarakat. Di masa penjajahan Belanda, tugas dan fungsi KUA telah diatur dan diurus oleh lembaga Kantor Voor Inslanche Zaken (Kantor Urusan Pribumi) yang didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda. Unit kerja tersebut dibuat untuk mengordinir tuntutan pelayanan di bidang keperdataan umat Islam yang merupakan produk pribumi. Kemudian, kelembagaan ini dilanjutkan oleh penjajah Jepang melalui lembaga sejenis dengan sebutan Shumbu. Pada masa kemerdekaan, KUA dikukuhkan melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 Tentang Pencatatan Nikah, Talak, Cerai dan Rujuk (NTCR). Berdasarkan Undang-Undang ini, pada mulanya kewenangan KUA sangat luas, tidak hanya menyangkut nikah dan rujuk (NR),
332_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013
melainkan juga masalah talak dan cerai. Tetapi dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, maka kewenangan talak dan cerai diurus oleh Pengadilan Agama. Kebanyakan masyarakat masih memandang KUA hanya sebagai lembaga yang memproduk legalitas formal dalam bentuk pelayanan administrasi pencatatan pernikahan. Realitas ini tertanam dalam opini publik yang tumbuh subur akibat minimnya informasi dan sosialisasi dari pihak KUA tentang fungsi dan keberadaan instansi tersebut. Peran yang menonjol dari pelayanan pencatatan nikah oleh para penghulu, melahirkan stigma bahwa KUA merupakan “tempat menikah” saja, padahal tugas dan fungsinya bukan hanya itu. Sesungguhnya KUA mengurusi banyak hal yang urgen, bukan saja masalah pencatatan nikah, namun masalah lainnya yang menyangkut hajat keagamaan masyarakat, antara lain: pembinaan kemasjidan dan ibadah sosial, pengurusan zakat, wakaf dan baitul mal, sertifikasi dan labelisasi produk halal, pengembangan keluarga sakinah serta administrasi ibadah haji.20 Ini semua merupakan aspek penting yang dapat mengisi kehidupan masyarakat muslim di Indonesia. Adapun peran KUA selama ini sebagai berikut: 1. Pelayanan bidang administrasi. Sebagai unit pelaksana operasional Kemenag, mekanisme kegiatan perkantoran ditandai aktivitas pelayanan administrasi dalam bentuk pelayanan dan bimbingan agama pada masyarakat sebagai wujud koordinasi baik vertikal maupun khorisontal, yang meliputi: administrasi NR, kemasjidan, perwakafan, bimbingan keluarga sakinah, zakat dan ibadah sosial, serta administrasi keuangan. 2. Pelayanan bidang kepenghuluan. KUA adalah satu-satunya lembaga pemerintah yang berwenang melakukan pencatatan pernikahan di kalangan umat Islam. Artinya, eksistensi KUA tidak semata-mata karena pemenuhan tuntutan birokrasi, tetapi secara substansial
Peran KUA Dalam Sosialisasi Tentang Larangan Pernikahan Beda Agama _333
bertanggungjawab penuh terhadap pelaksanaan keabsahan sebuah pernikahan. 3. Pelayanan bidang perkawinan dan keluarga sakinah. Keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat yang akan berkembang menjadi tatanan masyarakat yang lebih luas. Karena itu, pembinaan keluarga sakinah sangat penting, sebab akan mewujudkan masyarakat yang rukun, damai dan bahagia baik secara fisik maupun psikologi. Pembinaan ini tidak hanya diberikan kepada mereka yang akan menikah, tetapi juga kepada masyarakat secara umum untuk mewujudkan tujuan perkawinan yang dicita-citakan. Untuk mencapai tujuan itu, peran KUA sangat dibutuhkan. 4. Pelayanan bidang perwakafan. Tanah wakaf bukan semata-mata aset umat, tetapi juga aset bangsa. Untuk itu perlu pengelolaan secara optimal dan professional yang dilegitimasi dengan kekuatan hukum, sehingga tidak menimbulkan permasalahan, seperti: pembatalan, pengalihan status, diperjualbelikan dan lainnya. Berdasarkan ini, KUA perlu secara intensif memberikan bimbingan dan pelayanan agar tanah wakaf yang ada dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin, sehingga tepat guna dan tepat sasaran. 5. Pelayanan bidang zakat dan ibadah sosial. Zakat dan ibadah sosial adalah modal dasar pembangunan kesejahteraan umat, dan merupakan salah satu sumber dana untuk mengentaskan kemiskinan. Guna lebih menyadarkan dan menggairahkan masyarakat dalam mengeluarkan zakat dan infaknya, diperlukan bimbingan terutama dalam upaya menggali potensi dana umat melalui zakat mal, tijarah, profesi dan lainnya. Di sini peran KUA sangat diperlukan guna menggerakkan tokoh agama dan masyarakat, sehingga semakin sinergis dalam menyosialisasikan fungsi dan peran zakat serta infak di tengah umat. Pada gilirannya, kesadaran masyarakat semakin meningkat dalam menyalurkan zakatnya, terutama kepada lembaga zakat yang diakui pemerintah, seperti Badan Amil Zakat (BAZ), Lembaga Amil Zakat
334_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013
(LAZ), dan Unit Pengumpul Zakat (UPZ). 6. Pelayanan bidang kemasjidan dan kehidupan beragama. Sebagai aparat Kemenag di tingkat kecamatan, KUA berkewajiban memberikan bimbingan dalam mewujudkan idarah, imarah dan ri’ayah masjid. Selain itu, juga mengordinir segala kegiatan keagamaan (Islam) di wilayahnya, meliputi penerangan/penyuluhan agama, bimbingan dan penyelenggaraan ibadah haji, serta memberikan dorongan dan pembinaan kepada masyarakat dalam memenuhi kebutuhan sarana dan pra sarana kehidupan beragama. 7. Pelayanan bidang pangan halal dan kemitraan umat Islam. Karena petunjuk teknisnya masih belum jelas, maka KUA bersama Kankemenag Kabupaten/Kota hanya melaksanakan sebatas sosialisasi. 8. Penyuluhan dan Sosialisasi Undang-Undang Perkawinan. Di masyarakat masih sering dijumpai perkawinan yang belum sesuai ketentuan agama dan perundang-undangan, khususnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Berkenaan dengan hal ini, penghulu dan kepala KUA harus berperan aktif memberi penyuluhan kepada masyarakat tentang peraturan dan perundang-undangan tersebut. Sungguh ideal peran KUA yang disebutkan di atas, dan jika terealisasikan, tentu konstruksi masyarakat muslim yang diidamidamkan akan terwujud seperti masyarakat madani yang dibangun Rasulullah saw di Madinah. Institusi yang berada di tingkat kecamatan ini, ternyata begitu penting kedudukan dan perannya. Anak-anak bangsa yang akan berumah tangga, terlebih dahulu melewati legalitas KUA. Kualitas masyarakat muslim sangat ditentukan dengan kualitas keluarga, yang akhirnya akan mewarnai kualitas bangsa. Gerakan mewujudkan keluarga sakinah harus dipelopori oleh KUA sebagai lembaga pernikahan yang ditunjuk resmi pemerintah. Sosialisasi mengenai urgensi kesamaan akidah (keyakinan) dalam
Peran KUA Dalam Sosialisasi Tentang Larangan Pernikahan Beda Agama _335
pernikahan perlu ditekankan kepada masyarakat muslim, agar mereka menghindari nikah beda agama. Mewujudkan keluarga sakinah akan mendapat halangan serta hambatan dari pasangan suami isteri yang berbeda keyakinan. Rasulullah saw mengajarkan agar suami, isteri dan anak-anak seiring sejalan dalam tuntunan al-Qur’an dan Sunnah.
Gerakan Keluarga Sakinah Dengan Meneladani Rumah Tangga Rasulullah SAW Islam adalah ajaran agung yang mengusung cita-cita mulia, yaitu membentuk tatanan masyarakat yang terukir dalam kerangka kebersamaan hidup. Dalam skala luas, kerangka tersebut termaktub di dalam hidup bertetangga atau hidup bernegara. Sedangkan dalam skala mini, bisa disaksikan pada kehidupan berumah tangga. Dalam tataran praktis, pembentukan masyarakat itu harus mengacu pada contoh absolut yang menjadi barometer tunggal dalam kehidupan Islam, yaitu prilaku Rasulullah saw. Beliau adalah suri teladan yang ideal dan begitu agung. Al-Qur’an menegaskan: “Sungguh telah ada pada diri Rasulullah saw itu suri teladan yang baik bagi kamu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kehidupan) hari akhirat serta banyak menyebut (berdzikir) kepada Allah”. (QS al-Ahzab/33:21). Menurut Ibn Katsir, “Allah menyebutkan kalimat bagi siapa yang mengharap (rahmat) Allah dan hari akhirat, adalah untuk menggugah hati orang-orang yang beriman agar meneladani Rasulullah saw”.21 Dengan demikian, umat Islam harus sepakat bahwa tidak ada seorang pun manusia yang paling pantas menjadi figur untuk dicontoh dan diteladani, kecuali Rasulullah saw. Berkenaan dengan ini, Syeikh Khalid Abd al-Rahman al-‘ak menafsirkan “uswah al-hasanah” (suri teladan yang baik) dengan ungkapan: qudwah shalihah fi kull al-umur (contoh yang baik dalam segala hal),22 termasuk perihal rumah tangga. Setiap muslim pasti mengidamkan rumah tangga yang harmonis. Siapa pun yang ingin mewujudkannya, mau tidak mau harus mengikuti
336_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013
pola hidup yang benar dan lurus, yakni perikehidupan Rasulullah saw, termasuk di dalamnya aplikasi adab pergaulan beliau dalam berumah tangga. Rasulullah saw adalah teladan yang baik. Sisi kemanusiaannya terungkap indah. Keteladanan tersebut dibuktikan melalui perilakunya di dalam keluarga maupun masyarakat. Dalam mengayuh bahtera rumah tangga, beliau tidak mendudukan dirinya laksana penguasa, dan para anggota keluarganya sebagai hamba. Beliau menjadikan semua bagian yang sama penting dari satu tubuh. Contoh kongkret yang bisa kita perhatikan, beliau mengerjakan pekerjaan rumah tangga, seperti menjahit baju yang sobek, mengasuh anak, dan bahkan cucu-cucunya. Sebagaimana lazimnya manusia biasa, Rasulullah saw menjalani hidup berkeluarga. Padanya terdapat pula perasaan yang bersifat manusiawi seperti halnya yang dimiliki seluruh umat manusia, antara lain: sehat, sakit, susah, senang, suka, duka, cemas, takut, khawatir, harapan, kecewa, cinta dan rindu.23 Dalam menyelesaikan setiap persoalan, Rasulullah saw menyontohkan cara penyelesaian yang manusiawi. Sebuah praktik hidup, yang dimaksudkan agar mampu dilakukan oleh orang kebanyakan. Cara beliau menyelesaikan perkara rumah tangganya merupakan acuan yang terbaik bagi kita yang mengaku sebagai umatnya. Di bawah naungan ajaran Islam yang teduh, dan di dalam lingkaran perikehidupan yang berasaskan ajaran Rasulullah saw, sebuah kehidupan rumah tangga akan menjadi taman surgawi yang bertabur kenikmatan. Namun realitas menunjukkan, di tengah-tengah masyarakat muslim telah muncul kebiasaan yang kontradiktif dengan perilaku Rasulullah saw menyangkut perihal berumah tangga. Pasangan suami isteri begitu mudah menempuh jalur perceraian ketika ada masalah keluarga yang sebenarnya dapat diselesaikan dengan musyawarah. Agar keluarga sakinah tidak hanya berhenti dalam cerita, atau pertunjukan tahunan melalui program pemilihan keluarga sakinah mulai
Peran KUA Dalam Sosialisasi Tentang Larangan Pernikahan Beda Agama _337
dari tingkat kota, provinsi dan nasional, maka gerakan mewujudkan keluarga sakinah dengan upaya maksimal meneladani rumah tangga Rasulullah saw, harus menjadi program prioritas KUA yang notabenenya sebagai lembaga pernikahan. Pembekalan pra nikah melalui kursus calon pengantin perlu ditingkatkan kualitasnya, baik yang berkaitan dengan materi, nara sumber maupun fasilitas penunjang. Bahkan KUA diharuskan mewajibkan dengan sangat kepada para calon pengantin yang akan menikah agar mengikuti pembekalan tersebut. Penyuluhan kepada masyarakat mengenai keluarga sakinah sangat penting, peran para penghulu dan penyuluh agama Islam diharapkan bisa maksimal dalam sosialisasi gerakan mewujudkan keluarga sakinah.
PENUTUP A. Kesimpulan Pada prinsipnya, Islam melalui penegasan al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 221 telah melarang pernikahan antara seorang yang beragama Islam dengan seorang yang tidak beragama Islam. Adapun izin menikah seorang pria Muslim dengan seorang wanita Ahl al-Kitab (Yahudi dan Kristen) berdasarkan QS al-Maidah ayat 5, hanyalah dispensasi bersyarat, yakni kualitas iman dan Islam pria Muslim tersebut harus baik, sebab pernikahan semacam ini mengandung risiko yang tinggi: “pindah agama atau bercerai”. Karena itu, pernikahan pria Muslim dengan wanita Ahl alKitab hanyalah suatu perbuatan yang dihukumi “mubah” (boleh dilakukan), tetapi bukan anjuran, apalagi perintah. Sahabat Umar bin Khattab juga menunjukkan sikap tidak setuju kepada sahabat Hudzaifah bin al-Yaman dan Thalhah yang menikahi wanita Yahudi dan Kristen, karena khawatir diikuti kaum muslimin lainnya, sehingga mereka akan menjauhi wanitawanita Muslimah. (Al-Thabari, Jami’ al-Bayan, Jilid 2, h.. 377-378). Beranjak dari pertimbangan kemaslahatan, yaitu tindakan preventif untuk mencegah terjadinya kemurtadan dan kehancuran rumah tangga akibat pernikahan beda agama, maka dapat ditegaskan bahwa
338_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013
pernikahan yang paling ideal sesuai petunjuk QS ar-Rum ayat 21, dan yang bisa membawa kepada keselamatan di dunia maupun akhirat serta keluarga yang bahagia: sakinah, mawaddah dan rahmah adalah pernikahan dengan orang yang seagama. Dalam kaidah Ushul fiqh dikatakan: Dar’ al-Mafâsid Muqaddam ‘alâ Jalb al-Masâlih. “menghindari kerusakan harus didahulukan dari pada mengambil kemaslahatan.” Dengan demikian, ajaran Islam harus tetap dijadikan dasar untuk menentukan sah tidaknya suatu pernikahan. Pertimbangan agama harus diprioritaskan, jangan sampai dikalahkan oleh yang lain. Selaras dengan pesan Nabi Muhammad saw: “Wanita itu dinikahi karena empat hal: hartanya, kecantikannya, keturunannya dan kualitas agamanya. Pilihlah wanita yang baik kualitas agamanya, niscaya engkau beruntung”. (Riwayat Bukhari dan Muslim). Teks hadits di atas mengisyaratkan, apabila calon isteri dituntut memiliki kualitas iman dan Islam yang baik, konsekuensi logisnya, apalagi calon suami yang notabenenya akan menjadi pemimpin utama (imam) dalam keluarga. Seorang imam sudah pasti akan diikuti oleh makmumnya sebagai barometer di dalam beraktivitas. Laksana tongkat yang diikuti bayangannya, jika tongkat itu lurus, bayangan pun akan lurus, dan seandainya tongkat itu bengkok, bayangan pun akan ikut bengkok. Maka bagaimana mungkin isteri dan anak-anak akan berada di jalan yang lurus, bila suami berada di jalan yang sesat. Pesan al-Qur’an dalam surat al-Baqarah ayat 187: “Para isteri ibarat pakaian bagi para suami, dan kalian wahai para suami adalah pakaian bagi para isteri”. Ini menandaskan betapa pentingnya kesamaan akidah. Di Indonesia, melalui penegasan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Bab I Pasal 2 ayat (1), Kompilasi Hukum Islam Pasal 40 ayat (c) dan Pasal 44, serta Fatwa MUI, pernikahan
Peran KUA Dalam Sosialisasi Tentang Larangan Pernikahan Beda Agama _339
beda agama itu dilarang. Dengan demikian, secara administratif tidak memiliki kekuatan hukum, sebab baik KUA maupun Catatan Sipil tidak akan melakukan pencatatan peristiwa nikah beda agama. Melakukan pernikahan beda agama berarti tidak mengindahkan Undang-Undang dan peraturan yang berlaku di negeri ini. Konsekuensi logisnya, pasti akan mengalami berbagai permasalahan dalam rumah tangganya. Karena itu, tidak mungkin bisa mewujudkan keluarga yang sakinah. Dari sinilah KUA hendaknya berperan aktif untuk melakukan sosialisasi kepada masyarakat muslim, bahwa nikah beda agama dampak negatifnya lebih besar, yang akan berpengaruh terhadap kelangsungan rumah tangga. Multi keyakinan dalam sebuah keluarga bisa menyebabkan banyak gesekan, apalagi jika sudah menyangkut praktik ibadah yang tidak dapat dicampur aduk. Peran KUA mengenai hal ini, bisa dituangkan dalam program kursus calon pengantin sebagai pembekalan pra nikah atau bekerja sama dengan para penyuluh agama, agar menyampaikan materi tentang larangan pernikahan beda agama di berbagai masjid dan majelis-majelis taklim. B. Saran-saran Pertama, ditujukan kepada umat Islam, supaya memahami esensi pernikahan yang termaktub di dalam al-Qur’an dan Sunnah, dan bekali diri dengan pengetahuan seputar munakahat sebelum membangun rumah tangga. Pilihlah pasangan hidup yang seiman dalam satu keyakinan, serta prioritaskan kualitas agamanya. Kedua, bagi para akademisi yang senantiasa berkecimpung dengan kajian keislaman, agar bijak dalam memandang persoalan nikah beda agama, tidak melihat hanya dari sudut teologis, namun perspektif sosiologis dan yang lainnya. Sehingga keberadaan Undang-Undang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam dan Fatwa MUI tidak dipandang secara parsial. Ketiga, ditujukan kepada KUA, hendaknya berperan di tengah-tengah masyarakat, tidak hanya berkaitan dengan pelaksanaan pencatatan
340_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013
administrasi pernikahan, tetapi menyangkut peningkatan kualitas pemahaman keislaman di kalangan masyarakat muslim. Seperti: mengadakan kajian-kajian keislaman, bahsul masail, penataran dan sebagainya. Keempat, diharapkan kepada pemerintah selaku pemegang kebijakan, agar bisa memperhatikan KUA sebagai ujung tombak bidang keagamaan di tingkat kecamatan dengan memberikan anggaran operasional yang pantas dan memadai. Sehingga program-program yang diamanatkan Kementerian Agama mengenai: pelayanan prima, keluarga sakinah dan kerukunan antar umat beragama dapat direalisasikan.
Peran KUA Dalam Sosialisasi Tentang Larangan Pernikahan Beda Agama _341
Daftar Pustaka
Abd al-Rahman al-‘Ak, Khalid, Shafwah al-Bayan Li Ma’aniy al-Qur’an alKarim, Beirut: Dar al-Basyair, Cet. ke-1. Anshari, Ibn Manzhur al, Lisan al-Arab, Mesir: al-Dar al-Misriyyat li alTa’lif wa al-Nashr, tth., Vol. 12. Ashfahaniy, al-Raghib al, Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an, Beirut: Dar al-Fikr, 1432 H/2010 M. Bakry, Hasbullah, Sistematik Filsafat, Jakarta: Widjaya, 1981, Cet. ke-7 Cawidu, Harifuddin, Dr., Konsep Kufr Dalam al-Qur’an, Jakarta: Bulan Bintang, 1991, Cet. ke- 1. Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1999, Cet. ke-10. Dimasyqiy, ‘Imad al-Din Abi al-Fida’ Ismail bin Umar bin Katsir alQurasyiy al, Al- Mishbah al-Munir fi Tahdzib Tafsir Ibn Katsir, Riyadh: Dar al-Salam li al-Nasyr wa al-Tauzi, 1421 H/2000 M, Cet. ke-2. Jurjaniy, al-Syarif ‘Ali bin Muhammad al, Al-Ta’rifat, Dar al-Kutub alIslamiyah, 1433 H/2012 M, Cet. ke-1. Mudzhar, Mohammad Atho, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah Studi Tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia 1975-1988, Jakarta: INIS, 1993, Seri INIS XVII. Nasuhi, Hamid, et. al., Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, Dan Disertasi), Jakarta: CeQDA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007, Cet. ke-2. Ridha, Muhammad Rasyid, Tafsir al-Manar, Kairo: Dar al-Manar, 1367 H, Jilid 6. Sahabuddin, et.al., (ed), Ensiklopedia Al-Qur’an: Kajian Kosakata, Jakarta: Lentera Hati, 2007, Cet. ke-1, Jilid 2.
342_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013
Shabuni, Muhammad ‘Ali al, Rawa’i al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min alQur’an, Kairo: Dar al-Shabuniy, 2007 M/1428 H, Juz 1, Cet. ke-1 Shihab, M. Quraish, Dr., Wawasan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1996, Cet. ke-3. Syahrastani, Abu al-Fath Muhammad Abd al-Karim ibn Bakr Ahmad al, Al-Milal wa al-Nihal, Beirut: Dar al-Fikr, tth. Thabathaba’i, Muhammad Husayn al, Al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, Teheran, Mu’assasat Dar al-Kutub al-Islamiyyat, 1396 H, vol. 1. Zuhdi, Masjfuk, Prof. Drs., Masail Fiqhiyah, Jakarta: Toko Gunung Agung, 1997, Cet. ke-10.
Peran KUA Dalam Sosialisasi Tentang Larangan Pernikahan Beda Agama _343
Endnotes
1. QS al-Nisa/4:21. 2. Selaras dengan Bab I Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, bahwa “Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
3. Kementerian Agama RI, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Direktorat Urusan Agama Islam, Al-Qur’an Dan Terjemahnya, Jakarta: PT. Tehazed, 2010, 572.
4. Dalam Kompilasi Hukum Islam, Bab II Pasal 2 dinyatakan: “Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”.
5. Bab II Pasal 3: “Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.
6. http://www.hidayatullah.com/read/21989/31/03/2012 7. Sahabuddin, et. al., (ed), Ensiklopedia Al-Qur’an: Kajian Kosakata, Jakarta: Lentera Hati, 2007, Cet. ke-1, Jilid 2, h. 727.
8. QS al-Nur/24:32-33. 9. QS al-Nisa’/4:23. 10. Sahabuddin, et al., (ed), Ensiklopedia Al-Qur’an…..h.727 11. Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1999, Cet. ke-10, h. 751.
12. Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 958.
344_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013
13. Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, Jakarta: Toko Gunung Agung, 1997, Cet. ke-10, h. 4
14. Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 471.
15. Al-Raghib al-Ashfahaniy, Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an, Beirut: Dar al-Fikr, 1432 H/2010 M, h.178.
16. Al-Syarif ‘Ali bin Muhammad al-Jurjaniy, Al-Ta’rifat, Beirut, Dar alKutub al-Islamiyah, 1433 H/2012 M, Cet. ke-1, h. 135.
17. Hasbullah Bakry, Sistematik Filsafat, Jakarta: Widjaya, 1981, Cet. ke-7, h. 35.
18. Hamid Nasuhi, et. al., Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, Dan Disertasi), Jakarta: CeQDA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007, Cet. ke-2.
19. KMA Nomor 517 Tahun 2001 dan PMA Nomor 11 Tahun 2007. 20. Hasil Rakernas Penyelenggaraan haji tahun 2006 di Jakarta, menyepakati bahwa KUA diikutsertakan sebagai pelayan haji kepada masyarakat dan calon jemaah haji.
21. Abi al-Fida’ al-Hafizh Ibn Katsir al-Dimasyqiy, Tafsir al-Qur’an alAzhim, Beirut: Dar al-Fikr, 1992, vol. 3, h. 574.
22. Khalid Abd al-Rahman al-‘ak, Shafwah al-Bayan Li Ma’aniy al-Qur’an al-Karim, Beirut: Dar al-Basyair, 1994, Cet. ke-1, h. 420.
23. Ditegaskan dalam QS al-Kahfi/18:110: “Sesungguhnya aku adalah manusia biasa seperti kalian”.
NU’s Mosque and the Empowerment of Nahdliyin Society: Between Idea and Fact
Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Masjid Masjid NU dan Pemberdayaan Masyarakat Nahdliyin: Antara Cita dan Fakta
A. Musthofa Asrori Ciganjur Centre - Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, email : [email protected]
Abstract : The mosque is the main vehicle to set our relationship with God (hablun minallah) and a runway to bridge our relation with the fellow human beings (hablun min al-nas). Unfortunately, during this time the mosque as a place of worship for Muslims is only meant as a sacred place literally. It means that the society put the mosque only as a place of prayer, chanting, and worship. No wonder if it emerges the phenomenon of siltation on the meaning of the mosque. Instead, if examining more deeply, there are many useful things that can be moved from the mosque. Many things which profane in nature, are discussed in the mosque. Therefore, revitalizing the role of the mosque is needed. Historically record, since the prophetic era the mosque was not only to be a place of praying (bowing), but also a reference to found the solutions of various
346_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013 problems in the society. Beside as a place of worship, the mosque was also functioned as a place of many society’s activitites such as deliberation, discussing the economic issues, spot of treatment, education, litigation, managing strategic war, etc. All Muslims have to participate in prospering the mosque. If the mosque prospered, it can prosper the community around it. This study aims to capture the fact that the mosque is only a place of worship and then formulate an idea of empowering people through the mosque. The study uses the methode of content analysis based on the result of research and textbook which related to the focus of study. The conclusion of the study is the dialectical relationship between the fact of development of the mosque that could not progress the society yet, and the idea of the empowering society based on the mosque. The study is expected to be a reference to develop the mosque and the empowerment of society for present and the next future.
Abstraksi : Masjid merupakan sarana utama mengatur relasi kita dengan Allah (hablun minallah) dan landasan pacu menjembatani relasi kita dengan sesama manusia (hablun min al-nas). Sayangnya, selama ini masjid sebagai tempat ibadah kaum muslimin hanya dimaknai sebagai tempat suci secara literal. Artinya, masyarakat hanya memposisikan masjid sebagai tempat shalat, mengaji, dan beribadah saja. Tak heran jika muncul fenomena pendangkalan atas pemaknaan masjid. Padahal, jika ditelisik lebih mendalam, terdapat banyak hal bermanfaat yang bisa digerakkan dari masjid. Hal-hal yang bersifat profan banyak dibahas di masjid. Oleh karena itu, revitalisasi peran masjid sangat dibutuhkan. Sejarah mencatat, sejak zaman Nabi masjid tak sekadar tempat shalat (bersujud), melainkan juga rujukan mencari solusi bagi aneka permasalahan di masyarakat. Selain sebagai tempat beribadah, masjid juga berfungsi sebagai tempat berbagai kegiatan kehidupan masyarakat seperti melakukan perundingan, membicarakan masalah ekonomi, tempat pengobatan, pendidikan, pengadilan, mengatur strategi perang, dan lain-lain. Seluruh kaum muslimin wajib turut serta memakmurkan masjid. Jika masjid makmur, maka masjid akan mampu memakmurkan masyarakat sekitar. Studi ini bertujuan untuk memotret fakta bahwa masjid hanya sebagai tempat ibadah lalu merumuskan sebuah cita-cita memberdayakan masyarakat melalui masjid. Penelitian ini menggunakan metode content analysis berdasarkan hasil riset dan buku teks yang berkaitan dengan fokus studi. Kesimpulan dari studi ini adalah hubungan dialektis antara fakta pengembangan masjid yang belum bisa
Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Masjid Masjid NU dan Pemberdayaan Masyarakat Nahdliyin _347 memajukan masyarakat dan cita-cita pemberdayaan masyarakat berbasis masjid. Diharapkan studi ini menjadi referensi bagi pengembangan masjid dan pemberdayaan masyarakat pada masa sekarang dan yang akan datang. Keywords : DMI, LTM NU, Masdar Farid Mas’udi, Empowerment.
A. Pendahuluan Masjid merupakan satu institusi sentral dalam peradaban Islam dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sejarah kaum muslimin.1 Dari institusi ini, tumbuh dan berkembang pesat khazanah pemikiran dan keilmuan serta strategi pemberdayaan dan penguatan kapasitas kaum muslimin. Seiring perkembangan zaman yang kian mengglobal dan beranak-pinaknya manusia, masyarakat membutuhkan pengelolaan masjid2 yang profesional, transparan, dan berkualitas. Hal ini wajar mengingat peran sentral masjid dalam membentuk suatu masyarakat berperadaban tinggi sebagaimana terjadi pada era keemasan Islam. Di masjid, ibadah didirikan dan jamaah disusun dengan shaf yang rapi dan dalam barisan yang rapat. Ajaran ini hendak memberi pengertian bahwa dengan jamaah maka umat akan kuat. Sebagai tempat suci kaum muslimin, masjid memiliki peran amat krusial dan penting dalam membangun serta memberdayakan kaum muslimin khususnya dan masyarakat pada umumnya. Salah satu bagian dari upaya mencerdaskan umat dan menanamkan budi pekerti (akhlâq) islami adalah menggerakkan potensi masyarakat secara maksimal dan terpadu dengan memakmurkan masjid atau surau (mushallâ). Dus, mendorong derap pembangunan fisik dan semangat pembangunan non-fisik dari masjid itu sendiri melalui kemandirian yang menjadi tumpuan harapan bagi pembinaan anak negeri merupakan keniscayaan. Dalam pengamatan penulis, di banyak tempat terjadi pembangunan dan renovasi fisik masjid yang menghabiskan dana ratusan bahkan milyaran rupiah. Para pengurus Dewan Kemakmuran Masjid (DKM)
348_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013
seolah berlomba satu sama lain agar masjid di wilayahnya tampak gagah dan indah. Pengelolaan dana pun dimaksimalkan dengan berbagai cara, misalnya, menggelar sorban amal dan memutar “roda kotak jariyah” pada even-even tertentu seraya mendorong para jamaah untuk turut serta membantu pembangunan masjid. Gayung pun bersambut. Para jamaah dengan sukarela menyisihkan harta bendanya demi pembangunan dan renovasi masjid tersebut. Sudah tentu, sikap tersebut sangat dibanggakan lantaran kaum muslimin makin menyadari bahwa perintah membangun masjid selain merupakan kewajiban sekaligus menjadi kebutuhan. Sayangnya, pemahaman mereka terkait perintah membangun masjid hanya dipahami secara literal saja. Artinya, pembangunan fisik masjid lebih mereka pentingkan dari pada pembangunan non-fisik. Misalnya, bagaimana cara memakmurkan masjid dengan kegiatan-kegiatan yang berdampak langsung dengan kebutuhan masyarakat belum sepenuhnya dipikirkan secara mendalam. Begitu pembangunan atau renovasi selesai, maka selesai pula tugas panitia pembangunan. Demikian pula para jamaah. Mereka cukup melaksanakan shalat berjamaah di masjid yang baru lalu kembali ke rumah masing-masing. Tidak ada aktivitas yang mencolok di masjid tersebut selain kegiatan peribadatan sehari-hari. Padahal, banyak hal yang bisa dilakukan di serambi masjid, misalnya, belajar membaca al-Qur’an bagi anak-anak dan remaja masjid. Dalam ajaran Islam, umat memang diperintahkan membangun masjid, khususnya di mana kaum muslimin bertempat tinggal. Bahkan di tempat tinggal seperti rumah yang cukup besar, juga diperintahkan agar menyediakan ruangan khusus untuk sembahyang. Banyak hadis Rasulullah yang memerintahkan kepada kaum muslimin untuk membangun masjid, yang dapat disimpulkan bahwa rumah yang paling dicintai Allah adalah rumah yang di dalamnya terdapat ruangan khusus untuk sembahyang. Sementara daerah yang paling dicintai Allah adalah daerah yang memiliki masjid. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a, Nabi SAW,:
Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Masjid Masjid NU dan Pemberdayaan Masyarakat Nahdliyin _349
“Bagian negeri yang paling Allah cintai adalah masjid-masjidnya, dan bagian negeri yang paling Allah benci adalah pasar-pasarnya.” (HR. Muslim). Salah satu ciri dari masyarakat Islam atau suatu daerah Islam adalah adanya bangunan masjid. Sebaliknya, menjadi amat ironis nan tragis apabila di sebuah kawasan yang dihuni mayoritas kaum muslimin tidak terdapat satu pun bangunan masjid. Tegasnya, merupakan kewajiban bagi kaum muslimin dalam suatu tempat yang belum terdapat masjid atau jika mengetahui bahwa di suatu daerah yang dihuni umat Islam belum dibangun masjid, untuk saling gotong-royong membangun sebuah masjid. Dalam catatan Dewan Masjid Indonesia (DMI), negara kita dewasa ini memiliki setidaknya 250 ribu masjid dan 550 ribu mushalla di seluruh penjuru Nusantara. Sementara itu, dari data Departemen Agama (kini Kementerian Agama) pada tahun 2004, jumlah masjid di Indonesia sebanyak 643.834 buah, meningkat dari data tahun 1977 yang baru berjumlah 392.044 buah. Diperkirakan, jumlah masjid dan mushalla di negeri ini pada kisaran antara 700 hingga 800 ribu buah.3 Bahkan, dalam catatan Wapres Boediono diperkirakan jumlah masjid dan mushalla di seantero Republik Indonesia saat ini hampir menembus angka 1 juta.4 Sayangnya, keberadaan masjid-masjid tersebut tak banyak memberi manfaat bagi kaum muslimin dalam arti yang sesungguhnya. Dalam artinya, bangunan gagah yang tinggi menjulang dengan beberapa menara indah tersebut belum memiliki program nyata untuk pemberdayaan masyarakat. Agaknya ada kecenderungan masjid masa kini justru jauh dari fungsi sejatinya. Oleh karena itu, untuk mendukung kemajuan pendidikan Islam, misalnya, DMI akan membuka 10.000 Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di masjid dan mushalla dalam waktu lima tahun. Muhammad Jusuf Kalla (JK) selaku ketua umum DMI sangat bersemangat merubah kesan masjid menjadi lebih membumi. JK menyebut zaman dahulu anak-anak yang shalat di masjid sering disuruh keluar lantaran sering ribut, bermain-main, sehingga menyebabkan
350_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013
sampah di mana-mana, kotor, dan lain-lain. Namun, sekarang ini justru harus dirubah pola-pola lama itu. Sekarang justru anak-anak harus didorong untuk berangkat ke masjid, mengikuti pendidikan di masjid dan menjadi bagian penting kehidupan masjid. Sejatinya masjid dan surau (mushalla) memiliki hubungan kuat dengan pesantren. KH Masdar Farid Mas’udi sering menyebut bahwa hubungan masjid dan pesantren begitu harmonis. Dia pernah berfilosofi, jika pesantren adalah mata air, maka masjid merupakan petak-petak sawah yang akan diairi oleh mata air tersebut. Jika pesantren menjadi basis kulturalnya, maka masjid merupakan basis pergerakannya. Ya, masjid dan pesantren merupakan dua sisi mata uang yang saling terkait, karenanya tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Sayangnya, fungsi dan peran masjid belakangan ini banyak mengalami pergeseran. Padahal pada zaman Rasulullah SAW, selain untuk rumah ibadah, masjid juga bisa berfungsi sebagai pusat pemerintahan termasuk pengadilan, termpat bermusyawarah, sampai tempat mengatur strategi perang, termasuk simulasi ketangkasan prajurit sebelum maju ke medan pertempuran. Selain itu, isu soal perekonomian dan kemaslahan umat juga dibicarakan. Pada era kenabian, masjid memang multi-fungsi. Dengan kata lain, masjid merupakan pusat aktivitas umat. Sayangnya, fungsi dan peran sentral itu kini tidak lagi tampak dan dapat dinikmati kaum muslimin, khususnya warga Nahdliyin. Mengapa penulis membatasi hanya pada warga NU? Pasalnya, persoalan kemasjidan hemat penulis memang sedang menggejala di lingkungan Nahdliyin. Berbeda misalnya dengan warga Muhammadiyah. Kebijakan organisasi persyarikatan ini sedari awal telah melakukan labelisasi masjid dengan gelar “taqwa”. Di manapun Anda melihat ada “masjid taqwa”, hampir bisa dipastikan, itu masjid milik warga Muhammadiyah. Meski demikian, mereka juga memiliki problem kemasjidan yang kurang lebih sama dengan NU. Ya, banyak masjid Muhammadiyah yang “dicuri” oleh para aktivis transnasional yang berideologi radikal.
Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Masjid Masjid NU dan Pemberdayaan Masyarakat Nahdliyin _351
Tegasnya, baik NU maupun Muhammadiyah sama-sama sedang prihatin menghadapi gerakan “golongan lain” yang tidak ikut “berkeringat” membangun masjid, namun mereka kini yang menguasai masjid. Pada titik ini, muncul anekdot, suatu ketika dalam acara silaturrahim antar ormas Islam di Jakarta, seorang pengurus NU mengeluh kepada pengurus Muhammadiyah. Bahwa masjid-masjid milik orang NU dulu masih ada pembacaan qunut saat shalat Subuh. Kemudian malam Jum’at dilaksanakan yasinan, tahlilan, dan manakiban, juga tradisi lain semisal pembacaan Barzanji atau Maulid Rasulullah, namun kini tak ada lagi. Tak ayal, warga NU pun prihatin. Curahan hati (curhat) pengurus NU ini agaknya hendak menyindir pengurus Muhammadiyah yang biasa shalat Subuh tidak membaca qunut dan anti-yamatasho5 (yasinan, manakiban, tahlilan, dan shalawatan). Alih-alih pengurus Muhammadiyah merasa kasihan, ia malah berang dan marahmarah. Ia lalu menimpali, jika NU cuma qunut dan yamatasho-nya yang dicuri, lebih tragis lagi Muhammadiyah lantaran masjid-masjidnya sekalian dibawa kabur orang.6 Humor di atas menunjukkan betapa pengurus NU dan Muhammadiyah kali ini satu hati mencermati gerakan sistematik dari kelompok politik dan faham keagamaan tertentu yang merebut masjid-masjid NU dan Muhammadiyah demi kepentingan mereka.
B. Peran Umara dan Ulama Pada titik ini, kehadiran pemerintah (umarâ’) membentengi masjid dari program purifikasi tentu sangat diperlukan. Pasalnya, jika masjidmasjid yang didirikan para ulama dan tokoh masyarakat setempat yang mayoritas memiliki ideologi moderat dikuasai oleh sekelompok orang berpaham radikal-transnasional tentu akan membahayakan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Betapa tidak, dengan dikuasainya masjid-masjid tersebut kian membuat mereka leluasa untuk menyebarkan doktrin-doktrin keagamaan yang mereka impor dari luar
352_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013
negeri. Kita lihat saja fenomena di kota-kota besar. Banyaknya aliran yang mengedepankan pemikiran radikal, pelan namun pasti dapat mempengaruhi cara pandang masyarakat awam. Negara harus hadir di tengah-tengah masyarakat yang berpotensi terjadi konflik horizontal di kalangan akar rumput (grass root). Peran pemerintah dalam mengendalikan aliran-aliran menyimpang ini tentu dalam ranah proporsional. Karena masjid-masjid tersebut berada di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Jika terjadi halhal yang dapat merongrong kewibawaan negara, maka hal tersebut patut dikendalikan sedini mungkin agar tak merembet ke wilayah yang membahayakan. Tegasnya, kontrol dari pemerintah amat diperlukan di samping kontrol dari masyarakat sendiri. Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama, dengan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam (Ditjen Bimas Islam) sebagai ujung tombaknya harus dapat mengambil peran maksimal. Penulis sepakat dengan Edi Junaedi, staf ahli Wakil Menteri Agama RI, yang menyatakan bahwa Bimas Islam harus berada di garda paling depan agar masjid (dan mushalla) dikembalikan pada “fitrah”-nya, yaitu bukan hanya sebagai tempat shalat dan ibadah murni, tetapi juga sebagai media pemberdayaan umat dan pembangunan peradaban Islam secara umum.7 Persoalan kemasjidan tentu bukan melulu kepada faktor eksternal semata, semisal fenomena purifikasi, namun juga persoalan internal, yakni kualitas keberagamaan kaum muslimin yang kian terkikis habis oleh arus globalisasi, akses informasi yang luas, dan dunia digital yang pada titik tertentu kian binal. Ya, peran masjid tidak berbanding lurus dengan kualitas keberagamaan umat Islam. Meningkatnya perilaku korupsi, tindak kekerasan, dan aneka macam tindak kriminalitas yang kian memprihatinkan menjadi bukti bahwa fungsi masjid dan perilaku umat belum memiliki ketersambungan satu sama lain. Tragisnya, kita justru sering terjebak dengan rasa bangga
Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Masjid Masjid NU dan Pemberdayaan Masyarakat Nahdliyin _353
lantaran meningkatnya jumlah masjid dan mushalla, namun tidak sensitif terhadap realitas dekadensi moral, bahkan terkesan permisif terhadap perilaku umat, khususnya remaja yang sedang dalam pencarian jati diri yang kian menjauh dari nilai-nilai agama. Melihat fenomena tersebut, kaum Nahdliyin juga harus mewaspadainya. Adanya gerakan “penjarahan” masjid NU oleh kelompok-kelompok tertentu pada gilirannya nanti akan menjadi bumerang bagi ormas Islam yang selama ini telah membentengi Republik ini dengan faham Islam Indonesia yang moderat dan mengedepankan toleransi tinggi. Tragisnya lagi, mereka mengambilalih tanah wakaf dan sekaligus si wakif (umat yang mewakafkan tanahnya), serta mengganti ajarannya. Ada beberapa langkah yang harus dilakukan warga Nahdliyin untuk menyelamatkan masjid-masjid Jâmi’ ala NU: Pertama, tentu harus memperbanyak lambang NU. Labelisasi sebagaimana telah dilakukan Muhammadiyah tentu harus dimulai sejak dini. Dengan demikian, akan dengan mudah terdeteksi mana masjid NU, mana pula yang non NU. Hal ini penting karena pada intinya NU merupakan organisasi berbasis masjid. Sebagai Wakil Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia, KH Masdar Farid Mas’udi sering mewanti-wanti kepada warga Nahdliyin agar tidak mengambil hak orang lain. Sebaliknya, warga Nahdliyin juga dilarang berdiam diri ketika haknya diambil orang. Mengambil hak orang (kelompok) itu jahat. Tapi membiarkan haknya diambil orang itu bodoh. Oleh karena itu, jika masjid NU ada tandanya NU, tentu pelanggaran hak bisa diminimalisasi. Selain itu, yang terpenting adalah supaya orang-orang NU tergugah untuk memakmurkan masjidnya. “Jadi lambang itu bukan sekedar mengaku miliknya, tapi juga menggugah tanggungjawab,” tegas Kiai Masdar suatu ketika. Kini, sangat dibutuhkan upaya gerakan sosial-keagamaan yang menjadikan masyarakat sebagai sasaran utama. Kemakmuran masjid adalah titik tolak bagi usaha memakmurkan masyarakat. NU mempunyai
354_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013
dua basis penting penopang perjuangannya, yaitu pesantren dan masjid. Dalam sebuah seminar tentang kemasjidan, Kiai Masdar menjelaskan, bagi kebanyakan orang, masjid hanya berfungsi sebagai sarana ritual ibadah. Pemahaman ini dinilai menyimpang dari fungsi sesungguhnya yang dipesankan filosofi tata ruang masjid yang terbagi antara ruang dalam dan ruang serambi. Bagian dalam dan bagian serambi masjid, adalah cermin tentang orientasi hidup manusia yang memiliki hubungan dengan Tuhan (hablum minallâh) dan hubungan antar-manusia (hablum min an-nâs). Konsekuensinya, hal ini menuntut peran masjid, selain sebagai rumah ibadah, juga sebagai rumah menangani persoalanpersoalan umat. Masdar mendorong masjid-masjid berbasis Nahdliyin untuk kembali kepada filosofi ini. Sebab diakui telah terjadi pergeseran luar biasa mengenai fungsi masjid akhir-akhir ini. Terlebih, masjid menjadi pusat vital yang mempunyai daya jangkau hingga di tingkat paling bawah. Baginya, pengurus NU sebenarnya itu ada di masjid, bukan di pusat. Karena para pengurus ta’mir masjid itulah yang selama ini bersentuhan langsung dengan masyarakat akar rumput (grass root). Filosofi tersebut telah dipraktikkan Nabi sejak pendirian masjid pertama di Madinah, yakni masjid Nabawi. Rasulullah dan para sahabat menggunakan masjid untuk banyak hal, tidak melulu soal ibadah, namun juga termasuk menyangkut urusan-urusan pendidikan, ekonomi, dan sosial kemasyarakatan. Teladan Nabi ini patut dikembangkan di Indonesia sebagai upaya menuju kemakmuran masjid.
C. Peran LTM NU Sebagai sebuah lembaga8 resmi di lingkungan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Lembaga Ta’mir Masjid (LTM) memiliki tugas utama, yakni melaksanakan kebijakan Nahdlatul Ulama di bidang pengembangan dan pemberdayaan Masjid. Lahan LTM yang sangat jelas dan konkrit inilah yang menjadikan lembaga ini dekat dengan warga
Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Masjid Masjid NU dan Pemberdayaan Masyarakat Nahdliyin _355
Nahdliyin, mengingat garapannya adalah basis pergerakan NU, yakni masjid yang tersebar di seluruh penjuru Nusantara. Garapan yang besar inilah yang menjadikan para pengurus LTM nampak seperti pasukan khusus yang diterjunkan untuk menggawangi masjid-masjid yang didirikan warga Nahdliyin. Aneka kegiatan dan program pun dihelat untuk menemukan format ideal memakmurkan masjid. Di antaranya adalah pendidikan dan pelatihan (diklat) untuk para penggerak (muharrik) masjid di beberapa daerah. Sebagaimana diberitakan di NU Online, Pengurus Pusat LTM NU menggelar diklat perdana bagi muharrik (penggerak) masjid se-Jawa Barat bertempat di eks asrama haji, Cirebon, Jawa Barat, pada Sabtu, (18/5). Kegiatan tersebut merupakan tindak lanjut program Rapimnas LTM NU se Indonesia, dan bentuk revitalisasi masjid sebagai pusat gerakan kepedulian sosial dan pusat pemberdayaan ekonomi umat. Sang penggerak (muharrik), menurut ketua LTM NU, KH A Manan A Gani, adalah orang yang kerjanya mengatur dan menggerakan para takmir masjid dengan memanfaatkan segala sumber daya dan dana yang dimiliki masjid. Dengan demikian, muharrik bukan termasuk pengurus masjid, melainkan seorang yang ditunjuk atau diangkat PP LTM NU untuk menjalankan tugas dengan cara mendampingi para takmir masjid dalam rangka implementasi memakmurkan masjid yang dituangkan dalam tujuh agenda revitalisasi masjid.9 Setidaknya ada lima program penguatan masjid yang ditawarkan LTMNU. Kelima aksi masjid tersebut berdasarkan tujuh harapan jamaah. Harapan tersebut tertuang dalam doa mereka selepas shalat. Allâhuma innî as’aluka 1) salâmatan fi al-dîn, 2) wa ‘âfiyatan fi al-jasad, 3) wa ziyâdatan fi al-‘ilm’, 4) wa barakatan fi al-rizq’, 5) wa taubatan qabla al-maut, 6) wa rahmatan ‘inda al-maut, 7) wa maghfiratan ba’da al-maut. Doa orang di masjid itu kemudian dijabarkan PP LTMNU periode 2010-2015 sebagai program dasar. Rinciannya sebagai berikut. Pertama, peningkatan ajaran Ahlussunah wal-Jamaah ‘alâ tharîqah Nahdliyah, wa Syarî’ah ‘ala madzhab al-arba’ah, wa tharîqah ’alâ tharîqah al-Imâm Junaid al-Baghdâdî wa Imâm al-
356_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013
Ghazâlî. Kedua, pelayanan kesehatan berbasis masjid, yaitu menjadikan masjid sebagai Balai Kesehatan Masyarakat (Balkesmas). Paling tidak, kata ketua LTM, setiap masjid kecamatan diharapkan punya satu poliklinik. Ketiga, peningkatan kualitas pendidikan berbasis masjid, baik pendidikan formal maupun non formal. Keempat, pemberdayaan ekonomi jamaah; mulai dari informasi peluang usaha, pengkaderan enterpreneur, kerja sama kemitraan, sampai pembentukan wadah perekonomian seperti baitul mal masjid, Koperasi Masjid NU (Kopmasnu), dan lembaga keuangan syariah. Kelima, pusat pertaubatan, yakni menjadikan masjid sebagai wadah dan usaha membangun masyarakat “husnul khotimah”. Untuk menjalankan program itu, menurut Kiai Manan, harus menciptakan aktivis masjid yang hatinya selalu terpaut kepada masjid. Orang seperti tersebut adalah salah satu dari tujuh golongan yang akan dinaungi perlindungan Allah pada hari kiamat.10 Kreativitas para pengurus LTM ini layak diapresiasi. Meski demikian, warga Nahdliyin tetap perlu memberikan kritik yang membangun demi kemajuan LTM itu sendiri dan terutama demi kemajuan institusi kemasjidan. Hemat penulis, LTM sedapat mungkin bekerja sama dengan lembaga lain demi efektivitas program yang telah ditetapkan. Dengan menjalin kerja sama tentu ada banyak hal yang bisa didapatkan oleh kedua pihak. Sudah pasti keuntungan dapat diraih dari pelaksanaan kerja sama kelembagaan ini.
D. Peran DMI Ada satu lembaga lagi yang mengurusi persoalan kemasjidan, yakni Dewan Masjid Indonesia (DMI). Dalam website resmi DMI dijelaskan bahwa awal mula berdirinya organisasi ini bermula dari pertemuan para tokoh Islam yang dihadiri oleh H. Rus›an (Dirjen Bimas Islam) dan Wakil Walikota Jakarta Pusat, H. Edi Djajang Djaatmadja. Keduanya kemudian membentuk panitia untuk mendirikan Dewan Kemakmuran Masjid Seluruh Indonesia (DKMSI). Lalu, pada 16 Juni 1970 disusunlah formatur
Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Masjid Masjid NU dan Pemberdayaan Masyarakat Nahdliyin _357
yang diketuai oleh KH. MS. Rahardjo Dikromo yang beranggotakan H. Sudirman, KH. MS. Rahardjo Dikromo, KH. Hasan Basri, KH. Muchtar Sanusi, KH. Hasyim Adnan, BA dan KH. Ichsan. Tepatnya pada tanggal 22 Juni 1972 rapat tim formatur memutuskan untuk mendirikan Dewan Masjid Indonesia (DMI).11 Organisasi DMI didirikan oleh delapan organisasi kemasjidan, yakni: 1) Persatuan Masjid Indonesia (PERMI), 2) Ikatan Masjid dan Mushalla Indonesia (IMAMI), 3) Ikatan Masjid Indonesia (IKMI), 4) Majelis Ta’miril Masjid Muhammadiyah, 5) Hai’ah Ta’miril Masjid Indonesia (HTMI), 6) Ikatan Masjid dan Mushalla Indonesia Muttahidah (IMMIM), 7) Majelis Kemasjidan Al-Washliyah, 8) Majelis Kemasjidan Majelis Dakwah Islamiyah (MDI). Para ulama dan tokoh masyarakat (zuama’) turut serta membidani lahirnya ormas ini. Antara lain: 1) KH Taufiqurrahman, 2) Mayjen H Sudirman, 3) Jend. Polisi (purn) H Sutjipto Judodihardjo, 4) Kol. H Karim Rasyid, 5) Brigjen Raharjo dikromo, 6) Kolonel H Soekarsono, 7) H Syarbaini Karim dan lain-lain.12 Pada deklarator DMI ini memiliki semangat juang yang tinggi sehingga organisasi ini memiliki peran signifikan di masyarakat. Belakangan, pengurus DMI di bawah kepemimpinan mantan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla kian aktif menggerakkan roda organisasi. Wakil Presiden Boediono saat membuka Muktamar ke-6 Dewan Masjid Indonesia, pada 27 April 2012, menyampaikan setidaknya tiga hal yang berkaitan dengan pengelolaan masjid. Pertama, masjid merupakan usaha bersama yang harus dikelola secara profesional. Imam masjid tentu adalah orang benar-benar fasih dan memahami seluk beluk aturan agama, dan pengurus masjid adalah pengelola yang berkomitmen dan mampu menjaga dan memelihara bangunan dan seluruh aspek kegiatan masjid. Kedua, masjid sebagai tempat suci untuk melaksanakan ibadah yang diperintahkan Tuhan harus menjadi contoh sebagai tempat paling bersih di antara tempat-tempat lain. Kebersihan, terutama di tempat berwudhu
358_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013
(baca: toilet), serta aroma yang sedap di lingkungan masjid akan menambah kekhusyukan dalam beribadah. Kebersihan yang dimulai dari masjid akan menularkan kebiasaan bersih di lingkungan lain seperti rumah, sekolah, dan tempat bekerja. Dua hal yang disampaikan di awal tentu tidak ada masalah lantaran cenderung normatif. Ketiga, dalam rangka mensyiarkan Islam dan memberikan citra positif bagi umat Islam, Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia dapat memberikan contoh-contoh yang baik bagi dunia Islam. Dewan Masjid Indonesia kiranya juga dapat mulai membahas, umpamanya, tentang pengaturan penggunaan pengeras suara di masjidmasjid. “Kita semua sangat memahami bahwa adzan adalah panggilan suci bagi umat Islam untuk melaksanakan kewajiban shalatnya. Namun demikian, apa yang saya rasakan barangkali juga dirasakan oleh orang lain, yaitu bahwa suara adzan yang terdengar sayup-sayup dari jauh terasa lebih merasuk ke sanubari kita dibanding suara yang terlalu keras, menyentak, dan terlalu dekat ke telinga kita.” Mungkin bagi sebagian kalangan, pidato Boediono ini sedikit menyinggung perasaan kaum muslimin. Padahal, jika direnungkan lebih lanjut apa yang dikatakannya cenderung tak ada yang perlu dipersoalkan. Hemat penulis, pengurus DKM justru bisa berkreasi sedemikian rupa untuk merekayasa agar suara “toa” (speaker) menjadi lebih ramah dan nyaman bagi pendengarnya. Pengalaman seputar mikrofon juga pernah dialami oleh Ketua Umum DMI Muhammad Jusuf Kalla (JK). JK sedari muda telah akrab dengan dunia permasjidan. Ia menjadi pengurus masjid yang ahli mengurus mikrofon dan loudspeaker bersama Almi Hamu sahabatnya yang selama 20 tahun selalu membantu persiapan malam takbiran. Alwi menceritakan pengalamannya di awal dia dengan JK mengurus pengeras suara di lapangan Karebosi. Waktu itu keduanya berpikir, kenapa kalau Lebaran khatib menyampaikan khutbah, para jamaah pada pergi dan lapangan sudah kosong. Padahal pengurus masjid memasang 100 loudspeaker. Usut punya usut, ternyata
Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Masjid Masjid NU dan Pemberdayaan Masyarakat Nahdliyin _359
posisi keseratus loudspeaker itu tidak tepat sehingga tidak kedengaran suara sang khatibnya. Akhirnya muncul ide untuk bekerjasama dengan mobil pedagang keliling yang ada pengeras suaranya. Lalu mereka membenahi letaknya supaya suaranya jernih. Sampai akhirnya masuk radio. Memang terlambat sekian detik dari imam dan khatib, jelas Alwi, tapi suaranya jelas dan jamaah tidak pergi. Sejak saat itu, JK dan Alwi sering membetulkan loudspeaker masjid-masjid dimana mereka bepergian. Teorinya adalah posisi loudspeaker sebaiknya tidak saling berhadapan karena audionya saling berpantulan sehingga mendengung dan memekakkan telinga. Pengalaman sejati itu tentu memiliki korelasi positif dengan apa yang disampaikan Wapres Boediono. Dalam kesempatan ini Muktamar ke-6 DMI, Boediono juga menyampaikan empat harapannya kepada para muktamirin. Pertama, DMI agar senantiasa memberdayakan masjid untuk melakukan upaya edukasi kepada umat muslim melalui dakwah dalam rangka peningkatan karakter dan moral umat muslim dalam berbangsa, bernegara dan bermasyarakat, utamanya kepada generasi muda. Kedua, DMI diharapkan mampu mendorong masjid agar dimanfaatkan tidak hanya sebagai sarana ibadah, namun juga dapat dijadikan sarana pendidikan, baik pendidikan Tahfidz al-Qur’an (hapalan Qur’an) dan Tahsin al-Qur’an (memperbaiki kualitas bacaan Quran) maupun pendidikan dasar formal seperti TK, SD, dan SMP. Ketiga, DMI mampu memberdayakan masjid sebagai sarana untuk menumbuhkembangkan minat, bakat, dan keterampilan generasi muda melalui pelatihan kepemimpinan, manajemen, dan ketrampilan bagi Pemuda Remaja Masjid. Keempat, DMI diharapkan mampu mendorong masjid dalam penciptaan kemakmuran umat muslim melalui optimalisasi zakat, infaq, dan shadaqah bekerjasama dengan BAZNAS, serta melalui pengembangan usaha yang berbasis syariah, seperti Baitul Mal Wat Tamwil/BMT di kalangan Majelis Taklim, sehingga dapat lebih optimal
360_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013
membantu maupun memberdayakan kaum dhuafa utamanya anak-anak terlantar. Terkait wacana Wapres Boediono tentang pengeras suara di masjidmasjid, Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia Jusuf Kalla mencoba menanggapi wacana pengaturan pengeras suara. Mantan Wapres RI 2004-2009 itu mendukung adanya pengaturan tersebut. JK mempunyai pandangan lain mengapa aturan itu diperlukan. Menurut dia, alangkah syahdunya jika mendengar alunan ayat suci al-Qur’an dan seruan azan hanya dari satu masjid. Sampai di sini dapat dipahami bahwa bertabrakannya suara-suara yang menggema dari pengeras suara masjid sudah barang tentu membingungkan. Menrut JK, ketika berbicara di Masjid Asyshuhada, Pekalongan, Jawa Tengah. “Kalau sekarang tidak, semua masjid mengaji, tabrak-tabrakan yang mana mau kita dengar.” JK tidak bermaksud “mengharamkan” pengeras suara ada di masjid. Akan tetapi, kata dia perlu ada batasan. JK mencontohkan akan lebih baik jika radius suara satu masjid diukur sampai sejauh masjid selanjutnya berada. Itu dikatakan dia, agar menciptakan harmoni yang baik. “Masyarakat di masjid satu hanya mendengar pengajian di masjid itu. Masyarakat lainnya juga seperti itu (mendengarkan pengajian dari masjid masingmasing).”13 Keempat harapan pemerintah yang disampaikan Wakil Presiden tersebut patut dijadikan bahan renungan dan evaluasi bagi kemajuan DMI di masa yang akan datang. Memang, berbicara tentang masjid selalu menyisakan aneka macam persoalan yang kompleks. Mulai persoalan yang remeh-temeh hingga yang aneh-aneh. Misalnya saja tentang gaya arsitektur bangunan, masjid-masjid di Indonesia agaknya menyesuaikan diri dengan bangunan semacam rumah besar masing-masing wilayah.
E. Filosofi Bangunan Masjid Jika ditelusuri lebih mendalam, banyak hal menarik seputar masjid. Termasuk dari sisi model bangunannya. Bangunan masjid dengan
Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Masjid Masjid NU dan Pemberdayaan Masyarakat Nahdliyin _361
kubah dan menaranya konon menyimbolkan monotheisme Islam dalam bentuk Tauhid serta kesatuan dan persatuan kaum muslimin. Rata-rata, arsitektur masjid di Indonesia, khususnya di Tanah Jawa mencerminkan Islam yang berkultur budaya. Ya, bangunan masjid di Jawa memiliki keunikan yang berbeda, misalnya, dengan masjid di Banjar Kalimantan Selatan. Masjid di Tanah Jawa terdiri atas dua bangunan utama, yakni bangunan yang beratap tumpang tiga yang merupakan “ndalem” dan bangunan beratap limas di depannya yang merupakan “pendopo.” Sedangkan, masjid di negeri Banjar hanya terdiri atas satu bangunan utama yang beratap tumpang tiga. Atap tumpang (tajug) paling atas lebih runcing (curam) daripada masjid di Jawa. Dalam konteks ini, penulis teringat konsep perwujudan kultural Islam yang oleh Abdurrahman Wahid alias Gus Dur (1974) disebutkan bahwa Islam telah menjelma sistem simbolik, yang membuat umat muslim mampu memaknai realitas berdasarkan jaringan makna yang ada dalam struktur simbolik itu. Islam budaya adalah Islam yang berbasis dan berstruktur budaya. Basis utamanya terletak pada tradisi, bukan hanya tradisi Islam tetapi tradisi Nusantara secara umum. Hal ini misalnya terlihat pada arsitektur Masjid Jawa yang menggunakan atap Meru Hindu-Budha. Oleh Sunan Kalijaga, atap Meru dipotong menjadi tiga yang melambangkan tahapan iman, Islam, dan ihsan. Adopsi Meru Hindu-Budha ini menggambarkan kesadaran da’i Islam untuk mengakomodir “pangkalan kultural” masyarakat, tempat Islam hendak didakwahkan. Hal serupa terjadi pada Menara Kudus yang berbentuk candi. Sunan Kudus sadar, bahwa Islam bisa diterima, hanya ketika ia berpijak pada kearifan lokal masyarakat.14 Berdirinya Masjid Menara Kudus tidak lepas dari peran Sunan Kudus sebagai pendiri dan pemrakarsa. Sebagaimana para Walisongo lainnya, Sunan Kudus memiliki cara yang amat bijaksana dalam dakwahnya. Di antaranya, beliau mampu melakukan adaptasi dan pribumisasi ajaran Islam di tengah masyarakat yang telah memiliki budaya mapan dengan mayoritas beragama Hindu dan Budha. Pencampuran budaya Hindu dan
362_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013
Budha dalam dakwah yang dilakukan Sunan Kudus, salah satunya dapat kita lihat pada masjid Menara Kudus ini.15 Dalam sebuah kesempatan, Arif menyebut Menara Kudus telah menjadi patokan toleransi antar agama di Indonesia. Kalau Aceh menjadi serambi Islam Mekah, maka masjid menara kudus sebagai serambi Islam Nusantara. Dengan demikian, masjid di republik ini ternyata dapat didekati dari sisi multikultural. Sikap saling menghormati dan menghargai bisa lahir dari masjid, seperti layaknya sikap Sunan Kudus, pendiri masjid Menara Kudus, yang melarang warga setempat melakukan qurban sapi lantaran masyarakat adat Hindu setempat sangat menghormati dan menganggap suci binatang ini. Sikap toleran juga dapat kita saksikan pada masjid Istiqlal Jakarta yang berdampingan dengan Gereja Katedral. Sudah tentu, pemilihan tempat yang berdekatan ini dapat dimaknai sebagai upaya para pendiri Republik agar rakyat Indonesia bisa hidup berdampingan dengan umat agama lain secara bermartabat. Yang menarik, arsitek masjid Istiqlal adalah Frederich Silaban, seorang beragama Kristen. Ia adalah salah satu lulusan terbaik dari Academie van Bouwkunst Amsterdam tahun 1950. Selain membuat desain masjid Istiqlal Silaban juga merancang kompleks Gelanggang Olahraga Senayan. Sebelum memprakarsai masjid Istiqlal, yang notabene merupakan masjid terbesar di Asia Tenggara, pada awal kemerdekaan, atas prakarsa Presiden Soekarno, di ibukota perjuangan Yogyakarta dibangun masjid Syuhada untuk mengenang arwah para pahlawan yang menjadi syuhada yang gugur dalam medan perang kemerdekaan. Pasca-pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda, Bung Karno juga memprakarsai berdirinya masjid Baitul Rahim di komplek Istana Merdeka Jakarta. Tradisi Bung Karno dilanjutkan oleh penerusnya, yakni Presiden Soeharto. Pak Harto, sapaan akrab presiden ke-2 RI ini, berinisiatif membentuk Yayasan Amalbakti Muslim Pancasila dengan program utama membangun masjid di seluruh pelosok Tanah Air serta mengirimkan para pendakwah ke daerah-daerah terpencil di seantero Republik.
Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Masjid Masjid NU dan Pemberdayaan Masyarakat Nahdliyin _363
Di negeri ini, banyak terdapat masjid megah yang berdiri kokoh dan menjulang tinggi. Menariknya, masjid-masjid kuno peninggalan masa kerajaan Islam di beberapa tempat juga masih dipertahankan seni arsitekturnya. Di ujung paling Indonesia, misalnya, masjid Darussalam Ulee-lheue. Masjid ini meski diterjang ombak tsunami pada tahun 2004 silam, selamat dan tidak mengalami kerusakan sedikit pun. Ya, gelombang tsunami yang melanda hampir seluruh kawasan Provinsi Nangroe Aceh Darussalam sembilan silam telah meluluhlantakkan sebagian besar infrastruktur di sana. Mulai jalan raya, jembatan, rumah penduduk, hingga gedung sekolah hancur berantakan dan rata dengan tanah, bahkan ratusan ribu penduduk meregang nyawa. Begitu juga bangunan di sekitar masjid Darussalam Ulee-lheue. Secara logika, jika di sekeliling masjid itu porak-poranda, maka masjid harusnya ikut hancurlebur diterjang gelombang tsunami. Faktanya, tidak! Masjid tetap utuh berdiri, hingga kini. Secara fisik, tak ada yang istimewa dari bangunan masjid tersebut. Sebagaimana masjid pada umumnya yang dibangun di dekat pantai dan pelabuhan ikan. Masjid Darussalam Ulee-lheue yang terletak sekitar 100 meter dari bibir pantai ini berada di antara deretan rumah penduduk yang tak begitu terawat. Sebelum tsunami datang menerjang, mungkin para peziarah akan mengatakan bahwa bangunan masjid ini tidak lebih baik dari masjid-masjid lainnya yang berada di gang-gang perkotaan atau sedikit lebih baik dari masjid desa. Namun, masjid ini menjelma “pesan” ilahi agar umat manusia menyadari bahwa bagaimana pun masjid adalah tempat suci. Ya, masjid merupakan rumah Tuhan. Sementara itu, kisah tak jauh berbeda dialami masjid raya Baiturrahman. Ia masih tetap berdiri tegak meski diterjang gelombang tsunami. Masjid ini merupakan salah satu masjid yang paling dihormati oleh kaum muslimin di ibukota provinsi Nangroe Aceh Darussalam ini. Pasalnya, masjid ini memiliki nilai sejarah yang tinggi dilihat dari beberapa aspeknya. Masjid cantik nan anggun ini berdiri megah di jantung kota Banda Aceh, tepatnya berada di Kampung Po,
364_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013
Teumeureuhon Meukuta. Masjid ini sekaligus menjadi simbol atau ikon kota Banda Aceh yang terkenal dengan sebutan Serambi Mekah. Selain itu, masjid raya Baiturrahman tak hanya mencerminkan pandangan dan sikap hidup masyarakat Aceh yang religius dan islami tapi lebih dari itu masjid ini menjadi pusat pendidikan dan kebudayaan Islam di Tanah Rencong. Ia merupakan simbol kemenangan dan pemersatu rakyat Aceh. Bahkan, ia merupaka simbol sosial politik lantaran telah menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah Aceh, dahulu hingga sekarang dan akan datang. Di beberapa wilayah di seluruh penjuru Republik masih banyak masjid indah warisan masa lalu yang dirawat oleh masyarat sekitar. Warisan berharga ini pada gilirannya akan menjadi kurang berharga jika tak dilestarikan dan dimakmurkan dengan aneka kegiatan yang mencerahkan dan menginpirasi banyak kalangan. Dengan kata lain, membangun dan memakmurkan peradaban masjid-masjid tersebut menjadi pilihan yang sangat rasional dan mendesak.
F. Membangun Peradaban Masjid Merujuk kepada wahyu ilahi tentang memakmurkan masjid patut disimak bersama. “Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS. At-Taubah: 8). Menurut Hamim Thohari (2007), ciri-ciri orang yang memakmurkan masjid sesuai dengan ayat di atas adalah: 1) beriman kepada Allah dan hari kemudian (visioner); 2) mendirikan shalat (berkarakter); 3) menunaikan zakat (pengembangan berkelanjutan); dan (4) tidak takut kepada siapapun kepada Allah (konsisten). Sayangnya, semangat (ghirah) kaum muslimin
Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Masjid Masjid NU dan Pemberdayaan Masyarakat Nahdliyin _365
pada umumnya belum betul-betul semangat memakmurkan masjid seperti termaktub dalam ayat tersebut. Kaum muslimin pada saat ini justru sering terjebak pada kemegahan bangunan masjid, namun kurang memperhatikan fungsi dan peran masjid. Dari berbagai pemaparan di atas, dapat kita ambil benang merah bahwa untuk mengembalikan kejayaan Islam, maka masjid adalah pusatnya. Pada zaman Rasulullah SAW seperti yang dikutip Ahkam Sumadiana dari Kauzar Niazi (Role of the Mosque 1976), masjid telah difungsikan sebagai berikut: 1) tempat ibadah, seperti shalat, dzikir, i’tikaf, dan sebagainya; 2) pusat dakwah; 3) pusat keilmuan dengan berbagai kegiatan pengajaran dan pendidikan lainnya, termasuk di dalamnya perpustakaan; 4) tempat mengumpulkan dana; 5) tempat latihan militer dan mempersiapkan alat-alat lainnya; 6) tempat pengobatan para korban perang; 7) tempat perdamaian dan pengadilan sengketa serta musyawarah dan dialog; 8) aula dan tempat menerima tamu; 9) tempat menawan tahanan; 10) sebagai tempat membina keutuhan jamaah kaum muslimin dan kegotongroyongan di dalam mewujudkan kesejahteraan sekitar. Dalam rangka mewujudkan kesejahteraan warga Nadliyin, perlu kiranya dilakukan gerakan massif terkait dengan labelisasi NU di berbagai daerah, baik di institusi pendidikan, atau kemasyarakatan. Dalam hal ini, bagi Kiai Masdar, sebelum mewujudkan kesejahteraan warga Nahdliyin, langkah pertama yang harus dilakukan adalah bagaimana agar NU terlihat secara fisik. Selama ini NU baru terdengar keberadaannya tetapi warga belum melihat sosoknya. Setelah itu baru terasa manfaatnya. Oleh karena itu, ketika diwawancarai menjelang gelaran Muktamar NU di Makassar, Kiai Masdar menekankan pentingya menunjukkan eksistensi NU melalui simbol. Misalnya, dengan memasang lambang NU di rumah, di pesantren, madrasah, sekolah, atau di masjid yang didirikan dan dikelola warga NU. Ia menekankan pentingnya penguatan basis keorganisasian di dalam, agar dihargai oleh dunia luar. Program utama yang perlu dijalankan oleh NU adalah program di bidang sosial, pemberdayaan ekonomi, pendidikan dan juga kesehatan lingkungan. NU perlu mengarahkan pandangannya ke bawah, kepada umat.16
366_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013
Apa yang digagas salah satu Rais Syuriyah PBNU itu patut dielaborasi secara mendalam. Dalam artinya bahwa gagasan brilian itu musti dikawal dan didukung oleh pengurus di semua tingkatan, mulai pengurus besar di Jakarta, pengurus wilayah di masing-masing provinsi, kemudian pengurus cabang di kabupaten/kota, hingga pengurus majlis wakil cabang yang berkedudukan di tiap kecamatan, bahkan sampai ke tiap kepengurusan ranting yang berada di tiap kelurahan/desa. Jika gerakan labelisasi aset NU atau yang berafiliasi dengan jam’iyah NU ini berhasil secara masif maka NU akan benar-benar terlihat di Republik ini. Dengan demikian, gerakan pencurian masjid oleh aneka kelompok ekstrim yang berafiliasi dengan ideologi transnasional atau dalam istilah KH Hasyim Muzadi “disatroni” dapat ditekan secara silmutan. Setidaktidaknya dapat dikendalikan dan diawasi oleh warga Nahdliyin. Dalam sebuah kolom di harian umum nasional, KH Muhyiddin Abdusshomad, Rais Syuriyah PCNU Kabupaten Jember, pernah mengutip ungkapan Ketua Umum PBNU (waktu itu) KH Hasyim Muzadi pada Kata Pengantar buku KH Masdar Farid Mas’udi, Membangun NU berbasis Masjid dan Umat (2007), yang menyebut bahwa: “Sejak tahun 90-an masjidmasjid di negeri kita semakin banyak yang disatroni oleh kelompokkelompok dakwah yang dipengaruhi bahkan menjadi perangkat dari poros-poros ideologi transnasional yang asing bagi bangsa Indonesia yang majemuk., seperti Ikhwanul Muslimin dan Hizbut Tahrir. Masjid yang menjadi basis utama kelompok-kelompok ini pada awalnya adalah masjid-masjid kampus milik publik yang diakuisisi. Namun, belakangan mereka juga masuk ke masjid di kampung-kampung yang sebagian besar merupakan masjid dan basis nahdliyin. Maka dari itu, beberapa tahun terakhir, NU kian mematangkan pemikiran dan gerakan untuk menghadapi ancaman ideologis dan massal dari kelompok-kelompok Islam transnasional tersebut. Usaha ke arah itu sudah dirintis oleh keluarga besar kaum nahdliyyin setidak-tidaknya sejak 2006 sampai sekarang melalui penyadaran dan pengangkatan isu Islam Transnasional dalam berbagai forum organisasi. Salah satunya yang terakhir adalah
Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Masjid Masjid NU dan Pemberdayaan Masyarakat Nahdliyin _367
Konferensi Wilayah PWNU Jawa Timur, 2-4 November 2007, yang mengangkat bahasan Khilafah Islamiyah dalam Bahtsul Masail NU.”17 Jika demikian, program pemberdayaan dan pembangunan peradaban berbasis masjid bisa dilaksanakan dengan baik dan terarah. Memang, gerakan transnasional sebagaimana penulis kutip di atas secara tidak langsung telah menyadarkan warga Nahdliyin dari tidur panjangnya. Hemat penulis, selama ini warga NU cenderung tidak waspada, untuk tidak mengatakan abai, terhadap isu-isu yang terjadi di sekitar kita. Meskipun melihat atau kadang pernah bertemu dengan “pihak-pihak asing” yang berusaha menginfiltrasi masjid NU, warga Nahdliyin bersikap biasa-biasa saja. Baru kemudian setelah menyadari ada perubahan tradisi ritual di masjid NU secara signifikan, warga Nahdliyin terkaget-kaget. Inilah yang mungkin barangkali harus kita persiapkan sedini mungkin. Pada titik ini, gagasan cerdas Kiai Masdar patut diapresiasi. Mari kita perhatiakn secara seksama jawabannya saat wawancara. Berikut ini kutipan utuh wawancara Masdar Farid Mas’udi dengan NU Online menjelang Muktamar NU ke-32 di Makassar: “Saya ingin membuat NU ini terlihat. Selama ini, NU baru terdengar katanya saja ada. Nah sekarang harus terlihat. Caranya, semua pusat kehidupan Nahdliyin harus menampakkan diri. Misalnya mulai dari rumah tangga, seluruh rumah warga Nahdliyin harus memasang tanda gambar NU, apa di pintunya apa di ruang tamunya. Yang kedua, semua usaha perkhidmatan warga nahdliyin apakah itu pesantren madrasah, sekolahan itu akan kita mohon untuk menegaskan diri bahwa pesantren itu menjadi anggota RMI, sebagai bagian dari NU. Tentu saja ini ada pertanyaan apakah dengan memasang tanda gambar NU untuk pesantren dan madrasah itu lalu diklaim menjadi milik NU, tidak. Madrasah, pesantren dan sekolahan yang memang milik keluarga atau yayasan tetap saja menjadi miliknya. Semua aset, managemen dan seterusnya tetap milik mereka. Kita hanya ingin mengajak mereka untuk mendekatkan kepada mereka bahwa kita ini bagian dari jamaah besar organisasi yang namanya NU. Begitu
368_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013
juga masjid-masjid harus menegaskan diri. Ini bukan untuk menunjukkan sektarianisme, tidak, tapi untuk menghindarkan fitnah. Karena masjid-masjid yang tidak mendekatkan diri sebagai bagian dari NU itu selama ini telah menjadi sasaran jahil dari organisasi atau kelompok-kelompok yang tidak punya basis dan ingin membangun basis. Kalau masjid itu memasang tanda gambar NU, kalendernya atau jadwal falaknya maka kelompok pendatang yang mengincar masjid kita akan berfikir untuk mengambil itu, dan fitnah itu bisa dihindari kalau kita menjelaskan afiliasi kita. Jadi tahap pertama membikin NU terlihat.”18 Jawaban taktis Kiai Masdar pada titik tertentu membuat warga Nahdliyin sedikit lega meski masih diliputi beberapa tanda-tanya. Pasalnya, kita sering mendapati bahwa yayasan atau lembaga perseorangan acapkali khawatir jika aset yang dimiliki lantas menjadi milik NU bersamaan pemasangan label atau lambang NU. Memang, di kalangan Nahdliyin sering terpancang kepada egoisme sektoral lantaran kepemilikan yayasan atau lembaga tidak di bawah naungan organisasi NU. Hal ini memang tidak semuanya, karena ada beberapa yayasan yang berada di bawah bendera LP Maarif NU seperti di Kabupaten Kudus, Jepara, dan Pekalongan yang selama ini dikenal sebagai basis NU struktural. Berbeda misalnya dengan Muhammadiyah. Semua aset yang dimilikinya pasti diberi label dan bendera Muhammadiyah.
G. Kesimpulan Pemberdayaan masyarakat Nahdliyin melalui masjid merupakan wacana yang patut diapresiasi dan ditindaklanjuti secara masif dan simultan. Pasalnya, masjid sebagai pusat peradaban kini tak lagi menawan. Hal ini disebabkan banyaknya pengelola masjid yang hanya memikirkan bagaimana bangunan masjid makin cantik dan indah di pandang mata. Belum lagi persoalan pendataan aset yang dimiliki NU masih belum sepenuhnya selesai. Hal ini jika tidak segera dituntaskan, bukan tidak mungkin aset-aset NU semisal masjid, pesantren, dan lembaga pendidikan formal maupun non formal tidak akan terdata
Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Masjid Masjid NU dan Pemberdayaan Masyarakat Nahdliyin _369
dengan baik. Belum lagi instansi kesehatan dan lain sebagainya. Pada titik ini, NU patut belajar kepada ormas semacam Muhammadiyah yang telah memiliki basis kepemilikan yang resmi terhadap aset-asetnya. Hampir di tiap daerah, Muhammadiyah telah mendata aset di berbagai bidang, khususnya pendidikan, mulai dari jenjang Taman Kanak-kanak hingga perguruan tinggi. Dalam bidang kesehatan juga telah rapi. Banyak rumah sakit dan poliklinik yang dimiliki ormas yang didirikan KH Ahmad Dahlan ini. Nah, kapan lagi NU melakukan pendataan atas aset-asetnya jika tidak dimulai sekarang? Sebuah pertanyaan yang tak perlu dijawab tetapi segera dilakukan secepatnya. Tegasnya, pendataan dan legalisasi aset-aset NU sangat mendesak. Jika tidak, bukan tidak mungkin akan dicuri oleh pihak lain. Diharapkan, warga Nahdliyin di mana berada untuk mendukung apa yang telah digagas oleh para pengurus NU di daerah masing-masing. Hal ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan genting seputar jam’iyah NU yang selama ini hanya terdengar namun belum terlihat, sebagaimana dinyatakan KH Masdar Farid Mas’udi di atas. Ide pemasangan papan nama, kalender, dan label-label NU pada gilirannya nanti menjadi semacam program permanen di setiap kepengurusan. LTM NU sebagai pelaksana teknis di lapangan patut kiranya menggandeng kader-kader muda untuk turut serta mensukseskan agenda ini secara menyeluruh. Sudah tentu, pelaksanaan diklat muharrik yang sudah pernah dihelat perlu ditindaklanjuti kembali. Hal ini dilakukan demi sustainabilitas sekaligus pemantauan secara langsung perkembangan di lapangan. Pemantauan ini penting mengingat banyaknya kader muda potensial yang bisa diajak bekerja sama. Penyadaran untuk kalangan muda ini rasanya lebih mudah dengan sentuhan dan pendekatan secara kultural daripada golongan tua. Meski demikian, golongan tua pun perlu juga diajak bicara dan dimintai pendapat dan dukungannya. Jika pendataan dan legalisasi aset telah tuntas, program berikutnya adalah pemberdayaan sebagaimana penulis nyatakan di atas. Bagaimana langkah NU memberi manfaat sebesar-besarnya bagi komunitas
370_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013
Nahdliyin yang mayoritas tinggal di pedesaan dan wilayah tertinggal. Kita patut bersyukur geliat Nahdliyin muda di beberapa daerah kian menunjukkan semangat Ke-NU-annya. Hal ini penting, selain untuk kalangan NU program pemberdayaan masyarakat juga ditujukan bagi semua masyarakat bawah, tanpa memandang dari ormas mana, suku apa, dan agama apa. Semangat kebangsaan warga Nahdliyin yang tinggi dalam melaksanakan program pemberdayaan ini tak perlu dipertanyakan lagi. Sudah sepatutnya, warga NU tidak lagi mendikotomikan sasaran perjuangan untuk mencapai kemakmuran bersama. Kita bisa saksikan dan teladani para tokoh panutan NU, semisal, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang hingga tahun keempat pusaranya masih diziarahi oleh ribuan warga dari berbagai latar belakang suku dan agama. Ini membuktikan betapa almarhum ketika masih hidup mendarmabaktikan raganya untuk masyarakat tanpa pandang bulu. Itulah mengapa dulu Gus Dur mencetuskan ide “Tuhan Tidak Perlu Dibela”, karena baginya membela manusia, khususnya kaum mustadh’afin (marginal dan lemah) lebih berharga di hadapan Tuhan. Sikap inilah yang akhirnya menahbiskan Gus Dur sebagai tokoh humanis sejati. Wallahu a’lam.
Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Masjid Masjid NU dan Pemberdayaan Masyarakat Nahdliyin _371
Daftar Pustaka
Masjid YAMP, 22 Tahun Yayasan Amalbakti Muslim Pancasila, Jakarta, Yayasan Amalbakti Muslim Pancasila, 2004. Tim penulis Visit Indonesia, Masjid dan makam bersejarah di Sumatera, Kementerian Kebuyaan dan pariwisata, 2008. http://bimasislam.kemenag.go.id/informasi/artikel/1004mengembalikan-peran-dan-fungsi-masjid-kepada-fitrahnya-.html http://www.pcnubalikpapan.or.id/2013/02/lembaga-takmir-masjid-nultm-nu.html www.dmi.or.id website resmi Dewan Masjid Indonesia www.nu.or.id website resmi NU Online
372_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013
Endnotes
1. penulis menggunakan istilah “kaum muslimin” untuk menyebut “umat
Islam”. Sebagaimana Gus Dur memakai istilah yang pertama daripada istilah yang kedua. Gus Dur hanya sekali menyebut dengan istilah yang kedua, namun agak sedikit berbeda: “umat pemeluk agama Islam.” Misalnya, pada kolom di Koran Tempo berjudul: “Fatwa Natal, Ujung dan Pangkal.” (Tempo, 30 Mei 1981).
2. Secara etimologi, masjid berasal dari kata “sajada-yasjudu”, bermakna sujud, taat, patuh, bersimpuh, dan merendahkan diri hanya kepada Allah. Sedangkan secara terminologi, masjid diartikan sebagai tempat sujud atau tempat shalat yang suci, untuk menyembah Allah SWT sekalgus mendekatkan diri kepada-Nya yang bebas dari kepentingan apapun kecuali mengharapkan kebaikan dari-Nya dan membentuk hamba yang saleh dan bermanfaat bagi sesama. Sejatinya, bumi adalah masjid bagi kaum Muslimin, setiap Muslim boleh melakukan shalat di manapun di bumi ini. Selain istilah masjid, di dalam Al-Qur’an juga terdapat istilah mushalla (QS. 2: 5) yang searti dengan masjid. Tetapi, mushalla merupakan tempat mengerjakan shalat di lapangan terbuka. Sementara itu, di Indonesia terdapat beberapa istilah tempat untuk mengerjakan shalat, misalnya: Tajug, Langgar, Surau dan sebagainya. Biasanya ketiga istilah tersebut merupakan masjid dengan bangunan berukuran kecil dan tidak digunakan untuk shalat Jum’at. Sedangkan Mushalla biasanya merupakan ruangan atau bagian kecil dari suatu bangunan yang lebih besar semisal pasar, terminal, kantor, rumah dan sebagainya.
3. Dalam artikel: Kreativitas Takmir Masjid Perlu Ditingkatkan. Diakses dari website resmi DMI pada 11/10/13, pukul 01:24 WIB.
4. Pidato Wakil Presiden Boediono pada Muktamar ke-6 Dewan Masjid Indonesia 2012.
5. Istilah ini dipopulerkan oleh Sa’dullah Assaidi, dosen Metodologi Studi
Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Masjid Masjid NU dan Pemberdayaan Masyarakat Nahdliyin _373
Islam INISNU Jepara, Jawa Tengah, ketika mengisi materi Aswaja maupun saat seminar di kampus.
6. Guyonan atau humor ini memang sudah lama muncul di lingkungan warga NU. Salah satunya tulisan A Khoirul Anam, wartawan NU Online. Selebihnya bisa dibaca di website resmi Nahdlatul Ulama (www.nu.or.id)
7. Edi Junaedi, Mengembalikan Peran dan Fungsi Masjid kepada “Fitrahnya”, 2013. Selengkapnya bisa dibaca di website resmi Kementerian Agama.
8. Secara organisatoris, lembaga adalah perangkat departementasi organisasi Nahdlatul Ulama yang berfungsi sebagai pelaksana kebijakan Nahdlatul Ulama, khususnya yang berkaitan dengan bidang tertentu.
9. NU Online, 21/5/13 10. Diakses dari situs resmi Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kota Balikpapan, pada 11 Oktober 2013.
11. Diakses dari situs resmi Dewan Masjid Indonesia (DMI). Organisasi independen ini sekarang dipimpin oleh mantan Wakil Presiden HM Jusuf Kalla.
12. Sejumlah tokoh tersebut kemudian bersepakat bahwa ormas yang lahir pada 22 Juni 1972 yang bertepatan dengan 10 Jumadil Ula 1392 H. diberi nama Dewan Masjid Indonesia. Organisasi ini berasaskan Islam dan bersifat sebagai organisasi independen yang mandiri dan tidak terkait secara struktural dengan organisasi sosial kemasyarakatan dan organisasi sosial politik manapun. Lebih jelasnya lihat situs resmi DMI.
13. Berita tentang JK di Republika Online: Dewan Masjid Setuju Aturan Pengeras Suara. Diakses pada Jum’at, 11/10/13, pukul 18:45 WIB.
14. Syaiful Arif, Deradikalisasi Islam, Paradigma dan Strategi Islam Kultural, (Depok: Koekoesan, 2010), h. 132.
15. Masjid ini didirikan pada tahun 956 H atau 1549 M. Hal ini dapat diketahui dari inskripsi (prasasti) pada batu yang lebarnya 30 cm dan panjang 46 cm yang terletak pada mihrab masjid yang ditulis dalam bahasa Arab.
374_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013 Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Masjid_Menara_Kudus. Diakses pada 11/10/2013 pukul 03.00 WIB.
16. Wawancara NU Online dengan KH Masdar Farid Mas’udi. “Masdar: NU Harus Dilihat, Bukan Hanya Didengar.” (Selasa, 16/03/2010, 15:20). Diakses pada Jum’at, 11/10/13 pukul 17:00.
17. KH Muhyiddin Abdusshomad, NU “Vis a Vis” Transnasionalisme, Harian Suara Pembaruan, Senin, 4 Februari 2008. Rais Syuriah PCNU Jember ini termasuk tokoh NU yang produktif menulis buku, salah satunya berjudul: “Fikih Tradisionalis”.
18. Wawancara NU Online dengan KH Masdar Farid Mas’udi. “Masdar: NU Harus Dilihat, Bukan Hanya Didengar.” (Selasa, 16/03/2010, 15:20). Diakses pada Jum’at, 11/10/13 pukul 17:00.
Dakwah Lewat Syair : Telaah Nazam Akhlak Karya KH. Muhammad
Sugeng Sugiarto IMMAN Jakarta email : [email protected]
Abstract : Pendakwah jenius adalah orang yang melakukan transmisi pengetahuan dengan menggunakan bahasa dan melihat kultur sosial audiensnya. Karena dengannya, muatan dakwah yang dibawakannya akan mudah dan cepat, serta efektif diserap oleh khalayak. Hal ini dilakukan oleh (akang) KH. Muhammad, pelaku dakwah di kawasan Pesantren Babakakn Ciwaringin Cirebon. KH. Muhammad menyampaikan misi dakwah penataan hati (akhlak) dengan menggunakan syair atau Nazham berbahasa Jawa-Cirebon yang sederhana. Abstraksi : Pendakwah jenius adalah orang yang melakukan transmisi pengetahuan dengan menggunakan bahasa dan melihat kultur sosial audiensnya. Karena dengannya, muatan dakwah yang dibawakannya akan mudah dan cepat, serta efektif diserap oleh khalayak. Hal ini dilakukan oleh (akang) KH. Muhammad, pelaku dakwah di kawasan Pesantren Babakakn Ciwaringin Cirebon. KH. Muhammad menyampaikan misi dakwah penataan hati (akhlak) dengan menggunakan syair atau Nazham berbahasa Jawa-Cirebon yang sederhana. Keywords: Keywords: Dakwah, preacher, KH. Muhammad, Poem, al-Washiyah fi al-Akhlaq,
Babakan Ciwaringin Cirebon
376_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013
A. Pendahuluan Ada dua corak yang dikenal dalam karya tulis Arab, yaitu Kalâm Natsar dan kalâm Nadzâm (Syair). Nadhâm atau Syi’ir adalah ungkapan yang diatur dengan ketentuan Qasidah orang Arab. pada ilmu ‘Arud dikenal istilah Bahar, yaitu ketukan irama Shi’ir Arab. Salah satunya adalah Bahar Rajaz. 1 Sejak jaman sebelum Islam, masyarakat Arab khususnya di wilayah sekitar makkah, pada hari-hari tertentu dilombakan pembacaan syair-syair dari para penyair kondang Arab di Ka’bah. Syair dan penyair yang unggul bagi mereka merupakan hal yang prestisius dan menempati posisi yang terhormat. Karena tidak semua orang bisa meramu dan meracik kata-kata menjadi sebuah syair yang indah, sesuai dengan kaidah-kaidah nazham atau syair Arab—walaupun masa sebelum kaidah-kaidah tersebut belum disusun secara sistematis yang sekarang disebut dengan ‘Ilm al-’Arudh—yang telah menjadi konsesnsus masyarakat Arab. Dalam dunia dakwah, pendakwah cerdas pasti akan menggunakan bahasa dan kultur sosial audiens. Hal ini dilakukan oleh (akang) KH. Muhammad, pelaku dakwah di kawasan pesantren Babakakn Ciwaringin Cirebon. Ia menyampaikan misi penataan hati (akhlak) dengan menggunakan syair atau Nazham berbahasa Jawa-Cirebon. Dengan syair-syairnya sederhananya misi yang disampaikan KH. Muhammad cepat diserap, karena ia secara tidak langsung melibatkan audiens yang didakwahinya danm merasa bagian dari dakwah serta mereka akan merasa senang menghafal nazham-nazham akhlak yang disampaikan. Sehingga misi dakwah akan mudah dicerna dan dipahami, sebagaimana diungkap dalam metode Question Learning.2 Al-Washyiah fî al-Akhlâq merupakan judul yang diberikan KH. Muhammad untuk syair-syair Jawa-Cirebon yang disusunnya. Hal itu dimungkinkan KH. Muhammad mengambil nilai dari al-Qur’an yang mengatakan bahwa orang yang selamat adalah yang “berwasiat dalam kebaikan” dan beramal saleh, serta mengambil nilai hadis Nabi
Al-Washiyah Fî Al-Akhlaq Syair Jawa-Cirebon _377
yang mengungkapkan bahwa Nabi Muhammad diutus hanya untuk “menyempurnakan Akhlak”. KH. Muhammad sebagai The Massanger (pendakwah), sebagai pewaris Nabi sebagai “penyempurna akhlak”, sekaligus sang penyair. KH. Muhammad tergolong orang yang konsisten dengan tradisi lama intelektual Islam Nusantara (Indonesia) dalam hal penulisan karya ilmiah. Terbukti dari dua karya yang dihasilkannya bercorak sebagai mana karya tulis ilmiah masa awal transmisi pengetahuan fase adopsi aktif kalangan Islam Indonesia. Abad XVII-XVIII M. (fase awal) adopsi aktif berupa gerakan pembuatan karya ilmiah keislaman mulai terlihat. Gerakan tersebut berupa penerjemahan atau penyaduran kitab-kitab klasik berbahasa Arab ke dalam bahasa lokal, baik ke bahasa Melayu, Jawa, Sunda, maupun bahasa daerah yang lainnya,3 ataupun karya asli dari kalangan intelektual Indonesia. Corak yang menonjol, yang menandai karya terjemahan atau penyaduran masa-masa awal yang dilakukan oleh sarjana Nusantara/Indonesia adalah: Pertama judul terjemahan atau saduran yang digunakan kebanyakan masih menggunakan bahasa Arab. Kedua, huruf yang digunakan dalam karya terjemahan atau saduran menggunakan huruf Arab pegon.4 Ketiga, model terjemahan atu penyadurannya menggunakan model harfiah yang lebih mengutamakan keserupaan bentuk gramatikal bahasa Arab.5 Berangkat dari penjelasan di atas, penulis akan mengangkat judul: “Al-Washiyah fî al-Akhlâq; Syi’ar Syair Dakwah KH. Muhammad Kebon Jambu”
B. Selayang Pandang Tentang Syair Arab a. Ilmu ‘Arudh Arudh adalah ilmu yang memuat kaidah-kaidah untuk mengetahui pola-pola (mawâzin) syi’ir dan nadzâm, perubahan-perubahan yang terjadi pada pola-pola tersebut, mengenali tuturan yang berpola dan tidak, juga untuk membedakan suatu pola dari pola yang lainnya, bahkan untuk
378_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013
mengetahui pola syi’ir yang benar dan yang salah.6. Yang menemukan Ilmu Arudh adalah Al-Khalil bin Ahmad bin Amr bin Tamim al-Farahidi. Dilahirkan pada 100 H, wafat pada usia 74 tahun.7 Ia merupakan guru dari Sibawaih, salah seorang tokoh terbesar bahasa aliran Basrah, di samping juga adalah guru dari banyak penulis lainnya. Dia membaca dan mempelajari kumpulan puisi Arab yang dihimpunnya, membuat notasinya, mengumpulkan pola-pola yang serupa, hingga pada akhirnya ia menemukan pola-pola puisi-puisi Arab tersebut, dan mengidentifikasi bentuk-bentuk qâfiyah-nya.8 Penemuannya ini dinamakan dengan ‘Arûdh, karena pada suatu waktu ia bermukim di ‘Arudh atau Makkah, hal ini dimaksudkan sebagai Tabarruk dengan kota tersebut.9 b. Wazan dan Bahar Syi’ir Dalam ilmu ‘Arudh dikenal istilah Wazan dan Bahr. Wazan adalah timbangan berupa ketukan-ketukan lagu yang memecah kata-kata dalam tiap bait sebuah syi’ir atau nazham ke dalam maqathi (potonganpotongan). Kumpulan potongan-potongan lagu kata ini dirangkum oleh taf’ilat, rumus-rumus berpola sebagai realisasi dari ketukan-ketukan nada dalam syi’ir. Kumpulan taf’ilat itu selanjutnya disebut bahar, yang sekaligus menjadi identitas resmi sebuah syi’ir atau nazham. Berdasarkan ketukan-ketukan lagu itu, dapat dibedakan antara wazan yang satu dari yang lain, hingga akhirnya dapat dibedakan antara bahar yang satu dengan yang lain. Bahkan dengan ketukan itu pula dapat dibedakan antara wazan yang benar dan yang salah, antara tuturan yang tertata (mauzûn) dengan yang tercerai berai (maksûr).10 Adapun bahar dalam syair Arab adalah sebagai berikut: -
Basith, dengan wazan: Mustaf’ilun Fâ’ilun Mustaf’ilun Fâ’ilun
-
Rajaz, dengan wazan: Mustaf’ilun Mustaf’ilun Mustaf’ilun
-
Sari’, dengan wazan: Mustaf’ilun Mustaf’ilun Fâ’ilun
-
Raml, dengan wazan: Fâ’ilâtun Fâ’ilâtun Fâ’ilâtun
-
Khafîf, dengan wazan: Fâ’ilâtun Mustaf’ilun Fâ’ilâtun
Al-Washiyah Fî Al-Akhlaq Syair Jawa-Cirebon _379
-
Madîd, dengan wazan: Fâ’ilâtun fâ’ilun Fâ’ilâtun
-
Mutadârik, dengan wazan: Fâ’ilun Fâ’ilun Fâ’ilun Fâ’ilun
-
Thawîl, dengan wazan: Fa’ûlun Mafâ’îlun Fa’ûlun Mafâ’îlun
-
Mutaqârib, dengan wazan: Fa’ûlun Fa’ûlun Fa’ûlun Fa’ûlun
-
Wâfir, dengan wazan: Mufâ’latun Mufâ’latun Fa’ûlun
-
Hijaz, dengan wazan: Mafâ’îlun Mafâ’îlun
-
Kâmil, dengan wazan: Mutafâ’ilun Mutafâ’ilun Mutafâ’ilun
-
Munsarih, dengan wazan: Mustaf’ilun Maf’ûlâtun Mustaf’ilun
-
Al-Mujtats, dengan wazan: Mustaf’i-lun Fâ’ilâtun
-
Al-Mudhâri’, dengan wazan: Mafâ’îlun Fâ-’i-lâ-tun
-
Muqtadhib, dengan wazan: Maf’ûlât Mustaf’ilun.11
c. Qâfiyah Dalam syair Arab, (bunyi) huruf yang mengakhiri syair atau nadzâm disebut sebagai Qâfiyah. Yang berfungsi menyempurnakan musikalitas sebuah syi’ir atau nazham yang disusun sebagai kidung. qâfiyah terbentuk dari huruf atau kata dalam akhir sebuah bait, tetapi juga huruf hidup (musyakkal) sebelum huruf mati yang diapit keduanya. Adapun qâfiyah mempunyai beberapa bentuk, antara lain (1) qâfiyah sebagian dari kata, (2) qâfiyah terdiri dari satu kata, dan (3) qâfiyah terdiri dari dua kata.12 Ada enam kategori huruf yang ada dalam Qâfiyah, yang masingmasing disebut rawi, washl, khuruj, ridf, ta sis dan dakhil. Di antara enam kategori huruf qâfiyah tersebut rawi adalah yang terpenting karena sekaligus menjadi identitas dari sebuah qashîdah (kumpulan tematis syair).13 Dalam sebuah kumpulan syair, kadang disebut sebagai qashîdah mîmiyah, qashîdah lâmiyah, qashîdah nûniyah, dan sebagainya, itu berarti kumpulan tematis puisi itu ber-rawi mim, lam dan nun.14 Huruf rawi memberikan identitas formal kepada sebuah kumpulan tematis atau ontology puisi atau syi’ir. Jika dalam sebuah qashîdah tidak dijumpai kehadiran huruf rawi yang sama secara konsisten, maka kumpulan puisi itu tidak bisa dikatakan ber-qâfiyah.
380_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013
C. Sketsa Hidup Penulis Al-Washiyah Fî Al-Akhlâq Penulis kitab al-Wasiyah fi al-Akhlâq syair (Nadzâm) Jawa-Cirebon adalah KH. Muhammad biasa dipanggil “akang”, lahir pada 15 Juni 1947, di kampung Karang Anyar desa Winduhaji kec./kab. Kuningan, putra dari pasangan H. Aminta dan Hj. Tsani.15 Guru-guru KH. Muhammad: K. Samud, KH. Amin Sepuh, KH. Muhammad Sanusi,16 Ki Syamsuri (Guru Fara’id), KH. Husein Kenanga (Guru ilmu Falak), KH. Muzaki Syah (Mu’jiz Manaqib), KH. Sholihin (Guru Spiritual), dan lain-lain.17 Dari sekian banyak gurunya, yang paling berpengaruh dalam perjalanan hidup dan kehidupan ilmiahnya adalah KH. M. Sanusi. Ketaatan Muhammad pada gurunya tidak diragukan lagi, terlebih lagi masa itu, masyarakat sangat menghormati kiai sebagai simbol ketaatan terhadap agama, karena ulama dipandang sebagai panutan.18 Hampir semua perintah dan ajaran yang diberikan, semuanya dilakukan oleh Muhammad, gaya kepemimpinan pesantren, tingkah laku, pola hidup, sampai gaya penulisan karya pun Muhammad terinspirasi oleh gurunya. Adapun hasil karyanya yaitu: a) al-Washiyah fî al-Akhlâq, kitab—yang dimungkinkan saduran dari Ta’lîm al-Muta’alim al-Jarnûzî—berisi ajaran/ nasihat akhlak untuk para pencari ilmu. b) Ahwal al-Insân, didalamnya berisi ajaran-ajaran teologi.19 Dari gaya dan muatan dua buah kitabnya, tergambar jelas bahwa KH. Sanusi merupakan “sang inspirator” bagi KH. Muhammad dalam menulis karya. Hal ini terlihat jelas dari beberapa karya KH. Sanusi kebanyakan berbentuk Syair berbahasa Jawa maupun bahasa Indonesia, serta kebanyakan berisi ajaran-ajaran akhlaktasawuf.20 KH. Muhammad wafat pada 9 Syawal bertepatan dengan 1 Nopember 2006 di Rumah Sakit Pertamina Cirebon.21
D. Tinjauan Kitab al-Washiyah fî al-Akhlâq a. Sistematika Penulisan al-Washiyah fî al-Akhlâq
ﻛﺘﺎب
اﻟﻮﺻﻴﺔ
ﰲ اﻷﺧﻼق اﻟﻮﺻﻴﺔ
ﻛﺘﺎب
ﻛﺘﺎب
Al-Washiyah Fî Hakekat Al-AkhlaqSabar Syairdalam Jawa-Cirebon Al-Quran _381
اﻟﻮﺻﻴﺔ ﻛﺘﺎب
اﻟﻮﺻﻴﺔ
Al-Wasiyah fi al-Akhlâq berisi ajaran-ajaran akhlak-tasawuf, yang disajikan dalam bentuk Kalam Nazham (Syi’ir) berbahasa Jawa Cirebon. Kitab ini Ditulis dikertas HVS, dalam covernya tertulis kata “ ” dengan kaligrafi Arab Riqah, judul kitab “ “ ditulis dengan Khat Qufi, “ ” ditulis dengan tulisan Kaligrafi Arab corak Diwani Jali, nama penukil (pengarang) “ ”, dan kata “ “ditulis dengan tulisan Nashkh. Sebelum memasuki pembahasan, penulis membuka dengan bacaan Basmalah, kemudian bacaan Hamdalah dan Shalawah-Salam atas Nabi Muhammad Saw., sahabat dan keluarganya, yang berbentuk redaksi Natsar, adapun Kalam lengkapnya sebagai berikut;
ﻛﺘﺎب اﻷﺧﻼق ﰲ اﻷﺧﻼق ﰲ اﻟﻮﺻﻴﺔ ﻛﻴﺎﻫﻲ ﺣﺎج ﳏﻤﺪ ﰲ اﻷﺧﻼق اﻟﻮﺻﻴﺔ ﻛﻴﺎﻫﻲ ﺣﺎج ﳏﻤﺪ ﳏﻤﺪ ﺣﺎج ﻛﻴﺎﻫﻲ ﰲ اﻷﺧﻼق رﲪﻪ اﷲ ﺗﻌﺎﱃ وﻧﻔﻌﻨﺎ ﺑﻌﻠﻮﻣﻪ ﻛﻴﺎﻫﻲ ﺣﺎج ﳏﻤﺪ ﰲ اﻷﺧﻼق ﺑﻌﻠﻮﻣﻪ وﻧﻔﻌﻨﺎ ﺑﻌﻠﻮﻣﻪ وﻧﻔﻌﻨﺎاﷲ ﺗﻌﺎﱃ ﺗﻌﺎﱃرﲪﻪ رﲪﻪ اﷲ ﻛﻴﺎﻫﻲ ﺣﺎج ﳏﻤﺪ اﳊﻤﺪ ﷲ رب اﻟﻌﺎﳌﲔ اﻟﺬي ﺟﻌﻞ ﻣﻦ رﲪﻪ اﷲ ﺗﻌﺎﱃ وﻧﻔﻌﻨﺎ ﺑﻌﻠﻮﻣ ﳏﻤﺪ ﻛﻴﺎﻫﻲ اﻟﺴ اﻟﺼﻼة ﺑﺸﺮا و اﳍﺪىاﳌﺎء ﺟﻌﻞا وﻣﻦ اﻟﻌﺎﳌﲔﻣﻦاﻟﺬي اﻟﻌﺎﳌﲔﷲ رب ﺣﺎجاﳊﻤﺪ ﺻﻠﻰواﷲ ﳏﻤﺪ ﺳﻴﺪﻧﺎ اﳌﺎء ﻧﻮر ﻋﻠﻰ اﻟﺴﻼم اﻟﺼﻼة و ﺮ ﺑﺸ ﺟﻌﻞ اﻟﺬي رب ﷲ اﳊﻤﺪ رﲪﻪ اﷲ ﺗﻌﺎﱃ وﻧﻔﻌﻨﺎ ﺑﻌﻠﻮﻣﻪ وﻋﻠﻰ أﻟﻪ وﺳﻠﻢ اﷲ وﺻﺤﺒﻪﺻﻠﻰ ﺳﻴﺪﻧﺎاﷲﳏﻤﺪ اﳍﺪى ﻋﻠﻰ ﻧﻮر اﳍﺪىﻋﻠﻰ اﻟﺬي اﻟﻌﺎﳌﲔ رب اﳊﻤﺪ ﷲ "ﺑﻌﺪ أﻣﺎ ,وﺳﻠﻢ ﻋﻠﻴﻪأﻟﻪ وﻋﻠﻰ وﺳﻠﻢ ﻋﻠﻴﻪ ﺑﻌﻠﻮﻣﻪﺻﻠﻰ ﻧﻮر ﳏﻤﺪ ﺳﻴﺪﻧﺎ رﲪﻪ اﷲ ﺗﻌﺎﱃ وﻧﻔﻌﻨﺎ ﺳﻴﺪﻧﺎواﻟﺼﻼ اﳍﺪى ﺑﺸﺮا ﺟﻌﻞﻧﻮرﻣﻦ اﳌﺎء وﺻﺤﺒﻪاﳊﻤﺪ "رب ﺑﻌﺪ أﻣﺎ,وﺳﻠﻢﷲ ﳏﻤﺪ اﻟﻌﺎﳌﲔ اﻟﺬيﻋﻠﻰ " أﻣﺎ ﺑﻌﺪ,وﺻﺤﺒﻪ وﺳﻠﻢ اﻟﺼﻼةاﷲو وtertulis ﳏﻤﺪا اﳌﺎء ﺑﺸﺮ اﳍﺪىﻣﻦ ﺟﻌﻞ ﻋﻠﻰاﻟﺬي اﻟﻌﺎﳌﲔ ﷲ رب318اﳊﻤﺪ ﺑﻌﺪ"وﻋﻠ اﻟﺴﻼموﺳﻠﻢ ﺻﻠﻰ ﺳﻴﺪﻧﺎ ﻧﻮر ﻋﻠﻴﻪأﻣﺎ ,وﺳﻠﻢ وﺻﺤﺒﻪ Nazhâm yang di kitab ini seluruhnya berjumlah buah, tertulis dalam 24 halaman yang terbagi dalam Muqaddimah dan sepuluh ﻋﻠﻰ ﻧﻮر اﳍﺪى ﺳﻴﺪﻧﺎ "اﷲ ﺑﻌﺪ ﺻﻠﻰ أﻣﺎ ,ﳏﻤﺪوﺳﻠﻢ وﺻﺤﺒﻪ Bab.ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ وﻋﻠﻰ أﻟﻪ Adapun pembahasan yang diulas antara lain: (1) Muqaddimah, " أﻣﺎ ﺑﻌﺪ,وﺻﺤﺒﻪ وﺳﻠﻢ secara tertulis kata al-Muqaddimah disini tidak termaktub, artinya setelah pengarang menuliskan Basmalah, Sholawah-Salam, pengarang langsung masuk pada redaksi syairnya (pembahasan), (2) Nasihat Saking Guru (Nasehat dari Guru), (3) Tata Kramane Ngaji (Akhlak Mengaji/ Belajar), (4) Ngawiti Ngaji (Memulai Belajar), (5) Ta’zhîm al-‘Ilmi Wa Ahlihi (Menghormati Ilmu dan Ahlinya), (6) Al-Jadd Wa al-Muwadhdhabah (Sungguh-sunguh dan Giat), (7) Al-Wara’, (8) Al-Tawakkal (Pasrah Kepada Allah), (9) Al-Istifadah (Mengambil Faedah), (10) Ma Yûrits alHifzh wa al-Nisyân (hal yang menyebabkan hafal dan lupa), (11) Kang Narik Rizki Kang Nyegah Rizki, Kang Nambah Umur (Hal yang Menarik Rizki, Mencegah Rizki, dan Hal yang Menambah Umur).
382_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013
Dalam pungkasan kitabnya, KH. Muhammad menuliskan syair-syair pujian kepada Allah yang Maha Pengasih, dengan ungkapan Hamdalah, bacaan Shalawat-Salam atas Nabi. Dan KH. Muhammad mengatakan bahwa Syair yang ia tulis (dianggap) cukup untuk mendasari orang yang mencari ilmu (santri), serta KH. Muhammad berharap syair (karya)nya dapat bermanfaat dan termasuk amal yang ikhlas .Daftar Isi kitab ditulis dalam lembaran akhir, dan setelah itu tertulis tahun penyelesaian penulisan kitab yakni Rabî’ al-Awal 1414 H. dan juga terdapat tulisan:
"اﳊﻤﺪ ﷲ رب اﻟﻌﺎﳌﲔ اﻟﺬي ﺟﻌﻞ ﻣﻦ اﳌﺎء ﺑﺸﺮا واﻟﺼﻼة واﻟﺴﻼم ﻋﻠﻰ ﻧﻮر اﳍﺪى ﺳﻴﺪﻧﺎ ﳏﻤﺪ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ وﻋﻠﻰ أﻣﺎ ﺑﻌﺪ,أﻟﻪ وﺻﺤﺒﻪ وﺳﻠﻢ "إﻧﺘﻬﻰ ﻫﺬﻩ اﻟﺮﺳﺎﻟﺔ ﺑﻌﻮن اﷲ ﺗﻌﺎﱃ ﲞﻂ أﻓﻘﺮ اﻟﻮرع اﻟﺮاﺟﻲ ﻟﺮﲪﺔ أﻣﲔ.رﺑﻪ اﻹﺧﻮان ﻏﻔﺮ اﷲ ﻟﻪ وﻟﻮاﻟﺪﻳﻪ وﳌﺸﺎﳜﻪ b. Muatan al-Washiyah fî al-Akhlâq
Kitab berbahasa Jawa-Cirebon ini berisi tentang ajaran akhlak-tasawuf yang ungkapan penyampaiannya menggunakan Kalâm Syair. Dari syair yang termaktub dalam Al-Washiyah fi al-Akhlâq, pengarang membaginya ke dalam sebelas bagian. Adapun muatan/konten yang terkandung di dalamnya lebih kurang sebagai berikut. Pertama, Muqaddimah berjumlah 50 Nazhâm, didalamnya memaparkan cerita proses hubungan bapak dan ibu (suami istri), terbentuknya manusia dari bentuk asal sel telur, proses pembentukan dalam kandungan sampai pada lahirnya manusia ke dunia.22 Cerita ini (proses pembentukan manusia) merupakan saduran hadis Nabi. Penjelasan ini termaktub dalam syair pertama sampai syair yang ke-19. Juga dalam muqaddimah diterangkan kondisi pasca kelahiran, bagaimana seorang bapak mesti lakukan ketika sang bayi baru lahir (mengumandangkan Kalimah Tayyibah, bayi dibisikan Adzan dan Iqamah), penjelasan ini mengambil dan menyadur hadis Nabi. Pengarang dalam hal ini beralasan supaya bayi suci laksana Syuhada’ tersebut terjaga dari godaan setan; KH. Muhammad menggambarkan kebahagiaan kedua
Al-Washiyah Fî Al-Akhlaq Syair Jawa-Cirebon _383
orang tua tatkala anaknya baru lahir walaupun sebelumnya berbagai kesusahan menimpanya. Penjelasan ini ditulis dalam syair ke-20 sampai syair ke-23.23 Pengarang memaparkan pula bagaimana kesusahan kedua orang tua dalam merawat dan mendidik anak. Dalam hal ini penulis menggunakan redaksi kata ganti orang kedua (seolah ada dialog antara pengarang dan penyimak/santri). Pada syair yang ke-27 penulis menganjurkan melakukan ‘Aqiqah, mencukur rambut jabang bayi, memberi nama bayi dengan nama yang baik, dan melantunkan doa.24 Dalam Muqaddimah KH Muhammad berpesan kepada santri (calon orang tua), tentang pendidikan anak pra dan usia sekolah dasar sebelum anak tersebut menuntut ilmu di pesantren. Ajaran ini termaktub dalam Al-Washiyah fi al-Akhlâq syair ke-29 sampai 41; tata karma Sang Ayah ketika memasukan anaknya ke Pesantren.25 Kedua, (bab) Nasehat Saking Guru, didalamnya menerangkan corak—keimanan—manusia di dunia, yakni muslimin, kafirin, dan zhalimin yang disertai dengan definisinya; balasan bagi manusia pasca kematian disertai dengan deskripsi nikmat surga dan siksa neraka, dalam menjelaskan situasi neraka dan penghuninya (dialog Allah dengan penghuni Neraka). KH. Muhammad mengutip sebuah ayat al-Qur’an surat al-Mu’minun (23:108);26 perintah dan larangan— syar’iat Islam—Allah, yakni wajib, sunnah, makruh, dan Harâm. Dalam bab ini terdapat beberapa wasiat KH. Muhammad yaitu: santri harus giat belajar, - giat sholat berjama’ah serta giat beribadah, dalam landasan giat beribadah KH. Muhammad mengutip al-Qur’an surat al-Dzariyat (51:65); - membaca niat ketika akan melaksanakan pekerjaan, walaupun pekerjaan sekecil apapun, semisal mandi; - taat pada perintah dan larangan guru, disini disebutkan sembilan kiat menjadi anak sholeh (santri taat)27 yang tertulis dalam syair ke-78 sampai dengan 120; - minimal lama mondok tujuh tahun; Dianjurkan pula para santri supaya punya target dalam belajar di pesantren, yakni tiga tahun mesti bisa mengajar sorogan, lima tahun bisa mengajar bandungan, dan
384_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013
tujuh tahun sudah menjadi orang ‘Âlim (syair ke-115 dan 116)28. Dalam bab ini termaktub 72 Nazhâm. Ketiga, Tata Kramane Ngaji, yang seluruhnya syair dalam bab ini berjumlah 27 Nazhâm. Didalamnya menjelaskan bagaimana akhlak murid ketika mencari ilmu, adapun pesan KH. Muhammad yang terkandung dalam bab ini adalah sebagai berikut: - Seorang murid harus berniat ta’at kepada Allah dan rasul-Nya ketika akan memulai belajar (mencari ilmu), supaya mendapatkan pahala setiap tindakannya, KH. Muhammad memberikan sebuah cerita bahwa malaikat akan menggelar sayapnya untuk diinjak calon murid dari rumahnya sampai pesantren sebagai bentuk penghormatan, karena orang yang menuntut ilmu derajatnya mengungguli orang mati syahid; - jika bertemu teman dijalan maupun tempat pengajian dianjurkan mengucapkan salam dan bersalaman; duduk dengan rapih (ketika di majlis ilmu) serta menghafal pelajaran, ketika guru datang berdiri dan menjawab salam; - ketika di majlis ilmu (saat akan memulai pelajaran) murid membaca niat “aku berniat mencari ilmu, menghilangkan kebodohan, mendatangkan kepandaian, dan menghidupkan agama Islam”;29 - mesti ikhlas ketika telah mampu mengamalkan ilmu. Dalam penjelasan ikhlas KH. Muhammad memaparkan bahwa setan tidak akan mundur selangkah pun untuk menggoda santri serta langkahlangkah setan menggoda santri, misal membisikan supaya ‘Ujub hingga berupaya supaya santri tidak berlaku ikhlas dalam beramal. Keempat, Ngawiti Ngaji, disini KH. Muhammad berpesan; hendaknya santri memulai—memilih hari tepat—untuk belajar (ngaji) maupun bekerja bagi santri maupun orang muslim, menurutnya hari yang tepat untuk memulai semuanya adalah hari Rabu; - memilih kitab Mu’tamad, dan melakukan sharing dengan guru; - memperioritaskan ilmu yang berlaku dan bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari (‘Ilm al-Hâl), mendahulukan (belajar) ilmu Tauhid, fiqih dan tasawuf belakangan (setelah Tauhid). Dalam bab ini jumlah syair yang dituliskan berjumlah dua belas Nazhâm.
Al-Washiyah Fî Al-Akhlaq Syair Jawa-Cirebon _385
Kelima, Ta’zhîm al-’Ilmi wa Ahlih, Dalam bab ini dijelaskan kiat (akhlak) supaya cepat menghasilkan ilmu, menghormati ilmu dan ahlinya (guru) serta keluarganya. KH. Muhammad mengulas juga keunggulan seorang yang mempunyai ilmu lagi mengamalkannya, ia mengutip statement sahabat Ali Ra. yang menyatakan dirinya siap jadi hamba (menuruti segala kehendak dan kemauannya) pada seorang yang telah mengajarkannya satu huruf ilmu, menurutnya (Ali Ra.) satu lebih mahal dibanding seribu Dirham. Bab ini berjumlah 26 Nazhâm. Keenam, Jadd wa al-Muwazhzhabah, Bab ini berjumlah 29 Nazhâm, didalamnya menerangkan beberapa anjuran (wasiat) bagi para santri dalam keseharian mencari ilmu. KH. Muhammad mengatakan bahwa tidak akan cepat medapatka ilmu kecuali rajin menghafal dan mengulang (pelajaran) dengan sungguh-sungguh. Diantara pesan yang terkandung dalam bab ini antara lain: - Tiap waktu jangan sampai (menganggur) lepas dari ilmu apapun; - jangan lupa meminta petunjuk; - merasa tidak puas dalam mencari ilmu; - setiap setelah melaksanakan shalat lima waktu jangan sampai kosong mengaji dan Ijtima’; - giat (sungguh-sungguh) dalam belajar; - memanfaatkan waktu muda dengan belajar: - senantiasa berdiskusi; - tidak terburu-buru dalam beramal; - memanfaatkan waktu baik siang maupun malam dengan hal yang bermanfaat; - mengambil berkah, meminta doa dari guru, dan mengamalkan ilmunya. Ketujuh, Al-Wara’, pada bab ini jumlah syairnya sebanyak 41 Nazhâm, didalamnya menjelaskan cobaan bagi orang yang tidak Wara’, efek bagi orang Wara’, menerangkan pula salah satu bagian tingkah wara’ yang disertai dengan sebuah riwayat sebagai contohnya, dijelaskan pula tata krama ketika belajar, anjuran menjaga sopan santun, Amar Ma’rûf Nahî Munkar, menjalankan rukun Islam, giat belajar dan bekerja, menghilangkan rasa gengsi, memerangi hawa nafsu, perbandingan antara harta dan ilmu, mengambil faidah-faidah dari siapa saja, serta dijelaskan pula kiat-kiat menghafal pelajaran supaya kuat dalam ingatan disertai dengan contoh berupa riwayat.
386_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013
Kedelapan, Tawakkal, berjumlah 27 Nazhâm, Dalam bab ini KH. Muhammad mengulas tentang tawakkal, banyaknya godaan bagi santri (penuntut ilmu), menjelaskan orang yang sedikit memikirkan ilmu, menerangkan keutamaan orang yang sabar dan tawakkal. Dalam hal ini dikutip sebuah hadis yang artinya sebagai berikut “barangsiapa yang menuntut ilmu, Allah berjanji pasti akan mencukupi dan menambah rizki”, dalam bab ini juga KH. Muhammad menuliskan pesan dalam hal keduniaan, pesannya sebagai berikut: “wahai saudaraku sedikitkanlah kesenangan duniawi yang membujuk pada gemerlapan, ambillah secukupnya dari dunia, jangan suka menuruti nafsu yang suka berlebihan. Ketahuilah bahwa dunia itu sangatlah sedikit dari suatu yang sedikit menurut orang-orang yang Siddîq. Orang yang Hubb al-Dunya itu lebih hina dibandingkan dengan dengan orang gila”. Kesembilan, Al-Istifâdah, KH. Muhammad dalam bab ini menuliskan syair sebanyak sembilan Nazhâm. Di sini dijelaskanan keutamaan ulama, menjelaskan bagaimana sikap santri dalam belajar. Adapun wasiat yang dapat diambil dari bab ini, yaitu: - bahwa seorang santri jangan pernah merasa cukup dalam mencari ilmu; - kemana pun dianjurkan membawa pena dan buku catatan; - mengambil faidah ilmu dari ulama, karena itu lebih utama; - setiap hari mesti hafal/mendapatkan ilmu baru walaupun sedikit; - dan setiap hari supaya memohon pertolongan Allah Swt. dalam segala hal. Kesepuluh, Ma Yuritsu al-Hifzhi wa al-Nisyân, berjumlah 15 Nazhâm. Bab ini mengulas suatu yang menyebabkan (cepat) hafalan dan lupa. Diantara pesan yang terkandung dalam bab ini antara lain: - lakukan shalat dengan khusu’, - konsentrasi menuntut ilmu, - sungguh-sungguh shalat malam, menyedikitkan makan, - istiqamah membaca al-Qur’an, - memperbanyak membaca Shalawat Nabi, - memakai siwak, meminum madu, - membaca ulang pelajaran dan memikirkan makna dan maksudnya; - jangan banyak bermaksiat; - jangan pusing memikirkan keduniawian, - jangan melihat salib, - jangan sering membaca nisan, membuang kutu hidup-hidup, -
Al-Washiyah Fî Al-Akhlaq Syair Jawa-Cirebon _387
jangan sering lewat kandang onta. Karena hal itu hal yang menyebabkan lupa. Kesebelas, Narik Rizki, Kang Nyegah Rizki, Kang Nambah Umur, berjumlah sepuluh Nazhâm. Dalam bab ini diulas mengenai hal-hal yang menarik (mempermudah mendapat) dan yang mencegah (menyulitkan mendapat) rizki, serta hal yang menambah umur, dijelaskan pula maslah Qudrat (ketetapan). Bahwa ketetapan Allah tidak bisa ditolak kecuali dengan doa yang ikhlas lagi mutlak. Umur kita tidak bisa ditambahi kecuali amal saleh yang bisa menambahi”. Dalam bab ini KH. Muhammad berwasiat, antara lain: - menjaga kondisi badan; - jauhi maksiat; - jangan suka berbohong,; - jangan tidur setelah subuh. Dalam akhir kitab (pembahasan) nya KH. Muhammad memuji kepada Allah yang Maha Pengasih, dengan membaca Hamdalah, membaca Shalawat-Salam atas Nabi. Dan KH. Muhammad mengatakan bahwa Syair yang ia tulis cukup untuk mendasari orang yang mencari ilmu, serta KH. Muhammad berharap syair (karya)-nya bermanfaat dan ikhlas (amal ikhlas). c. Referensi al-Washiyah Fî Al-Akhlâq Karya-karya ulama klasik Islam (Fiqh, Tasawuf, Akhlak, Sastra, Kalam, dan lainnya) dan Ulama Islam Nusantara fase awal (abad XVI-XVII) ayat al-Qur’an maupun hadis nabi tidak (jarang) diperlakukan sebagai bagian yang tidak berdiri sendiri tapi digunakan sebagai argumentasi dalam tulisannya. Begitu juga dalam kitab al-Washiyah fî al-Akhlâq, KH. Muhammad mengutip beberapa ayat al-Qur’an, beberapa hadis nabi, serta riwayat-riwayat dan fatwa-fatwa sahabat nabi dan ulama klasik sebagai bagian dari sumber rujukannya. Referensi tersebut sebagai penguat argument dari pembahasan yang diulas dalam karyanya. Dalam penulisan rujukan ayat al-Qur’an KH. Muhammad tidak melakukan penyaduran maupun penterjemahan, artinya pengarang menuliskan dan menyisipkan ayat-ayat dalam syair dengan redaksi
388_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013
asalnya. Tetapi dalam melakukan rujukan hadis-hadis nabi maupun riwayat atau fatwa ulama sering kali pengarang memuatnya dalam bentuk saduran atau terjemahan, walaupun ada sebagian yang ditulis dengan bentuk matan aslinya. Hadis-hadis dan riwayat atau fatwa lebih banyak dicirikan dengan bentuk redaksi “kanjeng Nabi dawuh” atau “dawuh nabi” dan “dawuh sahabat atau ulama (ditulis namanya) ”. Berikut ini referensi ayat-ayat al-Qur’an yang terdapat dalam al-Washiyah fî al-Akhlâq: 1. Ayat-ayat al-Qur’an a) (QS. al-Mu’minûn : 108) Ayat ke-108 al-Mu’minûn diatas dikutip dalam al-Washiyah fî alAkhlâq ketika pengarang mengulas cerita alam akherat, Dimana Allah menjawab permintaan penghuni neraka yang memohon kepada-Nya untuk dikembalikan (dihidupkan) lagi ke alam dunia serta mereka berjanji akan taat beribadah kepada-Nya. Ayat ini terdapat dalam syair ke-57 al-Washiyah fî al-Akhlâq dalam bab Nashihat Saking Guru. Adapun syairnya sebagai berikut: Sewu tahun Allah jawab, hei wong kang tuna # Ikhsa’û fîhâ walâ Tukallimûna30 “seribu tahun Allah menjawab, hai orang yang merugi % (Ikhsa’û fîhâ walâ Tukallimûn) Tinggallah dengan hina di dalamnya, dan janganlah kamu berbicara dengan aku.” b) Al-Qur’ân Surat al-Dâriyât : 56 Ayat ini terdapat dalam syair yang ke-75. Dengan redaksi: “dalil wa mâ Khalaqtu al-Jinna wa al-Insa # illâ liya’budûna ing saben mangsa.” 31 “dalil wa mâ Khalaqtu al-Jinna wa al-Insa # illâ liya’budûna pada setiap waktu”
Al-Washiyah Fî Al-Akhlaq Syair Jawa-Cirebon _389
c) (QS al-‘Ankâbut : 69) Ayat (al-‘Ankâbut : 69) ini terdapat dalam syair ke-196, Adapun syair yang ditulis sebagai berikut: Ora gelis hasil ilmu anging wekel # Ngapalaken enderes kang tikel-tikel Saban waktu aja nganggur saking ilmu # apa bae supaya gelis ketemu dadi jelas hasil ilmu ora khusus # ngapalaken balik kasab kursus Qur’an Isyarat wa al-ladzîna Jâhadû # Fînâ lanahdiyannahum Subulanâ. 32 “tidaklah cepat mendapat ilmu kecuali dengan sungguh-sungguh menghafal – mengulang dengan bertingkat-tingkat (benar-benar), setiap waktu jangan sampai menganggur (kosong) dari ilmu apa saja, supaya cepat ketemu (ilmu). Jadi jelas mendapatkan ilmu itu tidak khusus (hanya) menghafalkan, tapi dibarengi dengan usaha. Qur’an telah isyarat wa al-ladzîna Jâhadû Fînâ lanahdiyannahum Subulanâ” d) (Âli ‘Imrân : 159) Ayat ini tertulis dalam syair ke-208, yaitu: Wong kang ngaji aja tinggal musyawarah # Karo batur sebab Qur’an wis isyarah Maring Nabine “wa syâwirhum fi al-Amri” # Iku dalil kita aja berdikari. 33 “orang yang mengaji jangan meninggalkan musyawarah dengan teman sebab al-Qur’an telah isyarat kepada nabi-Nya “wa syâwirhum fi al-Amri”, itu merupakan dalil kita supaya jangan berdikari”
390_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013
2. Hadis-hadis Hadis-Hadis yang dikutip dalam al-Washiyah fi al-Akhlâq tertulis secara eksplisit maupun implisit, dan untuk menandai hadis tersirat penulis menandai dengan garis bawah. Adapun hadis-hadis al-Washiyah fi alAkhlâq adalah sebagai berikut: a) Hadis tentang proses penciptaan manusia Hadis ini secara tersirat termuat dalam muqaddimah yang disadur dalam syair keempat sampai syair ketujuh, hadis proses penciptaan manusia ini diriwayatkan oleh al-Bukhâri,34 Muslim,35 Abû Dâwud,36 al-Tirmidzî,37 Ibn Mâjah,38 al-Baihaqî,39 Ahmad bin Hanbal.40 Adapun redaksi syairnya sebagai berikut: (yen (sperma) wis manjing ditampa ning malaikat # rahim, patang puluh dina wis mufakat. Patang puluh dina maning ngalih getih kempel,# patang puluh dina maning ngalih daging kempel. waktu iki bayi umur limang wulan # dipanjingi arwah kaping neme wulan.) “Jika (sperma) telah masuk (ke dalam rahim), maka ia diterima malaikat rahim shelama empat puluh hari (sebagaimana yang telah disepakati). Empat puluh hari berikutnya berubah menjadi segumpal darah ketika berusia lima bulan. Umur enam bulan dimasukan (ditiupkan) arwah. b) Hadis ‘Aqîqah, Mencukur Rambut, Dan Memberi Nama Bayi Dalam Nazham ke-27 dan ke-28 dalam bagian Muqaddimah, hadis dibawah ini, yaitu: “bahwa Nabi Saw. memerintahkan agar memberikan nama kepada bayi yang lahir pada hari ketujuh, membersihkan kotoran darinya dan di’aqiqahkan.”(al-Tirmidzî)41
Al-Washiyah Fî Al-Akhlaq Syair Jawa-Cirebon _391
Dan hadis: “Setiap anak tergadaikan dengan ‘aqîqah-nya, dishembelih untuknya pada hari ketujuh dan rambutnya dicukur, dan dilumuri dengan darah aqiqah.” (HR. Abû Dâwud, 42 Ahmad,43 al-Baihaqî,44 al-Nasâ’î,45 Ibn Mâjah,46 dan al-Dârimî47) Syair yang secara tersirat memuat hadis ‘Aqîqah adalah sebagai berikut: wis saminggu bapak nyembeleh ‘Aqîqah # nganggo wedus gede kanggo sadaqah. Dicukur rambute lan diarani # nganggo aran bagus lan didongani) 48 “setelah sheminggu (pashca kelahiran) bapak (menyembelih) Aqiqah dengan kambing besar buat sadaqah, mencukur rambut (bayi) dan diberikan nama yang bagus serta didoakan” c) Hadis Anak Saleh Yang Mendoakan Kalau dicermati secara seksama redaksi syair ke-37, 38, dan 39 pada Muqaddimah, tersirat sebuah hadis tentang anak saleh yang mendoakan orang tua. “Jika seseorang meninggal dunia maka terputuslah amalnya kecuali tiga hal; Sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, dan anak saleh yang mendoakannya” (HR. al-Tirmidzî,49 al-Nasâ’î,50 al-Baihaqî,51 Ibn Hibbân,52 dan Ibn Huzaimah)53 Adapun syair dan hadisnya sebagai berikut: (lamun bapak ngatur mesantren, # duwe anak saleh untung ora leren. Sebab anak saleh dongakaken terus #
392_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013
maring embok bapa supya lurus ning dunya uga ning kubure, # malah melu ning akherate ora perih.) 54 “Mempunyai anak saleh beruntung tak henti, sebab anak shhalih mendoakan terush pada ibu bapak (orang tua) supaya lurus di dunia dan di alam kubur, bahkan di akhirat tidak perih (sengsara)” d) Hadis Tentang Panas Api Neraka Syair ke-59 Bâb Nashîhât Saking Guru secara tersirat menerangkan hadis tentang bandingan panas api neraka dengan api dunia. Adapun redaksi syairnya sebagai berikut: (Panas geni neraka pitung puluh # tikel, panas geni dunya malah wuwuh) “Panas api neraka itu tujuh puluh kali lebih panas bahkan lebih dibandingkan api dunia”
Syair tersebut sesuai dengan hadis: “Api kalian (di dunia ini) merupakan bagian dari tujuh puluh bagian api neraka jahannam”. Ditanyakan kepada Beliau; “Wahai Rasulullah, satu bagian itu saja sudah cukup (untuk menyiksa pelaku maksiat)?” Beliau bersabda: “Ditambahkan atasnya dengan enam puluh sembilan kali lipat yang sama panasnya”. (HR. al-Bukhârî,55 Muslim,56 al-Tirmidzî,57 dan Ahmad.)58 e) Hadis Tentang Surga Bagi Mu’min Hadis tentang surga bagi orang muslimin ini secara tersirat dalam syair ke- 65 pada Bâb Nashîhât Saking Guru.
Al-Washiyah Fî Al-Akhlaq Syair Jawa-Cirebon _393
59
إڠݤون ﺑﺎﻟﻚ ﻣﺴﻠﻤﻴﻦ ﺟﻨﺔ اﻟﻤﺄوى ۞ ﺳﺒﺐ إڠ دﻧﻴﺎﻧﻲ ﻧﻮروت ﻓﺘﻮى
(enggon balik mushlimin Jannah al-Ma’wâ, sebab ning dunyane nurut pituwa.) “tempat berpulang muslimin adalah surga Ma’wa, sebab di dunia taat akan fatwa” Adapun sabda Nabi yang dikutip (yang tersirat) dalam syair diatas adalah sebagai berikut: “Tidak akan mashuk surga kecuali orang-orang beriman.” (HR. Muslim,60 al-Tirmidzî,61 Ahmad,62 al-Baihaqî,63 dan al-Dârimî.64) f) Hadis Niat “Semua perbuatan tergantung niatnya, dan (balasan) bagi tiap-tiap orang (tergantung) apa yang diniatkan; Barangsiapa niat hijrahnya karena dunia yang ingin digapainya atau karena seorang perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada apa dia diniatkan” (HR. alBukhâri,65 Abû Dâwud,66 al-’abrânî,67 al-Baihaqî,68 dan Ibn Mâjah69) Hadis diatas secara tersirat dalam syair ke-76 tentang anjuran berniat dalam melakukan semua pekerjaan yang baik.70 Dengan bentuk syair sebagai berikut: (Dadi nyata, penggawe bagus kudu niat ibadah senajan adus)
71
“Jelaslah bahwa setiap amal baik mesti berniat ibadah walaupun hanya berupa mandi” g) Mencari Ilmu Bukan Karena Allah “Siapa yang mencari ilmu karena empat perkara akan masuk neraka (atau yang seperti kalimat tersebut), untuk mendebat ulama, untuk berbantahbantahan dengan orang-orang bodoh, untuk memalingkan wajah manusia kepadanya (menjadi idola dan pusat perhatian) atau untuk mengambil perhatian para penguasa”. (HR. al-Dârimî72)
394_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013
Hadis ini secara maknawi tersadur dan tersirat dalam syair ke 167 dan 168 pada bab Ta’zhîm al-‘Ilm wa Ahlih. (Aja niat luruh ilmu kanggo madep # sekabeh menusa, hormat serta madep, uga agul-agulan maring ulama, # amung kalah najan salah jatuh nama. 73 “janganlah berniat mencari ilmu karena mengharap untuk dihormati manusia, unggul-ungulan dengan ulama, (tetap kukuh) walaupun salah karena takut jatuh nama” h) Hadis Memperbanyak Salawat atas Nabi “Sesungguhnya di antara hari-harimu yang paling utama adalah hari Jum’at, pada hari itu Adam di ciptakan, pada hari itu beliau wafat, pada hari itu juga ditiup (sangkakala) dan pada hari itu juga mereka pingsan. Maka perbanyaklah shhalawat kepadaku -karena- shalawat kalian akan disampaikan kepadaku.” (HR. Abû Dâwud,74 al-Nasâ’î,75 Ibn Mâjah,76 dan Ibn Huzaimah77) i) Hadis Anjuran Bersiwak “Hendaklah kalian menggunakan shiwak, sebab mendatangkan bau harum di mulut dan mendatangkan keridlaan dari Rabb (Allah).” (HR. Ahmad bin Hanbal.78) Dan hadis lain yang menjelaskan siwak dengan redaksi: “Kalaulah tidak memberatkan umatku, niscaya kuperintahkan mereka bersiwak setiap kali salat” (HR. al-Bukhâri,79 Abû Dâwud,80 al-’abarânî, 81 al-Tirmidzî,82 al-Nasâ’î,83 Ahmad,84 al-Baihaqî,85 Ibn Mâjah,86 dan alDârimî.87)
Al-Washiyah Fî Al-Akhlaq Syair Jawa-Cirebon _395
j) Hadis Tentang Meminum Madu “Rasulullah Saw. senang manis-manisan dan madu.” Dua hadis tentang madu di atas diriwayatkan oleh al-Bukhârî,88 Muslim,89 Abû Dâwud,90 al-Tirmidzî,91 Ibn Mâjah,92 dan al-Dârimî.93 Ketiga hadis tentang memperbanyak salawat atas Nabi, bersiwak, dan meminum madu itu dikutip dalam pembahasan Mâ Yûrith al-Hifzwa al-Nisyân, yang tersirat dalam syair: “ngakehaken (baca) salawat lan nganggo susur, # nginum madu uga waktune diatur” memperbanyak menbaca shalawat dan memeakai susur (siwak) # minum masdu serta waktunya diatur Sebagaimana disinggung di atas, selain hadis tersirat, al-Washiyah fî alAkhlâq juga menuliskan hadis secara tersurat, hadis tersebut ditulis dalam bentuk saduran atau pun redaksi asli, dan hadis tersurat teridentifikasi sebagai berikut: a) Hadis anjuran membisikkan Kalimah Tayyibah (Adhân dan Iqâmah) pada bayi yang baru dilahirkan. KH. Muhammad menyadur atau menterjemah hadis tersebut ke dalam bahasa Jawa-Cirebon (penyampaian hadis bi al-Ma’nâ), kemudian meramunya kedalam bentuk syair yang berbunyi: (ing dawuhe Nabi lamun lahir bocah # sunahe ngerungu kalimah Tayyibah) 94 “Dalam shabda Nabi Jika lahir sheorang bocah shunahnya (dishunahkan) mendengarkan (didengarkan Kalimah Toyyibah)” “barang shiapa yang dikaruniai anak lalu mengadhaninya ditelinga kanannya dan mengiqamatinya di telinga kirinya, maka jin perempuan tidak akan mengganggunya” (HR. Abû Ya’lâ95)
396_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013
b) Hadis Larangan Jambul. Hadis yang kedua ini tidak ditampilkan matan aslinya oleh penyair (KH. Muhammad). Sabda Rasulullah ini dikutipnya dalam penjelasan mengenai larangan bagi santri berambut gondrong maupun berjambul. Saduran hadis tersebut dituangkan dalam syair ke-94 sampai dengan 97, yang berbunyi: Kanjeng Nabi ningali bocah jambulan,# nuli takon anak sapa kang kang jambulan (?) dijawab, anak fulan. Nuli dawuh # coba undang bapane supaya weruh. Barang teka, Kanjeng Nabi endawuhi,# anak ira aja duwuruk Yahudi, lamun cukur, cukur kabeh, lamun dawa, dawa kabeh, mung aja rerewa.) 96 “baginda Nabi melihat anak yang berjambul, kemudian Nabi bertanya:”anak siapa ini yang berjambul? Dijawab, anaknya Fulan, kemudian (Nabi) berkata “coba panggil bapaknya” supaya tahu, ketika datang (bapaknya anak), Nabi berkata: “anakmu jangan diajarkan (seperti) Yahudi, jika Cukur (potong rabut) maka cukur shemuanya, jika dipanjangkan, maka panjangkan semua (panjangnya sama), Cuma jangan banyak tingkah” Syair di atas sesuai dengan hadis: “sesungguhnya Nabi Saw. melihat seorang anak yang dicukur sebagian rambut dan meninggalkan (menyisakan) sebagiannya, maka Nabi melarang demikian kepada mereka, nabi bersabda cukurlah semuanya atau tinggalkan (tidak mencukur) semuanya.” (Ahmad bin Hanbal,97) c) Hadis Tentang Hari Rabu Dalam syair ke-153 dikutip hadis tentang anjuran memulai aktifitas
Al-Washiyah Fî Al-Akhlaq Syair Jawa-Cirebon _397
pada hari Rabu. Referensi hadis ini sebagai penguat pendapat tentang pencarian (memilih) hari dalam memulai aktivitas baik (amal), begitu juga belajar (sebelum memilih ilmu/pelajaran, guru, dan kitab). Menurutnya sebaiknya belajar maupun pekerjaan lainnya sebaiknya dimulai pada hari Rabu. Adapun hadis tersebut teramu dalam syair: (Dawuh Nabi Mâ min Syay’in yuf’alu fîh illâ wa qad Tamma mâ Yuf’alu) 98 “tidak ada suatu pekerjaan yang dimulai pada hari Rabu kecuali (akan mendapat) kesempurnaan dari pekerjaan itu.” hadis tentang (anjuran) memulai aktifitas pada hari Rabu dengan bentuk redaksi sebagai berikut: ”Rasulullah Saw. bersabda: tidak ada sesuatu yang dimulai pada hari Rabu, kecuali akan sempurna” 99 d) Hadis Kewajiban Mencari Ilmu Redaksi hadis perintah mencari ilmu tertulis dalam syair ke157, dalam pembahasan kewajiban mencari ilmu syari’at untuk kehidupan sehari-hari. Dengan redaksi syair. (Ingkang telu aran ilmu syare’at, # kang kepanjing hadis nabi wis mufakat. Faqâl ‘alab al-’Ilm Farî’ah # ‘alâ kulli muslim wa muslimah.) 100 “ilmu yang tiga (Tauhîd, fiqh, dan Tasawuf) itu disebut ilmu shari’at yang termasuk dalam hadis nabi yang telah disepakati. Nabi bersabda “mencari ilmu itu hukumnya wajib bagi setiap mushlim laki-laki dan perempuan” Hadis ini diriwayatkan oleh Ibn Mâjah,101 al-Tabarânî dari jalur Anas bin Mâlik,102 Husain bin ‘Alî,103 Ibn ‘Abbâs,104 dan Abî Sa’îd al-Khudrî.105
398_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013
e) Hadis Tentang Wara’ Dalam Mencari Ilmu Hadis ini disebutkan pertama dalam bab al-Wara’, tepatnya dalam syair ke-217 sampai ke-219, bentuk redaksi syair sebagai berikut: (Dawuh Kanjeng Nabi; sapa wongkang ora # apik jalanaken ilmune lalawora, Allah bakal nyoba salah sewijine # telung perkara, mati msih enome, atawa manggon ing kaum ingkang bodo,# atawa embujang ratu kang embobodo.) 106 “Sabda Nabi:“Barangsiapa yang tidak Wara’ menjalankan ilmunya, bertingkah polah, Maka Allah akan mencobanya dengan salahsatu dari tiga perkara. Mati ketika masih muda, atau menempati dalam kaum yang bodoh, atau menjadi pelayan raja (pemerintah) yang suka berbohong (Zhalim) Hadis ini ditemukan dalam kitab Jâmi’ al-Akhbâr dengan nomor hadis 12984, dan Ta’lîm al-Mutaâlim, yang artiya kurang lebih: “barangsiapa yang tidak Wara’ dalam belajarnya, maka Allah akan menimpakan cobaan kepadanya salah satu dari tiga perkara: ada kalanya ia dimatikan dalam usia muda,ditempatkan bersama orang-orang bodoh, atau dicoba menjadi hamba pemerintah” 107 “barangsiapa yang tidak Wara’ dalam agama Allah, maka Allah akan menimpakan cobaan kepadanya dengan tiga perkara: ada kalanya ia dimatikan dalam usia muda, dicoba menjadi hamba pemerintah, atau ditempatkan bersama orang-orang bodoh.” 108 f) Hadis Tentang Janji Allah (Mencukupkan Rizki Kepada Pelajar) Hadis tersebut tertulis dalam redaksi syair ke-259 dan 260, dengan redaksi sebagai berikut:
Al-Washiyah Fî Al-Akhlaq Syair Jawa-Cirebon _399
(Rasulullah dawuh ; sapa wongkang ngaji # pasti Allah bakal nyukupi lan janji, ditambahi rizki lan kesuguhane, # ora disangka, uga jembar atine) 109 “Rasulullah bersabda: “barang siapa yang ngaji (mencari ilmu, Allah pasti akan mencukupi rizkinya, ditambahi rizki dan kekayaanya tanpa terduga dan akan dilapangkan hatinya. Adapun hadis tersebut sebagai berikut : “Barangsiapa yang mencari ilmu Allah akan mencukupka.rizhkinya” g) Hadis Tentang Amalan Yang Paling Utama (membaca al-Qur’an) Dalam syair dibawah ini termuat hadis yang berkaitan dengan keutamaan amal, yaitu membaca al-Qur’an dan mengamalkannya. (Dawuh Nabi; paling utamane amal # umat isun maca Qur’an kang diamal) 110
“Sabda Nabi: “paling utamnya amal umatku adalah membaca al-Qur’an yang (kemudian) diamalkan.” “paling utama amal umatku adalah membaca al-Qur’an” (HR. al-Baihaqî dalam al-Jâmi’ Li Syu’ab al-Îmân-nya,111) a. Fatwa dan Riwayat Sedangkan Fatwa Atau Sahabat/Ulama yang dikutip al-Washiyah fî alAkhlâq sebagai berikut: a) Pernyataan Abû Hanîfah Statmen Abû Hanîfah dikutip KH. Muhammad dalam ulasan
400_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013
Ta’zhîm al-‘Ilm wa Ahlih, fatwa ini termaktub dalam syair ke-165 yang berbunyi: (Dawuh Abû Hanîfah; Hei wongkang belajar # kudu ngerasa awake kurang ajar, uga ngerasa butuh maring didikan. # Poma aja dirasa keundakan, uga ugal-ugalan maring ulama,# emong kalah najan salah jatuh nama.) 112 ”Abû Hanîfah berkata: wahai orang yang belajar, (kamu) harus merasa dirimu itu kurang ajar, merasa butuh pada didikan, tolong jangan merasa punya keunggulan, juga unggul-ugulan (merasa unggul) dengan ulama, tidak mau kalah (jatuh nama) walaupun (sudah ketahuan) salah. b) Perkataan sahabat ‘Alî bin Abî Tâlib pernyataan ‘Alî bin Abî Tâlib mengenai keutamaan ilmu dan orang yang mengajarkan ilmu ini termuat dalam syair ke-171 sampai dengan 176, yang berbunyi sebagai berikut: (Dawuh Sahabat ’Alî; isun ‘Âbid-e # wongkang mulang sahuruf ngerti maksude, sebab sahuruf ilmu ingkang kepaham # luwih larang saribu Dirham. Wongkang muruk ilmu sahuruf diamal # dadi bapa agamane ingkang Kamâl. “Fadl al-Mu’allim Qadr laysa Yablughuh,# Hunuwa Umm wa lâ Yahwîh Fadl Abbin, Fadzâ Yurabbîh fî al-Dunyâ Ma’îshatah wa #
Al-Washiyah Fî Al-Akhlaq Syair Jawa-Cirebon _401
dhâka Yumkinuh fî Arfa’ al-Rutab) 113 ”sahabat Ali Ra. berkata: saya adalah hamba orang yang mengajarkanku satu huruf yang (aku) mengerti maksudnya, sebab sehuruf yang difaham lebih mahal ketimbang seribu dirham. Orang yang mengajarkan sehuruf dan diamalkan itu menjadi bapak agamanya yang sempurna. Kalaupun aku dijual maupun jadi hambanya, saya menurut apa maunya (orang yang mengajarkan ilmu). Keutamaan seorang guru tiada kadar yang dapat mengalahkannya, keutamaan soreng bapak tidak akan menutupi (mengalahkan) kasih sayang seorang ibu.” c) Perkataan Ibnu Abbâs Perkataan Ibnu Abbâs mengenai (salah satu) sebab mendapatkan ilmu, ungkapan tersebut dikutip dan dituangkan KH. Muhammad dalam \Nazhâm 186, yang berbunyi: (Ibn ‘Abbâs den takoni apa sebab hasil ilmu(?) jawab, ta’dhîm maring ustadz) 114 “Ibnu ‘Abbas ditanya, apa yang menyebabkan hasil ilmu(?) jawabnya adalah menghormati ustadz (guru)” d) Jawaban Shaykh al-Islâm Perkataan (jawaban) Shaykh al-Islâm ini dikutip KH. Muhammad dalam bab Ta’zhîm al-‘Ilm wa Ahlih syair ke-187, sebagai landasan mengenai kewajiban menghormati guru. Adapun syair yang disampaikan KH. Muhammad dalam bentuk redaksi sebagai berikut: (Shaikh al-Islâm ditakoni apa sebab hasil ilmu(?) jawab, ta’zhîm maring kitab) 115 “Shaikh al-Islâm ditanya, apa yang menyebabkan hasil ilmu(?), Jawabnya menghormati kitab”
402_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013
e) Fatwa salah satu (sebagian) Ulama Adapun fatwa ulama
yang dikutip KH. Muhammad dalam syairnya dalam pembahasan bâb al-Jadd wa al-Muwazhzhabah, yang termaktub dalam syair 167. Adapun redaksinya sebagai berikut: 116
ﺑﻘﺪر ﻣﺎ ﺗﺘﻤﻨﻰ ﺗﻨﺎل ﻣﺎ ﺗﺘﻤﻨﻰ
ﺳﺘڠﺎﻩ ﻋﻠﻤﺎء داووﻩ ﺑﻘﺪر ﻣﺎ ۞ ﺗﺘﻤﻨﻰ ﺗﻨﺎل ﻣﺎ ﺗﺘﻤﻨﻰ
(Setengah ulama dawuh; bi Qadr mâ Tatamnnâ Tanâl mâ Tatamannâ) “sebagian ulama berkata: yangﺳﻴﺮا kamu ﻣﺎﺳﻮك أوﺗﺎآﻲ وﻳﻜﻴﻞapa آﻴﺒﻞ ﻳﻴﻦ ۞ inginkan, إڠ أﺑﻮ ﻳﻮﺳﻒmaka داووﻩkau ﺣﻨﻴﻔﺔakan أﺑﻮ (menjadi) apa yang kamu harapkan.” f) Perkataan Abû Hanîfah Perkataan Abû Hanîfah kepada Abû Yûsuf ini diambil KH. Muhammad sebagai dalil dalam ulasan mengenai keharusan giat ﺗﻨﺎل ﻣﺎ ﺗﺘﻤﻨﻰUngkapan ۞ ﺑﻘﺪر ﻣﺎtersebut ﻋﻠﻤﺎء داووﻩ ﺳﺘڠﺎﻩ dan sungguh-sunguhﺗﺘﻤﻨﻰ dalam belajar. tertuang dalam syair ke-212, yang berbunyi: 117
أﺑﻮ ﺣﻨﻴﻔﺔ داووﻩ إڠ أﺑﻮ ﻳﻮﺳﻒ ۞ ﺳﻴﺮا آﻴﺒﻞ ﻳﻴﻦ وﻳﻜﻴﻞ أوﺗﺎآﻲ ﻣﺎﺳﻮك
(Abû Hanîfah dawuh ing Abû Yûsuf; sira kebel, yen wekel otake masuk) “Kata Abû Hanîfah kepada Abû Yûsuf, kamu itu dungu (susah masuk ilmu), kalau kau rajin niscaya otakmu bakal masuk (menerima ilmu)” g) Perkataan Yahyâ bin Mu’âdh Ungkapan Yahyâ bin Mu’âdh ini dinukil KH. Muhammad sebagai dalil dalam bab al-Jadd wa al-Muwazhzhabah, dalam ulasan memanfaatkan waktu dan usia muda untuk belajar dan taat kepada Allah Swt. Ungkapan tersebut tertuang dalam Syair ke-213 sampai 215, yang berbunyi: (dawuh Yahyâ bin Mu’âdh; ing setuhune wengi iku dawa lan adem hawane, aja dicendekaken nganggo turu. Awan iku padang, katon langit biru, aja dipetengaken nganggo ma’siyat lan dosa, tapi kudu dianggo tâ’at) 118 “kata Yahyâ bin Mu’âdh: “Sesungguhnya malam itu panjang dan sejuk
Al-Washiyah Fî Al-Akhlaq Syair Jawa-Cirebon _403
(hawa) udaranya, jangan kau pendekan untuk tidur. Pagi itu terang kelihatan langit biru, jangan kau buat gelap buat (melakukan) maksiat dan dosa tapi harus dipakai untuk (berbuat) taat”. h) Cerita Tentang Muhammad bin Fadl (Muhammad bin Fadl nalika belajar durung ngalami panganan pasar. Dina Jum’at ditamuni ning ramane, disuguhi panganan pasar lan liyane. Ramane ora gelem ngomong lan bendu. Jawab; rama nuhun ma’af, sampun bendu, roti nika sanes saking pasar, tapi saking rencang di sekolah dasar. Jawab; lamun nyata sira gawe apik batur sira ora wani bokat nampik) “Muhammad bin Fadl ketika kala menuntut ilmu tidak pernah memakan makanan pasar. Suatu ketika, pada hari Jum’at ia di datangi bapaknya, ia menyuguhkan roti (dari) pasar dan lainnya kepada ayahnya. Bapaknya marah dan tidak mau memakannya. Muhammad bin Fadl berkata: ayah mohon maaf, roti ini bukan dibeli dari pasar, tapi ini dari teman sekolahku. Ayahnya menjawab: jika kamu benar berbuat wara’, maka temanmu tak akan berani memberimu takut kamu menolak” Cerita di atas tertulis dalam syair ke-227 sampai 231 dalam bab alWara’. i) Cerita Tetang Dua Orang Pelajar Pelajar yang menuntut ilmu pada waktu dan tempat yang sama namun hasilnya brbeda. Karena yang satu belajar dengan menggunakan tata karma serta telaten, sedang yang lainnya tidak. Adapun syairnya sebagai berikut: (Ana wong lanang loro bareng mesantren bareng balik, kang siji pinter telaten kang siji pinter namung semono. wong akeh takon apa sebab mengkono(?) Dijawab ari kang siji lakune sakiyenge, ora gelem madep qiblat saubenge) 119 “ada dua orang yang sama-sama “mesantren”, ketika pulang (ke kampong
404_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013
halaman) yang satu pintar serta telaten dan yang lain pintar namun segitu (tak berkembang). Orang-orang banyak menanyakan tentangnya, apa yang menyebabkan demikian? Dijawab: kalau yang satu tingkahnya semaunya, tidak mau menghadap kiblat . j) Perkataan Muhammad bin Hasan Muhammad bin Hasan berkata : “kalau malam hari, banyak masalah akan terputus (terselesaikan) dalam semalam”. Kutipan itu di ambil KH. Muhammad dan dituangkan dalam bab al-Tawakkal syair ke274, dengan redaksi: (Muhammad bin Hasan lamun melek bengi, pirang-pirang putus sawengi) 120 ”Muhammad bin Hasan, kalau malam hari, banyak masalah akan terputus (terselesaikan) dalam semalam” k) Riwayat Ibrâhîm bin Jarrâh dan Abû Yûsuf Cerita ini dikutip KH. Muhammad sebagai gambaran bahwa menuntut ilmu itu jangan putus sampai mati. Cerita ini tertuang dalam syair ke-275 sampai syair ke-280: (Ibrâhîm bin Jarâh takon maring Abû Yûsuf nalika gering wafat; hai Abî, kados pundi kang den rasa panjenengan(?). jawab; isun diparingi dangan, sebab isun ketungkul mikiri masalah balang Jumrah bari nunggang, bokat salah, apa bari melaku kang luwih bagus. Nuli jawab piyambek kang luwih bagus bari melaku, sebab kang luwih den demeni ulama zaman dingin kang ngopeni) “Ibrâhîm bin Jarâh bertanya kepada Abû Yûsuf ketika sakit: wahai Abî Yûsuf apa yang anda dirasakan engkau?, Abû Yûsuf menjawab: saya sedang diberi masalah, sebab saya fokus memikirkan masalah lempar Jumrah sambil menunggang (kendaraan) itu baik atau dengan berjalan yang lebih baik, kemudian (saya) menjawab sendiri: yang lebih bagus /
Al-Washiyah Fî Al-Akhlaq Syair Jawa-Cirebon _405
baik (lempar Jumrah) itu sambil berjalan (tidak naik kendaraan), sebab hal itu yang disukai ulama zaman dulu. l) Cerita tentang Ibrâhîm bin Adham Cerita tersebut diambil KH. Muhammad sebagai contoh orang yang tawakkal. Cerita ini tertuang dalam syair ke-281 dan 282. Dengan redaksi sebagai berikut: (Ibrâhîm bin Adham ngumbara maring alas hingga tahunan tanpa duit lan beras sampe teka maring Makkah masih urip. Iku contoh Tawakkale wongkang urip) “Ibrâhîm bin Adham mengembara ke hutan hingga bertahun-tahun tanpa uang dan beras (bekal dan makanan), sampai ia ke Makkah dalam keadaan hidup. Itulah contoh tawakkal-nya orang hidup” m) Wasiat Shadr al-Syahid Hishâm al-Dîn kepada Syams al-Dîn Riwayat ini terapat dalam syair ke-289 dan 290 dalam bab alIstifâdah. Adapun syairnya sebagai berikut: (Shadr al-Syahid Hisâm al-Dîn wis wasiat ing putrane, Syams al-Dîn; isun riwayat maring sira, saben dina kudu apal ilmu, sedikit yen suwe dadi sakapal) 121 “Syams al-Dîn diberi wasiat oleh ayahnya Shadr al-Syahid Hishâm alDîn:”setiap hari mesti hafal ilmu walaupun sedikit, sebab sedikit lamalama akan sekapal (banyak).” n) Cerita tentang ‘Ishâm bin Yûsuf Nukilan cerita ini oleh KH. Muhammad dituliskan dalam syair ke290 bab al-Istifâdah. Dengan cerita dan redaksi syair sebagai berikut: (‘Ishâm bin Yûsuf tuku Qalam sapikul kanggo nulis ilmu supaya tungkul) “Bahwa ‘Ishâm bin Yûsuf membeli pena satu pikul untuk menuliskan ilmu, supaya fokus pada ilmu.”
406_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013
o) Cerita Shaykh Najm al-Dîn (Syaikh Najm al-Dîn ing kitabe dawuhaken; salam isun pemugi disampeaken ing wong ayu kang merayu goda isun, namung isun ketngkul ilmu tersusun) 122 “Najm al-Dîn berkata dalam kitabnya: ”salamku semoga disampaikan pada wanita cantik yang merayuku, namun aku selalu sibuk dengan ilmu yang tersusun”. Cerita di atas terdapat dalam bab Mâ Yûrith al-Hifzh wa al-Nisyân, ketika KH. Muhammad mengatakan bahwa banyak dosa, terlalu memikirkan keduniawian, dan Hubb al-Dunyâ merupakan hal yang menyebabkan lupa. Adapun cerita tersebut tertulis dalam syair ke304 dan 305. Jadi jelas, al-Washiyah fî al-Akhlâq walaupun terbilang kitab kecil, namun referensi yang dikutipnya termasuk kaya dan heterogen. Terbukti dari 318 syair yang termuat, di dalamnya tersisip nukilan referensi, ayat al-Qur’an sebanyak empat ayat, hadis yang secara eksplisit maupun implisit berjumlah 14 buah, dan riwayat, cerita, maupun fatwa sahabat atau ulama berjumlah 15 buah.
Kesimpulan 1. Dakwah dengan menggunakan syair lebih efektif dan disenangi, sehingga orang yang mendengarkannya akan cepat menyerap ilmu yang disampaikan. 2. al-Washiyah fi al-Akhlâq alat dakwah yang ditulis secara sederhana, namun tergolong karya yang kaya, karena referensi yang digunakannya diambil dari berbagai sumber, al-Qur’an, Hadis, fatwa, cerita sahabat atau ulama. 3. al-Washiyah fi al-Akhlâq kitab kecil yang terinspirasi oleh kitab Ta’lîm al-Muta’âlim-nya al-Jarnûzî
Al-Washiyah Fî Al-Akhlaq Syair Jawa-Cirebon _407
Saran 1. Perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai karya ulama Indoinesia yang berupa syair-syair berbahasa local, terutama al-Washiyah fi alAkhlâq. 2. Perlu adanya studi komparasi antara al-Washiyah fi al-Akhlâq dengan Ta’lîm al-Muta’âlim
408_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013
Daftar Pustaka
Khatîb al-Umam, al-Muyasar fî ‘Ulûm al-’Arûdh, Jakarta, Hikmah Syahid Indah, 1992 cet. II Porter, Bobbi De, dan Hernacki,Mike, Quantum Learning, Bandung, Mizan, 2003 Bruinessen, Martin Van, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat, Bandung, Mizan, 1999, Cet. III Mohamed, Noriah, Aksara Jawi Makna dan Fungsi, Felo Kanan, Institut Alam dan Tamadun Melayu, Universiti Kebangsaan Malaysia, 2001 Munip, Abdul, Transmisi Pengetahuan Timur Tengah Ke Indonesia, Jakarta, Badan Litbang Dan Pusdiklat Puslitbang Lektur Keagamaan Kementrian Agama Republik Indonesia, 2010 Tohe, Ahmad, Kerancuan Pemahaman antara Syi’ir dan Nadzam dalam Kesusastraan Arab, Jurnal Bahasa dan Seni, Tahun 31, No. I, 2003 Kholid, Idham, KH. M. Sanusi Al-Babakani Filsafat, Nilai, Paham Keagamaan, dan Perjuangannya, Bekasi, Pustaka Isfahan, 2011, Cet. I Mudzakir, Kakek dan Guruku KM. Sanusi, (ttp, ULUMI pustaka pribadi, tth) Muhammad, Al-Washiyah fî al-Akhlâq, (ttp, tpt, 1414 H.) Mansyur dkk., Panduan Matasabar Pondok Kebon Jambu Al-Islamy, Cirebon, Kebon Jambu, 2011. Baihaqî, Al-, al-Sunan al-Kubrâ li al-Baihaqî, Bairût, Dâr al-Kutub al‘Ilmiyah, tth. ______, al-Jâmi’ li Shu’ab al-Îmân, Bukhârî, Al-,Shahîh al-Bukhârî, tp. al-Thab’ah al-Shulthaniyah. Tth. ______, Al-, Shahîh al- Bukhârî, Bairût, Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, tth. Dârimî, Al-,Sunan Al-Dârimî, Riyâdh, Dâr al-Mughnî, 2000, cet. I Dâwud, Abû, Sunan Abî Dâwud, Bairût , Dâr Ibn Hazm, 1997
Al-Washiyah Fî Al-Akhlaq Syair Jawa-Cirebon _409
Hanbal, Ahmad bin, al-Musnad Ahmad bin Hanbal, Kairo, Dâr al-Hadîts, 1995, cet. I Hibbân, Ibn, Shahîh Ibn Hibbân bi Tartîb Balbân, Bairût, Muassasah alRisâlah, 1993, cet. II Huzaymah, Ibn, Shahîh Ibn Huzaimah, Bairût, al-Maktab al-Islâmî,1980 Mâjah, Ibn, Sunan Ibn Mâjah, Riyâdh, Maktabah al-Ma’ârif, tth. cet. I Muslim, Shahîh Muslim, Riyâdh, Dâr al-Thayyibah, 2006, cet.I. Nasâ’î, Al-, Sunan Al-Nasâ’î, Riyâdh, Maktabah al-Ma’ârif, tth., cet. I ______, al-Sunan al-Kubrâ al-Nasâ’î, Bairût, Muassasah al-Risâlah, 2001 Qâsim, Hamzah Muhammad, Manâr al-Qârî Mukhtashar Shahîh al-Bukhârî, Bairût, Dâr al-Bayân, 1990. Tamîmî, Ahmad bin ‘Alî bin al-Mutsannâ al-, Musnad Abî Ya’lâ al-Mawshulî, Bairût, Dâr al-Ma’mûn li al-Turats, tth. Thabrânî, Abû al-Qâsim Sulaimân bin Ahmad al-, Mu’jam al-Ausath li alThabrânî, Kairo, Dâr al-Haramain, 1995 Tirmidzi, Al-, Sunan al-Tirmidzi, Riyâdh, Maktabah al-Ma’ârif, tth., cet. I Zarnûjî, Ibrâhîm bin Ismâ’îl al-, Ta’lîm al-Muta’alîm, Indonesia, Maktabah al-Syarqiyah, tth. Web Anonim, shiaonlinelibrary.com, diakses pada 5 Desember 2012 Anonim, Profil Pengashuh, www.kebonjambu.org, Diakses pada 25 Juli 2011 Wawancara wawancara dengan K. Asror Muhammad, K. Syafi’I Atsmari, dan K. Muhyiddin. Pada 13 Januari 2012, di Pesantren Kebon Jambu Al-Islamy, Babakan Ciwaringin Cirebon Wawancara dengan Ayip Tayana (alumni Pesantren Kebon Jambu AlIslamy) 6 Maret 2012 di Ciputat.
410_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013
Endnotes
1. Lihat Khatîb al-Umam, al-Muyasar fî ‘Ulūm al-’Arūdh, Jakarta, Hikmah Syahid Indah, 1992 cet. II, 8 dan 24.
2. lihat Bobbi De Porter dan Mike Hernacki, Quantum Learning (Bandung, Mizan, 2003), 72.
3. Lihat Martin Van Bruinessen, Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat, Bandung, Mizan, 1999, Cet. III, 20
4. Aksara Jawi atau huruf Pegon adalah huruf Arab yang disesuaikan dengan pronounciation Jawa atau Melayu dengan tambahan diakritik. Tulisan Pegon hanya lahir setelah kedatangan Islam. Tulisan ini tidak hanya digunakan dalam sarana keilmuan, tetapi juga sebagai wadah kelestarian hidup, seperti mencari jodoh untuk pasangan baru yang akan mendirikan rumah tangga, sarana pengobatan berbagai penyakit, penglaris dagangan, dan sebagainya. lihat Noriah Mohamed, Aksara Jawi Makna dan Fungsi, Felo Kanan, Institut Alam dan Tamadun Melayu, Universiti Kebangsaan Malaysia, 2001, 121
5. Abdul Munip, Transmisi Pengetahuan Timur Tengah Ke Indonesia, Jakarta, Badan Litbang Dan Pusdiklat Puslitbang Lektur Keagamaan Kementrian Agama Republik Indonesia, 2010, h.2
6. Lihat juga Khathîb al-Umam, al-Muyassar fî ‘Ulûm al-’Arûdh,....h. 4 7. Lihat Khathîb al-Umam, al-Muyassar fî ‘Ulûm al-’Arûdh,...h. 5 8. Ahmad Tohe, Kerancuan Pemahaman antara Syi’ir dan Nadzam dalam Kesusastraan Arab, Jurnal Bahasa dan Seni, Tahun 31, No. I, 2003. h. 42
9. Khathîb al-Umam, al-Muyassar fî ‘Ulûm al-’Arûdh,...h. 6 10. Ahmad Tohe, Kerancuan Pemahaman antara Syi’ir dan Nadzam dalam Kesusastraan Arab, h. 43
11. Khathîb al-Umam, al-Muyassar fî ‘Ulûm al-’Arûdh,...h. 18, dan 42-46
Al-Washiyah Fî Al-Akhlaq Syair Jawa-Cirebon _411
12. Ahmad Tohe, Kerancuan Pemahaman antara Syi’ir dan Nadzam dalam Kesusastraan Arab, h. 43
13. Ahmad Tohe, Kerancuan Pemahaman antara Syi’ir dan Nadzam dalam Kesusastraan Arab, h. 44
14. Ahmad Tohe, Kerancuan Pemahaman antara Syi’ir dan Nadzam dalam Kesusastraan Arab, h. 44.
15. Anonim, Profil Pengashuh, www.kebonjambu.org, Diakses pada 25 Juli 2011 16. KH. M. Sanusi merupakan salah satu pengasuh pondok Pesantren Raudlatut Tholobin generasi ketujuh (1922-1974), ia bersama K. Amin Sepuh yang berjuang mengabdi pada pesantren, pada masa keduanya pesantren Raudlatut Thalibin mencapai puncak keemasan, jumlah santri pondok pesantren mencapai ribuan dari berbagai pelosok daerah di Nusantara, serta telah banyak melahirkan tokoh-tokoh ulama dan tokoh masyarakat lainnya. KH. M. Sanusi merupakan tokoh yang sangat teliti dan produktif dalam berkarya ada sekitar 20-an lebih tulisan K.Sanusi berbagai bidang, serta catatan harian. lihat Idham Kholid, KH. M. Sanusi Al-Babakani Filsafat, Nilai, Paham Keagamaan, dan Perjuannya, Bekasi, Pustaka Isfahan, 2011, Cet. I, h. 48
17. Hasil wawancara dengan K. Asror Muhammad, K. Syafi’I Atsmari, dan K. Muhyiddin. Pada 13 Januari 2012, di Pesantren Kebon Jambu Al-Islamy, Babakan Ciwaringin Cirebon
18. Idham Kholid, KH. M. Sanusi Al-Babakani, h. 51 19. Hasil wawancara dengan KAsror Muhammad, K. Syafi’I Atsmari, dan K. Muhyiddin. Pada 13 Januari 2012, di Pesantren Kebon Jambu Al-Islamy, Babakan Ciwaringin Cirebon
20. Diantara karya-karya KSanusi yang terkenal adalah: a) Jadwal shalat abadi, hampir di seluruh masjid wil III Cirebon menggunakannya. b) Kitâb al-Adad fî al-Durus al-Awwaliyah fi al-Akhlâq al-Mardiyyah, kitab akhlak berbahasa Jawa yang ditulis dalam kalam Natsar. c) Tanwîr al-Qulûb, berisi syair berbahasa Jawa tentang ajaran akidah ahli sunnah wal Jama’ah dan dalam
412_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013 akhir karya ini tertulis juga syair berbahasa Indonesia tentang tuntunan mencari Ilmu. d) Kitâb al-Taisyîr wa al-Tahdzîr, syair bahasa Jawa yang menjelaskan tentang eskatologi (nikmat dan azab kubur, Ba’ts, Syafa’ah al‘Uzhmâ, Khaudh, dan lain-lain. e) Busyra al-Anâm bi Fadâ’il Ahkâm al-SHiyâm ‘alâ Madzâhib al-A’immah al-Arba’ah al-A’lâm, ditulis dalam bahasa Arab yang menjelaskan tentang puasa dan keutamaan-keutamaanya. f) Aran Kalâm fi Syi’r ‘Ilm al-Nahw bi Lughah al-Jâwiyah, syair kitab Ajurûmiyyah (ilmu Nahwu). g) Tadzkirah al-Ikhwan, ajaran akidah-akhlak dalam bentuk syair berbahasa Arab. h) Bâb al-Jum’ah wa al-Zuhr, mengulas tentang Shalat Jum’at dan Dhuhur. Lihat Mudzakir, Kakek dan Guruku KM. Sanusi, (ttp, ULUMI pustaka pribadi, tth), 57-59
21. Anonim, Profil_Pengasuh, Www.Kebonjambu.Org , Diakses pada 25 Juli 2011
22. Muhammad, Al-Washiyah fi al-Akhlaq, (ttp, tpt, 1414 H.), 1-2 23. Muhammad, Al-Washiyah fi al-Akhlaq,h. 2 24. Muhammad, Al-Washiyah fi al-Akhlaq, h. 2-3 25. Muhammad, Al-Washiyah fi al-Akhlaq,h. 3-4. 26. Muhammad, Al-Washiyah fi al-Akhlaq, h. 5 27. Dalam pesantren kebon Jambu Al-Islamy lebih dikenal dengan dua perintah, sembilan larangan guru. Lihat Muhammad, Al-Washiyah fi al-Akhlaq, 6-8, lihat juga Mansyur dkk., Panduan Matasabar Pondok Kebon Jambu Al-Islamy, Cirebon, Kebon Jambu, 2011, h. 18-19.
28. Sebab syarat telung tahun bisa muruk (*) sorogan limang tahun bisa muruk
Bandungan, pitung tahun dadi wong ‘alim (*) sanggup Amar Ma’ruf nyegah wong kang zolim.
Target belajar ini merupakan ajaran KH. M. Sanusi yang diajarkan pada para santri pondok Raudlatut Tholibin terutama KH. Muhammad. Lihat Mansyur dkk., panduan Matasabar Pondok Kebon Jambu Al-Islamy, h. 13
29. “Niat kaula ngilari ilmu anut dating perintahe Allah, perentahe utusane Allah
Al-Washiyah Fî Al-Akhlaq Syair Jawa-Cirebon _413 ngicalaken kebodohan, nekaaken kepinteran, ngurip-ngurip agama Islam. Allahumma Nawwir Qulûbanâ bi Nûr Hidâyatik Kamâ Nawwarta al-Ardh bi Nûr Syamsik Abadan2 bi Rahmatik yâ Arham al-Râhimîn, Rabbî Yassir Lanâ wa Lâ Tu’assir Alaynâ fi al-‘Ilm wa al-Dîn wa al-Dunya wa al-Akhîrah“, Bacaan niat ini sering dibacakan ketika akan memulai pelajaran di Pondok Kebon Jambu Al-Islamy. Wawancara dengan Ayip Tayana (alumni Pesantren Kebon Jambu Al-Islamy) 6 Maret 2012 di Ciputat.
30. Muhammad., Al-Washiyah fi al-Akhlâq, h. 5. 31. Muhammad., Al-Washiyah fi al-Akhlâq, h. 6 32. Muhammad, al-Washiyah fi al-Akhlâq, h. h. 16. 33. Muhammad, al-Washiyah fi al-Akhlâq, h. h. 16 34. Al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî, tp. al-Thab’ah al-Shulthaniyah. Tth. vol. IV, 111, h. 133, 135. lihat juga Hamzah Muhammad Qâsim, Manâr al-Qârî Mukhtashar Shahîh al-Bukhârî, Bairût, Dâr al-Bayân, 1990, vol.IV, h. 152
35. Muslim, SHahîh Muslim, Riyâdh, Dâr al-Thayyibah, 2006, cet.I, vol.I, h. 12201222
36. Abū Dâwud, Sunan Abî Dâwud, Bairût , Dâr Ibn Hazm, 1997, vol.V, h. 56 37. Al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzi, h. 851 38. Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, h. 28-29 39. Al-Baihaqî, al-Sunan al-Kubrâ li al-Baihaqî, Bairût, Dâr al-Kutub, tth. vol. VII, h. 691-693
40. Ahmad bin Hanbal, al- Musnad Ahmad bin Hanbal, Kairo, Dâr al-Hadîts, 1995, cet. I, vol. III, h. 482-483,517
41. Al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, h. 358-359, dan 360, 634-635, 42. Abū Dâwud, Sunan Abî Dâwud, vol.III, h. 175-187 43. Ahmad bin Hanbal, al-Musnad Ahmad bin Hanbal, vol. XV, 134-135. 147, 44. Al-Baihaqî, al-Sunan al-Kubrâ li al-Baihaqî, vol. IX, h. 511
414_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013
45. Al-Nasâ’î, Sunan Al-Nasâ’î, Riyâdh, Maktabah al-Ma’ârif, tth., cet. I,h. 651 46. Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, h. 535-536 47. Al-Dârimî, Sunan Al-Dârimî, Riyâdh, Dâr al-Mughnî, 2000, cet. I, vol. II, h. 1250-1254
48. Muhammad, al-Washiyah fî al-Akhlâq, h. 3 49. Al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, h. 325 50. Al-Nasâ’î, Sunan Al-Nasâ’î, h. 568-569 51. Al-Baihaqî, al-Sunan al-Kubrâ li al-Baihaqî, vol.VI, h. 455-456 52. Ibn Hibbân, SHaHîH Ibn Hibbân bi Tartîb Balbân, Bairût, Muassasah alRisâlah, 1993, cet. II, vol VII, h. 286
53. Ibn Huzaymah, ShaHîH Ibn Huzaimah, Bairût, al-Maktab al-Islâmî,1980, vol. IV, h. 122-123
54. Muhammad, al-Washiyah fi al-Akhlâq, h. h. 3 55. Hamzah Muhammad Qâsim, Manâr al-Qârî Syarah Shahîh al-Bukhârî, Bairût, Maktabah Dâr al-Bayân, 1990, vol.IV, h.169
56. Muslim, Shahîh Muslim, vol.II, h. 1304 57. Al-Tirmidzi, Sunan Al-Tirmidzi, h. 583 58. Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, Vol.VII, h. 143 59. Muhammad, al-Washiyah fî al-Akhlâq, h. 6 60. Muslim, Shahîh Muslim, Vol. I, h. 63-64 61. Al-Tirmidzi, Sunan Al-Tirmidzi, h. 372-373, 62. Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, Vol.I, h. 251 63. Al-Baihaqî, al-Sunan al-Kubrâ li al-Baihaqî, Bairût, Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, tt., vol. IX, h. 171
64. Al-Dârimî, Sunan Al-Dârimî, Vol.III, h.1616-1617
Al-Washiyah Fî Al-Akhlaq Syair Jawa-Cirebon _415
65. Al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî, vol.I, h, 6 66. Abū Dâwud, Sunan Abî Dâwud, vol II, h. 452 67. Al-Thabrânî, Mu’jam Ausath li al-Thabrânî, Kairo, Dâr al-Haramain, 1995, vol. I, h. 17
68. Al-Baihaqî, al-Sunan al-Kubrâ li al-Baihaqî, vol. I, h. 68. 69. Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, h. 701 70. Muhammad, al-Washiyah fî al-Akhlâq, h. 6 71. Muhammad, al-Washiyah fî al-Akhlâq, h. 6 72. Al-Dârimî, Sunan Al-Dârimî, Vol.I, h. 378 73. Muhammad, al-Washiyah fi al-Akhlâq, h. h. 13 74. Abū Dâwud, Sunan Abî Dâwud, vol I, h. 443 75. Al-Nasâ’î, al-Sunan al-Kubrâ al-Nasâ’î, Bairût, Muassasah al-Risâlah, 2001, cet. I, vol. II, h. 262
76. Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Riyâdh, Maktabah al-Ma’ârif, tt. cet. I, h. 195 77. Ibn Huzaimah, Shahîh Ibn Huzaimah, Bairût, Maktab al-Islâmî, 1980, vol. III, h. 118
78. Ahmad biin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, Kairo, Dâr al-Hadîts, 1995, cet.I . vol. V, h. 272
79. Al-Bukhârî, Shahîh al- Bukhârî, Bairût, Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, tt., vol. II, h. 33
80. Abū Dâwud, Sunan Abî Dâwud, Bairût, Dâr Ibn Hazm, 1997, vol. I, h. 35-41. 81. Al-Thabrânî, Mu’jam Ausath al-Thabarânî, Kairo, Dâr al-Haramain, 1995, vol. II, 57, vol.IV, h. 344, vol. VII, h. 13 dan h. 253, dan vol. VIII, h. 217-218,
82. Al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, Riyâdh, Maktabah al-Maʻârif, tth., cet. I, h. 17
83. Al-Nasâ’î, Sunan Al-Nasâ’î, Riyâdh, Maktabah al-Ma’ârif, tth. cet. I, h. 10-11
416_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013
84. Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, Kairo, Dâr al-Hadîts, 1995, cet.I vol.I, h. 426-427, , vol. II, h. 25-26, 452, vol. VII, h. 154, 214-215, 302, 506, vol. IX, h. 129, 132-133, 243, 252, 352, 518-519, 542, 587, vol. XII, h. 263, XIII, h. 250, XVI, h. 61, XVII, h. 11, dan XVIII, h. 540
85. Al-Baihaqî, al-Sunan al-Kubrâ li al-Baihaqî, Bairût, Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, tth., h. 57-60
86. Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Riyâdh, Maktabah al-Ma’ârif, tth., cet. I, h. 68-69 87. Al-Dârimî, Sunan al-Dârimî, Riyâdh, Dâr al-Mughnî, 2000, cet. I, vol. I, h. 537, 88. Al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî,vol. IX, h. 108 dan 110 89. Muslim, Shahîh Muslim, vol. II, h. 678 90. Abū Dâwud, Sunan Abî Dâwud, vol. IV, h. 70 91. Al-Tirmidhî, Sunan al-Tirmidhî, h. 422 92. Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, h. 559 93. Al-Dârimî, Sunan al-Dârimî, vol. II, h. 1317-1318 94. Muhammad, al-Washiyah fî al-Akhlâq, h. 2 95. Ahmad bin ‘Alî bin al-Mutsannâ al-Tamîmî, Musnad Abî Ya’lâ al-Mawshulî, Bairût, Dâr al-Ma’mūn li al-Turats, tth., vol. XII, h. 150.
96. Muhammad, al-Washiyah fî al-Akhlâq, h. 8 97. Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, vol. IX, h. 437 98. Muhammad, al-Washiyah fî al-Akhlâq, h. 8 99. Ibrâhîm bin Ismâ’îl al-Zarnūjî, Ta’lîm al-Muta’alîm, Indonesia, Maktabah alSyarqiyah, tt., h. 28
100. Muhammad, al-Washiyah fi al-Akhlâq, h. h. 12 101. Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, h. 65 102. Abū al-Qâsim Sulaimân bin Ahmad al-Thabrânî, Mu’jam al-Ausath li alThabrânî, Kairo, Dâr al-Haramain, 1995, vol. II, h. 7-8, vol. II, h.289, vol. III,
Al-Washiyah Fî Al-Akhlaq Syair Jawa-Cirebon _417 57, vol. VIII, 195, vol. VIII, h. 272, dan vol. VIII, h. 347-348,
103. al-Thabrânî, Mu’jam al-Ausath li al-Thabrânî,, vol. II, 297 104. al-Thabrânî, Mu’jam al-Ausath li al-Thabrânî,, vol. IV, 245 dan vol. VI, 96 105. al-Thabrânî, Mu’jam al-Ausath li al-Thabrânî,, vol. VIII, 258 106. Muhammad, al-Washiyah fî al-Akhlâq, h. 17 107. Ibrâhîm bin Ismâ’îl al-Zarnūjî, Ta’lîm al-Muta’âlîm, Indonesia, Maktabah alSyarqiyyah, tt. h. 39
108. Anonim, shiaonlinelibrary.com, diakses pada 5 Desember 2012 109. Muhammad, al-Washiyah fi al-Akhlâq, h. h20 110. Muhammad, al-Washiyah fi al-Akhlâq, h. h. 23 111. Al-Baihaqî, al-Jâmi’ li Shu’ab al-Îmân, vol. III, h. 395-396 112. Muhammad, al-Washiyah fi al-Akhlâq, h. 12 113. Muhammad, al-Washiyah fî al-Akhlâq, h. 13 114. Muhammad, al-Washiyah fi al-Akhlâq, h. 14 115. Muhammad, al-Washiyah fi al-Akhlâq, h. 14 116. Muhammad, al-Washiyah fi al-Akhlâq, h. 15 117. Muhammad, al-Washiyah fi al-Akhlâq, h. 16 118. Muhammad, al-Washiyah fi al-Akhlâq, h. 16 119. Muhammad, al-Washiyah fi al-Akhlâq, h. 18 120. Muhammad, al-Washiyah fi al-Akhlâq, h. 21 121. Muhammad, al-Washiyah fi al-Akhlâq, h. 22 122. Muhammad, al-Washiyah fi al-Akhlâq, h. 23
418_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013
Pedoman Transliterasi
Revitalisasi Peran dan Fungsi Keluarga _413
414_Jurnal Bimas Islam Vol.5. No.2 2012
Ketentuan Tulisan _419
A. Ketentuan Tulisan 1. Tulisan merupakan hasil penelitian di bidnag zakat, wakaf, dakwah Islam, pemberdayaan KUA dan hal-hal terkait pengembangan masyarakat Islam lainnya. 2. Karangan ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris dengan perangkat lunak pengolah kata Microsoft Word , font Palatino Linotype, maksimum 25 halaman kuarto minimum 17 halaman dengan spasi satu setengah. 3. Karangan hasil penelitian disusun dengan sistematika sebagai berikut: Judul. Nama Pengarang. Abstract . Keywords . Pendahuluan. Metode Penelitian. Hasil Penelitian. Pembahasan. Kesimpulan dan Saran. Daftar Kepustakaan. Sistematika tersebut dapat disesuaikan untuk penyusunan karangan ilmiah. 4. JUDUL a. Karangan dicetak dengan huruf besar, tebal, dan tidak melebihi 18 kata. b. Nama Pengarang (tanpa gelar), instansi asal, alamat, dan alamat e-mail dicetak di bawah judul. c. Abstract (tidak lebih dari 150 kata) dalam dua bahasa (Indonesia dan Inggris), dan Keywords (3 sampai 5 kata) ditulis dalam bahasa lnggris, satu spasi, dengan huruf miring. d. Tulisan menggunakan endnote e. Daftar Kepustakaan dicantumkan secara urut abjad nama pengarang dengan ketentuan sebagai berikut: • Untuk buku acuan (monograf): Nama belakang pengarang diikuti nama lain. Tahun. Judul Buku. Kota Penerbit: Penerbit. • Untuk karangan dalam buku dengan banyak kontributor: Nama Pengarang. Tahun. “Judul Karangan.” Dalam: Nama Editor. Judul Buku. Kota
420_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1I 2013
Revitalisasi Peran dan Fungsi Keluarga _415
Penerbit: Penerbit. Halaman. • Untuk karangan dalam jurnal/majalah: Nama Pengarang. Tahun. “Judul Karangan.” Nama Majalah, Volume (Nomor): Halaman. • Untuk karangan dari internet: Nama Pengarang. Tahun. “Judul Karangan.” Alamat di internet ( URL ). Tanggal mengakses karangan tersebut. 5. Gambar diberi nomor dan keterangan di bawahnya, sedangkan Tabel diberi nomor dan keterangan di atasnya. Keduanya sedapat mungkin disatukan dengan file naskah. Bila gambar/tabel dikirimkan secara terpisah, harap dicantumkan dalam lembar tersendiri dengan kualitas yang baik. 6. Naskah karangan dilengkapi dengan biodata singkat pengarang dikirimkan ke alamat kantor Jurnal Bimas Islam berupa naskah tercetak (print out) dengan menyertakan soft copy dalam disket/ flash disk atau dapat dikirim melalui e-mail Jurnal Bimas Islam ([email protected]).