PENDUGAAN BIOMASSA ATAS PERMUKAAN PADA TEGAKAN PINUS (Pinus merkusii Jungh et de Vriese) MENGGUNAKAN CITRA ALOS PALSAR RESOLUSI SPASIAL 50 M DAN 12,5 M (Studi Kasus di KPH Banyumas Barat)
AHSANA RISKA
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
RINGKASAN AHSANA RISKA. E14061276. 2011. Pendugaan Biomassa Atas Permukaan pada Tegakan Pinus (Pinus merkusii Jungh et de Vriese) Menggunakan Citra ALOS PALSAR Resolusi Spasial 50 m dan 12,5 m (Studi Kasus di KPH Banyumas Barat). Skripsi. Manajemen Hutan, Institut Pertanian Bogor. Dibimbing oleh Dr. Ir. M. Buce Saleh, MS. Pengamatan hutan dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh semakin hari semakin berkembang. Informasi yang disajikan pun terbilang lengkap dan dapat diperoleh dalam waktu yang singkat. Saat ini metode pendugaan biomassa dapat juga dilakukan dengan menggunakan metode penginderaan jauh. Posisi Indonesia yang sering dipengaruhi awan jika ditangkap dengan satelit optik dapat direduksi dengan menggunakan sistem penginderaan jauh aktif (radar). Pada tahun 2006, pemerintah Jepang meluncurkan satelit ALOS (Advanced Land Observing Sattelite) yang membawa sensor radar. Salah satu jenis sensornya yaitu PALSAR (Phased Array Type L-band Shynyhetic Aperture Radar) dapat digunakan untuk menduga biomassa suatu tegakan. Penelitian ini bertujuan untuk (1) menganalisis cara menduga biomassa pinus (Pinus merkusii Jungh et de Vriese) di lapangan; (2) menganalisis korelasi nilai backscatter dengan biomassa pinus secara spasial dengan menggunakan citra ALOS PALSAR resolusi spasial 50 m dan 12,5 m, dan (3) memetakan pendugaan biomassa pinus. Analisis backscatter dalam penelitian ini dilakukan terhadap dua polarisasi citra, yaitu HH dan HV. Perhitungan biomassa dilakukan dengan menggunakan alometrik dan konversi biomassa menggunakan koefisien BEF (Biomass Ekspansion Factor). Pemilihan model terbaik dinilai berdasarkan parameter nilai koefisien determinasi yang disesuaikan (R2adj), nilai overall accuracy dan Kappa accuracy paling tinggi serta nilai Root Mean Square Error (RMSE) paling rendah. Dari analisis model yang dicobakan untuk menduga biomassa diperoleh hasil, untuk citra resolusi 50 m adalah model Y = Exp(a+ bX1+cX2) dengan nilai R2adj (koefisien determinasi yang disesuaikan) 44,2%, OA (overall accuracy) 72,97%, KA (Kappa accuracy) 54,32% dan RMSE 67,48. Dalam menduga biomassa dengan metode alometrik, model yang bisa digunakan adalah model Y = a+ bX1+cX2 dengan nilai R2adj 25,8%, OA 72,97%, KA 51,06% dan RMSE 105,5332 untuk citra resolusi 12,5 m. Dari model yang terpilih, dapat dibuat peta sebaran biomassa dengan skala 1 : 500.000 sampai 1 : 100.000 untuk citra resolusi 50 m dan skala 1 : 125.000 sampai 1 : 50.000 untuk citra resolusi 12,5 m . Peta sebaran biomassa dari citra biomassa resolusi 50 m yang belum di-filtering dan telah di-filtering didominasi oleh biomassa kelas dua. Sedangkan pada citra biomassa resolusi 12,5 m, sebelum di-filtering sebaran biomassa didominasi oleh biomassa kelas tiga tetapi setelah di-filtering sebaran biomassa didominasi oleh biomassa kelas satu. Kata Kunci : Biomassa, ALOS PALSAR, Backscatter
SUMMARY
AHSANA RISKA. E14061276. Above-Ground Biomass Estimation in Pine (Pinus merkusii Jungh et de Vriese) Using ALOS PALSAR Image with 50 M and 12.5 M Spatial Resolution (Case Study at KPH Banyumas Barat). Report. Forest Management, Bogor Agricultural University. Supervised by Dr. Ir. M. Buce Saleh, MS. Forest observing by using remote sensing tecnology is developed day by day. It also serve a complete information and could be accsessed in short time. Today, estimation of plant biomass method also could use remote sensing tecnology. Indonesia’s position which always affected by cloud if using optic sattelite could reduced by using active remote sensing system (radar). In 2006, Japan goverment launched ALOS (Advanced Land Observing Sattelite) sattelite which bring radar censor. One kind of its censor is PALSAR (Phased Array Type L-band Shyntetic Aperture Radar) could be used to estimate biomass of stand. The aims of this study are (1) to analyze the methods to estimate pine biomass on the field; (2) to analyze corelation between backscatter and pine biomass spatially by using ALOS PALSAR Image with 50 m and 12,5 m spatial resolution, and (3) mapping estimation of pine biomass. Backscatter analysis in this study carried out in two kind of polarization image, they are HH and HV polarization. Biomass were calculated using alometric and biomass conversion using BEF (Biomass Ekspansion Factor) coeficient. The best model selection based on parameters maximum root square adjusted (R2adj), overall accuracy and Kappa accuracy, and minimum Root Mean Square Error (RMSE). Based on model analysis, to estimate biomass, the best model for image with 50 m spatial resolution is Y = Exp(a+ bX1+cX2) with R2adj (root square adjusted) 44.2%, OA (overall accuracy) 72.97%, KA (Kappa accuracy) 54.32% and RMSE 67.48. To estimate biomass by alometric method, the best model is Y = a+ bX1+cX2 with R2adj 25,8%, OA 72.97%, KA 51.06% and RMSE 105,5332 for image with 12.5 m spatial resolution. The selected model could be used to make map distribution of biomass with scale 1 : 500.000 to 1 : 100.000 for image with 50 m spatial resolution and 1 : 125.000 to 1 : 50.000 for image with 12.5 m spatial resolution. Map distribution of biomass for image with 50 m spatial resolution unfiltered and fileterd are dominated by 2nd class of biomass. Whereas for image with 12.5 m spatial resolution, before filtered it dominated by 3rd class of biomass but after filtered it dominated by 1st class of biomass. Keywords : Biomass, ALOS PALSAR, Backscatter
PENDUGAAN BIOMASSA ATAS PERMUKAAN PADA TEGAKAN PINUS (Pinus merkusii Jungh et de Vriese) MENGGUNAKAN CITRA ALOS PALSAR RESOLUSI SPASIAL 50 M DAN 12,5 M (Studi Kasus KPH BANYUMAS BARAT)
AHSANA RISKA
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
RINGKASAN AHSANA RISKA. E14061276. 2011. Pendugaan Biomassa Atas Permukaan pada Tegakan Pinus (Pinus merkusii Jungh et de Vriese) Menggunakan Citra ALOS PALSAR Resolusi Spasial 50 m dan 12,5 m (Studi Kasus di KPH Banyumas Barat). Skripsi. Manajemen Hutan, Institut Pertanian Bogor. Dibimbing oleh Dr. Ir. M. Buce Saleh, MS. Pengamatan hutan dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh semakin hari semakin berkembang. Informasi yang disajikan pun terbilang lengkap dan dapat diperoleh dalam waktu yang singkat. Saat ini metode pendugaan biomassa dapat juga dilakukan dengan menggunakan metode penginderaan jauh. Posisi Indonesia yang sering dipengaruhi awan jika ditangkap dengan satelit optik dapat direduksi dengan menggunakan sistem penginderaan jauh aktif (radar). Pada tahun 2006, pemerintah Jepang meluncurkan satelit ALOS (Advanced Land Observing Sattelite) yang membawa sensor radar. Salah satu jenis sensornya yaitu PALSAR (Phased Array Type L-band Shynyhetic Aperture Radar) dapat digunakan untuk menduga biomassa suatu tegakan. Penelitian ini bertujuan untuk (1) menganalisis cara menduga biomassa pinus (Pinus merkusii Jungh et de Vriese) di lapangan; (2) menganalisis korelasi nilai backscatter dengan biomassa pinus secara spasial dengan menggunakan citra ALOS PALSAR resolusi spasial 50 m dan 12,5 m, dan (3) memetakan pendugaan biomassa pinus. Analisis backscatter dalam penelitian ini dilakukan terhadap dua polarisasi citra, yaitu HH dan HV. Perhitungan biomassa dilakukan dengan menggunakan alometrik dan konversi biomassa menggunakan koefisien BEF (Biomass Ekspansion Factor). Pemilihan model terbaik dinilai berdasarkan parameter nilai koefisien determinasi yang disesuaikan (R2adj), nilai overall accuracy dan Kappa accuracy paling tinggi serta nilai Root Mean Square Error (RMSE) paling rendah. Dari analisis model yang dicobakan untuk menduga biomassa diperoleh hasil, untuk citra resolusi 50 m adalah model Y = Exp(a+ bX1+cX2) dengan nilai R2adj (koefisien determinasi yang disesuaikan) 44,2%, OA (overall accuracy) 72,97%, KA (Kappa accuracy) 54,32% dan RMSE 67,48. Dalam menduga biomassa dengan metode alometrik, model yang bisa digunakan adalah model Y = a+ bX1+cX2 dengan nilai R2adj 25,8%, OA 72,97%, KA 51,06% dan RMSE 105,5332 untuk citra resolusi 12,5 m. Dari model yang terpilih, dapat dibuat peta sebaran biomassa dengan skala 1 : 500.000 sampai 1 : 100.000 untuk citra resolusi 50 m dan skala 1 : 125.000 sampai 1 : 50.000 untuk citra resolusi 12,5 m . Peta sebaran biomassa dari citra biomassa resolusi 50 m yang belum di-filtering dan telah di-filtering didominasi oleh biomassa kelas dua. Sedangkan pada citra biomassa resolusi 12,5 m, sebelum di-filtering sebaran biomassa didominasi oleh biomassa kelas tiga tetapi setelah di-filtering sebaran biomassa didominasi oleh biomassa kelas satu. Kata Kunci : Biomassa, ALOS PALSAR, Backscatter
SUMMARY
AHSANA RISKA. E14061276. Above-Ground Biomass Estimation in Pine (Pinus merkusii Jungh et de Vriese) Using ALOS PALSAR Image with 50 M and 12.5 M Spatial Resolution (Case Study at KPH Banyumas Barat). Report. Forest Management, Bogor Agricultural University. Supervised by Dr. Ir. M. Buce Saleh, MS. Forest observing by using remote sensing tecnology is developed day by day. It also serve a complete information and could be accsessed in short time. Today, estimation of plant biomass method also could use remote sensing tecnology. Indonesia’s position which always affected by cloud if using optic sattelite could reduced by using active remote sensing system (radar). In 2006, Japan goverment launched ALOS (Advanced Land Observing Sattelite) sattelite which bring radar censor. One kind of its censor is PALSAR (Phased Array Type L-band Shyntetic Aperture Radar) could be used to estimate biomass of stand. The aims of this study are (1) to analyze the methods to estimate pine biomass on the field; (2) to analyze corelation between backscatter and pine biomass spatially by using ALOS PALSAR Image with 50 m and 12,5 m spatial resolution, and (3) mapping estimation of pine biomass. Backscatter analysis in this study carried out in two kind of polarization image, they are HH and HV polarization. Biomass were calculated using alometric and biomass conversion using BEF (Biomass Ekspansion Factor) coeficient. The best model selection based on parameters maximum root square adjusted (R2adj), overall accuracy and Kappa accuracy, and minimum Root Mean Square Error (RMSE). Based on model analysis, to estimate biomass, the best model for image with 50 m spatial resolution is Y = Exp(a+ bX1+cX2) with R2adj (root square adjusted) 44.2%, OA (overall accuracy) 72.97%, KA (Kappa accuracy) 54.32% and RMSE 67.48. To estimate biomass by alometric method, the best model is Y = a+ bX1+cX2 with R2adj 25,8%, OA 72.97%, KA 51.06% and RMSE 105,5332 for image with 12.5 m spatial resolution. The selected model could be used to make map distribution of biomass with scale 1 : 500.000 to 1 : 100.000 for image with 50 m spatial resolution and 1 : 125.000 to 1 : 50.000 for image with 12.5 m spatial resolution. Map distribution of biomass for image with 50 m spatial resolution unfiltered and fileterd are dominated by 2nd class of biomass. Whereas for image with 12.5 m spatial resolution, before filtered it dominated by 3rd class of biomass but after filtered it dominated by 1st class of biomass. Keywords : Biomass, ALOS PALSAR, Backscatter
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pendugaan Biomassa Atas Permukaan pada Tegakan Pinus (Pinus merkusii Jungh et de Vriese) Menggunakan Citra ALOS PALSAR Resolusi Spasial 50 m dan 12,5 m (Studi Kasus KPH Banyumas Barat) adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah di perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Mei 2011
Ahsana Riska NRP. E14061276
Judul Skripsi
Nama Mahasiswa Nomor Pokok
: Pendugaan Biomassa Atas Permukaan pada Tegakan Pinus (Pinus merkusii Jungh et de Vriese) Menggunakan Citra ALOS PALSAR Resolusi Spasial 50 m dan 12,5 m (Studi Kasus KPH Banyumas Barat) : AHSANA RISKA : E. 14061276
Menyetujui : Dosen Pembimbing,
(Dr. Ir. Muhamad Buce Saleh, MS) NIP. 1957 1005 1983 031 002
Mengetahui : Ketua Departemen Manajemen Hutan
(Dr. Ir. Didik Suharjito, MS) NIP. 1963 0401 1994 031 001
Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tangal 29 Juni 1988 di Luwu, Sulawesi Selatan. Penulis adalah anak pertama dari empat bersaudara pasangan Bapak Muhammad Arif dan Ibu Nurmiati. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN No. 2 Sengkang lulus tahun 2000, pendidikan menengah pertama di SLTP Negeri 1 Sengkang lulus tahun 2003, dan pendidikan menengah atas di SMA Negeri 2 Sengkang lulus tahun 2006. Pada tahun yang sama, penulis diterima di IPB melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) dan pada tahun 2007 penulis diterima di Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan. Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah menjadi asisten mata kuliah Geomatika dan Inderaja Kehutanan pada tahun ajaran 2010-2011. Selain itu, penulis juga aktif sebagai sekertaris umum dalam Pengurus Cabang Sylva IPB periode 2009-2010, anggota Kelompok Studi Planologi (2008-2009) dan divisi Keprofesian (2009-2010) dalam Forest Management Student Club (FMSC), serta menjadi volunteer di FORCI Development tahun 2009 sampai sekarang. Penulis juga aktif berpatisipasi dalam berbagai kepanitiaan kegiatan kemahasiswaan di Institut Pertanian Bogor. Penulis melakukan kegiatan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Baturraden dan Cilacap, Jawa Tengah pada tahun 2008; Praktek Pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW), Sukabumi dan KPH Cianjur Jawa Barat pada tahun 2009 dan Praktek Kerja Lapang (PKL) di KPH Bojonegoro, Jawa Timur pada tahun 2010.
UCAPAN TERIMA KASIH Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada : 1.
Orang tua penulis Bapak Muhammad Arif dan Ibu Nurmiati , adik-adik penulis M. Ulil Ahsan, M. Aprizal Budi Akhsan Jaya, dan Siti Hartina Adiningsih, serta keluarga besar penulis untuk dukungan dan kasih sayangnya,
2.
Dr. Ir. M. Buce Saleh, MS selaku dosen pembimbing, atas segala kesabarannya telah membimbing penulis,
3.
Prof. Dr. I Nengah Surati Jaya, M.Agr dan Dr. Dra. Nining Puspaningsih, M.Si,
4.
Ibu Dra. Sri Rahaju, M.Si dan Bapak Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA selaku tim penguji,
5.
Bapak Dr. Ir. Juang Matangaran,MS selaku Komisi Pendidikan,
6.
Mochammad Fajrin S.Kpm, atas kesetiaan dan kesabarannya mendampingi penulis,
7.
Rizka Wulandari, Nur Illiyyina Syarief, Nila Novianti,Sinta Umar Tomasina Lika Aulia Indina, Ineza Febrianty dan Kak Muhammad Wahyu atas dukungan yang selalu diberikan tanpa henti kepada penulis,
8.
Bapak Uus Saepul M. dan Aa’ Edwine Setia P. atas segala bimbingan yang diberikan kepada penulis,
9.
Mamih Fitri Amelia, Teteh Dian Nurhadiatin, Kak M. Farikhin Yanuarefa atas bantuan dan kerjasamanya selama ini,
10. Seluruh dosen dan staf Departemen Manajemen Hutan, 11. Japan International Cooperation Agency (JICA) dan Japan Aerospace Exploration Agency (JAXA) sebagai penyedia data yang penulis gunakan dalam penelitian ini, 12. Keluarga besar lab. Remote Sensing dan GIS : Kak Puut Rahayu, Kak Diah Rany, Kak Ratih P., Kak Dian Amallia, Kak Fatah, Kak Galih, Kak Faris, Kak Risa, Kak Khoiruzaman, Kak Angel, Kak Afifah, Anom K., I Putu Indra, I Putu Ananta, Ratih SM, Nurindah R.,Tulang Daulay, Pak Mukalil, Pak Ayub, Pak Jaya, Pak Kunkun atas dukungannya,
13. Keluarga besar MNH khususnya MNH 43 atas segala kebersamaan dan dukungannya, 14. Pak Dayat, Pak Kuswoyo dan semua jajaran staff KPH Banyumas Barat atas bantuan dan dukungannya, 15. Rekan-rekan FORCI Development, Om Bagong, Om Yusup, Mbak Wita, Mas Jombie, Om Radit, Pipito, Putri N., Kak Hangga, Tia, Endrow, Syauqi, Mas Aswar atas semua motivasi dan pembelajarannya selama ini, 16. Keluarga divisi acara BCR 09, dek Ammar, papih Mamat, Kunin, Yani, Tatan, Lembong, Rama, Adam, Oneng, Mput, Lilik, Adam atas segala dukungannya, 17. Keluarga besar Pengurus Cabang Sylva Indonesia IPB, 18. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu atas semua bantuan dan dukungannya.
KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan kemudahan dan kelancaran kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi yang berjudul Pendugaan Biomassa Atas Permukaan pada Tegakan Pinus (Pinus merkusii Jungh et de Vriese) Menggunakan Citra ALOS PALSAR Resolusi 50 m dan 12,5 m (Studi Kasus KPH Banyumas Barat). Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini berisi gambaran mengenai analisis hubungan antara nilai backscatter dan biomassa tegakan pinus di lapangan menggunakan citra ALOS PALSAR resolusi spasial 50 m dan 12,5 m, serta memetakan pendugaan biomassa pinus di lapangan. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih belum sempurna. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran, kritik, dan masukan demi perbaikan tulisan ini. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.
Bogor, Mei 2011 Penulis
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ..................................................................................................... i DAFTAR TABEL ............................................................................................. iii DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ iv DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... v BAB I
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ............................................................................ 1 1.2 Tujuan ......................................................................................... 2 1.3 Manfaat ....................................................................................... 2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Radar (Radio Detecting and Ranging)....................................... 3 2.2 PALSAR (Phased Array Type L-band Synthetic Aperture Radar)........................................................................................ 5 2.3 Biomassa.................................................................................... 6 2.4 Pinus (Pinus merkusii Jungh et de Vriese)................................ 7
BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat ..................................................................... 9 3.2 Alat dan Bahan .......................................................................... 9 3.3 Tahapan Pelaksanaan ................................................................. 10 3.3.1 Pengolahan Data Citra ........................................................ 12 3.3.2 Pengambilan Data Lapangan .............................................. 12 3.3.3 Pengolahan Data Lapangan ................................................ 12 3.3.4 Analisis Data ...................................................................... 13 3.3.5 Pembuatan Peta Sebaran Biomassa Atas Permukaan ........ 14 3.3.6 Penghitungan Overall accuracy dan Kappa accuracy ....... 15 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak Administratif ................................................................... 16 4.2 Topografi ................................................................................... 16 4.3 Iklim ......................................................................................... 16 4.4 Tanah......................................................................................... 16 4.5 Daerah Aliran Sungai (DAS) .................................................... 18
ii
Halaman 4.6 Tutupan Lahan .......................................................................... 18 4.7 Pemanfaatan Pinus di KPH Banyumas Barat ........................... 18 BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Pengolahan Data Lapangan ............................................ 20 5.2 Hasil Pengolahan Data Citra ALOS PALSAR ........................ 24 5.3 Pemilihan Model Terbaik ......................................................... 26 5.4 Peta Sebaran Biomassa............................................................. 29
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ................................................................................ 36 6.2 Saran .......................................................................................... 36 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 38 LAMPIRAN....................................................................................................... 41
DAFTAR TABEL No.
Halaman
1.
Karakteristik PALSAR............................................................................. 6
2.
Jenis Tanah di Kawasan Hutan KPH Banyumas Barat ........................... 17
3.
SWP DAS dan Sub DAS KPH Banyumas Barat ..................................... 18
4.
Jumlah Sadapan Pinus KPH Banyumas Barat.......................................... 19
5.
Hasil Analisis Regresi Pemilihan Model Terbaik untuk Pendugaan Biomassa .................................................................................................. 26
6.
Hasil Perhitungan Overall accuracy dan Kappa accuracy...................... 30
DAFTAR GAMBAR No.
Halaman
1.
Citra ALOS PALSAR Resolusi 50 m dan 12,5 m ............................... 9
2.
Peta Kawasan Hutan KPH Banyumas Barat............................................ 10
3.
Diagram Alur Penelitian .......................................................................... 12
4.
Grafik Sebaran Diameter dan Tinggi Pohon............................................ 20
5.
Tegakan KU I, KU II, KU III, KU IV, KU V, KU VI, KU VII, KU VIII........................................................................................................... 21
6.
Grafik Hubungan Kelas Umur dan Biomassa BEF .............................. 22
7.
Grafik Hubungan Kelas Umur dan Biomassa Alometrik ...................... 22
8.
Grafik Nilai Backscatter Polarisasi HH Citra ALOS PALSAR Resolusi 50 m dan 12,5 m ........................................................................ 24
9.
Grafik Nilai Backscatter Polarisasi HV Citra ALOS PALSAR Resolusi 50 m dan 12,5 m ....................................................................... 24
10.
Peta Sebaran Biomassa Menggunakan Koefisien BEF Pinus KPH Banyumas Barat Citra ALOS PALSAR Resolusi 50 m non-filtering .... 31
11.
Peta Sebaran Biomassa Menggunakan Koefisien BEF Pinus KPH Banyumas Barat Citra ALOS PALSAR Resolusi 50 m filtering kernel 3x3........................................................................................................... 32
12.
Peta Sebaran Biomassa Menggunakan Koefisien BEF Pinus KPH Banyumas Barat Citra ALOS PALSAR Resolusi 50 m filtering kernel 5x5........................................................................................................... 33
13.
Peta Sebaran Biomassa Menggunakan Koefisien BEF Pinus KPH Banyumas Barat Citra ALOS PALSAR Resolusi 50 m filtering kernel 7x7........................................................................................................... 34
14.
Peta Sebaran Biomassa Menggunakan Alometrik Pinus KPH Banyumas Barat Citra ALOS PALSAR Resolusi 12,5 m nonfiltering.................................................................................................... 35
v
Halaman 15.
Peta Sebaran Biomassa Menggunakan Alometrik Pinus KPH Banyumas Barat Citra ALOS PALSAR Resolusi 12,5 m filtering kernel 3x3 ................................................................................................ 36
16.
Peta Sebaran Biomassa Menggunakan Alometrik Pinus KPH Banyumas Barat Citra ALOS PALSAR Resolusi 12,5 m filtering kernel 5x5................................................................................................. 37
17.
Peta Sebaran Biomassa Menggunakan Alometrik Pinus KPH Banyumas Barat Citra ALOS PALSAR Resolusi 12,5 m filtering kernel 7x7 ................................................................................................ 38
DAFTAR LAMPIRAN No.
Halaman
1.
Rekapitulasi Hasil Pengolahan Data Lapangan ..................................... 45
2.
Gambar Citra Biomassa ......................................................................... 47
3.
Foto-foto Lapangan ................................................................................ 49
4.
Diagram Pencar Biomassa dan Nilai Backscatter.................................. 50
BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Karbondioksida (CO2) merupakan salah satu gas rumah kaca yang paling
berperan sebagai perangkap panas di atmosfer sehingga menyebabkan terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim. Peningkatan karbondioksida di udara kebanyakan berasal dari pembakaran bahan bakar fosil, kegiatan penggunaan lahan, serta alih guna lahan dan hutan khususnya kegiatan deforestasi dan degradasi hutan. Dalam rangka meminimalisasi dampak perubahan iklim ini, lembaga dunia telah mencanangkan program melalui Protokol Kyoto 1997. Perjanjian tersebut mewajibkan negara-negara industri menurunkan emisinya sebanyak 5% dari tingkat tahun 1990. Hasil yang diperoleh dari perjanjian tersebut tidak sebesar yang diharapkan. Selanjutnya, pada Desember 2007 di Bali dilaksanakan pertemuan UNFCCC yang ke – 13. Dari pertemuan tersebut Indonesia mengusulkan konsep REDD (Reduced Emision from Deforestation and forest Degradation), konsep ini menjadi awalan konsep carbon trade sebagai kontribusi negara-negara pemilik hutan tropis untuk mengurangi kerusakan hutan dan mencegah pemanasan global. Hutan mengabsorpsi CO2 selama fotosintesis dan menyimpannya sebagai materi organik dalam biomassa tumbuhan. Biomassa tumbuhan merupakan ukuran yang paling sering digunakan untuk menggambarkan dan mempelajari pertumbuhan tanaman. Informasi tentang potensi biomassa tumbuhan dapat diperoleh menggunakan metode konvensional, akan tetapi metode tersebut memerlukan waktu dan biaya yang besar serta sulit untuk memenuhi tuntutan informasi saat ini yang mensyaratkan kecepatan, ketelitian dan keakuratan tinggi dalam penyajian informasi. Pengamatan hutan dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh semakin hari semakin berkembang. Informasi yang disajikan pun terbilang lengkap dan dapat diperoleh dalam waktu yang singkat. Saat ini metode pendugaan biomassa dapat juga dilakukan dengan menggunakan metode penginderaan jauh. Posisi Indonesia yang sering dipengaruhi awan jika ditangkap
2
dengan satelit optik dapat direduksi dengan menggunakan sistem penginderaan jauh aktif (radar). Pada tahun 2006, pemerintah Jepang meluncurkan satelit ALOS (Advanced Land Observing Sattelite) yang membawa sensor radar. Salah satu jenis sensornya yaitu PALSAR (Phased Array Type L-band Shynyhetic Aperture Radar) dapat digunakan untuk menduga biomassa suatu tegakan.
1.2
Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk :
1.
Menganalisis cara menduga biomassa pinus (Pinus merkusii Jungh et de Vriese.) di lapangan.
2.
Menganalisis korelasi nilai backscatter dengan biomassa pinus secara spasial dengan menggunakan citra ALOS PALSAR resolusi spasial 50 m dan 12,5 m.
3.
Memetakan pendugaan biomassa pinus.
1.3
Manfaat
1.
Memberikan informasi tentang potensi biomassa tegakan pinus di kawasan hutan KPH Banyumas Barat.
2.
Sebagai masukan dalam pembuatan kebijakan mengenai perdagangan karbon.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
RADAR (Radio Detecting and Ranging) Penginderaan jauh sistem aktif menggunakan tenaga elektromagnetik yang
dibangkitkan oleh sensor radar. Kata RADAR merupakan suatu singkatan untuk Radio Detecting and Ranging. Sesuai dengan nama yang digunakan, radar dikembangkan sebagai suatu cara yang menggunakan gelombang radio untuk mendeteksi adanya objek dan menentukan jarak (posisi)-nya (Lillesand dan Kiefer 1990). Tenaga yang dibangkitkan berupa pulsa berenergi tinggi. Tenaga dipancarkan pada waktu yang sangat pendek sekitar 10-6 detik. Pancarannya ditujukan pada arah objek sehingga pulsa radar mengenai objek, dan dipantulkan kembali ke sensor radar. Sensor radar dapat mengukur dan mencatat waktu dari saat pemancaran
tenaga hingga kembali ke sensor, mengukur dan mencatat
intensitas tenaga balik (backscatter) pulsa radar (Purwadhi 2001). (Lillesand dan Kiefer 1990) menuliskan bahwa sebagian besar radar penginderaan jauh berwahana udara dilakukan dengan sistem yang menggunakan antena yang dipasang pada bagian bawah pesawat dan diarahkan ke samping. Sistem semacam ini dinamakan Side Looking Radar (SLR) atau Side Looking Aperture Radar (SLAR). Sistem SLAR menghasilkan jalur citra yang bersinambungan yang menggambarkan daerah medan luas serta berdekatan dengan jalur terbang. Kenampakan unsur medan pada citra dipengaruhi oleh faktor sifat khas sinyal yang ditransmisikan dan sifat permukaan yang memantulkannya di medan. Sifat khas sinyal yang ditransmisikan dipengaruhi oleh (a) panjang gelombang dan kemampuan daya tembusnya terhadap atmosfer dan permukaan tanah, (b) sudut depresi antena, merupakan salah satu aspek geometrik pada citra radar dan penyebab terjadinya efek pantulan balik pulsa radar, efek bayangan pada objek yang tinggi, efek relief (topografi) seperti efek rebah ke dalam, efek pemendekan lereng, (c) polarisasi atau pengarahan vektor elektrik pada gelombang elektromagnetik pulsa radar menurut suatu bidang datar, (d) arah pengamatan
4
antena, erat hubungannya dengan arah objek, yang mempengaruhi pantulan balik pulsa radar (Purwadhi 2001). Sinyal radar dapat ditransmisikan dan/atau diterima dalam bentuk polarisasi yang berbeda. Maksudnya, sinyal dapat disaring sedemikian rupa sehingga getaran gelombang elektrik dibatasi hanya pada satu bidang datar yang tegak lurus arah perjalanan gelombang. Satu sinyal SLAR dapat ditransmisikan pada bidang mendatar (H) ataupun tegak (V). Sinyal tersebut dapat pula diterima pada bidang mendatar atau tegak. Jadi, kita mempunyai kemungkinan empat kombinasi sinyal transmisi dan penerimaan yang berbeda yaitu dikirim H, diterima H, dikirim H, diterima V, dikirim V, diterima H, dikirim V, dan diterima V. Citra dengan polarisasi searah dihasilkan dari paduan HH dan VV. Citra dengan polarisasi silang dihasilkan dari paduan HV dan VH. Karena berbagai objek mengubah polarisasi tenaga yang mereka pantulkan dalam berbagai tingkatan maka bentuk polarisasi sinyal mempengaruhi kenampakan objek pada citra yang dihasilkan (Lillesand dan Kiefer 1990). Banyak sifat khas medan yang bekerja bersama dengan panjang gelombang dan polarisasi sinyal radar untuk menentukan intensitas hasil balik radar dari objek. Akan tetapi faktor utama yang mempengaruhi intensitas hasil balik radar dari objek adalah ukuran (geometris) dan sifat dielektrik objek. Efek geometri sensor/objek dari intensitas backscatter radar terpadu dengan efek kekasaran permukaan. Kekasaran permukaan objek merupakan fungsi variasi relief sehubungan dengan panjang gelombang pantulan tenaga. Permukaan dengan kekasaran yang pada dasarnya sama atau lebih besar dari panjang gelombang yang ditransmisikan, tampak kasar. Sifat dielektrik kenampakan medan bekerja sangat erat dengan sifat khas geometri untuk menentukan intensitas hasil balik radar. Satu ukuran bagi sifat khas elektrik obyek adalah tetapan dielektrik komplek. Parameter ini merupakan suatu indikasi bagi daya pantul dan konduktivitas/daya hantar berbagai material (Lillesand dan Kiefer 1990). Secara teori, vegetasi mempunyai permukaan yang kasar dan kandungan kelembaban yang tinggi sehingga vegetasi lebih banyak menghamburkan dan memantulkan energi radar yang datang sedangkan energi radar yang terserap objek hanya sedikit atau bahkan tidak ada. Pantulan dan hamburan yang kuat dari
5
vegetasi akan memberikan rona yang sangat cerah pada citra. Variasi rona yang disebabkan adanya variasi permukaan vegetasi ini dapat menunjukkan perbedaan kekasaran vegetasi sebagai akibat perbedaan lebar tajuk. Semakin kasar vegetasi akan memberikan tone yang cerah, hutan akan tampak cerah karena tajuknya kasar. Lebar tajuk dapat dihubungkan dengan diameter atau volume pohon dimana sejalan dengan perkembangan tajuk akan diikuti membesarnya diameter batang (Puspitasari 2010).
2.2
PALSAR (Phased Array Type L-band Synthetic Aperture Radar) Satelit ALOS (Advanced Land Observing Sattelite) adalah satelit milik
Jepang yang diluncurkan pada 24 Januari 2006 menggunakan roket H-II dan didesain untuk dapat beroperasi selama 3-5 tahun. ALOS merupakan satelit Jepang yang menjadi pengembangan satelit sebelumnya yaitu JERS (Japanesse Earth Resources Sattelite). ALOS dilengkapi tiga instrumen penginderaan jauh yaitu PRISM (Panchromatik Remote-sensing Instrumen Stereo Mapping), AVNIR-2 (Advanced Visible and Near Infrared Radiometer type-2) dan PALSAR (Phased-Array type L-band Synthetic Aperture Radar). PALSAR merupakan sensor gelombang mikro aktif menggunakan frekuensi L-band. Sensor ini memberikan kinerja yang lebih tinggi daripada sensor SAR (Synthetic Apertur Radar) pada satelit JERS-1. Hamazaki (1999) menjelaskan bahwa PALSAR adalah pengembangan versi dari JERS-1/SAR. PALSAR diharapkan dapat digunakan untuk observasi kawasan, pengamatan bencana, dan survei sumber daya alam. PALSAR memiliki sudut insidensi 8 – 60 derajat. PALSAR dalam mode resolusi tinggi dengan sudut insidensi standar (39 derajat) memiliki resolusi spasial 10 m dengan luas jangkauan 70 km, -23 dB rasio noise. Mode PALSAR ScanSAR memiliki tambahan untuk resolusi tinggi konvesionil. Dengan mode ini kita dapat mendapatkan citra SAR seluas 250 sampai 350 km yang lebih luas 3 sampai 5 kali dari ukuran citra SAR konvensionil. Sensor PALSAR bisa memodifikasi sudut nadir dalam selang 10 sampai 51 menggunakan teknologi antena phased-array dengan 80 receive/transmit modul. ScanSAR mode dapat menghasilkan cakupan citra seluas 350 km dengan polarisasi tunggal secara horisontal (HH) maupun vertikal (HV). Polarsasi
6
berubah di setiap transmisi pulsa dan dua polarisasi sinyal yang diterima bersamaan. Dengan batas maksimum data transmisi (240 mbit/sec) kita dapat memperoleh cakupan data dengan lebar 30 km dan resolusi spasial 30 m (Sovzond 2007). Karakteristik PALSAR dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 1 Karakteristik PALSAR Mode Karakteristik Frekuensi Lebar Kanal Polarisasi Resolusi Spasial Lebar Cakupan Incidence Angle NE Sigma 0
Fine
Polarimetric (Experiment Mode)
1.270 MHz (L-Band) 28/114 MHz HH/VV/HH+HV atau VV+VH 10 m (2 look)/20 m (4 look) 70 km 8-60 derajat <-23 dB (70 km) >-25 dB (60 km) 3 bit atau 5 bit
Panjang Bit Ukuran (Sumber : Jaxa 2006)
2.3
ScanSAR
HH atau HV
HH+HV+VH+VV
100 m (multi look)
30 m
250-350 km
30 km
18-43 derajat
8-30 derajat
<-25 dB
<-29 dB
5 bit AZ:8.9 m x EL:2.9 m
3 bit atau 5 bit
Biomassa Jumlah biomassa dalam hutan merupakan hasil perbedaan produksi melalui
fotosintesis dan konsumsi tumbuhan melalui respirasi dan proses pemanenan. Biomassa merupakan ukuran penting untuk menilai perubahan struktur hutan. Perubahan dalam biomassa hutan bisa disebabkan oleh suksesi alami: kegiatan manusia seperti silvikultur, pemanenan, dan pendegradasian; serta dampak alami dari kebakaran dan perubahan iklim. Biomassasa hutan juga relevan dengan isu perubahan iklim. Biomassa didefinisikan sebagai jumlah total bahan organik di atas tanah pada pohon, termasuk daun, ranting, cabang, batang utama, dan kulit yang dinyatakan dalam berat kering oven ton per unit area (Brown 1997). Pendugaan biomassa dapat dilakukan dengan metode destructive sampling dan non-destructive sampling. Metode destructive sampling, dilakukan dengan
7
memanen beberapa pohon contoh dalam plot-plot yang telah ditentukan dan selanjutnya menimbang berat kering dari pohon-pohon tersebut. Metode ini membutuhkan biaya yang besar dan waktu yang relatif lama untuk memperoleh hasil yang diinginkan (Mawobe 2006; Pepen DS 2007; Erlangga 2009). Metode selanjutnya adalah pendugaan biomassa dengan menggunakan data hasil inventarisasi hutan yang ada. Metode ini termasuk metode non-destructive sampling karena tidak memerlukan pemanenan pohon contoh dalam pendugaan biomassanya. Pengkonversian hasil inventarisasi hutan dalam bentuk volume dilakukan dengan mengalikan nilai tersebut dengan konstanta nilai Biomass Exspansion Factor (BEF) (Jelkanen et al 2005; Balinda 2008; Wulder et al 2008) Beberapa penelitian lain juga melakukan pendugaan biomassa dengan memanfaatkan teknologi penginderaan jauh. Data yang digunakan adalah data biomassa yang di ukur di lapangan dan kemudian menghubungkan data tersebut dengan data nilai backscatter citra. Dengan menganalisis hubungan tersebut, akan diperoleh persamaan yang bisa digunakan untuk menduga potensi biomassa melalui peta citra. Metode ini memiliki akurasi data yang cukup baik, disamping itu waktu dan biaya yang dibutuhkan juga relatif tidak mahal (Bergen and Doubson 1999; Lu 2006; Ahmed et al 2009) Awaya (2009) melakukan studi di daerah Palangkaraya mengenai analisis regresi hubungan antara biomassa dan koefisien backscatter dari data PALSAR. Dari studi tersebut diperoleh hasil bahwa polarisasi HV menunjukkan hubungan yang lebih baik dengan biomassa dibandingkan polarisasi HH. Rauste et al (2007) melakukan penelitian mengenai pemrosesan dan analisis data citra ALOS PALSAR di daerah Heinavesi, Finlandia. Dari penelitian tersebut diperoleh kesimpulan bahwa polarisasi silang (HV) dari L-band SAR memiliki korelasi yang lebih baik dengan biomassa hutan dibandingkan dengan polarisasi searah (HH) dengan nilai saturasi sekitar 150 m3/Ha.
2.4
Pinus (Pinus merkusii Jungh et de Vriese) Pinus (Pinus merkusii Jungh et De Vriese) adalah salah satu tanaman dari
famili Pinaceae. Nama lokal pinus antara lain tusam (Indonesia), uyam (Aceh), son song bai (Thailand), dan tenasserim pine (Inggris). Pinus jenis ini merupakan
8
satu-satunya pinus yang sebaran alaminya sampai di selatan khatulistiwa. Di Asia Tenggara menyebar di Burma, Thailand, Laos, Kamboja, Vietnam, Indonesia, dan Filipina. Tumbuhan ini tumbuh pada ketinggian 30 – 1.800 mdpl pada berbagai tipe tanah dan iklim. Pinus merupakan pohon besar berbatang lurus, silindris. Tegakan masak dapat mencapai tinggi 30 m, diameter 60-80 cm. Tegakan tua mencapai 45 m, diameter 140 cm. Tajuk pohon muda berbentuk piramid, setelah tua lebih rata dan tersebar. Kulit pohon muda abu-abu, sesudah tua berwarna gelap dan terdapat alur (Hidayat dan Hansen 2001). Pinus merkusii Jungh et De Vriese atau sering disebut tusam merupakan salah satu jenis pohon industri yang mempunyai nilai produksi tinggi dan merupakan salah satu prioritas jenis untuk reboisasi terutama di luar Pulau Jawa. Di Pulau Jawa, pinus atau tusam dikenal sebagai penghasil kayu, resin dan gondorukem yang dapat diolah lebih lanjut sehingga mempunyai nilai ekonomi yang lebih tinggi. Kelemahan dari Pinus merkusii adalah peka terhadap kebakaran, karena menghasilkan serasah daun yang tidak mudah membusuk secara alami. Kebakaran hutan umumnya terjadi pada saat musim kemarau, karena saat itu kandungan air, baik pada ranting-ranting dan serasah di lantai hutan maupun pohon menjadi berkurang sehingga kemungkinan untuk mengalami kebakaran menjadi lebih besar. Selain itu, produksi serasah pinus termasuk tinggi, yaitu sebesar 12,56-16,65 ton/Ha (Komaryati et al 2002 diacu dalam Siregar 2005).
BAB III METODE PENELITIAN 3.1
Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada November 2010 – April 2011 dengan
daerah penelitian KPH Banyumas Barat (Bagian Hutan Dayeuluhur, Majenang dan Lumbir). Pengolahan dan analisis data dilakukan di Laboratorium Remote Sensing dan GIS Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. 3.2
Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah GPS CS 60, Klinometer,
alat tulis, galah, tambang, kamera SLR yang dilengkapi dengan lensa Fish Eye, dan satu unit komputer pribadi yang dilengkapi dengan software Erdas Imagine Ver 9.1, ArcView GIS Ver 3.2, SPSS Statistics 17.0, dan Microsoft Office 2007. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Citra ALOS PALSAR tahun perekaman 2009 dengan resolusi spasial 50 m dan 12,5 m daerah Majenang, Jawa Tengah.
a
b
Gambar 1 Citra ALOS PALSAR resolusi 50 m (a) dan 12,5 m (b) 2. Data hasil inventarisasi tegakan pinus (Pinus merkusii Jungh et De Vriese) dalam kegiatan “Project for support on Forest Resources Management Through Leveraging Sattelite Image Information” tahun 2010 di lokasi KPH Banyumas Barat (Bagian Hutan Dayeuluhur, Majenang, dan Lumbir) dengan unit contoh lingkaran berdasarkan kelas umur.
10
3. Peta kawasan hutan KPH Banyumas Barat.
Gambar 2 Peta Kawasan Hutan KPH Banyumas Barat
11
3.3
Tahapan Pelaksanaan Tahapan pelaksanaan secara umum dapat dilihat pada Gambar 3 di bawah : Persiapan dan Pengumpulan Data Hasil Inventarisasi Tegakan
Citra ALOS PALSAR
Pengkonversian Nilai Dijital
Perhitungan Biomassa dan Volume
Nilai Backscatter
Dimensi Tegakan dan Nilai Biomassa
Overlay Data
Analisis Statistik dan Penyusunan Model Pendugaan Biomassa dan Volume
Model Terbaik
Penghitungan Overall Accuracy dan Kappa Accuracy
Pembuatan Peta Sebaran Biomassa
Selesai
Gambar 3 Diagram alur penelitian
12
3.3.1 Pengolahan Data Citra Analisis Backscatter Analisis backscatter dalam penelitian ini dilakukan terhadap polarisasi HH dan HV. Nilai backscatter dapat diperoleh dengan rumus kalibrasi berikut : NRCS(dB) = 10*log10(DN2) + CF (Shimada et al 2009) Keterangan : NRCS = Normalized Radar Cross Section DN
= Digital Number
CF
= Calibration Factor, yaitu -83 untuk HH dan HV
Filtering Image Proses filtering image dilakukan dengan menggunakan bantuan software ERDAS IMAGINE 9.1 dengan menu Radar (Radar Interpreter – Speckle Supression). Filtering image ini dilakukan pada citra-citra hasil model terbaik yang telah dibuat. Setiap citra model dilakukan filtering dengan kernel 3x3, 5x5, dan 7x7. 3.3.2 Pengambilan Data Lapangan Penentuan plot contoh di lapangan didasarkan pada keterwakilan masingmasing kelas umur yang tersedia di lapangan. Kelas umur dikelompokkan ke dalam tiga kelompok yaitu : a.
Kelompok umur muda Untuk tegakan dengan kelas umur I sampai III. Pengambilan data dilakukan dengan membuat plot lingkaran seluas 0,02 Ha (D 7,29 m).
b.
Kelompok umur sedang Untuk tegakan dengan kelas umur IV sampai VI. Pengambilan data dilakukan dengan membuat plot lingkaran seluas 0,04 Ha (D 11,28 m).
c.
Kelompok umur tua Untuk tegakan kelas umur VII up, pengambilan data dilakukan dengan membuat plot lingkaran seluas 0,1 Ha (D 17,28 m).
3.3.3 Pengolahan Data Lapangan Pengolahan data lapangan dilakukan untuk menduga biomassa atas permukaan plot-plot yang telah diukur. Pendugaan biomassa atas permukaan dilakukan dengan menggunakan alometrik yang telah tersedia dan menggunakan koefisien BEF.
13
Alometrik yang digunakan dalam pendugaan biomassa atas permukaan pada penelitian ini adalah : BAP = 0.0292X2,802 (Heriansyah 2005) Keterangan : BAP = Biomassa Atas Permukaan X
= Diameter (cm)
Pendugaan biomassa atas permukaan menggunakan Biomass Expansion Factor (BEF) dilakukan dengan menggunakan rumus : BAP = V*BEF Keterangan : BAP = Biomassa Atas Permukaan V
= Volume Tegakan berdasarkan Tabel Volume Lokal
V = 0.00003179977*D2,72647 untuk wilayah Bagian Hutan Majenang V = 0.000006910128*D3,21001999 untuk wilayah Bagian Hutan Dayeuh Luhur V = 0.00003922364*D2,687763 untuk wilayah Bagian Hutan Lumbir (KPH Banyumas Barat 1995) BEF = Biomass Expansion Factor dengan koefisien 1,4 untuk Pinus pada hutan tropis (Heriyanto et al 2005). 3.3.4
Analisis Data Analisis hubungan antara biomassa dengan nilai backscatter dilakukan
dengan meyusun model hubungan biomassa atas permukaan dengan nilai backscatter pada citra. Model-model yang dicobakan adalah sebagai berikut : Model Eksponensial Y = a*Exp (bX) Y = Exp (a + bX) Model Inverse Polymonial Y = X / (a + bX) Model Regresi Linear Berganda Y = a + bX1 + cX2 Y = Exp(a + bX1 + cX2)
14
Keterangan : Y
= Biomassa Atas Permukaan
X1
= Nilai backscatter polarisasi HH
X2
= Nilai backscatter polarisasi HV
a,b,c
= Nilai estimasi parameter Penyusunan model hubungan biomassa dengan nilai backscatter masing-
masing polarisasi pada citra ALOS PALSAR menggunakan metode penentuan subset predictor berdasarkan kriteria koefisien determinasi yang disesuaikan (R2adj). Kita akan mengetahui seberapa besar nilai backscatter dari masing-masing polarisasi tersebut dapat menjelaskan nilai biomassa. Proses menganalisis hubungan nilai backscatter dan biomassa dilakukan dengan menggunakan software SPSS 17.0. Pemilihan model terbaik menggunakan kriteria koefisien determinasi yang disesuaikan (R2adj) dan nilai Overall accuracy dan Kappa accuracy paling tinggi serta Root Mean Square Error (RMSE) paling rendah. Semakin tinggi nilai koefisien determinasi yang disesuaikan (R2adj), maka semakin besar peranan nilai backsatter dalam menjelaskan nilai biomassa atas permukaan. Selang nilai untuk koefisien determinasi yang disesuaikan (R2adj) adalah 0 – 100%. Semakin rendah nilai RMSE maka semakin akurat hasil penaksiran yang diperoleh. 3.3.5
Pembuatan Peta Sebaran Biomassa Atas Permukaan. Pembuatan peta sebaran dilakukan dengan bantuan software Erdas Imagine
9.1 dan ArcView 3.2. Peta sebaran dibuat berdasarkan kelas yang telah ditentukan. Penentuan banyaknya kelas diperoleh dengan acuan Starges : K = 1 + (3,3) log n Keterangan : K
= Banyaknya kelas
n
= Banyaknya data Selang kelas ditentukan dengan :
I = (Bmax – Bmin) / K Keterangan : I
= Interval kelas
Bmax = Biomassa maksimum
15
Bmin = Biomassa minimum K
= Banyaknya kelas
3.3.6
Penghitungan Overall Accuracy dan Kappa Accuracy Analisis akurasi hasil pengklasifikasian kelas dilakukan dengan menghitung
Overall Accuracy dan Kappa Accuracy menggunakan rumus berikut : OA
=
𝑟 𝑖=1 𝑋𝑖𝑖
𝑁
100%
Keterangan : OA
= Overall Accuracy
Xii
= Nilai diagonal dari matriks kontingens baris ke-i dan kolom ke-i
N
= Banyaknya pixel dalam contoh
ҡ
=
N ri=1 X ii − ri=1 X i+ X +i N 2 − X i+ X +i
100%
Keterangan : Xii = nilai diagonal dari matrik kontingensi baris ke-i dan kolom ke-i X+i = jumlah piksel dalam kolom ke-i Xi+ = jumlah piksel dalam baris ke-i N
= banyaknya piksel dalam contoh
BAB IV KONDISI UMUM LOKASI KPH Banyumas Barat merupakan salah satu badan pengelola hutan di Pulau Jawa yang berada dalam lingkup Perusahaan Umum Kehutanan Negara (Perum Perhutani) Unit I Jawa Tengah. KPH Banyumas Barat mengelola kawasan seluas 55.546,20 Ha yang terdiri atas 6 Bagian Hutan (BH) yaitu BH Dayeuluhur, BH Majenang, BH Lumbir, BH Sidareja, dan BH Cilacap. Bagian Hutan ini kemudian di bagi menjadi 8 BKPH (Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan) yaitu BKPH Lumbir, BKPH Majenang, BKPH Sidareja, BKPH Wanareja, BKPH Bokol, BKPH Kawunganten, BKPH Rawa Timur dan BKPH Rawa Barat. 4.1
Letak Administratif KPH Banyumas Barat secara administratif kawasan hutannya masuk pada
wilayah administratif Kabupaten Banyumas (8.235,80 Ha) dan Kabupaten Cilacap (47.310,40 Ha) (RPKH KPH Banyumas Barat 2002).
4.2
Topografi Topografi wilayah kawasan hutan KPH Banyumas Barat cukup beragam.
Setiap bagian hutan memiliki konfigurasi lapangan datar, lereng, miring, sangat berombak/bergelombang dan berbukit. Elevasi kawasan hutan KPH Banyumas Barat berkisar antara ketinggian 7 mdpl – 1.347 mdpl.
4.3
Iklim
KPH Banyumas Barat mempunyai iklim tropis basah. Rata-rata suhu bulanan 26,3º C dengan suhu minimal 24,4º C dan suhu maksimal 30,9º C. Tipe iklim di Kabupaten Banyumas menurut Smith Ferguson adalah tipe B (basah) dengan curah hujan 3.500 mm/thn (RPKH KPH Banyumas Barat 2002).
4.4
Tanah
Tabel 2 merupakan jenis tanah yang tersebar di berbagai lokasi pada KPH Banyumas Barat :
17
Tabel 2 Jenis Tanah di Kawasan Hutan KPH Banyumas Barat No Macam Tanah
Bahan Induk
Fisiografi
1
Komplek latosol merah kekuningan, latosol coklat podsolik merah dan litosol
Tuf dan bahan vulkan masam, intermedier dan basis
Vulkan dan Wanareja, Dayeuhluhur, batuan Majenang lipatan
2
Latosol tua kemerahan
Tuf Vulkan, Intermedier
Vulkan
Wanareja, Dayeuhluhur, Majenang
3
Litosol Coklat
Tuf Vulkan, Intermedier
Daratan
Wanareja, Dayeuhluhur, Majenang
4
Grumosol kelabu
Endapan liat
Bukit Lipatan
Sidareja, Ciporos, Gandrungmangu, Cidora, Besuki, Randegan, Citepus, Mentasan, Kedungwadas, Julangmangu, Kalijeruk, Kubangkangkung
5
Komplek Gromosol dan Regusol serta mediteran
Batu kapur dan napal
Vulkan
Sidareja, Ciporos, Gandrungmangu, Cidora, Besuki, Randegan, Citepus, Mentasan, Kedungwadas, Julangmangu, Kalijeruk, Kubangkangkung
6
Litosol Coklat
Tuv Vulkan intermedier
Vulkan dan Sidareja, Ciporos, bukit Gandrungmangu, Cidora, lipatan Besuki, Randegan, Citepus, Mentasan, Kedungwadas, Julangmangu, Kalijeruk, Kubangkangkung
7
Latosol coklat tua Tuv Vulkan, kemerahan Intermedier
Bukit lipatan
Sidareja, Ciporos, Gandrungmangu, Cidora, Besuki, Randegan, Citepus, Mentasan, Kedungwadas, Julangmangu, Kalijeruk, Kubangkangkung
8
Komplek Gromosol dan Regusol serta mediteran
Bukit lipatan
Surusunda, Karangpucung, Samudra, Banteran, Lumbir
9
Komplek Latosol Batu endapan dan merah kekuningan Vulkan dan latosol
Batu kapur dan napal
Lokasi / RPH
Vulkan dan Surusunda, Karangpucung, bukit Samudra, Banteran, Lumbir lipatan
10 Aluvial kelabu Endapan liat Daratan kekuningan (Sumber : RPKH KPH Banyumas Barat 2002)
Majenang, Pesahangan, Cimanggu
18
4.5
Daerah Aliran Sungai (DAS) Kawasan hutan KPH Banyumas Barat berada dalam Satuan Wilayah
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (SWP DAS) Serayu dan Citanduy. Pembagian SWP DAS dan Sub DAS dalam wilayah KPH Banyumas Barat dapat dilihat pada tabel 3 : Tabel 3 SWP DAS dan Sub DAS KPH Banyumas Barat No
Bagian Hutan
DAS
Sub DAS
1
Dayeuhluhur
Citanduy
Citanduy
2
Majenang
Citanduy
Citanduy
3
Lumbir
Serayu Citanduy
Tajum Citanduy
4
Sidareja
Serayu Citanduy
Jeruklegi, Cibeureum Tajum
5
Cilacap
Cintanduy
Jeruklegi, Cibeureum
4.6
Tutupan Lahan Kawasan hutan KPH Banyumas Barat terdiri atas tutupan lahan berupa
hutan, lahan pertanian, perkebunan dan pemukiman. Tutupan lahan berupa hutan di dominasi oleh hutan tanaman khususnya jenis pinus. Terdapat pula hutan tanaman jenis lain seperti mahoni, jati dan salam. Lahan pertanian yang dominan adalah sawah tapi terkadang berubah fungsi sebagai pertanian lahan kering saat musim kering tiba. Selain itu terdapat pula pemukiman-pemukiman masyarakat di sekitar hutan baik itu di batas luar kawasan hutan maupun enclave yang berada dalam kawasan hutan.
4.7
Pemanfaatan Pinus di KPH Banyumas Barat KPH Banyumas Barat wilayah produksinya didominasi oleh kelas hutan
pinus dengan jenis pinus, Pinus merkusii. Oleh karena itu, pinus dan berbagai produk turunannya menjadi produksi andalan KPH Banyumas Barat. Pada tahun 2008, KPH Banyumas Barat menjadi produsen getah pinus terbesar di Perhutani Unit 1 Jawa Tengah dengan total produksi 14.905.398 kg getah pinus. Tabel 4 menunjukkan data pungutan getah Pinus KPH Banyumas Barat untuk tahun kegiatan 2010 :
19
Tabel 4 Jumlah Sadapan Pinus KPH Banyumas Barat Non kayu
Sat
BKPH Wnr
Mjn
Lbr
Sdrj
Kwt
Bkl
Σ
Prasadap Luas
Ha
108.9
564.1
305.4
978.4
Σ Phn
Phn
41827
237415
80460
359702
Prod.
Ton
62741
291861
105128
459730
Ha
2962
6600
4350
2308.4
319
421.7
16961.1
Σ Phn
Phn
671012
1507197
1154084
662347
84578
113043
4192261
Prod.
Ton
2331524
5208160
3815063
2203539
219975
346004
14124265
Sadap Lanjut Luas
(Sumber : RKT KPH Banyumas Barat 2010) Keterangan : Wnr
: Wanareja
Sdrj
: Sidareja
Mjn
: Majenang
Kwt
: Kawunganten
Lbr
: Lumbir
Bkl
: Bokol
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1
Hasil Pengolahan Data Lapangan Penelitian ini dilakukan di tiga Bagian Hutan (BH) yaitu BH Dayeuluhur,
BH Majenang, dan BH Lumbir. Plot contoh yang diambil tersebar di tiga kelompok Kelas Umur (KU) yaitu KU muda sejumlah 17 plot contoh, KU sedang sejumlah 17 plot contoh dan KU tua sejumlah 4 plot. Pada setiap plot dilakukan perhitungan volume berdasarkan alometrik tabel volume lokal per bagian hutan sedangkan perhitungan biomassa dilakukan dengan menggunakan alometrik dan BEF (Biomassa Expansion Factor). Berikut merupakan grafik sebaran diameter dan tinggi pohon berdasarkan kelas umur masing-masing plot contoh : 30
KU 1 2 3 4 5 6 7 8
25
Tinggi (m)
20
15 10 5 0 0
10
20
30
Diameter (cm)
Gambar 4 Grafik sebaran diameter dan tinggi pohon
40
21
a
b
c
d
e
f
g
h
Gambar 5 a) tegakan KU I, b) tegakan KU II, c) tegakan KU III, d) tegakan KU IV, e) tegakan KU V, f) tegakan KU VI, g) tegakan KU VII, h) tegakan KU VIII
22
Berikut adalah grafik hubungan kelas umur dan biomassa dengan perhitungan berdasarkan koefisien BEF dan perhitungan alometrik : 350
Biomassa (Ton/Ha)
300 250 200 150 100 50 0 0
1
2
3
4
5
6
7
8
7
8
Kelas Umur
Gambar 6 Grafik hubungan kelas umur dan biomassa BEF
500
Biomassa (Ton/Ha)
400
300
200
100
0 0
1
2
3
4
5
6
Kelas Umur
Gambar 7 Grafik hubungan kelas umur dan biomassa alometrik Dari grafik tersebut dapat diketahui bahwa biomassa untuk perhitungan alometrik lebih besar dari biomassa BEF. Total biomassa per plot yang diperoleh berkisar dari 2,7693 – 506,4004 Ton/Ha untuk biomassa perhitungan alometrik
23
dan 2,0402 – 335,9863 Ton/Ha untuk biomassa perhitungan BEF. Jumlah biomassa per plot dipengaruhi oleh diameter, tinggi dan jumlah pohon masingmasing plot. Jumlah pohon masing-masing plot dipengaruhi faktor jarak antar pohon. Jarak antar pohon pada perusahaan pengelolaan hutan seperti Perhutani biasanya ditentukan dalam perencanaan pengelolaan hutan yang diatur melalui kegiatan penjarangan. Plot yang memiliki biomassa dan volume yang lebih tinggi daripada plot yang lain, ini disebabkan karena wilayah pengambilan plot contoh tersebut masih belum dilakukan proses penjarangan sehingga kerapatan pohonpohonnya masih tinggi dan menyebabkan jumlah pohon di dalam plot contoh lebih banyak dibandingkan plot contoh lain yang kelas umurnya relatif sama. Dari hasil perhitungan biomassa diperoleh hasil, biomassa atas permukaan dengan menggunakan persamaan alometrik berbeda dengan perhitungan biomassa atas permukaan menggunakan koefisien BEF. Hal ini disebabkan karena perhitungan menggunakan koefisien BEF sifatnya lebih umum. Nilai koefisien tersebut digunakan untuk jenis pinus pada hutan tropis sedangkan persamaan alometrik yang digunakan untuk perhitungan biomassa pada penelitian ini sifatnya lebih khusus karena persamaan tersebut dibuat untuk perhitungan pinus pada daerah dengan ketinggian dan topografi yang kurang lebih sama dengan daerah penelitian. Sehingga pada penelitian ini, penggunaan metode alometrik untuk menghitung biomassa di lapangan lebih dianjurkan.
24
5.2
Hasil Pengolahan Data Citra ALOS PALSAR Berikut merupakan grafik nilai backscatter polarisasi HH dan HV pada citra
ALOS PALSAR resolusi 50 m dan 12,5 m untuk setiap kelas umur :
-5
KU 1 2 3 4 5 6 7 8
-6
HH_12.5m
-7 -8
-9
-10
-11 -10
-9
-8
-7
-6 -5 HH_50m
-4
-3
-2
-1
Gambar 8 Grafik nilai backscatter polarisasi HH citra ALOS PALSAR resolusi 50 m dan 12,5 m -10
KU 1 2 3 4 5 6 7 8
-11 -12
HV_12.5m
-13 -14 -15 -16 -17 -18 -19 -18
-16
-14
-12 HV_50m
-10
-8
Gambar 9 Grafik nilai backscatter polarisasi HV citra ALOS PALSAR resolusi 50 m dan 12,5 m Koefisien backscatter merupakan ukuran kuantitatif kekuatan sinyal pancar balik radar dari objek. Ukuran backscatter sama seperti reflektansi pada
25
sistem optik dan nilainya berlainan tergantung jenis objeknya. Faktor-faktor dari sistem sensor yang mempengaruhi yaitu panjang gelombang mikro yang digunakan (band X, C, S, L, dan P), polarisasi (HH,HV,VV,VH), sudut pandang dan orientasi, dan resolusi (Nurhayati 2010). Nilai backscatter citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m lebih rendah dibandingkan dengan citra resolusi 50 m dengan rata-rata -6,9615 (HH) dan 12,7183 (HV) untuk citra resolusi 12,5 m, dan rata-rata -5,2798 (HH) dan -11,251 (HV) untuk citra resolusi 50 m. Ini membuktikan bahwa resolusi citra berpengaruh terhadap besarnya nilai backscatter. Demikian pula halnya dengan faktor polarisasi, dari hasil yang diperoleh, polarisasi HV memiliki nilai backscatter yang lebih rendah dibandingkan dengan polarisasi HH. Setiap jenis tumbuhan mempunyai karakterisitik yang berbeda-beda dari bentuk tajuk, susunan daun, diameter maupun tingginya. Sifat khas tersebut memberikan pengaruh terhadap distribusi gelombang elektromagnetik yang mengenai objek sehingga menghasilkan nilai digital yang berbeda-beda. Pada radar, gelombang yang berinteraksi dengan objek mempengaruhi besarnya koefisien backscatter suatu objek. Vegetasi memiliki permukaan kasar dan kelembapan tinggi sehingga vegetasi lebih banyak menghamburkan dan memantulkan energi radar yang datang daripada yang terserap. Kekasaran permukaan dapat dipengaruhi oleh lebar tajuk yang sejalan dengan membesarnya tajuk maka pertumbuhan pohon dalam parameter diameter dan tinggi juga akan meningkat. Semakin kasar permukaan vegetasi, tone yang didapatkan pada citra akan semakin cerah dan nilai backscatter yang dihasilkan akan semakin tinggi. Pada grafik kita dapat melihat bahwa nilai backscatter pada kelompok umur muda lebih rendah dibanding kelompok umur yang lebih tua.
Berdasarkan
kenampakannya pada citra, titik yang kelas umurnya tua memiliki kecerahan yang lebih tinggi dibanding dengan titik yang kelas umurnya muda. Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah citra ALOS PALSAR resolusi 50 m yang belum dilakukan proses koreksi kelerengan (slope correction) dan citra resolusi 12,5 m yang sudah diproses koreksi kelerengan (slope correction). Slope correction digunakan untuk meminimalisir bias yang bisa ditimbulkan oleh efek topografi yang biasa terdapat pada citra radar. Efek tersebut
26
bisa berupa image foreshortening, bayangan bukit, atau layover yang bisa berpengaruh pada nilai backscatter objek yang bersangkutan. Objek yang posisinya menghadap sensor, akan memiliki tone yang lebih cerah daripada objek yang membelakangi sensor sehingga nilai backscatter objek tersebut menjadi lebih tinggi dibandingkan objek yang membelakangi sensor. Hal ini berpengaruh pada citra biomassa yang dibuat. Tingginya nilai backscatter mengakibatkan tingginya nilai biomassa pada citra walaupun pada kenyataannya potensi biomassa lapangan pada wilayah tersebut sebenarnya sama. Perlakuan slope correction pada citra resolusi 12,5 m yang digunakan dalam penelitian ini memberikan hasil visual yang lebih baik daripada citra 50 m yang belum dikoreksi kelerengan.
5.3
Pemilihan Model Terbaik Berikut merupakan tabel hasil analisis regresi pemilihan model terbaik
untuk pendugaan biomassa menggunakan BEF : Tabel 5 Hasil Analisis Regresi Pemilihan Model Terbaik untuk Pendugaan Biomassa Model Y=a*exp(bX)
Pendugaan BEF
Resolusi Citra 50 m
Polarisasi HH
Parameter
R²
RMSE
a = 125,794
0,001
89,071522
0,084
85,280572
0,091
84,946301
0,241
77,610908
0,005
120,45183
0,128
112,77973
0,104
114,34674
0,21
107,37669
0,001
89,071522
0,084
85,280572
b = -0,008 HV
a = 327,772 b = 0,082
12,5 m
HH
a = 436,994 b = 0,174
HV
a = 2315,335 b = 2770,194
Alometrik
50 m
HH
a = 212,504 b = 0,024
HV
a = 564,117 b = 0,099
12,5 m
HH
a = 640,442 b = 0,178
HV
a = 1893,631 b = 0,185
Y=exp(a+(bX))
BEF
50 m
HH
a = 4,835 b = -0,008
HV
a = 5,792 b = 0,082
27
Tabel 5 Hasil Analisis Regresi Pemilihan Model Terbaik untuk Pendugaan Biomassa (lanjutan) Model
Pendugaan
Resolusi Citra 12,5 m
Polarisasi HH
Parameter a = 6,08
R²
RMSE
0,091
84,946301
0,241
77,610908
0,005
120,45183
0,128
112,77973
0,104
114,34674
0,21
107,37669
0,004
88,93926
0,041
87,256834
0,042
87,226429
0,213
79,032209
0,001
120,73585
0,073
116,28237
0,049
117,7568
0,163
110,46685
0,439
67,6684
0,397
95,1164
0,294
75,9046
0,258
105,5332
b = 0,174 HV
a = 7,747 b = 0,23
Alometrik
50 m
HH
a = 5,359 b = 0,024
HV
a = 6,335 b = 0,099
12,5 m
HH
a = 6,462 b = 0,178
HV
a = 7,546 b = 0,185
Y=X/(a+(bX))
BEF
50 m
HH
a = -0,003 b = 0,007
HV
a = 0,047 b = 0,012
12,5 m
HH
a = 0,041 b = 0,014
HV
a = 0,274 b = 0,104
Alometrik
50 m
HH
a = 0,001 b = 0,006
HV
a = 0,041 b = 0,009
12,5 m
HH
a = 0,03 b = 0,01
HV
a = 0,149 b = 0,017
Y=a+bX1+cX2
BEF
50 m
-
a = 429,679 b = -51,238 c = 50,571
Alometrik
50 m
-
a = 603,494 b = -59,225 c = 64,735
BEF
12,5 m
-
a = 435,367 b = -29,104 c = 39,846
Alometrik
12,5 m
-
a = 591,708 b = -23,963 c = 44,872
28
Tabel 5 Hasil analisis regresi pemilihan model terbaik untuk pendugaan biomassa (lanjutan) Model Y=Exp(a+(bX1)+(cX2))
Pendugaan BEF
Resolusi Citra 50 m
Polarisasi -
Parameter a = 7,478
R²
RMSE
0,442
67,48
0,372
9,0732
0,232
107,3611
0,298
75,7354
b = -0,44 c = 0,447 Alometrik
50 m
-
a = 7,664 b = -0,335 c = 0,379
BEF
12,5 m
-
a = 7,449 b = -0,186 c = 0,28
Alometrik
12,5 m
-
a = 7,547 b = -0,322 c = 0,392
Penelitian mengenai analisis hubungan nilai backscatter dengan jumlah biomassa di lapangan telah banyak dilakukan. Penelitian tersebut pada umumnya menyimpulkan bahwa polarisasi HV mampu menjelaskan dengan baik pendugaan-pendugaan biomassa di lapangan (Rauste et al 2007; Awaya 2009). Dari analisis model yang dicobakan untuk menduga biomassa dengan BEF diperoleh hasil, untuk citra resolusi 50 m adalah model Y = Exp(a+ bX1+cX2) dengan nilai R2adj (koefisien determinasi yang disesuaikan) 44,2% dan RMSE 67,48. Sedangkan untuk citra resolusi 12,5 m model terbaik yang bisa digunakan untuk menduga biomassa adalah model Y = a+bX1+cX2 dengan nilai R2adj 29,4% dan RMSE 75,90. Untuk menduga biomassa dengan alometrik diperoleh hasil, untuk citra resolusi 50 m adalah model Y = a+bX1+cX2 dengan nilai R2adj 39,7% dan RMSE 95,12. Sedangkan untuk citra resolusi 12,5 m model yang bisa digunakan adalah model Y = a+ bX1+cX2 dengan nilai R2adj 25,8% dan RMSE 105,5332. Merujuk pada hasil koefisien determinasi yang disesuaikan (R2adj), nilai RMSE, nilai Overall Accuracy dan Kappa Accuracy yang dijadikan dasar pemilihan model untuk menduga biomassa, maka model terbaik yang bisa digunakan untuk menduga biomassa pada kawasan hutan KPH Banyumas Barat adalah model Y = Exp(a+ bX1+cX2) untuk citra resolusi 50 m menggunakan metode BEF. Sedangkan untuk citra resolusi 12,5 m model terbaik yang diperoleh
29
adalah model Y = a+ bX1+cX2 menggunakan metode alometrik. Model terbaik yang terpilih merupakan model yang menggunakan dua variabel polarisasi yaitu polarisasi HH dan HV.
5.4
Peta Sebaran Biomassa Peta sebaran biomassa berisi informasi mengenai penyebaran besaran
biomassa pada wilayah pengamatan. Peta ini dinyatakan dalam kelas yang nilainya adalah selang data biomassa. Setiap kelas diwakili oleh warna yang berbeda. Banyaknya kelas ditentukan dengan pendekatan Starges dan diperoleh hasil banyaknya kelas yang dapat digunakan untuk menggambarkan penyebaran besaran biomassa adalah 6 kelas tetapi dalam penelitian ini untuk memudahkan penilaian, jumlah kelas disederhanakan menjadi 3 kelas. Akurasi klasifikasi umumnya dilakukan dengan metode Overall accuracy, akan tetapi akurasi ini umumnya terlalu over estimate sehingga jarang digunakan sebagai indikator yang baik untuk mengukur kesuksesan suatu klasifikasi karena hanya menggunakan piksel-piksel yang terletak pada diagonal suatu matrik contingency. Akurasi yang saat ini disarankan adalah dengan menggunakan rumus Kappa accuracy karena semua elemen dalam matrik contingency akan diperhitungkan (Jaya 2010). Setelah mendapatkan model terbaik untuk pendugaan biomassa pada setiap jenis pendugaan dan resolusi citra, dilakukan filtering pada citra model dengan menggunakan kernel 3x3, 5x5 dan 7x7. Hasil perhitungan Overall Accuracy dan Kappa Accuracy untuk citra yang belum di-filtering dan setelah di-filtering dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 6 Hasil Perhitungan Overall Accuracy dan Kappa Accuracy Image
Pendugaan
50 m
BEF
50 m
Alometrik
12,5 m
BEF
12,5 m
Alometrik
Model
Y = Exp (a+bX1+cX2) Y= a+bX1+cX2 Y= a+bX1+cX2 Y= a+bX1+cX2
Filter (%)
Non Filter (%)
3x3
5x5
7x7
OA
K
OA
K
OA
K
OA
K
51,35
17,78
59,46
32,40
72,97
54,32
67,57
44,32
61,16
31,93
64,86
35,78
64,86
35,78
70,27
45,81
37,84
4,06
65,79
39,01
63,16
34,40
62,16
33,33
47,34
7,54
72,97
51,06
65,79
37,47
57,14
27,86
30
Keterangan : OA : Overall Accuracy KA : Kappa Accuracy
Filtering dilakukan untuk mengurangi speckle noise yang banyak ditemukan pada citra radar sehingga memudahkan kita dalam pengklasifikasian objek. Proses filtering membantu menstabilkan nilai backscatter disekitar titik pengamatan. Hal ini bisa untuk meminimalisir bias yang dapat ditimbulkan akibat adanya pergeseran pixel titik pengamatan pada citra karena banyaknya speckle noise. Pada pendugaan pemetaan secara spasial hal ini penting dilakukan karena sekelompok pixel memiliki faktor lokal yang bisa mempengaruhi nilai backscatter. Pergeseran yang terjadi saat penampalan titik lapangan dengan citra dapat menyebabkan nilai backscatter yang diperoleh berbeda dengan nilai backscatter yang seharusnya. Hasil perhitungan Overall Accuracy dan Kappa Accuracy menunjukkan bahwa uji akurasi pada citra yang telah di-filtering hasilnya lebih besar dibandingkan citra yang belum di-filtering. Filtering dapat mengurangi speckle noise yang banyak ditemukan pada citra radar khususnya resolusi 12,5 m sehingga akurasi klasifikasi yang diperoleh bisa meningkat. Peta sebaran biomassa citra resolusi 50 m dapat dibuat dalam skala minimum 1 : 500.000 dan maksimum 1 : 100.000 sedangkan untuk peta sebaran biomassa citra resolusi 12,5 m dapat dibuat dalam skala minumum 1 : 125.000 dan maksimum 1 : 50.000. Penentuan skala maksimum dan minimum dilakukan dengan mempertimbangkan perhitungan akurasi grafis atau pencetakan citra tersebut.
Berikut merupakan gambar peta sebaran biomassa dari model terbaik yang belum dilakukan filtering dan telah dilakukan filtering :
Gambar 10 Peta sebaran biomassa menggunakan koefisien BEF Pinus KPH Banyumas Barat citra ALOS PALSAR resolusi 50 m nonfiltering
31
32
Gambar 11 Peta sebaran biomassa menggunakan koefisien BEF Pinus KPH Banyumas Barat citra ALOS PALSAR resolusi 50 m filtering kernel 3x3
32
33
Gambar 12 Peta sebaran biomass menggunakan koefisien BEF Pinus KPH Banyumas Barat citra ALOS PALSAR resolusi 50 m filtering kernel 5x5
33
34
Gambar 13 Peta sebaran biomassa menggunakan koefisien BEF Pinus KPH Banyumas Barat citra ALOS PALSAR resolusi 50 m filtering kernel 7x7
34
35
Gambar 14 Peta sebaran biomassa menggunakan alometrik Pinus KPH Banyumas Barat citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m nonfiltering
35
36
Gambar 15 Peta sebaran biomassa menggunakan alometrik Pinus KPH Banyumas Barat citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m filtering kernel 3x3
36
37
Gambar 16 Peta sebaran biomassa menggunakan alometrik Pinus KPH Banyumas Barat citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m polarisasi HH dan HV filtering kernel 5x5
37
38
Gambar 17
Peta sebaran biomassa dengan menggunakan alometrik Pinus KPH Banyumas Barat citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m polarisasi HH dan HV filtering kernel 7x7 38
39
Dari peta sebaran biomassa yang dibuat, kelas biomassa yang sering mengalami kesalahan pada saat pengkelasan adalah kelas biomassa tiga. Jumlah biomassa tersebut cenderung dikelaskan menjadi kelas dua. Hal ini disebabkan karena pada saat pengambilan data lapangan, plot-plot tersebut jumlah pohonnya dalam satu plot lebih banyak dibanding polot-plot yang lain walaupun kenampakannya pada citra tidak jauh berbeda dengan plot-plot serupa yang nilai biomassa lapangannya lebih kecil. Citra biomassa resolusi 12,5 m memiliki penampakan yang lebih detail daripada 50 m. Hal tersebut dipengaruhi oleh resolusi citra. Karena resolusinya lebih rendah, citra resolusi 12,5 m dapat menduga biomassa dalam satuan luasan yang lebih kecil dibanding dengan citra resolusi 50 m. Ini juga memungkinkan pengkelasan biomassa pada citra resolusi 12,5 m lebih banyak dibanding pengkelasan biomassa pada citra resolusi 50 m. Peta sebaran biomassa dari citra biomassa resolusi 50 m yang belum difiltering dan telah di-filtering didominasi oleh biomassa kelas dua. Sedangkan pada citra biomassa resolusi 12,5 m, sebelum di-filtering sebaran biomassa didominasi oleh biomassa kelas tiga tetapi setelah di-filtering sebaran biomassa didominasi oleh biomassa kelas satu.
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan 1. Pendugaan Biomassa Pinus pada kawasan hutan KPH Banyumas Barat dapat dilakukan dengan menggunakan metode alometrik yang menggunakan dua variabel polarisasi HH dan HV. 2. Nilai backscatter pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m dan 12,5 m dapat menjelaskan dengan baik kondisi biomassa di lapangan. 3. Peta sebaran biomassa citra resolusi 50 m dapat dibuat dalam skala 1 : 500.000 sampai 1 : 100.000. 4. Peta sebaran biomassa citra resolusi 12,5 m dapat dibuat dalam skala 1 : 125.000 sampai 1 : 50.000. 6.2. Saran Hasil penelitian ini menyimpulkan model yang bisa digunakan untuk menduga biomassa pada citra ALOS PALSAR resolusi spasial 50 m dan 12,5 m di lokasi KPH Banyumas Barat. Penelitian serupa perlu dilakukan pada berbagai lokasi untuk menguji apakah citra ALOS PALSAR bisa digunakan untuk menduga biomassa atas permukaan di lapangan.
DAFTAR PUSTAKA
Razi A, Siqueira P, Bergen K, Chapman B, Hensley S. 2009. A Biomass Estimate Over the Harvard Forest Using Field Measurement with Radar and Lidar Data. http://uavsar.jpl.nasa.gov/publications/igrss2010_rahmed.pdf. (25 Maret 2011). Awaya Y. 2009. Landcover Monitoring and Biomass Estimation Using PALSAR Data in Palangkaraya. Indonesia [abstrak]. Di Dalam : Workshop on Exploring the Use of ALOS PALSAR for Forest Resource Management, Development of Forest Degradation Index and Carbon Emission Estimation Method Using PALSAR Data in Indonesia. Bogor. Balinda L. 2008. Pendugaan Simpanan Karbon Di Atas Permukaan Tanah Pada Tegakan Pinus (Pinus merkusii Jungh et de Vriese) di RPH Leuwiliang BKPH Leuwiliang KPH Bogor PERUM PERHUTANI Unit III Jawa Barat dan Banten. [Skripsi]. Bogor : Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan, IPB. Kathleen BM, Dobson MC. 1999. Integration of Remotely Sensed Radar Imagery in Modelling and Mapping of Forest Biomass and Net Primary Production. Ecological Modelling 122 (1999) : 257-274. Brown S. 1997. Estimating Biomass and Biomass Change of Tropical Forest. A Primer. FAO. USA. FAO Forestry Paper No. 134:10-13. Erlangga J. 2009. Pendugaan Potensi Karbon Pada Tegakan Pinus (Pinus merkusii Jungh et de Vriese) Di KPH Sukabumi, PERUM PERHUTANI Unit III, Jawa Barat dan Banten. [Skripsi]. Bogor : Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan, IPB. Heriyanto NM, Siringoringo HH, Miyakuni K, Yoshiyuki K. Di dalam : Dr. Ngaloken G, Dr. Hari R, editor. How To Increase the Welfare og Local People Through the Sustainable Forest Management. Proceedings of the 2nd Workshop on Demonstration Study on Carbon Fixing Forest Management in Indonesia; Bogor, 11 Januari 2005. Bogor: FORDA, JICA. 2005. hlm 2531. Hamazaki T. 1999. Overview of the Advanced Land Observing Satelitte (ALOS): Its Mission Requirements, Sensors, and a Satelitte System. Jepang : National Space Development Agency of Japan.
42
Heriansyah I. 2005. Potensi Hutan Tanaman Industri dalam Mensequester Karbon : Studi kasus di Hutan Tanaman Akasia dan Pinus. Inovasi Online Edisi Vol.3/XVII/Maret 2005. Hidayat J, Hansen PC. 2001. Pinus merkusii Jungh. et de Vriese. Informasi Singkat Benih Edisi No. 12, Oktober 2001. JAXA. 2006. PALSAR : Phased Array type L-band Synthetic Aperture Radar. http://www.eorc.jaxa.jp/ALOS/en/about/palsar.htm (24 Februari 2011). Jaya, INS. 2010. Analisis Citra Digital: Perspektif Penginderaan Jauh untuk Pengelolaan Sumberdaya Alam. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB. Jelkonen A, Makipaa R, Stahl G, Lehtonen A, Petersson H. 2005. Estimation of the Biomass Stock of Trees in Sweeden : Comparison of Biomass Equations and Age-dependent biomass ekspansion factors. Amm. For. Science 62 (2005) 845-851. KPH Banyumas Barat. 1995. Tabel Volume Lokal Pinus Tebang Penjarangan (E). Jawa Tengah : KPH Banyumas Barat. KPH Banyumas Barat. 2002. Rencana Pengaturan Kelestarian Hasil. Jawa Tengah : KPH Banyumas Barat. KPH Banyumas Barat. 2010. Petunjuk Nomor Pekerjaan Tahun 2010. Purwokerto : KPH Banyumas Barat. Lillesand TM, Kiefer RW. 1979. Remote Sensing and Image Interpretation diterjemahkan oleh Dulbahri et al. Tahun 1999. Yogyakarta : Gajah Mada University Press. Lu D. 2006. The potential and challenge of remote sensing-based biomas estimation. Internationasl Journal of Remote Sensing Vol. 27 No. 7: 12971328. Mawobe BR. 2006. Aboveground Woody Biomass Assessment in Serowe Woodlands, Botswana. [Thesis]. Netherlands : Intenational Institute for Geo-information Science and Earth Observation. Nurhayati. 2010. Pendugaan Biomassa Pohon di Atas Permukaan Tanah dan Indeks Luas Daun Menggunakan Citra Landsat TM dan ALOS PALSAR. [Tesis]. Bogor : Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan, IPB. Pepen DS. 2007. Pendugaan Biomassa Tegakan Pinus (Pinus merkusii Jungh et de Vriese) Pada Berbagai Kerapatan Di Hutan Pendidikan Gunung Walat Sukabumi. [Skripsi]. Bogor : Program Studi Budidaya Hutan, IPB.
43
Puspitasari R. 2008. Pendugaan Biomassa di Atas Tanah Menggunakan Citra ALOS PALSAR Resolusi Spasial 50 m di Pulau Jawa dan Bali. [Skripsi]. Bogor : Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan, IPB. Purwadhi SH. 2001. Interpretasi Citra Digital. Jakarta : Grasindo. Rauste Y, Lӧnnqvst A, Ahola H. 2007. Processing and Analysisi of ALOS PALSAR Imagery. Kaukartoituspӓivӓt : VTT Technical Research Centre of Finland . Shimada M, Isoguchi O, Tadano T, Isono K. 2009. PALSAR Calibration Factor Updated. http://auig.eoc.jaxa.jp/auigs/en/doc/an/200901109en_3.html [15 Desember 2010] Siregar EBM. 2005. Pemuliaan Pinus merkusii. [Skripsi]. Sumatera Utara : Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Sovzond. 2007. ALOS (PALSAR). http://www.sovzond.ru/en/satellites/other2/4055.html. [27 Februari 2011]. Wulder MA, White CW, Vouvnier RA, Luther JE, Najnussen S. 2008. Spatially Explicit Large Area Biomass Estimation: Three Approaches Using Forest Inventory and Remotely Sensed Imagery in GIS. Sensors (2008) 8: 529-560.
LAMPIRAN
45
Lampiran 1 Rekapitulasi hasil pengolahan data lapangan ID Plot
Citra Palsar 50 m HH
HV
Citra Palsar 12.5 m HH
HV
φ (cm)
H (m)
N
JAP (m)
Thn Tanam
Umur
KU
Slope
Aspek
(Thn)
V (m3/ha)
Biomassa (BEF) (Ton/Ha)
BAP (Ton/Ha)
40030A
-5.1189
-9.9553
-6.8698
-11.6960
38.23
21.95
21
8.6
1976
34
7
-25
Selatan
149.353
115.002
181.622
40030B
-4.5708
-9.9315
-7.3380
-12.0586
35.15
22.22
32
6.2
1976
34
7
-25
Timur
185.823
143.084
225.066
40031A
-7.5933
-13.6753
-7.3721
-12.2824
16.86
13.08
45
3.87
1999
11
3
-27
Barat Daya
173.123
133.305
197.986
40035A
-6.1300
-11.9608
-6.3709
-11.6502
23.66
18.13
18
3.96
1990
21
4
3
Timur Laut
89.756
69.112
105.520
40035B
-7.5369
-14.4702
-7.9515
-13.6779
23.62
15.56
26
3.75
1990
21
4
-4
138.749
106.836
163.913
40039A
-9.4261
-18.0139
-10.7450
-17.1375
5.93
2.74
21
4.03
2008
2
1
8
Barat Daya
4.413
3.398
4.647
40044A
-6.1502
-11.7781
-9.4796
-18.2299
6.65
3.55
20
3.5
2006
4
1
13
Barat Laut
6.129
4.720
6.541
40044B
-5.7235
-13.1684
-9.4581
-17.4255
6.1
3.88
16
3.05
2006
4
1
-13
Selatan
3.719
2.864
3.931
40044C
-7.4372
-16.0568
-8.8875
-17.1171
6.26
4.43
23
3
2006
4
1
7
Barat Laut
5.927
4.564
6.291
40044D
-3.4518
-9.1871
-6.4301
-13.1662
32.75
24.24
37
3.25
1983
27
6
4
Timur Laut
421.983
324.927
506.400
40035C
-4.5282
-9.2474
-7.9515
-13.6779
17.65
13.71
37
3.75
1999
11
3
8
Barat Laut
174.868
134.649
202.200
40035D
-5.1787
-11.4487
-7.0791
-12.9930
19.81
15.33
41
3.83
1999
11
3
7
Barat Daya
251.129
193.369
291.262
40035E
-3.2262
-9.2166
-6.7331
-13.5896
22.16
14.03
25
3.37
1999
11
3
-18
Selatan
201.138
154.876
234.692
40036
-3.7225
-9.1654
-6.4208
-11.9942
35.56
25.19
15
4.33
1984
26
6
-12
Selatan
217.578
167.535
263.051
40036A
-3.1320
-8.3003
-6.6027
-12.0008
35.72
23.43
11
6
1984
26
6
18
Barat Daya
161.490
124.347
195.320
40036B
-3.0400
-9.6369
-6.4873
-12.3440
18.03
14.67
15
2.5
2000
10
2
16
Tenggara
66.069
50.873
75.697
40036C
-3.9856
-11.6715
-6.8241
-12.2353
17.92
13.6
18
2.5
2000
10
2
23
Selatan
78.175
60.195
89.546
40036D
-3.5166
-12.5090
-6.9878
-13.4373
5.46
3.79
16
2.73
2007
3
1
-16
Barat Daya
2.650
2.040
2.769
40036E
-2.7879
-9.6361
-6.4498
-13.0056
29.68
22.56
23
4
1983
27
6
-17
Tenggara
198.218
152.628
235.934
40029A
-3.6838
-9.9150
-6.1984
-12.2307
20.6
18.54
17
4.73
1996
14
3
-18
Barat Daya
107.139
82.497
123.933
40029B
-2.3466
-8.2591
-6.3309
-11.6080
21.47
18.03
15
4.73
1996
14
3
-18
Barat Daya
109.256
84.127
127.085
40029C 40029D
-7.6221
-12.6301
-6.3238
-11.3541
18.84
16.91
12
3.83
1995
15
3
-16
Tenggara
62.448
48.085
72.025
-5.9596
-12.0380
-6.9880
-12.5263
19.55
17.83
16
3
1998
12
3
18
Barat Daya
91.051
70.110
105.218
Tenggara
45
46
Lampiran 1 (lanjutan) 40018A
-1.9737
-7.5793
-5.6364
-11.3948
32.18
22.65
15
4.6
1988
22
5
-24
Barat Laut
176.545
135.940
212.756
40018B
-2.9625
-8.9449
-5.7709
-12.3666
29.64
20.07
12
6.5
1989
21
5
-35
Barat Daya
102.943
79.266
122.493
40018C
-2.8667
-8.8680
-6.0969
-11.9113
32.51
19.55
13
7.25
1989
21
5
-35
Barat Daya
152.866
117.707
183.974
40004A
-6.9813
-11.6200
-6.5979
-10.9380
36.94
23.7
17
5
1983
27
6
25
Timur Laut
324.667
249.994
312.164
40004B
-7.3203
-11.6174
-6.6487
-11.0308
39.21
23.18
15
5.3
1980
30
6
16
Timur Laut
365.486
281.424
338.112
40004C
-6.3218
-10.6368
-6.8029
-11.4983
40.15
27.59
10
5.35
1980
30
6
-18
Selatan
257.939
198.613
237.534
40007A
-7.1776
-12.3920
-6.5224
-11.5275
34.45
23.16
13
4.5
1986
24
5
22
Selatan
205.972
158.598
201.576
40007B
-7.0584
-11.4251
-6.9822
-11.8822
37.83
23.78
18
4.75
1987
23
5
-16
Timur Laut
436.346
335.986
398.071
40007C
-7.2088
-12.1407
-6.3195
-10.5504
36.33
27.41
15
4.5
1987
23
5
3
Timur Laut
285.417
219.771
272.427
40006A
-6.2860
-13.2813
-5.6020
-12.3195
19.59
13.96
17
4.3
2001
9
2
-6
Barat Daya
98.030
75.483
113.353
40006B
-6.5189
-12.5601
-6.2468
-12.0078
16.29
16.23
29
3.03
2001
9
2
17
Barat
107.437
82.727
123.013
40135A
-4.3790
-9.9709
-6.9592
-12.5213
42.65
26.54
34
2.8
1971
39
8
-23
Utara
338.689
260.790
389.476
40135B
-5.9694
-11.2992
-7.5903
-13.0527
40.22
28.33
32
4.4
1971
39
8
24
Timur Laut
281.973
217.119
323.251
40148A
-4.3774
-10.0662
-5.7013
-11.2753
27.16
22.71
24
6.3
1991
19
4
-14
Barat Daya
182.882
140.819
200.384
40148B
-7.3609
-13.2804
-6.7789
-11.5792
32.06
27.33
21
4.1
1991
19
4
6
Tenggara
257.533
198.300
288.397
46
47
Lampiran 2 Gambar citra biomassa
Gambar 20 Citra biomassa resolusi 50 m
47
48
Lampiran 2 (lanjutan)
Gambar 21 Citra biomassa resolusi 12,5 m
48
49
Lampiran 3 Gambar foto-foto lapangan
a
b
c
d
f
e
Gambar 22 a) Tegakan pinus kelas umur VII, b) tegakan pinus kelas umur I, c) tegakan pinus kelas umur II, d) tegakan pinus kelas umur IV, e) persiapan menuju lokasi plot, f) peta petak kawasan hutan KPH Banyumas Barat
50
Lampiran 4 Diagram pencar biomassa dan nilai backscatter -1 -2 -3
HH_50m
-4 -5 -6 -7 -8 -9 -10 0
50
100
150
200
250
300
350
Biomassa BEF (Ton/Ha)
Gambar 23 Diagram pencar biomassa BEF dan nilai backscatter polarisasi HH citra resolusi 50 m
-8
HV_50m
-10
-12
-14
-16
-18 0
50
100
150
200
250
300
350
Biomassa BEF (Ton/Ha)
Gambar 24 Diagram pencar biomassa BEF dan nilai backscatter polarisasi HV citra resolusi 50 m
51
Lampiran 4 (lanjutan) -5 -6
HH_12.5m
-7
-8 -9 -10 -11 0
100
200
300
400
500
Biomassa Alometrik (Ton/Ha)
Gambar 25 Diagram pencar biomassa alometrik dengan nilai backscatter polarisasi HH citra resolusi 12,5 m -10 -11 -12
HV_12.5m
-13 -14 -15 -16 -17 -18 -19 0
100
200
300
400
500
Biomassa Alometrik (Ton/Ha)
Gambar 26 Diagram pencar biomassa alometrik dengan nilai backscatter polarisasi HH citra resolusi 12,5 m