PENDRO II oleh: I Made Arnawa, SSKar., M.Sn. dan Tri Haryanto, S.Kar., M.Si. Abstrak Pendro II, merupakan pengembangan dari Pendro I, hasil dari karya Pendro I memberikan inspirasi baru tentang hasil Tone yang merupakan penggabungan dari gamelan yang berlaras Pelog dan Slendro. Dari hasil Tone tersebut telah dibuatkan satu gamelan baru yang disebut dengan gamelan Pendro, dengan gamelan baru ini penata mempergunakannya untuk membuat karya baru dengan judul Pendro II. Dari hasil karya-karya sebelumnya, masih menggunakan dua gamelan yang berbeda dalam satu sajian karya, seperti karya yang berjudul “Merajut Tali Keragaman”, menggunakan berbagai gamelan, namun tidak dapat menyatu dalam penyajiannya. Dari fungsi gamelan masih menunjukkan karakteristik gamelan dari masing-masing barungan itu sendiri. Kemudian dalam Pendro I telah dicoba untuk menggabungkan dua gamelan yang berbeda laras dengan satu kesatuan karya, hasil dari penggabungan itu muncul laras (Tone) baru, dan hasil Tone baru itu telah kami buat gamelan baru dengan Tone yang dihasilkan tersebut. Dari gamelan baru ini diharapkan dapat memberikan nuansa musikal baru, dengan menggunakan berbagai teori estetika yang baru pula memungkinkan muncul karya-karya baru yang lebih inovatif. Dasar dari penciptaan ini, selain dari pengalaman penata dalam berkarya, juga dari berbagai acuan karya yang seirama dengan konsep karya Pendro II yaitu Rekaman CD “Pendro I” karya I Made Arnawa (2004). “Clapping Music” (1972) dan “Tehilim” (1979) karya Steve Reich. Wujud garapan di sajikan dalam bentuk dan struktur serta Tekstur. Bentuk dan struktur masih ada kaitannya dengan bentuk struktur tradisi. Kemudian untuk bahasa musikalitasnya disebut dengan tekstur. Tekstur yang penata maksudkan dalam garapan Pendro II adalah bahasa musikalitas yang terbentuk dari konsep Mayatupatus. Mayatupatus adalah angka-angka yang tertera dalam Pengider Bhuwana sebuah lontar gamelan Bali yang sudah dialihbahasakan oleh I Made Bandem. Ma= lima (5), Ya= sanga (9), Tu= pitu (7), Pa= papat (4), Tus = kutus (8). Angka-angka 59748 inilah yang menjadi roh garapan Pendro II. Untuk penotasian, kami buat dengan sistem notasi yang telah biasa dipergunakan dalam sistem penotasian di Bali, yaitu menggunakan simbol penganggen aksara Bali. Notasi Bali (ding-dong) pelog tujuh nada disejajarkan dengan Notasi Kepatihan (Jawa/Surakarta) dan Notasi Diatonis seperti dalam tabel berikut. Pada gamelan Pendro, hanya terdapat empat nada yaitu nada 4 (dong), 5 (deng), 7 (dung), dan 1 (dang). Perlu disampaikan di sini bahwa laras dalam gamelan Pendro terdiri dari laras pelog (dung dan dang) dan slendro (dong dan deng) yang terbagi dalam empat nada. Kata Kunci: Pendro, Bentuk dan Struktur, Tekstur
1
I. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Bagi orang yang dijuluki pangerawit (sesorang yang hidupnya mengabdi dalam dunia gamelan), sebutan istilah pelog dan slendro tidak asing lagi, ini merupakan “makanan” bagi pangerawit di dalam kiblatnya berkesenian. Seorang seniman terutama yang memiliki latar belakang karawitan, atau dikategorikan sebagai composer/komponis, penggarap, peñata, dan Pembina/pelatih, di mana di dalam berkreativitas selalu memerlukan alat/instrument baik yang berlaras pelog maupun berlaras slendro yang dipakai sebagai media ungkap. Tidak menutup kemungkinan dia (komponis), memerlukan alat/instrument di luar dari kedua laras tersebut di atas. Artinya, di sini seorang komponis ada semacam kebebasan menentukan atau memilih alat/instrument yang digunakan untuk mengungkapkan karyanya. Berdasarkan pengalaman penata, baik sebagai praktisi maupun sebagai composer, tidak pernah terlepas dari pemakaian gamelan yang berlaras pelog dan atau slendro. Ini membuktikan bahwa apa yang telah diwariskan oleh pendahulu kita patut disyukuri, dipelihara dan dikembangkan terus-menerus sesuai dengan bidang ilmu yang dimiliki. Sebagai praktisi, sering terlibat dalam kegiatan pagelaran baik yang bersifat daerah, nasional, maupun bersifat internasional dengan melibatkan gamelan pelog dan slendro. Demikian pula halnya sebagai penata beberapa karya yang telah dibuat baik yang bertaraf daerah, nasional, dan international. Lain dari pada itu, sebelum dan sesudahnya, karya semacam ini pernah dikerjakan, hanya saja jumlah barungan gamelan yang dibatasi hingga dua sampai tiga barung gamelan. Namun, apa yang terjadi, masih tetap belum dapat menghasilkan sesuatu yang baru, dan masih pula mencerminkan karakteristik dari masing-masing gamelan itu sendiri. Dari pengalaman inilah, hati penata terketuk ingin mengawinkan dua perangkat gamelan yang memiliki laras pelog dengan gamelan yang memiliki laras slendro. Mungkinkah hal ini bisa dilaksanakan? Pertanyaan ini selalu menjadi beban dalam kehidupan penata. Kenyataan di lapangan memang demikian adanya, gamelan Bali secara umum yang memiliki laras pelog dan slendro. Masing-masing barungan berdiri sendiri, memiliki peranan atau fungsi sendiri-sendiri, realitasnya belum atau tidak bisa digabungkan. Namun, keinginan penata terus menggebu untuk mewujudkan sebuah karya seni musik dari hasil penggabungan dua laras gamelan yang berbeda. Keinginan ini dapat diperkuat ketika penata membaca buku Prakempa Sebuah Lontar Gamelan Bali, yang sudah dialih bahasakan oleh I Made Bandem. Di dalam buku tersebut, ada suatu pernyataan yang menyebutkan bahwa, ”kalau gamelan pelog dan slendro digabungkan akan membuat hati yang mendengarnya menjadi tersentuh.” Pernyataan ini, kemudian penata coba merealisasikannya ke dalam sebuah bentuk komposisi musik. Hasil dari perkawinan ini diharapkan dapat menghasilkan laras dan genre (gaya) baru dalam dunia seni pertunjukan (terutama dunia musik/ karawitan).
2
Di sini, penata sama sekali tidak bermaksud meremehkan hasil kerja dari rekan-rekan komposer, bahkan penata dapat gunakan sebagai acuan untuk bisa lebih digarap untuk memenuhi harapan kita bersama. Hal senada, penata juga tidak punya maksud untuk menyombongkan diri dari hasil kerja yang penata kerjakan, justru, penata bisa memperkaya perbendaharaan seni karawitan Bali. Jadi apa yang penata temukan ini betul-betul merupakan hasil temuan penata sendiri, dengan membuat laras baru dari hasil penggabungan dua jenis gamelan yang memiliki laras pelog dan slendro. Perbedaan dengan karya sebelumnya, penggunaan kedua gamelan sebatas pada pemanfaatan laras yang berbeda, secara maksimal tetap mempertahankan karakteristik dari masingmasing laras gamelan tersebut. Misalnya, permainan pada gamelan yang berlaras pelog awalnya, kemudian berubah suasana beralih ke gamelan yang berlaras slendro. Teknis permainannya dilakukan dengan berhenti bermain di gamelan yang berlaras pelog berpindah ke gamelan yang berlaras slendro. Formasi/ penempatan gamelan ditaruh satu di depan pemain dan satu lagi ditaruh di sebelah kanan atau kiri pemain/penabuh. Inilah yang penata maksud bahwa karya-karya sebelumnya mempertunjukkan karakteristik (pelog dan slendro) dari masing-masing gamelan itu dengan jelas masih dapat dikenali. Pada karya Pendro I, penata menampilkan kedua laras secara bersamaan, sehingga tidak bisa dikenali lagi mana gamelan yang berlaras pelog dan mana gamelan yang berlaras slendro. Kedua laras lebur menjadi satu kesatuan garap dalam tatanan laras baru, yang muncul dari paduan laras tersebut melalui garapan karawitan. Pada temuan ini, penata membuat gamelan yang memiliki laras paduan antara laras pelog dan slendro menjadi satu ricikan atau Tungguh. 1.2 Ide Berangkat dari sinilah penata ingin terus mengembangkan hasil temuan ini, dan terus bekerja…….bekerja……tanpa pernah berhenti berfikir, untuk mencapai tujuan yang penata inginkan melalui kerativitas seni. Demikian halnya dengan “Pendro I” adalah merupakan hasil karya seni dengan menggabungkan beberapa jenis instrument dari gamelan gong kebyar dan gamelan angklung. “Pendro I” adalah singkatan dari pelog slendro. Istilah ini penata buat dengan maksud ingin menggabungkan kedua kutub yang berbeda menjadi satu kesatuan garap. Keinginan ini muncul dilandasi beberapa alasan yang sangat mendasar yaitu: pertama, adalah untuk menjawab pernyataan yang ditulis dalam lontar prakempa bahwa, di sana disebutkan, jika laras pelog dengan slendro digabungkan akan dapat membuat hati yang mendengarnya tersentuh; kedua, ingin melanjutkan karya sebelumnya sebagai acuan berkarya; ketiga, untuk menemukan jati diri (sikap individual) dalam berkesenian; keempat, untuk memacu kreativitas diri. Keempat alasan di atas, penata dapat sikapi dengan cara belajar sambil berbuat (learning by doing), sehingga apa yang telah dikerjakan sebelumnya dapat dipakai sebagai acuan untuk berbuat selanjutnya ke arah yang lebih inovatif, seiring dengan era globalisasi. jadi, apa yang penata kerjakan lewat karya seni pertunjukan musik/ karawitan dengan penggabungan dua laras gamelan yang berbeda (pelog-slendro) adalah murni hasil karya sendiri. Hasil temuan ini penata ingin terus mengembangkannya melalui kreativitas seni yang selanjutnya disebut Pendro II.
3
1.3 Gagasan Pendro II, akan difokuskan pada penggarapan hasil perpaduan kedua laras tersebut, akan di inovasi sedimikian rupa agar tidak terkesan hanya pengulangan karya sebelumnya (Pendro I). Dari hasil inovasi “Pendro I” telah mengilhami penata untuk menciptakan gamelan baru, gamelan yang penata buat adalah penggabungan kedua laras dalam satu tungguh (rancak). Pada kesempatan ini gamelan hasil dari penggabungan dipergunakan untuk kebutuhan komposisi “Pendro II” mencakup kompositoris, bentuk dan struktur, nilai estetis musikalitas dan makna budaya. Jadi, perbedaan yang sangat signifikan dari karya “Pendro I” dengan “Pendro II” terletak pada penggunaan instrumen. Pada Pendro I penggunaan kedua gamelan yang berbeda laras dalam sajiannya dilaksanakan secara terpadu. Sedangkan pada Pendro II digunakan hanya satu jenis gamelan dari hasil penggabungan (inovasi penata) yang disebut gamelan “pendro” 4 (empat) nada. Di sisi lain, mengenai kompositoris, bentuk dan struktur gending, ritme dan unsur-unsur musik lainnya pada karya Pendro II boleh dikatakan masih mendapat pengaruh dari karya Pendro I. Namun, estetis musikalitas agak berbeda dari Pendro I. Hal ini disebabkan karena pendro ii yang disajikan dengan gamelan Pendro 4 nada telah menghasilkan karakteristik baru dari gamelan yang ada di bali. Gamelan Pendro 4 nada yang tercipta di mana susunan nada-nada yang dipasang di atas tungguhan resonator 1 dan 2 laras slendro gamelan angklung dipertahankan, sedangkan di atas tungguhan resonator 3 dan 4 dipasang bilah gamelan yang sudah merupakan modifikasi dari pertemuan bilah gamelan yang berlaras pelog dengan gamelan berlaras slendro. II. Tinjauan Pustaka/Karya Terwujudnya sebuah komposisi musik/karawitan sudah tentu tidak terlepas dari sumber-sumber informasi yang dapat dijadikan acuan dalam berkarya. Maka dari itu sebuah kajian sumber akan sangat penting diperlukan dalam mewujudkan sebuah bentuk kekaryaan. Sumber-sumber tersebut dapat berupa sumber pustaka, rekaman audio maupun visual, serta data-data informasi lisan yang dapat diperoleh melalui narasumber. Adapun sumber-sumber yang digunakan sebagai tinjauan pustaka dalam garapan ini diantaranya: 2.1 Sumber Pustaka Musik Kontemporer dan Persoalan Interkultural. Dieter Mack. Bandung : Arti. 2004. Buku ini merupakan sebuah kumpulan esai yang secara kritis menyoroti masalah musik kontemporer dan persoalan intercultural di Indonesia. Buku ini banyak memberikan gambaran kepada penata mengenai bentuk-bentuk musik kontemporer. Corat-Coret Musik Kontemporer Dulu dan Kini. Suka Hardjana. Jakarta: Ford Foundation dan Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. 2003. Buku ini banyak memberikan informasi tentang musik kontemporerdan perkembangannya, dari buku ini penata mendapat masukan-masukan tentang masalah-masalah musik kontemporer dari dulu hingga kini.
4
“Prinsip Kekaryaan dan Model Penuangan Karya Komponis Musik Kontemporer di Surakarta”. Meizal Agung Setiawan Purnomo. Sebuah Skripsi. 2003. Skripsi ini merupakan sebuah hasil penelitian mengenai perkembangan musik kontemporer dari tahun 1970-an sampai decade 1990-an, yang mana titik focus penelitian ini diarahkan kepada metode dan model penuangan musik kontemporer. Skripsi ini banyak membantu penata dalam memahami bentukbentuk musik kontemporer, guna untuk dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam mewujudkan karya yang akan dibuat. Sejarah Musik Jilid 4. Dieter Mack. Yogyakarta : Pusat Musik Liturgi. 1995. Buku ini merupakan sebuah buku yang banyak memaparkan secara umum tentang perkembangan musik di Indonesia setelah tahun 1945, dan tentang karyakarya kontemporer terutama dari para komponis Bali. Dari pengetahuan yang didapat dari buku ini, memberikan bahan pertimbangan serta masukan di dalam penata menggarap karya seni musik kontemporer. Ilmu Bentuk Musik. Karl-Edmund Prier SJ. Yogyakarta : Pusat Musik Liturgi. 1996. Buku ini merupakan sebuah buku yang banyak memberikan pengetahuan mengenai bentuk-bentuk musik. Buku ini sangat bermanfaat bagi penata, karena banyak memberikan pertimbangan di dalam penata menyusun sebuah komposisi musik, terutama pada masalah bentuk dan struktur musik. Pengantar Komposisi dan Aransemen. Pra Budidharma. Jakarta: Elek Media Komputindo. 2001. Ini merupakan sebuah buku teori musik. Di dalamnya membahas bagaimana cara-cara dalam menyusun sebuah bentuk komposisi dan bagaimana cara mengaransemennya. Buku ini banyak memberikan masukan kepada penata dalam menggarap karya ini.
2.2 Sumber Discografi Rekaman CD “Pendro I” karya I Made Arnawa (2004). “Clapping Music” (1972) dan “Tehilim” (1979) karya Steve Reich. Dari rekaman CD ini penata mendapat masukan mengenai teknik-teknik pengolahan ritme, matra, bentuk dan struktur yang ditransformasikan ke dalam media yang berbeda. III. Landasan Teori/Pemikiran Agus Sachari, memberikan beberapa pengertian estetika dan lingkupnya dapat dicermati sebagai berikut : 1. estetika adalah segala sesuatu dan kajian terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan seni (Kattsoff, Element of filosophy, 1953). 2. estetika merupakan suatu telaahan yang berkaitan dengan penciptaan, apresiasi, dan kritik terhadap karya seni dalam konteks keterkaitan seni dengan kegiatan manusia dan peranan seni dalam perubahan dunia (Van Master Ames, Colliers Encyclopedia, Vol. I). 3. estetika merupakan akjian filsafat keindahan dan juga keburukan (Jerome Stolnitz, Encyclopedia of filosophy, vol. I). 4. estetika adalah suatu ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang bekaitan dengan keindahan, mempelajari semua aspek yang disebut keindahan (A.A.M. Djelantik, Estetika Suatu Pengantar, 1999).
5
5. estetika adalah segala hal yang berhubungan dengan sifat dasar nilai-nilai nonmoral suatu karya seni (William Haverson, Estetika Terapan, 1989). 6. estetika merupakan cabang filsafat yang berkaitan dengan proses penciptaan karya estetis (John Hosper, Estetika Terapan, 1989). 7. estetika adalah filsafat yang membahas esensi dari totalitas kehidupan estetik dan artistik yang sejalan dengan zaman (Agus Sachari, Estetika Terapan, 1989). 8. estetika mempersoalkan hakikat keindahan alam dan karya seni sedangkan seni mempersoalkan hanya karya seni atau benda seni, atau artifak yang disebut seni (Jakob Sumardjo, Filsafat Seni, 2000). Estetika musik ternyata telah dikembangkan pada masa Plato (427 – 347) telah menerapkan estetika sebagai ukuran memandang seni musik, yang diikuti oleh penerusnya antara lain : Aristoteles (384 – 322) dan Aristoxenos (350 – 300), (Karl-Edmund Prier dalam sejarah Musik, I : 1991:39). Dalam pandangan postmodern, karya seni tidak lagi dipandang sebagai karya artistik, tetapi dipandang dari aspek tanda , jejak, dan makna. Dengan demikian kajian-kajian estetika pun menjadi meluas, tidak sebatas pada artifak yang disepakati sebagai suatu karya seni, tetapi pada satu artifak yang mengandung makna. Obyek yang menjadi bagian kajian estetika adalah : 1. Fenomena Alam. 2. Karya seni. 3. Karya desain. 4. Filsafat seni. 5. Proses Kreatif (pengalaman estetis). Sumandiya Hadi, Y. dalam bukunya yang berjudul Seni dalam Ritual Agama, mengungkapkan diantara banyak orang berpendapat “olah seni ingkang sarwa ‘endah’ menika mujudaken ugi keluhuran tumrap kapitadosan dhumateng agami” artinya karya seni yang „indah‟ mewujudkan pula keluhuran terhadap kepercayaan agama. Pengertian ini dipahami karena unsur keindahan seni tidak ada artinya apabila tidak mengandung muatan yang bersifat kebaikan, kebenaran dan juga keluhuran manusia (Sumandiyo Hadi, 2000 : 337). Bagi Soren Kierkegaard ada tiga stadia (tingkatan) hidup yang meliputi : aestetis, etis, dan religious. Pandangan dia terhadap aestetis: orang yang dalam stadium aestetis adalah orang yang berfikir tanpa gerak, ia dapat memikirkan tentang segala sesuatu, akan tetapi ia sendiri ada diluar yang ia pikirkan itu, ia tidak menyelaminya, malahan tidak menyentuhnya. Orang ini berfikir secara abstrak serta memandang hal-hal dalam kemungkinannya pada pandangan bijinya semata-mata. Ia itu orang positivis atau rasionalis. Pandangan orang yang demikian itu hanya terarahkan kepada yang diluar saja (Poedjawijatna, 1980:139). Estetik Posmoderisme, menyatakan pengembaraan estetik ke masa lalu, tampaknya, itulah satu pilihan yang ditawarkan oleh seni posmodern untuk menjawab kebutuhan masyarakat konsumer akan diferensi, penampakan, dan fasion. Untuk itu, beberapa model seni posmodern dapat dikemukakan
6
(Piliang,1998: 303). Pada halaman 306, diungkapkan pula “di dalam estetika perversi, perusakan kode-kode yang ada – berbeda sedikit dengan sueralisme – adalah melalui pembajakan, penyalahgunaan, atau penopengan tanda. Di dalam ruang perversi, dunia seni ditandai oleh objek seolah-olah atau palsu: feminin palsu, seolah-olah klasik, maskulin palsu – objek-objek yang disebut sebagai objek posmodern”. Dalam penciptaan ini, teori estetika sangat diperlukan, baik dari estetis musical tradisi maupun estetis musical kontemporer. Karena dalam garapan ini, meskipun sudah bernuansakan kontemporer masih menggunakan teknik-teknik permainan tradisi. IV. Kontribusi Penciptaan Seni Karya ini diharapkan dapat memacu kreativitas seniman karawitan/musik atau pendukung karawitan/musik. Juga untuk memperkaya perbendaharaan dunia seni pertunjukan Bali khususnya dibidang musik/karawitan. Selain itu, untuk pengembangan potensi dalam rangka aktualisasi diri sebagai salah satu alternatif garapan yang sudah ada. V. Metode Penciptaan/Perancangan Sebuah penciptaan karya seni mutlak diperlukan proses. Penciptaan komposisi musik ini melalui beberapa tahapan penting seperti yang tertuang dalam Buku Creating Through Dance oleh Alma M. Hawkins (1964:19) yang diterjemahkan oleh Y. Sumandyo Hadi, “Mencipta Lewat Tari” disebutkan tiga proses yang dilalui dalam penciptaan tari yaitu Tahap Eksplorasi (penjajagan), Tahap Improvisasi (percobaan) dan Tahap Forming (pembentukan). Meskipun pendapat Alma M. Hawkins mengenai proses penciptaan Tari, namun dapat juga diadopsi dalam proses kreativitas lainnya dalam dunia seni pertunjukan, termasuk dunia musik atau karawitan. Pada kesempatan ini, proses penggarapan musik Pendro II juga menggunakan proses kreatif Hawkins, dalam penerapannya mungkin tidak selalu seperti urutan yang ditawarkan Hawkins, karena eksplorasi selalu muncul pada setiap proses, bahkan dalam kesempatan pementasan akhir pun tidak menutup kemungkinan masih ada bagian yang memerlukan eksplorasi. Dari ketiga proses kreatif Hawkins, yang ditawarkan dengan urutan sebagai berikut. 1) Tahap Ekplorasi Pada tahap ini dilakukan proses pencarian sumber, motif-motif, pengamatan media, serta pemilihan terhadap pendukung garapan. Tahap ini juga dilakukan observasi terhadap aktivitas sebuah upacara odalan. Perenungan konsep, pencatatan notasi dari hasil kontemplasi dan imaginasi, serta ekplorasi terhadap kemungkinan-kemungkinan baru dalam menyiasati unsur-unsur musikalnya. 2) Tahap Percobaan Pada tahap ini dilakukan percobaan-percobaan terhadap motif yang telah dikumpulkan. Juga dilakukan proses identifikasi terhadap beberapa motif yang dihasilkan. Penambahan, pengurangan, pengabungan secara dialektika proses kreatif akan selalu muncul dalam memilih dan memilah motif sesuai dengan keutuhan kebutuhan garapan.
7
3) Tahap Pembentukan Hasil dari proses improvisasi tersebut kemudian dituangkan kepada pendukung garapan. Sebelum menungkan materi proses ini akan diawali dengan upacara newasen yakni upacara memulai pekerjaan dengan memilih dewasa ayu atau hari yang dianggap baik. Kemudian bagian demi bagian dituangkan jika sudah ada pola-pola yang tersusun kemudian direkam melalui pita caset rekaman untuk didengarkan kembali apakah sudah sesuai keinginan atau masih perlu dimantapkan baik secara aspek musikalitas (bentuknya) maupun aspek nuansa (isinya). 5.1 Proses Penciptaan Dari hasil temuan yang didasari dari karya Pendro I, adalah merupakan gamelan baru, yang penata sebut dengan gamelan “Pendro”. Gamelan pendro ini, hasil penggabungan dua laras yang sebelumnya terbagi dalam dua tungguh (rancak), menjadi dalam satu tungguh (rancak). Dari hasil penggabungan ini bukan berarti sekedar menggabungkan dua tungguh tersebut, namun memerlukan berbagai pemikiran dan pertimbangan yang matang untuk memudahkan penabuh dalam menghasilkan suara melodis yang penata tuangkan. Penggunaan gamelan pendro merupakan tantangan tersendiri, karena dari susunan nada-nada dalam gamelan jelas berbeda dengan susunan nada yang telah ada di gamelan tradisi Bali sebelumnya. Pendukung akan memerlukan waktu tersendiri untuk memahami urutan nada tersebut, disamping melakukan materi yang dituangkan oleh penata. 5.2 Data dan material pendukung Penciptaan, Hasil Inovasi dari karya Pendro I, tercipta Gamelan baru yang disebut gamelan Pendro 4 nada. Gamelan ini akan menjadi alat utama dalam proses Penciptaan ”Pendro II”, yang didukung dengan alat-alat Instrumentasi sebagai berikut: 6 tungguh gangsa pemade, 2 tungguh gangsa kantil, 2 tungguh gangsa curing, 2 tungguh jegogan, 1 buah tawa-tawa, 4 pencon reong, 2-4 buah suling, 2 buah kendang kerumpungan, 1 buah kempur. VI. Konsep Garapan Konsep garapan secara ringkas dapat diartikan sebagai rancang bangun dari sebuah garapan yang dibuat. Peranan konsep dalam sebuah garapan sangat membantu dan mempermudah bagi seorang komposer/penata dalam mewujudkan garapan. Secara umum konsep musikal garapan ini adalah mengacu pada konsep musik minimalis. Sedangkan secara substansi konsep garapan ini meliputi konsep garap estetis dan konsep garap musikal. Konsep garap estetis adalah suatu rancangan yang perlu dipikirikan untuk membuat karya seni itu agar lebih indah. Menurut Monroe Beardsley seorang ahli estetika abad ke-20 menyatakan bahwa ada tiga unsur yang menjadi sifat-sifat membuat baik atau indah suatu karya seni yang diciptakan oleh seniman. Ketiga unsur tersebut adalah: kesatuan (unity), kerumitan (compleksity), kesungguhan (intensity). Dalam garapan ini, ketiga unsur di atas penata gunakan sebagai alur pijak untuk membuat garapan ini agar memiliki nilai estetis. Unsur kesatuan (unity) akan diaplikasikan ke dalam bentuk totalitas garapn ini yang terikat dalam satu
8
kesatuan sistem dan tidak dapat dipisah-pisahkan sehingga garapan ini menjadi garapan yang utuh. Unsur kerumitan (compleksity) akan diaplikasikan dalam bentuk ragam teknik permainan instrumen serta pengolahan ritme, tempo dan dinamika. Unsur intensitas penata garap dengan memberikan penonjolan pada bagian-bagian tertentu dari komposisi ini, sehingga mampu membuat suatu kejutan-kejutan guna memberikan bobot pada garapan ini. Selanjutnya, konsep garap musikal adalah rancang bangun yang disusun untuk membuat garapan agar benar-benar utuh menjadi sebuah karya musik/ karawitan. Konsep musikal garapan ini meliputi: 6.1 Instrumentasi Penentuan instrumen untuk mewujudkan garapan musik ini menggunakan gamelan Pendro 4 nada hasil inovasi dari penggabungan gamelan gong kebyar pelog 5 nada dengan gamelan angklung slendro 4 nada. Adapun instrumen gamelan Pendro 4 nada ini terdiri dari: 6 tungguh gangsa pemade, 2 tungguh gangsa kantil, 2 tungguh gangsa curing, 2 tungguh jegogan, 4 pencon reong, sepasang kendang krumpungan lanang-wadon, sebuah kempur, sebuah tawatawa, satu pangkon cengceng ricik, dan 2-4 buah suling. 6.2 Gaya Gaya/aliran yang merasuki garapan ini adalah gaya/aliran ke-kebyar-an yang baru (kontemporer) dan juga memasukan gaya atau unsur dari aliran minimal music seperti “Clapping Music” (1972) atau “Tehilim” (1979) karya Steve Reich. 6.3 Bentuk, Struktur dan Tekstur a. Bentuk Bentuk karya yang disajikan pada garapan ini, tidak mengacu pada bentuk karya yang biasanya digunakan di Bali secara umum seperti, bentuk Lelambatan, dan bentuk Kreasi Baru. Bentuk Lelambatan memiliki ciri sebagai berikut: 1) Ukuran gending/lagu umumnya panjang, 2) Suasana lagu umumnya tenang, khidmat, agung, suci, 3) Sistem permainan didominasi oleh sistem kekenyongan/ keklenyongan, 4) Sifat gending umumnya metris, dan 5) Ikatan komposisi dalam pola yang ketat. Sedangkan bentuk Kreasi Baru memiliki ciri sebagai berikut: 1) Ukuran gending/lagu umumnya tanggung, 2) Suasana lagu umunya gelisah, sibuk, cermat, dan semangat, 3) Sistem permainan didominasi oleh sistem ubitubitan dan bentuk-bentuk angsel, 4) Sifat gending umumnya ritmis, 5) Ikatan komposisi pada umunya kurang ketat. Istilah “kreasi baru” diciptakan pada akhir tahun 1960-an, ketika kompetisi Gamelan Gong Kebyar menjadi suatu kebiasaan di Bali yang sangat penting. Sampai hari ini kompetisi-kompetisi seperti itu diselenggarakan berkaitan dengan “Pesta Kesenian Bali”, yaitu setiap tahun di tingkat propinsi. Untuk mencapai ke tingkat propinsi, biasanya diadakan kompetisi-kompotisi yang diselenggarakan pada tingkat kabupaten. Kompetisi gong kebyar ini merupakan salah satu kegiatan di Bali yang senantiasa mendorong kreativiatas para komponis dan kemajuan praktik para pemain sampai ke desa-desa terpencil.
9
Model “kreasi baru” yang menjadi acuan utama dalam rangka kompetisi ini sampai hari ini, sebenarnya lahir berhubungan dengan tokoh karya gong kebyar I Wayan Beratha. Seluruh perkembangan musik gong kebyar pada tahun 1960-an dan 1970-an tidak bisa dilihat lepas dari pengaruh dan peran tokoh seni Bali ini. Karya-karyanya yang diciptakan pada waktu itu kemudian diangkat menjadi model dasar untuk komponis lain, walaupun sudah jelas bahwa tidak lama kemudian ada bahayanya bahwa semua komposisi baru terlalu berbau ala “Wayan Beratha”. Walaupun demikian, justru model dari I Wayan Beratha atau yang dianggap sebagai modelnya dirumuskan menjadi pola dasar yang kemudian disebut “kreasi baru”. Dengan melihat paparan di atas di mana ciptaan para komponis hanya mengikuti model I Wayan Beratha. Tetapi, sebaliknya penata justru tidak mengikuti model Beratha. Penata mencoba membuat bentuk sesuai dengan keinginan penata sendiri. Penata mencoba bereksperimen melalui kata hati. Penata ingin agak menjauh dari bentuk yang sudah ada. Dengan harapan, akan muncul bentuk hal yang baru dalam dunia karawitan Bali. Kalau seandainya penata tetap memakai bentuk yang sudah ada, penata merasa akan tidak ada kemajuan di dalam berkarya seni. Bahkan, merasa terkungkung. Penata ingin bebas. Bebas dalam artian tetap memakai unsur-unsur musik dalam berkesenian. b. Struktur Struktur yang digunakan dalam tabuh pategak yang tergolong Lelambatan dapat diuraikan seperti: kawitan, pengawak, dan pengecet. Demikian halnya juga tabuh pategak yang tergolong Kreasi Baru yang strukturnya disebutkan seperti: gineman, genderan, ocak-ocakan, dan pakaad. Namun, dalam garapan Pendro II ini penata keluar dari kedua peristilahan tersebut. Dengan tujuan untuk mencari alternatif dalam membuat karya seni. Kawitan adalah merupakan suatu pembukaan pendek, biasanya dimainkan secara tunggal dengan alat melodi utama, yaitu terompong dalam Gamelan Gong Gede atau gender dalam Gamelan Pelegongan yang berdasarkan nada-nada akhir pengawak itu sendiri. Pangawak merupakan bagian pertama dalam repertoar lelambatan (Gamelan Gong). Umumnya bagian ini merupakan yang paling panjang dalam karya-karya tradisional, dan bagian ini menentukan jenis tabuh, yaitu struktur gongan yang melandasinya. Secara estetis pengawak merupakan bagian yang paling statis dan abstrak, tetapi dengan napas panjang sebagai ekspresi halus dan agung. Pangecet biasanya merupakan bagian kedua pada satu komposisi gamelan tradisional. Dibandingkan dengan pangawak, pangecet umumnya lebih cepat dan lebih teratur, dilihat dari sisi bentuk. Gineman merupakan nama khusus untuk bagian awal suatu komposisi kreasi baru. Ciri khasnya adalah susunan frase-frase pendek yang sangat berkontras. Genderan merupakan bagian kedua dalam kreasi baru. Disebut genderan karena kebanyakan meminjam gending-gending dan elemen-elemen lain dari repertoar gender wayang. Selain repertoar gender wayang para komponis juga
10
sudah memulai meminjam/memntransfer dari genre lain seperti misalnya Gamelan Angklung dan Gandrung. Dan ada juga komponis yang suka menciptakan gending dan kotekan {perpaduan permainan antara polos (on beat) dan sangsih (off beat)} yang baru sepenuhnya. Ocak-ocakan adalah gending ostinato berdasarkan dengan 4, 8, atau 16 ketukan dalam tempo cepat dan beberapa masukan, berdasarkan instrumentasi yang berbeda. Biasanya ada bagian dengan gangsa (instrumen bilah), bagian dengan kendang/cengceng dan bagian dengan reong (instrumen penclon), di mana sering terdapat kombinasi antara kendang/cengceng dengan reong. Pakaad merupakan bagian keempat dalam komposisi kreasi baru. Atau dapat dikatakan pula bagian akhir dari rangkaian kreasi baru. Gaya melodis yang dimainkan pada bagian ini sedikit ”ngepop” hampir mengundang kita ”ikut menyanyi”. c. Tekstur Tekstur yang penata maksudkan dalam garapan Pendro II ini adalah bahasa musikalitas yang terbentuk dari konsep Mayatupatus. Apa yang dimaksud dengan mayatupatus? Mayatupatus adalah angka-angka yang tertera dalam Pengider Bhuwana sebuah lontar gamelan Bali yang sudah dialihbahasakan oleh I Made Bandem. Ma= lima (5), Ya= sanga (9), Tu= pitu (7), Pa= papat (4), Tus = kutus (8). Angka-angka 59748 inilah yang akan menjadi roh garapan Pendro II. VII. Wujud Garapan (Notasi Gending) Pembukaan oleh instrument gangsa (unisono) 1 7 1 5 1 7 1 5 1 .1 75 4 5 4 5 4 5 4 571 1 7 1 1 7 1 4 5 4 7 .1 .4 5 4 7 4 74 .1 75 4 5 4 5 4 5 4 57 1 1 1 1 1 1 1 1 115 5 5 5 5 5 5 5 5 5 7 7 77 7 77 7 7 7 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 (4) setelah gong jegogan
1 7 5 7 (4) disajikan terus mengalir // . . . . . . // 3X
gangsa pertama 17 17 5 71 71 7 45 45 41 71 75 75 17 17 54 .1 71 75 .7 17 17 .4 54 54 17 17 57 51 71 75 4 . . . (.) Tempo berubah pelan dipegang oleh jegogan . 1 . 7 . 5 . 7 . (4) . 1 . 7 . 5 . 7 . (4) . 1 . 7 . 5 . 7 . (4) suling masuk 5 7 4 5 7 1 7 (5) . 4 5 . 7 5 . 4 . 5 . 7 1 7 1 . 7 1 . 7 1 . . . . 45 7 17175 (4) reong masuk (4)4 54 75 44 54 75 44
11
44 44 4 55 55 55 5 77 17 45 77 17 45 7 . 5 45 .45 4 54 . 54 5 45 . 45 4 .5 4 .454 .454 .454 .454 .4 54 . 4 54 .4 54 padeout . 1 . 7 . 5 . 7 . (4) (melodi Jegogan) padeout gangsa (7) 4 7 4 7 4 . . 7 4 7 4 7 17 4 5 1 5 1 4 5 1 4 5 1 45 7 1 . 7 . 5 4 Peralihan gangsa 4 54 .5 4 5 5 4 54 .5 4 5 5 15 71 .5 71 .5 75 44 54 75 44 54 75 45 74 .4 57 54 .4 5 7 4 7 4 7 4 . . 7 4 7 4 7 17 4 5 1 5 1 4 5 1 4 5 1 45 7 1 . 7 . 4 suling masuk 44 44 44 44 44 44 .4 57 1 . 5 . 1 . 7 . 5 . 1 . 7 . 5 . 4 5 4 5 . 4 7 5 4 . 1 7 1 4 5 7 5 . 1 . 7 . 5 . 7 . 4 . 7 . 5 . 4 . 4 . 5 . 7 . 5 1 . 1 . 4 5 1 . 4 5 1 . 5 7 5 4 gending adeng 45 71 71 75 45 71 71 75 4 57 11 . 1 .7 .5 74 57 17 54 54 57 17 54 57 17 54 57 1 45 77 .7 .4 .5 .7 45 7 4 7 4 7 4 . . 7 4 7 4 7 17 4 5 1 5 1 4 5 1 4 5 1 45 7 1 . 7 . 5 4 2x Transisi 45 45 45 45 4 vokal abang wetan kedise umung mirib rasa mananginin crukcak lawan ijing gerakgak tadah arsa ngasih-asih mirib manabdabin gurit semut-semut api dija lakun mulih tembok bolong saling atat saling pentil katipat nasi pasil bene dongkang kipa enjok-enjok cunguh besil gangsa/jegogan . . 51 5 . 4 57 1 . 54 54 57 1 . 5 1 5 . 1 57 (4) 5 x (melodi ini dibarengi dengan vocal di atas) Transisi . 54 5 5
(4) 54 4 54 . 54 5 5
1 57 1 .5 71 .5 75 (4)
12
penutup 1 7
5
7
(4) ( jegogan)
17
.5
.7
.5
(4) (gangsa pemade)
11
77
55
77
55
11
77
55
77
(4)4 (curing)
45 1
.4 .5 4 71 7
(4)4
(gangsa kantil)
45 .4 .5 (4) (REONG POLOS)
17 1 71 7
(1) 7 (REONG SANGSIH)
Gending bagian penutup ini dimainkan secara berulang-ulang sehingga terbentuk kontrapung dan diselesaikan dengan teknik padeout DAFTAR PUSTAKA Achmadi, Asmoro. 2001 Filsafat Umum, Jakarta: Raja Grafindo Persada. Bandem. I Made. 1990. Prakempa Sebuah Lontar Gamelan Bali. STSI: Denpasar Bakker S.J. J.W.M. 1984 Filsafat kebudayaan : sebuah pengantar, Yogyakarta: Kanisius Budidharma, Pra. 2001. Pengantar Komposisi dan Aransemen. Jakarta: Elek Media Komputindo. Foucault, Michel. 2002c. Pengetahuan dan Metode (Aesthtics, method, and epistemology Esential Work of Foucault). (penerjemah Arief). Yogyakarta: Jalasutra. Gie, The Liang, 1997. Filsafat Keindahan, Yogyakarta: PUBIB. Hadi, Y. Sumandiya 2000 Seni Dalam Ritual Agama, Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia Hardjana, Suka. 2003. Corat-Coret Musik Kontemporer Dulu dan Kini. Jakarta: Ford Foundation dan Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. Hawkins, Alma M. 1964. Creating Through Dance. diterjemahkan oleh Y. Sumandyo Hadi, “Mencipta Lewat Tari” Mack, Dieter. 1995. Sejarah Musik Jilid 4. Yogyakarta : Pusat Musik Liturgi. ---------------- 2004. Musik Kontemporer dan Persoalan Interkultural. Bandung : Arti. Piliang, Yasraf Amir. 1998 Sebuah Dunia Yang Dilipat, Bandung:Mizan Pustaka. -------------------------, 2003a. Hipersemiotika Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna.Yogyakarta: Jalasutera. Poedjawijatna, 1980 Pembimbing ke aras Alam Filsafat, Jakarta:Pembangunan. Prier, Karl-Edmund, 1991 Sejarah Musik I, Yogyakarta:Pusat Musik Liturgi -----------------, 1996. Ilmu Bentuk Musik. Yogyakarta : Pusat Musik Liturgi. Purnomo, Meizal Agung Setiawan. 2003. “Prinsip Kekaryaan dan Model Penuangan Karya Komponis Musik Kontemporer di Surakarta”. Surakarta: STSI Sachari, Agus. 2002. Estetika Makna, Simbol dan Daya. Bandung. Penerbit ITB. ----------------- 2003 Estetika: makna, simbol dan daya. Bandung:ITB
13
DARTAR DISCOGRAFI “Clapping Music” karya Steve Reich (1972). “Tehilim” karya Steve Reich (1979). “Pendro I” karya I Made Arnawa (2004). NAMA PENABUH: I Made Arnawa, I Nyoman Arsana, I Wayan Ardika, I Putu Artana, I Made Eka Arta, I Made Lana Bari, I Wayan Kertayasa, I Ketut Sumandra, I Made Martana, I Nengah Mulyadi, I Nyoman Sumawi, I Made Sukarta Wijaya, I Nyoman Suriadi, I Komang Juliarta, I Wayan Salin, I Nyoman Widnyana, I Nyoman Winata, I Made Tantra, I Wayan Wijaya, I Nyoman Wirka, Ni Nyoman Sutiari, I Made Novi Anta, I Wayan Mudiara, dan I Nengah Sudartana Lampiran Photo Kegiatan Photo 1 Proses Latihan
Photo dokumen Arnawa tanggal 3 Juni 2009, pengambil Photo Emiko Dalam kegiatan penuangan karya Pendro II
14
Photo 2 Proses Latihan
Photo dokumen Arnawa tanggal 3 Juni 2009, pengambil Photo Emiko Dalam kegiatan penuangan bagian vokal karya Pendro II Photo 3 Pementasan karya Pendro II
Photo dokumen Arnawa tanggal 30 Juni 2009, pengambil Photo Emiko Dalam kegiatan pementasan karya Pendro II
15
Photo 4 Pementasan karya Pendro II
Photo dokumen Arnawa tanggal 30 Juni 2009, pengambil Photo Emiko Dalam kegiatan pementasan karya Pendro II Photo 5 Sekaa Gong Taruna Mekar
Photo dokumen Arnawa tanggal 30 Juni 2009, pengambil Photo Emiko Dalam kegiatan persiapan pementasan karya Pendro II
16
Photo 6 I Made Arnawa
Photo dokumen Arnawa tanggal 28 Desember 2009, pengambil Photo Tri Haryanto Dalam kegiatan penyusunan karya Pendro II Photo 7 Tri Haryanto
Photo dokumen Arnawa tanggal 28 Desember 2009, dalam kegiatan penyusunan karya Pendro II
17