PEMUNGUTAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI OLEH BANK BUMN DITINJAU BERDASARKAN ASAS EASE OF ADMINISTRATION AND COMPLIANCE Muhammad Rizky Avicenna1 dan Wisamodro Jati2 1. 2.
Departemen Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia Departemen Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia
[email protected],
[email protected]
ABSTRAK Pemerintah menunjuk BUMN sebagai Pemungut PPN sesuai dengan adanya target penerimaan pajak yang terus meningkat. Kebijakan ini yang kemudian diteliti kesesuaiannya dengan teori dan konsep ease of administration and compliance. Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan latar belakang penunjukan kembali BUMN sebagai Pemungut PPN dan menganalisa pemungutan PPN oleh Bank BUMN ditinjau berdasarkan asas ease of administration. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa Badan Usaha Milik Negara ditunjuk kembali sebagai pemungut PPN didasarkan atas kebutuhan akan penerimaan negara yang besar, tingkat kepatuhan PKP yang rendah, keterbatasan petugas pajak, dan besarnya capital expenditure BUMN. Pemungutan PPN oleh Bank BUMN tidak sesuai dengan asas ease of administration and compliance. Dalam pelaksanaan pemungutan PPN oleh Bank BUMN masih ditemukan ambiguitas dalam peraturan yang berlaku, sehingga tidak memenuhi asas certainty. Selain itu penunjukan Bank BUMN sebagai pemungut PPN otomatis menimbulkan biaya tambahan bagi Bank BUMN itu sendiri. Biaya tersebut terdiri dari direct money cost, psychological cost, dan time cost bagi Bank BUMN, dan menjadikan pemungutan PPN oleh Bank BUMN tidak memenuhi asas efficiency. Sistem pemungutan yang berbelit-belit dan administratif yang tidak mudah menjadikan pemungutan PPN oleh Bank BUMN juga tidak sesuai dengan asas simplicity. Kata kunci: Ease of administration; Pajak Pertambahan Nilai; pemungut Pajak Pertambahan Nilai
Collection of Value Added Tax by The State Banks Judging Based on Principle of Ease of Administration and Compliance Abstract With the target of increasing tax revenue, the government appointed State-Owned Enterprise (SOE) as a VAT collector. This reality is examined for compliance with the theories and concepts of ease of administration and compliance. The purpose of this study is to explain the background of SOE reappointment as a collector of VAT and VAT collection analyzed by state-owned banks to be reviewed based on the principle of ease of administration. The important concepts in this research are Tax Administration, Ease of Administration and Compliance, and the concept of Value Added Tax. This study adapted quantitative approach with a descriptive research. The data collection technique used is the literature study and field study conducted in-depth interviews. The results of this study was found the appointment of SOE to collect VAT based on the need for a large state revenues, low compliance rate PFM, the limitations of the tax man, and the amount of capital expenditure SOE. Besides, VAT collection by state-owned banks is not in accordance with the principle of ease of administration and compliance. In the implementation of VAT collection by Bank SOEs is still found ambiguity in the regulation, which make it does not meet the basic Certainty. The appointment of Bank SOE as a VAT collector automatically create additional charges for Bank SOE itself. These costs consist of direct money cost, psychological cost, and time cost for SOE Banks, and the collection of VAT by the state-owned Bank did not meet basic efficiency. Collection system is convoluted and not easy to make the administrative collection of VAT by the state-owned Bank also incompatible with the basic simplicity. Keywords: Ease of administration; Value Added Tax; Value Added Tax collector
Pemungutan pajak pertambahan..., Muhammad Rizky Avicenna, FISIP UI, 2014
Pendahuluan Direktorat Jenderal Pajak (selanjutnya disebut DJP) adalah lembaga yang bertanggung jawab memungut pajak dari masyarakat. DJP juga berperan meningkatkan penerimaan negara sesuai dengan target penerimaan pajak yang ditargetkan dalam APBN. Sejalan dengan pertumbuhan ekonomi yang juga terus meningkat, penerimaan negara dari sektor Pajak Pertambahan Nilai (selanjutnya disingkat PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (selanjutnya disingkat PPnBM) selalu berhasil menjadi jenis pajak terbesar kedua dalam penerimaan negara dalam kurun waktu terakhir. Namun demikian, masih banyak potensi pajak yang belum dioptimalkan oleh negara. Hal ini disebabkan oleh masalah yang sering muncul, misalnya dalam pemungutan PPN, banyak faktur pajak fiktif, Pengusaha Kena Pajak (PKP) fiktif, dan PPN yang tidak disetorkan. Menghadapi berbagai masalah ini DJP melakukan program intensifikasi pajak berupa Roadmap Pembenahan Administrasi PPN yang dimulai dari program e-SPT, registrasi ulang PKP, administrasi faktur pajak, dan pada akhirnya akan mengarah kepada e-tax invoice. Selain itu, untuk mengurangi kemungkinan adanya PPN yang tidak disetorkan oleh Wajib Pajak (selanjutnya disebut WP), DJP kembali mengeluarkan kebijakan penunjukan Badan Usaha Milik Negara (selanjutnya disingkat BUMN) sebagai Pemungut atas PPN melalui PMK No. 85/PMK.03/2012. BUMN adalah badan usaha yang sebagian besar atau seluruh modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Hal ini sesuai dengan yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara. BUMN memiliki peran yang signifikan di bidang perekonomian Indonesia. Hal ini berdasarkan kepemilikan pangsa pasar di sektor-sektor utama industri oleh BUMN. Pertumbuhan kegiatan usaha BUMN menunjukan hasil yang positif. BUMN memiliki keistimewaan karakteristik berupa bentuk badan usaha milik pemerintah yang memiliki fleksibilitas dan inisiatif layaknya perusahaan swasta. BUMN di Indonesia mendapat pengawasan tersendiri baik secara hierarki maupun fungsional dari pemerintah oleh Kementerian BUMN di bawah Menteri BUMN. Adanya pengawasan tersendiri diharapkan mampu menjaga efektifitas dan efisiensi BUMN dalam menjalankan usahanya. Selain itu, pengawasan dan kontrol yang baik juga menjadikan BUMN sebagai perpanjangan tangan pemerintah dalam menjalankan program-program pemerintah di bidang lainnya, misalnya dengan adanya kebijakan penunjukan BUMN menjadi Pemungut PPN. Penunjukan BUMN sebagai Pemungut PPN pertama kali diatur berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 56 Tahun 1988. Kemudian Keputusan Presiden ini dicabut
Pemungutan pajak pertambahan..., Muhammad Rizky Avicenna, FISIP UI, 2014
berdasarkan Keputusan Nomor 180 Tahun 2000. Pada tahun 2000 pemerintah mengeluarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 547/KMK.04/2000 yang berisikan penunjukan kembali BUMN sebagai Pemungut PPN per tanggal 1 Januari 2001. Dalam perkembangannya, peraturan ini dihapus sehingga BUMN kembali tidak menjadi Pemungut PPN sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 563/KMK.03/2003. Pada tahun 2012, BUMN kembali ditunjuk sebagai Pemungut PPN sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 85/PMK.03/2012 sebagaimana telah diubah oleh PMK Nomor 136/PMK.03/2012. Dalam konteks demikian, maka BUMN kembali memiliki tambahan tanggung jawab dalam menjalankan proses bisnisnya berupa kewajiban pemungutan PPN. Perubahan yang terjadi dengan adanya penunjukan sebagai Pemungut PPN, kemudian dicabut, dan pada akhirnya ditunjuk kembali menunjukan inkosistensi pemerintah. Salah satu BUMN yang ditunjuk kembali menjadi Pemungut PPN adalah BUMN yang bergerak di bidang perbankan. Kepemilikan atas kantor cabang dan kantor cabang pembantu menjadikan Bank BUMN memiliki banyak transaksi setiap bulannya. Jumlah kantor cabang yang banyak dapat berdampak pada kebutuhan akan sistem administrasi dan koordinasi yang baik antara kantor pusat dan kantor cabang dalam berbagai hal, termasuk dalam hal kewajiban perpajakan. Sistem administrasi dan koordinasi tersebut berdampak pada efektifitas dan efisiensi bank dalam menjalankan kegiatan bisnis perbankan. Hal tersebut yang menjadikan ruang lingkup pembahasan penelitian ini dipersempit dengan hanya berfokus pada BUMN sektor perbankan. Pemungutan pajak bergantung pada efisiensi dan efektifitas pelaksanaan administrasi perpajakannya. Administrasi perpajakan merupakan kunci berhasil atau tidaknya pelaksanaan kebijakan perpajakan (Mansury, Reformasi, 2002: 6). Dalam pemungutan pajak, asas ease of administration sangat berhubungan dengan kepatuhan WP dalam melakukan kewajiban perpajakannya. Antara administrasi perpajakan dan struktur perpajakan memiliki hubungan yang saling terkait. Kemudahan dalam melakukan kewajiban perpajakan melalui administrasi perpajakan yang mendukung memiliki korelasi positif dengan penerimaan pajak yang diharapkan. Dengan adanya penunjukan Bank BUMN sebagai Pemungut PPN, maka beban dan tanggung jawab Bank BUMN bertambah. Penelitian ini dilakukan untuk menjelaskan implementasi pemungutan PPN oleh Bank BUMN ditinjau dari asas ease of administration and compliance yang meliputi dasar pertimbangan penunjukan kembali BUMN sebagai pemungut PPN dan pemenuhan asas ease of administration and compliance terkait pemungutan PPN oleh Bank BUMN.
Pemungutan pajak pertambahan..., Muhammad Rizky Avicenna, FISIP UI, 2014
Metode Penelitian Analisis pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif, yaitu menggunakan suatu teori dan kriteria-kriteria yang tersedia dalam teori tersebut untuk melakukan penelitian. Pendekatan kuantitatif digunakan untuk menjelaskan kemudahan administrasi dan kepatuhan Bank BUMN dalam memungut PPN. Dilihat dari tujuan yang ingin dicapai, penelitian ini termasuk dalam penelitian deskriptif yakni penelitian yang mendeskripsikan mengenai fenomena pemungutan PPN oleh Bank BUMN dan hambatan yang muncul dalam implementasi kebijakan tersebut. Dilihat dari segi manfaat, penelitian ini termasuk ke dalam penelitian murni, yakni dilakukan untuk kepentingan akademis. Selain itu penelitian ini dilakukan dengan pemikiran yang bebas berdasarkan ide ilmiah yang ada, tanpa intervensi pihak manapun. Dari sisi dimensi waktu, penelitian ini masuk ke dalam kategori cross sectional karena mengambil suatu bagian dari gejala (populasi) pada suatu waktu tertentu, yaitu sejak Maret sampai dengan Juni 2014. Penelitian ini hanya mengambil fenomena tunggal yang terjadi pada periode tersebut dan tidak dibandingkan dengan penelitian lainnya. Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data studi lapangan dan studi kepustakaan. Teknik wawancara mendalam dilakukan dalam pengumpulan data secara studi lapangan. Wawancara mendalam dilakukan dengan metode face to face interviews kepada pihak yang memang paham secara menyeluruh terkait masalah yang akan diteliti, antara lain perwakilan dari pihak Bank BUMN, Direktorat Jenderal Pajak, Badan Kebijakan Fiskal, dan akademisi. Adapun studi kepustakaan dilakukan dengan mempelajari buku, penelitian lain, dan artikel-artikel yang berhubungan dengan masalah yang dibahas dan difokuskan untuk menjawab pertanyaan mengenai kewajiban pemungutan PPN. Teknik pengumpulan data dilakukan untuk memperoleh data primer yang dikumpulkan melalui wawancara mendalam dengan pihak-pihak terkait kewajiban pemungutan PPN dan data sekunder yang diperoleh dari berbagai literatur dan sumber yang berkaitan dengan topik penelitian. Analisis data dalam penelitian ini bersifat induktif. Tahap pertama adalah mempersiapkan data untuk selanjutnya dilakukan coding atau pengkategorian data. Data berupa hasil wawancara terstruktur yang telah diberi coding tersebut kemudian dianalisis untuk disajikan dalam bentuk penjelasan berupa narasi. Dalam penelitian ini digunakan validitas triangulasi untuk pengecekan kredibilitas data terutama triangulasi sumber. Triangulasi sumber menguji data dengan cara mengecek data yang diperoleh dari berbagai narasumber yang sudah diwawancara. Data dari sumber yang ada tidak dijadikan rata-rata namun dikategorisasikan mana pandangan yang sama, berbeda, spesifik, maupun
Pemungutan pajak pertambahan..., Muhammad Rizky Avicenna, FISIP UI, 2014
umum. Selain itu validitas juga didapatkan karena narasumber yang diwawancarai dalam penelitian ini memiliki kapabilitas yang sesuai dengan tema penelitian yang diangkat. Pihak yang menjadi key informants adalah pihak yang berurusan langsung dengan topik penelitian pemungutan PPN oleh Bank BUMN.
Hasil Penelitian dan Pembahasan Dasar Pertimbangan Penunjukan Kembali Badan Usaha Milik Negara Sebagai Pemungut Pajak Pertambahan Nilai Suatu sistem perpajakan yang baik hendaknya memiliki kemudahan dalam pelaksanaannya dan dalam mematuhinya (Nurmantu, 2005: 94). Sistem perpajakan tersebut perlu ditunjang dengan hukum pajak formal yang mengatur bagaimana suatu kebijakan perpajakan itu dijalankan. Keselarasan antara hukum formal perlu diatur dalam sebuah kebijakan perpajakan yang memenuhi prinsip ease of administrasion dengan melihat pada empat prinsip yaitu kepastian (certainty), kenyamanan dalam memenuhi kewajiban perpajakan (convenience), efisien dari segi biaya yang dikeluarkan oleh WP maupun pemerintah, dan prinsip kemudahan dalam pelaksanaan kebijakan tersebut (simplicity). Pada tahun 2012, pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan, menunjuk satu pihak baru yang memiliki tanggung jawab sebagai Pemungut PPN, yaitu BUMN. Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 85/PMK.03/2012, sejak tanggal 1 Juli 2012 BUMN kembali menjadi Pemungut PPN sebagai bentuk pengimplementasian amanah Pasal 16A Undang-Undang No 42 Tahun 2009. Dengan adanya pemungutan PPN oleh BUMN, PPN yang terutang atas setiap penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP) tidak lagi dipungut oleh PKP (penjual), namun disetor langsung oleh BUMN. Penunjukan kembali BUMN sebagai Pemungut PPN dilatarbelakangi atas berbagai alasan. Alasan pertama, yaitu target penerimaan negara yang semakin besar. Dalam sejarahnya, BUMN ditunjuk sebagai Pemungut PPN dikarenakan perlunya pembinaan kepada sejumlah PKP di Indonesia, pada saat PPN baru mulai berlaku. DJP merasa perlu untuk membina PKP sebagai bentuk tahapan awal pelaksanaan mekanisme PPN. Seiring perkembangan waktu dan dengan adanya kebutuhan penerimaan yang besar tetapi tidak sebanding dengan jumlah pajak yang masuk, maka kebijakan ini masih diterapkan. Jumlah pajak yang masuk ke kas negara menurun setelah kebijakan BUMN sebagai Pemungut PPN dicabut. Atas dasar penunjukan BUMN sebagai pemungut pajak dapat mengamankan pendapatan pemerintah dari aktivitas BUMN, maka BUMN kembali ditunjuk sebagai Pemungut PPN.
Pemungutan pajak pertambahan..., Muhammad Rizky Avicenna, FISIP UI, 2014
Penurunan tersebut didasari dengan banyaknya temuan bahwa PKP tidak menyetorkan PPN yang telah dipungut ke kas negara. Mekanisme PPN pada umumnya adalah pemungutan PPN dilakukan oleh PKP Penjual, bukan pembeli dalam hal ini BUMN. Pajak yang terutang merupakan beban pajak bagi BUMN. Sejalan dengan hal tersebut, pemerintah dalam hal ini DJP berusaha untuk mengamankan uang pajak yang sebenarnya ada di BUMN untuk langsung disetorkan ke kas negara tanpa harus melalui PKP. Dengan konsep PPN di Indonesia yang menganut indirect substraction method atau credit method, pajak terutang yang disetorkan ke kas negara adalah hasil pengurangan pajak keluaran dengan pajak masukan. Adanya pemungutan PPN oleh Pemungut PPN dapat meningkatkan uang yang masuk ke kas negara terlebih dahulu. Hal tersebut hanya berbeda waktu dengan mekanisme PPN pada umumnya sebab selanjutnya terdapat restitusi oleh PKP rekanan atas PPN yang dipungut oleh BUMN. Penunjukan BUMN sebagai Pemungut PPN juga didasari atas dasar masih rendahnya tingkat kepatuhan WP dalam hal ini PKP. Kepatuhan yang rendah mengakibatkan pemerintah belum percaya sepenuhnya kepada PKP yang ada. Alasan selanjutnya BUMN ditunjuk kembali sebagai Pemungut PPN dikarenakan keterbatasan petugas pajak untuk mengawasi pajak yang potensial. Perbandingan antara petugas pajak yang tersebar di seluruh nusantara dan jumlah penduduk yang ada di Indonesia tidak sebanding. Banyaknya penyerahan BKP dan/atau JKP yang terjadi di masyarakat menuntut adanya pengawasan dari pemerintah, dalam hal ini petugas pajak, agar potensi-potensi pajak yang ada tidak hilang. Hal ini juga yang kemudian menjadikan penerimaan pajak terkadang tidak sesuai dengan target yang diharapkan. Dengan keterbatasan jumlah pegawai pajak, pemerintah dalam hal ini DJP lebih percaya kepada mitra kerja instansi-instansi pemerintahan yang kemudian ditunjuk sebagai Pemungut PPN dikarenakan adanya identitas dan data yang lebih jelas atas BUMN dibandingkan PKP penyedia BKP dan JKP ke BUMN yang jumlahnya lebih banyak. Dengan adanya bantuan dari BUMN, pemerintah lebih mudah mengontrol pajak terutang kepada BUMN dibanding dengan kepada ratusan ribu PKP yang ada. BUMN sendiri mendapat pengawasan yang dilakukan oleh KPP BUMN yang kemudian sejak tanggal 1 April 2012 disebut KPP Wajib Pajak Besar Tiga. Kemudahan bagi pemerintah untuk mengamankan pajak terutang atas setiap penyerahan BKP dan/atau JKP yang terjadi lebih terasa dengan adanya pemungutan PPN oleh BUMN. Tetapi jumlah PKP yang banyak tersebut belum didukung dengan data identitas yang terintegrasi. Keterbatasan akan data yang benar dan akurat juga turut menghambat DJP. Alasan lain penunjukan kembali BUMN sebagai Pemungut PPN adalah besarnya capital expenditre BUMN selaras dengan kegiatan usaha
Pemungutan pajak pertambahan..., Muhammad Rizky Avicenna, FISIP UI, 2014
yang dilakukan oleh BUMN. Banyaknya transaksi yang terjadi antara BUMN dan PKP rekanan, meliputi penyerahan BKP dan/atau JKP yang bermacam-macam. Atas transaksi ini berpotensi pajak-pajak yang dapat menjadi penerimaan negara. Dengan mekanisme PPN pada umumnya, sebenarnya potensi penerimaan yang besar dapat masuk ke kas negara tetapi untuk mendapatkannya cukup sulit. Hal tersebut membutuhkan proses yang panjang dan usaha yang besar dengan melakukan pemeriksaan kepada PKP yang ada. Namun terdapat ketidaklaziman yang muncul dengan mekanisme pemungutan PPN ini. Sebagai bentuk dukungan mekanisme PPN pada umumnya, sedapat mungkin mekanisme Pemungutan PPN oleh Pemungut PPN dikurangi atau diminimalisisasi. Kepercayaan pemerintah kepada mitra pemerintah, dalam hal ini misalnya BUMN, menyimpang dengan teori pajak tidak langsung secara umum. Dalam teori tentang pajak tidak langsung dijelaskan bahwa dari segi yuridis tanggung jawab penyetoran pajak tidak berada pada penanggung pajak (Waluyo, 2006: 4). Antara pemikul beban pajak dan penanggung jawab pembayaran pajak ke kas negara ada di dua pihak yang berbeda. Namun dengan adanya pemungutan PPN oleh BUMN menjadikan dua peran tersebut terdapat pada satu pihak yang sama, yaitu BUMN. Analisis Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai Oleh Bank ABC Ditinjau Dari Pemenuhan Asas Ease of Administration and Compliance Sistem perpajakan yang baik dapat mendorong peningkatan kepatuhan WP. Salah satu faktor yang mendorong peningkatan kepatuhan WP adalah kemudahan pemenuhan kewajiban perpajakan WP tersebut. Dengan adanya kemudahan dalam pelaksanaan kewajiban perpajakan, maka suatu kebijakan perpajakan dapat dikatakan memenuhi sistem perpajakan yang baik. Asas ease of administration terdiri atas asas kepastian hukum (certainty),asas kenyamanan (convenience), asas efficiency, dan asas simplisitas (simplicity). Sebagaimana dikutip oleh Rosdiana dari The New Encyclopedia Britannica, hukum pajak dan peraturannya harus dapat dipahami oleh WP, tidak ada ambiguitas dan harus memberi kepastian bagi WP dan petugas pajak (Pengantar, 2003: 29). Asas kepastian dilihat dengan adanya peraturan yang tidak bertentangan dengan peraturan di atasnya ataupun dengan peraturan lainnya. Peraturan yang berbeda namun mengatur hal yang sama dapat membingungkan WP dalam menjalankan kewajiban dan hak perpajakannya. Mekanisme pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN oleh Bank ABC diatur pada PMK No. 85/PMK.03/2012 dan sesuai dengan Undang-Undang PPN Pasal 16A. Suatu kebijakan perpajakan diatur oleh peraturan-peraturan yang sifatnya umum sampai dengan peraturan
Pemungutan pajak pertambahan..., Muhammad Rizky Avicenna, FISIP UI, 2014
pelaksana yang sifatnya khusus. Kebijakan Pemungutan PPN diatur secara umum pada Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai Pasal 16A. Selanjutnya peraturan pelaksana kebijakan ini diatur oleh Peraturan Menteri Keuangan Nomor 85/PMK.03/2012 sebagaimana telah diubah dengan PMK Nomor 136/PMK.03/2012. Dalam asas kepastian, suatu kebijakan perlu dibuat berkelanjutan yang berarti tidak sering berubah-ubah sehingga dapat menimbulkan kebingungan bagi WP dan petugas pajak. Selain itu, berkelanjutan juga berarti suatu peraturan perpajakan harus terus menerus disempurnakan dan disesuaikan dengan dinamika bisnis dan ekonomi (Rosdiana dan Irianto, Pengantar, 2012: 171). Kebijakan penunjukan BUMN sebagai Pemungut PPN dalam sejarahnya telah mengalami beberapa kali perubahan. Awal mula kebijakan ini diatur pada Keputusan Presiden Nomor 56 Tahun 1988, kemudian diganti dengan KMK RI Nomor 547/KMK.04/2000, dan pada tahun 2003 dikeluarkan KMK RI Nomor 563/KMK.03/2003 yang mengatur bahwa BUMN tidak lagi menjadi Pemungut PPN. Namun pada tahun 2012 pemerintah kembali menerbitkan PMK Nomor 85/PMK.03/2012 sebagaimana telah diubah dengan PMK Nomor 136/PMK.03/2012 yang menyebutkan bahwa BUMN kembali ditunjuk sebagai Pemungut PPN. Perubahan yang terjadi tersebut menunjukan adanya inkonsistensi pemerintah tentang penunjukan BUMN sebagai Pemungut PPN. Kebijakan ini masih dianggap sebagai cara yang paling mudah untuk mengamankan penerimaan negara. Ketiga, asas kepastian tentunya juga perlu terpenuhi dimulai dari kepastian atas siapakah pihak yang menjadi subjek pajak dan bukan subjek pajak, apa saja yang menjadi objek pajak dan bukan objek pajak, berapakah dasar pengenaan pajak dan tarifnya, dan bagaimana pajak itu dibayarkan. Proses bagaimana pajak itu dibayarkan perlu diatur dengan jelas dan tanpa ambiguitas mulai dari prosedur perhitungan, pemungutan, penyetoran dan pelaporan. Sesuai dengan hal tersebut, maka harus terdapat kepastian atas mekanisme pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN terutang sebagai kewajiban Bank ABC. Kebijakan Penunjukan BUMN sebagai Pemungut PPN yang tertuang pada PMK Nomor 85/PMK.03/2012 sebagaimana telah diubah dengan PMK Nomor 136/PMK.03/2012 ternyata masih ditemukan kebingungan dalam pelaksanaannya. Terdapat hal-hal yang tidak diatur secara jelas dan terperinci. Hal seperti ini sebenarnya bersifat administratif, tetapi berpotensi menimbulkan kebingungan dan menjadi celah bagi WP untuk tidak patuh sesuai dengan yang diharapkan oleh pemerintah. Perbedaan informasi yang diperoleh antara dari pihak Bank ABC dan Direktorat Jenderal Pajak menunjukkan masih kurangnya komunikasi antara kedua pihak tersebut. Sebagai mitra pemerintah untuk membantu memungut PPN, diperlukan kerja sama yang baik antara kedua belah pihak agar keduanya mendapat manfaat yang sama.
Pemungutan pajak pertambahan..., Muhammad Rizky Avicenna, FISIP UI, 2014
Asas convenience berhubungan dengan kenyamanan yang didapatkan WP saat menjalani suatu sistem perpajakan, baik berupa kenyamanan dan kemudahan prosedur hingga waktu yang sesuai dengan kondisi WP. Kesederhanaan administrasi menjadi salah satu hal yang berkaitan dengan kenyamanan. Administrasi yang berbelit-belit menimbulkan ketidaknyamanan bagi WP. Sebaliknya, kenyamanan dalam membayar pajak akan muncul ketika terdapat kesederhanaan administrasi perpajakan yang mudah untuk dilaksanakan dan dipatuhi. Kesederhanaan administrasi juga menciptakan suatu sistem yang tidak terdapat hambatan dan masalah dalam implementasinya. Asas kenyamanan juga menyangkut pelaksanaan kewajiban perpajakan dikaitkan dengan segi bisnis yang dijalankan. Bank ABC merasa bahwa dengan ada kebijakan pemungutan PPN ini tidak berdampak banyak dari sisi kenyamanan saat pembayaran (convenience of payment). Pembayaran PPN yang terutang atas penyerahan BKP dan/atau JKP dari PKP rekanan kepada Bank ABC hanya berbeda dari pihak yang menyetorkan. Kewajiban Bank ABC untuk membayar PPN atas penyerahan tersebut tetap merupakan beban Bank ABC. Kenyamanan belum dirasakan atas proses administratif yang harus dilakukan, yaitu proses kelengkapan dokumen yang berbelit-belit cukup memberatkan Bank ABC. Tingkat kepatuhan pajak juga dipengaruhi oleh besarnya biaya kepatuhan pajak (compliance cost). Rendahnya biaya kepatuhan pajak dalam menjalankan kewajiban perpajakan menunjang kepatuhan pajak yang tinggi. Biaya kepatuhan pajak yang dimaksud merupakan biaya-biaya yang dikeluarkan oleh WP dalam rangka memenuhi kewajiban perpajakannya. Biaya ini dapat terbagi menjadi tiga jenis biaya yaitu direct money cost, time cost, dan psychological cost (Rosdiana, Spektrum, 2013: 16). Direct money cost merupakan jenis biaya yang secara jelas dan nyata dapat diukur dengan nominal yang ditanggung oleh WP sebagai beban dalam memenuhi kewajiban perpajakan. Dalam menjalankan pemungutan PPN, Bank ABC memerlukan tambahan dua pegawai di kantor pusat untuk menangani pemungutan PPN yang didasarkan atas adanya tambahan kewajiban dan tanggung jawab baru. Tambahan kewajiban berupa pemungutan PPN juga menambah beban Bank ABC dalam hal pengadaan SSP. Dalam melakukan pemungutan, Bank ABC membutuhkan SSP sebagai bukti setor yang seharusnya dibuat oleh PKP rekanan. Tidak jarang Bank ABC harus membuat sendiri SSP sesuai dengan kebutuhan dan peraturan yang berlaku. Bank ABC mempunyai dua kewajiban atas PPN, yaitu pemikul beban pajak dan pihak penanggung jawab penyetoran pajak terutang ke kas negara. Pada mekanisme umum pajak tidak langsung, kedua kewajiban ini terbagi kepada dua pihak yang berbeda. Namun sebagai akibat adanya kebijakan Pemungutan PPN oleh Bank ABC, Bank ABC mengalami beban administrasi tambahan,
Pemungutan pajak pertambahan..., Muhammad Rizky Avicenna, FISIP UI, 2014
mulai dari penambahan jumlah karyawan, penambahan jam kerja karyawan sebagai dampak waktu jatuh tempo yang sempit, dan penambahan biaya pembuatan SSP yang seharusnya tidak dikeluarkan oleh Bank ABC apabila tidak ada kebijakan pemungutan PPN. Time cost merupakan jenis biaya berupa waktu yang dibutuhkan oleh WP dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Waktu dihitung sejak perhitungan pajak terutang, pemungutan atas pajak terutang, penyetoran pajak yang telah dipungut, dan pelaporan atas pajak yang telah dipungut. Selain itu, waktu yang dibutuhkan juga termasuk atas kegiatan mengisi formulir perpajakan, memisahkan dokumen faktur pajak dan SSP untuk dikembalikan atau diserahkan kepada masing-masing pihak, sampai dengan pengisian SPT. Beban waktu atas tanggung jawab pemungutan PPN oleh Bank ABC juga bertambah dengan adanya peraturan baru, yaitu PMK Nomor 32/PMK.05/2014 tentang Sistem Penerimaan Negara Secara Elektronik. Dalam pasal 12 peraturan tersebut diatur bahwa Wajib Pajak/Wajib Setor dalam hal ini adalah Bank ABC, menyetorkan penerimaan negara, yaitu PPN yang dipungut ke Bank Persepsi menggunakan Kode Billing. Psychological cost merupakan biaya-biaya yang secara fisik tidak nampak, tapi dapat dirasakan secara psikologis oleh pelaksana kebijakan ini. Beban psikologis yang dimaksud antara lain stres, kecemasan berlebihan, dan ketidaktenangan akan kewajiban perpajakannya. Bank ABC menyebutkan psychological cost lebih banyak muncul dikarenakan perbandingan transaksi yang banyak tidak diimbangi dengan waktu yang ada. Selain itu, ditambah dengan kemungkinan-kemungkinan dari pihak PKP rekanan yang tidak kooperatif dalam menjalankan kewajiban perpajakan masing-masing. Beban psikologis lainnya muncul jika Bank ABC diperiksa oleh pemeriksa pajak. Temuan pemeriksaan pun dirasa tidak adil karena kesalahan yang ada seperti kesalahan identitas di SSP maupun kesalahan jumlah pajak terutang tidak sepenuhnya kesalahan Bank ABC, tapi juga melibatkan rekanan atau unit kerja yang bertransaksi. Selain menambah beban bagi Bank ABC, implementasi atas kebijakan ini juga menimbulkan beban tambahan bagi Direktorat Jendeal Pajak dan PKP rekanan. Beban tersebut muncul karena adanya proses restitusi yang dilakukan oleh PKP rekanan kepada pihak DJP. Akibat dari kebijakan pemungutan PPN oleh BUMN, PKP rekanan mengalami lebih bayar atas Pajak Keluaran yang langsung disetor oleh BUMN tanpa dikurangi dengan Pajak Masukan PKP rekanan tersebut terlebih dahulu. Untuk itu, PKP rekanan biasanya meminta restitusi atas pajak yang lebih bayar tersebut. Adanya proses restitusi menambah beban bagi DJP. Proses restitusi membutuhkan proses yang panjang dan SDM yang banyak. Dengan perbandingan petugas pajak dan WP yang kurang proporsional, pemeriksaan yang
Pemungutan pajak pertambahan..., Muhammad Rizky Avicenna, FISIP UI, 2014
dilakukan oleh petugas pajak sebagai bagian dari proses restitusi menambah beban kerja petugas pajak. Kebijakan perpajakan hendaknya dibuat dengan administrasi perpajakan yang mudah dan tidak berbelit-belit. Pelaksanaan pemungutan PPN oleh Bank ABC mengalami kesulitan dari sisi administratif. Proses pemungutan, penyetoran, dan pelaporan yang menjadi kewajiban Bank ABC dirasa tidak sederhana. Dalam PMK No. 85/PMK.03/2012 menyatakan bahwa SSP dibuat oleh PKP rekanan dan diisikan identitas beserta NPWP atas PKP rekanan. Masalah yang muncul adalah SSP yang dikirimkan oleh PKP rekanan terkadang telat atau identitas tidak benar/tidak lengkap yang selanjutnya menghambat proses penyetoran dan pelaporan atas pajak yang telah dipungut. Mekanisme pemungutan PPN oleh Bank ABC yang diatur di PMK Nomor 85/PMK.03/2012 sebagaimana telah diubah dengan PMK Nomor 136/PMK.03/2012 menimbulkan banyak perdebatan dalam pelaksanaannya. Mulai dari kepastian hukum, kenyamanan pelaksanaan, segi biaya yang dikeluarkan, sampai dengan kesederhanaan administrasi. Perlu ada tahapan lebih lanjut atas kebijakan ini agar kebijakan yang ada dapat terus menjadi bahan perbaikan sistem perpajakan Indonesia.
Simpulan Penelitian menunjukkan dasar pertimbangan yang menyebabkan BUMN ditunjuk kembali sebagai Pemungut PPN adalah karena kebutuhan akan penerimaan negara yang besar dan sebagai upaya mengamankan penerimaan negara, tingkat kepatuhan PKP yang masih rendah, keterbatasan pegawai pajak untuk melakukan pengawasan, serta besarnya capital expenditure BUMN dan menimbulkan potensi pajak yang besar. Kedua, kebijakan pemungutan PPN oleh Bank ABC secara keseluruhan tidak mudah untuk dijalani. Berdasarkan asas certainty, kebijakan pemungutan PPN oleh Bank ABC sesuai dengan amanat Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai Pasal 16A dan tidak bertentangan dengan peraturan lainnya. Namun pelaksanaan kebijakan ini masih terdapat hal yang belum diatur secara jelas dan terperinci sehingga membingungkan Bank ABC dalam menjalankan kewajiban pemungutan PPN. Ditinjau dari asas convenience, dalam hal pembayaran, Bank ABC secara keseluruhan merasa nyaman dengan kewajiban pemungutan PPN yang dibebankan oleh pemerintah. Namun Bank ABC merasa tidak nyaman dengan adanya hal-hal yang bersifat administratif dalam rangka pemenuhan kewajiban pemungutan PPN ini. Dilihat dari asas efficiency, Bank ABC merasa kurang efisien dengan adanya beban yang ditanggung oleh Bank ABC. Dengan adanya pemungutan PPN, Bank ABC mengalami beban tambahan
Pemungutan pajak pertambahan..., Muhammad Rizky Avicenna, FISIP UI, 2014
dari sisi direct money cost, time cost, dan juga psychological cost. Terakhir, berdasarkan asas simplicity, pelaksanaan pemungutan PPN oleh Bank ABC mengalami kesulitan dari segi administratif, terutama pada tahap penyetoran dan pelaporan.
Saran Terdapat saran dan rekomendasi yang dapat digunakan. Dalam rangka pengamanan penerimaan negara dan dalam rangka memenuhi target penerimaan pajak yang besar dari tahun ke tahun, pemerintah dalam hal ini DJP perlu berbenah diri dan lebih profesional dalam bekerja. Salah satu bentuknya adalah menghilangkan mekanisme pemungutan PPN oleh Pemungut PPN karena tidak sesuai dengan konsep PPN. Sudah menjadi kewajiban DJP untuk menghimpun dana pajak sebagai penerimaan negara. Namun sebaiknya hal tersebut dilakukan tidak dengan cara yang menyalahi konsep seperti menunjuk Pemungut PPN. DJP sebaiknya meningkatkan pengawasan kepada WP namun tetap memberikan kepercayaan kepada WP sebagaimana konsep self assessment yang dianut oleh Indonesia. Kemudian hal-hal yang belum diatur secara jelas dan terperinci perlu untuk segera diatur dalam peraturan tertulis agar tidak membingungkan pihak implementor. Selain itu, administrasi perpajakan juga perlu beradaptasi dengan teknologi. Adanya pembaharuan dari segi administratif diharapkan kepatuhan WP juga dapat meningkat dan timbul kenyamanan dalam memenuhi seluruh kewajiban perpajakannya.
Referensi Mansury. (2002). Pajak Penghasilan Lanjutan Pasca Reformasi 2000. Jakarta: Yayasan Pengembangan dan Penyebaran Pengetahuan Perpajakan. Nurmantu, Safri.(2005). Pengantar Perpajakan. Jakarta: Granit. Rosdiana, Haula. (2003). Pengantar Perpajakan Konsep Teori dan Aplikasi Jilid 1. Jakarta: Yayasan Pendidikan dan Pengkajian Perpajakan. --------------------. (2013). Spektrum Teori Perpajakan untuk Pembangunan Sistem Perpajakan Indonesia Menuju Persaingan Pajak Global. Depok: Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI. -------------------- dan Edi Slamet Irianto. (2012). Pengantar Ilmu Pajak Kebijakan dan Implementasi di Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Waluyo. (2006). Perpajakan Indonesia: Pembahasan Sesuai dengan Ketentuan Perundangundangan Perpajakan dan Aturan Pelaksanaan Perpajakan Terbaru. Jakarta: Salemba Empat.
Pemungutan pajak pertambahan..., Muhammad Rizky Avicenna, FISIP UI, 2014