1
PENDAHULUAN Latar Belakang
Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit tertua yang dikenal manusia. Penyakit ini merupakan salah satu masalah internasional yang saat ini semakin memburuk dengan meningkatnya resiko kejadian dan penyebab utama kematian, serta tercatat dua juta orang meninggal setiap tahun karena penyakit ini (Smith, 2003). Menurut World Health Organization (2006) penyakit TB sangat berbahaya pada penderita penyakit human immunodeficiency virus (HIV) dan orang yang memiliki multi-drugs resistance Mycobacterium tuberculosis (MDRTB). Diperkirakan satu kematian setiap 15 detik (lebih dari 2 juta pertahun) serta 60% kasus penyakit TB meninggal tanpa pengobatan (Chandra, 2007). Penyakit TB disebabkan oleh grup strain mycobacterium yang berhubungan dekat, seperti Mycobacterium tuberculosis (M.tuberculosis), M.bovis,
M.africanum,
dan
M.microti
yang
biasanya
dikenal
sebagai
Mycobacterium tuberculosis complex (MTC) (Lie´Bana et al., 1996; Parsons, 2010; Riyanti, 2011). Mycobacterium
tuberculosis
complex
mempunyai
karakteristik
pertumbuhan yang lambat, sehingga identifikasi dengan metode tradisional yaitu kultur bakteri membutuhkan waktu beberapa minggu (Grange dan Yates, 1994). Walaupun beberapa karakteristik fenotip dapat digunakan untuk membedakan MTC, penelitian mengenai diferensiasi taksonomi membantu menegaskan bahwa anggota dari MTC harus dikenali sebagai spesies tunggal (Rogall et al., 1990).
2
Sangat penting untuk dapat mengidentifikasi spesies MTC secara tepat sehingga penyelidikan secara epidemiologi dapat mendeteksi reservoir potensial yang dapat menimbulkan resiko terhadap kesehatan masyarakat. Hal ini berguna karena M.tuberculosis, M.bovis dan M.africanum dapat menyebabkan tuberkulosis pada manusia dan hewan dan mereka memiliki kemiripan dalam gejala klinis sehingga sulit dibedakan (Lie´Bana et al., 1996). Mycobacterium tuberculosis penyebab penyakit TB yang menyebabkan kematian hampir dua juta orang dengan kasus baru tuberkulosis hampir delapan juta orang per tahunnya. Menurut WHO sepertiga penduduk dunia terinfeksi M.tuberculosis (Raviglione et al., 1995) dan sudah terdeteksi pada ikan, reptil, burung dan mamalia termasuk mamalia laut. Mycobacterium tuberculosis menyebabkan lebih dari 90% tuberkulosis pada manusia, namun jarang menginfeksi mamalia lain, kecuali anjing (Gunn-Moore, 2009). Penyakit TB pada manusia dan banyak spesies hewan ditandai adanya tubercle atau radang granuloma. Secara natural, kontaminasi pertama M.tuberculosis pada hewan adalah manusia, dan kemudian menyebabkan infeksi pada hewan, yang kemudian menjadi sumber infeksi untuk manusia (Une dan Mori, 2007). Mycobacterium africanum menyebabkan tuberkulosis pada manusia dan primata (Lie’Bana et al., 1996), sedang M.microti menyebabkan tuberkulosis pada tikus dan kucing, dan diduga tidak menyebabkan penyakit pada manusia (Gunn-Moore, 2009). Mycobacterium bovis adalah penyebab paling umum dari tuberkulosis pada sapi dan menginfeksi manusia, primata, dan ternak seperti babi, domba, kambing, kuda, kerbau, unta. (Cosivi et al.,1995; Gunn-Moore, 2009).
3
Rute infeksi dari M.tuberculosis kebanyakan melalui sistem respirasi, namun dapat juga melalui sistem pencernaan, kulit dan pakan. Domba dan kambing peka terhadap M.tuberculosis dan M.bovis, namun kebanyakan kasus yang terjadi disebabkan karena M.tuberculosis yang ditularkan oleh sapi, kambing dan manusia. (Brudey et al., 2006; Kassa et al., 2011). Kambing yang terinfeksi penyakit TB dapat bertindak sebagai reservoir infeksi, memfasilitasi transmisi ke manusia (Gutierrez et al., 1997;. Kubica et al., 2003; Rodriguez et al., 2009; Bezos et al., 2011;), ternak sapi (Cvetnic et al., 2007; Vordermeier et al., 2002; Bezos et al., 2010;) dan satwa liar (Prodinger et al., 2002). Menurut Kassa et al., (2012), di Ethiopia TB pada domba dapat menular pada manusia. Hal ini terjadi karena kontak antar peternak dengan ternak yang terinfeksi TB. Domba dan kambing pada umumnya terinfeksi melalui pakan dan air yang sudah tercemar MTC. Penyakit TB pada domba, terutama disebabkan oleh M.bovis dan M.caprae (Aranaz et al., 2003; Bezos et al., 2012) adalah penyakit zoonosis yang berimplikasi bagi kesehatan masyarakat, serta memiliki dampak ekonomi karena produksi kambing menurun, peningkatan angka kematian dan biaya pengobatan. Kerugian akibat penyakit TB pada ternak dapat berupa penurunan produksi susu, kehilangan berat badan dan pengafkiran bagian-bagian daging yang terserang. (Anonimus, 2012). Hasil produk asal hewan yang terinfeksi penyakit TB seperti susu, daging dan produk lainnya tidak dapat dikonsumsi (Tjahajati, 2006). Mycobacterium tuberculosis dapat juga menyebabkan masalah lingkungan di peternakan dan
populasi satwa liar yang mengakibatkan kerugian ekonomi
4
terkait dengan pemusnahan hewan yang terinfeksi dan keterbatasan hasil ternak untuk diperdagangkan (Collins, 2006; Cousins, 2001; Kennedy dan Benedictus, 2001; Olsen et al., 2002.; Palmer, 2007; Bezos et al.,2010). Di Spanyol, penyakit TB menimbulkan ancaman terhadap peternakan kambing, yang berdampak penurunan pendapatan ternak walaupun tidak mengalami pemberantasan sistematis pada populasi kambing. Beberapa negara yang tidak bebas dari TB pada ternak seperti domba, kambing dan sapi, tetap melakukan surveilans (Bezos et al., 2011). Kejadian penyakit TB pada ternak di Indonesia tidak begitu menonjol, dibandingkan dengan kejadian penyakit menular lainnya. Kejadian penyakit TB pada hewan di Indonesia yang pernah diteliti antara lain M.avium subspecies paratuberculosis dideteksi pada sapi perah di Kabupaten Bandung dan Banyumas (Adji, 2008), M.bovis pada Sapi di Wilayah Kabupaten Buleleng, Bangli, dan Karangasem Provinsi Bali (Putra et al., 2013), M.tuberculosis pada anjing dan kucing di Yogyakarta (Tjahajati, 2011). Data penelitian ini belum dapat mewakili kejadian
TB di Indonesia, hal ini terjadi karena kurangnya laporan kejadian penyakit TB pada ternak, khususnya domba dan kambing belum banyak diteliti. Ternak domba di Indonesia diduga dapat terinfeksi TB, seperti halnya yang terjadi di Ethiopia dan Spanyol. Banyaknya kejadian TB pada hewan, sejauh ini belum banyak diteliti dan dipublikasikan. Keterbatasan alat diagnostik lapangan menyebabkan penyakit TB pada domba dan ternak lainya sering terabaikan. Dekatnya hubungan antara ternak dan manusia, membuat ternak sakit merupakan ancaman/resiko besar yang dapat bertindak sebagai sumber penularan ke manusia yang ada di
5
sekitarnya. Meskipun peningkatan jumlah penderita penyakit zoonotik TB terus meningkat, perhatian terhadap TB pada ternak yang ada di Indonesia sejauh ini belum mendapatkan perhatian yang serius. Dalam studi Kassa et al., (2012), M.tuberculosis galur M.umbiculosis (SIT149) yang diisolasi dari kambing menunjukkan kemungkinan transmisi dari manusia ke kambing. Mycobacterium umbiculosis (SIT149) strain M.tuberculosis adalah strain yang dominan di Ethiopia yang diisolasi dari pasien TB pada manusia. Hal ini terjadi karena kontak antar pengembala yang terinfeksi tuberkulosis dengan ternak (Kassa et al., 2012). Mengingat TB merupakan penyakit zoonosis strategis penting yang masih merupakan problem global dunia, maka pentingnya tersedianya alat diagnosis yang spesifik, cepat dan akurat, dalam rangka pemetaan dan pengendalian penyakit perlu mendapatkan perhatian. Banyak laboratorium saat ini menggunakan teknik molekuler untuk mengidentifikasi isolat Mycobacterium tuberculosis complex, salah satunya dengan menggunakan teknik Acridinium ester-labelled DNA probe. Hanya saja probe ini tidak dapat membedakan spesies dari MTC (Goto et al., 1991). Polymerase Chain Reaction (PCR) juga banyak digunakan untuk identifikasi Mycobacterium. Metode PCR ini dapat digunakan untuk identifikasi spesies dari MTC, yaitu dengan menggunakan primer dari fragmen gen yang spesifik untuk masing-masing spesies MTC (Lie´Bana et al., 1996). Deteksi TB dengan multiplex Polymerase Chain Reaction (m-PCR) pada ternak menjadi sangat penting karena didasarkan pada DNA spesifik yang dimiliki oleh M.tuberculosis dan M.bovis, yang dapat dideteksi dengan satu langkah
6
metode PCR. Ternak sapi, kambing, dan domba dapat terinfeksi M.tuberculosis dan M.bovis, merupakan strain yang banyak menyerang pada manusia dan diketahui sangat berbahaya serta merugikan (Dolin, l994; Aranaz et al., l996). Pembuatan perangkat diagnostik m-PCR menjadi sangat penting diperlukan untuk mewujudkan
alternatif pemecahan diagnosis TB ternak, mengingat TB
merupakan penyakit zoonosis strategis penting
yang sampai saat ini masih
merupakan problem global dunia, termasuk juga di Indonesia. Tersedianya perangkat diagnosis yang cepat, tepat, dan akurat akan dapat merupakan pemecahan awal, dan dapat diaplikasikan untuk menentukan prevalensi kejadian TB pada ternak, sehingga pada akhirnya dapat dilakukan pemetaan penyakit TB pada berbagai ternak yang ada di Indonesia. Hasil penelitian yang berupa tersedianya perangkat diagnosis TB dengan m-PCR untuk ternak akan dapat dipakai untuk dapat diaplikasikan untuk menentukan prevalensi TB pada berbagai ternak yang ada di Indonesia berdasar kajian molekuler, yang sangat bermanfaat khususnya pengembangan peternakan untuk mendukung program swasembada daging, dan juga untuk penanggulangan penyakit menular yang punya resiko untuk menular ke manusia sehingga informasi TB pada berbagai ternak tersedia, dan terdokumentasikan dengan baik. Dengan kata lain hasil penelitian diharapkan akan sangat berguna untuk pengembangan IPTEK di bidang Pengembangan Peternakan dalam deteksi dan pemberantasan penyakit menular untuk mendukung Pengembangan Peternakan komoditas yang diprioritaskan pada periode lima tahun ke depan, yaitu ternak sapi, kambing, dan domba.
7
Perumusan Masalah Penyakit TB merupakan penyakit zoonosis strategis penting yang masih merupakan problem global dunia, maka pentingnya tersedianya alat diagnosis yang spesifik, cepat dan akurat, dalam rangka pemetaan dan pengendalian penyakit. Secara natural, kontaminasi pertama M.tuberculosis pada hewan adalah manusia, dan kemudian menyebabkan infeksi pada hewan, yang kemudian menjadi sumber infeksi untuk manusia (Une dan Mori, 2007). Penyakit TB pada domba, terutama disebabkan oleh M.bovis dan M.caprae ( Aranaz et al., 2003; Bezos et al., 2011) adalah penyakit zoonosis yang berimplikasi bagi kesehatan masyarakat, serta memiliki dampak ekonomi karena produksi kambing menurun, peningkatan angka kematian dan biaya pengobatan. Ternak domba di Indonesia diduga dapat tertular penyakit TB khususnya M.tuberculosis seperti halnya yang terjadi di Ethiopia dan Spanyol serta keterbatasan informasi kejadian TB pada hewan di Indonesia.
Keterbatasan alat diagnostik lapangan menyebabkan
penyakit TB pada domba dan ternak lainya sering terabaikan. Dekatnya hubungan antara ternak dan manusia, membuat ternak sakit merupakan ancaman/resiko besar yang dapat bertindak sebagai sumber penularan ke manusia yang ada di sekitarnya. Ketepatan dan kecepatan diagnosis TB sampai sekarang masih merupakan masalah besar, baik pada manusia maupun pada ternak seperti sapi, kambing, dan domba. Diagnosis secara konvensional dengan kultur bakteri mempunyai tingkat spesifisitas yang tinggi (mendekati 100%) namun karena pertumbuhan
8
M.tuberculosis yang lambat dalam kultur (8-10 minggu) mengakibatkan diagnosis ini sering terlambat. Apabila jumlah bakteri yang berhasil tumbuh pada kultur bakteri sangat sedikit, maka sangat sulit untuk menentukan hasil yang positif. Pemeriksaan langsung dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen (ZN staining) pada spesimen klinis memang memberikan hasil yang lebih cepat, namun tidak dapat mengidentifikasi Mycobacterium pada level spesies dan memerlukan jumlah bakteri dalam kultur yang besar (>104/ml) untuk tiap sampelnya (David, 1976). Diagnosis menggunakan sistem BACTEC radiometrik (Middlebrook et al., 1977) dan immunoassay untuk mengidentifikasi Mycobacterium dengan antibodi monoklonal (Verstijnen et al., 1991) memberikan hasil yang lebih cepat, namun kedua metode ini masih tetap tergantung pada pertumbuhan M.tuberculosis pada kultur. Diagnosis secara serologis mempunyai beberapa keunggulan untuk situasi tertentu, namun tingkat spesifisitas dan sensitifitasnya metode ini rendah dan tidak memberikan hasil yang memuaskan (Daniel and Debanne, 1987). Metode kromatografi gas dengan deteksi ionisasi flame memberi keunggulan untuk mengidentifikasi kultur Mycobacterium, namun metode ini tidak cukup sensitif digunakan untuk spesimen klinis seperti, sputum, pus, darah, eksudat pulmo, dan cairan tubuh yang lain (Larsson and Odham, 1986). Metode deteksi dengan menggunakan spektrometrik massa (Mass Spectrometric) memang memberikan hasil yang baik untuk spesimen klinis, namun memerlukan peralatan yang canggih dan biaya mahal (Larsson et al., 1987). Berdasarkan pada permasalahan yang dirumuskan, maka permasalahan dapat diselesaikan dengan penelitian yang menggunakan metode diagnosis cepat
9
untuk deteksi M.tuberculosis dan M.bovis domba yakni menggunakan metode multiplex Polymerase Chain Reaction (m-PCR) dari spesimen organ paru dan limfoglandula domba. Amplifikasi PCR pada region insertion element CSB1, CSB2 dan CSB3 dengan primer spesifik (Bakshi et al.,2005). Metode ini dapat digunakan untuk melakukan deteksi secara cepat dan rutin dari spesimen klinis, dan dapat digunakan untuk mengindentifikasi M.tuberculosis dan M.bovis pada level molekuler. Metode m-PCR adalah salah satu solusi masalah diagnosis TB pada ternak seperti sapi, kambing, dan domba masih merupakan masalah, karena uji dengan intradermal (TST, tuberculin skin test) memerlukan waktu yang lama dan hasil antar individual sangat bervariasi, uji dengan isolasi/kultur bakteri membutuhkan waktu yang sangat lama (8-10 minggu). Alternatif pemecahan dengan diagnosis tuberculosis secara in vitro merupakan cara yang mudah, dan dengan
metode
m-PCR
menggunakan
primer
spesifik
dengan
DNA
M.tuberculosis dan M.bovis. Diagnosis yang didasarkan pada DNA spesifik yang dimiliki oleh kuman penyebab TB (M.tuberculosis dan M.bovis), akan menjanjikan cara diagnosis yang mudah, cepat, dan akurat. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian adalah aplikasi metode m-PCR untuk deteksi M.tuberculosis dan M.bovis pada domba dengan dengan primer spesifik yang dapat membedakan DNA M.tuberculosis dan M.bovis. Manfaat Penelitian Metode m-PCR dapat mendeteksi M.tuberculosis dan M.bovis pada domba, sehingga menjadi salah satu pilihan perangkat diagnostik untuk
10
mendeteksi M.tuberculosis dan M.bovis pada domba dan ternak lainnya. Hasil yang diperoleh diharapkan dapat digunakan sebagai pertimbangan tambahan informasi infeksi M.tuberculosis dan M.bovis pada domba khususnya di Indonesia. Keaslian Penelitian Beberapa
penelitian
telah
dilakukan
terkait
dengan
diagnosis
M.tuberkulosis dan M.bovis dengan metode PCR baik di dalam maupun luar negeri. Penelitian-penelitian yang telah dilakukan, berikut persamaan dan perbedaan dengan penelitian ini disajikan dalam Tabel 1. Tabel 1. Persamaan dan perbedaan penelitian saat ini dengan penelitian terdahulu No. Peneliti/Tahun/Judul/Hasil Persamaan 1 Rodriguez et al., / 1995 / Mengidentifikasi jenis Species-specific Mycobacterium dengan identification of metode PCR Mycobacterium bovis by PCR / Dengan metode RAPD mengidentifikasi dapat M.bovis strain M.bovis BCG pada posisi band 500 bp dengan menggunakan sampel susu .
Perbedaan Identifikasi jenis Mycobacterium yang berbeda sehingga primer yang digunakan berbeda dengan gen target yang berbeda, serta sampel berbeda. Lokasi: Kolumbia
2
Primer yang digunakan berbeda sehingga gen target yang berbeda dengan hasil posisi band berbeda, serta sampel yang berbeda Lokasi: India
Shah et al., / 2002 / A multiplex-PCR for the diferentiation of Mycobacterium bovis and Mycobacterium tuberculosis / Metode m-PCR dengan isolat dari manusia, sapi, babi dan marmut di India dengan menggunakan Primer JB21, JB22, pncATB-1.2 dan pncAMT-2 dengan M.bovis pada band 500 bp dan M.tuberculosis pada 185 bp.
Mengidentifikasi jenis M.tuberculosis dan M.bovis dengan metode m-PCR
11
No. Peneliti/Tahun/Judul/Hasil 3 Bakshi et al., / 2005 / Rapid differentiation of Mycobacterium bovis and Mycobacterium tuberculosis based on a 12.7kb fragment by a single tube multiplex-PCR / Dapat membedakan M.tuberculosis (337 bp) dan M.bovis (168 bp) dengan menggunakan perbedaan fragmen 12,7 kb dan primer CSB1, CSB 2 dan CSB 3
Persamaan Mengidentifikasi jenis M.tuberculosis dan M.bovis dengan metode m-PCR dan primer yang hampir sama.
Perbedaan Susunan nukleotida Primer CSB 3 yang berbeda, serta hasil posisi band yang berbeda pada M.tuberculosis. Sampel yang digunakan berbeda Lokasi: India
4
Adji / 2008 / Deteksi Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis pada sapi perah di Kabupaten Bandung dan Banyumas / Pemeriksaan kejadian M. paratuberkulosis pada sapi perah di Kabupaten Bandung dan Banyumas dengan PCR (primer IS900 dan primers F57) Prevalensi penyakit tersebut berkisar 2%, karena dari 184 sampel yang diambil ada 2 yang positif paratuberkulosis
Mengidentifikasi jenis Identifikasi jenis mycobacterium dengan mycobacterium metode PCR yang berbeda sehingga primer yang digunakan berbeda dengan gen target yang berbeda, serta sampel berbeda. Lokasi: Kabupaten Bandung dan Banyumas
5
Marianelli et al., / 2010 / A case of generalized bovine tuberculosis in a sheep / Dideteksi adanya infeksi M.bovis pada domba dengan metode PCR (primer IS6110)
Mengidentifikasi jenis M.bovis dengan metode PCR
Identifikasi jenis M.bovis sehingga primer yang digunakan berbeda dengan gen target yang berbeda Lokasi: Italia
Berdasarkan pada Tabel 1 diatas, maka penelitian ini belum pernah dilakukan yakni aplikasi m-PCR untuk deteksi M.tuberculosis dan M.bovis pada domba.