GAMELAN GAMBANG DALAM RITUAL KEAGAMAAN UMAT HINDU DI KOTA DENPASAR Oleh: I Gede Yudarta, SSKar., M.Si. (Ketua) I Nyoman Pasek, SSKar ., M.Si(Anggota)
PENDAHULUAN I. Latar Belakang dan Masalah Derasnya pengaruh modernisasi dan globalisasi dewasa ini mengancam keberadaan dan sendi-sendi kearifan lokal yang telah mengakar dalam tradisi dan budaya masyarakat Bali. Selama ini kearifan lokal masyarakat Bali diyakini memiliki nilai-nilai yang penting dalam menjaga kelangsungan tradisi dan budaya masyarakat Bali. Seiring dengan kemajuan dan perkembangan masyarakat di era modern, terjadi transformasi kehidupan masyarakat dari masyarakat tradisional menuju masyarakat modern, yang mana hal ini menyebabkan terjadinya penyusutan dalam memahami serta penerapan nilai-nilai kearifan tersebut dalam kehidupan masyarakat. Orientasi menuju kehidupan masyarakat modern mendominasi prilaku setiap individu sehingga nilai-nilai kearifan yang sebelumnya kental dalam sikap dan prilakunya mulai ditinggalkan karena dianggap tidak sesuai dengan gaya hidup modern. Perubahan masyarakat seperti ini sangat sulit untuk dihindari karena sebagaimana dikatakan Huntington, dalam tahapan menuju masyarakat modern, modernisasi sebagai sebuah proses transformasi, dalam mencapai status modern, struktur dan nilai-nilai tradisional secara total harus diganti dengan seperangkat struktur dan nilai-nilai modern. Apa yang dikatakan sebagai tradisional tidak memiliki peran yang berarti dan bahkan dalam banyak hal tidak berguna sama sekali dan karena itu harus diganti (dalam Suwarsono, 1994:23). Demikian pula halnya dengan arus globalisasi yang semakin mendesak merambah sendi-sendi kehidupan masyarakat. Dampak negatif dari adanya perubahan ini memberikan dampak yang kurang baik terhadap nilai-nilai kearifan yang sebelumnya sangat mengakar di masyarakat. Proses modernisasi di era global, dalam kondisi masyarakat seperti sekarang ini upaya mempertahankan nilai-nilai kearifan tradisional menjadi sebuah tantangan bagi kelestarian kebudayaan Bali karena dampak era globalisasi tidak akan dapat dihindari dalam kehidupan masyarakat. Sebagaimana dikatakan Titib (dalam Triguna, 2007:171), globalisasi ditandai dengan hilangnya batas-batas negara atau budaya suatu bangsa. Dalam situasi seperti ini budaya barat yang sekuler dan modern akan mudah diserap oleh bangsa-bangsa di Timur yang sedang berkembang menuju tahapan modernisasi. Bila tidak memiliki sistem proteksi dan kendali budaya yang baik, ditenggarai akan menghancurkan budaya dan peradaban bangsa-bangsa di Timur dimana sentuhan budaya global menyebabkan terjadinya ketidak seimbangan atau kehilangan orientasi (disorientasi) dan dislokasi hampir di setiap aspek kehidupan. Masyarakat cenderung bersifat sekuler dan komersil karena uang dijadikan sebagai tolok ukur kehidupan.
1
Untuk mengantisipasi dampak negatif dari proses modernisasi dan pengaruh budaya global terhadap kelestarian seni budaya dan kebudayaan masyarakat pada umumnya, diperlukan adanya bentuk pertahanan budaya yang kuat dan kokoh sehingga kebudayaan sebagai jati diri bangsa dapat dipertahankan dalam kehidupan masyarakat modern. Rekonstruksi dan penggalian nilai-nilai budaya pada kesenian Gambang terkait dengan fungsinya dalam ritual keagamaan khususnya bagi umat Hindu di Kota Denpasar sangat penting untuk dilaksanakan karena semakin menurunnya pemahaman terhadap fungsi kesenian dalam konteks upacara keagamaan. Sebagian masyarakat beranggapan bahwa seni atau kesenian hanya dianggap sebagai bagian pelengkap dari sebuah ritual keagamaan, padahal kalau dicermati secara lebih mendalam sebuah kesenian memiliki nilai yang sangat penting, yakni nilai religius, nilai yang mampu menciptakan suasana hati, fikiran dan perasaan umat Hindu dalam keadaan mantap secara psikologis, sehingga memungkinkan untuk melaksanakan prosesi ritual secara sempurna (Donder, 2005:14-15). Memperhatikan uraian di atas bahwa keberadaan gamelan dalam pelaksanaan ritual keagamaan (Hindu) memiliki nilai yang sangat tinggi. Repertoar-repertoar yang disajikan melalui gamelan Gambang dapat mempengaruhi dan mempersatukan fikiran orang-orang yang hadir kepada sebuah suasana yang magis-religius. Pemanfaatan gamelan Gambang dalam pelaksanaan upacara keagamaan (Dewa Yadnya dan Pitra Yadnya), hal ini menandakan bahwa reperpoar-repertoar yang dimainkan memiliki nilai ekstrinsik yaitu sifat baik atau bernilai dalam dirinya atau sebagai suatu tujuan ataupun demi kepentingan sendiri dari benda yang bersangkutan. Sering juga disebut dengan consumatory value, yakni nilai yang telah lengkap atau mencapai tujuan yang dikehendaki (Darsono, 2007:9). Sebagai sebuah karya seni di dalam komposisi tersebut tentunya terdapat nilai-nilai keindahan, kebenaran dan kebaikan yang sudah menyatu di dalamnya. Dalam konsep estetika Hindu hal ini dikenal dengan satwam, siwam dan sundaram. Berbeda dengan kajian-kajian yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya, studi ini difokuskan pada kajian tentang eksistensi Gamelan Gambang dan fungsinya sebagai pengiring upacara Dewa dan Pitra Yadnya. Dari beberapa tahun belakangan ini, kesenian Gambang mulai mendapat perhatian dari berbagai pihak baik masyarakat maupun pemerintah. Rekonstruksi yang dilakukan oleh masyarakat Banjar Binoh, Ubung Kaja pada tahun 2004 dan pengadaan empat barung Gamelan Gambang yang dilakukan Pemerintah Kota Denpasar pada tahun 2008 menunjukkan perkembangan yang positif dimana terjadi peningkatan jumlah yang signifikan dan hingga saat ini sudah tercatat dan terdapat 8 barung gamelan Gambang yang keberadaannya tersebut di beberapa wilayah Kota Denpasar. Mencermati berbagai uraian di atas, melalui penelitian ini akan dibahas dua topik permasalahan yaitu, Bagaimanakan eksistensi kesenian Gambang di masyarakat Kota Denpasar ? dan Bagaimanakan fungsi kesenian Gambang dalam aktivitas ritual keagamaan masyarakat Hindu di Kota Denpasar ? Jawaban atas rumusan tersebut nantinya diharapkan dapat memberikan pemahaman yang holistik tentang eksistensi gamelan Gambang di Kota Denpasar dan fungsinya dalam ritual upacara Dewa Yadnya dan Pitra Yadnya. Bahwa ada nilai-nilai kearifan yang mesti dilestarikan meskipun modernisasi di era global tidak dapat dihindari. Keharmonisan hendaknya mampu diwujudkan bahwa keberadaan
2
nilai-nilai tradisional semestinya tidak harus dikesampingkan atau ditinggalkan dalam mewujudkan masyarakat yang modern. II. Kesenian Gambang Dalam Kehidupan Masyarakat Kota Denpasar Kota Denpasar sebagai pusatnya Ibu Kota Propinsi Bali memiliki kekayaan kasanah ragam budaya. Di bidang seni musik tradisional (karawitan), di Kota Denpasar terdapat hampir 30-an jenis barungan Gamelan yang tersebar di masyarakat. Dari keseluruhan jenis gamelan tersebut, sebagian besar diantaranya terkait dengan ritual keagamaan yang dilakukan oleh masyarakat Kota Denpasar. Dari berbagai jenis gamelan tersebut, salah satu yang memiliki peran penting dalam ritual keagamaan adalah Gamelan Gambang. Gamelan Gambang merupakan salah satu alat musik tradisional Bali yang tergolong Gamelan Tua. Dalam klasifikasi gamelan, dilihat dari patutannya, kata Gambang dipergunakan sebagai indeks dari gamelan yang berlaras pelog tujuh nada. Sebagaimana dijelaskan oleh Aryasa (1984), sesuai dengan patutannya, gamelan Bali dapat diklasifikasikan dalam tiga kelompok yaitu, gamelan yang memiliki patutan gambang, patutan gender dan patutan gong. Yang tergolong patrutan gambang yaitu gamelan-gamelan yang berlaras pelog tujuh nada, seperti Gamelan Gambang, Selonding, Smar Pagulingan, Gong Luang, gamelan genta pinara pitu hingga yang terbaru yaitu gamelan semaradhana. Dipergunakannya kata Gambang sebagai indeks dari gamelan-gamelan tersebut diperkirakan karena Gamelan Gambang ditafsirkan sebagai salah satu gamelan tertua yang berlaras pelog tujuh nada. Dari sebuah penelitian yang dilaksanakan pada tahun 1984/1985, di Kota Denpasar khususnya terhitung terdapat 4 sekaa Gambang yakni di Banjar Bekul, Penatih; Banjar Tangguntiti, Tonja; Banjar Sebudi di Desa Sumerta Klod dan di SMKI (sekarang sudah pindah di Batubulan, Gianyar). Keberadaan sekaa-sekaa tersebut masih bertahan saat ini kecuali yang di SMKI karena lokasinya sudah pindah ke daerah Batubulan, Gianyar. Populasi tersebut kemudian mengalami peningkatan dimana dari hasil rekonstruksi yang dilakukan oleh masyarakat di daerah Binoh, Ubung Kaja, Denpasar Barat, pada 28 September 2004 berhasil di wujudkan kembali kesenian Gambang di wilayah tersebut, dimana sebelumnya sudah dinyatakan punah. Selanjutnya pada tahun 2008, atas inisiatif pemerintah dan seniman Kota Denpasar melalui Dinas Kebudayaannya diadakan kembali 4 (empat) barung Gamelan Gambang yang nantinya akan disebar ke empat wilayah kecamatan di Kota Denpasar. Dari hasil pendataan tersebut hingga saat ini terhitung terdapat 8 (delapan) barung gamelan Gambang di wilayah Kota Denpasar. III. Bentuk Gamelan Gambang Gambang sebagai salah satu jenis gamelan Bali memiliki kesamaan bentuk satu dengan yang lainnya di seluruh Bali. Secara umum fisik gamelan Gambang terdiri atas pelawah dengan resonatornya dan bilah nada. Pelawah gamelan Gambang terbuat dari kayu nangka dan bilah-bilah nadanya terdiri dari dua bahan yaitu bambu dan kerawang. Bilah instrumen gambang terbuat dari bambu sedangkan instrumen saronnya terbuat dari kerawang.
3
Bentuk pelawah dan lobang resonator Gambang (Doc. Sudiana 09)
Tungguhan Saron dan Lobang Resonator (Dok. Sudiana’2009)
Bilah Saron dan Gambang (Doc. Sudiana’09) Adapun instrumen-instrumen yang terdapat dalam satu barung Gamelan Gambang terdiri dari: dua buah saron yang disebut dengan saron ageng dan saron alit dan empat buah Gambang yaitu pengede, pengenter, penyelat dan pemetit. Diantara kedua instrumen saron di atas memiliki bentuk yang sama namun ukurannya yang berbeda/ demikian pula halnya dengan ke empat instrumen gambang. Dilihat dari bentuknya instrumen tersebut memiliki kesamaan namun ukurannya berbeda satu dengan yang lainnya. Sebagai instrumen perkusif, gamelan Gambang dimainkan dengan mempergunakan sarana yang disebut dengan panggul yaitu panggul saron yang terbuat dari tanduk kerbau dan panggul gambang, dimana setiap instrumen gambang dimainkan dengan mempergunakan sepasang panggul yang bercabang dan dimainkan dengan mempergunakan kedua tangan kiri dan kanan.
4
Panggul Gambang dan Saron (Dok. Sudiana’2009) Gamelan Gambang dimainkan dengan teknik penyajian khusus dimana instrumen-instrumen gambang diletakkan dengan posisi saling berhadapan. Diletakkannya instrumen gambang dengan tata penyajian seperti di atas dikarenakann untuk menghasilkan sebuah konsep kotekan (interlocking) atau jalinan nada, masing-masing instrumen dimainkan dengan motif pukulan yang berbeda sehingga dengan posisi tersebut mempermudah koordinasi antara pemain yang satu dengan pemain lainnya. Untuk jelasnya formasi tata penyajian gamelan dan posisi pemain gambang dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
IV. Laras Gamelan Gambang Laras memiliki pengertian yang sama dengan patutan yaitu urutan nada-nada dalam 1 oktaf. Sebelum diperkenalkannya istilah laras dalam karawitan Bali pada tahun 1960 yaitu sejak berdirinya KOKAR Bali, untuk menunjukkan urutan nadanada yang terdapat dalam gamelan Bali dipergunakan istilah patutan. Seni karawitan Bali apabila dilihat dari sistem larasnya secara umum dapat dikatagorikan dalam dua kelompok yaitu, laras pelog dan laras selendro. Laras pelog yaitu tangga nada yang dalam satu oktaf urutan nada-nadanya memiliki ukuran pendek dan panjang. Adapun pengelompokan gamelan laras pelog apabila dilihat jumlah nadanya adalah pelog empat nada, pelog lima nada, dan pelog tujuh nada. Sedangkan, laras selendro yaitu urutan nada-nada dalam satu oktaf yang memiliki jarak nada yang hampir sama.
5
Nama Instrumen
Pengelompokan gamelan yang berlaras selendro juga dapat dilihat dari jumlah nadanadanya. Ada gamelan yang belaras selendro empat nada, lima nada dan tujuh nada. Sebagaimana telah diuraikan di atas, patutan gambang adalah sebagai penunjuk gamelan yang memiliki laras pelog tujuh nada, dimana terdapat tujuh nada dalam setiap oktafnya. Sebagai penunjuk laras gamelan, tentunya gamelan gambang adalah gamelan yang berlaras pelog tujuh nada. Memperhatikan urutan atau susunan nada-nada yang terdapat dalam gamelan Gambang, didalamnya terdapat lebih dari dua oktaf nada yang terbagi dalam dua instrumen saron dan empat instrumen gambang. Untuk jelasnya urutan atau susunan nada-nada tersebut dapat dilihat pada table berikut.
Urutan Nada-Nada
ϑ ; O 1 d a n g
D o n g
d I n g
d o n g
D d a e n n g g
d u n g
d a n g
D o n g
d I n g
_ 5 ϑ ; d o n g
D d a e n n g g
d u n g
d a n g
Pemetit
Penyelat
Pemero
Pegede
Saron Alit (penerus)
Saron Ageng (demung)
d u n g
_ 5 ϑ ; O 1
6
V. Hasil dan Pembahasan 5.1 Gamelan Gambang Dalam Upacara Dewa Yadnya. Dewa Yadnya berarti persembahan suci kepada Ida Sang Hyang Widi Wasa dengan berbagai manifestasinya. Pelaksanaan upacara Dewa Yadnya biasanya dilakukan di tempat-tempat pemujaan seperti sanggah¸tempat pemujaan keluarga dan pura yang merupakan tempat persembahyangan bagi masyarakat umum atau klen dari keluarga tertentu. Dalam ritual upacara yang dilakukan di pura-pura atau tempat sanggah, dalam suatu tingkatan tertentu biasanya diiringi dengan seperangkat atau lebih gamelan Bali. Adapun gamelan yang biasanya dipergunakan adalah gamelan Gong Gede, Gong Kebyar, Smar Pagulingan, dan berberapa jenis gamelan lainnya termasuk salah satu diantaranya adalah gamelan Gambang. Dalam pelaksanaan ritual upacara salah satu kesenian yang menonjol penggunaannya adalah seni karawitan. Bunyi gamelan yang digunakan untuk mengiringi ritual keagamaan adalah untuk membimbing pikiran agar terkosentrasi pada kesucian, sehingga pada saat persembahyangan pikiran dapat diarahkan atau dipusatkan kepada Tuhan. Pandangan ini relevan dengan realita kesakralan, karena bunyi gamelan secara psikologis dipandang mampu menciptakan suasana relegius secara sakral. Selain dari pada itu, keterpaduan antara tabuh yang dimainkan dengan pelaksanaan upacara dapat menciptakan suatu keharmonisan atau keseimbangan dalam hidup. Terciptanya keseimbangan ini, dapat dilihat bagaimana penganut agama Hindu menggunakan nilai-nilai estetika untuk menciptakan suatu keharmonisan dan keseimbangan hidup guna mencapai sesuatu yang bersifat religius. Dipergunakannya gamelan sebagai sarana pengiring upacara karena esensinya adalah untuk membimbing pikiran umat ketika sedang mengikuti prosesi agar terkonsentrasi pada kesucian sehingga pada saat persembahyangan pikiran terfokus kepada keberadaan Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi). Jadi jelas bahwa dalam konteks tersebut gamelan memiliki nilai religius dimana keberadaan gamelan sebagai pengiring upacara keagamaan di suatu wilayah suci hal tersebut dapat menambah religiusitas sebuah prosesi keagamaan. Nilai religius yang dimaksud adalah bahwa gamelan khususnya repertoar-repertoar yang dimainkan memiliki nilai yang sangat penting dalam pelaksanaan aktivitas keagamaan. Hampir tidak ada satupun pelaksanaan upacara keagamaan yang dilakukan tanpa diiringi oleh bunyi-bunyi gamelan. Lebih lanjut sebagaimana dikatakan Donder (2004:122), hakikat bunyi gamelan pada prosesi ritual Dewa Yadnya antara lain sebagai: 1) Sebagai persembahan untuk menyenangkan hati para Dewa/Ista Dewata (roh suci) 2) Sebagai sarana magis untuk mengundang kekuatan spiritual. 3) Sebagai sarana untuk menetralisir pengaruh negatif. 4) Untuk mengurangi ketegangan atau emosi Dimanfaatkannya Gamelan Gambang sebagai musik pengiring upacara Dewa Yadnya secara umum dapat dimaknai bahwa, gamelan Gambang memiliki makna religius.Terkait dengan fungsi gamelan Gambang dalam konteks upacara Dewa Yadnya, di wilayah Kota Denpasar, pada kenyataannya berbeda dengan pandanganpandangan serta pemahaman masyarakat selama ini. Sebagaimana diuraikan dalam penelitian-penelitian sebelumnya, di Bali bagian tengah Gambang dipergunakan
7
sebagai musik pengabenan yang dimainkan selama tiga hari berturut-turut (Dibia, 1978/1979). Pernyataan ini sangat berbeda dengan kenyataan yang terjadi di lapangan dimana gamelan Gambang di wilayah Kota Denpasar yang merupakan daerah yang terdapat pada wilayah Bali bagian tengah, Gambang juga dipergunakan sebagai musik pengiring upacara Dewa Yadnya. Sesuai dengan informasi dari I Nyoman Sukra, selaku klian Gambang Pura Kelaci, Banjar Sebudi Desa Sumerta Klod, sebagai salah satu aset atau duwe (milik) Pura Kelaci, gamelan Gambang yang tersimpan di pura biasanya dipergunakan untuk mengiringi piodalan atau upacara keagamaan yang dilangsungkan bertepatan dengan Hari Raya Saraswati yaitu Saniscara Umanis Watugunung. Bahkan gamelan ini dimainkan berturut-turut selama tiga hari selama Ida Betara di Pura tersebut Nyejer. Demikian pula halnya gamelan Gambang yang terdapat di Pura Dalem Bengkel, Banjar Binoh. Menurut penuturan I Wayan Sinthi dan I Nyoman Jesna Winada (wawancara tanggal 12 Desember 2009) selaku sesepuh di pura tersebut, keberadaan gamelan Gambang di pura tersebut lebih banyak difungsikan sebagai sarana pengiring upacara yadnya yang dilangsungkan di pura tersebut. Bahkan keberadaannya sangat disakralkan sehingga tidak pernah dipergunakan untuk mengiringi upacara pitra yadnya (ngaben) karena pelaksanaan upacara tersebut dianggap sebel dan dapat mengurangi kesucian dari gamelan tersebut. Sama halnya dengan keberadaan gamelan Gambang di Pura Dalem Bengkel, di Banjar Bekul Penatih. Gamelan Gambang yang dimiliki oleh masyarakat setempat juga sempat difungsikan sebagai sarana pengiring upacara Dewa Yadnya yang dilaksanakan di sekitar wilayah Desa Penatih dan Desa Kesiman. Sebagaimana penuturan I Nyoman Warka (wawancara tanggal 18 Desember 2009) selaku klian Gambang Banjar Bekul, pada masa yang lampau pada saat piodalan di pura Dalem Kesiman dan di Pura Pengrebongan yang merupakan sebuah pura yang disungsung oleh masyarakat Desa Kesiman, atas permintaan raja yang berkuasa di Puri Kesiman, sekaa Gambang Banjar Bekul diminta untuk berpartisipasi dengan sukarela (ngayah). Namun seiring dengan perjalanan waktu dan situasi kondisi yang ada, sekaa Gambang tersebut tidak pernah lagi berpartisipasi secara aktif pada event tersebut. Saat ini sekaa Gambang di Banjar Bekul hanya berpartisipasi pada saat dilaksanakannya upacara pitra yadnya dalam tingkatan utama (ngewangun) baik di Gria Bajing Kesiman maupun di Puri Kesiman hal ini dikarenakan Gamelan Gambang yang mereka miliki merupakan pica (pemberian), dimana sebagai imbalan atas pemberian tersebut, sekaa gambang memiliki kewajiban untuk berpartisipasi secara aktif. 5.2 Gamelan Gambang Dalam Upacara Pitra Yadnya Secara epistemologis, pengertian Pitra Yadnya muncul dari arti kata Pitra dan Yadnya. Dari beberapa sumber literatur, diketemukan berbagai pemaknaan terhadap kata “pitra”. Singgih Wikarma (2002) dalam bukunya Ngaben, menguraikan bahwa Pitra berasal dari kata Pitr yang artinya leluhur, yadnya berasal dari kata Yaj berarti berkorban. Dari arti kata di atas, Pitra Yadnya berarti bentuk pengorbanan suci yang dilaksanakan secara tulus ikhlas kepada para leluhur. Di lain pihak Sudarsana (2002:9) menyebutkan bahwa “pitra” adalah sama pengertiannya dengan arwah dan “pitra” berasal dari kata “pitri” yang artinya unsur-unsur kekuatan Panca Maha Bhuta yang membentuk stula sarira (jasad).
8
Terdapatnya perbedaan pengertian di atas, hal ini karena menurut sumber acuan yang dipergunakan oleh masing-masing penulisnya. Namun demikian esensi dari upacara ini masih tetap sama dimana pada intinya pelaksanaan upacara pitra yadnya merupakan salah satu bentuk pengorbanan suci (yadnya) yang diperuntukkan bagi roh, arwah para leluhur atau orang-orang yang telah meninggal dunia. Dengan kata lain, upacara ini merupakan upaya untuk mempercepat proses pengembalian/penyucian unsur-unsur Panca Maha Bhuta agar kembali ke sumbernya. Adapun bentuk upacara pitra yadnya memiliki runtutan dari upacara orang meninggal hingga distanakan atau tempatkan pada tempat suci keluarga (sanggah). Pada saat baru meninggal, kekuatan Panca Maha Bhuta (pitra/roh) orang yang meninggal disebut dengan “petra/pitri/pitra”, setelah dilaksanakan penyucian tahap pertama melalui upacara atiwa-tiwa (ngringkes), maka sebutan pitra meningkat menjadi “pitara” (pitarah). Selanjutnya setelah dilakukan penyucian melalui upacara ngaben, disertakan dengan pengaskaran maka kesuciannya akan meningkat sehingga mendapat sebutan Dewa Pitara. Penyucian Dewa Pitara melalui upacara pemukuran akan meningkatkan lagi Dewa Pitara menjadi Hyang Pitara. Setelah berstatus Hyang Pitara, upacara penyuciannyapun terus dilaksanakan melalui upacara Nilapati yaitu ngunggahang Bethara Hyang di Kemulan, maka Hyang Pitara telah kembali ke sumbernya yaitu ke “Sang Hyang Prakerthi” dan pada saat inilah mendapat sebutan Bethara Hyang (Sudarsana, 2002:12). Dapat disimpulkan bahwa, upacara Pitra Yadnya merupakan upacara penyucian yang diperuntukkan bagi roh orang yang telah meninggal yang dilaksanakan melalui rangkaian upacara pengringkesan, pengabenan, memukur hingga nilapati atau ngelinggihang. Berkenaan dengan rangkaian upacara tersebut, salah satu aspek yang senantiasa mengiringi pelaksanaannya adalah adanya gamelan yang berfungsi sebagai musik pengiringnya. Dalam pelaksanaannya di masyarakat Kota Denpasar, apabila dirinci dari awal pelaksanaan upacara pitra yadnya hingga rangkaiannya yang terakhir yaitu Nilapati digunakan berbagai jenis gamelan sebagai musik pengiringnya. Kebiasaan masyarakat di Kota Denpasar, terkait dengan rangakaian upacara tersebut dipergunakan gamelan Balaganjur, Gender Wayang, Angklung, Gong Kebyar, Gambang, Gong Luang (Saron). Terkait dengan penggunaan gamelan Gambang dalam upacara pitra yadnya, pada salah satu lontar yang berkaitan dengan pelaksanaan upacara Sawa Prateka disebutkan: “Yania melakukan ring sawa prateka, krania awateng sawa, pakretinia awadah, manut palihaning kawangania saha bebanten teben, damarkurung, patulangan, genep sapretekaning sawa, kawania genimurub, suargania ring daksina, ngaran budakala kawahnia genimurub, pengadangadangnia Dorokala wateking kara. Widadarinia Gagarmayang, Wikunia bhagawan Ramaperasu Dewania Bhatara Brahma, wewalen gambelania Gambang. Tirtania Kamandalu, pamuputnia geseng ring setra, anyutakena ring segara ring luah wenang, manut kramaning manyupit banten sawa prateka, telas (Mendra, tth 1). Terjemahan secara bebas adalah sebagai berikut:
9
Kalau mengadakan sawa prateka, pelaksanaannya berbadan mayat, memakai bade (wadah), menurut aturan keturunan (triwangsa), disertai banten taben, damar kurung, memakai petulangan (tempat pembakaran) lengkap sesuai dengan keperluannnya. Sorganya terletak di selatan, namanya budalaya, kawahnya geni murub (api berkobar), penghalangnya bernama dorokala dan kingkara. Bidadarinya Gagar mayang, Pendetanya Ramaperasu, Dewanya Bhatara Brahma, keseniannya adalah Gambang. Air Sucinya adalah kamandalu akhirnya dibakar di kuburan, abunya dihanyutkan di laut atau boleh juga ke sungai. Dari uraian yang terdapat dalam lontar tersebut, jelas bahwa gamelan Gambang merupakan salah satu perangkat alat musik tradisional yang sangat diperlukan pada pelaksanaan upacara pitra yadnya di samping beberapa jenis gamelan lainnya. Hal ini juga terungkap dalam prasasti dan Purana Tatwa Pura Kelaci disebutkan bahwa gending Kebo Lelatik, Misa Gagang merupakan gending gambang yang dapat menghantarkan Sang Hyang Atma (roh) menuju sorga. Sebagaimana terdapat dalam purana tersebut (halaman 39), dalam rangka pelaksanaan upacara pelebonan (ngaben/pembakaran mayat) Sang Prabu ring Gelgel diuraikan sebagai berikut. “... yening tabuh gendere nganutin pengider badene, wayang beber pade sampun megunem mejejer ring badene, swaran kendang ngeredeg, angklung, kekidung upakarane sampun memargi mererod-rerodan manut dudonnyane. Ring jabe ancaksaji gong gedene metabuh, gong saron ring sejeroning puri, gambange taler sampun katabuh antuk I Gusti Ngurah Sentong, gending misa gagang, kebo lelatik, gagak ora, miwah same tiyosan, mecandetan ngelangunin hati santukan gending punika mula penganter Sanghyang Atma..” Terjemahan bebas: “... kalau tabuh gender menyesuaikan dengan jalur keliling bade (usungan mayat), wayang beber sudah diletakkan berjajar di tempat usungan mayat, suara kendang bergemuruh, angklung, kidung upacara sudah berbaris sesuai dengan urutannya. Di luar tempat persemayaman mayat Gong Gede dimainkan, Gong Saron di halaman puri. Gambang juga sudah dimainkan oleh I Gusti Ngurah Sentong, lagu Misa Gagang. Kebo Lelatik, Gagak Ora dan yang lainnya menyajikan jalinan nada yang sangat menyenangkan karena gending tersebut memang penghantar Sanghyang Atma (roh)...” Dari uraian tersebut jelas bahwa gamelan Gambang merupakan salah satu gamelan yang memiliki nilai sakral dalam upacara pitra yadnya. Keberadaannya memiliki makna religius yang sangat penting yang dipercaya dapat menghantarkan roh orang yang meninggal menuju sorga. Namun demikian, walaupun disebutkan bahwa gamelan Gambang merupakan gamelan penghantar roh, dalam pelaksanaanya tidak semua upacara pitra yadnya yang dapat mempergunakan gamelan gambang. Hal ini sangat tergantung dari tinggi-rendahnya tingkatan upacara yang dilaksanakan, sesuai dengan situasi, kondisi, derajat serta kemampuan financial penyelenggara upacara.
10
Mengenai tingkatan upacara pengebenan, dari berbagai sumber sastra yang berhasil dikumpulkan oleh Sudarsana (2008:77-78) disebutkan ada empat tingkatan yaitu mewangun, prenawa, swasta dan ngerti parwa. Sesuai dengan situasi dan kondisi pelaksanaannya, masing-masing dari tingkatan tersebut dibagi lagi sehingga terdapat 10 bentuk pengabenan. Adapun kesepuluh bentuk pengabenan tersebut diantaranya: 1) Pengabenan Mewangun - Sawa Preteka - Nyawa Wedana 2) Pengabenan Prenawa - Sawa Prenawa - Toya Prenawa - Kusa Prenawa - Supta Prenawa - Geni Prenawa 3) Pengabenan Swastha - Swastha Geni - Swastha Bangbang 4) Pengabenan Ngerti Parwa Ke lima jenis upacara ngaben di atas dapat dilaksanakan dalam tingkatan nista, madya dan utama sesuai dengan kemampuan dalam memenuhi berbagai persyaratannya. Pengabenan mewangun merupakan tingkatan pengabenan tertinggi dimana pelaksanaan upacara pengabenannya mempergunakan kuantitas upacara utama dan memakai atribut-atribut secara lengkap menurut ketentuan sastra agama Hindu (Sudarsana, 2008:78). Tingkatan pengabenan ini biasanya dilaksanakan bagi orang-orang yang memiliki kedudukan, terhormat, pengaruh yang luas di masyarakat, seperti raja dan golongan ksatria lainnya, pendeta, pemangku desa. Pengabenan pranawa merupakan tingkatan upacara pengabenan yang kuantitasnya lebih kecil dari mewangun namun memiliki kualitas yang sama dan tergantung dari pelaksanannya. Berbagai kalangan (kedudukan dan kasta) dapat melaksanakan upacara pengabenan dalam tingkatan ini sesuai dengan kemampuan dalam melaksanakannya. Sedangkan tingkatan upacara yang paling sederhana adalah swastha dan ngerti parwa. Keterkaitan antara pemanfaatan gamelan Gambang dalam upacara ngaben, secara rinci telah disebutkan bahwa penggunaan gamelan ini dilakukan pada tingkatan tertinggi yang disebut dengan ngaben mewangun. Disajikannya Gambang dalam tingkatan pengabenan ini lebih disebabkan adanya keyakinan bahwa gendinggending yang disajikan seperti gending Kebo Lelatik, Misa Gagang, Gagak Ora dan yang lainnya dapat menghantarkan roh orang yang meninggal menuju sorga. Sebagaimana diilustrasikan dalam pengabenan Ida Betara Dalem Gelgel selaku penguasa Bali pada masa yang lampau disebut beberapa perlengkapan upacara seperti bade tumpang 11 dengan berbagai kelengkapannya termasuk wayang beber, nagabanda, lembu, serta berbagai jenis kesenian seperti gong saron, gambang, gong metrompong (gong gede), angklung, baris poleng (ketekok jago) dan berbagai perlengkapan upacara lainnya. Keseluruhan perlengkapan tersebut diyakini untuk mempermudah pencapaian roh ke alam sorga.
11
5.3 Sesajen Gambang Sebagai musik pengiring upacara keagamaan, penyajian kesenian Gambang senantiasa dilengkapi dengan sesajen. Ada beberapa jenis sesajen yang dihaturkan sebelum, pada saat upacara berlangsung dan sesudahnya. Sesajen yang dihaturkan dapat digolongkan sesajen besar dimana pada umumnya terdiri dari: daksina gede, pejati, daging suci, peras sodan, daksina, nasi rong-rongan dan beberapa sesajen lainnya. Pelaksanaan ritual ini sangat ditaati oleh para pendukungnya karena gamelan yang dipergunakan diyakini memiliki sesuatu kekuatan gaib dan ritual tersebut adalah untuk memohon ijin kepada kekuatan (taksu) yang berstana pada gamelan tersebut demi keselamatan dan kesuksesan dalam penyajiannya. Sesajen ini dihaturkan sebelum Gambang itu menabuh, banten dipersembahkan kepada kekuatan yang berstana pada gamelan Gambang tersebut. Adapun sesajennya berupa, daksina dan canang sari, sarwa nyatur (semuanya berjumlah 4), yaitu beras 4 catu, kelapa 4 butir dan telur juga 4 butir, canang sari secukupnya. Dibuat serba empat hal ini dihubungkan dengan posisi dari penabuh yang menempati keempat penjuru mata angin. Jadi daksina yang mengatur beserta canang sari ini dipersembahkan pada penguasa catur loka pala. Sarma atau sesari banten ini sebanyak sepa satus selae kepeng (1725 kepeng) namun sekarang bisa diganti dengan uang kertas, sesuai kemampuan dari pelaksana upacara. 5.4 Repertoar Gamelan Gambang sebagai salah satu alat musik musik tradisional Bali, diperkirakan pernah mengalami masa kejayaan pada abad pertengahan, dimana pada masa pemerintahan Dalem Gelgel dengan salah atu punggawanya yaitu I Gusti Ngurah Sentong tercatat puluhan gending-gending Gambang yang dikuasi oleh para seniman Gambang pada waktu itu. Adapun gending-gending tersebut sebagaimana tercatat dalam prasasti lan purana Pura Kelaci diantaranya: Misagagang, Manukaba, Wilet Wargasari, Oreg-Oreg Amel, Rare Tepas, Sandiwaji, Mangu, Kebodungkul, Srkar Kemoning, Rare Tacun, Dukudasang, Tambangan Badung, Rangga Dangdang, Pengkes Porong, Puspa Sekar, Gangga, Alis-Alis Ijo, Salempad, Sandi, Lilit Ubi, Basung, Palugon, Sidapaksa, Mertamasa, Bangkung Mati, Paksi Anom, Rangsaka, Puh Tol, Wanda, Pamandana, Undakan, Pangras, Wangseng Sari, Bungakusuma, Salambur, Rangga Kasian, Malat, Kebo Lelatik, dan Gagak Ora. Adapun repertoar-repertoar tersebut memiliki keunikan dan ciri khas tersendiri dalam repertoar-repertoarnya yang berbeda dengan repertoar jenis gamelan lainnya. Keunikan tersebut dapat dilihat dari struktur komposisi yang terbentuk atas bagian-bagian yang saling berkaitan antara bagian yang satu dengan yang lainnya. Bentuk komposisi dan struktur gending-gending Gambang terdiri dari beberapa bagian yaitu: Pengrangrang, Ping Pisan, Ping Pindo, Ping Tiga, Ping Pat dan Penyuud. Pengrangrang merupakan bagian yang pertama dari sebuah komposisi gending Gambang yang dimainkan dalam irama yang bebas (free rhythm) dengan teknik kekenyongan. Nada-nada yang dimainkan pada bagian ini terbatas pada nadanada yang dominant yang akan dipergunakan dalam gending itu. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa bagian ini merupakan pengenalan saih yang akan dimainkan dalam sebuah komposisi (Astita, 1988:17). Setelah pengrangrang dilanjutkan dengan motif ping pisan yang berfungsi sebagai pengawit. Bagian ini dimainkan secara bersama-sama antara instrumen
12
gambang dengan saron, dengan teknik kekenyongan (melodi pokoknya saja) dan pada bagian ini sudah memainkan ritme yang tetap atau pasti. Bagian ini biasanya diulang beberapa (2 kali) kemudian baru dilanjutkan ke bagian komposisi berikutnya. Selanjutnya ping pindo merupakan bagian kedua (pengawak I) dari sebuah komposisi gending Gambang. Bagian ini dapat dibedakan dengan ping pisan, terutama melalui teknik pukulan yang dipergunakan baik oleh insytrumen gangsa (saron) maupun gambang. Kedua gangse memainkan melodi pokok sedangkan keempat instrumen gambang memainkan teknik kotekan sesuai dengan motif pukulan masing-masing. Ping Tiga merupakan pengawak yang kedua dengan teknik pukulan yang dipergunakan sama dengan ping pindo. Selanjutnya ping pat merupakan bagian pengawak ke tiga yang juga mempergunakan teknik pukulan yang sama dengan ping pindo dan ping tiga. Peralihan dari tiga bagian pengawak di atas, dari ping pido, ping tiga, ping pat ditandai dengan adanya gegebug nyading dan ngikal, yang merupakan transisi dari satu bagian pengawak ke bagian pengawak yang lain. Bagian terakhir dari struktur komposisi gending Gambang disebut dengan Penyuud dengan mempergunakan motif kekenyongan sebagai ciri khasnya. Bentuk dan struktur komposisi sebagaimana di uraikan di atas merupakan bentuk umum dari komposisi gending-gending Gambang klasik dan senantiasa dimainkan atau disajikan pada saat mengiringi upacara keagamaan. Berkenaan dengan dipergunakannya Gambang dalam dua jenis upacara yang berbeda yaitu Dewa Yadnya dan Pitra Yadnya terdapat pula perbedaan dalam penyajian gendinggendingnya. Dalam fungsinya sebagai pengiring upacara Dewa Yadnya, repertoarrepertoar yang disajikan tidak banyak terkait dengan tuntutan dan urutan upacara yang dilangsungkan. Penyajiannya gending-gendingnya dapat dilakukan secara bebas sesuai dengan penguasaan dari anggota sekaa. Repertoar Gambang yang disajikan dalam pelaksanaan upacara Dewa Yadnya secara umum dapat dibagi atas tiga bagian yaitu gending pembuka (pemungkah), gending petegak dan gending penutup. Dalam penyajian tersebut, tradisi yang dilakukan oleh setiap sekaa gambang sangat berpariatif. Ada yang mempergunakan Gending Manukaba dan ada pulan yang mempergunakan Gending Panji Marga. Di Pura Kelaci, sebagaimana penuturan I Nyoman Sukra dan I Wayan Soka, untuk mengawali penyajian iringan upacara, dipersembahkan gending Manukaba. Tidak diketahui secara pasti mengapa gending ini dipergunakan sebagai tabuh pemungkah. Dipergunakannya tabuh ini sebagai pemungkah sudah diwarisi secara turun-temurun. Berbeda dengan di Pura Kelaci, Sekaa Gambang Banjar Bekul Penatih dalam kebiasaan yang dilakukan, sebagai gending pemungkah biasanya dimainkan tabuh Panji Marga (wawancara dengan I Nyoman Warka, 18 Desember 2009). Setelah penyajian tabuh pemungkah, selanjutnya barulah dimainkan tabuhtabuh yang lain yang dikuasai oleh masing-masing sekaa Gambang. Terkait dengan repertoar-repertoar gending Gambang, diantara tabuh-tabuh yang ada, biasanya terdapat tabuh yang sangat disakralkan tidak diperkenankan untuk memainkannya sebagaimana tabuh-tabuh yang lainnya dan hanya boleh disajikan pada saat-saat tertentu saja. Pada sekaa Gambang Pura Kelaci, ada sebuah tradisi yang mensakralkan beberapa buah lagu/tabuh diantaranya tabuh Kebo Lelatik. Gending ini merupakan gending pengantar roh menuju sorga yang pada masa yang lalu
13
dimainkan pada saat mengiringi upacara ngaben atau pelebon Ida Betara Dalem Gelgel. Disakralkannya gending ini sebagaimana tersurat dalam prasasti dan purana tatwa Pura Kelaci (hal 35-36), dimana menurut mitos yang diangkat dari pembicaraan antara I Guwak Putih dan I Guwak Selem diuraikan sebagai berikut. Beli, apa karane ane mahadan Kebo Lelatik ? I Guwak Putih nyawurin; sujatine Kebo mewarna selem ento mahawak Luh, adi pewakane ento, ede adi pelih tetampan, krana ade di gumimne ade mewarna selem teken putih, purusa, predana, luh muwani, duweg belog, keto katah di gumine. Yan lelatikan madan pepanggulane, cecandetane macecimplungan ngambangin, sawireh patpat panggulne. Ento kabawos kenehnyane nyatur (patpat) yadyapi ring bhuwana agung muwah ring bhuwana alit, ento sujatine tunggal, ento nyama ane patpat make penuntun, rikalaning ia metetabuhan. Nah keto adi pupuh gendinge ento tusing dadi lumarahang ngendingang, ento gending tenget, de nyen adi ngawag-awag. Rikala nabuh gendinge ento, manut anggah-ungguhnyane maduluran baan upakara yadnya. Artinya (terjemahan bebas): Kakak, kenapa namanya Kebo Lelatik ? I Guwak Putih (burung Gagak Putih) menjawab; sebenarnya Kebo berwarna hitam itu simbol istri, adik yang disimbolkan itu, jangan adik salah mengertikan, karena yang ada di dunia berwarna hitam dan putih, laki perempuan, pintar bodoh itu banyak di dunia. Kalau lelatikan nama panggulnya (alat pukul), jalinan nada motifnya ngambang karena empat panggulnya. Itu nama dan maksudnya empat, walaupun di Bhuwana Agung (alam makro) dan Bhuwana Alit (alam mikro) itu tunggal, itu saudara empat sebagai penunjuk pada saat memainkan gamelan. Begitu juga adik, lagu tersebut tidak boleh sembarang memainkannya, itu lagu angker (sakral), adik tidak boleh sembarangan. Tatkala memainkan lagu tersebut harus sesuai dengan aturan diiringi dengan sesajen.............. Sesuai dengan pembicaraan tersebut jelas bahwa Gending Kobo Lelatik merupakan sebuah gending yang disakralkan, tidak diperkenankan memainkannya secara sembarangan dan kalau memainkan atau menyajikannya harus sesuai dengan aturan-aturan serta dihaturkan sesajen. Di samping gending tersebut beberapa gending yang juga disakralkan adalah Misagagang dan Gagak Ora. Dewasa ini, keberadaan gending-gending Gambang sebagaimana telah diuraikan di atas, banyak diantaranya tidak lagi dikuasi dan dimainkan oleh para seniman gambang dan beberapa diantaranya sudah mengalami kepunahan. Kepunahan tersebut disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya secara internal, tingginya faktor kesulitan dan rumitnya teknik permainan Gamelan Gambang dengan motif yang berbeda pada empat tungguh rindik gambang, lagunya panjang-panjang, dan beberapa disebabkan oleh karena sifatnya yang sakral sehingga tidak dapat dimainkan atau dilakukan pelatihan sembarang waktu. Sedangkan secara ekternal, dengan semakin berkembangnya karawitan bernuansa modern yang sarat dengan unsur kreativitas, masyarakat khususnya kalangan generasi muda lebih tertarik untuk mempelajari hal tersebut dari pada seni karawitan klasik yang terkesan monoton.
14
Simpulan Dari berbagai uraian yang telah disajikan di atas, terkait dengan studi ini dapat disimpulkan sebagai berikut. Kesenian Gambang merupakan salah satu bentuk seni karawitan klasik yang hingga saat ini keberadaannya masih eksis di Kota Denpasar. Keberadaan kesenian ini dalam kehidupan masyarakat Kota Denpasar ada yang merupakan milik pribadi seperti di Wilayah Banjar Tangguntiti, milik Banjar seperti di Banjar Bekul, Desa Penatih dan ada pula yang menjadi milik Pura seperti di Pura Kelaci, Banjar Sebudi Desa Sumerta Klod dan Pura Dalem Bengkel, Banjar Binoh, Desa Ubung Kaja. Di samping perangkat yang tersebar di masyarakat, atas prakarsa Walikota Denpasar melalui Dinas Kebudayaan Kota Denpasar, saat ini telah diadakan serta dimiliki empat barungan Gamelan Gambang yang masing-masing dimainkan oleh Sanggar Wahana Gurnita yang merupakan kumpulan dari seniman-seniman se-Kota Denpasar. Terkait dengan fungsinya, dalam kehidupan masyarakat Kota Denpasar kesenian Gambang yang masih eksis memiliki fungsi yang beragam, ada yang difungsikan sebagai sarana pengiring upacara Dewa Yadnya, ada pula yang mempergunakannya sebagai pengiring upacara Pitra Yadnya dan ada pula yang lebih fleksibel dengan memanfaatkannya sebagai pengiring dari kedua jenis upacara yadnya di atas. Dalam perkembangannya, nilai-nilai religius dan sakral yang dimiliki gamelan ini masih tetap dipertahankan oleh masyarakat pendukung kesenian ini. Hal ini terbukti pada sekaa Gambang di Pura Kelaci, Desa Sumerta Klod dimana masyarakat pendukung kesenian ini sangat men-sucikan perangkat gamelan yang dimiliki hingga disungsung oleh para pengampunya dan disimpan pada sebuah Gedong Penyimpenan di areal Pura Kelaci. Demikian pula dengan gendinggendingnya, beberapa gending sangat disakralkan seperti Gending Kebo Lelatik, Misagagang dan Gagak Ora, sehingga tidak bisa dimainkan dengan semena-mena. Untuk dapat menyajikannya harus disesuaikan dengan upacara yang diiringi serta diperlukan banten atau sesaji yang lengkap.
DAFTAR PUSTAKA
15
Ardika, I Wayan dan Darma Putra. 2004. Politik Kebudayaan dan Identitas Etnik Fakultas Sastra Universitas Udayana. Denpasar: Bali Mangsi Press. Aryasa, I W.M. 1976/1977. Perkembangan Seni Karawitan Bali, Denpasar: Proyek Sasana Budaya Bali. Astita, I Komang. 1988. Bandem, I Made.1986. Prakempa: Sebuah Lontar Gamelan Bali. Denpasar : ASTI Barker, Chris. 2004. Cultural Studies, Teori dan Praktek. Kreasi Wacana, Yogyakarta. Berger, Arthur Assa, 2005. Tanda-Tanda Dalam Kebudayaan Kontemporer Suatu Pengantar Semiotika. Tiara Wacana Yogya. Darsono (Sony Kartika). 2007. Estetika. Bandung: Rekayasa Sains Dibia, I Wayan. 1999a. Selayang Pandang Seni Pertunjukan Bali. Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. Dibia, I Wayan. 1999b. ”Seni, Diantara Tradisi dan Modernisasi”. Denpasar: Pidato Pengukuhan Guru Besar pada Sekolah Tinggi Seni Indonesia Denpasar. Donder, I Ketut. 2005. Esensi Bunyi Gamelan Dalam Prosesi Ritual Hindu: Perspektif Filosofis-teologis, Psikologis, Sosiologis dan Sains. Surabaya: Paramita. Endraswara, Suwardi, 2003. Metodologi Penelitian Kebudayaan, Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Endraswara, Suwardi. 2006. Metode, Teori, Teknik Penelitian Kebudayaan, Idiologi, Epistemologi, dan Aplikasi. Sleman: Pustaka Widyatama Frondizi, Riseri. 2001. Pengantar Filsafat Nilai. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset Gie, The Liang. 2004. Filsafat Seni Sebuah Pengantar. Pusat Belajar Ilmu Berguna (PUBIB) Yogyakarta. Hadi, Sumandiyo. 2006. Seni Dalam Ritual Agama. Yogyakarta: Pustaka. Hartoko, Dick, 1984. Manusia dan Seni. Yogyakarta: Yayasan Kanisius.
16
Jelantik, A.A. Made. 2004. Estetika, Sebuah Pengantar, Bandung: MSPI. Kaplan, David., Robert A. Manners, 2002. Teori Budaya, Pustaka Pelajar Offset. Kayam, Umar, 1981. Seni, Tradisi, Masyarakat. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan. Koentjaraningrat, 1965, Pengantar Antropologi. Cetakan ke II, Penerbit Universitas, Jakarta. Mantra, Ida Bagoes. 2004. Filsafat Penelitian dan Metode Penelitian Sosial. Pustaka Pelajar: Yogyakarta. Plekhanov, G. 2006. Seni Dan Kehidupan Sosial. Bandung Ultimus. Poloma, Margaret M. 2003. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: Raja Grafindo. Pudensia, MPSS. 1998. Metode Kajian Tradisi Lisan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Yayasan Asosiasi Tradisi Lisan. “Prasasti lan Purana Tatwa Pura Kelaci”, (tt) Alih Bahasa oleh I Wayan Turun Rai S., I Wayan. 1998. Beberapa Catatan Tentang Seni Pertunjukan Bali. Palawa Sari, Denpasar Ratna, S.U, Prof. Dr. I Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, Dari Strukturalisme Hingga Posttrukturalisme Perspektif Wacana Naratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ratna, Nyoman Kuta, 2005. Sastra dan Culture Studies: Representasi Fiksi dan Fakta, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ritzer, George. 2004. Teori Sosial Postmodern. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Storey, John, 2004. Teori Budaya dan Budaya Pop. Yogyakarta: CV. Qalam Sudarsana, MBA., MM., Drs. I.B. Putu. 2008. Ajaran Agama Hindu: Upacara Pitra Yadnya. Denpasar: Yayasan Dharma Acarya. Sudikan, Setya Yuwana. 2001. Metode Penelitian Kebudayaan. Surabaya: Citra Wacana. Suwarsono., Alvin Y.So, 2000. Perubahan Sosial dan Pembangunan, Jakarta: PT. Pustaka LP3ES Soedarsono, R.M. 1999. Metodologi Penelitian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa. Bandung: MSPI.
17
Wikarman, Drs. I Nyoman Singgih, 1998. Ngaben Sarat (Sawa Prateka-Sawa Wedana). Surabaya: Paramita. Yuda Triguna, MS. (Editor) Prof. Dr. IBG. 2008. Kebudayaan dan Modal Budaya Bali dalam Teropong Lokal, Nasional dan Global. Denpasar: Widya Dharma.
18