215
Penampilan nila gesit dan nila merah ... (Markus Mangampa)
PENAMPIL AN NIL A GESIT (Oreochromis sp) DAN NIL A MERAH (Oreochromis niloticus) YANG DIPOLIKULTUR DENGAN UDANG WINDU (P. monodon) PADA KONDISI SALINITAS RENDAH Markus Mangampa, Rachmansyah, dan Burhanuddin Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau Jl. Makmur Dg Sitakka No. 129, Maros 90512, Sulawesi Selatan E-mail: litk
[email protected]
ABSTRAK Nila gesit (Genetically Supermale Indonesian Tilapia) dan biasa disebut “nila jantan super”, adalah salah satu varietas ikan nila karya peneliti Indonesia yang dirilis oleh Kementerian Kelautan Perikanan (KKP) melalui Kepmen No. 44/Men/2006, tanggal 14 Desember 2006, nila merah dan nila gesit, keduanya merupakan spesies ikan air tawar. Keduanya memiliki prospek pasar lokal. Penelitian ini dilakukan di tambak Maranak Kab Maros, Instalasi BRPBAP, menggunakan 4 petak tambak berukuran 2.500 m2. Hewan uji adalah benih nila gesit (2,053±1,303 g/ekor), nila merah (2,398±1,618 g/ekor) ditebar dengan kepadatan 0,4 ekor/m2 dan tokolan (PL-57) udang windu (0,191±0,197 g/ekor),dengan kepadatan 1,0 ekor/m2. Perlakuannya adalah polikultur (A) nila gesit dengan udang windu dan (B) nila merah dengan udang windu, dan setiap perlakuan dengan 2 ulangan. Waktu pemeliharaan: 98 hari. Penelitian ini bertujuan : mendapatkan data dan informasi performansi nila gesit yang dipolikultur dengan udang windu dibandingkan dengan nila merah yang dipolikultur dengan udang windu pada kondisi salintas rendah. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa penampilan nila gesit pada budidaya campuran dengan udang windu memperlihatkan produksi 798±36,770 kg/ha dan rasio konversi pakan 0,9±0,042 yang lebih baik dan berbeda nyata dibandingkan dengan penampilan nila merah pada budidaya campuran dengan udang windu dengan produksi dan rasio konversi pakan masing-masing: 396±2,828 kg/ha dan 1,315±0,007. Udang windu yang dipolikultur dengan nila gesit menghasilkan produksi yang baik yaitu 117,4±35,384 kg dan berbeda tidak nyata dengan produksi udang windu yang dipolikultur dengan nila merah yaitu : 94,20±18,305 kg/ha. Hubungan ini memperlihatkan sinergitas antara nila gesit dan nila merah yang dipolikultur dengan udang windu. Kualitas air dari ke-2 perlakuan memperlihatkan penyebaran yang relatif sama untuk setiap parameter dengan kelayakan yang baik kecuali kadar garam yang cukup rendah, jika dibandingkan tingkat kadar garam yang optimun untuk udang windu. Analisis financial memperlihatkan bahwa pendapatan petambak lebih tinggi pada polikultur dengan nila gesit yaitu :Rp 10.650.000,-/ha/musim, dibanding pendapatan petambak pada polikultur dengan nila merah yaitu Rp 3.050.000,-.
KATA KUNCI:
nila gesit, nila merah, udang windu, polikultur, salinitas rendah
PENDAHULUAN Berbagai upaya yang dapat dilakukan untuk membangkitkan kembali usaha perudangan di Indonesia khususnya udang windu sebagai komoditas asli Indonesia. Salah satu upaya yang dilakukan beberapa tahun terahir ini adalah melalui sistem budidaya polikultur. Sistem polikultur ini memiliki keunggulan antara lain: meminimalkan risiko penyakit udang (mengurangi resiko kegagalan panen), meniadakan penggunaan antibiotik, meminimalkan biaya operasional, memperbaiki pertumbuhan udang dan ikan, menghasilkan produk makanan laut berkualitas, dan memberikan nilai tambah petani. Nila merupakan ikan penting dalam budidaya perairan dunia, sehingga oleh Departemen Perikanan dan akuakultur FAO (Food and Agriculture Organization) menempatkan ikan nila di urutan ketiga sesudah udang dan salmon (Anonim, 2007). Prospek pemasaran nila di Indonesia sangat terbuka baik sebagai komoditi ekspor, maupun konsumsi lokal (dalam negeri), dan Amerika Serikat merupakan pasar ekspor terbesar didunia, menyusul Singapura, Hongkong, Jepang dan Uni Eropa. Nila memiliki varietas-varietas unggul antara lain, nila merah, nila gift, nila gesit, dan lain-lain. Di antara varietas
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2011
216
ini, nila merah memiliki toleran terhadap salinitas yang luas, sehingga dapat dibudidayakan di berbagai habitat. Nila merah ini biasa digunakan sebagai substitusi kakap merah karena penampilannya mirip dengan kakap merah dari laut. Oleh karena itu Kevin Fitzsimmons (Presiden World Aquaculture Sosiety) pada Konperensi Pengusaha Perikanan di Bangkok (1999), menyebut nila sebagai ikan abad ke 21 (food fish of the 21 st century). Di Inggris dijadikan sebagai makanan ringkas fish’s chips, sedang di AmerikaSerikat (AS) , nila menjadi lauk favorit peringkat ke-5 (Kordi, 2010). Ikan Nila merah (Oreochromis niloticus) komoditas perikanan yang memiliki sejumlah keunggulan seperti harga yang terjangkau dan kandungan proteinnya yang tinggi, dan juga merupakan salah satu jenis ikan yang potensial dikembangkan. Apalagi budidayanya relatif mudah dengan pertumbuhan yang relatif cepat. Ikan nila merah juga tidak mengandung kolesterol sehingga aman untuk kesehatan jantung. Keunggulan ini membuat ikan nila relatif mudah diterima masyarakat dan memiliki peluang pasar yang sangat baik serta menjangkau semua segmen. Bahkan, permintaan bukan hanya dari pasar domestik, tapi juga manca negara,” dan sangat disukai masyarakat Singapura dan Jepang karena durinya relatif lebih sedikit serta warna tubuhnya menarik (Anonim, 2007). Budidaya nila merah telah banyak dilakukan sistim polikultur dengan ikan atau udang, monokultur, dan dibudidayakan di tambak maupun di KJA di laut ( Cholik et al., 1990; Tonnek et al., 1993). Polikultur udang windu (Penaeus monodon) dengan nila merah (Oreochromis niloticus) telah dilakukan dan didapatkan rasio kepadatan optimal udang windu dan nila merah adalah: 40.000 : 4.000 ekor/ha (Pirzan et al., 1992), namun belum efisien dalam biaya produksi. Di samping itu, pasaran lokal nila merah relatif rendah dibanding dengan pasaran lokal nila gesit (nila hitam) pada beberapa daerah/ kelompok masyarakat tertentu seperti Sulawesi Selatan. Masyarakat melihat dari aspek sosial antara lain warna ikan (menyerupai ikan hias), struktur daging (lembek), kandungan lendir (Mangampa et al., 2010), Hal ini merupakan salah satu faktor masih rendahnya produksi nila nasional dari air payau, yaitu 10.544 ton ( 6,3%) tahun 2006, dan menurun 4.400 ton ( 2,1%) tahun 2007 (Kordi, 2009). Nila gesit (Genetically Supermale Indonesian Tilapia) dan biasa disebut “nila jantan super”, adalah salah satu varietas nila karya peneliti Indonesia yang dirilis oleh Departemen Kelautan Perikanan (DKP) melalui Kepmen No. 44/Men/2006, tanggal 14 Desember 2006 (Husen, 2008). Komunikasi pribadi mengemukakan nila gesit memiliki toleransi yang rendah terhadap kadar garam dibanding dengan nila merah. Sehingga komoditi ini dapat digunakan pada pergiliran komoditas menghadapi musim penghujan. Tambak marginal adalah tanah dasar tambak yang masih tergolong “tanah sulfat masam (TSM)”, dengan tingkat kemasaman (pH) yang masih rendah, dan sering menghasilkan pyrit yang dapat meracuni udang dan ikan. Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan data dan informasi performansi beberapa varietas nila (nila gesit dan nila merah) yang dipolikultur dengan udang windu pada kondisi salinitas yang rendah. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan nilai tambah budidaya campuran udang windu, nila merah dan nila gesit, dan efisiensi biaya produksi, serta peningkatan produksi tambak pada kondisi salintas rendah, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan petani.. BAHAN DAN METODE Polikultur udang windu, dengan nila gesit dan udang windu dengan nila merah pada secara tradisional plus kondisi salinitas rendahdilakukan di tambak Marana, kabupaten Maros, tambak penelitian Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau dengan menggunakan petakan tambak berukuran 2.500 m2 sebanyak 4 petak. Hewan uji dalam penelitian ini, disesuaikan dengan kondisi musim penghujan berkepanjangan (kadar garam < 15 ppt) yaitu : udang windu, nila merah, dan nila gesit. Perlakuan yang dicobakan adalah polikultur udang windu dengan nila gesit (A) dan polikultur udang windu dengan nila merah, masing masing perlakuan dengan 2 ulangan. Nila gesit dan nila merah dengan berat awal masing masing : 2,053±1,703 dan 2,398±1,618 g ditebar dengan kepadatan 1.000 ekor/petak (0,4 ekor/m 2). Sedangkan tokolan udang windu PL-42 dengan berat awal: 0,191±0,197 g, ditebar dengan kepadatan 2500 ekor/petak (1 ekor/m2) dengan waktu pemeliharaan 98 hari.
217
Penampilan nila gesit dan nila merah ... (Markus Mangampa)
Persiapan tambak sesuai dengan porsedur tetap budidaya tambak, yaitu meliputi: pengeringan tanah dasar dan, pemberantasan hama dengan menggunakan saponin dosis 20 mg/L, pengapuran tanah dasar menggunakan dolomit 1 ton/ ha. Pengisian air dengan ketinggian 0,10-0,25 cm dalam rangka persiapan pumupukan dan penumbuhan makanan alami, yaitu dengan menggunakan pupuk organik dari kotoran ayam sebanyak : 100 sak/ha (2.000 kg/ha) organik sebanyak 300 kg/ha. Dilakukan penebaran ikan nila dan udang windu secara bersamaan setelah makanan alami tumbuh dengan baik (kurang lebih 2 minggu setelah pemupukan). Pemberian pakan komersil untuk ikan nila gesit dan nila merah dilakukan pada awal bulan ketiga pemeliharaan dengan dosis dan frekuensi sesuai dengan protap pemberian pakan. Dilakukan pengapuran dan pemupukan susulan dengan dosis 10-25% dari dosis awal dengan interval waktu setiap 2 minggu. Parameter biologi yang diukur meliputi pertumbuhan udang dan ikan (Zonneveld et al., 1991) setiap 2 minggu, sedangkan sintasan (Effendie, 1997), dan rasio konversi pakan (Watanabe, 1988) dihitung pada akhir percobaan. Peubah mutu air meliputi suhu, oksigen terlarut, salinitas, pH diamati setiap minggu, sedangkan BOT, alkalinitas, amoniak, nitrit, nirat, fosfat, dan plankton diamati setiap 2 minggu. Analisis data pertumbuhan, sintasan, produksi, dan rasio konversi pakan, menggunakan perangkat statistik sedangkan peubah kualitas air dibahas secara deskriptif. Analisis finansial dihitung pada akhir penelitian. HASIL DAN BAHASAN Hasil yang diperoleh selama 98 hari pemeliharaan di tambak, memperlihatkan pertumbuhan mutlak, sintasan, produksi, dan rasio konversi pakan yang bervariasi pada ke 2 perlakuan polikultur ikan nila dan udang windu (Tabel 1). Pertumbuhan, Sintasan, Produksi, dan RKP Ikan Nila Pertumbuhan berat ikan nila yang dipolikultur dengan udang windu memperlihatkan laju pertumbuhan harian nila gesit yang dipolikultur dengan udang windu lebih tinggi yaitu: 4,92±0,048% jika dibandingkan dengan laju pertumbuhan harian nila merah yang dipolikultur dengan udang windu yaitu: 4,31±0,064% namun memperlihatkan perbedaan yang tidak nyata. Walupun demikian laju pertumbuhan nila merah pada penelitian ini masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan laju pertumbuhan nila merah pada penelitian penggunaan pupuk organik untuk pembesaran ikan nila merah yaitu 3,06%-3,37% (Burhanuddin, 2011). Hal ini banyak dipengaruhi oleh umur benih nila yang digunakan yaitu pada penelitian penggunaan pupuk organik untuk pembesaran ikan nila merah menggunakan benih yang telah didederkan cukup lama yaitu 70 hari (14,4 g/ekor), sehingga semakin bertambah waktu pemeliharaan, pertumbuhan semakin menurun dan pada saat mendekati akhir penelitian mengalami kematangan gonad. Menurut Suhartono (1988); bahwa ikan nila memijah pada umur 4 bulan atau terutama pada tambak yang dangkal Tabel 1. Pertumbuhan, sintasan, produksi, dan rasio konversi pakan nila gesit, nila merah, dan udang windu selama 85 hari pemeliharaan di tambak Polikultur
Par ameter Nila g esit
Udang windu
2,500 2,500 Luas petakan (m2 /petak) Padat tebar (ekor/ha) 4,000 10.000 Bobot awal rata-rata (g/ekor) 2,053±1,703 0,191±0,197 Bobot akhir rata-rata (g/ekor) 255,51±12.035 16,27±2,772 Laju pertumbuhan harian (%) 4,92±0,048 a 4,53±0,175 x Sintasan (%) 78,25±7,283 a 72,16±10,748 x Produksi (kg/ha) 798,0±36,77 a 117,4±35,384 x Rasio konversi pakan (RKP) 0,9±0,042 a
Nila mer ah
Udang windu
2,500 4,000 2,398±1,618 163,07±10,402
2,500 10,000 0,191±0,197 20,44±1,626
4,31±0,064a 4,77±0,081 x 60,85±4,313 a 46,52±10,352 y 396,0±2,828 b 94,20±18,305 x 1,315±0,007 b
Pertumbuhan ikan nila (g/ekor)
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2011
218
A = Pertumbuhan nila gesit B = Pertumbuhan nila merah
300 250 200 150 100 50 0 0
14
28
42
56
70
84
98
Waktu pemeliharaan (hari)
Gambar 1. Pertumbuhan Ikan nila (g/ekor) selama 98 hari pemeliharaan Berbeda dengan pemeliharaan benih ikan nila yang dipelihara selama 30 hari, laju pertumbuhan berat harian cukup tinggi baik untuk benih ikan nila merah yaitu: 20,3% dan benih ikan nila gesit mencapai 22,3% (Burhanuddin, 2011b). Pertumbuhan nila gesit di pembesaran lebih tinggi dan berbeda nyata dibandingkan pertumbuhan ikan nila merah (Gambar 1). Hal ini menandakan bahwa ikan nila gesit masih toleran terhadap lingkungan payau (tingkat salinitas tertentu) seperti pada kondisi tempat penelitian, walaupun pada dasarnya ikan nila gesit tidak tahan dengan kadar garam tinggi seperti ikan nila merah. Selain itu ikan nila gesit terlihat lebih aktif menerima pakan yang berpengaruh positif terhadap pertumbuhan sehingga bobot akhir rata-rata nila gesit cenderung lebih tinggi (255,51±12.035 g/ekor) dibandingkan bobot akhir rata-rata nila merah (163,07±10,402). Pada polikultur dengan udang windu, sintasan nila gesit mencapai 78,25±7,283%, lebih tinggi, namun berbeda tidak nyata dengan sintasan nila merah : 60,85±4,313%. Sedangkan produksi nila gesit cukup tinggi mencapai 798,0±36,77 kg/ha dan berbeda nyata dengan produksi ikan nila merah yaitu: 396,0±2,828 kg/ha. Mangampa (2011) melaporkan bahwa ikan nila gesit masih toleran dan tumbuh normal sampai dengan salinitas 22 ppt, dan pada salinitas > 25 ppt pemeliharaan ikan nila gesit sudah mengalami gangguan. Rasio konversi pakan nila gesit pada polikultur dengan udang windu lebih rendah yaitu: 0,9±0,042, dan berbeda nyata dibandingkan dengan rasio konversi pakan nila merah pada polikultur dengan udang windu pada kondisi salinitas rendah:1,315±0,007. Rendahnya RKP nila gesit disebabkan karena kondisi salinitas yang masih toleran, menjadikan nila gesit terlihat lebih aktif menerima pakan yang berpengaruh positif terhadap pertumbuhan sehingga bobot akhir rata-rata nila gesit cenderung lebih tinggi Pertumbuhan, Sintasan, Produksi Udang Windu Pertumbuhan berat udang windu yang dicapai pada ke-2 perlakuan ini memperlihatkan laju pertumbuhan harian udang windu lebih tinggi pada polikultur dengan nila merah yaitu: 4,77±0,081%, namun berbeda tidak nyata dengan laju pertumbuhan udang windu yang dipolikultur dengan nila gesit yaitu 4,53±0,175% (Gambar 2). Bobot rata-rata udang windu yang dipolikultur dengan nilai gesit mencapai: 16,27±2,772g/ekor, berbeda tidak nyata jika dibandingkan dengan bobot udang windu rata-rata yang dipolikultur dengan nila merah yaitu: 20,44±1,626
Penampilan nila gesit dan nila merah ... (Markus Mangampa)
Pertumbuhan udang windu (g/ekor)
219
A = Pertumbuhan nila gesit
25
B = Pertumbuhan nila merah 20 15 10 5 0 0
14
28
42
56
70
84
98
Waktu pemeliharaan (hari)
Gambar 2. Pertumbuhan udang windu (g/ekor) selama 98 hari pemeliharaan Demikian pula halnya dengan produksi udang windu yang dihasilkan pada ke 2 perlakuan polikultur ini relatif sama dan berbeda tidak nyata yaitu dengan nila gesit dan nila merah menghasilkan produksi udang windu masing-masing: 117,4±35,384 dan 19,42±18,305 kg/ha, walaupun sintasan ke-2 perlakuan memperlihatkan perbedaan yang nyata. Hal ini memperlihatkan bahwa ke-2 komoditas yang dipolikultur yaitu udang windu dengan nila gesit dan udang windu dengan nila merah memiliki kehidupan saling bersinergi (simbiosis mutualisme) dalam suatu sistim budidaya campuran. Kualitas Air Peubah kualitas air : suhu, oksigen terlarut, pH, salinitas, alkalinitas,BOT, PO4-P, NO3-N, NH3-N, dan NO2-N, memperlihatkan kisaran dengan pola sebaran yang relatif sama antara kedua perlakuan (Tabel 2). Namun demikian beberapa parameter kualitas air yang merupakan faktor pembatas pada pemelharaan budidaya campuran ini antara lain salinitas dan alkalinitas Suhu, pH, Oksigen Terlarut, dan Salinitas Suhu yang dipantau selama penelitian berkisar 29,9±0,363 (29,6-30,5)oC.pada perlakuan A dan 29,8±0,478 (29,0°c-30,2 o C) pada perlakuan B. Perbedaan suhu antara siang dan malam tidak menyolok karena musim hujan yang menyebabkan penetrasi cahaya masuk kedalam air relatif kurang Tabel 2. Kisaran parameter kualitas air selama 98 hari pemeliharan di tambak Par ameter kualitas air
Kisar an kualitas air Polikultur nila g esit dan udang windu
Polikultur nila merah dan udang windu
Suhu (°C) 29,9±0,363 (29,6-30,5) 29,8±0,478 (29,0-30,2) Oksigen terlarut (mg/L) 4,17±0,761 (2,9-5,2) 5,13±1,822 (4,2-8,8) pH 8,49±0,530 (7,5-9,5) 8,29±0,455 (7,5-9,5) Salinitas (ppt) 6,61±2,993 (3-11) 6,72±2,804 (3-11) Alkalinitas (mg/L) 78,69±18,352 (41,8-117,04) 82,87±18,638 (54,34-117,04) BOT (mg/L) 17,36±1,876 (15,17-19,97) 17,58±1,862 (15,17-19,97) Fosfat (mg/L) 0,5385±0,4109 (0,0229-1,095) 0,2965±0,2992 (0,0267-0,7314) Nitrat (mg/L) 0,0375±0,0311 (0,0062-0,08) 0,0161±0,009 (0,0064-0,0328) Amonia (mg/L) 0,1134±0,0682 (0,0518-0,235) 0,1999±0,1817 (0,0419-0,5332) Nitrit (mg/L) 0,0429±0,0403 (0,0101-0,106) 0,0376±0,0303 (0,0119-0,0999)
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2011
A = Udang windu + nila gesit B = Udang windu + nila merah
14 12 Kadar garam (ppt)
220
10 8 6 4 2 0 0
10
20
30
40
50
60
70
80
Waktu pemeliharaan (hari)
Gambar 3.
Konsentrasi salinitas (ppt) selama 98 hari pemeliharaan
dibanding pada musim kemarau. Kisaran suhu pada penelitian ini dinilai cukup baik dan tidak berdampak buruk pada ikan nila di tambak. Suhu yang baik untuk pertumbuhan ikan nila adalah 22°C-31°C. Perubahan pH air dapat diakibatkan beberapa faktor seperti kelarutan oksigen dalam air, kandunga CaCO3 dalam air sebagai buffer, juga karena pengaruh asam-asam organik yang berasal dari daratan masuk ke dalam badan air seperti asam hidroksida yang biasa dikenal dengan jerosit. Pengaruh pH juga dapat mempengaruhi tingkat toksitas amonia dan keberadaan pakan alami di tambak. Pada penelitian ini pH air tambak berada pada kisaran 8,49±0,530 (7,5-9,5) pada perlakuan A, dan kisaran yang relatif sama dengan perlakuan B yaitu: 8,29±0,455 (7,5-9,5). pH air tambak pada penelitian ini dianggap layak untuk pertumbuhan dan sintasan ikan nila di tambak. Boyd (1982) bahwa pH di bawah 4 dan lebih dari 11 dapat mengakibatkan kematian ikan. Oksigen terlarut yang dipantau selama penelitian berkisar 4,17±0,761 (2,9-5,2 mg/L) pada perlakuan A dan 5,13±1,822 (4,2-8,8 mg/L) pada perlakuan B. Kandungan oksigen tinggi pada siang hari dan terendah pada subuh hari. Kandungan oksigen pada kedua perlakuan dinilai masih cukup baik disebakan kepadatan ikan dan udang masih rendah. Salinitas yang diamati berada pada kisaran 6,61±2,993 (3-11 ppt) pada perlakuan A dan 6,72±2,804 (3-11 ppt) pada perlakuan B (Gambar 3). Kondisi ini masih layak untuk pertumbuhan ikan nila utamanya nial gesit karena pada dasarnya ikan nila adalah ikan air tawar, tetapi toleran terhadap kondisi salinitas tertentu pada air tambak. Lain halnya dengan ikan nila merah tahan hidup dan bertumbuh pada salinitas 35 ppt. Wiryanta et al. (2010), mengemukakan bahwa salinitas yang baik untuk pertumbuhan ikan nila di air payau adalah kurang dari 25 ppt, jika salinitas lebih tinggi akan mudah terserang penyakit hot spot. Menurut Anonim (2010), bahwa sebagai ikan yang tergolong euryhaline, ikan nila merah dapat dibudidayakan di perairan tawar, payau dan laut, namun demikian dengan kadar garam tinggi (> 29 ppt). masih tumbuh baik tetapi tidak dapat berkembang biak. Menurut Mangampa et al. (2010), bahwa justru pada kadar garam 23-34±4.751, ikan nila merah yang dipolikultur dengan udang vaname dapat tumbuh baik dengan bobot akhir rata-rata mencapai: 320,55±32.307 g selama 105 hari pemeliharaan. Alkalinitas Alkalinitas merupakan gambaran kapasitas air untuk menetralisir asam atau kapasitas penyangga terhadap perubahan pH (Effendi, 2003). Pada penelitian ini nilai alkalinitas berada pada kisaran 78,69±18,352 (41,8-117,04) pada perlakuan A dan 82,87±18,638 (54,34-117,04) pada perlakuan B
221
Penampilan nila gesit dan nila merah ... (Markus Mangampa)
140 Alkalinitas (mg/L)
120 100 80 60 40
A = Udang windu + nila gesit B = Udang windu + nila merah
20 0 0
10
20
30
40
50
60
70
80
Waktu pemeliharaan (hari)
Gambar 4. Konsentrasi alkalinitas (mg/L) selama 98 hari pemeliharaan (Gambar 4). Nilai alkalinitas tersebut cukup rendah baik untuk kehidupan ikan nila, dan khususnya kehidupan udang windu. Rendahnya alkalinitas disebabkan oleh salinitas yang rendah mendekati air tawar. Namun demikian kadar alkalinitas ini belum berpengaruh terhadap pertumbuhan dan sintasan ikan nila, kecuali pertumbuhan udang windu. Untuk itu diperlukan pengapuran susulan menggunakan kapur dolomit yang dilakukan secara rutin untuk mempertahankan pH dan alkalinitas. Hal ini dapat sangat membantu aplikasi pemumukan susulan sehingga kehidupan pakan alami tetap kontinyu yang ditandai dengan perubahan warna perairan tambak. Karena pada kondisi demikian pemupukan sebagian tidak terurai sempurna. Bahan Organik Total Bahan Organik Total (TOM) menggambarkan kandungan bahan organik total suatu perairan yang terdiri atas bahan organik terlarut, tersuspensi dan koloid. Hasil pengamatan kandungan bahan organik total (BOT) yang didapatkan pada penelitian ini memperlihatkan kandungan yang relatif sama gengan fuktuasi yang relatif kecil antara ke-2 perlakuan yaitu: 17,36±1,876 (15,17-19,97 mg/ L) pada perlakuan A, dan 17,58±1,862 (15,17-19,97 mg/L) perlakuan B (Gambar 5). Menurut Reid (1961) dalam Amin et al. (1994), bahwa perairan dengan kandungan bahan organik melebih 26 ppt
A = Udang windu + nila gesit B = Udang windu + nila merah
25
BOT (mg/L)
20 15 10 5 0 0
30
60
90
Waktu pemeliharaan (hari)
Gambar 5. Konsentrasi BOT (mg/L) selama 98 hari pemeliharaan
Fosfat (mg/L)
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2011
222
0.8
A = Udang windu + nila gesit
0.7
B = Udang windu + nila merah
0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0 0
30
60
90
Waktu pemeliharaan (hari)
Gambar 6. Konsentrasi fosfat (mg/L) selama 98 hari pemeliharaan
merupakan perairan yang subur, sehingga tambak pada poenelitian ini dikategorikan kesuburan sedang. Namun demikian menurut Boyd (1990), kandungan BOT suatu perairan normal adalah maksimum 15 mg/L, kandungan BOT tinggi maka dapat menurunkan kandungan oksigen terlarut dalam air sehingga menurunkan daya tahan udang. Fosfat Unsur fosfat sangat menentukan tingkat kesuburan suatu perairan. Fosfat adalah bentuk fosfor merupakan unsur hara yang esesnsial bagi tumbuhan termasuk plankton, sehingga dapat berpengaruh terhadap produktifitas perairan (Jones & Bachman, 1976 dalam Davis & Cornwel, 1991). Kandungan fosfat pada penelitian berkisar antara 0,5385±0,4109 (0,0229-1,095) pada perlakuan yaitu A dan 0,2965±0,2992 (0,0267-0,7314) pada perlakuan B (Gambar 6). Konsentrasi fosfat selama penelitian tergolong tingkat kesuburan sangat tinggi berdasarkan kriteria (Joshimura, 1983 dalam Effendie, 2000), perairan dengan tingkat kesuburan rendah kadar fosfatnya berkisar 0-0,02 mg/L, tingkat kesuburan sedang berkisar 0,021-0,05 mg/L, dan kesuburan tinggi berkisar 0,051-0,1 mg/L. Nitrat, Amonia, dan Nitrit Nitrat adalah bentuk nitrogen utama dalam perairan alami dan sangat diperlukan oleh pertumbuhan akuatik (Algae), sangat mudah larut dalam air bersifat stabil (Effendi, 2000). Pola penyebaran NO3 dalam perairan kedua perlakuan relatif sama pada awal pemeliharaan, namun pada bulan ke-2 dan 3 konsentrasi lebih tinggi pada berlakuan A yaitu: 0,0375±0,0311 (0,0062-0,08 mg/L) dibanding dengan perlakuan B 0,0161±0,009 (0,0064-0,0328 mg/L). Hal ini memberikan dampak pertumbuhan lebih tinggi pada pemeliharaan nila gesit dengan udang windu. Namun demikian kadar NO3 cukup layak untuk ke-2 perlakuan dan sangat diperlukan karena merupakan bentuk nitrogen yang dapat dimanfaatkan oleh plankton dalam pertumbuhannya. Amonia dalam air dapat menjadi racun bila konsentrasinya lebih tinggi dan dalam keadaan anaerob. Konsentrasi amonia pada penelitian adalah A: 0,1134±0,0682 (0,0518-0,235 mg/L), B: 0,1999±0,1817 (0,0419-0,5332 mg/L). Kandungan amonia pada penelitian masih aman bagi ikan. Menuurut Silvester (1958) dalam Team survey ekologi IPB (1976), menyarankan agar kandungan amonia dalam air sebaiknya tidak melebihi 1,5 mg/L. Kandungan nitrit yang terkandung dalam air pada perlakuan A lebih tinggi 0,0429±0,0403 (0,0101-0,106 mg/L) dibanding dengan perlakuan B yaitu 0,0376±0,0303 (0,0119-0,0999 mg/L.
223
Penampilan nila gesit dan nila merah ... (Markus Mangampa)
Analisis Finansial Pendapatan yang diperoleh petambak yang memiliki lahan seluas 1 ha dan mengelolanya sendiri adalah sebagai berikut
Tabel 3. Biaya opersional polikultur ikan nila dan udang windu
Komponen pr oduksi Benih udang dan ikan - Tokolan udang windu - Ikan nila (ekor/ha) Pakan ikan (kg) - Pakan nila gesit - Pakan nila merah Dolomit (kg) Pupuk anorganik (kg) - Urea - SP-36 Pupuk organik (kg) Saponin (kg) Pemeliharan kolam Transportasi Biaya Panen Lain-lain
J umlah (ha)
10,000 4000 720 520 1000 200 100 200 50 pm 2 pm pm Total
Penjualan Petambak A : Udang windu: 117,4 kg @ Rp 50.000,Nila gesit : 798 kg @ Rp 17.500,-
Petambak B : Udang windu : 94,2 kg @ Rp 50.000,Nila merah: 396 kg @ Rp 15.000,-
Jumlah biaya (Rp/ha)
Harg a (Rp)
A
50 ,200 ,5,000 ,5,000 ,750 ,2000 2500 800 5000 500,000 250,000
,,,,,,-
B
500,000 ,800,000 ,-
500,000 ,800,000 ,-
3,600,000 ,- 2,600,000 ,750,000 ,750,000 ,400,000 250,000 160,000 250,000 500,000 500,000 500,000 390,000 8 ,6 0 0 ,0 0 0
,400,000 ,250,000 ,160,000 ,250,000 ,500,000 ,500,000 ,500,000 ,390,000 ,- 7 ,6 0 0 ,0 0 0
,,,,,,,,,-
5,870,000 ,13,965,000 ,19,835,000 ,4,710,000 ,5,940,000 ,10,650,000 ,-
Pendapatan petambak Petambak A Biaya operasional Pendapatan petambak A/musim (134,60%)
19,835,000 ,8,600,000 ,11,235,000 ,-
Petambak B Biaya operasional Pendapatan petambak B/musim (40,13%)
10,650,000 ,7,600,000 ,3,050,000 ,-
Dari uraian diatas memperlihatkan bahwa polikultur nila gesit dengan udang windu pada kondisi kadar garam yang rendah menghasilkan produksi yang lebih tinggi baik produksi nila gesit maupun udang windu masing-masing: 798,0±36,77 dan 117,4±35,384 kg/ha dibanding produksi pada polikultur nila merah dan udang windu yaitu masing-masing: 396,0±2,828 dan 94,20±18,305 kg/ ha. Rasio konversi pakan nila gesit juga lebih rendah yaitu: 0,9±0,042 dan berbeda nyata dengan rasio konversi pakan nila merah yaitu: 1,315±0,007. Demikian pula analisis finansial memperlihatkan
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2011
224
keuntungan lebih besar pada polikultur nila gesit dengan udang windu yaitu Rp 11.235.000,-/ha/ musim (130,64%) dibanding dengan keuntungan yang diperoleh pada polikultur nila merah dengan udang windu: Rp 3.050.000,-/ha/musim (40,13%). KESIMPUL AN Dari hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa: produksi, rasio konversi pakan, dan keuntungan yang diperoleh lebih baik pada polikultur nila gesit dengan udang windu dibandingkan dengan polikultur nila merah dengan udang windu. Hal ini dapat disimpulkan bahwa performansi nila gesit yang dipolikultur dengan udang windu lebih baik dibandingkan dengan performansi nila merah yang dipolikultur dengan udang windu pada kondisi salinitas rendah DAF TAR ACUAN Amin, M., Sri Amini dan Suardi.1994. Pengaruh berbagai jenis pupuk dan doisis pupuk Organik terhadap pertumbuhandan sintasan udangwindu,Penaeus monodon pada bak terkontrol. Risalah Seminar Hasil Penelitian Budidaya Pantai, hlm. 43-49 Anonim. 2007. Pasar Dunia Butuh Banyak Nila. Agrina, 10(2): 4-17. Anonim. 2010. Ikan Nila. http://id.wikipedia.org/wiki/ikan_nila Diakses Mei 2011. Boyd, C.E. 1990. Water quality in pond for aquaculture. Alabama Agriculture Experiment Station. Auburn University. Birmingham Publishing Co, Alabama. USA. Burhanuddin. 2011a. Perbenihan dan Pendederan ikan nila (Oreochromis sp.) di Tambak. Dipresentasikan pada Forum Inovasi Teknologi Akuakultur,Denpasar 26 Juli 2011, 9 hlm. Burhanuddin. 2011b. Pertumbuhan ikan nila merah (Oreochromis niloticus) pada tambak marginal dengan menggunakan pupuk organik berbeda. Dipresentasikan pada Forum Inovasi Teknologi Akuakultur. Denpasar, 26 Juli 2011, 11 hlm. Cholik, F., Rachmansyah, dan Tonnek, S. 1990. Pengaruh padat penebaran terhadap produksi nila merah (Oreochromis niloticus) di KJA. J. Penel. Budidaya Pantai, (8)2: 57-62. Davis, M.L. & Cornwell, D.A. 1991. Introduction to Enviromental Engineering. Second Edition. McGrowHill, Inc., New York, 822 pp. Effendie, M.I. 1997. Metode Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri, Bogor, 105 hlm. Effendi, H. 2003. Telaah kualitas air bagi pengelolaan sumberdaya dan lingkungan perairan. Kanisius Yogyakarta, 258 hlm. Husen, M. 2008. Pacu Pertumbuhan dengan yang Jantan. Agrina, 86(4): 20. Kordi, K.M.G.H. 2009. Pemeliharaan Ikan Nila di Kolam Air Deras. Jakarta 2009. PT Perca. Kordi, K.M.G.H. 2010. Budidaya Ikan Nila di Kolam Terpal. Lebih mudah, lebih murah dan lebih untung. Solusi untuk lahan terbatas dan miskin air. Lily Publisher, Yogyakarta, 102 hlm. Mangampa, M. 2011 Performansi Nila Gesit (Oreochromis sp.) yang dipeliharan pada media air payau. Dipresentasikan pada Seminar Nasional Tahun VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan Tahun 2011, Jurusan Perikanan dan Kelautan, Fakultas Pertanian UGM, Yogyakarta, 22 Juli 2010, 9 hlm. Mangampa, M., Suharyanto, dan Suwoyo, H.S. 2010. Polikultur Udang Windu (Penaeus monodon), Udang Vaname (Litopenaeus vannamei), Nila Merah (Oreochromis niloticus) dan Rumput Laut (Kappaphycus alvarezii) secara Semi Intensif. Prosiding Seminar Nasional Perikanan 2010. 02 Desember 2010. Budidaya Perairan. Sekolah Tinggi Perikanan. Jakarta. hlm. 190-195. Pirzan, A.M., Tahe, S., & Ismail, A. 1992. Polikultur udang windu (Penaeus monodon) dan nila merah (Oreochromis niloticus). J. Penel. Budidaya Pantai, (8)2: 57-62. Suhartono. 1988. Nila Merah Jenis yang dikembangkan di Jawa Tengah. Majalah Dinas Perikanan Jawa Tengah, 2(9): 3-7. Tonnek, S., Pongsapan, D.S., & Rachmansyah. 1993. Polikultur nila merah dan beronang dalam keramba jaring apung di laut. J. Penel. Budidaya Pantai, (9)3: 47-56. Watanabe, T. 1988. Fish nutrition and mariculture, JICA textboox. The General Aquaculture Course, Japan, 233 pp.
225
Penampilan nila gesit dan nila merah ... (Markus Mangampa)
Wiryanta, B.T.P., Sunaryo, Astuti, & Kurniawan, M.B. 2010. Buku Pintar. Budidaya dan Bisnis Ikan Nila. AgroMedia Pustaka, 210 hlm. Zonneveld, N., Huisman, E.A., & Boom, J.H. 1991. Prinsip prinsip Budidaya Ikan, Pustaka Utama. Gramedia. Jakarta 318 hlm.
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2011
226