PENDAFTARAN PEMILIH POLA DE JURE DAN IMPLIKASINY A TERHAD AP PEMILIHAN KEPALA DAERAH KOTA YOGYAKARTA
Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana S-2
Program Studi Magister Administra si Publik
Diajukan oleh :
YURNELIS PILIANG 21802/PS/MAP/06 Kepada PROGRAM PASCASA RJANA UNIVERSI TAS GADJAH MADA YOGYAKA RTA
2008
Tesis PENDAFTARAN PEMILIH POLA DE JURE DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMILIHAN KEPALA DAERAH KOTA YOGYAKARTA
Dipersiapkan dan disusun oleh
Yurnelis Piliang Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Pada tanggal 23 Agustus 2008
Susunan Dewan Penguji Penguji Lain
Pembimbing Pendamping I
~ Drs. Muhammad Najib, M.Si Pembimbing Pendamping II
Tesis ini telah diterima sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister
Pengelola Program Studi Magister Administrasi Publik UGM
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pemah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pemah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Yogyakarta,
Ill
MOTTO: "Tak ada "kumt"tak idesai Tak ada "keruh" tak jernih Aial tahu dan mau memulainnya"
Tulisan ini penuh syukur dan ketulusan ku persembahkan untuk :
• Almarhumah Yulianis, segenap apresiasi untuk setiap tetes kemgat dan airmata-mu demi aku anakmu meskipun lbunda tidak pemah memiliki kesempatan untuk menyaksikan hasilnya. • Matahariku ~jamm Agung Widjaja dan dua bintang kectlku : Kartika Arivia Khairunisa dan Lintang Emira Hafisa, terimakasih atas kesabaran kalian menemaniku menyelesaikan studi ini. • Keluarga besarku tercinta, Bapak dan adik-adikku dii Padangsidempuan. • Bapak -lbu mertua serta adik-adiK kehangatan yang kalian berikan sangat berarti. Bmama kalian Jo~a menjadi Aku dan Aku adalah Jo~a.
IV
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat Rahmat dan Karunia-Nya,
penulis mendapat kekuatan, tekad dan kemauan untuk
menyelesaikan tugas penulisan tesis ini dengan judul "Pendaftaran Pemilih pola de jure dan Implikasinya terhadap Pemilihan Kepala Daerah Kota Yogyakarta." Penulisan tesis ini untuk memenuhi salah satu persyaratan guna memperoleh derajat kesarjanaan Strata 2 (S-2), Program Pasca Sarjana pada Program Studi Magister Administrasi Publik. Dengan selesainya penulisan tesis ini, maka berakhir pula program Beasiswa Bappenas ( 13 bulan) yang penulis lalui dengan suka duka. Sukanya adalah karena memperoleh kesempatan untuk mendapatkan ilmu berharga dari kampus terbaik di negeri ini, sedangkan dukanya adalah program tiga belas bulan cukup melelahkan dan menguras energi. Kesulitan dalam penulisan tesis ini dapat diatasi berkat ketabahan, kegigihan dan bantuan berbagai pihak. Sebagai luapan rasa syukur, lega dan bahagia, serta dengan hati yang tulus ikhlas penulis mengucapkan terima kasih untuk perjalanan selama tugas belajar dan dalam penulisan tesis kepada: 1. Dr Agus Pramusinto, MDA selaku pembimbing, di dalam kesibukannya masih memberikan waktu berharganya untuk memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis dalam penyelesaian penulisan tesis ini.
v
2. Prof Dr. Warsito Utomo dan Drs. Mohammad Najib, Msi, selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan dan araban sehingga tulisan ini lebih bermakna. 3. Seluruh staf pengajar MAP- UGM yang telah membagi ilmu yang berharga, sungguh sebuah kesempatan berharga yang entah kapan lagi
penulis
dapatkan. 4. Herry Zudianto, Walikota Yogyakarta yang telah memberikan izin bagi penulis untuk mengikuti pendidikan pada Program Pasca Satjana Magister Administrasi Publik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. 5. Ketiga Sekretaris KPUD Kota Yogyakarta, Letkol. (Inf) Untung Sri Hadi P, Drs. H. Purwanto dan H.Gufron, SH. Ketiganya berperan mulai penulis mengikuti proses seleksi untuk mendapatkan beasiswa Bappenas dan menyelesaikan kuliah di MAP Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. 6. Seluruh Anggota KPU Kota Yogyakarta : Miftachul Alfin, MSHRM., Nasrullah, SH., Rahmat Muhajir, SH., dan Aan Kumiasih, SH. Keempatnya selalu bersedia kapanpun penulis mengajak diskusi, sehingga penulisan tesis ini bisa selesai. 7. Arie Sudjito, M.SI, dan Dr. Phil Hermin Indah Wahyuni, kalian berdua adalah bagian dari masa lalu di Fisipol angakatan 91 tetapi bagian dari masa sekarang ketika penulis menyelesaikan tesis ini dan berada di MAP - UGM.
VI
8.
Seluruh staf, karyawan MAP UGM yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari proses peijalanan dalam mengikuti tugas belajar di kampus tercinta ini.
9. Ternan-ternan kelas Bappenas Angkatan II Tahun 2007-2008 yang sanggup rnenghadapi tantangan Bappenas untuk menyelesaikan kuliah dalarn waktu yang singkat tetapi tetap kornpak dan solid. 10. Ternan-ternan Sekretariat KPUD Kota Yogyakarta, terutarna Iwan, Mas Dodi, Dek Ratri, dan Mbak Maya yang bersedia memberikan data apapun yang penulis minta. 11. Seluruh keluarga, yang telah memberikan dorongan dan semangat kepada penulis dalarn rnenyelesaikan pendidikan. 12. Sernua pihak yang berjasa, membukakan jalan dan mernberi wama selama rnasa tugas-belajar penulis yang mungkin terlewatkan tidak tertulis. Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempuma, tetapi harapan yang paling besar adalah bisa berrnanfaat untuk siapapun dan semua pihak.
September 2008
Vll
DAFTAR lSI Hal am an HALAMAN JUDUL ................................................................. . HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................... PERNYATAAN ................................. ···'·· ... ...... ............... ... ...... MOTTO················································································· KA TA PENGANTAR . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . DAFTAR lSI . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . DAFTAR TABEL ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... .. . ... ... ... ... ... DAFTAR GAMBAR . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ... INTI SARI . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ABSTRACT . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
BAB
I 1.1. 1.2. 1.3. 1.4. 1.5. 1.6.
PENDAHULUAN Latar Belakang .................................................... . Perumusan Masalah ............................................... . Batasan Penelitian ................................................. . Tujuan Penelitian .................................................. . Manfaat Penelitian ................................................ . Sistematika Penulisan ............................................ .
BAB
II
DEMOKRASI, DESENTRALISASI, PEMILIHAN KEPALA DAERAH PERWAKILAN SERTA PILKADA LANGSUNG, DAN SISTEM PENYELENGGARAAN PILKADA .......................................................... . Demokrasi ......................................................... . Desentralisasi ...................................................... . Sistem Pemilu dan Pilkada Sistem Pemilu ..................................................... . Sistem Pilkada langsung ........................................ .. Dari Pemilihan Kepala Daerah Perwakilan Sampai Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung ................... . Pemilihan Kepala Daerah Perwakilan .......................... . Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung ................... . Pilkada : Rejim Pemilu vs Rejim Pemerintah Daerah ........ . Implikasi Rejim Pemerintah Daerah terhadap Pilkada ...... . KPU Sebagai Penyelenggara Pemilu ........................... .
2.1. 2.2. 2.3. 2.3.1.
2.3.2. 2.4. 2.4.1. 2.4.2. 2.4.2.1. 2.4.2.2. 2.5.
II
111 IV
v VIII XI
Xll Xlll XIV
1 12 18 18 18 19 19
22 23
26 28 29 32 34
36 40 43
46 47
Vlll
2.6.
2.7. 2.7.1. 2.7.2.
2.7.3. 2.7.4.
2.7.5.
BAB
III 3.1.
3.2. 3.3. 3.4.
3.5. 3.6.
BAB
IV 4.1. 4.1.1. 4.2. 4.2.1. 4.2.2.
4.2.3. BAB
V
5.1. 5.1.1. 5.1.2.
5.1.3. 5.1.4.
Regulasi Pemilu ..................... ..................... ......... . Implikasi Pola De Jure Terhadap Pembiayaan Dan Partisipasi Pemilih ..................... ..................... . . lmplikasi ..................... ..................... ................. . Konsep Pendaftaran Pemilih ..................... ................ . Definisi Pemilih ..................... ..................... ......... . Pengertian De Jure dan De Facto ..................... .......... . Implikasi Terhadap Pembiayaan dan Ketidakhadiran Pemilih ..................... ..................... .
METODE PENELITIAN Jenis Penelitian ..................... ..................... .......... . Lokasi Penelitian ..................... ..................... ........ . Informan Penelitian ..................... ..................... ..... . Teknik Pengumpulan Data ..................... ................. . Analisa Data ..................... ..................... ............. . Keabsahan Data ..................... ..................... ......... .
DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN ...................... ..... . Gambaran Urn urn ..................... ..................... ........ . Kondisi Urn urn Kota Y ogyakarta yang Berpengaruh pada pendataan Pemilih ...................... .... . Pergeseran Mekanisme Pendaftaran Pemilih Dari Masa Ke Masa ..................... ................ . Pelaksanaan Pendaftaran Pemilih di Masa Orde Baru ....... . Alasan Pemerintah Menggunakan Mekanisme De Jure Mekanisme Pendaftaran Pemilih Pilkada ...................... .
PROBLEMA TIKA PENDAFTARAN PEMILIH DITINJAU DARI PERA TORAN, DAN KEBIJAKAN KPUD ..................... ..................... .. . Analisa Terhadap Peraturan Tentang Pemilih ................. . Definisi Pemilih dan Domisili Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 dan Asumsi Jumlah Pemilih ........ . Definisi Pemilih dan Domisili Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005 dan Asumsi Jumlah Pemilih ..................... ................ . Data dari Depdagri Tidak Valid ........................................... . Kebijakan Menggunakan Data Pemilih Pipres II ................. .
50 51 51 51 53 55 57
60 60 61 62
63
66 68
70 70 70
84 85 86 88
93 96 99 104 III
I18
IX
5.1.5. 5.1.6.
BAB
BAB
Surat dari Depdagri sebagai Payung Hukum Baru ---------------Peraturan KPUD Kota Yogyakarta No. 05 Tahun 2006 _______ _
IMPLIKASI PENERAPAN PENDAFT ARAN PEMILll-I DE JURE --------- _____ ._______ ............... _____ .... _______________ _ 6.1. Penerapan Peraturan KPUD Nomor 05 Tahun 2006 ------------Pengolahan DP4 Menjadi DPS _________________________________ .. 6.1.1. 6.1.2. Penyusunan Dan Penetapan Daftar Pemilih Sementara (DPS) ........................................ . 6.1.3. Penundaan Pilkada Akibat Gempa dan Implikasinya Terhadap Daftar Pemilih Sementara (DPS) . __ ................. . 6.1.4. Penundaan Pilkada Akibat Hanya Satu Pasangan Cal on Yang Memenuhi Syarat dan Implikasinya Terhadap Penyusunan Daftar Pemilih Penetapan DPS ................... . Penyusunan Daftar Pemilih Tetap (OPT) ..................... __ 6.1.5. Implikasi Terhadap Pilkada ______________________________________ _ 6.2. 6.2.1. Implikasi Pada Anggaran Akibat Jumlah Pemilih Meningkat ............. _.................................. . 6.2.1.1. Kebutuhan Logistik Pilkada ... _.................. _.............. . 6.2.1.2. Penambahan Jumlah TPS ... ______________________________ ...... __ 6.2.2. Implikasi Pada Tingkat Kehadiran Pada Saat Pemungutan Suara ...... _........ _............. _............ . MeningkatnyaJumlah Ghost Voter ........................ _____ _ 6.2.3. Penilaian Atas Kebijakan Yang Diambil Oleh KPUD _______ _ 6.3.
119 125
VI
VII 7.1.
7.2.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran
127 127 128 130 135
139
140 144 144 145 147 148
152 154
155 155
157
DAFTAR PUSTAKA
X
DAFTAR TABEL
Hal am an Tabel
1.
Data Partisipasi Pemilih Per-Kecamatan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
11
Tabel
2.
Prosentase Jumlah Tidak Memilih . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ..
13
Tabel
3.
Luas Wilayah, Jumlah Penduduk, dan Kepadatan Perduduk Per-Kecamatan di Kota Yogyakarta Tahun 2006 ... . . . . . . . . .. . ... . . . . .. . .. . . . ... ... ... ... ... ... .. . . .. . . .
74
Tabel
4.
Rekapitulasi Data DP4 ......................................... .
75
Tabel
5.
Rekapitulasi Daftar Pemilih Sementara ...................... .
77
Tabel
6.
Perbandingan Jumlah Penduduk dengan Tingkat Kepadatan Penduduk Per-Kecamatan di Kota Yogyakarta ............................................. .
81
83
Tabel
7.
Migrasi Neto di Indonesia Berdasarkan Provinsi
Tabel
8.
Alasan Utama Orang Melakukan Urbanisasi Tahun 1980- 1995
84
Partisipasi Pemilih dan Pilkada DIY
94
Tabel
9.
Tabel
10. Jumlah Pemilih Legislatif, Pi Ipres I dan Pi Ipres II
Tabel
11. Ringkasan Data Pemilih Selama Proses Penyusunan Daftar Pemilih
Tabel
12. Program dan Jadwal Waktu Pendaftaran Pemilih
Tabel
13. Rekapitulasi Daftar Pemilih Tetap Perubahan dan Jumlah TPS ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... .
Tabel
14. Perubahan Pekerjaan Tambah/Kurang .. . ... ... ... ... ... ... ...
104
109
I I4
142 147
XI
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar
1. Keluarga Besar Sistem Pemilu . .. . . . . . . ... . .. .. . ... . . . . .. . . . ...
Gambar 2. Grafik 1. Penduduk Menurut Umur dan Jenis Kelamin
31 72
Gam bar 3. DPT Pilpres Terakhir, Data Kependudukan dan Data Pemilih Pilkada yang memiliki KTP dan bertempat tinggal di Kota Yk
II 0
Gambar 4. Grafik 2. Perbandingan Jumlah Pemilih tidak Menggunakan Hak Pilih, Menggunakan Hak Pilih dan pemilih Kembali di Kelurahan Kota Barn
149
Gambar 5. Grafik 2. Perbandingan Jumlah Pemilih tidak Menggunakan Hak Pilih, Menggunakan Hak Pilih dan pemilih Kembali di Kelurahan Klitren
I 50
Gambar 6. Grafik 2. Perbandingan Jumlah Pemilih tidak Menggunakan Hak Pilih, Menggunakan Hak Pilih dan pemilih Kembali di Kelurahan Gowongan
151
XII
INTISARI
Pendaftaran pemilih merupakan salah satu tahapan pelaksanaan pilkada yang harus dilakukan oleh KPUD sebagai penyelenggara. Proses pendaftaran ini diharapkan mampu memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi masyarakat yang memenuhi syarat untuk mendapatkan hak pilihnya serta daftar pemilih yang akurat dapat diperoleh. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui bagaimana konteks dan sustansi perdebatan diantara aktor - aktor pembuat keputusan dalam memutuskan penggunaan pola de facto dan de jure dan peran Depdagri dalam memberikan tafsiran terhadap peraturan tersebut. Selanjutnya juga diteliti tentang implikasi penerapan peraturan yang dikeluarkan KPUD terhadap pelaksanaan pilkada tersebut. Penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif melalui wawancara mendalam dengan berbagai infonnan kunci yang dilengkapi dengan dokumendokumen yang ada. Hasil penelitian diuraikan secara deskriptif untuk kemudian dianalisis dan diinterprestasikan dalam rangka menemukan jawaban atas pertanyaan penelitian. Dari hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa akibat peraturan tentang pemilih menggunakan pola de jure telah menyebabkan bertambahnya jumlah pemilih dalam pilkada Kota Yogyakarta dibandingkan jumlah pemilih pada pemilu tahun 2004 yang mengunakan pola de fctcto. Hal ini disebabkan bahwa pola de jure akan terkait langsung pada administrasi kependudukan dimana sebagian masyarakat yang memiliki KTP sudah tidak bertempat tinggal di Kota Yogyakarta. Implikasi penerapan pola de jure adalah proses pencocokan dan penelitian yang dilaksanakan oleh PPS tidak bisa menghilangkan penduduk yang tidak factual dari daftar pemilih. Akibat terdaftamya pemilih yang tidak bertempat tinggal di Kota Yogyakarta, maka jumlah pemilih bertambah, selanjutnya akan berimplikasi pada anggaran pilkada terutama pada kebutuhan Iogistik dan biaya operasional TPS. Implikasi lainnya adalah tingkat kehadiran pemilih pada saat pemungutan suara jadi rendah, jika dibandingkan dengan kabupaten lainnya se DIY. Untuk masa yang akan datang, perlu dipikirkan cara melakukan pendaftaran pemilih yang efektif karena pola de jure masih sangat tergantung pada administrasi kependudukan yang memiliki kelemahan, sehingga menimbulkan biaya tinggi dan rendahnya jumlah kehadiran pada saat pemungutan suara. Salah satu caranya adalah dengan memberikan kewenangan kepada KPU untuk melakukan coklit dengan pola de facto sehingga pemilih yang terdaftar adalah mereka yang memang bisa hadir pada saat pemungutan suara.
XIII
ABSTRACT
Voter registration was one of Pilkada direction step that had to run by KPU as the executor. The registration process was expected to give a large change to society who had the criterias to use their voice and to get the accuracy of voter list. The purpose of this reseach was to reveal how the context and the essence of debate among the decision maker actors in deciding the use of de facto and de jure patterns, and also the role of Depdagri in giving the interpretation toward the regulation. Next, it was also examined the implication of the regulation application from KPUD toward the direction of pilkada. This reseach employed the qualitative method conducted through deep interview using key inforrnans and completed by documentations. The result of this reseach described describtively then analized and interpreted in order to find the answer of the reseach questions. The result of this reseach showed that the impact of voter regulation using de jure pattern caused the increasion of voters quatity in pilkada Yogyakarta city compared the voter quatity in 2004 general election using de facto pattern. It was resulted from the de jure pattern that had direct relationship toward inhabitant administration where most society who had ID did not live in Yogyakarta city anymore. The implication of the implementation from de jure pattern was the fitting process and reseach that conducted by PPS could not eliminate the non factual inhabitant from the voter list. The effect of the registered voters who did not live in Yogyakarta city made the voter increased. It had a further implication to the pilkada budget especially to the logistic needs and TPS operational cost. The other implication was the decrease of voter presentation in the voice counting compared to the other districts in DIY. For the next future, it was needed a plan to do voter registration effectivelly because the de jure pattern was still depended on the inhabitant administration which had weaknesses that resulted high cost and the decrease of presentation quantity in the voice counting. One solution was giving auhority to KPU to do coklit using de facto pattern so that voter who registered were those who were able to attend the voice counting.
Key words: pilkada, voter registration, de jure pattern.
XIV
BABI PENDAHULUAN
I. Latar Belakang. Pemilihan kepala daerah secara langsung menjadi bagian dari proses reformasi ketatanegaraan dan mekanisme demokrasi yang terjadi di Indonesia. Amandemen UUD 1945 yang mengandung spirit pengembalian kedaulatan rakyat dijabarkan dalam wujud pemberian hak-hak politik secara langsung sebagaimana termanifestasikan dalam sistem pemilihan presiden dan pemilihan kepala daerah secara langsung. Hasil amandemen UUD 1945 pasal 18 ayat (4) yang berbunyi : Gubemur, Bupati dan Walikota masing-masing Kepala Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis. Banyak pihak yang sepakat bahwa perlunya demokrasi di tingkat lokal, seperti yang disampaikan oleh Diamond 1. Ada lima alasan untuk mendukung demokrasi lokal, pertama, membantu mengembangkan nilai-nilai dan keterampilan demokrasi dikalangan warga. Kedua, meningkatkan akuntabilitas dan responsivitas terhadap berbagai kepentingan dan urusan lokal. Ketiga, memberikan bermacam saluran akses tambahan pada kekuasaan bagi kelompok-kelompok yang secara historis terpinggirkan. Keempat, ia meningkatkan check and balances terhadap kekuasaan di pusat. Kelima, memberikan peluang bagi partai-partai dan faksi-faksi oposisi di pusat untuk mendapatkan sejumlah kekuasaan politik. 1
Diamond, larry, Develoving Democracy;toward consolidation, lRE Yogyakarta, 2003; hal 156.
Hampir semua negara memiliki bentuk demokrasi lokal yang berbeda. menurut Mawhood2
:
esensi pemberian otonomi tidak sekedar memenuhi ruang administrative, lebih dari itu otonomi daerah memiliki makna politik, khususnya dalam konteks politik lokal. Berbeda dengan politik nasional, politik di tingkat lokal adalah sesuatu yang khas oleh karena setiap daerah memiliki ciri-ciri dan karakteristik yang berbeda, dan juga kedekatan hubungan antara pemilih (constituen) dengan wakilnya (elected) yang lebih erat. Kebebasan untuk membuat peraturan dan melaksanakan keputusan tersebut dapat dilakukan baik secara langsung dalam demokrasi langsung (plebiscite democracy) maupun dalam demokrasi tidak langsung (repsentative democracy). Sebelum era reformasi mekanisme pemilihan kepala daerah di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 berisi tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, yang mengatur tentang Syarat Kepala Daerah, Mekanisme Pengisian, Kewenangan, Mekanisme Pengangkatan Dan Pemberhentian, dan Masa Jabatan Kepala Daerah. Dalam peraturan ini, disebutkan bahwa DPRD memiliki kewenangan untuk mengajukan sedikitnya dua calon ·yang dipilih, tetapi hasilnya harus dimusyawarahkan melalui kesepakatan dengan Menteri Dalam Negeri, selanjutnya Presiden dalam menetapkan calon memiliki kewenangan untuk mengabaikan hasil pemilihan DPRD. Mengacu pada mekanisme pengangkatan dan pemberhentian seperti yang diatur dalam peraturan ini, maka dapat disimpulkan bahwa wewenang Presiden dan Mendagri sangat besar dalam mengangkat Gubemur atau Kepala Daerah TK I dan Bupati atau Walikota Kepala Daerah TK II, hal ini dapat dilihat dari pemyataan 2
Prasojo, Eko; desentralisasi dan Pemerintahan Daerah;Departemen Ilmu Administrasi, Fisipol UI, DIA FISIP Ul, Juni 2006;hal 41.
3
Pramusinto 3, bahwa aturan tersebut terkait kepentingan pemerintah pusat untuk mendapatkan Gubemur atau Bupati atau Walikota yang mampu beketja sama dengan pemerintah pusat. Era reformasi telah membawa perubahan dalam pemilihan kepala daerah sejalan dengan lahimya Undang-Undang No 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, sebagaimana yang tertuang dalam pasal 34 ayat (I) yang menyatakan bahwa pengisian jabatan kepala daerah dan wakil dilakukan oleh DPRD melalui pemilihan secara bersama. Berdasarkan ketentuan ini pemilihan kepala daerah dan wakil menggunakan sistem pilkada perwakilan. Belajar dari sistem pilkada perwakilan yang bermasalah dan pelaksanaan pemilihan presiden secara langsung yang berlangsug sukses telah melatarbelakangi keinginan sebagian masyarakat dan pembuat kebijakan untuk melakukan pilkada Iangsung (selanjutnya disebut pilkada). Perubahan sistem pemilihan ini kemudian diatur dalam UU No 32 Tahun 2004.
Menurut Marzuki makna terpenting dari
pemilihan langsung antara lain 4 :
pertama, merupakan pengakuan konstitusional atas hak rakyat sebagai pemegang kedaulatan rakyat. Kedua, pelembagaan politik peran substansial rakyat sebagai subjek hukum, dan ketiga, diharapkan tercapainya keseimbangan politik makro dan mikro dalam kehidupan ketatanegaraan kita, khususnya antara eksekutif dan legislatif
3
4
Agus Pramusinto, Otomomi daerah dan Pemilihan Kepala Daerah dalam Mencermati Hasil Pemilu 2004 (Jakarta;Jurnal Analisis CSIS Vol.33.2 Juni 2004,hal 240. Marzuki Suparman, Pilkada dan Pengembangan Demokrasi. KPU Provinsi DIY,Yogyakarta, 2006; hal3.
4
Untuk menJamm pelaksanaan pilkada yang sesuai dengan peraturan dan tahapan pelaksanaan maka diperlukan institusi yang bersifat independen. Menurut Adnan Buyung Nasution5, KPU sebagai institusi yang independen akan memberikan hasil yang lebih baik, tidak akan terpengaruh oleh kepentingan partai politik, dan tidak ada yang akan menyerobot.
Senada dengan pendapat Adnan Buyung dapat
dilihat dari pemyataan Surbakti 6 yang menyatakan bahwa KPU adalah institusi demokrasi yang harus menjaga dan memastikan prosedur yang terpola dan pasti
(predictable procedures) dalam melaksanakan Pemilu sehingga hasilnya tidak dapat diketahui (unpredictable results). Pengertian KPU disini adalah KPU pusat beserta semua penyelenggara pemilu di provinsi maupun kabupaten/kota se-Indonesia. Dalam peijalanan penyelenggaran pilkada, KPU pusat terpisah dari KPU di daerah. Hal tersebut disebabkan pertimbangan bahwa pemilu dan pilkada memiliki domain berbeda. Perbedaannya adalah pemilu Iegislatif dan pemilihan presiden masuk domain pemilu yang bersifat nasional, sedangkan pilkada masuk dalam domain pemerintahan daerah sehingga KPU di daerah (KPUD) terpisah dengan induknya. Meskipun demikian semangat independensi yang ada pada KPU diharapkan tetap dipakai oleh KPUD dalam menyelenggarakan Pilkada, sehingga KPUD
yang
independen
diharapkan
tampil
sebagai
pembuat
aturan
dan
penyelenggara pilkada yang adil dan mandiri.
5 Baca Adanan Buyung nasution, Pergulatan Tanpa Henti Pahit Getir Merintis Demokrasi, Aksara 6
Karunia,2004, hal 59. Ramalan Surbakti, dalam Pilkada dan Pengembangan Daerah :XiX; 2006
5
Setelah UU No 32 Tahun 2004 disahkan, maka pemilihan kcpala daerah ditindaklanjuti pengaturannya dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun
2005
tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan
dan
Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Peraturan Pemerintah menerangkan bahwa, KPUD sebagai penyelenggara Pilkada diberi tugas dan wewenang untuk menyiapkan Pilkada termasuk tahapannya. Tahap-tahap pilkada meliputi : 1) pembentukan PPK, PPS dan KPPS, 2) penetapan daftar pemilih, 3) pendaftaran, penelitian dan Penetapan Pasangan Cal on 4) pengadaan dan distribusi logistik Pilkada, 4) kampanye, 5) pemungutan, penghitungan dan rekapitulasi penghitungan suara, dan 6) penetapan pasangan terpilih. Perbedaannya dengan pemilu 2004 yaitu pada saat pilkada, KPUD memiliki wewenang untuk membuat regulasi teknis tentang tata cara pelaksanaan tahapan pilkada yang telah disebutkan di atas. Banyak pihak merasa skeptis terhadap KPUD karena menyangkut kewenangan yang dimilikinya. Rasa skeptis ini disebabkan oleh dua hal, pertama, KPUD belum memiliki pengalaman dalam merumuskan tata cara atau perencanaan teknis pelaksanaan tahapan pilkada mengingat pada pemilu legislatif dan presiden tahun 2004 KPUD hanya menjadi penyelenggara di daerah dan berpedoman pada ketentuan-ketentuan yang sudah ditetapkan secara jelas dan rigid melalui keputusan KPU. Kedua, KPU sebagai induk organisasi KPUD tidak memiliki kewenangan mengontrol dan mengevaluasi kinerja KPUD. KPUD Kota Yogyakarta, saat harus menyiapkan peraturan teknis dalam semua tahapan pilkada juga mengalami persoalan seperti dua hal yang disebutkan di
6
atas, misalnya KPUD belum pemah membuat regulasi yang menjadi pedoman teknis penyelenggara tingkat bawah seperti PPK, PPS dan KPPS. Selain itu, KPUD harus membuat keputusan secara mandiri karena tidak memiliki supervisi dari instansi di atasnya baik di tingkat provinsi maupun pusat. Pada saat mempersiapkan peraturan teknis, KPUD dihadapkan pada persoalan-persoalan yang memerlukan kebijakan. Kebijakan ini biasanya harus diambil dalam situasi yang problematis. Situasi problematis terjadi karena beberapa hal, di antaranya: pertama, tidak tersedianya hukum positif yang mengatur persoalan tersebut, kedua, berhadapan dengan lembaga politis, dan ketiga waktu yang tidak cukup untuk mengkaji dampak-dampak kebijakan yang diambil dan terbatasnya informasi dan data yang tersedia. Hal tersebut diatas juga dirasakan oleh Ketua Panwas Pilkada Kota Yogyakarta yang menyatakan 7 bahwa : Pilkada Kota Yogyakarta telah memunculkan soal-soal ujian yang sulit khas Yogya. Persoalan yang sangat berbeda dengan Pilkada Daerah lain. Soal-soal ujian tersebut seringkali membuat gamang KPU maupun Panwas. Kegamangan terjadi karena selama ini penyelesaian persoalan didasarkan pada hukum positif, dan "celaka dua belas" temyata hukum positif yang dijadikan pegangan tidak memiliki stok jawaban.
7
Dalarn praktek sering terjadi perte'i\tangan ?&'i\tara teknis yuridis formal dengan persoa\an-p..,'Y"so\aY. teknis pilkada. Lembaga yang diberi bP.ban untul(, mel.a.lwkan. usal:\a ~~e\esajan datam ban~l!k. h.aJ sering salah tingkah. Hal ini dikarenakan bahwa dalam upaya penyelesaian tersebut terdapat beberapa persoalan berkaitan dengan tidak ditemukannya jawaban dalam peraturan perundangundangan yang ada.. Lihat Sierrad, Zaki, Kegamangan dalam pilkada Kota Y O!,>yakarta dalam buku Dari Gempa bumi ke Gempa politik : Peljalanan Pilkada Kota Yogyakarta, KPU Kota Y ogyakarta : 2006, hal Ill
7
Ada beberapa masalah yang dihadapi berkaitan dengan situasi yang disebutkan di atas adalah : I. masalah pencalonan dimana satu partai yang memiliki dua pengurus mengusulkan calon yang berbeda; 2. masalah penundaanjadwal pilkada akibat gempa; 3. masalah hanya ada satu pasang calon yang mengembalikan berkas pendaftaran; dan 4. masalah pendaftaran pemilih. Pendaftaran pemilih merupakan tahap awal pilkada dan salah satu tahapan yang dianggap krusial dalam penyelenggaraan pilkada. Krusial tersebut karena konflik pilkada di berbagai daerah sering berawal dari masalah daftar pemilih, sebut saja kasus Tuban, Depok, dan lain-lain. Pandangan ini disampaikan oleh Najib 8, bahwa salah satu tahapan pemilu yang cukup banyak persoalan dan hambatan adalah tahapan ditingkat implementasi pendaftaran pemilih. Adanya berbagaipersoalan dan konflik mengenai pemilih membuat KPUD Kota Yogyakarta berusaha menghasilkan kebijakan tentang pemilih dengan sebaikbaiknya sesuai dengan peraturan yang ada. Pada saat merencanakan kebijakan, KPUD Kota Yogyakarta menemukan berbagai hambatan yang dapat menjadi potensi masalah dan konfllik pada saat penyelenggaraan pilkada, apalagi posisi KPUD yang selalu bersinggungan dengan ranah politik. Kesalahan dan kelemahan yang dilakukan 8
Alfin, Miftachul, P4B dan problem Penyusunan DPS dan DPT, Pemilu 2004 dan Eksperimentasi Demokrasi, KPU Propinsi, Desember 2005 ., hal 43
oleh KPUD dapat dijadikan isu politis yang akan memberikan dampak yang luas. Dampak yang luas adalah masalah poiitik yang melibatkan partai politik dan simpatisannya akan menjadi konflik yang melibatkan massa yang cukup besar. Ada beberapa persoalan yang dihadapi oleh KPUD yang berkaitan dengan proses pendaftaran pemilih adalah:
Dari
1)
ketidakjelasan defenisi pemilih dan domisili menurut peraturan;
2)
ketidakakuratan data base;
3)
keterbatasan waktu;
4)
masih rendahnya kesadaran dan kepedulian masyarakat;
5)
dua kali Penundaan pilkada.
beberapa persoalan tersebut,
masalah ketidakjelasan peraturan dalam
mendefinisikan pemilih dan domisili adalah yang paling berpengaruh bagi penentuan jumlah pemilih pilkada di Kota Yogyakarta. Berdasarkan penafsiran yang dilakukan KPUD terhadap peraturan telah membawa KPUD kepada sebuah kebijakan yaitu mengeluarkan peraturan yang menentapkan pemilih dan domisili harus sesuai dengan administrasi kependudukan dengan bukti KTP (mekanisme de jure). Sebelum mengambil kebijakan KPUD melakukan serangkaian upaya agar kebijakan tersebut dapat menghasilkan data yang lebih akurat dan tidak menimbulkan persoalan di masa akan datang. Salah satu cara yang dilakukan ialah membangun koordinasi dan komunikasi dengan stake holder dengan melakukan upaya menyamakan persepsi mengenai peraturan tersebut.
9
KPUD Kota Yogyakarta san gat berhati-hati dalam menentukan kebijakan yang tepat dalam menentukan peraturan tentang pemilih. Hal tersebut disebabkan adanya kekhawatiran terhadap kemungkinan adanya masalah gugatan dari kelompok kepentingan. Penyebab lain adalah penyusunan data pemilih akan dijadikan dasar bagi penentuan kebijakan lain dalam pelaksanaan pilkada terutama berkaitan dengan kebutuhan logistik pilkada, anggaran dan jumlah partisipasi pemilih di masa yang akan datang. Oleh karenanya tahapan ini dianggap bagian yang strategis dari sekian tahapan pilkada lainnya. Menurut Prihatmoko9 , ada tiga hal penting yang menjadi tujuan pendaftaran pemilih yaitu : Pertama, memberi legalitas bagi warga untuk dapat menggunakan hak pilih. Kedua, seleksi dan pengamanan hak pilih, dan ketiga kontrol dan pertanggungjawaban administrasi, keuangan dan logistik. Berdasarkan pemyataan di atas dapat disimpulkan bahwa, data pemilih akan menjadi basis bagi perencanaan pilkada secara keseluruhan. Apabila data tidak akurat atau jumlah pemilih terus bertambah tanpa ada mekanisme yang jelas untuk membatasinya akan berakibat pada pelaksanaan yang buruk, sehingga mempengaruhi pertanggungjawaban dan kualitas pilkada. Berdasarkan koordinasi dan kajian dengan berbagai pihak, maka KPUD menetapkan Peraturan KPUD Kota Yogyakarta Nom or 05 Tahun 2006 tentang pemilih.
Pada
dasamya,
peraturan
ini
memberikan
petunjuk
teknis
bagi
penyelenggara pilkada di tingkat bawah untuk melakukan pendaftaran pemilih 9
Prihatmoko, Joko J, Pemilihan Kepala daerah Langsung, Filosofi dan problem Penerapan di Indonesia, LP3M Univ. Wahid Hasyim, Arpil 2005, Hal 226
10
dengan menegaskan bahwa yang disebut pemilih dan domisili harus sesuai dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau istilah teknis yang dipakai oleh KPUD Kota Yogyakarta adalah pendaftaran pemi lih dengan mekanisme de jure. Penetapan peraturan ini memiliki dampak yang lebih luas bagi pilkada Kota Yogyakarta, seperti yang diakui oleh AI fin
10
bah\va :
Ketika KPU dan stakeholder sepakat bahwa pemilih adalah WNI yang tercatat dalam registrasi kependudukan Kota Yogyakarta, masalah baru muncul. Setelah melakukan coklit dengan menggunakan data kependudukan dalam format DRT (Daftar Rumah Tangga), BKKBC menyusun DP4 (Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pilkada) dan temyata jumlah pemilih yang tercatatjauh lebih besar dari yang diperkirakan sebelumnya. Setelah dilakukan pencermatan banyak ditemukan pemilih (baca;penduduk) yang secara factual tidak lagi bertempat tinggal di Kota Yogyakarta Jumlahnya diperkirakan sebesar 45.000 jiwa dari sekitar 362.000 pemilih yang tercatat. Mengacu pada pendapat di atas, maka sebenamya KPUD Kota Yogyakarta sudah memperkirakan jumlah pemilih yang datang ke TPS pada saat pemungutan suara akan berkurang. Persoalan yang akan dihadapi tidak hanya masyarakat yang rendah partisipasinya akibat rasionalitas pemilih (masyarakat dengan sadar untuk tidak memilih) tetapi juga akibat persoalan administrasi kependudukan yang berimbas pada data pemilih. Jumlah pemilih yang masuk dalam Daftar Pemilih Sementara (DPS) kemudian
ditetapkan dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) adalah pemilih yang
kemungkinan kecil akan hadir pada saat pemungutan suara, hal ini terlihat dari hasil rekapitulasi penghitungan suara pilkada 26 Nopember 2006.
10
Alfin; Desember 2006;59
11
Tabel. 1 Data Partisipasi Pemilih Per-Kecamatan PEMILIH TERDAFTAR
KECAMATAN
i KOTAGEDE
~ PAKUALAMAN
I UMBULHARJO I MANTRIJERON I KRATON
i MERGANGSAN GONDOMANAN NGAMPILAN f
!
WIROBRAJAN TEGALREJO
I
I
PEMILIH YANG MENGGUNAKAN HAK PILIHNYA
24.050 9.612 54.357 29.908 19.515 28.448 13.226 16.296 23.423 30.461
14.581 5.273 28.566 16.882 10.969 15.290 7.660 9.055 12.974 17.118
i JETIS
25.599 i GEDONGTENGEN 19.759 DANUREJAN I 19.341 i GONDOKUSUMAN 44.069 JUMLAH 358.064 i
i
..
...
13.127 10.237 10.149 19.040 190.921
60,63% 54,86% 52,55% 56,45% 56,21% 53,75% 57,92% 55,57% 55,39% 56,20% 51,28% 51,81% 52,47% 43,20% 53,32%
PEMILIH YANG TIDAK MENGGUNAKAN HAK PILIH KARTU PEMILIH KEMBALI
GOLPUT MURNI
3.8o2 1 15,81% I 5.667 23,56% 2.451 1 25,50% 1.888 19,64% 10.973 20.19% 1 14.818 27,26% 7.527 1 25,17% 1 5.499 18,39% 4.392 i 22,51% i 4.154 21,29% 6.330 I 22,25% I 6.828 24,00% 1.9o5 ! 14,40% ! 3.661 1 27,68% 3.143 19,29% 4.098 25,15% I 18,55% i 6.103 I 26,06% 1 4.346 !: 4.894 ! 16,07% ! 8.449 1 27,74% 7.437 : 29,05% i 5.035 119,67% i I 5.297 1 26,81% 1 4.225 1 21,38% ! 5.263 I 27,21% I 3.929 ! 20,31% i 16.839 i 38,21% i 8.190 18,58% I 84.599 I 23,63% ! 82.544 I 23,05% I
i
l
i
I
i
Laporan Penyelenggaraan Pemthhan Walikota dan Waktl Waltkota Yogyakarta Tahun 2006
Hasil dari rekapitulasi partisipasi pemilih ini tentu saja mengecewakan banyak pihak, seperti yang dilaporkan oleh Surat Kabar Kedaulatan Rakyat
11 :
Tingkat partisipasi masyarakat dalam pilkada temyata tidak sesuai yang diharapkan. Prosentase pemilih yang tidak datang ke TPS lebih tinggi dibanding Pilpres I yang hanya mencapai 21 persen. Hal senada juga dilaporkan oleh Radar Jogja 12 Jalannya Pilkada Kota Jogja memang berlangsung dengan lancar dan tertib. Tapi pemilihan walikota secara langsung itu diwamai rendahnya tingkat partisipasi masyarakat kota dalam menggunakan hak pilihnya. Betapa tidak, dari 358.064 pemilih yang bersedia menggunakan hak pilihnya hanya sebesar 11 12
baca KR, Selasa, 28 Nopember 2006 : jumlah golput mencapi 100 ribu orang Radar Jogja, Selasa 28 Nopember 2006.
12
189.776 orang atau sebesar 53 perscn. Sedangkan masyarakat yang tidak memilih mencapai 46,62 persen atau 156.580 orang. Jumlah golput ini temyata melebihi perolehan suara yang diraih semua pasangan calon. Termasuk menggungguli suara yang diperoleh pemenang.
1.2. Rumusan Masalah Potret partisipasi pemilih pilkada temyata tidak sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Samuel Huntington 13 , dikatakan bahwa: Di sebagian besar negara demokrasi baru, tingkat pemberian suara pemilu nasional pada masa transisi memang tinggi, lalu menurun pada pemilu-pemilu berikutnya. Akan tetapi sebaliknya, di pemilu lokal angka partisipasi pemilih masih lebih tinggi daripada pemilu nasional. Hal itu dikarenakan isu yang dijual para calon kepala daerah sangat dekat dengan kepentingan pemilih lokal. Bantahan
terhadap
apa
yang
dinyatakan
oleh
Huntington
tentang
meningkatnya partisipasi pemilih pada pemilu lokal telah dibuktikan beberapa basil pelaksanaan pilkada di Indonesia yang semua menunjukkan rendahnya partisipasi pemilih, seperti yang dilaporkan JPRR ; ''Akhir-akhir ini partisipasi politik pada pilkada cenderung menurun. Sejatinya, penyelenggaraan pilkada menjadi momentum untuk memperkuat partisipasi politik rakyat, tidak hanya sekedar menjadikan pilkada sebagai euphoria politik semata. Dengan adanya pemilihan kepala daerah secara langsung ini berarti partisipasi politik rakyat akan lebih efektif. Namun, evaluasi pilkada 2006-2008 yang telah berlangsung
selama mt menunjukkan betapa
partisipasi politik masih cukup rendah dalam Pilkada".
13
Samuel Huntington The Tird wave : Democration in the late Twentieth Wave (1991) dalam buku mendemokrasikan pemilu, Joko J. Prihatmoko, LP3M Wahid Hasim Semarang, Maret 2008, hal 206.
13
Beberapa hasil Pilkada yang dilaksanakan di Indonesia menunjukkan rendahnya tingkat kehadiran pada saat pemungutan suara. Tingkat kehadiran biasanya dibandingkan dengan jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang telah disahkan oleh KPUD. Berikut persentase jumlah tidak memilih di beberapa pilkada di Indonesia 14
:
Tabel 2. Prosentase Jumlah Tidak Memilih Daerah KotaMedan Prov. Sumbar Bengkulu KotaDepok Kota Pekalongan Blitar Kota Surabaya
Persentase Tidak Memilih 45.32% 36.28% 30.27% 40.23% 36.49% 46,34% 48.59%
Penelitian dan kajian penyebab yang menyebabkan rendahnya partisipasi publik dalam pilkada karena rasionalitas pemilih dan kurangnya sosialisasi, seperti yang dinyatakan oleh Diamond 15 : Berkenaan dengan data penelitian yang menunjukkan bahwa para pemilih menilai pemerintah lokal lebih terakses dan lebih relevan dengan kehidupan sehari-hari. Maka adalah hal yang membingungkan jika tingkat kehadiran yang lebih rendah justru teijadi dalam pemilu lokal. Biasanya hal ini terjadi karena pemilu lokal kurang dimasuki oleh partai politik, media massa, dan upaya-upaya mobilisasi dibanding pemilu nasional, dan masalah-masalah dalam pemilu lokal biasanya tidak ditentukan denganjelas. Hampir senada dengan pendapat di atas, Prihatmoko menyatakan bahwa penyebab tingginya angka absensi dalam pilkada di Indonesia diakibatkan tidak 14
15
Radar Jogja, Selasa 28 Nopember 2006 Diamond;2003; 179
14
diangkatnya isu-isu lokal sebagai daya tarik pemilih. Hal tersebut mengindikasikan rendahnya komitmen para calon kepala daerah memecahkan masalah-masalah lokal sebagai cermin kekhawatiran tidak dapat memenuhi janji atau kelemahan memformulasikan isu lokal. Berbagai penelitian mengenai tingginya jumlah pemilih yang tidak hadir (istilah yang Iebih beralasan dari pada golput) pada saat pemungutan suara telah banyak dilakukan, terutama yang berkaitan dengan rendahnya kesadaran politik masyarakat dan rasionalitas pilihan masyarakat. Selain itu, faktor penyebab tingginya jumlah pemilih yang tidak datang ke TPS juga disebabkan masalah teknis pendaftaran pemilih. Penelitian mengenai masalah teknis pendaftaran pemilih dan persoalannya belum pemah dilakukan, padahal untuk pilkada Kota Yogyakarta, faktor ini cukup signifikan, dari 46,68 persen jumlah pemilih yang tidak datang ke TPS pada saat pemungutan suara 23,63 persen atau 84.599 pemilih akibat teknis pendaftaran pemilih. Berkaitan dengan kondisi tersebut, penulis menemukan suatu persoalan yang menarik untuk diteliti. Berdasarkan fakta empiris bahwa dari 84.599 kartu pemilih yang kembali lebih disebabkan karena banyaknya penduduk yang ber-KTP Kota Yogyakarta tetapi tidak lagi berada di wilayah tersebut.
Menurut ketentuan dari KPUD, mereka berhak
masuk dalam daftar dan tidak bisa dihilangkan dari data pemilih. Berkaitan dengan
15
hal ini, penulis menemukan pemyataan yang menarik yang ditulis oleh David Held 1(', menurutnya : J ika hak "pemberian suara yang sama" tidak ditegakkan, maka tidak akan ada mekanisme yang dapat memperhitungkan secara sama, dan memberikan prosedur keputusan untuk memecahkan berbagai perbedaan pandangan kecenderungan pilihan warganegara. Jika demos tidak memasukkan orang dewasa (dengan pengecualian terhadap orang-orang yang mengunjungi sementara suatu komunitas politik) dan terhadap orang-orang yang "di luar bayangan keraguan" dibatalkan secara resmi dari partisipasi (cacat dan catatan kriminal) maka hal itu jelas akan gaga! menciptakan kondisi keterlibatan yang sama. Agar warga negara sama-sama bebas, dan menikmati pertimbangan yang sama atas kepentingan dalam proses demokratis, kriteria di atas harus dipenuhi ...
Mengacu pada pendapat Held, maka orang-orang yang datang pada suatu wilayah tetapi tidak menetap, dianggap tidak berhak memberikan suara pada pemilihan lokal. J ika tetap diberikan hak, maka akan sulit untuk memperhitungkan kualitas keterlibatannya. Indikasi adanya persoalan teknis pendaftaran dalam pemilu sebenamya sudah dikemukakan oleh Hasil Survey LSI terhadap pemilih di Indonesia yang dimuat dalam surat kabar Kompas tanggal 25 Mei 2005. Hasil survey tersebut menyatakan bahwa pada saat dua minggu sebelum penyelengaraan pemilu legislatif diperoleh gambaran bahwa, 87 persen menyatakan akan ikut pemilu, I 0,5 persen tidak ikut pemilu, dan 2,5 persen menjawab tidak tahu. Hal yang menarik adalah 23 persen pemilih memang tidak masuk dalam hitungan KPU, bukan karena mereka golput atau
16
Held, David, Demokrasi & Tatanan Global; dari Negara Modem hingga Pemerintahan Kosmopolitan, Pustaka pelajar, Yogyakarta, Oktober 2004, hal258
16
protes terhadap keadaan politik sekarang, tetapi karena alasan teknis seperti tidak terdaftar. Salah satu rendahnya partisipasi pemilih Pemilu legislatif dan Pilpres tahun 2004 disebabkan sebagian penduduk tidak terdaftar dalam data pemilih. Namun pada pilkada Kota Yogyakarta ada sebagian penduduk yang secarajaktual tidak berada di Kota Yogyakarta tetapi terdaftar sebagai pemilih, akibatnya, jumlah pemilih yang hadir dan menggunakan haknya pada saat pemungutan suara rendah. Pendapat yang diungkapkan oleh Najib 17 , bahwa merosotnya partisipasi pemilih di Kota Yogyakarta (53,48 %) dan Kota Surabaya (49,64 %) merupakan hasil amburadulnya data pemilih. KPUD Kota Yogyakarta sebenamya dapat mengambil kebijakan yang berbeda yaitu dengan menghilangkan jumlah pemilih yang tidak factual dari data pemilih. Hal tersebut akan berakibat pada jumlah partisipasi secara nominal akan naik, dana pilkada bisa ditekan lebih rendah, dan tingkat kehadiran akan lebih tinggi pada saat pemungutan suara juga jika dibandingkan dengan jumlah DPT. Namun pada kenyataannya KPUD Kota Yogyakarta tetap mengambil kebijakan yaitu mekanisme pendaftaran pemilih tetap berpegang pada hak memilih ditentukan oleh domisili seperti yang tercantum dalam administrasi kependudukan (de jure). Untuk beberapa daerah ada yang menggunakan metode de facto dan bahkan ada yang menggabungkan de facto dan de jure, salah satu contohnya adalah KPUD Kabupaten Sleman menggunakan penggabungan metode de facto dan de jure, dan hasilnya adalah tingkat kehadiran pada saat pilkada di atas 70 persen. 17
Najib, 28:2006
17
Tingginya jumJah pemilih yang tidak hadir pada saat pemungutan suara disebabkan aspek teknis pendaftaran pemilih yang dilatarbelakangi oleh kebijakan de
jure yang ditetapkan oleh KPUD. Penulis tertarik
untuk mengetahui bagaimana
pendaftaran pemilih berdasarkan de jure berimplikasi pada pilkada di Kota Yogyakarta. Agar masalah yang telah dirumuskan Iebih spesifik maka pertanyaan penelitiannya adalah : 1. Bagaimana landasan normatif mengenai cara pendaftaran pemilih pilkada menurut UU No 32 Tahun 2004 dan PP No 6 Tahun 2005? 2. Apa dan bagaimana implikasi penerapan pendaftaran pemilih dengan mekanisme de jure oleh PPK dan PPS dan terhadap pilkada itu sendiri
0
Penelitian ini akan difokuskan pada 2 (dua) aspek yaitu : pertama. aspek peraturan yaitu Undang-Undang No 32 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah No 6 Tahun 2005 yang menjadi pertimbangan KPUD dalam menetapkan peraturan tentang pemilih dengan mekanisme de jure. Kedua. implikasi penerapan di lapangan serta biaya dan tingkat kehadiran pada pemungutan suara pilkada Kota Yogyakarta. Hal lain yang mendorong penulis untuk melakukan penelitian ini adalah untuk mengungkapkan bahwa jumlah ketidakhadiran pemilih dalam pilkada juga ditentukan oleh administrasi pendaftaran pemilih yang berbasis pada administrasi kependudukan. Penelitian lembaga survey terkini mengenai masalah pendaftaran pemilih dilakukan oleh LP3ES pada tanggal 7-10 Agustus 2008. Masalah-masalah yang akan diteliti oleh LP3ES antara lain apakah terdapat orang-orang yang tidak berhak terdaftar
IS
dalam daftar pemilih atau ghost voters untuk pemilu legislatif tahun 2008, tetapi sampai saat penelitian ini selesai, hasil survey tersebut belum dipublikasikan secara resm1.
1.3. Batasan Penelitian. Penulis menyadari bahwa banyak aspek yang menyebabkan rendahnya tingkat kehadiran pada saat pemungutan suara pilkada khususnya di Kota Yogyakarta. Salah satunya adalah kesadaran politik masyarakat yang meningkat sehingga bisa menilai apakah pasangan caJon yang diusung partai politik adalah repsentasi keinginan masyarakat lokal atau tidak. Jika tidak, maka masyarakat yang kritis ini akan menolak atau tidak hadir pada saat pemungutan suara. Masyarakat yang menerima atau mendapatkan kartu pemilih tetapi tidak menggunakan hak pilihnya dengan sengaja tidak termasuk bagian dari penelitian yang dilakukan. Batasan hanya pada aspek administrasi pendaftaran pemilih
1.4. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini sebagai berikut
1. Menjelaskan tentang konteks dan substansi perdebatan diantara aktor-aktor pembuat keputusan di KPUD Kota Yogyakarta dalam memutuskan penggunaan pola defacto atau de jure. 2. Mengungkap dan menganalisis fakta-fakta penyebab rendahnya jumlah pemilih yang hadir dalam pilkada yang berkaitan dengan persoalan teknis administrasi pendaftaran.
19
1.5. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adaJah sebagai berikut : I. memberikan masukan bagi Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah tentang mengenai pentingnya penentuan mekanisme pendaftaran pemilih. Apabila pilihan pendaftaran pemilih secara de jure maka perlu administrasi kependudukan yang baik. Akan tetapi, jika tidak terpenuhi implikasinya akan diterima baik oJeh penyelenggara pemerintah, dan caJon terpilih. Selain itu, penelitan ini diharapkan menjadi rekomendasi bagi pemerintah
pusat agar
secepatnya merealisasikan KTP NasionaJ (one person, one card) sehingga persoalan yang berkaitan dengan data pemilih bisa diminimaJisir. 2. diperJukan sebuah studi kebijakan yang khusus sehingga ada petunjuk dan
guidence bagi pembuat kebijakan jika tidak tersedia peraturan dan informasi yang baik.
1.6. Sistematika Penulisan Untuk mengantarkan pada pencapaian tujuan penelitian dengan menjawab pertanyaan penelitian sebagaimana diuraikan pada bagian sebeJumnya dan untuk mempermudah aJur penelitian, maka penulisan tesis ini akan disajikan daJam 7 (tujuh) bab dengan sistematika sebagai berikut : Bab I
: PendahuJuan bab ini menguraikan Jatar beJakang masaJah penelitian. Latar beJakang akan bercerita tentang kondisi yang meJatari rumusan masalah penelitian.
20
Selanjutnya,
dijelaskan
tujuan,
manfaat
penelitian,
batasan,
dan
sistematika penulisan. Sistematika penulisan berguna bagi penulis untuk tetap fokus pada masalah yang akan diteliti dan pembaca juga Iebih mudah memahami alur penulisan penelitian. Bab II
: Demokrasi, Desentralisasi, Pemilihan Kepala Daerah Perwakilan dan Langsung, serta Sistem Penyelenggaraan Pemilu. bab ini akan diuraikan beberapa teori yang relevan dengan pembahasan Pendaftaran Pemilih secara de jure dan Implikasinya terhadap pilkada. Teori ini sebagai landasan berfikir dan sebagai arah analisis yang akan dilakukan, meliputi tentang arti penting demokrasi, tujuan pelaksanaan pemilihan kepala daerah, serta kelemahan dan keuntungan pilkada Iangsung. Selanjutnya dijelaskan tentang defenisi pemilih dan pendaftaran pemilih.
Bab III
Metode Penelitian bab ini dijelaskan mengenai metode penelitian untuk mengkaji masalah secara analitis yang meliputi uraian tentang jenis, subjek dan lokasi penelitian, serta jenis dan teknik pengumpulan, pengelohan dan teknik analisis data.
Bab IV : Deskripsi Objek Penelitian bab ini terdapat dua kondisi yang berhubungan dengan pemilih. Pertama, kondisi urn urn Kota Yogyakarta yang berpengaruh pada pendaftaran pemilih. Kedua, mekanisme pendaftaran pemilih. Selanjutnya, diharapkan
21
ada proses dialektika dari kedua aspek tersebut sehingga melahirkan kebijakan pendaftaran pemilih yang ideal yaitu efisien dan partisipatif Bab V
: Problematika Pendaftaran Pemilih Ditinjau dari Peraturan dan Kebijakan KPUD Bab ini menguraikan berbagai analisis persoalan yang dihadapi oleh KPUD Kota Yogyakarta dalam membuat peraturan tentang pemilih. Analisis lebih ditekankan pada kajian terhadap ketidakjelasan ketentuan peraturan yang mengatur tentang pemilih dan domisili. Akibatnya persoalan tersebut menggiring KPUD untuk membuat keputusan pada mekanisme pendataan pemilih dengan mekanisme de jure.
Bab VI : Implikasi Penerapan Pendaftaran Pemilih De Jure. bab ini akan membahas Analisis terhadap pelaksanaan pendataan pemilih dan
persoalan yang
ditimbulkan
mekanisme
pendataan
tersebut.
Berdasarkan data dan informasi hasil penelitian akan mengungkap bagaimana KTP yang dijadikan dasar untuk mendata pemilih justru menimbulkan banyak masalah, terutama karena terdapat penduduk yang sudah lama tidak berada di Yogyakarta lagi tetapi masih terdata sebagai penduduk dan otomatis masuk dalam data pemilih. Bab VII
Kesimpulan dan Saran. bab ini akan menyimpulkan hasil tesis dan memberikan saran kepada pengguna dan pihak pengambil kebijakan tentang Pilkada.
BAB II DEMOKRASI, DESENTRALISASI, PEMILIHAN KEPALA DAERAH, SITEM PENYELENGGARAAN PILKADA DAN IMPLIKASI
Bab ini membicarakan kerangka teori yang digunakan untuk memahami mengenat tujuan substansi pilkada (electoral locaf) dilaksanakan dan bagaimana prakteknya di Indonesia. Penjelasan dimulai dari arti penting demokrasi dan bagaimana upaya mempertahankan demokrasi di negara-negara besar. Salah satu upaya adalah dengan melakukan electoral local. sehingga dengan demikian akan terpilih pemimpin yang dianggap mewakili keinginan dan kepentingan masyarakat lokal. Selanjutnyajuga menjelaskan tentang Sistem Pemilu dan bagaimana munculnya lembaga independen seperti KPU sebagai penyelenggara pemilu di Indonesia yang diharapkan mampu melaksanakan prinsip-prinsip penting dalam pemilu dan pilkada. Salah satunya prinsipnya menjamin hak pilih setiap individu dengan prinsip memberikan kesempatan yang sama bagi semua warga yang memenuhi syarat untuk menentukan pilihannya. Kemudian, dijelaskan juga mengenai definisi pemilih dan peraturan yang mengatur tentang pendaftaran pemilih yang kemudian berimplikasi pada pembiayaan dan tingkat kehadiran.
2.1 Demokrasi
Demokrasi mempunya1 arti penting bagi masyarakat karena demokrasi merupakan hak masyarakat untuk menentukan jalannya organisasi negara telah
22
_
!" _)
teijamin. Oleh karena itu, hampir semua pengertian demokrasi ini selalu memberikan posisi penting bagi rakyat kendati secara operasional implikasinya di berbagai negara tidak sama. Untuk menunjukkan bahwa rakyat diletakkan pada possi penting dalam azas demokrasi, berikut beberapa pengertian demokrasi. Menurut Henry B. Mayo 1, memberikan pengertian sebagai berikut : Sistem politik demokratis adalah sistem yang menunjukkan bahwa kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana teijaminnya kebebasan politik. Menurut Schumpeter yang oleh teoritisi klasik disebut "kehendak rakyat" sebenamya adalah hasil dari proses politik, bukan motor penggeraknya. Demokrasi atau metode demokratik menurut Schumpeter2 adalah : Pengaturan kelembagaan untuk mencapai keputusan-keputusan politik di dalam mana individu-individu, melalui peijuangan memperebutkan suara rakyat pemilih, memperoleh kekuasaan untuk membuat keputusan. Selaras dengan pendapat di atas, ilmuwan Robert Dhal ( 1973 }~ dalam karyanya merumuskan suatu tatanan politik yang disebutnya poliarki (polyarchy) untuk menyebut istilah demokrasi, menurut sebagai berikut : Ciri khas demokrasi adalah sikap tanggap pemerintah secara terns menerus terhadap preferensi atau keinginan warganegaranya. Tatanan politik seperti itu bisa digambarkan dengan memakai dua dimensi teoritik, yaitu: ( 1) seberapa tinggi tingkat konstelasi, kompetisi atau oposisi yang dimungkinkan~ dan (2) seberapa banyak warganegara berkesempaan dalam kompetisi politik.
1 2
3
Machfud MD, Mohamamad,Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Liberty Yk, 1993, hal 19. dikutip dari Muchtar Mas'Oed Negara, Kapital dan demokrasi;pustaka Pelajar;Yogyakarta; 1994 hal8 1994;hal 9
24
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, sebuah negara disebut demokrasi apabila sistem politiknya memberikan pengakuan terhadap supremasi suara rakyat yang menentukan kebijakan dan sekaligus mengawasi penguasa yang menjalankan kebijakan tersebut melalui proses pemilihan yang dilakukan secara berkala dengan aturan yang jelas. Selanjutnya memberikan kesempatan yang sama bagi semua warga yang memenuhi syarat untuk menentukan pilihannya. Dalam perjalanannya, pelaksanaan demokrasi di setiap negara berbeda dan mengalami
proses dialektika dengan kondisi masing-masing negara.
Upaya
mempertahankan demokrasi yang telah menjadi pilihan, melahirkan ide mengenai desentralisasi. Menurut Sotoro Eko 4 : Selama tiga dekade terakhir umat manusia telah menyaksikan tiga peristiwa politik besar di belahan dunia pertama, meluasnya rezim otoritarian selama decade I 960-an dan 1970-an. Kedua, gelombang demokratisasi di penghujung I990-an yang mampu merontokkan ortodoksi dan otoritarianisme di belahan dunia, dari Eropa Selatan, Amerika latin, Eropa Timur dan negara-negara industri baru Asia seperti Korea selatan, Singapura, Tahiland dan IndonesiaKetiga, gelombang besar kedua temyata diikuti paradoksi demokrasi, yakni perang dan disintegrasi atau separatisme.
Hal serupa juga disampaikan oleh Ditrich Jung dkk 5 sebagai berikut : konflik dominasi dan peijuangan untuk otonomi dan suksesi dalam suatu negara merupakan bentuk perang yang terbesar di wilayah negara-negara dunia ke tiga. Perang-perang ini merupakan refleksi dari sebuah karakteristik struktural negara-negara berkembang, bahwa institusi-institusi negara modem umumnya tak mampu menjembatani atau mengelola konflik yang dihasilkan transformasi sosial menuju kapitalisme.
4
5
Sutoro Eko, Pengantar Konsolidasi Demokrasi untuk Indonesia, dalam buku Democrasi;toward concolidation; 2003;xv. Developing Democracy: 2003;xv
Developing
Kesimpulan yang dapat diambil dari dua pendapat di atas adalah proses demokrasi mengalami jatuh bangun, sedangkan pada saat yang sama demokrasi mengalami tantangan dan krisis serius. Serangkian peristiwa ini mendorong para ilmuwan politik untuk membongkar teori-teori pembangunan politik yang telah mapan baik yang berhaluan liberal (modernisasi), maupun yang berhaluan radikal (dependensi) hingga teori yang berpusat pada negara. Berdasarkan berbagai penelitian, ditunjukkan bahwa sebagian besar negara-negara yang berhasil mempertahankan demokrasi adalah negara-negara yang berukuran kecil dengan populasi kurang dari satu juta ( dalam jumlah sekarang), seperti yang dinyatakan oleh Larry Diamond dan Svetlana Tsalik6 Ketika gelombang ketiga dimulai pada bulan April 1974, sekitar setengah dari negara-negara (merdeka) berukuran sangat kecil ini lebih demokratis (dibanding dengan 23 % negara-negara yang lebih besar). Selama gelombang ketiga, sekitar tujuh belas negara baru dengan populasi dari satu juta ( banyak yang kurang dari seratus ribu) menjadi merdeka, dan kebanyakan dari mereka menjadi negara demokrasi yang stabil dan liberal. Jika memang ada hubungan yang kuat antara besar negara dan jumlah penduduk dengan kemungkinan mempertahankan demokrasi, tentu akan sulit untuk mendapatkan negara besar yang berpenduduk banyak dapat menjalankan demokrasi dengan baik. Sekian banyak negara yang berpenduduk banyak dan memiliki ukuran negara yang besar telah memilih demokrasi sebagai nilai yang dianut dalam
6
2003;151
26
bemegara, untuk itu diperlukan cara-cara lain agar demokrasi bisa dipertahankan dan berjalan dengan baik. Menurut Larry Diamond 7: dibutuhkan sebuah kebijakan yang kuat agar demokrasi bisa dipertahankan, karena kebanyakan negara tidak mungkin mengecil ( karena kerugian finansial, politik, dan manusia yang sangat besar yang umumnya disebabkan desintegrasi bangsa). Ini berarti hams ada pelimpahan kekuasaan; federalisme dan otonomi regional di negara-negara yang skala dan kompleksitasnya, yang budaya dan politiknya mengijinkan; dan di semua negara yang pemerintah lokalnya memiliki otonomi dan kapasitas yang berarti untuk memobilisasi dan membelanjakan sumber daya. Jika desentralisasi
meningkatkan keefektifan, kualitas, dan
legitimasi
demokrasi, maka pilihan terbaik bagi negara-negara yang ingin mempertahankan demokrasi dengan cara desentralisasi atau pelimpahan kekuasaan. Apabila tidak dilakukan, maka negara-negara di dunia akan menghadapi perpecahan atau desintegrasi bangsa.
2.2 Desentralisasi Pengertian dan penerapan desentralisasi di setiap negara berbeda dan tidak ada definisi yang jelas mengenai seberapa besar bentuk desentralisasi dilaksanakan. Setiap negaradan pemerintah pada setiap periode menjalankan desentralisasi dengan beda. Sebuah negara biasanya menjalankan konsep desentralisasi yang merupakan penggabungan dari berbagai konsep dan pendekatan. Sejumlah konsep desentralisasi negara telah banyak ditulis, salah satu pendekatan yang dilakukan Daniel Treisman8 yang menyatakan bahwa :
7
2003;154
27
ada lima konsep tentang aspek dan ciri desentralisasi yaitu : (a) Konsep desentralisasi struktural, (b) Konsep desentralisasi keputusan, (c). Konsep desentralisasi sumber daya, (d). Konsep desentralisasi kelembagaan dan (e). Konsep desentralisasi elektoral. Konsep desentralisasi elektoral adalah untuk menjelaskan subnational yang diangkat melalui proses pemilihan resmi. Pejabat lokal yang dipilih melalui pemilihan 1oka1 sistem yang dipakai dianggap 1ebih terdesentralisir daripada apabila pejabat tersebut diangkat oleh otoritas pusat. Hal ini dimungkinkan karena isu-isu lokal Iebih terakomodir oleh pejabat yang dipilih oleh warga setempat. Menurut
Pemerintah-pemerintah lokal diyakini, dapat berfungsi seperti perusahaan di pasar, yang bersaing untuk menyediakan Iayanan terbaik bagi warganya. Bila para pejabat lokal dipilih dan warga harus membayar untuk layanan yang mereka sediakan, para pejabat lokal akan memiliki dorongan yang Iebih besar untuk efisiensi. Selain itu, Larry Diamond, mengingatkan bahwa ada lima perangkap desentralisasi yaitu : pertama, dapat mengokohkan atau menciptakan kantongkantong kekuasaan otoriter, kedua memungkinkan intoleransi terhadap minoritasminoritas tertentu, ketiga dapat memperparah kesenjangan geografis, keempat memupuk kemewahan dan inefisiensi, dan kelima merangsang kesadaran etnis dan kebangsaan.
8
9
Treisman, Daniel, Department of Political Science University of California, Los Angeles 4289 Bunche Hall Los Angeles, CA 90095-1472
[email protected] November 2000. 2003; 154
28
2.3. Sistem Pemilu Dan Pilkada 2.3.1. Sistem Pemilu Menurut Ben Reiley 10, pemilihan suatu sistem pemilu merupakan salah satu keputusan kelembagaan yang penting bagi setiap negara demokrasi. Meskipun demikian, jarang sekali sistem pemilu dipilih secara sadar dan disengaja. Dalam banyak kasus, sekali dipilih, sistem pemilihan umum tersebut akan kurang Iebih tetap sama karena kepentingan politik hanya akan mengkristal di sekitar dan bereaksi terhadap insentif yang ditimbulkan sistem terse but. Setiap negara demokrasi baru harus memilih atau mewarisi sebuah sistem pemilu. Penyebab pilihan terhadap suatu sistem menurut Reiley dikarenakan: l. para pelaku politik kurang mempunyai informasi dan pengetahuan yang cukup sehingga berbagai bentuk dan konsekuensi sebuah sistem pemilu tidak mereka ketahui atau, sebaliknya 2. para pelaku politiki menggunakan pengetahuan mereka mengenai sistemsistem pemilu untuk mengajukan sistem pemilihan tertentu, yang menurut mereka dapat memberikan keuntungan bagi pihaknya. Jadi kesimpulan yang diperoleh dari dua skenario diatas sama tidak baiknya bagi perkembangan demokrasi. Belakangan, perkembangan kecenderungan pemilihan sistem pemilu digunakan
untuk
yang terjadi adalah kepentingan dan
keuntungan politis, sehingga menjadi Jatar belakang pilihan dalam menentukan sistem pemilu. 10
Reiley, Ben dan Reynolds Andrews; Sistem Pernilu; http;//www.ace project.org, Oktober 2005, hal x
29
Praktek sistem kepartaian pada pemilu di Indonesia dari masa ke masa mengalami perubahan. Menurut Najib 11 jumlah peserta yang mengikuti Pemilu 1955 ada 172-an yang terdiri dari partai politik dan calon perseorangan. Pemilu 1971 terdiri dari multi partai yang terbatas 10 parpol, sedangkan Pemilu 1977-1997 terdiri dari 2 parpol + I golkar Mengenai pelaksanaan sistem pemilu di zaman orde baru, banyak mendapat kritikan dan tanggapan dari pengamat politik, seperti yang dinyatakan oleh Gaffar 12 : Pemilihan Umum di Indonesia sejak 197ldibuat sedemikian rupa, agar Golkar memenangkan pemilihan secara mayoritas mutlak, sehingga Golkar menjadi satu partai Hegemonik.Cara yang digunakan adalah : Pertama, melalui seperangkat peraturan pemilihan yang ada, yang memungkinkan lembaga Pemilihan Umum (LPU) dan Panitia Pemilihan Umum (PPU) memainkan peranan yang dominan, dimulai dari Undang-Undang Pemilihan Umum sampai seperangkat peraturan pelaksanaannya. Kedua . mekanisme penyelenggaraan, misalnya nominasi calon anggota wakil rakyat, pengaturan dan pelaksanaan kampanye, pemberian dan penghitungan suara, dan sebagainya. Penilaian apakah sebuah pemilu yang dilaksanakan secara periodik di suatu negara
telah dapat dikatakan demokratik, secara tegas Huntington memberikan
asums1. bahwa 13 ; ...... authoritian leaders who wanted to stay inpower should not have called elections; opposition groups who wanted democracy should not have boycotted the election authoritarian leaders did calL
11
Najib, Mohammad, Perbandingan Sistem Pemilu di Indonesia, 26 Agustus 2008. Gaffar, Afan;Politik Indonesia, Transisi menuju Demokrasi;Pustaka Pelajar, Yogyakarta;Februari 2000; hal 33 13 Samuel Huntington, Third Wave dalam Election and Voters: Election and Democracy: Harrop, Martin and Miller L, William, Hampsphire: 1987;hal. 27. 12
30
Senada dengan pemyataan diatas adalah seperti yang dinyatakan oleh Cheema 14
bahwa:
Free, fair, and regular election constitute one pillar of democratic governance. Such election confer and sustain political legitimacy because they reflect populer participation and choice the political process. Selanjutnya Ben Reiley dan Andrew Reynold menyatakan bahwa sistem pemilu harus mencipatakan sebuah sistem yang mencakup prinsip - prinsip sebagai berikut 15
:
I. 2. 3. 4. 5. 6.
Memastikan terbentuknya sebuah parlemen yang repsentatif; Membuat pemilu terjangkau dan berarti bagi pemilih: Menyediakan sarana bagi rekonsiliasi partai yang semula bermusuhan; Menjaga citra legitimasi dewan; Membantu terbentuknya pemerinthan yang stabil dan efisien; Mendorong terbentuknya suatu sistem yang emungkinkan pememrintah dan para wakil rakyat dapat bertanggung jawab secara maksima; 7. Mendukung hidupnya partai-partai politik terbuka ; 8. Mendorong muncunya oposisi di parlemen; 9. Apakah realistis berdasarkan kemempuan keuangan dan administrasi negara.
Berdasarkan beberapa pendapat yang telah disebutkan, maka dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan pemilu dapat dikatakan demokratis jika ada sistem pemilu yang bisa menjamin terlaksananya tujuan demokrasi dengan baik. Oleh karena itu diperlukan peran penyelenggara dalam menentukan peraturan dan mekanisme pelaksanaan pemilu sehingga tujuan pemilu itu sendiri tercapai.
14
Cheema, Sahbbir G, Building Democratic Institutionas; Governance Reform m Developing Countries;Kumarian Press Inc, Worcester MA;2005 hal 25 15 Reiley, Ben : J998;hal 5
31
Pasca reformasi sistem kepartaian berubah lagi yaitu : Pemilu 1999 peserta pemilunya terdiri dari multi partai yang diikuti 48 parpol. Pemilu tahun 2004 juga multi partai yang terdiri dari 24 parpol. Sedangkan peserta pemilu tahun 2009, sampai pada tulisan ini dibuat diikuti 44 parpol termasuk 6 partai lokal di NAD dan 4 partai hasil Judical Review. Sistem pemilu yang digunakan dibeberapa negara selama ini dapat dilihat dari gambar dibawah ini : Gambar : I. Keluarga Besar Sistem Pemilu
+
PLURALITY MAJORITY
I
FIRST PAST THE POST (FPTP)
l
PARLEL
BLOCK VOTE (BV)
ALTERNATIVE VOTE (AV)
+
SEMI PROPORTIONAL REPRESENTATION
SYSTEM (PS)
TWO ROUND SYSTEM (TRS)
I
l
PROPORTIONAL REPRESENT AT!Ol\ LIST PR ;\-1DCED MEMBER PROPORTIONAL (MMP)
SINGLE NON TRANSFERAB LE VOTE (SNTV)
SINGLE TRANSFERABLE VOTE (STV)
Sumber: Presentasi Mohammad Najib: Anggota KPU Provnsi DIY
Berdasarkan gambar di atas dapat dijelaskan bahwa induk sistem pemilu adalah tiga yaitu
Plurality
Represent at ion.
Nlajority,
Semi
Proportional
Repsentalion,
Proportional
"7 -'-
Pada sistem pemilu di Indonesia pasca reformasi menggunakan
16 :
a. untuk Pemilu DPR dan DPRD menggunakan sistem Proporsional Representation, dengan List Proportional; closed list (Pemilu 1999 dan sebelumnya) dan open list (mulai Pemilu 2004). b. untuk Pemilu DPD menggunakan sistem Semi Proportional Representation dengan Single Non-Transferable Vote (SNTV)a memperebutkan 4 kursi setiap distrik. c. untuk Pemilu Presiden dan Kepala Daerah menggunakan sistem Plurality Majority (distrik) dengan Two Round Systema hanya beda pasing brrade; Pi Ipres 50%+ 1 dan Pemilu Kepala Daerah 30% + 1
2.3.2
Sistem Pilkada Langsung. David Easton 17 , teoritisi politik pertama yang memperkenalka_n pendekatan
sistem dalam politik, menyatakan, bahwa suatu sistem selalu memiliki sekurangnya tiga sifat yaitu I) terdiri dari banyak bagian-bagian; 2) bagian-bagian itu sa ling berinteraksi dan saling bergantung; 3) mempunyai perbatasan (boundaries) yang memisah.kannya dari lingkungannya yang juga terdiri dari sistem-sistem lain. Sebagai suatu sistem, sistem pilkada langsung mempunyai bagian-bagian yang merupakan sistem sekunder (secondary system) atau sub-sistem (subsystem). Bagian-bagian tersebut adalah I) electoral regulation, 2) electoral process. dan 3)
electoral law enfiJrcement. IX 1). Electoral regulation, adalah segala ketentuan dan aturan mengenai pilkada langsung yang berlaku, bersifat mengikat dan menjadi pedoman bagi penyelenggara, caJon dan pemilih dalam menunaikan peran dan fungsi . . masmg-masmg. 16 17
18
Najib, Mohammad : 2008 Mochtar Mash~d dan Colin M~ Andre-H-:, {ed), Y~?q,antar Y'Vil;:.andinga't'. Sistem Yclitik, Yogyakarta: Gadjah Mada Vni'l'!r.~iy .P.res~,l.
2) Electoral process, dimaksudkan seluruh kegiatan yang terkait secara langsung dengan pilkada yang merujuk pada ketentuan perundang-undangan baik yang bersifat legal maupun teknikal. 3) Electoral law enforcement, yaitu penegakan hukum terhadap aturan-aturan pilkada baik politis, administrasi atau pidana. Memperhatikan ketiga bagian pilkada langsung tersebut maka kualitas pelaksanaan pilkada sangat ditentukan sejauh mana kapasitas sistem dapat menjembatani pencapaian tujuan dari proses awalnya. Masing-masing bagian tidak dapat dipisah-pisahkan karena merupakan suatu kesatuan utuh yang komplementer. Untuk mengetahui kemungkinan penerapan sistem pilkada langsung di Indonesia, perlu ditinjau berbagai jenis sistem pilkada yang diterapkan oleh daerahdaerah di berbagai negara dengan sistem Presidensial. Menurut Prihatmoko setidaknya ada 5 sistem pilkada langsung yang pemah dipraktekkan. Ke lima sistem itu memiliki kelebihan dan kelemahan yaitu 19
:
1. First Past the Post System : Kepala daerah memperoleh suara terbanyak otomatis memenangkan pilkada ( simple majority). Konsekwensinya, calon kepala daerah dapat memenangkan pilkada walaupun meraih kurang dari separohnya, sehingga legitimasi tidak dipersoalkan. 2. Preferential Voting System atau Aproval Voting L'>ystem Pemilih memberikan peringkat pertama, kedua dan seterusnya. Seorang caJon akan otomatis memenangkan pilkada langsung jika memperoleh suara terbanyak namun sistem ini dapat membingungkan proses penghitungan suara di setiap TPS. 3. Two Round System atau Run-ojf:::,ystem Cara kerja sistem ini adalah dengan dua putaran dengan catatan jika tidak ada caJon yang memperoleh suara absolut.atau lebih 50 persen. 4. Sistem Electoral College Setiap daerah pemilihan seperti kecamatan atau gabungan kecamatan untuk pemilihan bupati atau walikota atau setiap kabupaten/kota untuk gubemur diberi alokasi atau bobot suara Dewan Pemilih (Electoral College) sesuai dengan jumlah penduduk. Setelah pilkada, keseluruhan jumlah suara yang 19
Prihatmoko;2005, hal 116-HO
34
diperoleh tiap caJaon disetiap daerah pemilihan dihitung. Pemenang disetiap daerah pemiJihan berhak memperoleh suara Dewan Pemilih terbesar dan akan memenagkan pemiJihan. 5. Sistem Pemilihan Presiden Nigeria Seorang calon Kepala Daerah dinyatakan sebagai pemenang pilkada apabiJa calon bersangkutan dapat meraih suara mayoritas sederhana dan minimum 25 % dari dua pertiga daerah pemiJihan.
Pada hakekatnya, pemilihan sistem pilkada Iangsung akan terbentur pada persoalan aspek Iegitimasi dan biaya yang dibutuhkan. Jika mengikuti jenis sistem di atas, maka akan terjadi paradoks atas pertimbangan legitimasi dan efisiensi dan bila pertimbangan dititikberatkan pada legitimasi maka dibutuhkan pembiayaan tinggi tetapi dengan biaya yang rendah maka faktor legitimasi akan berkurang. Praktek yang di pakai di Indonesia adalah sistem majority (distrik) dengan Two Round System hanya 30% + J .
2.4
Dari Pemilihan Kepala Daerah Perwakilan Sampai Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung (Pilkada) Gagasan mengenai demokrasi memperoleh kekuatan dari ide pengaturan diri
yaitu pandangan bahwa anggota komunitas politik dan warga negara seharusnya dapat memilih secara bebas sesuai kondisi komunitas dan pilihan mereka. Hal tersebut menjadi legitimasi terakhir bagi bentuk dan arah politik mereka. Melihat sejarah proses pemilihan kepala daerah di Indonesia, maka dapat dikategorikan ke daJam tiga bentuk yaitu: pertama, penunj ukan atau pengangkatan
35
dari pusat; kedua pemilihan yang dilakukan oleh DPRD, dan ketiga adalah Pilkada Langsung. Pendapat yang disampaikan oleh Prihatmoko,20 terdapat tiga bentuk sistem pemilihan kepala daerah dilihat dari Iegitimasinya adalah sebagai berikut : I. Sistem penunjukan dan I atau pengangkatan oleh pemerintah /pejabat pusat. Sistem ini paling kurang legitimasinya sehingga tidak populer di negaranegara demokrasi modem yang memelihara dan menghidupkan sistem nilai dan norma demokrasi. 2. Sistem pemilihan Perwakilan oleh dua council.(sebanyak dua pertiga negara yang menganut sistem kesatuan menggunakannya).Legitimasi Kepala daerah terasa semakin kurang jika sistem rekrutmen anggota dewan tidak kompetitif dan akuntabel, serta mekanisme pertanggungjawabannya bersifat tertutup dan manipulatif 3. Sistem pemilihan langsung oleh rakyat, sistem ini paling populer digunakan di negara-negara sistem federal atau federasi. Karena rakyat langsung memilih Kepala daerah maka Iegitimasi terhadap proses dan basil pemilihan sangat besar. Selanjutnya, Prihatmoko juga menyatakan bahwa, jika dilihat dari cara dan metode yang dipakai, sistem pilkada dapat dikelompokan menjadi dua jenis, adalah sebagai berikut: I. Sistem pilkada tak langsung dengan mekanisme pengangkatan dan/atau pemilih serta pemilihan Perwakilan; 2. Pilkada langsung yakni yang memberi ruang dan kekuasaan rakyat untuk memilih kepala daerah.
20
Prihatmoko, Joko P;2005; 103
36
2.4.1 Pemilihan Kepala Daerah Perwakilan Kaum demokrat liberal menegaskan, bahwa hanya melalui institusi-institusi pemerintahan perwakilan yang demokratislah
komitmen terhadap otonomi dapat
dijunjung tinggi. Tokoh tiQikalnya adalah Jhon Stuart Mill, menurutnya21
:
Satu-satunya model demokrasi yang mungkin di dunia modem adalah demokrasi perwakilan, yang dapat memadukan kemungkinan partisipasi politik dengan pemerintahan yang terbatas dan administrasi yang trampil. Selanj utnya Alan Norton menyatakan bahwa: dalam khasanah literature pemerintah daerah lokal seringkali sudah menjadi kesepakatan terhadap esensi demokrasi lokal dan regional yang modem. Kepentingan masyarakat lokal dilakukan oleh wakil-wakil rakyat yang dipilih secara demokratis.
Penjelasan selanjutnya tentang demokrasi perwakilan ini disampaikan oleh Gerry Stoker dalam bukunya The politics of local Goverment22 menyatakan : Demokrasi dan Sistem Politik lokal lazimnya ditentukan oleh beberapa factor yaitu :partai politik, sistem politik, sistem politik, sistem pemilihan, kelompok-kelompok partai politik (ruling party group and party caucus), dan anggota-anggota DPRD (councilors). Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pemilihan kepala daerah perwakilan adalah sekelompok elit politik mewakili suara rakyat yang dianggap penentu terpilihnya seorang pemimpin lokal. Sekelompok elit tersebut memiliki mandat dari rakyat melalui proses pemilihan yang sah dan berkala.
21 22
Held, David; Demokrasi & TatammGloba\J'·w.'laka Pe\~m, Yogya'tl.."lfi'ta, Oktober 2004 dikutip dari buku d?aribuku Desentrali'!.a5i & Pemerinthan D'l&Viah : Ant2t'i'll Model Dlt.w.okrasi L%al & Efisiensi Struktural: 2006~41
37
Di Indonesia, disahkannya UU Nomor 22 Tahun 1999 telah membawa harapan baru bagi terwujudnya demokrasi politik di tingkat lokal. Salah satu ukuran yang digunakan adalah diberikannya kewenangan kepada DPRD sebagai representasi rakyat daerah dalam memilih dan memberhentikan Kepala daerah. Persoalannya adalah apakah memberikan kewenangan kepada DPRD untuk memilih Kepala Daerah dapat menghasilkan pemimpin yang responsib dan akuntabel bagi masyarakat lokal? Dari beberapa pelaksanaan pemilihan kepala daerah baik provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia menunjukkan tidak ada garansi bagi lahimya pemimpin daerah yang kapabel dan bisa diterima oleh masyarakat dengan aturan formal nonnatif seperti yang diamanatkan oleh UU No 22 Tahun 1999. Pelaksanaan aturan hanyalah sebatas aturan normatif yang memiliki kelemahan dan secara substantif tidak menjamin berlangsungnya rekrutmen politik yang demokratis, obyektif dan rasional. Menurut Bambang Purwoko ada beberapa kelemahan mekanisme pemilihan kepala daerah perwakilan, yaitu indikasi kecurangan seperti 23 : I. Te:rjadinya praktikjual beli suara dan pemalsuan dokumen. 2. Pemilihan kepala daerah perwakilan temyata belum sepenuhnya mampu mengindikasikan terbukanya akses masyarakat dalam menentukan siapa yang pantas menjadi pemimpin. Tawar menawar proses politik didominasi olehDPRD. 3. Terjadi intervensi pengurus parpol baik di levellokal maupun pusat.
23
Purwoko, Bambang, Mekanisme Pemilihan Kepala Daerah :Antara Regulasi dan Realitas Politik; dalam buku Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah di Indonesia.: Pustaka Pelajar, Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM Yogyakarta; Oktober 2006; hal198.
38
Tidak jauh berbeda dengan apa yang telah disampaikan sebelumnya, Maschuri Maschub menyatakan ada beberapa hal yang menjadikan pelaksanaan pilkada perwakilan menjadi seru yaitu24
:
I. Campur tangan atau intervensi pimpinan pusat partai politik. 2. Isu Politik uang, dari sekedar biaya akomodasi, tanda terimakasih, syukuran , sampai yang betul-betul jual beli suara.
Berangkat dari fenomena tersebut di atas, maka dewasa ini sangat diperlukan sosok kepala daerah dengan kualitas yang prima. Bukan saja kecakapannya (kapabilitas), tetapi juga integritas dan akseptabilitasnya di masyarakat. Selanjutnya menurut Maschub: mengingat sebagian distorsi terhadap lahimya kepemimpinan kepala daerah yang baik ada pada DPRD, maka peran DPRD dalam proses pemilihan kepala daerah harus dikurangi seminimal mungkin. Oleh karena itu maka pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat menjadi hal yang sangat penting.
Penyelenggaran pilkada perwakilan di Kota Yogyakarta yang diselenggarkan pada tahun 2001 telah mengantarkan H. Herry Zudianto, SE, MM dan H. Syukri Fadhloli sebagai pemimpin Kota Yogyakarta periode 2001-2006. Seperti halnyajuga pelaksanaan pilkada di daerah-daerah Jain, pilkada perwakilan Kota Yogyakarta tidak luput dari isu politik uang dan intervensi pengurus partai politik pusat terhadap kebijakan Dewan Pimpinan Cabang (DPC).
24
Maschub, Maschuri ; Kepemimpinan dan pemilihan kepala Daerah Dalam Era Otonomi yang Luasnyata dan Bertanggung Jawab; dalam buku Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah di Indonesia.: Pustaka Pelajar, Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM Yogyakarta ; Oktober 2006 ; hal 184
39
Waktu itu mekanisme pemilihan walikota dan wakil walikota, sepenuhnya dilaksanakan DPRD II Kota Yogyakarta. DPRD II membentuk Panitia Pemilihan, karena pilkada waktu itu masih menjadi bagian dari tugas dan wewenang DPRD. Pedoman yang dipakai adalah Keputusan DPRD Kota Yogyakarta Nomor 9/K/DPRD/200 I sebagai landasan pelaksanaan, setelah mengamandemen Peraturan Tatib DPRD yang lama. Setelah pendaftaran bakal caJon dibuka mulai tanggai 8-28 Juni 2001, parpol yang mempunyai suara siginifikan di DPRD seperti PAN, PDI-P dan Golkar melakukan seleksi tersendiri untuk menjaring bakal calon walikota dan wakil walikota. Dewan Pimpinan Cabang partai-partai tersebut membuka pendaftaran bagi bakal calon, baik secara langsung ke DPC maupun melalui aspirasi di kecamatan. Berdasarkan hasil investigasi jumal Flamma 25 pada saat itu, ditemukan beberapa fakta seperti yang dilaporkan : a.
Salah satu partai menerapkan proses pendaftarannya melalui DPC Kota dengan uang pendaftaran satu juta rupiah. Seleksi yang dilakukan menggunakan dua tahapan, yaitu psikotes dan penyampaian visi-misi. Dari penelitian yang dilakukan Sunaryo Hadiwibowo, mahasiswa UGM, diperoleh keterangan, selain uang pendaftaran, juga terdapat sumbangan dana bagi partai yang besarnya minimal Iimajuta rupiah
b.
Ada partai tertentu yang juga harus minta restu dari Dewan Pimpinan Pusat (DPP) sebuah partai dan itu juga menggelontorkan sejumlah uang.
25
Flamma, Jounal; edisi 23. IRE Yogyakarta.
40
Menurut sumber yang diwawancarai oleh Flamma menyatakan biayanya kira-kira 200 juta rupiah agar dapat ijin atau surat rekomendasi dari DPP.
Berdasarkan fakta-fakta yang teijadi dalam pelaksanaan pilkada perwakilan yang sarat dengan politik uang dan intervensi pengurus partai politik di tingkat pusat menjadi salah satu penyebab munculnya wacana pilkada langsung. Walaupun pada akhimya pelaksanaan pilkada langsung juga tidak menjamin politik uang dan intervensi tidak ada sama sekali.
2.4.2. Pemilihan Pilkada Langsung Terdapat beberapa alasan yang sering diajukan sebagai argumentasi praktik pemilihan langsung kepala daerah salah satunya adalah kepentingan-kepentingan partai politik di tingkat nasional sangat mendominasi kepentingan elite pohtik di tingkat Iokal, bahkan kepentingan segelintir elit politik sering dimanipulasi sebagai kepentingan masyarakat Iokal. Tujuan dilakukannya pilkada Iangsung menurut Eko Prasojo26 adalah : Pilkada langsung dimaksudkan untuk memutuskan rantai hubungan vertikal antara partai politik di tingkat nasional dan elite politik di tingkat Iokal. Secara horizontal hal ini dimaksudkan untuk memutuskan oligarki politik lokal dalam pemilihan kepala daerah Tujuan kedua adalah meningkatkan akuntabilitas kepala daerah yang terpilih.
26
Prasojo, Eko; 2006;45
41
Sedangkan menurut Ben Reilll 7 menyatakan bahwa sistem pilkada adalah: I) sistem pemilihan menetjemahkan jumlah suara yang diperoleh dalam pemilihan menjadi kursi~ 2) Sistem pemilihan bertindak sebagai wahana penghubung yang memungkinkan rakyat dapat menagih tanggung jawab pemimpin yang mereka pilih~ 3) Sistem pemilihan memberi dorongan terhadap pihak-pihak bersaing pengaruh supaya melakukannya dengan cara yang tidak sama.
Pilkada Iangsung merupakan suatu sistem yang di dalamnya terdapat elemenelemen untuk menghasilkan kepala daerah dan kebijakan. Elemen tersebut antara lain pendaftaran pemilih, pencalonan, kampanye, pemungutan suara, dan penetapan calon terpilih. Elemen itu saling terhubung dan bekerja menurut fungsinya masing-masing, sebagaimana organ-organ dalam tubuh manusia, seperti yang disampaikan oleh Pn"h atmo k'O-' 8 :
Unsur terpenting dari bekerjanya elemen pilkada langsung adalah warga atau pemilih sehingga pelaksanaannya harus melibatkan partisipasi warga. Tanpa partisipasi warga, pilkada tidak dapat berjalan dan mencapai tujuan.
Dimensi terpenting pilkada langsung adalah
kompetisi yang ketat karena
filtemya lebih banyak dan beragam. Pengertian filter adalah warga dengan segala perspektif dan kepentingannya. Kompetisi yang ketat disebabkan secara hukum (de jure) dan kenyataan (de facto) tidak ada pembatasan dalam rangka menyingkirkan
27
Ben Reilley, Refonnasi Pemilu di Indonesia dikutip dari buku Pemilihan Kepala DaerahLangsung: J. Prihatmoko;202
2~
J. Prihatmoko,2006.
.:Q
calon-calon atau kelompok tertentu atas dasar alasan-alasan politik, seperti yag disampaikan oleh Eklit dan Svenson29 dalam satu kompetisi pilkada Iangsung pemilih harus memiliki pilihan di antara calon-calon yang layak dan syarat kompetisi harus berlaku sama bagi seluruh caJon, dalam pengertian "satu medan permainan yang sama"
Uraian di atas akan menegaskan bahwa kapasitas mesin pilkada Jangsung lebih besar daripada kapasitas mesin pilkada perwakilan oleh anggota DPRD. Logikanya kepala daerah terpilih lebih baik, dalam arti memahami karakter dan kebutuhan masyarakat pemilih dan masalah-masalah yang dihadapi daerah. Berdasarkan pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengertian pilkada langsung adalah proses pengembalian hak perseorangan untuk mendapatkan hak pilih dalam menentukan pemimpin lokal tanpa harus diwakili Sedangkan tujuan pilkada langsung tersebut adalah untuk untuk mengingkatkan responsibilitas dan akuntabilitas kepala daerah yang terpilih. Di Indonesia, praktiknya baru terealisasi setelah amandemen UUD 1945 yang mengandung spirit pengembalian kedaulatan rakyat yang dijabarkan dalam wujud pemberian hak-hak politik secara Iangsung, sebagaimana termanifestasikan dalam sistem pemilihan presiden dan pemilihan kepala daerah secara Iangsung. Hasil amandemen tersebut adalah pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang berbunyi : Gubemur, Bupati dan Walikota masing-masing Kepala Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten
29
Media Indonesia, Paradoks Pilkada langsung, 27 April 2005
43
dan Kota dipilih secara demokratis, untuk melengkapi pasal tersebut dikeluarkan UU Nomor 32 Tahun 2004 yang salah satu isinya adalah tentang pilkada langsung.
2.4.2.1 Pilkada : Rejim PemiJu vs Rejim Pemerintah Daerah. Ide dasar dan pengharapan terhadap pilkada adalah sama dengan pemilu nasional yaitu merupakan proses transisi menuju demokrasi. Paska Orde Baru, ada idealisme menggebu bahwa desentralisasi politik niscaya harus dilakukan sebagai jawaban mengakhiri sentralisasi kekuasaan Orde baru. Banyak pihak yakin bahwa jawaban politik atas keterpurukan dan ketimpangan di pelbagai bidang di daerah selama puluhan tahun adalah dengan memberikan desentralisasi politik. Sekaligus hal tersebut merupakan pintu masuk bagi terbangunnya sistem politik yang lebih stabil dan menyejahterakan. ' 0 Sukses pelaksanaan pemilihan presiden secara langsung sedikit banyak telah menghilhami keinginan para pembuat keputusan di negeri ini untuk melaksanakan hal yang sama dalam pemilihan kepala daerah. Pada dasamya ada keinginan agar sukses pelaksanaan pemilu di tingkat nasional (Pemilu tahun 2004) dimana kaidah-kaidah demokrasi terutama fair-jujur-adil dan transparan juga dapat dicapai dalam pilkada. Sebagai konsekuensi amandemen UUD 1945 maka eksekutif ditingkat daerah sebagimana halnya ditingkat pusat harus dipilih melalui pemilihan umum. Persoalannya adalah interprestasi terhadap pemilihan kepala daerah kemudian diterjemahkan berbeda apakah masuk dalam rejim pemilu atau rejim pemerintah 30
Najib, Mohammad·, ?)lakada -&m, demokt7ci.-, KPU ?oup)nsi D)y,'l006 hal .,.:,:,:,
44
daerah. Lahimya UU No 32 Tahun 2004 adalah jawaban anggota DPR dan pemerintah yang meletakkan domain pilkada adalah bagian dari pemerintah daerah. Adapun alasan DPR dan pemerintah adalah 31
:
I. Pemilihan kepala daerah sudah diatur dalam pasal 18 ayat 4, yang merupakan perubahan kedua UUD I 94 5 yang disahkan tanggal 18 agustus 2000, mendahului pasal 22 E amandemen ketiga yang disahkan pada tanggal 9 Nopember 2001. 2. Pada saat amandmen kedua disahkan, sistem pemilihan presiden dan wakil presiden belum jelas, sehingga rumusan yang digunakan untuk pemilihan kepala daerah bersifat umum, yaitu dipilih secara demokratis.
Meyikapi
penafsiran seperti
yang diungkapkan diatas,
disampaikan oleh Suparman Marzuki. Menurut marzuki 32
hal
berbeda
:
Watak parsialistik dan inkonsistensi UU no 32 Tahun 2004 terlihat dengan tidak menempatkan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah ke dalam kerangka pemilu, maka sebagian unsur pemerintah daerah dipilih melalui secara langsung dalam kerangka pemilu (DPRD) tetapi sebagian lagi tidak ( kepala daerah). Disamping itu juga tampak dalam hal apakah pemilihan umum atau bukan pemilihan umum. Perdefenisi, UU No 32 tahun 2004 tidak menyebut pilkada sebagai pemihhan umum, tetapi secara substansial, asas dan proses pilkada yang dimuat dalam pasal 56 - 119 adalah pemilhan umum sebagaimana dimuat dalam UU No 12 Tahun 2003 dan UU No 23 Tahun 2003.
Belakangan, persoalan perdebatan an tara apakah pilkada masuk dalam domain pemilu atau pemerintah telah sampai pada upaya meminta keputusan Mahkamah Konstitusi (MK). Berdasarkan laporan Kompas 23 Maret 2005 menyatakan bahwa: putusan MK atas tiga permohonan hak uji materi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, dari sembilan hakim konstitusi MK, tiga hakim konstitusi di 31
32
Marzuki, Suparman; Problem legal dan politik Pilkada ;dalam buku; Pilakada dan demokrasi; KPU Propinsi Diy;2006 hal 4. Marzuki, Suparman :2006;hal 5
45
antaranya berpendapat berbeda (dissenting opinion). Putusan MK tersebut atas perkara yang diajukan Centre for Electoral Reform, Jaringan Masyarakat Pemantau Pemilu Indonesia, Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat, Aliansi Masyarakat Sipil untuk Demokrasi, Indonesia Corruption Watch (ICW), dan 15 Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD). MK hanya mengabulkan sebagian permohonan kelompok pemantau dan KPUD ini. MK hanya mengabulkan pasal yang menyangkut pertanggungjawaban KPUD ke DPRD, yakni Pasal57 Ayat (1), Pasal 66 Ayat (3) Hurufe, Pasal67 Ayat (1) Huruf e, dan Pasal 82 Ayat (2). Sebaliknya, permohonan kelompok pemantau dan KPUD yang berangkat dari paradigma pemilu dalam desain "Pemilu dilaksanakan secara Iangsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun" seperti yang tercantum dalam Pasal 22E Undang-Undang Dasar 1945 tidak dikabulkan MK. Berdasarkan keputusan MK seperti yang telah dilaporkan oleh Kompas, maka hanya sebagian dari gugatan pemohon yang dikabulkan. Walaupun demikian MK juga memberikan pertimbangan terhadap kemungkinan pilkada masuk dalam rejim pemilu seperti yang dilaporkan oleh Pan Mohammad
Faiz tentang Putusan
Mahkamah Konstitusi menyatakan 33 : Sebagai akibat (konsekuensi) Iogis dari pendapat para Pemohon yang menyatakan bahwa Pilkada Iangsung adalah Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22E UUD 1945 yang dijabarkan dalam UU Nomor 12 Tahun 2003, maka perselisihan mengenai hasil pemilu, menurut para Pemohon, harus diputus oleh Mahkamah Konsitusi. Mahkamah berpendapat bahwa secara konstitusional, pembuat undang-undang dapat saja memastikan bahwa Pilkada Iangsung itu merupakan perluasan pengertian Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22E UUD I 945 sehingga karena itu, perselisihan mengenai hasilnya menjadi bagian dari kewenangan Mahkamah Konstitusi dengan ketentuan Pasal 24C ayat (I) UUD 1945. Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa penggabungan pemilu dan pilkada tidak melanggar konstitusi dan pembuat undang-undang ber wenang untuk mengatumya. Berdasarkan perkembangan terakhir bahwa UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang penyelenggaraan pemilu telah menunjukan bahwa pembentuk
33
http;// panmohamfaiz.com/2006/11 /30/putusan mahkamah-konstitusi-tahun :?.OOS
46
UU sudah menentukan sikapnya memasukkan pilkada dalam pengertian pemilu. Berikut ini pemyataan Jimly Assidiq terkait dengan hal tersebut 34
:
pembentuk UU sudah menentukan sikapnya memasukkan pilkada dalam pengertian pemilu. Untuk itu, penyelenggaraan pemilu juga ditangani Komisi Pemilihan Umum (KPU). Namun, lanjut Jimly, pembentuk UU belum menentukan sikapnya apakah penyelesaian sengketa pilkada ini masuk dalam kewenangan Mahkamah Agung seperti selama ini atau ke Mahkamah Konstitusi yang selama ini diberi kewenangan menyelesaikan sengketa pemilu. Lanjut Jimly, sikap pembentuk UU itu sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) di mana MK di dalam putusannya menyerahkan kepada pembentuk UU untuk menentukan apakah pilkada masuk rezim hukum pemerintahan daerah ataukah rezim hukum pemilu.
2.4.2.2 lmplikasi Rejim Pemerintah daerah terhadap Pilkada Disahkannya UU No 22 Tahun 2007 pada tanggal 19 April 2007 dan ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2007 yang merupakan perubahan dari Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 setelah perubahan yang mengatur tentang calon independen, maka pilkada berada dalam rejim pemilu. Menurut Pasal 127 UU No. 22 Tahun 2007 pilkada yang sudah berlangsung ketika UU tersebut disahkan masih mengacu pada UU No 32 Tahun 2004. Akibatnya pilkada yang dilaksanakan khususnya sebelum bulan April tahun 2007 sangat dipengaruhi oleh peran Depdagri maupun pemerintah Daerah. Jika KPUD yang melaksanakan pilkada menemukan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan teknis penyelenggara atau ketidakjelasan regulasi maka sering kali pendapat Depdagri di jadikan rujukan atau payung hukum.
~14 http;/!Kompas-cetak/politik huku.htm
47
2.5 KPU Sebagai Penyelenggara Pemilu
Pemilu yang diorganisir oleh sebuah lembaga penyelenggara yang dianggap independen telah dilaksanakan pada tanggal 7 Juni 1999 setelah penguasa orde baru HM. Soeharto meletakan jabatannya pada bulan mei 1998. Penelitian terhadap lembaga penyelenggara ini dapat dilihat dari pemyataan Martin dkk 35 sebagai berikut:
The June 7, 1999, election were remarkable for several reason. They were the first competitive elections held in Indonesia since 1955, the featured fairly good election organization of large population, in a short amount of time, the were marked by a high level of parricipation (92 percent), no political party ....
Sukses pelaksanaan pemilu tahun 1999 telah mengilhami para pembuat keputusan di negara mt untuk membentuk lembaga baru yang berwenang menyelenggarakan pemilu. Salah satu lembaga negara yang melayani publik adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang menurut ketentuan umum Undang Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPRD dan DPD. Peraturan ini menyebutkan bahwa KPU adalah lembaga yang bersifat nasional, tetap dan mandiri untuk menyelenggarakan pemilu. Hal ini juga sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 22 E ayat (5) yang menyebutkan bahwa pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Sifat nasional yang dimaksud oleh Undang-Undang adalah KPU adalah penyelenggara pemilu untuk semua wilayah negara kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan sifat tetap dimaksudkan bahwa KPU merupakan lembaga yang
35
Harrop; \987;34
48
menjalankan tugasnya secara berkesinambungan walaupun dibatasi dalam periode lima tahun berbeda dengan institusi pemilu sebelumnya yang hanya bersifat ad-hoc. Sifat mandiri diartikan sebagai bentuk tanggung jawab KPU yang bebas dari pengaruh pihak lain yang disertai dengan transparansi dan pertanggungjawaban yang jelas sesuai dengan peraturan perundang-undangan untuk menjamin tercapainya penyelenggaraan pemilu. Sebuah survei pendapat umum nasional Indonesia yang dilakukan lembaga
International Foundationj()r Election System atau IFEs menyatakan 35 : "meskipun mayoritas responden (59%) sudah pemah mendengar atau membaca setidaknya sedikit mengenai KPU, hanya sedikit (5%) yang telah banyak mendengan atau membaca tentang lembaga ini. Dari mereka yang mengetahui tentang KPU, 69 % menyatakan puas terhadap lembaga ini sedangkan 14 % tidak puas. Sentimen positif tentang KPU mungkin diakibatkan oleh fakta bahwa 64 % dari mereka yang mengetahui keberadaan lembaga ini berpendapat KPU merupakan lembaga yang netral, sedangkan 19 % berpendapat sebaliknya." Berdasarkan perintah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 233 ayat (1) dan (2), KPU daerah yang selanjutnya disebut KPUD diberi wewenang khusus
untuk menyelenggarkan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil kepala daerah di setiap Provinsi dan Kabupaten!Kota. lsi pasal tersebut menyebutkan : ( 1) Kepala daerah yang berakhir masa jabatannya pada tahun 2004 sampai dengan bulan Juli 2005 diselenggarakan pemilihan kepela daerah secara langsung sebagimana dimaksud dalam undang-undang ini pada bulan Juli 2005. (2) Kepala Daerah yang berakhir masa jabatannya pada bulan Januari 2009 sampai dengan bulan Juli 2009 diselenggarakan pemilihan kepala daerah secara
35
IFES, Juli 2003;9 dalam buku Pilkada Langsung di Bukit Seribu; editor Simpul Oktavianto; KPU Kab. Gunungkidul, Prov DIY;2007 hal5
49
langsung sebagaimana dimaksud dalam undang-undang m1 diselenggarakan pada bulan Desember 2009.
Problem krusial yang muncul saat pilkada diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah beserta ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun
2005
tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan,
dan
Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang mengkibatkan KPU pusat tidak memiliki hubungan hirarkis lagi dengan KPU di daerah. Sebaliknya KPUD
menjadi
mitra perangkat daerah
dalam
pelaksanaan
pilkada
yang
mengakibatkan, saat KPUD menemukan berbagai persoalan dalam proses pilkada, tidak lagi bisa meminta fatwa dari KPU pusat seperti yang selama ini terjadi pada saat pelaksanaan pemilu. Implikasi lainnya adalah KPUD tidak lepas dari pengaruh Pemerintah melalui Departemen Dalam Negeri (Depdagri). Sebagai lembaga penyelenggara pemilu, independensi telah menjadi asas universal yang harus dipertahankan. Independensi yang harus dipelihara dan dipertahankan oleh lembaga yang menyandang predikat independen (dalam hal m1 KPUD) meliputi tiga hal yaitu36 : a. Independensi institusional atau structural: yaitu KPUD bukan bagian dari institusi negara yang ada, tidak menjadi subordinat atau tergantung pada lembaga negara atau Iembaga apapun. b. Independensi fungsional adalah KPUD tidak boleh dicampuri atau diperintah dan ditekan oleh pihak manapun dalam melaksanakan pemilu c. lndependensi personal yaitu bahwa seseorang menjadi anggota KPUD adalah personal yang imparsial, jujur, memiliki kapasitas dan kapabilitas. Hanya dengan begitu sebuah komisi akan dapat bersikap tidak memihak (impartial), bebas (independent), adil (fair) dan terpercaya (credible). 36
Muhammad Najib;Desember 2006 ;xv
50
2.6. Regulasi Pemilu Seperti disebutkan sebelumnya, bahwa "aturan main" juga menjadi bagian yang penting dari penyelenggaraan pemilu atau pilkada. Semua "aturan main" barn tersebut umumnya bermuara pada pelembagaan prosedur politik (termasuk prosedur elektoral) yang demokratis, liberal, kompetitif, partisipatif, transparan, dan akuntabel. Agenda tersebut adalah
pemilihan presiden dan pemilihan kepala daerah secara
Iangsung. Kelembagaan prosedur politik yang barn ini mungkin menciptakan proses yang demokratis, tetapi institusionalisasi politik itu tidak akan terlepas dari jebakan dan dilema yang membuat teori institusionalisasi mengalami anomali. Seperti yang diungkapkan oleh Sutoro Eko
37
Pertama, institusionalisasi berupaya membangun prosedur dan aturan main yang modem, tetapi ia diterapkan dan dikelola oleh orang-orang yang primitif dan tidak demokratis. Kedua, prosedur politik yang jujur dan fair tetap tidak bisa diterapkan ketika structure and culture of law sangat lemah. Ketiga, pendekatan institusional (perbaikan prosedur dan aturan main) tentu merupakan pendekatan yang bias elite, yakni hanya meng-cover kompetisi antar elite politik. . Di Indonesia, prosedur dan aturan main pemilihan umum bisa saja menjamin terselenggaranya pemilu dan pilkada sesuai dengan tahapan dan waktu yang ditentukan. Selain itu, prosedur dan aturan main tidak bisa menjangkau tujuan sebenamya terlaksananya pemilu dan pilkada, misalnya peraturan tentang pemilih yang menyatakan pemilih yang berhak adalah yang terdaftar dalam administrasi
37
Eko, Sutoro, Krisis Demokrasi; Seputar Partisipasi demokrasi. Direktur Institute For Research Empowerment (IRE Yogyakarta)
51
kependudukan tanpa memperhatikan bahwa persoalan administrasi masih merupakan persoalan nasional yang belum terselesaikan hingga saat ini. Sebagai akibatnya, pada data pemilih terdapat pemilih ganda, pemilih yang tidak faktual, tidak terdaftamya pemilih yang memiliki hak pilih atau sebaliknya pemilih yang berhak tidak terdaftar.
2. 7
Implikasi Pola de Jure terhadap Pembiayaan dan Partisipasi Pemilih. Untuk menghindari terjadinya kesalahpahaman dalam menafsirkan judul
penelitian ini, maka terlebih dahulu akan dikemukakan beberapa pengertian terhadap kata-kata yang dianggap dapat mempunyai makna dual.
2. 7.1
Im plikasi Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ( 1999), kata implikasi dapat
mempunyai dua pengertian, yaitu keterlibatan atau keadaan terlibat, dan yang termasuk atau tersimpul : yang disugestikan tetapi tidak dinyatakan, dampak bisa juga berpengaruh. Sedangkan makna lain menurut Partanto dan Dahlan (1994 ), implikasi mempunyai arti : kesimpulan, keterlibatan atau keadaan terlibat, pelibatan, penyelipan rnasalah. Dari pengertian-pengertian tersebut, maka kata irnplikasi dalarn judul penelitian ini lebih mengarah pada pengertian pertama yaitu lebih mengarah pada dampak pendataan pemilih secara de jure terhadap pilkada.
2.7.2 Konsep Pendaftaran Pemilih Salah satu indikator pilkada langsung berkualitas adalah pilkada yang membuka akses bagi setiap warga negara. Prinsip keterbukaan itu dikenal dengan universal suffrage atau hak pilih universal.
52
Dilihat dari tujuannya, pendaftaran pemilih merupakan salah satu kunci keberhasilan pilkada. Adapun tujuan pendaftaran pemilih mencakup beberapa aspek
'" . -'yaitu: a) Memberikan Iegalitas bagi warga untuk dapat menggunakan hak pilih. Namun tidak semua warga dapat menggunakan hak pilihnya. Seorang warga bisa menjadi pemilih apabila terdaftar sebagai pemilih. Proses pendaftaran pemilih berarti legalisasi hak pilih warga. b) Seleksi dan pengamanan hak pilih. Dalam pemilihan dikenal prinsip one person, one vote, one value. Warga yang terdaftar sebagai pemilih wajib disediakan akses untuk dapat menggunakan hak pilihnya. Sebaliknya, warga yang belum/tidak terdaftar sebagi pemilih karena suatu sebab ( misalnya, menjadi anggota TNI/Polri ) tidak memiliki hak piih sehinga tidak disediakan akses untuk memanfaatkannya. Pendaftaran pemilih berfungsi untuk membedakan warga yang berak, belum atau tidak berhak menggunakan hak pilih dan mencegah teijadinya mobilisasi pemilih atau penggunaan hak pilih ganda. Dengan demikian prinsip satu orang, satu pilihan dan satu nilai bisa ditegakkan. c) Untuk kontrol dan pertanggungjawaban administrasi, keuangan dan logistik. Pendaftaran pemilih menghasilkan data pemilih dalam jumlah pasti. Data pemilih digunakan untuk merencanakan administrasi pemilihan dan penghitungan. Tidak tersedianya data yang pasti atau pergerakan data jumlah pemilih yang terus menerus akan menyulitkan perencanaan pilkada. Perencanaan yang buruk bukan saja berakibat pada pelaksanaan namun juga pertanggungjawaban yang buruk sehingga kualitas pilkada menjadi buruk.
Berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah No 6 Tahun 2006 pasal 19 disebutkan bahwa pendaftaran pemilih dalam pilkada menggunakan data base pemilih pemilu terakhir.
Pemilu terakhir adalah Pilpres II yang data pemilihnya
disusun berdasarkan hasil sensus penduduk oleh BPS yang kemudian dirubah menjadi Data Penduduk Pemilih Potensial Berkelanjutan (P4B). Proses pendataan saat itu adalah dengan mendata penduduk sesuai dengan tempat tinggalnya pada saat
'8
Prihatmoko : 226
53
di data atau disebut faktual. Pasal sebelumnya yaitu Pasal 16 ayat (2) huruf c yang disebut pemilih adalah berdomisili di daerah pemilihan sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan sebelum disahkannya daftar pemilih sementara yang dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk, sehingga ketidakjelasan tentang cara yang digunakan untuk mendata pemilih telah menyebabkan perdebatan diantara stake holder.
2.7.3. Definisi Pemilih Standar norma yang mengatur tentang pemilihan dapat dilihat pada Deklarasi Hak Asasi manusia se-dunia (United Nations Declaration of Human Rights) 39 yang menyatakan bahwa :
Jhe will of the people shall be the basis of the authority of goverment; this will shall be expresed in periodic and genuine elections which shall be by universal! and equal suffrage and shall be held by secret vote or by equivalent .free voting procedures. Selanjutnya Martin Harlopp-.~ 0 menielaskan ao.a yang dimaksud dengan o.emilihan yang bebas dan pemilihan yang bersifat priodik sebagai berikut : Proses pemilihan hams bersifat bebas yaitu pemberian hak yang sama yang bebas dari intimidasi, adil (fair) dengan menjamin kerahasiaan bagi pemilih, dan frekuensi pemilihan yang adil yaitu masyarakat dapat menilai atas pilihan mereka dan berpartisipasi secara priodik. Secara garis besar definisi pemilih menurut Firmanzah41 adalah bahwa pemilih diartikan sebagai semua pihak yang menjadi tuj uan utama para kontestan/
39
40
United Nations ~daration ~Human ~ts, art.1. 1,, sectiO\', , ~-. dalam v-*-u Electw. and vot'i!.'i"- ·. 1987 27 1987;27
54
kandidat untuk mereka pengaruhi dan yakinkan agar mendukung dan kemudian memberikan suaranya kepada kontestan/kandidat bersangkutan. Pemilih dalam hal ini dapat berupa konstituen maupun masyarakat pacta umumnya. Kemudian dalam pandangan Peter Schroder35 di berbagai negara berlaku ketentuan: "Bahwa warga negara perlu mendaftarkan dirinya sebelum ia dapat mengikuti pemilu. Pendaftaran biasanya mel a! ui proses yang sangat birokratis, di mana pemilih harus menunjukkan identitas resminya (misalnya: dalam bentuk KTP, dsb ). Padahal ada berbagai kelompok masyarakat terutama kaum marginal, yang tidak memiliki identitas resmi. Kelompok masyarakat semacam ini biasanya tidak diperbolehkan ikut pemilu, atau dipersulit proses pendaftarannya." Mengenai pendaftaran pemilih dengan menggunakan registrasi kependudukan memiliki kelemahan dan kelebihan. Berikut pendapat Martin Harlopp43 : Use of civil registry is cheaper than the other two alternatives ( priodec list and permanent list), however, it renders the electoral authority dependent upon the goverment for information. Ketentuan hak memilih yang berlaku di Indonesia sebagai mana tertulis dalam buku Pembangunan Bidang Politik yang dikeluarkan oleh Kementerian Koordinator Bidang Politik dan Keamanan44 disebutkan bahwa: "Hak memilih adalah warga negara RI yang pada hari pemungutan suara telah berusia 17 tahun atau sudah/ pemah kawin mempunyai hak pilih. Untuk dapat menggunakan hak pilih, warga negara RI harus terdaftar sebagai pemilih."
41
Firmanzah, 2007, Marketing Politik, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, hal. 102. Toni Andrianus Pito, dkk., op. cit., hal. ~~1 43 1987;27 44 Kernenterian Koordinator Bidang Politik dan Keamanan, 2003, Pembangunan Bidang Politik, Jakarta, hal. 92
35
55
Selanjutnya pemilih yang terdaftar dalam pilkada lebih diatur dalam UndangUndang No 32 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 06 Tahun 2005. Khusus untuk Peraturan Pemerintah Nomor 06 Tahun 2005 pada pasal 16 ayat (2) huruf c terdapat tambahan penjelasan yang tidak terdapat di Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Tambahan itu menyatakan bahwa pemilih harus berdomisili di daerah pemilihan sekurang-kurangnya 6 (enam bulan sebelum disahkannya daftar pemilih sementara) yang dibuktikan dengan kartu tanda penduduk.
2.7.4. Pengertian de Jure dan de Facto Defenisi de jure dan de facto lebih banyak digunakan dalam ilmu hukum. Dalam ilmu politik kedua istilah tersebut digunakan untuk menunjukkan kekuasaan dan kedaulatan sebuah negara. Teori Kedaulatan De Facto dan De Jure membahas ten tang; a. Teori kedaulatan de facto; Teori kedaulatan ini menunjuk pada pelaksanaan kekuasaan yang nyata dalam suatu masyarakat merdeka atau telah memiliki independensi. Dalam hal ini difokuskan pada: Kedaulatan de facto yang tidak sah dan Kedaulatan de facto yang sah. b. Teori kedaulatan de jure; Dalam teori politik, kedaulatan de jure menunjuk pada pengakuan suatu wilayah atau suatu situasi menurut hukum yang berlaku. Oleh karena itu kajian kedaulatan de jure lebih menitikberatkan penggunaan aspek hukum sebagai dasar yuridis formal atas hak politik warga negara dan wilayah negara dengan penguasa negara.
56
Menurut kamus hukum yang dibuat oleh Sudarsono, menyatakan bahwa yang dimaksud dengan dengan de facto adalah yang sesungguhnya, berdasarkan kenyataan, menurut kenyataan yang sesungguhnya (berkaitan dengan pengakuan atas suatu pemerintahan); menurut hakikatnya. (2005 :91 ). Sedangkan de jure berasal dari kata juridis : menurut hukum ; berdasarkan hukum disebut pula "rechstens "(belanda) ; menurut hukum. Prinsip pendataan pemilih dibedakan menjadi dua yaitu: de facto dan de jure, masing-masing mempunyai kelemahan dan keunggulan. Berikut ini pendapat Azizah tentang pendaftam pemilih pola de facto dan de jure 45 : "Secara de facto yaitu hak pilih diberikan kepada penduduk yang secara de facto berada di daerah tersebut, yaitu penduduk yang biasa tinggal di rumah tangga, penduduk yang telah tinggal selama 6 (enam) bulan secara berturutturut, penduduk yang belum tinggal tetap selama 6 (enam) bulan tetapi berencana untuk tinggal minimal 6 (enam) bulan, dan penduduk yang tidak mempunyai tempat tinggal tetap, termasuk tuna wisma. Sedangkan secara de jure yaitu hak pilih diberikan kepada WNRI yang secara de jure tercatat sebagai penduduk di daerah tersebut, yaitu penduduk yang berdomisili di daerah pemilihan sekurang-kurangnya 6 ( enam) bulan sebelum disahkannya daftar pemilih sementara (DPS) yang dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk. Dalam hal seseorang belum memiliki KTP, dapat menggunakan tanda identitas kependudukan dan atau surat keterangan bukti domisili yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang."
Relevan dengan pengertian di atas, pemakaian istilah de jure untuk memaknai penggunaan Kartu Tanda Penduduk (KTP) sebagai bukti sah bagi seseorang untuk menjadi pemilih dalam pilkada dapat dimengerti. Karena KTP di Indonesia dianggap sebagai bukti registrasi kependudukan yang diakui secara hukum. Sebagaimana 45
Azizah, Nur dalam Muhammad Najib(ed),2005, Pemilu 2004 dan Eksperimentasi Demokrasi, KPU Provinsi DIY, Yogyakarta,hal 58-59
57
dimaknai dalam arti penduduk adalah warga yang terdaftar dalam suatu wilayah dan diakui keberadaannyajika memiliki kartu identitas penduduk yang disebut KTP.
2.7.5. Implikasi terhadap Pembiayaan dan Ketidakbadiran Pemilih. Mengingat penting dan strategisnya tahapan pendaftaran pemilih, sehingga pelaksanaan pendataan pemilih untuk didaftar sebagai pemilih hams benar-benar cerrnat, tertib, dan valid sesuai dengan ketentuan yang ber1aku. Implikasi dari kurang validnya data pemilih antara lain: (1) teijadi pemborosan anggaran berkaitan dengan penyediaan kebutuhan logistik yang ber1ebih, (2) mempengamhi kualitas basil pemilihan, dan (3) berdampak pada rendahnya partisipasi pemilih yang hadir di TPS atau seringjuga disebut dengan tingginya golput. Kaitannya dengan pendaftaran pemilih, menumt Ben Reiley 46 Pendaftaran pemilih mempakan bagian yang paling kompleks, controversial dan dianggap bagian yang paling tidak sukses.Sistem apapun yang menggunakan distrik tunggal hams biasanya mensyaratkan bahwa semua pemilih harus didaftarkan dalam distrik tersebut. Oleh karena itu, dengan adanya perpindahan alami pemilih, senantiasa diper1ukan pembahaman daftar pemilih secara terns menerus. Selanjutnya disampaikan oleh Reiley bahwa: Pilihan atas suatu sistem pemilu memiliki cakupan yang luas pada akhimya akan tergantung pada kapasitas logistik penyelenggaraan pemilu tersebut dan j umlah dana yang dikeluarkan.
Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa, kebutuhan logistik pemilu atau pilkada sangat terkait dengan daftar pemilih yang valid
46
Reily : Ben ; 1998, hal 9
58
terutama mengenai perpindahan penduduk yang harus terns terpantau di sebuah daerah. Jika daftar pemilih tidak valid maka negara memerlukan biaya yang lebih besar. Selanjutnya menurut Prihatmoko47 bahwa: salah satu aspek penting pendaftaran pemilih adalah dilihat dari tujuannya. pendaftaran pemilih merupakan salah satu kunci untuk kontrol dan pertanggungjawaban administrasi, keuangan dan logistik.Pendaftaran pemilih menghasilkan data pemilih dalam jumlah pasti. Data pemilih digunakan untuk merencanakan administrasi pemilihan dan penghitungan. Tidak tersedianya data yang pasti atau pergerakan data jumlah pemilih yang terns menerus akan menyulitkan perencanaan pilkada. Perencanaan yang buruk bukan saja berakibat pada pelaksanaan namun juga pertanggungjawaban yang buruk sehingga kualitas pilkada menjadi buruk.
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa data pemilih adalah data base penentuan seberapa besar anggaran pilkada diperlukan, jika data pemilih tidak valid maka akan berpengaruh pada tingginya biaya pilakada. Pendaftaran pemilih tidak hanya berimplikasi kepada pembiayaan tetapi juga terhadap tingginya angka ketidakhadiran pada saat pemungutan suara. Hal ini terkait dengan pendapat David Held48 , menyatakan: Jika hak ''pemberian suara yang sama" tidak ditegakkan, maka tidak akan ada mekanisme yang dapat memperhitungkan secara sama, dan memberikan prosedur keputusan untuk memecahkan berbagai perbedaan pandangan kecenderungan pili han warganegara. J ika demos tidak memasukkan orang dewasa (dengan pengecualian terhadap orang-orang yang mengunjungi sementara suatu komunitas politik) dan terhadap orang-orang yang "di Iuar bayangan keraguan" dibatalkan secara resmi dari partisipasi (cacat dan catatan kriminal) maka hal itujelas akan gagal menciptakan kondisi keterlibatan yang sama. Agar warga negara sama-sama bebas, dan menikmati pertimbangan 47 48
Prihatmoko : 226 Held, David :2004:258
59
yang sama atas kepentingan dalam proses demokratis, kriteria di atas harus dipenuhi ...
Selain persoalan hubungan emosional, temyata mekanisrne pendaftaran berdasarkan de jure juga menjadi salah satu penyebabnya tingginya angka ini. Sejalan dengan pemyataan di atas, Dr Lauddin Marsuni, seorang pengamat politik UMT Mak assar mengak u1. 49 bah\Va : "angka golput bertambah banyak. "Salah satu penyebabnya adalah ada mekanisme yang tidak jalan. Misalnya, jumlah pemilih bertambah, tetapi pemberitahuan untuk memilih dan kartu pemilih banyak yang tidak terbagi. Disisi lain, Dr Aswanto SH., MH., DFM juga mengungkapkan bahwa penyebab banyaknya golput pilkada50 , adalah : karena kacaunya administrasi penyelenggara. Terbukti, banyak pemilih yang terdaftar tetapi tidak mendapat kartu pemilih dan surat panggilan untuk memilih. "Malah di beberapa tern pat membul'1ikan bahwa ada yang sengaja menahan kartu pemilih dan surat panggilan pemilih karena penyelenggara yang tidak bersih alias berafiliasi dengan kandidat tertentu,"
Mencermati beberapa pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa penyebab tingginya angka ketidakhadiran dalam pilkada, salah satunya akibat mekanisme pendaftaran pemilih yang berbasis administrasi kependudukan, dimana keakuratan data sangat tergantung kepada informasi kependudukan yang dimiliki oleh pemerintah.
49
50
Media Indonesia, 21 Juni 2005 21 Juni 2005
BABID METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian. Penelitian merupakan aktivitas dan metode berfikir yang dilakukan secara sengaja dan bertujuan. Sengaja dilakukan karena terdapat kenyataan-kenyataan dalam "dunia alam" atau "dunia sosial" yang masih merupakan tanda tanya atau masih belum diketahui atau dipahami. Penelitian tersebut mengharapkan berbagai masalah yang ada dapat dipecahkan atau ditemukan jawabannya. Masalah yang ada supaya dapat dipecahkan maka syarat-syarat dalam melakukan penelitian terse but harus dipenuhi. Salah satu syaratnya adalah j ika kita membicarakan secara berturut suatu penelitian, maka yang harus dilakukan adalah dengan alat apa dan bagaimana prosedur suatu penelitian dilakukan atau dengan metode penelitian. Metode yang dilakukan dalam penelitian ini penelitian kualitatif dan dilengkapi dengan analisis sekunder. Metode ini diharapkan dapat menggambarkan bagaimana perdebatan di KPUD masalah pendaftaran pemilih apakah menggunakan
J
pola de jure atau de facto. Situasi yang dilatarbelakangi oleh ketidakjelasan peraturan yang dijadikan "payung hukum" untuk menetapkan kebijakan teknis pendaftaran pemilih. Selanjutnya, bagaimana perdebatan di antara aktor-aktor yang terlibat dalam perumusan defenisi pemilih dan domisili yang akan dipakai dalam pilkada Kota
60
61
Yogyakarta, selanjutnya juga digambarkan bagaimana implementasi dan implikasi peraturan yang telah diputuskan oleh KPUD Kota Yogyakarta.
3.2 Lokasi Penelitian Pada penelitian ini penulis mengambil lokasi penelitian di KPU Kota Yogyakarta yang ditujukan pada tataran aktor yang terlibat dalam : a. Pembuatan Peraturan yaitu Anggota KPUD Kota Yogyakarta. b. Proses Pendaftaran Pemilih ( Aktor yang terlibat dalam proses pendaftaran adalah BKKBC dan Depdagri ( khusus Depdagri penelitian difokuskan pada data tertulis) c. Proses Pendaftaran Pemilih (Operator Entry Data, penulis melakukan wawancara dengan PPK (Panitia Pemungutan Suara Kecamatan) dan PPS (Panitia Pemungutan Suara di tingkat Kelurahan). Berdasarkan hasil wawancara ditemukan beberapa masalah dengan data pemilih DP4 yang diterima oleh KPUD Kota Yogyakarta. Salah satu hampir semua PPS mengeluhkan masalah yang sama seperti pemilih yang terdaftar sudah tidak diketemukan, penduduk yang sudah meninggal, KTP ganda dan sebagainya. Hal tersebut hanya jumlah persentasenya yang berbeda di setiap kelurahan. Untuk mendapatkan data yang mewakili semua kelurahan di Kota Yogyakarta, penulis menggunakan data tertulis berupa berita acara penyerahan hasil pemungutan suara yang dilaporkan berdasarkan TPS yang ada. Untuk itu penulis harus membongkar berkas-berkas laporan yang ada dan mengurutkannya per-Kelurahan. Pada awalnya
62
penulis akan menyusun berdasarkan RW, tetapi ditemukan kesulitan karena ada beberapa TPS yang merupakan gabungan dari beberapa R W. Selanjutnya untuk melengkapi data tertulis, penulis melakukan wawancara mendalam dengan informan, sehingga gambaran persoalan yang sebenamya teijadi pada saat proses pendaftaran pemilih bisa diperoleh lebih utuh dan detil.
3.3. Informan Penelitian Pada saat melakukan pengumpulan data perlu adanya informan atau nara sumber dalam suatu penelitian. Informasi dikumpulkan dari informan kunci yang terlibat dalam pembuatan peraturan, pendaftaran pemilih serta pendataan pemilih mulai dari tingkat kota, kecamatan, kelurahan dan TPS. Informan adalah orang yang dimanfaatkan untuk memberikan informasi tentang situasi dan kondisi penelitian, sehingga informan harus benar-benar orang yang paling mengetahui dan memiliki pengalaman dalam hal yang diteliti tersebut. Di tingkat Kota, informan yang ditemui adalah para aktor yang terlibat dalam perumusan peraturan tentang pemilih dan pendaftararan pemilih, yang terdiri dari : a. Ketua KPUD Kota Yogyakarta b. 4 anggota KPUD lainnya c. Kepala BKKBC d. Ka. Sub.Bid Kependudukan BKKBC e. Operator Entry Data di KPUD
63
Pada saat melaksanakan penelitian ini penulis, mengalami kesulitan untuk melakukan wawancara terhadap para informan, karena pelaksanaan pilkada sudah teijadi dan sekarang fokus para informan adalah pada pendataan pemilih untuk kepentingan pemilu tahun 2009. Oleh karena itu, perlu usaha untuk mengembalikan ingatan pada pelaksanaan pilkada 2006 agar tidak tumpang tindih dengan pemilu tahun 2009. Untuk informan pembanding dalam menganalisa peraturan yang mengatur tentang pemilih pilkada, penulis juga melakukan serangkaian wawancara dengan : 1. Anggota KPU Pusat 2. Anggota KPU Propinsi DIY 3. Pemerhati masalah pilkada. Untuk mengetahui implementasi dari peraturan tentang pemilih pilkada, penulis juga melakukan serangkaian wawancara dengan: 1. Anggota PPK Pilkada Kota Yogyakarta 2. Anggota PPS Pilkada Kota Yogyakarta.
3.4. Teknik Pengumpulan Data Teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah dengan studi literatur yang terkait dengan pilkada dan masalah pemilih di Kota Yogyakarta dan wawancara sehingga dapat mengungkapkan dan membuktikan bagaimana pendataan pemilih secara de jure berimplikasi terhadap Pilkada Kota Yogyakarta. Adapun rincian teknik yang digunakan adalah :
64
1. Kepustakaan, yaitu dengan mempelajari bahan bacaan berupa buku-buku referensi dan dokumen yang berkaitan dengan permasalahan penelitian, guna memperoleh teori-teori dan informasi yang diperlukan. 2. Sumber data tertulis berupa ; a) Peraturan-Peraturan Pilkada; b) Peraturan yang dikeluarkan KPUD Kota Yogyakarta; c) Notulen-notulen rapat; d) Arsip form-form rekapitulasi jumlah pemilih baik di KPU dan di BKKBC e) Laporan pemihan Walikota dan Wakil Walikota Yogyakarta Tahun 2006 f) Surat-surat yang masuk dan keluar berkaitan dengan pendataan pemilih
pilkada Kota Yogyakarta. 3. Jurnal berupa kliping pemberitaan media seputar proses pendataan pemilih dan hasil pemungutan suara pilkada Kota Yogyakarta. Sumber Kliping adalah: a)
Surat Kabar Kedaulatan Rakyat
b)
Surat Kabar Radar Jogja
c)
Surat kabar Kompas
d)
Surat kabar Bernas
4. Wawancara. Wawancara dilakukan kepada stakeholder yang terlibat dalam proses pendatan pemilih maupun dalam pembuatan kebijakan yaitu :
65
a. Stakeholder yang ter1ibat dalam Pendataan Pemilih : Kepala Divisi Pendataan Pemilih KPUD Kota Yogyakarta yaitu: Aan Kurniasih, SH -
Ketua dan 2 Anggota KPUD Kota Y ogyakarta : I) Drs. Miftachul AI fin, MSHRM 2) Rahmat Muhajir, SH 3) Nasrullah, SH
b. Anggota KPUD Provinsi DIY : Drs. Mohammad Najib, M.Si c. Anggota KPU Pusat : Sri Nuryanti, S.IP.,M.Si. d. Kepala Bid Kependudukan BKKBC Kota Yogyakarta. e. Operator Entry Data
1) Setyawan Isharyadi
2) Sukamto 3) Sumar f
Anggota PPK Pilkada Kota Yogyakarta 1) .Marsono Hadi , PPK Pakualaman
2) Aris, PPK Danurejan 3) Widodo, PPK Jetis g. Anggota PPS Pilkada Kota Yogyakarta
1) Eko, PPS Cokrodiningratan
2) Endang, PPS Tegalrejo 3) Retno, PPS Pandeyan
66
3.5. Analisis Data Proses penelitian kualitatif akan melibatkan data verbal yang banyak, yang kemudian ditranskripkan, objek-objek, situasi, ataupun peristiwa dengan aktor yang sama atau bahkan sama sekali berbeda. Data tersebut hams diedit, dipebaiki, dan kemudian diketik ulang. Dalam pembahasan tentang analis data, Huberman and Miles 1 mengaj ukan model analisis data interaktif. Model interaktif ini terdiri dari tiga hal utama, yaitu: I. reduksi data; 2 penyajian data dan; 3 Penarikan kesimpulan /verifikasi Langkah-langkah
yang
dilakukan
peneliti
dalam
pengelolaan/
mengklasifikasikan data adalah sebagai berikut: I. Reduksi data a. Pengumpulan Data Data dikumpulkan dan dianalisis setiap meninggalkan lapangan, kemudian melakukan analisa sementara terhadap keterangan-keterangan yang diperoleh. Pada saat melakukan analisa ditemukan hal-hal yang perlu dijelaskan
lagi, maka penulis kembali
lagi ke
lapangan
untuk
mempertanyakannya. Terkadang informasi antara satu dengan yang lain terlihat tidak berhubungan tetapi ketika mempelajari data tertulis baru diketahui hubungan dari fakta-fakta yang ditemukan.
1
Miles dan Huberman ( 1992) dalam buku .Metode Peoo\;tian Ilmu-lJmu SosiaJ ( Pendekatan kualitatif & Kuantitatit); Muhammad Idrus;UII Press, 2007 halaman 181.
67
b. Penyederhanaan Data I Reduksi data Data yang diperoleh melalui wawancara ada yang saling melengkapi, ada yang lebih tegas dari sebelumnya, tetapi banyak yang sama hanya kalimat yang dipakai berbeda tetapi memiliki makna yang sama. Selanjutnya berdasarkan data yang diperoleh dilakukan penyederhanaan sehingga data yang disajikan sudah dikelompokkan menurut urutan waktu dan kewenangan yang dimiliki infonnan. 2. Penyajian Data Setelah memperoleh sekumpulan informasi yang tersusun, maka ditemukan logika-logika yang menghubungkan penulis pada penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Dengan mencermati penyajian data yang disusun dengan sistematis, penulis menemukan jawaban-jawaban dari permasalahan yang sebenarnya ingin dijawab. Permasalahan yang
penulis rasakan
kesimpulan
"apakah tindakan
adalah:
sampai KPUD
menjelang
pengambilan
menetapkan
peraturan
Pendaftaran berdasarkan de jure sudah sesuai dengan ketentuan aturan yang masih syarat multi tafsir tersebut ? Berdasarkan basil analisa terhadap semua data yang diperoleh baik tertulis maupun wawancara dengan infonnan kunci dan informan pembanding maka penulis sampai pada jawaban dari pertanyaan diatas.
68
3. Penarikan Kesimpulan I Verifikasi Dalam kegiatan
penelitian pendaftaran
pemilih
secara de jure dan
implikasinya terhadap pilkada, pada awalnya penulis punya kesimpulan bahwa KPUD telah melakukan
kesalahan dengan menetapkan pola
pendaftaran pemilihan secara de jure, sehingga mengakibatkan biaya pilkada menjadi mahal dan merosotnya jumlah pemilih yang hadir pada saat pemungutan suara. Pada \Vaktu itu penulis berfikir bahwa baik UU No 32 tahun 2004 mengamanatkan pola de facto sedangkan Peraturan Pemerintah No 6 Tahun 2005 memungkinkan penggabungan ke dua tersebut yaitu de facto dan de jure. Akan tetapi setelah melakukan penelitian temyata penulis
dapat memahami bahwa tindakan KPUD tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan karena PP No 06 tahun 2005 tentang pemilih dan domisili telah ditafsirkan Dirjen Adminduk sebagai ketentuan yang harus didasarkan pada administrasi kependudukan yaitu dibuktikan dengan KTP (de Jure).
3.6 Keabsahan Data Untuk mertgujt keabsahan data yang dikumpulkan, peneliti menggunakan teknik: a. Triangulasi metode yaitu melakukan uji silang terhadap data yang berasal dari catatan lapangan hasil wawancara dengan catatan hasil observasi. Apabila ada data yang tidak relevan, maka akan dikonfinnasikan perbedaan itu kepada informan.
69
b. Triangulasi sumber yaitu membandingkan hasil wawancara antara satu informan dengan inforrnan lain atau antara informan dengan hasil telaah dokumen. c. Triangulasi situasi yaitu mengecek jawaban seorang responden jika dalam keadaan ada orang lain dibandingkan dengan dalam keadaan sendiri. d. Triangulasi teori yaitu menguji apakah ada keparelalan penjelasan dan analisis atau tidak antara satu teori dengan teori yang lain terhadap data hasil penelitian. Berkaitan dengan pertanyaan ten tang landasan norrnatif pendaftaran pemilih, penulis melakukan penelitian terhadap Peraturan tentang Pemilih terutama UU No. 32 Tahun 2004, Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 dan Peraturan KPUD Kota Yogyakarta Nomor 5 Tahun 2006. Berdasarkan perbandingan antara ke tiga produk peraturan tersebut terdapat perbedaan defenisi pemilih dan domisili. Selanjutnya penulis melakukan wawancara dengan aktor-aktor yang terlibat dalam pembuatan Peraturan KPUD No 5 Tahun 2006. Untuk menilai kebijakan yang diambil oleh KPUD Kota Yogyakarta penulis melakukan wawancara dengan anggota
KPU
Propinsi dan KPU Pusat. Sedangkan mengenai implikasi pendaftaran pemilih de Jure, penulis melakukan penelitian terhadap dokumen-dokumen Pilkada KPUD Kota Yogyakarta, Berita-berita mass Media yang berkaitan dengan pemilih serta wawancara dengan Anggota KPUD, PPS, PPK dan Operator Ent1y Data Pemilih.
BABIV DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN
4.1. Gambaran Umum Pada bagian pendahuluan sudah dijelaskan beberapa persoalan yang dihadapi oleh KPUD Kota Yogyakarta saat menetapkan peraturan tentang pemilih. Menurut penulis, penetapan regulasi tentang pemilih sebaiknya memperhatikan aspek lain di luar regulasi untuk sampai pada sebuah produk final tentang cara pendataan pemilih yang ideal diterapkan di Kota Yogyakarta. Regulasi seharusnya disusun berdasarkan pertimbangan pada kondisi umum Kota Yogyakarta yang berpengaruh pada pendataan pemilih, dan aspek regulasi yang memuat ketentuan tentang pendaftaran pemilih. Dari kedua aspek tersebut seharusnya ada proses dialektika, agar regulasi yang menjadi pedoman dapat menjawab permasalahan di lapangan. 4.1.1. Kondisi Umum Kota Yogyakarta yang Berpengaruh pada Pendataan Pemilih. a. Letak dan Wilayah Kota YOb1)'akarta Secara geografi Kota YOb')'akarta terletak antara 110"24"19" sampai 110'' 28"53" Bujur Timur dan 07''15'24" sampai 07" 49' 26" Lintang Selatan, dengan luas sekitar 32,5 Km2 atau 1,02 % dari Juas wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Untuk ukuranjarak, bila diukur dari utara ke selatan kurang Jebih 7,5 km dan dari barat ke timur kurang lebih 5,6 km.
70
71
Di tengah wilayah kota mengalir tiga buah sungai dari arah utara ke selatan, yaitu Sungai Winongo yang terletak di bagian barat kota, Sungai Code terletak di bagian tengah dan Sungai Gadjah Wong terletak di bagian timur. Berkaitan dengan data kependudukan yang kemudian diubah menjadi data base pemilih, maka keberadaan penduduk yang bermukim disekitar bantaran sungai yang mengalir di wilayah Kota Yogyakarta juga memberikan pengaruh pada pendataan pemilih. Beberapa R W yang berada di sekitar ali ran sungai ini menghadapi berbagai persoalan yang khas dibandingkan dengan R W atau kelurahan yang tidak berdekatan dengan pemukiman yang dilewati aliran ke tiga sungai yang telah disebutkan. Persoalannya adalah banyak warga yang tidak memiliki tern pat tinggal tetap. b.Penduduk Kota Yogyakarta berbatasan dengan beberapa kabupaten.
sebelah Utara
dibatasi oleh Kabupaten Sleman, di sebelah Timur dibatasi oleh Kabupaten Sleman dan Bantu!, di sebelah Selatan oleh Kabupaten Bantul dan sebelah Barat dengan Kabupaten Bantu! dan Sleman. Wilayah Pemerintah Kota Yogyakarta terbagi atas 14 wilayah Kecamatan, 45 Kelurahan, 614 RW (Rukun Warga) dan 2.523 RT (Rukun Tangga). Berdasarkan hasil sensus Penduduk 2000, penduduk Kota Yogyakarta berjumlah 397.398 orang yang terdiri dari 194.530 orang (48,95 persen) laki-laki dan 202.868 orang (51,05 persen) perempuan. Jumlah penduduk berdasarkan hasil Sensus Penduduk tahun
1990 sebanyak 412.059 orang, dengan demikian rata-rata
pertumbuhan penduduk periode tahun 1990 - 2000 sebesar minus 0,37 %. (Sumber BPS : Kota Yogyakarta dalam angka.2005/2006)
72
Berikut Grafik penduduk menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin di Kota Yogyakarta pada tahun 2005. Gambar : 2. Grafik Penduduk menurut Umur dan Jenis Kelamin
,, )>"
'\-
'\
\
.. ,
,.,;..
Sumber : BPS Kota Yk dalam angka 2005/2006.
Berdasarkan hasil proyeksi Sensus Penduduk 2000 jumlah penduduk tahun 2005 tercatat 435.236 orang. Komposisi penduduk berdasarkan jenis kelamin adalah 48,87 persen laki-laki dan 51 ,13 persen perempuan. Berdasarkan data pemilih pilkada perbandingan an tara jumlah pemilih laki-laki dengan pemilih perempuan berdasarkan DPT Pilkada adalah sebagai berikut : - Pemilih terdaftar laki-laki adalah : 178.288 jiwa - Pemihh perempuan adalah 179.756 jiwa. Sedangkan, pada tahun 2008, menurut sumber dari KPU Pusat bahwa jumlah penduduk Kota Yogyakarta adalah 434.544 jiwa denganjumlah pemilih 335.099 jiwa ,(data 16 Juli 2008). Berarti setelah dua tahun pilkada berlalu telah terjadi penurunan jumlah penduduk Kota Yogyakarta sebanyak 692 jiwa..
73
Apabila mengacu pada asumsi yang dipakai oleh BPS dan kecenderungan penurunan jumlah penduduk: Kota Yogyakarta, maka penduduk Kota Yogyakarta pada tahun 2006 seharusnya jumlahya menurun.
Hal yang sama ditulis oleh tim
kajian kelembagaan pada saat melakuk:an pengkajian restrukturisasi kelembagaan Kota Yogyakarta berdasarkan PP No 41 Tahun 2007. Kajian ini dilakukan oleh Politik Lokal dan Otonomi Daerah UGM Yogyakarta, yang menyatakan bahwa dari tahun ke tahun, sebagaimana layaknya dengan kota-kota lain, kota ini mengalami perubahan penduduk: yang sangat pesat. Berdasarkan hasil sensus penduduk, bahwa pada tahun 1970 jumlah penduduk sebesar 340.363 jiwa, jika dibandingkan dengan tahun 2006 jumlah penduduk naik sebesar 53,7% menjadi 523.191 jiwa. Dengan demikian rata-rata pertumbuhan penduduk periode 1970-2006 sebesar 0,015 persen, namun bila dilihat secara mendalam, pada kurun waktu tahun 1990-2000, di tahun 2000 terjadi penurunan jumlah penduduk: sebesar -3,64% atau dari 412.392 menjadi 397.398 jiwa. Pembagian wilayah dan jumlah penduduk dapat dilihat ditabel berikut ini :
74
TabelJ. Luas Wilayah, Jumlah Penduduk, dan Kepadatan Penduduk P er K ecama t an d.I K 0 ta Yogya karta tab un 2006
Kecamatan
Luas Wil. I Mantrijeron 2 Kraton
I
Kepadatan
Kel.
RW
RT
I
%
2,6I
3
55
230
41.124
7,86
1,4
3
I 43
175
29.952
5,72
Km~
Ii
3
60
2I6
42.8II
8,I8
4 Umbulhaljo
8,12
I
7
83
326
74.347
I4,21
5 Kotagede
3,07
3
40
164
32.269
6 Gondokusuman
3,99
5
65
275
43
7 Danurejan 8 Pakualaman 9 Gondomanan
I
I
10 Ngampilan II Wirobrajan 12 Gedongtengen I3 Jetis 14 Tegalrejo
I
I5. 756
I
21.394
i
I
18.533 9.156
I
6,I7
10.511
I
75.803
I4,49
18.998
160
31.707
6,06
28.825
19
83
15.118
2,89
23.997
I
2
31
110
17.958
3,43
16.034
1
2
21
120
23.841
4,56 I
29.074
II
1,76
3
34
I65
31.397
6
I
17.839
I
0,96
2
37
144
26.791
5,12
1
27.907 I
i
22.478
I
1,1
3
0,63
2
1,12 0,82
I
I
-
2,31
3 Mergangsan
1
Penduduk Tahun2006
Luas Wilayah, Jumlah Kelurahan, RW dan RT
I
!
I I
I
I
I
I
i !
I
I,7
I
3
37
167
38.213
7,3
2,91
I
4
46
I88
41.860
8
14.385
Jumlah & rerata 32,5 45 614 2523 523.191 100 I 16.098 Sumber: BPS, Kota dalam Angka 2006/2007 dan RPJMD Kota Yogyakarta 2007-201 I
1
i
I
Dalam menyusun Daftar Penduduk Pemilih Potensial Pilkada (DP4), BKKBC menerima daftar pemilih yang merupakan hasil P4B dari Depdagri, hal ini merupakan pelaksanaan ketentuan Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005 pasal 19 ayat (2). Selanjutnya BKKBC melakukan pemutakhiran dan validasi terhadap penduduk yang
75
memenuhi syarat menjadi pemilih. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 06 Tahun 2005 pasal 15 menyatakan : bahwa WNI yang pada hari pemungutan suara sudah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau sudah I pemah kawin mempunyai hak pilih. Selanjutnya pasal 17 ayat 2 huruf c menyatakan pemilih yang memiliki hak pilih adalah berdomisili di daerah sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan- sebelum disahkannya daftar pemilih sementara yang dibuktikan dengan kartu tanda penduduk. Berdasarkan tahapan yang ditetapkan oleh KPUD Kota Yogyakarta yaitu DPS ditetapkan pada 20 Mei 2006 maka penduduk yang masuk data dalam pemilih pilkada adalah yang berdomisili selambat-lambatnya pada 20 Oktober 2005. Artinya, penduduk yang masuk ke Kota Yogyakarta setelah tanggal terse but, tidak memilki hak untuk menjadi pemilih. Berikut jumlah pemilih berdasarkan DP4 yang diserahkan oleh BKKBC ke KPUD Kota Yogyakarta. Tabel4. Rekapitulasi Data DP4 I
'
No.
1. 2.
....J. i
: !
i i !
i I•
i I I
i i
4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
KECAMATAN
Tegalrejo Jetis Gedongtengen Ngampilan Danurejan Pakt,~alaman
Gondokusuman Wirobrajan Mantrijeron Kraton Gondomanan Mergangsan Umbulharjo Kotagede Total
i
. \
I I
I
I : !
:i I
i !
i I
J.
1
LAKI-LAKI 15.161
12.839 9.786 7.954 9.867 4.620 22.899 11.774 14.894 9.569 6.450 14.298 27.627 11.961 179.699
Sumber Laporan PIIkada, KPUD Kota Yogyakarta
PEREMPUAN 15.547 12.848
10.200 8.632 9.709 5.121 21.484 11.931 15.296 10.138 6.894 14.519 26.878 12.255 181.452
I I I I
I
l I i I ! !
JUMLAH
30.708 25.687 19.986 16.586 19.576 9.741 44.383 23.705 30.190 19.707 13.344 28.817 54.505 24.216 361.151
!
I
I
76
Setelah data pemilih berada di KPUD, kemudian diolah menjadi Daftar Pemilih Sementara (DPS). Dalam penyusunan DPS ini peranan PPS sangat penting karena proses pencocokan, penelitian dan pengesahan DPS sangat tergantung kepada hasil temuan PPS dilapangan. Proses penyusunan DPS dan pengesahan dilakukan oleh PPS pada tanggal 21 Mei 2006. Hasilnya adalah terjadi pengurangan data pemilih sebanyak 1.686 jiwa dari DP4 revisi, sehingga jwnlah pemilih dalam DPS menjadi 359.150 jiwa. Pengurangan tersebut dikarenakan ada 753 jiwa yang terdaftar sudah meninggal dan 933 jiwa tercatat dalam registrasi kependudukan lebih dari satu kali atau pemilih ganda. Berdasarkan pengurangan yang telah ditemukan dalam masa pencocokan dan penelitian yang dilakukan oleh PPS ( 17 - 20 Mei 2006), maka diperoleh data pemilih sementara (DPS) yang ditetapkan oleh PPS sebagai berikut :
..
77
.Tabel. 5 Rekapitulasi Daftar Pemilih Sementara
KELURAHAN BAUSASRAN SURYATMAJAN TEGALPANGGUNG BACIRO DEMANGAN
KLITREN
JUMLAH PEMILIH Pria Wanita Jumlab 3.692 I
"'\
."' ....
L. • .IL.L.
4.004 6.355 4_486 5.454 1.800 4.659 4.601 4.670 3.607 2.905 4.033 2.585 4.345 4.080 5.776 I.96I 2.625 2.275 4.886
3.473 2.195 3.985 6.114 4.102 4.896 1.466 4.787 4.546 4.591 3.737 3.056 4.333 2.696 4.611 4.297 5.526 2.116 2.952 2.341 4.560 4.628 2.332 5.390 3 699 3.831 6.108 4.004 2.879 3.977 4.326 3.642 4.227 5.846 4.577 4.781 4.873 3.699 1.863 4.335 5.379 3.896 4.473 3.184 4.209 180.538
KOTABARU TERBAN BUMUO COKRODININGRATAN GOWONGAN KADIPATEN PANEMBAHAN PATEHAN BRONTOKUSUMAN KEPARA.KAN ' ' WIROGUNAN ! ! GUNlJNQKEWR_ PURWOKINANTI GIWANGAN I j iVIUJA MUJU ii 4.711 i PANDEYAN SEMAKI 2.300 SOROSUTAN 5.361 3 99~! TAHUNAN WARUNGBOTO I 4.008 I 5.814 j PRINGGOKUSUMAN ' SOSROMENDURAN i 3.892 i NGlJPASAN 2.637 ' PRAWIRODIRJAN ! 3.775 l I PRENGGAN 4.I74 PURBAYAN 3.459 4.264 REJOWINANGUN 5.635 GEOONGKIWO i 4.509 · MANTRIJERON i i l 4.674 SURYODININGRATAN NGAMPILAN ! 4.397 ! NOTOPRAJAN 3.496 I BENER I 1.768 4.317 KARANGWARU KRICAK i 5.219 i 3.801 TEGALREJO ' 4.298 PAKUNCEN 3.153 PAT ANGPULUHAN 4.259 WIROBRAJAN 178.835 TOTAL Sumber Laporan P!lkada, KPUD Kota Yogyakarta.
JUMLAH RT KK
7.165 4.317 7.989 12.469 8.588 10.350 3.266 9.446 9.147 9.261 7.344 5.961 8.366 5.281 8.956 8.377 11.302
4.011 5.511
1
4.616 9.446 9.339 4.632 10.751 1 692 7.839 I 1.922 7.896 5.516 7.752 8.500 7.101 8.491 11.481 9.086 9.455 9.270 7.195 3.631 8.652 10.598 7.697 8.771 6.337 8.468 359.373
49 45
2.318 1.526 2.648 3.886 2.998 3.427 987 3.375 3.081 3.009 2.457 2.198 2.909 1.879 3.106 2.816 3.918 1.452 1.962 1.633 3.208 3.654
66 88 44 63 21 59 55 60 52 53 78 44 83
3.974 2 _,82 2.804 4.136 2.797 1.846 2.622 3.095 2.619 2.861 3.936 3.077 3.307 3.205 2.425 1.312 3.030 3.884 2.587 3.047 2.208 2.896 124.272
-
'
I l
i2 15 16 21 12 16 4 I2 13 II 13 15 18 10 )~
_.)
51
13
76 36 47 42
! 24
55
1.515
I
I RW
it
9
I
10
!
I
I~ .)
I '
i2 i ,...,
46 34 63 48 38 89
I i
55
i
49 61
I
57 58 49 86 76 69 70
50 25
56 60 46 56 51 58 2.523
'
!
I
'-'-
!0 16
I II '. I'+
12
! 10
I I
I
9 23
13 ! 18 ! I3 I 14 I 13 i 18 l 20 ' 17 ! 13 I 8 I 7 i 14 i 13 I 12
l
I
12 614
i i
I i
78
c. Pendidikan Kota Yogyakarta dikenal sebagai predikat kota pendidikan, sehingga sekolah merupakan salah satu kekayaan kota Yogyakarta. Keberadaan Universitas Gadjah Mada sejak tahun 1949, membuat kota ini dikenal sebagai kota pelajar. Puluhan ribu siswa dan mahasiswa berdatangan dari luar kota dan luar pulau Jawa untuk menempuh pendidikan di kota ini. Meskipun Kota Yogyakarta tidak memiliki perguruan tinggi negeri karena UGM dan UNY berada di Kabupaten Sleman tetapi julukan sebagai kota pelajar masih tetap disandang Yogyakarta. Kota Yogyakarta juga memiliki sejumlah perguruan tinggi yang menjadi pilihan lain bagi mahasiswa untuk kuliah. Beberapa perguruan tinggi tersebut memiliki jumlah mahasiswa yang bervariasi, ada yang mempunyai mahasiswa puluhan ribu, tetapi ada juga mahasiswanya hanya berjumlah belasan. Berikut,jumlah jumlah dosen, mahasiswa dan perguruan tinggi di Kota Yogyakarta. : jumlah perguruan tinggi : 48 perguruan tinggi jumlah dosen
: 4.988 orang
jumlah mahasiswa
: 76.071 orang
(Sumber data:Kopertis Wilayah V Yogyakarta, dalam buku Kota Yogyakarta Dalam Angka
2005 :BPS)
Sebagai kota pendidikan tentunya tidak terlepas dari visi misi yang Kota Yogyakarta yaitu sebagai "Kota Pendidikan Berkualitas". Salah satu indikator yang dimaksud dengan "Kota Pendidikan Berkualitas" adalah penyediaan sarana dan prasarana pendidikan yang memadai. Pada tahun ajaran 2005/2006 di Kota
79
Yogyakarta terdapat 571 sekolah yang terdiri dari 206 unit taman Kanak-Kanak, 206 unit Sekolah Dasar atau yang sederajat, 65 unit Sekolah Menengah Pertama atau yang sederajat, 125 unit Sekolah Menengah Atas atau yang sederajat. (Sumber: BPS, Kota Yogyakarta Dalam Angka 2005/2006)
d. Kepadatan Penduduk dan Aglomerasi Perkotaan Penduduk yang menempati suatu wilayah memegang peranan sangat penting dalam setiap kajian studi perkotaan, karena penduduk kota baik yang menyangkut kuantitas dan kualitas termasuk perkembangannya merupakan taktor kunci dari eksistensi kota itu sendiri. 4 Kota Yogyakarta seperti halnya kota-kota besar lainnya juga menghadapi masalah kepadatan penduduk. Pada saat bersamaan juga muncul apa yang disebut dengan aglomerasi (pengelompokkan) di perkotaan yaitu sebagai konsentrasi spasial dari aktifitas ekonomi di kawasan perkotaan karena "penghematan akibat lokasi yang berdekatan yang diasosasikan dengan kluster spasial dari perusahaan, para peke:t:ja, dan konsumen". 5 Apabila dibandingkan dengan 4 (em pat) kabupaten lainnya di Provinsi DIY maka Kota Yogyakarta merupakan \vii ayah yang terpadat penduduknya. Pada tahun 2006, kepadatan penduduk di Kota Yogyakarta mencapai 16.098 orang per Km 2. Apabila dilihat dari banyaknya penduduk per kecamatan, pada tahun 2006 Kecamatan Gondokusuman merupakan wilayah yang penduduknya paling Sobirin, Distribusi Pemukiman dan Prasarana Kota: Studi Kasus Dinamika Pembangtman Kota di Indonesia, Dalam Raldi Hendro Koestoer Dkk, Dimensi Keruangan Kota: Teori dan Kasus, UI Press, 200 I ; Montgomery, 1988 dalarn Mudrajad Kuncoro Kuncoro, Ana/isis Spasia/ dan Regional: Shtdi Ag/omerasi dan Kilmer Industri Indonesia, UPP AMP YKPN 2002 J
80
banyak di Kota Yogyakarta yaitu sebanyak 75.803 orang dengan proporsi 14,49%, sedangkan diposisi kedua yaitu Kecamatan Umbulharjo sebanyak 74.347 orang dengan proporsi 14,21%. Kecamatan yang penduduknya paling sedikit adalah Kecamatan Pakualaman hanya sebanyak 15.118 orang dengan proporst sebesar 2,88%.
3
Masalah kepadatan penduduk juga berpengaruh pada jumlah penduduk yang memiliki KTP Kota Yogyakarta. Berdasarkan data pemilih tetap (DPT), Kelurahan Baciro dan Klitren adalah Kelurahan yang memiliki jumlah pemilih paling banyak dan memiliki tingkat kehadiran pemilih yang terendah pada saat pemungutan suara. Berikut adalah perbandingan jumlah penduduk dengan tingkat kepadatan penduduk per kecamatan di Kota Yogyakarta :
3
Kajian Pengembangan Kelembagaan Perangkat Daerah Kota Y ogyakarta, Politik Lokal dan Otonomi Daerah, Pasca Saljana UGM, Bab 02 Pendahuluan hal. 53.
81
Tabel 6. Perbandingan Jumlah Penduduk dengan Tingkat Kepadatan Penduduk Per Kecamatan di Kota Yogyakarta tahun 2006
14 Tegalrejo 13 Jetis 12 Gedongtengen 11 Wrobrajan
• Jumlah Penduduk 10 Ngarrpilan
II Kepada_t._a_n_ _
_J
9 Gondomanan 8 Pakualaman 7 Danurejan 6 Gondokusuman
75.803 ~
5 Kotagede 4 Umbulharjo
74.347
3 Mergangsan 2 Kraton 1 Mantrijeron
Sumber: BPS, Kota Yogyakarta Dalam Angka 2006/2007
Kecamatan yang kepadatan penduduknya paling tinggi adalah Kecamatan Ngampilan yaitu sebesar 29.074 orang!Km2 . Kecamatanini mempunyai luas wilayah sebesar 0,82 Km2 dan berpenduduk sebanyak 23.841 orang. Sedangkan kecamatan yang kepadatan penduduknya paling kecil adalah Kecamatan Umbulhatjo yaitu sebanyak 9.156 Orang/Km2 . Kepadatan penduduk juga dapat dilihat dari besamya arus migrasi. Migrasi adalah perpindahan penduduk dengan tujuan untuk menetap dari suatu tempat ke tempat lain melampaui batas politik atau negara ataupun batas administrasi/batas
82
bagian dalam suatu negara4
Migrasi merupakan salah satu faktor dasar yang
mempengaruhi pertumbuhan penduduk (faktor lainnya adalah kelahiran dan kematian. Umumnya arus migrasi digunakan untuk mengetahui apakah suatu kabupaten atau kota merupakan daerah yang memiliki daya tarik bagi penduduk wilayah sekitamya atau wilayah lainnya. Kabupaten atau kota yang memiliki daya tarik bagi penduduk wilayah sekitamya biasanya memiliki angka migrasi neto yang positif artinya jumlah penduduk yang masuk lebih banyak daripada jumlah penduduk yang keluar.
Sedangkan kabupaten atau kota yang kurang disenangi oleh
penduduknya akibat kelangkaan sumberdaya misalnya, biasanya memiliki angka migrasi neto yang negatif, yang berarti jumlah penduduk yang keluar lebih banyak daripada jumlah migran yang masuk. 5 Bila dilihat dari data migrasi seumur hidup antar propinsi, sejak tahun 1971 hingga 2000, untuk arus migrasi di Jawa khususnya Jawa Tengah, Jawa Timur dan DI Yogyakarta menunjukkan angka negatif (-) yang berarti jumlah penduduk yang keluar Iebih banyak daripada jumlah migran yang masuk. Hal ini menunjukkan bahwa ketiga propinsi tersebut bukan merupakan tujuan propinsi penerima migran di lndonesia6
4.
Mwlir, R. 2000. j\digrasi, Lembaga Demografi FEU!, Dasar-dasar Demografi: edisi 2000, Lembaga Penerbit CI. Jak.ma .hal 116
5
kajian politik lokal dan otonomi daerah :hal 54 : 2007
83
l
Tabel 7. Migrasi Neto di Indonesia berdasarkan Provinsi Provinsi
I DKI Jakarta I I i Jawa Barat
1971
1980
1990
2000
1.659.420
2.164.391
2.088.980
1.705.308
-821.539
-524.065
640.011
1.225.603
-1.544.524
-2.891.281
-4.015.587
-4.646.151
! DIY
-167.151
-77.658
-243.373
-399.037
i Jawa Timur
-476.620
-1.164.400
-1.915.086
-2.281.707
i
I Jawa Tengah !
I i
-
Sumber: hnp://www.datastatistik-indonesiacom
Jika dilihat dari faktor pendorong orang untuk bennigrasi, menurut Survei
Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 1995 bahwa mayoritas alasan orang melakukan bennigrasi adalah disebabkan perubahan status perkawinan dan ikut saudara kandung atau famili lain sebesar 41,35 persen, karena pekerjaan sebesar 39,65 persen, karena pendidikan 14,96 persen, karena perumahan hanya 2,57 persen, dan lain-lain 1,47 ;
persen. Bila diperinci menurut propinsi bahwa yang menjadi tujuan utama orang untuk melakukan urbanisasi ke DKI Jakarta dan Jawa Barat adalah pekeijaan masingmasing 59,58 persen dan 48,83 persen, sedangkan Provinsi DI Yogyakarta umumnya karena alasan pendidikan (51,64 persent, ini berarti Yogyakarta merupakan tempat yang paling diminati oleh orang luar Yogya untuk menuntut ilmu.
6 BPS 1997 halaman 31 dan 37
84
Tabel 8. Alasan Utama Orang Melakukan Urbanisasi Tahun 1980-1995 59,58% (Pekerjaan) 48,83% (Pekerjaan)
DKI Jalfarta
Jaw a Barat
46,16% (Keluarga)
Jaw a Tengah
51,64% (Pendidikan)
44,65% (Peke~jaan)
Di Yogyalfarta
Jaw a Ti!Tl.Jr
Sumber: BPS, 1997:31 dan 37
Akibat tingginya minat orang luar untuk masuk ke Yogyakarta dengan alasan "fakior pendidikan" akan berimbas pada perhitungan jumlah penduduk. Persoalannya adalah jumlah penduduk Kota Yogyakarta yang sudah ber KTP akan menjadi basis dalam penentuan DPS dan DPT. Apabila pendataan kurang bagus maka akan berimplikasi pada buruknya data pemilih terutama pada saat pilkada Kota Yogyakarta Tahun 2006.
4.2
Pergeseran Mekanisme Pendaftaran Pemilih Dari Masa Ke Masa Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya bahwa proses pendaftaran
pemilih adalah salah satu tahapan yang dianggap penting dalam pelaksanaan pemilu maupun pilkada. Salah satu hal terpenting dalam proses ini adalah bagaimana pendaftaran pemilih dapat memastikan seseorang yang memiliki hak pilih tidak
85
kehilangan hak pilihnya karena tidak terdaftar. Berdasarkan pengalaman pemilu di masalalu, persoalan daftar pemilih mengalami berbagai dinamika yang menarik untuk dijadikan pembanding bagi pelaksanaan pendaftaran pemilih baik dimasa sekarang dan yang akan datang.
4.2.1 Pelaksanaan Pendaftaran Pemilih di Masa Orde Baru. Pelaksanaan pemilu telah dilaksanakan pada masa orde lama sebanyak satu kali (1955) dan masa orde baru sebanyak 5 (lima ) kali dimana penyelenggaran pertama pada tahun 1971. Dalam pelaksanaan pendaftaran pemilih di masa orde baru dan pasca runtuhnya dan masa reformasi terdaftar beberapa perbedaan yang sangat berpengaruh terhadap proses pendaftaran pemilih tersebut. Perbedaannya antara lain: 1. Syarat terdaftar dalam daftar pemilih : a. Salah satu syarat untuk terdaftar dalam daftar pemilih di masa orde baru adalah : Bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai komunis Indonesia termasuk organisasi massanya atau bukan seseorang yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam "Gerakan Kontra Revolusi G 30 S/PKI" atau organisasi terlarang lainnya. 7 b. Pasca orde baru syarat di atas telah dihilangkan, sehingga hak pilih ex PKI dipulihkan kembali.
7
Laporan Pemilu tahun 1987, Lembaga Pemilihan Umum.
86
2. Petugas pendaftaran pemilih. a. Pacta masa orde baru petugas pendaftaran pemilih (Pantarlih) hanya melibatkan unsur pemerintah sebagaimana yang ditetapkan dalam pasal 27 ayat (2) PP 35 Tahun 1985 dan PP 10 tahun 1995. Alasannya adalah pantarlih adalah tugas administrative dan diketuai oleh PPS/Camat sehingga tidak perlu unsur parpol atau badan penyelenggara terlibat. 8 b. Pacta pelaksanaan pemilu pasca orde baru, pelaksanaan pendaftaran pemilih membuka peluang bagi pihak manapun untuk mengaudit daftar pemilih. 3. Metode yang digunakan untuk mendaftar pemilih adalah: a. Pacta pemilu di masa orde baru adalah dengan mendatangi rumah penduduk tanpa kecuali, untuk mencatat nama/data pemilih dan Jumlah WNRI untuk menentukan jumlah kursi di DPR. b. Sedangkan pasca orde baru terutama pacta pemilu tahun 2004 menggunakan mekanisme pencacahan yang dilakukan oleh BPS, sedangkan pacta pemilu 2009 menggunakan data base kependudukan sebagai dasar data pemilih untuk kemudian divalidasi dengan pertambahan pemilih pemula, penduduk pindah dan yang meninggal.
4.2.2 Alasan Pemerintah Menggunakan Mekanisme De Jure. Agar pelaksanaan pendaftaran pemilih dapat mengakomodasi hak pilih seseorang yang memenuhi syarat maka diperlukan sistem pendaftaran pemilih. Pacta 8
Kompas, 25 Nopember 1995, Orsospol tak Perlu lkut Jadi pantarlih.
87
dasamya sistem pendaftaran pemilih di seluruh negara terbagi dua yaitu
~
Pertama
sistem pendaftaran aktifyaitu warga masyarakat yang secara aktifmendatangi panitia atau petugas untuk mendaftar. Kedua, sistem pasif yaitu petugas atau panitia mendatangi warga masyarakat untuk mendaftamya sebagai pemilih.Menurut Prihatmoko 9 ~
dengan sistem pasif warga yang didaftar atau dijaring menjadi pemilih lebih banyak tetapi sistem ini membutuhkan biaya dan waktu yang cukup besar. Untuk mengurangi kebutuhan biaya dan waktu, umumnya digunakan database kependudukan basil pendaftaran penduduk secara nasional yang komprehensif.
Pada pelaksanaan pilkada, pendaftaran pemilih menggunakan data base kependudukan sesuai dengan ketentuan pasal 16 Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005. Selain persoalan penghematan biaya dan waktu, faktor lain yang menjadi pertimbangan pemerintah untuk menggunakan data kependudukan (pola de jure) pada pelaksanaan pilkada adalah untuk menentukan penduduk lokal yang berhak memilih. Salah satu cara untuk membatasi penduduk lokal mana yang berhak memilih adalah dengan melihat Identitas kependudukannya atau Kartu Tanda Penduduk. Seperti yang disampaikan oleh Hasyim Asyari anggota KPUD Jawa Tengah yang menyatakan bahwaiO: Identitas pemilih dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung tidak cukup hanya ditandai dengan kartu pemilih. Namun juga harus disertai identitas lain, misalnya kartu tanda penduduk (KTP), mengingat penyelenggaraan pilkada langsung antardaerah berbeda waktunya. Perlu dihindari terjadinya mobilisasi pemilih antardaerah lintas kabupaten/kota atau 9
Prihatmoko :2005;hal 227 Suara Merdeka, 18 Nopember 2005 :ldentitas pemilih pilkada langsung perlu dilengkapi K TP
10
88
provinsi. "Lain halnya pemilihan legislatif dan pemilihan presiden dan waki I presiden yang dige!ar serentak pada hari dan waktu yang sama," ungkap dia, kemarin.
Walaupun memiliki keunggulan dengan menggunakan data kependudukan sebagi data base pemilih, kelemahannya adalah jika data kependudukan-tidak valid maka akan berimplikasi pada jumlah pemilih. Jadi penggunaan sistem ini sangat tergantung pada administrasi kependudukan.
4.2.3. Mekanisme Pendaftaran Pemilih Pilkada Berdasarkan UU No 32 Tahun 2004 Pasal 70 dan Peraturan Pemerintah No.6 Tahun 2005
Pasal 19 ayat I menyatakan bahwa data base yang digunakan
seharusnya menggunakan data pemilih pemilu terakhir. Data base ini berasal dari Depdagri
yang
dikirimkan
ke
Dinas
Kependudukan
untuk
divalidasi
dan
dimutakhirkan dengan pertambahan penduduk yang memiliki hak pilih atau mengurangt penduduk yang tidak memiliki hak pilih lagi karena alasan tertentu seperti ; a. Memenuhi syarat usia pemilih, yang sampai hari dan tanggal pemungutan suara pemilihan sudah berumur 17 (tujuh belas) tahun. b. Belum berumur 17 (tujuh belas) tahun, tetapi sudah/pemah kawin; c. Perubahan status anggota Tentara nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia menjadi status sipil atau puma tugas. d. Tidak terdaftar dalam basil pendaftaran pemilih dan pendataan penduduk berkelanjutan (P4BO e. Telah meninggal dunia;
89
f
Pindah domisili ke daerah lain; atau
g. Perubahan status dari sipil menjadi anggota Tentara Nasional Indonesia atau kepolisian Negara Republik Indonesia.
Dilihat dari tujuannya, proses pendaftaran pemilih memiliki arti penting yang strategis dalam pelaksanaan pilkada. Adapun proses pendaftaran pemilih pilkada di seluruh Indonesia mengacu pada UU No 32 Tahun 2004 pasal 70 dan Peraturan Pemerintah No.6 Tahun 2005, pasal 16, 18 dan 19. Berdasarkan PP Nomor 6/2005 pasal 16 ayat (2) huruf c, pemilih pilkada harus berdomisili di daerah pemilihan sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan sebelum disahkannya daftar pemilih sementara (DPS) yang dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk. Ketentuan ini merupakan pengaturan tambahan tentang pemilih yang belum diatur dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004. Dengan adanya ketentuan ini definisi pemilih pada pilkada menjadi sedikit berbeda dengan pemilih pada pemilu 2004 dan berimplikasi pada penentuan metode pendataan dan proses updating data pemilih.
Pasal I 8 ayat (I) menyebutkan bahwa seorang pemilih hanya didaftar I (satu) kali dalam daftar pemilih di daerah pemilihan. Sedangkan pada ayat (2) menyebutkan bahwa apabila seorang pemilih mempunyai lebih dari 1
(satu) tempat tinggal,
pemilih tersebut harus menentukan I (satu) diantaranya yang alamatnya sesuai dengan alamat yang tertera dalam tanda identitas kependudukan (KTP) untuk ditetapkan sebagai sebagai tempat tinggal yang dicantumkan dalam daftar pemilih. Sementara,
Pasal I 9 mengamanatkan bahwa daftar pemilih pada pemilu 2004
90
dipergunakan sebagai daftar pemilih dengan terlebih dahulu dilakukan pemutakhiran dan validasi oleh perangk:at daerah yang mengurusi tugas kependudukan. Untuk mendapatkan data pemilih yang akurat maka proses pendataan pemilih dibagi kedalam 3 (tiga) tahap. Tahap pertama disebut proses pembuatan data pemilh sementara (DPS), ke dua proses data pemilih tambahanan yang ketiga adalah proses pembuatan dan pengesahan data pemilih tetap (DPT). a. Data Pemilih Sementara ( DPS) Data Pemilih Sementara ( DPS) adalah data yang telah dimutakhirkan dan divalidasi dengan daftar pemilih tambahan. Proses ini berawal dari diterimanya daftar pemilih yang digunakan pada saat Pemilihan Umum terakhir di daerah sebagai data base. Data base ini oleh pihak BKKBC
(Badan Kependudukan dan Keluarga
Berencana) selaku perangkat daerah yang mengurusi tugas kependudukan dan catatan sipil melakukan pemutakhiran dan validasi daftar pemilih. Proses pemutakhiran dan validasi ini meliputi pencocokan dan penelitian data pemilu yang terakhir dengan penduduk yang berdomisili di daerah pemilihan dengan dasar Kartu Tanda Penduduk ( KTP). Selanjutnya pemilih yang terdaftar dalam data pemilih pemilu terakhir yang tidak terdaftar dalam administrasi kependudukan (P4B) dapat dihilangkan. Kemudian data tersebut diberi penambahan pemilih pemula, masuknya penduduk ke daerah pemilihan, serta melakukan pengurangan apabila penduduk keluar dari wilayah pemilihan dan penduduk menjadi anggota aktif TNI/Polri dan penduduk yang meninggal dunia.
91
Data yang telah dimutakhirkan dan divalidasi oleh BKKBC diserahkan ke KPUD dan dijadikan sebagai bahan penyusunan daftar pemilih sementara. Setelah data pemilih berada di KPUD maka data ini diolah menjadi data pemilih sementara (DPS), kemudian data ini disyahkan atau ditetapkan oleh Panitia Pemungutan Suara (PPS) di tingkat kelurahan menjadi DPS. PPS bertugas mengumumkan DPS pada tempat-tempat strategis yang mudah dijangkau masyarakat dibantu oleh petugas desa/kelurahan yang terdiri dari RT/ RW dengan tujuan untuk mendapat tanggapan masyarakat. Jangka waktu pengumuman dilakasanakan selama 3 (tiga) hari terhitung sejak berakhimya jangka waktu penyusunan daftar pemilih sementara. b.
Daftar Pemilihan Tambahan Daftar Pemilihan Tambahan adalah sebuah proses perubahan data pemilih
yang terdapat dalam DPS. Perubahan ini teijadi akibat adanya anggapan dari masyarakat terhadap pengumuman DPS yang dilakukan oleh PPS. Usul perbaikan data dari masyarakat meliputi seperti yang dijelaskan pasal 21 (2) PP no 6 Tahun 2005 meliputi ; I) Pemilih yang terdaftar sudah meninggal dunia 2) Pemilih sudah tidak berdomisili di desa/kelurahan tersebut. 3) Pemilih yang terdaftar ganda pada domisili yang berbeda 4) Pemilih yang sudah pensiun dari TNI I Polri atau pemilih yang berubah status menjadi TNI dan Polri 5) Pemilih yang sudah kawin dibawah umur 17 tahun, atau
92
6) Pemilih yang sudah terdaftar tetapi sudah tidak memenuhi syarat sebagi pemilih
Dengan adanya
tanggapan dan inforrnasi dari masyarakat maka PPS
melakukan perubahan data pemilih dengan membuat daftar pemilih tamb_ahan. Bagi pemilih yang terdaftar dalam pemilih tambahan berhak mendapatkan tanda bukti daftar sebagai pemilih. Bukti daftar pemilih bisa ditukarkan menjadi kartu pemilih setelah daftar pemilih tetap disahkan oleh PPS. Untuk mencapai tingkat akuratisasi data dan terdaftamya pemilih yang berhak maka, PPS kembali mengumumkan data pemilih tambahan di tempat-tempat strategis yang mudah diangkau oleh masyarakat. Jangka waktu pengumuman ini berlangsung 3 (tiga) hari terhitung sejak berakhimya jangka waktu penyusunan daftar pemilih tambahan. c. Oaftar Pemilih Tetap (OPT) Oaftar Pemilih Sementara (OPS) dan Oaftar Pemilih Tambahan yang sudah diperbaiki kemudian disebut Oaftar Pemilih Tetap (OPT). OPT ini disahkan dan diumumkan oleh PPS selama 3 (tiga) hari terhitung sejak berakhimya jangka waktu penyusunan OPT. Seharusnya ketika OPT sudah disahkan maka tidak ada lagi proses penambahan ataupun pengurangan jumlah pemilih kecuali karena meninggal dunia. Berdasarkan OPT ini digunakan sebagai bahan penyusunan kebutuhan surat suara dan alat perlengkapan pemilihan serta pendistribusiannya. Oemikian juga dengan penyediaan kartu pemilih untuk setiap pemilih yang tercantum dalam daftar pemilih.
BABV
PROBLEMATIKA PENDAFTARAN PEMILffi DITINJAU DARI PERATURAN, DAN KEBIJAKAN KPUD
Bab ini membicarakan mengenai bagaimana Undang-Undang Nomor
32
Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 06 Tahun 2005 menjelaskan definisi pemilih dan domisili. Proses penentuan definisi pemilih dan domisili menurut ke dua peraturan tersebut tidak sama, akibatnya berpengaruh pada proses penentuan siapa yang disebut pemilih dan selanjutnya akan menentukan jumlah pemilih dalam pilkada. Ketidaktegasan peraturan telah mengantar KPUD untuk membuat sebuah keputusan yaitu Peraturan KPUD No. 06 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pendaftaran Pemilih dalam Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Yogyakarta. Berdasarkan berbagai tahapan pelaksanaan pilkada, tahapan pendaftaran pemilih adalah tahapan yang paling sering menimbulkan masalah. Hampir semua KPUD Kabupaten/Kota dan Provinsi mengalami hal yang sama, contoh kasus yang paling banyak menyita perhatian publik adalah kasus pilkada Banyuwangi dan Depok 1. Berdasarkan berbagai pengalaman yang dialami oleh beberapa daerah dalam menyelenggarakan pilkada, KPUD Kota Yogyakarta bertekad untuk menangani masalah pemilih dengan hati-hati termasuk dalam menyusun dan menetapkan
1
Denny Indrayana, Putusan Pilkada Depok Batal Demi Keadilan, Kompas, 9 Agustus 2008 dan M Ryaas Rasyid, Sengketa Pilkada Kota Depok, Media Indonesia, 8 Agustus 2005. Pengadilan Tinggi Jawa Barat memenangk.an gugatan pasangan Badrul Kamal yang mengklaim bahwa 60.000 suara yang tidak terdaftar dalam data pemilih menjadi masuk dalam hitungan perolehan suara sang penggugat.
93
94
regulasi. Ketetapan KPUD tentang peraturan teknis pemilih akan dijadikan pedoman teknis dalam mendaftar pemilih oleh penyelenggara di tingkat bawah mulai dari PPK, PPS dan KPPS. Pada saat pendaftaran pemilih sampai akhir ditentukannya DPT,
KPUD
hampir tidak menemukan masalah yang berarti berkaitan dengan komplain masyarakat karena tidak terdaftamya sebagian masyarakat yang memiliki hak dalam data pemilih. Berbeda dengan persoalan yang dihadapi oleh KPUD lainnya yang menuai protes dari partai maupun caJon yang akan dipilih karena sebagian pendukungnya tidak masuk dalam DPS maupun DPT. Akan tetapi di sisi lain KPUD Kota Yogyakarta tidak bisa mengantisipasi tingginyajumlah pemilih yang tidak hadir pada saat pemungutan suara yang diakibatkan oleh tidak sampainya kartu pemilih pada puluhan ribu jiwa yang telah terdaftar dalam DPT. Oleh karena itu, partisipasi pemilih pada pilkada 26 Nopember 2006 menjadi terendah dibandingkan kabupaten lainnya di DIY. Berikut tabel pergeseran partisipasi pemilih dalam beberapa kali pemilu di DIY (dalam persen):
Tabel 9. Partisipasi Pemilih Pemilu dan Pilkada DIY
I No
Pilkada
Pilpres
Pilpres
I
II
Jumlah OPT
76
76
72
358.064
Kab.Bantul
92
85
83
647.929
75
.)
Kab.Kulonprogo
87
85
83
315.689
76
4
Kab.Sleman
81
79
75
665.931
75
5
Kab G.Kidul
82
79
75
529.25
75
I I 1 2. ..,
Kab/Kota Kota Yk.
Sumber : KPU Propinsi DIY
Pi leg
Ij 2004 I
53 I
95
Bila melihat angkanya yang cuk:up signifikan yaitu sebesar 84.599 suara atau 23,63% dari jumlah DPT yang disyahkan oleh KPUD yaitu 358.064 jiwa, wajar jika menimbulkan pertanyaan tentang apa penyebabnya. Selain itu, angka ini lebih tinggi dari jumlah pemilih yang tidak hadir diakibatkan rasionalitas pilihan (menerima kartu pemilih, tetapi tidak memilih) yaitu 82.544 atau 23,05 %. Keadaan ini tentu saja mengejutkan banyak pihak serta menimbulkan keprihatinan. Oleh karena itu, tidak kurang selama tujuh hari berturut-turut media massa menjadikannya berita headline. Berbagai tudingan diarahkan kepada KPUD karena rendahnya jumlah pemilih yang tidak hadir pada saat pemungutan suara. Mulai dari tuntutan agar KPUD bertanggung jawab atas masalah ini, sampai tudingan bahwa penyebab rendahnya pemilih yang datang pada saat pemungutan suara akibat tidak netralnya KPUD 2 . Sedangkan bagi KPUD Propinsi DIY kejadian mengundang keprihatinan, hal ini terlihat dari pemyataan Mohammad Najib3
1m
:
Kejutan yang terjadi dalam pilkada Kota Yogyakarta adalah dimenangkannya pilkada tersebut oleh golput. Kemenangan golput dalam pilkada bukanlah hal yang mengejutkan, jika saja kemenangannya tidak setelak dalam pilkada Kota Yogyakarta. Bagaimana tidak, golput dalam pilkada Kota hampir mengalahkan total suara yang diperoleh dua pasangan calon sekaligus. Berdasarkan wawancara dengan beberapa anggota KPUD Kota Yogyakarta, disebutkan bahwa penyebabnya adalah konsekwensi peraturan tentang definisi pernilih, yang disebutkan pemilih adalah penduduk yang memiliki KTP, sementara
2
3
lihat berita Harian Kompas, Media Indonesia, Bernas, Kedaulatan Ra-kyat dan Jawa Pos, mulai tanggal 27 Nopember hingga 5 desember 2006 Mohammad najib: Mengapa Golput Menang Pilkada ? dalam bui,.'U Pilkada dan Pengembangan Demokrasi Lokal :2006;hal 125
96
sebagian dari jumlah pemilih tersebut sudah tidak berada di Kota Yogyakarta (tidak faktual). Akibatnya 23,63 % (dua puluh tiga koma enam puluh tiga persen) pemilih yang terdaftar dalam DPT, tidak hadir pada saat pemungutan suara. Hal ini disebabkan tidak ditemukannya pemilih tersebut pada saat penyampaian kartu pemilih. Artinya ada sekitar delapan puluh em pat ribuan pemilih yang terdaftar dalam DPT tetapi sudah tidak berada di Kota Yogyakarta. Pertanyaannya apakah ketentuan peraturan tentang pemilih adalah penyebab banyaknya penduduk yang tidak faktual masuk dalam data pemilih?. Bukankah kebijakan pembuatan peraturan teknis tentang pemilih adalah kewenangan KPUD ?.
5.1. Analisa terhadap Peraturan tentang Pemilih KPUD sebagai lembaga penyelenggara Pilkada diharuskan menyusun perencanaan penyelenggaraan, menyusun anggaran dan juga menyusun regulasi teknis dengan berpedoman pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005. Peran ini tidaklah sederhana, tapi menuntut
KPUD
untuk
lebih
profesional,
solid
dan
harus
stap
mempertanggungjawabkan secara mandiri segala keputusan yang telah ditetapkan. Selain itu, persoalan yang lain adalah sepanjang terbentuknya KPUD belum memiliki pengalaman dalam membuat regulasi, karena pada pemilu Tahun 2004 KPU pusatlah yang menyiapkan semua peraturan hingga petunjuk teknis. Sehingga dapat dikatakan kemampuan KPUD dalam menyiapkan regulasi teknis pelaksanaan pilkada
97
menjadi
UJian awal yang harus dilalui sebelum menyelenggarakan pilkada
sebagaimana mestinya. Dalam menyusun regulasi, KPUD dihadapkan dengan berbagai masalah. Masalah terbesar yang dihadapi adalah ketidaksempurnaan peraturan yang akan dijadikan payung hukum dalam membuat regulasi teknis. Pengakuan terhadap tidak sempumanya peraturan pilkada juga disampaikan oleh ProfDr.H.Dahlan Thaib, SH, M.Si. Pada saat pelaksanaan pilkada Dahlan Thaib menjabat sebagai Pelaksana Tugas Walikota ketika Herry Zudianto ikut menjadi calon Walikota pada Pilkada Kota Yogyakarta. Menurut Thaib4 : Dinamika pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kota Yogyakarta paling tidak terjadi karena 3 (tiga) hal, salah satunya adalah hukum yang mengatur pilkada bolong dan multitafsir..... Hal senada diakui oleh HM Zaki Sierrad5, ketua Panwas Pilkada Kota Yogyakarta, menurutnya : dalam praktek, seringkali pertentangan antara yuridis formal dengan persoalan-persoalan real pilkada. Lembaga penyelenggara yang diberi beban untuk melakukan usaha penyelesaian dalam banyak hal sering salah tingkah. Hal ini dikarenakan bahwa dalam upaya penyelesaian berkaitan dengan tidak ditemukannyajawaban dalam peraturan perundang-undangan yang ada. Khusus mengenai masalah yang terkait dengan pemilih menurut Miftachul Alfin6 , ketua KPUD Kota Yogyakarta mengatakan bahwa ~
4
Thaib, Dahlan, Dinamika Pilkada Kota Yogyakarta di Tengah Gempa Bumi dan Gempa Politik dalam bukuGempa Bumi ke gempa Politik, KPU Kota Yogyakarta, Desember 2007: hal9 5 Sierrad HM, Zaki; kegamangan dalam Pilkada Kota Yogyakarta;2007; 111 6 Pilkada dan Pengembangan demokrasi lokal ;2006;56
98
Problem yang selalu muncul adalah berkaitan dengan tingkat validitas daftar pemilih yang ditetapkan oleh KPUD, yang selanjutnya memunculkan berbagai dugaan, atau bahkan tuduhan kepada KPUD yaitu tidak independen, KPUD melakukan penggelembungan/penggembosan suara atau KPUD menghalangi hak politik rakyat.. ..... Masalah berikutnya adalah ketidakjelasan aturan tentang defenisi pemilih dalam pilkada. KPUD di satu sisi merupakan institusi yang menetapkan daftar pemilih sementara, namun disi lain KPUD memiliki keterbatasan hanya terkait dengan pemilih saja, -sedangkan kewenangan persolan sebenarnya berada di wilayah administrasi kependudukan. Oleh karena itu, permasalahan terkait dengan pemilih ini sesungguhnya tidak bisa dihindarkan ... Selain persolan defenisi pemilih, persoalan ketidakjelasan defenisi domisili berdasarkan peraturan juga dianggap penyebab munculnya persoalan pemilih. Seperti yang diungkapkan oleh anggota KPUD lainnya, Nasrullah 7 (Divisi Hukum dan Hub.Antar Lembaga); Munculnya inkonsistensi dalam pendataan pemilih tersebut disebabkan "setengah hatinya" atau tidak tegasnya si pembuat PP dalam membuat aturan. Pasal 19 ayat (I) PP misalnya, memberi peluang untuk menggunakan daftar pemilih pada pilpres kedua. Padahal daftar pemilih pilpres II tersebut menggunakan pola de facto. Ini artinya KPUD yang menyelenggarakan pilkada dapat menggunakan de facto atau gabungan de facto dan de jure. Pemilih yang berhak menggunakan hak pilih adalah WNI yang "bertempat tinggal (bukan berdomisili) di daerah pemilihan sekurang-kurangnya 6 ( enam bulan sebelum ditetapkannya "daftar pemilih tambahan " (bukan DPS) yang dibuktikan dengan KTP dan/atau kartu keluarga. Selanjutnya, pemyataan secara resmi KPUD Kota Yogyakarta mengena1 persoalan pemilih disebutkan dalam laporan Penyelenggaraan Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Yogyakarta Tahun 2006 8
:
Ketidakjelasan aturan tentang defenisi pemilih dalam pilkada Berdasarkan PP Nomor 6 Tahun 2005 pasal 16 ayat (2) huruf C, pemilih pilkada hams 7
8
Pilkada dan Pengembangan Demokrasi :2006;20 Laporan Pilkada Kota Yogyakarta Tahun 2006;hal 51
99
berdomisili di daerah pemilihan sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan sebelum disahkannya daftar pemilih sementara (DPS) yang dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk. Ketentuan ini merupakan pengaturan tambahan tentang pemilih yang bel urn diatur oleh UU No 32 Tahun 2004. Dengan adanya ketentuan ini defenisi pemilih pada pilkada menjadi sedikit berbeda dengan pemilih pada pemilu 2004 dan berimplikasi pada metode pendataan dan proses updating data pemilih.
Peraturan tersebut dianggap tidak jelas karena terdapat perbedaan dengan Pasal berikutnya.
Menurut Iaporan KPUD, menyatakan pasal 19 mengamanatkan
bahwa daftar pemilih pada pemilu 2004 dipergunakan sebagai daftar pemilih dilakukan pemutakhiran dan validasi oleh perangkat daerah yang mengurusi tugas kependudukan. Sampai pada penjelasan ini, penulis mencoba memahami peraturan yang dianggap tidak jelas tentang defenisi pemilih dan domisili yang dimaksud oleh KPUD dan bagaimana hubungannya dengan proses pendataan pemilih.
5.1.1 Definisi Pemilih dan Domisili Berdasarkan UU No 32 Tahun 2004 uau Asumsi Jumlah Pemilih a. Definisi Pemilih Ketentuan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004, Pasal 68 Paragraf kedua tentang pemilih adalah : Warga negara Republik Indonesia yang pada hari pemungutan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah sudah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau sudah/ pemah kawin mempunyai hak memilih. Pasal 69 menyatakan :
(1) Untuk dapat menggunakan hak memilih, warga negara Republik Indonesia harus terdaftar sebagai pemilih.
100
(2) Untuk dapat didaftar sebagai pemilih, warga negara Repub1ik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) harus memenuhi syarat : a. Nyata-nyata tidak sedang tergannggu jiwa/ingatannya; b. Tidak sedang dicabut hak pihhnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. (3) Seorang warga negara Republik Indonesia yang telah terdaftar dalam daftar pemilih temyata tidak lagi memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat menggunakan hak memilihnya Pasal-pasal yang telah disebutkan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa ada pengakuan prinsip pemberian hak yang sama bagi semua warga negara Indonesia, dengan memberikan hak pilih bagi siapa saja yang sudah dianggap dewasa untuk menentukan hak pilihnya, kecuali hanya bagi mereka yang terganggu jiwanya dan terlibat masalah hukum. Pasal 70 menyatakan : (1) Daftar pemilih pada saat pelaksanaan pemilihan urn urn terakhir di daerah digunakan sebagai daftar pemilih untuk pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. (2) Daftar pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) ditambah dengan daftar pemilih tambahan yang telah memenuhi persyaratan sebagai pemilih ditetapkan sebagai daftar pemilih sementara.
Pasal 71 menyatakan : Pemilih yang telah terdaftar sebagai pemilih sebagaimana dimaksud dalam pasal 70 diberi tanda bukti pendaftaran untuk ditukarkan dengan kartu pemilih untuk setiap pemungutan suara. Jika melihat maksud pasal-pasal di atas, maka semua pemilih pilpres II ditambah dengan pemilih tambahan menjadi orang yang dianggap sah menjadi pemilih kecuali bagi mereka yang kehilangan hak pilih seperti yang disebutkan dalam pasal 69. Berdasarkan ketentuan diatas, berarti siapapun yang terdaftar dalam pilpres II Kota Yogyakarta bisa menjadi pemilih dalam pilkada seperti halnya pemilihan
101
urn urn. Padahal pemilih pilpres adalah penduduk yang didata berdasarkan keberadaan mereka pada saat pemilihan umum, artinya pemilihnya terdiri dari : 1. Penduduk Kota Yogyakarta yang bertem pat tinggal di Kota Yogyakarta pada saat pelaksanaan pilpres II dan tercatat dalam administrasi kependudukan Kota Yogyakarta. 2. Penduduk yang bertempat tinggal di Kota Yogyakarta tetapi tidak tercatat dalam administrasi kependudukan Kota Yogyakarta. b. Definisi domisili Penjelasan mengenai definisi domisili disebutkan pada pasal 72 UU No 32 Tahun 2004, di dalam pasal tersebut menyebutkan: ( 1) (2)
Seorang pemilih hanya di daftar 1 (satu) kali dalam daftar pemilih. Apabila seorang pemilih mempunyai lebih dari 1 (satu) tempat tinggal, pemilih tersebut harus menentukan satu diantaranya untuk ditetapkan sebagai tempat tinggal yang dicantumkan dalam daftar pemilih.
Sedangkan pasal 73 menyebutkan : Pemilih yang telah terdaftar dalam daftar pemilih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70, kemudian bertempat tinggal atau karena ingin menggunakan hak pilihnya di tempat lain, pemilih yang bersangkutan harus melapor kepada PPS setempat. 9
Setelah ada penjelasan tentang domisili, dapat disimpulkan UU No 32/2004 tidak menentukan KTP sebagai penentu akhir tetapi data pemilih pilpres II yang menjadi acuan untuk menentukan data pemilih pilkada. Artinya semua pemilih seperti yang ada dalam data pilpres II ditambah dengan data pemilih tambahan yang
9
UU No 32 Tahun 2004.
102
memenuhi syarat berhak: menjadi pemilih pilkada dan dimasukkan dalam DP4 yang disusun oleh BKKBC untuk: kemudian diserahkan ke KPUD. J ika demikian pola penyusunan data pemilih adalah berdasarkan keberadaan penduduk tersebut pada saat pilkada sebagaimana halnya dalam pemilu legislatif dan pilpres I dan II. Konsekuensinya bagi KPUD adalah proses pencocokan dan penelitian di lapangan untuk: menyusun DPS maupun penetapan DPT adalah berdasarkan keberadaan si pemilih pada saat pemungutan suara dilaksanakan. Hal ini berarti penduduk yang memiliki hak: memilih adalah mereka yang berada di Kota Yogyak:arta pada saat pendaftaran pemilih. Cara ini digunakan oleh KPUD Kota Yogyak:arta untuk mendaftar pemilih memakai pola de facto. Berdasarkan basil wawancara dengan anggota KPU Pusat yang membidangi divisi pemilih menyatak:an bahwa; Jika kita bicara ideal atau substansi diadakannya pemilu atau pilkada, maka yang disebut pemilih adalah mereka yang berada di daerah tersebut pada saat proses pendaftaran. Karena mereka adalah orang-orang yang akan menerima imbas dari kebijakan orang yang dipilih. Tetapi di Indonesia, kita masih mengutamakan aspek prosedur yang mengatur bahwa pemilih itu harus yang terdaftar dalam administrasi kependudukan. (Sri Nuryanti, 02 Agustus 2008) Jadi, kesimpulannya adalah UU Nomor 32 Tahun 2004 menggiring KPUD pada proses pendaftaran dengan pola de facto yaitu memberi hak kepada semua penduduk yang bertempat tinggal di Kota Yogyakarta untuk menjadi pemilih. Sehingga penduduk ini harus masuk dalam data DP4, tercatat dalam DPS yang disusun oleh KPUD dan berhak ditetapkan menjadi pemilih tetap lewat OPT.
103
c. Asumsi Jumlah Pemilih Bila proses pembuatan DP4 menggunakan pola de facto, maka seharusnya KPUD juga mengeluarkan peraturan teknis yang mengatur proses pendaftaran pemilih dengan pola yang sama. Semua penduduk yang berada di kota Yogyakarta yang memenuhi syarat akan tercatat sebagai pemilih. Dengan demikian, jumlah pemilih kurang lebih akan sama dengan pada saat pemilu tahun 2004. Jika pemilih pemilu pilpres II sebanyak 314.728, maka data pemilih sementara pilkada dapat diperkirakan yaitu jumlah pemilih pilpres II yaitu 314.728 jiwa ditambah jumlah penduduk yang pindah masuk ke kota Yogyakarta (XI), dan ditambah penduduk yang telah berusia 17 tahun pada saat pemungutan suara atau sudah menikah (X2) kemudian dikurangi jumlah penduduk yang pindah keluar Kota Yogyakarta (Y1), dikurangi penduduk yang meninggal (Y2) atau bisa disebut dengan Pemilih pilkada Kota Yogyakarta menurut UU No 32 Tahun 2004 yaitu Pemilih Pilpres II +Xl+X2Y1-Y2. Bila menggunakan asumsi
pertambahan penduduk
Kota
Yogyakarta
berdasarkan data BPS maka pertambahan penduduk adalah minus no] koma tiga puluh tujuh persen (-0,37%). Jika semua pertambahan penduduk dijadikan sebagai data pemilih potensial maka jumlah pemilih adalah : 314.728 - 0,37 % maka :
Jumlah pemilih pilkada Kota Yogyakarta Tahun 2006
adalah kurang lebih
313.564 jiwa. Artinya data ini seharusnya tidak jauh berbeda dengan jumlah pemilih berdasarkan jumlah pemilih pilpres II yang dilaksanakan pada bulan September 2004. Demikian juga jika diperhatikan pada pelaksanaan tiga kali pemilu tahun 2004, maka
104
jwnlah pemilih cenderung terus menurun yaitu pertama, pemilu legislatif pemilihnya berjumlah 318.826 pemilih. Kedua, pada pilpres I jumlah pemilih yang terdaftar adalah 316.882 pemilih. Ketiga, pilpres IT jumlah pemilih yang terdaftar adalah 314.728 pemilih. Berikut tabel jumlah pemilih pada tiga
pelaksana~n
pemilu
sebel umnya.
ThLegis . Iatl·r, p·I T a be110 Jurn lab pem11 II pres I dan p·I upres II No.
KECAMATAN
DPT LEGISLATIF
OPT PILPRES
OPT PILPRES II
1.
Tegalrejo
28.181
27.110
26.900
2.
Jetis
19.616
0.630
20.255
3.
Gedongtengen
14.741
14.546
14.400
4.
Ngampilan
13.263
13.563
13.395
Oanurejan
14.891
15.398
15.072
6.
Pakualaman
8.057
8.465
8.504
7.
Gondokuswnan
40.309
39.967
39.942
8.
Wirobrajan
21.284
21.143
21.712
9.
Mantrijeron
25.592
25.721
25.273
10.
Kraton
15.222
15.592
15.247
11.
Gondomanan
11.587
11.451
11.113
12.
Mergangsan
24.729
25.342
25.164
13.
Umbulhatjo
58.441
54.796
54.726
14.
Kotagede
22.913
23.158
23.025
Jumlah total
318.826
316.882
314.728
I 5.
Sumber : Laporan KPUD : Ptlkada Kota Y ogyakarta.
5.1.2 Definisi Pemilih dan Domisili Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 dan Asumsi Jumlah Pemilih. a. Definisi Pemilih Definisi Pemilih menurut ketentuan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2005 diatur dalam pasal-pasal sebagai berikut:
105
Pasal 15 menyatakan : Warga negara Indonesia yang pada hari pemungutan sua.ra pemilihan sudah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau sudah/pemah kawin mempunyai hak memilih. Pasal 16 menyatakan : (1)
(2)
Untuk dapat menggunakan hak memilih dalam pemilihan, Warga Negara Republik Indonesia harus terdaftar sebagai pemilih. Pemilih sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat: a. nyata-nyata tidak sedang terganggu jiwalingatannya; b. tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukun tetap;
Pasal 17 menyatakan : Pemilih yang telah terdaftar sebagai pemilih sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 ayat (2), diberikan tanda bukti pendaftaran. Sampai pada pasal-pasal yang mengulas tentang defenisi pemilih, dapat , disimpulkan bahwa tidak ada pertentangan dengan defenisi pemilih yang disebut dalam UU nomor 32 Tahun 2004. Selanjutnya mari diperhatikan defenisi domisili yang diatur oleh PP Nomor 6 Tahun 2005. b. Definisi Domisili Definisi Domisili menurut ketentuan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2005 diatur dalam pasal-pasal sebagai berikut : Pasal 16 ayat 2 (c) menyatakan : Berdomisili di daerah pemilihan sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan sebelum disahkannya daftar pemilih sementara yang dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk.
106
Pasal I6 Ayat 3 menyatakan : Seorang Warga Negara Republik Indonesia yang telah terdaftar dalam daftar pemilih temyata tidak lagi memenuhi syarat sebagimana dimaksud pada ayat (2), tidak dapat menggunakan hak memilihnya. Pasal I8 menyatakan : (I) (2)
Seorang pemilih hanya didaftar (satu) kali dalam daftar pemilih di daerah pemilihan. Apabila seorang pemilih mempunyai lebih dari I (satu) tempat tinggal, pemilih tersebut harus menentukan 1 (satu) diantaranya yang alamatnya sesuai dengan alamat yang tertera dalam tanda identitas kependudukan (KTP) untuk ditetapkan sebagai tempat tinggal yang dicantumkan dalam daftar pemilih.
Kesimpulan yang diambil dari penjelasan pasal-pasal di atas adalah telah tertutup kemungkinan bagi penduduk Kota Yogyakarta yang tldak memiliki KTP Kota Yogyakarta untuk menjadi pemilih pilkada. Hal tersebut berarti pemilih yang masuk baik dalam DP4 yang dihasilkan oleh BKKBC maupun DPS sampai OPT yang ditetapkan oleh KPUD adalah mereka yang diakui keberadaannya berdasarkan hukum administrasi kependudukan yaitu terdaftar dalam data penduduk dan memiliki KTP Kota Yogyakarta. Cara ini disebut oleh KPUD dengan istilah teknis pendaftaran pemilih pola de jure. Sebenamya persoalan tidak akan begitu rumit, jika ketentuan dalam pasal 19 tidak muncul, sehingga seolah-olah peraturan tidak konsisten. Adapun ketentuan pasal 19 adalah : ( 1) (2)
Daftar Pemilih yang digunakan pada saat pelaksanaan Pemilihan Urn urn terakhir di daerah, digunakan sebagai daftar pemilih untuk pemilihan. Daftar pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) dimutakhirkan dan divalidasi, ditambah dengan daftar pemilih tambahan untuk menggunakan sebagai bahan penyusunan daftar pemilih sementara.
107
Akibat dari ketentuan pasal 19 ini telah menimbulkan keraguan KPUD Kota Yogyakarta dalam menentukan cara membuat daftar pemilih. Jika pasal 16 nyatanyata mensyaratkan KTP sebagai penentu akhir maka pasal 19 yang mensyaratkan data pemilih pilpres II menjadi data base, padahal data pilpres dibuat berdasarkan penduduk yang berada atau tinggal di Kota Yogyakarta (faktual) dan tidak berdasarkan KTP. Mungkin inilah yang disebut KPUD sebagai ketidak konsistenan peraturan. c. Asumsi Jumlah Pemilih Sebenamya, jika mengacu pada peraturan yang Iebih tinggi, maka pendataan pemilih bisa dilakukan berdasarkan de facto, atau setidaknya gabungan dari keduanya yaitu de jure dan de facto. Tetapi ada ganjalan pada pada pasal 16 huruf c dan pasal 16 ayat 3. Ketika hal ini penulis tanyakan pada KPUD, Aan Kumiasih sebagai ;
anggota KPUD yang menangani masalah pemilih mengatakan: Ketentuan peraturan memang harus berdasarkan KTP, sehingga data pemilih yang dibuat harus berdasarkan KTP. Dan kita tidak mau melanggar peraturan terse but.( Aan Kumiasih, 10 Mei 2008) Pertanyaannya adalah apakah di dalam PP No. 6 Tahun 2005 dijelaskan bahwa KTP adalah penentu pemilih ?. Selanjutnya Anggota KPUD (alumni Fakultas Hukum UGM) tersebut menyatakan bahwa: Walaupun tidak jelas-jelas disebutkan, tetapi rohnya ad~lah de jure. ( Aan Kurniasih; 10 Mei 2008) Mengenai perdebatan antara defenisi pemilih dan domisili berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 06 Tahun 2005 ini memang telah menjadi bahan kajian bagi setiap penyelenggara pilkada di daerah. Akan tetapi senada dengan pendapat
108
KPUD Kota Yogyakarta, KPUD Propinsi juga meyakini bahwa pendataan pemilih dalam pilkada jika mengikuti aspek legalitas formal maka pola yang digunakan adalah de jure. Berikut pemyataan Najib 10 : Pada saat pilpres, metode yang digunakan adalah de facto, sedan~an pemilih yang ada dalam pilkada adalah de jure, artinya siapapun yang ber-KTP Kota Yogyakarta, dimanapun ia tinggal, hams dicatat sebagai pemilih.
Pertanyaan tentang kepastian pola mana yang hams dilaksanakan dalam pendaftaran pemilih pilkada diajukan,
karena asumsi
penulis jika KPUD
menggunakan penggabungan pola de facto dan de jure, maka jumlah pemilih yang terdaftar DPS tidak sebanyak jika hanya menggunakan pola de jure. Jika berdasarkan
pola de facto, maka asumsi jumlah pemilih dalam DPT adalah lebih kurang 313.564 jiwa. Sedangkan bila KPUD menggunakan penggabungan pola de facto dan de jure akan menghasilkan data pemilih yang bebeda, berikut asumsinya : 1. Pola De Jure: Jika Pemilih menggunakan pola de jure maka pemilih yang masuk dalam DP4 akan sangat tergantung pada administrasi kependudukan, sehingga pemilih yang memiliki KTP mungkin saja sudah banyak yang tidak lagi bertempat tinggal di Kota Yogyakarta akan masuk dalam data pemilih.(Indikasi dari BKKBC, sekitar 45.000 j iwa penduduk yang tidak faktual tetap terdaftar dalam data kependudukan karena belum dicabutnya status kependudukannya). Berdasarkan pola ini jumlah pemilih
10
Mohamamad Najib, 2006 ; hal 128
109
sesuai dengan DP4 yang diajukan oleh BKKBC kepada KPUD sebanyak 361.151 jiwa.
Selanjutnya, ketentuan ini akan mempengaruhi pula keputusan KPUD tentang pendaftaran pemilih dengan menggunakan pol a de jure. Sebagai akibatny~, PPS yang dibantu oleh RT dan RW setempat tidak akan dapat menghilangkan nama-nama pemilih yang tidak berada di kota Yogyakarta, karena secara administrasi kependudukan masih tercatat sebagai penduduk Kota Yogyakarta. Akhimya tugas PPS hanya bisa memvalidasi jumlah pemilih karena alasan seperti yang terlihat dalam tabel berikut ini. Tabel 11 • Ringkasan Data Pemilih selama Proses Penyusunan Daftar Pemilih Uraian Data DP4 Pengurangan (pencermatan data) • Pemilih meninggal • Pemilih pindah domisili Data DP4 revisi Pengurangan (Proses OPS) • Pemilih meninggal • Pemilih tercatat ganda Data DPS KPUD Penambahan (Proses OPT) • Pemilih pemula (penundaan) • Pemilih tambahan/baru (PPS) Pengurangan (Proses OPT) • Pemilih meninggal • Pemilih pindah domisili • Pemilih tercatat ganda • Pemilih dicabut hak pilihnya Data DPT Tambahan salinan OPT Data DPT Perubahan (final)
Jumlah
Total
361.151 315
Keteranean Diproses oleh
BKKBC
265 50 360.836
1.686 753 933
I 359.150
2.512 2.056 456 3.618 1.263 1.579 722 54
358.044
20
Swnber : KPU Kota Yogyakarta, Ptlkada Kota Yogyakarta.
358.064
Diproses oleh KPUD
110
2. Pola De Jure dan De Facto. Jika data pemilih yang menggunakan KTP Kota Yogyakarta diseleksi dengan data pemilu terakhir maka pemilih yang tidak lagi berada di Kota Yogyakarta dapat dihilangkan. Gambar: 3. DPT Pilpres Terakhir, Data Kependudukan dan Data Pemilih Pilkada yang memiliki KTP dan bertempat tinggal di Kota Yk.
I
keterangan : Arsir I : DPT Pilpres; Arsir II : Data Kepedudukan; Arsir III : Data Pemilih Pilkada yang memiliki KTP dan bertempat tinggal di Kota Yogyakarta Berdasarkan rekaan dalam gambar tersebut; seharusnya yang berada di Iingkaran tengah adalah pemilih yang memiliki KTP Kota Yogyakarta dan berada di Kota Yogyakarta. Sedangkan, gambar yang diarsir I adalah pemilih pemilu terakhir yang tidak memiliki KTP Kota Yogyakarta dan yang diarsir II adalah penduduk yang memiliki KTP Kota Yogyakarta tetapi sudah tidak berada di Kota Yogyakarta. Dengan demikian jumlah pemilih yang terdaftar tidak sebesar yang dijukan oleh BKKBC sedagai data DP4 sebanyak 360.836 jiwa.(lihat tabel di Bab IV). Jika pola ini yang diterapkan maka :
Ill
a. Asumsi jumlah pemilih berdasarkan gabungan ke dua pola ini adalah : Jumlah pemilih de jure dikurangi penduduk yang tidak faktual dan penduduk yang tidak memiliki KTP Kota . b. Implikasi dengan diterapkannya pola de jure dan de facto adalah KPUD dapat memberikan wewenang kepada PPS yang dibantu oleh R T dan R W untuk melakukan pencocokan dan penelitian terhadap warganya, sehingga pemilih yang benar-benar berada di Kota Yogyakarta dan yang dapat hadir pada saat pencoblosan yang terdaftar dalam DPS dan DPT. Dengan ketentuan ini data pemilih bisa lebih akurat dibandingkan pendaftaran pemilih yang menggunakan hanya pola de facto atau pola de jure saja.
5.1.3. Data dari Depdagri tidak Valid. Persoalan yang dihadapi oleh KPUD maupun BKKBC dalam menentukan pola pendataan dan pendaftaran pemilih belum berakhir. Persoalan lain adalah data base yang dikirimkan Depdagri ke BKKBC juga diragukan validitasnya. Padahal data itu digunakan sebagai data base sesuai dengan ketentuan Pasal 19 PP nomor 6 Tahun 2005.Isi pasal 19 menyatakan bahwa : ( 1) Daftar pemilih sebagaimana dimaksud ayat ( 1) dimutakhirkan dan divalidasi, ditambah dengan daftar pemilih tambahan untuk digunakan sebagai bahan penyusunan daftar pemilih sementara. (2) Daftar Pemilih yang digunakan pada saat pelaksanaan Pemilihan Umum terakhir di daerah, digunakan sebagai daftar pemilih untuk pemilihan ..
112
Dalam penjelasan
atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005
dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan daftar pemilih tetap yang ditetapkan oleh KPUD. Jika mengacu pada ketentuan ini berarti data base harus menggunakan data pemilih pilpres II yang telah disyahkan oleh KPUD. Sedangkan daftar
pe~ilih
dalam
ketentuan ayat (2) dimutakhirkan dan divalidasi oleh perangkat daerah yang menggunakan tugas kependudukan dan catatan sipil. Implementasi dari ketentuan ini pada saat pilkada adalah Departemen dalam Negeri (Depdagri) mengirimkan data base ke daerah yang mengurusi kependudukan dan catatan sipil (di Kota Yogyakarta disebut Badan Koordinasi Keluarga Berencana & Catatan Sipil atau disingkat BKKBC).
Berdasarkan keterangan dari salah satu anggota KPUD Kota Yogyakarta menyatakan bahwa : data yang dikirimkan oleh Depdagri ke BKKBC diyakini lebih memiliki persamaan dengan data pemilih legislatif dimana data ini sudah menjalani dua kali perbaikan selama pemilihan presiden yang dua kali putaran. Asumsi ini dikuatkan lagi dengan beberapa KPUD kab/kota lain yang melakukan pencermatan dengan data yang diberikan Depdagri dan keyakinan KPUD bahwa Depdagri tidak memiliki data updating pilpres I dan Pilpres II, sehingga disimpulkan yang dijadikan data base oJeh Depdagri adalah hasil P4B BPS serta perubahannya pada saat pemilihan legislatif. (Miftachul Alfin, 6 Juni 2008) Hal senada dinyatakan oleh Adung A Rochman Koordinator Nasional jaringan Pendidikan dan Pemilih untuk Rakyat ( JPPR)
11 :
Depdagri turut berkontribusi dalam kasus banyaknya warga yang kehilangan hak pilihnya dalam pilkada. Data Penduduk Potensial Pemilih Pilkada (DP4) 11
Kompas, I I juli 2005, Keruwetan Daftar Pemilih tak terpecahkan.
113
yang dipasok Depdagri tidak valid. Depdagri juga tidak responsib atas kasus yang menyangkut daftar pemilih. Depdagri dihimbau untuk tidak hanya melihat sisi buruk kekecauan pendataan ulang pemilih yang dapat dimanfaatkan pihak yang kalah saja, tetapi juga secara jcli menperhatikan akar masalah.
Disisi lain data Depdagri yang dikirimkan pada BKKBC juga menimbulkan persoalan, seperti yang diakui oleh Alfin 12
:
Sebagaimana kita ketahui bahwa data P4B pemilu 2004 yang lalu pendataan pemilihnya menggunakan metode de facto, yaitu semua warga yang pada saat pendataan bertempat tinggal di suatu wilayah di data sebagai pemilih tanpa memperhatikan asal KTP yang bersangkutan. Metode pendataan semacam ini dapat dibenarkan karena pemilu 2004 ruang lingkupnya nasional. Anehnya, data dari Depdagri tersebut semua pemilih, baik yang penduduk maupun nonpenduduk, telah diberi NIK sehingga secara tidak langsung seakan-akan mereka yang bukan penduduk ini diberi legitimasi oleh Depdagri sebagai penduduk.
Mengetahui data dari Depdagri yang demikian, KPUD merasa hawatir akan ketidakmampuan petugas pemutakhiran data untuk memverifikasi nama per nama agar bisa memenuhi ketentuan pasal 16 huruf c, PP No 6 Tahun 2005. Sebagai akibatnya KPUD mulai pro active melakukan persamaan persepsi tentang pemilih dengan BKKBC yang ditugasi melakukan pemutakhiran dan validasi daftar pemilih. Jadi, sebenamya tahapan pendataan penduduk yaitu proses pemutakhiran dan validasi penduduk yang memenuhi syarat masuk dalam Data Penduduk Pemilih Potensial (DP4) adalah kewenangan BKKBC. Walaupun demikian dalam prakteknya KPUD selalu terlibat dalam upaya menghasilkan DP4 yang valid.
12
Alfin, Miftachul; Problematika penyusunan daftar pemilih pilkada;2006;hal57
114
Keterlibatan KPUD sejak awal penyusunan DP4 karena KPUD sadar bahwa produk dari BKKBC akan sangat menentukan kualitas DPT yang akan ditetapkan oleh KPUD. Berdasarkan tahapan dan program jadwal penyelenggaraan pilkada KPUD Kota Yogyakarta pelaksanaan Penyerahan DP4 dari Pemer!ntah Kota Yogyakarta ke KPUD adalah pada tanggal 20 April 2006. Berdasarkan hal tersebut, enam bulan sebelumnya, atau pada 20 Oktober 2005, BKKBC sudah melakukan pendataan penduduk yang akan dimasukkan dalam DP4. Setelah penyerahan DP4 dari BKKBC, KPUD menyiapkan sistem pengolahan DP4 menjdi Data Pemilih Sementara (DPS), untuk kemudian menyusun DPS dan menetapkannya. Berikut tabel Program danjadwal waktu Pendaftaran Pemilih Pilkada Kota Yogyakarta. Tabel 12. Program dan Jadwal Waktu Pendaftaran Pemilih JADWAL WAKTU PROGRAMIKEGIATAN
i
SELESAI
KETERANGAN
i 20-Apr-06
27-Apr-06
Dilaksanakan pemkot
b. Penyiapan system pengolahan DP4 menjadi DPS
21-Apr-06
15-Mei-06
Dilaksanakan oleh KPUD
c. Rakemis pendaftaran pemilih
16-Mei-06
16-Mei-06
Dilaksanakan oleh KPUD
17-Mei-06
20-Mei-06
Dilaksanakan PPS
e. Penetapan Daftar Pemilih Sementara (DPS)
21-Mei-06
I 23-Mei-06
Dilaksanakan oleh PPS
f. Pengumuman & tanggapan masyarakat terhadap D PS
21-Mei-06
23-Mei-06
Dilaksanakan oleh PPS
g. Pencatatan Data Pemilih Tambahan
24-Mei-06
26-Mei-06
Dilaksanakan o1eh PPS
Pendaftaran Pemilih s.d Penyampaian Kartu Pemilih : a. Penyerahan DP4 dari pemerintah ke KPUD
d. Penyusunan Daftar pemilih sementara (DPS)
MULAI
Ii
1
115
h. Pengumuman Daftar Pemilih Tambahan
27-Mei-06
29-Mei-06
Dilaksanakan oleh PPS
i. Penyusunan Daftar Pemilih tetap (DPT)
30-mei-06
11-jun-06
Dilaksanakan oleh PPS
j. Pengesahan Daftar Pemilih Tetap (DPT)
12-jun-06
12-jun-06
Dilaksanakan oleh PPS
k. Pengumuman Daftar Pemilih Tetap (DPT)
12-jun-06
14-jun-06
Dilaksanakan oleh PPS
I. Penetapan Jumlah Pemilih &TPS
13-jun-06
14-jun-06
Keputusan KPUD
m. Pembuatan Kartu Pemilih dan Penomoran
13-jun-06
01-jul-06
n. Penyampaian Kartu Pemilih
09-jul-06
13-jul-06
- dari KPUD kepada PPS
09-jul-06
09-jul-06
Dilaksanakan oleh KPUD
- dari PPS kepada pemilih
10-jul-06
13-jul-06
Dilaksanakan oleh PPS
Dilaksanakan oleh KPUD
I
l
i
Sumber : Laporan Pilkada Kota Yogyakarta
Keterlibatan KPUD dalam menentukan mekanisme DP4 dapat dilihat dari beberapa hasil wawancara, hal ini terungkap ketika penulis menanyakan mengapa KPUD sudah intervensi sejak awal penyusunan DP4 yang sebenamya wilayah BKKBC? Menurut Rahmat Muhajir, anggota KPUD yang menjabat sebagai Kepala Divisi Pendidikan, Informasi dan kajian Pengembangan Pemilu menyatakan : Kita bukan intervensi, tetapi berusaha proaktif untuk membangun sebuah persepsi yang sama tentang pemilih. Memang jauh sebelumnya kita memang mengajak BKKBC untuk sama-sama merumuskan masalah pemilih, sehingga produk yang dikeluarkan BKKBC berupa DP4 yang kemudian kita rubah menjadi DPS setidaknya sesuai dengan keinginan kita yaitu Iebih akurat.( Rahmat Muhajir,20 Juli 2008)
116
Lebih jauh Miftachul Alfin menyatakan : Koordinasi yang kita lakukan dengan BKKBC dan usaha untuk menciptakan persepsi yang sama tentang peraturan adalah karena kesadaran pihak KPUD bahwa produk yang dihasilkan BKKBC akan berimplikasi pada validitas pemilih. Berdasarkan pengalaman pilkada di daerah lain, persolan sering muncul karena tidak adanya koordinasi diantara dua pihak.( Miftachul Alfin) Sebenamya, tugas KPUD baru dimulai pada tahap pendaftaran pemilih, yaitu Ketika Data DP4 diserahkan ke KPU untuk diubah dan divalidasi PPS menjadi Data Pemilih sementara. Walaupun demikian, DP4 yang dihasilkan oleh BKKBC berdasarkan administrasi kependudukan telah mempengaruhi keputusan KPUD terutama tentang bagaimana cara mendaftar pemilih. Berdasarkan analisa penulis terhadap berbagai keterangan anggota KPUD Kota Yogayakarta tentang sikap pro aktif KPUD terhadap BKKBC dalam menyusun DP4 adalah sebuah upaya agar BKKBC sejak awal mengambil sikap ketika · ditemukan penduduk yang tidak faktual. Sikap yang diharapkan adalah dengan tidak memasukkan orang-orang tersebut dalam DP4, sehingga proses pemutakhiran data di KPUD Iebih mudah terutama pada saat melakukan updating data, karena KPUD sendiri merasa tidak memiliki kewenangan untuk menghilangkan penduduk yang tidak faktual tersebut. Ketika masalah ini dikonfirmasi pada BKKBC, petugas yang menangani masalah data pemilih pilkada menyatakan : Kami sudah mencermati data yang dikirimkan oleh Depdagri, dan sudah melakukan krosscek kelapangan. Hasil yang kami peroleh adalah jumlah seperti yang kami ekpose pada saat penyerahan soft copy data pemilih pilkada ke KPUD. Seperti yang juga kami sampaikan di depan DPRD bahwa dari jumlah pemilih tersebut terdapat sekitar 45.000 penduduk yang tidak faktual masuk dalam daftar P48 tersebut. Kami tidak berani mencoret atau menghilangkannya karena yang berangkutan belum secara resmi melakukan
117
pencabutan administrasi kependudukan. Terlebih lagi tidak ada peraturan yang bisa digunakan untuk melakukan hal tersebut. Maksud karni untuk: mengekspose persoalan ini adalah agar yang mengambil kebijakan adalah KPUD.( Dedi F, ... Mei 2008)
Temyata BKKBC tetap memasukkan orang-orang yang tidak faktual masuk dalam data pemilih dengan alasan bahwa tidak ada payung hukum bagi BKKBC untuk menghilangkannya. Situasi ini membuat KPUD meminta BKKBC supaya expose terhadap jumlah pemilih dan menyampaikan kondisi penduduk yang tidak
faktual tersebut. Sebenamya permintaan expose itu adalah di luar ketentuan peraturan, tetapi KPUD ingin menunjukkan pada publik bahwa data pemilih telah memiliki persolalan sejak dari DP4. Berikut pemyataan Muhajir tentang expose ini : KPUD Iampung saja sampai heran, kok KPUD Kota Yogyakarta bisa mem·inta pemerintah untuk expose. Sebenamya tujuan kita adalah agar masyarakat umum paham bahwa nanti akan ada sejumlah pemilih (45.000) yang tidak akan hadir pada saat pemungutan suara, tetapi bukan karena golput mumt, dan persoalannya bukan karena KPUD. (Rahmat Muhajir, 31 Juli 2008).
Berdasarkan keterangan di atas dapat disimpulkan, bahwa KPUD tidak bisa mendapatkan DP4 yang semuanya faktual, untuk itu KPUD meminta agar BKKBC melakukan expose data, dengan tujuan agar publik mengerti bahwa persoalan data pemilih sudah ada sejak dari penetapan DP4. Berkenaan dengan kondisi yang telah disampaikan oleh BKKBC yaitu terdapat 45.000 jiwa penduduk yang tidak faktual, seharusnya ada sikap yang harus diambil oleh KPUD untuk mencari solusi dari permasalahan ini. Dorongan untuk
118
mengambil sikap sebenamya sudah ada dari berbagai pihak, seperti yang disampaikan oleh Ray Rangkuti, Direktur EksekutifKomite Independen Pemantau Pemilu 13
:
........ Ketimbang menuai masalah karena terlalu tergantung pada data yang disampaikan oleh pemerintah, KPU provinsi, Kabupaten dan Kota disarankan berinisiatif memvalidasi dan memverifikasi ulang data pemilih yavg diterima dari dinas kependudukan. Dikhawatirkan kekisruhan dalam pilkada Juni akan terulang kemabali untuk pilkada lainnya. Akan muncul lagi penduduk yang punya hak pilih tetapi tidak ada dalam daftar. Demikian pula kemungkinan adanya mereka yang tak berhak memilih tetapi justru tercantum dalam daftar.
Pertanyaannya adalah mengapa KPUD tidak menggunakan data pilpres untuk mengetahui penduduk yang tidak faktual tetapi memilki KTP Kota, padahal jika cara itu ditempuh mungkin jumlah partisipasi pemilih pilkada tidak serendah itu?
5.1.4. Kebijakan Menggunakan Data Pemilih Pipres ll Melalui rapat koordinasi antara KPUD Kota Yogyakarta dan BKKBC, disepakati untuk menggunakan data Pilpres II yang berasal dari KPUD, data hasil P4B dari Depdagri dan data kependudukan dari BKKBC. Berdasarkan asumsi bahwa jika data hasi P4B dan data Kependudukan di cocokan dengan data pilpres II yang dimiliki oleh KPUD maka akan diperoleh data penduduk Kota Yogyakarta yang memiliki KTP. Sedangkan sisanya adalah data penduduk yang memiliki KTP tapi sudah tidak berada lagi di Kota Yogyakarta atau pertambahan penduduk baik diakibatkan oleh bertambahnya usia (pemilih pemula yang berusia 17 tahun atau
13
Kompas 11 Juli 2005, Keruwetan daftar Pemilih tidak terpecahkan.
119
sudah menikah) maupun penduduk yang masuk ke Kota Yogyakarta periode 20 Nopember 2005 sampi dengan 20 April 2006 KPUD Kota Yogyakarta menyikapi ketidakjelasan peraturan yang mengatur tentang pemilih melakukan diskusi dengan stakeholder berupa kajian
hu~um
tentang
pemilih. Para peserta yang dilibatkan adalah anggota DPRD, Partai Politik, utusan KPUD Provinsi dan Kabupaten se-DIY, LSM, dan Akademisi. Sampai pada kondisi dimana KPUD ingin menggabungkan data pemilih pilpres II dan data kependudukan untuk mendapatkan data pemilih yang akurat. Tetapi dalam sebuah rapat, muncullagi pertimbangan sebelum mengambil keputusan seharusnya berkonsultasi dulu dengan Depdagri dan selanjutnya hasil Depdagri ini sangat berpengaruh bagi kebijakan KPUD tentang pemilih.
· 5.1.5. Surat dari Depdagri sebagai Payung Hokum Baru Setelah melakukan kajian dan diskusi
yang panjang dengan stakeholder
akibat ketidakjelasan peraturan dalam menentukan pola pendaftaran pemilih dan kekhawatiran jika menggunakan pola penggabungan antara pilpres II dan data kependudukan maka KPUD memutuskan untuk berkonsultasi ke Depdagri. Berkaitan dengan pemyataan di atas, pertanyaannya adalah mengapa Depdagri? Menurut Alfin: Pelaksanaan pilkada berdasarkan UU no 32 Tahun 2004 dan PP no 06 Tahun 2005 berimplikasi terhadap peranan Depdagri terhadap KPUD. Pada pilkada Depdagri adalah bapak angkat bagi KPUD. Berdasarkan pengarahan dari Depdagri pada saat ditemui dalam pertemuan di Hotel Garuda, menyatakan bahwa yang disebut pemilih adalah penduduk yang memiliki KTP Kota Yogyakarta. Akibatnya adalah penduduk yang sudah sekian lama tidak berada
I :ZO
di Yogyakartapun pasti akan terdaftar dalam data pemilih.( Miftachul Alfin, 7 Juli 2007) Sejak disahkannya UU Nomor 32 Tahun 2004 dimana peraturan tentang pemerintah daerah menyatu dengan pilkada mengakibatkan posisi Depdagri sangat kuat. Dominannya posisi Depdagri dalam pelaksanaan Pilkada juga diakui oleh anggota KPUD Gunungkidul, Oktavianto 14 , menurutnya. : KPUD tidak dapat terlepas dari pengaruh Pemerintah melalui Departemen Dalam Negeri ( Depdagri) yaitu apabila mengalami kebuntuan dalam melaksanakan satu atau Iebih dari semua tahapan pilkada yang ada ataupun jika memerlukan dasar hukurn guna menafsirkan maksud dan tujuan dari Peraturan Pemerintah yang mengatur pilkada maka mau tidak mau harus berhubungan dengan Depdagri yang bisa saja basil tafsirannya mengandung kepentingan-kepentingan tertentu yang pada akhimya dapat menggangu independensi KPUD dan juga basil akhir pilkada. Belajar dari berbagai kasus di KPU Pusat yang terbelit masalah hukum dan kerusuhan pilkada di berbagai daerah, KPUD Kota Yogyakarta berusaha mencari payung hukum untuk setiap kebijakan yang diambil, salah satunya adalah dengan berkonsultasi dengan Depdagri. Dengan. Hal ini dilakukan supaya terselenggara pilkada lebih baik dan jauh dari komplain masyarakat.. Temyata konsultasi yang dimaksud adalah surat pertanyaan KPUD kepada Dirjen Adminduk Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia tertanggal 2 juli 2005 Nomor 270/193 perihal pemilih pilkada yang dijawab Dirjen Administrasi Kependudukan Depdagri dengan Surat No. 470/2071/MD.SES tanggal 26 Agustus 2005 tentang Penjelasan Pemilih Pilkada . Dalam surat tersebut diyatakan bahwa : 14
Oktavianto, Pilkada Langsung di Bukit seribu, KPU Kab. Gunung Kidul, Juli 2007, UU Pemilihan Bukan untuk Perkuat Pasisi Depdagri, Kompas 20 Juli 2006, Pilakada Putaran Kedua Diatur Permendagri, Kompas 11 Juli 2008, Depdagri Akan Perbaiki Aturan, Kompas, 5 Juli 2006
121
a). Pemilih pada kegiatan pilkada adalah penduduk Warga Negara Indonesia yang tercatat secara resmi bertempat tinggal tetap di daerah yang menyelenggarakan pilkada tersebut. Hal ini berbeda dengan pemilih pada kegiatan pemilu yaitu Warga Negara Indonesia yang memenuhi syarat untuk memberikan suara. Konsekwensi dari pemahaman ini adalah : a. I.
Pemegang KTP Kota Yogyakarta dapat dicatatkan sebagai caJon pemilih pada waktu kegiatan pendaftaran pemilih (voters registration), meskipun pemegang KTP Kota Yogyakarta tersebut sedang tidak berada di Kota Yogyakarta pada saat kegiatan pendaftaran pemilih.
a.2. Sebaliknya, pemegang KTP daerah otonom lainnya, tidak dapat dicatatkan sebagai caJon pemilih pada waktu kegiatan pendaftaran pemilih untuk kegiatan pilkada Kota Yogyakarta, meskipun yang bersangkutan sudah berada di Kota Yogyakarta lebih dari 6 bulan sebelum ditetapkannya DPS. Mengenai ketentuan pasal 16 huruf c pada Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 yang menyebutkan adanya surat keterangan kependudukan lainnya selain KTP, menurut Dirjen Adinistrasi Kependudukan adalah untuk daerah yang mengalami pemekaran, karena belum mendapatkan KTP baru, adanya perda bagi sebagian daerah yang menggunakan KTP sementara, dan pengungsi akibat bencana alam/sosial yang tidak memiliki identitas apapun. Sebelumnya, pasal 16 huruf c pada Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2005 khususnya tentang keterangan penduduk lainnya, telah melahirkan kekhawatiran bagi KPUD karena banyaknya pendatang terutama mahasiswa yang memiliki kartu
122
penduduk
sementara
akan
(KIPEM)
tennasuk
dalam
pengertian
tersebut.
Kekhawatiran tersebut tergambar pada berita Radar Yogyakarta 15 Kepala BKKBC, Ir Widiastarjo memberi masukan menarik. Ia mengingatkan agar mewaspadai banyaknya KTP dobel dan KTP mati yang mungkin akan dimanfaatkan dalam pilkadal mendatang....... Selanjutnya, _ Nasrullah mengungkapkan diperbolehkannya penggunaan Kipem untuk memberikan suara. Padahal kita tahu Jogja adalah Kota Urban dan transit, dimana akan banyak sekali Kipem. Berdasarkan ketentuan yang disampaikan oleh Depdagri maka disimpulkan bahwa Kota Yogyakarta tidak mengalami berbagai kondisi diatas, sehingga menurut Dirjen Adminduk 16 bahwa: a. Seorang, pemegang KTP Kota Yogyakarta yang masih berlaku, tetap memiliki hak pilih pada Pilkada Kota Yogyakarta. b. Sebaliknya jika seseorang warga bertempat tinggal di Kota Yogyakarta lebih dari 6 bulan namun tidak memiliki KTP Kota Yogyakarta, maka yang bersangkutan tidak dapat dicatatkan dalam daftar calon pemilih. c. Bagi seseorang penduduk yang pindah dari daerah lain dan masuk mendaftarkan sebagai penduduk Kota Yogyakarta kurang dari 6 bulan sebelum penetapan DPS, maka yang bersangkutan tidak dapat dicatatkan dalam daftar pemilih, meskipun yang bersangkutan kemudian mendapat KTP Kota Yogyakarta. Berdasarkan diskusi dan konsultasi tersebut maka KPUD memaknai ketentuan pemilih sebagai berikut
17 :
a. Pemilih Pilkada secara yuridis dan administrasi harus tercatat sebagai penduduk Kota Yogyakarta; b. Yang bisa dicatat sebagai pemilih adalah penduduk Kota Yogyakarta yang tercatat pertama kali dalam registrasi kependudukan sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan sebelum pengesahan DPS.
Radar Jogja, 31 maret 2005, Waspadai KTP Dobel \ihat surat dirjen adminduk 17 \ihat laporan pilkada; hal 52
15
16
Berdasarkan kesimpulan tersebut, KPUD mengarahkan kebijakannya untuk menggunakan data pemilih berupa DP4 dari BKKBC yang berbasis pada administrasi kependudukan. Hal ini seperti yang disampaikan dalam laporan pilkada sebagai berikut
18 :
Dengan memperhatikan kenyataan di atas, maka KPUD menerapkan aspek de jure pada proses pendataan dan updating data pemilih untuk kepentingan pilkada Kota Yogyakarta tahun 2006. Penerapan ini juga dikarenakan oleh administrasi kependudukan Kota Yogyakarta yang relatif baik dan sudah menggunakan sistem komputerisasi, yaitu SIMDUK. Ketika penulis menanyakan, apakah KPUD menyampaikan kepada Depdagri tentang kondisi khas Kota Yogyakarta, dimana mobilitas perpindahan penduduk cukup besar terutama sebagai akibat salah satu tujuan pendidikan . Berikut jawaban Alfin: Saya lupa, apakah waktu itu masalah itu kami utarakan atau tidak.Mungkin di dalam surat sudah kami nyatakan ( yang dimaksud surat yang ditujukan kepada Depdagri). Tapi saya tidak pasti. Yang jelas saya melihat ada ketidaksingkronan antara defenisi pemilih dalam peraturan dengan arti pemilih yang sebenamya. Menurut saya yang disebut pemilih itu adalah mereka yang langsung kena impak dari kebijakan kepala daerah yang dipilih, tetapi dalam peraturan yang masuk kategori pemilih juga tennasuk mereka yang sudah bertahun-tahun meninggalkan Kota Yogyakarta. Ketika penulis memeriksa surat yang ditujukan KPUD ke Depdagri perihal pemilih, memang tidak ada satu kalimat pun yang mencoba menerangkan tentang kondisi khas Kota Yogyakarta yang memiliki persoalan jika data pemilih dibuat berdasarkan data kependudukan. KPUD mungkin belum menyadari konsekuensinya atau lebih mengutamakan terdaftamya masyarakat lebih banyak dalam daftar pemilih. 18
Japoran pilkada:hal 52
124
KPUD lebih kha\-vatir jika mereka dipermasalahkan jika ada pemilih yang tidak terdaftar daripada jumlah pemilih yang terdaftar lebih besar. Hal ini dapat dilihat dari petikan wawancara dengan salah satu anggota KPUD ketika penulis menanyakan apakah KPUD tidak menyadari atas konsekwensi penetapan data pemilih secara de jure? ...... .......... kami sudah mengetahuinya, berdasarkan laporan dari BKKBC bahwa akan banyak penduduk yang tidak faktual akan terdaftar dalam data pemilih, tetapi kami juga tidak mungkin menghilangkan nama-nama orangorang tersebut. Jika temyata orang-orang tersebut bisa datang pada saat pemungutan suara, tetapi mereka tidak terdaftar baik dalam DPS maupun DPT, maka posisi KPUD akan sulit, karena akan rentan terhadap gugatan. Salah satu pasal dalam penyelenggaraan pemilu menyebutkan bahwa apabila ada usaha dengan sengaja menghilangan hak suara pemilih akan dituntut hukuman maksimal 1 tahun, tapi jika penyelenggara yang melakukan, maka hukumannya maksimal 3 tahun.(Nasrullah, 01 Juni 2008) Berdasarkan penjelasan diatas, penulis mengambil kesimpulan bahwa KPUD khawatir mengambil tindakan yang tidak ada dasar hukumnya. Di sisi lain, berdasarkan hasil sosialisasi KPUD ke beberapa partai politik menjelang persiapan pilkada, diketahui bahwa parpol-parpol tersebut lebih peduli jika ada kader mereka tidak terdaftar dalam data pemilih daripada mempersoalkan orang-orang yang tidak faktual berada di Kota Yogyakarta tetapi mereka terdaftar. Seperti yang diungkapkan oleh Ketua Devisi Hukum dan Hubungan Antar Lembaga KPUD Kota Yogyakarta : Buat kita yang terpenting adalah membuka akses seluas-luasnya bagi masyarakat untuk terdaftar dalam pemilih. Berdasarkan koordiasi dengan stakeholder, mereka tidak mempermasalahkan banyaknya jumlah pemilih diakibatkan konsekwensi dari implementasi peraturan tersebut, yang terpenting buat kita adalah bagaimana penyelematan kartu pemilih yang
125
kembali karena tidak ditemuinya si pemilik. Penyelematan itu ditujukan untuk mencegah penggunaannya oleh orang-orang yang tidak berhak. (Nasrullah 1 Juni 2008) Hal yang sama diungkapkan oleh Widodo ( PPK Jetis ) yang menyatakan bahwa: pada saat pengumuman DPT, ada beberapa partai politik, terutama ada tim sukses dari PKS yang mempertanyakan, kok orang yang sudah tidak ada masuk dalam daftar pemilih? Setelah kita jelaskan, mereka tidak mempermasalahkannya lagi, yang penting bagi mereka kartu pemilih yang tidak tersampaikan itu diamankan, sehingga tidak digunakan pihak lain untuk kepentingan mobilisasi massa.
5.1 6. Peraturan KPUD Kota Yogyakarta No. 05 Tahun 2006 Peraturan KPUD Kota Yogyakarta No. 05 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pendaftaran Pemilih dalam Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Yogyakarta yang disyahkan pada 21 April 2006 dimana pada pasal-pasalnya lebih pada pengakuan seseorang dapat disebut pemilih jika terdaftar dalam administrasi kependudukan dengan dibuktikan KTP. Adapun isi peraturan antara lain: Pasal 2 menyatakan : Warga Negara Republik Indonesia yang pada hari pemungutan suara Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Yogyakarta sudah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau sudah/pemah kawin mempunyai hak memilih. Pasal 3 menyatakan : Warga Negara Republik Indonesia pada ayat (1) harus memenuhi syarat: a. nyata-nyata tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya; b. tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; c. bukan sebagai anggota aktif tentara Nasional Indonesia atau kepolisian Negara Republik Indonesia; dan
126
d. berdomisili di daerah pemilihan sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan sebelum disahkannya daftar pemilih sementara yang dibuktikan denagn Kartu Tanda Penduduk. Pasal: 5 (I) Seorang pemilih hanya didaftar 1 (satu) kali dalam Daftar Pemilih di Daerah Pemilihan. (2) Pemilih yang mempunyai lebih dari 1 (satu) tempat tinggal, pemilih tersebut harus menentukan satu alamat sesuai dengan alamat yang tertera dalam tanda identitas kependudukan (KTP) untuk ditetapkan sebagai tempat tinggal atau domisili yang dicantumkan dalam Daftar Pemilih.
Jika memperhatikan peraturan yang ditetapkan oleh KPUD, maka KPUD akan menggunakan data kependudukan dari BKKBC yang sudah diserahkan dalam bentuk DP4. Sebelumnya, BKKBC telah menyatakan kemungkinan banyaknya pemilih yang tidak faktual, salah satu penyebabnya adalah tidak dicabutnya administarasi kependudukan pada saat pindah dari Kota Yogyakarta. Sebenamya petugas lapangan yaitu PPS dapat mengidentifikasi berapa jumlah pemilih yang tidak lagi berada di Kota Yogyakarta, tetapi karena para petugas ini tidak memiliki kewenangan untuk menghilangkannya. Hanya saja mereka disuruh memberi tanda jika tidak menemukan orang yang terdaftar dalam DPS maupun OPT. Walaupun dalam Peraturan KPU Nomor 6 Tahun 2005 pasal 21 tentang usul perbaikan mengenai penulisan nama dan/atau identitas lainnya dapat dilakukan tennasuk alasan pemilih yang sudah tidak berdomisi di desa/kelurahan.
Meskipun
demikan, akibat pengertian domisili adalah merujuk pada surat jawaban Diijen Adminduk, maka sepanjang pemilih tetap terdaftar dalam administarsi kependudukan tetap saja menjadi pemilih.
BABVI
IMPLIKASI PENERAPAN PENDAFTARAN PEMILIH DE JURE DALAM PILKADA KOTA YOGYAKARTA
Bab ini akan membahas tentang pergeseran mekanisme pendaftaran pemilu 1971 sampai dengan pemilu tahun 2004 yang menggunakan data BPS yang kemudian disebut P4B. Selanjutnya pembahasan diteruskan bagaimana Peraturan KPUD tentang pemilih yang tertuang dalam Peraturan No 05 Tahun 2006 diterapkan di lapangan oleh PPK dan PPS. Akibat penerapan tersebut juga berimplikasi pada; Pertama, jumlah pemilih yang masuk dalam Data Pemilih Sementara (DPS) maupun Data Pemilih Tetap (DPT) dan tetap lebih banyak dari asumsi sebelumnya, akibatnya anggaran pilkada jadi lebih besar. Kedua, jumlah pemilih yang tidak hadir lebih banyak dibandingkan 3 kali pemilu pada tahun 2004, bahkan paling rendah diantara semua Pilkada kabupaten se-DIY.
6.1. Penerapan Peraturan KPUD Nomor 5 Tahun 2006 Penerapan dari ketentuan ini menyebabkan proses pemutakhiran data yang dilakukan KPUD tidak maksimal. Padahal ketentuan peraturan pilkada menyatakan bahwa salah satu tugas KPUD adalah menyiapkan data pemilih yang akan dijadikan dasar dalam perhitungan biaya dan kebutuhan pilkada. Berdasarkan tahapan pilkada, proses pelaksanakan pendaftaran pemilih yang merupakan tugas KPUD dimulai pada saat KPUD menerima data DP4 dari
127
128
Pemerintah Kota Yogyakarta (BKKBC). Selanjutnya data tersebut diolah menjadi DPS. Sebelum proses penetapan DPS, PPS memiliki waktu untuk melakukan pencocokan dan penelitian (coklit) dilapangan dan seterusnya ( lihat tabel Program dan Kegiatan Pendataan dan Pendaftaran Pemilih Pilkada Kota Yogyakarta. ). Berdasarkan tahapan tersebut, sebenamya KPUD yang dibantu oleh PPS memiliki kesempatan memvalidasi data pemilih, sehingga tidak perlu ada sejumlah pemilih yang sudah tidak berada di Kota Yogyakarta masuk dalam data pemilih tetap (DPT). Bukankah tujuan coklit untuk memverifikasi apakah data yang telah diberikan oleh BKKBC (DP4) sesuai dengan kondisi Iapangan.? Berdasarkan urutan waktu, proses coklit sudah dilakukan berkali-kali. Mulai dari tingkat KPUD sampai ke tingkat PPS yang dibantu oleh RT dan RW. Pertanyaannya, mengapa sejumlah pemilih yang sudah tidak berada di kota Yogyakarta tetap saja terdaftar dalam DPT dan kartu pemilihnya tetap dicetak. Berikut persoalan validasi data mulai dari pengolahan DP4 sampai penetapan DPT.
6.1.1. Pengolahan DP4 menjadi DPS Pada tanggal 21 April KPUD telah menerima soft copy DP4 dari BKKBC. Sesuai jadwal pentahapan, KPUD sudah hams menyiapkan sistem pengolahan DP4 menjadi DPS. Waktu yang disediakan adalah 21 April 06 sampai dengan 15 Mei 2006. Sadar akan keterbatasan SDM yang ada di sekretariat KPUD dan waktu yang relatif singkat, maka KPUD mengambil kebijakan untuk melakukan entry data
129
dengan melibatkan tenaga honorer yang terampil dalam hal meng-update data. Disamping itu, beberapa tenaga sekretariat juga diberi tugas untuk menjadi operator. Ada lima (5) orang tenaga honorer yang dipekeijakan yaitu anggota PPS yang lolos seleksi kualifikasi. Pertimbangan menggunakan tenaga anggota PPS adalah karena pengetahuan dan pengalaman mereka dalam masalah pemilih. Pada saat proses penyiapan sistem pengolahan DP4 menjadi DPS, operator pendaftaran pemilih sudah menemukan beberapa persoalan. Berikut pemyataannya
Saat itu saya sudah diperintahkan oleh KPUD untuk menandai nama-nama penduduk yang tidak faktual tadi, saya tanya apakah mau dihilangkan? Katanya biar ditandai saja dulu jumlah lebih dari empat puluh lima ribu. Juga ada namanya. Nama-nama itu didapat dari BKKBC.( lwan, 15 Juni 2008) Selain persolan penduduk yang tidak faktual karena sudah diverifikasi oleh BKKBC, ada persoalan lain yang ditemui pada saat menyusun DPS. Beberapa persoalan yang ditemui adalah seperti yang diungkapkan oleh operator pendaftaran pemilih dan staf sekretariat KPUD. Berikut pemyataannya : Pada saat melakukan sistem untuk mencek pemilih ganda, kami menemukan beberapa nama yang terdaftar dua kali di daerah yang berbeda tetapi masih di Kota Yogyakarta. Bahkan ada beberapa nama orang penting yang saya temukan terdata lebih dari satu kali. Tetapi persoalan ini bisa diatasi dengan menghilangkan salah satunya atau meminta yang bersangkutan untuk memilih salah satu. ( Iwan 15 Juni 2008) Pertanyaannya, apa penyebab terdatanya seseorang lebih dari dua kali ? Operator tersebut mengatakan bahwa :
130
Penyebabnya bisa karena memang disengaja atau tidak. Disebut sengaja karena mungkin syarat untuk pembelian tanah atau asset lainnya yang mengharuskan si pembeli memiliki KTP setempat, sehingga seseorang memiliki KTP ganda. Demikian juga dalam pembuatan SIM dan pemindahan kepemilikan kendaraan bermotor. Yang tidak disengaja contohnya pada saat perpanjangan KTP, nama yang bersangkutan disingkat atau tidak menggunakan gelar, maka pada saat entry data akan muncul nomor induk baru, padahal sebenamya sudah ada nomor induk y1mg lama, tetapi karena nama yang diketik tidak sama dengan yang terdahulu.( Iwan; 28 Juni 2008) Keterangan lain disampaikan oleh operator entry data: Beberapa PPS pemah menceritakan bahwa, ada kartu pemilih hanya mencantumkan alamat kelurahan, tidak ada keterangan lain misal namajalan, RT/RW. Sehingga petugas KPPS kesulitan menyampaikan kartu pemilih. Pemah juga ada yang mencantumkan kelurahan serta RT dan RW nya. Tapi RT maupun RW merasa tidak pemah punya warga seperti yang disebutkan tadi. Setelah dikonfirmasi ke kelurahan, kelurahan juga tidak tabu menahu. Temyata ada proses pembuatan KTP hanya di tingkat kecamatan saja tanpa melibatkan kelurahan maupun RT/RW.( Iwan 28 Juni 2008).
6.1.2. Penyusunan dan Penetapan Daftar Pemilih Sementara (DPS) Berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 pasal 17, bahwa pemilih yang sudah terdaftar dalam DP4 diberi tanda bukti pendaftaran. Untuk memenuhi ketentuan tersebut, KPUD mencetak Surat Tanda Bukti Terdaftar Pemilih (STBTP) bagi setiap pemilih. Untuk menyampaikan SPBTP, PPS menyampaikannya lewat RT atau RW. Untuk memudahkan penyampaian STBTP, DPS disusun dan dicetak berbasis RT.
Cara penyampaian STBPT melalui RT
kepada pemilih dimungkinkan semua pemilih mengetahui bahwa dirinya terdaftar dalarn data pemilih.
131
Berdasarkan kebijakan yang diambil KPUD dengan melibatkan RT/RW dalam hal pengumuman DPS dan penyampaian STBTP, KPUD dapat menjaring pemilih sebanyak-banyaknya. Kemungkinan pemilih yang berhak, tetapi tidak terdaftar dalam DPT akan kecil. Akan tetapi tidak ada himbauan bagi penduduk untuk melaporkan pemilih yang sudah tidak berada di wilayah pengumuman tetapi tetap masuk dalam daftar pemilih. Seandainya ini bagian dari proses yang hams divalidasi maka jumlah pemilih pilkada tidak akan sebanyak yang ditetapkan oleh OPT. Walaupun demikian ada juga pertanyaan dari masyarakat atau parpol yang menanyakan tentang mengapa orang-orang yang sudah tidak bertempat tinggal tetap ada dalam data. Berikut pemyataan anggota PPS Cokrodiningratan. Ada partai politik yang bertanya, kok orang-orang ini masuk dalam daftar orang yang berhak memilih, padahal sudah tidak ada di sini lagi, janganjangan nanti digunakan untuk penggelembungan suara. Tetapi karena kami menjelaskan bahwa peraturanlah yang mengakibatkan nama itu tetap ada. Dan kartu pemilih yang tidak ada pemiliknya tidak akan diberikan pada orang lain, akan tetap diamankan oleh PPS. (Eko, PPS Cokrodiningratan) Berdasarkan keterangan diatas, ada persolan perbedaan kepentingan ketika seseorang terdaftar dalam data administrasi kependudukan dan seseorang menjadi pemilih. Beberapa variable penting yang menjadi syarat sesorang menjadi pemilih terabaikan kalau hanya semata-mata mengadopsi data penduduk, seperti yang diungkapkan Ketua KPUD: Ada beberapa variable penting yang harus diperhatikan dalam penyusunan data pemilih, tetapi hal tersebut tidak akan terekam dengan baik jika hanya semata-mata mengandalkan KTP sebagai sumbemya. Variabel penting itu meliputi penulisan nama, alamat, dan umur. Variabel ini sangat berpengaruh pada saat proses pembuatan kartu pemilih dan penyampaian kartu pemilih.(l5 Juli 2008)
132
Berdasarkan beberapa penjelasan di atas, dapat menjawab pertanyaan mengapa selama ini muncul pemberitaan media massa tentang kacaunya data pemilih di berbagai pilkada di Indonesia. Kekacauan data sudah dimulai pada penyusunan data DP4 yang hanya menggunakan basis data kependudukan mengakibatkan ditemukan banyak pemilih ganda, alamat yang tidak jelas, atau orang meninggal terdaftar dalam data pemilih. (biasanya orang tidak melaporkan keluarga yang telah meninggal ke kelurahan). Akan tetapi, persoalan pemilih ganda dan meninggal yang diketahui ketika proses penyusunan DPS dan Penetapan DPS bisa diselesaikan, kecuali penduduk yang pindah tapi tidak mencabut administrasi kependudukannya. Pada saat penyusunan DPS, PPS dibantu oleh R T dan R W mendata penduduk, sehingga DPS yang dihasilkan bisa akurat. Berikut persolan yang ditemui oleh PPS di lapangan baik yang dikonfirmasikan PPS maupun PPK. Hampir 30 % pemilih golput di kecamatan Danurejan karena pemilihnya sudah berada ditempat lain, tetapi masih memiliki KTP Kec. Danurejan. Hal ini disebabkan antara lain karena keberadaan mahasiswa, ketika sudah lulus terns pulang ke daerah asal tapi tidak memperbaharui kependudukannnya. Akibatnya orang-orang tersebut secara administrative masih tercatat di Danurejan. ·Selain itu Penduduk lokal/ asli, yang sudah tinggal di luar Danurejan, tetapi enggan mencabut, masih mempertahankan KTPnya, masih ada keluarga inti ada kerabatnya, Paklik atau Pakde, untuk tempat perpanjangan KTP, Orang ini tidak ditemukan, sehingga kartu pemilihnya ditahan oleh PPS. (Aris PPK Danurejan) Berdasarkan keterangan diatas, di Kecamatan Danurejan persoalan terdapat sejumlah pemilih yang terdaftar dalam data pemilih tetap (DPT) tetapi tidak ditemukan pada saat penyampaian kartu pemilih dan undangan pencoblosan
] -'-' ""
diakibatkan : pertama, akibat sejumlah mahasiswa yang tinggal di kota Yogyakarta tidak mencabut administrasi kependudukannnya ketika sudah pulang ke daerah asalnya. Kedua, sejumlah penduduk yang memiliki KTP Kota Yogyakarta, tetapi bekerja atau sudah bertempat tinggal di daerah lain tetapi masih memiliki-keluarga di Kecamatan Danurejan. Petugas di lapangan sebenamya mempunyai kesempatan memperbaiki DP4 dari BKKBC sebelum ditetapkan jadi DPS atau menjadi DPT. Pelibatan RT dalam proses perbaikan data pemilih sebenamya sudah tepat karena pihak RT dianggap paling tahu siapa yang menjadi warganya. Akan tetapi karena persoalan peraturan dari KPUD bahwa pemilih yang tidak ditemukan (tidak faktual) tidak bisa dihilangkan sepanjang masih tercatat sebagai penduduk. Berikut pemyataan Marsono Hadi, anggota PPK Pakualaman, ketika penulis menanyakan mengapa orang-orang ini tidak dihilangkan saja pada saat melakukan pencocokan dan penelitian ? Tidak bisa proaktif menghilangkan, karena peraturan. Setiap saya sosialisasi, masyarakat selalu minta itu dihilangkan, meng ora ono payung hukumnya. Walaupun ada yang melapor orangnya enggak ada, sampai kapanpun tidak bisa dihilangkan.Yang penting kartunya diamankan. BLT juga punya masalah yang sama, orangnya enggak ada. Malah orang yang butuh, bertempat tinggal, bersosialisasi di daerah itu enggak dapat, karena tidak terdaftar. Pokoknya masyarakat bangga punya KTP jogja, tetapi tidak mau meggunakan haknya. Sebagian sudah bertahun - tahun bahkan ada II tahun sudah tidak tinggal di Jogja, tetap punya KTP Jogja. Anak saya pulang 2 tahun sekali, saya suruh pindah, tetap enggak mau pindah. Ya akhimya tercatat sebagai pemilih, walaupun tidak datang pada saat pemungutan suara. (Marsono Hadi, PPK Pakualaman)
134
Waktu penulis menanyakan apakah hal ini disampaikan kepada KPUD dan apa tanggapan KPUD mengenai persoalan ini, berikut jawabannya : Waktu melakukan coklit, kondisi ini disampaikan ke KPU, harusnya ada kriteria apakah pemilih itu berdasarkan domisili dan bertempat tinggal, tetapi dengan domisili maka mereka yang sudah tidak bertempat tinggal tetap saja masuk dalam daftar. Walaupun nanti pada saat pemungutan suara mereka mungkin tidak dapat hadir. (Aris PPK Danurejan) Pertanyaannya, apakah perlu wewenang diberikan pada PPS waktu proses validasi data agar mereka bisa mencoret data pemilih yang tidak ditemukan orangnya? Karena ketentuan sesuai dengan peraturan, sumber dari peraturan adalah pemerintah, maka penyelenggara hanya pemakai, kita tidak berani menghilangkan. Seharusnya pemerintah yang harus memberi wewenang.Walaupun itu untuk kepentingan pemilu. (Aris PPK Danurejan) Apa yang disampaikan oleh PPK Danurejan, juga hampir sama dengan yang diakui oleh PPK Pakualaman. Kita tidak bisa mencoret, kecuali meninggal. Sesungguhnya yang penting adalah kartunya diamankan. Kadang-kadang masalah ini bisa dipakai oleh kelompok2 tertentu untuk menyudutkan penyelenggara. Saya tetap pada peraturan KPU, itu pegangan kita. (Marsono Hadi, PPK Pakualaman) Berdasarkan beberapa wawancara dengan para pelaku di lapangan, persolan terbesar yaitu banyaknya pemilih yang terdaftar dalam DPS tidak dapat dihilangkan pada penyusunan DPS, bahkan kemudian nama-nama itu ditetapkan dalam DPT. Seperti yang disampaikan oleh Aan Kumiasih; Berapa ratus kalipun coklit atau validasi pemilih dilakukan maka tetap saja datanya tidak akan berkurang secara signifikan. Karena KPUD mengacu pada data catatan sipil, sebab ketentuan perundangan mengharuskan.(Aan K, Kompas 23 Des 2006)
135
Hal senada d.isampaikan oleh operator data pemilih sekretariat KPUD, bahwa: Proses coklit dan pemutakhiran data sepertinya mubazir, karena persoalan terbesar tidak tersentuh, yaitu banyaknya penduduk yang tidak faktual tapi tidak bisa dihilangkan. (lwan, 26 juni 2008) Pendapat serupa juga disampaikan oleh Eko, PPS Cokrodiningratah : Kami hanya bisa memperbaiki data karena ada pemilih ganda, meninggal dunia. Dan satu kelurahan paling hanya sekitar 10 orang. Tetapi pemilih yang tidak ditemukan pada saat proses pendataan tidak bisa dihilangkan, padahal jumlahnya banyak sekali, mungkin ribuan. Terutama karena mahasiswa dan orang-orang yangtinggal di bantaran sungai, pada saat pencobosan mereka sudah enggak ada. (Eko, PPS Cokrod.iningratan)
Jika keadaannya seperti yang digambarkan diatas, maka jumlah DPS tidak mengalami perubahan yang signifikan. Jumlah DPS yang disahkan oleh KPUD adalah 359.150 pemilih, dibandingkan dengan DP4 yang dikeluarkan BKKBC sebanyak 360.836, maka data pemilih yang berhasil dikurangi setelah coklit adalah 1686 jiwa. Hasil tersebut merupakan pengurangan akibat pemilih meninggal sebanyak 753 dan pemilih tercatat ganda sebanyak 933.
6.1.3. Penundaan Pilkada Akibat Gempa dan Implikasinya terhadap Daftar Pemilih Sementara (DPS) Sesuai dengan tahapan pendaftaran pemilih, masa pengumuman DPS adalah tanggal 21 sampai dengan 23 Mei 2006, dan pencataatan pemilih tambahan atau baru adalah tanggal 24 sampai dengan tanggal 26 Mei 2006. Pada tanggal 27 Mei 2006 diharapkan PPS sudah mendapat laporan dari R T melalui R W di wilayahnya
136
masing-masing terkait dengan penyampatan SPBTP. Akan tetapi KPUD Kota Yogyakarta hanya bisa berhitung pada aspek teknis, temyata persolan non teknis terjadi, yaitu gempa bumi berkekuatan 5,9 skala richter mengguncang DIY dan Jawa Tengah. Sebagai akibatnya, selain Kabupaten Bantul sebagai daerah yang mengalami kerusakan paling parah, Kota Yogyakarta juga mengalami kerusakan terparah ke dua. Wilayah yang mengalami kerusakan terberat adalah Yogyakarta bagian Selatan seperti Kecamatan Umbulharjo dan di Utara yaitu Kecamatan Gondokusuman. Kecamatan lain juga mengalami kerusakan yang cukup berarti, dan terdapat korbanjiwa yangjumlahnya ratusan. Menyikapi
kondisi
seperti
yang
telah
disebutkan
diatas,
KPUD
menghentikan kegiatan persiapan pilkada selama satu minggu untuk kemudian mengundang seluruh ketua PPK untuk menyampaikan kondisi kesiapan pelaksana di bawah dan daftar pemilih yang sedang dalam proses pendataan pasca bencana. Berdasarkan data yang penulis peroleh dari laporan KPUD Kota Yogyakarta, bahwa laporan para ketua PPK menyatakan: a. ada sebagian panitia atau sekretariat terkena musibah dalam kondisi berat dan sedang; b. personil panitia banyak yang terlibat dengan tugas kemanusiaan menangani pasca bencana; c. seluruh staf sekretariat PPK dan PPS, RT dan RW semua focus pada penanganan pasca bencana; d. banyak dokumen STBTP yang rusak dan laporan RT/RW belum masuk ke PPS. Sebagai akibat banyaknya wacana yang muncul di masyarakat baik melalui media ataupun permintaan langsung ke KPUD agar pilkada ditunda, akhimya KPUD
137
memutuskan penundaan pilkada dari rencana awal tanggal 16 Juli 2006 menjadi 13 Agustus 2006 yang dituangkan dalam Keputusan KPUD Nomor 27/K.EP/2006 tanggal 7 Juni 2006. Untuk mendapatkan "payung hukum", KPUD meminta penguatan dari Menteri Dalam Negeri. Melalui Surat Mendagri yang ditand3.tangani oleh Dirjen Otonomi daerah, Kausar AS, menyatakan bahwa 1 ~ berkenaan perubahan jadwal pilkada yang ditetapkan oleh KPUD tidak perlu diajukan kepada Menteri dalam Negeri, tetapi cukup diberitahukan oleh KPUD kepada DPRD, partai politik di daerah dan pasangan caJon serta masyarakat. Berdasarkan surat dari Depdagri, sebenamya keputusan penundaan diserahkan kepada KPUD dengan memberikan pemberitahuan pada stake holder. Padahal jika dilihat dari pemberitaan media saat itu, terdapat pertentangan wacana tentang pelaksanaan pilkada. Tidak hanya kalangan akademisi yang pro dan kontra tetapi juga dua kubu pasangan yang akan berkompetisi dalam pilkada. Berikut pemyataan Purohatu ketua Koalesi Merah Putih (KMP) yang merupakan koalesi PDIP, PPP dan PKS yang mengusung pasangan Nurcahyo dan 2 Syukri Fadholi menangapi penundaan pilkada hanya selama 4 (empat) minggu ~
KMP memandang bahwa saat terjadi gempa bumi dahsyat yang melanda Yogyakarta itu masyarakat sangat menderita sehingga masyarakat membutuhkan penanganan bencana lebih dulu. Sehingga tidak layak apabila pesta demokrasi itu berada di atas penderitaan masyarakat pemilihnya. Padahal kita ini sedang mencari pemimpin yang layak ..... , ketika itu KPUD tidak mennggapi secara serius. KMP berpandangan KPU berpihak terhadap rival KMP, Sudah jelas masyarakat terkena bencana demikian dahsyat namun jadwal itu dipaksakan tidak berubah. 1 2
Surat Dirjen Otonomi Daerah, 100/670/0TDA , tanggal 20 Juni 2006 Purohatu, KPU telah Berpolitik dan Berpihak;dari Gempa Bumi ke Gempa Politik;2007;76
138
Pertanyaannya, apa dasar KPUD untuk melakukan penundaan dan menetapkan tanggal 13 Agustus 2006?.Pertimbangan KPUD memilih tanggal 13 Agustus 2006 sebagaimana yang disampaikan dalam buku Dari Gempa Bumi ke Gempa Politik adalah : a. Aspek Yuridis, terpenuhinya ketentuan pasal 86 ayat (1) UU no 32 tahun 2004 jo.Pasal 70 aayat (I) PP No 6 Tahun 2005 " Pemungutan suara ..... dilaksanakan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum berakhimya masa jabatan Kepala Daerah. "(berakhir 17 September 2006; serta Pasal 66 huruf d UU no.32 tahun 2004 jo. Pasal 5 huruf d PP No.6 Tahun 2005 " tugas KPUD menentapkan hari dan tanggal pemungutan suara". b. Aspek Teknis, kesiapan penyelenggara dalam pelaksanaan pilkada dapat dipenuhi terutama dalam hal pendaftaran pemilih, pengadaan logistik, dan penambahan waktu selama 4 minggu bagi pasangan calon untuk memenuhi syarat administrasi pencalonan dalam tahapan perbaikan; c. Aspek pembiayaan, apabila ditunda terlalu lama akan menimbulkan pembengkakan pembiayaan pilkada yang semestinya lebih baik diperuntukkan dalam proses recovery pasca gempa; d. Percepatan Recovery, semakin cepat memilih kepala daerah yang defenitif, semakin cepat pula upaya proses recovery pasca gempa. Konsekuensi dari penundaan ini, adalah KPUD menetapkan perubahan tahapan pilkada, termasuk tahapan pendaftaran pemilihan. Akan tetapi, pada tahapan pendaftaran pemilih tidak mulai dari awal tetapi dilanjutkan dengan tahapan berikutnya sehingga penetapan DPS tidak diulang lagi. Sebagai akibat dari penundaan, berarti ada tambahan pemihh akibat mencapai usia 17 tahun pada saat pemungutan suara (13 Agustus 2006), meninggal dunia atau pindah dengan melaporkan diri maka laporan dari BKKBC terjadi penambahan 503 jiwa sedangkan berdasarkan laporan PPS sebanyak 456 jiwa.
139
6.1.4. Penundaan Pilkada Akibat Hanya Satu Pasangan CaJon Yang Memenuhi Syarat Dan Impilikasinya Terhadap Penyusunan Daftar Pemilih Penetapan DPS Setelah penundaan akibat gempa, tahapan daftar pemilih seharusnya bisa dilanjutkano Akan tetapi ternyata masih ada lagi penundaan berikutnya, seperti yang telah disampaikan bahwa penundaan yang hanya empat minggu dari jadwal yang semula ditetapkan yaitu 16 Juli 2006 menjadi 13 Agustus 2006 telah menimbulkan reaksi keras terutama dari kubu pasangan caJon Nurcahyo dan Syukri Fadholio Reaksi yang diberikan adalah tidak melengkapi syarat pendaftaran calon walikota dan wakil pada saat yang ditentukano Hal ini dapat dilihat dari pernyataan Purohatu KetuaKMP 3 : Ketika KMP bersikeras harus ada penundaan dan tidak ada respon dari KPU 0000OMasalahnya bukan karena KMP tidak siap bertarung, tetapi kami sangat memperhatikan masyarakat yang harus tercover dulu penderitaannyaooo Oleh karena itu setelah melakukan pengkajian yang melibatkan pakar dan orang - orang yang paham tentang aturan pilkada, maka KMP menemukan bahwa salah satu caranya adalah menunda pengembalian berkas- berkas walaupun sebenamya kami sudah siapo Hanya dengan itulah yang bisa memaksa adanya penjadwalan ulang, karena kami sudah tahu bahwa calon yang akan maju hanya dua pasangan, sehingga kalau salah satu pasangan tidak mengembalikan berkas pasti akan terjadi penundaano Kunci itulah yang kemudian dipergunakan KMPO 0
Akhimya, melalui proses yang cukup rumit dan melelahkan akhimya KPUD menunda pelaksanaan pilkada untuk ke dua kalinya yaitu dari tanggal 13 Agustus
2006 menjadi 26 Nopember 20060 Penundaan ini mendapat pengesahan dari
3
2007;77
140
Mendagri melalui Keputusan Menteri Nomor 120.34-429 Tahun 2006 tanggal 9 Agustus 2006. Penundaan kedua ini otomatis mengubah tahapan dan jadwal pendaftaran pemilih. Tahapan pendaftaran pemilih pasca penundaan kedua, seba_gai mana penundaan pertama diawali lagi dengan penyusunan daftar pemilih tambahan. Menindaklanjuti penundaan kedua, BKKBC telah menyampaikan daftar pemilih pemula sebanyak 1553 jiwa. Sesuai dengan tahapan yang barn pemilih pemula ini kemudian disusun dan diberikan kepada PPS untuk diumumkan kepada masyarakat. Akibat dua kali penundaan terjadi pernbahan data pemilih yaitu dari BKKBC bernpa pemilih pemula sebanyak 2.056 jiwa, kemudian berdasarkan coklit PPS tambahan barn sebanyak 456 jiwa. Di samping itu, juga terjadi pengurangan jumlah pemilih sebanyak 3.618 dengan rincian sebagai berikut: a. pemilih meninggal 1.263 jiwa b. pemilih pindah domisili 1.579 jiwa c. pemilih tercatat ganda 722 jiwa d. pemilih dicabut hak pilihnya 54 jiwa (Sumber: KPUD Kota Yogyakarta)
6.1.5 Penyusunan Daftar Pemilih Tetap (DPT) Meskipun KPUD bernsaha seoptimal mungkin tetap berpegang pada aturan, tetapi sulit untuk dipenuhi karena terus bertambahnya jumlah pemilih bahkan melebihi batas waktu penentapan DPT. Hal ini diakui oleh salah satu anggota KPUD: Waktu itu, jumlah DPT terns bernbah, bahkan sampai malam sebelum pemungutan suara ada saja PPS yang melaporkan pertambahan pemilih.
141
Pokoknya saat itu saya terima saja, lalu dibuatkan kartiu pemilih. Daripada di komplain oleh masyarakat, ya diterima saja. ( Aan Kumiasih, 26 April 2008) Pertanyaannya adalah apakah perubahan OPT
tidak menyalahi aturan,
karena pengertian OPT seharusnya tidak ada lagi perubahan. Menurut laporan KPUD dalam Laporan Pilkada disebutkan bahwa : Persoalan ini sudah diantisipasi sebelumnya oleh KPUD, misalnya pada Peraturan KPUD Nomor 05 tahun 2006 tentang Tatacara Pendaftaran Pemilih Pasal27 ayat (1) yang memungkinkan KPUD menambahkan pemilih pada Salinan OPT jika pemilih tersebut sudah pemah terdaftar dalam DPS atau Daftar Pemilih Tambahan tetapi tidak tercantum lagi dalam OPT. Hanya saja dalam regulasi belum ditegaskan kapan batas akhir pelaporan bisa dilakukan oleh masyarakat melalui PPS. Agar tidak mempersulit aspek teknis pelaksanaan pemungutan suara pada hari H, maka diperlukan pembatasan waktu akhir pelaporan. Karena waktu relatif mendesak, maka pembatasan tersebut dilakukan dengan menggunakan Surat Edaran KPUD Nomor: 131/759 tanggal 18 November 2006, dengan ketentuan batas akhir pelaporan pemilih selambat-Iambatnya 3 (tiga) hari sebelum hari pemungutan suara. Pada prakteknya, KPUD tetap menerima laporan tambahan jumlah pemilih pada malam menjelang pemungutan suara. Untuk menindaklanjuti laporan KPUD menerbitkan Berita Acara tentang penambahan pemilih pada salinan OPT. Ada 2 (dua) Berita Acara, yang pertama dengan Nomor: 1311160 tanggal 18 Oktober 2006 dengan tambahan pemilih sebanyak 7 orang berasal Kelurahan Prawirodirjan ( 1 orang) dan Gunungketur (6 orang). Berita Acara yang kedua dengan nom or: 131/779 tanggal 23 November 2006 menambahkan 13 pemilih yang berasal dari Kelurahan Wirobrajan (9 orang), Tahunan (1 orang), Giwangan (1 orang), Ngampilan (1 orang) dan Bausasran ( 1 orang). Sehingga secara keseluruhan penambahan pemilih dalam DPT sebanyak 20 orang pemilih. Selanjutnya, berdasarkan 2 (dua) Berita Acara ini
142
KPUD menerbitkan Surat Keputusan Nomor 45/KEP/Tahun 2006 tentang Perubahan atas keputusan KPUD Nomor 36/KEP/Tahun 2006 tentang Penetapan Jumlah Pemilih dan Jum1ah TPS tanggal 24 November 2006. Dengan demikian jumlah pemilih dalam DPT menjadi 358.064 orang. Berikut grafik tabel Daftar Pemilih Tetap Perubahan danjumlah TPS.
Tabel14. Rekapitulasi Daftar Pemilih Tetap Perubahan dan Jumlah TPS Kecamatan
Kelurahan Kricak
Tegalrejo
Jetis
Gedongtengen Ngampilan
Danurejan
Pakualaman
Gondokusuman
Wirobrajan
Mantrijeron
Karangwaru Tegalrejo Bener Bumijo Cokrodiningratan Gowongan Sosromenduran Pringgokusuman Ngampilan Notoprajan Suryatmajan Tegalpanggung Bausasran Purwokinanti Gunungketur Demangan Kotabaru Klitren Baciro Terban Pakuncen Wirobrajan Patangpuluhan Gedongkiwo Suryodiningratan Mantrijeron
PEMILIH TERDAFTAR LAKIPEREM JUMLAH PUAN LAKI 5.214 10.585 5.371 4.292 4.301 8.593 7.667 3.869 3.798 1.855 1.761 3.616 4.534 4.583 9.117 4.534 4.636 9.170 3.599 7.312 3.713 3.876 7.863 3.987 6.090 5.806 11.896 4.332 4.803 9.135 3.676 3.485 7.161 2.110 2.180 4.290 3.994 3.983 7.977 3.424 3.650 7.074 2.946 2.621 5.567 1.950 4.045 2.095 4.480 4.113 8.593 1.805 1.456 3.261 5.451 4.906 10.357 6.367 6.119 12.486 4.618 4.754 9.372 4.262 4.436 8.698 4.242 4.193 8.435 3.137 3.153 6.290 5.610 5.808 11.418 4.650 4.758 9.408 4.517 4.565 9.082
JUMLAHTPS BIASA
KHS
25 21 19 9 22 21 18 17 30 22 16 15 21 18 14 10 20 8 23 30 23
-
22 22 17 27
22 22
1
-
1
1
3
-
3
-
JML 25 21 20 9 22 21 18 17 30 22 16 15 21 19 14 11 20 11 23 30 26
22 22 17 27
22 22
143
Kraton
Gondomanan
Mergasan
Umbulharjo
Kotagede
Patehan Panembahan Kadipaten Ngupasan Prawirodilj an Keparakan Wirogunan Brontokusuman Semaki MujaMuju Tahunan Warungboto Pandeyan Sorosutan Giwangan Rejowinangun Prenggan Purbayan
2.581 4.009 2.888 2.634 3.769 4.060 5.749 4.324 2.286 4.894 3.986 4.011 4.725 5.373 2.279 4.253 4.160 3.471
2.682 4.303 3.052 2.872 3.951 4.267 5.471 4.577 2.320 4.581 3.699 3.845 4.621 5.396 2.341 4.214 4.308 3.644
178.298 178.288 Jumlah Total Somber: Laporan KPUD Kota Yogyakarta
5.263 8.312 5.940 5.506 7.720 8.327 11.220 8.901 4.606 9.475 7.685 7.856 9.346 10.769 4.620
12 22 15 13 19 21 26
8.467 8.468 7.115
24 10 22 18 18 21 26 13 19 21 18
358.064
872
1
1
--
12 22 15 14 19 21 27
-
24 10 22 18 18 22 27 14 19 22 18
15
887
1 1 1
1
Jika dilihat dari jumlah pemilih mulai dari ditetapkannya DPS sampai daftar pemilih tetap perubahan teijadi pengurangan jumlah pemilih yaitu 359.373 jiwa menjadi 358.064 jiwa atau jumlah total pemilih yang berkurang adalah : 1309 pemilih. Jumlah pemilih yang paling banyak mengalami pengurangan adalah Kelurahan Cokrodiningratan yaitu 91 pemilih, Kelurahan Purwokinanti sebanyak 91 pemilih, dan Kelurahan Wirogunan sebanyak 82 pemilih. Selain pengurangan
jumlah pemilih, terdapat penambahan jumlah pemilih yang diakibatkan sejumlah pemilih pemula. Berikut ini kelurahan yang mengalami penambahan paling banyak yaitu : Kelurahan Muja Muju sebanyak 29 pemilih, Sorosutan sebanyak 18 pemilih, Kelurahan Warungboto sebanyak 17 pemilih.
144
6.2. Implikasi terhadap Pilkada Dilihat dari tujuannya, pendaftaran pemilih merupakan salah satu kunci keberhasilan pilkada. Adapun tujuan pendaftaran pemilih adalah alat untuk menentukan kebutuhan Iogistik dan anggaran pilkada lainnya serta sebagai alat untuk mengukur tingkat partisipasi pemilih.
6.2.1. Implikasi Pada Anggaran Akibat Jumlah Pemilih Meningkat. Akibat pendaftaran pemilih menggunakan pola de jure maka jumlah pemilih pilkada Yogyakarta bertambah dari lebih besar dari jumlah perkiraan semula yaitu sebanyak 320.000 pemilih. Apabila dilihat dari perbandingan jumlah pemilih tiga kali pemilu pada tahun 2004 maka pertambahan jumlah pemilih naik lebih besar. Pada pemilu legislatif jumlah pemilih adalah 318.626 pemilih, pemilihan presiden I jumlah pemilih yang terdaftar adalah 316.882, dan pemilihan presiden II berjumlah 314.728 pemilih. Ke-tiga pemilu ini menggunakan pola de facto pada saat pendaftran pemilih. Apabila diperhatikan pada ke-tiga pemilu ini maka ada trend penurunan jumlah pemilih. Pada saat pilkada jumlah pemilih melonjak lebih besar yaitu 358.064 pemilih seperti yang telah disampaikan dalam Daftar Pemilih Tetap Perubahan. Hal ini disebabkan oleh pendaftaran pemilih menggunakan pola de jure dimana penduduk yang tidak bertempat tinggal di Kota Yogyakarta tetap terdaftar dalam OPT selama masih terdaftar dalam administrasi kependudukan Kota Yogyakarta.
145
Akibat jwnlah pemilih yang ditetapkan oleh KPUD bertambah dari aswnsi sebelumya hanya 320.000 pemilih (hampir sama dengan pemilih Pilpres II), maka KPUD memerlukan penambahan anggaran belanja Pilkada. Hal ini dapat dilihat dari pemyataan ketua KPUD, Miftachul Alfin : Kenaikan jwnlah pemilih tentu saja menyebabkan adanya kenaikan anggaran, sekitar 170 juta dari anggaran semula sebesar 5, I miliar. Selain itu kebutuhan jwnlah TPS akan meningkat, dari 815 TPS menjadi 902 TPS (KR, 13 April 2006) Pertanyaannya, darimanakah asumsi pertambahan biaya tersebut ?
6.2.1.1 Kebutuhan Logistik Pilkada Untuk pelaksanaan pilkada memerlukan sejumlah pengadaan barang dan Jasa. Pengadaan barang dan jasa yang terkait dengan logistik pilkada dan pertambahan jumlah pemilih adalah : Surat Suara, kartu pemilih dan segel. Berdasarkan keterangan dari KPUD, pengadaan dari ketiga jenis kebutuhan logistik seperti surat suara, kartu pemilih dan segel dijadikan dalam satu proses lelang. Berikut proses lelang yang dilakukan KPUD. Proses pelaksanaan pelelangan sebagai berikut ; a. Pengumwnan Pascakualifikasi diumumkan pada hari Senin Pon tanggal 1 Mei 2006 di Harian Kedaulatan Rakyat Kota Yogyakarta halaman 21. b. Pagu anggaran : Rp.491.200.000,c. Harga Perkiraan Sendiri (HPS) : Rp.361.209.550,d. Peserta yang mendaftar sebanyak : 29 Cal on Penyedia jasa, e. Peserta yang mengikuti penjelasan pekeijaan : 24 calon penyedia barang/jasa, namun pada saat penjelasan pekerjaan ada beberapa penyedia barangljasa yang tidak memenuhi persyaratan BOTASUP AL terkait spesifikasi teknis security printing, security paper sehingga teijadi tarik ulur terhadap syarat penyedia barang/jasa untuk
146
f
g.
h.
1.
J.
k.
memasukkan penawaran, Panitia Pengadaan tetap menyatakan bahwa calon penyedia barang/jasa yang memasukkan penawaran adalah yang mempunyai sertifikat BOTASUP AL sesuai syarat security printing dan security paper. Klarifikasi teknis sistem pencetakan Kartu pemilih, Surat Suara dan segel pada beberapa perusahaan security printing dan security paper ~ di PT. Betawimas Cemerlang (Jakarta) pada tanggal I Juni 2006, di PT. Pura Barutama (Kudus) pada tanggal 3 Juni 2006, di PT. Jasuindo Tiga Perkasa Tbk (Sidoarjo) pada tanggal 5 Juni 2006, Peserta yang memasukkan penawaran sebanyak: 5 CaJon Penyedia Jasa PT. Pura Barutama (Kudus), PT. Betawimas Cemerlang (Jakarta), CV. Aneka Ilmu (Semarang), PT. Jasuindo Tiga Perkasa Tbk (Sidoarjo) dan PT. Sandipala Artha Putra (Jakarta). Setelah diadakan evaluasi dan klarifikasi dokumen penawaran, sebagai pemenang dengan harga terendah :PT. JASUINDO TIGA PERKASA Tbk, yang beralamat di Jl. Raya Betro No. 21 Sedati, Sidoarjo, Jawa Timur Harga Penawaran : Rp 272.520.990,- ( 75,45% dari HPS) Harga evaluasi koreksi aritmatik : Rp 272.520.990,Harga penetapan pengadaan : Rp 272.520.990,Kontrak: Pengadaan Kartu Pemilih, Surat Suara dan Segel Nomor 0 15/SP/SSNI/2006 tanggal 19 Oktober 2006 dengan harga kontrak sebesar Rp.271.385.580,- mengalami perubahan harga dikarenakan terdapat perbedaan jumlah pemilih (berkurang) dari semula/asumsi 361.151 pemilih menjadi 358.064 pemilih, sehingga jumlah barang yang diadakanjuga berubah menyesuaikan jumlah tersebut.
Berdasarkan ketentuan PP nomor 6 Tahun 2005, pasal 75 yang dinyatakan bahwa jumlah surat suara pemilihan pasangan calon dicetak sama dengan jumlah pemilih tetap dan ditambah paling banyak 2,5 % ( dua setengah perseratus) dari jumlah pemilih tersebut maka KPUD melakukan perubahan pagu pengadaan surat suara, kartu pemilih dan segel pilkada. Berdasarkan penjelasan proses pengadaan ke tiga barang diatas, yang menarik adalah pada poin n, ketika KPUD mampu inelakukan penghematan karena pengurangan jumlah pemilih ditambah persediaan 2,5 %. Berikut tabel rincian perubahan anggaran yang dilakukan KPUD.
147
Tabel. 15. Perubahan Pekeijaan Tambah!Kurang No
NamaBarang
SEBELUM TAMBAWKURANG
VOLUME
SATUAN
JUMl.AH
SESUDAH TAMBAHIKURANG VOLUME SATUAN JUMLAH
I.
KARTU PEMIUH
351. 151 lerrD:r" Rp
390 Rp 140.848.890
351.051 lerrt:ar Rp
390 Rp 140.809.890
II.
SURATSUARA
370.180 lenta" Rp
345 Rp 127.712100
357.CX12 lenilar Rp
345 Rp 126.615.600
Ill.
SEGa PIL..KADA
3.930.00)
15.00) lerrtlar Rp
-
JUMLAH
15.00) lerrbar Rp
264 Rp
264 Rp
3.93000)
SEBELUM TAMBAWKURANG Rp 212.520.990 SESUDAH TAMBAHIKURANG Rp 271.385.580
Sumber Laporan KPUD Kota Yogyakarta : Pilkada Kota Yogyakarta
6.2.1.2 Penambahan Jumlah TPS. Berdasarkan Peraturan KPUD
Kota Yogyakarta Nomor 05 tahun 2006
tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemungutan dan penghitungan Suara Pilkada Kota Yogyakarta, pasal 6 ayat 1 dinyatakan bahwa : Jumlah pemilih di setiap TPS paling banyak 600 (enam ratus ) orang. Maka jumlah TPS yang disahkan adalah 887 TPS. Memang tidak semua TPS memiliki jumlah pemilih sebanyak enam rat us orang, tetapi jumlah pemilih minimal 400 orang. Berdasarkan asumsi pemilih yang tidak faktual bisa dihilangkan, maka jumlah pemilih adalah 273.465 jiwa. Jika setiap TPS rata-rata berjumlah 500 pemilih maka jumlah TPS yang dibutuhkan hanya maksimal 547 TPS. Dengan berkurangnya jumlah TPS maka pembiayaan dapat diminimalkan. Berikut asumsi pembiayaan yang dapat dihemat jika pendaftaran pemilih bisa mengurangi jumlah pemilih yang tidak faktual.
148
6.2.2. Implikasi Pada Tingkat Kehadiran Pada Saat Pemungutan Suara. KPPS tidak: bisa menyampaikan kartu pemilih atau undangan untuk: pemungutan suara karena pemilih tidak bisa ditemukan. Akibatnya jumlah pemilih yang dapat hadir pada saat pemungutan suara menjadi berkurang. Pemilih yang tidak faktual yang diperkirakan hanya sekitar 45.000 (11 %), temyata lebih dari 84.000 (23%),
akibatnya jumlah pemilih yang hadir berpartisipasi menurun.
Berikut grafik beberapa kelurahan jumlah partisipasi pemilihnya paling rendah akibat kartu pemilihnya kembali. a. Kelurahan yang tingkat kehadiran pemilihnya paling rendah pertama adalah Kelurahan Kotabaru . Laporan dari PPS Kotabaru, jumlah kartu pemilih kembali sejumlah 1887 dengan jumlah TPS 11 Sayangnya tidak ada satupun kartu pemilih yang secara fisik kembali atau ditemukan di KPUD.
149
Gambar : 4. Grafik Perbandinganjumlah pemilih tidak menggunakan hak pilih, menggunakan hak pilih dan Kartu Pemilih Kembali Kel. KOTABARU
O Tidak Meng-gunakan Hak
El Menggunakan Hak Pilih 34%
El Kartu Pemilih Kembali 58%
b. Kelurahan yang tingkat kehadiran pemilihnya paling rendah kedua adalah Kelurahan Klitren. Laporan dari PPS Klitren, jumlah kartu pemilih kembali sejumlah 4463 dari jumlah TPS sebanyak 23. TPS yang kartu pemilih paling banyak kembali adalah TPS 18, sebanyak 335 kartu, sedangkan TPS yang paling sedikit kartu pemilih kembali adalah TPS 03 yaitu 94 kartu.
150
Gambar : 5. Grafik Perbandinganjumlah pemilih tidak menggunakan hak pilih, rnenggunakan hak pilih dan Kartu Pemilih Kern bali Kel. KLITREN
0
Tidak Menggunakan Hak Pilih
B Menggunakan Hak Pilih
40%
c. Kelurahan yang tingkat kehadiran pemilihnya paling rendah ketiga adalah Gowongan. Menurut Anggota PPK Jetis ini disebabkan banyaknya pend.~tang
yang merupakan mahasiswa, pada saat menyelesaikan kuliahnya
tidak mencabut administrasi kependudukannya. Laporan dari
PPS
Gowongan, jumlah kartu pemilih kembali sebahyak 7437 dari jumlah TPS 18. TPS yang kartu pemilih paling banyak kembali adalah TPS I 0, sebanyak 195 kartu, sedangkan TPS yang paling sedikit kartu pemilih kembali adalah TPS 01 yaitu 43 kartu.
151
Gambar : 6. Grafik Perbandingan jumlah pemilih tidak menggunakan hak pilih, menggunakan hak pilih dan Kartu Pemilih Kembali Kel. GOWONGAN 0
Tidak Menggunakan Hak Pilih
Kembali 40%
81 Menggunakan Hak Pilih 53%
Pada saat penulis meminta jumlah rekapitulasi nama dan jumlah kartu pemilihnya kembali, ada persoalan ketidaksamaan antara data laporan dari PPS dengan kartu pemilih yang kembali. Jika pada laporan jumlah pemilih yang kembali adalah 84.599 kartu pemilih, tetapi secara fisik jumlah keseluruhan yang ditemui adalah 75.417 kartu pemilih, artinya ada sekitar 9182 kartu pemilih yang .belum diterima atau tidak diketahui keberadaanya. Pertanyaannya, mengapa terjadi perbedaan angka laporan dan kartu pemilih secara fisik ?. Berikutjawaban KPUD : Pada saat itu, kira-kira dua atu tiga hari setelah pemungutan suara, mass media ramai membicarakan tingkat golput yang tinggi, nah waktu itu kita memerlukan expose secepatnya agar jelas apa penyebab tingginya tingkat golput. Saya mendesak semua PPS agar membuat laporan, kemudian saya
152
rekap. Jumlahnya ya 84.599 kartu pemilih, pada saat itu belum disertai penyerahan fisik.( Aan K, 15 Juli 2008) Penjelasan Iebih Ianjut datang dari operator entry data pemilih yang menyatakan; Waktu itu saya Iihat tumpukan kartu, saya disuruh mengetik satu per satu sesuai TPSnya. Pada saat penyerahan memang tidak di cek terleblh dahulu. Mungkin tercecemya juga di kantor KPUD, karena waktu itu kondisi kantor sangat kacau karena setelah gempa tidak ada tempat penyimpanan barang yang memadai. (Sumar; 15 Juli 2006) Akan tetapi poin terpenting, berdasarkan basil wawancara dengan beberapa anggota PPK dan PPS diakui bahwa kartu pemilih yang tidak sampai adalah benarbenar akibat tidak ditemukannya si pemilik kartu. Bukan karena anggota PPS atau KPPS tidak mau menyampaikan. Waktu penulis menanyakan kenapa jumlah fisik kartu pemilih yang kern bali tidak sama dengan laporan PPS ? Berikut jawaban Aris, PPK Danurejan. Mungkin jumlah itu ada yang tercecer diRT, yang penting semua diamankan dan tidak dipergunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk kepentingan sebuah kelompok, misalnya untuk mobilisasi massa.( Aris, 15 Juli2008).
6.2.3
Meningkatnya jumlah Ghost voter
Menurut Najib, Ghost voter adalah pemilih yang datanya ada di DPT, tapi tidak
teridentifikasi
atau
terlacak
ketika
kartu pemilih
dan
undangan
pemberitahuan pemungutan suara dibagikan. Akibatnya banyak kartu pemilih tidak bertuan dan dikembalikan ke KPU kabupaten!Kota. Fenomena tersebut terjadi khususnya di kota besar, terlebih Iagi kota pelajar dengan mobilitas
153
penduduk san gat tinggi 1. Berkaitan dengan hal tersebut berikut fakta yang ditemukan oleh JPRR2: Rata-rata 50 persen pemilih tidak datang ke tempat TPS ..... data ini merupakan basil pengamatan dari 88 TPS yang tersebar di enam kecamatan antara lain Kotagede, Umbulharjo, Danurejan, Mergangsan, Gonokusuman, dan Wirobrajan. Bahkan di TPS 02 Pandeyan,tempat Herry Zudianto terdaftar, dari 380 warga yang masuk DPT hanya 170 warga yang mencoblos. ...... Kami memperkirakan para pemilih yang tidak datang ke TPS dikarenakan telah pindah alamat, namun belum mencabut KTP atau sedang pergi. Berkaitan dengan Ghost Voter dalam pilkada, berikut ini pendapat Sigit Pamungkas yang dimuat Kedaulatan rakyat tanggal 1 Desember 2006: ........ Boleh jadi ada kekeliruan dengan proses pendataan pemilih. Pemilih yang didata adalah yang sebenamya "bukan warga Kota Yogya". Mereka biasanya para pendatang yang ingin mendapatkan kemudahan administratif pelayanan di Kota Yogya tetapi pada saat yang bersamaan masih berstatus sebagai penduduk di tempat asalnya. Berdasarkan beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa sebagian pemilih yang terdaftar dalam DPT adalah orang-orang yang hanya terdaftar dalam administrasi kependudukan tetapi kemungkinan besar tidak bertempat tinggal di Kota Yogyakarta. Hal ini merupakan implikasi penggunaan pola de jure dalam mendaftar pemilih, karena peraturan pendaftaran pemilih mengarahkan KPUD untuk menggunakan pola de jure. Akibatnya KPUD tidak bisa menghindari konsekwensi yang ditimbulkan.
1
2
Najib;2006 ;126 Kompas, Senin 27 Nopember 2006
154
6.3. Penilaian Atas Kebijakan Yang Diambil Oleh KPUD Berdasarkan implikasi yang telah diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa pilihan terhadap proses pendaftaran dengan pola de jure telah mengakibatkan biaya pilkada menjadi lebih tinggi, rendahnya tingkat kehadiran jumlah pemilih_ pada saat pemungutan suara dan jumlah ghost voter lebih banyak. Menurut hasil penelitian yang dilakukakan, bahwa pilihan ini terpaksa diambil karena tidak ada payung hukum bagi KPUD untuk menghilangkan sejumlah pemilih yang tidak bertempat tinggal di Kota Yogyakarta. Menurut KPUD adalah berbahaya bagi posisi KPUD jika melakukan tindakan yang tidak memiliki dasar hukum yangjelas. Hal ini dapat dilihat dari pemyataan yang disampaikan oleh anggota KPUD Provinsi, Mohammad Najib : Tindakan yang dilakukan oleh KPUD Kota sudah benar, untuk penyelenggara lebih baik berpegang pada aturan walaupun implikasinya pada pembiayaan. Walaupun penyelenggara memiliki waktu untuk coklit tetapi kewenangan yang diberikan terbatas.( Mohammad Najib, 4 Agustus 2008)
Selanjutnya disebutkan ; Kalau mereka dihilangkan dari daftar pemilih, sementara penyelenggara tidak memiliki dasar hukumnya maka akan mendapat gugatan jika temyata orang yang dihilangkan dalam daftar pemilih tersebut bisa pulang untuk mencoblos, iya kan ?
Demikian juga yang disampaikan oleh anggota KPU Pusat, Sri Nuryanti : Undang-undang kependudukan tidak kompitebel dengan undang-undang pemilih, akibatnya pelaksaanan pemilu maupun pilkada di Indonesia cenderung ke arah prosedural, sehingga substansi dari tujuannya dilaksanakan pemilu atau pilkada terabaikan. Jika kita ingin mendapatkan hasil pemilu yang ideal dan substansi tercapai, maka ubah dulu peraturan tentang pemilih. (Sri Nuryanti, 4 Agustus 2008).
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan basil penelitian dan anal isis tentang pendaftaran pemilih secara de jure dan implikasinya terhadap pilkada Kota Yogyakarta, maka dapat ditarik ke.simpulan dan saran-saran yang merupakan intisari jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut:
7.1. Kesimpulan Pelaksanaan Pilkada Kota Yogyakarta pada hari Minggu, tanggal 26 November 2006 hanya dihadiri 53,32 % dari 358.064 jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT. Sebanyak 46,68 % adalah pemilih yang tidak hadir pada saat pemungutan suara. Dari basil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa 23,63 % atau 84.599 pemilih adalah mereka yang terdaftar dalam data pemilih tetapi tidak dapat ditemukan oleh KPPS pada saat memberikan kartu pemilih. Persoalan ini terjadi akibat mekanisme pendaftaran pemilih pilkada memakai pola de
jure sebagaimana yang tertuang dalam Peraturan KPUD Kota Yogyakarta Nomor 05 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pendaftaran Pemilih dalam Pilkada Kota Yogyakarta. Penggunaan pola de jure mengakibatkan definisi pemilih dan domisili harus dibuktikan dengan KTP, sehingga semua penduduk yang memiliki KTP Kota Yogyakarta akan masuk dalam daftar pemilih termasuk penduduk yang sudah tidak berada di Kota Yogyakarta. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, ada upaya KPUD untuk membuat daftar pemilih lebih akurat supaya tingkat kehadiran pada saat pemungutan suara lebih tinggi dengan upaya
mempengaruhi
BKKBC
yang
sedang
melakukan
penyusunan
DP4
untuk
155
156
menghilangkan pemilih yang tidak faktual. Akan tetapi, pihak BKKBC tidak bisa menghilangkannya karena tidak memiliki dasar hukum untuk mencabut administrasi kependudukan sebagian masyarakat yang tidak faktual tersebut, sehingga KPUD harus mengambil tindakan apakah menghilangkan atau tetap memasukkannya dalam DPS. Akibat persoalan yang dihadapi oleh KPU pusat yang terbelit masalah hukum, maka KPUD juga tidak berani mengambil tindakan yang tidak ada dasar hukumnya. Persoalan tidak jelasnya defenisi pemilih dan domisili berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 06 Tahun 2006 telah membawa KPUD pada upaya pencarian payung hukum baru. Berdasarkan hasil konsultasi dengan Diijen Adminduk yang menyatakan bahwa, seorang pemegang KTP Kota Yogyakarta yang masih berlaku harus tercatat dalam daftar pemilih. Sebaliknya jika seseorang warga bertempat tinggal di Kota Yogyakarta lebih dari 6 bulan namun tidak memiliki KTP Kota Yogyakarta, maka yang bersangkutan tidak dapat dicatatkan dalam daftar caJon pemilih. Berdasarkan hal ini KPUD menetapkan pola pendaftaran pemilih berdasarkan pola de jure ( adminstrasi kependudukan). Penerapan
peraturan teknis pendaftaran pemilih ini telah mengakibatkan tidak
maksimalnya proses pencocokan dan penelitian pemilih yang merupakan tugas KPUD. Walaupun ada laporan dari warga yang menyatakan bahwa ada penduduk yang sudah tidak berada di wilayah mereka tetapi tetap saja masuk dalam DP4 maupun DPS. PPS sebagai petugas yang melakukan pencocokan dan penelitian hanya bisa memberi tanda pada daftar, karena pertimbangan tidak ada dasar hukum untuk menghilangkannya. Sebagai akibatnya, proses coklit yang dilakukan PPS dibantu RT dan RW hanya bisa menghilangkan 5.304 pemilih yang disebabkan oleh meninggal dunia, tercatat ganda, pindah domisili dan pemilih yang dicabut hak pilihnya.
157
Implikasi dari pola pendaftaran pemilih de jure ini telah menyebabkan terdaftamya jumlah pemilih jauh dari perkiraan KPUD semula yaitu dari 320.000 jiwa menjadi 358.064 jiwa. Akibatnya KPUD harus mengajukan tambahan anggaran terutama untuk kebutuhan logistik pilkada, biaya personil dan operasional di setiap TPS. Implikasi lainnya adalah menurunnya jumlah pemilih yang hadir pada saat pemungutan suara. Ji_ka dilakukan perbandingan dengan pelaksanaan pilkada di kabupaten lain se DIY maka pilkada Kota Yogyakarta adalah yang terendah. Selanjutnya, apabila dibuat perbandingan pemilu tahun 2004 dan pilkada tahun 2006 maka tingkat kehadirannya hampir sama yaitu diatas 70% (tujuh puluh persen). Asumsi ini bisa dicapai jika pemilih yang tidak faktual dihilangkan dari daftar pemilih.
7.2. Saran Berdasarkan basil penelitian dan kesimpulan yang telah dirumuskan dan dalam rangka meningkatkan kualitas pelaksanaan Pilkada di Kota Yogyakarta atau daerah lain yang memiliki karakteristik yang sama pada masa yang akan datang dan untuk mewujudkan pelaksanaan Pilkada lebih partisipatif, efisien, dan efektif, maka saran/rekomendasi yang dapat diberikan adalah sebagai berikut: 1. Ketidakjelasan pola pendaftaran pemilih dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 hams dievaluasi agar tidak menimbulkan persoalan bagi penyelenggara pilkada. Rekomendasi ini diharapkan dapat melengkapi masukan terhadap rencana pembuatan peraturan tentang Undang-Undang Pilkada yang terlepas dari UndangUndang Pemerintah Daerah.
158
2. Pada peraturan yang akan datang perlu memberikan wewenang kepada KPU atau
KPUD
untuk
menghilangkan pemilih yang tidak faktual
sehingga dapat
meningkatkan jum1ah pemilih yang hadir pada saat pemungutan suara serta dapat menghemat biaya pilkada. Contoh cara yang dapat dilakukan adalah Penyusunan DP4 menggunakan pola de Jure, selanjutnya pada saat melakuk:an
pe~yusunan
DPS
dilakukan dengan pola de facto yaitu penduduk yang memiliki KTP Kota Yogyakart tetapi sudah tidak bertempat tingga minimal 6 (enam) bulan sebe1um pemungutan suara tidak dimasukkan dalam daftar pemilih. 3. Per1u mendorong pemerintah agar secepatnya merealisasikan KTP Nasiona1
sehingga pinsip one man one card tercapai, sehingga kemungkinan penduduk yang memi1iki KTP ganda akibat tidak tertib administrasi dapat diminimahsir. 4. Perlu penegakkan aturan dengan memberikan sangsi bagi penduduk yang tidak
melakukan perubahan administrasi kependudukan ketika pindah tern pat tinggal. 5.
Perlu penelitian lebih lanjut tentang implikasi pendaftaran pemilih pada pemilu legislatif dan pemilihan presiden tahun 2009 karena pemilu nasional ini juga menggunakan pola de jure.
6. Perlu sebuah studi kebijakan yang khusus sehingga ada petunjuk dan guidence bagi pembuat keputusan jika tidak tersedia peraturan dan inforrnasi yang baik sebagai landasan membuat keputusan.
DAFTARPUSTAKA
Adanan Buyung Nasution, Pergulatan Tanpa Henti Pahit Getir Merintis Demokrasi, Aksara Karunia,2004. Cheema, Sahbbir G, Building Democratic Institutionas; Governance Reform m Developing Countries;Kumarian Press Inc, Worcester MA;2005 hal 25 Diamond, Larry, Develoving Democracy; toward consolidation, IRE Yogyakarta, 2003; Eko, Sutoro, Pengantar Konsolidasi Demokrasi untuk Indonesia, dalam buku Developing Democrasi;toward concolidation; 2003;xv Firmanzah, Marketing Politik, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2007 Gaffar, Afan; Politik Indonesia, Transisi menuju Demokrasi;Pustaka Pelajar, Yogyakarta;Februari 2000 Harian Kompas, Media Indonesia, Bernas, Kedaulatan Ra-kyat dan Jawa Pos, mulai tanggal27 Nopember hingga 5 desember 2006 Harrop, Martin dan Miller, R William, Election and voters : Hampsphire, 1987 Held,
David, Demokrasi & Tatanan Global; dari Negara Modem hingga Pemerintahan Kosmopolitan, Pustaka pelajar, Yogyakarta, Oktober 2004
Idrus , Metode Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial ( Pendekatan kualitatif & Kuantitatif) ; Muhammad; UIJ Press, 2007 Kementerian Koordinator Bidang Politik dan Keamanan, 2003, Pembangunan Bidang Politik, Jakarta KR,Selasa, 28 Nopember 2006 Kuncoro, Mudrajad, Ana/isis Spasial dan Regional: Studi Aglomerasi dan Kluster lndustri Indonesia, UPP AMP YKPN 2002 Marzuki, Suparman, Pilkada dan Pengembangan Demokrasi, KPU Provinsi DIY,Yogyakarta,2006
Mas'oed, Muchtar, Negara, Kapital dan demokrasi;pustaka Pelajar;YO!,')'akarta;l994 Mashoed, Mochtar dan Colin Mac Andrews (ed), Pengantar Perbandingan Sistem Politik, Yogyakarta : Gadjah Mada Universiy Press, 1991 ), halm Xii. Media Indonesia, Paradoks Pilkada langsung, 27 April 2005 Mohamamad MD, Machfud ,Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Liberty Yk, 1993 Mudrajad Kuncoro, Ekonomika Pembangunan: Teori, Masalah, dan Kebijakan, UPP STIM YKPN Yogyakarta, 2004 Munir, R. 2000. Migrasi, Lembaga Demografi FEUI, Dasar-dasar Demografi: edisi 2000, Lembaga Penerbit UI, Jakarta. hal 116 Najib,Mohammad, P4B dan problem Penyusunan DPS dan OPT, Pemilu 2004 dan Eksperimentasi Demokrasi, KPU Propinsi, Desember 2005 Oktavianto, Simpu; Pilkada Langsung di Bukit Seribu; KPU Kab. Gunungkidul , Prov DIY;2007 Pramusinto, Agus , Otomomi Daerah dan Pemilihan Kepala Daerah dalam Mencermati Hasil Pemilu 2004 Jakarta)umal Analisis CSIS Vol.33.2 Juni 2004 Prasojo, Eko, Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah;Departemen Ilmu Administrasi, Fisipol UI, DIA FISIP UI, Juni 2006 Prihatmoko, Joko J, Pemilihan Kepala daerah Langsung, Filosofi dan problem Penetapan di Indonesia, LP3M Univ. Wahid Hasyim, Arpil 2005 Radar Jogja, Selasa 28 Nopember 2006. Ramalan Surbakti, dalam Pilkada dan Pengembangan Daerah :XiX; Yogyakarta , KPU Propinsi DIY, 2006 Samuel Huntington, Third Wave dalam Election and Voters: Election and Democracy: Harrop, Martin and Miller L., William, Hampsphire: 1987
Sierrad, Zaki, Kegamangan dalam pilkada Kota Yogyakarta dalam buku Dari Gempa Bumi ke Gempa politik : Perjalanan Pilkada Kota Yogyakarta, KPU Kota Yogyakarta : 2006 Sobirin, Distribusi Pemukiman dan Prasarana Kota: Studi Kasus Dinamika Pembangunan Kota di Indonesia, Dalam Raldi Hendro Koestoer Dkk, Dimensi Keruangan Kota: Teori dan Kasus, UI Press, 2001 Sutoro, Eko, Krisis Demokrasi; Seputar Partisipasi demokrasi. Direktur Institute For Research Empowerment (IRE Yogyakarta) Treisman, Daniel, Department of Political Science University of California, Los Angeles 4289 Bunche Hall Los Angeles, CA 90095-1472
[email protected] November 2000.
KOMISI PEMILIHAN UMUM KOTA YOGYAKARTA Yogyakarta, 2 Juli 2005
\0?
Kepada:
Nom or
270 I
Sifat
Segera
Yth. Dirjen Administrasi Kependudukan Departemen Dalam Negeri
Mohon Penje1asan tentang Pemilih Pilkada
Di-
Lamp iran Peri hal
JAKARTA
Dengan hormat, Memperhatikan kasus-kasus di berbagai daerah, termasuk di 3 (tiga) Kabupaten di DIY, yang telah menyelenggarakan Pi1kada, dimana persoalan pemi1ih merupakan masa1ah yang paling menonjo1 serta berdasarkan Kajian Hukum yang diselenggarakan KPU Kota Yogyakarta yang melibatkan semua elemen stake holder Pi1kada di Kota Yogyakarta, KPU Kota Yogyakarta telah mengidentifikasi beberapa masalah mendasar yang memerlukan kejelasan dari aspek yuridis. Permasalahan mendasar tersebut adalah sebagai berikut: 1. Domain dari Pemilih Pilkada adalah penduduk. Mengacu pada PP No. 6/2005 Pasal 15 dan 16, apakah domain pemilih pilkada di suatu daerah pemilihan (provinsi atau kabupaten/kota) adalah WNI (secara nasional) ataukah terbatas pada penduduk daerah tersebut saja? 2. Apa definisi penduduk suatu daerah pemilihan? WNI yang terdata dalam administrasi kependudukan ataukah WNI yang secara faktual bertempat tinggal di daerah pemilihan tersebut? 3. Apa definisi domisili? Apakah pengertiannya sama dengan bertempat tinggal? 4. Bila domisili diartikan sebagai tempat tinggal yang tertera dalam Surat ldentitas Kependudukan yang sah (KTP) yang dikeluarkan Pemerintah Daerah setempat, mengapa pada penjelasan pasal 16 huruf c dimungkinkan adanya Surat Keterangan ldentitas Kependudukan lainnya dan Surat Keterangan Bukti Domisili? Apa yang dimaksudkan dengan dua jenis Surat ini? Pada kasus-kasus apa saja kedua surat tersebut dipergunakan?
5. Berdasarkan permasalahan diatas berikut ada beberapa kasus turunannya: a. Jika seorang warga ber KTP di Kota Yogyakarta yang masih berlaku, tetapi sudah tidak bertempat tinggal di Kota Yogyakarta lagi, apakah masih memiliki hak pilih pada Pilkada di Kota Yogyakarta? b. Sebaliknya, jika seorang warga sudah bertempat tinggal di Kota Yogyakarta lebih dari 6 ( enam) bulan sebelum DPS ditetapkan tetapi tidak ber-KTP Yogyakarta, apakah mempunyai hak pilih pada Pilkada Kota Yogyakarta? c. Misalnya DPS ditetapkan bulan Juli 2005, berarti batas akhir untuk dinyatakan telah berdomisili 6 (enam) bulan adalah Januari 2005. Jika seseorang pindah masuk dari daerah lain pada bulan Maret 2005 (berrti belum 6 bulan berdomisili) dan langsung mengurus dan mendapatkan KTP Yogyakarta, apakah yang bersangkutan mempunyai hak pilih pada pilkada di Kota Yogyakarta?
Demikianlah, beberapa permasalahan yang berhasil kami rumuskan. Kami berharap permasalahan tersebut segera mendapatkan kejelasan, terutama dari aspek yuridisnya, sehingga dapat memperlancar pelakasanaan teknis dari persiapan dan pelaksanaan pilkada.
Atas perhatian dan kerjasan1a yang diberikan disampaikan banyak terima kasih.
Hormat kami,
Tembusan: 1. Yth. Ketua KPU Provinsi DIY 2. Yth. Walikota Yogyakarta
DEPARTEMEN DALAM NEGERI REPVBLIK INDONESIA DIREKTORA T JENDERAL ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN Jl.Taman Makam Pahlawan Kalibata No.17 Jakarta Selatan - 12750, Fax.( 021) 7980655, 7949770 Telp. (021) 79194075 (Hunting) PO.BOX. 7271/ Jks Pm/ 12072
Jakarta, 26 Agustus 2005 Nomor Sifat Lampi ran Peri hal
470/2071/MD.SES
Kepada Yth. Ketua Komisi Pemilihan Umum Kota Yogyakarta
Segera Penjelasan tentang Pemilih
Pilkad~
di
YOGYAKARTA
Menanggapi surat Saudara tertanggal 2 Juli 2005 Nomor : 270/193 perihal seperti tersebut pada pokok surat, maka dengan hormat disc.mpaikan penjelasan tentang Pemilih Pilkada sebagai berikut :
1.
Pemilih pada kegiatan Pilkada adalah penduduk Warga Neg~ra Indonesia yang tercatat secara resmi bertempat tinggal tetap di daerah yang menyelenggarakan Pilkada tersebut. Hal ini.·berbeda dengan pemilih pada kegiatan Pemilu yaitu Warga Negara Indonesia yang memenuhi syarat untuk memberikan suara. Konsekuensi dari pemahaman ini adalah : · a. Pemegang Kartu Tanda Penduduk (KTP) Kota Yogyakarta dapat dicatatkan sebagai calon pemilih pada kegiatan pendaftaran pemilih (Voters Registration), meskipun pernegan$1 KTP Kota Yogyakarta tersebut sedang tidak berada di Kota Yogyakarta pi3da saat kegiatan pendaftaran pemilih. b. Sebaliknya, pemegang KTP daerah otonom lainnya, tidak dapat dicatatkan sebagai calon pemilih pada waktu kegiatan pendaftaran pemilih untuk Pilkada Yogyakarta, rr.eskipun yang bersangkutan sudah berada di Yogyakarta lebih dari 6 bulan sebelum di tetapkannya DPS.
2.
Penduduk adalah seluruh Warga Negara Indonesia dan Orang Asing yang berdomlslll dl suatu daerah (wllayah admlnlstrasl) tertentu. Penduduk yan:J menjadi calon pemllih pada suatu kegiatan pemilihan (Pemilu atau Pilkada) adalah Warga Negara Indonesia yang tercatat dalam buku induk penduduk daerah yang bersangkutan dan terdaftar dalam daftar pemilih serta memenuhi persyaratan untuk dapat niemberikan suara dalam pemilihan.
3.
Yang dime~ksud dengc.n "domisili" berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah tempat tlnggal yang sah sebagai tempat berdlam tetap bagl seseorang. Dalam konteks Pilkada domisili diartikan sebagai tempat tinggal tetap seorang penduduk yang dlcatat 5ecara resml oleh Pemerintah Daerah dan untuk ltu dikeluarkan dokumen oleh Pemerintah Daerah sebagal pengakuan tempat tinggal tetap seseorang.
4.
Mengenai ketentuan pasal 16 huruf c pada Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 yang menyebutkan adanya surat keterangan kependudukan lainnya, selain KTP, dapat kami jelaskan sebagai berikut :
a. Surat keterangan kep~ndudukan lainnya memang dijadikan bukti domisili seseorang mengingat : Adanya pemekaran daerah administrasi beberapa waktu sebelum Pilkada, sehingga be:um semua penduduk Kabupaten pemekaran mendapat KTP daerah baru (contoh pemekaran Kabupaten Mamuju menjadi Kabupaten Mamuju dan Kabupaten Mamuju Utara, beh..:m semua penduduk Kabupaten Mamuju Utara mem~gang KTP baru. Untuk itu, dibuka kemungkinan adanya surat kependudukan lain selain KTP). Banyak daerah yang menetapkan Peraturan Daerah yang 1smya mengharuskan penduduk yang plndah dari daerah lain dan_ masuk ke kabupaten tersebut untuk memegang tanda ldentitas l~ependudukan sementara, tldak langsung mendapat KTP. Untuk daerah yang mengalami bencana alam/ bencana sosial, terdapat pengungsi yc,ng tidak memlliki tanda identitas apapun. Ses.Jai Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 10 Tahun 2005, untuk peng Jngsi seperti ini diberikan Surat Keteran9an Pengganti Tanda Identitas (SKP11). b. Untuk Kota Yogyakarta yang tidak mengalami pemekaran administrasi dan tidak dalam keadaan darurat m~ka tanda bukti identitas kependudukan yang dipergunakan haruslah KTP. 5.
a. Sesuai dengr.m penjelasan kami pada butir 1. a, seorang pemegang KTP Kota Yogyakarta yang masih berlaku, tetap memiliki hak pilih pada Pilkada Kota Yogyakarta. · · b. Sebaliknya jika seseorang warga bertempat tinggal di Kota Yogyakarta lebih dari 6 bulan namun tidak memiliki KTP Kota Yogyakarta, maka yang bersangkutan tidak dapat dicatatkan dalam daftar calon pemilih.
c.
Bagi seseorang penduduk yang pindah dari daerah lain dan masuk mendaftarkan sebagai penduduk Kota Yogyakarta kurang dari 6 bulan sebelum penetapan DPS, maka yang bersangkutan tidak dapat dicatatkan dalam daftar pemilih, meskipun yang bersangkutan kemudian mendapat KTP Kota Yogyakarta. Demikian disampaikan untuk menjadi maklum.
REKTURJENDERAL SI KEPENDUDUKAN RETARIS, ff'~
Ina Utama Muda NIP. 010 163 919 Tembusan : Kepada Yth. 1. Dirjen Administrasl Kependudukan (sebagal laporan); 2. Walikota Yogyakarta.