1
PENDAHULUAN Persaingan bisnis yang semakin tinggi menuntut perusahaan berkompetisi menciptakan inovasi berbasis kebutuhan konsumen sehingga perusahaan mampu mempertahankan keunggulan kompetitif dan pada akhirnya mampu mencapai target perusahaan. Pencapaian target perusahaan menjadi satu hal yang sangat penting karena menjadi indikator utama keberlangsungan perusahaan secara jangka panjang. Tercapainya tujuan perusahaan tidak lepas dari peran karyawan sebagai tulang punggung dalam proses operasional perusahaan. Fenomena saat ini yang terjadi secara global ditunjukan oleh tingkat turnover yang semakin tinggi dari waktu ke waktu. Survei yang dilakukan melalui Global Workforce Study memberikan hasil bahwa kawasan Asia Pasifik diperkirakan mengalami lonjakan terbesar tingkat pergantian karyawan pada tahun 2014 yaitu 21,5–25,5 % selama periode 2012–2018 (Tower Watson, 2014). Peningkatan ini terjadi akibat kurangnya keterikatan dan komitmen karyawan terhadap tujuan dari perusahaan yang disebabkan oleh beberapa faktor seperti kepemimpinan, tujuan dan sasaran perusahaan yang tidak jelas, kehidupan kerja (work-life), citra perusahaan dan pemberian wewenang pada karyawan yang tidak optimal. Hay Group sebuah perusahaan konsultasi manajemen dan survei internasional menyatakan bahwa taksiran angka tingkat turnover di Indonesia pada tahun 2013-2014 mencapai angka 25,8%, dimana Indonesia menjadi negara dengan tingkat turnover tertinggi ke 3 di dunia, setelah India (26,9%) dan Rusia (26,8%) (Kapoor, 2013). Karyawan sebagai aset perusahaan yang paling penting harus dijadikan prioritas utama baik dalam pengelolaan maupun pengembangan diri yang berkelanjutan sehingga mampu
2
menunjukan kinerja yang memuaskan dan berkontribusi pada pencapaian tujuan perusahaan. Kemampuan karyawan untuk memiliki kesuksesan dalam bekerja dapat merujuk pada suatu teori oleh William James pada tahun 1906 (dalam Froh, 2004) yang mempertanyakan bagaimana individu mampu menggunakan seluruh potensi dalam kapasitas yang optimal sedangkan individu lain tidak. Untuk menjawab pertanyaan ini, terdapat dua pertanyaan besar yaitu apa saja kemampuan yang dimiliki manusia, dan bagaimana cara mengoptimalkan kemampuan ini. Argumentasi yang diberikan untuk mempelajari fungsi yang optimal, harus dipertimbangkan pengalaman subjektif yang dialami oleh individu. Teori ini merupakan awal mula munculnya psikologi positif. Pada perkembangannya, studi mengenai kesejahteraan, individual yang kreatif dan usaha untuk mengetahui pola dari individu dengan aktualisasi diri dikenal dengan nama psikologi humanistik yang dikembangkan oleh Maslow (dalam Froh, 2004). Teori yang dikemukakan adalah teori hierarki kebutuhan yang terdiri dari lima tingkat kebutuhan dasar yaitu kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan akan rasa memiliki dan kasih sayang, kebutuhan akan penghargaan dan kebutuhan akan aktualisasi diri. Pemuasan berbagai kebutuhan tersebut didorong akan dua kekuatan yaitu motivasi kekurangan (deficiency motivation) dan motivasi perkembangan (growth motivation). Motivasi kekurangan untuk masalah ketegangan manusia karena berbagai kekurang yang ada (fisiologis, kebutuhan akan rasa aman dan kebutuhan akan rasa memiliki dan kasih sayang) sedangkan motivasi perkembangan didasarkan atas kapasitas setiap manusia untuk tumbuh dan berkembang (kebutuhan akan penghargaan dan aktualisasi diri). Hal ini, terkait
3
dengan psikologi positif sebelumnya, aktualisasi diri menempati tingkat kebutuhan tertinggi dan menjadi salah satu indikator individu mampu menggunakan kemampuan secara optimal (Maslow, 1954). Seligman dan Csikszentmihalyi (2000) kembali mengangkat psikologi positif sebagai sebuah studi tentang bagaimana manusia menjadi sejahtera di dalam menghadapi tantangan. Terdapat tiga pillar utama dalam psikologi positif yang dikemukakan oleh Seligman dan Csikszentmihalyi (2000), yaitu: Pilar 1 : Pengalaman subjektif yang positif untuk mencapai tujuan pribadi (positive experience) Pilar 2 : Sifat / karakter positif (positive traits) Pilar 3 : Agar individu mampu berkembang dengan pesat dan unggul, maka harus dikembangkan budaya yang sehat (positive institution).
Ketiga pilar ini merupakan hasil perpaduan dari psikologi positif dari William James dan psikologi humanistik dari Maslow. Positive experience merupakan bagian dari pengalaman subjektif individu dalam mencapai fungsi optimal menurut William James, dan positive institution menjadi bagian penting dalam mencapai aktualisasi diri menurut Maslow. Teori utama yang dikemukakan oleh Seligman dan Csikszentmihalyi (2000) menjadi satu dinamika psikologis yang mampu mengaitkan antara karakter, pengalaman dan lingkungan yang mampu mendorong individu mencapai fungsinya yang optimal dalam mencapai keberhasilan. Penjelasan diatas menguatkan bahwa kesuksesan karyawan dalam menghadapi tantangan dipengaruhi oleh ada tidaknya karakter positif dalam diri karyawan. Salah satu karakter positif yang dimaksud adalah grit. Grit secara
4
umum didefinisikan sebagai ketekunan dan keinginan besar untuk mencapai tujuan jangka panjang dalam waktu yang lama (Duckworth, Peterson, Matthews & Kelly, 2007). Sesuai dengan definisi tersebut, aspek dari grit terdiri dari konsisten terhadap ketertarikan dan ketekunan dalam berusaha. Grit akan memunculkan daya kerja yang kuat terhadap tantangan yang dihadapi, mempertahankan usaha dan ketertarikan dari tahun ke tahun walaupun ada kegagalan, kemalangan dan hambatan dalam prosesnya. Penelitian yang dilakukan oleh Eskreis-Winkler, Shulman, Beal dan Duckworth (2014) membuktikan secara empirik bahwa grit mampu memprediksi turnover bahkan melebihi prediktor lainnya. Penelitian yang dilakukan pada empat konteks yang berbeda memberikan hasil yang positif, seperti prajurit yang memiliki level grit yang lebih tinggi akan lebih mampu menyelesaikan pelatihan army special operations forces (ARSOF), karyawan penjualan dengan level grit yang lebih tinggi akan lebih mampu bertahan dalam pekerjaan saat ini, pelajar dengan level grit yang lebih tinggi akan lebih mampu lulus sekolah dengan lebih baik dan laki-laki dengan level grit yang lebih tinggi akan lebih mampu bertahan dalam sebuah pernikahan. Baik dilihat dari sifat kepribadian terkait kesungguhan individu maupun karakter lain seperti kontrol diri, impulsif yang rendah dan disiplin, grit menunjukan hubungan yang positif dengan kesuksesan (Poropat, 2009; Valiente, Lemer-Chalfant, Swanson & Reiser, 2008; Valiente, Lemer-Chalfant & Swanson, 2010). Mendukung hal ini, Reed, Pritschet dan Cutton (2012) melakukan penelitian dimana terdapat hubungan positif antara grit, Big Five Inventory Conscientiousness dan tahapan transtheoritical model (TTM) dimana grit berperan lebih besar dalam memprediksi level TTM. TTM sendiri terdiri dari
5
pemikiran awal, pemikiran lanjutan, persiapan, aksi dan pemeliharaan dalam melakukan aktivitas tertentu. Definisi grit sendiri berbeda dengan beberapa konstruk psikologis lainnya, seperti perseverance, resiliensi, hardiness, ambisi dan kebutuhan akan pencapaian. Perseverance lebih terkait ketabahan dan ketekunan dalam mencapai tujuan yang walaupun dihadapkan pada tantangan, masalah dan kebingungan,
sedangkan
grit
diargumentasikan
sebagai
karakter
dari
perseverance itu sendiri. Grit memungkinkan individu untuk tekun dan gigih dalam mencapai tujuan meskipun dengan tantangan yang panjang (Duckworth, et al., 2007). Resiliensi
didefiniskan
sebagai
proses
dimana
individu
mampu
menghadapi situasi kemalangan yang biasanya dalam bentuk perubahan situasi dalam
kehidupan
atau
kesulitan
dalam
lingkungan
pribadi.
Resiliensi
dikonseptualisasikan sebagai suatu bentuk adaptasi terhadap perubahan situasi yang menantang (Luthar, Doernberger & Zigler, 1993, dalam Rutter, Giller & Hagell, 1998). Disisi lain, grit lebih fokus pada mempertahankan fokus pencapaian tujuan dalam waktu yang lama dan seringkali menghadapi tantangan tetapi tidak bersifat kejadian yang kritis. (Duckworth, et al., 2007). Grit dikonsepkan sebagai suatu karakter, sedangkan resiliensi sebagai suatu proses yang dinamis. Hardiness didefinisikan sebagai kemampuan individu untuk bertahan dalam menghadapi situasi yang sulit dan tidak merujuk pada pencapaian tujuan jangka panjang tetapi lebih pada tujuan yang lebih spesifik. Model teoritis hardiness digunakan sebagai alat untuk mengembangkan resiliensi (Maddi, 2006).
6
Ambisi secara umum didefinisikan sebagai keinginan untuk mendapatkan kekuasaan atau superioritas terhadap pencapaian mereka. Berbeda dengan grit, individu dengan grit yang baik tidak mencari ketenaran atau pengakuan eksternal terhadap pencapaian mereka (Maltby, Giles, Gillett, Quick, Langcaster-James & Linley, 2008). Kebutuhan akan pencapaian (need for achievement) didefinisikan sebagai dorongan untuk mencapai tujuan sehingga individu mampu mendapatkan hasil atay umpan balik yang cepat. Individu dengan grit yang baik akan menentukan tujuan jangka panjang yang sulit untuk dicapai dan tidak ragu-ragu untuk mencapai tujuan ini walaupun tidak mendapatkan umpan balik apapun (McClelland, dalam Phillips & Gully, 1997). Duckworth, dkk. (2007) memberikan penjelasan awal bahwa grit terkadang saling tumpang tindih dengan aspek kesuksesan yang didasarkan pada ketekunan seseorang dalam mencapai tujuan, tetapi berbeda dalam hal stamina jangka panjang dibandingkan intensitas jangka pendek. Individu dengan grit yang baik tidak hanya menyelesaikan pekerjaan saat ini saja tetapi berusaha mencapai tujuan lebih besar dalam jangka waktu yang lama, serta adanya kontrol diri dalam menjaga konsistensi tujuan dan minat. Penelitian yang dilakukan oleh Eskreis-Winkler, dkk. (2014), grit menunjukan stamina yang ekstrem dalam hal ketertarikan tertentu dan menerapkan usaha terhadap ketertarikan tersebut. Grit tidak hanya mengenai bekerja dengan keras terhadap suatu tugas tertentu, tetapi lebih pada bekerja secara tekun terhadap suatu tujuan yang lebih tinggi dalam waktu yang relatif lebih lama. Duckworth, Kirby, Tsukayama, Berstein dan Ericson (2011) menguji secara empirik bahwa peserta dengan grit yang lebih tinggi pada kompetisi national
7
spelling bee akan memiliki jumlah jam kumulatif latihan yang lebih banyak dan pada akhirnya mampu mendukung sepenuhnya terhadap peringkat akhir kompetisi. Vallerand, Houlfort dan Forest (2014) melakukan penelitian terkait identifikasikan beberapa hal yang mampu menjadi prediktor proses latihan yang lebih baik dan dilakukan dengan sengaja yang mampu berdampak pada prestasi, dan didalamnya termasuk grit. Ericson dan Charness (dalam Duckworth & Gross, 2014) mendukung hal ini dengan menyatakan banyak penelitian membuktikan kebanyakan ahli di bermacam-macam area melakukan latihan ekstrem dengan sengaja selama berjam-jam sebagai prasyarat dari tercapainya keahlian kelas dunia. Karakter positif karyawan dipengaruhi oleh beberapa faktor yang dibuktikan melalui beberapa penelitian, seperti kepemimpinan otentik (Tansley & Newell, 2006; Novicevic, Harvey, Buckley, Brown & Evans, 2006; Jensen & Luthans, 2006; Clapp-Smith, Volgelsang & Avey, 2009; Wolley, Caza & Levy, 2011; Hsiung, 2011; Searle & Barbuto, 2013; Nikpay, Siadat, Hoveida & Nilfrooshan, 2014; Onorato & Zhu, 2014; Dawkins, Martin, Scott & Sanderson, 2015), wellbeing (Luthans, Youssef, Sweetman & Harms, 2011), appeciative inquiry (Varleysen, Lambrechts & Van Acker, 2015) dan self-esteem yang baik (Avey, 2014). Penjelasan diatas menunjukan bahwa salah satu faktor organisasi yang mempengaruhi karakter positif karyawan adalah dari sisi kepemimpinan otentik yang diterapkan oleh perusahaan. Dari sisi perusahaan, dibutuhkan adanya strategi yang tepat terkait konsep kepemimpinan (dalam hal ini kepemimpinan otentik) yang menjadi langkah penyelarasan tujuan antara perusahaan dengan individu/karyawan melalui peranan pemimpin perusahaan yang efektif. Peranan
8
kepemimpinan menjadi sangat penting karena berkaitan langsung dengan proses pendayagunaan karyawan sebagai aset perusahaan. Secara umum, Yukl (2010) menyatakan bahwa walau terdapat banyak pengertian dari kepemimpinan, tetapi kebanyakan definisi kepemimpinan merefleksikan penerimaan yang melibatkan proses dimana pengaruh diberikan dengan tujuan tertentu terhadap orang lain sehingga mendorong orang lain untuk dibimbing, disusun dan difasilitasi dengan aktivitas dan hubungan dalam kelompok atau organisasi. Penelitian yang dilakukan oleh Linley dan Joseph (2004) membuktikan bahwa pola kepemimpinan akan berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan para pengikutnya dengan beberapa faktor yang harus diperhatikan,
yaitu tingkat
self-efficacy
bawahan, kepercayaan terhadap
manajemen perusahaan, kebermaknaan kerja dan identitas pekerjaan dan organisasi yang baik. Secara spesifik, Walumbwa, Avolio, Gardner, Wernsing dan Peterson (2008) mendefinisikan kepemimpinan otentik sebagai pola tingkah laku pemimpin yang mengacu dan menunjukan kemampuan psikologis dan sikap etis yang positif untuk mengembangkan kesadaran diri yang lebih baik, internalisasi perspektif moral diri, mengolah informasi secara seimbang dan keterbukaan relasi sebagai bagian dari hubungan pemimpin ketika bekerja dengan bawahan yang menumbuhkan perkembangan pribadi yang positif. Definisi tersebut memunculkan adanya empat aspek utama dalam kepemimpinan otentik yaitu kesadaran diri (self-awareness), internalisasi perspektif moral diri (internalized morale perspective), pengolahan informasi yang seimbang (balanced processing of information) dan transparansi relasi pemimpin dan pengikut (relational transparency).
9
Kepemimpinan otentik terkadang memiliki persamaan dengan gaya kepemimpinan yang lain, tetapi setiap gaya kepemimpinan pastinya memiliki karakteristik masing-masing yang membedakan satu dengan yang lain. Berikut ini
adalah
perbandingan
kepemimpinan yang lain:
antara
kepemimpinan
otentik
dengan
gaya
10
Tabel 1. Perbandingan Gaya Kepemimpinan (Yukl, 2010) Kepemimpinan Otentik Konsistensi antara kata-kata, perbuatan dan nilai
Kepemimpinan Kepemimpinan Transformasional Melayani Mempengaruhi secara Adanya pemeliharaan, ideal pengembangan dan melindungi pengikut
Bersifat direktif maupun partisipatif
Memiliki pertimbangan Fokus pada terhadap individu empowerment dan bukan pada dominasi kekuatan
Menekankan adanya regulasi diri dan proses mempengaruhi interpersonal Memiliki identifikasi personal, identifikasi sosial, pengaruh emosional dan pertukaran sosial
Menekankan motivasi menginsipirasi
pada Fokus pada cara yang melayani kebutuhan dari pengikut
Adanya stimulasi dari Mendengarkan, intelektual dari pemimpin mempelajari aspirasi dan saling berbagi
Mempertahankan apa yang baik dan tidak baik walau terkadang bertentangan dengan kepentingan organisasi yang bersifat finansial
Perbandingan diatas semakin menegaskan bahwa kepemimpinan otentik lebih menekankan pada konsisten nilai yang dimiliki oleh pemimpin. Nilai-nilai yang dimiliki oleh pemimpin menjadi satu hal yang utama karena akan menjadi dasar dalam proses penerapan kepimpinan yang konsisten dengan nilai-nilai pemimpin tersebut. Secara spesifik, terdapat banyak penelitian empirik mengenai dampak kepemimpinan otentik terhadap karakter positif karyawan. Novicevic, Harvey, Buckley, Brown dan Evans (2006) menyatakan bahwa pemimpin yang berhasil
11
menghadapi tantangan dan tanggung jawab dengan tekanan dan konflik akan mampu menerapkan kepemimpinan otentik serta tidak hanya memiliki regulasi diri yang positif dan pengembangan diri yang positif dengan orang lain dalam organisasi, tetapi juga meningkatkan transparansi, kepercayaan dan iklim yang terbuka. Woolley, Caza dan Levy (2011) menyatakan bahwa pemimpin yang diterima sebagai pemimpin otentik akan berkontribusi terhadap iklim kerja yang baik dalam organisasi dan para bawahan yang berada dalam iklim kerja yang positif akan memiliki karakter karyawan yang lebih baik. Penelitian terbaru menyatakan bahwa kepemimpinan otentik menjadi salah satu prediktor tingginya karakter psikologis dan dinamika tim yang baik (Dawkins, Martin, Scott & Sanderson (2015); Nikpay, Siadat, Hoveida & Nilfrooshan (2014) & Jensen & Luthans (2006)). Peranan kepemimpinan otentik terhadap karakter positif karyawan (grit) dapat berfungsi secara tidak langsung. Hal ini dijelaskan lebih lanjut bahwa pemimpin yang otentik akan mengenal betul diri mereka sendiri, sangat memahami keyakinan dan nilai yang dianutnya, serta bertindak berdasarkan nilai dan keyakinan tersebut secara terbuka dan jujur. Para pengikutnya akan memandangnya sebagai pemimpin yang etis. Pada akhirnya, kualitas utama yang dihasilkan oleh kepemimpinan yang otentik adakah kepercayaan (Robbins & Judge, 2011). Kepercayaan terhadap pemimpin atau perusahaan ini yang nantinya akan berperan terhadap peningkatan grit karyawan sebagai salah satu karakter positif dalam bekerja. Kepercayaan terhadap perusahaan adalah elemen yang paling penting bagi organisasi untuk bertahan dan berkembang (Seok & Chiew, 2013). Karyawan yang mempercayai perusahaan akan bertahan untuk bekerja di
12
perusahaan yang sama dalam jangka waktu yang lebih lama, memberikan usaha yang lebih baik dan lebih berkomitmen terhadap perusahaan tersebut. Mayer dan Davis (1999) menyatakan bahwa kepercayaan yang diberikan oleh karyawan adalah elemen yang sangat penting dan akan berpengaruh besar terhadap efisiensi, produktivitas dan kinerja perusahaan. Robbins dan Judge (2011) menyatakan definisi kepercayaan sebagai ekspektasi atau pengharapan positif bahwa orang lain tidak akan – melalui kata-kata, tindakan, dan kebijakan- akan bertindak secara oportunistik. Ahli lain yaitu Rousseau, Sitkin, Burt, dan Camerer (1998) memahami bahwa kepercayaan sebagai pernyataan psikologis terhadap penerimaan resiko yang didasarkan pada harapan terhadap intensi dan perilaku dari pemimpin. Beberapa penelitian mengenai kepercayaan, seperti dalam penelitian yang dilakukan oleh Clapp-Smith, Vogelgesang dan Avey (2009) membuktikan secara empirik bahwa kepercayaan terhadap manajemen ditemukan mampu memediasi hubungan antara perilaku psikologis dan kinerja dan secara sebagian juga mampu menjadi mediator dari kepemimpinan otentik dan kinerja. Noteboom dan Six (2003) menyatakan bahwa baik kepemimpinan transformasional maupun inspirasional mampu mengembangkan rasa percaya bawahan terhadap pemimpin, kepercayaan terhadap pemimpin, dan persepsi trustworthiness terhadap manajemen. Berdasarkan definisi kepercayaan dan penelitian empirik diatas, maka dapat disimpulkan bahwa kepercayaan terhadap perusahaan merupakan dampak yang terbentuk melalui suatu proses yang diawali oleh adanya kondisi tertentu yang diharus dipenuhi terlebih dahulu. Penelitian membuktikan bahwa kepercayaan terhadap perusahaan terbentuk diawali dari adanya keterpercayaan
13
(trustworthiness) perusahaan yang di persepsi oleh karyawan (Seok & Chiew, 2013), sehingga keterpercayaan merupakan antesenden dari kepercayaan itu sendiri. Hal ini dikuatkan oleh adanya beberapa hasil penelitian empirik yang pernah dilakukan sebelumnya. Beberapa studi membuktikan bahwa kepercayaan dalam organisasi akan meningkat berdasarkan tingkat trustworthiness yang dipersepsi oleh karyawan dibandingkan dorongan situasional saja (Kruglanski, Malhotra & Murnigha, dalam Seok & Chiew, 2013). Penelitian lain oleh Barber; Kramer; Schoorman dkk. (dalam Seok & Chiew, 2013) membuktikan bahwa kepercayaan terhadap organisasi didorong kuat oleh adanya kelayakan atau keterpercayaan organisasi (trustworthiness) untuk dipercaya. Selanjutnya, penelitian oleh Onorato dan Zhu (2014) membuktikan bahwa karyawan dengan trustworthiness yang baik terhadap pemimpin yang otentik akan memiliki kepercayaan yang lebih baik terhadap perusahaan. Peranan keterpercayaan (trustworthiness) terhadap karakter positif karyawan secara empirik juga dibuktikan oleh penelitian yang dilakukan oleh Cho & Perry (2012) dimana keterpercayaan terhadap perusahaan mampu meningkatkan level motivasi intrinsik pada kepuasan kerja karyawan. Weibel
(2007)
menyatakan
bahwa
kepercayaan
dan
konsep
keterpercayaan (trustworthiness) dibedakan. Keterpercayaan (trustworthiness) berarti layak untuk dipercaya atau jaminan untuk dipercaya. Karyawan mendasarkan kepercayaannya terhadap penilaian akan kelayakan perusahaan untuk dipercaya (trustworthiness). Aspek dari keterpercayaan (trustworthiness) menurut Mayer, Davis dan Schoorman (1995) terdiri dari:
14
1) Kemampuan (ability) yaitu persepsi karyawan akan adanya kemampuan dan kompetensi yang memadai dari perusahaan untuk mencapai kesuksesan. 2)
Kebajikan
(benevolence)
yaitu
persepsi
karyawan
dimana
perusahaan dipercaya akan melakukan hal yang baik pada karyawan, terlepas dari motif egosentris 3) Integritas (integrity) yaitu persepsi karyawan akan penerimaan nilai perusahaan yang dapat diterima oleh karyawan.
Penelitian yang lebih spesifik mengenai keterpercayaan (trustworthiness) menghasilkan beberapa hasil empirik yang mengindikasikan keterpercayaan sebagai mediator variabel lain. Kim & Kuo (2015) membuktikan secara empirik bahwa keterpercayaan (trustworthiness) sangat penting dalam proses coaching atasan terhadap bawahan karena keterpercayaan memediasi secara kuat hubungan antara kemampuan coaching atasan dengan perilaku kerja karyawan. Peranan keterpercayaan sebagai mediator juga terbukti pada penelitian yang dilakukan oleh Kim, Lee, Murrmann & George, (2012) yang membuktikan secara empirik bahwa empowerment mampu meningkatkan komitmen karyawan dengan dimediasi oleh keterpercayaan manajemen perusahaan. Penelitian berikutnya oleh Chou, Wang, Wang, Huang & Cheng (2008) membuktikan bahwa keterpercayaan mampu memediasi hubungan antara kesamaan nilai kerja (shared work value) terhadap kinerja anggota dalam tim. Penelitian yang terakhir oleh Cremer (2004) membuktikan bahwa keakuratan prosedur dan ketidakbiasan pemimpin akan mampu berperan dalam penerapan keadilan yang dimediasi oleh keterpercayaan.
15
Berdasarkan seluruh kajian teoritis dan empiris yang telah di jelaskan sebelumnya, maka diperoleh gambaran umum mengenai keterkaitan beberapa hal penting yang akan diteliti. Salah satu faktor yang mendukung pencapaian tujuan jangka panjang perusahaan adalah karyawan yang memiliki karakter positif yang mendukung, dalam hal ini adalah tingkat grit yang tinggi yang diindikasikan dengan adanya ketekunan (perseverance) dan keinginan besar untuk mencapai tujuan jangka panjang dengan gigih (Duckworth, Peterson, Matthews & Kelly, 2007). Perusahaan hendaknya memberikan lingkungan kerja kondusif bagi karyawan sehingga mampu memiliki tingkat grit yang baik, maka peranan perusahaan melalui penerapan pola kepemimpinan yang otentik yang memiliki kekuatan dalam hal konsistensi dalam perkataan, aksi dan nilai yang diterapkan oleh pemimpin akan semakin mendukung terciptanya iklim kerja yang baik (Wolley, Caza & Levy, 2011). Pada akhirnya kualitas kepemimpinan otentik yang baik akan tercermin dari terciptanya keterpercayaan (trustworthiness) karyawan terhadap perusahaan yang akan membantu perusahaan untuk mencapai tujuan jangka panjang yang sudah ditetapkan (Kim & Kuo, 2015). Keterpercayaan perusahaan merupakan suatu hal yang sangat penting tidak hanya bagi karyawan yang bekerja di dalam perusahaan, juga bagi pihak eksternal yang berkaitan langsung dengan perusahaan. Keterpercayaan ini mampu dibangun melalui proses pengelolaan sumber daya yang optimal dan praktek bisnis yang mampu mendukung peningkatan kinerja perusahaan yang sesuai dengan harapan dan pada akhirnya mampu meningkatkan karakter positif (dalam hal ini grit) yang dimiliki oleh karyawan.